Kisah Si Bangau Merah Jilid 1-5

Kho Ping Hoo, Kisah Si Bangau Merah Jilid 1-5 ujan pertama yang turun tadi malam amat lebat, deras dan merata sampai puluhan li jauhnya. Hujan yang melegakan hati para petani,
Hujan pertama yang turun tadi malam amat lebat, deras dan merata sampai puluhan li jauhnya. Hujan yang melegakan hati para petani, melegakan tanah kering yang sudah berbulan-bulan merindukan air. Pagi hari ini udara sangat cerah, seolah matahari lebih berseri dari pada biasanya, seperti wajah seorang kanak-kanak tersenyum dan tertawa sehabis menangis. Kewajaran yang indah tak ternilai.

Seluruh permukaan bumi segar berseri seperti seorang puteri jelita baru keluar dari danau sehabis mandi bersih. Daun-daunan nampak hijau segar dan basah, demikian pula bunga-bunga, walau pun tidak tegak lagi melainkan lebih banyak menunduk karena hembusan air dan angin semalam. Tanah yang barusan disiram air selagi kehausan itu mengeluarkan uapan bau tanah yang sedap, bau yang mengingatkan orang pada masa kanak-kanak ketika dia bermain-main dengan lumpur yang mengasyikkan.

Burung-burung pun lebih lincah pagi itu. Suasana yang menakutkan mereka semalam, hujan dan angin ribut, merupakan bahaya mala petaka yang sudah lewat dan mereka menyambut munculnya matahari pagi dengan kicau saling sahut, dan mereka siap-siap berangkat bekerja mencari makan. Kegembiraan nampak pada wajah para petani yang memanggul cangkul, berangkat ke sawah ladang yang sekarang kembali menjadi subur menumbuhkan harapan hasil panen yang baik.

Segala sesuatu di dunia ini nampak indah selama kita tidak menyimpan kenangan masa lalu. Kenangan hanyalah menimbulkan perbandingan dan perbandingan menghilangkan keindahan saat ini.


"Yo Han, engkau ini bagaimana? Aku dan suhu-mu bersungguh-sungguh mengajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu, akan tetapi engkau selalu acuh menerimanya, bahkan tidak mau berlatih."

Suara wanita yang mengomel ini pun merupakan sebagian dari keindahan pagi itu kalau tidak dinilai. Perusak keindahan adalah penilaian dan perbandingan.

Anak laki-laki itu berusia dua belas tahun. Dia berdiri dengan sikap hormat, akan tetapi pandang matanya sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut kepada wanita yang menegurnya, wanita yang duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada di kebun yang terletak di belakang rumah, di mana tadi anak laki-laki itu menyapu kebun yang penuh dengan daun-daun yang berguguran semalam.

Wanita itu adalah Kao Hong Li atau Nyonya Tan Sin Hong. Suami isteri pendekar ini sejak menikah lima tahun yang lalu, tinggal di kota Ta-tung, di sebelah barat kota raja Peking, di mana mereka membuka sebuah toko rempah-rempah serta hasil pertanian dan perkebunan.

Tan Sin Hong adalah seorang pendekar yang terkenal, walau pun kini dia hidup dengan tenang dan tenteram di kota Ta-tung, tak lagi bertualang di dunia persilatan. Dia pernah terkenal sekali dengan julukannya Pendekar Bangau Putih atau Si Bangau Putih.

Julukannya ini adalah karena dia merupakan satu-satunya pendekar yang menguasai ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) ciptaan dari mendiang tiga orang sakti yang menggabungkan ilmu-ilmu mereka, yaitu mendiang Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir, isterinya Wan Ceng, dan Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat yang pernah terkenal dengan julukan Si Jari Maut!

Si Bangau Putih Tan Sin Hong pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Akan tetapi setelah menikah, dia hidup dengan tenang tenteram bersama isterinya di kota Ta-tung, walau pun usianya masih sangat muda, yaitu baru dua puluh tujuh tahun. Kesukaannya akan pakaian berwarna putih membuat dia lebih dikenal sebagai Si Bangau Putih.

Tan Sin Hong seorang pria yang nampaknya biasa dan sederhana saja, sikapnya selalu lembut dan ramah. Hanya pada matanya sajalah nampak bahwa dia bukanlah orang sembarangan. Matanya itu kadang mencorong penuh kekuatan dan kewibawaan.

Isterinya yang kini duduk di kebun itu bernama Kao Hong Li, berusia dua puluh enam tahun. Isteri Si Bangau Putih itu pun bukan wanita sembarangan. Ia puteri pendekar Kao Cin Liong, bahkan cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak mengherankan kalau nyonya muda ini pun memiliki ilmu silat yang hebat, walau pun tidak sehebat suaminya. Sukarlah mencari seorang yang cukup lihai untuk mampu menandingi Kao Hong Li.

Kao Hong Li ialah seorang wanita yang cantik. Wajahnya bulat telur dan kecantikannya terutama terletak kepada sepasang matanya yang lebar dan jeli. Sikapnya lincah, gagah dan juga galak. Ia seorang wanita yang cerdik, pandai bicara. Seperti juga Tan Sin Hong yang pernah menikah dengan wanita lain kemudian bercerai, Kao Hong Li juga seorang janda muda ketika menikah dengan Sin Hong.

Meski dua orang pendekar ini saling mencinta ketika mereka masih perjaka dan gadis, namun keadaan membuat mereka tidak berjodoh dan menikah dengan orang lain. Tan Sin Hong pernah menikah dengan Bhe Siang Cun, puteri guru silat Ngo-heng Bu-koan, sedangkan Kao Hong Li menikah dengan Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di kota Pao-teng.

Namun, karena pernikahan ini tidak dilandasi cinta, sebentar saja terjadi keretakan dan akhirnya keduanya bercerai dari isteri dan suami masing-masing. Saat dalam keadaan menjadi duda dan menjadi janda inilah mereka saling berjumpa kembali dan kegagalan perjodohan mereka masing-masing itu semakin mendekatkan dua hati yang memang sejak dahulu sudah saling mencinta itu. Dan mereka pun menjadi suami isteri.

Suami isteri yang saling mencinta itu hidup cukup berbahagia, dan setahun setelah pernikahan mereka, mereka dikaruniai seorang puteri yang mereka beri nama Tan Sian Li, yang kini telah berusia empat tahun.

Ada pun anak laki-laki berusia dua belas tahun yang sepagi itu telah menerima teguran Kao Hong Li, adalah murid suami isteri itu. Namanya Yo Han dan sejak lima tahun yang lalu dia sudah diambil murid oleh Tan Sin Hong. Yo Han adalah seorang anak yatim piatu. Ayah ibunya telah tewas di tangan tokoh-tokoh sesat.

Ayah Yo Han seorang petani yang jujur dan sama sekali tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia memiliki watak yang gagah perkasa melebihi seorang pendekar silat! Ibu anak itu seorang tokoh kang-ouw yang amat terkenal, bahkan dahulunya sebelum menikah dengan Yo Jin, yaitu ayah Yo Han, wanita itu merupakan seorang tokoh sesat yang ditakuti orang. Namanya Ciong Siu Kwi dan ia dijuluki Bi Kwi (Setan Cantik) karena biar pun wajahnya cantik jelita, namun ia jahat seperti setan!

Setelah bertemu Yo Jin dan menikah dengan pemuda dusun yang sama sekali tidak mampu bermain silat itu, wataknya lantas berubah sama sekali. Ia menyadari semua kesalahannya dan ia hidup sebagai seorang isteri yang baik, bahkan setelah melahirkan Yo Han, ia menjadi seorang ibu yang sangat baik. Akan tetapi, agaknya latar belakang kehidupannya mendatangkan mala petaka.

Pohon yang ditanamnya dahulu itu berbuah sudah dan ia pula yang harus memetik dan makan buahnya. Meski ia sudah berusaha untuk menjauhkan diri dari dunia kang-ouw, bahkan dari dunia persilatan, namun tetap saja musuh-musuh mencarinya! Melibatkan suami dan puteranya pula sehingga untuk menyelamatkan anak dan suami, terpaksa Bi Kwi Ciong Siu Kwi mencabut kembali pedangnya!

Dan akibatnya, ia dan suaminya tewas di tangan tokoh-tokoh sesat. Masih baik bagi anaknya bahwa dia, yaitu Yo Han, dapat tertolong oleh Tan Sin Hong yang kemudian mengambilnya sebagai murid. Demikianlah riwayat singkat Yo Han dan kedua orang gurunya.

Dan semenjak gurunya, Tan Sin Hong, menikah dengan Kao Hong Li dan tinggal di kota Ta-tung, Yo Han bekerja dengan rajin sekali. Walau pun gurunya telah berhasil dalam usaha perdagangannya, dan sudah mampu menggaji pelayan, namun tetap saja Yo Han membantu semua pekerjaan dari menyapu kebun, membersihkan perabot rumah dan sebagainya. Tidak ada yang menyuruhnya, melainkan karena dia suka bekerja, dia suka mengerjakan kaki tangannya.

Sejak menjadi murid Sin Hong, pendekar ini mengajarkan ilmu silat dasar kepada Yo Han. Akan tetapi sungguh mengherankan sekali, anak itu tidak suka belajar silat. Dia lebih tekun belajar membaca dan menulis sehingga dalam usia dua belas tahun, dia telah mampu membaca kitab-kitab sastra dan filsafat yang berat-berat seperti Su-si Ngo-keng! Dia pandai pula menulis sajak, pandai bermain suling dan pandai bernyanyi! Akan tetapi, selama lima tahun menjadi murid Si Bangau Putih Tan Sin Hong, dia belum mampu melakukan gerakan menendang atau memukul yang benar!

Tan Sin Hong dapat memaklumi keadaan muridnya itu. Dia teringat betapa dahulu, ayah dan ibu anak ini selalu menjaga agar putera mereka tidak mengenal ilmu silat. Mereka mengajarkan ilmu baca-tulis kepada putera mereka, akan tetapi Yo Han sama sekali tidak diperkenalkan dengan ilmu silat. Hal ini dikehendaki oleh Yo Jin, dan Bi Kwi juga menyetujui karena suami isteri ini melihat kenyataan betapa dunia persilatan penuh dengan kekerasan, dendam dan permusuhan.

Bahkan Bi-kwi sendiri benar-benar meninggalkan dunia persilatan, hanya hidup sebagai seorang isteri dan ibu di dusun, sebagai petani yang hidup sederhana namun tenteram penuh damai. Karena memaklumi bahwa pendidikan ayah ibu ini ikut pula membentuk watak dan kepribadian Yo Han, maka biar pun dia melihat betapa Yo Han sama sekali tidak suka mempelajari ilmu silat, dia pun tidak pernah menegur.

Akan tetapi, yang suka mengomel dan merasa penasaran adalah isterinya, Kao Hong Li. Wanita ini memiliki watak yang lincah, gagah dan juga galak. Ia merasa penasaran bukan main melihat Yo Han tidak pernah memperhatikan pelajaran ilmu silat, bahkan mengacuhkannya sama sekali. Padahal, mereka, terutama suaminya, sudah berusaha sedapatnya untuk menjadi seorang guru yang baik bagi Yo Han.

Apa akan kata orang dunia persilatan kalau melihat Yo Han menjadi seorang yang sama sekali tidak tahu ilmu silat, padahal dia adalah murid ia dan suaminya? Yang tidak tahu tentu mengira bahwa mereka suami isteri memang tidak bersungguh hati mengajarkan silat kepada Yo Han, bahkan tentu disangkanya membenci anak itu.

Padahal ia dan suaminya amat menyayang Yo Han. Anak itu mereka anggap sebagai anak sendiri, atau adik sendiri. Apa lagi Yo Han adalah seorang anak yang tahu diri, amat pandai membawa diri, rajin bekerja, juga amat cerdik. Mempelajari segala macam kepandaian, dia cerdik luar biasa, akan tetapi hanya satu hal dia tidak peduli, yaitu ilmu silat.

Pagi hari itu, karena telah merasa kesal sekali melihat Yo Han hanya bekerja di kebun, sama sekali tidak mau berlatih silat, Kao Hong Li tak dapat menahan kesabaran hatinya lagi dan ia pun menegur muridnya.

"Nah, hayo jawab. Kenapa engkau tak mau melatih ilmu-ilmu silat yang sudah diajarkan oleh suhu-mu dan aku? Sudah berapa banyak ilmu silat yang kami ajarkan kepadamu, yang semua teorinya engkau sudah hafal, akan tetapi belum pernah aku melihat engkau mau melatihnya! Hayo jawab sekarang, Yo Han, jawablah sejujurnya, mengapa engkau tidak mau berlatih silat?"

Sejak tadi anak itu menatap wajah subo-nya (ibu gurunya), dengan sikap tenang dan pandang mata lembut, wajah tersenyum seperti seorang tua melihat seorang anak kecil yang marah-marah!

"Benarkah Subo menghendaki teecu (murid) bicara terus terang sejujurnya, dan Subo tidak akan menjadi marah, apa pun yang menjadi jawaban teecu?"

"Kenapa mesti marah? Dengar baik-baik, Yo Han. Pernahkah aku atau suhu-mu marah-marah jika engkau memang bertindak benar? Selama ini, kami harus mengakui bahwa engkau seorang anak yang baik dan seorang murid yang patuh, juga rajin bekerja dan semua ilmu pengetahuan dapat kau kuasai dengan baik dan kau pelajari dengan tekun. Kecuali ilmu silat! Kalau memang jawaban dan keteranganmu sejujurnya dan benar, mengapa aku harus marah? Kalau aku ini menegurmu karena engkau tidak mau berlatih silat, bukanlah untuk kepetinganku, melainkan demi masa depanmu sendiri.”

Anak itu memandang kepada subo-nya dengan mata membayangkan keharuan hatinya. Setelah gurunya selesai bicara, dia pun menarik napas panjang.

"Subo, teecu tahu benar betapa Subo dan Suhu amat sayang kepada teecu, amat baik kepada teecu. Teecu tak habis merasa bersyukur dan berterima kasih atas segala budi kebaikan Subo dan Suhu, Dan maafkanlah kalau tanpa sengaja teecu telah membuat Subo dan Suhu kecewa, menyesal dan marah. Sekarang, teecu hendak menjawab secara terus terang saja, sebelumnya mohon Subo memaafkan teecu."

Diam-diam Kao Hong Li memandang kagum. Sering ia merasa kagum kepada anak ini. Bicaranya demikian lembut, sopan, teratur seperti seorang dewasa saja, yang terpelajar tinggi pula!

"Katakanlah jawabanmu kenapa engkau tidak suka berlatih silat. Aku tak akan marah," katanya, kini suaranya tidak keras penuh teguran lagi.

"Subo, teecu suka mempelajari ilmu silat karena di situ teecu menemukan keindahan seni tari, juga teecu menemukan olah raga yang menyehatkan dan menguatkan badan, memperbesar daya tahan terhadap penyakit dan kelemahan. Akan tetapi, teecu tidak suka melatihnya karena teecu melihat bahwa di dalam ilmu silat terdapat kekerasan pula. Karena itu, maka ilmu silat itu jahat!"

Sepasang mata Kao Hong Li yang memang lebar dan jeli itu terbelalak semakin lebar. "Jahat...?!"

"Ya, tentu jahat, Subo. Ilmu silat adalah ilmu memukul orang, bahkan membunuh orang lain. Apa ini tidak jahat namanya?"

"Wah, pendapatmu itu terbalik sama sekali, Yo Han! Justru ilmu silat membuat kita dapat membela diri terhadap kejahatan, juga dapat kita pergunakan untuk membasmi kejahatan. Kalau ilmu silat dipergunakan untuk kejahatan, tentu saja tidak benar. Akan tetapi ilmu silat dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan, seperti yang dilakukan para pendekar. Ilmu silat adalah ilmu bela diri, baik dari serangan orang jahat mau pun binatang buas. Yang jahat itu bukan ilmu silatnya, seperti juga segala macam ilmu di dunia ini. Jahat atau tidaknya, baik atau tidaknya, tergantung dari manusianya, bukan dari ilmunya. Ilmu silat atau ilmu apa pun tidak akan ada artinya tanpa Si Manusia yang mempergunakannya."

Yo Han mengangguk-angguk. “Teecu mengerti, Subo. Semua yang Subo katakan itu memang kenyataan dan benar adanya. Baik atau buruk tergantung pada orang yang menguasainya. Seperti Suhu dan Subo, walau pun ahli-ahli ilmu silat, namun sama sekali tidak jahat. Yang membuat teecu tidak mau melatih diri dengan ilmu silat adalah karena melihat sifat dari ilmu silat itu. Sifatnya adalah kekerasan, perkelahian, saling bermusuhan. Itulah yang membuat teecu tidak suka menguasainya.”

Kao Hong Li sudah mulai merasa perutnya panas. Ia memang galak dan teguh dalam pendiriannya. "Yo Han, lupakah engkau bahwa kalau tidak ada ilmu silat, engkau sudah mati sekarang ketika engkau terjatuh ke tangan para tokoh sesat?"

"Maaf, Subo. Nyawa kita berada di tangan Tuhan! Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati, biar diancam bahaya bagaimana pun juga, ada saja jalannya bagi teecu untuk terhindar dari kematian. Sebaliknya, kalau Tuhan sudah menghendaki seseorang mati, biar dia memiliki kesaktian setinggi langit sedalam lautan, tetap saja dia tidak akan mampu menghindarkan diri dari kematian. Bukankah begitu, Subo?"

Diam-diam Kao Hong Li terkejut. Dari mana anak ini dapat pengertian seperti itu?

"Anak baik, biar nyawa berada di tangan Tuhan, akan tetapi sudah menjadi kewajiban setiap orang manusia untuk menjaga diri, untuk selalu berusaha menyelamatkan diri dari segala ancaman. Dan ilmu silat dapat menjamin kita untuk menyelamatkan diri dari ancaman orang jahat atau binatang buas."

"Subo, maafkan kalau teecu berterus terang. Teecu selalu ingat betapa Ayah dan Ibu tewas, karena Ibu pernah berkecimpung di dunia persilatan. Ibu sudah terlalu banyak menanam permusuhan, sudah terlalu banyak bergelimangan kekerasan, maka akhirnya Ibu tewas dalam kekerasan pula, bahkan membawa Ayah menjadi korban. Selain itu, sudah banyak teecu mendengar kisah yang dituturkan oleh Subo dan Suhu, kisah para pendekar sakti. Mereka itu hampir semua tewas dalam perkelahian, dalam kekerasan."

"Kau keliru, Yo Han. Memang benar bahwa banyak pendekar tewas dalam perkelahian, seperti juga sebagian besar prajurit tewas dalam pertempuran. Akan tetapi, justru itu adalah kematian terhormat bagi seorang pendekar. Tewas dalam melaksanakan tugas menentang kejahatan adalah kematian yang terhormat!"

"Membunuh atau terbunuh merupakan kematian terhormat, Subo? Ahh, teecu tak dapat menerimanya. Semua kepandaian yang dimiliki manusia didapatkan karena kekuasaan dan kemurahan Tuhan. Juga ilmu silat. Akan tetapi sungguh sayang bahwa kemurahan dan kekuasaan Tuhan itu diselewengkan oleh manusia untuk saling bunuh. Tidak, Subo. Teecu tidak mau membunuh orang! Teecu tidak mau belajar ilmu silat, ilmu memukul dan membunuh orang."

Kao Hong Li menjadi semakin marah. "Bagaimana kalau engkau sekali waktu diancam oleh orang jahat untuk dibunuh?"

"Tentu teecu akan berusaha untuk menyelamatkan diri, melindungi diri dengan segala kekuatan dan kemampuan yang ada, akan tetapi bukan berarti teecu akan berusaha membunuhnya. Jika teecu sudah berusaha sekuatnya untuk melindungi diri, cukuplah."

"Hemm, bagaimana engkau akan mampu melindungi dirimu dari serangan orang jahat yang hendak membunuhmu kalau engkau tidak pandai ilmu silat?"

"Teecu serahkan saja kepada Tuhan! Sudah teecu katakan tadi bahwa nyawa berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan belum menghendaki teecu mati di tangan penjahat itu, tentu teecu akan dapat menghindarkan diri."

Kao Hong Li sudah kehilangan kesabarannya. Dia bangkit berdiri dan menatap wajah anak itu. "Yo Han, aku khawatir bahwa engkau sudah dihinggapi kesombongan besar yang tolol!"

"Maafkan teecu, Subo," kata Yo Han sambil menundukkan mukanya.

"Bocah sombong! Kalau engkau tidak mau belajar silat, kalau engkau menganggap bahwa belajar silat itu salah, lalu engkau mau belajar apa? Engkau menjadi murid suami isteri pendekar, kalau tidak mau belajar silat dari kami, lalu mau belajar apa?"

"Teecu ingin belajar hidup yang benar dan sehat, belajar untuk menjadi manusia yang berguna, baik bagi diri sendiri, bagi orang lain, dan bagi Tuhan. Teecu akan mempelajari segala ilmu yang berguna dan indah, sastra, seni apa saja, asalkan bukan ilmu yang merusak..."

"Sombong!" Kao Hong Li membentak, kini ia sudah marah. "Kau mau bilang bahwa ilmu silat adalah ilmu yang merusak?"

Pada saat itu, muncullah Tan Sin Hong. Sejak tadi dia sudah mendengar percakapan antara isterinya dan murid mereka. Dia tidak menyalahkan isterinya yang marah-marah. Dia sendiri pun tentu akan marah kalau saja dia tidak teringat akan keadaan Yo Han di waktu kecilnya.

"Aihh, ada apakah ini sepagi ini sudah ribut-ribut?" Sin Hong menegur sambil tersenyum tenang.

Melihat suaminya datang, Kao Hong Li segera menuding kepada Yo Han.

"Coba lihat muridmu ini! Dia menjadi murid kita tentu kita beri pelajaran ilmu silat. Ehh, dia malah menganggap bahwa ilmu silat itu ilmu yang jahat, ilmu yang merusak! Apa tidak membikin panas perut?"

"Sudahlah, nanti kita bicarakan lagi hal itu," Sin Hong menghibur isterinya, lalu bertanya kepada Yo Han. "Yo Han, apakah engkau lupa bahwa hari lusa adalah suatu hari yang bahagia? Nah, ada peristiwa bahagia apakah hari lusa itu?"

Yo Han mengangkat mukanya dan wajahnya berseri-seri memandang kepada suhu-nya yang telah mengalihkan percakapan yang membuat hatinya merasa tidak enak terhadap subo-nya tadi.

"Teecu tahu, Suhu. Besok lusa adalah hari ulang tahun yang ke empat dari Sian Li."

"Ha, jadi engkau ingat? Dan sudahkah engkau mempersiapkan hadiahmu untuk adikmu itu?"

Yo Han menggeleng kepala. "Belum, Suhu."

Yo Han amat mencinta adiknya, puteri kedua orang gurunya itu. Bahkan sejak Sian Li bisa merangkak, Yo Han lah yang selalu mengasuhnya dan mengajaknya bermain-main sehingga Sian Li juga amat sayang kepadanya.

Sin Hong mengeluarkan uang dari saku bajunya dan menyerahkannya kepada Yo Han. "Nah, ini uang boleh kau pakai untuk membelikan hadiahmu untuk Sian Li."

Akan tetapi Yo Han menggeleng kepalanya, "Suhu, teecu ingin memberi hadiah sesuatu yang merupakan hasil pekerjaan tangan teecu sendiri kepada adik Sian Li."

"Hemm..." Sin Hong menyimpan kembali uangnya. "Dan sudah kau buatkan itu?

"Belum, Suhu!"

"Kalau begitu, mulai hari ini kau boleh mulai mengerjakannya. Jangan bantu pekerjaan tukang kebun dan pelayan, tapi selesaikan membuat hadiahmu untuk adikmu."

Berseri wajah Yo Han. Memang dua orang gurunya tidak pernah menyuruh dia bekerja, akan tetapi dia sendiri yang merasa tidak enak kalau harus menganggur. Selalu ada saja yang dia kerjakan. Sekarang gurunya memberi dia kesempatan sepenuhnya untuk membuatkan hadiah untuk Sian Li.

"Baik, terima kasih, Suhu. Sekarang pun teecu hendak mulai membuatkan hadiah itu!" Dan dia pun pergi meninggalkan kebun itu, menuju ke sungai kecil yang mengalir di sebelah selatan rumah itu.

Setelah Yo Han pergi, baru Sin Hong bicara dengan isterinya. "Sudahlah, kalau dia tidak mau berlatih silat, kita tidak perlu memaksanya. Kita sudah mengajarkan ilmu-ilmu kita yang paling baik, dan dia sudah menghafalkan semua teorinya. Tinggal terserah kepada dia sendiri hendak melatihnya atau tidak."

"Akan tetapi, dia adalah murid kita. Kalau kelak dunia persilatan tahu bahwa dia murid kita akan tetapi lemah dan tidak pandai memainkan ilmu silat, bukankah kita yang akan menjadi bahan tertawaan?"

Sin Hong menggelengkan kepala. "Belum tentu demikian. Aku melihat bahwa dia bukan anak sembarangan. Dia pemberani dan tabah, juga sangat cerdik. Dan dia mempunyai kasih sayang kepada sesamanya. Lihat saja. Dia tidak pernah menjadi jagoan, akan tetapi semua anak di kota ini mengenalnya dan bersikap sangat baik kepadanya. Dia disukai dan disegani, bukan saja oleh anak-anak, bahkan juga orang-orang tua tetangga kita selalu memujinya karena sikapnya yang sopan dan baik budi."

"Bagaimana pun juga, aku khawatir bila terjadi serangan orang jahat terhadap dirinya..."

"Tidak perlu khawatir, Li-moi. Biarkan saja dia tumbuh sewajarnya, menurut apa yang disukainya dan kita lihat saja. Yang paling penting, dia tidak melakukan sesuatu yang menyimpang dari kebenaran. Apa lagi, dia amat sayang kepada Sian Li."

Hong Li mengangguk. "Memang, Sian Li juga sayang sekali kepadanya. Justru inilah yang kadang merisaukan hatiku."

"Ehh? Engkau risau karena anak kita menyayang Yo Han?"

"Yo Han bagaikan kakak bagi Sian Li dan kelak, tentu Sian Li akan mencontoh segala peri laku Yo Han. Kalau Yo Han membenci ilmu silat, menganggapnya jahat, bagaimana kalau dia mempengaruhi Sian Li dan anak kita juga tidak suka berlatih silat?"

Sin Hong mengangguk-angguk. "Aku akan bicara dengan Yo Han tentang itu dan minta supaya dia jangan menanamkan pendapatnya itu kepada Sian Li, bahkan agar dia bisa membujuk Sian Li supaya suka mempelajari dan berlatih ilmu silat."

Mendengar ucapan suaminya itu, baru legalah rasa hati Hong Li.

"Sungguh seorang anak yang aneh sekali Yo Han itu," katanya menarik napas panjang.

Ia sendiri amat suka kepada Yo Han. Siapa yang takkan suka kepada anak yang pandai membawa diri dan rajin itu? Wajahnya tak pernah muram, terang dan amat ramah, juga berhati lembut.....


********************


Memang tidak berlebihan kalau wanita pendekar itu mengatakan bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh sekali. Memang nampaknya saja Yo Han seorang anak biasa yang tiada bedanya dengan anak-anak lainnya. Akan tetapi memang terdapat sesuatu yang luar biasa pada diri anak ini, yang membuat Kao Hong Li dan juga suaminya mengetahui bahwa Yo Han bukanlah anak biasa.

Sikap anak itu demikian dewasa, pandangannya luas dan kadang-kadang aneh dan tak pantas dimiliki seorang anak berusia dua belas tahun. Wajahnya memang tampan, akan tetapi itu pun tidak aneh. Dan wataknya sederhana. Pakaian pun amat sederhana walau pun selalu bersih dan rapi.

Meski pun kedua orang gurunya amat sayang kepadanya dan selalu berusaha agar dia senang dan tidak kekurangan sesuatu, tapi Yo Han tidak pernah minta apa-apa, hanya menerima saja apa pun yang diberikan kepadanya tanpa memilih. Yang membuat suami isteri itu sering kali kagum adalah kecerdikannya. Dia seolah mampu membaca pikiran orang!

Terutama sekali dalam pelajaran sastra, kecerdasan anak itu sangat menonjol. Dalam usia dua belas tahun, dia sudah mampu membaca kitab-kitab yang berat-berat. Bukan saja kitab-kitab sejarah, juga kitab-kitab agama dan filsafat. Kitab-kitab Su-si Ngo-keng sudah hafal olehnya, dan andai kata dia mau, dalam usia dua belas tahun itu bukan tidak mungkin dia akan lulus dalam ujian kenegaraan bagi para siu-cai (semacam gelar sarjana).

Tan Sin Hong sendiri adalah seorang yang suka membaca dan dia memiliki kumpulan kitab-kitab kuno di dalam kamar perpustakaannya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa kalau sedang membersihkan kamar itu, Yo Han tenggelam ke dalam kitab-kitab itu, membaca kitab-kitab yang kadang masih terasa sukar bagi Sin Hong sendiri!

Banyak hal yang dibacanya, baik dalam kitab sejarah mau pun kitab keagamaan, yang kemudian mempengaruhi batin Yo Han yang aneh, yang membuat ia ngeri menghadapi kekerasan, membuat dia merasa ngeri melihat kenyataan betapa kehidupan manusia bergelimang kekerasan.

Di samping itu, ada sesuatu yang amat luar biasa pada diri Yo Han, yang sering kali membuat dia sendiri merasa heran. Sering dia merasa seakan-akan ada kekuatan yang melindunginya, kekuatan yang kadang-kadang bekerja di dalam dan di luar dirinya, yang bekerja di luar kehendaknya, bahkan di luar pengertiannya. Suatu tenaga mujijat, suatu kekuatan yang bekerja di luar hati dan akal pikirannya.

Hal ini tadinya tak diketahuinya. Akan tetapi karena beberapa kali telah terjadi hal yang tadinya dianggap suatu ‘kebetulan’ saja, mulailah dia menyadari bahwa hal itu bukanlah suatu kebetulan belaka.

Mula-mula keanehan itu terjadi saat dia membaca sebuah kitab agama kuno yang berisi dongeng-dongeng yang mengandung makna-makna terpendam. Amat sukar dimengerti oleh orang dewasa yang sudah banyak membaca kitab agama sekali pun.

Yo Han menemukan kitab ini di dalam kamar perpustakaan suhu-nya. Dia membacanya dan segera menemukan kesulitan. Banyak huruf kuno yang tidak dikenalnya, dan lebih banyak pula kalimat yang tidak dimengerti maknanya. Karena dia memang seorang kutu buku, dia tidak putus asa dan terus membaca.

Makin dia berusaha untuk mengerti isi kitab, makin sukarlah baginya dan makin bingung dan ruwetlah pikirannya. Akhirnya, karena kelelahan, bukan karena jengkel, dia pun lalu tertidur. Tidur sambil duduk dan kitab itu masih terbuka di atas meja di depannya.

Ketika setengah jam kemudian dia terbangun, dia melihat lagi kitab itu dan... dia dapat membaca dengan lancar, bahkan dapat mengerti apa arti isi kitab itu. Hal yang tadinya dianggap sukar, setelah dia bangun tidur, menjadi mudah, yang gelap menjadi terang. Hal itu terjadi dengan sendirinya, bukan hasil pemerasan pikiran, seperti secara wajar dan otomatis saja.

Demikianlah, banyak hal seperti itu terjadi selama kurang lebih dua tahun ini. Yo Han mulai mengerti bahwa kekuatan mujijat itu terjadi kalau dia pasrah kepada Tuhan, kalau dia tidak mempergunakan daya hati dan akal pikirannya. Seperti telah diatur saja oleh tenaga mujijat.

Setelah gurunya memberi ijin kepadanya untuk segera membuatkan hadiah untuk Sian Li, Yo Han segera pergi ke sungai yang letaknya kurang lebih satu li saja dari rumah gurunya. Dia tahu bahwa bahan yang dibutuhkannya untuk membuat hadiah itu berada di tepi sungai. Bahan itu hanya tanah liat, lain tidak!

Ia ingin membuatkan patung kecil atau boneka dari tanah liat, buatan tangannya sendiri, untuk Sian Li! Dia tahu bahwa ia dapat membuat sebuah boneka yang indah dari tanah, liat. Sudah sering ia bermain-main dengan tanah liat dan ia mendapat kenyataan betapa tanah liat itu demikian penurut dalam remasan jari-jari tangannya, demikian mudahnya dibentuk menjadi apa saja yang dikehendakinya.

Dia dapat membuat segala macam patung binatang dari tanah liat. Rasanya seperti jika dia melukis. Dengan goresan, dia pun dapat membentuk apa saja yang dilihatnya, baik yang dilihatnya dalam kenyataan mau pun yang dilihatnya dalam bayangan khayal.

Yo Han tiba di tepi sungai dan dia segera menuju ke bagian di mana terdapat tanah liat yang baik. Bagian ini sunyi sekali. Hanya dia dan beberapa orang kawannya bermain, tetangga gurunya, yang mengetahui tempat ini. Kini dia berada di situ seorang diri dan segera dia turun ke tepian sungai dan mengambil tanah liat dengan kedua tangannya. Mudah saja menggali tanah liat yang lunak dan basah itu, lalu dikumpulkannya sampai cukup banyak, dan dibawanya tanah liat segumpal besar itu ke bawah sebatang pohon besar di tepi sungai.

Ketika baru saja dia menurunkan tanah liat yang dibawanya, saat dia duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari tanah, tanpa disengaja kakinya menginjak seekor ular! Bagian ekornya yang diinjaknya itu.

Ular itu terkejut, dan juga marah. Tubuhnya membalik, kemudian kepalanya meluncur dan menyerang ke arah leher Yo Han yang sudah duduk. Tangan kanan Yo Han cepat bergerak dan tahu-tahu leher ular itu telah terjepit di antara jari-jari tangannya. Dia telah dapat menangkap leher ular itu!

Tak jauh dari situ, Sin Hong memandang terbelalak! Tadi pun dia melihat serangan ular yang amat mendadak itu dan wajahnya menjadi pucat. Terlalu jauh baginya untuk dapat menolong dan menyelamatkan muridnya, juga gerakan ular itu terlalu cepat. Dia sudah membayangkan betapa leher itu pasti akan dipatuk ular. Bukan ular biasa, melainkan ular hijau yang racunnya amat jahat!

Akan tetapi, apa yang dilihatnya? Yo Han telah dapat menangkap leher ular itu, hanya sedikit selisihnya karena moncong ular itu tinggal sejengkal lagi dari leher Yo Han! Dia sendiri, kalau diserang ular secara tiba-tiba seperti itu, masih meragukan apakah berani menghindarkan diri dengan cara menangkap leher ular itu!

Perbuatan ini amat berbahaya karena sekali meleset dan leher terpatuk ular beracun itu, akan amat hebat akibatnya. Kalau kaki yang terpatuk ular, masih banyak harapan untuk diobati, akan tetapi leher terletak demikian dekat dengan kepala dan jantung. Dia hanya terbelalak memandang dan semakin bengonglah dia ketika melihat apa yang terjadi.

Yo Han sendiri terbelalak ketika melihat bahwa yang ditangkap tangannya itu adalah seekor ular hijau yang dia tahu beracun! Dia merasa heran karena sungguh dia tidak menyadari, apa yang dilakukan tangannya tadi, seolah-olah tangan itu bergerak sendiri dengan amat cepatnya menangkap leher ular! Akan tetapi, dia memang seorang anak yang memiliki keberanian luar biasa.

Setelah kini dia melihat kepala ular itu, dengan mata yang nampaknya begitu putus asa dan ketakutan, lidah yang terjulur keluar masuk, tubuh yang menggeliat-geliat melibat lengannya tanpa daya karena dia merasa betapa lengannya diisi tenaga yang membuat lengannya itu seperti berubah menjadi baja, timbul perasaan kasihan di dalam hatinya.

"Ular hijau, kenapa engkau hendak mematukku? Kalau seandainya aku menyentuh atau menginjak tanpa kusengaja, sepatutnya engkau memaafkan aku. Engkau yang sengaja hendak mematukku pun dapat kumaafkan. Kita sepatutnya bermaaf-maafan sesudah sama-sama diciptakan hidup di dunia ini. Bukankah begitu, ular hijau?"

Sin Hong terbelalak, tak pernah berkedip ketika melihat betapa kini ekor ular yang tadi membelit-belit lengan muridnya itu melepaskan belitannya, dan melihat betapa Yo Han dengan lembut melepaskan leher yang ditangkap tangannya itu, membiarkan ular itu ke atas tanah. Dan ular itu sama sekali tidak nampak buas lagi, tidak menyerang! Juga tidak melarikan diri ketakutan.

Sekarang ular itu perlahan-lahan menghampiri Yo Han yang sudah duduk di atas akar, mengelilingi anak itu, perlahan-lahan, kadang-kadang mendekat dan menyentuh kaki Yo Han dengan tubuhnya, bagai tingkah seekor kucing manja yang mengusapkan tubuhnya ke kaki majikannya.

Yo Han sudah tidak mempedulikan ular itu lagi, melainkan asyik dengan pekerjaannya. Dua tangannya mulai bekerja dengan cekatan, meremas-remas tanah liat itu sehingga menjadi lunak dan liat, dan mulai membentuk patung yang hendak dibuatnya. Sampai beberapa lamanya, ular hijau itu bergerak di sekitar Yo Han mengusapkan tubuhnya ke kaki anak itu, kadang menggunakan lidahnya menjilat. Yo Han yang tenggelam dalam pekerjaannya seperti sudah melupakan binatang itu dan akhirnya, ular itu pun pergi dengan tenang.

Beberapa kali, dalam pengintaian itu Sin Hong menelan ludah. Dia merasa bagai dalam mimpi. Yo Han demikian mudahnya menangkap leher ular yang sedang menyerangnya, ular beracun yang terkenal amat ganas. Kemudian, lebih aneh lagi, dengan ucapan dan sikapnya, dia mampu membuat seekor ular berbisa yang ganas berubah menjadi seekor binatang yang jinak dan manja seperti kucing. Apa artinya semua ini?

Tentu saja Sin Hong menjadi penasaran bukan main. Dia adalah guru anak itu. Dan semenjak berusia tujuh tahun, Yo Han selalu ikut dengan dia. Akan tetapi bagaimana sampai saat ini dia sama sekali tidak mengenal muridnya itu? Tidak tahu akan keadaan muridnya yang aneh?

Muridnya itu tak pernah mau melatih ilmu silat yang diajarkan, akan tetapi kini buktinya, anak itu sedemikian lihainya! Kapankah belajarnya? Dari siapa? Gerakan tangan ketika menangkap ular berbisa tadi tidak dikenalnya. Sangat mirip dengan jurus Bangau Putih Mematuk Ular. Akan tetapi hanya mirip. Jauh bedanya.

Jurus dari ilmu silat Pek-ho Sin-kun itu menggunakan jari tangan untuk mencengkeram tubuh ular dan memang yang dimaksud lehernya, sedang dalam ilmu silat menghadapi manusia dipergunakan untuk menangkap lengan lawan yang menyerang. Akan tetapi gerakan Yo Han tadi begitu cepat, akan tetapi begitu lembut sehingga ketika leher ular tertangkap, ular itu tidak mampu melepaskan diri, akan tetapi juga tidak tersiksa dan tidak luka. Gerakan apa itu?

Dan sikapnya kemudian terhadap ular berbisa itu, sungguh tidak dimengertinya! Kenapa Yo Han bersikap seaneh itu dan bagaimana pula ular itu berubah menjadi sejinak itu? Apakah artinya semua itu? Ilmu apakah yang dikuasai Yo Han?

Sin Hong adalah seorang pendekar yang gagah dan jujur, tentu saja tidak suka akan hal-hal yang dirahasiakan, tidak suka akan kepura-puraan. Di depannya, Yo Han tidak pernah berlatih silat, sehingga dia dan isterinya menganggap dia lemah dan tidak dapat bersilat. Akan tetapi apa kenyataannya sekarang?

Serangan ular tadi sangat cepat dan berbahaya. Hanya seorang ahli silat tingkat tinggi saja yang mampu menghindarkan bahaya maut itu dengan cara menangkap leher ular yang sedang menyerang dalam jarak sedemikian dekatnya. Dan tadi Yo Han mampu melakukannya. Hal ini membuktikan bahwa anak itu sama sekali bukan lemah, hanya berlagak lemah saja. Apakah diam-diam dia telah mempelajari dan melatih ilmu silat lain? Atau mempunyai seorang guru lain? Dia harus membongkar semua rahasia ini, dia tidak mau dipermainkan lagi.

Sekali melompat, Sin Hong sudah berada di dekat Yo Han. Anehnya, anak itu sama sekali tidak kelihatan kaget atau gugup, dan kini teringatlah Sin Hong bahwa muridnya itu memang tidak pernah gugup apa lagi kaget atau takut. Selalu tenang saja seperti air telaga yang dalam.

"Suhu...!" kata Yo Han memberi hormat dengan membungkuk karena kedua tangannya berlepotan lumpur tanah liat.

Sejak tadi Sin Hong mengamati wajah Yo Han. Kini melihat wajah muridnya itu wajar dan biasa-biasa saja, dia melirik ke arah bongkahan tanah liat di tangan anak itu dan dia terkejut, juga kagum. Dalam waktu sesingkat itu, jari-jari tangan anak itu telah mampu membentuk sebuah boneka anak-anak yang ukurannya demikian sempurna. Kepala, kaki, tangan sudah terbentuk dan demikian serasi. Hanya wajah kepala itu yang belum dibuat.

"Suhu, ada apakah Suhu mencari teecu?" tanya Yo Han.

Suara dan sikap yang amat wajar itu membuat Sin Hong menjadi bingung dan tak tahu harus berbuat apa.

"Apa yang kau bikin itu?" akhirnya dia bertanya.

"Boneka tanah, Suhu, hadiah teecu untuk adik Sian Li," kata Yo Han.

Keharuan menyelinap di hati Sin Hong, Juga sedikit iri hati. Tidak ada hadiah yang lebih indah dan memuaskan hati melebihi benda buatan tangan sendiri. Jika saja dia mampu membuat boneka tanah seindah yang sedang dibuat Yo Han, dia pun akan senang membuatkan sebuah untuk puterinya!

Akan tetapi, renungan Sin Hong buyar seketika karena dia teringat lagi akan ular tadi. Suatu kesempatan yang amat baik untuk menguji muridnya, untuk mengetahui rahasia yang menyelimuti diri muridnya.

Mendadak saja, dengan tenaga terukur, kecepatan yang hampir menyamai kecepatan gerakan ular tadi, tangannya meluncur dan jari tangannya lantas menotok ke arah leher muridnya, seperti ular yang mematuk tadi, dari arah yang sama pula dengan gerakan ular tadi. Gerakannya ini pun tiba-tiba selagi Yo Han tak mengira, kiranya persis seperti keadaannya ketika diserang ular hijau tadi.

Dan satu-satunya gerakan yang dilakukan Yo Han adalah gerak refleks atau reaksi yang umum. Dia terkejut dan menarik kepalanya sedikit ke belakang. Tentu saja serangan itu akan dapat mengenai leher Yo Han kalau Sin Hong menghendaki.

Sin Hong merasa kecelik. Kenapa Yo Han sama sekali tidak menangkis atau mengelak, sama sekali tidak ada gerakan seorang ahli silat yang mahir? Kalau dia bersikap seperti itu tadi ketika dipatuk ular, tentu dia sudah celaka, mungkin sekarang sudah tewas oleh racun ular!

Ataukah Yo Han sudah tahu bahwa dia sedang diuji dan sengaja tidak mau menangkis atau mengelak untuk mengelabui gurunya? Ahh, tidak mungkin! Seorang ahli silat tinggi memang dapat menangkap gerakan serangan dengan cepat, akan tetapi tidak mungkin bisa menduga secepat itu. Serangannya tadi terlalu cepat untuk diterima dan dirancang pikiran. Jadi jelas bahwa muridnya ini memang tidak tahu ilmu silat sama sekali. Akan tetapi ular tadi?

"Apakah maksud gerakan Suhu tadi?" tanya Yo Han dengan sikap masih tetap tenang seolah tidak terjadi sesuatu. Kekagetannya ketika diserang tadi pun hanya merupakan reaksi saja, bukan kaget lalu disusul rasa takut. Ini saja sudah amat mengagumkan hati Sin Hong.

"Yo Han, engkau ini muridku, bukan?" tiba-tiba Sin Hong bertanya dan dia pun duduk di atas akar pohon, di sebelah Yo Han.

Anak itu menoleh dan memandang wajah suhu-nya dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Tentu saja, kenapa Suhu bertanya?"

"Dan sejak lima tahun yang lalu, sejak engkau kehilangan orang tuamu, engkau hidup dengan aku, bukan?"

Sepasang mata anak itu bertemu dengan pandang mata Sin Hong dan pendekar ini merasa seolah sinar mata anak itu menembus dan menjenguk isi hatinya! Dia tahu bahwa muridnya memiliki mata yang tajam dan lembut, akan tetapi baru sekarang dia merasa betapa sinar mata itu seperti menjenguk ke dalam lubuk hatinya.

"Teecu tahu dan teecu selalu ingat akan kebaikan Suhu dan Subo. Selama hidup, teecu akan ingat kebaikan itu, Suhu, dan Suhu bersama Subo, bagi teecu bukan hanya guru, akan tetapi juga pengganti orang tua teecu."

Sin Hong terheran. Anak ini luar biasa, karena memang itulah yang dipikirkannya tadi. Dia merasa penasaran karena anak itu dianggapnya seperti anak sendiri, namun masih menyimpan rahasia dirinya dan masih berpura-pura lagi!

"Nah, karena itu, Yo Han. Hubungan antara murid dan guru, atau antara anak dan orang tua, sebaiknya tidak menyimpan rahasia, bukan?"

"Memang benar, Suhu. Apakah Suhu mengira teecu menyimpan rahasia? Dugaan itu tidak benar, Suhu. Teecu tidak pernah menyimpan rahasia terhadap Suhu atau Subo."

Anak seperti Yo Han ini tidak mungkin dibohongi, pikir Sin Hong kaget. Lebih baik dia berterus terang.

"Yo Han, memang terus terang saja, aku dan subo-mu merasa heran melihat sikap dan pendirianmu. Engkau menjadi murid kami akan tetapi tidak mau berlatih silat. Lalu apa artinya kami menjadi gurumu?"

"Bukan hanya ilmu silat yang telah diajarkan Suhu dan Subo kepada teecu. Teecu telah menerima pelajaran sifat yang gagah berani, adil dan menjauhi perbuatan jahat dari Suhu dan Subo. Juga selama ini banyak yang telah teecu pelajari. Sastra, seni, dan banyak lagi. Terima kasih atas semua bimbingan itu, Suhu."

"Engkau benar-benar tidak dapat bermain silat sama sekali, Yo Han?" pertanyaan ini tiba-tiba saja karena Sin Hong memang bermaksud hendak bertanya secara terbuka.

Yo Han menggeleng kepala, sikapnya tenang saja dan wajahnya tidak membayangkan kebohongan.

"Yo Han, aku tadi sempat melihat betapa engkau dapat menghindarkan ancaman maut ketika engkau menangkap leher ular yang mematukmu dengan cepat. Ular hijau yang berbisa, mematukmu secara tiba-tiba dan engkau mampu menangkapnya. Gerakan apa itu kalau bukan gerakan silat?"

"Ahhh...? Itukah yang Suhu maksudkan? Ular itu tadi? Teecu juga tak tahu sama sekali bahwa teecu diserang ular, dan teecu juga tidak menggerakkan tangan teecu. Tangan itu yang bergerak sendiri menangkap ular, Suhu."

Sin Hong mengerutkan alisnya, hatinya bimbang. Jika orang lain yang bicara demikian, tentu akan dihardiknya dan dikatakan bohong. Akan tetapi, sulit membayangkan bahwa Yo Han membohong!

"Engkau tidak mempelajari ilmu silat lain kecuali yang kami ajarkan?"

Sin Hong menatap tajam wajah Yo Han, dan anak itu membalas tatapan mata gurunya dengan tenang. Dia tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala. Gelengan kepala yang amat mantap dan jelas menyatakan penyangkalannya.

"Engkau tidak mempunyai seorang guru silat lain kecuali kami?"

Kembali Yo Han tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.

"Lalu... gerakan tangan menangkap ular tadi?"

"Bukan teecu yang menggerakkan. Maksud teecu, teecu tidak sengaja dan tangan itu bergerak sendiri."

"Ahhhhh...!" Ingin dia menghardik dan mengatakan bohong, akan tetapi sikap anak itu demikian meyakinkan.

"Coba... kau ulangi gerakan tanganmu ketika menangkap leher ular itu, Yo Han. Anggap saja lengan tanganku ini ular itu tadi." Dan Sin Hong menggerakkan tangannya seperti ular mematuk.

Akan tetapi Yo Han hanya menggelengkan kepalanya.....


"Teecu tidak dapat, Suhu. Sama sekali teecu tidak ingat lagi, karena ketika tangan teecu bergerak, teecu sama sekali tak memperhatikan dan tahu-tahu ular itu telah tertangkap oleh tangan teecu."

"Hemmm...!" Sin Hong mengamati wajah muridnya dengan pandangan mata tajam dan menyelidik. Namun muridnya itu tidak berbohong!

"Pernahkah engkau mengalami hal-hal sepertl itu? Ada gerakan yang tidak kau sadari dan yang membantumu?"

Di luar dugaan Sin Hong, anak itu mengangguk! Tentu saja Sin Hong menjadi tertarik sekali. "Ehhh? Apa saja? Coba kau ceritakan kepadaku, Yo Han."

"Sering kali teecu merasa terbimbing, tahu-tahu sudah bisa saja. Misalnya kalau teecu membaca kitab, menghafal dan sebagainya. Kalau teecu merasa kesukaran kemudian menghentikan semua usaha, bahkan tertidur, begitu bangun teecu sudah bisa! Padahal sebelumnya teecu mengalami kesulitan besar."

"Kau merasa seperti... seperti ada sesuatu yang membimbingmu, melindungimu?"

Ragu-ragu Yo Han mengangguk perlahan, alisnya berkerut karena dia sendiri tidak tahu dengan jelas. "Kurang lebih begitulah, Suhu. Teecu hanya bisa bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan."

Sin Hong mengerutkan alisnya, pikirannya diputar. Kalau anak ini memiliki sinkang, yaitu hawa murni yang membangkitkan tenaga sakti, dia tidak merasa heran karena tenaga sakti itu juga melindungi tubuh, walau pun perlindungan itu hanya dapat bangkit kalau dikehendaki. Tetapi tenaga mukjijat yang melindungi Yo Han ini lain lagi. Lebih dahsyat, lebih hebat karena bergerak atau bekerja justru kalau tidak ada kehendak!

Semacam nalurikah? Atau kekuasaan Tuhan yang ada pada setiap apa saja di dunia ini, terutama di dalam diri manusia, dan pada diri Yo Han kekuasaan itu bekerja dengan sepenuhnya? Dia tidak tahu, juga Yo Han tidak tahu! Bagaimana pun juga, dia tahu bahwa muridnya ini mendapatkan berkah yang luar biasa dari Tuhan Yang Maha Kuasa, maka diam-diam dia memandang muridnya dengan hati penuh kagum dan juga segan.

Seorang manusia, meski pun masih bocah, yang telah menerima anugerah sedemikian besarnya dari Tuhan patut dikagumi dan disegani. Pantas saja kadang-kadang anak ini mengeluarkan kata-kata yang sebenarnya terlampau tinggi bagi seorang kanak-kanak. Kiranya bila sedang demikian itu, yang bekerja di dalam dirinya bukan lagi hati dan akal pikirannya yang dikemudikan nafsu badan, melainkan badan, hati dan akal pikiran yang digerakkan oleh kekuasaan Tuhan!

Ada pula pikiran lain menyelinap dalam benak Sin Hong. Apakah bimbingan gaib yang dirasakan oleh Yo Han itu datang dari... roh ayah dan ibunya? Dia tak dapat menjawab. Apa pun dapat saja terjadi pada seorang anak yang telah bisa mencapai tingkat seperti itu, kebersihan batin dari kekerasan!

Sin Hong tidak mau mengganggu muridnya membentuk boneka yang sedang dibuatnya. Di sini pun dia dibuat tertegun. Pernah dia melihat ahli-ahli pembuat patung di kota raja, baik ahli-ahli memahat patung, maupun juga ahli pembuat patung dari tanah liat. Mereka adalah orang-orang yang sudah belajar kesenian itu selama bertahun-tahun, di bawah pimpinan guru-guru yang ahli. Keahlian mereka setidaknya masih terpengaruh oleh ilmu pengetahuan, oleh latihan dan belajar.

Akan tetapi, Yo Han tidak pernah mempelajari seni membuat patung. Dan lihat! Jari-jari tangan itu demikian trampil, demikian cekatan dan pembentukan patung itu seolah-olah tanpa disengaja. Akan tetapi pada patung boneka tanah liat itu dia mulai melihat bentuk muka puterinya, Sian Li! Diam-diam dia bergidik. Bocah macam apakah muridnya ini? Sungguh tidak wajar, tidak umum! Dia pun meninggalkan muridnya dengan perasaan yang bercampur aduk. Ada kagum, ada heran, ada pula ngeri!

Setibanya di rumah, dia menceritakan apa yang didengarnya dari jawaban Yo Han, juga tentang pembuatan patung boneka, kepada isterinya yang mendengarkan dengan alis berkerut. Akan tetapi Kao Hong Li diam saja, walau pun hatinya merasa gelisah pula. Gelisah mengingat akan puterinya, karena hubungan puterinya dengan Yo Han amat dekatnya. Puterinya amat sayang kepada Yo Han, dan ibu ini khawatir kalau-kalau kelak anaknya akan meniru segala kelakuan Yo Han yang aneh-aneh dan tidak wajar.

Ketika hari ulang tahun ke empat dari Tan Sian Li tiba, ulang tahun itu dirayakan dengan sederhana. Hanya keluarga dari empat orang itu, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, murid dan puteri mereka Yo Han dan Tan Sian Li, ditambah dengan tiga orang pembantu rumah tangga yang merayakan pesta kecil yang mereka adakan.

Pada waktu Yo Han menyerahkan hadiahnya yang dibungkus rapi, Tan Sian Li bersorak gembira. Apa lagi ketika bungkusan itu dibuka dan isinya sebuah patung tanah liat yang indah, anak kecil itu tertawa-tawa gembira. Ia tidak tahu betapa ayah ibunya, juga tiga orang pembantu rumah tangga itu, menjadi bengong melihat sebuah patung tanah liat yang berupa seorang anak perempuan kecil dengan wajah persis Tan Sian Li! Demikian halus buatan patung itu sehingga nampak seperti hidup saja!

Suami isteri itu saling pandang dan kembali Kao Hong Li merasa tak enak sekali. Makin jelas buktinya bahwa Yo Han bukan orang biasa, bukan anak biasa. Mana mungkin ada anak berusia dua belas tahun yang tidak pernah mempelajari seni membuat patung dapat membuat patung sedemikian indahnya, dan mirip sekali dengan wajah Sian Li? Diam-diam dia bergidik ngeri, seperti juga suaminya. Akan tetapi tiga orang pembantu rumah tangga itu memuji-muji penuh kagum.

Selain patung kanak-kanak itu, yang membuat Sian Li gembira sekali adalah pakaian yang dipakainya, hadiah dari ibunya. Pakaian berwarna serba merah! Dasarnya merah muda, kembang-kembangnya merah tua. Indah sekali. Memberi pakaian serba merah kepada anak yang dirayakan ulang tahunnya, merupakan hal yang wajar dan lajim.

Namun, tidak demikian halnya dengan Sian Li. Semenjak ia menerima hadiah pakaian serba merah itu, sejak dipakainya pakaian merah itu, ia tidak membiarkan lagi pakaian itu dilepas! Ia tidak mau memakai pakaian lain yang tidak berwarna merah! Dan ketika dipaksa, ia menangis terus, dan tangisnya baru terhenti jika Yo Han menggendongnya, akan tetapi ia masih merengek.

"Baju merah... huuu, baju merah...!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li menjadi bingung. Anak mereka itu memang agak manja dan kalau sudah menangis sukar dihentikan, kecuali oleh Yo Han. Kini, biar pun tidak menangis setelah dipondong Yo Han, tetap saja merengek minta pakaian merah!

"Suhu dan Subo, kasihanilah Adik Sian Li. Beri ia pakaian merah, karena warna itulah yang menjadi warna pilihan dan kesukaannya. Dalam pakaian merah, baru akan merasa tenang, tenteram dan senang! Tadi ketika Subo memberinya pakaian serba merah, dan ketika ia memakainya, ia merasakan kesenangan yang luar biasa, maka kini ia tidak mau lagi diberi pakaian yang tidak berwarna merah."

Suami isteri itu saling pandang. Karena mereka tahu bahwa ucapan Yo Han itu bukan ucapan anak-anak begitu saja, mempunyai makna yang lebih mendalam, maka mereka lalu terpaksa membelikan pakaian-pakaian serba merah untuk Sian Li. Dan benar saja. Begitu ia memakai pakaian merah, ia nampak gembira dan bahagia sekali! Dan sejak hari itu, Sian Li tidak pernah lagi memakai pakaian yang tidak berwarna merah.....

********************

Malam itu kembali hujan lebat. Hawa udara amat dinginnya. Sian Li sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi bukan main. Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, masih belum tidur. Lilin di atas meja di dalam kamar mereka masih menyala karena mereka masih bercakap-cakap. Hong Li duduk di atas pembaringan dan suaminya duduk di atas kursi dalam kamar itu.

Mereka biasanya bersikap hati-hati, apa lagi malam itu mereka membicarakan tentang murid mereka, Yo Han. Akan tetapi, karena murid mereka sudah masuk kamar, biar pun andai kata belum pulas juga tidak mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka. Hujan di luar kamar amat derasnya. Takkan ada orang lain yang dapat mendengarkan percakapan mereka dari luar kamar.

"Bagaimana pun juga, aku merasa tidak enak sekali," kata Hong Li setelah beberapa lamanya mereka berdiam diri. "Sian Li begitu dekat dengannya. Sulit untuk mencegah anak kita itu tidak mengikuti jejak Yo Han. Tidak mungkin pula kita menjauhkan anak kita dari Yo Han karena Sian Li sudah menjadi manja sekali dan paling suka kalau bermain-main dengan Yo Han. Bagaimana jadinya kalau anak kita itu kelak tidak mau belajar ilmu silat, dan mengikuti jejak Yo Han menjadi anak... aneh, anak ajaib tidak seperti manusia! Ih, aku merasa ngeri membayangkan anak kita kelak menjadi seperti Yo Han!"

"Hemm, tentu saja aku pun menginginkan anak kita menjadi seorang manusia biasa, dan terutama menjadi seorang pendekar wanita seperti engkau, ibunya. Akan tetapi bagaimana caranya untuk menjauhkannya dari Yo Han?" kata Sin Hong.

"Tidak ada cara lain kecuali memisahkan mereka!” kata Hong Li.

“Memisahkan?" Sin Hong berkata dengan suara mengandung kekagetan. "Akan tetapi, bagaimana? Yo Han adalah seorang yatim piatu yang tidak mempunyai sanak keluarga lagi, dan dia juga murid kita!"

“Soalnya hanya ini. Kita lebih sayang Sian Li ataukah lebih sayang Yo Han. Keduanya memang kita sayang, akan tetapi mana yang lebih berat bagi kita?"

Sin Hong menarik napas panjang. Isterinya mengajukan pertanyaan yang jawabannya hanya satu. "Tentu saja kita lebih memberatkan Sian Li. Bagaimana pun juga, ia adalah anak kita, darah daging kita. Akan tetapi aku pun tidak ingin melihat Yo Han terlantar, aku tidak mau menyia-nyiakan anak yang tidak mempunyai kesalahan apa pun itu."

"Tentu saja! Kita bukannya orang-orang jahat dan kejam yang demi kepentingan anak sendiri lalu membikin sengsara orang lain. Sama sekali tidak. Maksudku, bagaimana jika kita mencarikan tempat baru untuk Yo Han? Memberi dia kesempatan untuk mendapat guru yang baru, atau melihat bakatnya, bagaimana kalau kita menitipkan dia di kuil, di mana terdapat orang-orang pandai dan saleh? Tentu saja kita dapat membayar biaya pendidikannya setiap bulan atau setiap tahun."

Sin Hong mengangguk-angguk. Dia pun tahu bahwa isterinya cukup bijaksana. Isterinya adalah seorang pendekar wanita tulen, cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir! Ayahnya putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan ibunya cucu Pendekar Super Sakti! Ia pun setuju dengan usul isterinya itu.

Memang, jalan terbaik ialah memisahkan Yo Han dari Sian Li, dan cara pemisahan yang sebaiknya adalah menyingkirkan Yo Han dari rumah mereka dengan memberi jaminan terhadap kehidupan Yo Han selanjutnya. Paling baik jika dititipkan di kuil agar dia dapat belajar lebih lanjut. Siapa tahu dibawah pimpinan para pendeta kuil, ketidak wajarannya itu akan berubah dan Yo Han akan menjadi seorang anak yang biasa. Kalau sudah begitu tentu tidak ada halangannya bagi Yo Han untuk kembali kepada mereka.

"Ahhh, aku teringat sekarang! Bagaimana kalau kita minta tolong kepada Thian Sun Totiang?" dia berkata.

"Maksudmu, kepala kuil di lereng Pegunungan Heng-san itu? Bukankah Thian Sun Tosu itu seorang tokoh Kun-lun-pai?" kata Hong Li mengingat-ingat.

"Benar sekali. Selain ilmu silatnya tinggi juga beliau adalah seorang pendeta yang hidup saleh. Tentu dia dapat membimbing Yo Han dalam ilmu kerohanian. Juga beliau adalah sahabatku. Tentu saja kita dapat memberi sumbangan untuk kuilnya sebagai pengganti biaya yang dikeluarkan untuk keperluan Yo Han."

"Bagus, aku pun setuju sekali!" kata Hong Li. Keduanya merasa lega dengan keputusan itu dan Sin Hong meniup padam lilln di atas meja, tanda bahwa keduanya akan tidur.

Di dalam hujan yang lebat, dalam udara yang amat dingin itu. Yo Han keluar dari dalam kamarnya. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia keluar dari dalam kamarnya. Akan tetapi dia tidak peduli dan hanya menyerah kepada dorongan yang membuat kakinya berjalan keluar dari dalam kamar, keluar melalui pintu belakang ke dalam hujan! Tentu saja rambut dan pakaiannya basah kuyup, namun dia tidak peduli karena kakinya terus melangkah. Bahkan hawa dingin itu tidak dirasakannya sama sekali, kalau pun ada perasaan di tubuhnya, maka yang ada bahkan perasaan sejuk segar dan nikmat!

Seperti dituntun, kedua kakinya menuju ke jendela kamar suhu-nya! Jejak kakinya tentu akan terdengar oleh suhu dan subo-nya kalau saja malam itu tidak ada hujan. Suara hujan jatuh ke atas genteng dan tanah, juga ke atas daun-daun pohon, jauh lebih berisik dari pada jejak kakinya, maka walau pun andai kata suami isteri pendekar itu memiliki ketajaman pendengaran sepuluh kali lipat, belum tentu akan mampu mengetahui bahwa ada orang melangkah di luar jendela kamar mereka.

Yo Han mendengar semua percakapan mengenai dirinya itu! Ia memejamkan matanya, dan setelah lilin dalam kamar itu tertiup padam, dia pun kembali ke kamarnya dengan tubuh terasa lemas. Dia mendengar percakapan suhu dan subo-nya. Dia tidak sengaja ingin mendengarkan percakapan mereka.

Entah bagaimana kedua kakinya bergerak membawa dia ke dalam hujan dan mendekati kamar mereka sehingga dia mendengar percakapan mereka. Suhu dan subo-nya tidak menghendaki dia untuk tinggal lebih lama di rumah mereka! Mereka ingin memisahkan dia dari Sian Li! Dia akan dititipkan di sebuah kuil!

Setelah memasuki kamarnya, dia duduk di atas kursi bagaikan patung. Pakaian dan rambutnya yang basah kuyup tidak dipedulikannya. Dia merasa sedih bukan main. Dia harus meninggalkan mereka yang dia kasihi. Harus meninggalkan Sian Li!

Tanpa terasa, dua titik air mata turun ke atas pipinya, mencair dan menjadi satu dengan kebasahan air hujan. Tidak, dia tidak boleh menangis! Menangis tiada gunanya, bahkan hanya membuat hatinya menjadi semakin sedih! Pada waktu mendengar kematian ayah bundanya dulu, lima tahun yang lalu, dia pun mengeraskan hatinya, tidak membiarkan diri menangis berlarut-larut.

Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut agak kusut, pagi-pagi sekali Yo Han sudah memondong Sian Li yang sudah dimandikan ibunya.

"Subo, teecu hendak mengajak adik Sian Li bermain di kebun," kata Yo Han kepada subo-nya yang sudah keluar dari dalam kamar bersama suhu-nya.

Kedua orang suami isteri itu saling pandang. Mereka merasa tidak tega untuk sepagi itu menyatakan keinginan mereka menitipkan Yo Han ke kuil. Biarkan anak itu bermain-main dulu dengan Sian Li.

"Ajaklah ia bermain-main, akan tetapi nanti kalau waktu sarapan pagi, ajak ia pulang," kata Hong Li dan Sin Hong mengangguk setuju.

“Baik, Subo,” kata Yo Han.

Dia menurunkan Sian Li, menggandeng tangan anak itu dan keduanya lalu berlari-lari meninggalkan rumah, menuju ke belakang rumah. Melihat betapa gembiranya Sian Li diajak bermain-main oleh Yo Han, suami isteri itu saling pandang lagi dan keduanya menghela napas panjang. Mereka maklum betapa mereka semua, terutama sekali Sian Li, akan merasa kehilangan Yo Han kalau anak itu pergi meninggalkan rumah mereka. Akan tetapi apa boleh buat. Demi kebaikan Sian Li, mereka harus melegakan hati, Yo Han harus dipisahkan dari anak mereka!

Biasanya, pagi-pagi sekali Yo Han sudah rajin bekerja. Bekerja pagi-pagi saat matahari belum terbit menjadi kesukaannya. Bekerja apa saja, menyapu halaman, membersihkan jendela-jendela rumah dari luar. Bekerja apa saja asal berada di luar rumah karena yang dinikmatinya bukan hanya pekerjaan itu, melainkan terutama sekali adalah suasana di pagi hari.

Baginya pagi hari merupakan saat yang paling indah. Munculnya matahari seolah-olah membangkitkan semangat, gairah dan tenaga kepada segala makluk di permukaan bumi. Akan tetapi, pagi hari itu dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main. Dia sudah mengambil keputusan untuk pergi, seperti yang dikehendaki suhu dan subo-nya. Dia mengerti betapa beratnya bagi mereka untuk menyuruh dia pergi. Maka dia harus membantu mereka. Dialah yang akan berpamit sehingga tak memberatkan hati mereka.

Pula, dia tidak mau kalau dititipkan di kuil mana pun juga. Kalau dia harus berpisah dari suhu dan subo-nya, juga dari Sian Li yang dikasihinya, lebih baik dia berkelana dengan bebas dari pada harus berdiam di dalam kuil seperti seekor burung dalam sangkar. Dan sebelum pergi, dia ingin sekali mengajak Sian Li bermain-main, ingin menyenangkan hati adiknya itu untuk yang terakhir kalinya.

Dia mengajak Sian Li ke tepi sungai, tempat yang paling disenanginya karena tempat itu memang indah sekali. Sunyi dan tenang. Mendengarkan burung berkicau dan air sungai berdendang dengan riak kecil, sungguh amat merdu dan menyejukkan hati. Duduk di atas rumput di tepi sungai, menatap langit yang sangat indah, langit di timur yang mulai kemerahan, serta mutiara-mutiara embun di setiap ujung daun. Tak dapat digambarkan indahnya.

Dia duduk dan memangku Sian Li yang memandang ke arah air di sungai dengan wajah berseri. Dia menunduk, mencium kepala anak itu. Betapa dia amat menyayang adiknya. Dicium kepalanya, Sian Li memandang dan merangkulkan kedua lengannya yang kecil di leher Yo Han. Semenjak kecil ia diajar menyebut suheng (kakak seperguruan) kepada Yo Han. Melihat kakaknya itu memandang kepadanya dengan sepasang mata penuh kasih sayang, anak itu tersenyum.

“Aku sayang suheng...,” katanya lucu.

Yo Han mencium pipinya. “Aku pun sayang kepadamu, adikku...”

Hatinya terharu sekali karena dia dapat merasakan kasih sayang di antara mereka yang menggetarkan hatinya. Dia harus berpisah dari anak ini! Bahkan karena adiknya inilah dia harus meninggalkan rumah suhu-nya! Suhu dan subo-nya tidak ingin kelak Sian Li mencontoh sikap dan wataknya! Begitu burukkah sikap dan wataknya?

Dia mengerti bahwa guru dan subo-nya amat kecewa karena dia tidak suka berlatih silat. Dan membayangkan betapa adik yang bersih ini kelak menjadi seorang gadis yang perkasa, seperti ibunya dulu, hidupnya penuh bahaya dan acaman musuh, hidup selalu waspada, membunuh atau dibunuh, ingin dia menangis.

Adiknya ini akan menjadi pembunuh! Akan memenggal leher orang dengan pedangnya, atau menusukkan pedang menembus dada dan jantung orang. Atau sebaliknya, disiksa dan dibunuh orang!

“Ihhh, Suheng... menangis?” anak itu memandang ketika dua titik air mata turun ke atas pipi kakaknya, dan tangannya menyentuh air mata di pipi itu sehingga runtuh. Sentuhan lembut yang menggetarkan hati Yo Han.

“Sian Li...” Dia merangkul, menyembunyikan mukanya di atas kepala anak itu.

“Suheng, Ayah dan Ibu melarang kita menangis...,” kata anak itu lagi. “Apakah Suheng menangis?” Suaranya masih belum jelas dan terdengar lucu, tapi justru mengharukan sekali.

Yo Han mengeraskan hatinya dan diam-diam dia mengusap air matanya, kemudian dia membiarkan adiknya dapat memandang mukanya yang tadi disembunyikan di rambut kepala Sian Li. Dia menggeleng.

“Aku tidak menangis, sayang.”

Anak itu tertawa dan alangkah manis dan lucunya kalau ia tertawa.

“Hore… Suheng tidak menangis. Suheng gagah perkasa!”

Yo Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Anak sekecil ini sudah menghargai kegagah perkasaan! Anak sekecil ini telah menjadi calon pendekar wanita, seorang calon hamba kekerasan! Sudah terbayang olehnya kelak Sian Li menjadi seorang gadis yang selalu membawa pedang di belakang punggungnya.

Ia cepat dapat menguasai kesedihan dan keharuannya, dan teringat bahwa ia mengajak adiknya pagi ini ke tepi sungai untuk bermain-main dan menyenangkan hati adiknya.

“Sian Li, sekarang katakan, engkau ingin apa? Katakan apa yang kau inginkan dan aku pasti akan mengambilnya untukmu. Katakan, adikku sayang.” Yo Han membelai rambut kepala adiknya.

Sian Li berloncatan girang dan bertepuk tangan.

“Betul, Suheng? Engkau mau mengambilkan yang kuingini? Aku ingin itu, Suheng...” Ia menunjuk ke arah pohon yang tumbuh dekat situ.

“Itu apa?” Yo Han memandang ke arah pohon itu. Pohon itu tidak berbunga. Apa yang diminta oleh Sian Li? Daun?

“Itu yang merah ekornya...”

“Hee? Merah ekornya? Apa...?”

“Burung itu, Suheng. Cepat, nanti dia terbang lagi. Aku ingin memiliki burung itu...”

Yo Han menggaruk-garuk kepalanya. Bagaimana mungkin dia bisa menangkap burung yang berada di pohon? Sebelum ditangkap, burung itu akan terbang.

“Aku tidak bisa, Sian Li. Burung itu punya sayap, pandai terbang, sedangkan aku... lihat, aku tak bersayap!” Yo Han melucu sambil berdiri dan mengembangkan dua lengannya, seperti hendak terbang.

“Uhhh! Kalau Ayah atau Ibu, mudah saja menangkap burung di pohon. Suheng kan muridnya, masa tidak bisa?”

Yo Han merangkul adiknya. “Sian Li, terang saja aku tidak bisa, dan juga, untuk apa burung ditangkap? Biarkan dia terbang bebas. Kasihan kalau ditangkap lalu dimasukkan sangkar. Itu menyiksa namanya, kejam. Kita tidak boleh menyiksa mahluk lain, adikku sayang...”

“Uuuuh... Suheng...! Kalau begitu, ambilkan saja itu yang mudah. Itu tuh, yang kuning dan biru...”

Yo Han mengerutkan alisnya melihat adiknya menunjuk ke arah serumpun bunga yang berwarna merah. Yang diminta, yang berwarna kuning dan biru. Itu bukan warna bunga, tetapi warna beberapa ekor kupu-kupu yang beterbangan di sekeliling rumpun bunga itu. Adiknya minta dia menangkapkan seekor kupu kuning dan seekor kupu biru!

Memang mudah, akan tetapi dia pun tidak suka melakukan itu. Dia tidak suka menyiksa manusia mau pun binatang, apa lagi kupu-kupu, binatang yang demikian indah dan tak pernah melakukan kesalahan apa pun. Akan tetapi, untuk menolak lagi permintaan Sian Li, dia pun tidak tega. Maka dia pun pura-pura mengejar kupu-kupu yang beterbangan dengan panik, pura-pura mencoba untuk menangkap dengan kedua tangannya namun tidak berhasil, dan sebagai gantinya, dia memetik beberapa tangkai bunga merah dan memberikan itu kepada adiknya.

“Wah, kupu-kupunya terbang. Ini saja gantinya, Sian Li. Kembang ini indah sekali. Kalau dipasang di rambutmu, engkau akan bertambah manis.”

“Tidak mau...! Aku tidak mau kembang. Aku ingin burung dan kupu-kupu. Aihh... Suheng nakal. Aku mau kupu-kupu dan burung...” Sian Li lalu membanting-banting kaki dengan manja dan mulai menangis.

Yo Han menjatuhkan diri berlutut dan merangkul adiknya. “Dengarlah baik-baik, adikku sayang. Apakah engkau mau dikurung dalam kurungan, dan apakah engkau mau kalau kaki tanganmu dibuntungi?”

Mendengar ini, Sian Li terheran. Dengan pipi basah air mata ia memandang kakaknya, tidak mengerti.

“Kau tentu tidak mau bukan?”

Sian Li menggelengkan kepala, masih terheran-heran kenapa kakaknya yang biasanya sangat sayang kepadanya dan memanjakannya, kini hendak mengurung dan bahkan membuntungi kaki tangannya!

“Bagus kalau engkau tidak mau! Nah, sama saja, adikku sayang. Engkau tidak mau ditangkap dan dikurung, burung itu pun akan susah sekali kalau kau tangkap dan kau masukkan sangkar, dikurung dan tidak boleh terbang bermain-main dengan teman-temannya. Engkau tidak mau dibuntungi kaki tanganmu, juga kupu-kupu itu tidak suka dan merasa kesakitan dan susah kalau sayapnya dipatahkan, kakinya dibuntungi. Kita tidak boleh menyiksa binatang yang tidak bersalah apa-apa, adikku sayang. Kubikinkan boneka tanah liat saja, ya?”

Akan tetapi Sian Li yang manja masih membanting-banting kaki dan mulutnya cemberut, walau pun tidak menangis lagi. “Suheng, katanya engkau mau... mau memenuhi semua permintaanku, ternyata semua permintaanku kau tolak...”

Pada saat itulah nampak berkelebat bayangan merah, dan tahu-tahu di depan mereka telah berdiri seorang wanita yang pakaiannya serba merah! Pakaian berwarna merah ini segera menarik perhatian Yo Han karena adiknya pun sejak hari ulang tahun ke empat itu setiap hari juga memakai pakaian merah! Jadi di situ sekarang berada seorang anak perempuan empat tahun yang pakaiannya serba merah, beserta seorang wanita cantik yang juga pakaiannya berwarna merah. Yo Han memandang penuh perhatian.

Ia seorang wanita yang berwajah cantik. Tubuhnya tinggi semampai, dengan pinggang yang kecil dan pinggul besar seperti tubuh seekor kumbang. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun kalau melihat wajah dan bentuk badannya, pada hal sesungguhnya dia sudah berusia empat puluh tahun!

Wajahnya bundar dan putih dilapisi bedak, pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Rambutnya digelung ke atas model gelung para puteri bangsawan. Pakaiannya yang serba merah itu terbuat dari sutera yang mahal dan halus dan selain pesolek, wanita itu pun rapi dan bersih, bahkan sepatunya yang terbuat dari kulit merah itu pun mengkilap. Di punggungnya nampak sebatang pedang dengan sarung berukir indah dengan ronce-ronce biru yang menyolok karena warna pakaiannya yang merah.

“Heii, anak baju merah, engkau manis sekali!” Wanita itu berseru dan suaranya merdu. “Engkau minta burung dan kupu-kupu? Mudah sekali, aku akan menangkapkan burung dan kupu-kupu untukmu. Lihat!”

Wanita itu melihat ke atas. Ada beberapa ekor burung terbang meninggalkan pohon besar dan ada yang lewat di atas kepalanya. Wanita itu menggerakkan tangan kiri ke arah burung yang terbang lewat, seperti menggapai dan... burung itu mengeluarkan teriakan lalu jatuh seperti sebuah batu ke bawah, disambut oleh tangan kiri wanita itu.

“Nah, ini burung yang kau inginkan, bukan?” Ia memberikan burung berekor merah yang kecil itu kepada Sian Li yang menerimanya dengan gembira sekali.

Yo Han mengerutkan alisnya ketika mendekat dan ikut melihat burung kecil yang berada di tangan adiknya. Kini burung itu tidak dapat terbang lagi, dan ketika mencoba untuk menggerak-gerakkan kedua sayap kecilnya, kedua sayap itu seperti lumpuh dan ada sedikit darah. Tahulah dia bahwa sayap burung itu terluka entah oleh apa.

Kini dia menoleh dan melihat wanita itu menggerakkan kedua tangannya ke arah dua ekor kupu-kupu yang beterbangan. Ada angin menyambar dari kedua telapak tangan itu dan dua ekor kupu-kupu itu bagai disedot dan ditangkap oleh dua tangan itu, kemudian diberikan pula kepada Sian Li.

“Nah, ini dua ekor kupu-kupu yang kau inginkan, bukan?”

Sian Li girang sekali. “Kupu-kupu indah! Burung cantik...!” Ia sudah sibuk dengan seekor burung dan dua ekor kupu-kupu yang dipegangnya.

“Adik Sian Li, mari kita pergi dari sini!” kata Yo Han tak senang.

Dia hendak menggandeng lengan adiknya. Akan tetapi, mendadak tubuh Sian Li seperti terbang ke atas dan tahu-tahu sudah berada di dalam pondongan wanita itu. Sian Li terpekik gembira ketika tubuhnya melayang ke atas.

“Suheng, aku dapat terbang...!” teriaknya gembira.

Wanita berpakaian merah itu tersenyum dan wajahnya nampak semakin muda ketika ia tersenyum. “Ya, engkau ikut saja dengan aku, anak manis, dan aku akan mengajarmu terbang, juga menangkap banyak burung dan kupu-kupu. Engkau suka, bukan?”

“Aku suka! Aku senang...!”

“Sian Li, turun dan mari kita pulang,” Yo Han berkata lagi.

“Tidak, aku ingin ikut bibi ini, menangkap burung dan kupu-kupu, juga belajar terbang!”

“Sian Li...”

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa mengejek. “Anak yang baik, jadi namamu Sian Li (Dewi)? Nah, mari kita terbang seperti bidadari-bidadari baju merah, hi-hi-hik!”

Yang nampak oleh Yo Han hanyalah bayangan merah berkelebat, dan yang tertinggal hanya suara ketawa merdu wanita itu yang bergema dan kemudian lenyap pula. Wanita berpakaian merah itu bersama Sian Li telah lenyap dari depannya, seolah-olah mereka benar-benar telah terbang melayang, atau menghilang dengan amat cepatnya.

“Sian Li...! Bibi baju merah, kembalikan Sian Li kepadaku!”

Yo Han berlari ke sana-sini, berteriak-teriak, akan tetapi adiknya tetap tak kembali, juga wanita yang melarikannya itu tak kembali. Terpaksa Yo Han lalu cepat berlari kencang, sekuat tenaga, pulang ke rumah gurunya.

Sin Hong dan Hong Li terkejut melihat murid mereka itu berlari-lari pulang tanpa Sian Li dan dari wajahnya, nampak betapa murid mereka itu dalam keadaan amat tegang dan napasnya terengah-engah karena dia telah berlari-lari secepatnya.

“Yo Han, ada apakah?” Sin Hong menagur muridnya.

“Yo Han, di mana Sian Li?” Hong Li bertanya dengan mata dibuka lebar, mata seorang ibu yang gelisah mengkhawatirkan anaknya.

“Suhu, Subo... adik Sian Li... ia dilarikan seorang wanita berpakaian merah...,” kata Yo Han dengan napas masih terengah-engah.

Suami isteri itu sekali bergerak sudah meloncat dan memegang lengan Yo Han dari kanan kiri.

“Apa? Apa yang terjadi? Ceritakan, cepat!” bentak Sin Hong.

“Teecu sedang bermain-main dengan adik Sian Li di tepi sungai ketika tiba-tiba muncul seorang wanita berpakaian merah. Ia menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li, kemudian ia memondong adik Sian Li dan menghilang begitu saja.”

“Seperti apa wajah wanita itu? Berapa usianya?” tanya Hong Li, wajahnya berubah dan matanya menyinarkan kemarahan.

“Ia berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Subo. Semua pakaiannya berwarna merah, sampai sepatunya. Wajahnya cantik pesolek, di punggungnya nampak pedang dengan ronce biru...”

“Ke mana larinya?” tanya Sin Hong.

“Teecu tidak tahu, Suhu. Setelah memondong adik Sian Li, dia lalu menghilang begitu saja, teecu tidak tahu ke arah mana dia lari...”

“Inilah jadinya kalau punya murid tolol!” Tiba-tiba Hong Li berteriak marah. “Lima tahun menjadi murid, sedikit pun tidak ada gunanya. Kalau engkau berlatih silat dengan baik, sedikitnya engkau tentu akan dapat melindungi Sian Li dan anakku tidak diculik orang. Anak bodoh, sombong...!”

”Suhu dan Subo, teecu pasti bertanggung jawab! Teecu akan mencari adik Sian Li dan membawanya pulang. Teecu tidak akan kembali sebelum berhasil menemukan dan membawa pulang adik Sian Li!” Yo Han berseru, menahan air matanya dan mengepal kedua tangannya.

Akan tetapi Sin Hong sudah berseru kepada isterinya, “Tidak perlu ribut, mari kita cepat pergi mengejar penculik itu!” Seruan ini disusul berkelebatnya dua orang suami isteri pendekar itu dan dalam sekejap mata saja mereka lenyap dari depan Yo Han.

Yo Han tertegun sejenak, kemudian sambil menahan isaknya, dia pun lari keluar dari rumah. Dia tidak tahu harus mengejar ke mana, akan tetapi dia tidak peduli dan dia membiarkan kedua kakinya yang berlari cepat itu membawa dirinya pergi keluar kota Ta-tung, entah ke mana!

Sin Hong dan Hong Li berlari cepat menuju ke tepi sungai, kemudian mereka mencari-cari, menyusuri sungai. Namun, usaha mereka tak berhasil. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak! Tentu saja mereka merasa gelisah sekali.

“Bocah sial itu harus diajak ke sini agar dia menunjukkan ke mana larinya penculik itu dan di mana peristiwa itu terjadi. Kau mencari dulu di sini, aku mau mengajak Yo Han ke sini!” kata Hong Li dan ia pun sudah meninggalkan suaminya, pulang ke rumah untuk mengajak Yo Han ke tepi sungai.

Akan tetapi setelah tiba di rumah, ia tidak lagi melihat Yo Han! Dicari dan dipanggilnya murid itu, namun Yo Han tidak ada dan nyonya muda ini pun teringat akan teriakan Yo Han yang akan bertanggung jawab dan akan mencari Sian Li sampai dapat! Terpaksa Hong Li kembali lagi ke tepi sungai.

“Dia... dia tidak ada di rumah...!” katanya.

Sin Hong mengangguk-angguk. “Sudah kuduga. Tentu dia sudah pergi untuk memenuhi janjinya tadi. Dan dia pasti tidak akan pernah datang kembali sebelum menemukan dan mengajak Sian Li pulang.”

“Uhh, dia mau bisa apa?” Hong Li berseru, marah dan gelisah. “Bagaimana dia akan mampu mengejar penculik yang berilmu tinggi, apa lagi merampas kembali anak kita?” Wanita itu mengeluh dan hampir menangis. “Sian Li... ahhh, di mana kau...?”

“Mari kita cari lagi!” kata Sin Hong, tidak mau membiarkan isterinya dilanda kegelisahan dan kedukaan.

Mereka lalu mencari-cari di sekitar daerah itu, mencari jejak, namun sia-sia belaka. Anak mereka lenyap tanpa meninggalkan jejak dan semua orang yang mereka jumpai dan mereka tanyai, tidak ada seorang pun yang melihat anak mereka atau wanita berpakaian serba merah seperti yang diceritakan Yo Han tadi.

Setelah hari larut malam mereka terpaksa pulang. Sampai di rumah Hong Li menangis, dan suaminya hanya dapat menghiburnya.

“Tenangkan hatimu. Kurasa penculik itu tidak berniat mengganggu anak kita. Kalau wanita penculik itu musuh kita dan ingin membalas dendam, tentu ia sudah membunuh anak kita di waktu itu juga. Akan tetapi, ia membawanya pergi dan menurut keterangan Yo Han, ia bahkan bersikap baik, menangkapkan burung dan kupu-kupu untuk Sian Li.”

Dihibur demikian, Hong Li menyusut air matanya dan memandang kepada suaminya. “Kau kira siapakah wanita berpakaian merah itu?”

Sin Hong menggeleng kepalanya. “Sudah kupikirkan dan kuingat-ingat, tetapi rasanya belum pernah aku mempunyai musuh seorang wanita berpakaian serba merah. Apa lagi usianya baru sekitar tiga puluh tahun. Engkau tahu sendiri, tokoh wanita sesat di dunia kang-ouw yang pernah menjadi musuhku, bahkan yang tewas di tanganku, hanyalah Sin-kiam Mo-li. Tentu ia seorang tokoh baru dalam dunia kang-ouw, bahkan kita tidak tahu apakah dia termasuk tokoh sesat ataukah seorang pendekar yang merasa suka kepada anak kita.”

“Tak mungkin seorang pendekar wanita menculik anak orang!” Hong Li berkata. “Hemm, terkutuk orang itu. Kalau sampai kutemukan dia, akan kuhancurkan kepalanya! Ehhh, jangan-jangan bekas isterimu yang melakukan itu...“

Sin Hong memandang isterinya. Dia tahu bahwa pertanyaan itu bukan terdorong oleh cemburu, tetapi oleh kegelisahan yang membuat jalan pikiran isterinya menjadi kacau. Dia menikah dengan Hong Li sebagai seorang duda, akan tetapi juga Hong Li seorang janda. Mereka telah mengetahui keadaan masing-masing, dan mereka pun sudah saling menceritakan riwayat mereka dan nasib buruk mereka dalam pernikahan pertama itu.

“Tidak mungkin Bhe Siang Cun yang melakukannya,” kata Sin Hong sambil menggeleng kepala. “Usianya sekarang baru kurang lebih dua puluh empat tahun, dan juga ia tidak berpakaian merah. Pula, ia tidak akan berani melakukan hal itu. Ia bukan penjahat dan tidak ada alasan baginya untuk mengganggu kita. Tidak, dugaan itu menyimpang jauh. Coba kau ingat baik-baik, mungkin pernah engkau dahulu bermusuhan dengan seorang tokoh sesat yang berpakaian merah?”

Hong Li mengingat-ingat. Bekas suaminya jelas tak dapat dicurigai. Bekas suaminya itu, Thio Hui Kong, adalah putera seorang jaksa yang adil dan jujur. Juga tiada alasan bagi Thio Hui Kong untuk mengganggunya. Mereka telah bercerai.

Tokoh jahat berpakaian merah? Rasanya ia belum pernah menemui wanita berpakaian merah dalam semua pengalamannya ketika masih sebagai seorang pendekar wanita. Pakaian merah?

Tiba-tiba ia meloncat berdiri. “Ahh...!” Ia teringat.

“Engkau ingat sesuatu?” Suaminya bertanya.

“Memang ada tokoh sesat berpakaian merah, akan tetapi bukan wanita. Kau ingat Ang-I Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah)? Tokoh yang terakhir, Ang-I Siauw-mo (Iblis Kecil Baju Merah) tewas di tanganku!”

Sin Hong mengerutkan alisnya. “Hemmm... Ang-I Mo-pang? Bukankah dulu sarangnya berada di luar kota Kunming, di Propinsi Hu-nan? Tapi, Ang-I Mo-pang sudah hancur dan rasanya tidak ada tokohnya yang wanita dan yang lihai...”

“Betapa pun juga, itu sudah merupakan suatu petunjuk. Dari pada kita meraba-raba di dalam gelap. Aku akan pergi ke Kunming, menyelidiki mereka. Siapa tahu penculik itu datang dari sana. Ang-I Mo-pang memang beralasan cukup kuat untuk memusuhiku dan mendendam kepadaku. Aku akan berangkat besok pagi-pagi!”

“Nanti dulu, Li-moi. Jangan tergesa-gesa. Kemungkinannya kecil saja, walau pun aku juga setuju kalau kita menyelidik ke sana. Akan tetapi kita tunggu dulu beberapa hari. Kita menanti kembalinya Yo Han. Siapa tahu dia berhasil...“

“Bocah sombong itu? Mana mungkin? Kalau kita berdua tidak berhasil, bagaimana anak tolol itu akan berhasil? Dialah biang keladinya sehingga anak kita diculik orang!”

“Li-moi, tenanglah dan di mana kebijaksanaanmu? Bagaimana pun juga, kita tidak dapat menyalahkan Yo Han. Andai kata dia telah menguasai ilmu silat, kepandaiannya itu pun belum matang. Apa artinya seorang anak berusia dua belas tahun menghadapi seorang penculik yang lihai? Andai kata Yo Han pernah latihan ilmu silat, tetap saja dia tidak akan mampu melindungi Sian Li.”

“Akan tetapi, apa perlunya kita menunggu beberapa hari? Dia tidak akan berhasil, dan penculik itu akan semakin jauh...”

“Kita lihat saja, Li-moi. Lupakah engkau betapa banyak hal-hal aneh dilakukan Yo Han? Kita tunggu sampai tiga hari. Kalau dia belum pulang maka kita akan segera berangkat ke Kunming, menyelidiki ke sana. Bahkan kalau di sana pun kita gagal, kita terus akan melakukan pelacakan. Akan kutanyakan pada semua tokoh kang-ouw tentang seorang wanita yang berpakaian merah seperti yang digambarkan Yo Han tadi.”

Akhirnya, dengan air mata berlinang di kedua matanya, Hong Li menyetujui keinginan suaminya. Akan tetapi, jelas bahwa semalaman itu mereka tidak mampu tidur pulas.....

********************

“Tidak mau! Aku ingin pulang... aku ingin Ayah dan Ibu, aku ingin pulang...!” Anak itu merengek-rengek dan suara rengekannya keluar dari dalam kuil tua di lereng bukit yang sunyi itu.

Wanita berpakaian merah itu mengelus kepala Sian Li. “Sian Li, engkau bidadari kecil berpakaian merah yang manis, tidak patut kalau engkau menangis...”

“Aku tidak menangis!” Anak itu membantah. Dan memang tidak ada air mata keluar dari matanya. Ia hanya merengek, membanting kaki dan cemberut. “Aku ingin pulang, aku ingin tidur di kamarku sendiri, tidak di tempat jelek ini. Baunya tidak enak!”

“Bukankah engkau senang ikut denganku, Sian Li? Tadi engkau gembira sekali! Kenapa sekarang minta pulang?” Wanita itu mencoba untuk membujuk.

“Aku ingin ikut sebentar saja, bukan sampai malam. Aku ingin dekat Ayah dan Ibu. Mari antarkan aku pulang, Bibi.”

“Hemm, baiklah. Nanti kuantar, sini duduk di pangkuan Bibi, sayang. Engkau anak baik, engkau anak manis, engkau bidadari kecil merah...“

Ketika wanita itu meraih Sian Li dan dipangkunya, jari tangannya menekan tengkuk dan anak itu pun terkulai, seketika pingsan atau tertidur. Wanita itu lalu merebahkan Sian Li di atas lantai yang bertilamkan daun-daun kering dan memandang wajah anak itu yang tertimpa sinar api unggun yang dibuatnya. Dia pun tersenyum.

“Anak manis... ahh, pantas sekali menjadi anakku atau muridku... aku berbahagia sekali mendapatkanmu, sayang...”

Siapakah wanita berpakaian merah ini? Di daerah Propinsi Hu-nan, namanya sudah dikenal oleh seluruh dunia kang-ouw, terutama golongan sesatnya. Selama beberapa tahun ini, ia merupakan seorang tokoh kang-ouw yang baru muncul, namun namanya segera tersohor karena kelihaiannya.

Orang-orang di dunia persilatan mengenal nama julukannya saja, yaitu Ang-I Moli (Iblis Wanita Baju Merah). Namanya yang tak pernah dikenal orang adalah Tee Kui Cu dan ia tidaklah semuda nampaknya. Usianya sudah empat puluh tahun!

Ia memang cantik manis, ditambah pesolek dengan riasan muka yang tebal, maka ia nampak berusia tiga puluh tahun. Wajahnya selalu putih karena bedak, bibir dan pipinya merah karena yan-ci, dan alis mata, juga bulu mata, hitam karena penghitam rambut.

Dugaan Kao Hong Li tentang Ang-I Mo-pang yang hanya merupakan dugaan raba-raba itu memang tepat. Ada hubungan dekat sekali antara Ang-I Moli Tee Kui Cu dengan Ang-I Mo-pang, perkumpulan yang pernah dibasmi oleh Kao Hong Li dan para pendekar itu. Wanita berpakaian serba merah ini adalah adik dari mendiang Tee Kok, yang dulu pernah menjadi ketua Ang-I Mo-pang.

Ketika Ang-I Mo-pang terbasmi oleh para pendekar, Tee Kui Cu dapat lolos dan ia pun mencari guru-guru yang pandai. Ia berhasil menyusup dan menjadi tokoh Pek-lian-kauw di mana ia mempelajari banyak macam ilmu silat, ilmu tentang racun dan obat, juga mempelajari ilmu sihir yang dikuasai oleh para tokoh Pek-lian-kauw. Setelah merasa dirinya memperoleh ilmu yang cukup tinggi, ia meninggalkan Pek-lian-kauw dan ia pun kembali ke Kunming, mengumpulkan para bekas anggota Ang-I Mo-pang yang masih hidup, Ia lalu membangun tempat perkumpulan itu, dia mengangkat diri sendiri menjadi ketua!

Demikianlah riwayat singkat Ang-I Moli Tee Kui Cu. Ia terkenal sebagai seorang ketua yang pandai menyenangkan hati para anak buahnya, memimpin kurang lebih lima puluh orang anggota Ang-I Mo-pang, dan hidup sebagai seorang ketua yang kaya.

Dia pun gemar sekali merantau, meninggalkan perkumpulan dalam pengurusan para pembantunya, dan ia sendiri berkelana sampai jauh, bukan hanya mencari pengalaman, melainkan juga untuk bertualang, mencari harta, mencari pria karena dia merupakan seorang wanita yang selalu haus oleh nafsu-nafsunya.

Dan pada pagi hari itu, tanpa disengaja dia melihat Sian Li. Melihat anak perempuan berusia empat tahun yang mungil dan manis itu, dan terutama sekali melihat anak itu mengenakan pakaian serba merah, yaitu warna kesukaannya dan bahkan warna yang menjadi lambang dari perkumpulannya, hatinya tertarik dan suka sekali. Ia lalu menculik Sian Li dengan niat mengambil anak perempuan itu sebagai anaknya, sekaligus juga muridnya.

Dengan sikap menyayang ia mengeluarkan selimut dan menyelimuti tubuh Sian Li yang sudah pulas atau pingsan oleh tekanan jarinya, pada jalan darah di tengkuk anak itu. Kemudian ia menambahkan kayu bakar pada api unggun yang dibuatnya di dalam kuil tua kosong itu, api unggun yang perlu sekali untuk mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Mendadak, pendengarannya yang tajam terlatih menangkap sesuatu. Ia pun melompat bangun. Sebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tabah sekali dan tidak tergesa mengeluarkan pedangnya sebelum diketahui benar siapa yang datang memasuki kuil pada waktu itu.

Sesosok bayangan muncul, memasuki ruang kuil di mana Ang-I Moli berada. Bayangan itu tidak berindap-indap, melainkan langsung saja melangkah dengan langkah kaki berat menghampiri ruangan. Ketika bayangan itu muncul, ternyata dia adalah Yo Han yang memasuki ruangan dengan langkah gontai agak terhuyung karena kelelahan!

“Ahh, kiranya engkau...!” Ang-I Moli berkata dengan hati lega.

Akan tetapi ia juga memandang heran. Bagaimana anak laki-laki ini bisa menyusulnya? Bagaimana dapat membayanginya dan tahu bahwa ia berada di kuil tua itu? Hayo.....

Yo Han sendiri tidak mengerti dan tidak mampu menjawab kalau pertanyaan itu diajukan kepadanya. Ketika dia lari meninggalkan rumah suhu-nya, dia tidak mempunyai tujuan. Dia tidak tahu ke mana harus mencari penculik Sian Li. Maka dia pun membiarkan dirinya terbawa oleh sepasang kakinya yang berlari.

Dia tidak sadar lagi bahwa dia bukan berlari menuju ke tepi sungai di mana adiknya tadi diculik orang, bahkan dia lari keluar dari kota Ta-tung dengan arah yang berlawanan dengan tepi sungai itu! Dia berlari terus sampai akhirnya dia tiba di tepi sungai lagi, akan tetapi bukan di tempat tadi Sian Li diculik orang.

Dan dia berlari terus, menyusuri sepanjang tepi sungai, ke atas. Setelah matahari naik tinggi, dia pun terguling ke atas lapangan rumput di tepi sungai dan langsung saja dia tertidur. Tubuhnya tidak kuat menahan karena dia berlari terus sejak tadi tanpa berhenti.

Setelah dia terbangun, matahari sudah condong ke barat. Dan begitu bangun, dia ingat bahwa dia harus mencari Sian Li. Dia bangkit lagi dan kembali kedua kakinya berlari, tanpa tujuan akan tetapi makin mendekati sebuah bukit yang berada jauh di depan.

Dia tidak peduli ke mana kakinya membawa dirinya. Kesadarannya hanya satu, yakni bahwa dia harus dapat menemukan kembali Sian Li dan yang teringat olehnya hanyalah bahwa jika Tuhan memang menghendaki, ia pasti akan dapat mengajak Sian Li pulang! Keyakinan ini timbul semenjak dia kecil, sejak dia dapat membaca dan mengenal akan kebesaran dan kekuasaan Tuhan melalui bacaan.

Yang ada hanya kewaspadaan, yang ada hanya kepasrahan. Tiada aku yang waspada, tiada aku yang pasrah. Selama ada ‘aku’, kewaspadaan dan kepasrahan itu hanyalah suatu cara untuk memperoleh sesuatu. Aku adalah ingatan, aku adalah nafsu dan aku selamanya berkeinginan, berpamrih.

Kalau nafsu yang memegang kemudi, apa pun yang kita lakukan hanya merupakan cara mencapai sesuatu yang kita inginkan, dan karenanya mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan. Senang susah bersilih ganti, puas kecewa saling berkejaran, rasa takut atau khawatir selalu membayangi hidup. Takut kehilangan, takut gagal, takut menderita takut sakit, takut mati. Kegelisahan menghantui pikiran. Kepasrahan yang wajar, bukan dibuat-buat oleh si-aku, kepasrahan akan segala yang sudah, sedang dan akan terjadi, menyerah dengan tawakal sabar dan ikhlas terhadap kekuasaan Tuhan, berarti kembali kepada kodratnya
.

Yo Han terus berjalan, kadang berlari mendaki bukit dan ketika dia tiba di lereng bukit, malam pun tiba. Dia melihat kuil tua itu, dan ketika dia menghampiri, dia melihat pula sinar api unggun dari dalam kuil. Ia memasuki ruangan itu dan... ia melihat Sian Li dan wanita berpakaian merah. Sian Li sudah tidur berselimut, dan wanita berpakaian merah itu berdiri dan menatapnya dengan sinar mata tajam!

Sejenak mereka berpandangan dan wanita itu terkekeh geli. “Ah, kiranya engkau? Bagai mana engkau dapat menyusulku ke sini? Dan mau apa engkau mengejar aku?”

Yo Han menarik napas panjang, terasa amat lega hatinya. Begitu dia dapat menemukan Sian Li, seolah dia baru bangun dari tidur yang penuh mimpi. Baru sekarang dia merasa betapa dingin dan lelah tubuhnya. Dengan kedua kaki lemas dia pun menjatuhkan diri, duduk di atas rumput kering, dekat api unggun.

“Bibi yang baik, kenapa engkau melakukan ini? Apa yang kau lakukan ini sungguh tidak baik, menyengsarakan orang lain dan juga amat membahayakan diri Bibi sendiri,” kata-katanya lirih namun jelas dan dia memandang ke arah api unggun, di mana lidah-lidah api merah kuning menari-nari dan menjilat-jilat.

Ang-I Moli juga duduk lagi bersila dekat api unggun, menatap wajah anak laki-laki itu dengan penuh keheranan dan keinginan tahu, juga kagum karena anak itu bersikap demikian tenang dan dewasa, bahkan begitu datang mengeluarkan ucapan lembut yang seperti menegur dan menggurui!

“Bocah aneh, apa maksud kata-katamu itu?” tanyanya, ingin sekali tahu selanjutnya apa yang akan dikatakan anak yang bersikap demikian tenang saja.

Bagaimana ia tidak akan merasa heran melihat seorang anak belasan tahun berani menghadapinya setenang itu, padahal anak itu mengejar ia yang melarikan adiknya? Orang dewasa pun, bahkan orang yang memiliki kepandaian pun, akan gemetar kalau berhadapan dengannya. Akan tetapi anak ini tenang saja, bahkan menegurnya.

“Bibi, kenapa engkau melarikan adikku Sian Li ini? Itu namanya menculik, dan itu tidak baik sama sekali. Bibi membikin susah ayah dan ibu anak ini, juga menyengsarakan aku yang menerima teguran. Apakah Bibi sudah berpikir baik-baik bahwa perbuatan Bibi ini sungguh keliru sekali?”

Tokoh kang-ouw yang di juluki Iblis Betina (Moli) itu bengong! Akan tetapi juga kagum akan keberanian anak ini, dan juga merasa geli. Alangkah lucunya kalau di situ hadir orang-orang kang-ouw mendengar ia ditegur dan diwejangi oleh seorang anak laki-laki yang berusia paling banyak dua belas tahun! Ia menahan kegelian hati yang membuat ia ingin tertawa terpingkal-pingkal, lalu bertanya lagi,

“Dan apa yang kau maksudkan dengan perbuatanku ini membahayakan diriku sendiri?”

“Bibi yang baik, engkau tidak tahu siapa anak yang kau larikan ini. Ayah dan ibunya kini mencari-carimu, ke mana pun engkau pergi, akhirnya mereka akan dapat menemukan dirimu dan kalau sudah begitu, siapa yang berani menanggung keselematanmu?”

Ang-I Moli tidak dapat menahan geli hatinya lagi. Dia tertawa terkekeh-kekeh sampai kedua matanya menjadi basah air mata. “Hi-hi-he-he-heh! Kau berani menggertak dan menakut-nakuti aku? Aku suka kepada Sian Li, aku mau mengambil sebagai anakku, sebagai muridku Aku tidak takut menghadapi siapa pun juga. Lalu engkau menyusulku ke sini mau apa?”

“Bibi, untuk apa membawa Sian Li yang masih kecil ini? Hanya akan merepotkanmu saja. Ia manja, bengal dan bandel, tentu hanya akan membuat Bibi repot dan banyak jengkel. Kalau Bibi membutuhkan seorang yang dapat membantu Bibi dalam pekerjaan rumah tangga atau mau mengambil murid, biarlah kugantikan saja. Jangan Sian Li yang masih terlalu kecil. Sebagai pengganti Sian Li, saya akan mengerjakan apa saja yang Bibi perintahkan. Akan tetapi Sian Li harus dikembalikan kepada Suhu dan Subo.”

“Oooo, jadi ayah ibu anak ini adalah suhu dan subo-mu? Sian Li bukan adikmu sendiri?”

“Ia adalah sumoi-ku (adik seperguruan), Bibi.”

“Hemm, menurut engkau, jika suhu dan subo-mu dapat mengejarku, aku berada dalam bahaya. Begitukah?” Ia tersenyum mengejek. Tentu saja ia tidak takut akan ancaman orang tua anak perempuan yang diculiknya.

“Aku tidak menakut-nakutimu, Bibi. Suhu dan Subo adalah dua orang yang mempunyai kepandaian silat tinggi, merupakan suami isteri pendekar yang sakti!”

“Ehhh? Dan engkau murid mereka, menangkap kupu-kupu saja tidak becus? Hi-hi-hik!” Wanita itu tertawa geli.

Yo Han tidak merasa malu, hanya memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Aku memang tidak belajar silat dari mereka, melainkan kepandaian lain yang lebih berguna. Tetapi aku tidak berbohong. Mereka sangat lihai, Bibi, dan engkau bukanlah tandingan mereka.”

Ang-I Moli menjadi marah bukan main. Ucapan yang terakhir itu langsung menyinggung keangkuhannya dan dianggap merendahkan, bahkan amat menghina. Sekali bergerak, ia sudah berada di dekat Yo Han dan mencengkeram pundak anak itu.

Yo Han merasa pundaknya nyeri sekali, akan tetapi sedikit pun dia tidak mengeluh atau menggerakkan tubuhnya, seolah cengkeraman itu tidak terasa sama sekali.

“Bocah sombong! Sekali aku menggerakkan tangan ini, lehermu dapat kupatahkan dan nyawamu akan melayang!”

Wanita berpakaian serba merah itu diam-diam merasa heran bukan main. Anak yang pundaknya telah dicengkeramnya itu sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut. Masih tenang-tenang saja seperti tak terjadi apa-apa, bahkan suaranya pun masih tenang dan penuh teguran dan nasihat.

“Nyawaku berada di tangan Tuhan, Bibi. Engkau berhasil membunuhku atau tidak, kalau engkau tak mengembalikan Sian Li, sama saja. Engkau akan mengalami kehancuran di tangan Suhu dan Subo. Sebaliknya jika engkau mengembalikan Sian Li, kemudian mau menerima aku sebagai gantinya, maka aku dapat minta kepada Suhu dan Subo untuk menghabiskan perkara penculikan Sian Li.”

Ang-I Moli yang telah menjadi marah dan tersinggung, hendak menggunakan tangannya mencengkerem leher anak itu dan membunuhnya. Akan tetapi pada waktu tangannya mencengkeram pundak, ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada getaran dalam pundak itu, getaran yang lembut akan tetapi mengandung kekuatan dahsyat yang membuat ia merasa seluruh tubuhnya tergetar pula.

Ia merasa heran, lalu menggunakan jari-jari tangannya untuk memeriksa tubuh anak itu. Dirabanya leher, pundak, dada dan punggung dan ia semakin terheran-heran. Anak ini memiliki tulang yang kokoh kuat dan jalan darahnya demikian sempurna. Inilah seorang anak yang memiliki bakat yang luar biasa sekali. Belum tentu dalam sepuluh ribu orang anak menemukan seorang saja seperti ini!

Tubuh yang agaknya memang khusus diciptakan untuk menjadi seorang ahli silat yang hebat. Dan wataknya demikian teguh, tenang dan penuh keberanian. Akan tetapi anak ini mengaku tidak mempelajari ilmu silat!

Walau pun demikian, anak ini mengatakan bahwa suhu dan subo-nya adalah dua orang sakti! Kiranya bukan bualan kosong saja karena hanya orang orang sakti yang dapat memilih seorang murid dengan bentuk tulang, jalan darah dan sikap sehebat anak ini.

“Brrttt...!”

Sekali menggerakkan kedua tangan, baju yang dipakai anak itu robek dan direnggutnya lepas dari badan. Kini Yo Han bertelanjang dada. Ang-I Moli bukan hanya meraba-raba, kini juga melihat bentuk dada itu. Dan ia terpesona. Bukan main!

Ia tadi sudah memeriksa keadaan tubuh Sian Li. Memang seorang anak yang memiliki tubuh baik pula, bertulang baik berdarah bersih. Akan tetapi dibandingkan anak laki-laki ini, jauh bedanya, tidak ada artinya lagi!

“Anak yang aneh,” katanya sambil tangannya masih meraba-raba dada dan punggung yang telanjang itu. “Siapa namamu?”

“Aku she Yo, namaku Han.”

“Yo Han...? Siapa orang tuamu?”

“Aku yatim piatu. Pengganti orang tuaku adalah Suhu dan Subo.”

“Siapa sih suhu dan subo-mu yang kau puji setinggi langit itu.”

“Aku bukan sekedar memuji kosong apa lagi membual, Bibi. Suhu-ku bernama Tan Sin Hong dan berjuluk Pendekar Bangau Putih, dan Subo-ku bernama Kao Hong Li, cucu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.”

Ang-I Moli menelan ludah! Sungguh sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa anak yang diculiknya adalah puteri dari suami isteri pendekar sakti itu! Tentu saja dia pernah mendengar akan nama mereka. Bahkan mereka adalah dua di antara para pendekar yang pernah membasmi Ang-I Mo-pang!

Mereka termasuk musuh-musuh lama dari kakaknya, dari Ang-I Mo-pang. Akan tetapi ia pun tidak begitu tolol untuk memusuhi mereka. Biar pun ia sendiri belum pernah menguji sampai di mana kehebatan ilmu mereka, namun tentu saja jauh lebih aman untuk tidak mencari permusuhan baru dengan mereka.

Melihat wanita berpakaian merah itu diam saja, Yo Han melanjutkan. “Nah, engkau tahu bahwa aku bukan menggertak belaka. Tentu engkau pernah mendengar nama mereka. Sekarang, bagaimana kalau engkau mengembalikan Sian Li kepada mereka, Bibi?”

Ang-I Moli mengamati wajah Yo Han dengan penuh perhatian.

“Kalau aku mengembalikan Sian Li, engkau mau ikut bersamaku dan menjadi muridku?”

“Sudah kukatakan bahwa aku suka menggantikan Sian Li. Bagiku yang terpenting aku harus dapat mengajak Sian Li pulang ke rumah Suhu dan Subo. Setelah aku mengantar ia pulang, aku akan ikut bersamamu.”

“Hemm, kau kira aku begitu goblok? Jika aku membiarkan engkau mengajak ia pulang, tentu engkau tidak akan kembali kepadaku. Yang datang kepadaku tentu suami isteri itu untuk memusuhiku.”

Yo Han mengerutkan alis, memandang kepada wanita itu. Ang-I Moli terkejut. Sepasang mata anak itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap tertimpa sinar!

“Bibi, aku tidak sudi melanggar janjiku sendiri! Juga, hal itu akan membikin Suhu dan Subo marah kepadaku. Kami bukan orang-orang yang suka menyalahi janji.”

“Baik, mari, sekarang juga kita bawa Sian Li kembali ke rumah orang tuanya.”

Biar pun tubuhnya sudah terlalu penat untuk melakukan perjalanan lagi, namun Yo Han menyambut ajakan ini dengan gembira. “Baik, dan terima kasih, Bibi. Ternyata engkau bijaksana juga.”

Ang-I Moli memondong tubuh Sian Li. “Mari kau ikuti aku.”

Melihat wanita itu lari keluar kuil, Yo Han cepat mengikutinya. Akan tetapi, Ang-I Moli hendak menguji Yo Han, apakah benar anak ini tidak pandai ilmu silat. Ia berlari cepat dan sebentar saja Yo Han tertinggal jauh.

“Bibi, jangan cepat-cepat. Aku akan sesat jalan. Tunggulah!”

Ang-I Moli menanti, diam-diam merasa sangat heran. Kalau anak itu murid suami isteri pendekar yang namanya amat terkenal itu, bagaimana begitu lemah? Menangkap kupu-kupu saja tidak mampu, dan diajak berlari cepat sedikit saja sudah tertinggal jauh. Padahal, anak itu memiliki tubuh yang amat baik. Kelak ia akan menyelidiki hal itu.

Ketika ia memeriksa tubuh Yo Han tadi, bukan saja ia mendapatkan kenyataan bahwa anak itu bisa menjadi seorang ahli silat yang hebat, juga mendapat kenyataan lain yang mengguncangkan hatinya. Anak itu memiliki darah yang amat bersih dan kalau ia dapat menghisap hawa murni serta darah anak laki-laki itu melalui hubungan badan, dia akan mendapatkan obat kuat dan obat awet muda yang amat ampuh!

Tidak lama mereka berjalan karena Ang-I Moli membawa mereka ke tepi sungai, lalu ia mengeluarkan sebuah perahu yang tadinya ia sembunyikan di dalam semak belukar di tepi sungai.

“Kita naik perahu supaya dapat cepat tiba di Ta-tung,” kata Ang-I Moli dan ia menyeret perahu ke tepi sungai, dibantu oleh Yo Han.

Tidak lama kemudian, mereka pun sudah naik ke perahu yang meluncur cepat terbawa arus air sungai dan didayung pula oleh Yo Han, dikemudikan oleh dayung di tangan wanita pakaian merah itu. Sian Li masih pulas, rebah miring di dalam perahu.

Melalui air, perjalanan tentu saja tidak melelahkan, apa lagi karena mereka mengikuti aliran air sungai, bahkan jauh lebih cepat dibandingkan perjalanan melalui darat. Maka, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah mendarat di tempat di mana kemarin Ang-I Moli bertemu dengan Yo Han dan Sian Li.

“Nah, bawalah ia pulang, dan kau cepatlah kembali ke sini. Kutunggu,” kata Ang-I Moli kepada Yo Han. Ia lalu menotok punggung Sian Li dan anak ini pun sadar, seperti baru terbangun dari tidur.

Sian Li amat girang melihat Yo Han berada di situ dan Yo Han segera memondongnya, menatap wajah wanita itu dan berkata, “Engkau percaya kepadaku, Bibi?”

Ang-I Moli tersenyum. “Tentu saja. Kalau engkau membohongiku sekali pun, engkau tak akan dapat lolos dari tanganku!”

“Aku takkan bohong!” kata Yo Han.

Dia pun membawa Sian Li keluar dari perahu, lalu berjalan secepatnya menuju pulang. Hatinya merasa lega dan gembira bukan main karena dia telah berhasil membawa Sian Li pulang seperti telah dijanjikannya kepada suhu dan subo-nya. Dia telah bertanggung jawab atas kehilangan adiknya itu, dan sekarang dia telah memenuhi janji dan tanggung jawabnya.....

********************

Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, semalaman tadi tak dapat pulas sejenak pun dan pagi-pagi sekali mereka sudah bangun. Dengan wajah muram dan rambut kusut mereka duduk di beranda depan seperti orang-orang yang sedang menantikan sesuatu. Memang mereka menanti pulangnya Yo Han, dan kalau mungkin bersama Sian Li yang diculik orang. Hong Li menganggap hal ini tidak mungkin, hanya harapan kosong belaka dan sia-sia. Akan tetapi suaminya berkeras hendak menanti kembalinya Yo Han sampai tiga hari!

“Yo Han...” Tiba-tiba Sin Hong berseru.

Hong Li yang sedang menunduk terkejut, mengangkat mukanya dan wajahnya seketika berseri-seri. Matanya bersinar-sinar, seperti matahari yang baru muncul dari balik awan hitam.

“Sian Li...!” Ia pun meloncat dan berlari menyambut Yo Han yang datang memondong adiknya itu.

“Ibu...! Ayah...!” Sian Li bersorak girang dan dia merasa terheran-heran ketika ibunya merenggutnya dari pondongan Yo Han, lalu mendekap dan menciuminya dengan kedua mata basah air mata!

“Ibu... menangis? Tidak boleh menangis, Ibu tidak boleh cengeng dan lemah!” Sian Li menirukan kata-kata ayah dan ibunya kalau ia menangis.

Ibunya yang masih basah kedua matanya itu tersenyum.

“Tidak, ibu tidak menangis. Ibu bergembira...!”

Sin Hong sudah menyambut Yo Han dan memegang tangan murid itu, menatapnya sejenak lalu berkata, “Mari masuk dan kita bicara di dalam.”

Mereka duduk di ruangan dalam, mengelilingi meja. Sian Li dipangku oleh ibunya yang memeluknya seperti takut akan kehilangan lagi.

“Nah, ceritakan bagaimana engkau dapat mengajak pulang adikmu, Yo Han,” kata Sin Hong.

Hong Li memandang dengan penuh kagum, heran dan juga bersyukur bahwa muridnya itu benar-benar telah mampu mengembalikan Sian Li kepadanya. Padahal ia sendiri dan suaminya sudah mencari-cari sampai seharian penuh tanpa hasil, bahkan tidak dapat menemukan jejak Sian Li dan penculiknya.

“Suhu dan Subo, ketika teecu pergi hendak mencari adik Sian Li, teecu segera berlari ke luar kota, melalui pintu gerbang selatan. Sehari kemarin teecu berlari dan berjalan terus dan pada malam hari tadi, teecu tiba di lereng sebuah bukit. Teecu melihat sebuah kuil dan ada sinar api unggun dari dalam kuil. Teecu memasuki kuil tua yang kosong itu dan di situlah teecu melihat Adik Sian Li tidur dijaga oleh wanita pakaian merah itu.”

“Akan tetapi, Yo Han. Bagaimana engkau bisa tahu bahwa adikmu dibawa ke tempat itu oleh penculiknya?” Hong Li bertanya dengan heran.

“Teecu juga tidak tahu bagaimana Adik Sian Li bisa berada di dalam kuil itu, Subo...”

“Aku diajak naik perahu oleh Bibi baju merah. Ia baik sekali, Ibu. Kami menangkap ikan dan Bibi memasak ikan untukku. Enak sekali! Setelah turun dari perahu, kami berjalan-jalan ke lereng bukit dan memasuki kuil tua itu, Setelah malam menjadi gelap, aku ingin pulang, mengajaknya pulang dan... dan... aku lupa lagi, tertidur.”

Sin Hong bertukar pandang dengan isterinya. Pantas usaha mereka mencari jejak telah gagal. Kiranya anak mereka dibawa naik perahu oleh penculiknya.

“Yo Han, kalau engkau tidak tahu bahwa Sian Li dibawa ke kuil tua itu, lalu bagaimana engkau dapat langsung pergi ke sana?” Sin Hong mendesak, memandang tajam penuh selidik.

Yo Han menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Teecu tidak tahu Suhu. Teecu membiarkan kaki berjalan tanpa tujuan, ke mana saja untuk mencari adik Sian Li. Dan tahu-tahu teecu tiba di sana dan menemukan mereka.”

“Tetapi, bagaimana penculik itu membiarkan engkau mengajak Sian Li pulang? Bagai mana engkau dapat menundukkannya?” Hong Li bertanya, semakin heran dan merasa bulu tengkuknya meremang karena ia mulai merasa bahwa ada ‘sesuatu’ yang ajaib telah terjadi pada diri muridnya itu.

Yo Han tersenyum memandang subo-nya, lalu memandang kepada suhu-nya. “Teecu membujuknya untuk membiarkan teecu membawa adik Sian Li pulang. Dia tidak tahu bahwa adik Sian Li adalah puteri Suhu dan Subo. Teecu memberi tahu kepadanya dan mengatakan bahwa kalau ia tidak mengembalikan Sian Li, tentu Suhu dan Subo akan dapat menemukannya dan ia pasti akan celaka. Teecu mengatakan bahwa kalau ia mau menyerahkan kembali Sian Li, teecu-lah yang akan menggantikan adik Sian Li menjadi muridnya, menjadi pelayannya, dan ikut dengannya. Nah, ia setuju dan teecu membawa adik Sian Li pulang. Tetapi teecu harus segera kembali kepadanya. Ia masih menunggu teecu di tepi sungai...”

“Yo Han! Engkau hendak ikut dengan penculik itu? Ahhh, aku tidak akan membiarkan! Menjadi murid seorang penculik jahat? Tidak boleh!” kata Hong Li marah. “Aku bahkan akan menghajar iblis itu!”

Kao Hong Li sudah meloncat dengan marah, akan tetapi gerakannya terhenti ketika terdengar Yo Han berseru, ”Subo, jangan!”

“Hah?! Iblis itu menculik anakku, kemudian menukarnya dengan engkau untuk dibawa pergi. Dan engkau melarang aku untuk menghajar iblis itu?”

“Maaf, Subo. Apakah Subo ingin melihat murid Subo menjadi seorang rendah yang melanggar janjinya sendiri, menjilat ludah yang sudah dikeluarkan dari mulut?”

“Ehhh...? Apa maksudmu?”

“Subo, bagaimana pun juga, teecu (murid) adalah murid Subo. Teecu sudah berjanji kepada wanita berpakaian merah itu bahwa setelah teecu mengantar Sian Li pulang, teecu akan kembali kepadanya dan menjadi muridnya, pergi ikut dengannya. Kalau teecu sudah berjanji, lalu sekarang teecu tidak kembali kepadanya, bahkan Subo akan menghajarnya, bukankah berarti teecu melanggar janji sendiri?”

“Aku tidak peduli akan janjimu itu! Engkau tidak perlu melanggar janji, engkau pergilah kepadanya. Akan tetapi aku tetap saja akan menemuinya dan menghajarnya!” berkata Hong Li dengan marah.

“Subo!” kata pula Yo Han dan suaranya tegas. “Kenapa Subo hendak menghajar wanita itu? Kalau Subo melakukan itu, berarti Subo jahat!”

“Ehhh?” Hong Li terbelalak memandang kepada anak itu.

“Yo Han!” kata pula Sin Hong. “Subo-mu hendak menghajar penculik, mengapa engkau malah katakan jahat?” Dia bertanya hanya karena ingin tahu isi hati anak itu yang amat dikaguminya sejak dia tadi mendengarkan kata-kata anak itu kepada isterinya.

“Suhu, wanita berpakaian merah itu memang benar tadinya hendak melarikan Sian Li, akan tetapi ia bersikap sangat baik terhadap Sian Li, dan ia melarikannya karena ingin mengambilnya sebagai murid. Ia sayang kepada Sian Li. Lalu, teecu menemukannya dan teecu membujuk supaya ia mengembalikan Sian Li. Dan ia sudah memperbolehkan Sian Li teecu bawa pulang. Teecu sendiri yang berjanji untuk ikut pergi dengannya. Jika sekarang Subo dan Suhu menghajarnya, bukankah itu sama sekali tidak benar?”

Sin Hong memberi isyarat dengan pandang mata kepada isterinya, lalu menarik napas panjang dan berkata kepada muridnya itu. “Baiklah kalau begitu, Yo Han. Kami tentu saja tak menghendaki engkau menjadi seorang yang melanggar janjimu sendiri. Engkau sudah yakin ingin menjadi murid wanita itu? Kalau engkau ingin memperoleh guru yang baik, tempat tinggal yang lain, kami sanggup mencarikannya yang amat baik untukmu.”

Yo Han menggeleng kepalanya. “Tidak Suhu. Teecu akan ikut dengan wanita itu seperti yang telah teecu janjikan. Teecu akan berangkat sekarang juga supaya ia tidak terlalu lama menunggu.”

Dia lalu pergi ke dalam kamarnya, mengambil buntalan pakaian yang memang telah dia persiapkan semenjak tadi malam. Memang semalam ia telah merencanakan untuk pergi meninggalkan rumah itu, akan tetapi karena hatinya terasa berat meninggalkan Sian Li, maka pagi itu ia ingin menyenangkan Sian Li dengan mengajaknya bermain-main di tepi sungai sebelum dia pergi.

Suami isteri itu juga merasa heran melihat demikian cepatnya Yo Han mengumpulkan pakaiannya karena sebentar saja anak itu sudah menghadap mereka kembali. Yo Han menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang gurunya.

“Suhu dan Subo, teecu menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan yang telah dilimpahkan kepada teecu, terima kasih atas kasih sayang yang telah dicurahkan kepada teecu. Dan teecu mohon maaf apabila selama ini teecu melakukan banyak kesalahan dan membuat Suhu dan Subo menjadi kecewa. Teecu mohon diri, Suhu dan Subo” Suaranya tegas dan sikapnya tenang, sama sekali tidak nampak dia berduka, tidak hanyut oleh perasaan haru.

“Baiklah, Yo Han. Kalau memang ini kehendakmu. Dan berhati-hatilah engkau menjaga dirimu,” kata Sin Hong.

“Setiap waktu kalau engkau menghendaki, kami akan menerimamu kembali dengan hati dan tangan terbuka, Yo Han,” kata pula Kao Hong Li, dengan hati terharu. Terasa benar ia betapa ia menyayang murid itu seperti kepada adik atau anak sendiri.

“Terima kasih, Suhu dan Subo.” Yo Han membalikkan tubuhnya dan hendak pergi.

“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang sejak tadi melihat dan mendengarkan saja tanpa mengerti benar apa yang mereka bicarakan, kini turun dari pangkuan ibunya dan berlari menghampiri Yo Han.

Yo Han memondong anak itu, mencium kedua pipi dan dahinya, lalu menurunkannya kembali. “Sian Li, aku mau pergi dulu, engkau tidak boleh ikut. Engkau bersama ayah dan ibumu di sini. Kelak kita akan bertemu kembali, adikku.” Dan dengan cepat Yo Han lari meninggalkan anak itu, tidak tega mendengar ratap tangisnya dan melihat wajahnya.

“Suheng! Aku ikut... aku ikut...!” Anak itu lantas merengek walau pun tidak menangis, dan terpaksa Sin Hong memondongnya karena anak itu hendak lari mengejar Yo Han.

“Hemm, aku mau melihat siapa iblis betina itu!” Hong Li sudah meloncat keluar dan Sin Hong yang memondong anaknya hanya menggeleng kepala, lalu melangkah keluar pula dengan Sian Li di pondongannya.

Yo Han berlari-lari menuju sungai. Dia tidak ingin wanita berpakaian merah itu mengira dia melanggar janji. Dan benar saja, ketika dia tiba di tepi sungai, wanita itu tidak lagi berada di dalam perahu, melainkan sudah duduk di tepi sungai dengan wajah tidak sabar. Perahunya berada di tepi sungai pula, agaknya sudah ditariknya ke darat.

Melihat Yo Han datang berlari sambil membawa buntalan, wajah yang tadinya cemberut itu tersenyum. “Hemm, kusangka engkau membohongiku! Kiranya engkau datang pula!”

Yo Han juga cemberut ketika dia sudah berdiri di depan wanita itu. “Sudah kukatakan, aku bukan seorang yang suka melanggar janji. Aku harus berpamit dulu kepada Suhu dan Subo-ku, dan mengambil pakaianku ini.”

“Andai kata engkau menipuku sekali pun engkau tak akan terlepas dari tanganku. Hayo kita berangkat!” kata Ang-I Moli Tee Kui Cu.

“Tahan dulu...!”

Bentakan yang merdu dan nyaring ini mengandung getaran dan wibawa yang amat kuat sehingga Ang-I Moli terkejut sekali dan cepat-cepat ia membalikkan tubuh. Kiranya di depannya telah berdiri seorang wanita cantik dan gagah, berusia kurang lebih dua puluh enam tahun. Wajahnya bulat telur, matanya lebar dan indah jeli, sinar matanya tajam menembus.

“Subo...!” Yo Han berseru melihat wanita cantik itu.

“Diam kau!” Kao Hong Li membentak muridnya.

Matanya tidak pernah melepaskan wajah wanita berpakaian merah itu. Ia belum pernah melihat wanita itu dan memperhatikannya dengan seksama. Wajah yang cantik itu putih dengan bantuan bedak tebal, nampak cantik seperti gambar oleh bantuan pemerah bibir dan pipi, dan penghitam alis. Pakaiannya yang serba merah ketat itu menempel tubuh yang ramping dan seksi, dengan pinggulnya yang bulat besar.

Mendengar Yo Han menyebut subo kepada wanita muda ini. Ang-I Moli terkejut. Tidak disangkanya subo dari anak itu masih sedemikian mudanya. Jadi inikah cucu dari Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya.

“Hemmm, siapakah engkau dan mengapa engkau menahan kami?” Ang-I Moli bertanya, senyumnya mengandung ejekan dan memandang rendah.

“Aku Kao Hong Li, ibu dari anak perempuan yang telah kau culik!” jawab Hong Li, juga sikapnya tenang, akan tetapi sepasang mata yang tajam itu bersinar marah. “Siapakah engkau ini iblis betina yang berani mencoba mencoba untuk menculik anakku kemudian membujuk murid kami untuk ikut denganmu? Jawab, dan jangan mati tanpa nama!”

Sikap garang Kao Hong Li sedikit banyak menguncupkan hati Ang-I Moli. Ia seorang tokoh sesat yang tidak mengenal takut dan memandang rendah orang lain, akan tetapi ia teringat akan ancaman Yo Han tadi bahwa wanita ini adalah cucu Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan suaminya adalah Si Bangau Putih yang namanya amat terkenal itu.

“Hemmm, bocah sombong. Jangan kau mengira bahwa aku Ang-I Moli takut mendengar gertakanmu.” Ia membesarkan hatinya sendiri. “Aku tidak menculik puterimu, tapi hanya mengajaknya bermain-main. Dan tentang bocah ini, dia sendiri yang ingin ikut aku untuk menjadi muridku. Kalau tidak percaya, tanya saja kepada anak itu.”

“Subo, memang benar teecu sendiri yang ingin ikut dengan Bibi ini. Harap Subo jangan mengganggunya!”

Hong Li menarik napas panjang. Kalau sudah begitu, memang tidak ada alasan baginya untuk menghajar wanita berpakaian merah itu, apa lagi membunuhnya. Anaknya sendiri tadi pun mengatakan bahwa wanita ini bersikap baik kepada Sian Li, dan kini Yo Han mengatakan bahwa memang dia sendiri yang ingin menjadi muridnya.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhnya. Akan tetapi, setidaknya aku harus tahu apakah ia cukup pantas untuk menjadi gurumu, Yo Han. Aku tidak rela menyerahkan muridku dalam asuhan orang yang tidak memiliki kepandaian, apa lagi kalau orang itu pengecut. Kuharap saja engkau tidak terlalu pengecut untuk menolak tantanganku menguji ilmu kepandaianmu, Ang-I Moli.”

Kulit muka yang ditutup riasan tebal itu masih nampak berubah kemerahan. Tentu saja Ang-I Moli marah sekali dikatakan bahwa ia seorang pengecut.

“Kao Hong Li, engkau bocah sombong. Kau kira aku takut kepadamu?”

“Bagus kalau tidak takut! Nah, kau sambutlah seranganku ini. Haiiittt!”

Hong Li langsung menerjang maju setelah memberi peringatan, dan karena ia memang ingin menguji sampai di mana kelihaian wanita baju merah itu, maka begitu menyerang ia sudah memainkan jurus dari ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang sangat dahsyat, apa lagi karena dalam memainkan ilmu silat ini ia menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) dari ibunya. Hong Li telah menggabung dua ilmu yang hebat itu. Sin-liong Ciang-hoat adalah ilmu yang berasal dari Istana Gurun Pasir, sedangkan tenaga Hui-yang Sinkang adalah ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es, yang ia pelajari dari ayah dan ibunya.

“Wuuuuttt... plak! Plak!”

Tubuh Ang-I Moli terhuyung ke belakang dan dia terkejut bukan main. Ketika tadi dia menangkis sampai beberapa kali, lengannya bertemu dengan hawa panas yang luar biasa kuatnya sehingga kalau ia tidak membiarkan dirinya mundur, tentu ia akan celaka. Sebagai seorang tokoh sesat yang sudah mengangkat diri menjadi seorang pangcu (ketua) tentu saja Ang-I Moli merasa penasaran sekali.

Ia lalu membalas dengan serangan ampuh. Setelah mengerahkan tenaga dalam yang telah dilatihnya dari para pimpinan Pek-lian-kauw, ia mengeluarkan suara melengking dan ketika dua tangannya menyerang, dari kedua telapak tangan itu mengepul uap atau asap hitam dan angin pukulannya membawa asap hitam itu menyambar ke arah muka Kao Hong Li.

Pendekar wanita ini mengenal pukulan beracun yang ampuh, maka ia pun melangkah mundur dan mengerahkan tenaga sinkang mendorong dengan kedua tangan terbuka pula. Dua tenaga dahsyat bertemu di udara dan akibatnya, asap hitam itu membalik dan Ang-I Moli kini merasakan hawa yang amat dingin sehingga kembali ia terkejut. Itulah tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Inti Salju), juga ilmu yang berasal dari Istana Pulau Es!

Ang-I Moli terpaksa mundur kembali dan kemarahannya memuncak. Dua kali mengadu tenaga itu membuat dia sadar bahwa lawannya memang lihai bukan main. Dalam hal tenaga sinkang, jelas dia kalah kuat.

“Manusia sombong, kau sambut pedangku!” bentaknya, lalu mulutnya berkemak-kemik dan dia pun berseru sambil membuat gerakan laksana melontarkan sesuatu ke udara, “Pedang terbangku menyambar lehermu!”

Kao Hong Li terbelalak ketika dia melihat sinar terang dan bayangan sebatang pedang meluncur dari udara ke arah dirinya! Padahal ia tak melihat wanita itu mencabut pedang. Inilah ilmu sihir, pikirnya dan ia pun cepat mencabut pedangnya dan melindungi dirinya dengan putaran pedang.

“Hentikan perkelahian! Hentikan...!” terdengar Yo Han berseru.

Begitu anak ini melangkah ke depan, sinar pedang itu pun lenyap secara tiba-tiba dan Hong Li mendapat kenyataan bahwa ia tadi telah ‘bertempur’ melawan bayang-bayang.

Sementara itu, Ang-I Moli juga terkejut karena tiba-tiba pengaruh sihirnya lenyap begitu saja. Pada saat itu, ia melihat pula munculnya seorang laki-laki berusia dua puluh tujuh tahun yang memiliki sinar mata lembut tetapi mencorong memondong anak perempuan baju merah tadi. Tahulah dia bahwa tentu laki-laki gagah perkasa ini ayah Sian Li yang berjuluk Si Bangau Putih. Ang-I Moli menduga bahwa tentu pendekar inilah yang tadi melenyapkan pengaruh sihirnya, maka ia menjadi semakin jeri.

Memang tadinya dia merasa suka sekali kepada Sian Li, kemudian melihat bakat yang luar biasa pada diri Yo Han, dia pun rela menukarkan Sian Li yang suka rewel dan tidak mau ikut dengan suka rela itu dengan Yo Han yang suka ikut dengannya. Akan tetapi melihat betapa suami isteri yang amat lihai itu sekarang berada di depannya dan dia tahu bahwa melawan mereka berdua sama dengan mencari penyakit, Ang-I Moli lalu meloncat ke arah perahunya sambil memaki Yo Han.

“Anak pengkhianat!” Ia mendorong perahunya ke air, lalu perahu itu diluncurkannya ke tengah sungai.

“Tunggu kau, iblis betina!” Hong Li yang masih marah itu berteriak dan kini ia pun sudah mengamangkan pedangnya. Akan tetapi Yo Han cepat berdiri di depan subo-nya.

“Subo, harap jangan kejar dan serang dia lagi! Dia adalah guruku yang baru!” Setelah berkata demikian, Yo Han lantas meloncat ke air, dan berenang mengejar perahu itu. “Bibi... ehhh, Subo (Ibu Guru), tunggulah aku...!”

Melihat ini, Ang-I Moli memandang heran sekali. Anak itu ternyata sama sekali bukan pengkhianat, bukan pelanggar janji! Ia pun terkekeh senang dan menahan perahunya. Ketika Yo Han telah tiba di pinggir perahu, ia mengulurkan tangan dan menarik anak itu naik ke dalam perahunya.

“Anak baik, ternyata engkau setia kepadaku. Hi-hi-hik, aku senang sekali!”

Dari pantai, Hong Li masih mengamangkan pedangnya. “Yo Han, lekas kembali ke sini engkau! Engkau akan rusak dan celaka kalau engkau ikut dengan perempuan iblis itu!”

“Subo, maafkan teecu. Teecu sudah berjanji kepada Bibi ini, dan lagi pula, teecu harus meninggalkan Suhu dan Subo, teecu harus meninggalkan... adik Sian Li. Bukankah itu yang Subo kehendaki? Teecu harus dipisahkan dari adik Sian Li. Nah, setelah sekarang teecu menentukan jalan sendiri, mengapa Subo hendak menghalangi? Sudahlah, Subo, maafkan teecu dan… selamat tinggal.” Yo Han lalu mengambil dayung dan mendayung perahu itu.

Hong Li masih penasaran saja dan hendak mengejar, akan tetapi ada sentuhan lembut tangan suaminya pada lengannya. Ia menoleh dan melihat suaminya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.

“Suheng, aku ikut...!” Tiba-tiba Sian Li yang melihat Yo Han mendayung perahu yang mulai meluncur menjauh, berteriak dan meronta dalam pondongan ayahnya.

Hong Li menyimpan kembali pedangnya dan memondong puterinya. “Jangan ikut, Sian Li. Suheng-mu sedang pergi menuntut ilmu. Kelak engkau pasti akan bertemu kembali dengan dia.” Ia memeluk anaknya dan menciuminya, menghibur sehingga Sian Li tidak berteriak-teriak lagi.

Suami isteri itu berdiri di tepi sungai dan mengikuti perahu yang menjauh itu dengan pandang mata mereka.

“Aku tetap khawatir,” bisik Hong Li. “Wanita itu jelas tokoh sesat. Julukannya Ang-I Moli. Aku khawatir Yo Han akan menjadi tersesat kelak.”

Suaminya menggeleng kepala. “Jangan khawatir. Yo Han bukanlah anak yang berbakat jahat. Aku melihat hal yang aneh lagi tadi. Ketika engkau diserang dengan sihir, kulihat engkau terkejut dan wanita itu berdiri mengacungkan tangan dan berkemak-kemik, ada sinar menyambar ke arahmu...”

“Memang benar. Aku pun terkejut akan tetapi tiba-tiba sinar itu menghilang.”

“Itulah! Begitu Yo Han melompat ke depan dan menghentikan perkelahian, sinar itu lenyap dan kulihat wanita berpakaian merah itu terkejut dan ketakutan. Aku menduga bahwa kekuatan sihirnya itu punah dan lenyap oleh teriakan Yo Han! Nah, karena itu, biarkanlah dia pergi. Aku yakin dia tidak akan dapat terseret ke dalam jalan sesat.”

Mereka lalu pulang membawa Sian Li yang sudah tidur di dalam pondongan ibunya. Berbagai perasaan mengaduk hati kedua orang suami isteri itu. Ada perasaan menyesal dan mereka merasa kehilangan Yo Han, ada pula perasaan lega karena kini puteri mereka dapat dipisahkan dari Yo Han tanpa mereka harus memaksa Yo Han keluar dari rumah mereka, ada pula perasaan khawatir akan nasib Yo Han yang dibawa pergi oleh seorang tokoh sesat.

Segala macam perasaan duka, khawatir dan sebagainya tidak terbawa datang bersama peristiwa yang terjadi menimpa diri kita, melainkan timbul sebagai akibat dari cara kita menerima dan menghadapi segala peristiwa itu. Pikiran yang penuh dengan ingatan pengalaman masa lalu membentuk sebuah sumber di dalam diri kita, sumber berupa bayangan tentang diri pribadi yang disebut aku, dan dari sumber inilah segala kegiatan hidup terdorong.

Karena si-aku ini diciptakan pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah, maka segala kegiatan, segala perbuatan pun selalu didasari pada kepentingan si-aku. Jika sang aku dirugikan, maka timbullah kecewa, timbullah iba diri dan duka. Jika sang aku terancam dirugikan, maka timbul rasa takut dan khawatir. Si-aku ini selalu menghendaki jaminan keamanan menghendaki kesenangan dan menghindari kesusahan.

Si-aku ini mendatangkan penilaian baik buruk, tentu saja didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Baik buruk timbul karena adanya penilaian, dan penilaian adalah pilihan si-aku, karenanya penilaian selalu didasari nafsu daya rendah yang selalu mementingkan diri sendiri. Kalau sesuatu menguntungkan, maka dinilai baik, sebaliknya kalau merugikan, dinilai buruk.

Sebagai contoh, kita mengambil hujan. Baik atau burukkah hujan turun? Hujan adalah suatu kewajaran, suatu kenyataan dan setiap kenyataan adalah wajar karena hal itu sudah menjadi kodrat, menjadi kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hujan baru disebut baik atau buruk bila sudah ada penilaian. Yang menilai adalah kita, didasari nafsu daya rendah yang mengaku diri sebagai sang aku.

Bagi orang yang membutuhkan air hujan, maka hujan di sambut dengan gembira dan dianggap baik, karena menguntungkan dirinya, misalnya bagi para petani yang sedang membutuhkan air untuk sawah ladangnya. Sebaliknya, bagi orang-orang yang merasa dirugikan dengan turunnya hujan, maka hujan itu tentu saja dianggap buruk! Padahal, hujan tetap hujan, wajar, tidak baik tidak buruk.

Demikian pula dengan segala macam peristiwa atau segala macam yang kita hadapi. Selalu kita nilai, tanpa kita sadari bahwa penilaian itu berdasarkan nafsu mementingkan diri sendiri. Kalau ada seseorang berbuat menguntungkan kepada kita, kita menilai dia sebagai orang baik, sebaliknya kalau merugikan, kita menilainya sebagai orang jahat. Jelaslah bahwa penilaian adalah sesuatu hal yang pada hakekatnya menyimpang dari kebenaran. Yang kita nilai baik belum tentu baik bagi orang lain, dan sebaliknya.

Penilaian mendatangkan reaksi, mempengaruhi sikap dan perbuatan kita selanjutnya. Perbuatan yang didasari hasil penilaian ini jelas tidak sehat. Dapatkah kita menghadapi segala sesuatu tanpa menilai, tapi menghadapi seperti apa adanya? Kalau tindakan kita tidak lagi dipengaruhi hasil penilaian, maka tindakan itu terjadi dengan spontan dipimpin kebijaksanaan.

Permainan pikiran yang mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan hanya mendatangkan duka dan khawatir, seperti yang pada saat itu dialami oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li
.....

********************

“Jangan bohong kau!” Ang-I Moli membentak.

Yo Han yang berdiri di depannya memandang dengan sinar mata marah. “Subo, sudah berulang kali aku mengatakan bahwa aku tidak pernah dan tidak akan mau berbohong!” jawabnya dengan tegas.

Mereka berada di dalam sebuah ruangan kuil tua di lereng bukit. Kuil ini belum rusak benar. Baru setahun ditinggalkan penghuninya, yaitu seorang pertapa tosu dan agaknya tidak ada yang mau mengurus kuil yang berada di tempat terpencil ini.

Hanya kuil yang berada di daerah pedusunan yang makmurlah baru bisa berkembang dengan baik. Banyak pengunjung datang bersembahyang dan banyak dana pula datang membanjir sehingga berlebihan untuk pembiayaan kuil. Akan tetapi sebuah kuil tua di lereng bukit yang sunyi? Jauh dari dusun jauh dari masyarakat? Siapa yang mau hidup sengsara dan serba kekurangan di situ?

Kuil itu sekarang kosong dan dalam perjalanannya pulang, saat melewati tempat ini dan kemalaman, Ang-I Moli mengajak Yo Han untuk melewatkan malam di tempat sunyi itu. Wanita itu masih terkenang akan kelihaian Kao Hong Li. Wanita cucu Naga Sakti Gurun Pasir itu demikian lihainya. Dan suaminya, Si Bangau Putih, tentu lebih lihai pula.

Ia sendiri yang ditakuti banyak orang di dunia kang-ouw, sekarang merasa ngeri kalau membayangkan bahaya maut yang mengancamnya ketika ia berhadapan dengan suami isteri pendekar itu. Kalau suhu dan subo-nya sedemikian saktinya, tentu muridnya juga telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi, demikian pendapatnya. Oleh karena itu, ketika ia bertanya kepada Yo Han tentang ilmu silat, berapa banyak ilmu kedua orang gurunya yang telah dikuasainya, Yo Han menjawab bahwa dia tidak pandai ilmu silat dan tentu saja Ang-I Moli menduga dia berbohong.

“Bagaimana mungkin, sebagai murid suami isteri yang lihai itu engkau tidak menguasai sedikit pun ilmu silat? Sudah berapa lama engkau menjadi murid mereka, Yo Han?”

“Sudah lima tahun, Subo.”

“Hemm, apa lagi sudah begitu lama. Bagaimana mungkin engkau tidak pandai ilmu silat? Bukankah engkau menerima pelajaran ilmu silat dari mereka?”

“Aku tidak pernah berlatih, Subo. Aku tidak suka ilmu silat.”

Mata wanita cantik itu terbelalak, lalu ia memandang penuh perhatian kepada Yo Han dengan alis berkerut. “Engkau tidak suka ilmu silat?” Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli hatinya. “Kao Hong Li dan Tan Sin Hong adalah sepasang suami isteri pendekar yang sakti, dan murid tunggalnya tidak pandai dan tidak suka ilmu silat?” Ia tertawa-tawa lagi sampai keluar air matanya.”Habis, apa saja yang kau pelajari dari mereka selama lima tahun itu?”

“Subo, kenapa Subo mentertawakan hal itu? Aku memang tidak suka ilmu silat, dan yang kupelajari dari Suhu dan Subo-ku itu adalah ilmu membaca dan menulis, membuat sajak, bernyanyi dan meniup suling, pengetahuan mengenai kebudayaan dan filsafat hidup, mempelajari kitab-kitab sejarah kuno...”

Dia terpaksa berhenti bicara karena Ang-I Moli sudah tertawa lagi terkekeh-kekeh. Yo Han hanya berdiri memandang dengan alis berkerut dan mata bersinar-sinar marah.....

Setelah menghentikan tawanya, wanita itu mengusap air mata dari kedua matanya, lalu memandang kepada pemuda remaja itu. “Anak baik, aku mengambilmu sebagai murid dan aku akan mengajarkan ilmu silat pula kepadamu. Bagaimana?”

Yo Han menggeleng kepalanya. “Percuma saja, Subo. Aku tidak akan menolak segala yang kau ajarkan kepadaku, akan tetapi aku takkan suka berlatih silat sehingga semua pengertian ilmu silat yang kau berikan kepadaku tidak akan ada gunanya.”

Ang-I Moli teringat sesuatu. “Yo Han, kalau engkau memang sama sekali tidak pandai ilmu silat, mengapa engkau begini tabah dan berani? Padahal engkau tidak mempunyai kemampuan untuk membela diri apa bila diserang lawan. Bagaimana engkau menjadi begini berani?”

“Aku tidak suka kekerasan, mengapa mesti takut, Subo? Orang yang tidak melakukan kejahatan, tidak merugikan orang lain, tidak membenci orang lain, kenapa mesti takut? Aku tidak pernah takut, Subo, karena tidak pernah membenci orang lain.”

“Yo Han, kalau engkau tidak mau belajar ilmu silat dariku, lalu kenapa engkau mau ikut dengan aku?” Wanita itu akhirnya bertanya heran.

“Subo lupa. Bukan aku yang ingin ikut Subo, melainkan Subo yang mengajakku dan aku ikut Subo sebagai penukaran atas diri Sian Li.”

Wanita itu menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala dan memandang dengan heran. Sungguh seorang anak laki-laki yang aneh sekali. Begitu tabah, sedikit pun tidak mengenal takut, begitu teguh memegang janji, sikapnya demikian gagah perkasa seperti seorang pendekar tulen, akan tetapi, sedikit pun tidak pandai ilmu silat bahkan tak suka ilmu silat!

Akan tetapi, melihat wajah yang tampan gagah itu, ia lalu teringat akan keadaan tubuh pemuda remaja itu. Wajah Ang-I Moli segera berseri, mulutnya tersenyum dan pandang matanya menjadi genit sekali.

“Tidak suka berlatih silat pun tidak mengapalah, Yo Han, asal engkau mentaati semua perintahku dan menuruti semua permintaanku.” Ia lalu menggapai. “Engkau duduklah di sini, dekat aku, Yo Han.”

Tanpa prasangka buruk, Yo Han mendekat, lalu duduk di atas lantai yang tadi sudah dia bersihkan dan diberi tilam rumput kering yang dicarinya di ruangan belakang kuil tua itu, sebagai persiapan tempat mereka nanti tidur melewatkan malam. Akan tetapi, suaranya tegas ketika dia berkata,

“Subo, aku akan selalu mentaati perintahmu selama perintah itu tidak menyimpang dari kebenaran. Namun kalau Subo memerintahkan aku melakukan hal yang tidak benar, maaf, terpaksa akan kutolak!”

“Hi-hik, tidak ada yang tidak benar, muridku yang baik. Engkau tahu, aku amat sayang kepadamu, Yo Han. Engkau anak yang amat baik, dan aku senang sekali mempunyai murid seperti engkau.” Wanita itu memegang tangan Yo Han dan membelai tangan itu.

Merasa betapa jari-jari tangan yang berkulit halus itu dengan lembut membelai-belai tangannya, kemudian bagaikan laba-laba jari-jari tangan itu merayap naik di sepanjang lengannya, Yo Han merasa geli dan juga aneh. Jantungnya lalu berdebar tegang dan dengan gerakan lembut dia pun menarik lengannya yang dibelai itu.

“Subo, apakah Subo tidak lapar?” Mendadak dia bertanya dan pertanyaan itu sudah cukup untuk membuyarkan gairah yang mulai membayang di dalam benak Ang-I Moli. Ia pun terkekeh genit.

“Hi-hik, bilang saja perutmu lapar, sayang. Nah, buka buntalanku itu, di situ masih ada roti kering dan daging kering, juga seguci arak.”

Mendapatkan kesempatan untuk melepaskan diri dari belaian gurunya yang baru itu, Yo Han cepat-cepat bangkit dan mengambil buntalan pakaian gurunya, lalu mengeluarkan bungkusan roti dan daging kering, beserta seguci arak yang baunya keras sekali. Dia menaruh semua itu di depan Ang-I Moli dan ketika merasakan betapa roti dan daging kering itu keras dan dingin, dia pun berkata,

“Subo, aku hendak mencari kayu bakar dan air.”

“Ehh? Untuk apa? Makanan sudah ada, minuman juga sudah ada.”

“Akan tetapi roti dan daging itu keras dan dingin, Subo. Kalau dipanaskan dengan uap air tentu akan menjadi hangat dan lunak. Juga aku lebih suka minum air dari pada arak. Ini aku membawa panci untuk masak air, Subo,” katanya sambil mengeluarkan sebuah panci dari dalam buntalan pakaiannya.

Ang-I Moli memandang dan tersenyum. Ia semakin tertarik kepada Yo Han dan ia harus bersikap manis untuk bisa menundukkan hati perjaka remaja itu. Pemuda ini tidak mau menjadi muridnya dalam arti yang sesungguhnya. Maka ia harus dapat memanfaatkan pemuda itu bagi kesenangan dan keuntungan dirinya sendiri.

Seorang perjaka remaja yang memiliki tubuh sebaik itu akan menguntungkan sekali bagi kewanitaannya. Akan membuat ia awet muda dan kuat, juga hawa murni di tubuh muda itu akan dapat dihisapnya dan dapat menambah kekuatan tenaga dalam di tubuhnya. Selain itu, cita-citanya untuk menguasai sebuah ilmu rahasia yang selama ini ditunda-tundanya, kini akan dapat diraihnya dengan mudah!

Untuk dapat menguasai ilmu rahasia itu, ia harus dapat menghisap darah murni selosin orang perjaka yang memiliki darah yang bersih dan badan yang sempurna. Kini ia telah mendapatkan Yo Han dan anak ini sudah lebih dari cukup, bahkan jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan selosin orang pemuda remaja biasa!

“Baiklah, engkau boleh pergi mencari air dan kayu bakar. Akan tetapi cepat kembali. Hari telah sore dan sebentar lagi akan gelap,” katanya halus dan ramah.

“Baik, Subo.”

Yo Han berlari keluar dari kuil itu. Dia tidak tahu bahwa Ang-I Moli membayanginya dari jauh. Wanita ini tidak ingin kehilangan Yo Han, maka begitu anak itu berlari keluar, dia pun menggunakan ilmu kepandaiannya dan mengikutinya tanpa diketahui oleh Yo Han. Bagi seorang seperti Ang-I Moli Tee Kui Cu, tidak mungkin ada orang di dunia ini yang benar-benar jujur dan setia sehingga dapat dipercaya sepenuhnya!

Sejak kecil wanita ini hidup di dalam lingkungan dunia hitam, berkecimpung di dalam kesesatan, di dalam suatu masyarakat di mana kata jujur dan setia sudah tidak dikenal lagi, di mana segala cara dihalalkan demi keuntungan dan kepentingan diri sendiri. Oleh karena itu, ia pun tidak dapat percaya sepenuhnya kepada Yo Han.

Ia tidak ingin kehilangan Yo Han yang baginya sekarang menjadi amat penting. Ia takut kehilangan pemuda itu, takut pemuda itu melarikan diri atau dilindungi orang lain. Juga ia hendak menguji sampai di mana pemuda itu mampu mempertahankan kejujuran dan kesetiaannya.

Ang-I Moli tidak tahu bahwa sesungguhnya ia telah menemukan seorang pemuda yang luar biasa, yang berbeda dengan pemuda-pemuda lain. Di dalam batin Yo Han belum pernah terdapat pamrih yang bermacam-macam, bahkan dia tidak mengenal itu.

Yo Han menghadapi segala sesuatu yang terjadi sebagai apa adanya, tidak pernah dia membuat gagasan atau rekaan macam-macam. Dia hanya melihat kenyataan yang ada untuk dihadapinya secara spontan, dia tidak pernah membuat rencana dan akal demi kepentingan diri sendiri.

Ia melihat kenyataan bahwa suhu dan subo-nya tak menghendaki dia di rumah mereka, dengan alasan agar puteri mereka jangan sampai kelak meniru sikap dan pendiriannya. Dia tahu bahwa demi kebaikan keluarga suhu-nya, dia harus menyingkir, menjauhkan diri dari mereka. Oleh karena itulah dia mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan mereka yang sesungguhnya amat dia sayangi.

Kemudian, karena ia harus menyelamatkan Sian Li, ia telah berjanji kepada Ang-I Moli untuk mengikuti wanita itu sebagai muridnya. Janjinya itu akan dipegangnya dengan teguh. Dia tidak akan melarikan diri karena dia pun sama sekali tidak pernah merasa takut kepada Ang-I Moli. Dia belum mengenal benar orang macam apa adanya Ang-I Moli, gurunya yang baru itu.

Bukan main senang dan lega rasa hati Ang-I Moli yang membayangi Yo Han, ketika melihat bahwa sedikit pun anak itu tidak memperlihatkan sikap ingin melarikan diri. Dia mengumpulkan kayu bakar, kemudian menemukan sumber air dan mengisi pancinya penuh air, setelah itu dia kembali ke kuil tanpa ragu-ragu. Ketika Yo Han memasuki kuil, Ang-I Moli tentu saja sudah lebih dahulu berada di tempat semula, duduk bersila sambil tersenyum manis.

“Aihh, cepat juga engkau mendapatkan air dan mengumpulkan kayu kering, Yo Han,” pujinya, kemudian dia membantu muridnya membuat api unggun dan memasak air di panci.

Setelah roti dan daging kering dipanasi dengan uap air, mereka lalu makan roti dan daging yang sudah menjadi lunak dan juga hangat itu, yang memang terasa jauh lebih enak dari pada kalaµ dimakan keras dan dingin. Dengan gembira sekali Ang-I Moli makan roti dan daging kering sambil sesekali minum arak, sedangkan Yo Han hanya minum air yang sudah dimatangkan.

Setelah makan kenyang, mereka duduk-duduk dekat api unggun. Sementara itu, malam telah tiba. Api unggun itu sangat menolong mereka mengusir nyamuk dan hawa dingin.

Setelah duduk termenung di dekat api unggun, Yo Han mengeluh. Sambil mengangkat muka memandang wajah subo-nya yang sejak tadi memperhatikannya tanpa bicara, dia berkata, “Subo, sekarang aku merasa betapa aku kehilangan kitab-kitab itu. Biasanya, di waktu malam begini aku tentu membaca kitab. Akan tetapi sekarang, kitab-kitab itu jauh di rumah Suhu dan Subo, dan di sini aku tidak dapat membaca apa-apa.”

Wanita itu tersenyum. “Jangan kau khawatir, Yo Han. Setelah tiba di rumah, aku akan mencarikan kitab bacaan untukmu.”

“Subo juga mempunyai kitab-kitab bacaan?” Yo Han memandang dengan sinar mata gembira.

“Akan aku carikan untukmu. Apa sih sukarnya mencari kitab-kitab itu? Akan aku carikan sebanyaknya untukmu. Aku sayang padamu Yo Han, dan kuharap engkau pun sayang kepadaku dan akan menuruti semua keinginanku.”

“Subo baik kepadaku, mengapa aku tidak sayang? Dan tentu saja aku akan menuruti semua keinginan Subo. Subo, bolehkah aku tidur dulu? Perjalanan hari ini yang tidak melalui air lagi, berjalan kaki sehari penuh, amat melelahkan badan dan aku ingin tidur.” Yo Han lalu merebahkan dirinya miring di sudut ruangan itu, di seberang api unggun, terpisah dari subo-nya.

Ang-I Moli tersenyum. “Yo Han, jangan lupa lagi. Apa yang harus kau lakukan sebelum tidur?”

Yo Han juga tersenyum, lalu bangkit dan membawa air ke bagian belakang kuil untuk membersihkan mulutnya. Pada malam pertama mereka melakukan perjalanan, masih berperahu, subo-nya yang baru ini telah memberi sebuah pelajaran tentang kebersihan kepadanya, yaitu keharusan membersihkan mulut sewaktu akan tidur.

”Lihat gigiku ini,” demikian kata subo-nya sambil memperlihatkan deretan giginya yang putih bersih dan rapi. “Belum ada sebuah pun yang rusak atau tanggal, padahal banyak orang seusiaku sudah hampir kehabisan giginya. Ini hasil menjaga kebersihan. Bukan saja hasilnya gigi menjadi bersih dan utuh, juga kesehatanku menjadi amat baik karena hampir semua penyakit datangnya lewat mulut. Cara membersihkan mulut dan gigi yang paling baik adalah membersihkannya setiap kali kita hendak tidur. Hal ini harus menjadi kebiasaanmu semenjak malam ini, Yo Han!” Demikianlah Ang-I Moli memberi pelajaran tentang kesehatan dan kalau dia terlupa, seperti pada malam ini, Ang-I Moli selalu memperingatkannya.

Pelajaran kesehatan yang agaknya amat sederhana ini sesungguhnya menguntungkan sekali dan alangkah baiknya bagi Yo Han. Biasanya orang meremehkannya. Padahal, kebiasaan membersihkan mulut di waktu hendak tidur merupakan satu di antara usaha penjagaan kesehatan yang paling baik dan paling mudah!

Tidak lama kemudian, Yo Han sudah tidur pulas di atas rumput kering. Dia tidak tahu bahwa semenjak tadi Ang-I Moli sudah berpindah tempat di dekatnya dan kini wanita itu duduk bersila di sebelahnya, tiada hentinya mengamati wajahnya yang tidur nyenyak, di bawah sinar api unggun yang membuat wajahnya menjadi kemerahan.

Aku harus mulai sekarang juga, pikir wanita itu. Lebih cepat ia dapat menguasai Yo Han, lebih baik. Dengan lembut tangannya meraba wajah pemuda itu, membelai dagu dan leher, lalu membelai semua tubuh Yo Han. Pemuda remaja itu menggeliat dalam tidurnya dan Ang-I Moli menarik tangannya.

Anak ini amat luar biasa, pikirnya sambil menahan gairah yang sudah mulai membakar dirinya. Mungkin saja dia akan menolak keras, bahkan melawan dan tak mau menyerah biar diancam bagaimana pun juga. Keberaniannya memang luar biasa. Kalau terjadi hal seperti itu, tentu amat merugikan dirinya. Kalau ia menggunakan paksaan, anak ini akan dapat mati sebelum ia memperoleh hasil yang memuaskan.

Ia harus dapat menghisap kemurnian anak ini sedikit demi sedikit, tidak terasa oleh Yo Han. Ia akan memberi makanan dan minuman yang mengandung obat penguat badan dan akhirnya, semua hawa murni dan darah murni itu akan berpindah ke tubuhnya tanpa diketahui oleh pemuda remaja itu, atau kelak diketahui kalau sudah terlambat dan pemuda yang kehabisan darah dan hawa murni itu akan tewas pula.

Dan ia akan mampu melatih diri dengan ilmu rahasia itu! Ia akan menjadi seorang yang sukar dicari tandingnya! Ia akan dapat merajai dunia persilatan dengan ilmunya itu.

Kembali ia mengamati wajah Yo Han yang masih tidur nyenyak. Ahh, mengapa ia begitu bodoh? Kalau membujuk anak ini, agaknya ia akan gagal total. Anak ini bukan seorang anak yang mudah dibodohi atau dibujuk halus, atau pun yang mudah ditundukkan dengan ancaman atau siksaan. Padahal, ia menghendaki agar dia menyerahkan diri dengan suka rela! Dengan demikian maka hasilnya akan lebih baik lagi bagi dirinya.

Dan satu-satunya jalan adalah menggunakan kekuatan sihirnya! Mengapa ia lupa akan kepandaiannya itu? Ia pernah mempelajari ilmu sihir dari Pek-lian-kauw dan kini ilmu sihirnya sudah lebih dari kuat untuk mempengaruhi seorang bocah! Orang dewasa pun kalau tidak memiliki sinkang yang kuat akan mudah ia tundukkan dengan kekuatan sihirnya. Apa lagi pemuda remaja yang lemah ini!

Ang-I Moli yang duduk bersila menghadapi Yo Han itu lalu membuat guratan-guratan dengan telunjuk kanannya, kemudian mulutnya berkemak-kemik, matanya terpejam. Ia membaca semacam mantera untuk mulai mempergunakan ilmu sihirnya untuk menyihir dan menguasai semangat Yo Han yang masih tidur nyenyak.

Setelah membaca mantera, ia lalu membuka kedua matanya yang mengeluarkan sinar aneh menatap wajah Yo Han. Juga kedua tangannya kini digerakkan dengan aneh, jari tangannya terbuka seperti cakar, dan jari-jari tangan itu bergerak-gerak, kedua tangan itu diputar-putar sekitar kepala dan tubuh Yo Han. Kembali mulutnya berkemak-kemik, kini mengeluarkan bisikan yang mendesis-desis.

“Yo Han, engkau telah berada dalam kekuasaanku, seluruh semangat dan kemauanmu tunduk padaku. Jika nanti engkau kusuruh bangun, engkau akan tunduk dan menyerah padaku penuh kepasrahan, engkau akan menganggap aku sebagai wanita paling cantik yang kau kasihi, engkau akan dibakar gairah birahi dan engkau akan menuruti segala kehendakku dengan gembira. Kemauanmu akan lemah dan lembut bagaikan domba, gairah birahimu akan bangkit setangkas harimau. Engkau akan selalu berusaha untuk menyenangkan hatiku, dengan mentaati semua perintahku, hanya aku satu-satunya orang yang kau kasihi, kau taati...” Ia lalu menutup bisikan mendesis itu dengan tiupan dari mulutnya ke arah muka Yo Han tiga kali.

“Yo Han... Yo Han... Yo Han... bangunlah engkau, sayang!” Dia mengguncang pundak pemuda itu, menggugahnya.

Yo Han adalah seorang anak yang memiliki kepekaan luar biasa. Sejak kecil, di waktu dia tidur, jika ada sesuatu yang tidak wajar, sedikit suara saja sudah cukup menggugah dirinya dari tidur pulas. Maka begitu Ang-I Moli menyentuh pundaknya ia pun terbangun, membuka kedua matanya, tetapi tidak seperti biasanya, dia tidak segera bangkit duduk, namun memandang kosong ke depan, seperti orang melamun, seperti melihat sesuatu yang amat menarik hati.

Dan memang dia merasa melihat sesuatu yang amat aneh. Dia merasa seolah kaki dan tangannya terbelenggu, juga suaranya lenyap bagaikan gagu, dan dirinya hanyut oleh gelombang samudera, semakin ke tengah dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Kemudian ia merasa ada kekuatan yang menariknya ke tepi, bahkan ia seperti sedang menunggang gelombang, makin dekat ke tepi, lalu kaki tangannya yang tadinya seperti terbelenggu itu terlepas bebas, dan mulutnya dapat bersuara lagi. Dia berenang sekuat tenaga ke tepi, dan berhasil mendarat di pantai.

“Apa... apa yang terjadi padaku? Ya Tuhan, apa yang terjadi...?”

Suara ini pun seperti keluar dengan sendirinya, dari balik perasaan hatinya yang diliputi keheranan. Dan begitu dia menyebut nama Tuhan. Semua itu pun lenyap dan seperti orang bangkit dari mimpi buruk, dia kini duduk dan melihat bahwa di depannya duduk Ang-I Moli yang bersila.

Melihat pemuda remaja itu telah bangun duduk, Ang-I Moli tersenyum manis, merasa yakin bahwa sihirnya telah mengena dan telah menguasai anak itu, walau pun ketika Yo Han menyebut Tuhan tadi hatinya merasa amat tidak enak.

“Yo Han, engkau sayang padaku, bukan?” Ia menguji.

Yo Han memandang wajah subo-nya dengan heran, lalu menjawab lirih, “Tentu saja aku sayang padamu, Subo. Kenapa Subo menanyakan hal itu dan membangunkan aku?”

“Hemmm, anak tampan. Aku ingin engkau membuktikan kasih sayangmu padaku. Nah, kesinilah, Yo Han, peluklah aku… ciumlah aku,” katanya dengan senyum memikat dan nada suara memerintah.

Akan tetapi, kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hatinya! Anak itu tidak bergerak menuruti perintahnya, bahkan memandang kepadanya dengan alis berkerut dan mata bersinar marah!

“Subo, apa artinya ini? Subo menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak patut!”

Tentu saja Ang-I Moli terkejut. Bukankah sihirnya tadi sangat kuat dan anak ini sudah berada di dalam cengkeraman ilmu sihirnya? Kenapa sekarang dia berani membantah dan menolak perintahnya?

“Yo Han! Aku sayang padamu dan engkau pun sayang padaku. Apa salahnya kalau engkau memelukku dan menciumku untuk menyatakan kasih sayangmu itu?”

“Tapi aku bukan anak kecil lagi yang pantas dipeluk cium, Subo! Aku seorang pemuda yang sudah berusia dua belas tahun, menuju ke masa remaja!”

Sekarang Ang-I Moli merasa penasaran bukan main. Semua ucapan Yo Han itu tidak menunjukkan bahwa dia berada di bawah pengaruh sihir! Semua jawaban Yo Han itu mengandung perlawanan, bukan ketaatan.

Ia pun menguji lagi dan dengan suara nyaring mengandung perintah dia berseru, “Yo Han, bangkitlah berdiri!”

Dan anak itu pun segera bangkit berdiri. Begitu taat!

“Tambahkan kayu pada api unggun!” perintahnya pula.

Tanpa menjawab, dan sedikit pun tidak membantah, Yo Han menghampiri api unggun, memilih beberapa potong kayu bakar, kemudian menambahkannya kepada api unggun sehingga api kini membesar.

“Yo Han, sekarang duduklah kembali ke sini, di depanku!”

Sekali lagi Yo Han mentaati perintah itu dan menghampiri subo-nya, lalu duduk di depan subo-nya. Begitu taat dan sedikit pun tidak membantah. Mereka duduk bersila saling berhadapan, dekat sekali sehingga Yo Han dapat mencium bau harum minyak bunga yang semerbak dari pakaian dan rambut wanita itu.

Melihat betapa Yo Han selalu taat, Ang-I Moli menjadi semakin heran dan penasaran. Kenapa sekarang anak itu begitu taat seolah sihirnya termakan olehnya?

“Yo Han…, kau rabalah kedua pipiku dan daguku dengan kedua tanganmu,” kembali ia memerintah.

Yo Han hanya memandang heran saja, akan tetapi kedua tangannya bergerak dan dia pun meraba-raba kedua pipi yang halus dan dagu meruncing itu.

“Teruskan, raba leher dan dadaku...,” kata pula Ang-I Moli, kini suaranya mulai gemetar oleh bangkitnya kembali gairahnya.

Akan tetapi sekarang, kedua tangan itu bukan turun ke leher dan dadanya, melainkan turun kembali ke atas pangkuan Yo Han. Anak itu sama sekali tidak melaksanakan perintahnya.

“Yo Han, aku perintahkan, cepat kau raba dan belai leher dan dadaku dengan kedua tanganmu!” ia membentak, mengisi suaranya dengan kekuatan sihir sepenuhnya.

Tetapi, jangankan anak itu melaksanakan perintahnya, bahkan kini Yo Han memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, heran dan juga penasaran.

“Subo, kenapa Subo mengeluarkan perintah yang aneh-aneh? Maaf, aku tidak dapat memenuhi perintah itu.”

Barulah kini Ang-I Moli terkejut. Jelas bahwa anak ini tidak berada di bawah pengaruh sihirnya! Tidak pernah! Kalau tadi nampak dia mentaati hanya karena taat yang wajar, bukan pengaruh sihir sama sekali. Ia pun menjadi marah.

“Yo Han, bukankah engkau sudah berjanji akan mentaati semua perintahku? Mengapa sekarang engkau membantah dan tak memenuhi perintahku yang amat sederhana dan mudah ini?”

“Subo, sudah kukatakan bahwa semua perintah Subo akan kutaati, kecuali bila perintah itu untuk melakukan sesuatu yang jahat dan tidak benar. Perintah Subo itu tidak baik, karenanya maka aku tidak mau melaksanakannya. Perintahkan aku mengerjakan yang pantas, betapa berat pun pasti akan kutaati, Subo.”

“Yo Han,” kini Ang-I Moli hendak mendapatkan kepastian dan ia tidak mau membuang waktu sia-sia dengan membawa anak itu jauh-jauh ke tempat tinggalnya untuk kelak tidak tercapai pula maksudnya. “Engkau harus mentaati semua perintahku, kalau tidak, untuk apa aku mempunyai murid yang membandel dan membantah?”

“Untuk perintah yang tidak pantas, terpaksa aku menolak, Subo.”

Wanita yang sudah terbakar oleh gairah nafsunya sendiri itu, sama sekali tidak tahu bahwa Yo Han adalah seorang anak yang aneh, memiliki sesuatu dalam dirinya yang oleh manusia pada umumnya akan dianggap aneh.

Dia tidak pernah mempelajari ilmu silat dengan latihan, kecuali hanya menghafal semua teorinya saja, dan dia pun tidak pernah belajar ilmu sihir. Namun, kekuatan sihir yang digunakan Ang-I Moli terhadap dirinya, sama sekali tidak mempan, sama sekali tidak mempengaruhinya, hanya mendatangkan mimpi bahwa dia hampir dihanyutkan ombak samudera. Kekuatan sihir Ang-I Moli bagaikan arus air sungai yang menerjang batu, mengguncang sedikit saja lalu lewat tanpa mampu menghanyutkan batu itu.

Karena kini merasa yakin bahwa anak itu tidak lagi dapat dipengaruhinya dengan sihir, Ang-I Moli menjadi penasaran dan tak sabar lagi. Ia lalu menanggalkan pakaian luarnya, begitu saja di depan mata Yo Han.

Anak ini mula-mula memandang dengan mata terbelalak heran. Akan tetapi pandang matanya lalu menunduk ketika dia melihat tubuh subo-nya hanyalah terbungkus pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang.

Melihat betapa agaknya anak itu tidak dapat dipengaruhi oleh kecantikan dan keindahan tubuhnya, maklum karena usianya pun baru dua belas tahun, belum dewasa, Ang-I Moli lalu merangkul dan menciumi Yo Han. Diterkamnya anak itu bagaikan seekor harimau menerkam kelinci!

“Subo, apa yang Subo lakukan ini?! Subo, lepaskan aku! Ini tidak boleh, tidak benar, tidak baik...!”

Akan tetapi betapa pun dia meronta, tetap saja dia tidak berdaya menghindarkan diri. Yo Han kalah tenaga dan tak mampu bergerak lagi saat wanita itu menerkamnya sehingga dia terguling dan dia lalu ditindih, digeluti, didekap dan diciumi. Yo Han hanya dapat memejamkan matanya dan mulutnya berkemak-kemik dengan sendirinya.

“Ya Tuhan... ya Tuhan...” Dia hanya menyebut Tuhan berulang-ulang.

Semenjak Yo Han mengenal akan kekuasaan Yang Maha Kuasa melalui bacaan dalam kitab-kitab, dia yakin benar bahwa sumber segala kekuatan dan kekuasaan adalah satu, tunggal dan Maha Kuasa. Keyakinan ini yang selalu membuat Yo Han secara otomatis menyebut Tuhan setiap kali terjadi sesuatu menimpa dirinya. Hal ini mungkin karena dia sudah tidak mempunyai ayah ibu lagi sehingga dia dapat menyerahkan diri sepenuhnya dan seikhlasnya kepada Tuhan.

Ang-I Moli menjadi penasaran dan marah bukan main. Anak laki-laki itu sama sekali tak melawan lagi, sama sekali tidak bergerak sehingga seolah-olah dia sedang menggumuli sebuah batu saja. Dan bisikan-bisikan yang menyebut Tuhan berulang-ulang itu sangat mengganggunya, bahkan api gairah birahi yang tadi membakar dirinya perlahan-lahan menjadi dingin. Api gairah itu hampir padam.

“Engkau... engkau tidak mau melayani hasratku...?” tanya Ang-I Moli dengan suaranya yang terengah-engah.

Yo Han tidak menjawab, tubuhnya telentang sedangkan pakaiannya awut-awutan. Dia menggeleng dengan tegas.

“Biar pun dengan ancaman mati? Engkau tetap tidak mau?”

“Mati di tangan Tuhan. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak benar!” Jawab Yo Han, suaranya lirih namun tegas dan sepasang matanya bersinar-sinar.

“Plak! Plak!”

Dua kali Ang-I Moli menampar kedua pipi Yo Han sehingga kepala anak itu terdorong ke kanan kiri dan kedua pipinya menjadi merah. Ang-I Moli tidak ingin membunuhnya maka tamparan tadi pun menggunakan tenaga biasa saja, namun cukup mendatangkan rasa nyeri dan panas. Namun Yo Han tetap memandang dengan tabah, sedikit pun tidak memperlihatkan perasaan takut.

“Hemmm, hendak kulihat sekarang! Karena engkau harus dipaksa, maka engkau akan menderita. Salahmu sendiri! Nah, sekali lagi aku memberi kesempatan. Kalau engkau menuruti semua kehendakku, engkau akan hidup senang. Sebaliknya, bila engkau tetap menolak, aku juga bisa memaksamu dengan obat perangsang dan racun, dan akhirnya engkau pun akan menyerahkan diri kepadaku, hanya saja, engkau akan menderita dan mati!”

“Subo, dengan ancaman siksaan apa pun Subo tidak dapat memaksaku melakukan hal yang tidak benar. Aku tidak takut mati karena kematian berada di tangan Tuhan. Kalau Tuhan menghendaki aku harus mati, aku pun akan menyerah dengan rela...”

“Cukup! Tidak perlu berkhotbah! Engkau mau atau tidak?”

“Subo, kuperingatkan Subo. Perbuatan Subo ini tidak benar dan berdosa. Kelak Subo akan menerima hukuman dari Tuhan!”

“Tutup mulutmu!”

Tangan Ang-I Moli bergerak, lalu jari-jari tangannya menotok jalan darah di pundak dan pinggang Yo Han.

Tubuh Yo Han terkulai, tidak mampu bergerak lagi. Hanya kedua matanya yang masih terbelalak memandang wajah wanita itu dengan penuh teguran.

“Subo dan aku adalah guru dan murid, tidak sepatutnya...”

“Tukkk!”

Kembali wanita itu menotok leher dan suara Yo Han menghilang. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara.

“Hi-hik, bocah cerewet!” Wanita itu kini terkekeh-kekeh dan dalam pandangan Yo Han wanita itu telah berubah sama sekali.

Tadinya dia melihat wanita itu sebagai seorang wanita yang berwajah cantik, bersuara lembut dan peramah. Akan tetapi kini, sepasang mata itu berubah laksana mata iblis, juga senyumnya menyeringai mengerikan, suaranya agak parau dan mendesis, sedang wajahnya yang berbedak tebal itu seperti topeng.

“Hi-hi-hik, kita bukan guru dan murid lagi, melainkan seorang wanita dan seorang pria! Dan engkau, mau tidak mau, harus menyerahkan hawa dan darah murnimu kepadaku. Sampai tetes yang terakhir! Dan engkau akan menjadi seperti seekor lalat yang dihisap habis oleh laba-laba, sedikit demi sedikit darahmu akan kuhisap sampai tinggal tubuh yang mengering tanpa darah. He-he-heh!” Mulutnya berliur membayangkan kenikmatan dan keuntungan yang akan diperolehnya dari anak ini.

Kalau saja Yo Han mau menuruti semua kehendaknya, atau kalau saja anak itu dapat dikuasainya dengan sihir, tentu ia akan dapat memperoleh kenikmatan yang lebih lama. Ia akan menghisap darah murni anak itu sedikit demi sedikit, menikmatinya dari sedikit sampai akhirnya darah murni itu habis.

Sekarang terpaksa ia harus menggunakan paksaan dengan racun perangsang. Ia akan menghisap darah itu dengan paksa. Mungkin anak itu hanya akan bertahan dua tiga hari saja. Ia akan menghisapnya sampai habis dan akan tinggal sampai dia menyelesaikan pekerjaan itu di dalam kuil tua ini. Paling lama tiga hari lagi dan ia akan berhasil. Ia akan siap untuk melatih diri dengan ilmu rahasia itu!

Melihat api unggun mulai mengecil karena kehabisan kayu bakar, Moli lalu menambah kayu, dan api unggun membesar kembali. Sambil menyeringai dan bersenandung kecil menyatakan kegembiraan hatinya, wanita itu lalu mengambil sebuah bungkusan kain dari dalam buntalan pakaiannya, lalu membuka bungkusan itu dan mengeluarkan tiga butir pel dari dalam botol hijau. Ia duduk dekat api unggun saat memilih isi bungkusan. Sisa obat itu dia bungkus kembali dan tiga butir pel berada di tangannya.

Yo Han mengikuti semua gerakan wanita itu dengan pandang matanya. Dia tahu bahwa dirinya terancam bahaya, maka seperti biasanya dia lakukan, dalam keadaan seperti itu, penyerahan dirinya kepada kekuasaan Tuhan menjadi semakin kuat.

Dia merasa yakin bahwa segala sesuatu sudah diatur oleh kekuasaan Tuhan! Kalau memang Tuhan menghendaki bahwa dia harus mati di tangan wanita ini, apa boleh buat. Dia hanya dapat menerimanya dengan pasrah karena maklum sedalamnya bahwa segalanya adalah milik Tuhan, berasal dari Tuhan dan kembali kepada Tuhan. Karena kepasrahan yang mutlak ini, sedikit pun tidak ada rasa takut.

Rasa takut adalah perkembangan dari si-aku yang diciptakan oleh pengalaman masa lalu melalui pikiran. Si-aku yang merasa terancam menimbulkan rasa takut. Takut kalau kesenangan yang sudah berada di tangan itu terlepas dan hilang. Takut jika kesusahan akan menimpa dirinya, takut sakit, takut mati.

Si-aku ingin selalu di atas, ingin selalu menonjol, ingin selalu menjadi yang terpenting, terbesar, terbaik. Rasa takut akan timbul jika si-aku merasa terancam kepentingannya, terancam keadaannya, takut kalau dirinya akan kehilangan arti, takut, kalau dirinya akan lenyap oleh kematian, takut kehilangan segala yang dimilikinya, yang menjadikan dirinya penting dan berarti. Takut akan kehilangan harta, kedudukan, kehormatan, nama, takut kehilangan orang-orang yang dikasihi karena mereka yang dikasihinya itu menimbulkan kesenangan. Pada hakekatnya, si-aku yang sesungguhnya hanyalah khayalan dari sang pikiran yang menimbulkan rasa takut
.

Yo Han dalam keadaan terancam bahaya maut, terancam siksa dan derita, tetap tidak mengenal rasa takut sebab ia sudah menyerahkan segalanya, dengan sebulat batinnya, kepada kekuasaan Tuhan! Si aku dalam dirinya tidak memegang peran lagi dan sebagai gantinya, semua diri seutuhnya, badan mau pun batin, telah diserahkan kepada Tuhan dan karenanya, kekuasaan Tuhan sajalah yang membimbingnya dan menjaganya.

Moli memasukkan tiga butir pel kehijauan itu ke dalam cawan araknya, lalu mengambil guci dan hendak menuang isi guci ke dalam cawan itu. Akan tetapi segera ditahannya.

“Heh-heh, aku lupa! Engkau tidak suka arak. Kalau dicampur arak akan sukar memasuki perutmu. Sebaiknya dengan air saja. Bukankah begitu, Yo Han?”

Akan tetapi anak itu tidak menjawab. Pada saat itu, semua panca indranya juga bekerja sendiri, tidak lagi dikemudikan oleh hati dan akal pikiran. Karena itu, dia mendengar dan melihat tanpa penilaian, tanpa pendapat. Hanya mendengar dan melihat saja seperti apa adanya, dan karena pikirannya tidak bekerja menimbang-nimbang lagi, maka dia tidak merasa takut. Dia bagaikan seorang bayi di dalam gendongan ibunya, tidak takut apa-apa dan merasa aman!

Demikianlah keadaan seorang yang berada dalam ‘gendongan’ kekuasaan Tuhan yang meliputi seluruh alam maya pada ini, meliputi luar dan dalam, segenap penjuru dan di dalam apa saja yang nampak dan tidak nampak, di dalam atau pun di luar dunia, di mana saja yang terjangkau pikiran mau pun yang tak terjangkau. Jika sudah terbimbing oleh kekuasaan seperti itu, berada dalam gendongan kekuasaan seperti itu, apa lagi yang dapat menimbulkan rasa takut?

“Heh-heh-heh-heh!” Moli menuangkan air ke dalam cawan, lalu menggunakan sumpit untuk menghancurkan tiga butir pel di dalam cawan, melarutkannya sampai rata betul. Sambil terkekeh ia lalu mendekati Yo Han yang masih memandang dengan sinar mata yang terang dan tenang.

“Hi-hi-hik, Yo Han. Dengar baik-baik. Tiga butir ini mengandung tiga macam racun yang amat kuat. Pertama, racun perampas ingatan! Begitu meminumnya, engkau akan lupa segala. Semua ingatan tentang masa lampau akan lenyap dan terlupakan. Enak sekali, bukan? Racun kedua mengandung racun perangsang. Begitu meminumnya, engkau lantas menjadi seekor kuda jantan dalam birahi! Hi-hi-hik, menyenangkan aku benar! Engkau tak akan pernah mengenal puas dan engkau harus menyalurkan terus-menerus hasrat kejantananmu itu sampai tubuhmu yang tidak kuat lagi. Dan racun ke tiga adalah obat kuat, agar tubuhmu kuat melakukan penyaluran hasratmu itu sampai habis, hi-hik! Sampai darah murnimu terhisap habis olehku, hawa murni di dalam tubuhmu tersedot habis dan menjadi milikku, hi-hi-hik!”

Yo Han tidak merasa ngeri mendengar semua itu. Yang ada hanya keheranan mengapa Ang-I Moli kini berubah seperti ini! Seperti bukan manusia lagi. Sekarang baru dia tahu mengapa wanita ini dijuluki Ang-I Moli (Iblis Betina Berpakaian Merah). Kiranya memang wataknya bagai iblis betina, seperti bukan manusia lagi, penuh kelicikan dan kekejaman luar biasa.

“Bukalah mulutmu, sayang. Biar kutuangkan minuman yang sedap ini ke dalam perutmu melalui mulut. Bukalah mulutmu,” kata Moli dengan suara manis merayu.

Tentu saja Yo Han tak mau membuka mulutnya. Ia memang masih bisa menggerakkan mulut karena yang tak dapat digerakkan hanya kedua kaki dan tangan saja. Akan tetapi dia tidak sudi menuruti perintah manusia yang sudah menjadi iblis itu.

“Buka mulutmu kataku!” Sekarang Moli membentak marah, akan tetapi Yo Han hanya memandang dengan mata melotot, bahkan dia merapatkan kedua bibirnya.

“Anak bandel!” Moli berkata, lalu tangan kirinya menangkap rahang Yo Han dan sekali jari-jari tangannya menekan, mulut Yo Han terbuka lebar tanpa dapat ditahannya lagi. Bahkan kini yang memegang rahang Yo Han hanya tiga jari karena jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri Moli sudah di julurkan ke atas dan menekan lubang hidung Yo Han.

Anak itu terpaksa menarik napas dari mulut karena hidungnya tertutup dan ketika Moli menuangkan air dalam cawan yang sudah bercampur tiga butir pil yang sudah larut, dia tidak dapat memuntahkannya keluar dan cairan itu pun tertelan dan masuk ke dalam perutnya.

“Hi-hi-hik, racun itu sudah masuk perutmu, Yo Han. Engkau akan segera tertidur karena pengaruh racun perampas ingatan, akan tetapi besok pagi-pagi bila engkau terbangun, engkau akan jinak dan penurut seperti domba, akan tetapi juga tangkas dan kuat seperti harimau. Hi-hik, sungguh akan menyenangkan sekali. Sekarang, kau tidurlah, sayang...” berkata demikian, Moli membebaskan totokan jalan darah Yo Han sehingga anak itu mampu bergerak kembali.

Yo Han menggerak-gerakkan kaki tangannya yang terasa kaku dan nyeri-nyeri, lalu bangkit duduk memandang kepada Moli dengan sinar mata penuh teguran.

“Bibi, engkau sendiri yang tadi mengatakan bahwa kita bukan guru dan murid lagi, maka aku tidak akan menyebutmu subo lagi. Bibi, engkau seorang manusia, mengapa engkau melakukan perbuatan yang lebih pantas dilakukan iblis? Ingatlah, Bibi, perbuatan yang jahat akan menghasilkan akibat yang buruk bagi dirimu sendiri…” Yo Han menghentikan ucapannya karena tiba-tiba saja dia merasa kantuk menyerangnya dengan hebat sekali. Tak tahan dia untuk tidak menguap.

Ang-I Moli terkekeh genit. “Memang orang menyebutku iblis, Yo Han. Orang menjuluki aku Ang-I Moli, kalau aku tidak bertindak seperti iblis, berarti julukanku itu tidak ada harganya dan kosong belaka, heh-heh-heh! Engkau sudah mulai mengantuk? Tidurlah sayang, tidurlah...!”

Wanita itu terkekeh-kekeh melihat Yo Han kini merebahkan diri miring di atas rumput kering dan segera pulas. Ia pun menambahkan lagi kayu bakar di perapian, dan turut merebahkan diri di dekat Yo Han, memeluk pemuda remaja itu dengan mesra. Ia sudah siap. Begitu Yo Han terbangun pada keesokan harinya dan racun-racun itu bekerja, ia sudah siap.

Karena ia pun lelah dan mengantuk, sebentar saja Moli pulas juga. Ia tidak tahu bahwa tidak lama kemudian api unggun itu padam dan hawa dingin menyusup tulang. Ia tidak terbangun, hanya merangkul lebih erat. Yo Han juga tidak pernah terbangun karena dia agaknya sudah terpengaruh oleh racun yang mulai bekerja di tubuhnya.....

********************

Karena sangat kecapaian dan tidur pulas sekali, Moli yang merangkul bahkan seperti menyelimuti tubuh Yo Han dengan tubuhnya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa lewat tengah malam, ada sesosok bayangan hitam perlahan-lahan memasuki kuil tua yang kosong itu.

Bayangan itu ternyata seorang wanita yang berpakaian longgar, pakaian sutera kuning dengan kepala juga dikerudungi sutera kuning. Karena penerangan hanya datang dari bulan yang muncul lambat sekali, bulan yang tinggal sepotong, maka tidak dapat dilihat jelas wajah wanita berkerudung itu. Namun gerak-geriknya halus walau pun ringan dan cekatan.

Langkahnya tidak menimbulkan suara ketika ia memasuki kuil. Tangannya memegang sebatang kayu kering yang membara ujungnya. Ia mengayun kayu itu dan bara itu pun menyala kecil, cukup untuk menerangi sekelilingnya sejauh tiga empat meter. Akan tetapi ia menggunakan tangan kiri menutupi mukanya agar pandang matanya tidak silau oleh nyala api di ujung kayu itu. Dia memilih tempat, mencari bagian yang kering dan bersih, agaknya untuk melewatkan malam.

Bagian depan dan tengah kuil itu agaknya tidak memuaskan hatinya karena memang selain lantainya tidak begitu bersih, juga di bagian depan itu orang akan terserang angin karena terbuka. Di bagian dalam memang terlindung dari angin, akan tetapi tempat itu agak lembab.

Ia lalu mengayun lagi kayu yang nyalanya telah padam dan hanya tinggal membara. Sekali ayun, bara itu menyala kembali dan ia melangkah ke belakang. Diangkatnya kayu itu tinggi di atas kepala dan sekilas ia melihat dua orang laki-laki dan perempuan yang saling berpelukan itu, si perempuan hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis dan tembus pandang, si laki-laki yang masih remaja juga pakaiannya awut-awutan. Mereka itu tertidur nyenyak, perempuan merangkul laki-laki itu dengan erat sekali.

Ia menurunkan kayu dan nyala di ujung kayu itu pun padam. Ia lalu membalikkan tubuh dan kembali ke ruangan depan, bahkan tak mau tinggal di ruangan dalam karena terlalu dekat dengan ruangan belakang. Dinyalakannya kembali ujung kayu itu dengan ayunan tangannya, lantas dia pun mengumpulkan rumput kering dan menaburkannya di sudut ruangan depan itu. Setelah itu, ia memadamkan kembali nyala api dan duduk bersila.

Walau pun angin bertiup dan hawa dingin sekali, ia tidak kelihatan kedinginan. Bahkan nyamuk yang banyak beterbangan di situ hanya beterbangan di sekitarnya dan agaknya tidak ada yang mencoba untuk hinggap di mukanya, satu-satunya bagian tubuh yang nampak dan dapat digigit.

Entah apa yang menyebabkan nyamuk-nyamuk tidak berani hinggap di pipi atau leher itu. Agaknya harum cendana yang keluar dari tubuh itulah yang membuat nyamuk tidak berani mendekat. Atau mungkin juga bau hio berasap yang dibakar oleh wanita itu. Sebatang saja hio (dupa biting) yang nampaknya awet sekali, mengeluarkan asap yang harum.

Wanita itu duduk bersila dan memejamkan matanya setelah mulutnya mengomel lirih. “Omitohud... alangkah tega menodai tempat suci ini, sungguh pun kuil ini sudah tidak terpakai. Apakah mereka tidak dapat mencari tempat lain yang lebih baik dan tepat untuk bermain cinta? Omitohud...”

Akan tetapi, ia segera melupakan apa yang terlihat olehnya tadi dan sudah tenggelam dalam semedhi yang mendalam. Siapakah wanita ini?

Ia seorang wanita yang tidak muda lagi walau pun masih nampak cantik. Usianya sudah empat puluh tujuh tahun, rambutnya sudah berwarna dua. Akan tetapi rambut yang tidak tersisir rapi dan awut-awutan karena perjalanan jauh dan hembusan angin itu halus dan panjang, berkilau tanda sehat.

Rambut itu digelung secara aneh, tak mirip gelung orang daerah, lalu kepala itu ditutup kerudung sutera kuning. Wajahnya masih belum diganggu keriput walau pun garis-garis di antara kedua matanya menunjukkan bahwa ia seorang yang telah banyak mengalami pahit getir kehidupan di dunia. Sepasang matanya jeli dan tajam, lebar dan berwibawa.

Di antara dua alisnya terdapat titik merah, suatu kebiasaan di negerinya karena wanita ini berasal dari negara Bhutan, sebuah kerajaan kecil yang terletak di sebelah selatan Tibet. Tubuhnya masih padat dan ramping, tanda bahwa selain sehat, juga wanita ini memiliki tubuh yang kuat dan terlatih.

Kalau ada orang Bhutan yang melihatnya, tentu orang itu akan bersikap amat hormat padanya. Hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak dan pakaiannya yang seperti pakaian pendeta itu menunjukkan kedudukannya yang cukup tinggi di Kerajaan Bhutan. Ia adalah seorang puteri! Seorang wanita ningrat keluarga dekat dari raja Bhutan.

Memang sesungguhnya demikianlah. Wanita cantik ini bernama Gangga Dewi, seorang puteri dari Kerajaan Bhutan, atau lebih tepat lagi, ia masih cucu raja tua di Bhutan. Ibu Gangga Dewi adalah Puteri Syanti Dewi, puteri raja, sedang ayahnya adalah seorang pendekar yang amat terkenal, dahulu berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, atau kemudian setelah menjadi duda dan sudah tua lalu menjadi seorang pendeta dan berjuluk Tiong Khi Hwesio.

Gangga Dewi lahir di Bhutan. Dia dilahirkan sesudah lebih dari sepuluh tahun ayahnya menikah dengan ibunya, lalu dia hidup sebagai seorang puteri di kerajaan itu. Ayahnya menjadi seorang panglima atau seorang penasihat perang. Sejak kecil dia pun menjadi gemblengan dari ayahnya, sampai dia dewasa dan kemudian menikah dengan seorang panglima muda Bhutan yang telah banyak membuat jasa.

Gangga Dewi hidup berbahagia dengan suaminya dan ia melahirkan dua orang anak. Akan tetapi, saat dua orang anaknya berusia belasan tahun, ibunya, yaitu Puteri Syanti Dewi, meninggal dunia karena penyakit tua. Ayahnya, Wan Tek Hoat, seperti berubah ingatan ketika Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya itu meninggal dunia.

Bagaikan orang gila Wan Tek Hoat tidak mau pulang dan tinggal dalam gubuk di dekat makam isterinya, seolah-olah dia ingin menemani isterinya yang sudah berada di dalam kuburan. Akhirnya seorang pendeta tua yang bijaksana dapat menyadarkan Wan Tek Hoat sehingga dia dapat menyadari kebodohannya, menggunduli kepala, mengenakan jubah pendeta dan mempelajari keagamaan, menjadi seorang hwesio (pendeta Buddhis berjuluk Tiong Khi Hwesio.

Kemudian ia meninggalkan Bhutan karena setelah isterinya meninggal dunia ia merasa terasing di Bhutan. Puteri tunggalnya, Gangga Dewi, telah menikah dan hidup bahagia dengan suaminya, yaitu seorang Bhutan asli. Maka dia pun pergi ke timur, kembali ke Tiongkok dan akhirnya berkunjung ke Istana Gurun Pasir sampai meninggal di sana bersama saudaranya seayah berlainan ibu, yaitu nenek Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu. Kisah itu dapat dibaca secara lengkap dalam cerita SI BANGAU PUTIH....

Sepeninggal ayahnya, Gangga Dewi tetap hidup dalam keadaan tenteram dan bahagia. Bahkan dua orang anaknya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan, sudah pula menikah dan hidup penuh kemuliaan sebagai keluarga keturunan raja.

Akan tetapi, kehidupan manusia tidak mungkin tanpa perubahan. Nasib manusia selalu berputar, ada kalanya terang juga ada kalanya gelap seperti keadaan cuaca. Lima tahun yang lalu, terjadilah perang di perbatasan antara negara kecil Bhutan melawan negara tetangganya, yaitu Kerajaan Nepal. Sebagai seorang panglima kerajaan, suami Gangga Dewi memimpin pasukan Bhutan yang turut berperang melawan pasukan Nepal. Dalam pertempuran ini, suami Gangga Dewi tewas.

Walau pun di waktu masih hidup suami Gangga Dewi bukan merupakan seorang suami yang lembut, bahkan merupakan seorang militer yang kasar dan bahkan keras, seorang yang terlalu jantan, tapi ketika suaminya tewas, Gangga Dewi merasa kehilangan sekali dan ia pun tenggelam dalam duka yang mendalam.

Agaknya ia mewarisi watak ayahnya. Dahulu Wan Tek Hoat ketika kehilangan isterinya juga dilanda kedukaan yang hampir membuatnya gila. Kini Gangga Dewi demikian pula. Hidupnya seolah kosong dan merana. Bahkan kehadiran cucu-cucunya dari dua orang anaknya tidak mampu menghibur hatinya. Sesudah membiarkan dirinya merana sampai hampir lima tahun lamanya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk pergi ke timur, mencari ayahnya yang sekian lamanya tiada kabar berita dan tidak pernah pulang pula.

Biar pun perjalanan itu amat sukar, melalui pegunungan yang tinggi, daerah sunyi yang penuh dengan hutan, melalui pula padang tandus, serta banyak pula ancaman datang dari binatang buas dan penjahat-penjahat yang suka merampok, namun Gangga Dewi selalu dapat menyelamatkan dirinya.

Kadang dia menggabungkan diri dengan khafilah yang melakukan perjalanan jauh, juga kadang menyendiri. Namun, ia adalah seorang wanita yang tidak asing akan kehidupan yang keras. Ia mempunyai ilmu kepandaian tinggi, pernah pula digembleng oleh ayah kandungnya sendiri. Dan ia pernah menjadi isteri seorang panglima perang.

Selain itu, sikapnya berwibawa, kecantikannya agung sehingga jarang ada orang berani iseng mengganggunya. Padahal, meski pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, sebagai wanita dia masih memiliki daya tarik yang kuat sekali, baik dengan wajahnya yang masih cantik jelita mau pun dengan tubuhnya yang ramping dan berisi.

Demikianlah, pada malam hari itu Gangga Dewi tiba di bukit itu dan melihat kuil tua, ia pun memasukinya, sama sekali tak mengira akan melihat pemandangan yang membuat dirinya merasa rikuh dan tidak enak hati. Bukan karena melihat seorang wanita tidur berpelukan dengan seorang pria yang membuat ia merasa tidak enak, namun melihat bahwa mereka melakukannya di dalam sebuah kuil, walau pun kuil kosong, membuat ia merasa penasaran.

Bagaimana pun juga, manusia terikat oleh hukum adat, hukum umum, sopan santun dan tata susila, juga hukum agama. Hukum-hukum inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya.

Seorang manusia yang sopan, yang tahu akan peradaban, mengenal tata-susila, sudah sepatutnya menghargai sebuah kuil atau sebuah tempat pemujaan, dari golongan atau agama apa pun. Di negaranya, Kerajaan Bhutan, agama amat dihormati, dan biar pun di sana terdapat berbagai agama, di antaranya Agama Kristen, Hindu, Buddhis dan lain-lainnya, akan tetapi di antara agama terdapat saling menghormati dan saling pengertian.

Kerukunan agama mendatangkan kerukunan dan ketenteraman kehidupan rakyat. Jika ada pertentangan-pertentangan kecil, maka pemuka agama dapat menenteramkannya kembali. Bagaimana pun juga inti pelajaran semua agama adalah hidup rukun di antara manusia, saling mengasihi, saling menolong. Hidup saleh dengan cara tidak melakukan perbuatan jahat, selalu memupuk perbuatan baik dan saling menolong. Hidup beribadat dengan cara memuja Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta, sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. Kalau pun ada pertentangan, maka yang bertentangan adalah manusianya dan pertentangan atau permusuhan itu merupakan pekerjaan nafsu.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi ketika sinar matahari telah membakar ufuk timur dan kepadatan malam gelap sudah memudar sehingga cuaca menjadi remang-remang, saat burung-burung ramai berkicau, sibuk mempersiapkan pekerjaan mereka yang berulang setiap hari, yaitu mencari makan, Ang-I Moli terjaga dari tidurnya. Ia menggeliat seperti seekor kucing, akan tetapi segera ia teringat dan membuka matanya, kemudian bangkit duduk dan memandang kepada Yo Han yang masih tidur nyenyak. Dia tersenyum, lalu merangkul dan mencium pemuda remaja itu.

“Bangunlah, sayang. Bangunlah dan peluklah aku...”

Yo Han membuka matanya. Seketika dia tersentak kaget ketika mendapatkan dirinya didekap wanita itu dan mukanya diciumi. Bagaikan orang dipagut ular, dia meronta dan bangkit berdiri. Mukanya berubah merah sekali, sepasang matanya terbelalak dan cepat dua tangannya sibuk membereskan letak pakaiannya yang awut-awutan dan setengah telanjang.

“Apa... apa yang kau lakukan ini, Bibi?” bentaknya marah.

Wanita itu memandang heran sekali, hampir tidak percaya akan apa yang dilihat dan didengarnya. Menurut penglihatan dan pendengarannya barusan, Yo Han sama sekali tidak berubah! Tidak hilang ingatannya, tidak terangsang sama sekali! Ini tidak mungkin! Biar seorang laki-laki dewasa yang kuat sekali pun, tentu akan terpengaruh oleh pel-pel itu! Apa lagi Yo Han yang masih remaja, masih boleh dibilang kanak-kanak.

“Yo Han, kau... kau... ke sinilah, sayang.” Ia mencoba untuk meraih. Akan tetapi Yo Han menghindarkan diri dengan langkah ke belakang.

“Bibi, apakah engkau sudah menjadi gila?” Suara Yo Han lantang dan penuh teguran. “Ingatlah, perbuatanmu ini amat kotor, hina dan jahat! Sadarlah, Bibi.”

“Yo Han, ke sinilah, sayang. Engkau sayang kepadaku, bukan? Marilah kita menikmati hidup ini...” Kembali wanita itu meraih dan kini, biar pun Yo Han mengelak, tetap saja pergelangan tangannya tertangkap oleh wanita itu.

Yo Han meronta, akan tetapi apa artinya tenaganya dibandingkan wanita yang sakti itu? “Lepaskan aku! Engkau perempuan jahat, lepaskan aku! Aku tidak akan sudi menuruti kehendakmu yang keji dan hina! Walau kau siksa, kau bunuh sekali pun, aku tidak sudi! Lepaskan aku, perempuan tak tahu malu!”

“Plakk!”

Sebuah tamparan dengan telak mengenai pipi Yo Han, membuat anak itu terpelanting dan di lain detik, dia telah tertotok dan tidak mampu bergerak lagi.

Ang-I Moli menyeringai. Gairah birahinya sudah menghilang, terganti kemarahan karena ia dimaki-maki tadi.

“Anak tolol! Diberi kenikmatan tidak mau malah memilih siksaan! Kau kira kalau engkau telah menolakku, engkau akan bebas dan aku takkan berhasil menghisap semua darah dan hawa murni dari tubuhmu? Hemm, terpaksa aku akan menghisapmu sampai habis hari ini juga. Darahmu akan kuminum sampai habis. Tulang-tulangmu akan kukeluarkan kemudian sumsumnya kuhisap sampai kering. Dan engkau akan lebih dahulu mampus kehabisan darah!”

Wanita itu tertawa-tawa seperti orang gila dan bagaimana pun juga Yo Han merasa ngeri. Bukan takut akan ancaman itu, akan tetapi ngeri melihat wajah wanita itu dan mendengar suaranya. Dia merasa seperti berhadapan dengan iblis, bukan manusia lagi.

“Sratttt...!”

Tangan wanita itu menyambar dan kuku jarinya yang tajam dan keras seperti pisau itu telah menyayat leher di dekat pundak. Kulit dan daging tersayat, dan darah mengucur. Wanita itu lalu menempelkan mulutnya pada luka itu dan menghisap darah yang keluar!

Pada saat yang amat gawat bagi Yo Han itu, yang hanya terbelalak ngeri namun tidak mampu bergerak, terdengar suara lembut namun mengandung getaran kuat.

“Omitohud... hentikan perbuatanmu yang amat keji dan jahat itu, perempuan sesat!”

Ada hawa pukulan mendorong dari samping dan dengan terkejut Ang-I Moli meloncat berdiri dan membalikkan tubuhnya. Bibirnya masih berlepotan darah sehingga nampak mengerikan sekali. Seperti seekor binatang buas, lidahnya menjilati darah yang berada di bibir. Matanya liar memandang kepada wanita berkerudung yang berdiri di depannya dengan sikap anggun dan berwibawa.

“Keparat! Siapa engkau berani mencampuri urusan pribadiku?” Ang-I Moli membentak dengan marah sekali, matanya mencorong menatap wajah Gangga Dewi.

Ang-I Moli sama sekali tidak mengenal wanita yang berpakaian longgar serba kuning, dengan kepala berkerudung sutera kuning pula itu, namun dari logat bicaranya, ia dapat menduga bahwa wanita ini datang dari barat dan bukan berbangsa Han.

Gangga Dewi tidak menjawab. Semenjak tadi ia memandang kepada anak laki-laki yang masih menggeletak di atas lantai. Tangan kirinya lalu bergerak dan nampak sinar putih menyambar ke arah tubuh Yo Han. Kiranya itu adalah sehelai sabuk sutera putih yang meluncur bagaikan tombak dan begitu mengenai pundak dan pinggang Yo Han dua kali, anak itu dapat menggerakkan kembali tubuhnya.

Yo Han seorang anak yang sangat cerdik. Begitu tubuhnya dapat bergerak, dia segera menggelindingkan tubuh, bergulingan ke arah wanita berkerudung itu, lantas melompat bangun dan berdiri di belakangnya berlindung di belakang Gangga Dewi.

“Terima kasih, Locianpwe (Orang Tua Sakti),” katanya.

Gangga Dewi melihat betapa darah masih mengucur dari luka di leher anak ltu, luka yang tadi sempat dihisap oleh wanita berpakaian serba merah. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas dan memberikannya kepada Yo Han.

“Kau obati luka di lehermu dengan bubuk dalam bungkusan ini agar darahnya berhenti mengucur.”

“Heiii, keparat busuk! Siapakah engkau ini? Katakan namamu sebelum aku mencabut nyawamu!”

Meski pun sikapnya masih lembut, namun pandang mata Gangga Dewi kini berubah keras. Dengan perlahan kepalanya tegak ke belakang, dadanya membusung dan dia nampak lebih tinggi dari biasanya, anggun dan angkuh, juga mengandung kegagahan yang tersembunyi di balik kelembutannya.

“Perempuan sesat, tidak ada hubungan apa pun di antara kita dan aku pun tidak ingin berkenalan denganmu. Akan tetapi, kekejaman dan kejahatan yang sudah kau lakukan terhadap anak ini tak mungkin kudiamkan saja. Masih baik bahwa aku belum terlambat dan anak ini masih hidup. Maka, cepatlah pergi dan bertobatlah. Masih belum terlambat bagimu untuk menebus dosamu dengan perbuatan baik dan bertobat!”

“Keparat sombong! Tidak tahukah engkau dengan siapa engkau sedang berhadapan? Aku adalah Ang-I Moli dan tidak ada orang bisa hidup terus jika ia berani menentangku. Lekas kembalikan anak itu kepadaku, kemudian buntungi lengan kirimu, baru aku akan mengampunimu!”

Mendadak Yo Han meloncat ke depan Gangga Dewi menghadapi Ang-I Moli dan dia marah sekali. Telunjuk kanannya menuding ke arah wanita berpakaian merah itu dan suaranya lantang penuh teguran.

“Ang-I Moli! Tidak boleh kau lakukan itu! Bibi ini tidak berdosa, kenapa engkau begitu kejam menyuruh ia untuk membuntungi lengannya sendiri? Engkau boleh menyiksaku, membunuhku, akan tetapi tidak boleh mencelakai orang lain hanya karena diriku.” Dia menoleh kepada Gangga Dewi dan berkata, “Locianpwe, harap cepat pergi dan jangan mengorbankan diri hanya karena aku!”

Gangga Dewi terbelalak kagum memandang kepada Yo Han. Bukan main anak ini, pikirnya. Ingin sekali ia mengenal Yo Han lebih dekat dan mengetahui mengapa anak ini sampai terjatuh ke tangan wanita jahat itu.

“Anak baik, ke sinilah engkau!” Tangan wanita berkerudung itu bergerak ke depan dan Yo Han merasa dirinya tertarik kembali ke belakang wanita itu.

Gangga Dewi kini memandang kepada Ang-I Moli, lalu mengangguk-angguk. “Kini aku tidak merasa heran. Kiranya engkau memang bukan manusia, melainkan iblis betina (Moli). Pantas engkau melakukan kekejaman seperti itu. Ang-I Moli, engkau sepatutnya berguru kepada anak ini dan belajar tentang kebajikan dari dia.”

“Engkau memang sudah bosan hidup!” Ang-I Moli membentak.

Dan tiba-tiba saja bagaikan seekor harimau yang marah, ia sudah menerjang dengan tubrukan ke arah Gangga Dewi. Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring, tubuhnya seperti terbang meluncur dan kedua lengannya dikembangkan, kedua tangan terbuka membentuk cakar hendak mencengkeram ke arah leher Gangga Dewi.

Wanita Bhutan ini mengenal gerakan dahsyat dari serangan yang berbahaya itu, maka ia pun menggeser kaki ke kiri sambil tangannya menyambar lengan tangan kiri Yo Han yang berdiri di belakangnya dan tubuh anak itu terlempar sampai lima meter ke arah kiri. Yo Han terkejut dan dia pun terbanting jatuh, akan tetapi kini berada di tempat aman, di bawah pohon di luar kuil karena lemparan tadi membuat tubuhnya melayang keluar dari jendela ruangan belakang kuil itu.

Gangga Dewi sendiri setelah mengelak, lalu meloncat keluar dari ruangan. Ia merasa tidak leluasa untuk menghadapi iblis betina yang ganas itu di dalam ruangan.

“Jangan lari kau, keparat!”

Ang-I Moli marah sekali ketika terjangannya hanya mengenai tempat kosong. Ia meraih ke arah pakaian luarnya yang ditinggalkannya semalam, mengambil kantung jarum, juga menyambar pedangnya, mencabut senjata itu dan melemparkan sarung pedangnya, kemudian ia melompat keluar melakukan pengejaran.

Akan tetapi orang yang dikejarnya itu sama sekali tidak lari, melainkan menanti diluar, di tempat yang terbuka. Matahari pagi mulai menerangi dunia sebelah sini, sinarnya yang kemerahan membakar dan menghalau sisa kegelapan malam.

Yo Han berdiri di belakang sebatang pohon sambil menonton dengan penuh perhatian. Tadi, setelah dia bergulingan akibat ditampar oleh Gangga Dewi, dia bangkit berdiri. Dia melihat bayangan kuning berkelebat dan wanita berambut kelabu itu sudah berada di dekatnya.

“Anak baik, engkau berlindunglah di balik pohon itu. Iblis betina itu berbahaya. sekali.”

Yo Han hanya mengangguk dan dia lalu berlindung di belakang pohon untuk melihat apa yang akan terjadi. Sekarang dia tidak mengkhawatirkan lagi, maklum bahwa wanita berkerudung itu bukan orang sembarangan dan berkepandaian tinggi. Betapa pun juga, dia masih merasa tegang, tidak rela kalau sampai ada orang menderita celaka apa lagi sampai tewas karena membela dia.

“Bersiaplah untuk segera mampus, engkau perempuan asing yang lancang!” Ang-I Moli membentak lagi.

Sekarang ia menyerang dengan pedangnya, menusuk dengan gerakan kilat. Pedang di tangannya meluncur dengan sinar menyilaukan mata karena tertimpa cahaya matahari pagi. Namun, ternyata lawannya juga memiliki gerakan yang amat ringan dan tangkas.

Tidak begitu sulit bagi Gangga Dewi menghindarkan diri dari tusukan pedang itu dengan menggerakkan kaki kirinya, melangkah ke samping sambil memiringkan tubuhnya. Dari bawah samping, tangannya diputar untuk menotok ke arah pergelangan tangan yang memegang pedang.

“Syuuuttt...!”

Ang-I Moli terkejut bukan main dan cepat-cepat dia menarik kembali pedangnya, lalu melompat ke belakang. Ia tadi melihat lawannya menggunakan jari telunjuk menotok ke arah pergelangan tangannya, gerakannya aneh, cepat dan dari jari telunjuk itu datang angin yang amat dingin.

Tahulah ia bahwa lawannya ini ternyata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka ia lalu memutar pedangnya dan menyerang lebih ganas lagi. Pedang diputar sedemikian cepatnya sehingga bentuk pedang itu lenyap dan berubah menjadi gulungan sinar yang mendesing-desing. Dari gulungan sinar itu kadang mencuat sinar yang menyambar ke arah Gangga Dewi, merupakan serangan bacokan atau tusukan.

Gangga Dewi terpaksa mengerahkan ginkang-nya dan berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang. Gerakan senjata lawan itu demikian cepat sehingga ia sama sekali tidak mendapatkan kesempatan untuk balas menyerang.

Ang-I Moli yang merasa penasaran itu terus mendesak dan mempercepat gerakannya. Ia tahu bahwa sebelum ia merobohkan dan membunuh wanita berkerudung ini, tidak mungkin ia bisa menguasai Yo Han. Padahal, tadi ia sudah mencicipi darah pemuda itu. Segar dan manis menyegarkan, dan menguatkan badan rasanya!

Gangga Dewi terus saja mengelak dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya. Gerakannya demikian lincah dan indah, seperti sedang menari saja sehingga Yo Han merasa kagum. Dia teringat kepada subo-nya, Kao Hong Li, yang kalau sedang bersilat juga nampak memiliki gerakan yang indah, seperti menari saja!

Dia menemukan tiga daya guna dalam ilmu silat. Pertama seni tari yang disukainya, ke dua seni olah raga juga disetujuinya, dan ke tiga seni bela diri dan inilah yang membuat ia tak suka belajar silat. Bela diri ini mengandung kekerasan sehingga akibatnya bukan sekedar menyelamatkan diri semata, tetapi balas menyerang dan merobohkan lawan. Memukul roboh lawan, bahkan kalau salah tangan dapat membunuh lawan! Kini, dia melihat betapa segi seni-tari menonjol sekali dalam gerakan wanita berkerudung yang menolongnya, dan dia pun kagum.

Akan tetapi, setelah lewat belasan jurus, maklumlah Gangga Dewi bahwa tidak mungkin baginya untuk hanya terus menerus mengelak saja. Kalau hal itu terus dilanjutkan akan membahayakan keselamatan dirinya. Ia tahu bahwa lawannya lihai, dan selisih tingkat kepandaian antara mereka tidak banyak.

Ketika kembali pedang lawan mendesaknya sehingga ia harus berloncatan ke belakang, tiba-tiba ia membuat lompatan agak jauh ke belakang dan dalam loncatan ke belakang itu ia bersalto sampai lima kali dan ketika tubuhnya turun ke atas tanah, tangannya telah memegang segulung sabuk sutera putih yang tadi ia lolos dari pinggang pada waktu ia berjungkir balik di udara. Hampir saja Yo Han bertepuk tangan memuji, bukan memuji kehebatan ginkang itu, melainkan memuji keindahan gerakan tadi.

“Engkau iblis betina yang haus darah. Sudah sepatutnya kalau engkau dihajar!” kata Gangga Dewi dan sekali tangan kanannya bergerak, gulungan sinar putih itu meluncur ke depan dan menegang, menjadi seperti batang tombak yang kaku.

Pada saat itu, Ang-I Moli sudah menyerang lagi dengan bacokan pedangnya. Gangga Dewi menggerakkan sabuk sutera putih itu menangkis.

“Takkk!”

Dan pedang itu terpental, seolah bertemu dengan sebatang tombak besi atau kayu yang kaku dan kuat! Akan tetapi melihat ini, tentu saja Yo Han tidak merasa kaget atau heran. Bagaimana pun juga, dia pernah tinggal bersama sepasang suami isteri yang memiliki kepandaian silat tinggi dan dia pun sudah banyak mempelajari ilmu silat walau pun hanya mengerti dan dihafalkannya saja. Dia tahu bahwa sabuk sutera di tangan wanita berkerudung itu menjadi kaku karena pemegangnya mempergunakan tenaga sinkang yang tersalur lewat telapak tangan ke sabuk itu. Dia hanya kagum karena gerakan silat wanita itu selain aneh, juga amat indahnya.

Kini terjadilah pertandingan yang amat seru, tidak berat sebelah seperti tadi ketika Gangga Dewi hanya terus-terusan mengelak. Kini dua orang wanita yang lihai itu saling serang dan diam-diam Ang-I Moli mengeluh.

Sabuk sutera putih itu memang hebat. Pedangnya sudah digerakkan sekuatnya untuk dapat membabat putus sabuk sutera itu, namun semua usahanya sia-sia belaka. Setiap kali terbacok, tiba-tiba sabuk itu menjadi lemas dan tentu saja tidak dapat dibacok putus, bahkan ujung sabuk itu beberapa kali sempat menggetarkan tubuhnya karena totokan yang hampir saja mengenai jalan darah dan membuat ia roboh.

“Haiiittt...!”

Mendadak Ang-I Moli mengeluarkan suara melengking, mengikuti gerakan pedangnya yang membabat ke arah leher lawan.

Gangga Dewi merendahkan tubuhnya, membiarkan pedang itu lewat di atas kepalanya dan dari bawah ia hendak menotok dengan sabuk sutera yang sudah menegang. Tetapi tiba-tiba tangan kiri Ang-I Moli bergerak dan ada sinar kecil-kecil merah menyambar ke arah tubuh Gangga Dewi.

“Uhhhhh...!”

Gangga Dewi terkejut, maklum bahwa ia diserang senjata rahasia yang lembut. Cepat ia melompat ke belakang sambil memutar sabuknya yang membentuk payung di depan dirinya. Beberapa batang jarum kecil merah runtuh.

“Keji...!” bentak Gangga Dewi.

Dan kini sabuk suteranya meluncur ke depan, menotok ke arah ubun-ubun kepala Ang-I Moli. Gerakannya amat cepat karena dia tidak ingin memberi kesempatan lagi kepada lawan untuk menggunakan senjata rahasia secara curang. Ang-I Moli melihat datangnya serangan yang amat berbahaya itu. Ia pun mengerahkan tenaganya untuk menangkis dengan pedang.

“Plakkk!”

Pedang bertemu sabuk sutera yang segera berubah lemas dan melibat pedang. Bukan hanya melibat, juga ujung sabuk itu masih terus ke depan menotok pergelangan tangan.

“Tukkk!”

Ang-I Moli mengeluarkan teriakan kaget karena tiba-tiba saja lengan kanannya menjadi kehilangan tenaga dan di lain saat, sekali renggut Gangga Dewi telah dapat merampas pedang itu melalui libatan sabuk suteranya! Dan sekali ia membuat gerakan mengebut, pedang yang terlibat ujung sabuk itu melayang jauh dan lenyap di antara semak-semak.

Wajah Ang-I Moli langsung menjadi pucat saking marahnya. ”Keparat jahanam engkau! Hayo mengaku siapa namamu sebelum kita mengadu nyawa!”

Gangga Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya, “Aku tidak ingin berkenalan dengan iblis betina kejam seperti engkau. Pergilah dan jangan ganggu lagi anak itu, dan semoga Yang Maha Kasih mengampuni semua dosamu.” Sambil berkata demikian, Gangga Dewi telah menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Akan tetapi Ang-I Moli terlalu marah untuk mengalah begitu saja.

“Biar kukirim engkau ke neraka!” bentaknya.

Kini ia pun sudah menyerang lagi, mengeluarkan ilmu silat tangan kosong yang amat dahsyat, yaitu Pek-lian Tok-ciang (Tangan Beracun Teratai Putih). Ilmu ini merupakan ilmu pukulan beracun yang bercampur dengan kekuatan sihir, yang didapatkannya dari Pek-lian-kauw.

Melihat betapa kedua tangan lawan berubah menjadi putih pucat dan mengeluarkan bau harum-harum keras menyengat hidung, Gangga Dewi mengerutkan alisnya.

“Omitohud, kiranya engkau iblis dari Pek-lian-kauw?”

Akan tetapi, Gangga Dewi tak merasa gentar. Ketika melihat lawan menyerang dengan kedua tangan yang putih pucat itu melakukan gerakan mendorong, ia pun merendahkan tubuhnya dan menangkis dari samping dengan memutar lengannya.

“Dukkk!”

Tubuh Gangga Dewi tergetar dan pada saat itu, secara curang sekali kaki Ang-I Moli melayang ke arah selangkangan Gangga Dewi.

“Uhhh...!” Gangga Dewi berseru dan cepat merapatkan kedua kakinya dan miringkan tubuh. Namun, tetap saja pahanya tersentuh dan terdorong oleh kaki Ang-I Moli yang melapisi sepatunya dengan besi di bagian bawahnya, Gangga Dewi terpelanting roboh!

Melihat lawannya roboh miring, Ang-I Moli girang sekali, “Mampuslah!” Ia berseru dan menubruk ke depan untuk mengirimkan pukulan yang terakhir, pukulan maut yang akan menewaskan lawan yang sudah roboh itu.

“Moli, jangan...!” Yo Han masih sempat berteriak ketika melihat Ang-I Moli menyusulkan pukulan maut kepada wanita berkerudung yang sudah roboh miring.

Akan tetapi tentu saja Ang-I Moli sama sekali tidak peduli akan teriakannya itu dan tetap melanjutkan pukulannya dengan telapak putih pucat dari ilmu Pek-lian Tok-ciang!

Tetapi, saat ia tertendang dan terpelanting, Gangga Dewi memang sengaja membiarkan dirinya terjatuh miring. Ia sengaja pula bersikap lambat sehingga memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengirim pukulan terakhir itu. Padahal, setelah kaki tangannya menempel pada tanah, diam-diam ia mengerahkan ilmu simpanan yang dahulu pernah dipelajarinya dari ayahnya. Maka, begitu lawan mengirim pukulan maut, ia pun segera mengangkat kedua tangannya, dengan telapak tangan terbuka ia menyambut pukulan itu.

“Dessss...!”

Hebat bukan main pertemuan antara dua tenaga itu. Tubuh Ang-I Moli terlempar ke atas seperti layang-layang putus talinya dan ia pun terpelanting jatuh ke atas tanah! Bukan main kagetnya Ang-I Moli! Ia tidak tahu ilmu apa yang dipergunakan wanita berkerudung itu.

Ia tidak tahu bahwa itulah Tenaga Inti Bumi! Dan masih untung baginya bahwa tenaga rahasia yang dimiliki atau dikuasai Gangga Dewi belum mencapai puncaknya. Kalau demikian halnya, ia bukan hanya akan terlempar dan terbanting jatuh, juga mungkin ia akan tewas seketika karena guncangan hebat akan meremukan isi dada dan perutnya.

Ang-I Moli bangkit dan wajahnya pucat, matanya terbelalak. Ia merasa gentar sekali, akan tetapi melihat Yo Han keluar dari balik pohon, ia merasa penasaran dan menyesal bahwa ia tidak bisa memiliki pemuda itu. Kekecewaan ini menimbulkan kemarahan dan kebencian hebat.

“Mampuslah!” bentaknya dan ketika tangan kirinya bergerak, sinar merah menyambar ke arah Yo Han.

“Awas...!” Gangga Dewi berteriak.

Ia cepat meloncat ke arah Yo Han untuk menyelamatkan anak itu. Namun terlambat. Yo Han mengeluh dan roboh terjengkang ketika dadanya disambar sinar merah kecil-kecil itu.

Gangga Dewi tidak mempedulikan lagi Ang-I Moli yang melarikan diri sambil terkekeh-kekeh. Ia cepat berlutut dan membuka kancing baju Yo Han. Anak itu roboh telentang dengan muka pucat dan napas yang terengah-engah, matanya terpejam dan agaknya ia pingsan.

Ketika Gangga Dewi menyentuh dadanya, ia terkejut. Bukan main panasnya dada itu, seperti dibakar. Dan ada lima bintik merah di dada anak itu. Ketika ia meraba, tahulah ia bahwa ada lima batang jarum masuk ke dalam dada, masuk seluruhnya dan hanya tinggal ujungnya saja nampak terbenam di kulit. Jarum-jarum itu kecil, tidak merusak isi dada, akan tetapi tentu mengandung racun jahat. Dan racun itu tentu menodai darah anak ini, padahal letaknya demikian dekat dengan jantung! Sungguh berbahaya sekali.

“Anak yang malang...!” katanya.

Ia pun bersila di dekat tubuh Yo Han, lalu menghimpun tenaga sakti, menggosok kedua telapak tangannya, kemudian ia menggunakan telapak tangan kanannya ditempelkan di dada Yo Han, menutupi lima bintik merah itu. Ia mengerahkan sinkang-nya, menyedot dan setelah dahinya basah oleh keringat, juga dari balik kerudung kepalanya mengepul uap putih, akhirnya ia berhasil. Lima batang jarum itu kini nampak tersembul keluar.

Gangga Dewi menggunakan sapu tangan sutera, mencabuti kelima batang jarum yang amat lembut itu, jarum yang merah kehitaman warnanya. Jelas jarum-jarum itu beracun, pikirnya.

“Iblis betina kejam...!” katanya lirih, kemudian setelah membuang jarum-jarum itu, ia memeriksa luka bekas jarum.

“Omitohud...!” Serunya kaget dan heran.

Ia melihat darah merah kehitaman keluar dari lima luka kecil itu, seakan-akan darah beracun itu didorong dari dalam! Hal itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang memiliki sinkang yang sudah amat kuat. Mungkinkah anak ini memiliki sinkang yang sedemikian kuatnya sehingga tenaga sakti dari dalam tubuh itu dapat dikerahkan untuk mendorong keluar darah beracun dari luka-luka sekecil itu?

Akan tetapi, andai kata benar demikian, hal itu pun sama sekali tidak mungkin. Anak ini jelas dalam keadaan pingsan! Tidak mungkin dia mampu mengerahkan sinkang-nya dalam keadaan pingsan. Kalau bukan tenaga sinkang, lalu tenaga apa yang demikian hebatnya, yang dapat bekerja selagi orangnya pingsan, yang mampu mendorong keluar racun dari dalam tubuh?

“Omitohud...!” kembali lagi wanita itu memuji kebesaran Yang Maha Kasih dan matanya terbelalak mengamati dada itu.

Kini darah yang keluar dari kelima luka kecil itu sudah berwarna merah bersih, berarti bahwa racunnya sudah terdorong keluar semua. Darah merah itu menetes-netes. Ketika ia merabanya, dada itu tidak panas lagi, napas anak itu tidak terengah lagi, dan agaknya dia tidur pulas!

“Omitohud...!” Gangga Dewi terheran-heran dan kagum.

Dia lalu mengeluarkan obat dari bungkusan yang dilihatnya berada di dekat anak itu, bungkusan obat bubuk yang tadi ia berikan kepadanya. Ditaburkannya bubuk obat luka itu pada lima luka kecil dan darah pun berhenti menetes. Ia mengenakan lagi baju anak itu yang tadi ia buka, dan diam-diam ia merasa aneh.

Kalau menurut perhitungannya, orang yang terkena luka batang jarum beracun seperti itu, di dadanya, kecil sekali harapannya untuk bisa diselamatkan nyawanya. Akan tetapi anak ini, tanpa pengobatan, hanya ia bantu supaya jarum-jarum itu keluar, telah dapat sembuh dengan sendirinya. Racun berbahaya itu dapat keluar dengan sendirinya, tanpa disengaja, karena anak itu pun masih dalam keadaan pingsan!

Sungguh selama hidupnya belum pernah Gangga Dewi melihat hal seperti ini, bahkan mendengar pun belum pernah. Ilmu apa yang dimiliki anak ini sehingga ada kekuatan mukjijat yang melindunginya?

Setelah mengenakan kembali pakaian Yo Han, jari telunjuk Gangga Dewi lalu menekan tengah-tengah di bawah hidung, sedikit di atas bibir. Yo Han mengeluh dan membuka matanya. Pada saat melihat wajah wanita berkerudung itu, Yo Han segera teringat akan semua yang terjadi dan dia pun bangkit duduk.

“Di mana wanita jahat itu?”

“Tenanglah, anak yang baik. Ia sudah pergi melarikan diri.”

“Aahhhh... jadi Locianpwe berhasil mengusirnya?” kata Yo Han dengan hati lega. “Aku tadinya sudah khawatir sekali melihat Locianpwe roboh...”

Gangga Dewi tersenyum dan menarik napas panjang. Pahanya yang tadi kena tendang masih berdenyut nyeri.

“Ia memang licik dan lihai sekali, akan tetapi untunglah aku berhasil mengusirnya. Bagai mana dengan lehermu?” Gangga Dewi sengaja tak menyinggung dulu soal luka di dada.

Yo Han meraba luka di lehernya yang tadi dihisap darahnya oleh Ang-I Moli. “Sudah kering berkat obat Locianpwe yang amat manjur. Ihhh, wanita itu sungguh mengerikan. Ia... ia menghisap darahku!”

“Dan bagaimana dengan dadamu?”

“Dadaku? Kenapa dadaku, Locianpwe?”

Gangga Dewi menatap tajam wajah anak itu, penuh selidik. “Tidak tahukah engkau bahwa dadamu terluka oleh jarum-jarum beracun?”

“Ahhh...?” Yo Han amat terkejut. “Aku tidak tahu, Locianpwe.” Dia meraba dadanya dan menggigit bibir.

“Sakitkah?”

“Perih sedikit.”

“Coba bernapas yang dalam dan rasakan, apakah terasa nyeri di sebelah dalam?”

Yo Han menarik napas panjang dan merasakan, lalu menggeleng kepalanya. “Tidak ada yang sakit, Locianpwe.”

Gangga Dewi terheran-heran. Ia masih duduk bersila dan anak itu pun kini duduk di atas rumput. Mereka saling pandang sejenak dan Yo Han lalu berkata,

“Locianpwe sudah menolong dan menyelamatkan aku dari ancaman wanita jahat itu. Terima kasih, Locianpwe. Semoga Tuhan berkenan memberi kesempatan padaku untuk membalas budi kebaikan Locianpwe ini.”

Gangga Dewi semakin kagum mendengar ucapan Yo Han. Seorang bocah yang luar biasa sekali. “Anak yang baik, siapakah engkau? Siapa namamu dan dari mana engkau datang?”

“Namaku Yo Han, Locianpwe. Aku hidup sebatang kara, yatim piatu dan aku sedang dalam perjalanan mengikuti Ang-I Moli.”

“Omitohud, anak yang patut dikasihani. Engkau sebatang kara? Akan tetapi bagaimana engkau dapat bersama-sama seorang iblis betina seperti Ang-I Moli?”

“Aku tidak tahu bahwa ia sedemikian jahatnya, Locianpwe. Aku... aku menjadi muridnya dan sedang ia ajak pergi ke tempat tinggalnya, entah di mana. Setelah sampai di sini, ternyata ia berubah mengerikan dan hendak membunuhku, menghisap darahku..., ihh, mengerikan sekali. Ia seperti bukan manusia lagi.”

“Omitohud! Sudah menjadi kehendak Yang Maha Kasih bahwa kebetulan sekali aku pun datang ke kuil ini untuk bermalam. Yo Han, sudah berapa lama engkau menjadi murid Ang-I Moli?”

“Baru kurang lebih dua minggu.”

“Ehhh? Jadi, engkau belum belum belajar ilmu silat darinya?”

“Sama sekali belum dan juga tidak. Aku tidak suka belajar ilmu silat, Locianpwe.”

“Apakah selama ini engkau belum pernah mempelajari ilmu silat?”

“Aku belum pernah latihan ilmu silat,” kata Yo Han.

Dia tidak mau berbohong. Memang sudah banyak dia mempelajari ilmu silat dari suhu dan subo-nya di Tatung, akan tetapi ia hanya menghafal saja, dan tak pernah berlatih. Dia tidak mau membawa-bawa nama suhu dan subo-nya, maka dia mengatakan saja bahwa dia belum pernah latihan silat, dan ini memang benar.

Tentu saja jawaban Yo Han membuat Gangga Dewi menjadi makin terkejut dan heran. Selamanya belum pernah latihan silat. Tetapi, lima batang jarum memasuki dadanya dan dia selamat! Dan anak yang tidak bisa silat ini begitu berani dan tabahnya, berani menentang seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Padahal, sekali pukul saja iblis itu dapat membunuhnya! Anak apakah ini?

“Yo Han, keteranganmu sungguh membuat aku menjadi bingung. Engkau tidak suka belajar ilmu silat. Engkau seorang anak yang baik dan tidak suka akan kejahatan. Akan tetapi engkau melakukan perjalanan bersama Ang-I Moli sebagai muridnya! Bagaimana ini? Keadaanmu serba bertolak belakang. Kenapa engkau bisa menjadi murid seorang seperti Ang-I Moli dan apa yang hendak kau pelajari darinya kalau bukan ilmu silat?”

Yo Han menarik napas panjang. Di antara segala macam kepalsuan yang dilihatnya sering dilakukan manusia adalah membohong. Dia tidak suka berbohong. Akan tetapi dia pun tidak suka bicara tentang suhu dan subo-nya.

“Begini, Locianpwe. Aku terpaksa menjadi muridnya meski aku tidak akan mau belajar ilmu silat darinya.”

“Engkau dipaksa menjadi muridnya dengan ancaman?”

“Tidak, akan tetapi aku sudah berjanji kepadanya. Ketika itu, dua pekan yang lalu, dia menculik seorang anak perempuan. Aku lalu membujuknya untuk mengembalikan anak itu kepada orang tuanya. Ia mau mengembalikan anak itu asal aku mau menukarnya dengan diriku. Jadi anak itu akan dibebaskan, akan tetapi aku harus ikut dengannya, menjadi muridnya. Karena aku ingin anak itu dikembalikan kepada orang tuanya, maka aku menyanggupi. Demikianlah, anak itu selamat dan aku pun ikut dengannya sampai ke sini.”

“Bukan main! Luar biasa! Omitohud... belum pernah aku mendengar hal seperti ini...!” kata Gangga Dewi dan ia pun tertegun.

Bocah ini, bocah yang usianya baru dua belas tahunan, telah mengorbankan diri untuk menolong seorang anak lain! Dan bocah ini sama sekali tidak pernah belajar silat, akan tetapi memiliki keberanian seperti seorang pendekar sejati! Lebih lagi, bocah ini tidak tewas biar pun terkena lima batang jarum di dadanya, jarum-jarum beracun yang ia tahu sangat jahat dan mematikan karena dilepas oleh seorang iblis betina seperti Ang-I Moli! Anak apakah ini?

“Ahhh, Locianpwe. Apanya yang bukan main dan luar biasa? Locianpwe sendiri sama sekali tak mengenalku, akan tetapi Locianpwe telah turun tangan menolongku sehingga aku terhindar dari bahaya maut di tangan iblis itu. Saling bantu di antara manusia sudah merupakan suatu kewajiban, bukan?”

“Omitohud... engkau benar sekali, Yo Han. Sekarang aku mulai mengerti mengapa iblis itu ingin sekali menghisap darahmu. Engkau bagaikan Tong Sam Cong, sang perjaka saleh yang melakukan perjalanan ke barat itu. Dalam cerita See-yu, perjaka Tong Sam Cong yang melakukan perjalanan ke barat untuk memperdalam agama dan mencari kitab-kitab suci, juga dihadang oleh segala macam iblis dan siluman yang ingin sekali menghisap darahnya.”

Yo Han tertawa dan kembali Gangga Dewi menjadi terkejut.

“Ha-ha-ha, Locianpwe sungguh lucu. Kalau aku dianggap Tong Sam Cong, lalu siapa yang menjadi Sun Go Kong, See Ceng dan Ti Pat Kay?”

“Engkau tahu pula akan cerita See-yu-ki?”

“Locianpwe, aku ini adalah seorang kutu buku. Hampir semua kitab kuno telah kubaca habis. Dongeng-dongeng seperti See-yu-ki, Hong-sin-pong, Sie Jin Kui, Sam Kok dan yang lain telah saya baca semua!”

“Omitohud... engkau memang anak ajaib! Anak yatim piatu, sebatang kara, dalam usia dua belas tahun sudah membaca semua dongeng kuno yang mengandung filsafat itu! Engkau sudah pula membaca Su-si Ngo-keng?”

Dapat dibayangkan betapa Gangga Dewi melongo ketika melihat anak itu mengangguk dan menjawab dengan sikap bersahaja, “Juga banyak kitab Agama Buddha dan kitab sejarah yang penuh kekerasan.”

Setelah sejenak tidak mampu bicara saking kagum dan herannya, Gangga Dewi lalu bertanya, “Yo Han, setelah kini engkau terbebas dari Ang-I Moli, engkau hendak ke mana? Apa yang akan kau lakukan?”

“Locianpwe, aku seperti burung yang bebas terbang di udara. Aku tidak terikat oleh apa pun juga. Melihat kejahatan Ang-I Moli yang sudah tak mengakui aku sebagai muridnya lagi, andai kata tidak ada Locianpwe yang menolongku, tentu aku pun tidak suka lagi bersamanya. Kini aku bebas, aku hendak pergi ke mana saja kakiku membawaku. Akan tetapi kalau mungkin, aku ingin sekali melihat kota Ceng-tu di Propinsi Secuan.”

Untuk ke sekian kalinya Gangga Dewi tertegun. Anak ini penuh kejutan, pikirnya. Masih sekecil ini sudah bicara tentang Propinsi Se-cuan, jauh di barat.

“Kota Ceng-tu di Se-cuan? Pernahkah engkau ke sana?”

Yo Han menggelengkan kepalanya. “Akan tetapi aku tahu di mana letaknya, Locianpwe. Pernah aku mempelajari ilmu bumi dari kitab. Letaknya di barat, bukan? Kalau dari sini, menuju ke barat daya, melalui Propinsi-propinsi San-si, Shen-si, barulah masuk Propinsi Se-cuan.”

Gangga Dewi yang baru saja melewati propinsi-propinsi itu pada saat ia meninggalkan Bhutan, tersenyum. Keanehan anak ini demikian luar biasa sehingga terdengar lucu!

“Anak baik, kalau boleh aku mengetahui, ada keperluan apakah maka engkau hendak ke Ceng-tu di Se-cuan?”

“Locianpwe, baru-baru ini aku membaca kitab sejarah dan aku ingin sekali melihat batu monumen yang didirikan oleh Chang Sian Cung.”

“Ahhh? Batu monumen terkutuk itu? Engkau tahu tentang batu monumen itu?”

“Aku sudah membaca sejarahnya, Locianpwe. Bukankah di batu monumen itu terdapat satu huruf saja, yaitu huruf yang berbunyi BUNUH? Aku ingin melihatnya sendiri.”

“Yo Han, engkau tidak suka akan kejahatan dan kekerasan, tapi kenapa engkau ingin melihat batu monumen terkutuk, lambang kekejaman dan pembunuhan itu?”

“Kisah itu amat mengesankan hatiku, Locianpwe. Kekejaman Chang Sian Cung itulah yang telah menggerakkan hatiku sehingga aku tidak suka mempelajari ilmu silat, tidak suka menggunakan kekerasan untuk mencelakai orang.”

Gangga Dewi bergidik membayangkan kekejaman yang terjadi seratus tahun lebih yang lalu di Propinsi Se-cuan. Ia pun sudah mendengar akan kisah itu.

Lebih dari seratus tahun yang lalu, pada tahun 1649, yang berkuasa di Se-cuan adalah seorang penguasa yang bernama Chang Sian Cung. Ketika itu bangsa Mancu baru saja menguasai Tiongkok dan dalam masa peralihan itu, di mana-mana timbul pengingkaran terhadap kerajaan yang sedang diancam runtuh oleh penyerangan bangsa Mancu.

Banyak raja-raja muda dan penguasa-penguasa daerah merasa kehilangan pegangan, dan saat melihat betapa kota raja terancam, mereka pun mengumumkan pengangkatan diri mereka sebagai penguasa yang berdaulat penuh, tidak lagi menjadi hamba atau pamong praja yang bekerja di bawah pemerintahan Kerajaan Beng-tiauw.

Chang Sian Cung adalah seorang penguasa di Se-cuan yang memiliki watak demikian kejamnya sehingga mendekati tidak normal atau gila! Siapa pun orangnya yang tidak berkenan di hati, akan dibunuhnya! Bahkan pernah dia memerintahkan para prajuritnya untuk membunuh isteri mereka masing-masing, hanya disebabkan dia tak ingin melihat pengeluaran terlalu besar kalau para prajuritnya diikuti isteri-isteri mereka! Yang tidak mentaati perintah ini, dibunuh sendiri!

Chang Sian Cung mengangkat diri menjadi bagaikan seorang raja, didukung oleh anak buahnya. Dia begitu takut jika sampai kedudukannya diganggu orang, maka setiap ada orang yang nampak kuat, lalu disuruhnya bunuh. Maka dalam waktu beberapa bulan saja, hampir semua laki-laki di daerah itu yang bertubuh kuat dan dianggap berbahaya telah dibunuh tanpa dosa!

“Omitohud... mengapa engkau malah ingin melihat batu monumen yang melambangkan kekejaman yang tiada taranya itu? Ketahuilah bahwa hampir semua orang di daerah itu, terutama kaum prianya yang bertubuh kuat, dibunuh oleh Chang Sian Cung sehingga kini lebih banyak pendatang dari Propinsi Hu-pei dan Shen-si yang tinggal di Se-cuan dibandingkan penduduk aslinya yang tinggal sedikit.”

“Aku telah membaca pula tentang hal itu, Locianpwe. Menurut catatan sejarah, Chang Sian Cung mendirikan batu monumen dengan huruf tunggal berbunyi BUNUH itu untuk menakut-nakuti rakyat. Setelah dia meninggal, batu monumen itu oleh rakyat kemudian dibalikkan agar huruf itu tak dapat dilihat. Kabarnya, kalau batu monumen ini dibalikkan lagi sehingga huruf itu dapat terbaca, maka Chang Sian Cung akan lahir kembali untuk melanjutkan kekejamannya di dunia.”

Gangga Dewi mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Memang benar demikian, akan tetapi yang terakhir itu hanya dongeng dan tahyul belaka, Yo Han. Kehidupan manusia hanya selewatan saja, betapa pun baik mau pun buruknya. Semua itu lewat dan takkan pernah kembali. Tidak mungkin Chang Sian Cung yang sudah mati itu dapat kembali melanjutkan kebiadabannya, kecuali sebagai manusia lain, di tempat lain dan dengan jalan hidup yang berlainan pula. Semua perbuatan manusia hakekatnya hanya akan menjadi pengalaman yang lewat dan menjadi contoh mereka yang hidup kemudian. Dan perjalanan ke Se-cuan bukan perjalanan yang dekat dan mudah. Apa lagi sekarang di wilayah Barat sudah mulai tidak aman, banyak pergolakan dan pembesar daerah mulai memperlihatkan sikap menentang terhadap pemerintah bangsa Mancu di timur.”

“Locianpwe, aku tak takut menghadapi kesukaran, dan aku juga tidak takut menghadapi pergolakan.”

Gangga Dewi tersenyum. Jika ia tidak berhadapan sendiri, tidak melihat dan mendengar sendiri, kalau hanya diceritakan oleh orang lain, tentu ia tidak akan percaya ada seorang anak berusia dua belas tahun seperti ini! Seorang anak yatim piatu, lemah dan miskin, namun memiliki keberanian yang sepantasnya hanya dimiliki seorang pendekar sakti!

Anak seperti ini memiliki harga diri yang tinggi. Kalau ia menawarkan diri untuk menjadi guru anak ini, belum tentu dia mau menerimanya. Kalau tadinya dia suka menjadi murid seorang wanita iblis semacam Ang-I Moli, hal itu adalah karena dia hendak menolong seorang anak perempuan yang diculik iblis betina itu.

Anak ini keras hati, namun lembut dan rendah hati, siap untuk menolong siapa saja. Ia harus pandai mengambil hatinya kalau ia ingin menuruti dorongan hatinya yang amat sangat, yaitu mengangkat anak ini sebagai muridnya.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar