Kisah Si Bangau Merah Jilid 11-15

Kho Ping Hoo, Kisah Si Bangau Merah Jilid 11-15 Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah.
Dua orang yang terluka itu dalam keadaan tidur atau setengah pingsan. Wajah mereka pucat dan pernapasan mereka lemah. Sin Hong sudah memberi obat luka di lambung dan leher ibu mertuanya. Luka-luka itu tidak berat, akan tetapi racun yang terkandung di luka bagian leher sangat berbahaya. Sedangkan pukulan kedua telapak tangan yang berbekas di punggung ayah mertuanya membuat keadaan ayah mertuanya itu lebih parah lagi.

“Hemm, keadaan mereka ini membuat aku menjadi makin sangsi,” katanya lirih kepada isterinya. “Aku mengenal Bu-tong-pai sebagai partai persilatan bersih, satu perkumpulan orang-orang suci dengan para tosu menjadi pimpinan. Murid-murid mereka adalah para pendekar-pendekar gagah. Biar pun mereka memiliki pukulan ampuh yang mengandung sinkang amat kuat, akan tetapi belum pernah aku mendengar mereka mempelajari ilmu pukulan beracun. Juga, belum pernah aku mendengar mereka mempergunakan racun atau paku beracun seperti yang melukai leher ibumu.”

“Akan tetapi, mendiang Thian Kwan Hwesio dengan jelas menyerukan bahwa mereka adalah para tosu Bu-tong-pai,” kata isterinya dan Sin Hong menjadi bingung.

Memang sukar sekali dimengerti kalau seorang pendeta seperti ketua kuil Pao-teng itu berbohong. Apa manfaatnya berbohong? Akan tetapi, Thian Kwan Hwesio sudah tewas sehingga tidak mungkin, dapat diperoleh keterangan yang lebih jelas darinya.

“Kita harus bersabar. Surat yang kukirim kepada Ketua Bu-tong-pai itu sedikit banyak tentu akan dapat menerangkan kegelapan peristiwa semalam.”

Sementara itu, Sian Li berlari keluar rumah dengan hati kesal. Pada waktu ia datang ke rumah kakek dan neneknya, hatinya gembira karena kedua orang tua itu amat sayang kepadanya dan mengajaknya bermain-main. Tapi sekarang, kakek dan neneknya hanya rebah dalam keadaan sakit. Apa lagi bermain-main dengannya, bicara pun mereka itu tidak dapat lagi. Semua itu gara-gara perbuatan penjahat yang menyerbu malam tadi. Hatinya kesal dan marah, maka ia pun keluar dari halaman rumah, bermaksud mencari teman bermain.

Ada beberapa orang pegawai yang biasanya membantu kedua orang tua itu berdagang rempah-rempah. Mereka, empat orang itu, telah mendengar bahwa dua majikan mereka menderita luka oleh serbuan penjahat. Mereka membuka toko rempah-rempah mewakili majikan mereka dengan wajah khawatir.

Sian Li tidak mempedullkan mereka yang tidak dikenalnya itu, dan ia pun keluar dari pekarangan dan terus berjalan-jalan seorang diri di jalan raya. Hatinya tertarik melihat seorang kakek yang berdiri di tepi jalan, sedang memandang ke arah rumah kakek dan neneknya. Ia pun menoleh dan ikut memandang.

Nampak belasan orang hwesio memasuki pekarangan itu, dan mereka ini adalah para hwesio dari kuil di kota itu, para murid Thian Kwan Hwesio yang sudah diberi kabar tentang tewasnya guru dan ketua mereka di rumah keluarga Kao. Tak lama kemudian mereka mengangkut peti mati untuk dibawa pulang ke kuil mereka. Sian Li melihat pula bahwa ayah dan ibunya mengantar sampai di luar rumah dan belasan orang hwesio itu meninggalkan pekarangan itu sambil memikul peti mati.

Sian Li mengepal kedua tangannya, memandang dan mengikuti perjalanan para hwesio yang mengikuti peti mati sambil membaca doa sepanjang jalan. Hatinya merasa kasihan dan juga penasaran kepada para penjahat yang bukan saja telah membunuh seorang hwesio, akan tetapi juga melukai kakek dan neneknya.

“Penjahat-penjahat kejam, tunggu saja kalian. Kalau kelak aku sudah besar, aku akan membalaskan kematian hwesio itu dan lukanya Kakek dan Nenekku!”

Sian Li tidak tahu betapa kakek yang tadi berdiri memandang ke arah kesibukan para hwesio mengangkut peti mati, kini memandang kepadanya dengan sinar matanya yang penuh selidik dan mulut tersenyum.

Kakek ini berpakaian seperti seorang sastrawan, akan tetapi jelas bahwa dia miskin melihat betapa pakaian itu sudah penuh jahitan dan ada beberapa tambalan, walau pun nampaknya bersih. Dia mirip seorang sastrawan setengah jembel, dengan rambut yang bercampur dengan cambang, kumis dan jenggot yang sudah berwarna kelabu.

Namun wajahnya masih nampak sehat kemerahan belum dimakan keriput, matanya pun masih terang dan senyumnya cerah walau pun mulut itu tidak bergigi lagi. Rambut itu dibiarkan awut-awutan, sampai ke pundak. Tubuhnya jangkung kurus, namun berdirinya tegak. Sebuah caping lebar tergantung di punggungnya, tangan kanannya memegang sebatang tongkat butut sedang tangan kirinya membawa sebuah keranjang obat, terisi beberapa macam akar-akaran dan daun-daunan.

“Nona kecil yang baik, apakah kakek dan nenekmu luka-luka?” Tiba-tiba saja kakek itu mendekat dan bertanya. Sian Li menoleh dan dia memandang kepada kakek itu penuh perhatian.

“Apakah engkau orang Bu-tong-pai?” tiba-tiba ia bertanya dan alisnya berkerut, matanya memandang penuh selidik.

“Kalau betul, kenapa?” kakek itu balas bertanya sambil tersenyum.

“Kalau engkau orang Bu-tong-pai, akan kupanggilkan Ayah dan Ibu. Jangan lari, mereka tentu akan menghajarmu!”

“Kalau aku bukan orang Bu-tong-pai?”

“Kalau bukan, jangan mencampuri urusan kami. Engkau tidak akan dapat menolong, Kek!”

“Ha-ha-ha, anak yang baik, mengapa engkau mengatakan bahwa aku tidak akan dapat menolong?”

Sian Li memandang pada orang itu dengan sinar mata penuh selidik. “Engkau seorang kakek tua, miskin, dan nampak lemah. Andai kata engkau mempunyai ilmu kepandaian pun, bagaimana cara engkau mampu menandingi orang-orang Bu-tong-pai yang lihai, sedangkan Ayah Ibuku saja tidak mampu melindungi Kakek dan Nenekku?”

Kakek itu memandang dengan kagum. Anak kecil ini baru berusia empat tahun, akan tetapi sudah mampu mengolah pikiran seperti orang dewasa saja. Hal ini menandakan bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang yang cerdik bukan main.

“Anak baik, engkau tadi bilang mengenai kakek dan nenekmu yang luka-luka. Kebetulan sekali aku mempunyai sedikit ilmu pengobatan. Aku mendengar bahwa ini rumah dari Pendekar Kao Cin Liong, bekas panglima besar yang sangat terkenal itu. Bagaimana kalau aku mencoba kepandaianku untuk menyembuhkan kakek dan nenekmu?”

Mendengar ini, Sian Li menjadi girang sekali. Sejenak ia memandang ke arah keranjang obat di tangan kiri kakek itu, kemudian ia memegang tongkat kakek itu dan menariknya. “Kalau begitu, mari cepat, Kek. Tolonglah Kakek dan Nenekku!”

Dia pun menarik kakek itu berlarian memasuki pekarangan, langsung masuk ke dalam rumah. Empat orang pegawai toko rempah-rempah itu memandang heran, akan tetapi mereka tidak berani menegur.

Kakek itu yang merasa rikuh sendiri dan dia berhenti di ruangan depan. “Anak baik, terlebih dulu beri tahukan orang tuamu bahwa aku datang, tidak sopan kalau aku terus masuk begitu saja.”

“Kakek, memang tidak sopan kalau engkau masuk sendiri. Akan tetapi ada aku yang membawamu masuk, jadi engkau tidak bersalah. Marilah!” Anak itu menariknya masuk dan Sian Li lalu berteriak-teriak, “Ayah! Ibu! Aku datang bersama Kakek yang hendak mengobati Kakek dan Nenek!”

Mendengar teriakan anak mereka. Tan Sin Hong dan isterinya, Hong Li segera berlari keluar. Mereka melihat Sian Li sedang menggandeng tangan seorang kakek tua yang memegang tongkat dan keranjang obat. Sebagai orang-orang yang berpengalaman, sekali pandang saja suami isteri ini bisa mengenal orang luar biasa, akan tetapi mereka belum mengenal siapa dia maka keduanya memberi hormat dengan sopan dan Tan Sin Hong berkata dengan suara lembut.

“Selamat datang, Locianpwe. Kalau benar seperti yang dikatakan puteri kami maka kami berdua menghaturkan banyak terima kasih atas budi kebaikan Locianpwe yang hendak mengobati Ayah dan Ibu kami.”

Kakek itu tertawa bergelak sehingga nampak rongga mulutnya yang sudah tidak punya gigi lagi.

“Siancai... sungguh bukan nama besar kosong belaka bahwa Pendekar Bangau Putih adalah seorang pendekar perkasa yang sangat pandai membawa diri, rendah hati, dan sopan, ha-ha-ha!”

Sin Hong dan isterinya saling pandang, lalu keduanya menatap wajah kakek jangkung itu. “Maafkan kami yang tidak ingat lagi siapa Locianpwe, sebaliknya Locianpwe telah mengenal kami.”

“Ha-ha-ha, tentu saja. Rumah ini adalah rumah Pendekar Kao Cin Liong, putera Si Naga Sakti Gurun Pasir, bekas panglima yang sangat terkenal. Dan isterinya adalah seorang wanita sakti, she Suma masih cucu Pendekar Sakti Pulau Es! Begitu melihat nona cilik pakaian merah ini, aku sudah menduga bahwa tentu ia cucu Kao Cin Liong, dan karena kalian adalah ayah ibunya, siapa lagi kalian kalau bukan puteri dan menantunya bekas panglima itu?”

“Wah, Kakek tidak adil!” tiba-tiba Sian Li berseru, “Kakek sudah mengenal Ayah Ibu dan Kakek, akan tetapi belum memperkenalkan diri. Mana adil kalau perkenalan hanya sebelah pihak saja?”

“Sian Li, jangan kurang ajar!” bentak ibunya.

“Ho-ho, namamu Sian Li, anak merah. Bagus, engkau memang seperti seorang sian-li (dewi) cilik. Tan-taihiap dan Kao-lihiap, saya ini orang biasa saja, bahkan orang yang kedudukannya amat rendah, setengah tukang obat, setengah pengemis, ha-ha-ha!”

Kembali suami isteri itu saling pandang. Biar pun suami isteri pendekar ini masih muda, namun mereka sudah mempunyai banyak pengalaman di dunia kang-ouw dan sudah mendengar akan nama besar banyak orang pandai walau pun belum pernah berjumpa dengan mereka. Setengah tukang obat dan setengah pengemis?

“Kalau begitu, Locianpwe ini tentu Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat)!” seru Kao Hong Li.

Kakek itu mengelus jenggotnya sambil tersenyum. “Nyonya muda sungguh mempunyai pemandangan luas!”

“Aihh, maafkan kami berdua yang tidak tahu bahwa yang mulia Yok-sian (Dewa Obat) datang berkunjung!” kata Sin Hong dengan kagum karena dia pun pernah mendengar akan nama besar tokoh ini yang jarang muncul di dunia kang-ouw.

“Ha-ha-ha, alangkah tidak enaknya mendengar nama sebutan Yok-sian (Dewa Obat). Aku lebih suka disebut Lo-kai (Pengemis Tua) saja. Aku mendengar akan keributan yang terjadi di rumah Taihiap Kao Cin Liong, maka sengaja hendak melihat apa yang terjadi. Kebetulan di luar tadi aku bertemu dengan anak ini! Sian Li menarik hatiku dan ternyata ia adalah cucu Taihiap Kao Cin Liong yang sudah kukenal baik. Nah, mari antar aku melihat dia dan isterinya yang kabarnya terluka.”

Bukan main girangnya hati Hong Li dan Sin Hong. Tanpa banyak cakap lagi mereka lalu mengantar tamu itu memasuki kamar di mana Kao Cin Liong dan Suma Hui rebah. Sian Li mengikuti dari belakang.

Kakek itu menurunkan keranjang obat dan tongkatnya yang cepat disimpan oleh Sian Li ke sudut ruangan, kemudian ia menghampiri Kao Cin Liong, memeriksa denyut nadinya sebentar, kemudian memeriksa keadaan Suma Hui. Dia mengangguk-angguk.

“Kabarnya yang menyerang orang-orang Bu-tong-pai?” tanyanya kepada Sin Hong.

“Begitulah menurut pengakuan mendiang Thian Kwan Hwesio yang malam tadi dikejar oleh mereka sampai ke sini. Agaknya hwesio itu hendak minta bantuan Ayah dan Ibu yang sudah menjadi sahabat baik,” kata Sin Hong.

Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala. “Pukulan pada punggung Kao-taihiap ini adalah pukulan yang mengandung Hek-coa-tok (Racun Ular Hitam), agaknya tidak mungkin orang Bu-tong-pai, apa lagi yang sudah tinggi tingkatnya, mau menggunakan pukulan keji semacam itu. Juga jarum yang memasuki leher Suma Lihiap itu merupakan senjata rahasia yang biasa dipergunakan orang-orang golongan hitam. Sebaiknya kucoba mengeluarkan jarum-jarum itu lebih dahulu, karena kalau dibiarkan terlalu lama maka akan berbahaya. Tan Taihiap, engkau mempunyai kekuatan sinkang yang besar, marilah kau bantu aku. Kau tempelkan telapak tanganmu ke luka di tengkuk dan menggunakan sinkang untuk menyedot, sedang aku akan menggunakan totokan dan urutan untuk mendorong keluar jarum-jarum itu. Jangan terlampau kuat agar tidak merusak jalan darah. Bila telapak tanganmu sudah merasakan gagang jarum tersembul, langsung hentikan.” Lalu dia menoleh kepada Hong Li dan berkata, “Lihiap, harap kau rebus sebutir telur, kalau sudah matang, bawa ke sini putihnya saja.”

Hong Li meninggalkan kamar itu untuk pergi ke dapur, sedangkan Sin Hong lalu duduk bersila di atas pembaringan, lalu menempelkan tangan kanan ke tengkuk yang terluka jarum, mengerahkan sinkang menyedot. Kakek itu sendiri duduk di tepian pembaringan, jari tangannya menotok di sekitar pundak dan tengkuk, lalu mengurut tengkuk itu sambil mengerahkan sinkang pula. Sian Li duduk di atas kursi, dia diam saja dan memandang penuh perhatian.

Tak lama kemudian, Sin Hong merasakan ada dua batang jarum tersembul menyentuh telapak tangannya. Dia cepat memberi tanda dan Yok-sian Lo-kai menghentikan urutan jari tangannya. Setelah Sin Hong melepaskan tangannya, nampak gagang dua batang jarum tersembul dan kakek itu lalu mencabutnya.

Bekas luka itu nampak hijau kehitaman dan pada saat itu, Kao Hong Li sudah datang membawa putih telur yang sudah dimasak. Yok-sian Lo-kai lalu mencampuri putih telur itu dengan obat bubuk, memupukkan campuran ini di atas dua lubang kecil bekas jarum, lalu membalutnya.

“Dalam waktu satu jam, obat itu boleh diambil dan semua racun sudah akan dihisap keluar,” katanya dan kini dia mulai mengobati Kao Cin Liong yang masih pingsan. Luka senjata tajam pada punggung Suma Hui tidak berbahaya dan sudah diobati oleh Sin Hong dengan obat luka.

Akan tetapi, pukulan tangan yang mengandung racun Hek-coa-tok memang berbahaya sekali. Yok-sian Lo-kai yang memiliki ilmu pengobatan dengan totokan dan tusuk jarum, lalu mulai bekerja. Dia menotok banyak jalan darah di seluruh tubuh Kao Cin Liong, terutama di seputar tempat luka di punggung. Kemudian dia menggunakan tiga batang jarum emas untuk menusuk bagian-bagian tertentu, lalu menggetarkan jarum-jarum itu dengan tenaga sinkang melalui jari-jari tangannya.

Kurang lebih dua jam kakek ini melakukan pengobatan hingga akhirnya, Kao Cin Liong muntah-muntah dan keluarlah darah menghitam dari mulutnya. Melihat ini tentu saja Sin Hong dan Hong Li terkejut dan memandang dengan hati khawatir. Akan tetapi Yok-sian tersenyum nampak lega, dan saat itu terdengar suara rintihan lirih dari pembaringan di mana Suma Hui berbaring.

Mendengar suara ibunya, Hong Li cepat menghampiri dan ternyata ibunya baru saja siuman. Melihat ibunya bergerak hendak duduk, Hong Li kemudian membantu ibunya bangkit duduk.

“Ibu, bagaimana rasanya badanmu?” Hong Li bertanya, hatinya gembira karena wajah ibunya nampak kemerahan.

Suma Hui agaknya baru teringat akan semua keadaan. “Mana ayahmu?”

Ketika ia menengok ke arah kiri, dan mendengar suaminya muntah-muntah, ia hendak meloncat turun dan tentu akan terjatuh kalau saja tidak ditahan oleh puterinya.

“Perlahan, Ibu. Ayah juga terluka dan baru saja ditolong oleh Locianpwe itu.”

Suma Hui kembali duduk dan kini ia memandang ke arah kakek yang mengurut tengkuk dan punggung suaminya yang masih muntah-muntah, akan tetapi tidak sehebat tadi.

“Dia... dia... Yok-sian Lo-kai?” Suma Hui mengenalnya.

Pengemis tua ahli pengobatan itu sudah selesai menolong Kao Cin Liong dan dia pun kini menghadapi Suma Hui sambil tersenyum.

“Suma Lihiap, engkau masih mengenal aku? Bagus! Sudah ditakdirkan Tuhan bahwa kebetulan saja aku sedang hendak berkunjung ke sini ketika aku melihat engkau dan suamimu terluka.”

“Ahhh, terima kasih Lo-kai. Bagaimana suamiku?”

“Aku juga sudah sembuh. Sungguh besar budi Lo-kai kepada kita!” kata Kao Cin Liong yang kini juga sudah bangkit duduk.

Yok-sian Lo-kai tertawa gembira. “Ha-ha-ha, kalian ini suami isteri pendekar sungguh lucu. Apa itu budi dan dendam? Menjadi biang penyakit saja. Kao Taihiap, sejak engkau menjadi panglima dahulu, entah sudah berapa puluh atau ratus ribu keluarga yang selamat karena sepak terjangmu. Apa artinya pengobatan yang kuberikan sekarang ini? Pula, kalau bukan Tuhan menghendaki kalian suami isteri budiman supaya masih hidup, bagaimana mungkin aku dapat kebetulan berada di sini?”

Kao Cin Liong menghela napas panjang dan dia memandang kepada puterinya dan menantunya. “Ketahuilah, dahulu, ketika aku memimpin pasukan ke barat, pernah aku menderita luka beracun yang nyaris membunuhku. Untung saat itu aku bertemu dengan Yok-sian Lo-kai ini dan dialah pula yang menyembuhkan aku.”

“Ha-ha-ha, urusan sekecil itu masih teringat oleh Kao Tahiap, sedangkan cara Taihiap ketika menyelamatkan puluhan ribu orang di dusun-dusun yang dilanda gerombolan pemberontak sama sekali dilupakannyal”

“Kongkong...! Bo-bo...!” Sian Li datang menghampiri kakek dan neneknya. Mereka lalu bergantian merangkul cucu mereka itu. “Kelak aku yang akan membasmi para penjahat yang telah melukai Kongkong dan Bo-bo!” kata Sian Li penuh semangat.

“Siancai...! Kalian mempunyai seorang cucu yang sehat!” Yok-sian Lo-kai memuji. “Sian Li, anak yang baik, kalau saja engkau mempelajari ilmu pengobatan seperti itu, tentu engkau akan mudah saja tadi menyembuhkan kakek dan nenekmu. Apakah engkau tak ingin belajar ilmu pengobatan?”

“Aku suka sekali! Kakek yang baik, kau ajarkanlah aku ilmu mengobati seperti itu!”

“Siancai...! Tentu saja aku suka sekali dan engkau memang berbakat. Akan tetapi, tentu saja keputusannya tergantung kepada ayah ibumu, Sian Li.”

Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan berkata kepada puterinya, “Hong Li, kalau saja anakmu bisa dididik oleh Yok-sian Lo-kai, bukan hanya ilmu pengobatan yang akan diwarisinya, akan tetapi juga ilmu totok Im-yang Sin-ci yang tidak ada duanya di seluruh dunia ini!”

Hong Li memandang kepada suaminya. Ia dan suaminya adalah sepasang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin mereka menyerahkan anak tunggal mereka kepada orang lain untuk di jadikan murid? Agaknya Sin Hong dapat mengerti akan isi hatinya, maka Sin Hong cepat memberi hormat kepada kakek itu.

“Locianpwe, kami sebagai orang tua Sian Li menghaturkan banyak terima kasih atas kemurahan hati Locianpwe yang hendak mendidik anak kami. Akan, tetapi karena dia masih amat kecil, biarlah kami akan mendidik dan memberi pelajaran dasar kepadanya lebih dulu. Kelak kalau sudah tiba waktunya, tentu kami akan membawanya menghadap Locianpwe untuk menerima pendidikan dari Locianpwe.”

Kakek itu tersenyum. “Ahhh, bagus sekali kalau begitu, Taihiap. Memang seorang tua bangka yang hidup sebatang kara seperti aku ini, bagaimana mungkin dapat mendidik seorang anak kecil? Biarlah, kelak kalau usiaku masih panjang, setelah Sian Li menjadi seorang gadis dewasa, aku akan mewariskan kepandaianku kepadanya.”

Keluarga yang kini merasa gembira karena kesembuhan Kao Cin Liong dan Suma Hui, menjamu tamu kehormatan itu dengan makan minum dan mereka mempergunakan kesempatan ini untuk bercakap-cakap.

“Engkau adalah orang yang banyak melakukan perantauan, Lo-kai, tentu engkau dapat menjelaskan apa artinya semua peristiwa yang menimpa kami ini,” kata Kao Cin Liong yang sudah mengenal baik dewa obat itu.

Yok-sian Lo-kai menghela napas panjang. “Seperti cerita kalian tadi, ketua kuil yang murid Siauw-lim-pai itu diserang dan dikejar-kejar beberapa orang tosu Bu-tong-pai dan dia lari ke sini sampai akhirnya tewas pula di sini. Bahkan kalian yang hendak melerai dan melindungi hwesio itu juga hampir menjadi korban. Memang aneh sekali. Kalian menderita pukulan beracun, padahal setahuku, Bu-tong-pai pantang mempergunakan ilmu pukulan yang keji, yang hanya pantas dimiliki para tokoh sesat. Bagaimana pun juga, permusuhan antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai memang semakin meruncing, seperti juga permusuhan di antara keempat perkumpulan besar, yaitu Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Aku sendiri merasa heran, bagaimana orang-orang yang mengaku pendekar, bahkan para pemimpinnya terdiri dari pendeta-pendeta, kini bermusuhan, saling serang dan saling bunuh seperti binatang buas, penuh dendam kebencian. Hayaaa, agaknya memang sudah jamannya begini. Jaman penjajahan yang mendatangkan segala macam bentuk kekeruhan.”

“Akan tetapi, Lo-kai, apakah kita harus tinggal diam saja? Kalau didiamkan bukankah permusuhan itu akan makin berlarut-larut dan hal ini amat melemahkan dunia persilatan terutama golongan putih atau kaum pendekar?” kata Sin Hong sambil mengerutkan alisnya.

“Bukan itu saja, bahkan golongan lain yang tidak ikut bermusuhan, dapat terlibat seperti halnya kami sekarang ini,” kata Hong Li. “Kalau menurutkan hati panas, salahkah kalau kita mendatangi Bu-tong-pai kemudian menuntut balas atas apa yang mereka lakukan terhadap ayah dan ibuku yang sama sekali tidak bersalah terhadap mereka?”

“Dalam urusan ini, hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin,” kata pula Sin Hong. “Kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil kesimpulan bahwa Bu-tong-pai sudah mencelakai orang tua kita. Maka, aku juga sudah mengirim surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai dan kita lihat saja bagaimana nanti jawaban dari sana.”

“Siancai... Ji-wi (Kalian berdua) adalah sepasang suami isteri pendekar yang tentu tidak kekurangan kebijaksanaan dan tidak akan bertindak sembarangan. Memang, di dalam jaman penjajahan ini banyak terjadi bentrokan disebabkan salah paham. Ada sebagian pendekar yang mendukung pemerintah karena menganggap pemerintah dapat bersikap baik terhadap rakyat jelata, ada sebaliknya yang membenci penjajah karena mereka itu orang asing. Aihhh, urusan negara adalah urusan yang ruwet, bagaimana aku dapat mencampurinya? Biarlah aku sekarang pergi dan kelak, kalau waktunya tiba, aku akan datang menagih janji untuk mewariskan kepandaian yang ada padaku kepada Sian Li.“

Yok-sian Lo-kai pergi meninggalkan rumah keluarga Kao tanpa dapat ditahan lagi. Oleh karena Kao Cin Liong dan Suma Hui masih lemah biar pun sudah sembuh, maka Sin Hong dan Hong Li yang mewakili mereka melayat ke kuil untuk menghadiri upacara pembakaran atau perabuan jenazah Thian Kwan Hwesio.....

********************

Suma Ceng Liong ialah seorang pendekar sakti yang hidup bersama isterinya di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an Propinsi Shan-tung, di lembah Huang-ho yang subur dan indah. Pendekar ini adalah cucu Pendekar Sakti yang paling lihai, putera dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil.

Memang Suma Ceng Liong selain lihai juga amat gagah perkasa. Usianya sudah empat puluh enam tahun namun dia masih nampak gagah, tinggi besar dengan dagu lonjong dan wajah yang selalu cerah gembira. Pendekar ini bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari keluarga Istana Pulau Es, akan tetapi juga dia pernah digembleng oleh Hek I Mo-ong, seorang datuk sesat yang amat lihai.

Juga di samping ilmu silat, dia pernah mempelajari ilmu sihir karena ibunya, Teng Siang In almarhum, adalah seorang ahli sihir yang ampuh. Oleh karena itu, maka pada waktu itu bisa dianggap bahwa di antara semua keturunan keluarga Istana Pulau Es, pendekar Suma Ceng Liong ini merupakan cucu yang paling lihai di antara tiga orang cucu dalam mendiang Pendekar Super Sakti, yaitu Suma Ciang Bun, Suma Hui, dan Suma Ceng Liong.

Pendekar Suma Ceng Liong menikah dengan seorang wanita yang sakti pula, bahkan dalam hal kepandaian silat tingkatnya seimbang dengan tingkat kepandaian suaminya. Wanita ini bernama Kam Bi Eng, puteri dari Pendekar Sakti Kam Hong, pewaris dari ilmu-ilmu hebat dari Pendekar Suling Emas!

Suami isteri ini semenjak menikah hidup bahagia, saling mencinta, saling menghormat dan saling setia. Mereka hanya mempunyai satu orang keturunan, yaitu seorang anak perempuan yang bernama Suma Lian. Puterinya itu juga seorang pendekar yang lihai dan kini sudah menikah dengan seorang pendekar murid Suma Ciang Bun, bernama Gu Hong Beng yang kini tinggal di daerah Heng-san, sebelah selatan Pao-teng.

Demikiandah sedikit riwayat pendekar sakti Suma Ceng Liong. Setelah puterinya yang menjadi anak tunggal itu menikah enam tahun yang lalu, kini Suma Ceng Liong hidup berdua saja dengan isterinya dan kadang merasa kesepian. Untuk melewatkan waktu menganggur, mereka membuka toko obat di dusun Hong-cun itu.

Mereka tadinya bertahan tidak mau menerima murid. Mereka merasa sayang kalau ilmu kepandaian yang mereka peroleh dari keluarga itu, yang merupakan ilmu silat turun temurun, baik dari Suma Ceng Liong mau pun dari isterinya, Kam Bi Eng, akhirnya bisa dipelajari dan dikuasai orang lain yang bukan keluarga mereka.

Akan tetapi, setahun yang lalu, terjadi kebakaran hebat di rumah keluarga Liem di dusun mereka yang menewaskan seluruh isi rumah, kecuali seorang anak laki-laki mereka yang selamat karena kebetulan berada di luar rumah. Suami isteri pendekar itu merasa kasihan sekali kepada Liem Sian Lun, anak laki-laki itu.

Melihat betapa anak laki-laki berusia tujuh tahun itu sedemikian tabahnya menghadapi mala petaka yang menimpa keluarganya sehingga dia menjadi yatim piatu dan sama sekali tidak mempunyai anggota keluarga lagi, melihat anak itu hanya berlutut di depan makam ayah ibunya seperti patung, tidak menangis, tergerak hati mereka.

Suami isteri ini kemudian mengajak Sian Lun pulang. Mula-mula mereka hanya ingin menolong saja, menjadikan Sian Lun sebagai pembantu rumah tangga dan pembantu di toko rempah-rempah milik mereka.

Akan tetapi, melihat betapa anak itu amat pendiam, penurut dan berwatak baik sekali, juga setelah mereka mendapat kenyataan bahwa anak itu berbakat dan bertulang baik, keduanya sepakat untuk mengambil Sian Lun sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak karena setelah Suma Lian pergi mengikuti suaminya, mereka berdua sering kali merasa kesepian.

Biar pun tahu bahwa dia disayang, digembleng ilmu silat bahkan dianggap sebagai anak angkat, Sian Lun tetap bersikap rendah hati dan rajin bekerja sehingga pasangan suami isteri pendekar itu menjadi semakin sayang kepadanya.

Karena sikapnya yang rendah hati ini, walau pun para pegawai toko obat dan rempah-rempah itu tahu belaka bahwa Sian Lun diperlakukan seperti anak angkat oleh majikan mereka, namun tak seorang pun merasa iri. Sian Lun membantu pekerjaan di toko, di rumah, tidak malas dan tidak segan untuk melakukan pekerjaan dan mengepel, bahkan membantu pekerjaan pelayan di dapur. Pendeknya, di mana ada kesibukan, di situ tentu ada Sian Lun, maka dia pun disayang oleh seisi rumah.

Diam-diam pendekar Suma Ceng Liong dan isterinya merasa sayang sekali pada murid ini dan menaruh harapan besar kepada diri anak itu bahwa kelak akan dapat mewarisi kepandaian mereka dan menjunjung tinggi nama mereka sebagai seorang pendekar budiman. Sejak berusia tujuh tahun saja sudah nampak bahwa Sian Lun selain berotak terang, mudah menghafal pelajaran baik sastra mau pun silat, juga bertubuh tinggi dan tegap, pendiam serta tabah sekali, wajahnya pun cerah.

Ketika utusan dari Kao Cin Liong tiba, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng sedang duduk di ruangan depan. Hari masih pagi dan toko obat mereka masih tutup, para pegawai sedang membersihkan toko dan bersiap-siap untuk membukanya. Sian Lun sejak pagi tadi sudah bangun, sudah menyapu pekarangan dan sekarang sedang sibuk menyirami tanaman kembang kesukaan subo-nya (ibu gurunya).

Penunggang kuda yang memasukkan kudanya ke pekarangan itu, kemudian meloncat turun tergesa-gesa, amat menarik perhatian. Melihat betapa pria berusia empat puluhan tahun itu nampak lelah, pakaiannya penuh debu dan jelas bahwa dia baru melakukan perjalanan yang jauh, Suma Ceng Liong dan isterinya memandang dengan hati tertarik. Bahkan Sian Lun yang sedang menyiram kembang cepat menurunkan ember airnya dan lari menghampiri orang yang meloncat turun dari punggung kudanya.

“Paman mencari siapakah, dari mana Paman datang dan siapakah nama Paman? Aku akan melaporkan kepada Suhu dan Subo,” kata Sian Lun dengan sikap hormat, akan tetapi sepasang matanya yang tajam mengamati wajah pendatang itu penuh selidik.

Mendengar anak itu menyebut suhu dan subo, utusan ini pun bersikap ramah. “Anak yang baik, tolonglah beri tahu kepada Locianpwe Suma Ceng Liong dan Nyonya bahwa saya datang sebagai utusan dari keluarga Kao di Pao-teng dan membawa berita yang sangat penting.”

Dari suhu dan subo-nya, Sian Lun pernah mendengar akan nama para keluarga dan kenalan mereka yang terdiri dari para pendekar. Mendengar bahwa orang ini utusan dari keluarga Kao di Pao-teng, maka dia cepat berlari menuju ke ruangan depan di mana suhu dan subo-nya sedang duduk minum teh pagi.

“Suhu dan Subo, maafkan kalau teecu mengganggu. Akan tetapi penunggang kuda itu mengaku utusan dari keluarga Kao di Pao-teng. Katanya membawa berita yang amat penting untuk Suhu dan Subo.”

Tentu saja suami isteri pendekar itu amat terkejut mendengar bahwa penunggang kuda itu utusan keluarga Kao di Pao-teng. Kalau tidak ada urusan penting sekali, tentu Kao Cin Liong tidak akan mengirim utusan. Isteri Kao Cin Liong, yaitu Suma Hui, adalah kakak sepupu Suma Ceng Liong, maka dia pun cepat bangkit dan memandang ke arah penunggang kuda itu.

“Saudara utusan dari Pao-teng, harap lekas datang ke sini menyampaikan berita itu kepada kami!” Lalu kepada murid mereka Suma Ceng Liong berkata, “Sian Lun, cepat kau rawat kuda itu, beri makan dan minum di kandang kuda!”

Sian Lun mentaati perintah gurunya. Dia menerima kendali kuda yang nampak sangat kelelahan itu, cepat membawanya ke kandang di bagian belakang. Sedangkan tamu itu dengan sikap hormat lalu menghampiri tuan dan nyonya rumah yang menanti di serambi depan.

Setelah dipersilakan duduk dan memperkenalkan diri, tamu itu kemudian mengeluarkan sesampul surat yang ditulis oleh Tan Sin Hong, mantu keponakan mereka dan begitu membaca isinya, suami isteri itu mengerutkan alis dengan kaget. Surat itu memberi tahu bahwa kakak sepupu Suma Ceng Liong, yaitu Suma Hui dan suaminya, Kao Cin Liong, terluka parah karena pukulan-pukulan beracun dari para tosu Bu-tong-pai dan bahwa mereka berdua diminta untuk segera datang berkunjung ke Pao-teng untuk memberi pertolongan.

Suma Ceng Liong memandang utusan enci-nya itu dengan pandang mata penuh selidik dan minta padanya untuk menceritakan sejelasnya apa yang telah terjadi. Pelayan toko itu tidak dapat bercerita banyak.

Dia hanya menceritakan apa yang telah didengarnya saja, yaitu bahwa pada beberapa hari yang lalu, pada waktu malam hari, rumah majikannya diserbu beberapa orang tosu Bu-tong-pai yang berkelahi dengan ketua kuil, yaitu Thian Kwan Hwesio di atas rumah majikan mereka. Majikan mereka suami isteri berusaha melerai akan tetapi mereka juga menjadi korban pemukulan para tosu Bu-tong-pai yang marah itu.

Akhirnya Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang ketika kejadian kebetulan berada di sana berhasil mengusir para tosu Bu-tong-pai. Sekarang kedua orang majikan mereka dalam keadaan terluka parah, sedangkan hwesio Siauw-lim-pai itu tewas.

“Kami akan berangkat sekarang juga!” kata Ceng Liong.

Kepada utusan itu dia sarankan untuk beristirahat lebih dahulu sebelum pulang, dan dia menyuruh seorang pembantunya untuk menyambut tamu itu. Dia memanggil Sian Lun dan memesan kepada anak itu agar baik-baik menjaga rumah karena dia dan isterinya akan pergi ke Pao-teng.

Sian Lun mematuhi perintah suhu-nya tanpa berani banyak bertanya. Namun sesudah suhu dan subo-nya pergi, Sian Lun mendapat banyak kesempatan untuk berbicara dan bertanya-tanya kepada utusan dari Pao-teng itu.

Karena anak itu merupakan murid tuan rumah, utusan itu tidak menganggapnya orang luar dan dia pun menceritakan semua hal yang terjadi. Diam-diam Sian Lun mencatat dalam ingatannya dan merasa heran sekali.

Menurut keterangan suhu dan subo-nya, dalam dunia persilatan terdapat dua golongan, yaitu golongan putih atau para pendekar, dan golongan hitam atau para penjahat. Dan Bu-tong-pai termasuk golongan putih. Mengapa sekarang orang Bu-tong-pai membunuh seorang hwesio Siauw-lim-pai, bahkan juga melukai suami isteri yang terkenal menjadi pendekar itu?

Dia mendengar dari suhu-nya, siapa adanya pendekar besar Kao Cin Liong dan siapa pula isterinya yang bernama Suma Hui. Pendekar Kao Cin Liong merupakan keturunan keluarga Istana Gurun Pasir, dan Suma Hui adalah kakak sepupu suhu-nya, keturunan keluarga Istana Pulau Es!

Kedatangan Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, disambut dengan gembira oleh Kao Cin Liong dan Suma Hui, juga oleh Tan Sin Hong dan Kao Hong Li yang masih berada di situ. Sebaliknya, Suma Ceng Liong dan isterinya juga girang melihat bahwa kakaknya telah sembuh, demikian pula kakak iparnya.

"Kami masih dilindungi Thian dan bertemu dengan Yok-sian Lo-kai sehingga kami dapat disembuhkan dengan cepat," berkata Suma Hui kepada adiknya, Suma Ceng Liong, setelah dua orang tamu itu dipersilakan duduk di ruangan dalam.

"Yok-sian Lo-kai? Ah, sudah pernah kudengar nama besarnya, Enci Hui, akan tetapi aku belum pernah bertemu dengan dia. Sungguh kebetulan sekali dia dapat mengobati Enci dan juga Cihu. Akan tetapi, bagaimana mungkin kalian sampai terluka oleh penjahat, padahal di sini terdapat pula puteri kalian dan mantu kalian yang amat lihai ini?"

Suma Ceng Liong memandang kepada Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, seolah hendak menegur kenapa mereka itu tidak mampu melindungi orang tua mereka.

Kao Cin Liong menghela napas panjang. "Semuanya terjadi di luar persangkaan. Begitu mendadak. Lima orang tosu itu memang amat lihai, dan biar pun demikian, mereka pasti tidak akan mungkin dapat melukai kami kalau saja di samping kelihaian mereka, mereka itu tidak amat licik dan curang. Mereka menggunakan kecurangan sehingga kami lengah dan terluka."

"Hemm, kalau lain kali aku bertemu dengan mereka, akan kuhancurkan kepala mereka itu satu demi satu!" kata Suma Hui yang wataknya keras.

"Tidak, Bo-bo. Bo-bo sudah tua, biarlah aku yang akan mencari mereka dan membasmi mereka yang jahat itu!"

Tiba-tiba terdengar suara anak kecil dan Sian Li memasuki ruangan itu. Semua orang menengok dan Suma Ceng Liong dan isterinya memandang kagum. Anak berpakaian merah itu biar baru berusia empat tahun nampak begitu lincah dan gagah.

"Siapakah anak manis ini?" tanya Kam Bi Eng.

Kao Hong Li segera berkata, "Sian Li, hayo cepat memberi hormat kepada kakek dan nenekmu ini. Kakek Suma Ceng Liong ini adalah adik dari nenekmu dan nenek Kam Bi Eng ini isterinya." Hong Li memperkenalkan paman dan bibinya.

Sepasang mata yang lebar dan bening itu mengamati Suma Ceng Liong serta Kam Bi Eng dengan amat heran. "Ibu, mereka itu masih muda dan gagah, bagaimana aku harus menyebut mereka Kakek dan Nenek? Mereka belum pantas disebut Kakek dan Nenek, pantasnya Paman dan Bibi."

Semua orang tertawa mendengar ucapan yang jujur dan lucu itu. Kam Bi Eng kemudian meraihnya dan merangkul Sian Li, menciumi pipinya.

Sian Li memandang wajah Bi Eng dan berkata, "Bibi ini cantik dan gagah sekali, seperti Ibu!"

Kam Bi Eng tertawa. "Ih, engkau ini perayu. Aku ini nenekmu, usiaku sudah tua, sudah dua kali ibumu. Ibumu adalah keponakanku." Ia membelai tubuh anak itu dan berseru kagum, "Aihhh, anakmu ini memiliki tulang dan bakat yang sangat baik, Sin Hong" Lalu kepada suaminya ia pun berkata, "Cobalah kau periksa sendiri!" Dan dengan lembut ia mendorong anak itu kepada Suma Ceng Liong yang juga merangkulnya.

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Kalian memang beruntung. Anak ini memiliki bakat yang amat baik. Hemmm, kami akan merasa berbahagia sekali kalau kelak dapat memberi sedikit bimbingan kepadanya."

"Aihhh, mengapa tidak?" kata Suma Hui. "Kalau adikku Ceng Liong yang memberikan bimbingan, aku yakin kelak Sian Li akan menjadi seorang gadis pendekar yang hebat dan pantas sekali dijuluki Si Bangau Merah Sakti! Sian Li, cepat kau memberi hormat dan terima kasih kepada kakek dan nenekmu itu!"

Sian Li memang seorang anak yang amat cerdik. Ia sudah pernah mendengar bahwa ilmu kepandaian paman kakeknya ini amat hebat, maka mendengar seruan neneknya, ia pun cepat menjauhkan diri berlutut di depan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng yang duduk bersanding. "Kakek dan Nenek, aku menghaturkan terima kasih kepada Kakek dan Nenek!"

Kao Hong Li dan Tan Sin Hong saling pandang, lalu Sin Hong tertawa.

"Ha-ha-ha, anak kami ini masih kecil, baru berusia empat tahun, tetapi sudah banyak yang menjanjikan akan mengambilnya sebagai murid. Ketika Yok-sian Lo-kai mengobati Ayah dan Ibu, dia pun telah minta agar kelak Sian Li boleh mewarisi ilmu-ilmunya, dan sekarang ini Paman dan Bibi juga menjanjikan demikian."

Kao Hong Li cepat memberi hormat kepada Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. "Paman dan Bibi sungguh berbudi, dan atas nama anakku, aku menghaturkan banyak terima kasih."

Sin Hong juga bangkit memberi hormat dan suasana menjadi gembira sekali. Hal ini tentu saja tak akan mungkin terjadi kalau Kao Cin Liong dan Suma Hui masih terancam bahaya seperti tempo hari. Mereka lalu membicarakan tentang permusuhan yang timbul antara para partai persilatan besar.

"Sungguh menyebalkan sekali kalau diingat," kata Suma Ceng Liong. "Bagaimana sih jalan pikiran para pimpinan partai persilatan besar itu? Bangsa kita dijajah orang Mancu, dan betapa pun besar usaha pemerintah Mancu untuk memakmurkan rakyat jelata tetap saja bangsa kita dijajah, menjadi budak dan para pembesar semua adalah orang-orang Mancu, atau kalau ada orang Han juga mereka adalah anjing-anjing penjilat yang tidak segan menindas bangsa sendiri demi kesetiaan mereka pada pemerintah Mancu. Akan tetapi, kini partai-partai besar bahkan ribut saling bermusuhan sendiri sehingga tentu saja rakyat jelata menjadi semakin menderita, golongan sesat pun merajalela tanpa ada yang menentangnya. Aihh, sungguh menyedihkan sekali!"

"Adik Liong, kenapa engkau bisa bilang begitu? Lupakah engkau bahwa darah kita ini pun merupakan darah campuran. Kakek kita Suma Han memang seorang Han tulen, akan tetapi bagaimana dengan Nenek kita? Puteri Nirahai, Nenekmu, dan puteri Lulu, Nenekku, bukanlah orang Han." Suma Hui memperingatkan.

Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya. "Tidak kusangkal akan kebenaran hal itu, Enci. Memang kenyataannya demikian. Akan tetapi, Kakek kita, Ayah kita, semenjak dahulu adalah orang-orang gagah yang menjadi pembela rakyat jelata walau pun tidak pernah mencampuri urusan kenegaraan. Bahkan suamimu, Cihu (Kakak Ipar) Kao Cin Liong juga mengundurkan diri dari jabatan panglima karena sungkan untuk mengabdi kepada orang-orang Mancu. Kita tidak perlu menentang pemerintah Mancu, akan tetapi kita harus tetap menjadi pendekar yang membela kepentingan rakyat jelata yang tertindas, menentang semua penindas tidak peduli dari bangsa apa pun! Kalau kini perkumpulan para pendekar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai saling serang sendiri, bukankah itu amat menyedihkan?"

"Sudahlah, hal itu tidak cukup hanya disesalkan saja. Melihat cara para tosu Bu-tong-pai itu melakukan kecurangan ketika menyerang kami, aku yakin bahwa ada suatu rahasia yang tersembunyi di balik ini semua. Aku bahkan mempunyai dugaan bahwa mereka itu bukan orang-orang Bu-tong-pai yang asli!"

"Tetapi, bukankah sudah lama kita mendengar bahwa memang terdapat permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai?" Suma Hui mencela. "Sebelum tewas pun Thian Kwan Hwesio sendiri mengaku bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Bagai mana dia bisa keliru sangka?"

"Keadaan itu memang aneh dan mencurigakan," kata Sin Hong. "Harap Ibu dan Ayah mertua suka menenangkan hati. Sudah menjadi kewajiban saya untuk kelak melakukan penyelidikan. Siapa tahu ada orang luar yang menyelundup ke dalam Bu-tong-pai. Saya mengenal baik para pimpinan Bu-tong-pai dan sudah saya surati ke sana untuk minta pertanggungan jawab mereka."

Dua utusan yang lain beberapa hari kemudian pulang. Yang diutus mengundang Suma Ciang Bun tidak berhasil karena pendekar itu tidak berada di rumah dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun bertemu dengan Gangga Dewi dan keduanya melakukan pengejaran dan pencarian untuk menolong Yo Han yang dilarikan Ang-I Moli dan kawan-kawannya.

Akan tetapi utusan dari Bu-tong-pai datang membawa surat dari Ketua Bu-tong-pai. Seperti telah diduga oleh Sin Hong, di dalam suratnya itu Ketua Butong-pai menyangkal telah menyerang keluarga Kao di Pao-teng!

Memang terdapat sedikit pertentangan dan kesalah pahaman antara Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai, demikian antara lain surat itu mengatakan, akan tetapi itu hanya terbatas di kalangan murid-murid yang tinggal di luar pusat saja. Para pimpinan kedua pihak sedang melakukan penyelidikan dan belum terdapat pertentangan resmi atau berterang. Maka, Ketua Bu-tong-pai menyangsikan bahwa yang membunuh Thian Kwan Hwesio, kepala kuil Pao-teng, bahkan juga melukai pendekar besar Kao Cin Liong dan isterinya, adalah para murid Bu-tong-pai.

Keluarga pendekar itu kini mengadakan perundingan. "Keadaannya sungguh gawat dan perlu penyelidikan," kata Suma Ceng Liong. "Kalau dibiarkan berlarut-larut, tentu akan timbul pertentangan hebat dan akan rusak binasalah para pendekar dari partai-partai besar karena permusuhan yang tidak menentu ujung pangkalnya ini."

"Pendapat Paman itu memang tepat sekali. Saya sendiri sudah mendengar pula bahwa bukan hanya Bu-tong-pai dan Siauw-lim-pai saja yang dilanda pertentangan, bahkan juga Go-bi-pai dan Kun-lun-pai. Agaknya di antara empat partai besar ini timbul suatu kesalah pahaman besar yang membuat mereka saling curiga, dan di antara murid-murid mereka terdapat permusuhan. Saya kira, sudah sepantasnya bila kita semua berusaha mendamaikan."

"Tepat sekali!" Kao Cin Liong juga berseru. "Memang kita harus berusaha menjernihkan segala kekeruhan ini agar tidak berlarut-larut!"

Isterinya, Suma Hui cemberut. "Terlalu enak kalau para pengecut itu didiamkan saja. Bu-tong-pai harus bertanggung jawab dan mencari para pengecut itu sampai dapat, baru aku mau menghabiskan urusan ini dengan Bu-tong-pai!"

Suaminya menghiburnya. "Kita harus bersabar dan tidak makin mengeruhkan suasana. Sudah jelas bahwa Bu-tong-pai dipalsukan orang, tentu saja kita tak bisa menyalahkan Bu-tong-pai. Aku yakin bahwa Bu-tong-pai sendiri akan bertanggung jawab dan akan mencari pengacau itu sampai dapat. Lebih baik kalau kita, keluarga kita, mengundang mereka semua ke sini."

"Bukankah beberapa bulan lagi merupakan hari ulang tahun Ayah yang ke enam puluh empat? Bagaimana kalau kita mengundang mereka untuk menghadiri ulang tahun itu? Dengan demikian tak akan menyolok dan mereka tentu akan datang semua, mengingat akan hubungan baik antara Ayah dan para pendekar," kata Kao Hong Li.

Semua orang setuju dan segera mengatur undangan kepada para tokoh persilatan, terutama empat partai besar itu untuk menghadapi pesta perayaan ulang tahun Kao Cin Liong yang akan jatuh pada tiga bulan lagi.

Setelah bermalam di situ selama satu minggu, Suma Ceng Liong dan isterinya pulang ke dusun Hong-cun di kota Cin-an, sedang Tan Sin Hong, isteri dan anaknya kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada Suma Ceng Liong bahwa kelak puteri mereka Sian Li, akan diantar ke Hong-cun untuk belajar silat dari pendekar sakti itu.....

********************
Yo Han menari-nari dengan gerakan yang indah namun aneh. Yang mengiringi gerakan tarinya adalah suaranya suling yang melengking-lengking secara aneh pula. Yo Han tidak tahu bahwa jika terdengar orang lain, suara suling ini akan dapat membuat orang yang mendengarnya menjadi tuli atau setidaknya akan roboh pingsan, karena suara itu melengking tinggi parau dan begitu lembut sehingga dapat menusuk dan menembus kendangan telinga, menggetarkan jantung dan dapat menguasai semangat orang!

Memang Thian-te Tok-ong bukanlah seorang manusia biasa. Tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi, bahkan bukan hanya ilmu silat, melainkan juga tenaga sinkang-nya yang sangat kuat itu sukar dicari bandingannya. Suara sulingnya itu saja cukup untuk membuat pendengaran orang menjadi tuli atau mati karena jantungnya terguncang.

Namun Yo Han memiliki suatu kelainan yang timbul secara mukjijat. Kepasrahannya yang mutlak kepada Tuhan membuat dia seolah menjadi kekasih Tuhan yang selalu melindunginya dengan kekuasaan Tuhan yang gaib. Atau lebih tepat lagi, tenaga sakti yang memang sudah terkandung dalam diri setiap orang manusia sejak lahir, dan yang biasanya terpendam dan tak berdaya karena pengaruh nafsu-nafsu daya rendah yang menguasainya, pada diri Yo Han timbul dan justru berkembang sehingga seluruh bagian tubuhnya hidup dan bekerja sesuai dengan tugasnya ketika diciptakan.

Thian-te Tok-ong berusia kurang lebih delapan puluh tahun. Wataknya sudah berubah kekanak-kanakan, kadang bahkan pikun, akan tetapi dia senang sekali bergurau, dan wataknya juga nakal suka menggoda orang, seperti kanak-kanak. Tubuhnya pendek kecil seperti tubuh yang sudah mulai mengkerut dan mengecil saking tuanya, namun gerakannya masih lincah. Matanya kocak, jelas membayangkan kenakalan, dan mulut yang tidak ada giginya sebuah pun itu selalu menyeringai seperti seringai anak kecil. Namun, dia ditakuti seluruh orang Thian-li-pang dan agaknya dia tahu benar akan hal ini.

Di pusat Thian-li-pang itu, Thian-te Tok-ong tinggal di bagian paling belakang, bukan merupakan bangunan lagi, melainkan merupakan sebuah goa besar di bukit. Goa itu luas sekali dan dilapisi dinding buatan menjadi tempat yang amat kokoh, berikut lubang-lubang angin dan lubang-lubang untuk memasukkan sinar matahari dari atas.

Setiap hari yang keluar masuk goa itu hanyalah burung-burung walet kalau siang, dan kelelawar-kelelawar bila malam. Keadaannya menyeramkan sehingga tak seorang pun berani memasuki goa itu tanpa panggilan Thian-te Tok-ong yang jarang pula keluar dari dalam goa. Makanan dan minuman untuknya dikirim setiap hari oleh seorang murid Thian-li-pang, akan tetapi itu pun hanya diletakkan di atas batu dan di ujung depan goa.

Yo Han adalah seorang anak yang jujur dan tidak pernah berprasangka buruk terhadap siapa pun juga, walau pun hal ini bukan menunjukkan bahwa dia bodoh. Sama sekali tidak. Dia peka rasa dan cerdik sekali, akan tetapi karena ada perasaan kasih terhadap semua orang, maka dia tidak pernah berprasangka. Oleh karena itu, ketika Thian-te Tok-ong mengajarkan ilmu ‘tarian’ dan ‘senam’ kepadanya, dia pun lalu mempelajarinya dengan tekun, sama sekali tidak mempunyai prasangka bahwa semua gerakan tari dan senam itu sesungguhnya merupakan dasar-dasar ilmu silat yang amat hebat!

Di lain pihak, Thian-te Tok-ong adalah seorang kakek tua renta yang di waktu mudanya merupakan seorang datuk sesat yang sangat ditakuti orang. Dia bukan saja ahli silat, akan tetapi juga ahli sihir dan ahli tentang racun sehingga mendapat julukan Tok-ong (Raja Racun).

Setelah merasa bosan merajalela seorang diri saja di dunia kang-ouw, terutama sekali setelah dua kali dia menelan pil pahit karena dikalahkan dua orang pendekar sakti, dia lalu mengundurkan diri. Dan untuk melindungi dirinya, dia bersembunyi di balik sebuah perkumpulan yang didirikannya, yaitu Thian-li-pang.

Perkumpulan itu maju pesat berkat kepandaiannya, akan tetapi setelah usianya semakin tua, ia menyerahkan kepengurusan Thian-li-pang kepada sute-nya, yaitu Ban-tok Mo-ko yang dalam ilmu silat juga sangat lihai, namun tentu saja masih jauh di bawah tingkat suheng-nya, Thian-te Tok-ong yang mengundurkan diri dan bertapa di dalam goa itu.

Setelah setahun Yo Han berada di dalam goa itu menjadi murid Thian-te Tok-ong, sedikit demi sedikit gurunya mulai mengungkapkan tabir rahasianya. Kakek itu semakin percaya kepada Yo Han dan mulailah dia menceritakan tentang keadaan Thian-li-pang, bahkan mulai membuka rahasia diri pribadinya. Yo Han juga merasa sayang kepada gurunya ini karena dia menganggap kakek itu sebagai seorang tua renta yang hidupnya tidak berbahagia, yang kesepian dan agaknya kenangan-kenangan pahit menekan sisa hidupnya.

Dari Thian-te Tok-ong, Yo Han mendengar bahwa Thian-li-pang didirikan oleh Thian-te Tok-ong dengan cita-cita yang tinggi. Bukan saja untuk mendirikan sebuah perkumpulan silat yang ampuh dan memiliki banyak murid pandai yang akan menjunjung tinggi nama Thian-li-pang, tapi salah satu ciri khas Thian-li-pang adalah bahwa perkumpulan ini anti pemerintah Mancu, anti penjajahan!

Hal ini sebenarnya bukan karena Thian-te Tok-ong berjiwa patriot, sama sekali bukan, melainkan karena dia pernah merasa sakit hati terhadap pemerintah Mancu. Pernah dulu perkumpulannya cerai berai dan hampir terbasmi ketika pasukan Mancu di bawah pimpinan Panglima Kao Cin Liong mengadakan pembersihan! Sejak itu dia bersumpah untuk memimpin perkumpulannya, menjadi perkumpulan anti pemerintah Mancu.

Tentu saja kepada Yo Han, kakek ini hanya mengemukakan bahwa Thian-li-pang ialah perkumpulan patriot yang gagah, yang cinta tanah air dan bangsa, dan yang bercita-cita membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah. Ia berharap anak yang luar biasa ini akan dapat mewarisi ilmu-ilmunya, dan bahkan kelak menjadi pemimpin Thian-li-pang untuk menghancurkan pemerintah Mancu.

Setelah dua tahun Yo Han menjadi murid Thian-te Tok-ong dan usianya sudah empat belas tahun, pada suatu pagi sehabis berlatih ‘menari’, dia dipanggil menghadap pada gurunya. Sambil berlutut Yo Han duduk di depan gurunya yang bersila di atas batu datar.

Kakek itu memandang kepada muridnya, mengangguk-angguk gembira sekali sambil mengelus jenggotnya yang putih panjang. Muridnya itu kini bukan kanak-kanak lagi. Usianya sudah menjelang dewasa dan tubuhnya yang sedang itu tegap dan agak tinggi. Mukanya yang lonjong itu nampak gagah tampan dengan dagu meruncing dan berlekuk. Rambutnya yang hitam panjang dibiarkannya tergantung di belakang punggung. Alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulut itu membayangkan senyum yang ramah dan lembut.

"Yo Han, tahukah engkau sudah berapa lama engkau menjadi muridku dan berdiam di sini?"

"Teecu tidak dapat menghitung hari, Suhu. Akan tetapi tentu sudah ada dua tahun."

"Benar, dua tahun telah berlalu dengan cepatnya dan kukira engkau telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu tari, senam dan juga bertiup suling. Nah, sekarang aku ingin mengujimu, Yo Han. Engkau mulailah dengan gerakan senam seperti yang selama ini kau latih. Berdiri dan bersiaplah menanti apa yang kuperintahkan!"

Yo Han memang amat menyayangi dan menghormati gurunya yang sejak dia berada di situ bersikap amat baik kepadanya. Mendengar perintah ini, dia pun segera melepas baju atasnya, bertelanjang dada dan berdiri tegak dengan kedua lengan tergantung di kanan kiri, siap untuk melakukan senam seperti yang diajarkan oleh gurunya. Dia sama sekali tidak tahu bahwa gerakan senam itu oleh Thian-te Tok-ong diambil sebagian dari gerakan silat Thai-kek-koan dan Im-yang-kun.

Mulailah dia bergerak setelah mendengar aba-aba gurunya. Mula-mula dia mengangkat lengan kanan ke atas, melingkar di bawah pusar, lalu kedua lengan itu diputar perlahan saling bertemu seperti orang menangkap bola besar di depan dada sambil menarik dan menahan napas, lalu dengan hembusan napas perlahan, kedua tangan itu digerakkan, yang satu ke atas dan yang satu ke bawah seperti menolak dengan pengerahan tenaga dalam perlahan-lahan. Inilah gerakan dari Thai-kek-koan.

Kemudian gerakan itu disambung dengan menjulurkan kedua lengan kanan kiri, dengan telapak tangan agak ke atas, jari-jari menunjuk langit, kemudian siku ditekuk ke atas dan kedua tangan ke pinggang, dilanjutkan dengan gerakan memutar tangan. Telapak yang tadinya di bawah menjadi ke atas bagai orang menyodorkan atau menawarkan sesuatu. Gerakan ini oleh gurunya dinamakan ‘Menghaturkan Anggur Kepada Dewata’.

"Sekarang salurkan tenagamu ke arah pundak, perlahan-lahan sampai seluruh tenaga itu berkumpul di kedua pundakmu!" terdengar Thian-te Tok-ong berkata.

Yo Han menurut. Kedua tangan yang dilonjorkan itu ditarik kembali sampai ke bawah ketiak dan dia pun mengerahkan tenaga dari pusar dan dikumpulkan ke pundak. Kedua pundaknya itu menggembung besar sekali, seperti punuk onta saja!

"Tarik tenaga itu ke punggungmu dan membuat gerakan menyembah Sang Buddha!" kata gurunya.

Yo Han merobah gerakannya, tubuhnya membungkuk dengan muka hampir menyentuh tanah, kedua tangan merangkap ke depan dan kini punuk di kedua pundak berpindah ke punggung, membuat dia menjadi seperti orang yang berpunuk dan bongkok!

Thian-te Tok-ong terus memberi aba-aba dan latihan ‘senam’ ini nampak sungguh amat mengagumkan bagi orang lain kalau ada yang melihatnya. Anak berusia empat belas tahun itu bisa memindahkan gumpalan ‘punuk’ yang sesungguhnya merupakan saluran tenaga sakti itu ke mana saja, ke leher, ke dada, perut, lengan, kaki, bahkan ke tengkuk leher! Yo Han sendiri sama sekali tidak menyadari bahwa gumpalan yang sebenarnya merupakan hawa sinkang itu dapat membuat tubuh bagian itu menjadi kebal!

"Sekarang kau lihat di dinding itu. Ada gumpalan batu menonjol, bukan? Nah, batu itu mengganggu, Yo Han. Coba engkau kerahkan kemauanmu pada telapak tangan kirimu lalu mendorongnya ke arah batu itu dengan mengerahkan tekad untuk memecahkan gumpalan batu yang mengganggu dinding itu agar dinding menjadi rata!"

Yo Han tidak tahu apa artinya ini dan apa pula gunanya. Akan tetapi karena yang harus diratakan itu hanya batu dinding, dia pun dengan senang hati melakukannya. Dia mulai menyalurkan tenaga yang mendatangkan gumpalan pada semua bagian tubuh itu ke arah telapak tangan kirinya, kemudian dengan kemauan bulat dia mendorong ke arah gumpalan batu menonjol di dinding itu.

Jarak antara tangannya dan dinding itu ada dua meter. Dia tidak menyadari bahwa dari telapak tangannya menyambar hawa pukulan dahsyat dan terdengar suara keras diikuti pecahnya gumpalan batu dinding menonjol itu!

"Brakkkk!"

Yo Han sendiri memandang bengong dan matanya terbelalak. Tak disangkanya bahwa gumpalan batu itu dapat remuk terkena sambaran hawa pukulan tangannya dan hal ini sungguh membuat dia tidak mengerti. Dia menoleh kepada gurunya ketika mendengar gurunya tertawa terkekeh-kekeh dengan senangnya.

"Suhu! Apa yang terjadi? Kenapa batu itu bisa pecah?" tanyanya.

"He-he-heh-heh, itulah berkat latihan senammu, Yo Han. Jangankan seorang manusia, bahkan batu pun akan hancur terkena sambaran angin pukulan tanganmu."

"Ihh! Aku tidak mau memukul orang, Suhu!" kata Yo Han marah.

"Hushh, siapa suruh kau memukul orang? Engkau hanya berlatih senam agar tubuhmu sehat, bukan untuk memukul orang. Tadi pun hanya untuk mengetahui sampai di mana kemajuan latihanmu. Apa kau kira aku ingin muridku menjadi tukang pukul! Heh-heh, Yo Han, jangan engkau mengira yang bukan-bukan. Sekarang sudah kulihat kemajuan ilmu senammu, mari kulihat kemajuan ilmu tarianmu Nah, kau pakai kembali baju atasmu."

Yo Han merasa girang dan dia pun membereskan kembali pakaiannya. Dia tidak tahu bahwa dalam usia empat belas tahun itu, tubuhnya sudah menjadi atletis dan indah sekali, seperti tubuh seorang dewasa yang kuat.

"Aku ingin melihat engkau mainkan tari kera dan akan kucoba engkau dengan sambitan-sambitan batu ini. Seekor kera yang sudah mahir menari, biar disambit bagaimana pun sudah pasti akan mampu mengelak dan tidak akan dapat kena disambit. Nah, engkau mulailah."

Yo Han sudah mempelajari tarian ini dengan baik. Tubuhnya lantas membuat gerakan-gerakan loncatan ke sana-sini, dan kedua tangannya membentuk gerakan kedua tangan kera, siku ditekuk, pergelangan tangan ditekuk serta kedua kakinya sedikit merendah, meloncat ke sana-sini, bahkan mulutnya mengeluarkan bunyi seperti kera, dan bibirnya diruncingkan.

Matanya melirik ke kanan kiri dengan lincahnya. Kadang dia meloncat ke atas, kadang bergulingan, gerakannya gesit, lincah dan cepat sekali. Dan kakek itu pun tidak tinggal diam. Kedua tangannya mengambil batu-batu kecil yang sudah dipersiapkan bertumpuk di depannya dan dia pun mulai menyambit-nyambitkan batu-batu itu. Sambitannya cepat dan kuat, namun sungguh mengagumkan.

Yo Han mampu mengelak dan seolah-olah pendengarannya menjadi sangat tajam dan dia sudah dapat menangkap arah luncuran batu-batu itu tanpa melihat dengan matanya. Sampai puluhan batu kecil menyambar, dan tak sebutir pun mengenai tubuhnya!

"Bagus sekali! Engkau seperti monyet tulen, muridku. Nah, sekarang ilmu tari harimau!"

Yo Han mentaati dan tanpa dia sadari, dia kini memainkan silat Harimau yang jarang didapatkan keduanya. Bukan saja gerakannya tangkas, kedua tangan membentuk cakar harimau dan gerakannya sangat hidup, akan tetapi juga dari mulutnya keluar auman seperti harimau, dan andai kata dia mengenakan pakaian bulu harimau, tentu orang akan mengira dia seekor harimau sungguh!

Ada suatu keanehan luar biasa pada diri Yo Han yang agaknya juga baru dikenal atau diduga-duga oleh orang aneh seperti Thian-te Tok-ong. Kakek yang penuh pengalaman hidup ini pun tidak tahu mengapa ada hal mukjijat terdapat dalam diri anak itu. Kalau dia mengajarkan suatu ilmu silat baru dengan dalih ilmu tari atau senam, dia mengajarkan gerakan silat tanpa mengatakan bahwa gerakan-gerakan itu selain untuk memperkuat tubuh, juga mempunyai daya tahan dan daya serang yang ampuh.

Akan tetapi, dia melihat keanehan. Jika Yo Han sudah memainkan tari monyet misalnya, dia melihat anak itu seolah-olah bukan anak manusia lagi, seolah-olah memang dia seekor monyet! Gerakannya demikian wajar, tidak dibuat-buat, tidak tiruan, bahkan ada gerakan aneh yang tidak mungkin dilakukan manusia, kecuali dilakukan monyet asli.

Demikian pula gerakan harimau. Kalau anak itu sudah membuat gerakan tari harimau, suara aumannya persis harimau asli, bahkan gerakan mulutnya, bibirnya, tiada ubahnya seekor harimau tulen, bahkan kedua matanya juga mencorong seperti mata harimau!

Ini sungguh sangat ajaib! Kadang-kadang seorang datuk besar seperti Thian-te Tok-ong menjadi ngeri sendiri! Anak macam apa yang dijadikan muridnya ini?

“Sekarang pelajaran yang paling akhir, gerakan binatang cecak merayap. Yang paling sukar dan paling baru. Jangan takut, kalau sampai engkau gagal pun aku tidak akan marah, akan tetapi kerahkan seluruh kekuatan pada telapak tanganmu, Yo Han."

"Walau pun teecu tidak tahu apa maksudnya Suhu mengajarkan ilmu merayap seperti cecak, sudah mempelajari dengan tekun dan memang amat sukar, Suhu. Akan tetapi, apa sesungguhnya manfaat ilmu senam meniru akan gerakan cecak seperti itu, Suhu?"

"He-he-he-heh, anak bodoh. Masa engkau yang begini cerdik tak tahu gunanya? Selain bisa menyehatkan tubuhmu, juga amat penting. Bahkan penting sekali. Bayangkan saja. Suatu hari engkau tak sengaja terjerumus ke dalam sumur yang amat dalam. Meloncat keluar sudah tidak mungkin, lalu apa yang akan kau lakukan? Apakah engkau akan mati kelaparan di dalam lubang itu kalau tak ada orang mendengar teriakanmu minta tolong? Nah kalau engkau pandai menirukan gaya cecak merayap, tentu engkau akan dapat keluar dari sumur itu dengan merayap melalui dindingnya. Nah, kau masih bilang tidak ada manfaatnya?"

Yo Han menjadi girang dan dia pun tentu saja dapat mengerti. "Baik, Suhu. Teecu akan mencobanya sekarang."

Dan seperti yang telah diajarkan gurunya, dia lalu duduk bersila, mengatur pernapasan, menggerak-gerakkan kedua lengannya sampai buku-buku jarinya mengeluarkan bunyi berkerotokan. Kemudian dia pun bangkit, menghampiri dinding goa dan merayap naik menggunakan kedua tangan dan kedua kakinya yang tidak bersepatu. Dan ia pun dapat merayap bagai seekor cecak ke atas dan turun ke seberang dinding yang sana! Setelah turun, napasnya terengah dan keringatnya membasahi seluruh tubuh karena dia telah mengerahkan seluruh tenaganya.

"Ha-ha-ha, bagus sekali! Engkau memang muridku yang amat hebat, Yo Han! Sekarang yang terakhir. Engkau pernah belajar tari lutung hitam yang menggunakan tangan dan kakinya untuk menangkapi semua benda yang dilemparkan kepadanya. Nah, aku ingin engkau menarikan itu dan melihat apakah engkau sudah mahir!"

Sebetulnya Yo Han sudah lelah sekali. Akan tetapi dia memang mempunyai kekerasan hati yang mengagumkan dan pantang mundur. Apa lagi ia memang patuh pada gurunya yang dianggapnya amat menyayangnya.

"Suhu, teecu sudah siap!" katanya sambil berdiri dan memasang kuda-kuda di tengah ruangan goa itu.

Dia tahu bahwa jika tadi suhu-nya menghujankan sambitan batu-batu kecil, kini gurunya hendak menggunakan segala macam ranting untuk menyambitnya seperti hujan anak panah dan dia bukan saja harus menghindarkan semua luncuran ranting, akan tetapi juga sedapat mungkin harus bisa menangkap sebanyaknya.

"Awas serangan!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong menggerakkan dua tangannya dan puluhan batang ranting meluncur seperti anak panah ke arah seluruh tubuh Yo Han.

Pemuda remaja ini bergerak seperti seekor lutung, kaki tangannya bergerak dan bukan hanya kedua tangannya saja yang mampu menangkis atau menangkap ranting, bahkan kedua kaki telanjang itu pun berhasil menjepit ranting dengan celah-celah jari kaki atau menyepaknya pergi.

Akan tetapi, ketika gurunya menghentikan serangan itu, dia mengeluh dan menjatuhkan diri bersila di atas lantai goa, menahan sakit sambil memegangi kaki tangannya yang berdarah dan bengkak-bengkak membiru!

"Suhu, kenapa kaki tangan teecu menjadi begini?" tanyanya, sekuat tenaga menahan agar mulutnya tidak mengeluarkan keluhan.

Kakek itu menghampiri, langkahnya sudah gontai karena memang dia sudah tua sekali. Akan tetapi matanya mencorong aneh dan berulang kali dia menggelengkan kepala.

"Luar biasa! Ajaib, seribu kali ajaib! Tahukah engkau, Yo Han, kalau orang lain yang menangkis dan menangkapi ranting-ranting tadi, tidak peduli bagaimana tinggi ilmunya saat ini dia pasti sudah akan menjadi kaku dan mampus?"

Yo Han terbelalak memandang wajah tua itu. "Akan tetapi, kenapa, Suhu?"

"Ranting-ranting itu semuanya sudah kupasangi bubuk racun yang paling berbahaya di dunia ini, terdiri dari racun segala macam ular yang paling ampuh. Ada ular cobra, ular belang hitam, ular merah, ular emas, bahkan racun kalajengking hijau. Siapa pun yang terkena, pasti mati seketika. Akan tetapi engkau... engkau hanya luka-luka dan tangan kakimu membiru saja! Bukan main!"

"Tapi, kenapa, Suhu? Apakah Suhu bermaksud untuk membunuh teecu?"

"Ha-ha-ha-ha, aku sayang padamu, aku kagum padamu, kepadamulah seluruh tumpuan harapanku kuberikan, bagaimana mungkin aku akan membunuhmu? Aku hanya akan mengujimu! Andai kata racun-racun itu mengancam nyawamu, aku sudah menyiapkan obat penawarnya. Sekarang bahkan tidak perlu lagi. Racun itu hanya berhenti sampai di pergelangan tangan dan kakimu. Entah kemukjijatan apa yang melindungi dirimu, Yo Han."

"Tidak ada kemukjijatan apa-apa kecuali kekuasaan Tuhan yang teecu yakin akan selalu melindungi teecu, Suhu."

"Heh-heh-heh, sudah terlalu sering engkau mengatakan begitu. Akan tetapi, bagaimana ada kekuasaan Tuhan melindungimu, tetapi tidak melindungi orang lain?"

"Suhu, bagaimana teecu bisa tahu? Kehendak Tuhan, siapa yang tahu? Teecu hanya merasakan bahwa ada sesuatu di luar kehendak akal pikiran teecu, dan teecu hanya menyerahkan kepada Tuhan, menyerah dengan sepenuh jiwa raga teecu. Apa pun yang dikehendaki Tuhan atas diri teecu, akan teecu terima tanpa mengeluh."

"Engkau memang anak aneh sekali. Bagaimana rasanya jari-jari tangan dan kakimu?"

"Rasanya ngilu, nyeri kaku dan gatal-gatal."

"Heh-heh-heh, tidak percuma gurumu ini berjuluk Tok-ong (Raja Racun), tetapi sekali ini, Tok-ong sama sekali tidak berdaya menghadapi kekuasaan Tuhan yang ada pada dirimu. Buktinya, engkau tidak apa-apa. Kalau bukan engkau keadaanmu ini merupakan penghinaan besar bagiku dan sekali pukul engkau akan mampus. Akan tetapi engkau muridku, bahkan engkau akan kuajari bagaimana cara untuk mengobati pengaruh racun dariku."

"Akan tetapi, Suhu, teecu tidak akan menggunakan racun. Teecu tidak mau mencelakai orang, tidak mau meracuni orang."

"Ha-ha-ha, engkau tidak mau mencelakai orang, tetapi akan dicelakai orang. Engkau tak mau meracuni orang, akan tetapi engkau akan diracuni orang. Aihhh, Yo Han, engkau belum tahu apa artinya hidup ini. Kau kira dunia kita ini seperti sorga? Neraka pun tidak sebusuk dunia, kau tahu? Setan-setan pun tidak sejahat manusia, kau tahu?"

"Tidak, Suhu! Teecu tidak percaya. Semua manusia pada dasarnya baik. Hanya karena mempelajari ilmu kekerasan, maka mereka menjadi jahat dan hendak mengandalkan kekerasan untuk mencari kemenangan. Dan teecu tidak sudi mempelajari kekerasan."

Thian-te Tok-ong tertawa terpingkal-pingkal sesudah mendengar ucapan muridnya itu. Bagaimana dia tidak akan merasa geli? Selama dua tahun ini dia telah menggembleng Yo Han dengan ilmu-ilmu yang amat hebat, ilmu yang akan dapat membunuh puluhan orang lawan dan anak ini masih mengatakan tidak sudi mempelajari kekerasan!

Mereka berada di tengah goa itu, tidak nampak dari luar. Mendadak terdengar suara melengking nyaring dari luar pintu goa, disusul kata-kata yang lembut seorang wanita, namun yang dapat terdengar sampai ke dalam goa.

“Thian-te Tok-ong, keluarlah engkau, aku Ang-I Moli ingin bicara denganmu!”

Mendengar suara yang melengking nyaring ini, diam-diam Yo Han terkejut. Tentu saja dia mengenal siapa itu Ang-I Moli, orang pertama yang memaksanya menjadi murid walau pun dia tidak pernah diajarkan apa pun. Dia tahu bahwa wanita itu seperti iblis, selain amat lihai, juga amat jahat dan kejam, maka diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan kakek tua renta yang selama ini bersikap sangat baik kepadanya.

Akan tetapi kakek itu terkekeh. "Ang-I Moli, suaramu sudah cukup nyaring dan dapat terdengar dari sini. Perlu apa aku harus keluar menemuimu? Kalau engkau mau bicara, bicaralah, dari sini pun aku dapat mendengarmu dengan baik."

"Thian-te Tok-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, tentu kunjunganku ini sudah kau ketahui maksudnya. Aku datang untuk menuntut janjimu untuk menukar Sin-tong dengan obat penawar racun ilmu yang telah kusempurnakan."

"He-he-heh, engkau sudah menyempurnakan ilmu Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa)? Hebat! Ilmu semacam itu hanya ada seratus tahun yang lalu dan kini engkau berhasil menguasainya? Perempuan iblis, engkau akan menjadi seorang tanpa tanding, heh-heh-heh! Mari, Yo Han, mari kita keluar melihat iblis betina itu!" Kakek itu menjulurkan tongkatnya kepada Yo Han.

Anak itu memegang ujung tongkat dan menuntun gurunya keluar dari dalam goa. Dia sendiri sudah sering keluar goa, akan tetapi kakek itu tidak pernah sehingga setelah kini dia keluar dari goa, matanya disipitkan, silau, dan mukanya nampak pucat seperti mayat hidup.

Diam-diam Ang-I Moli sendiri bergidik. Kakek ini seperti bukan manusia lagi dan ia pun sudah mendengar bahwa kakek tua renta ini merupakan tokoh nomor satu perkumpulan Thian-li-pang yang memiliki tingkat kepandaian tak dapat diukur tingginya.

Setelah Yo Han dan Thian-te Tok-ong tiba di luar goa, mereka melihat ada beberapa orang di situ. Selain Ang-I Moli yang kini nampak semakin cantik saja, juga di situ terdapat Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang yang berlutut, dan ada pula lima orang pria lain yang melihat pakaian mereka adalah petani-petani biasa dan nampaknya mereka itu ketakutan, berlutut pula tanpa berani mengangkat muka.

Hanya Ang-I Moli seorang yang tidak berlutut. Hal ini tidaklah aneh karena dia bukan anggota Thian-li-pang, bahkan ia adalah pemimpin dari perkumpulan Ang-I Mo-pang di luar kota Kunming.

Dua tahun yang lalu, ketika ia bersekutu dengan Thian-li-pang, kemudian menyerahkan Yo Han kepada Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang untuk ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja, ia lalu membawa dua belas orang remaja itu pergi. Diam-diam ia mulai melatih diri dengan ilmu kejinya itu, dan mengorbankan nyawa dua belas orang remaja yang dihisap darahnya. Dan kini, dua tahun kemudian, ia sudah berhasil dengan ilmunya itu dan datang ingin menagih janji, yaitu untuk minta obat penawar bagi keampuhan ilmunya yang beracun.

Baginya sendiri, ilmu tanpa ada obat penawarnya amat berbahaya bagi diri sendiri, juga tidak dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendaknya kepada lain orang. Dan di dunia ini, yang mampu membuatkan obat penawar bagi segala macam ilmu pukulan beracun hanyalah Thian-te Tok-ong seorang!

Begitu kakek tua renta itu muncul, Ang-I Moli membungkuk dengan sikap hormat. Lauw Kang Hui yang berlutut juga memberi hormat dan berkata, "Teecu mohon Supek sudi memaafkan kalau teecu mengganggu ketentraman Supek. Teecu mengantarkan Ang-I Moli yang hendak menagih janji dua tahun yang lalu."

"He-he-heh-heh, Lauw Kang Hui, mulutmu bicara satu akan tetapi hatimu bicara dua. Katakan saja bahwa engkau pun datang untuk menagih janji minta diajari sebuah ilmu. Benar tidak?"

Wajah Lauw Kang Hui yang biasanya memang sudah merah itu menjadi semakin gelap, akan tetapi dia menyembah lagi dengan segala kerendahan hati. "Supek, teecu hanya menyerahkan kepada kebijaksanaan Supek saja, karena semua itu juga demi kemajuan Thian-li-pang kita."

"Baiklah, kau tunggu saja. Sekarang, Moli. Aku bukan orang yang suka melanggar janji. Yo Han memang menyenangkan dan sudah menjadi muridku. Untuk itu, aku tentu akan memenuhi janjiku. Akan tetapi, bagaimana aku akan dapat membuat obat pemunah dari ilmu kejimu itu kalau aku tidak melihat dulu buktinya?"

Ang-I Moli tertawa genit dan memang wanita ini masih manis sekali seperti orang muda saja, walau pun usianya sudah empat puluh tahun. "Locianpwe Thian-te Tok-ong, aku sudah mempersiapkan segalanya. Lihatlah lima orang dusun ini. Mereka ini yang akan kujadikan kelinci percobaan. Nah, harap kau lihat baik-baik!"

Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, sehingga yang tampak hanya berkelebatnya bayangan merah saja, dan tahu-tahu tiga di antara kelima orang itu roboh terpelanting. Padahal, Ang-I Moli hanya mendorongkan telapak tangannya dari jauh saja, sama sekali tanpa menyentuh orangnya, akan tetapi dari telapak tangan itu menyambar hawa yang kebiruan ke arah mereka.

"Keji sekali kau!" Tlba-tiba Yo Han berseru.

Dari tempat ia berdiri, Yo Han teringat akan ilmu senamnya dan dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah dua orang yang belum roboh. Dua orang itu bagaikan kena disambar angin keras sehingga tubuh mereka terguling-guling sampai jauh, akan tetapi mereka terhindar dari pukulan beracun Ang-I Moli!

Melihat ini, Ang-I Moli marah sekali dan ia pun mengerahkan pukulan kedua tangannya, didorongkan ke arah tubuh Yo Han. Anak ini pun menyambut dengan gerakan senam yang dinamakan ‘mendorong bukit’.

"Dessss...!"

Yo Han terjengkang dan roboh pingsan. Akan tetapi Ang-I Moli terhuyung, berpusing lalu roboh dan muntah darah!

Wanita itu terbelalak penuh kekagetan, keheranan dan juga ketakutan sebab ia merasa betapa ilmunya yang amat keji itu, yaitu yang dia beri nama Toat-beng Tok-hiat, tadi ketika bertemu dengan tenaga dari kedua tangan anak itu, telah membalik dan melukai dirinya sendiri!

Ia tahu bahwa ia telah menjadi korban pukulannya sendiri yang membalik dan ia sendiri tidak mempunyai obat penawarnya! Keadaannya sama dengan tiga orang petani yang dijadikan kelinci percobaan. Mereka pun roboh dan muntah darah. Baik wajah tiga orang itu mau pun wajah Ang-I Moli berubah menjadi kebiruan!

Thian-te Tok-ong menghampiri Yo Han dan ia tertawa terkekeh-kekeh saking girangnya melihat betapa meski pun pingsan Yo Han sama sekali tidak terluka. Dia menotokkan tongkatnya ke tengkuk anak itu dan Yo Han pun siuman kembali.

Yo Han meloncat bangun dan memandang ke arah Ang-I Moli dengan mata terbelalak. "Suhu... apakah teecu... membuat ia roboh...?"

Thian-te Tok-ong mengangguk. "Kalau engkau tidak menggunakan senam mendorong bukit, tentu engkau akan roboh keracunan atau mungkin sudah tewas. Ilmu iblis betina itu keji bukan main."

Ang-I Moli terengah-engah dan bangkit duduk. "Locianpwe, aku yakin bahwa seorang Locianpwe seperti engkau ini tidak akan menelan ludah sendiri dan akan memenuhi janjinya. Aku menuntut diberi obat penawar untuk ilmu pukulan ini."

"Ha-ha-ha, sudah lama kubuatkan. Aku mengenal pukulan keji semacam itu, Moli. Akan tetapi engkau masih untung. Kalau engkau tadi membuat Yo Han tewas, engkau pun tentu akan kubunuh! Nah, inilah obat penawarnya, berikut catatan cara membuatnya, terimalah dan buktikan kemanjurannya pada dirimu sendiri."

Kakek itu melemparkan sebuah bungkusan yang diterima oleh Ang-I Moli. Isi bungkusan itu ternyata belasan butir pel merah dan sehelai kertas catatan resep pembuatannya. Menurutkan petunjuk catatan, Ang-I Moli menelan sebutir pel merah dan setelah bersila sejenak, wajahnya berubah merah kembali dan dia merasa betapa pengaruh racun di tubuhnya lenyap. Dia girang bukan main, meloncat berdiri lalu membungkuk terhadap Thian-te Tok-ong.

"Nama besar Thian-te Tok-ong ternyata bukanlah nama kosong dan bukan pula seorang pembohong. Aku menghaturkan banyak terima kasih." Lalu kepada Lauw Kang Hui ia pun berkata, "Lauw Pangcu, kita sudah saling membantu, harap sampaikan hormatku kepada Ouw Pangcu. Aku mohon diri untuk mengambil jalanku sendiri. Selamat tinggal!"

"Heiiii, nanti dulu!" Tiba-tiba Yo Han berseru keras.

Moli terkejut karena sekali anak itu menggerakkan kaki, tubuhnya sudah melayang dan berdiri di depannya! Anak ini, entah disadari atau pun tidak, telah memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat bukan main!

"Huh, mau apa engkau?" bentaknya, tidak berani memandang rendah karena tentu saja ia gentar terhadap guru anak itu.

Dengan menuding telunjuk tangan kanannya, seperti seorang dewasa menegur seorang anak nakal, Yo Han berkata, "Ang-I Moli, sejak dahulu engkau sungguh tidak berubah, bahkan menjadi semakin jahat dan keji. Engkau melukai tiga orang petani yang tidak berdosa itu sampai mereka keracunan dan engkau mau meninggalkan mereka begitu saja? Mana tanggung jawabmu? Engkau harus menyembuhkan mereka lebih dulu, baru boleh pergi!"

Ang-I Moli mengerutkan alisnya. Mana ia mau mentaati permintaan bocah itu?

"Huh! Peduli apa aku dengan mereka?" Serunya dan ia pun sudah meloncat pergi.

Akan tetapi Yo Han juga meloncat dan anak ini terkejut sendiri akan tubuhnya melayang dan dia dapat menghadang di depan wanita pakaian merah itu.

"Aih, kiranya Tok-ong sudah melatihmu, ya? Yo Han, engkau masih kanak-kanak, sama sekali bukan lawanku, jangan coba-coba menghalangiku. Kalau aku tidak melihat muka gurumu, sekali pukul engkau akan mampus. Pergilah!"

"Moli, aku tidak mau berkelahi, aku tak mau melawanmu atau melawan siapa saja. Akan tetapi aku minta pertanggungan jawabmu. Tiga orang itu tidak berdosa. Engkau tidak boleh meninggalkan mereka terluka tanpa kau obati dulu. Hayo cepat kau sembuhkan mereka!"

"Bocah setan kau!"

Akan tetapi mendadak terdengar suara Thian-te Tok-ong terkekeh-kekeh. "Ang-I Moli, jangan mengira bahwa aku mencampuri urusan percekcokanmu dengan Yo Han anak kecil. Akan tetapi, dalam dunia kita sudah terdapat peraturan bahwa siapa yang menang harus ditaati dan siapa kalah harus mentaati. Nah, sekarang begini saja. Engkau boleh menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus, dengan ilmu pukulanmu yang mana pun, boleh semua kepandaianmu kau keluarkan, kecuali pukulan Toat-beng Tok-hiat itu. Jika kau pergunakan pukulan itu dan sampai muridku mati, engkau akan kucabik-cabik. Akan tetapi semua pukulan lain boleh kau lakukan. Kalau sampai dua puluh jurus engkau tak mampu merobohkannya, nah, engkau harus mentaati perintahnya mengobati tiga orang petani itu. Kalau sebelum dua puluh jurus dia jatuh, sudahlah, engkau boleh pergi dan aku yang akan menghajar kelancangan mulut muridku."

Mendengar ini, Lauw Kang Hui wakil ketua Thian-li-pang yang datang pula ke situ diam-diam terkejut bukan main. Bagaimana sih supek-nya itu? Tingkat kepandaian Ang-I Moli sudah tinggi sekali. Apa lagi setelah sekarang menguasai Toat-beng Tok-hiat, bahkan ia sendiri pun harus berhati-hati kalau melawan wanita itu.

Dan kini supek-nya menyuruh Moli menyerang Yo Han sampai dua puluh jurus. Mana mungkin anak itu mampu bertahan? Baru satu dua jurus saja kepala anak itu dapat hancur! Akan tetapi tentu saja ia tidak berani mencampuri urusan supek-nya yang amat ditakuti dan dihormatinya itu.

Ang-I Moli adalah seorang wanita iblis yang amat licik. Tadinya dengan senang sekali ia berhasil mendapatkan Yo Han, akan tetapi terpaksa dia melepaskan anak itu kepada Thian-te Tok-ong. Kini, mendengar tantangan itu, tentu saja ia mendapat kesempatan untuk melampiaskan kemarahannya. Kalau ia membunuh anak itu, berarti anak itu tidak terjatuh ke tangan orang lain, dan ia pun dapat membalas penghinaan yang diterimanya ketika Yo Han menangkisnya tadi!

"Bagus sekali! Locianpwe Thian-te Tok-ong, bukan aku yang menantang, tapi syarat itu memang cukup adil. Nah, Yo Han yang manis, majulah engkau ke sini untuk menerima kematianmu. Sayang masih begini muda terpaksa engkau harus mampus di tanganku."

"Suhu, teecu tidak sudi berkelahi, biar pun melawan iblis betina itu sekali pun," kata Yo Han kepada gurunya sambil mengerutkan alisnya.

"Bocah tolol! Siapa suruh engkau berkelahi? Akan tetapi dia hendak membunuh ketiga orang petani itu, juga hendak membunuhmu. Engkau tidak perlu memukulnya, engkau hanya menari saja seperti yang kau pelajari tadi. Gunakan tari monyet dan tari lutung, dan hendak kulihat apakah perempuan sombong ini akan mampu menyentuh selembar rambutmu. Hayo cepat engkau menari!"

Mendengar perintah ini, hati Yo Han tidak ragu-ragu lagi. Ia memang tetap berpendirian bahwa ia tak akan sudi berkelahi menggunakan kekerasan memukul orang. Akan tetapi kalau hanya menari dan menghindarkan diri dari serangan orang, itu namanya bukan berkelahi dan bukan menggunakan kekerasan. Apa lagi ia harus menyelamatkan nyawa tiga orang petani yang tidak berdosa itu. Maka, dia pun melangkah maju menghadapi wanita itu dengan hati tabah.

Bagaimana pun juga, karena ia segan dan takut kepada Thian-te Tok-ong, Ang-I Moli sekali lagi berkata, "Locianpwe Thian-te Tok-ong, benarkah aku boleh menyerangnya sampai dua puluh jurus?"

"Perempuan sombong, siapa yang menyangkal? Cepat serang!"

Ang-I Moli memang seorang yang amat licik dan curang. Biar pun yang dihadapinya itu seorang remaja berusia empat belas tahun, namun begitu mendengar ucapan Thian-te Tok-ong, tanpa memberi peringatan lagi tiba-tiba saja ia sudah menerjang dengan tiga tamparan yang amat ganas, ke arah kepala Yo Han.

"Wuuut-wuut-wuuuttt...!"

Tiga kali ia menampar susul menyusul dan... luput!

Bagaikan seekor kera yang amat lincah, Yo Han telah menari-nari dan semua tamparan itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya. Dia seperti sudah melihat terlebih dahulu datangnya tamparan.

Tentu saja Ang-I Moli terkejut, heran dan juga penasaran sekali. Kini ia tidak main-main lagi, mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh, bukan sekedar untuk menampar atau memukul, melainkan mengirimkan jurus pukulan mautnya! Bahkan, setelah lewat sepuluh jurus, berturut-turut dia memukul dengan pukulan ampuh Pek-lian Tok-ciang, yaitu pukulan beracun yang amat dahsyat, yang dikuasai oleh para murid Pek-lian-kauw tingkat tinggi saja.

Pukulan ini mengandung uap putih dan hawa beracun itu cukup untuk membuat orang yang menghisapnya roboh pingsan! Namun, dengan gerakannya yang lincah selalu Yo Han dapat menghindarkan diri, bahkan asap yang menerjangnya dan tanpa disengaja tersedot olehnya sama sekali tak mempengaruhinya. Ia bahkan masih sempat berseru, "Aih, baunya harum!"

Tentu saja ucapan yang jujur dari Yo Han ini oleh Ang-I Moli merupakan tamparan dan ejekan. Tiba-tiba ia mengeluarkan suara melengking nyaring. Tinggal sisa tiga jurus lagi karena ia sudah menyerang sampai tujuh belas jurus tanpa hasil dan yang tiga jurus ini akan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, bukan tenaga sembarangan, melainkan ilmu pukulannya yang baru, yaitu Toat-beng Tok-hiat!

Terdengar suara bercuitan seperti tikus-tikus terjepit pada saat ia melancarkan pukulan ampuh Toat-beng Tok-hiat itu. Latihan pukulan ini baru saja dirampungkan Ang-I Moli dan merupakan pukulan tingkat tinggi yang hebat bukan main. Jangankan seorang anak remaja seperti Yo Han yang tidak pernah belajar ilmu silat, bahkan seorang wakil ketua Thian-li-pang seperti Lauw Kang Hui saja belum tentu akan mampu menahan pukulan maut itu!

Diam-diam Lauw Kang Hui amat terkejut. Dia sendiri tidak sayang kepada Yo Han, akan tetapi dia tahu betapa sayangnya supek-nya kepada anak itu sehingga kalau sampai Yo Han celaka, tentu nyawa Ang-I Moli tidak akan dapat diselamatkan lagi!

Akan tetapi, Yo Han yang sama sekali belum menyadari bahwa semua latihan yang dilakukan secara rajin selama dua tahun ini adalah gerakan silat tinggi, telah memiliki ketajaman penglihatan yang luar biasa. Hal ini adalah karena sebagian besar waktunya dia berada di dalam goa yang gelap dan remang-remang.

Maka, kini dia dapat melihat atau mengikuti gerakan tangan dan tubuh Moli dengan jelas sehingga memudahkan dia untuk berloncatan seperti seekor kera mengelak ke sana sini dan tiga kali hantaman berturut-turut yang mengeluarkan bunyi bercicit itu tidak ada yang mengenai tubuhnya.

Ang-I Moli penasaran bukan main sehingga ia menjadi lupa diri, lupa bahwa sudah dua puluh jurus ia menyerang dan kini ia menubruk ke depan untuk menerkam anak yang dianggapnya telah membuat ia kehilangan muka itu.

"Takkk!"

Tubuh Moli terjengkang dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya karena disodok ujung tongkat oleh Thian-te Tok-ong! Sungguh luar biasa sekali gerakan ini. Kakek itu masih duduk bersila dan jaraknya cukup jauh. Akan tetapi, entah tongkatnya yang mulur atau lengannya yang memanjang, ujung tongkatnya dapat menyambut serangan Moli sehingga membuat wanita itu terjengkang.

"Moli, apakah engkau ingin mampus? Sudah dua puluh jurus dan engkau masih ingin menyerang terus?" bentak kakek itu terkekeh.

Ang-I Moli cepat bangkit dan memberi hormat. "Maaf, Locianpwe, tentu aku sudah salah menghitung."

"Heh-heh-heh, engkau sudah kalah bertaruh. Hayo lekas kau sembuhkan tiga orang itu kemudian cepat pergi dari sini, jangan sekali lagi sampai bertemu denganku, karena aku tidak akan sudi mengampunimu lagi!"

Dengan terpaksa Ang-I Moli lalu mendekati ketiga orang petani yang tergeletak dengan muka kebiruan itu. Dia masukkan tangannya ke dalam saku di balik baju luarnya, tempat ia tadi menyimpan belasan butir pel merah penawar racun pukulan Toat-beng Tok-hiat yang diberikan oleh Thian-te Tok-ong. Ketika tangannya keluar dari balik bajunya, tiga butir pel merah sudah berada dalam genggamannya, yang kemudian satu demi satu dimasukkan ke mulut tiga orang petani korban pukulannya tadi.

Pel penawar bikinan Thian-te Tok-ong memang luar biasa mujarab, serta gelar Raja Racun Langit dan Bumi terbukti bukan julukan kosong belaka. Setelah masing-masing diminumkan obat, hanya dalam waktu sebentar saja tiga orang petani itu telah sadar kembali dan lenyap sudah rona kebiruan pada wajah mereka.

Tiga orang petani itu segera bangkit dengan perasaan bingung, akan tetapi keheranan mereka tidak berlangsung lama karena Thian-te Tok-ong cepat berkata kepada mereka, “Kalian berlima lekas pergi dari sini, pulanglah ke tempat asal kalian.”

Meski pun rasa heran dan bingung mereka belum lenyap sama sekali, namun melihat wajah dan potongan orang-orang di sekitar itu, ditambah mendengar kata-kata Thian-te Tok-ong barusan, maka tanpa menanti lebih lama lagi, lima orang petani itu, tiga orang yang baru sadar bersama dua orang lain yang tidak sempat terpukul oleh Ang-I Moli, kemudian mulai melangkahkan kaki, pergi meninggalkan tempat itu.

Dapat dibayangkan betapa marahnya hati Ang-I Moli. Ia memang tahu bahwa Thian-te Tok-ong adalah orang nomor satu dari Thian-li-pang, bahkan merupakan seorang tokoh langka yang tak pernah mencampuri urusan dunia. Dikalahkan Thian-te Tok-ong masih belum merupakan hal yang memalukan.

Akan tetapi, ia, datuk besar yang baru saja selesai menguasai ilmu yang amat hebat, ilmu Toat-beng Tok-hiat yang dianggapnya akan bisa membuat ia menjadi seorang yang paling lihai di dunia, atau setidaknya seorang di antara yang paling lihai, kini tidak dapat merobohkan seorang bocah berusia empat belas tahun yang tidak pandai ilmu silat!

Maka, setelah ia memandang kepada Yo Han dengan sinar mata mengandung penuh kebencian, dan di dalam hatinya ia mencatat bahwa kelak pada suatu hari ia pasti akan membunuh anak ini dan menghisap darahnya sampai tidak tertinggal setetes pun, ia lalu membalikkan tubuhnya dan sekali meloncat ia pun lenyap dari tempat itu.

"He-he-heh-heh, Yo Han, kau ingat. Ialah mungkin wanita yang kelak harus kau bunuh, kalau tidak engkau yang akan dibunuhnya, heh-heh-heh!"

Yo Han mengerutkan alisnya dan menggeleng kepalanya. "Suhu tahu, teecu tidak akan mau membunuh siapa pun juga!"

"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang aneh. Nah, Lauw Kang Hui, engkau tentu datang mengantar perempuan tadi bukan dengan percuma, tentu engkau pun hendak menagih janji, bukan?"

Lauw Kang Hui, seperti juga semua murid Thian-Ii-pang, amat takut kepada kakek ini. Kakek ini bukan saja merupakan orang pertama yang dipuja-puja dan ditakuti, namun juga terkenal bengis dan entah sudah berapa puluh orang anak buah Thian-li-pang semenjak dulu dibunuhnya begitu saja dengan kesalahan yang amat sepele. Maka, dia pun cepat menyembah sambil berlutut.

"Teecu memberanikan diri mengantar Ang-I Moli karena ia desak-desak, Supek. Ada pun tentang Supek hendak memberi anugerah kepada teecu atau tidak, teecu serahkan kepada kebijaksanaan Supek. Bagaimana teecu berani menuntut?"

"Ha-ha-ha, engkau memang seorang di antara para murid yang cerdik, Kang Hui, tidak seperti suheng-mu Ouw Ban yang terlalu keras kepala walau pun kepandaiannya lebih tinggi. Aku sudah mendengar mengenai siasatmu mengadu domba antara empat partai persilatan besar dan berhasil baik. Ha-ha-ha, sungguh, aku sendiri tak akan memikirkan sejauh itu. Engkau memang pandai dan aku suka sekali menambahkan satu dua ilmu pukulan untukmu agar engkau lebih dapat memajukan Thian-li-pang lagi!"

"Terima kasih, Supek. Terima kasih!" Akan tetapi dia lalu menambahkan dengan suara lirih. "Hanya teecu mohon agar Supek sudi melembutkan hati Suhu bila Suhu memarahi teecu karena urusan ini."

"Gurumu? Ha-ha-ha, gurumu selalu berat sebelah, terlalu mudah dirayu oleh Ouw Ban. Jangan takut, kalau gurumu berani mengganggumu, akan kupukul pantatnya sampai bengkak-bengkak, he-he-he! Nah, ke sinilah dan perhatikan baik-baik. Akan kuajarkan ilmu Tok-jiauw-kang (Ilmu Cakar Beracun) dan Kiam-ciang (Tangan Pedang) padamu. Hafalkan baik-baik dan kemudian latihlah, sedikitnya satu dua tahun baru engkau akan dapat mahir."

"Terima kasih, Supek!"

Lauw Kang Hui memasuki mulut goa dan Yo Han yang tidak suka melihat orang belajar silat, lalu masuk ke dalam goa untuk melakukan pekerjaan sehari-hari, membersihkan goa dan mengirim makanan dan minuman untuk orang hukuman yang berada di dalam sumur.

Sampai tiga hari lamanya Lauw Kang Hui menerima petunjuk dua ilmu itu dari Thian-te Tok-ong tanpa ada yang berani mengganggu, bahkan mendekat pun tiada yang berani. Setelah dia hafal benar, Lauw Kang Hui berlutut menghaturkan terima kasih, kemudian meninggalkan goa yang menjadi sunyi kembali.

Dan Yo Han pun mulai lagi setiap hari belajar ilmu menari dan senam, karena sampai hari itu pun Yo Han tetap berkukuh tidak sudi belajar ilmu memukul orang! Pada waktu usianya sudah lima belas tahun, tetap juga dia berkeras hati tak mau belajar silat. Habis sudah kesabaran Thian-te Tok-ong. Ia memanggil muridnya menghadap.

Yo Han berlutut di depan Thian-te Tok-ong.....

Waktu itu malam hampir tiba dan di dalam goa sudah mulai gelap. Namun, berkat kebiasaan, mereka dapat saling melihat dengan tajam. Yo Han memiliki ketajaman mata yang dapat melihat di dalam gelap seperti mata harimau atau mata kucing.

"Yo Han, apa engkau sudah gila? Kau lihat sendiri, kalau engkau tak pandai mengelak, tentu engkau sudah mampus diserang Ang-I Moli. Mengapa engkau tetap tidak mau menerima pelajaran silat dariku? Aku akan membuat engkau orang yang paling pandai di kolong langit ini."

"Tidak, Suhu. Teecu tetap takkan mau belajar memukul orang. Untuk apa? Teecu tidak akan memukul orang, apa lagi membunuh orang. Hidup ini bukan berarti harus saling bermusuhan dan saling bunuh."

"Tolol! Kau kira ilmu silat itu hanya untuk membunuh orang?"

“Teecu tetap tidak mau! Semenjak kecil teecu tidak suka ilmu silat. Ayah Ibu teecu juga tewas hanya karena mereka itu ahli-ahli silat. Kalau dulu mereka tidak pandai silat, tidak mungkin mereka itu mati muda."

"Huh! Hal itu terjadi karena ilmu silat mereka masih rendah, masih mentah! Sudahlah, tidak perlu banyak berbantah lagi, mari kau keluar bersamaku, dan akan kuperlihatkan bukti-bukti kepadamu!"

Sebelum Yo Han menjawab, tiba-tiba saja punggung bajunya sudah dicengkeram oleh gurunya dan dia merasa tubuhnya dibawa terbang atau lari dengan kecepatan yang luar biasa. Diam-diam dia merasa kagum. Gurunya ini bukan manusia agaknya. Hanya iblis yang dapat bergerak seperti itu!

Akan tetapi dia pun diam saja dan hanya melihat betapa mereka melalui lembah bukit, menuruni jurang, dan akhirnya mereka tiba di luar sebuah dusun. Dari luar saja sudah terdengar suara ribut-ribut di dusun itu, suara sorak sorai disertai gelak tawa di antara suara tangis dan jerit mengerikan, juga nampak api berkobar.

"Suhu, apa yang terjadi?" Yo Han bertanya dengan kaget sekali.

Thian-te Tok-ong melepaskan muridnya, kemudian membiarkan muridnya itu menuntun tongkatnya, diajaknya memasuki dusun itu.

"Tidak perlu banyak bertanya dan kau lihatlah saja sendiri," katanya.

Setelah mereka memasuki dusun, mendadak kakek itu memegang lengan Yo Han dan membawanya loncat naik ke atas pohon besar. Dari tempat itu mereka dapat melihat apa yang sedang terjadi di bawah.

Yo Han terbelalak, mukanya sebentar pucat sebentar merah. Dia melihat peristiwa yang mendirikan bulu romanya, perbuatan kejam yang membuat ia merasa ngeri bukan main. Belasan orang laki-laki yang bengis dan kasar, dengan golok di tangan, membantai orang-orang dusun yang sama sekali tidak mampu mengadakan perlawanan.

Ada pula yang memperlakukan wanita dengan kasar dan tidak sopan, menelanjanginya, menciuminya dan memukulinya. Ada pula yang mengusungi barang-barang berharga dari dalam rumah. Tahulah dia bahwa mereka adalah perampok-perampok yang sedang menyerang dusun itu dengan kejam sekali.

Hampir saja Yo Han menjerit melihat itu semua dan tiba-tiba saja tubuhnya melayang turun dari atas pohon itu. Dia sendiri terkejut karena dia dapat meloncat dari tempat setinggi itu tanpa cidera. Gurunya hanya melihat sambil tersenyum saja. Yo Han lari ke dusun itu.

"Manusia-manusia jahat, kalian ini manusia ataukah iblis?" bentaknya berkali-kali dan ke mana pun tubuhnya berkelebat, dia sudah merampas sebatang golok dan mendorong seorang perampok sampai terjengkang dan terguling-guling.

Melihat seorang anak remaja maju mendorong roboh beberapa orang anak buahnya, kepala perampok yang brewok menjadi marah dan dia melepaskan wanita muda yang tadi dipermainkannya, lalu dengan bertelanjang dada dan dengan golok besar diangkat, dia menyerang Yo Han dengan bacokan ke arah leher anak itu.

Yo Han yang telah mahir ‘menari’ itu dapat melihat dengan jelas datangnya golok, maka dengan gerakan tari monyet, amat mudah baginya untuk meloncat ke samping sehingga golok itu tidak mengenai sasaran. Dia tidak bermaksud memukul orang, tetapi karena dia marah melihat orang itu tadi menggeluti seorang wanita, dan kini melihat orang itu hendak membunuhnya, dia pun mendorong sambil berseru nyaring,

"Engkau orang jahat, pergilah!"

Dan akibatnya sungguh luar biasa sekali. Begitu kena dorongan tangan Yo Han, kepala perampok itu terlempar bagai daun kering ditiup angin dan tubuhnya menabrak dinding. Dia pingsan seketika karena kepalanya terbentur pada dinding.

Para perampok menjadi marah dan kini beramai-ramai mereka menggerakkan golok mengepung dan menyerang Yo Han. Akan tetapi Yo Han berloncatan menari-nari dan semua serangan itu pun luput. Sayangnya, karena Yo Han memang tak suka berkelahi, tidak suka memukul orang, tidak suka menggunakan kekerasan dan perasaan ini sudah mendarah-daging sejak kecil, maka dia pun hanya berloncatan mengelak ke sana sini saja tanpa membalas.

"Huh, orang-orang semacam ini masih kau kasihani?" tiba-tiba terdengar seruan lembut dan Yo Han melihat betapa belasan orang itu terlempar ke kanan kiri, berkelojotan dan mati semua! Gurunya sudah berdiri di situ dan kini Yo Han memandang kepada gurunya dengan terbelalak dan alis berkerut.

"Suhu membunuh mereka semua? Suhu kejam! Sungguh kejam!"

Thian-te Tok-ong yang usianya sudah delapan puluh dua tahun itu lalu terkekeh-kekeh. "Dan engkau hendak bilang bahwa belasan orang yang membunuh, memperkosa dan merampok, membakari rumah penduduk itu tidak kejam?"

"Mereka juga kejam seperti setan, tapi jika suhu membunuhi mereka, lalu apa bedanya antara mereka dengan kita? Mereka kejam, kita pun sama kejamnya!"

"Ho-ho-ho, dan kalau menurut engkau, kita harus mengusap-usap kepala dan punggung mereka, kemudian memuji-muji perbuatan mereka?"

"Bukan begitu, Suhu. Akan tetapi teecu tetap tidak setuju Suhu membunuhi mereka! Teecu tidak sudi membunuh dan tidak suka menggunakan kekerasan!"

"Hemmm, kau kira engkau ini pintar dan baik, ya? Bocah tolol. Kau lihatlah, mengapa penduduk dusun ini sampai dibunuh, diperkosa dan dirampok? Karena mereka lemah! Coba mereka itu kuat, coba mereka itu mempelajari ilmu silat, tentu para perampok itu tidak akan mampu mencelakai mereka. Jangan bilang kalau hidup tanpa kekerasan itu tidak akan menjadi korban kekerasan!"

Yo Han tertegun, akan tetapi alisnya masih berkerut ketika gurunya mengajaknya pergi. Di sepanjang perjalanan pulang ke goa, anak itu termenung. Hatinya amat tidak senang. Gurunya membunuhi orang begitu saja walau pun orang-orang itu perampok kejam.

Mereka sampai di hutan dan tiba-tiba terdengar suara auman harimau. Thian-te Tok-ong menarik muridnya dan meloncat ke arah suara, lalu bersembunyi di balik semak belukar. Mereka melihat seekor harimau sedang menubruk seekor kijang, menerkam leher kijang itu yang menjerit-jerit dan meronta-ronta. Namun, kuku-kuku dan gigi-gigi runcing tajam itu sudah menghunjam leher dan pundak. Darah dihisap dan rontaan itu makin lemah. Akhirnya, harimau itu menggondol korbannya memasuki semak belukar.

Thian-te Tok-ong memandang muridnya. "Bagaimana pendapatmu, Yo Han? Apakah harimau itu kejam? Andai kata kijang itu mampu melawan dan menang, atau mampu melarikan diri, bukankah berarti ia tidak akan menjadi korban?"

"Harimau itu kejam sekali!" kata Yo Han. "Aku benci padanya!"

"Ha-ha-ha! Anak baik. Kalau harimau itu tidak makan daging hewan lain, dia akan mati kelaparan! Untuk itu ia telah ditakdirkan lahir dengan dibekali ketangkasan, kuku runcing dan gigi tajam. Harimau tak dapat hidup dengan makan rumput! Sebaliknya, kijang pun ditakdirkan hidup makan rumput dan daun. Hidup memang perjuangan, Yo Han. Siapa kuat dia bertahan!"

"Teecu tidak suka! Yang kuat selalu menang dan hendak berkuasa saja. Yang kuat selalu jahat dan ingin memaksakan kehendaknya kepada yang lemah. Karena itu, teecu tak suka belajar silat, tidak suka menggunakan kekerasan karena hal itu akan membuat teecu menjadi jahat!"

"Yo Han, kau lihat apa ini?"

"Suhu memegang tongkat!"

"Apakah tongkat ini merupakan senjata untuk melakukan kekerasan?"

"Tentu saja!"

"Jadi engkau tidak suka memegang tongkat?"

"Tidak."

"Kalau kebetulan ada seekor anjing gila yang menyerangmu, dan engkau tidak mampu melarikan diri, lalu engkau membawa tongkat, apakah tongkat itu pun masih merupakan senjata kekerasan yang jahat? Ataukah merupakan alat pelindung diri yang akan dapat menyelamatkan dirimu dari gigitan anjing gila? Hayo jawab!"

Yo Han menjadi bingung. Akan tetapi dia seorang anak yang jujur dan cerdik. "Kalau pun teecu memegang tongkat itu, teecu hanya mempergunakan untuk membela diri dan mengusir anjing itu, bukan untuk memukul, melukai apa lagi membunuhnya!"

"Nah, demikian pula dengan ilmu silat, anak keras kepala! Apa kau kira kalau kita sudah mempelajari ilmu silat lalu kita semua menjadi tukang-tukang pukul, menjadi perampok-perampok, menjadi penjahat dan tukang menyiksa dan membunuh orang? Kalau kita mempunyai ilmu silat, banyak kebaikan yang dapat kita lakukan. Pertama, kita dapat membela diri, melindungi keselamatan diri dari serangan orang jahat, ke dua, kita dapat membantu orang-orang yang ditindas dan disiksa orang lain, dan ke tiga, yang terutama sekali, kita dapat mengangkat martabat dan kedudukan kita, dapat menjadi orang yang terpandang di dalam dunia!"

Yo Han mengerutkan alisnya. Ada sebagian yang dianggapnya tepat, akan tetapi yang terakhir itu dia sama sekali tidak setuju. "Bagaimana pun juga, orang-orang yang pandai silat selalu berkelahi dan bermusuhan saja, Suhu. Tidak seperti kaum petani yang tidak pandai silat."

"Ha-ha-ha, soalnya para petani bodoh itu tidak mampu membela diri sehingga mereka mudah saja dipukuli dan dibunuh tanpa melawan!"

"Sudahlah, Suhu. Teecu tidak suka bicara tentang ilmu silat dan teecu tidak pernah mau belajar silat!" berkata pula Yo Han. "Tentang keselamatan teecu, tentang nyawa teecu, semua berada di tangan Tuhan dan teecu yakin benar akan hal ini!"

"Huh, bocah aneh, tolol tapi... benar juga..." kakek itu menggumam.

Sudah sering dia melihat Yo Han yang tak pandai silat itu tidak mempan diserang racun, bahkan kebal pula terhadap sihir, dan selalu selamat! Entah kekuasaan apa yang selalu melindunginya.

Dia sendiri adalah seorang datuk sesat yang sejak muda tidak pernah mau mengakui adanya kekuasaan di luar dirinya. Kekuasan Tuhan? Dia tidak percaya karena tak dapat melihatnya! Dia sama sekali tidak sadar bahwa perasaan sayang dan cintanya terhadap Yo Han merupakan dorongan kekuasaan yang tidak dipercayanya itu.....

********************

Waktu berjalan dengan cepatnya dan setahun telah lewat lagi. Kini sudah tiga tahun Yo Han berada di dalam goa itu dan usianya sudah lima belas tahun. Dia menjadi seorang pemuda remaja yang bertubuh tegap dan kokoh kuat karena biasa bekerja keras.

Mukanya yang lonjong dengan dagu runcing berlekuk itu membayangkan kegagahan. Rambutnya gemuk panjang serta dikuncir besar. Pakaiannya sederhana dan kasar. Alis matanya amat menyolok karena amat tebal menghitam berbentuk golok. Dahinya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya ramah walau pun dia pendiam. Sepasang matanya membayangkan kejujuran dan kelembutan.

Dia sudah mulai jemu tinggal di dalam goa itu. Setiap hari selain melayani gurunya yang sudah makin tua dan lemah, juga selalu mempelajari ilmu tari, senam dan juga siu-lian (semedhi) yang menurut gurunya berguna untuk kesehatan dan memanjangkan usia.

Tetapi, bila timbul keinginannya meninggalkan tempat itu, dia merasa tidak tega kepada gurunya. Kakek itu sudah tua sekali. Dia pun merasa kasihan kepada orang hukuman yang berada di dalam sumur. Bahkan sering kali timbul keinginannya untuk menengok orang itu ke dalam sumur, akan tetapi dia selalu mengurungkan niatnya karena dilarang oleh suhu-nya.

Akan tetapi pada suatu pagi, ketua Thian-li-pang dan wakil ketuanya, yaitu Ouw Ban dan Lauw Kang Hu, datang berkunjung dan mereka itu diterima oleh Thian-te Tok-ong di ruangan depan goa. Yo Han disuruh ke dalam oleh suhu-nya dan tidak diperkenankan untuk menghadiri, bahkan mendengarkan percakapan mereka pun tidak boleh.

Yo Han masuk ke bagian paling dalam dari goa itu supaya tidak dapat mendengarkan percakapan mereka dan bagian paling dalam adalah di tepi sumur itu. Selagi dia duduk termenung, matanya yang terlatih itu dapat melihat keadaan yang bagi orang lain tentu amat gelap pekat itu, dan hatinya terharu melihat keadaan sumur yang garis tengahnya hanya satu meter dan yang dalamnya tak dapat diukur itu.

Setiap kali memberi makanan dan minuman, dia hanya melemparkan saja ke bawah. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa siapa pun yang berada di bawah, tentu bukan orang sembarangan karena dalam keadaan yang gelap itu mampu menerima luncuran bungkusan makanan dan poci minuman dari atas.

Sambil menanti percakapan gurunya dengan kedua orang ketua Thian-li-pang, Yo Han lalu duduk di bibir sumur sambil mencoba untuk menjenguk ke bawah. Akan tetapi amat gelap di bawah sana, tidak nampak sedikit pun. Juga tidak pernah terdengar apa-apa, kecuali kadang saja terdengar suara yang amat mengerikan, seperti suara melengking panjang, seperti jerit tangis, seperti tawa, pendeknya bukan seperti suara manusia!

Tiba-tiba saja Yo Han mendengar suara yang keluar dari dalam sumur. Bukannya pekik melengking mengerikan seperti biasanya, sama sekali bukan. Bahkan yang terdengar kini adalah suara nyanyian merdu. Suara seorang pria yang bernyanyi, dan nyanyiannya sederhana akan tetapi suara itu demikian merdu dan lembut.

Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!


Yo Han mendengarkan. Karena dia memang merupakan seorang kutu buku yang suka sekali membaca, maka mendengar satu kali saja dia sudah hafal. Tetapi, bagaimana seorang remaja berusia lima belas tahun akan mampu menangkap arti dari dua baris kata-kata itu? Kalau diterjemahkan kata-katanya, maka berarti:

Badan Manusia Adalah Alam Kecil,
Satu Im (Positive) dan Satu Yang (Negative) itulah To (Jalan atau Kekuasaan Tuhan)!


Yo Han menggerak-gerakkan bibir menghafal dua baris kalimat itu dengan heran. Dia lebih kagum mendengar kemerduan suara itu dari pada isi kata-katanya yang tidak dia mengerti benar. Jika biasanya dia tak pernah tertarik untuk memeriksa ke dalam sumur, sebab selain dilarang suhu-nya, juga dia tak pernah menganggur dan suara melengking yang mengerikan itu membuatnya ragu, sekarang mendengar nyanyian pendek yang bersuara merdu itu membuat hatinya tertarik bukan main.

Apakah si penyanyi adalah orang yang suka menjerit-jerit itu? Perasaan iba memenuhi hatinya. Kenapa orang itu dihukum di sana? Apakah dosanya? Dan mengingat betapa orang-orang Thian-li-pang adalah orang-orang sakti yang aneh, juga jahat dan curang, maka timbul niatnya untuk menyelidiki. Kalau gurunya mengetahui dan marah, dia akan mempertanggung jawabkan perbuatannya itu. Bagaimana pun juga, ia harus tahu siapa salah siapa benar, dan bila orang di bawah sumur itu tak bersalah, dia tidak sepatutnya dihukum dan di siksa seperti itu.

Dengan hati yang mantap Yo Han lalu menuruni tebing sumur itu. Pekerjaan yang bagi orang lain tentu hampir tidak mungkin dilakukan ini, bagi dia tidaklah begitu sukar. Dia telah lama digembleng oleh Thian-te Tok-ong untuk menirukan gerakan binatang cecak merayap di dinding goa! Dengan latihan semedhi, dia bisa menggunakan tenaga dalam tubuh untuk menyedot hawa dan kedua tangan serta kakinya yang telanjang itu dapat melekat di dinding.

Dalamnya sumur itu tidak kurang dari dua puluh lima meter dan meski pun gelap pekat, akan tetapi pandangan mata Yo Han masih dapat menembus sehingga remang-remang nampak olehnya bahwa sumur itu agak menyerong. Akhirnya, tibalah dia di dasar sumur yang cukup luas, ada empat meter persegi dan terdapat sedikit cahaya yang datang dari sebuah lubang sebesar lengan tangan yang datang dari jurusan lain. Dasar sumur itu becek dan baunya pengap sekali, sungguh orang akan tersiksa hebat bila harus tinggal di situ.

Ketika dia turun ke dasar sumur, dia tidak melihat ada orang di situ, hanya ada lima buah batu bundar sebesar guci besar berjajar di sudut. Dia memandang ke sekeliling. Tidak mungkin ada orang bersembunyi di ruangan persegi itu, atau entah kalau masih ada lorong rahasia lain.

Tiba-tiba saja tubuhnya seperti disedot oleh kekuatan yang amat kuat menuju ke salah sebuah guci yang berdiri di sudut kiri. Dia mencoba untuk mempertahankan diri, namun sia-sia. Tenaga sedotan itu seperti besi magnet menarik jarum, angin sedotannya terlalu kuat baginya dan dia pun terhuyung menuju ke guci besar itu.

Dan guci itu pun bergerak maju menabraknya!

"Desss...!"

Tubuh Yo Han terbentur benda lunak, akan tetapi yang kuatnya bukan main sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang sampai menghantam dinding sumur.

"Bressss...!"

Yo Han terbanting roboh, akan tetapi dia bangkit lagi dan kini terbelalak memandang kepada ‘guci’ itu. Ternyata guci itu berbentuk manusia! Hanya saja tidak memiliki tangan dan tak mempunyai kaki. Tinggal badan dan kepala saja! Sungguh mengerikan keadaan orang itu, seperti sebuah boneka besar mainan kanak-kanak yang dapat dibuat jungkir balik, akan tetapi selalu dapat berdiri tanpa kaki.

Sekarang penglihatan Yo Han mulai terbiasa. Cahaya kecil dari lubang kecil itu cukup mendatangkan penerangan dan dia memperhatikan makhluk itu. Tubuh tanpa kaki atau lengan itu bulat dan cukup gemuk, agaknya telanjang tetapi kulitnya ditutup ‘pakaian’ lumpur kering. Hanya mukanya yang tidak berlumur lumpur. Rambutnya terurai panjang sampai ke punggung, putih. Alis, kumis dan jenggotnya juga putih. Matanya mencorong hijau. Sungguh merupakan makhluk yang mengerikan sekali. Tentu iblis, pikir Yo Han. Semacam iblis penghuni sumur yang aneh dan berbahaya.

Kini makhluk itu berloncatan, bukan menggelundung, tapi berloncatan menghampiri Yo Han. Anak ini memang merasa ngeri, akan tetapi tidak takut karena dia memang tidak mempunyai niat buruk. Dia hanya memandang dengan penuh perhatian.

Wajah itu kini nampak nyata, wajah seorang kakek yang tentu sudah tua sekali. Dan sinar mata kehijauan itu pun tidak kejam, bahkan mulut yang sebagian tertutup kumis itu seperti menyeringai tersenyum.

"Kau tidak mati...? Kau... kau tidak terluka dan tidak mati?" Suara itu lembut, seperti suara orang yang terpelajar, akan tetapi agak aneh terdengar di tempat seperti itu, dan seolah bukan keluar dari mulutnya melainkan turun dari atas.

Yo Han tidak dapat bicara saking merasa seramnya. Dia hanya berdiri mepet di dinding dan menggelengkan kepalanya. Akan tetapi karena kini dia merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah seorang manusia, walau pun aneh, bahkan mungkin sekali seorang tapa-daksa yang patut dikasihani, maka dia pun berkata,

"Locianpwe, harap suka ampunkan aku. Aku... aku tidak bermaksud mengganggu, aku hanya ingin melihat karena tadi aku mendengar nyanyianmu yang indah itu."

Dia lalu menyanyi seperti tadi, menirukan suara yang didengarnya tadi.

Jin Sin It Siauw Thian Te,
It Im It Yang Wi Ci To!


"Siancai...! Engkau begini muda sudah pandai meniru bunyi kalimat rahasia itu? Ehh, anak muda, tahukah engkau apa artinya kalimat itu?"

Yo Han sudah membaca banyak kitab. Selain itu, memang dia mempunyai kelebihan, bahkan keanehan di dalam dirinya. Kalau membaca kitab yang berat-berat, ketika dia masih kecil sekali pun, ada suatu pengertian di dalam batinnya, seolah-olah dia pernah mengenal semua kitab itu dan sudah paham benar akan maknanya. Atau seolah ada yang membisikinya, memberi pengertian kepadanya. Maka mendengar pertanyaan itu, dia mengangguk.

"Kurasa aku mengerti, locianpwe, hanya mungkin saja keliru."

"Tidak, tidak. Engkau ini yang setiap hari mengirim makanan kepadaku, bukan? Sudah kudengar langkah-langkah kakimu dari sini kalau engkau menghampiri sumur dan aku sudah tahu, engkau bukan anak sembarangan. Nah, cepat katakan apa makna yang terkandung dalam kalimat itu."

"Jin Sin It Siauw Thian Te, atau Badan Manusia Adalah Suatu Alam Kecil. Locianpwe, kita dapat melihat kenyataan bahwa di antara segala makhluk di dunia ini, manusia adalah merupakan makhluk yang paling unggul dalam kesempurnaannya dibandingkan makhluk lain. Tuhan telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling mulia. Dalam tubuh manusia terkandung unsur-unsur yang terdapat di alam besar, terkandung tanah, air, api, angin dan logam. Bahkan kalau air samudera terasa asin, demikian pula tubuh manusia mengandung rasa asin apa bila mengeluarkan cairan seperti keringat. Kalau alam tidak pernah terpisah dari api, maka tubuh manusia pun selalu mengandung panas, api yang apa bila padam berarti kematian. Seperti yang diketahui oleh para ahli pengobatan, hukum di alam besar akan berlaku pula di alam kecil. Bukankah, demikian, Locianpwe?"

"Siancai...! Benar, orang muda, Tubuh ini memang sempurna, suci, kalau tidak dirusak atau dikotori oleh manusia itu sendiri. Lanjutkan, lanjutkan!" Kakek yang tanpa lengan tanpa kaki itu berkata dengan wajah berseri, suaranya lembut sekali.

"Lanjutannya adalah It Im It Yang Wi Ci To atau Satu Im (Positive) Satu Yang (Negative) itulah To. Locianpwe, telah menjadi kehendak Tuhan bahwa yang menggerakkan segala sesuatu di dunia ini adalah dua keadaan yang saling berlawanan, saling bertentangan, akan tetapi saling dorong dan saling melengkapi, karena tanpa ada yang satu, yang lain menjadi tidak sempurna dan tidak lengkap. Im itu wanita, dan Yang itu pria. Atau Im itu gelap, Yang itu terang. Im dan Yang terkandung di dalam bawah dan atas, malam dan siang, lembut dan keras, bumi dan langit, dingin dan panas dan sebagainya. Tanpa ada Im, bagaimana ada Yang? Tanpa ada Yang, Im pun tak ada. Bagaimana kita mengenal terang tanpa adanya kegelapan? Bagaimana kita tahu akan yang keras tanpa mengenal yang lembut? Kalau tidak ada bumi, langit pun tidak ada. Maka, Im dan Yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling melengkapi, saling menyempurnakan dan menjadi inti dari keadaan dan kesempurnaan alam. Kalau Im dan Yang dalam alam besar tidak seimbang, maka akan timbul kekacauan-kekacauan. Bila dalam alam kecil, yaitu badan kita, Im dan Yang tidak seimbang, maka akan timbul gangguan penyakit dalam tubuh kita. Kalau Im dan Yang seimbang, maka To akan bekerja dengan sempurnanya."

Wajah kakek itu memandang kagum dan beberapa kali matanya terbelalak. Kemudian dia menghela napas panjang. "Bagus, bagus! Tuhan Maha Sempurna, Maha Bijaksana, Maha Kasih Sayang sekali. Manusia lebih sering menjadi hamba nafsu sehingga lupa akan adanya To, adanya kekuasaan Tuhan yang menjadi Hukum Alam, sehingga ulah manusia membuat Im dan Yang menjadi tidak seimbang dan menimbulkan kekacauan-kekacauan di dunia ini. Ehh, benarkah engkau ini seorang manusia yang masih muda? Ataukah seorang manusia ajaib yang kelihatannya saja masih muda akan tetapi usianya sudah seratus tahun?"

Yo Han tersenyum. "Harap Locianpwe tidak terlalu memuji. Pengertian seperti itu dapat dimiliki siapa pun juga asal dia mau belajar. Dan usiaku baru lima belas tahun."

"Baru lima belas tahun? Dan engkau sudah mampu menahan tubrukanku tadi? Padahal, seorang jago silat yang kenamaan di dunia kang-ouw saja belum tentu akan dapat hidup setelah menerima tabrakan tubuhku tadi. Dan engkau bahkan pandai mengurai tentang Im-yang dan To? Ha-ha-ha, agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk menjadi murid dan ahli warisku! Siapakah namamu, orang muda?"

Yo Han mengerutkan alisnya. "Locianpwe, namaku Yo Han, akan tetapi aku tidak ingin menjadi murid dan ahli warismu."

"Ehh? Apa katamu? Seluruh jagoan silat di permukaan bumi sana akan berlomba untuk menjadi muridku, dan engkau menolak menjadi murid dan ahli warisku? Wah, wah, aku Ciu Lam Hok bisa mati karena keheranan!"

Kepala dengan tubuh yang buntung itu sekarang berloncatan sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk seperti orang menumbuk sesuatu dengan amat kuatnya. Yo Han dapat menduga bahwa kakek buntung kaki tangannya ini tentu menguasai ilmu silat karena tadi beberapa kali menyebut tentang ilmu silat dan jagoan di dunia kang-ouw.

"Ketahuilah, Locianpwe. Aku tidak ingin berguru kepada Locianpwe karena aku sudah mempunyai guru."

"Ehhh? Engkau kira gurumu akan mampu menandingi aku, ya? Coba katakan, siapa gurumu yang tidak becus itu!"

"Guruku adalah Thian-te Tok-ong..."

"Uhhhh...!"

Tiba-tiba tubuh itu ‘terbang’ ke atas dan berputar-putar dari dinding kanan ke dinding kiri. Kiranya tubuh itu membentur dinding kiri, terpental ke dinding kanan dan bolak balik begitu seperti beterbangan saja, kurang lebih lima meter dari lantai. Akhirnya tubuh itu turun kembali dan berdiri tanpa kaki di depan Yo Han.

"Kiranya engkau datang atas perintah Thian-te Tok-ong untuk membunuh aku, ya?"

"Ah, sama sekali tidak, Locianpwe! Aku tak mau menyerang orang, apa lagi membunuh. Aku benci ilmu silat, aku benci kekerasan. Maka dari itu aku tidak mau menjadi murid Locianpwe, tidak mau belajar ilmu silat dari Locianpwe!"

Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya ternganga sehingga dalam cuaca yang remang-remang itu dapat kelihatan oleh Yo Han betapa rongga mulut itu tidak memiliki sebuah pun gigi lagi.

"Engkau? Yang dapat menahan tabrakanku, tidak mau belajar silat? Membenci ilmu silat dan membenci kekerasan? Engkau yang mengaku murid Thian-te Tok-ong? Ha-ha-ha, engkau boleh membohongi orang lain, akan tetapi jangan coba-coba untuk membohongi Ciu Lam Hok!"

"Aku tidak pernah berbohong dan tidak akan suka berbohong, Locianpwe."

"Orang muda, omongan apa yang kau keluarkan ini? Engkau mengaku murid Thian-te Tok-ong akan tetapi mengatakan tidak suka belajar silat? Lalu, apakah Thian-te Tok-ong mengajar engkau menari? Ha-ha-ha..."

"Benar, Locianpwe. Suhu mengajar aku menari dan bersenam."

Kembali sepasang mata itu terbelalak, lalu pecahlah suara ketawanya tergelak-gelak dan tubuh itu pun bergulingan di atas lantai yang kotor. Tubuh itu baru berhenti di ujung ruangan itu dan tiba-tiba mulutnya meniup-niup. Yo Han segera merasa ada banyak benda-benda kecil yang meluncur deras menyambar ke arah lehernya.

Pemuda ini cepat menggerakkan tubuhnya karena kini banyak benda yang menyambar ke arahnya dan yang menjadi sasaran adalah jalan-jalan darah. Ia cepat menggerakkan tubuh, menari seperti monyet yang bergerak dengan cepat dan lincah sekali sehingga dia mampu mengelak dari sambaran benda-benda kecil yang ditiupkan oleh mulut kakek itu.

"Ha! Engkau pandai ilmu silat Monyet dan Lutung Hitam! Dan kau bilang tidak pernah belajar silat?" kakek itu berseru, suaranya mengandung kemarahan. "Dan kau bilang tidak berbohong, tidak pernah berbohong? Hemm, engkau setan cilik, tentu curang dan licik seperti gurumu!"

"Locianpwe, harap jangan menuduh sembarangan saja! Aku tidak bersilat, melainkan menari dan memang tarian ini disebut tarian monyet dan lutung hitam!"

Tiba-tiba ada sebuah benda kecil menyambar lagi dan sekali ini Yo Han kurang cepat mengelak sehingga lehernya terkena sambaran benda kecil itu. Dia merasa bagian yang terkena benda itu perih dan agak nyeri, akan tetapi baginya tidak berapa mengganggu.

"Yang licik dan curang bukan aku, melainkan engkau, Locianpwe. Engkau menyerangku secara membokong sehingga leherku terkena tiupan benda rahasiamu.”

Tangan Yo Han memijat bagian leher yang terluka dan keluarlah sebatang jarum kecil. Dia mencabut jarum itu dan melemparkannya ke lantai dengan sikap acuh.

Kini kakek itu melongo. Dia kini tahu bahwa pemuda itu tidak main-main atau mencoba untuk membohonginya. Agaknya pemuda itu memang mengira bahwa ilmu silat yang dikuasainya itu adalah ilmu menari! Dan yang membuat dia terkesima adalah cara orang muda itu menyambut jarumnya yang telah melukai lehernya.

Orang lain, betapa pun lihainya, sekali terluka jarumnya, apa lagi di leher, tentu sudah roboh dan tewas! Tetapi orang muda itu dapat menarik keluar jarum itu dari lehernya, membuangnya ke tanah dan masih sempat menegurnya. Jangankan tewas, roboh pun tidak, bahkan mengeluh pun tidak! Hampir dia tidak mau percaya akan kenyataan yang dilihatnya.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan seruan aneh, melengking seperti lolong serigala, dan tubuhnya sudah bergulingan. Kini rambutnya yang panjang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Yo Han.

Pemuda ini terkejut dan kembali dia ‘menari’, akan tetapi sekali ini, gerakan rambut kakek itu yang menyerangnya terlalu cepat dan aneh. Dia hanya berhasil meloncat dan mengelak empat lima kali saja, kemudian tiba-tiba kedua kakinya terkena totokan ujung rambut dan dia pun terpelanting jatuh!

Yo Han meloncat bangkit kembali dan kembali kakek itu menyerangnya dengan rambut. Suara rambut itu menyambar-nyambar sampai mengeluarkan bunyi bercuitan aneh. Yo Han kini menggunakan ilmu ‘senam’, berdiri kokoh, mengerahkan tenaga yang dapat membuat tubuhnya keluar semacam tonjolan besar, kemudian dia menghadapi kakek itu dengan dorongan kedua tangannya dengan senam yang disebut mendorong bukit.

Pada saat itu, kakek tadi sedang menggelundung dan kembali rambutnya menyambar. Yo Han mendorong dan tenaganya bertemu dengan tenaga yang luar biasa kuatnya, keluar dari kepala atau rambut-rambut itu sehingga Yo Han merasa kepalanya seperti meledak, tubuhnya terpental ke belakang dan kembali dia roboh!

Kakek itu pun terguling-guling ke belakang dan ketika dia sudah bangkit lagi, dia berseru kagum.

"Siancai...! Engkau ini manusia ataukah setan? Heii, Yo Han, katakan sejujurnya, siapa engkau dan apa pula maksudmu menuruni sumur ini?"

Yo Han yang sudah bangkit berdiri, memandang kepada kakek itu penuh takjub. Kini tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang manusia aneh, yang biar pun tak bertangan kaki lagi, namun memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.

Ang-I Moli, Si Iblis Betina yang amat lihai itu saja tidak mampu merobohkannya sampai dua puluh jurus ketika dia mainkan tarian monyet dan lutung hitam, bahkan pukulan iblis betina itu dapat dia tahan dengan ilmu senam ‘Mendorong Bukit’. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja dia roboh oleh kakek yang tidak mempunyai tangan dan kaki ini. Tarian dan senam yang dikuasainya tidak mampu menolongnya. Jelas bahwa kakek ini jauh lebih lihai dibandingkan Ang-I Moli!

"Locianpwe, tadi sudah kukatakan bahwa namaku Yo Han dan aku adalah murid Suhu Thian-te Tok-ong, mempelajari ilmu menari dan bersenam dari Suhu. Sudah tiga tahun aku menjadi muridnya. Aku pula orang yang diberi tugas oleh Suhu untuk menurunkan makanan ke dalam sumur. Sudah lama aku sangat tertarik dengan suara tangisan dari dalam sumur, maka hari ini aku tidak mampu lagi menahan keinginan tahuku, aku turun ke dalam sumur untuk melihat siapa yang menangis, bila perlu aku akan menolongnya. Tahukah engkau, Locianpwe, siapa yang suka meraung-raung itu?"

"Ahh... ahhh... sungguh aneh sekali. Memang sungguh ini pasti kehendak Tuhan... yang mengirim engkau masuk ke sini. Dan bagaimana engkau dapat masuk ke sini?"

"Dengan merayap, Locianpwe. Di antara tari-tarian yang diajarkan oleh Suhu, terdapat tarian gerakan cecak merayap dan aku sudah mempelajarinya.”

"Ahh… ahhh... engkau ini anak tolol ataukah anak yang sungguh luar biasa? Yo Han, mendekatlah, nak. Aku ingin mengenalmu lebih dekat lagi."

Yo Han maklum bahwa jauh atau dekat, bagi kakek sakti ini sama saja. Kalau kakek ini hendak membunuhnya, walau pun dia menjauh pun tidak ada gunanya. Maka dengan tabah dia pun melangkah dan menghampiri kakek itu.

"Diamlah, Yo Han, aku hendak memeriksa keadaan tubuhmu," kata kakek itu.

Tiba-tiba rambut kepalanya bergerak, bagai ular-ular kecil dan tahu-tahu rambut itu telah melibat-libat seluruh tubuh Yo Han. Pemuda remaja ini bergidik. Dia dapat merasakan betapa rambut-rambut itu bukan hanya membelit akan tetapi juga memijit-mijit, menotok sana sini. Rambut itu hidup!

Yo Han memejamkan matanya, seluruh jiwa raganya memuji kebesaran Tuhan. Bukan main! Agaknya karena kakek ini kehilangan kaki dan tangan, maka rambutnya menjadi hidup dan dapat menggantikan tangan untuk meraba-raba, memijit, bahkan menekan-nekannya.

Berulang-ulang kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan heran. Kemudian, ketika dia menggerakkan kepala dan hidungnya yang menjadi keras itu menotok-notok ke arah pusar Yo Han, dia terlempar dan bergulingan.

"Locianpwe...! Engkau tidak apa-apa...?” Yo Han cepat menghampiri.

Kakek itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu menengadah.

"Ya Tuhan, inilah... inilah..." dan tiba-tiba dia pun menangis! Suara tangis yang sering didengar oleh Yo Han!

Tentu saja Yo Han menjadi heran bukan main. "Locianpwe, ada apakah? Maafkan kalau aku bersalah." Dan Yo Han memandang terharu. "Jadi... kiranya Locianpwe yang suka meraung dan menangis itu?"

Kakek itu menghentikan tangisnya dan sungguh mengharukan. Rambut itu kini bergerak mengusap air mata dari mukanya! Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega, karena bagai mana pun juga, gerakan rambut itu canggung sekali.

"Yo Han, bocah ajaib. Setelah engkau tiba di sini dan melihat bahwa akulah orangnya yang suka meraung dan menangis, lalu apa yang akan kau lakukan?"

"Locianpwe, entah siapa yang begitu kejam membuangmu ke sini. Aku akan mencoba untuk menolongmu dan membawamu keluar dari sumur ini," dalam suara pemuda itu terkandung ketegasan.

Kakek itu kini tertawa! Baru saja ia menangis, kini sudah tertawa. Memang luar biasa sekali kakek itu.

"Dan begitu keluar dari sini, engkau dan aku akan dibunuh oleh Thian-te Tok-ong? Tidak, Yo Han. Kalau engkau dibunuhnya, itu masih belum hebat. Akan tetapi kalau aku yang dibunuhnya, apakah pengorbananku ini akan menjadi sia-sia?"

"Apa maksudmu, Locianpwe?"

"Engkau duduklah, meski pun tempat ini agak kotor, akan tetapi aku akan bercerita, dan agaknya Tuhan sengaja mengirimkan engkau ke sini untuk mendengarkan ceritaku."

"Aku pun yakin bahwa tentu kekuasaan Tuhan yang telah mendorongku untuk menuruni sumur ini dan bertemu denganmu. Ceritakanlah, Locianpwe."

Kakek yang lengannya buntung sampai hanya tinggal kedua pundaknya saja, dan yang kakinya buntung mulai dari pangkal paha itu berdiri di atas pinggulnya sambil bersandar dinding sumur, dan dengan suara lembut dan lirih dia pun mulai bercerita, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Yo Han yang merasa amat tertarik.

Delapan tahun lebih yang lalu, kakek itu masih belum berada di dasar sumur itu, Juga kaki dan tangannya masih lengkap dan utuh. Dia bernama Ciu Lam Hok dan merupakan tiga serangkai kakak beradik seperguruan dengan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Ciu Lam Hok adalah yang termuda, akan tetapi dalam hal ilmu silat, tingkat kepandaian Ciu Lam Hok lebih tinggi dari pada tingkat kedua orang suheng-nya itu. Hal ini adalah karena dia memang suka sekali merantau dan bertualang, menjelajah di seluruh daratan Tiongkok dan selalu mempelajari ilmu-ilmu silat baru sehingga dia semakin maju dalam ilmu silat.

Pada waktu Thian-li-pang didirikan, pendirinya adalah tiga serangkai bersaudara itu, dan Thian-li-pang didirikan dengan tujuan untuk menghimpun orang-orang gagah, menjadi sebuah perkumpulan yang kuat. Tak lama kemudian, Ciu Lam Hok pergi meninggalkan Thian-li-pang untuk kembali bertualang.

Kurang lebih sembilan tahun yang lalu, ketika mendengar sepak terjang Thian-li-pang yang mengarah kepada kesesatan, dia terkejut dan lebih lagi ketika mendengar betapa dua orang suheng-nya sudah memperdalam ilmu mereka dengan ilmu mengenai racun sehingga mereka dijuluki Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi). Hatinya merasa khawatir sekali dan dia pun cepat pulang untuk membuktikan kebenaran berita itu.

Betapa kagetnya ketika tiba di Thian-li-pang dia melihat bahwa berita yang didengarnya memang tepat! Thian-li-pang memang masih merupakan perkumpulan yang menentang penjajah Mancu, akan tetapi di samping itu, Thian-li-pang bergaul pula dengan golongan sesat, bahkan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan tak segan melakukan berbagai kejahatan dan kekejaman. Demi perjuangan, mereka sanggup melakukan apa pun juga, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan!

Ciu Lam Hok dengan berani menemui kedua orang suheng-nya, lalu menegur mereka yang ia anggap menyeleweng. Dua orang suheng-nya kemudian menjadi marah, terjadi pertengkaran yang berakhir dengan perkelahian. Tapi bukan hanya Ban-tok Mo-ko yang kalah, bahkan Thian-te Tok-ong juga kalah oleh Ciu Lam Hok!

Dua orang kakek yang sekarang sudah condong ke arah kesesatan dan tidak pantang melakukan kecurangan itu berpura-pura menyesal dan bertobat. Dan tentu saja Ciu Lam Hok mau memaafkan kedua orang suheng-nya itu asal mereka mau mengubah haluan Thian-li-pang yang dibuat menyeleweng, kembali ke jalan benar yang biasa ditempuh perkumpulan para pendekar.

Dan setelah akur kembali, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong membujuk sute mereka itu untuk menceritakan, ilmu aneh dan hebat apa yang membuat sute mereka itu dapat demikian lihai sekarang.

"Aku dapat terbujuk oleh mereka," kakek buntung itu melanjutkan ceritanya yang sangat menarik hati Yo Han. "Aku menceritakan bahwa aku telah menemukan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan para datuk. Itulah kesalahanku. Aku lupa bahwa amat sukar bagi seorang yang sudah menjadi hamba nafsunya untuk kembali ke jalan benar. Mereka dapat berpura-pura, namun sukarlah bagi seseorang untuk benar-benar bertobat. Biasanya, pernyataan tobat itu hanya terjadi karena mereka merasa menderita sebagai akibat perbuatan mereka. Kalau penderitaan itu telah lewat, maka mereka lupa lagi akan pernyataan mereka untuk bertobat, bahkan melakukan kejahatan lebih besar lagi untuk menebus kekalahan mereka sebelumnya."

Yo Han mengangguk-angguk. "Kalau saja mereka memiliki iman kepada Tuhan sampai ke tulang sumsum mereka, tentu mereka akan menyerah kepada Tuhan dan jika sudah begitu, maka kekuasaan Tuhan yang akan mampu menuntun mereka kembali ke jalan benar. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu mengendalikan nafsu yang selalu ingin meliar."

"He-he-heh, engkau memang anak aneh!” kata kakek itu. "Nah, karena kelengahanku, pada suatu hari aku menjadi korban perangkap mereka. Aku keracunan dan tak mampu lagi menandingi mereka. Dalam keadaan terluka dan keracunan itu, mereka mendesak untuk menyerahkan kitab ilmu Bu-kek Hoat-keng. Akan tetapi, kitab itu sudah kubakar, hanya isinya telah kupindahkan ke dalam kepalaku, tercatat dalam ingatan. Karena aku berkeras tidak mau membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng, mereka menjadi marah. Lalu mereka menyiksaku, bahkan juga membuntungi kaki tanganku dan melemparkan aku ke dalam sumur ini, delapan tahun lebih yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak tahu bahwa ilmu Bu-kek Hoat-keng dapat kugunakan untuk menyelamatkan nyawaku, bahkan juga membersihkan tubuhku dari pengaruh luka dan racun mereka, ha-ha-ha!"

Yo Han mendengarkan dengan hati ngeri. "Betapa kejam mereka!" katanya penasaran. "Ahhh, tentu Locianpwe sudah mengalami penderitaan hebat selama delapan tahun di dalam sumur ini. Akan tetapi, Locianpwe berilmu tinggi, mengapa tidak berusaha keluar dari sini?"

Kakek itu menghela napas panjang. "Betapa pun hebatnya ilmu Bu-kek Hoat-keng, akan tetapi kalau tanpa kaki dan tangan, bagaimana aku dapat merayap naik? Loncatanku pun tidak akan mencapai tinggi sumur ini yang sekitar dua puluh meter. Dan andai kata aku sudah berhasil naik, kalau di sana aku diserang oleh dua orang suheng-ku, dalam keadaan tak bertangan tak berkaki ini, aku pun pasti kalah."

"Sungguh mereka itu kejam sekali, tega melakukan perbuatan yang begini keji terhadap adik seperguruan sendiri. Tetapi, Locianpwe, kalau mereka sudah melempar Locianpwe ke sini, berarti mereka menghendaki kematianmu. Kenapa mereka tidak langsung saja membunuhmu, bahkan setelah melempar Locianpwe ke sini, setiap hari mereka masih mengirim makanan untukmu?"

"Yo Han, apakah engkau tidak dapat menduganya?"

Pemuda remaja itu mengerutkan alis, kemudian mengangguk. "Aku mengerti sekarang. Bukankah mereka itu sengaja tidak membunuh Locianpwe, hanya membuat Locianpwe tidak berdaya, dengan maksud supaya Locianpwe akhirnya menyerah lalu memberikan rahasia-rahasia Bu-kek Hoat-keng kepada mereka?"

"Engkau benar, Yo Han. Akan tetapi, aku tak pernah mau menyerah. Biar pun siksaan ini kadang membuat aku menjadi hampir gila, membuat aku meraung dan menangis. Akan tetapi aku tidak mau menyerahkan ilmu itu, sampai mati pun aku tidak mau. Aku hanya menanti sampai Tuhan mengirim seseorang untuk mewarisi ilmuku, bukan untuk menolongku. Sesudah ilmuku ada yang mewarisinya, aku lebih suka mati. Apa artinya hidup bagiku dalam keadaan seperti ini? Kalau selama ini aku bertahan hidup, hanya agar ilmu-ilmuku jangan sampai lenyap dengan sia-sia. Dan terima kasih kepada Tuhan! Engkau dikirim Tuhan ke sini, Yo Han! Engkaulah yang akan menjadi muridku, menjadi ahli warisku!"

"Tetapi, Locianpwe, aku... aku… tidak mau belajar silat. Aku tidak mau menggunakan kekerasan, tidak mau berkelahi..."

"Heh-heh-heh, anak tolol. Siapa bilang aku hendak mengajarkan silat kepadamu?"

"Tapi, ilmu apakah Bu-kek Hoat-keng itu?"

"Ya, semacam ilmu menyehatkan badan, tiada bedanya dengan ilmu tari dan senam yang engkau pelajari dari Thian-te Tok-ong, hanya jauh lebih tinggi tingkatnya. Yo Han, engkau mau menjadi murid seorang yang jahat dan kejam seperti Thian-te Tok-ong, dan engkau menolak menjadi muridku? Engkau memilih menjadi muridnya?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, mengajak Locianpwe naik, tentu akan diserang oleh dua orang suheng Locianpwe itu. Kalau di sini, bagaimana mungkin aku tinggal di sini bersamamu?"

"Heh-heh-heh, soal itu mudah dibicarakan nanti. Yang terpenting, Yo Han, katakanlah. Maukah engkau menjadi muridku? Ingat, sisa hidupku ini hanya kupertahankan untuk menanti saat seperti ini! Kalau engkau tidak mau menjadi muridku, sudahlah, aku tidak mau hidup lebih lama lagi, meski untuk semenit pun. Sekali aku menghempaskan diri ke dinding, kepalaku akan pecah dan nyawaku akan melayang!"

Yo Han sangat terkejut. Dia tahu bahwa kakek ini selain amat lihai, juga memiliki watak yang aneh, maka tentu ancaman itu bukanlah gertak sambal belaka. Mengingat akan pengalaman kakek ini, maka dia tentu tidak berbohong. Bagaimana pun juga, dia tidak boleh membiarkan kakek ini membunuh diri. Bila dia menolak dan kakek ini benar-benar membunuh diri, berarti bahwa dialah penanggung jawabnya, dialah yang membunuh atau menyebabkan kematian kakek itu! Dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

"Suhu, teecu akan mentaati petunjuk Suhu."

Tiba-tiba rambut kepala yang panjang itu menyambar, lalu melibat-libat tubuh Yo Han seperti pengganti kedua lengan, merangkul dan mendekap, dan kakek itu tertawa-tawa bergelak. Akan tetapi, tak lama kemudian, rambut itu terlepas dan kakek itu pun mulai menangis sesenggukan.....

"Ahhh, engkau kenapakah, Suhu?" Yo Han bertanya, kaget dan khawatir.

Kakek itu tertawa kembali. "Ha-ha-ha, tidak apa, muridku. Aku hanya merasa girang dan terharu. Tuhan sungguh Maha Adil, akhirnya permohonanku dikabulkan! Mari, Yo Han, kita harus cepat-cepat menyingkir. Kalau terlambat, jangan-jangan kegembiraan hatiku akan berakhir dengan kematian kita berdua."

"Ehh, kenapa begitu, Suhu?"

"Sudah, tidak ada waktu untuk bicara sekarang. Kita harus bertindak. Lihat di sudut itu."

Yo Han menoleh dan dia melihat bahwa di sudut, dindingnya merupakan sebuah batu sebesar gajah yang menutupi dinding batu padas. Dia melihat kakek itu meloncat-loncat mendekati batu dari dia pun mengikuti.

"Batu ini kutarik lepas dari tanah, menggunakan rambutku dan hidungku saja. Pekerjaan itu berhasil setelah aku berusaha selama satu tahun! Dan tahun-tahun berikutnya lalu kupergunakan untuk membuat terowongan yang menembus ke sumur lain, sumur alam. Batu ini menjadi pintunya. Sekarang, sebelum bahaya menimpa kita, kita harus pindah ke sumur ke dua itu melalui terowongan. Mari engkau bantu aku menggeser batu ini ke samping, Yo Han."

Sebelum Yo Han mentaati perintah itu, tiba-tiba terdengar suara dari atas lubang sumur. Suara itu nyaring dan memasuki sumur dengan kuatnya seperti akan membikin pecah anak telinga, serta mendatangkan gema sehingga suara itu terdengar sangat aneh dan menyeramkan, bukan seperti suara manusia lagi.

"Ciu Sute...!" Panggilan ini terdengar berulang sampai tiga kali.

"Yo Han...!" Kini suara itu, suara Thian-te Tok-ong, memanggil muridnya.

Sebelum Yo Han menjawab, kakek Ciu Lam Hok telah mendahului. "Ha-ha-ha, Thian-te Tok-ong iblis busuk! Engkau mencari muridmu?"

"Sute Ciu Lam Hok! Engkau hendak murtad kepada suheng-mu sendiri?"

"Ha-ha-ha, sejak kau lempar aku ke sini, sudah tidak ada hubungan persaudaraan lagi di antara kita, Tok-ong! Engkau hendak mencari muridmu yang kau suruh turun untuk membunuhku itu? Ha-ha-ha, engkau sungguh tolol. Jangankan anak ingusan itu, meski engkau sendiri yang turun, engkau akan mampus olehku. Anak itu sudah kubunuh!"

Mendengar suara ini, di atas sana menjadi sunyi. Lalu terdengar percakapan yang dapat terdengar dari bawah. Suara Ban-tok Mo-ko terdengar jelas.

"Suheng, muridmu pasti sudah dibunuhnya. Biar aku masuk ke sana. Dia tentu hanya menggertak saja! Akan kusiksa dia supaya mengaku dan membuka rahasia Bu-kek Hoat-keng!"

"Jangan, Sute. Dia bukan pembual. Kalau dia mengancam demikian, berarti dia sudah siap siaga. Siapa tahu dia memasang perangkap."

"Tapi, dia sudah tidak mempunyai kaki tangan, Suheng! Takut apa?"

"Hemm, jangan pandang rendah, Sute. Dia mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Dan di bawah sana gelap, kita tidak mengenal tempat itu. Kita menggunakan cara lain untuk membunuhnya."

Selagi mereka bercakap-cakap tadi, Yo Han diam saja karena kini dia tahu bahwa gurunya yang baru tidak berbohong dan memang Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko sangat keji dan jahat. Maka kini dia pun hendak membela Ciu Lam Hok, dan dia tidak mengeluarkan suara.

Ciu Lam Hok memberi isyarat dengan anggukan kepala agar dia membantu mendorong batu itu. Dia pun mengerahkan tenaga mendorong batu sebesar gajah itu ke kiri. Dia tentu tidak akan kuat mendorongnya kalau tidak ada Ciu Lam Hok yang mendorongnya pula dengan pundak yang tidak berlengan. Batu itu perlahan-lahan bergeser sehingga nampaklah lubang sebesar tubuh orang. Ciu Lam Hok memberi isyarat untuk berhenti, kemudian dia tertawa.

"Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong! Kalau tidak takut, kenapa tidak kalian berdua saja turun ke sini supaya kalian dapat menemani nyawa murid kalian?" Dalam suaranya terkandung ejekan dan tantangan.

Ban-tok Mo-ko sudah marah sekali. Bila tidak ditahan oleh suheng-nya, tentu dia sudah merayap turun untuk membunuh bekas sute-nya itu. Dulu memang dia harus mengaku kalah terhadap sute-nya itu, bahkan dia dan suheng-nya ketika mengeroyok pun tidak akan menang. Akan tetapi, kini sute-nya itu sudah menjadi manusia tapa daksa, sudah kehilangan kedua kaki tangannya. Perlu apa ditakuti lagi?

"Tenanglah, Sute," kata Thian-te Tok-ong. "Dari pada membahayakan diri sendiri lebih baik kita bunuh saja Si Buntung itu dengan racun."

"Tapi, bagaimana dengan muridmu, Suheng?"

"Yo Han? Ahhh, tentu dia telah dibunuh Ciu Lam Hok yang mengira bahwa Yo Han kusuruh turun untuk membunuhnya. Dan pula, setelah tiga tahun menjadi muridku, aku semakin putus asa melihat Yo Han. Dia memang dapat kuakali dan mempelajari ilmu dengan tekun, akan tetapi apa artinya semua itu kalau kelak tidak dia pergunakan untuk kepentingan Thian-li-pang? Biarlah dia mampus bersama Si Buntung."

Tidak lama kemudian dua orang tokoh besar dari Thian-li-pang itu sudah menghujankan jarum-jarum beracun ke dalam sumur, juga melemparkan banyak ular dan kalajengking dan segala macam binatang beracun. Bahkan yang terakhir mereka menyiramkan air yang kehitaman, air yang beracun ke dalam sumur!

Yo Han dan Ciu Lam Hok sudah cepat menyelinap ke dalam lubang. Kemudian mereka menggeser kembali batu sebesar gajah agar menutupi lubang sehingga semua benda dan binatang beracun itu tidak mampu mengganggu mereka. Ketika Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko berteriak-teriak dari atas, memanggil dan memaki-maki, tidak ada jawaban lagi dari bawah.

Tentu saja demikian karena dua orang yang berada di dalam sumur itu sudah pergi, dan mereka pun tak lagi dapat mendengar suara setelah lubang itu tertutup batu besar rapat sekali. Karena tidak lagi terdengar Ciu Lam Hok menjawab, dua orang manusia iblis itu mengira bahwa bekas sute mereka tentu sudah tewas, maka mereka berdua tertawa gembira.

"Sute, cepat perintahkan Ouw Ban untuk menyuruh anak buahnya menutup sumur itu dengan batu-batu besar!"

"Tapi, Suheng. Bukankah mereka sudah tewas?"

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. "Mereka berdua adalah manusia-manusia aneh, Sute. Engkau tahu betapa lihainya Ciu Lam Hok. Biar pun kaki tangannya sudah buntung, akan tetapi dengan Bu-kek Hoat-keng, kita tidak tahu apa saja yang dapat dia lakukan. Dan anak itu pun seorang anak yang luar biasa. Siapa tahu dia belum mati dan dapat keluar. Kalau sumur itu ditutup dengan batu-batu besar, biar bagaimana pun juga mereka tidak akan mungkin dapat hidup lagi."

Ban-tok Mo-ko mengangguk. Diam-diam dia pun seperti suheng-nya ini, merasa ngeri dan takut terhadap bekas sute mereka, dan dia pun akan merasa tenang kalau sumur itu sudah ditutup dengan batu-batu besar. Maka dia pun keluar untuk memberi perintah itu kepada Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang.

Puluhan orang anggota Thian-li-pang sekali ini mendapatkan perkenan untuk memasuki goa sambil membawa batu-batu besar. Mereka melemparkan batu-batu besar ke dalam sumur itu. Jatuhnya batu-batu besar itu mendatangkan suara hiruk-pikuk bergemuruh.

Mereka, puluhan orang banyaknya dan kesemuanya adalah murid-murid Thian–li-pang yang bertenaga kuat, harus bekerja sehari penuh baru seluruh sumur itu dapat ditutup. Meski orang memiliki kepandaian seperti dewa sekali pun, kalau berada di dalam sumur kemudian sumur yang dalamnya dua puluh lima meter lebih itu ditimbun batu-batu besar sampai penuh, pasti tidak akan mampu lolos lagi.

Yo Han mengikuti kakek buntung itu merangkak melalui terowongan kecil, dan ternyata panjang terowongan itu hanya belasan meter saja. Yo Han merasa kagum bukan main dan tidak mampu membayangkan bagaimana caranya seorang yang tidak mempunyai kaki tangan dapat membuat terowongan sepanjang itu dalam waktu bertahun-tahun!

Akhir terowongan itu merupakan sebuah ruangan yang cukup luas, menjadi dasar dari sebuah sumur yang mirip sumur pertama. Sumur ini dilihat dari bawah, atasnya tertutup oleh batu-batu dan untungnya, di antara batu besar yang menutup permukaan sumur, ada yang retak-retak yang lebarnya sejengkal sehingga dari retakan-retakan batu inilah sinar matahari dapat masuk walau pun tidak banyak dan tidak lama hanya untuk tiga empat jam saja setiap harinya.

Keadaan dalam ruangan di dasar sumur ini bahkan lebih baik dari pada dasar sumur pertama, karena dasar sumur ini lebih kering. Ketika tiba-tiba tempat itu tergetar seperti ada gempa dan terdengar suara hiruk-pikuk, Yo Han sempat terkejut sekali.

“Ahh, apakah itu, Suhu?”

“Ha-ha-ha, mereka sedang menutup sumur kita yang tadi, Yo Han. Dengan batu-batu besar tentu saja. Sungguh berbahaya sekali! Kalau aku tidak membuat terowongan dan tidak mempunyai sumur ini, tentu kita berdua sudah tergencet dan terkubur hidup-hidup di sana.”

Yo Han bergidik. Bagaimana ada orang yang bisa berbuat demikian kejamnya terhadap adik seperguruan sendiri, bahkan juga terhadap muridnya sendiri? Tadinya dia mengira bahwa Ang-I Moli merupakan satu-satunya orang yang paling jahat dan kejam di dunia ini. Siapa kira bahwa orang yang pernah menjadi gurunya selama tiga tahun, yang bisa bersikap ramah dan lembut kepadanya, ternyata lebih kejam lagi!

"Nah, sekarang kita harus mengatur tempat tinggal kita, Yo Han. Ingat, mulai sekarang kita tidak akan ada yang memberi makan lagi dan kalau kita tinggal di sini tanpa makan, hanya dalam waktu beberapa minggu saja kita akan mati kelaparan. Sekarang, pergilah engkau merayap naik dan lakukanlah dengan hati-hati, jangan sampai engkau ketahuan orang-orang Thian-li-pang. Engkau carilah bahan makanan untuk kita makan, sedapat mungkin makanan kering untuk ransum kita selama beberapa hari supaya tidak perlu engkau setiap hari pergi mencari makan. Untuk minum mudah saja. Kalau tanah ini kita gali sedikit saja, tentu akan bisa mendapatkan air di sini. Kita tidak boleh masak, karena asapnya akan ketahuan oleh orang di atas."

"Suhu, mengapa susah-susah amat? Biar kubantu Suhu merayap naik, dan di sana kita dapat mencari tempat tinggal yang baik sehingga lebih enak dan lebih mudah mencari makan."

"Yo Han, sebelum berhasil mengajarkan ilmu-ilmuku kepadamu, aku takkan mau keluar dari sini. Tidak ada tempat yang lebih aman dari pada di sini. Ketahuilah bahwa sekali aku keluar, seluruh datuk dunia kang-ouw akan mencariku dan kita akan menghadapi bahaya yang tiada hentinya! Akan tetapi di sini, siapa yang akan mengetahui tempat ini? Baru sumur yang pertama saja, yang mengetahuinya hanyalah Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko. Apa lagi di sini, tiada seorang pun yang tahu kecuali kita berdua. Nah, kau pergilah, Yo Han."

Pemuda remaja itu nampak agak ragu-ragu. "Akan tetapi, ke mana aku harus mencari makanan itu, Suhu?"

"Aiiihh! Tentu saja ke atas sana, ke rumah-rumah orang yang memilikinya!"

"Tapi... mana mereka mau memberi banyak makanan kepadaku?"

"Hushh! Siapa suruh engkau minta-minta makanan? Kalau engkau minta makanan tentu semua orang mengenalmu. Engkau tidak boleh memperlihatkan diri kepada siapa pun juga. Mengerti? Sekali saja engkau memperlihatkan diri, maka celakalah kita. Tempat ini tentu dapat diketahui, atau engkau akan ditangkap lebih dulu."

"Habis, bagaimana kalau tidak boleh minta, Suhu? Andai kata membeli pun, mereka akan melihatku. Apa lagi aku tidak mempunyai uang sama sekali, bagaimana dapat membeli makanan?"

"Hemm, mengapa engkau tidak bisa mencari akal, Yo Han? Dengan kepandaianmu itu, engkau dapat mencuri makanan dengan sangat mudahnya dan membawanya ke sini tanpa diketahui orang."

Sepasang mata Yo Han terbelalak. "Mencuri? Wahhh... aku tidak sanggup, Suhu. Aku tidak mau mencuri! Itu bahkan lebih jahat dari pada minta-minta. Heran, mengapa Suhu dapat menyuruh aku untuk melakukan pencurian? Kita bukan maling, Suhu..."

Kalau saja kakek itu masih mempunyai tangan kaki, tentu tangannya akan menampar kepala sendiri dan kakinya akan dibanting ke tanah saking jengkelnya.

"Waduh! Engkau ini sungguh aneh. Apa engkau ingin menjadi dewa? Dewa pun masih suka mencuri kalau terpaksa. Nah, baiklah kalau begitu. Engkau mengambil makanan, pakaian dan apa saja yang kau perlukan dari sebuah toko dan rumah makan, dan kau tinggalkan uang di tempat engkau mengambil barang-barang itu. Cara ini bukan mencuri namanya! Coba kau dekati dinding sebelah kiri itu.”

Dengan hidungnya, kakek itu menunjuk ke dinding kiri. Yo Han menghampiri dinding itu. "Kau lihat bagian yang mengkilat itu? Nah, cokel keluar dua buah batu, pilih yang kecil saja, yang sebesar ibu jari tanganmu!"

Sinar matahari yang mendatangkan penerangan dalam goa itu memang terpantul oleh beberapa buah batu di dinding itu. Yo Han memilih yang kecil-kecil dan mencokel lepas dua buah batu sebesar ibu jari tangannya.

"Apakah ini, Suhu?"

"Emas."

"Emas? Benarkah?" Yo Han terbelalak memandang kepada gurunya, lalu kepada dua buah batu yang mengkilap di tangannya, kemudian menoleh ke arah dinding.

"Benar. Aku tidak sudi menipu orang, apa lagi engkau. Dinding itu mengandung batu-batu emas, dan dua buah di tanganmu itu sudah cukup untuk memborong barang apa saja yang kau kehendaki. Jangan khawatir, apa pun yang dapat kau bawa dari sebuah toko, tidak cukup berharga untuk ditukar dengan sebuah batu emas itu. Kau tinggalkan saja salah sebuah di tempat engkau mengambil barang, dan pemiliknya akan bersorak kegirangan karena dia telah mendapat keuntungan besar. Berarti engkau tidak mencuri, kan?"

Yo Han mengangguk-angguk. Senang hatinya. Dia tidak sudi kalau harus mencuri, maka dengan adanya dua buah batu emas ini, dia boleh mengambil milik orang tanpa diketahui dan meninggalkan batu itu di tempat barang yang diambilnya.

"Kalau begitu, biar aku berangkat sekarang, Suhu."

"Baik, pergilah. Akan tetapi hati-hati, jangan sampai engkau dilihat siapa pun, gunakan kelincahan gerakanmu. Dan ingat baik-baik, Yo Han. Aku akan selalu menunggumu di sini sampai engkau kembali, menunggumu dengan rasa lapar dan haus, menunggumu sampai aku mati kalau engkau tidak kembali. Nah, pergilah."

Yo Han memberi hormat, mengantungi dua potong batu itu, lalu menggunakan gerakan cecak merayap, dia menanggalkan sepatu yang dia selipkan di ikat pinggang belakang, lalu mulailah dia merayap naik, menggunakan telapak tangan dan kaki. Tenaga sinkang di tubuhnya dapat dia atur sehingga telapak tangan dan kakinya dapat menyedot ke permukaan dinding sumur dan melekat di situ!

Perlahan-lahan dan dengan hati-hati ia mulai merayap naik. Sekali saja keliru mengatur tenaga pada telapak tangan dan kakinya, tentu dia akan terjatuh kembali ke bawah! Akan tetapi, Yo Han sudah melatih ilmu yang oleh Thian-te Tok-ong dinamakan ‘tarian cecak’ ini dengan baik sehingga dia dapat terus merayap ke atas, dilihat dari bawah oleh kakek Ciu Lam Hok yang mengangguk-angguk senang.

Anak muda itu seorang yang memiliki bakat luar biasa, pikirnya. Bahkan di tubuh anak itu terdapat tenaga sakti yang mukjijat. Dia tidak merasa khawatir kalau anak itu tidak akan kembali. Anak itu bersih, polos dan jujur, tidak mungkin meninggalkannya begitu saja, apa lagi sudah dia bekali pesan bahwa dia akan menanti setiap saat sampai ia mati kelaparan. Itu saja pasti akan membuat hati anak itu tidak tega meninggalkannya.

Ketika tiba di permukaan sumur, ternyata mulut sumur itu tidak tertutup batu-batu retak. Batu-batu itu masih di atas mulut sumur, ada tiga meter tingginya dan ternyata mulut sumur berada di dalam sebuah goa yang kecil. Mulut goa nampak di depan sana, akan tetapi melalui terowongan yang hanya dapat dilalui dengan merangkak oleh orang yang tidak terlalu besar tubuhnya.

Melihat ini, Yo Han merasa girang. Sungguh sangat baik tempat sembunyi gurunya di dalam sumur itu. Tidak mungkin ada orang memasuki terowongan goa yang demikian sempitnya, dan andai kata ada juga yang mencoba merangkak memasukinya, orang itu tentu akan segera kembali keluar setelah melihat bahwa goa terowongan itu berakhir pada mulut sebuah sumur yang amat dalam dan gelap menghitam!

Lebih baik lagi, mulut goa kecil itu tertutup rapat oleh semak belukar dan alang-alang. Dia mengintai dari mulut goa, di balik semak belukar dan ternyata dia berada di lereng sebuah bukit. Tentu masih termasuk daerah Thian-li-pang, pikirnya.

Dia harus berhati-hati. Tempat itu sunyi sekali, tidak nampak seorang pun manusia. Dia mengamati dan mengingat tempat itu supaya tidak lupa kalau akan kembali ke sumur. Kemudian, berindap-indap dia keluar dari balik semak belukar, lalu berlari cepat sambil menyusup-nyusup di antara pohon dan semak, menuruni lereng itu, menuju ke sebuah dusun yang telah dapat dilihatnya dari atas, sebab nampak genteng banyak rumah.

Setelah kini mendapatkan kesempatan, baru Yo Han menyadari bahwa semua latihan yang diberikan Thian-te Tok-ong kepadanya, yang dikatakannya latihan ilmu menari dan bersenam, sungguh amat berguna baginya. Kini dia dapat bergerak dengan lincah dan ringan sekali sehingga dia dapat bergerak menuju ke dusun di bawah itu tanpa dilihat orang.

Dan giranglah dia ketika dia melihat sebuah rumah makan di dusun itu. Dia menyelinap ke belakang dan menuju dapur. Ketika dalam intaiannya dia melihat pekerja restoran itu mengambil guci-guci arak dan bahan-bahan masakan dari dalam gudang dekat dapur, dia pun menyelinap dan setelah orang itu keluar, dia masuk ke dalam gudang. Ternyata apa yang dibutuhkannya berada di dalam gudang itu.

Cepat dia mengambil karung dan menyambar guci berisi kecap, asinan, daging kering, roti kering, telur asin dan bermacam makanan kering sampai karung terisi penuh. Dia mengambil pula mangkok, piring dan panci. Setelah merasa cukup, dia meninggalkan sepotong batu emas di atas meja, dan pergilah dia dengan cepat.

Di sebuah toko kecil yang menjual pakaian, dia pun masuk dari belakang dan berhasil mengambil pakaian, gunting, jarum dan benang, sepatu, kaos kaki, dan segala macam perkakas seperti catut, kapak, martil dan sebagainya.

Ia kembali ke dalam goa kecil membawa dua buah karung. Ia membayangkan betapa akan senangnya pemilik rumah makan dan pemilik toko ketika menemukan potongan batu emas. Seperti juga di rumah makan, dia pun meninggalkan potongan batu emas di meja di mana dia mengambil pakaian.

Kini dia merangkak di dalam terowongan sempit sambil menyeret dua buah karung itu, kemudian setelah tiba di mulut sumur, dia merayap turun. Sempat pula dia terlongong sejenak di mulut sumur. Apakah dia harus kembali ke tempat yang seperti neraka itu? Akan tetapi, bagaimana dia dapat tega meninggalkan kakek yang tak berdaya itu, yang buntung kaki tangannya dan yang menantinya setiap saat di dasar sumur dengan perut lapar dan yang pasti akan mati kelaparan kalau dia tidak kembali? Tidak, dia tidak boleh sekejam itu. Apa lagi kakek itu telah dia angkat sebagai guru.

"Ha-ha-ha, sudah yakin hatiku bahwa engkau memang seorang anak yang dikirimkan Tuhan kepadaku, Yo Han. Sedikit pun tidak ada keraguan di hatiku bahwa engkau pasti akan kembali ke sini!" Kakek itu tertawa gembira dan menyuruh muridnya mengeluarkan semua isi dua buah karung itu agar dia dapat melihat apa saja yang dibawa turun oleh muridnya.

Ketika dia melihat guci arak, dia menggerakkan kepalanya. Rambutnya menyambar ke arah sebuah guci dan seperti hidup saja, rambut itu melibat sebuah guci arak, mencabut penutupnya, membawa ke depan mulut dan dia pun minum dengan lahap.

Yo Han memandang kagum. Gurunya itu memang seorang manusia hebat. Walau pun kaki tangannya sudah tidak ada, namun dia dapat melayani semua kebutuhan hidupnya dengan rambutnya, mulutnya, bahkan hidungnya sebagai pengganti tangan. Dan tubuh yang tak berkaki itu agaknya sama sekali tidak canggung untuk bergerak ke sana sini dengan cara berloncatan seperti katak yang lincah.

"Tentu saja aku kembali, Suhu. Bagaimana mungkin aku meninggalkan Suhu seorang diri di sini? Kalau Suhu mau keluar bersamaku, baru aku akan meninggalkan sumur ini."

"Hemm, terlalu berbahaya, Yo Han. Dalam keadaanmu sekarang, kalau kita keluar dan bertemu lawan, tentu kau akan celaka. Aku sendiri tidak sudi menjadi tontonan orang. Tidak, engkau harus mewarisi semua ilmuku lebih dahulu, terutama Bu-kek Hoat-keng, baru engkau boleh meninggalkan sumur ini."

"Sekali lagi kutekankan, Suhu, bahwa aku tidak mau mempelajari ilmu silat, tidak mau mempelajari ilmu berkelahi dan ilmu memukul dan membunuh orang!" Yo Han berkata dengan nada suara yang terdengar tegas dan mantap.

Kakek itu menghentikan minumnya, meletakkan kembali guci arak ke atas tanah setelah menutup gucinya, dan dia memandang muridnya dengan mata penuh selidik. "Muridku yang baik, apakah yang baru kau ucapkan itu sudah keluar dari hati nuranimu? Sudah kau pikirkan masak-masak dan engkau tidak akan keliru lagi?"

"Tentu saja, Suhu. Sejak kecil, mendiang kedua orang tuaku selalu menasehatiku agar aku hidup melewati jalan yang benar, selalu menjauhi segala macam bentuk kekerasan, terutama sekali jangan mempelajari ilmu silat karena kehidupan seorang ahli silat penuh dengan pertentangan, permusuhan, perkelahian dan saling bunuh serta saling dendam. Orang tuaku sendiri tewas karena ibuku seorang ahli silat. Andai kata sejak kecil ibuku tidak pandai silat seperti ayahku, tentu mereka kini masih hidup sebagai petani-petani yang bahagia dan aku tidak menjadi yatim piatu. Tidak, Suhu, aku tidak suka ilmu silat, aku benci ilmu silat!"

"Ha-ha-ha-ha! Sebaliknya, muridku. Jika ibu dan ayahmu memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, tak mungkin mereka akan terbunuh. Kalau mereka tewas, itu adalah karena ilmu silat mereka kurang tinggi, sehingga mereka tak mampu membela diri dengan baik. Kalau mereka tidak pandai ilmu silat, lalu siapa yang melindungi mereka? Kalau engkau membenci ilmu silat, siapa yang akan melindungimu?"

Pemuda remaja itu menentang pandang mata gurunya dengan berani dan bersungguh-sungguh. "Kenapa takut, Suhu? Kita hidup ada yang menghidupkan, mati pun ada yang mematikan, kita ada karena diciptakan Tuhan. Tuhan merupakan pelindung utama dan kalau Tuhan melindungi kita, siapa yang akan mampu mengganggu kita?”

"Bagus! Benar sekali itu, Yo Han. Bila Tuhan tidak menghendaki kita mati, tentu Tuhan akan melindungi kita dan tak ada seorang pun di dunia ini akan mampu membunuh kita. Akan tetapi bagaimana kalau Tuhan sudah menghendaki kita mati? Punya ilmu silat atau tidak, bisa saja kita mati dibunuh orang kalau memang Tuhan sudah menghendaki kita mati. Bahkan tanpa ada yang mengganggu pun ia akan mati sendiri, ha-ha-ha!"

Yo Han tertegun mendengar ucapan kakek itu. Di dalam hatinya dia tidak mampu lagi membantah kebenaran itu.

“Ayah ibumu memang tewas dalam perkelahian, akan tetapi tentu saja mereka itu tewas hanya karena Tuhan telah menghendaki mereka mati. Andai Tuhan tidak menghendaki, mereka tentu tak akan mati. Hanya Tuhan yang menentukan mati hidupnya seseorang, Tuhan Maha Kuasa!”

Akan tetapi hanya sebentar dia termangu, lalu dia menggeleng kepala. "Bagaimana pun juga, aku tidak suka belajar ilmu silat, Suhu. Ilmu silat adalah jahat!"

"Jahat? Ha-ha-ha, Yo Han, kau tahu apa tentang jahat dan baik? Lihat, barang-barang yang kau bawa turun itu! Lihatlah barang-barang itu, kapak, gunting, jarum, pisau, catut dan martil. Apakah semua itu tidak jahat sekali?"

Yo Han memandang gurunya dengan heran dan dia cepat menjawab. "Tentu saja tidak jahat, Suhu! Barang-barang itu baik dan berguna sekali. Kapak itu bisa kita pergunakan untuk memotong kayu atau menggali tanah padas ini, gunting itu untuk menggunting kain, jarum dan benang untuk menjahit, pisau itu untuk menyayat roti dan daging, catut dan martil untuk membuat perabot dari kayu dan sebagainya."

Kembali kakek itu tertawa. "Lalu bagaimana dengan kedua tanganmu itu? Jahat atau baikkah kedua tanganmu itu?"

Yo Han memandang kedua tangannya dan kembali menatap wajah gurunya. "Tentu saja baik, Suhu, karena dengan kedua tangan ini teecu (murid) dapat melakukan semua pekerjaan yang bermanfaat itu."

"Sekarang dengar baik-baik! Bagaimana kalau kapak itu dipergunakan untuk mengapak kepala orang, lalu gunting itu untuk menusuk perut orang, pisau untuk menyayat leher orang, dan jarum untuk disambitkan menyerang lawan, juga catut dan martil itu untuk menyerang orang lain. Apakah semua itu masih dapat dinamakan barang yang baik dan berguna?"

Yo Han terbelalak. Tak pernah tergambar dalam benaknya bahwa benda-benda itu akan ada yang menggunakan untuk kejahatan seperti itu. "Tapi... tapi..."

"Dan bagaimana pula dengan kedua tanganmu itu, Yo Han? Kalau kedua tanganmu itu kau pergunakan untuk mencekik leher orang lain, untuk memukul dan menyiksa, apakah kedua tangan itu masih kau katakan baik dan tidak jahat?"

"Wah, wah, itu tidak mungkin, Suhu!" kata Yo Han kaget.

"Nah, itulah! Yang mengatakan tidak mungkin itulah yang menentukan, Yo Han. Kalau engkau mengatakan tidak mungkin, maka kejahatan itu pun takkan terjadi. Jika engkau mengatakan mungkin saja, maka kejahatan itu akan terjadi. Jadi bukan benda-benda itu yang menentukan, melainkan batin orangnya! Seseorang dapat menggunakan api untuk memasak dan membuat lampu penerangan, akan tetapi dapat pula orang menggunakan api untuk membakar rumah orang lain! Jadi, Si Api itu sendiri tidak baik dan tidak jahat, baru dinamakan jahat atau baik bila sudah dipergunakan. Yang jahat dan baik itu adalah apa yang disembunyikan di balik perbuatan itu, Yo Han, yaitu pamrih yang mendorong dilakukannya perbuatan itu. Seperti tanganmu, dapat digunakan untuk menolong orang dan itu dikatakan baik, juga bisa digunakan untuk membunuh orang, dan itu dinamakan jahat. Tidak benarkah ini?"

Yo Han mengangguk, tak dapat berbuat lain. Memang demikianlah kenyataannya. "Kini aku mengerti, Suhu. Jadi yang mendatangkan kejahatan atau kebaikan adalah apa yang berada di dalam diri manusia, dalam batin manusia itu yang menentukan. Ada pun ini hanyalah alat, bukankah demikian, Suhu?"

"Benar sekali! Karena itu, yang perlu dibersihkan adalah batinnya! Kalau batinnya bersih dan baik, maka alat apa pun yang dipergunakan, tentu demi kebenaran dan kebajikan. Sebaliknya jika batinnya sudah kotor dan jahat, alat apa pun yang dipergunakan dalam perbuatan, condong ke arah kejahatan."

"Teecu (murid) mengerti! Dan memang apa yang Suhu katakan itu benar sekali!"

"Nah, sekarang kita kembali pada ilmu silat. Baik atau jahatkah ilmu silat? Sama seperti semua benda itu tadi, Yo Han. Tidak baik dan tidak jahat. Jika ilmu silat tidak digunakan, maka tidak ada jahat atau baik yang ditimbulkan oleh ilmu itu. Tetapi setelah digunakan, barulah timbul baik atau jahat, sesuai dengan cara orang itu mempergunakannya. Kalau ilmu silat digunakan untuk melakukan kejahatan, merampok, membunuh, memaksakan kehendak sendiri untuk menang, jelas ilmu itu menjadi alat berbuat kejahatan. Akan tetapi kalau Si Orang mempergunakannya seperti yang dilakukan para pendekar, untuk menentang mereka yang jahat, untuk melindungi mereka yang lemah tertindas, untuk membela diri terhadap ancaman bahaya dari luar, apakah kita dapat menamakan ilmu silat itu jahat? Ingat, muridku. Kau tahu harimau? Mengapa Tuhan menciptakan harimau dengan diberi kuku dan taring? Kenapa lembu bertanduk? Ular berbisa? Ulat berbulu gatal? Semua itu merupakan alat bagi mereka untuk bertahan hidup, untuk melindungi diri sendiri. Manusia merupakan makhluk paling lemah, tanpa kuku, tanpa taring, tanpa tanduk untuk menjaga diri. Tetapi manusia memiliki kelebihan, yaitu akal budi. Dengan akal budi inilah manusia mengadakan segala macam alat untuk bertahan hidup, untuk melindungi dirinya dari bahaya. Dan ilmu silat termasuk hasil garapan akal budi manusia untuk melindungi diri terhadap ancaman dari luar tubuh, selain itu juga untuk menjaga kesehatan dan melepaskan naluri kesenian melalui gerakan silat. Ilmu silat merupakan gerakan manusia yang mengandung unsur kesenian, kesehatan, bela diri, juga untuk membela mereka yang lemah tertindas. Nah, betapa luhur dan indahnya ilmu silat, kalau dikuasai oleh orang yang memiliki batin bersih!”

Mendengar semua itu, Yo Han termenung sampai lama sekali. Teringat ia akan nasehat ayah ibunya yang melarangnya belajar silat. Terbayang kembali semua peristiwa dan pengalamannya ketika ilmu silat dipergunakan orang jahat untuk melakukan kejahatan.

Akan tetapi juga ilmu silat dipegunakan oleh para pendekar seperti suhu dan subo-nya yang pertama kali, yaitu pendekar Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li. Teringat pula dia akan Tan Siang Li, puteri suhu dan subo-nya itu. Suhu dan subo-nya berkeras hendak mengajarkan ilmu silat kepada Sian Li, dan takut kalau Sian Li sampai terbawa olehnya, membenci ilmu silat.

Dia membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis lemah yang tentu akan menghadapi banyak ancaman gangguan, lalu membayangkan Sian Li sebagai seorang gadis yang pandai ilmu silat, gagah perkasa. Bukan hanya pandai dan kuat membela diri sendiri, tetapi juga dapat membela orang lain yang tertindas dan menjadi korban kejahatan, menentang para penjahat dan menjadi seorang pendekar wanita.

Tiba-tiba Yo Han menyadari itu semua dan dia pun menjatuhkan diri berlutut di depan kakek buntung itu. “Suhu benar, teecu sekarang mengerti bahwa baik buruknya bukan terletak pada ilmu silat, melainkan dalam batin orang yang menguasainya.”

"Bagus sekali, Yo Han. Jadi, sejak saat ini engkau mau belajar ilmu silat dariku, bukan? Terutama sekali Bu-kek Hoat-keng?"

Yo Han mengangguk. "Mudah-mudahan kelak teecu akan mendapat bimbingan Tuhan sehingga semua ilmu itu hanya akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan bukan untuk mencari permusuhan dan membunuh orang."

"Aku yakin akan hal itu, Yo Han. Engkau bukan seorang calon penjahat. Engkau telah dikaruniai bakat yang amat luar biasa. Tuhan amat mengasihimu, Yo Han."

Demikianlah, mulai saat itu, Yo Han menerima pelajaran ilmu-ilmu yang tinggi dari kakek Ciu Lam Hok. Tentu saja kakek itu sama sekali tidak dapat memberi contoh gerakan. Dia hanya menerangkan dan minta Yo Han melakukan gerakannya, dan kalau keliru, dia menjelaskan. Untuk melatihnya, dia mengajak Yo Han untuk bertanding dan biar pun dia hanya menggunakan pundak, rambut dan tabrakan tubuhnya, sukar sekali bagi Yo Han untuk dapat bertahan.

Namun Yo Han belajar terus dengan penuh semangat di dalam sumur itu sehingga dia memperoleh kemajuan pesat. Apa lagi sebelumnya dia telah menguasai ilmu-ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang sebenarnya mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Thian-te Tok-ong. Juga sebelum itu dia sudah hafal akan dasar-dasar ilmu silat dari suhu dan subo-nya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, walau pun pengetahuannya hanya sampai batas teori dan hafalan saja.....

********************

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang dengan tekun berlatih ilmu digembleng kakek Ciu Lam Hok dalam sumur dan kita tengok keadaan di luar sumur.

Meski pun lenyapnya Yo Han yang mereka sangka tentu sudah mati bersama kakek Ciu Lam Hok di dalam sumur membuat para tokoh Thian-li-pang merasa agak kecewa, oleh karena mereka tadinya mengharapkan anak luar biasa itu kelak akan bisa memperkuat Thian-li-pang, akan tetapi mereka mempunyai urusan yang lebih penting dan segera melupakan anak dan kakek itu yang mereka anggap sudah mati.

Pada saat Yo Han memasuki sumur pertama, para pimpinan Thian-li-pang mengadakan pertemuan penting, bahkan Thian-te Tok-ong dan Ban-tok Mo-ko juga turut hadir dalam pertemuan puncak itu. Terdapat pula wakil dari Pek-lian-kauw, bukan saja Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw yang selama ini memang telah bekerja sama dengan mereka, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, bahkan ada seorang tosu tingkat tinggi dari Pek-lian-kauw datang pula, yaitu Pek Hong Siansu, seorang tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang mewakili pimpinan perkumpulan itu.

Mereka membicarakan tentang surat yang mereka terima dari kaki tangan Thian-li-pang yang telah mereka sebar sebagai mata-mata untuk melihat perkembangan permusuhan antara empat partai persilatan besar yang sudah mereka adu domba. Pembunuhan atas diri Thian Kwan Hwesio di kuil Pao-teng juga adalah perbuatan para tokoh Thian-li-pang untuk memperuncing permusuhan akibat adu domba itu.

Dan surat yang mereka terima adalah surat laporan dari mata-mata mereka. Isinya amat mengecewakan hati para pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Laporan itu terang menyatakan bahwa kini permusuhan di antara partai-partai persilatan itu telah mereda, dan tidak pernah terjadi bentrokan lagi. Semua itu akibat usaha bekas panglima Kao Cin Liong dan keluarga keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.

Belum lama ini Kao Cin Liong mengadakan perayaan ulang tahun yang ke enam puluh empat, dan keluarga para pendekar itu mengundang para tokoh dari dunia persilatan sebagai tamunya, termasuk pula empat partai besar, yaitu Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai serta Go-bi-pai. Dalam pertemuan itu, di mana suasananya ramah karena semua tamu amat menghormati tuan rumah, Kao Cin Liong dan keluarganya mengajak empat partai besar yang mengirim wakil-wakilnya untuk bicara secara terbuka dan dari hati ke hati.

Kao Cin Liong menceritakan tentang pembunuhan yang dilakukan terhadap Thian Kwan Hwesio, bahkan dia sendiri dan isterinya sempat terluka ketika membela hwesio itu. Biar pun sebelum meninggal Thian Kwan Hwesio mengatakan bahwa yang menyerangnya adalah orang-orang Bu-tong-pai, namun dia merasa curiga dan tidak percaya. Apa lagi ketika para pimpinan Bu-tong-pai menyangkal.

Kao Cin Liong bercerita mengenai luka beracun akibat racun ular hitam yang biasanya hanya digunakan tokoh-tokoh sesat. Keterangan Kao Cin Liong yang dihormati semua utusan partai persilatan besar itu mendatangkan kesan mendalam, apa lagi ketika Suma Ceng Liong yang namanya sudah sangat terkenal dan amat disegani semua orang turut menyatakan pendapatnya, semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian.

"Cuwi adalah orang-orang yang selalu menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, serta bersikap gagah dan bijaksana. Karena itulah, mengingat bahwa empat partai persilatan Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Bu-tong-pai dan Go-bi-pai adalah partai-partai besar yang namanya selalu harum, memiliki murid-murid pendekar, maka tidak semestinya kalau para pimpinan empat partai itu hanya menuruti dendam dan kemarahan belaka. Saya sudah mendengar tentang peristiwa aneh di Gunung Naga. Tentu Cuwi (Anda Sekalian) juga sependapat dengan saya bahwa peristiwa itu sungguh patut dicurigai. Amat mudah dimengerti bahwa tentu ada pihak ke tiga yang agaknya sengaja ingin mengadu domba! Saya condong berpendapat bahwa pelaku-pelaku kejahatan itu, baik para pembunuh yang beraksi di Gunung Naga, mau pun pembunuh Losuhu Thian Kwan Hwesio, sudah pasti pihak ke tiga yang hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai! Oleh karena itu, apa bila Cuwi tidak menghentikan permusuhan antara saudara sendiri, itu berarti Cuwi dengan mudah dapat dipermainkan oleh pihak ke tiga yang mengadu domba."

Semua orang mengangguk, mereka menyatakan setuju dengan pendapat dari pendekar yang sangat mereka hormati itu. Diam-diam mereka pun menduga-duga, siapa kiranya yang amat berani melakukan pembunuhan-pembunuhan untuk mengadu domba antara partai-partai persilatan.

Ada di antara mereka yang menduga bahwa pihak ketiga itu mungkin saja pemerintah Kerajaan Mancu yang tentu ingin melihat partai-partai persilatan itu saling bermusuhan dan menjadi hancur atau lemah sendiri supaya tidak membahayakan pemerintah lagi. Akan tetapi Kao Cin Liong menggelengkan kepala.

"Bukan karena saya pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu maka saya terpaksa tidak menyetujui dugaan itu. Kita semua tahu bahwa Kaisar Kian Liong, walau pun dia seorang Mancu dan sebagai manusia biasa tentu saja memiliki kelemahan-kelemahan, sejak muda dia sudah bergaul akrab dengan para pendekar. Dia seorang yang selalu bersikap bijaksana dan ingin bersahabat dengan partai-partai persilatan besar. Dia pun sangat cerdik, maka saya tidak percaya bahwa dia akan melakukan suatu kebodohan dengan memusuhi para partai persilatan besar dan menjadikan mereka sebagai musuh. Hal itu hanya akan membuat kedudukannya lemah. Tidak, saya yakin bahwa pihak ke tiga itu bukan pemerintah. Perbuatan itu bukan menolong pemerintah, melainkan malah membahayakannya."

Semua orang setuju dengan pendapat bekas panglima itu. Akan tetapi mereka menjadi semakin bingung. Lalu siapa lagi yang patut dicurigai dan dituduh menjadi pihak ke tiga yang mengadu dombakan mereka? Akhirnya Kao Cin Liong yang memberi usul.

"Yang terpenting lebih dulu adalah persatuan di antara kita semua. Setelah kita yakin bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba, maka para pimpinan masing-masing harus menjaga sekuatnya agar tidak ada anak buah atau murid yang saling bermusuhan lagi. Semua murid harus diberi tahu bahwa permusuhan itu timbul karena adu domba, dan semua bentrokan yang pernah ada agar dianggap selesai saja. Tidak ada dendam, tiada permusuhan sehingga dengan sikap demikian kita mendapatkan dua keuntungan. Pertama, kita telah menggagalkan niat busuk pihak ke tiga itu. Ke dua suasana menjadi tenteram dan dalam keadaan tenteram itu, kita semua bekerja sama untuk melakukan penyelidikan agar pihak ke tiga itu dapat kita ketahui siapa dan kelak kita bersama-sama mengambil tindakan terhadap mereka."

Kembali semua orang setuju dan pertemuan itu lalu benar-benar menjadi sebuah pesta yang menggembirakan di mana para wakil empat partai persilatan itu dapat berbincang-bincang dengan hati lega karena semua perasaan dendam telah dihapus dengan penuh pengertian bahwa mereka semua menjadi korban fitnah dan adu domba.

Demikianlah, para mata-mata Thian-li-pang kini melaporkan semua peristiwa itu kepada pimpinan Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Tentu saja para pimpinan itu menjadi sangat kecewa.

"Ini kesalahan Si Keparat Thian Kwan Hwesio itu!" kata Ouw Ban, Ketua Thian-li-pang sambil mengepal tinju. "Dia dapat melarikan diri ke atas rumah keluarga Kao Cin Liong sehingga melibatkan keluarga itu. Dan sekarang, keluarga itu pula yang menggagalkan siasat yang telah kita atur sebaiknya."

"Memang. itu suatu kesialan," kata gurunya, yaitu Ban-tok Mo-ko. "Kita atur semua itu dengan tujuan agar empat partai persilatan saling bermusuhan. Tetapi kini mereka tidak saling bermusuhan lagi, bahkan menyadari bahwa ada pihak ke tiga yang mengadu domba. Semua ini adalah akibat ikut campurnya keluarga Kao Cin Liong."

"Kita sikat saja mereka! Kita basmi Kao Cin Liong dan keluarganya!" kata pula Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang dengan muka merah.

"Hemmm, usul yang bodoh sekali itu!" tiba-tiba Thian-te Tok-ong yang sejak tadi diam saja, kini berkata dan semua orang memandang kakek itu.

Semua orang di situ takut dan menghormati kakek yang hampir tidak pernah keluar dari dalam goa tempat pertapaannya itu. Hanya untuk urusan yang amat penting saja dia mau bertemu dengan pimpinan Thian-li-pang seperti sekarang ini.

"Apakah kalian belum tahu siapa Kao Cin Liong itu? Dia keturunan Naga Sakti Gurun Pasir, dan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Jadi, kalau kita memusuhi mereka, kedua keluarga itu akan dapat mendatangkan kegagalan pada kita, bahkan mungkin kehancuran. Kita akan membentur batu karang jika memusuhi mereka. Dan pula, apa untungnya memusuhi mereka? Tujuan kita hanya satu, menghancurkan pemerintah Kerajaan Mancu!"

Semua orang saling pandang dan berdiam diri. Memang tepat apa yang dikatakan datuk dari Thian-li-pang itu.

"Siancai...!" Pek Hong Siansu, tokoh Pek-lian-kauw itu tiba-tiba berseru, "Agaknya jalan satu-satunya haruslah menyalakan api pertentangan antara empat partai itu dengan kerajaan! Oleh karena itu, sekarang kita harus berusaha membujuk Kaisar Mancu untuk memusuhi mereka."

Semua orang mengangguk-angguk menyatakan persetujuan mereka.

"Sayang sekali hubungan baik yang sudah kita rintis dengan Siang Hong-houw kini telah putus," kata Ouw Ban Ketua Thian-li-pang. "Bahkan kita sudah kehilangan murid kita yang terbaik, Ciang Sun yang tewas karena gagal membunuh Kaisar Kian Liong."

"Muridmu itu tergesa-gesa," kata pula Thian-te Tok-ong. "Membunuh Kaisar dan para pangeran yang dapat menggantikannya harus dilakukan dengan cara halus. Kita dapat menggunakan racun. Akan tetapi harus mencari kesempatan yang baik dan untuk itu kita harus bersabar dan menggunakan waktu. Juga hubungan dengan Pangeran Kian Ban Kok harus lebih dipererat agar kalau sudah tiba masanya, dia tidak akan menolak. Sebaiknya kita dekati lagi Siang Hong-houw dan kita menyelundupkan orang ke istana. Walau pun harus menunggu bertahun-tahun, akan tetapi kita harus bersabar dan sekali bergerak harus berhasil."

"Bagus sekali! Apa yang dikatakan oleh Locianpwe Thian-te Tok-ong itu memang tepat. Kami dari Pek-lian-kauw amat menyetujuinya. Kami juga akan menyusun kekuatan dan siap bergerak kalau sudah mendapat kesempatan baik. Untuk sementara ini, sebaiknya kita dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menahan kesabaran agar jangan melakukan gerakan yang kasar dulu, agar tidak mengejutkan pihak lawan sehingga mereka dapat siap siaga," kata Pek Hok Siansu dari Pek-lian-kauw.

Demikianlah, para pemberontak ini akhirnya bersepakat bahwa untuk sementara tidak akan melakukan gerakan keluar, tidak menggunakan kekerasan, tetapi menggunakan siasat halus untuk menyusup ke dalam istana, menghubungi kembali Siang Hong-houw dan Pangeran Kian Ban Kok, dan menyusun kekuatan.....

********************
Anak perempuan berusia dua belas tahun itu mungil dan cantik manis sekali. Ia bersilat dengan gaya yang indah tetapi gagah. Rambutnya yang hitam panjang dikuncir menjadi dua dan bergantungan di kanan kiri, diikat dengan pita warna kuning. Ketika ia bersilat, sepasang kuncir itu bergerak-gerak seperti dua ekor ular hitam, kadang di depan dada, kadang di belakang punggung. Kalau kepala itu digerakkan dengan cepat, kedua utas kuncir itu pun ikut bergerak meluncur seperti sepasang senjata. Kalau tubuh itu tiba-tiba merendah, sepasang kuncir itu seperti terbang ke atas kepala.

Gerakan kaki tangannya mantap dan indah, bagaikan gerakan seekor burung bangau merah. Dia adalah Tan Sian Li yang sedang berlatih di kebun belakang rumah, diamati ayahnya, Tan Sin Hong yang berdiri menonton sambil bertolak pinggang.

Tan Sian Li kini telah menjadi seorang anak berusia dua belas tahun yang cantik jelita, manis, dan lincah sekali. Wajahnya yang berkulit putih itu berbentuk bulat telur dengan sepasang mata yang lebar dan jeli, hidung mancung dan mulutnya yang manis itu selalu mengandung senyum mengejek sehingga sepasang lesung di pipinya selalu nampak.

Ia sedang memainkan ilmu silat Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Burung Bangau Putih), ilmu silat ayahnya yang amat lihai. Akan tetapi, karena usianya baru dua belas tahun, maka Tan Sin Hong hanya mengajarkan gerakannya saja, belum ‘mengisi’ tubuh anaknya dengan tenaga sakti ilmu itu.

Anaknya masih terlalu muda sehingga akan membahayakan kalau tubuhnya menerima kekuatan yang amat dahsyat itu. Sekarang, anaknya hanya mempelajari dan menguasai gerakannya saja, dan kelak kalau sudah dewasa, baru akan diisi dengan tenaga sakti sehingga ilmunya itu akan menjadi lengkap.

Selain ilmu silat yang merupakan ilmu simpanan itu, juga Sin Hong mengajarkan semua gerakan dasar ilmu tinggi yang menjadi dasar ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang menjadi seorang di antara guru-gurunya. Dia juga sudah mengajarkan dasar-dasar dari ilmu yang pernah dipelajarinya dari dua orang gurunya yang lain, yaitu mendiang nenek Wan Ceng dan kakek Tiong Khi Hwesio atau Wan Tek Hoat, Si Jari Maut.

Biar pun usianya baru dua belas tahun, namun Sian Li telah menjadi seorang anak yang luar biasa. Ilmu silatnya sudah hebat bukan main. Jarang ada orang dewasa yang akan mampu menandinginya.

Ketika dia menyelesaikan gerakan terakhir dari Pek-ho Sin-kun, tiba-tiba muncul ibunya, Kao Hong Li. "Ada tamu yang datang, kalian hentikan dahulu latihan itu, dan mari keluar menyambut tamu!"

Sian Li menghentikan latihannya dan Sin Hong menghampiri isterinya. "Siapakah yang datang berkunjung?"

"Seorang utusan dari Paman Suma Ceng Liong."

Mereka segera memasuki rumah dan menuju ke ruangan depan di mana tadi tamu itu dipersilakan duduk. Saat mereka tiba di ruangan depan, Tan Sin Hong melihat seorang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun dan berjenggot panjang bangkit berdiri dari kursinya. Dia tidak mengenal orang itu, akan tetapi melihat sikapnya dapat diketahui bahwa orang itu memiliki kegagahan.

Orang itu sudah mengangkat kedua tangan di depan dada untuk menghormati tuan dan nyonya rumah. Sin Hong dan Kao Hong Li cepat membalas penghormatan itu kemudian mempersilakan tamunya duduk.

"Sian Li, engkau masuklah dulu, mandi dan tukar pakaian. Jangan lupa, suruh pelayan mengeluarkan minuman untuk tamu kita."

Tamu itu cepat menggerakkan tangannya. "Saya kira Siocia tidak perlu masuk, karena urusan ini justru menyangkut diri Siocia (Nona)."

Sin Hong memandang tamu itu dan dia pun mengerti. Kalau tamu ini utusan pamannya, Suma Ceng Liong, dan mengatakan urusan itu menyangkut diri Sian Li, maka tidak salah lagi. Tentu pamannya itu menyuruh utusan ini untuk menjemput puterinya karena dulu mereka pernah berjanji bahwa kalau sudah tiba waktunya, Sian Li akan digembleng ilmu oleh paman dan bibinya itu. Walau pun dia sendiri dan isterinya sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, namun tentu saja paman dan bibinya itu mempunyai ilmu-ilmu yang khas dan amat menguntungkan kalau Sian Li mendapat bimbingan mereka.

Melihat tuan rumah memandang kepadanya, tamu itu lalu mengeluarkan sesampul surat dan menyerahkan surat itu kepada Sin Hong yang segera menerima dan mengambil suratnya lalu dibaca bersama isterinya yang berdiri di belakangnya. Mereka membaca surat dari Suma Ceng Liong dan tepat seperti yang diduga oleh Sin Hong, di dalam surat itu pamannya minta agar Sian Li diperkenankan ikut utusan itu ke Hong-cun. Dia dan isterinya ingin memenuhi janji mereka dan mulai mengajarkan ilmu mereka kepada Sian Li.

Membaca surat itu, Hong Li mengerutkan alisnya dan menyentuh pundak suaminya. "Ahh, bagaimana kita dapat melepaskan anak kita begini tiba-tiba?"

Sin Hong lalu memandang kepada tamu itu dan berkata, "Terima kasih atas jerih payah Toako yang telah mengantarkan surat Paman Suma Ceng Liong kepada kami," katanya dengan amat ramah. "Harap sampaikan saja pada Paman Suma Ceng Liong dan Bibi, bahwa anak kami Tan Sian Li akan kami antarkan sendiri ke Hong-cun. Tetapi sebelum ke sana, kami akan mengunjungi dulu kota raja."

Tamu itu dijamu oleh Sin Hong sekeluarga, kemudian tamu itu meninggalkan mereka untuk kembali ke Hong-cun dan menyampaikan pesan mereka. Hong Li merasa puas, karena kalau Sian Li dibawa begitu saja oleh utusan yang tidak mereka kenal, tentu saja ia tidak akan merasa tenteram hatinya.

Sian Li sendiri tadinya hampir menolak ketika diberi tahu bahwa ia akan diberi pelajaran silat oleh paman dan bibi orang tuanya. Akan tetapi setelah diberi penjelasan oleh ayah ibunya, apa lagi ketika mendengar bahwa dia akan diantar sendiri oleh mereka dan sebelum ke Hong-cun akan diajak pesiar ke kota raja, ia pun merasa terhibur dan tidak membantah lagi.

Tiga hari kemudian, ayah ibu dan anak ini berangkat meninggalkan rumah mereka di kota Ta-tung menuju ke kota raja Peking yang berada di sebelah timur. Untuk pergi ke dusun Hong-cun akan makan waktu yang lama sekali karena dusun itu terletak di dekat kota Cin-an di Propinsi Shantung, di lembah Sungai Huang-ho. Peking merupakan kota yang memang akan mereka lewati kalau mereka pergi ke Shantung, jadi perjalanan itu tidak memutar.

Pada suatu senja, tibalah mereka di sebuah kota yang letaknya dekat dengan Peking, di sebelah barat selatan kota raja itu. Kota ini disebut kota Heng-tai dan merupakan kota yang cukup ramai karena banyak pengunjung kota raja yang kemalaman tentu akan bermalam di kota ini.

Karena banyaknya tamu dari luar daerah yang hendak berkunjung ke kota raja berhenti dan bermalam di kota Heng-tai, maka kota ini tentu saja berkembang menjadi ramai dan di situ banyak orang mendirikan rumah penginapan, rumah makan dan toko-toko. Tanpa adanya tiga perusahaan ini, sebuah kota tidak akan menjadi ramai karena ketiganya memenuhi kebutuhan pokok manusia, yaitu tempat tinggal, makan, dan pakaian berikut segala keperluan hidup sehari-hari.

Ketika pada senja hari itu Tan Sin Hong, Kao Hong Li dan Tan Sian Li memasuki kota Heng-tai, kota itu sedang ramai-ramainya dan semua rumah penginapan sudah penuh tamu! Sin Hong dan anak isterinya mencari kamar dari satu ke lain penginapan tanpa hasil.

"Ahh, kita sudah penat sekali. Apa kita harus bermalam di kuil kosong?" Sian Li mulai mengomel setelah belasan kali keluar masuk rumah penginapan tanpa hasil. Semua pengurus rumah penginapan terpaksa menolak mereka karena semua kamar memang sudah penuh.

"Tidak perlu kita harus bermalam di kuil kosong kalau semua rumah penginapan telah penuh," kata Kao Hong Li. "Kalau perlu kita juga dapat menumpang di rumah seorang penduduk dengan membayar sewa kamar."

"Mari kita coba hotel yang di sana itu. Nampaknya besar dan paling mewah, mungkin masih ada kamar di sana," kata Sin Hong.

Mereka lalu menuju ke hotel yang nampak besar dan mewah itu dan membaca papan nama hotel yang tergantung di depan. Hotel itu bernama ‘Thai Li-koan’ (Hotel Besar). Nampak kesibukan di hotel itu, seolah ada suatu peristiwa penting terjadi di sana. Ketika mereka hendak menaiki anak tangga di depan hotel, seorang pelayan menghampiri mereka dan sebelum mereka bicara, pelayan itu sudah mendahului mereka.

"Maaf, Tuan, semua kamar sudah penuh. Malam ini semua kamar sudah diborong oleh Ouw-ciangkun dari kota raja."

"Bukankah hotel ini besar sekali dan kamarnya tentu amat banyak? Untuk apa panglima Ouw itu memborong semua kamar? Begitu banyakkah rombongannya?" tanya Hong Li penasaran.

Pelayan itu mengangguk. "Rombongannya tidak banyak sekali, akan tetapi dia hendak menerima tamu, dan dia tidak mau diganggu, maka semua kamar di bagian dalam, yaitu kamar-kamar besar sudah diborongnya bahkan tidak ada orang diperbolehkan masuk ruangan dalam kalau tidak diberi ijin. Semua pintu depan dan belakang dijaga prajurit pengawal."

"Tapi, yang disewa kan hanya kamar besar dan kamar-kamar bagian dalam?" Tiba-tiba Sian Li berkata. "Kan masih ada banyak kamar-kamar yang lebih kecil di kanan kiri dan belakang?"

Pelayan itu memandang kepada Sian Li dan wajahnya tersenyum. Anak perempuan yang berpakaian serba merah ini memang manis sekali.

"Memang ada, Nona, tapi... ahhh, banyak yang sudah pesan lebih dulu..."

Hong Li yang amat cerdik dapat melihat sikap pelayan itu, maka ia pun segera berkata, "Berilah kami sebuah kamar samping atau belakang, maka kami akan memberi imbalan secukupnya!" Ia mengeluarkan sepotong perak yang cukup besar.

Melihat mengkilapnya perak itu, sikap Si Pelayan berubah amat ramah. Dia melirik ke kanan kiri, lalu menyambar perak itu dari tangan Hong Li dan membungkuk-bungkuk, menyembunyikan perak itu ke dalam saku bajunya.

"Marilah, Sam-wi masih beruntung tidak terlambat. Biar pun sudah banyak pemesan, akan tetapi melihat Nona kecil ini, aku merasa kasihan dan biarlah kuberikan kepada kalian."

Mereka memasuki rumah penginapan besar itu melalui pintu samping, dan Si Pelayan lalu mengantar mereka ke sebuah kamar di belakang yang cukup besar untuk mereka bertiga. Dia menerima uang sewanya untuk semalam dan memesan agar mereka itu jangan sekali-kali keluar masuk melalui pintu depan, jangan memasuki ruangan dalam dan selalu menggunakan pintu samping saja untuk keluar masuk.

Ketika mereka masuk, mereka melihat ada banyak prajurit pengawal yang berjaga-jaga di sekitar hotel itu, dan bahkan ada prajurit yang sempat menahan Si Pelayan dan baru membolehkan mereka lewat setelah pelayan mengatakan bahwa tiga orang itu adalah tamu-tamu yang sudah mendapatkan kamar di belakang.

"Ingat, selama di sini malam ini, kalian tidak boleh menerima tamu, dan juga tidak boleh memasukkan orang asing ke sini," kata Si Prajurit pengawal kepada mereka.

Setelah mendapat kamar, Sin Hong, Hong Li dan Sian Li lalu membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan pelayan untuk mereka. Hotel itu memang hotel besar, sewa kamarnya pun mahal, akan tetapi pelayannya juga baik, tidak seperti di rumah-rumah penginapan biasa.

Setelah berganti pakaian, Hong Li yang sudah selesai lebih dahulu, keluar dari kamar bersama Sian Li. Mereka hendak berjalan-jalan di taman sebelah belakang hotel itu sambil menanti selesainya Sin Hong yang mandi paling akhir.

Walau pun malam telah tiba, akan tetapi taman bunga itu masih tetap indah dan dapat dinikmati karena di sana-sini dipasangi lampu beraneka warna dan saat itu, kembang-kembang di taman sedang mekar semerbak. Sian Li gembira sekali melihat keindahan taman bunga itu, dan ia pun berlari-lari di dalam taman.

"Sian Li, jangan berlari-lari...!" kata ibunya sambil mengejar.

Tiba-tiba Hong Li mendengar teriakan puterinya. "Ibu, tolonggg...!"

Hong Li terkejut sekali, dan dengan beberapa lompatan ia sudah tiba di balik pohon itu. Ia melihat puterinya tengah didekap seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam. Puterinya meronta-ronta, akan tetapi agaknya laki-laki itu sangat kuat sehingga Sian Li tidak mampu melepaskan diri. Hong Li lantas maklum bahwa laki-laki itu tentu memiliki kepandaian yang tinggi, jika tidak, bagaimana puterinya yang sudah memiliki kelincahan dan ilmu yang lumayan itu demikian mudah ditangkap?

"Lepaskan anakku!" bentak Hong Li dan tubuhnya melayang ke depan laki-laki tinggi besar muka hitam.

Laki-laki itu memandang wajah Hong Li dan kalau tadi dia menyeringai, kini dia tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya ibunya malah lebih cantik lagi! Aku baru menyayangkan bahwa gadis ini masih terlalu kecil, dan sekarang muncul yang sudah dewasa dan matang. Marilah, manis, kulepaskan anakmu, akan tetapi engkau harus menjadi penggantinya."

"Jahanam busuk...!" Hong Li membentak marah.

Begitu orang itu melepaskan Sian Li dan mendorong gadis remaja itu ke samping, Hong Li sudah menerjang ke depan dan dia pun menyerang dengan pukulan kedua tangan secara bertubi. Karena ia tak ingin mencari keributan, dan tidak ingin membunuh orang, tapi hanya ingin menghajarnya saja, maka nyonya muda ini tidak menggunakan pukulan maut seperti Ban-tok-ciang, melainkan mempergunakan jurus dari Sin-liong Ciang-hoat. Bahkan ia tidak mengerahkan seluruh tenaga saktinya.

Melihat nyonya muda yang cantik itu menyerangnya, Si Tinggi Besar bermuka hitam menyambut dengan tangkisan sambil menyeringai, bahkan mencoba untuk menangkap lengan Hong Li.

"Plak-plak-dukk...!"

Tangkisan terakhir membuat keduanya mengadu tenaga melalui telapak tangan yang didorongkan. Akibatnya, tubuh tinggi besar itu terhuyung ke belakang.

Si Muka Hitam itu terkejut karena dia merasa betapa telapak tangannya amat nyeri dan tadi, ketika telapak tangannya bertemu dengan lengan lawan, seluruh tubuhnya tergetar dan dia sampai terdorong ke belakang. Marahlah dia. Segera dia mencabut golok dari pinggangnya.

"Berani engkau menyerangku?" bentak Si Muka Hitam dan dia sudah memutar golok di atas kepalanya.

Kao Hong Li sudah siap siaga menghadapinya. Pada saat itu, nampak seorang wanita muncul di pintu belakang.

"Hek-bin (Muka Hitam), jangan bikin ribut di situ. Masuklah!" teriak wanita itu, suaranya lembut namun penuh wibawa.

Aneh sekali. Mendengar teriakan lembut ini, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu segera menyimpan kembali goloknya, lalu memutar tubuh sambil menjawab, suaranya penuh kepatuhan.

"Baik..., baik... maafkan saya." Dan dia pun melangkah lebar menuju ke pintu belakang itu dan menghilang ke dalam bersama wanita yang tadi memanggilnya.

Kao Hong Li terbelalak. Wanita tadi kebetulan sekali berdiri di bawah lampu gantung di atas pintu dan wajahnya nampak jelas olehnya. Ang-I Moli! Dia masih mengenal wanita yang pakaiannya serba merah itu! Ang-I Moli di situ. Mau apa iblis betina itu? Dan di mana adanya Yo Han? Apakah masih bersama iblis betina itu? Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan. Ia sudah melupakan laki-laki kurang ajar bermuka hitam tadi dan yang memenuhi pikirannya sekarang hanyalah Ang-I Moli.

"Ibu, perempuan itu adalah Ang-I Moli!" Tiba-tiba suara puterinya menyadarkannya dari lamunan. "Mari kita kejar Ibu!"

Anak itu sudah berlari menuju ke pintu, akan tetapi ibunya menyambar pundaknya.

"Sstt, jangan, Sian Li."

"Ehh? Kenapa, Ibu? Pertama, laki-laki tadi harus Ibu beri hajaran, supaya dia bertobat. Dan Ang-I Moli juga tidak boleh dilepaskan. Bukankah ia yang membawa pergi Suheng Yo Han? Ibu harus merebut Yo Suheng kembali dari tangan iblis betina itu!"

"Ssttt, ini urusan gawat, Sian Li. Mari kita beri tahu ayah, engkau jangan membuat ribut. Ingat, mereka itu mempunyai banyak kawan, bahkan ada pula seorang panglima yang mempunyai banyak prajurit." Hong Li lalu menggandeng tangan anaknya dan mereka pun kembali ke kamar mereka.

Sin Hong memandang heran ketika melihat wajah dan sikap isteri dan puterinya yang demikian tegang. "Ada terjadi apakah?" tanyanya.

"Ayah, Ang-I Moli berada di hotel ini!" kata Sian Li.

Tentu saja ayahnya terkejut mendengar pemberi tahuan ini. Tetapi Hong Li memberi isyarat agar puterinya menutup mulut, kemudian dengan suara lirih ia pun menceritakan apa yang baru saja ia alami di dalam taman. Betapa di taman muncul seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang bersikap kurang ajar dan ketika ia hendak menghajarnya, muncul Ang-I Moli yang memanggil Si Muka Hitam itu.

Tan Sin Hong meraba-raba dagunya yang tak berjenggot, alisnya berkerut. "Hemmm, kalau iblis betina itu muncul di sini, tentu ada sesuatu yang amat penting di sini. Dan aku heran, apakah Yo Han juga berada di sini?"

"Kita harus menyelidikinya," kata Hong Li. "Bukankah menurut pelayan tadi, pembesar yang disebut Ouw-ciangkun (Komandan Ouw) hendak menjamu tamu-tamunya malam ini? Dan Ang-I Moli berada di dalam hotel, berarti ia menjadi tamu pula."

"Atau mungkin juga ia anak buah panglima she Ouw itu," kata Sin Hong, "Yang penting apakah Yo Han juga ikut dengannya di sini? Kita harus menyelidikinya. Aku selama ini merasa berdosa kepada mendiang ayah ibunya..."

"Malam ini kita menyelidiki mereka," kata Hong Li dan suaminya mengangguk.

"Aku ikut!" kata Sian Li penuh semangat.

"Tidak boleh, Sian Li," berkata ibunya. "Pekerjaan kami berbahaya sekali. Engkau lihat, baru Si Muka Hitam tadi saja sudah lihai, apa lagi Ang-I Moli dan kita belum tahu siapa lagi yang berada di sana. Kami hanya akan menyelidiki apa yang mereka lakukan."

"Dan menyelidiki apakah Yo Han berada pula di hotel ini," sambung ayahnya.

Walau pun hatinya merasa kecewa, namun Sian Li adalah seorang gadis remaja yang cukup cerdik. Ia maklum bahwa bahayanya memang besar sekali. Laki-laki muka hitam yang ditemuinya di taman tadi saja sudah amat lihai sehingga dalam waktu singkat ia sudah dapat ditangkap dan dibuat tidak berdaya. Kalau ia nekat ikut dan ia membuat ayah dan ibunya gagal dalam penyelidikan mereka, ia sendiri akan merasa menyesal sekali.

Apa lagi jika suheng-nya, Yo Han, juga berada di hotel itu. Orang tuanya harus mampu membebaskan suheng-nya! Ia tidak boleh mengganggu pekerjaan mereka dan ia akan menungggu di kamar.

Dari depan kamar mereka yang berada di bagian belakang, Sin Hong dan anak isterinya dapat melihat kesibukan di ruangan dalam hotel itu. Agaknya orang-orang itu sedang mengadakan pesta.

"Sian Li, engkau tinggal saja di dalam kamar, ya? Jangan keluar, apa lagi meninggalkan bagian belakang ini. Kami hendak mulai melakukan penyelidikan."

"Baik, Ayah," kata Sian Li.

"Hati-hati, Sian Li. Di sini engkau tidak boleh bertindak sembarangan. Bisa berbahaya sekali. Dan jangan sekali-kali engkau mendekati ruangan dalam hotel di mana terdapat penjagaan para prajurit pengawal," pesan ibunya.

Sian Li mengangguk. Di dalam dada anak ini terjadi ketegangan yang hebat. Munculnya Ang-I Moli mengingatkan ia akan semua peristiwa yang dialaminya ketika ia masih kecil, delapan tahun yang lalu. Dan sekaligus mengingatkan ia kepada suheng-nya, Yo Han yang pernah membuat ia menangis dan rewel ketika suheng-nya itu pergi meninggalkan keluarga ayahnya karena dibawa oleh wanita iblis itu.

Tentu saja kini ia hampir melupakan wajah suheng-nya itu. Sang waktu telah menelan segalanya, juga kedukaannya karena ditinggalkan suheng-nya. Akan tetapi, yang jelas masih teringat olehnya adalah bahwa suheng-nya itu amat baik kepadanya, bagaikan seorang kakak kandungnya sendiri.

Sementara itu, Tan Sin Hong bersama Kao Hong Li sudah menyelinap keluar. Dengan perlindungan kegelapan malam, mereka berhasil menyusup ke bagian yang gelap dari kebun di samping rumah, kemudian dengan gerakan yang ringan bagaikan dua ekor burung walet, mereka melompat ke atas pohon dan setelah mengintai dari pohon dan tidak melihat adanya penjaga di bawahnya, mereka lalu melompat ke atas genteng.

Gerakan mereka begitu ringan sehingga tak menimbulkan suara dan begitu tiba di atas wuwungan rumah penginapan itu, keduanya mendekam dan dengan hati-hati mereka memandang ke sekeliling. Hati mereka amat lega melihat bahwa para prajurit pengawal hanya menjaga di sekitar rumah itu, di bawah. Tentu saja tak ada yang mengira bahwa akan ada orang berani mengganggu kehadiran seorang panglima kerajaan di hotel itu!

Ruangan tengah hotel itu dikepung prajurit pengawal dan keadaan di sana terang sekali. Hal ini menarik perhatian suami isteri pendekar itu. Berdebar rasa jantung mereka dan terdapat suatu kegembiraan yang sudah lama tidak mereka rasakan. Jiwa petualang mereka bangkit.

Sudah terlalu lama mereka tidak mengalami hal-hal yang menegangkan seperti ini, dan pengalaman ini mengingatkan mereka akan masa lalu mereka, ketika mereka masih bertualang sebagai pendekar dan sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh dalam keadaan yang menegangkan seperti sekarang.

Dengan hati-hati mereka bergerak di atas genteng sampai mereka tiba di atas ruangan tengah itu. Kemudian mereka menuruni wuwungan, lalu merayap pada genteng di atas ruangan itu dan mengintai ke bawah. Mereka terlindung oleh wuwungan di kanan kiri yang lebih tinggi sehingga dengan rebah menelungkup, mereka dapat mengintai ke dalam ruangan itu dengan leluasa. Bukan saja mereka dapat melihat semua dengan jelas, juga mereka dapat mendengarkan percakapan mereka yang berada di bawah.

Ruangan itu cukup luas dan terang sekali karena sudah diberi tambahan penerangan. Terdapat beberapa buah meja yang diatur di tengah ruangan, berderet memanjang. Di kepala meja duduklah seorang berpakaian panglima.

Dia masih muda, tidak lebih dari dua puluh tiga tahun usianya, berwajah tampan dan gagah, pakaian panglimanya mentereng dan mewah. Di kanan kiri meja duduk berderet banyak orang, akan tetapi sebagian besar di antara mereka berpakaian seperti tosu.

Tentu saja hal ini amat mengherankan hati Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, apa lagi pada waktu mereka mengenal adanya Ang-I Moli di antara mereka, dan mengenal pula bahwa para pendeta itu sebagian besar adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Thian-li-pang. Suami isteri ini menduga bahwa tentu panglima muda itu yang bernama Ouw Ciangkun. Mereka merasa heran bukan main.

Sepanjang pengetahuan mereka, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan orang sesat yang selalu menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Juga Thian-li-pang, meski terkenal sebagai perkumpulan orang-orang gagah, namanya tidaklah terlalu bersih. Akan tetapi Thian-li-pang juga terkenal sebagai kaum pemberontak terhadap Kerajaan Mancu. Lalu, bagaimana mungkin sekarang para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang berkumpul di situ dan agaknya menjadi tamu dari seorang panglima kerajaan?

"Aku tidak melihat adanya Yo Han di sana..." bisik Hong Li dan suaminya memberi isyarat agar isterinya tidak mengeluarkan suara. Hong Li mengerti dan mengangguk.

Mereka tahu bahwa di bawah berkumpul orang-orang lihai. Menghadapi belasan orang tokoh Peklian-kauw dan Thian-li-pang bukanlah hal yang dapat dipandang rendah. Baru Ang-I Moli seorang saja sudah bukan merupakan lawan yang ringan, apa lagi masih ada para pendeta Pek-lian-kauw itu, dan orang-orang Thian-li-pang juga terkenal tangguh.

Sin Hong mengenal Lauw Kang Hui di situ. Tokoh yang tinggi besar bermuka merah ini adalah wakil ketua Thian-li-pang. Kalau wakil ketuanya sampai ikut hadir juga, berarti pertemuan itu tentu penting sekali, pikir Sin Hong. Keingin tahuannya untuk mencari Yo Han pun menipis, tertutup oleh perhatiannya untuk mengetahui apa maksudnya para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang kini sedang dijamu oleh seorang panglima muda Kerajaan Mancu!

Dia dan isterinya harus berhati-hati. Kalau sampai terjadi bentrokan dengan mereka, sungguh berbahaya. Apa lagi di situ masih terdapat pasukan anak buah panglima itu. Dan mereka berdua pun melakukan perjalanan bersama puteri mereka yang tentunya membutuhkan perlindungan.

"Ciangkun, sebelum kita mulai dengan percakapan kita, apakah engkau sudah yakin benar bahwa tempat ini terjaga dengan baik dan tidak ada orang luar yang dapat ikut mendengarkan?" kata Lauw Kang Hui, wakil ketua Thian-li-pang kepada panglima itu.

Panglima itu tertawa. "Aihh, Susiok (Paman Guru), kenapa masih meragukan ketatnya penjagaan kami? Harap Lauw-susiok jangan khawatir. Hotel ini sudah kami borong dan para tamu yang berada di pinggir dan belakang sudah didaftar semua dan diawasi, juga sekeliling ruangan ini, bahkan sekitar rumah penginapan sudah diblok dan dijaga oleh pasukanku. Tidak ada yang begitu gila untuk berani mendekati tempat ini!"

Tan Sin Hong dan Kao Hong Li saling pandang. Kiranya panglima muda itu ialah murid keponakan dari adik ketua Thian-li-pang! Suami isteri yang berpengalaman ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.

Kiranya Thian-li-pang kini telah berhasil menyelundupkan seorang anggotanya ke dalam kerajaan, bahkan ke dalam istana sebab melihat pakaiannya, panglima dan pasukannya itu termasuk pasukan pengawal istana Kaisar! Sungguh keadaan yang berbahaya sekali bagi keselamatan istana kalau begitu!

Memang dugaan mereka besar. Yang menjadi panglima itu bukan lain adalah Ouw Cun Ki, putera Ketua Thian-li-pang, Ouw Ban. Ouw Cun Ki yang berusia dua puluh tiga tahun itu adalah seorang pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu kepandaian ayahnya, seorang yang gagah dan berani, juga cerdik sekali.

Saat Thian-li-pang gagal mengadu domba empat partai persilatan besar karena campur tangan keluarga Kao Cin Liong yang mendamaikan dan menyadarkan para pimpinan dari empat partai besar, Thian-li-pang lalu berunding dengan Pek-lian-kauw dan mereka mencari jalan lain. Kembali mereka menghubungi Siang Hong-houw (Permaisuri Harum) dan berhasil membujuk permaisuri itu untuk membantu mereka hingga memungkinkan mereka untuk menyelundupkan Ouw Cun Ki menjadi seorang panglima muda pasukan pengawal istana!

Siang Hong-houw masih mendendam pada Kerajaan Mancu yang telah menghancurkan suku bangsanya, dengan senang hati membantu perjuangan Thian-li-pang, dengan janji bahwa Thian-li-pang tidak akan menggunakan kekerasan membunuh suaminya, Kaisar Kian Liong, seperti yang dahulu pernah terjadi ketika ada orang Thian-li-pang berusaha membunuh Kaisar itu tetapi dapat digagalkan. Pihak Thian-li-pang menyanggupi, hanya mengatakan bahwa penyelundupan orang-orang.

Thian-li-pang ke istana bukan untuk membunuh Kaisar, melainkan untuk memata-matai semua siasat dan pertahanan sehingga akan memudahkan gerakan mereka apa bila tiba waktunya untuk menumbangkan kekuasaan pemerintah Mancu.

Demikianlah, karena kepandaiannya membawa diri, Ouw Cun Ki yang dikenal dengan sebutan Ouw Ciangkun itu sebentar saja memperoleh kepercayaan dari para panglima lainnya yang lebih tinggi kedudukannya. Bahkan dengan siasat yang telah diatur oleh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, beberapa kali Ouw Ciangkun sudah ‘membuat jasa’ dengan membasmi gerombolan penjahat yang seakan-akan sengaja diumpankan oleh dua perkumpulan pemberontak itu. Karena jasa-jasanya itulah maka Kaisar Kian Liong sendiri, mendengar laporan Siang Hong-houw dan para panglima, berkenan menaikkan kedudukan Ouw Ciangkun.

Karena sudah mendapatkan kepercayaan sebagai seorang panglima muda yang setia, Ouw Can Ki mendapatkan kebebasan bergerak dan setelah demikian, mulailah ia berani mengadakan kontak dengan Thian-li-pang.

Demikianlah, pada malam hari itu, dengan dalih berpesiar ke kota Heng-tai, Ouw Cun Ki mengadakan pertemuan rahasia di hotel besar itu dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw untuk mengatur siasat selunjutnya. Meski pun yang hadir di ruangan dalam hotel itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang berilmu tinggi, tapi karena mereka merasa yakin bahwa tidak mungkin ada orang berani mengganggu pertemuan itu, maka mereka menjadi teledor dan kurang teliti. Mereka tidak tahu bahwa ada dua pasang mata dan dua pasang telinga ikut melihat dan mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan itu!

"Saya mengumpulkan dan mengundang para Locianpwe ke sini untuk merundingkan kelanjutan siasat yang sudah kita rencanakan semula. Saya hendak melaporkan bahwa segalanya berjalan dengan lancar dan sekarang sudah terbuka kesempatan yang amat baik bagi kita untuk bertindak, untuk menyingkirkan semua pangeran yang kini menjadi saingan bagi Pangeran Kian Ban Kok," kata Ouw Ciangkun.

"Coba jelaskan, bagaimana kesempatan itu? Kita harus bertindak hati-hati dan sekali ini, begitu bertindak kita harus berhasil," kata Ang-I Moli.

Ang-I Moli bersama dua orang tosu itu, yaitu Kwan Thian-cu dan Kwi Thian-cu menjadi utusan Pek-lian-kauw. Mendengar pertanyaan Ang-I Moli ini, semua orang memandang kepada Ouw Ciangkun karena semua orang juga ingin sekali mendengar jawabannya.

"Kesempatan ini memang sudah saya tunggu-tunggu selama berbulan-bulan ini," kata Ouw Ciangkun. "Dan akhirnya tiba juga kesempatan yang amat baik. Nanti pada tanggal lima belas bulan ini, tepat pada bulan purnama. Siang Hong-houw hendak menjamu semua pangeran dalam sebuah pesta taman untuk merayakan hari ulang tahunnya dan menikmati musim bunga dalam bulan purnama. Nah, pada kesempatan itulah seluruh pangeran berkumpul di sana dan mereka akan berpesta pada saat yang sama."

"Bagus!" Lauw Kang Hui berseru girang. "Kalau semua lalat itu sudah berkumpul, sekali tepuk kita akan dapat membunuh mereka semua!"

"Lauw-pangcu, engkau hendak menggunakan kekerasan dan menyerang ke taman itu?" Ang-I Moli bertanya sambil mengerutkan alisnya.

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha-ha, jangan salah sangka, Moli. Kami tidak begitu bodoh untuk mempergunakan jalan kekerasan. Kami sudah berjanji kepada Siang Hong-houw untuk tidak menggunakan kekerasan dan kami tentu harus menjaga benar tindakan kami agar supaya jangan melanggar janji. Lagi pula, biar pun Ouw Cun Ki telah berhasil menghimpun satu regu pasukan pengawal pribadinya yang terdiri dari orang-orang kita sendiri, akan tetapi apa artinya seregu pasukan dalam istana jika menghadapi pasukan pengawal yang sangat besar jumlahnya? Tidak, kami akan mempergunakan jalan yang paling halus, dan untuk ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan dari para saudara di Pek-lian-kauw."

"Hemm, Lauw Pangcu, apa yang dapat kami bantu?" berkata Kwi Thian-cu. "Bukankah Pangcu akan menggunakan racun untuk meracuni para pangeran itu melalui hidangan? Nah, kalau mengenai racun, siapa yang akan mampu menandingi para Locianpwe di Thian-li-pang seperti Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun) dan Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)? Apa pula yang dapat kami lakukan untuk membantu kalian?”

"Totiang (Bapak Pendeta) harap jangan salah menyangka. Memang kami sendiri sudah mempersiapkan racun yang sangat kuat. Racun itu tidak ada rasanya bila dicampurkan arak. Akan tetapi, untuk melaksanakannya, kami membutuhkan bantuan seorang wanita yang cerdik dan lihai. Dan kami kira hanya seorang Ang-I Moli saja yang akan mampu melakukannya, yaitu menjadi kepala pelayan dari Siang Hong-houw, membantu dalam pesta itu, bahkan yang bertugas menuangkan arak dalam cawan para pangeran. Nah, pada kesempatan menuangkan arak itulah dapat digunakan Moli untuk mencampurkan racun kami. Siapa lagi yang akan mampu melakukannya kalau bukan Ang-I Moli?"

"Aihh, Lauw Pangcu. Bagaimana mungkin aku dapat melakukan tugas yang berbahaya sekali itu? Baru saja memasuki istana, aku pasti akan diketahui dan ditangkap. Bagai mana aku akan mampu melawan para jagoan istana yang amat banyak?"

Lauw Kang Hui tertawa. "Ha-ha, apakah Ang-I Moli yang terkenal amat pandai dan lihai itu sekarang merasa takut?"

"Lauw Pangcu, harap jangan bicara sembarangan! Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga! Akan tetapi, aku pun bukan seorang tolol yang tidak memakai perhitungan, dengan mata terpejam saja memasuki sarang singa dan mati konyol!" bantah Ang-I Moli dengan muka menjadi merah.

Ouw Cun Ki segera menengahi dan berkata. "Harap Bibi Ang-I Moli tidak menyalah artikan maksud Lauw-susiok (Paman Guru Lauw)! Semua memang sudah kami atur dan rencanakan sebelumnya. Ketahuilah bahwa saya sendiri yang akan mengaturkan, agar Siang Hong-houw suka menerima Bibi menjadi kepala pelayan sehingga Bibi tidak akan dicurigai siapa pun juga ketika melayani penuangan arak untuk para pangeran. Selain itu, juga saya akan mengerahkan pengawal untuk berjaga di taman itu, yang sebetulnya merupakan pengepungan untuk mencegah campur tangannya pihak luar. Rencana kita sudah masak dan takkan gagal, hanya membutuhkan bantuan kecekatan dan kelihaian Bibi untuk mencampurkan bubuk racun itu ke dalam cawan para pangeran, kecuali cawan Pangeran Kian Ban Kok. Selain bantuan Bibi, juga kami membutuhkan bantuan para Locianpwe dari Pek-lian-kauw untuk suka menyamar menjadi anak buah pasukan pengawal saya, dan pada saat pesta itu terjadi, agar para Locianpwe dari Pek-lian-kauw bisa mengarahkan kekuatan sihir mereka untuk mempengaruhi para pangeran sehingga mereka akan tunduk dan akan minum arak mereka tanpa banyak bercuriga."

Ang-I Moli mengangguk-angguk. "Nah, kalau begitu tentu saja kami suka bekerja sama. Sebaiknya diatur dari sekarang. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi."

"Sebab itulah maka saya mengundang Cuwi (Anda Sekalian) mengadakan perundingan di sini. Memang sebaiknya jika besok pagi Bibi sudah dapat saya selundupkan ke istana dan diterima oleh Siang Hong-houw. Ada pun para Locianpwe yang akan menyamar sebagai anggota pengawal saya, lebih mudah dilakukan. Malam ini pun bisa saja."

Mendengar percakapan itu, tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li menjadi terkejut bukan main. Kiranya komplotan itu bermaksud membunuh para pangeran dalam sebuah pesta tiga hari lagi di taman istana! Sin Hong memberi isyarat kepada isterinya dan mereka pun meninggalkan tempat pengintaian itu dan kembali ke kamar mereka di belakang. Ternyata Sian Li masih belum tidur dan masih menunggu kembalinya ayah bundanya.

"Bagaimana, Ayah? Apakah Yo-suheng (Kakak Seperguruan Yo) juga berada di dalam sana?" Sian Li bertanya kepada ayahnya dengan suara penuh harap.

Sin Hong menggeleng kepalanya dan melihat sikap ibunya yang demikian serius, Sian Li segera bertanya, "Ibu, ada terjadi apakah?"

Sin Hong dan Hong Li sudah sepakat untuk memberi tahu puteri mereka. Sian Li bukan anak kecil lagi. Walau usianya baru dua belas tahun, namun anak ini cerdik dan sudah dapat mengetahui keadaan.

“Sian Li, telah terjadi hal yang amat penting.” Hong Li lalu menceritakan dengan suara lirih tentang segala yang telah mereka lihat dan dengar tadi. Mendengar cerita ibunya, Sian Li mengerutkan alisnya.

“Aih, kalau begitu, para pangeran itu terancam bahaya maut!” serunya khawatir. “Lalu apa yang akan dilakukan Ayah dan Ibu?”

“Engkau tahu betapa gawatnya keadaan, Sian Li,” kata Sin Hong dengan sikap serius.

“Ibu dan ayahmu harus cepat melakukan usaha untuk mencegah terjadinya kejahatan di istana itu. Maka, sebaiknya kalau engkau tinggal di kamar ini lebih dahulu, agar gerakan kami tidak terhalang dan leluasa. Engkau tahu, kami menghadapi lawan-lawan yang amat jahat dan berbahaya, juga lihai. Lebih aman bagimu kalau engkau bersembunyi dulu di sini sampai kami kembali.”

Sian Li mengangguk-angguk. Ia maklum bahwa kalau ia ikut, tentu ayah dan ibunya tak akan leluasa bergerak. Apa lagi kalau sampai terjadi bentrokan, dia tidak akan dapat membantu bahkan menjadi beban perlindungan orang tuanya. Pihak lawan amat lihai, merupakan datuk-datuk sesat. Ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu orang tuanya.

“Akan tetapi, sebaiknya engkau bersembunyi saja di kamar, anakku. Dan kalau engkau membutuhkan makan minum, pesan saja kepada pelayan agar dibelikan dan dibawa ke sini. Jangan engkau bepergian keluar.”

“Baiklah, Ibu. Akan tetapi, apakah Ibu dan Ayah akan pergi malam-malam begini?”

“Benar, kami harus pergi sekarang juga. Tanggal lima belas tinggal tiga hari lagi. Bagai mana pun juga, besok pagi-pagi kami tentu sudah pulang,” kata Sin Hong.

“Andai kata urusan ini belum selesai pun kami tentu akan kembali ke sini dahulu untuk menjengukmu, Sian Li,” kata Hong Li.

“Baiklah, Ayah dan Ibu. Aku akan menanti di sini sampai Ayah dan Ibu kembali.”

Setelah sekali lagi memesan kepada anak mereka agar berhati-hati dan jangan keluar dari kamar, suami isteri pendekar itu kemudian pergi meninggalkan rumah penginapan, menggunakan kepandaian mereka sehingga tidak ada orang lain yang melihat mereka meninggalkan tempat itu.....

********************

Tentu saja para prajurit yang menjaga di gardu penjagaan depan rumah gedung tempat tinggal Panglima Liu merasa curiga ketika Sin Hong dan Hong Li minta agar mereka melapor kepada panglima itu bahwa suami isteri itu minta menghadap Liu Tai-ciangkun, Malam sudah larut. Bagaimana mungkin mereka berani mengganggu atasan mereka yang sedang tidur?

Liu Tai-ciangkun adalah seorang panglima tua, berusia enam puluh tiga tahun, dan yang dikenal oleh hampir semua pendekar. Panglima ini terkenal sebagai seorang panglima yang setia dan adil. Juga dia dapat menghargai para pendekar, bahkan sering kali dia mengulurkan tangan mengajak kerja sama dengan para pendekar untuk mengamankan negara dari gangguan para penjahat.

Karena hal inilah maka Sin Hong mengajak isterinya untuk malam-malam menghadap panglima itu. Kiranya hanya panglima itu yang dapat mereka harapkan untuk mengatasi kemelut di istana itu, untuk menghadapi Ouw Ciangkun, murid keponakan wakil ketua Thian-li-pang yang berhasil menyelundup menjadi perwira pasukan pengawal istana.

Akan tetapi, mereka kini berhadapan dengan lima orang prajurit penjaga yang berkeras tidak dapat menerima tamu pada malam-malam begitu.

“Kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) mempunyai kepentingan dengan Liu Tai-ciangkun, sebaiknya supaya Jiwi kembali besok saja. Malam-malam begini, bagaimana panglima dapat menerima tamu? Beliau tentu sudah tidur dan kami tidak berani lancang untuk mengganggunya,” kata kepala jaga.

“Hemm, kalian tidak mengenal kami,” bentak Hong Li yang berwatak keras. “Kalau Liu Tai-ciangkun mendengar bahwa kami yang datang, dia tentu akan cepat-cepat keluar menyambut!”

Para penjaga mengerutkan alisnya, dan Sin Hong yang selalu berwatak sabar dan lemah lembut, cepat maju memberi hormat kepada mereka. “Harap saudara sekalian memaafkan isteriku. Tetapi sungguh, kami mempunyai urusan yang teramat penting yang harus kami sampaikan kepada Liu Tai-ciangkun sekarang juga.”

Para penjaga itu sudah merasa tidak senang dengan sikap keras Kao Hong Li tadi, maka kepala jaga itu sambil memandang kepada nyonya muda yang cantik dan galak itu, bertanya, “Sebetulnya, siapakah Jiwi? Kami sama sekali tidak mengenal Jiwi, dan apa keperluannya? Karena kami belum mengenal Jiwi, bagaimana kami dapat percaya kepada Jiwi?”

“Hemm, kalian ingin mengenal kami? Nah, jagalah baik-baik!” kata Hong Li dan sebelum suaminya mencegah, nyonya muda itu sudah bergerak cepat sekali menyerang dengan totokan-totokan. Tangannya bergerak cepat bukan main dan tubuhnya berkelebatan di antara lima orang penjaga itu.

Para penjaga tentu saja berusaha untuk mengelak, menangkis, bahkan balas memukul. Namun, tanpa mereka ketahui bagaimana, tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi lemas dan mereka terkulai roboh satu demi satu tanpa mampu bangkit kembali!

“Nah, kalian lihatlah. Apa sukarnya bagi kami untuk langsung saja mencari sendiri Liu Tai-ciangkun ke dalam? Akan tetapi kami tidak mau melakukan itu. Kami menggunakan tata cara dan sopan santun, akan tetapi kalian malah menolak kami! Kalian mau tahu siapa kami? Katakan saja pada Liu Tai-ciangkun bahwa yang datang adalah Pendekar Bangau Putih dan isterinya, puteri pendekar Kao Cin Liong!”

Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang cepat sekali, tangan Hong Li bergerak membebaskan totokannya kepada lima orang penjaga itu.

Kini lima orang itu yang tadi terkejut, tidak banyak tingkah lagi. Mereka bukan saja berkenalan dengan kelihaian nyonya muda itu, akan tetapi mendengar nama Pendekar Bangau Putih dan puteri bekas Jenderal Kao Cin Liong, mereka sudah menjadi tunduk dan tanpa banyak cakap lagi, kepala jaga cepat-cepat berlari masuk untuk melapor, biar pun untuk itu terpaksa dia harus mengetuk pintu kamar tidur Sang Panglima, suatu hal yang dalam keadaan biasa, biar bagaimana pun juga takkan berani dia melakukannya!

Tak lama kemudian kepala jaga itu kembali. Dengan sikap hormat dia mempersilakan suami isteri pendekar itu untuk memasuki ruangan tamu yang berada di sebelah kiri bangunan.

Pada saat Sin Hong dan Hong Li tiba di rumah yang lebar itu, mereka mendapatkan Liu Tai-ciangkun sudah duduk menanti. Nampak panglima tua itu baru bangun tidur, bahkan agaknya dia mengenakan pakaian pengganti baju tidur secara tergesa-gesa, rambutnya juga nampak kusut.

Mereka saling memberi hormat, dan panglima itu bangkit dengan wajah berseri-seri.

“Tai-ciangkun, mohon maaf sebesarnya kalau kami sudah mengganggu Ciangkun dari tidur,” kata Sin Hong dengan sikap hormat.

“Ah, tidak apa-apa, Taihiap dan Lihiap. Silakan duduk!” kata panglima itu dengan ramah sambil mempersilakan mereka untuk duduk di kursi-kursi yang sudah diatur berhadapan dengan dia, hanya terhalang meja besar. “Kalau Jiwi malam-malam begini menemuiku, sudah pasti Jiwi membawa urusan yang teramat penting. Nah, para pengawal sengaja kularang mendekat. Kita hanya bertiga saja. Katakanlah apa kepentingan itu!” Sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang pembesar tinggi militer, Liu Ciangkun bersikap tegas.

Sin Hong kemudian menceritakan dengan sejelasnya apa yang telah dialaminya dengan isterinya ketika mereka mengintai dan mendengarkan percakapan di antara para tokoh dari Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang dijamu oleh Ouw Ciangkun, perwira pasukan pengawal istana.

Mendengar laporan yang jelas itu, muka Liu Tai-ciangkun berubah merah dan dia marah bukan main, di samping juga sangat terkejut. “Aku sudah meragukan perwira muda itu! Dia terlalu cepat mendapat kenaikan pangkat, dan itu atas perintah Sri Baginda sendiri! Kiranya para pemberontak itu diam-diam mempergunakan pengaruh Siang Hong-houw. Sungguh berbahaya sekali. Sekarang juga aku harus mengerahkan satu pasukan untuk menangkap semua pengkhianat dan pemberontak itu!” Panglima itu bangkit berdiri.

“Maaf, Tai-ciangkun. Kukira itu bukanlah tindakan yang tepat dan bijaksana!” kata Kao Hong Li.

Panglima itu mengerutkan alisnya, kemudian menghadapi wanita itu dengan sinar mata penasaran. “Aku hendak mengerahkan pasukan menangkapi para pemberontak itu dan Lihiap mengatakan tidak tepat dan tidak bijaksana? Apa maksud Lihiap?”

“Tai-ciangkun, mereka kini berada di rumah penginapan umum di kota Heng-tai. Kalau Ciangkun mengerahkan pasukan ke sana, tentu makan waktu lama dan setelah malam lewat, tentu mereka sudah tidak lagi mengadakan rapat di sana. Ciangkun pasti akan terlambat,” kata Hong Li.

“Pula, di tempat terbuka mereka akan dapat melakukan perlawanan dengan baik. Ingat, mereka memiliki banyak orang yang lihai!” kata pula Sin Hong.

“Andai kata Ciangkun tidak terlambat dan dapat menangkap mereka, lalu apa alasan Ciangkun untuk menuntut mereka semua? Tak ada bukti sama sekali. Ciangkun hanya mendengar laporan kami. Kalau Ouw-ciangkun itu menyangkal, apa yang akan dijadikan bukti? Ingat, Ouw-ciangkun dekat dengan Siang Hong-houw. Kalau terjadi perdebatan tanpa bukti, apakah Ciangkun mampu melawan pengaruh Siang Hong-houw yang tentu akan melindungi Ouw-ciangkun?”

Mendengarkan ucapan suami isteri itu, Liu Tai-ciangkun mengerutkan alisnya, meraba-raba jenggotnya dan dia pun mengangguk-angguk. “Benar sekali apa yang Jiwi katakan. Untung Jiwi mengingatkan aku sehingga tidak bertindak secara tergesa dan gegabah. Akan tetapi, lalu apa yang harus kita lakukan?”

“Maaf, Ciangkun,” kata Hong Li. “Mereka bersiasat, sebaiknya kita hadapi dengan siasat pula. Ciangkun pura-pura tidak tahu akan rencana jahat mereka, agar mereka lengah. Namun diam-diam Ciangkun mengatur siasat pula untuk menghadapi rencana mereka itu, untuk menggagalkan rencana jahat mereka. Tanggal lima belas kurang tiga hari lagi, masih ada waktu bagi Ciangkun untuk bersiap-siap mengatur siasat.”

“Kalau Ciangkun dapat menyergap mereka di taman istana, akan ada dua keuntungan. Pertama, Ciangkun dapat menangkap basah dengan bukti-bukti bahwa orang-orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang menyusup ke dalam pasukan pengawal yang dipimpin Ouw-ciangkun di samping menangkap Ang-I Moli yang hendak meracuni cawan para pangeran. Dan ke dua, penyergapan itu pasti berhasil baik karena penjahat-penjahat itu telah terkurung di lingkungan istana, bagaimana mereka akan mampu lolos?” kata Sin Hong.

Panglima itu mengangguk-angguk “Bagus! Jiwi sungguh berjasa besar. Usul Jiwi baik sekali!”

Panglima itu lalu berunding dengan mereka. Dia akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk diam-diam mengepung taman itu pada waktu pesta ulang tahun Siang Hong-houw berlangsung sehingga seluruh pasukan pengawal bersama Ouw-ciangkun akan dapat tertangkap semua.....

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar