Kisah Si Bangau Merah Jilid 16-20

Kho Ping Hoo, Kisah Si Bangau Merah Jilid 16-20 “Akan tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi.
“Akan tetapi, kami sangat membutuhkan bantuan Jiwi. Permainan ini terlalu berbahaya. Keselamatan nyawa para pangeran terancam dan menurut keterangan Jiwi sendiri tadi, Ang-I Moli yang akan bertindak sebagai kepala pelayan itu yang akan meracuni cawan arak para pangeran. Oleh karena itu, sebaiknya kalau Jiwi yang membantu kami untuk melindungi para pangeran dan mencegah perbuatan Ang-I Moli itu. Demi kepentingan negara, kami mohon Jiwi tidak menolak dan jangan kepalang membantu kami dalam menyelamatkan para pangeran dan mencegah terjadinya perbuatan yang amat keji dan jahat.”

Suami isteri itu saling pandang. Memang tidak semestinya kalau mereka membantu setengah-setengah. Apa lagi mereka tahu bahwa bantuan mereka bukan berarti mereka berpihak kepada Kerajaan Mancu semata, tetapi terutama sekali menentang golongan sesat yang hendak melakukan kejahatan besar.

“Baiklah, Tai-ciangkun,” kata Sin Hong dan isterinya juga mengangguk setuju. “Kami akan membantumu, akan tetapi karena kami datang ke kota Heng-tai bersama puteri kami yang sekarang masih berada di kamar rumah penginapan itu, maka kami akan menjemputnya lebih dahulu dan kalau kami membantu Ciangkun, kami ingin menitipkan anak kami di rumah Ciangkun agar keselamatannya terjamin.”

“Ah, kenapa tidak Jiwi bawa sekalian sejak tadi? Baiklah, saya tunggu kedatangan Jiwi bersama puteri Jiwi.”

Sin Hong dan Hong Li segera berpamit untuk kembali ke Heng-tai yang jauhnya belasan li dari benteng pasukan di mana Liu Ciangkun tinggal di gedungnya itu. Panglima itu lalu mengantar mereka sampai di pintu gerbang dan ketika melihat betapa panglima itu amat menghormati mereka, para prajurit penjaga juga memberi hormat secara militer seolah suami isteri itu merupakan dua orang yang berpangkat tinggi.

Malam telah berganti pagi ketika Sin Hong dan Hong Li tiba kembali di kota Heng-tai. Mereka langsung saja menuju ke rumah penginapan yang kini nampak sudah sunyi walau pun masih ada prajurit pengawal yang menjaga. Agaknya rapat itu sudah selesai dan kini para tokoh sesat itu entah bersembunyi di mana.

Sin Hong dan Hong Li segera menyelinap dan bersembunyi ketika tiba di belakang hotel itu dan dapat melihat kesibukan di antara para prajurit pengawal. Kiranya Ouw Ciangkun sudah bersiap-siap meninggalkan rumah penginapan itu.

Ketika Sin Hong dan Hong Li kembali ke kamar mereka, suami isteri ini mendapatkan pintu kamar itu tidak terkunci. Mereka mendorong daun pintu kamar terbuka dan tidak melihat puteri mereka di dalam kamar! Mereka mencari-cari di sekitar kamar, namun tak nampak bayangan Sian Li! Mulailah mereka merasa khawatir, apa lagi ketika mereka meneliti tempat tidur anak itu dan mendapat kenyataan bahwa tempat tidur itu masih rapi, tidak ada bekas ditiduri anak mereka.

Mereka cepat-cepat memanggil pelayan yang kemarin memberi kamar kepada mereka. Dengan sinar mata penuh ancaman, Hong Li mendorong pelayan itu masuk kamar dan mencengkeram pundaknya.

“Hayo katakan di mana anak perempuan kami!”

Pelayan itu meringis kesakitan dan kedua lututnya menggigil. “Saya... saya tidak tahu..., apa... apa yang telah terjadi maka Jiwi marah kepada saya?”

“Malam tadi kami meninggalkan anak kami seorang diri di kamar ini, tetapi sekarang ia tidak ada. Apakah engkau melihatnya semalam? Hayo katakan, kalau engkau tidak mau mengaku atau berbohong, kami akan membunuhmu!” Sin Hong yang biasanya tenang dan lembut itu, kini terpaksa menghardik dan mengancam karena dia pun mulai gelisah sekali.

“Sungguh mati Taihiap dan Lihiap, sungguh mati saya tidak tahu. Semalam kami semua sibuk sekali melayani semua perintah Ouw Ciangkun sehingga kami sama sekali tidak sempat mengurus hal-hal lainnya. Kami semua tidak pernah melihat puteri Jiwi... tidak nampak Siocia keluar kamar. Sungguh mati saya tidak tahu...”

Suami isteri itu saling pandang.

“Sudahlah,” akhirnya Sin Hong berkata. “Kalau engkau benar tidak tahu, tidak mengapa dan pergilah. Akan tetapi awas, kalau engkau berbohong, kelak masih belum terlambat bagi kami untuk menghukummu!”

“Terima kasih, Taihiap, terima kasih, Lihiap... nanti kalau saya melihat atau mendengar tentang Siocia, tentu akan segera saya laporkan kepada Jiwi...”

Hong Li mengangguk dan pelayan yang sudah menggigil ketakutan dengan muka pucat itu, kini bagaikan seekor tikus yang baru saja lolos dari cengkeraman kucing, dia berlari keluar.

“Heran, ke mana Sian Li pergi?” Sin Hong berkata lirih.

“Tentu ada hal yang tidak beres! Akan kuserbu saja ke dalam dan akan paksa mereka mengaku di mana anak kita!” kata Hong Li.

Akan tetapi Sin Hong memegang lengannya. “Sssttt, perlahan dulu. Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan. Kita berhadapan dengan perwira yang mempunyai pasukan! Tidak bisa kita menuduh mereka begitu saja tanpa bukti. Sebaiknya kita mengamati kepergian mereka. Kalau jelas Sian Li berada dengan mereka, baru kita turun tangan menyelamatkan puteri kita. Kalau tidak ada, kita harus mencari jalan lain.”

Hong Li menurut, akan tetapi ia nampak agak pucat dan gelisah. “Kalau Ang-I Moli yang melakukan penculikan terhadap Sian Li, kali ini aku akan mengadu nyawa dengannya!”

“Yang penting, kita harus dapat menemukan dulu di mana adanya Sian Li, dan melihat anak kita itu dalam keadaan selamat,” kata Sin Hong.

“Tidak ada kemungkinan lainnya,” berkata Hong Li. “Lenyapnya anak kita itu pasti ada hubungannya dengan komplotan pemberontak yang semalam mengadakan rapat di sini. Tentu orang-orang Pek-lian-kauw, Thian-li-pang dan para pemberontak itu yang harus bertanggung jawab.”

“Karena itu, kita amati saja mereka. Dan kita pun akan menghadapi mereka di istana. Di sana kita lebih banyak mendapat kesempatan untuk menangkap Ang-I Moli, kemudian memaksanya mengaku untuk mengembalikan anak kita.”

Setelah mencari-cari tanpa hasil, kemudian mengintai keberangkatan Ouw Ciangkun dan pasukannya dan tidak melihat adanya Sian Li di sana bersama pasukan itu, juga mereka berdua tidak melihat adanya Ang-I Moli beserta para tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, terpaksa, meski dengan hati berat, Sin Hong dan Hong Li segera berlari ke benteng Liu Tai-ciangkun.

Panglima itu terkejut bukan main mendengar bahwa puteri sepasang pendekar itu telah lenyap dari kamar rumah penginapan. “Jangan khawatir, Taihiap dan Lihiap, kami akan menyebar penyelidik untuk mencari keterangan tentang puteri Jiwi (Kalian) itu.”

Dan seketika itu juga panglima Liu menyebar anak buahnya yang ahli untuk melakukan penyelidikan ke kota Heng-tai dan sekitarnya, mencari jejak nona Tan Sian Li, gadis cilik berusia dua belas tahun itu.

Ada pun suami isteri itu sendiri oleh Liu Tai-ciangkun kemudian diselundupkan ke dalam istana. Mereka menyamar sebagai pengawal-pengawal yang tergabung dalam pasukan pengawal istana bagian luar.

Dengan memegang tanda perintah khusus dari Liu Tai-ciangkun dan seorang perwira pasukan pengawal yang menjadi sahabat panglima itu, Sin Hong serta Hong Li dapat bergerak bebas dalam istana itu tanpa dicurigai orang. Tetapi, sepasang suami isteri ini hanya menyembunyikan diri sambil menanti datangnya saat yang ditentukan, yaitu pada malam bulan purnama di taman besar, di mana Siang Hong-houw hendak mengadakan pesta ulang tahunnya, dan dihadiri oleh semua pangeran.....

********************

Penanggalan Imlek dibuat menurut peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karena itu, setiap tanggal lima belas dapat dipastikan bahwa bulan purnama sebulat-bulatnya dan seterang-terangnya.

Malam itu bulan purnama amat cerahnya karena di langit tidak ada awan menghalang. Dan kemulusan bulan ini menambah meriahnya pesta di taman istana yang amat indah. Lampu-lampu gantung beraneka bentuk dan warna menambah indah suasana, seolah-olah menggantikan bintang-bintang yang tidak nampak di langit karena sinarnya ditelan cahaya bulan purnama. Bunga-bunga di taman itu sedang mekar semerbak, menambah keindahan malam itu.

Siang Hong-houw sudah berusia empat puluh tahun lebih. Akan tetapi, permaisuri ini masih nampak anggun dan jauh lebih muda dari usia yang sesungguhnya. Sanggulnya tinggi dan dihias emas permata, pakaiannya juga gemerlapan dan semua itu ditambah kecantikannya dan senyumnya yang tidak pernah meninggalkan bibirnya, membuat dia nampak cantik jelita dan menarik sekali. Para pangeran yang hadir adalah putera-putera tirinya, dan semua pangeran menyayang Siang Hong-houw yang selalu bersikap manis terhadap mereka.

Pesta berjalan dengan meriah. Delapan orang pangeran dan enam belas orang puteri hadir. Mereka semua adalah saudara-saudara seayah berlainan ibu. Kaisar sendiri tidak hadir, juga tidak ada selir lainnya yang hadir. Hal ini memang dikehendaki Siang Hong-houw yang ingin berpesta dengan anak-anak tirinya saja untuk menghibur hatinya.

Untuk membuat pesta bertambah meriah, serombongan besar pemusik, penyanyi dan penari menyajikan hiburan-hiburan yang bermutu. Kesempatan ini dipergunakan oleh Sin Hong dan Hong Li, tentu saja atas usaha Liu Tai-ciangkun, untuk berbaur dengan rombongan seniman dan seniwati itu agar mereka dapat hadir lebih dekat dengan para pangeran. Kalau mereka menyamar menjadi pengawal, maka kehadiran mereka tentu dalam jarak yang jauh dan sukar bagi mereka untuk melindungi para pangeran.

Taman itu sendiri dijaga oleh tiga puluh lebih orang pengawal yang merupakan pasukan istimewa dan yang dipimpin oleh Ouw-ciangkun.

Biar pun mereka berada di antara para seniman, Sin Hong dan Hong Li selalu waspada mengamati keadaan di sekeliling. Terutama sekali mereka memperhatikan para prajurit yang berjaga di situ karena mereka tahu bahwa di antara para prajurit itu tentu terdapat para tokoh sesat yang menyelundup. Mereka melihat betapa Ouw-ciangkun sendiri turun tangan melakukan perondaan di dalam taman itu, seakan-akan hendak menjaga dan melindungi semua orang yang sedang berpesta di dalam taman.

Tempat pesta itu sendiri berada di tengah taman, di mana terdapat sebuah kolam ikan yang dikelilingi petak rumput yang luas. Di atas petak rumput inilah dipasangi kursi-kursi dan meja yang mengelilingi kolam ikan. Suasana sungguh meriah dan gembira, walau pun yang sedang berpesta tidak terlalu banyak.

Ketika Sin Hong dan Hong Li melayangkan pandang mata mereka ke arah mereka yang sedang berpesta, kedua orang suami isteri ini terkejut bukan main. Terkejut, heran dan juga amat girang karena mereka melihat seorang kakek yang gagah, yang mereka kenal karena kakek itu bukan lain adalah Suma Ciang Bun!

Dan di dekat kakek itu duduk seorang wanita setengah tua yang nampak asing, namun wanita ini masih nampak cantik dan juga sikapnya gagah sekali. Sin Hong dan Hong Li tidak mengenal wanita itu, akan tetapi kehadiran Suma Ciang Bun di tempat itu sungguh membuat mereka heran akan tetapi juga girang.

Bagaimana Suma Ciang Bun dapat berada di taman itu dan menjadi seorang di antara mereka yang ikut berpesta? Seperti kita ketahui, Suma Ciang Bun dan nenek Gangga Dewi melakukan perjalanan bersama untuk mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli. Mereka terus membayangi Ang-I Moli selama bertahun-tahun, namun akhirnya mereka kehilangan jejak iblis betina itu.

Setelah mencari dengan sia-sia, akhirnya mereka berdua terpaksa menghentikan usaha mereka mencari Yo Han. Mereka telah bergaul dengan akrab dan mudah bagi mereka untuk menyadari bahwa api yang puluhan tahun lalu membakar hati mereka ternyata masih belum padam. Mereka masih saling mencinta!

Dan pada suatu hari yang baik, Gangga Dewi yang lebih tegas dan berani dibandingkan Suma Ciang Bun, menyatakan perasaannya itu kepada Suma Ciang Bun. Pendekar ini menyambutnya dengan terharu dan gembira sampai tak tertahan lagi Suma Ciang Bun menangis!

Akhirnya, Suma Ciang Bun mengajak Gangga Dewi untuk berkunjung ke sebuah kuil. Kepala kuil itu adalah seorang sahabatnya, seorang pendeta Agama To. Tosu itulah yang mengatur upacara pernikahan antara Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, tanpa dihadiri seorang pun tamu, hanya disaksikan oleh delapan orang tosu lainnya. Namun, secara hukum agama pernikahan itu sudah sah dan sejak saat itu, Suma Ciang Bun hidup bersama Gangga Dewi sebagai suami isteri!

Dalam perjalanan mereka melakukan perantauan, keduanya hidup dengan rukun saling mencinta dan saling menghormat. Dalam banyak hal, Gangga Dewi bersikap kejantanan dan menjadi pemimpin, sedangkan Suma Ciang Bun lebih kewanitaan dan lebih banyak menyetujui apa yang diputuskan oleh isterinya.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi mengunjungi keluarga pendekar itu. Mereka sudah berkunjung ke rumah Kao Cin Liong dan Suma Hui kakak perempuannya, juga sudah mengunjungi rumah Suma Ceng Liong. Dua orang saudaranya ini menerima mereka dengan gembira sekali. Mereka itu semua menyatakan perasaan sukur bahwa akhirnya Suma Ciang Bun menemukan jodohnya, walau pun sudah agak terlambat. Apa lagi yang dipilihnya adalah bekas kekasihnya dahulu, dan puteri dari mendiang Wan Tek Hoat pula. Masih ada hubungan yang tidak jauh!

Demikianlah, pada saat mereka berdua merantau sampai ke kota raja, Gangga Dewi teringat kepada Siang Hong-houw yang sudah dikenalnya sebelum menjadi selir Kaisar, ketika masih tinggal di barat dahulu. Karena pengawal istana melaporkan kepada Siang Hong-houw bahwa ada seorang wanita yang bernama Gangga Dewi dari Bhutan datang berkunjung bersama suaminya, permaisuri itu menjadi gembira bukan main. Cepat dia menyambut dan ketika bertemu, kedua orang wanita itu saling rangkul dengan akrab sekali.

Demikian girangnya hati Siang Hong-houw bisa bertemu dengan sahabat lamanya yang mendatangkan kenangan lama sebelum dia menjadi selir Kaisar, sehingga dia menahan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun supaya tinggal di istana sebagai tamunya, tamu kehormatan dan agar dapat turut menghadiri pesta ulang tahunnya yang diadakan pada tanggal lima belas.

Gangga Dewi yang berpengalaman itu dapat melihat betapa sesungguhnya sahabatnya itu menderita tekanan batin walau pun hidup di dalam gemerlapnya kemewahan dan kemuliaan, maka ia merasa amat kasihan kepada sahabatnya itu. Dibandingkan dengan sahabatnya yang hidup sebagai seorang permaisuri yang mulia, ia merasa berbahagia sekali dan merasa jauh lebih beruntung biar pun ia bersama suaminya hidup sederhana, bahkan selama ini hidup sebagai perantau yang tidak tentu tempat tinggalnya. Oleh karena itu, ia membujuk suaminya untuk memenuhi permintaan Siang Hong-houw dan tinggal di istana sampai tiba saatnya pesta ulang tahun itu.

Ketika akhirnya pesta pada malam hari itu tiba, diam-diam mereka pun merasa heran mengapa Siang Hong-houw merayakan ulang tahunnya secara demikian sederhana, tidak dihadiri Kaisar, tidak pula dihadiri oleh para selir lain atau pejabat tinggi, melainkan dihadiri oleh semua pangeran dan puteri, anak-anak tiri Siang Hong-houw.

Suma Ciang Bun sama sekali tidak pernah menduga bahwa di antara para seniman dan seniwati yang menghibur di pesta itu, terdapat Tan Sin Hong dan Kao Hong Li! Tentu saja Suma Ciang Bun tidak mengenal kedua orang itu karena Sin Hong dan Hong Li mengenakan bedak yang tebal dan mengubah corak wajah mereka.

Sementara itu Ang-I Moli berpakaian sebagai pelayan kepala. Dia pun memakai riasan penyamaran supaya jangan dikenal orang. Ketika Ouw Ciangkun menyarankan kepada Siang Hong-houw agar Ang-I Moli bisa diterima sebagai kepala pelayan, dengan alasan bahwa keamanan di situ harus dijaga ketat, Siang Hong-houw yang tidak menyangka buruk menerimanya begitu saja. Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ang-I Moli ketika ia mengenal Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

Sungguh tidak dinyana sama sekali bahwa dua orang yang amat lihai itu berada pula di situ sebagai tamu! Tentu saja Ang-I Moli menjadi bingung. Apakah artinya itu? Apakah Siang Hong-houw sudah menduga akan sesuatu dan sengaja mendatangkan dua orang lihai itu untuk menjamin keamanan di situ?

Beberapa kali Ang-I Moli mencari-cari Ouw Ciangkun dengan pandang matanya. Akan tetapi ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk berunding dengan perwira itu. Munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi demikian mendadak dan tidak tersangka-sangka sehingga ia tidak mempunyai waktu untuk berunding dengan sekutunya lagi. Bagaimana pun juga, rencana semula harus dilanjutkan!

Ang-I Moli sama sekali tidak tahu bahwa kejutan baginya bukan hanya munculnya Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Ia tidak tahu bahwa di antara para seniman itu terdapat pula dua orang yang ditakutinya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li. Ia tidak dapat mengenal mereka, akan tetapi suami isteri itu dapat segera mengenalnya.

Hal ini bukan karena penyamarannya kurang baik. Sama sekali tidak. Andai kata suami isteri itu belum tahu bahwa dia akan menyamar sebagai kepala pelayan dan bertugas memberi racun pada cawan arak para pangeran, agaknya belum tentu suami isteri pendekar itu akan mengenalnya.

Akan tetapi, di luar tahunya, Sin Hong dan Hong Li segera dapat mengenali kepala pelayan setengah tua yang cantik dan lembut itu, dan mereka sudah siap siaga dan mengamati gerak-gerik Ang-I Moli dengan seksama. Suami isteri pendekar ini maklum bahwa pada saat itu, Liu Tai-ciangkun tentu juga sudah mengerahkan pasukan untuk mengepung taman itu dan memblokir semua jalan keluar dari dalam istana.

Sejak tadi, nampak Ang-I Moli mengatur para pelayan, gadis-gadis manis yang cekatan, untuk mengeluarkan hidangan dan keadaan berjalan lancar tanpa ada sesuatu hal yang mencurigakan. Kemudian, tibalah saat menegangkan yang dinanti-nanti oleh Sin Hong dan Hong Li.

Permaisuri itu memberi isyarat pada pelayan pribadinya yang datang membawa sebuah guci arak yang bentuknya asing dan indah, yang terbuat dari emas murni. Dengan sikap lembut dan ramah, Siang Hong-houw mengangkat guci itu ke atas, memperlihatkannya kepada anak-anak tirinya, juga kepada Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, kemudian berkata,

“Aku masih menyimpan seguci anggur buatan bangsaku Uighur yang amat baik, sudah puluhan tahun umurnya. Selain amat manis dan lezat, juga kasiatnya dapat membuat badan sehat dan semangat tinggi.”

Para pangeran bersorak gembira, sedangkan para puteri tersenyum-senyum. Gangga Dewi menyentuh lengan suaminya. “Anggur Uighur yang sudah puluhan tahun umurnya memang amat hebat.”

Ang-I Moli menghampiri Siang Hong-houw, kemudian dia berkata dengan penuh hormat dan halus, “Perkenankan hamba sendiri yang mewakili Paduka menuangkan anggur ke dalam cawan para tamu yang mulia.”

Oleh karena sejak pertama kali Ang-I Moli bersikap halus, ramah dan sopan sehingga menyenangkan hati Siang Hong-houw, maka dia pun mengangguk dan menyerahkan guci anggur itu kepada kepala pelayan baru yang cekatan itu.

Ang-I Moli dengan sikapnya yang menarik dan lembut, segera menuangkan anggur dari guci itu ke dalam cawan di depan Siang Hong-houw, kemudian ke dalam cawan arak di depan Gangga Dewi dan Suma Ciang Bun yang sama sekali tidak mencurigai sesuatu. Kemudian, dengan teliti dan tahu peraturan, kepala pelayan itu menuangkan anggur ke dalam cawan para pangeran, mulai dari yang paling tua sampai yang paling muda, baru menuangkan anggur ke dalam cawan para puteri.

Semua hal itu dilakukan dengan tepat dan cermat, tidak ada setetes pun anggur yang menetes keluar sehingga semua orang merasa senang. Juga tidak ada yang menduga bahwa ketika menuangkan anggur untuk para pangeran, kecuali untuk Pangeran Kian Ban Kok, kuku jari telunjuk kiri wanita itu sempat menjentik keluar bubuk racun yang sebelumnya sudah dipersiapkan, menempel di ujung lengan baju sehingga di setiap cawan arak itu terpecik bubuk racun halus yang tidak kelihatan orang lain.

Sin Hong dan Hong Li sendiri akan sukar dapat mengetahui gerakan ini, akan tetapi sebelumnya mereka sudah tahu, tentu saja perhatian mereka tercurah ke arah tangan wanita itu dan mereka tahu bahwa bubuk racun telah disebar dan dibagi. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sendiri, yang lihai dan berpengalaman, tidak tahu akan hal itu karena mereka tidak menyangka buruk.

Ketika semua cawan telah terisi dan Siang Hong-houw mendahului mengangkat cawan dan mempersilakan semua orang minum, dan semua orang telah mengangkat cawan masing-masing dengan wajah amat gembira penuh senyum, tiba-tiba terdengar seruan nyaring.

“Tahan semua cawan! Harap Paduka sekalian jangan minum anggur itu!”

Tentu saja semua orang, termasuk Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi, terkejut dan heran mendengar teriakan itu dan semua orang memandang ketika Kao Hong Li keluar dari rombongan seniman seniwati yang sejak tadi menghibur para tamu dengan musik, nyanyian dan tarian mereka.

Karena tidak ingin gagal, Hong Li cepat menyambung teriakannya tadi sambil memberi hormat kepada semua orang yang merupakan keluarga agung Kaisar. “Harap Paduka semua jangan minum anggur itu karena semua cawan sudah diracuni, kecuali cawan para puteri dan Pangeran Kian Ban Kok. Semua cawan pangeran lain telah diracuni dan siapa yang minum anggur itu akan tewas!”

Tentu saja semua orang terkejut bukan main mendengar ini dan otomatis semua orang meletakkan cawan masing-masing di atas meja dan memandang cawan itu dengan hati ngeri.

Melihat ini, Pangeran Kian Ban Kok bangkit berdiri dengan muka merah karena marah. Tadi wanita itu mengatakan bahwa semua pangeran diberi racun, kecuali dia. Ini sama saja dengan menuduh bahwa kalau benar ada yang meracuni para pangeran, maka pelaku itu bersekongkol dengan dia karena dia sendiri tidak diracuni.

“Perempuan rendah! Engkau hanya seorang wanita penghibur! Sungguh lancang sekali mulutmu menuduh Ibu Permaisuri hendak meracuni para pangeran! Engkau berbohong dan akan kubuktikan.”

Pangeran Kian Ban Kok yang sungguh tidak tahu bahwa diam-diam dia dipilih oleh para pemberontak untuk menjadi pangeran tunggal karena ibunya ialah seorang wanita Han, cepat menyambar cawan anggur di depan pangeran yang duduk di sebelah kanannya, kemudian sekali tuang, isi cawan itu memasuki tenggorokannya.

“Nah, aku sudah minum dari cawan seorang pangeran lain! Apa engkau masih berani mengatakan bahwa cawan semua pangeran, kecuali aku, sudah diberi racun?!” bentak Pangeran Kian Ban Kok.

Akan tetapi semua orang terbelalak memandang pangeran ini karena melihat betapa wajah pangeran ini berubah kehijauan, lalu menghitam dan tiba-tiba dia mengeluarkan teriakan melengking dan terjungkal roboh. Dia tewas seketika! Terdengar jeritan-jeritan para puteri dan teriakan para pangeran yang menjadi panik.

Melihat keadaan yang kacau ini, Ang-I Moli terkejut bukan main. Ia lantas tahu bahwa rahasianya diketahui wanita anggota rombongan pemusik itu dan akibatnya sungguh hebat. Pangeran Kian Ban Kok yang seharusnya menjadi satu-satunya pangeran yang tidak terbunuh, kini malah keracunan dan tewas. Maklum bahwa keadaannya di situ berbahaya, ia pun menjadi bingung.

Tiba-tiba terdengar bunyi suitan. Itu merupakan tanda dan teringatlah Ang-I Moli bahwa menurut rencana mereka, kalau sampai usaha mereka meracuni para pangeran itu gagal, maka jalan satu-satunya hanyalah mempergunakan kekerasan membunuhi para pangeran! Maka, tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan ia sudah memegang pedang yang tadi ia sembunyikan di balik bajunya.

Akan tetapi, tiba-tiba wanita anggota pemusik yang tadi berteriak, sudah meloncat ke depannya dan wanita itu berseru, “Ang-I Moli, sekali ini engkau tidak akan lolos dari tanganku!”

Wanita itu sudah menggosok mukanya yang tertutup bedak tebal, kemudian menoleh ke arah Suma Ciang Bun dan berteriak, “Paman Suma Ciang Bun, aku Kao Hong Li. Cepat lindungi para pangeran! Ada komplotan pombunuh!”

Pada saat itu pula, Ang-I Moli yang terkejut ketika mendengar pengakuan Kao Hong Li, telah menyerangnya dengan tusukan pedang. Tapi Kao Hong Li sudah cepat mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kiri yang mengandung hawa beracun karena ia menggunakan ilmu pukulan Ban-tok-ciang.

Sementara itu, Sin Hong sudah pula meloncat dari rombongan pemusik dan pada saat itu, dua orang prajurit pengawal yang memegang pedang terhunus sudah berloncatan untuk menyerang para pangeran. Dengan hantaman tangan dan tendangan kaki, dia membuat dua orang anggota Thian-li-pang yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu terjengkang dan terpelanting.

“Paman Suma Ciang Bun, cepat selamatkan para pangeran!” teriak pula Sin Hong.

Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi sudah berloncatan ke depan. Mereka tadinya amat bingung, akan tetapi begitu tadi mendengar suara Kao Hong Li, Ciang Bun terkejut dan juga girang. Apa lagi ketika melihat munculnya Sin Hong. Mendengar seruan Sin Hong, dia lalu menyambar lengan isterinya.

“Mari kita lindungi mereka!”

Suami isteri ini berloncatan melindungi para pangeran yang terlihat sangat bingung dan ketakutan. Ketika ada prajurit-prajurit pengawal dengan senjata di tangan menyerbu ke arah para pangeran. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menggerakkan tangan kaki dan robohlah empat orang penyerbu.

Sementara itu, wajah Siang Hong-houw menjadi pucat sekali pada waktu tadi ia melihat betapa Pangeran Kian Ban Kok roboh dan tewas begitu minum arak dari cawan seorang pangeran lain. Permaisuri Kaisar ini sama sekali tak tahu tentang rencana pembunuhan keji terhadap para pangeran itu dan begitu kini telah jatuh korban, tentu saja ia menjadi terkejut dan gelisah.

Apa lagi saat para prajurit pengawal yang seharusnya bertugas melindungi keselamatan keluarga Kaisar, kini berbalik malah hendak membunuh para pangeran. Dan dia sudah melibatkan diri dengan pembunuh-pembunuh itu!

Kalau ia mau bekerja sama dengan Thian-li-pang, hal itu ia kerjakan karena ia melihat Thian-li-pang sebagai pejuang untuk mengusir penjajah Mancu. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa sekutu itu akan bertindak demikian nekatnya, meracuni dan hendak membunuh para pangeran. Padahal, sebelumnya ia sudah mendapatkan janji mereka bahwa mereka tidak akan menggunakan kekerasan di dalam istana.

Ia merasa telah ditipu dan dibohongi, dan tahu bahwa ia ikut bertanggung jawab karena dialah yang menerima masuknya orang-orang Thian-li-pang seperti Ouw Cun Ki yang dijadikan panglima pasukan pengawal, bahkan baru saja ia menerima pula wanita cantik sebagai kepala pelayan dalam pesta itu!

Melihat munculnya seorang wanita beserta seorang pria dari rombongan pemusik yang menentang usaha pembunuhan para pangeran, bahkan ketika melihat dua orang tamu agungnya, yaitu Gangga Dewi dan suaminya juga sudah berloncatan melindungi para pangeran, Siang Hong-houw cepat bertindak.

“Mari cepat menyingkir ke dalam!” katanya.

Ia bersama para pangeran dan puteri meninggalkan tempat yang kini menjadi medan pertempuran itu, kembali ke istana, dikawal oleh Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi. Setelah semua pangeran dan puteri memasuki istana bersama Siang Hong-houw, dan jenazah Pangeran Kian Ban Kok diangkut masuk pula, barulah suami isteri itu kembali ke taman dan ikut membantu pasukan menghadapi anak buah gerombolan yang terdiri dari tokoh-tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw itu.

Pasukan pengawal yang dipimpin Ouw Ciangkun yang bukan lain adalah Ouw Cun Ki putera Ketua Thian-li-pang sendiri, yaitu Ouw Ban, bukan semua anggota Thian-li-pang. Anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang diselundupkan oleh Ouw Cun Ki menjadi prajurit pasukan pengawal hanya ada dua puluh orang lebih. Selebihnya adalah prajurit pengawal asli.

Oleh karena itu, ketika para prajurit asli melihat bahwa pasukan mereka dikepung oleh pasukan besar pimpinan Panglima Liu, mereka terkejut dan heran. Akan tetapi, melihat adegan di taman itu, dan mendengar betapa pemimpin mereka ternyata adalah seorang pemberontak yang hendak membunuh para pangeran, tentu saja sikap mereka segera membalik dan turut menyerang orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw, biar pun rata-rata pandai ilmu silat, dikeroyok banyak sekali lawan.

Melihat betapa keadaan amat tidak menguntungkannya, Ouw Cun Ki melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi, nampaklah bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pria gagah dengan pakaian serba putih telah berdiri tepat di depannya. Orang ini bukan lain adalah Tan Sin Hong yang sudah menanggalkan jubahnya sebagai pemain musik dan kini mengenakan pakaian putihnya yang ringkas.

“Ouw Cun Ki, engkau hendak lari ke mana? Engkau harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu!” kata Sin Hong.

“Penjilat busuk, anjing penjajah Mancu!” teriak Ouw Cun Ki. Dia sudah mempergunakan pedangnya untuk menusuk ke arah dada Sin Hong.

Muka Sin Hong berubah merah ketika menerima makian ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan orang jahat dan sudah bersekongkol dengan Pek-lian-kauw yang berkedok perjuangan namun diam-diam menyembunyikan pamrih yang mementingkan diri sendiri, maka dia tahu bahwa dia bukan berhadapan dengan para pahlawan pejuang, melainkan dengan para penjahat.

“Jahanam, orang macam engkau ini yang mengotorkan perjuangan!” bentaknya sambil mengelak dan membalas dengan tendangan yang biar pun dapat dihindarkan Ouw Cun Ki, namun tetap saja membuat putera Ketua Thian-li-pang itu terhuyung.

Ouw Cun Ki putera Ouw Ban Ketua Thian-li-pang ini baru berusia dua puluh tiga tahun, tampan gagah dan telah mewarisi ilmu kepandaian ayahnya. Tentu saja dia lihai sekali dan termasuk seorang tokoh Thian-li-pang yang berkedudukan penting.

Akan tetapi, kali ini dia berhadapan dengan Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sudah menggunakan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Maka, walau pun pemuda itu memegang pedang dan menyerang dengan nekat, dalam beberapa gebrakan saja dia sudah terdesak oleh pukulan, totokan dan tendangan Sin Hong yang membuat dia terus mundur dan kadang terhuyung.

Sementara itu, pertandingan antara Kao Hong Li melawan Ang-I Moli berlangsung seru. Kepandaian kedua orang wanita ini lebih seimbang dibandingkan kepandaian antara Sin Hong dan Ouw Cun Ki.

Ang-I Moli kini telah menguasai ilmu barunya, yaitu Toat-beng Tok-hiat (Darah beracun Pencabut Nyawa) yang amat hebat. Ilmu ini dilatih secara menyeramkan karena telah puluhan orang anak laki-laki dikorbankan untuk mematangkannya. Dan kini Ang-I Moli telah menguasai ilmu itu, bahkan telah dapat membuat obat penawar pukulan beracun itu yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong.

Melihat betapa lihainya Kao Hong Li, Ang-I Moli yang menggunakan pedang di tangan kanan itu, lalu menyelingi serangannya dengan dorongan tangan kiri yang mengandung pukulan beracun yang amat jahat itu.

Ketika pertama kali Ang-I Moli menyerang dengan dorongan telapak tangan kiri yang mengeluarkan semacam uap putih dan yang juga membawa bau yang busuk seperti bau mayat, Hong Li maklum bahwa dia menghadapi pukulan beracun yang berbahaya. Maka, ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga dari ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Racun Selaksa) yang juga merupakan ilmu pukulan yang mengandung hawa beracun. Biar pun tidak sejahat Toat-beng Tok-hiat, akan tetapi juga tidak kalah ampuhnya.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh kedua orang wanita itu terdorong ke belakang. Keduanya terkejut, akan tetapi yang merasa lebih penasaran adalah Ang-I Moli. Setelah berhasil menguasai Toat-beng-tok-hiat, ia mengira bahwa di dunia ini tidak ada ilmu pukulan yang dapat menandingi ilmunya itu!

Sebelum kedua orang wanita ini kembali saling terjang, mendadak nampak bayangan berkelebat dan Gangga Dewi telah berhadapan dengan Ang-I Moli.

“Iblis betina Ang-I Moli, sekarang aku mengenalmu! Di mana kau sembunyikan Yo Han? Hayo cepat beri tahu atau terpaksa aku akan menyiksamu untuk mengaku!” bentakan Gangga Dewi ini selain sangat mengejutkan hati Ang-I Moli, juga membuat Kao Hong Li memandang heran. Ia tidak mengenal wanita cantik yang tadi dia lihat duduk di sebelah pamannya, Suma Ciang Bun. Dan sekarang wanita ini mengenal Ang-I Moli, bahkan menyebut-nyebut nama Yo Han!

Ang-I Moli sudah pernah bertemu dan bertanding dengan Gangga Dewi dan dia tahu akan kelihaian wanita Bhutan itu. Tak disangkanya bahwa wanita itu dapat mengenal ia yang sudah menyamar.

“Mampuslah!” bentaknya dan ia pun menggerakkan pedangnya menusuk.

Gangga Dewi memiliki ginkang yang hebat dan dia mampu bergerak cepat bukan main. Serangan pedang itu dapat dielakkannya dengan amat mudah dan begitu tangan kirinya bergerak, nampaklah gulungan sinar putih mengkilat yang panjang seperti seekor ular menyambar. Kiranya Gangga Dewi telah membalas pula dengan serangan sabuk sutera putihnya. Sabµk itu meluncur kaku bagaikan berubah menjadi tongkat menotok ke arah dada Ang-I Moli.

Ang-I Moli menangkis dengan pedangnya, dan tangan kirinya mendorong dengan ilmu yang diandalkannya, yaitu Toat-beng Tok-hiat. Serangkum uap putih yang berbau busuk menyambar dan Gangga Dewi cepat meloncat ke belakang, maklum bahwa lawannya itu menggunakan pukulan beracun yang amat jahat.

“Bibi, biar aku yang menghalau iblis betina ini!” Kao Hong Li membentak.

Hong Li menerjang maju, sekali ini menggunakan jurus-jurus Sin-liong Ciang-hoat dari Istana Gurun Pasir. Demikian hebatnya daya serang ilmu ini sehingga Ang-I Moli yang memegang pedang itu tidak berani menyambut dan terhuyung ke belakang.

Gangga Dewi sudah mendapat bisikan dari suaminya siapa adanya Kao Hong Li, yaitu keponakan suaminya, puteri dari Kao Cin Liong dan Suma Hui, maka ia pun memutar sabuk suteranya dan berseru.

“Kao Hong Li, aku adalah isteri pamanmu Suma Ciang Bun. Namaku Gangga Dewi dari Bhutan.”

Mendengar ini, Hong Li merasa heran akan tetapi juga gembira. Ia pernah mendengar akan keadaan pamannya, Suma Ciang Bun yang mempunyai kelainan, tidak menyukai wanita karenanya tidak mau menikah. Dan kini tahu-tahu dia mempunyai seorang isteri yang cantik, seorang wanita Bhutan. Dan ia pun teringat bahwa ayah dan ibunya pernah bercerita tentang seorang puteri Bhutan bernama Syanti Dewi yang menikah dengan pendekar Wan Tek hoat, saudara tiri dari neneknya, yaitu mendiang nenek, Wan Ceng!

“Apakah engkau puteri dari kakek Wan Tek Hoat, Bibi?” katanya sambil mengelak dari sambaran pedang Ang-I Moli yang sudah membalas serangannya.

“Benar! Mari kita tundukkan iblis ini, Hong Li!”

Kao Hong Li semakin gembira dan kedua orang wanita ini mendesak Ang-I Moli yang menjadi sibuk sekali. Menghadapi seorang di antara mereka saja, amat sukar baginya untuk mendapatkan kemenangan. Kini mereka maju bersama mengeroyoknya. Tentu saja ia kewalahan dan terus mundur.

“Singgg...!”

Dengan nekat Ang-I Moli membacokkan pedang ke arah kepala Gangga Dewi. Wanita Bhutan ini mengelebatkan sabuknya yang kini menjadi lemas dan sabuk itu menyambut pedang, terus melibatnya dengan kuat.

Ang-I Moli terkejut dan berusaha menarik lepas pedangnya, namun sia-sia saja karena sabuk sutera putih itu sudah melibat pedang dengan amat kuatnya. Ketika dia sedang bersitegang dan menarik-narik pedangnya supaya terlepas, Hong Li sudah meloncat ke depan. Sekali jari tangannya meluncur dan menotok, Ang-I Moli roboh terkulai dengan lemas.

Hong Li menginjak perut Ang-I Moli. Melihat ini, Gangga Dewi berseru, “Jangan bunuh dulu!”

Hong Li memandang wanita Bhutan itu sambil tersenyum. “Bibi, tentu aku tidak ingin membunuhnya. Akan kuserahkan kepada Liu Tai-ciangkun. Akan tetapi, dia harus lebih dahulu mengatakan di mana dia menyembunyikan puteriku. Hayo, Moli, tiada gunanya engkau melawan lagi. Aku dapat membunuhmu, menyiksamu. Katakan di mana engkau menyembunyikan puteriku, dan aku tidak akan menyiksamu, melainkan menyerahkan engkau kepada Liu Ciangkun.”

“Aku tidak tahu, aku tak pernah melihat puterimu,” jawab Ang-I Moli dengan sikap acuh. Ia tahu bahwa ia telah kalah dan tertawan, akan tetapi wanita sesat yang lihai dan cerdik ini tidak merasa gentar. Selama dia masih hidup, ia tidak akan pernah putus asa dan menyerah.

“Bohong! Puteriku yang kami tinggalkan di rumah penginapan itu telah hilang. Siapa lagi kalau bukan engkau dan kawan-kawanmu yang sudah manculiknya? Hayo katakan, di mana dia!”

“Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu. Terserah engkau mau percaya atau tidak,” jawab Ang-I Moli acuh.

“Iblis busuk, engkau benar-benar patut dihajar!” Hong Li yang sangat mengkhawatirkan puterinya, mengangkat tangan hendak memukul. Akan tetapi Gangga Dewi menyentuh pundaknya.

“Nanti dulu, Hong Li. Ia harus memberi tahu dulu di mana adanya Yo Han. Ang-I Moli, engkau dan dua orang tosu itu melarikan Yo Han. Beberapa tahun yang lalu aku pernah mengejarmu dan mencarimu, tetapi gagal. Nah, katakan di mana Yo Han sekarang?”

Ang-I Moli tersenyum mengejek. “Yo Han sudah menjadi murid pimpinan Thian-li-pang dan dia sudah menjadi orang Thian-li-pang. Kalau engkau hendak mencarinya, carilah di Thian-li-pang.”

Karena dapat menduga bahwa dalam keadaan seperti itu, Ang-I Moli kiranya tidak ada perlunya lagi membohong. Hong Li tidak mendesaknya lagi melainkan menyerahkan wanita itu kepada seorang perwira untuk dibelenggu dan dijadikan tawanan.

“Bibi, kita tangkap yang lain dan paksa mereka mengaku di mana anakku Sian Li dan di mana pula adanya Yo Han,” kata Hong Li dan kedua orang wanita ini lalu terjun lagi ke dalam pertempuran.

Sementara itu, Sin Hong yang juga sudah berhasil menundukkan dan merobohkan Ouw Cun Ki tanpa membunuhnya. Bekas perwira pasukan pengawal hasil selundupan orang Thian-li-pang ini dibelenggu dan menjadi tawanan. Melihat betapa isterinya dan wanita Bhutan itu mengamuk, membantu Suma Ciang Bun, Sin Hong juga membantu mereka dan keadaan para tokoh Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw semakin terdesak. Akhirnya belasan orang dapat ditawan dan beberapa orang tewas.

Kaisar Kian Liong marah sekali mendengar bahwa Ouw Cun Ki yang dipercaya dan diberi anugerah pangkat tinggi itu ternyata ialah mata-mata pemberontak Thian-li-pang yang diselundupkan ke istana. Dia memerintahkan para panglimanya untuk menghukum berat kepada para pemberontak itu, yaitu hukuman buang dan hukum mati bagi para pemimpinnya.

Meski tiada bukti bahwa Siang Hong-houw terlibat langsung dengan para pemberontak, namun permaisuri itulah yang memberi angin dan yang memperkenalkan Ouw Cun Ki kepada Kaisar. Akan tetapi ketika Kaisar yang merasa tidak enak hati dan tidak senang mengunjungi permaisurinya, dia mendapatkan bahwa Siang Hong-houw sedang rebah dan dalam keadaan sakit keras.

Melihat keadaan Siang Hong-houw, Kaisar tidak tega lagi untuk menegur atau bertanya. Dan memang penyakit permaisuri itu cukup payah, bahkan pertolongan para tabib tidak mampu mengurangi penderitaannya. Permaisuri ini merasa amat berduka dan kecewa karena telah dibohongi untuk kedua kalinya oleh orang-orang Thian-li-pang.

Hampir saja semua pangeran tewas keracunan, dan kalau hal itu sampai terjadi, maka ialah yang bertanggung jawab. Bahkan kematian Pangeran Kian Ban Kok juga membuat ia merasa bersalah besar. Ia merasa bahwa kematian itu tidak akan terjadi kalau saja ia tidak memasukkan Ouw Cun Ki ke dalam istana! Hal itu berarti bahwa ialah pembunuh pangeran itu dan perasaan ini membuat ia berduka dan menyesal bukan main.

Ia memang amat mendendam terhadap pemerintah Mancu yang telah menghancurkan kehidupan keluarganya. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa Kaisar Kian Liong amat menyayangnya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga kalau ia sebagai seorang isteri yang dicinta sampai melakukan kejahatan terhadap Kaisar dan keluarganya, maka ialah yang berdosa besar.

Perasaan bersalah ini mendatangkan penyesalan yang membuat Siang Hong-houw lalu jatuh sakit parah. Demikian parah sakitnya sehingga beberapa bulan kemudian, Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum ini meninggal dunia karena sakitnya.

Setelah merobohkan banyak orang tokoh Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang, Sin Hong, Hong Li, dibantu Suma Ciang Bun serta Gangga Dewi, mencoba mencari keterangan tentang Sian Li dan Yo Han kepada mereka. Akan tetapi, ternyata tak ada seorang pun di antara mereka tahu mengenai dua orang itu. Akhirnya, setelah menyerahkan semua tawanan kepada Liu Ciangkun, empat orang itu meninggalkan istana tanpa mengharap balas jasa sama sekali.

Mereka berempat keluar dari istana kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing. Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Yo Han yang diculik dan dilarikan Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw.

“Menurut pengakuan Ang-I Moli tadi, Yo Han diserahkan kepada pimpinan Thian-li-pang dan menjadi murid mereka. Aku harus pergi mencarinya di sarang Thian-li-pang!” kata Gangga Dewi.

“Hemm, kukira tidak mudah untuk menentang Thian-li-pang. Perkumpulan pemberontak itu selain mempunyai anak buah yang ribuan orang banyaknya, juga bersekutu dengan Pek-lian-kauw sehingga mereka itu kuat sekali. Kita harus berhati-hati dalam melakukan penyelidikan.”

“Benar sekali apa yang dikatakan oleh Paman Suma Ciang Bun,” berkata Tan Sin Hong. “Pasukan pemerintah pun sulit sekali membasmi perkumpulan Thian-li-pang yang selalu merahasiakan tempat yang menjadi sarang mereka. Di mana-mana mereka mempunyai cabang, bahkan banyak orang gagah yang membantu mereka karena mereka itu selalu melakukan gerakan menentang pemerintah Mancu.”

“Bagi kami, yang paling penting adalah mencari anak kami. Sian Li lenyap dari rumah penginapan di mana orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw mengadakan rapat,” kata Hong Li dengan nada suara mengandung kegelisahan.

“Hemm, memang amat mencurigakan,” kata Suma Ciang Bun. “Siapa lagi kalau bukan mereka yang menculik anakmu? Akan tetapi, tiada seorang pun di antara mereka yang kita robohkan mengakui melihat anak itu. Sebaiknya kalau kita mencari keterangan di rumah penginapan itu lagi.”

Mereka berempat lalu pergi ke rumah penginapan itu dan melakukan penyelidikan lagi. Akhirnya, dari seorang tukang masak di rumah penginapan itu, mereka mendengar bahwa pada saat lenyapnya Sian Li, seperti biasanya di depan dapur berkumpul banyak pengemis dan di antaranya terdapat seorang pengemis tua yang asing.

Ketika Sian Li melihat para pengemis meminta makanan sisa, tukang masak itu melihat betapa pengemis asing itu menghampiri Sian Li dan minta sumbangan dari nona kecil itu. Oleh Sian Li, pengemis itu diberi sepotong uang perak dan pengemis itu pun pergi, tidak jadi minta makanan sisa.

Keterangan itu sebenarnya tidak begitu berarti, namun cukup menjadi bahan pemikiran Sin Hong dan isterinya, juga Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi.

“Dalam keadaan seperti itu, setiap kemungkinan dapat saja terjadi, dan tiap orang asing patut dicurigai,” kata Gangga Dewi. Mereka kemudian minta pada tukang masak untuk menggambarkan keadaan pengemis itu.

“Dia sudah berusia enam puluh tahun, tinggi kurus dengan punggung bongkok seperti udang. Dia memegang tongkat butut dan suaranya seperti orang dari daerah selatan. Matanya juling.” Demikian keterangan yang mereka peroleh.

Empat orang pendekar itu lalu berpencar, mencari pengemis-pengemis di kota Heng-tai. Kepada setiap pengemis, mereka memberi hadiah dan bertanya mengenai pengemis seperti yang digambarkan tukang masak tadi.....

Sin Hong sendiri yang akhirnya mendapatkan keterangan, setelah para pengemis lain hanya mengaku bahwa mereka pun baru hari itu melihat pengemis bongkok itu. Salah seorang di antara mereka menerangkan bahwa pengemis tua bongkok itu datang dari selatan dan merupakan seorang pengemis yang jahat. Si Bongkok itu lihai sekali dan sering berlaku sewenang-wenang terhadap para pengemis lain. Bahkan Phoa-pangcu, yaitu ketua para pengemis di kota Heng-tai, pernah dipukul babak-belur ketika menegur pengemis bongkok yang bersikap sewenang-wenang itu.

“Kau tahu siapa dia?” Sin Hong bertanya.

“Dia hanya mengaku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam),” jawab pengemis itu.

“Dan engkau melihat dia bersama seorang anak perempuan berusia dua belas tahun yang berpakaian serba merah?” Sin Hong mendesak.

Pengemis itu tidak melihatnya. Sin Hong menjadi putus asa, apa lagi ketika ia bertemu kembali dengan isterinya dan dengan Suma Ciang Bun bersama Gangga Dewi, ketiga orang itu pun sama sekali tidak menemukan jejak Sian Li.

“Sebaiknya kalian melanjutkan perjalanan ke Cin-an dan ceritakan peristiwa kehilangan anak itu kepada Adik Suma Ceng Liong,” berkata Suma Ciang Bun. “Dengan demikian maka dia pun akan dapat membantu kalian mencari jejak. Sedangkan kami sendiri akan melanjutkan usaha kami mencari jejak Sian Li.”

Karena tidak melihat jalan lain yang lebih baik, Sin Hong dan Hong Li setuju dan dua pasangan itu saling berpisah. Sin Hong dan isterinya pergi ke Cin-an untuk mengunjungi Suma Ceng Liong, sedangkan Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi akan melanjutkan usaha mereka mencari jejak Sian Li.

Juga diam-diam mereka hendak menyelidiki Thian-li-pang karena menurut pengakuan Ang-I Moli, Yo Han kini berada di perkumpulan pemberontak itu.....

********************

Ke manakah perginya Sian Li? Ketika anak ini ditinggal pergi ayah ibunya, diam-diam ia merasa kesal untuk berdiam diri di kamarnya saja. Maka, setelah menanti dua jam di kamarnya dan tidak melihat ayah ibunya pulang, Sian Li keluar dari dalam kamarnya dengan maksud untuk berjalan-jalan menghilangkan kekesalannya.

Gadis kecil ini tidak tahu bahwa sejak ia keluar dari dalam kamarnya, sepasang mata sudah mengikutinya, sepasang mata yang nampak kemerahan dan kejam. Pemilik mata ini bukan lain adalah Hek-bin-houw (Harimau Muka Hitam), pria empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi besar, bermuka hitam dan yang pernah mengganggu Sian Li di taman.

Dia adalah seorang di antara anak buah Ang-I Moli yang bertugas jaga di luar ruangan rapat. Sejak tadi, dia mendendam kepada ibu gadis cilik berpakaian merah itu karena selain dia terpaksa harus melepaskan gadis cilik yang manis itu, juga dia merasa malu karena dikalahkan ibu gadis itu. Hanya karena takut kepada Ang-I Moli saja dia pergi meninggalkan mereka ibu dan anak. Dan kini, selagi dia bertugas jaga, dia melihat anak perempuan berpakaian merah yang manis itu keluar dari dalam kamarnya, seorang diri pula.

Hek-bin-houw mengikuti Sian Li dan dia berpikir bahwa penjagaan di situ sudah cukup kuat. Jika dia tinggalkan sebentar tidak akan ada yang tahu dan juga tidak mengurangi kekuatan penjagaan. Dia harus dapat membalas rasa penasaran dan dendamnya tadi, sekaligus bersenang-senang.

Setelah mendapat pikiran kotor ini, Hek-bin-houw yang memang selamanya menjadi seorang yang berwatak buruk dan jahat sekali, segera meloncat keluar ketika Sian Li tiba di tempat gelap dan sunyi, di samping bangunan rumah penginapan.

Sian Li terkejut ketika ada orang meloncat ke depannya, apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Si Muka Hitam tinggi besar yang pernah bersikap kurang ajar di taman terhadap dirinya dan mendapat hajaran dari ibunya. Akan tetapi sebelum ia sempat lari atau berteriak, Hek-bin-houw telah menubruk dan menyergapnya bagai seekor harimau menubruk kambing, dan sebelum Sian Li mengeluarkan suara, Si Tinggi Besar muka hitam itu telah menotok jalan darah di pundak dan tengkuknya, membuat gadis cilik itu terkulai lemas dan tidak mampu mengeluarkan suara lagi.

Sambil terkekeh girang Hek-bin-houw lalu memanggul tubuh anak perempuan yang tak lagi mampu meronta itu dan membawanya loncat ke dalam taman, untuk dibawa keluar dari taman itu. Dia tahu bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah kuil tua yang kosong. Tempat itu merupakan tempat yang baik sekali dan tersembunyi. Ke sanalah dia lari sambil memanggul tubuh Sian Li yang sudah tidak mampu bergerak.

“Heh-heh, tadi engkau dan ibumu menghinaku. Sekarang aku akan membalas dendam kepadamu, dan kelak kepada ibumu!" kata Hek-bin-houw ketika dia sudah menyelinap masuk ke dalam kuil kosong itu.

Dengan kasar dia melemparkan tubuh Sian Li ke atas lantai kuil yang tidak terpelihara dan kotor. Tempat itu biasanya hanya menjadi tempat bermalam bagi para gelandangan yang tidak mempunyai rumah tinggal.

Mendadak nampak sinar yang biar pun hanya kecil, akan tetapi karena munculnya tiba-tiba dan di tempat yang amat gelap itu, maka sinar ini menerangi seluruh ruangan dan mengejutkan, juga sangat menyilaukan mata. Hek-bin-houw terkejut dan menoleh.

Kiranya sinar itu adalah nyala api sebatang lilin yang dinyalakan seorang kakek jembel. Sekarang lilin itu diletakkan di sudut, di dekat kakek jembel yang duduk bersila sambil memandang kepada Hek-bin-houw dan Sian Li dengan sinar mata penuh selidik.

"Ha-ha-ha, kiranya seekor anjing yang datang menggangguku," kata kakek jembel itu.

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Pertama, dia merasa terganggu, ke dua, dia dimaki anjing!

"Keparat! Engkau tidak tahu siapa aku? Aku adalah Hek-bin-houw, mengerti? Ayo cepat menggelinding pergi dari sini, atau akan kubunuh kau!" Hek-bin-houw mencabut golok dari pinggangnya dengan sikap mengancam.

Kakek jembel itu terkekeh, lalu dia bangkit berdiri. Ternyata tubuhnya kurus jangkung, akan tetapi punggungnya bongkok dan dia memegang sebatang tongkat hitam.

"Ha-ha-ha, engkau berjuluk Hek-bin-kauw (Anjing Bermuka Hitam), ya? Ha-ha, memang tepat, engkau memang persis anjing bermuka hitam. Dan aku berjuluk Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam), tongkat hitamku ini tepat sekali untuk memukul anjing muka hitam."

Tentu saja Hek-bin-houw marah bukan main. Sudah jelas julukannya harimau, sengaja diubah menjadi anjing oleh Si Cebol ini.

"Jahanam busuk, rupanya engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan goloknya sudah menyambar dahsyat ke arah leher pengemis bongkok itu. Akan tetapi, dengan gerakan tenang sekali, Si Bongkok itu lalu menggerakkan tongkat bututnya yang berwarna hitam untuk menangkis.

"Trakkkk...!"

Harimau Muka Hitam itu terhuyung ke belakang dan dia terkejut sekali karena golok di tangannya hampir saja terlepas. Bukan main besarnya tenaga yang terkandung dalam tongkat hitam itu pada waktu menangkisnya tadi.

Akan tetapi, dasar orang yang selalu mengandalkan tenaga dan kepandaiannya sendiri untuk memaksakan kehendaknya, yang selalu memandang rendah terhadap orang lain, Hek-bin-houw masih belum mau menyadari bahwa dia berhadapan dengan orang yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia bahkan menjadi semakin marah dan penasaran. Dia tidak percaya bahwa seorang kakek jembel yang bongkok dapat menandinginya.

"Mampuslah!" bentaknya dan kini dia pun menyerang lebih hebat lagi, goloknya berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah kepala pengemis itu.

"Manusia tidak tahu diri!"

Pengemis itu terkekeh dan kini tongkatnya berubah menjadi gulungan sinar hitam yang bukan saja menangkis golok, akan tetapi tangkisan itu membuat tongkatnya membalik dan menotok ke arah pergelangan tangan.

Hek-bin-houw berteriak nyaring dan goloknya terlepas karena lengan kanannya tiba-tiba menjadi lumpuh. Sebelum dia tahu apa yang terjadi, ujung tongkat hitam telah menotok dua kali ke arah ulu hati dan tenggorokannya. Hek-bin-houw lantas terkulai roboh dan tidak dapat bangun kembali!

"Heh-heh-heh-heh, ada saja jalan bagi orang yang sudah bosan hidup!" kata pengemis bongkok itu.

Dia pun menghampiri Sian Li yang masih telentang tak mampu bergerak. Gadis kecil itu memandang kepada pengemis yang berdiri mengamatinya dengan mata terbelalak, tapi sama sekali tidak kelihatan takut.

"Heh-heh-heh, engkau memang anak yang manis sekali. Pantas saja anjing hitam itu menculikmu. Akan tetapi engkau terlalu manis untuk anjing macam dia. Engkau ikut saja denganku, anak manis!" Sekali tongkatnya bergerak dengan amat cepat, kakek jembel itu telah membebaskan totokan dari tubuh Sian Li.

Anak ini meloncat berdiri, agak terhuyung karena tubuhnya masih terasa kaku setelah beberapa lamanya dalam keadaan tertotok. Akan tetapi dia segera dapat berdiri tegak dan dengan sikap tegas dia berkata,

"Aku tidak mau ikut denganmu atau dengan siapa pun."

"Ehh? Baru saja engkau kubebaskan dari tangan anjing hitam ini! Apakah engkau lebih suka ikut dengan dia?" Tongkat hitamnya menuding ke arah muka Hek-bin-houw yang sudah tak bernyawa lagi.

"Aku tidak sudi ikut dengan dia, juga tidak mau ikut denganmu. Aku hanya ikut Ayah dan Ibuku!"

"Tapi, engkau telah kutolong!"

"Aku tidak pernah minta pertolonganmu."

"Huh, engkau manis tetapi tak kenal budi. Pantas ditawan anjing hitam ini, dan sekarang engkau harus ikut dengan aku, mau atau tidak!"

"Aku tidak mau!" kata Sian Li dan ia pun sudah siap untuk melawan.

Melihat gadis cilik ini memasang kuda-kuda dengan sikap yang indah sekali, diam-diam pengemis itu terkejut. Ia mengenal dasar silat yang amat hebat, akan tetapi tahu bahwa anak itu belum memiliki tenaga sinkang yang kuat, maka ilmu yang hebat pun tidak ada artinya tanpa didukung tenaga sinkang yang mendatangkan kecepatan dan kekuatan.

"Hayo ikut!" katanya dan tangan kirinya menyambar.

Sian Li tidak dapat mengelak lagi dan ia pun membuat gerakan menangkis. Akan tetapi, karena tenaganya memang belum kuat, maka tangkisan itu membuat tangannya bahkan ditangkap Si Pengemis yang terkekeh dan di lain saat, Sian Li telah tertotok kembali dan sekali tarik, tubuhnya melayang naik dan hinggap di pundak pengemis bongkok itu yang segera meloncat keluar dari kuil dan berlari cepat di dalam kegelapan malam.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali kakek pengemis bongkok itu telah keluar dari kota Heng-tai sambil memanggul tubuh Sian Li di pundak kiri, dan dia berjalan perlahan-lahan di luar kota yang masih sunyi itu. Hawa udara pagi itu sejuk sekali.

Siapakah pengemis bongkok yang amat lihai itu? Dia adalah seorang tokoh persilatan yang terkenal, namun dia termasuk tokoh sesat yang suka mengandalkan kepandaian untuk memaksakan keinginannya dan tak pantang melakukan tindakan yang jahat. Oleh karena itu, Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam) termasuk seorang tokoh sesat walau pun di selatan dia mempunyai perkumpulan yang terkenal, yaitu Hek-pang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) di mana ia menjadi ketuanya. Karena dia seorang petualang yang suka berkelana, maka perkumpulan itu sering ditinggalkan olehnya dan dia serahkan kepada para wakilnya untuk mengurusnya.

Ketika Hek-pang Sin-kai menolong Sian Li dari tangan Hek-bin-houw, perbuatan itu dia lakukan bukan karena dia memang suka menolong orang. Dia turun tangan membunuh Hek-bin-houw hanya karena Si Muka Hitam itu berani menentang dan menyerangnya. Akan tetapi, pada saat melihat Sian Li yang manis dan mungil, timbul rasa suka di hati kakek jembel itu dan dia ingin mengambil anak itu sebagai seorang muridnya.

Saking lelahnya, pada waktu dibawa lari dari kuil, Sian Li tertidur atau tak ingat diri di panggulan pundak kakek itu. Akan tetapi udara pagi yang dingin itu menyadarkannya dan kini, biar pun tubuhnya tak tampak bergerak, ia dapat bersuara dan berulang-ulang minta agar kakek itu melepaskan dirinya. Akan tetapi, Hek-pang Sin-kai hanya terkekeh dan tidak mempedulikannya.

Pagi itu amat sunyi dan Sian Li sudah hampir putus asa. Suaranya sudah parau karena sejak tadi ia berseru minta dilepaskan dan kini ia berdiam diri. Percuma saja bicara, pikirnya. Saat itu masih pagi sekali dan di sepanjang jalan tidak pernah bertemu orang. Nanti saja kalau ada orang, ia akan menjerit minta tolong.

Tiba-tiba ia melihat seorang nenek datang dari arah kiri di sebuah jalan persimpangan. Melihat ada orang, Sian Li lalu bicara lagi, kini ia bahkan mengerahkan tenaga supaya suaranya terdengar lantang.

"Kakek jahat, lepaskan aku!" teriaknya dan karena kepalanya tergantung di belakang pundak kakek itu, Sian Li dapat melihat betapa nenek yang datang dari jalan simpangan itu menengok, lalu nenek itu pun membelok dan mengikuti penculiknya dari belakang.

Melihat ini, Sian Li berkata lagi.

"Kakek jahat, lepaskan aku. Engkau sungguh berani mati menculikku. Kalau Ayah Ibuku mengetahui, engkau tentu akan mereka bunuh!"

"Heh-heh-heh, aku tidak takut kepada ayah ibumu, anak manis!" kata Hek-pang Sin-kai, terkekeh mendengar bahwa ayah ibu anak itu akan membunuhnya.

"Engkau tertawa karena tidak mengetahui siapa Ayah Ibuku. Kalau engkau tahu, engkau akan mati berdiri!" kata pula Sian Li.

Sian Li melihat betapa nenek yang berjalan di belakang itu mempercepat langkahnya sehingga jaraknya semakin dekat, hanya sepuluh meter saja di belakangnya.

Kembali kakek jembel itu tertawa bergelak ketika mendengar ancaman Sian Li yang dianggapnya hanya gertakan belaka.

"Ayahku adalah Tan Sin Hong yang berjuluk Si Bangau Putih! Sedangkan ibuku adalah keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es!" kata pula Sian Li dan sekali ini, benar saja ia merasa betapa tubuh yang memanggulnya itu menegang.

"Hemm, engkau hanya membual!" kata kakek jembel itu, akan tetapi kini tawanya hilang karena dia benar-benar amat terkejut mendengar ucapan Sian Li.

"Siapa membual? Ibuku itu bernama Kao Hong Li. Kakek Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Istana Gurun Pasir, sedangkan nenekku Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Istana Pulau Es!"

Sekarang Hek-pang Sin-kai tak dapat berpura-pura lagi. Dia memang kaget bukan main mendengar ucapan itu. Ia tahu bahwa anak ini tak mungkin membual karena dari mana anak ini dapat mengenal nama-nama besar itu? Akan tetapi, di samping kekagetannya, dia bahkan menjadi semakin gembira.

"Bagus! Kalau begitu, engkau keturunan para pendekar sakti. Engkau pantas menjadi muridku!" katanya gembira dan bangga. Kalau dia dapat mengambil murid keturunan Istana Gurun Pasir dan Istana Pulau Es, namanya tentu akan terangkat tinggi sekali!

Tiba-tiba kakek jembel itu terkejut sekali ketika ada angin dahsyat menyambar ke arah kepala dan dadanya yang datang dari sebelah kanan. Dia mengenal serangan ampuh, maka cepat dia membalik ke kanan dan menggerakkan tongkat serta tangan kirinya untuk menangkis dan balas menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu tubuh Sian Li yang dipanggul di atas pundak kanannya, sudah dirampas orang!

Pada saat dia membalik, dia melihat seorang wanita tua sudah menurunkan Sian Li dan bahkan telah membebaskan totokan atas diri gadis cilik itu.

"Anak yang baik, engkau minggirlah, biar kubereskan jembel busuk ini!" kata nenek tadi sambil mendorong Sian Li dengan lembut ke samping.

Sian Li menurut dan anak itu pun menjauh, berdiri di pinggir jalan yang masih sunyi itu sambil memandang kepada dua orang tua yang sudah saling berhadapan itu dengan hati tegang. Ia masih belum tahu siapa nenek itu dan orang macam apa. Kalau nenek itu seorang penjahat pula seperti kakek jembel, ia pun tidak akan sudi ditolong dan ikut dengannya.

Dengan muka merah karena marah. Hek-pang Sin-kai menudingkan tongkat hitamnya ke arah muka nenek itu. "Nenek tua bangka, apakah engkau sudah bosan hidup maka berani menentang Hek-pang Sin-kai?"

Nenek itu tersenyum dan sungguh amat mengagumkan. Nenek yang usianya sedikitnya enam puluh tujuh tahun itu, yang seluruh rambutnya sudah hampir putih semua, begitu tersenyum, nampak jauh lebih muda karena giginya masih berderet rapi! Mudah diduga bahwa nenek ini pada waktu mudanya tentu cantik manis. Bahkan dalam usia sekian tuanya, tubuhnya masih ramping padat.

Memang dia bukanlah wanita sembarangan. Dia adalah nenek Bu Ci Sian, isteri dari pendekar Kam Hong yang dahulu terkenal sebagai Pendekar Suling Emas! Nenek ini, di samping sebagai isteri pendekar itu, juga terhitung sumoi-nya (adik seperguruan) dan sudah menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) serta Kim-kong Sin-im (Tiupan Suling Sakti Sinar Emas).

Di samping ilmu-ilmu yang khas sebagai pewaris Suling Emas, juga nenek ini seorang pawang ular yang ahli. Bahkan ia pernah menerima pelajaran sinkang gabungan Im dan Yang dari mendiang Suma Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil, putera dari mendiang Pendekar Super Sakti!

"Bagus! Kiranya engkau yang berjuluk Hek-pang Sin-kai? Sudah lama aku mendengar akan nama busukmu. Kebetulan sekali, tidak perlu aku pergi jauh-jauh mencarimu untuk menghajarmu sampai engkau bertobat dan tidak melakukan kejahatan lagi!"

"Nenek sombong! Katakanlah siapa engkau sebelum tongkatku ini menamatkan riwayat hidupmu.”

Senyum itu masih belum hilang dari wajah nenek yang pakaiannya serba putih seperti orang berkabung, namun sangat rapi dan bersih itu.

"Pengemis jahat, orang macam engkau tidak pantas mengenal siapa namaku."

"Bagus! Kalau begitu, mampuslah tanpa nama!" bentak Hek-pang Sin-kai dan dia pun sudah menerjang dengan tongkatnya.

Dari cara nenek itu tadi merampas Sian Li dari pundaknya saja ia sudah dapat menduga bahwa nenek ini merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan, maka begitu menyerang, dia sudah mempergunakan tongkatnya tanpa peduli bahwa nenek itu bertangan kosong. Dia pun menyerang dengan jurus-jurus maut dari ilmu tongkatnya.

Tongkat hitam itu seperti seekor ular hidup, meluncur ke depan dan membuat gerakan memutar seperti hendak melingkari leher lawan. Ketika nenek itu melangkah mundur untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah leher itu, ujung tongkat terus meluncur ke depan karena pengemis itu pun sudah melangkah maju dan kini ujung tongkatnya membuat gerakan serangan menotok bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah terpenting di bagian depan tubuh! Serangan itu sungguh dahsyat dan merupakan serangan maut.

"Hemm, kejam sungguh!" Nenek Bu Ci Sian berseru lirih.

Pengemis itu tidak pernah bermusuhan dengannya, akan tetapi kini agaknya berusaha sungguh-sungguh untuk membunuhnya! Ia menggunakan kelincahan gerakannya yang masih gesit untuk mengelak dengan loncatan-loncatan. Namun, totokan berikutnya terus mengancam dirinya sehingga dengan terpaksa nenek itu mencabut sebatang suling dari ikat pinggangnya.

Segera nampak sinar keemasan dibarengi suara meraung nyaring dan tinggi sehingga mengejutkan hati Hek-pang Sin-kai. Suara melengking yang keluar dari suling yang digerakkan itu seperti menusuk telinganya dan menyerang jantungnya! Dia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi dirinya dari suara itu, akan tetapi serangannya menjadi gagal.

Dengan penasaran dan marah, dia pun mengatur serangkaian serangan berikutnya. Akan tetapi, kini dia mengalami hari naas bertemu dengan nenek yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi darinya!

Begitu nenek Bu Ci Sian memainkan sulingnya, nampak sinar emas bergulung-gulung menyilaukan mata dan pengemis itu menjadi terkejut dan bingung sebab selain gerakan tongkatnya selalu menemui tembok sinar keemasan yang menahan gerak serangannya, juga dia merasa terkurung oleh sinar emas itu yang selain menyambar-nyambar dengan ancaman dahsyat, juga selalu mengeluarkan bunyi yang menusuk-nusuk telinganya! Tentu saja kakek jembel itu kewalahan karena nenek Bu Ci Sian telah memainkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang pernah menggetarkan dunia persilatan.

Nenek Bu Ci Sian bukanlah seorang yang kejam, walau pun dahulu di waktu mudanya dia terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang galak dan tidak mengenal ampun terhadap para penjahat. Setelah menjadi isteri suheng-nya sendiri, yaitu pewaris Suling Emas, ia menjadi lembut dan tidak kejam untuk melakukan pembunuhan.

Walau pun ia tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang jahat, namun ia tidak tega untuk membunuhnya. Kalau ia menghendaki, dalam waktu dua puluh jurus saja ia akan dapat merobohkan dan menewaskan Hek-pang Sin-kai. Akan tetapi, sekarang ia hanya mempergunakan sulingnya untuk mengepung dengan sinar yang bergulung-gulung, dan kadang-kadang memukul tak terlalu keras ke arah pundak, punggung, lengan sehingga kakek jembel itu seperti anak nakal yang digebuki ibunya!

Maklum bahwa dia tak akan mampu menandingi nenek itu. Hek-pang Sin-kai kemudian meloncat jauh ke belakang dan tiba-tiba ia melontarkan tongkatnya. Itulah ilmunya yang terakhir, yang diandalkan dan dilakukan di waktu dia telah tersudut dan kalah. Selain untuk dapat menyerang dan membunuh lawan secara tiba-tiba, juga lontaran tongkat itu digunakan untuk melarikan diri, agar lawan tidak dapat melakukan pengejaran.

Tongkat meluncur dengan kecepatan bagai anak panah terlepas dari busurnya, menuju ke dada nenek Bu Ci Sian.

"Hemmm...!"

Nenek itu menggerakkan suling emas di tangannya menyambut tongkat itu, dan begitu tongkat yang meluncur itu bertemu suling, suling diputar sehingga tongkat itu berputaran menempel pada suling.

"Hyaaattt...!"

Nenek Bu Ci Sian menggerakkan sulingnya dan tongkat yang tadi sudah terputar-putar melekat pada suling itu sekarang tiba-tiba meluncur balik ke arah pemiliknya yang telah melarikan diri! Tetapi, nenek itu mencari sasaran yang tidak mematikan dan tongkat itu dengan tepat menancap dan menembus paha kiri Hek-pang Sin-kai dari belakang!

Kakek jembel itu mengeluarkan teriakan kesakitan. Akan tetapi saking takut jika dikejar dan dibunuh, ia tetap berloncatan lari sambil terpincang-pincang, membawa lari tongkat yang menembus paha kirinya.

Sejak tadi, Sian Li mengikuti pertandingan itu dan diam-diam ia merasa girang bahwa nenek itu dapat mengalahkan kakek jembel yang jahat. Akan tetapi, ia merasa kecewa melihat nenek itu membiarkan Si Bongkok jahat itu pergi.

"Nek, kenapa tidak kau bunuh saja kakek jembel jahat itu?"

Mendengar ucapan ini, nenek Bu Ci Sian menghampiri Sian Li dengan alisnya berkerut. "Kenapa harus dibunuh?" tanyanya.

"Dia jahat. Kalau engkau membunuhnya, berarti engkau sudah membebaskan mereka yang akan menjadi korbannya di kemudian hari. Sekarang engkau malah membiarkan dia pergi. Tentu dia akan mencelakai banyak orang lagi dan kalau hal itu terjadi, berarti engkau pun ikut bersalah, Nek."

Nenek Bu Ci Sian terbelalak. Anak ini sungguh cerdik, akan tetapi juga galak dan tak kenal ampun terhadap orang jahat. Ia pun tersenyum, teringat akan wataknya sendiri di waktu muda.

"Anak baik, benarkah engkau cucu Kao Cin Liong dan Suma Hui?”

Sian Li memandang tajam, “Apakah kau kira aku ini seorang yang suka berbohong?"

“Kalau benar, berarti kita ini bukan orang lain, anak yang baik. Engkau mengenal Suma Ceng Liong?"

"Tentu saja!" kata anak itu, "Dia masih keluarga nenekku, adik nenekku, bahkan dia calon guruku."

"Ehh?" Tentu saja nenek Bu Ci Sian menjadi heran mendengar pengakuan itu.

"Engkau menjadi muridnya? Bagaimana pula ini?"

"Sebelum aku menceritakan hal itu, aku ingin tanya lebih dulu. Siapakah engkau, Nek?"

Nenek Bu Ci Sian kembali tersenyum. Anak ini memang cerdik dan sangat berhati-hati. ”Engkau sudah mengenal Suma Ceng Liong, tentu mengenal pula isterinya.”

"Tentu saja. Nenek Kam Bi Eng amat baik kepadaku ketika berkunjung ke rumah Kakek Kao Cin Liong dan kami bertemu di sana.”

"Nah, aku adalah nenek buyutmu, aku adalah ibu dari nenekmu Kam Bi Eng itulah."

"Aihhh, kiranya Nenek Buyut Bu Ci Sian!" berkata Sian Li sambil cepat memberi hormat sambil berlutut.

Nenek itu girang sekali, lalu mengangkat bangun anak itu dan memeluknya. "Engkau bahkan sudah mengenal namaku?"

"Tentu saja. Sejak aku kecil Ayah dan Ibu sudah mendongeng kepadaku tentang Kakek Buyut Kam Hong yang berjulukan Pendekar Suling Emas, juga tentang Nenek Buyut. Sekarang baru aku bisa melihat sendiri bahwa Nenek Buyut memang lihai bukan main, dengan mudah mengalahkan Hek-pang Sin-kai yang lihai dan jahat tadi."

"Sekarang ceritakan bagaimana kau dapat terculik pengemis itu, dan di mana adanya ayah ibumu?"

Sian Li menceritakan tentang pengalamannya dan ayah ibunya di kota Heng-tai, tentang persekutuan di antara Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang mengadakan persekutuan jahat. Karena Sian Li memang cerdik dan ia telah mendengar dari ayah ibunya, ia dapat bercerita dengan jelas dan mendengar itu, wajah nenek Bu Ci Sian berubah tegang.

"Aihh, kalau begitu, ayah ibumu kini tengah menghadapi urusan besar yang menyangkut keselamatan keluarga Kaisar. Pantas saja engkau diculik orang dan tidak kebetulan, yang menolongmu juga seorang tokoh sesat macam Hek-pang Sin-kai. Untung sekali agaknya Tuhan yang menuntunku pagi-pagi ini lewat di sini sehingga dapat melihat engkau dalam tawanan penjahat itu. Akan tetapi, apa artinya engkau tadi mengatakan bahwa Suma Ceng Liong akan menjadi calon gurumu?"

"Sebetulnya, aku bersama Ayah dan Ibu meninggalkan rumah sedang menuju ke Cin-an karena sudah tiba saatnya aku harus belajar ilmu dari Kakek Suma Ceng Liong seperti yang telah dijanjikan antara dia dan Ayah. Sebelum ke sana, Ayah dan Ibu mengajak aku berpesiar ke kota raja. Akan tetapi ketika tiba di kota Heng-tai, terjadi peristiwa itu."

"Aih, begitukah? Bagus sekali jika begitu. Aku sendiri sedang dalam perjalanan menuju ke rumah anak dan mantuku itu."

"Akan tetapi, Ayah dan Ibu akan mencari-cariku, Nek. Mereka akan menjadi bingung. Sebaiknya kalau kita kembali dulu ke Heng-tai dan..."

"Berbahaya sekali, cucuku. Seperti ceritamu tadi, di sana penuh dengan orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Kalau sampai mereka melihatmu, kemudian mereka mengeroyokku, bagaimana aku akan mampu melindungimu?"

"Aku tidak takut, Nek."

"Ini bukan soal takut atau tidak takut, cucuku. Akan tetapi, setelah kini engkau terbebas dari bahaya, apakah kita harus kembali mendatangi bahaya dan membiarkan engkau tertawan musuh? Kalau begitu, ayah dan ibumu tentu akan gelisah sekali. Sebaiknya, marilah kuantar engkau ke Cin-an. Aku yakin ayah dan ibumu akan pergi ke sana pula. Kalau tidak, aku sendiri yang akan mencari mereka ke Heng-tai, kemudian ke kota raja, dan kalau perlu aku akan berkunjung ke Ta-tung untuk memberi tahu mereka bahwa engkau telah berada di Cin-an."

Akhirnya Sian Li menurut karena bagaimana pun juga, oleh ayah dan ibunya ia memang akan diantarkan ke Cin-an. Berangkatlah mereka berdua ke Cin-an dan mereka diterima dengan penuh kegembiraan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng.

"Ibu, kenapa Ayah tidak ikut?" Kam Bi Eng bertanya.

Ditanya demikian, tiba-tiba wajah nenek itu menjadi murung. Inilah yang ia khawatirkan, namun sejak tadi ditahan-tahannya. Ia adalah seorang wanita yang tabah, akan tetapi ia khawatir bahwa anaknya yang akan menderita duka.

"Ibu, apa yang terjadi?" Kam Bi Eng merangkul ibunya begitu melihat wajah ibunya menjadi murung setelah ia bertanya tentang ayahnya.

Nenek itu menghela napas panjang. "Engkau ingat berapa usia ayahmu tahun ini?"

"Sudah lebih dari delapan puluh tahun, Ibu. Bukankah dua tahun yang lalu beramai-ramai kita memperingati ulang tahunnya yang ke delapan puluh?" berkata Kam Bi Eng, masih mengamati wajah ibunya dengan khawatir.

"Engkau benar. Usianya memang sudah delapan puluh dua dan dia telah meninggalkan kita dengan tenang sebulan yang lalu..."

"Ibuuuu...!" Kam Bi Eng menjerit sambil merangkul ibunya dan pecahlah tangisnya. "Ibu, kenapa...? Kenapa Ibu diam saja? Kenapa aku tidak diberi tahu?" Ia bertanya di antara ratap tangisnya.

Nenek itu tidak ikut menangis, melainkan tersenyum lembut sehingga anaknya merasa heran memandangnya. Juga Suma Ceng Liong memandang kepada ibu mertuanya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Akan tetapi, Ibu, mengapa kami tidak diberi tahu mengenai kematian Ayah?"

Nenek Bu Ci Sian mengusap kepala puterinya. ”Tenangkan hatimu, hentikan tangismu. Ini semua kehendak ayahmu. Dia sudah memesan supaya begitu dia menghembuskan napas terakhir, aku segera mengurus jenazahnya yang harus dikebumikan pada hari kematiannya. Ini adalah pesan ayahmu, dan juga dia berpesan agar perlahan-lahan aku memberitakan kematiannya kepadamu setelah lewat satu bulan."

"Tapi... tapi mengapa...?" Kam Bi Eng mencoba untuk menahan tangisnya.

"Engkau mengenal ayahmu. Kadang aku sendiri sukar mengikuti jalan pikirannya. Dia tak ingin jenazahnya dibiarkan berminggu-minggu atau berhari-hari membusuk sebelum dikubur. Dia juga tidak ingin ditangisi, diratapi karena menurut pendapatnya, orang yang meratapi yang mati sebenarnya hanya menangisi diri sendiri. Dapat dibayangkan betapa sedihku saat terpaksa memenuhi permintaan terakhirnya itu, menguburkan jenazahnya tanpa dihadiri kalian dan kerabat dekat, hanya dihadiri oleh para tetangga saja. Sampai matinya, ayahmu ingin sederhana, memperlihatkan kerendahan hatinya dengan tidak mau menonjolkan diri."

Mendengar suara yang mengandung kebanggaan itu, Kam Bi Eng merasa tidak tega untuk menangis lagi. Ia merangkul Ibunya. "Baiklah, Ibu. Kalau begitu, kami akan pergi ke makam Ayah untuk bersembahyang." Kemudian ia merangkul Sian Li dan bertanya kepada ibunya. "Bagaimana tahu-tahu Sian Li dapat datang bersama Ibu? Apakah Ibu yang singgah di rumah Sin Hong dan Hong Li, dan mengajak anak ini ke sini?"

"Panjang ceritanya," kata nenek itu. "Secara kebetulan saja aku bertemu dengan Sian Li dan mendengar bahwa ia memang sedang diantar oleh ayah ibunya ke sini, maka aku lalu mengajaknya."

Nenek itu lalu menceritakan apa yang terjadi.

Mendengar cerita itu, Suma Ceng Liong berseru, "Aih, sungguh berbahaya sekali kalau Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw sampai berhasil menyusup ke dalam istana! Sin Hong dan Hong Li tentu menghadapi bahaya sangat besar karena orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw banyak yang lihai."

"Hemm, apakah engkau ingin kita pergi ke kota raja dan menentang mereka?" tanya Bi Eng sambil memandang suaminya dengan penuh selidik.

Ceng Liong mengenal sinar mata isterinya dan dia pun menggeleng sambil menghela napas panjang. "Kita tidak berkewajiban untuk melindungi Kaisar penjajah Mancu, akan tetapi bagaimana kita dapat tinggal diam saja kalau Sin Hong dan Hong Li terancam bahaya?"

"Tentu saja tidak. Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga untuk mencari mereka," kata isterinya penuh semangat.

"Tidak usah kalian sibuk," kata nenek Bu Ci Sian. "Aku yang akan mencari mereka. Aku memang sengaja mengantar Sian Li ke sini, kemudian aku akan kembali ke kota raja dan mencari mereka."

"Aih, Ibu sudah tua dan baru saja datang setelah melakukan perjalanan jauh. Biar Ibu beristirahat di sini ditemani Sian Li dan Sian Lun. Kami yang akan mencari mereka."

"Sian Lun? O ya, cucu muridku itu, di mana dia?" Nenek itu bertanya dan memandang ke kanan kiri. Hampir ia lupa bahwa puteri dan mantunya mempunyai seorang murid, dan dia sendiri sayang kepada murid yang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng itu.

Suami isteri itu agaknya baru teringat dan Bi Eng lalu menoleh ke arah dalam, lalu berteriak, "Sian Lun...! Di mana engkau? Kesinilah, nenekmu datang!”

Dari arah belakang terdengar jawaban. "Teecu datang, Subo!”

Tak lama kemudian muncullah seorang pemuda remaja yang gagah perkasa. Pemuda ini walau pun baru berusia lima belas tahun, akan tetapi tubuhnya tinggi besar seperti seorang dewasa. Wajahnya yang tampan itu cerah, sepasang matanya bersinar-sinar dan mulutnya membayangkan senyum, akan tetapi dia pendiam dan sopan. Begitu tiba di situ, dia memberi hormat sambil berlutut ke arah nenek Bu Ci Sian.

"Nenek, selamat datang dan terimalah hormat saya."

Nenek itu memandang dengan wajah berseri, lalu menyentuh pundak anak muda itu dan menyuruhnya bangun berdiri. "Cukup, Sian Lun. Wah, engkau kini sudah kelihatan dewasa!"

"Terima kasih, Nek." Pemuda itu lalu memberi hormat kepada suhu dan subo-nya. "Harap Suhu dan Subo maafkan teecu. Karena melihat nenek datang bersama tamu, maka teecu tidak berani ke luar, takut mengganggu pembicaraan penting."

"Ah, tamu ini bukan orang lain, Sian Lun," kata Kam Bi Eng. "Ia bernama Tan Sian Li. Puteri keponakan kami Tan Sin Hong dan Kao Hong Li di Ta-tung. Sian Li, perkenalkan, ini murid kami bernama Liem Sian Lun.”

Dua orang remaja itu berdiri dan saling pandang. Sian Lun mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai penghormatan, dibalas oleh Sian Li dan gadis cilik ini memandang kepada Suma Ceng Liong, lalu berkata dengan suaranya yang nyaring.

"Ku-kong (Paman Kakek), aku harus menyebut dia bagaimana? Mengingat dia murid Kakek dan Nenek, sepatutnya aku menyebutnya Susiok (Paman Guru)..."

Suma Ceng Liong tertawa. "Memang harusnya engkau menyebut dia paman, mengingat bahwa dia murid kami dan engkau cucu kami. Akan tetapi, karena engkau juga akan belajar ilmu dari kami, maka berarti engkau menjadi murid kami pula dan kalian adalah saudara seperguruan."

Wajah Sian Li berseri-seri. "Aihh, kalau begitu aku boleh menyebutnya Suheng (Kakak Seperguruan)! Memang aku jauh lebih senang menyebutnya Suheng, karena dia hanya sedikit lebih tua dari padaku. Kami lebih pantas menjadi saudara seperguruan dari pada menjadi paman dan keponakan murid. Suheng, terimalah hormatku!" Katanya sambil menghadapi Sian Lun. Semua orang lalu tersenyum dan Sian Lun dengan sikap tersipu membalas penghormatan itu.

"Sumoi...," katanya lirih.

Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng lalu menekankan lagi keinginan mereka kepada nenek Bu Ci Sian. Akhirnya nenek ini setuju bahwa suami isteri itu yang akan mencari Tan Sin Hong dan Kao Hong Li ke kota raja dan membantu mereka menghadapi para penjahat kalau diperlukan, sedangkan nenek itu tinggal di rumah bersama Sian Li dan Sian Lun.

Karena Sian Li selalu mengkhawatirkan keselamatan ayah ibunya, maka hari itu juga Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng berangkat meninggalkan rumah mereka, menuju ke kota raja, melakukan perjalanan secepatnya. Akan tetapi, tiga hari kemudian, mereka telah kembali bersama Sin Hong dan Hong Li!

Tentu saja Sian Li gembira bukan main melihat ayah ibunya datang. Juga suami isteri itu gembira melihat Sian Li yang tadinya mereka khawatirkan karena anak itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.

Kiranya, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li setelah selesai urusan di istana, juga sedang melakukan perjalanan menuju ke Cin-an karena tidak berhasil menemukan jejak anak mereka. Di dalam perjalanan, mereka bertemu dengan Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Tentu saja kedua pihak merasa gembira, terutama sekali Sin Hong dan Hong Li yang mendengar bahwa anak mereka dalam keadaan selamat dan kini berada di rumah paman mereka itu. Pertemuan yang membahagiakan itu mereka rayakan dengan pesta keluarga, walau pun berita tentang meninggalnya kakek Kam Hong sempat membuat mereka termenung dan berduka.

Demikianlah, setelah beberapa hari tinggal di rumah Suma Ceng Liong, pada suatu hari mereka semua, termasuk Sian Li dan Sian Lun, pergi ke puncak Bukit Nelayan di mana berdiri Istana Kuno Khong-sim Kai-pang. Mereka ke sini untuk bersembahyang di depan makam mendiang pendekar sakti Kam Hong yang dikubur di taman belakang istana kuno itu.

Kam Bi Eng membujuk ibunya yang sudah berusia enam puluh tujuh tahun untuk turut dengannya tinggal di Cin-an. Akan tetapi nenek itu menolak sambil tersenyum.

"Bi Eng, tidak tahukah engkau betapa ibumu ini tidak mungkin berpisah dari mendiang ayahmu? Sekarang ayahmu hanya tinggal menjadi segunduk tanah di taman belakang. Biarlah aku tinggal di sini menghabiskan sisa hidupku dan kelak kalau aku mati, aku ingin dikubur di sebelah makam ayahmu."

Biar pun hatinya merasa berat, terpaksa Kam Bi Eng meninggalkan ibunya seorang diri di istana kuno itu, hanya ditemani oleh seorang pelayan wanita. Dia kembali ke Cin-an bersama suaminya, Suma Ceng Liong, dan kedua orang anak remaja itu, Sian Lun dan Sian Li.

Ada pun Tan Sin Hong dan Kao Hong Li juga berpamit dan berpisah dari anak mereka setelah menitipkan anak itu kepada paman dan bibi mereka untuk dididik ilmu. Mereka kembali ke Ta-tung setelah mereka berjanji kepada anak mereka bahwa selama lima tahun anak itu belajar ilmu di Cin-an, pada setiap tahun baru mereka pasti akan datang berkunjung.....

********************

"Suhu, bagaimana keadaan Suhu?" pemuda itu bersila di dekat tubuh yang tergolek di atas lantai tanah keras dan dia meletakkan telapak tangan kirinya di atas dada itu.

Kakek itu menghela napas panjang. "Kini telah tiba bagiku saat terbebas dari segala penderitaan hidup. Tidak ada obat di seluruh dunia ini yang akan dapat memperpanjang usia manusia yang sudah tiba di garis akhirnya."

"Tapi, Suhu...!"

"Hushhh! Tidak senangkah hatimu melihat gurumu, satu-satunya orang di dunia ini yang mencintamu, sekarang terbebas dari hukuman yang membuat hidupnya amat sengsara ini? Inginkah engkau melihat hukuman dan siksaan terhadap gurumu diperpanjang lebih lama lagi?"

Pemuda itu menunduk. Dia seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya lonjong dengan dagu meruncing dan berlekuk, alisnya tebal berbentuk golok, dahinya lebar, hidung mancung dan mulutnya membayangkan keramahan dan kelembutan meski dagu yang berlekuk itu membayangkan ketabahan tanpa batas,

Pakaiannya sederhana seperti pakaian petani namun bersih, dan ikat pinggang yang diikatkan kuat-kuat itu memperlihatkan bentuk pinggang yang ramping. Tubuhnya padat walau tidak memperlihatkan kekuatan otot. Rambutnya hitam dan panjang, diikat secara sederhana saja dan dibiarkan tergantung di belakang punggung.

Dilihat sepintas lalu, dia seorang pemuda biasa saja, seperti seorang di antara ribuan pemuda seperti dia di perkampungan, pemuda petani atau pemuda yang bekerja kasar. Bukan seorang pemuda hartawan atau pemuda bangsawan, apa lagi terpelajar. Tetapi kalau orang melihat dengan perhatian, akan nampak bahwa sinar matanya mencorong namun lembut, dan dalam setiap gerak-geriknya terdapat ketenangan dan kemantapan yang mengagumkan.

Kalau pemuda itu nampak seperti pemuda dusun biasa, kakek yang rebah telentang itu sama sekali tidak dapat dibilang seperti kakek biasa, bahkan juga tidak seperti manusia biasa pada umumnya. Kakek itu hanya terdiri dari kepala, leher dan badan saja. Tanpa kaki tanpa tangan! Rambutnya yang putih panjang itu lebih panjang dari badannya dan kini menyelimutinya seperti sehelai selimut kapas.

Mereka berdua pun bukan berada di sebuah pondok atau rumah, melainkan berada di dasar sumur! Pemuda itu bukan lain adalah Yo Han, sedangkan kakek buntung kaki dan lengannya itu adalah kakek Ciu Lam Hok, kakek sakti dalam sumur yang menjadi guru terakhir Yo Han.

Pada waktu pertama kali memasuki sumur di dalam goa di sebelah belakang sarang Thian-li-pang di mana Thian-te Tok-ong, tokoh besar Thian-li-pang bertapa, Yo Han berusia lima belas tahun. Kini dia telah berusia dua puluh tahun. Ini berarti bahwa dia telah tinggal di dalam sumur itu selama lima tahun.

Setiap hari dia digembleng ilmu yang aneh-aneh oleh kakek yang buntung lengan dan kakinya itu sehingga tanpa disadarinya sendiri, Yo Han telah menguasai ilmu yang amat hebat. Dia kini sudah menyadari bahwa dia dilatih ilmu silat yang amat hebat.

Karena dia mulai dapat melihat bahwa baik buruknya ilmu tergantung dari manusia yang menggunakannya, maka dia tidak lagi menolak dan bahkan mempelajari ilmu-ilmu yang diajarkan gurunya dengan tekun dan penuh semangat. Dia hanya akan menggunakan ilmu-ilmu itu demi kebaikan, bukan untuk mencelakai orang.

Dalam waktu empat tahun, Yo Han sudah menguasai ilmu-ilmu yang menjadi dasar, bahkan kini dia dapat melihat betapa apa yang tadinya dianggap ilmu ‘tari’ dan ‘senam’ yang dipelajarinya dari Thian-te Tok-ong, sesungguhnya adalah ilmu silat yang hebat. Dan di bawah bimbingan kakek buntung, semua ilmu itu telah dapat dilatihnya dan di perdalam sehingga matang.

Lalu, satu tahun yang lalu, selama setahun penuh kakek aneh itu menurunkan ilmunya yang dikatakan sebagai ilmu segala ilmu silat tinggi, diberi nama Bu-kek Hoat-keng yang pernah diperebutkan oleh seluruh tokoh dunia persilatan.

"Bahkan karena ilmu ini pulalah aku disiksa oleh dua orang Suheng-ku. Mereka begitu menginginkan ilmu Bu-kek Hoat-keng ini sehingga mereka tega untuk membuntungi kaki tanganku, dan menyiksaku di dalam sumur. Kini, ilmu itu telah kuwariskan kepadamu Yo Han. Hatiku lega sudah dan kuharap, dengan ilmu ini engkau akan memulihkan nama baik Thian-li-pang, bisa mencuci bersih Thian-li-pang dari unsur-unsur jahat, menjadikan perkumpulan itu sebagai perkumpulan para pahlawan yang berjuang demi tanah air dan bangsa."

Demikianlah katanya setelah dia mengajarkan seluruh ilmu itu kepada Yo Han. Selama setahun kemudian barulah Yo Han dapat menguasai ilmu itu dengan baik, hanya tinggal mematangkannya melalui latihan saja.

Dan semenjak menurunkan ilmu itu kesehatan kakek Ciu Lam Hok mundur sekali. Dia jatuh sakit dan biar pun Yo Han sudah membantunya dengan penggunaan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang dapat pula dipergunakan untuk melancarkan jalan darah dengan cara menyalurkan tenaga sakti dari ilmu itu yang amat dahsyat itu. Namun karena usia tua ditambah penderitaan dari siksaan yang luar biasa, kakek itu tetap saja menjadi lemah dan sakit-sakitan.

Penderitaan yang ditanggung kakek Ciu Lam Hok memang luar biasa. Kalau bukan dia yang sudah menguasai ilmu Bu-kek Hoat-keng, kiranya tidak mungkin dapat bertahan sampai sepuluh tahun lebih di dalam sumur itu!

Demikianlah, pada hari itu, Yo Han merasa bersedih melihat keadaan gurunya semakin payah. Ketika dia menempelkan telapak tangannya di dada gurunya, tahulah dia bahwa jantung gurunya bekerja lemah sekali. Sungguh amat mengherankan.

Ketika gurunya melatih Bu-kek Hoat-keng, gurunya demikian penuh semangat dan tidak mengenal lelah. Kini, seolah-olah tenaganya habis setelah setahun penuh melatih ilmu itu. Ketika dia mendengar ucapan gurunya yang terakhir dia pun menunduk.....

"Suhu memang berkata benar. Akan tetapi, Suhu, hidup kita ini sudah dicengkeram dan dipengaruhi oleh peradaban serta tata susila yang sudah diterima oleh semua orang. Bagaimana mungkin teecu mengemukakan kata hati melalui mulut, mengatakan bahwa teecu akan lebih senang melihat Suhu terbebas dari siksaan melalui kematian? Seluruh dunia akan mengutuk teecu kalau teecu berani mengatakan hal seperti itu."

Mendengar ini, kakek itu masih dapat tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha, sejak dahulu aku sudah tahu bahwa engkau hebat, muridku. Matamu yang ketiga selalu terbuka sehingga engkau lebih awas dan lebih waspada dari pada orang biasa. Engkau melihat segalanya seolah menembus dan engkau dapat melihat intinya. Engkau melihat segala kepalsuan yang dilakukan manusia! Ha-ha-ha, dibandingkan engkau, aku ini bukan apa-apa. Kalau engkau sudah tahu, aku akan mati dengan mata terpejam dan tidak ada rasa penasaran apa pun. Ya, Tuhan, hamba telah siap!" kata kakek itu dan kembali dia tertawa bergelak. Akan tetapi, suara ketawanya itu makin lama semakin surut dan akhirnya berhenti sama sekali. Kedua matanya terpejam.

Yo Han cepat meraba dada gurunya kembali, dan tahulah dia bahwa tubuh itu sudah menjadi mayat. Dia menunduk dengan sikap amat hormat untuk menghormati jenazah suhu-nya. Dia tidak menangis, tak perlu berpura-pura karena di situ tidak ada orang lain. Juga karena suhu-nya ini, walau pun kaki tangannya buntung, namun kewaspadaannya tidak buntung dan suhu-nya tahu bahwa andai kata dia menangisi kematian suhu-nya, maka tangisnya itu palsu.

Tangisnya itu bukan bersedih untuk suhu-nya, melainkan bersedih untuk dirinya sendiri, karena ditinggalkan, karena kehilangan. Bahkan mungkin tangisnya terdorong perasaan agar tidak menganggap diri sendiri keterlaluan, tak mengenal budi!

Dia tidak menangis karena memang tak ada hal yang perlu ditangisi, tidak ada hal yang perlu disedihkan. Bahkan kalau dia mau jujur, ada perasaan lega dalam hatinya bahwa gurunya, yang diam-diam amat dikasihinya itu, kini bebas dari penderitaan. Selain itu, dengan meninggalnya kakek itu, berarti dia bebas pula untuk meninggalkan sumur itu!

Gurunya pernah berpesan agar kalau dia mati, jenazahnya supaya diletakkan di lantai kamar yang kecil dan yang terlindung atasnya, merupakan goa batu di dalam sumur itu. "Engkau tahu, tempat itu sangat kusukai. Setiap kali melakukan siu-lian (semedhi) aku selalu menggunakan kamar itu. Biarlah kelak aku beristirahat di kamar itu selamanya, maksudku, badanku," demikian pesannya.

Dengan hati dipenuhi rasa iba terhadap kakek yang meninggal di tempat terasing itu, tanpa ada yang berkabung, tanpa disembahyangi, tanpa dijenguk keluarga mau pun kawan, Yo Han memondong tubuh tanpa kaki tanpa lengan itu dan membawanya ke dalam goa, lalu merebahkannya di dalam goa itu.

Kemudian dia mengumpulkan semua bahan yang masih ada, roti dan daging kering, dan beberapa potong pakaian. Dia tidak lupa mengambil beberapa potong batu emas dari dinding sumur dan memasukkan semua itu di dalam buntalan. Kemudian, dia pun mengikatkan buntalan di punggungnya, dan memasuki goa, berlutut di depan jenazah gurunya.

"Suhu, sesuai dengan pesan terakhir Suhu, teecu membaringkan jenazah Suhu di sini, dan sesuai pula dengan perintah Suhu, teecu segera meninggalkan tempat ini untuk melaksanakan pesan Suhu. Suhu, untuk terakhir kalinya, teecu menghaturkan terima kasih melalui ucapan yang keluar dari sanubari teecu."

Dia memberi hormat delapan kali di dekat jenazah gurunya, kemudian dia keluar dari dalam goa kecil. Sekali lagi dia meneliti di sepanjang dinding sumur dan terowongan. Setelah yakin bahwa tidak ada sisa coretan dan lukisan yang dibuat suhu-nya dengan sepotong besi yang digigitnya, untuk menggambarkan pelajaran Bu-kek Hoat-keng yang amat sulit, baru Yo Han menuju ke dasar sumur dan merayap naik.

Dengan tingkat kepandaiannya yang sekarang, mudah saja dia merayap naik, seperti orang mendaki tangga saja. Dengan cepat tibalah dia di dalam goa di atas tanah, goa yang menjadi jalan masuk ke sumur itu. Dari dalam goa yang tertutup semak-semak yang rimbun dan penuh duri itu, lapat-lapat dia mendengar suara orang. Maka, dia pun menanti di goa itu, duduk dengan santai sambil melamun. Dia mengingat kembali pesan terakhir dari gurunya.

Pertama-tama, dia sudah dipesan untuk pergi mencari keluarga gurunya. Menurut kakek Ciu Lam Hok, dia berasal dari keluarga kerajaan! Ayahnya seorang panglima yang dulu membantu perkembangan kerajaan baru Mancu. Karena dia gagah perkasa dan berjasa besar, maka dia menerima hadiah yang besar, diangkat menjadi panglima, bahkan lalu dinikahkan dengan seorang puteri adik Kaisar Kang Hsi.

Akan tetapi karena dia melihat bangsa Mancu yang tadinya berjanji akan memperbaiki nasib rakyat melanggar janji, banyak di antara pejabatnya yang bahkan menindas rakyat dan menghina rakyat Han, maka Ciu Wan-gwe, Jenderal Ciu Kwan menjadi marah dan memberanikan diri untuk mengajukan protes keras. Melihat ini, Kaisar marah dan dia pun ditangkap, dituduh memberontak dan dihukum mati.

Ciu Kwan yang beristeri seorang puteri Mancu itu mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah Ciu Lam Hok, sedangkan yang ke dua seorang wanita bersama Ciu Ceng. Sejak muda, Ciu Lam Hok mewarisi watak ayahnya, yaitu berdarah pendekar dan pembela rakyat.

Meski pun ibunya dan dia bersama adik perempuannya diampuni Kaisar dan tidak ikut dihukum, tetapi diam-diam Ciu Lam Hok mendendam kepada Kerajaan Mancu. Dia pun pergi meninggalkan ibunya yang masih tinggal di istana, karena puteri adik Kaisar itu diampuni dan masih dianggap keluarga istana. Ciu Lam Hok sangat mencinta adiknya, akan tetapi terpaksa dia meninggalkan ibu dan adiknya karena dia tidak sudi tinggal di dalam istana, bahkan dia menaruh dendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya sebagai seorang pahlawan besar.

Demikianlah, setelah puluhan tahun lamanya mempelajari ilmu silat dengan amat tekun, bersama dua orang suheng-nya Ciu Lam Hok mendirikan Thian-li-pang yang bertujuan untuk menentang kekuasaan pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, seperti pernah diceritakan oleh kakek sakti itu kepada muridnya, dua orang suheng-nya setelah bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw yang menamakan diri mereka pejuang pula, mulai menyeleweng ke jalan sesat. Dia menentang mereka sehingga akhirnya dia disiksa dan menderita selama bertahun-tahun di dalam sumur.

Sering kali kakek buntung itu mengenang keluarganya. Dia merasa rindu sekali kepada ibunya, terutama sekali adik perempuannya karena dia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah amat tua dan telah meninggal dunia. Karena perasaan rindunya ini, maka dia membebankan tugas di pundak muridnya supaya sesudah muridnya keluar dari dalam sumur, pertama-tama Yo Han harus mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, seorang puteri di istana dan mengenal keluarga adiknya itu.

Bahkan dia meninggalkan pesan bahwa Yo Han harus melakukan sesuatu yang baik bagi keluarga Ciu Ceng sebagai tanda kasih sayang kakek Ciu kepada adiknya. Kalau perlu, Yo Han harus melindungi keluarga Ciu Ceng dengan taruhan nyawa!

"Pesanku ini merupakan tanda kasih sayangku yang terakhir buat adikku, yaitu saudara kandungku yang tunggal itu, maka aku sungguh mengharapkan agar engkau akan bisa melaksanakannya dengan baik, Yo Han," demikian kakek itu menutup pesannya yang pertama.

Pesan ke dua dari gurunya adalah bahwa setelah dia menyelesaikan tugas pertama, dia harus pergi mencari Mutiara Hitam, yaitu sebuah pusaka berupa mutiara yang berwarna hitam dan yang mempunyai khasiat yang amat hebat. Mutiara itu pernah dimiliki kakek Ciu, akan tetapi dalam perebutan dengan tokoh-tokoh dunia persilatan, benda mustika itu lenyap dan kabarnya dikuasai oleh seorang kepala suku Miao di selatan.

Yo Han mendapat tugas untuk mencari dan merampas kembali benda itu yang bukan saja sangat penting karena khasiatnya, juga hal ini untuk mengangkat kembali nama besar Ciu Lam Hok sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan.

Ada pun pesan ke tiga dari gurunya adalah supaya dia membersihkan Thian-li-pang dari tangan-tangan kotor, kemudian mengembalikan kedudukan Thian-li-pang sebagai suatu perkumpulan orang-orang gagah yang ingin membebaskan rakyat dari tangan penjajah Mancu berdasarkan kebenaran serta keadilan, bukannya dibawa menyeleweng seperti sekarang ini.

"Aku tahu bahwa kedua suheng-ku itu menyeleweng sesudah mereka bergaul dengan orang-orang Pek-lian-kauw. Karena itulah Thian-li-pang harus dibersihkan dari pengaruh Pek-lian-kauw dan menjadi perkumpulan para pahlawan, para patriot kembali. Di antara para murid Thian-li-pang masih banyak yang bersih, hanya saja mereka takut kepada pimpinan mereka yang sudah dicengkeram pengaruh Pek-lian-kauw. Engkau bersihkan Thian-li-pang, muridku. Sesungguhnya untuk Thian-li-pang maka aku menderita seperti ini. Kalau engkau berhasil membersihkan Thian-li-pang, berarti semua penderitaanku ini tidak sia-sia."

Yo Han mengepal tinjunya. Dia harus melaksanakan pesan ini terlebih dahulu. Apa pun resikonya, dia harus dapat dan mampu membersihkan Thian-li-pang. Apa lagi kini dia memang berada di daerah Thian-li-pang, maka untuk sementara dia harus melupakan dua tugas yang lain, dan berusaha melaksanakan tugas membersihkan Thian-li-pang dari pengaruh jahat.

Setelah orang-orang Thian-li-pang yang lewat di depan goa itu pergi menjauh, dia pun menyelinap keluar dari goa. Dari balik semak-semak dia melihat betapa Thian-li-pang agaknya tengah melakukan suatu kegiatan sebab para anggotanya terlihat berbondong-bondong menuju ke pekarangan rumah induk.

Dia sudah mengenal baik tempat itu dan tahu bahwa tentu akan ada pertemuan besar di pekarangan. Hanya pada saat ada rapat besar yang melibatkan seluruh anggota, maka pertemuan itu diadakan di pekarangan yang luas di depan rumah induk. Dia pun mulai menyusup mendekat dan kemudian mengintai.

Memang benar dugaan Yo Han. Pada hari itu sedang diadakan pertemuan penting di Thian-li-pang. Semua anggota yang berada di pusat, yang jumlahnya tidak kurang dari dua ratus orang, berkumpul di pekarangan yang luas itu.

Anggota Thian-li-pang tersebar di banyak tempat, puluhan ribu orang jumlahnya, terbagi dalam cabang-cabang dan ranting-ranting. Kini yang hadir dalam rapat itu adalah ketua-ketua cabang, kepala-kepala ranting, dan para anggota di pusat.

Pertemuan itu amat penting. Selain dihadiri oleh ketuanya, yaitu Ouw Ban dan wakilnya, yaitu Lauw Kang Hui, juga dihadiri pula oleh dua orang kakek yang selama ini jarang muncul dan mereka menjadi penasehat dan pujaan para pimpinan Thian-li-pang, yaitu Ban-tok Mo-ko guru ketua dan wakil ketua, serta suheng-nya, yaitu Thian-te Tok-ong yang selama bertahun-tahun bersembunyi dan bertapa di dalam goa. Kalau dua orang ini sampai muncul di dalam rapat itu, tentu rapat itu istimewa sekali. Dan hadir pula di situ dua orang tokoh Pek-lian-kauw sebagai tamu undangan, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang yang sudah lama bekerja sama dengan Thian-li-pang bersama Ang-I Moli.

Sesudah semua orang hadir lengkap, Ouw Ban sebagai Ketua Thian-li-pang bercerita secara singkat akan gagalnya usaha mereka untuk membunuh para pengeran di istana. Bahkan dalam usaha itu, puteranya, Ouw Cun Ki, dan Ang-I Moli tokoh Pek-lian-kauw, ditangkap dan dihukum mati bersama banyak anggota Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw yang menyusup sebagai anak buah Ouw Cun Ki.

"Kita tidak boleh membiarkan saja kejadian itu!" Ouw Ban berseru dengan suara keras karena hatinya diliputi kemarahan dan kedukaan akibat kematian puteranya. "Kita akan mengumpulkan semua kekuatan dan kita serbu istana, kita bunuh Kaisar serta seluruh keluarganya!"

Ucapan yang penuh semangat itu disambut sorakan gegap gempita oleh para anggota Thian-li-pang. Juga dua orang tosu Pek-lian-kauw bertepuk tangan gembira dan setelah sorakan itu mereda.

Kwan Thian-cu yang bertubuh gendut itu tertawa, "Ha-ha-ha, Pangcu dari Thian-li-pang sungguh gagah sekali! Memang pendapatnya itu tepat sekali. Perjuangan kita tak akan berhasil sebelum kita membunuh Kaisar Kian Liong dan para pangeran. Kalau mereka terbunuh, tentu pemerintahan mereka akan kacau balau dan kita gunakan kesempatan itu untuk mengerahkan pasukan menghancurkan mereka!"

Kembali ucapan ini disambut sorakan. "Hancurkan penjajah Mancu!"

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Diam...!"

Semua orang terdiam, lalu memandang orang yang mengeluarkan bentakan nyaring itu. Yang membentak adalah Ban-tok Mo-ko. Meski pun kakek yang usianya sudah delapan puluh tiga tahun ini biasanya halus dan ramah, akan tetapi bentakannya mengandung getaran yang amat kuat sehingga semua orang langsung terdiam dan suasana menjadi hening sehingga suaranya terdengar cukup jelas walau pun suara itu bernada lembut.

"Ouw Ban," berkata Ban-tok Mo-ko dengan suara yang berpengaruh. "Sebelum engkau mengemukakan usul baru, sebaiknya kalau kita membicarakan mengenai kedudukanmu sebagai ketua. Tahukah engkau kenapa kali ini aku sampai ikut menghadiri pertemuan ini, bahkan Suheng Thian-te Tok-ong juga keluar dari goanya?"

Ouw Ban memandang wajah gurunya dengan alis yang berkerut dan sinar mata penuh pertanyaan. "Teecu tidak mengerti apa yang Suhu maksudkan."

"Ouw Ban, apakah engkau masih juga belum menyadari kesalahanmu? Sebagai ketua engkau tidak becus! Semua langkah yang kau ambil sudah gagal, bahkan merugikan Thian-li-pang yang telah kehilangan banyak murid. Dan sekarang engkau malah hendak membunuh lebih banyak murid Thian-li-pang lagi dengan menyuruh mereka menyerbu istana?"

Ouw Ban nampak penasaran sekali. "Akan tetapi, Suhu. Semua ini teecu lakukan demi perjuangan!"

"Hemmm, perjuangan bukan sekedar menuruti dendam dan kemarahan. Harus dengan perhitungan. Akan tetapi sepak terjangmu amat ngawur. Sejak engkau menyelundupkan Ciang Sun ke istana, menghubungi Siang Hong-houw, engkau telah banyak melakukan kesalahan yang amat merugikan perjuangan kita. Dan sekarang engkau akan menyuruh banyak murid bunuh diri dengan menyerbu istana yang terjaga kuat sekali? Ouw Ban, karena engkau muridku, aku menjadi sangat malu. Engkau tidak patut menjadi Ketua Thian-li-pang!"

Wajah Ouw Ban menjadi merah. Ia sedang berduka karena kematian putera tunggalnya, karena kegagalan usahanya membunuh para pangeran, dan sekarang gurunya bahkan mamarahinya di depan semua ketua cabang dan kepala ranting, bahkan di depan dua orang tokoh Pek-lian-kauw!

Dia segera ingat bahwa dialah Ketua Thian-li-pang sehingga di dalam perkumpulan itu, dia orang pertama yang paling tinggi kedudukannya, bahkan lebih tinggi dari kedudukan gurunya dan supek-nya yang hanya merupakan penasehat!

"Suhu lupa bahwa akulah Ketua Thian-li-pang!" katanya. Suaranya kini kasar dan penuh kemarahan. "Aku berhak memutuskan apa yang harus dilakukan oleh Thian-li-pang, dan aku sudah mengambil keputusan untuk menyerbu istana, membunuh Kaisar Kian Liong! Tidak ada seorang pun yang boleh menghalangi rencanaku ini!"

Semua orang menjadi terkejut dan memandang dengan hati tegang melihat timbulnya pertentangan antara guru dan murid ini. Ouw Ban memandang kepada gurunya dengan mata bersinar-sinar.

“Ouw Ban, engkau hanya menuruti perasaan hatimu yang penuh dendam dan sakit hati karena kematian anakmu! Engkau sudah bertindak demi kepentingan diri pribadi, bukan lagi untuk kepentingan Thian-li-pang!"

"Ha-ha-ha-ha, Sute Ban-tok Mo-ko, muridmu ini memang sudah tidak patut lagi menjadi Ketua Thian-li-pang. Singkirkan saja dia dan kita ganti dengan murid lain!" kata Thian-te Tok-ong.

Mendengar ini, Ouw Ban menjadi semakin marah. Biar pun dia menghormati suhu dan supek-nya, tetapi sekarang dia adalah seorang ayah yang mendendam karena kematian puteranya.

Dia memang maklum akan kelihaian suhu dan supek-nya, dan takut kepada mereka. Tapi sekarang, melihat keinginannya membalas dendam kematian puteranya dihalangi, bahkan kedudukannya sebagai Ketua Thian-li-pang akan digeser, dia pun tak mengenal takut lagi. Apa pula suhu dan supek-nya adalah dua orang kakek yang sudah tua renta, betapa pun lihainya, tentu sekarang sudah lemah, pikirnya. Bangkitlah dia dari tempat duduknya dan dia menghadapi suhu dan supek-nya.

"Dahulu aku diangkat menjadi Ketua Thian-li-pang oleh semua ketua cabang dan kepala ranting, juga oleh semua anggota setelah aku menunjukkan bahwa akulah yang paling kuat dan paling tepat menjadi ketua. Kalau sekarang ada yang ingin mencopot aku dari kedudukan ketua, siapa pun juga dia, harus dapat mengalahkan dan merobohkan aku!"

"Heh-heh-heh-heh, muridmu ini memang bejat, Sute! Biar aku yang menghajarnya!"

Wajah Ban-tok Mo-ko menjadi pucat, lalu merah sekali. Dia adalah seorang datuk yang biasanya bersikap halus dan ramah, akan tetapi saat ini dia benar-benar sangat marah. Dia melangkah maju menghadapi muridnya dan berkata kepada suheng-nya,

"Suheng, dia muridku, maka akulah yang bertanggung jawab atas penyelewengannya. Aku yang harus menghajarnya. Ouw Ban, engkau murid murtad, cepatlah berlutut dan menerima hukuman!"

Akan tetapi Ouw Ban yang sudah marah sekali itu tidak mau berlutut, bahkan menatap wajah suhu-nya dengan berani. Suhu-nya sudah berusia delapan puluh tiga, tubuhnya sudah nampak kurus dan lemah sehingga dia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi dia tahu bahwa hampir seluruh ilmu yang dikuasai suhu-nya sudah dipelajarinya.

"Memang, aku adalah murid Suhu, akan tetapi di Thian-li-pang, bahkan Suhu pun harus tunduk terhadap perintah Ketua Thian-li-pang!"

"Ouw Ban, berani engkau menentang dan melawan gurumu?!" sekali lagi Ban-tok Mo-ko membentak.

"Bila terpaksa, siapa pun juga akan kulawan. Aku harus mempertahankan kedudukanku sebagai ketua dengan taruhan nyawa!"

"Kalau begitu, engkau akan mati di tanganku sendiri, Ouw Ban!" kata kakek itu.

Tiba-tiba dia menyerang dengan tamparan tangan kirinya. Ouw Ban memang telah siap siaga, maka dia pun menangkis dan langsung balas menyerang pula!

Semua orang memandang dengan hati tegang. Tiada seorang pun berani mencampuri atau melerai karena kedua orang itu adalah guru dan murid, bahkan Ketua Thian-li-pang dan seorang tokoh tua perkumpulan itu. Namun, jelas nampak bahwa usia tua membuat Ban-tok Mo-ko kewalahan menghadapi muridnya.

Muridnya itu pun sudah tua. Usia Ouw Ban sudah tujuh puluh tiga, akan tetapi gurunya tetap sepuluh tahun lebih tua. Dan kalau Ouw Ban masih giat bergerak dan berlatih silat, Ban-tok Mo-ko lebih banyak bersemedhi dan tak pernah berlatih. Oleh karena itu, meski dalam hal tenaga sinkang Ban-tok Mo-ko masih kuat, tetapi dia kehilangan kegesitannya dan kalah cepat oleh muridnya sehingga tak lama kemudian dia terdesak oleh muridnya itu!

Pada saat untuk kesekian kalinya Ban-tok Mo-ko meloncat ke belakang menghindar dari desakan muridnya, Ouw Ban mengeluarkan bentakan nyaring. Dua tangannya berubah merah dan dia pun memukul ke depan dengan dorongan kedua tangan terbuka. Itulah ilmu pukulan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang amat dahsyat!

Melihat hal ini, Ban-tok Mo-ko juga mengerahkan sinkang-nya dan menggunakan ilmu pukulan yang sama, menyambut dorongan, kedua tangan itu.

"Plakkk!"

Dua pasang tangan itu saling bertemu dan telapak tangan mereka lalu saling melekat. Keduanya mengerahkan tenaga sinkang, saling dorong dan sebentar saja nampak uap mengepul dari kepala mereka, tanda bahwa mereka telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang mereka. Suasana menjadi semakin tegang karena semua orang tahu bahwa guru dan murid ini sedang mati-matian mengadu sinkang yang berarti mereka mengadu nyawa. Yang kalah kuat akan roboh den tewas!

Akan tetapi tiba-tiba Thian-te Tok-ong bergerak ke depan dan tangan kirinya menepuk punggung sute-nya. "Murid macam itu tidak perlu diampuni lagi!"

Begitu punggung Ban-tok Mo-ko kena ditepuk tangan kiri Thian-te Tok-ong, serangkum tenaga dahsyat membantu kedua telapak tangan Ban-tok Mo-ko dan tiba-tiba saja tubuh Ouw Ban terlempar ke belakang dibarengi gerengannya dan dia pun roboh terbanting dan muntah darah, matanya mendelik dan nyawanya putus seketika!

Ban-tok Mo-ko memejamkan dua matanya, kemudian duduk bersila dan menarik napas panjang beberapa kali untuk memulihkan tenaganya. Sementara itu, Thian-te Tok-ong tertawa dan berkata kepada para murid Thian-li-pang, "Singkirkan mayat murid murtad itu agar kita dapat bicara dengan tenang."

Beberapa orang murid maju dan mengangkat mayat Ouw Ban, lalu dibawa ke belakang. Jenazahnya akan dikubur tanpa banyak upacara lagi karena dia telah dianggap sebagai seorang murid murtad.

Ban-tok Moko lalu berkata kepada semua orang dengan suaranya yang lembut. “Para anggota Thian-li-pang, murid-murid yang setia. Oleh karena Ouw Ban telah murtad dan disingkirkan, maka sekarang yang berhak memimpin pertemuan ini adalah wakil ketua, yaitu Lauw Kang Hui. Kang Hui, kau pimpin pertemuan ini dan sebaiknya jika diadakan pemilihan ketua baru lebih dulu, baru kita akan mengambil langkah-langkah berikutnya.”

Lauw Kang Hui memberi hormat kepada suhu-nya dan supek-nya, lalu dia menghadapi semua orang.

“Saya merasa menyesal sekali dengan sikap terakhir yang diambil mendiang Suheng Ouw Ban. Hendaknya peristiwa ini bisa dijadikan contoh bagi semua murid Thian-li-pang supaya jangan ada lagi yang mementingkan urusan pribadi di atas urusan perkumpulan. Sekarang, saya persilakan saudara-saudara sekalian untuk mengajukan usul-usul bagai mana sebaiknya untuk memilih seorang ketua baru.”

Ramailah sambutan para ketua cabang dan kepala ranting. Banyak yang mengusulkan agar masing-masing kelompok besar mengajukan seorang calon ketua baru, kemudian diadakan pemilihan di antara para calon itu.

Akan tetapi, Lauw Kang Hui merasa tidak setuju. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan menggeleng kepalanya. “Saudara sekalian, kurasa perkumpulan kita Thian-li-pang memerlukan bimbingan orang yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Jika diserahkan kepada yang muda-muda, aku khawatir akan terjadi penyelewengan yang kelak akan melemahkan perkumpulan kita. Maka, aku mengusulkan supaya pimpinan Thian-li-pang kita persembahkan saja kepada tokoh-tokoh utama yang kita junjung tinggi, yaitu Supek Thian-te Tok-ong atau Suhu Ban-tok Mo-ko!”

Semua orang yang berada di sana menyambut usul ini dengan sorak-sorai gembira. Memang, mereka akan merasa lega kalau yang memimpin langsung adalah dua orang kakek yang sakti itu. Hal itu akan membuat mereka berbesar hati.

Dua orang kakek itu saling pandang dan mereka menggeleng kepala. Ban-tok Mo-ko dapat membaca isi hati suheng-nya maka dia pun bangkit dan berkata, “Kami berdua adalah orang-orang tua renta yang sudah tidak ada semangat lagi untuk merepotkan diri mengurus hal-hal yang memusingkan. Tugas kami hanya mengawasi agar semua murid melakukan tugasnya dengan baik. Kami berdua tidak dapat menerima kedudukan ketua karena kami merasa sudah terlalu tua. Oleh karena itu, kami mempunyai usul supaya jabatan ketua dipegang oleh murid kami Lauw Kang Hui. Dia boleh memilih wakilnya dan para pembantunya. Apakah semua setuju?”

Tepuk tangan dan sorakan menyambut usul ini sebagai tanda bahwa sebagian besar dari para anggota Thian-li-pang bisa menyetujui pengangkatan Lauw Kang Hui sebagai ketua. Selama ini, sebagai wakil ketua, Lauw Kang Hui telah menunjukkan jasa-jasanya, bahkan untuk urusan luar yang mengandung bahaya, dia jauh lebih aktip dibandingkan suheng-nya Ouw Ban yang telah tewas itu.

Akan tetapi, tiba-tiba semua orang merasa heran melihat Lauw Kang Hui mengangkat kedua tangannya ke atas, memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang menjadi tenang kembali, Lauw Kang Hui kemudian berkata dengan suara lantang, sambil memberi hormat lalu berdiri menghadap ke arah suhu dan supek-nya.

“Harap Suhu dan Supek suka memaafkan teecu. Semua yang akan teecu katakan ini bukan berarti bahwa teecu tidak mentaati perintah Jiwi (Anda Berdua), melainkan untuk mengeluarkan semua perasaan penasaran yang telah lama menekan hati teecu.”

“Lauw Kang Hui, dalam pertemuan besar seperti ini, memang sebaiknya jika kita bicara secara jujur, mengeluarkan semua isi hati kita. Bicaralah!” kata Ban-tok Mo-ko.

Lauw Kang Hui lalu menghadapi semua anggota yang mencurahkan seluruh perhatian kepadanya.

“Saudara-saudara sekalian. Terima kasih bahwa Cuwi (Anda Sekalian) telah menerima saya sebagai ketua baru. Akan tetapi untuk menerima kedudukan itu, saya mempunyai satu syarat, yaitu agar semua sepak terjang Thian-li-pang kita tentukan sendiri. Selama ini, sepak terjang Thian-li-pang seolah-olah sudah dikendalikan oleh Pek-lian-kauw, dan ternyata banyak kegagalan yang kita alami. Oleh karena itu, saya hanya mau memimpin Thian-li-pang sebagai ketua kalau mulai saat ini juga kerja sama dengan Pek-lian-kauw ditiadakan. Biarlah Thian-li-pang mengenal Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan melawan penjajah Mancu, akan tetapi kita mengambil jalan dan cara masing-masing, tidak saling mencampuri.”

Kini terjadi perpecahan di antara para murid Thian-li-pang. Ada sebagian yang setuju dengan pendapat Lauw Kang Hui, ada pula yang tidak setuju. Mereka yang tidak setuju itu tentu saja para murid yang sudah menikmati keuntungan akibat kerja sama mereka dengan Pek-lian-kauw. Ada para anggota yang menganggap bahwa kerja sama dengan Pek-lian-kauw itu baik, ada pula yang sebaliknya.

Tentu saja pendapat baik atau buruk ini timbul karena adanya penilaian, dan penilaian selalu berdasarkan kepentingan diri sendiri. Apa saja yang menguntungkan diri sendiri akan dinilai baik, sedangkan yang merugikan akan dinilai buruk. Oleh karena itu maka timbul pertentangan, yang diuntungkan menganggap baik dan yang tidak diuntungkan menganggap buruk.

Dua orang tokoh dari Pek-lian-kauw yang hadir sebagai tamu tentu saja saling pandang dengan alis berkerut saat mendengar ucapan calon ketua baru itu. Kwan Thian-cu yang gendut dan pandai bicara segera bangkit berdiri dan suaranya terdengar lantang.

“Siancai...! Pendapat dari Lauw-pangcu (Ketua Lauw) sungguh membuat kami merasa penasaran sekali! Bukankah selama ini Pek-lian-kauw merupakan kawan seperjuangan yang setia? Ingat, kami pun sudah mengorbankan banyak anak buah dalam membantu Thian-li-pang. Bahkan sekarang kami pun siap membantu apa bila Thian-li-pang hendak menyerbu istana dan membunuh Kaisar Mancu! Mengapa tiba-tiba saja Lauw-pangcu bisa mengatakan bahwa pihak kami hanya menggagalkan sepak terjang Thian-li-pang? Sungguh penasaran sekali dan kami tidak dapat menerimanya.”

“Hemm, Kwan Thian-cu Totiang (Pendeta) harap tenang dan suka mempertimbangkan ucapan kami. Selama ini, mendiang Suheng Ouw Ban selalu mendengarkan nasehat pihak Pek-lian-kauw, bahkan kegagalan yang baru saja kami alami juga atas prakarsa Pek-lian-kauw. Kami hanya minta agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan kami dan mengenai perjuangan, biarlah kita mengambil jalan dan cara masing-masing tanpa saling mencampuri. Oleh karena itu, mengingat bahwa pertemuan ini adalah pertemuan pribadi perkumpulan kami, maka dengan hormat kami harap supaya jiwi Totiang (Anda Berdua Pendeta) suka meninggalkan pertemuan ini.”

Dua orang pendeta dari Pek-lian-kauw itu menjadi marah bukan main. Mereka baru saja kehilangan Ang-I Moli yang merupakan andalan mereka. Wanita itu telah dihukum mati sebagai akibat kegagalan kerja sama mereka ketika hendak membunuh para pangeran. Dan sekarang, mereka diusir begitu saja oleh ketua baru Thian-li-pang.

“Sungguh keterlaluan sekali! Thian-li-pang tak mengenal budi,” teriak Kui Thian-cu yang bertubuh kecil kurus dan pendek. Mukanya yang keriputan itu nampak semakin tua.

Banyak anggota Thian-li-pang yang mendukung kerja sama dengan Pek-lian-kauw juga nampak gelisah dan penasaran sekali sehingga nampak sikap permusuhan antara dua kelompok yang mendukung sikap Lauw Kang Hui dengan mereka yang menentang.

“Hemmm, agaknya ketua yang baru sekarang hendak membawa Thian-li-pang menjadi pengkhianat, ingin membantu pemerintah penjajah untuk memusuhi Pek-lian-kauw yang selamanya anti penjajah?” teriak pula Kwan Thian-cu, sikapnya sudah amat menantang.

“Jiwi Totiang! Kalian hanyalah tamu, apakah hendak menantang tuan rumah?!” bentak Lauw Kang Hui yang sudah marah.

Agaknya perkelahian tak akan dapat dihindarkan lagi, sedangkan dua orang kakek sakti dari Thian-li-pang yang masih duduk, hanya menonton saja dengan sikap tenang.

Pada saat yang gawat itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di antara mereka berdiri seorang pemuda yang bermata tajam mencorong dan sikapnya tenang namun lembut. Tubuhnya yang sedang tapi tegap itu mengenakan pakaian yang bersih namun sederhana. Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han!

Agaknya, Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong masih mengenal pemuda itu, demikian pula Lauw Kang Hui. Thian-te Tok-ong terbelalak dan berseru, “Heii, bukankah engkau Yo Han...?!”

Yo Han menghampiri Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada dan membungkuk sambil berkata, “Jiwi Supek (Kedua Uwa Guru), saya Yo Han memberi hormat, dan harap maafkan karena melihat keadaan, terpaksa saya ingin ikut bicara sedikit.”

Tanpa menanti jawaban kedua orang kakek yang memandang bengong itu, segera Yo Han menghadapi semua orang Thian-li-pang. Kedua orang kakek itu bengong karena merasa terheran-heran. Bukankah Yo Han telah tewas di dalam sumur bersama Ciu Lam Hok? Bagaimana mungkin anak itu kini muncul kembali sebagai seorang pemuda yang tampan dan gagah, dengan pakaian yang pantas pula?

Suara Yo Han terdengar lantang ketika dia bicara.

“Saudara-saudara sekalian, para murid dan anggota Thian-li-pang, dengarkan baik-baik. Seluruh dunia kang-ouw tahu belaka bahwa dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah yang selain menentang kejahatan dan menentang penjajahan, juga menegakkan kebenaran dan keadilan. Tetapi akhir-akhir ini, semua orang tahu belaka bahwa telah terjadi penyelewengan-penyelewengan dan penyimpangan dari jalan benar yang dilakukan Thian-li-pang. Nama baik Thian-li-pang tercemar dan terkenal sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah penjajah akan tetapi juga yang suka berbuat jahat! Langkah yang diambil Thian-li-pang mengikuti jejak langkah Pek-lian-kauw yang sejak dulu terkenal menyeleweng dari pada kebenaran dan banyak orang Pek-lian-kauw melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan. Betapa pun mulia cita-citanya, namun kalau pelaksanaan atau cara mengejar cita-cita itu kotor, maka hasilnya akan menjadi kotor pula. Yang penting sekali adalah pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya bersih, maka yang dicapai juga bersih. Pelaksanaan adalah benihnya, dan tiada benih buruk mendatangkan buah yang baik. Saya menghormati dan setuju sekali pendapat Suheng Lauw Kang Hui tadi, yang bertekad untuk menegakkan kembali Thian-li-pang sebagai perkumpulan orang-orang gagah, perkumpulan pendekar pahlawan!”

Mereka yang tadi mendukung Lauw Kang Hui, bersorak menyambut ucapan ini, walau pun mereka sekarang juga terheran-heran mengenal Yo Han, yang lima tahun yang lalu pernah mereka lihat sebagai seorang anak yang diambil murid oleh Thian-te Tok-ong. Lauw Kang Hui sendiri pun terheran, akan tetapi karena ucapan Yo Han sejalan dengan pendapatnya, dia pun diam saja dan hendak melhat perkembangan selanjutnya.

Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu, dua orang tosu Pek-lian-kauw itu, segera mengenal Yo Han sebagai anak laki-laki yang pernah mereka tawan pada saat mereka membantu Ang-I Moli. Melihat sikap dan mendengar ucapan Yo Han, kedua orang tosu ini marah bukan main. Keduanya sudah melangkah maju sambil memandang kepada Yo Han dengan mata melotot. Mereka ingat bahwa anak ini dahulu kebal terhadap sihir, maka mereka pun tidak mau mempergunakan ilmu sihir.

“Pemuda sombong! Berani engkau menjelek-jelekkan Pek-lian-kauw seperti itu? Siapa pun yang berani menghina Pek-lian-kauw, tak berhak hidup. Kami akan membunuhmu sekarang juga!”

Dua orang tosu itu sudah siap untuk menyerang Yo Han. Pemuda itu bersikap tenang saja dan dia menatap kedua orang tosu itu secara bergantian.

“Jiwi Totiang (Kalian Berdua Pendeta) mengaku sebagai pendeta-pendeta, berjubah dan berpakaian sebagai pendeta. Namun, baik buruknya seseorang bukan tergantung dari pakaian atau sikapnya, melainkan dari perbuatannya. Jiwi Totiang sudah banyak melakukan kejahatan, maka jubah dan sikap Jiwi sebagai pendeta itu hanyalah kedok belaka. Apa yang saya katakan tadi adalah kebenaran, dan bukan bermaksud menjelek-jelekkan atau menghina siapa pun.”

“Keparat, kau makin kurang ajar saja! Rasakan pukulanku!” bentak Kwan Thian-cu yang marah sekali dan tiba-tiba tokoh Pek-lian-kauw yang gendut ini telah menerjang dengan pukulan maut dari kedua telapak tangannya.

“Desss...!”

Pukulan kedua tangan tosu Pek-lian-kauw yang gendut itu disambut oleh kedua tangan Lauw Kang Hui yang meloncat ke depan melindungi Yo Han. Dua pasang tangan itu bertemu dengan tenaga sinkang sepenuhnya, dan akibatnya, Kwan Thian-cu yang kalah kuat terdorong, terjengkang dan tubuh yang gendut itu terguling-guling sampai beberapa meter jauhnya.

Kui Thian-cu cepat menghampiri saudaranya dan membantunya bangkit. Masih untung bagi Kwan Thian-cu bahwa Lauw Kang Hui tak berniat membunuhnya, maka tadi ketika menangkis, tidak menggunakan serangan balasan. Namun karena tosu Pek-lian-kauw itu memang kalah kuat, begitu kedua tangannya bertemu dengan tangan calon ketua baru Thian-li-pang, tubuhnya seperti diterjang gajah dan terjengkang ke belakang.

“Totiang, jika kami tidak memandang Pek-lian-kauw sebagai rekan seperjuangan, tentu saat ini engkau sudah tak bernyawa lagi. Kami hanya menghendaki agar Pek-lian-kauw tidak mencampuri urusan rumah tangga kami. Silakan meninggalkan tempat ini,” kata Lauw Kang Hui dengan tegas.

Kedua orang tosu itu bangkit, memberi hormat dan pergi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Mereka merasa malu, tetapi juga maklum bahwa melawan pun tiada gunanya. Mereka tahu pula bahwa para pimpinan Pek-lian-kauw pasti tidak menghendaki mereka mencari permusuhan dengan Thian-li-pang yang jelas menentang pemerintah penjajah.

Setelah dua orang tosu itu pergi dan tidak kelihatan lagi bayangannya, Thian-te Tok-ong berkata dengan nada suara yang penuh kemarahan. “Yo Han, engkau ini anak masih ingusan sudah berani berlagak di Thian-li-pang! Di sini ada aku, ada sute, ada pula Lauw Kang Hui, dan engkau membikin malu kami dengan sepak terjangmu seolah-olah engkau yang paling hebat di sini!”

“Maaf, sebelumnya teecu sudah minta maaf kepada Jiwi Susiok (Uwa Guru Berdua),” kata Yo Han sambil menghadapi dua orang kakek itu dan memberi hormat.

“Bocah lancang, engkau berani memandang rendah kepada kami, ya?” Ban-tok Mo-ko juga membentak. “Tanpa perintah kami, engkau telah berani mencari gara-gara dengan Pek-lian-kauw atas nama Thian-li-pang. Engkau tidak berhak untuk bertindak atas nama Thian-li-pang. Kelancanganmu ini meremehkan kami dan harus kuhukum kau!”

Setelah berkata demikian Ban-tok Mo-ko menerjang maju menyerang Yo Han. Melihat serangan gurunya itu, Lauw Kang Hui terkejut. Gurunya sudah melancarkan serangan pukulan maut kepada Yo Han. Biar pun dia membenarkan tindakan Yo Han tadi, namun karena Yo Han bukanlah apa-apa baginya, dia tidak berani lancang melindunginya dari serangan gurunya yang hebat itu. Dia hanya memandang dengan mata terbelalak, juga semua anggota Thian-li-pang memandang dan mereka semua merasa yakin bahwa Yo Han pasti akan roboh tewas karena mereka semua mengenal kesaktian Ban-tok Mo-ko yang merupakan seorang sesepuh atau locianpwe dari Thian-li-pang.

“Maaf, Supek!” kata Yo Han.

Ketika Yo Han melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu datang menyambar dirinya, ia pun menggerakkan dua tangannya yang mula-mula menyembah ke atas, terus turun ke bawah melalui depan dahi, hidung, mulut terus ke ulu hati, lalu kedua lengan dikembangkan dan tangan ke kanan kiri, terus ke arah bawah membentuk lingkaran, lalu bertemu di bawah dalam keadaan menyembah lagi dan kedua tangan ini dengan kedua telapak tangan terbuka kemudian menghadap ke depan dan lengannya diluruskan.

Tiada hawa pukulan keluar dari kedua tangan Yo Han ini, akan tetapi tiba-tiba Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan betapa hawa pukulan kedua tangannya membalik dan biar pun dia sudah bertahan, tetap saja dia terpelanting oleh kuatnya hawa pukulannya sendiri yang membalik!

“Ho-ho, anak ini memang perlu dihajar!” kata Thian-te Tok-ong, kaget dan juga tertarik sekali melihat betapa sute-nya yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian yang hanya di bawah tingkatnya, sampai terpelanting jatuh.

Dia pun mengebutkan lengan baju kanannya. Dia memukul dari jauh, mempergunakan hawa pukulan yang amat dahsyat, lalu tongkat di tangan kirinya menyusul, menotok ke arah pusar Yo Han.

“Maaf, Supek!” kata pula Yo Han.

Yo Han tahu betapa dahsyatnya serangan ini, maka kembali dia menggerakkan kedua tangannya sesuai dengan ilmu yang baru saja dilatih di bawah petunjuk kakek Ciu Lam Hok, yaitu ilmu yang disebut Bu-kek Hoat-keng.

Begitu dua tangan Yo Han membuat gerakan memutar dan menyambut tamparan dan totokan tongkat, seperti yang terjadi pada Ban-tok Mo-ko tadi, tiba-tiba Thian-te Tok-ong juga berseru kaget dan biar pun dia tidak terpelanting seperti sute-nya, akan tetapi dia terhuyung ke belakang dan dua serangannya tadi membalik, tangan kanan menampar kepalanya sendiri dan tongkatnya membalik ke arah pusarnya sendiri!

“Hemmm, Bu-kek Hoat-keng...!” seru kakek bertubuh pendek kecil ini sesudah mampu mengembalikan keseimbangannya, mukanya agak pucat karena dia tadi merasa kaget bukan main ketika kedua serangannya membalik secara aneh sekali

“Yo Han!” bentak Ban-tok Mo-ko. “Betapa beraninya engkau mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?”

Yo Han memberi hormat kepada dua orang kakek itu. “Jiwi Supek (Uwa Guru Berdua), harap maafkan saya. Sebagai murid Suhu Ciu Lam Hok, maka saya pun mempunyai hak mencampuri urusan Thian-li-pang dan semua yang saya lakukan ini adalah untuk memenuhi pesan dari Suhu. Semenjak dahulu Thian-li-pang adalah perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Akan tetapi sejak Thian-li-pang dibawa bersekutu dan bersahabat dengan Pek-lian-kauw, apa jadinya? Thian-li-pang melupakan sumbernya, dan anak buahnya banyak yang mengikuti jejak Pek-lian-kauw, tidak segan melakukan kejahatan dengan kedok perjuangan. Suhu pesan kepada saya untuk mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar.”

“Ciu Lam Hok itu... di mana dia sekarang? Engkau dapat keluar, tentu dia pun dapat. Katakan, di mana Ciu Lam Hok?” Thian-te Tok-ong bertanya.

Yo Han menarik napas panjang, teringat betapa suhu-nya itu hidup menderita karena perbuatan dua orang kakek yang menjadi supek-nya ini.

“Suhu telah meninggal dunia dalam keadaan tubuh menderita namun batinnya bahagia.”

“Ahhhh...!” Thian-te Tok-ong berseru, juga Ban-tok Mo-ko mengeluarkan seruan kaget.

“Jiwi Supek yang membuat Suhu hidup tersiksa!” berkata pula Yo Han dengan suara mengandung teguran dan memandang tajam kepada dua orang kakek itu.

Dua orang kakek itu menundukkan muka. Agaknya baru mereka kini melihat betapa kejam mereka terhadap sute sendiri. Mereka telah menyiksa sute mereka dan berlaku curang hanya karena iri hati dan ingin menguasai ilmu sute mereka yang lebih tinggi dari pada ilmu mereka.

Entah bagaimana, ketika Ciu Lam Hok masih hidup dan merana di dalam sumur, dua orang kakek ini sama sekali tidak pernah menyesali perbuatan mereka, bahkan raungan dan teriakan Ciu Lam Hok yang mereka dengar, membuat mereka semakin penasaran dan membenci karena sute itu tidak mau membagi ilmu-ilmunya kepada mereka.

Akan tetapi kini mendengar bahwa sute itu sudah meninggal dunia, mendadak mereka kehilangan, dan merasa menyesal. Karena tidak ada lagi harapan untuk mendapatkan ilmu-ilmu dari orang yang sudah mati, maka sekarang seolah-olah yang teringat hanya perbuatan mereka terhadap sute itu, dan betapa mereka bertiga merupakan pendiri Thian-li-pang yang dahulu hidup rukun dan saling setia.

“Aihhh, Sute, kami sudah berdosa kepadamu...” Tiba-tiba saja Thian-te Tok-ong berseru dan kakek ini menangis! Dan Ban-tok Mo-ko juga menangis.

Melihat dua orang kakek yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu menangis seperti anak kecil, semua anggota Thian-li-pang terheran-heran, dan Lauw Kang Hui menundukkan kepalanya. Wakil ketua ini pun menyadari betapa Thian-li-pang memang sudah jauh menyeleweng, anak buahnya banyak yang tak segan-segan melakukan perbuatan jahat bersama anak buah Pek-lian-kauw yang dalam hal penyelewengan sudah menjadi guru mereka.

Tiba-tiba Ban-tok Mo-ko maju menghampiri suheng-nya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka suheng-nya.

“Suheng, semua ini gara-gara engkau! Engkau sudah membuntungi kaki tangannya, engkau telah berlaku kejam kepada Sute! Kini Sute sudah meninggal, tentu arwahnya akan menuntut kepada kita! Suheng, engkaulah penyebab semua ini. Aihhhh, Sute... maafkan aku, Sute. Semua ini Suheng kita yang menjadi biang keladinya!”

Thian-te Tok-ong menghentikan tangisnya dan dia pun menghadapi sute-nya dengan mata berkilat dan alis berkerut.

“Apa kau bilang? Sute, jangan seenaknya saja kau bicara. Engkaulah yang memberi siasat itu kepadaku! Engkau yang menganjurkan aku untuk turun tangan terhadap Sute Ciu Lam Hok! Dan aku menyesal telah menuruti kemauanmu. Sute Ciu Lam Hok, inilah orangnya yang menjadi penyebab kematianmu, bukan aku!”

“Suheng, Jangan menyangkal! Engkau melakukan kekejaman terhadap Ciu Sute karena engkau murka, karena engkau menghendaki ilmunya, terutama ilmu Bu-kek Hoat-keng. Engkaulah yang menanggung dosa terbesar, Suheng!”

“Keparat, engkau pun berdosa besar, bahkan aku tertarik oleh bujukanmu!”

“Bohong!”

“Engkau pengecut, tak berani bertanggung jawab. Aku memang berdosa terhadap Sute Ciu Lam Hok, akan tetapi engkau pun lebih berdosa lagi!”

“Engkau biang keladinya!”

Dua orang kakek, yang satu gendut yang satu kurus itu, saling maki dan akhirnya, tanpa dapat dicegah lagi, saling serang dengan penuh kemarahan! Suheng dan sute ini sama-sama merasa menyesal, merasa berdosa terhadap sute mereka yang sekarang sudah meninggal dunia.

Karena saling menyalahkan, duka dan menyesal, mereka lupa diri dan akhirnya saling serang dengan hebatnya. Karena keduanya merupakan orang-orang sakti, maka tidak ada anggota Thian-li-pang yang berani melerai. Maju melerai berarti membahayakan nyawa sendiri. Di seputar kedua orang itu, angin pukulan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya sehingga Lauw Kang Hui sendiri terpaksa mundur menjauh supaya tidak sampai terkena serangan hawa pukulan.

Pertandingan antara dua orang tokoh yang sakti dan yang usianya sudah sangat tua, tidak lagi mengandalkan kecepatan gerakan, tidak mau membuang waktu dan mereka segera mengeluarkan ilmu simpanan masing-masing, dan mengerahkan sinkang untuk mengalahkan lawan.

Di lain saat, setelah lewat belasan jurus saja, keduanya sudah berdiri dengan dua kaki terpentang, kedua tangan saling tempel dan saling dorong dengan pengerahan tenaga sinkang. Uap mengepul dari kepala mereka dan semua orang tahu bahwa pertandingan ini merupakan pergulatan mati hidup.

Lauw Kang Hui mengerti pula dan dia menjadi sangat khawatir. Dia pun tahu bahwa gurunya, Ban-tok Mo-ko, masih kalah kuat dibandingkan supek-nya, dan bahwa gurunya terancam maut. Namun, tentu saja dia tidak berani mencampuri, tidak berani melerai. Dia tadi teringat akan Yo Han yang telah mampu merobohkan suhu-nya dan supek-nya, maka timbul harapannya.

Cepat dia menghampiri Yo Han dan dengan suara sungguh-sungguh dia berkata, “Sute Yo Han, tolonglah mereka. Cepat pisahkan mereka agar jangan sampai saling bunuh.”

Yo Han yang sejak tadi menonton, menoleh kepadanya dan menggelengkan kepalanya. “Kurasa tidak ada gunanya lagi, Suheng. Mereka sudah saling serang mati-matian dan andai kata aku dapat memisahkan mereka pun, tentu mereka telah terluka dalam...“

Lauw Kang Hui memandang kepada dua orang kakek itu. Dia merasa gelisah melihat betapa dari ujung bibir gurunya sudah mengalir darah dari dalam mulut, tanda bahwa gurunya telah menderita luka dalam. Dan walau pun di bibir Thian-te Tok-ong belum nampak darah, akan tetapi wajah kakek yang kecil pendek itu pucat sekali.....

“Mereka sudah terluka, akan tetapi setidaknya, jangan mereka itu tewas selagi mengadu tenaga. Sute, tolonglah, pisahkan mereka, biar pun mereka sudah terluka.”

Yo Han menarik napas panjang. Dia sudah melihat betapa keadaan dua orang kakek itu sudah payah sekali, dan jika dia memisahkan mereka, dia harus menggunakan sinkang untuk mematahkan dua tenaga yang sudah saling lekat itu. Bukan pekerjaan mudah, bahkan berbahaya baginya, akan tetapi dia pun tidak dapat menolak karena dia tidak dapat membiarkan mereka itu mengadu tenaga sampai seorang di antara mereka mati di tempat.

“Jiwi Supek, maafkan saya!” katanya dan dia pun meloncat mendekati dua orang kakek itu.

Kedua tangannya bergerak-gerak membentuk lingkaran dan tiba-tiba, dengan bentakan nyaring sehingga terdengar suara melengking, dia mendorongkan kedua tangannya ke tengah-tengah antara dua pasang tangan yang sedang melekat itu.

Dua orang kakek itu mengeluarkan suara keras, kemudian tubuh mereka terdorong ke belakang. Ban-tok Mo-ko roboh terguling dan Thian-te Tok-ong terhuyung-huyung, lalu dia cepat duduk bersila sambil memejamkan mata. Ban-tok Mo-ko juga bangkit duduk dengan susah payah, kemudian bersila pula. Wajah keduanya pucat dan napas mereka terengah-engah.

Yo Han memeriksa dengan menempelkan tangan di punggung mereka, dan diam-diam dia pun terkejut. Kiranya, kedua orang kakek itu menderita luka dalam yang jauh lebih parah dari pada yang disangkanya. Ban-tok Mo-ko yang kalah kuat oleh suheng-nya, telah menderita parah sekali dan sukar diselamatkan.

Akan tetapi ketika Yo Han memeriksa keadaan Thian-te Tok-ong, dia pun amat terkejut. Kakek ini memang memiliki tenaga yang lebih kuat, akan tetapi agaknya usianya yang sudah delapan puluh delapan tahun itu membuat tubuhnya lemah dan karena itu, ia pun menderita luka hebat!

Ban-tok Mo-ko yang membuka mata lebih dulu, mata yang sayu dan ia pun memandang kepada Thian-te Tok-ong yang masih duduk bersila dan terdengar suaranya yang lemah gemetar.

“Suheng, aku girang dapat mati di tanganmu...” kemudian dia memandang ke angkasa, terbatuk dan gumpalan darah keluar lebih banyak lagi dari dalam mulutnya. “Sute, aku telah siap menerima pembalasanmu...” Kakek itu memejamkan kembali kedua matanya dan kepalanya menunduk.

Thian-te Tok-ong membuka matanya dan dari kedua matanya itu mengalir air mata. “Aku telah membunuh Sute Ciu Lam Hok, dan aku pula yang membunuh Sute Ban-tok Mo-ko. Kedua adikku, tunggulah aku...!” Dan dia pun memejamkan kedua matanya dan menundukkan kepala. Dua orang kakek itu tak bergerak lagi.

Yo Han berbisik kepada Lauw Kang Hui. “Lauw-suheng, kedua orang Supek kini telah tewas...!”

“Haaa...?!”

Lauw Kang Hui cepat menghampiri gurunya dan menyentuh pundak gurunya. Disentuh sedikit saja, tubuh yang tadinya duduk bersila itu terguling roboh. Demikian pula tubuh kakek Thian-te Tok-ong…..

********************

Lauw Kang Hui menangis di depan makam gurunya dan supek-nya, juga para murid tingkat tinggi Thian-li-pang menangisi kematian dua orang tua yang menjadi sesepuh Thian-li-pang itu.

Yo Han ikut pula dalam upacara sembahyangan dan dalam kesempatan itu dia berkata kepada Lauw Kang Hui dan para murid lainnya.

“Karena saya telah menjadi murid mendiang Suhu Ciu Lam Hok, bahkan juga pernah berguru pada Supek Thian-te Tok-ong, maka sedikit banyak saya mengenal hubungan dekat dengan Thian-li-pang. Saya harap peristiwa ini dapat menjadi cermin bagi kita semua. Tiga orang sesepuh Thian-li-pang itu dahulu yang mendirikan Thian-li-pang, dan sejak berdiri, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar yang berjiwa patriot. Namun, sayang sekali, agaknya mendiang Supek Ban-tok Mo-ko dan Thian-te Tok-ong terseret oleh arus duniawi yang membuat mereka melakukan penyelewengan. Apa lagi pada saat Thian-li-pang dipimpin mendiang Suheng Ouw Ban, hubungan baik dengan Pek-lian-kauw membuat banyak murid yang ikut melakukan perbuatan yang tak sesuai dengan jiwa perkumpulan kita. Hendaknya kita semua selalu ingat bahwa musuh yang paling besar, paling berbahaya dan paling tangguh adalah dirinya sendiri. Sekali kita mampu menundukkan napsu sendiri, maka batin kita menjadi kokoh kuat dan tidak mudah terseret ke dalam kesesatan. Seperti berlayar di tengah samudera, yang paling penting adalah memiliki perahu yang kokoh kuat sehingga tidak khawatir menghadapi badai dan taufan. Kepandaian tinggi bahkan dapat mencelakakan kalau tidak disertai batin yang kuat dan bersih, karena kepandaian itu bahkan dapat kita pergunakan untuk melakukan kejahatan.”

Lauw Kang Hui memandang kepada pemuda itu. “Yo Sute, terima kasih atas nasehatmu itu. Kami sudah mengalami cukup banyak kepahitan sebagai akibat dari penyelewengan yang sudah kami lakukan. Aku berjanji akan mengembalikan Thian-li-pang ke jalan yang benar, akan bertindak disiplin dan tegas sehingga Thian-li-pang akan kembali menjadi perkumpulan pendekar yang bukan saja memusuhi penjajah tanah air, akan tetapi juga memusuhi perbuatan jahat yang dapat mencelakai orang lain demi kesenangan diri dan pemuasan nafsu sendiri.”

“Bagus, aku girang sekali mendengar ini, Lauw-suheng. Aku hanya akan menjadi saksi bahwa pesan terakhir Suhu Ciu Lam Hok akan terlaksana dengan baik.”

Yo Han lalu berpamit dari semua murid Thian-li-pang, meninggalkan tempat itu dengan hati lapang. Satu di antara pesan suhu-nya telah dapat dia laksanakan dengan baik. Kini dia akan melaksanakan tugas kedua yaitu mencari keluarga mendiang suhu-nya, yaitu adik suhu-nya yang bernama Ciu Ceng atau keluarganya karena tentu adik suhu-nya itu sudah menjadi seorang nenek yang sudah tua sekali.

Dia pun meninggalkan Thian-li-pang dan menuju ke kota raja.....

********************

Mendiang kakek Ciu Lam Hok memang mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Ciu Ceng. Ketika dia sendiri pergi meninggalkan kota raja, adiknya itu masih seorang gadis yang cantik dan tinggal bersama ibunya di lingkungan istana.

Kemudian, Ciu Ceng menikah dengan seorang panglima muda she Gan. Pernikahan ini membuahi seorang anak laki-laki yang diberi nama Gan Seng. Panglima Gan sendiri gugur ketika memimpin pasukan membasmi gerombolan pemberontak. Gan Seng yang mendapatkan pendidikan tinggi, telah mendapat pangkat yang lumayan, yaitu sebagai pejabat yang mengelola gedung pusaka istana. Jabatan ini penting sekali karena hanya orang yang dipercaya sepenuhnya oleh Kaisar saja yang dapat menduduki pangkat ini.

Gan Seng, putera Ciu Ceng itu, kini telah berusia lima puluh tahun dan dia hidup serba kecukupan dengan isterinya dan puteri tunggalnya yang bernama Gan Bi Kim dan yang pada waktu itu berusia tujuh belas tahun. Juga nenek Ciu Ceng yang sudah tua tinggal bersama puteranya dan keluarga ini hidup cukup berbahagia.

Tak begitu sulit bagi Yo Han untuk menyelidiki dan mendengar tentang nenek Ciu Ceng ini. Girang hatinya ketika dia mendapat keterangan bahwa nenek itu tinggal bersama puteranya yang menjadi kepala gedung pusaka istana, dan keluarga Gan itu tinggal di luar istana, walau pun Gan Seng bertugas di lingkungan istana, yaitu di gedung pusaka.

Maka, pada hari itu, pagi-pagi dia meninggalkan rumah penginapan dan mendatangi rumah gedung tempat tinggal Gan Seng. Untuk memenuhi pesan mendiang suhu-nya, dia harus berkunjung dan menceritakan mengenai meninggalnya kakek Ciu Lam Hok kepada nenek Ciu Ceng dan memastikan bahwa keluarga itu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Baru kemudian dia akan melaksanakan tugas ke tiga, tugas yang paling sukar, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam di daerah barat.

Akan tetapi, alangkah herannya ketika dia tiba di rumah gedung itu. Dia melihat suasana yang amat sunyi dan ketika seorang pelayan keluar untuk menyapanya, pelayan tua itu nampak seperti orang yang berduka sekali.

“Saya kira Kongcu datang berkunjung pada saat yang kurang tepat,” kata pelayan itu. “Gan-taijin sekeluarga sedang dalam keadaan prihatin dan tidak akan suka menerima tamu, bahkan memesan kepada saya untuk menolak setiap orang tamu yang datang berkunjung.”

Tentu saja Yo Han merasa heran bukan main. Gurunya berpesan agar dia mengunjungi nenek Ciu Ceng dan membela nenek itu sekeluarganya, kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena dirinya ingin membuktikan rasa sayangnya kepada adiknya itu melalui muridnya.

“Paman yang baik, tolong sampaikan bahwa aku datang mohon menghadap Nyonya Besar Ciu Ceng, ibu dari Gan-taijin. Katakan bahwa aku membawa kabar yang penting sekali dari kakak nyonya besar yang bernama Ciu Lam Hok. Kalau laporanmu itu tidak mendapat tanggapan, aku tidak akan mendesak lagi.”

“Tapi... tapi... Nyonya Besar Tua sedang menderita sakit...”

“Ahh...!” Yo Han terkejut. “Kalau begitu, lebih penting lagi berita itu. Mungkin laporanmu tentang kakaknya akan dapat menyembuhkan sakitnya dan engkau akan berjasa besar, Paman.”

“Benarkah?” Pelayan itu meragu, kemudian berkata, “Baik, engkau tunggulah sebentar, Kongcu (Tuan Muda), aku akan melapor ke dalam.”

Yo Han menunggu dengan sabar, akan tetapi hatinya gelisah juga mendengar bahwa orang yang dicarinya itu, adik mendiang gurunya yang bernama Ciu Ceng, sedang menderita sakit. Karena panyakitnya itukah maka keluarga Gan dalam keadaan prihatin seperti yang dikatakan pelayan tadi?

Tentu saja akan mudah baginya untuk melakukan penyelidikan sendiri pada malam hari. Namun dia menghormati adik mendiang suhu-nya dan tidak mau menggunakan cara seperti seorang pencuri untuk menyelidiki keadaan nenek itu, kecuali bila dia tidak dapat menghadap secara berterang.

Tidak lama kemudian, pelayan itu sudah datang lagi dan sekali ini wajahnya berseri. “Kongcu, dugaanmu tadi amat tepat! Aku memberanikan diri untuk menghadap Nyonya Besar Tua dan begitu ia mendengar bahwa Kongcu datang membawa berita tentang kakaknya, ia seketika bangkit dan wajahnya gembira, bahkan ia minta kepada Kongcu untuk segera menghadap ke dalam kamarnya!”

Bukan main girangnya hati Yo Han mendengar ini. Dia pun segera mengikuti pelayan itu memasuki rumah, gedung yang besar. Setelah melalui beberapa ruangan besar serta lorong berliku-liku, pelayan itu lalu mengantarnya masuk ke dalam sebuah kamar yang besar. Dua orang pelayan wanita muda segera mundur ketika melihat ada tamu pria yang masuk.

Ketika memasuki kamar itu, Yo Han memandang ke arah pembaringan di mana rebah seorang nenek yang sudah tua. Nenek itu rebah telentang dan nampak kurus dan pucat. Ketika Yo Han masuk, ia menoleh dan memandang kepada pemuda itu, lalu terdengar suaranya lemah.

“Orang muda, siapakah engkau dan berita apa yang kau bawa mengenai kakakku Ciu Lam Hok?”

Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah nenek yang masih rebah di atas pembaringan itu. “Saya bernama Yo Han dan saya muridnya.”

Nenek itu mengeluarkan seruan girang dan dia pun bangkit duduk. Dua orang pelayan wanita cepat-cepat menghampiri dan membantunya duduk. Setelah duduk, nenek itu memandang kepada pemuda yang masih berlutut.

“Bangkitlah dan duduklah, Yo Han. Lekas ambilkan kursi untuk pemuda itu,” perintahnya kepada pelayan yang segera mengambilkan sebuah kursi dan Yo Han lalu duduk di atas kursi berhadapan dengan nenek Ciu Ceng yang wajahnya nampak berseri.

“Engkau ini muridnya? Ahhh, bagaimana dengan kakakku? Dan mengapa engkau yang datang ke sini, bukan dia sendiri? Betapa rinduku kepada kakakku itu!”

Yo Han melihat bahwa nenek yang sudah tua itu dalam keadaan sakit dan lemah, maka dia pun tidak berani mengabarkan tentang kematian gurunya.

“Saya datang untuk memenuhi pesan dari Suhu Ciu Lam Hok. Saya disuruh mencari adiknya yang bernama Ciu Ceng, dan saya disuruh menyelidiki keadaan keluarganya dan diharuskan membantu kalau keluarga itu membutuhkan bantuan.”

“Aihh, kalau saja kakakku sendiri berada di sini, tentu dia akan dapat menolong kami. Akan tetapi engkau muridnya, engkau hanya seorang yang masih muda begini, bagai mana akan mampu menolong kami? Kami sedang dilanda mala petaka.”

“Harap suka memberi tahukan kepada saya, dan saya akan membantu sekuat tenaga, walau pun dengan taruhan nyawa, demi memenuhi perintah Suhu!” kata Yo Han dengan sikap tenang dan suara bersungguh-sungguh.

“Benarkah itu?” Nenek itu berseru dan suaranya mengandung harapan.

Akan tetapi pada saat itu, beberapa orang memasuki kamarnya. Mereka itu ternyata adalah puteranya, Gan Seng, menantunya, dan cucu perempuannya, Gan Bi Kim yang cantik.

Melihat betapa ibunya yang sedang sakit itu duduk di atas pembaringan dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing, tentu saja Gan Seng menjadi heran sekali. Tadi dia menerima laporan dari seorang pelayan bahwa ibunya kedatangan seorang tamu, maka dia bersama isteri dan puterinya yang merasa khawatir akan kesehatan ibunya, segera pergi ke kamar ibunya. Kini tahu-tahu ibunya sudah duduk dan bercakap-cakap dengan seorang pemuda.

“Siapakah pemuda ini?” tanya Gan Seng dengan alis berkerut karena dia menganggap pemuda itu mengganggu ibunya yang perlu beristirahat.

Akan tetapi, melihat keluarganya memasuki kamarnya, nenek itu lalu memperkenalkan dengan wajah berseri, “Anakku, pemuda ini adalah Yo Han, dia murid pamanmu Ciu Lam Hok yang sering kuceritakan kepada kalian.”

“Ah, begitukah?” Gan Seng tertegun dan merasa heran mengapa pamannya yang tentu sudah tua sekali, mempunyai murid yang masih begini muda.

Yo Han sendiri cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Gan Seng, isterinya, dan juga kepada gadis cantik itu. Nenek Ciu Ceng segera memperkenalkan mereka kepadanya.

“Yo Han, ini adalah puteraku Gan Seng, ini mantuku, dan itu cucuku Gan Bi Kim!”

Sambil memberi hormat, Yo Han berkata kepada Gan Seng. ”Mohon maaf sebanyaknya kepada Taijin bahwa saya telah berani lancang mengganggu. Saya hanya memenuhi perintah Suhu, untuk mencari adik Suhu...”

Gan Seng menggelengkan kepala. “Tidak mengapa, tidak mengapa, hanya...”

Dia mengerutkan alisnya karena memang pada waktu itu dia sedang menghadapi hal yang amat memusingkan, bahkan ibunya sampai jatuh sakit karena mala petaka yang menimpa dirinya itu.

“Seng-ji (Anak Seng), Yo Han ini diutus oleh gurunya untuk datang berkunjung dan dia mewakili gurunya untuk menolong kita dari kesukaran! Siapa tahu, dia akan mampu mengangkat kita keluar dari kesulitan ini!”

“Ibu, mana mungkin...?” kata Gan Seng meragu.

Melihat sikap mereka, Yo Han kembali memberi hormat. “Harap Taijin suka memberi tahu pada saya, kesulitan apa yang dihadapi keluarga Taijin. Saya telah berjanji kepada Suhu untuk membantu keluarga adik Suhu kalau menghadapi kesulitan, dan saya akan mentaati perintah Suhu, membantu keluarga Taijin, kalau perlu dengan taruhan nyawa.”

“Ceritakanlah kepadanya, Seng-ji. Siapa tahu justru pemuda inilah yang akan mampu membebaskan kita dari kesulitan ini,” bujuk nenek tua itu.

“Baiklah, Ibu. Sekarang Ibu beristirahatlah, dan mari Yo Han, kita bicara di ruangan dalam,” kata Gan Seng.

Yo Han menoleh kepada nenek Ciu Ceng. “Harap Paduka beristirahat dan saya ingin menyampaikan pesan Guru saya bahwa Suhu mengutus saya membantu keluarga Paduka untuk membuktikan bahwa Suhu sayang kepada Paduka.”

Mendengar ini, nenek Ciu Ceng menangis dan merebahkan dirinya. Tetapi suaranya terdengar gembira bercampur haru ketika ia berkata, “Ahhh, Hok-koko (Kakak Hok), ternyata engkau masih teringat kepada adikmu ini! Kakakku yang baik, aku pun selalu terkenang kepadamu dan aku sayang kepadamu...” Ia menangis dan tertawa sekaligus dan berita yang diucapkan Yo Han ini merupakan obat yang mujarab bagi nenek itu.

Dengan hati lega Gan Seng lalu menggandeng tangan Yo Han, diajaknya keluar dari kamar itu, diikuti oleh isterinya dan oleh Gan Bi Kim.

Setelah mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar, Gan Seng yang masih meragu dan belum yakin benar bahwa pemuda yang usianya paling banyak dua puluh tahun, bersikap sederhana itu akan mampu menolong keluarganya dari mala petaka yang menimpa, segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang dirinya.

“Sebelum kami menceritakan persoalan yang menyulitkan keluarga kami, terlebih dulu kami ingin mendengar keteranganmu tentang Paman Tuaku itu dan bagaimana engkau yang masih muda ini akan mampu menolong kami. Nah, ceritakan di mana adanya Paman Tuaku itu.”

Kalau terhadap nenek Ciu Ceng yang sedang sakit Yo Han belum berani berterus terang tentang kematian suhu-nya, terhadap keluarga ini dia merasa lebih baik untuk berterus terang. “Taijin...”

“Nanti dulu, Yo Han. Kalau engkau benar murid pamanku, tidak semestinya engkau menyebut aku taijin (orang besar). Usiamu masih amat muda. Kau pantas menjadi keponakanku, maka sebut saja paman kepadaku, agar lebih enak kita bicara. Namaku Gan Seng dan engkau boleh menyebut aku paman, dan menyebut isteriku bibi. Nah, lanjutkan ceritamu.”

Wajah Yo Han berubah merah. Tentu saja dia merasa canggung sekali. Yang dia hadapi adalah seorang yang berkedudukan tinggi, bagaimana dia dapat menyebut mereka demikian akrab? Akan tetapi, dia pun tidak berani membantah.

“Terima kasih atas keramahan Paman dan Bibi. Sesungguhnya di depan Nyonya Besar Gan...”

“Ahhh, kalau engkau menyebut aku paman, maka engkau sebut saja nenek kepada Ibuku.” Pembesar itu memotong.

Diam-diam Yo Han kagum. Keluarga suhu-nya ini memang orang-orang bijaksana. Biar pun berkedudukan tinggi namun tidak angkuh. “Begini, Paman. Di depan Nenek, saya tidak berani berterus terang karena melihat beliau sedang sakit. Sebetulnya, Suhu Ciu Lam Hok telah meninggal dunia...”

“Hemm, bagaimana meninggalnya?” Gan Seng bertanya.

Yo Han merasa tidak ada perlunya menceritakan apa adanya. Kalau dia menceritakan bagaimana suhu-nya disiksa oleh dua orang suheng dari suhu-nya yang juga sudah tewas, maka ceritanya yang terus terang itu hanya akan mendatangkan penyesalan dan sakit hati. Tidak ada perlu dan gunanya.

“Suhu meninggal dunia dengan baik, karena sudah tua. Dan sebelum meninggal, Suhu meninggalkan pesan kepada saya supaya saya mencari adik Suhu yang bernama Ciu Ceng, dan supaya saya membantu keluarga adik Suhu itu dengan segala kemampuan saya. Karena itulah maka saya datang menghadap dan menawarkan bantuan. Apa lagi kalau Paman sedang menghadapi kesulitan. Katakan apa kesulitan itu, Paman, dan saya, demi pesan Suhu, akan membantu sekuat tenagaku.”

“Akan tetapi, kesulitan kami ini amat hebat dan sukar diatasi. Bagaimana seorang muda seperti engkau akan mampu menolong kami? Bahkan pasukan penyelidik yang sudah kami kerahkan juga tidak berhasil menolong kami, apa lagi engkau? Apa yang telah kau pelajari dari mendiang Paman Tua?”

“Mendiang Suhu sudah mewariskan ilmu-ilmu silatnya kepada saya, Paman, dan saya akan mengerahkan segala kemampuan saya untuk membantu Paman, tentu saja kalau Paman percaya kepada saya dan suka menceritakan kesulitan yang Paman hadapi itu kepada saya.”

“Sebaiknya ceritakan saja kepada Yo Han,” desak isteri pembesar itu kepada suaminya. “Biar pun para komandan yang bersahabat telah mengerahkan pasukan mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak ada salahnya kalau Yo Han mencoba untuk menyelidiki pula. Semakin banyak yang menyelidiki dan mencari-cari pusaka yang hilang, semakin baik pula.”

Gan Seng menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. “Dengarkan baik-baik, Yo Han, siapa tahu, Tuhan mengutusmu datang ke sini untuk mengangkat kami dari mala petaka ini.” Pembesar itu lalu bercerita.

Dia menjadi pembesar yang bertanggung jawab akan semua pusaka milik istana, dan dia diserahi mengurus gudang pusaka. Selama bertahun-tahun dia bertugas, dibantu pasukan penjaga yang kuat, tidak pernah terjadi sesuatu.

Akan tetapi, dua minggu yang lalu, dua buah pusaka lenyap dari dalam gudang pusaka itu. Dua buah pusaka yang amat penting, yaitu sebuah cap kebesaran Kaisar Kang Hsi, kakek dari Kaisar Kian Liong yang sekarang, dan sebuah bendera lambang kekuasaan Kaisar pertama Kerajaan Mancu, telah hilang!

Gegerlah istana karena kedua benda itu merupakan pusaka yang amat penting sekali, sebagai tanda kebesaran Kerajaan Ceng-tiauw. Dan sebagai penanggung jawab, tentu saja Gan Seng segera dihadapkan Kaisar untuk mempertanggung jawabkan kehilangan itu.

Gan Seng menjadi sibuk sekali karena Kaisar memberi waktu sebulan kepadanya untuk menemukan kembali dua buah pusaka yang hilang. Gan Seng sudah memerintahkan para komandan jaga untuk melakukan penyelidikan dan pemeriksaan, namun setelah lewat dua minggu, hasilnya tetap sia-sia belaka. Pencuri itu memasuki gudang tanpa merusak kunci atau jendela, bahkan tidak ada genteng yang pecah. Dua buah pusaka itu lenyap secara aneh sekali, tidak meninggalkan bekas!

Gan Seng tahu bahwa mala petaka akan menimpa keluarganya kalau dua buah benda itu tidak diketemukan. Dia akan dihukum berat, bahkan keluarganya mungkin akan turut tersangkut.

“Demikianlah mala petaka yang menimpa kami, Yo Han. Semua usaha sudah kami lakukan, akan tetapi sampai hari ini tidak ada hasilnya. Padahal, waktu yang diberikan Kaisar tinggal dua minggu lagi! Ibuku jatuh sakit karena memikirkan keadaan kami. Nah, bagaimana engkau akan dapat menolong kami, Yo Han? Pasukan keamanan sudah dikerahkan tanpa hasil,” kata pembesar itu dengan nada kesal dan putus asa menutup ceritanya.

Yo Han mengerutkan alisnya. Memang tidak mudah mencari pusaka yang hilang dari dalam gudang pusaka, tanpa diketahui siapa yang mengambilnya! Jika para komandan pasukan, yang lebih hafal akan keadaan di kota raja tidak mampu menemukan dua buah pusaka itu, apa lagi dia yang sama sekali asing dengan keadaan di situ!

Akan tetapi, dia akan mencoba, dia tidak putus asa. Dia yakin bahwa Tuhan pasti akan menolongnya, seperti yang sudah-sudah. Ia akan menyerahkan segalanya pada Tuhan, dan dengan penyerahan secara total, maka semua tindakannya tentu akan dibimbing oleh kekuasaanNya.

Bila Tuhan menghendaki, apa sih sukarnya menemukan kembali dua buah benda yang hilang? Tetapi jika tidak dikehendaki Tuhan, apa pun yang dilakukan, benda-benda itu tidak akan dapat ditemukan kembali. Tuhan Maha Kuasa. Segala kehendak Tuhan pun jadilah! Demikian bisik hatinya.

“Maaf, Paman dan Bibi, apakah sama sekali tidak ditemukan jejak ke mana lenyapnya dua buah benda pusaka itu?”

Gan Taijin menghela napas panjang dan menggelengkan kepala.

“Apakah tidak ada orang yang dapat dicurigai? Misalnya, adakah orang-orang yang memusuhi Paman selama ini? Siapa tahu, perbuatan itu merupakan perbuatan yang disengaja untuk menghancurkan keluarga Paman.”

Suami isteri itu saling pandang, dan tiba-tiba saja isteri pejabat itu berkata, “Sebaiknya kuceritakan saja kepadanya!”

Suaminya mengangguk dan wanita itu lalu berkata kepada Yo Han. “Memang ada orang yang merasa tidak senang kepada kami dan bukan tidak mungkin bahwa dia melakukan perbuatan itu untuk mencelakakan kami. Akan tetapi karena tidak ada bukti-bukti, bagai mana kami dapat menuduh dia?”

“Maaf, Bibi. Sedikit keterangan saja akan sangat berarti dan penting bagi saya untuk melakukan penyelidikan. Saya pun tidak akan sembarangan saja menuduh orang, akan tetapi setidaknya, saya dapat melakukan penyelidikan.”

Gan Seng menarik napas panjang. “Memang ada yang kami curigai, akan tetapi tidak ada bukti, dan dia seorang yang berkedudukan tinggi sehingga tidak ada orang yang akan berani menyelidikinya.”

Yo Han memandang dengan wajah berseri. “Ahh, siapakah dia orangnya, Paman? Dan mengapa Paman mencurigai dia?”

“Dia seorang panglima yang dipercaya oleh Kaisar, seorang jagoan istana she Coan. Coan Ciangkun ini terkenal lihai dan berkedudukan tinggi. Bagaimana kita akan dapat membuktikan bahwa dia yang melakukan perbuatan itu? Tiada yang berani menyelidik ke sana. Rumahnya saja dijaga oleh pasukan keamanan yang kuat!”

“Hemm, mengapa Paman mencurigai dia? Apakah alasan Paman dan Bibi mencurigai panglima itu?”

“Coan Ciangkun pernah melamar puteri kami, Bi Kim,” kata ibu gadis itu.

Yo Han memandang kepada Bi Kim dan gadis itu menundukkan mukanya yang berubah merah, akan tetapi bibir gadis itu bergerak dan berkata lirih, “Manusia tak tahu malu itu!”

“Tentu saja kami menolak pinangan yang merendahkan kami itu,” kata pula Gan Seng. “Bayangkan saja, panglima yang usianya sudah empat puluh tahun lebih itu sekarang sudah mempunyai sedikitnya lima selir, dan dia masih menghendaki anak kami untuk dijadikan selir! Menghina sekali!”

Yo Han mengangguk-angguk. Alasan itu memang cukup kuat. Mungkin saja akibat sakit hati karena lamarannya ditolak, panglima itu lalu melakukan pencurian pusaka untuk mencelakakan keluarga Gan. Akan tetapi, alasan ini pun tidak begitu meyakinkan. Kalau hanya ditolak lamarannya, bagaimana panglima itu sampai melakukan perbuatan yang juga amat berbahaya bagi dirinya sendiri itu? Dan apa manfaat dan keuntungannya bagi dia?

“Maaf, Paman dan Bibi. Apakah tidak ada alasan lain yang lebih kuat dari itu sehingga Paman dan Bibi mencurigai Coan Ciangkun?”

“Ada... ada...,” berkata Gan Seng. “Semenjak dua buah pusaka itu lenyap, beberapa kali sudah ia menghubungiku dan mengatakan bahwa jika aku suka menerima lamarannya, dia akan membantu sampai dua buah benda pusaka itu ditemukan kembali. Nah, aku hampir yakin bahwa setidaknya dia tahu siapa yang mencuri benda pusaka itu.”

“Ah, terima kasih, Paman. Sekarang, tolong beri tahukan di mana adanya tempat tinggal Panglima Coan itu, saya akan melakukan penyelidikan ke sana.”

“Akan tetapi, itu berbahaya sekali, Yo Han!” kata Gan Seng.

Yo Han tersenyum. “Harap Paman dan Bibi jangan terlalu khawatir. Mendiang Suhu telah mengajarkan banyak ilmu kepada saya, dan dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Sakti, saya kira saya akan berhasil menyelidiki dan mendapat tahu apakah panglima itu benar yang melakukan pencurian itu ataukah bukan. Semoga kecurigaan Paman dan Bibi benar sehingga tidak akan sukar lagi untuk mengatasi urusan ini.”

“Akan tetapi, para panglima saja yang dimintai bantuan Ayah tidak sanggup menyelidiki orang itu, apakah kau tidak hanya akan mengantar nyawa ke sana?” tiba-tiba Bi Kim berkata dengan nada suara khawatir.

Yo Han memandang gadis itu dan tersenyum. “Harap engkau tidak merasa khawatir, Nona. Saya akan menjaga diri baik-baik.”

Setelah mendapatkan keterangan jelas dari Gan Seng mengenai tempat tinggal Coan Ciangkun, Yo Han lalu berpamit. Tuan rumah sekeluarga mencoba untuk menahannya dan menghidangkan makan minum, akan tetapi Yo Han menolak dengan halus.

“Masih banyak waktu bagi kita untuk bercakap-cakap dan makan bersama, yaitu setelah tugas ini selesai dengan baik. Nah, selamat tinggal, Paman, Bibi dan... Nona.”

“Adik, bukan nona!” Bi Kim memotong.

“Baiklah, Adik Bi Kim. Saya pergi dahulu dan mudah-mudahan kalau datang lagi saya akan membawa kabar baik untuk Paman sekeluarga.”

Untuk bisa meyakinkan hati mereka, Yo Han sengaja berkelebat dan lenyap dari depan mereka. Tentu saja ayah, ibu dan anak itu terkejut dan sejenak tertegun. Pemuda itu dapat menghilang begitu saja dari depan mata mereka! Setelah Yo Han pergi, tiada hentinya mereka bertiga membicarakan pemuda itu dan timbul harapan di hati mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu akan berhasil menolong mereka.....

********************

Memang benar sekali apa yang telah dikemukakan Gan Seng, isterinya dan puterinya. Sungguh tak mudah, bahkan berbahaya sekali untuk melakukan penyelidikan ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Coan itu.

Gedung itu besar dan dikelilingi pagar tembok yang tebal dan tinggi seperti sebuah benteng kecil. Memang pantas menjadi tempat tinggal seorang panglima tinggi yang memimpin pasukan besar. Di pintu gerbang terdapat sebuah gubuk penjagaan di mana berkumpul belasan orang prajurit penjaga, dan masih ada lagi pengawal yang selalu meronda di sekaliling pagar tembok itu.

Yo Han maklum bahwa di waktu siang hari, tak mungkin menyelundup masuk ke dalam gedung itu. Andai kata dia dapat mengelabui para penjaga di luar dan dapat masuk ke dalam, masih ada bahaya ketahuan di bagian dalam gedung yang tentu dijaga ketat.

Siang hari itu dia tidak berani masuk, hanya mengelilingi bangunan itu di luar pagar tembok dan melihat-lihat keadaan. Ketika dia melihat sebuah pohon yang tumbuh di bagian belakang, agak jauh dari bangunan, dia dapat menduga, bahwa pohon itu tentu tumbuh di kebun belakang, dekat dengan pagar tembok dan dia pun memilih tempat ini untuk menyelinap masuk malam nanti kalau sudah gelap.

Siang itu dia kembali ke rumah penginapan, menanti datangnya malam. Setelah malam tiba, dia menanti sampai gelap benar barulah meninggalkan rumah penginapan secara sembunyi, melalui jendela dan meloncat ke atas genteng agar kepergiannya dari situ tidak ketahuan orang lain.

Tidak lama kemudian, dia sudah tiba di luar pagar tembok sebelah belakang di mana siang tadi dia melihat ada pohon di sebelah dalam pagar. Dia menanti sampai peronda lewat, lalu dia melompat ke atas pagar tembok. Benar dugaannya, pohon itu tumbuh di kebun belakang dan dia pun melompat ke pohon itu, menanti sambil meneliti keadaan.

Dari atas pohon dia dapat melihat beberapa orang penjaga di kanan kiri rumah dan di sebelah belakang rumah. Di luar pintu belakang terdapat lagi dua orang penjaga tengah bercakap-cakap. Di atas mereka terdapat sebuah lampu minyak gantung yang cukup terang.

Bukan main, pikir Yo Han. Agaknya panglima itu telah melakukan penjagaan diri dengan sangat ketat. Hal ini saja sudah mencurigakan. Hanya orang yang menjaga diri terhadap penyerbuan dari luar saja yang menyuruh pasukan pengawal menjaga rumah demikian ketatnya. Tentu ada sesuatu yang perlu dijaga!

Makin tebal dugaannya bahwa Panglima Coan inilah yang sengaja mencuri pusaka itu untuk memaksa Gan Seng menyerahkan anak gadisnya! Bagi seorang panglima yang mengepalai pasukan, kiranya tidak begitu sulit untuk melakukan pencurian itu. Seorang atau dua orang penjaga keamanan gudang pusaka itu tentu telah dapat dipengaruhinya, untuk mencurikan pusaka itu untuknya! Pusaka yang sangat penting bagi istana, yang kehilangannya akan mendatangkan dosa besar bagi Gan Taijin, akan tetapi yang tidak ada gunanya bagi Si Pencuri!

Setelah melihat suasana semakin sunyi dan yang menghalanginya masuk ke gedung besar itu hanya dua orang penjaga di luar pintu belakang, Yo Han meloncat turun dari atas pohon, kemudian berindap-indap mendekati dua orang penjaga yang masih duduk berhadapan di bangku, kini tidak lagi bercakap-cakap melainkan sedang bermain catur.

Yo Han mengambil dua buah kerikil dan setelah membidik dengan hati-hati, dua kali tangannya bergerak. Dua buah batu kerikil melayang dan dengan beruntun, dua orang pemain catur itu terpelanting dari tempat duduk mereka dalam keadaan lemas tanpa mampu bergerak akibat jalan darah mereka sudah tertotok oleh kerikil yang disambitkan tadi.

Dengan cepat Yo Han meloncat mendekati mereka, lalu menotok pangkal leher mereka sehingga sekarang mereka juga tak mampu bersuara. Dia menyeret tubuh mereka dan menyembunyikan tubuh mereka di bagian yang gelap, kemudian dengan hati-hati dia membuka daun pintu belakang. Dia tiba di taman bunga belakang gedung yang amat indah.

Tak lama kemudian, Yo Han sudah mengintai sebuah ruangan di tengah gedung itu. Ada kesibukan di sana dan ketika dia mengintai, dia melihat seorang panglima, hal ini dapat ia ketahui dari pakaiannya, sedang dihadapi oleh tiga orang kakek berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun yang berpakaian preman, akan tetapi nampaknya kuat.

Dia menduga bahwa tiga orang itu tentulah jagoan-jagoan dan mungkin sekali panglima itu yang bernama Coan. Usianya kurang lebih empat puluh tahun, tinggi besar bermuka hitam dengan bopeng bekas cacar. Seorang pria yang wajahnya kasar dan buruk sekali. Tak mengherankan bila Bi Kim dan ayah ibunya menolak pinangannya. Sudah memiliki banyak selir mukanya buruk pula! Padahal Bi Kim demikian cantik jelita dan masih amat muda.

Empat orang itu bercakap-cakap dan Yo Han mengerahkan kepekaan telinganya untuk menangkap percakapan mereka.

“Akan tetapi, bagaimana kalau dia menolak, Ciangkun?” tanya salah seorang di antara tiga jagoan yang mukanya kuning dan matanya sipit.

“Hemmm, kalau dia menolak, dia akan dijatuhi hukuman berat, juga keluarganya. Dia pasti tidak akan menolak uluran tanganku untuk menyelamatkan keluarganya,” berkata pembesar itu sambil menyeringai sehingga nampaklah giginya yang besar-besar. Makin buruk orang itu kalau menyeringai, pikir Yo Han.

“Kalau begitu, semua jerih payah kita tidak akan ada gunanya, Ciangkun!” kata orang ke dua yang perutnya gendut sehingga kancing bajunya bagian bawah terlepas semua dan nampak kulit perut yang buncit itu.

“Benar, kalau begitu, apa artinya semua jerih payah ini? Terbasminya keluarga itu sama sekali tidak membawa keuntungan, Ciangkun,” kata orang ke tiga yang tinggi kurus dan hidungnya seperti hidung burung kakatua yang melengkung panjang ke bawah hingga matanya nampak agak juling.

Panglima itu terbahak. “Ha-ha-ha, apa kalian kira aku begitu bodoh untuk membuang tenaga sia-sia belaka? Kalau mereka itu bersikeras tidak mau menerimaku, aku akan menghadap Sri Baginda. Aku akan mencarikan pusaka itu sampai dapat, tentu dengan imbalan anugerah, yaitu supaya gadis jelita itu diserahkan kepadaku. Kalau Kaisar yang memerintahkan, mustahil orang she Gan itu berani membantah lagi. Ha-ha-ha!”

Tiga orang itu pun tertawa gembira dan memuji kecerdikan majikan mereka. Yo Han yang mengintai tidak ragu-ragu lagi. Sudah pasti panglima inilah yang bernama Coan Ciangkun dan tiga orang itu tentu anak buahnya, atau jagoan-jagoannya.

Inilah kesempatan terbaik, pikirnya. Kalau dia harus mencari pusaka-pusaka itu, tentu akan sukar sekali karena panglima itu tentu menyembunyikannya. Amat sukar mencari pusaka yang disembunyikan di gedung sebesar itu, apa lagi yang dipenuhi penjagaan ketat.

Sekali dorong saja, jendela yang terkunci dari dalam itu terbuka dan kuncinya jebol. Sebelum empat orang itu hilang kaget mereka, mendadak mereka melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang pemuda.

“Engkaukah yang disebut Coan Ciangkun?” tanya Yo Han dengan suara tenang sambil memandang panglima itu.

Setelah hilang kagetnya dan melihat bahwa yang masuk secara lancang itu hanyalah seorang pemuda yang tidak memegang senjata dan hanya berpakaian sederhana saja, bangkitlah kemarahan Coon Ciangkun.

“Sudah tahu aku Coan Ciangkun dan engkau berani masuk seperti maling? Apakah nyawamu sudah rangkap lima? Tangkap dia!” bentak panglima itu sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka Yo Han.

Mendengar ini, Si Perut Gendut tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, cacing tanah, berani sekali engkau lancang masuk ke sini! Hendak mencuri apakah? Hayo cepat berlutut, atau akan kupatah-patahkan tulang kedua kakimu supaya engkau berlutut dan minta ampun kepada Coan Ciangkun!”

Yo Han bersikap tenang dan matanya masih terus memandang kepada panglima itu. “Aku tidak ingin mencuri apa-apa, bahkan hendak menangkap pencuri dua buah benda pusaka dari gedung pusaka istana!”

Tentu saja ucapannya ini mengejutkan empat orang itu.

“Tong Gu, cepat kau tangkap dia!” bentak panglima itu kepada Si Gendut yang bernama Tong Gu.

“Haiiiittt...!”

Tong Gu menerjang ke depan, gerakannya seperti sebuah bola menggelundung menuju ke arah Yo Han dan agaknya dia benar-benar hendak mematahkan kedua tulang kaki Yo Han karena begitu menerjang, dia sudah membuat gerakan menyapu dengan kaki kanannya yang pendek namun besar. Biar pun berperut gendut, gerakannya gesit sekali dan kaki kanannya sudah menyambar ke arah kedua kaki Yo Han.

Namun, Yo Han sama sekali tidak mengelak, juga tidak menangkis, melainkan berdiri tegak dan masih memandang kepada Coan Ciangkun. Karena itu, tanpa dapat dicegah lagi, kaki kanan Tong Gu menyambar kedua kakinya dengan amat kuatnya.

“Bresss...!”

Bukan tulang kedua kaki Yo Han yang patah-patah, melainkan justru Si Gendut yang berteriak-teriak kesakitan, meloncat-loncat dengan tumpuan kaki kiri sambil mencoba untuk memegangi kaki kanan dengan kedua tangannya. Tetapi karena kedua lengannya pendek, sedangkan kaki kanan itu pun pendek, maka sulit baginya agar bisa memegang kaki itu.

Dan dia pun berjingkrak menari-nari dengan sebelah kaki. Matanya terbelalak, mulutnya ngos-ngosan seperti orang makan merica saking nyerinya, karena kakinya terasa kiut miut seperti pecah-pecah tulangnya. Akan tetapi, dua orang kawannya menjadi marah dan mereka pun siap untuk menerjang.

Yo Han tidak mempedulikan mereka. Dia melihat panglima itu pun terkejut dan bangkit dari tempat duduknya, siap hendak melarikan diri. Sekali tubuhnya berkelebat, Yo Han sudah meloncat ke dekat panglima itu dan jari tangannya menotok. Tubuh panglima itu menjadi lemas dan dia pun jatuh terduduk kembali ke atas kursinya. Dia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak karena Yo Han sudah menghampiri ketiga orang tukang pukul itu dengan sikap tenang.

Kini Tong Gu Si Gendut sudah mencabut golok besarnya. Tulang kakinya tidak patah, akan tetapi membengkak dan kebiruan, nyeri sekali. Si Muka Kuning bermata sipit yang bernama Cong Kak juga sudah mencabut sepasang pedangnya, sedangkan Si Hidung Kakatua mencabut rantai baja. Mereka bertiga mengepung Yo Han, namun pemuda ini bersikap tenang.

Dia tidak suka berkelahi, tidak suka menggunakan kekerasan, akan tetapi sekarang dia bisa melihat kebenaran pendapat mendiang gurunya. Kepandaian silat memang penting sekali, untuk menghadapi orang-orang yang sewenang-wenang seperti ini! Bukan untuk berkelahi, bukan untuk menggunakan kekerasan, melainkan untuk menundukkan yang jahat untuk menegakkan kebenaran dan keadilan!

“Lebih baik kalian membujuk majikan kalian untuk menyerahkan dua benda curian itu kepadaku. Jika kalian menggunakan kekerasan, maka kalian sendiri yang akan menjadi korban kekerasan kalian itu!” Yo Han masih coba menasehati, karena kalau dapat, dia hendak menyelesaikan masalah itu tanpa harus melawan tiga orang ini.

Tentu saja nasehatnya itu menggelikan bagi orang-orang yang biasa menggunakan kekerasan itu. Mereka sudah marah sekali dan tanpa dikomando lagi, ketiganya sudah memutar-mutar senjata dan menggerakkan senjata mereka dengan kuat dan cepat, menerjang ke arah Yo Han.

Pemuda ini sudah mewarisi ilmu-ilmu yang sangat tinggi, akan tetapi belum pernah dia menggunakannya dalam perkelahian. Meski demikian, melihat gerakan tiga orang yang bagi orang lain nampak cepat itu, baginya kelihatan lamban sekali dan dia dapat melihat jelas ke arah mana senjata mereka itu menyambar. Dengan kelincahan tubuhnya yang sudah mempelajari segala macam ilmu tari dari Thian-te Tok-ong yang sebenarnya merupakan ilmu-ilmu silat tinggi, dengan amat mudahnya dia mengelak ke sana sini dan semua serangan senjata itu sama sekali tidak mampu menyentuhnya.

Yo Han tidak ingin membunuh orang, bahkan melukainya pun dia tidak tega, walau pun dia tahu bahwa tiga orang ini biasanya menggunakan kekerasan untuk menindas orang lain. Dia harus bekerja cepat agar urusan itu segera dapat diselesaikannya dengan baik.

Maka, begitu tangan kakinya bergerak dengan kecepatan yang tak bisa diikuti pandang mata tiga orang pengeroyoknya, tiba-tiba tiga orang itu berturut-turut jatuh terpelanting dalam keadaan lemas tertotok. Senjata mereka lepas dari pegangan dan mengeluarkan suara berisik ketika terjatuh ke atas lantai.

Akan tetapi, agaknya suara ribut-ribut itu telah terdengar oleh para pengawal panglima itu. Sebelas orang prajurit pengawal lalu berserabutan memasuki ruangan yang luas itu dengan senjata di tangan dan begitu masuk, mereka sudah dapat menduga apa yang terjadi, melihat majikan mereka duduk tak bergerak dan tiga orang jagoan itu roboh dan tak mampu bergerak pula. Maka, serentak mereka mengepung Yo Han dan langsung menyerangnya dengan senjata mereka.

Yo Han maklum bahwa jika ia tidak bertindak cepat, akan makin sukarlah keadaannya. Dia pun mengeluarkan kepandaiannya dan bagaikan seekor burung walet beterbangan, tubuhnya menyambar-nyambar sehingga kembali para pengeroyoknya roboh tertotok seorang demi seorang. Tubuh mereka berserakan, juga ada yang bertumpuk dan dalam waktu yang singkat, sebelas orang itu pun sudah roboh semua tanpa mengalami luka, hanya tertotok dan lemas tak mampu bergerak.

Sebelum datang lagi pengeroyok, sekali loncat Yo Han telah mendekati Coan Ciangkun yang marah duduk tertotok dan tak mampu bergerak. Yo Han membebaskan totokannya terhadap pembesar itu dan Coan Ciangkun dapat pula bergerak. Akan tetapi dia tidak berani bangkit berdiri karena pemuda yang lihai itu sudah mengancamnya dengan jari tangan di leher!

“Mau apa engkau? Engkau akan dihukum mati untuk ini!” kata Coan Ciangkun dengan nada marah. “Pasukanku akan menangkapmu!”

“Sebelum aku di tangkap, aku akan dapat membunuhmu lebih dulu, Ciangkun!” Yo Han mengancam.

Wajah yang marah itu seketika menjadi pucat karena Sang Panglima maklum bahwa pemuda yang dengan mudahnya merobohkan empat belas orang pengawalnya, tentu tidak hanya menggertak, akan tetapi benar-benar akan mampu membunuhnya dengan mudah.

“Apa yang kau inginkan?” tanyanya dan meski pun nadanya masih membentak, namun suara itu gemetar.

Yo Han mendengar suara ribut-ribut di luar ruangan, suara banyak orang dan dia tahu bahwa tentu pasukan penjaga sudah datang mengepung ruangan itu.

“Pertama, kau perintahkan agar supaya pasukanmu mundur dan jangan mengganggu percakapan kita di ruangan ini. Hayo cepat lakukan!” Sengaja Yo Han menyentuh leher panglima itu dengan jari-jari tangannya.

Panglima itu bergidik dan dia pun berseru dengan suara nyaring.

“Pasukan jaga, semua mundur dan jangan ganggu aku. Kami sedang bicara dan siapa pun tidak boleh mengganggu kami!”

Suaranya dikenal oleh para penjaga. Meski merasa heran, mereka semua mendengar dan tidak berani mendekati ruangan itu biar pun di sebelah sana mereka tetap mengatur pengepungan karena mereka tahu bahwa ada seorang asing bersama majikan mereka, dan bahwa belasan orang pengawal telah dirobohkan orang asing itu.

“Bagus, Ciangkun. Kalau engkau berkenan memenuhi semua permintaanku, aku akan membebaskanmu dan tidak akan mengganggumu lagi. Sekarang, keluarkan dua buah benda mustika yang kau curi dari dalam gedung pusaka istana itu!”

Wajah itu semakin pucat. “Apa... apa maksudmu? Pusaka... yang mana...?”

“Engkau tidak perlu berpura-pura lagi, Ciangkun. Aku sudah tahu semuanya. Engkau mendendam kepada keluarga Gan akibat lamaranmu ditolak, dan untuk membalas sakit hati itu, engkau sengaja menyuruh orang mencuri dua buah benda pusaka dari dalam gedung pusaka istana agar Gan Taijin menerima hukuman. Dan engkau menjanjikan kepada Gan Taijin untuk mendapatkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu asal dia mau menyerahkan puterinya kepadamu!”

Sepasang mata itu terbelalak. “Tidak…! Tidak…! Mana buktinya bahwa aku melakukan semua itu?”

Yo Han memandang ke arah meja di depan panglima itu. Sebuah meja yang terbuat dari papan yang tebal. Dia menggerakkan tangan kirinya mencengkeram ke arah ujung meja.....

“Krekk-krekk...!” Dan ujung meja itu hancur menjadi bubuk dalam cengkeramannya.

Wajah panglima itu menjadi pucat sekali dan matanya terbelalak ketakutan.

“Ciangkun, apakah lehermu lebih keras dari pada papan meja ini?”

“Jangan... jangan bunuh aku... apa yang kau inginkan?” pembesar itu berkata, suaranya kehilangan keangkuhannya, bernada menyerah.

“Coan Ciangkun, engkau adalah seorang laki-laki dan memegang jabatan tinggi sebagai panglima. Semestinya engkau seorang yang gagah perkasa. Akan tetapi perbuatanmu ini sungguh memalukan sebagai seorang laki-laki. Kalau pinanganmu ditolak, itu berarti bahwa nona Gan Bi Kim bukan jodohmu. Kenapa engkau hendak memaksanya dengan cara yang begini curang dan pengecut? Kedudukanmu tinggi, akan tetapi watakmu amat rendah. Sekarang, aku hanya ingin engkau memperbaiki kesalahanmu, mengembalikan dua buah benda pusaka itu kepadaku. Cepat, atau aku akan kehilangan kesabaranku dan tanganku yang gatal-gatal ini akan mencengkeram lehermu atau kepalamu!”

Sengaja Yo Han meraba-raba leher itu dan Coan Ciangkun bergidik.

“Jangan bunuh... baik, akan kukembalikan...! Tapi... dua buah benda itu disimpan oleh Tong Gu itu...” Dia menunjuk ke arah tubuh gendut Tong Gu, salah seorang di antara tiga jagoannya tadi, dengan telunjuk yang menggigil.

Yo Han dapat menduga bahwa panglima itu tidak main-main atau hendak menipunya. Bagaimana pun juga, panglima itu telah berada di dalam kekuasaannya dan tidak akan mampu berbuat apa pun.

“Akan kusadarkan dia dan lekas perintahkan dia untuk mengambil dua buah pusaka itu!” katanya dan sekali tangannya bergerak, dia telah membebaskan totokan Tong Gu.

Begitu Si Gendut itu dapat bergerak, dia meloncat dengan sikap hendak menyerang. Akan tetapi Coan Ciangkun menghardiknya.

“Tolol, apa yang akan kau lakukan?!”

Coan Ciangkun memang mendongkol sekali melihat ketidak becusan para jagoannya. Hanya melawan seorang pemuda saja, mereka bertiga roboh, bahkan belasan orang pengawalnya juga roboh. Dan sekarang, masih berlagak hendak melawan!

Tong Gu terkejut dan membungkuk di depan pembesar itu. “Maafkan hamba... hamba kira...”

“Tidak usah banyak cakap. Cepat kau ambil kedua buah pusaka itu dan bawa ke sini!” perintah Coan Ciangkun.

“Baik, Ciangkun!” kata Tong Gu.

Sebelum Tong Gu pergi, Yo Han berkata, “Tong Gu, jangan coba untuk main gila. Ingat, nyawa majikanmu berada di dalam tanganku. Dia akan mati sebelum engkau dapat melakukan sesuatu terhadap diriku!”

“Kalau engkau berani main gila, akan kusuruh hukum siksa sampai mati!” bentak Coan Ciangkun yang agaknya ingin cepat-cepat terbebas dari tangan pemuda yang lihai itu. “Cepat pergi dan ambil benda-benda itu!”

Tong Gu keluar dari ruangan itu dan tentu saja dia disambut oleh hujan pertanyaan dari para rekannya di luar ruangan. Akan tetapi, dia memberi isyarat dengan telunjuknya di depan mulut.

“Gawat Ciangkun telah dikuasai iblis itu. Kalau kita bergerak, tentu Coan Ciangkun akan dibunuhnya. Kita tidak boleh bergerak sebelum Ciangkun dibebaskan. Kepung saja dari luar dan jangan sampai ada yang lolos. Aku harus mengambilkan pusaka itu sekarang juga,” bisiknya kepada para pimpinan pasukan.

Sekarang seluruh penghuni gedung itu telah terbangun dan suasananya menjadi panik. Namun, pasukan itu hanya mengepung di luar gedung, dan keluarga Coan Ciangkun berkumpul di sebelah dalam, dijaga oleh pasukan pengawal dengan ketat.

Tong Gu tidak berani mengabaikan perintah Coan Ciangkun. Dia maklum sepenuhnya bahwa nyawa majikannya dalam ancaman bahaya maut. Dia pun tahu betapa lihainya pemuda yang menawan majikannya itu. Bukan saja dia dan dua orang rekannya yang terkenal jagoan roboh di tangan pemuda itu, juga belasan orang pengawal roboh dalam waktu singkat. Kepandaian pemuda itu tidak wajar, tidak seperti manusia biasa!

Tong Gu muncul kembali ke dalam ruangan itu. Keadaan di sana masih seperti tadi. Coan Ciangkun masih duduk menghadapi meja yang patah ujungnya, dan pemuda itu masih tetap berdiri di belakang panglima dengan sikap tenang sekali. Justru ketenangan sikap pemuda itu yang membuat Tong Gu merasa seram.

Dia meletakkan bungkusan dua buah benda itu di atas meja depan Coan Ciangkun. Yo Han lalu membuka bungkusan itu dan melihat bahwa memang itulah dua benda pusaka yang hilang. Dia sudah mendapat keterangan jelas dari Gan Seng bagaimana bentuk dan rupa dua buah benda pusaka itu. Tanpa ragu lagi, dia mengambil benda-benda itu dan menyimpannya ke dalam saku jubahnya.

“Kami sudah menyerahkan dua buah benda pusaka itu. Sekarang bebaskan kami dan pergilah, jangan ganggu kami lagi!” kata Coan Ciangkun menuntut.

“Nanti dulu, Ciangkun,” kata Yo Han dan dia memandang kepada Tong Gu lalu berkata, “Tong Gu, cepat kau sediakan kertas dan alat tulis untuk Coan Ciangkun!”

Tong Gu tidak berani membantah dan di dalam ruangan itu memang tersedia alat tulis dan kertasnya. Setelah perlengkapan itu berada di atas meja, Yo Han lalu berkata, “Ciangkun, sekarang tulislah surat pengakuanmu bahwa engkaulah yang melakukan pencurian itu!”

Sepasang mata itu lantas terbelalak. “Akan tetapi... engkau hendak melaporkan aku dan mencelakakan aku...?”

Yo Han tersenyum. “Kami bukanlah orang-orang macam engkau yang suka bertindak curang, Ciangkun. Surat itu perlu untuk pegangan Gan Taijin supaya engkau tidak lagi mengganggunya. Kalau engkau berani mengganggunya, maka tentu surat pengakuan itu akan diserahkannya kepada Sri Baginda Kaisar.”

Panglima Coan itu menjadi lemas. Kalau tadinya dia masih mengandung harapan kelak akan membalas semua ini kepada Gan Seng, kini harapannya itu membuyar bagai asap tertiup angin. Dia sudah kalah mutlak dan sebagai seorang ahli perang, dia pun tahu bahwa ada waktu menang dan ada pula waktu kalah. Dan kali ini, dia benar-benar kalah dan tidak berdaya.

Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera mengambil pena bulu dan menuliskan surat pengakuan seperti yang dikehendaki oleh Yo Han. Yo Han mendikte dan diturut oleh panglima itu. Setelah selesai, Yo Han mengambil surat itu dan membacanya sekali lagi.

Saya yang bertanda tangan di bawah ini mengakui sudah mencuri dua benda pusaka, yaitu cap kebesaran dan bendera lambang kekuasaan dari dalam gudang pusaka istana. Perbuatan itu saya lakukan untuk membalas dendam dan mencelakai keluarga Gan Seng, karena lamaran saya terhadap puterinya telah ditolaknya. Kemudian, karena menginsyafi perbuatan saya yang jahat, saya mengembalikan dua buah benda pusaka itu dan berjanji tidak akan mengganggu keluarga Gan lagi.

Tertanda saya,
PANGLIMA COAN
.

Yo Han menggulung surat pengakuan itu dan memasukkannya ke dalam saku jubahnya pula. Diam-diam Coan Ciangkun mengepal tinju. Masih ada harapan untuk menebus kekalahannya, yaitu dengan menghadang pemuda ini, mengerahkan pasukan kemudian menangkapnya sebelum pemuda itu menyerahkan kedua buah benda pusaka itu dan surat pengakuannya kepada Gan Seng. Kalau pemuda ini dapat ditangkapnya, semua itu dapat dirampasnya kembali, maka saat itu dia dapat menebus kekalahannya.

Akan tetapi, harapan terakhir ini pun membuyar seperti gantungan terakhir pada sehelai rambut yang putus ketika pemuda itu memegang lengan kanannya dan berkata dengan lembut tapi nadanya memerintah, “Mari, Ciangkun. Kau antar aku keluar dari gedung ini!”

Tentu saja hatinya protes karena perintah itu merupakan tanda kekalahan terakhir baginya, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan kepala menunduk, dia pun melangkah keluar dari ruangan itu. Pergelangan tangan kanannya digandeng Yo Han, seperti dua orang sahabat baik berjalan bersama, seakan-akan panglima itu mengantar seorang tamu yang akrab keluar meninggalkan rumahnya!

Para prajurit dan pengawal yang tadinya sudah mengepung gedung itu, kini hanya bisa melongo saja tidak berani bertindak apa-apa karena komandan mereka pun diam dalam seribu bahasa, tidak berani mengeluarkan komando untuk melakukan penyergapan!

Setelah sampai di pintu gerbang depan, Yo Han berkata kepada panglima itu. “Coan Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu. Mudah-mudahan saja engkau tidak melakukan kekeliruan-kekeliruan selanjutnya. Selamat tinggal!”

Sekali berkelebat, pemuda itu sudah lenyap ditelan kegelapan malam. Beberapa orang perwiranya langsung berloncatan keluar dengan pedang di tangan, hendak melakukan pengejaran. Akan tetapi Coan Ciangkun mengangkat tangan kanan ke atas. Dia maklum bahwa pemuda itu terlalu lihai dan kalau dia salah langkah lagi, mungkin dia tidak akan tertolong. Surat pengakuannya tadi merupakan ujung pedang yang sudah ditodongkan di depan dadanya!

“Jangan kejar dia! Biarkan pergi, aku telah kalah,” katanya dengan lemas dan dia pun memasuki gedungnya.

Tentu saja anak buahnya tak ada yang berani melanggar perintah ini. Apa lagi pemuda itu sudah lenyap dan mereka tidak tahu harus mencari dan mengejar ke mana.....

********************

Pada saat Yo Han menyerahkan dua buah benda pusaka itu bersama surat pengakuan yang dibuat Coan Ciangkun, Gan Seng dan isterinya menjadi demikian gembira dan terharu sehingga kalau tidak dicegah oleh Yo Han, mau rasanya mereka menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pemuda itu!

Yo Han bukan saja sudah menyelamatkan Gan Seng, tetapi juga seluruh keluarganya dari mala petaka yang amat besar! Gan Seng merangkulnya dan kedua matanya basah, sedangkan isterinya sudah menangis saking harunya, dirangkul puteri mereka, Gan Bi Kim, yang juga merasa gembira bukan main.

“Yo Han, engkau sungguh merupakan bintang penolong dan penyelamat keluarga kami. Entah bagaimana keluarga kami akan dapat membalas budimu ini, Yo Han.”

“Aihh, Paman Gan, mengapa bicara seperti itu? Saya hanya melaksanakan tugas saya, yaitu memenuhi perintah dan pesan terakhir dari mendiang Suhu. Kalau Paman hendak berterima kasih, semestinya berterima kasih kepada Suhu Ciu Lam Hok karena saya hanya mewakili beliau saja.”

Nenek Ciu Ceng juga seketika sembuh pada saat mendengar hasil baik yang diperoleh Yo Han dalam menyelamatkan keluarga puteranya. Ketika diberi tahu tentang kematian kakaknya, nenek ini menangis dan menuntut kepada puteranya supaya malam itu juga diadakan sembahyang terhadap arwah kakaknya, mendiang kakek Ciu Lam Hok, yang telah mengirim muridnya dan menyelamatkan mereka.

Melihat ini, Yo Han merasa tidak tega untuk menceritakan keadaan kakek Ciu Lam Hok yang buntung kedua kaki tangannya itu. Biarlah mereka menganggap bahwa suhu hidup sampai saat terakhir dalam keadaan sehat dan berbahagia, pikirnya.

Tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendengar nenek Ciu Ceng yang bersembahyang di depan meja sembahyang itu menangis sambil berkata dengan suara sungguh-sungguh, seolah-olah suhu-nya masih hidup dan berdiri atau duduk di situ.

“Hok-ko, kami sekeluarga berhutang budi dan nyawa kepada muridmu! Oleh karena itu, ijinkanlah kami untuk mempererat ikatan antara muridmu dengan keluarga Gan Seng, keponakanmu. Kami mohon persetujuanmu agar muridmu dapat menjadi jodoh cucuku Gan Bi Kim.”

Tentu saja Yo Han terkejut bukan main. Dia tidak dapat mengeluarkan kata apa pun dan diam-diam dia lalu menyingkir dari ruangan itu, menuju ke kamar yang sudah disiapkan untuk dia bermalam di rumah keluarga Gan itu. Dia tidak tahu bahwa gadis cantik itu pun menjadi merah sekali wajahnya dan seperti juga dia, Bi Kim cepat lari memasuki kamarnya.

Malam itu Yo Han tidak dapat tidur pulas. Gelisah dia memikirkan ucapan nenek Ciu Ceng. Ucapan itu bagaikan terdengar terus dan bergema di dalam telinganya. Dia akan dijodohkan dengan Bi Kim!

Terjadi semacam pertempuran di dalam hatinya. Ada suara yang seolah memaksanya untuk membayangkan kesenangan-kesenangan yang akan dinikmatinya bila ia menjadi suami Bi Kim. Dia seorang pemuda yatim piatu yang miskin dan tidak punya apa-apa, mendadak akan menjadi suami seorang gadis puteri bangsawan!

Bi Kim seorang gadis yang cantik jelita, berdarah bangsawan dan kaya raya. Kalau dia menjadi suaminya, maka sekaligus derajatnya akan terangkat naik tinggi sekali! Ia akan mempunyai seorang isteri yang cantik jelita, dari keluarga bangsawan yang terhormat dan menurut penglihatannya adalah gadis yang baik budi.

Dia akan menjadi orang yang dimuliakan, yang dihormati dan kaya raya. Bahkan besar kemungkinan dia akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Dan yang lebih dari semua itu, Bi Kim adalah cucu keponakan dari mendiang suhu-nya! Mau apa lagi? Belum tentu selama hidup dia akan mendapat kesempatan sebaik itu, menerima anugerah sebesar itu. Demikian terdengar bisikan di dalam hatinya yang menonjolkan segi-segi yang akan mendatangkan kesenangan bagi hidupnya.

Akan tetapi, ada suara lain lagi yang menentangnya. Suara ini menonjolkan hal-hal yang sebaliknya. Mengingatkan dia bahwa kalau dia menerima perjodohan itu, maka dia akan kehilangan kebebasannya. Dia akan terikat di situ. Dan tiba-tiba saja bayangan seorang anak perempuan yang mungil dan berpakaian merah muncul dalam benaknya. Sian Li!

Bayangan anak ini selalu saja muncul setiap kali hatinya mengalami guncangan atau dalam keadaan kesepian atau gelisah seperti sekarang ini. Sian Li yang manis, yang mungil, yang lincah jenaka, yang amat sayang kepadanya dan amat disayangnya! Dia ingin bertemu kembali dengan Sian Li!

Kalau dia menjadi mantu keluarga Gan di kota raja, dia terpaksa harus tinggal di situ, padahal dia masih harus melaksanakan tugas lain yang dipesan oleh suhu-nya, yaitu mencari mutiara hitam pusaka milik gurunya yang hilang dan kabarnya dibawa seorang kepala suku bangsa Miao! Ah, inilah yang dapat dia jadikan alasan! Mendapatkan jalan untuk digunakan sebagai alasan penolakannya, hatinya tenang dan dia pun dapat tidur pulas menjelang pagi.

Dia hanya tidur selama dua jam saja karena pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika terdengar kokok ayam jantan, dia sudah bangun kembali. Tubuhnya terasa segar. Jauh lebih menyehatkan tidur selama dua jam dengan pulas dari pada tidur semalaman suntuk dalam keadaan gelisah.

Dia segera mandi karena di dalam gedung besar itu selalu tersedia air secukupnya di kamar mandi. Tubuhnya terasa makin nyaman dan ia pun berganti pakaian. Dan melihat bahwa rumah itu masih sunyi, agaknya penghuninya masih tidur, dia pun keluar melalui pintu belakang menuju ke taman bunga yang berada di belakang.

Agaknya, tiap rumah gedung seorang bangsawan atau hartawan pasti memiliki sebuah taman bunga yang indah. Taman bunga milik keluarga Gan itu pun luas dan amat indah, terdapat kolam ikan yang lebar dan anak sungai buatan yang selalu mengalirkan air yang jernih. Ada beberapa buah jembatan yang cantik sekali, dibuat dengan seni indah dan dicat merah kuning. Ada pondok kecil tempat berteduh kalau hawa sedang panas.

Yo Han mengagumi keindahan taman itu dan karena pada waktu itu musim berbunga sedang mulai, maka sebagian besar tanaman di situ mulai berkuncup dan berbunga. Bahkan teratai merah dan putih di kolam ujung juga mekar meriah.

Tiba-tiba Yo Han terkejut dari lamunannya ketika dia melihat seorang wanita berdiri di dekat kolam bunga teratai, berdiri membelakanginya. Tadi dia tidak melihatnya karena serumpun mawar menutupinya dan sekarang dia melihatnya, tetapi sudah terlampau dekat dan selagi dia hendak cepat membalikkan tubuh pergi dari situ, orang itu sudah membalikkan tubuh memandangnya dan menegur.

“Yo-twako (Kakak Yo)...”

Yo Han merasa serba salah. Hendak pergi dapat menimbulkan kesan tidak ramah dan sombong, kalau tinggal di situ dapat dianggap kurang sopan karena bertemu dengan gadis puteri tuan rumah di pagi buta dalam taman. Apa lagi mengingat bahwa semalam, nenek gadis itu menjodohkan dia dengan Bi Kim. Dia cepat merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk untuk memberi hormat.

“Kim-moi (Adik Kim), selamat pagi! Aku tidak tahu bahwa engkau sedang berada di sini, maafkan aku kalau mengganggu ketenanganmu.”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan ia menahan senyumnya sambil memandang dari bawah dengan kepala menunduk. Kerling matanya sungguh amat menarik, kerling sopan dan malu-malu.

“Ahh, Yo-toako mengapa bersikap amat sungkan? Tentu saja tidak mengganggu. Akan tetapi, kulihat sepagi ini engkau sudah bangun, sudah mandi dan berpakaian rapi!”

“Benar, Kim-moi, karena aku hanya menanti sampai orang tuamu dan nenekmu bangun untuk berpamit dari mereka.”

Bi Kim mengangkat muka dan menatap wajah Yo Han sepenuhnya dengan kedua mata terbelalak. Diam-diam Yo Han terpesona. Mata itu demikian indahnya ketika terbelalak. Seperti lukisan! Nampak betapa sepasang alis yang hitam kecil melengkung itu sedikit terangkat menjauhi mata, dan betapa bulu mata yang halus lebat itu bergerak-gerak menimbulkan bayang-bayang gelap di sekitar mata, dan biji mata itu nampak lebih lebar dari biasanya, begitu bening dan lembut, mengkilat basah.

“Toako... kau... kau mau berpamit? Mau pergi...?”

Sejenak dua pasang mata bertemu dan mata yang terbelalak itu akhirnya menunduk kembali, terbawa muka yang ditundukkan. Dalam suara itu terkandung getaran seperti orang yang menangis sehingga Yo Han menjadi terheran-heran.

Yo Han menganggukkan kepala dan kalau gadis itu masih memandangnya, tentu dia tidak akan mengeluarkan suara, cukup dengan mengangguk saja. Akan tetapi karena gadis itu menunduk dan tidak memandangnya, tentu saja anggukan kepalanya sebagai jawaban itu tidak akan terlihat, dan sikap gadis itu jelas menuntut jawaban.

“Benar, Kim-moi. Aku akan pergi melanjutkan perjalananku,” katanya lirih dan singkat.

Gadis itu mengangkat mukanya dan Yo Han merasa semakin heran. Gadis itu jelas menangis, atau setidaknya berlinang air mata! Sungguh aneh!

“Akan tetapi, semalam nenek...” Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya dan menunduk makin dalam, agaknya baru teringat bahwa ia telah mengeluarkan ucapan yang sama sekali tidak pantas.

Ia tidak sengaja berkata demikian. Ucapan neneknya semalam yang menjodohkan dia dengan pemuda ini terngiang di telinganya sepanjang malam, membuat ia tidak dapat tidur dan pagi-pagi ini ia keluar ke taman dengan suara neneknya masih terus mengiang di telinganya. Oleh karena itulah, tanpa disadari dan tanpa disengaja, perasaannya itu terucapkan oleh mulutnya dan biar pun ditahannya, namun ia telah menyebut neneknya dan tentu pemuda itu dapat mengerti. Betapa memalukan!

Memang Yo Han mengerti dan dia pun tertegun. Kiranya seperti juga dia, usul nenek Ciu Ceng itu membuat gadis ini menjadi gelisah!

“Maksudmu, pernyataan nenek Ciu Ceng tentang... perjodohan itu, Kim-moi?

Mendengar betapa ucapan pemuda itu terdengar wajar dan santai saja, perlahan-lahan kecanggungan yang dirasakan gadis itu pun berkurang dan ia berani mengangkat muka memandang wajah Yo Han.

Bi Kim mengangguk dan bertanya lirih, “Bagaimana pendapatmu tentang usul nenek itu?”

Hemm, gadis ini cukup tabah, pikir Yo Han. Dan dia merasa girang sekali.

Memang jauh lebih baik membicarakan urusan ini dengan hati terbuka, dari pada harus menyimpannya dalam hati dan kelak menjadi ganjalan. Dia tahu bahwa Bi Kim adalah seorang gadis terpelajar dan mampu berpikir jauh dan berpandangan luas, tidak sempit seperti gadis-gadis yang tiada pendidikan yang baik.

“Nanti dulu, Kim-moi. Karena usul itu datang dari pihak keluargamu, maka aku ingin sekali mendengar dahulu bagaimana pendapatmu dengan pertanyaan nenek itu. Lebih baik kita bicara dengan terus terang, karena hal ini menyangkut kehidupan kita berdua di masa mendatang. Nah, katakan bagaimana pendapatmu?"

Kembali wajah gadis itu memerah. Biar pun dia bukan gadis dusun dan berpendidikan, akan tetapi bicara tentang urusan perjodohan tentu saja membuat ia merasa kikuk dan malu. Ia kembali menunduk dan suaranya terdengar gemetar dan canggung, juga lirih.

“Apa yang dapat kukatakan, Toako? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami. Kalau tidak ada bantuanmu, tentu Ayahku dihukum dan kami yang menjadi keluarganya juga tidak akan lolos dari hukuman. Lebih lagi, kalau tidak ada engkau yang menundukkan panglima jahanam itu, dia tentu akan terus merongrong dan menggangguku. Kini kami bebas dan merasa lega. Semua ini karena pertolonganmu. Tentu saja aku... aku... ahh, bagaimana aku akan dapat menolak? Aku... ehhh… setuju sekali.”

Yo Han mengerutkan alisnya. Dia mengerti akan isi hati gadis itu. Tidak hanya karena ingin balas budi! Memang gadis itu agaknya suka padanya. Hal ini mudah diketahuinya dari pandang matanya dan sikapnya, dan jantungnya sendiri berdebar tegang. Betapa akan senangnya disayang oleh seorang gadis secantik jelita Bi Kim!

Tetapi, kembali wajah seorang anak perempuan berpakaian merah muncul di benaknya, mengusir bayangan menyenangkan dari Bi Kim. Wajah Sian Li! Dan teringatlah dia akan tugasnya yang penting, yaitu mencari mutiara hitam gurunya. Maka, dia pun diam saja, termangu-mangu dan tidak tahu harus bicara apa.

Karena pemuda itu tidak menanggapi pengakuannya tadi, Bi Kim lalu memberanikan diri melawan rasa canggung dan malu, mengangat muka memandang. Dia melihat pemuda itu bengong saja, maka dia pun balik bertanya.

“Bagaimana dengan pendapatmu sendiri, Yo-toako?” suaranya terdengar penuh harap, matanya bersinar-sinar, dan mulutnya membayangkan senyum dikulum. Mulut gadis itu memang hebat, begitu penuh daya tarik, menggairahkan dan menantang.

“Aku...? Ehh, pendapatku? Ahh, bagimana, ya? Kim-moi, pemuda mana yang tidak akan berbangga hati dan merasa bahagia sekali menjadi jodohmu? Engkau seorang gadis bangsawan yang cantik jelita dan orang tuamu berkedudukan tinggi, bangsawan dan hartawan. Selain kecantikanmu, engkau pun berpendidikan dan berbudi baik sekali. Apa lagi yang dikehendaki seorang pemuda dari seorang gadis? Dan sebaliknya, aku hanya seorang pemuda yatim piatu yang tidak memiliki apa-apa, tidak berpendidikan, bodoh dan miskin. Aku bagaikan seekor burung gagak di samping engkau yang seperti burung dewata! Bagaimana aku berani menjajarkan diriku yang hina dan papa ini dengan dirimu yang begitu mulia dan anggun?”

“Yo-toako!” Bi Kim berseru penuh penasaran dan alisnya yang hitam kecil panjang serta melengkung itu berkerut. “Janganlah engkau merendahkan diri seperti itu! Orang boleh rendah hati, itu baik sekali. Akan tetapi rendah diri? Tidak ada gunanya, Toako. Apa lagi kenyataan menunjukkan bahwa engkau seorang pemuda yang amat lihai, berilmu tinggi, dan di dekatmu orang akan merasa aman tenteram, tidak takut menghadapi ancaman apa pun juga. Dibandingkan dengan engkau, aku seorang gadis yang lemah sekali dan sama sekali tak berdaya menghadapi kejahatan yang merajalela di dunia ini. Aku hanya bertanya mengenai pendapatmu, bukan keadaan dirimu yang kau rendahkan seperti itu, Toako.”

Yo Han tersenyum. Tepat dugaannya. Gadis ini memang pandai dan cerdik, amat pintar berbicara. “Maafkan aku, Kim-moi. Aku bukan merendahkan diri, melainkan menyatakan pendapatku berdasarkan kenyataan. Akan tetapi bukan keadaan itu yang membuat aku terpaksa tidak berani menerima usul dari nenekmu, melainkan karena aku masih harus melaksanakan tugas yang dipesankan mendiang Suhu kepadaku, yaitu mencari sebuah benda pusaka milik Suhu yang dulu hilang dicuri orang.”

Gadis itu nampak kecewa, akan tetapi menutupi perasaannya dengan bertanya serius. “Pusaka apakah yang hilang itu, Toako?”

“Sebuah benda pusaka milik Suhu yang disebut Mutiara Hitam, kabarnya kini berada di tangan seorang kepala suku bangsa Miao. Karena itu, tugas ini harus kulaksanakan dulu sampai berhasil.”

“Dan kalau engkau sudah berhasil dengan tugas itu?” Bi Kim mengejar.

“Kalau sudah berhasil... bagaimana nanti saja. Kelak masih banyak waktu untuk bicara tentang urusan pribadi, Kim-moi. Bukankah jodoh berada di tangan Tuhan? Bila Tuhan menghendaki agar kita... berjodoh, pasti hal itu akan terjadi. Sebaliknya, kalau Tuhan tidak menghendaki, walau direncanakan pun akan gagal. Karena itu, terus terang saja, sebelum aku selesai menunaikan tugas dari mendiang Suhu, aku tidak akan memikirkan soal perjodohan. Maaf, Kim-moi,” katanya dan cepat-cepat menutup ucapannya dengan permintaan maaf karena dia tak ingin menyinggung perasaan gadis itu. Apa lagi melihat wajah gadis itu berubah agak muram.

Sampai lama keduanya tidak bicara, kemudian gadis itu membalikkan tubuhnya hingga membelakangi Yo Han dan terdengar suaranya yang lirih, “Seorang lelaki akan mudah bicara seperti itu, Toako. Akan tetapi bagaimana mungkin seorang perempuan memiliki pendapat seperti itu? Jika belum ada ikatan dengan seseorang, maka setiap saat orang tua akan menjodohkan seorang gadis dengan pria mana saja yang dianggap baik dan cocok. Dan engkau tentu tahu, sebagai seorang anak yang berbakti, tidak mungkin aku dapat menolaknya. Berbeda halnya kalau seorang gadis sudah terikat, biar pun menanti sampai beberapa tahun pun tidak ada halangannya...”

Yo Han merasa betapa jantungnya berdebar keras. Dari ucapan gadis ini saja sudah mengandung arti pengakuan bahwa gadis itu menginginkan mereka terikat! Ini berarti bahwa gadis ini berharap menjadi calon jodohnya, bahwa gadis ini menaruh harapan kepadanya dan cinta padanya!

Yo Han merasa kasihan. Tidak boleh dia menyia-nyiakan harapan seorang gadis sebaik ini, tidak boleh dia menghancurkan hatinya. Dia harus dapat mencari alasan yang lebih tepat. Teringatlah dia akan Sian Li, akan ayah ibu anak itu, yaitu suhu dan subo-nya, guru-gurunya yang pertama sejak dia kecil sampai dia berusia dua belas tahun!

Bukankah suhu dan subo-nya itu dahulu juga amat sayang kepadanya, bahkan sudah menganggapnya seperti anak mereka sendiri? Sudah lama, sejak menjadi murid Kakek Ciu Lam Hok, dia menyadari sikap suhu dan subo-nya yang tidak ingin melihat Sian Li ketularan sikapnya yang dulu sama sekali tidak suka belajar ilmu silat.

Ia dapat merasakan kekhawatiran kedua orang suami isteri pendekar itu yang tentu saja prihatin sekali melihat murid mereka tidak mau belajar silat, dan melihat betapa mungkin saja Sian Li juga mengikuti jejaknya, tidak mau belajar silat. Karena pengertian inilah sudah lama dia tidak pernah merasa kecewa atau menyesal. Dia meninggalkan suhu dan subo-nya itu bukan karena tidak suka, melainkan karena tidak ingin menyusahkan mereka, tidak ingin mengecewakan mereka kerena Sian Li mencontoh dia, tidak suka belajar ilmu silat.

“Adik Bi Kim. Aku mengerti perasaanmu. Dan ketahuilah bahwa aku akan berbohong kalau tidak mengatakan bahwa setiap orang pemuda akan berbahagia sekali menjadi calon jodohmu. Akan tetapi untuk aku sendiri, aku tidak berani memutuskan, karena aku harus bertanya kepada mereka yang berhak menentukan. Aku pun ingin seperti engkau, menjadi seorang yang berbakti...”

“Yo-toako! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa engkau yatim piatu, tidak memiliki ayah dan ibu lagi? Dan gurumu, yaitu kakak dari Nenek juga sudah meninggal dunia, lalu siapa lagi yang berhak menentukan?”

“Belum kuceritakan semua tentang riwayatku kepadamu, Kim-moi. Sebelum menjadi murid mendiang Kakek Ciu Lam Hok, aku sudah mempunyai guru-guru yaitu sepasang suami isteri yang bukan saja mendidikku, akan tetapi juga merawatku sejak aku kecil ditinggalkan orang tuaku. Merekalah yang membesarkan aku, sejak aku berusia tujuh tahun ditinggal oleh ayah ibuku, sampai aku berusia dua belas tahun. Lima tahun aku seolah-olah menjadi anak mereka sendiri dan aku telah menerima budi yang berlimpah dari mereka. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kalau aku menganggap mereka sebagai pengganti orang tuaku dan menyerahkan kepada mereka untuk urusan perjodohanku. Nah, sekarang sudah kau ketahui semua, Kim-moi. Aku mohon diri, hari ini aku akan melanjutkan perjalanan mencari pusaka mendiang Guruku. Selamat tinggal dan semoga kelak kita dapat bertemu kembali.”

“Selamat jalan, Toako.” Gadis itu cepat membalikkan tubuh dan pergi meninggalkan Yo Han, akan tetapi pemuda itu masih sempat mendengar tangisnya.

Yo Han lalu berpamit kepada Nenek Ciu Ceng, Gan Seng dan isterinya. Gan Seng dan isterinya menyambut dengan ramah dan berterima kasih, akan tetapi Nenek Ciu Ceng tanpa sungkan kemudian bertanya, “Yo Han, engkau murid kakakku yang baik. Sebelum engkau pergi, engkau harus lebih dulu menyatakan kesediaanmu menerima permintaan kami.”

Berdebar rasa jantung dalam dada Yo Han. Tadinya dia mengira bahwa nenek itu lupa akan ucapannya ketika bersembahyang di depan meja sembahyang untuk gurunya. Kiranya pada saat ini, nenek itu mengajukan desakan yang membuat dia merasa serba salah. Dia melirik kepada Bi Kim yang berdiri di sudut sambil menundukkan mukanya, karena baik dia dan gadis itu tahu apa yang dimaksudkan oleh nenek itu. Tetapi, untuk memberi kesempatan baginya menenangkan hatinya yang terguncang karena tegang dia berkata,

“Permintaan apakah yang Nenek maksudkan?”

“Apa lagi, Yo Han? Engkau telah menyelamatkan keluarga kami, dan kami tidak berani minta apa-apa lagi. Hanya satu, yaitu kami harap engkau suka menerima cucuku Bi Kim menjadi jodohmu...”

“Nenek...!” Bi Kim terisak dan lari ke dalam kamarnya.

Melihat ulah gadis itu, Nenek Ciu Ceng terkekeh. “Heh-heh-heh, malu-malu berarti mau. Bagaimana, Yo Han? Engkau harus memberi keputusan dulu supaya hati kami merasa lega.”

Melihat pemuda itu termenung, hati Gan Seng yang merasa tidak enak melihat ibunya seperti mendesak dan memaksa, lalu berkata dengan suara lembut. “Yo Han, tentu saja kami tidak memaksamu. Kami tentu akan merasa berbahagia sekali kalau engkau suka menerima anak kami sebagai calon isterimu, akan tetapi andai kata engkau tidak suka, kami pun tidak dapat memaksamu.”

Justru ucapan yang lembut dari pembesar ini lebih berat rasanya bagi Yo Han. Bagai mana mungkin dia mengatakan tidak suka dan menolaknya? Dia cepat memberi hormat kepada tiga orang itu.

“Nenek, Paman dan Bibi yang baik, harap maafkan saya. Sungguh saya tak akan berani menolak, bahkan merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kebaikan penghargaan Sam-wi (Anda Bertiga) yang sudi mencalonkan saya yang yatim piatu dan papa ini sebagai anggota keluarga. Akan tetapi maafkan, saya belum dapat memberi keputusan sekarang. Pertama, saya harus menyelesaikan tugas yang diberikan mendiang Suhu, yaitu menemukan kembali pusaka milik Suhu yang dulu dicuri orang. Ke dua, mengenai perjodohan, saya harus menyerahkannya kepada Suhu dan Subo saya yang pertama yang sudah menjadi seperti pengganti orang tua saya sebelum saya berguru kepada mendiang Suhu Ciu Lam Hok.”

“Baiklah, Yo Han,” kata Gan-taijin (Pembesar Gan) mendahului agar ibunya tak sempat mengeluarkan ucapan yang sifatnya memaksa atau menyudutkan pemuda itu. “Kami sekeluarga akan menanti berita darimu setelah engkau dapat membuat keputusan.”

“Terima kasih, Paman. Sekarang saya mohon diri untuk melanjutkan perjalanan saya.”

Setelah memberi hormat lagi, Yo Han mulai melangkah keluar. Akan tetapi terdengar suara nenek Ciu Ceng, “Ingat, Yo Han. Kami sudah menganggapmu sebagai calon suami cucuku Bi Kim. Kami akan menolak pinangan dari mana pun juga datangnya dan selalu menunggumu!”

Gan Seng dan isterinya tidak sempat mencegah dan ucapan itu berkesan dalam sekali di hati Yo Han. Mereka sudah menganggap dia tunangan Bi Kim dan ini berarti bahwa gadis itu tidak bebas lagi! Dia ingin membantah, akan tetapi merasa tidak enak, maka merasa lebih aman tidak menjawab dan melanjutkan langkahnya pergi meninggalkan rumah keluarga pembesar tinggi itu.

Setelah Yo Han pergi, sampai dua hari lamanya Gan Bi Kim tidak pernah meninggalkan kamarnya. Ia merasa semangatnya melayang ikut pergi bersama pemuda yang sangat dikaguminya dan yang telah menjatuhkan cinta hatinya itu. Ia merasa kehilangan, apa lagi karena jawaban pemuda itu membuat dia tidak yakin akan perjodohannya dengan pemuda itu.

Setelah dapat menenteramkan hatinya, ia lalu menghadap ayahnya dan merengek agar ia dicarikan guru-guru silat yang pandai karena ia ingin belajar ilmu silat.

“Ahhh, engkau ini aneh-aneh saja, A-kim,” kata ayahnya sambil mengerutkan alisnya. “Engkau seorang puteri bangsawan, engkau sudah mempelajari semua ilmu kepandaian yang sepatutnya dimiliki seorang puteri. Apa lagi yang hendak kau pelajari? Apa lagi dari seorang guru silat? Ilmu silat hanya akan membuat telapak tanganmu yang halus menjadi kasar, tubuhmu yang lembut menjadi kaku!”

“Ayah, lupakah Ayah akan mala petaka yang baru saja menimpa keluarga kita? Semua itu terjadi karena kita lemah! Untung ada Han-ko datang menolong. Andai kata tidak, bagaimana? Coba andai kata aku pandai ilmu silat, tentu sudah kuhajar Coan Ciangkun yang jahat itu. Ayah, kalau aku pandai ilmu silat, setidaknya aku akan dapat menjaga keamanan keluarga kita.”

“A-kim,” kata ibunya membujuk. “Aku ingin anakku menjadi seorang wanita yang halus lembut dan bijaksana, bukan menjadi tokoh rimba persilatan yang kaku dan kasar!”

“Tetapi Ibu agaknya lupa bahwa Koko Yo Han juga seorang tokoh rimba persilatan, seorang pendekar yang mempunyai ilmu silat yang amat tinggi. Bagaimana kalau aku dijodohkan dengan dia lalu sama sekali aku tidak tahu ilmu silat, bahkan hanya seorang gadis yang sangat lemah? Ingatlah, Ayah. Bukankah Uwa kakek Ciu Lam Hok adalah seorang sakti? Masa aku sebagai cucu keponakannya tidak mengerti ilmu silat? Ayah, carikan guru silat yang lihai untukku!”

Alasan-alasan yang dikemukakan puteri mereka yang setiap hari merengek itu akhirnya menggerakkan hati Gan Seng. Sebagai seorang pejabat tinggi yang dekat dengan istana, Gan-taijin mengenal para jagoan istana yang memiliki ilmu silat tinggi. Dia lalu menghubungi para jagoan itu dan mulai hari itu, Gan Bi Kim belajar ilmu silat dan ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik di samping ketekunan yang luar biasa. Ketekunan itu timbul setelah keluarga tertimpa mala petaka, setelah dara ini bertemu dengan Yo Han yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Dengan bayaran tinggi yang dapat dipenuhi oleh Gan Seng, guru-guru silat jagoan istana itu bertambah gembira melihat betapa gadis puteri bangsawan itu ternyata memiliki bakat yang amat baik dan dapat menjadi murid yang akan menambah tinggi derajat mereka. Bahkan banyak jagoan istana seperti berlomba untuk mengajarkan ilmu-ilmu mereka kepada gadis bangsawan yang berbakat dan amat rajin ini.....

********************

Bangau Merah terbang di angkasa
disengat terik matahari senja
betapa ingin aku menjadi awan
untuk melindunginya,
dari sengatan!

Bangau Merah melayang di angkasa
hujan lebat datang menimpanya
betapa ingin aku menjadi goa
tempat berteduh bangau jelita!

Bangau Merah meluncur di angkasa
letih dan lapar datang menggoda
betapa ingin aku menjadi ranting berbuah
tempat ia istirahat dengan makanan berlimpah

Bangau Merah...


“Heiiii! Engkau sedang mengapa di situ, Suheng? Dari tadi kudengar menyebut-nyebut nama samaranku. Engkau dari tadi menyebut Bangau Merah!”

Gadis itu muncul dan memang dia berpakaian serba merah dengan garis-garis kuning dan biru. Pakaian itu ringkas, sederhana bentuknya, tetapi terbuat dari sutera merah yang membuat penampilannya amat cerah dan wajahnya nampak lebih manis, kulitnya menjadi semakin mulus.

Dia seorang gadis berusia tujuh belas tahun, baru manis-manisnya, bagai bunga mulai mekar dan bagaikan buah sedang meranum. Dara ini memang cantik jelita, dengan wajah yang berbentuk bulat telur, matanya lebar dan jeli, hidungnya mancung dengan ujung menantang, mulutnya yang kecil dengan bibir tipis lembut yang selalu kemerahan tanda sehat itu selalu tersenyum mengejek sehingga sering kali lesung kedua pipinya nampak memikat.

Memang sejak kecil ia disebut Bangau Merah karena ia suka sekali memakai pakaian berwarna kemerahan dan ia puteri tunggal Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong yang sangat terkenal itu. Kalau ayahnya hampir selalu mengenakan pakaian putih, dara ini selalu mengenakan pakaian berwarna merah. Namanya Tan Sian Li.

Seperti telah kita ketahui, Sian Li diminta oleh paman kakeknya, yaitu pendekar sakti Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, untuk mewarisi ilmu silat mereka. Suma Ceng Liong adalah adik dari nenek Sian Li yang bernama Suma Hui, yaitu nenek dari ibunya.

Meski pun ayah Sian Li sendiri seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan tidak kalah dibandingkan ilmu kepandaian Suma Ceng Liong, namun dia dan isterinya merasa tidak enak untuk menolak niat baik paman mereka itu. Apa lagi, Suma Ceng Liong merupakan keturunan dari keluarga Pendekar Pulau Es dan memiliki ilmu kepandaian yang khas, sedangkan isterinya juga seorang pendekar wanita sakti, puteri dari Pendekar Suling Emas Kam Hong.

Telah lima tahun Sian Li digembleng oleh suami isteri itu di dusun Hong-cun, luar kota Cin-an di Propinsi Shantung. Setiap satu tahun sekali, jatuh pada hari tahun baru, ayah ibunya, yaitu Tan Sin Hong dan Kao Hong Li, selalu datang berkunjung.

Melihat bakat yang baik dari Sian Li, apa lagi karena dara ini sejak kecil telah mendapat pendidikan dasar yang amat kuat dari ayah ibunya, maka suami isteri itu mengajarkan ilmu-ilmu silat simpanan mereka kepada dara itu sehingga selama belajar lima tahun lamanya, Sian Li sudah menjadi seorang gadis yang amat lihai. Bahkan kelihaiannya melampaui tingkat yang dimiliki suheng-nya, yaitu Liem Sian Lun.

Pemuda berusia dua puluh tahun yang bersajak tadi adalah Liem Sian Lun, suheng-nya. Sian Lun kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang bertubuh tinggi besar, gagah dan tampan. Wajahnya selalu cerah dan dia pun pendiam tidak banyak bicara, kecuali kalau diajak bicara tentang sajak. Dia amat suka dan pandai membuat sajak.

Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, memang tidak mengabaikan pendidikan sastra terhadap Sian Lun dan Sian Li. Mereka mengundang guru sastra yang pandai untuk mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada dua orang murid itu.

Senja itu memang cerah dan indah. Sejak tadi sebelum Sian Li mancari, Sian Lun sudah duduk termenung seorang diri di lereng bukit yang berada di luar dusun Hong-cun itu. Tempat ini merupakan tempat kesayangannya, di mana dia dan sumoi-nya sering kali bermain-main sejak Sian Li berusia dua belas tahun dan datang ke tempat itu.

Bukit yang tidak besar, namun berada di lereng bukit itu, pemandangan alamnya amat indah. Mereka dapat melihat dusun Hong-cun di kaki bukit dan mereka dapat menikmati keindahan senja kala di situ karena lereng bukit itu berada di sebelah barat.

Ketika tadi melihat keindahan senja yang cerah, melihat burung-burung bangau terbang melayang di angkasa melintasi matahari senja, agaknya hendak pulang ke sarangnya, teringatlah Sian Lun kepada sumoi-nya. Sumoi-nya itu diberi julukan Bangau Merah oleh suhu dan subo-nya. Julukan yang tepat sekali oleh karena sumoi-nya selalu berpakaian merah. Sumoi-nya juga puteri Pendekar Bangau Putih dan jika sudah bersilat, gerakan sumoi-nya demikian indah, seindah gerakan burung bangau yang sedang terbang.

Maka, keindahan dan lamunan telah membuat dia bersajak tentang bangau merah dan tentang keinginan hatinya untuk menjadi pelindung bagi Sang Bangau Merah! Sajak ini merupakan cetusan hatinya karena diam-diam Liem Sian Lun telah jatuh cinta setengah mati kepada sumoi-nya, Si Bangau Merah!

Walau pun dia belum berani menyatakan isi hatinya secara berterang kepada Sian Li, namun dia sudah yakin bahwa sumoi-nya tentu tak akan menolak cintanya. Dia bahkan sudah yakin bahwa kelak sumoi-nya pasti akan menjadi isterinya, dan diam-diam dia menganggap sumoi-nya telah menjadi tunangannya!

Keyakinan ini diperkuat ketika secara tidak sengaja dia mendengar percakapan antara suhu dan subo-nya dari luar kamar mereka. Ketika itu, pada malam hari, dia lewat di depan kamar mereka dan suara mereka menembus jendela kamar sehingga tertangkap oleh pendengarannya.

“Kebetulan nama mereka juga mirip. Sian Lun dan Sian Li! Akan tetapi bagaimana kalau orang tuanya tidak setuju?” terdengar suhu-nya berkata. Mendengar namanya disebut, Sian Lun memperlambat langkahnya dan mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Aku percaya keponakanku tentu akan setuju. Apa lagi kalau kita jamin bahwa Sian Lun adalah seorang anak yang baik sekali. Kulihat mereka itu berjodoh.”

“Aihh, jodoh di tangan Tuhan. Jangan mendahului kehendak Tuhan,” kata suhu-nya dan mereka pun tidak bicara lagi.

Sian Lun tidak berani berhenti, hanya memperlambat jalannya sehingga andai kata suhu dan subo-nya mendengar tangkahnya, tentu mereka tidak akan menduga bahwa dia ikut mendengarkan percakapan mereka. Dan sejak mendengar percakapan itu, beberapa bulan yang lalu, dia merasa yakin bahwa Sian Li kelak pasti akan menjadi isterinya!

Akan tetapi, Sian Li amat manja dan lincah galak. Apa lagi ia tahu betapa suheng-nya amat menyayangnya, juga kakek dan nenek yang menjadi gurunya. Terhadap Sian Li, Sian Lun agak takut dan penurut, dan hal ini membuat Sian Li semakin manja. Sikap manja yang di dalam pandangan Sian Lun bahkan membuat dara itu menjadi semakin menggemaskan dan menarik hati.

Cinta birahi kalau sudah mencengkeram hati seseorang, membuat orang itu menjadi badut. Ulah tingkahnya menjadi lucu dan tidak wajar lagi. Mulut cemberut seorang yang dicinta akan nampak semakin manis, bahkan ada pula kelakar yang kasar mengatakan bahwa kentut seorang kekasih berbau sedap! Sebaliknya, senyum ramah seorang yang dibenci akan nampak mencemooh dan dianggap senyum itu mengejek dan mentertawai sehingga menimbulkan amarah!

Sian Lun terkejut ketika dia sedang melamun dan membaca sajak yang timbul di saat yang romantis itu, tiba-tiba dia ditegur oleh Sian Li yang kemunculannya tidak diduga sebelumnya. Saking kagetnya dia hanya menoleh dan memandang kearah dara yang nampak lebih cantik dari pada biasanya itu, segar habis mandi seperti setangkai bunga bermandikan embun.

Melihat pemuda itu tak menjawab pertanyaannya dan hanya bengong memandangnya, Sian Li cemberut.

“Heiii, Suheng, engkau ini kenapa sih? Tadi menyebut-nyebut Bangau Merah berulang kali, sekarang engkau hanya bengong tanpa menjawab pertanyaanku!”

“Sumoi... aihh, engkau... engkau demikian cantik... indah sekali, ahh, pantasnya engkau seorang dewi kahyangan yang baru turun melalui cahaya yang keemasan...”

Kalau saja tidak timbul kebanggaan oleh pujian ini, tentu Sian Li sudah tertawa geli. “Ahhh, yang benar, Suheng!” katanya memancing pujian lebih banyak.

Sian Lun benar terpesona dan matanya menatap tanpa pernah berkedip, seolah takut kalau berkedip, keindahan di depannya itu akan lenyap. Dara itu berdiri menghadap matahari senja, sepenuhnya diselimuti cahaya keemasan.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar