Kisah Si Bangau Merah Jilid 26-30

Kho Ping Hoo, Kisah Si Bangau Merah Jilid 26-30 "Ucapan Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!"
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!" mendadak terdengar suara lantang.

Ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.

"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun merasa heran ketika ada berita bahwa pemerintah Tibet tidak mau menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui pemerintahan penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dahulu dengan jelas seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."

Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di antara orang-orang Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.

Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu! Nampaknya masih sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-bin-houw.

Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah membebaskan dia dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai, bahkan melukai paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang ke arah pengemis itu penuh perhatian.

Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk melenggut saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia bicara tanpa bangkit berdiri.

"Siapa yang bicara itu tadi?"

"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah selatan!" kata kakek itu dengan berani.

Namun, begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya, begitu dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main oleh karena pandang matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak tahan memandang lebih lama dan segera menundukkan mukanya.

"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai Lama sendiri mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"

Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang berkuasa sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan perjuanganmu untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"

"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk menentang Mancu," kata pengemis tua itu pula.

"Omitohud... agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab keluarga Kerajaan Bhutan masih ada hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi, sudah menikah pula dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah Mancu pula."

"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.

"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya beribu Mancu, bahkan keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianat-pengkhianat bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"

Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ia sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir.

Sian Li sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah keluarga Kao keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya ialah keluarga Suma, keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng Liong, dimusuhi mereka.

Dengan menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan sumoi-nya. Ia duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan ke arah pihak tuan rumah bersinar penuh kemarahan.

"Sekarang kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, agar jangan sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama dari Pek-lian Sam-li.

Semua orang memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-li-pang itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal sangat gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.

Bahkan dua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?

"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thian-li-pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"

"Itu memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"

"Benarkah itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."

"Huh, mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki perasaan setia kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami seperti yang dilakukan oleh Thian-li-pang."

"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han bercampur Nepal, karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.

"Kami berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw itu.

Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan suara mendesah. "Pangeran, harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"

"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"

Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak membantu kalian menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan membantu kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"

Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu menghampiri sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!

Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum. Setelah pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan hanya mukanya menjadi kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada orang yang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.

Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui memuji.

Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami untuk Nona bertiga!"

Sekarang Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu ia pun berkata, "Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya telah siap untuk bekerja sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!" Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.

Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Saat itu pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit dan berbicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.

"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar. Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh pendekar di dunia persilatan sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."

"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika Thian-li-pang masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw. Bahkan putera kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh murid Pek-lian-kauw. Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"

Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.

"Ha-ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"

Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya dengan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.

"Kami bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.

Melihat kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka ia pun harus melindungi dan membela suheng-nya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.

"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela kehormatan dan nama dua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"

Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian besar mendendam terhadap kedua keluarga besar itu segera menjadi gaduh.

"Bunuh pengkhianat!"

"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"

"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"

Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai mana kalau aku saja yang menghadapi nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"

Lulung Lama menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju keroyokan," katanya.

"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian Sam-li dan tiga orang wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang manis.

Melihat ini, Gulam Sing tertawa.

"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya? Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini di depan banyak orang tanpa malu-malu mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.

"Pangeran, mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap lawan tanpa melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut kehendak yang menang. Setuju?"

Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing mengangguk, "Setuju!"

Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka sekarang berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut pedang mereka.

"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.

Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan sabit. Melihat lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan serangan yang dahsyat sakali.

"Tranggg...!"

Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan kuatnya tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang itu terpental sedangkan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.

Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung dengan membentuk barisan Segi Tiga. Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali untuk dapat mengarahkan serangannya.

Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang wanita itu, pikirnya.

Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya. Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga gulungan sinar pedang lawan.

Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap, mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambar-nyambar. Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.

Baik Gulam Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu menggerakkan tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.

Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.

Ia melihat seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riap-riapan ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan dia tidak membawa senjata apa pun.

"Sin-ciang Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini sudah berada di situ. Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.

Lulung Lama mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu. Dia mencoba untuk menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke depan dada dan memberi hormat.

"Omitohud...! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri rapat pertemuan yang kami adakan ini?"

Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku. Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."

Lulung Lama mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa diundang ini?"

Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek-I Lama tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah banyak dia mendengar tentang kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai banyak anak buah, bahkan ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.

Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap karena semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal namanya.

Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun menjawab, suaranya masih lembut seperti tadi.

"Lulung Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai pertandingan adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."

Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi tamunya.

Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku Miao. Biar pun kami telah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sin-ciang Taihiap!"

Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun tubuhnya nampak kokoh kuat dan wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.

Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.

Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja, semua orang menjadi semakin tegang.

"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."

Semua orang tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.

Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Taihiap! Mutiara Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang lain!"

"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi pesan pemiliknya."

"Sin-ciang Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan tetapi aku tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu mengalahkannya."

Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah mutiara hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku akan menandingi pendekar yang sombong ini!"

Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian mereka berdua mengamati benda itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.

Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor beruang menubruk mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya dengan ringkusan atau bantingan.

Sin-ciang Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh saja dan bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu tertangkap lawan!

Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak disentakkan. Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh, dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke atas!

Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu. Jangankan memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti sebatang baja yang sangat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya dengan mudah!

Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.

Thong Nam tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi segera menerjang lawannya.

Sekali ini dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.

Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja, namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.

"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.

Tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping itu!

Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.

Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.

Sementara itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam, seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang Taihiap. Dilihatnya betapa tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.

"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"

Melihat suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk membantu. Melihat ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.

"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"

"Tahan!" Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku, dan mengenai kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."

Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Taihiap.

"Hemmm, Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda sudah mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau gunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han, apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami akan mengangkatmu sebagai panglima besar."

Dengan sikap yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar suaranya yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu, perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah air dan bangsa, tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanyalah menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu dapat pula meneliti diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"

"Sin-ciang Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah pemberontak terhadap pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka! Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"

"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap. "Sin-ciang Taihiap, harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"

Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah, "Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun telah mengepung dan menyerang Sian Lun dengan pedang mereka.

"Gadis ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Taihiap.

Sebelum Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah diserang oleh dua orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu meyerang dengan sabuk baja yang pada kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan dan tepinya bersirip tajam.

Pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet, beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!

Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau melukai lawan, apa lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!

Keadaan Sian Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan gigih. Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi lawan-lawan mereka untuk segera meraih kemenangan.

Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu kepandaian tingkat tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru kini mereka berhadapan dengan seorang lawan muda yang dapat menahan pengeroyokan mereka bertiga!

Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang gurunya, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang, kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.

Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat, maka tiga orang wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami kesulitan.

Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan suheng-nya itu karena gadis ini menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.

Akan tetapi, karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar pun demikian, karena pangeran Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak mudah dapat menundukkannya.

Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu tangan merah.

Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia baru tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.

"Iblis-iblis betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang dengan nekat, akan tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung.

Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.

Sian Li mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah tertawan, ia menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung bangau dia sudah mengirim tujuh kali tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.

Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah Sian Lun.

Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun bergerak ke arah Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah mereka itu!

Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki menendang! Keadaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.

Pada saat itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim tendangan beruntun kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!

Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya sedang melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Bila kaki pangeran itu dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!

Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Taihiap dengan ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar lengan kiri Sian Li dan berseru,

"Mari kita pergi!"

"Tidak, Suheng-ku...!"

Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Taihiap dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil melepaskan lengan kirinya yang terpegang.

Sian Li merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis berkerut sambil bersungut-sungut. Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!

Agaknya, semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap Sin-ciang Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi, mereka telah berhasil menawan seorang dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani mengganggu mereka lagi.

"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat membantu, hal itu amat menguntungkan."

Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil saling pandang dengan dua orang adiknya.

"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."

Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"

Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati untuk membayar kekalahanku."

"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw termuda.

Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.

"Pangeran, mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama berkata kepada pangeran itu.

"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal, tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan Sin-ciang Taihiap tadi?"

"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama sekali," kata Lulung Lama.

"Sungguh mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah mencoba dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.

Jika semua orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja. Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu berbahaya sekali, karena itu kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian Tok-ciam!"

"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."

“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tlan Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sin-ciang Taihiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati dan suruh anak buah melakukan penjagaan ketat."

Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tidak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk menjaga dan menundukkannya. Dan tiga orang wanita itu dengan wajah berseri-seri lalu mengajak Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri.....

********************
"Cukup, berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil.

Mereka kini berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya lagi dan melepaskan lengan kiri Sian Li.

Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Dia menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.

"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah karena marah dan penasaran. "Kenapa?"

Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut, "Karena aku tidak ingin melihat engkau tewas di sana."

"Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah.

Pendekar itu tidak menjawab, malah melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marah-marah, akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia menjadi heran dan mengikuti dari belakang.

Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah goa besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki goa, Sian Li mengikuti dan ternyata goa itu terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki goa, pendekar aneh itu lalu duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.

Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biar pun pernah beberapa kali menolongnya, akan tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa dirinya melarikan diri, sekarang malah mengacuhkannya sama sekali.

"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya semakin marah.

Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan mukanya yang tertutup rambut dan tirai.

"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.

"Buktinya, engkau hanya melarikan aku sendiri saja. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"

"Dia sudah tertawan. Kalau kubiarkan, engkau akan tertawan pula.”

“Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula atau mati sekali pun!"

Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau tentu amat… sayang kepada suheng-mu itu."

"Tentu saja! Dia Suheng-ku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"

"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suheng-mu?"

Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu.

Sin-ciang Taihiap lalu berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa aku mengajakmu melarikan diri dari sana supaya kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong suheng-mu..." Ucapan itu tidak dilanjutkan, tetapi berhenti tiba-tiba dan pendekar itu lalu menundukkan mukanya.

Sian Li masih curiga, apa lagi melihat orang itu tiba-tiba menghentikan ucapannya dan sikapnya seperti orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, belum tahu pula bagaimana wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu memang mempunyai niat yang tidak baik.

"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun hendak meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.

"Jangan! Sekarang belum boleh..."

Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia selalu mengenang Sin-ciang Taihiap yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya, membuat dia kagum dan ingin sekali bertemu. Akan tetapi setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.

“Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suheng-ku!" bentaknya.

Dia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kiri. Tangan kirinya mengenai dada orang itu dan... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung, lalu roboh!

Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah? Dia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu sudah pingsan! Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah-engah. Ketika dia menyentuh lengannya, terasa amat panas!

Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah dia bahwa tubuh orang itu sudah keracunan secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega.

Racun yang mengandung hawa panas masih lebih mudah untuk diobati dibandingkan racun berhawa dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah dia ketika Sin-ciang Taihiap tadi membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main.

Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya meraba-raba dan akhirnya ia tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.

Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu dia menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, lalu dengan ujung pedangnya yang tajam dia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka, dan ia mencongkel keluar sebatang jarum hitam kehijauan.

Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang sudah keracunan, lalu menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas serta perak yang dia dapatkan dari Yok-sian Lo-kai, kemudian melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian tubuh untuk memunahkan sisa-sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Taihiap.

Kurang lebih setengah jam dia memberi pengobatan sampai dia merasa yakin benar bahwa pendekar itu telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.

Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar, timbul keinginan hati Sian Li untuk melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain?

Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh dari pada apa yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apa lagi tak senonoh. Pendekar ini sedang menderita luka beracun yang amat parah ketika tadi menolongnya.

Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua sudah tertawan pula, atau bahkan terbunuh. Dan memang benar. Kalau pendekar itu tidak memaksanya melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk menolong suheng-nya.

Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan terlalu mencurigainya. Dan sekarang, apa salahnya kalau ia memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum siuman?

Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu pada diri sendiri bahwa dia sudah mencuri dan membuka rahasia orang, Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu menyingkap rambutnya yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan.

Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Dia terbelalak, tak bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang matanya sendiri.

"Yo Han...? Suheng... Kakak Yo Han...?"

Akan tetapi ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini adalah suheng-nya yang selama bertahun-tahun dirindukannya itu. Suheng-nya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suheng-nya sangat baik kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat biar pun ayah ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Sedangkan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.

Akan tetapi wajah ini...! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tak pernah meninggalkan lubuk hatinya. Biar pun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, tetapi bentuk muka itu tidak berubah. Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu.

Pernah ketika suheng-nya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah tahi lalat sebesar kedelai di dada suheng-nya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali dia menggoda dan memperolok suheng-nya dengan tahi lalat itu.

Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia membuka baju itu dan... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.

"Kakak Yo Han...!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia pun merangkul, menangis!

Pendekar itu membuka matanya. Ketika melihat Sian Li menangis di atas dadanya, dia mendorongnya dengan halus dan bangkit duduk. "Nona... kau..."

Tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.

"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau jadi bersikap begini terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li...!"

Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet sehingga dijuluki Sin-ciang Taihiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja sebelumnya dia sudah tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.

"Sian Li... Sumoi..." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suheng-nya ini kepadanya.

"Suheng...!" Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu!

Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua peraturan sudah terlupakan, yang ada hanyalah peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li.

Ia sendiri pun merasa terharu dan tanpa terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering ia membayangkan dan mengenang Sian Li dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.

Setelah gejolak perasaan itu mereda, dengan lembut Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu, bahkan terus memegangi kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan amat kagum. Jika ada perubahan pada diri suheng-nya ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.

"Aihhh, adikku yang dahulu begitu bengal, tabah, keras hati dan pemberani, mengapa sekarang telah berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"

Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aihhh, Han-ko, selama ini engkau ke mana sajakah? Kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahun-tahun? Bagaimana pula engkau tahu-tahu sudah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang Taihiap? Mengapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa yang menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan mengapa tidak kembali kepada kami?"

Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!

"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah melupakan suheng-mu yang ditawan oleh gerombolan Lama Jubah Hitam?"

Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ahhh, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"

Yo Han mengangguk, diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan yang sangat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.

"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita memang harus membebaskannya, akan tetapi bukan sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suheng-mu dibebaskan.”

"Tapi... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"

"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet, seperti juga orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan kini mereka mencari sekutu agar kelak dapat membantu mereka. Sebab itu jangan khawatir, suheng-mu tak akan dibunuh, mungkin bahkan dibujuk untuk mau bekerja sama dengan mereka."

Hati Sian Li merasa sangat lega. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo Han adalah suheng-nya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaan di sini sehingga keterangannya tadi pasti benar.

"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu supaya Suheng dapat terbebas dari tangan mereka. Sekarang, harap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."

Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan) karena bagaimana pun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.

"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku? Kurasakan racun itu cukup berbahaya, jika harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan memerlukan waktu paling sedikit sepuluh hari. Akan tetapi sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat mempunyai kepandaian pengobatan yang begini hebat?"

Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya. Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.

"Aku telah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan rasa bangga dan senangnya.

"Ahhh, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."

Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah, engkau mau mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga mengenai pengalamanmu dan engkau sudah memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."

Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah disangkanya ini, apa lagi melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan gagah perkasa.

Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal orang tuamu di Ta-tung..."

"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini tidak pernah kembali, Han-ko!"

Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu kenyataan dalam hidup ini, bahwa meski pun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi, melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang dibohonginya!

Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah ibu gadis itu menyatakan keinginan hati supaya Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia harus berbohong!

"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang-I Moli. Aku telah berjanji kepadanya bahwa kalau dia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimana pun juga, dia tidaklah berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.

Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia menangis dan menanyakannya. Ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang-I Moli.

"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"

"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos darinya dan aku lalu mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."

"Mencari mutiara hitam itu?"

"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu adalah milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."

"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”

Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun ia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi sekali ini rahasianya terbuka. Bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!

"Ternyata tak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita. "Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, karena itu aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak pernah memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Taihiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Taihiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."

Sian Li tertawa dan suasana menjadi akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han lalu teringat akan masa lampau. Suara tawa Sian Li itu bagaikan bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat wajahnya berseri.

"Hi-hi-hik, heh-heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu sekali, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan diri dan tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan sengaja ingin mempopulerkan julukanmu atau penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Taihiap sebagai seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau ini adalah Sin-ciang Taihiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"

Yo Han mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang, maka aku bahkan membuat Sin-ciang Taihiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang aku akan menanggalkan penyamaran diriku sebagai Sin-ciang Taihiap, dan aku akan menjadi Yo Han biasa saja...”

Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu kemudian menggelung rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya. Peraturan itu dianggapnya menghina.

"Tapi caping itu jangan dibuang, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Taihiap itu."

"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang engkaulah yang harus menceritakan kepadaku keadaanmu semenjak kita saling berpisah. Engkau kini sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."

"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid Paman dan Bibi. Selain itu, juga aku belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."

"Wah, engkau beruntung sekali, Li-moi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi bagaimana engkau dan suheng-mu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"

"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Han-ko."

"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"

Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama dan sekutunya.

Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat sederhana, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam goa. Mereka saling menceritakan pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan.

Setelah lewat tengah malam, baru mereka istirahat dan tidur sesudah saling mengetahui hampir semua keadaan diri masing-masing. Hanya ada satu hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu tentang hubungan batin antara Sian Li dan suheng-nya.

Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih dari pada itu? Mereka adalah seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik, melakukan perjalanan berdua saja. Tak ada anehnya bila mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka.

Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta suheng-nya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran. Suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya saja, dia merasa heran dan tidak enak, mengapa hatinya menjadi pedih kalau membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling mencinta dan menjadi jodoh?

Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas.....

********************

Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak jauh dari goa itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api unggun, kemudian mereka pergi meninggalkan goa.

"Kita harus menolong suheng, Han-ko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.

"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Taihiap. Dan aku akan minta dengan hormat kepada mereka untuk mau membebaskan suheng-mu."

"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana jika mereka tidak mau menuruti permintaanmu?"

"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai kegagahan. Bila perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka harus memenuhi permintaanku."

"Kalau kau kalah?"

"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh melakukan apa saja terhadap diriku."

"Tapi... itu berbahaya sekali, Han-ko!"

Yo Han tersenyum. "Aku tahu, Limoi. Semenjak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku sudah terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Tetapi, hidup seperti apakah yang tidak berbahaya? Hidup itu sendiri sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup merupakan suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi semua tantangan itu, semua bahaya itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia langsung menghentikan langkahnya, memandang kepada pemuda itu. "Ehhh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita ini memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah bahaya dan tantangannya?"

Yo Han tersenyum, "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi? Tantangan itu dapat datang dari kemiskinan, dari kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarga, dari kerukunan keluarganya. Orang bisa ditantang oleh kekurangan makan, pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi. Kita tidak mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, yaitu urusan jasmani, urusan duniawi."

"Hemm, kalau begitu orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan kesulitan..."

"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan masih ditambah lagi. Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tak berkurang atau lenyap, selalu khawatir akan kehilangan. Demikian pula dengan orang berkedudukan yang selalu berusaha mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan, menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tak ada tantangan yang harus ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah. Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"

Mata Sian Li terbelalak, kemudian tertawa. "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat, akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"

"Li-moi, jika bicara mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya? Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, dan bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu dan mengerti akan kenyataan di dalam hidup ini. Sampai sekarang pun aku tidak suka akan kekerasan, Li-moi, karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun, menghadapi tantangan di dalam kehidupan ini, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk menanggulanginya, dn seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja digunakan melalui garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suami isteri yang bijaksana. Apa lagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti Yok-sian Lo-kai."

Sian Li mengangguk-angguk kagum. "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kau katakan semua tadi, Han-ko..."

"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Taihiap..."

Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang lagi adalah seorang pemuda.

Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan lima orang gundul itu adalah lima orang anggota Hek-I Lama.

"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li pun sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo Han menyentuh lengannya,

"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."

Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu tersenyum, sedangkan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung.

“Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Taihiap."

Sian Li tersenyum mengejek. "Hemm, keparat busuk, andai kata aku tahu sekali pun tak akan sudi aku memberi tahukan kepadamu!"

"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Taihiap, apa kau kira akan mampu lepas dari tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Taihiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat muka pendekar itu."

"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang hendak kau sampaikan kepada Sin-ciang Taihiap, dan kamilah yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.

Cu Ki Bok memandang pada Yo Han dengan alis berkerut. Jelas bahwa ia memandang rendah kepada pemuda itu. Dia tidak mengenalnya, tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis yang dirindukannya.

"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesan untuk Sin-ciang Taihiap kepada kamu?"

Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, gembira bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa perlu menyembunyikan wajah aslinya dan orang itu tetap tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li tadi malam. Sin-ciang Taihiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!

"Namaku Yo Han. Aku orang biasa saja, akan tetapi aku sudah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah, katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."

Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek. "Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Taihiap? Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan serigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng-ku ditawan karena keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suheng-ku, aku akan membasmi kalian semua, tak seorang pun kubiarkan hidup!"

Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli. "Ha-ha-ha, kau mengira suheng-mu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat. Kami adalah pejuang-pejuang yang memiliki cita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona dan suheng Nona itu? Dan sekarang suheng-mu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup bersenang-senang. Hemm, suheng-mu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai iri melihat dia bersenang-senang seperti itu..."

"Kau bohong!" Sian Li membentak, tetapi diam-diam dia ingin sekali tahu kesenangan apa yang dimaksudkan oleh orang itu.

"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami untuk bicara dengan Sin-ciang Taihiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."

"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Taihiap," kata Sian Li. "Sampaikan saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."

Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa dia memang merasa jeri untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu.

"Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu." Cu Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li berubah, merah karena marahnya.

"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Taihiap karena Taihiap sudah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah, katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya membunuhmu di sini juga!"

Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Taihiap muncul membantu nona itu. "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Taihiap untuk mengadakan pertandingan adu ilmu..."

"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang, bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.

"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek (Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang mempunyai kedudukan tinggi. Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang Taihiap dan sekarang ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Taihiap. Kalau Sin-ciang Taihiap mampu menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."

"Hemmm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak dijanjikan, aku tak sudi menyampaikan kepadanya."

"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan diserahkan kepada Sin-ciang Taihiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang Taihiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."

Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata, "Han-ko, bagaimana dengan pendapatmu? Biar pun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku, akan tetapi aku ingin menanyakan pendapatmu sebelum menerima syarat itu."

Yo Han mengangguk-angguk. "Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."

Sian Li mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Han-ko. Nah, Cu Ki Bok, akan kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Taihiap. Aku ulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam harus diserahkan kepadanya dan Suheng-ku harus dibebaskan, tapi kalau Dobhin Lama yang menang, Sin-ciang Taihiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan itu, lalu kapan dan di mana pertandingan itu akan diadakan?"

Cu Ki Bok tersenyum. "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika mengajak Sin-ciang Taihiap mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Taihiap untuk menentukan waktu dan tempatnya."

"Kalau begitu sekarang juga!" Sian Li berkata dengan cepat.

Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri.

Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek-I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit itu tentu merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek-I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.

Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan melapor kepada ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek sudah berada di puncak bukit itu. Harap saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ diikuti lima orang pendeta Lama.

"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"

"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ke tempat itu sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Han-ko, untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."

Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermain-main itu, kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa bangga.

Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun hanya terdapat pada kaki bukit.

Begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walau pun bukit itu tidak terlalu besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga kalau ada pihak musuh yang melihatnya, Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya lagi, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.

Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ! Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru, mungkin baru beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun kokoh kuat. Di belakang dan kanan kiri pondok itu terlihat ditanami sayur-sayuran. Di depan pondok, ada sebuah taman yang penuh bunga indah dan amat menyedapkan pandang mata.

Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan mereka bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di tempat sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.

Pada waktu dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita, "Berhenti! Siapa kalian yang berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang?!"

Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika pemilik suara muncul, mereka memandang heran.

Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak cantik dan manis. Pakaiannya sederhana namun bersih dan ringkas. Tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah. Sebatang pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah. Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak berbentuk bunga seruni.

Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.

Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya. Ia pun tersenyum manis.

"Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di puncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?"

Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah. "Kau bocah lancang mulut!"

Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan Sian Li. Gerakannya demikian ringan, seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, dia menggerakkan tangan menampar ke arah pundak gadis itu.

Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin menyambar ke arah pundak SianLi. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sinkang (tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput.

Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li. Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri kebelakang sehingga pukulan kedua itu pun luput.

"Ehhh...?!"

Wanita itu nampak amat terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan siap untuk menyerang sungguh-sungguh, akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.

"Ibu, harap jangan pukul orang...!"

Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari pintu pondok, ia cepat mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran.

"Ciang Hun, mengapa engkau bangun? Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun hawa murni agar engkau sembuh benar!"

Pemuda itu tersenyum, "Ibu, aku sudah sembuh."

Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan langsung merangkul pundak pemuda itu dengan pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada puteranya.

Seperti Yo Han, sekarang ia pun memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.....

Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Pada saat itu, wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.

Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat dua tangan di depan dada sebagai penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.

"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang-orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai semua orang. Jika boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"

Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita, setengah tua itu tidak bersalah, apa lagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.

"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami sudah lancang memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, tetapi karena keinginan tahu siapa penghuni rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."

Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah ibuku. Baru beberapa bulan lalu kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, namun siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biar pun kami berhasil mengusir mereka, aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."

"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis bertongkat hitam?" tanya Sian Li.

Gak Ciang Hun memandang pada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa terpesona dan sangat kagum. Gadis ini bukan saja lincah jenaka, akan tetapi sudah mampu menyambut dua kali pukulan ibunya. Selain itu, ternyata gadis itu juga amat cantik jelita dan nampaknya cerdik bukan main.

"Nona, bagaimana Nona dapat mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok, terdapat tiga macam orang itu!"

"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu. "Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari ilmu Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga pendekar Pulau Es."

Wanita itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li, sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang pada gadis itu.

"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"

Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani sekali. Dia tersenyum mengejek. "Bibi, engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, mengapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"

Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibuku menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa amat terkejut dan heran sekali mendengar bahwa Nona mengenali ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmu-ilmu Pulau Es?"

Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sinkang, lalu tamparan kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang. Namun setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."

Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Jika begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar Pulau Es?"

"Katakan lebih dahulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap ‘jual mahal’ untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.

"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es ini dari mendiang kakek kami," jawab Ciang Hun.

"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"

"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."

Sekarang Sian Li terbelalak. "Aihh...? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?"

Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es.

"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga sudah meninggal dunia pula kurang lebih setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal sementara."

Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu. "Kalau begitu, maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang cukup dekat..."

"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan. "Engkau sudah mengetahui siapa adanya kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga Pulau Es."

"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku yang bernama Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."

Wanita itu membelalakkan matanya. Wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh... kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu, sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada hubungan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu meninggal dunia..."

Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.

"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan lagi. Kita semua pun akan mengalaminya, dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi, setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Bila Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya malah hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."

"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata yang bersinar-sinar. "Masih begini muda tetapi telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggota keluarga Pulau Es?"

"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di pekarangan saja? Anak-anak baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.

Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dulu bernama Souw Hui Lian, yaitu murid dari sepasang pendekar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada dua orang gurunya, dan demikian pula sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak Ciang Hun.

Sepasang Pendekar Gak yang berjulukan Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu merupakan putera tunggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng Lokai.

Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah menjadi seorang pemuda perkasa berusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan akhirnya memilih bukit itu sebagai tempat tinggal.

Mereka sekarang duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun sendiri. Sederhana namun kokoh.

"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"

Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini pun maklum akan perasaan hati Yo Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."

Mendengar ucapan Sian Li itu, Yo Han lalu mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng atau yang selalu menyembunyikan wajahnya dan disebut Sin-ciang Taihiap, bukan karena dia sengaja. Dia merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam.

Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang kejahatan membuat nama Sin-ciang Taihiap terkenal. Bila mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Taihiap pun akan lenyap bersama dia.

Terhadap orang-orang golongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasia dirinya itu, apa lagi saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin pula mereka akan melakukan kecurangan. Dia tak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena Sian Li terlibat. Jika ada dua orang ibu dan anak yang juga berkepandaian tinggi ini bisa saling bantu dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.

"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di saat saya kecil, saya pernah menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Yo Han berhenti, tidak tahu harus menceritakan apa lagi. Melihat ini, Sian Li lalu membantunya.

"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu lagi di tempat ini! Bukankah hal itu amat mengherankan dan membawa kebahagiaan?”

Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Memang sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"

"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan lebih dahulu siapa gurunya kalau bukan keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.

"Ahh, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan dengan para murid Pulau Es...," kata Yo Han merendah.

Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini, akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, bukan? Ataukah belum pernah?"

"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, tapi tidak mengetahui siapa sebetulnya pendekar itu karena dia selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.

"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han.

Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. "Saya tak sengaja menggunakan nama julukan seperti itu...," katanya. “Saya mohon setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian Li, Jiwi akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Taihiap."

Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki kesaktian yang luar biasa, dan sekarang orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberi tahu, tentu mereka tidak akan percaya.

Ciang Hun cepat-cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"

Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua) menghendaki bersahabat dengan saya."

"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biar pun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan tirai caping dan rambut. Dan biar pun dia penentang kejahatan yang gigih, tapi dia tidak suka akan kekerasan. Apa lagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"

"Ihh, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.

"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian bisa saling berjumpa di tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.

"Bibi, aku sedang bersama seorang Suheng-ku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian Lun..."

"Ahhh, kakakmu?" tanya Ciang Hun.

"Bukan, Toako, meski pun namanya mirip dengan namaku. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi suheng-ku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."

"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.

"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi," Sian Li menjelaskan.

"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng-mu itu?"

"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek-I Lama dan para anggota pengemis tongkat hitam. Kami lalu bentrok dengan mereka sehingga Suheng tertawan. Kalau tidak muncul Sin-ciang Taihiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka tawan."

"Wah, wah! Kalau begitu kita harus cepat menolong suheng-mu itu! Kita harus segera membebaskannya dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa gembira dan kagum. Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.

"Benar, kita harus cepat membebaskan suheng-mu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.

"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka amat banyak, merupakan persekutuan, lagi pula di antara para pimpinan Hek-I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi."

Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia makin yakin bahwa gadis yang ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suheng-nya sendiri.

"Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suheng-mu, " katanya dengan nada suara penuh keyakinan.

"Kebetulan kita bisa saling berjumpa di sini," berkata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka. Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka untuk membebaskan suheng-mu itu, Sian Li."

"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Tetapi, Ketua Hek-I Lama sudah menantang Sin-ciang Taihiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan membebaskan Suheng-ku dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang Taihiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."

"Ahh, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.

"Benar, Toako, Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian. Tentu saja kami tidak tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek-I Lama, Han-koko akan menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap."

"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.

"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan sampai kami terjebak dan terkepung."

Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya. Bagai seorang pemimpin mengatur siasat, dia berkata kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.

"Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan siapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"

"Baik, Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok untuk melaksanakan perintah ibunya.

"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan diri supaya dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun telah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita dapat meloloskan diri kalau ada bahaya," wanita gagah itu menerangkan.

"Aihh, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus melarikan diri, apa lagi kita sudah saling berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."

Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama baik leluhur beserta guru-guru kalian?"

Sian Li menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."

"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan yang jahat. Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan supaya saya membantu perjuangan menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."

Sian Li tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian juga, maka aku menyetujui taruhan itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari, bukan?"

"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati, maka suheng-mu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orang-orang yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan liciknya bukan main, penuh tipu muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam begini, tidak dapat kalian hadapi hanya dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."

"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat tadi bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguik-nguik melarikan diri dengan cara pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"

"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya kita dengarkan juga pendapat Bibi Gak yang terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata berkilat.

"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti seekor anjing digebuk atau seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Apa bila bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku nekat melawan sampai mati hanyalah merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat membedakan kedua hal itu!"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan ia pun mengangguk-angguk.

"Ah, benar sekali pendapat Bibi barusan. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati, hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek-I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita pun tidak perlu melarikan diri."

Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan Yo Han telah terluka. Andai kata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suheng-nya tentu tidak ada yang akan menolongnya lagi.

Mendadak Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke puncak!"

"Apa yang kau lihat?" tanya nyonya itu.

"Ada dua orang pendeta berjubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."

"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"

"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang lain naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."

"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak main curang!"

Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, jika nanti mereka mulai memperlihatkan kecurangan, akan mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja maka kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biarlah Sin-ciang Taihiap yang keluar menandingi Ketua Hek-I Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apa bila mereka bersikap curang. Kita bersembunyi dulu dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul mendadak nanti. Yo Han, kau sambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara menggelap."

Yo Han dan Sian Li kagum sekali. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang telah berpengalaman. Bersikap tenang dan bisa mengatur segalanya dengan teliti dan tegas.

Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tak bisa percaya. Inilah Sin-ciang Taihiap yang namanya telah menggetarkan daerah perbatasan itu!

Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya, Lulung Lama, beserta Cu Ki Bok. Meski pun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, akan tetapi ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja! Dengan sikap tenang, Yo Han yang sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap berdiri di tengah pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.

Meski dia telah menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan dan menghormati orang lain. Apa lagi yang muncul di hadapannya adalah Ketua Hek-I Lama dan wakilnya, dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi hormat dan membungkuk.

"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Yo Han hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh!

Pemuda itu memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Taihiap!

Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa bergelak dan dialah yang mewakili suheng-nya bicara.

"Ha-ha-ha! Omitohud, selain lihai ilmu silatnya, kiranya Sin-ciang Taihiap juga mengenal aturan. Kami akan merasa bangga dan senang sekali kalau kelak dapat bekerja sama denganmu!"

"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara mengenai tantangan Ketua Hek-I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap kearah wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu.

Kakek yang tinggi kurus dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek-I Lama inilah yang paling lihai sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja Lulung Lama dan muridnya itu.

Pandang mata Sin-ciang Taihiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andai kata dia tidak kalah sekali pun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia diam saja menanti perintah suheng-nya.

Dobhin Lama yang telah tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Taihiap. Sebetulnya tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan sudah memesan agar sute-nya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji kepandaian Sin-ciang Taihiap.

Kini ia telah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun Dobhin Lama tidak pernah menemukan lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa gembira serta timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal, membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.

"Omitohud...!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Taihiap. Nah, majulah dan mari kita main-main sebentar."

Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu. Dia pun memberi hormat. "Merupakan suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Tetapi sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan juga menyerahkan kembali mutiara hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."

"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"

"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"

"Bagus! Janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Sekarang majulah, Sin-ciang Taihiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu."

Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak.

Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang sangat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam hal ilmu silat, tokoh-tokoh persilatan Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak seberapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sinkang yang diperkuat oleh ilmu sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali.

Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek Hoat-keng, yaitu ilmu sakti yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia sama sekali tidak mau melukai orang, bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya.

Namun, dengan menguasai Bu-kek Hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan segala macam senjata lagi. Tenaga sinkang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya, menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sinkang-nya. Bagian yang tidak dilindungi sinkang yang dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, tetapi akibat lindungan tenaga sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.

"Locianpwe, saya sudah siap," katanya.

Dia pun berdiri dengan sikap tenang. Kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan, kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kirinya. Inilah jurus yang oleh gurunya dinamakan jurus ‘Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus’.

"Sin-ciang Taihiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"

Yo Han menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tak ingin membunuh siapa pun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."

"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang terlalu tinggi hati? Nah, pinceng telah mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"

Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak, maka terdengarlah sambaran angin yang berdengung bagaikan ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang!

Yo Han telah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser, maka sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat dan mengandung hawa panas.

Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya. Karena itu, Yo Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang bertubi-tubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali.

Akan tetapi, Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian kuatnya, membuat rambutnya yang panjang itu berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai terbuka dan dapat memperlihatkan mukanya.

Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah padanya sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?

"Sin-ciang Taihiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang terlalu lemah bagimu?"

"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan membalas, Locianpwe."

"Bagus! Nah, sambutlah ini!"

Kakek itu kembali menyerang. Tongkatnya membuat gerakan berputar dengan ujungnya membentuk lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu tiba-tiba ujung itu meluncur kearah dada Yo Han!

Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan mempergunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk memutar lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu. Ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang amat hebat. Salah satu di antara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mukjijat yang menolak semua hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi pun ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!

"Plakkk!"

Tangkisan yang disertai tenaga sinkang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung di dalam serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang, dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah!

Keduanya saling pandang dengan rasa kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan paling tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa girang dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi lawannya yang hebat itu.

Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan itu bergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok.

Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Taihiap, karena kalau hal itu terjadi, mereka pasti kalah. Apa lagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan itu, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.

Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum bukan main. Walau pun lawannya sudah tua sekali, tetapi semua serangan balasannya bagai membentur tembok baja yang amat kuat, yang sukar sekali ditembus.

Mereka saling serang dan saling desak, tapi tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih sudah terlewat! Dan selama itu, keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka sekarang tidak lagi mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sinkang.

Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah mandi keringat dan napasnya mulai terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas sekali.

Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan jurusnya yang terhebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.

Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya, mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.

"Brakkkk...!"

Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.

"Omitohud... pinceng mengaku kalah...!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama. "Sute... bebaskan pemuda itu..."

Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya, kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"

Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat. Hatinya merasa terharu dan juga kagum sekali. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe sudah mengalah dan menepati janji."

Lulung Lama bertepuk tangan. Dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing oleh dua orang pendeta itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.

Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan sudah berada di dekat Yo Han. Melihat munculnya sumoi-nya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku..."

Sian Li menghampiri Sian Lun, lalu berlutut dan meraba pundak suheng-nya itu untuk memulihkan kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi, pada saat itu mendadak saja Sian Lun menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoi-nya! Gerakkannya ini sama sekali tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya, tahu-tahu dia sudah tertotok dan lemas. Sian Lun sudah merangkul pinggang Sian Li dan membawanya meloncat ke belakang Lulung Lama dan Cu Ki Bok!

Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai. Begitu melihat Sian Li ditangkap oleh suheng-nya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.

"Sin-ciang Taihiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu.

Yo Han memang tertegun dan amat bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoi-nya. Akan tetapi, pada saat itu muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para pendeta Lama jubah hitam yang dibantu oleh para anggota pengemis tongkat hitam dan beberapa orang Nepal. Nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan juga muncul tiga orang wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.

"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru.

Tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.

"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran. Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak bergerak.

Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak sehingga bagaimana pun juga, tiga orang itu mulai terdesak.

"Mari kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han.

Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian juga tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya. Padahal dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau sekarang dia nekat sekali pun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian Lun.

Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoi-nya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri.

"Baik, Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan di antara para pengeroyok yang roboh satu demi satu.

Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani yang mendekati mereka. Mereka lari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya. Nyonya Gak dan puteranya sudah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.

"Mari, kita lari lewat tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah menuruni tangga tali yang lain. Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.

Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah goa besar. Setelah mereka bertiga tiba di goa, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.

"Tidak ada seorang pun manusia yang mampu menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia bisa terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari goa ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong yang menembus goa sehingga kecuali kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."

Yo Han duduk di atas batu dalam goa, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li," suaranya mengandung kekhawatiran.

Ciang Hun berkata dengan suara marah. "Tentu nanti kita akan berusaha sekuat tenaga untuk menolongnya! Yang amat kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah menotoknya, kemudian menawannya. Apa artinya ini?"

Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li dengan suheng-nya dan orang macam apa suheng-nya itu?"

Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Pada waktu Li-moi dan suheng-nya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya dapat melarikan Li-moi, sedangkan suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."

Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di bawah pengaruh sihir."

"Bagaimana pun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan Sian Li, Bibi."

"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi. Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek-I Lama," kata Ciang Hun dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimana pun juga, kepandaianmu ada batasnya. Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku akan membantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, namun kita harus berhati-hati dan menggunakan siasat yang baik."

"Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya takkan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.

"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka akan suka membantu saya," kata Yo Han.

Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Taihiap yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka dan menasehati, dengan cara kasar mau pun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil jalan hidup yang sama sekali berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar.

Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan goa itu melalui sebuah terowongan pendek di bawah tanah yang sudah dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa.....

********************

Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Mengapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu, berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?

Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai tiga kakak beradik yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria yang tampan, mereka tidak pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya, bahkan kalau pria itu menolak, mereka akan memaksanya.

Selain ilmu silat mereka lihai sekali, mereka juga pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apa lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es!

Mereka akan mendapat banyak sekali keuntungan jika berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua, dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka terhadap musuh-musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es sebab pemuda itu merupakan murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.

Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Sejak dewasa, sudah sering kali dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan birahinya. Dia pun sudah sering kali memandang kepada sumoi-nya, Tan Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah birahi.

Apa lagi setelah ia mendengar percakapan suhu dan subo-nya, yang ingin menjodohkan dia dengan Sian Li, sering kali ia membayangkan betapa senangnya bila ia bermesraan dengan sumoi-nya yang cantik itu sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi.

Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja ia tidak merasa takut kepada sumoi-nya yang dalam hal kepandaian silat jauh lebih tangguh darinya, tentu sudah dia nyatakan perasaan hatinya itu dengan perbuatan. Terasa amat menyiksa baginya, bagai seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa boleh memakannya, atau seorang yang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.

Berkobarnya nafsu birahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawannya dengan dua keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya itu tentu dia akan celaka karena sumoi-nya yang cantik itu amat galak dan lihai!

Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan terbawa sejak lahir, merupakan alat bagi manusia untuk hidup di dunia. Nafsu birahi merupakan sesuatu yang amat penting, bahkan mutlak sebagai pendorong agar manusia tidak akan musnah, agar dapat berkembang biak.

Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah manusia atau makhluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan baru.

Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu birahi ini, disertakan rasa nikmat sehingga semua makhluk termasuk manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia menjadi lupa diri.

Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, tapi terjadi kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan dari pada nafsu birahi, malah nafsu birahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Kalau sudah begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.

Semua agama serta filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia supaya sadar akan bahayanya pengaruh nafsu sendiri di dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apa pun yang klta lakukan, di situ pasti terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat dan meneliti keadaan diri kita sendiri.

Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.

Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, pada makanan, kepada orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.

Nafsu merupakan pembawaan yang diikut sertakan saat kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar. Akan tetapi, di samping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama sebagai manusia, yaitu mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini.

Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menaklukkan nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa, menjauhkan diri dari dunia ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi.

Tetapi, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran. Maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam batin, tarik menarik antara keinginan untuk bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan.

Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan untuk mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesusahan yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tiada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, bagai api di dalam sekam yang tiap waktu akan dapat berkobar lagi.

Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena ‘kita’ inilah nafsu itu sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan, pada dasarnya hanyalah untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu.

Setan memang amat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk menggoda kita. Bila kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, tidak akan mungkin kita mampu mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat menundukkan segala yang ada. yang nampak dan yang tidak nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!

Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat, menyerah dengan total dan mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita. Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu kehidupan manusia di dunia dan tak lagi menjadi majikan yang kejam, tak lagi menjadi pemikat dan pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.

Menyerah tanpa syarat, bukan ‘menyerah demi untuk memperoleh sesuatu’, karena jika demikian halnya, maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan tawakal saja!


Sian Lun yang masih hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian Sam-li. Apa lagi ketiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan racun pembius dan perangsang ke dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan masih ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka!

Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan rekan pengumbar nafsu birahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh. Kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan ketiga orang wanita itu dia berubah menjadi seperti seekor domba jinak!

Dia merasa seakan-akan dia sudah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan memanjakannya hingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biar pun pernah membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!

Hanya dalam waktu satu malam, Sian Lun sudah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di dalam pelukan tiga orang wanita itu dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas.

Dalam keadaan seperti inilah, Pangeran Gulam Sing datang mendekati dan menjanjikan kedudukan tinggi, pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.

Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, dan diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoi-nya sendiri, dia lalu melakukannya dengan suka rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para pimpinan Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing.

Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika secara tiba-tiba suheng-nya menotoknya. Karena sama sekali tak menyangka bahwa suheng-nya yang hendak ditolongnya itu malah menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah. Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.

Makin besar keheranan Sian Li pada saat dia dibawa oleh suheng-nya ke sarang Hek-I Lama! Dalam perjalanan tadi, saat suheng-nya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suheng-nya tentu bermaksud akan menyelamatkannya, mengira bahwa suheng-nya akan melarikannya ke tempat yang aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama jubah hitam itu!

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah tanpa tenaga sehingga untuk mengeluarkan suara pun tidak dapat keras.

"Kau diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun.

Anehnya, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, para pendeta Lama yang berada di situ hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai. Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoi-nya ke sebuah kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.

Sian Li membelalakkan mata ketika melihat suheng-nya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat pergelangan kaki dan kedua tangannya.

"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" kembali ia bertanya.

Kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat menggerakkan kaki tangan walau pun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia pun tidak mampu melepaskan diri.

Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan kaki tangan sumoi-nya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi, terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan kebodohan dan memberontak."

"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"

Pemuda itu menundukkan muka, dia tidak berani menentang pandang mata sumoi-nya secara langsung! Bagaimana pun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walau pun di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.

"Sumoi, tiada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu. Tak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita gunakan untuk membela negara dan bangsa."

Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, dan jalan darahnya telah normal kembali. Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dia mencoba mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia.

Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoi-nya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah dibikin putus. Andai kata belenggu itu terbuat dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suheng-nya.

Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum dan menepuk pundak Sian Lun.

"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."

"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," berkata pula Ji Hwa yang putih mulus, orang ke dua, dan dengan mesra dia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah dan dengan sikap genit.

"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap genit mencium Sian Lun pada bibirnya.

Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya telah terjadi. Suheng-nya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suheng-nya yang selama ini sebagai murid paman kakeknya seperti seekor serigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.

"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya kau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuih, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li membuang muka, dia tidak sudi lagi memandang wajah suheng-nya yang merupakan pria pertama yang hampir menjatuhkan hatinya.

"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun. "Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya."

Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata sekarang nampak beberapa orang bertubuh tinggi hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.

Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya, namun hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung.

Hal yang amat menyakitkan hatinya yaitu bila ia teringat kepada Sian Lun. Suheng-nya itu telah menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi bagaimana mereka akan dapat mendengar hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan, dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?

Sian Li tak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak, mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi!

Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan pada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia kalau teringat pada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah, nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan melihat domba!

Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han yang dibantu oleh Nyonya Gak dan juga Gak Ciang Hun.

Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya!

Sungguh mengherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Taihiap yang demikian saktinya.

Terdengar suara laki-laki di depan pintu sedang bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya, lalu beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu yang muncul?

Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok, pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ memandang kepadanya. Sian Li yang sedang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya dengan sinar mata yang penuh kemarahan dan kebencian.

Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat. Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.

"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengarlah, engkau telah tertawan dan aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"

Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walau pun ia tidak dapat percaya sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati. Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.

Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigai aku. Akan tetapi ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggu dirimu? Pula, dalam keadaan terbelenggu ini, bagaimana mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau melarikan diri, maka aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan engkau akan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat."

Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."

Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!

"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus memperlihatkan sikap lunak supaya para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari." Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.

Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kaki untuk melancarkan jalan darah sambil mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan pemuda itu selagi dia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang terdapat di kamar itu.

"Cu Ki Bok, apa artinya ini? Katakan saja terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih apa? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan kalian!"

"Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, kali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya aku bersiasat dan membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"

"Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"

Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia sudah jatuh hati pada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau bersiasat.

"Ada dua hal yang memaksa aku tak bisa membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan, engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."

Bagaimana pun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan murid Lulung Ma itu.

"Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Mengapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan mengkhianatiku?"

Cu Ki Bok menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga orang wanita itu."

"Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"

"Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi musuh, bukan untuk urusan lain. Aku amat tidak suka cara-cara pengecut dan curang."

Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. Ada benarnya pula ucapan pemuda itu. Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andai kata ada muslihat di balik pertolongan pemuda ini tentulah hanya untuk menyenangkan hatinya supaya dia mau bekerja sama, membantu mereka dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.

"Hemm, kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat ini? Apakah aku boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat keadaan di dalam sarang kalian ini?"

"Nona, akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberi tahu kepada semua anggota Hek-I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas, asalkan engkau tidak membikin ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona melarikan diri, berarti membikin susah padaku. Aku telah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai mendapat kesusahan karena engkau lari."

Sian Li lantas mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Liem Sian Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau teringat kepada suheng-nya itu.

Cu Ki Bok mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, jika kebetulan engkau bertemu dengan suheng-mu itu tentu saja..."

"Dia bukan suheng-ku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu dengan dia!"

"Nah, itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih tidak mengapa. Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian Lun sudah menjadi sekutu kami, tentu semua orang akan membantunya dan Nona akan dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan antara Nona dengan Sian Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu sampai kelak setelah kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona bisa membuat perhitungan. Jangan di sini, Nona.”

Sian Li mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. Sian Lun kini telah menjadi sekutu mereka. Kalau dia menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan pemuda di depannya ini tentu saja terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.

"Baiklah, aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar aku dapat bertanya sendiri kepadanya. Dengan begitu, hatiku baru akan puas dan yakin bahwa dia benar-benar telah menyeleweng."

"Akan kuusahakan, Nona."

Pemuda itu lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan tidak terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang Hek-I Lama itu.

Tempat itu merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat di mana ia dikurung merupakan bangunan di sebelah kiri bangunan induk.

Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah tempat tinggal para anggota Hek-I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa pondok-pondok yang menjadi tempat tinggal para anggota pasukan Nepal, juga tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.

Setelah keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan diri dari situ merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggota gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga diadakan dengan amat ketatnya. Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh orang! Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan dikeroyok puluhan, bahkan ratusan orang.

Cu Ki Bok berkata benar. Alangkah bodohnya bila ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya bersabar menunggu kesempatan yang lebih baik. Selama tak diganggu, ia akan tinggal di situ, menanti kesempatan melarikan diri, atau menunggu sampai munculnya Yo Han karena dia merasa yakin bahwa Yo Han pasti tidak akan membiarkan saja dia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li tersenyum. Bekas suheng-nya itu hebat bukan main!

"Kenapa Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok. Ketika gadis itu memandang kepadanya, pemuda itu pun tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.

"Tempat ini indah sekali, dan penjagaannya sangat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok. Aku harus menunggu dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan diri. Dan kalau engkau beritikad baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian Li."

Wajah pemuda itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa dan cerdik, juga berhati mulia, Nona... ehh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa bahagia sekali kalau akhirnya akan dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggal. Akan tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona... eh, kau akan selalu diawasi, Sian Li. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku yang diserahi tugas menjagamu dan bertanggung jawab."

Sian Li mengangguk tegas. "Baiklah, Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak akan suka melanggar janjiku sendiri."

Ki Bok tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan bila tersenyum, pikir Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang Hek-I Lama, tempat yang sungguh tidak sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang tangguh.

Sian Li berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu, ia tahu bahwa semua mata mengamatinya. Dia selalu dibayangi secara diam-diam.

Pada saat ia tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia melihat betapa di situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di sudut-sudutnya terdapat menara di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi perondaan yang dia lihat dilakukan oleh pasukan kecil Hek-I Lama.

Sukarlah untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi untuk menyusup masuk! Walau pun demikian, dia yakin bahwa Yo Han akan mampu menyerbu masuk dan menemukan dirinya.

Benar seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun, tidak ada orang yang melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang, semakin banyak orang membayangi dan mengamatinya. Agaknya semua anggota Hek-I Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya, akan tetapi tanpa mengganggunya.

Diam-diam dia bersyukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat betapa ia ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suheng-nya itu, ia amat membenci Sian Lun. Ia berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya, namun usahanya sia-sia saja.

Ia sampai pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu lagi ketika melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang padanya seperti sekumpulan serigala memandang seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa jijik ketika melihat sekelompok anggota pengemis tongkat hitam yang berpakaian butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.

Dengan berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di pekarangan saja sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu gerbang masuk, nampak asap tebal mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan sembahyang seperti pada kuil-kuil biasa.

Kiranya bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan ruangan sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi walau pun penjaganya tidak tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas di situ.

Ia dibiarkan masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini lebih luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti mati berada di tengah ruangan ini, lengkap dengan meja sembahyang dan dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di sini!

Dan setelah dia menjenguk ke dalam, barulah dia tahu mengapa tadi dalam perjalanan berkeliaran di perkampungan itu, dia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh persekutuan itu. Kiranya mereka semua berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat yang mati!

Dan semua orang itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan terang-terangan Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu. Ia melihat mereka lengkap semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam, Pangeran Gulam Sing dengan dikawal oleh dua orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha. Ada pula Pek-lian Sam-li bersama Liem Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mereka.

Ia melihat lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama tidak nampak di antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati? Tentu kakek tua renta itu tewas setelah bertanding melawan Yo Han!

Ia melihat Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suheng-nya itu menunduk kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya, atau menyeretnya dan menyerangnya. Akan tetapi ia teringat akan janjinya kepada Ki Bok.

Pada saat itu, dia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu bangkit dan dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu kemudian dengan suara lirih berkata,

"Harap jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau engkau hendak melayat.”

“Dobhin Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.

Ki Bok mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cang Taihiap telah menghabiskan tenaganya. Ia meninggal akibat kehabisan tenaga dan napas, tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai baginya..."

Diam-diam Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu melirik ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih ingin bicara dengan jahanam itu."

Ki Bok mengangguk. "Tentu akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Nanti setelah selesai pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk di dalam?"

Sian Li menggeleng kepala. Untuk apa ia masuk ke ruangan itu dan melihat Sian Lun di antara tiga wanita cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya untuk tidak menyerang bekas suheng-nya itu. Pula, tidak perlu berkabung terhadap kematian Ketua Hek-I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat dan ia sendiri tertawan. Ia kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.

Senja telah mendatang, dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li kembali ke kamarnya. Seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti kepadanya, juga mempersiapkan air untuk mandi.

Sian Li merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Dia diperlakukan seperti seorang tamu terhormat, dilayani semua keperluannya walau pun diam-diam ia tidak pernah dilepaskan dari pengamatan tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.

Bagaimana pun juga, Sian Li tetap berhati-hati, lebih dulu memeriksa semua makanan dan minuman sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup terang dan suasana cukup menyenangkan.

Malam itu sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit pun bersih, bulan tiga perempat menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Dia keluar dan berjalan-jalan di taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman yang cukup luas dan terpelihara baik-baik. Agaknya, para pendeta Lama ini bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan keindahan.

Agaknya para tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si mati. Sian Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia bisa menduga bahwa begitu ia memasuki taman, maka tempat itu telah dikepung para anggota Hek-I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia kemudian menduga-duga, apakah Ki Bok juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya kepadanya sehingga ikut berkabung di ruangan itu.

Di dekat empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang terlindung oleh atap. Sian Li duduk di situ sambil termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Dia teringat akan Yo Han dan kembali bibirnya tersenyum.

Senang sekali mengingat pemuda itu, orang yang paling disayangnya ketika dia masih kecil. Dan sekarang, sesudah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah sama dewasa, ia tidak tahu!

Yang jelas, penyelewengan Sian Lun hanya membuatnya marah, sama sekali tidak membuat ia bersedih. Diam-diam ia malah merasa gembira sebab hal ini membuktikan bahwa meski pun tadinya ia sayang kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin akrab dalam pergaulan, dalam latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Dia tidak tahu, yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu kembali dengan Yo Han!

Yo Han takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan datang menyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia empat tahun, dan Yo Han juga hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah berani membelanya mati-matian, bahkan mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang-I Moli. Kali ini pun Yo Han pasti akan menolongnya!

Kini ia mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil, ketika Yo Han masih menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat olehnya betapa dahulu ia sering digendong oleh Yo Han, diajak bermain-main, dihibur dan selalu disenangkan hatinya.

"Nona, alangkah cantiknya engkau...!"

Tentu saja Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar kata-kata pujian yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara itu tadi datang dari belakang dan ia berhadapan dengan pria tinggi besar gagah perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat akan janjinya kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal yang dibencinya ini.

"Mau apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentaknya, lalu dia duduk kembali, membelakangi pangeran itu.

"Aduh, alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!" Kata-kata itu diucapkan dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li menjadi merah oleh perasaan malu dan marah.

"Manusia biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan membunuhmu!” Sian Li membentak lagi.

Sekarang dia memutar duduknya, menghadapi pangeran itu dengan sinar mata berapi. Wajahnya tertimpa sinar bulan dan nampak cantik bukan main.

Pangeran itu mengerutkan alis. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng menganggap orang asing adalah bangsa yang biadab. Maka tentu saja Pangeran Gulam Sing merasa dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya bening dan aneh.

"Nona Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang pangeran Nepal, bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal akan menghormati dan memuliakan aku kalau melihatku, bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona! Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan engkau harus tunduk kepadaku!"

Pangeran tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li.

Gadis itu hendak meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya! Terngiang di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan tidak mampu bergerak. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya pada saat pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan menariknya bangkit berdiri.

Di lain saat, ia sudah didekap dalam pelukan kedua lengan yang panjang dan besar itu, dan ia mencium bau keharuman yang aneh keluar dari dada pangeran itu, di mana wajahnya didekap rapat.....

"Pangeran, lepaskan nona itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Pangeran Gulam Sing terkejut, lalu menoleh. Kiranya Cu Ki Bok yang membentak itu.

"Nona Tan Sian Li, mundurlah engkau!"

Sungguh aneh, baru sekarang Sian Li dapat bergerak, seolah tenaga tak nampak yang tadi mempengaruhi dirinya telah lenyap. Tahulah dia bahwa dia tadi di bawah pengaruh sihir pangeran Nepal itu, dan agaknya Cu Ki Bok yang membebaskannya dari pengaruh sihir.

"Pangeran Iblis! Keparat busuk engkau!" Ia pun membentak dan sudah menerjang serta menyerang Pangeran Gulam Sing.

Pengeran itu mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Sian Li hendak menyerang lagi, Ki Bok telah menghadang di depannya.

"Sian Li, ingat akan janjimu. Jangan membuat keributan di sini!"

Sian Li teringat dan ia pun menahan diri, mukanya merah dan matanya masih berkilat.

Sementara itu, Pangeran Gulam Sing tertawa, "Ha-ha-ha, saudara Cu Ki Bok, engkau malah membela Si Bangau Merah ini? Sungguh aneh sekali!"

"Pangeran," kata Cu Ki Bok dan suaranya mengandung kemarahan. "Kalau Ketua Hek-I Lama mendengar akan apa yang sudah kau lakukan ini, tentu beliau akan menjadi tidak senang."

"Hemm, Ketua Hek-I Lama sudah mati, bahkan petinya juga belum diangkat dari ruang berkabung!” kata pangeran itu membantah.

"Pangeran! Engkau tentu tahu bahwa wakil ketua adalah guruku, Lulung Lama, dan setelah kini Supek Dobhin Lama meninggal dunia, gurukulah yang menjadi ketua! Nona Tan Sian Li ini menjadi tamu yang dihormati, dan Ketua Hek-I Lama yang menugaskan aku untuk menjaganya. Kuharap Pangeran tidak membuat keributan di sini dan bersikap sebagai tamu serta sahabat yang baik."

"Aku protes!" Pangeran itu marah-marah. "Saudara Liem Sian Lun dan ketiga Pek-lian Sam-li sudah berjanji akan menghadiahkan gadis ini kepadaku, dan sekarang mengapa engkau hendak menghalangiku?! Beginikah sikap seorang sahabat?"

"Pangeran, lupakah Pangeran siapa itu Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li? Mereka pun hanya tamu-tamu dari Hek-I Lama seperti juga engkau. Sedangkan Nona Tan ini adalah seorang tawanan kami, dan yang berhak memutuskan mengenai dirinya adalah ketua kami. Ketua kami menganggap Nona ini seorang pendekar wanita gagah perkasa yang patut diajak bekerja sama berjuang menentang orang Mancu. Bagaimana mungkin para tamu seperti Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li tiba-tiba dapat menghadiahkan Nona ini kepadamu? Mereka tidak berhak!"

"Orang muda, berani engkau bersikap seperti ini terhadap aku? Bagaimana kalau aku memaksa untuk memiliki gadis ini?"

Sepasang mata pemuda itu berkilat. Dia meraba pinggangnya di mana terdapat sabuk bajanya yang kedua ujungnya dipasangi pisau, senjatanya yang ampuh, dan dia berkata dengan tegas.

"Pangeran, aku adalah utusan Ketua Hek-I Lama dan aku melaksanakan tugas yang diperintahkan untuk menjaga Nona ini. Kalau ada yang berani mengganggunya, berarti dia melanggar peraturan di sini dan aku akan menghadapinya sebagai wakil ketua Hek-I Lama!"

"Bocah sombong...!"

Akan tetapi pada saat itu, entah dari mana datangnya, nampak beberapa orang pendeta Lama Jubah Hitam bermunculan. Mereka hanya berdiri memandang, akan tetapi sikap mereka jelas siap untuk membantu Cu Ki Bok.

Melihat ini, Pangeran Gulam Sing sadar bahwa dia berada di tempat orang sebagai tamu. Dia memandang kepada Sian Li dan mengepal tinju. Daging lunak yang sudah berada di depan bibir, terpaksa harus dia lepaskan! Dengan bersungut-sungut, memaki-maki dalam bahasanya sendiri, dia pun meninggalkan taman itu.

Beberapa orang pendeta Lama itu pun seperti bayangan-bayangan saja, lenyap pula dari dalam taman. Tahulah Sian Li bahwa andai kata Cu Ki Bok tidak berada di situ pun, para pendeta Lama itu tentu akan melihat ulah Pangeran Gulam Sing dan mereka akan turun tangan membantunya dan melapor kepada Cu Ki Bok.

Betapa pun juga, dia berterima kasih kepada pemuda ini dan dia bergidik kalau teringat betapa tadi ia didekap oleh pangeran Nepal yang tinggi besar itu tanpa mampu berkutik! Sian Li mulai percaya pada Cu Ki Bok, bahwa pemuda murid Lulung Lama ini memang benar-benar hendak melindunginya.

"Ki Bok, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Apa yang telah terjadi denganku tadi? Kenapa aku tidak mampu bergerak? Apakah jahanam itu mempergunakan sihir?"

"Benar, Sian Li. Maafkan, aku agak terlambat. Akan tetapi, seperti kau lihat tadi, selalu ada beberapa orang anggota Hek-I Lama yang membayangimu sehingga engkau selalu aman. Para anggota tadi tidak mengira bahwa pangeran itu akan menggunakan sihir."

"Kalau begitu, engkau pun ahli sihir, Ki Bok?" tanya Sian Li dan pemuda itu tersenyum, merasa girang bukan main melihat sikap gadis itu terhadapnya kini berubah, tidak lagi angkuh dan ketus seperti sebelumnya, kini nampak ramah bersahabat!

"Sian Li, engkau sudah tahu bahwa aku murid Suhu Lulung Lama, murid seorang tokoh pendeta Lama. Karena itu, selain ilmu silat, aku pun mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan juga ilmu kebatinan sehingga tidak aneh kalau aku pun mempelajari ilmu sihir."

"Hemm, kata orang tuaku dan juga paman kakek yang menjadi guruku, ilmu sihir dapat membuat orang menjadi sesat. Kenapa engkau mempelajari ilmu seperti itu, Ki Bok?"

Pemuda itu tertawa. "Aihh, engkau ini yang aneh sekali, Sian Li. Engkau sendiri masih keturunan keluarga Pendekar Pulau Es, bahkan juga pendekar Gurun Pasir! Padahal, menurut yang kudengar, dahulu Pendekar Super Sakti Pulau Es adalah seorang sakti yang selain hebat ilmu silatnya, juga ahli dalam ilmu sihir!"

Sian Li tersenyum. "Memang engkau benar, namun menurut orang tuaku, mempelajari ilmu sihir amatlah berbahaya karena ilmu seperti itu condong untuk menyeret orangnya kepada kesesatan."

Pemuda itu kini duduk di bangku, berhadapan dengan Sian Li yang juga sudah duduk. "Segala macam ilmu mengandung daya tarik yang dapat menyesatkan orang, Sian Li. Ilmu apa pun juga membuat orang merasa lebih pandai dari pada orang lain, dan ada kecondongan mempergunakan ilmu yang dikuasainya itu untuk berkuasa atau mencari pengaruh atas orang-orang lain. Ilmunya sendiri tidak baik, tidak pula pun buruk. Baik buruknya tergantung dari dia yang mempergunakannya. Betapa baik pun sebuah ilmu, jika dipergunakan untuk mencelakai orang lain, ilmu itu menjadi jahat. Sebaliknya, ilmu yang dianggap jahat, kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, akan menjadi ilmu yang baik. Bukankah begitu?"

Sian Li pernah mendengar ini, maka dia pun mengangguk. Kini pandangannya terhadap pemuda itu sama sekali berubah. Ia tidak tahu benar bahwa semua agama di dunia ini mengajarkan orang agar hidup baik serta bijaksana. Pelajaran agama yang dipelajari Ki Bok dari pendeta Lama tentu juga mengatakan yang baik-baik. Kalau terjadi kejahatan dilakukan orang beragama, maka hal itu berarti bahwa orang itu telah menyeleweng dari pada pelajaran agamanya sendiri.

Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Justru yang disebut agama adalah pelajaran tentang budi pekerti, mengajarkan orang untuk menjadi manusia yang baik dan berguna bagi manusia lain.

Cu Ki Bok yang semenjak kecil menjadi murid pendeta Lama, tentu saja juga membaca kitab-kitab agama yang pada hakekatnya tiada bedanya dengan kitab-kitab agama lain, yaitu menuntun manusia ke arah jalan hidup yang benar.

"Sebenarnya, dari orang tuaku serta paman kakekku, aku pun sudah menerima latihan kekuatan batin yang dimaksudkan menolak pengaruh sihir. Akan tetapi, tadi aku sama sekali tidak mengira bahwa pangeran Nepal itu akan menggunakan ilmu sihir sehingga aku menjadi lengah. Ki Bok, apakah kau kira Sian Lun juga terpengaruh sihir?" Tiba-tiba timbul dugaan ini dalam pikiran Sian Li.

Ki Bok menarik napas panjang. "Mungkin saja, tetapi yang jelas suheng-mu itu seorang pria yang lemah dan mudah dirayu. Sungguh sayang sekali karena sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Kalau dia mau bekerja sama dengan kami untuk menentang penjajah Mancu, hal itu baik-baik saja. Akan tetapi aku khawatir kalau dia sampai terseret oleh Pek-lian-kauw, melakukan hal-hal yang tidak patut."

Hening sejenak. Kemudian Sian Li mengangkat muka memandang pemuda itu. "Ki Bok, engkau kini kuanggap sebagai seorang sahabat. Aku percaya kepadamu. Katakanlah, apa maksud gurumu dengan menahanku di sini? Berterus terang sajalah supaya hatiku tidak menjadi ragu kepadamu."

"Mudah sekali diduga, Sian Li. Engkau pasti tahu bahwa Hek-I Lama sedang menyusun kekuatan..."

"Hemm, untuk memberontak kepada pemerintah Dalai Lama di Tibet?"

"Benar, akan tetapi selain hal itu merupakan urusan dalam para pendeta Lama, juga satu di antara penyebabnya karena pemerintah Tibet mengakui kekuasaan pemerintah Mancu. Nah, Hek-I Lama dianggap memberontak karena tidak menyetujui hal itu. Oleh karenanya, Hek-I Lama yang kini dipimpin oleh Suhu Lulung Lama menyusun kekuatan sambil mengharapkan bantuan dari orang-orang kuat, untuk bersama-sama menentang penjajah Mancu, juga untuk menentang pemerintah Tibet yang mau menjadi taklukan orang Mancu."

"Jadi aku ditahan untuk dibujuk agar mau bekerja sama dengan Hek-I Lama?"

"Begitulah. Suhu mengharapkan engkau akan suka membantu pula. Bukankah penjajah Mancu merupakan penjajah yang menindas bangsa kita? Aku sendiri pun mempunyai darah Han, Sian Li. Aku akan merasa gembira sekali kalau engkau suka bekerja sama dengan kami."

"Dan bagaimana kalau aku menolak kerja sama? Apakah aku akan dibunuhnya?”

Cu Ki bok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala keras-keras.

"Suhu tak akan memaksa orang untuk bekerja sama. Paksaan itu akhirnya hanya akan merugikan kami sendiri, karena orang yang dipaksa bekerja sama akhirnya mudah saja menjadi pengkhianat. Tidak, engkau tidak akan dipaksa. Andai kata pun ada yang akan memaksa atau mengganggumu, demi Tuhan, aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku, Sian Li!"

Pemuda itu bicara penuh semangat, membuat Sian Li terheran dan ia menatap wajah pemuda itu penuh selidik. Namun, sinar bulan tidak cukup terang sehingga tidak melihat betapa wajah pemuda itu berubah kemerahan.

"Akan tetapi... kenapakah, Ki Bok? Mengapa engkau hendak membelaku seperti itu? Mengapa engkau begini baik kepadaku? Padahal, bukankah sejak pertama kali saling bertemu, kita berhadapan sebagai musuh?"

Pemuda itu menggelengkan kepala. "Hanya salah paham, Sian Li, hanya karena saling memperebutkan kebenaran masing-masing. Sudahlah, sebaiknya engkau kembali saja ke dalam kamarmu untuk beristirahat. Besok, sesudah jenazah Supek diperabukan, bila mungkin Suhu akan bicara denganmu tentang ajakan bekerja sama itu."

"Apa yang harus kujawab?"

"Sudah kukatakan, kalau engkau suka bekerja sama, aku akan merasa bahagia sekali, Sian Li."

"Kalau aku menolak?"

Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku akan merasa kecewa sekali. Akan tetapi tentu saja terserah kepadamu, dan aku yang akan membantumu agar dapat pergi dari sini dalam keadaan bebas dan aman."

Tentu saja hati Sian Li menjadi girang bukan main. "Sungguh mati, amat sukar menilai keadaan hati atau watak asli seseorang," dia berkata. "Tadinya kukira engkau seorang yang luar biasa jahat, Ki Bok, tidak tahunya engkau adalah seorang yang berhati mulia. Sebaliknya, suheng-ku yang dulu kunilai sebaik-baiknya orang, ternyata malah seorang manusia yang budinya rendah!"

Pemuda itu tersenyum. "Karena itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang, Sian Li. Yang hari ini kau nilai baik, mungkin besok akan kau cela, sebaliknya yang kemarin kau cela, hari ini akan kau puji. Mungkin kalau hari ini aku kau nilai baik, besok lusa akan kau nilai jahat lagi, siapa tahu?"

Sian Li tertawa. "Aku sudah mengerti, Ki Bok. Penilaian seseorang tergantung dari pada kepentingan si penilai, kalau dia diuntungkan, tentu menilai baik, kalau dirugikan, akan menilai buruk. Akan tetapi, juga tergantung kepada orang yang dinilai. Setiap perbuatan baik tentu mendatangkan kekaguman, sebaliknya perbuatan buruk akan mendatangkan celaan. Bukankah demikan?"

"Engkau memang cerdik, Sian Li. Nah kau bersabar dan tenanglah saja, dan harap kau menjaga diri supaya jangan sampai terpancing keributan sebelum Suhu Lulung Lama bicara denganmu. Selamat malam dan selamat tidur."

Sian Li yang sudah bangkit, tersenyum. "Selamat bermimpi, Ki Bok."

Mereka berpisah dan Sian Li sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya tadi sungguh terjadi. Ia mengatakan selamat bermimpi hanya untuk berkelakar, tidak tahunya malam itu Ki Bok telah benar-benar bermimpi semalam suntuk, mimpi bertemu dengannya dan berkasih sayang dengannya.....

********************

Gak Ciang Hun, ibunya, dan Yo Han langsung bekerja dengan cepat. Yo Han segera menghubungi para tokoh di perbatasan yang pernah disadarkannya, sedangkan Nyonya Gak dan puteranya juga pergi menghadap para pendeta Lama dan pasukan pemerintah yang berada di benteng daerah perbatasan tak jauh dari tempat itu.

Panglima yang menjadi komandan pasukan Tibet itu menerima laporan Gak Ciang Hun dan ibunya. Dia segera berunding dengan para pendeta Lama. Tentu saja mereka telah mendengar akan adanya gerakan Hek-I Lama, akan tetapi karena gerombolan itu tidak melakukan kekacauan, pasukan pemerintah pun tadinya mendiamkan saja. Bagaimana pun juga para pimpinan Hek-I Lama dahulunya adalah tokoh-tokoh pendeta Lama yang terkenal.

Akan tetapi, ketika mendengar laporan Gak Ciang Hun dan ibunya bahwa gerombolan pendeta Lama jubah hitam itu kini bersekutu dengan orang-orang Nepal yang menjadi pelarian dari negara mereka, juga bersekutu dengan kaum pengemis sesat dan orang-orang Pek-lian-kauw, komandan itu merasa khawatir dan dia pun cepat mengerahkan pasukan, siap untuk melakukan penyerbuan terhadap gerombolan yang kini merupakan persekutuan besar dan hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Tibet itu.

Sementara itu, para tokoh sesat yang kini sudah sadar akibat kebijaksanaan Sin-ciang Taihiap, ketika pendekar aneh itu minta bantuan mereka, tentu saja mereka menjadi gembira dan mereka seakan berlomba untuk membuktikan bahwa kini mereka bukanlah penjahat-penjahat lagi, tetapi orang-orang gagah yang siap mengganyang pemberontak dan penjahat yang mengganggu ketenteraman.

Setelah menerima kesanggupan para tokoh kang-ouw itu, Yo Han yang ketika menemui mereka mengenakan capingnya yang menyembunyikan mukanya dan mengurai rambut, cepat kembali ke bukit yang dijadikan sarang Hek-I Lama. Dia pun lalu menanggalkan penyamarannya dan ketika muncul di depan pintu gerbang yang seperti benteng itu, dia sudah menjadi seorang pemuda biasa, bukan lagi sebagai pendekar Sin-ciang Taihiap yang selalu menyembunyikan mukanya itu.

Yo Han maklum bahwa dia tidak perlu menyamar kalau ingin memasuki perkampungan yang dijadikan sarang gerombolan itu dengan aman. Pemuda murid Lulung Lama itu pernah melihat dia bersama Sian Li, pernah pula bicara dengan dia. Oleh karena itu, ketika para penjaga pintu gerbang menghadang dan membentaknya, dia pun berkata dengan suara tenang.

"Aku bernama Yo Han, dan aku ingin bertemu dengan saudara Cu Ki Bok. Aku sudah mengenalnya."

Yo Han dipersilakan menunggu. Dua orang penjaga lalu berlari masuk untuk memberi kabar kepada Cu Ki Bok. Selama dua hari ini, sejak jenazah Dobhin Lama diperabukan, ketua baru mereka, Lulung Lama, memerintahkan supaya penjagaan diperketat dan semua anggota Hek-I Lama diharuskan bersiap siaga.

Lulung Lama maklum bahwa Sin-ciang Taihiap tentu tidak akan tinggal diam dan akan datang menyerbu untuk membebaskan Tah Sian Li. Dan oleh karena ingin memancing munculnya Sin-ciang Taihiap inilah maka dia pun memerintahkan supaya gadis itu tetap menjadi tawanan, walau pun diperlakukan dengan baik.

Dia sudah membujuk agar gadis itu suka membantu perjuangannya, dengan harapan kalau gadis itu mau bekerja sama seperti halnya Sian Lun, mungkin Sin-ciang Taihiap akan mau pula membantunya. Dan mengingat bahwa gadis itu dan suheng-nya adalah murid keluarga Pulau Es, maka kalau mereka bekerja sama dengan perkumpulannya, tentu lebih mudah menarik tokoh-tokoh kang-ouw untuk bekerja sama pula.

Ketika dua orang penjaga itu melapor bahwa ada orang bernama Yo Han mencarinya, Cu Ki Bok yang sudah lupa lagi akan nama itu, lalu menduga-duga siapa orang yang mencarinya di tempat itu. Apa lagi nama orang itu menunjukkan bahwa dia tentu orang Han.

Dia sedang bingung memikirkan Sian Li. Gurunya tidak berhasil membujuk gadis itu untuk bekerja sama. Sian Li selalu menolak, dengan halus mau pun kasar. Akan tetapi gurunya tetap belum mau membebaskan Sian Li. Menurut gurunya, gadis itu sengaja ditahan untuk memancing datangnya Sin-ciang Taihiap. Agaknya Lulung Lama masih penasaran dan belum puas kalau belum mendapatkan bantuan pendekar aneh itu.

Sian Li juga bertahan, tidak mau bekerja sama. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri, dan harapan satu-satunya hanya pada Cu Ki Bok yang selama ini bersikap baik dan tidak mencurigakan.

Kemarin, ketika ia kebetulan bertemu dengan Sian Lun di taman bunga, ia tidak mampu mengendalikan kemarahannya.

"Keparat busuk, penghianat jahanam!” bentaknya. “Orang macam engkau layak untuk mampus!"

Dan Sian Li langsung saja menyerang bekas suheng-nya itu dengan penuh kebencian. Saking dahsyatnya serangan gadis itu, biar pun Sian Lun sudah menangkis, tetap saja dia terhuyung ke belakang.

"Sumoi, nanti dulu...!" teriaknya.

"Siapa sumoi-mu? Aku tidak sudi menjadi sumoi seorang pengkhianat jahanam!"

Dan Sian Li sudah menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali Sian Lun terhuyung ke belakang.

"Sumoi...!"

Sian Li tidak memberi kesempatan kepada bekas suheng-nya untuk banyak cakap lagi karena ia sudah menerjang lagi, dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk membunuh! Sian Li bukan hanya membenci Sian Lun karena sudah mengkhianatinya, membantu pihak musuh untuk mencurangi dan menangkapnya, akan tetapi juga karena ia mendengar dan melihat sendiri betapa bekas suheng itu telah bermain gila dengan tiga orang wanita cabul dari Pek-lian-kauw!

Ketika Sian Lun terhuyung dan Sian Li terus mendesaknya, dan berhasil menendang paha Sian Lun sehingga pemuda itu terpelanting, tiba-tiba muncul Pek-lian Sam-li yang segera turun tangan membantu Sian Lun dan mengeroyok Sian Li!

Melihat munculnya ketiga orang wanita yang memang dibencinya ini, Sian Li menjadi semakin marah dan ia pun mengamuk. Akan tetapi, tiga orang wanita itu juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi mereka maju bertiga sehingga begitu mereka membalas dan mendesak, Sian Li mulai terdesak mundur.

"Tahan! Jangan berkelahi!" Tiba-tiba muncul Cu Ki Bok melerai. "Sam-li, ajak Sian Lun manyingkir," katanya.

Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah. Mereka tahu bahwa Ki Bok adalah seorang pemuda yang berdisiplin. Setelah kini Lulung Lama menjadi Ketua Hek-I Lama, maka pemuda itu berarti menjadi wakilnya. Mereka bertiga lalu menggandeng tangan Sian Lun dan diajak pergi dari situ. Sementara itu, Ki Bok menghampiri Sian Li dan menghiburnya.

"Sian Li, apa gunanya membuat ribut dengan bekas suheng-mu itu? Bila engkau sudah tidak menyukainya dan tidak mau berhubungan dengannya, lebih baik kau diamkan saja dia. Membikin ribut di sini sungguh tak menguntungkan dirimu, dan pula, jangan-jangan orang akan menganggap engkau..."

"Menganggap aku kenapa?" Sian Li mendesak, muka gadis itu masih kemerahan akibat marah.

"Maaf, mungkin saja orang akan menganggap engkau cemburu melihat keakrabannya dengan Pek-lian Sam-li..."

"Gila! Akan kuhancurkan mulut orang yang menganggap aku cemburu! Siapa pula yang cemburu? Biar pun dia menggandeng seratus orang perempuan, apa peduliku? Biar dia mampus! Yang membuat aku marah adalah karena dia adalah murid paman kakekku. Kalau guru-gurunya mengetahui akan kelakuannya, tentu dia pun akan mereka hukum berat!”

“Sudahlah, kelak dapat saja engkau membuat laporan kepada guru-gurumu, atau boleh saja engkau menghukum dia, akan tetapi kalau kalian sudah tidak berada di sini. Kalau engkau membuat ribut di sini, tentu aku akan ikut repot menanggung akibatnya."

Demikianlah, sampai hari itu, Lulung Lama masih belum memberi keputusan mengenai diri Sian Li. Dan Ki Bok sedang menimbang-nimbang dan mencari jalan terbaik untuk membebaskan gadis itu. Dia jatuh cinta kepada Sian Li, akan tetapi kalau gadis itu tidak mau bekerja sama dengan Hek-I Lama, terpaksa mereka harus berpisah dan dia harus mencarikan jalan terbaik agar gadis itu dapat keluar dari perkampungan yang menjadi pusat Hek-I Lama itu secara aman.

Pada waktu dua orang penjaga melapor tentang munculnya seorang bernama Yo Han mencarinya, Ki Bok segera menuju ke pintu gerbang. Begitu melihat Yo Han, teringatlah dia akan pemuda yang dia temui bersama Sian Li tempo hari. Pemuda yang menjadi perantara menyampaikan tantangan mendiang Dobhin Lama kepada Sin-ciang Taihiap.

Alisnya berkerut karena pertemuan ini sungguh mengejutkan hatinya. Akan tetapi ia pun diam-diam merasa gembira dan menaruh harapan untuk dapat mengadakan hubungan dengan Sin-ciang Taihiap melalui ‘perantara’ ini.

"Ahh, kiranya saudara Yo Han yang datang berkunjung! Selamat datang, dan benarkah bahwa engkau hendak bicara dengan aku?" tanya Ki Bok.

Yo Han memberi hormat. "Benar sekali, dan saya datang untuk bicara tentang nona Tan Sian Li."

"Silakan masuk, saudara Yo Han. Kita bicara di dalam," ajak Ki Bok, mempersilakan tamunya untuk memasuki pondok penjagaan di dekat pintu gerbang.

Dengan lagak seorang yang jujur dan tidak curiga, Yo Han melangkah masuk mengikuti pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu, dan mereka lalu duduk berhadapan di atas bangku, di dalam pondok atau gardu penjagaan.

Ki Bok sudah memberi isyarat kepada para petugas jaga untuk menjauhi gardu supaya mereka berdua dapat berbicara dengan leluasa tanpa terdengar orang lain. Karena pemuda itu merupakan seorang tokoh penting dalam perkumpulan Lama Jubah Hitam, maka para petugas menghormatinya dan mentaati perintahnya.

"Saudara Yo Han, selamat datang. Aku girang sekali menerima kunjunganmu ini. Angin baik apakah yang membawamu ke sini?”

Diam-diam Yo Han mendongkol, akan tetapi juga waspada sekali. Pemuda di depannya ini sudah dia kenal ilmunya, dan ternyata selain lihai, juga cerdik dan licin bagaikan ular, pandai pula bersikap manis budi seperti ini.

Yo Han mengerutkan alis. "Aku datang karena diutus oleh Sin-ciang Taihiap…," katanya sengaja berhenti, untuk melihat tanggapan orang itu.

Wajah Ki Bok tampak berseri mendengar disebutnya pendekar itu. Agaknya harapannya akan semakin besar dan kesempatan semakin terbuka untuk dapat mengajak pendekar sakti itu bekerja sama. “Aihh, sungguh merupakan kehormatan sekali dan terima kasih atas perhatian Sin-ciang Taihiap yang kami kagumi.”

“Sudahlah, tidak perlu bersandiwara lagi,” kata Yo Han. “Taihiap marah sekali karena kecurangan kalian. Tak pernah kami duga bahwa Hek-I Lama, perkumpulan besar yang terhormat itu dapat melanggar janji dan melakukan kelicikan dan kecurangan. Bukankah janjinya sebelum bertanding, kalau ketua kalian kalah oleh Taihiap, maka Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan dikembalikan? Mutiara itu memang telah diberikan kepada Taihiap, akan tetapi kenapa Sian Lun tidak dibebaskan, sebaliknya adikku Sian Li malah ditangkap pula? Pantaskah hal securang itu dilakukan oleh orang-orang Hek-I Lama yang gagah? Sepatutnya hanya dilakukan orang-orang pengecut, bukan anggota perkumpulan pejuang yang menganggap dirinya pahlawan.”

Ki Bok tidak marah mendengar umpat caci ini. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang cerdik dan mampu mengendalikan perasaan hatinya. Dia malah tersenyum ramah.

“Harap tenang dan bersabar, saudara Yo Han, atau lebih baik kusebut Yo-toako (Kakak Yo) saja karena tadi engkau mengatakan bahwa engkau adalah kakak Nona Sian Li. Benarkah itu?”

Yo Han mengangguk. “Aku adalah kakak misan Tan Sian Li,” jawabnya.

Dia tidak berterus terang, akan tetapi juga tidak terlalu membohong, karena bukankah dia juga termasuk kakak dari gadis itu, walau pun bukan kakak misan melainkan kakak seperguruan? Dia juga merasa seperti anak sendiri dari orang tua gadis itu, maka sudah sepatutnya kalau dia mengakui gadis itu sebagai adiknya.

“Bagus, kalau begitu aku pun dapat bicara terus terang. Sesungguhnya, Sian Lun telah setuju untuk membantu perjuangan kami melawan orang-orang Mancu. Oleh karena itu, dia sengaja menawan sumoi-nya agar suka pula bekerja sama dengan kami. Sekarang, Nona Sian Li menjadi tamu kami, bukan tawanan dan diperlakukan dengan baik dan terhormat. Kami menunggu sampai Nona Sian Li juga menyetujui sikap suheng-nya, dan mau pula bekerja sama dengan kami. Bahkan kami mengharapkan agar engkau suka menyampaikan himbauan kami kepada Sin-ciang Taihiap untuk bergabung dengan kami, bersama-sama menentang penjajah Mancu.”

“Hemm, aku tidak tahu apakah Taihiap suka menerima ajakan itu atau tidak. Yang jelas, dia marah sekali karena janji yang merupakan taruhan pertandingan itu dilanggar. Pula, bagaimana aku dapat percaya bahwa adikku Sian Li diperlakukan dengan baik di sini sebelum aku bertemu dengannya dan melihatnya sendiri?”

“Engkau ingin bertemu dengan adikmu itu, Yo-toako? Baik, baiklah, tentu saja engkau boleh dan dapat bertemu dengannya. Akan tetapi tentu saja kita harus terlebih dahulu menghadap Suhu dan minta persetujuannya.”

“Menghadap ketua kalian Dobhin Lama?”

“Tidak, menghadap Suhu Lulung Lama,” jawab Ki Bok singkat.

Yo Han merasa heran, akan tetapi diam saja tanpa bertanya lagi. Dia mengikuti Cu Ki Bok yang mengajaknya memasuki perkampungan itu. Di rumah induk, dia dibawa Cu Ki Bok ke ruangan depan rumah besar itu, dan di situ Yo Han tidak saja melihat Lulung Lama, akan tetapi juga para tokoh lain. Di tengah ruangan depan itu tergeletak sebuah peti mati.

Diam-diam Yo Han terkejut. Kini mengertilah dia mengapa dia diajak menghadap Lulung Lama, bukan Dobhin Lama. Kiranya ketua perkumpulan Hek-I Lama itu telah meninggal dunia! Padahal, kemarin masih bertanding dengan dia.

Jika begitu, agaknya kakek yang sudah tua renta itu terlalu memaksa diri mengerahkan tenaga pada waktu bertanding sehingga tubuh yang sudah tua itu kehabisan tenaga dan tewas. Mungkin ketika dia duduk bersila sesudah selesai bertanding kemarin, dan diam saja melihat kecurangan anak buahnya yang mengeroyok, kakek itu sudah tewas.

Kalau benar demikian, bukan Dobhin Lama yang curang, melainkan Lulung Lama dan anak buahnya. Juga penangkapan atas diri Sian Li tentu telah diatur oleh Lulung Lama. Buktinya, sesudah Dobhin Lama merasa kalah, kakek tua itu mengembalikan mutiara hitam dan menyuruh Lulung Lama membebaskan Sian Lun.

“Siapa yang meninggal dunia itu?” tanya Yo Han, pura-pura terkejut dan tidak tahu.

“Dia adalah ketua kami...“

“Dobhin Lama yang bertanding melawan Sin-ciang Taihiap?” Yo Han bertanya.

Cu Ki Bok menganggukkan kepala. Kesempatan ini digunakan oleh Yo Han untuk cepat menghampiri peti mati dan berlutut di depan peti mati sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada sedih penuh penyesalan.

“Losuhu, maafkan saya. Sungguh saya menyesal sekali bahwa Losuhu tewas karena pertandingan melawan Sin-ciang Taihiap. Bagaimana pun, saya turut merasa menyesal karena saya yang menjadi perantara. Akan tetapi, Taihiap tak sengaja melukai Losuhu, Taihiap tidak pernah mau membunuh lawannya. Sayangnya, setelah Losuhu tidak ada, para anak buah Losuhu berbuat curang, tidak menepati janji. Bukan saja Sian Lun tidak dibebaskan, bahkan adikku Sian Li ditawan. Losuhu, saya menyesal sekali. Andai kata Losuhu tidak meninggal, tentu adik saya tidak ditawan...“

Sementara itu, Ki Bok telah mendekati Lulung Lama dan menerangkan siapa adanya pemuda yang berlutut di depan peti mati itu. Setelah mendengar keterangan muridnya, Lulung Lama bangkit dan menghampiri Yo Han.

“Saudara Yo, bangkitlah. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan tidak ada yang perlu disesalkan. Juga kami tidak melanggar janji. Ketahuilah bahwa Liem Sian Lun dengan suka rela berada di sini, bukan kami tawan. Dia memang telah sadar dan ingin berjuang bersama kami menentang penjajah Mancu. Dialah yang menghendaki agar sumoi-nya ikut pula membantu perjuangan kami yang suci. Maka, tidak salah kiranya kalau engkau suka membujuk Sin-ciang Taihiap agar suka bekerja sama pula dengan kami.”

Yo Han bangkit dan memberi hormat kepada Lulung Lama, lalu berkata dengan suara mengandung penasaran. “Saya datang sebagai utusan Taihiap yang menuntut supaya Liem Sian Lun dan adikku Tan Sian Li dibebaskan dari sini, sesuai perjanjian.”

“Omitohud, sudah pinceng katakan bahwa kami tidak menawan Liem Sian Lun dan...”

“Bagaimana saya dapat percaya kalau tidak bertemu sendiri dengan adik saya?”

Lulung Lama yang telah mendengar penjelasan muridnya, tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, saudara Yo Han. Engkau boleh bertemu dengan adikmu itu. Ki Bok, antarkan dia bertemu dengan Nona Tan Sian Li.”

Cu Ki Bok mengajak Yo Han meninggalkan ruangan itu. Yo Han girang bahwa mereka itu agaknya sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dialah sebenarnya Sin-ciang Taihiap. Kini Ki Bok mengajaknya ke bagian belakang perkampungan yang luas itu dan akhirnya dia melihat Sian Li yang duduk seorang diri di ruangan depan sebuah pondok.

Ketika tadi diajak pergi ke tempat itu, diam-diam Yo Han memperhatikan dan dia tahu bahwa di tempat itu terdapat amat banyak orang yang diam-diam melakukan penjagaan sehingga untuk mengajak Sian Li dan Sian Lun melarikan diri dari tempat itu bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Dia juga tadi melihat bahwa di ruang perkabungan terdapat banyak sekali orang yang tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi. Dia melihat pula orang-orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, juga orang-orang Han yang melihat pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.

Ketika Sian Li yang sedang termenung memikirkan sikap Sian Lun yang aneh, berubah sama sekali dan menjadi seperti boneka yang memuakkan di bawah pengaruh Pek-lian Sam-li, melihat ada orang datang menghampirinya, ia mengangkat muka.

Ia girang melihat Cu Ki Bok yang amat baik kepadanya itu. Akan tetapi ketika ia melihat orang ke dua, ia terbelalak saking kagetnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Yo Han akan muncul begitu saja, secara terang-terangan, di tempat itu. Karena ia tidak tahu bagaimana maksud Yo Han dengan kemunculannya, maka ia pun tidak berani lancang membuka suara dan hanya memandang dengan mata terbelalak.

“Li-moi, syukurlah engkau dalam keadaan selamat dan sehat!” Yo Han berteriak sambil menghampiri dan memegang kedua tangan gadis itu.

Melihat sikap Yo Han yang wajar saja, Sian Li merasa lega. Apa lagi ia pun percaya bahwa Cu Ki Bok adalah seorang pemuda yang baik dan yang ingin menolongnya.

“Han-ko, bagaimana engkau bisa datang ke sini?”

“Aku sedang menjadi utusan Sin-ciang Taihiap untuk menyampaikan tuntutan kepada Hek-I Lama supaya engkau dan suheng-mu itu dibebaskan, Li-moi. Mereka mengatakan bahwa engkau beserta Sian Lun mau bekerja sama dengan mereka dan tidak ditahan, maka aku minta agar dapat melihat dengan mata sendiri dan dapat bicara denganmu.”

“Selama ini aku memang diperlakukan dengan baik di sini, Koko, sebagai tamu. Ada pun Suheng...” ia ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.

Yo Han memotong dan berkata kepada Cu Ki Bok, suaranya mengandung penasaran. “Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga. Kalau tidak, aku tidak akan pergi dari sini, aku harus menemani adik misanku ini!”

Ki Bok tersenyum. “Yo-toako, engkau melihat sendiri bahwa Nona Tan Sian Li dalam keadaan sehat dan selamat. Sebaiknya kalian bicara berdua di sini, untuk membuktikan bahwa kalian di sini diberi kebebasan dan bukan menjadi tahanan.” Setelah berkata demikian, Ki Bok meninggalkan mereka berdua di ruangan depan pondok itu.

Setelah Ki Bok pergi, segera Sian Li berkata, “Han-ko, duduklah. Kau tahu, Cu Ki Bok itu ternyata baik sekali. Dia bersungguh-sungguh hendak menolongku.”

Ia lalu menceritakan tentang pertolongan Ki Bok pada saat ia hendak dinodai pangeran Nepal. Setelah menceritakan semua pengalamannya sejak ditangkap oleh suheng-nya sendiri, ia bertanya, “Akan tetapi kenapa engkau malah muncul di sini secara berterang, Han-ko? Bagaimana kalau mereka tahu siapa sebenarnya engkau?”

“Aku sengaja masuk ke sini supaya nanti dapat membantu kalau orang-orang kang-ouw yang sudah kuhubungi datang menyerbu. Kita sendiri tidak mungkin mampu melawan mereka yang jumlahnya amat banyak. Aku sudah minta bantuan orang-orang kang-ouw, sedangkan saudara Gak Ciang Hun beserta ibunya melapor kepada para pendeta Lama dan pasukan pemerintah di Tibet mengenai usaha pemberontakan Lulung Lama. Bagai mana kabarnya dengan suheng-mu? Di mana dia sekarang?”

Mendengar pertanyaan ini, wajah Sian Li berubah muram. Ia mengepal tinju tangannya. “Dia telah tersesat, menyeleweng dan kalau ada kesempatan akan kuhajar dia!”

Yo Han terkejut. “Li-moi, apa yang terjadi?”

“Huh, jahanam keparat itu, pengkhianat busuk itu! Dia sudah merendahkan diri menjadi antek mereka. Dia terbujuk oleh perempuan-perempuan hina Pek-lian-kauw, dan malah menipuku, menangkapku ketika aku hendak menolongnya.”

Melihat gadis itu seperti akan menangis, Yo Han dapat menduga betapa sakit rasa hati gadis itu. Tentu Sian Li mencinta suheng-nya dan sekarang amat kecewa melihat ulah suheng-nya.

“Li-moi, sebenarnya bagaimana watak dan sikap suheng-mu selama ini, sebelum dia tertawan oleh gerombolan ini?”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Selama ini dia baik, setia dan membelaku. Akan tetapi agaknya dia sudah tergila-gila kepada Pek-lian Sam-li, dan agaknya demi perempuan-perempuan itu, dia tidak segan untuk mengkhianatiku.”

Muka Sian Li merah sekali. Jelas bahwa dia menahan diri agar tidak menangis karena ia memang merasa penasaran dan kecewa bukan main kalau mengenang sikap Sian Lun kepadanya.

Yo Han merasa kasihan kepada gadis itu. “Li-moi, engkau jangan khawatir, aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan dia.”

Sepasang mata itu terbelalak. “Apa maksudmu? Untuk apa bersusah payah memikirkan dia? Dia sama sekali tidak minta dibebaskan... hemm, aku hanya ingin menghajarnya, membunuhnya!”

“Li-moi, tenang dan bersabarlah. Ada sesuatu yang aneh dengan sikap suheng-mu itu. Kalau biasanya ia berwatak baik, maka sikapnya sekarang ini tidak wajar. Aku menduga bahwa ia tentu berada di bawah pengaruh sihir. Ingat, para pendeta Lama, orang-orang Pek-lian-kauw dan orang-orang Nepal adalah ahli-ahli sihir yang pandai.”

Sian Li termenung dan menundukkan kepalanya. Ia pun sudah menduga akan hal itu, akan tetapi bagaimana pun hatinya tetap merasa panas dan tidak senang melihat sikap Sian Lun yang demikian akrab dan mesra terhadap tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu. Wajahnya menjadi semakin merah karena sekarang ia teringat akan ucapan Cu Ki Bok bahwa sikapnya itu bisa disangka orang sebagai tanda bahwa ia cemburu. Cemburukah ia terhadap Pek-lian Sam-li yang demikian mesra dengan Sian Lun?

Bagaimana pun juga, tentu saja dia merasa tidak enak. Sian Lun sudah dianggapnya sebagai suheng-nya yang baik dan setia, bahkan dia tahu bahwa suheng-nya itu jatuh cinta kepadanya. Baik ia membalas cinta itu ataukah tidak, tetap saja hatinya tidak enak sekali melihat betapa suheng-nya menjadi kekasih tiga orang Pek-lian-kauw dan sudah mengkhianatinya.

“Ingatlah, Li-moi, engkau tadi menceritakan bahwa engkau juga terkena pengaruh sihir pangeran Nepal itu dan untung ada Cu Ki Bok yang menolongmu. Nah, kuat dugaanku bahwa demikian pula halnya suheng-mu itu. Karena pengaruh sihir, dia mau melakukan apa saja. Kita lihat saja nanti kalau dia sudah sadar dan tidak lagi terpengaruh oleh sihir mereka.”

“Kapankah penyerbuan itu akan terjadi?” tanya Sian Li yang mulai ragu-ragu tentang keadaan suheng-nya, meski pun ia yakin bahwa setelah melihat sikap Sian Lun, kiranya tidak akan mungkin lagi baginya untuk membalas cinta pemuda itu.

“Menurut perhitungan, malam ini mereka akan datang untuk mengepung dan menyerbu tempat ini. Kita harus membantu dari dalam untuk membebaskan suheng-mu dari cengkeraman mereka, baru melarikan diri keluar ketika penyerbuan terjadi.”

Mereka menghentikan percakapan ketika nampak Cu Ki Bok datang menghampiri ke arah mereka. “Dia orang baik Han-ko. Kurasa hanya dialah yang mempunyai landasan bersih dalam perjuangan melawan orang-orang Mancu.”

“Akan tetapi bukankah dia murid Lulung Lama?”

“Benar, akan tetapi dia mengatakan bahwa andai kata aku tidak mau bekerja sama dengan mereka, dia tetap akan mencarikan jalan agar aku dapat lolos dari tempat ini.”

“Hemm, agaknya dia cinta padamu, Li-moi.”

Sian Li mengerutkan alisnya. “Entahlah, akan tetapi aku yakin bahwa dia orang baik.” Percakapan terpaksa dihentikan dulu karena Ki Bok yang berjalan santai menghampiri mereka telah tiba di situ. Dia tersenyum ramah.

“Bagaimana, Yo-toako. Sudah yakinkah engkau sekarang bahwa kami tak menganggap adikmu sebagai tawanan melainkan sebagai tamu?”

Yo Han bangkit berdiri dan memandang marah. “Biar pun diperlakukan dengan baik dan dianggap sebagai tamu, tetap saja adikku ini adalah tamu yang dipaksa dan ditahan di sini. Aku menuntut agar adikku dibebaskan sekarang juga dan ikut dengan aku pergi. Kalau tidak, terpaksa aku akan tinggal di sini menemaninya!”

Melihat sikap ini, Ki Bok lalu mendekati Yo Han dan berkata dengan suara perlahan. “Yo-toako, apakah adikmu belum menceritakan semuanya? Sebaiknya engkau jangan membuat keributan karena kalau terjadi hal itu, aku sendiri takkan dapat melindungimu. Ketahuilah bahwa perkumpulan kami adalah pejuang-pejuang yang gigih dan kalau ada yang menentang akan dibunuh. Suhu sedang mengharapkan agar Sian Li suka bekerja sama membantu perjuangan, demikian pula Sin-ciang Taihiap. Andai kata Sian Li tidak mau pun, tak perlu menggunakan kekerasan dan percayalah, aku yang akan menjamin bahwa Sian Li akan dapat lolos dari sini dengan selamat.”

Yo Han memandang penuh selidik. “Hemm, engkau adalah seorang tokoh di sini, bagai mana engkau hendak melindungi Li-moi? Apa maksudmu melindunginya mati-matian? Tanpa sebab yang jelas bagaimana kami berdua dapat mempercayaimu?”

“Han-ko, aku percaya padanya. Dia sudah membuktikannya!” kata Sian Li yang merasa tidak enak terhadap Ki Bok.

“Justru perlindungannya itu patut dicurigai, Li-moi. Bukankah dia ini seorang di antara mereka yang memusuhi engkau dan suheng-mu? Tanpa alasan yang kuat, bagaimana mungkin dia melindungimu tanpa pamrih yang buruk?”

Mendengar ucapan Yo Han itu, Ki Bok segera berkata dengan terus terang, “Baiklah, Yo-toako, aku membuat pengakuan. Aku bersedia melakukan apa pun untuk Sian Li dengan taruhan nyawaku karena aku jatuh cinta padanya.”

“Ki Bok...!” Sian Li berseru kaget dan memandang wajah pemuda peranakan Tibet itu.

Tadinya ia hanya menganggap Ki Bok seorang yang baik sekali kepadanya, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pemuda itu jatuh cinta padanya. Dan kini pemuda itu membuat pengakuan sedemikian jujurnya di depan Yo Han!

Cu Ki Bok menghela napas panjang sambil memandang kepada gadis itu. “Maafkan aku, Sian Li. Terpaksa aku harus berterus terang. Aku merasa kagum dan jatuh cinta padamu, dan tak peduli apakah engkau akan membalas cintaku, tak peduli apakah akan menerima atau menolak ajakan kerja sama, tetap saja aku harus membebaskan dirimu. Karena itulah, kuharap kalian berdua bersabar dan tidak membuat keributan. Aku akan mencarikan kesempatan sebaik dan seamannya untuk kalian.”

Yo Han mengangguk-angguk. “Kalau begitu, aku akan tinggal di sini menemani Li-moi, harap saudara Cu Ki Bok menyampaikan kepada pimpinan di sini.”

“Baik, Yo-toako, aku akan melaporkan kepada Suhu,” berkata Ki Bok yang segera pergi meninggalkan mereka.

Ketika melihat para penjaga mendekat, dia berbisik kepada mereka agar melakukan penjagaan yang ketat, dan juga memberi tahu bahwa Yo Han adalah kakak misan Sian Li yang tinggal di situ pula untuk menemani adiknya.

Di pondok itu memang terdapat dua buah kamar, maka Yo Han dapat menempati kamar yang ke dua. Akan tetapi setelah Ki Bok pergi, Yo Han dan Sian Li yang sejak tadi diam termenung, masih bercakap-cakap di ruangan depan.

“Kiranya dia jatuh cinta padamu, Li-moi,” kata Yo Han melihat gadis itu termenung saja.

Sian Li menarik napas panjang. “Sungguh sama sekali tidak pernah aku memikirkan hal itu, tak pernah menduganya. Begitu beraninya mengaku cinta!” Wajah gadis itu berubah kemerahan.

“Jangan marah kepadanya, Li-moi. Aku bahkan kagum, karena ia seorang laki-laki yang jantan, gagah dan jujur. Sekarang yang terpenting kita harus mencari di mana adanya suheng-mu. Aku ingin bertemu dengannya dan kalau mungkin akan kusadarkan dia dari pengaruh sihir.”

“Bagaimana jika dia tidak terpengaruh sihir, melainkan kalau dia memang menyeleweng dan tersesat, Han-ko? Menurut keterangan Ki Bok, Suheng memang telah terpikat oleh Pek-lian Sam-li.” Di dalam suara gadis itu masih terkandung kemarahan terhadap Sian Lun.

“Kalau memang demikian, aku akan berusaha untuk menyadarkan dan mengingatkan dia agar kembali ke jalan benar. Bagaimana pun juga dia adalah suheng-mu dan perlu diingatkan kalau dia tergoda, Li-moi.”

“Terserah kepadamu, Han-ko. Namun, kita harus berhati-hati sekali karena biar pun aku kelihatan bebas, tetapi setiap gerak-gerikku diamati dan sedikit saja mereka itu curiga, tentu mereka akan langsung mengepung dan mengeroyok kita. Aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Han-ko, karena kalau mereka tahu bahwa engkau adalah Sin-ciang Taihiap, tentu mereka takkan memberi ampun. Engkau telah membunuh Dobhin Lama.”

Yo Han menggeleng kepala. “Aku tidak membunuhnya. Ketika kami bertanding, biar pun aku dapat mematahkan tongkatnya, akan tetapi aku tidak melukainya. Dia tewas karena usianya yang sudah tua, dan agaknya ia telah terlalu memaksa diri sehingga kehabisan tenaga. Tentu aku akan berlaku hati-hati sekali untuk menyelidiki suheng-mu. Sebaiknya engkau gambarkan keadaan perkampungan ini dan di mana aku dapat mencari Sian Lun.”

Mereka berbisik-bisik dan Sian Li memberi gambaran tentang perkampungan di situ. Setelah mendapat keterangan jelas, mereka lalu memasuki pondok.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar