Kisah Si Bangau Merah Jilid 6-10

Kho Ping Hoo, Kisah Si Bangau Merah Jilid 6-10 “Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara,
“Yo Han, biar hanya sedikit, aku telah mendengar tentang riwayatmu. Engkau sebatang kara, yatim piatu tidak mempunyai keluarga, hidup seorang diri saja di dunia ini, bukan? Nah, engkau boleh pula mengenalku. Namaku Gangga Dewi, aku berasal dari Bhutan, ibuku seorang puteri Bhutan dan ayahku seorang pendekar bangsa Han. Aku pun hidup seorang diri dan aku sedang melakukan perjalanan ke timur untuk mencari ayahku yang sudah lama sekali meninggalkan Bhutan.”

“Locianpwe seorang yang pandai dan berilmu tinggi, tentu akan dapat berhasil dalam usaha Locianpwe itu.”

Gangga Dewi menghela napas panjang. “Agaknya tidak akan semudah itu, anak yang baik. Semenjak dewasa aku tak pernah berkunjung ke timur. Oleh karena itu aku sudah lupa lagi dan daerah timur merupakan tempat yang asing bagiku. Jika saja engkau suka menolongku, Yo Han.”

“Menolong Locianpwe?” Aku...? Aihh, bagaimana seorang anak bodoh seperti aku akan dapat menolongmu, Locianpwe?” Yo Han bertanya dengan heran. Sepasang mata yang jernih itu menatap wajah wanita setengah tua yang memiliki raut muka yang lembut dan cantik akan tetapi pandang mata dan sikapnya mengandung kekerasan itu.

“Yo Han, aku seorang asing di tempat ini. Aku tak tahu ke mana harus mencari ayahku. Aku hampir putus asa mencarinya tanpa hasil. Aku sudah melakukan perjalanan amat jauh dan lama, dari Bhutan tapi sampai kini tidak berhasil. Maukah engkau menolongku, Yo Han, menemani dan membantuku mencari keterangan tentang ayahku itu? Karena engkau seorang bocah bangsa Han, kukira akan lebih mudah mencari keterangan dan tidak akan dicurigai orang, tidak seperti kalau aku yang bertanya-tanya.”

Dua pasang mata itu bertemu. Yo Han melihat betapa mata wanita itu memandangnya penuh harap, penuh permintaan. Ia merasa kasihan, dan juga baru saja ia diselamatkan oleh wanita ini, bahkan mungkin diselamatkan dari ancaman maut yang mengerikan.

Baru saja orang ini menolongnya, menyelamatkan jiwanya. Jika sekarang penolongnya ini minta bantuannya untuk mencarikan ayahnya, bagaimana ia akan mampu menolak? Kalau dia menolak, berarti dia merupakan orang yang paling bo-ceng-li (tak tahu aturan) dan tidak mengerti budi.

Dengan tegas dia mengangguk. “Tentu saja aku suka menolongmu, Locianpwe. Akan tetapi kalau engkau tidak tahu di mana adanya ayahmu itu, setidaknya lebih dulu aku harus mengetahui siapa namanya, bagaimana rupanya, dan berapa usianya sehingga aku dapat bertanya-tanya kepada orang lain.”

“Ah, terima kasih, Yo Han. Sudah kuduga bahwa engkau tentu akan suka menolongku, anak yang baik.”

“Bukan menolong, Locianpwe, tapi hanya sekedar membantu mencari keterangan saja. Siapakah nama ayahmu itu?”

“Ayahku bernama Wan Tek Hoat, dahulu di waktu mudanya terkenal dengan julukan Si Jari Maut. Usianya sekarang delapan puluh tahun lebih dan dia telah menjadi hwesio (pendeta Buddha) dengan nama Tiong Khi Hwesio...”

“Ahhh... Tiong Khi Hwesio...?” Yo Han berseru kaget dan memandang wanita itu dengan mata terbelalak.

“Ya, kenapa, Yo Han?” tanya Gangga Dewi. Anak ini memang penuh kejutan. “Apakah engkau mengenal nama itu?”

“Tentu saja, karena beliau adalah seorang di antara guru-guru dari suhu-ku.”

“Ehhh?”

Untuk kesekian kalinya Gangga Dewi terkejut. Anak ini penuh kejutan yang aneh dan sama sekali tidak disangka-sangka, seolah tidak ada habisnya segala macam keanehan terdapat pada diri anak ini.

“Bukankah gurumu Ang-I Moli tadi?”

“Sebelum aku ikut dengan dia untuk menyelamatkan seorang anak perempuan, sejak aku kehilangan orang tua, aku sudah dipelihara oleh suhu dan subo-ku yang pertama, Locianpwe. Mereka itu adalah suhu dan subo-ku, juga pengganti orang tuaku. Mereka adalah orang-orang sakti, keturunan dari keluarga Istana Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.”

“Wahh... Omitohud... engkau sungguh seorang anak yang luar biasa, Yo Han. Siapakah suhu dan subo-mu itu? Katakan, siapa nama mereka?”

“Suhu bernama Tan Sin Hong, dan subo bernama Kao Hong Li. Apakah Locianpwe mengenal mereka?”

Gangga Dewi menggelengkan kepalanya. “Dan kau katakan tadi bahwa suhu-mu yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid dari ayahku Tiong Khi Hwesio?”

“Benar, Locianpwe. Suhu pernah bercerita bahwa dia mempunyai tiga orang guru, yaitu Tiong Khi Hwesio, kemudian suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu dan Wan Ceng...”

“Ahhh...! Wan Ceng itu adalah bibiku saudara seayah dengan ayahku yang ketika muda bernama Wan Tek Hoat! Omitohud... kenapa bisa begini kebetulan? Yo Han, ternyata di antara kita masih ada hubungan dekat sekali melalui gurumu! Anak baik, coba ceritakan lebih jelas tentang suhu-mu dan subo-mu itu.”

“Suhu-ku tidak pernah bercerita tentang orang tuanya, hanya bahwa dia juga yatim piatu seperti aku dan sejak kecil dia dirawat dan dijadikan murid tiga orang sakti yang telah kuceritakan tadi.”

“Kalau begitu, suhu-mu itu terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri, jadi engkau masih murid keponakanku sendiri! Dan subo-mu? Siapa namanya tadi? Kao Hong Li? She Kao...”

“Subo juga amat lihai. Ayahnya adalah putera dari Istana Gurun Pasir...”

“Ahh, kalau begitu, ayah subo-mu itu masih saudara sepupuku sendiri! Tentu dia putera Bibi Wan Ceng!”

“Sedangkan ibu dari subo adalah seorang wanita dari keluarga Pulau Es.”

“She Suma...?”

“Ya, kalau tidak keliru, nama ibu dari subo adalah Suma Hui...”

“Omitohud...! Ibu dari subo-mu itu puteri Paman Suma Kian Lee! Ahh, ahh, jadi engkau murid dari suami isteri yang demikian hebatnya? Engkau telah mewarisi ilmu-ilmu dari Istana Gurun Pasir dan dari Istana Pulau Es. Bahkan ilmu-ilmu dari ayahku juga? Hebat! Tapi... tapi... kau katakan tadi bahwa engkau tidak bisa ilmu silat, tidak suka ilmu silat? Bagaimana ini?”

“Aku adalah seorang murid yang tidak baik, Locianpwe...”

“Wah, jangan engkau menyebut aku locianpwe lagi. Kita masih terikat hubungan yang amat dekat, Yo Han. Kalau dihitung dari suhu-mu Tan Sin Hong itu, maka aku adalah bibi gurumu. Kalau dihitung dari subo-mu Kao Hong Li yang masih cucu dari Bibi Wan Ceng, maka aku adalah nenek gurumu karena subo-mu itu terhitung keponakanku sendiri! Kau sebut, saja aku Bibi Gangga Dewi.”

”Baiklah, Bibi. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah seorang murid yang buruk. Suhu dan Subo adalah pendekar-pendekar yang berilmu tinggi, akan tetapi aku... aku tidak pernah mau berlatih silat sebab aku melihat kekerasan dalam ilmu silat yang tidak cocok dengan bakat dan watakku.”

Gangga Dewi mengerutkan alisnya. Anak ini aneh, akan tetapi dalam hal ilmu silat, dia memiliki pandangan yang sempit, mendekati sombong malah!

“Tapi mereka berdua itu mengajarkan ilmu silat kepadamu?”

“Tentu saja, Bibi. Selama lima tahun, Suhu dan Subo menggembleng dan mengajarkan ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, meski pun aku menghafal semua ilmu itu, aku tidak pernah mau berlatih.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak melihat manfaatnya berlatih silat. Hasilnya hanya akan menanamkan kekerasan dan kekejaman dalam hatiku. Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga, tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga, dan tidak ingin menang dari siapa pun. Untuk apa berlatih silat?”

Sombongnya, pikir Gangga Dewi. Kalau saja yang bicara itu seorang dewasa, tentu dia akan marah. Tetapi Yo Han masih begitu kecil, masih mentah, sehingga ia menganggap bahwa pandangan dan pendapat itu hanya pendapat anak kecil yang belum matang.

“Lalu, kalau suhu dan subo-mu telah menjadi pengganti orang tuamu, mengapa engkau meninggalkan mereka dan mengikuti seorang jahat macam Ang-I Moli?”

“Sudah kuceritakan bahwa untuk menyelamatkan seorang anak perempuan yang diculik Ang-I Moli, aku menggantikannya dan terpaksa ikut dengannya sesuai yang kujanjikan.”

“Tapi, kenapa tidak kau laporkan pada suhu dan subo-mu? Tentu mereka akan mampu mengusir Ang-I Moli dan menolong anak perempuan itu. Kenapa engkau meninggalkan keluarga yang amat baik itu?”

Yo Han diam sejenak, kemudian sambil menentang mata wanita itu, dia bertanya, “Bibi tentu tidak ingin kalau aku membohong, bukan?”

“Tentu saja tidak!”

“Nah, kalau begitu, harap Bibi jangan bertanya tentang kenapa aku pergi meninggalkan Suhu dan Subo. Yang penting sekarang adalah aku membantu Bibi untuk mencari tahu di mana adanya ayah Bibi, yaitu Sukong (Kakek Guru) Tiong Khi Hwesio, bukan?”

Gangga Dewi memandang dengan mata terbelalak. Anak ini memang aneh sekali. Akan tetapi keras hati, jujur, dan pemberani. “Baiklah, Yo Han. Sekarang bawa aku ke rumah suhu dan subo-mu itu, karena mereka pasti tahu di mana adanya ayahku sekarang.”

Yo Han tahu bahwa memang yang paling mudah adalah membawa wanita peranakan Bhutan ini ke rumah suhu dan subo-nya. Pertama, rumah mereka tidak begitu jauh dari situ, dan ke dua, tentu saja suhu-nya merupakan orang yang paling dekat dengan Tiong Khi Hwesio dan tentu akan dapat mengatakan di mana bibi Gangga Dewi akan dapat menemui ayahnya.

Tetapi, tidak mungkin dia kembali ke rumah suhu dan subo-nya. Dia telah meninggalkan mereka karena kehadirannya di rumah itu tak dikehendaki suhu dan subo-nya, terutama subo-nya. Mereka ingin menjauhkan Sian Li darinya. Kalau dia kembali ke sana, tentu suhu dan subo-nya akan menitipkan dia ke dalam kuil dan dia tidak ingin hal itu terjadi. Dia tidak mau tinggal di kuil, dan dia tidak mau menyusahkan suhu dan subo-nya.

“Aku tidak dapat pulang ke rumah mereka, Bibi. Akan tetapi aku dapat membawa Bibi kepada seseorang yang tentu akan dapat pula memberi tahu ke mana Bibi harus pergi untuk menemui ayah Bibi itu.”

“Hemm, siapakah orang itu, Yo Han? Dan di mana tempatnya?”

“Dia adalah seorang tua gagah yang kini mengasingkan diri dan bertapa di Pegunungan Tapa-san. Aku pernah dititipkan Suhu kepadanya, Bibi. Dan aku yakin dia akan dapat menerangkan di mana adanya ayah Bibi. Dan dia juga anggota keluarga Istana Pulau Es, namanya Suma Ciang Bun, masih paman dari Subo karena ibu dari Subo adalah kakak dari Kakek Suma Ciang Bun.”

“Suma... Ciang... Bun...?”

Sepasang mata itu terbelalak, bibir itu gemetar dan wajah itu berubah pucat sekali, lalu menjadi merah. Gangga Dewi merasa betapa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi dia cepat menguasai perasaannya. “Dia... putera Paman Suma Kian Lee. Baik, mari kita pergi mencarinya, Yo Han.”

Pergilah mereka meninggalkan kuil itu. Diam-diam Gangga Dewi merasa girang sekali. Ia amat tertarik pada anak ini dan ingin mengetahui lebih banyak, bahkan kalau mungkin ia ingin menariknya menjadi muridnya. Apa lagi setelah kini terdapat kenyataan bahwa anak ini masih terhitung murid keponakan atau juga cucu muridnya sendiri.

Dan pertemuannya dengan Yo Han ternyata juga memudahkan ia menemukan ayahnya yang sudah lama ia rindukan. Yo Han sendiri tidak tahu dan tidak pernah mendengar dari suhu-nya bahwa tiga orang guru dari suhu-nya itu telah meninggal dunia semua.

Di lain pihak, Yo Han juga sangat kagum kepada Gangga Dewi. Wanita ini selain gagah perkasa dan tangkas, juga memiliki watak yang tegas. Wanita ini tidak cengeng dan tidak mendesaknya untuk bercerita banyak tentang dirinya, bahkan ketika dia tidak mau menceritakan tentang sebab dia meninggalkan suhu dan subo-nya, Gangga Dewi sama sekali tidak tersinggung dan tidak mau bertanya lebih jauh mengenai hal itu. Wanita ini pendiam dan tidak cerewet.....


********************


Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tahun lebih. Kelak dalam sejarah dia akan dikenal sebagai Kaisar yang berhasil dalam tugasnya memimpin Kerajaan Mancu, yaitu Wangsa Ceng. Dialah Kaisar ke dua dari bangsa Mancu yang menjadi Kaisar semenjak muda sampai lanjut sekali.

Sejak berusia sembilan belas tahun ia telah menjadi Kaisar, dan kini sudah empat puluh empat tahun dia memegang tampuk kerajaan tetapi belum nampak tanda-tanda bahwa ia akan meninggalkan singgasana. Bahkan dalam usia enam puluh tiga tahun, ia masih nampak penuh semangat.

Harus diakui dalam sejarah bahwa selama ia berkuasa (1736-1796), yaitu selama enam puluh tahun, pemerintahannya memperoleh kemajuan pesat. Bahkan Kaisar Kian Liong yang dibantu banyak orang pandai berhasil memadamkan api pemberontakan di mana-mana. Juga di daerah barat, pemberontakan dapat dia tundukkan dan daerah barat itu kemudian diberi nama Sinkiang (Daerah Baru).

Bala tentara di bawah Kaisar Kian Liong sangat besar dan kuat. Ketika di Tibet timbul kerusuhan, yaitu ketika bangsa Gurkha dari Nepal menyerbu ke daerah itu, Kaisar Kian Liong mengirimkan pasukan yang kuat ke Tibet untuk mengusir penyerbu itu. Bahkan ketika orang-orang Gurkha dari Nepal itu dipukul mundur dan melarikan diri kembali ke negaranya, pasukan Mancu melakukan pengejaran, melintasi Pegunungan Himalaya dan memasuki Nepal.

Bala tentara bantuan dikerahkan dari kota raja, dan dengan kekuatan penuh pasukan-pasukan Mancu menyerang bagai gelombang yang dahsyat dan menggetarkan seluruh daerah barat. Perjalanan yang jauh dari pasukan itu, melintasi daerah yang amat sulit di Pegunungan Himalaya, telah membuktikan kehebatan pemerintahan Kaisar Kian Liong. Akhirnya pasukan itu berhasil menaklukkan bangsa Gurkha dan juga memaksa mereka mengakui kekuasaan yang dipertuan Kerajaan Ceng-tiauw di Cina.

Bukan hanya ke barat bala tentara Kaisar Kian Liong memperlihatkan ketangguhannya. Juga ketika terjadi kekacauan di selatan, yaitu saat bangsa Birma mengacau di Propinsi Yunan bagian barat daya, Kaisar Kian Liong segera mengirimkan pasukan pilihan untuk mengamankan daerah itu. Pasukan ini lalu memukul mundur bangsa Birma kembali ke negara mereka, bahkan terus menyerbu ke Birma.

Meski sampai dua kali pasukan Mancu menyerbu Birma dan rakyat Birma mati-matian mempertahankan diri sehingga tidak dapat ditundukkan, tetapi Kaisar Kian Liong sudah cukup puas telah dapat memberi ‘pelajaran’ dan akhirnya bangsa Birma juga mengakui kekuasaan Kerajaan Ceng di Cina. Demikian pula dengan negeri An-nam yang pada jaman pemerintahan bangsa Mongol sudah ditundukkan, lalu sempat memberontak dan oleh pasukan Mancu dapat ditundukkan kembali.

Bagi rakyat, seorang Kaisar dianggap sebagai orang ‘pilihan Tuhan’ bahkan ada yang menyebutnya wakil Tuhan atau putera Tuhan! Demikian tingginya pandangan rakyat jelata terhadap Kaisarnya sehingga seorang Kaisar selalu didewa-dewakan dan tidak dianggap sebagai manusia lumrah!

Padahal, bila ada yang dapat menjenguk ke dalam istana dan mengikuti cara hidup dan keadaan seorang Kaisar, seperti Kaisar Kian Liong sekali pun, akan terbuka matanya melihat kenyataan bahwa seorang Kaisar pun hanya seorang manusia biasa! Seorang manusia yang memiliki kelebihan dan kekurangan pribadi, seperti juga halnya manusia-manusia lain di dunia ini, seorang manusia yang pada hakekatnya bertubuh lemah, tidak kebal terhadap penyakit dan kematian. Seorang manusia yang berbatin lemah, tidak kebal terhadap nafsu-nafsu yang menggodanya, yang selalu menjadi korban permainan suka-duka dan puas-kecewa.

Ketika itu tahun 1780, dan Kaisar Kian Liong sudah berusia enam puluh tiga tahun. Permaisurinya sudah meninggal dunia tiga tahun yang lalu. Namun Kaisar Kian Liong tidak merasa kesepian dengan meninggalnya sang permaisuri itu. Apa lagi sudah lama dia selalu dilayani dan didampingi selirnya yang paling dia kasihi, yaitu Puteri Harum yang setelah menjadi isterinya dikenal dengan sebutan Siang Hong-houw (Permaisuri Harum).

Selir yang kini menjadi pengganti permaisuri ini adalah seorang puteri tawanan. Kaisar Kian Liong memang terkenal sebagai seorang Kaisar yang bijaksana sejak ia pangeran, memiliki pergaulan yang luas dengan para pendekar dan dikenal sebagai seorang yang pandai bergaul, pandai mengambil hati bawahan, bahkan disukai oleh rakyat jelata. Akan tetapi ia pun terkenal sebagai seorang laki-laki yang mudah tergila-gila oleh wanita cantik dan tak pernah berhenti mengejar wanita-wanita cantik.

Setelah dia menjadi Kaisar, di samping mengurus kerajaan dengan tekun dan bijaksana, dia tidak pula melepaskan kesukaannya mengumpulkan wanita-wanita cantik. Namun, seperti halnya nafsu-nafsu lainnya, nafsu birahi pun seperti api, makin diberi umpan, semakin lapar! Nafsu tidak pernah mengenal arti puas dan cukup, yang dikenalnya hanyalah bosan akan yang lama dan haus akan yang baru, tiada hentinya mencari dan mencari demi kehausannya yang tak kunjung habis.

Ketika seorang panglimanya bercerita akan kecantikan seorang puteri di daerah barat, yaitu di Sinkiang, Kaisar Kian Liong tertarik sekali. Hati pria mana yang tidak akan tertarik kalau mendengar betapa puteri bangsa Uighur itu, cantik seperti bidadari, akan tetapi juga terkenal sekali karena tubuhnya selalu mengeluarkan keharuman yang dapat memabokkan setiap orang pria. Biar pun puteri itu, anak seorang kepala suku bernama Ho-couw, sudah menikah dengan seorang kepala suku beragama Islam, akan tetapi di seluruh Sinkiang ia terkenal dengan sebutan Puteri Harum!

Mendengar berita mengenai wanita ini, Kaisar Kian Liong menjadi tergila-gila! Belum pernah selama hidupnya dia mendapatkan seorang wanita yang keringatnya berbau harum! Keharuman pada tubuh wanita-wanita yang menjadi selirnya adalah keharuman buatan, bahkan untuk menutupi bau keringat yang tidak sedap!

Kebetulan pada waktu itu banyak di antara kepala suku yang memperlihatkan sikap tidak taat kepada kekuasaan Kaisar, maka pasukan besar lalu dikirim ke Sinkiang dan panglima pasukan operasi itu, Jenderal Cao Hui, sudah mendapat pesan khusus dari Sribaginda Kaisar agar dia dapat menawan sang puteri itu dan membawanya ke istana dalam keadaan sehat dan selamat.

Operasi itu berjalan baik. Keluarga Puteri Harum, juga suaminya, terbunuh dan sang puteri dibawa ke Istana Peking sebagai seorang tawanan perang istimewa. Pada waktu Jenderal Cao Hui menghadapkan sang puteri di depan Kaisar Kian Liong, Kaisar ini menjadi sangat terpesona menghadapi wanita yang memiliki kecantikan yang khas itu. Dia merasa seperti dalam mimpi, bertemu seorang dewi dari barat.

Tubuhnya begitu halus mulus, dengan kulit yang putih bersih kemerahan, dengan lekuk lengkung sempurna, bibirnya merah basah tanpa alat, matanya kebiruan seperti langit jernih, bulu matanya panjang melengkung ke atas, dan yang lebih dari segalanya dari tubuh yang nampak lelah karena melakukan perjalanan amat jauh itu tersiar keharuman yang aneh namun amat sedap bagi hidung dan nyaman bagi perasaan.

Ia pasti seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan, demikian kata hati Kaisar itu dan segera mengangkatnya menjadi selir terkemuka, bahkan kemudian menjulukinya Siang Hong-houw atau Permaisuri Harum.

Pada bulan-bulan pertama kediamannya di istana Kaisar Mancu itu, Puteri Harum selalu berduka dan tidak mau melayani Sang Kaisar yang sudah tergila-gila. Ia teringat akan keluarganya, teringat akan negaranya dan keadaan lingkungan yang amat berbeda.

Kaisar Kian Liong yang sudah tergila-gila itu menjadi bingung. Dan atas saran dari para penasehatnya, dia lalu memerintahkan membangun sebuah istana mungil yang diberi nama Istana Bulan Purnama, dibuat secara khas dan khusus untuk Puteri Harum, juga di situ dibangun sebuah tempat mandi khas Turki yang diberi nama Ruang Mandi Para Bidadari.

Bahkan Kian Liong memerintahkan para ahlinya untuk membangun sebuah masjid dan bangunan-bangunan khas model Uighur di sekeliling Istana Bulan Purnama itu. Dengan demikian, sang puteri dapat melakukan kebiasaannya seperti ketika masih di Uighur, dan dapat melihat semua bangunan itu dari loteng istananya sehingga dapat mengatasi kedukaan dan kerinduannya akan kampung halaman.

Mendapat perhatian dan kasih sayang yang berlimpah-limpah itu, Puteri Harum merasa terharu dan dengan suka rela ia lalu menyerah dalam pelukan Kaisar Kian Liong dan mulai berusaha untuk membalas kasih sayangnya. Hal ini tidak begitu sulit karena sang waktu membantu Puteri Harum untuk melupakan keluarganya yang telah terbasmi, apa lagi ditambah pula memang Kaisar Kian Liong adalah seorang pria yang tampan dan menarik, juga berpengalaman dan pandai mengambil hati wanita.

Sebagai seorang wanita yang pandai menunggang kuda dan mempergunakan anak panah, Siang Hong-houw sering kali diajak oleh Kaisar Kian Liong kalau Kaisar ini pergi berburu ke Yehol, yaitu suatu daerah di Mongolia Dalam. Demikianlah, sejak saat itu, boleh dibilang Kaisar Kian Liong menghentikan semua kegemarannya mengumpulkan wanita-wanita cantik yang baru. Di dalam diri Siang Hong-houw dia menemukan segala-galanya yang dibutuhkan untuk memuaskan nafsu birahinya.

Ketika dia berusia enam puluh tiga tahun, Siang Hong-houw tidak muda lagi, sudah sekitar empat puluh tahun usianya. Akan tetapi wanita ini masih cantik menarik penuh pesona, dan keringatnya masih juga berbau harum. Dan ternyata, keharuman keringat Siang Hong-houw memang dari dalam, walau pun bukan tanpa usaha.

Sejak kecil, wanita ini minum ramuan akar wangi dan sari bunga-bunga harum seperti mawar, bahkan kalau mandi selalu tentu menggunakan air yang diharumkan dengan cendana dan bermacam sari kembang yang harum. Bahkan makannya juga tersendiri, tidak mau makan makanan yang dapat mendatangkan bau tidak enak, melainkan sayur-sayuran dan buah-buahan yang mendatangkan bau sedap!

Daya tahan tubuh manusia itu sangat terbatas dan mempunyai ukuran tertentu. Kaisar Kian Liong sejak mudanya sering menghamburkan tenaganya untuk memuaskan nafsu birahinya, bahkan kadang-kadang dia juga mempergunakan ramuan obat-obatan untuk memperkuat tubuhnya.

Hal ini baru terasa akibat buruknya setelah dia berusia enam puluh tahun lebih. Kini dia merasa betapa tubuhnya lemah, bahkan hampir kehilangan gairahnya. Makin jarang saja ia menyuruh Siang Hong-houw menemaninya, bahkan lebih sering ia menjauhkan diri dari wanita, menyendiri di dalam kamarnya, lebih suka membaca kitab dari pada bermesraan dengan permaisuri yang dicintanya itu.

Kerenggangan sebagai akibat dari kemunduran keadaan kesehatan Kaisar itu memberi banyak waktu luang pada Permaisuri Harum dan menumbuhkan kembali kerinduannya kepada suku bangsanya sendiri. Meski Sribaginda Kaisar tidak melarang ia menunaikan ibadahnya sebagai seorang yang beragama Islam, tapi permaisuri ini merasa kesepian dan ia pun merindukan lingkungan yang lain, lingkungan yang terasa lebih akrab karena persamaan kepercayaan.

Oleh karena kerenggangannya dari Kaisar yang kini lebih banyak mengurus negara dan membaca kitab, Siang Hong-houw menjadi makin akrab dengan seorang thai-kam yang bernama Mo Si Lim. Laki-laki yang dikebiri ini sebetulnya masih terhitung sanak dengan sang permaisuri. Dia seorang peranakan Uighur yang beragama Islam pula. Bahkan namanya merupakan perubahan dari nama kecilnya, yaitu Muslim yang diberikan oleh ayahnya untuk menandakan bahwa dia seorang muslim, seorang yang beragama Islam.

Bahkan Siang Hong-houw pula yang mengusulkan kepada Kaisar agar bisa mempunyai seorang pelayan berbangsa Uighur. Maka belasan tahun yang lalu, pemuda Mo Si Lim dijadikan thai-kam. Dengan adanya Mo Si Lim, maka kerinduan Siang Hong-houw pada bangsanya dapat terhibur. Mo Si Lim melayaninya dan mereka dapat bercakap dalam bahasa mereka, membicarakan tentang keadaan di Sinkiang.

Akan tetapi, beberapa tahun akhir-akhir ini, secara diam-diam Mo Si Lim mengadakan hubungan dengan orang-orang dari perkumpulan rahasia yang memiliki cita-cita untuk mengusir penjajah Mancu dari Cina. Tentu saja mudah bagi orang Uighur ini untuk tertarik dengan cita-cita perjuangan itu, mengingat betapa bangsanya juga tertekan oleh penjajah Mancu, dan banyak kawannya sudah tewas ketika daerah barat diserbu oleh pasukan Mancu.

Mo Si Lim adalah anak buah mendiang suami Puteri Harum. Kesetiaannya jugalah yang membuat dia rela dijadikan thai-kam, supaya dia dapat mendekati dan melayani Puteri Harum.

Sore hari itu Siang Hong-houw duduk sendiri di ruangan duduk dengan santai. Baru saja dia melakukan sholat atau sembahyang maghrib di dalam ruangan sembahyang yang khusus dibuat untuknya. Pada waktu dayang kepercayaannya memasuki ruangan itu, ia memerintahkan dayangnya untuk memanggil Mo Si Lim.

"Suruh dia masuk menghadapku, kemudian engkau berjaga di luar pintu dan melarang siapa saja masuk ruangan ini tanpa kupanggil."

Dayang itu, seorang peranakan Uighur pula, menyembah lalu keluar dari ruangan itu, memanggil Mo Si Lim, thai-kam (laki-laki kebiri) yang bertugas jaga di bagian depan istana puteri itu. Setelah dayang itu pergi, Siang Hong-houw duduk di atas kursi panjang yang nyaman. Ia masih amat cantik walau pun usianya sudah empat puluh tahun lebih.

Wajah yang putih kemerahan itu masih halus tanpa dibayangi keriput. Hanya beberapa garis lembut di tepi mata dan antara alisnya sajalah yang menjadi bukti bahwa ia bukan gadis muda lagi, melainkan seorang wanita yang sudah matang. Tubuhnya masih padat dengan lekuk lengkung yang sempurna, tidak dirusak oleh kelahiran anak. Dari jarak dua meter orang akan dapat mencium keharuman semerbak yang keluar dari tubuhnya.

Ia seorang wanita yang tidak menghambakan diri kepada nafsu birahi. Ketika dipisahkan dengan paksa dari suaminya, maka bersama dengan kematian suaminya, mati pulalah gairah birahinya. Jika ia melayani Kaisar Kian Liong, hal itu hanya dilakukan karena rasa kasihan kepada Kaisar yang sangat menyayangnya. Dan sekarang, setelah suaminya itu, Kaisar Kian Liong, jarang menggaulinya, Siang Hong-houw merasa lebih enak dan senang.

Ketukan pada pintu ruangan duduk yang luas itu membuyarkan lamunannya. Ketukan tiga kali, pelan keras pelan. Itu adalah ketukan Mo Si Lim.

"Masuklah, Muslim!" kata puteri itu dalam bahasa Uighur.

Thaikam itu membuka daun pintu, lalu masuk dan menutupkan kembali daun pintu. Dia menjatuhkan diri berlutut menghadap sang permaisuri.

"Bangkit dan duduklah. Aku ingin mendengar laporanmu tentang keadaan di luar istana, terutama sekali tentang Thian-li-pang. Bukankah engkau telah menyelidiki Thian-li-pang seperti yang kuperintahkan?"

Mo Si Lim menyembah, bangkit lalu duduk di atas sebuah bangku pendek, sedangkan Siang Hong-houw kini duduk di atas kursi gading yang ukirannya sangat indah. Mereka berhadapan dalam jarak dua meter, terhalang meja kecil sehingga orang kebiri itu dapat menikmati keharuman semerbak dari depannya.

"Kebetulan sekali, hamba memang sedang menunggu perintah dan panggilan Paduka, Puteri. Untuk langsung menghadap, hamba tidak berani karena khawatir menimbulkan kecurigaan. Hamba membawakan sepucuk surat permohonan dari Ketua Thian-li-pang sendiri untuk dihaturkan kepada Paduka."

"Surat Ketua Thian-li-pang? Cepat berikan kepadaku, Muslim!" kata Siang Hong-houw dan sikapnya berubah, cekatan sekali dan penuh gairah kegembiraan.

Mo Si Lim mengeluarkan sampul surat dari saku dalam bajunya. Setelah menyembah, dia menyerahkan sampul surat itu kepada sang puteri. Siang Hong-houw cepat merobek sampulnya, lalu mengeluarkan sehelai kertas yang memuat huruf-huruf yang coretannya indah. Lalu dia mulai membacanya. Beberapa kali sepasang alis itu berkerut ketika dia membacanya.

"Muslim, apakah engkau juga sudah mengetahui akan isi surat ini?" tanya Sang Puteri setelah dua kali membaca isi surat.

Muslim atau Mo Si Lim menyembah. "Hamba tidak tahu, Puteri. Hanya utusan ketua itu mengatakan bahwa Thian-li-pang ingin mengajukan permohonan pada Paduka melalui surat yang harus hamba sampaikan ini."

"Muslim, permintaan mereka yang pertama masih wajar, tetapi yang ke dua sungguh berat untuk dapat kusetujui. Cepat kau nyalakan api di tungku perapian itu dulu, surat ini harus dibakar lebih dahulu baru kita bicara."

Mo Si Lim melaksanakan perintah itu tanpa bicara, dan setelah api bernyala, Siang Hong-houw sendiri yang melemparkan surat dan sampulnya ke dalam api yang segera membakarnya habis menjadi abu dan tidak ada bekasnya lagi. Mereka lalu duduk lagi berhadapan seperti tadi.

"Ketahuilah, Muslim. Pertama Ketua Thian-li-pang memohon kepadaku agar aku suka memberi sumbangan untuk membantu pembiayaan Thian-li-pang. Ke dua, dan ini yang tak dapat kusetujui, mereka mohon perkenan dan persetujuanku agar supaya aku suka membantu mereka dalam usaha mereka membunuh Sribaginda Kaisar."

Tidak nampak perubahan apa pun pada wajah thai-kam itu. Dia merupakan seorang mata-mata yang pandai bersandiwara. Bahkan suaranya datar saja tanpa dipengaruhi perasaan ketika dia bertanya, "Yang mulia, mengapa pula mereka hendak melakukan pembunuhan? Apakah mereka menjelaskan alasannya?"

"Mereka bukan saja berniat untuk membunuh Sribaginda, akan tetapi juga Pangeran Cia Cing dan Pangeran Tao Kuang. Alasan mereka, bila tidak dibunuh sekarang, beberapa tahun lagi tentu Sribaginda mengundurkan diri dan akan menyerahkan tahta kerajaan kepada seorang di antara kedua pangeran itu. Dan seperti kau ketahui, kedua pangeran itu adalah orang-orang Mancu asli karena ibu mereka pun wanita Mancu. Kalau mereka bertiga itu tidak ada lagi, tentu tahta kerajaan akan terjatuh ke tangan Pangeran Kian Ban Kok yang ibunya orang Kin. Dengan demikian, maka ada darah Han yang menjadi Kaisar, dan mereka akan mendukung pangeran itu."

Mo Si Lim mengangguk-angguk. "Sekarang, jawaban apa yang akan Paduka berikan dan yang harus saya sampaikan kepada mereka?"

Puteri Harum bangkit dari tempat duduknya, berjalan menghampiri sebuah almari dan mengeluarkan sebuah kotak hitam, lalu duduk kembali. Ia menaruh kotak kecil hitam itu di atas meja di depannya lalu membukanya. Isinya perhiasan yang gemerlapan.

"Ini perhiasan berharga yang tak pernah kupakai, bawaanku sendiri dari Sinkiang dulu. Berikan kepada Thian-li-pang sebagai sumbangan dariku yang mendukung perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah. Mengenai permintaan mereka yang ke dua, sekarang aku masih belum dapat menyetujuinya. Bagaimana pun juga, aku adalah isteri Sribaginda dan merupakan dosa besar bagiku kalau aku bersekutu dengan siapa pun untuk membunuh suami sendiri. Allah akan mengutukku. Jika mereka berkeras hendak melakukannya juga, aku tidak ikut campur. Nah, sampaikan semua itu kepada mereka, dan kalau tidak teramat penting, aku tidak mau lagi diganggu mereka walau pun aku mendukung perjuangan mereka."

Mo Si Lim menyembah, lalu mengambil peti hitam kecil itu, memasukkannya ke dalam saku jubahnya bagian dalam, menyembah lagi kemudian mengundurkan diri, keluar dari kamar atau ruang duduk itu. Siang Hong-Houw yang ditinggalkan seorang diri bertepuk tangan memanggil dayangnya. Ia pun memasuki kamarnya untuk membuat persiapan karena tadi sudah ada isyarat dari Sribaginda Kaisar bahwa malam ini Sribaginda akan tidur di kamar permaisurinya yang tersayang ini.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Mo Si Lim sudah meninggalkan istana tanpa ada yang menaruh curiga. Padahal, di balik jubahnya, thai-kam ini membawa sebuah peti kecil yang isinya amat berharga. Dia berjalan dengan hati-hati dan berkeliling kota. Setelah merasa yakin bahwa dirinya tidak dibayangi orang lain, dia lalu menyelinap masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah besar dan kuno yang berdiri di sudut kota raja.

Sebelum bangsa Mancu datang menjajah, rumah ini dahulu adalah sebuah istana milik seorang pangeran. Kini rumah itu terjatuh ke tangan penduduk biasa yang cukup kaya dan dijadikan sebagai tempat peristirahatan. Namun, karena rumah itu besar dan kuno juga tidak begitu terawat maka kelihatan menyeramkan. Apa lagi keluarga yang memiliki rumah besar itu jarang menempatinya, maka rumah itu nampak angker dan didesas-desuskan sebagai rumah yang ada hantunya.

Agaknya Mo Si Lim tidak asing lagi dengan rumah ini. Dia tidak menuju ke pintu depan, tapi mengambil jalan samping dan memasuki pintu samping yang kecil dan menembus kebun di samping rumah. Dia lenyap bagaikan ditelan raksasa ketika memasuki rumah itu melalui pintu samping.

Rumah itu nampak kosong, akan tetapi ketika Mo Si Lim tiba di ruangan belakang, tiba-tiba muncul sesosok bayangan dan seorang laki-laki tinggi besar berdiri di depannya. Mo Si Lim berhenti melangkah dan memandang kepada laki-laki yang usianya kurang lebih empat puluh tahun itu. Dia tidak mengenal orang itu, maka dengan hati-hati dia berkata kepada orang itu,

"Selamat pagi, Sobat... saya hendak bertemu dengan Saudara Ciang Sun. Apakah dia berada di sini?"

Akan tetapi tidak terdengar jawaban, bahkan tujuh orang laki-laki lain bermunculan dan delapan orang itu mengepung Mo Si Lim. Mereka itu berusia antara dua puluh sampai empat puluh tahun, rata-rata nampak gagah dan kuat.

"Siapa engkau?" Si Tinggi Besar membentak.

Mo Si Lim adalah seorang yang cerdik. Dia belum tahu siapa adanya delapan orang ini. Pembawa surat Ketua Thian-li-pang adalah Ciang Sun, dan Ciang Sun sudah berjanji akan menantinya di rumah gedung itu seperti biasanya. Akan tetapi pagi hari ini, saat yang sangat penting karena dia membawa sumbangan dan pesan Siang Hong-houw, Ciang Sun tidak muncul, dan sebaliknya muncul delapan orang yang tak dikenalnya ini dengan sikap mengancam. Dia pun segera bersikap angkuh dan hendak mengandalkan kedudukannya untuk menggertak mereka dan menyelamatkan diri.

"Aku adalah kepala thaikam di istana Permaisuri, namaku Mo Si Lim dan harap kalian cepat memanggil Ciang Sun agar menghadap di sini."

"Hemmm, engkau tentu adalah seorang mata-mata yang hendak berhubungan dengan Thian-li-pang! Hayo mengaku saja!" bentak Si Tinggi Besar. Namun, Mo Si Lim tidak kalah gertak.

"Siapakah kalian? Jangan menuduh sembarangan. Aku seorang petugas di istana dan aku tidak mengenal apa itu Thian-li-pang. Aku hendak bertemu Ciang Sun untuk urusan jual beli perhiasan. Kalau kalian tidak tahu di mana Ciang Sun berada, harap mundur dan jangan menghalangi aku. Ataukah aku harus mengerahkan pasukan keamanan untuk menangkap kalian?"

Pada saat itu muncul seorang laki-laki yang tinggi kurus dan orang itu berseru, "Saudara Mo Si Lim, selamat datang! Maafkan kawan-kawanku. Mereka ingin mengujimu, apakah engkau dapat menyimpan rahasia kami!"

Mo Si Lim mengerutkan alisnya dan memandang Si Tinggi Kurus. "Ah, Saudara Ciang Sun, apakah sampai sekarang engkau masih belum percaya kepadaku? Kalau tidak ada saling kepercayaan, antara kita lebih baik tak ada hubungan saja! Bukankah aku hanya akan membantu Thian-li-pang?”

"Sekali lagi maafkan, Sobat. Nah, duduklah dan bagaimana hasil dan jawaban surat dari pangcu (ketua) kami?" tanya Ciang Sun.

Si Tinggi Kurus ini menjadi orang kepercayaan Thian-li-pang untuk melakukan operasi penting itu, yaitu mencari dana bagi perkumpulan orang-orang gagah yang hendak menentang pemerintah penjajah itu, dan mengatur rencana untuk mencoba melakukan pembunuhan terhadap Kaisar Kian Liong. Dia mendapat kepercayaan ini karena Ciang Sun adalah seorang di antara pembantu-pembantu utama yang mempunyai kepandaian silat tinggi di samping kecerdikan dan keberanian.

Mo Si Lim duduk di kursi, berhadapan dengan Ciang Sun, sedangkan delapan orang anggota Thian-li-pang berdiri di sudut-sudut ruangan itu, berjaga-jaga dengan sikap gagah. Dengan hati masih merasa mendongkol atas penyambutan tadi, Mo Si Lim lalu mengambil sikap angkuh.

"Saudara Ciang Sun, surat dari ketua kalian telah berkenan diterima oleh Yang Mulia Puteri Siang Hong-houw kemarin sore."

"Kenapa baru kemarin sore? Bukankah surat itu telah kami serahkan kepadamu lima hari yang lalu?" Ciang Sun bertanya, nada suaranya menegur.

"Hemmm, kalian ingin mudah dan enaknya saja. Menghadap Siang Hong-houw dengan membawa surat rahasia seperti itu tentu saja butuh ketelitian dan kewaspadaan. Kalau sampai diketahui orang lain, berarti hukuman mati bagiku, sedangkan kalian enak-enak saja berada di luar dan tidak terancam bahaya."

"Baiklah, kami dapat mengerti, Saudara Mo Si Lim. Lalu bagaimana jawaban dari Siang Hong-houw?"

Mo Si Lim memandang kepada Ciang Sun, lalu kepada para anggota Thian-li-pang yang berdiri bagai patung dan dengan suara mengandung kebanggaan ia pun berkata, "Yang Mulia Siang Hong-houw mendukung perjuangan yang hendak membebaskan rakyat dari cengkeraman penjajah. Yang Mulia merasa gembira mendengar bahwa Thian-li-pang berjuang demi kemerdekaan, dan untuk menyatakan dukungannya, maka permohonan Thian-li-pang untuk diberi sumbangan, telah menggerakkan hati Yang Mulia dan beliau mengirimkan ini sebagai sumbangan untuk Thian-li-pang."

Ia mengeluarkan kotak hitam kecil dari dalam jubahnya dan meletakkan kotak itu di atas meja, lalu membuka tutupnya. Semua mata memandang ke arah peti dan orang-orang Thian-li-pang itu merasa gembira dan kagum. Sekali pandang saja tahulah Cia Sun bahwa isi peti itu merupakan harta yang bernilai cukup besar dan akan banyak membantu kebutuhan Thian-li-pang.

Akan tetapi, bagi Ciang Sun sumbangan ini bukan merupakan tugas utama yang paling penting. "Dan bagaimana dengan rencana besar kami? Apakah Yang Mulia menyetujui dan sudi membantu kami agar tugas kami itu dapat terlaksana dengan lancar?"

Mo Si Lim menarik napas panjang. Orang-orang ini memang hanya mau enaknya saja. Disangkanya membunuh seorang Kaisar, putera Kaisar yaitu Pangeran Cia Cing, dan cucu Kaisar Pangeran Tao Kuang, merupakan pekerjaan yang mudah!

Pangeran Cia Cing merupakan seorang pangeran mahkota yang kedudukannya kuat dan memiliki banyak pendukung, sedangkan Pangeran Tao Kuang, tentu saja dengan sendirinya merupakan calon kalau ayahnya gagal terpilih. Pangeran Cia Cing berusia empat puluh tahun, sedangkan puteranya, Pangeran Tao Kuang berusia dua puluh tahun.

Sedangkan Pangeran Kian Ban Kok yang diusulkan oleh Thian-li-pang untuk menjadi calon Kaisar itu adalah seorang pemuda berusia dua puluh tahun yang terkenal royal, mata keranjang dan hanya mengejar kesenangan belaka, sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan tidak pantas untuk dijadikan calon Kaisar! Agaknya Thian-li-pang justru memilih pangeran itu yang selain berdarah Han dari ibunya, juga merupakan seorang yang kelak tentu akan mudah dipengaruhi dan dijadikan Kaisar boneka.

"Sayang sekali untuk permohonan Thian-li-pang yang ke dua itu, Yang Mulia Siang Hong-houw belum berkenan menyetujui."

"Ahh! Justru itulah yang terpenting bagi kami! Jika usaha itu berhasil, berarti perjuangan kami pun berhasil. Bagaimana mungkin Sang Permaisuri tidak menyetujui kalau beliau mendukung perjuangan kami?"

"Hemmm, hendaknya kalian suka mengingat bahwa Yang Mulia Permaisuri adalah isteri dari Sribaginda Kaisar... Isteri mana yang merelakan suaminya dibunuh begitu saja? Bagi kami, orang-orang yang beribadat, yang takut akan kemurkaan Allah, tidak akan berani melakukannya. Yang Mulia telah bersikap tepat dan benar dalam hal ini dan kalian tidak dapat memaksa beliau!"

"Tetapi... beliau hanya kami minta persetujuannya dan beliau tidak perlu ikut campur, hanya memberikan kesempatan kepada kami untuk bisa menyelundup ke dalam istana tanpa dicurigai dan tanpa dilarang, begitu saja!"

"Apa pun yang kalian katakan, tetap saja Yang Mulia Permaisuri tidak menyetujui niat pembunuhan itu!" Mo Si Lim berkeras.

"Kalau begitu, kita akan menggunakan siasat yang ke dua!" teriak Ciang Sun kepada kawan-kawannya sebagai isyarat. "Apa boleh buat, Sobat Mo Si Lim, demi perjuangan dan demi berhasilnya rencana kami, terpaksa engkau kami korbankan! Salahnya Siang Hong-houw yang tak menyetujui rencana kami!" Dan tiba-tiba saja Ciang Sun mencabut pedang dan menyerang Mo Si Lim!

"Ahhhh!"

Mo Si Lim melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik. Kursi yang didudukinya menjadi korban bacokan pedang di tangan Ciang Sun dan terbelah menjadi dua. Sambil bergulingan Mo Si Lim yang juga mempunyai ilmu silat yang lumayan, telah mencabut pedangnya pula. Akan tetapi pada saat itu, delapan orang anggota Thian-li-pang sudah mengeroyok dan menghujankan serangan kepada thaikam itu, juga Ciang Sun yang lihai sekali sudah menyerang lagi dengan pedangnya.

Mo Si Lim memutar pedangnya membela diri. Namun, melawan Ciang Sun seorang saja dia takkan menang, apa lagi dikeroyok sembilan orang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, dia pun roboh mandi darah dengan tubuh penuh luka dan tewas seketika!

Dan pada siang hari itu, gegerlah di istana ketika ada seorang gagah melapor kepada pasukan pengawal istana bahwa dia telah menangkap dan membunuh seorang pencuri yang membawa perhiasan dari dalam istana. Orang gagah itu bukan lain adalah Ciang Sun yang membawa kepala Mo Si Lim dalam buntalan, bersama peti hitam kecil berisi perhiasan yang amat berharga. Kiranya setelah membunuh Mo Si Lim, Ciang Sun lalu memberi tahu kepada anak buahnya bahwa kini terbukalah kesempatan baginya untuk menyelundup ke dalam istana, dengan bertindak sebagai pembunuh pencuri perhiasan itu dan mengembalikan perhiasan itu kepada istana.

"Perhiasan ini memang mahal harganya dan merupakan sumbangan yang besar bagi kita, akan tetapi kematian Kaisar Mancu itu jauh lebih penting. Aku sendiri yang akan mengembalikan perhiasan ini. Kalian boleh berangkat ke pusat dan melaporkan kepada Pangcu kita!"

Demikianlah, dengan hati penuh semangat kepatriotan, Ciang Sun membawa kepala dan peti hitam kecil itu ke istana. Tentu saja laporannya menggegerkan panglima pasukan pengawal yang langsung menghadap Kaisar dan melaporkan bahwa ada orang datang mengaku telah membunuh pencuri perhiasan milik Siang Hong-houw!

Tentu saja Kaisar Kian Liong terkejut mendengar ini. Dia segera memerintahkan agar pembunuh pencuri itu dibawa menghadap kepadanya, juga dia memerintahkan agar Siang Hong-houw datang pula ketika mendengar bahwa yang dicuri adalah perhiasan milik permaisurinya itu.

Biar pun dia dilucuti dan pedangnya ditahan sebelum menghadap Kaisar, Ciang Sun tetap berjalan dengan gagah dan sedikit pun tidak merasa gentar. Ciang Sun adalah seorang pendekar yang sudah digembleng menjadi seorang patriot yang gagah berani, yang rela mengorbankan apa saja demi cita-citanya, yaitu mengusir penjajah dari tanah air. Semangat ini pun bukan tanpa dorongan penyebab yang membuat dia menyimpan dendam dalam hatinya, yang membuat dia membenci pemerintah Mancu.

Ayah dan ibunya tewas dalam bentrokan antara ayahnya dan seorang pembesar tinggi bangsa Mancu. Dendam ini membuat dia membenci semua orang Mancu. Apa lagi melihat betapa bangsanya diperlakukan dengan tidak adil oleh para penguasa bangsa Mancu, kebenciannya bertambah.

Dia semenjak muda membantu gerakan pemberontakan di mana-mana. Namun semua usaha pemberontakan itu selalu gagal karena pasukan Mancu terlampau kuat, bahkan di antara pasukan itu terdapat jago-jago silat yang amat lihai, baik orang Mancu sendiri atau orang-orang Han yang telah diperalat oleh pemerintah Mancu. Saking bencinya, Ciang Sun bahkan sudah bersumpah tak akan menikah sebelum penjajah Mancu dapat dihancurkan.....

Kaisar sudah duduk di singgasana, didampingi Siang Hong-houw ketika Ciang Sun yang dikawal pasukan pengawal dalam, berlutut menghadap Sribaginda. Kaisar Kian Liong memandang pria yang tinggi kurus itu, lalu memandang ke arah buntalan kain kuning dan buntalan kain merah yang dibawa Ciang Sun.

Setelah mengucapkan penghormatannya dengan ucapan ‘ban-ban-swe’ (panjang usia), Ciang Sun tetap berlutut dan menanti perintah.

"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu. Namamu Ciang Sun dan engkau telah membunuh seorang pencuri yang membawa sekotak perhiasan milik Hong-houw?"

"Benar sekali laporan itu, Sribaginda."

"Bagaimana engkau tahu bahwa dia pencuri dan yang dicurinya adalah perhiasan milik Siang Hong-houw?" tanya pula Kaisar Kian Liong.

"Pencuri itu sendiri yang menawarkan barang perhiasannya kepada hamba, dan ia pula yang mengaku bahwa perhiasan itu milik Yang Mulia Siang Hong-houw. Karena hamba ingin berbakti kepada Paduka, maka hamba kemudian menyerangnya, membunuhnya, membawa kepalanya sebagai bukti dan hendak mengembalikan kotak terisi perhiasan ini kepada Yang Mulia Siang Hong-houw!" kata Ciang Sun dengan penuh semangat.

Kaisar Kian Liong mengangguk-angguk dan menoleh pada permaisurinya. Wanita cantik itu mengerutkan alisnya, sejak tadi matanya tidak pernah meninggalkan buntalan kuning yang bulat itu.

Kaisar memberi isyarat kepada pengawal pribadinya. "Bawa peti itu mendekat sini dan buka agar kami dapat melihat isinya. Siang Hong-houw tentu akan mengenal apakah benar peti berisi perhiasan itu miliknya."

Pengawal memberi hormat, lalu mengambil buntalan kain merah yang ditaruh di atas lantai di depan Ciang Sun, membawanya mendekat dan membuka buntalan itu. Siang Hong-houw tentu saja segera mengenal peti hitam kecil miliknya dan tahulah ia apa yang terjadi. Tentu pembantunya yang setia itu telah terbunuh dan ia bergidik melirik ke arah buntalan kain kuning.

Dan ia pun segera dapat menggunakan kacerdikannya untuk menduga apa yang terjadi. Penolakannya untuk menyetujui rencana pembunuhan atas Kaisar itulah yang menjadi sebabnya. Tentu Mo Si Lim dibunuh untuk dijadikan korban, supaya seorang pembunuh dapat menyelundup masuk!

Ia melirik ke arah Ciang Sun yang kebetulan juga sedang melirik kepadanya, kemudian dia menangkap sinar mata berkilat dari orang kurus itu ke arah Kaisar. Dia pun dapat menduga. Orang ini pembunuh kejam! Kaisar terancam.

"Buka peti itu," kata Kaisar dan pengawal membukanya.

Nampaklah isi peti itu. Perhiasan yang berkilauan dan gemerlapan.

"Hong-houw, milikmukah perhiasan itu?" tanya Kaisar Kian Liong.

Siang Hong-houw mengangguk. Kaisar Kian Liong mengerutkan alis dan marah kepada pencuri yang berani mengambil barang perhiasan permaisurinya yang tercinta.

"Buka buntalan itu. Kami ingin melihat siapa yang berani mencurinya!"

Pengawal lalu menghampiri buntalan kuning dan membukanya. Nampaklah kepala Mo Si Lim dengan mata melotot. Siang Hong-houw mengeluarkan seruan tertahan.

"Dia... Muslim, thai-kam yang setia!" teriaknya. "Sribaginda, orang ini tentu pembunuh yang berbahaya! Memang hamba sudah menyuruh Muslim untuk menjual perhiasan itu, perhiasan yang dulu hamba bawa dari Sinkiang, untuk diberikan kepada fakir miskin di Sinkiang karena hamba mendengar mereka hidup sangat sengsara. Sama sekali bukan perhiasan yang pernah hamba dapatkan dari Paduka, melainkan milik hamba pribadi. Akan tetapi, Muslim dibunuh... orang ini tentu penjahat. Mungkin dia mempunyai niat jahat terhadap Paduka!"

Tiba-tiba Siang Hong-houw telah meloncat ke dekat Sribaginda. Ia seorang wanita yang pernah belajar ilmu silat dan cepat ia sudah mencabut pedang yang tergantung di dekat kursi singgasana Kaisar.

Ciang Sun marah sekali ketika mendengar betapa Siang Hong-houw yang tadinya amat diharapkan akan membantunya, dan bahkan sudah menyatakan dukungannya terhadap Thian-li-pang, kini tiba-tiba membuka rahasianya dan menggagalkan kesempatan yang diperolehnya untuk menyelundup ke dalam istana Kaisar agar dapat membunuh Kaisar. Dia maklum bahwa saatnya hanya sekarang. Kalau dia tidak bertindak sekarang, akan terlambat karena dia tentu akan ditangkap dan dihukum.

"Hidup Thian-li-pang! Mampuslah Kaisar penjajah Mancu!"

Teriakan ini melengking nyaring, mengejutkan semua orang sehingga para pengawal tertegun dan tidak bergerak ketika Ciang Sun melompat ke arah Sribaginda Kaisar. Biar pun dia bertangan kosong, namun dengan nekat dia meloncat dan menyerang ke arah Kaisar.

Akan tetapi, Siang Hong-houw sudah memutar pedangnya, merupakan perisai di depan Kaisar sehingga serangan Ciang Sun itu tentu saja tidak berhasil, bahkan terpaksa dia meloncat ke samping. Pada waktu dia hendak menyerang Hong-houw untuk merampas pedang, para pengawal sudah menyerbu dan mengeroyoknya.

"Bunuh penjahat itu!" Siang Hong-houw berseru dan ia lalu menggandeng Kaisar, cepat-cepat dilarikan masuk ke dalam.

Ciang Sun mengamuk. Akan tetapi, yang mengeroyoknya adalah para pengawal dalam yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, bahkan di antara mereka terdapat panglima-panglima yang menjadi jagoan istana, maka dalam waktu singkat saja dia telah roboh dan tewas! Cepat para pengawal menyingkirkan mayatnya, juga menyingkirkan kepala Mo Si Lim, dan ada yang menyimpan peti hitam kecil untuk kelak disampaikan kepada Siang Hong-houw.

Tentu saja peristiwa itu lantas menggagalkan rencana orang-orang Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar, bahkan menggagalkan pula usaha mereka mendapat sumbangan dari Siang Hong-houw. Dan di lain pihak, Puteri Harum berjasa besar dan Kaisar makin percaya kepadanya.

Akan tetapi peristiwa itu pun diam-diam membuat Siang Hong-houw menjadi bersedih sekali. Bukan saja bersedih karena kehilangan pembantunya yang setia, Muslim, akan tetapi juga bersedih karena dia terpaksa harus melakukan dua hal yang bertentangan dan meresahkan batinnya sendiri.

Di satu pihak, ia mendukung Thian-li-pang yang ia tahu merupakan perkumpulan para patriot yang hendak mengusir penjajah Mancu, bangsa yang juga telah membasmi suku bangsanya sendiri, bahkan yang telah membunuh ayahnya dan suaminya. Akan tetapi di lain pihak, ia bersetia kepada Kaisar Kian Liong yang telah menjadi suaminya dan yang secara pribadi bersikap amat baik dan penuh kasih sayang kepadanya.

Peristiwa ini sudah demikian mengguncang hati Sang Puteri sehingga sejak terjadinya peristiwa itu, ia tak pernah sehat lagi, selalu sakit-sakitan. Ia hidup dengan batin merana sampai kurang lebih delapan tahun kemudian, dan dalam tahun 1788 meninggal dunia karena penyakit akibat penderitaan batin ini, dalam usia yang belum tua benar.

Demikianlah keadaan kota raja dan istana Kaisar Kian Liong pada waktu itu. Dalam usia tuanya, pemerintahan Kaisar Kian Liong mengalami kemunduran dan pemberontakan-pemberontakan timbul di daerah-daerah perbatasan. Biar pun demikian, dia merupakan satu di antara kaisar-kaisar di Cina yang paling lama memegang tampuk kerajaan, yaitu selama enam puluh tahun (1736-1796).....


********************

"Betapa indahnya pemandangan alam di pegunungan ini, Yo Han!” seru Gangga Dewi.

Yo Han yang berhenti melangkah pula, memandang kepada wanita itu. Seorang wanita yang nampak gagah berdiri dengan perkasa, cantik dan agung, wajah berseri dan kedua pipi kemerahan tanda sehat. Angin pegunungan bersilir mempermainkan rambut halus yang terlepas dari ikatan dan bermain di depan dahi. Mulut wanita itu tersenyum cerah dan pandang matanya membelai tamasya alam yang terbentang luas di depan mereka, di bawah sana.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Yo Han diselamatkan dari tangan Ang-I Moli oleh Gangga Dewi, dan kini Yo Han melakukan perjalanan bersama Gangga Dewi, membantu wanita Bhutan ini untuk mencari Suma Ciang Bun karena Yo Han merasa yakin bahwa Suma Ciang Bun akan dapat memberi tahu kepada Gangga Dewi di mana ayah wanita itu berada.

Yo Han ikut melayangkan pandang matanya ke bawah sana. Bagaikan sebuah lukisan mukjijat, tamasya alam itu terbentang luas di hadapan kakinya. Lereng bukit itu seperti dilukis dengan indahnya. Memang indah sekali, tetapi Yo Han merasa heran mengapa Gangga Dewi begitu kagum melihat keindahan alam itu.

Bagi dia, di mana-mana terdapat keindahan alam itu. Meski keadaannya berbeda-beda, namun dia selalu menemukan keindahan di mana pun, seperti melihat seribu macam bunga, bentuk dan warnanya berbeda-beda, namun setiap tangkai bunga mengandung keindahan agung!

“Aku telah mendengar bahwa Pegunungan Tapa-san memiliki tamasya alam yang amat indah. Baru sekarang aku menyaksikan kebenaran berita itu. Betapa bahagianya Suma Ciang Bun itu hidup di tempat yang memiliki lingkungan seindah ini.”

Keindahan yang ditemukan oleh nafsu yang bersembunyi di dalam pandang mata tiada lain hanyalah kesenangan. Dan segala macam bentuk kesenangan hanyalah permainan nafsu dan akhirnya selalu membosankan. Nafsu tak pernah mengenal batas, tak pernah mengenal kepuasan yang mutlak, selalu hendak meraih dan menjangkau yang belum dicengkeramnya.

Oleh karena itu, kita cenderung untuk mengagumi dan menikmati sesuatu yang baru kita dapatkan. Namun kalau sesuatu yang baru itu menjadi sesuatu yang lama, akan pudarlah keindahannya sehingga kita tidak mampu menikmatinya lagi. Itulah sebabnya mengapa orang kota dapat menikmati keindahan di alam pegunungan, sebaliknya orang dusun di pegunungan dapat menikmati keindahan kota!

Orang kota akan bosan dengan keadaan di kota, sebaliknya orang dusun juga bosan akan keadaan di dusun. Baik orang kota mau pun orang dusun selalu mengejar yang tidak mereka miliki. Pengejaran ini memang menjadi sifat dari nafsu daya rendah. Dan pengejaran inilah sumber penyebab kesengsaraan.

Kalau tidak tercapai apa yang kita kejar, kecewa dan duka menindih batin kita. Kalau tercapai apa yang kita kejar, hanya sebentar saja kita menikmatinya, kemudian kita merasa bosan atau juga kecewa karena yang kita capai itu ternyata tidaklah seindah yang kita bayangkan semula ketika kita masih mengejarnya.

Karena itu, orang bijaksana tidak akan mengejar sesuatu yang tidak dimilikinya, tidak menginginkan sesuatu yang bukan miliknya. Kalau sudah begitu, dia akan menikmati segala yang dimilikinya sebagai yang terindah dan terbaik.

Segala keindahan terletak di dalam keadaan batin kita sendiri, bukan terletak di luar badan. Sepiring masakan termahal, akan terasa hambar di mulut kalau batin sedang keruh, sebaliknya sebungkus nasi dengan kecap termurah akan terasa nikmat di mulut kalau batin sedang jernih.

Hal-hal yang paling sederhana pun akan terasa nikmat dan indah bagi panca-indra kita kalau batin kita dalam keadaan jernih. Dan batin yang jernih adalah suatu keadaan, bukan hasil buatan pikiran. Keadaan batin yang jernih timbul oleh kekuasaan Tuhan, dan kita hanya dapat menyerah dan pasrah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih.

Kalau sudah begitu, apa pun yang terjadi kepada diri kita, kita terima dengan penuh rasa syukur dan dengan penuh keyakinan bahwa semua itu sudah dikehendaki Tuhan dan Tuhan tahu apa yang baik bagi kita! Tidak mabok oleh keadaan yang kita anggap menyenangkan, tidak mengeluh oleh keadaan yang kita anggap tidak menyenangkan.

Penyerahan total kepada Tuhan menimbulkan kewaspadaan dan kebijaksanaan hingga kita bisa melihat bahwa di dalam segala peristiwa terkandung kekuasaan Tuhan hingga sebaliknya dari mabok kesenangan dan mengeluh kesusahan, kita akan meneliti untuk menemukan hikmahnya dalam setiap peristiwa
.

Setelah sesaat berdiri bagai patung menikmati keindahan alam di sekelilingnya, Gangga Dewi menarik napas panjang, sepanjang mungkin hingga tubuhnya dapat menampung hawa udara yang bersih dan segar sejuk. Beberapa lamanya dia berlatih pernapasan untuk membuang semua hawa kotor dari dalam tubuh, menggantikannya dengan hawa udara yang jernih dan mengandung kekuatan mukjijat itu.

Tiba-tiba Gangga Dewi menangkap pundak Yo Han dan menariknya sambil meloncat ke belakang.

"Singgg...!" Sebuah benda mengkilat menyambar lewat.

"Ada apakah, Bibi?" tanya Yo Han.

Gangga Dewi melepaskan Yo Han di belakangnya dan dia pun melangkah ke depan, menjauhi tebing. Yo Han mengikuti dari belakang dan kini dia tidak bertanya lagi karena dia telah melihat pula munculnya tiga orang itu. Seorang di antara mereka adalah Ang-I Moli, hal ini dapat dilihat dengan jelas walau pun mereka itu masih agak jauh, karena pakaiannya yang serba merah.

"Itu mereka!" teriak Ang-I Moli yang tadi telah menyambitkan senjata rahasianya yang berupa jarum beracun dan yang telah dielakkan oleh Gangga Dewi. "Akhirnya kita dapat menemukan mereka!"

Kini tiga orang itu sudah tiba di depan Gangga Dewi yang seolah melindungi Yo Han yang berada di belakangnya. Melihat cara mereka berlari mendaki dengan amat cepat itu, tahulah Gangga Dewi bahwa dua orang yang datang bersama Ang-I Moli itu pun bukan orang-orang lemah. Ia memandang dengan penuh perhatian.

Dua orang itu adalah laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun. Yang seorang bertubuh gendut dengan perut seperti perut kerbau dan mukanya bulat, sedangkan yang kedua bertubuh kecil katai seperti anak berusia belasan tahun, tetapi mukanya penuh keriput dan kelihatan jauh lebih tua dari pada usia sebenarnya. Mereka berdua itu mengenakan jubah pendeta dengan rambut digelung ke atas seperti kebiasaan yang dilakukan para tosu (pendeta To).

Tosu yang gendut dengan muka seperti kanak-kanak dan selalu tersenyum cerah akan tetapi sinar matanya kejam itu tertawa.

"Ha-ha-ha, Moli! Engkau sudah mengganggu ketenangan kami, mengajak kami berlari-lari mengejar, kiranya yang kau cari hanya seorang bocah seperti itu, yang dapat kita temukan ratusan orang banyaknya di pasar, tinggal pilih. Kenapa susah-susah?"

"Hemmm, engkau mana tahu? Sudahlah, anak itu urusanku, aku mengajak kalian untuk menghadapi perempuan asing ini!" kata Ang-I Moli.

"Moli, engkau bilang bahwa engkau tidak mampu mengalahkan perempuan ini? Aneh sekali! Apa sih keahliannya?" berkata pula tosu yang katai kecil memandang rendah Gangga Dewi.

Gangga Dewi menegakkan kepala. Sepasang matanya mencorong penuh kemarahan, memandang kepada tiga orang itu dengan sikap angkuh.

"Ang-I Moli, engkau sungguh seorang iblis betina yang tak tahu malu! Anak ini tidak sudi ikut denganmu karena engkau jahat, cabul dan keji, dan engkau hendak memakannya, hendak membunuhnya dengan minum darahnya. Aku mencegah terjadinya kekejaman itu dan hanya menghajarmu agar engkau menyadari kesesatanmu. Kiranya kini engkau datang mengajak dua orang kawanmu! Hemmm, agaknya memang sudah sepantasnya orang macam engkau yang berwatak iblis ini dibasmi dari permukaan bumi!"

"Kwan Suheng dan Kui Suheng, kalian hadapi perempuan asing itu, biar aku yang akan menangkap bocah itu!" Ang-I Moli berseru.

"Heh-heh-heh, Moli Sumoi (Adik Seperguruan) yang baik. Kenapa harus repot-repot? Biar kami menundukkan mereka agar mereka menyerah dengan suka rela, tidak perlu merepotkan dan melelahkan badan," kata tosu gendut.

"Benar, kami akan tundukkan mereka dengan sihir!" kata tosu katai.

Dua orang tosu itu adalah suheng (kakak seperguruan) Ang-I Moli dalam perkumpulan Pek-lian-kauw, yang gendut bernama Kwan Thian-cu, yang katai bernama Kui Thian-cu. Kini keduanya melepas ikatan rambut sehingga rambut mereka riap-riapan, dan Kwan Thian-cu mencabut golok, Kui hian-cu mencabut pedang.

Akan tetapi mereka tidak menggunakan senjata itu untuk menyerang, melainkan mereka memegang senjata itu lurus di depan muka seperti mencium senjata itu. Mata mereka terpejam, mulut berkemak kemik membaca doa, sedang tangan kiri membuat gerakan melingkar-lingkar di depan dada, kemudian telunjuk kiri membuat coret-coret di udara seperti sedang melukis atau menuliskan sesuatu. Kemudian dengan senjata mereka di kedua tangan, mereka membuat gerakan menyembah ke atas, lalu ke bawah, lalu ke empat penjuru. Barulah mereka membuka mata memandang kepada Gangga Dewi dan Yo Han, dan kini Si Katai mengeluarkan suara yang terdengar penuh wibawa.

"Dengar dan lihatlah, perempuan berkerudung kuning, dan juga engkau anak laki-laki! Semua kekuatan hitam di empat penjuru membantu kami! Kekuasaan langit dan bumi melindungi kami! Kalian berdua akan tunduk dan menurut kepada kami, melakukan apa saja yang kami perintahkan! Sanggupkah kalian?"

Gangga Dewi terkejut bukan main. Ia merasa betapa bulu tengkuknya meremang, tanda bahwa ada hawa atau kekuatan yang tidak wajar sedang menyerang dan berusaha mempengaruhinya. Kata-kata yang keluar dari mulut Si Katai itu menembus hatinya. Ia tahu bahwa kedua orang tosu itu adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai dan ia pernah melatih diri dengan menghimpun kekuatan batin untuk menolak pengaruh sihir. Ia sudah mengerahkan tenaga itu, akan tetapi ada dorongan yang amat kuat membuat ia terpaksa membuka mulut.

"Aku sang... sang..." Ia mengerahkan seluruh tenaga untuk menghentikan pengaruh itu agar ia tidak mengatakan ‘sanggup’.

Pada saat ia bersitegang melawan pengaruh yang semakin kuat itu, tiba-tiba terdengar suara ketawa di belakangnya.

"Ha-ha-heh-heh, lihat, Bibi Gangga Dewi! Dua orang tosu itu sungguh lucu. Apa yang sedang mereka lakukan itu? Apakah mereka itu dua orang anak wayang yang sedang membadut?"

Mendengar suara ketawa dan ucapan Yo Han itu, seketika lenyaplah pengaruh sihir yang hampir menguasai dirinya dan lenyap pula ‘hawa’ yang membangkitkan bulu roma tadi.

Dua orang tosu itu terbelalak memandang ke arah Yo Han. Ketika anak itu tertawa lalu bicara, mereka berdua merasa betapa kekuatan sihir mereka yang mereka kerahkan itu membalik seperti gelombang melanda diri mereka sendiri sehingga mereka menjadi sesak napas dan terpaksa menghentikan ilmu sihir itu!

Ang-I Moli juga melihat semua ini dan ia berkata, "Nah, sudah kukatakan bahwa anak itu bukan anak sembarangan. Dia terkena jarum-jarumku akan tetapi tidak mati, dan segala kekuatan sihir tidak bisa mempengaruhinya. Sekarang baru kalian percaya? Hayo kalian bunuh perempuan asing itu dan aku yang akan menangkap anak itu!"

Kalau Gangga Dewi, Ang-I Moli dan dua orang tosu Pek-lian-kauw itu amat tercengang keheranan melihat peristiwa tadi, Yo Han sendiri tidak merasakan sesuatu yang aneh. Dia memang tidak merasakan apa-apa, dan kalau tadi dia mentertawakan dua orang tosu itu karena memang dia merasa heran dan geli melihat tingkah mereka. Sama sekali dia tidak mengerti bahwa dua orang tosu itu melakukan sihir, dan sama sekali dia pun tidak tahu bahwa suara ketawanya membuyarkan semua pengaruh sihir mereka.

Di luar kesadarannya sendiri, ada kekuatan mukjijat dari kekuasaan Tuhan yang selalu melindungi anak ini. Kekuatan mukjijat ini mungkin saja timbul karena kepercayaannya yang total kepada Tuhan Yang Maha Kasih. Bukan sekedar percaya di mulut seperti yang dimiliki kebanyakan orang.

Kita semua mengaku ber-Tuhan, tetapi pengakuan kita itu sungguh amat meragukan, apakah pengakuan itu timbul dari dalam dan sesungguhnya, ataukah pengakuan itu hanya keluar dari pikiran yang bergelimang nafsu. Kalau hanya pengakuan mulut dan pikiran saja, tidak ada gunanya sama sekali. Buktinya, kita mengaku ber-Tuhan tetapi kita masih berani melakukan hal-hal yang tidak benar.

Kita adalah orang-orang munafik yang ingat pada Tuhan hanya bila kita membutuhkan pertolongan atau perlindungan saja, hanya teringat kepada Tuhan kalau kita sedang menderita. Kita melupakan Tuhan begitu nafsu sedang mencengkeram kita, begitu kita berenang di lautan kesenangan duniawi
.

Sejak kecil sekali, melalui kitab-kitab yang dibacanya, kemudian dikembangkan oleh perasaan yang peka, Yo Han bukan sekedar mengaku ber-Tuhan, melainkan dia dapat merasakan kekuasaanNya dalam dirinya, yakin dan selalu ingat, selalu pasrah. Begitu mutlak kepercayaannya kepada Tuhan hingga ia pasrah dan menyerah. Hanya kepada Tuhanlah dia berlindung karena dia tidak beribu-bapa lagi dan ancaman maut tak cukup kuat untuk membuat dia takut dan lupa akan kepasrahan dan penyerahannya.

Inilah yang membuat dia di luar kesadarannya, selalu diliputi kekuasaan Tuhan. Dan di dunia ini, kekuatan atau kekuasaan apakah yang dapat menandingi kekuasaan Tuhan? Apa lagi hanya permainan sihir dari dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu, permainan sihir yang bersandar kepada kekuasaan iblis, tentu saja tidak dapat menyentuh Yo Han yang sudah dilindungi kekuasaan maha dahsyat yang tidak nampak.

Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu saling pandang, dan merasa betapa tengkuk mereka dingin. Selama hidup mereka belum pernah ada orang yang mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka tanpa pengerahan kekuatan batin.

Kalau hanya lawan yang memiliki kekuatan batin tanggung-tanggung saja, tentu akan menyerah dan tunduk terhadap kekuatan sihir mereka berdua yang disatukan. Akan tetapi anak kecil itu, anak belasan tahun, hanya dengan ketawa polosnya telah mampu membuyarkan kekuatan sihir mereka?

Ataukah wanita peranakan barat itu yang memiliki kemampuan ini? Akan tetapi mereka lihat betapa tadi wanita itu sudah hampir menyerah kepada mereka. Diam-diam mereka bergidik dan jeri terhadap anak kecil itu.

Maka, mendengar permintaan Ang-I Moli, mereka merasa girang. Lebih nyaman di hati menghadapi serta mengeroyok wanita itu dari pada harus menangkap anak ajaib itu! Mereka lalu meloncat dan menyerang Gangga Dewi dengan senjata mereka.

Gangga Dewi mengelak dengan lompatan ke samping sambil menggerakkan tangannya melolos sabuk sutera putihnya.

Akan tetapi dua orang tosu Pek-lian kauw itu mendesak dengan serangan-serangan mereka yang ganas. Sungguh janggal sekali melihat dua orang berpakaian pendeta kini memainkan golok dan pedang, menyerang seorang wanita dengan dahsyat dan buas, dengan muka beringas dan nafsu membunuh menguasai mereka, membuat mereka seperti dua ekor binatang buas yang haus darah.

Mutu batin seseorang tidak terletak pada pakaiannya atau kedudukannya. Akan tetapi, kita sudah terlanjur hidup di dalam masyarakat di mana nilai-nilai kemanusiaan diukur dari keadaan lahiriahnya, dari pakaiannya. Pangkat, kedudukan, predikat dan pekerjaan, harta, bahkan sikap dan kata-kata hanya merupakan pakaian belaka. Semua itu dapat menjadi topeng yang palsu. Namun, kita sudah terlanjur suka akan yang palsu-palsu.

Kita menghormati orang karena hartanya, karena pangkatnya. Kita menilai orang dari kedudukannya, dari sikapnya. Padahal, seorang pendeta belum tentu saleh, seorang pembesar belum tentu bijaksana, seorang hartawan belum tentu dermawan, seorang yang bermulut manis belum tentu baik hati.

Kita tersilau oleh kulitnya, sehingga tidak lagi mampu melihat isinya. Hal ini disebabkan karena batin kita sebagai penilai juga sudah bergelimang nafsu, sehingga penilaian kita pun didasari keuntungan diri kita sendiri. Yang menguntungkan kita lahir batin itulah baik, yang merugikan kita lahir batin itulah buruk!

Karena kita semua tahu bahwa yang dinilai tinggi oleh manusia adalah pakaiannya, yaitu nama besar, harta dunia, kedudukan tinggi, penampilan dan semua pulasan luar, maka kita pun berlomba untuk mendapatkan semua itu. Kita memperebutkan harta, kedudukan dan sebagainya karena dari kesemuanya itulah kita mendapat penghargaan dan penghormatan. Kita lupa bahwa penghargaan dan penghormatan semua itu adalah palsu, kita lupa bahwa yang dihormati adalah pakaian kita, harta kita, kedudukan kita, nama kita! Kita semua makin hari makin lelap dalam alam kemunafikan.

Kita seyogianya bertanya kepada diri sendiri. Apakah kita termasuk ke dalam kelompok munafik ini? Bilakah kita akan sadar dari kelelapan kemunafikan ini, menjadi penganut peradaban yang tak beradab, kemoralan yang tidak bermoral? Pertanyaan selanjutnya, kalau sudah menyadari keadaan yang buruk ini, beranikah kita untuk keluar dari dunia kemunafikan ini kemudian hidup baru sebagai manusia seutuhnya? Manusia yang patut disebut manusia, makhluk kekasih Tuhan, yang berbudi, berakhlak, bersusila, berakal pikir, dan berbakti kepada Sang Maha Pencipta?

Kesadaran seperti itu hanya dapat timbul apa bila kita mau dan berani mawas diri, bercermin bukan sekedar mematut-matut diri dan memperelok muka, tetapi bercermin menjenguk dan mengamati keadaan batin kita, pikiran kita, isi hati kita. Berani melihat kekotoran yang selama ini melekat dalam batin kita. Kalau sudah begini, baru dapat diharapkan timbulnya kesadaran dan kesadaran ini mendatangkan perasaan rendah diri di hadapan Tuhan!

Pikiran tidak mungkin membersihkan kekotoran ini, karena pikiran sudah bergelimang nafsu, sehingga apa pun yang dilakukannya tentu mengandung pamrih kepentingan diri, demi keenakan dan kesenangan diri, lahir mau pun batin. Akan tetapi, kerendahan diri membuat kita pasrah, membuat kita menyerah total kepada Tuhan Yang Maha Kasih, menyerah dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan.

Dan Tuhan Maha Kasih! Pasti Tuhan akan membimbing orang yang menyerah bulat-bulat, menyerah dengan kerendahan diri sehingga di dalam penyerahan ini, pikiran tidak ikut campur. Karenanya, penyerahan itu mutlak dan tanpa pamrih, penuh kerendahan hati, penuh kerinduan dan cinta kasih kepada Tuhan yang telah mengasihi kita tanpa batas! Dari sini akan timbul gerak hidup yang wajar, manusiawi, tidak palsu dan tidak munafik lagi
.

Pertempuran hebat segera terjadi setelah Gangga Dewi memutar sabuk sutera putih di tangannya. Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu mengeroyoknya dan setelah lewat hanya beberapa jurus saja, tahulah Gangga Dewi bahwa kedua orang lawannya ini lihai sekali. Menghadapi seorang dari mereka saja belum tentu dia akan menang, apa lagi dikeroyok dua. Namun, bukan hal ini yang merisaukan hatinya, melainkan keselamatan Yo Han. Anak itu kini menghadapi Ang-I Moli, wanita iblis yang amat berbahaya dan keji itu.

Dan memang Yo Han terancam bahaya ketika Ang-I Moli menghampirinya dengan mata bersinar-sinar dan mulut menyeringai. Wajahnya yang cantik tampak menyeramkan dan membayangkan kekejaman yang mengerikan. Yo Han juga maklum bahwa ia terancam bahaya, namun dia sama sekali tidak merasa takut.

Anak berusia dua belas tahun itu sejak mulai ada pengertian, sudah menyerah kepada Tuhan sehingga tidak mengenal arti takut lagi. Dia yakin benar bahwa nyawanya berada di tangan Tuhan dan bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, jangankan baru seorang manusia sesat macam Ang-I Moli, biar semua iblis dan setan menyerangnya, dia tidak akan mati! Keyakinan yang sudah mendarah-daging ini membuat dia tabah, dan dengan sinar mata yang tenang dan jernih, sekarang dia berdiri menghadapi Ang-I Moli yang menghampirinya.

"Hi-hi-hi-hik, Yo Han, engkau hendak lari ke mana sekarang? Tidak ada lagi yang akan mampu meloloskan engkau dari tanganku, heh-heh!" Ang-I Moli menghampiri semakin dekat dan mulutnya berliur karena ia membayangkan betapa seluruh darah dalam tubuh anak ajaib itu akan dihisapnya dan ia akan segera dapat menguasai ilmu dahsyat yang diidamkannya itu.

"Ang-I Moli, aku tidak akan lari ke mana pun. Kalau Tuhan menghendaki, maka Dia yang akan meloloskan aku dari tanganmu!"

Mendengar jawaban itu, Ang-I Moli tertawa terkekeh-kekeh. “He-he-heh! Tuhan? Mana Tuhanmu itu? Suruh dia keluar melawanku, heh-heh!" ia lalu menerjang ke depan, jari tangannya menotok ke arah pundak Yo Han karena ia bermaksud menangkap anak itu dan perlahan-lahan menikmati korbannya.

Yo Han tidak pernah berlatih silat. Walau pun secara teori dia tahu bahwa wanita itu menyerangnya dengan totokan, dan dia tahu pula betapa sesungguhnya amat mudah untuk mematahkan serangan ini, namun karena tubuhnya tak pernah dilatih, maka dia tidak dapat melakukan hal itu dan dia pun diam saja, hanya pasrah kepada Tuhan.

"Tukkk!"

Jari tangan Ang-I Moli menotok jalan darah di pundak. Tubuh Yo Han tiba-tiba menjadi lemas dan dia terkulai roboh. Ang-I Moli terkekeh, akan tetapi ketika ia menengok dan melihat betapa dua orang suheng-nya itu, walau pun sudah dapat mendesak Gangga Dewi namun belum berhasil merobohkan dan membunuhnya, lalu ia meloncat dengan pedang di tangan untuk membantu dua orang suheng-nya.

Tentu saja Gangga Dewi menjadi makin repot melayani pengeroyokan tiga orang lawan yang lihai itu. Tadi pun dikeroyok oleh dua orang tosu itu, ia telah terdesak dan hanya mampu melindungi diri saja tanpa mendapat kesempatan untuk balas menyerang.

Tapi, dengan memainkan gabungan dari ilmu Pat-mo Sin-kun (Silat Sakti Delapan Iblis) dan Pat-sian Sin-kun (Silat Sakti Delapan Dewa) melalui sabuk suteranya, serta sambil mengerahkan tenaga Inti Bumi yang semuanya itu dulu ia dapatkan dari gemblengan ayahnya, ia masih mampu membela diri dan sejauh itu belum ada ujung senjata para pengeroyok mengenai dirinya. Namun, kalau ia harus terus mempertahankan diri tanpa balas menyerang, akhirnya ia tentu akan kehabisan tenaga dan akan roboh juga.

"Heiii, kalian ini tiga orang yang berwatak amat pengecut! Mengeroyok seorang wanita bertiga. Percuma saja kalian mempelajari ilmu silat kalau hanya untuk mengeroyok secara curang dan pengecut."

Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang-I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela dia dan kedua orang suheng-nya, seperti seorang kakek yang mencela dan menasehati cucu-cucunya yang nakal dan bandel!

Betapa ia tak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali. Jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar pun lawan yang tangguh sekali pun, kalau sudah tertotok seperti itu pasti akan terkulai lemas dan paling sedikit seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!

"Ehhh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"

Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.

"Singgg...!" Serangan itu luput!

Ang-I Moli terbelalak lagi saking herannya. Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh bergulingan, dan justru hal ini membuat sambaran pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi mendadak dia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, dia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu.

Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.

“Anak setan...!" Kini Ang-I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.

"Plakkk!"

Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada saat itu nampak bayangan orang berkelebat.

"Dunia tidak akan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!" bayangan itu berkata.

Begitu dua tangannya bergerak, segera nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang pada bayangan itu.

Dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi. Wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam.

Baik Gangga Dewi mau pun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas bahwa ia membantu Gangga Dewi, maka Ang-I Moli sudah langsung menyambutnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.

"Hemmm, memang keji!" orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh.

Ang-I Moli sudah menyusulkan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main, membuat Ang-I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu.

Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang sekarang hidup mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar Istana Pulau Es. Biar pun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan keluarga Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang sangat lihai. Banyak ilmu hebat yang dikuasainya, dan sekarang, dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dalam waktu belasan jurus saja Ang-I Moli yang lihai telah terdesak hebat.

Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah wanita gagah yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah. Maka, setelah mendesak Ang-I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu.

Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh dari Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun sangat kuatnya, membuat mereka berdua harus loncat ke belakang dan terpaksa menghadapinya, meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan.

Karena kini mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.

"Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!" serunya dan meski pun paha kirinya sudah terluka, dia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu.

Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantera yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu berseru, "Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada kami!" Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu.

Gangga Dewi terhuyung. Akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es, ia sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biar pun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, namun dia memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa halus.

"Hemmm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku.”

Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata sambil mundur.

Akan tetapi, Ang-I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggulnya dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,

"Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"

Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan memandang ke arah Ang-I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan sedang mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.

"Sudahlah, biarkan mereka pergi," katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh wanita berpakaian merah dan ia bisa menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak sehingga ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.

"Mari kita pergi!" Ang-I Moli berkata kepada dua orang suheng-nya dan ia pun meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jeri setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi.

Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah. "Tapi... mereka membawa pergi anak itu...!" katanya khawatir sambil kakinya melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.

"Jangan dikejar!" kata Gangga Dewi mantap. "Kalau dikejar justru akan membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."

"Yo Han? Yo... Han...? Anak itu...?"

Gangga Dewi memandang tajam. "Engkau mengenal Yo Han?"

"Kalau benar Yo Han yang kau maksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku di sini..."

"Ahhh, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!" kata Gangga Dewi dengan girang.

Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu. "Benar, dan... kalau boleh aku mengetahui... siapakah... ehhh, Nyonya ini...?"

Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat dia menangis. Ingin memang dia menangis! Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua dari pada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!

"Ciang Bun... kau... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?" tanyanya.

Wanita yang berhati keras ini telah mampu mengendalikan perasaannya. Meski hatinya menjerit, namun dia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjukkan betapa Gangga Dewi kini sudah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu.

Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, dia pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah dia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya.

Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka dia seorang pria. Diam-diam dia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa.

Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun ternyata juga mencintanya, tetapi mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda! Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria!

Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun, dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, Gangga Dewi lalu melarikan diri.

Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, lalu kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal. Karena itulah, ia menurut saja saat ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan yang gagah perkasa.

Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun.

Siapa kira, ia lalu bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemukan ayahnya. Dan ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu.

Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata keheranan dan penuh pertanyaan. Dia sudah tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini.

Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan nampak muda. Pakaiannya dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu ditutup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat terlihat karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik, membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat.

Akan tetapi, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apa lagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini tadi menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan bahwa ia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.

"Siapa... siapakah Nyonya? Aku... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan..."

Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya. Dahulu dia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu akibat ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali.

Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak sekali. Matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.

"Ciang Bun, aku dari Bhutan!" ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu.

Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan. Wajah itu mendadak menjadi pucat sekali, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Dan bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.

"Gangga... kau Gangga... Gangga Dewi...!" Dan dia pun menubruk wanita itu.

Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.

"Ciang Bun...!"

Ia harus mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melindungi tubuhnya ketika merasa betapa dekapan itu sangat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik, "... aku Ganggananda, Ciang Bun."

"Gangga Dewi... engkau Gangga Dewi...!" hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun.

Wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang wanita.....

Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.

"Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Gangga-ku... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu..."

"Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah Ganggananda...?"

"Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau wanita...”

Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa ada air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini sering kali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini.

Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun segera melepaskan rangkulan, kemudian melangkah ke belakang dan pada saat Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu kembali pucat, mulutnya bergerak-gerak gugup.

"Aih, Gangga Dewi... kau maafkan aku... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku... maafkan aku..." Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya.

Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu! Masih menangis cengeng bagai seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri langsung terasa oleh Gangga Dewi.

"Ciang Bun," katanya dan suaranya kini kering dan tegas. "Katakan mengapa engkau minta maaf? Mengapa? Katakan…"

Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Ia pun sudah bisa menguasai hatinya, tidak menangis lagi meski kedua matanya masih basah.

"Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya barusan aku telah lupa diri, saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dahulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku sudah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ahhh, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."

Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.

"Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?" tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing.

Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

"Aku masih hidup sendirian, Gangga. Sejak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku lalu hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa pula engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"

"Ciang Bun, aku pergi meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku juga sudah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"

"Ahhh...! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara lagi, yang penting sekarang kita harus menolong Yo Han!" Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.

"Tahan dulu...!" Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat mendahuluinya dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya.

Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Yo Han terjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan kini aku hendak mengejar serta menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?"

"Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"

“Tentu saja! Aku sayang padanya. Ia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Meski anak lain yang tidak kukenal sekali pun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apa lagi Yo Han!" Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.

"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicarakan dengan kepala dingin. Kau kira aku tidak sayang kepada Yo Han? Walau belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang-I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kau tahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justru ketika aku merampasnya dari cengkeraman Ang-I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!”

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Ia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika ia tadi mendengar bahwa Gangga Dewi kini hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Sekarang menghadapi sikap Gangga Dewi yang sedemikian tegas dan tenang, dia merasa sama sekali tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!

"Kurasa engkau benar, Gangga Dewi. Baiklah, aku menurut saja bagaimana baiknya untuk dapat menolong Yo Han."

"Kita membayangi mereka dari jarak jauh dan menjaga agar mereka jangan sampai tahu bahwa kita membayangi mereka. Kita mendekati mereka dan mencari kesempatan baik untuk turun tangan, suatu penyerbuan mendadak sehingga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk membunuh Yo Han."

"Akan tetapi, kalau kita berlambat-lambat, aku khawatir mereka akan mengganggu dan membunuh Yo Han dan kita akan terlambat."

Gangga Dewi menggeleng kepalanya. "Engkau, tidak mengenal betul siapa Yo Han. Aku sendiri pun masih terheran-heran dan takjub melihat keadaan anak itu. Dia mampu menjaga dirinya sendiri. Dia memiliki kekuatan yang ajaib. Mari kita mulai membayangi mereka dan akan kuceritakan semua tentang keanehan Yo Han dalam perjalanan."

"Karena pengejaran ini mungkin makan waktu lama, biarlah aku akan membawa bekal pakaian dulu, Gangga. Tempat tinggalku tidak jauh dari sini. Mari!"

Keduanya lalu berlari mendaki lereng dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah pondok sederhana yang kokoh, yang terletak di dataran dekat puncak, sebuah tempat yang amat indah pemandangan alamnya dan sejuk sekali hawanya.

"Alangkah indahnya tempat ini..." Gangga Dewi memuji.

Dengan wajah berseri ia memandang ke empat penjuru dari tempat ketinggian itu, dan dengan tarikan napas panjang menghisap hawa udara yang jernih, sejuk dan harum karena di sekitar tempat itu terdapat banyak sekali pohon dan tumbuh-tumbuhan yang sedang berkembang.

Suma Ciang Bun hanya tersenyum gembira dan mencatat ucapan Gangga Dewi itu di dalam hatinya. Dia lalu membawa pakaian dalam buntalannya dan tidak lama kemudian mereka berdua sudah menuruni puncak dengan ilmu berlari cepat mereka. Biar pun tak mengeluarkan suara, keduanya merasa betapa ada kebahagiaan besar menyelubungi hati mereka ketika mereka melakukan perjalanan bersama seperti itu. Tanah dalam hati mereka yang tadinya hampir mengering itu seolah-olah tersiram embun pagi yang sejuk, menerima siraman air yang membuat tanah itu hidup kembali dan bunga-bunga cinta yang tadinya seperti layu kini mekar kembali.

Mereka melakukan pengejaran dan mencari jejak Ang-I Moli yang melarikan Yo Han dan sepanjang perjalanan ini, mereka saling menceritakan pengalaman mereka sejak mereka saling berpisah kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu!

Setelah mendengarkan Ciang Bun menceritakan semua pengalamannya, Gangga Dewi merasa terharu sekali. Sekarang ia merasa yakin bahwa Ciang Bun memang mencinta dirinya. Bukan hanya mencintanya sebagai seorang pemuda yang dulu memakai nama samaran Ganggananda, melainkan mencintainya dengan tulus walau pun sudah tahu bahwa ia seorang wanita, bukan pria seperti yang disangkanya semula.

Ciang Bun rela hidup menyendiri, tidak lagi mau mencari pasangan, baik pria mau pun wanita. Ia merasa terharu, akan tetapi tidak memperlihatkannya.

"Gangga, sekarang giliranmu untuk bercerita. Semenjak tadi aku ingin sekali mendengar mengenai semua pengalamanmu mulai kita saling berpisah sampai sekarang."

Mereka bercakap-cakap di dalam sebuah goa di mana mereka terpaksa melewatkan malam. Jejak Ang-I Moli yang mereka dapatkan melewati bukit itu dan karena malam itu gelap, mereka tidak dapat melanjutkan perjalanan dan terpaksa melewatkan malam di goa itu. Mereka membuat api unggun, dan setelah makan malam, yaitu makan roti dan daging kering yang dibawa oleh Ciang Bun dan minum air jernih yang dibawa Gangga sebagai bekal, mereka lalu bercakap-cakap.

"Baiklah, Ciang Bun. Pengalamanku jauh lebih menyenangkan dari pada pengalaman dirimu, walau pun berakhir dengan perasaan kesepian juga."

Ia kemudian menceritakan mengenai pernikahannya dengan seorang panglima Bhutan, hidup berbahagia sampai mempunyai dua orang anak. Akan tetapi setelah kedua orang anaknya berumah tangga, dan suaminya tewas di dalam medan perang, ia pun merasa kesepian sekali.

"Sudah bertahun-tahun ayah meninggalkan Bhutan, semenjak ibu meninggal. Aku ingin sekali bertemu dengan ayah, maka aku lalu meninggalkan Bhutan dan pergi mencarinya di timur. Dalam perjalanan inilah aku bertemu dengan Yo Han yang sedang terancam keselamatannya oleh Ang-I Moli itu. Aku menolong Yo Han dan berhasil mengusir Ang-I Moli. Ketika mendengar bahwa guru Yo Han yang pertama yang bernama Tan Sin Hong itu adalah murid ayahku, tentu saja aku menganggap Yo Han seperti warga sendiri. Dia yang mengajak aku ke sini untuk menemuimu, karena menurut Yo Han, engkau tentu tahu di mana ayahku berada. Nah, sekarang katakan, di manakah ayahku, Ciang Bun? Engkau tahu siapa ayahku, bukan?"

Suma Ciang Bun menarik napas panjang. Wajahnya yang tampan itu nampak muram. "Tentu saja aku tahu siapa ayahmu, Gangga. Ayahmu dahulu terkenal dengan julukan Si Jari Maut, bernama Wan Tek Hoat dan lalu menjadi hwesio dengan julukan Tiong Khi Hwesio. Benarkah?"

"Benar, dan ayahku selalu memuji-muji keluarga Pulau Es. Di mana dia sekarang?"

"Ketahuilah, Gangga Dewi. Kurang lebih lima tahun yang lalu, ayahmu pergi ke Istana Gurun Pasir, dan tinggal di sana bersama Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dengan isterinya..."

"Bibi Wan Ceng, saudara seayah dari ayahku?" Gangga Dewi memotong.

"Benar, Gangga. Tiga orang tua itu tinggal di Istana Gurun Pasir, hidup dengan tenteram dan bahagia, bahkan mereka bertiga mengambil Tan Sin Hong sebagai murid. Betapa beruntung pendekar itu, sekaligus menjadi murid mereka bertiga."

"Ahhh! Kalau begitu, ayahku kini masih di sana?"

Ciang Bun menarik napas panjang dan sampai lama tidak dapat menjawab, karena dia merasa ragu untuk menerangkan keadaan yang sesungguhnya.

"Ciang Bun, jawablah! Aku bukan anak kecil lagi, aku siap untuk mendengar berita apa pun. Masih hidupkah ayahku? Dan apakah dia masih berada di Istana Gurun Pasir?"

Setelah beberapa kali menarik napas panjang, Suma Ciang Bun lalu berkata, "Terjadi hal yang menyedihkan dan juga amat menggemaskan, Gangga. Tiga orang tua itu telah mengasingkan diri di tempat sunyi itu dan tak mau lagi mencampuri urusan dunia, hidup dengan tenang tenteram. Akan tetapi, orang-orang yang dulu pernah mereka kalahkan atau mereka basmi, yaitu orang-orang sesat dari dunia hitam, agaknya masih menaruh dendam. Orang-orang Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw, beserta beberapa orang datuk sesat lainnya, telah menyerbu Istana Gurun Pasir dan mengeroyok tiga orang tua itu. Akibatnya, meski pun pihak pengeroyok itu banyak yang terluka dan tewas, namun tiga orang Locianpwe itu juga tewas... ah, maafkan aku, Gangga Dewi, telah menyampaikan berita duka ini."

Akan tetapi Gangga Dewi sama sekali tidak nampak berduka atau terkejut, bahkan ia mengepal tinju dan bangkit berdiri. Wajahnya yang tertimpa api unggun itu kemerahan dan cantik sekali, gagah pula, dan matanya bersinar-sinar.

"Bukan berita duka, Ciang Bun! Aku bahkan bangga mendengar ayah tewas seperti itu. Sungguh sesuai dengan wataknya yang gagah. Apa lagi tewas dalam menentang para datuk sesat bersama Bibi Wan Ceng dan suaminya, Naga Sakti Gurun Pasir. Tidak, aku tidak berduka, apa lagi ayah memang telah berusia lanjut. Aku bangga karena dia mati secara gagah perkasa! Akan tetapi aku penasaran kepada mereka yang melakukan penyerbuan itu. Sungguh pengecut dan curang! Mengeroyok tiga orang yang sudah tua dan yang sudah mengasingkan diri dari dunia persilatan!"

"Begitulah watak orang-orang jahat dari dunia sesat, Gangga."

"Siapakah mereka itu? Kalau engkau tahu, sebutkan namanya satu demi satu, aku akan pergi mencarinya dan membunuh mereka!" kata Gangga Dewi dengan marah.

"Tenanglah, Gangga. Mereka semua sudah tidak ada lagi. Seorang demi seorang telah tewas oleh para pendekar muda, termasuk Tan Sin Hong."

"Oh ya, mengapa Tan Sin Hong diam saja ketika tiga orang gurunya dikeroyok? Apakah dia tidak membantu, dan kalau demikian, mengapa, dia dapat lolos dan hidup? Apakah dia melarikan diri?"

"Sama sekali tidak. Pada waktu peristiwa penyerbuan itu terjadi, baru saja Sin Hong menerima sebuah ilmu dari tiga orang gurunya, bahkan menerima pengoperan tenaga gabungan mereka. Selama setahun Sin Hong harus memperdalam ilmu itu dan ia sama sekali tidak boleh menggunakan sinkang, karena kalau hal itu dilanggar, dia akan tewas oleh tenaganya sendiri! Itulah sebabnya dia tidak mampu membela ketika tiga orang gurunya dikeroyok. Dia ditawan, akan tetapi mampu meloloskan diri dan bersembunyi untuk menyelesaikan ilmu baru itu selama setahun. Setelah itu, baru dia pergi mencari mereka yang membunuh tiga orang gurunya. Akhirnya, setelah bekerja sama dengan para pendekar muda lainnya, dia berhasil menewaskan para penjahat itu. Dia bekerja sama dengan para pendekar muda keturunan Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir."

Gangga Dewi mengangguk-angguk. "Ahhh puaslah rasa hatiku. Kematian ayah sudah dibersihkan dari penasaran oleh para pendekar keluarga Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir! Sungguh merupakan suatu kehormatan besar sekali dan aku ikut merasa bangga dan berbahagia. Tentu arwah ayah akan merasa bangga dan puas pula. Ingin aku berjumpa dan mengucapkan rasa terima kasihku kepada Tan Sin Hong. Dia masih terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri. Namun, bagaimana aku dapat bertemu dengan dia tanpa membawa Yo Han, muridnya yang terculik penjahat? Mari, Ciang Bun, kita percepat usaha kita mencari jejak iblis betina itu."

Mereka lalu berlari cepat dan tiga hari kemudian baru mereka mendapatkan jejak Ang-I Moli. Mereka mendapatkan keterangan dari penduduk sebuah dusun di kaki bukit. Tidak begitu sukar mencari jejak Ang-I Moli dan dua orang tosu itu. Ang-I Moli adalah seorang wanita cantik yang selalu menggunakan pakaian merah. Keadaannya menyolok sekali dan orang yang berjumpa dengannya tidak mudah melupakannya.

Jejak itu menuju ke Propinsi Hu-nan di sebelah selatan. Mereka melakukan pengejaran terus, sementara hubungan mereka menjadi semakin akrab. Dua orang setengah baya ini merasa seperti menjadi muda kembali dan mereka terkenang akan masa lalu ketika mereka masih sama muda dan juga melakukan perjalanan bersama.

Akan tetapi sekarang perasaan mereka lebih mendalam dibandingkan dahulu karena sekarang agaknya Suma Ciang Bun telah sembuh dari kelainan yang dideritanya. Atau mungkin juga dia tidak berubah, hanya karena sifat Gangga Dewi yang gagah perkasa, keras dan bahkan ‘jantan’ itu yang membuat Ciang Bun semakin jatuh cinta. Andai kata sikap Gangga Dewi lunak dan penuh kewanitaan, belum tentu ia akan merasa demikian tertarik dan jatuh cinta untuk ke dua kalinya. Kalau dahulu dia mencinta Ganggananda, kini dia benar-benar mencinta Gangga Dewi sebagai wanita.

Ketika Gangga Dewi menceritakan tentang keadaan Yo Han yang aneh, Suma Ciang Bun termenung. Mereka menghadapi api unggun di sebuah kuil kosong di luar sebuah dusun di mana mereka terpaksa harus melewatkan malam karena di dusun itu tidak ada rumah penginapan.

"Sungguh luar biasa sekali anak itu," katanya termenung. "Dahulu ketika dia dititipkan kepadaku oleh Sin Hong, aku hanya melihat dia sebagai seorang anak yang luar biasa cerdiknya, berwatak halus dan berpemandangan terlalu dewasa dan luas bagi seorang anak berusia tujuh tahun. Memang sudah menonjol dan aku amat sayang kepadanya, akan tetapi belum memperlihatkan sesuatu yang aneh. Dia tidak pernah berlatih silat akan tetapi luka beracun dan kekuatan sihir tidak mempengaruhinya? Hebat!"

"Aku melihat sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu, Ciang Bun. Akan tetapi dia tidak mau menceritakan riwayatnya. Sebetulnya, anak siapakah dia?"

Suma Ciang Bun menghela napas panjang dan sejenak menatap wajah wanita yang sangat dicintanya itu.

"Aihhh, dunia ini penuh dengan penderitaan. Bahkan orang yang baik hati nampaknya lebih banyak menderita ketimbang orang yang menyeleweng dari kebenaran. Mungkin memang demikianlah keadaannya yang wajar. Orang jahat menjadi hamba nafsu, dan penghambaan nafsu ini tampaknya mendatangkan kesenangan. Tentu saja kesenangan duniawi yang palsu. Ayah kandung Yo Han adalah seorang laki-laki bernama Yo Jin, dia seorang petani yang jujur dan tidak pandai silat. Akan tetapi juga seorang laki-laki sejati, seorang jantan yang tak berkedip takut menghadapi ancaman maut, berani menentang kejahatan. Bahkan sikapnya yang jantan itulah yang menjatuhkan seorang tokoh sesat, seorang iblis betina cantik yang terkenal dengan sebutan Bi Kwi (Setan Cantik). Bukan hanya menjatuhkan hatinya, akan tetapi setelah mereka menjadi suami isteri, Bi Kwi yang tadinya terkenal sebagai seorang tokoh sesat yang sangat jahat dan kejam itu menjadi sadar sama sekali! Dia ikut suaminya menjadi seorang petani di dusun yang mencuci tangannya dari segala macam kekerasan."

"Luar biasa dan menarik sekali!"

"Nah, mereka menikah dan lahirlah Yo Han! Suami isteri itu telah bersepakat untuk tidak memperkenalkan putera mereka itu dengan kekerasan dan kehidupan dunia persilatan. Mereka tidak mengajarkan ilmu silat kepada Yo Han. Tentu saja hal ini terpengaruh oleh sikap Yo Jin yang tidak suka akan kekerasan, dan juga oleh pengalaman-pengalaman pahit dari Bi Kwi selama ia menjadi tokoh sesat dalam dunia kang-ouw."

"Keputusan yang bijaksana," Gangga Dewi memuji.

"Akan tetapi, latar belakang kehidupan Bi Kwi tidak membiarkan dia hidup tenang dan tenteram. Ada saja penjahat yang menginginkan tenaganya, dan orang-orang jahat itu menculik Yo Han yang baru berusia tujuh tahun, bahkan menculik Yo Jin pula. Karena suami dan puteranya diculik penjahat yang memaksa dia membantu golongan sesat, terpaksa Bi Kwi terjun lagi ke dunia kang-ouw. Suami isteri itu berhasil menukar diri mereka dengan putera mereka yang dibebaskan dan Yo Han diserahkan kepada Tan Sin Hong oleh ayah dan ibunya. Sin Hong menitipkan Yo Han kepadaku, dan dia sendiri bersama para pendekar lalu membasmi penjahat di mana terdapat pula pembunuh-pembunuh yang membunuh kakek dan nenek penghuni Istana Gurun Pasir, termasuk ayahmu itu. Dan dalam pertempuran itu, ayah dan ibu Yo Han yang juga membalik dan membantu para pendekar menentang golongan sesat yang tadinya mereka bantu demi menyelamatkan putera mereka, tewas sehingga Yo Han menjadi seorang yatim-piatu."

Gangga Dewi berulang kali menghela napas panjang.

"Omitohud...! Betapa penuh kekerasan kehidupan manusia di dunia ini. Sekarang aku mengerti mengapa Yo Han tidak pernah mau melatih ilmu silat walau pun dia memiliki suhu dan subo yang berkepandaian tinggi seperti Tan Sin Hong dan Kao Hong Li itu. Hanya yang tetap membuat aku heran, bagaimana dia dapat mempunyai kekuatan aneh yang dapat menolak pengaruh racun dan ilmu sihir. Sungguh aneh sekali!"

"Hal itu tentu akan dapat kita ketahui kelak kalau kita sudah berhasil membebaskannya dari tangan Ang-I Moli," kata Suma Ciang Bun.

"Mudah-mudahan saja kita tidak akan terlambat," kata Gangga Dewi.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan kuil tua itu dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat untuk melakukan pengejaran dan mencari Yo Han yang diculik Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw itu.....

********************

Siang itu cuaca cerah sekali di Bukit Naga. Matahari amat teriknya. Bahkan hutan di puncak bukit itu yang biasanya gelap karena rindangnya pohon-pohon besar yang telah puluhan tahun umurnya, kini nampak terang ditembusi cahaya matahari yang kuat. Di langit tidak ada mendung, hanya ada awan-awan putih berserakan di sana sini, tidak menghalangi kecerahan sinar matahari, bahkan menjadi hiasan langit yang indah.

Tepat pada tengah hari, nampaklah bayangan-bayangan orang berkelebat memasuki hutan itu. Hutan yang biasanya amat sepi itu tiba-tiba saja diramaikan oleh kunjungan orang-orang yang memiliki gerakan yang amat ringan dan cekatan.

Mula-mula nampak seorang tosu. Umurnya sekitar lima puluh tahun dengan sebatang pedang di punggung. Tosu tinggi kurus itu muncul dengan loncatan yang ringan, berada di atas lapangan rumput yang dikurung oleh pohon-pohon tinggi dan dia memandang ke sekeliling.

Pandang matanya yang tajam sudah melihat adanya beberapa sosok bayangan orang yang bergerak dengan cepat dan sekarang suasana nampak sunyi kembali. Bayangan-bayangan itu agaknya sudah menyelinap dan bersembunyi di balik pohon-pohon besar atau semak belukar.

Setelah memandang ke sekelilingnya, tosu ini tersenyum mengejek, dan ia pun berseru dengan suara lantang karena dia mengerahkan khikang-nya hingga suaranya langsung keluar dari perut dan terdengar melengking nyaring.

"Sejak kapan orang-orang Go-bi-pai menjadi pengecut? Sesudah orang yang diundang datang memenuhi tantangan, kenapa malah bersembunyi-sembunyi? Keluarlah, orang orang Go-bi-pai. Pinto (aku) dari Kun-lun-pai sudah datang memenuhi tantanganmu!"

Belum lagi lenyap gema suara itu, nampak sesosok tubuh melayang turun dari puncak sebuah pohon besar. Dengan ringan sekali tubuh itu berjungkir balik beberapa kali dan seorang kakek berusia enam puluh tahun berpakaian seperti seorang petani sederhana telah berdiri di depan tosu Kun-lun-pai itu. Tubuhnya tegap dan kaki tangannya kokoh kuat seperti biasa tubuh seorang petani yang biasa bekerja keras. Kulitnya juga coklat terbakar matahari.

"Siancai...!" Tosu Kun-lun-pai itu berseru, sedang matanya bersinar penuh kemarahan. "Kiranya Go-bi Nung-jin (Petani Gobi) yang muncul! Hemmm, engkau petani yang biasa berwatak jujur, katakan, sejak kapan Go-bi-pai memusuhi Kun-lun-pai dan mengirim tantangan? Pinto (aku) mewakili Kun-lun-pai untuk menyambut tantangan Go-bi-pai itu!"

"Ciang Tosu, apa artinya kata-katamu itu? Kami tidak pernah dan tidak akan memusuhi Kun-lun-pai. Kedatanganku ke sini pada saat ini bukan sebagai penantang, bahkan aku mewakili Go-bi-pai untuk menyambut tantangan Bu-tong-pai!" Kemudian kakek petani itu memandang ke sekelilingnya dan dengan lantang dia pun berteriak, "Di mana orang orang Bu-tong-pai yang telah berani mengirim tantangan kepada Go-bi-pai? Nah, aku datang mewakili Go-bi-pai untuk menerima tantangan itu!"

Tentu saja Ciang Tosu dari Kun-lun-pai merasa heran bukan main, akan tetapi sebelum ia dapat berkata sesuatu, nampak bayangan berkelebat keluar dari balik semak belukar dan di situ telah berdiri seorang laki-laki gagah perkasa yang berusia empat puluh tahun lebih.

Orang ini berpakaian bagai seorang pendekar dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Tubuhnya tinggi kurus dan sikapnya gagah, matanya tajam memandang pada kakek petani yang tadi menantang Bu-tong-pai. Sikap orang ini hormat, mungkin karena dia merasa lebih muda. Dia lalu mengangkat kedua tangan di depan dada menghadapi kakek petani Go-bi Nung-jin.

"Go-bi Nung-jin adalah seorang pendekar Go-bi-pai yang amat gagah. Dan selama ini Bu-tong-pai selalu memandang hormat dan menganggap Go-bi-pai sebagai saudara. Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai, bahkan saya datang ke sini sebagai wakil dari Bu-tong-pai untuk menghadapi tantangan yang kami terima dari Siauw-lim-pai! Kami tidak pernah menantang Go-bi-pai atau partai persilatan mana pun juga."

Setelah berkata demikian kepada Go-bi Nung-jin yang menjadi terheran-heran, wakil Bu-tong-pai itu pun sekarang memandang ke sekeliling lalu berseru dengan pengerahan khikang-nya.

"Orang-orang Siauw-lim-pai, dengarlah baik-baik! Kalian sudah menantang Bu-tong-pai dan inilah aku, Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai mewakili partai kami untuk menerima tantangan kalian!"

Mendengar ucapan wakil Bu-tong-pai ini, Go-bi Nung-jin dan Ciang Tosu lantas saling pandang dengan heran. Dan pada saat itu terdengar suara halus namun terdengar jelas dan menggetarkan.

"Omitohud...! Agaknya dunia sudah akan kiamat! Apa yang terjadi sungguh aneh!" Dan muncullah seorang hwesio berusia lima puluhan tahun.

Phoa Cin Su murid Bu-tong-pai segera memberi hormat. "Kiranya Loan Hu Hwesio yang datang mewakili Siauw-lim-pai yang menantang Bu-tong-pai. Nah, saya yang mewakili Bu-tong-pai untuk menerima tantangan yang membuat kami merasa penasaran sekali itu!" Karena Phoa Cin Su agaknya sudah mengenal benar siapa hwesio Siauw-lim-pai ini, dia pun segera meloloskan pedangnya dari pinggang dan siap untuk bertanding!

Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu malah merangkap kedua tangan di depan dadanya. "Omitohud...! Phoa-sicu harap bersabar dulu. Ketahuilah bahwa Siauw-lim-pai selalu memandang Bu-tong-pai dengan hormat dan sebagai rekan, bagaimana Siauw-lim-pai dapat mengirim tantangan? Pinceng (aku) datang ini pun sebagai wakil Siauw-lim-pai yang menerima tantangan dari Kun-Lun-pai!"

Tentu saja wakil-wakil dari empat perkumpulan atau partai persilatan terbesar di seluruh negeri itu menjadi terheran-heran mendengar ini. Kun-lun-pai menerima tantangan dari Go-bi-pai, lalu Go-bi-pai menerima tantangan dari Bu-tong-pai, sedangkan Bu-tong-pai menerima tantangan dari Siauw-lim-pai dan kini Siauw-lim-pai menerima tantangan dari Kun-lun-pai Apa artinya semua ini?

"Siancai...!" Ciang Tosu berseru heran. "Bagaimana kami bisa menantang Siauw-lim-pai yang kami anggap sebagai sahabat dan juga sumber segala ilmu yang kami miliki? Itu tidak mungkin sama sekali!”

“Omitohud, demikian pula Siauw-lim-pai tak pernah menantang Bu-tong-pai," kata Loan Hu Hwesio dari Siauw-lim-pai.

"Saya juga berani memastikan bahwa Bu-tong-pai tidak pernah menantang Go-bi-pai," kata Phoa Cin Su.

"Dan Go-bi-pai juga tidak mungkin menantang Kun-lun-pai!" kata Go-bi Nung-jin.

"Omitohud..." Sekarang hwesio Siauw-lim-pai itu mengangkat kedua tangannya ke atas. "Harap Cu-wi bersabar dulu. Para suhu pimpinan di Siauw-lim-pai tidak mungkin keliru. Ketika mengutus pinceng turun gunung memenuhi tantangan itu, pinceng sendiri melihat surat tantangan yang ditandai dengan cap dari Kun-lun-pai."

Ciang Tosu dari Kun-lun-pai, Phoa Cin Su dari Bu-tong-pai, beserta Go-bi Nung-jin dari Go-bi-pai serempak menyatakan, bahwa mereka pun melihat keaslian surat tantangan yang diterima pimpinan masing-masing. Surat-surat tantangan itu pun memakai tanda cap dari partai yang menantang.

"Omitohud...! Kalau begitu, tentu ada pemalsuan. Ada pihak lain yang sengaja mengirim surat-surat tantangan itu untuk mengadu domba atau hendak mengacau keadaan. Kita harus waspada!"

Tiba-tiba terdengar suara tawa bergelak. Suara ini bergema ke empat penjuru sehingga sukar diketahui dari mana asal suara itu. Empat orang wakil dari empat perkumpulan silat besar itu maklum bahwa ada orang pandai muncul, maka mereka pun sudah siap siaga.

Phoa Cin Su sudah mencabut pedang. Ciang Tosu juga sudah mencabut pedang dari punggungnya. Sedangkan Go-bi Nung-jin menyambar senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang cangkul yang gagangnya lurus seperti toya, dan hwesio Siauw-lim-pai yang tidak pernah bersenjata itu siap dengan pengerahan sinkang dan setiap urat syarafnya menegang. Mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, orang-orang yang memiliki tingkat kedua dari perguruan masing-masing.

"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Suara ketawa yang bergema di empat penjuru itu disusul oleh kata-kata yang juga mengandung getaran kuat. "Kalian berempat bagaikan tikus-tikus yang terjepit!"

Tiba-tiba saja muncullah seorang kakek berusia enam puluhan tahun, bertubuh tinggi besar dan bermuka merah. Dia mengenakan jubah lebar yang berwarna merah pula. Pakaiannya seperti seorang pendeta, tapi rambutnya digelung rapi dan mengkilap bekas minyak, dan jepitan rambutnya merupakan perhiasan dari emas permata yang mahal. Akan tetapi di balik jubah merah itu nampak pula baju ketat sulaman benang perak yang gemerlapan.

Di antara empat orang tokoh partai-partai persilatan besar itu, hanya Loan Hu Hwesio yang mengenal orang ini. Hwesio ini menjura dengan sikap hormat kepada kakek tinggi besar bermuka merah itu.

"Ahhh, kiranya Lauw Enghiong (Orang Gagah she Lauw) yang datang. Tidak tahu apa alasannya maka engkau datang-datang memaki kami empat orang wakil partai-partai persilatan?"

"Huhh!" kakek tinggi besar itu mendengus dengan sikap mengejek. "Apa lagi kalian ini jika bukan tikus-tikus pengkhianat bangsa, atau anjing-anjing, penjilat penjajah Mancu?"

Phoa Cin Su, jago dari Bu-tong-pai itu menjadi merah mukanya karena marah. "Loan Hu Hwesio, siapakah orang yang sombong dan bermulut lancang ini?"

Hwesio Siauw-lim-pai itu belum menjawab, kakek tinggi besar itu sudah mendahuluinya. "Kalian wakil-wakil Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, dan Go-bi-pai. Ketahuilah bahwa kini kalian berhadapan dengan aku Lauw Kang Hui, wakil Ketua Thian-li-pang!"

Tiga orang itu terkejut. Tentu saja mereka sudah mendengar nama besar perkumpulan Thian-li-pang, sebuah perkumpulan orang-orang yang menamakan diri mereka patriot dan yang dengan gigih menentang pemerintah, yaitu penjajah Mancu dan memberontak di mana-mana untuk menjatuhkan pemerintah penjajah. Akan tetapi di antara para anak buah Thian-li-pang, banyak pula yang melakukan penyelewengan. Mereka melakukan kejahatan mengandalkan kekuatan mereka, mengganggu rakyat dengan perampokan dan pemerasan. Maka, dari empat buah perkumpulan persilatan besar itu, tentu sudah pernah murid-murid mereka bentrok dengan orang-orang Thian-li-pang yang melakukan kejahatan.

"Siancai, kalau begitu agaknya Thian-li-pang yang membuat undangan palsu kepada kami empat perguruan tinggi. Benarkah begitu?" kata Ciang Tosu dari Kun-lun-pai.

"Ha-ha-ha, memang tepat! Kami yang membuat undangan palsu. Empat perguruan silat seperti perkumpulan kalian itu hanyalah perkumpulan pengkhianat dan pengecut. Kalian tidak menentang penjajah, tidak mau bekerja sama dengan kami, bahkan menentang kami dan banyak sudah anak buah kami yang tewas di tangan kalian!"

"Hemmm, apa anehnya hal itu? Kami bukanlah perkumpulan pemberontak, kami tidak mempunyai urusan dengan pemberontakan. Kalau murid-murid kami menentang murid-murid Thian-li-pang, tentu bukan perkumpulan atau pemberontakannya yang ditentang, melainkan perbuatan jahat yang dilakukan oleh para murid Thian-li-pang. Kami adalah perkumpulan para pendekar yang menentang kejahatan, kapan saja, di mana saja dan dilakukan siapa saja!" kata Go-bi Nung-jin.

"Benar sekali itu!" kata Phoa Cin Su. "Murid-murid kami pernah menentang anggota Thian-li-pang, bukan karena mereka memberontak terhadap pemerintah, tetapi karena mereka itu merampok dan memeras rakyat jelata!"

"Ha-ha-ha, sudah berada di ambang maut, kalian masih berani bermulut besar! Kalian berempat bersiaplah untuk mampus dan kelak menjadi penyebab pertentangan antara perkumpulan kalian sendiri!"

Lauw Kang Hui tertawa dan pada saat itu muncullah seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-I Moli Tee Kui Cu dan dua orang suheng-nya dari Pek-lian-kauw, yaitu Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Munculnya tiga orang ini disusul munculnya belasan orang Pek-lian-kauw dan Thian-li-pang yang mengepung tempat itu!

"Omitohud...!" kata Loan Hu Hwesio pada saat melihat orang-orang Pek-lian-kauw yang dapat dikenal dari gambar teratai putih di bagian dada mereka. "Kiranya Thian-li-pang bersekongkol pula dengan perkumpulan siluman jahat dan agama palsu Pek-lian-kauw!"

"Kepung! Bunuh mereka!" Lauw Kang Hui sudah memberi aba-aba.

Dia sendiri sudah mencabut sebatang golok besar dan menyerang Loan Hu Hwesio! Golok besar yang berat itu menyambar dengan cepat, berubah menjadi sinar perak yang amat kuat menyambar ke arah leher Loan Hu Hwesio.

Pendeta Siauw-lim-pai ini cepat mengelak dengan menundukkan muka dan menggeser kakinya sehingga tubuhnya mendoyong ke kanan dan dari jurusan ini, lengan kirinya meluncur dan dari jari tangannya menghantam ke arah lambung lawan. Lauw Kang Hui mengelebatkan goloknya menyambut hantaman ini sehingga terpaksa Loan Hu Hwesio menarik kembali lengannya yang diancam babatan golok, lalu kakinya yang menendang dengan cepat dan kuat ke arah perut lawan.

Hebat memang gerakan silat tangan kosong dari hwesio Siauw-lim-pai ini dan memang ilmu silat Siauw-lim-pai merupakan ilmu silat yang paling tua dan bahkan telah menjadi sumber dari pada ilmu-ilmu silat lainnya.

Tapi Lauw Kang Hui bukan seorang lemah. Dia juga sudah mempelajari banyak macam ilmu silat, di antaranya ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai sehingga ia bisa mengenal gerakan lawan, maka dia dapat menjaga diri dan membalas dengan dahsyat pula.

Terjadilah serang menyerang yang seru antara dua orang ini. Akan tetapi ada beberapa orang anggota Thian-li-pang yang membantu wakil ketua mereka sehingga hwesio dari Siauw-lim-pai ini dikeroyok dan terdesak hebat. Dia hanya bersenjatakan kaki tangan dibantu dua ujung lengan bajunya yang longgar dan panjang.

Ang-I Moli sudah menerjang Phoa Cin Su, jagoan Bu-tong-pai dengan pedangnya. Phoa Cin Su menyambut dengan pedang pula, maka kedua orang ini pun segera bertarung dengan seru. Seperti juga Lauw Kang Hui, wanita ini dibantu oleh lima orang anggota Thian-li-pang sehingga tentu saja Phoa Cin Su segera terdesak. Menghadapi Ang-I Moli seorang saja dia sudah menemukan tanding yang tidak ringan, apa lagi kini dikeroyok!

Ciang Tosu dikeroyok oleh Kwan Thian-cu yang menggunakan golok, bersama Kwan Thian-cu yang masih dibantu oleh lima orang anggota Pek-lian-kauw sehingga tosu dari Kun-lun-pai itu pun terdesak hebat. Sementara itu, Kui Thian-cu dan lima orang anggota Pek-lian-kauw lainnya telah mengepung dan mengeroyok Go-bi Nung-jin yang memakai senjata cangkul.

Memang Lauw Kang Hui yang mengirim surat tantangan kepada empat penguruan itu telah merencanakan siasatnya lebih dahulu sehingga kini empat orang itu terkurung dan dikeroyok sesuai yang telah direncanakan.

Setelah usaha Thian-li-pang untuk membunuh Kaisar gagal, juga usaha mereka untuk mengajak Siang Hong-houw bersekongkol membunuh Kaisar tidak berhasil pula bahkan mereka kehilangan Ciang Sun, tokoh Thian-li-pang yang tewas dalam usahanya untuk membunuh Kaisar, Thian-li-pang kemudian menggunakan siasat lain. Para pimpinannya berkumpul dan mengatur rencana.

Pertama, mereka mengadakan persekutuan dengan Pek-lian-kauw, agama sesat yang juga merupakan perkumpulan yang memberontak terhadap pemerintah. Kedua, mereka merencanakan siasat adu domba untuk mengacaukan dunia persilatan sehingga para pendekar dari empat perguruan silat yang besar akan saling bermusuhan dan tidak ada kesempatan lagi untuk menentang mereka dan membantu pemerintah kalau mereka melancarkan gerakan pemberontakan.

Demikianlah, surat tantangan kepada empat buah perkumpulan besar itu diatur dan kini para wakil empat perkumpulan itu dikepung dan dikeroyok, dipimpin oieh Lauw Kang Hui yang menjadi wakil Ketua Thian-li-pang.

Pek-lian-kauw diwakili oleh Ang-I Moli, Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu dengan sepuluh orang anggota Pek-lian-kauw lainnya untuk membantu gerakan menjebak para tokoh dari empat perkumpulan besar itu.

Seperti kita ketahui, Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya itu melarikan diri dari kejaran Gangga Dewi yang dibantu Suma Ciang Bun. Ia menculik Yo Han dan membawa anak itu melarikan diri. Mereka berhasil lolos dari pengejaran dua orang sakti itu dan tiba di sarang Pek-lian-kauw yang kebetulan sekali sedang menerima para pimpinan Thian-li-pang untuk mengadakan persekutuan.

Ketika empat orang wakil pimpinan para perguruan besar itu dikeroyok, Ang-I Moli yang tidak pernah melepaskan Yo Han dari pengawasannya, menggantung anak itu di atas pohon!

Yo Han dapat melihat dan mendengar semua yang terjadi, akan tetapi biar pun hatinya merasa penasaran dan marah, dia tidak berdaya. Kaki tangannya terbelenggu dan dia digantung jungkir balik di cabang pohon yang tinggi itu! Dia hanya dapat menonton dan mendengarkan, dan hatinya seperti ditusuk-tusuk melihat betapa kejahatan mengganas tanpa dia dapat berbuat sesuatu.

Makin nampak olehnya betapa jahat orang-orang yang memiliki ilmu silat, dan betapa celaka orang-orang yang berada di pihak kebenaran apa bila mereka menjadi pendekar silat. Andai kata empat orang itu merupakan orang-orang biasa, petani-petani yang tidak pandai ilmu silat, tidak mungkin kini mereka dikeroyok oleh orang-orang yang baginya nampak seperti serigala-serigala yang haus darah itu!

Akhirnya terjadi apa yang dikhawatirkan Yo Han yang tidak berdaya itu. Mula-mula Loan Hu Hwesio yang roboh.

Seperti juga tiga orang tokoh lainnya, setelah dikeroyok selama lima puluh jurus yang dipertahankannya dengan mati-matian, Loan Hu Hwesio sudah menderita luka-luka. Pada suatu saat yang baik, dia berhasil memukulkan dua tangannya ke arah dada Lauw Kang Hui dengan pengerahan tenaga sekuatnya tanpa mempedulikan lagi perlindungan diri sendiri. Dia ingin mengadu nyawa dengan wakil Ketua Thian-li-pang itu. Pukulannya berhasil mengenai sasarannya dengan tepat sekali.

"Bukkkk...!"

Kedua telapak tangan itu mengenai dada yang bidang dari Lauw Kang Hui. Tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Loan Hu Hwesio ketika kedua telapak tangannya bertemu dengan benda yang keras dan kuat sekali. Ketika dua tangannya menghantam dada, Lauw Kang Hui sama sekali tidak mengelak bahkan membarengi dengan gerakan goloknya ke arah lambung lawan. Dan hanya sedetik setelah kedua tangan hwesio itu menghantam dada, ujung golok juga menyabet lambung dan merobek lambung perut Loan Hu Hwesio!

Lauw Kang Hui terhuyung ke belakang oleh pukulan itu, akan tetapi Loan Hu Hwesio terkulai roboh mandi darah! Wakil Ketua Thian-li-pang itu tidak terluka karena di balik jubah merahnya dia sudah menggunakan baju ketat dari sulaman benang perak yang membuat tubuhnya kebal!

"Jangan bunuh dulu!" bentak Lauw Kang Hui kepada para pembantunya yang tadinya hendak menghujankan senjata karena marah. Beberapa orang kawan mereka yang mengeroyok juga tadi dirobohkan hwesio yang lihai itu.

Robohnya Loan Hu Hwesio yang terluka parah disusul robohnya Ciang Tosu oleh Kwan Thian-cu dan teman-temannya. Ciang Tosu roboh dengan luka parah pada lehernya, membuat dia roboh pingsan dengan darah mengucur keluar dari luka itu. Phoa Cin Su juga roboh oleh tusukan pedang Ang-I Moli pada dadanya, sedangkan Go-bi Nung-jin yang tadi mengamuk dengan hebat, roboh pula oleh bacokan pedang Kui Thian-cu yang mengenai pinggangnya.

Seperti juga Lauw Kang Hui, tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu melarang anak buah mereka membunuh orang yang dikeroyok dan telah roboh terluka parah. Kemudian, Lauw Kang Hui memberi isyarat kepada tiga orang sekutunya. Mereka mengangguk.

Kwan Thian-cu lalu mengambil cangkul yang tadi dipergunakan Go-bi Nung-jin sebagai senjata dan dengan senjata ini dia lalu menghantam ke arah kepala Ciang Tosu, tokoh Kun-lun-pai yang sudah roboh tak berdaya ini. Tanpa dapat mengeluarkan keluhan lagi. Ciang Tosu yang dihantam cangkul itu tewas dengan kepala luka besar oleh cangkul.

Kini Kui Thian-cu mengambil pedang milik Phoa Cin Su dan dengan pedang itu dia pun menyerang kepala Go-bi Nung-jin. Tokoh dari Go-bi-pai ini pun langsung tewas seketika dengan kepala terluka hebat oleh pedang itu.

Lauw Kang Hui yang tadi merobohkan Loan Hu Hwesio mempergunakan pedang milik Ciang Tosu dari Kun-lun-pai tadi untuk membunuh bekas lawannya itu dengan melukai kepalanya pula. Kini tinggallah Poa Cin Su.

Karena mereka mengatur siasat agar empat orang saling bunuh sesuai dengan bunyi surat tantangan masing-masing, maka seharusnya Phoa Cin Su murid dari Bu-tong-pai terbunuh oleh murid Siauw-lim-pai yang mengirim surat tantangan. Akan tetapi Loan Hu Hwesio tidak pernah menggunakan senjata, maka Ang-I Moli merasa ragu-ragu bagai mana harus membunuh murid Bu-tong-pai itu.

"Mudah saja," kata Lauw Kang Hui sambil tersenyum. "Aku pernah mempelajari ilmu pukulan Kang-see-ciang (Tangan Pasir Baja) dari Siauw-lim-pai. Biarlah aku memukul dia dengan ilmu itu."

Lauw Kang Hui lalu menghampiri tubuh Phoa Cin Su yang sudah tergolek dan terluka parah tanpa mampu bangkit lagi itu. Dia lalu menggerak-gerakkan jari tangan kanannya sehingga terdengar bunyi berkerotokan, lalu dipukulkannya telapak tangan kanannya ke arah kepala Phoa Cin Su. Terdengar suara keras dan kepala itu pun menjadi retak, dan Phoa Cin Su tewas seketika. Ada tanda telapak tangan dengan sebagian jari-jarinya pada pipi dan pelipis yang terpukul!

Walau pun dia harus beberapa kali memejamkan mata karena merasa ngeri, Yo Han dapat melihat semua itu. Dia seorang anak yang cerdik, maka setelah melihat dan mendengar kesemuanya itu, dia pun mengerti apa yang menjadi siasat keji dari orang-orang Thian-li-pang dan Pek-lian-kauw. Diam-diam dia merasa penasaran bukan main.

Bahaya besar mengancam keamanan negeri, pikirnya. Tentu dua gerombolan penjahat yang bersekutu itu akan mengirimkan mayat-mayat itu sebagai bukti kepada perguruan masing-masing yang telah menerima surat tantangan, sehingga dengan demikian maka empat perguruan besar itu akan saling bermusuhan! Sungguh tipu muslihat yang amat jahat dan kejam.

Dia melihat betapa mereka membawa pergi mayat-mayat itu, akan tetapi dia tak dapat menahan kemarahannya.

"Ang-I Moli! Engkau sudah membiarkan dirimu terseret ke dalam perbuatan yang paling keji dan jahat yang pernah kulihat! Apakah engkau tidak takut akan akibat dari semua perbuatanmu itu? Tuhan pasti akan menghukummu, Ang-I Moli!"

Suara anak itu lantang sekali, mengejutkan Lauw Kang Hui yang tak pernah tahu bahwa Ang-I Moli datang membawa anak kecil yang kini digantung di pohon. Dia menoleh dan melihat anak yang tergantung dengan kepala di bawah itu. Dia pun terbelalak.....

"Moli, siapa dia?"

Ang-I Moli tersenyum. "Aihh, jangan perhatikan dia. Dia itu punyaku!”

Wanita ini lalu meloncat ke atas pohon, melepaskan ikatan tangan kaki Yo Han dan mengempit tubuh anak itu lalu membawanya meloncat turun.

Sementara itu, pada waktu Ang-I Moli sibuk menurunkan Yo Han tadi, Lauw Kang Hui mendengar dari dua orang tosu Pek-lian-kauw bahwa anak itu adalah seorang anak luar biasa dan Ang-I Moli hendak menghisap darah anak itu untuk memenuhi persyaratan melatih ilmu rahasianya. Lauw Kang Hui merasa tertarik sekali, maka ketika Ang-I Moli sudah menurunkan Yo Han, dia cepat menghampiri.

Kini Yo Han sudah diturunkan dan anak itu berdiri dengan gagah walau pun tubuhnya terasa nyeri semua dan kepalanya masih pening karena terlalu lama digantung terbalik. Lauw Kang Hui melihat sepasang mata yang begitu jernih akan tetapi juga tajam tanpa dibayangi takut sedikit pun.

“Anak baik, siapa namamu?” tanyanya

“Namaku Yo Han. Locianpwe (Orang Tua Gagah) adalah seorang yang berkedudukan tinggi, memiliki ilmu kepandaian yang tinggi pula, tetapi mengapa melakukan perbuatan yang demikian keji dan pengecut?”

Kembali Lauw Kang Hui terbelalak dan memandang penuh kagum. Bukan main anak ini! Begitu beraninya. Dan sinar mata itu demikian jernih. Suara itu demikian lembut.

“Moli, titipkan anak itu kepada kedua suheng-mu. Aku ingin bicara penting denganmu,” kata Lauw Kang Hui.

“Ada urusan apakah, Lauw Pangcu (Ketua Lauw)?” bertanya Moli setelah mereka pergi agak jauh agar percakapan mereka tidak didengarkan orang lain, terutama Yo Han. Biar pun dia wakil Ketua Thian-li-pang, namun dia selalu disebut Lauw Pangcu.

“Kuharap engkau suka berterus terang saja, Moli. Anak itu, Yo Han itu, untuk apakah kau tawan?”

Ang-I Moli tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih. “Aih, itu urusan pribadiku, Lauw Pangcu. Kenapa sih engkau ingin sekali mengetahui urusan pribadi orang?” Dia tersenyum dan melirik manja.

“Katakan saja terus terang. Bukankah engkau hendak menghisap darahnya untuk dapat memenuhi persyaratan engkau mempelajari sebuah ilmu rahasia?”

Ang-I Moli terbelalak, lalu menoleh ke arah dua orang suheng-nya yang berdiri di sana sambil menjaga Yo Han.

“Hemmm, tentu dua orang lancang mulut itu yang membocorkannya kepadamu!”

“Apa salahnya, Moli? Kita bukan orang lain. Katakan saja terus terang.”

“Benar, Lauw Pangcu.”

“Kalau begitu, biarlah kutukar dengan seorang anak laki-laki lain untukmu. Yo Han itu berikan saja kepadaku!”

Ang-I Moli menatap tajam wajah wakil ketua itu dengan penuh selidik, lalu dengan alis berkerut ia berkata, “Hemmm, tentu saja aku keberatan, Lauw Pangcu. Anak itu sama harganya dengan dua belas orang perjaka remaja! Sayang dia masih terlalu kecil. Aku harus menanti satu dua tahun lagi...”

“Kalau begitu, biar kutukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang tampan dan sehat! Dan akan kupilihkan mereka yang telah agak dewasa sehingga engkau tak perlu menanti sampai satu dua tahun lagi. Anak itu bertingkah aneh, tentu akan repot sekali menawannya selama satu dua tahun. Bagaimana?”

Tawaran ini menarik hati Moli. Memang dia sering kali merasa jengkel dengan Yo Han. Setelah melarikan anak ini selama kurang lebih tiga bulan, dia sampai bosan mencoba menjatuhkan anak ini ke dalam pelukannya. Berbagai macam cara sudah dia gunakan. Dengan sihir bantuan dua orang suheng-nya. Dengan ramuan obat dan racun. Dengan totokan. Dengan siksaan. Semua tidak ada gunanya.

Sihir dan racun agaknya tak mempengaruhi anak itu. Juga ancaman, siksaan dan bujuk rayu tidak mempan! Untuk mendapatkan darah anak itu melalui penghisapan darahnya melalui mulut begitu saja, selain ia merasa muak juga daya gunanya banyak berkurang. Ia membutuhkan hawa murni dari tubuh anak itu.

“Hemmm, usulmu menarik juga, Lauw Pangcu. Akan tetapi kalau aku sudah berterus terang, kuharap engkau juga suka berterus terang. Untuk apakah engkau menginginkan Yo Han?”

Lauw Kang Hui menghela napas panjang. “Engkau tahu siapa kini yang paling tinggi kedudukan atau tingkatnya di Thian-li-pang?”

“Tentu saja Ouw Pangcu, suheng-mu,” jawab Ang-I Moli tanpa ragu lagi. “Kalau bukan Sang Ketua yang paling tinggi tingkat dan kedudukannya, habis siapa lagi?”

“Bukan dia.”

“Ah, aku tahu. Tentu guru kalian, Locianpwe Ban-tok Mo-ko (Iblis Selaksa Racun)! Akan tetapi dia sudah tidak lagi mengurus Thian-li-pang, bukan?”

“Memang Suhu tidak lagi mengurus Thian-li-pang dan tingkatnya lebih tinggi dari pada suheng dan aku. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan Suhu.”

“Wah, kalau begitu aku tidak tahu lagi.”

“Yang paling tinggi tingkatnya di antara kami di Thian-li-pang adalah Supek (Uwa Guru) Thian-te Tok-ong (Raja Racun Langit Bumi)!”

“Ahhh...? Tapi... bukankah beliau sudah... sudah tidak ada lagi?”

“Tidak ada di dunia ramai maksudmu. Akan tetapi beliau masih hidup. Dan Supek yang baru-baru ini memesan kepadaku bahwa kalau aku bertemu dengan seorang anak yang berbakat luar biasa, aku harus membawa anak itu menghadap Supek. Nah, ketika aku melihat Yo Han, aku tertarik dan siapa tahu, anak seperti itulah yang dicari Supek.”

“Lauw Pangcu, aku senang sekali dapat membantu Locianpwe Thian-te Tok-ong! Siapa tahu kelak beliau suka membantuku kembali sebagai imbalan jasaku.”

“Hemm, bantuan apakah yang kau kehendaki, Moli?”

“Ilmu rahasia yang akan kulatih merupakan ilmu yang mengandung hawa beracun. Aku hendak memohon bantuan Locianpwe Thian-te Tok-ong supaya mau membuatkan obat penawarnya.”

“Baik, akan kusampaikan kepada Supek kalau dia dapat menerima Yo Han, tentu dia akan suka membantu.”

Tepat seperti yang sudah diduga oleh Yo Han, mayat keempat orang tokoh perguruan-perguruan silat besar itu dikirim ke perguruan masing-masing. Hanya bedanya, bukan seluruh mayatnya yang dikirim, namun hanya kepalanya saja! Kepala-kepala itu diberi obat, dengan cara direndam sehingga tidak membusuk, lalu dimasukkan ke dalam guci besar dan ditutup rapat, kemudian dimasukkan dalam peti lalu dikirimkan ke perguruan masing-masing melalui piauw-kiok (kantor pengiriman barang).

Bisa dibayangkan betapa gemparnya para perguruan itu saat menerima kiriman kepala. Petugas piauw-kiok mengaku sesuai dengan pesanan pengirim peti itu. Pengirim peti ke Siauw-lim-si (Kuil Siauw-lim) mengatakan bahwa orang yang mengirim peti itu mengaku sebagai seorang murid Kun-Lun-pai. Petugas pemgirim peti untuk Kun-lun-pai mengaku disuruh seorang murid Go-bi-pai, dan petugas pengiriman peti untuk Go-bi-pai mengaku disuruh seorang murid Bu-tong-pai, serta petugas pengiriman peti untuk Bu-tong-pai mengaku disuruh seorang murid Siauw-lim-pai.

Tentu saja para murid perguruan-perguruan silat itu menjadi marah bukan main. Mula-mula para ketua masing-masing memang masih meragukan kebenaran keterangan para pengirim barang itu.

Ketika mereka menerima tantangan-tantangan itu, para ketua lalu mengirim murid-murid terpandai untuk memenuhi undangan di Bukit Naga, untuk membuktikan sendiri apakah benar ada tantangan seperti dalam surat yang telah mereka terima. Kini, murid-murid itu kembali hanya tinggal kepala saja dan pada saat mereka melakukan pemeriksaan, jelas bahwa murid-murid itu memang tewas oleh senjata lawan dari perguruan yang mengirim tantangan.

Biar pun sudah terjadi hal ini, tetap saja para pimpinan perguruan-perguruan itu masih belum yakin benar. Mereka adalah orang-orang sakti yang tahu benar bahwa perguruan yang mengirim tantangan adalah dari golongan bersih, para pendekar yang tidak pernah bermusuhan dengan mereka, bahkan bersahabat erat. Bagaimana tiba-tiba saja timbul tantangan, bahkan sekarang melakukan pembunuhan terhadap murid yang mereka utus untuk memenuhi undangan di Bukit Naga itu? Bagaimana pun juga, telah terbukti bahwa murid mereka tewas.

Biar pun para pimpinan masih ragu-ragu, namun para muridnya tak dapat menahan lagi kemarahan dan sakit hati mereka. Mulailah terjadi bentrokan-bentrokan di antara empat partai persilatan besar itu. Setiap kali terjadi pertemuan, maka murid-murid Kun-lun-pai menyerang murid-murid Go-bi-pai, Go-bi-pai akan menyerang Bu-tong-pai, Bu-tong-pai menyerang Siauw-lim-pai dan sebaliknya Siauw-lim-pai menyerang Kun-lun-pai.

Terjadi beberapa kali bentrokan yang mengakibatkan jatuhnya korban, baik yang terluka mau pun yang tewas. Dan sesudah terjadi bentrokan-bentrokan itu, mau tidak mau para pimpinan partai masing-masing ikut pula terseret. Dan mulailah terjadi pertentangan di antara empat partai persilatan besar itu, persis seperti apa yang diinginkan Thian-li-pang yang bersekongkol dengan Pek-lian-kauw…..

********************

Yo Han diserahkan kepada Lauw Kang Hui oleh Ang-I Moli. Sebagai gantinya, wanita iblis itu oleh Lauw Kang Hui disuguhi pemuda-pemuda remaja seperti yang dia janjikan. Remaja-remaja itu satu demi satu mati kehabisan darah dalam pelukan iblis betina itu.

Yo Han diajak ke pusat Thian-li-pang oleh Lauw Kang Hui. Ia diperlakukan dengan baik, bahkan Lauw Kang Hui terus membujuknya dan berusaha menyadarkan anak itu bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot yang hendak membebaskan bangsa dan tanah air dari tangan penjajah Mancu. Namun, semua itu percuma.

Yo Han tidak dapat melupakan peristiwa mengerikan yang dilihatnya di Bukit Naga dan bagaimana pun juga, dia tetap menganggap bahwa orang-orang Thian-li-pang bukanlah orang-orang baik. Penuh tipu muslihat dan kejam. Dia sudah banyak membaca tentang para pahlawan yang dengan setulusnya hati berjuang membela tanah air dan bangsa, tanpa pamrih untuk diri sendiri.

Akan tetapi, apa yang diperlihatkan orang-orang Thian-li-pang di Bukit Naga itu tak ada hubungannya sama sekali dengan perjuangan membebaskan bangsa dari cengkeraman penjajah! Bahkan Thian-li-pang telah mengadu domba antara perguruan-perguruan silat besar yang terdiri dari bangsa sendiri! Setiap orang pendekar pasti tidak setuju dengan tindakan Thian-li-pang itu.

Dan Thian-li-pang juga bersekutu dengan orang-orang seperti Ang-I Moli dan dua orang suheng-nya, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw. Padahal, ia sendiri sudah membuktikan sendiri betapa jahatnya Ang-I Moli! Oleh karena itu, biar pun dia diperlakukan dengan baik oleh Lauw Kang Hui dan dibujuk dengan omongan manis, tetap saja dia tidak percaya pada perkumpulan ini.

Di dalam perkampungan Thian-li-pang Yo Han melihat bahwa perkumpulan itu nampak kuat, dengan perkampungan yang dikelilingi tembok tinggi dan tebal laksana benteng. Perkampungan di lereng bukit itu luas, di dalamnya terdapat banyak bangunan dan tidak kurang dari tiga ratus orang anak buah Thian-li-pang tinggal di situ. Mereka setiap hari latihan silat dan berbaris.

Ketika dia dihadapkan kepada Ketua Thian-li-pang, yaitu Ouw Pangcu (Ketua Ouw) atau Ouw Ban yang berusia enam puluh tahun, kakek itu memandang kepada Yo Han seperti orang menaksir seekor kuda yang akan dibelinya.

“Namamu Yo Han?” tanya Sang Ketua, suaranya parau dan besar.

Yo Han memandang kepada kakek tinggi kurus yang mukanya pucat kekuningan seperti orang berpenyakitan itu. Dia mengangguk. “Benar, namaku Yo Han.”

“Engkau mau menjadi murid Thian-li-pang?” tanya pula ketua itu.

Yo Han memandangnya dengan sinar mata tajam. Dengan tegas dia menggelengkan kepala, lalu menjawab. “Tidak! Aku tidak mau menjadi murid Thian-li-pang yang jahat, kejam dan pengecut!”

Ouw Ban membelalakkan matanya dan menoleh kepada Lauw Kang Hui. “Dan kau bilang anak ini luar biasa?”

Lauw Kang Hui tersenyum. “Suheng, bukankah sikapnya yang luar biasa pemberani ini menunjukkan keluar biasaannya?”

“Huh, kita lihat saja sampai di mana keluar biasaannya. Bocah sombong, cobalah kau sambut ini!”

Mendadak saja tangan kiri kakek itu bergerak menampar dengan cepat bukan main. Saking cepatnya, gerakan tangannya itu bahkan tidak nampak dan tahu-tahu telapak tangan itu telah mengenai tengkuk Yo Han.

“Plakk!”

Tubuh Yo Han yang duduk di kursi itu terjungkal dan anak itu roboh pingsan.

“Suheng! Kau membunuhnya?” tanya Cauw Kang Hui dengan kaget dan dia meloncat lalu berlutut memeriksa anak itu.

“Hemmm, kalau dia mati pun lebih baik dari pada engkau dimarahi Supek. Lihat, anak macam itu kau katakan luar biasa?” kata Ketua Thian-li-pang.

Lauw Kang Hui mendapat kenyataan bahwa Yo Han hanya pingsan saja, maka dia pun bangkit lagi berdiri dan memandang kepada kakak seperguruannya.

“Suheng, keluar biasaan anak ini bukan hanya pada sikapnya yang gagah berani, tabah dan dewasa, akan tetapi juga menurut keterangan Ang-I Moli, anak ini kebal terhadap racun dan tidak dapat dipengaruhi sihir.”

“Ha-ha-ha, apakah engkau tidak mengenal orang macam apa adanya Ang-I Moli, Sute? Engkau dikibuli saja! Masa anak semacam ini ditukar dengan dua belas orang pemuda remaja yang pilihan. Engkau sungguh bodoh, Sute.”

“Kurasa ia tidak berani mempermainkan aku, Suheng. Bagaimana pun juga, biarlah dia kubawa menghadap Supek, dan biarlah Supek saja yang menentukan apakah anak ini memenuhi syarat ataukah tidak.”

“Sute, agaknya engkau berusaha keras untuk menyenangkan hati Supek, ya? Engkau hendak menyuapnya supaya engkau memperoleh hadiah ilmu baru sehingga tingkat kepandaianmu akan melampaui aku?”

Lauw Kang Hui yang tadinya sudah duduk kini bangkit berdiri lagi sambil memandang kepada wajah suheng-nya dengan mata terbelalak. “Ehh? Kenapa engkau menyangka buruk seperti itu, Suheng? Suheng sendiri juga mendengar pesanan Supek itu, untuk mencarikan seorang anak yang luar biasa supaya Supek dapat menggemblengnya dan kelak akan makin memperkuat Thian-li-pang.”

“Kalau begitu, biar kucoba lagi dia! Apakah benar dia kebal racun!” Ketua Thian-li-pang itu mengambil sesuatu dari saku jubahnya.

“Suheng, jangan! Ang-tok-ting (Paku Beracun Merah) itu dapat membunuhnya!” berkata Lauw Kang Hui. “Lebih baik dicoba kekebalannya terhadap sihir saja.”

Lauw Kang Hui maklum bahwa suheng-nya itu merasa iri kalau sampai ada anak lain yang diterima menjadi murid Thian-te Tok-ong karena suheng-nya itu ingin sekali agar puteranya sendiri yang mewarisi ilmu-ilmu yang ampuh dari supek mereka. Akan tetapi supek mereka menganggap bahwa Ouw Cun Ki, putera suheng-nya yang berusia lima belas tahun itu tidak cukup berbakat.

Akan tetapi Ouw Ban yang memang berniat membunuh Yo Han sudah meluncurkan sebatang paku ke arah leher anak yang masih rebah di atas lantai itu. Sinar merah kecil menyambar sehingga Lauw Kang Hui menahan seruannya dan merasa putus harapan karena serangan itu tentu akan membunuh Yo Han.

Akan tetapi pada saat itu, tiba-tiba saja Yo Han siuman dari pingsannya dan anak yang tadinya sama sekali tidak bergerak itu bangkit duduk dan gerakan yang tidak disengaja ini membuat sambaran paku tidak mengenai sasaran! Paku itu lewat dekat lehernya dan menancap ke lantai, bahkan amblas ke dalam dan tidak nampak lagi!

“Ehhhh...?” Ouw Ban terbelalak kaget, akan tetapi dia juga merasa penasaran sekali. Tangannya bergerak ke saku jubahnya lagi.

“Suheng, tidak cukupkah itu?” Lauw Kang Hui segera memegang lengan suheng-nya, mencegah suheng-nya menyerang lagi. “Tidak kau lihat betapa luar biasanya itu?”

“Huh, hanya kebetulan saja dia siuman!”

“Sama sekali tidak kebetulan. Nampaknya kebetulan akan tetapi justru yang kebetulan itulah yang luar biasa. Suheng, jangan ganggu dia. Kalau Supek menolaknya, barulah Suheng boleh lakukan apa saja terhadap dirinya.”

“Sute, aku masih penasaran!” kata Ouw Ban.

“Suheng, jangan!” cegah Lauw Kang Hui.

Suheng dan sute atau ketua dan wakilnya itu bersitegang dan pada saat itu terdengar suara batuk-batuk di belakang mereka. Dua orang itu mengenal suara ini dan cepat mereka membalik, lalu keduanya menjatuhkan diri berlutut.

“Suhu...! Sudah lama sekali Suhu tidak meninggalkan kamar...”

Karena Yo Han sudah siuman dan berdiri, dia memandang kepada kakek yang baru muncul. Seorang kakek yang usianya tentu sudah tujuh puluh tahun lebih. Rambutnya yang sudah berwarna kelabu itu digelung ke atas seperti rambut pendeta tosu. Yang menyolok pada wajahnya itu adalah sepasang alisnya yang amat tebal dan panjang. Pandang matanya sayu seperti orang mengantuk.

Mendengar dua orang ketua Thian-li-pang itu murid kakek ini, Yo Han maklum bahwa tentu kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi!

“Hemm, Ouw Ban dan Lauw Kang Hui,” kata kakek itu sambil mengelus jenggotnya dan memandang kepada dua orang muridnya itu silih berganti. “Entah mengapa aku ingin sekali keluar kamar, akan tetapi begitu sampai di sini aku melihat kalian bertengkar dan bersitegang. Heran, kalau Thian-li-pang dipimpin oleh kalian berdua, lalu kalian saling bertengkar, apa akan jadinya dengan perkumpulan kita?” Suara kakek itu halus dan ramah, akan tetapi mengandung teguran keras.

“Maafkan, Suhu. Teecu berdua bukan bertengkar, hanya teecu ingin menguji kebenaran keterangan sute tentang anak ini.”

“Benar, Suhu. Sebetulnya tadi teecu hanya ingin mencegah suheng membunuh anak ini karena teecu hendak membawanya menghadap Supek, yang sudah memesan kepada teecu untuk mencarikan seorang anak luar biasa.”

“Anak luar biasa...?” Ban-tok Mo-ko, kakek itu, sekarang memandang Yo Han penuh perhatian. “Apanya yang luar biasa pada anak ini?”

“Itulah, Suhu. Teecu juga menganggap bahwa, anak ini tidak ada apa-apanya yang luar biasa. Sekali tampar saja dia tadi roboh pingsan. Akan tetapi Sute...”

“Suhu, Suheng tidak mau mengerti. Anak ini memang luar biasa. Dia kebal terhadap racun dan pengaruh sihir,” kata Lauw Kang Hui.

“Ehhh? Benarkah?” kata kakek itu dan kini sepasang mata yang sayu itu mengeluarkan sinar ketika dia mengamati wajah Yo Han.

“Teecu hendak menguji kekebalannya itu dengan paku merah, tapi Sute mencegahnya, maka tadi teecu berdua kelihatan seperti bertengkar, Suhu.”

Kakek itu menggerakkan tangan memberi isyarat kepada dua orang muridnya agar tidak bersuara, kemudian diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sepasang mata yang biasanya sayu itu kini mencorong penuh wibawa seperti hendak menembus kepala Yo Han melalui sepasang mata anak itu, kemudian terdengar suaranya menggetar, lirih mendesis, dan jelas sekali.

“Anak baik, siapa namamu?”

Yo Han adalah anak yang sudah mengenal sopan santun. Sudah menjadi kebudayaan sejak jaman dulu untuk menghormati orang yang lebih tua, apa lagi orang setua kakek itu. Oleh karena pertanyaan kakek itu ramah dan halus, ia pun menjawab dengan sikap hormat.

“Nama saya Yo Han, Kek.”

Bagi orang yang sudah biasa mempergunakan kekuatan sihir, jawaban ini saja sudah menunjukkan bahwa korbannya telah masuk perangkap dan tentu akan mentaati segala perintah. Kakek itu memandang lebih tajam dan suaranya semakin berwibawa ketika dia berkata, dengan nada memerintah walau pun masih ramah dan halus.

“Yo Han, kuperintahkan padamu. Hayo cepat engkau berlutut dan menyembah padaku!”

Orang yang terkena pengaruh sihir yang amat kuat ini tentu di luar kehendaknya dan kesadarannya sendiri akan menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Namun betapa kaget dan herannya hati kakek tokoh besar Thian-lipang itu. Anak itu sama sekali tidak mentaati perintahnya, hanya tetap berdiri dan memandang padanya dengan sepasang matanya yang lebar dan jernih.

“Maafkan, Kek, kalau aku tidak dapat berlutut menyembah kepadamu. Engkau bukan guruku, bukan orang tuaku, bahkan bukan pula kakekku.”

Sekarang barulah Ouw Ban percaya akan keterangan sute-nya. Juga Ban-tok Mo-ko menggeleng kepalanya, tak habis heran. Apa kekuatan sihirnya telah punah dan kini dia telah menjadi lemah? Padahal, selama dia mengundurkan diri dari urusan perkumpulan dan berdiam di kamarnya, dia memperbanyak latihan semedhi sehingga sepatutnya kalau kekuatan sihirnya semakin bertambah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, kalian bangkitlah dan pandang aku!”

Dua orang murid itu bangkit berdiri dan memandang kepada suhu mereka dengan patuh. Dan kini kakek itu berseru dengan nada memerintah.

“Lauw Kang Hui dan Ouw Ban, sekarang kalian duduklah di lantai dan menangis!”

Dalam keadaan wajar, walau pun yang memerintah itu suhu mereka sendiri, tentu dua orang itu tidak akan mau mentaati begitu saja. Mereka adalah ketua dan wakil ketua Thian-li-pang, tentu mereka tidak mau kalau disuruh menangis seperti anak kecil tanpa sebab, bahkan seperti orang gila saja. Akan tetapi karena mereka sudah dicengkeram pengaruh sihir yang amat kuat, begitu mendengar perintah Ban-tok Mo-ko, mereka lalu menjatuhkan diri di atas lantai dan keduanya menangis seperti dua orang anak kecil kehilangan barang mainan!

Tentu saja Yo Han yang tidak mengerti apa artinya itu semua, melihat dua orang kakek berusia enam puluh dan enam puluh lima tahun sekarang menangis mengguguk seperti anak-anak kecil tanpa sebab, menjadi terheran-heran dan juga penasaran kepada orang yang memerintah kedua orang ketua itu.

“Kek, sungguh tidak pantas sekali apa yang kau lakukan ini! Mengapa engkau menghina murid-murid sendiri seperti ini?” Yo Han berkata dengan nada menegur.

Ban-tok Mo-ko terkejut dan merasa heran bukan main. Dia menggerakkan tangannya ke arah dua orang muridnya dan berkata dengan suara tenang. “Kalian bangkitlah!”

Dua orang pimpinan Thian-li-pang itu bangkit dan mereka seperti baru bangun dari tidur, nampak bingung dan tidak tahu apa yang telah terjadi.

“Yo Han, katakan mengapa tidak pantas dan menghina?” tanya Ban-tok Mo-ko kepada anak itu.

“Mereka ini adalah ketua dan wakil ketua perkumpulan besar dan juga murid-muridmu sendiri. Akan tetapi mengapa engkau menyuruh mereka menangis seperti anak-anak kecil? Bukankah itu tidak pantas dan menghina namanya?”

Barulah dua orang pimpinan itu tahu bahwa tadi mereka digunakan oleh guru mereka untuk menguji kekuatan sihirnya dan ternyata ilmu sihir suhu mereka masih ampuh. Namun, tadi jelas bahwa ilmu sihir itu tidak mempan terhadap Yo Han! Ban-tok Mo-ko juga menyadari hal ini dan diam-diam dia merasa heran dan kagum bukan main.

“Kang Hui, sebaiknya ajak anak ini menghadap supek-mu. Biar dia yang menentukan!”

Mendengar ini, Lauw Kang Hui merasa gembira sekali. Memang benar seperti dugaan Ouw Ban tadi, dia mengharapkan hadiah dengan menyerahkan anak yang luar biasa ini kepada supek-nya, yaitu hadiah sebuah ilmu baru. Bukan karena dia ingin mengungguli suheng-nya, melainkan untuk kemajuannya sendiri.

“Mari Yo Han, kita menghadap supek!” katanya sambil menggandeng tangan anak itu dan menariknya pergi.

Karena tidak berdaya, meski hatinya menolak, namun Yo Han tidak dapat membantah dan dia pun hanya menurut saja. Anak ini memang memiliki bakat selalu mendekatkan diri kepada Tuhan. Imannya kuat karena sejak kecil dia ditinggal ayah ibunya dan Tuhan menjadi gantungan hidupnya, menjadi tumpuan harapannya dan ia selalu menyerahkan jiwa-raganya ke tangan Tuhan, penuh kepasrahan. Maka, menghadapi apa pun dia tidak merasa gentar karena di dasar hatinya terkandung keyakinan akan kekuasaan Tuhan, bahwa bila Tuhan menghendaki dia harus mati sekali pun, tidak ada kekuasaan lain yang akan mampu menghalanginya. Oleh karena dia telah pasrah dan menghadapi maut pun dia tidak gentar.

Lauw Kang Hui membawa Yo Han ke bagian sudut paling belakang dari perkampungan Thian-li-pang yang ternyata amat luas itu. Bagian belakang itu merupakan puncak bukit yang penuh dengan jurang dan goa. Di depan salah sebuah goa besar, Lauw Kang Hui berhenti sambil tetap memegang tangan Yo Han. Dia tahu akan keadaan luar biasa anak ini, maka dia tidak berani melepaskannya takut kalau-kalau anak itu akan mampu meloloskan diri.

Setelah tiba di depan goa, Lauw Kang Hui menghadap ke arah goa dan menarik tubuh Yo Han untuk bersama dia berlutut di atas tanah. Yo Han tidak mampu membantah karena tangannya ditarik ke bawah, maka ia pun ikut berlutut di sebelah Lauw Kang Hui walau pun ia tidak bermaksud untuk memberi hormat ke arah goa.

Maka ketika wakil ketua Thian-li-pang itu mengangkat-angkat kedua tangannya di depan dada, dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian ke arah goa. Goa itu lebarnya ada sepuluh meter dan nampak terawat bersih seperti rumah saja. Ada pintu di kanan kiri, akan tetapi di bagian tengah terbuka dan nampak menghitam gelap.

“Supek yang mulia, teecu Lauw Kang Hui datang menghadap!” Tetapi suara itu hanya bergema di dalam goa dan tidak ada jawaban, juga tidak nampak gerakan apa pun.

Lauw Kang Hui menanti sejenak, maklum bahwa supek-nya memang tidak pernah mau diganggu dan tidak pernah mau berhubungan dengan dunia di luar goa kalau tidak ada keperluan yang teramat penting.

“Supek, teecu datang mengajak seorang anak luar biasa seperti yang pernah Supek pesan kepada teecu!”

Kembali hening sejenak. Mendadak terdengar suara angin dari dalam goa dan tiba-tiba saja tubuh Yo Han tersedot ke arah goa. Anak itu mencoba untuk mempertahankan diri, akan tetapi tubuhnya terguling-guling seperti bola saja menggelinding ke arah goa dan lenyap ditelan kegelapan goa.

Tak lama kemudian terdengar suara yang jenaka dibarengi tawa. “Heh-heh-heh, bagus sekali, Kang Hui. Engkau boleh pergi sekarang!”

“Maaf, Supek. Teecu mendapatkan anak ini dari Ang-I Moli, dan teecu sudah berjanji kepadanya untuk mohon bantuan Supek memberikan obat penawar dari hawa beracun pukulan yang sedang dilatihnya.”

“Heh-heh, Si Iblis Betina Cilik Ang-I Moli banyak tingkah! Pukulan apa yang sedang dia latih itu?”

“Katanya ilmu itu disebut Toat-beng Tok-hiat (Darah Beracun Pencabut Nyawa).”

“Wah-wah-wah, keji sekali! Untuk menguasai ilmu itu ia harus memperoleh hawa murni dan darah perjaka-perjaka remaja yang sehat!”

“Tadinya anak ini yang akan dia jadikan korban. Katanya mengorbankan seorang saja cukup karena anak ini lebih berharga dari pada dua belas orang remaja biasa.”

“Huh, iblis betina licik. Akan tetapi kalau sampai tiga hari anak ini masih di sini, berarti aku merasa cocok dengan dia dan boleh kau serahkan obat penawar itu kepadanya. Nah, sekarang pergilah!”

“Maaf, Supek. Kalau Supek berkenan dengan anak yang teecu bawa ke sini, teecu mohon sedikit petunjuk Supek agar supaya teecu mendapat kemajuan dalam ilmu silat teecu.”

“Heh-heh-heh-heh, engkau orang tamak! Tetapi kalau anak ini memang menyenangkan hati, kelak akan kuajarkan sebuah ilmu kepadamu.”

“Terima kasih, Supek. Terima kasih!” kata Lauw Kang Hui sambil memberi hormat lalu dia bergegas pergi sebelum kakek aneh itu membatalkan janjinya.

Sementara itu, Yo Han yang menggelinding seperti disedot tenaga yang amat kuat, kini tiba di dalam goa, masih terduduk di lantai goa di dekat sepasang kaki yang kurus dan telanjang karena celana pemilik kaki itu hanya sampai ke lutut. Kaki itu memakai sandal yang amat sederhana, hanya sepotong kulit tebal diikatkan pada kaki secara kasar, di masing-masing kaki.

Yo Han merasa penasaran dan juga marah sekali. Ia adalah seorang anak yang pernah menjadi murid suami isteri yang sakti, maka biar pun dia tidak pernah berlatih ilmu silat, namun pengetahuannya akan ilmu silat sudah cukup mendalam.

Dia tahu bahwa pemilik kaki ini telah mempergunakan semacam ilmu yang aneh untuk menariknya dari luar goa. Semacam sinkang (tenaga sakti) yang sudah demikian tinggi tingkatnya sehingga Si Pemilik tenaga itu dapat mempergunakan seenaknya saja dapat untuk menyedot seperti tadi! Dan dia pun tahu bahwa orang ini tentu lihai bukan main.

Akan tetapi dia sama sekali tidak takut, bahkan marah karena merasa dipermainkan. Dia hendak bangkit berdiri dan memprotes, akan tetapi sungguh aneh, dia tidak mampu bangkit berdiri!

Baru setelah Lauw Kang Hui pergi, kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han merasa leher bajunya dicengkeram tangan yang kecil, lalu tubuhnya diangkat dan dia pun sudah dijinjing pergi memasuki goa itu yang ternyata di sebelah dalamnya amat luas, seperti sebuah rumah gedung saja dengan dua buah kamar dan berikut pula ruangan duduk, dapur dan kamar mandi lengkap! Juga di sebelah dalam goa itu tidak gelap seperti nampak dari luar karena selain bagian atasnya terdapat lobang sehingga sinar matahari dapat masuk. Juga goa itu menembus ke terowongan belakang dari mana datang pula sinar matahari. Belum lagi adanya lampu-lampu gantung.

Yo Han dibawa masuk ke dalam ruangan yang terang sekali dan dia lalu dilepas oleh tangan yang menjinjingnya. Ketika dia turun, dia membalik dan menghadapi orang yang membawanya ke dalam goa. Baru sekarang dia dapat melihat kakek itu dan diam-diam Yo Han terkejut.

Seorang kakek yang tua renta, ada delapan puluh tahun umurnya. Rambutnya putih seperti kapas, tinggal sedikit saja sehingga di bagian tengah kepalanya botak mengkilat. Tubuhnya kecil pendek. Pakaiannya sederhana seperti pakaian kanak-kanak, dengan celana setinggi lutut dan baju yang lengannya juga hanya sampai di sikunya. Kaki dan tangan yang menonjol keluar itu nampak kecil kurus bagaikan kaki tangan anak-anak. Wajah kakek itu pun kecil tetapi nampak ketuaannya karena keriput. Matanya tajam dan lincah, dan mulutnya selalu menyeringai, memperlihatkan mulut yang ompong tanpa gigi secuil pun!

Mereka saling pandang, berdiri berhadapan dan kakek itu hanya lebih tinggi sekepala saja dibandingkan Yo Han. Sampai lama mereka saling berpandangan dan diam-diam Yo Han merasa heran. Kakek ini sama sekali tidak mendatangkan kesan buruk atau jahat. Sinar mata yang tajam lincah itu nampak demikian lembut. Bahkan kakek ini jauh berbeda di bandingkan Ban-tok Mo-ko.

“Heh-heh-heh, aku dengar dari sini tadi bahwa namamu Yo Han?” tanya kakek itu, dan suaranya seperti suara anak-anak pula, demikian ringan dan belum pecah.

Yo Han kagum. Dari tempat ini, cukup jauh dari tempat dia tadi bicara dengan Ban-tok Mo-ko dan dua orang muridnya, kakek ini dapat mendengarkan!

“Benar, Locianpwe (orang Tua Pandai), namaku Yo Han,” jawabnya dan dia bersikap hormat karena maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti.

“Heh-heh, dan engkau anak luar biasa?” tanya kakek itu pula.

Yo Han merasa kesal. Hanya itu saja yang dibicarakan orang! Tanpa diminta dia pun menghampiri sebuah dipan dan naik, kemudian duduk bersila di atas dipan itu, mulutnya cemberut.

“Orang-orang itu mengada-ada saja, Locianpwe. Aku bernama Yo Han. Yatim piatu, hidup sebatang kara saja di dunia ini, tidak bisa apa-apa, dan orang-orang mengatakan aku anak luar biasa, dan aku dijadikan rebutan! Sungguh aneh orang-orang tua di dunia ini, seperti orang gila saja. Aku ini manusia biasa, hanya ingin melanjutkan hidup wajar dan tentram, tidak senang diganggu dan tidak senang pula menggangu.”

Kakek itu terkekeh dan tiba-tiba Yo Han melihat hal yang aneh. Kakek itu tidak membuat gerakan meloncat atau berjalan, akan tetapi tahu-tahu tubuhnya melayang ke atas dipan dan kakek itu sudah pula duduk bersila di depan Yo Han. Akan tetapi anak itu sudah terlalu banyak melihat kehebatan ilmu kepandaian yang dipamerkan orang kepadanya sehingga dia tidak kelihatan heran, bahkan acuh saja.

“Heh-heh-heh, aku yakin Kang Hui tidak akan salah pilih. Dia biasanya cermat dan dia haus akan ilmu baru dariku. Yo Han, engkau diamlah, aku akan memeriksamu.”

Setelah berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya dan dua tangan itu sudah memegang kepala Yo Han. Anak ini berniat hendak menolak, akan tetapi sungguh amat aneh. Dia tidak mampu bergerak!

Tahulah dia bahwa kakek yang katai ini telah mempergunakan semacam ilmu totok yang amat aneh yang membuat dia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, seperti menjadi lumpuh.

Thian-te Tok-ong, kakek tua renta itu, kini memijit-mijit kepala Yo Han dengan jari-jari tangannya, pijat sana, pijit sini, mengelus-elus bagian belakang kepala yang menonjol, mengukur dengan jari dan berulang-ulang dia mengeluarkan suara lidah seperti cecak berbunyi. “Ck-ck-ck-ck!”

Kemudian, kedua tangan itu meraba ke seluruh tubuh Yo Han, dari kepala leher, dada perut, kaki tangan sampai ke ujung jari kaki! Dan suara seperti bunyi cecak itu semakin sering. Lalu kakek itu menempelkan kedua telapak tangannya di atas dada Yo Han.

Anak itu merasa betapa ada hawa panas dari telapak tangan itu memasuki dadanya. Ia hanya pasrah saja, tidak menerima, tidak pula melawan. Dia merasa yakin sepenuhnya bahwa kalau Tuhan tidak menghendaki, orang yang seribu kali lebih sakti dari kakek ini takkan mampu mencelakainya, sebaliknya kalau sampai dia menderita celaka, apa dan siapa pun penyebabnya, hal itu hanya terjadi karena Tuhan memang menghendakinya. Keyakinan ini membuat hatinya tenteram karena untuk berusaha membela diri pun tidak ada gunanya karena kaki tangannya tidak dapat dia gerakkan.

Yo Han merasa betapa hawa panas dari tangan kakek itu memasuki tubuhnya seperti meraba-raba di bagian dalam tubuhnya, memasuki kepalanya, berputar-putaran, lalu ke dadanya, juga berputar-putar kemudian turun ke arah pusarnya.

Tiba-tiba, ketika hawa panas yang dapat bergerak-gerak itu memasuki rongga bawah pusarnya, hawa panas itu meluncur keluar dan kakek itu pun terlempar sampai ke atas lantai di bawah dipan! Kakek itu meloncat bangun, terbelalak memandang kepada Yo Han yang kini mendadak mampu bergerak lagi, dan kakek itu berseru dengan penuh takjub.

“Wah-wah-wah, apa ini? Apa-apaan ini? Sungguh mati, selama hidupku belum pernah aku melihat yang begini! Heiii, Yo Han! Pernahkah engkau belajar ilmu dan menjadi murid orang-orang pandai?”

Yo Han cemberut. “Locianpwe, aku tahu bahwa Locianpwe adalah seorang tua yang berilmu tinggi. Aku menghormatimu karena kepandaianmu dan karena ketuaanmu. Tapi apa yang kau lakukan terhadap aku yang muda? Meski pun aku pernah menjadi murid orang pandai, akan tetapi jika Locianpwe mengira bahwa aku pernah mempelajari ilmu silat atau ilmu kekerasan lain lagi, Locianpwe keliru. Aku tidak pernah belajar silat!”

“Tapi... tapi... dari pusat tenaga di bawah pusarmu terdapat tenaga yang amat dahsyat!”

“Aku tidak tahu, Locianpwe. Dan apakah anehnya hal itu? Yang menghidupkan manusia adalah kekuasaan Tuhan, dan siapa dapat mengukur kekuatan dari kekuasaan Tuhan? Kekuatan yang mampu menggerakkan bintang dan bulan, mampu menciptakan segala sesuatu di alam maya pada ini? Apa anehnya kalau hanya kekuatan secuil di dalam tubuhku ini?”

“Wahhh! Luar biasa! Memang engkau anak luar biasa. Engkaulah yang sudah lama kunanti, telah lama kurindukan! Engkaulah yang pantas menjadi muridku, engkau yang pantas menjadi orang yang kelak akan mengangkat tinggi-tinggi nama Thian-li-pang, yang akan membersihkan nama Thian-li-pang dan mengharumkan kembali namanya. Ha-ha-ha-heh-heh!”

“Locianpwe, aku pernah membaca pengalaman orang bijaksana jaman dahulu bahwa yang dirindukan itu akhirnya menjadi yang mengecewakan! Kalau yang dirindukan itu kesenangan, maka yang merindukan adalah nafsu pikiran dan di samping kesenangan tentu akan muncul kesusahan, di balik kepuasan bersembunyi kekecewaan. Menurut pengalaman para orang suci, hanya yang dirindukan jiwa sajalah yang berharga dan benar.”

Kakek itu terbelalak, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, kalau tidak melihat bahwa engkau ini seorang bocah, tentu aku mengira yang bicara ini seorang pendeta! Ha-ha-ha! Yo Han, apa itu yang dirindukan jiwa?”

“Apa yang dirindukan oleh setiap tetes air kalau bukan samudera, kembali ke asalnya dan bersatu dengan samudera? Apa yang dirindukan oleh bunga api jika bukan kepada api yang menjadi pusatnya? Demikianlah yang sudah kubaca. Hanya persatuan dengan sumber inilah yang akan membahagiakan hidup, Locianpwe, bukan segala kesenangan yang memuaskan nafsu. Apakah Locianpwe tidak rindu kepada Tuhan?”

“Kepada Tuhan?” kakek itu memandang heran.

“Tentu saja. Bukankah yang dimaksudkan dengan sumber itu adalah Tuhan Yang Maha Kuasa? Bukankah segala sesuatu datang dari padaNya dan sudah sepatutnya kembali kepadaNya?”

“Wah-wah-wah...! Engkau ini siapa sih?” katanya setengah berkelakar.

Akan tetapi Yo Han kini turun dari dipan itu, berdiri tegak dan dengan lantang berkata, “Aku ini seorang anak manusia seperti juga Locianpwe. Aku ini juga setetes air seperti Locianpwe, yang selalu merindukan samudera!”

“Hahhh?”

Kakek itu kini benar-benar tertegun dan termenung. Dia membayangkan tetes-tetes air yang datang dari samudera melalui hujan. Semua air itu berasal dari samudera, tetapi setelah terbawa awan dan diturunkan ke bumi sebagai tetes-tetes air, harus mengalami banyak penderitaan dan kesukaran masing-masing sebelum bisa kembali ke samudera, tempat asalnya atau sumbernya.

Dan lika-liku perjalanan tiap tetes air tidaklah sama. Ada yang dapat lancar kembali ke samudra, ada pula yang harus melalui pencomberan, lumpur dan kotoran. Akan tetapi, semua tetes air itu sesudah akhirnya kembali ke samudra, akan menjadi satu dengan samudra dan tidak ada lagi perbedaan di antara mereka.

“Yo Han, engkau memang bocah ajaib dan aku girang sekali bisa mendapatkan engkau sebagai muridku.”

Locianpwe ingin menjadi guruku, akan tetapi tidak pernah bertanya apakah aku suka menjadi muridmu.”

“Ehh? Hah? Manusia mana tidak suka manjadi murid Thian-te Tok-ong? Bahkan anak Kaisar pun akan suka sekali menjadi muridku!”

“Akan tetapi aku bukan anak Kaisar dan sebelum aku mengatakan suka atau tidak, aku ingin dulu mengetahui. Kalau Locianpwe menjadi guruku, Locianpwe akan mengajarkan apakah kepadaku?”

“Ha-ha-ha, apa saja yang kau ingin pelajari!”

Kakek ini memang cerdik sekali. Dia tahu bahwa seorang anak seperti Yo Han memiliki keteguhan hati dan tidak mengenal takut. Maka dia harus tahu dulu apa yang diinginkan dan tak diinginkan anak ini sebelum menjawab agar supaya dia tidak sampai bertumbuk keinginan dengan anak luar biasa ini.

“Segala macam ilmu baik untuk dipelajari dan aku suka mempelajarinya, Locianpwe, kecuali satu, yaitu ilmu silat. Aku tidak suka berlatih ilmu silat.”

Kalau tidak cerdik sekali, tentu Thian-te Tok-ong sudah terkejut mendengar ucapan itu. Dia ingin mengambil anak luar biasa menjadi muridnya untuk mewariskan seluruh ilmu silatnya dan mendidik murid itu menjadi calon pemimpin Thian-li-pang yang pandai dan yang akan mengangkat nama Thian-li-pang. Dan sekarang, anak yang dipilih itu terang-terangan mengatakan bahwa dia suka mempelajari ilmu apa saja kecuali ilmu silat!

“Heh-heh-heh, bagus! Engkau jujur sekali! Nah, tidak ada orang membenci sesuatu tanpa alasan tertentu. Kenapa engkau tidak suka berlatih ilmu silat, Yo Han?”

“Aku tidak membenci sesuatu, Locianpwe. Hanya aku tidak mau mempelajari ilmu silat karena aku melihat kenyataan betapa ilmu itu mengandung kekerasan, bersifat merusak dan hanya mendatangkan permusuhan dan pertentangan saja dalam kehidupan ini.”

“Heh-heh-heh, cocok! Cocok dengan aku, Yo Han. Tidak, aku tidak mengajarkan ilmu silat kepadamu, hanya akan mengajarkan ilmu tari dan senam olah raga untuk membuat tubuhmu sehat. Bagaimana?”

Yo Han mengamati wajah yang kecil itu. “Tidak akan mengajarkan cara memukul dan menendang orang, apa lagi cara membunuh?”

“Ho-ho-ho, sama sekali tidak! Memangnya kau pikir aku ingin melihat engkau menjadi algojo? Aku suka padamu, maka aku ingin melihat engkau sehat lahir batin dan pandai menari indah!”

Yo Han tersenyum. “Baiklah, kalau begitu aku suka menjadi muridmu.” Dan anak ini lalu menjatuhkan diri berlutut. “Aku akan belajar dengan rajin, Suhu, dan akan melayani Suhu di sini.”

“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus, muridku. Yo Han, hari ini merupakan hari paling bahagia untukku!”

Mulai hari itu, Yo Han tinggal di dalam goa bersama gurunya. Ternyata untuk mereka sudah dikirim makanan dari luar sehingga Yo Han tidak perlu lagi mencarikan makanan untuk gurunya. Dan mulailah Thian-te Tok-ong mengajarkan ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Yo Han.

Memang kakek ini pandai sekali. Ilmu silat memang mengandung tiga buah unsur, yaitu pertama tentu saja ilmu bela diri, ke dua ilmu tari dan ke tiga ilmu senam kesehatan, kesehatan lahir batin.

Dia mengajarkan kepada Yo Han gerakan semua binatang yang ada di dunia ini yang dinamakannya Tarian Harimau, Tarian Naga, Tarian Burung, Tarian Monyet, Tarian Ular dan sebagainya. Padahal, dalam gerak tari ini terkandung ilmu silat yang dahsyat.

Yo Han tekun melatih diri dengan ‘tari-tarian’ itu, dan tanpa disadarinya sendiri dia telah menggembleng diri dengan ilmu silat yang tinggi. Dan dalam latihan ini, otomatis ilmu-ilmu silat yang pernah dia pelajari secara teoritis tanpa disengaja keluar dan terkandung dalam gerak ‘tariannya’.

Kurang lebih seminggu setelah dia berada di dalam goa itu, pada suatu malam Yo Han dikejutkan oleh suara yang menyayat jantung, suara mengerikan yang merupakan semacam lolong atau lengking memanjang. Bukan lolong anjing, dan tidak mirip suara manusia, namun dalam lengking itu terkandung semua perasaan duka dan derita yang amat hebat! Seperti tangis bukan tangis, seperti tawa bukan tawa, namun dia yang tidak pernah merasa takut itu sempat terbelalak dan merasa betapa tengkuknya dingin sekali.

Dia segera lari ke kamar Thian-te Tok-ong yang sedang bersemedhi, menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu.

“Suhu, suara apakah yang terdengar dari arah belakang itu?” tanyanya kepada kakek itu yang sudah membuka matanya ketika dia berlutut,

“Heh-heh, engkau mendengar juga, Yo Han? Jangan pedulikan. Suara itu sudah sejak lima tahun ini kadang terdengar keluar dari dalam sumur bawah tanah di ujung belakang terowongan ini.”

“Tapi... suara apakah itu, Suhu?”

Thian-te Tok-ong menghela napas panjang. “Kelak engkau akan dapat mengetahuinya sendiri. Agar engkau tidak menjadi penasaran, baik engkau ketahui saja bahwa sumur itu merupakan tempat hukuman bagi seorang manusia iblis yang amat berbahaya. Dan mulai sekarang, setiap hari dua kali biar engkau mewakili aku menurunkan makanan ke bawah sana. Tiap kita mendapat kiriman makanan dan minuman, tentu ada sebungkus untuk dia dan biasanya kulemparkan saja ke dalam sumur.”

“Tapi, siapa dia, Suhu? Dan siapa pula yang menghukumnya? Dan mengapa pula dia dihukum?”

“Panjang ceritanya dan engkau tidak perlu tahu. Yang penting kau ketahui, orang itu seperti iblis atau seperti gila, dengan kepandaian yang dahsyat dan tidak seorang pun mampu menandinginya. Orang lain tidak mungkin dapat menuruni sumur itu, dan andai kata ada yang dapat turun pun tentu akan mati konyol oleh manusia iblis itu. Sudahlah, itu bukan urusanmu, tidak perlu engkau mencampuri. Merupakan urusan rahasia dan pribadi dari Thian-li-pang. Mengerti?”

Yo Han mengangguk kemudian menunduk. Hatinya penuh perasaan iba kepada orang hukuman yang disebut manusia Iblis itu. Akan tetapi suara itu sudah lenyap lagi dan sejak hari itu, dialah yang setiap hari dua kali mengirim sebungkus makanan ke sumur itu.....

Sumur itu kecil saja, bergaris tengah satu meter, akan tetapi sangat dalam. Ketika dia mencoba untuk menjenguk ke dalam, yang nampak hanyalah kehitaman belaka, hitam pekat dan gelap sekali. Pernah dia mencoba untuk memanggil-manggil dengan sebutan ‘locianpwe’ beberapa kali, namun selalu tidak ada jawaban.

Menurut pesan Thian-te Tok-ong, seharusnya dia melemparkan begitu saja bungkusan makanan ke dalam sumur. Karena merasa kasihan dan tidak ingin makanan itu rusak kalau jatuh ke dasar sumur, pernah Yo Han mengikatnya dengan tali dan mengereknya turun. Akan tetapi belum juga dua meter tali yang ujungnya mengikat buntalan itu turun, tiba-tiba tali itu putus dan makanan itu pun jatuh ke bawah seperti kalau dia lemparkan!

Terdorong oleh rasa iba kepada orang hukuman itu, pernah Yo Han mencoba untuk mengukur dalamnya sumur, menggunakan tali panjang. Akan tetapi seperti juga ketika mencoba mengerek bungkusan makanan ke bawah, tiba-tiba tali itu putus tanpa sebab! Dia pun dapat menduga bahwa siapa pun orangnya yang berada di bawah, gila atau tidak, manusia atau iblis, tentu memiliki ilmu yang hebat sehingga entah dengan cara apa, tali yang diturunkan tentu akan putus seperti digunting!

Karena tidak mungkin baginya untuk turun ke dasar sumur, juga kini tidak pernah lagi ada suara mengerikan itu, akhirnya Yo Han menganggap hal itu biasa dan setiap hari mengirim makanan dengan melemparkannya ke sumur.

Yo Han mulai merasa senang di situ karena Thian-te Tok-ong memegang janjinya, yaitu mengajarkan ‘tari-tarian’ yang dianggapnya amat indah. Juga kakek itu mendatangkan banyak kitab dari luar sehingga di waktu senggang, Yo Han dapat memuaskan selera bacanya yang tidak kenal bosan. Segala macam kitab dilahapnya dan di dalam kitab ini dia berkenalan dengan para pahlawan dan para pendekar, juga riwayat partai-partai besar di dunia persilatan. Akan tetapi, gurunya tak pernah mengajaknya bicara tentang dunia persilatan, tidak pernah pula bicara tentang ilmu silat.....

********************

Kita tinggalkan dulu Yo Han yang belajar ‘tari’ dan ‘senam’ kepada Thian-te Tok-ong, tokoh paling lihai dari Thian li-pang dan marilah kita melihat keadaan keluarga Tan Sin Hong yang ditinggalkan Yo Han.

Setelah ditinggal pergi Yo Han, setiap hari Sian Li menangis dan selalu menanyakan suheng-nya yang amat disayangnya itu. Anak berusia empat tahun itu sejak lahir selalu diasuh oleh Yo Han, selalu bermain-main dengan Yo Han sehingga ia menyayang Yo Han seperti kakaknya sendiri. Oleh karena itu, begitu Yo Han pergi meninggalkannya, siang malam ia rewel saja dan minta kepada ayah ibunya supaya mereka menyusul Yo Han. Bahkan di waktu tidur, sering kali Sian Li bermimpi dan mengigau memanggil-manggil nama Yo Han.

Tentu saja Tan Sin Hong dan Kao Hong Li merasa prihatin sekali. Mereka berdua pun amat sayang kepada Yo Han dan kepergian anak itu sungguh membuat mereka merasa kehilangan sekali. Akan tetapi, demi masa depan Sian Li, mereka terpaksa merelakan Yo Han pergi.

Yo Han bukan anak biasa. Hatinya teguh memegang pendiriannya yang tidak suka akan ilmu silat dan kalau hal ini sampai menular kepada Sian Li, sungguh akan membuat mereka berdua kecewa sekali. Bagaimana mungkin sebagai suami isteri pendekar, mereka mempunyai seorang anak yang tidak suka belajar silat dan menjadi seorang gadis yang lemah kelak?

Hidup memang diisi oleh dua keadaan yang berlawanan. Ada dua kekuatan yang saling berlawanan, akan tetapi juga saling mengadakan dan saling mendorong di dalam dunia ini. Justru adanya dua kekuatan inilah yang membuat kehidupan menjadi ada dan dapat membuat segala sesuatu berputar dan hidup. Ada terang ada gelap, ada panas ada dingin, ada senang ada susah. Ada yang satu tentu ada yang ke dua, yang menjadi kebalikannya.

Bagaimana mungkin ada yang disebut terang kalau tidak ada gelap. Setelah merasakan adanya gelap, baru terang dikenal, atau sebaliknya. Setelah orang mengalami senang, baru tahu artinya susah atau sebaliknya setelah mengalami susah baru mengenal arti senang. Dan segala sesuatu memiliki dwi-muka, dua sifat yang bertentangan.

Kita sudah terseret ke dalam lingkaran setan dari kedua unsur yang berlawanan ini sehingga kehidupan ini diombang-ambingkan antara yang satu dari yang lain. Padahal, semua keadaan itu hanyalah hasil dari pada perbandingan dan penilaian yang selalu berubah-ubah. Hari ini seseorang dapat menerima sesuatu dengan puas, tetapi lain hari sesuatu yang sama hanya mendatangan kekecewaan. Apa yang hari ini mendatangkan kesenangan, besok mungkin menimbulkan kesusahan.

Sebetulnya, susah dan senang hanyalah akibat dari pada penilaian kita sendiri. Hati dan akal pikiran kita sudah bergelimang nafsu daya rendah sehingga pikiran yang licik selalu membuat perhitungan. Semua hal yang menguntungkan kita berarti senang, sebaliknya yang merugikan kita berarti susah! Banyak sekali contohnya.

Kalau hujan turun selagi kita membutuhkan air, berarti hujan itu menyenangkan karena menguntungkan kita. Sebaliknya, jika hujan turun mengakibatkan banjir atau becek atau menghalangi kesenangan kita, maka hujan itu menyusahkan karena merugikan kita.

Demikian pula dengan segala peristiwa yang terjadi di dunia ini. Susah senang, susah senang, perasaan kita dipermainkan antara susah dan senang setiap hari, dipermainkan oleh ulah hati dan akal pikiran yang bergelimang nafsu daya rendah.

Kalau kita sedang bersenang-senang, kita lupa bahwa kesenangan itu hanya sementara saja, dan kesusahan telah siap menggantikannya setiap saat. Demikian sebaliknya, jika kita sedang bersusah-susah, kita merana dan merasa hidup ini sengsara, lupa bahwa kesusahan itu pun hanya sementara saja sifatnya, dan akan tertimbun kesenangan atau kesusahan lain yang datang silih berganti.

Orang yang bijaksana akan menerima segala sesuatu seperti apa adanya. Segala yang terjadi itu wajar karena segala yang terjadi itu adalah kenyataan yang tak dapat dirubah atau dibantah lagi. Orang bijaksana tidak akan menentang arus peristiwa yang datang, melainkan menyesuaikan diri dengan arus itu, mengembalikan semuanya pada Tuhan, kepada kekuasaan Tuhan karena kekuasaanNya itulah yang mengatur dan menentukan segalanya.

Hujan? Banjir? Bencana alam? Kehilangan? Keuntungan dan keberhasilan? Sakit dan mati? Semua itu dihadapi dengan penuh kesabaran dan penuh keikhlasan, berdasarkan kepasrahan, penyerahan kepada Tuhan! Orang yang sudah pasrah lahir batin, secara menyeluruh kepada Tuhan, tidak akan pernah lagi disentuh derita yang berlebihan, tidak akan mabok kesenangan
.

Setelah lewat beberapa bulan, Sian Li menjadi kurus dan kurang bersemangat. Melihat keadaan anak mereka ini, Tan Sin Hong serta isterinya, Kao Hong Li, lalu mengambil keputusan untuk mengajak puteri mereka pergi pesiar supaya terhibur hatinya.

Mereka mengajak Sian Li pergi berkunjung ke kota raja Peking yang besar, megah dan indah. Seminggu lamanya mereka tinggal di kota raja, bermalam di salah sebuah rumah penginapan dan setiap hari ayah dan ibu itu mengajak puteri mereka untuk berpesiar mengunjungi tempat-tempat yang indah di kota raja.

Tentu saja Sian Li yang baru berusia empat tahun lebih itu menjadi gembira bukan main dan tak lama kemudian ia sudah melupakan sama sekali kesedihannya karena ditinggal pergi Yo Han!

Senang atau susah memang hanya permainan sementara waktu dari perasaan. Sang Waktu akan menelan habis semua kesusahan atau kesenangan sehingga tiada bersisa lagi. Atau perasaan lainnya akan muncul silih berganti sehingga perasaan yang timbul karena peristiwa lama itu akan tertimbun dan tidak nampak lagi, terganti oleh perasaan yang timbul karena peristiwa baru.

Sejak kita kanak-kanak kecil sampai dewasa, hati dan akal pikiran kita telah digelimangi nafsu yang selalu mencari kesenangan dalam hal-hal atau benda-benda yang baru. Kita selalu haus akan yang baru, karena yang baru selalu memiliki daya tarik yang besar, didorong oleh keinginan tahu. Jika yang didapatkan itu sudah lama, akan membosankan dan perhatian kita akan tertarik oleh hal lain yang baru.

Sejak kanak-kanak, kita mudah bosan dengan barang mainan lama, dan akan tertarik oleh barang mainan baru. Setelah kita dewasa, kita tetap tak berubah, tetap saja tertarik oleh barang mainan yang baru, walau pun bentuk barang permainan itu yang berbeda.

Permainan kita pada waktu masih kanak-kanak tentu saja barang-barang mainan, atau permainan dengan kawan-kawan. Sesudah kita dewasa permainan kita bukan boneka atau barang-barang mainan lain, melainkan permainan berupa harta benda, kedudukan, kekuasaan, dan pemuasan nafsu melalui panca-indrya. Meski pun demikian, tetap saja kita pembosan dan selalu haus akan hal yang baru. Itulah sifat nafsu! Selalu ingin yang baru, yang lebih!


Setelah berpesiar di kota raja, Sian Li sudah melupakan Yo Han dan sama sekali tidak pernah menangis lagi. Kegembiraannya semakin besar ketika dari kota raja ayah ibunya mengajaknya berkunjung ke kota Pao-teng di mana tinggal kakek dan neneknya, yaitu orang tua dari ibunya. Kakek-luarnya itu, Kao Cin Liong adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir penghuni Istana Gurun Pasir, sedangkan nenek luarnya yang bernama Suma Hui adalah cucu dalam dari Pendekar Super Sakti penghuni Istana Pulau Es!

Suami isteri keturunan keluarga pendekar sakti itu kini tinggal di Pao-teng, berdagang rempah-rempah. Mereka sudah tua. Kao Cin Liong yang sudah berusia enam puluh tiga tahun sedangkan isterinya, Suma Hui, telah berusia lima puluh tiga tahun.

Semenjak puteri mereka yang menjadi anak tunggal, Kao Hong Li, menikah dengan Tan Sin Hong dan ikut suaminya tinggal di kota Ta-tung, suami isteri ini tentu saja merasa kesepian. Mereka hidup berdua saja bersama tiga orang yang membantu toko rempah-rempah yang juga membantu rumah tangga.

Namun, suami isteri pendekar itu hidup tenteram karena memang mereka sudah lama mengurung diri dan tak lagi mencampuri urusan dunia kang-ouw. Juga tak ada golongan sesat yang berani mengganggu mereka. Bukan saja karena suami isteri ini terkenal lihai sekali, juga karena Kao Cin Liong ketika mudanya pernah menjadi seorang panglima perang yang telah banyak jasanya.

Kini, suami isteri yang sudah mulai tua dan hidup berdua saja ini memiliki penghasilan yang berlebihan bagi mereka berdua. Mereka merupakan orang-orang dermawan yang suka menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan. Maka, seluruh penduduk kota Pao-teng merasa hormat dan segan kepada mereka.

Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati kakek Kao Cin Liong dan isterinya, nenek Suma Hui, ketika mereka menerima kunjungan puteri mereka bersama suaminya dan anaknya. Kakek dan nenek perkasa ini dulu pernah merana dan berduka sekali melihat keadaan puteri tunggal mereka, Kao Hong Li.

Dulu, sebelum menjadi isteri pendekar Tan Sin Hong, puteri mereka itu pernah menjadi isteri dari Thio Hui Kong, putera seorang jaksa di Pao-teng yang adil dan jujur. Juga Thio Hui Kong merupakan seorang pria yang tampan dan gagah, pandai ilmu silat dan sastra.

Namun sayang, karena pernikahan di antara mereka itu tidak ada cinta, terutama di pihak Kao Hong Li, pernikahan itu gagal. Hong Li tidak pernah mencintai suaminya dan bersikap hambar sehingga Thio Hui Kong yang merasa kecewa kemudian menghibur diri dengan pelesir dan judi. Akhirnya rumah tangga mereka tidak dapat dipertahankan lagi dan mereka bercerai!

Namun dasar sudah jodohnya. Hong Li kemudian bertemu dengan Tan Sin Hong yang sejak dulu dicintanya akan tetapi terputus karena Sin Hong menikah dengan wanita lain. Dalam pertemuan kembali ini, ternyata Tan Sin Hong juga sudah bercerai dari isterinya yang melakukan penyelewengan!

Dua hati yang saling mencinta itu pun bertemu kembali dan menikahlah janda kembang dengan duda muda itu. Tentu saja peristiwa itu membuat Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa berbahagia sekali, apa lagi setelah lahir Tan Sian Li, cucu luar mereka.

“Sian Li, cucuku yang manis sekali...!” Nenek Suma Hui mengangkat tubuh cucunya itu tinggi-tinggi, kemudian mendekap dan menciumi kedua pipinya sambil tertawa gembira. “Aduh, engkau makin manis saja, Sian Li. Dan pakaianmu merah! He-he-heh, engkau seperti seekor bangau merah!”

Kao Cin Liong mengelus rambut kepala Sian Li yang berada di pondongan Suma Hui. “Bangau Merah? Ha-ha-ha, memang ia puteri Si Bangau Putih Tan Sin Hong. Si Bangau Merah, nama yang indah. Mari, mari ikut kongkong!” kata kakek itu dan mengambil Sian Li dari pondongan isterinya.

Suma Hui menoleh ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya.

“Ehh? Mana murid kalian? Apakah Yo Han tidak ikut?”

Mendadak Sian Li yang berada di pondongan kakeknya berkata, “Kongkong dan Bo-bo (Nenek), Suheng Yo Han nakal, dia pergi bersama seorang bibi iblis!”

Kakek dan nenek itu terbelalak memandang kepada Sin Hong dan Hong Li. Suami isteri ini memang selalu membujuk Sian Li untuk melupakan Yo Han yang mereka katakan nakal karena Yo Han minggat dan ikut dengan seorang wanita iblis yang jahat. Hal ini mereka tekankan agar Sian Li dapat melupakan Yo Han dan tidak selalu menagisinya.

“Apa yang terjadi dengan dia?” bertanya Kao Cin Liong. Dia dan isterinya juga merasa sayang kepada Yo Han, murid mantu mereka itu.

“Ayah dan Ibu, biarlah nanti kami ceritakan tentang dia,” kata Hong Li. “Kami masih lelah karena baru saja kami datang dari kota raja di mana kami tinggal selama seminggu dan setiap hari kami mengajak Sian Li pesiar.”

Mereka semua lalu masuk dan Sin Hong bersama isterinya mendapatkan kamar yang dahulu menjadi kamar Hong Li. Ada pun Sian Li tentu saja ditahan oleh neneknya dan diajak tidur di kamar neneknya.

Sesudah beristirahat dan makan malam, dan sesudah Sian Li tertidur pulas di kamar neneknya, barulah Tan Sin Hong dan Kao Hong Li bercakap-cakap dengan kakek dan nenek itu, menceritakan tentang Yo Han. Mereka menceritakan semua keanehan yang terdapat pada diri Yo Han, tentang sikapnya yang sama sekali tidak mau berlatih ilmu silat. Kemudian tentang munculnya Ang-I Moli Tee Kui Cu yang mula-mula menculik Sian Li, kemudian betapa Yo Han dapat menemukan wanita iblis itu dan menukar Sian Li dengan dirinya sendiri!

“Demikianlah, Ayah dan Ibu. Yo Han sudah pergi bersama iblis betina itu dan menjadi muridnya. Kami tidak dapat mencegahnya karena dia sendiri memang sudah berjanji untuk menukar Sian Li dengan dirinya sendiri.”

“Ahhh, tetapi mengapa begitu?” nenek Suma Hui mencela puterinya. “Apa artinya janji kepada iblis betina seperti itu? Ia telah berani menculik Sian Li dan kalian membiarkan saja ia pergi membawa Yo Han sebagai muridnya? Iblis betina itu pantas dibasmi!”

“Tidak boleh kita berpendirian begitu,” kata Kao Cin Liong dengan suara tenang. “Sudah jelas bahwa Yo Han bukan anak biasa seperti yang diceritakan Sin Hong tadi. Dia tidak suka akan kekerasan, namun memiliki ketabahan yang luar biasa. Dan kalau dia sudah berjanji kepada Ang-I Moli supaya iblis betina itu membebaskan Sian Li dan sebagai tukarnya dia mau ikut dengan iblis betina itu, tentu saja Sin Hong dan Hong Li tidak dapat memaksa dan melanggar janji yang telah dikeluarkan Yo Han.”

“Apa yang dikatakan ayah itu memang benar, Ibu,” kata Kao Hong Li. “Aku pun tadinya tidak mau mengalah begitu saja dan sudah memaksa iblis betina itu untuk melayaniku bertanding. Dia memang lihai, akan tetapi kalau dia tidak melarikan diri, tentu aku akan dapat membunuhnya. Tetapi betapa pun juga, kami tidak mungkin dapat membunuhnya setelah ia mengembalikan Sian Li dan memperlakukan anakku dengan baik, dan kalau Yo Han ikut dengannya, hal itu adalah karena keinginan Yo Han sendiri. Kiranya anak yang luar biasa itu juga sudah tahu bahwa kami ingin menjauhkan Sian Li darinya, dan agaknya Yo Han memang sengaja ikut iblis itu agar dia dapat menjauhkan diri dari kami tanpa harus melarikan diri, atau tanpa kami harus menitipkannya kepada pendeta kuil seperti yang tadinya kami rencanakan. Dia sudah tahu semuanya, Ibu.”

Kao Cin Liong dan Suma Hui saling pandang, diam-diam merasa aneh dan amat kagum kepada anak itu. “Jadi, dia sengaja mengorbankan diri, sengaja meninggalkan keluarga kalian karena tahu bahwa kalian ingin memisahkan Sian Li darinya?”

Hong Li mengangguk dan menunduk. “Sungguh kami merasa kehilangan dia, Ibu. Kami sayang kepada Yo Han, juga Sian Li amat menyayangnya sehingga dia rewel terus dan terpaksa kami mengajaknya pesiar ke kota raja lalu ke sini. Akan tetapi, kami harus mementingkan masa depan Sian Li. Ia pasti akan terbawa oleh sikap Yo Han bila terus dekat dengan dia.”

Sin Hong menarik napas panjang. “Benar sekali, Ayah dan Ibu. Kami sangat sayang kepada Yo Han, seperti kepada anak sendiri. Akan tetapi, dia amat aneh dan kami tidak ingin melihat Sian Li menjadi seperti dia.”

“Tetapi... bagaimana dengan nasib Yo Han? Apakah tidak berbahaya sekali dia terjatuh ke tangan seorang iblis betina? Jangan-jangan keselamatan nyawanya jadi terancam...” Suma Hui menyatakan kekhawatirannya.

“Aku juga khawatir sekali, Ibu. Akan tetapi ayah Sian Li mengatakan tak perlu khawatir,” kata Hong Li sambil memandang suaminya.

Sekarang mereka bertiga semuanya memandang kepada Sin Hong dan mengharapkan penjelasan yang meyakinkan, karena mereka semua mengkhawatirkan keselamatan Yo Han.

“Sesungguhnya pendapat atau jalan pikiran saya ini saya dapatkan dari Yo Han, betapa pun janggalnya. Saya harus mengakui bahwa dialah yang memberi teladan atau tanpa disengaja memberi pelajaran kepada saya, yaitu bahwa nyawa setiap orang berada di tangan Tuhan. Ia amat yakin akan hal ini, maka ia tidak pernah takut menghadapi apa pun, bahkan ancaman maut sekali pun. Saya merasa yakin bahwa ada sesuatu yang mukjijat pada diri anak itu. Seolah-olah ada suatu kekuatan gaib yang melindunginya. Seperti ketika dia diserang ular berbisa itu. Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya, seperti seorang ahli silat yang pandai, tangannya bergerak menangkap ular itu. Tetapi dia tidak membunuhnya, melainkan bicara kepada ular itu, melepaskannya lagi dan ular itu menjadi jinak! Seolah-olah dia menguasai pula ilmu menundukkan ular.”

“Aneh sekali!” kata Suma Hui. “Padahal, walau pun aku sendiri pernah mempelajari ilmu menundukkan ular, akan tetapi tidak begitu menguasainya, dan aku pun tidak pernah mengajarkannya kepadamu, Hong Li.”

“Itulah keanehannya, Ibu,” kata Hong Li. “Lebih aneh lagi, ketika kami semua mencari penculik Sian Li. Kami berdua yang mempunyai kepandaian saja gagal menemukan penculik, akan tetapi kenapa Yo Han dapat menemukannya? Bahkan lebih hebat lagi, dapat membujuk Ang-I Moli untuk membebaskan Sian Li!”

Kakek dan nenek itu menjadi semakin heran dan kagum. Bagaimana pun juga, mereka menyayangkan bahwa Yo Han sampai ikut seorang tokoh sesat seperti Ang-I Moli. “Kalau saja kalian membawa dia ke sini, kami akan suka mendidiknya,” kata Suma Hui dan suaminya juga mengangguk setuju. Akan tetapi semua sudah terlanjur dan Yo Han sudah pergi bersama Ang-I Moli entah ke mana.

Malam itu, karena lelah oleh perjalanan yang jauh, Sin Hong dan Hong Li tidur pulas di dalam kamar mereka. Sian Li tidur bersama neneknya di kamar neneknya, sedangkan kakek Kao Cin Liong yang merasa gembira dengan kunjungan puterinya, mantunya dan cucunya, juga sudah tidur dengan mulut tersenyum.

Kakek dan nenek itu memang merasa amat berbahagia. Betapa tidak? Mereka hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu Kao Hong Li. Pada saat puteri mereka itu menikah dengan Thio Hui Kong kemudian bercerai, mereka merasa prihatin dan berduka sekali. Anak mereka satu-satunya, seorang wanita lagi, dalam usia yang masih demikian muda telah menjadi seorang janda tanpa anak!

Mereka sudah merasa putus harapan karena pada masa itu, derajat seorang janda yang bercerai hidup, apa lagi tanpa anak, dipandang amat hina dan rendah. Sungguh di luar dugaan mereka, kemudian Kao Hong Li berjodoh dengan Tan Sin Hong yang berilmu tinggi, bahkan mereka hidup berbahagia dan mempunyai seorang anak yang menjadi cucu mereka yang mungil!

Menjelang tengah malam, ketika seluruh isi rumah itu tertidur pulas dan juga keadaan sekeliling rumah itu sunyi karena tidak ada lagi orang berada di luar rumah dalam cuaca yang amat dingin itu, terdengarlah seruan di atas genteng kamar kakek Kao Cin Liong.

“Taihiap (Pendekar Besar) Kao Cin Liong, tolonglah pinceng (saya)!” terdengar teriakan di atas genteng kamar itu, lalu terdengar suara gedobrakan di atas genteng itu.

Kao Cin Liong yang sedang duduk bersemedhi bisa mendengar seruan ini dengan jelas. Bahkan dia mengenal suara itu sebagai suara seorang sahabatnya, yaitu Thian Kwan Hwesio ketua kuil di sudut kota Pao-teng, seorang murid Siauw-lim-pai yang termasuk tokoh karena tingkat dan kepandaian silatnya sudah cukup tinggi.

Mendengar suara itu, tubuh Kao Cin Liong meloncat dari atas pembaringan, membuka jendela dan dalam beberapa detik saja dia sudah meloncat naik ke atas genteng di mana dia melihat seorang hwesio sedang didesak dan dihajar dengan pukulan-pukulan oleh dua orang berpakaian jubah pendeta tosu (pendeta To) yang lihai sekali. Karena malam itu bulan hanya muncul secuwil, maka cuaca remang-remang dan dia tidak dapat melihat jelas wajah tiga orang itu. Akan tetapi dia dapat mengenal Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah payah, terhuyung-huyung di atas genteng.

“Tahan...!” seru Kao Cin Liong dan sekali meloncat dia sudah mendekati Thian Kwan Hwesio yang terhuyung, menyambar lengannya.

Hwesio yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun itu nampak lemah sekali dan dia bersandar kepada rangkulan lengan Kao Cin Liong.

“Thian Kwan Suhu, ada apakah? Siapakah mereka ini?”

“Mereka... mereka... orang-orang Bu-tong-pai... uhhh-uhhh!” hwesio itu terengah-engah. “Kami sudah mengalah... akan tetapi... seperti pernah kuceritakan... Bu-tong-pai selalu mendesak dan menyerang kami...” Tubuh hwesio itu terkulai dan dengan lirih dia masih menyebut “Omitohud...!” dan dia pun lemas dan tewas dalam rangkulan kakek Kao Cin Liong.

Kao Cin Liong beberapa hari yang lalu pernah bercakap-cakap dengan ketua kuil itu dan mendengar bahwa kini Bu-tong-pai selalu memusuhi Siauw-lim-pai. Di mana-mana para murid Bu-tong-pai menyerang para murid Siauw-lim-pai sehingga terjadilah bentrokan-bentrokan berdarah. Menurut keterangan Thian Kwan Hwesio, Bu-tong-pai menuduh seorang tokoh Siauw-lim-pai, yaitu Loan Hu Hwesio telah membunuh Phoa Cin Su, tokoh Bu-tong-pai di puncak Bukit Naga. Padahal menurut keterangan kepala kuil itu, justru Loan Hu Hwesio dibunuh oleh seorang tokoh Kun-lun-pai, juga di puncak Bukit Naga!

Dua orang tosu Bu-tong-pai itu maju mendekati Kao Cin Liong yang masih merangkul Thian Kwan Hwesio.

“Dia ini tentu murid Siauw-lim-pai juga, Sute. Kita bunuh dia!” Dan mereka berdua maju menyerang kakek itu dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin pukulan yang dahsyat.

Kakek Kao Cin Liong terkejut dan berseru, “Heiii, tahan dulu!” teriaknya sambil mencoba untuk mengelak.

Akan tetapi karena dia sedang merangkul Thian Kwan Hwesio yang agaknya sudah menjadi mayat, tentu saja gerakannya menjadi lambat. Dia terpaksa melepaskan tubuh hwesio itu dan mengangkat kedua lengannya untuk menangkis.

“Desss...!”

Kakek itu terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa kedua orang tosu itu memiliki tenaga yang kuat bukan main. Kalau saja mereka tidak maju bersama, tentu dia dapat mengatasi tenaga seorang di antara mereka. Akan tetapi mereka maju berbareng dan agaknya mereka telah menggabungkan diri dan mengerahkan tenaga.

Sedangkan ia sendiri karena belum tahu benar akan keadaan dan tak ingin bermusuhan dengan Bu-tong-pai yang para pemimpinnya banyak dikenalnya, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Akibatnya, kakinya menginjak pecah genteng di bawahnya dan dua tangannya melekat kepada tangan dua orang tosu itu!

Kao Cin Liong adalah putera Kao Kok Cu, Naga Sakti Gurun Pasir. Meski pun usianya telah lanjut, sudah enam puluh tiga tahun, namun dia telah mewarisi ilmu yang hebat dari Gurun Pasir. Karena dia maklum bahwa dua orang lawannya itu lihai, dan kedua tangannya sudah melekat pada tangan lawan dan kedua kakinya hampir tertekuk, dia lantas mengerahkan tenaga Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Ilmu ini merupakan satu di antara ilmu-ilmu yang ampuh dari Istana Gurun Pasir.

“Aaarghhhh...!”

Kakek itu mengeluarkan suara yang menyayat hati dan dua orang tosu itu pun langsung terjengkang! Akan tetapi pada saat kakek yang sudah tua itu menghentikan pengerahan Sin-liong Hok-te, dari belakangnya ada dua orang tosu lain yang menghantamkan tapak tangan mereka ke punggungnya.

“Plakkk! Dukkk!”

Dua orang pemukul itu terjengkang dan menjadi terkejut bukan main karena mereka merasa betapa tangan mereka yang menampar itu menjadi nyeri. Akan tetapi kakek Kao Cin Liong sendiri terpelanting dan mengeluh karena dua tamparan pada punggungnya selagi dia menyimpan kembali tenaga Sin-liong Hok-te tadi demikian hebatnya sehingga dia merasa seolah-olah seluruh isi dada dan perutnya dilanda badai hebat!

“Aiihhh...!” Teriakan ini terdengar dari bawah, disusul teriakan seorang anak kecil.

“Kongkong...!”

Suma Hui tadi keluar bersama cucunya karena terkejut mendengar teriakan suaminya. Ia menjerit karena sempat melihat suaminya roboh terpukul dari belakang. Tubuhnya cepat meluncur ke atas seperti seekor burung terbang saja.

Seorang di antara empat tosu itu, yang tubuhnya kurus jangkung, menyambut Suma Hui dengan serangan kilat, dan kini dia mempergunakan sebatang pedang. Tubuh wanita itu masih melayang di udara ketika pedang itu menyambutnya dengan tusukan maut ke arah dada.

Namun, Suma Hui adalah seorang wanita yang lihai sekali. Ia adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, maka serangan yang bagaimana dahsyat pun, bila dilakukan berterang, tentu akan dapat diatasinya.

“Haiiittt...!”

Suara Suma Hui melengking dan tubuhnya berjungkir balik beberapa kali. Dia berhasil menghindarkan dari dari tusukan! Gerakan ini sungguh lincah bukan main, membuat penyerangnya terkejut. Akan tetapi Suma Hui juga kaget karena serangan tadi nyaris mengenai tubuhnya, membuktikan bahwa penyerangnya adalah seorang yang lihai.

Begitu kakinya menyentuh genteng, ia membalik dan mengelak ketika pedang yang tadi sudah menyambar pula. Kiranya tosu tinggi kurus itu sudah menghujankan serangan pedang kepadanya. Suma Hui mempergunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak ke sana sini, lalu membalas pula dengan tamparan-tamparan yang mengandung tenaga Swat-im Sinkang yang dingin.

Karena maklum bahwa suaminya telah terluka dan lawan ini amat lihai, maka ia telah mengerahkan ilmu yang khas dari keluarga Istana Pulau Es itu. Lawannya amat terkejut ketika merasa ada hawa yang amat dingin menyambar dari kedua tangan lawannya, maka ia bertindak hati-hati dan memutar pedang menjaga jarak, melindungi diri dengan sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Pada saat tiga orang tosu yang lainnya hendak maju mengeroyok, tiba-tiba dua sosok bayangan berkelebat dari bawah, melayang ke atas genteng itu seperti dua ekor burung garuda. Mereka ini bukan lain adalah Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li.

Melihat hal ini, dua orang tosu yang tadi memukul Kao Cin Liong secara curang dari belakang, menyambut mereka dengan pedang di tangan. Dan mereka terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa dua orang pria dan wanita muda yang baru datang ini juga amat lihai, terutama sekali yang pria.

Begitu Sin Hong mengelak dan tangannya mendorong, hawa pukulan yang keluar dari tangannya lantas membuat lawannya terhuyung ke belakang! Seorang tosu lain cepat membantu kawannya, dan baru setelah dua orang tosu yang berpedang menghadapi Sin Hong, mereka mampu saling menjaga dan terjadi perkelahian yang agak seimbang.

“Ayah...!” Kao Hong Li yang melihat ayahnya tergeletak di atas genteng, terkejut sekali dan cepat menghampiri ayahnya.

Dengan napas empas-empis Kao Cin Liong berkata, “Hong Li... cepat... kau… bantu... ibumu...”

Hong Li menoleh dan melihat betapa ibunya memang nampak sibuk sekali menghadapi permainan pedang seorang tosu. Suaminya, biar pun kini dikeroyok dua, tidak nampak terdesak. Ia pun cepat meloncat, kemudian membantu ibunya. Kini tosu berpedang itu menjadi repot sekali ketika berhadapan dengan ibu dan anak itu.

Walau pun mereka berdua tidak sempat membawa senjata, namun mereka seperti dua ekor singa betina yang marah dan tosu itu terdesak hebat, hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari terkaman dua ekor singa betina itu!

Bahkan tosu itu sempat berteriak. “Sute, bantu...!”

Teriakannya ditujukan kepada tosu ke empat, karena dua orang tosu yang lain hanya dapat berimbang saja mengeroyok Sin Hong yang bertangan kosong. Bahkan kedua orang tosu ini pun sudah mulai terdesak pada saat Sin Hong terpaksa memainkan ilmu andalannya, yaitu Pek-ho Sin-kun.

Ilmu ini adalah ilmu yang sangat hebat, ilmu gabungan dari tiga orang pendekar sakti, yaitu mendiang kakek Kao Kok Cu dan Tiong Khi Hwesio, bersama nenek Wan Ceng. Juga tenaga sinkang yang terkandung dalam ilmu ini amat hebatnya. Sin Hong sendiri mendapat pesan dari tiga orang gurunya itu bahwa kalau tidak terpaksa sekali dia tidak boleh mempergunakan ilmu itu.

Sekarang, melihat ayah mertuanya sudah roboh, dan betapa para tosu itu lihai sekali, ia terpaksa mempergunakan ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Dan begitu dia mengeluarkan ilmu ini, baru beberapa jurus saja, dua orang pengeroyoknya yang berpedang itu sudah terhuyung dan terdesak.

Tiba-tiba terdengar teriakan suara anak kecil, “Ibuuuu...! Ayaahhh...!” Suara ini disusul suara yang parau dan tegas, penuh ancaman.

“Hentikan perkelahian, atau anak ini akan pinto (aku) bunuh!”

Mendengar teriakan anak itu saja, Sin Hong dan Hong Li sudah terkejut, demikian pula nenek Suma Hui. Mereka berloncatan ke belakang dan menengok ke bawah. Di sana, di bawah sinar lampu gantung yang remang-remang, nampak seorang tosu memondong Sian Li dan pedang di tangan kanannya menempel di leher anak itu! Seketika lemaslah tubuh tiga orang ini dan mereka tidak mampu bergerak, tidak berani bergerak dan terpaksa membiarkan tiga orang tosu yang tadi sudah mereka desak itu berloncatan dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

“Jangan mengejar kami kalau menginginkan anak ini selamat!” kata pula tosu itu.

Sin Hong dan isterinya seperti terpukau dan tidak berani bergerak, akan tetapi, Hong Li melihat ibunya yang tadi berada di belakangnya telah tidak berada di situ pula, entah ke mana perginya.

“Uhhh...!” Tubuh kakek Kao Cin Liong menggelundung dan tertahan talang, hampir jatuh ke bawah.

Melihat hal ini, Sin Hong cepat meloncat dan menyambar tubuh ayah mertuanya itu, lalu dipondongnya. Sementara itu, melihat betapa tosu yang menawan puterinya itu hendak meloncat pergi, Kao Hong Li meloncat turun dan berteriak.

“Jangan bawa anakku! Kembalikan!”

“Berhenti, atau kubunuh anakmu!” Tosu itu berseru dan mendengar ini, Hong Li yang sudah tiba di atas tanah itu menjadi pucat dan kedua kakinya menjadi lemas. Tak berani ia mengejar.

Tiba-tiba, dari balik tembok samping rumah itu, Suma Hui meloncat dan menubruk tosu itu dari belakang. Gerakan Suma Hui cepat bukan main, dan tahu-tahu pundak kanan tosu itu telah dihantamnya sehingga terdengar tulang remuk dan pedang di tangan yang menjadi lumpuh itu terlepas dari pegangan. Tosu itu terkejut dan begitu merasa betapa anak di pondongan tangan kiri dirampas oleh penyerangnya, dia membalik dan tangan kirinya berhasil menjambak rambut Suma Hui! Wanita ini cepat melempar tubuh Sian Li ke arah Hong Li.

“Terima anakmu!” teriaknya dan tubuh anak itu melayang ke arah Hong Li yang cepat menangkapnya.

“Ibuuu...!”

“Sian Li, engkau tidak apa-apa, nak?” Hong Li memeriksa anaknya dan mendekapnya, menciuminya dengan hati lega.

Akan tetapi, ia terkejut mendengar ibunya menjerit. Ia terbelalak dan pada saat itu, Sin Hong sudah melayang, turun memondong tubuh ayah mertuanya. Hong Li menurunkan Sian Li karena di situ sudah ada Sin Hong dan ia pun meloncat ke arah ibunya yang terhuyung. Empat orang tosu tadi sudah lenyap.

“Ibu...!” Hong Li merangkul ibunya yang terhuyung.

“Aku... berhasil menghajar penculik tadi... tetapi yang lain... membokong dengan curang dari belakang... ahhh... bagaimana... ayahmu...?” Wanita itu terkulai dan tentu segera roboh kalau tidak cepat dipondong Hong Li.

“Cepat bawa masuk. Mari Sian Li, masuk ke dalam!” kata Sin Hong kepada isterinya.

Dia masih memondong tubuh ayah mertuanya, dan Hong Li memondong tubuh ibunya. Mereka masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Sian Li. Anak ini tidak menangis walau pun nampak bingung dan masih belum hilang kagetnya.

Tiga orang pembantu dari kakek Kao Cin Liong yang tinggal di bagian belakang rumah menjadi terkejut mendengar ribut-ribut tadi dan mereka sudah berlarian keluar. Tentu saja mereka kaget bukan main melihat kedua majikan mereka dipondong masuk dalam keadaan luka dan pingsan.

“Cepat kalian undang tabib yang paling pandai di kota ini,” berkata Sin Hong setelah dia merebahkan tubuh ayah mertuanya ke atas pembaringan. Juga Hong Li merebahkan tubuh ibunya di atas pembaringan yang lain.

Sin Hong lalu keluar lagi, melompat ke atas genteng dan menurunkan tubuh hwesio tua yang telah menjadi mayat. Juga tubuh yang sudah tak bernyawa ini dibaringkan di atas sebuah dipan.

Sin Hong memeriksa luka pukulan di punggung ayah mertuanya. Dia mengerutkan alis melihat dua telapak tangan membekas di punggung itu, menghitam. Tahulah dia bahwa ayah mertuanya menderita luka dalam yang amat hebat. Kakek itu masih pingsan, dan napasnya empas-empis, tinggal satu-satu.

Kemudian dia dan isterinya memeriksa luka yang di derita Suma Hui. Keadaan nenek ini tidak lebih baik dari suaminya. Sebuah luka tusukan pedang di lambung, dan di lehernya terdapat luka kecil-kecil yang menghitam, tanda bahwa ada dua benda kecil, mungkin senjata rahasia paku atau jarum, memasuki lehernya, dan jelas bahwa senjata rahasia itu beracun!

Melihat keadaan ayah ibunya, Kao Hong Li mencucurkan air mata tanpa bersuara. Dia terlampau gagah untuk menangis. Dia berusaha menahan gejolak hatinya yang penuh kekhawatiran dan kemarahan.

Dengan pandang matanya Sin Hong menghibur dan menenangkan hati isterinya, lalu dengan lembut dia berkata, “Lebih baik bawa Sian Li tidur lebih dulu. Biarlah aku yang berjaga di sini sampai tabib datang.”

Hong Li maklum akan maksud suaminya. Memang kurang baik membiarkan Sian Li di situ. Anak ini nampak sangat kebingungan memandang ke arah kakek dan neneknya yang rebah di atas dua buah pembaringan di dalam kamar itu, dengan napas empas empis dan wajah pucat, kadang terdengar suara seperti rintihan lirih.

“Mari, Sian Li, kita kembali ke kamar untuk tidur.”

Sian Li digandeng ibunya memasuki kamar mereka. Pada waktu Hong Li merebahkan puterinya di atas pembaringan, anak itu memandang ibunya dan bertanya, “Ibu siapa yang melukai Kakek dan Nenek?”

“Mereka orang-orang jahat, Sian Li.”

“Kenapa Ayah dan Ibu tidak menangkap mereka?”

“Mereka itu lihai dan sempat melarikan diri, bahkan hampir menawanmu, anakku.”

“Tapi, Ibu. Tentu Ibu juga tahu siapa mereka?”

Kao Hong Li menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal siapa mereka, akan tetapi sebelum tewas, Thian Kwan Suhu sempat berseru bahwa mereka adalah orang-orang Bu-tong-pai. Tentu mereka itu tokoh-tokoh Bu-tong-pai tingkat tinggi.”

“Kalau begitu, Kakek dan Nenekku dilukai orang-orang Bu-tong-pai?”

“Begitulah. Kenapa engkau menanyakan hal itu, Sian Li.”

Sekarang Sian Li mengepal tinjunya dan bangkit berdiri di atas pembaringannya. “Kalau begitu, kelak aku akan membasmi Bu-tong-pai! Mereka orang-orang jahat!”

“Ssttt, sudahlah. Kau tidur dan jangan banyak memikirkan hal itu. Serahkan saja kepada ayah dan ibumu, Sian Li. Engkau masih terlalu kecil untuk memikirkan urusan macam itu,” ibunya menghibur.

Dan setelah puterinya tidur, Kao Hong Li menemani suaminya yang menjaga ayah dan ibunya. Tabib yang diundang datang, akan tetapi seperti yang telah dikhawatirkan Sin Hong, tabib itu hanya menggeleng kepala dan menarik napas panjang. Luka-luka itu selain parah, juga mengandung racun yang amat berbahaya. Tentu saja Sin Hong dan Hong Li menjadi gelisah sekali ketika tabib itu angkat tangan menyatakan tidak sanggup mengobati luka karena racun itu.

Setelah tabib pergi, Hong Li berkata kepada suaminya. “Kiraku hanya ada seorang saja yang akan mampu menolong, yaitu Paman Suma Ceng Liong. Kita mesti cepat memberi kabar dan mengundangnya ke sini, juga Paman Suma Ciang Bun yang biar pun tidak memiliki kesaktian seperti paman Suma Ceng Liong, namun memiliki pengalaman yang luas.”

Sin Hong setuju dengan usul ini. Karena dia dan isterinya harus menjaga dan merawat ayah dan ibu mertua yang terluka berat, mereka tidak dapat pergi sendiri dan segera mengirim utusan yang melakukan perjalanan secepatnya dengan kuda pergi ke kota Cin-an untuk mengundang Suma Ceng Liong, dan yang satunya pergi Tapa-san untuk mengundang Suma Ciang Bun. Sementara itu, Tan Sin Hong yang menjadi kenalan baik dari Ketua Bu-tong-pai, segera menulis surat protes kepada perkumpulan besar itu tentang terlukanya ayah dan ibu mertuanya oleh serangan orang-orang Bu-tong-pai.

Setelah tiga orang utusan itu berangkat, Sin Hong menjaga ayah dan ibu mertuanya, bersama isterinya. Mereka merasa khawatir sekali dan biar pun Sin Hong dan isterinya sudah berusaha untuk membantu mereka yang terluka itu dengan penyaluran tenaga sinkang, namun mereka berdua tidak berhasil menyembuhkan, hanya mengurangi rasa nyeri dan memperlambat menjalarnya pengaruh pukulan beracun itu saja.

Melihat keadaan orang tuanya, Kao Hong Li mengerutkan alisnya dan berbisik kepada suaminya. Mereka sengaja duduk agak menjauh agar supaya percakapan mereka tidak mengganggu dua orang tua yang sedang menderita sakit itu.

“Para tosu Bu-tong-pai yang keparat!” desis Hong Li sambil mengepal tangannya “Kalau Ayah dan Ibu sudah sembuh, aku pasti akan pergi ke sana untuk meminta pertanggung jawaban mereka. Perbuatan mereka yang melukai Ayah dan Ibu ini sungguh tidak boleh didiamkan begitu saja!”

Tan Sin Hong mengerutkan alisnya. “Kita harus bersabar dan tidak boleh menurutkan nafsu amarah saja. Kita telah sama mengetahui bahwa akhir-akhir ini memang terdapat pertentangan antara Siauw-lim-pai dan Bu-tong-pai hingga sering kali terjadi bentrokan di antara murid-murid mereka. Kita belum mengetahui sebabnya dan ini memang bukan urusan kita. Kalau kini Ayah dan Ibu sampai terluka, hal itu terjadi dalam perkelahian karena mereka turut terlibat dalam perkelahian antara Thian Kwan Hwesio ketua kuil di Pao-teng yang menjadi tokoh Siauw-lim-pai dengan beberapa orang tosu Bu-tong-pai.”

“Akan tetapi hwesio Siauw-lim-pai itu sahabat Ayah dan sudah lari ke sini minta bantuan Ayah. Kenapa mereka masih terus menyerang dan tidak mau memandang muka orang tuaku? Ayah dan Ibu tadinya tentu hanya ingin melerai saja, mengapa Ayah dan Ibu malah mereka serang?”

“Karena itu, aku sudah menulis surat teguran kepada Ketua Bu-tong-pai, dan aku yakin beliau akan memperhatikan teguranku itu dan akan menghukum murid mereka yang bersalah.”

Akan tetapi isterinya menggelengkan kepala. “Aku masih penasaran. Bagaimana kalau Ketua Bu-tong-pai membela muridnya dan tidak akan menghukum mereka? Aku harus membalas perbuatan mereka itu. Ingat saja, mereka itu jahat! Mereka merobohkan Ayah dengan cara yang curang sekali, bahkan merobohkan Ibu juga dengan serangan gelap. Mereka itu patutnya gerombolan penjahat, bukan murid-murid sebuah partai persilatan besar seperti Bu-tong-pai! Atau sekarang Bu-tong-pai telah menyeleweng dan murid-muridnya menjadi pengecut-pengecut yang curang?”

Sin Hong mengangguk-angguk. “Engkau benar. Aku sendiri pun memang ada perasaan curiga terhadap para tosu Bu-tong-pai itu. Cara mereka mengeroyok hwesio itu saja sudah bukan watak pendekar-pendekar Bu-tong. Kemudian, mereka menyerang Ayah dan Ibu secara menggelap dan lebih lagi, mereka menawan Sian Li sebagai sandera, ini pun bukan watak pendekar. Karena itu, aku lebih dahulu mengirim surat kepada Ketua Bu-tong-pai. Kelak, kalau kita sudah selesai di sini, kalau Ayah dan Ibu sudah sehat kembali, tentu aku akan berkunjung ke Bu-tong pai untuk membikin terang perkara ini.”

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Li sudah memasuki ruangan kamar kakek dan neneknya.

“Ayah dan Ibu, bagaimana dengan Kakek dan Nenek?” tanya anak itu sambil mendekati pembaringan kakeknya, kemudian neneknya.

“Ssttt, Sian Li. Kakek dan nenekmu masih tidur. Biarkan mereka beristirahat dan engkau bermainlah di luar.”

Sian Li memandang kepada kakek dan neneknya. Alisnya berkerut, mulutnya cemberut. “Kini Kakek dan Nenek tak bisa lagi menemani aku bermain-main. Ini semua gara-gara gerombolan penjahat itu. Kelak aku akan membasmi mereka kalau aku sudah besar!” Setelah berkata demikian, Sian Li berlari keluar.

Ayah dan ibunya saling pandang dan keduanya merasa lega. Puteri mereka itu sudah pasti kelak akan menjadi seorang pendekar wanita yang hebat, seperti yang mereka harapkan. Kalau dekat dengan Yo Han, tentu puteri mereka itu akan mengikuti jejak Yo Han, menjadi seorang wanita yang lemah.

Mereka lalu duduk di dekat pembaringan ayah ibu mereka dan dengan prihatin mereka melihat betapa keadaan kedua orang tua mereka masih seperti malam tadi, dan kembali mereka berusaha untuk menyalurkan tenaga sinkang dengan telapak tangan mereka ditempelkan di punggung si sakit. Walau pun usaha ini belum bisa menyembuhkan, tapi setidaknya dapat memperkuat hawa murni di dalam tubuh ayah dan ibu mereka serta memperlambat kerusakan yang diakibatkan oleh pukulan beracun.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar