Sepasang Pedang Iblis Bab 26-30

Kho Ping Hoo,Sepasang Pedang Iblis Bab 26-30. "Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi...!
Anonim
"Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya.

Dia pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para prajurit yang mencoba menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak buahnya masih bertanding melawan para prajurit pemerintah, bahkan kini Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap mengancam.

"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.

"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!" jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok La-ma.

"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!" Tubuh Nirahai melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula mengejar.

"Kalian jangan ikut!" Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak percaya kepadaku?!"

Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Jangan naik, biarkan aku bicara dengan Thian-liong-pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.

Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat siapa aku!"

Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata, "Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."

Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"

Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi, alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu berseru dari atas,

"Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"

Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempuran!"

Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang yang sedang bertanding, dan seketika kedua belah pihak masing-masing mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang tahu bahwa ibunya tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk. Ada pun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada wanita berkerudung, menjura dan berkata,

"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"

Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya pergi pula dari tempat itu.

"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!" kata Nirahai setelah melompat turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa telah buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!

"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. "Jangan khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu. Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."

Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai dari pada sebelum lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan Nirahai membuat dia lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin hanya tinggal Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.

Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah manusia!

Menjelang senja, tampak seorang penunggang kuda menjalankan kudanya perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersemedhi, mengobati luka di dalam dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng bangkit.

Hari telah menjadi sore ketika mendadak dia melihat beberapa ekor kuda tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan, akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya lemas.

"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana." Dia lalu menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali.

Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara. Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada darah segarnya!

Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya. Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia, setelah menjadi mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini?

Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda. Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang, tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula arang bekas mayat itu.

Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu, kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan kaki tangannya dan... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia merasa penasaran dan kecewa sekali, apa lagi kalau dia teringat kepada Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.

"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan manusia, makhluk yang merasa diri paling suci itu?"

Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.....


********************

Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di tepi pantai utara menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat goa itu merupakan tempat persembunyian yang baik.

Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.

Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau, akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.

Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa ombak.

Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.

Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa penutup yang tertutup rapat itu.

"Braaaakkkk...!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.

"Haiiiihhhh...!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti.

Biar pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan sekali pun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah... mayat! Hati siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga, ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan tetapi potongannya tidak karuan itu?

"Iihhh... hiihh... hiiihhhh...!" Kwi Hong menjerit lagi dan matanya terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri.

Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak bergigi itu menyeringai dan tertawa.

"Heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!

Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah makhluk hidup, bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan mendapat kenyataan bahwa biar pun kelihatannya seperti mayat, namun sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah kabur, membuat mata itu seperti berwarna putih semua.

Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.

Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri, mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan kelakuannya yang tidak lumrah manusia!

Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang dibumi hanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah.

Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger! Anehnya, kakek ini seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul pula dua orang sute-nya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap kembali tanpa pamit!

Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa Pulau Neraka telah dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu, terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu dengan Kwi Hong.

"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur diganggu! Kau agaknya minta dihajar!" Cui-beng Koai-ong yang sudah berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biar pun dari kerongkongannya terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah dan kecewa.

Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap hormat dan berkata,

"Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka tanpa sengaja saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam peti itu..."

"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar), baru aku mau mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu yang amat luar biasa.

Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar Pendekar Super Sakti.

"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe bukan sucouw saya, tidak mungkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah berkata demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.

"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!"

Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mukjizat menahannya dari depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mukjizat itu menyedot dan menahannya dari belakang!

Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sinkang-nya dan dia memaksa diri melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!

"Heh-heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!"

Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan hampir terjengkang. Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga dahsyat yang menariknya. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap dirinya.

Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia akan dapat melawan lebih baik. Betapa pun juga, melihat betapa kakek itu menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong membentak marah,

"Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.

"Cieeettt... bukkk...!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.

"Ihhh, dingin...! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya.

Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali, dia telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Namun kakek itu hanya terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.

"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi, agar jangan membikin marah Pamanku!"

Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan menyeringai sehingga dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, namun biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!

"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan sekali. Telah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman, sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana kehebatannya!" setelah berkata demikian kakek itu menyerang!

Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong. Kaki tangannya bergerak kacau, akan tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat, atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi yang terakhir betapa pun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok dan tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh.

"Heh-heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Kakek yang mengerikan itu terkekeh, tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar.

Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi penasaran dan biar pun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas dengan serangan cepat, mengunakan ilmu silat yang ia pelajari dari pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang asli karena ilmu mukjizat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang kakinya tinggal sebuah.

Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirubah dengan Swat-im Sin-ciang yang dingin.

"Hebat... hebat... eh, ilmu apakah ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh, mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh, panas... Hwi-yang Sin-ciang, ya? Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha-ha, akan tetapi bukan apa-apa bagiku!"

"Plak! Plak!"

Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu, Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya dan... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh hawa yang mukjizat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!

"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang.

Untung bahwa dara ini memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi sehingga dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu membalikkan tubuhnya dan lari!

"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"

Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju biar pun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat, padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian manusia!

Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi! Dikerahkannya tenaga sinkang-nya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat maju dan kakek itu terkekeh-kekeh sangat girang karena dapat mempermainkan dara itu.

Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu. Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan ‘terputuslah’ tenaga kakek yang menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai terluka.

Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali yang kini bertengger di batu karang dan terlihat tenang-tenang saja. Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!

Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebelah sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang perak itu.

"Kau... kau... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es...?" Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar!

Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab, hanya sedang meneliti kakek di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!

"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap pemilik Pulau Es!"

Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan hormat,

"Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"

Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka telah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es, tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"

"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Suma Han teringat akan Lulu dan kembali diam-diam dia merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan Ketua Pulau Neraka?"

"Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka! Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Sute-ku Bu-tek Siauw-jin Si Gila Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"

Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"

"Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman, karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es, kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Sute-ku sedang pergi merantau. Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka, kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"

"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah kini Pulau Neraka dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?" Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.

"Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku, maka... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!"

Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh tetapi ganas dan dahsyat sekali ke depan. Suma Han lantas mencelat ke atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek itu, debu mengebul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.

"Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!" Suma Han berkata ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya.

Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali tidak akan menguntungkan pamannya.

Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini, Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali, biarlah andai kata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali demikian kecil.

"Desssss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.

"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu, ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.

"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biar pun tinggal di Pulau Es dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es, dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama? Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus saling gempur sendiri?"

"Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus dilunasi sekarang juga!" Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han.

Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah mengirim pukulan dahsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.

"Brakkkkkk!" Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur. Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah dengan ketakutan.

"Bukan main," Suma Han diam-diam memuji. "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."

Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.

"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu, namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka, padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!

Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sinkang, keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah. Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.

Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.

"Trakkk!"

Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya, akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan pukulan mau pun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis dengan lengan tangannya yang biar pun hanya tulang terbungkus kulit, namun amat kuat dan kebal itu.

Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai, sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat bertahan kalau begini?

Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk menyerang dengan tepat.

Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit. Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih bersila.

"Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini juga kebal terhadap kekuatan mukjizat! Dia mencoba lagi, mengerahkan pandang matanya dan membentak,

"Cui-beng Koai-ong, robohlah!" dengan tongkatnya ia menuding dan baik dalam sinar mata, mau pun dalam suara dan gerakan tangannya itu terkandung hawa mukjizat yang amat berpengaruh.

"Heh-heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang terus.

Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mukjizat dalam dirinya tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu, sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan ilmu sihir.

Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan, batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu, bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah kakinya buntung.

"Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!" Tiba-tiba kakek itu berkata dan... dia melempar tubuh ke belakang, kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki yang menendang pusar.

"Desss!" Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang!

Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangannya mendorong ke atas.

"Wusss... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu, pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu telah mempergunakan daya tahan bumi!

Dan kakek itu tertawa girang, tetap terlentang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!"

Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu, dan dengan kecepatan itu membuat bingung lawan sehingga dapat mengirim serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung tanah, juga sukar menyerang dari kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu. Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini.

Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek itu sambil ‘tiduran’ seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun, kembali kakek itu rebah terlentang!

Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi semua lawan sakti yang pernah dilawannya.

"Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba sekarang kau terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu menyambar hawa yang berputar-putar seperti angin puyuh.

Suma Han maklum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah menyambut pukulan itu, mengadu sinkang, keras lawan keras. Apa lagi dia memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini, maka jalan satu-satu-nya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu tenaga sinkang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia telah berlatih sampai matang di Pulau Es.

Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangan menerima dorongan kakek itu.

"Jieeetttt!"

Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk, saling mengerahkan sinkang yang mengalir penuh melalui kedua pasang tangan mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan siapa kalah kuat tentu akan binasa!

Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main. Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka mengadu sinkang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih, sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling pandang tanpa berkedip.

Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat. Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi, Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sinkang dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.

Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti kilat yang mendatangkan hawa yang mukjizat itu, tahulah dia bahwa pedang itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han. Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran.

Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu. Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong.

Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir terampas sambil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!

"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"

Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh, tidak dapat mengelak hawa sinkang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani menyerangnya.

Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak tampak bahwa kakek itu pun terluka.

Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka Suma Han berkata, "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"

Biar pun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong, akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia mengibaskan tangannya menangkis.

"Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam! Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!

Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.

"Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang.

Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang, akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun berdirinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus kekebalan kakek luar biasa itu.

"Trangggg... aihhhh!" Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.

"Kau...? Keparat...!" Dia membentak.

Tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya meninggalkan pantai itu.

"Tunggu, jahanam...!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.

"Kwi Hong, jangan kejar...!" Suma Han berseru.

Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya muntahkan darah segar dari mulutnya. "Aihhh, Paman...!" Ia meloncat menghampiri.

Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya. "Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi gerakannya pun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya... coba ambilkan tongkatku..."

Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita menemui bibimu Phoa Ciok Lin...," katanya menuding dan dari utara tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang segera terbang turun.

"Rajawali Pulau Neraka...," katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung kehilangan tempat, lalu dapat kutundukkan... kau pelihara baik-baik Kwi Hong. Mari kita ke tempat kalian... aku perlu mengaso..."

Dengan perawatan penuh perhatian dan sangat teliti oleh Phoa Ciok Lin, Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur napas dan bersemedhi. Dia sering kali tampak termenung memikirkan perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan. Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah.

Di dalam perjalanannya dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar. Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula. Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun mayat di situ.

Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan Thian-liong-pang.

Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya.

Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap memusuhi Pulau Es.

Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu ke mana perginya dan tak seorang pun mengetahui apa kehendak dara yang kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu, Suma Han menghela napas panjang.

"Biarlah, ia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."

"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."

"Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi yang berada di tangan anak itu..."

Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian. Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!

"Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"

Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka..."

"Aihhhh...!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik napas panjang. "Putera... Lulu...?"

Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.

"Lalu... bagaimana baiknya, Taihiap?"

"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku juga harus menghajar mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu dan Nirahai... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia ini," kata Suma Han dengan suara tegas.

Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil, Taihiap. Terutama sekali... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan berhasil berkumpul lagi dengan mereka...," terdengar suara wanita itu yang mengandung isak tertahan.

Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.

"Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung dalam hatimu, dan aku merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku. Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin. Andai kata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka..."

Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehingga dua titik air mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata, "Taihiap, saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai... dan saya bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup bahagia bersama mereka."

Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh rasa syukur dan berterima kasih. "Engkau seorang wanita yang amat mulia, Ciok Lin," katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang merupakan cinta kasih murni, cinta yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan untuk melihat orang yang dicinta berbahagia.

Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biar pun semenjak tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan pendekar ini, apa lagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik.....

Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan yang serius. "Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya pada waktu sekarang tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau Es, sedangkan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai buronan yang bersembunyi, sangat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang harus saya lakukan, Taihiap?"

"Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan semua pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah harta itu kepada mereka agar dapat digunakan sebagai modal dan hidup di dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok Lin."

"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap itu dapat saya selesaikan sebentar saja, saya harap Taihiap suka menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka. Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk... pergi bersama Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu, saya... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap cinta, selama-lamanya..."

"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang yang mudah dilawan, apa lagi kini muncul orang-orang sakti seperti tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku, Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan yang lebih menyenangkan."

Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu untuk membantah, Suma Han lalu menekankan tongkatnya di atas tanah dan di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu.

Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah, menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma Han... betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku kalau harus berpisah dari sampingmu?"

Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik, berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita berilmu tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!

Kemana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut, pergi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu, melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya makin tertarik kepada pemuda itu.

Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat bahwa ia harus mambantu Ciok Lin menjaga para anak buah Pulau Es yang mengungsi di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah muncul, dan biar pun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu, namun dia percaya bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.

Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong kemudian meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira, merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan melakukan hal-hal yang lebih hebat dari pada yang telah dilakukan oleh guru dan pamannya, Pendekar Siluman!

Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih, namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala, dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di punggung dan pundaknya kalau dia berjalan.

Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya, melingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya, penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan seperti awan gelap mengandung kilat.

Pakaiannya terbuat dari pada sutera berwarna yang halus mahal, akan tetapi bentuknya sederhana. Betapa pun juga, segala macam pakaian yang menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat, seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang mengurungnya.

Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa terutama terhadap pandangan mata kaum pria!

Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng, mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat dari pada musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja?

Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya!

Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali Hok-mo-kiam dari tangan Si Sastrawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan siapa pun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun, iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apa lagi yang lain-lain itu!

Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang pamannya untuk memusuhi... ehhh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang. Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah kurang ajar itu!

Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas jika teringat kepada Wan Keng In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apa lagi sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam berada di tangannya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!

Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan. Ketika para tamu melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya keluar Pulau Es.

Mula-mula memang dia marah-marah dan sering kali dia menghajar pemilik mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng! Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika memandangnya.

"He, Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya.

Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aihhh, pandang mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia membentak,

"Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"

Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.

"Maaf... maaf... Lihiap. Kami... ehh, kami tidak apa-apa, hanya... hanya kagum melihat kegagahan Lihiap..."

"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.

"Kressss!" Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau hidungmu tidak lebih keras dari pada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih, akan tetapi penuh ancaman.

Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah, demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak. Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya dapat juga dia bicara.

"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu, dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu, begitu melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di antara mereka dan kami kagum sekali."

Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali. "Hemmm, buka mata lebar-lebar sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat sediakan bakmi godok istimewa!"

"Istimewa? Maksud Lihiap...?"

"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"

"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.

"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh benar pelayan di sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apa lagi ada beberapa orang tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biar pun mereka menyembunyikan tawa mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya.

Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.

"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.

"Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka. Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."

"Mayat-mayat siapa?"

"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."

"Apakah rombongan itu orang jahat?"

"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"

"Hemmm..." Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, tetapi sebelum memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia lalu bertanya lagi, "Rombongan orang apakah itu? Dan apa namanya?"

"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang..."

"Hemmm, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"

"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari yang lalu terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona. Sungguh pun kami tidak pernah diganggunya, tetapi semenjak mereka datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan? Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang mereka." Pelayan itu pergi dan hati Kwi Hong menjadi panas. Hemm, orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia selidiki!

Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu dia terus berloncatan, mengerahkan ginkang-nya sehingga kedua kakinya tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan rumah, kelihatan sunyi sekali.

Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu juga berlari di atas genteng menggunakan ginkang yang cukup lumayan. Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.

Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua. Yang dua orang berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi Liau-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang membuat Kwi Hong curiga adalah sikap mereka.

Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas genteng seperti dia. Tentunya mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk melakukan hal ini karena tingkat ginkang mereka itu masih jauh di bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka tanpa mereka ketahui.

Jantungnya berdebar tegang saat ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu anggota rombongan mereka?

Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan, seorang di antara mereka, yang berpakaian sastrawan atau pelajar, berseru nyaring,

"Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Beruang Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian kawan-kawan seperjuangan kami!"

Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh dari situ, memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang mereka sebut pengkhianat bangsa?

Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun tangan membasmi mereka!

Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan orang berpakaian sastrawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit (Sepasang Pensil Besi) itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu! Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan pahlawan untuk mengelabui mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"

"Ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi kami Sepasang Beruang dari Utara tidak takut kepada siapa pun juga!" Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak, perutnya yang gendut berguncang.

"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang berani!" kembali suara halus tadi menantang.

Ketiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya terbuat dari pada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun ke pekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah, ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.

Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah mereka, bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek.

Kwi Hong cepat menyelinap mendekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sastrawan itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar dia tidak mencampuri urusan pemerintah.

"Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian antara lain pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya terseret oleh rasa pertentangan golongan atau pun terdorong oleh ambisi pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu terdapat lika-liku yang amat ruwet."

Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu. Apa lagi kalau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar! Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah Mancu?

Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Beruang dari Utara itu amat ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Ada pun permainan sepasang pit di tangan sastrawan itu halus gerakannya namun juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sastrawan setengah tua itu.

Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biar pun mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apa lagi kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka tentu lihai bukan main!

Kwi Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan di bawah itu dan tadinya dia pun tidak mau peduli, tidak tahu harus membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia menjadi penasaran juga, apa lagi mengingat akan penuturan pelayan restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang. Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya dan dia berseru ke bawah,

"Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, tetapi perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri, tidak mau pergi, lebih tolol lagi!"

Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,

"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan, tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam kegelapan malam.

"Manusia sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh seorang dara yang cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada yang membawa lampu.

Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es, merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es. Kini melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi marah dan balas memaki,

"Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"

"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang yang tadi melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang disambitkan Kwi Hong.

Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biar pun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga sinkang kuat!

Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih sinkang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja dia memiliki sinkang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan dari belakang dan depan itu, cepat ia merubah kedudukan kakinya, tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak tangannya sambil membentak.

"Pergilah kalian!"

Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka melanjutkan pukulan dengan pengerahan sinkang agar gadis yang berani menghina Thian-liong-pang ini dapat dirobohkan dengan sekali serang.

"Desss! Desss!"

Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak, akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sinkang mereka hanyut dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha mengerahkan ginkang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!

Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup, ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut bukan main. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya itu.

Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata, melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke bawah!

"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main.

Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit, tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga tarikan berdasarkan sinkang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya terpelanting, jatuh ke bawah!

"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik-menarik!

Dara di sebelah bawah meggunakan dua tangan yang memegang tali untuk menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng, mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang pada wuwungan.

Tarik-menarik terjadi. Betapa pun juga, Kwi Hong tentu saja kalah posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi. Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang-orang Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa, maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang memukulnya, ia cepat menangkis.

"Plak! Plak!"

Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa dua orang yang menyerangnya itu memiliki sinkang yang amat kuat.

"Tar-tar-tar-tar!"

Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan ujung tali secara bertubi-tubi itu.

Sementara itu, para anggota Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biar pun dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas.

Empat orang anggota Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum. Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.

Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran sekali. Apa lagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya menjadi merah.

"Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"

Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.

Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan pengejaran dengan berkuda pula.

Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut penglihatannya, biar pun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda dari pada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang tiada bandingannya?

Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil, melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hmm, jika saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.

"Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main keroyokan, mereka pengecut! Jika maju satu demi satu, aku dan pedangku sanggup mengalahkan mereka semua!"

Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena sejak lewat tengah malam tadi, suara derap kaki kuda yang mengejarnya sudah tidak terdengar.

Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biar pun dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.

Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira.

Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang penuh perhatian.

Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang yang bermuka merah muda.

Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka, melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain mengiringkan dari belakang.

Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka, hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya. Akan tetapi bukankah kakek mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apa lagi bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati itu, keheranannya lebih besar dari pada ketidak senangannya maka dia lalu berkata nyaring.

"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?"

Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi khawatir dan tidak senang.

Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong, sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa peti mati!"

"Heiii, apa kau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak marah.

"Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"

"Keparat! Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.

Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda yang kalau terkena tentu akan pecah!

"Tar! Tar!"

Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak mau pun menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka dengan serangan pecut. Biar pun dia tidak biasa mainkan pecut, namun berkat tenaga sinkang-nya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!

"Plak! Plak! Aiiihhh...!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya, mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak dengan kekuatan luar biasa itu!

"Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni Pulau Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biar pun jarak di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang ditungangi gadis itu.

"Wuuuuutttt! Siuuut!"

Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu, maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, tapi terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.

"Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.

"Tar-tar-tar-tar!"

Biar pun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini, namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat, membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang, meninggalkan Si Gundul dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.

"Pe... dang... Iblis...!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.

"Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong menantang.

"Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup, pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai dia marah!"

Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apa lagi kalau dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, "Sudahlah, aku mau pergi saja!"

Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggota Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan kaget karena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis itu mencelat ke depan, terus lari dengan cepat sekali!

Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan kemarahannya dan kejengkelannya?

Betapa pun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan membuat pamannya marah sekali, sungguh pun dia sama sekali tidak akan takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekali pun. Apa lagi kalau dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian, akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng, dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan akan ia berikan kepada Bun Beng!

Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah perkuburan yang luas sekali! Di sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa peti. Celaka, pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke tempat ini untuk mengubur peti mati itu.

Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus dengan maksud hendak melewati bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja. Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti, bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut?

Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang tidak akan menjadi seram dan takut jika tiba-tiba mendengar suara orang tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi mayat hidup! Kedua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi, tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana, mengelilinginya!

Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya. Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti, bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti bukan setan, apa lagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara ketawanya yang mengandung tenaga khikang itu terdengar bergema ke sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari dari mana datangnya sumber suara ketawa itu.

Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema suara yang mengandung khikang amat kuat, sedangkan sumbernya dari... sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan kuno? Apa lagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak merasa malu. Biar pun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, dari pada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biar pun dia harus berhadapan dengan iblis di siang hari sekali pun!

"Heh-heh-heh-heh, hayo... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!"

Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.

"Krik-krik-krik!"

"Krek-krek-krek!"

Eh, ada suara dua ekor jangkrik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apa lagi ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.

"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha, biar pun kecil merica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas! Ha-ha-ha!"

Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya saat melihat bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang kakek yang sudah tua sekali, duduk seorang diri di atas tanah depan bong-pai tua sambil mengadu jangkrik di atas telapak tangan kirinya!

Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan kacau.....


Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biar pun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Namun kakek itu sama sekali tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkrik di atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.

Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkrik yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkrik coklat yang tubuhnya kecil, sedangkan yang kedua adalah seekor jangkrik hitam yang tubuhnya lebih besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.

Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya belum pernah dia melihat jangkrik diadu. Tentu saja pernah dia melihat jangkrik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkrik dapat diadu seperti ayam jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkrik itu. Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak, mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya, kokoh kuat mengagumkan!

"Hayo, Si Kecil Merah, biar pun kecil jangan mau kalah! Serang...!" Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkrik itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini dia melihat dua ekor jangkrik itu benar-benar saling terkam, melompat dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun, tentu saja jangkrik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkrik kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkrik hitam sehingga terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu silat)!

"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.

"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong. "Kalau bukan kau datang mengagetkan, Si Kecil Merah takkan kalah!"

Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan dia karena jangkrik kecil itu kalah, Kwi Hong menjadi mendongkol hatinya. "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkrik yang kecil begitu mana bisa menang?"

"Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"

"Plak! Plok!"

Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi Hong meraba gagang pedang.

"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan pengerahan sinkang-nya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu, akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!

Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang bersungut-sungut itu telah menaruh jangkrik hitam yang menang ke dalam lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkrik hitam kemerahan yang kalah tadi.

"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut, mengomel marah-marah tidak karuan.

"Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu dibuangnya. "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkrik, hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu banyak, berikan sehelai kepadaku!"

Biar pun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkrik kecil maju dan mengalahkan jangkrik besar. Biar pun bibirnya sendiri tak kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut, dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.

Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap sehelai rambut yang melayang dengan jepitan jari tangan. Kini kakek itu tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkrik kecil merah itu pada selangkang kakinya.

Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkrik itu dijantur diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak kemik dekat dengan tubuh jangkrik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti, berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu meludah kecil tiga kali.

"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkrik merah.

"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkrik yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!" Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkrik merah.

"Ihhh...!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok (kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat apakah ‘gemblengan’ yang diberikan kakek itu pada jangkrik merah benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.

Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai panggung pertandingan antara kedua ekor jangkrik itu. Jangkrik merah sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak tangan kiri kakek itu. Jangkrik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut. Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkrik timbul kemarahannya, buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya, jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya berkembang dan mengerik sumbang!

"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata lalu mengambil jangkrik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkrik merah yang makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkrik hitam yang sama sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.

"Wah, kau licik! Kenapa jangkrik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkrik kecil dan berlaku curang.

"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!" kakek itu membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu jangkrik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.

Biar pun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.

Setelah kedua jangkrik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas sehingga kembali dua ekor jangkrik itu saling terkam dan saling gigit. Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapa pun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.

Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur berapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke atas.

"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"

Kembali dia menaruh jangkrik hitam di dalam lubang dan mulailah ia melakukan ‘penggemblengan’ kedua terhadap jangkrik kecil merah. Cara menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali menyaksikan jangkrik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan pedangnya.

Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu jangkrik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang, karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri.

Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam... air kencingnya sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia melepas air kencing ke arah jangkrik merah yang ia masukkan ke dalam sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja payah jangkrik merah kecil itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama, apa lagi jangkrik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!

Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali celananya dan membenam-benamkan jangkrik jagoannya sampai setengah kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua ekor jangkrik itu.

Anehnya, ketika jangkrik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur akan tetapi pantang mundur!

"Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!"

Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biar pun sudah dihisap tanah masih meninggalkan bau lumayan. Karena dia tertarik maka dia mendekat lagi, bahkan ia kini duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh perhatian. Dua ekor jangkrik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan kakek itu. Akan tetapi jangkrik kecil itu mundur terus!

"Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkrik kecil merah itu.

"Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak) oleh Si Besar itu dapat menang.

Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkrik kecil merah yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya, pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkrik saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!

Jangkrik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkrik kecil yang sudah luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkrik kecil itu tertekan, terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.

Akan tetapi tiba-tiba jangkrik kecil yang kehilangan akal itu membuat gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkrik hitam besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang, menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat. Akibatnya, tubuh jangkrik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh. Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkrik kecil merah yang masih berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke mari, seolah-olah menantang lawan!

"Hebat dia...!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Tetapi dia segera menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke arah mereka!

Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.

Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha, kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya sambil melepaskan jangkrik itu ke dalam semak-semak. Dia lalu menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini, mendekati bangkai jangkrik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada bangkai kecil itu!

"Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!"

Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apa lagi dia melihat bahwa gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba ia menelungkup, menekan tanah dengan dua tangan dan bagaikan kilat cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkrik kecil tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!

Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.

"Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh tinggi dan ‘temangsang’ di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam keadaan lemas!

Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiiii...! Wah, kenapa kau mau saja kusepak?"

Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.

Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak gembira, "Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya berhenti, dia membentak marah.

"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!"

Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang tingkatnya tidak rendah itu mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah mereka kemudian pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi memandang ke arah kakek sinting!

"Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede, engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."

Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"

"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"

"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkrik atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkrik atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"

"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab, untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau pelajari juga tidak sopan! Hayo, coba kau bantah!" kakek itu bersikap seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.

"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"

"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"

"Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau adalah tokoh Pulau Neraka?"

"Dari mana kau tahu?"

"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu mudah untuk menduga.

"Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam? Nah, lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus! Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.

"Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.

"Atau biru? Hijau? Kuning?"

Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang berpenyakitan.

"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.

"Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! Jangan sombong kau, gadis gede..."

"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"

"Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"

"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek sinting. Siapa sih namamu?"

"Heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka... heh-heh-heh... Haa?! Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh... pedangmu itu...! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"

Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!

"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina), sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"

"Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan keringat!"

Biar pun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah tentu akan mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"

"Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu!"

Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"

"Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup, sampai sekarang kenapa tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau, perawan tolol?"

Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata, "Kalau kau yang kalah?"

"Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh lebih tua dan lebih ampuh dari pada aku, kalau aku kalah tentu dia akan minum habis darahku. Nah, kau mulai."

Kwi Hong menjadi serba susah. Biar pun dia tidak sudi menjadi murid seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini sebenarnya dia pun tidak tega. Biar pun dari Pulau Neraka, akan tetapi kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat, bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja. Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng In. Namun demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus menang. Apa lagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkrik tadi.

"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang mukjizat dan mengandung hawa maut.

"Hayaaaaaa...!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.

Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke sana-sini seperti jangkrik meloncat. Namun sedikit pun kakek itu tidak mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan kuda atau jentikan kaki jangkrik! Malah dia repot sekali harus mengelak terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.

Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang. Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong. Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan bunyi mengaung.

Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah ‘terbang’ ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu sambil tersenyum menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."

Kwi Hong menerima dan menyarungkan pedang, lalu ia menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menjadi muridmu."

"Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu?"

Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."

"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"

"Bagaimana? Aku tidak mengerti."

"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apa lagi kini memegang Lam-mo-kiam, tentu tak ada yang melawannya. Kebetulan engkau bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya dengan cara mengalahkan muridnya oleh muridku!"

"Tanpa kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"

"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama ampuhnya."

"Pedang curian!"

"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya jika kau tidak mampu menandingi ilmunya?"

"Siauw-jin... ehhh... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"

"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)? Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha-ha-ha!"

"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku, biar pun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan murid Suhengmu?"

"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han, engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka. Semua itu aku tahu... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah laki-laki, entah siapa aku tak kenal namanya. Li-mo-kiam diberikan kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan ini. Latihan sinkang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih semedhi dan sinkang di dalam tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan."

"Ilmu tendangan jangkrik?"

"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam mala petaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga seperti yang dilakukan jangkrik kecil tadi. Jurus ini selain dapat menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"

Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."

"Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."

"Mencari peti mati? Ke mana?"

"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid, bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi peti-peti mati?"

Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"

"Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah lucunya. Betapa pun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!"

Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah kerangka manusia!"

"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.

"Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin memerintah.

"Aihh... Ji-tocu (Majikan Pulau kedua), hamba sekalian telah membawakan sebuah peti untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang amat berbahaya.

"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi... eh, lupa lagi. Siapa namamu tadi?"

"Kwi Hong..., Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.

"Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"

Kwi Hong memandang dengan hati penuh ngeri betapa orang-orang itu membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti mati itu dibuka, kerangkanya dikeluarkan, lalu peti mati kosong itu digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?

"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan menantang dalam pandang mata Kwi Hong.

"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau takut?"

Melihat betapa semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat menjawab, "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu kotor!"

Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!

"Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, ataukah engkau hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"

Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu mencegahnya?

"Kalau aku sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba menggunakan alasan menolak.

"Bodoh! Biar pun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."

Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.

"Brakkk!" papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah dilubangi.

"Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.

Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya, yang tampak hanya hitam pekat! Dia merasa betapa peti mati di mana dia berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi dari pada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.

Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang, persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Ada pun kakek sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.

Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari ‘kuburan’ itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan galak sekali, dan biar pun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur, agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena itu, mereka lebih ‘aman’ menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu, setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk bersama hawa.

Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan nyawanya! Kalau lubang itu tertutup... ihh, dia bergidik dan mendadak saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati telah habis dan lubang itu telah tertutup!

"Kakek sinting...!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"

Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat jauh, suara dari balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum menjadi setan sudah demikian ganas, apa lagi kalau benar-benar menjadi setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar. Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita mulai berlatih pernapasan, semedhi dan menghimpun sinkang dari hawa inti sari bumi..."

Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!

"Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini? Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal yang mustahil apa lagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati? Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya, belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biar pun sifatnya berbeda, namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan ilmu-ilmu Pulau Es."

Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.....


********************

Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu membakar pulau itu.

Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu, diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu terjadi penyerbuan itu tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.

"Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu hendak membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?"

"Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri," jawab Lulu.

"Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya orang-orang berilmu tinggi?"

Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi panglima yang lihai."

"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut untuk menghadapi mereka?" Keng In membantah.

Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku? Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"

Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa.

Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan menelungkup, tidak berani mengangkat muka apa lagi memandang! Melihat ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng Koai-ong.

"Orang tua, agaknya engkau inilah yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"

"Ibu, jangan...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang amat dahsyat.

Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu menyerang, dia telah menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah tenaga inti mukjizat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di Pulau Es.

"Desss! Dessss!"

Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan tetapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan pengerahan tenaga yang lebih hebat.

"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut menyeringai.

"Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan dilarang, jangan dihalangi, biarlah!" Kakek itu berkata dan ejekan ini tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.

"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan itu sedang terbakar!

"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...," Wan Keng In berkata memohon gurunya karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu.

Tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk menyerang kakek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh kekeh senang sebab maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.

Sementara itu, para anggota Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan hebat itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan Keng In. Wajah pemuda ini menjadi pucat. Untuk menghentikan pertandingan adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya dan ibunya menghentikan pertandingan itu.

Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya puteranya tidak sombong kalau mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa seluruh tenaga sinkang-nya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan.

Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya uap dari hawa sinkang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!

"Suhu, harap kau maafkan Ibuku...!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya.

Namun sekali kakek itu menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar dan gurunya berkata, "Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup, dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!"

Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sinkang-nya makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara orang tertawa.

"Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa, menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?"

Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung Lulu dan melanjutkan kata-katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini mau menanti apa lagi?"

Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek yang telah menolongnya.

"Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" tanyanya secara langsung, sedikit pun tidak menaruh hormat karena biar pun kakek ini sudah menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!

"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suheng-ku paling suka membunuh orang, harap Toanio suka memaafkannya."

Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang begitu aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak kecil yang tidak berdaya sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!" bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.

"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu sekarang. Aku masih mempelajari ilmu dan... menurut Suhu..., aku ditunjuk untuk memimpin anak buah Pulau Neraka."

"Wan, Keng In! Engkau adalah anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo kita pergi meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.

"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.

"Kau... lebih berat kepada mereka ini dari pada kepada Ibumu?"

"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau aku tidak memperdalam ilmuku?"

"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biar pun dia telah menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati wanita, biar pun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.

"Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya? Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek Siauw-jin mencela suheng-nya yang tertawa-tawa tadi.

"Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak, kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat, kalau tidak suka boleh minggat!"

"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau larang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami, karena kalau sekali lagi Twa-suheng-ku yang manis ini turun tangan terhadapmu, biar pun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan nyawamu."

"Dia benar... dia benar... pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.

Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya. Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seperti orang-orang yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat menandingi mereka. Maka setelah sekali lagi memandang ke arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan lari pergi meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu, yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya yang juga satu-satu-nya pria yang dicintanya itu untuk turun tangan menyelamatkan puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!

Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya! Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biar pun terhitung sute dari Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suheng-nya itu, lalu pergi sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.

Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apa lagi setelah kakek pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar Super Sakti.

Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, semedhi dan mengumpulkan sinkang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!

Ilmu semedhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu yang mukjizat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan sinkang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri itu. Ilmu mukjizat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati dan putus harapan maka dia ‘membunuh diri’ dengan jalan mengubur dirinya hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka.

Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum mati menciptakan ilmu mukjizat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini.

Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan mempertaruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih diri dengan ilmu mukjizat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ketiga di dunia ini yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi.....

Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak berani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka sudah mengenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu, karena bagi dua orang datuk itu, apa lagi Cui-beng Koai-ong, membunuh manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak mereka sukar sekali diikuti. Mereka maklum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai kuburan itu diganggu orang. Kalau kakek dan muridnya yang baru itu sudah keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini, kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek yang aneh itu.

Pada malam hari ketiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang dipimpin oleh seorang dara remaja cantik jelita dan yang mereka kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan.

Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat, orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggota rombongan amat hormat kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan bersikap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai dari pada sebelum lengan kirinya buntung!

Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya itu lebih lihai dari pada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia menjadi orang kedua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.

Orang-orang Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga ‘kuburan’ Bu-tek Siauw-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah tidak berani mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu merupakan lawan yang amat lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang dan secara mudah dirobohkan oleh ‘ketua’ Thian-liong-pang yang di luar tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng.

Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau Neraka.

Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu, akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap, seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!

Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan Pulau Neraka. Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang atau meninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu, dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali.

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan rombongan Thian-liong-pang.

"Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar yang suka memegang janjinya!" Seorang di antara para hwesio tua itu, yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil berkata tenang.

"Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah perkumpulan besar yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut. "Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukan manusia lain karena di sini yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah datang, apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk mengadakan pertemuan?"

Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju, memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud..., seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri? Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?"

Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Sering kali dia terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biar pun ia tahu bahwa ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri dari perkumpulan yang dipimpin ibunya membuat gadis yang memiliki dasar watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.

"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apa lagi kami lihat bahwa Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memimpin rombongan Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang diadakan di tempat ini."

Hwesio itu mengangguk-angguk, tetapi pada wajahnya yang halus itu masih terbayang ketidak puasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah partai persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya disambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!

"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkah pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"

"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu banyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu telah meloncat maju, tangan tunggalnya telah melintangkan toyanya di depan dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan.

Para hwesio itu kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata, "Omitohud..., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona ini adalah puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang menjadi Ketua Siauw-lim-pai."

"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami." Milana cepat bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biar pun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan menyinggung perasaan hati orang!

"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai lain..."

"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah. "Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain, mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."

Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang, menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh nona muda itu, "Tepat sekali ucapan Nona dan kenyataannya pun kami pihak Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san, terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus mencampurinya!"

"Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!" Milana berkata halus akan tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa perkumpulan ibunya dicela orang lain.

"Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan dengan kegagahan dan berarti sudah menggunakan perkumpulan Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."

Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.

"Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!"

Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggota Thian-liong-pang lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.

"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah... mungkin kini Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok pejuang?"

Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata, "Perjuangan melawan penjajah, di mana pun juga di dunia ini, adalah perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan tuduhan keji memakai dalih apa pun juga. Kami tidak bersekutu dengan kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang, mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orang gagah, untuk mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."

Tentu saja hati Milana menjadi panas mendengar ucapan itu, walau pun kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagai mana ia dapat merasakan kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang sekarang adalah pemerintah penjajah?

Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah bangsa yang memang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok sebab telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan kejahatan mereka!

"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak boleh membantu pemerintah membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri. Kami menolak permintaanmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat dari pada kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!"

"Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu mengeluarkan sinar berkilat.

"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.

"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapa pun juga dalam menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!" Milana berkata.

"Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati. Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!" kata Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.

"Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.

"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian, melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian pergi dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.

"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata kepada Siauw-lim-pai!" Ceng Sim Hwe-sio berkata. "Setelah kedua belah pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biar pun kami hanya bertujuh dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"

"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.

"Trang-trangg...!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!

"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi mereka!" Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan pedang di depan dada dan berkata,

"Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"

"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah pelaporan kami kepada Ketua kami."

"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh kepada para pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras kepala ini!"

"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!" Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh orang hwesio itu sudah menerjang maju.

Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak, ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.

"Wuuuut... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana.

Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa pemimpin rombongan hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara mereka. Milana tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak akan perlu bekerja terlalu keras!

Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi menangkis toya Si Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu kewalahan.

Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggota Thian-liong-pang yang berada di situ sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka, rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata hebat bukan main.

Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang, dibandingkan dengan pertandingan lain di antara kedua rombongan itu. Biar pun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat dengan amat hati-hati.

Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi, dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata di antara semua ilmu silat yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru mereka.

Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biar pun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya, juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu silat yang tertua dan yang paling asli, tidak berubah semenjak ratusan tahun yang lalu.

Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan mau pun tingkat kepandaian, hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.

Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu menyambar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan menggunakan kesempatan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu dahsyat ‘telapak tangan golok’ itu telah membabat ke arah pundak Ceng Sim Hwesio!

Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya, maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil mengerahkan sinkang-nya.

"Desss!"

Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan tunggalnya itu amat dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga sinkang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam, dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher manusia!

Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sinkang amat kuat sehingga menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan biar pun dia tidak terluka karena ‘bacokan’ tangan itu dilawan oleh sinkang-nya, namun dia roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.

"Pinceng sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh, lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang merasa terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.

Milana yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru,

"Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"

Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung toyanya bergerak cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio, membuat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.

Sementara itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih, ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula seorang anggota Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang pedang. Gerakan hwesio ini amat hebat. Begitu memandang, tahulah Bok Sam bahwa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai dari pada Ceng Sim Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain.

Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal tersisa dia, puteri Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biar pun dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya. Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih, dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata pedang.

Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke depan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali bukan tandingan Si Lengan Buntung, biar pun senjata mereka serupa dan hwesio itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan lagi, toyanya patah menjadi dua dan dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.

Bok Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua. Ternyata hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali. Permainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki gerakan-gerakan aneh dan tenaga sinkang yang terkandung dalam gerakan senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampasnya, akan tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Sedangkan tasbihnya menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke arah kepala lawan.

Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat Siauw-lim-pai, maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan mendekati ilmu silat dari barat! Setelah kini Bok Sam maju membantunya dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang, Milana mendapat kesempatan untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan dengan mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat Siauw-lim-pai.

Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara, mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan cepat sekali.

"Cringgg!"

Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan ternyata bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebutan bergerak cepat sekali seolah-olah ber-ubah menjadi banyak dan mengirim totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan tubuh Milana dan pinggang ke atas.

"Wuuuuttt... singgg!"

Milana menggunakan ginkang-nya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang dikelebatkan dengan pengerahan sinkang sehingga tasbih yang melilit pedangnya itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.

"Wuuuut!"

Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap tasbihnya, dan sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji ketangkasan dara itu.

"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di depan dada. "Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"

Hwesio itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya membantu dia mengeroyok Milana telah roboh pula di tangan Bok Sam yang kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap untuk menerjangnya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada tiga orang termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai sekali itu.

"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan para sahabat ini..."

"Aihh, kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?" Milana memotong, dan hwesio itu kelihatan terkejut.

"Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"

"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk, akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu engkau adalah seorang di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami. Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka urusan antara engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberontak."

"Ha-ha-ha-ha, perempuan sombong! Kau kira pinceng takut...?" Baru sampai di sini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada hwesio kurus itu.

Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan terjadi lebih hebat dari pada tadi karena kalau tadi masing-masing pihak masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!

Milana sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia mengerutkan alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang boleh diandalkan, akan tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu bukan tandingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai. Biar pun hatinya tidak senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi lawan tangguh, maka di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.

Kiang Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa jurus saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim itu membingungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia sukar sekali menduga gerakan serangan lawan.

Namun dia tidak menjadi jeri dan toyanya diputar amat cepatnya ketika dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya. Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang kepadanya memang dahsyat sekali, apa lagi di balik toya ini tersembunyi lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain merupakan senjata, juga merupakan semacam kedok yang menyembunyikan senjatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan biasanya akan memandang rendah apabila dia kehilangan toyanya, dan hal ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio.

Mo Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka baru dia mempunyai harapan untuk keluar dari pertandingan dengan selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sinkang-nya, namun masih jauh kalau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu. Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat.

Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking hingga terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantung. Pada saat itu hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala lawan selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.

"Sinngggg... tranggggg!" Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah, kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung dari ancaman maut!

Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan Mo Kong Hosiang menganggap hal ini sebagai kemenangan. Dia berseru girang walau pun tadi kaget melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bukan main sehingga didahului oleh hawa pukulan yang kuat. Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu toya terlepas dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tidak berdaya dan lemah. Hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.

"Krakkkk...!"

Mo Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan tangannya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu bertemu dengan tangan miring lawan.

"Celaka...!" Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung lumpuh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya. Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak panah yang besar ke arah Bok Sam!

"Wuuuttt... wirrrr!"

Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya! Kini toya itu telah kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak ditolong Milana, tentu dia akan celaka, setidaknya terluka.

Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya buntung, hwesio Tibet ini pun hanya menggunakan lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.

Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi, maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, ingin mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di pihak lebih kuat. Menghadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.

"Desss! Krakkk!"

Hud-tim dan toya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua disusul pekik Mo Kong Ho-siang yang roboh terjengkang karena dadanya terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biar pun dengan sinkang-nya dia masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini tewas seketika!

Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu. Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.

"Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami membunuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai. Menurut pengakuannya sendiri, dia bukanlah seorang anggota Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberontak. Ada pun Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggota Siauw-lim-pai telah kalah dalam ujian kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apa lagi kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutar balikkan kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai."

Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. "Biar pun Mo Kong Hosiang bukan anggota Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang saudara kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya. Tentang urusan antara kita, hemmm... kami sudah kalah, tidak perlu banyak bicara lagi! Selamat tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan mendatang kami akan lebih berhasil." Setelah berkata demikian, Ceng Sim Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong Hosiang.

Rombongan Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa biar pun pihak Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi rombongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang anggota yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.

Kiranya bukan hanya dari partai persilatan Siauw-lim-pai saja yang datang. Pada esok harinya datang pula rombongan orang-orang kang-ouw yang juga mempunyai niat yang sama dengan rombongan Siauw-lim-pai, yaitu mereka menentang Thian-liong-pang yang oleh dunia kang-ouw dianggap telah menyeleweng dari peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri dengan urusan politik, bahkan telah mengekor dan menghambakan diri kepada pemerintah penjajah.

Betapa pun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di dunia kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau menentang pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih tetap berpihak kepada orang-orang yang memberontak terhadap kaum penjajah. Karena itu, mendengar betapa Thian-liong-pang membantu pihak pemerintah, nnengejar-ngejar pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw menjadi marah dan sengaja menentang Thian-liong-pang!

Setiap hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di pihak Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan puteri Ketua Thian-liong-pang yang sukar menemui tandingan, maka pihak Thian-liong-pang selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka dengan alasan yang sama seperti yang mereka kemukakan kepada Siauw-lim-pai. Pihak yang merasa penasaran mereka lawan dengan mengadu kepandaian.

Rombongan Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, datuk mereka yang aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih! Kiranya kakek yang tidak lumrah manusia biasa itu agaknya sudah tahu bahwa tempat itu dijadikan gelanggang pertandingan oleh Thian-liong-pang yang menyambut musuh-musuhnya, maka dia sengaja memilih tempat itu yang dianggapnya menarik!

Kalau tidak untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan orang Pulau Neraka menggotong-gotong peti mati kosong itu sampai ratusan mil jauhnya? Padahal untuk latihan itu, di mana-mana pun ada tanah, di mana-mana pun ada tanah kuburan! Diam-diam para anak buah Pulau Neraka merasa mendongkol sungguh pun tentu saja tidak berani menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan serba salah, setiap hari harus menyaksikan ketegangan-ketegangan tanpa berani berkutik.

Akhirnya terlewat jugalah jarak waktu sepekan yang dibutuhkan oleh Bu-tek Siauw-jin untuk latihan bersama muridnya! Akan tetapi, tepat pada hari terakhir itu terjadi pula pertandingan antara Thian-liong-pang dan rombongan Hoa-san-pai yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak sepuluh orang! Seperti juga ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai, Milana mewakili ibunya memberi alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu berakhir dengan adu kepandaian pula, karena pihak Hoa-san-pai itu adalah murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua Hoa-san-pai yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

Pertandingan hebat terjadi sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan kemenangan pihak Thian-liong-pang. Akan tetapi biar pun orang-orang Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam keadaan luka-luka, pihak Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggotanya yang terluka terlalu parah sehingga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak lama setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!

Melihat betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka, Milana merasa penasaran dan juga berduka sekali, apa lagi setelah melihat di pihaknya jatuh korban seorang tewas dan lima orang masih luka-luka.

"Lebih baik kita meninggalkan tempat ini membuat laporan kepada Pangcu," katanya kepada Bok Sam.

"Sebaiknya demikian, Nona. Namun karena kebetulan kita berada di tanah kuburan, sebaiknya kita mengubur jenazah anak buah kita yang tewas itu di tempat ini."

Milana mengerutkan alisnya, tetapi menganggap bahwa memang sebaiknya demikian sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. "Terserah kepadamu, Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini, bagaimana kau bisa mendapatkan sebuah peti mati?"

Si Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu nisan dan gundukan tanah kuburan. "Hemm, banyak tersedia peti mati di sini, mengapa mesti susah-susah mencari tempat jauh? Biar aku mencarikan sebuah peti mati yang masih baik untuk jenazah kawan klta." Si Lengan Buntung ini lalu mengajak beberapa orang anak buahnya mencari kuburan yang masih belum begitu lama sehingga peti mati di dalamnya tentu belum rusak pula.

Tentu saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang masih baru, yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang digundukkan di situ baru sepekan lamanya.

"Bagus, ini kuburan baru sekali! Tentu peti matinya pun masih baik. Hayo kita gali dan keluarkan peti matinya!" Bok Sam berkata dengan wajah berseri, berbeda dengan biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia merasa gembira mendapatkan kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya karena tanah kuburan itu penuh dengan kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.

Setelah berkata demikian, Si Kakek Lengan Buntung ini memelopori anak buahnya, menggunakan tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali tangan tunggalnya mendorong, gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan tampaklah sebuah peti mati di bawahnya, berjajar dengan sebuah peti mati lain yang masih tertutup tanah. Peti mati yang tampak itu adalah peti mati Kwi Hong!

"Heii, keparat! Tahan...!"

Orang-orang Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan mata terbelalak ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan kiri. Benar-benar mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu bermunculan di tanah kuburan itu, tidak ubahnya seperti setan-setan kuburan. Si Lengan Satu yang kehilangan lengan kirinya dalam pertandingan melawan orang-orang Pulau Neraka, segera mengenal musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah sekali.

"Gerombolan Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak mengganggu urusan Thian-liong-pang?" bentaknya marah sekali.

Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda dan bertubuh gendut pendek, menyeringai ketika menjawab. "Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini menyaksikan sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi mencampuri urusan orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani mengganggu kuburan yang kami jaga, tentu saja kami turun tangan. Kuburan yang satu ini berada di bawah pengawasan kami dan tidak ada seorang pun manusia atau iblis boleh mengganggunya. Jika kalian membutuhkan peti mati, boleh mencari kuburan lain!"

"Kau sudah bosan hidup!" Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke depan, disambut oleh Kong To Tek sehingga terjadilah perkelahian yang seru antara kedua tokoh ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang sehingga pertandingan itu hebat bukan main. Anak buah Thian-liong-pang yang lain sudah pula bertanding melawan anak buah Pulau Neraka.

Perkelahian itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara ini cepat membawa anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi medan perang kecil-kecilan yang dahsyat sekali. Milana mempunyai rasa tidak suka kepada Pulau Neraka, maka kini melihat betapa orang-orang dengan muka beraneka warna itu bertempur melawan orang-orangnya, dia segera terjun ke medan pertandingan dan sepak terjang dara ini membuat orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat.

Bok Sam yang bertanding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang dan seru, tetapi Si Gundul Kong To Tek itu mulai terdesak karena lawannya menggunakan pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang dahsyat bukan main. Kong To Tek terkenal dengan ilmunya memukul sambil berjongkok dan dari mulutnya keluar asap beracun. Tetapi karena dia pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan kepandaiannya ini sudah diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga diri dan selalu meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu, kemudian membalik dan melancarkan pukulan-pukulan maut dengan lengan tunggalnya yang ampuh bukan main.

Ada pun orang kedua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah Chi Song, tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi Song ini memiliki dua macam ilmu simpanan yang hebat dan pernah pula dia mengacau Thian-liong-pang bersama Kong To Tek dan akhirnya dikalahkan oleh Gak Bun Beng yang pada waktu itu menyamar sebagai Ketua Thian-liong-pang.

Dua ilmu simpanannya itu memang dahsyat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang amat berbahaya. Jika ia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari telapak tangannya menyambar uap beracun yang dapat merobohkan lawan sebelum pukulannya sendiri mengenai sasaran. Ada pun keistimewaannya yang kedua adalah ilmu tendangan yang dahsyat, yang dilakukan sambil meloncat sehingga dinamakan Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat menghindarkan diri dari pukulannya yang beracun roboh oleh tendangan dahsyat yang amat cepat dan tidak terduga-duga datangnya ini. Biar pun tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit dibandingkan dengan Kong To Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan saja di Pulau Neraka.

Sial baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua Thian-liong-pang! Betapa pun lihainya, dan biar pun dia telah dibantu oleh tiga orang untuk mengeroyok Milana, tetap saja dia dan kawan-kawannya dihajar babak belur oleh tali sutera hitam yang dimainkan sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara remaja ini menghendaki, tentu dengan mudah dia dapat menyebar maut di antara rombongan orang-orang Pulau Neraka itu.

Akan tetapi biar pun dia puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal berwatak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak halus dan tidak tega membunuh orang kalau tidak secara terpaksa sekali. Dia tidak suka kepada orang-orang Pulau Neraka, akan tetapi karena yang mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah dari padanya, dia tidak mau menurunkan tangan maut, dan hanya menghajar mereka dengan lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu terdesak mundur, bahkan beberapa kali Chi Song roboh bergulingan, pakaiannya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet.

Sepak terjang Milana ini hebat sekali, membuat para anak buah Pulau Neraka menjadi kacau balau. Apa lagi ketika Bok Sam berhasil melukai pundak Kong To Tek dengan Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul Pulau Neraka itu terpaksa mundur untuk mengobati lukanya dan Si Lengan Buntung itu kini mengamuk secara lebih hebat dari pada Milana karena Si Lengan Buntung ini tidak menaruh segan-segan untuk membunuh atau menimbulkan luka parah di antara pengeroyoknya, pihak Pulau Neraka benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.

Tiba-tiba terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor burung rajawali hitam menyambar turun, langsung mencengkeram ke arah Si Lengan Buntung Kiang Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di antara orang-orang Pulau Neraka!

"Haiiiitttt!" Bok Sam berseru kaget, cepat melempar tubuh ke bawah dan bergulingan di atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar. Tiba-tiba Bok Sam meloncat bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke arah sebuah di antara sepasang cakar yang menyambarnya.

"Desssss!"

Burung rajawali itu memekik keras, tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan pukulan Telapak Tangan Golok, ada sebuah tangan lain yang mendorong ke bawah dengan kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki burung itu, juga membuat tubuh Si Lengan Buntung bergulingan. Burung itu hinggap di atas tanah dan dari punggungnya meloncat seorang pemuda yang bertubuh jangkung dan berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu terbang ke atas, hinggap di atas cabang pohon.

Su Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok Sam celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju dengan sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak pinggang memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba gagang pedangnya yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.

Sikapnya tenang sekali, alisnya yang tebal agak berkerut, matanya bergerak ke kanan kiri, mulutnya tersenyum simpul seperti orang mengejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang rendah pada semua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak Liong menyambar dekat, hampir menyentuh lehernya. Tiba-tiba tanpa mengubah kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan kirinya bergerak menangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di antara jari tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya.

Su Kak Liong memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa ada orang mampu menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan menjepitnya sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan tetapi mulutnya mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyemburnya darah segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan seketika robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!

"Keparat...! Kau berani membunuhnya? Rasakan pembalasanku!" Bok Sam yang tadi melihat peristiwa ini menjadi marah bukan main.

Biar pun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali, namun dia tidak menjadi gentar. Kemarahannya membuat ia lupa diri dan dengan nekat dia menerjang maju, tangan tunggalnya diangkat ke atas kepala dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak Tangan Golok dan siap membacokkan tangannya ke arah kepala pemuda itu.

Si Pemuda tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana yang mengamuk dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan makian dan serangan Si Lengan Buntung yang kini menggunakan Ilmu Telapak Tangan Golok sekuatnya itu!

"Plakkk!" ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si Pemuda tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepala dan menyambut pukulan itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu dan melekat!

Bok Sam mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga sinkang yang istimewa untuk ilmu Telapak Tangan Golok-nya. Tetapi betapa pun ia menekan, tetap saja tangan pemuda itu tidak dapat didorongnya, bahkan dia tidak dapat lagi melepaskan tangannya dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya memuncak.

Pemuda inilah yang telah membuntungi lengan kirinya, maka tadi dia marah sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaga untuk membalas dendam dan membunuhnya. Siapa kira kini pukulannya yang istimewa disambut oleh pemuda itu seenaknya saja dan dia tidak mampu menarik kembali tangannya. Dengan kemarahan meluap, Bok Sam lalu menggunakan kepalanya. Untuk menggunakan tangan kiri, dia sudah tidak mempunyai lengan kini, menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat karena tangan mereka sudah saling melekat, maka satu-satunya yang dapat dia pergunakan untuk menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan kepalanya! Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat tenaga ke arah dada pemuda itu!

Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau Neraka, murid yang amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari Pulau Neraka! Melihat serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang bahkan dia meloncat sedikit ke atas sehingga kepala lawan tidak mengenai dada, melainkan mengenai perutnya.

"Cappp!" Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak dapat dicabut kembali.

Bok Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah memasuki tempat perapian, makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan tetapi karena tangan kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu, kepalanya sudah terjepit di rongga perut, yang bergerak hanya pinggul dan kedua kakinya yang menendang-nendang tanah!

"Manusia tak tahu diri, mampuslah!" Pemuda itu menggumam sambil mengerahkan tenaga mukjizat di rongga perutnya.

Terdengar bunyi keras ketika kepala Bok Sam retak-retak oleh tekanan perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In melontarkan tubuh Si Lengan Buntung dengan jalan mengembungkan perutnya, tubuh itu telah menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna kehitaman!

Semua ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya dari Milana yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali suteranya yang meledak-ledak di udara seperti cambuk. Pandang matanya menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melangkah dengan tenang, menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpesona oleh gerak-gerik tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah yang amat cantik manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah kejelitaan dalam pandang mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus makin dekat.

"Aduhai, Nona yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Siapakah gerangan engkau?"

Para anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan Thian-liong-pang kini menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya Wan Keng In. Terdengar seruan di antara mereka.

"Siauw-tocu (Majikan Muda Pulau) telah datang!"

Ketika mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia terheran mendengar kata-kata yang dianggapnya menyenangkan akan tetapi juga kurang ajar itu, kini dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini adalah Majikan Muda Pulau Neraka! Teringat ia akan cerita Bun Beng kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini yang telah merampas pedang Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia memandang, baru sekarang tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah menggeletak menjadi mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling lihai itu telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah diduga bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini.....

Agaknya Wan Keng In dapat menduga isi hati Milana ketika melihat dara jelita itu memandang ke arah mayat kedua orang tokoh Thian-liong-pang dengan wajah berubah, maka dia tertawa lalu berkata, "Ha-ha-ha, jangan kaget, Nona manis. Kedua orang itu telah berani menyerangku, terpaksa aku bunuh mereka. Orang-orang macam itu sungguh tidak patut menjadi pembantu-pembantumu. Nona, siapakah engkau? Heran sekali di dunia ini bisa terdapat seorang dara secantik jelita engkau, dan selama ini aku tidak pernah bertemu denganmu. Nona, baru sekali ini hatiku tergetar hebat dengan seorang wanita. Aku yakin, engkaulah satu-satunya wanita yang diciptakan di dunia ini, khusus untuk menjadi pasanganku!"

Bukan main marahnya hati Milana. Tak dapat disangkal lagi, pemuda itu amat tampan menarik, masih muda, sebaya dengannya, pakaiannya indah, kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar-sinar, pendeknya dia seorang pemuda yang tampan gagah sukar dicari keduanya. Akan tetapi sinar matanya yang agak aneh itu mengandung sesuatu yang mengerikan, sedangkan kata-kata dan sikapnya membuat Milana merasa muak dan membangkitkan perasaan tidak senang yang mendekati kebencian.

"Jadi engkau adalah bocah Pulau Neraka yang amat jahat itu? Engkaulah yang sudah merampas pedang Lam-mo-kiam milik Gak Bun Beng?"

Wan Keng In mengerutkan alisnya yang tebal hitam. "Eh, engkau mengenal Gak Bun Beng? Dia sudah mati, bukan? Engkau siapa, Nona?"

"Siauw-tocu, dia inilah puteri Ketua Thian-liong-pang. Dia lihai sekali," seorang anggota Pulau Neraka tiba-tiba berkata sambil mencoba untuk bangkit. Tulang kakinya pecah terkena cambukan tali sutera Milana tadi.

"Aihhhh, kiranya puteri Ketua Thian-liong-pang? Pantas saja cantik jelita dan lihai. Sungguh tepat kalau begitu. Engkau puteri Ketua Perkumpulan Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, aku pun putera Majikan Pulau Neraka yang tidak kalah terkenalnya. Sungguh merupakan jodoh yang setimpal sekali!"

"Tutup mulutmu yang kotor!" Milana memaki dan tangannya bergerak.

"Tar-tar!"

Ujung tali sutera hitam melecut di udara dan menyambar ke arah kedua pelipis kepala Wan Keng In dengan kecepatan kilat. Sekali ini, Milana bukan sekedar menggerakkan senjata untuk menghajar, melainkan dia memberi serangan totokan yang merupakan serangan maut.

Biasanya Wan Keng In memandang rendah kepada semua orang. Akan tetapi begitu bertemu dengan Milana, entah bagaimana, hatinya tertarik seperti besi tertarik oleh besi sembrani. Belum pernah selama hidupnya dia tertarik oleh wanita seperti itu. Dia bukan seorang mata keranjang sungguh pun dia biasa disanjung wanita dan biasanya dia memandang rendah wanita-wanita cantik yang dianggapnya belum cukup untuk duduk berdampingan dengannya! Sekali ini, begitu melihat Milana, dia tergila-gila. Ketika dia menyaksikan gerakan ujung tali sutera, dia menjadi makin gembira dan kagum. Gerakan ini bukanlah gerakan sembarangan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan!

"Engkau hebat, Nona!" Dia memuji akan tetapi cepat ia miringkan kepala untuk menghindarkan totokan maut itu, kemudian tangannya cepat menyambar untuk menangkap ujung tali sutera hitam.

"Cuiittt... taaar!"

Lihai sekali Milana bermain tali sutera yang digerakkan seperti pecut itu. Begitu totokannya pada pelipis yang bertubi-tubi menyerang pelipis kanan-kiri itu tidak mengenai sasaran, bahkan hampir dicengkeram oleh tangan Wan Keng In, dara itu telah membuat gerakan dengan pergelangan tangannya dan ujung tali sutera itu sudah melecut dan menotok ke arah jalan darah di pergelangan tangan yang hendak menangkapnya!

"Trikkkk!"

"Engkau memang hebat, Nona manis!" Keng In kembali memuji sambil tersenyum lebar.

Akan tetapi Milana kini terkejut bukan main. Pemuda itu tadi telah menggunakan jari telunjuknya untuk menyentik ujung tali suteranya yang menotok ke arah pergelangan tangan. Gerakan itu demikian tepat mengenai ujung tali sutera sehingga ujung tali terpental. Hanya orang yang telah memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat melakukan hal ini!

Namun, tentu saja Milana tidak menjadi jeri. Dia tidak pernah mengenal takut dan dia pun sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biar pun tak mungkin dia dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya yang amat banyak itu, namun kiranya hanya beberapa macam ilmu yang amat tinggi dan terlalu sukar saja yang belum diajarkan ibunya kepadanya dan kalau hanya melawan musuh yang sebaya dengannya saja, kiranya di dunia ini sukar ada yang akan dapat menandinginya.

"Jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan kini terdengarlah ledakan-ledakan nyaring ketika ujung tali sutera itu menari-nari di tengah udara, membentuk lingkaran-lingkaran yang besar kecil saling telan, kemudian lingkaran-lingkaran hitam itu berjatuhan ke bawah, susul-menyusul dalam serangkaian serangan maut ke arah tubuh Wan Keng In dengan kecepatan kilat yang menyilaukan mata karena lingkaran itu tidak lagi berupa sabuk atau tali sutera, melainkan tampak seperti sinar hitam saja.

"Bagus sekali...!" Wan Keng In kembali memuji dan tiba-tiba tubuhnya bergerak lenyap, lalu tampak berkelebatan seperti bayangan setan menari-nari di antara sinar hitam yang bergulung-gulung dan melingkar-lingkar!

Wan Keng In tidak mau menggunakan pedangnya yang ampuh. Jika dia menggunakan pedang Lam-mo-kiam, sekali sambar saja tentu akan putus tali sutera hitam itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, karena selain dia tidak mau menghina Milana, juga dia ingin memamerkan kepandaiannya. Memang hebat sekali pemuda ini. Gerakannya yang cepat itu hanya membuktikan bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang amat tinggi sehingga tubuhnya itu amat ringan dan amat cepat, dapat mengelak dari setiap sambaran sinar tali sutera!

Menyaksikan pertandingan yang amat hebat, luar biasa dan indah dipandang ini, otomatis perkelahian-perkelahian antara rombongan Pulau Neraka dan rombongan Thian-liong-pang terhenti. Mereka menonton karena maklum bahwa pertandingan antara kedua orang muda putera dan puteri ketua masing-masing rombongan itu merupakan pertandingan yang menentukan. Kalah menangnya pertandingan antara kedua orang muda yang lihai bukan main itu berarti kalah menangnya pula perang kecil antara kedua rombongan itu!

Gerakan tali sutera itu makin hebat dan bukan lagi lingkaran-lingkaran yang dibentuk oleh sinar hitam itu, melainkan bentuk-bentuk segi tiga, segi empat, bahkan ada kalanya sinar itu membentuk segi delapan. Ujung sabuk itu menyerang dari delapan penjuru, setiap gerakan merupakan totokan maut dan didasari tenaga sinkang yang sangat kuat. Bukan hanya amat indahnya sinar hitam itu membentuk segi tiga yang ajaib itu, juga gerakannya mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah-olah sinar hitam itu hidup!

Itulah permainan tali sutera atau sabuk yang gerakannya berdasarkan Ilmu Silat Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) warisan dari kitab-kitab pusaka peninggalan Pendekar Wanita sakti Mutiara Hitam! Nirahai telah menciptakan ilmu dengan tali sutera ini khusus untuk puterinya setelah dia memperoleh kenyataan bahwa puterinya berbakat baik sekali dalam menggunakan sabuk atau tali sutera halus dan lemas sebagai senjata yang ampuh.

Diam-diam Wan Keng In terkejut dan makin kagum. Dia maklum bahwa kalau dia menghadapi permainan tali sutera lawan yang amat lihai ini dengan tangan kosong saja, lama-lama dia terancam bahaya maut. Ternyata tingkat kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang ini benar-benar mengejutkan hatinya. Kalau dia berpedang, agaknya dia masih akan dapat keluar sebagai pemenang dengan membabat putus tali itu. Akan tetapi, kalau dia menggunakan pedang dan terpaksa merusak tali sutera itu, tentu dara yang menjatuhkan hatinya itu akan tersinggung dan marah. Sebaliknya kalau hendak menaklukkan dara ini dengan tangan kosong, benar-benar merupakan hal yang amat sulit, betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya.

Dia harus menggunakan akal dan hal ini merupakan kelebihan dalam kepala Wan Keng In dibandingkan dengan orang-orang muda lainnya. Pemuda ini cerdik bukan main, pandai menggunakan siasat-siasat yang tak terduga-duga dalam keadaan darurat seperti saat itu.

Ketika ujung sabuk atau tali hitam itu untuk kesekian kalinya menotok ke arah jalan darah Kin-ceng-hiat di pundak kiri, tempat yang tidak begitu berbahaya dan yang dapat ia tutup dengan hawa sinkang, dia sengaja berlaku lambat dan ujung tali sutera itu dengan tepat menotok pundaknya yang sudah ia tutup jalan darahnya dan terlindung oleh sinkang yang kuat.

"Prattt!"

Tepat pada saat ujung tali sutera itu menotok pundak, tangan kanan Wan Keng In menyambar dan ia berhasil menangkap ujung tali sutera hitam! Milana terkejut bukan main. Tadinya dia sudah merasa girang karena totokannya berhasil, namun alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa pemuda itu sama sekali tidak menjadi lumpuh, bahkan telah berhasil menangkap ujung tali suteranya! Namun, Milana tidak menjadi panik.

Dia kerahkan sinkang-nya, mainkan pergelangan tangannya dan dengan penyaluran tenaga sinkang dia menggerakkan tali suteranya dan... tubuh Wan Keng In terbawa oleh meluncurnya tali sutera itu ke udara! Milana terus menggerakkan tali suteranya, memutar tali itu ke atas, makin lama makin cepat sehingga tubuh Wan Keng In yang masih berada di ujung tali karena pemuda itu tidak mau melepaskan ujung tali sutera, terbawa pula terputar-putar!

Para anak buah rombongan kedua pihak yang menjadi penonton dengan hati diliputi penuh ketegangan itu menonton dengan mata terbelalak. Demikian tegang rasa hati mereka itu menahan napas ketika menyaksikan pertendingan mati-matian yang kelihatannya seperti main-main atau permainan akrobat yang dilakukan oleh dua orang muda-mudi yang elok dan tampan!

Wan Keng In sengaja membiarkan dirinya terbawa oleh tali yang diputar-putar itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan sinkang dan mengadu kekuatan dengan dara itu memperebutkan tali sutera. Namun hal ini tentu akan mengakibatkan tali itu putus, hal yang tidak dia kehendaki karena putusnya tali itu bukan berarti bahwa dia telah menang, akan tetapi yang jelas gadis itu tentu akan marah dan benci kepadanya. Tidak, dia tidak menggunakan akal itu, melainkan hendak menggunakan akal lain.

Kalau dia dapat merayap melalui tali, makin lama makin dekat, tentu akhirnya dia akan berhadapan dengan dara jelita itu dan kalau sudah begitu, mudahlah baginya untuk membuat dara itu tidak berdaya tanpa melukainya. Dengan hati-hati dan perlahan, mulailah Wan Keng In merayap melalui tali yang panjang itu, sedikit demi sedikit, bergantung dengan mengganti-ganti tangan sambil tubuhnya masih terputar-putar cepat sekali sehingga dalam pandangan orang lain, tubuhnya berubah menjadi banyak sekali!

Mungkin bagi penonton lain tidak ada yang tahu akan usaha Wan Keng In mendekati lawan dengan cara merayap perlahan-lahan melalui tali sutera yang panjang itu, akan tetapi Milana dapat melihat atau lebih tepat lagi dapat merasakan gerakan lawan yang berada di ujung tali sutera itu. Dara ini tidak bodoh, dan maklum bahwa kalau sampai pemuda itu dapat mendekatinya, belum tentu dia akan dapat menandingi pemuda yang memiliki kepandaian luar biasa itu.

Maka begitu melihat pemuda itu perlahan-lahan merayap mendekat, diam-diam Milana menggerakkan tangan kirinya dan hanya memutar tali itu dengan tangan kanan saja. Tangan kirinya menyusup ke dalam kantung jarumnya, kemudian tampak tiga kali dia menggerakkan tangan kirinya ke depan. Gerakan tangan yang tidak begitu tampak, karena sambitan jarum-jarumnya itu ia lakukan dengan pergelangan tangan dan jari-jari tangan. Namun, tiga kali tampak sinar halus menyambar ke arah tubuh Wan Keng In yang terbawa tali berputaran, sinar kemerahan halus dari jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi)!

"Celaka...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat menyambarnya sinar halus dan mencium bau harum. Tahulah dia bahwa dia yang sedang diputar-putar seperti kitiran itu kini diserang dengan senjata-senjata rahasia yang amat halus dan mengandung racun yang baunya harum pula!

Namun selain telah mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi dari ibunya, Wan Keng In juga sudah menerima gemblengan dari Cui-beng Koai-ong yang sakti, maka walau pun keadaannya itu amat berbahaya, namun dia masih bersikap tenang dan tiba-tiba tubuhnya yang berada di ujung tali sutera itu membuat gerakan berputar pula! Hebat bukan main pemandangan di waktu itu. Tubuh di ujung tali sutera itu berputaran, sedangkan tali itu sendiri berputar cepat. Dengan gerakan berputaran ini, Wan Keng In dapat menyelamatkan diri dan mengelak dari sambaran jarum-jarum Siang-tok-ciam. Namun dia juga telah menemukan akal baru yang luar biasa dan cerdik sekali.

Dengan pengukuran tenaga yang tepat, Wan Keng In dapat mengerahkan sinkang-nya dan memberatkan tubuhnya sehingga tiba-tiba tali sutera yang berputar itu tak dapat dikuasai lagi oleh kedua tangan Milana dan berputar melibat tubuh dara itu.

"Aihhhhh...!" Milana menjerit kaget, sadar setelah terlambat karena tali yang berputar cepat itu sekarang telah membuat beberapa putaran mengelilinginya dan karena tali menurun akibat beratnya tubuh Wan Keng In, maka tali itu membelit-belit tubuhnya, menelikung kedua lengannya sendiri!

Terdengar suara Wan Keng In tertawa-tawa sambil terus membuat gerakan mengayun sehingga tali itu biar pun tidak lagi dipegang oleh Milana, masih terus berputar melibat tubuh Milana yang berusaha meronta-ronta.

"Ha-ha-ha, Nona manis. Bukankah dengan begini berarti engkau telah tertawan olehku seperti tertawannya hatiku olehmu?"

"Krakkkkkkk!" Tiba-tiba terdengar bunyi keras. dan dari dalam lubang kuburan tampak bayangan berkelebat, didahului sinar kilat menyambar ke arah tali sutera.

"Bretttt!" Tali sutera itu putus dan tubuh Wan Keng In yang masih terayun di ujung tali, tentu saja terpelanting. Untunglah pemuda itu masih mampu berjungkir balik sehingga tidak terbanting ke atas tanah.

Milana mempergunakan kesempatan baik itu untuk melepaskan diri. Ketika dia melihat bahwa yang muncul adalah seorang wanita muda yang cantik, segera dia mengenal wanita itu sebagai gadis yang pernah mengacau Thian-liong-pang ketika di rumah penginapan. Dia menjadi terkejut dan khawatir sekali, maka menggunakan kesempatan selagi gadis itu berhadapan dengan Wan Keng In, dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat.

Anak buahnya pergi sambil membawa jenazah-jenazah para kawan yang menjadi korban. Rombongan Pulau Neraka tidak mencegah mereka melarikan diri karena merasa jeri terhadap Milana, apa lagi kini tuan muda mereka sedang menghadapi lawan baru berupa dara perkasa yang galak, murid dari datuk mereka yang selama sepekan ini berlatih di dalam tanah kuburan bersama datuk mereka, Bu-tek Siauw-jin! Mereka menjadi bingung dan tidak berani turut campur, memandang dengan hati penuh ketegangan.

"Keparat, siapa engkau...? Ehhh, kiranya kau, bocah setan dari Pulau Es? Ha-ha-ha, kukira siapa! Dan Li-mo-kiam masih berada di tanganmu? Bagus...! Kau harus berikan Li-mo-kiam kepadaku, agar dapat kuhadiahkan kepada calon isteri... haiiii! Ke mana dia...?" Wan Keng In menoleh dan ketika dia melihat Milana sudah tidak berada di situ lagi, dia menjadi bengong dan mencari ke sana-sini dengan pandang matanya.

"Siauw-tocu, mereka telah pergi...!" kata seorang di antara anak buahnya.

"Tolol! Goblok kalian semua! Mengapa kalian bolehkan pergi? Hayo kita..." belum habis ucapannya, Wan Keng In terkejut sekali dan terpaksa dia melempar tubuh terjengkang ke belakang untuk menghindarkan sinar kilat yang menyambar tubuhnya. Kiranya Kwi Hong telah menyerang dengan menusukkan Li-mo-kiam ke arah dadanya. Gerakan gadis ini cepat sekali sehingga hampir saja dia menjadi korban. Marahlah Wan Keng In.

"Kau berani melawan aku? Hemm, apa yang kau andalkan? Pedang itu? Baik, kita lihat siapa yang lebih unggul antara murid Pulau Neraka dan murid Pulau Es!"

Setelah berkata demikian, Wan Keng In menggerakkan tangan kanannya, meraba punggung di balik jubah. Ketika tangannya diangkat, tampak sinar kilat dan Lam-mo-kiam sudah berada di tangannya!

Kwi Hong amat membenci pemuda ini. Kemarahannya memuncak ketika dia melihat Lam-mo-kiam di tangan pemuda itu. Dia tahu bahwa itu adalah pedang Gak Bun Beng yang dirampas oleh Keng In. Semenjak dia masih belum dewasa, bocah Pulau Neraka ini sudah menjadi musuhnya.

"Keparat jahanam! Manusia tidak kenal malu! Pedang curian kau pamerkan di sini. Bukan aku yang harus menyerahkan Li-mo-kiam kepadamu, melainkan engkau yang harus memberikan Lam-mo-kiam itu kepadaku sebelum lehermu putus!"

"Singgggg...!" sinar kilat di tangan Kwi Hong menyambar ke depan, disambut sinar kilat yang sama di tangan Wan Keng In.

"Wuuuuiiiitttt!"

Dua orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka tertolak ke belakang sebelum bertemu! Seolah-olah dari sepasang pedang itu timbul hawa yang ajaib yang membuat kedua pedang tidak dapat saling sentuh, melainkan terdorong membalik oleh tenaga mukjizat tadi!

Namun Kwi Hong tidak mempedulikan hal ini dan cepat dia menyerang lagi. Terjadilah perang tanding yang amat hebat, lebih menegangkan dari pada pertandingan antara Wan Keng In dan Milana tadi, karena kini kedua orang muda itu mempergunakan sepasang pedang yang membuat para penonton merasa tubuhnya panas dingin. Baru sinar dan hawa pedang itu telah membuat mereka yang berada di situ meremang semua bulu di badan dan mengkirik. Hal ini tidaklah mengherankan karena kini yang mengeluarkan sinar adalah Sepasang Pedang Iblis yang memiliki hawa mukjizat seolah-olah dikendalikan oleh roh-roh dan iblis-iblis yang haus darah!

Memang hebat sekali pertandingan antara kedua orang muda itu. Hebat, menyilaukan mata dan amat aneh sehingga menyeramkan para penonton. Betapa tidak aneh kalau kedua orang itu bergerak cepat sehingga bayangan mereka tertutup gulungan dua sinar pedang yang seperti kilat berkelebatan, akan tetapi sama sekali tidak pernah terdengar suara beradunya senjata? Seolah-olah tidak pernah ada yang menangkis, padahal kedua orang itu mainkan pedang secara dahsyat dan ada kalanya untuk menyelamatkan diri, jalan satu-satunya hanya menangkis. Akan tetapi, begitu seorang di antara mereka menggerakkan pedang menangkis, serangan lawan terhalau oleh tangkisan tanpa kedua pedang itu saling bersentuhan karena keduanya tentu terpental oleh tenaga mukjizat. Seolah-olah Sepasang Pedang Iblis itu keduanya saling tidak mau bersentuhan.

Sebetulnya, kalau ditilik dasarnya, ilmu silat kedua orang muda ini masih satu sumber. Wan Keng In adalah putera dari Lulu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu dari ibunya ini. Lulu adalah adik angkat Pendekar Super Sakti dan biar pun kemudian Lulu menjadi murid Nenek Maya, namun sumber dari ilmu silatnya masih tetap sama, yaitu yang berasal dari Pulau Es, berasal dari Bu Kek Siansu. Tentu saja karena tingkat kepandaian Pendekar Super Sakti jauh lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Lulu, apa yang diajarkan kepada Kwi Hong sebenarnya bermutu lebih tinggi pula dari pada pelajaran yang diterima Wan Keng In dari ibunya.

Akan tetapi, setelah Keng In digembleng oleh kakek sakti yang tidak seperti manusia, Cui-beng Koai-ong, kepandaian pemuda itu meningkat secara tidak lumrah sehingga tingkatnya kini bahkan sudah melampaui tingkat kepandaian ibunya sendiri!

Keng In merasa penasaran sekali. Kalau saja tidak mengingat bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dia sudah mengeluarkan ilmu-ilmu-nya yang mukjizat, yang ia dapatkan dari gurunya. Akan tetapi dia tak mau membunuh Kwi Hong. Dia ingin menawannya untuk menunjukkan kepada Majikan Pulau Es yang dibencinya, orang yang telah membikin sengsara hati ibu kandungnya, bahwa dia tidak takut menghadapi Pulau Es, dan dia bahkan ingin mempergunakan nona ini untuk memancing datangnya Pendekar Siluman untuk bertanding!

Tiba-tiba Wan Keng In mengeluarkan suara gerengan yang tidak lumrah manusia. Gerengan yang keluar dari pusarnya, melalui kerongkongan dan mengeluarkan getaran yang seolah-olah membuat bumi tergetar! Kwi Hong sendiri menjadi pucat wajahnya dan biar pun dia telah mengerahkan sinkang, tetap saja jantungnya tergetar dan gerakannya tidak tetap. Pada saat itu, ilmu pedang yang dimainkan oleh Keng In telah berubah aneh dan ganas bukan main.

Kwi Hong merasa gentar, jantungnya berdebar dan melihat pemuda itu menggerakkan pedangnya, ia menjadi pening, seolah-olah ia melihat lawannya menjadi tinggi besar dan menakutkan, gerakannya menjadi luar biasa cepat dan kuatnya! Kalau saja dia tidak sedikit-sedikit memetik gerakan kilat gurunya, tentu saja sudah kena dicengkeram oleh tangan kiri Keng In yang menyelingi gerakan pedangnya!

"Hyaaahhh!" tiba-tiba Keng In membentak, tubuhnya secara mendadak bergulingan dan pedangnya membabat secara bertubi-tubi ke arah kedua kaki Kwi Hong. Dara ini cepat meloncat-loncat dan menjauhkan diri, akan tetapi tiba-tiba lawannya bangkit dan memukul dengan tangan kiri terbuka. Serangkum dorongan telapak tangan ini menyambar ke arah dada Kwi Hong.

"Aihhhhh!" Dara ini cepat melakukan gerak mendorong yang sama, dengan tangan kirinya, didorongkan ke arah tangan lawan sambil mengerahkan tenaga Inti Es yang dilatihnya di Pulau Es.

"Wesss...!"

Dua tenaga raksasa bertemu di udara, di antara kedua telapak tangan yang terpisah berjarak dua kaki saja. Tenaga panas bertemu dengan dingin dan akibatnya Kwi Hong terjengkang ke belakang oleh karena pada saat tenaga itu bertemu, kembali Keng In mengeluarkan gerengan yang menggetarkan jantung itu. Sebelum Kwi Hong sempat meloncat, Keng In sudah menotok punggungnya dan begitu lengan Kwi Hong lemas, cepat pedang Li-mo-kiam telah dirampasnya!

Walau pun tubuhnya sudah menjadi lemah dan lumpuh, Kwi Hong masih mampu menggunakan mulutnya untuk memaki-maki, "Pengecut! Curang engkau! Tidak tahu malu! Pencuri busuk, hayo kembalikan pedangku dan kita bertanding secara bersih! Kau menggunakan ilmu siluman, keparat busuk!"

"Ikat dia dan bungkam mulutnya!" Keng In berkata sambil membelakangi Kwi Hong, menyimpan Li-mo-kiam yang disatukan dengan Lam-mo-kiam, disembunyikan di balik jubahnya. Dia berdiri dengan sikap sombong, menengok ke kanan kiri, tersenyum mengejek sambil berkata, mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya terdengar sampai jauh.

"Haiiiiii! Pendekar Siluman Si Kaki Buntung! Lihat, muridmu telah kutawan! Kalau kau memang seorang gagah, datanglah dan bebaskan muridmu!"

Wajah para anak buah Pulau Neraka menjadi pucat mendengar tantangan yang keluar dari mulut Majikan Muda itu! Betapa pun lihainya Tuan Muda mereka itu, namun tidak selayaknya menantang Pendekar Siluman seperti itu! Baru mendengar nama Pendekar Siluman saja, wajah mereka sudah menjadi pucat, apa lagi ditantang oleh majikan mereka!

"Kau berani membuka mulut besar karena kau tahu bahwa Pamanku tidak berada di sini! Kalau Pamanku berada di sini, tentu engkau tak berani bernapas! Jangankan dengan Paman, dengan aku pun kalau engkau tidak berlaku curang, menggunakan ilmu siluman, engkau takkan mampu menang. Pengecut busuk, manusia keparat tak tahu malu!"

"Cepat bungkam mulutnya!" Keng In membentak tanpa menoleh.

Seorang wanita anggota Pulau Neraka yang bermuka biru muda cepat menggunakan sehelai sapu tangan untuk menutup mulut Kwi Hong, diikatkan ke belakang leher, kemudian dia melanjutkan pekerjaan mengikat tangan Kwi Hong yang dibelenggu dan ditelikung ke belakang punggungnya. Dara itu dalam keadaan setengah lumpuh, tak dapat meronta, hanya membelalakkan mata memandang ke arah punggung Keng In dengan penuh kebencian dan kemarahan.

"Cepat persiapkan orang-orang mengejar rombongan Thian-liong-pang! Puteri Ketua Thian-liong-pang itu harus dapat kutaklukkan!" berkata Wan Keng In kepada orang-orangnya.

"Bagaimana dengan nona ini, Siauw-tocu...?" Wanita itu bertanya, matanya penuh ketakutan memandang ke arah lubang kuburan ke arah peti yang masih tertutup tanah, peti tempat datuk Pulau Neraka berlatih!

"Bawa dia sebagai tawanan, kalau dia banyak rewel, seret dia! Jangan perbolehkan gadis galak ini banyak tingkah!"

"Siauw-tocu... akan tetapi... dia... dia..."

"Banyak rewel kau!" Wan Keng In membentak, akan tetapi matanya terbelalak kaget melihat wanita yang tadi bicara dan membelenggu serta membungkam mulut Kwi Hong telah roboh terlentang dengan mata mendelik dan nyawa putus! Dan dia melihat Kwi Hong duduk bersila dengan mata dipejamkan dan alis berkerut, seperti orang yang sedang memperhatikan sesuatu.

Memang pada saat itu Kwi Hong sedang mendengarkan suara yang berbisik-bisik di dekat telinganya, suara gurunya, Bu-tek Siauw-jin seolah-olah bicara di dekatnya akan tetapi yang sama sekali tidak berada di situ. Ketika tadi dia melihat wanita Pulau Neraka itu tiba-tiba roboh terjengkang dan mendengar suara itu, tahulah ia bahwa gurunya telah turun tangan!

"Bocah tolol, mana patut menjadi muridku kalau tertotok dan terbelenggu seperti itu saja tidak mampu melepaskan diri? Apa kau sudah lupa akan latihan membangkitkan kekuatan secara otomatis dengan mengandalkan tenaga Inti Bumi yang baru saja kau dapatkan dan yang menjadi dasar dari semua tenaga yang ada?"

Kwi Hong memejamkan mata dan mengerahkan semua perhatian akan petunjuk gurunya yang diberikan lewat bisikan-bisikan itu. Dia mentaati petunjuk itu dan... tiba-tiba darahnya mengalir kembali dan totokan itu tertembus oleh hawa Inti Bumi dari dalam! Setelah totokan terbebas, sekali mengerahkan tenaga belenggunya yang hanya terbuat dari tali itu putus semua dan sekali renggut dia telah melepaskan sapu tangan yang menutupi mulutnya, kemudian meloncat berdiri!

Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak. Totokannya adalah totokan yang tidak lumrah, bukan totokan biasa melainkan totokan yang ia latih dari gurunya. Menurut gurunya, tidak ada orang di dunia ini yang akan dapat memulihkan orang yang terkena totokannya karena totokan itu mengandung rahasia tersendiri. Bahkan menurut gurunya, Pendekar Siluman sendiri pun belum tentu mampu membebaskan orang yang tertotok olehnya.

Bagaimana sekarang gadis itu, tanpa bantuan, sanggup membebaskan? Kalau hanya memutuskan belenggu itu, dia tidak merasa heran, akan tetapi dapat membebaskan diri dari totokannya, benar-benar membuat dia menjadi ngeri! Tentu ada yang memberi petunjuk! Otomatis dia menoleh ke kanan kiri dan hatinya menjadi kecut. Jangan-jangan Pendekar Siluman yang ditantangnya telah berada di sekitar situ dan memberi petunjuk kepada gadis itu lewat bisikan yang dikirim melalui tenaga khikang!

"Pendekar Siluman! Kalau kau sudah datang, mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Dia menantang sambil meraba gagang pedang di balik jubah.

"Tutup mulutmu yang sombong! Aku masih sanggup melawanmu!" bentak Kwi Hong dan tiba-tiba dia menubruk maju, memukul dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada dan pusar. Pukulan yang hebat karena kalau tangan kirinya dia menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin, tangan kanannya yang menghantam ke pusar dia isi dengan saluran tenaga Hwi-yang Sin-ciang yang panas.

Melihat ini Keng In meloncat ke belakang, akan tetapi tiba-tiba Kwi Hong yang kedua pukulannya luput itu telah jatuh ke atas tanah dengan terbalik, kemudian tanpa disangka-sangka kedua kakinya menendang ke belakang dan tepat mengenai paha dan perut Keng In. Tenaga tendangan model sepak kuda ini bukan main kuatnya sehingga biar pun Keng In sudah mengerahkan sinkang, tetap saja terlempar sampai lima meter jauhnya!

"Berhasil...!" Kwi Hong bersorak sambil meloncat bangun.

Akan tetapi ia segera kecewa karena mendengar bisikan gurunya mengomel. "Apa artinya kalau hanya mampu membuat dia terlempar? Hayo lawan terus, pergunakan Tenaga Inti Bumi!"

Kwi Hong melihat bahwa Keng In sudah meloncat turun dan biar pun sepasang mata pemuda itu terbelalak penuh keheranan terhadap ilmu tendangan yang aneh dan tidak patut itu, dia tidak terluka dan mukanya yang tampan membayangkan kemarahan.

"Engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke depan dan tampak sinar kilat berkelebat ketika tangannya mencabut keluar Li-mo-kiam. Sekali ini dia benar-benar mengambil keputusan untuk membunuh gadis itu dengan pedang gadis itu sendiri yang tadi dirampasnya.

"Aahhh...!" Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat ke atas kepala itu tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia memandang ke depan dengan muka pucat.

Di depannya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu dengan lengan kiri dilonjorkan, tangan terlentang terbuka seperti orang minta-minta. "Kembalikan pedang muridku itu!"

Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid susiok-nya? Teringat ia akan anggota Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin inilah yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat gadis itu tadi mampu membebaskan diri dari pada totokannya!

Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi menghadapi paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat dia masih belum menyerahkan pedang yang diminta itu.

"Akan tetapi... Susiok..."

"Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?"

Cepat dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyambut pedang itu dengan hati girang sekali.

"Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok..."

"Hemmm, sekarang sudah tahu!"

"Tapi... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!"

"Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, setidaknya Pendekar Siluman adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!"

Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah, akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang Majikan atau Ketua Boneka dari Pulau Neraka! Sama saja dengan mengatakan bahwa paman gurunya itu masih lebih baik dari pada gurunya dalam hal menerima murid dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik dari pada putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!

"Susiok...!"

"Kau mau apa?"

"Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini."

"Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!"

"Teecu tidak bermaksud mengadu... hanya... teecu rasa Susiok telah salah menerima murid..."

"Desssss!" Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tidak tampak kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemuda itu terlempar! Keng In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam dia terkejut akan tetapi juga lega bahwa susiok-nya yang aneh itu tidak melukainya.

"Kau berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?" Bu-tek Siauw-jin membentak.

"Maaf, teecu mohon diri...!"

"Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!"

Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga mengagumkan hati Kwi Hong. Lebih terkejut lagi gadis ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas dari jauh, suara pemuda itu.

"Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan dapat menandingiku!"

Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pulau Neraka yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua. "Lekas kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung gagak!"

Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suaranya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka berkelakar. "Mari kita pergi!"

Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari tanah kuburan, menuruni bukit kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat menahan penasaran hatinya dan berkata, "Suhu, bagaimana engkau bersikap begitu kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan dimakan gagak?"

Mulut kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara ketawanya, seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!

"Heh-heh-heh! Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak kasihan kepada burung-burung gagak yang kelaparan!"

Kwi Hong terbelalak. "Suhu! Biar pun sudah menjadi mayat yang tak bernyawa, akan tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap kejam, sejak kecil diajar supaya berperi kemanusiaan oleh paman atau guru teecu!"

Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang muridnya dengan mata lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manusia diajar segala macam kebaikan! Manusia mana yang sejak kecilnya tidak diajar dan dijejali segala macam pelajaran tentang kebaikan oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya. Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlomba untuk menjejalkan pelajaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek. Akan tetapi, adakah seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran agama masing-masing, berlomba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama manusia, namun di dalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling benci, bahkan yang pertama-tama adalah membenci saingan masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu, bukanlah kebaikan sejati namanya, melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini manusia ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?"

"Engkau sendiri dalam pertandingan dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali tak merasa akan kekejaman perbuatanmu, tetapi baru melihat aku meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut gagak yang kelaparan, kau katakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya, termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pikiran kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi perut yang tidak menggairahkan!"

Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia lumrah, bukan orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja, kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah berjalan kembali dengan langkah pendek.

"Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul menggunakan Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil mewarisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!"

Kwi Hong cemberut, dalam hatinya dia tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka muda itu dia mengingat-ingat. "Warna mukanya biasa saja. Mengapa, Suhu?"

"Justru yang biasa itulah yang luar biasa!" Gurunya menjawab dan berjalan terus.

Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. "Eh, apa maksudmu, Suhu?"

"Begitu bodohkah engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mukanya berwarna putih seperti kapur! Itulah tanda orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan sinkang yang mengandung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun mukanya masih berwarna kuning, berarti bahwa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya aku dan Suheng Cui-beng Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna kulit mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari pengaruh hawa beracun, berarti tingkatnya sudah lebih tinggi dari tingkat ibunya sendiri!"

"Wah, hebat sekali kalau begitu!" Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar pemuda itu tingkatnya sudah melampaui tingkat kepandaian Majikan Pulau Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat! "Teecu menerima gemblengan Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna pula!"

"Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Neraka, tentu saja engkau akan mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah sesuai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Neraka. Pula, engkau telah memiliki dasar sinkang dari Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan setidaknya kalau engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan warna putih atau kuning. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan perhatian, berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan tingkat bocah tadi, aku hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Ini pun hanya akan dapat kau andalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan mati-matian."

Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, "Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?"

Kakek itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata terbelalak kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, habis kau kira siapa?"

"Teecu tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan langsung dengan pemuda Pulau Neraka itu, sungguh pun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengannya, teecu tidak bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa kalau teecu mati-matian mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan untuk semata-mata kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu."

"Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau keluar dan menyerangnya?"

"Karena teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu."

"Hemm, bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?"

Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika membuka peti matinya dan melihat Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari pamannya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi, begitu mendengar bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu, bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengintai di rumah penginapan rombongan Thian-liong-pang, yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat ia menjawabnya sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.

"Teecu... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya."

"Ha-ha-ha, cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kau terima sejak kecil dari Pamanmu?"

Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan membalas. "Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui-beng Koai-ong?"

Kakek itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting kakinya seperti sikap seorang anak-anak yang jengkel hatinya. "Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar sumpah, mengambil murid! Maka aku pun memilih engkau sebagai murid untuk kelak kupergunakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakanlah bahwa engkau tidak mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!"

Kwi Hong tersenyum. Suhu-nya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa, agak sinting, sakti seperti bukan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan hatinya! Biar pun ugal-ugalan, akan tetapi entah bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali.

"Suhu, sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai seorang guru yang mencinta muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin membantu muridnya seperti teecu, bukan?"

"Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak engkau pun akan suka membantuku?"

Kwi Hong tersenyum lebar. Biar pun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Ia teringat akan urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya meninggalkan pamannya. Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya. Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, sepasang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!

"Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid Pendekar Super Sakti. Berarti, biar pun teecu berhutang kepada Suhu, akan tetapi teecu juga sudah berhutang budi kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pendapat ini?"

Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat! "Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam hutang-piutang budi, baik yang berhutang mau pun sebagai yang menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya tidak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan kau lakukan dan apa yang dapat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!"

Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang sinting dan kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-kanak ketika mengadu jangkrik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segara berkata,

"Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau mengajar teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berlatih dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar dikalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti dari pada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu sekali pun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan mereka...?"

"Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah? Jangan main-main kau! Siapa musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang pengawal Tong Sam Cong saja, masa aku tidak mampu kalahkan?"

Yang dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pendeta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawat ke Negara Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja Monyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.

"Biar pun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sungguh tidak berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekali pun teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!" Kwi Hong sengaja tidak menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu berat.

Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong. "Kau... bocah begini muda... telah menanam bibit permusuhan dengan orang-orang macam mereka itu?"

"Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jeri dan tidak berani membantu teecu menghadapi mereka teecu pun tidak dapat menyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han saja kiranya yang akan dapat mengalahkan mereka."

Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan kedua tangannya!

"Siapa bilang aku jeri? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi mereka, mengapa aku tidak? Hai, bocah tolol, kau terlalu memandang rendah Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii! Mengapa kau bermusuh dengan mereka?"

"Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pedang pusaka yang teecu amat sayang."

"Hemm, aku akan hajar dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu, jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!"

"Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih."

"Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek perut sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang bersih?"

"Ada pun Bhong Ji Kun Si Koksu tengik itu, bersama dua orang pembantunya Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat menghajar mereka."

"Uuuut! Bocah bodoh. Setelah kau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil baik, apa sih artinya beberapa ekor keledai-keledai tua itu? Tidak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup untuk mengalahkan mereka."

"Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak bersama Suhu. Karena itu, marilah kita pergi ke kota raja mencari mereka, Suhu."

"Tapi kau harus berlatih..."

"Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih."

"Tapi aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir."

"Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak ada orangnya."

"Memang tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang."

"Habis, mencari apa?"

"Mencari kelabang!"

"Ihhhh...!"

"Kenapa ihh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya seibu jari kaki!"

"Ihhhh...!" Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.

"Eh, masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya di dunia ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!"

Kwi Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati gurunya yang kadang-kadang aneh dan pemarah itu, maka dia berkata mengangguk-angguk, "Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?"

"Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang akan bertelur. Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di dalam perutnya itu mengandung racun yang paling ampuh karena terendam di dalam sumber racun kelabang itu."

"Hemm, menarik sekali," kata Kwi Hong memaksa diri. "Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?"

"Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, lalu kumasak dengan arak merah..."

"Wah, perut penuh telur beracun ganas itu dimasak dengan arak?" Kwi Hong menelan ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. "Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu? Bukankah kabarnya kelabang jantan lebih hebat racunnya?"

"Memang demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur, semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kelabang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik sekali. Di musim kawin, si betina pada saat bersetubuh menggigit leher si jantan dan menghisap darah si jantan berikut racunnya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, barulah perutnya menggendut terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpulnya semua racun!"

Cuping hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.

"Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?"

Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan. "Bukan...!"

Kwi Hong memandang terbelalak. "Habis, untuk apa...?" Hatinya sudah tidak enak.

"Untuk kau makan!"

"Uuuukhhh!" Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya terbelalak memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.

"Bocah tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang masuk melalui darah atau melalui perutmu! Dan racun itu cocok sekali untuk membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kau latih!"

Kwi Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya sendiri menjadi mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya amat menyenangkan kakek itu sehingga di sepanjang jalan Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-binatang menjijikkan, hanya untuk membuat muridnya mual, jijik dan ingin muntah! Orang yang aneh luar biasa pula.....


********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar