"Wah-wah, keringat kalian bau sekali! Aku tidak tahan lagi...!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berkata dan dia pun meloncat meninggalkan
Maharya dan Thian Tok Lama yang sudah mulai mengeroyoknya.
Dia pun melemparkan benda hitam yang mengeluarkan asap hitam tebal dan
sebentar saja menghilang. Di sepanjang jalan ke arah perginya tiga orang
manusia aneh dari Pulau Neraka itu, para prajurit yang mencoba
menghalang roboh terpelanting ke kanan kiri dalam keadaan tidak bernyawa
lagi!
Nirahai tertegun, dan diam-diam dia harus mengakui bahwa tokoh-tokoh
Pulau Neraka merupakan lawan berat. Dia kini baru sadar bahwa anak
buahnya masih bertanding melawan para prajurit pemerintah, bahkan kini
Thian Tok Lama, Maharya dan Bhong Ji Kun sudah mengurungnya dengan sikap
mengancam.
"Bhong-koksu, hentikan pertempuran ini!" katanya kepada Bhong Ji Kun.
"Hemm, Thian-liong-pang sudah berani memberontak, akan kami hancurkan!"
jawab Bhong Ji Kun sambil menyerang, diikuti oleh Maharya dan Thian Tok
La-ma.
"Bhong Ji Kun, aku mau bicara, mari ikut ke atas!" Tubuh Nirahai
melayang ke atas gubuknya. Bhong Ji Kun merasa heran dan meloncat pula
mengejar.
"Kalian jangan ikut!" Nirahai membentak ke bawah ketika melihat Maharya
dan Thian Tok Lama hendak meloncat naik pula. "Apakah kalian tidak
percaya kepadaku?!"
Bhong Ji Kun berkata ke bawah, "Jangan naik, biarkan aku bicara dengan
Thian-liong-pangcu!" Ia lalu mengikuti masuk ke dalam gubuk itu.
Nirahai menghadapi Bhong-koksu, sambil menarik kerudungnya terbuka. "Bhong-koksu lihat siapa aku!"
Bukan main kagetnya Bhong Ji Kun ketika ia melihat wajah yang cantik
jelita dan agung berwibawa itu. Cepat ia menjura sambil berkata,
"Kiranya Paduka Puteri Nirahai yang menjadi Ketua Thian-liong-pang."
Nirahai memasangkan kerudungnya kembali. "Jangan beritahukan kepada
orang lain. Tahukah engkau bahwa aku tidak ingin memusuhi pasukan ayahku
sendiri? Aku sedang hendak menguasai dunia kang-ouw agar tidak terjadi
lagi pemberontakan! Kau sudah menyaksikan sendiri kelihaian orang-orang
Pulau Neraka, dan tanpa kerja sama mana mungkin kau akan menumpas atau
menguasai mereka? Lekas perintahkan pasukanmu mundur!"
Maharya dan Thian Tok Lama yang menanti di bawah, sudah siap untuk
meloncat naik dan membantu kalau koksu terancam bahaya. Akan tetapi,
alangkah heran hati mereka ketika melihat koksu muncul lagi, lalu
berseru dari atas,
"Semua pasukan! Hentikan pertempuran dan mundur!"
Juga Nirahai muncul dan melengking nyaring. "Wi Siang, hentikan pertempuran!"
Teriakan-teriakan ini amat nyaring sehingga terdengar oleh semua orang
yang sedang bertanding, dan seketika kedua belah pihak masing-masing
mundur dan menghentikan pertandingan. Milana yang tahu bahwa ibunya
tentu tidak menghendaki pertempuran melawan pasukan Kaisar, kakeknya
sendiri, segera memimpin orang-orangnya mundur dan mengelilingi gubuk.
Ada pun Bhong Ji Kun lalu melompat turun memerintahkan sisa panglima
untuk menarik semua pasukan dan dia sendiri memandang ke atas, kepada
wanita berkerudung, menjura dan berkata,
"Thian-liong-pangcu! Thian-liong-pang bukan musuh kami, bukan pula pemberontak, maka kami mohon diri!"
Nirahai mengangkat tangan melambai dan pergilah pasukan itu membawa yang
terluka dan meninggalkan yang tewas. Nirahai lalu mengajak anak buahnya
pergi pula dari tempat itu.
"Kiang-lopek, ke sinilah, kuobati lukamu!" kata Nirahai setelah melompat
turun dan melihat betapa lengan kiri Kiang Bok Sam, seorang tokoh
Thian-liong-pang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa telah
buntung. Raksasa ini dalam pertempuran tadi, menghadapi pula Wan Keng In
dan lengan kirinya kena disambar Lam-mo-kiam sehingga buntung. Namun
dia masih terus mengamuk melawan pasukan pemerintah!
"Hemm, engkau seorang yang gagah dan setia, Kiang-lopek." Nirahai memuji
sambil menaruh bubuk obat dan membalut lengan yang buntung itu. "Jangan
khawatir, buntungnya lengan kirimu tidak akan mengurangi kegagahanmu.
Aku sendiri akan menurunkan ilmu kepadamu."
Maka pergilah rombongan Thian-liong-pang itu, dan setelah tiba di pusat
mereka, benar saja Nirahai mengajarkan ilmu silat tinggi yang membuat
Kiang Bok Sam menjadi seorang yang lebih lihai dari pada sebelum
lengannya buntung, bahkan ilmu tongkat dengan satu tangan yang diajarkan
Nirahai membuat dia lebih lihai dari pada Sai-cu Lo-mo sendiri! Mungkin
hanya tinggal Tang Wi Siang saja yang masih dapat menandinginya, dan
tentu saja dia masih kalah tingkat kalau dibandingkan dengan Milana.
Padang tandus yang gersang itu kini berubah sunyi mengerikan. Di
sekeliling pondok yang tinggi itu berserakan mayat-mayat manusia, dan
tanah yang kering itu kini basah, bukan oleh air, melainkan oleh darah
manusia!
Menjelang senja, tampak seorang penunggang kuda menjalankan kudanya
perlahan memasuki padang tandus itu. Orang ini adalah Gak Bun Beng. Dia
terpaksa berdiam di dalam hutan dan bersemedhi, mengobati luka di dalam
dadanya akibat pukulan maut terakhir dari Thai Li Lama. Setelah merasa
bahwa bahaya telah lewat dan dadanya tidak begitu sesak lagi, Bun Beng
bangkit.
Hari telah menjadi sore ketika mendadak dia melihat beberapa ekor kuda
tanpa penunggang berlari ke dalam hutan seperti ketakutan. Cepat ia
menyambar kendali seekor yang terseret, dan dengan ringan dia meloncat
ke atas punggung kuda itu. Kuda itu meringkik dan berjingkrak ketakutan,
akan tetapi setelah mendapat kenyataan bahwa yang menungganginya tidak
mengganggunya, dia menjadi jinak, keempat kakinya menggigil dan tubuhnya
lemas.
"Hemm, agaknya terjadi sesuatu yang hebat di tempat pertemuan di bawah
sana. Kuda yang patut dikasihani, engkau tentu telah menyaksikan hal-hal
yang menakutkan. Tenanglah, dan bawa aku turun ke sana." Dia lalu
menunggang kuda itu menuruni lereng gunung, perlahan-lahan karena
kudanya sudah lelah sekali. Beberapa ekor kuda itu adalah kuda
tunggangan para panglima yang roboh tewas dan binatang-binatang itu
melarikan diri, naik ke gunung dengan ketakutan.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati Bun Beng ketika kudanya
membawanya ke tempat bekas terjadinya pertandingan itu. Di sana-sini
berserakan mayat-mayat manusia yang berpakaian seperti orang-orang
kang-ouw. Itulah mayat-mayat para mata-mata, yaitu para panglima yang
berpakaian sebagai orang kang-ouw, ada yang putus kepalanya, ada yang
mati dalam keadaan tidak terluka sama sekali.
Dan banyak lagi orang-orang berpakaian biasa yang tewas dekat tiang
gubuk, akan tetapi lebih banyak lagi mayat-mayat berpakaian tentara.
Tempat itu menjadi tempat pesta burung-burung gagak yang memekik dan
terbang pergi ketika Bun Beng lewat di atas kudanya, akan tetapi mereka
turun kembali setelah Bun Beng lewat, melanjutkan pesta mereka mematuki
daging segar dari luka-luka di tubuh mayat-mayat itu yang masih ada
darah segarnya!
Bung Beng menghentikan kudanya, memandang ke sekeliling dan menarik
napas panjang. Betapa mengerikan akibat perbuatan manusia, pikirnya.
Setelah memandang mayat-mayat itu, dia terharu, dan lenyaplah semua rasa
benci. Mayat-mayat itu sekarang sama saja, tidak terpisah-pisah oleh
golongan-golongan lagi, kesemuanya mendatangkan rasa iba dan haru di
hatinya. Mayat-mayat manusia yang mati secara sia-sia, setelah menjadi
mayat pun masih tersia-sia. Haruskah manusia saling bunuh seperti ini?
Kembali dia menarik napas panjang, lalu turun dari atas punggung kuda.
Ia memungut sebatang golok besar, kemudian digalinya lubang-lubang di
tempat itu dan dikuburnya mayat-mayat itu. Lima buah mayat selubang,
tanpa membedakan pakaian mereka. Ketika ia melihat setumpuk mayat yang
telah menjadi arang, sebuah mayat yang agaknya terbakar, tanpa
mengetahui bahwa itu adalah mayat Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek, kakek
jenaka dari Pulau Neraka yang pernah mengajarnya mengendalikan
layang-layang raksasa sehingga tanpa disengaja menurunkan ilmu
memindahkan tenaga kepadanya, Bun Beng menggeleng-geleng kepala dan tak
dapat mengerti mengapa ada yang mati terbakar! Dia lalu mengubur pula
arang bekas mayat itu.
Sampai jauh malam barulah selesai dia menguburkan semua mayat itu,
kemudian menunggangi pula kudanya dan meninggalkan tempat mengerikan itu
dengan hati berat dan perasaan muak terhadap ulah para manusia yang
haus darah. Dia mengerti bahwa mereka yang menjadi korban itu hanyalah
manusia-manusia yang diperalat, yang bertempur karena perintah tanpa ada
permusuhan pribadi, tanpa alasan, hanya menurutkan perintah semata. Dan
yang memerintahkan tentulah orang-orang yang dibencinya itu, Koksu dan
kaki tangannya dan... agaknya Ketua Thian-liong-pang juga! Diam-diam dia
merasa penasaran dan kecewa sekali, apa lagi kalau dia teringat kepada
Milana. Mengapa gadis seperti itu, puteri Pendekar Super Sakti, terlahir
di tengah-tengah lingkungan yang penuh kekejaman itu? Dia menghela
napas dan menepuk-nepuk punggung kudanya.
"Kuda, engkau hanya binatang, akan tetapi pernahkah terjadi di dunia ini
binatang berperang saling bunuh-membunuh seperti yang dilakukan
manusia, makhluk yang merasa diri paling suci itu?"
Kuda itu tentu saja tidak bisa menjawab, akan tetapi tepukan-tepukan
penuh perasaan pada punggungnya membuat dia menggerak-gerakkan ekornya
sambil berjalan perlahan meninggalkan tempat itu.....
********************
Kwi Hong dan Phoa Ciok Lin yang hidup bersama sisa anak buah Pulau Es di
tepi pantai utara menanti kedatangan Pendekar Super Sakti sampai
beberapa lamanya, namun yang dinanti-nanti tak kunjung datang. Mereka
menjadi prihatin sekali dan untung bagi mereka bahwa pantai yang
bertebing tinggi dan di bawahnya terdapat goa itu merupakan tempat
persembunyian yang baik.
Pula di atas tebing terdapat hutan-hutan yang menjamin mereka dengan
sayur-sayuran dan buah-buahan, juga mereka dapat pergi ke dusun-dusun
jauh ke daratan untuk mendapatkan segala keperluan hidup mereka
sehari-hari. Untuk keperluan daging mereka tidak kekurangan karena
selain mereka bisa mencari ikan laut, juga di hutan terdapat
binatang-binatang hutan yang dapat mereka buru. Phoa Ciok Lin hanya
menyuruh mereka yang dapat dipercaya untuk naik ke daratan mencari
kebutuhan mereka dengan pesan keras agar jangan sampai ada orang tahu
tentang keadaan mereka dan jangan sekali-kali menimbulkan keributan.
Yang paling menderita batinnya adalah Kwi Hong. Dara ini sudah tidak
betah lagi tinggal di tempat itu, dan ingin sekali dia pergi merantau,
akan tetapi selalu Phoa Ciok Lin mencegahnya dan mengatakan bahwa
pamannya tentu akan marah kalau dalam keadaan seperti itu pamannya
datang sedangkan Kwi Hong tidak berada di situ.
Untuk melewatkan waktu dan menghibur diri, Kwi Hong menyibukkan diri
dengan mencari ikan atau berburu binatang di dalam hutan-hutan. Pada
suatu hari, ketika dia mencari ikan ke pantai yang agak jauh dari tempat
sembunyi mereka, di pantai dangkal, tiba-tiba ia melihat sebuah benda
terapung di laut, terbawa ombak dan minggir. Setelah dekat, tampak
olehnya bahwa benda itu adalah sebuah peti persegi panjang, diikat
dengan tali. Sebagian tali terlepas dan terseret peti yang terbawa
ombak.
Kwi Hong cepat lari menghampiri ketika peti terbawa sampai ke tepi dan
diam-diam merasa heran mengapa peti yang kelihatan berat itu sampai
dapat terbawa ombak kecil ke pantai, seolah-olah ada yang
menggerakkannya. Dia menangkap ujung tali yang terlepas, lalu menarik
peti ke darat. Memang cukup berat dan diam-diam ia menduga-duga benda
apakah gerangan yang berada di dalam peti. Agaknya angkutan sebuah
perahu yang terguling atau terjatuh ke laut, kemudian oleh ombak
terdorong sampai ke tepi, pikirnya sambil menarik terus peti itu ke atas
pasir sehingga ombak air laut tidak dapat mencapainya.
Dengan hati berdebar, dia membuka tali yang mengikat peti itu, kemudian
dibukanya penutup itu. Dengan pengerahan tenaga, dapat dia memaksa
penutup yang tertutup rapat itu.
"Braaaakkkk...!" Tutup peti terbuka dan Kwi Hong cepat menjenguk peti dengan hati yang tidak sabar lagi.
"Haiiiihhhh...!" Dara itu menjerit dan hampir dia pingsan saking
kagetnya, otomatis kedua tangannya meraba sepasang pipinya yang menjadi
pucat, matanya terbelalak memandang ke dalam peti.
Biar pun Kwi Hong seorang dara perkasa yang tidak takut menghadapi setan
sekali pun, namun sekali ini dia benar-benar terkejut dan ngeri karena
tidak menyangka-nyangka bahwa peti itu terisi sebuah... mayat! Hati
siapa takkan terkejut membuka peti yang dikira berisi barang berharga,
ternyata terisi mayat seorang kakek tua yang pakaiannya masih baru akan
tetapi potongannya tidak karuan itu?
"Iihhh... hiihh... hiiihhhh...!" Kwi Hong menjerit lagi dan matanya
terbelalak makin lebar, kemudian dia menggosok-gosok kedua mata dengan
tangan seolah-olah tidak percaya akan pandang matanya sendiri.
Mayat itu dapat bergerak! Mula-mula pelupuk mata yang tadinya terpejam
itu bergerak-gerak, lalu mata itu terbuka, kemudian mulut yang tak
bergigi itu menyeringai dan tertawa.
"Heh-heh-heh-heh!" Kakek yang kurus kering itu melompat keluar dari dalam petinya!
Setelah kini merasa yakin bahwa yang dihadapinya adalah makhluk hidup,
bukan mayat yang hidup kembali, hati Kwi Hong menjadi tenang dan
keberaniannya timbul kembali. Ia segera memandang penuh perhatian dan
mendapat kenyataan bahwa biar pun kelihatannya seperti mayat, namun
sesungguhnya yang berdiri di depannya, bertubuh tinggi kurus kering ini
adalah seorang kakek yang sangat tua, begitu tuanya sampai tidak
berdaging lagi, mukanya pucat tak berdarah seperti mayat dan matanya
mengerikan karena batas antara manik mata hitam dan putihnya sudah
kabur, membuat mata itu seperti berwarna putih semua.
Kakek tua renta yang seperti mayat hidup ini bukan lain adalah Cui-beng
Koai-ong, tokoh utama dan pertama dari Pulau Neraka yang selama ini
menyembunyikan diri saja! Barulah sesudah tanpa disengaja dia bertemu
dengan Wan Keng In dalam persembunyiannya di Pulau Neraka dan dia
mengambil pemuda itu sebagai muridnya, kakek ini mulai mau berkenalan
lagi dengan dunia ramai, bahkan dengan dunia kang-ouw.
Akan tetapi karena sudah puluhan tahun dia mengasingkan diri,
mempelajari ilmu yang aneh-aneh, melakukan tapa dan pantangan yang tidak
lumrah, bahkan tempat pertapaan yang paling digemarinya adalah di dalam
peti-peti mati bekas mayat yang sudah tua sekali sehingga dia
seolah-olah dalam puluhan tahun ini tidur bersama kerangka-kerangka
manusia, maka sekali keluar di dunia ramai dia membuat geger dengan
kelakuannya yang tidak lumrah manusia!
Dia ternyata amat sayang kepada Wan Keng In sehingga hanya pemuda yang
menjadi muridnya itu saja yang dapat menguasainya dengan bujukan-bujukan
bahkan kadang-kadang dengan teguran-teguran seperti kalau orang
menghadapi anak kecil. Ketika mendengar dari muridnya akan pertemuan
orang-orang pandai dari dunia persilatan yang diadakan oleh
Thian-liong-pang, kakek ini menyatakan ingin menghadirinya. Keng In
sudah melarang gurunya karena maklum bahwa gurunya tentu akan membikin
kacau, sedangkan dia sendiri masih prihatin memikirkan Pulau Neraka yang
dibumi hanguskan oleh pasukan-pasukan pemerintah.
Akan tetapi kakek itu nekat dan muncul secara tak terduga-duga karena
sebelumnya dia sudah bersembunyi di dalam peti mati di bawah tanah dan
begitu dia muncul, benar saja menimbulkan geger! Anehnya, kakek ini
seperti memiliki getaran yang ajaib sehingga secara luar biasa muncul
pula dua orang sute-nya di tempat pertemuan orang kang-ouw itu yang
mengakibatkan tewasnya Kwi-bun Lo-mo Ngo Bouw Ek. Keng In membawa pergi
gurunya dan setengah memaksa gurunya untuk mengenakan pakaian yang telah
dibelinya. Kakek itu menurut, tetapi beberapa hari kemudian ia lenyap
kembali tanpa pamit!
Demikianlah, secara tak terduga-duga, kakek ajaib itu berada dalam peti
yang didaratkan Kwi Hong. Kiranya kakek ini timbul rindunya untuk
mengunjungi Pulau Neraka, agaknya dia lupa akan penuturan muridnya bahwa
Pulau Neraka telah dibumi hanguskan oleh pasukan pemerintah. Akan
tetapi, sebelum tiba di Pulau Neraka kakek itu ketiduran di dalam
petinya sehingga peti yang merupakan perahu, dan tempat tidur itu,
terbawa ombak sampai minggir dan secara kebetulan saja dia bertemu
dengan Kwi Hong.
"Heh-heh-ha-ha-ha, bocah kurang ajar! Orang sedang enak-enak tidur
diganggu! Kau agaknya minta dihajar!" Cui-beng Koai-ong yang sudah
berdiri di depan Kwi Hong menegur dan biar pun dari kerongkongannya
terdengar suara kekeh seperti orang tertawa, akan tetapi mulutnya yang
tak bergigi lagi itu cemberut, dan kedua kakinya bergantian
dibanting-banting ke atas pasir seperti seorang anak kecil kalau marah
dan kecewa.
Kwi Hong adalah seorang dara yang berhati keras, akan tetapi menyaksikan
keadaan kakek yang seperti anak-anak ini, yang amat aneh dan yang dapat
ia duga tentu bukan orang sembarangan, segera menjura dengan sikap
hormat dan berkata,
"Mohon maaf sebanyaknya, Locianpwe. Karena tidak tahu maka tanpa sengaja
saya berani mengganggu, tidak mengira bahwa Locianpwe yang berada dalam
peti itu..."
"Hayo berlutut dan mengaku kakekmu sebagai Sucouw (Kakek Guru Besar),
baru aku mau mengampunimu!" Dahulu ketika pertama kali berjumpa dengan
Wan Keng In, kakek itu juga berkata demikian dan Keng In menuruti
kemauannya, maka pemuda itu lalu diambil murid dan diajari ilmu-ilmu
yang amat luar biasa.
Akan tetapi Kwi Hong adalah seorang gadis yang keras hati. Sebagai
keponakan dan juga murid Pendekar Siluman yang terkenal tentu saja dia
tidak sudi mengaku kakek itu sebagai sucouw, karena hal itu sama saja
mengakui kakek ini sebagai kakek guru dari pamannya! Kalau dia melakukan
ini, berarti sebuah penghinaan telah dilontarkan kepada nama besar
Pendekar Super Sakti.
"Locianpwe," jawabnya dengan suara dingin, "saya telah melakukan
kesalahan yang tidak saya sengaja dan untuk itu telah mohon maaf
kepadamu. Harap Locianpwe tidak menuntut yang terlalu berat. Locianpwe
bukan sucouw saya, tidak mungkin saya mau mengakui Locianpwe sebagai
Sucouw. Sudahlah, saya mempunyai banyak pekerjaan!" Setelah berkata
demikian, Kwi Hong membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi meninggalkan
kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya itu.
"Heeiiiihh! Berhenti! Jangan harap kau bisa pergi sebelum berlutut dan mengakui aku sebagai Sucouw!"
Kwi Hong terkejut bukan main. Dia sedang melangkah cepat, akan tetapi
baru lima enam langkah, setelah meninggalkan kakek itu kurang lebih
empat meter jauhnya, tiba-tiba tubuhnya terhenti dan kakinya tak dapat
digerakkan ke depan, seolah-olah ada tenaga mukjizat menahannya dari
depan, atau lebih tepat lagi, tenaga mukjizat itu menyedot dan
menahannya dari belakang!
Dia menjadi penasaran, dikerahkannya sinkang-nya dan dia memaksa diri
melangkah ke depan. Kakinya dapat digerakkan, namun langkahnya tetap di
tempat, sama sekali tidak dapat maju sejengkal pun!
"Heh-heh-heh-heh, anak nakal! Mana bisa kau pergi begitu saja sebelum memehuhi permintaanku? Hayo kembali ke sini!"
Makin kagetlah Kwi Hong ketika tubuhnya tertarik ke belakang oleh tenaga
yang amat dahsyat, yang membuat dia ketika bertahan hampir terjengkang.
Cepat ia membalikkan tubuhnya dan melihat betapa kakek itu hanya
melambaikan tangan kiri, dari mana menyambar tenaga dahsyat yang
menariknya. Maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan orang yang
memiliki ilmu kepandaian luar biasa dan yang tidak berniat baik terhadap
dirinya.
Dia merasa menyesal sekali mengapa dia meninggalkan Li-mo-kiam, karena
untuk menghadapi lawan yang begini pandai, dia harus melawan dengan
mati-matian, dan kalau pedang pusaka itu berada di tangannya, tentu dia
akan dapat melawan lebih baik. Betapa pun juga, melihat betapa kakek itu
menyeringai mengerikan dan tubuhnya seperti terbetot ke depan, Kwi Hong
membentak marah,
"Kiranya engkau iblis yang jahat!" Dia lalu meloncat ke depan dan
memukul dengan tenaga Swat-im Sin-ciang, yaitu tenaga inti es yang
merupakan pukulan paling ampuh dari gadis perkasa ini.
"Cieeettt... bukkk...!" Tubuh kakek itu terpental bergulingan dan dia bangkit lagi sambil menggigil.
"Ihhh, dingin...! Eh, apakah kau dari Pulau Es?" tanyanya.
Kwi Hong terbelalak. Pukulannya yang mengenai dada tadi hebat sekali,
dia telah mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Namun kakek itu hanya
terpental, dan cepat dapat bangkit lagi sambil sedikit menggigil
kedinginan, bahkan dari suaranya dapat ia ketahui bahwa kakek itu sama
sekali tidak terluka! Mendengar pertanyaan itu, Kwi Hong menjawab cepat
untuk membikin kakek yang lihai luar biasa itu menjadi takut.
"Benar! Aku adalah keponakan dan murid dari Pendekar Super Sakti,
Majikan Pulau Es. Harap Locianpwe jangan mengganggu aku dan suka pergi,
agar jangan membikin marah Pamanku!"
Kakek itu tertawa lebar dan Kwi Hong merasa makin ngeri. Kakek itu
tertawa seperti mayat tertawa. Hanya mulutnya saja yang terbuka dan
menyeringai sehingga dari kerongkongannya keluar suara terkekeh, namun
biji matanya yang putih, wajahnya, sama sekali tidak ikut tertawa!
"Heh-heh-hah-hah-hah! Jadi engkau murid Pendekar Siluman? Kebetulan
sekali. Telah lama aku rindu untuk mengadu ilmu dengan Pendekar Siluman,
sekarang bertemu dengan muridnya, dapat kuukur sampai di mana
kehebatannya!" setelah berkata demikian kakek itu menyerang!
Serangannya amat luar biasa, tubuhnya mengkerut pendek, kemudian
tiba-tiba mencelat ke arah Kwi Hong. Kaki tangannya bergerak kacau, akan
tetapi tahu-tahu kedua tangan yang jari-jarinya kurus seperti kerangka
itu mengirim lima kali totokan secara bertubi-tubi. Gerakan ini
mengingatkan Kwi Hong akan gerakan binatang kuda laut yang meloncat,
atau semacam ulat yang kalau hendak meloncat selalu menekuk dan
mengerutkan tubuhnya, baru tiba-tiba mencelat ke depan. Cepat ia
menggerakkan tubuhnya mengelak, lima kali berturut-turut akan tetapi
yang terakhir betapa pun cepat gerakannya, tetap saja pundaknya tertotok
dan tubuhnya menjadi lemas dan lumpuh.
"Heh-heh-heh-heh! Tidak seberapa!" Kakek yang mengerikan itu terkekeh,
tangannya bergerak lagi ke arah pundak dan totokannya buyar.
Lalu Kwi Hong meloncat bangun lagi! Ngeri hati dara ini, karena maklum
bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya, setelah berhasil menotoknya
lalu membebaskan totokan itu agar dia dapat melawan lagi. Perasaan ngeri
ini sama sekali bukan berarti dia takut, malah sebaliknya. Dia menjadi
penasaran dan biar pun maklum bahwa kakek itu sakti sekali, namun dia
mengambil keputusan untuk melawan mati-matian. Maka ia cepat membalas
dengan serangan cepat, mengunakan ilmu silat yang ia pelajari dari
pamannya, semacam ilmu silat yang memiliki dasar ilmu Soan-hong-lui-kun.
Akan tetapi tentu saja tidak seperti Soan-hong-lui-kun yang asli karena
ilmu mukjizat itu hanya dapat dilatih secara sempurna oleh seorang yang
kakinya tinggal sebuah.
Pendekar Super Sakti telah mencipta sebuah ilmu silat yang dasarnya
memakai ilmu itu, akan tetapi gerakan kakinya tentu saja disesuaikan
dengan orang yang berkaki dua. Namun ilmu ini cukup hebat, tubuh Kwi
Hong mencelat ke sana ke mari dan pukulan kedua tangannya menggunakan
Hwi-yang Sin-ciang yang panas, sedangkan kadang-kadang dirubah dengan
Swat-im Sin-ciang yang dingin.
"Hebat... hebat... eh, ilmu apakah ini?" Kakek itu terkekeh-kekeh,
mengelak ke sana ke mari dan kadang-kadang memberi komentar ketika
menangkis pukulan-pukulan itu, "Eh, panas... Hwi-yang Sin-ciang, ya?
Aduhhh, dinginnya, inilah Swat-im Sin-ciang! Ha-ha-ha, akan tetapi bukan
apa-apa bagiku!"
"Plak! Plak!"
Ketika Kwi Hong memukul dengan kedua tangannya berturut-turut selagi
tubuhnya mencelat ke atas, menukik dan mengirim pukulan Yang-kang dan
Im-kang dengan kedua tangan mengarah ubun-ubun kepala kakek itu,
Cui-beng Koai-ong menerima pukulan itu dengan kedua telapak tangannya
dan... Kwi Hong merasa betapa kedua telapak tangannya melekat kepada
kedua tangan kakek itu, tak dapat terlepas lagi seperti tersedot oleh
hawa yang mukjizat. Tubuhnya masih berada di udara, kedua kaki ke atas
dan kedua tangannya tersangga oleh kedua tangan Si Kakek sehingga
kelihatannya dua orang itu sedang main akrobat!
"Heh-heh-heh!" Kakek itu tertawa dan sekali dia dorongkan kedua
tangannya, tubuh Kwi Hong terlempar jauh ke atas dan ke belakang.
Untung bahwa dara ini memiliki ginkang yang sudah cukup tinggi sehingga
dia dapat berjungkir balik dan jatuh ke atas tanah dengan kedua kaki
yang ditekuk lututnya terlebih dulu, tidak sampai terbanting. Kwi Hong
melongo dan dia maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Lebih
baik lari mengambil pedang Li-mo-kiam lebih dulu, atau minta bantuan
bibinya, Phoa Ciok Lin. Kalau dia menggunakan pedang itu dan dibantu
bibinya, tentu akan dapat merobohkan kakek sakti ini. Maka dia lalu
membalikkan tubuhnya dan lari!
"Eiiiiiittt! Baru enak-enaknya bertanding mau pergi ke mana?"
Kembali Kwi Hong terkejut karena seperti tadi, tubuhnya tidak dapat maju
biar pun kedua kakinya tetap bergerak lari. Dia hanya lari di tempat,
padahal jarak antara dia dan kakek itu ada tujuh meter jauhnya! Bulu
tengkuknya berdiri, ini tidak lumrah, pikirnya. Bukan kepandaian
manusia!
Tiba-tiba terdengar pekik burung di udara. Kwi Hong menengok dan
diam-diam mengeluh. Celaka, burung rajawali dari Pulau Neraka. Kalau
bocah bengal dari Pulau Neraka yang datang, dia lebih celaka lagi!
Dikerahkannya tenaga sinkang-nya, namun tetap saja tubuhnya tak dapat
maju dan kakek itu terkekeh-kekeh sangat girang karena dapat
mempermainkan dara itu.
Burung rajawali menyambar turun dan tiba-tiba dari atas punggungnya
meloncat turun seorang laki-laki berkaki buntung sebelah. Pendekar Super
Sakti Suma Han! Begitu meloncat turun, Suma Han menggerakkan tangan
kanannya didorongkan ke depan di antara keponakannya dan kakek itu.
Serangkum tenaga dahsyat menyambar, dan ‘terputuslah’ tenaga kakek yang
menyedot tubuh Kwi Hong. Akibatnya, Kwi Hong yang mengerahkan tenaga
lari ke depan itu, terdorong ke depan dan nyaris hidungnya yang kecil
mancung itu mencium tanah kalau saja dia tidak cepat menekuk leher dan
membiarkan bahunya yang terbanting, lalu bergulingan dan hanya
pakaiannya saja yang kotor, akan tetapi kulit tubuhnya tidak sampai
terluka.
Ia meloncat bangun dan betapa girangnya ketika ia melihat pamannya telah
berada di situ. Dengan heran Kwi Hong menoleh ke arah burung rajawali
yang kini bertengger di batu karang dan terlihat tenang-tenang saja.
Pamannyalah yang datang menunggang rajawali. Sungguh aneh!
Suma Han berdiri dengan kaki tunggalnya, bersandar tongkat dan memandang
kakek kurus itu dengan sinar mata tajam dan dia berkerut. Kakek itu pun
memandang dan agaknya dia lupa akan kebiasaannya terkekeh, karena kini
dia melongo dan meneliti Suma Han dari kakinya yang tinggal sebelah
sampai ke rambut kepalanya yang putih berkilau seperti benang-benang
perak itu.
"Kau... kau... Pendekar Siluman, To-cu dari Pulau Es...?" Kakek itu bertanya, suaranya agak gemetar!
Suma Han mengangguk, masih tidak menjawab, hanya sedang meneliti kakek
di depannya. Dia tidak mengenal kakek itu, akan tetapi yang membuat dia
heran adalah muka yang pucat tak berdarah, dan sukar sekali menaksir
usia kakek ini, tentu lebih dari seratus tahun! Juga kulit pembungkus
tulang tanpa daging itu kelihatan kebiruan, dan dia maklum bahwa orang
ini memiliki kekebalan yang tidak lumrah dimiliki manusia, maka dia
bersikap hati-hati. Betapa herannya ketika dia menjawab dengan anggukan
kepala, tiba-tiba kakek itu menjatuhkan diri berlutut!
"Sebelumnya hamba, Cui-beng Koai-ong mohon maaf sebanyaknya kepada To-cu
Pulau Es bahwa hamba seorang buangan berani bersikap kasar terhadap
pemilik Pulau Es!"
Suma Han mengerutkan alisnya yang masih hitam, berbeda dengan rambut
kepalanya, kemudian terdengar dia bertanya dengan suara halus dan
hormat,
"Locianpwe siapakah? Dan mengapa minta maaf kepadaku?"
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri, tertawa dan berkata, "Aku sudah
memenuhi sumpah dan kewajiban, sebagai orang buangan dari Pulau Neraka
telah minta maaf. Sekarang, karena kita bertemu bukan di Pulau Es,
tingkat kita menjadi sama-sama orang pelarian, ha-ha-ha!"
"Locianpwe dari Pulau Neraka?" Suma Han teringat akan Lulu dan kembali
diam-diam dia merasa heran sekali. "Masih ada hubungan apakah dengan
Ketua Pulau Neraka?"
"Ketua Pulau Neraka? Wanita itu? Heh-heh, dia hanya Ketua palsu, Ketua
boneka, ha-ha-ha! Kamilah yang sebetulnya menjadi pimpinan Pulau Neraka!
Kami berdua, aku Cui-beng Koai-ong dan Sute-ku Bu-tek Siauw-jin Si Gila
Otak Miring itu! Wanita itu bisa apa? Kalau aku menghendaki, mana bisa
dia menjadi Ketua Pulau Neraka?"
Suma Han makin terheran-heran dan diam-diam mengkhawatirkan keadaan Lulu. "Mengapa Locianpwe membiarkan dia menjadi Ketua?"
"Engkau tertarik sekali kepadanya, bukan? Heh-heh, Pendekar Siluman,
karena dia itu adik angkatmu, karena dia mendendam kepadamu, maka kami
biarkan saja! Kami senenek moyang kami telah disumpah untuk menjadi
orang buangan dari Pulau Es, tidak diperbolehkan menginjakkan kaki ke
Pulau Es! Betapa pun inginku menandingi yang menjadi Ketua Pulau Es,
kalau aku tidak boleh datang ke sana, bagaimana mungkin? Maka kubiarkan
wanita Adik Angkatmu itu menjadi Ketua, karena dialah merupakan umpan
agar aku dapat berhadapan denganmu di luar Pulau Es. Sayang, ketika kau
berani datang ke Pulau Neraka, aku dan Sute-ku sedang pergi merantau.
Akan tetapi, sekarang Pulau Es telah menjadi abu, juga Pulau Neraka,
kita sama-sama tidak berpulau, sama-sama menjadi pelarian dan kebetulan
kita saling jumpa di sini. Pendekar Siluman, hayo kita mengadu ilmu di
sini! Biarlah dendam Pulau Neraka yang sudah ratusan tahun itu kita
selesaikan di sini, kau sebagai To-cu Pulau Es harus membayarnya!"
"Nanti dulu, Locianpwe! Setelah kini Pulau Neraka dibumi hanguskan oleh
pasukan pemerintah, lalu bagaimana dengan kedudukan Ketua Pulau Neraka?"
Suma Han masih khawatir akan nasib Lulu yang dicintanya.
"Dia? Heh-heh, biarlah menjadi Ketua orang-orang pelarian itu. Tadinya
akan kubunuh dia, akan tetapi mengingat bahwa puteranya menjadi muridku,
maka... eh, sudahlah, banyak ngobrol. Hayo kau kalahkan aku!"
Berkata demikian, kakek itu sudah menerjang maju dengan gerakan aneh
tetapi ganas dan dahsyat sekali ke depan. Suma Han lantas mencelat ke
atas menghindar dan batu karang pecah berhamburan terkena hantaman kakek
itu, debu mengebul menandakan betapa hebatnya pukulan tadi.
"Kwi Hong, pergilah, tempat ini berbahaya untukmu!" Suma Han berkata
ketika melihat keponakan dan muridnya itu tampak maju untuk membantunya.
Mendengar kata-kata yang nyaring ini, Kwi Hong menghentikan niatnya dan
matanya terbelalak menyaksikan pamannya yang sudah bertanding dengan
kakek itu. Matanya menjadi silau dan pandang matanya kabur menyaksikan
gerakan pamannya yang telah mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi
lawan yang amat tangguh itu. Dia harus membantu, akan tetapi benar kata
pamannya, dia membantu hanya akan mengantar nyawa saja, dan sama sekali
tidak akan menguntungkan pamannya.
Li-mo-kiam, sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis itu! Teringat ini,
Kwi Hong lalu meninggalkan tempat itu, berlari cepat sekali. Melihat
ini, Suma Han menjadi agak lega hatinya. Lawannya ini berbahaya sekali,
biarlah andai kata dia sendiri yang menjadi korban. Namun, dia kecewa
juga melihat betapa keponakannya itu lari seperti orang ketakutan
setengah mati dan tidak mengira bahwa keponakannya ternyata bernyali
demikian kecil.
"Desssss!" Dua telapak tangan saling bertemu bagaikan dua sinar kilat
bertumbukan ketika Suma Han menangkis pukulan maut kakek itu. Akibatnya,
keduanya terdorong mundur sampai lima langkah.
"Heh-heh-heh, kau boleh juga! Akan tetapi masih jauh kalau dibandingkan
dengan kesaktian Bu Kek Siansu. Aku masih sanggup menandingimu,
ha-ha-ha!" Kakek itu tertawa dan siap menerjang lagi.
"Locianpwe, dengarlah dulu. Aku Suma Han biar pun tinggal di Pulau Es
dan menjadi pemimpin di sana, namun belum pernah aku memusuhi Pulau
Neraka. Aku bukanlah keturunan raja yang dahulu berkuasa di Pulau Es,
dan aku tidak pernah membuang orang ke Pulau Neraka. Bukan sekali-kali
karena aku takut menghadapimu, Cui-beng Koai-ong, akan tetapi perlu apa
kita bertanding mati-matian sedangkan kita mengalami nasib yang sama?
Pulau kita dibakar pasukan pemerintah tanpa dosa, apakah kita harus
saling gempur sendiri?"
"Cukup banyak bicara! Dendam Pulau Neraka yang turun-temurun harus
dilunasi sekarang juga!" Kakek itu membentak dan tiba-tiba tubuhnya
meluncur ke depan seperti terbang, atau seperti sebatang tombak
dilontarkan menuju ke tubuh Suma Han.
Pendekar ini terkejut dan kagum, cepat kaki tunggalnya menjejak tanah
dan tubuhnya sudah mencelat ke atas mengelak. Kakek itu menahan
luncurannya, akan tetapi kedua tangannya ketika meluncur tadi sudah
mengirim pukulan dahsyat yang tidak dapat ditariknya kembali, dan terus
hawa pukulan itu menghantam jauh ke depan.
"Brakkkkkk!" Batu karang di mana burung rajawali bertengger itu hancur.
Burung itu terbang dan memekik ketakutan, kemudian hinggap di atas batu
karang yang lebih tinggi lagi, matanya jelalatan memandang ke bawah
dengan ketakutan.
"Bukan main," Suma Han diam-diam memuji. "Kakek ini memiliki kepandaian yang amat tinggi."
Ketika dia turun, kembali kakek itu menyerang, akan tetapi secepat
burung terbang, Ilmu Soan-hong-lui-kun membuat tubuh Suma Han terus
mencelat ke sana ke mari, seolah-olah seekor kumbang yang beterbangan di
atas setangkai bunga, berkelebatan mengelak dan dari atas membalas
dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya sehingga
berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan memuji.
"Bukkk!" Sebuah tamparan tangan kiri Suma Han mengenai pundak kakek itu,
namun dia hanya tergetar saja dan terhuyung, sama sekali tidak terluka,
padahal tamparan Pendekar Super Sakti itu cukup kuat untuk menumbangkan
sebatang pohon yang besarnya setubuh manusia!
Suma Han makin kagum. Dalam hal kecepatan, jelas dia menang karena
dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kiranya tidak akan ada yang dapat
menandinginya dalam hal kecepatan, juga dalam hal tenaga sinkang,
keadaan mereka berimbang dan hal ini dapat diketahuinya ketika mereka
tadi mengadu tenaga dan saling terpental ke belakang. Akan tetapi kakek
ini memiliki kekebalan tubuh yang hebat, dalam hal inilah dia kalah.
Kalau dia yang terkena pukulan oleh tangan sakti kakek itu, tentu dia
takkan dapat bertahan seperti yang dibuktikan oleh kakek itu. Maka dia
berlaku hati-hati sekali dan kini dia tidak hanya menyerang dengan
tangan, melainkan totokan-totokan dengan ujung tongkatnya.
Setelah pertandingan yang luar biasa itu berlangsung seratus jurus
lebih, dalam sebuah serangan kilat dari atas, ujung tongkat Suma Han
berhasil menotok kepala kakek itu. Tadinya dia maksudkan menotok
tengkuk, akan tetapi gerakan mengelak kakek itu membuat tongkatnya
mengenai kepala dan diam-diam Suma Han menyesal karena sesungguhnya dia
tidak bermaksud membunuh kakek yang sama sekali bukan musuhnya ini.
"Trakkk!"
Rasa menyesal terganti kekaguman dan keheranan ketika kakek itu yang
jelas tertusuk tongkat kepalanya, hanya menjadi miring saja tubuhnya,
akan tetapi sama sekali tidak terluka! Bukan main! Kalau kekebalannya
itu sudah menjalar sampai ke kepala, tidak tahu lagi Suma Han bagaimana
dia harus mengalahkan kakek ini. Satu-satunya jalan baginya hanyalah
mengerahkan serangan-serangannya pada kedua mata kakek itu. Dan
dugaannya benar karena kakek itu sama sekali tidak mau terserang matanya
yang selalu terlindung oleh kedua tangannya sehingga setiap serangan
pukulan mau pun tusukan tongkat ke arah mata selalu dapat ditangkis
dengan lengan tangannya yang biar pun hanya tulang terbungkus kulit,
namun amat kuat dan kebal itu.
Diam-diam Suma Han menghela napas dan merasa repot sekali. Betapa
mungkin dia akan dapat menang? Tubuh lawan tak dapat dia lukai,
sedangkan dia selalu harus mengelak dan menangkis karena sekali saja dia
terkena pukulan-pukulan yang amat dahsyat itu, sedikitnya dia tentu
akan menderita luka di dalam tubuh. Dan berapa lama dia akan dapat
bertahan kalau begini?
Di lain pihak, Cui-beng Koai-ong juga merasa kagum bukan main. Ilmu
silat yang dimainkan oleh Pendekar Siluman itu benar-benar tak
dikenalnya dan amat cepatnya, mengingatkan ia akan dongeng tentang Kauw
Cee Thian atau Sun-go-kong, tokoh siluman atau raja kera yang terdapat
dalam dongeng See-yu-ki yang dapat mencelat-celat dari bukit ke bukit
dengan kecepatan laksana kilat. Dia memutar otaknya karena kecepatan di
udara yang digerakkan tubuh lawannya itu tidak memungkinkan dia untuk
menyerang dengan tepat.
Tiba-tiba Suma Han meloncat jauh ke belakang dan duduk bersila dengan
sebelah kakinya, kedua lengannya bersedekap dan tongkatnya dikempit.
Tiba-tiba dari ubun-ubun kepala Pendekar Siluman itu keluar bayangan
Suma Han yang memegang tongkat dan bergerak-gerak hendak melawan kakek
itu. Sejenak kakek itu melongo, kemudian terkekeh-kekeh dan tanpa
mempedulikan bayangan itu, dia menubruk tubuh Suma Han yang masih
bersila.
"Aihhhh!" Suma Han mencelat ketika mengelak. Celaka, agaknya kakek ini
juga kebal terhadap kekuatan mukjizat! Dia mencoba lagi, mengerahkan
pandang matanya dan membentak,
"Cui-beng Koai-ong, robohlah!" dengan tongkatnya ia menuding dan baik
dalam sinar mata, mau pun dalam suara dan gerakan tangannya itu
terkandung hawa mukjizat yang amat berpengaruh.
"Heh-heh-heh, nanti dulu. Aku belum kalah mana mau roboh?" jawab kakek itu dan menyerang terus.
Suma Han benar-benar kewalahan. Jelas bahwa tenaga mukjizat dalam
dirinya tidak mempan melawan kakek yang sudah puluhan tahun sering kali
bertapa di antara mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia itu,
sehingga dia telah memiliki kekebalan terhadap segala pengaruh batin dan
ilmu sihir.
Pertandingan dilanjutkan dengan mati-matian. Kedua pihak mengeluarkan
ilmu-ilmunya yang tinggi sehingga debu dan pasir mengebul berhamburan,
batu-batu karang yang berdekatan pecah berantakan dan pohon-pohon di
sekitar tempat itu tumbang, mengeluarkan suara keras. Kalau dilihat dari
jauh, pantasnya ada dua ekor gajah yang mengamuk dan saling serang itu,
bukan seorang kakek yang seperti mayat hidup dan seorang yang sebelah
kakinya buntung.
"Heh-heh, aku tahu bagaimana harus menghadapi ilmumu yang aneh!"
Tiba-tiba kakek itu berkata dan... dia melempar tubuh ke belakang,
kakinya mencelat ke depan dan menendang bergantian ke arah muka dan
pusar Suma Han. Pendekar ini terkejut sekali, merendahkan tubuh mengelak
tendangan ke mukanya dan menangkis dengan tangan kirinya ke arah kaki
yang menendang pusar.
"Desss!" Tubuh kakek itu terpelanting dan dia bergulingan sambil
menyeringai, akan tetapi ia segera bergulingan dan rebah terlentang!
Suma Han menjadi girang karena maklum bahwa dia menemukan titik
kelemahan kakek aneh itu, yaitu pada telapak kakinya. Buktinya, kalau
bagian tubuh lain amat kebal, telapak kaki itu ketika bertemu dengan
tangannya, Si Kakek merasa nyeri. Hal ini membuktikan bahwa telapak
kakek itu tidaklah sekuat bagian tubuh yang lain. Dia sudah mencelat ke
atas dan melihat kakek itu rebah terlentang, dia segera meluncur turun
dan menyerang dari atas. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu menggerakkan
kedua tangannya mendorong ke atas.
"Wusss... bukkk!" Tubuh Suma Han terlempar dan terpelanting, jatuh ke
atas tanah, akan tetapi dia dapat cepat meloncat lagi. Dia kaget bukan
main akan ilmu kakek yang aneh ini. Kiranya dengan tubuh terlentang itu,
pukulan Si Kakek menjadi berlipat ganda kuatnya, seolah-olah kakek itu
telah mempergunakan daya tahan bumi!
Dan kakek itu tertawa girang, tetap terlentang. "Nah, pergunakan ilmumu Sun-go-kong berloncatan itu sekarang!"
Suma Han maklum bahwa kakek yang seperti iblis itu ternyata cerdik
sekali. Kelihaian Soan-hong-lui-kun adalah mengandalkan kecepatan gerak
kaki tunggal yang memantul menurut keseimbangan tubuh yang berkaki satu,
dan dengan kecepatan itu membuat bingung lawan sehingga dapat mengirim
serangan tiba-tiba dari samping, depan atau belakang lawan. Kini kakek
itu hanya rebah terlentang, tentu saja tubuh bagian belakang terlindung
tanah, juga sukar menyerang dari kanan kiri. Satu-satunya tempat untuk
diserang hanyalah depan dan yang depan ini terlindung oleh kedua tangan
kakek yang mempunyai kekuatan lipat ganda setelah rebah terlentang itu.
Benar-benar sukar mengalahkan kakek ini.
Namun Suma Han yang juga merasa penasaran, masih terus menyerang dengan
tongkat dan tangan kirinya yang kesemuanya dapat ditangkis oleh kakek
itu sambil ‘tiduran’ seenaknya! Kalau Suma Han berhenti menyerang dan
turun berdiri ke atas tanah, tiba-tiba saja tubuh yang terlentang itu
meluncur dan menyerangnya dengan dahsyat, bagaikan tombak besar
dilontarkan kepadanya! Dan kalau dia menggunakan Soan-hong-lui-kun,
kembali kakek itu rebah terlentang!
Dua ratus jurus lewat dan pertandingan antara dua manusia sakti dan aneh
itu masih berlangsung seru, belum ada yang kalah atau menang, bahkan
belum ada yang terdesak. Baru sekali ini selama hidupnya Suma Han
bertemu dengan lawan yang begini lihai, yang kesaktiannya mengatasi
semua lawan sakti yang pernah dilawannya.
"Heh-heh-heh, kau memang hebat, Pendekar Siluman. Akan tetapi coba
sekarang kau terima ini!" Kakek yang masih terlentang itu tiba-tiba
mengeluarkan pekik dahsyat yang mendirikan bulu roma, tidak seperti
manusia lagi dan tubuhnya sudah mencelat dan menubruk ke arah Suma Han
dengan kedua tangan terpentang. Dari kedua tangan itu menyambar hawa
yang berputar-putar seperti angin puyuh.
Suma Han maklum bahwa kalau dia mengelak, ada bahayanya dia terkena
sambaran angin pukulan itu. Jalan satu-satunya yang paling aman adalah
menyambut pukulan itu, mengadu sinkang, keras lawan keras. Apa lagi dia
memang sudah bosan untuk terus bermain kucing-kucingan dengan kakek ini,
maka jalan satu-satu-nya untuk menentukan kemenangan hanyalah mengadu
tenaga sinkang yang ia percaya tidak akan kalah mengingat bahwa dia
telah berlatih sampai matang di Pulau Es.
Suma Han menancapkan tongkatnya di atas tanah lalu menggunakan kedua tangan menerima dorongan kakek itu.
"Jieeetttt!"
Dua pasang tangan bertemu, melekat dan keduanya kini berdiri membungkuk,
saling mengerahkan sinkang yang mengalir penuh melalui kedua pasang
tangan mereka. Pertandingan mati-matian terjadi karena kini tidak ada
lagi istilah mengelak. Yang ada hanya saling menekan dan mendorong, dan
siapa kalah kuat tentu akan binasa!
Kedua orang itu kalau dilihat sungguh tidak seperti orang sedang mengadu
nyawa, lebih mirip dua orang kanak-kanak yang sedang bermain-main.
Keduanya berdiri tanpa bergerak, tampaknya tidak mengerahkan tenaga sama
sekali. Akan tetapi kalau orang melihat kedua kaki Si Kakek dan kaki
tunggal Pendekar Super Sakti, orang akan terkejut melihat kaki mereka
itu amblas ke dalam tanah sampai selutut! Lebih dari setengah jam mereka
mengadu sinkang ini. Dari ubun-ubun kepala Suma Han keluar uap putih,
sedangkan dari kepala botak kakek itu mengepul uap kehitaman. Muka kedua
orang sakti itu penuh keringat yang besar-besar dan mata mereka saling
pandang tanpa berkedip.
Pada saat itu tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah datang
dengan pedang di tangan kanan, pedang yang mengeluarkan sinar kilat.
Li-mo-kiam sebatang dari Sepasang Pedang Iblis! Tanpa banyak cakap lagi,
Kwi Hong yang melihat betapa pamannya mengadu sinkang dan berada dalam
keadaan yang amat berbahaya, lalu menerjang maju dan menggerakkan
pedangnya menusuk ke arah mata kakek itu.
Cui-beng Koai-ong terkejut sekali. Melihat sinar pedang yang seperti
kilat yang mendatangkan hawa yang mukjizat itu, tahulah dia bahwa pedang
itu merupakan pusaka yang amat ampuh. Dia mengeluarkan pekik
mengerikan, dari mulutnya menyembur darah merah ke arah muka Suma Han.
Pendekar sakti ini kaget, cepat dia pun mengerahkan tenaganya sekuatnya
mendorong, membarengi gerakan kakek itu yang juga mendorong dan keduanya
terpental ke belakang, sedangkan pedangnya tidak mengenai sasaran.
Melihat pamannya terpental dan terhuyung, juga kakek itu terhuyung, Kwi
Hong cepat menerjang lagi, yang diarah adalah sepasang mata kakek itu.
Sekali ini, Cui-beng Koai-ong tidak berani menangkis, hanya cepat
mengelak dan tangannya meluncur ke depan, hendak merampas pedang
sedangkan tangan kanannya mencengkeram kepala Kwi Hong.
Dara itu terkejut sekali, menarik kembali pedangnya karena khawatir
terampas sambil melempar tubuh ke belakang, namun tetap saja pundaknya
tersentuh jari tangan kakek itu dan ia terpelanting, merasa betapa
seluruh pundak kirinya seperti lumpuh!
"Heh-heh-heh, pedang setan, seperti milik muridku. Serahkan padaku!"
Kakek ini menubruk lagi dan Kwi Hong segera terdesak hebat memutar
pedang melindungi tubuhnya. Untung ia melakukan hal ini karena kalau
hanya mengelak, tentu dia akan celaka. Kecepatannya masih kalah jauh,
tidak dapat mengelak hawa sinkang kakek yang luar biasa itu. Akan tetapi
begitu ia memutar pedang, membuat pedang itu membentuk gulungan sinar
yang merupakan perisai bagi tubuhnya, kakek itu tidak berani
menyerangnya.
Suma Han sudah bangkit berdiri, akan tetapi betapa kagetnya ketika ia
merasa hawa panas menyerang dada, terus turun ke pusar. Cepat ia menahan
napas dan tahulah dia bahwa adu tenaga tadi telah membuat dia terluka
sebelah dalam tubuhnya! Dia tidak tahu bahwa kakek itu pun terluka di
sebelah dalam, dan karena Si Kakek nekat menyerang Kwi Hong maka tidak
tampak bahwa kakek itu pun terluka.
Karena khawatir akan keselamatan keponakannya yang kini dia tahu bukan
melarikan diri karena takut, melainkan mengambil pedang Li-mo-kiam, maka
Suma Han berkata, "Kwi Hong, serang kakinya! Telapak kakinya!"
Biar pun seruan ini merupakan pesan aneh yang membingungkan Kwi Hong,
akan tetapi tanpa ragu-ragu ia menurut petunjuk pamannya dan kini dari
gulungan sinar pedang itu meluncur sinar kilat yang membabat ke arah
telapak kedua kaki Cui-beng Koai-ong! Kakek ini kaget, sama sekali tidak
mengira bahwa rahasianya telah diketahui Suma Han, maka tentu saja dia
tidak mau membiarkan bagian tubuhnya yang tidak begitu kebal itu
tertusuk atau terbabat pedang. Melihat sinar pedang itu, terpaksa ia
mengibaskan tangannya menangkis.
"Crakkk!" Tangkisan itu membuat Kwi Hong terlempar, akan tetapi jari
kelingking tangan kiri kakek itu pun terbabat putus oleh Li-mo-kiam!
Anehnya, tidak ada darah keluar dari luka itu!
Si Kakek menjadi marah sekali, lalu menerjang maju dengan ganas. Melihat ini, Suma Han cepat meloncat pula ke depan.
"Bresss!" Dua orang itu saling pukul dan mereka terlempar lagi ke belakang.
Suma Han merasa betapa kepalanya pening dan pandang matanya berkunang,
akan tetapi kakek itu masih dapat bangkit dengan cepat. Kwi Hong melihat
bahwa pamannya tetap duduk di atas tanah, akan tetapi kakek itu pun
berdirinya bergoyang-goyang tidak tegak lagi. Melihat ini, dan karena
hatinya besar menyaksikan betapa pedangnya dapat membuntungi kelingking
lawan, ia menerjang lagi, menggerakkan pedangnya, dibacokkan ke arah
kepala. Kini dia merasa yakin bahwa pedangnya akan dapat menembus
kekebalan kakek luar biasa itu.
"Trangggg... aihhhh!" Kwi Hong menjerit kaget ketika pedangnya tertolak
ke belakang dan ketika ia memandang, ternyata yang menangkis pedangnya
adalah yang memegang pedang persis pedangnya sendiri, hanya agak lebih
panjang! Ternyata pedang pemuda itu sanggup menandingi pedangnya dan ia
teringat kini wajah yang tampan itu, dan ingat pula akan cerita Bun
Beng, bahwa pedang Lam-mo-kiam terampas oleh putera Pulau Neraka.
"Kau...? Keparat...!" Dia membentak.
Tetapi pemuda itu sudah menyambar tubuh Cui-beng Koai-ong dengan lengan
kirinya, kemudian setelah memandang dengan mata mendelik penuh kebencian
kepada Suma Han, lalu meloncat dengan gerakan yang luar biasa cepatnya
meninggalkan pantai itu.
"Tunggu, jahanam...!" Kwi Hong membentak dan hendak mengejar.
"Kwi Hong, jangan kejar...!" Suma Han berseru.
Dara itu berhenti, menengok dan terkejutlah dia ketika melihat pamannya
muntahkan darah segar dari mulutnya. "Aihhh, Paman...!" Ia meloncat
menghampiri.
Akan tetapi Suma Han mengangkat tangan mencegah gadis itu menyentuhnya.
"Tidak apa-apa, Cui-beng Koai-ong luar biasa saktinya, dan pemuda tadi
gerakannya pun hebat. Kalau kau mengejar, bisa berbahaya... coba
ambilkan tongkatku..."
Kwi Hong mencabut tongkat pamannya dan menyerahkan kepadanya. "Mari kita
menemui bibimu Phoa Ciok Lin...," katanya menuding dan dari utara
tampak Phoa Ciok Lin datang berlari-lari, diikuti oleh beberapa orang
tokoh Pulau Es yang membawa senjata. Mereka sudah mendengar dari Kwi
Hong akan munculnya kakek sakti dan hendak membantu. Alis Ciok Lin
berkerut penuh kekhawatiran ketika ia melihat Suma Han terluka, namun
Suma Han tetap tenang, lalu bersuit memanggil burung rajawali yang
segera terbang turun.
"Rajawali Pulau Neraka...," katanya tersenyum duka. "Beterbangan bingung
kehilangan tempat, lalu dapat kutundukkan... kau pelihara baik-baik Kwi
Hong. Mari kita ke tempat kalian... aku perlu mengaso..."
Dengan perawatan penuh perhatian dan sangat teliti oleh Phoa Ciok Lin,
Suma Han mengobati sendiri lukanya di dalam dada dengan jalan mengatur
napas dan bersemedhi. Dia sering kali tampak termenung memikirkan
perkembangan hidupnya yang makin diselimuti kesukaran dan kegagalan.
Hatinya masih tertindih oleh duka kalau dia teringat akan Nirahai dan
Lulu, dan kini Pulau Es dihancurkan pula oleh pasukan pemerintah.
Di dalam perjalanannya dia mendengar akan hal itu. Ketika ia cepat
menuju ke Pulau Es, dilihatnya pulau itu telah hancur dan terbakar.
Dapat dibayangkan betapa duka hatinya ketika ia melihat mayat-mayat anak
buahnya yang telah mulai rusak. Dengan keharuan yang ditekannya, Suma
Han mengubur semua mayat itu seorang diri saja, kemudian meninggalkan
pulau itu dan cepat menuju ke Pulau Neraka karena dia pun mendengar
bahwa pulau ini pun menjadi sasaran penyerbuan pasukan pemerintah pula.
Juga di pulau ini dia melihat kehancuran, hanya tidak ada sebuah pun
mayat di situ.
Di pulau inilah ia bertemu dengan rajawali yang dapat ia tundukkan
ketika rajawali yang kebingungan itu menyerangnya. Kemudian dia
menunggang rajawali, dengan niat untuk mencari Maharya, merampas
Hok-mo-kiam dan menghukum orang-orang yang telah menghancurkan kedua
pulau, yang ia tahu dipimpin oleh Koksu Bhong Ji Kun. Akan tetapi, dia
tidak berhasil menemui mereka karena mereka itu pergi ke Cui-lai-san, di
mana diadakan pertemuan antara orang-orang kang-ouw atas undangan
Thian-liong-pang.
Suma Han menyusul ke sana dan menyaksikan pertandingan-pertandingan dari
udara. Dia tidak akan mau mencampuri, karena dia maklum bahwa pasukan
pemerintah pasti tidak akan mudah dilawannya dan dia harus menanti
kesempatan yang lebih baik untuk menghadapi Bhong Ji Kun dan
pembantu-pembantunya, tanpa ribuan orang pasukan yang menjaganya.
Maka terbanglah rajawali itu ke utara, di mana dia tahu tentu
bersembunyi sisa anak buahnya di pantai utara yang telah ia beritahukan
Phoa Ciok Lin sebagai tempat mengungsi kalau terjadi sesuatu di Pulau
Es. Memang jauh sebelum peristiwa menyedihkan di Pulau Es, Suma Han
telah bersiap-siap mencari tempat di mana anak buahnya dapat pergi
mengungsi karena dia maklum bahwa yang sudah jelas, Lulu dengan anak
buah Pulau Neraka bermaksud menyerbu Pulau Es, juga Thian-liong-pang
yang makin besar kekuasaan dan kekuatannya itu memperlihatkan sikap
memusuhi Pulau Es.
Demikianlah, secara kebetulan dia melihat keponakan atau muridnya
terancam oleh kakek yang amat lihai sehingga akhirnya dia sendiri
terluka. Kurang lebih sebulan kemudian, sembuhlah lukanya, akan tetapi
kembali Suma Han harus mengalami tekanan batin ketika mendengar bahwa
Kwi Hong telah meninggalkan tempat itu tanpa pamit, tidak tahu ke mana
perginya dan tak seorang pun mengetahui apa kehendak dara yang
kadang-kadang memiliki watak keras dan aneh itu. Mendengar laporan itu,
Suma Han menghela napas panjang.
"Biarlah, ia sudah dewasa dan sudah mampu menjaga diri sendiri. Hanya
aku khawatir, dengan pedang itu di tangannya, akan terjadi banyak
bencana. Mudah-mudahan saja tidak demikianlah."
"Taihiap, mengapa kau tidak minta saja pedang itu? Sepasang Pedang Iblis
adalah pedang yang mengandung hawa jahat. Memang benar bahwa Hong-ji
memiliki dasar yang baik dan kuat, akan tetapi dia masih begitu muda dan
pedang itu benar-benar mengandung hawa yang mengerikan."
"Hemmm, betapa mungkin kuminta? Pedang itu adalah pemberian Gak Bun
Beng, aku tidak berhak memintanya. Segala apa biarlah kuserahkan ke
tangan Tuhan, dan aku sendiri akan mencari Hok-mo-kiam, karena hanya
dengan Hok-mo-kiam sajalah Sepasang Pedang Iblis dapat ditundukkan. Yang
berada di tangan Kwi Hong kiranya tak perlu dikhawatirkan, akan tetapi
yang berada di tangan anak itu..."
Dia mengerutkan alisnya dan terbayanglah wajah pemuda tampan murid
Cui-beng Koai-ong yang memandangnya dengan sinar mata penuh kebencian.
Pemuda itu gerakannya lihai sekali dan Lam-mo-kiam berada di tangannya!
"Anak yang mana, Taihiap? Apakah Lam-mo-kiam telah diketahui berada di tangan siapa?"
Suma Han mengangguk "Di tangan putera dari Ketua Pulau Neraka..."
"Aihhhh...!" Ciok Lin menjerit dan saking kasihan kepada Suma Han, dia
sampai lupa diri dan menyentuh lengan pendekar itu. Setelah dia sadar
akan hal ini, cepat-cepat dia menarik kembali tangannya dan menarik
napas panjang. "Putera... Lulu...?"
Suma Han tidak heran akan hal ini. Phoa Ciok Lin dapat dikatakan bukan
orang lain, seperti bibi sendiri dari Kwi Hong dan yang mendidik sejak
kecil adalah wanita inilah. Tentu Kwi Hong telah menceritakan semua
pengalamannya ketika terculik di Pulau Neraka.
"Lalu... bagaimana baiknya, Taihiap?"
"Aku harus mendapatkan Hok-mo-kiam, aku juga harus menghajar mereka yang
telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Aku harus mencari Lulu
dan Nirahai... dan aku akan mengumpulkan Sepasang Pedang Iblis untuk
kuhancurkan agar kelak jangan menimbulkan banyak keributan lagi di dunia
ini," kata Suma Han dengan suara tegas.
Ciok Lin menghela napas panjang lagi. "Mudah-mudahan kau berhasil,
Taihiap. Terutama sekali... eh, menemukan kembali Lulu dan Nirahai dan
berhasil berkumpul lagi dengan mereka...," terdengar suara wanita itu
yang mengandung isak tertahan.
Kini Suma Han yang menggerakkan tangan memegang lengannya.
"Ciok Lin, aku tahu semua perasaan yang terkandung dalam hatimu, dan aku
merasa betapa engkau telah melimpahkan banyak budi terhadap diriku.
Akan tetapi, engkau pun tentu tahu pula akan keadaan hatiku, Ciok Lin.
Andai kata tidak ada kedua orang wanita itu di dunia ini, aku tentu akan
berbahagia sekali hidup bersamamu. Akan tetapi, mereka..."
Phoa Ciok Lin mengejap-ngejapkan kedua matanya sehingga dua titik air
mata yang bergantung di bulu matanya jatuh ke bawah kemudian dia memaksa
diri tersenyum dan memaksa wajahnya berseri ketika berkata, "Taihiap,
saya mengerti bahwa hidupmu hanya untuk Lulu dan Nirahai... dan saya
bukanlah seorang yang hanya mengejar kesenangan sendiri, Taihiap, Saya
akan merasa berbahagia sekali melihat engkau dapat berkumpul dan hidup
bahagia bersama mereka."
Suma Han menggenggam jari-jari tangan wanita itu dan memandang penuh
rasa syukur dan berterima kasih. "Engkau seorang wanita yang amat mulia,
Ciok Lin," katanya dan kata-kata ini memang keluar setulusnya dari
dalam hati. Dia maklum bahwa cinta kasih seperti yang terdapat di hati
Ciok Lin terhadap dirinya itulah yang merupakan cinta kasih murni, cinta
yang bebas dari rasa sayang diri, bersih dari rasa ingin memiliki dan
ingin senang untuk diri sendiri, melainkan seratus prosen ditujukan
untuk melihat orang yang dicinta berbahagia.
Phoa Ciok Lin makin berseri wajahnya. Dia maklum bahwa biar pun semenjak
tinggal di Pulau Es, hatinya telah jatuh cinta kepada pendekar sakti
kaki buntung sebelah yang tiada keduanya di dunia ini, namun dia
mengenal pula siapa orang yang dicintainya. Dia tahu bahwa tak mungkin
dia dapat mengharapkan cinta kasih Suma Han terhadap dirinya. Oleh
karena itu, dia sudah merasa cukup bahagia kalau dapat bersahabat dengan
pendekar ini, apa lagi dianggap sebagai seorang sahabat yang baik.....
Melihat betapa pelimpahan cintanya membuat pendekar itu makin merasa
berdosa dan berduka, dia cepat mengalihkan percakapan dengan pertanyaan
yang serius. "Taihiap, kalau engkau pergi mencari Hok-mo-kiam dan
memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang telah menghancurkan Pulau
Es dan Pulau Neraka, habis bagaimanakah dengan anak buah kita? Agaknya
pada waktu sekarang tidak mungkin lagi bagi kita untuk kembali ke Pulau
Es, sedangkan untuk membiarkan mereka tinggal di tempat ini sebagai
buronan yang bersembunyi, sangat menyengsarakan mereka pula. Apakah yang
harus saya lakukan, Taihiap?"
"Engkau benar, Ciok Lin. Memang telah lama aku memikirkan hal ini, jauh
sebelum pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Engkau pun tahu bahwa
dahulu aku tidak bermaksud mendirikan sebuah perkumpulan atau kerajaan
kecil di Pulau Es, hanya karena kasihan melihat anak murid In-kok-san
dan para bekas pejuang yang tertawan oleh tokoh-tokoh Pulau Neraka, maka
pulau kita menjadi sebuah pulau yang banyak penghuninya dan aku
dianggap sebagai Majikan atau Ketua Pulau Es. Karena pulau kita
terkenal, maka timbullah penentang-penentangnya dan hal itu sungguh
tidak kuinginkan. Oleh karena itu, setelah kini pulau kita dihancurkan
pasukan pemerintah dan kalian tidak mempunyai tempat tinggal lagi, aku
membubarkan anak buahku yang pernah tinggal di Pulau Es. Kau keluarkan
semua pusaka dan harta yang dapat kau larikan dari pulau, bagi-bagilah
harta itu kepada mereka agar dapat digunakan sebagai modal dan hidup di
dunia ramai, membentuk keluarga yang bahagia. Semua itu kuserahkan
kepadamu untuk mengatur seadil-adilnya sampai lancar dan beres, Ciok
Lin."
"Ohhh, saya girang sekali mendengar keputusan ini, Taihiap, karena
memang itulah jalan terbaik. Akan tetapi, mengerjakan perintah Taihiap
itu dapat saya selesaikan sebentar saja, saya harap Taihiap suka
menyaksikannya dan meninggalkan kata-kata perpisahan untuk mereka.
Kemudian, harap Taihiap suka memperkenankan saya untuk... pergi bersama
Taihiap, membantu Taihiap menghadapi para musuh dan menemukan kembali
kedua orang yang Taihiap rindukan. Saya bersumpah tidak akan mengganggu,
saya... saya rela untuk menjadi pelayan Taihiap dan mereka yang Taihiap
cinta, selama-lamanya..."
"Ciok Lin, harap jangan bicara seperti itu! Urusan yang kuhadapi
tidaklah ringan. Bhong-koksu dan teman-temannya bukanlah orang-orang
yang mudah dilawan, apa lagi kini muncul orang-orang sakti seperti
tokoh-tokoh Pulau Neraka yang selama ini menyembunyikan diri. Selain
itu, aku tidak berhak merusak hidupmu, Ciok Lin. Engkau belumlah sangat
tua, engkau pandai, mulia hatimu dan cantik wajahmu. Engkau masih belum
terlambat untuk membangun sebuah rumah tangga, membentuk sebuah
keluargamu sendiri untuk menjamin masa hidupmu kelak. Aku tidak akan
tega hati kalau menyaksikan bekas anak buah yang terpaksa harus
kububarkan, biarlah aku pergi lebih dulu sekarang juga. Maafkan aku,
Ciok Lin, bahwa aku tidak dapat memenuhi permintaanmu yang penghabisan
ini. Mudah-mudahan kelak kita dapat saling bertemu kembali dalam keadaan
yang lebih menyenangkan."
Tanpa membuang waktu lagi dan tidak memberi kesempatan kepada wanita itu
untuk membantah, Suma Han lalu menekankan tongkatnya di atas tanah dan
di lain saat tubuhnya sudah berkelebat lenyap dan tak lama kemudian
tampak seekor burung rajawali terbang tinggi di angkasa, membawa tubuh
bekas Majikan Pulau Es yang duduk anteng di atas punggung rajawali itu.
Phoa Ciok Lin kini tidak dapat menahan lagi air matanya yang turun
bercucuran ketika ia menjatuhkan dirinya berlutut di atas tanah,
menutupi muka dengan kedua tangan sedangkan mulutnya mengeluarkan
rintihan yang langsung keluar dari lubuk hatinya. "Duhai, Suma Han...
betapa aku dapat menikah dengan orang lain? Apa artinya hidup bagiku
kalau harus berpisah dari sampingmu?"
Beberapa hari kemudian, pantai laut yang tadinya menjadi tempat
persembunyian para penghuni Pulau Es itu menjadi sunyi. Bekas anak buah
Pulau Es telah pergi mencari jalan hidup masing-masing dan orang
terakhir yang meninggalkan tempat itu adalah Phoa Ciok Lin, seorang
wanita yang usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi masih cantik,
berpakaian sederhana, bersikap pendiam namun sinar matanya mengandung
kedukaan di samping sinar mata tajam berwibawa. Seorang wanita berilmu
tinggi, bekas wakil Pulau Es yang ditakuti orang-orang kang-ouw!
Kemana perginya Kwi Hong? Dara itu pergi tanpa pamit. Memang telah lama
sekali dia terdorong oleh hasrat untuk pergi meninggalkan pantai laut,
pergi merantau. Jauh bersembunyi di sudut lubuk hatinya, dia menyimpan
rahasia yang mendorongnya ingin sekali pergi merantau itu, yaitu
keinginan untuk mencari Bun Beng! Semenjak dia ditolong oleh pemuda itu
dari ancaman bahaya mengerikan ketika dia ditawan di kapal Koksu,
melihat betapa pemuda itu membela Pulau Es secara mati-matian, hatinya
makin tertarik kepada pemuda itu.
Setelah pamannya kembali, hilanglah rintangan yang menghalanginya pergi
meninggalkan tempat itu. Tadinya dia menekan-nekan hasratnya, mengingat
bahwa ia harus mambantu Ciok Lin menjaga para anak buah Pulau Es yang
mengungsi di situ, menanti sampai pamannya datang. Kini pamannya telah
muncul, dan biar pun pamannya kelihatan lelah dan terluka sehabis
bertanding melawan kakek yang seperti mayat hidup itu, namun dia percaya
bahwa pamannya yang sakit akan dapat sembuh kembali dan dengan adanya
pamannya di situ, tanaga bantuannya tidak dibutuhkan lagi.
Dengan sebuntal pakaian dan pedang Li-mo-kiam di punggung, Kwi Hong
kemudian meninggalkan pantai, melakukan perjalanan cepat berlari-larian
menuju ke selatan, melalui sepanjang pantai laut. Dia merasa gembira,
merasa bebas seperti seekor burung di angkasa. Dia akan memperlihatkan
kepada dunia kang-ouw bahwa dia, murid dan keponakan Pendekar Super
Sakti, penghuni Pulau Es, adalah seorang dara perkasa yang akan membalas
terhadap mereka yang telah berani menghancurkan Pulau Es! Dia akan
memperlihatkan kepada Gak Bun Beng bahwa tidak percuma pemuda itu
memberi pedang Pusaka Li-mo-kiam kepadanya karena dengan pedang itu, dia
akan menggerakkan dunia kang-ouw, akan membasmi penjahat-penjahat, akan
melakukan hal-hal yang lebih hebat dari pada yang telah dilakukan oleh
guru dan pamannya, Pendekar Siluman!
Langkahnya cepat sesuai dengan hatinya yang ringan. Seorang dara cantik
jelita, yang usianya sudah cukup dewasa, sudah dua puluh tahun lebih,
namun senyum dan sinar matanya masih kekanak-kanakan seperti seorang
dara remaja belasan tahun! Wajahnya bulat dikelilingi rambutnya yang
hitam subur dan gemuk, rambut yang dibagi dua di belakang kepala,
dijadikan dua buah kuncir yang besar dan dibiarkan bermain-main di
punggung dan pundaknya kalau dia berjalan.
Anak rambut halus berjuntai di atas dahi dan di depan kedua telinganya,
melingkar indah seperti dilukis. Sepasang matanya yang agak lebar
bersinar-sinar penuh gairah hidup, agak panas sesuai dengan wataknya,
penuh keberanian bahkan ada sinar memandang rendah kepada segala apa
yang dihadapinya. Hidungnya mancung dan mulutnya dijaga sepasang bibir
yang merah segar, bibir yang mudah sekali berubah-ubah, kalau tersenyum
amat cerah seperti sinar matahari, kalau cemberut amat menyeramkan
seperti awan gelap mengandung kilat.
Pakaiannya terbuat dari pada sutera berwarna yang halus mahal, akan
tetapi bentuknya sederhana. Betapa pun juga, segala macam pakaian yang
menempel di tubuh itu takkan mungkin mampu menyembunyikan bentuk tubuh
dara yang sudah padat dan masak, dengan lekuk lengkung tubuh yang ketat,
seolah-olah hendak memberontak dari kungkungan pakaian yang
mengurungnya.
Ketika dia berjalan mengayun langkah menggerakkan kedua lengan, jalan
seenaknya tanpa dibuat-buat, seolah-olah seluruh lengkung tubuhnya
menari-nari dengan penuh keserasian, mengandung daya tarik luar biasa
terutama terhadap pandangan mata kaum pria!
Setelah melakukan perjalanan belasan hari lamanya dan mulai memasuki Propinsi Liau-neng,
mulailah Kwi Hong melewati dusun-dusun besar bahkan kota-kota yang
ramai. Tujuannya pertama-tama hanya satu, yaitu ke kota raja. Di sanalah
tempat yang harus dia selidiki, yang menjadi pusat dari pada
musuh-musuh yang harus dicarinya. Bukankah penyerbuan oleh pasukan
pemerintah yang menghancurkan Pulau Es itu datang dari kota raja dan
dipimpin oleh Koksu negara yang tentu berdiam di kota raja?
Sebelum Bun Beng meninggalkan pantai di mana anak buah Pulau Es
mengungsi, pemuda itu sudah menceritakan dengan jelas siapa-siapa
orangnya yang membantu Koksu menghancurkan Pulau Es. Mereka adalah kedua
orang Lama yang menurut pamannya amat lihai dan adalah musuh-musuh lama
pamannya, yaitu Thian Tok Lama dan Thai Li Lama dan ditambah lagi dua
orang guru murid yang menjadi musuh lama mereka pula, yaitu Tan Ki atau
Tan-siucai yang berotak miring dan gurunya, Maharya!
Dia harus mencari mereka itu semua, bukan hanya untuk membalas
kehancuran Pulau Es, akan tetapi juga untuk berusaha merampas kembali
Hok-mo-kiam dari tangan Si Sastrawan Gila, Tan-siucai. Dia maklum bahwa
semua lawannya itu adalah orang-orang yang amat lihai, akan tetapi dia
tidak takut! Dengan Li-mo-kiam di tangannya, dia tidak takut melawan
siapa pun juga. Bahkan kakek Si Mayat Hidup yang demikian sakti pun,
iblis Pulau Neraka itu, dia mampu melawan dan mendesaknya! Apa lagi yang
lain-lain itu!
Siapa lagi musuh-musuhnya? Demikian Kwi Hong mengingat-ingat sambil
melanjutkan perjalanannya. O, ya! Thian-liong-pang yang dikabarkan
memusuhi Pulau Es! Akan dia kacau Thian-liong-pang yang menurut kabar
adalah perkumpulan yang jahat itu! Dan Pulau Neraka yang pernah
menculiknya adalah adik angkat pamannya sendiri, dan dia sudah dilarang
pamannya untuk memusuhi... ehhh, siapa namanya? Oh, dia ingat sekarang.
Bibi Lulu! Hemmm, dia tidak akan memusuhi Bibi Lulu, akan tetapi bocah
kurang ajar itu!
Kwi Hong menggigit bibirnya dengan gemas jika teringat kepada Wan Keng
In! Bocah itu tentu putera Bibi Lulu, pikirnya. Kurang ajar dan jahat
sekali! Dahulu ketika masih kecil saja sudah nakal luar biasa. Apa lagi
sekarang! Dan ketika menolong Kakek Mayat Hidup, pedang Lam-mo-kiam
berada di tangannya! Dia harus mengalahkan bocah itu dan merampas
Lam-mo-kiam karena sebetulnya Bun Beng yang berhak atas pedang itu!
Hari telah senja ketika Kwi Hong yang berjalan sambil melamun itu
memasuki dusun Kang-san yang cukup besar. Perutnya terasa lapar maka dia
lalu masuk ke sebuah restoran di pinggir jalan. Ketika para tamu
melihat dia masuk ke restoran itu, banyak mata memandangnya dengan
terbelalak. Kwi Hong tidak merasa aneh lagi melihat mata laki-laki
memandangnya terbelalak penuh kagum. Hal ini sudah terlalu sering dia
alami semenjak dia berusia lima belas tahun dan melakukan perantauannya
keluar Pulau Es.
Mula-mula memang dia marah-marah dan sering kali dia menghajar pemilik
mata yang memandangya secara kurang ajar, seperti mata kucing melihat
daging itu, akan tetapi lama-lama dia terbiasa dan kini dia tidak
mengacuhkan lagi ketika semua laki-laki yang sedang makan di restoran
itu menyambut kehadirannya dengan mata terbelalak. Bahkan hal ini
seperti biasa, mempertebal keyakinan di hati Kwi Hong bahwa dia adalah
seorang dara yang cantik menarik. Teringat akan ini, makin girang
hatinya karena terbayang olehnya betapa di antara sekian banyaknya mata
laki-laki yang bengong mengaguminya terdapat sepasang mata Bun Beng!
Sayang hanya bayangan, pikirnya, namun dia penuh harapan sekali waktu
akan melihat mata Bun Beng melotot seperti mata mereka ini ketika
memandangnya.
"He, Bung Pelayan! Ke sinilah!" Dia menggerakkan jari memanggil pelayan yang juga berdiri di sudut melongo memandangnya.
Ketika ia mengangkat muka, Kwi Hong mengerutkan alisnya. Aihhh, pandang
mata mereka itu tidak hanya kagum seperti biasa, akan tetapi mengandung
sinar ketakutan! Hemmm, apakah dia menakutkan? Kurang ajar! Dia disangka
apa sih? Tak puas hati Kwi Hong dan setelah pelayan datang dekat, dia
membentak,
"Heii, mengapa semua orang memandangku seperti anjing-anjing takut digebuk?"
Seketika mereka yang memandang itu membuang muka dan melempar pandang
mata ke bawah, bahkan ada yang bergegas meninggalkan warung.
"Maaf... maaf... Lihiap. Kami... ehh, kami tidak apa-apa, hanya... hanya kagum melihat kegagahan Lihiap..."
"Hushhh! Bohong kamu!" Kwi Hong menggunakan jari tangannya yang halus
dan kecil memucuk rebung (meruncing) itu mencengkeram ujung meja.
"Kressss!" Ujung meja kayu itu patah dan sekali diremas, kayu di dalam
genggaman itu hancur menjadi tepung! "Hayo terus terang bicara kalau
hidungmu tidak lebih keras dari pada kayu ini!" Kwi Hong mendesis lirih,
akan tetapi penuh ancaman.
Otomatis tangan kiri Si Pelayan meraba hidungnya, matanya melotot
memandang tangan dara itu, bergidik ngeri membayangkan betapa hidungnya
akan remuk kalau kena dicengkeram seperti itu, lalu menelan ludah,
demikian sukar menelan ludah sampai kepala dan lehernya bergerak.
Beberapa kali bibirnya bergerak tanpa dapat mengeluarkan suara, akhirnya
dapat juga dia bicara.
"Maafkan saya, Lihiap. Sebetulnya kalau saya katakan tadi bahwa kami
semua kagum melihat Lihlap, karena selama ini, beberapa hari yang lalu
sering kali muncul gadis-gadis cantik yang memiliki ilmu kepandaian luar
biasa. Entah betapa banyak orang yang tewas di tangan gadis cantik itu,
dan di dusun ini selama beberapa hari terjadi pertandingan-pertandingan
yang menggegerkan penduduk, terjadi di waktu malam. Oleh karena itu,
begitu melihat Lihlap, kami menyangka bahwa Lihiap tentulah seorang di
antara mereka dan kami kagum sekali."
Kwi Hong sudah menjadi sabar kembali. "Hemmm, buka mata lebar-lebar
sebelum menyamakan aku dengan orang-orang lain tukang bunuh! Hayo cepat
sediakan bakmi godok istimewa!"
"Istimewa? Maksud Lihiap...?"
"Bodoh! Bakmi istimewa berarti pakai telur. Hayo cepat! Dan arak manis yang istimewa!"
"Eh, araknya pakai telur?" Pelayan itu melongo.
"Tolol kamu! Yang istimewa rasanya, bukan pakai telur. Cepat! Bodoh
benar pelayan di sini." Kwi Hong menurunkan buntalan dan pedangnya di
atas meja, hatinya tidak marah lagi akan tetapi masih mendongkol melihat
sikap pelayan yang dianggapnya bodoh itu, apa lagi ada beberapa orang
tamu yang ia tahu tertawa-tawa geli biar pun mereka menyembunyikan tawa
mereka dengan menutupi muka atau memutar tubuh membelakanginya.
Tak lama kemudian, pelayan itu datang membawa bakmi dan arak yang
dipesan Kwi Hong dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda lewat di
depan restoran. Suara derap kaki kuda itu berhenti tidak jauh dari
restoran. Melihat cara para penunggang kuda yang duduk tegak di atas
punggung kuda, rata-rata memiliki sikap gagah dan pimpinan mereka adalah
seorang wanita muda yang cantik dan gagah, Kwi Hong tertarik sekali.
"Siapakah mereka itu?" tanyanya kepada pelayan yang sedang menaruh pesanannya ke atas meja dengan sikap hormat.
"Ah, sekarang saya yakin bahwa Nona bukanlah seorang di antara mereka.
Mereka itulah rombongan yang saya ceritakan tadi. Semenjak mereka datang
ke dusun ini, setiap malam terjadi pertandingan dan pada keesokan
harinya tampak macam-macam orang bergelimpangan."
"Mayat-mayat siapa?"
"Orang-orang yang terkenal memiliki kepandaian tinggi di sekitar dusun ini."
"Apakah rombongan itu orang jahat?"
"Sukar dikatakan, Nona. Mereka, kecuali dara cantik yang kadang-kadang
memimpin mereka selalu membayar makanan yang mereka beli di sini atau di
lain tempat. Akan tetapi, kalau ada yang berani menantang, tentu dia
akan celaka karena mereka itu memiliki kepandaian seperti iblis!"
"Hemmm..." Kwi Hong mulai menyumpit bakminya, tetapi sebelum
memasukkannya ke mulutnya yang kecil dia lalu bertanya lagi, "Rombongan
orang apakah itu? Dan apa namanya?"
"Saya tidak tahu jelas, Nona, hanya mendengar kabar angin bahwa mereka adalah orang-orang Thian-liong-pang yang..."
"Hemmm, Thian-liong-pang?" Sesumpit bakmi yang sudah menyentuh bibir itu
terhenti dan Kwi Hong menoleh kepada Si Pelayan. "Kudengar tadi kuda
mereka berhenti tak jauh dari sini, mereka ke mana?"
"Mereka bermalam di dalam rumah penginapan satu-satunya yang berada
dekat dari sini, hanya terpisah tujuh rumah. Semua tamu, beberapa hari
yang lalu terpaksa harus meninggalkan penginapan karena semua kamar
dibutuhkan mereka yang jumlahnya ada belasan orang. Hemm, hati para
penduduk menjadi gelisah terus selama mereka berada di sini, Nona.
Sungguh pun kami tidak pernah diganggunya, tetapi semenjak mereka
datang, suasana menjadi penuh ketegangan dan hati siapa tidak akan
menjadi ngeri kalau melihat hampir setiap malam terjadi pembunuhan?
Sudahlah, harap maafkan, Nona, saya tidak berani bicara lagi tentang
mereka." Pelayan itu pergi dan hati Kwi Hong menjadi panas. Hemm,
orang-orang Thian-liong-pang yang mengacau dusun ini? Harus dia
selidiki!
Malam hari itu Kwi Hong menyembunyikan pedang pusakanya di bawah
punggung bajunya dan setelah keadaan menjadi sunyi, dia menggunakan
kepandaiannya meloncat ke atas genteng rumah-rumah orang. Dari atas itu
dia terus berloncatan, mengerahkan ginkang-nya sehingga kedua kakinya
tidak menimbulkan suara gaduh, terus berlompatan menuju ke rumah
penginapan di mana bermalam orang-orang Thian-liong-pang yang akan dia
selidiki. Dia mendapat kenyataan betapa dusun itu, tepat seperti yang
diceritakan Si Pelayan restoran, diliputi suasana gelisah sehingga
sore-sore penduduk sudah menutup pintu, hanya mereka yang terpaksa
keluar rumah. Jalan-jalan raya yang diterangi nyala lampu-lampu depan
rumah, kelihatan sunyi sekali.
Tiba-tiba Kwi Hong menyelinap di belakang sebuah wuwungan, bersembunyi
dalam bagian gelap ketika pandang matanya yang tajam melihat
berkelebatnya bayangan tiga orang dari sebelah kanan. Ketiga orang itu
juga berlari di atas genteng menggunakan ginkang yang cukup lumayan.
Ketika mereka lewat dekat, Kwi Hong dapat memandang wajah mereka di
bawah sinar bintang-bintang ditambah sinar api lampu penerangan yang
menyorot keluar dari celah-celah genteng dan rumah orang.
Mereka adalah tiga orang laki-laki setengah tua. Yang dua orang
berpakaian seperti peranakan Mongol dan seorang suku bangsa Han yang
berpakaian seorang pelajar. Melihat dua orang berpakaian Mongol itu
tidaklah mengherankan karena di dusun itu yang termasuk Propinsi
Liau-neng, daerah utara, banyak terdapat orang-orang bersuku bangsa
Mancu, Mongol dan lain suku bangsa utara lagi. Akan tetapi yang membuat
Kwi Hong curiga adalah sikap mereka.
Mereka tentu bukan orang biasa, karena mereka menggunakan jalan di atas
genteng seperti dia. Tentunya mempunyai maksud tertentu. Maka diam-diam
dia membayangi mereka dari jauh. Tidaklah sukar bagi Kwi Hong untuk
melakukan hal ini karena tingkat ginkang mereka itu masih jauh di
bawahnya sehingga dia dapat membayangi mereka tanpa mereka ketahui.
Jantungnya berdebar tegang saat ia mendapat kenyataan bahwa tiga orang
itu menuju ke rumah penginapan di mana orang-orang Thian-liong-pang
berada dan menjadi tempat yang akan diselidikinya. Apakah tiga orang itu
anggota rombongan mereka?
Pertanyaan ini terjawab ketika mereka tiba di atas rumah penginapan,
seorang di antara mereka, yang berpakaian sastrawan atau pelajar,
berseru nyaring,
"Manusia-manusia penjilat rendah! Orang-orang Thian-liong-pang
pengkhianat bangsa! Keluarlah kalian! Kami bertiga, Sepasang Beruang
Utara dan aku Tiat-siang-pit Bhe Lok, datang untuk membalas kematian
kawan-kawan seperjuangan kami!"
Kwi Hong cepat bersembunyi, mendekam di balik sebuah wuwungan tak jauh
dari situ, memandang ke depan penuh perhatian. Kiranya tiga orang itu
datang untuk memusuhi Thian-liong-pang dan diam-diam dia heran
mendengarkan mereka menyebut Thian-liong-pang sebagai pengkhianat bangsa
dan penjilat! Siapakah tiga orang ini dan mengapa pula Thian-liong-pang
mereka sebut pengkhianat bangsa?
Sepanjang pendengarannya Thian-liong-pang adalah sebuah perkumpulan yang
besar dan amat kuat, bahkan di dunia kang-ouw hanya ada tiga buah
perkumpulan atau nama yang terkenal, yaitu Pulau Es, Pulau Neraka dan
Thian-liong-pang. Belum pernah dia mendengar bahwa Thian-liong-pang
adalah pengkhianat bangsa. Karena dia tidak tahu duduknya perkara, maka
dia mengambil keputusan untuk mendengarkan dan menonton saja tanpa
mencampuri urusan mereka. Kalau terbukti bahwa Thian-liong-pang
melakukan perbuatan jahat dan mengacau penduduk, barulah dia akan turun
tangan membasmi mereka!
Tiba-tiba suara yang halus nyaring memecah kesunyian menyambut ucapan
orang berpakaian sastrawan yang bernama Bhe Lok, berjuluk Tiat-siang-pit
(Sepasang Pensil Besi) itu, "Heeiii, kalian orang-orang tak tahu malu!
Kalian adalah pemberontak hina yang menggunakan sebutan perjuangan dan
pahlawan untuk mengelabui mata rakyat, siapa tidak tahu bahwa kalian
hanyalah orang-orang yang mencari kedudukan dan kesempatan untuk
merampok? Kalau sudah bosan hidup, turunlah!"
"Ha-ha! Orang lain boleh jadi takut berhadapan dengan Thian-liong-pang
perkumpulan hina tukang culik dan tukang curi ilmu orang! Akan tetapi
kami Sepasang Beruang dari Utara tidak takut kepada siapa pun juga!"
Seorang di antara kedua orang peranakan Mongol tadi tertawa bergelak,
perutnya yang gendut berguncang.
"Kalian hanyalah dua orang pelarian dari pasukan Mongol yang sudah
kalah, sekarang masih berani banyak lagak? Turunlah kalau memang
berani!" kembali suara halus tadi menantang.
Ketiga orang itu mencabut senjata masing-masing. Tiat-siang-pit Bhe Lok
mencabut sepasang senjata yang berbentuk pensil bulu yang seluruhnya
terbuat dari pada besi, sedangkan kedua orang Mongol itu mencabut
sepasang tombak pendek masing-masing, kemudian ketiganya melayang turun
ke pekarangan belakang rumah penginapan yang diterangi oleh lampu-lampu
gantung di tiga sudut. Gerakan mereka ringan dan cepat, seperti tiga
ekor burung yang terbang melayang turun dan begitu tiba di atas tanah,
ketiganya sudah menggerakkan senjata masing-masing, diputar melindungi
tubuh kalau-kalau ada serangan senjata lawan.
Akan tetapi ternyata tidak ada senjata rahasia yang menyambar ke arah
mereka, bahkan dengan sikap tenang sekali muncullah tiga orang kakek
yang rambutnya panjang riap-riapan dan bertangan kosong, keluar dari
balik pintu dan menyambut mereka dengan senyum mengejek.
Kwi Hong cepat menyelinap mendekat dan mendekam di atas wuwungan, sambil
bersembunyi mengintip ke bawah. Dia masih tetap tidak mengerti mengapa
Thian-liong-pang bermusuhan dengan orang-orang itu. Dari percakapan
mereka agaknya mereka itu tidaklah bermusuhan pribadi, melainkan karena
urusan pemerintah dan agaknya jelas bahwa Thian-liong-pang berada di
pihak yang membantu pemerintah sedangkan dua orang Mongol dan sastrawan
itu adalah penentang-penentang pemerintah. Akan tetapi Kwi Hong tidak
tahu persoalannya dan memang sejak kecil pamannya selalu berpesan agar
dia tidak mencampuri urusan pemerintah.
"Urusan yang menyangkut pemerintah adalah urusan yang ruwet," demikian
antara lain pamannya berpesan, "karena itu jangan sekali-kali engkau
melibatkan diri dengan urusan pemerintah. Banyak terjadi pertentangan
dan permusuhan karena pro atau anti suatu pemerintahan yang hanya
terseret oleh rasa pertentangan golongan atau pun terdorong oleh ambisi
pribadi untuk mencari kedudukan saja. Di dalam perebutan kedudukan itu
terdapat lika-liku yang amat ruwet."
Tidaklah mengherankan kalau Pendekar Super Sakti memesan muridnya atau
keponakannya ini agar jangan melibatkan diri dengan urusan negara karena
pertama-tama, Kwi Hong sendiri adalah puteri seorang pembesar Mancu.
Apa lagi kalau diingat isterinya sendiri, Nirahai, adalah puteri Kaisar!
Bahkan adik angkatnya, wanita yang dicintanya sampai saat itu, Lulu
juga seorang wanita Mancu. Bagaimana dia dapat menentang pemerintah
Mancu?
Kwi Hong mengintai dengan hati tegang ketika melihat betapa tiga orang
pendatang itu kini telah menyerang tiga orang kakek Thian-liong-pang
yang bertangan kosong. Gerakan Sepasang Beruang dari Utara itu amat
ganas dan kuat. Sepasang tombak pendek di tangan mereka mengeluarkan
angin mendesing dan setiap serangan mereka dahsyat sekali. Ada pun
permainan sepasang pit di tangan sastrawan itu halus gerakannya namun
juga amat cepat dan berbahaya, jelas dapat dikenal dasar ilmu silat
Hoa-san-pai yang dimainkan oleh sastrawan setengah tua itu.
Namun diam-diam Kwi Hong terkejut juga melihat gerakan tiga orang kakek
rambut panjang dari Thian-liong-pang. Mereka itu hebat sekali! Biar pun
mereka bertangan kosong, namun gerakan mereka demikian cepat dan ringan
sehingga semua gerakan lawan dapat mereka elakkan dengan mudah, bahkan
mereka membalas serangan lawan dengan totokan Coat-meh-hoat dari Partai
Bu-tong-pai yang amat lihai dan berbahaya! Baru berlangsung tiga puluh
jurus saja Kwi Hong sudah dapat melihat jelas bahwa tiga orang penyerbu
itu sama sekali bukanlah tandingan tiga orang kekek Thian-liong-pang
yang lihai itu. Baru tiga orang saja sudah sedemikian hebat, apa lagi
kalau belasan orang Thian-liong-pang keluar semua! Dan pemimpin mereka
tentu lihai bukan main!
Kwi Hong tidak tahu siapa yang benar dan siapa salah dalam pertentangan
di bawah itu dan tadinya dia pun tidak mau peduli, tidak tahu harus
membantu yang mana. Akan tetapi ketika melihat kenyataan bahwa tiga
orang penyerbu itu sama saja dengan mengantar nyawa secara sia-sia, dia
menjadi penasaran juga, apa lagi mengingat akan penuturan pelayan
restoran bahwa pihak Thian-liong-pang telah membunuh banyak orang.
Tangan kanannya meraba genteng, memecah tiga potong yang digenggamnya
dan dia berseru ke bawah,
"Sia-sia membuang nyawa dengan nekat bukanlah perbuatan gagah, tetapi
perbuatan goblok! Selagi masih ada kesempatan, menyelamatkan diri, tidak
mau pergi, lebih tolol lagi!"
Tiba-tiba tiga sinar hitam kecil menyambar ke arah tiga orang kakek
Thian-liong-pang yang sudah mendesak lawan. Mereka terkejut dan berusaha
mengelak, akan tetapi hanya seorang saja yang berhasil meloncat ke
belakang, bergulingan sampai jauh lalu meloncat bangun lagi, sedangkan
dua orang kakek lainnya sudah roboh karena tertotok sambitan potongan
genteng kecil itu. Mendengar suara itu dan melihat betapa tiga orang
lawan mereka yang lihai diserang secara gelap, tiga orang penyerbu itu
cepat melompat ke atas genteng di depan sambil berseru,
"Terima kasih atas pertolongan Li-hiap!" Mereka maklum bahwa ucapan itu
memang tepat dan kalau sampai semua orang Thian-liong-pang turun tangan,
tentu mereka akan tewas secara sia-sia. Maka begitu sampai di atas
genteng, ketiganya lalu pergi lari secepatnya menghilang di dalam
kegelapan malam.
"Manusia sombong yang lancang tangan!" Tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring dan halus dan pintu-pintu di rumah penginapan itu terbuka
disusul munculnya banyak orang yang dipimpin oleh seorang dara yang
cantik jelita. Keadaan menjadi lebih terang karena di antara mereka ada
yang membawa lampu.
Kwi Hong adalah seorang gadis yang berwatak keras dan tidak mengenal
takut. Di dasar hatinya dia sudah mempunyai rasa tidak senang kepada
Thian-liong-pang yang menurut penuturan para pamannya di Pulau Es,
merupakan perkumpulan besar yang bersikap memusuhi Pulau Es. Kini
melihat munculnya dara yang amat cantik dan yang memakinya, dia menjadi
marah dan balas memaki,
"Kaliankah orang-orang Thian-liong-pang yang sombong? Kabarnya
Thian-liong-pang adalah perkumpulan besar yang memiliki banyak orang
pandai, kiranya tiga orang kalian tadi sama sekali tidak ada gunanya!"
"Bocah sombong!" Dua orang kakek meloncat ke atas dan gerakan mereka
yang amat ringan itu menandakan bahwa mereka berdua memiliki tingkat
kepandaian yang lebih tinggi dari pada tingkat tiga orang yang tadi
melawan tiga penyerbu dan yang dipukul mundur oleh potongan genteng yang
disambitkan Kwi Hong.
Dengan gerakan jungkir balik, keduanya sudah menerjang ke arah tubuh Kwi
Hong dari dua jurusan, melakukan serangan yang amat dahsyat dan biar
pun mereka menyerang dengan kedua tangan kosong, namun pukulan mereka
mendatangkan angin keras dan merupakan pukulan yang mengandung tenaga
sinkang kuat!
Namun Kwi Hong adalah seorang dara yang semenjak kecilnya berlatih
sinkang di Pulau Es, di bawah pengawasan pamannya sendiri, tentu saja
dia memiliki sinkang yang jarang tandingannya. Melihat datangnya pukulan
dari belakang dan depan itu, cepat ia merubah kedudukan kakinya,
tubuhnya dimiringkan sehingga kini pukulan itu tidak datang dari
belakang, melainkan dari kanan kiri. Tanpa menggeser kakinya, dia
mengembangkan kedua lengan, memapaki pukulan itu dengan dorongan telapak
tangannya sambil membentak.
"Pergilah kalian!"
Dua orang kakek itu yang tentu saja memandang rendah, melihat betapa
gadis itu menangkis pukulan mereka dengan telapak tangan terbuka, mereka
melanjutkan pukulan dengan pengerahan sinkang agar gadis yang berani
menghina Thian-liong-pang ini dapat dirobohkan dengan sekali serang.
"Desss! Desss!"
Kedua pukulan mereka bertemu dengan telapak tangan yang halus lunak,
akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika tenaga sinkang mereka hanyut
dan lenyap, sedangkan dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar
hawa dingin yang demikian hebat dan cepatnya menyerang mereka melalui
lengan mereka sehingga mereka merasa lengan itu lumpuh dan hawa yang
dingin luar biasa membuat mereka menggigil, terus hawa dingin itu
merayap menuju ke dada. Mereka berusaha mempertahankan diri, namun
dorongan hawa dingin yang luar biasa itu membuat tubuh mereka
terpelanting dan terguling ke bawah. Mereka berteriak kaget, berusaha
mengerahkan ginkang, akan tetapi karena rasa dingin tadi membuat tubuh
mereka seperti kaku, mereka masih terbanting ke atas tanah sehingga
seorang di antara mereka pingsan dan yang seorang lagi bangun duduk
merintih-rintih sambil memegangi pinggulnya yang terbanting keras!
Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring dan tampaklah sinar hitam
meluncur ke atas dengan cepat sekali. Sinar itu ternyata adalah sehelai
tali yang meluncur keras seperti seekor ular panjang yang hidup,
ujungnya bergerak-gerak dan menotok ke arah kedua mata Kwi Hong! Karena
cuaca di atas tidaklah begitu terang, Kwi Hong tak dapat melihat ujung
tali hitam dan hanya menangkap suara dan anginnya, maka dia terkejut
bukan main. Cepat ia menggerakkan kedua tangannya ke depan muka, selain
untuk menjaga mata juga untuk menangkap benda panjang yang menyambarnya
itu.
Kiranya dara jelita yang memegangi tali hitam dari bawah itu lihai bukan
main. Dialah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan menggunakan
tali hitam untuk menyerang Kwi Hong yang berada di atas genteng. Begitu
melihat gadis perkasa di atas itu hendak menangkap ujung senjatanya yang
aneh, dara ini cepat menggerakkan pergelangan tangannya dan tiba-tiba
ujung tali di atas itu tidak jadi melanjutkan serangan ke arah mata,
melainkan meluncur ke bawah dan tahu-tahu telah membelit kaki kiri Kwi
Hong dan dara itu mengerahkan tenaga, menarik tali secara tiba-tiba ke
bawah!
"Aihhh!" Kwi Hong terkejut bukan main.
Tali itu demikian lemas sehingga ia tidak merasa ketika kakinya dibelit,
tahu-tahu hanya merasa betapa kakinya ditarik dengan kuat sekali dari
atas wuwungan genteng! Karena tarikan itu tiba-tiba dan juga tenaga
tarikan berdasarkan sinkang sedangkan tali itu pun amat kuatnya, Kwi
Hong tak dapat mempertahankan kakinya lagi yang terpeleset dan tubuhnya
terpelanting, jatuh ke bawah!
"Haiiiitttt!" Dengan kekuatan yang luar biasa ditambah kegesitannya, Kwi
Hong telah dapat menggerakkan tubuh, tangannya menyambar wuwungan
sehingga tubuhnya tertahan dan kini terjadilah tarik-menarik!
Dara di sebelah bawah meggunakan dua tangan yang memegang tali untuk
menarik, sedangkan Kwi Hong dengan berpegang pada wuwungan genteng,
mempertahankan kakinya yang terbelit tali dan ditarik ke bawah. Dia
maklum bahwa kalau sampai dia jatuh ke bawah, tentu dia akan disambut
oleh pengeroyokan orang-orang Thian-liong-pang. Dia tidak takut
dikeroyok, akan tetapi dalam keadaan kakinya terbelit tali dan jatuh ke
bawah, tentu saja keadaannya amat berbahaya. Maka dia mempertahankan
diri mati-matian sambil mengerahkan tenaga pada tangan yang berpegang
pada wuwungan.
Tarik-menarik terjadi. Betapa pun juga, Kwi Hong tentu saja kalah
posisi, dan tiba-tiba wuwungan genteng itu tidak kuat bertahan lagi.
Terdengar suara keras dan wuwungan itu ambrol, genteng-gentengnya runtuh
ke bawah disusul tubuh Kwi Hong yang melayang turun pula. Akan tetapi
untung bagi Kwi Hong karena runtuhnya wuwungan itu membuat orang-orang
Thian-liong-pang yang berada di bawah menjadi kaget dan takut tertimpa,
maka mereka meloncat dan menyingkir. Dengan berjungkir balik, Kwi Hong
berhasil membuka lipatan ujung tali pada kakinya dan ketika ia melayang
turun dan disambut oleh orang Thian-liong-pang yang memukulnya, ia cepat
menangkis.
"Plak! Plak!"
Kembali Kwi Hong terkejut. Tangkisannya membuat kedua orang itu
terpental, akan tetapi kedua tangannya juga tergetar hebat, tanda bahwa
dua orang yang menyerangnya itu memiliki sinkang yang amat kuat.
"Tar-tar-tar-tar!"
Ujung tali panjang itu meledak-ledak di atas kepalanya dan secara
berturut-turut, ketika ia mengelak ke sana-sini, ujung tali itu telah
menotok ke arah ubun-ubun, kedua pelipis, jalan darah di tengkuk dan
tenggorokan! Tempat-tempat berbahaya yang ditotok, dan semua merupakan
serangan maut berbahaya! Kwi Hong terbelalak dan secepat kilat dia
meloncat ke atas, berjungkir balik dan mengelak serta menangkis totokan
ujung tali secara bertubi-tubi itu.
Sementara itu, para anggota Thian-liong-pang sudah siap dan mencabut
senjata masing-masing. Juga tampak belasan orang yang berpakaian pasukan
pemerintah muncul dari pintu samping. Celaka, pikir Kwi Hong. Kiranya
Thian-liong-pang benar-benar bekerja sama dengan pemerintah dan biar pun
dia tidak takut dikeroyok, akan tetapi kalau sampai dia bentrok dengan
pasukan pemerintah dan dicap pemberontak, bukankah berarti dia akan
menyeret nama baik kehormatan pamannya? Dia melepaskan lagi gagang
Li-mo-kiam yang sudah dirabanya dan sekali meloncat, tubuhnya sudah
melayang ke atas.
Empat orang anggota Thian-liong-pang berseru dan melompat pula. Akan
tetapi, tubuh Kwi Hong yang masih di atas itu, dapat membuat gerakan
salto, membalik dan kedua kakinya menendang roboh dua orang pengejar
terdekat yang juga masih berada di udara! Semua orang melongo dan kagum.
Gerakan itu tiada ubahnya gerakan seekor burung garuda yang dapat
menyerang! Dan memang sesungguhnya Kwi Hong mendapatkan gerakan ini
karena meniru gerakan garuda tunggangannya di Pulau Es dahulu! Kini
semua orang hanya berdiri melongo memandang bayangan Kwi Hong yang
mencelat dan lenyap ditelan kegelapan malam.
Milana, dara jelita yang mengunakan tali panjang tadi, menjadi penasaran
sekali. Apa lagi ketika tiba-tiba telinganya mendengar suara ringkik
disusul derap kaki kuda di sebelah belakang rumah penginapan, mukanya
menjadi merah.
"Si keparat itu mencuri kuda kita! Hayo kejar!"
Anak buah Thian-liong-pang cepat berlari-larian dan di dalam malam gelap
itu mulailah mereka melakukan pengejaran. Dan memang benar sekali
dugaan Milana, Kwi Hong telah meloncat ke belakang penginapan dan
melihat banyak kuda di kandang, timbul kenakalannya. Dia mencuri seekor
kuda terbaik dan melarikan diri naik kuda curian itu! Gadis yang nakal
itu tidak ingat bahwa dengan melarikan diri berkuda, maka dia memberi
kesempatan kepada orang-orang Thian-liong-pang untuk mengejarnya, karena
selain kuda mengeluarkan bunyi derap kaki yang cukup keras, juga di
waktu terang tanah, para pengejarnya dapat mencari jejak kaki kudanya.
Milana merasa penasaran sekali. Gadis cantik yang sombong itu
benar-benar telah menghina dan mempermainkan Thian-liong-pang! Harus dia
akui bahwa gadis itu memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi belum
tentu dia kalah kalau diberi kesempatan untuk bertanding secara
benar-benar. Tentu saja Milana sama sekali tidak pernah mengira bahwa
gadis cantik itu adalah murid Pendekar Siluman, tidak pernah mengira
bahwa dia tadi bertanding melawan Giam Kwi Hong yang pernah dijumpainya
sepuluh tahun yang lalu! Karena mengira bahwa gadis tadi adalah seorang
tokoh kang-ouw yang tentu memusuhi Thian-liong-pang, Milana menjadi
penasaran dan belum puas hatinya kalau dia belum dapat menguji
kepandaian gadis cantik tadi. Maka dia memimpin anak buahnya melakukan
pengejaran dengan berkuda pula.
Kwi Hong tidak kalah penasaran dibandingkan dengan Milana. Sambil memacu
kudanya keluar dari dusun menuju ke selatan, tiada hentinya Kwi Hong
mengomel seorang diri panjang pendek. Sungguh menggemaskan hati! Mengapa
hampir saja dia celaka di tangan seorang dara remaja? Menurut
penglihatannya, biar pun tidak begitu jelas, hanya melihat dari atas dan
wajah gadis di bawah itu hanya ditimpa sedikit cahaya lampu, namun dia
tahu bahwa dara yang cantik jelita itu usianya tentu jauh lebih muda
dari pada dia. Seorang dara remaja belasan tahun! Dan dia hampir celaka
di tangannya! Demikian rendahkan kepandaiannya? Bukankah dia murid
bahkan keponakan Pendekar Super Sakti, jagoan nomor satu di dunia yang
tiada bandingannya?
Pamannya sudah terkenal di seluruh jagat karena kesaktiannya, mengapa
dia sebagai keponakan dan murid yang telah digembleng sejak kecil,
melawan seorang bocah dari Thian-liong-pang saja hampir keok? Hmm, jika
saja tidak muncul pasukan pemerintah, tentu dia akan mengajak dara
remaja dan semua anak buahnya berduel sampai mereka dapat membuka mata
dan melihat siapa dia! Pedangnya tentu akan membasmi mereka semua! Kwi
Hong merasa penasaran sekali. Akan tetapi, diam-diam dia merasa ragu
apakah dia benar-benar akan menang melawan gadis kecil bersama belasan
orang pembantunya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
"Hemm, kalau dikeroyok, tentu saja berat!" Kwi Hong berjebi. "Kalau main
keroyokan, mereka pengecut! Jika maju satu demi satu, aku dan pedangku
sanggup mengalahkan mereka semua!"
Kwi Hong melarikan kudanya sampai pagi, tak pernah berhenti. Dia
melakukan perjalanan dalam cuaca remang-remang, hanya diterangi
bintang-bintang di langit dan menjelang pagi barulah muncul bulan
sepotong. Setelah matahari mulai muncul dari balik daun-daun pohon di
hutan sebelah depan, Kwi Hong baru merasa aman karena sejak lewat tengah
malam tadi, suara derap kaki kuda yang mengejarnya sudah tidak
terdengar.
Dia memasuki hutan sambil menjalankan kudanya perlahan-lahan. Biar pun
dia tidak tidur semalam suntuk, namun tubuhnya terasa segar tertimpa
sinar matahari pagi dan memasuki hutan yang yang kelihatan segar
kehijauan itu. Kicau burung dan kokok ayam hutan menyambut munculnya
matahari. Pohon-pohon dengan daun kehijauan dihias embun mengintan
berkilauan di ujungnya. Rumput-rumput hijau segar membasah dan
kadang-kadang tampak berkelebatnya seekor kelinci atau kijang yang
melarikan diri bersembunyi di dalam semak-semak.
Kwi Hong tersenyum gembira. Betapa indahnya pemandangan di dalam hutan
di waktu pagi, setelah berbulan-bulan dia harus hidup di tepi laut yang
kering dan tandus. Betapa senangnya hidup bebas seperti itu, seperti
burung-burung yang berkicauan dan saling berkejaran. Tiba-tiba alisnya
berkerut ketika ia melihat seekor burung jantan mengejar-ngejar seekor
burung betina, bercanda, berkejaran, bercuit-cuit amat gembira.
Teringatlah ia kepada Bun Beng dan wajahnya yang berseri gembira tadi
menjadi muram. Ia menghela napas panjang. Kwi Hong tentu akan menjadi
murung hatinya, berlarut-larut termenung kalau saja matanya tidak
tertarik oleh serombongan orang yang datang dari kiri memasuki hutan itu
pula. Seketika ia lupa akan kekesalan hatinya teringat Bun Beng tadi
dan kini dia menghentikan kudanya, menanti orang-orang dan memandang
penuh perhatian.
Rombongan orang berjalan kaki itu jumlahnya ada lima belas orang dan
setelah mereka datang dekat, Kwi Hong terbelalak keheranan karena muka
orang-orang itu berwarna-warni. Orang-orang Pulau Neraka! Tidak salah
lagi. Dia sudah tahu akan keanehan para penghuni Pulau Neraka, yaitu
warna muka mereka yang seperti dicat itu. Sebagian besar adalah
orang-orang yang mukanya berwarna kuning tua, dipimpin oleh dua orang
yang bermuka merah muda.
Ah, ternyata bukanlah orang-orang tingkat rendah, pikir Kwi Hong yang
sudah mengerti bahwa makin muda warna muka seorang Pulau Neraka, makin
tinggilah tingkatnya. Akan tetapi yang membuat dia terbelalak keheranan
bukanlah kenyataan bahwa rombongan itu adalah orang-orang Pulau Neraka,
melainkan benda yang mereka bawa dan kawal. Benda itu adalah sebuah peti
mati! Peti mati berukuran kecil, agaknya untuk seorang kanak-kanak
tanggung, dipanggul oleh dua orang dan dipayungi segala! Yang lain-lain
mengiringkan dari belakang.
Begitu mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang Pulau Neraka,
hati Kwi Hong sudah merasa tidak senang. Dia maklum bahwa Ketua Pulau
Neraka adalah Lulu, adik angkat pamannya. Akan tetapi bukankah kakek
mayat hidup yang ia temui di tepi pantai itu mengatakan bahwa Lulu
hanyalah seorang ketua boneka saja? Dan dia pernah diculik ke Pulau
Neraka, dan sikap Bibi Lulu terhadap paman amat tidak baik, apa lagi
bocah bernama Keng In putera Bibi Lulu itu! Dia merasa benci dan begitu
melihat orang-orang yang mukanya beraneka warna itu, ingin sudah hatinya
untuk menentang dan menyerang mereka. Akan tetapi, melihat peti mati
itu, keheranannya lebih besar dari pada ketidak senangannya maka dia
lalu berkata nyaring.
"Heiii! Bukankah kalian ini orang-orang Pulau Neraka? Siapakah yang mati dan hendak kalian bawa ke mana peti mati itu?"
Seorang wanita setengah tua yang bermuka galak dan seorang laki-laki
tinggi besar, keduanya bermuka kuning tua, meloncat maju dan memandang
Kwi Hong dengan mata bersinar marah. Tentu saja mereka marah menyaksikan
sikap seorang gadis yang sama sekali tidak menghormat padahal gadis itu
sudah tahu bahwa dia berhadapan dengan orang-orang Pulau Neraka. Sikap
seperti itu sama dengan memandang rendah dan menghina. Selain itu, juga
mereka sedang melakukan sebuah tugas yang amat penting dan rahasia, kini
tanpa disengaja berjumpa dengan gadis itu, tentu saja mereka menjadi
khawatir dan tidak senang.
Wanita setengah tua bermuka kuning tua itu menjawab, "Bocah sombong,
sudah pasti peti mati ini bukan untukmu karena engkau akan dikubur tanpa
peti mati!"
"Heiii, apa kau gila? Aku belum mati, siapa bilang mau dikubur?" Kwi Hong membentak marah.
"Setelah bertemu dengan kami, mengenal kami dan bersikap sesombong ini, apakah bukan berarti engkau menjadi calon mayat?"
"Keparat! Engkaulah yang patut mampus!" Kwi Hong balas memaki, matanya yang indah itu melotot.
Kedua orang bermuka kuning tua itu segera menerjang maju dan karena
mereka memandang rendah kepada Kwi Hong, mereka menyerang sembarangan
saja. Yang wanita menampar ke arah pundak Kwi Hong untuk membuat dara
itu turun dari kuda, sedangkan yang pria menampar ke arah kepala kuda
yang kalau terkena tentu akan pecah!
"Tar! Tar!"
Melihat kedua orang itu menyerang, Kwi Hong tidak mengelak mau pun
menangkis, melainkan mengelebatkan perut kudanya, mendahului mereka
dengan serangan pecut. Biar pun dia tidak biasa mainkan pecut, namun
berkat tenaga sinkang-nya yang hebat, ujung pecut itu dua kali menyambar
dan mengarah muka mereka yang berwarna kuning tua!
"Plak! Plak! Aiiihhh...!" Dua orang itu cepat menangkis dan hendak
mencengkeram ujung pecut, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget
hati mereka ketika lengan mereka terasa nyeri dan pecah kulitnya,
mengeluarkan darah begitu bertemu dengan ujung pecut yang bergerak
dengan kekuatan luar biasa itu!
"Dari mana datangnya bocah sombong berani main gila dengan penghuni
Pulau Neraka?" Orang tinggi besar bermuka merah muda membentak keras dan
bersama temannya yang bermuka merah muda pula, yang berkepala gundul
dan bertubuh tinggi gendut pendek, segera menerjang maju. Biar pun jarak
di antara mereka dengan Kwi Hong masih ada dua meter lebih, namun
mereka telah melancarkan pukulan jarak jauh. Si Tinggi Besar menghantam
ke arah Kwi Hong sedangkan Si Gendut Pendek menghantam ke arah kuda yang
ditungangi gadis itu.
"Wuuuuutttt! Siuuut!"
Kwi Hong terkejut. Bukan main hebatnya angin pukulan kedua orang itu,
maha dahsyat dan mengandung bau amis seperti ular berbisa. Maklumlah dia
bahwa kedua orang Pulau Neraka yang sudah agak tinggi tingkatnya
melihat warna mukanya itu memiliki pukulan beracun, maka dia tidak
berani berlaku lambat. Sekali enjot, tubuhnya mencelat ke atas, tapi
terdengar kudanya meringkik kesakitan dan roboh berkelojotan sekarat.
"Berani kau membunuh kudaku?" Kwi Hong membentak, tubuhnya menukik dan
meluncur ke bawah, cambuknya digerakkan bertubi-tubi ke arah kepala dan
tubuh Si Gundul Pendek yang sibuk mengelak sambil bergulingan.
"Tar-tar-tar-tar!"
Biar pun Si Gundul Pendek itu mengelak dan bergulingan ke sana-sini,
namun tetap saja beberapa kali dia kena dihajar ujung cambuk sampai
kepala gundulnya lecet dan bajunya robek-robek. Namun temannya sudah
menerjang Kwi Hong dari belakang dengan pukulan beracun yang dahsyat,
membuat gadis itu terpaksa mencelat ke belakang, meninggalkan Si Gundul
dan siap menghadapi pengeroyokan mereka. Karena dia maklum bahwa lima
belas orang itu amat lihai, maka tangan kanannya bergerak dan berbareng
dengan bunyi mendesing nyaring tampaklah sinar kilat berkelebat membuat
lima belas orang itu terkejut dan otomatis melangkah mundur sambil
memandang ke arah pedang di tangan Kwi Hong dengan mata terbelalak.
"Pe... dang... Iblis...!" Si Tinggi Besar bermuka merah muda berseru kaget.
"Hemmm, kalian mengenal pedangku? Majulah, pedangku sudah haus darah!" Kwi Hong menantang.
"Melihat pedang itu, kita tidak boleh membunuhnya. Tangkap hidup-hidup,
pergunakan asap berwarna. Cepat, ketua kita telah menanti, jangan sampai
dia marah!"
Mendengar ini, jantung Kwi Hong berdebar. Dia tidak takut akan ancaman
mereka untuk menangkapnya hidup-hidup dengan menggunakan asap berwarna
yang ia duga tentulah asap beracun. Akan tetapi mendengar bahwa Ketua
mereka telah menanti, dan agaknya berada di dekat tempat itu, dia
menjadi bingung. Kalau sampai adik angkat pamannya tahu bahwa dia
mengamuk, lalu maju sendiri bagaimana? Selain agaknya tak mungkin dia
dapat menangkan Bibi Lulu itu, juga wanita aneh itu telah menolong dia
dan penghuni Pulau Es ketika diserang pasukan pemerintah. Apa lagi kalau
dia teringat akan pesan pamannya, kemarahannya terhadap orang-orang ini
menjadi menurun dan ia membanting kakinya sambil berseru, "Sudahlah,
aku mau pergi saja!"
Kwi Hong meloncat, akan tetapi dari depan menghadang enam orang anggota
Pulau Neraka dengan senjata mereka melintang. Kwi Hong marah, Pedang
Li-mo-kiam dipercepat berubah menjadi segulung sinar kilat. Enam orang
itu terkejut, menggerakkan senjata masing-masing melindungi tubuh dan
terdengarlah suara nyaring berulang-ulang disusul teriakan-teriakan
kaget karena semua senjata enam orang itu patah-patah dan tubuh gadis
itu mencelat ke depan, terus lari dengan cepat sekali!
Karena takut kalau-kalau rombongan orang Pulau Neraka itu melakukan
pengejaran, bukan takut kepada mereka melainkan takut kalau sampai
bertemu dengan Lulu, Kwi Hong berlari cepat ke selatan di mana terdapat
sebuah anak bukit. Ke sanalah dia melarikan diri dengan bibir cemberut
karena pertemuannya dengan rombongan Pulau Neraka itu membuat dia
kehilangan kudanya. Akan tetapi kepada siapakah dia akan menumpahkan
kemarahannya dan kejengkelannya?
Betapa pun juga, dia tidak mungkin dapat nekat mengamuk dan dapat
menghadapi Bibi Lulu apabila wanita itu muncul. Hal ini tentu akan
membuat pamannya marah sekali, sungguh pun dia sama sekali tidak akan
takut apabila dia harus menghadapi Bibi Lulu sekali pun. Apa lagi kalau
dia teringat akan Keng In, ia bahkan ingin sekali bertemu dengan pemuda
itu dan menantangnya untuk bertanding, tidak hanya mengadu kepandaian,
akan tetapi juga mengadu pedang mereka. Bukankah Pedang Lam-mo-kiam
berada di tangan pemuda brengsek itu? Pedang itu adalah pedang Bun Beng,
dan kalau dia dapat bertemu dengan Keng In berdua saja, dia pasti akan
merampaskan Pedang Lam-mo-kiam dan akan ia berikan kepada Bun Beng!
Ketika ia tiba di anak bukit itu, kembali ia terkejut karena ternyata
bahwa bukit itu merupakan sebuah tanah perkuburan yang luas sekali! Di
sana tampak batu-batu bong-pai (nisan), ada yang masih baru akan tetapi
sebagian besar adalah bong-pai yang tua dan tulisannya sudah hampir tak
dapat dibaca, tanda bahwa tanah kuburan itu adalah tempat yang sudah
kuno sekali. Ia teringat akan rombongan orang Pulau Neraka yang membawa
peti. Celaka, pikirnya, aku telah salah lari. Mereka itu menuju ke
tempat ini untuk mengubur peti mati itu.
Berpikir demikian, Kwi Hong berlari terus dengan maksud hendak melewati
bukit tanah kuburan itu dan untuk berlari terus ke selatan karena dia
hendak mencari musuh-musuh pamannya, musuh-musuh Pulau Es, di kota raja.
Tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri dan kedua kakinya otomatis berhenti,
bahkan kini kedua kaki itu agak menggigil! Kwi Hong takut?
Tidak mengherankan kalau dara perkasa ini ketakutan. Siapa orangnya yang
tidak akan menjadi seram dan takut jika tiba-tiba mendengar suara orang
tertawa cekikikan dan terkekeh-kekeh di tengah tanah kuburan, sedangkan
orangnya tidak tampak. Suara ketawa itu pun tidak seperti biasa, lebih
pantas kalau iblis atau mayat yang tertawa! Kwi Hong seorang gadis
pemberani, akan tetapi baru dua kali ini dia benar-benar menggigil
ketakutan dan bulu tengkuknya menegang. Pertama adalah ketika ia
menemukan sebuah peti di tepi laut yang ketika dibukanya ternyata berisi
mayat hidup! Kedua adalah sekarang ini. Tempat itu demikian sunyi,
tidak terdengar suara seorang pun manusia. Dan tiba-tiba ada suara
ketawa dan agaknya suara ketawa itu terdengar dari mana-mana,
mengelilinginya!
Ah, mana ada setan! Gadis ini berpikir sambil menekan rasa takutnya.
Dahulu pun, mayat hidup itu ternyata adalah seorang kakek yang sakti,
bahkan tokoh pertama dari Pulau Neraka, bukan setan. Sekarang pun pasti
bukan setan, apa lagi di waktu pagi ini, mana ada iblis berani muncul
melawan cahaya matahari? Tentu seorang yang lihai sehingga suara
ketawanya yang mengandung tenaga khikang itu terdengar bergema ke
sekelilingnya. Kwi Hong menjadi tabah dan kini dia menahan napas
mengerahkan sinkang-nya, menggunakan tenaga pendengarannya untuk mencari
dari mana datangnya sumber suara ketawa itu.
Benar saja dugaannya. Suara ketawa yang mengurungnya itu adalah gema
suara yang mengandung khikang amat kuat, sedangkan sumbernya dari...
sebuah kuburan kuno! Kembali ia terbelalak dan bulu tengkuk yang sudah
rebah kembali itu kini mulai bangkit lagi! Suara ketawa dari kuburan
kuno? Apa lagi kalau bukan suara setan atau mayat hidup? Hampir saja Kwi
Hong meloncat jauh dan melarikan diri secepatnya kalau saja dia tidak
merasa malu. Biar pun tidak ada orang lain yang melihatnya, bagaimana
kalau ternyata yang tertawa itu manusia dan melihat dia lari
tunggang-langgang macam itu betapa akan memalukan sekali! Tidak, dari
pada menanggung malu lebih baik menghadapi kenyataan, biar pun dia harus
berhadapan dengan iblis di siang hari sekali pun!
"Heh-heh-heh-heh, hayo... biar kecil, hatinya besar, hi-hi-hik!"
Nah, benar manusia, pikir Kwi Hong yang masih bingung karena suara itu
benar-benar keluar dari sebuah kuburan yang sudah ditumbuhi banyak
rumput dan tidak tampak ada manusia di dekat kuburan itu.
"Krik-krik-krik!"
"Krek-krek-krek!"
Eh, ada suara dua ekor jangkrik! Makin tertarik hati Kwi Hong, apa lagi
ketika kembali terdengar orang tak tampak itu bicara sendiri.
"Eh, maju, jangan mepet di pinggir, sekali dorong kau akan jatuh! Ha,
biar pun kecil merica tua, makin kecil makin tua dan makin pedas!
Ha-ha-ha!"
Dengan berindap-indap Kwi Hong maju menghampiri dan hampir saja dia
tertawa terkekeh-kekeh saking lega dan geli rasa hatinya saat melihat
bahwa yang disangkanya mayat hidup atau iblis itu kiranya adalah seorang
kakek yang sudah tua sekali, duduk seorang diri di atas tanah depan
bong-pai tua sambil mengadu jangkrik di atas telapak tangan kirinya!
Kakek itu sudah amat tua, sukar ditaksir berapa usianya. Rambutnya yang
riap-riapan, kumisnya, jenggotnya, semua sudah putih dan tidak
terpelihara sehingga kelihatan mawut tidak karuan. Pakaiannya pun
longgar tidak karuan bentuknya, sederhana sekali. Kakinya memakai alas
kaki yang diberi tali-temali melibat-libat kakinya ke atas, lucu dan
kacau.....
Yang paling menarik hati Kwi Hong adalah bentuk tubuh kakek itu. Amat
kecil! Kecil dan pendek, seperti tubuh seorang kanak-kanak saja! Biar
pun kakek itu duduk mendeprok di atas tanah, dia berani bertaruh bahwa
kakek itu tentu kalah tinggi olehnya. Namun kakek itu sama sekali tidak
memperhatikan keadaan sekelilingnya, bahkan tidak mempedulikan keadaan
Kwi Hong sama sekali. Perhatiannya tercurah kepada dua ekor jangkrik di
atas telapak tangannya, pandang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri
dan kedua matanya yang amat lebar itu terbelalak.
Kwi Hong melangkah maju perlahan-lahan sampai dekat sekali. Ia melihat
bahwa di atas telapak tangan kiri kakek itu terdapat dua ekor jangkrik
yang saling berhadapan, dipermainkan oleh kakek itu dengan sebatang
kili-kili rumput sehingga kedua ekor binatang itu mengerik keras. Yang
bunyi keriknya kecil adalah seekor jangkrik coklat yang tubuhnya kecil,
sedangkan yang kedua adalah seekor jangkrik hitam yang tubuhnya lebih
besar dan bunyi keriknya pun lebih besar.
Kwi Hong duduk perlahan-lahan di sebelah kiri kakek itu, mendeprok di
atas tanah sambil menonton. Dia pun tertarik sekali. Selama hidupnya
belum pernah dia melihat jangkrik diadu. Tentu saja pernah dia melihat
jangkrik akan tetapi tidak tahu bahwa jangkrik dapat diadu seperti ayam
jago saja. Dia menjadi kagum menyaksikan sikap dua ekor jangkrik itu.
Setelah mengerik dan sayapnya menggembung, sungutnya bergerak-gerak,
mulutnya dibuka lebar siap menyerang lawan, binatang-binatang kecil itu
kelihatan gagah sekali. Terutama sekali pasangan kuda-kuda kakinya,
kokoh kuat mengagumkan!
"Hayo, Si Kecil Merah, biar pun kecil jangan mau kalah! Serang...!"
Kakek itu tiba-tiba melepaskan kili-kilinya yang dipegang dengan tangan
kanan, diangkat-nya kili-kili ke atas sehingga kini kedua ekor jangkrik
itu tidak terhalang kili-kili dan mereka saling terkam!
Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak kagum. Baru pertama kali ini
dia melihat dua ekor jangkrik itu benar-benar saling terkam, melompat
dengan garang dan saling gigit, kemudian saling dorong, menggunakan kaki
belakang yang besar dan kuat itu untuk mempertahankan diri. Namun,
tentu saja jangkrik hitam yang lebih besar itu lebih kuat. Jangkrik
kemerahan atau coklat lebih kecil terdorong terus sampai ke pinggir
telapak tangan, kemudian dilontarkan oleh jangkrik hitam sehingga
terlempar jatuh ke atas tanah. Si Hitam mengerik bangga dan
berputar-putaran di atas telapak tangan kakek itu seolah-olah seorang
jagoan yang menantang tanding di atas panggung luitai (panggung adu
silat)!
"Wah, Si Hitam itu hebat!" Kwi Hong berkata lirih memuji.
"Puhh! Hebat apanya?" Kakek itu mendengus dan mendelik kepada Kwi Hong.
"Kalau bukan kau datang mengagetkan, Si Kecil Merah takkan kalah!"
Melihat sikap kakek itu marah-marah tidak karuan kepadanya, menyalahkan
dia karena jangkrik kecil itu kalah, Kwi Hong menjadi mendongkol
hatinya. "Apa? Aku yang salah? Wah, kakek sinting, memang jangkrik yang
kecil begitu mana bisa menang?"
"Siapa bilang tidak bisa menang? Kau kira yang kecil itu harus kalah? Phuah, gadis besar yang sombong!"
"Plak! Plok!"
Hampir saja Kwi Hong menjerit saking marahnya. Dia tidak melihat kakek
itu menggerakkan tangan, akan tetapi tahu-tahu pinggulnya yang berdaging
menonjol kena ditampar dua kali oleh kakek itu sampai terasa panas
kulitnya dan debu mengepul dari celananya yang tentu saja kotor karena
dia duduk di atas tanah kering. Kwi Hong meloncat bangun, siap untuk
membalas akan tetapi karena mendapat kenyataan bahwa kakek itu lihai
bukan main, dapat menampar belakang tubuhnya tanpa dia melihatnya, Kwi
Hong meraba gagang pedang.
"Prokkk!" Kakek itu meremas ujung batu bong-pai dan Kwi Hong memandang
dengan mata terbelalak. Batu yang amat keras itu diremas seperti orang
meremas kerupuk saja, hancur seperti tepung. Dia sendiri, dengan
pengerahan sinkang-nya, mungkin dapat mematahkan ujung batu bongpai itu,
akan tetapi meremasnya hancur, tanpa sedikit pun kelihatan mengerahkan
tenaga, benar-benar hebat! Maklumlah dia berhadapan dengan seorang kakek
yang amat sakti, akan tetapi juga amat sinting perangainya!
Tanpa mempedulikan Kwi Hong yang meloncat bangun, kakek yang
bersungut-sungut itu telah menaruh jangkrik hitam yang menang ke dalam
lubang yang dibuatnya di atas tanah, kemudian menyambar jangkrik hitam
kemerahan yang kalah tadi.
"Kau harus menang! Si Kecil harus menang! Jangan biarkan Si Besar
sombong dan mengira bahwa Si Besar yang kuat!" Dia bersungut-sungut,
mengomel marah-marah tidak karuan.
"Kau harus dijantur biar besar hatimu!" Kakek itu mencabut sehelai
rambut yang panjang, akan tetapi begitu dipandangnya, rambut putih itu
dibuangnya. "Ah, rambut putih tidak baik untuk menjantur jangkrik,
hatinya menjadi tidak berani bertempur. Heh, gadis besar! Rambutmu
banyak, berikan sehelai kepadaku!"
Biar pun Kwi Hong merasa mendongkol bukan main, namun dia mulai tertarik
untuk menyaksikan bagaimana caranya kakek itu dapat memaksa jangkrik
kecil maju dan mengalahkan jangkrik besar. Biar pun bibirnya sendiri tak
kalah runcingnya dengan bibir Si Kakek karena dia pun cemberut,
dicabutnya juga sehelai rambut dan ditiupnya rambut itu ke arah kakek
yang menerimanya sambil menjepit rambut dengan kedua jari tangan.
Diam-diam Kwi Hong kagum dan kaget. Sudah begitu tua, akan tetapi
pandang matanya masih luar biasa tajamnya, sehingga dapat menangkap
sehelai rambut yang melayang dengan jepitan jari tangan. Kini kakek itu
tidak bersungut-sungut lagi, malah wajahnya berseru penuh harapan ketika
dia menggunakan rambut untuk menjantur jangkrik kecil merah itu pada
selangkang kakinya.
Kwi Hong memandang dengan heran dan ngeri. Jangkrik itu dijantur
diputar-putar seperti gasing kemudian dibiarkan berputar kembali pada
rambut dan dimanterai oleh kakek aneh. Entah diberi mantera atau
diapakan, buktinya kakek itu mulutnya berkemak kemik dekat dengan tubuh
jangkrik yang berputaran. Setelah gerakan berputar itu terhenti,
berhenti pula mulut yang berkemak-kemik, akan tetapi tiba-tiba kakek itu
meludah kecil tiga kali.
"Cuh! Cuh! Cuh!" Ludah-ludah kecil menyerempet ke arah tubuh jangkrik merah.
"Awas kau kalau kalah lagi!" Kakek itu berkata. "Harus kuberi tambahan
semangat!" Ia lalu bangkit berdiri, menjengking dan menaruh jangkrik
yang masih tergantung di bawah rambut itu depan pantatnya, "Busssshh!"
Kakek itu melepas kentut yang tepat menghembus ke arah jangkrik merah.
"Ihhh...!" Kwi Hong mendengus dan melangkah mundur menjauhi kakek jorok
(kotor) itu sambil memijit hidung. Kentut yang tidak berbunyi biasanya
amat jahat baunya! Akan tetapi karena dia tertarik sekali, ingin melihat
apakah ‘gemblengan’ yang diberikan kakek itu pada jangkrik merah
benar-benar manjur, Kwi Hong tidak pergi dan masih berdiri menonton.
Kembali kakek itu membalikkan telapak tangan kiri, dipergunakan sebagai
panggung pertandingan antara kedua ekor jangkrik itu. Jangkrik merah
sudah dilepas dari rambut yang menjanturnya, ditaruh di atas telapak
tangan kiri kakek itu. Jangkrik itu diam saja, agaknya nanar dan melihat
bintang menari-nari! Sepatutnya begitulah setelah mengalami gemblengan
hebat tadi, kalau tidak nanar oleh janturan tentu mabok oleh bau kentut.
Akan tetapi agaknya hal ini membuat si Jangkrik timbul kemarahannya,
buktinya ketika kakek itu memainkan kili-kili di depan mulutnya,
jangkrik ini membuka mulut lebar-lebar dan menyerang kili-kili, sayapnya
berkembang dan mengerik sumbang!
"Ha-ha-ha-heh-heh, bagus! Sekarang kau harus menang!" Kakek itu berkata
lalu mengambil jangkrik hitam dan menaruh di atas telapak tangannya
pula. Dengan kili-kilinya, kakek itu terus mengili jangkrik merah yang
makin ganas dan bergerak maju menghampiri jangkrik hitam yang sama
sekali tidak dikili, dibiarkan saja oleh kakek itu.
"Wah, kau licik! Kenapa jangkrik hitamnya tidak dikili?" Kwi Hong tidak
dapat menahan kemendongkolan hatinya. Dia tahu bahwa karena tubuhnya
kecil pendek, kakek itu berpihak kepada jangkrik kecil dan berlaku
curang.
"Eh, kalau kau berpihak kepada Si Hitam, boleh kau kili dia!" kakek itu
membentak marah. Akan tetapi karena Kwi Hong belum pernah mengadu
jangkrik, gadis ini berjebi dan tidak menjawab, hanya memandang saja.
Biar pun tidak diganggu kili-kili, mendengar lawan mengerik, Si Hitam
itu cepat membalik dan juga mengerik, menantang dengan keriknya yang
nyaring sehingga mengalahkan bunyi kerik Si Kecil yang sumbang. Hampir
Kwi Hong bersorak bangga, akan tetapi dia menahan diri, takut
kalau-kalau kakek sinting itu marah lagi.
Setelah kedua jangkrik itu berhadapan dan siap, kakek aneh itu kembali
melepaskan kili-kilinya dari mulut Si Kecil, mencabutnya ke atas
sehingga kembali dua ekor jangkrik itu saling terkam dan saling gigit.
Si Kecil itu kini benar-benar lebih nekat cara berkelahinya, dan agaknya
gemblengan kakek tadi ada gunanya pula karena dia lebih berani, tidak
mudah menyerah seperti dalam pertandingan pertama. Akan tetapi, betapa
pun nekatnya, karena memang kalah kuat, dia didorong terus ke pinggir
dan akhirnya terjengkang ke bawah. Kalah lagi.
Kwi Hong cepat melangkah mundur dan tepat seperti dugaannya, kakek itu
marah-marah lagi. Batu bong-pai kuno itu mengalami nasib sial! Digempur
berapa kali sampai pecah-pecah dan remuk-remuk, debu beterbangan ke
atas.
"Sialan! Pengecut! Penakut! Kau membikin malu saja! Tidak bisa, kau
tidak boleh kalah, harus menang. Harus kataku, tahu? Kalau perlu aku
akan menggemblengmu selama hidupku sampai kau menang!"
Kembali dia menaruh jangkrik hitam di dalam lubang dan mulailah ia
melakukan ‘penggemblengan’ kedua terhadap jangkrik kecil merah. Cara
menggemblengnya makin gila, membuat Kwi Hong mendekap mulutnya menahan
ketawa. Benar-benar kakek sinting, pikirnya, akan tetapi karena Kwi Hong
juga mempunyai dasar watak gembira, binal dan nakal, dia ingin sekali
menyaksikan jangkrik gemblengan kakek itu benar-benar akan dapat menang
satu kali saja. Kalau kalah terus, dia mempunyai alasan untuk
mentertawakan kakek sinting yang tadi sudah berani menggaplok pinggulnya
sampai dua kali. Kalau nanti kakek itu marah, dia akan melawan dengan
pedangnya.
Kakek itu benar-benar seperti sinting saking penasaran melihat jagonya
kalah terus. Tepat seperti dugaan Kwi Hong, karena merasa bahwa dia
adalah seorang yang mempunyai perawakan tidak normal, terlalu kecil
pendek bagi ukuran pria, maka tentu saja kakek itu selalu berpihak
kepada apa saja yang ukurannya lebih kecil! Demikian pula dalam adu
jangkrik ini. Dia akan penasaran terus kalau Si Kecil belum memang,
karena dia melihat seolah-olah Si Kecil itu adalah dia sendiri.
Kini dia membenam-benamkan Si Kecil Merah itu ke dalam... air kencingnya
sendiri. Tanpa mempedulikan Kwi Hong kakek itu merosotkan celananya
begitu saja sehingga Kwi Hong tersipu-sipu membuang muka, lalu dia
melepas air kencing ke arah jangkrik merah yang ia masukkan ke dalam
sebuah lubang besar di atas tanah. Tentu saja payah jangkrik merah kecil
itu berenang di lautan kencing, sedangkan Kwi Hong yang berdiri dalam
jarak sepuluh langkah saja masih mencium bau sengak seperti cuka lama,
apa lagi jangkrik yang kini dibenamkan ke dalam air kencing!
Akan tetapi kakek itu tidak peduli. Setelah mengikatkan kembali
celananya dan membenam-benamkan jangkrik jagoannya sampai setengah
kelenger, barulah ia menghentikan gemblengannya, membiarkan jagonya
siuman di bawah sinar matahari, kemudian mulailah dia mengadu lagi dua
ekor jangkrik itu.
Anehnya, ketika jangkrik itu digoda kili-kili, dia mengamuk, menggigit
asal kena saja, akan tetapi tidak lagi mau mengerik. Dia betul-betul
sudah puyeng sekarang, sudah nekat dan menyerang ke depan dengan ngawur
akan tetapi pantang mundur!
"Bagus, kau kini tidak mengenal takut lagi!"
Kwi Hong lupa akan bau air kencing yang biar pun sudah dihisap tanah
masih meninggalkan bau lumayan. Karena dia tertarik maka dia mendekat
lagi, bahkan ia kini duduk di sebelah kiri kakek itu, menonton penuh
perhatian. Dua ekor jangkrik sudah berkelahi lagi di atas telapak tangan
kakek itu. Akan tetapi jangkrik kecil itu mundur terus!
"Kalau sekali ini kalah, kugencet dengan batu kepalamu!" Kakek itu
mengomel dan Kwi Hong menaruh kasihan kepada jangkrik kecil merah itu.
"Kek, tahan pantatnya dengan kili-kili. Dia masih terus melawan, belum
kalah, jangan keburu dia jatuh ke bawah!" Kwi Hong yang melihat Si Kecil
itu benar-benar nekat, saling gigit tak dilepaskan lagi, menjadi tegang
hatinya dan ingin melihat Si Kecil yang diingkal-ingkal (didesak-desak)
oleh Si Besar itu dapat menang.
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi ternyata dia menurut petunjuk Kwi
Hong menggunakan kili-kili untuk menahan pantat jangkrik kecil merah
yang terdorong terus ke belakang. Setelah kili-kili itu menahannya,
pertandingan menjadi makin seru dan mati-matian, dan kedua jangkrik
saling gigit sampai mulut Si Kecil mengeluarkan air menguning!
Jangkrik hitam yang besar agaknya penasaran, makin dikerahkan tenaga
kakinya yang besar, didorongnya kepala jangkrik kecil yang sudah
luka-luka itu sekuatnya sehingga tubuh jangkrik kecil itu tertekan,
terhimpit dan tertekuk ke belakang sehingga akhirnya jatuh terlentang
dan si Besar Hitam masih menggigit dan nongkrong di atasnya. Kakek itu
menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak dan perasaannya tertusuk.
Akan tetapi tiba-tiba jangkrik kecil yang kehilangan akal itu membuat
gerakan membalik sehingga gigitan terlepas, dan ketika jangkrik hitam
besar mengejar, Si Kecil itu menggerakkan kedua kaki besar ke belakang,
menyentik dengan tiba-tiba dan gerakannya amat cepat dan kuat.
Akibatnya, tubuh jangkrik hitam besar itu terlempar ke atas dan jatuh.
Sial baginya dia jatuh menimpa batu sehingga kepalanya pecah dan mati di
saat itu juga! Lebih aneh lagi, kini jangkrik kecil merah yang masih
berada di tangan kakek itu mulai mengerik dan bergerak-gerak ke sana ke
mari, seolah-olah menantang lawan!
"Hebat dia...!" Kwi Hong berseru, juga girang sekali. Tetapi dia segera
menghentikan kata-katanya dan matanya terbelalak memandang ke belakang
kakek tua itu. Dari jauh tampak olehnya rombongan orang Pulau Neraka
yang menggotong peti mati, berjalan menuruni anak tangga batu menuju ke
arah mereka!
Kwi Hong merasa khawatir sekali. Dia maklum akan kelihaian orang-orang
Pulau Neraka itu. Akan tetapi dia terheran-heran ketika melihat mereka
semua menjatuhkan diri berlutut dan meletakkan peti mati itu di depan
mereka, terus berlutut tanpa bergerak sedikit pun.
Akan tetapi kakek tua yang kate kecil itu sama sekali tidak mempedulikan
mereka. Dia sedang bergembira, girang bukan main. "Heh-heh-ha-ha-ha,
kau boleh istirahat dan sembuhkan luka-lukamu, jagoan cilik!" katanya
sambil melepaskan jangkrik itu ke dalam semak-semak. Dia lalu
menari-nari kegirangan, tertawa-tawa dan bergulingan ke sana-sini,
mendekati bangkai jangkrik hitam, mengejek dan menjulurkan lidah kepada
bangkai kecil itu!
"Heh-heh, kau kira yang besar harus menang? Ha-ha-ha!"
Ketika ia bergulingan itu, tanpa disengaja dia bergulingan ke dekat Kwi
Hong. Tentu saja gadis ini tidak mau tubuhnya terlanggar, maka dia
meloncat berdiri. Gerakan gadis ini disalah artikan oleh Si Kakek
sinting, disangkanya gadis itu menentangnya, apa lagi dia melihat bahwa
gadis itu tidak ikut bergembira bersamanya. Marahlah dia dan tiba-tiba
ia menelungkup, menekan tanah dengan dua tangan dan bagaikan kilat
cepatnya, kedua kakinya menyepak ke belakang persis gaya jangkrik kecil
tadi, kedua ujung kaki menghantam dari bawah ke arah tubuh Kwi Hong!
Tentu saja Kwi Hong terkejut sekali. Untuk mengelak sudah tidak keburu lagi maka cepat ia menangkis.
"Desss!" Akibat benturan ini, tubuh Kwi Hong terlempar ke udara, jauh
tinggi dan ‘temangsang’ di atas dahan-dahan pohon yang tinggi dalam
keadaan lemas!
Kakek sinting itu berseru kaget. "Heiiii...! Wah, kenapa kau mau saja kusepak?"
Secepat burung terbang, tubuhnya melayang ke atas tanpa menginjak dahan
pohon, tangannya yang berlengan pendek itu menyambar tubuh Kwi Hong dan
membawa dara itu meloncat turun. Sekali ditepuk punggungnya, Kwi Hong
dapat bergerak kembali dan ia terlongong memandang kakek yang ternyata
memiliki ilmu kepandaian luar biasa itu.
Setelah memulihkan kesehatan Kwi Hong, kakek itu melanjutkan bersorak
gembira, "Ha-ha-ha! Hooree! Aku menemukan jurus baru yang hebat! Khusus
untuk si kecil mengalahkan si besar, ha-ha-ha!" Tiba-tiba ia melihat
rombongan orang Pulau Neraka yang berlutut di situ, lalu suara ketawanya
berhenti, dia membentak marah.
"Eiiittt! Siapa suruh kalian berlutut di situ? Hayo pergi semua, jangan ganggu aku yang sedang bergembira!"
Kwi Hong kembali terheran-heran. Orang-orang Pulau Neraka yang
tingkatnya tidak rendah itu mengangguk-angguk dan seperti anjing digebah
mereka kemudian pergi mengundurkan diri, meninggalkan peti mati dan
tampak mereka itu duduk jauh dari tempat itu, seperti sekumpulan pelayan
menanti perintah majikan. Sedikit pun mereka tidak berani lagi
memandang ke arah kakek sinting!
"Heh-heh-heh, mereka itu menjemukan sekali. Ilmu yang baru ini mana
boleh dilihat mereka? Tentu akan mereka curi kelak. Eh, gadis gede,
engkau ikut berjasa dalam penemuan jurus istimewa ini, maka sudah
sepantasnya kalau aku mengajarkan jurus ini kepadamu."
Kwi Hong menggeleng kepala. "Aku tidak ingin mempelajari jurus yang tidak sopan itu!"
"Wah, lagaknya! jurus tidak sopan, katamu? Hayo jelaskan, apanya yang tidak sopan!"
"Aku adalah seorang manusia, seorang gadis pula, bukan seekor jangkrik
atau seekor kuda! Kalau aku mempelajari jurus menyepak seperti jangkrik
atau kuda itu, bukankah itu tidak sopan?"
"Uwaaah, sombongnya! Mana ada jurus sopan atau tidak sopan? Hayo jawab,
untuk apa engkau mempelajari jurus-jurus ilmu silat? Bukankah untuk
merobohkan lawan, untuk membunuh lawan? Apakah ada cara membunuh yang
sopan atau tidak? Kalau dilihat tujuannya, semua jurus yang pernah kau
pelajari juga tidak sopan! Hayo, coba kau bantah!" kakek itu bersikap
seperti seorang anak kecil yang cerewet dan mengajak bertengkar.
"Sudahlah, aku tak mau banyak bicara dengan tokoh Pulau Neraka!"
"Aihhh! Siapa tokoh Pulau Neraka?"
"Engkau, kakek sinting, apa kau kira aku tidak tahu bahwa engkau adalah tokoh Pulau Neraka?"
"Dari mana kau tahu?"
"Dari mukamu yang tidak berwarna itu, seperti muka mayat!" Kwi Hong
tidak mau bilang bahwa dia tahu karena melihat orang-orang Pulau Neraka
tadi amat takut dan menghormat kakek ini karena hal itu menjadi terlalu
mudah untuk menduga.
"Ada apa dengan mukaku? Tidak berwarna? Hemm, kau mau warna apa? Hitam?
Nah, lihatlah!" Kwi Hong hampir menjerit ketika melihat betapa muka
kakek itu tiba-tiba saja berubah hitam seperti pantat kuali yang hangus!
Hanya tinggal putih matanya dan dua giginya saja yang kelihatan.
"Apa kau mau yang merah? Dan berbareng dengan ucapannya itu, muka kakek itu menjadi merah seperti dicat.
"Atau biru? Hijau? Kuning?"
Kini Kwi Hong melongo. Muka itu bisa berubah-ubah seperti yang disebut
kakek itu, seolah-olah ada yang mengecatnya berganti-ganti, dan akhirnya
berubah biasa lagi, muka yang pucat, muka seorang kakek yang
berpenyakitan.
"Jelas engkau seorang tokoh besar Pulau Neraka!" Kwi Hong berkata.
"Kalau betul, mengapa? Apa bedanya kalau aku orang Pulau Neraka, atau
Pulau Es, atau pulau kosong, atau dari puncak Gunung Bu-tong-san, atau
dari padang pasir! Apa bedanya kalau aku terlahir sebagai bangsa ini dan
bangsa itu? Tetap saja aku seorang manusia seperti juga engkau! Jangan
sombong kau, gadis gede..."
"Jangan sebut-sebut aku gede! Apa kau kira engkau ini masih bocah?"
"Eh-eh, yang gede bukan usianya, melainkan tubuhnya. Bukankah engkau gede sekali kalau dibandingkan dengan tubuhku?"
"Bukan aku yang gede, melainkan engkau kate, terlalu kate, terlalu
kecil! Aku biasa saja! Kau benar-benar menjengkelkan orang, Kakek
sinting. Siapa sih namamu?"
"Heh-heh, kejengkelan bukan datang dari luar, melainkan dari dalam
batinmu sendiri, digerakkan oleh pikiranmu, Nona. Siapa suruh engkau
jengkel! Aku memang bukan orang yang besar, bukan orang ternama, aku
hanyalah Bu-tek Siauw-jin (Manusia Rendah Tanpa Tanding). Aku tidak
bicara berlebihan kalau kukatakan bahwa aku adalah datuk Pulau Neraka...
heh-heh-heh... Haa?! Mengapa kau mencabut pedang? Waduhhh... pedangmu
itu...! Pedang iblis, seperti yang dipegang murid Suheng!"
Kini Kwi Hong dapat menduga siapa adanya kakek ini. Kiranya sute dari kakek yang seperti mayat hidup, guru dari Keng In!
"Bagus, ketahuilah, Kakek sinting. Aku adalah Giam Kwi Hong dari Pulau
Es! Dan pedang ini memang benar Li-mo-kiam (Pedang Iblis Betina),
sedangkan Lam-mo-kiam yang dipegang oleh murid keponakanmu itu adalah
barang rampasan, curian yang harus dikembalikan kepadaku. Sekarang
setelah kita saling bertemu, dua wakil dari kedua pulau yang
bertentangan, kita boleh mengadu nyawa!"
"Mengadu nyawa? Heh-heh-heh, boleh! Boleh sekali! Akan tetapi kita harus
bertaruh, tanpa pertaruhan aku tidak sudi susah-susah keluarkan
keringat!"
Biar pun hatinya mendongkol sekali, Kwi Hong menjadi geli juga. "Bu-tek
Siauw-jin, orang mengadu nyawa mana bisa bertaruh? Yang kalah tentu akan
mati, mana bisa memenuhi pembayaran?"
"Siapa bilang mati? Kalau aku tidak menghendaki mati, mana bisa di
antara kita ada yang mati? Begini, aku akan mainkan jurus baruku yang
kau pandang rendah tadi untuk menghadapi pedangmu! Kalau pedangmu sampai
terlepas, berarti kau kalah dan engkau harus menemani aku dikubur
hidup-hidup selama seminggu!"
Kwi Hong bergidik. "Gila! Itu sama saja dengan mati!"
"Eiit, siapa bilang sama? Aku sudah berkali-kali dikubur hidup-hidup,
sampai sekarang kenapa tidak mati? Dikubur hidup-hidup menemaniku
berarti mempelajari ilmuku dan menjadi muridku, mengerti tidak kau,
perawan tolol?"
Melihat kakek itu sudah naik pitam lagi, Kwi Hong menahan kegemasan hatinya dan berkata, "Kalau kau yang kalah?"
"Kalau aku yang kalah tak usah bicara lagi karena aku tentu tidak dapat
menjawabmu. Pedangmu Li-mo-kiam itu bukan sembarangan senjata, jauh
lebih tua dan lebih ampuh dari pada aku, kalau aku kalah tentu dia akan
minum habis darahku. Nah, kau mulai."
Kwi Hong menjadi serba susah. Biar pun dia tidak sudi menjadi murid
seorang tokoh Pulau Neraka, akan tetapi untuk membunuh kakek sinting ini
sebenarnya dia pun tidak tega. Biar pun dari Pulau Neraka, akan tetapi
kakek ini hanya sinting dan aneh, sama sekali tidak kelihatan jahat,
bahkan kegalakannya terhadap orang-orang Pulau Neraka tadi, kegalakan
dan kemarahannya terhadap dia, seperti main-main atau pura-pura saja.
Selain itu, kakek ini jelas memiliki kepandaian yang luar biasa, dan dia
bergidik kalau mengingat akan kepandaian kakek mayat hidup guru Keng
In. Namun demi menjaga nama dan kehormatan paman dan gurunya, dia harus
menang. Apa lagi dia memegang Li-mo-kiam dan hanya dilawan dengan jurus
baru yang diperoleh kakek itu dari adu jangkrik tadi.
"Lihat pedang!" bentaknya dan terdengar suara bercuit nyaring dan aneh
ketika Li-mo-kiam lenyap berubah menjadi segulung sinar kilat yang
mukjizat dan mengandung hawa maut.
"Hayaaaaaa...!" Kakek itu mengelak dan betul saja, dia sudah menjatuhkan diri dan bergulingan mengelak dari sambaran pedang.
Kwi Hong yang maklum bahwa dia hanya harus menjaga kedua kaki yang
menyepak, melancarkan serangan bertubi-tubi kepada tubuh kecil yang
bergulingan itu sehingga pedangnya menjadi gulungan sinar kilat yang
menyambar-nyambar ke bawah. Kakek itu ternyata memiliki gerakan yang
ringan seperti kapas tertiup angin, kadang-kadang dapat mencelat ke
sana-sini seperti jangkrik meloncat. Namun sedikit pun kakek itu tidak
mendapatkan kesempatan untuk mempergunakan jurus barunya, yaitu sepakan
kuda atau jentikan kaki jangkrik! Malah dia repot sekali harus mengelak
terus karena pedang Li-mo-kiam adalah pedang yang amat luar biasa, baru
hawanya saja sudah membuat kakek itu miris hatinya.
Tiba-tiba Kakek itu terpeleset jatuh. Kwi Hong cepat mengayun pedang.
Tiba-tiba terdengar suara memberobot dan ternyata kakek itu melepas
kentut yang besar dan panjang! Kwi Hong mengerutkan alis, mengernyitkan
hidung dan sedetik pedangnya tertunda. Inilah kesalahannya. Sedetik
sudah terlalu lama bagi kakek sinting itu untuk menggerakkan kedua
kakinya, menyepak seperti yang dilakukannya tadi membuat tubuh Kwi Hong
terbang. Akan tetapi kini sepakannya mengenai tangan kanan Kwi Hong.
Kaki kiri menotok siku membuat lengan itu lumpuh, kaki kanan menendang
gagang pedang sehingga pedang Li-mo-kiam mencelat ke atas mengeluarkan
bunyi mengaung.
Ketika Kwi Hong sadar dan kaget bukan main, ternyata kakek itu sudah
‘terbang’ ke atas menyambar pedangnya, lalu mengembalikan pedang itu
sambil tersenyum menyeringai, "Nah, kau kalah, muridku."
Kwi Hong menerima dan menyarungkan pedang, lalu ia menjawab, "Bu-tek
Siauw-jin, ketahuilah aku adalah murid Pamanku sendiri, Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es. Maka engkau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin
dapat menjadi muridmu."
"Apa kau kira aku tidak tahu? Kau anggap aku ini anak kecil yang tidak
tahu apa-apa? Aku ingin menurunkan ilmu kepadamu, tentang kau menjadi
murid atau tidak, peduli amat! Kau tahu mengapa aku ingin menurunkan
ilmu-ilmuku kepadamu?"
Kwi Hong makin heran dan kini dia memandang kakek yang sakti itu. "Aku tidak tahu."
"Karena Suhengku Si Mayat Hidup yang bau busuk itu sudah melanggar sumpah!"
"Bagaimana? Aku tidak mengerti."
"Kami bertiga, Suheng Cui-beng Koai-ong, aku dan Sute Kwi-bun Lo-mo Ngo
Bouw Ek yang sudah bersumpah tidak akan menerima murid. Akan tetapi
baru-baru ini Suheng mengambil murid bocah anak ketua boneka Pulau
Neraka itu sebagai murid. Bocah itu pandai sekali, apa lagi kini
memegang Lam-mo-kiam, tentu tak ada yang melawannya. Kebetulan engkau
bertemu dengan aku, engkau memegang Li-mo-kiam, engkau nakal dan cocok
dengan aku, dan dasar ilmumu tidak kalah oleh murid Suheng. Nah, kalau
aku menurunkan ilmu kepadamu, kelak engkaulah yang akan menghadapi murid
Suheng itu. Dia sudah melanggar sumpah, biar aku yang mengingatkannya
dengan cara mengalahkan muridnya oleh muridku!"
"Tanpa kau beri pelajaran ilmu pun aku tidak takut menghadapi bocah sombong itu!"
"Hemm, dia belum tentu sombong, akan tetapi engkau sudah pasti sombong
sekali! Engkau murid Pendekar Siluman, akan tetapi setelah dia menerima
ilmu-ilmu dari Suheng, apa kau kira akan mampu menandinginya? Pedangmu
itu tidak ada artinya karena dia pun mempunyai pedang yang sama
ampuhnya."
"Pedang curian!"
"Curian atau bukan, bagaimana kau akan mampu merampasnya jika kau tidak mampu menandingi ilmunya?"
"Siauw-jin... ehhh... wah, namamu benar-benar aneh, bikin orang tidak enak saja memanggilnya dengan menyingkat!"
"Heh-heh-heh! Mengapa tidak enak memanggil aku Siauw-jin (Manusia Hina)?
Sudah terlalu halus kalau aku disebut Siauw-jin, ha-ha-ha!"
"Bu-tek Siauw-jin, aku sudah kalah berjanji dan aku harus memenuhi
taruhan kita, aku suka mempelajari ilmu yang akan kau berikan kepadaku,
biar pun untuk itu aku harus dikubur hidup-hidup. Akan tetapi, bagaimana
engkau bisa tahu bahwa aku akan suka kau pergunakan untuk mengalahkan
murid Suhengmu?"
"Kwi Hong, namamu Giam Kwi Hong, bukan? Engkau keponakan Suma Han,
engkau puteri perwira gila she Giam di kota raja, engkau pernah diculik
oleh adik angkat Suma Han yang menjadi ketua boneka di Pulau Neraka.
Semua itu aku tahu... heh-heh, apa yang aku tidak tahu? Aku tahu bahwa
Sepasang Pedang Iblis itu tadinya ditemukan oleh seorang bocah
laki-laki, entah siapa aku tak kenal namanya. Li-mo-kiam diberikan
kepadamu dan Lam-mo-kiam dirampas oleh murid Suheng maka engkau akan
merampas kembali pedang itu memusuhinya. Engkau harus menemani aku
dikubur hidup-hidup selama seminggu. Jangan kau pandang remeh latihan
ini. Latihan sinkang yang luar biasa. Engkau akan mengenal apa yang
disebut Tenaga Inti Bumi! Setelah berlatih semedhi dan sinkang di dalam
tanah, nanti kuberikan ilmu-ilmuku yang paling istimewa, tiada keduanya
di dunia, termasuk ilmu baruku tadi, yang kau katakan tidak sopan."
"Ilmu tendangan jangkrik?"
"Benar! Siapa tahu, dalam keadaan roboh dan terdesak, terancam mala
petaka, engkau dapat menggunakan jurus itu. Dengan seluruh tubuh
tertekan pada bumi, meminjam tenaga inti bumi, engkau akan dapat
mengalahkan lawan yang jauh lebih kuat, dalam keadaan tak terduga-duga
seperti yang dilakukan jangkrik kecil tadi. Jurus ini selain dapat
menyelamatkan nyawamu dari ancaman maut, juga dapat merobohkan lawan
yang jauh lebih kuat. Apakah kau masih menganggapnya ilmu tidak sopan?"
Kwi Hong mengangguk. "Aku akan mempelajari semua ilmu yang kau berikan."
"Bagus, sekarang kau carilah sebuah peti mati untukmu. Peti mati besi ini punyaku, dan terlalu kecil untuk tubuhmu yang gede."
"Mencari peti mati? Ke mana?"
"Wah, bodohnya. Ratusan peti mati berada di depan hidung, masih tanya
harus cari ke mana? Selamanya tak mempunyai murid, sekali dapat murid,
bodohnya bukan main. Di dalam kuburan-kuburan itu bukankah terisi
peti-peti mati?"
Kwi Hong terbelalak ngeri. "Apa? Bongkar peti mati di kuburan? Wah, kan ada isinya!"
"Isinya hanya rangka yang sudah lapuk. Petinya masih baik. Itulah
lucunya. Betapa pun kokoh kuat petinya, mayatnya toh akan membusuk dan
rusak. Membuang uang sia-sia hanya untuk pamer saja, akan tetapi
menguntungkan untukmu. Petinya yang masih baik dapat kau pergunakan!"
Kwi Hong menggeleng-geleng kepala. "Aku tidak bisa, Kek. Tidak mungkin
aku sampai hati membongkar kuburan dan merampas peti dari sebuah
kerangka manusia!"
"Uuhhh! Sudah bodoh penakut lagi! Apanya yang dipilih?" kakek itu
bersuit tiga kali memanggil anak buahnya. Muncullah mereka
berbondong-bondong dari tempat mereka duduk menanti.
"Hayo cepat carikan sebuah peti dari kuburan tertua." Bu-tek Siauw-jin memerintah.
"Aihh... Ji-tocu (Majikan Pulau kedua), hamba sekalian telah membawakan
sebuah peti untuk To-cu," kata tokoh Pulau Neraka yang gendut pendek
berkepala gundul. Orang ini adalah Kong To Tek, seorang tokoh Pulau
Neraka yang memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi, bahkan memiliki ilmu
mengeluarkan pukulan beracun diikuti semburan asap dari mulutnya yang
amat berbahaya.
"Cerewet kau! Peti untukku sudah ada, akan tetapi untuk muridku ini
belum ada! Lihat baik-baik, dia ini adalah muridku yang akan mengalahkan
murid Twa-suheng, tahu? Namanya Kwi... eh, lupa lagi. Siapa namamu
tadi?"
"Kwi Hong..., Giam Kwi Hong," kata gadis itu dengan hati geli menyaksikan tingkah gurunya yang sinting.
"Oya, dia Giam Kwi Hong, murid tunggalku, Hayo cepat, carikan peti mati yang paling baik!"
Kwi Hong memandang dengan hati penuh ngeri betapa orang-orang itu
membongkari kuburan dan akhirnya mendapatkan sebuah peti mati kuno yang
benar-benar amat kokoh kuat dan ukiran-ukirannya masih lengkap. Peti
mati itu dibuka, kerangkanya dikeluarkan, lalu peti mati kosong itu
digotong dekat Kwi Hong yang memandang dengan jantung berdebar penuh
rasa ngeri. Dia harus tidur di situ? Bekas tempat mayat?
"Gali sebuah lubang besar untuk dua peti ini, cepat!" kakek itu kembali
memberi perintah dan belasan orang Pulau Neraka itu cepat melakukan
perintah Bu-tek Siauw-jin. Karena mereka itu rata-rata lihai dan
memiliki tenaga besar, sebentar saja sebuah lubang yang lebarnya dua
meter dan dalamnya juga dua meter telah tergali terbuka menganga dan
menantang dalam pandang mata Kwi Hong.
"Lekas kau masuk ke dalam petimu!" Kwi Hong menggelengkan kepalanya. "Eh, apa kau takut?"
Melihat betapa semua mata para penghuni Pulau Neraka itu memandang
kepadanya, mendengar pertanyaan kakek sinting itu Kwi Hong cepat
menjawab, "Siapa bilang aku takut? Aku hanya merasa jijik, peti mati itu
kotor!"
Tentu saja sebetulnya bukan karena kotor dan jijik, melainkan karena takut dan ngeri!
"Eh, siapa bilang kotor? Orang yang yang sudah mati jauh lebih bersih
dari pada orang yang masih hidup! Hayo cepat masuk, ataukah engkau
hendak membantah perintah Gurumu dan tidak mememenuhi janji?"
Kwi Hong merasa terdesak. Kalau dia tetap menolak, selain berarti dia
tidak membayar kekalahan taruhan, dan dianggap takut oleh orang-orang
Pulau Neraka, juga kalau kakek itu menggunakan kekerasan, mana dia mampu
mencegahnya?
"Kalau aku sudah di dalam peti, bagaimana engkau bisa melatihku?" Dia mencoba menggunakan alasan menolak.
"Bodoh! Biar pun di dalam peti, apa kau kira aku tidak bisa memberi
petunjuk? Hayo cepat, mereka ini sudah menanti untuk mengubur kita."
Dengan jantung berdebar penuh takut dan tegang, terpaksa Kwi Hong
memasuki peti mati itu. Bu-tek Siauw-jin menggunakan tangannya memukul
tengah-tengah tutup peti mati yang tebal.
"Brakkk!" papan tebal itu bobol dan berlobang ditembus telapak
tangannya, kemudian dipasanglah sebatang bambu panjang yang sudah
dilubangi.
"Pejamkan matamu agar jangan kemasukan debu!" kata kakek itu sambil mengangkat tutup peti mati dan menutupkannya.
Dunia lenyap bagi Kwi Hong. Ketika ia mengintai dari balik bulu matanya,
yang tampak hanya hitam pekat! Dia merasa betapa peti mati di mana dia
berbaring terlentang itu bergerak, kemudian turun ke bawah. Dia sudah
diturunkan ke dalam lubang! Memang kakek itu sendiri yang menurunkannya
dan kini batang bambu itu menjadi lubang hawa yang lebih tinggi dari
pada lubang tanah itu, dua jengkal lebih tinggi.
Bu-tek Siauw-jin memasuki petinya yang kecil, menutupkan petinya dari
dalam dan peti itu dapat bergerak sendiri, meloncat ke dalam lubang,
persis di samping peti mati Kwi Hong! Anak buahnya yang sudah tahu akan
kewajiban mereka, cepat menguruk lubang itu dengan tanah galian sampai
dua buah peti itu tertutup sama sekali dan tempat itu berubah menjadi
segunduk tanah di mana tersembul keluar sebatang bambu kecil yang
panjangnya sejengkal dari gundukan tanah. Itulah bambu yang menjadi
lubang angin atau lubang hawa, penyambung hidup Kwi Hong! Ada pun kakek
sinting itu sama sekali tidak menggunakan bambu untuk lubang hawa.
Belasan orang Pulau Neraka itu lalu beristirahat agak jauh dari
‘kuburan’ itu, karena kalau kakek itu sedang berlatih seperti itu, sama
sekali tidak boleh diganggu dan mereka harus menjaga kuburan itu agar
tidak ada yang berani mengusiknya. Akan tetapi mereka pun tidak berani
menjaga terlalu dekat, karena kakek sinting ini benar-benar aneh dan
galak sekali, dan biar pun berada di dalam peti mati yang sudah dikubur,
agaknya masih dapat mendengar percakapan mereka yang di atas! Karena
itu, mereka lebih ‘aman’ menjaga di tempat yang agak jauh, akan tetapi
siang malam mereka bergilir menjaga dan memperhatikan kuburan itu.
Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takutnya hati Kwi Hong. Dia mendengar
suara berdebuknya tanah bergumpal-gumpal yang jatuh menimpa peti
matinya, sampai akhirnya yang terdengar hanya suara gemuruh tidak jelas
lagi. Kemudian sunyi, sunyi sekali dan yang tampak hanyalah hitam pekat
di sekelilingnya dan di tengah-tengah, tepat di atasnya, terdapat sebuah
bulatan sinar yang menyilaukan mata. Dia tidak tahu benda apa itu,
setelah ia meraba-raba dengan tangannya, barulah ia mengerti bahwa sinar
bulat itu adalah sebuah lubang, lubang dari batang bambu yang tentu
saja menembus keluar tanah kuburan dari mana cahaya matahari masuk
bersama hawa.
Makin ngeri hati Kwi Hong. Lubang bambu itu merupakan gantungan
nyawanya! Kalau lubang itu tertutup... ihh, dia bergidik dan mendadak
saja napasnya terasa sesak sekali, seolah-olah hawa di dalam peti mati
telah habis dan lubang itu telah tertutup!
"Kakek sinting...!" Dia memaki gemas. "Kalau engkau menipuku dan aku
sampai mati di sini, aku akan menjadi setan dan belum puas hatiku kalau
setanku belum mencekik lehermu sampai putus!"
Tiba-tiba terdengar suara, jelas akan tetapi terdengar seperti amat
jauh, suara dari balik kubur! "Uwaaahhh, ganas sekali engkau! Belum
menjadi setan sudah demikian ganas, apa lagi kalau benar-benar menjadi
setan! Kwi Hong, engkau muridku, aku Gurumu, mana mungkin Guru
mencelakakan murid? Kau lihat, ada tabung bambu untuk hawa segar.
Bernapaslah dalam-dalam, pejamkan matamu, dan dengarkan baik-baik, kita
mulai berlatih pernapasan, semedhi dan menghimpun sinkang dari hawa inti
sari bumi..."
Dengan penuh perhatian Kwi Hong mendengarkan suara kakek itu yang
terdengar jelas sekali, mendengarkan cara-cara berlatih pernapasan yangg
istimewa, kemudian mencobanya dalam praktek dengan petunjuk-petunjuk
suara kakek itu. Dia bukan saja dilatih pernapasan yang amat aneh, juga
dilatih untuk bernapas di dalam ruang tertutup di bawah tanah!
"Jangan memandang ringan latihan ini, muridku. Tahukah mengapa kami
tokoh-tokoh dan datuk-datuk Pulau Neraka melakukan latihan ini?
Terciptanya dari keadaan yang memaksa kami. Bayangkan saja keadaan Pulau
Neraka pada ratusan tahun yang lalu, sebelum semua kesukaran dapat
ditaklukkan seperti sekarang ini. Hidup di permukaan pulau merupakan hal
yang mustahil apa lagi kalau ular-ular dan semua binatang berbisa
mengamuk, rawa-rawa mengeluarkan hawa beracun dan terbawa angin menyapu
seluruh permukaan pulau! Terpaksa nenek moyang kami mencari tempat
persembunyian di dalam tanah! Namun masih saja diancam bahaya oleh
ular-ular dan kelabang-kelabang berbisa. Jalan satu-satunya untuk
menyelamatkan diri hanyalah mengubur diri hidup-hidup dan terciptalah
cara berlatih seperti ini! Mengapa dilakukan dalam sebuah peti mati?
Karena dari sebuah peti kunolah ditemukan ilmu-ilmu rahasia yang kami
miliki. Ketika seorang di antara nenek moyang kami bersembunyi di dalam
tanah dengan mengubur diri hidup-hidup, melindungi tubuhnya dalam sebuah
peti mati kuno yang ditemukan di dalam tanah ketika dia menggali
lubang, dia menemukan ukiran-ukiran dan coretan-coretan di dalam peti
mati itu yang ternyata adalah ilmu-ilmu rahasia yang agaknya
ditinggalkan oleh nenek moyang Bu Kek Siansu yang kebetulan mati dikubur
di Pulau Neraka! Nah, setelah kau tahu akan riwayat singkatnya,
belajarlah baik-baik karena sesungguhnya, biar pun sifatnya berbeda,
namun pada dasarnya ilmu-ilmu Pulau Neraka adalah satu sumber dengan
ilmu-ilmu Pulau Es."
Dengan tekun dan kini sama sekall tidak berani memandang rendah kepada
kakek sinting itu, Kwi Hong diam-diam memusatkan perhatiannya dan
mentaati semua petunjuk kakek itu, berlatih dengan penuh ketekunan dan
penuh ketekatan, tidak merasa ngeri atau takut lagi karena dia sudah
menyerahkan mati hidupnya di tangan kakek yang menjadi gurunya itu.....
********************
Sebetulnya apakah yang terjadi dengan orang-orang Pulau Neraka? Mengapa
mereka berada di situ dan bagaimana pula dengan Lulu yang menjadi Ketua
Pulau Neraka? Seperti telah diceritakan di bagian depan, pasukan
pemerintah menyerbu Pulau Neraka dan melihat bahwa Pulau Neraka itu
sudah kosong, pasukan pemerintah yang amat besar jumlahnya itu lalu
membakar pulau itu.
Para penghuni Pulau Neraka telah lebih dahulu disingkirkan oleh Lulu,
diajak mengungsi meninggalkan pulau dan karena Lulu maklum bahwa
pulau-pulau di sekitar tempat itu tidak aman bagi anak buahnya, maka dia
memimpin rombongan perahu yang dipakai mengungsi itu ke pantai di
sebelah barat pulau. Puteranya, Wan Keng In, pada waktu terjadi
penyerbuan itu tidak berada di pulau karena memang puteranya itu pergi
bersama gurunya yang belum pernah dijumpai Lulu. Ketika perahu-perahu
yang ditumpangi oleh hampir seratus lima puluh orang penghuni Pulau
Neraka itu tiba di pantai, ternyata Wan Keng In telah berada di tepi
pantai, berdiri tegak dan bertolak pinggang dengan sikap angkuhnya.
"Ibu, kulihat dari jauh asap mengepul di pulau kita dan sekarang ini Ibu
hendak membawa anak buah kita ke mana? Apa yang telah terjadi?"
"Pulau kita diserbu pasukan pemerintah. Untung aku telah menduganya
terlebih dahulu dan membawa anak buah melarikan diri," jawab Lulu.
"Ahh, mengapa melarikan diri? Mengapa Ibu tidak memimpin anak buah
melawan? Sungguh memalukan sekali, lari terbirit-birit seperti
serombongan pengecut. Bukankah Pulau Neraka sebagai sarangnya
orang-orang berilmu tinggi?"
Lulu memandang puteranya dengan marah. "Enak saja mencela! Engkau
sendiri mengapa tidak datang melihat pulau kita terancam? Bagaimana kita
mampu melawan pasukan pemerintah yang jumlahnya seribu orang lebih? Dan
pasukan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi seperti Koksu
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, pendeta India Maharya, kedua orang pendeta
Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dan masih banyak lagi
panglima yang lihai."
"Ibu adalah Ketua Pulau Neraka, masa takut untuk menghadapi mereka?" Keng In membantah.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa dari tepi pantai. "Ha-ha-ha, Ketua
boneka seperti Ibumu mana mungkin mampu menandingi mereka, muridku?
Engkaulah yang dapat menandingi Koksu itu dan kaki tangannya!"
Lulu cepat membalikkan tubuhnya dan melihat seorang kakek tua setengah
telanjang berjalan terbungkuk-bungkuk dari dalam air laut! Mula-mula
yang tampak hanya tubuh atas sepinggang, makin lama air makin dangkal
dan makin tampaklah tubuhnya, akhirnya dia berjalan dengan tubuh
tertutup cawat dan kaki telanjang, berjalan terbungkuk-bungkuk di atas
pasir menghampiri mereka sambil tertawa-tawa.
Melihat kakek ini, serta-merta semua orang Pulau Neraka mengeluarkan
seruan kaget dan ketakutan, lalu mereka menjatuhkan diri berlutut dan
menelungkup, tidak berani mengangkat muka apa lagi memandang! Melihat
ini, Lulu dapat menduga bahwa tentu orang inilah yang dimaksudkan oleh
puteranya, yaitu orang pertama dari Pulau Neraka yang berjuluk Cui-beng
Koai-ong.
"Orang tua, agaknya engkau inilah yang berjuluk Cui-beng Koai-ong. Kalau
engkau menganggap aku Ketua Boneka, mengapa selama itu engkau diam
saja? Karena engkau takut terhadap Pendekar Super Sakti, maka engkau
hendak menggunakan aku sebagai umpan? Kakek yang sombong dan pengecut,
hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu maka kau berani mengambil
anakku sebagai murid tanpa minta ijin kepada aku yang menjadi Ibunya!"
"Ibu, jangan...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat ibunya
menerjang maju dan menyerang kakek aneh itu dengan sebuah pukulan yang
amat dahsyat.
Memang Lulu sudah marah sekali, maka begitu menyerang, dia telah
menggunakan jurus simpanan dan mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang di
tangan kiri dan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di tangan kanan. Dua tenaga
inti yang berlawanan ini, yang kiri dingin yang kanan panas, adalah
tenaga inti mukjizat yang dahulu dia latih bersama kakak angkatnya di
Pulau Es.
"Desss! Dessss!"
Hebat bukan main benturan pukulan kedua tangan wanita sakti itu, akan
tetapi kakek setengah telanjang yang menangkis kedua pukulan itu dengan
dorongan tangan, hanya terdorong mundur tiga langkah saja sambil
terkekeh-kekeh mengejek! Hal ini membuat Lulu menjadi makin penasaran
dan sambil mengeluarkan suara melengking dia sudah menerjang lagi dengan
pengerahan tenaga yang lebih hebat.
"Ibu, jangan! Kau takkan menang!" Keng In kembali mencegah, akan tetapi
ibunya tidak mempedulikan seruannya, dan pemuda ini pun tidak dapat
berbuat sesuatu karena ibunya sudah melancarkan serangannya dengan amat
cepat dan dahsyat kepada Cui-beng Koai-ong yang memandang dengan mulut
menyeringai.
"Heh-heh, Ibumu sudah bosan hidup, muridku. Kalau dia ingin mati, jangan
dilarang, jangan dihalangi, biarlah!" Kakek itu berkata dan ejekan ini
tentu saja membuat Lulu menjadi makin penasaran dan marah.
"Plak! Plek!" Kedua telapak tangan Lulu kini bertemu dengan kedua
telapak tangan kakek itu, melekat dan terjadilah kini adu tenaga sakti
yang amat dahsyat antara kedua orang ini. Dari dua pasang telapak tangan
yang saling melekat itu, keluarlah asap seolah-olah empat buah tangan
itu sedang terbakar!
"Suhu, harap jangan bunuh Ibu...," Wan Keng In berkata memohon gurunya
karena dia maklum bahwa ibunya tentu akan celaka kalau melanjutkan
perlawanannya terhadap kakek yang amat sakti itu.
Tetapi, kedua orang sakti yang sedang mengadu tenaga itu, mana sudi
mendengarkan kata-kata Keng In yang kebingungan? Lulu sudah marah
sekali, merasa terhina dan dia mengerahkan seluruh sinkang-nya untuk
menyerang kakek itu, sedangkan Cui-beng Koai-ong yang wataknya sudah
terlalu aneh, tidak lumrah manusia lagi itu, terkekeh kekeh senang sebab
maklum bahwa wanita itu tentu akan tewas di tangannya.
Sementara itu, para anggota Pulau Neraka yang menyaksikan pertandingan
hebat itu memandang dengan mata terbelalak. Mereka itu suka dan tunduk
kepada Lulu yang selama ini menjadi ketua mereka, akan tetapi mereka pun
amat takut kepada Cui-beng Koai-ong. Yang paling bingung adalah Wan
Keng In. Wajah pemuda ini menjadi pucat. Untuk menghentikan pertandingan
adu nyawa itu, dia merasa tidak sanggup dan tidak berani, akan tetapi
kalau tidak dihentikan, tentu ibunya akan tewas! Ingin dia menangis
saking bingungnya, dan dia hanya dapat membujuk dan mohon kepada gurunya
dan ibunya menghentikan pertandingan itu.
Kini Lulu maklum bahwa sesungguhnya puteranya tidak sombong kalau
mengatakan bahwa ilmu kepandaian kakek itu hebat bukan main. Setelah
kedua tangannya melekat pada kedua tangan kakek itu, dia merasa betapa
seluruh tenaga sinkang-nya tersedot dan tidak berdaya, bahkan kini kedua
telapak tangannya terasa panas seperti terbakar, tanpa dia mampu
menariknya atau melepaskannya dari telapak tangan lawan.
Rasa nyeri yang hebat mulai terasa oleh tangannya, namun Lulu
mengerahkan seluruh daya tahannya dan tidak mau memperlihatkan rasa
nyeri, tidak mau menyerah kalah dan mengambil keputusan untuk melawan
sampai mati! Asap yang mengepul dari kedua tangannya kini bukan hanya
uap dari hawa sinkang, melainkan asap dari telapak tangannya yang mulai
terbakar dan terciumlah bau yang hangus dan sangit!
"Suhu, harap kau maafkan Ibuku...!" Wan Keng In berseru dan berlutut di depan kaki gurunya.
Namun sekali kakek itu menggerakkan kaki kiri, tubuh Keng In terlempar
dan gurunya berkata, "Jangan ikut campur! Kalau wanita ini bosan hidup,
dia akan mati di tanganku, ha-ha-ha!"
Lulu merasa betapa kedua tangannya panas sekali dan tenaga sinkang-nya
makin lama makin menjadi lemah, tubuhnya mulai gemetar dan dia maklum
bahwa dia tidak akan dapat bertahan lama lagi. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar suara orang tertawa.
"Ha-ha-ha, Twa-suheng sungguh keterlaluan! Orang sudah berjasa,
menggantikan kita memimpin anak buah kita, tidak diberi hadiah malah
hendak dibunuh. Dia seorang wanita lagi, apakah tidak memalukan?"
Tahu-tahu muncullah seorang kakek yang pendek sekali, yang matanya lebar
dan begitu dia berada di situ, kakek ini dari belakang menepuk punggung
Lulu dan melanjutkan kata-katanya, "Engkau tidak lekas pergi dari sini
mau menanti apa lagi?"
Begitu punggungnya ditepuk, Lulu merasa ada tenaga yang amat hebat
menyerbu dari punggungnya, melalui kedua lengannya sehingga lenyaplah
tenaga menyedot dari Cui-beng Koai-ong dan begitu dia menarik kedua
tangannya, tubuhnya terjengkang ke belakang seperti didorong. Lulu cepat
berjungkir balik, memandang kedua telapak tangannya yang sudah menjadi
hitam terbakar, matanya kini memandang ke kiri, ke arah kakek pendek
yang telah menolongnya.
"Apakah engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?" tanyanya secara langsung,
sedikit pun tidak menaruh hormat karena biar pun kakek ini sudah
menyelamatkan nyawanya, namun tetap saja dia adalah tokoh Pulau Neraka
yang telah mempermainkannya, membiarkan dia menjadi Ratu Boneka!
"Ha-ha-ha, selamat bertemu, Toanio! Aku memang seorang yang tidak
terhormat, seorang siauw-jin sehingga tidak berharga untuk bertemu
dengan Toanio. Sebelum saat ini, Suheng-ku paling suka membunuh orang,
harap Toanio suka memaafkannya."
Muka Lulu menjadi merah sekali. Berhadapan dengan kedua orang kakek yang
begitu aneh sikap dan wataknya, dia merasa seperti menjadi seorang anak
kecil yang tidak berdaya sama sekali. "Keng In, hayo kita pergi!"
bentaknya kepada puteranya yang kini berdiri sambil menundukkan mukanya.
"Maaf, Ibu. Aku tidak bisa pergi meninggalkan Suhu sekarang. Aku masih
mempelajari ilmu dan... menurut Suhu..., aku ditunjuk untuk memimpin
anak buah Pulau Neraka."
"Wan, Keng In! Engkau adalah anakku! Engkau harus taat kepadaku. Hayo
kita pergi meninggalkan setan-setan ini!" Lulu membentak lagi.
"Aku tidak mau pergi, Ibu." Keng In membantah.
"Kau... lebih berat kepada mereka ini dari pada kepada Ibumu?"
"Maaf, Ibu. Kita sudah banyak menderita, sudah banyak terhina. Kini aku
memperoleh kesempatan menerima ilmu yang tinggi dari Suhu agar kelak
dapat kupergunakan untuk membalas orang-orang yang telah membuat Ibu
menderita. Bagaimana Ibu akan dapat menghadapi kekuatan Pulau Es kalau
aku tidak memperdalam ilmuku?"
"Ha-ha-ha! Ibumu tidak memusuhi Pulau Es, muridku. Biar pun dia telah
menderita karena Pendekar Siluman, ternyata dia masih belum dapat
melupakan pria yang dicintanya itu. Bahkan dia baru-baru ini membantu
Pulau Es ketika diserbu pasukan. Ha-ha-ha, mana kau tahu akan isi hati
wanita, biar pun wanita itu Ibumu sendiri?" Cui-beng Koai-ong berkata.
"Hayaaaa! Twa-suheng, urusan orang lain perlu apa kita mencampurinya?
Suheng sendiri sudah bersumpah tidak akan mengambil murid, kini
tahu-tahu Suheng telah mempunyai seorang murid. Apa artinya ini?" Bu-tek
Siauw-jin mencela suheng-nya yang tertawa-tawa tadi.
"Siauw-jin! Engkau mau apa mencelaku? Aku mengambil murid atau tidak,
kau ada hak apa mencampurinya? Kalau suka boleh lihat, kalau tidak suka
boleh minggat!"
"Bagus! Kalau Twa-suheng melanggar sumpah, aku pun tidak takut
melanggarnya! Kita sama-sama lihat saja, murid siapa kelak yang lebih
hebat! Toanio, puteramu telah menjadi murid Cui-beng Koai-ong, biar kau
larang juga akan percuma saja. Lebih baik kau pergi meninggalkan kami,
karena kalau sekali lagi Twa-suheng-ku yang manis ini turun tangan
terhadapmu, biar pun aku sendiri akan sukar untuk menyelamatkan
nyawamu."
"Dia benar... dia benar... pergilah!" Cui-beng Koai-ong mengomel.
Diam-diam Lulu bergidik. Puteranya telah menjadi murid seorang manusia
iblis seperti itu, yang selain amat sakti juga amat aneh wataknya.
Dipandangnya sepintas lalu kedua orang kakek itu seperti orang-orang
yang gila. Akan tetapi dia pun maklum bahwa kepandaiannya masih jauh
untuk dapat menandingi mereka. Maka setelah sekali lagi memandang ke
arah puteranya yang tetap menundukkan muka, Lulu segera meloncat dan
lari pergi meninggalkan tempat itu. Sekarang tujuan hidupnya hanya satu,
yaitu mencari Suma Han dan mohon pertolongan kakak angkatnya yang juga
satu-satu-nya pria yang dicintanya itu untuk turun tangan menyelamatkan
puteranya dari cengkeraman iblis-iblis itu!
Demikianlah, setelah Lulu meninggalkan orang-orang Pulau Neraka yang
telah kehilangan pulau itu, para anak buah Pulau Neraka menganggap Keng
In sebagai Ketua mereka, menggantikan kedudukan ibunya, sedangkan dua
orang kakek itu tetap saja menjadi tokoh-tokoh yang ditakuti dan
ditaati, tidak hanya oleh semua orang Pulau Neraka, juga oleh Ketuanya!
Bu-tek Siauw-jin, kakek pendek yang biar pun terhitung sute dari
Cui-beng Koai-ong namun memiliki ilmu kepandaian yang sama tingkatnya
dan diam-diam dikagumi dan disegani oleh suheng-nya itu, lalu pergi
sambil menyuruh lima belas orang anak buah membawa sebuah peti mati
kosong untuk berlatih di tempat yang akan dipilihnya sendiri.
Secara kebetulan sekali, di tengah jalan kakek ini bertemu dengan Kwi
Hong yang dianggapnya berjodoh untuk muridnya, apa lagi setelah kakek
pendek ini tahu bahwa gadis itu adalah keponakan dan juga murid Pendekar
Super Sakti.
Karena kalah dalam pertarungan, juga karena dia sendiri memang ingin
memperoleh ilmu-ilmu yang lebih tinggi, Kwi Hong menjadi miurid Bu-tek
Siauw-jin, berlatih secara menyeramkan, yaitu di dalam peti mati
berdekatan dengan peti mati gurunya yang baru, menerima
gemblengan-gemblengan ilmu mengatur napas, semedhi dan mengumpulkan
sinkang secara luar biasa, mengambil inti sari daya sakti bumi! Dia
melatih diri dengan tekun, dengan tekad membulat mempertaruhkan nyawa!
Ilmu semedhi dan menghimpun hawa daya sakti bumi yang dilatih oleh
Bu-tek Siauw-jin dan kini dia ajarkan kepada Kwi Hong adalah sebuah ilmu
yang mukjizat. Sesungguhnya latihan inilah yang mendatangkan kekuatan
sinkang yang tidak lumrah dalam diri Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek
Siauw-jin, dua orang tokoh Pulau Neraka yang selalu menyembunyikan diri
itu. Ilmu mukjizat ini disertai dengan ilmu silat Inti Bumi yang amat
dahsyat pula, yang diciptakan oleh seorang tokoh Pulau Es yang karena
kesalahan dibuang di Pulau Neraka. Orang sakti ini menjadi sakit hati
dan putus harapan maka dia ‘membunuh diri’ dengan jalan mengubur dirinya
hidup-hidup di dalam sebuah peti mati di Pulau Neraka.
Akan tetapi, rasa penasaran dan dendam di hatinya membuat dia sebelum
mati menciptakan ilmu mukjizat ini dan dicoret-coretnya ilmu ciptaannya
di ambang kematian itu di sebelah dalam peti matinya! Kebetulan sekali
seorang kakek pimpinan Pulau Neraka yang menyembunyikan diri untuk
membebaskan diri dari ancaman binatang-binatang berbisa dan hawa berbisa
di Pulau Neraka, mendapatkan peti mati di dalam tanah itu dan membaca
tulisan dan ukiran di dalam peti, maka berhasillah dia menguasai ilmu
itu yang kemudian diwariskan kepada anak cucunya sehingga yang terakhir
menjadi ilmu Cui-beng Koai-ong dan Bu-tek Siauw-jin! Hanya kedua orang
inilah yang memiliki ilmu ini, bahkan mendiang sute mereka Kwi-bun Lo-mo
Ngo Bouw Ek sendiri tidak memiliki ilmu ini.
Tidak sembarang orang dapat menguasai ilmu silat dan menghimpun tenaga
sakti Inti Bumi itu karena caranya berlatih amat menyeramkan dan
mempertaruhkan nyawa. Wan Keng In sendiri yang banyak menerima pelajaran
ilmu silat tinggi dari Cui-beng Koai-ong, masih belum berani melatih
diri dengan ilmu mukjizat itu. Kwi Hong yang berwatak berani mati dan
nekat secara kebetulan sekali kini menjadi orang ketiga di dunia ini
yang melatih diri dengan Ilmu Inti Bumi.....
Para anak buah Pulau Neraka yang menjaga di tanah kuburan itu, tidak
berani mengganggu, bahkan mendekat saja mereka tidak berani. Mereka
sudah mengenal dua orang datuk Pulau Neraka yang amat mereka takuti itu,
karena bagi dua orang datuk itu, apa lagi Cui-beng Koai-ong, membunuh
manusia seperti membunuh nyamuk saja, dan watak mereka sukar sekali
diikuti. Mereka maklum bahwa sebelum kakek pendek itu keluar dari dalam
tanah, mereka harus menjaga dengan mati-matian agar jangan sampai
kuburan itu diganggu orang. Kalau kakek dan muridnya yang baru itu sudah
keluar dari dalam tanah, barulah mereka bebas dari tugas berat ini,
kecuali tentu saja kalau ada perintah baru dari kakek pendek yang aneh
itu.
Pada malam hari ketiga, orang-orang Pulau Neraka itu menjadi terkejut
ketika melihat munculnya serombongan orang yang mereka kenal sebagai
orang-orang Thian-liong-pang! Rombongan itu terdiri dari delapan belas
orang dipimpin oleh seorang dara remaja cantik jelita dan yang mereka
kenal sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, dan seorang laki-laki
tinggi besar yang lengan kirinya buntung dan berwajah menyeramkan.
Laki-laki berlengan satu ini wajahnya muram dan sinar matanya berkilat,
orangnya pendiam akan tetapi sikap semua anggota rombongan amat hormat
kepadanya, bahkan puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri kelihatan
bersikap manis kepadanya. Orang ini adalah seorang tokoh baru yang telah
berjasa mengorbankan tangannya untuk Thian-liong-pang sehingga Ketua
perkumpulan itu menaruh penghargaan kepadanya dan menurunkan ilmu yang
dahsyat kepadanya, yang membuat dia bahkan lebih lihai dari pada sebelum
lengan kirinya buntung!
Dia adalah Kiang Bok Sam yang lengan kirinya buntung oleh Pedang
Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In dan kini telah menjadi seorang lihai
sekali dengan lengan kanannya. Nirahai telah menurunkan Ilmu
Sin-to-ciang (Telapak Tangan Golok Sakti) kepadanya sehingga lengannya
itu lebih lihai dari pada lengan kiri mendiang Su Kak Houw yang berjuluk
Toat-beng-to itu. Dengan ilmu-ilmunya yang baru dia terima dari
Ketuanya sebagai pembalas jasanya mengorbankan lengan kiri, kini dia
menjadi orang kedua sesudah Tang Wi Siang di Thian-liong-pang. Bahkan
dibandingkan Sai-cu Lo-mo, dia masih lebih berbahaya karena sambaran
tangan kanannya atau permainan tongkat kuningan dengan tangan tunggalnya
selalu mendatangkan maut bagi setiap orang lawannya.
Orang-orang Pulau Neraka yang sedang bertugas menjaga ‘kuburan’ Bu-tek
Siauw-jin dan muridnya yang sedang berlatih di bawah tanah tidak berani
mencari perkara dengan orang-orang Thian-liong-pang yang mereka tahu
merupakan lawan yang amat lihai. Rombongan Pulau Neraka ini dipimpin
oleh Kong To Tek dan Chi Song, dua orang tokoh Pulau Neraka yang bermuka
merah muda yang pernah diutus oleh Ketua mereka mengunjungi
Thian-liong-pang untuk menguji kepandaian para pimpinan Thian-liong-pang
dan secara mudah dirobohkan oleh ‘ketua’ Thian-liong-pang yang di luar
tahu mereka pada waktu itu dipalsukan Gak Bun Beng.
Maka kini melihat munculnya tokoh-tokoh Thian-liong-pang yang dipimpin
oleh puteri Ketua Thian-liong-pang sendiri, mereka memberi isyarat
dengan kedipan mata kepada para anak buahnya agar tetap berdiam di
tempat persembunyian mereka dan tidak mengganggu orang-orang
Thian-liong-pang yang kini berkumpul dan beristirahat di sebuah bangunan
kuburan kuno tidak jauh dari tempat persembunyian orang-orang Pulau
Neraka.
Tadinya rombongan Pulau Neraka mengira bahwa rombongan Thian-liong-pang
itu hanya lewat dan kebetulan beristirahat saja di tanah kuburan itu,
akan tetapi ternyata bahwa sampai malam tiba, mereka tidak pergi dari
situ, bahkan membuat api unggun dan berjaga sambil bercakap-cakap,
seolah-olah mereka itu dalam keadaan siap menghadapi musuh!
Melihat sikap orang-orang Thian-liong-pang itu, gelisah hati rombongan
Pulau Neraka. Mereka ingin sekali melihat datuk mereka menghabiskan atau
menghentikan latihannya agar mereka bebas tugas dan mereka dapat
memilih dua kemungkinan, yaitu menggempur orang-orang Thian-liong-pang
atau meninggalkan tempat itu. Sekarang mereka merasa serba salah. Mereka
tidak tahu apa yang akan dilakukan orang-orang Thian-liong-pang itu,
dan tidak tahu apakah musuh-musuh lama itu sudah tahu akan kehadiran
rombongan Pulau Neraka atau belum. Dalam keadaan bersembunyi dan tidak
menentu ini mereka merasa tidak enak hati sekali.
Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai tampak berseri mengusir
embun pagi yang menyelimuti hutan dan sebidang tanah kuburan di anak
bukit itu, tampaklah tujuh orang hwesio tua dengan langkah tenang dan
wajah serius memasuki tanah kuburan dan langsung berhadapan dengan
rombongan Thian-liong-pang.
"Bagus sekali, kiranya Thian-liong-pang sudah siap menanti di tempat
ini! Ternyata Thian-liong-pang masih merupakan sebuah perkumpulan besar
yang suka memegang janjinya!" Seorang di antara para hwesio tua itu,
yang bertubuh kurus bermuka tengkorak dan berjenggot hitam, tangan kiri
memegang tasbih, tangan kanan memegang hud-tim (kebutan) berkata sambil
berkata tenang.
"Thian-liong-pang selamanya memegang janji dan sejak dahulu adalah
perkumpulan besar yang tiada bandingnya!" Milana berkata nyaring sambil
manyapu tujuh orang hwesio itu dengan sinar matanya yang lembut.
"Memenuhi permintaan para sahabat di dunia kang-ouw untuk mengadakan
pertemuan, kami menggunakan tempat yang sunyi ini agar di antara kita
dapat bicara dan bergerak tanpa mengacaukan manusia lain karena di sini
yang tinggal hanyalah orang-orang mati. Nah, setelah kami yang mewakili
Ketua Thian-liong-pang berada di sini dan Cu-wi Losuhu sudah datang,
apakah kehendak Cu-wi mengajukan tantangan kepada pihak kami untuk
mengadakan pertemuan?"
Seorang hwesio berjenggot putih yang berwajah lembut melangkah maju,
memandang kepada Milana dan teman-temannya, lalu berkata, "Omitohud...,
seorang dara remaja yang lembut menyambut kami sebagai wakil
Thian-liong-pang! Nona, di manakah Ketua Thian-liong-pang sendiri?
Mengapa mewakilkan urusan besar kepada seorang gadis muda seperti Nona?"
Milana cepat menjura dengan hormat, hatinya tidak enak menghadapi sikap
hwesio yang agung dan penuh wibawa, juga amat halus itu. Sering kali dia
terpaksa merasa canggung dan tertekan batinnya dalam memenuhi tugas
dalam Thian-liong-pang atas perintah ibunya. Biar pun ia tahu bahwa
ibunya bukan orang jahat, dan Thian-liong-pang adalah perkumpulan
orang-orang gagah, namun kadang-kadang sikap keras hendak menang sendiri
dari perkumpulan yang dipimpin ibunya membuat gadis yang memiliki dasar
watak halus itu merasa canggung dan tidak enak.
"Harap Lo-suhu suka memaafkan, Thian-liong-pangcu tidak dapat
sembarangan hadir dalam setiap pertemuan, apa lagi kami lihat bahwa
Ketua Siauw-lim-pai sendiri pun tidak datang memimpin rombongan
Siauw-lim-pai. Oleh karena itu, Ketua kami mewakilkan kepada kami yang
bertanggung jawab penuh akan segala keputusan dalam pertemuan yang
diadakan di tempat ini."
Hwesio itu mengangguk-angguk, tetapi pada wajahnya yang halus itu masih
terbayang ketidak puasan hatinya. Siauw-lim-pai adalah sebuah partai
persilatan yang besar dan terkenal sekali, sekarang rombongan
Siauw-lim-pai yang terdiri dari tokoh-tokoh bukan tingkat rendah, hanya
disambut oleh seorang gadis muda Thian-liong-pang!
"Omitohud, Nona yang muda pandai bicara. Bolehkah pinceng mengetahui, kedudukan apa yang Nona miliki di Thian-liong-pang?"
"Nona kami adalah puteri Pangcu, kalian ini hwesio-hwesio tua terlalu
banyak bicara! Nona kami wakil Pangcu dalam pertanggungan jawab, akan
tetapi aku Kiang Bok Sam juga berhak mewakili Pangcu menghadapi
orang-orang yang banyak cerewet!" Tiba-tiba Si Lengan Buntung itu telah
meloncat maju, tangan tunggalnya telah melintangkan toyanya di depan
dada, sepasang matanya mendelik dan sikapnya menakutkan.
Para hwesio itu kelihatan tercengang dan hwesio tua itu cepat berkata,
"Omitohud..., maafkan pinceng yang tidak tahu bahwa Nona ini adalah
puteri Thian-liong-pangcu sendiri! Kalau begitu, kami merasa terhormat
sekali. Pinceng adalah Ceng Sim Hwesio, murid kepala dari Suhu yang
menjadi Ketua Siauw-lim-pai."
"Harap Lo-suhu suka menceritakan apa yang dikehendaki oleh Siauw-lim-pai
maka menuntut agar diadakan pertemuan dengan pihak kami." Milana cepat
bertanya mendahului Bok Sam yang ia tahu amat keras wataknya dan biar
pun jarang bicara, sekali mengeluarkan suara, dapat mengejutkan dan
menyinggung perasaan hati orang!
"Sudah bertahun-tahun Siauw-lim-pai mendengar akan sepak terjang
Thian-liong-pang yang menyinggung perasaan dunia kang-ouw, menculik
tokoh-tokoh kang-ouw, merampas kitab pelajaran dan pusaka partai-partai
lain..."
"Akan tetapi kami selalu menjaga agar tidak mengganggu Siauw-lim-pai
yang kami pandang sebagai perkumpulan sahabat!" Milana cepat membantah.
"Sedangkan mengenai urusan dengan tokoh-tokoh dan perkumpulan lain,
mengenai peminjaman kitab atau pusaka, kami rasa tidak ada sangkut
pautnya dengan pihak Siauw-lim-pai seperti juga kami tidak pernah
mencampuri urusan dalam Siauw-lim-pai sendiri."
Ceng Sim Hwesio, murid kepala Ketua Siauw-lim-pai, Ceng Jin Hosiang,
menarik napas panjang dan melanjutkan kata-katanya yang dipotong oleh
nona muda itu, "Tepat sekali ucapan Nona dan kenyataannya pun kami pihak
Siauw-lim-pai tidak pernah mencampuri urusan itu, bukan? Akan tetapi
semenjak pertemuan yang menghebohkan di Pegunungan Ciung-lai-san,
terjadilah hal-hal yang dilakukan oleh Thian-liong-pang dan sekali ini
karena menyangkut persoalan negara dan rakyat, terpaksa kami harus
mencampurinya!"
"Harap Lo-suhu suka memberi penjelasan!" Milana berkata halus akan
tetapi nyaring karena dia merasa tersinggung juga mendengar bahwa
perkumpulan ibunya dicela orang lain.
"Terus terang saja pinceng katakan bahwa Siauw-lim-pai telah mendengar
akan sepak terjang Thian-liong-pang yang merendahkan dirinya menjadi
kaki tangan Pemerintah Mancu! Dengan menghambakan diri kepada pemerintah
penjajah untuk menindas bangsa sendiri, hal ini sungguh bertentangan
dengan kegagahan dan berarti sudah menggunakan perkumpulan
Thian-liong-pang untuk menjadi penjilat dan pengkhianat."
Si Lengan Buntung mencelat maju, akan tetapi Milana membentak nyaring.
"Kiang-lopek, mundur dan jangan turun tangan sebelum ada perintah!"
Si Lengan Buntung mendelik kepada para hwesio itu, akan tetapi tanpa
membantah ia melangkah mundur, sedangkan para anggota Thian-liong-pang
lainnya sudah marah dan bersiap turun tangan begitu ada perintah.
"Lo-suhu, kata-kata Lo-suhu agaknya terdorong oleh nafsu amarah dan
Lo-suhu belum menyelidiki terlebih dahulu sebelum mengeluarkan
tuduhan-tuduhan yang kurang baik terhadap perkumpulan kami. Kami tidak
akan mengingkari kenyataan bahwa kami membantu pemerintah dalam
menghadapi para pemberontak. Bukankah hal itu berarti bahwa
Thian-liong-pang membersihkan kaum pemberontak yang akan mengacaukan
keadaan dan yang hanya akan memancing timbulnya perang yang
menyengsarakan penghidupan rakyat jelata? Ataukah... mungkin kini
Siauw-lim-pai bahkan memihak pemberontak yang jelas terdiri dari
orang-orang yang mengejar kedudukan, perampok-perampok yang berkedok
pejuang?"
Muka para hwesio berubah merah dan pandang mata mereka mengandung
kemarahan. Namun suara hwesio tua itu masih halus ketika dia berkata,
"Perjuangan melawan penjajah, di mana pun juga di dunia ini, adalah
perjuangan kaum patriot pembela bangsa dan tidak boleh dikotori dengan
tuduhan keji memakai dalih apa pun juga. Kami tidak bersekutu dengan
kaum patriot dan pejuang yang kalian anggap sebagai pemberontak, akan
tetapi kami pun tidak sudi untuk menjadi kaki tangan pemerintah
mencelakakan bangsa sendiri yang berjuang menurut keyakinan dan
kebenaran mereka sendiri. Kami hanya minta kepada Thian-liong-pang,
mengingat bahwa Thian-liong-pang adalah parkumpulan orang gagah, untuk
mundur dan jangan mambunuhi rakyat dan bangsa sendiri."
Tentu saja hati Milana menjadi panas mendengar ucapan itu, walau pun
kata-kata itu diatur dan dikeluarkan dengan halus. Dia tidak dapat
menyelami kebenaran kata-kata itu, tidak dapat merasakan alasan yang
dikemukakan oleh Ceng Sim Hwesio. Bagai mana ia dapat merasakan
kebenaran itu kalau dia sama sekali tidak merasa bahwa pemerintah yang
sekarang adalah pemerintah penjajah?
Dia sendiri adalah cucu Kaisar! Dalam pandangannya, bangsa Mancu adalah
bangsa yang memang berhak dan patut memimpin seluruh Tiongkok sebab
telah menunjukkan kebesaran dan kelebihannya! Mana bisa disamakan atau
dibandingkan dengan bangsa pemberontak yang hanya terdiri dari perampok
kasar itu? Dia percaya sepenuhnya bahwa pemerintah Kerajaan Ceng-tiauw
membawa rakyat kepada kemakmuran dan kemajuan, sedangkan para
pemberontak itu hanya akan mencari kesempatan menggendutkan perut
sendiri dengan membawa nama rakyat dan perjuangan untuk menghalalkan
kejahatan mereka!
"Ceng Sim Hwesio, sebagai wakil Siauw-lim-pai engkau minta kepada
Thian-liong-pang untuk mundur dan tidak boleh membantu pemerintah
membersihkan para pemberontak, dan sebagai wakil Thian-liong-pang saya
menjawab bahwa Siauw-lim-pai tidak boleh mencampuri urusan kami sendiri.
Kami menolak permintaanmu itu, dan kami akan tetap melanjutkan tugas
kami membersihkan kaum pemberontak, bukan semata-mata untuk membantu
pemerintah, melainkan terutama sekali untuk menjauhkan rakyat dari pada
kekacauan dan peperangan baru yang ditimbulkan oleh kaum pemberontak!"
"Kalau begitu, Thian-liong-pang menentang kepada Siauw-lim-pai!" Hwesio
bermuka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbeh berkata. Sikapnya
tidaklah sehalus Ceng Sim Hwesio dan mata di dalam tengkorak itu
mengeluarkan sinar berkilat.
"Habis, engkau mau apa?" Si Lengan Satu sudah membentak lagi, toya di
tangan kanannya diputar-putar sehingga terdengar suara angin bersuitan.
"Terserah akan pendapat Siauw-lim-pai terhadap sikap kami, akan tetapi
Thian-liong-pang tidak akan tunduk terhadap siapa pun juga dalam
menentukan sikap akan urusan kami dengan pemerintah!" Milana berkata.
"Omitohud! Sejak dahulu Thian-liong-pang memang ganas dan tinggi hati.
Agaknya karena semua tokohnya memiliki ilmu kepandaian tinggi!" kata
Ceng Sim Hwesio yang mulai panas hatinya.
"Ilmu kepandaian curian semua!" Kembali hwesio muka tengkorak berkata mengejek.
"Cu-wi Lo-suhu dari Siauw-lim-pai! Bukan kami yang mengundang kalian,
melainkan Siauw-lim-pai yang menuntut pertemuan ini. Akan tetapi
ternyata Siauw-lim-pai memperlihatkan sikap tidak bersahabat. Karena
itu, karena kami yang menyediakan tempat ini, berarti kami menjadi pihak
pemilik tempat dan kalian adalah tamu. Sekarang kami persilakan kalian
pergi dari sini, pertemuan telah selesai!" Milana berkata marah.
"Omitohud, benar-benar Thian-liong-pang tidak memandang sebelah mata
kepada Siauw-lim-pai!" Ceng Sim Hwe-sio berkata. "Setelah kedua belah
pihak bertemu, bicara tanpa ada hasilnya, tidak boleh kita
menyia-nyiakan kesempatan ini untuk saling menguji sampai di mana
ketinggian ilmu kepandaian masing-masing. Biar pun kami hanya bertujuh
dan jumlah kalian dua kali lebih banyak, kami tidak akan mundur dan kami
tantang Thian-liong-pang mengadakan pertandingan menguji ilmu
kepandaian sebagai penutup pertemuan ini!"
"Bagus! Siapa takut kepada tujuh ekor kerbau gundul?" Bok Sam meloncat sambil memutar toyanya.
"Trang-trangg...!" Bunga api berpijar ketika toya itu bertemu dengan
tombak pendek yang berada di tangan seorang hwesio yang menangkis toya
itu. Hwesio tua bertubuh tinggi besar itu terhuyung mundur dengan wajah
pucat karena merasa betapa dari toya itu keluar tenaga dahsyat yang
membuat kedua lengannya tergetar dan kuda-kudanya tergempur!
"Kiang-lopek! Harap mundur dulu! Aku tidak perkenankan tokoh-tokoh
Thian-liong-pang yang gagah perkasa melakukan pengeroyokan! Mereka hanya
bertujuh, aku membutuhkan enam orang pembantu saja untuk menghadapi
mereka!" Milana lalu menyebutkan nama enam orang pembantu yang
dipilihnya, termasuk Si Lengan Buntung, kemudian bersama enam orang
pembantunya ia menghadapi para hwesio Siauw-lim-pai sambil melintangkan
pedang di depan dada dan berkata,
"Ceng Sim Hwesio, apa yang kalian kehendaki sekarang?"
"Omitohud! Kiranya Thian-liong-pang masih menjaga nama baik dan memiliki
kegagahan! Kouwnio (Nona) yang perkasa, biarlah pertemuan ini kita
akhiri dengan menguji kepandaian masing-masing sehingga akan lengkaplah
pelaporan kami kepada Ketua kami."
"Bagus sekali. Majulah, jumlah kita sekarang sama!" Kemudian dia menoleh
kepada para pembantunya, "Kalian ingat baik-baik, pertandingan ini
hanya sekedar menguji ilmu. Aku tidak perkenankan kalian turun tangan
membunuh. Cukup kalau sudah mengalahkan orang-orang tua yang keras
kepala ini!"
"Orang-orang Thian-liong-pang yang sombong! Sambutlah serangan kami!"
Ceng Sim Hwesio membentak, memberi isyarat kepada rombongannya dan tujuh
orang hwesio itu sudah menerjang maju.
Yang mempelopori adalah hwesio tua ini. Senjatanya hanya kedua lengan
bajunya yang lebar, namun sepasang senjata ini amatlah dahsyatnya, tidak
kalah oleh senjata-senjata lain karena begitu kedua tangannya bergerak,
ujung lengan baju yang panjang itu merupakan senjata yang menyambar
kuat sekali, panjangnya lebih dari satu kaki di depan tangannya.
"Wuuuut... wuuuutttt!" Kedua lengan bajunya itu menerjang ke arah Milana.
Ketika dara ini dengan gerakan yang gesit sekali mengelak dengan sebuah
loncatan ke belakang kemudian membalik, tahu-tahu dia melihat bahwa
pemimpin rombongan hwesio itu telah dihadapi oleh Bok Sam dengan putaran
toyanya sehingga Ceng Sim Hwesio cepat memutar kedua ujung lengan
bajunya dan terjadilah pertandingan seru di antara mereka. Milana
tersenyum, maklum bahwa pembantunya yang paling lihai ini tentu saja
turun tangan menandingi hwesio yang dianggapnya paling ampuh dan lihai
di antara rombongan lawan sehingga nona muda puteri Ketuanya itu tidak
akan perlu bekerja terlalu keras!
Terpaksa Milana melayani seorang hwesio lain, yang bertubuh tinggi besar
dan yang bersenjata sepasang tombak pendek, yaitu hwesio yang tadi
menangkis toya Si Lengan Buntung. Namun lawan ini terlalu lemah baginya
dan dalam belasan jurus saja Milana sudah mendesak sepasang tombak
pendek itu sehingga lawannya hanya dapat mengelak dan sibuk menangkis
dengan sepasang senjatanya seolah-olah di tangan Milana bukan terdapat
sepasang pedang melainkan banyak sekali yang membuat hwesio itu
kewalahan.
Sementara itu, lima orang hwesio lainnya sudah pula bertanding melawan
lima orang pembantu Milana dan terjadilah pertandingan yang seru di
tanah kuburan. Melihat bahwa ternyata anggota Thian-liong-pang yang
berada di situ sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan mereka,
rombongan Pulau Neraka kini menjadi lega hatinya dan menonton
pertandingan sambil bersembunyi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali
kepada puteri Ketua Thian-liong-pang dan Si Lengan Buntung yang ternyata
hebat bukan main.
Pertandingan antara Bok Sam yang buntung lengan kirinya melawan Ceng Sim
Hwesio merupakan pertandingan yang paling seru dan seimbang,
dibandingkan dengan pertandingan lain di antara kedua rombongan itu.
Biar pun lengannya hanya sebuah, namun toya yang diputar di tangan kanan
itu benar-benar dahsyat sekali gerakannya sehingga Ceng Sim Hwesio yang
amat lihai itu pun tidak mampu mendesaknya dengan kedua ujung lengan
bajunya, bahkan hwesio tua itu kelihatan terkejut sekali dan bersilat
dengan amat hati-hati.
Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai terkenal memiliki ilmu silat yang tinggi,
dengan dasar yang kokoh kuat dan boleh dikata di antara semua ilmu silat
yang sesungguhnya bersumber satu itu, ilmu silat Siauw-lim-pai adalah
ilmu silat yang masih dekat dengan sumbernya, masih murni dibandingkan
dengan cabang-cabang persilatan lain. Hal ini adalah karena para
pengembang ilmu silat Siauw-lim-pai terdiri dari hwesio-hwesio yang
berwatak bersih, jujur dan tekun serta setia kepada pelajaran guru-guru
mereka.
Berbeda dengan cabang persilatan lain yang mengalami perubahan karena
tokoh-tokohnya terdiri dari orang-orang kang-ouw atau petualang yang
banyak merantau sehingga di sana sini mereka menemukan cara-cara baru
yang mereka masukkan dalam ilmu silat mereka sehingga makin lama, biar
pun ilmu mereka banyak yang menjadi aneh dan bermacam-macam coraknya,
juga tidak kalah lihainya, namun makin menjauh dari dasar atau
sumbernya. Karena inilah, maka ilmu silat Siauw-lim-pai menjadi ilmu
silat yang tertua dan yang paling asli, tidak berubah semenjak ratusan
tahun yang lalu.
Ceng Sim Hwesio adalah murid kepala dari Ketua Siauw-lim-pai pada waktu
itu. Tentu saja dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan
memiliki tenaga sinkang yang amat kuat. Sebetulnya, dibandingkan dengan
Bok Sam, baik mengenai kematangan latihan mau pun tingkat kepandaian,
hwesio ini tidak kalah bahkan lebih unggul dan lebih matang, juga tenaga
saktinya tidak kalah kuat. Akan tetapi, lawannya itu telah memperoleh
gemblengan khusus dari Ketua Thian-liong-pang, dan ilmu yang dimilikinya
adalah ilmu golongan hitam yang mempunyai banyak gerakan-gerakan
mengandung tipu daya yang aneh-aneh dan tidak dikenal oleh seorang
pendeta yang mengutamakan kejujuran seperti Ceng Sim Hwesio.
Ketika dengan gerakan yang kuat sepasang lengan baju hwesio itu
menyambar ke arah toya yang menyerang, melibat kedua ujung toya itu
dengan sepasang lengan bajunya untuk merampas senjata lawan, secara tak
terduga dan tiba-tiba, Si Lengan Satu itu melepaskan toyanya dan
menggunakan kesempatan selagi lawan tidak bebas karena kedua lengan
dipakai untuk berusaha merampas toya, tangan kanan yang mempunyai ilmu
dahsyat ‘telapak tangan golok’ itu telah membabat ke arah pundak Ceng
Sim Hwesio!
Hwesio tua itu terkejut sekali. Dari sambaran hawa pukulan tangan kanan
itu dia dapat menduga bahwa lawannya memiliki pukulan ampuh yang
berbahaya sekali. Untuk menangkis, tidak keburu lagi karena kedua
tangannya tidak bebas, sepasang ujung lengan bajunya sudah melibat toya,
maka jalan satu-satunya baginya hanyalah miringkan tubuh dan menerima
hantaman tangan miring itu dengan pangkal bahunya yang berdaging sambil
mengerahkan sinkang-nya.
"Desss!"
Hebat bukan main pukulan tangan miring dari Bok Sam ini. Dia telah
menerima latihan khusus dari Ketua Thian-liong-pang dan kekuatan tangan
tunggalnya itu amat dahsyat. Bukan seperti tangan yang mengandung tenaga
sinkang biasa yang dapat memecahkan batu karang, akan tetapi tangan
kanan Bok Sam ini dapat dipergunakan seperti sebatang golok yang tajam,
dapat mematahkan senjata lawan dan dapat dipakai membacok putus leher
manusia!
Ketika tangan yang dihantamkan miring itu bertemu dengan pangkal lengan
Ceng Sim Hwesio yang mengandung tenaga sinkang amat kuat sehingga
menjadi kebal, tubuh hwesio itu tergetar hebat dan biar pun dia tidak
terluka karena ‘bacokan’ tangan itu dilawan oleh sinkang-nya, namun dia
roboh terpelanting, libatan kedua ujung lengan bajunya pada toya
terlepas dan toya itu telah dirampas kembali oleh Bok Sam yang
menggunakan toya untuk menodong dada hwesio yang sudah rebah terlentang.
"Pinceng sudah kalah, perlu apa menodong dan mengancam? Kalau mau bunuh,
lakukanlah, pinceng tidak takut mati!" kata Ceng Sim Hwesio yang merasa
terhina dengan penodongan toya di atas dadanya itu.
Milana yang sudah merobohkan lawannya dan sedang meloncat ke atas sebuah
kuburan untuk menyerang hwesio muka tengkorak yang ternyata telah
merobohkan dua orang pembantunya berturut-turut cepat berseru,
"Kiang-lopek! Jangan lancang membunuh!"
Bok Sam tentu saja tidak berani melanggar larangan puteri ketuanya. Dia
menodong hanya untuk membuktikan keunggulannya saja, maka kini ujung
toyanya bergerak cepat menotok jalan darah di pundak Ceng Sim Hwesio,
membuat hwesio itu mengeluh dan tak dapat bergerak lagi.
Sementara itu, hwesio muka tengkorak yang memegang kebutan dan tasbih,
ternyata dengan gerakan kebutannya telah berhasil merobohkan pula
seorang anggota Thian-liong-pang yang tadi menerjangnya dengan sebatang
pedang. Gerakan hwesio ini amat hebat. Begitu memandang, tahulah Bok Sam
bahwa hwesio kurus itu ternyata jauh lebih lihai dari pada Ceng Sim
Hwesio! Hwesio kurus itu telah merobohkan tiga orang temannya dan
seorang lagi telah roboh oleh hwesio lain.
Kini di pihak Thian-liong-pang hanya tinggal tersisa dia, puteri
Ketuanya, dan seorang pembantu lagi, yaitu Su Kak Liong yang masih
bertanding seru melawan seorang hwesio pendek bersenjata toya. Biar pun
dia lihai, Su Kak Liong terdesak juga oleh dua orang pengeroyoknya.
Milana sudah menerjang hwesio kurus yang bersenjata hud-tim dan tasbih,
dikeroyok oleh hwesio itu dan seorang hwesio lain yang bersenjata
pedang.
Karena percaya akan kelihaian Milana, Bok Sam membiarkan Milana
menghadapi dua orang pengeroyoknya dan dia sendiri cepat meloncat ke
depan membantu Su Kak Liong. Begitu Si Lengan Buntung ini maju, keadaan
berubah sama sekali. Hwesio pendek yang bersenjata toya sama sekali
bukan tandingan Si Lengan Buntung, biar pun senjata mereka serupa dan
hwesio itu menggunakan kedua tangannya untuk mainkan senjatanya. Dalam
belasan jurus saja, hwesio pendek itu tak kuat bertahan lagi, toyanya
patah menjadi dua dan dia roboh dengan sambungan lutut terlepas karena
hantaman toya lawan. Juga hwesio muda yang bersenjata golok sudah roboh
oleh Su Kak Liong, terluka pundaknya.
Bok Sam cepat meloncat dan membantu Milana yang masih dikeroyok dua.
Ternyata hwesio kurus bermuka tengkorak itu benar-benar lihai sekali.
Permainan kombinasi sepasang senjatanya yang aneh memiliki
gerakan-gerakan aneh dan tenaga sinkang yang terkandung dalam gerakan
senjata-senjatanya amat kuat. Kebutan di tangan kanan itu kadang-kadang
lemas dan dipergunakan untuk membelit pedang untuk merampasnya, akan
tetapi kadang-kadang dapat menjadi keras dan kaku bulu-bulunya sehingga
dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Sedangkan tasbihnya
menyelingi gerakan kebutan dengan sambaran-sambaran ke arah kepala
lawan.
Milana terkejut dan tertarik sekali. Dia sudah mengenal dasar ilmu silat
Siauw-lim-pai, maka dia menjadi heran sekali ketika melihat bahwa dasar
ilmu silat hwesio kurus ini jauh berbeda dengan Siauw-lim-pai, bahkan
mendekati ilmu silat dari barat! Setelah kini Bok Sam maju membantunya
dan menghadapi hwesio yang bersenjata pedang, Milana mendapat kesempatan
untuk menghadapi hwesio muka tengkorak itu satu lawan satu dan dengan
mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa, Milana dapat memancing hwesio
itu mengeluarkan semua jurus-jurusnya yang sama sekali bukan ilmu silat
Siauw-lim-pai.
Tiba-tiba untuk kesekian kalinya, tasbih menyambar dari udara,
mengeluarkan bunyi bersuitan. Tasbih itu telah dilepas oleh tangan kiri
hwesio kurus, dan melayang-layang seperti seekor burung menyambar ke
arah kepala Milana. Dara ini tidak menjadi gugup. Tadi pun dia pernah
diserang seperti itu dan ketika ia mengelak, tasbih itu dapat kembali ke
tangan lawan! Kini dia sengaja menggunakan pedangnya menangkis dengan
hantaman miring dari samping ke arah tasbih sambil membagi perhatian ke
depan karena selagi tasbih itu melayang turun, hud-tim di tangan kanan
lawannya juga tidak tinggal diam, bahkan mengirim penyerangan cepat
sekali.
"Cringgg!"
Milana terkejut karena tangkisan itu membuat tangannya tergetar dan
ternyata bahwa tasbih itu tidak tertolak oleh tangkisannya, melainkan
terus melibat pedangnya. Kiranya tasbih itu dilempar dengan gerakan
berputar sehingga ketika ditangkis terus melibat! Padahal pada saat itu
kebutan di tangan kanan hwesio itu telah meluncur datang, ujung kebutan
bergerak cepat sekali seolah-olah ber-ubah menjadi banyak dan mengirim
totokan Secara bertubi-tubi ke arah jalan-jalan darah di bagian depan
tubuh Milana dan pinggang ke atas.
"Wuuuuttt... singgg!"
Milana menggunakan ginkang-nya, tubuhnya mencelat ke atas, pedang
dikelebatkan dengan pengerahan sinkang sehingga tasbih yang melilit
pedangnya itu terlepas menyambar ke depan, menangkis ke arah kebutan.
"Wuuuut!"
Dengan lihainya hwesio kurus itu menggerakkan kebutan menangkap
tasbihnya, dan sudah siap untuk menerjang lagi sambil diam-diam memuji
ketangkasan dara itu.
"Tahan!" Tiba-tiba Milana membentak sambil melintangkan pedangnya di
depan dada. "Siapa engkau? Aku yakin bahwa engkau bukanlah seorang
hwesio tokoh Siauw-lim-pai!"
Hwesio itu tersenyum mengejek, kemudian memandang kepada enam orang
hwesio yang semua telah roboh terluka. Hwesio berpedang yang tadinya
membantu dia mengeroyok Milana telah roboh pula di tangan Bok Sam yang
kini sudah berdiri dengan memegang toya tegak lurus di depannya, siap
untuk menerjangnya. Enam orang temannya sudah kalah semua, tinggal dia
seorang, sedangkan di pihak Thian-liong-pang masih ada tiga orang
termasuk nona muda yang amat lihai dan Si Lengan Buntung yang juga lihai
sekali itu.
"Pinceng Mo Kong Hosiang memang bukan seorang tokoh Siauw-lim-pai, akan
tetapi pinceng adalah sahabat baik Ketua Siauw-lim-pai. Pinceng datang
dari barat dan mendengar akan sepak terjang Thian-liong-pang yang telah
merendahkan diri menjadi kaki tangan pemerintah penjajah, pinceng dan
para sahabat ini..."
"Aihh, kiranya engkau seorang pemberontak dari Tibet, bukan?" Milana memotong, dan hwesio itu kelihatan terkejut.
"Bagaimana Nona dapat menyangka demikian?"
"Aku mengenal gaya bahasamu dan dasar gerak silatmu. Tibet sudah takluk,
akan tetapi banyak tokohnya diam-diam masih ingin memberontak. Tentu
engkau adalah seorang di antara mereka yang ingin memberontak, maka kini
engkau menghasut para Lo-suhu dari Siauw-lim-pai untuk menentang kami.
Hemm, Mo Kong Hosiang, karena engkau bukan orang Siauw-lim-pai, maka
urusan antara engkau dan kami lain lagi. Engkau seorang pemberontak dan
sudah menjadi tugas kami untuk membasmi pemberontak."
"Ha-ha-ha-ha, perempuan sombong! Kau kira pinceng takut...?" Baru sampai
di sini ucapannya, terdengar suara gerengan keras dan Bok Sam telah
menerjang maju dengan dahsyat, menggerakkan toyanya menusuk ke arah dada
hwesio kurus itu.
Mo Kong Hosiang cepat mengelak sambil menggerakkan hud-tim di tangannya
yang menyambar dari samping ke arah lambung Si Lengan Buntung. Serangan
berbahaya ini dapat dielakkan oleh Bhok Sam dan segera terjadi
pertandingan hebat antara kedua orang itu. Sekali ini, pertandingan
terjadi lebih hebat dari pada tadi karena kalau tadi masing-masing pihak
masih menjaga agar jangan sampai menjatuhkan pukulan maut kepada pihak
lawan, kini kedua orang ini bertanding dengan niat membunuh!
Milana sudah mengukur tingkat kepandaian hwesio kurus itu, maka kini ia
mengerutkan alis menyaksikan kelancangan Bok Sam yang terlalu berani
turun tangan. Dia maklum bahwa pembantu ibunya itu memiliki ilmu yang
boleh diandalkan, akan tetapi dia khawatir kalau pembantu ibunya itu
bukan tandingan Mo Kong Hosiang yang amat lihai. Biar pun hatinya tidak
senang menyaksikan kelancangan dan kekerasan hati Bok Sam, namun karena
dia tahu bahwa Si Buntung ini mendahuluinya bukan hanya karena keras
hati akan tetapi juga karena menyayangnya menghadapi lawan tangguh, maka
di lubuk hatinya Milana merasa tidak tega dan tidak mau membiarkan Si
Lengan Buntung itu menghadapi bahaya maut. Diam-diam ia bersiap sedia
untuk menolong apabila pembantu ibunya itu terancam bahaya.
Kiang Bok Sam bukan seorang bodoh. Begitu terjadi saling serang beberapa
jurus saja, tahulah dia bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai, sama
sekali tidak boleh disamakan dengan Ceng Sim Hwesio. Gerakan hud-tim
itu membingungkan hatinya karena amat cepat dan aneh, selain itu, juga
hud-tim yang kadang-kadang lemas kadang-kadang kaku itu membuat dia
sukar sekali menduga gerakan serangan lawan.
Namun dia tidak menjadi jeri dan toyanya diputar amat cepatnya ketika
dia membalas dengan serangan-serangan maut yang tidak kalah hebatnya.
Permainan toyanya yang khusus diturunkan oleh Ketua Thian-liong-pang
kepadanya memang dahsyat sekali, apa lagi di balik toya ini tersembunyi
lengan tunggal yang memiliki keampuhan luar biasa. Toya ini selain
merupakan senjata, juga merupakan semacam kedok yang menyembunyikan
senjatanya yang paling utama dan ampuh, yaitu tangan kanannya. Lawan
biasanya akan memandang rendah apabila dia kehilangan toyanya, dan hal
ini pun tadi telah mengakibatkan robohnya Ceng Sim Hwesio.
Mo Kong Hosiang maklum bahwa lawan yang berbahaya adalah Si Buntung ini
dan nona muda itu, maka dia harus dapat merobohkan seorang di antara
mereka baru dia mempunyai harapan untuk keluar dari pertandingan dengan
selamat. Maka kini melihat gerakan toya Si Lengan Buntung, dia memandang
rendah. Si Buntung ini memang amat cepat dan kuat sinkang-nya, namun
masih jauh kalau dibandingkan lawannya dengan nona muda yang cantik itu.
Dia harus dapat mengalahkan lawannya dengan cepat.
Tiba-tiba hwesio kurus itu mengeluarkan suara bentakan melengking hingga
terkejutlah lawannya karena bentakan ini mengandung tenaga khikang yang
menggetarkan jantung. Pada saat itu hud-tim di tangan Mo Kong Hosiang
meluncur ke depan, menjadi lemas dan telah melibat ujung toya yang tadi
menusuk ke arah dadanya, sedangkan tasbih di tangan kirinya sudah
dilontarkannya ke atas dan kiri tasbih itu meluncur turun ke arah kepala
lawan selagi lawan masih terkejut dan berusaha membetot toyanya.
"Sinngggg... tranggggg!" Tasbih itu putus dan runtuh ke atas tanah,
kesambar pedang yang dilontarkan oleh Milana. Pedang itu pun runtuh ke
atas tanah, akan tetapi telah berhasil menyelamatkan Si Lengan Buntung
dari ancaman maut!
Pada saat itu Bok Sam melepaskan toyanya dan Mo Kong Hosiang menganggap
hal ini sebagai kemenangan. Dia berseru girang walau pun tadi kaget
melihat tasbihnya runtuh, dengan gerak kilat tangan kirinya menghantam
ke arah lawan. Pukulannya cepat dan keras bukan main sehingga didahului
oleh hawa pukulan yang kuat. Seperti juga Ceng Sim Hwesio, hwesio dari
Tibet ini telah salah menduga keadaan lawan. Disangkanya bahwa Si Lengan
Buntung itu hanya mengandalkan toyanya, maka begitu toya terlepas
dianggapnya Si Lengan Buntung itu menjadi tidak berdaya dan lemah.
Hwesio kurus itu hanya tersenyum mengejek ketika Bok Sam menggerakkan
lengan tangannya menangkis dengan tangan terbuka miring.
"Krakkkk...!"
Mo Kong Hosiang berteriak kaget setengah mati ketika pergelangan
tangannya terasa nyeri dan tulangnya ternyata patah begitu bertemu
dengan tangan miring lawan.
"Celaka...!" Dia cepat meloncat ke belakang, lengan kirinya tergantung
lumpuh karena tulangnya patah, namun hud-timnya berhasil merampas toya.
Kini dia menggerakkan hud-timnya dan toya itu meluncur seperti anak
panah yang besar ke arah Bok Sam!
"Wuuuttt... wirrrr!"
Tiba-tiba toya yang meluncur itu berhenti dan tertarik ke atas oleh
sinar hitam yang meluncur cepat dari tangan Milana. Kiranya dara perkasa
ini telah menggunakan sebatang tali sutera, sebuah di antara senjatanya
yang amat lihai, dilontarkannya tali itu dan berhasil menangkap toya!
Kini toya itu telah kembali ke tangan pemiliknya yang mengangguk sebagai
tanda terima kasih kepada Milana. Lontaran toya tadi benar-benar tidak
terduga dan amat cepatnya sehingga kalau tidak ditolong Milana, tentu
dia akan celaka, setidaknya terluka.
Sambil menggereng seperti seekor harimau terluka, Bok Sam menerjang maju
dan terpaksa dilawan oleh Mo Kong Hosiang yang keadaannya tidak berbeda
jauh dengan lawannya. Kalau lawannya itu hanya menggunakan lengan kanan
karena lengan kirinya buntung, hwesio Tibet ini pun hanya menggunakan
lengan kanan karena lengan kirinya lumpuh dan patah tulangnya.
Maklum bahwa selain terluka parah, juga di samping lawannya yang lihai
ini masih terdapat puteri Ketua Thian-liong-pang yang lebih lihai lagi,
maka Mo Kong Hosiang berlaku nekat, menubruk maju dengan dahsyat, ingin
mengadu nyawa dan mengajak lawannya mati bersama! Akan tetapi Bok Sam
tentu saja tidak suka nekat seperti lawannya karena dia sudah berada di
pihak lebih kuat. Menghadapi terjangan nekat ini, dia mengayun toyanya
menangkis dengan pengerahan tenaga sekuatnya.
"Desss! Krakkk!"
Hud-tim dan toya di tangan kedua orang lawan itu patah menjadi dua
disusul pekik Mo Kong Ho-siang yang roboh terjengkang karena dadanya
terkena pukulan tangan kanan Bok Sam yang amat ampuh. Biar pun dengan
sinkang-nya dia masih dapat membuat dadanya kebal, namun getaran hebat
membuat jantungnya pecah dan isi dadanya rusak sehingga hwesio Tibet ini
tewas seketika!
Milana cepat menyuruh anak buahnya mundur, kemudian dia menghampiri enam
orang hwesio Siauw-lim-pai yang sudah bangkit berdiri saling bantu.
Ceng Sim Hwesio berdiri dengan muka pucat.
"Ceng Sim Hwesio, engkau tadi telah mendengar sendiri bahwa kami
membunuh Mo Kong Hosiang bukan sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai.
Menurut pengakuannya sendiri, dia bukanlah seorang anggota
Siauw-lim-pai. Kami membunuhnya sebagai seorang pemberontak. Ada pun
Cu-wi Lo-suhu, enam orang anggota Siauw-lim-pai telah kalah dalam ujian
kepandaian melawan kami, hal ini kami rasa sudah sewajarnya, apa lagi
kalau diingat bahwa yang menantang mengadu ilmu adalah pihak
Siauw-lim-pai sendiri. Harap saja Lo-suhu tidak akan memutar balikkan
kenyataan ini dalam laporan Lo-suhu kepada Ketua Siauw-lim-pai."
Ceng Sim Hwesio tersenyum pahit lalu menghela napas panjang. "Biar pun
Mo Kong Hosiang bukan anggota Siauw-lim-pai, namun dia adalah seorang
saudara kami, sudah sepatutnya kalau kami membawa pergi jenazahnya.
Tentang urusan antara kita, hemmm... kami sudah kalah, tidak perlu
banyak bicara lagi! Selamat tinggal, mudah-mudahan dalam pertemuan
mendatang kami akan lebih berhasil." Setelah berkata demikian, Ceng Sim
Hwesio mengajak anak buahnya pergi sambil menggotong jenazah Mo Kong
Hosiang.
Rombongan Pulau Neraka yang bersembunyi sambil menonton, melihat bahwa
biar pun pihak Thian-liong-pang memperoleh kemenangan, akan tetapi
rombongan itu tidak meninggalkan tempat itu, hanya mengobati empat orang
anggota yang terluka dalam pertandingan tadi. Bahkan mereka bermalam
lagi di tempat itu melakukan penjagaan secara bergiliran.
Kiranya bukan hanya dari partai persilatan Siauw-lim-pai saja yang
datang. Pada esok harinya datang pula rombongan orang-orang kang-ouw
yang juga mempunyai niat yang sama dengan rombongan Siauw-lim-pai, yaitu
mereka menentang Thian-liong-pang yang oleh dunia kang-ouw dianggap
telah menyeleweng dari peraturan kang-ouw, yaitu telah mencampurkan diri
dengan urusan politik, bahkan telah mengekor dan menghambakan diri
kepada pemerintah penjajah.
Betapa pun juga, partai-partai persilatan besar dan orang-orang gagah di
dunia kang-ouw itu biar tidak secara terang-terangan memberontak atau
menentang pemerintah penjajah, namun di dalam hati mereka masih tetap
berpihak kepada orang-orang yang memberontak terhadap kaum penjajah.
Karena itu, mendengar betapa Thian-liong-pang membantu pihak pemerintah,
nnengejar-ngejar pemberontak dan membasmi mereka, golongan kang-ouw
menjadi marah dan sengaja menentang Thian-liong-pang!
Setiap hari terjadilah pertempuran di tanah kuburan itu dan karena di
pihak Thian-liong-pang terdapat Si Lengan Buntung yang amat lihai dan
puteri Ketua Thian-liong-pang yang sukar menemui tandingan, maka pihak
Thian-liong-pang selalu dapat menang dan mengusir musuh-musuh mereka
dengan alasan yang sama seperti yang mereka kemukakan kepada
Siauw-lim-pai. Pihak yang merasa penasaran mereka lawan dengan mengadu
kepandaian.
Rombongan Pulau Neraka sekarang mengerti mengapa Bu-tek Siauw-jin, datuk
mereka yang aneh sekali wataknya itu memilih tempat ini untuk berlatih!
Kiranya kakek yang tidak lumrah manusia biasa itu agaknya sudah tahu
bahwa tempat itu dijadikan gelanggang pertandingan oleh Thian-liong-pang
yang menyambut musuh-musuhnya, maka dia sengaja memilih tempat itu yang
dianggapnya menarik!
Kalau tidak untuk keperluan ini, apa perlunya kakek itu menyuruh belasan
orang Pulau Neraka menggotong-gotong peti mati kosong itu sampai
ratusan mil jauhnya? Padahal untuk latihan itu, di mana-mana pun ada
tanah, di mana-mana pun ada tanah kuburan! Diam-diam para anak buah
Pulau Neraka merasa mendongkol sungguh pun tentu saja tidak berani
menyatakan ini, karena mereka berada dalam keadaan serba salah, setiap
hari harus menyaksikan ketegangan-ketegangan tanpa berani berkutik.
Akhirnya terlewat jugalah jarak waktu sepekan yang dibutuhkan oleh
Bu-tek Siauw-jin untuk latihan bersama muridnya! Akan tetapi, tepat pada
hari terakhir itu terjadi pula pertandingan antara Thian-liong-pang dan
rombongan Hoa-san-pai yang terdiri dari orang-orang pandai sebanyak
sepuluh orang! Seperti juga ketika menyambut rombongan Siauw-lim-pai,
Milana mewakili ibunya memberi alasan-alasan kuat, dan perbantahan itu
berakhir dengan adu kepandaian pula, karena pihak Hoa-san-pai itu adalah
murid-murid Thian Cu Cin-jin Ketua Hoa-san-pai yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi.
Pertandingan hebat terjadi sampai lewat tengah hari dan berakhir dengan
kemenangan pihak Thian-liong-pang. Akan tetapi biar pun orang-orang
Hoa-san-pai itu dapat diusir pergi dalam keadaan luka-luka, pihak
Thian-liong-pang sendiri kehilangan seorang anggotanya yang terluka
terlalu parah sehingga nyawanya tidak tertolong lagi dan tewas tak lama
setelah rombongan Hoa-san-pai pergi!
Melihat betapa pihak musuh tiada hentinya datang menantang mereka,
Milana merasa penasaran dan juga berduka sekali, apa lagi setelah
melihat di pihaknya jatuh korban seorang tewas dan lima orang masih
luka-luka.
"Lebih baik kita meninggalkan tempat ini membuat laporan kepada Pangcu," katanya kepada Bok Sam.
"Sebaiknya demikian, Nona. Namun karena kebetulan kita berada di tanah
kuburan, sebaiknya kita mengubur jenazah anak buah kita yang tewas itu
di tempat ini."
Milana mengerutkan alisnya, tetapi menganggap bahwa memang sebaiknya
demikian sehingga mereka tidak perlu membawa-bawa jenazah. "Terserah
kepadamu, Kiang-lopek, akan tetapi di tempat jauh dari kota ini,
bagaimana kau bisa mendapatkan sebuah peti mati?"
Si Lengan Buntung itu menengok ke kanan kiri yang penuh dengan batu
nisan dan gundukan tanah kuburan. "Hemm, banyak tersedia peti mati di
sini, mengapa mesti susah-susah mencari tempat jauh? Biar aku mencarikan
sebuah peti mati yang masih baik untuk jenazah kawan klta." Si Lengan
Buntung ini lalu mengajak beberapa orang anak buahnya mencari kuburan
yang masih belum begitu lama sehingga peti mati di dalamnya tentu belum
rusak pula.
Tentu saja perhatian mereka segera tertarik oleh gundukan tanah yang
masih baru, yaitu kuburan Bu-tek Siauw-jin dan Kwi Hong! Tanah yang
digundukkan di situ baru sepekan lamanya.
"Bagus, ini kuburan baru sekali! Tentu peti matinya pun masih baik. Hayo
kita gali dan keluarkan peti matinya!" Bok Sam berkata dengan wajah
berseri, berbeda dengan biasanya yang selalu kelihatan muram. Memang dia
merasa gembira mendapatkan kuburan yang baru itu, hal yang sama sekali
tidak disangka-sangkanya karena tanah kuburan itu penuh dengan
kuburan-kuburan yang sudah tua sekali.
Setelah berkata demikian, Si Kakek Lengan Buntung ini memelopori anak
buahnya, menggunakan tangannya menggempur gundukan tanah dan sekali
tangan tunggalnya mendorong, gundukan tanah yang baru itu terbongkar dan
tampaklah sebuah peti mati di bawahnya, berjajar dengan sebuah peti
mati lain yang masih tertutup tanah. Peti mati yang tampak itu adalah
peti mati Kwi Hong!
"Heii, keparat! Tahan...!"
Orang-orang Thian-liong-pang terkejut dan mereka semua melihat dengan
mata terbelalak ketika belasan orang Pulau Neraka muncul dari kanan
kiri. Benar-benar mengejutkan melihat orang-orang yang mukanya beraneka
warna itu bermunculan di tanah kuburan itu, tidak ubahnya seperti
setan-setan kuburan. Si Lengan Satu yang kehilangan lengan kirinya dalam
pertandingan melawan orang-orang Pulau Neraka, segera mengenal
musuh-musuh lama ini, maka dia terkejut dan marah sekali.
"Gerombolan Iblis Pulau Neraka! Apakah kalian kembali hendak mengganggu urusan Thian-liong-pang?" bentaknya marah sekali.
Kong To Tek, tokoh Pulau Neraka yang berkepala gundul bermuka merah muda
dan bertubuh gendut pendek, menyeringai ketika menjawab. "Orang-orang
Thian-liong-pang yang sombong! Sudah sepekan kami berada di sini
menyaksikan sepak terjang kalian dan kami diam-diam saja. Siapa sudi
mencampuri urusan orang lain yang tidak harum? Akan tetapi kalian berani
mengganggu kuburan yang kami jaga, tentu saja kami turun tangan.
Kuburan yang satu ini berada di bawah pengawasan kami dan tidak ada
seorang pun manusia atau iblis boleh mengganggunya. Jika kalian
membutuhkan peti mati, boleh mencari kuburan lain!"
"Kau sudah bosan hidup!" Bok Sam membentak dan langsung menerjang ke
depan, disambut oleh Kong To Tek sehingga terjadilah perkelahian yang
seru antara kedua tokoh ini. Ternyata ilmu kepandaian mereka seimbang
sehingga pertandingan itu hebat bukan main. Anak buah Thian-liong-pang
yang lain sudah pula bertanding melawan anak buah Pulau Neraka.
Perkelahian itu segera terdengar oleh Milana dan anak buahnya, maka dara
ini cepat membawa anak buahnya menyerbu dan kembali tempat itu menjadi
medan perang kecil-kecilan yang dahsyat sekali. Milana mempunyai rasa
tidak suka kepada Pulau Neraka, maka kini melihat betapa orang-orang
dengan muka beraneka warna itu bertempur melawan orang-orangnya, dia
segera terjun ke medan pertandingan dan sepak terjang dara ini membuat
orang-orang Pulau Neraka terdesak hebat.
Bok Sam yang bertanding melawan Kong To Tek merupakan tandingan seimbang
dan seru, tetapi Si Gundul Kong To Tek itu mulai terdesak karena
lawannya menggunakan pukulan-pukulan Ilmu Telapak Tangan Golok yang
dahsyat bukan main. Kong To Tek terkenal dengan ilmunya memukul sambil
berjongkok dan dari mulutnya keluar asap beracun. Tetapi karena dia
pernah mengacau ke Thian-liong-pang dan kepandaiannya ini sudah
diketahui oleh Bok Sam, Si Lengan Buntung dapat menjaga diri dan selalu
meloncat tinggi melampaui kepala lawan yang berjongkok itu, kemudian
membalik dan melancarkan pukulan-pukulan maut dengan lengan tunggalnya
yang ampuh bukan main.
Ada pun orang kedua yang lihai dalam rombongan Pulau Neraka itu adalah
Chi Song, tokoh Pulau Neraka yang tinggi besar dan berperut gendut. Chi
Song ini memiliki dua macam ilmu simpanan yang hebat dan pernah pula dia
mengacau Thian-liong-pang bersama Kong To Tek dan akhirnya dikalahkan
oleh Gak Bun Beng yang pada waktu itu menyamar sebagai Ketua
Thian-liong-pang.
Dua ilmu simpanannya itu memang dahsyat, yaitu Ilmu Pukulan Beracun yang
amat berbahaya. Jika ia mendorong dengan telapak tangan terbuka, dari
telapak tangannya menyambar uap beracun yang dapat merobohkan lawan
sebelum pukulannya sendiri mengenai sasaran. Ada pun keistimewaannya
yang kedua adalah ilmu tendangan yang dahsyat, yang dilakukan sambil
meloncat sehingga dinamakan Tendangan Terbang. Banyak lawan yang dapat
menghindarkan diri dari pukulannya yang beracun roboh oleh tendangan
dahsyat yang amat cepat dan tidak terduga-duga datangnya ini. Biar pun
tingkat kepandaiannya masih kalah sedikit dibandingkan dengan Kong To
Tek, namun Chi Song bukanlah seorang tokoh rendahan saja di Pulau
Neraka.
Sial baginya, sekali ini dia bertemu dengan Milana, puteri Ketua
Thian-liong-pang! Betapa pun lihainya, dan biar pun dia telah dibantu
oleh tiga orang untuk mengeroyok Milana, tetap saja dia dan
kawan-kawannya dihajar babak belur oleh tali sutera hitam yang dimainkan
sebagai cambuk tangan Milana! Kalau dara remaja ini menghendaki, tentu
dengan mudah dia dapat menyebar maut di antara rombongan orang-orang
Pulau Neraka itu.
Akan tetapi biar pun dia puteri Ketua Thian-liong-pang yang terkenal
berwatak keras dan ganas, pada hakekatnya Milana memiliki watak halus
dan tidak tega membunuh orang kalau tidak secara terpaksa sekali. Dia
tidak suka kepada orang-orang Pulau Neraka, akan tetapi karena yang
mengeroyoknya hanya orang-orang yang tingkatnya jauh lebih rendah dari
padanya, dia tidak mau menurunkan tangan maut, dan hanya menghajar
mereka dengan lecutan-lecutan tali suteranya sehingga mereka itu
terdesak mundur, bahkan beberapa kali Chi Song roboh bergulingan,
pakaiannya robek-robek dan kulitnya lecet-lecet.
Sepak terjang Milana ini hebat sekali, membuat para anak buah Pulau
Neraka menjadi kacau balau. Apa lagi ketika Bok Sam berhasil melukai
pundak Kong To Tek dengan Telapak Tangan Goloknya sehingga tokoh gundul
Pulau Neraka itu terpaksa mundur untuk mengobati lukanya dan Si Lengan
Buntung itu kini mengamuk secara lebih hebat dari pada Milana karena Si
Lengan Buntung ini tidak menaruh segan-segan untuk membunuh atau
menimbulkan luka parah di antara pengeroyoknya, pihak Pulau Neraka
benar-benar terdesak hebat dan hanya main mundur.
Tiba-tiba terdengar pekik dari atas, disusul kelepak sayap dan seekor
burung rajawali hitam menyambar turun, langsung mencengkeram ke arah Si
Lengan Buntung Kiang Bok Sam yang sedang mengamuk dan menyebar maut di
antara orang-orang Pulau Neraka!
"Haiiiitttt!" Bok Sam berseru kaget, cepat melempar tubuh ke bawah dan
bergulingan di atas tanah. Burung rajawali mengejar dan menyambar.
Tiba-tiba Bok Sam meloncat bangun, tangan kanannya bergerak memukul ke
arah sebuah di antara sepasang cakar yang menyambarnya.
"Desssss!"
Burung rajawali itu memekik keras, tetapi tubuh Bok Sam juga terlempar
bergulingan sampai jauh. Kiranya ketika kaki burung itu bertemu dengan
pukulan Telapak Tangan Golok, ada sebuah tangan lain yang mendorong ke
bawah dengan kekuatan yang amat dahsyat, yang selain menyelamatkan kaki
burung itu, juga membuat tubuh Si Lengan Buntung bergulingan. Burung itu
hinggap di atas tanah dan dari punggungnya meloncat seorang pemuda yang
bertubuh jangkung dan berwajah tampan sekali. Kemudian burung itu
terbang ke atas, hinggap di atas cabang pohon.
Su Kak Liong, tokoh Thian-liong-pang yang melihat betapa hampir saja Bok
Sam celaka oleh pemuda dengan burung rajawalinya ini, menerjang maju
dengan sebatang golok besar. Pemuda itu sedang berdiri sambil bertolak
pinggang memandang ke sekeliling, sama sekali tidak memperhatikan atau
mempedulikan terjangan Su Kak Liong dengan golok, juga dia tidak meraba
gagang pedangnya yang tersembunyi di balik jubahnya yang panjang.
Sikapnya tenang sekali, alisnya yang tebal agak berkerut, matanya
bergerak ke kanan kiri, mulutnya tersenyum simpul seperti orang
mengejek, namun sikapnya angkuh seolah-olah dia memandang rendah pada
semua orang yang berada di sekelilingnya. Golok di tangan Su Kak Liong
menyambar dekat, hampir menyentuh lehernya. Tiba-tiba tanpa mengubah
kedudukan kedua kakinya, pemuda itu membalikkan tubuh atas, tangan
kirinya bergerak menangkap golok yang sedang menyambar, dijepit di
antara jari tangannya sehingga golok itu tiba-tiba terhenti gerakannya.
Su Kak Liong memandang dengan mata terbelalak hampir tidak percaya bahwa
ada orang mampu menyambut hantaman goloknya dengan jari tangan
menjepitnya sedemikian rupa sehingga dia tidak mampu lagi menggerakkan
goloknya. Matanya masih tetap terbelalak akan tetapi mulutnya
mengeluarkan pekik menyeramkan dan segera disusul menyemburnya darah
segar ketika tangan kanan pemuda itu menepuk ulu hatinya dan seketika
robohlah Su Kak Liong dalam keadaan tak bernyawa lagi!
"Keparat...! Kau berani membunuhnya? Rasakan pembalasanku!" Bok Sam yang tadi melihat peristiwa ini menjadi marah bukan main.
Biar pun dia maklum bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali, namun dia
tidak menjadi gentar. Kemarahannya membuat ia lupa diri dan dengan
nekat dia menerjang maju, tangan tunggalnya diangkat ke atas kepala
dengan telapak tangan terbuka, dia sudah mengerahkan tenaga Telapak
Tangan Golok dan siap membacokkan tangannya ke arah kepala pemuda itu.
Si Pemuda tetap berdiri dan kini bahkan melongo memandang ke arah Milana
yang mengamuk dengan sabuk suteranya, sama sekali tidak mempedulikan
makian dan serangan Si Lengan Buntung yang kini menggunakan Ilmu Telapak
Tangan Golok sekuatnya itu!
"Plakkk!" ketika tangan kanan Bok Sam itu sudah dekat kepalanya, Si
Pemuda tiba-tiba mengangkat tangan kanannya ke atas, melindungi kepala
dan menyambut pukulan itu sehingga kedua telapak tangan mereka bertemu
dan melekat!
Bok Sam mengerahkan seluruh tenaganya, tenaga sinkang yang istimewa
untuk ilmu Telapak Tangan Golok-nya. Tetapi betapa pun ia menekan, tetap
saja tangan pemuda itu tidak dapat didorongnya, bahkan dia tidak dapat
lagi melepaskan tangannya dari telapak tangan Si Pemuda. Kemarahannya
memuncak.
Pemuda inilah yang telah membuntungi lengan kirinya, maka tadi dia marah
sekali dan telah mengerahkan seluruh tenaga untuk membalas dendam dan
membunuhnya. Siapa kira kini pukulannya yang istimewa disambut oleh
pemuda itu seenaknya saja dan dia tidak mampu menarik kembali tangannya.
Dengan kemarahan meluap, Bok Sam lalu menggunakan kepalanya. Untuk
menggunakan tangan kiri, dia sudah tidak mempunyai lengan kini,
menggunakan kedua kaki, jarak mereka terlalu dekat karena tangan mereka
sudah saling melekat, maka satu-satunya yang dapat dia pergunakan untuk
menyerang musuh yang paling dibencinya ini adalah menggunakan kepalanya!
Dengan menunduk, dia lalu membenturkan kepalanya dengan sekuat tenaga
ke arah dada pemuda itu!
Pemuda itu bukan lain adalah Wan Keng In, putera dari Ketua Pulau
Neraka, murid yang amat lihai dari Cui-beng Koai-ong, datuk pertama dari
Pulau Neraka! Melihat serangan kepala ini, Wan Keng In tetap tenang
bahkan dia meloncat sedikit ke atas sehingga kepala lawan tidak mengenai
dada, melainkan mengenai perutnya.
"Cappp!" Perut itu mengempis dan kepala itu menancap di perut sampai setengahnya, tak dapat dicabut kembali.
Bok Sam merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, seolah-olah telah
memasuki tempat perapian, makin lama makin panas. Dia meronta-ronta akan
tetapi karena tangan kanannya sudah melekat dengan tangan pemuda itu,
kepalanya sudah terjepit di rongga perut, yang bergerak hanya pinggul
dan kedua kakinya yang menendang-nendang tanah!
"Manusia tak tahu diri, mampuslah!" Pemuda itu menggumam sambil mengerahkan tenaga mukjizat di rongga perutnya.
Terdengar bunyi keras ketika kepala Bok Sam retak-retak oleh tekanan
perut yang amat kuat itu dan ketika Wan Keng In melontarkan tubuh Si
Lengan Buntung dengan jalan mengembungkan perutnya, tubuh itu telah
menjadi mayat dengan kepalanya retak-retak dan berwarna kehitaman!
Semua ini dilakukan oleh Wan Keng In tanpa mengalihkan pandang matanya
dari Milana yang masih menghajar orang-orang Pulau Neraka dengan tali
suteranya yang meledak-ledak di udara seperti cambuk. Pandang matanya
menjadi berseri, mulutnya tersenyum ketika ia melangkah dengan tenang,
menghampiri tempat pertempuran itu, seolah-olah dia terpesona oleh
gerak-gerik tubuh yang tinggi semampai dan lemah gemulai itu, oleh wajah
yang amat cantik manis, bahkan amukan Milana pada saat itu menambah
kejelitaan dalam pandang mata Wan Keng In ketika ia melangkah terus
makin dekat.
"Aduhai, Nona yang cantik jelita seperti dewi kahyangan! Siapakah gerangan engkau?"
Para anak buah Pulau Neraka yang terdesak hebat oleh rombongan
Thian-liong-pang kini menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya
Wan Keng In. Terdengar seruan di antara mereka.
"Siauw-tocu (Majikan Muda Pulau) telah datang!"
Ketika mendengar seruan ini, Milana menengok dan kalau tadinya dia
terheran mendengar kata-kata yang dianggapnya menyenangkan akan tetapi
juga kurang ajar itu, kini dia kaget bukan main. Kiranya pemuda ini
adalah Majikan Muda Pulau Neraka! Teringat ia akan cerita Bun Beng
kepadanya dan marahlah hatinya. Pemuda ini yang telah merampas pedang
Lam-mo-kiam dari tangan Bun Beng. Ketika ia memandang, baru sekarang
tampak olehnya bahwa Su Kak Liong dan Bok Sam telah menggeletak menjadi
mayat! Tahulah dia bahwa dua orang pembantunya yang paling lihai itu
telah tewas, dan melihat munculnya pemuda Pulau Neraka ini, mudah diduga
bahwa tentu mereka tewas di tangan pemuda ini.....
Agaknya Wan Keng In dapat menduga isi hati Milana ketika melihat dara
jelita itu memandang ke arah mayat kedua orang tokoh Thian-liong-pang
dengan wajah berubah, maka dia tertawa lalu berkata, "Ha-ha-ha, jangan
kaget, Nona manis. Kedua orang itu telah berani menyerangku, terpaksa
aku bunuh mereka. Orang-orang macam itu sungguh tidak patut menjadi
pembantu-pembantumu. Nona, siapakah engkau? Heran sekali di dunia ini
bisa terdapat seorang dara secantik jelita engkau, dan selama ini aku
tidak pernah bertemu denganmu. Nona, baru sekali ini hatiku tergetar
hebat dengan seorang wanita. Aku yakin, engkaulah satu-satunya wanita
yang diciptakan di dunia ini, khusus untuk menjadi pasanganku!"
Bukan main marahnya hati Milana. Tak dapat disangkal lagi, pemuda itu
amat tampan menarik, masih muda, sebaya dengannya, pakaiannya indah,
kulit mukanya putih bersih, matanya bersinar-sinar, pendeknya dia
seorang pemuda yang tampan gagah sukar dicari keduanya. Akan tetapi
sinar matanya yang agak aneh itu mengandung sesuatu yang mengerikan,
sedangkan kata-kata dan sikapnya membuat Milana merasa muak dan
membangkitkan perasaan tidak senang yang mendekati kebencian.
"Jadi engkau adalah bocah Pulau Neraka yang amat jahat itu? Engkaulah
yang sudah merampas pedang Lam-mo-kiam milik Gak Bun Beng?"
Wan Keng In mengerutkan alisnya yang tebal hitam. "Eh, engkau mengenal Gak Bun Beng? Dia sudah mati, bukan? Engkau siapa, Nona?"
"Siauw-tocu, dia inilah puteri Ketua Thian-liong-pang. Dia lihai
sekali," seorang anggota Pulau Neraka tiba-tiba berkata sambil mencoba
untuk bangkit. Tulang kakinya pecah terkena cambukan tali sutera Milana
tadi.
"Aihhhh, kiranya puteri Ketua Thian-liong-pang? Pantas saja cantik
jelita dan lihai. Sungguh tepat kalau begitu. Engkau puteri Ketua
Perkumpulan Thian-liong-pang yang terkenal di seluruh dunia, aku pun
putera Majikan Pulau Neraka yang tidak kalah terkenalnya. Sungguh
merupakan jodoh yang setimpal sekali!"
"Tutup mulutmu yang kotor!" Milana memaki dan tangannya bergerak.
"Tar-tar!"
Ujung tali sutera hitam melecut di udara dan menyambar ke arah kedua
pelipis kepala Wan Keng In dengan kecepatan kilat. Sekali ini, Milana
bukan sekedar menggerakkan senjata untuk menghajar, melainkan dia
memberi serangan totokan yang merupakan serangan maut.
Biasanya Wan Keng In memandang rendah kepada semua orang. Akan tetapi
begitu bertemu dengan Milana, entah bagaimana, hatinya tertarik seperti
besi tertarik oleh besi sembrani. Belum pernah selama hidupnya dia
tertarik oleh wanita seperti itu. Dia bukan seorang mata keranjang
sungguh pun dia biasa disanjung wanita dan biasanya dia memandang rendah
wanita-wanita cantik yang dianggapnya belum cukup untuk duduk
berdampingan dengannya! Sekali ini, begitu melihat Milana, dia
tergila-gila. Ketika dia menyaksikan gerakan ujung tali sutera, dia
menjadi makin gembira dan kagum. Gerakan ini bukanlah gerakan
sembarangan dan sama sekali tidak boleh dipandang ringan!
"Engkau hebat, Nona!" Dia memuji akan tetapi cepat ia miringkan kepala
untuk menghindarkan totokan maut itu, kemudian tangannya cepat menyambar
untuk menangkap ujung tali sutera hitam.
"Cuiittt... taaar!"
Lihai sekali Milana bermain tali sutera yang digerakkan seperti pecut
itu. Begitu totokannya pada pelipis yang bertubi-tubi menyerang pelipis
kanan-kiri itu tidak mengenai sasaran, bahkan hampir dicengkeram oleh
tangan Wan Keng In, dara itu telah membuat gerakan dengan pergelangan
tangannya dan ujung tali sutera itu sudah melecut dan menotok ke arah
jalan darah di pergelangan tangan yang hendak menangkapnya!
"Trikkkk!"
"Engkau memang hebat, Nona manis!" Keng In kembali memuji sambil tersenyum lebar.
Akan tetapi Milana kini terkejut bukan main. Pemuda itu tadi telah
menggunakan jari telunjuknya untuk menyentik ujung tali suteranya yang
menotok ke arah pergelangan tangan. Gerakan itu demikian tepat mengenai
ujung tali sutera sehingga ujung tali terpental. Hanya orang yang telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi saja yang dapat melakukan hal ini!
Namun, tentu saja Milana tidak menjadi jeri. Dia tidak pernah mengenal
takut dan dia pun sudah percaya penuh akan kepandaian sendiri. Biar pun
tak mungkin dia dapat mewarisi seluruh ilmu kepandaian ibunya yang amat
banyak itu, namun kiranya hanya beberapa macam ilmu yang amat tinggi dan
terlalu sukar saja yang belum diajarkan ibunya kepadanya dan kalau
hanya melawan musuh yang sebaya dengannya saja, kiranya di dunia ini
sukar ada yang akan dapat menandinginya.
"Jahanam busuk, bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan kini
terdengarlah ledakan-ledakan nyaring ketika ujung tali sutera itu
menari-nari di tengah udara, membentuk lingkaran-lingkaran yang besar
kecil saling telan, kemudian lingkaran-lingkaran hitam itu berjatuhan ke
bawah, susul-menyusul dalam serangkaian serangan maut ke arah tubuh Wan
Keng In dengan kecepatan kilat yang menyilaukan mata karena lingkaran
itu tidak lagi berupa sabuk atau tali sutera, melainkan tampak seperti
sinar hitam saja.
"Bagus sekali...!" Wan Keng In kembali memuji dan tiba-tiba tubuhnya
bergerak lenyap, lalu tampak berkelebatan seperti bayangan setan
menari-nari di antara sinar hitam yang bergulung-gulung dan
melingkar-lingkar!
Wan Keng In tidak mau menggunakan pedangnya yang ampuh. Jika dia
menggunakan pedang Lam-mo-kiam, sekali sambar saja tentu akan putus tali
sutera hitam itu. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini, karena
selain dia tidak mau menghina Milana, juga dia ingin memamerkan
kepandaiannya. Memang hebat sekali pemuda ini. Gerakannya yang cepat itu
hanya membuktikan bahwa ginkang-nya sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi sehingga tubuhnya itu amat ringan dan amat cepat, dapat mengelak
dari setiap sambaran sinar tali sutera!
Menyaksikan pertandingan yang amat hebat, luar biasa dan indah dipandang
ini, otomatis perkelahian-perkelahian antara rombongan Pulau Neraka dan
rombongan Thian-liong-pang terhenti. Mereka menonton karena maklum
bahwa pertandingan antara kedua orang muda putera dan puteri ketua
masing-masing rombongan itu merupakan pertandingan yang menentukan.
Kalah menangnya pertandingan antara kedua orang muda yang lihai bukan
main itu berarti kalah menangnya pula perang kecil antara kedua
rombongan itu!
Gerakan tali sutera itu makin hebat dan bukan lagi lingkaran-lingkaran
yang dibentuk oleh sinar hitam itu, melainkan bentuk-bentuk segi tiga,
segi empat, bahkan ada kalanya sinar itu membentuk segi delapan. Ujung
sabuk itu menyerang dari delapan penjuru, setiap gerakan merupakan
totokan maut dan didasari tenaga sinkang yang sangat kuat. Bukan hanya
amat indahnya sinar hitam itu membentuk segi tiga yang ajaib itu, juga
gerakannya mengeluarkan bunyi bercuitan, seolah-olah sinar hitam itu
hidup!
Itulah permainan tali sutera atau sabuk yang gerakannya berdasarkan Ilmu
Silat Pat-sian-sin-kun (Ilmu Silat Delapan Dewa) warisan dari
kitab-kitab pusaka peninggalan Pendekar Wanita sakti Mutiara Hitam!
Nirahai telah menciptakan ilmu dengan tali sutera ini khusus untuk
puterinya setelah dia memperoleh kenyataan bahwa puterinya berbakat baik
sekali dalam menggunakan sabuk atau tali sutera halus dan lemas sebagai
senjata yang ampuh.
Diam-diam Wan Keng In terkejut dan makin kagum. Dia maklum bahwa kalau
dia menghadapi permainan tali sutera lawan yang amat lihai ini dengan
tangan kosong saja, lama-lama dia terancam bahaya maut. Ternyata tingkat
kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang ini benar-benar mengejutkan
hatinya. Kalau dia berpedang, agaknya dia masih akan dapat keluar
sebagai pemenang dengan membabat putus tali itu. Akan tetapi, kalau dia
menggunakan pedang dan terpaksa merusak tali sutera itu, tentu dara yang
menjatuhkan hatinya itu akan tersinggung dan marah. Sebaliknya kalau
hendak menaklukkan dara ini dengan tangan kosong, benar-benar merupakan
hal yang amat sulit, betapa pun tinggi ilmu kepandaiannya.
Dia harus menggunakan akal dan hal ini merupakan kelebihan dalam kepala
Wan Keng In dibandingkan dengan orang-orang muda lainnya. Pemuda ini
cerdik bukan main, pandai menggunakan siasat-siasat yang tak
terduga-duga dalam keadaan darurat seperti saat itu.
Ketika ujung sabuk atau tali hitam itu untuk kesekian kalinya menotok ke
arah jalan darah Kin-ceng-hiat di pundak kiri, tempat yang tidak begitu
berbahaya dan yang dapat ia tutup dengan hawa sinkang, dia sengaja
berlaku lambat dan ujung tali sutera itu dengan tepat menotok pundaknya
yang sudah ia tutup jalan darahnya dan terlindung oleh sinkang yang
kuat.
"Prattt!"
Tepat pada saat ujung tali sutera itu menotok pundak, tangan kanan Wan
Keng In menyambar dan ia berhasil menangkap ujung tali sutera hitam!
Milana terkejut bukan main. Tadinya dia sudah merasa girang karena
totokannya berhasil, namun alangkah kagetnya ketika ia melihat bahwa
pemuda itu sama sekali tidak menjadi lumpuh, bahkan telah berhasil
menangkap ujung tali suteranya! Namun, Milana tidak menjadi panik.
Dia kerahkan sinkang-nya, mainkan pergelangan tangannya dan dengan
penyaluran tenaga sinkang dia menggerakkan tali suteranya dan... tubuh
Wan Keng In terbawa oleh meluncurnya tali sutera itu ke udara! Milana
terus menggerakkan tali suteranya, memutar tali itu ke atas, makin lama
makin cepat sehingga tubuh Wan Keng In yang masih berada di ujung tali
karena pemuda itu tidak mau melepaskan ujung tali sutera, terbawa pula
terputar-putar!
Para anak buah rombongan kedua pihak yang menjadi penonton dengan hati
diliputi penuh ketegangan itu menonton dengan mata terbelalak. Demikian
tegang rasa hati mereka itu menahan napas ketika menyaksikan
pertendingan mati-matian yang kelihatannya seperti main-main atau
permainan akrobat yang dilakukan oleh dua orang muda-mudi yang elok dan
tampan!
Wan Keng In sengaja membiarkan dirinya terbawa oleh tali yang
diputar-putar itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat mengerahkan
sinkang dan mengadu kekuatan dengan dara itu memperebutkan tali sutera.
Namun hal ini tentu akan mengakibatkan tali itu putus, hal yang tidak
dia kehendaki karena putusnya tali itu bukan berarti bahwa dia telah
menang, akan tetapi yang jelas gadis itu tentu akan marah dan benci
kepadanya. Tidak, dia tidak menggunakan akal itu, melainkan hendak
menggunakan akal lain.
Kalau dia dapat merayap melalui tali, makin lama makin dekat, tentu
akhirnya dia akan berhadapan dengan dara jelita itu dan kalau sudah
begitu, mudahlah baginya untuk membuat dara itu tidak berdaya tanpa
melukainya. Dengan hati-hati dan perlahan, mulailah Wan Keng In merayap
melalui tali yang panjang itu, sedikit demi sedikit, bergantung dengan
mengganti-ganti tangan sambil tubuhnya masih terputar-putar cepat sekali
sehingga dalam pandangan orang lain, tubuhnya berubah menjadi banyak
sekali!
Mungkin bagi penonton lain tidak ada yang tahu akan usaha Wan Keng In
mendekati lawan dengan cara merayap perlahan-lahan melalui tali sutera
yang panjang itu, akan tetapi Milana dapat melihat atau lebih tepat lagi
dapat merasakan gerakan lawan yang berada di ujung tali sutera itu.
Dara ini tidak bodoh, dan maklum bahwa kalau sampai pemuda itu dapat
mendekatinya, belum tentu dia akan dapat menandingi pemuda yang memiliki
kepandaian luar biasa itu.
Maka begitu melihat pemuda itu perlahan-lahan merayap mendekat,
diam-diam Milana menggerakkan tangan kirinya dan hanya memutar tali itu
dengan tangan kanan saja. Tangan kirinya menyusup ke dalam kantung
jarumnya, kemudian tampak tiga kali dia menggerakkan tangan kirinya ke
depan. Gerakan tangan yang tidak begitu tampak, karena sambitan
jarum-jarumnya itu ia lakukan dengan pergelangan tangan dan jari-jari
tangan. Namun, tiga kali tampak sinar halus menyambar ke arah tubuh Wan
Keng In yang terbawa tali berputaran, sinar kemerahan halus dari
jarum-jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi)!
"Celaka...!" Wan Keng In berseru kaget ketika melihat menyambarnya sinar
halus dan mencium bau harum. Tahulah dia bahwa dia yang sedang
diputar-putar seperti kitiran itu kini diserang dengan senjata-senjata
rahasia yang amat halus dan mengandung racun yang baunya harum pula!
Namun selain telah mempelajari ilmu-ilmu tingkat tinggi dari ibunya, Wan
Keng In juga sudah menerima gemblengan dari Cui-beng Koai-ong yang
sakti, maka walau pun keadaannya itu amat berbahaya, namun dia masih
bersikap tenang dan tiba-tiba tubuhnya yang berada di ujung tali sutera
itu membuat gerakan berputar pula! Hebat bukan main pemandangan di waktu
itu. Tubuh di ujung tali sutera itu berputaran, sedangkan tali itu
sendiri berputar cepat. Dengan gerakan berputaran ini, Wan Keng In dapat
menyelamatkan diri dan mengelak dari sambaran jarum-jarum
Siang-tok-ciam. Namun dia juga telah menemukan akal baru yang luar biasa
dan cerdik sekali.
Dengan pengukuran tenaga yang tepat, Wan Keng In dapat mengerahkan
sinkang-nya dan memberatkan tubuhnya sehingga tiba-tiba tali sutera yang
berputar itu tak dapat dikuasai lagi oleh kedua tangan Milana dan
berputar melibat tubuh dara itu.
"Aihhhhh...!" Milana menjerit kaget, sadar setelah terlambat karena tali
yang berputar cepat itu sekarang telah membuat beberapa putaran
mengelilinginya dan karena tali menurun akibat beratnya tubuh Wan Keng
In, maka tali itu membelit-belit tubuhnya, menelikung kedua lengannya
sendiri!
Terdengar suara Wan Keng In tertawa-tawa sambil terus membuat gerakan
mengayun sehingga tali itu biar pun tidak lagi dipegang oleh Milana,
masih terus berputar melibat tubuh Milana yang berusaha meronta-ronta.
"Ha-ha-ha, Nona manis. Bukankah dengan begini berarti engkau telah tertawan olehku seperti tertawannya hatiku olehmu?"
"Krakkkkkkk!" Tiba-tiba terdengar bunyi keras. dan dari dalam lubang
kuburan tampak bayangan berkelebat, didahului sinar kilat menyambar ke
arah tali sutera.
"Bretttt!" Tali sutera itu putus dan tubuh Wan Keng In yang masih
terayun di ujung tali, tentu saja terpelanting. Untunglah pemuda itu
masih mampu berjungkir balik sehingga tidak terbanting ke atas tanah.
Milana mempergunakan kesempatan baik itu untuk melepaskan diri. Ketika
dia melihat bahwa yang muncul adalah seorang wanita muda yang cantik,
segera dia mengenal wanita itu sebagai gadis yang pernah mengacau
Thian-liong-pang ketika di rumah penginapan. Dia menjadi terkejut dan
khawatir sekali, maka menggunakan kesempatan selagi gadis itu berhadapan
dengan Wan Keng In, dia memberi isyarat kepada anak buahnya dan
meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Anak buahnya pergi sambil membawa jenazah-jenazah para kawan yang
menjadi korban. Rombongan Pulau Neraka tidak mencegah mereka melarikan
diri karena merasa jeri terhadap Milana, apa lagi kini tuan muda mereka
sedang menghadapi lawan baru berupa dara perkasa yang galak, murid dari
datuk mereka yang selama sepekan ini berlatih di dalam tanah kuburan
bersama datuk mereka, Bu-tek Siauw-jin! Mereka menjadi bingung dan tidak
berani turut campur, memandang dengan hati penuh ketegangan.
"Keparat, siapa engkau...? Ehhh, kiranya kau, bocah setan dari Pulau Es?
Ha-ha-ha, kukira siapa! Dan Li-mo-kiam masih berada di tanganmu?
Bagus...! Kau harus berikan Li-mo-kiam kepadaku, agar dapat kuhadiahkan
kepada calon isteri... haiiii! Ke mana dia...?" Wan Keng In menoleh dan
ketika dia melihat Milana sudah tidak berada di situ lagi, dia menjadi
bengong dan mencari ke sana-sini dengan pandang matanya.
"Siauw-tocu, mereka telah pergi...!" kata seorang di antara anak buahnya.
"Tolol! Goblok kalian semua! Mengapa kalian bolehkan pergi? Hayo
kita..." belum habis ucapannya, Wan Keng In terkejut sekali dan terpaksa
dia melempar tubuh terjengkang ke belakang untuk menghindarkan sinar
kilat yang menyambar tubuhnya. Kiranya Kwi Hong telah menyerang dengan
menusukkan Li-mo-kiam ke arah dadanya. Gerakan gadis ini cepat sekali
sehingga hampir saja dia menjadi korban. Marahlah Wan Keng In.
"Kau berani melawan aku? Hemm, apa yang kau andalkan? Pedang itu? Baik,
kita lihat siapa yang lebih unggul antara murid Pulau Neraka dan murid
Pulau Es!"
Setelah berkata demikian, Wan Keng In menggerakkan tangan kanannya,
meraba punggung di balik jubah. Ketika tangannya diangkat, tampak sinar
kilat dan Lam-mo-kiam sudah berada di tangannya!
Kwi Hong amat membenci pemuda ini. Kemarahannya memuncak ketika dia
melihat Lam-mo-kiam di tangan pemuda itu. Dia tahu bahwa itu adalah
pedang Gak Bun Beng yang dirampas oleh Keng In. Semenjak dia masih belum
dewasa, bocah Pulau Neraka ini sudah menjadi musuhnya.
"Keparat jahanam! Manusia tidak kenal malu! Pedang curian kau pamerkan
di sini. Bukan aku yang harus menyerahkan Li-mo-kiam kepadamu, melainkan
engkau yang harus memberikan Lam-mo-kiam itu kepadaku sebelum lehermu
putus!"
"Singgggg...!" sinar kilat di tangan Kwi Hong menyambar ke depan, disambut sinar kilat yang sama di tangan Wan Keng In.
"Wuuuuiiiitttt!"
Dua orang itu terkejut bukan main karena pedang mereka tertolak ke
belakang sebelum bertemu! Seolah-olah dari sepasang pedang itu timbul
hawa yang ajaib yang membuat kedua pedang tidak dapat saling sentuh,
melainkan terdorong membalik oleh tenaga mukjizat tadi!
Namun Kwi Hong tidak mempedulikan hal ini dan cepat dia menyerang lagi.
Terjadilah perang tanding yang amat hebat, lebih menegangkan dari pada
pertandingan antara Wan Keng In dan Milana tadi, karena kini kedua orang
muda itu mempergunakan sepasang pedang yang membuat para penonton
merasa tubuhnya panas dingin. Baru sinar dan hawa pedang itu telah
membuat mereka yang berada di situ meremang semua bulu di badan dan
mengkirik. Hal ini tidaklah mengherankan karena kini yang mengeluarkan
sinar adalah Sepasang Pedang Iblis yang memiliki hawa mukjizat
seolah-olah dikendalikan oleh roh-roh dan iblis-iblis yang haus darah!
Memang hebat sekali pertandingan antara kedua orang muda itu. Hebat,
menyilaukan mata dan amat aneh sehingga menyeramkan para penonton.
Betapa tidak aneh kalau kedua orang itu bergerak cepat sehingga bayangan
mereka tertutup gulungan dua sinar pedang yang seperti kilat
berkelebatan, akan tetapi sama sekali tidak pernah terdengar suara
beradunya senjata? Seolah-olah tidak pernah ada yang menangkis, padahal
kedua orang itu mainkan pedang secara dahsyat dan ada kalanya untuk
menyelamatkan diri, jalan satu-satunya hanya menangkis. Akan tetapi,
begitu seorang di antara mereka menggerakkan pedang menangkis, serangan
lawan terhalau oleh tangkisan tanpa kedua pedang itu saling bersentuhan
karena keduanya tentu terpental oleh tenaga mukjizat. Seolah-olah
Sepasang Pedang Iblis itu keduanya saling tidak mau bersentuhan.
Sebetulnya, kalau ditilik dasarnya, ilmu silat kedua orang muda ini
masih satu sumber. Wan Keng In adalah putera dari Lulu yang sejak kecil
menerima gemblengan ilmu dari ibunya ini. Lulu adalah adik angkat
Pendekar Super Sakti dan biar pun kemudian Lulu menjadi murid Nenek
Maya, namun sumber dari ilmu silatnya masih tetap sama, yaitu yang
berasal dari Pulau Es, berasal dari Bu Kek Siansu. Tentu saja karena
tingkat kepandaian Pendekar Super Sakti jauh lebih tinggi dari pada
tingkat kepandaian Lulu, apa yang diajarkan kepada Kwi Hong sebenarnya
bermutu lebih tinggi pula dari pada pelajaran yang diterima Wan Keng In
dari ibunya.
Akan tetapi, setelah Keng In digembleng oleh kakek sakti yang tidak
seperti manusia, Cui-beng Koai-ong, kepandaian pemuda itu meningkat
secara tidak lumrah sehingga tingkatnya kini bahkan sudah melampaui
tingkat kepandaian ibunya sendiri!
Keng In merasa penasaran sekali. Kalau saja tidak mengingat bahwa gadis
ini adalah murid Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti Majikan
Pulau Es, tentu dia sudah mengeluarkan ilmu-ilmu-nya yang mukjizat, yang
ia dapatkan dari gurunya. Akan tetapi dia tak mau membunuh Kwi Hong.
Dia ingin menawannya untuk menunjukkan kepada Majikan Pulau Es yang
dibencinya, orang yang telah membikin sengsara hati ibu kandungnya,
bahwa dia tidak takut menghadapi Pulau Es, dan dia bahkan ingin
mempergunakan nona ini untuk memancing datangnya Pendekar Siluman untuk
bertanding!
Tiba-tiba Wan Keng In mengeluarkan suara gerengan yang tidak lumrah
manusia. Gerengan yang keluar dari pusarnya, melalui kerongkongan dan
mengeluarkan getaran yang seolah-olah membuat bumi tergetar! Kwi Hong
sendiri menjadi pucat wajahnya dan biar pun dia telah mengerahkan
sinkang, tetap saja jantungnya tergetar dan gerakannya tidak tetap. Pada
saat itu, ilmu pedang yang dimainkan oleh Keng In telah berubah aneh
dan ganas bukan main.
Kwi Hong merasa gentar, jantungnya berdebar dan melihat pemuda itu
menggerakkan pedangnya, ia menjadi pening, seolah-olah ia melihat
lawannya menjadi tinggi besar dan menakutkan, gerakannya menjadi luar
biasa cepat dan kuatnya! Kalau saja dia tidak sedikit-sedikit memetik
gerakan kilat gurunya, tentu saja sudah kena dicengkeram oleh tangan
kiri Keng In yang menyelingi gerakan pedangnya!
"Hyaaahhh!" tiba-tiba Keng In membentak, tubuhnya secara mendadak
bergulingan dan pedangnya membabat secara bertubi-tubi ke arah kedua
kaki Kwi Hong. Dara ini cepat meloncat-loncat dan menjauhkan diri, akan
tetapi tiba-tiba lawannya bangkit dan memukul dengan tangan kiri
terbuka. Serangkum dorongan telapak tangan ini menyambar ke arah dada
Kwi Hong.
"Aihhhhh!" Dara ini cepat melakukan gerak mendorong yang sama, dengan
tangan kirinya, didorongkan ke arah tangan lawan sambil mengerahkan
tenaga Inti Es yang dilatihnya di Pulau Es.
"Wesss...!"
Dua tenaga raksasa bertemu di udara, di antara kedua telapak tangan yang
terpisah berjarak dua kaki saja. Tenaga panas bertemu dengan dingin dan
akibatnya Kwi Hong terjengkang ke belakang oleh karena pada saat tenaga
itu bertemu, kembali Keng In mengeluarkan gerengan yang menggetarkan
jantung itu. Sebelum Kwi Hong sempat meloncat, Keng In sudah menotok
punggungnya dan begitu lengan Kwi Hong lemas, cepat pedang Li-mo-kiam
telah dirampasnya!
Walau pun tubuhnya sudah menjadi lemah dan lumpuh, Kwi Hong masih mampu
menggunakan mulutnya untuk memaki-maki, "Pengecut! Curang engkau! Tidak
tahu malu! Pencuri busuk, hayo kembalikan pedangku dan kita bertanding
secara bersih! Kau menggunakan ilmu siluman, keparat busuk!"
"Ikat dia dan bungkam mulutnya!" Keng In berkata sambil membelakangi Kwi
Hong, menyimpan Li-mo-kiam yang disatukan dengan Lam-mo-kiam,
disembunyikan di balik jubahnya. Dia berdiri dengan sikap sombong,
menengok ke kanan kiri, tersenyum mengejek sambil berkata, mengerahkan
khikang-nya sehingga suaranya terdengar sampai jauh.
"Haiiiiii! Pendekar Siluman Si Kaki Buntung! Lihat, muridmu telah
kutawan! Kalau kau memang seorang gagah, datanglah dan bebaskan
muridmu!"
Wajah para anak buah Pulau Neraka menjadi pucat mendengar tantangan yang
keluar dari mulut Majikan Muda itu! Betapa pun lihainya Tuan Muda
mereka itu, namun tidak selayaknya menantang Pendekar Siluman seperti
itu! Baru mendengar nama Pendekar Siluman saja, wajah mereka sudah
menjadi pucat, apa lagi ditantang oleh majikan mereka!
"Kau berani membuka mulut besar karena kau tahu bahwa Pamanku tidak
berada di sini! Kalau Pamanku berada di sini, tentu engkau tak berani
bernapas! Jangankan dengan Paman, dengan aku pun kalau engkau tidak
berlaku curang, menggunakan ilmu siluman, engkau takkan mampu menang.
Pengecut busuk, manusia keparat tak tahu malu!"
"Cepat bungkam mulutnya!" Keng In membentak tanpa menoleh.
Seorang wanita anggota Pulau Neraka yang bermuka biru muda cepat
menggunakan sehelai sapu tangan untuk menutup mulut Kwi Hong, diikatkan
ke belakang leher, kemudian dia melanjutkan pekerjaan mengikat tangan
Kwi Hong yang dibelenggu dan ditelikung ke belakang punggungnya. Dara
itu dalam keadaan setengah lumpuh, tak dapat meronta, hanya
membelalakkan mata memandang ke arah punggung Keng In dengan penuh
kebencian dan kemarahan.
"Cepat persiapkan orang-orang mengejar rombongan Thian-liong-pang!
Puteri Ketua Thian-liong-pang itu harus dapat kutaklukkan!" berkata Wan
Keng In kepada orang-orangnya.
"Bagaimana dengan nona ini, Siauw-tocu...?" Wanita itu bertanya, matanya
penuh ketakutan memandang ke arah lubang kuburan ke arah peti yang
masih tertutup tanah, peti tempat datuk Pulau Neraka berlatih!
"Bawa dia sebagai tawanan, kalau dia banyak rewel, seret dia! Jangan perbolehkan gadis galak ini banyak tingkah!"
"Siauw-tocu... akan tetapi... dia... dia..."
"Banyak rewel kau!" Wan Keng In membentak, akan tetapi matanya
terbelalak kaget melihat wanita yang tadi bicara dan membelenggu serta
membungkam mulut Kwi Hong telah roboh terlentang dengan mata mendelik
dan nyawa putus! Dan dia melihat Kwi Hong duduk bersila dengan mata
dipejamkan dan alis berkerut, seperti orang yang sedang memperhatikan
sesuatu.
Memang pada saat itu Kwi Hong sedang mendengarkan suara yang
berbisik-bisik di dekat telinganya, suara gurunya, Bu-tek Siauw-jin
seolah-olah bicara di dekatnya akan tetapi yang sama sekali tidak berada
di situ. Ketika tadi dia melihat wanita Pulau Neraka itu tiba-tiba
roboh terjengkang dan mendengar suara itu, tahulah ia bahwa gurunya
telah turun tangan!
"Bocah tolol, mana patut menjadi muridku kalau tertotok dan terbelenggu
seperti itu saja tidak mampu melepaskan diri? Apa kau sudah lupa akan
latihan membangkitkan kekuatan secara otomatis dengan mengandalkan
tenaga Inti Bumi yang baru saja kau dapatkan dan yang menjadi dasar dari
semua tenaga yang ada?"
Kwi Hong memejamkan mata dan mengerahkan semua perhatian akan petunjuk
gurunya yang diberikan lewat bisikan-bisikan itu. Dia mentaati petunjuk
itu dan... tiba-tiba darahnya mengalir kembali dan totokan itu tertembus
oleh hawa Inti Bumi dari dalam! Setelah totokan terbebas, sekali
mengerahkan tenaga belenggunya yang hanya terbuat dari tali itu putus
semua dan sekali renggut dia telah melepaskan sapu tangan yang menutupi
mulutnya, kemudian meloncat berdiri!
Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak. Totokannya adalah totokan
yang tidak lumrah, bukan totokan biasa melainkan totokan yang ia latih
dari gurunya. Menurut gurunya, tidak ada orang di dunia ini yang akan
dapat memulihkan orang yang terkena totokannya karena totokan itu
mengandung rahasia tersendiri. Bahkan menurut gurunya, Pendekar Siluman
sendiri pun belum tentu mampu membebaskan orang yang tertotok olehnya.
Bagaimana sekarang gadis itu, tanpa bantuan, sanggup membebaskan? Kalau
hanya memutuskan belenggu itu, dia tidak merasa heran, akan tetapi dapat
membebaskan diri dari totokannya, benar-benar membuat dia menjadi
ngeri! Tentu ada yang memberi petunjuk! Otomatis dia menoleh ke kanan
kiri dan hatinya menjadi kecut. Jangan-jangan Pendekar Siluman yang
ditantangnya telah berada di sekitar situ dan memberi petunjuk kepada
gadis itu lewat bisikan yang dikirim melalui tenaga khikang!
"Pendekar Siluman! Kalau kau sudah datang, mari kita bertanding sampai
selaksa jurus!" Dia menantang sambil meraba gagang pedang di balik
jubah.
"Tutup mulutmu yang sombong! Aku masih sanggup melawanmu!" bentak Kwi
Hong dan tiba-tiba dia menubruk maju, memukul dengan dorongan kedua
tangannya ke arah dada dan pusar. Pukulan yang hebat karena kalau tangan
kirinya dia menggunakan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin, tangan
kanannya yang menghantam ke pusar dia isi dengan saluran tenaga Hwi-yang
Sin-ciang yang panas.
Melihat ini Keng In meloncat ke belakang, akan tetapi tiba-tiba Kwi Hong
yang kedua pukulannya luput itu telah jatuh ke atas tanah dengan
terbalik, kemudian tanpa disangka-sangka kedua kakinya menendang ke
belakang dan tepat mengenai paha dan perut Keng In. Tenaga tendangan
model sepak kuda ini bukan main kuatnya sehingga biar pun Keng In sudah
mengerahkan sinkang, tetap saja terlempar sampai lima meter jauhnya!
"Berhasil...!" Kwi Hong bersorak sambil meloncat bangun.
Akan tetapi ia segera kecewa karena mendengar bisikan gurunya mengomel.
"Apa artinya kalau hanya mampu membuat dia terlempar? Hayo lawan terus,
pergunakan Tenaga Inti Bumi!"
Kwi Hong melihat bahwa Keng In sudah meloncat turun dan biar pun
sepasang mata pemuda itu terbelalak penuh keheranan terhadap ilmu
tendangan yang aneh dan tidak patut itu, dia tidak terluka dan mukanya
yang tampan membayangkan kemarahan.
"Engkau sudah bosan hidup!" bentaknya dan tiba-tiba tubuhnya sudah
mencelat ke depan dan tampak sinar kilat berkelebat ketika tangannya
mencabut keluar Li-mo-kiam. Sekali ini dia benar-benar mengambil
keputusan untuk membunuh gadis itu dengan pedang gadis itu sendiri yang
tadi dirampasnya.
"Aahhh...!" Tiba-tiba Keng In berdiri tak bergerak, pedang yang diangkat
ke atas kepala itu tidak jadi dilanjutkan gerak serangannya dan dia
memandang ke depan dengan muka pucat.
Di depannya telah berdiri Bu-tek Siauw-jin, Si Kakek Pendek yang
tahu-tahu telah berada di depan pemuda itu dengan lengan kiri
dilonjorkan, tangan terlentang terbuka seperti orang minta-minta.
"Kembalikan pedang muridku itu!"
Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan
itu. Gadis itu murid susiok-nya? Teringat ia akan anggota Pulau Neraka
yang tewas secara aneh. Kini mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauw-jin
inilah yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek
ini pula yang membuat gadis itu tadi mampu membebaskan diri dari pada
totokannya!
Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi
menghadapi paman gurunya ini yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong
sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah yang membuat
dia masih belum menyerahkan pedang yang diminta itu.
"Akan tetapi... Susiok..."
"Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?"
Cepat dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek
Siauw-jin dan dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong
menyambut pedang itu dengan hati girang sekali.
"Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok..."
"Hemmm, sekarang sudah tahu!"
"Tapi... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!"
"Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh,
setidaknya Pendekar Siluman adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!"
Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa
terhina dan marah, akan tetapi terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan
ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak mengingatkan
bahwa dia hanyalah putera dari seorang Majikan atau Ketua Boneka dari
Pulau Neraka! Sama saja dengan mengatakan bahwa paman gurunya itu masih
lebih baik dari pada gurunya dalam hal menerima murid dan bahwa
keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik dari pada
putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!
"Susiok...!"
"Kau mau apa?"
"Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini."
"Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai
perisai maka engkau adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!"
"Teecu tidak bermaksud mengadu... hanya... teecu rasa Susiok telah salah menerima murid..."
"Desssss!" Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter
jauhnya. Tidak tampak kakek pendek itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu
pemuda itu terlempar! Keng In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam dia
terkejut akan tetapi juga lega bahwa susiok-nya yang aneh itu tidak
melukainya.
"Kau berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?" Bu-tek Siauw-jin membentak.
"Maaf, teecu mohon diri...!"
"Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!"
Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti
terbang sehingga mengagumkan hati Kwi Hong. Lebih terkejut lagi gadis
ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas dari jauh, suara
pemuda itu.
"Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan dapat menandingiku!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah
Pulau Neraka yang kini sudah menjatuhkan diri berlutut semua. "Lekas
kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan burung
gagak!"
Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi. Bu-tek Siauw-jin lalu berkata kepada
muridnya, suaranya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang suka
berkelakar. "Mari kita pergi!"
Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari
tanah kuburan, menuruni bukit kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat
menahan penasaran hatinya dan berkata, "Suhu, bagaimana engkau bersikap
begitu kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan
dimakan gagak?"
Mulut kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara
ketawanya, seolah-olah suara itu keluar dari perut melalui lubang lain,
bukan mulut!
"Heh-heh-heh! Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa
lagi, akan tetapi tidak kasihan kepada burung-burung gagak yang
kelaparan!"
Kwi Hong terbelalak. "Suhu! Biar pun sudah menjadi mayat yang tak
bernyawa, akan tetapi itu adalah mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa
bersikap kejam, sejak kecil diajar supaya berperi kemanusiaan oleh paman
atau guru teecu!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang
muridnya dengan mata lebar dan mulut menyeringai, kemudian dia tertawa
bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manusia diajar segala macam
kebaikan! Manusia mana yang sejak kecilnya tidak diajar dan dijejali
segala macam pelajaran tentang kebaikan oleh ayah bunda atau
guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya. Ahli-ahli
kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlomba untuk
menjejalkan pelajaran tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak
manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek. Akan tetapi, adakah
seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia,
menurut ajaran agama masing-masing, berlomba keras dalam teriakan
anjuran agar mencinta sesama manusia, namun di dalam hati masing-masing
menanam dan memupuk perasaan saling benci, bahkan yang pertama-tama
adalah membenci saingan masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih
antar manusia! Gilakah ini? Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau
engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu, bukanlah kebaikan
sejati namanya, melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini
manusia ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut
ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk dalam gudang ingatanmu?"
"Engkau sendiri dalam pertandingan dengan enak saja membunuh manusia
lain, sama sekali tak merasa akan kekejaman perbuatanmu, tetapi baru
melihat aku meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut gagak yang
kelaparan, kau katakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi
manusia umumnya, termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang
cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pikiran kita sendiri yang
busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang
menggairahkan akan tetapi juga mengenal isi perut yang tidak
menggairahkan!"
Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan
manusia lumrah, bukan orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali
bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia diam saja,
kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah
berjalan kembali dengan langkah pendek.
"Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul
menggunakan Ilmu Menghimpun Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil
mewarisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!"
Kwi Hong cemberut, dalam hatinya dia tidak senang dikatakan bahwa dia
tidak akan menang menghadapi Keng In. Kini mendengar disebutnya warna
muka muda itu dia mengingat-ingat. "Warna mukanya biasa saja. Mengapa,
Suhu?"
"Justru yang biasa itulah yang luar biasa!" Gurunya menjawab dan berjalan terus.
Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. "Eh, apa maksudmu, Suhu?"
"Begitu bodohkah engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang
berwarna, apakah engkau lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu
sendiri, mukanya berwarna putih seperti kapur! Itulah tanda orang yang
memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan
sinkang yang mengandung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo
Bouw Ek pun mukanya masih berwarna kuning, berarti bahwa ibu bocah itu
masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya aku dan Suheng Cui-beng
Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna
muka sesuka hati kami berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua
adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau Neraka, dan tingkat
kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa
warna kulit mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari
pengaruh hawa beracun, berarti tingkatnya sudah lebih tinggi dari
tingkat ibunya sendiri!"
"Wah, hebat sekali kalau begitu!" Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau
benar-benar pemuda itu tingkatnya sudah melampaui tingkat kepandaian
Majikan Pulau Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat! "Teecu
menerima gemblengan Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna
pula!"
"Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau
Neraka, tentu saja engkau akan mengalami keracunan dan mukamu
berubah-ubah sesuai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat mengatasi hawa
beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Neraka. Pula,
engkau telah memiliki dasar sinkang dari Pulau Es yang amat kuat,
kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan setidaknya kalau
engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan warna putih atau kuning.
Sudahlah, mulai sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan perhatian,
berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan tingkat bocah tadi, aku
hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Ini
pun hanya akan dapat kau andalkan untuk memenangkan pertandingan melawan
Keng In kalau engkau berlatih dengan sungguh-sungguh hati dan
mati-matian."
Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba
Kwi Hong bertanya, "Suhu, sebetulnya yang mempunyai kepentingan
mengalahkan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?"
Kakek itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata
terbelalak kemudian tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, habis kau kira siapa?"
"Teecu tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan
langsung dengan pemuda Pulau Neraka itu, sungguh pun teecu tidak suka
kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengannya, teecu tidak
bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk
diajak bertanding. Hal itu berarti bahwa kalau teecu mati-matian
mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan untuk semata-mata kelak
dipergunakan untuk menandingi orang itu."
"Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau keluar dan menyerangnya?"
"Karena teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu."
"Hemm, bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?"
Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika membuka peti matinya dan
melihat Milana, ia segera mengenal dara itu sebagai Milana, puteri dari
pamannya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi,
begitu mendengar bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang,
dia menjadi ragu-ragu, bahkan teringat bahwa yang hampir mencelakainya
ketika dia mengintai di rumah penginapan rombongan Thian-liong-pang,
yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah
gadis itu Milana? Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua
Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak dapat ia menjawabnya
sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.
"Teecu... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya."
"Ha-ha-ha, cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kau terima sejak kecil dari Pamanmu?"
Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia
mendapat kesempatan membalas. "Telah teecu katakan tadi bahwa teecu
tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan tetapi Suhu
agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah
bukan karena Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui-beng Koai-ong?"
Kakek itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting
kakinya seperti sikap seorang anak-anak yang jengkel hatinya. "Sudahlah!
Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng telah melanggar
sumpah, mengambil murid! Maka aku pun memilih engkau sebagai murid untuk
kelak kupergunakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan
kesalahannya! Nah, katakanlah bahwa engkau tidak mau membantu aku! Tidak
usah berpura-pura!"
Kwi Hong tersenyum. Suhu-nya ini benar-benar seorang yang amat aneh,
luar biasa, agak sinting, sakti seperti bukan manusia lagi, akan tetapi
sikapnya menyenangkan hatinya! Biar pun ugal-ugalan, akan tetapi entah
bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali.
"Suhu, sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai
seorang guru yang mencinta muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin
membantu muridnya seperti teecu, bukan?"
"Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan
guru dan murid beberapa kali sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa
yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak engkau pun akan
suka membantuku?"
Kwi Hong tersenyum lebar. Biar pun kelihatan sinting, gurunya ini
ternyata cerdik sekali dan mudah menjenguk isi hatinya. Ia teringat akan
urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya meninggalkan pamannya.
Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi
musuh-musuhnya yang berat, dan juga untuk merampas kembali pedang
Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya. Tanpa
bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan
berhasil menghadapi orang-orang sakti seperti Koksu Negara Im-kan
Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat itu, sepasang
pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi
kalau berhadapan dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir
Maharya!
"Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi
keponakan dan murid Pendekar Super Sakti. Berarti, biar pun teecu
berhutang kepada Suhu, akan tetapi teecu juga sudah berhutang budi
kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pendapat
ini?"
Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala
kuat-kuat! "Tidak benar! Tidak betul! Orang yang melibatkan diri dalam
hutang-piutang budi, baik yang berhutang mau pun sebagai yang
menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya tidak akan berarti
lagi! Katakan saja apa yang akan kau lakukan dan apa yang dapat kubantu
tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!"
Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap
menghadapi seorang sinting dan kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan
tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-kanak ketika
mengadu jangkrik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis
yang cerdik ini segara berkata,
"Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan
Suhu mau mengajar teecu dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berlatih
dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah sombong itu? Akan
tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar
dikalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti dari pada sepuluh orang Wan
Keng In. Bahkan, dengan bantuan Suhu sekali pun teecu masih ragu-ragu
dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan mereka...?"
"Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah?
Jangan main-main kau! Siapa musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang
pengawal Tong Sam Cong saja, masa aku tidak mampu kalahkan?"
Yang dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong
adalah tiga tokoh sakti dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal
Pendeta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu yang melawat ke Negara
Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah
Si Raja Monyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.
"Biar pun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu
sungguh tidak berani memastikan apakah dengan bantuan Suhu sekali pun
teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Im-kan Seng-jin
Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!" Kwi Hong
sengaja tidak menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini
tidaklah terlalu berat.
Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong. "Kau... bocah begini muda... telah
menanam bibit permusuhan dengan orang-orang macam mereka itu?"
"Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jeri
dan tidak berani membantu teecu menghadapi mereka teecu pun tidak dapat
menyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya Paman Suma Han
saja kiranya yang akan dapat mengalahkan mereka."
Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua
lengannya digerak-gerakkan ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan
empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena pukulan
kedua tangannya!
"Siapa bilang aku jeri? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat
menandingi mereka, mengapa aku tidak? Hai, bocah tolol, kau terlalu
memandang rendah Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin empat orang
tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun
kepadamu! Haiii! Mengapa kau bermusuh dengan mereka?"
"Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung
garuda peliharaan dan kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas
pedang pusaka yang teecu amat sayang."
"Hemm, aku akan hajar dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau
mempunyai sebuah pedang pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang
kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka seganas itu,
jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!"
"Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih."
"Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus
dada orang, merobek perut sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang
bersih?"
"Ada pun Bhong Ji Kun Si Koksu tengik itu, bersama dua orang pembantunya
Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, mereka adalah orang-orang yang
memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka adalah musuh-musuh
besar teecu dan teecu hanya dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat
menghajar mereka."
"Uuuut! Bocah bodoh. Setelah kau mempelajari ilmu dariku dengan tekun
dan berhasil baik, apa sih artinya beberapa ekor keledai-keledai tua
itu? Tidak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup
untuk mengalahkan mereka."
"Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak
bersama Suhu. Karena itu, marilah kita pergi ke kota raja mencari
mereka, Suhu."
"Tapi kau harus berlatih..."
"Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih."
"Tapi aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir."
"Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak ada orangnya."
"Memang tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang."
"Habis, mencari apa?"
"Mencari kelabang!"
"Ihhhh...!"
"Kenapa ihh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya seibu jari kaki!"
"Ihhhh...!" Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.
"Eh, masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya
di dunia ini. Mengalahkan semua racun yang berada di Pulau Neraka!"
Kwi Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati
gurunya yang kadang-kadang aneh dan pemarah itu, maka dia berkata
mengangguk-angguk, "Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa Suhu
mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?"
"Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang
betina yang akan bertelur. Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus
dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di dalam
perutnya itu mengandung racun yang paling ampuh karena terendam di dalam
sumber racun kelabang itu."
"Hemm, menarik sekali," kata Kwi Hong memaksa diri. "Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?"
"Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, lalu kumasak dengan arak merah..."
"Wah, perut penuh telur beracun ganas itu dimasak dengan arak?" Kwi Hong
menelan ludah, bukan saking kepingin melainkan untuk menekan rasa
muaknya. "Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur, Suhu?
Bukankah kabarnya kelabang jantan lebih hebat racunnya?"
"Memang demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul
masa bertelur, semua racun berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu,
kelabang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan menarik
sekali. Di musim kawin, si betina pada saat bersetubuh menggigit leher
si jantan dan menghisap darah si jantan berikut racunnya sampai tubuh si
jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh ini sampai dia
menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, barulah perutnya
menggendut terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpulnya semua
racun!"
Cuping hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.
"Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan. "Bukan...!"
Kwi Hong memandang terbelalak. "Habis, untuk apa...?" Hatinya sudah tidak enak.
"Untuk kau makan!"
"Uuuukhhh!" Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai
muntah, matanya terbelalak memandang gurunya yang tertawa
terkekeh-kekeh.
"Bocah tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan
khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala macam racun di dunia ini
tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang masuk melalui
darah atau melalui perutmu! Dan racun itu cocok sekali untuk
membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kau latih!"
Kwi Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat
akan perut kelabang penuh telur beracun yang harus dimakannya, perutnya
sendiri menjadi mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya amat
menyenangkan kakek itu sehingga di sepanjang jalan Bu-tek Siauw-jin
selalu mengulangi godaannya dengan menceritakan tentang segala macam
kelabang dan binatang-binatang menjijikkan, hanya untuk membuat muridnya
mual, jijik dan ingin muntah! Orang yang aneh luar biasa pula.....
********************