Sepasang Pedang Iblis Bab 41-45

Kho Ping Hoo, Sepasang Pedang Iblis Bab 41-45. Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas
Anonim
Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguh pun tidak mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu.

Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat kepalanya yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh, ulah mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu.

Akan tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka membawa senjata-senjata tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.

"Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari senjata mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,

Senjata adalah benda sialan
dibenci oleh siapa pun juga
tidak dipergunakan para bijaksana,
Bahkan dalam kemenangan sekali pun
senjata tak sedap dipandang mata
karena yang mengagungkannya
hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat pembunuhan antar manusia
menimbulkan kematian terpaksa
mendatangkan duka dan air mata
dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!


"Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan tetapi juga tak sama..." Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.

"Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apa pun juga seperti seekor burung? Yang penting adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang berdasarkan pengertian bukanlah penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di dalam gudang itu!"

Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ dan dibuang ke dalam jurang. Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.

Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua orang itu masing-masing hanya mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil mereka buang ke dalam jurang.

Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan orang prajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang tertotok kaku itu sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu datang, mereka telah terkurung!

Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang prajurit. Apa lagi setelah Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng, segera dia kerahkan para pembantunya untuk mengeroyok.

"Wah, repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di antara serbuan para prajurit. "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!"

"Mari kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya tidak bisa melihat bahaya itu.

Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata, akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menandingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang terkekeh girang kalau melihat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng merasa bingung dan benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan merasa sayang untuk meninggalkannya!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng mendapat kenyataan bahwa markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan menjadi kacau balau. Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan teman-temannya, berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera ditanggulangi dari pada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.

Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat, perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat datangnya. Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini, seorang puteri yang sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!

Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apa lagi karena para prajurit yang mendengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.

"Wah, perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang menggegap gempita.

"Mudah-mudahan saja para pemberontak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng sambil berdiri termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu ikut berperang membantu ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat betapa pihak pemberontak terdapat orang-orang pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.

"Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."

"Eh, kau mau membantu siapa?"

"Membantu Puteri Nirahai dan puterinya."

"Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"

"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin oleh orang-orang sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang."

Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau tidak perlu sekali, untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyembelihan antara manusia?"

Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap di antara pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat di mana terjadi perang yang amat dahsyat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan. Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar. Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan gajah itu mengamuk!

Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang prajurit musuh, membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan, membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang berada di atas gajah itu masih menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang prajurit pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap, debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya, menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!

Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apa lagi ketika dua orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan melihat betapa cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik. "Pasukan siluman...!" terdengar teriakan.

"Pasukan siluman... laporkan ke induk pasukan!"

Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu. Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya cepat menyambutnya, menunggangi seekor gajah dan segera Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya, dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh. Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan memiliki cara-cara berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang ditunggangi Maharya sendiri.

"Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng berkata, kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.

"Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan menyambut debu dan uap yang mengebul itu.

"Maharya, sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu meloncat ke depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala.

Melihat munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biar pun pemuda itu dia tahu cukup lihai seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan Koksu dahulu, namun baginya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.

Kakek pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari Nepal, apa lagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda ini harus dibunuh lebih dulu.

"Mampuslah!" Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda itu.

Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya disate gagang tombak.

"Haaiiittt...! Plak! Wiiirrr...!"

Tangan Bun Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, ia membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir balik, kemudian seperti seekor burung garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.

"Aeehhhh!" Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah.

Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari serangan Bun Beng yang tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk menangkap tubuh pemuda itu!

Bun Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan dia melihat serangan berbahaya ini. Dia sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan di tengah udara.

"Plakkk!"

Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah. Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu sampai lumat.

Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya. Kemudian ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah jari tangan!

"Uuuuh...!" Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk menyambut, tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biar pun dia merasa kaget sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia sudah dapat menggunakan lengannya menangkis datangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah lambungnya itu.

"Dessss...! Aiihhh...!" Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari atas tubuh gajahnya!

Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget serta penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi caping lebar masih di atas kepalanya!

"Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"

"Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali bahwa namaku dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng menjawab tanpa berani menentang pandang mata pendeta itu.

Biar pun dia telah memiliki kekuatan sinkang yang mukjizat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu sihir dengan Pendekar Super Sakti. Kalau saja sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mukjizat, dia bisa celaka!

"Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan pribadi dengan dirimu? Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba.

Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam. Dia menjawab, suaranya lantang, "Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap musuhku, Maharya. Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang yang patut ditentang."

"Hok-mo-kiam...? Hemmm, karena pedang itu muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap. Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."

"Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi, mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu, mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kau kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar dahulu itu?"

Maharya memandang tajam. "Ehhh? Kau tahu? Kalau begitu... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan Thai Li Lama...?"

"Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan kepada yang berhak."

Merah muka Maharya, sedangkan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Jadi... engkaukah orangnya yang membunuh muridku?"

"Dia mencari kematiannya sendiri..." Bun Beng tidak dapat melanjutkan kata-katanya sebab ia harus cepat mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh.

Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat dirobohkan akan berbahaya sekali.

"Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!" Berkali-kali Maharya membentak dengan suara yang amat berpengaruh, namun Bun Beng sama tidak mempedulikannya, juga tidak pernah menentang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepat karena tombak bulan sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan yang tangguh itu.

Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban anak panah lawan.

Melihat ini Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendorong ke depan berkali-kali dan dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah anak panah yang menyambutnya dan yang mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan, dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!

Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para prajurit pemerintah. Mereka berteriak-teriak menyerbu dan terjadilah perang sampyuh yang sangat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orang-orang Mancu prajurit pemerintah.

Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan prajurit-prajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat, mendorongnya pun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.

"Desssss!"

Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan... binatang raksasa itu terjengkang kemudian roboh! Dua orang prajurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di dekat gajah yang mereka andalkan itu terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting pingsan!

Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu, apa lagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan tetapi kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal ini sebaliknya mendatangkan semangat baru kepada para prajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.

Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu benar-benar amat lihai. Andai kata Bun Beng belum menerima ilmu terakhir dari Pendekar Super Sakti dan Bu-tek Siauw-jin, kiranya ia pun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam hal ilmu silat tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya.

Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mukjizat yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali tidak pernah berani bertemu pandang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena merasa betapa ada hawa tenaga mukjizat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula sambaran angin pukulannya!

Bun Beng melawan secara mati-matian. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biar pun kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu.

Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu dengan tangan kosong mampu menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih, sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak banyak artinya dalam pertempuran hebat itu.

Kini Maharya telah melolos kalung tasbihnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar, memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbih di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.

Di bagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!

Dalam perang dahsyat ini Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap musuhnya dan musuh pamannya. Apa lagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak Koksu.

Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia tidak dapat terlalu menyalahkan Koksu, sebab Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar mengirim pasukan, apa lagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya. Para prajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini menjadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh pemegangnya!

Betapa pun juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak hebat. Kwi Hong sendiri, biar pun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang dahsyat dan membuat para prajurit musuh gentar, terpaksa harus menggunakan sebagian besar perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam senjata datang bagaikan hujan menyerangnya.

Koksu tentu merasa sangat girang melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran ini, tidak mungkin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup.

Dia pun lalu mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan mati-matian. Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang lagi memimpin pasukan bantuan melawan musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng! Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apa lagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu, terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan besar kepada Kwi Hong.

Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondoknya, mendekam di atas pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak dijadikannya sebagai perisai terakhir.

Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan Lulu sendiri di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.

"Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggota pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!"

Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar, berlainan ibu. Yauw Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, maka mendengar suaranya, dia menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat itu. Koksu dan para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.

"Bhong Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekali pun akan ingat akan budi orang. Engkau telah memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah diangkat menjadi Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia macam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu.

Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang mencuri atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas Ketua Thian-liong-pang ini!

"Tar-tarr... singggg...!" Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.

"Cringgg... trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, tetapi Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung cambuk merah sudah mengancam lengannya yang memegang pedang.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba kemudian menerjang ke depan dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu.

Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya, serta menggunakan tenaga mukjizat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka segera mengeluarkan pekik mengerikan dan mereka lantas roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan dan tewas tak lama kemudian!

Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga mereka tidak dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!

Akan tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu dan Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hok-mo-kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.

"Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil melayang turun membobol genteng.

Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum bahwa ada lawan tangguh menyerangnya secara tiba-tiba dan menyambutnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.

"Trangggg...!" Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mo-kiam yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar hebat!

Nirahai juga kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat kuat sehingga tidak patah, apa lagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah memegang sebatang pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja dan yang lain wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang, pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!

Kini Nirahai tak lagi mengenakan kerudung muka hingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!

Akan tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini. Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang tangguh, maka dia segera menyerangnya.

"Trang-trang-cringggg...!"

Kembali dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapa pun juga, dara itu masih belum mampu menandingi tenaga sinkang yang dimiliki Nirahai, sungguh pun dia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api muncrat menyilaukan mata ketika tiga kali berturut-turut pedang Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam.

Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya.

Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan para jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran Yauw, siap hendak melarikan diri.

"Ahhh, keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap," kata Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.

"Sebaiknya begitu," jawab Kwi Hong singkat.

"Akan tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?" Koksu memancing, padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong, dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah tempat pertahanan yang kuat!

"Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es," jawab Kwi Hong.

Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Namun dia cerdik dan cepat menjawab, "Akan tetapi... apakah Tocu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya...?"

"Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Lagi pula, kalau paman tahu bahwa kalian melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman sendiri pun seorang pelarian. Cepat pergilah...!"

Pada saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana!

Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan tanpa mengeluarkan kata-kata.

Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan menjadi marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini. Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?

Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apa lagi Nirahai menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya pedang yang sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andai kata Nirahai tidak memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong yang memegang Li-mo-kiam.

Untung bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh orang lebih pengawal pribadi pangeran yang telah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai. Kesempatan ini digunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai yang dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui pegunungan dan jurang-jurang.

Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng dengan Maharya yang berlangsung amat hebat itu masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum. Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi kakek ini membantu hingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton pertandingan antara Maharya dan Gak Bun Beng.

"Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!"

Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya buat membanggakan dirinya. Padahal dia hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya merupakan sebagian dari gabungan sinkang-nya dengan sinkang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan ‘muridnya’ saja Maharya tidak mampu menang, apa lagi melawan dia yang menjadi gurunya?

"Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku..."

"Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyokmu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.

Inilah yang dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah diketahuinya semenjak tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan pemuda itu memiliki sinkang yang amat kuat. Apa lagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.

Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bukanlah apa-apa, dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biar pun pemuda itu andai kata terancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil dan pantas.

Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Jika pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa diminta pun dia tidak akan mencampurinya.

Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali, dahsyat dan seimbang.

"Heeaaahhh!"

Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran menubruk maju. Tombak bulan sabit di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini agaknya hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang.

"Haiittttt!"

Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit, tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil berjungkir-balik itu tangannya mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di dekat bulan sabit yang tajam itu.

Maharya terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimana pun juga, bahkan yang kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar dada!

Bun Beng sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan berhenti di situ saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis.

"Trakkkk!" Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas tanah.

Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan melibat lehernya!

Bun Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun Beng maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya, dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping rampasan, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.

"Cringgg... rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.

"Wuuuttt... brakkkk!"

Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat.

Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya terguling ke atas tanah.

"Mampuslah!" Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, tetapi pemuda itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya.

Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biar pun melontarkannya sambil bergulingan, namun tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi Maharya.

Melihat datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya loncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan ke depan.

Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang paling dahsyat dengan memukulkan kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sinkang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu hitamnya.

"Bresss!"

Bukan main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergulingan! Maharya terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa, mengajak lawan mati bersama.

Tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin, yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim pukulan dari bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.

"Desssss...!"

Terdengar pekik mengerikan saat tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas tanah, berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan tewas.

Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biar pun lukanya tidak hebat, akan tetapi pukulan dengan caping yang pecah dan mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus cepat disembuhkan dengan pengerahan sinkang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para prajurit pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.

"Hayo pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut berperang. Sialan!"

Para prajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka mereka tidak berani membantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang masih mengejar-ngejar sisa pasukan pemberontak.

Pasukan pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus, pengawal-pengawal pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan mengawal rombongan pangeran itu, termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan dalam pelarian yang tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.

Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biar pun pasukan-pasukan pemberontak dapat dihancurkan, markas mereka dibasmi dan dibakar, akan tetapi biang keladi pemberontak dapat melarikan diri. Saat mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata benar dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa ketika melihat Nirahai.

"Wah-wah, setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!" kata kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.

"Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang membantu pemberontak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia bukanlah seorang muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apa lagi dia sudah tahu akan watak kakek ini yang tidak lumrah manusia.

"Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi. Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"

Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya, "Apakah dia terluka?"

Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Syukur bahwa Locianpwe telah berhasil menghancurkan musuh..."

"Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!" Ucapan ini keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya

Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin ter-tawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka akan tetapi Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!"

Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar dan jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. "Siapa engkau?"

Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya, "Muridku inilah yang telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!"

Lulu segera melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau pemuda yang dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?"

Bun Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau saya tidak salah menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas bahan-bahan peledak, kemudian mengacau di kapal Koksu.".

"Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan bercampur tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!

"Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kau akui sebagai muridmu, Bu-tek Siauw-jin?" Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek Siauw-jin.

Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan kakek cebol itu. "Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"

Ketika pertama kalinya Nirahai menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena perhatiannya lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit. "Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"

Bu-tek Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang manja dan jahat itu yang memberi tahu!"

"Tua bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya jadi marah mendengar betapa puteranya dicela oleh kakek ini. "Kau kira aku takut kepadamu? Biar pun engkau dan Cui-beng Koai-ong disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"

"Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memperingatkan Lulu, akan tetapi setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar.

Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak, akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri bergulingan lalu meloncat bangun.

"Eit-eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau? Tocu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"

Lulu terbelalak. "Kau... kau... tahu akan itu semua?"

"Heh-heh, sehari setelah Tocu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang Tocu bawa, karenanya aku berkeras melarang suheng turun tangan karena Tocu adalah ahli waris Suling Emas."

"Lulu!" Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh selidik. "Jadi engkaulah yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek Gu Toan...?"

Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di bagian depan cerita ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai merantau bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In, dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas.

Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain, semua niat dan cita-citanya hancur berantakan. Puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau Neraka hancur dan Suma Han... menambah sakit hatinya.....

"Tidak! Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu karena dia minta kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya."

"Di mana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai.

"Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dulu dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya Lulu, suaranya penuh tantangan.

Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sinkang yang luar biasa kuatnya saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.

"Ha-ha-ha-ha! Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.

Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan mereka baru terkejut ketika lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.

"Nirahai...! Lulu...! Kalian memang patut dihajar!"

Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka, suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang, dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan.

Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apa lagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti tiba-tiba marah-marah, dan mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan jarum-jarum di tangan kiri!

Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya cepat bukan main sebab ia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun. Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinar-sinar, dua pipinya kemerahan, wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.

"Singg... wir-wir-wir... siuuuttt...!"

Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar-sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu. Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari dua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga jarum-jarum kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum dan sinar matanya amat tajam.

"Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"

Jarum-jarum yang saking cepatnya sudah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus tubuh Suma Han. Padahal tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya karena jarum-jarum itu hanya mengenai baju sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang tubuh Suma Han. Kiranya, biar pun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.

"Ihhhh...!" Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.

"Ohhhh...!" Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.

Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa mereka itu biar pun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka. Bukan karena ini mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali tidak mengelak atau menangkis!

Mereka maklum bahwa biar pun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekali pun, tak mungkin mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapkan pendekar itu mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andai kata mereka tadi menyerang sungguh-sungguh, tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!

"Kau... kau mau apa...?" Lulu bertanya, gagap.

"Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur, suaranya ketika menyebut ‘Pendekar Kaki Buntung’ menyakitkan hati sekali.

Akan tetapi Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka kemudian terdengar suaranya menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.

"Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara? Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"

Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap lemah, yang menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga ucapan Suma Han membangkitkan kemarahan besar.

"Peduli amat engkau dengan apa yang ingin kami lakukan?" Nirahai balas membentak. "Engkau mau apa kalau kami mencampuri urusan negara?"

"Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku larang kalian melanjutkan penglibatan diri kalian dengan segala urusan pemerintah!"

"Suma Han, enak saja engkau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. "Nirahai-suci boleh jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"

Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku..."

"Aku tidak sudi menjadi adikmu!"

"Aku tahu, biarlah kurubah sebutan itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!"

Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang masih belum juga dapat dia hilangkan sejak dia masih seorang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu malu...!"

"Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut? Ataukah engkau sekarang sudah gila?"

"Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu...! Lucu...! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil memegangi perutnya.

Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri. Kiranya tempat itu penuh dengan prajurit-prajurit anak buah Nirahai yang menonton!

"Keparat kalian semua! Pergi dari sini...!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke kanan kiri, ditujukan kepada para prajurit.

Para prajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ, mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguh pun mereka mendengar bisikan-bisikan bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!

Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kalian pergi! Pergi...! Pergi yang jauh dan jangan ada yang mendekat!"

Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba. Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekali pun, karena mereka tahu bahwa sembunyi pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.

"Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!"

"Tidak sudi!"

"Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh, sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, memakai kerudung, menggegerkan dunia kang-ouw, kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"

"Setan! Engkau kira akan mudah saja memaksaku?!" Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya telah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di pinggangnya.

"Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!" Lulu berkata, juga suaranya terdengar marah sekali.

"Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus berada di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan yang tidak boleh dibantah lagi.

"Apa? Lebih baik aku mati!" Lulu membentak.

"Engkau tidak akan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!" kembali Suma Han berkata.

"Singggg...!"

Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai langsung menerjang maju menyerang Suma Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang dengan pukulan-pukulan maut.

"Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian berdua dengan kekerasan, hal yang semestinya kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat hebat!

Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai mau pun Lulu, bukanlah dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.

Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!

"Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orang-orang dewasa yang miring otaknya! Ha-ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tak mampu menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang harus ditundukkan dengan kekerasan. Itulah yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo, gaplok saja! Wah, ramai...! Ramai...! Ha-ha-ha!"

Tiga orang itu saling serang dengan hebat. Bun Beng menonton dengan hati gelisah, akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati ketiga orang itu saling bergantian, agaknya ingin melihat pertandingan itu semakin seru dan mati-matian. Lagaknya pun seperti kalau dia mengadu, jangkrik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak dipujinya juga dicelanya!

"Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya." Biar pun bicara dengan Bu-tek Siauw-jin, namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu.

Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.

"Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"

Bun Beng mengerutkan alisnya, dan sekarang dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu karena penasaran. Mengapa kakek sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni, halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Namun kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta merupakan hal yang remeh dan lucu!

"Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tak ada yang lebih suci dari pada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?" Suaranya mengandung penasaran. Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?

"Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"

"Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng membentak dan mereka berdua kini sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang.

Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! "Bagaimana Locianpwe dapat mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"

"Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari kecocokan selera, baik mengenai ketampanan mau pun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu birahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, di samping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang didorong nafsu birahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biar pun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Sebab itulah asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita yang kau agung-agungkan itu!"

Bun Beng masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup berkorban, dan siap melakukan apa pun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang dicinta!"

"Ha-ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kau cinta, Bun Beng. Akan tetapi bagaimana seandainya gadis itu tak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan tetap?"

"Cintaku takkan berubah..." Bun Beng menjawab, akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata, "Kalau begitu, apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?"

"Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si Aku masing-masing."

"Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak pada ibunya?" Bun Beng mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, sebab dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?

"Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil! Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andai kata Si Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku. Coba kalau seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"

"Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah, beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya juga palsu?"

"Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."

"Wah, kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng membantah.

"Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta, melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah, baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli! Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau duka."

"Haaaiiittt... desss! Desss!"

Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua tangannya untuk menangkap mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah, hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai.

Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin. "Locianpwe yang begitu pandai menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu, tentu sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta seseorang, seorang wanita maksud teecu?"

Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak. "Hehhh...? Aku...? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku... aku belum pernah terjeblos ke dalam perangkap asmara!"

"Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"

"Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan? Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci. Kalau tidak demikian, mana ada duka, mana ada benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?"

"Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh menonton.

Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini sebab kini baru dia tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang amat lucu! Biar pun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, akan tetapi semua pukulan itu hanya dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu, bukan untuk merobohkan.

Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biar pun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung, sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman dari pada serangan betul-betul, seolah-olah pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apa lagi saling membunuh!

"Cringgg...! Bun Beng, terimalah pedang ini!"

Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut pedang itu dan tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.

"Kalian benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andai kata mereka hendak mencelakai Suma Han.

Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan aku!" Akan tetapi mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan mampu menjaga dirinya!

"Tidak akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.

"Lepaskan aku, kalau tidak, akan kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berteriak, tangannya dikepal dan mengancam di atas kepala Suma Han.

"Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!" Nirahai mengancam pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.

Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. "Biar kalian membunuhku, aku takkan melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."

"Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?" Nirahai membentak.

"Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut bersamaku, ke mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!"

"Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya kau paksa!" Lulu meronta dan berteriak.

"Kita telah melakukan kekeliruan, biar pun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk selamanya hidup bersamaku!" jawab Suma Han, suaranya tegas.

"Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?" Nirahai menuntut.

"Aku... aku mencinta kalian berdua, dan aku... aku mau menghabiskan sisa hidupku di samping kalian berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."

"Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!"

"Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang menjadi isteriku juga."

"Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"

"Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan sudi ikut bersamanya."

"Nirahai-suci...!" Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan mengandung isak.

"Sumoi, sudah semestinya begini...!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.

Bun Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun, kini seolah-olah orang-orang yang kelaparan mendapatkan makanan, atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat, ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,

"Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"

"Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat, melainkan memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku meminang puterimu yang bernama... eh, Bun Beng, siapakah nama dara yang kau tolong di atas pohon itu?"

Merah muka Bun Beng. Biar pun sinting, kakek ini sudah melakukan hal yang di luar dugaannya sama sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana..."

"Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagai mana? Bagaimana, Tuan Puteri Nirahai?"

Nirahai yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han, menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apa lagi, sih?"

"Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagai mana Suma-taihiap?"

Suma Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong dengan pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu. Maka dengan suara tegas ia menjawab,

"Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi harus mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kau bawalah Hok-mo-kiam itu dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan, biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat berpisah!" Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!

"Heeiii... Pendekar Siluman...! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Khikang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa. Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,

"Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Tetapi sewaktu-waktu engkau boleh datang ke Pulau Es...!"

Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi, begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup sengsara." Kakek itu mengangguk-angguk. "Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"

"Seperti yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja dan menyelidikinya dari sana."

"Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku berkeliaran di dunia ini? Nah, aku pergi!" Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap dari situ.

"Locianpwe, teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!" Bun Beng mengerahkan khikang-nya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.

Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kini kau menghaturkan terima kasih, berarti hutangmu telah terhapus! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di Pulau Es!"

Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu. Kakek itu boleh jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan dari pada keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya di atas kepala.

Bun Beng menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malang-melintang memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang. "Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak mungkin kukubur sendiri."

Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andai kata hatinya tidak dikejar oleh keinginan untuk cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk mengubur jenazah semua korban perang itu!

Di dalam perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan sudi ikut bersama suaminya itu!

Tentu saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan bangsawan amat berbeda dengan kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari seorang. Bahkan kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini merupakan suatu kejanggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai madu Lulu, sumoi-nya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta suaminya dari pada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.

Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber segala peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda penghidupan dengan segala suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguh pun kita tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!

********************

Milana menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas, bukanlah untuk membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.

Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang, harapannya menipis. Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah bundanya sudah mendengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal, atau siapa pun juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta.

Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia merobek-robek sapu tangannya dan melempar-lemparkan robekan sapu tangan itu di sepanjang jalan menuju ke atas puncak gunung itu.

"Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu." Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.

"Sesukamulah," jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah menjadi sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.

"Nah, engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki aku lagi." Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.

"Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja."

Wan Keng In tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak memberontak." Keng In menurunkan tubuh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.

Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan tenaga untuk memulihkan jalan darahnya. Biar pun dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apa lagi di situ masih ada guru pemuda itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!

"Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) takkan meleset, Suhu. Dia cantik jelita, manis, halus, pintar... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!" Wan Keng In tersenyum-senyum senang sekali melihat Milana tidak memberontak lagi.

"Huhhh...! Perempuan...!" Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi seolah-olah tubuhnya telah berubah menjadi batu pula.

Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti kaku, akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu menambah seram keadaannya.

Sementara itu, dengan wajah berseri Keng In telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah, "Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan atau minum sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!"

Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. "Dia juga tidak pernah makan atau minum selama ini," katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya. Kalau dia menderita kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan minum sendiri kalau Milana menolak.

"Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."

Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?

"Aku tidak mau makan dan minum," katanya lirih.

"Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng gunung."

Ingin rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang benar, dia tidak mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.

"Aku tidak bisa makan seperti ini." katanya sambil memandang roti kering itu. "Aku biasanya hanya makan nasi dan masakan yang enak."

"Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?"

"Tidak peduli!" Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa dia dapat merongrong pemuda itu, kedua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri. "Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!"

Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya lenyap ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia melakukan apa pun juga. Jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh memetik bintang dari langit sekali pun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!

"Aihhh... bibirmu itu..." Keng In menghela napas.

Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidah untuk menjilati sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo memandang dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.

"Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"

"Serrrrrr!" Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu hatinya.

"Aihhh... matamu... dan bibirmu... ehhh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan semua itu untukmu, Sayang?" Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak, sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah puncak yang sudah mulai gelap.

Berdebar jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapas pun tidak. Kakek itu seperti arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang harus berusaha lari, akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.

Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan. Matanya tak pernah beralih dari tubuh kakek yang masih duduk bersila. Dengan memberanikan diri dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan ia melihat bahwa kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biar pun cuaca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu.

Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek itu dan berhenti di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apa lagi menengok. Milana lalu membungkuk, mengambil sepotong batu, dan melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan kakek itu, kemudian matanya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali, seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!

Jantung Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau demikian tenggelam dalam semedhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana melangkah menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.

"Aihh, sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, aku memperoleh seekor ayam gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!"

Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira, "Aku hendak menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!"

"Aduh... alangkah kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya untuk kita makan bersama, bukan?"

Milana menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk itu, kemudian sengaja berkata, "Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya akan kau suruh makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena sikapmu yang baik, tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku tunduk?"

"Wah-wah... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu terbuang sia-sia, bukan?"

Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.

"Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali."

"Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"

Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa, kemudian berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat.

Kembali berdebar jantung Milana. Sekarang inilah saatnya, pikirnya. Dia tidak boleh membuang waktu lagi. Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak, Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri puncak.

"Bressss...!" Milana terjengkang dan cepat dia berjungkir balik agar jangan terbanting.

Ketika berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua mata terpejam!

"Augghhh...!" Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.

"Brukkk...!" Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi kakek iblis itu yang ditabraknya.

"Aihhhhh...!" Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang menyeramkan itu, namun ke mana pun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu!

"Buk-buk-desss!" Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga, akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang terkena pukulan-pukulannya yang disertai sinkang!

Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret. Dengan mata terbelalak dia memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia lebih lemah dari pada seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca!

Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan serta kecewa. Sekarang dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekali pun, kakek itu sudah menghalanginya untuk lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.

"Iblis tua bangka...!" Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu.

Milana menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke tengkuk, membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung dengan pengerahan sinkang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang kecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau terbunuh oleh kakek itu!

"Plakkk! Bukkk!"

Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti lumpuh. Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke belakang dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan tenaga dan roboh lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kepalanya.

Benar seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan cahaya di langit timur sudah mulai muncul, baru Wan Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci arak!

"Milana kekasihku, inilah permintaanmu... heiii! Mengapa kau?" Pemuda itu meletakkan bawaannya, berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari totokan, biar pun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat bangun dan menyerang Wan Keng In!

"Brukkkk! Heiiiii... mengapa kau ini...?" Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya, meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri. "Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa kau...? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?"

Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.

"Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!" Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah kepada kakek yang menyeramkan itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi karena sejak kecil dia tidak biasa membohong kata-kata ini tidak bisa keluar dari mulutnya.

Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. "Suhu, apakah yang terjadi? Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"

"Wan Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya dihina perempuan! Jika kau suka dia dan dia banyak rewel, paksa saja!"

Milana merasa benci bukan main pada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Jika dia tidak tahu bahwa melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.

"Aahhh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali kau melarikan diri, biar pun aku tidak ada. Masih untung bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu."

"Aku tidak takut mati!" Milana membentak.

"Huh, perempuan keras hati ini," kembali kakek itu mengomel. "Dan kau mencinta dia?"

"Benar, Suhu. Aku cinta Milana. Aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang membalas cintaku, oleh karena itu, sangat mustahil jikalau aku harus mengganggu badan atau nyawanya dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana."

"Huh, agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?"

"Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang."

"Huh!" Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.

Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya lantang ketika dia berkata, "Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es! Kalau ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua seperti mencabut rumput saja!"

Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau marah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah cepat.

"Brettt-brett-brettt...!"

Milana menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam, terobek dan tanggal semua.....

"Suhu...!"

Cui-beng Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah. "Perkosa dia! Hayo kau perkosa puteri Pendekar Siluman ini!" katanya kepada Keng In.

Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya terbelalak lebar dan mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba menggunakan tangan untuk menutupi tubuhnya, menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi tubuhnya dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga kengerian.

"Keng In, perkosa dia!" Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. "Kalau tidak, aku yang akan melakukannya!"

"Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela karena aku cinta padanya."

"Aku tidak peduli kau cinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa seorang perempuan, dan kau harus melakukan hal itu!"

"Suhu, tunggu...! Ada orang...!" Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan.

Benar saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya gesit dan bersikap gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata pedang dan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.

"Cepat bebaskan Nona itu!" Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah menerjang maju, disambut oleh Keng In yang sudah mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar ini menyambar ke arah empat orang penyerangnya.

"Cringgg trak-trak-trak-trak!"

Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir putus menjadi dua potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.

Milana tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa mengurungkan niatnya karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak, tentu jubahnya terbuka! Apa lagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat orang itu, harapannya lenyap kembali.

Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In yang sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar dan mengenai leher Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan sekali Keng In menarik leher ke belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan kedua lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua tangannya sehingga tidak dapat berkutik.

"Apakah Suhu masih tetap ingin melihat aku memperkosa perempuan?" Keng In yang sengaja tidak membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada gurunya.

"Hem, hayo cepat!" gurunya yang gila itu berkata.

Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan seluruh pakaian wanita itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil berkata, "Milana, kau pakailah pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua."

Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-lemparkan kepadanya, ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya sedikit lebih besar dari tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik. Akan tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan pakaiannya sendiri kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.

"Kau...!" Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In.

Tetapi, dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak mampu bergerak lagi. Gadis ini mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka!

Biar pun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita itu. Betapa heran dirinya setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling isak, "Aku... aku akan membantumu... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia... asal jangan bunuh aku... ampunkanlah aku..., aku telah berani menentang seorang gagah seperti engkau..."

Ucapan itu terhenti, terdengar suara "prakkk!" dan keadaan lalu menjadi sunyi. Tidak terdengar apa-apa lagi. Setelah agak lama, baru Milana merasa pundaknya disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya matanya dan dia terbelalak. Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan darah, di antaranya darah yang masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!

"Ihhh...!" Milana menutupi mata dengan kedua tangannya.

Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, "Terpaksa kulakukan untuk memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu..."

Biar pun masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng In makin menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.

Tiba-tiba Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, memandang ke arah sekeliling. Kemudian dia melayang turun lagi, berkata kepada suhu-nya yang masih duduk di atas batu, "Suhu, kurang lebih lima puluh orang telah mengurung puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu. Bagaimana baiknya? Apakah teecu amuk dan bunuh saja mereka?"

"Mana anak buah kita?" Kakek itu berkata tak acuh.

"Belum ada yang muncul, Suhu."

"Hemmm..., panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!"

Keng In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga bernyala besar sekali. Kemudian dia menggunakan tenaga khikang untuk meniup dan setiap kali tiup, segumpal asap hitam bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana hanya memandang dengan heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengurung tempat ini? Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha menolongnya akan tetapi tewas semua ini?

"Ibuuuuuuu...!" Tiba-tiba Milana berteriak sambil mengerahkan khikang-nya. Suaranya melengking tinggi dan bergema di seluruh lereng gunung.

"Milana, jangan...!" Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha melarikan diri itu dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis itu dikempit pinggangnya dan dipanggulnya setelah ditotok lemas.

Milana meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan tetapi suara itu mengecewakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya, bukan pula suara ayahnya yang sudah dikenalnya. Dan ternyata memang bukan karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama sebagai jawaban. Tak lama kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang bertanding di sekeliling puncak.

"Suhu, anak buah kita sudah mulai berpesta membunuhi mereka," Keng In berkata dan gurunya hanya mendengus.

"Tahukah engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang. Sebentar lagi orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan melanjutkan perjalanan ke Pulau Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis. Kau tahu hal itu percuma, dan pula, bukankah aku sudah bersikap baik terhadapmu? Aku cinta padamu. Milana, berilah ciuman..." Keng In mendekatkan mulutnya, akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.

"Aku berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi kalau kau berani menciumku, berani menjamahku, biar pun aku tidak dapat melawanmu, aku akan membunuh diri!"

Mulut Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.

"Aihhh... jangan, Manis. Kalau kau bunuh diri, habis aku bagaimana...?" Ucapannya terdengar tolol dan kekanak-kanakan, atau seperti ucapan orang yang tidak waras otaknya.

"Kalau begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari."

Keng In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga duduk di situ menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan kematian diseling sorak kemenangan itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orang-orang Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau pupus. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng Koai-ong.

"Mohon ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu."

"Tidak mengapa," kata Keng In kepada seorang kakek berkepala gundul bermuka merah muda yang memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. "Kong To Tek, siapa para pengepung tadi dan bagaimana keadaan mereka sekarang?"

"Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-pengawal yang dipimpin oleh seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan menurut penglihatan kami, mereka yang jumlahnya lima puluh dua orang telah mati semua, Siauw-tocu. Kami menanti perintah selanjutnya."

"Bagus! Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka."

Orang-orang yang berlutut itu mengangkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak menyangka-nyangka. "Dan kami..., Siauw-tocu?"

"Kalian juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang akan memimpin bersama calon isteriku ini, dibantu oleh Suhu."

Orang-orang itu bersorak girang. "Perahu sudah siap di pantai dekat goa Naga Hitam, Siauw-tocu."

Sebentar saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tunggangan para penyerbu yang telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar rombongan pengawal dari kota raja yang dipimpin oleh seorang panglima. Rombongan ini berhasil mengikuti jejak Wan Keng In dan di sepanjang jalan mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.

"Apakah Suhu juga hendak menunggang kuda?" Wan Keng In bertanya ragu kepada suhu-nya. Biar pun kakek itu gurunya, namun dia sama sekali tidak mengenal betul keadaan kakek itu, yang gerak-geriknya penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri.

Cui-beng Koai-ong mendengus, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah lenyap. "Suhu telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami berdua. Semua orang harus tunduk dan hormat kepada Puteri Milana ini, dia adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan kubunuh!"

Semua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah mengenal Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana memimpin orang-orang Thian-liong-pang. Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara yang cantik jelita dan perkasa itu akan menjadi isteri majikan mereka, hati mereka menjadi terheran-heran, akan tetapi juga girang.

Berangkatlah Keng In dengan rombongannya. Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat lolos lagi itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In memaksanya sebagai isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.

Tiada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mereka menggunakan perahu melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri melihat keadaan pulau ini. Sebuah pulau liar penuh dengan binatang buas yang beracun, dan biar pun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh pasukan pemerintah yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.

Dia tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak buahnya membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap baik terhadap Cui-beng Koai-ong yang sudah lebih dulu berada di pulau itu. Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempelajari ilmu-ilmu aneh dan mukjizat dari Cui-beng Koai-ong!

"Aku hanya bersedia menjadi isterimu dengan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus menyetujuinya. Sebelum itu, biar kau paksa sekali pun, aku tidak akan menurut dan kalau kau menggunakan paksaan, aku akan membunuh diri lalu rohku akan selalu mengejarmu untuk membalas dendam."

Ucapan yang dikeluarkan Milana dengan sungguh-sungguh ini membuat Wan Keng In maklum bahwa dia harus memenuhi permintaan itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi isterinya. Dia merasa tersiksa sekali karena harus menahan nafsunya yang kadang-kadang membakar dirinya. Dia terlalu mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapa pun sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.

Mulailah sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang sedang dibangun oleh Keng In, di mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana dia harus mempergunakan seluruh kecerdikannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda luar biasa itu.

********************

Andai kata tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biar pun Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantunya pernah melawat ke Pulau Es, namun agaknya perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke Pulau Es. Berkat petunjuk Kwi Hong, biar pun makan waktu sampai dua pekan, akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksikan pulau di mana dia tinggal sejak kecil yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas terbakar.

Teringat ia akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan tewas oleh pengkhianat Kwee Sui, teringat akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam pertempuran ketika pasukan pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali, akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah. Hati dara ini telah mengeras karena gemblengan-gemblengan pengalamannya.

Para tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula. Mereka itu adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang digandeng oleh dua orang selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek, tokoh kurus muka pucat yang tidak ketinggalan membawa senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang gagang pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh tinggi besar bagaikan raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang yang bersenjata sepasang golok, dan seorang yang tinggi besar bersenjata tombak panjang.

Orang ini sikapnya kereng, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia adalah seorang ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu tombaknya hebat bukan main, juga tenaga sinkang-nya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu, kiranya hanya Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu.

Selain para jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan beberapa orang pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang perahu dalam pelayaran itu. Mereka berbondong turun dan kasihan sekali para pelayan yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu mendarat di Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!

Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi Hong jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun, mereka mulai membetulkan bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak begitu banyak, maka tempat itu cukup untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang besar terpaksa harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.

Ketika Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri, kesempatan ini dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pangeran Yauw dan para kaki tangannya untuk berunding. Mereka tadinya membujuk Kwi Hong selain untuk menarik Pendekar Super Sakti di pihak mereka, juga untuk memanfaatkan tenaga gadis itu. Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar mereka ke Pulau Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menundukkan gadis itu sebelum gadis berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak.

Tetapi diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng Souw melakukan penyelidikan di sekitar pulau sambil mencari-cari pusaka-pusaka Pulau Es itu. Namun usaha mereka tidak ada hasilnya, maka pada keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para pelayan dan dua orang selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.

Kwi Hong masih belum lagi menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan duduk, di antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw duduk di sebelah belakangnya, berhadapan dengan Pangeran Yauw dan para panglima.

"Giam-lihiap, kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk berlindung di pulau ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di sini selama kekuatan pasukan kita belum tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga mengadakan perhubungan baru dengan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati kepada Kaisar. Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di pulau yang dingin ini, kami harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab pusaka Pulau Es agar kita dapat mempelajarinya untuk menambah pengetahuan."

Ucapan Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena soal pusaka Pulau Es tadinya tidak pernah disinggung dalam persekutuan dan kerja sama mereka.

"Apakah yang kau maksudkan, Bhong-Koksu?" Biar pun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi Hong dan beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang dia dicalonkan sebagai Koksu juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.

"Maksudku sudah jelas, Nona." Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan penuh ejekan. "Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan pusaka-pusaka yang tersimpan di Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu yang terkenal. Maka kami merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan, dan Nona sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dapat mengetahui tempat penyimpanannya."

Bukan main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan suaranya lantang ketika dia menjawab, "Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama kita ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan. Semua pusaka dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para anggota sebelum dibubarkan, dan kalau kau maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya paman yang mengetahui dan menyimpannya."

"Mustahii Giam-lihiap sebagai muridnya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab itu? Pinceng (Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu sehingga terbuktilah bahwa Lihiap memang benar-benar ingin bekerja sama dengan kami," kata Thian Tok Lama mendesak.

"Aku tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis kalian mau apa?" Kwi Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada di atas meja dikepal keras.

"Hemm, Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pembantu kami dan sebagai pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil jalan kekerasan?"

"Brakkkk!" Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya diangkat ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar berapi kepada Bhong Ji Kun. "Boleh saja! Siapa takut akan jalan kekerasanmu?"

Pangeran Yauw segera bangkit berdiri, ia mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aih-aih... apa perlunya semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka bersabar. Bhong-koksu, tidak semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang tidak tahu tentu benar-benar tidak tahu. Giam-lihiap adalah sahabat kita, bahkan aku telah menganggapnya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Di antara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil saja."

Bhong-koksu tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil berkata, "Ahhh, kami sudah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya kekalahan yang kami derita, kemudian keadaan yang penuh kesukaran di sini membuat kami lupa diri. Tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami dan hanya ada satu jalan yang kiranya akan membuat keraguan kami lenyap sama sekali, dan bahkan mendatangkan keyakinan di dalam hati kami akan kesetia-kawanan Lihiap terhadap persekutuan kami."

Kwi Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini dengan jalan halus dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia bertanya, "Satu jalan apakah yang kau maksudkan?"

Koksu melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian berkata, "Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak beliau bertemu dengan Lihiap, beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada Lihiap. Maka Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai selir, dan tentu saja kelak kalau perjuangan kita sudah berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri."

Wajah Kwi Hong menjadi pucat seketika, kemudian berubah merah. Maklumlah dia bahwa orang-orang yang disangkanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang memiliki niat jahat terhadap dirinya, dan ternyata selama ini dia dikelilingi oleh musuh! Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan tentang surat peringatan yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa mereka ke Pulau Es! Apakah yang telah dia lakukan?

Akan tetapi dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata, "Aku tidak dapat menerima permintaan itu!"

Tentu saja semua ini memang telah direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pangeran Yauw dan para pembantunya. Sama sekali bukan maksud mereka untuk mengangkat dara itu menjadi permaisuri. Maksud sesungguhnya adalah kalau sampai Kwi Hong dapat diperisteri oleh Pangeran Yauw, otomatis Pendekar Super Sakti tentu kelak akan mau membantu usaha pemberontakan mereka.

Sekarang melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para pembantunya meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur di belakang para jagoannya dan mereka membuat gerakan mengurung Kwi Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!

"Jika begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan kekerasan!" Bhong Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu merah dan sebatang golok besar.

Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu dipegangnya karena pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar Super Sakti ini. Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang panjang dilintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula siap dengan senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.

"Bhong-koksu, harap jangan melukainya, apa lagi membunuhnya," berkata Pangeran Yauw sebelum mengundurkan diri dari ruangan luas itu.

"Ha-ha, jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka."

Kemarahan hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya lagi. Sambil mengeluarkan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu sudah menerjang maju, menggerakkan pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan dia telah menerjang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.

Kakek ini cepat-cepat mengelak dan dia masih sempat berseru, "Ingat jangan bentur senjatanya!"

Memang sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa yang akan menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak mengadu senjata mereka dengan pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang diserangnya, sedangkan teman lain cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehingga yang diserang oleh Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan serentak dari belakang dan kanan kiri.

Terjadilah pertandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepuluh orang, dan sebagian besar dari mereka yang paling lihai semua memegang senjata panjang. Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya, Thian Tok Lama dengan tongkat pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek dengan senjata pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang bersenjata pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol ini tidak ikut menerjang maju, hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong tadi.

Giam Kwi Hong adalah murid Pendekar Super Sakti, dan dia bahkan telah digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin, tentu saja ilmu silatnya hebat. Apa lagi di tangannya ada Li-mo-kiam yang ampuh, maka andai kata diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu mengatasinya, sedangkan Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran hebat untuk dapat mengalahkan dara perkasa ini.

Akan tetapi kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu bersikap hati-hati, tidak mau menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerang serentak dari belakang kalau dia menyerang seorang di antara mereka. Senjata mereka panjang dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sinkang jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot sekali, bahkan beberapa kali dia terhuyung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh Thian Tok Lama.

Pendeta Tibet ini memang terkenal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mukjizat yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi biru dan setiap kali dia melakukan pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina habis bertelur, dan dari telapak tangannya menyambar uap hitam!

Yang amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang menyambar-nyambar dari atas, meledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan maut. Namun Kwi Hong tidak menjadi jeri dan sudah mengambil keputusan untuk bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia maklum bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.

Dengan gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang berubah menjadi sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat ke belakang. Tetapi sinar pedang itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan terpaksa dengan kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong Ji Kun melihat temannya terancam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut ini menyambar ke arah jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong, maka tanpa menghentikan serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merubah kedudukan kaki sehingga tubuhnya membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil mengerahkan tenaga menahan!

"Crokkk!"

Ujung tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam masih terus menyambar tenggorokannya. Pendeta itu berteriak kaget, dengan terpaksa membuang tubuhnya ke belakang dan bergulingan. Biar pun dia kaget setengah mati, dan ujung tongkatnya patah, namun dia selamat.

Dengan tangan kiri masih memegang ujung pecut, Giam Kwi Hong menggerakkan pedangnya yang gagal mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang bertubi-tubi. Semua senjata cepat ditarik kembali karena takut terbabat rusak, akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat telah melibat pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu sementara tak dapat dipergunakan karena terlibat tali pancing, cepat membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi Hong!

Dara perkasa itu terkejut sekali. Tangan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji Kun dan pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya diserampang oleh tombak. Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan tali pancing, menggenjot tubuhnya dan meloncat ke atas sehingga sambaran tombak itu lewat di bawah kakinya. Tetapi pada saat itu, Gozan yang sejak tadi telah siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu dan besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah!

Sebelum Kwi Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya sedangkan gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak dapat bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia diseret dan dilempar ke dalam sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu pada kaki pembaringan!

Pangeran Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak diganggu, dan hal ini pun dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu. Dia masih menaruh harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini akan menguntungkan mereka. Sebaliknya, kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan dimusuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak menguntungkan usaha pemberontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para pembantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan itu dan memperlakukannya baik-baik.

Akan tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang memasuki kamar tahanan, dia memaki-maki dan berusaha meronta. Wajahnya menjadi pucat setelah selama dua hari dua malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu, Pangeran Yauw menjadi khawatir akan keselamatan Kwi Hong, maka dia mengambil keputusan untuk membujuk sendiri.

Demikianlah pada hari ketiga, setelah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak menyaksikan pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri lalu memasuki kamar tempat Kwi Hong ditahan. Begitu masuk, pangeran itu mengeluh dan berlutut di dekat pembaringan di mana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.

"Ahhh, betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau berkeras kepala? Kalau tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah dibunuh atau diperlakukan lebih mengerikan dari pada kematian. Aku yang minta agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan tetapi engkau tetap keras hati."

"Cukup! Mau apa engkau datang ke sini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati? Mendengarkan omonganmu yang beracun lebih mengerikan dari pada menghadapi maut!"

"Aihhhh, Kwi Hong... kenapa engkau bersikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua kesabaran itu, semua kerendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena aku tergila-gila kepadamu? Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau akan kuangkat menjadi permaisuri, dan...," suara Pangeran Yauw menurun menjadi bisikan halus, "...sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua pembantunya yang telah menghinamu... kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sayang?"

"Cuhhh...!" Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.

"Aduhhh...!" Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam benda keras. Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah muka Kwi Hong. "Perempuan laknat! Berani engkau meludahi aku? Aku akan menyiksamu untuk penghinaan ini! Akan kusuruh semua orang memperkosamu di depan mataku, sampai engkau mampus...!"

Pangeran Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan terdengar dan sinar merah menyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan ternyata dia sudah tergantung di ujung cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.

"Hemm... engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal budi!" Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang bersama yang lain ikut pula masuk, lalu berkata, "Lemparkan dia dalam keadaan telanjang bulat ke luar!"

Pangeran Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk, tetapi Gozan mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, membawanya keluar dari istana. Pangeran itu meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka atau berani menolongnya. Dengan renggutan-renggutan tangannya yang kuat, Gozan menelanjangi pangeran itu hingga tak ada secarik kain pun yang melindungi tubuhnya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu berlutut, menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak lari ke istana mencari tempat berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah, tak lama kemudian dia sudah rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!

Dua orang pelayan wanita yang tadinya menjadi selir pangeran dan selalu dipandang dengan sinar mata penuh iri oleh anggota rombongan yang lain, kini menjadi rebutan di antara para pembantu Bhong Ji Kun, kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw yang telah tua. Satu-satunya nafsu keinginan mereka hanyalah mengejar kedudukan dan kemuliaan. Lalu atas perintah Bhong Ji Kun, kedua orang pelayan muda itu harus menyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa Mongol!

Memang patut dikasihani seorang manusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan seperti Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang makhluk manusia dengan penghidupannya sama sekali tidak ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah. Ketika tergila-gila kepada Kwi Hong, agaknya pangeran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selir-selir baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi kenyataannya, begitu Kwi Hong menolak cintanya, perasaannya yang disebut cinta itu berubahlah menjadi benci yang hebat! Cinta macam itu sungguh tidak ada harganya!

Cinta yang begitu mudah merubah diri menjadi benci, hanyalah nafsu birahi, yang nilainya sama rendah dengan benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, menganggap dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya! Ada yang kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu membunuh diri. Ini lebih gila lagi, karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras otaknya sajalah yang akan melakukan bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka sama dengan benci, atau cinta mereka sama dengan gila!

Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya juga didorong untuk selalu memperoleh yang diinginkan. Dia tidak tahu bahwa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya menimbulkan gairah, namun pada akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah menjadi kebosanan, dan timbullah pula nafsu memperoleh hal atau benda lain lagi. Dengan demikian ia terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan, hidupnya seperti makhluk penasaran yang selalu mengejar-ngejar nafsu yang dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup seperti itu, menjadi boneka permainan nafsu keinginan?

Bhong Ji Kun tak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan tetapi juga dia marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun tidak akan suka menuruti kehendaknya, yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es. Kekecewaan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat dia makin kejam dan ganas, merencanakan hukuman dan siksaan yang dianggapnya paling keji dan hebat bagi Kwi Hong.

"Engkau tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cukup keras untuk tidak minta ampun seperti Pangeran Yauw, Si Keparat tadi! Dua orang selirnya masih jauh lebih terhormat nasibnya dari pada perempuan keras kepala macam engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku yang berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biar pun engkau seorang yang masih perawan, akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi milik mereka secara bergiliran! Dan siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan kuberi hadiah! Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran gila tadi!"

Para bujang yang jumlahnya ada delapan orang itu tentu saja menyeringai gembira, biar pun hati mereka merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tetapi menghambakan diri kepada seorang majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun tak dapat dikatakan baik. Setelah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis tawanan itu kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu sibuk menjadikan Kwi Hong semacam hadiah undian untuk menarik giliran masing-masing!

Kwi Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melakukan sesuatu ketika Bhong Ji Kun menotok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki dan tangannya lemas dan setengah lumpuh. Iia dapat bergerak, tetapi tak mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Setelah ikatan kaki dan tangannya dilepaskan, dia segera meloncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum, dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu meninggalkan kamar tahanan itu.

Kwi Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa mengandalkan tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari mala petaka. Tanpa dapat menggerakkan kaki tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan sinkang, apa dayanya. Kehormatannya terancam dan dia tidak mampu mempertahankan kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan habiskah dia? Tidak adakah harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng.

Tidak terasa lagi dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Dia mencinta Bun Beng, dan biar pun hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam mimpinya juga mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan sekarang dia berada di tepi jurang kehancuran, terancam mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri, dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran oleh para bujang tanpa dia dapat mempertahankan diri sama sekali.

"Bun Beng... ahhh, Bun Beng..., di manakah engkau...?" Kwi Hong mengeluh dan air matanya bercucuran.

Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya akan menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu, karena dia benar-benar tidak tahu di mana pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana Pulau Es. Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak percaya bahwa dengan memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari kematian.

Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tak mungkin dapat dipercaya dan mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud tertentu demi keuntungan mereka sendiri. Buktinya telah ada, Pangeran Yauw sudah merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini diketahui Bhong Ji Kun, dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun? Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!

Malam tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram melalui lubang angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar penerangan dari ruangan samping. Cuaca menjadi remang-remang dan jantung Kwi Hong berdebar. Bahaya telah mulai datang mendekat dan dia mencari akal bagaimana untuk dapat mempertahankan diri.

Yang akan muncul tentulah seorang di antara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan lemah. Biar pun dia tidak dapat mengerahkan sinkang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia masih menguasai ilmu silat. Dia akan menggunakan sedikit tenaga yang ada untuk merobohkan, kalau bisa membunuh setiap laki-laki yang berani menjamahnya! Dia tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, dengan tusukan jari tangan mengenai matanya, dua serangan ini saja, betapa pun lemahnya, cukup membuat pengganggunya tak berdaya.

Timbul lagi harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun kepadanya amat besar sehingga saking inginnya menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak diberikan kepada para pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para bujang untuk diperkosa secara bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang seperti Thai-lek-gu atau Gozan, tentu akan habis harapannya, karena dalam keadaannya seperti ini takkan mungkin dia melawan seorang di antara mereka. Dia bergidik! Membayangkan betapa dia dipermainkan seorang laki-laki seperti Gozan, raksasa Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!

"Gerriiittt...!" Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok memasuki kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.

Dengan gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lupa diri, maka loncatan itu membuat tubuhnya terbanting kembali ke atas pembaringan. Dia menahan keluhan, terpaksa bangkit duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak memandang laki-laki itu yang sekarang sudah membalikkan tubuh lagi menghadapinya sambil menyeringai.

Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus, mukanya penuh brewok yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan sepasang matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh, Si Gila! Kwi Hong pernah melihat seorang di antara pengurus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain dia disebut Si Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk malam pertama itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijikkan!

"Heh-heh-heh-heh, ini namanya hukum karma...!" Si Gila itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Kwi Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bambu. Ketika bicara, air ludahnya muncrat-muncrat.

Saking jijiknya, Kwi Hong segera turun tangan. Dia turun dari pembaringan, menahan napas mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan jari-jari tangan kiri menusuk ke arah mata Si Gila itu, disusul gerakan kaki kanannya menendang ke bawah pusar. Biar pun serangannya itu tidak mengandung tenaga sinkang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga seorang wanita yang hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggota kelamin, agaknya cukup membuat Si Gila itu terjungkal!

"Ehhh...?" Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong.

Tusukan mata dapat dielakkan, tendangan berhasil ditangkis, dan tubuh Kwi Hong didorong kembali hingga jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya. Kiranya Si Gila ini bukanlah orang yang lemah. Bahkan gerakan-gerakannya tadi jelas membayangkan gerakan silat yang cukup baik! Habislah harapan Kwi Hong dan dia mulai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan duduk di pinggir pembaringan sambil terkekeh-kekeh.

"Hukum karma atau bukan... heh-heh-heh... aku tidak rela engkau dipermainkan orang. Lebih baik kau mati saja dari pada diperkosa mereka secara bergilir." Si Gila itu lalu membuka tutup tabung bambu. "Bocah bodoh, kenapa engkau tidak membunuh diri saja? Apa... apa engkau memang suka untuk diperkosa secara bergilir oleh mereka?"

Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas bahwa otaknya miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar membuat dia berdebar.

"Apa... apa maksudmu...?"

"Biar pun ibumu diperkosa, tetapi pemerkosanya bertanggung jawab dan memang mencinta ibumu. Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya ingin mempermainkanmu, ingin memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja dan tidak ditoleh lagi!"

"Apa... apa maksudmu dengan Ibu...?"

"Heh-heh! Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau... heh-heh-heh, akan tetapi pemerkosanya bertanggung jawab, ibumu dijadikan isterinya... dan engkau terlahir. Biar pun ibumu diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Heh-heh-heh, biar pun aku memperkosa ibumu, tetapi aku cinta padanya... dan aku yang membunuhnya... heh-heh, akan tetapi... aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!"

Si Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena disentakkan keluar, ular itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher Kwi Hong sambil dipandang oleh Si Gila yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.

"Auggghhhh...!" Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. "Kwi Hong... lebih baik kau mati dari pada diperkosa... ahh..." Si Gila itu masih sempat berkata kemudian tubuhnya berkelojotan dan ular merah ikut bergerak-gerak di lengannya.

Kwi Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang berkelojotan itu. Kini teringatlah dia. "Ayaaahhhh...!" Ia menubruk.

Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini pula yang dahulu memperingatkannya tentang arak beracun di taman yang disuguhkan Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau berpura-pura gila? Bagaimana mungkin dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya ketika dia masih kecil? Apa lagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi tukang kuda yang gila dan pakaiannya tidak karuan. Bagaimana dia dapat mengenalnya?

Betapa pun juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha menyelamatkannya dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya. Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di dalam tubuhnya telah mengalir obat penolak ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu menjadi takut dan membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menangkap ular dalam tabung itu.

"Ayah...!" Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati.

Racun gigitan ular merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kematian, bagi yang kuat sekali pun akan mendatangkan pengaruh mukjizat, ada yang menjadi terangsang nafsu birahinya, ada pula yang menjadi gila!

Melihat ayahnya, biar pun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kandungnya, menggeletak tak bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan tampak tenang dan makin jelas persamaannya dengan wajah ayahnya dahulu, Kwi Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya terlepas dari lengan ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya berseri biar pun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayahnya.

"Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak berterima kasih, Ayah."

Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, menggurat-guratkan tubuh ular pada batu dinding yang agak kasar sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah dilepaskan di atas lantai dekat mayat Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu, ular berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah ular merah yang keluar dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya mengundang ular-ular merah lain.

Telah dituturkan di bagian depan cerita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar brewok yang diwaktu bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah memperkosa Sie Leng, gadis enci (kakak perempuan) Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya. Dalam pernikahan ini Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam Kwi Hong.

Ketika Pendekar Super Sakti dituduh melarikan Puteri Nirahai, dalam kekhawatirannya tersangkut karena isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh isterinya sendiri. Perbuatannya ini membuat dia menyesal bukan main karena dia memang mencinta isterinya. Maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han, perwira tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi, dan akhirnya orang tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi, diam-diam bekas perwira yang gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!

Melihat mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas pembaringan, pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu, kemudian dia duduk bersila, mengumpulkan hawa Swat-im Sinkang yang dilatihnya sejak kecil, perlahan-lahan dia berusaha memulihkan tenaganya dan membuyarkan pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil ular-ular dengan darah ular merah tadi.

Betapa girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing baginya, dan benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan tampaklah ular-ular merah merayap-rayap datang dari segala penjuru, memasuki kamar tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya karena ular-ular itu dapat melindunginya sehingga orang-orang hendak mengganggunya tidak berani mendekat, akan tetapi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang mukjizat.

Hal ini adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sinkang di antara ular-ular merah ini dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berbahaya itu, baginya adalah memperlancar latihannya. Karena itu, kini dengan bantuan hawa beracun, dia makin tekun melancarkan jalan darahnya dan menghimpun tenaga sinkang untuk memulihkan tenaganya. Dia tetap duduk bersila di lantai, membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya.

Kalau dia teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya dibunuh ayahnya ini, ditusuk dadanya sampai tembus dengan pedang, maka ingatan itu membuat dia tidak dapat berduka oleh kematian ayahnya. Namun, melihat betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saat-saat terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.

"Ular...! Ular...!"

Jeritan-jeritan itu terdengar dari mulut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah, apa lagi ketika mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis tawanan itu duduk bersila di atas lantai tengah kamar, dikelilingi ular merah ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat menggeletak di atas pembaringan.

Tak lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar memandang dengan mata terbelalak.

"Mundur semua! Ular-ular itu beracun!" bekas Koksu Bhong Ji Kun berteriak dan semua orang cepat mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka muak dan tidak tahan.

Tentu saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan. Kalau Bhong Ji Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan tersenyum dan menggertak,

"Siapa berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat apakah engkau berani memasuki kamar tahanan ini!"

Bhong Ji Kun menggereget giginya. "Perempuan siluman! Lekas kau enyahkan semua ular itu, kalau tidak, kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!"

Tentu saja ancaman membunuhnya dengan cara apa pun juga tidak mendatangkan rasa takut di hati Kwi Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan segala gertakan? Akan tetapi dia tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan oleh ayah kandungnya tadi, yaitu membunuh diri! Takut apa lagi? Ia tersenyum.....

"Bhong Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi, kau akan senang melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar engkau seorang yang amat baik hati. Baiklah, aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu kamar ini agar lebih cepat mereka pergi."

Bhong Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedang para pembantunya berdiri di belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa heran mengapa gadis tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan sama sekali tidak terganggu! Benar-benar seorang gadis yang amat lihai dan tak boleh dipandang rendah.

Kwi Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular itu, mengambil ular yang terluka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji Kun sambil membentak, "Makanlah ini!"

Bhong Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar orang berseru kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dadanya, dan... semua ular merah yang berada di dalam kamar itu menyerbu keluar dan langsung menyerang Panglima Mancu yang terkena ular terluka tadi, tubuhnya penuh dengan ular merah yang langsung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan dan roboh berkelojotan terus tewas seketika!

Bhong Ji Kun sudah meloncat ke dalam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi Hong meloncat bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam beberapa gebrakan saja dia telah roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.

"Gunakan api, usir ular-ular itu!" Bhong Ji Kun berteriak marah.

Para pembantunya cepat menggunakan api. Benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari tempat itu. Seperti binatang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itu pun takut sekali akan api yang amat panas itu.

"Bhong-koksu, bunuh saja gadis itu!" Thian Tok Lama berkata.

Ucapan ini dibenarkan semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan lemah saja gadis itu telah berhasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang panglima, mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.

"Dia sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Memang mudah membunuhnya. Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membunuhnya? Kurasa, kalau dia hidup dia lebih berguna dari pada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus selalu dijaga ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi."

Keputusan Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan karena selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, dilempar ke atas pembaringan dalam kamar tahanan itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri menjaga dengan bergilir! Andai kata dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan belenggu, dan masih harus berhadapan dengan dua orang penjaga yang berilmu tinggi dan yang tentu akan memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang lain!

Akan tetapi, kenyataan bahwa dia belum dibunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu hanya berarti bahwa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah kandungnya. Memang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biar pun dia dibelenggu seperti itu, masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terlatih seperti dia, menahan napas dan dengan paksa menghentikannya sudah cukup untuk membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi, menggigit lidahnya sendiri sampai putus!

Gadis yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan harinya terjadi perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat sekali di Pulau Es. Peristiwa itu dimulai dengan munculnya Majikan Pulau Es sendiri, Suma Han Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang datang berperahu bersama dua orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang bersama dia akan memulai hidup baru di pulau itu!

Ketika pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di pantai, pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang isterinya. "Agaknya kita telah didahului tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita sudah saling berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menonton saja. Biarlah aku sendiri yang akan menanggulanginya."

Nirahai dan Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan besar atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi. Jika dahulu Suma Han merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertama-tama kejantanannya itu diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!

Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun ke darat dan berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi kabar oleh anak buahnya dan kini berlarian datang menyambut bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan masing-masing. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati Bhong Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti seorang, melainkan ditemani oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat dilawan, apa lagi masih ada dua orang wanita sakti itu!

Dengan sikap tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya bola mata mereka yang bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan kiri. Diam-diam Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang panjang itu. Dia merasa sanggup untuk mengatasi mereka.

Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu. Salah seorang wanita itu sendiri saja sudah cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutnya dengan sikap seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!

"Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan kedatanganmu!" kata Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.

"Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan penghuninya. Hanya orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-kan Seng-jin," kata Suma Han dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa seram.

Di antara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan Suma Han, hanya mendengar nama julukannya saja. Kini melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau siluman itu ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua, dan sebuah kakinya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti?

Berubah wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu. "Harap Tocu (Majikan Pulau) tidak salah paham, karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu tidak diundang."

"Tidak sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur kekuatannya!" Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak melanjutkan karena Lulu menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan suaminya!

Bhong Ji Kun menjura ke arah Nirahai dan Lulu. "Pelarian sementara! Karena itulah, maka kami bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi (Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil."

"Apa?! Mengajak kami bekerja sama...?" Nirahai kembali berseru saking herannya.

"Aihh, dia sudah gila!" Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran.

Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu mengajak mereka untuk bekerja sama memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul demikian.

Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu Bhong Ji Kun yang memberontak itu sama sekali tidak gentar, bahkan kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas Koksu ini yakin akan kemenangannya!

"Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja sama denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!" Suma Han berkata sambil memandang tajam.

Akan tetapi, teringat akan nasehat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini, terutama jangan sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani bertemu pandang dengan pendekar itu. Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isyarat yang memang sudah diatur sebelumnya dan muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya dibelenggu, wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping.

Bukan main kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah meloncat ke dekat Gozan dan menodongkan goloknya pada gadis tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan kekerasan untuk mencoba menolong keponakannya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andai kata dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.

"Ahhh, Si Jahanam menawan Kwi Hong...!" Lulu berteriak.

Nirahai juga terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah menjadi tawanan. Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani itu. Kiranya sama sekali bukan gila, melainkan licin dan curang sekali! Melihat betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka, maklumlah kedua orang wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.

"Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?" Suma Han menegur muridnya.

Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia menjawab, "Harap Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini, karena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!"

"Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!" Bhong Ji Kun memuji. "Akan tetapi kami masih sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, Tocu!"

"Jahanam busuk!" Nirahai membentak.

"Keparat hina!" Lulu juga memaki.

Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersabar dan tidak turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata, "Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti dengan baik bahwa sampai mati sekali pun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan yang kau pimpin itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan keponakanku."

Diam-diam Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tak dapat diragukan lagi, jika Pendekar Super Sakti mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini menjadi baik dengan Pendekar Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!

"Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian," kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu. "Sekarang kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu asal engkau dan dua orang wanita itu tidak mengganggu kami."

"Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu dan kalian boleh pergi dengan aman," jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis kedua orang wanita sakti itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-teman-nya itu dibiarkan pergi begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!

Agaknya mereka pun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka menderita batin karena asmara gagal selama belasan tahun.

"Dan kedua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu yang tentu tadinya berada di Pulau Es kepada kami."

"Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau pimpin menyerbu ke sini, pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku."

"Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, Tocu, dan amat memalukan kalau seorang pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata membohong."

Sepasang mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun terkejut dan cepat menundukkan muka.

"Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk menghancurkan mulutmu!"

Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat karena dia merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata itu.

"Siapa yang bisa percaya bahwa seorang Tocu tidak menyimpan sendiri pusaka milik istananya?" Dia membela diri.

"Pusaka ada di sini...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya berkelebat datang. Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah peti kayu cendana yang berukir indah.

Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata, "Bibi... jangan... jangan kau berikan kepada mereka...! Lebih baik aku mati saja dari pada mengorbankan pusaka-pusaka itu...!"

Phoa Ciok Lin, wakil urusan dalam di Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan kedua isteri pendekar itu, mengerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya, tersenyum penuh syukur akan tetapi pandang matanya sayu penuh derita batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata, "Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuserahkan kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!"

Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawan-nya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti berwarna coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam tipu muslihat, tentu saja menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak seseorang dibentuk oleh kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.

"Suma Tocu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?" tanyanya sambil menoleh ke arah Suma Han.

Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, "Dia adalah wakilku dan kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es."

Makin berseri wajah Bhong Ji Kun. "Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan pusaka-pusaka itu, akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan merampas kembali kalau peti berisi pusaka telah diserahkan kepadaku."

"Aku berjanji!"

"Paman, jangan! Lebih baik aku mati!"

"Diam kau!" Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.

"Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka ini!" kembali Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.

Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti? Dia lalu memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemah itu ke arah Pendekar Super Sakti.

Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya, dia menangis terisak-isak dan tidak berani mengangkat muka. Suma Han sama sekali tidak mempedulikan dia, hanya memandang Phoa Ciok Lin dengan alis berkerut dan hati menekan kegelisahan.

"Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!" Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur tangan hendak mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.

"Ciok Lin, jangan...!" Suma Han berseru mencegah pembantunya.

Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut bukan main. Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat menangkis pukulan ke arah pusarnya yang amat berbahaya dan terpaksa menerima tamparan pada dadanya.

"Desss...!"

Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-sian-li, maka tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apa lagi setelah dia menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es. Biar pun tentu saja dia masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun bukanlah pukulan ringan sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke kiri karena daya tolak tenaga sinkang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw yang menyerangnya dengan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak mampu mencegahnya.

"Bibi...!" Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, lalu mengangkat tubuhnya dan membawanya ke pinggir.

Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di depan Bhong Ji Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka dalam perlindungan Lulu dan Nirahai, Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan para pembantunya.

"Bhong Ji Kun!" Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan para pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan kesiap siagaan para jagoan yang tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh. "Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orang-orang yang mengotorkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!"

Bhong Ji Kun tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja mengeluarkan suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es yang terkenal itu ternyata hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti seorang yang rendah. Hendak kemana kau taruh mukamu nanti?"

"Bhong Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!" Nirahai berteriak marah mendengar suaminya tercinta dimaki orang.

Namun Suma Han bersikap tenang, biar pun pandang matanya tajam menusuk. "Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti. Akan tetapi dia tidak menyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia menipumu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai terluka hebat. Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada perjanjian apa-apa lagi."

"Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan membiarkan kami pergi tanpa mengganggu?"

"Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara kita, melainkan karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian mengadu ilmu. Kalau kalian tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua orang isteriku!"

Bhong Ji Kun membelalakkan mata. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri Nirahai! Dan Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan sesuatu akan pengakuan pendekar itu, apa lagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan celaka di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu! Kalau harus berlutut minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw. Demikian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih menghargai nama dan kehormatan dari pada nyawa.

"Pendekar Siluman!" teriaknya dengan muka merah. "Menyuruh kami berlutut minta ampun sama dengan menyuruh matahari timbul dari barat!"

"Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak cagak gagang panjang itu!" Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena hatinya masih panas mengingat betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak orang ini.

"Wuuuuttt... syettt!"

Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Suma Han, tombak panjangnya itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata, "Pendekar Siluman! Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak gentar untuk menghadapimu!"

Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat menaksir keadaan calon lawan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak yang sakti. Sayang bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki, dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah. Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.

Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus memperlihatkan, tidak hanya kepada kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembantunya bahwa nama Pendekar Super Sakti sebagai Majikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa bantuan siapa pun, akan dapat mempertahankan pulaunya.

"Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu lihai sekali. Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara membokong tadi!"

Mendengar tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw. Dia adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya menemui tandingan. Kalau tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para orang gagah yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa penasaran sekali.

Dia sudah banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pendekar yang disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin sekali mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.

"Trakkk!"

Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar buntung itu, tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapa pun juga, kalau Suma Han menghendaki, dengan pengerahan sinkang-nya yang mukjizat, dia akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga pertama kali itu. Akan tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sinkang-nya yang jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat melumpuhkan pikiran orang. Melihat betapa lawannya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya yang tertangkis lalu menggerakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambar-nyambar, Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat, yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun.

Ilmu silat yang mukjizat ini merupakan gerakan-gerakan berdasarkan ginkang yang hanya dapat dilakukan oleh orang berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung terbang dan betapa pun Ciat Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pandang matanya berkunang karena bayangan lawannya menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han bergerak.

"Siluman...!" Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.

"Krekkk! Plak! Plak!"

Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya mengalir darah segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan mengeluh. Suma Han telah berdiri dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan. Pendekar ini dengan sikap tenang menanti majunya jago lain di pihak musuh. Dia telah berhasil mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan dua kali menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah!

Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang bersenjatakan pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang dengan sepasang golok jagal babinya, dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.

"Tak tahu malu!" Lulu membentak.

"Betapa gagahnya, main keroyokan!" Nirahai juga mengejek.

"Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!" Suma Han menoleh kepada dua orang isterinya sambil tersenyum.

Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apa lagi mereka bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.

Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apa lagi dia mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik dia lari menerjang dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua lengannya yang berotot kuat. Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa terkejut hati Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram baja yang dingin dan keras! Dia mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun betapa pun dia mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak bergoyang.

"Pergilah!" Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.

"Krekk! Krekk!" Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya tergantung lumpuh karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas, terbawa oleh gerakan memutar tubuh Pendekar Super Sakti tadi.

Liong Khek dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenang saja memegang tongkatnya, kemudian secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para pengeroyok yang patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han berkelebat di antara mereka.

Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan kiri tanpa dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para pengeroyok itu menderita patah tulang, tertotok lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang itu roboh hanya dalam waktu belasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berdua saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan ketika Suma Han menghadapi mereka.

"Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok Lama, kita adalah lawan-lawan lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian. Agaknya engkau telah memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!" Wajah Thian Tok Lama menjadi merah mendengar ejekan ini, karena memang dia dan sute-nya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah terlibat pula dalam pemberontakan.

Thian Tok Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia merasa gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Majikan Istana Pulau Es itu, akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah, apa lagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia andalkan. Bekas Koksu ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia merasa gentar, apa lagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan semua anak buahnya, maka nyalinya menjadi kecil.

Dia memang cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerinya, dia bertanya, "Suma-tocu, apakah engkau menantang kami maju berdua? Benarkah engkau berani menghadapi kami berdua tanpa bantuan orang lain?" Berkata demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan Lulu.

Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian Tok Lama takkan mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian Tok Lama dia masih tak percaya kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!

"Bhong Ji Kun manusia pengecut!" Nirahai membentak marah. "Beraninya hanya main keroyok. Hayo kau lawan aku kalau memang ada kepandaian!"

"Aku pun siap menghadapimu satu lawan satu!" Lulu juga menantang.

Bhong Ji Kun tersenyum. "Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia tidak berani, kami pun tidak akan memaksa."

"Im-kan Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah siap menghadapi kalian berdua." Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang karena dia tidak dapat dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.

"Tar-tar-tar...!" Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap sungguh-sungguh dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan.

Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan berputaran perlahan dan tangan itu berubah menjadi biru, sedangkan tangan kirinya memegang golok, diacungkan di atas kepala. Dengan langkah-langkah lambat dua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.

Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat di tangan kiri masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.

"Hyaaaattt...! Tar-tar-tar-tar...!"

"Haiiittt...! Sing-sing-sing-wuuutttt!"

Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama hampir berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut merah berubah menjadi sinar merah yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala dan dada Pendekar Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam karena pukulan itu adalah pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara kok-kok seperti ayam betina habis bertelur!

Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal kelihaian Thian Tok Lama dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah maka dia berlaku hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat kedua orang lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mukjizat, yaitu Soan-hong-lui-kun.

Tubuhnya melesat ke sana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.

"Tarrr...!"

Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han sudah melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena dalam pertemuan tenaga tadi tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat dari pada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubi-tubi.

Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya. Sampai tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan menangkis untuk menguji lawan. Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka menurutkan watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas Koksu dan pendeta Tibet itu.

Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, takut kalau suami mereka marah! Apa lagi karena mereka yakin bahwa suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka.

Ada pun semua anak buah Bhong Ji Kun biar pun tidak ada yang tewas dan hanya terluka ketika mereka dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton dan tentu saja mengharapkan agar dua orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.

Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat gerakan balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu menambah gerakan menangkis dengan serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa banyak mundur karena betapa pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu telah menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.

Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan, bersikap tenang dan penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak mudah baginya untuk mendesak kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi, terutama sekali mendesak Bhong Ji Kun.

Akan tetapi, ketika dia hanya mempertahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, terutama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena dia sudah tahu akan kepandaian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti ini, dan setelah mengenal dasar gerakan lawan, barulah kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk menyerang lawan.

Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Ada pun Bhong Ji Kun yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia dan temannya seolah-olah sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main. Tongkat pendekar kaki buntung itu gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat ke sana-sini secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu ini makin bingung. Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan ada kalanya amat dingin!

Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super Sakti. Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan... tiga buah senjata melekat menjadi satu. Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu dengan tongkat!

"Haiiiiittttt!" Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan ke depan.

"Hyaaattt!" Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang mengeluarkan uap hitam.

Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tidak kalah ampuhnya dibandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama itu. Cepat dia melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada pukulan mereka, kemudian dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan menyambut pukulan kedua lawannya.

"Desss! Desss!"

Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti Es yang selain menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan dengan pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.

Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun lagi tanpa mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong Ji Kun menerjang dengan cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat Suma Han. Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi telah mendatangkan luka di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.

"Tarr-tarrrr...!"

Cambuk merah itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk ke arah ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han menggerakkan tongkatnya menangkis, akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya, maka sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang berkeredepan itu.

"Cringggg! Trakkkk!" Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu dengan pedang itu.

"Li-mo-kiam...!" Suma Han berteriak kaget. Cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri memukul ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu, sedangkan yang kanan mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.

"Desss! Augghhh...!"

Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedangkan tubuh bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak diduganya karena dia mengira bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi. Apa lagi dia telah mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong. Melihat pendekar itu terkejut dan tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, membuat kewaspadaannya berkurang.

"Singggg... trakkkk! Desss!"

Golok di tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian Tok Lama yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan kiri Suma Han yang menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan!

Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan kemudian menghampiri Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil meringis. Suma Han memandang bekas Koksu itu dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa, "Bhong Ji Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu dan lekas tinggalkan tempat ini!"

Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih berlepotan darahnya sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang pun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk, menarik napas panjang dan berkata, "Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah, akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini."

Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, kemudian menyuruh anak buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama, kemudian tanpa berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu yang segera dilayarkan meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.

"Anjing-anjing licik macam itu mengapa tidak dibunuh saja?" Baru sekarang Nirahai membuka mulut mencela suaminya.

"Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan saja," Lulu juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini menjadi suaminya yang tercinta itu.

Suma Han menarik napas panjang. "Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu. Mudah-mudahan kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka bertobat. Pula, aku tidak menghendaki pembunuhan di pulau ini, apa lagi aku tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan."

"Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!" kata Nirahai.

Suma Han terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang setia itu. Dengan cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang masih rebah di atas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak.

Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakannya, alisnya berkerut. Dara inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh kekecewaan dan penyesalan.

"Perlu apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Kenapa sebelumnya engkau tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti mereka?"

Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas tanah, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan berkata, "Harap Paman bunuh saja aku yang berdosa ini!"

Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. "Hemmm, pernahkah aku mengajarmu bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan sikap terbaik adalah menyadari kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku mempunyai tugas untukmu, jika engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?"

"Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas beritahukan kepada saya."

"Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini menyusul kami. Juga kau selidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami tunangkan dan keduanya harus menyusul kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus mencari Wan Keng In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa ibunya telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!"

Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biar pun amat sukar menundukkan Wan Keng In, apa lagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan pertunangan antara Gak Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemudian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang terapung di lautan.

Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu, alisnya berkerut. Pendekar Super Sakti ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi memberitahukan tentang pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa keponakannya itu menaruh hati cinta kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat kenyataan hidup dan menghadapinya dengan penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga diri, apa lagi dengan Li-mo-kiam di tangannya.

"Taihiap engkau sungguh kejam...!"

Mendengar suara Phoa Ciok Lin ini, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya. Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan sekarang memandang kepadanya dengan muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan terharu dia memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.

"Taihiap, apakah engkau tidak tahu... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti... seperti... aku mencintamu pula? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-sia, bahwa aku bertepuk sebelah tangan... dan demi cintaku... aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul dengan kedua orang wanita yang kau cinta. Aku... aku... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah dia bersikap seperti aku? Taihiap... kasihan dia... entah apa yang akan terjadi dengan dia... tapi... aku percaya kepadamu Taihiap, selamat tinggal...!"

Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir. Agaknya kekhawatiran dalam hatinya mengenai nasib Kwi Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia menghembuskan napas terakhir dengan senyum di bibirnya!

Suma Han menarik napas panjang, berbisik, "Ciok Lin, aku pun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta seperti yang kau maksudkan itu..."

Kemudian, dengan dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh salju.

Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke selatan, mereka melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpal-gumpal amat menakutkan. Nirahai yang belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu menjadi ngeri dan memegang tangan suaminya.

"Ihhh! Apakah di sana itu?"

Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini, "Badai. Di selatan ada badai yang mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di sini mendapat pengampunan, ternyata tidak diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan badai!"

"Untung bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara," Suma Han berkata.

Dia menggandeng tangan ketua orang wanita itu, dan dengan penuh kasih sayang mereka bertiga berjalan bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah belasan tahun ketiga orang sakti ini merana oleh cinta yang putus di antara mereka. Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak melepaskan rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di antara mereka sekenyang dan sepuas mungkin.....

********************
Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan bibirnya sering kali tersenyum menandakan keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Betapa hatinya tidak akan merasa bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya sebagai calon mantu! Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya! Calon isterinya!

Tersenyum dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu kalau dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih dari pada segala yang menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan pertemuannya dengan Milana yang terakhir kalinya, di mana dara itu dengan jelas membayangkan bahwa Milana pun membalas cinta kasihnya!

Tadinya kebahagiaan karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah kedua orang tua itu menyatakan setuju, biar pun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang didengarnya, menjadi lebih indah menyenangkan.

Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah keluar dari hutan besar yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini?

Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kakinya terasa lunak, biasanya tampak buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti diatur saja. Dan seolah-olah sengaja disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua kakinya. Dan baunya! Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau daun-daun busuk itu, akan tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang!

Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama orang memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akan baik buruknya yang dipandang atau didengar itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan antara suka dan duka, puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya dari pada sukanya, lebih banyak kecewanya dari pada puasnya.

Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan, dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan kehilangan yang kita senangi dan terbebas dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau demikian halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini di mana terdapat penuh pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir mau pun batin!


Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa berkat gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin, berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu. Sejenak dia berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.

Tiba-tiba pandang matanya tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan, di lereng pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena seperti terhuyung-huyung. Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari cepat menuju ke arah orang yang terhuyung-huyung itu.

Orang itu roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya. Bun Beng cepat berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat memenuhi tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali, napasnya empas-empis.

"Kau kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?" Bun Beng bertanya.

Orang itu membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak, "Semua tewas... aughh... mereka dari Pulau Neraka... celaka sekali... cucu Sri Baginda mereka bawa..."

"Apa?! Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?"

"Cucu Sri Baginda... puteri Panglima Nirahai... diculik pemuda Pulau Neraka dan..." Kepala itu terkulai.

"Ke mana, Paman? Dibawa ke mana dia?" Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang telah lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab?

Bun Beng menghela napas panjang, dan pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang ini, betapa pun juga, orang ini telah berjasa kepadanya, menceritakan sesuatu tentang Milana, sungguh pun ceritanya amat tidak menyenangkan. Maka dia segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu. Semua ini dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota raja untuk mencari berita.

Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah seorang pemuda tampan bersama seorang kakek yang seperti mayat.

"Hmmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?" Pikir Bun Beng dengan hati panas dan kemarahan berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya ganas.

Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun Beng segera meninggalkan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri sudah mengerahkan para pengawal yang berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk mengembalikan dara yang diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya dianggap seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya.

Setelah memutar otaknya, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau Neraka itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda iblis itu berkeliaran di utara, di sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong kekasihnya.

"Aihhh! Mengapa aku begini lemah?" Dia mencela diri sendiri. "Terlambat atau tidak, bagaimana nanti keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai dapat!"

Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia melakukan perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan, bertanya-tanya di sepanjang jalan. Dia menganggap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.

Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya kecurigaan, maka dia bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia selalu memakai sebuah caping bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia sembunyikan di balik jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut nama-nama.

Biar pun agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, kecuali beberapa orang yang menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang melihat serombongan orang-orang gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang membawa pergi kekasihnya. Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara!

Akhirnya pada suatu pagi, dia tiba di tempat bekas pertempuran dan melihat banyak mayat manusia berserakan dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Ada rasa girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah terjadinya perang dan di sini pula agaknya orang yang bercerita tentang Milana itu terluka. Tentu dia seorang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar para penculik!

Ada rasa ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang agaknya dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga ada anak buah Pulau Neraka, karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata tajam, sedangkan kalau Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apa lagi menggunakan Lam-mo-kiam yang dirampas pemuda Pulau Neraka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup lebih lama lagi.

Ada pula rasa yang makin menghebat, yaitu rasa khawatir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang menculik Milana, dia merasa khawatir sekali. Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana akan mampu menjaga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi dan sukar ditandingi orang. Tapi terhadap Wan Keng In, agaknya kekasihnya itu tidak akan berdaya mempertahankan keselamatannya!

Dengan hati tak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke utara. Setelah matahari condong ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tempat dia turun sudah tampak sebuah telaga kecil yang airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu. Maka ke sanalah dia menuju.

Ketika tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga terdapat serombongan orang terdiri dari dua belas orang dan di antaranya ada yang membawa bendera, berhadapan dengan seorang lelaki muda dan agaknya mereka itu sedang bercekcok. Bun Beng merasa tertarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu urusannya dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap dekat dan diam-diam dia menonton sambil mendengarkan percekcokan mereka. Tanpa sengaja dia mendekati tumpukan batu gunung yang menyembunyikan sebagian air telaga dan mendengar suara air.

Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa jantungnya tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah sekali kalau dia melihat seorang wanita muda dan cantik sedang merendam tubuh yang mulus dan polos di dalam air telaga? Cepat dia membuang muka dan agak menjauhi tempat itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu mengintai ke arah laki-laki muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (pengawal barang) itu.

"Cuwi-piauwsu (para pengawal sekalian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!" Terdengar laki-laki muda itu membantah dengan suara keras. "Aku bukanlah seorang tukang pukul yang sembarangan memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa aku."

"Hemm, kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan kepada kami? Apakah sebabnya?" tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tegap dan bersikap angker.

"Sebabnya tak dapat kuceritakan kepada orang lain!" jawab orang muda itu.

Kakek yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam, suaranya terdengar tegas, "Orang muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera Tihu dari Kang-ciu dan kami yang mengawalnya bersama barang-barangnya adalah para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar Garuda), anak murid Bu-tong-pai. Lebih baik kau berterus terang agar kami mempertimbangkan."

Wajah orang muda itu kelihatan bimbang. Kemudian dengan suara terpaksa ia berkata, "Baiklah, biar Cu-wi mengetahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal itu. Isteriku sedang mandi di telaga seorang diri, lalu datang kongcu itu menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkannya saja dan memberi hajaran. Nah, bukankah hal itu sudah pantas kulakukan?"

Para piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja merasa tidak senang mendengar perbuatan kongcu itu, sungguh pun di dalam hati, semua pria itu tidak merasa heran akan perbuatan itu.

"Sampai sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya hingga mukanya bengkak-bengkak dan berdarah?" tanya piauwsu tertua.

Tentu saja dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan putera bangsawan yang dikawalnya. Rombongan mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri berjalan-jalan ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari dengan muka bengkak-bengkak berdarah, mengatakan bahwa dia dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.

"Ehh! Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu keparat yang kurang ajar itu?" Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.

"Memang kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap isterimu?"

"Kalau dia sudah melakukan sesuatu, tentu dia telah kubunuh! Isteriku, mandi seorang diri, dia datang menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan."

"Orang muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehingga bersikap galak! Semua perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan sembarangan main hakim sendiri mengandalkan kekuatanmu. Harus kami akui bahwa perbuatan Chi-kongcu tidak patut, sungguh pun kami masih meragukan mengapa dia sampai berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah apa yang telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang dikatakannya orang muda?"

"Aku tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan tertawa-tawa kepada isteriku yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah kepadanya."

"Jadi masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemmm, biarlah hal yang sudah terjadi tak perlu diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak seorang wanita yang mandi bercakap-cakap, akan tetapi engkau pun terlalu ringan tangan. Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka minta maaf kepadanya."

"Tidak sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!" Orang muda yang berdarah panas itu membantah.

Ketua piauwsu itu mengerutkan alisnya. "Orang muda, kami sudah mengambil jalan tengah dan banyak mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih berkeras kepala. Kami terpaksa mencampuri urusan ini karena kewajiban kami untuk mengawal Chi-kongcu! Apakah engkau tidak memandang muka kami dan hendak menentang kami?"

"Terserah! Aku tidak takut pada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan isteriku!" Pemuda itu bertolak pinggang dan siap untuk menghadapi lawan, sikapnya sangat gagah karena dia merasa gagah telah dapat mempertahankan kehormatan isterinya.

"Hemm, engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!" Kakek itu berkata dan sudah mengepal tinju.

Dari tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia tidak pandai ilmu silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apa lagi kakek itu, tentu saja memiliki kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun Beng melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para piauwsu sambil berkata halus, "Tahan dulu!"

Para piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh dan memandang heran kepada pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya di balik caping bundar yang lebar itu.

"Harap Cuwi-piauwsu suka menghabiskan perkara ini, karena mendengar penuturan saudara ini, yang bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!"

Mendengar ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan bertanya, "Siapakah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal Bu-tong-pai dan ada hubungan apa Sicu dengan saudara ini?"

"Namaku Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini. Aku hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndahkan oleh para anak muridnya kalau Cu-wi hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak bersalah ini."

Ucapan Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa pemuda bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah mereka merasa penasaran sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama sekali tidak mempunyai nama besar sehingga tidak sepatutnya kalau mereka mengalah dan menyudahi urusan dengan orang muda itu hanya melihat muka seorang pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.

"Orang muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk mengalah, sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang kawalan kami tanpa perhitungan apa-apa. Mengapa engkau sebagai seorang penengah yang bijaksana, tidak minta dia untuk mengalah dan minta maaf kepada yang dia pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?"

Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata, "Sepanjang pendengaranku tadi, jelas sudah bahwa yang bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai pengawalnya yang lebih mengerti tentang peraturan mintakan maaf untuknya kepada sahabat ini. Bagaimana mungkin Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?"

Pemimpin piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. "Gak-sicu, agaknya engkau terlalu mengandalkan kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang dan sama sekali tidak memandang muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung jawab terhadap kawalannya, sebagai anak murid Bu-tong-pai yang siap memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf. Kami yakin Sicu mengerti akan hal ini dan mau melepas tangan terhadap urusan kecil ini."

Bun Beng menggeleng kepalanya. "Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang mengandalkan kepandaian atau sahabat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang hendak mengukuhi kebaikan sendiri. Harusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana, menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada sahabat ini atas kekurang ajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tindakan Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa."

"Manusia sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita putuskan urusan ini dengan kepandaian!"

"Oho! Cu-wi malah menantang? Silakan! Sahabat, mundurlah, kau bukan tandingan orang-orang gagah ini, biar aku mewakilimu!"

"Bocah sombong, sambutlah ini!" Seorang di antara para piauwsu, yang bertubuh tinggi kurus, sudah menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah dada Bun Beng.

Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih memiliki tenaga kasar dari pada ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak mau menangkis atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa dia sedang dipukul.

"Bukkkk!"

"Aduhhh!" Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang membengkak seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat keras.

Bun Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah memukulnya tadi, melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang bersikap penuh wibawa itu.

"Hemmm, kiranya engkau mempunyai kepandaian juga, orang muda. Pantas bersikap sombong!" Kakek itu melangkah maju. "Biarlah aku memberanikan diri berkenalan dengan tubuhmu yang kebal."

"Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu Twa-suheng sendiri yang maju!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka yang usianya hampir lima puluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat.

Melihat adik seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata, "Boleh engkau mencobanya, Sute. Akan tetapi berhati-hatilah, orang muda she Gak ini agaknya lihai sehingga dia berani bersikap keras kepala dan sombong."

"Cu-wi yang keterlaluan, bukan aku yang keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang enggan mengalah biar pun pihak Cu-wi bersalah." Bun Beng membantah, memandang Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi, maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.

"Orang muda, sambutlah seranganku!" Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke depan.

Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu cepat bukan main, membuktikan bahwa dia memiliki ginkang yang sudah tinggi tingkatnya, dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga kasar seperti penyerang pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada kanan dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!

Namun dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga lawan, maka dia tidak khawatir akan totokan-totokan itu, hanya menutup jalan darahnya di pundak, kemudian dengan tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya sedangkan totokan ke arah pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuknya tepat sekali menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan kiri Si Kurus Pucat itu.

"Cusss! Desss!"

"Aihhh!"

Si Muka Pucat itu berseru kaget, cepat melompat ke belakang, namun dia terhuyung dan lengan kanannya menjadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok pundak tadi pun merasa nyeri bukan main. Dia meringis dan menggunakan tangan kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak tangannya, pada jalan darah yang berpusat di antara ibu jari dan telunjuknya, tertotok oleh telunjuk tangan kiri Bun Beng.

"Minggir semua!" Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat teman-temannya maju, agaknya hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa pemuda bertopi bundar lebar itu dalam segebrakan saja sudah dapat mengalahkan sute-nya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah. Mengertilah dia bahwa pemuda itu ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.

"Orang muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili Bu-tong-pai untuk mencoba kelihaianmu!" Kakek itu menggerakkan tangan kanannya dan....

“Singgggg!” terdengar suara nyaring ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu tergetar di tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berkilauan.

"Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu jikalau engkau mempergunakan nama Bu-tong-pai. Perselisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai, melainkan sebagai orang-orang saling bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran masing-masing."

"Terserah kepadamu, akan tetapi keluarkanlah senjatamu. Aku ingin menyaksikan sampai di mana kelihaianmu!" Kakek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya amat menantang. Agaknya kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik seperguruannya telah dikalahkan sedemikian mudahnya oleh pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw itu.

Bun Beng tersenyum dan masih bersikap tenang. "Lo-enghiong, bentrokan di antara kita hanyalah kesalah pahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian) merasa terlalu besar untuk mengalah, sama sekali bukan berarti bahwa di antara kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan untuk mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa sekarang Lo-enghiong mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah Lo-enghiong berniat untuk membunuh aku hanya karena perselisihan kecil ini?"

"Orang muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak tahu bahwa dalam sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau kematian merupakan hal yang wajar? Sudahlah, tidak perlu kita berkepanjangan dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan hadapi pedangku. Kalau aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah dalam urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi."

Bun Beng menarik napas panjang. Memang bentrokan ini tak dapat dihindarkan lagi pikirnya. Kakek pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia merasa serba salah. Kalau dia teringat akan Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok dengan anak muridnya. Apa lagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri ketua itu, yang pernah hendak dijodohkan dengan dia! Betapa pun juga, tidak mungkin dia membiarkan saja para piauwsu ini menekan kepada orang muda yang isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tidak mungkin pula kalau dia sampai harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.

"Lo-enghiong, engkau yang menghendaki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau engkau berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan mengandalkan kaki dan tangan."

Ucapan yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengeluarkan pedang, dan pemuda itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti pemuda ini terlalu memandang rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia membentak, "Pemuda sombong! Kalau begitu, rasakanlah kelihaian Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!"

"Singgg... wirrr... siuuuttt!"

Sinar pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali membabat. Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang sedikit saja namun sudah dapat menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu, kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan penasaran. Pedangnya diputar cepat sekali sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi gulungan sinar putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak. Gulungan sinar ini menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda itu yang tentu saja dapat melihat dengan jelas gerakan pedang ini, dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang menggunakan tangannya menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu menyeleweng. Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan penyerangan sampai dua puluh jurus!

"Belum cukupkah, Lo-enghiong?" Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau secara ini kakek itu belum mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh pemuda yang diserangnya, benar-benar benar kakek itu keterlaluan sekali. Demikian pikir Bun Beng.

Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah tahu. Dia kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang berani menghadapinya dengan tangan kosong, membuat semua serangan pedangnya tidak ada artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan semua serangan selama dua puluh jurus tanpa membalas sedikit pun juga, padahal dia melihat sendiri betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat.

Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Namun bagaimana mungkin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, maka gerakan pedangnya yang mainkan Ilmu Pedang Bu-tong-pai itu membuat dia seolah-olah bertanding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.

"Cukup! Berhentilah!" Bun Beng membentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian sebelum kakek itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya dengan sambaran tangan kanannya, dengan terbuka dan miring dipukulkan ke arah pedang dari samping.

"Trakkk!"

Dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya tergetar, gagang pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri telah patah menjadi dua potong! Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi memandang pedang buntung di tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas panjang. Tahulah dia bahwa biar pun andai kata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua saudaranya, mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah ini.

"Sudahlah. Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!" Dia menjura, kemudian melempar pedang buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat kepada semua saudaranya yang juga tidak berani membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan perjalanan dengan wajah murung, apa lagi kongcu bangsawan yang kena dihajar oleh suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus penghinaan dan malu yang dideritanya!

"Terima kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sama menghaturkan terima kasih atas pertolongan Taihiap!" Orang muda itu cepat lari ke tepi telaga untuk menjemput isterinya yang tadi masih bersembunyi, tak berani naik karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya.

Bun Beng mengerutkan alis. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi orang itu pergi menjemput isterinya, dia pun menggerakkan kakinya meninggalkan tempat itu.

Pekik melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng. Dia membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir telaga, meloncat turun dan memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik yang tadi dilihatnya merendam tubuhnya di dalam air telaga, sekarang telah menggeletak tanpa nyawa dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.

Suami itu menoleh dan dengan suara terisak berkata, "Dia... dia telah diperkosa... dan dibunuh...!"

Bun Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran. Siapa lagi yang melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara rombongan piauwsu tadi! Bahkan mungkin sekali kongcu yang melampiaskan dendamnya dengan memperkosa dan membunuh Si Isteri selagi suami wanita itu ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh biadab itu, pikirnya.

Karena Bun Beng mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil menyusul rombongan itu. "Berhenti...!" serunya dengan suara nyaring.

Kakek pemimpin rombongan dan saudara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba pemuda bercaping bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera mengangkat tangan menyuruh rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda itu mengejar mereka. Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang perampok tunggal yang hendak merampok barang kawalan dalam kereta. Dia sudah meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu dengan pandang mata tajam.

"Gak-sicu mengejar kami ada kehendak apakah?"

Bun Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya bergerak memandang ke sekelilingnya, meneliti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa para piauwsu itu tidak ada yang berkesempatan melakukan pembunuhan, karena dia melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika terjadi perselisihan. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berpakaian mewah menjenguk keluar dari dalam kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera mengenjot tubuhnya, meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda berpakaian mewah itu dan menariknya turun dari kereta!

"Ouhhh... ehhh... ada apa ini...? Para piauwsu, tolong...!" Pemuda bangsawan itu ketakutan dan berteriak-teriak.

"Gak-sicu, harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?"

"Semua mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku ingin bertanya kepada kongcu ini!" Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena marah.

Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang tadinya hendak mengeroyok untuk menolong kongcu putera bangsawan yang mereka kawal. Kini mereka memandang kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan apa lagi dengan kongcu itu?

Bun Beng menggunakan kekuatan tangannya mengguncang tubuh kongcu itu, lalu dia mencengkeram pundaknya dan membentak, "Hayo engkau mengaku, apa yang telah kau lakukan di tepi telaga tadi ketika terjadi pertandingan!"

"Aku... aku... tidak melakukan apa-apa."

"Jangan bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!" Bun Beng membentak, makin marah. "Engkau berada di mana ketika terjadi pertandingan!"

"Aku... aku berada di dalam kereta... augghh, lepaskan aku...!"

"Gak Bun Beng! Engkau sungguh keterlaluan!" Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu membentak dan melompat dekat, tangannya sudah memegang sebatang pedang yang dipinjamnya dari seorang sute-nya. "Kalau engkau tidak segera melepaskan Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!"

Bun Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu. Betapa pun mencurigakan keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya begitu saja.

"Aku menuduh dia ini sudah memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang diganggunya tadi."

"Apa...?" Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.

"Untuk membikin terang perkara penasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini suka kembali ke telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang bersalah harus dihukum!" Bun Beng mengerling kepada Chi-kongcu.

Akan tetapi kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran, "Aku memang sudah lancang menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk itu suaminya sudah memukulku. Sekarang, aku tidak tahu menahu tentang perkosaan dan pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki, aku tidak takut karena aku tidak berdosa!"

Sikap dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan tetapi dia lega melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya. Beramai-ramai mereka kembali ke tepi telaga.

"Heiiii!"

"Ihhhh!"

Seruan-seruan kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati pemuda ini melihat dua tubuh yang menggeletak tanpa nyawa di tepi telaga itu. Tubuh wanita muda yang masih telanjang bulat, dan tubuh suaminya yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!

"Gak-sicu, apa maksudmu membawa kami ke sini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa orang muda ini juga dibunuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?" Pemimpin piauwsu itu bertanya dengan suara lantang dan bernada tajam.

Bun Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. "Aku tidak mengerti... tadi dia masih hidup menangisi isterinya..."

"Apakah engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?"

Kembali Bun Beng menggeleng kepalanya. "Agaknya bukan dia... sungguh aneh..., aneh sekali..."

"Sama sekali tidak aneh!"

Suara kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan memandang penuh pertanyaan. "Apa maksudmu, Lo-enghiong?"

"Menurut dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang yang lihai sekali tangannya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat, wanita itu dicekik, dan laki-laki itu tidak terluka, akan tetapi di pelipis kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan oleh Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka ini dibunuh oleh seorang yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!" Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang jelas, apa lagi ketika semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!

"Apa? Kalian... kalian gila kalau menuduh aku!"

Chi-kongcu yang berjalan mendekat segera berkata, "Ada saatnya menuduh dan ada saatnya dituduh! Kalau kita berdua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih berat, Gak-sicu!"

Bun Beng mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku mengejar dan menyusul kalian dan kuajak ke sini?"

"Gak-sicu, kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan tetapi andai kata engkau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke sini pun tidak aneh. Mungkin sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal ini untuk menarik kami sebagai saksi akan kebersihannya!"

"Apa? Dan kalian tentu bersedia menjadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang ini!"

Kakek itu menggeleng kepala. "Tak mungkin kami menjadi saksi yang sembrono seperti itu, Sicu. Engkau seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami, memiliki ilmu silat tangan kosong yang mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bagaimana kami berani menanggung bahwa bukan engkau pembunuhnya? Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa kami menuduhmu, untuk itu pun masih belum ada bukti dan saksinya."

Bukan main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha mencari sampai dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat dia malah menjadi tertuduh, bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga pembunuh suaminya!

"Pergi! Pergi kalian!" Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya membuat dia kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu.

Para piauwsu segera meninggalkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur suami isteri yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir, siapa gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa membunuh mereka secara demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia? Siapakah pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk merusak namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pembunuh?

Dengan hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah selesai mengubur jenazah suami isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni dusun-dusun di sekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari keterangan dari mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang ditanyakan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk dusun itu.

"Di sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu tanyakan itu adalah suami isteri pelancong pula." Demikian jawaban yang ia dapatkan.

Menjelang malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di sebelah timur telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang sederhana, melainkan lebih pantas rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk tempat peristirahatan, terbuat dari kayu dan atapnya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil itu sunyi, bahkan kelihatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk menyelidiki pondok itu dan kalau memang kosong, akan melewatkan malam itu di dalam pondok.

Akan tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam pondok. Bukan pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini amat mencurigakan dan siapa tahu pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok ini.

Setelah malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah bayangan pohon-pohon, mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak melihat atau mendengar sesuatu, Bun Beng meloncat ke atas genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor burung. Tanpa mengeluarkan suara dia melangkah di atas genteng, kemudian menemukan sebuah lubang di antara genteng dan mengintai ke bawah.

Apa yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang kakek berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik berpakaian mewah dan indah seperti kebiasaan dara-dara bangsawan atau dara hartawan di kota besar! Keduanya merupakan orang-orang yang sukar dituduh melakukan perkosaan dan pembunuhan!

Akan tetapi, siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula kakek-kakek yang suka memperkosa wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa tahu kakek itu seorang penjahat besar yang berpakaian sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok bersama seorang dara cantik, berdua saja!

"Kim Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini? Bukankah kau lebih senang di kota raja! Tempat ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di sini."

"Mengapa Kongkong meninggalkan kami dan tinggal di tempat sepi ini? Sejak kecil Kong-kong mendidikku dengan ilmu silat dan ilmu sastra, setelah Kongkong (Kakek) pergi, tidak ada lagi yang mengajarku. Maka aku minta ijin Ayah dan Ibu untuk tinggal bersama Kakek di sini selama satu bulan."

Kakek itu mengelus jenggotnya yang putih dan panjang. Dia berusia enam puluh lebih, berwajah terang dan ramah, gerak-geriknya halus. "Aneh sekali kau, Kim Bwee. Semua gadis seperti engkau tentu lebih suka tinggal di kota. Pula, semua sudah kuajarkan kepadamu, apa lagi dapat kuajarkan sekarang?"

"Sajak-sajak itu, Kongkong! Sajak buatan Kongkong membuat aku rindu kepadamu. Aku ingin selama sebulan ini Kongkong membuatkan sajak-sajak untukku!"

"Hemm, engkau sendiri pandai membuat sajak yang jauh lebih indah dari pada buatanku. Engkau tentu tahu bahwa sajak dibuat orang menurut getaran perasaan masing-masing, tentu saja untuk menuangkan perasaan itu ke dalam huruf-huruf harus ada kepandaian menguasai seni mengatur kata-kata itu, barulah akan tercipta sajak yang indah. Perasaanmu sebagai wanita jauh lebih halus dari pada aku, karenanya engkau lebih pandai membuat sajak yang menyentuh rasa."

"Ahh, Kongkong terlalu memuji! Aku senang sekali membaca sajak-sajak Kongkong yang selalu mengandung kekuatan yang dahsyat dalam menuangkan sesuatu, seolah-olah gerakan pedang tajam yang mengupas segala sesuatu sehingga tidak hanya tampak kulitnya saja melainkan tampak isinya yang paling dalam!"

"Itu adalah hasil dari pandangan seseorang akan sesuatu yang dilihatnya..."

"Pandangan Kongkong itulah yang hebat, seolah-olah Kongkong dapat melihat sampai tembus segala sesuatu. Bagaimanakah caranya agar dapat memiliki pandangan seperti itu, Kongkong?"

"Hanya dengan membebaskan pandangan itu sendiri, cucuku yang baik. Biasanya, kita memandang sesuatu, baik itu benda mati mau pun hidup, binatang mau pun manusia, dengan pandangan yang tidak bebas sama sekali. Kita memandang sesuatu biasanya melalui tabir yang berupa prasangka, penilaian, kesimpulan sehingga pandangan kita menjadi suram, bahkan menjadi palsu karena yang kita pandang bukanlah apa yang ada melainkan tafsiran-tafsiran dari apa yang ada itu. Pandangan kita menjadi dangkal, jangankan menangkap isinya, bahkan menangkap kulitnya saja pun masih belum lengkap."

Dengan gerakan lucu dara itu membelalakkan matanya dan berkata manja, "Aiiihhh! Aku menjadi bingung, Kongkong! Coba jelaskan lagi, aku tadi tidak mengerti apa yang Kongkong maksudkan. Apakah cara memandang saja pun ada ilmunya?"

Kakek itu tertawa. "Bukan ilmu, katakanlah seni! Seni memandang memang ada, dan juga seni mendengar. Hidup kita ini seluruhnya dipengaruhi oleh keduanya itu, maka sudah sepatutnya kalau kita mengenal akan seni memandang dan seni mendengar ini, yang tak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya."

"Wah, terdengar aneh dan lucu, Kongkong. Masa untuk memandang dan mendengar saja harus ada seninya? Setiap orang bisa memandang atau mendengar, asalkan dia tidak buta dan tidak tuli."

"Ha-ha-ha, benarkah demikian? Kurasa tidak begitu, cucuku. Di dunia itu lebih banyak orang buta dan tuli, sungguh pun mata dan telinganya tidak rusak. Bahkan sebenarnya sudah tidak ada lagi yang disebut memandang atau mendengar sesuatu seperti apa adanya. Yang kita pandang dan dengar adalah bayangan pikiran kita, dan bayangan pikiran kita itu tentu saja sama sekali bukan hal yang sebenarnya, bukan apa adanya."

"Aku masih bingung, Kongkong. Coba beri contoh."

"Biasanya kita mendengarkan dengan pikiran penuh berisi tanggapan, prasangka, penilaian dan kesimpulan. Kalau engkau membaca sesuatu atau mendengarkan aku sekarang ini dengan pikiran penuh tafsiran, prasangka, penilaian atau kesimpulan akan benar tidaknya, baik buruknya, maka engkau tidak dapat mendengarkan dengan sesungguhnya dan akan kehilangan intisarinya. Yang menjadi bagianmu hanyalah pertentangan antara tanggapan-tanggapanmu, penilaian serta prasangkamu sendiri. Demikian pula jika engkau memandang sesuatu. Jika engkau memandang seseorang dengan pikiran berisi kenangan akan orang itu di masa lalu, maka pandanganmu akan terisi penuh dengan prasangka, penilaian dan lain-lain itu sehingga bukan orang itu yang kau pandang, melainkan bayangan melalui kenanganmu! Dengan demikian, timbullah rasa suka, rasa benci, rasa khawatir dan lain-lain! Karena itu kita harus tahu akan seni memandang dan mendengar ini."

"Tetapi, Kong-kong. Bagaimana mungkin mendengar sesuatu tanpa memikirkannya, tanpa menilai dan menarik kesimpulan akan baik buruknya, merdu tidaknya apa yang kita dengar itu?"

"Nah, itulah salahnya dengan pendengaran kita! Kita menginginkan sesuatu dari apa yang baik ingin kita dengar, yang baik ingin kita dengar terus, yang buruk ingin kita jauhi, maka terjadilah pertentangan dan persoalan! Kita mendengar suara orang bicara ribut-ribut, merasa bising dan pening. Mengapa? Karena kita tidak mau mendengarnya, tidak suka mendengarnya, menganggap mengganggu dan sebagainya. Coba saja kita dengarkan tanpa penilaian, mendengar tanpa aku yang mendengar, mendengar apa adanya, takkan timbul gangguan. Demikian pula dengan seni memandang. Kita memandang penuh perhatian, namun tanpa tanggapan, tanpa keinginan, dengan pikiran bebas dan kosong dari kenangan, maka tidak akan ada istilah pandangan menyenangkan atau tidak, dan pandangan kita akan dapat melihat dengan jelas akan sesuatu seperti apa adanya! Mengertikah engkau?"

Dengan gerakan lucu, gadis itu menggaruk-garuk kepalanya di belakang telinga kanan. "Dikatakan mengerti, rasanya begitu sukar diterima. Dibilang tidak mengerti, aku dapat merasakan kebenarannya, Kongkong. Dan... heiii!" Gadis itu terkejut dan terbelalak karena tiba-tiba kakek itu melontarkan pit (pena bulu) yang tadi dipegangnya itu ke atas.

Benda yang biasanya dipergunakan sebagai alat tulis itu melesat ke atas, kini berubah menjadi senjata rahasia yang amat hebat, menembus atap dan menyambar ke arah dada Bun Beng! Pemuda ini tadi mendengarkan dengan penuh perhatian. Dia tertarik sekali hingga lupa keadaan dan lupa diri, lupa bahwa dia mengintai dan mendengarkan percakapan orang lain! Maka begitu dia diserang sambaran pit yang cepat, dia terkejut bukan main, tangannya menyambar cepat dan pit dapat ditangkapnya! Terkejut juga dia merasakan betapa benda itu menggetar di tangannya, tanda bahwa pelemparnya memiliki sinkang yang kuat sehingga pit yang sudah menembus atap itu masih mengandung tenaga yang kuat!

"Locianpwe (Orang Tua Gagah) yang berada di bawah harap sudi memaafkan saya atas kelancangan saya..." Bun Beng cepat berkata nyaring karena tidak ingin diserang lagi. Dia sudah merasa bersalah dan kini dia tidak meragukan lagi akan kebersihan kakek itu. Orang yang bicara seperti itu tak mungkin menjadi seorang penjahat keji! Maka tanpa ragu-ragu dia minta maaf.

"Sahabat yang berada di atas harap turun untuk memberi penjelasan!" Suara kakek itu masih bernada halus akan tetapi terdengar penuh wibawa.

Mendengar ini, Bun Beng merasa tidak enak untuk pergi begitu saja. Dia sudah merasa bersalah, maka tanpa menjawab dia lalu membuka genteng dan meloncat ke dalam ruangan itu dengan gerakan hati-hati.

Kakek itu dan cucunya memandang dengan kagum karena gerakan Bun Beng ketika meloncat turun itu sudah membuktikan bahwa kepandaian pemuda bercaping lebar itu amat tinggi. Bun Beng cepat membungkuk dan mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat kepada kakek itu, lalu kepada gadis cantik yang memandangnya dengan sepasang mata indah terbuka lebar.

"Saya Gak Bun Beng mengaku salah, harap Locianpwe sudi memaafkan saya," kata Bun Beng sambil memberi hormat.

Kakek itu tersenyum dan mengelus jenggotnya. "Menyadari akan kesalahan sendiri berarti menghapus kesalahan itu. Aku Lu Kiong bukanlah orang yang tidak dapat menghabiskan urusan kecil seperti ini. Akan tetapi kulihat engkau bukan penjahat, maka aku merasa penasaran sebelum mendengar penjelasanmu mengapa engkau yang muda dan sopan ini sampai mengintai di atas pondokku."

Maka dengan singkat berceritalah Bun Beng tentang seorang pemerkosa dan pembunuh yang berkeliaran di daerah telaga itu, betapa pembunuh itu telah melakukan pembunuhan kepada suami isteri pelancong dan bahwa dia berusaha mencari jejak pembunuh itu.

"Saya sudah mencari ke sekeliling telaga, tetapi tidak ada apa-apa di dalam dusun-dusun di sekitar sini. Ketika melihat pondok terpencil ini yang keadaannya berbeda dengan rumah-rumah penduduk, timbul kecurigaan saya dan melakukan penyelidikan, harap Locianpwe suka memberi maaf."

"Aaahh, kalau begitu persoalannya, engkau tak perlu minta maaf, Gak-sicu! Hilangkan kecurigaanmu terhadap kami. Aku bernama Lu Kiong, seorang pensiunan pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan ini adalah Lu Kim Bwee, cucuku."

Wajah Bun Beng menjadi merah sekali dan ia kembali menjura dengan hormat. "Maaf telah berlaku kurang ajar..."

"Tak perlu banyak sungkan, Sicu. Tindakanmu sudah benar dan Si Laknat itu harus ditangkap! Kurasa dia tidak akan pergi jauh dari daerah ini. Marilah aku membantumu mencarinya. Kim Bwee, kau menunggu di sini dan berjagalah karena ada penjahat berkeliaran."

Gadis itu mengangguk dan kakek itu kembali memandang kepada Bun Beng. "Mari kubantu mencari. Sebaiknya kita berpencar, engkau ke kiri dan aku ke kanan, kita sama-sama mengelilingi telaga dan kembali bertemu di pondokku ini."

"Baik, dan terima kasih atas bantuan Locianpwe. Harap Locianpwe suka menerima kembali ini..." Bun Beng menyerahkan pit yang tadi menyambarnya.

Kakek Lu Kiong menerimanya sambil tersenyum. "Mudah-mudahan saja penjahat itu tidak akan selihai engkau, Sicu, dan pit-ku akan merobohkannya."

Keduanya lalu keluar dari pondok. Mereka berpencar dan melakukan penyelidikan mengelilingi telaga. Akan tetapi malam itu sunyi dan tidak terjadi sesuatu di sekeliling telaga itu. Biar pun telaga itu tidak sangat luas, akan tetapi melakukan penyelidikan pada malam hari dengan mengelilinginya, membutuhkan waktu tidak kurang dari dua jam barulah Bun Beng tiba kembali di depan pondok kakek Lu tanpa hasil.

"Jahanam keparat...!"

Bun Beng kaget bukan main ketika mendengar bentakan nyaring dan halus ini, apa lagi ketika ada sinar pedang menyambar. Ketika dia cepat mengelak dan melirik, kiranya gadis cucu kakek Lu itulah yang menyerangnya dari kiri, menusukkan pedang ke arah dadanya, dan lebih kaget lagi dia ketika dari kanan menyambar angin pukulan dahsyat pula dibarengi bentakan suara kakek Lu. "Manusia iblis!"

Hanya dengan kecepatan gerakannya yang luar biasa saja Bun Beng baru dapat menghindarkan diri dari sambaran sepasang pit yang menotok jalan darahnya secara bertubi dari samping kanannya.

"Eh... eh... tahan dulu! Apakah artinya ini, Lu Locianpwe?" Bun Beng berseru kaget dan heran, dan mulai curiga lagi. Jangan-jangan kakek dan cucunya ini yang menjadi pembunuh! Siapa tahu, kakek itu seorang tokoh kaum sesat yang lihai, dan gadis yang dikatakan ‘cucunya’ itu adalah pembantunya!

"Mau bicara apa lagi? Keparat!" Gadis itu kembali menyerang dan kini dia mainkan pedang, membacok bertubi-tubi sambil terisak menangis!

"Nona... eh, tahan dulu...! Setidaknya... aku minta penjelasan lebih dulu...!"

"Penjelasan apa lagi? Manusia biadab...!" Pedang itu kembali menusuk dengan cepat sekali.

Namun untuk kesekian kalinya, dengan mudah Bun Beng mengelak sambil melompat jauh ke belakang, kemudian menghadapi Kakek Lu sambil berkata dengan suara penuh penasaran, "Locianpwe, apa artinya ini? Harap jelaskan, kalau memang aku bersalah aku tidak akan lari dari hukuman!"

Kakek itu berkata halus kepada cucunya, "Kim Bwee, tahan dulu senjatamu. Biar aku bicara dengan keparat ini!" Kemudian dia menghadapi Bun Beng sedangkan gadis itu menangis terisak-isak dengan suara penuh kedukaan.

"Gak Bun Beng, sungguh aku tidak mengira bahwa engkau adalah seorang penjahat muda yang curang dan licik. Engkau sengaja memancing aku keluar dari pondok untuk melakukan kekejian yang terkutuk, dan masih engkau berani berpura-pura tidak tahu apa-apa! Kiranya pemerkosa dan pembunuh yang kau sebut-sebut tadi bukan iain adalah engkau sendiri keparat!"

"Locianpwe...!"

"Sudahlah, tak perlu sandiwara pula. Sekarang engkau harus mengambil keputusan dan pilihan. Menikah dengan cucuku untuk membersihkan namanya atau mati di tangan kami!"

"Locianpwe! Aku... aku tidak merasa telah melakukan kesalahan..."

"Kong-kong, apa perlunya bicara dengan iblis macam dia? Kita bunuh saja dia, lalu aku akan membunuh diri...!"

"Tunggu dulu, Kim Bwee! Eh, Gak Bun Beng, apakah engkau hendak menyangkal pula bahwa engkau tadi telah sengaja memancing aku pergi, kemudian diam-diam kau datang ke pondok, secara curang menotok roboh cucuku, memadamkan lampu dan memperkosanya?"

"Apa...?" Mata Bun Beng terbelalak lebar, sedangkan mukanya pucat sekali. "Aku tidak melakukan hal itu, Locianpwe. Demi Tuhan...!"

"Bangsat!" Kim Bwee menjerit marah. "Apakah kau kira mataku buta? Sebelum lampu dipadamkan, aku masih melihat engkau!"

"Benarkah, Nona? Benarkah engkau melihat aku yang melakukan hal itu?"

"Aku melihat pakaianmu dan capingmu. Biar kau menyembunyikan muka, aku masih mengenal bentuk tubuh, pakaian dan capingmu!"

"Fitnah belaka! Aku tidak pernah melakukan perbuatan terkutuk itu. Harap Nona dan Locianpwe suka percaya kepadaku...!"

"Singgg...!" Pedang itu telah menyambar dan dari belakangnya, sepasang pit di tangan kakek itu pun menotoknya.

Bun Beng cepat meloncat ke atas, berjungkir-balik dan melesat keluar. Dia maklum bahwa percuma saja menyangkal fitnah itu, percuma saja meyakinkan kakek dan cucunya itu bahwa bukan dia yang melakukan perbuatan keji itu. Dia maklum pula bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi, dan kalau dia tidak cepat-cepat dapat menangkap penjahat yang melakukan semua perbuatan itu, dia akan terus dimusuhi.

"Aku bersumpah akan menangkap penjahat yang melakukan kejahatan terhadapmu dan fitnah terhadap diriku itu, Nona!" Setelah berkata demikian, Bun Beng berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Kakek dan cucunya berusaha mengejar, namun mereka tak dapat menandingi gerakan Bun Beng sehingga sebentar saja pemuda itu lenyap ditelan kegelapan malam. Gadis itu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis. Tiba-tiba pedangnya berkelebat ke arah lehernya sendiri.

"Tringgg...!" Pedang itu terlepas dari pegangannya ketika disambar oleh sepasang pit yang dilontarkan oleh kakek Lu Kiong.

"Kim Bwee! Jangan putus asa, dan jangan melakukan perbuatan pengecut itu! Kita telah mengetahui namanya, dan andai kata aku sendiri tidak mampu menangkapnya, aku mempunyai banyak teman-teman yang berilmu tinggi yang tentu akan suka membantuku mencari Gak Bun Beng dan menuntut dia mempertanggung jawabkan perbuatannya dengan menikah denganmu atau mati di tanganmu."

Gadis itu menangis dengan sedih. Betapa tidak hancur hatinya? Dia seorang dara yang menjunjung tinggi nama dan kehormatan, cucu dari bekas pengawal Kaisar yang terkenal. Kini dia telah dinodai orang, seorang muda yang tadinya amat menarik hatinya, dan pemuda itu ternyata seorang jai-hwa-cat, seorang penjahat yang kejam!

Bukan hanya Kim Bwee dan kakeknya yang berduka dan marah. Bun Beng yang melarikan diri itu pun marah sekali dan andai kata dia dapat berhadapan dengan penjahat yang telah memperkosa Kim Bwee, yang dia duga tentulah penjahat yang membunuh suami isteri di tepi telaga siang hari tadi pula, tentu dia akan menerjangnya dan takkan berhenti jika belum melihat penjahat itu dapat ditangkap atau dibunuhnya!

Akan tetapi, kemarahannya itu bercampur dengan keheranan dan juga kebingungan. Mengapa penjahat yang tentu amat lihai itu seperti sengaja melakukan kejahatan untuk menjatuhkan fitnah kepadanya? Agaknya penjahat itu sengaja hendak membikin buruk namanya dan kalau benar demikian, mengapa dan siapakah orang itu? Dia menjadi bingung, tak dapat menduga-duga siapa gerangan orang yang memusuhinya secara diam-diam itu. Sukar dia menduga siapa musuh rahasia itu dan dia pun tidak tahu bagaimana harus mencarinya dan ke mana karena penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan jejak.

Betapa pun juga, dia tidak putus harapan. Setelah dua kali melakukan perbuatan terkutuk yang agaknya disengaja untuk merusak namanya, tentu penjahat itu takkan berhenti di situ saja. Dia mengharap penjahat itu akan turun tangan lagi untuk menjatuhkan fitnah, atau bahkan untuk menyerangnya secara langsung agar dia berhadapan muka dengan musuh rahasia itu. Karena tidak tahu harus mencari ke mana, Bun Beng melanjutkan perjalanannya ke utara dalam usahanya mencari kekasihnya yang dia duga tentu diculik oleh Wan Keng In, pemuda iblis dari Pulau Neraka itu.

Dalam perjalanannya ini, Bun Beng bersikap hati-hati sekali karena dia menduga bahwa tentu musuh rahasianya itu diam-diam membayanginya. Beberapa kali dia mempergunakan kepandaian untuk tiba-tiba membalik dan lari ke belakang, bahkan beberapa kali kalau dia bermalam di losmen, diam-diam dia lolos dari kamarnya untuk mengintai keluar. Namun tak pernah dia melihat bayangan orang sehingga diam-diam dia merasa khawatir. Apakah musuh rahasia itu tidak pernah membayanginya, ataukah kepandaian musuh itu amat luar biasa? Atau.....

********************
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar