Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 21-25

Kho Ping Hoo, Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 21-25 Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan sulingnya dengan gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh tubuhnya,
Anonim
Kam Hong maklum bahwa dia tidak boleh main-main, maka dia pun lalu menggerakkan sulingnya dengan gerakan panjang dari kanan ke kiri lalu memutar seluruh tubuhnya, dan mulailah dia mainkan Kim-siauw Kiam-sut seperti yang dipelajarinya selama hampir lima tahun ini! Begitu Kam Hong bergerak dan tubuhnya pun lenyap dibungkus sinar keemasan yang lebih gemilang lagi, Han Bu tak dapat menahan seruan kagetnya. Apalagi ketika mereka berdua sudah saling menyerang dengan hebatnya, keheranan Han Bu makin meningkat. Ternyata pemuda lawannya itu mampu memainkan ilmu silat keturunan keluarganya dengan demikian hebat dan lengkap, dengan perkembangan-perkembangan aneh yang belum pernah dilihat atau didengarnya!

Sementara itu, para penonton, yaitu tiga orang gadis yang tingkat kepandaiannya belum setinggi Cu Han Bu dan dua orang adiknya, segera menjadi agak pening dan tidak dapat mengikuti jalannya perkelahian itu dengan pandang mata mereka. Mereka melihat betapa dua orang itu bergerak terlalu aneh dan terlalu cepat sehingga tubuh mereka terbungkus dua sinar yang sama-sama keemasan dan gilang-gemilang, sedangkan suara mendengung-dengung dari sabuk emas di tangan Han Bu itu kini ditambah lagi dengan suara suling melengking-lengking aneh sehingga terdengar luar biasa sekali. Suling di tangan Kam Hong itu seolah-olah tidak sedang digerakkan seperti sebatang senjata melainkan sedang ditiup dengan lagu yang aneh melengking-lengking, kadang-kadang tinggi serta kadang-kadang rendah dan mendatangkan kepeningan pada yang mendengarnya.

Memang hebat luar biasa perkelahian antara dua orang pendekar sakti itu. Bagi Kam Hong, semenjak ia meninggalkan gurunya dan pewaris ilmu-ilmu keluarga Suling Emas, yaitu Sin-siauw Sengjin, Cu Han Bu ini merupakan lawan yang paling lihai sesudah Yeti! Dan sebaliknya bagi pihak tuan rumah, Kam Hong merupakan lawan paling lihai yang pernah dijumpainya!

Setiap serangan mereka disertai sinkang yang amat kuat, dan setiap jurus serangan dibalas dengan jurus serangan lain. Dasar-dasar gerakan ilmu silat mereka sama, dan biar pun yang seorang menggunakan senjata sabuk emas dan yang lain menggunakan suling emas, namun mereka menggunakan senjata-senjata itu seperti orang memegang sebatang pedang dan ilmu silat yang mereka mainkan juga ilmu silat pedang! Akan tetapi perkembangan gerakan itu yang berbeda sehingga diam-diam Cu Han Bu harus mengakui bahwa ilmu silat lawan ini benar-benar luar biasa, merupakan ilmu silat pusaka keluarganya akan tetapi lebih ampuh dan lengkap. Juga dalam hal sinkang, dia merasa tidak mampu menandingi kekuatan pemuda sastrawan ini.`

Akan tetapi, keluarga Cu ini sudah terlampau lama, mungkin telah beberapa keturunan, merasa bahwa mereka adalah keluarga yang tidak dapat dikalahkan, yang memiliki kepandaian tinggi turun-temurun, maka mereka tidak biasa dengan kekalahan. Hal itu membuat mereka dalam mengasingkan diri selalu memandang rendah orang lain meski diam-diam keluarga ini amat memperhatikan dan mempelajari orang-orang kang-ouw yang terkenal, bukan hanya mengenal bentuk-bentuk mereka, julukan dan keistimewaan mereka, akan tetapi juga mempelajari keistimewaan mereka itu dan tiga orang saudara itu selalu mencari kelemahan mereka.

Akan tetapi mereka belum pernah mendengar tentang Kam Hong ini dan begitu pemuda yang tidak terkenal di dunia kang-ouw ini maju, mereka harus kalah! Tentu saja Cu Han Bu tidak dapat menelan ini, dan dengan penasaran memuncak dia pun melakukan perlawanan mati-matian dalam pertandingan itu.

Setelah lewat hampir dua ratus jurus, tahulah Kam Hong bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, akhirnya tentu salah seorang di antara mereka akan roboh dengan terluka parah, kalau tidak tewas. Dan dia tidak ingin sampai menewaskan tuan rumah, apalagi karena memang tidak terdapat permusuhan apa pun di antara mereka.

Di dalam ilmu yang dipelajarinya dari catatan di tubuh jenazah itu, terdapat jurus yang dinamakan Tiang-khing-toan-san (Bianglala Memecahkan Bukit) dan jurus ini khusus untuk mematahkan senjata lawan yang bagaimana pun ampuhnya. Akan tetapi untuk ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga khikang yang dihimpunnya dari latihan meniup suling. Kalau tidak berhasil, berarti dia akan menghamburkan banyak sekali tenaga dalam. Akan tetapi melihat bahwa itu merupakan jalan satu-satunya untuk mengakhiri pertandingan ini tanpa merobohkan lawan, maka dia lalu mulai memainkan jurus ini.

Cu Han Bu terkejut sekali ketika tiba-tiba gulungan sinar emas dari lawan itu berubah memanjang dan melengkung, dan terdengarlah suara melengking tinggi sekali sampai hampir tidak tertangkap oleh telinga, namun yang mengandung getaran yang luar biasa, membuat jantungnya terasa perih dan kedua kakinya menggigil! Semua orang yang berada di situ agaknya terpengaruh juga, karena Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu cepat duduk bersila menghimpun tenaga untuk melawan getaran itu, sedangkan Cu Pek In, Yu Hwi, dan Ci Sian cepat-cepat menggunakan kedua telapak tangan untuk menutup telinganya rapat-rapat karena mereka merasa telinga mereka seperti ditusuk-tusuk!

Kam Hong maklum akan hal ini, maka begitu tenaganya sudah bulat terhimpun, dia meluncurkan sulingnya ke atas, seolah-olah hendak menyerang kepala lawan. Cu Han Bu cepat mengangkat sabuk emasnya untuk melindungi kepala dan pada saat itu, dengan gerakan melengkung seperti bianglala, suling emas di tangan Kam Hong datang melayang dan menghantam ke arah sabuk emas itu.

“Cringggg....! Trakkkk!!”

“Aiihhhh....!”

Cu Han Bu meloncat jauh ke belakang, berdiri dengan muka pucat memandang ke arah sabuk emasnya yang telah patah menjadi dua hingga yang tinggal di tangannya hanya sepotong pendek sedangkan patahannya berada di atas tanah, di bawah kaki lawan.

Cu Han Bu boleh jadi adalah seorang yang berhati keras dan tidak pernah mau kalah oleh orang lain, tetapi dia memiliki kegagahan dan tahu bahwa dalam pertandingan ini, betapa pun sukar dipercaya, dia telah kalah oleh Kam Hong! Mukanya yang pucat itu menjadi merah sekali dan dia lalu melempar sisa sabuk emas itu ke atas lantai dan dengan sikap terpaksa sekali dia menjura ke arah Kam Hong sambil berkata,

“Aku Cun Han Bu harus mengakui bahwa dalam hal ilmu silat, engkau lebih unggul dari pada aku, sobat Kam Hong, sungguh pun aku sama sekali tidak mengerti bagaimana engkau dapat mainkan ilmu pusaka keturunan keluarga kami. Akan tetapi biarlah hal itu nanti kita bicarakan. Dalam ilmu silat aku kalah, akan tetapi sesuai dengan nama Suling Emas yang dipakai oleh kedua pihak, biarlah sekarang kita memperlihatkan siapa di antara kita yang lebih tepat memakai nama itu dengan cara meniup suling. Engkau yang membawa-bawa pusaka suling emas dan keluargamu memakai julukan Suling Emas tentu pandai sekali meniup suling. Maukah engkau melayaniku mengadu ilmu meniup suling, sobat Kam?”

Karena tantangan ini pun mengenai nama keluarganya, maka tentu saja Kam Hong tidak menolak, apalagi karena memang dia ingin melihat sampai di mana kepandaian keluarga yang mengaku sebagai keluarga Suling Emas dan yang ternyata mampu pula memainkan ilmu yang mirip dengan Kim-siauw Kiam-sut itu.

“Baik, aku sebagai tamu hanya melayani kehendak tuan rumah.”

Cu Han Bu lalu minta suling emas yang dibawa oleh Pek In, kemudian mempersilakan Kam Hong duduk sedangkan dia sendiri lalu duduk bersila di atas lantai. Kam Hong melihat tuan rumah duduk bersila menghadapinya, hanya dalam jarak kurang lebih empat meter mereka duduk bersila saling berhadapan. Sejenak, kedua orang yang sama-sama memegang suling emas yang bentuknya serupa benar itu, hanya suling di tangan Kam Hong agak lebih besar, saling pandang dengan penuh perhatian. Cu Han Bu menggunakan ujung baju lengan kirinya untuk mengusap keringat di dahi dan lehernya. Pertandingan selama dua ratus jurus yang mempergunakan banyak tenaga itu tadi membuat dia merasa lelah sekali dan tubuhnya basah oleh keringat. Akan tetapi sebaliknya, Kam Hong hanya berkeringat sedikit saja.

“Saudara Kam Hong, aku kagum sekali padamu,” akhirnya Cu Han Bu berkata, ucapan yang sejujurnya sungguh pun kekagumannya itu bercampur dengan rasa penasaran. “Kalau ternyata engkau juga mampu mengalahkan aku dalam hal meniup suling, biarlah aku mengaku kalah. Engkau bersiaplah menerima permainan sulingku.” Cu Han Bu lalu menoleh kepada puterinya dan berkata kepadanya, “Pek In, bagikan pelindung telinga kepada Nona tamu dan Yu Hwi.”

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In dan dia mengeluarkan benda-benda kecil penyumbat telinga berwarna putih terbuat dari karet, lalu memberikan sepasang kepada Yu Hwi kemudian dia menghampiri Ci Sian dan diberinya pula sepasang kepada dara ini.

Akan tetapi Ci Sian tersenyum mengejek dan menggeleng kepalanya. “Aku tidak perlu memakai pelindung telinga,” katanya.

Tentu saja wajah Pek In menjadi merah oleh penolakan ini. Dia sudah menjadi marah, akan tetapi ketika dia memandang kepada ayahnya, Cu Han Bu menggelengkan sedikit kepalanya sehingga dia mundur lagi, duduk di tempat semula dan dia pun kemudian mengenakan sepasang penyumbat telinga.

“Nona, kau harus memakai pelindung telinga, kalau tidak, maka akan berbahaya bagi keselamatanmu,” tiba-tiba Cu Seng Bu berkata karena tokoh ini merasa tidak enak kalau sampai pihak tamu yang tidak ikut mengadu ilmu kena celaka.

Ci Sian masih tersenyum ketika dia menggeleng kepala. “Mengapa celaka? Andai kata perlu melindungi telinga, bukankah aku masih memiliki dua tangan untuk menyumbat kedua telingaku?”

Cu Seng Bu tidak bicara lagi dan bersama Cu Kang Bu, dia pun menyumbat kedua telinganya dengan karet pelindung telinga itu karena dia maklum bahwa kakaknya akan mengeluarkan ilmu meniup suling yang mukjijat, yang suaranya dapat merobohkan lawan, bahkan dapat membunuhnya!

Sementara itu, Kam Hong terkejut bukan main saat melihat Ci Sian menolak pemberian pelindung telinga itu. Dia makin menghargai pihak tuan rumah yang ternyata demikian baik hati untuk menawarkan pelindung telinga kepada Ci Sian, akan tetapi celakanya, dara yang keras hati itu menolak dan dia tahu bahwa hal ini berarti bahaya besar bagi Ci Sian, mungkin bahaya maut karena suara tiupan suling yang dilakukan oleh orang yang amat kuat tenaga khikang-nya dapat merusak telinga atau bahkan membunuhnya. Akan tetapi karena Ci Sian sudah terlanjur menolak, dia pun tentu saja tidak mau memaksa gadis itu menarik kembali penolakannya karena hal itu sampai mati pun kiranya tidak akan dilakukan oleh Ci Sian yang keras hati. Maka dia pun lalu mengambil keputusan untuk melindungi Ci Sian dari bahaya ancaman suara suling Cu Han Bu.

Kini Cu Han Bu sudah mulai menempelkan ujung suling pada bibirnya dan mulailah dia meniup suling emas itu. Mula-mula terdengar suara suling yang merdu naik turun, akan tetapi kemudian suara suling itu terus menaik dan mulailah Ci Sian merasa tersiksa karena kedua telinganya bagai dikilik-kilik rasanya. Suara suling itu makin meninggi saja dan rasa yang mula-mula hanya geli itu makin nyeri dan telinganya seperti dimasuki semut dan digigit! Ci Sian tadinya hendak mempertahankan, akan tetapi akhirnya dia tidak kuat lagi dan dia menggunakan kedua tangan untuk menutupi lubang telinganya!

Akan tetapi betapa kaget rasa hati Ci Sian bahwa suara itu masih saja terus mengiang di dalam telinganya, makin lama makin hebat sehingga kini terasa seperti telinganya ditusuk-tusuk jarum! Tubuhnya mulai menggigil dan matanya terbelalak memandang ke arah Kam Hong seolah-olah hendak minta tolong.

Pada saat itu, Kam Hong sudah mendekatkan suling di bibirnya dan meniup sulingnya sambil menutup semua lubang suling. Dia tahu bahwa jika dia menggunakan sulingnya untuk balas menyerang, dia akan dapat membuat lawan celaka, akan tetapi juga Ci Sian akan ikut celaka, maka kini ia meniup sulingnya dengan lembut sekali. Terdengar suara lembut dari sulingnya, suara yang bergelombang halus akan tetapi dapat menggulung suara melengking lirih yang mengandung getaran berbahaya dari suara suling Cu Han Bu.

Ci Sian merasa betapa perlahan-lahan kenyerian di telinganya lenyap, dan dia berani membuka kedua tangannya dan kini yang terdengar olehnya hanya suara suling lembut yang amat merdu dan mendatangkan rasa nikmat! Makin lama, makin lembut suara suling Kam Hong dan akhirnya Ci Sian tidak dapat menahan lagi, tubuhnya terguling dan dia tertidur pulas di atas lantai!

Suara suling dari suling emas yang ditiup Kam Hong itu semakin kuat saja, dan kini setelah dia meilhat Ci Sian tidur pulas, dia menambah kekuatan tiupannya dan suara suling itu menggetar halus, biar pun kedua telinga orang-orang yang berada di situ telah ditutup penyumbat telinga dari karet, namun getaran itu masih terus menyerang melalui urat saraf di atas telinga dan pelipis sehingga akhirnya, berturut-turut Cu Pek In dan Yu Hwi juga terguling dan roboh pulas!

Melihat ini, Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu terkejut sekali. Mereka berdua kini duduk bersila di atas lantai, mengerahkan tenaga sinkang mereka untuk melawan serangan suara suling dari suling Kam Hong.

Sementara itu, Cu Han Bu juga memperhebat suara sulingnya untuk menyerang lawan. Namun semua serangan suara sulingnya itu tenggelam di dalam kelembutan itu seperti bara api yang berkobar dijatuhkan ke dalam kubangan air dingin saja. Sedangkan alunan suara suling dari Kam Hong terus bergetar menyerang ketiga orang kakak beradik Cu itu yang kini makin hebat melakukan perlawanan dan mengerahkan sinkang mereka. Dari ubun-ubun kepala Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu sampai mengepul uap putih dan muka mereka menjadi merah sekali karena keduanya telah mengerahkan sinkang sekuatnya untuk menahan rasa kantuk hebat yang menyerang mereka. Syaraf mereka seperti diayun atau dibelai oleh suara itu, suara yang mengandung kekuatan mukjijat dan yang membuat seluruh tubuh terasa lemas dan satu-satunya hal yang mereka inginkan saat itu hanyalah tidur, lain tidak!

Memang hebat sekali kekuatan yang terkandung dalam suara suling yang ditiup secara istimewa oleh Kam Hong itu. Suara itu selain dapat menembus pelindung telinga, juga langsung menyerang dan merangsang syaraf-syaraf di kepala menembus kulit kepala yang perasa seperti di pelipis dan bagian lain, terutama sekali merangsang syaraf di pusat pendengaran. Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu yang merupakan orang-orang yang memiliki kesaktian dan memiliki tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi dan amat kuat itu, mereka telah mengerahkan sinkang untuk melawan pengaruh suara itu, akan tetapi lambat laun wajah mereka yang merah menjadi semakin pucat, uap putih yang mengepul di kepala mereka semakin menipis dan akhirnya keduanya tertidur pulas dalam keadaan masih duduk bersila!

Kini tinggal Cu Han Bu seorang yang masih terus melawan sambil meniup sulingnya. Cu Han Bu juga merasa betapa tenaga suara sulingnya itu kini sama sekali tidak dapat menembus suara suling lawan yang seolah-olah merupakan benteng yang amat kuat, dan dia pun bahkan mulai merasa betapa gelombang yang hebat menggulung dirinya, membuainya dengan nikmat sekali. Diam-diam dia terkejut, maklum bahwa suara suling Kam Hong benar-benar memiliki kekuatan yang amat dahsyat.

Dia berusaha melawan terus, kadang-kadang meniup sulingnya amat tinggi, kadang-kadang amat rendah, namun semua usahanya itu gagal karena semua perlawanannya itu membalik dan bahkan agaknya menambah kedahsyatan gelombang getaran dari suara suling Kam Hong. Akhirnya tanpa disadari sendiri, Cu Han Bu juga jatuh pulas dalam keadaan bersila sedang sulingnya masih berada dalam genggaman dan masih menempel di bibirnya yang tidak bergerak lagi. Dia seolah-olah telah berubah menjadi patung orang menyuling!

Setelah melihat lawannya tertidur, barulah Kam Hong menghentikan tiupan sulingnya. Wajahnya agak pucat dan seluruh tubuhnya basah oleh peluh! Kiranya dia pun telah mengerahkan banyak tenaga tadi dan baru setelah dia mengeluarkan semua tenaganya dia dapat menyelamatkan Ci Sian dan sekaligus membuat tidur semua orang, termasuk lawannya yang kuat itu. Dia menyimpan sulingnya lalu menggunakan sapu tangan untuk menyusuti peluhnya.

Setelah kini suara suling terhenti dan getaran suara yang amat kuat itu lenyap, berturut turut terjagalah mereka semua yang tertidur pulas itu. Pertama-tama adalah Cu Han Bu dan dua orang adiknya yang terjaga.

“Ahhhh....!” Cu Han Bu mengeluh dan terbelalak, lalu teringat akan segala yang telah terjadi, maka dia pun meloncat bangun lalu cepat-cepat dia menjura ke arah Kam Hong yang juga telah bangkit dengan tenang.

“Saudara Kam Hong, sungguh engkau luar biasa sekali dan aku Cu Han Bu benar-benar harus mengakui keunggulanmu, baik dalam hal ilmu silat mau pun dalam hal ilmu meniup suling. Engkau memang berhak memakai julukan Suling Emas!”

Juga Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu tidak ragu-ragu lagi untuk memberi hormat kepada pendekar yang jelas memiliki tingkat kepandaian di atas mereka itu.

Kam Hong cepat-cepat membalas penghormatan mereka dan dia pun berkata, “Harap Sam-wi tidak merendahkan diri karena terus terang saja, baru kini saya menemukan keluarga yang memiliki kepandaian sehebat yang dimiliki Sam-wi. Saya percaya bahwa tentu ada hubungannya antara Sam-wi dengan Suling Emas.”

Pada saat itu, tiga orang dara juga telah terjaga dan mereka mula-mula merasa bingung dan terheran-heran, tetapi setelah teringat dan melihat betapa sikap tiga orang she Cu itu amat menghormat Kam Hong, mereka maklum bahwa Kam Hong telah menangkan pertandingan aneh itu. Yu Hwi memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, akan tetapi dia telah bangkit dan menghampiri Cu Kang Bu, kekasihnya. Sedangkan Ci Sian lari menghampiri Kam Hong.

“Paman, engkau telah menang?”

Kam Hong hanya tersenyum saja tanpa menjawab. Tentu saja Ci Sian merasa sangat penasaran dan dia lalu menoleh kearah Cu Han Bu, dan bertanya dengan lantang, “Paman Cu Han Bu, apakah engkau mau bersikap jantan mengakui bahwa Paman Kam Hong telah memperoleh kemenangan dalam pertandingan ini?”

Cu Han Bu menarik napas panjang. Dara itu telah berkali-kali membikin sakit perasaan, akan tetapi dia tak dapat mengelak lagi. “Benar, Saudara Kam Hong telah mengalahkan kami.”

“Nah, apa kubilang? Dialah Pendekar Suling Emas yang sejati!”

“Ssssttt, Ci Sian, menyombongkan diri di atas kemenangan hanyalah perbuatan yang bodoh.” Kam Hong mencela dan Ci Sian mengerutkan alisnya, bersungut-sungut dan tidak banyak cakap lagi.

Dia sering kali ditegur Kam Hong dan setiap kali ditegur, dia merasa tidak senang, apalagi kini ditegur di depan banyak orang, di depan Yu Hwi terutama sekali. Dia ingin marah, akan tetapi tidak berani karena dia tahu bahwa kalau dia marah terhadap Kam Hong di depan banyak orang, hal itu akan merendahkan nama Kam Hong yang baru saja keluar sebagai pemenang. Maka dia pun lalu duduk diam saja di dekat Kam Hong, bibirnya yang merah mungil itu agak meruncing.

“Saudara Cu, kiranya sudah sepatutnya kalau sekarang Sam-wi menceritakan kepadaku tentang keluarga Cu yang tinggal di Lembah Suling Emas ini....“ Kam Hong berkata kepada Cu Han Bu karena memang dia ingin sekali mendengar riwayat keluarga yang amat lihai ini dan ingin tahu apa hubungan mereka dengan Suling Emas. “Setelah itu, baru saya akan menceritakan tentang keluarga Pendekar Suling Emas.”

Cu Han Bu mengangguk, lalu dia memandang ke arah Yu Hwi dan Ci Sian. “Riwayat keluarga kami adalah rahasia kami, tidak boleh didengar oleh orang lain. Engkaulah orang pertama yang akan mendengarnya, Saudara Kam Hong. Yu Hwi, biar pun engkau seorang luar, akan tetapi mengingat akan hubunganmu dengan Kang-te, berarti engkau merupakan calon keluarga juga, maka engkau boleh mendengarnya. Hanya Nona ini....“ Dia memandang Ci Sian dengan ragu-ragu.

“Dia adalah keponakanku dan juga boleh dianggap adik seperguruanku, maka kalau aku boleh mendengar, dia pun berhak mendengarkan pula.” Kam Hong cepat-cepat berkata karena dia tahu bahwa kalau sampai dara ini dilarang ikut mendengar, Ci Sian tentu akan marah dan entah apa yang akan dilakukan kalau dia marah. Dalam tempat seperti itu, dia tidak ingin membiarkan Ci Sian berpisah dari sampingnya, karena hal itu akan amat membahayakan keselamatannya.

Mendengar ini, lenyaplah sama sekali rasa tidak senang dari hati Ci Sian oleh teguran Kam Hong tadi. Dia tersenyum dan memandang kepada pihak tuan rumah dengan sinar mata menantang!

Cu Han Bu menarik napas panjang. “Kalau begitu baiklah, karena Saudara Kam Hong yang menanggung dia. Nah, dengarkanlah cerita singkat dari keadaan keluarga kami, terutama yang bersangkutan dengan Suling Emas…..” Maka mulailah pendekar yang menyembunyikan diri di lembah itu bercerita tentang keluarganya.

Dari cerita turun-temurun dalam keluarga itu, Cu Han Bu dan keluarganya mendengar bahwa seorang di antara nenek moyang mereka pada seribu tahun lebih yang lalu ialah seorang pangeran bernama Cu Keng Ong yang melarikan diri dari kota raja karena berselisih dengan kaisar. Cu Keng Ong ini mengasingkan diri ke lembah Kongmaa La di Pegunungan Himalaya itu bersama keluarganya dan hidup sebagai pertapa dan petani di tempat ini.

Cu Keng Ong adalah seorang pangeran yang berilmu tinggi, selain pandai ilmu silat juga ahli dalam hal kerajinan tangan, terutama mengukir dan membuat benda-benda dari pada emas. Ketika berada dalam pengasingan ini, Cu Keng Ong bahkan memperdalam ilmu-ilmunya dari para pertapa di Himalaya sehingga akhirnya dia menjadi seorang manusia yang amat lihai, tetapi yang selalu menyembunyikan diri dan hidup tenteram dalam lembah itu.

Karena kehidupan di lembah itu sama sekali tidak memerlukan emas, maka Cu Keng Ong lalu mengumpulkan semua emas yang mereka bawa sebagai bekal, kemudian dia melebur emas itu dan dibuatlah sebatang suling emas yang amat baik, bukan saja indah bentuknya akan tetapi terutama sekali dengan ukuran-ukuran sempurna sehingga akan mengeluarkan bunyi yang amat indah kalau dimainkan. Karena Cu Keng Ong sering kali bertiup suling di lembah itu dengan suling emasnya, dan suara sulingnya terdengar sampai jauh ke luar lembah, maka mulailah lembah itu diberi nama Lembah Suling Emas!

“Demikianlah asal-usul nama lembah ini menurut dongeng keluarga kami,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi sayang, menurut dongeng keluarga turun-temurun itu, tidak ada lanjutan tentang nenek moyang kami yang bernama Cu Keng Ong itu dan suling emas itu pun tidak ada pada keluarga kami lagi. Yang ada hanyalah suling emas ini yang dibuat oleh seorang nenek moyang kami kemudian yang bernama Cu Hak dan yang juga ahli dalam pembuatan benda-benda dari emas dan baja. Kakek buyut Cu Hak itu kabarnya hanya membuat suling ini disesuaikan dengan cerita keluarga itu tentang bentuk suling emas asli buatan Cu Keng Ong. Dan di samping suling ini, juga keluarga kami mewarisi ilmu silat yang menjadi pasangan dari suling ini, yaitu ilmu silat yang disebut Kim-siauw Kiam-sut dan yang telah kumainkan dengan sabuk emas karena saya lebih biasa berlatih dengan sabuk emas itu. Akan tetapi ternyata Saudara Kam Hong juga mainkan ilmu itu dengan suling emasnya, bahkan lebih sempurna dari pada saya!” Han Bu menarik napas panjang.

Diam-diam Kam Hong terkejut sekali dan saling lirik dengan Ci Sian. Kedua orang ini setelah mendengar riwayat keluarga Cu, dapat menduga bahwa kakek kuno yang jenazahnya mereka temukan itu tidak salah lagi tentulah Cu Keng Ong adanya! Akan tetapi mereka diam saja dan mendengarkan terus.

Cu Han Bu melanjutkan ceritanya. Nenek moyang yang bernama Cu Keng Ong itu menurut berita keluarganya telah lenyap, dan ada berita bahwa kakek itu mengawetkan jenazahnya dan jenazah itu mengandung rahasia ilmu keluarga mereka yang paling tinggi. Sejak turun-temurun, keluarga Cu berusaha mencari jenazah kakek Cu Keng Ong ini, akan tetapi tanpa hasil. Juga suling emas buatan Pangeran Cu Keng Ong itu lenyap dari keluarga Cu. Hanya bentuk-bentuk suling dan warisan turun-temurun yang sampai pada tiga orang kakak beradik Cu ini.

“Karena merasa khawatir bahwa suling pusaka itu akhirnya lenyap sama sekali, kami pernah melakukan penyelidikan. Dan kami mendengar bahwa suling itu terjatuh ke tangan Pendekar Suling Emas beberapa ratus tahun yang lalu. Kami berusaha untuk mendapatkan keturunannya, akan tetapi usaha kami sia-sia saja, seolah-olah keluarga Suling Emas itu sudah musnah dan bersama namanya terbawa lenyap pula. Agaknya Saudara Kam Hong telah mempelajari ilmu-ilmu keluarga kami dengan lebih sempurna dari pada yang kami warisi sendiri!” Ucapan terakhir itu keluar dengan nada penuh rasa penasaran.

Kam Hong dapat merasakan ini dan dapat mengerti mengapa pihak tuan rumah merasa penasaran dan diam-diam dia pun merasa kasihan. Sekarang mengertilah dia mengapa keluarga Cu ingin sekali mengalahkan dia dan merasa amat penasaran ketika tidak berhasil, karena itu berarti bahwa keluarga itu dikalahkan orang dengan menggunakan senjata pusaka dan ilmu pusaka keluarga mereka sendiri! Biar pun tahu bahwa hal itu bukan kesalahannya, namun dia sedikit merasa bahwa dia seolah-olah menjadi pencuri pusaka dan ilmu keluarga Cu.

“Demikianlah riwayat keluarga kami yang berhubungan dengan suling emas, Saudara Kam. Sekarang harap Saudara ceritakan tentang keluarga Saudara yang menggunakan nama Suling Emas, agar kami mengerti bagaimana duduk perkaranya,” kata Han Bu.

Kam Hong menghela napas. Dia harus menceritakan semuanya agar mereka ini tidak merasa penasaran dan menganggap bahwa keluarganya adalah pencuri-pencuri ilmu dan pusaka! Setelah memandang ke arah wajah tiga orang kakak beradik she Cu yang duduk dihadapannya itu, Kam Hong lalu berkata,

“Julukan Suling Emas dipakai oleh nenek moyangku yang bernama Kam Bu Song dan beliau pulalah yang pertama-tama memiliki suling emas ini yang menurut cerita keluarga kami diterimanya dari sastrawan besar Ciu Bun di Pulau Pek-coa-to (Pulau Ular Putih). Suling emas ini secara turun-temurun lalu dimiliki oleh keluarga Kam dan memang pada akhir-akhir beberapa keturunan ini keluarga kami menyembunyikan diri, sampai kepada saya. Demikianlah riwayat suling emas ini dan dapat kujelaskan bahwa suling emas ini kumiliki dari warisan nenek moyang yang sudah tujuh ratus tahunan lamanya, dan kakek besar Kam Bu Song itu pun menerima dari pemberian yang syah, bukan mencuri. Dan sekarang tentang ilmu yang baru saja kupergunakan untuk menghadapi Saudara Cu Han Bu.”

Tiga orang kakak beradik itu mendengarkan dengan penuh perhatian. Mereka dapat percaya keterangan itu dan mereka menduga bahwa tentu suling yang hilang itu akhirnya, entah secara bagaimana tak ada seorang pun mengetahui, terjatuh ke tangan sastrawan Ciu Bun itu dan diberikan kepada Pendekar Suling Emas. Dengan demikian, keluarga pendekar itu memang berhak memilikinya. Kini mereka ingin sekali mendengar bagaimana Kam Hong dapat mainkan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut dan ilmu meniup yang merupakan ilmu pusaka keluarga mereka dengan demikian baiknya, lebih baik dari pada yang mereka miliki.

“Tadinya saya hanya mewarisi ilmu-ilmu pusaka keluarga kami yang tidak Sam-wi kenal, yaitu ilmu-ilmu yang saya pakai saat menghadapi Saudara Cu Kang Bu tadi. Sedangkan ilmu Kim-siauw Kiam-sut yang saya mainkan dengan suling ketika menghadapi Saudara Cu Han Bu tadi, juga ilmu meniup suling, baru saja saya pelajari selama kurang lebih empat tahun baru-baru ini, yaitu kupelajari dari catatan yang terdapat pada jenazah kuno yang kami temukan....“

“Ahhhh....!” Tiga orang gagah itu bangkit berdiri dan muka mereka pucat, mata mereka terbelalak karena kaget.

“Jadi engkau malah yang telah menemukan jenazah Kakek Cu Keng Ong leluhur kami itu....?” Cu Kang Bu bertanya dengan suara yang mirip bentakan.

Kam Hong mengangguk tenang. “Mungkin saja jenazah itu ialah jenazah Cu Keng Ong seperti yang kalian ceritakan tadi. Saya tidak tahu benar, hanya saya tahu dari catatan di tubuhnya bahwa dia adalah pembuat suling emas dan siapa yang dapat menemukan jenazahnya dianggap berjodoh untuk mewarisi ilmunya....“

“Celaka....!” Cu Seng Bu berseru nyaring dan penuh dengan penyesalan, dan dia sudah meloncat ke depan.

Akan tetapi Cu Han Bu cepat memegang lengannya dan memandang adiknya dengan sinar mata tajam penuh teguran. “Seng-te, bukan demikian sifat keluarga kita! Kita harus dapat mengendalikan diri dan tidak memalukan leluhur kita!” Kemudian Cu Han Bu menoleh kepada Kam Hong sambil berkata, “Sungguh aneh sekali mengapa suling pusaka dan ilmu pusaka keluarga kami dapat terjatuh semuanya kepadamu, Saudara Kam Hong. Maukah kau menceritakan tentang jenazah leluhur kami itu?”

“Terjadinya secara kebetulan. Saya dan Ci Sian diserang gunung salju longsor sehingga kami hampir saja tewas. Di antara gumpalan-gumpalan salju longsor itu, kami kemudian menemukan jenazah kuno itu dan setelah kami selidiki, jenazah mengandung tulisan-tulisan yang mewariskan ilmu-ilmu itu kepada kami. Karena kami dianggap sebagai jodoh yang berhak mewarisi ilmu, dan oleh karena di situ tidak disebut-sebut tentang keluarga di sini, maka tentu saja saya mempelajari ilmu-ilmu itu dan saya tidak merasa bersalah sedikit pun. Apalagi diingat bahwa suling emas buatan kakek itu juga telah menjadi milik keluarga sejak ratusan tahun! Nah, kupelajari ilmu-ilmu itu selama hampir lima tahun, dan sekarang saya ketahui siapa guru saya yang ternyata bernama Cu Keng Ong dan menjadi leluhur penghuni lembah ini....“

“Dan kau pergunakan pusaka dan ilmu itu untuk mengalahkan kami!” Cu Kang Bu berteriak lalu menutupi muka dengan kedua tangan.

Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini menangis tanpa bersuara! Yu Hwi yang duduk di sampingnya lalu memegang tangannya hingga kedua tangan mereka saling genggam. Melihat ini, diam-diam Kam Hong merasa terharu juga dan dia merasa terheran-heran mengapa sebelum dia bertemu dengan Yu Hwi, sering kali dia amat merindukan dara itu, sering membayangkan wajahnya yang manis dan membayangkan kemesraan bersama calon isterinya itu! Akan tetapi sekarang, setelah bertemu dengan Yu Hwi, melihat Yu Hwi bermesraan dengan pria lain, dia tidak merasa cemburu atau sakit, walau pun pada pertama kalinya dia merasa penasaran dan marah. Apakah yang menyebabkan kedinginan terhadap Yu Hwi itu, dan perbedaan yang amat jauh antara dahulu ketika dia masih merindukan Yu Hwi dan sekarang?

Mendadak dia merasa ada tangan halus yang menyentuh lengannya. Dia menoleh dan memandang wajah Ci Sian yang jelita dan pada saat dua pasang mata mereka saling bertemu sinar pandangan, Kam Hong melihat kenyataan yang sangat mengejutkan hatinya. Bayangan Yu Hwi itu kiranya telah lama lenyap dari lubuk hatinya, sepenuhnya terganti oleh bayangan Ci Sian! Dia telah jatuh cinta kepada Ci Sian semenjak lama, semenjak Ci Sian masih merupakan seorang dara tanggung empat tahun yang lalu! Dan sekarang, Ci Sian telah menjadi seorang dara cantik jelita berusia tujuh belas tahun! Kenyataan yang nampak jelas olehnya itu membuat jantungnya berdebar tegang.

“Paman, marilah kita pergi saja dari sini....,” Ci Sian berkata halus dan ucapannya itu membuyarkan dunia mimpi aneh dan lamunan Kam Hong yang tadi seperti terpesona oleh kenyataan itu.

“Baik, mari kita pergi....,“ kata Kam Hong yang memegang tangan Ci Sian dan bangkit berdiri. Sejenak Kam Hong memandang ke arah Yu Hwi, lalu berkata, “Nona Yu, demi untuk kebaikan namamu sendiri, seyogianya kalau engkau pulang dan menerangkan kepada Suhu Yu Kong Tek akan keputusan yang kau ambil agar pertalian jodoh antara kita itu dapat dibatalkan atau diputuskan secara resmi.”

Yu Hwi membalas pandang mata Kam Hong, lalu menoleh kepada kekasihnya yang masih menunduk, kemudian dia berkata dengan suara lembut kepada Kam Hong, tidak berani lagi memandang rendah bekas tunangan itu yang ternyata telah menjadi seorang yang mempunyai kesaktian hebat. “Baiklah, sekali waktu aku pasti akan mengunjungi Kongkong.”

Setelah menerima janji ini, Kam Hong lalu menarik tangan Ci Sian diajak keluar dari gedung itu. Tidak ada seorang pun yang bergerak menghalangi, dan dengan langkah-langkah tenang mereka keluar dari dalam gedung. Akan tetapi ketika mereka tiba di pintu gerbang depan, nampak bayangan tiga orang berkelebat dan ternyata tiga orang kakak beradik she Cu itu telah berdiri di depan mereka, wajah mereka pucat.

“Hemm, apa lagi yang kalian kehendaki?” Kam Hong bertanya dengan berkerut, siap untuk menghadapi mereka kalau saja mereka hendak menggunakan kekerasan.

Cu Han Bu melangkah maju dan menjura sambil berkata. “Saudara Kam Hong, kami hanya hendak bertanya di mana kau temukan jenazah nenek moyang kami itu. Kiranya itu adalah hak kami untuk menanyakan di mana adanya jenazah leluhur kami.”

“Tentu saja, akan tetapi sayang sekali, jenazah kuno itu telah kubakar....“

“Dibakar....?” terdengar Seng Bu dan Kang Bu berteriak.

“Benar, sesuai dengan tulisan pesanan terakhir pada tubuh beliau. Jenazah itu telah kubakar menjadi abu dan kukubur di tempat itu.”

“Ahhhh....!”

Tiga orang itu saling pandang dengan muka putus asa. Tadinya mereka mempunyai harapan untuk menemukan jenazah leluhur itu untuk dapat mempelajari ilmu pusaka keluarga mereka, akan tetapi harapannya itu hancur sama sekali mendengar betapa jenazah itu telah dibakar oleh Kam Hong.

Dengan hati duka penuh kekecewaan Cu Han Bu mengepal tinjunya, kemudian berkata dengan suara mengandung geram kekecewaan dan kemarahan. “Nenek moyang kami Cu Keng Ong itu sudah mewariskan suling emas dan ilmu pusakanya kepadamu. Baiklah, mulai sekarang kami takkan memakai lagi nama Lembah Gunung Suling Emas, melainkan kami ganti menjadi Lembah Gunung Naga Siluman! Dan kau tunggulah, Kam Hong, biar pun engkau telah mewarisi ilmu yang tadinya menjadi milik keluarga kami, akan tetapi kami masih mempunyai ilmu pusaka yang lain, yang diciptakan oleh Toa-pek kami sendiri. Kelak akan tiba saatnya Ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu akan dikalahkan oleh ilmu keluarga kami, yaitu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!”

Kam Hong menarik napas panjang dan menjura. “Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapa pun juga. Perkenankanlah kami pergi dari sini.”

Cu Han Bu bisa mengatasi kekecewaannya. Melihat sikap tamunya yang cukup hormat dan tidak merasa tinggi hati oleh kemenangannya itu, dia pun menarik napas panjang dan balas menjura, “Saudara Kam Hong, maafkan sikap kami yang kecewa karena nasib telah mempermainkan kami yang kehilangan benda pusaka dan ilmu pusaka ini. Mari kuantar kalian sampai ke jembatan tambang.”

Setelah berkata demikian, Cu Han Bu seorang diri saja lalu menemani Kam Hong dan Ci Sian menuju ke tepi jurang yang amat curam itu. Ketika mereka tiba di tepi jurang, Cu Han Bu memandang ke arah para penjaga jembatan itu dan bertanya dengan tegas.

“Apakah kalian tadi melihat Nona di sini?”

Para penjaga nampak ketakutan mendengar pertanyaan itu. Seorang di antara mereka, yaitu kepala jaga, lalu memberi hormat dan menjawab, “Harap ampunkan kami.... tadi Cu-siocia (Nona Cu) memaksa kami memasang tambang dan dia telah menyeberang. Kami tidak berani menolak permintaannya.”

Dalam keadaan biasa tentu Cu Han Bu akan menjadi marah dan melakukan pengejaran kepada puterinya. Akan tetapi saat itu hatinya sedang kesal dan murung, maka dia pun tidak peduli, lalu memberi tanda agar jembatan tambang itu diangkat dan membiarkan dua orang tamunya menyeberang.

“Silakan, Saudara Kam Hong,” Cu Han Bu mempersilakan ketika jembatan tambang itu sudah diangkat dan membentang lurus menyeberang jurang.

Melihat jembatan tambang itu dan membayangkan betapa dia dan Kam Hong berdua harus menyeberang dan meninggalkan tuan rumah yang sedang dalam keadaan marah, kecewa dan penasaran itu, hati Ci Sian tentu saja merasa ngeri sekali.

“Nanti dulu, Paman Kam Hong,” katanya menahan lengan pendekar itu yang sudah siap menyeberang. “Berbeda dengan ketika kita datang sebagai tamu, kini kita pergi sebagai orang-orang yang dimusuhi dan tidak disukai, dan jika ketika datang kita menyeberang bersama mereka, kini kita harus menyeberang berdua saja. Bagaimana kalau selagi tiba di tengah-tengah jembatan, tambang ini lalu dibikin putus olehnya?”

Kam Hong terkejut sekali mendengar kelancangan ucapan Ci Sian ini, akan tetapi tiba tiba Cu Han Bu sudah mengeluarkan teriakan nyaring dan pendekar itu mengangkat tangan kanan ke atas. Kam Hong sudah siap untuk melindungi Ci Sian, akan tetapi pria yang sekarang matanya melotot dan mukanya menjadi merah itu menurunkan tangan kanannya dan mencengkeram jari kelingking tangan kirinya sendiri. Terdengar bunyi tulang patah dan darah mengucur ketika jari kelingking tangan kirinya sendiri itu telah remuk dan lenyap setengahnya! Ci Sian terbelalak memandang dengan muka pucat.

“Nona.... kau.... kau sudah berkali-kali terlalu menghina kami!” Cu Han Bu berkata, matanya masih melotot dan napasnya agak terengah menahan marah. “Kalau tidak melihat muka Saudara Kam Hong, aku tentu sudah membunuhmu! Akan tetapi kalau lain kali kita bertemu kembali, aku takkan dapat mengampunimu lagi!”

Ci Sian merasa ngeri, bukan hanya melihat sikap orang itu, akan tetapi juga melihat jari kelingking yang hancur dan masih meneteskan darah segar itu. Akan tetapi pada saat itu Kam Hong sudah menarik tangannya dan mengajaknya meloncat ke atas tambang dan dengan cepat berlari ke seberang. Setelah mereka dengan selamat meloncat ke daratan di seberang, tambang itu lalu diturunkan kembali dan lenyap di dalam kabut. Legalah rasa hati Ci Sian setelah mereka selamat sampai ke darat.

“Ci Sian, mengapa engkau begitu lancang mulut sehingga membikin marah Cu Han Bu seperti itu? Lain kali engkau harus berhati-hati kalau bicara, jangan menurutkan hati dan pergunakan kebijaksanaan.”

Ci Sian kaget, sejenak dia menatap wajah Kam Hong karena suara teguran itu benar benar dirasakan amat pedas dan menusuk, dan tiba-tiba ia menangis. Bukan menangis manja, melainkan menangis sedih sekali. Dia sudah tak punya siapa-siapa lagi, ayahnya yang diharapkannya itu ternyata mengecewakan hatinya dan dia tidak mungkin hidup di samping ayahnya yang telah mempunyai isteri begitu banyak. Kini tinggal Kam Hong seoranglah yang dianggapnya sebagai pelindung dan orang terdekat, dan sekarang.... Kam Hong agaknya marah-marah dan tidak senang kepadanya. Karena sedih, maka dia menangis.

Melihat Ci Sian menangis, Kam Hong menggeleng-geleng kepala, lalu menghampiri dan memegang pundaknya. “Sudahlah, kenapa kau malah menangis?”

Akan tetapi Ci Sian menarik pundaknya dari sentuhan Kam Hong, lalu di antara isaknya dia berkata. “Dia orang jahat.... hu-huuh, dia mengancam untuk membunuhku, kau.... kau peduli apa? Aku.... aku hanya membikin susah padamu saja....”

Kam Hong menyambar lengan dara itu dan menariknya mendekat, “Kau marah oleh teguranku tadi? Ci Sian, ingatlah, aku menegur demi kebaikanmu! Dan selama ada aku di sampingmu, takkan ada seorang pun yang boleh mengganggumu! Akan tetapi.... ada waktunya berkumpul tentu akan datang saatnya berpisah, dan karena itu engkau harus mempelajari ilmu yang kita temukan itu dengan tekun agar kelak engkau akan mampu menjaga diri sendiri kalau terancam oleh lawan yang lihai.”

Ci Sian mengangkat muka memandang wajah itu. “Kau.... kau tidak marah kepadaku, Paman?”

Terpaksa Kam Hong tersenyum dan menggeleng kepala. “Aku tidak marah, aku tadi menegur agar engkau sadar bahwa hal itu berbahaya bagimu sendiri.”

Ci Sian cepat merangkul pundak dan menyembunyikan mukanya di dada Kam Hong. “Paman.....aku tidak punya siapa-siapa lagi kecuali engkau, maka janganlah kau marah padaku....”

Kam Hong mendekap dan sejenak hatinya merasa amat terharu, kemudian berdebar aneh ketika menyadari betapa dia mendekap dara remaja itu. Teringat akan ini segera dengan halus dia melepaskan dekapannya dan mendorong tubuh dara itu menjauh sambil berkata, “Sudahlah, mari kita mulai berlatih. Engkau telah mulai maju dalam latihan ginkang menurut ilmu penghimpunan khikang dari tiupan suling, maka mari kita lanjutkan latihan ginkang itu. Mari kita lari ke puncak bukit di depan itu dan pergunakan semua tenagamu.”

“Baik, Paman, mari kita berlomba!” Ci Sian telah melupakan kesedihannya. Air matanya masih belum kering, kedua pipinya masih basah, akan tetapi bibirnya yang manis itu telah tersenyum lagi ketika dia mulai meloncat dan lari ke depan dengan cepat seperti seekor kijang betina muda yang bahagia. Kam Hong tersenyum dan dia pun mengejar, maka berlarianlah dua orang itu menuju ke puncak bukit di depan.

Ketika dia berlari-lari di samping Ci Sian, Kam Hong seolah-olah mendengar suara nyanyian yang timbul dari perasaan hatinya sendiri, yang membuat dia merasa demikian senang. Dia sendiri merasa heran sekali dan dia masih dalam keadaan meraba-raba dan menduga-duga, apakah ini yang dinamakan cinta asmara? Benarkah dia jatuh cinta kepada Ci Sian? Pertanyaan ini selama ini selalu berbisik di dalam hatinya dan dia belum berani menentukannya.

Dahulu, sebelum bertemu dengan Ci Sian, Kam Hong selalu menganggap bahwa dia mencinta calon isterinya, Yu Hwi, sungguh pun antara dia dan Yu Hwi belum pernah terjadi hubungan yang akrab. Bahkan ketika Yu Hwi mendengar akan pertunangan itu, Yu Hwi lalu melarikan diri, hal itu juga membuktikan bahwa Yu Hwi tidak setuju dengan perjodohan itu dan berarti pula tidak cinta kepadanya. Akan tetapi, karena adanya ikatan jodoh itu membuat dia selalu mengenangkan Yu Hwi, kenangan yang luar biasa karena dia mula-mula mengenal Yu Hwi sebagai seorang pemuda bernama Kang Swi Hwa.

Dan dialah yang membuka rahasia Kang Swi Hwa itu sebagai seorang gadis ketika dia hendak mengobati ‘pemuda’ itu dan melihat bahwa pemuda itu mempunyai dada seorang dara! Kenangan inilah yang mengingatkan dia akan Yu Hwi sebagai seorang wanita, lebih lagi sebagai seorang calon isterinya, kenangan yang lucu, mesra dan aneh. Ini pula agaknya yang membuat dia merasa selalu rindu kepada Yu Hwi dan ini pula yang membuat dia mengira bahwa dia mencinta Yu Hwi.

Akan tetapi, semenjak dia bertemu dengan Ci Sian beberapa tahun yang lalu, sejak Ci Sian hanya seorang dara cantik berusia tiga belas tahunan, ada sesuatu di dalam hatinya yang melekat kepada dara ini. Kini, setelah berjumpai kembali dengan Ci Sian sebagai seorang dara yang sudah dewasa, dia merasa seolah-olah Yu Hwi hanya merupakan bayangan mati dan kini terganti oleh seorang dara yang benar-benar hidup dan yang membutuhkan perlindungannya!

Apalagi setelah dia berjumpa sendiri dengan Yu Hwi dan menyaksikan sikap calon isterinya itu, bayangan lama tentang Yu Hwi itu seketika lenyap sama sekali dan dia merasa gembira! Kalau dulu dia tidak berani memikirkan bahwa dia tertarik kepada Ci Sian sebab dia selalu ingat bahwa dia adalah seorang pria yang telah mempunyai calon isteri, jodoh yang sudah ditentukan sehingga haram baginya untuk menoleh kepada wanita lain, kini dia merasa seolah-olah dia telah terbebas dari belenggu ikatan itu. Dia telah bebas, sama bebasnya dengan Ci Sian. Inilah agaknya yang mendatangkan rasa senang sekali di saat dia berlari di samping Ci Sian itu. Benarkah dia telah jatuh cinta kepada dara ini? Dara yang memanggilnya paman, yang memang sepatutnya menjadi keponakannya? Dia tahu bahwa usia Ci Sian kurang lebih baru tujuh belas tahun, sedangkan dia sendiri sudah berusia dua puluh tujuh tahun! Pantaskah kalau dia jatuh cinta kepada dara remaja ini?

Akan tetapi, pada saat itu keraguan kecil ini segera lenyap seperti awan tipis terhembus angin. Dia merasa gembira, bahkan dia ingin berloncatan dan bermain-main seperti kembali menjadi anak-anak, atau setidaknya kembali menjadi semuda Ci Sian.

Cinta asmara memang sesuatu pengalaman hidup yang amat luar biasa bagi setiap orang manusia. Segala macam perasaan tercakup lengkap di dalamnya. Ada dorongan-dorongan yang timbul dari dalam, bukan dari pikiran, yaitu membuat kita merasa amat mesra, ingin selalu berdekatan, ingin selalu memandang, ingin selalu menyenangkan hatinya, ingin selalu mendengar suaranya. Ada sesuatu yang sukar diselidiki, yang timbul di luar kesadaran kita, sesuatu yang amat mengharukan, yang mendorong hati kita untuk condong bersatu dengan dia, takkan terpisah lagi, ada sesuatu yang lebih dari pada sekedar kegembiraan, sekedar dorongan birahi belaka.

Tetapi, jika kita tak berhati-hati, pikiran yang selalu ingin mengejar kesenangan pribadi, baik kesenangan jasmani atau rohani, pikiran dapat menimbulkan bayangan-bayangan kenikmatan nafsu yang menjurus kepada nafsu birahi dan sekali nafsu menguasai batin, menjadi yang terpenting, maka akan cemarlah yang dinamakan cinta itu. Birahi adalah soal yang wajar, tuntutan jasmani, daya tarik antara pria dan wanita, yang alamiah karena dari daya inilah lahirnya keinginan untuk bersatu dan dari sinilah pula datangnya rahasia perkembang-biakan manusia, anak beranak.

Daya tarik ini merupakan sesuatu yang wajar, tanpa ada unsur kesengajaan, karenanya alamiah dan gaib, dan hal itu tercakup pula dalam cinta. Akan tetapi, begitu nafsu birahi dipupuk oleh pikiran dengan dasar mencari kepuasan atau kenikmatan, akan rusaklah segala-galanya dan cinta menjadi sesuatu yang mungkin saja menimbulkan segala macam kerusakan, kekerasan, konflik dan kesengsaraan. Cinta yang telah dicengkeram dan dikuasai oleh nafsu birahi itu, yang pada hakekatnya adalah nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri belaka, akan menimbulkan cemburu, ingin menguasai, dan bahkan dapat berbalik menjadi benci kalau keinginan menyenangkan dirinya sendiri itu terhalang.

Akan tetapi, kalau pikiran membentuk nafsu keinginan menyenangkan diri sendiri itu tidak mencampuri, tidak mengotori, yang tinggal hanyalah kewajaran cinta yang amat indah, cinta yang sinarnya memenuhi seluruh jagat dan menembus ke lubuk hati setiap orang manusia, yang getarannya menghidupkan segala sesuatu yang nampak mau pun yang tidak nampak. Kalau sudah ada sinar dan getaran cinta itu, maka tidak ada lagi persoalan, segala sesuatu menjadi indah dan suci, bahkan birahi pun menjadi sesuatu yang indah dan suci, cinta asmara antara seorang pria dan seorang wanita pun menjadi sesuatu yang indah dalam sinar cinta kasih
.

Pada saat Kam Hong berlari-larian dengan Ci Sian itu, sinar cinta kasih menerangi hatinya, mendatangkan perasaan yang amat luar biasa, kebahagiaan yang tak terpisah dari alam, dari segala-galanya yang nampak, batinnya begitu penuh dengan kebebasan dan keheningan, yang ada hanya rasa bahagia itu saja, yang lain-lain tidak ada lagi!

Kiranya tiap orang pernah merasakan hal ini, namun sayang, hanya sekilas saja karena batin sudah diserbu lagi oleh keinginan-keinginan memuaskan diri dengan kesenangan-kesenangan. Bahkan rasa bahagia itu pun lalu berubah menjadi kesenangan yang dikejar-kejar! Sungguh sayang.....

Ketika mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba Ci Sian yang agak terengah-engah karena memang tenaganya belum kuat benar dan dia tadi telah mengerahkan terlalu banyak tenaga, berhenti berlari dan menuding ke depan. Keringat halus memenuhi leher dan dahinya.

Kam Hong ikut memandang ke depan dan nampaklah olehnya seorang pemuda di atas lereng bukit di depan, lalu pemuda itu berhenti dan muncul dua orang kakek. Agaknya terjadi percekcokan dan pemuda itu berkelahi dengan dua orang kakek. Akan tetapi hanya dalam waktu singkat, pemuda itu kena ditawan, agaknya pingsan lalu dipanggul oleh seorang di antara dua kakek itu dan dibawa pergi.

“Dia itu Cu Pek In....!” kata Kam Hong. “Ci Sian, kau tunggu saja di sini, aku harus mengejar mereka dan menolong Nona Cu!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat saja Kam Hong telah pergi dan lenyap dari situ, mengejar ke depan, turun dari puncak bukit itu.

Ci Sian juga mengenal bahwa pemuda yang ditawan oleh dua orang kakek itu adalah Cu Pek In, gadis puteri majikan Lembah Suling Emas atau yang kini dirubah namanya menjadi Lembah Naga Siluman, merasa tidak enak ditinggal sendirian saja di puncak bukit yang sunyi itu. Maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya ikut lari mengejar turun dari puncak itu. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu sudah tidak nampak lagi bayangan mereka dan juga Kam Hong sudah lenyap sehingga Ci Sian menjadi bingung, akan tetapi dia masih terus mengejar, lari turun bukit menuju ke bukit di mana tadi Pek In dan dua orang kakek itu nampak.

Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh keringat, akhirnya terpaksa Ci Sian berhenti di lereng bukit itu karena dia merasa bingung. Dia tidak tahu ke mana larinya dua orang kakek yang menawan Cu Pek In tadi, juga tidak lagi melihat bayangan Kam Hong yang mengejar mereka. Dia juga tidak tahu apakah dia tidak tersesat jalan. Dia merasa bingung dan khawatir.

Membayangkan bahwa dia akan terpisah selamanya dari Kam Hong, ingin rasanya dia menangis dan ingin dia berteriak-teriak memanggil nama Kam Hong. Akan tetapi dia menahan diri. Dia merasa malu kalau harus berteriak-teriak memanggil, apalagi baru saja Kam Hong telah menegurnya. Dia tidak akan sembarangan lagi membuka mulut. Pula, Kam Hong adalah seorang pendekar yang memiliki kesaktian hebat, apa sukarnya bagi pendekar itu untuk mencari dan menemukannya? Dia harus bersikap tenang, seperti Kam Hong. Bukankah dia juga diakui sebagai adik seperguruan? Masa adik seperguruan Pendekar Suling Emas yang perkasa itu harus menjadi seorang gadis cengeng dan penakut?

Dengan pikiran itu yang merupakan hiburan baginya, pulihlah kembali semangat dan keberaniannya dan mulailah dia berjalan menuruni bukit itu dengan hati-hati sambil memasang mata, tidak lagi lari seperti tadi. Hari telah makin menua, matahari mulai ke barat, dan biar pun dia mulai merasa khawatir lagi, namun diberani-beranikan hatinya dan dia melangkah terus. Dia mendaki bukit penuh salju di depan karena dia melihat tapak kaki di atas salju tebal.

Ketika tiba di lereng bukit itu, tiba-tiba dia berhenti melangkah dan memasang telinga dengan penuh perhatian. Ada suara berdengung-dengung atau mengaung-ngaung dari arah kiri. Tadinya dia mengira bahwa itu suara suling dari Kam Hong, tetapi ternyata bukan, suara suling tidak seperti itu, mengaung dan kadang-kadang berdesing tajam itu lebih mirip suara gerakan pedang yang luar biasa sekali, akan tetapi dia pun meragu karena mana mungkin gerakan pedang biasa berdengung seperti itu, seperti berirama dan menyanyikan lagu aneh.....


Betapa pun juga, dia merasa yakin bahwa itu pasti bukan suara angin bertiup melalui lubang atau mempermainkan pohon karena di bukit itu semua pohon gundul tertutup salju. Satu-satunya kemungkinan adalah bahwa suara itu tentu ditimbulkan oleh manusia, dan siapa pun adanya manusia itu, harus dia temui untuk ditanya kalau-kalau tadi melihat Kam Hong. Dan siapa pun dia, lebih baik bertemu manusia lain dari pada berkeliaran seorang diri saja di tempat yang lengang itu.

Dengan hati tabah dia lalu melanjutkan langkahnya, kini dengan langkah lebar menuju ke kiri, melalui bagian yang banyak batunya dan akhirnya dia tiba di depan sebuah batu besar sekali dan berhenti, memandang dengan bengong dan mau tidak mau bulu tengkuknya meremang karena kini jelas olehnya bahwa suara mengaung-ngaung itu keluar dari dalam batu besar itu! Hampir dia tidak percaya! Akan tetapi tak salah lagi, suara itu keluar dari dalam batu besar. Dia menempelkan telinganya pada batu itu dan suara itu makin jelas, dan kini dia tidak salah lagi, suara itu pasti suara gerakan pedang yang memang amat luar biasa sekali. Akan tetapi, mana mungkin pedang digerakkan orang di dalam sebuah batu yang amat besar, sebesar pondok?

Mulailah dia membayangkan siluman atau iblis penghuni batu besar itu. Akan tetapi, selama hidupnya, biar pun dia sering kali mendengar dongeng tentang setan dan iblis, dia belum pernah bertemu dengan iblis! Maka dia lalu mengambil sebuah batu dan mengetuk-ngetuk batu besar itu beberapa kali. Dan tiba-tiba suara mengaung-aung itu pun berhenti! Suasana menjadi sunyi sekali setelah suara itu berhenti, sunyi yang terasa amat tidak enak bagi Ci Sian. Suara itu setidaknya meyakinkan dia bahwa dia tidak seorang diri saja di tempat yang lengang itu. Dan menghilangnya suara itu membuat dia merasa ditinggalkan sendirian lagi. Maka dia mengetuk-ngetuk lagi pada batu besar dan kini disusul teriakannya, “Haiii! Adakah orang di dalam batu ini?”

Karena ketegangan hatinya takut ditinggalkan orang, Ci Sian sampai tidak sadar betapa lucu pertanyaan yang dikeluarkannya itu. Biasanya, jika orang bertanya, tentu bertanya apakah ada orang di dalam rumah, tetapi kini dia bertanya apakah ada orang di dalam batu! Mana mungkin ada orang di dalam batu?

“Haiii! Siapakah yang berada di dalam batu ini?” kembali dia berteriak dan memukul-mukulkan batu yang dipegangnya itu pada batu besar.

Mendadak terdengar suara dari dalam batu itu! Suara itu terdengar aneh, seperti mulut tersumbat, akan tetapi cukup dapat didengarnya, “Sumoi, engkaukah itu?”

Bukan main girang hatinya. Tentu itu Kam Hong! Siapa lagi yang menyebutnya sumoi kalau bukan Kam Hong? Meski biasanya Kam Hong menyebutnya Ci Sian, akan tetapi bukankah pendekar itu sudah mengakui dia sebagai sumoi-nya? Dan kalau suara Kam Hong seperti itu, tidak aneh karena pendekar itu berada di dalam batu! Tentu suaranya seperti tersumbat. Dan di dunia ini mana ada manusia lain kecuali Kam Hong yang memiliki cukup kesaktian untuk masuk ke dalam batu besar?

“Benar, Suheng, ini aku!” teriaknya dengan nyaring. Karena Kam Hong menyebutnya sumoi, mengapa dia tidak menyebutnya suheng? Masa kalau dia dipanggil sumoi (adik seperguruan), lalu dia menjawabnya dengan sebutan paman? Dan lagi, kalau diingat-ingat, dia memang jauh lebih senang menyebut suheng dari pada menyebut paman kepada Kam Hong.

“Mau apa engkau datang menyusulku, Sumoi?” kembali terdengar suara itu, suara aneh karena tentu saja tidak leluasa keluarnya dari dalam batu itu.

“Mau apa menyusulmu?” Ci Sian mulai terheran dan mendongkol! Jangan-jangan Kam Hong telah menjadi miring otaknya, jika tidak masa menyembunyikan diri di dalam batu besar seperti itu dan masih bertanya lagi kepadanya mengapa dia datang menyusul?

“Bukalah aku mau bicara!” katanya dengan nyaring karena tidak enak jika berbantahan dari luar dan dalam batu!

“Tunggu sebentar....!”

Ci Sian melangkah mundur. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana Kam Hong akan keluar dari dalam batu itu. Jangan-jangan batu itu akan meledak dari dalam. Yang lebih mengherankan lagi, bagaimana masuknya? Dia menyabarkan diri karena kalau sudah keluar, tentu Kam Hong akan dapat menjawab semua keheranannya.

Mendadak batu besar itu bergerak ke kanan! Dalam keheranannya, Ci Sian hendak menegur, tetapi dia menahan diri ketika melihat betapa di balik batu itu kelihatan lubang hitam yang makin lama semakin melebar. Setelah lebarnya cukup, batu itu berhenti dan dari dalam goa yang tersembunyi di balik batu besar itu muncullah seorang pemuda yang langsung meloncat keluar. Ci Sian terkejut, pemuda itu pun terkejut ketika mereka saling pandang. Lalu wajah mereka nampak berseri ketika mereka saling mengenal.

“Engkau....?”

“Engkau....?” Pemuda itu pun berseru hampir berbareng. “Bukankah engkau ehhh...., Siauw Goat dan kita pernah berjumpa lima tahun yang lalu?” Suaranya penuh keraguan karena ketika dia bertemu dengan dara ini, belumlah sebesar ini, masih merupakan seorang gadis cilik, bukan seorang dara remaja yang cantik jelita seperti ini.

“Dan engkau tentu Sim Hong Bu, pemuda pemburu itu, bukan?” Ci Sian menjawab.

“Kau tadi kusangka Sumoi....”

“Dan engkau kusangka Suheng....”

Keduanya diam dan segera keduanya tertawa karena baru terasa oleh mereka betapa pertemuan itu membuat mereka terkejut, heran dan juga girang sekali sehingga mereka mengeluarkan kata-kata yang hampir berbareng dan bersamaan artinya, sehingga tidak terjadi tanya jawab sebagaimana mestinya dan percakapan itu menjadi kacau!

“Hong Bu, ketika kita saling jumpa, kita masih belum dewasa, masih kecil. Akan tetapi engkau dapat mengenalku dengan seketika, apakah aku masih sama saja dengan ketika masih kecil dahulu?”

Hong Bu yang sejak tadi memandang dengan bengong seperti orang penuh pesona, penuh kagum, mendengar pertanyaan yang jujur itu, lalu menjawab sejujurnya pula. “Memang tidak ada bedanya dalam pandang matamu yang tajam, senyummu yang khas, akan tetapi engkau.... engkau sekarang, hemmm, cantik jelita sekali, Siauw Goat!”

Tiba-tiba wajah dara itu berubah merah, bukan merah karena marah melainkan karena malu, dan untuk menyembunyikan rasa malu ini dia cepat berkata, “Jangan sebut aku Siauw Goat lagi, Aku bukan anak kecil lagi maka namaku bukanlah Bulan Kecil lagi, melainkan Ci Sian, Bu Ci Sian. Hong Bu, siapakah adanya Sumoi-mu yang tadi kau sebut-sebut?”

“Bu Ci Sian....? Sungguh nama yang indah sekali... tetapi mengapa dulu namamu Siauw Goat....?”

Mendengar pujian ini dan betapa Hong Bu tidak menjawab pertanyaannya, bahkan bertanya tentang namanya, Ci Sian cemberut, akan tetapi menjawab juga. “Siauw Goat hanya nama julukan yang diberikan orang kepadaku di waktu aku masih kecil saja, namaku yang sebenarnya adalah Bu Ci Sian, akan tetapi nama itu sama sekali tidaklah indah....“

“Siapa bilang tidak indah? Nama itu bagus sekali, Siauw.... ehhh, Ci Sian!”

“Sudahlah, sekarang jawab pertanyaanku, siapakah Sumoi-mu itu?”

“Sumoi-ku? Ahh, Sumoi-ku bernama Cu Pek In....“

Hong Bu terhenti karena melihat betapa dara itu menjadi terkejut sekali dan wajah dara yang jelita itu berubah, alisnya berkerut dan pandang matanya tak senang. Kemudian, semakin terkejutlah hati Hong Bu ketika dia melihat dara itu mengepal tinjunya dan melangkah maju mendekatinya dengan sikap mengancam.

“Bagus, jadi engkau adalah murid keluarga Cu yang jahat itu, ya? Engkau murid keluarga siluman itu? Nah, suatu kesempatan bagiku untuk membasmi muridnya lebih dulu sebelum membasmi guru-gurunya!” Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali Ci Sian lalu menerjang ke depan dan menyerang dada Hong Bu!

“Eh, Ci Sian.... eh, ada apa ini....?” Hong Bu terkejut akan tetapi dia hanya mengelak ke kanan kiri saat dara itu menyerangnya secara bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan yang mengandung tenaga yang cukup dahsyat. Akan tetapi Ci Sian tak bicara lagi, melainkan menyerang semakin ganas.

Harus diketahui bahwa pada saat itu tingkat kepandaian Sim Hong Bu telah mengalami perubahan yang amat hebat. Selama hampir lima tahun dia telah digembleng oleh tiga orang kakak beradik Cu yang melatihnya dengan tekun dan keras, sesuai dengan pesan mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. Dan karena Hong Bu memang seorang anak kecil yang amat berbakat, ditambah lagi semangatnya yang besar, maka dalam waktu empat tahun saja dia telah menguasai dasar-dasar ilmu silat tinggi keluarga itu dengan baiknya, bahkan dalam hal penghimpunan tenaga sinkang dan kematangan ilmu silat, dia telah jauh melampaui Cu Pek In, dan bahkan sudah mendekati tingkat Cu Kang Bu atau pun Cu Seng Bu.

Kini, dia mulai disuruh oleh guru-gurunya untuk mengasingkan diri di dalam goa di mana ia pernah diajak oleh Yeti, dan disuruh mematangkan ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya selama ini dan juga untuk mulai melatih diri dengan ilmu-ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang Kwan, terutama sekali Ilmu Pedang Koai-liong-kiam itu.

Oleh karena itu, kini menghadapi Ci Sian, kalau dia mau melawan tentu tidak sukar baginya untuk merobohkan dara ini yang belum benar-benar menerima pelajaran ilmu silat dari Kam Hong. Akan tetapi, Sim Hong Bu sama sekali tidak tidak mau melawan. Begitu berjumpa dengan Ci Sian, terjadi sesuatu yang aneh dalam hatinya. Ia terpesona dan kagum, tertarik sekali kepada dara yang pernah dijumpainya lima tahun yang lalu itu. Kini menghadapi serangan-serangan ganas dari Ci Sian, dia hanya merasa terkejut dan terheran-heran saja. Sedikit pun ia tak bermaksud untuk melawan, hanya mengelak terus dan kadang-kadang saja menangkis tanpa menggunakan terlalu banyak tenaga karena dia tidak ingin menyakiti lengan Ci Sian.

Akan tetapi, hal itu malah menambah kemarahan dan rasa penasaran di dalam hati Ci Sian. Melihat betapa Hong Bu hanya selalu mengelak dan menangkis tanpa membalas sedikit pun, sedangkan dia sudah mengeluarkan semua kepandaian untuk menyerang dan semua tiada hasilnya sama sekali membuat dia penasaran dan hampir menangis.

“Balaslah! Hayo balaslah, kau pengecut, murid keluarga iblis!” bentaknya berkali-kali sambil terus menyerang.

Hong Bu yang merasa terkejut dan terheran-heran itu mengerti bahwa sikapnya yang tidak melawan itu agaknya malah menyinggung hati Ci Sian. Dia tidak mengerti akan watak yang dianggapnya aneh dan lucu itu, akan tetapi dia pun merasa kasihan ketika mendengar betapa di dalam suara dara itu terkandung isak tertahan. Maka ketika Ci Sian memukul lagi ke dadanya, dia sengaja berlaku lambat ketika mengelak.

“Dukkkk....!” Tubuhnya terlempar ke belakang dan terpelanting.

Begitu melihat pukulannya mengenai sasaran, Ci Sian merasa girang akan tetapi juga berbareng merasa kaget bukan main. Akan tetapi hatinya lega melihat Hong Bu tidak mati dan dia malah menjadi ragu-ragu untuk menyerang lebih lanjut ketika melihat Hong Bu bangkit kembali dengan wajah memperlihatkan rasa penasaran dan juga kedukaan itu.

“Ci Sian, harap kau bersabar.... mengapa engkau marah-marah dan benci kepadaku, lalu menyerang tanpa alasan?” Hong Bu bertanya sambil mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor oleh debu saat ia terjatuh tadi. Tentu saja pukulan yang sengaja diterimanya dengan dada tadi sama sekali tidak melukainya dan tidak terasa nyeri karena dia sudah melindungi dadanya dengan sinkang yang lemas sehingga dara itu pun tidak sampai terluka tangannya.

Ci Sian memandang ke arah dada kiri pemuda yang terpukul olehnya tadi. Dia tadi mengerahkan tenaga dan pukulannya tadi keras sekali, cukup keras untuk membunuh orang!

“Tidak.... tidak sakitkah dadamu yang kupukul?”

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Hong Bu tertawa. Akan tetapi dia cukup cerdik untuk menahan rasa geli di hatinya itu dan juga dia merasa amat girang. Kiranya Ci Sian bukanlah seorang dara kejam, buktinya begitu dia kena terpukul, gadis itu bertanya dengan nada penuh kekhawatiran! Maka dia cepat-cepat meringis dan mengusap-usap dadanya yang tadi terpukul.

“Bukan main nyerinya.... pukulanmu tadi kuat dan dahsyat sekali.... akan tetapi.... tidak mengapalah, biarlah sebagai hukumanku kalau aku memang bersalah. Akan tetapi, bersalahkah aku kepadamu, Ci Sian? Dan kalau ada salah, apakah kesalahanku itu maka engkau menjadi begitu marah dan memukulku?”

Setelah dia berhasil memukul dada Hong Bu, sudah lenyaplah rasa penasaran dan kemarahan dari hati Ci Sian dan timbul rasa kasihan kepada pemuda itu. Bagaimana pun juga, pemuda itu sama sekali tidak mempunyai kesalahan apa pun terhadap dia. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau mengakui hal ini dan dengan muka tetap cemberut, biar pun suaranya tidak sekeras tadi dia berkata, “Keluarga Cu itu gurumu, bukan? Benar, keluarga penghuni Kim-siauw San-kok (Lembah Gunung Suling Emas ) karena mulai sekarang mereka tidak berhak memakai lagi nama julukan Suling Emas. Mereka itu telah kalah oleh Suheng-ku dan sudah berjanji tak akan lagi memakai nama Suling Emas.”

“Ehh, apakah yang telah terjadi, Ci Sian? Aku tidak mengerti apa yang kau katakan itu, juga aku sama sekali tidak tahu mengapa engkau memusuhi keluarga Cu sehingga engkau marah-marah kepada aku yang menjadi murid mereka. Marilah, kita duduk dan bicara dengan tenang.”

Mereka lalu duduk di depan batu besar yang menutupi goa itu. Ci Sian sudah tak marah lagi sungguh pun ada rasa kecewa dalam hatinya bahwa pemuda yang menyenangkan ini ternyata adalah murid dari musuh-musuhnya yang dibencinya. Ya, dia membenci keluarga Cu, karena bukankah keluarga itu hendak membunuhnya, bahkan pada waktu menjelang perpisahan, Cu Han Bu masih juga mengeluarkan ancamannya?

“Nah, sekarang ceritakanlah kepadaku, apa artinya semua ini, Ci Sian?”

“Ceritakan dulu bagaimana engkau tiba-tiba saja menjadi murid mereka,” kata Ci Sian.

Hong Bu tersenyum, kemudian menarik napas panjang. Dara ini sungguh amat memikat hatinya, dan biar pun dara ini sedang berada dalam keadaan marah, akan tetapi tidak mengurangi daya tariknya yang amat kuat. Dan dia merasa yakin bahwa kemarahan dara itu kepadanya secara tiba-tiba bukannya tidak ada alasannya yang kuat, karena itu biar pun belum mendengarkan alasan itu pun dia sudah dengan rela memaafkan gadis itu!

“Aku menjadi murid mereka secara kebetulan saja,” dia mulai menceritakan keadaan dirinya. Dia harus merahasiakan tentang mendiang Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti. “Secara kebetulan aku terbawa oleh rombongan orang-orang kang-ouw menjadi tamu di Lembah Suling.... ehhh, di lembah keluarga Cu itu dan karena ternyata bahwa pedang Koai-liong-kiam berada di tanganku, maka aku ditetapkan menjadi ahli waris pedang itu dan ilmunya, dan karena pedang itu berasal dari keluarga Cu, maka dengan sendirinya aku menjadi murid mereka. Selama hampir lima tahun aku belajar ilmu dari mereka, yaitu ketiga orang Suhu-ku she Cu itu. Nah, demikianlah pengalamanku mengapa aku dapat menjadi murid mereka, Ci Sian. Dan sekarang, ceritakanlah mengapa engkau membenci mereka....?”

“Jika engkau murid mereka, mengapa engkau kini berada di sini sehingga engkau tidak tahu apa yang terjadi di lembah?” Ci Sian masih merasa tidak puas.

“Sejak tiga bulan yang lalu aku tidak pernah keluar dari dalam goa di balik batu ini, Ci Sian, karena telah tiba saatnya bagiku untuk mempelajari ilmu pedang yang diwariskan kepadaku. Kalau tidak engkau mengetuk-ngetuk pada batu tadi, sampai sekarang pun aku belum keluar dari dalam goa itu.”

“Dan kau sangka.... aku.... Sumoi-mu.... hemm.... gadis yang berpakaian pria itu?”

“Ya, benar. Kau sudah mengenal Sumoi Cu Pek In?”

“Tentu saja, aku sudah bertemu dengan banci itu!”

“Banci?” Sepasang mata Hong Bu terbelalak heran.

“Ya, banci. Seorang dara yang selalu mengenakan pakaian pria, apalagi kalau bukan banci namanya?”

Hong Bu tertawa geli dan Ci Sian memandang marah. “Kenapa kau tertawa?”

“Karena kau lucu, Ci Sian. Dia bukan banci. Dia berpakaian pria semenjak kecil, karena dahulu, mendiang ibunya ingin sekali mempunyai seorang anak laki-laki. Maka dia menjadi terbiasa dan sampai sekarang suka sekali berpakaian pria.”

Mendengar bahwa ibu dari Pek In sudah tiada, diam-diam Ci Sian merasa berkurang bencinya kepada dara yang senasib dengan dia itu.

“Apakah yang telah terjadi di lembah dan mengapa engkau dapat datang ke tempat ini, Ci Sian?”

“Aku dan Suheng, kau tahu siapa Suheng, dia adalah Pendekar Suling Emas tulen Kam Hong, datang....”

“Ahhh.... ! Pendekar perkasa yang dahulu pernah menolong kita itu? Yang senjatanya mempergunakan suling emas dan kipas?”

“Benar, dialah orangnya!” kata Ci Sian bangga. “Karena Suheng merasa penasaran dengan julukan Lembah Suling Emas yang menyamai julukannya, maka kami datang ke lembah dan di sana, untuk menentukan siapa yang lebih berhak memakai nama Suling Emas, Suheng mengalahkan tiga orang she Cu itu....”

“Ahhh....!” Hong Bu terkejut, di dalam hatinya hampir tidak dapat percaya bahwa ketiga orang gurunya dapat dikalahkan orang.

“Apa ahhh?” Ci Sian menatap tajam.

“Tidak apa-apa, hanya aku teringat bahwa menurut penuturan para suhu, memang pusaka suling emas itu buatan nenek moyang keluarga Cu, seperti juga halnya pedang Koai-liong-kiam. Oleh karena itulah maka lembah itu dinamakan Lembah Gunung Suling Emas.”

“Andai kata benar begitu, suling itu sudah ratusan tahun menjadi milik keluarga Suheng Kam Hong, dan secara gaib Ilmu Kim-siauw Kiam-sut juga diwariskan kepada kami oleh pencipta suling itu, maka Suheng-lah yang berhak menyebut diri Suling Emas yang asli.”

“Lalu bagaimana, Ci Sian? Apakah dalam adu ilmu itu juga ada yang terluka atau tewas?” tanya Hong Bu dengan hati khawatir sekali. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi dan diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cu.

“Hemm, kalau Suheng tidak ingin memberi ampun, apa sukarnya bagi Suheng untuk membasmi mereka yang sombong itu? Suheng hanya mengalahkan mereka dan memenangkan hak memakai nama Suling Emas. Kami lalu meninggalkan lembah....“

“Kalau begitu, mana Suheng-mu itu? Dan mengapa engkau datang sendirian di sini? Jadi kau kira tadi aku Suheng-mu itukah?”

“Ya, aku sedang menyusul Suheng, maka kukira tadi engkaulah Suheng Kam Hong. Semua adalah gara-gara Si Banci.... ehhh, Cu Pek In itulah.”

“Gara-gara Sumoi? Mengapa? Apa yang terjadi?”

“Aku dan Suheng sedang meninggalkan lembah setelah menyeberangi tambang. Ketika kami tiba di puncak bukit, kami melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dan dari tempat jauh itu kami melihat betapa dia diserang dan ditawan oleh dua orang kakek....”

“Ahhh....!” Sim Hong Bu terkejut bukan main mendengar penuturuan ini.

“Melihat itu, Suheng lalu lari melakukan pengejaran dan meninggalkan aku,” kata Ci Sian dengan suara tak senang. “Maka aku lalu mengejar pula, akan tetapi tentu saja Suheng lenyap karena cepatnya gerakannya.”

“Ahhh! Ke mana perginya kakek yang menculik Sumoi itu? Aku harus menolongnya!”

“Hemm, kalau aku tahu, apa kau kira aku berada di sini? Aku pun sedang mencari-cari Suheng yang melakukan pengejaran.”

“Kalau begitu, biar aku mencarinya untuk membantu Suheng-mu menghadapi dua orang kakek itu dan menolong Sumoi.”

“Ke mana kau hendak mencarinya? Pula, kau pikir Suheng membutuhkan bantuanmu? Kita tunggu saja di sini, pasti Suheng akan datang membawa Sumoi-mu itu dalam keadaan selamat.”

“Benarkah? Benarkah Suheng-mu akan dapat menyelamatkannya? Apakah tidak perlu kucari mereka dan kubantu Suheng-mu?”

“Hemm, bantuanmu itu hanya akan membikin Suheng repot saja dan membantunya berarti menghinanya. Sudahlah, kita tunggu di sini, Suheng pasti akan dapat mencari aku di sini.”

Sejenak Hong Bu merasa bimbang. Akan tetapi kemudian menurut apa yang diusulkan oleh Ci Sian. Pertama, kalau dia mencari, ke mana dia harus mencari kalau tidak tahu ke arah mana sumoi-nya dilarikan dua orang kakek itu, dan juga, bukankah pendekar Kam Hong yang sakti itu telah melakukan pengejaran? Ke dua, kalau dia pergi, lalu bagaimana dengan Ci Sian yang seorang diri itu?

“Kalau begitu, marilah kita masuk ke dalam goa, Ci Sian. Hari sudah hampir gelap dan hawa akan sangat dingin malam ini di luar sini. Di dalam lebih hangat dan kita bisa menanti di dalam.”

“Akan tetapi bagaimana kalau Suheng datang mencariku di sini?“

“Hemm, bukankah Suheng-mu sedang menolong Sumoi? Sumoi tahu akan tempat ini walau pun dia belum pernah memasuki goa ini. Dan andai kata Sumoi langsung kembali ke lembah, besok pagi-pagi kita dapat menyusul ke lembah dan tentu kita akan mendengar segalanya dan engkau akan dapat bertemu dengan Suheng-mu.”

Karena tidak ada lain jalan dan memang cuaca mulai menjadi gelap dan hawa menjadi dingin sekali, Ci Sian mengikuti Hong Bu memasuki goa itu dan dia melihat dengan penuh takjub betapa pemuda itu mendorong batu besar itu dengan tangan kirinya saja untuk menutup lubang goa itu! Diam-diam dia merasa heran mengapa tadi ketika menangkisnya, dia tidak merasakan kedahsyatan tenaga tangan pemuda itu!

Akan tetapi dia tidak sempat lagi memikirkan hal ini karena ketika Hong Bu menyalakan api penerangan, dia menjadi takjub bukan main menyaksikan keindahan goa itu yang seolah-olah merupakan sebuah dunia lain dengan dinding-dinding es yang kemilau dan runcing bergantungan dari langit. Akan tetapi, untuk tidak membuka rahasia tempat itu, Hong Bu tidak mengajak Ci Sian ke sebelah dalam di mana terdapat mayat-mayat yang tidak rusak karena terbungkus oleh es. Mereka hanya duduk di ruangan depan yang luas dan Ci Sian menerima dengan girang ketika Hong Bu menghidangkan roti kering dan air jernih untuk makan malam.

Mereka makan minum sambil mengobrol dan diam-diam Hong Bu harus mengakui bahwa dia tertarik sekali kepada Ci Sian, dan dia merasa khawatir karena menduga bahwa dia telah jatuh cinta kepada dara itu! Segala gerak-gerik bibirnya ketika bicara, cara dara itu menggerakkan cuping hidung tanpa disadarinya, lesung pipit di tepi mulut sebelah kiri, cara dara itu memandang dengan kepala agak dimiringkan, cara dara itu mengusap anak rambut yang berjuntai di dahinya, pendeknya setiap gerak-gerik dara itu begitu menarik dan mempesonakan hatinya, membuatnya tergila-gila!

Di lain pihak, Ci Sian juga amat suka kepada Hong Bu karena semenjak pertemuan lima tahun yang lalu, dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda yang berwatak mulia, gagah perkasa dan juga jujur. Oleh karena itu, ketika malam telah larut dan dia telah mengantuk, dia tidak ragu-ragu sama sekali ketika Hong Bu mempersilakan dia mengaso dan tidur di atas setumpuk daun kering di sudut ruangan depan goa itu. Dia tidak merasa takut dan khawatir sama sekali dan sebentar saja, dara yang sudah lelah ini tertidur pulas.

Hong Bu berjaga tak jauh di situ sambil menjaga api unggun agar tidak sampai padam untuk memberi hawa hangat kepada dara yang sedang tidur pulas. Sambil menatap ke arah wajah dan tubuh yang tidur miring itu, berkali-kali Hong Bu menghela napas panjang. Melihat betapa hawa amat dingin dan biar pun di situ tidak sedingin di luar, apalagi sudah ada api unggun yang bernyala, akan tetapi tetap saja dara itu tidur meringkuk kedinginan, dia kemudian masuk ke dalam, mengambil baju mantelnya dan menyelimuti Ci Sian, kemudian duduk kembali dekat api unggun…..

********************

Sementara itu, Kam Hong yang melakukan pengejaran terpaksa harus mengerahkan tenaganya karena dua orang kakek yang menawan Pek In itu juga lihai sekali dan dapat melarikan diri dengan kecepatan luar biasa, dan selain itu memang jarak di antara mereka cukup jauh. Baiknya, dua orang kakek itu sama sekali tidak mengira bahwa kini mereka telah dikejar orang. Karena inilah agaknya maka Kam Hong akhirnya dapat juga menyusul dua orang kakek itu. Setelah kini dapat melihat jelas, diam-diam Kam Hong terkejut.

Dia belum pernah jumpa dengan dua orang kakek itu, akan tetapi melihat bentuk tubuh mereka, dia dapat menyangka bahwa dua orang kakek yang menawan Pek In itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau dia tidak salah, kakek yang berpakaian seperti tosu yang tingginya luar biasa itu, sedikitnya dua setengah meter, tentulah Ngo-ok Toat-beng Sian-su, sedangkan kakek berkepala gundul dan berpakaian hwesio, bertubuh gendut pendek sekali, hanya setengahnya Ngo-ok itu tentulah Su-ok Siauw Siang-cu atau orang ke empat Im-kan Ngo-ok!

Kam Hong telah mendengar tentang mereka satu demi satu, akan tetapi belum pernah bertemu dengan mereka. Kini, melihat betapa tubuh Pek In tidak bergerak dipanggul di pundak kakek tinggi kurus itu, dia mempercepat larinya. Akan tetapi, ternyata dua orang kakek itu lihai bukan main karena tiba-tiba mereka menengok dan melihat betapa ada orang mengejar mereka dengan amat cepatnya mereka pun segera mempercepat lari mereka!

Kam Hong terus mengejar dan ternyata dua orang itu melarikan diri ke sebuah kuil tua yang berada di kaki bukit, agaknya kuil kosong yang sudah ditinggalkan penghuninya bertahun-tahun yang lalu, karena kuil itu tidak terawat. Mereka berdua lenyap memasuki kuil melalui pintu depan yang tidak berdaun pintu lagi dan keadaan amat sunyi di situ ketika Kam Hong sampai di pekarangan depan kuil yang tidak terawat, yang dipenuhi dengan tumbuh-tumbuhan liar yang dapat tumbuh di tempat dingin itu. Tidak ada salju di sini, akan tetapi hawa udara bahkan lebih dingin dari pada di puncak bukit yang tertiup salju.

Kam Hong tidak berani ceroboh memasuki kuil. Dia tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi sekali, maka menghadapi mereka tak boleh disamakan dengan menghadapi penjahat-penjahat biasa. Sejenak dia meneliti keadaan dan setelah dia merasa yakin bahwa dari tempat dia berdiri itu dia akan dapat melihat apabila ada orang keluar dari dalam kuil itu baik melalui jurusan mana pun juga, dia lalu berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lengan bersilang di depan dada, kemudian dia berseru dengan suara tenang dan nyaring.

“Yang berada di dalam kuil, bukanlah Im-kan Ngo-ok? Silakan keluar, aku Kam Hong ingin bicara!”

Hening sejenak sampai gema suara Kam Hong itu menghilang. Kemudian terdengar teriakan dari dalam kuil. “Mana keluarga Cu? Apakah orang yang datang ini utusan keluarga Lembah Gunung Suling Emas?” Suara yang berteriak itu terdengar menggetar penuh dengan tenaga khikang yang amat kuat dan tahulah Kam Hong bahwa orang yang berteriak itu sengaja memamerkan kepandaian untuk menakutinya.

“Aku bukan utusan siapa pun, aku datang atas namaku sendiri karena melihat seorang gadis kalian tawan!” kata Kam Hong terus terang.

“Huh, apamukah Nona ini maka engkau lancang mencampuri?” terdengar suara orang membentak marah dari dari dalam kuil itu.

“Bukan keluarga, bukan teman, bukan apa-apa, tetapi melihat seorang gadis ditawan dengan paksa apakah kalian mengira bahwa aku akan diam saja? Im-kan Ngo-ok, telah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai datuk-datuk perkasa, apakah kini aku harus melihat kenyataan bahwa kalian hanyalah penculik-penculik gadis yang pengecut saja dan tidak berani menghadapi aku sebagai laki-laki?”

“Sombong....!”

Tiba-tiba sesosok bayangan seperti bola menggelundung dari pintu kuil dan tahu-tahu seorang pendek gendut seperti hwesio itu sudah mencelat ke depan dan menghantam ke arah dada Kam Hong setelah tadi menggelundung bagai seekor binatang trenggiling turun dari lereng. Hantaman itu dahsyat bukan main sampai angin pukulannya terasa menyambar oleh Kam Hong. Melihat serangan maut ini, Kam Hong maklum betapa lihai dan kejamnya orang ini, maka dia pun mengerahkan tenaga pada lengan kirinya dan menangkis.

“Dukkk! Bresss!”

Tubuh yang pendek gendut itu terguling dan kembali tubuh itu bergulingan menjauh, lalu meloncat bangun dengan mata terbelalak memandang ke arah pemuda yang mampu menangkis serangannya sehebat itu.

Dugaan Kam Hong memang tepat karena pada saat itu, dari pintu kuil keluarlah empat orang lain dan dengan penuh perhatian Kam Hong memandang ke arah mereka, dan dia kini bertemu dengan lima orang yang gambarannya telah lama dia dengar sebagai Im-kan Ngo-ok.

Orang pertama adalah seorang kakek yang wajahnya mirip sekali dengan seekor gorilla. Gerak-geriknya halus dan meski wajahnya mengerikan seperti gorila, namun mulutnya selalu membayangkan senyum ramah! Dia inilah Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.

Orang ke dua merupakan seorang nenek yang mukanya tertutup topeng tengkorak. Tubuhnya kecil ramping seperti tubuh wanita muda. Sepasang mata di balik tengkorak itu mencorong seperti mata setan, agak kemerahan mengerikan. Dia inilah Ji-ok Kui-bin Nio-nio orang ke dua dari Lima Jahat Dari Akhirat ini.

Orang ke tiga merupakan seorang kakek raksasa yang berkepala botak. Dia memakai mantel merah dan pakaiannya mewah, sikapnya penuh wibawa dan pandang matanya bengis. Inilah Sam-ok Ban-hwa Sengjin, orang ke tiga. Orang ke empat adalah Su-ok Siauw siang-cu yang tadi telah menyerang Kam Hong, seorang hwesio pendek gendut yang mukanya nampak gembira. Sedangkan orang ke lima, yang kini memanggul tubuh Pek In yang lemas, adalah Ngo-ok Toat-beng Sian-su yang jangkung seperti gila. Kakek ke lima ini mukanya selalu nampak sedih dan matanya sipit hampir selalu terpejam.

Setelah yakin benar bahwa mereka ini adalah Im-kan Ngo-ok, Kam Hong lalu menjura dan berkata. “Kiranya benar bahwa aku berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok yang sudah tersohor. Mengingat akan besarnya nama Ngo-wi, maka aku harap Ngo-wi akan dapat bersikap sesuai dengan kedudukan dan suka membebaskan gadis ini, dan aku bersedia minta maaf atas gangguanku ini.” Kam Hong tidak ingin menanam bibit permusuhan, apalagi dengan lima orang datuk kaum sesat ini. Bukan dia merasa takut, akan tetapi merasa segan untuk mencari permusuhan yang berarti akan mendatangkan gangguan terus-menerus dalam kehidupannya.

Lima orang itu pun mengamati Kam Hong dengan penuh perhatian dan mereka pun merasa heran mengapa mereka belum mengenal pemuda ini, padahal, melihat betapa pemuda ini tadi menangkis serangan Su-ok, jelas membuktikan bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan!

“Siapakah engkau?” tanya Toa-ok Su Lo Ti, seperti biasa suaranya amat halus dan ramah.

“Namaku Kam Hong dan sekali lagi kuharap Ngo-wi suka membebaskan gadis ini.”

“Hemmm, engkau sudah mengenal kami, akan tetapi masih berani mencampuri urusan kami? Apakah kau sudah bosan hidup? Ehhh, bocah she Kam, kalau kami tidak mau membebaskan gadis ini, habis kau mau apa?” tiba-tiba Su-ok yang merasa penasaran bertanya sambil mendekati Kam Hong.

“Kalau Ngo-wi tetap memaksa, apa boleh buat, aku akan memberanikan diri untuk menyelamatkan gadis ini dengan menggunakan kekerasan,” kata Kam Hong.

“Apa? Engkau menantang kami? Nah, mampuslah kalau begitu!” Su-ok sudah maju menerjang dan gerakannya cepat bukan main karena memang demikian watak para datuk sesat ini, selalu tak segan-segan menggunakan kecurangan demi untuk mencapai kemenangan.

Agaknya dari pertemuan tenaga pertama kali tadi, Su-ok maklum bahwa pemuda sastrawan itu bukan merupakan lawan yang lemah, maka kini begitu dia menyerang, dia telah mempergunakan ilmunya yang paling diandalkan, yaitu pukulan Katak Buduk. Angin pukulan dahsyat menyambar disertai bau yang amis sekali, menyambar ke arah perut Kam Hong!

Namun pemuda ini semenjak tadi sudah siap, maka pukulan itu pun sudah dihadapinya dengan tenang. Cepat-cepat dia mengelak ke kiri dan mengambil keputusan untuk tidak memperpanjang waktu perkelahian. Yang terpenting bukanlah perkelahian itu, tetapi bagaimana dia harus menyelamatkan Pek In yang masih berada dalam pondongan Ngo-ok. Kalau dia dapat merampas Pek In, dia dapat melarikan dara itu dan dia percaya bahwa dia akan dapat melarikan diri dengan selamat mengandalkan ginkang-nya yang sekarang sudah meningkat dengan hebat sekali semenjak dia mempelajari ilmu dengan menghimpun khikang melalui ilmu bertiup suling.

Maka, sekali mengelak ke kiri, dia sudah menubruk ke arah Ngo-ok yang berdiri tak jauh dari situ, tangan kiri mencengkeram ke arah muka Si Tinggi Kurus itu sedangkan tangan kanannya berusaha untuk merampas tubuh Cu Pek In. Serangan ini dilakukan dengan kecepatan kilat sehingga mengejutkan Ngo-ok. Akan tetapi, sayang sekali bahwa justru Ngo-ok ini merupakan orang yang paling tinggi ginkang-nya di antara para saudaranya, maka walau serangan itu amat hebat dan mengejutkan, Si Jangkung itu masih mampu melesat ke samping sehingga cengkeraman kedua tangan Kam Hong itu meleset dan saat itu Su-ok sudah datang lagi menubruk dan menghantamnya.

Terpaksa Kam Hong menangkis dan melayani Su-ok yang merupakan seorang lawan yang tidak boleh dipandang ringan. Selagi dia mendesak Su-ok, tiba-tiba ada sambaran angin dari belakangnya. Cepat dia membalik dan menangkis sambil balas memukul. Kiranya Ngo-ok sudah datang pula mengeroyoknya! Ketika Kam Hong melirik, ternyata bahwa Si Jangkung itu telah melepaskan Pek In ke atas tanah, akan tetapi dara itu berada dalam keadaan tertotok sehingga tidak mampu bergerak dan di sana masih ada tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang menjaganya! Diam-diam Kam Hong merasa kecewa sekali. Kalau begini caranya, akan lebih sukar untuk merampas Pek In dan agaknya jalan satu-satunya baginya adalah bahwa dia harus mengalahkan mereka lebih dulu!

“Baiklah kalau kalian menghendaki kekerasan!” bentaknya.

Dan segera tubuhnya bergerak dengan aneh dan cepat. Sedemikian cepat gerakannya sehingga para pengeroyoknya itu tidak merasa mengeroyok satu orang lagi, bahkan seakan mereka berhadapan dengan lebih dari dua orang! Apalagi karena Kam Hong mengerahkan tenaga khikang sehingga setiap kali mereka beradu lengan, Su-ok dan Ngo-ok selalu terpental dan terhuyung, tanda bahwa mereka berdua itu kalah kuat!

Melihat betapa lihainya lawan, Ngo-ok mengeluarkan gerengan seperti seekor serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik dan dia sudah menyerang Kam Hong dengan kedua kakinya yang panjang dan berada di atas, dibantu oleh kedua tangan dari bawah. Gerakannya bahkan lebih gesit dan lebih cepat dibandingkan kalau dia berdiri dengan kedua kaki di bawah! Sedangkan Su-ok juga sudah mengirim pukulan-pukulan Katak Buduk yang amat dahsyat itu.

Akan tetapi, Kam Hong tidak gentar menghadapi mereka. Dengan Khong-sim Sin-ciang, dibantu oleh tenaga khikang dahsyat yang disalurkan kepada seluruh tubuh, terutama kepada kedua lengannya, dia masih dapat mendesak kedua orang lawan itu, bahkan dia telah berhasil menampar masing-masing satu kali kepada dua orang pengeroyoknya dan biar pun tamparan itu tidak mengenai dengan telak, namun cukup membuat mereka menjadi agak jeri dan selanjutnya terus didesaknya dua orang lawan itu dengan hebat.

Melihat ini, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok terbelalak memandang penuh kagum. Kalau saja yang dikeroyok oleh Su-ok dan Ngo-ok itu merupakan tokoh kang-ouw sakti yang sudah mereka kenal maka tentu saja mereka tidak akan merasa penasaran dan heran melihat betapa mereka terdesak. Akan tetapi pemuda ini sama sekali belum mereka kenal. Bagaimana mungkin kini pemuda yang agaknya baru muncul di dunia kang-ouw ini telah dapat memiliki ilmu kepandaian sedemikian lihainya?

“Tahan....!” Tiba-tiba Sam-ok meloncat ke depan dan menahan pukulan Kam Hong yang mendesak Su-ok yang sudah bergulingan itu.

“Dukkkk!”

Sam-ok tergeser mundur oleh tangkisan itu dan diam-diam dia makin terkejut. Ketika dia menangkis untuk menyelamatkan Su-ok dan juga untuk menghentikan perkelahian itu tadi, dia menggunakan tenaga sepenuhnya, akan tetapi pertemuan tenaga lewat lengan itu ternyata membuat dia terdorong dan kuda-kudanya tergeser! Bukan main hebatnya kekuatan pemuda sastrawan ini, pikirnya.

Karena pihak lawan minta perkelahian dihentikan dan ingin bicara, Kam Hong tidak melanjutkan serangan dan dia pun berdiri tegak dan memandang dengan sikap tenang, namun dengan penuh kewaspadaan karena dia sudah mendengar akan nama Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang paling curang dan paling jahat.

“Orang she Kam, sesungguhnya kami tidak ingin bermusuhan dengan engkau yang tidak kami kenal. Biar pun engkau memiliki sedikit kepandaian, akan tetapi jangan harap engkau akan dapat menentang kami. Jangan kau mencampuri urusan kami yang tidak kau ketahui sama sekali.”

“Hemm, apa artinya aku bersusah payah mempelajari ilmu jika aku harus mendiamkan saja melihat seorang dara diculik orang?” jawab Kam Hong dengan suara dingin.

“Ah, kau salah paham, sobat muda,” kata Sam-ok dengan nada suara mengejek. “Kami tidak bermaksud mengganggu anak perempuan ini. Kami hanya menahannya untuk memaksa ayahnya datang menemui kami....“

“Hemm.... sungguh cara yang curang untuk bertemu dengan penghuni Lembah Gunung Suling Emas. Kalau ada kepentingan, mengapa tidak langsung saja menemui keluarga Cu di sana?” Kam Hong mencela. “Mengapa harus menawan puterinya?”

Lima orang itu saling lirik. “Aha, jadi engkau mengenal mereka, ya? Engkau sahabat mereka dan hendak membela mereka?”

“Aku bukan sahabat mereka dan aku hanya membela orang yang terancam bahaya, dalam hal ini adalah Nona inilah. Bebaskan dia dan aku tak akan mencampuri urusanmu dengan keluarga Cu di sana.”

“Engkau tidak tahu persoalannya, orang muda. Kami ingin keluarga itu menukar puteri mereka dengan pedang pusaka yang kami kehendaki....”

“Hemm, Koai-liong Po-kiam yang diperebutkan itu, ya?” Kam Hong sudah mendengar tentang ribut-ribut pedang pusaka itu yang dulu kabarnya dilarikan pencuri dari istana kaisar. “Aku pun tidak peduli tentang pedang itu, akan tetapi rebutlah dengan cara yang jantan, bukan dengan menawan seorang gadis remaja.”

“Bocah sombong, engkau sungguh bosan hidup!” Sam-ok sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia sudah menerjang dengan dahsyatnya.

Kam Hong cepat mengelak dan balas menyerang, akan tetapi pada saat itu Su-ok dan Ngo-ok sudah mengeroyoknya pula. Dikeroyok oleh tiga orang tokoh yang lihai ini, terutama sekali Sam-ok yang lebih lihai dari pada Su-ok dan Ngo-ok, Kam Hong merasa repot juga. Ilmu kepandaian tiga orang pengeroyoknya itu telah berada di tingkat yang amat tinggi dan jurus-jurus ilmu silat mereka aneh-aneh dan berbahaya sekali, maka Kam Hong menggerakkan tangan kirinya dan nampak sinar putih ketika dia mencabut kipasnya dan dia pun mulai melayani mereka dengan kipasnya. Dengan ilmu silat Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan) yang telah diwarisinya dari peninggalan nenek moyangnya, dia melawan mereka, dibantu oleh tangan kanannya yang melancarkan tamparan-tamparan dan totokan-totokan dahsyat, dia berhasil menahan mereka bertiga.

Tentu saja Sam-ok merasa penasaran sekali melihat betapa mereka bertiga sama sekali tak mampu mendesak lawan, bahkan dia sendiri pun harus berhati-hati karena gerakan kipas itu benar-benar amat dahsyat. Semua serangan kandas oleh tangkisan-tangkisan gagang kipas yang sambil menangkis juga lantas menotok jalan darah di pergelangan tangan atau sikut, dan angin yang menyambar dari kipas yang dikembangkan kadang-kadang membuat dia bingung sehingga dua kali dia hampir tertotok oleh gagang kipas. Harus diakuinya bahwa tanpa bantuan dua orang saudaranya, seorang diri saja dia akan sukar sekali dapat bertahan melawan pendekar muda yang belum dikenalnya itu! Dia merasa semakin penasaran, akan tetapi juga geram ketika mendengar betapa Ji-ok memuji-muji pemuda itu.

“Bagus, bagus! Ilmu kipas yang bagus! Wah, Sam-te, engkau dengan bantuan Su-te dan Ngo-te masih tidak mampu mengalahkan dia? Sungguh memalukan sekali!”

“Ji-ci, dari pada banyak cerewet, lebih baik lekas bantu kami agar urusan kita dapat segera diselesaikan!” kata Sam-ok dengan marah karena ejekan itu.

“Hi-hik! Kalau aku sekali turun tangan, tentu bocah ganteng ini akan kehilangan kepala. Sungguh sayang!”

“Hemm, Si Mulut Besar! Hendak kulihat kenyataan bualanmu!” kata pula Sam-ok karena dia merasa yakin bahwa biar pun Ji-ok sendiri agaknya akan mengalami kesulitan untuk mengalahkan bocah ini. Kepandaiannya sendiri tidak lebih rendah dibandingkan dengan Ji-ok, meski sampai sekarang dia belum mampu menandingi Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek itu yang benar-benar luar biasa hebatnya, namun pada umumnya kepandaiannya setingkat dibandingkan dengan Ji-ok.

“Hi-hik, kau lihat sajalah!” kata Ji ok dan dia pun menerjang ke depan.

“Singggg.... cuiiiiitttt....“

“Ehhhhh....!” Kam Hong terkejut sekali dan cepat-cepat dia meloncat ke belakang untuk menghindarkan diri dari sinar kilat pada saat telunjuk tangan nenek itu menyambar dan mengeluarkan hawa dingin berkilat yang amat dahsyatnya.

“Hi-hi-hik, engkau kaget, bocah ganteng? Nah, lekaslah berlutut minta ampun, Nenekmu akan mempertimbangkan,” kata Ji-ok.

Namun Kam Hong sudah menjadi marah sekali. Tidak disangkanya bahwa nama besar Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai datuk-datuk kaum sesat yang berkedudukan tinggi itu ternyata sekelompok orang yang berjiwa pengecut dan tidak segan-segan dan tidak malu-malu untuk melakukan pengeroyokan untuk mencapai kemenangan.

“Siapa takut padamu?!” bentaknya dan di lain saat, empat orang pengeroyoknya itu menjadi silau dan terkejut melihat berkelebatnya sinar kuning emas yang cemerlang. Mereka terkejut bukan main ketika melihat betapa kini pemuda yang mereka keroyok itu memegang sebatang suling emas yang berkilauan.

“Suling Emas....!” Tiba-tiba Toa-ok berseru keras. “Cepat rampas suling pusaka itu!”

Empat orang itu pun sudah mengenal suling emas yang pernah mereka dengar seperti dongeng itu, maka serentak mereka pun menerjang ke depan untuk menyerang dan berusaha merampas benda pusaka itu.

Namun Kam Hong sudah mainkan ilmu silat sakti dengan mencorat-coretkan sulingnya di udara, membentuk huruf Thian (Langit). Dan empat kali sulingnya membuat gerakan mencoret dari kiri ke kanan, dua kali untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Sam-ok, disusul coretan dari atas kanan ke kiri, disusul dari atas ke kanan memanjang dan Ji-ok tertangkis mundur sedangkan Su-ok terjungkal lalu bergulingan.

Ternyata dalam segebrakan itu saja, sebuah jurus dari ilmu sakti Hong-in-bun-hoat yang merupakan gerakan silat yang berdasarkan mencorat-coret atau ‘menulis’ huruf di udara menggunakan suling, sekaligus telah menangkis serangan empat orang sakti bahkan telah melukai pundak Su-ok dan juga membuat tangan Ji-ok terasa nyeri bukan main! Empat orang itu terkejut dan sejenak mereka merasa gentar.

“Hayo serang dia!” Toa-ok memberi komando.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara lengking panjang bersama sinar emas bergulung-gulung, dan itulah sinar suling emas yang digerakkan oleh Kam Hong dengan Ilmu Silat Kim-siauw Kiam-sut yang baru saja dia pelajari sambil mengerahkan seluruh tenaga khikang-nya sehingga suling yang dimainkan itu mengeluarkan suara melengking tinggi dan semakin lama semakin tinggi sekali.

Empat orang itu kalang-kabut dan mengelak ke sana-ke sini, tetapi mereka terserang oleh suara melengking-lengking itu, makin tinggi suaranya makin menusuk telinga dan seolah-olah hendak menembus jantung! Ketika lima orang itu menjauh dan sengaja mengerahkan sinkang untuk melindungi diri dari ancaman suara khikang suling itu dan bersiap untuk mengepung, mendadak saja Kam Hong meloncat ke arah Pek In yang masih rebah di atas tanah, menyambar tubuh dara itu, memanggulnya dengan lengan kiri setelah menyimpan kipasnya, kemudian meloncat jauh dan terus berloncatan sambil mengerahkan ginkang-nya. Sejenak Im-kan Ngo-ok tertegun, akan tetapi mereka segera menjadi marah sekali dan langsung saja mereka berloncatan melakukan pengejaran sambil memaki-maki karena merasa dipermainkan oleh pemuda itu.

Biar pun pada waktu itu Kam Hong telah memiliki kepandaian ilmu berlari cepat yang hebat berkat tenaga khikang yang terhimpun di dalam tubuhnya, tapi para pengejarnya itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang menduduki tingkat satu dan mereka, terutama sekali Ngo-ok, mempunyai ginkang yang amat hebat. Apalagi Kam Hong masih harus memondong tubuh Cu Pek In.

Dan senja mulai tiba, maka setelah berlari cukup lama, tetap saja lima orang itu masih terus mengejarnya. Kam Hong berpikir bahwa kalau dia tidak cepat lari ke bagian yang ditumbuhi pohon-pohon yang pada saat itu sebagian besar gundul, sukar baginya untuk membebaskan diri karena di daerah pegunungan salju itu dari jarak yang jauh pun dia masih akan nampak dan dapat terus dikejar. Maka dia pun lalu melarikan diri ke sebuah bukit yang berbatu-batu dan ditumbuhi pohon-pohon.

Sementara itu, malam mulai tiba dan keadaan cuaca mulai gelap sehingga hal ini pun menyukarkan Kam Hong untuk dapat berlari cepat. Kegelapan akan memungkinkan dia salah langkah dan tergelincir ke dalam jurang. Maka dengan hati-hati dia memasuki daerah yang tidak gundul itu. Batang-batang pohon dan batu-batu di sana akan dapat menyembunyikan dirinya dari penglihatan musuh. Akan tetapi betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa lima orang itu masih terus mengejarnya.

Dia teringat bahwa biar pun dirinya tidak kelihatan, akan tetapi kelima orang itu masih dapat mengikutinya dari jejak kakinya di atas tanah yang tertutup salju. Dan pula dara ini bagi mereka teramat penting untuk di jadikan sandera, guna ditukar dengan pedang pusaka, maka tentu lima orang itu tidak mau mengalah dan akan terus mengejarnya. Karena itu, Kam Hong pun tidak pernah berhenti, mengharapkan bahwa setelah cuaca gelap benar, lima orang itu akan kehilangan jejak kakinya.

Harapannya itu memang tidaklah sia-sia. Setelah cuaca menjadi gelap benar, Im-kan Ngo-ok terpaksa menghentikan pengejaran mereka. Akan tetapi mereka sama sekali bukan berarti mundur dan menghentikan usaha mereka, karena Toa-ok berkata, “Kita berhenti di sini. Besok pagi kita lanjutkan mengikuti jejak kakinya.”

Kam Hong pun terpaksa menghentikan langkahnya karena cuaca amat gelap dan amat berbahaya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menurunkan Pek In dan setelah meraba tengkuk, kedua pundak dan punggung dara itu, dia menotoknya dan membebaskannya dari totokan. Dara itu mengeluh lirih, memijit-mijit kaki tangannya yang terasa lemas.

“Kiranya engkau malah yang telah menolongku....,“ katanya lirih.

“Hemm, hanya kebetulan saja. Aku harus membebaskanmu dari mereka yang jahat.”

“Im-kan Ngo-ok sungguh manusia-manusia busuk yang tidak tahu malu. Mereka pernah berkunjung ke lembah sebagai tamu, dan sekarang malah hendak menawanku sebagai sandera. Kalau Ayah tahu, mereka pasti takkan diberi ampun. Ehhh, di mana dia?”

“Siapa?”

“Anak perempuan itu, ehhh, Ci Sian....”

“Kutinggalkan dia di puncak sebuah bukit. Tak kusangka bahwa aku akan berhadapan dengan Im-kan Ngo-ok dan memakan waktu lama untuk membebaskanmu, bahkan sekarang pun mereka tak jauh dari sini. Tentu mereka menanti dan besok pagi akan melanjutkan pengejaran. Kita sendiri tidak dapat melanjutkan perjalanan, begini gelap dan aku tidak mengenal jalan....”

“Aku mengenal tempat ini, akan tetapi di malam gelap begini tidak mungkin kita dapat melanjutkan perjalanan. Besok pagi-pagi kita dapat pergi dari sini.... dan tempat Suheng bertapa tidak jauh dari sini, kita bisa ke sana dan minta bantuannya.”

“Suheng-mu? Bertapa?”

“Ya, dan dia tentu akan dapat menghalau Im-kan Ngo-ok, dia tidak kalah lihai walau pun dibandingkan Ayah.”

Kam Hong tidak bertanya lagi, akan tetapi diam-diam dia kagum sekali dan teringat akan pesan Cu Han Bu ketika mereka hendak saling berpisah. Tokoh keturunan kakek pencipta suling emas itu mengatakan bahwa keluarga mereka masih mempunyai ilmu pusaka, yaitu Koai-liong Kiam-sut yang mereka harapkan kelak akan bisa mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisinya. Keluarga itu memang hebat, maka tidaklah aneh andai kata benar ucapan Pek In bahwa dara ini masih memiliki seorang suheng yang sedang bertapa dan bahwa suheng ini mempunyai kepandaian yang tidak kalah lihai dibandingkan dengan kepandaian ayahnya.

Malam itu mereka terpaksa berdiam di tempat itu.

“Sekarang kau tidurlah, Nona, biar aku menjagamu di sini. Sayang bahwa kita tak dapat menyalakan api unggun untuk membantu menghangatkan tubuh, sebab jika kita lakukan itu tentu mereka akan melihat dan akan datang.”

Pek In merasa lelah dan baru saja mengalami ketegangan. Kini dia merasa lega, segera merebahkan diri miring dan tak lama kemudian dia tidur pulas dengan tubuh meringkuk kedinginan.

Melihat hal ini, hanya melihat remang-remang saja karena yang membantu pandangan mata hanya sedikit sinar bintang di langit, Kam Hong lalu melepaskan jubahnya yang lebar dan menyelimutkan jubahnya pada tubuh dara itu. Dia sama sekali tidak dapat menduga bahwa pada saat yang sama, di dalam sebuah gua, seorang pemuda lain sedang menyelimuti tubuh Ci Sian pula!

Sebetulnya, baik Ci Sian mau pun Pek In sudah mempunyai kepandaian dan tenaga sinkang yang cukup kuat untuk melawan dingin saja. Akan tetapi dalam keadaan tidur tentu saja mereka tidak dapat mengerahkan sinkang dan hawa dingin membuat mereka dalam keadaan tidak sadar itu meringkuk seperti anak kecil kedinginan. Ada pun Kam Hong yang berilmu tinggi, tentu saja dapat menahan hawa dingin itu dengan penyaluran sinkang-nya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun. Dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

“Terima kasih untuk jubahmu ini,” kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”

“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.”

“Aku tahu jalannya, marilah.”

Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biar pun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain. Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit.

“Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa,” kata Pek In dengan nada suara girang.

“Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”

Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.

“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.

“Tidak, jangan sentuh aku!” tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!

“Ahhh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain,” katanya menghela napas.

Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk. “Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja.”

“Terserah.”

Mereka lalu berlari mendaki bukit itu. Akan tetapi Kam Hong maklum bahwa betapa pun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat.

“Nona, mereka telah datang dekat,” kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, meski pun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu.

Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan. “Tempat Suheng sudah dekat!”

“Kalau begitu, cepatlah kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona,” kata Kam Hong.

Dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan. Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat goa tempat suheng-nya ‘bertapa’ dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki goa itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya, maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.

Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya kelima orang Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka.....


“Im-kan Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh wibawa.

“Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!” bentak Sam-ok sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya.

Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar mengenai keluarga Suling Emas yang meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mukjijat, dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka jadi bercabang, sebagian masih menginginkan Koai-liong Po-kiam akan tetapi sebagian lagi menginginkan suling emas pusaka itu!

“Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat,” kata Kam Hong.

Dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka. Kini dia menerjang lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu, karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka.

Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda yang luar biasa lihai itu. Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju. Dipimpin oleh Toa-ok yang mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong.

Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya telah berjungkir balik, berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok juga sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu hingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak Buduk.

Ada pun Sam-ok Ban-hwa Sengjin, yang biar pun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda lalu tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari ilmu yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi).

Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan yang berubah berkilauan itu. Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya dia seperti tidak memasang kuda-kuda, tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat berbahaya.

Melihat mereka berlima telah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai. Sulingnya berubah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah telinga itu.

“Huhhh....!” Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu segera menyambar. Lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan.

Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, bersiap-siap melanjutkan serangannya. Kipasnya dibuka, kemudian diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Lalu, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara, mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat, sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekelilingnya itu disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar.

“Ohhh....!” Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan Kiam-ci.

“Dessss.... takkkk!”

Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, tapi tetap saja mereka terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena mereka merasakan seolah-olah serangan suling tadi bagaikan serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung.

Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring. Tiba-tiba gerakan sulingnya berubah. Ia telah menyimpan kipasnya dan kini sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang hebat luar biasa. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.

Sementara itu, dengan lari secepatnya akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah goa yang dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suheng-nya. Tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suheng-nya itu duduk di luar goa yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya, maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya, serta dengan mata terbelalak berseru,

“Sumoi....!”

Pek In lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suheng-nya itu dan menangis!

“Ehhh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main.

Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoi-nya menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoi-nya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa.

“Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah…. telah menangkapku.... dan aku.... aku tertolong oleh....“

“Di mana mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking suling itu.

“Penolongku sedang menghadapi mereka.... kau bantulah dia, Suheng....,” kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun.

“Itu.... itu suling Paman.... ehh.... Suheng-ku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu.

Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoi-nya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki goa, mengambil pedangnya, lalu menutup kembali batu di depan goa dan menarik tangan sumoi-nya, “Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.

Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada di situ dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu.

“Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang sudah perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tidak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!”

Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa. Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu. Dan karena memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia merasa makin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu. Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke depan, menghunus pedangnya dan berseru. “Kam-taihiap, biar aku membantumu!”

Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, tetapi juga mulai khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali.

Ketika melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya pernah bertemu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan ilmu pedang yang luar biasa.

“Ahhh, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya hendak diserahkan kepada kita, ha-ha!” Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu.

Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan! Indah bukan main sehingga baik Pek In mau pun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan orang lawan! Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah di jadikan rebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang! Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya!

“Tak perlu membunuh!” terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung suling yang mengenai tengkuknya.

“Cringgg!” nyaring sekali suara susulan disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok.

Baik Kam Hong mau pun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat-cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun keluar dari mulut mereka.

“Tak usah dikejar musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri,” kata pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak mengejar mereka.

Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu menjura. “Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat menikmati ilmu Taihiap yang sungguh amat mengagumkan sekali.”

Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka, “Engkau pun memiliki kepandaian yang amat mengagumkan hatiku, orang muda....”

“Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu....”

“Hong Bu pernah menolongku pada waktu Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... ehhh, Suheng....!” kata Ci Sian.

Mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum. Dia maklum akan isi hati dara ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suheng-nya, maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoi-nya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab.

“Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu dan sekarang pun menolongku pula.”

“Ahhh, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri. Sesungguhnya bukanlah aku yang menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoi-ku....”

“Ehh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar,” Ci Sian mencela.

Kam Hong tertawa. “Benar apa yang dikatakan Sumoi, Hong Bu. Mulai sekarang jangan menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah.”

“Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum pulang. Kau antarlah aku pulang agar supaya Ayah dan para Paman percaya apa yang telah terjadi,” kata Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.

“Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sudah sepatutnya kita menghaturkan terima kasih.”

“Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka.

Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa. “Sudahlah, di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?”

“Suheng, marilah!” Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu.

“Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?” Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar penuh perasaan, penuh harapan.

Sinar mata Sim Hong Bu dan suaranya ini tidak lepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian! Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya, seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu.

Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri. Cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?

Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja terhadap pemuda itu. Tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata. “Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah, Hong Bu.”

Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi sangat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharap dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata ‘jodoh’ segala!

Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suheng-nya dan berkata, “Marilah Suheng!”

Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.

“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”

Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!

“Paman.... ehhh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... ehhh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?”

Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk. “Tentu saja boleh, bahkan memang engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.”

Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum, “Ehh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?”

“Kenapa bagaimana?”

“Suaramu tadi kaku dan wajahmu.... ah, aku berani bersumpah bahwa engkau tadi, baru saja, sedang dilanda kemarahan besar. Kenapa sih?”

Kam Hong merasa betapa wajahnya menjadi panas, maka cepat-cepat ia mengerahkan sinkang untuk menahan agar wajahnya tidak berubah merah. Dia tersenyum lagi dan cepat mencari alasan untuk sikapnya tadi, “Ahh, aku hanya tidak setuju melihat sikap Nona Cu tadi, menarik-narik Hong Bu seperti itu....”

“Memang gadis banci itu amat menjemukan! Dia kelihatan begitu manja dan mesra kepada Hong Bu, seolah-olah....”

“Memang Nona itu amat mencinta Hong Bu, apakah engkau tidak dapat menduganya?” dengan cepat Kam Hong berkata dan agaknya kata-kata ini baginya merupakan berita menyenangkan yang harus disampaikan secepatnya kepada Ci Sian.

Dara itu memandang kepada Kam Hong dengan alis berkerut, agaknya berita itu tidak menyenangkan hatinya. “Hemm, bagaimana engkau bisa tahu, Suheng?” tanyanya, tidak rela membayangkan bahwa di antara pemuda seperti Hong Bu itu terdapat cinta kasih dengan gadis seperti Cu Pek In.

“Ahhh, sudah nampak dengan jelas sekali, bagaimana aku tidak akan tahu? Lihat saja sikapnya ketika memandang kepada Hong Bu, saat bicara, dan cara dia menggandeng tangan pemuda itu....”

“Huh, dasar banci tidak tahu malu! Akan tetapi, belum tentu kalau Hong Bu juga cinta padanya, Suheng.”

Kini, Kam Hong mengerutkan alisnya. Memang demiklanlah kenyataan yang dilihatnya. Hong Bu agaknya tidak mencinta Pek In, sebaliknya dia khawatir kalau pemuda itu jatuh cinta kepada Ci Sian. Akan tetapi dia tidak mau bicara tentang ini.

“Entahlah, Sumoi. Akan tetapi, harus kuakui bahwa Hong Bu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali....”

“Aku sudah tahu, Suheng. Aku pernah mendengar suara pedangnya yang mengaung-ngaung ketika aku lewat di sini, suara itu keluar menembus batu besar yang menutup goa ini. Dan dia mendorong batu besar ini dengan satu tangan saja. Sekarang aku tahu bahwa dia.... sengaja membiarkan dirinya kena pukul olehku kemarin....”

“Engkau memukulnya?”

Ci Sian lalu menceritakan pertemuannya dengan Hong Bu yang mengira dia Pek In sedangkan dia sendiri menyangka Kam Hong yang berada di balik batu. “Kami memang saling mengenal begitu bertemu muka, Suheng. Akan tetapi ketika dia mengaku bahwa dia adalah murid keluarga Cu, aku segera menganggapnya musuh dan menyerangnya. Iia tak pernah melawan, akhirnya aku dapat memukul dadanya sampai dia terpelanting, dan kemudian kami berbaikan. Sekarang aku tahu bahwa dia agaknya kemarin sengaja membiarkan dirinya terpukul. Suheng, dia adalah murid keluarga Cu itu! Dialah yang mewarisi pedang pusaka itu, juga ilmu pedang pusaka....”

“Benar sekali, kuduga akan hal itu ketika aku tahu bahwa dia adalah suheng Nona Cu. Dan melihat cara dia bermain pedang, aku pun dapat menduga bahwa tentu itulah ilmu yang dimaksudkan oleh Cu Han Bu. Hemmm.... Ilmu Koai-liong Kiam-sut itu memang hebat dan agaknya memang dapat merupakan lawan tangguh sekali dari Kim-siauw Kiam-sut kita, Sumoi.”

“Tidak mungkin!”

“Apa maksudmu, Sumoi?”

“Tidak mungkin Hong Bu mau memusuhi kita! Dia seorang yang baik, tidak seperti keluarga Cu.”

Kam Hong menarik napas panjang lagi. Kenapa hatinya merasa tidak enak mendengar dara ini memuji diri Hong Bu? Padahal, dia sendiri pun harus mengakui kebenaran ucapan itu. Hong Bu adalah seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik.

“Mungkin saja dia sendiri tidak, tetapi bagaimana kalau masih ada anggota atau murid keluarga Cu yang lain, yang memiliki ilmu pedang itu dan kelak berusaha mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut kita?”

“Akan kita hadapi! Kim-siauw Kiam-sut kita tidak harus kalah!”

“Bagus sekali semangat itu, Sumoi. Tetapi untuk membuktikan hal itu, ada syaratnya, yaitu bahwa kita harus mempelajari ilmu kita sebaik mungkin sampai sempurna. Nah, mulai sekarang kau tekunlah berlatih, Sumoi.”

“Baik, Suheng.”

“Sekarang aku pun akan kembali ke timur, bagaimana.... bagaimana dengan engkau, Sumoi?”

“Ke timur....?” Ci Sian terkejut karena tak pernah terpikirkan olehnya bahwa dia akan mendengar kata-kata ini. “Kenapa Suheng?”

“Aihh, Sumoi, apakah engkau lupa? Aku datang ke tempat ini sebetulnya adalah untuk mencari Yu Hwi, seperti pernah kuceritakan kepadamu. Sekarang setelah kutemukan dia dan engkau mendengar sendiri janjinya untuk pulang mengunjungi kakeknya agar urusan pertalian antara dia dan aku dapat diputuskan secara resmi dan terhormat.”

“Ke manahah engkau hendak pergi, Suheng?”

“Ke Pegunungan Tai-hang-san. Di sana selalu tinggal kakek dari Yu Hwi yang pernah membimbingku sebagai guru, yaitu Sai-cu Kai-ong, juga kini tinggal pula Sin-siauw Sengjin, kakek tua yang seperti kakekku sendiri. Kakek inilah satu-satunya orang seperti keluargaku, sungguh pun antara kami tidak ada hubungan darah. Dia adalah keturunan dari orang yang pernah menjadi pembantu nenek moyangku, dan dia pulalah yang dengan setia menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu dari nenek moyangku untuk kemudian diturunkan kepadaku. Aku berhutang budi banyak sekali kepada dua orang kakek itu. Dan karena Kakek Sin-siauw Sengjin kini tinggal pula di Tai-hang-san, tidak berjauhan dengan Suhu Sai-cu Kai-ong, maka mudah bagiku untuk pergi mengunjungi mereka berdua.”

“Selain mereka, engkau tidak mempunyai keluarga lainnya?”

Kam Hong menggeleng kepala. “Aku tidak mempunyai keluarga lain lagi. Sumoi, aku hendak pergi meninggalkan daerah yang dingin bersalju ini, ke timur di mana dunia penuh dengan sinar matahari. Maukah.... kau ikut bersamaku, Sumoi? Tidak! Bahkan aku akan senang sekali kalau engkau bersamaku, Sumoi. Ataukah.... kini engkau ingin mengunjungi orang tuamu.... aku boleh mengantarmu....”

“Tidak, aku tidak sudi bertemu dengan Ayahku! Aku akan ikut dengan Suheng, karena hanya engkau seoranglah yang kupunyai di dunia ini.”

Wajah yang tampan dan biasanya sangat tenang itu nampak gembira sekali, sepasang matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum. “Bagus, Sumoi! Dan kita akan berlatih silat di sepanjang jalan. Mari kita pergi!”

Demikianlah, dua orang itu, yang menjadi suheng dan sumoi secara kebetulan saja, yang mempunyai nasib yang sama, yaitu tidak mempunyai keluarga lagi di dunia ini yang boleh mereka tumpangi, kini melakukan perjalanan menuju ke timur, meninggalkan barisan Pegunungan Himalaya yang penuh dengan keajaiban itu…..

********************

Sudah terlalu lama kita tinggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila.

Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah. Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, di samping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si Jari Maut Ang Tek Hoat itu!

Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!

Biar kelihatannya seperti orang gila, tetapi pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya pada masa muda. Hal ini dapat dibuktikan betapa sering kali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang lirih terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal inilah yang membuat orang-orang menyangka dia gila.

“Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!”

Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi supaya dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dirinya yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.

Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas! Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai ia terbawa oleh orang-orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, bahkan lalu dia terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja ia tak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat. Dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya, maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur.

Meski dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang telah bertobat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapa pun juga, dia tidak memiliki sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dahulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biar pun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!

Beberapa bulan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga yang besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya.

Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong! Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar di tepi kota.

Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun. Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap cakap di atas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang yang mendengarkan percakapan mereka. Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri jika mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya.

Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita dengar atau lihat, barulah kita dapat merasakan alangkah lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini. Percekcokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percekcokan di antara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati.

Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, menjadi sebuah jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih. Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan.

Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya demikian untuk sekedar ‘menghukumnya’!

Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.

“Kalau dia tidak mau seret saja sudah!” Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.

“Ahh, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja,” terdengar suara orang ke dua.

“Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.”

“Lima belas tail?” seru suara pertama.

“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”

“Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya,” kata orang ke tiga.

“Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!”

“Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.”

“Aihhh, harus hati-hati, supaya dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?”

Ketiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka ada seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!

Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasanya melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Salah seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok yang tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis.

Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini, pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat.

Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya, “Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?”

“Di.... di sana, paling belakang, tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengganggu tamu kami....”

Sementara itu, Tek Hoat sudah menahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya.

....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....


“Tok-tok!” Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.

“Siapa di luar?”

“Pouw-lo-siucai.... harap suka buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!”

Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti pernah kita kenal, sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana.

Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu. “Hemm, siapakah yang menjadi siucai? Aku tak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”

“Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.

“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tidak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka,” kata Pouw Toan.

Daun pintu didorong dari luar. Diam-diam Tek Hoat telah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu jika tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.

Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya. “Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“

Salah seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata, “Pouw-lo-siucai....”

“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”

“Eh.... ehh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biar pun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya bagai seorang pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....”

“Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“

“Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.”

“Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekali pun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekali pun, atau setangkai bunga indah sekali pun kalau aku tidak menghendakinya.”

Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi. “Heiii, pelukis tua yang sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau tidak akan mampu memperoleh uang sebanyak itu!”

Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu. Dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya. “Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan dalam hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”

“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu.

Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa Si Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah sikap kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu.

Kakek Pouw Toan adalah orang yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman mala petaka, maka tentu saja penodongan ini hanya merupakan hal kecil saja baginya. Biar pun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.

“Hemm, sungguh untung sekali kau!” katanya sambil tersenyum kepada penodongnya.

Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang gemar mempergunakan kekerasan serta ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini ia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut, sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia yang untung!

“Ahhh, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.

“Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau mereka berada di sini, aku terpaksa akan menaruh rasa kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak.

“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak? Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam.

Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri. “Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.”

“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kau lukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “Mari kita berangkat!”

Ketiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya. Dengan sikap tenang-tenang saja Pouw Toan mengikuti mereka, sedikit pun tak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi ‘jalan-jalan’ bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung! Tidak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.

Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan, mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang ‘pengantarnya’ masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa ‘senjatanya’ saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.

Untuk peristiwa luar biasa yang sangat menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton ketika dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman, dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya.

Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!

Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biar pun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biar pun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa. Tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempatnya bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.

Setelah kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri, “Sudah selesai!”

Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biar pun semodel dengan wajah Thio-wangwe, akan tetapi mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi! Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah birahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!

Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya telah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu berlari menghampiri pelukis itu. “Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!” Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berubah merah sekali.

“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.

Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata, “Sudah kukatakan bahwa aku tidak memiliki keinginan melukismu, Wangwe. Dan oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, namun aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berubah menjadi menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....”

“Pergi!” Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawalah dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi.

Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat pada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan sikap uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upah kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.

“Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau berikan.”

“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.

“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.

“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!” kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung.

Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa. “Heh, mirip memang!”

“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan sehingga kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.

“Sabar, kawan,” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.”

Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tidak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidaklah mengecewakan hatinya. Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!

Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.

“Ehhh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.

“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.

“Melukis apa?”

“Melukis neraka!”

“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”

“Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?”

“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.

“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya,” kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu. Mereka pergi lagi tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.

“Ehh, apa yang kau lakukan ini?”

“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya, namun pada saat itu tampak bayangan berkelebat.

“Desss! Aughhhhh.... !”

Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tidak dapat menahan kesabaran lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!

Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.

“Krekk! Krekk!”

Lengan kedua orang itu patah tulangnya pada saat bertemu dengan lengan Tek Hoat! Mereka mengaduh-aduh dan memegangi lengan yang patah tulangnya.

“Jembel busuk, kau bosan hidup!” bentak Si Tinggi Besar yang sudah bangun dan kini dia menyerang dengan goloknya.

Akan tetapi Tek Hoat menerima golok itu dengan tangannya, menangkap golok itu dan sekali mengerahkan tenaga, golok itu patah-patah dan dia lalu menampar lengan Si Tinggi Besar dengan pecahan golok masih di tangan.

“Creppp!”

Kembali Si Tinggi Besar menjerit dan kali ini tangan kanannya hancur dengan pecahan goloknya sendiri menancap sampai ke dalam daging dan mengenai tulangnya yang hancur. Dia merintih-rintih, kemudian bersama kedua orang temannya dia melarikan diri tunggang-langgang setelah meninggalkan buntalan milik Pouw Toan.

Sejenak suasana menjadi sunyi. Dua orang itu berhadapan di tempat remang-remang karena kegelapan hanya dilawan oleh sinar bulan sepotong. Kemudian terdengar Pouw Toan tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, sejak tadi engkau selalu membayangi kami, Si Jari Maut!”

Bukan main kagetnya Tek Hoat mendengar ini. Kakek lemah itu tidak saja tahu bahwa sejak tadi dia membayanginya, akan tetapi bahkan telah mengenalnya pula! Akan tetapi dia tidak peduli dan membalikkan tubuhnya, lalu pergi dari situ. Dia tahu bahwa pelukis itu mengikutinya, akan tetapi dia pun tidak peduli akan hal ini dan Tek Hoat lalu kembali ke jembatan yang menjadi tempat bermalamnya itu. Dia melihat kakek pelukis itu terus mengikutinya, tetapi dia pura-pura tidak melihat dan dia lalu turun ke bawah jembatan, lalu rebah melingkar lagi di tempatnya semula sebelum dia tertarik oleh percakapan orang di atas jembatan tadi.

“Ha-ha, sungguh tempat yang jauh lebih menyenangkan dari pada losmen itu!” kata Pouw Toan. “Wan Tek Hoat Taihiap, bolehkah aku ikut bermalam di sini?”

Kembali Tek Hoat terkejut. Orang ini bukan saja mengenalnya sebagai Si Jari Maut, bahkan mengetahui she-nya yang sesungguhnya, padahal jarang ada yang tahu akan she Wan itu, kebanyakan hanya tahu bahwa she-nya adalah Ang!

“Ini tempat umum, siapa pun boleh pakai,” jawabnya singkat, kemudian disambungnya, “dari mana kau tahu aku she Wan?”

“Ha-ha, Taihiap, aku tua bangka tak berguna ini mengenal hampir semua tokoh di dunia kang-ouw, maka begitu melihat Taihiap aku pun segera mengenalmu. Aku banyak mendengar tentang dirimu dari sahabatku yang teramat baik, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana yang masih terhitung bibimu sendiri, bukan?”

Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia tidak senang mendengar dirinya dikenal, apalagi dihubungkan dengan orang-orang yang berkedudukan tinggi seperti Milana, walau pun harus diakuinya bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti dan pendekar itu adalah kakek tirinya!

“Sudahlah, aku sendiri sudah lupa siapa diriku, apalagi engkau, seorang lain!” Setelah berkata demikian, Tek Hoat lalu tidur dan sebentar saja dia sudah pulas.

Diam-diam Pouw Toan menghela napas panjang berkali-kali dan dia merasa kasihan sekali kepada pendekar ini. Teringat dia akan pertemuannya dengan Puteri Syanti Dewi dan diam-diam dia merasa heran sekali bagaimana seorang puteri cantik bagai bidadari itu dapat begitu mendalam jatuh cinta kepada pendekar yang kini menjadi seperti jembel gila? Akan tetapi dia pun dapat menduga bahwa mungkin keadaan pendekar ini sampai menjadi begini justru karena Si Puteri itulah! Patah hati.....


Dia tidak tahu dan tidak pernah mendengar akan rahasia yang terjadi di balik hubungan antara pendekar ini dengan Puteri Syanti Dewi, akan tetapi dia teringat akan pesan Sang Puteri untuk menyerahkan lukisan dirinya kepada pendekar ini kalau dia dapat menjumpainya dan kini secara kebetulan sekali dia bertemu dengan pendekar ini!

Lukisan itu masih selalu disimpan di dalam buntalannya dan tadi hampir saja terampas oleh orang jahat kalau tidak muncul Si Jari Maut yang menyelamatkannya. Bahkan nyaris dia terbunuh oleh penjahat itu. Akan tetapi, dia bukan orang bodoh. Tadi dia sudah dapat melihat bahwa ada seorang jembel terus mengikutinya dan dia dapat menduga bahwa Si Jembel ini tentulah Si Jari Maut, oleh karena itu dia bersikap tenang saja dan menurut saja dibawa keluar kota oleh tiga orang itu. Andai kata dia tidak yakin bahwa jembel itu tentu pendekar sakti itu, tentu dia tidak mau dibawa keluar kota seperti seekor domba dituntun ke pejagalan begitu saja.

Melihat pendekar itu agaknya telah tertidur, Pouw Toan juga lalu merebahkan diri dan tak lama kemudian dia pun tertidur pulas dan bermimpi indah. Pouw Toan adalah seorang manusia bebas yang selalu merasa bahagia, dimana pun juga dia berada.

Akan tetapi, begitu pelukis itu pulas, Tek Hoat terbangun dan dia duduk bersila. Dari bawah jembatan itu kini nampak bulan yang condong ke barat, sinarnya gemilang sebab tidak terhalang awan. Agak jauh dari bulan sepotong itu nampak berkelap-kelipnya bintang dan jauh di timur nampak sebuah bintang terpencil sendirian, sunyi. Teringat Tek Hoat akan bunyi sajak pelukis yang kini tertidur itu. Dia masih hafal bunyinya karena amat tertarik.

....batin kosong tanpa isi....
....alam pun sunyi sepi....
....hening.... diam.... suci....
....seniman tua asyik
sepi sendiri....


Dia menarik napas panjang. Membaca sajak itu, dia seperti dapat meraba kesunyian itu, keheningan yang maha luas, sebagai pencerminan dari kesepian di hatinya. Akan tetapi, kalau pelukis itu agaknya menikmati kesunyian yang disebutnya keheningan yang diam dan suci, sebaliknya dia tersiksa oleh kesepian diri, karena kerinduannya yang tidak kunjung henti terhadap Syanti Dewi. Dia kini merasa seperti bintang yang terpencil di timur itu, bintang kecil tersendiri, miskin papa dan hina, seperti dia, tidak cemerlang, hidup sia-sia.... dan dia pun menarik napas panjang lagi.

Kalau saja dia sudah yakin bahwa Syanti Dewi sudah tidak ada lagi di dunia ini, tentu hal itu akan amat meringankan penderitaan hatinya. Kalau begitu halnya, hanya ada dua pilihan, hidup dengan bebas atau mati. Akan tetapi dia yakin bahwa pujaan hatinya itu masih hidup, entah di mana! Dan andai kata dia dapat menjumpainya, dia pun sangsi apakah Syanti Dewi mau sekali lagi mengampunkannya. Dosanya sudah bertumpuk-tumpuk terhadap Syanti Dewi pujaannya itu. Apakah dia akan begini terus dan akhirnya seperti pelukis itu, yang menamakan dirinya sendiri seniman tua? Dia hanya akan menjadi jembel tua kelak!

Hampir setiap orang pernah merasakan kesepian yang amat menyiksa dan menakutkan batin itu. Rasa kesepian yang mencekam, sungguh pun kita dikelilingi keluarga, harta benda, dan segala milik kita lahir batin. Rasa kesepian ini kadang-kadang muncul kalau kita melihat betapa sesungguhnya kita ini tidak memiliki apa-apa, betapa kita ini hidup terpisah dari semuanya itu, betapa pada suatu saat kita akan berpisah dari kesemuanya itu, apabila kematian datang menjemput kita.

Rasa kesepian ini, rasa betapa diri ini kosong tanpa isi, tiada arti, mendorong kita untuk mengikatkan diri kepada apa pun juga yang kita anggap lebih berharga, lebih tinggi dan karena itu dapat mendatangkan hiburan yang membuat kita terhibur dan senang. Kita yang merasa betapa diri sendiri ini kosong tak berarti, lalu mengikatkan diri. Kepada keluarga, kepada kelompok, kepada suku atau agama, kepada kepercayaan, kepada negara, dan sebagainya lagi.

Namun pada hakekatnya, akar dari pada pengikatan itu bersumber kepada pelarian diri, diri atau si Aku yang ingin lari dari pada kesepian dan kekosongan yang mengerikan itu, si Aku yang ingin terhibur, yang ingin terjamin keamanan dan keselamatannya, si Aku yang selalu ingin dalam keadaan yang menyenangkan. Karena itulah maka timbul pengukuhan dan jerih payah, daya upaya untuk mempertahankan kepada yang kita pentingkan itu di mana kita mengikatkan diri. Yang penting lalu keluargaku, bangsaku, agamaku, Tuhanku, kepercayaanku. Jelaslah bahwa yang penting itu adalah ‘ku’ nya. Peduli apa dengan agama orang lain, karena semua itu tidak ada hubungannya, tidak menyenangkan aku! Yang penting adalah segala-gala yang menjadi punyaku, yang menjadi kepentinganku.

Kesepian berbeda dengan keheningan! Kalau kita berada seorang diri, di lereng gunung yang sunyi, atau di tepi laut, atau di mana saja tidak terdapat seorang pun kecuali kita sendiri, kalau kita berada di tempat itu dengan batin kosong, dengan pikiran yang tidak mengoceh, dengan mata dan telinga terbuka, dengan kewaspadaan dan penuh kesadaran, maka akan terasalah adanya keheningan yang menyelubungi seluruh alam termasuk kita sendiri. Keheningan yang menembus sampai ke lubuk hati dan seluruh lahir batin kita, yang tiada bedanya dengan keheningan yang berada di luar diri, keheningan yang mencakup seluruhnya di mana diri kita termasuk, keheningan yang tidak memisah-misahkan antara kita dengan pohon, dengan burung yang terbang, dengan embun di ujung daun atau rumput, dengan awan berarak di angkasa. Di dalam keheningan seperti ini tidak terdapat rasa khawatir, tidak terdapat rasa takut, rasa sepi, tiada lagi pikiran yang membanding-bandingkan antara susah dan senang, puas dan kecewa, hidup mati dan sebagainya.

Akan tetapi, pikiran yang membentuk si Aku ini masuk dan mengacau keheningan dalam diri yang segera memisahkan diri dari keheningan yang menyelimuti seluruh alam, si Aku yang begitu masuk lalu menciptakan keinginan-keinginan. Ingin terus memiliki dan menikmati keheningan itu tadi. Ingin terbebas dari semua kesengsaraan! Ingin ini dan ingin itu dan justru keinginan inilah yang meniadakan segala-galanya, kecuali mendatangkan kesenangan sekilas lalu saja, dan akhirnya akan mendatangkan kesepian karena semua kesenangan itu hanya selewatan belaka. Maka, pikiran yang membentuk si Aku itulah yang mendatangkan lingkaran setan yang tiada akhirnya!

Keheningan sebelum si Aku masuk adalah keheningan yang menyeluruh, keheningan di mana tidak terdapat si Aku yang menikmati keheningan itu. Segala macam suara tidak akan mengganggu karena tercakup di dalam keheningan itu. Hanya pikiran dengan si Akunya sajalah yang mendorong kita keluar dari keheningan, membuat kita kemudian memisahkan diri, mengasingkan diri dalam kurungan nafsu kesenangan lahir batin.

Ada orang yang mengira bahwa keheningan menyeluruh itu dapat dicapai dengan daya upaya dan pengejaran. Ada yang mengejarnya melalui meditasi, melalui pertapaan, melalui pengasingan diri di tempat-tempat sunyi, di dalam goa-goa atau di puncak-puncak gunung. Padahal, bukan tempatnya yang penting, bukan caranya yang penting, melainkan kewaspadaan dan kesadaran akan dirinya sendiri. Karena kebebasan itu baru ada apabila kita bebas, bebas dari segala ikatan apa pun.

Bebas berarti hening. Tidak akan dapat didaya upayakan, dicari dengan sengaja. Dalam keadaan terikat, takkan mungkin bebas. Kalau tidak terikat oleh apa pun, maka tanpa dicari kebebasan pun ada. Selama masih terikat oleh sesuatu, berarti masih dikuasai oleh nafsu keinginan, dan dalam keadaan begini, mencari kebebasan tiada artinya karena yang mencari itu adalah nafsu ingin senang, maka dicari-cari dan dikejar-kejar. Mungkin saja bisa didapatkan apa yang dikejar-kejar, akan tetapi yang didapatkan itu bukanlah yang sejati. Yang sejati tidak dapat dikejar, melainkan akan memasuki batin yang bebas dan terbuka, karena hanya batin yang terbebas sajalah yang terbuka dan bersih, yang dapat ditembus sinar cinta kasih
.

Pada keesokan harinya, ketika Pouw Toan terbangun, dia melihat Si Jari Maut masih duduk bersila di situ. Girang hati pelukis ini, karena tadinya dia khawatir kalau-kalau orang aneh itu telah pergi sebelum dia terbangun. Dan memang Tek Hoat menantinya sampai terbangun. Ada sesuatu yang menarik hati Tek Hoat dalam sajak itu, dan dia ingin bertanya tentang itu kepada si pembuat sajak.

“Selamat pagi, Wan-taihiap,” kata Pouw Toan.

“Hemm....“ Tek Hoat hanya bergumam saja karena selama bertahun-tahun ini baru kini dia mendengar ada orang menyalam selamat pagi padanya.

“Bukan main indah sejuknya pagi ini!” Pouw Toan bangkit berdiri dan mengembangkan dadanya dengan membuka kedua lengannya serta menghirup hawa udara pagi yang masih sunyi itu sebanyaknya.

Mendengar suara yang terdengar amat gembira ini, Tek Hoat menoleh dan memandang penuh perhatian. Orang itu memang kelihatan gembira sekali. Dia merasa heran karena dia tak melihat sesuatu yang patut untuk membuat orang itu gembira! Sungguh seorang manusia yang amat aneh!

“Siapakah namamu, Paman?” Akhirnya dia bertanya.

Dia tidak tahu betapa girangnya hati Pouw Toan mendengar pertanyaannya ini. Kiranya dia sudah mampu menggetarkan hati yang beku dari pendekar itu!

“Wan-taihiap, namaku adalah Pouw Toan.”

Wan Tek Hoat mengerutkan alisnya dan mengingat-ingat. Dia sudah hampir lupa akan nama-nama orang, tetapi dia masih samar-samar ingat bahwa nama ini banyak disebut orang dengan nada kagum.

Melihat pendekar ini termenung mendengar namanya, Pouw Toan kemudian berkata, “Agaknya ada sesuatu yang ingin kau tanyakan kepadaku? Silakan….”

Menerima dorongan dari pelukis itu, Tek Hoat lalu berkata, “Aku ingin sekali tahu tentang arti sajakmu semalam, ketika engkau membaca sajak di dalam kamar losmen.” Kemudian, dengan suara lirih Tek Hoat mengulang bunyi sajak empat baris itu.

Pouw Toan terbelalak heran. Dia sendiri sudah lupa akan bunyi sajak yang digubahnya secara iseng-iseng dalam kamar itu. Dan kini sajak itu telah dihafal oleh pendekar ini! Dan tahulah dia mengapa demikian. Sajak itu agaknya mengena benar di hati pendekar ini yang tentu saja sedang dilanda kesepian yang amat hebat sehingga membuatnya seperti orang gila itu, kesepian yang tercipta karena kerinduan.

“Ah, jadi engkau masih ingat akan bunyi sajak itu, Taihiap? Dan engkau telah berada di atas genteng ketika tiga orang kasar itu datang kepadaku? Sungguh hebat! Sajak itu sudah begitu jelas, tentang keheningan dan kesepian. Bagian manakah yang kau tidak mengerti?”

“Keadaan yang sunyi sepi amat menggelisahkan dan menyiksa hatiku selama bertahun-tahun ini, akan tetapi mengapa engkau yang agaknya merasakan pula kesunyian itu malah nampak gembira dan menghadapi segala sesuatu selalu tenang dan tenteram seolah-olah tiada sesuatu di dunia ini yang dapat menyusahkan hatimu?”

“Ahhh....!” Pouw Toan memandang dengan penuh iba. “Mengapa aku harus susah? Aku tidak membutuhkan apa-apa, tidak ada apa-apa yang mengikat diriku lahir batin, kenapa aku harus susah? Tidak, aku tidak pernah susah dan selalu gembira karena memang hati yang kosong dari segala keinginan berarti telah memiliki segala-galanya dan oleh karenanya yang ada hanyalah kegembiraan saja. Akan tetapi engkau, Taihiap, kulihat engkau amat sengsara hatimu. Agaknya engkau merindukan sesuatu, menginginkan sesuatu, kecewa akan sesuatu yang membuat engkau merasa iba diri, kesepian dan sengsara. Mengapa engkau menyiksa diri seperti ini? Engkau masih muda, gagah perkasa, apa pun yang kau inginkan tentu dapat terlaksana. Andai kata engkau mencinta seorang wanita dan amat merindukannya, ingin memperisterinya, mengapa tidak kau lakukan itu? Mengapa menyiksa diri sendiri, menyepi dan menjauhkan diri?”

Semua ucapan itu benar-benar mengenai hati Tek Hoat. Selama ini dia tidak pernah menceritakan semua penderitaannya kepada siapa pun juga. Akan tetapi pribadi pelukis ini amat menarik hatinya dan menimbulkan kagum, maka kini mendengar ucapan yang amat mengena itu dia pun menarik napas panjang dan untuk pertama kalinya selama bertahun-tahun, dia memandang dengan sinar mata orang waras.

“Apa yang dapat kuharapkan? Aku manusia tidak berharga ini mana mungkin dapat mengharapkan balasan cinta seorang wanita yang amat mulia? Mana mungkin dia mau mengampuni semua dosaku yang sudah bertumpuk-tumpuk?” Pertanyaan ini seperti diajukannya kepada diri sendiri tanpa memandang kepada pelukis itu, maka Pouw Toan yang tahu diri itu pun tidak langsung menjawab, melainkan diam saja sehingga keadaan menjadi sunyi di tempat itu. Akan tetapi kadang-kadang ada gerobak atau orang lewat di atas jembatan, memecahkan kesunyian.

“Andai kata dia masih hidup, belum tentu dia mau mengampuniku, dan andai kata mau mengampuniku, belum tentu dia masih mencintaiku. Andai kata dia sudah mati, lalu apa artinya hidup ini bagiku? Ahhh, hidupku sudah hampa....!”

“Aihh, Taihiap. Adakalanya awan mendung menutup langit sehingga sinar matahari tak nampak sama sekali. Akan tetapi itu pun akan lenyap dan akan berubah, matahari akan bersinar kembali! Memang kesenangan tidak kekal di dunia ini, akan tetapi kesusahan pun tidak kekal adanya. Siapa yang masih berada dalam cengkeraman suka-duka, tidak perlu berkecil hati selagi gelap dan tak perlu berbesar kepala selagi terang. Terang dan gelap datang silih berganti dalam hidup. Hanya orang yang telah mengatasi suka-duka sajalah yang bebas. Kalau engkau belum bebas, mengapa harus menyerah kepada kegagalan? Siapa tahu kalau-kalau orang yang Taihiap rindukan itu pun kini sedang menanti-nanti kedatangan Taihiap penuh kerinduan?”

Tek Hoat menggeleng kepalanya, lalu bangkit meninggalkan kolong jembatan itu sambil berkata. “Tidak mungkin.... tidak mungkin....“

“Heiii! Ke mana Taihiap hendak pergi?” Pouw Toan berseru akan tetapi pengemis muda itu sudah mendaki ke atas jalan, tidak menjawab dan tidak menoleh pula.

“Sungguh keras kepala....,” Pouw Toan mengomel dan dia pun bergegas mendaki dari kolong jembatan dan naik ke jalan yang masih sunyi.

“Tunggu dulu, Wan-taihiap! Aku mempunyai sesuatu untuk kuberikan kepadamu!”

Akan tetapi Tek Hoat tanpa menoleh berkata, “Aku tidak menerima apa pun dari siapa pun!”

“Tapi, ini adalah tanda terima kasihku telah kau tolong malam tadi....”

“Lupakan saja!”

“Wan Tek Hoat, setidaknya kau lihatlah lukisanku ini!” seru Pouw Toan sambil membuka gulungan sebuah lukisannya dan berdiri menghadang di depan pendekar yang seperti jembel itu.

Dengan tidak sabar Tek Hoat hendak menghindar, akan tetapi ketika dia melirik ke atas lukisan yang dibentang itu dan kebetulan matahari pagi menimpa lukisan itu, dia tersentak kaget sekali, matanya terbelalak, mukanya pucat, tubuhnya menggigil dan sekali sambar dia telah merampas lukisan itu dan memandang lukisan dengan mata bersinar menyeramkan. Itulah lukisan Syanti Dewi! Tidak salah lagi! Mata itu, hidung itu, bibir itu....!

Tiba-tiba dia mengeluarkan bunyi seperti seekor singa menggereng dan tahu-tahu dia telah menyambar ke depan dan telah mencengkeram leher baju Pouw Toan, kemudian diangkatnya orang itu tinggi ke atas seperti orang menangkap seekor kelinci dengan memegang pada telinganya saja.

“Hayo katakan, di mana dia! Di mana dia! Cepat jawab!” Dia membentak-bentak dengan muka pucat sekali seperti kertas.

Diperlakukan begini, Pouw Toan tidak takut, malah mencela keras, “Pantas saja dahulu dia menjauhkan diri darimu, Wan Tek Hoat. Wanita mana yang dapat bertahan untuk berdekatan dengan orang yang wataknya begini kasar, keras dan tidak patut?”

Sejenak kedua pasang mata itu bertemu pandang. Sejenak mata pelukis itu tajam dan sedikit pun tidak gentar, sinarnya seperti memasuki lubuk hati Tek Hoat, membuat pemuda itu sadar akan perbuatannya dan tiba-tiba Tek Hoat mengeluarkan suara bagai orang dicekik, pegangannya pada baju itu terlepas dan dia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya, tangan kanannya masih memegang gulungan lukisan dan dia pun terisak, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pouw Toan!

“Maafkan aku.... ohhh.... maafkan aku dan jangan siksa aku lagi.... katakanlah di mana adanya dia....”

Pouw Toan terkejut sekali, akan tetapi juga amat girang. Orang ini sesungguhnya belum kehilangan sifat-sifat baiknya, sifat-sifat pendekarnya, hanya karena kekecewaan dan kedukaan saja yang membuatnya menjadi seperti itu. Dia pun cepat membangunkan Tek Hoat, mengajaknya duduk di tepi jalan dan dengan hati-hati dia pun lalu bercerita tentang Syanti Dewi.

“Puteri Syanti Dewi masih hidup dalam keadaan sehat, Taihiap. Dan dia telah menjadi seorang seperti bidadari, disanjung dan dipuja oleh seluruh manusia, terutama kaum prianya sehingga kabarnya Pangeran Kian Liong sendiri pun menjadi sahabatnya! Dia hidup sebagai seorang puteri di Pulau Kim-coa-to....“ Dan dengan singkat Pouw Toan memberi tahu letaknya pulau itu.

Akan tetapi belum sampai dia bercerita lebih jauh, Tek Hoat sudah bangkit menjura dan dengan mata bersinar-sinar dia memberi hormat berkali-kali.

“Terima kasih, Paman Pouw, terima kasih....”

“Nanti dulu, belum sempat kuceritakan bahwa aku bertemu dengan dia, dan dialah yang memberikan lukisanku itu kepadaku dengan pesan untuk diberikan kepadamu....”

“Dia.... dia masih ingat padaku?”

“Ingat? Ahh, dia menitikkan air mata ketika mendengar akan keadaanmu seperti yang sudah kudengar dari banyak tokoh kang-ouw.”

“Ahhh...., mungkinkah itu? Dewi.... Dewi....“ Tek Hoat lalu menangis dan dia meloncat pergi dari situ untuk segera mencari kekasihnya.

“Heii, tunggu dulu, Taihiap, tunggu dulu....!” Pouw Toan lari mengejar karena dia ingin sekali menasehati pemuda itu sebelum pergi mengunjungi Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu.

Pemuda itu sedang dilanda kebingungan dan tekanan batin yang hebat, maka jika tak mendapat nasehat yang benar dan menghadap Syanti Dewi dalam keadaan seperti itu, tentu keadaan hubungan antara dua orang itu akan menjadi semakin berbahaya. Akan tetapi Tek Hoat tidak mau berhenti dan mana mungkin seorang tua lemah seperti Pouw Toan dapat menyusulnya?

Pada saat itu nampak berkelebat dua bayangan orang dan tahu-tahu dua orang pemuda telah berdiri menghadang Tek Hoat dan seorang di antara mereka membentak, “Paman Pouw telah minta kau berhenti!” Kedua orang itu dengan gerakan yang cekatan sekali telah menghadang dan mendorongkan kedua tangan mereka ke arah Tek Hoat yang sedang lari.

Bukan main kaget hati Tek Hoat karena dari dorongan tangan mereka itu menyambar hawa yang amat kuat, yang menahan dia dan hendak memaksa dia untuk berhenti. Dia memandang penuh perhatian dan melihat bahwa mereka adalah dua orang pemuda berusia kurang lebih tujuh belas tahun yang tampan sekali, akan tetapi hebatnya, wajah dan pakaian mereka, bahkan gerak-gerik mereka, pandang mata mereka, semuanya sama sehingga mudah menduga bahwa mereka tentulah dua orang saudara kembar!

“Kalian minggirlah!” kata Tek Hoat. Kedua tangannya telah dipentang untuk mendorong mereka ke kanan kiri, akan tetapi kembali dua orang muda itu dengan langkah kaki yang ringan dan sigap sekali telah dapat mengelak, bahkan lalu menangkap pergelangan tangannya dari kanan kiri!

“Paman Pouw menyuruh kau berhenti!” kata seorang di antara mereka, entah yang bicara tadi atau bukan sukar bagi Tek Hoat untuk mengenalnya karena wajah mereka yang sama benar.

Cara mereka mengelak, kemudian menangkap pergelangan kedua tangannya, sudah membuktikan bahwa mereka memang benar-benar memiliki ilmu silat yang lihai sekali, maka timbul keinginan dalam hati Tek Hoat untuk mencoba mereka. Dia tahu bahwa dua orang pemuda kembar yang lihai ini tentu masih keluarga pelukis aneh itu, maka tentu saja dia pun tidak mempunyai niat buruk melainkan hanya ingin menguji mereka.

“Kalian hendak menggunakan kekerasan? Baiklah!” katanya dan dia pun lalu segera menggunakan kepandaiannya, sekali bergerak kedua lengannya terlepas dan dia pun lalu mengirim serangan ke arah mereka dengan kedua tangannya secara bertubi-tubi, yaitu menampar dari samping dengan tangan terbuka.

Dua orang pemuda kembar itu bukan lain adalah Gak Jit Kong dan adik kembarnya, yaitu Gak Goat Kong. Tentu saja keduanya, biar baru berusia tujuh belas tahun, telah memiliki ilmu kepandaian yang hebat karena sejak kecil mereka digembleng oleh ayah dan ibu mereka, yaitu pendekar sakti Gak Bun Beng dan Puteri Milana! Mula-mula mereka terkejut ketika melihat betapa pengemis yang dikejar-kejar oleh Pouw Toan itu dapat melepaskan pegangan dengan mudah, dan lebih kaget lagi melihat tamparan-tamparan tangan yang jelas mengandung tenaga sinkang yang amat tangguh itu.

Cepat mereka pun bergerak mengelak dan balas menyerang, karena mengira bahwa pengemis ini tentu orang jahat yang entah melakukan hal apa terhadap Pouw Toan. Terjadilah perkelahian satu lawan dua yang amat hebat. Makin lama, Tek Hoat menjadi semakin kagum. Tak disangkanya dia akan bertemu dengan dua orang pemuda remaja kembar yang demikian tangguhnya! Ilmu silat mereka amat halus dan tangguh, ilmu silat golongan bersih yang luar biasa sekali dan anehnya, gerakan-gerakan mereka baginya tidak begitu asing, bahkan seakan-akan ada dasar-dasar yang sama antara ilmu silat mereka dengan ilmu silatnya yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Di lain pihak, dua orang saudara kembar itu pun terkejut sekali mendapat kenyataan bahwa pengemis itu benar-benar amat lihai, mempunyai ilmu silat tinggi sehingga pengeroyokan mereka tidak membuat pengemis itu terdesak.

Sejak tadi Pouw Toan hanya menonton saja sambil tersenyum. Dia cukup maklum akan watak dua orang pemuda kembar itu yang tak akan menjatuhkan tangan kejam kepada siapa pun juga, apalagi kepada orang yang tidak mereka ketahui kesalahannya seperti Tek Hoat itu. Dan dia pun maklum bahwa Tek Hoat adalah seorang pendekar, biar pun sedang bingung, yang tidak akan mencelakakan orang tanpa sebab. Biarkanlah mereka saling bertanding dan saling berkenalan melalui ilmu silat, pikirnya, karena pelukis yang banyak bergaul dengan orang-orang dari dunia persilatan ini maklum akan ‘penyakit’ para pendekar yang suka sekali akan pertandingan ilmu silat, menonton atau ditonton!

Setelah membiarkan mereka bertanding sampai beberapa lamanya, Pouw Toan yang tidak mengenal ilmu silat itu merasa khawatir juga dan dia pun cepat maju dan berseru keras, “Jangan berkelahi....! Kalian masih saudara-saudara sendiri, masih keluarga sendiri!”

Tentu saja mendengar seruan ini mereka berhenti dan dua orang pemuda kembar itu memandang kepada Tek Hoat dengan terheran-heran. Masih keluarga sendiri? Mereka sungguh tak dapat menduga siapa adanya jembel yang dikatakan keluarga sendiri oleh pelukis itu. Sedangkan Tek Hoat yang tadinya tidak mau pedulikan segala hal, kini menjadi tertarik juga dan dia menoleh kepada Pouw Toan dengan sinar mata bertanya.

“Murid-muridku yang baik, ini dia Si Jari Maut, Wan Tek Hoat yang menjadi keponakan tiri dari Ibu kandung kalian.”

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong terkejut sekali. Tentu saja mereka sudah pernah mendengar nama ini dari penuturan ibu mereka, akan tetapi ibunya menggambarkan orang yang bernama Wan Tek Hoat dan berjuluk Si Jari Maut itu tidak seperti seorang jembel seperti ini. Betapa pun juga, mereka tidak meragukan keterangan Pouw Toan dan mereka lalu menjura kepada Tek Hoat.

“Wan-piauwko, maafkan kami yang tidak mengenalmu,” kata Jit Kong.

“Wan-taihiap, mereka adalah adik-adik misanmu sendiri, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera kembar Bibi tirimu Puteri Milana dan suaminya. Mereka ini diserahkan kepadaku untuk belajar sastra, ha-ha-ha!”

Giranglah hati Tek Hoat dan dia kagum sekali melihat Puteri Milana, bibi tirinya itu, telah mempunyai putera kembar setampan dan selihai ini.

“Ah, tidak mengapa, Adik-adikku yang lihai. Maafkan, aku tidak dapat menemani kalian lebih lama lagi. Paman Pouw, terima kasih atas segala-galanya dan selamat tinggal!”

“Taihiap....!” Akan tetapi seruan ini percuma karena sekali ini Tek Hoat telah berkelebat dan lenyap dengan cepat sekali dari situ. Pouw Toan menghela napas dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh....dia manusia aneh.... kasihan sekali....“

“Tapi.... Si Jari Maut yang digambarkan Ibu tidak seperti itu, melainkan seorang pria yang kata Ibu tampan dan gagah, bukan seorang pengemis yang begitu terlantar....“ Goat Kong berkata.

Pouw Toan menghela napas. “Begitulah kehidupan manusia. Setiap manusia boleh saja mempelajari segala macam ilmu, menjadi orang pandai, menjadi orang perkasa, namun selama dia tidak mampu membebaskan diri dari segala nafsu yang mencengkeramnya, dia akan menjadi permainan suka duka. Kedukaan kadang-kadang membuat manusia kehilangan kesadaran dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan yang hebat seperti dia itu.”

Bagaimanakah dua orang pemuda kembar itu dapat muncul pada saat itu? Seperti telah kita ketahui, lima tahun yang lalu dua orang pemuda ini pernah ikut pula dengan arus orang-orang kang-ouw dan berkeliaran di Pegunungan Himalaya! Pada waktu itu usia mereka baru kurang lebih dua belas tahun! Dan seperti kita ketahui, mereka itu disusul oleh Su-bi Mo-li, yaitu wanita-wanita iblis yang terkenal sebagai murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok, ditawan dan dibawa kembali ke kota raja.

Mereka berdua itu sempat ditolong oleh Bu Ci Sian yang dibantu oleh gurunya, yaitu See-thian Coa-ong, akan tetapi melihat keganasan ular-ular yang dipergunakan oleh Ci Sian, dua orang pemuda kembar itu memaki Ci Sian sebagai siluman ular, lalu pergi meninggalkan para penolongnya untuk mengejar Su-bi Mo-li. Kiranya mereka berdua memang sengaja membiarkan diri ditawan oleh Su-bi Mo-li untuk dibawa menghadap Sam-thaihouw yang mengutus empat orang wanita iblis itu!

Dua orang anak kembar ini adalah putera pendekar sakti, dan ibunya adalah seorang yang amat terkenal pula, maka tentu saja mereka memiliki watak aneh dan keberanian luar biasa sekali. Biar pun usia mereka baru dua belas tahun, namun di dalam darah mereka terdapat jiwa petualang besar. Maka pada waktu mendengar tentang lenyapnya pedang pusaka Koai-liong-kiam secara aneh dari gudang pusaka keraton, jantung mereka berdegup penuh ketegangan dan dua orang saudara kembar itu diam-diam lalu berunding dan akhirnya mereka memutuskan untuk pergi melakukan pengejaran dan pencarian terhadap pencuri pedang itu!

Memang lucu sekali kalau diingat betapa mereka itu, biar pun sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi, tentu saja tidak mungkin dapat menandingi kehebatan seorang pencuri yang dapat mengambil sebatang pedang pusaka dari dalam gudang pusaka istana begitu saja tanpa ada yang mengetahui! Pencuri seperti ini tentulah seorang pencuri yang sakti. Mereka pergi diam-diam dan hanya meninggalkan pesan kepada seorang kakek tetangga yang tinggal jauh di dusun kaki Gunung Beng-san agar kakek itu suka memberi kabar kepada ayah mereka bahwa mereka berdua hendak pergi ‘merantau’ untuk meluaskan pengetahuan!

Tentu saja Gak Bun Beng dan Milana terkejut bukan main mendengar berita dari kakek tetangga itu. Mereka sudah mencoba untuk mencari-cari, namun tiada hasilnya. Dua orang anak mereka seolah-olah lenyap ditelan bumi tanpa meninggalkan bekas! Mereka sudah mencari keterangan, akan tetapi tidak ada yang pernah melihat dua orang anak laki-laki kembar lewat di tempat mereka! Hal ini adalah karena kecerdikan kakak beradik itu yang meninggalkan tempat mereka sambil menyamar, berpakaian lain dan juga Jit Kong merubah cara dia menggelung rambut dan mencoreng-moreng mukanya sehingga tidak sama dengan muka adik kembarnya! Baru setelah mereka berdua pergi jauh sesudah lewat berpekan-pekan, mereka berpakaian biasa kembali seperti anak kembar.

Akhirnya Gak Bun Beng dan isterinya kembali ke rumah mereka di puncak Beng-san. “Tenanglah, tidak mungkin anak-anak kita itu akan mengalami bencana. Mereka sudah cukup besar dan mereka pun bukan anak-anak yang biasa ceroboh. Juga, kurasa kepandaian mereka sudah cukup untuk mereka pergunakan melindungi diri sendiri.”

“Tapi mereka itu baru berusia dua belas tahun, masih belum dewasa dan di dunia ini terdapat amat banyak orang jahat!” kata Puteri Milana menyatakan kekhawatirannya.

“Betapa pun juga, mereka pergi berdua dan mereka dapat saling bantu. Biarlah, biar mereka mencari pengalaman dan merasakan betapa pahitnya dan bahayanya hidup di dunia ramai. Ingat, isteriku, kita pun dahulu merupakan petualang-petualang besar dan kita tetap selamat sampai setua ini. Mengapa terlalu mengkhawatirkan mereka?”

Puteri Milana adalah seorang wanita gagah perkasa, bahkan beberapa kali dia pernah memegang kedudukan panglima dan memimpin pasukan pemerintah untuk menghadapi pemberontak-pemberontak, maka sudah tentu saja dia bukan seorang wanita cengeng. Maka walau pun kekhawatiran kadang-kadang masih mencekam hatinya, dia dapat menenteramkan diri dan menanam keyakinan bahwa apa yang diucapkan suaminya itu memang benar. Betapa pun juga, suaminya harus berjanji kepadanya bahwa kalau sampai satu tahun anak kembar mereka itu belum pulang, mereka berdua akan turun gunung mencarinya sendiri!

Demikianlah asal mula Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat berada di Pegunungan Himalaya, terbawa arus orang-orang kang-ouw yang mereka dengar berlomba mencari pedang pusaka yang jejaknya dikabarkan menuju ke pegunungan itu. Mereka tidak tahu bahwa kehadiran mereka diketahui oleh Im-kan Ngo-ok, dan kemudian murid-murid mereka, yaitu empat orang iblis betina Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik) melakukan pengejaran dan menawan dua orang anak kembar itu.

Karena maklum bahwa empat orang wanita itu lihai sekali, apalagi mereka adalah murid-murid utama dari Im-kan Ngo-ok yang juga nama besar mereka telah didengar oleh Jit Kong dan Goat Kong, maka kedua orang anak kembar ini tidak melakukan perlawanan dan menurut saja dibawa kembali ke timur. Untuk menjaga supaya mereka tidak lari, mereka diborgol! Sampai mereka berdua itu bertemu dengan Ci Sian yang menolong mereka.

Kalau Jit Kong dan Goat Kong menghendaki, tentu saja dengan mudah mereka dapat melepaskan diri. Empat orang iblis betina itu terlalu memandang rendah tawanan mereka. Kalau dua orang anak kembar itu menghendaki, sekali berontak mereka akan dapat mematahkan borgol mereka dan dapat melarikan diri. Akan tetapi mereka tidak mau melakukan ini dan pura-pura menjadi anak-anak tak berdaya dan menyerahkan diri saja karena mereka itu diam-diam merasa gembira dan ingin tahu apa yang akan terjadi kalau mereka sudah dihadapkan dengan majikan dari Su-bi Mo-li, yaitu yang katanya adalah Sam-thaihouw atau Ibu Suri Ke Tiga di istana kerajaan.

Tentu saja mereka tidak merasa takut karena bukankah mereka berdarah keluarga kaisar? Nenek mereka adalah Puteri Nirahai yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti di Pulau Es. Nenek mereka itu adalah seorang puteri istana asli, masih terhitung bibi dari kaisar sekarang, sungguh pun neneknya itu puteri selir saja. Kalau dihitung-hitung, ibu kandung mereka masih terhitung saudara misan dari kaisar yang sekarang, malah mereka sendiri pun sebetulnya masih merupakan dua orang pangeran! Ingin mereka tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, apalagi kalau diketahui bahwa mereka adalah putera dari Panglima Milana, cucu dari Puteri Nirahai yang amat terkenal itu!

Akan tetapi Ci Sian, gadis yang mengerikan dengan ular-ularnya itu, telah ‘menolong’ mereka dan merusak permainan sandiwara mereka. Betapa pun, semua pengalaman mereka itu membuka mata mereka bahwa merantau di tempat itu sungguh berbahaya sekali karena ternyata di situ banyak berkeliaran orang-orang pandai dan orang-orang jahat. Maka, mereka pun mengambil keputusan untuk pulang ke Beng-san, apalagi mereka kini teringat bahwa tentu ayah bundanya akan menjadi khawatir sekali dengan kepergian mereka.

Dan memang dugaan mereka itu benar. Ketika mereka tiba di rumah orang tua mereka, yaitu di Puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san, mereka disambut oleh tangis kegembiraan oleh ibu mereka, akan tetapi kemudian mereka pun menerima teguran keras dari ayah bunda mereka atas kelancangan mereka pergi merantau.

“Bukan kalian tidak boleh pergi merantau, akan tetapi harus mendapat restu orang tua, lebih dulu diperbincangkan dengan kami sehingga tidak menyusahkan hati orang tua. Lagi pula, kalian masih terlalu muda untuk pergi mencari pengalaman di luar,” demikian antara lain ayah mereka menegur.

“Kemana saja engkau pergi selama setengah tahun ini?” Milana bertanya, matanya masih basah akan tetapi wajahnya berseri kembali setelah selama berbulan-bulan ini nampak muram dan gelisah.

“Kami mendengar tentang pusaka Koai-liong-kiam yang hilang dari istana dan kabarnya dilarikan maling ke Pegunungan Himalaya, maka kami berdua pergi ke sana dengan harapan kalau-kalau kami akan dapat menemukan kembali pedang pusaka istana itu,” kata Jit Kong.

Milana terbelalak. “Kalian ke Pegunungan Himalaya?” Dan wanita cantik ini tertawa geli. “Ah, Ayahmu ingin sekali ikut mengejar ke barat, dan andai kata kalian tidak pergi, tentu Ayahmu juga pergi ke sana.”

Gak Bun Beng tertawa dan menggeleng-geleng kepala. “Aihh, sungguh tidak kunyana, aku yang ingin sekali pergi, malah kalian yang mendahului. Tetapi biarlah, hitung-hitung kalian mewakili aku. Asal saja kalian di sana tidak melakukan hal-hal yang memalukan. Apa yang telah kalian alami di sana? Banyakkah orang kang-ouw pergi ke sana?”

“Banyak sekali, Ayah. Di sana amat banyak orang-orang aneh dan orang-orang pandai,” kata Goat Kong.

“Dan bagaimana pula kabarnya dengan pedang pusaka itu? Apakah sudah ditemukan pencurinya dan pedang itu dapat dirampas kembali?” tanya Milana.

Jit Kong menggeleng kepala. “Mereka semua itu agaknya bukan mencari pedang untuk dikembalikan ke istana, Ibu, melainkan saling memperebutkan untuk masing-masing diri sendiri.”

“Ahhh....!” Milana berseru kecewa.

“Tidak aneh, apakah engkau lupa akan watak orang-orang kang-ouw yang tamak akan benda-benda pusaka, isteriku? Lalu kabarnya siapa yang mendapatkan pusaka itu?” tanya Bun Beng.

“Kami tidak tahu, Ayah, karena baru saja tiba di sana kami sudah ditangkap orang,” kata Jit Kong.

Tentu saja keterangan ini mengejutkan hati suami isteri pendekar itu. Milana bangkit dari tempat duduknya, mukanya yang masih cantik dalam usianya yang sudah mendekati lima puluh tahun itu menjadi kemerahan. “Ditangkap orang? Siapa yang menangkap kalian dan mengapa kalian ditangkap?”

“Kami ditangkap oleh empat orang wanita berjuluk Su-bi Mo-li....”

“Hemm! Su-bi Mo-li? Siapa mereka itu?” Milana membentak marah.

“Aku pun tidak mengenal nama itu,” kata Gak Bun Beng dan memang suami isteri ini selama ini tidak pernah keluar ke dunia kang-ouw sehingga mereka sama sekali tidak mengenal nama-nama baru. “Siapakah mereka itu?” tanyanya kepada kedua orang puteranya.

“Menurut yang kami dengar, mereka itu adalah murid-murid dari Im-kan Ngo-ok....”

“Ahhh, keparat! Kiranya murid-murid Im-kan Ngo-ok?” bentak Bun Beng dan Milana terkejut sekali mendengar nama Im-kan Ngo-ok yang dia tahu amat terkenal sebagai datuk-datuk kaum sesat dan amat lihai itu. “Kenapa kalian ditangkap mereka? Apakah kalian tidak melawan?”

“Mereka menghadang kami dan mengatakan bahwa kami harus ikut bersama ke kota raja untuk menghadap Sam-thaihouw. Kami sengaja tak melawan dan membiarkan diri ditangkap karena kami ingin sekali melihat apa yang akan terjadi dengan kami di istana. Kami tidak takut untuk dibawa ke istana!”

“Sam-thaihouw....?” Milana terbelalak dan dia lantas mengangguk-angguk, “Pantas...., kiranya empat iblis betina itu adalah kaki tangan Sam-thaihouw....!”

Gak Bun Beng juga sudah tahu betapa Sam-thaihouw, ibu suri ke tiga itu menaruh dendam kepada isterinya karena banyak hal, akan tetapi terutama karena kegagalan pemberontakan dua orang Pangeran Liong. Maka kini dia pun mengerti mengapa dua orang puteranya itu ditangkap atas perintah Sam-thaihouw dan dia mengerutkan alis, akan tetapi kemudian merasa lega bahwa dua orang puteranya itu telah selamat.

“Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana kalian ditawan dan bagaimana pula kalian dapat meloloskan diri dan pulang ke sini,” katanya kemudian.

Dengan cara bergantian, Jit Kong dan Goat Kong lalu menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka pergi dari rumah menuju ke Himalaya dan betapa mereka ditangkap, kemudian betapa mereka ditolong oleh seorang gadis cantik bersama kakek Nepal yang mendatangkan ular-ular dan yang mengalahkan Su-bi Mo-li.

“Gadis itu mengacaukan rencana kami, Ayah!” kata Jit Kong.

“Dia itu seperti siluman ular saja. Mengerikan!” kata pula Goat Kong.

“Eh, ehh! Bagaimana kalian dapat berkata demikian? Bukankah mereka telah bersusah payah melawan Su-bi Mo-li untuk menolong kalian?” tanya Milana.

Dua orang anak kembar itu bersungut-sungut. “Akan tetapi, kami memang sengaja menyerahkan diri untuk ditangkap karena kami ingin melihat apa yang terjadi di istana dengan kami. Kami toh hanya pura-pura menyerah.... tahu-tahu gadis liar itu merusak sandiwara kami dan mencampuri. Karena sudah terlanjur bebas, maka kami lalu pulang karena daerah itu amat berbahaya dan terdapat banyak orang jahat yang amat lihai.”

“Siapakah gadis yang bermain-main dengan ular itu? Siapa namanya?” tanya Milana yang merasa tertarik.

“Kami tidak tahu, Ibu. Kami tidak tanyakan namanya. Untuk apa menanyakan nama gadis siluman ular itu?” kata Goat Kong.

“Ah, jangan berkata demikian!” Milana membentak. “Apa kau kira asal orang bermain atau mampu mendatangkan ular-ular lalu kau anggap dia jahat dan siluman? Tahukah kalian bahwa Bibimu, Isteri dari Pamanmu Suma Kian Lee juga seorang ahli tentang ular beracun?”

Dibentak demikian oleh ibunya, dua orang anak kembar itu diam saja dan di dalam hati mereka mengaku bahwa mereka memang bersikap salah terhadap gadis yang menolong mereka itu. Sesungguhnya bukan semata-mata ular-ular itu yang membuat mereka tidak suka kepada gadis itu, melainkan melihat keganasan ular-ular itu dan juga karena gadis itu telah menggagalkan rencana dan sandiwara mereka.

Pada malam harinya, setelah dua orang anak mereka itu tidur di kamar mereka sendiri, suami isteri pendekar ini lalu mengadakan perundingan. Mereka maklum bahwa dalam keadaan seperti dua orang anak mereka itu, yang sedang remaja dan menjelang dewasa, maka jiwa petualangan mereka itu sedang mencapai puncaknya, maka kalau tidak diberi saluran, mungkin saja pada suatu hari mereka itu minggat lagi.

Mereka lalu berunding untuk menyerahkan mereka kepada sastrawan Pouw Toan yang tinggal di lereng sebelah utara, seorang sastrawan yang menjadi sahabat baik mereka yang mereka hormati karena sastrawan itu merupakan seorang terpelajar yang amat mulia dan bijaksana. Biarlah anak mereka belajar ilmu tentang hidup dan memperdalam ilmu kesusastraan dari kakek itu. Mereka mengenal betul siapa Pouw Toan, seorang ahli sastra, seorang ahli lukis, seorang seniman sejati yang biar pun tidak pernah belajar ilmu silat, namun memiliki tubuh sehat kuat karena suka merantau dan yang mengenal hampir semua pendekar sakti di dunia ini.

Demikianlah, beberapa pekan kemudian suami isteri ini pergi mengunjungi rumah pondok Pouw Toan di lereng utara dan kebetulan sekali bagi mereka bahwa Pouw Toan baru saja kembali dari perantauannya. Pouw Toan menyambut kunjungan suami isteri sahabatnya itu dengan ramah dan gembira. Dia amat mengagumi pendekar dan isterinya itu, apalagi mengingat bahwa isteri pendekar itu adalah seorang puteri kandung dari Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai, masih berdarah keluarga kaisar akan tetapi memilih tinggal di puncak sunyi itu, rela meninggalkan kemuliaan dan kemewahan serta memilih hidup sederhana namun tenteram.

Setelah minum arak yang disuguhkan Pouw Toan, mereka duduk bercakap-cakap dan suami isteri ini menceritakan tentang petualangan dua orang putera kembar mereka sampai ke Pegunungan Himalaya! Mendengar itu Pouw Toan tersenyum dan amat tertarik. Setelah selesai dia menarik napas panjang.

“Ahhh, sungguh hebat puteramu itu, Taihiap. Akan tetapi aku tidak dapat menyalahkan mereka. Mereka itu adalah putera-putera suami isteri pendekar seperti Ji-wi, tentu saja memiliki keberanian dan jiwa petualang, dan tentu tertarik mendengar akan lenyapnya pedang pusaka itu. Aku sendiri seorang tua bangka lemah ini pun amat tertarik dan aku sudah banyak mendengar dan menyelidiki tentang pedang itu, sungguh pun aku tidak berkesempatan untuk ikut beramai-ramai pergi ke Himalaya!”

Setelah bercakap-cakap tentang bermacam hal sampai beberapa lamanya, akhirnya suami isteri itu menyatakan keperluan mereka datang berkunjung kepada sastrawan itu, yaitu untuk menitipkan dua orang putera mereka agar belajar ilmu sastra dan filsafat kepada kakek itu.

“Setelah mereka pergi dengan diam-diam, kami berdua merasa khawatir kalau-kalau mereka pergi lagi. Mereka masih hijau, apalagi dalam soal-soal hidup, oleh karena itu kami mohon Pouw Twako suka menerima mereka menjadi murid.”

“Ha-ha-ha, sungguh lucu mendengar bahwa Ji-wi, suami isteri pendekar sakti yang amat kukagumi malah menyerahkan putera Ji-wi kepadaku untuk menjadi murid! Betapa pun juga, hati siapa takkan merasa bangga menjadi guru dari cucu Pendekar Super Sakti? Tentu saja aku dengan senang hati menerimanya, namun, untuk mematangkan mereka, bukan hanya harus belajar dari buku-buku melainkan mengajak mereka merantau dan melihat kehidupan di tempat-tempat ramai.”

“Terserah kepada Pouw-twako kalau hendak mengajak mereka merantau. Biarlah mereka itu belajar selama dua tiga tahun sebelum mereka mempelajari Ilmu-ilmu silat yang lebih berat dan mendalam. Selain itu, juga kami berdua ingin pergi ke kota raja untuk menyelidiki apa maksudnya Sam-thaihouw menculik anak-anak kami.”

Setelah mereka bersepakat, Jit Kong dan Goat Kong diberi tahu. Dua orang anak ini menerima dengan girang perintah ayah mereka, apalagi pada saat mendengar bahwa mereka selain diajar ilmu kesusastraan juga akan diajak pergi merantau oleh Paman Pouw yang sudah mereka kenal dan yang mereka kagumi karena kakek itu pandai melukis dan pandai sajak.

Demikianlah, sejak itu, Jit Kong dan Goat Kong ikut dengan Pouw Toan, bahkan lalu diajak pergi merantau oleh kakek yang tidak betah tinggal terlalu lama di suatu tempat itu. Dan pada hari itu, seperti telah diceritakan di bagian depan, kakek itu bertemu dengan Wan Tek Hoat. Ketika dia berjumpa dengan Tek Hoat dan ketika dia dibawa pergi oleh tiga orang untuk dipaksa melukis hartawan Thio, dua orang muridnya itu sedang pergi untuk memberi peringatan atau hajaran kepada seorang penguasa dusun tak jauh dari kota itu yang terkenal sebagai penindas dan pemeras para penduduknya. Memang Pouw Toan tidak melarang, bahkan menganjurkan dua orang muridnya itu untuk mempergunakan ilmu silat yang mereka pelajari dari orang tua mereka untuk melawan kelaliman di mana pun mereka berada.

Dan malam itu juga Jit Kong dan Goat Kong pergi membereskan penasaran yang terjadi di dusun itu, mendatangi kepala dusun, menundukkannya, kemudian pada keesokan harinya mereka memaksa kepala dusun untuk mengembalikan sawah ladang yang dirampasnya dari para penduduk tani, dan menyaksikan kepala dusun mengucapkan janji untuk menjadi kepala dusun yang baik di depan para penduduk. Setelah selesai, barulah dua orang remaja kembar yang luar biasa ini meninggalkan dusun dan kembali ke kota di mana mereka melihat gurunya mengejar-ngejar seorang laki-laki jembel.

Setelah pertemuan dengan Wan Tek Hoat itu, Pouw Toan lalu melanjutkan perjalanan bersama dua orang murid kembarnya menuju ke utara, karena dia ingin mengajak dua orang muridnya merantau ke kota raja…..

********************

Sementara itu, bagaikan orang kesetanan, Wan Tek Hoat melakukan perjalanan cepat sekali, hampir tak pernah berhenti kecuali kalau kedua kakinya sudah seperti hendak patah-patah, napasnya seperti hendak putus dan tenaganya sudah habis saking lelah, haus dan laparnya, menuju ke timur. Dia melakukan perjalanan sambil berlari cepat siang malam, hanya kalau terpaksa saja dia berhenti untuk minum, makan dan tidur. Tujuannya hanya satu, yaitu ke Kim-coa-to, tempat tinggal kekasihnya, Syanti Dewi!

Pendekar yang sudah hampir rusak hidupnya dan kini seperti orang dalam kegelapan melihat titik cahaya terang itu, sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu pula di Pulau Kim-coa-to sedang dipersiapkan oleh penghuni atau majikan Pulau Kim-coa-to, yaitu Bu-eng-kwi Ouw Yang Hui yang disebut Toanio (Nyonya Besar) oleh semua orang yang mengenalnya, dan selain dihormati, juga amat disegani bahkan ditakuti karena semua orang tahu belaka betapa nyonya yang berwajah amat cantik jelita dan kadang-kadang bermata dingin ini berdarah dingin pula dan betapa mudah membunuh orang dengan kepandaiannya yang luar biasa lihainya!

Pesta apakah gerangan yang diadakan oleh Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang biasanya pendiam dan suka menyendiri, tidak suka akan segala keramaian itu? Pesta ini diadakan demi rasa sayangnya kepada Syanti Dewi yang dianggap sebagai muridnya, adiknya, bahkan seperti anaknya sendiri itu. Pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi genap tiga puluh tahun! Tadinya Syanti Dewi menolak diadakannya pesta itu.

“Enci Hui....,” bantahnya, dan memang dua orang wanita yang sama cantiknya ini saling menyebut enci dan adik, “Perlu apa diadakan pesta perayaan ulang tahun? Selain aku tidak menginginkan itu, juga apa sih enaknya dirayakan ulang tahun kita jika kita sudah berusia tiga puluh tahun? Kiraku, tidak ada wanita yang suka memamerkan ketuaan umurnya!”

Ouw Yan Hui tersenyum. “Adikku yang manis, jangan kau berkata demikian. Pesta ini memang kusengaja, dengan bermacam maksud yang tersembunyi di baliknya. Sudah berkali-kali kukatakan kepadamu, Adikku, bahwa keramahanmu yang menerima semua persahabatan dari sekian banyaknya pria amatlah tidak baik jadinya. Oleh karena itu, biarlah kuadakan pesta ini untuk melihat siapakah sesungguhnya di antara mereka yang patut menjadi suamimu. Maka, pesta ini akan kita jadikan sebagai suatu kesempatan bagimu untuk memilih jodoh.”

“Enci....!”

“Jangan kau menolak lagi sekali ini, Syanti! Engkau takkan hidup seratus tahun dan biar pun engkau memiliki kecantikan seperti bidadari, dua puluh tahun lagi engkau sudah berusia setengah abad! Lihatlah diriku! Aku memang tetap cantik, tetapi apa gunanya semua kecantikan ini? Jangan kau sia-siakan hidupmu, Adikku. Maka biarkanlah aku yang mengatur semua itu. Aku akan memilihkan seorang di antara mereka yang paling tampan, paling gagah, paling kaya dan pendeknya yang tiada tandingnya di antara semua pria yang pernah kau kenal. Atau setidaknya, biarlah pangeran mahkota sendiri yang akan mempersuntingmu!”

“Enci....!”

“Adikku, mengapa engkau selalu berkeras hati? Aku tahu bahwa engkau bukanlah seorang wanita yang dingin seperti aku. Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita berdarah panas yang selalu mendambakan cinta kasih seorang pria. Dan cintamu terhadap kekasihmu yang pertama itu tidak pernah padam! Itu menunjukkan betapa panasnya cintamu. Akan tetapi, kalau orang yang kau cinta sudah tidak peduli lagi akan dirimu, apakah engkau akan tetap setia dan menantinya sampai akhir jaman? Tidak, Adikku, itu sama sekali tidak benar dan aku yang sangat sayang kepadamu akan menentang ini!”

Menghadapi wanita yang biasanya pendiam dan dingin akan tetapi sekarang begitu banyak bicara karena penasaran itu, Syanti Dewi tak dapat banyak membantah. Betapa pun juga, dia pun sayang kepada wanita ini dan dia sudah berhutang budi sampai bertumpuk-tumpuk kepada wanita ini.

Memang, tadinya terdapat rasa sayang yang tidak wajar dalam hati Ouw Yan Hui, rasa sayang bercampur birahi yang aneh, yang dimiliki oleh wanita yang kini lebih suka bercumbu dan bermain cinta dengan sesama wanita karena dia pembenci pria. Akan tetapi setelah Ouw Yan Hui yakin benar bahwa Syanti Dewi tidak sudi melayani hasrat birahinya yang tidak wajar itu, Ouw Yan Hui tidak memaksanya dan birahinya lenyap bersatu dalam cinta kasihnya sebagai seorang sahabat atau saudara, atau bahkan seorang ibu!

Syanti Dewi merasakan benar kasih sayang wanita ini terhadap dirinya dan biar pun kasih sayang itu sifatnya tidak ingin menguasai dirinya, namun sedikitnya dia harus tahu diri dan tidak boleh selalu membantah mengukuhi kehendak sendiri. Selain itu, dia pun diam-diam melihat kebenaran dalam pendapat-pendapat Ouw Yan Hui. Memang dia masih mencinta Tek Hoat, akan tetapi mungkinkah pria itu masih dapat diharapkan lagi? Mengapa dia begitu bodoh menyiksa diri dalam kedukaan dan selalu menolak cinta kasih pria yang demikian banyaknya? Dia tinggal memilih! Tepat seperti yang dikatakan oleh Ouw Yan Hui. Dan usianya kini sudah tiga puluh tahun!

“Tiga puluh tahun! Ahhh, perlukah dirayakan Enci Hui? Bukankah itu sama dengan membuka rahasia bahwa aku sudah tua sekali?”

“Hemm, tiga puluh tahun belumlah tua sekali, Adikku. Pula, biarlah mata mereka terbuka bahwa engkau sudah berusia tiga puluh tahun, sudah cukup matang dan bukan seorang kanak-kanak lagi, akan tetapi juga agar mereka semua melihat betapa dalam usia tiga puluh tahun engkau tidak kalah segar dan cantiknya dibanding dengan seorang dara berusia tujuh belas tahun!”

“Aihh, Enci bisa saja menjawab.”

“Bagaimana, engkau sekali ini tidak akan mengecewakan hati Enci-mu, bukan?”

Syanti Dewi menunduk, merasa seperti seorang dara disuruh kawin dan mukanya lalu menjadi merah sekali. “Terserah kepadamu sajalah, Enci. Aku merasa seperti menjadi barang dagangan di pulau Kim-coa-to ini dan engkau hendak mencari pembeli yang berani menawar paling tinggi!”

Mendengar ucapan ini, Ouw Yan Hui kemudian merangkul Syanti Dewi. Kalau saja dia dirangkul oleh wanita lain, atau kalau saja dia tidak sudah tahu akan kesukaan Ouw Yan Hui bermain cinta dengan sesama wanita, tentu dia akan merasa terharu dan senang dirangkul. Akan tetapi kini, rangkulan Ouw Yan Hui terasa lebih menyeramkan dari pada rangkulan seorang pria yang tak dikenalnya, dan Ouw Yan Hui juga merasakan betapa tubuh puteri itu menegang, maka dia pun cepat melepaskan rangkulan sambil menarik napas panjang. Padahal dia tadi merangkul dara itu dengan perasaan seorang ibu merangkul anaknya.

“Syanti Dewi, mengapa engkau sekejam itu berkata demikian kepadaku? Engkau tahu bahwa seujung rambutku tidak ada pikiran mengganggumu sebagai barang dagangan. Engkau boleh memilih sendiri pria yang cocok untukmu, bukan karena melihat uangnya, tapi semuanya. Ya ketampanannya, ya kegagahannya, ya kedudukannya, ya hartanya. Pendeknya, seorang pria pilihan!”

“Terserah kepadamu, Enci!” kata pula Syanti Dewi sambil menutupi mukanya dengan kedua tangan.

Ouw Yan Hui tersenyum, menepuk-nepuk pundak puteri itu, lalu meninggalkannya.

Dan mulailah persiapan dilakukan. Undangan-undangan dibagikan dan pengumuman-pengumuman disebarkan sampai jauh ke daratan besar, bahkan undangan khusus juga disampaikan kepada Pangeran Mahkota Kian Liong! Turut disampaikan pula undangan kepada para pemuda yang dianggap pantas untuk menjadi tamu undangan, pemuda putera dari para ketua perkumpulan yang berpengaruh, hartawan-hartawan dan para pemuda yang tampan, ahli sastra atau ahli silat.

Pendeknya, Ouw Yan Hui berusaha mengumpulkan semua pemuda pilihan yang bisa didapatkan di seluruh daerah yang dikenalnya, termasuk pula Sang Pangeran Mahkota sendiri yang memang sudah lama menjadi sahabat baik dari Syanti Dewi! Undangan-undangan yang dikirim, juga pengumuman-pengumuman itu tentu saja hanya berisi undangan untuk menghadiri perayaan hari ulang tahun Syanti Dewi, akan tetapi di samping itu, sebagai berita desas-desus yang santer dan menarik, dikabarkan bahwa Sang Puteri cantik itu hendak menggunakan kesempatan itu untuk menentukan pilihan jodohnya! Berita desas-desus inilah yang menggemparkan hati semua pemuda yang sudah lama tergila-gila kepada puteri yang amat cantik jelita seperti bidadari itu…..

Pulau Kim-coa-to terletak di Laut Kuning, beberapa mil jauhnya dari muara Sungai Huai. Dari tepi pantai hanya nampak sebagai sebuah titik kecil saja kalau laut sedang tenang. Dan kalau orang naik perahu layar, maka dalam waktu empat lima jam akan sampai di pulau itu.

Kota Tung-king berada tidak jauh dari muara itu, dan pada hari itu kota Tung-king yang berada di lembah Sungai Huai nampak lebih ramai dari pada biasanya. Memang kota ini sedang diramaikan oleh tamu-tamu yang hendak berkunjung ke Pulau Kim-coa-to!

Pembesar setempat, yaitu Kepala Daerah Tung-king ikut menjadi sibuk pula karena hari itu Pangeran Kian Liong juga datang berkunjung bersama pasukan pengawalnya yang berjumlah dua losin orang! Sang Pangeran yang biasanya suka melakukan perjalanan secara menyamar itu, sekali ini karena menerima undangan resmi, berkunjung sebagai pangeran dan tentu saja dikawal dan mengendarai kereta yang indah. Karena hari telah menjadi senja ketika tiba pangeran itu memutuskan untuk bermalam di kota Tung-king dan tentu saja kepala pengawal langsung membawa kereta menuju ke gedung kepala daerah yang menjadi sibuk bukan main!

Pangeran Mahkota sendiri yang datang bertamu, tentu saja dia menjadi sibuk. Namun alangkah bingung dan herannya ketika pangeran itu dengan suara tegas melarang dia terlalu menyibukkan diri, hanya cukup kalau dia diberi sebuah kamar biasa dan makan malam biasa pula, menolak untuk diberi hidangan apalagi ditemani wanita. Baru sekali ini selama hidupnya Lu-taijin, kepala daerah kota Tung-king itu, mendengar dan bahkan menghadapi sendiri seorang pangeran, bahkan pangeran mahkota pula, yang mau tidur di kamar biasa, makan biasa pula dan menolak hiburan dan wanita!

Di samping kebingungan dan keheranannya, dia pun merasa kagum sekali. Diam-diam dia memperoleh kenyataan akan kebenaranan berita bahwa Sang Pangeran Mahkota ini adalah seorang pemuda yang sederhana, terpelajar, pandai dan tidak suka akan kemewahan yang berlebihan, tidak suka berfoya-foya sebagaimana lajimnya para pangeran dan pembesar lainnya.

Tentu saja para pengawal mempersiapkan diri, menjaga keamanan pangeran mahkota itu, dan karena pasukan pengawal ini adalah pengawal dalam istana, maka pakaian mereka yang berwarna biru dan bersulamkan benang emas itu amat indah dan megah. Selain itu, mereka adalah pasukan pengawal pilihan, dengan tubuh tegap-tegap dan wajah tampan-tampan, mengagumkan semua orang, juga mendatangkan kesenangan.

Sementara itu, di sebuah rumah makan kecil di sudut kota, malam itu terdapat tiga orang laki-laki yang makan minum sambil bercakap-cakap dengan suara berbisik-bisik. Biar pun tiga orang itu berpakaian biasa saja, akan tetapi sikap dan keadaan mereka tentu menimbulkan kecurigaan mereka yang berpemandangan tajam.

Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada enam puluhan tahun, pakaiannya seperti penduduk biasa saja, akan tetapi matanya tinggal yang sebelah kanan saja karena yang sebelah kiri telah buta. Tubuhnya tinggi besar dan sikapnya perkasa, kuncir rambutnya yang masih panjang hitam itu besar melingkari lehernya. Meski kelihatan mengenakan pakaian biasa saja, namun sesungguhnya orang ini dia bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal, terutama sekali di daerah Propinsi Ho-pei karena dia dahulu adalah seorang jagoan yang dipercaya oleh Gubernur Ho-pei. Dia berusia enam puluh satu tahun, bernama Liong Bouw dan julukannya adalah Tok-gan Sin-ciang (Tangan Sakti Mata Tunggal). Sekarang Liong Bouw telah pensiun dan hidup sebagai petani, akan tetapi dia masih selalu aktip dalam dunia kang-ouw sebagai seorang yang disegani dan di samping kegagahannya sebagai pendekar, juga ia masih amat setia kepada kerajaan.

Orang ke dua dan ke tiga adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, dua orang kakak beradik berusia kurang lebih lima puluh tahun yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang tinggi. Kedua orang tokoh Siauw-lim-pai ini menjadi utusan untuk menyelidiki keadaan Kaisar Yung Ceng karena terdengar desas-desus bahwa setelah menjadi kaisar, maka Yung Ceng yang pernah menjadi murid Siauw-lim-pai itu banyak melakukan penyelewengan-penyelewengan.

Meski pun Yung Ceng kini telah menjadi kaisar, Siauw-lim-pai berhak untuk menyelidiki kelakuannya dan kalau ternyata murid Siauw-lim-pai itu melanggar larangan-larangan, maka Siauw-lim-pai berhak untuk mengeluarkan dari perguruan sebagai seorang murid yang melakukan pelanggaran. Oleh karena itu, para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus Ciong Tek dan Ciong Lun, dua orang kakak beradik itu, untuk melakukan penyelidikan di kota raja. Mereka memperoleh kenyataan bahwa memang benar murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu melakukan banyak pelanggaran, di antaranya yang paling parah adalah menguasai isteri orang dengan jalan kekerasan! Memang ada beberapa kali Yung Ceng merampas isteri orang, yaitu pejabatnya sendiri, yang kecantikannya membuatnya tergila-gila.

Maka mereka lalu melaporkan kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan dengan suatu upacara antara pimpinan, Yung Ceng dinyatakan sebagai murid murtad dan tidak diakui sebagai murid Siauw-lim-pai lagi. Selain kenyataan ini, juga dua orang saudara Ciong melaporkan tentang kebaikan-kebaikan Pangeran Mahkota Kian Liong. Oleh karena itu, mereka diberi tugas untuk bersama dengan para pendekar lainnya yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Mahkota yang banyak melakukan perjalanan secara menyamar itu.

Memang Pangeran Kian Liong banyak melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Dengan cara ini ia dapat bergaul dengan rakyat kecil, mendengarkan percakapan mereka, pendapat mereka tentang pemerintah dan dia pun mendengar celaan-celaan yang ditujukan kepada kaisar. Dan karena tanpa setahunya banyak pendekar sakti yang diam-diam melindunginya, maka tiap kali terjadi mala petaka yang hendak menimpanya, selalu dapat dihalau sehingga orang-orang mulai menanam kepercayaan yang bersifat tahyul, yaitu bahwa pangeran mahkota itu telah dijaga oleh malaikat, dan ini menjadi tanda bahwa dia benar-benar seorang calon kaisar yang hebat!

Tiga orang yang kini bercakap-cakap di rumah makan itu adalah tiga orang perkasa yang diam-diam melakukan perlindungan kepada Pangeran Kian Liong. Mereka sedang berbisik-bisik dan bicara dengan serius, dengan nada suara penuh khawatir.

“Benarkah penyelidikan kalian itu?” Si Mata Satu bertanya sambil menoleh ke kanan kiri, memperhatikan dengan sapuan pandang matanya yang tinggal satu ke seluruh sudut, takut kalau-kalau percakapan mereka didengar orang lain.

“Benar, Liong-lo-enghiong, kami sudah menyelidiki dengan seksama. Semua itu benar digerakkan oleh Sam-thaihouw....“

“Ssttt.... hati-hati kalau bicara....”

Liong Bouw bangkit dan kembali memeriksa ke seluruh ruangan. Tidak. Tidak ada yang mencurigakan dan dia pun duduk kembali. “Apa kau bilang? Sam-thaihouw....?“

Nama Sam-thaihouw memang amat menakutkan banyak orang, seolah-olah nama itu dapat mendatangkan bencana, walau pun hanya disebut saja. Memang pengaruh dan kekuasaan Sam-taihouw ini besar sekali, dan dia amat bengis sehingga banyak sudah orang-orang yang dianggapnya bersalah terhadapnya harus menerima hukuman yang mengerikan. Bahkan kaisar sendiri pun agaknya sudah tidak mampu mencegah segala perbuatan Sam-thaihouw yang mempunyai banyak jagoan yang tangguh.

Seorang menteri, yaitu Menteri Kim sebagai Menteri Kebudayaan, beberapa bulan yang lalu pernah berani mengecam nenek yang menjadi Ibu Suri Ke Tiga ini di depan kaisar. Dan apa yang terjadi kemudian? Beberapa malam sesudah itu, Sang Menteri tewas di dalam kamarnya, bersama isterinya dan tiga orang puteranya dan tiada seorang pun tahu siapa pembunuhnya! Akan tetapi kaisar tidak memerintahkan penyelidikan tentang pembunuhan ini dan dengan lantang Sam-thaihouw berkata kepada siapa saja yang kebetulan dijumpainya bahwa itulah hukuman bagi menteri yang lancang mulut itu! Masih banyak orang-orang yang harus tewas dalam keadaan mengerikan karena berani menentang Sam-thaihouw sehingga namanya merupakan sesuatu yang menyeramkan dan menakutkan.

Itulah sebabnya ketika Ciong Tek menyebut nama Sam-thaihouw, Liong Bouw menjadi terkejut dan khawatir sekali, maklum betapa bahayanya kalau nama ini disebut-sebut. Lalu dia berbisik, bertanya dengan hati tertarik, “Apakah yang sesungguhnya terjadi?”

“Agaknya Sam-thaihouw telah mampu mempengaruhi Kaisar sehingga percaya kepada Nenek itu jika Pangeran Kian Liong dianggap sebagai pengundang datangnya bahaya bagi pribadi Kaisar sendiri. Karena itu, persekutuan antara mereka sudah memutuskan untuk mengenyahkan Pangeran itu, atau paling tidak membatalkan dia sebagai calon pengganti Kaisar.”

“Ahh, mana mungkin? Pangeran itu adalah putera kaisar sendiri!” bantah Si Mata Satu.

“Itulah anehnya! Bekas murid Siauw-lim-pai yang murtad itu ternyata sudah berubah menjadi seorang pria lemah yang tunduk di bawah kekuasaan mulut manis seorang wanita cantik yang sudah membuatnya tergila-gila. Selirnya yang ke tiga, yang juga mempunyai seorang putera itulah yang menjadi senjata ampuh Sam-thaihouw untuk menjatuhkan hati Kaisar. Dan agaknya kaisar juga telah setuju untuk menggantikan pangeran mahkota dengan pangeran yang usianya baru lima tahun itu, putera dari selir ke tiga itu. Dan semua ini adalah hasil bujukan Sam-thaihouw yang telah mengerahkan banyak tokoh kaum sesat untuk membantunya. Kabarnya malah Im-kan Ngo-ok telah dapat diperalatnya.”

“Aih, berbahaya sekali kalau begitu. Dari mana kalian dapat memperoleh semua rahasia kerajaan ini?”

“Seorang murid keponakan kami, murid Siauw-lim-pai, kebetulan kini menjabat pangkat komandan muda dalam pasukan pengawal dalam istana. Dialah yang sudah melakukan semua penyelidikan itu untuk kami, sebab sebagai murid Siauw-lim-pai dia menganggap hal itu sebagai tugas sucinya untuk menyelidiki kelakuan murid Siauw-lim-pai yang telah menjadi kaisar itu.”

Hening sejenak dan ketiga orang itu tenggelam dalam lamunan masing-masing. Mereka tahu akan adanya bahaya besar berhadapan dengan kekuasaan di tangan nenek iblis yang berkuasa di istana itu.

Akhirnya Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw bertanya, “Menurut kalian, apakah yang akan terjadi dan bahaya apa yang mengancam diri Pangeran?” Lalu disambungnya dengan nada suara gentar, “Apakah kalian kira Im-kan Ngo-ok sendiri akan turun tangan?”

Dua orang kakak beradik itu saling pandang lalu menggeleng kepala. “Kami rasa hal itu tidak akan mungkin terjadi,” kata Ciong Lun. “Ini bukan urusan kecil, dan mereka sudah dikenal di dunia kang-ouw. Kalau mereka berani turun tangan sendiri mengganggu Pangeran, tentu seluruh orang gagah di dunia kang-ouw akan mencarinya dan mereka tentu tak akan berani menghadapi resiko sehebat itu. Tidak, mereka tentu hanya akan mengirim orang yang tidak terkenal, biar pun sudah dapat dipastikan suruhan mereka itu tentu amat lihai. Oleh karena itu, kita harus siap siaga dan berhati-hati.”

“Menurut penyelidikan kalian, apa yang akan mereka lakukan terhadap Pangeran?”

“Entah, hal itu kami belum dapat mengetahuinya. Akan tetapi yang kami tahu adalah bahwa sebelum Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan dengan Im-kan Ngo-ok yang diwakili oleh Toa-ok sendiri dan murid keponakan kami itu hanya dapat menangkap bahwa mereka telah membicarakan tentang kepergian Pangeran ke Kim-coa-to ini. Maka agaknya di Kim-coa-to itulah akan terjadinya hal-hal yang penting. Kabarnya pemilihan suami oleh Syanti Dewi itu dilakukan dengan sayembara ilmu silat pula. Nah, agaknya itulah kesempatan untuk mencelakai Pangeran.”

“Betapa pun juga, kita tidak boleh lengah. Baiknya Sang Pangeran juga dikawal oleh sepasukan pengawal yang baik. Pasukan Pengawal Garuda itu boleh diandalkan dan setia. Kita harus menyamar sebagai tamu-tamu di Kim-coa-to dan selalu membayangi Pangeran,” kata Liong Bouw.

Setelah selesai berunding dan makan, mereka membayar makanan, lalu meninggalkan rumah makan itu dengan berpencar. Memang mereka bekerja melindungi Pangeran Kian Liong secara berpencar agar lebih leluasa bergerak dan tidak mudah diketahui oleh pihak lawan.

Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar? Rakyat banyak tak mengetahui karena segala sesuatu yang terjadi dalam keluarga kaisar amat dirahasiakan dan dari luar nampaknya bahwa kehidupan keluarga kaisar itu tenang-tenang saja, bergelimang kemuliaan, kekayaan dan kemewahan, serta selalu riang gembira dan tenggelam dalam hiburan-hiburan. Akan tetapi, sesungguhnya kehidupan seorang kaisar, tiada bedanya dengan kehidupan seorang petani biasa, bahkan kalau dipandang bukan dengan ukuran kesenangan duniawi, maka kehidupan keluarga petani jauh lebih tenteram dibandingkan dengan kehidupan keluarga kaisar!

Kehidupan keluarga kaisar penuh dengan konflik yang selalu disembunyikan di balik senyum dan tata cara sopan santun yang berkelebihan. Orang yang berlutut di depan kaisar dengan dahi dibentur-benturkan pada lantai dengan penuh khidmat dan hormat, yang mulutnya mengucapkan ‘ban-ban swe’ (hidup selaksa tahun) sebagai pengucapan penghormatan dan pujian bagi kaisar, yang dari ujung rambut sampai pangkal sepatu membayangkan kesetiaan, penghormatan dan kebaktian, mungkin saja di balik semua itu menaruh dendam yang amat mendalam

Dan antara keluarga kaisar, di antara selir-selir dan putera-putera, yang kesemuanya hidup menurut adat-istiadat dan tata cara istana, hampir semua menggunakan sikap sebagai pakaian saja. Di sebelah dalam terdapat hati yang bermacam-macam, penuh ambisi, penuh pamrih, penuh iri, penuh dendam dan persaingan. Konflik terjadi setiap saat, akan tetapi hanya terjadi di dalam batin saja.

Sam-thaihouw adalah Ibu Suri Ke Tiga yang sudah nenek-nenek namun masih memiliki ambisi yang besar sekali. Kegagalan dua orang Pangeran Liong dalam pemberontakan mereka, bahkan yang disusul oleh kematian mereka, diam-diam menikam perasaan Sam-thaihouw yang pada waktu mudanya amat sayang kepada dua pangeran yang menjadi adik iparnya itu, adik ipar tiri. Akan tetapi tentu saja sakit hati ini dipendamnya di dalam hati. Oleh karena itu, dia lalu menaruh dendam mendalam kepada Milana dan keluarga Pulau Es yang dianggap menjadi biang keladi kegagalan gerakan dua orang pangeran itu.

Juga, dia ingin menanamkan kekuasaannya di dalam istana, maka dia pun berhasil mendekati Kaisar Yung Ceng. Kaisar ini di waktu mudanya adalah seorang pangeran yang gagah perkasa, bahkan pernah menjadi murid dalam Siauw-lim-si, mempelajari ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang tangguh. Akan tetapi setelah menjadi kaisar, setelah seluruh kekuasaan negara berada di tangannya, dia menjadi mabok akan kekuasaan, mabok pula akan penjilatan dan sanjungan. Mulai lenyaplah sifat-sifat gagahnya dan mulailah dia menghambakan diri pada kesenangan-kesenangan yang menumpuk nafsu nafsu menjadi majikan dari batinnya.

Banyak sudah para pemimpin atau pembesar yang menasehatinya dengan halus dan kadang-kadang nasehat itu ada manfaatnya pula, mengingatkannya. Akan tetapi, di samping mereka yang menasehatinya, lebih banyak pula yang menjilat-jilatnya dan mendorongnya untuk berenang dalam kesenangan, karena hanya dengan demikian itu sajalah para penjilat dapat melihat kaisar menjadi lemah sehingga mereka itu dapat merajalela!

Di antara para penasehatnya, majulah Pangeran Yung Hwa, seorang pangeran yang tadinya amat dekat dengan Kaisar Yung Ceng sewaktu masih pangeran. Akan tetapi, pengaruh nasehat Pangeran Yung Hwa ini kalah oleh pengaruh bujukan-bujukan yang mulai dilancarkan oleh Sam-thaihouw yang mendekati kaisar sebagai putera tirinya itu, dan Ibu Suri Ke Tiga ini bahkan memasukkan racun bisikan bahwa Pangeran Yung Hwa agaknya iri hati dengan kedudukan kakaknya. Dan akibatnya, Pangeran Yung Hwa lalu diangkat menjadi gubernur di wilayah barat, di propinsi Se-cuan yang jauh! Namanya saja diangkat dan diberi kedudukan, tapi sebetulnya itu merupakan suatu pembuangan agar pangeran itu jauh dari istana!

Demikianlah keadaan di istana. Kegilaan para penjilat dan pembujuk yang dikepalai oleh Sam-thaihouw itu semakin berani saja, makin gila sehingga mereka tidak segan-segan untuk mulai mengutik-utik kedudukan Pangeran Mahkota Kian Liong! Untuk melakukan ini, Sam-taihouw mempunyai pembantu yang amat baik, yaitu selir ke tiga dari Kaisar Yung Ceng, selir cantik jelita yang dirampasnya dari tangan seorang pembesar istana pula!

Selir ini mempunyai seorang putera yang usianya sudah lima tahun, maka tentu saja dia pun berambisi untuk melihat puteranya itu menjadi putera mahkota yang kelak akan menggantikan kedudukan kaisar! Melihat kesempatan ini, Sam-thaihouw yang merasa tidak senang kepada Pangeran Kian Liong yang tidak dapat didekatinya, bahkan yang berani menentangnya secara terang-terangan, mulailah nenek ini untuk menghasut dan menjauhkan hubungan antara ayah kandung dan putera mahkota ini, antara Kaisar dan Putera Mahkota Kian Liong!

Demikianlah keadaan di dalam istana, di mana terjadi persaingan dan pertentangan hebat tanpa diketahui oleh rakyat jelata. Bahkan hanya beberapa orang tertentu saja di istana yang mengetahui akan hal ini, dan yang mengetahui tidak berani membuka mulut untuk bercerita kepada siapa pun, bahkan kepada anak isteri pun tidak berani, karena kalau sampai ketahuan oleh pihak yang bersangkutan, tentu mereka tidak akan mampu menyelamatkan nyawanya, bahkan mungkin nyawa keluarganya pula.

Pangeran Kian Liong sendiri bukan tidak tahu akan segala konflik yang terjadi di dalam keluarga ayahnya. Itulah sebabnya dia merasa tidak betah dan muak berada di istana yang dianggapnya sebagai sumber segala kepalsuan, penjilatan, kepura-puraan dan iri hati, di mana setiap saat terjadi persaingan untuk mencari muka kepada kaisar dan terdapat perebutan kekuasaan yang sangat memuakkan hatinya. Dia lebih senang merantau dengan menyamar sebagai orang biasa, bergaul dengan rakyat jelata, tanpa pengawal, tanpa ada yang tahu bahwa dia adalah pangeran mahkota! Dengan cara demikian pangeran ini pernah bekerja membantu nelayan, petani dan sebagainya! Dan tentu saja sering kali dia terancam bahaya, akan tetapi selalu saja ada bintang penolong yang menolongnya dengan sembunyi.

Ketika pangeran ini mendengar tentang Syanti Dewi, hatinya tertarik dan dia pun datang berkunjung ke Kim-coa-to, bukan menyamar, tetap sebagai pangeran akan tetapi secara sederhana. Dan dalam pertemuan itu, kedua pihak merasa amat kagum. Pangeran Kian Liong kagum sekali melihat seorang wanita yang sedemikian cantik jelitanya, berdarah bangsawan bahkan puteri dari Raja Bhutan, dengan kecantikan seperti bidadari, juga memiliki pengertian yang amat mengagumkan tentang sastra, pandai menari, bernyanyi dan bersajak, bahkan pandai ilmu silat pula! Dan pandangan-pandangannya tentang hidup sedemikian matangnya sehingga pangeran ini tertarik untuk bersahabat.

Pangeran Kian Liong bukanlah seorang pemuda mata keranjang, dia lebih mengagumi kecantikan batiniah dari pada kecantikan lahiriah, dan jika dia tertarik oleh Syanti Dewi, adalah karena pribadi wanita itulah, bukan kecantikannya semata-mata. Dan tertariknya pun bukan tertarik dengan gairah nafsu birahi, melainkan tertarik untuk bersahabat, bercakap-cakap, bercengkerama dan bergurau, kadang-kadang melihat dara itu menari atau mendengarkan bernyanyi, dan membuat sajak bersama-sama atau bicara tentang orang-orang kang-ouw dan ilmu silat. Biar pun dia sendiri hanya mempelajari ilmu silat dasar saja untuk olahraga menjaga kesehatan, akan tetapi Pangeran Kian Liong senang sekali mendengar pembicaraan tentang ilmu silat dan dia mengagumi kehidupan para pendekar. Dalam diri Syanti Dewi dia benar-benar mendapatkan seorang sahabat yang amat menyenangkan dan cocok.

Di lain pihak, Syanti Dewi sendiri amat suka kepada pangeran yang biar pun usianya lebih muda namun telah memilliki pandangan tentang filsafat dan hidup dengan amat luasnya. Juga pangeran ini berbeda dengan semua pria yang mendekatinya. Semua pria, tua atau muda, yang mendekatinya, selalu memandang kepadanya dengan mata terpesona penuh kagum akan kecantikannya, dan di balik pandang mata itu terdapat nafsu birahi yang bernyala-nyala. Akan tetapi kekaguman yang terpancar keluar dari pandang mata pangeran ini bersih, kekaguman yang wajar seperti orang mengagumi setangkai bunga mawar atau mengagumi langit di waktu matahari terbenam. Oleh karena itu, biar pun usia mereka berselisih sepuluh tahun, keduanya dapat bersahabat dengan baiknya dan saling merasa akrab, sama sekali tidak canggung.

Pada waktu menerima undangan pesta ulang tahun Syanti Dewi, Pangeran Kian Liong gembira sekali dan dia sudah mengambil keputusan untuk berangkat dan seperti biasa dia bermaksud untuk melakukan perjalanan sendirian saja dengan menyamar. Akan tetapi ketika pengawalnya yang setia, yaitu komandan Pengawal Pasukan Garuda, mendengar akan niat pangeran yang amat dibelanya itu, dia cepat datang menghadap.

Komandan yang sudah lima puluh tahun lebih ini bernama Souw Kee An, seorang komandan tua pasukan pengawal yang terkenal itu, dan dahulu dia pernah menjadi pengawal yang setia dari Pangeran Yung Hwa sebelum pangeran itu dinaikkan pangkat atau dilempar sebagai gubernur di barat. Karena tahu akan kesetiaan Souw Kee An, maka Pangeran Yung Hwa lalu menugaskan untuk menjadi pengawal dari pangeran mahkota, yaitu Pangeran Kian Liong.

“Harap sekali ini Paduka sudi untuk mendengarkan nasehat saya dan tidak melakukan perjalanan tanpa dikawal. Saya mendengar banyak desas-desus yang tidak baik dan juga amat berbahaya bagi keselamatan Paduka, Pangeran,” demikian komandan tua itu membujuk.

“Ah, Souw-ciangkun, sudah beberapa tahun ini aku sering kali pergi merantau sendirian dan menyamar sebagai orang biasa, ternyata tidak terjadi hal-hal yang tidak baik dan sampai sekarang aku masih hidup dan selamat,” kata Pangeran itu sambil tersenyum.

Souw Kee An menarik napas panjang dan menggeleng kepalanya. “Akan tetapi berapa kali Paduka terancam bahaya maut dan kalau tidak ada malaikat pelindung berupa orang-orang sakti yang kebetulan melihat Paduka terancam lalu melindungi, apakah tidak berbahaya sekali? Dan pula, sekarang Paduka menerima undangan acara resmi, apa salahnya kalau Paduka juga datang secara resmi sebagai seorang Pangeran pula?”

Setelah dibujuk-buruk dan Souw Kee An menceritakan betapa akan banyaknya hadir tokoh-tokoh kang-ouw di Kim-coa-to, baik dari golongan bersih mau pun dari kaum sesat, dan bahwa menurut desas-desus yang didengarnya ulang tahun itu dipergunakan pula untuk memilih suami dan akan dipertandingkan ilmu silat sehingga tentu akan terjadi keributan, akhirnya Pangeran Kian Liong setuju juga untuk pergi dengan dikawal oleh Souw Kee An sendiri bersama dua puluh orang Pasukan Garuda. Souw Kee An kemudian memilih anggota-anggota yang memiliki kepandaian cukup, dan berangkatlah pangeran setelah mendapat persetujuan kaisar, pergi ke Kim-coa-to.

Demikianlah, karena hari telah mulai gelap, rombongan Pangeran Kian Liong terpaksa berhenti di Tung-king. Souw-ciangkun telah mengatur penjagaan yang ketat karena dia maklum bahwa semakin dekat mereka tiba di tempat tujuan, semakin gawatlah keadaan dan dia percaya bahwa pada waktu itu tentu banyak terdapat orang-orang kang-ouw di kota Tung-king itu.

Dan dugaannya itu memang tidak meleset kalau kita ingat betapa tak jauh dari tempat bermalam Pangeran, di rumah makan kecil di sudut kota itu telah terjadi pertemuan-pertemuan antara tiga orang gagah yang diam-diam melakukan perlindungan pula terhadap keselamatan Pangeran Kian Liong. Souw Kee An sendiri pun maklum akan gerakan diam-diam yang dilakukan oleh Sam-thaihouw, dan justru oleh karena itulah dia membujuk Pangeran agar melakukan perjalanan dengan terkawal. Dan pengawalan Pasukan Garuda yang ketat itu memang ternyata ada hasilnya.

Buktinya, sampai tiba di Tung-king, belum pernah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, seolah-olah pihak yang mempunyai niat buruk terhadap Pangeran merasa jeri dengan adanya pengawalan pasukan yang terkenal kuat itu. Akan tetapi ternyata hal itu hanya sementara saja dan pihak lawan itu memang ada dan sedang menanti saat baik! Untuk melihat siapa adanya pihak lawan itu marilah kita mengikuti mereka semenjak dari sebuah kamar rahasia di gedung peristirahatan Sam-thaihouw!

Di dalam kamar rahasia itu, sesaat sebelum Sang Pangeran berangkat, Sam-thaihouw mengadakan pertemuan untuk ke sekian kalinya dengan Toa-ok, yaitu tokoh pertama dari Im-kan Ngo-ok yang telah menjadi kaki tangannya. Selain Toa-ok di situ hadir pula empat orang wanita cantik yang bukan lain adalah Su-bi Mo-li yang memang bekerja sebagai pengawal pribadi Sam-thaihouw dan seperti kita ketahui, Su-bi Mo-li adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok dan empat orang wanita ini pernah menculik Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, tetapi usaha mereka itu gagal karena percampuran tangan Ci Sian.

“Maaf, Thaihouw, akan tetapi mengapa tidak mengambil jalan yang mudah saja dan membunuh Pangeran itu?” Dengan sikapnya yang halus, sopan dan ramah Toa-ok berkata kepada nenek yang berpakaian indah itu.

Itulah Sam-thaihouw, seorang nenek yang usianya sudah hampir tujuh puluh tahun akan tetapi pakaiannya masih mewah sekali dan mukanya juga dibedaki tebal. Alisnya sudah habis, akan tetapi sebagai gantinya dibuatlah coretan alis hitam kecil dan panjang yang melengkung!

Im-kan Ngo-ok adalah orang-orang yang terkenal sebagai datuk kaum sesat dan tentu saja Sam-thaihouw tidak sudi berhubungan langsung dengan orang-orang seperti Ji-ok, Su-ok atau Ngo-ok, maka yang dapat mewakili mereka hanyalah Toa-ok yang sopan dan halus walau mukanya mengerikan seperti gorila. Sebetulnya Sam-ok seoranglah yang pandai bersikap menghadapi orang besar, namun karena Sam-ok adalah seorang bekas Koksu Nepal, yaitu seorang musuh, maka tidak leluasalah bagi Sam-ok untuk bergerak di tempat terbuka, apalagi di kota raja. Karena itu, setiap kali Sam-thaihouw hendak mengadakan perundingan dengan para pembantunya yang istimewa ini, yang telah banyak sekali menerima emas dan permata darinya, selalu Toa-ok yang mewakili, di samping empat orang Su-bi Mo-li yang memang sudah biasa berada di dalam gedung Ibu Suri ini.

“Aihhh, Lo-enghiong!” Ibu Suri itu selalu menyebut Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) kepada Toa-ok, seolah-olah kakek itu adalah seorang pendekar yang tengah membantu ‘perjuangannya’. “Enak saja kau bicara! Apakah engkau tidak tahu siapa Pangeran Kian Liong? Jika engkau melakukan hal itu, tentu engkau akan dimusuhi oleh para pendekar sedunia, kerajaan menjadi geger dan juga Kaisar tentu akan marah kepadaku. Tidak, bukan pembunuhan yang kumaksudkan!”

“Akan tetapi Paduka tadi mengusulkan agar kami menghancurkan Pangeran....“

“Menghancurkan namanya, kedudukannya, pengaruhnya, tetapi bukan orangnya! Sekali namanya telah rusak, setelah rakyat melihat bahwa dia adalah seorang pangeran yang melakukan hal-hal buruk, nah, namanya tentu akan dikutuk dan dicela orang, dan akan lebih mudahlah untuk memindahkan kedudukan pangeran mahkota kepada yang lain. Mengertikah engkau akan maksudku?”

Bukan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok namanya kalau rencana keji sekecil itu saja tidak dimengerti. Dia mengangguk-angguk. “Harap Paduka tenangkan hati. Pekerjaan itu amat mudah dan sudah pasti kami dapat melakukannya dengan baik. Paduka tunggu saja, sebelum dia kembali dari Kim-coa-to, Pangeran Kian Liong sudah berubah dari seorang pangeran yang disanjung dan dipuji menjadi pangeran yang dikutuk dan dicela, baik oleh rakyat mau pun para pejabat.”

“Bagus, hadiahmu akan besar sekali, Toa-ok!” kata nenek itu, saking girangnya lupa menyebut Lo-enghiong, tetapi hal ini malah menggirangkan Toa-ok yang sesungguhnya tidak suka disebut ‘enghiong-enghiong’-an segala.

“Harap Paduka tidak melupakan apa yang mendorong Im-kan Ngo-ok suka membantu Paduka dengan taruhan nyawa,” dia memperingatkan dengan suara halus.

“Ah-he-he-he, tentu saja kami tidak lupa, Lo-enghiong. Kalau berhasil kelak, dan Kaisar berada dalam kekuasaan kami, sudah tentu kami akan mengajukan usul agar kalian berlima diangkat menjadi orang-orang yang berkedudukan tinggi di kota raja!”

Toa-ok merasa puas dengan janji ini, maka dia pun kemudian mohon diri dan pergi meninggalkan kamar rahasia itu bersama dengan empat orang muridnya, yaitu Su-bi Mo-li yang akan membantunya melaksanakan rencana yang akan diatur oleh Im-kan Ngo-ok sendiri. Karena Sam-thaihouw melarang mereka menggunakan tangan maut membunuh pangeran, maka harus diambil tindakan yang cerdik untuk menghancurkan nama baik pangeran itu. Dan melalui kerja sama Im-kan Ngo-ok dengan empat orang murid mereka yang lihai dan cerdik itu, dibantu pula oleh anak buah mereka, Toa-ok merasa yakin bahwa rencana itu sudah pasti akan berhasil. Sukses…..

********************

Pangeran Kian Liong sama sekali tidak pernah mengira bahwa perjalanannya menuju ke Kim-coa-to itu sebetulnya selalu dibayang-bayangi banyak orang, baik pihak para pendekar yang diam-diam melindungi mau pun pihak lawan yang mencari kesempatan untuk menyeretnya ke dalam lumpur. Oleh karena itu, dengan wajah berseri gembira, pada hari berikutnya Pangeran Kian Liong meninggalkan rumah gedung pembesar Tung-king, diantar oleh pembesar itu sampai keluar pintu gerbang, menunggang kereta dan dikawal oleh Souw Kee An dan dua puluh orang pengawalnya.

Karena Pangeran Kian Liong paling tidak suka disanjung-sanjung dan disambut oleh rakyat di sepanjang perjalanan sebagai seorang pangeran yang harus dihormati, maka dia pun lalu menutup pintu dan tirai kereta dan duduk sambil bersandar di bangku kereta. Berbeda kalau dia melakukan perjalanan dengan menyamar sebagai orang biasa, dia dapat menikmati pemandangan alam dan pergaulan dengan rakyat tanpa ada yang menyanjung-nyanjung dan menjilat-jilat palsu.

Begitu dia mengenakan pakaian pangeran, maka pangeran muda ini segera merasakan betapa kehidupan menjadi berbeda sama sekali. Segala di sekelilingnya menjadi tidak wajar dan penuh kepalsuan, membuatnya merasa muak. Berbeda kalau dia berpakaian biasa dan tiada seorang pun tahu bahwa dia pangeran mahkota, maka semua orang bersikap wajar kepadanya, kalau tersenyum ya senyum setulusnya, kalau tidak senang ya tidak disembunyi-sembunyikan. Begitu dia menjadi pangeran, semua wajah baginya seolah-olah menjadi semacam kedok atau boneka.

Setelah kereta meninggalkan jalan raya yang dilalui banyak orang dan melalui lembah yang sunyi, barulah pangeran itu membuka jendela dan tirai kereta dan menikmati keindahan alam di sekelilingnya. Bahkan dia menyuruh kusir memperlambat jalannya kereta agar dia dapat menikmati pemandangan lebih baik lagi. Akhirnya rombongan itu tiba di dalam hutan dekat pantai, di lembah muara sungai Huai. Sebuah hutan yang sunyi dan tenang.

“Aih, sejuk sekali di sini!” kata pangeran itu lalu membuka semua jendela kereta agar dia dapat lebih banyak menikmati hawa yang sejuk dengan harum daun-daun segar dan rumput hijau setelah tadi mereka melalui dataran terbuka yang panas. Matahari telah naik tinggi dan matahari berada di atas kepala, tetapi karena daun-daun pohon di hutan itu rimbun sekali, seolah-olah menjadi payung-payung hijau raksasa yang melindungi pangeran dari sengatan terik matahari siang itu.

Tiba-tiba terdengar seekor kuda yang berada di depan kiri meringkik, meronta lalu kuda itu roboh. Semua pengawal sibuk dan terkejut melihat kuda itu roboh karena dadanya tertancap anak panah secara dalam sekali, mungkin menembus jantungnya.

“Kepung kereta!”

“Lindungi Pangeran!” teriak Souw Kee An dan dia cepat mengatur pasukannya untuk mengepung dan menjaga kereta.

Pangeran itu duduk tenang-tenang saja tanpa menutupkan jendela-jendela keretanya, menoleh ke kanan kiri untuk melihat siapa orangnya yang telah memanah mati seekor di antara empat ekor kuda yang menarik keretanya.

Gerakan mereka itu bagaikan bayang-bayang setan saja, tidak banyak menimbulkan suara, tanda bahwa mereka itu rata-rata memiliki ginkang yang cukup tinggi. Mereka itu terdiri dari dua puluhan orang, semua memakai pakaian serba hitam dan kedua mata serta sebagian atas hidung mereka tertutup kedok hitam pula, menyembunyikan bentuk wajah asli mereka. Akan tetapi Souw-ciangkun dapat menduga bahwa beberapa orang di antara mereka adalah wanita-wanita.

Dan seorang di antara mereka, dengan suara wanita melengking tinggi lalu membentak, “Tinggalkan kereta dan barang-barang kalau kalian ingin selamat!”

Ini adalah bentakan biasa yang umumnya dipergunakan oleh para perampok-perampok. Orang-orang berkedok ini ternyata adalah perampok-perampok, atau mungkin juga orang-orang yang menyamar, pikir Souw Kee An yang cerdik dan telah berpengalaman. Maka dia bersikap hati-hati sekali.

“Sobat, bukalah matamu baik-baik!” teriaknya nyaring. “Kami adalah Pasukan Pengawal Garuda yang sedang mengiringkan Yang Mulia Pangeran Mahkota! Harap kalian suka menyingkir dan tidak mengganggu kami yang sedang bertugas!” Teriakan ini diucapkan oleh Souw-ciangkun bukan karena dia takut menghadapi mereka, hanya dia tidak ingin terlibat dalam pertempuran selagi mengawal dan menjaga keselamatan pangeran.

Akan tetapi wanita berkedok itu berseru nyaring, “Pangeran atau Raja atau siapa saja harus membayar pajak jalan kalau lewat di sini! Kawan-kawan, hayo tangkap pangeran itu untuk minta uang tebusan!”

Melihat lagak para perampok yang dipimpin oleh wanita itu, dan mendengar betapa mereka hendak menangkap seorang pangeran mahkota untuk meminta uang tebusan, tiba-tiba pangeran itu tidak dapat menahan ketawanya. Keadaan itu dianggapnya amat lucunya.

“Ha-ha-ha-ha! Kalian bukan saja menyaingi pemerintah memungut pajak jalan, bahkan akan menawan pangeran untuk dijadikan sandera guna memeras uang tebusan. Bukan main…. ha-ha-ha, bukan main!”

Semua perampok berkedok sejenak tertegun menyaksikan sikap pangeran itu. Seorang pangeran muda yang berwajah tampan dan memiliki sepasang mata yang amat tajam dan penuh wibawa, dengan suara ketawa wajar dan ramah, bukan dibuat-buat, dengan sikap yang benar-benar mencengangkan. Mereka menduga bahwa tentu pangeran itu ketakutan, ternyata pangeran itu sama sekali tidak takut bahkan tertawa geli.

“Serbu....!” Wanita berkedok itu berteriak nyaring memecahkan keheranan para anggota perampok dan mereka pun menerjang ke depan, disambut oleh pasukan pengawal yang sudah turun dari masing-masing kudanya dan menjaga di sekeliling kereta itu.

Para pengawal ini merupakan pasukan pilihan, masing-masing memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, maka dengan gagah mereka menyambut serbuan para perampok itu, dengan keyakinan bahwa dalam waktu singkat saja mereka akan mampu membasmi para perampok itu. Akan tetapi alangkah kaget hati mereka ketika mereka mendapat kenyataan bahwa para perampok itu ternyata bukanlah perampok-perampok biasa karena rata-rata mereka memiliki ilmu silat yang tangguh dan mampu menandingi mereka!

Souw Kee An juga terkejut bukan main ketika dia menandingi wanita berkedok yang memimpin gerombolan itu. Wanita itu mempergunakan pedangnya secara hebat sekali, sama sekali tidak pantas menjadi perampok kasar biasa! Memang Souw Kee An sudah curiga dan menduga bahwa perampok-perampok yang tidak gentar mendengar nama Pasukan Pengawal Garuda dan berani merampok bahkan hendak menculik pangeran mahkota tentulah bukan perampok biasa, melainkan orang-orang yang menyamar sebagai perampok biasa! Maka dia pun memutar pedangnya dan melawan wanita berkedok itu.

Akan tetapi hatinya mulai gelisah melihat betapa di antara para perampok itu terdapat wanita-wanita yang amat lihai dan anak buahnya mulai terdesak hebat, bahkan ada pula yang sudah terluka. Dia tidak mengkhawatirkan dirinya sendiri, tetapi mengkhawatirkan keselamatan pangeran mahkota, maka dia pun cepat-cepat meninggalkan lawan untuk meloncat ke dekat kereta, guna melindungi pangeran sampai titik darah terakhir kalau perlu.

“Pangeran, harap sembunyi di dalam kereta, tutup pintu dan jendelanya!” teriak Souw Kee An sambil memutar pedang melindungi.

Namun pangeran itu hanya tersenyum dan menonton mereka yang sedang berkelahi, seolah-olah semua pertempuran itu baginya hanya merupakan perang-perangan saja! Hal ini bukan sekali-kali menjadi tanda bahwa pangeran itu tolol atau ceroboh, sama sekali bukan, melainkan karena dia tahu bahwa bersembunyi di dalam kereta pun tiada gunanya. Kalau memang semestinya dia menghadapi bahaya, atau tewas sekali pun, biarlah dia menyaksikan terjadinya hal itu dengan mata terbuka! Dan pangeran ini pun tahu bahwa tidak ada orang yang akan membunuhnya. Tiada alasannya untuk hal itu. Mungkin mereka itu hanya ingin menawannya, dan mungkin perampok-perampok gila itu benar-benar hendak menggunakannya sebagai sandera untuk minta uang tebusan! Betapa lucu dan aneh, juga menarik dan menegangkan hatinya!

Akan tetapi kini dua di antara para wanita tangguh itu telah berada dekat kereta dan mendesak Souw Kee An dan dua orang anak buahnya yang menjaga kereta. Keadaan menjadl kritis dan berbahaya sekali! Tiba-tiba, setelah menangkis pedang Souw Kee An dan membuat komandan itu terhuyung, salah seorang di antara wanita-wanita itu sudah meloncat ke atas kereta dan tangan kirinya bergerak menyambar hendak menangkap Pangeran Kian Liong.

“Wuuuttt, plakkk....!”

Tiba-tiba di atas kereta itu nampak seorang laki-laki tinggi besar bermata satu yang melayang turun dari pohon dan menangkis tangan wanita itu. Wanita itu terkejut, akan tetapi pria tinggi besar itu sudah menyerangnya dengan sebatang golok tipis. Terpaksa wanita itu menangkis dan terjadilah pertandingan yang amat seru di atas kereta.

Pangeran Kian Liong dengan mata terbelalak dan wajah berseri menjulurkan kepalanya dari jendela untuk dapat menyaksikan pertandingan baru di atas keretanya itu. Kereta itu bergerak-gerak. Sungguh luar biasa sekali pangeran ini. Nyalinya amat besar dan dia sedikit pun tidak merasa takut, bahkan dalam keadaan yang demikian mengancam dia masih mampu untuk tersenyum gembira seperti seorang anak kecil melihat tontonan yang menarik!

Pertempuran di bawah kereta juga mengalami perubahan dengan munculnya dua orang pria yang bukan lain adalah tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, yaitu kakak beradik Ciong Tek dan Ciong Lun yang mengamuk, membantu pasukan pengawal tanpa mengeluarkan kata-kata apa pun. Mereka berdua menggunakan senjata toya (tongkat) dan memainkan ilmu toya dari Siauw-lim-pai yang memang terkenal tangguh itu.

Keadaan pertempuran menjadi berubah dan para anak buah pasukan pengawal kini memperoleh semangat mereka kembali, mereka mengamuk dan kini mendesak para perampok. Sedangkan pertempuran antara Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan wanita berkedok di atas kereta pun berlangsung dengan amat serunya. Ternyata wanita itu memang tangguh sekali sehingga dia dapat mengimbangi permainan golok dari kakek mata satu itu. Hanya dorongan-dorongan tangan kiri kakek itulah yang membuat wanita berkedok itu kewalahan, karena memang dari dorongan itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat dan itulah sebabnya maka Si Mata Satu ini diberi julukan Tangan Sakti. Kini ada beberapa orang perampok yang roboh terluka dan semangat para pengawal menjadi semakin besar dengan adanya bantuan tiga orang gagah yang tidak mereka kenal itu.

Selagi keadaan amat tidak menguntungkan untuk para perampok ini, tiba-tiba muncul seorang anggota perampok lainnya yang juga berpakaian hitam dan memakai topeng. Perampok ini bertubuh tinggi besar seperti raksasa. Begitu perampok ini muncul, sekali meloncat dia sudah tiba di tengah-tengah pertempuran itu dan begitu kaki tangannya bergerak, ada tiga orang pengawal yang terpelanting. Hebat bukan main kepandaian kakek raksasa ini! Semua pengawal mencoba untuk mengeroyoknya, akan tetapi siapa yang berani datang mendekat tentu akan terlempar lagi, hanya oleh tamparan tangan atau tendangan kaki sembarangan saja!

Melihat betapa hebatnya kakek ini, Ciong Tek dan Ciong Lun kemudian meloncat dan menyerang kakek itu dari kanan kiri, menggunakan toya yang mereka mainkan dengan dahsyatnya. Namun, melihat gerakan toya ini, kakek raksasa itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah memandang rendah, lantas kedua tangannya berusaha menangkap toya. Ketika dua saudara itu menarik toya agar tidak terampas, kakek itu menampar ke kanan kiri, gerakannya biasa saja akan tetapi dari tamparannya ini datang angin keras yang hebat. Dua orang saudara Ciong terkejut dan menangkis dengan hantaman toya sekuatnya. Dua batang toya bertemu dengan dua buah lengan.

“Dukkkk! Dukkkk!” Akibatnya, kedua orang saudara Ciong itu terpelanting dan roboh bergulingan seperti daun kering tertiup angin!

Kini kakek itu melayang ke atas kereta dan dengan sebuah tendangan saja, Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw yang sedang bertanding dengan serunya melawan perampok wanita, telah terlempar dari atas kereta karena ketika dia menangkis dengan lengan kiri, tendangan itu memiliki tenaga yang membuat dia terlempar! Wanita itu sudah mengejar dan meloncat sambil membacokkan pedangnya.

“Cringgg!”

Untung bagi Liong Bouw bahwa ketika dia terjatuh tadi, dia berjungkir balik dan tidak terbanting jatuh telentang, kemudian menggunakan pinggulnya menyentuh tanah, terus bergulingan sehingga ketika wanita itu menyerangnya, dia mampu menggerakkan golok menangkis lantas melompat berdiri dan kembali dia menghadapi serangan wanita itu. Hatinya gelisah sekali karena di pihak musuh muncul orang tinggi besar itu yang tidak turun lagi dari atas kereta. Mengapa?

Karena ternyata tiba-tiba terdengar suara ketawa dan dari belakang kereta itu nampak seorang jembel mendaki sambil tertawa-tawa memandang kepada Si Tinggi Besar yang menjadi terkejut sekali oleh karena suara ketawa itu mengandung tenaga khikang yang menggetarkan jantungnya! Tahulah dia bahwa jembel yang rambutnya awut-awutan dan mukanya brewokan ini mempunyai kepandaian hebat dan tentu saja hendak membela pangeran. Maka dia pun tidak membuang banyak waktu lagi, cepat mengirim hantaman dengan tangan kanan dan disusul tangan kiri. Terdengar suara angin bercuitan saking hebatnya pukulan kedua tangan itu.

“Heh-heh-heh, hebat juga engkau!” kata Si Jembel itu, mulutnya memuji akan tetapi dia tertawa saja dan kedua tangannya kemudian menangkis sambil mengerahkan tenaga. Agaknya Si Jembel ini memang hendak mengukur tenaga orang.

“Desss! Dessss!”

Akibat dari adu tangan melalui kedua lengan mereka itu membuat keduanya terkejut karena Si Jembel itu terhuyung dan nyaris terlempar dari atas kereta, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu pun terjengkang dan hampir jatuh! Kereta itu berguncang hebat dan Si Kusir Kereta sibuk menenangkan tiga ekor kuda yang semenjak tadi sudah menjadi panik itu. Akhirnya kusir itu meloncat turun, dan cepat melepaskan tali yang menghubungkan tiga ekor kuda itu dengan kereta. Tiga ekor kuda itu meringkik-ringkik, menyepak-nyepak karena mereka dibebani seekor kuda yang sudah mati. Akan tetapi kereta itu sudah terlepas sekarang dan berdiri bergoyang-goyang karena di atas kereta itu, Si Jembel dan Si Tinggi besar sudah bertanding lagi dengan hebatnya!

Si Jembel itu tentu saja bukan lain adalah Si Jari Maut, sedangkan Si Perampok tinggi besar itu tentu saja amat lihai karena dia itu adalah Sam-ok alias Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Nepal, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok yang amat lihai! Seperti kita ketahui, setelah memperoleh keterangan tentang Syanti Dewi dari pelukis Pouw Toan, Wan Tek Hoat lalu melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan pada hari itu kebetulan sekali dia tiba di tempat itu dan melihat betapa pangeran mahkota terancam perampok-perampok.

Tadi, selama para pengawal masih menang angin, apalagi saat dibantu oleh tiga orang kang-ouw yang perkasa itu, dia pun hanya nonton saja dari jauh. Akan tetapi ketika muncul perampok tinggi besar yang memiliki kepandaian tinggi, dia pun tidak tinggal diam dan cepat dia melindungi pangeran dan naik ke atas kereta untuk menghadapi perampok tinggi besar yang dia tahu tak dapat ditandingi oleh mereka yang melindungi pangeran.

Pertandingan antara Si Jari Maut melawan Sam-ok sungguh hebat sekali, dan harus diakui bahwa kakek itu memang masih lebih lihai dibandingkan dengan Si Jari Maut. Ban-hwa Sengjin adalah seorang datuk kaum sesat yang mempunyai ilmu kepandaian amat hebatnya. Pendeta yang nama aslinya adalah Pendeta Lakshapadma ini, yaitu nama Nepal, selain memiliki banyak ragam ilmu silat yang pernah dipelajarinya, juga memiliki sinkang yang sukar ditandingi saking kuatnya.

Dia pun memiliki ilmu yang disebut Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi). Ilmu ini dimainkan dengan berpusing, yaitu tubuhnya berputaran seperti gasing amat cepatnya hingga sukarlah bagi lawan untuk mengarahkan serangan mencari sasaran, sedangkan dari tubuh yang berpusing itu kadang-kadang mencuat keluar serangan yang tidak terduga-duga dari orang tinggi besar seperti raksasa itu.

Karena Sam-ok memakai kedok dan bercampur dengan para perampok, juga karena tidak berani mengeluarkan ilmunya Thian-te Hong-i yang sudah dikenal dunia kang-ouw karena dia takut jika ketahuan rahasianya sebagai pimpinan yang menyerang pangeran mahkota, maka Tek Hoat tidak mengenalnya. Sebaliknya, Sam-ok tadinya juga tidak mengenal jembel itu, akan tetapi setelah bertanding belasan jurus dan mengadu tenaga, mulailah dia mengenal Si Jari Maut.

Dia merasa mendongkol sekali terhadap orang muda ini. Namanya disejajarkan dengan tokoh-tokoh kaum sesat, bahkan dijuluki Si Jari Maut yang terkenal kejam dan ganas, tetapi sudah beberapa kali sepak terjangnya malah membantu pemerintah, membantu para pendekar dan menentang kaum yang dinamakan golongan hltam. Sekarang, tanpa disangka-sangka, orang ini muncul kembali dan menentangnya tanpa alasan apa pun juga! Tak mungkin kalau Si Jari Maut ini sekarang menjadi pelindung pangeran, apalagi kalau dilihat betapa hidupnya sudah rusak, menjadi jembel yang sama sekali tidak mengurus diri dan jelas nampak sengsara dan terlantar itu!

Maka Sam-ok mendongkol bukan main dan terus menyerang dengan hebat. Akan tetapi semua serangannya mampu ditangkis dan ditolak oleh Tek Hoat dan selama Sam-ok tidak berani mengeluarkan Thian-te Hong-i, dia pun tidak dapat mendesak Si Jari Maut ini.

Kembali kedua tangan mereka bertemu, saling dorong dan keduanya menggunakan kekuatan pada kedua kaki mereka.

“Krekekkk....!”

Mendadak atap kereta yang mereka injak itu retak-retak dan pecah, tetapi keduanya dengan cepat sudah meloncat turun sehingga tidak sampai kejeblos, karena kalau hal ini terjadi, tentu amat berbahaya bagi mereka selagi menghadapi lawan yang selihai itu. Hampir saja Pangeran Kian Liong celaka ketika atap kereta pecah itu. Akan tetapi untungnya komandan pengawal Souw Kee An sudah cepat menyambar tubuhnya turun dari kereta. Kiranya, ketika terjadi pertempuran antara Sam-ok melawan Si Jari Maut, pertempuran di bawah kereta banyak yang terhenti dan mereka yang tadi bertempur kini menonton pertandingan yang amat dahsyat itu.

Sam-ok bukanlah seorang bodoh. Kalau pertempuran itu dilanjutkan dan menjadi pusat perhatian, akhirnya orang akan mengenalnya juga. Dan melawan Si Jari Maut itu tanpa mempergunakan Thian-te Hong-i, sungguh bukan merupakan hal ringan, sedangkan para pembantunya sudah kewalahan menghadapi pasukan pengawal yang dibantu oleh tiga orang pendekar itu. Maka dia pun lalu mengeluarkan bunyi teriakan nyaring sebagai tanda rahasia bagi anak buahnya dan mereka semuanya lalu melarikan diri sambil membawa teman-teman yang terluka atau tewas dalam pertempuran itu. Para pengawal melakukan pengejaran, akan tetapi Souw Kee An yang tidak berani meninggalkan pangeran segera mengeluarkan aba-aba memanggil mereka kembali.

Setelah semua orang berkumpul, dan dicari-cari, ternyata tiga orang pendekar yang tadi membantu mereka kiranya sudah tidak nampak lagi. Mereka mengira bahwa tiga orang pendekar itu tentu melakukan pengejaran, akan tetapi sesungguhnya mereka sudah cepat menyingkirkan diri karena memang mereka tidak ingin memperkenalkan diri dan hanya melindungi pangeran secara sembunyi saja. Hanya jembel yang tadi bertanding dengan hebatnya melawan perampok tinggi besar yang lihai itu, masih berada di situ, diam saja dan sikapnya tak acuh. Souw Kee An mengumpulkan orang-orangnya dan ternyata ada dua orang yang terluka berat sedangkan selebihnya hanya terluka ringan saja.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong sudah menghampiri Tek Hoat. Sejenak pangeran ini memandang penuh perhatian dan dia melihat bahwa jembel ini sebetulnya memiliki wajah yang gagah dan tampan, hanya muka itu tertutup cambang brewok yang tak terpelihara, juga rambutnya yang panjang awut-awutan itu menutupi sebagian mukanya. Tubuh jembel itu juga nampak tegap dan membayangkan tenaga tersembunyi yang hebat. Tahulah dia bahwa dia tengah berhadapan dengan seorang pendekar yang hidup mengasingkan diri dan bersembunyi sebagai seorang jembel yang sengsara. Namun diam-diam pangeran ini merasa heran, mengapa orang yang begini gagah perkasa membiarkan dirinya begitu menderita dan terlantar.

“Terima kasih atas pertolonganmu, Taihiap. Bolehkah kami mengenal dan mengetahui namamu yang terhormat?” Pangeran itu sudah menegur dengan sikap ramah dan halus.

Wan Tek Hoat mengangkat mukanya memandang dan sejenak mereka saling pandang. Keduanya terkejut karena kalau pangeran itu menatap sepasang mata yang mencorong penuh kekuatan, sebaliknya Tek Hoat melihat sepasang mata yang bersinar lembut namun mengandung wibawa yang membuat setiap orang akan tunduk hatinya. Maka dia pun cepat menjura dengan hormat.

“Paduka adalah seorang pangeran yang terhormat dan mengagumkan, sedangkan saya hanyalah seorang jembel hina yang tidak pantas dikenal oleh Paduka. Selamat tinggal dan maafkan saya!” Setelah berkata demikian, kembali dia mengangkat kedua tangan memberi hormat lalu berkelebatlah dia dan lenyap dari tempat itu!

Souw Kee An yang menyaksikan semua ini, cepat mendekati pangeran dan berkata lirih, “Pangeran, sungguh Thian telah selalu melindungi Paduka. Orang yang seperti pengemis tadi tentulah seorang di antara pendekar-pendekar sakti. Kepandaiannya hebat bukan main.”

Pangeran itu mengangguk-angguk, lalu menggumam, “Aku kasihan kepadanya....”

Souw Kee An merasa amat heran, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya karena pangeran itu seperti bicara pada diri sendiri, maka dia melanjutkan keterangannya, “Dan perampok-perampok itu jelas bukan perampok biasa. Wanita-wanita bertopeng itu amat lihai, apalagi perampok yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu, dia memiliki ilmu yang luar biasa. Syukurlah bahwa Thian masih selalu melindungi Paduka.”

Namun pangeran itu tidak kelihatan seperti orang yang baru saja terlepas dari bahaya maut, tidak menjadi lega dan bersyukur seperti komandan pasukan pengawalnya. Dia hanya berkata dengan nada suara gembira, “Ah pengalaman yang mengasyikan sekali tadi itu!”

Kuda yang mati terpanah itu diganti kuda lain dan biar pun atas kereta itu sudah rusak, namun kereta itu masih dapat berjalan. Perjalanan dilanjutkan dan lewat tengah hari mereka tiba di pantal laut. Ternyata tempat itu, pantai laut dekat muara Sungai Huai, sudah ramai dengan orang-orang yang hendak menyeberang ke Kim-coa-to. Dan di situ telah tersedia sebuah perahu besar yang indah, perahu milik majikan Pulau Kim-coa-to yang sengaja dikirim ke situ untuk menyambut pangeran!

Ouw Yan Hui, majikan Pulau Kim-coa-to, adalah seorang wanita yang amat kaya-raya. Di pulau itu sendiri, terutama di dalam gedung yang seperti istana dan amat besar itu, tidak ada seorang pun laki-laki. Semua pelayannya adalah wanita belaka, wanita-wanita muda yang cantik-cantik. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa dia tidak mempunyai pembantu-pembantu pria. Mereka itu ada banyak, akan tetapi mereka adalah yang bekerja di bagian luar, yang mengurus perahu, berjaga di tepi pulau dan sebagainya. Tanpa seijin Ouw Yan Hui, tidak boleh mereka itu memasuki gedung, kecuali para penjaga kalau memang ada keperluan penting.

Perahu besar yang dikirim untuk menjemput Sang Pangeran itu lengkap dengan anak buahnya, sebuah perahu yang indah dan kokoh kuat. Para anak buahnya berbaris dengan rapi dan pemimpin mereka menyambut Sang Pangeran dengan hormat dan mempersilakan Sang Pangeran untuk segera menaiki perahu.

Akan tetapi, tidak semua pengawal dapat naik ke perahu itu, karena jumlah mereka terlalu banyak. Maka, hanya Sang Pangeran bersama Souw Kee An dan dua orang pembantunya yang dapat naik ke perahu itu, sedangkan delapan belas orang pengawal lain, termasuk yang terluka, terpaksa harus mengikuti perahu itu dengan perahu lain. Kehadiran Sang Pangeran di situ menjadi tontonan. Mereka yang juga hendak pergi ke Kim-coa-to turut menonton pula dan diam-diam di antara mereka itu yang mempunyai niat mempersunting Sang Puteri di Kim-coa-to menjadi kecil hatinya melihat kehadiran pangeran mahkota. Mana mungkin mereka bersaing melawan pangeran mahkota dari kerajaan? Perbandingan yang tidak adil sama sekali…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

4 komentar

  1. Wusseett sampe jilid ini siluman kecil baru nongol namanya doang
  2. hhahah dinikmati aja ceritanya gan😆, tapi secara keseluruhan cerita ini merupakan salah satu seri yang admin suka dari serial Bu Kek Siansu :)
  3. Ttp semangaaaaaat bro
    1. Siaaap, maksih bro🔥🔥