Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 26-30

Kho Ping Hoo, Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 26-30. Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk ‘membonceng’
Anonim
Setelah perahu besar indah itu bergerak dan mulai berlayar, maka perahu-perahu lain juga mulai meninggalkan pantai dan beberapa buah perahu di antara mereka sengaja berlayar dekat-dekat dengan perahu besar itu, agaknya untuk ‘membonceng’ kebesaran Sang Pangeran. Ada pula beberapa perahu layar kecil, yaitu perahu-perahu nelayan biasa yang berlayar untuk mencari ikan dan tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan keramaian pesta yang diadakan di Pulau Kim-coa-to.

Setelah perahu berlayar, hati Komandan Souw Kee An merasa lega sekali. Setidaknya, pangeran yang dikawalnya sudah aman sekarang sampai tiba di pulau itu. Akan tetapi, kalau sudah tiba di pulau itu berarti pihak majikan pulau yang bertanggung jawab kalau terjadi sesuatu dan mengingat akan kelihaian pemilik pulau yang berjuluk Bu-eng-kwi itu, dan betapa tentu akan banyak berkumpul orang-orang pandai, kiranya tidak akan ada yang berani mengganggu pangeran di pulau itu. Sekarang Souw Kee An dapat duduk dengan hati lega, melihat betapa pangeran itu memandang ke arah air laut yang bergelombang dan berkilauan tertimpa sinar matahari yang sudah agar miring ke barat.

Dia melihat ada dua buah perahu nelayan terlalu mendekati perahu besar akan tetapi tidak terjadi sesuatu yang mencurigakan. Tiba-tiba saja, terdengar teriakan-teriakan di dalam perahu dan perahu besar itu mulai oleng! Kiranya ada air masuk dari dasar perahu yang tiba-tiba saja bocor!

“Ada orang melubangi dasar perahu!” terdengar para anak buah perahu berteriak-teriak dan sibuklah mereka.

Perahu itu terguncang dan oleng, dan pada saat itu, dari perahu-perahu nelayan tadi berloncatanlah ke atas perahu besar itu orang-orang berpakaian ringkas dengan muka bertopeng lagi! Tentu saja Souw Kee An cepat-cepat menyambut dan dengan sebuah tendangan kilat dia menjatuhkan seorang di antara mereka kembali ke bawah perahu, ke dalam air. Akan tetapi anak buah perahu besar itu bukanlah lawan orang-orang yang berloncatan ke atas perahu.

“Hai, apa yang kau lakukan ini? Lepaskan aku!” terdengar Sang Pangeran membentak.

Souw Kee An menoleh dan kaget melihat Sang Pangeran sudah diringkus oleh seorang bertopeng. Dia meloncat untuk menolong, akan tetapi perahunya miring tiba-tiba dan dia pun terguling, untung ke dalam perahu, tidak keluar! Dan pada saat itu, pangeran sudah dibawa loncat oleh penangkapnya tadi ke atas perahu nelayan kecil itu. Lalu terdengar suitan-suitan dan semua orang bertopeng berloncatan ke atas dua perahu nelayan kecil itu yang segera di dayung pergi dan terbawa oleh layar mereka yang berkembang.

“Kejar....!” Souw Kee An meloncat ke arah perahu yang ditumpangi oleh anak buahnya yang tadi hanya menonton dengan bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

Loncatan yang barusan dilakukan oleh Souw Kee An adalah loncatan yang jauh dan berbahaya, oleh karena kurang jauh semeter saja dia tentu akan terjatuh ke air yang bergelombang. Juga anak buah perahu besar sudah cepat dapat menggunakan alat untuk membuang semua air yang masuk ke dalam perahu dan menambal dasar perahu yang bocor, dan ternyata dibor dari bawah perahu itu.

Akan tetapi pada saat itu, para penjahat yang menculik pangeran itu melepaskan anak panah berapi ke arah perahu yang ditumpangi para pengawal yang mengejar dua perahu nelayan, juga layar dari perahu besar menjadi sasaran. Dalam beberapa menit saja layar-layar itu terbakar dan perahunya tentu saja tidak dapat maju cepat kalau hanya dengan kekuatan dayung pada saat air berombak besar seperti itu. Souw Kee An membanting-banting kakinya melihat betapa dua perahu nelayan kecil itu dengan cepatnya berlayar kembali ke daratan, membawa pangeran yang dikawalnya.

“Celaka, hayo lekas kembali ke darat!” bentaknya berkali-kali dan dia sendiri ikut bantu mendayung. Peristiwa ini menggegerkan keadaan di situ. Bahkan perahu-perahu lain menjadi ketakutan, ada yang melanjutkan perjalanannya ke Kim-coa-to, ada pula yang ikut kembali ke darat!

Dua buah perahu nelayan kecil itu dapat berlayar amat cepatnya, sedangkan perahu-perahu lainnya hanya maju perlahan-lahan. Ada dua perahu layar lain yang mencoba mengejar, tetapi mereka ini pun dilumpuhkan oleh anak panah berapi yang mambakar layar mereka.

Setelah tiba di daratan, Souw Kee An yang wajahnya menjadi pucat itu hanya dapat menemukan dua perahu nelayan tadi sedangkan semua penjahat itu lenyap, membawa pangeran bersama mereka. Dapat dibayangkan betapa bingung hati Souw Kee An. Dia cepat mengatur pasukannya untuk mencari-cari Sang Pangeran, bahkan dia kemudian mengutus seorang anak buah untuk minta bantuan pasukan dari kepala daerah di kota Tung-king untuk membantu mencari pangeran yang terculik orang. Betapa pun dia hendak merahasiakan lenyapnya pangeran yang terculik ini, namun karena peristiwa itu disaksikan oleh banyak orang luar, sebentar saja berita itu tersiar ke mana-mana dan tentu saja sekeliling daerah Tung-ting menjadi gempar.

********************

Biar pun dia tidak ditotok dan tidak dibelenggu, dan dilarikan naik kuda, Pangeran Kian Liong tak pernah berteriak minta tolong sama sekali, dan dia pun tidak pernah merasa takut. Ketika dia dilarikan dibawa loncat ke dalam perahu nelayan, dia kagum sekali melihat keringanan tubuh orang yang menangkapnya itu. Dan dia pun amat kagum melihat betapa orang-orang berkedok itu dengan cerdiknya membakar layar-layar dari perahu yang mengejar.

“Kalian sungguh cerdik!” dia malah memuji dan diam-diam dia mencatat ini sebagai akal yang baik sekali dipergunakan dalam perang lautan, sungguh pun anak panah berapi itu tentu saja belum dapat disamakan dengan meriam-meriam kapal-kapal asing dari dunia barat. Dia tertarik sekali menyaksikan kejar-kejaran itu dan dia tidak pernah membantah ketika dia dibawa mendarat, kemudian pelarian itu dilanjutkan dengan naik kuda. Dia bahkan tidak mau dibonceng.

“Biarkan aku menunggang kuda sendiri!” katanya.

Para penculik itu pun tidak membantahnya, memberinya seekor kuda dan pangeran itu meloncat ke atas punggung kuda dan segera ikut pula membalapkan kuda dengan hati gembira. Dia benar-benar mengalami peristiwa yang amat menegangkan hatinya, sebab belum pernah dia merasakan diculik orang! Dan dia sama sekali tidak merasa takut, bahkan dia yakin bahwa dirinya tidak mungkin dibunuh.

Penjahat-penjahat ini tidak akan membunuhnya, karena kalau itu tujuan mereka, tidak mungkin diculik dengan segala susah payah itu. Alangkah akan mudahnya membunuh dia di perahu tadi! Kalau para penjahat itu dengan segala jerih payah menculiknya, hal itu berarti bahwa mereka membutuhkan dirinya hidup-hidup! Inilah yang membuat dia bersikap tenang-tenang saja, bahkan ikut membalapkan kuda seolah-olah membantu atau memperlancar usaha mereka membawanya lari.

Yang melarikan pangeran itu adalah lima orang laki-laki yang kini berani membuka kedok mereka, bahkan mereka semua berganti pakaian, tidak berpakaian hitam lagi melainkan berpakaian sebagai orang-orang biasa. Mereka berwajah biasa saja, dan Pangeran Kian Liong tidak mengenal mereka. Akan tetapi orang yang bermata juling, yang menjadi pimpinan dari kelompok yang yang bertugas melarikan pangeran itu, berkata dengan suara hormat akan tetapi mengandung ancaman yang sungguh-sungguh, “Pangeran, kami hanya melakukan tugas saja untuk membawa Paduka ke sebuah dusun di utara. Kami harus sampai ke sana besok pagi-pagi. Kalau Paduka menurut saja tanpa banyak membantah, tentu kami pun tidak akan berbuat keluar dari apa yang ditugaskan kepada kami. Akan tetapi, kalau Paduka di tengah jalan berteriak dan mengaku pangeran, tentu kami tidak akan segan-segan membunuh Paduka guna menyelamatkan diri kami sendiri.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan mengangguk. Dia sudah tahu akan hal itu dan pula, perlu apa dia berteriak-teriak minta tolong seperti wanita cengeng? Dia diam-diam juga memuji cara mereka ini melarikannya, karena rombongan yang tadinya berjumlah belasan orang itu dibagi-bagi. Rombongannya membawanya ke utara sedangkan ada kelompok-kelompok lain yang melarikan diri berkuda dan ke segala jurusan dengan meninggalkan bekas yang jelas di atas tanah. Tentu untuk menyesatkan para pengejar. Sungguh cerdik. Dia pun menurut saja ketika dia diberi pakaian biasa seperti seorang penduduk biasa, sedangkan pakaiannya yang mewah itu diminta oleh Si Mata Juling.

Malam itu mereka terus melakukan perjalanan, kadang-kadang cepat, kadang-kadang kalau jalannya sukar dan gelap, perjalanan dilakukan perlahan-lahan. Pada keesokan harinya, dalam keadaan yang cukup lelah akan tetapi tidak melenyapkan semangatnya yang masih gembira mengikuti perkembangan pengalamannya ini, Pangeran Kian Liong dan para penculiknya itu tiba di sebuah dusun di kaki sebuah bukit. Dusun ini cukup besar dan tidak ada seorang pun di antara penghuni dusun yang dapat menduga bahwa di antara keenam penunggang kuda itu, yang termuda dan tampan, adalah pangeran mahkota! Dengan berpakaian seperti ini, Kian Liong merasa lebih leluasa dan senang hatinya, sungguh pun saat ini dia tidak sedang melakukan perjalanan sendirian dengan bebas, melainkan sebagai seorang tawanan.

Rombongan itu memasuki pekarangan sebuah rumah besar dan di tempat itu telah menanti Su-bi Mo-li dan dua orang di antara Im-kan Ngo-ok, yaitu Su-ok dan Ngo-ok! Sang Pangeran disambut oleh dua orang wanita cantik yang bersikap manis. Mereka memberi hormat dan menggandeng tangan pangeran itu ke dalam sebuah kamar di mana Sang Pangeran dilayani, disediakan air hangat untuk mencuci muka dan badan, diberi pakaian pengganti dan disuguhi makanan dan minuman.

Pangeran Kian Liong tidak menolak semua ini, dia mandi, berganti pakaian, makan dan minum, lalu beristirahat sampai tertidur. Akan tetapi ketika dia terbangun, dia terkejut sekali melihat dirinya sedang dikelilingi tujuh orang gadis-gadis muda yang cantik-cantik, dengan pakaian dalam yang sangat tipis sehingga nampak jelas tubuh mereka yang menggairahkan membayang di balik pakaian tipis itu. Mereka itu bersikap manis dan mulai merayunya, memijatinya dan mengeluarkan kerling mata, senyum, bisikan-bisikan yang memikat dan mencumbu.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mendorong wanita yang terdekat dan dia bangkit duduk kemudian berteriak, “Apa artinya semua ini? Aku tak membutuhkan perempuan-perempuan ini! Hayo kalian pergi dari sini!”

Tujuh orang wanita muda itu saling pandang dan mereka agaknya terkejut karena betapa pun juga, selain mereka sudah tahu dengan siapa mereka berhadapan, juga pandang mata dan suara pangeran itu amat berwibawa. Mereka masih mencoba untuk merayu, mencumbu dan merangkul pangeran itu dengan tubuh lemah gemulai dan berbau minyak harum. Akan tetapi Sang Pangeran menjadi marah dan membentak, “Kalau tidak lekas enyah dari sini, aku yang akan pergi dari sini!”

Akhirnya tujuh orang wanita muda yang cantik-cantik itu mengundurkan diri, hanya meninggalkan bau harum semerbak di dalam kamar itu. Tak lama kemudian, Si Mata Juling yang memimpin pelarian semalam, masuk dan menjura di depan pangeran itu.

“Hei, Mata Juling!” Pangeran Kian Liong menegur, “Apa artinya menyuruh perempuan-perempuan itu menggodaku?” bentakan ini membuat Si Mata Juling sejenak tak mampu bicara, akan tetapi lalu menjura dengan hormat.

“Harap Paduka maafkan. Maksud kami hanya ingin menghibur Paduka, tidak tahunya Paduka tidak mau menerima kebaikan dari kami.”

“Hemm, jadi menyuguhkan wanita-wanita itu kau anggap kebaikan? Begitukah kiranya kebaikan yang biasa diberikan kepada para pembesar? Hei, Mata Juling! Katakan, apa maksud kalian dengan susah-payah menculik dan membawaku ke sini? Apakah benar seperti yang dikatakan para perampok teman-temanmu di hutan itu bahwa tujuan kalian hendak minta uang tebusan?”

“Maaf.... kami.... kami hanya melaksanakan tugas. Harap Paduka tenang dan sabar saja menanti di kamar ini.... kami tidak akan menggunakan kekerasan kalau tidak terpaksa sekali, harap Paduka tenang.” Si Mata Juling itu mundur dan tidak lama kemudian kembali dihidangkan makanan dan minuman.

Jengkel juga hati Pangeran Kian Liong. Dia memang ingin melihat apa yang hendak mereka lakukan terhadap dirinya. Akan tetapi kalau dia hanya dikurung di dalam kamar ini, dan dicoba untuk digoda oleh wanita-wanita cantik, sungguh dia merasa penasaran sekali. Mengapa mereka masih menyembunyikan kehendak mereka yang sebenarnya?

Dia tidak khawatir, karena dia percaya bahwa Souw Kee An pasti dapat menemukan dia, dan tidak akan tinggal diam saja. Apalagi kalau diingat betapa sudah sering kali dia diselamatkan oleh orang-orang pandai. Diam-diam dia teringat kepada pengemis sakti itu dan mengharapkan pula agar pengemis itu yang akan menyelamatkannya, karena dia ingin bertemu dan berkenalan dengan pengemis yang dia tahu adalah seorang manusia yang sedang menderita tekanan batin amat hebat itu. Karena kejengkelannya itu, maka ketika datang makanan dan minuman, dia lalu banyak-banyak minum arak. Dia sama sekali tidak tahu bahwa arak itu telah dicampuri obat sehingga dia yang biasa minum arak itu kini menjadi mabok dan pusing, sehingga dia setengah tertidur di atas meja makan!

“Nah, inilah satu-satunya cara!” kata Su-ok sambil tertawa-tawa ketika dia memasuki kamar itu bersama Ngo-ok dan Si Mata Juling. “Biarkan dia mabok lalu lepaskan dia di rumah pelacuran. Kita suruh pelacur-pelacur itu melayaninya, menelanjanginya dan kita bawa orang-orang ke tempat itu untuk menyaksikan pangeran mereka mabok-mabok dan main-main dengan para pelacur! Tentu hebat!” Su-ok tertawa-tawa dan berkata kepada Ngo-ok, “Ngo-te, kau bawa dia. Akan tetapi biarkan dia berjalan seperti orang mabok dan kita sama-sama pergi ke tempat pelacuran. Apakah di sana sudah siap?” tanyanya kepada Si Mata Juling.

“Sudah, tujuh orang pelacur yang tadi telah disiapkan di sana,” jawab Si Mata Juling.

Su-ok tertawa. Tadinya dia kecewa karena setelah susah payah membawa tujuh orang pelacur kota yang termahal ke tempat itu, pangeran itu ternyata tidak dapat tergoda. Maka setelah berunding dengan Ngo-ok dan Su-bi Mo-li, dia memperoleh akal untuk membuat pangeran itu setengah tidak sadar karena mabok, dan membiarkan para pelacur itu menelanjanginya dan melayaninya untuk kemudian membiarkan orang-orang penting melihat serta ‘menangkap basah’ pangeran itu sebagai seorang pemabok dan pemuda hidung belang yang suka bermain-main dengan para pelacur! Sungguh hal ini merupakan siasat yang amat keji, yang sudah diatur oleh Im-kan Ngo-ok.

Demikianlah, dalam keadaan setengah mabok dan setengah sadar itu Pangeran Kian Liong digandeng, setengah diseret oleh Si Mata Juling dan teman-temannya, lalu diikuti oleh Su-ok dan Ngo-ok menuju ke daerah pelacuran yang terkenal di dusun itu. Daerah pelacuran ini bahkan menjadi tempat pelesir yang sering dikunjungi kaum hidung belang dari kota-kota di sekitarnya!

Akan tetapi mendadak terdengar bentakan-bentakan nyaring, “Manusia-manusia jahat, lepaskan Pangeran!”

Si Mata Juling dan teman-temannya terkejut melihat munculnya tiga orang yang bukan lain adalah Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dua orang saudara Ciong yang pernah menolong pangeran dari perampokan di dalam hutan! Seperti kita ketahui, setelah pangeran berhasil diselamatkan di waktu dirampok di dalam hutan, tiga orang pendekar ini kemudian menyingkirkan diri dan membayangi dari jauh. Mereka mengintai ketika Pangeran naik perahu jemputan dari Pulau Kim-coa-to itu dan merasa lega.

Ketika mereka sedang mencari-cari perahu nelayan untuk menyeberang pula ke pulau itu, mereka melihat Pangeran telah ditawan orang dan dilarikan dengan kuda. Mereka mencoba mengejar, namun karena yang dikejar itu menunggang kuda semalam suntuk, maka mereka tertinggal jauh dan baru pada keesokan harinya mereka menemukan jejak mereka memasuki dusun itu. Ketika melihat Pangeran digandeng oleh banyak orang di tengah jalan raya di dusun itu, dan pakaiannya sudah berganti pakaian biasa, mereka menjadi marah dan segera menyerang tanpa mempedulikan bahaya bagi diri sendiri.

Si Mata Juling dan empat orang temannya mengeroyok tiga orang pendekar itu, akan tetapi mereka berlima bukanlah tandingan tiga orang pendekar itu. Melihat ini, Ngo-ok menjadi marah dan dengan kakinya yang panjang dia sudah maju hendak menandingi mereka. Akan tetapi pada saat itu, empat orang Su-bi Mo-li yang juga muncul segera berkata, “Ngo-suhu dan Su-suhu, lebih baik bawa dia pergi, biar kami berempat yang menghajar tikus-tikus ini!”

“Hayolah, Ngo-sute, jangan mencampuri!” kata Su-ok dan dia pun lalu menggandeng tangan Pangeran dan menariknya pergi.

“Ehh, ehhh.... hemm, biarkan aku menonton pertandingan ini....,” Sang Pangeran yang setengah mabok itu berkata dan berusaha untuk berhenti, akan tetapi Su-ok terus menariknya berjalan maju.

Sementara itu, begitu Su-bi Mo-li maju, Liong Bouw terkejut dan dia pun segera mengenal gerakan pedang dari wanita ini yang bukan lain adalah seorang di antara wanita-wanita perampok yang amat lihai itu.

“Ah, kiranya kalian yang menjadi perampok!” bentaknya dan dia pun memutar goloknya menyerang wanita baju kuning yang tadi bicara, tetapi hatinya penuh penasaran serta gelisah melihat Pangeran dibawa pergi, padahal kini dia dapat menduga siapa adanya hwesio pendek dan tosu jangkung itu.

Meski dia belum pernah bertemu dengan Im-kan Ngo-ok, tetapi nama besar datuk-datuk kaum sesat itu pernah didengarnya dan melihat keadaan tubuh mereka, dan cara wanita cantik ini menyebut Ngo-suhu dan Su-suhu, dia menduga bahwa itu tentulah dua orang di antara Im-kan Ngo-ok dan kalau benar demikian, sungguh berbahayalah keselamatan Pangeran, terjatuh ke tangan datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi, kini dua orang di antara Su-bi Mo-li, yaitu A-hui yang berbaju kuning dan A-kiauw yang berbaju merah, telah mengeroyoknya dan sebentar saja Si Mata Satu ini sudah terdesak dengan hebat.

Sementara itu, dua orang murid Siauw-lim-pai itu pun terdesak oleh dua orang wanita lain, yaitu A-bwee yang berbaju biru dan A-ciu yang berbaju hijau. Empat orang wanita ini adalah murid-murid terkasih dari Im-kan Ngo-ok, maka tentu saja ilmu kepandaian mereka sudah tinggi dan dua orang murid Siauw-lim-pai pertengahan itu tidak mampu menandinginya! Juga Liong Bouw terdesak hebat dan lewat dua puluh jurus kemudian, kedua orang saudara Ciong itu roboh dan dia sendiri pun terkena tusukan pada pundak kanannya sehingga berdarah.

Tahu bahwa dia tidak akan menang, Liong Bouw memutar goloknya dengan nekat, lalu membentak keras dan serangannya itu membuat dua orang wanita itu berhati-hati dan melangkah mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Bouw untuk meloncat dan lari mengejar ke arah Pangeran yang digandeng oleh dua orang kakek itu. Bagaimana pun juga, dia harus melindungi Pangeran, tidak peduli betapa pandai pun orang yang menawan Pangeran itu. Dia berlari cepat, dikejar oleh empat orang wanita itu.

Untung baginya, yang dikejar, yaitu pangeran itu, hanya berjalan digandeng oleh Su-ok dan Ngo-ok, berjalan terhuyung-huyung bagaikan orang mabok dengan Su-ok sengaja tertawa-tawa untuk memberi kesan bahwa pemuda yang digandeng memang sedang benar-benar mabok keras! Mereka berdua seolah-olah tidak peduli kepada Liong Bouw yang mengejar dari belakang dengan golok di tangan dan pundak kanan bercucuran darah.

“Heii, berhenti! Lepaskan dia!” bentak Tok-gan Sin-ciang Liong Bouw dan dia menubruk dari belakang.

Akan tetapi Ngo-ok tanpa menoleh menendangkan kakinya yang amat panjang itu ke belakang dan memang Si Jangkung ini lihai sekali kakinya, maka tanpa dapat dicegah lagi, kakinya yang menyepak seperti kaki kuda itu tepat mengenai dada Liong Bouw.

“Dess....!” Liong Bouw terjengkang akan tetapi dia sudah meloncat bangun lagi, tidak peduli akan pundaknya yang berdarah dan dadanya yang terasa nyeri. Dia menangkis dua batang pedang dari dua orang wanita yang mengejarnya, lalu dia lari mengejar lagi ke depan.

Pada saat itu, Liong Bouw melihat segerombolan orang berjalan dari depan. Melihat rombongan yang terdiri dari seorang pria setengah tua yang kelihatan gagah perkasa dan tampan bersama beberapa orang wanita yang cantik-cantik, dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti bukan penghuni dusun, dan tentu datang dari kota. Maka timbul harapannya, setidaknya agar diketahui orang kota bahwa pemuda di depan itu adalah pangeran, maka dia lalu berteriak nyaring, “Tolooooonggg....! Tolong Pangeran Mahkota yang ditangkap penjahat itu!”

Pada saat itu, tusukan pedang dari belakang menyambar. Liong Bouw memutar tubuh dan mengelak sambil menangkis, akan tetapi pedang ke dua membacok dari samping dan biar pun dia sudah mengelak, tetap saja pahanya kena disambar dan dia pun roboh dengan paha terluka. Dengan gemas sekali A-hui Si Baju Kuning menggerakkan pedangnya untuk memberi tusukan terakhir ke dada Liong Bouw, akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan pedang itu telah ditangkis oleh seuntai tasbeh.

“Cringgg....!”

Pedang di tangan A-hui itu terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. A-hui dan tiga orang adiknya cepat memandang dan ternyata yang menangkis itu adalah seorang wanita cantik berusia tiga puluh lima tahun, berpakaian seperti nikouw tetapi kepalanya berambut hitam digelung, dan tangannya memegang tasbeh yang terbuat dari gading.

“Omitohud, di tengah hari ada orang mau bunuh orang lain begitu saja, betapa kejinya!”

Su-bi Mo-li segera memandang ke depan. Rombongan itu terdiri dari seorang laki-laki setengah tua, tiga orang wanita cantik dan seorang gadis yang manis. Kini dua orang wanita yang lain dan gadis itu datang menghampiri, sedangkan laki-laki setengah tua itu hanya tersenyum-senyum saja, seolah-olah tidak terjadi apa-apa yang aneh.

A-hui marah sekali. “Nikouw dari mana berani datang mencampuri urusan orang? Pergi kau dari sini atau mampus di ujung pedangku!”

Nikouw itu tersenyum sehingga nampak giginya yang rata dan putih. “Amithaba, kalau engkau dapat membunuhku, itu baik sekali! Pinni ingin merasakan bagaimana mati di ujung pedang!”

A-hui berteriak nyaring dan menyerang. Nikouw itu bergerak lincah mengelak sambil tersenyum dan terdengar pria setengah tua itu berkata, “Hati-hati, sebagai nikouw engkau tidak boleh membunuh orang!” Ucapan ini seperti kelakar saja dan nikouw itu pun hanya tersenyum mendengarnya.

A-kiauw yang berbaju merah maju hendak membantu saudaranya, akan tetapi wanita cantik ke dua yang kelihatannya seperti berdarah asing karena matanya lebar dan kulitnya putih kemerahan agak gelap sudah menghadang dengan pedang terhunus.

“Main keroyokan adalah perbuatan pengecut. Kalau berani, kau lawanlah aku, Iblis betina!” wanita itu memaki sembarangan saja, namun hal ini sangat menusuk perasaan A-kiauw oleh karena memang mereka berempat dijuluki Su-bi Mo-li (Empat Iblis Betina Cantik).

“Mampuslah!” dia membentak dan menyerang, ditangkis dengan mudahnya oleh wanita itu.

Melihat betapa dua orang wanita cantik itu ternyata amat lihai, A-bwee dan A-ciu segera melompat ke depan, akan tetapi wanita ke tiga yang cantik jelita sudah menghadang sambil tersenyum mengejek, sambil mengerling ke arah Su-ok dan Ngo-ok yang masih memegangi pangeran sambil menonton perkelahian itu. Dan dengan alis berkerut, dia berkata, “Kiranya Su-ok dan Ngo-ok yang main gila di sini!”

Su-ok dan Ngo-ok memandang kepada wanita cantik itu dan sampai beberapa lamanya mereka tidak mengenal wanita itu. “Hemm, lupakah kalian ketika berjumpa denganku di Lembah Suling Emas?”

Wajah Su-ok dan Ngo-ok berubah ketika mereka mengenal kembali wanita itu. Kini mereka teringat. Itulah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, Toaso dari keluarga Lembah Suling Emas yang sakti itu! Tapi mereka tidak mengenal yang lain-lain, tidak mengenal laki-laki yang berdiri sambil tersenyum itu, agak lega karena tidak nampak keluarga Cu yang sakti di situ.

Ada pun A-bwee dan A-ciu sudah menerjang sambil menusukkan pedang mereka ke arah wanita cantik yang berani menghina guru-guru mereka itu. Su-ok dan Ngo-ok hendak memperingatkan dua orang murid itu, akan tetapi terlambat. Tang Cun Ciu sudah menggerakkan kaki tangannya dan nampak dua batang pedang terlempar disusul terlemparnya dua tubuh wanita cantik itu yang terkena tamparan pada pundak mereka.

Baru saja A-bwee dan A-ciu merangkak bangun, terdengar suara mengaduh dan tubuh A-hui bersama A-kiauw juga terpelanting dan pedang mereka terlempar jauh. Mereka juga roboh dalam beberapa gebrakan saja melawan dua orang wanita cantik tadi. Hal ini tidak mengherankan karena wanita yang seperti nikouw itu bukan lain adalah Gu Cui Bi, sedangkan wanita yang berdarah asing itu adalah Nandini, bekas panglima perang Nepal! Dan memang di antara mereka bertiga yang menjadi isteri-isteri dari Bu Seng Kin, Tang Cun Ciu yang paling lihai maka wanita ini dengan mudah dapat merobohkan A-bwee dan A-ciu terlebih dahulu!

Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah di situ, disambut oleh gadis cantik yang bukan lain adalah Bu Siok Lan. Namun melihat betapa Su-bi Mo-li roboh dengan demikian mudahnya, Si Mata Juling dan empat orang temannya sudah membalikkan tubuh dan mengambil langkah seribu!

Kini tinggal Su-ok dan Ngo-ok yang memandang dengan mata terbelalak melihat empat orang murid mereka itu roboh semua. Karena di situ tidak nampak adanya keluarga Cu, maka tentu saja dua orang datuk ini sama sekali tidak takut menghadapi Tang Cun Ciu. Akan tetapi sikap pria di depan mereka yang tersenyum itu amat mencurigakan dan membuat mereka memandang dengan hati kecut.

“Siapakah engkau?” Tanya Ngo-ok tanpa melepas pergelangan tangan kiri pangeran, sedangkan Su-ok juga tetap memegang pergelangan tangan kanan pangeran itu.

Pria itu tentu saja Bu Seng Kin atau Bu-taihiap. Walau pun dia pernah menjadi seorang pendekar yang namanya menjulang tinggi di dunia barat sana, akan tetapi karena belum pernah bertemu atau bentrok dengan Im-kan Ngo-ok, maka dua orang kakek itu tidak mengenalnya.

“Siapa adanya aku tidak penting, yang penting kalian cepat lepaskan pemuda yang kalian pegang itu,” kata Bu-taihiap dengan suara tenang.

Su-ok tertawa. Dia lebih tenang dari pada saudaranya. “Ehhh, Sobat, tahukah engkau siapa dia ini?”

Bu-taihiap menggeleng kepala. “Siapa pun adanya dia, jelas bahwa dia kalian tangkap, oleh karena itu, harap kalian sudi melepaskan dia.”

Tok-gan Sin-ciang masih berdiri tak jauh dari situ menahan sakit. Dia terlalu kagum dan heran melihat betapa rombongan itu ternyata merupakan rombongan orang yang memiliki kepandaian hebat luar biasa, demikian hebatnya sehingga empat orang wanita cantik yang amat lihai itu pun roboh dalam beberapa gebrakan saja oleh wanita-wanita itu!

Dan dia kini memandang penuh ketegangan melihat kepala rombongan, seorang pria sederhana, berhadapan dengan dua orang yang ternyata benar-benar adalah Su-ok dan Ngo-ok seperti yang dikatakan oleh seorang di antara wanita-wanita itu. Dan dia pun belum pernah mendengar tentang Lembah Suling Emas, maka sekarang dia tak berani sembarangan bicara, hanya mendengarkan dengan penuh harapan bahwa pangeran akan dapat lolos dari bencana itu. Dia tidak berani lancang karena pangeran masih berada di tangan dua orang kakek iblis itu!

Su-ok adalah seorang yang cerdik sekali. Di situ tidak terdapat saudara-saudaranya yang lain, karena untuk tugas ini Toa-ok mempercayakan kepada dia dan Ngo-ok dan memang sebetulnya mereka berdua pun sudah cukup kalau hanya untuk menawan Pangeran saja. Akan tetapi tak mereka kira bahwa di sini akan muncul Cui-beng Sian-li dan rombongannya yang lihai-lihai ini.

Tiga orang wanita itu jelas lihai dan pria di depannya ini belum dia ketahui sampai di mana kelihaiannya, tetapi agaknya pun bukan merupakan lawan yang boleh dipandang ringan. Kalau di situ ada Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok, tentu saja dia sama sekali tidak takut. Sekarang pun dia tidak takut, hanya dia harus bersikap cerdik agar tidak sampai gagal. Dia telah mempunyai pangeran di tangannya dan ini merupakan modal yang baik sekali!

“He, sobat, engkau tak mau memperkenalkan namamu pun tidak mengapa. Akan tetapi sebaiknya engkau mengenal dulu siapa pemuda ini. Dia adalah Pangeran Mahkota Kian Liong!”

Tentu saja Bu-taihiap terkejut bukan main, tetapi sedikit pun tidak nampak perubahan pada wajahnya yang tampan itu. Bahkan dia tersenyum. “Sudah kukatakan, siapa pun adanya dia ini, aku tetap minta agar kalian suka melepaskan dia.”

“Kalau kami tidak mau melepaskan dia?” tanya Su-ok juga tersenyum.

Bu-taihiap tertawa. “Terpaksa aku tidak membolehkan kalian lewat.”

“Ha, sobat, bagaimana jadinya kalau kami bunuh Pangeran ini? Ya, kalau engkau dan rombonganmu ini hendak menghalangi kami, terpaksa kami akan membunuh Pangeran Mahkota Kian Liong!” Su-ok kini menggunakan gertakan.

Sementara itu, Pangeran Kian Liong memang telah dilolohi arak yang mengandung obat pemabok dan dia hanya setengah sadar, akan tetapi dia masih dapat mengikuti seluruh percakapan itu dan kini dia tertawa sambil berkata. “Hidup atau mati, hanya itu soalnya dan sungguh soal yang biasa saja. Apa artinya hidup dan apa bedanya dengan mati? Hidup pun akhirnya akan mati juga! Heiii, kau hwesio cebol dan tosu jangkung, apa kau kira hidup lebih enak dari pada mati? Kalau kalian membunuhku, maka sudah beres dan habislah bagiku, tidak ada apa-apa lagi. Akan tetapi kalian yang masih hidup akan dikejar-kejar orang gagah sedunia, belum lagi pasukan yang takkan berhenti sebelum kalian ditangkap, kemudian dihukum siksa. Ha-ha-ha-ha, aku lebih enak dibandingkan dengan kalian!”

Bu-taihiap tiba-tiba merasa heran dan juga kagum. Mengapa putera mahkota yang kelak akan menggantikan kaisar menjadi pemabok seperti itu? Akan tetapi sikap yang berani dan kata-kata yang begitu mengandung kebenaran yang pedas masih dapat diucapkan di waktu mabok, maka di waktu sadar tentu pangeran ini memiliki kebijaksanaan yang luar blasa.

“Ha-ha-ha, kalian sudah mendengar sendiri! Nah, lepaskan dia, ataukah sebaiknya kita menggunakan dia sebagai taruhan?” kata Bu-taihiap.

“Taruhan?” Sekarang Ngo-ok yang berkata, matanya yang sipit makin terkatup ketika dari ‘atas’ dia memandang Bu-taihiap. Bu-taihiap harus berdongak untuk menatap wajah Si Jangkung itu.

“Ya, mari kita bertanding dan karena yang menangkap dia ini adalah kalian berdua dan yang minta agar dilepaskan hanya aku seorang, maka biarlah aku melawan kalian berdua. Kalau aku kalah, tentu saja kalian boleh membawa dia. Akan tetapi kalau kalian kalah, dia harus kalian tinggalkan. Bagaimana. Beranikah kalian?”

Ucapan itu, terutama kata terakhir, memanaskan perut Su-ok dan Ngo-ok. Orang itu agaknya miring otaknya, pikir mereka. Menantang dikeroyok dua? Siapa sih orang ini yang berani menantang mereka padahal tadi Cui-beng Sian-li sudah jelas mengatakan bahwa mereka adalah Su-ok dan Ngo-ok?

“Hemmm, kalau kami menang, bukan hanya dia ini yang kami bawa, melainkan juga kepalamu!” kata Ngo-ok marah.

“Ha-ha-ha, boleh, boleh! Kalau memang kalian menang, aku pun sudah tidak bisa lagi mempertahankan kepalaku. Dan kalau kalian yang kalah, aku hanya menghendaki dia dibebaskan dan aku tidak butuh kepalamu yang buruk, hanya aku akan mengambil daun telingamu saja, Jangkung!”

Sementara itu, tiga isteri Bu-taihiap sudah mendekat dan berdiri menonton dengan sikap tenang, demikian pula gadis puteri pendekar itu. Mereka berempat ini yakin benar akan kemampuan Bu-taihiap, maka mereka hanya memandang dengan penuh perhatian. Sedangkan Su-bi Mo-li yang maklum bahwa mereka bukan tandingan rombongan itu, memandang dari jarak agak jauh dan dengan hati gelisah. Bukan hanya rahasia mereka ketahuan sebagai penculik-penculik pangeran mahkota, bahkan agaknya usaha mereka juga mengalami kegagalan setelah bertemu dengan rombongan yang sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka akan muncul ini.

Su-ok dan Ngo-ok bukanlah orang bodoh. Melihat, sikap orang ini mereka pun sudah menduga bahwa tentu orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Su-ok lalu memberi tanda kepada Ngo-ok sambil berkata, “Ngo-te, manusia sombong ini sendiri yang menantang. Marilah kita layani dia.”

Mereka kemudian mendorong Sang Pangeran ke pinggir karena mereka tahu bahwa orang aneh di depan mereka itu agaknya sama sekali tidak peduli apakah mereka akan membunuh Sang Pangeran atau tidak. Menghadapi orang yang tidak mempedulikan Sang Pangeran sama sekali, maka tiada gunanya untuk mengancam dan menjadikan pangeran itu sebagai sandera.

Dan memang mereka telah menerima peringatan keras dari Toa-ok agar jangan sampai membunuh Sang Pangeran. Apalagi, ucapan Pangeran tentang hidup dan mati amat berkesan di hati mereka dan mereka tahu betul bahwa sekali mereka membunuh Sang Pangeran, hidup ini hanya menjadi sumber ketakutan saja bagi mereka yang takkan lagi dapat aman di dunia, dikejar-kejar dan akhirnya akan tertangkap dan tersiksa hebat. Maka dari itu mereka mendorong Sang Pangeran ke pinggir, dengan harapan akan mampu menang dalam pertandingan itu sehingga mereka akan bisa melanjutkan siasat mereka merusak nama baik pangeran.

Tentu saja Bu-taihiap pernah mendengar nama besar Im-kan Ngo-ok sebagai datuk besar kaum sesat yang memiliki ilmu kepandaian hebat, maka biar pun pada lahirnya dia nampak tenang dan tersenyum-senyum saja, namun sesungguhnya dia sama sekali tidak memandang rendah dan selalu dalam keadaan siap siaga. Kini melihat dua orang itu telah melepaskan pangeran, dia merasa lega dan cepat-cepat dia melangkah maju menghampiri dua orang lawannya. “Nah, kalian mulailah!” tantangnya sambil tersenyum.

Melihat sikap orang yang begini memandang ringan, Su-ok dan Ngo-ok menjadi marah. Biasanya lawan yang menghadapi mereka tentu kalau tidak gentar juga sangat berhati hati, tidak seperti orang ini yang begini memandang rendah sambil tersenyum-senyum saja.

“Kami tidak pernah membunuh orang tanpa nama,” medadak Su-ok berkata untuk membalas pandangan ringan itu. “Kalau engkau bukan seorang pengecut yang suka menyembunyikan nama, katakan siapa engkau agar kami tahu siapa yang akan kami habisi nyawanya!”

Bu-taihiap tertawa dan wajahnya yang tampan itu nampak berseri dan muda ketika dia tertawa itu. “Ha-ha-ha, yang nama julukannya Su-ok ini selain pendek kurang ukuran juga ternyata tidaklah sejahat namanya. Bagaimana dengan Ngo-ok yang jangkung kelebihan ukuran itu? Apakah benar kalian hendak mengetahui nama orang yang akan menjatuhkan kalian? Aih, sudah bertahun-tahun untuk tidak mempergunakan namaku, sampai lupa. Hanya she-ku saja yang masih kuingat. Aku she Bu.”

Nama ini saja sudah cukup. She Bu dan logat bicaranya jelas menunjukkan dari barat, maka siapa lagikah orang ini kalau bukan pendekar yang pernah menggegerkan dunia barat dan hanya terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu?

“Jadi engkau ini orang she Bu itu yang sudah puluhan tahun tidak pernah muncul itu? Ha-ha, kami kira tadinya yang disebut Bu-taihiap itu sudah mampus di Secuan dicakar garuda!”

Bu-taihiap merasa disindir. Permusuhannya dengan Eng-jiauw-pang yang membuatnya terluka itu agaknya telah tersiar di dunia kang-ouw, akan tetapi karena sesungguhnya dia tidak kalah, hanya dikeroyok terlalu banyak orang pandai saja maka terpaksa dia melarikan diri, dia tidak merasa malu disindir demikian.

“Bagus, kau sudah tahu namaku dan tidak lekas-lekas menggelinding pergi?” bentaknya dan sikapnya kini penuh wibawa, tidak senyum-senyum seperti tadi.

Dua orang lawannya itu tidak menjawab, melainkan segera menyerang dengan dahsyat.
Karena maklum bahwa yang namanya Bu-taihiap itu adalah seorang lawan tangguh, maka begitu menyerang, Su-ok sudah menggunakan ilmunya yang diandalkan, yaitu Pukulan Katak Buduk yang dilakukan dengan tubuh setengah berjongkok rendah, dan dua tangannya mendorong dari bawah. Hawa pukulan yang amat dahsyat menyambar diikuti sepasang lengan pendek itu dan dari telapak tangannya menyambar pukulan yang mengandung hawa beracun. Jahat sekali pukulan ini dan lawan yang kurang kuat akan mati seketika kalau terkena pukulan ini, baru terkena hawa pukulannya saja sudah cukup membuat orang yang terkena menjadi lumpuh, apalagi kalau sampai terkena hantaman telapak tangan itu!

Biar pun Bu-taihiap baru mendengar namanya saja tentang Im-kan Ngo-ok dan belum mengenal keistimewaan mereka, dia sudah dapat menduga-duga bahwa pukulan yang mendatangkan angin dahsyat ini merupakan pukulan yang berbahaya, maka dia pun bersikap waspada dan hanya mengelak dari pukulan itu. Akan tetapi Ngo-ok juga telah berjungkir balik, langsung mempergunakan ilmunya yang aneh dan kini dari lain jurusan dia menyambut Bu-taihiap yang mengelak itu dengan tendangan kakinya dari atas!

Kembali Bu-taihiap mengelak dengan sigap sambil tertawa. Melihat betapa dua orang lawan ini memiliki ilmu yang aneh-aneh, dia tak dapat menahan ketawanya. Memang pada dasarnya pendekar ini memiliki watak gembira, dan mungkin watak inilah yang membuat dia mudah meruntuhkan hati kaum wanita.

“Ha-ha-ha, kalian ini ahli-ahli silat ataukah badut-badut sirkus? Yang pendek menjadi semakin pendek mau merubah diri menjadi katak, dan yang jangkung berjungkir balik seolah-olah masih kurang jangkung.... heeiiitt.... bahaya, tapi luput!” Dia mengelak lagi ketika Su-ok mengirim pukulan ke arah pusarnya dari bawah.

Tadi dia mengelak sambil kini melayangkan tangannya, menampar ke arah ubun-ubun kepala Su-ok yang berjongkok itu. Tamparan biasa saja, akan tetapi didahului angin menyambar dahsyat. Su-ok terkejut. Kiranya pendekar ini benar-benar amat lihai karena kalau pukulan tadi tepat mengenai ubun-ubun kepalanya, kiranya sukar bagi dia untuk menyelamatkan nyawanya. Dia sudah menggelundung dan sambil bergulingan begini dia mengejar lawan, terus bangkit berjongkok dan menghantamkan lagi pukulan Ilmu Katak Buduknya yang lihai. Sementara itu, dari atas, kedua batang kaki panjang dari Ngo-ok juga telah mengirim serangan bertubi-tubi, dibantu oleh kedua lengannya yang panjang!

Bu-taihiap cepat bersilat dengan gaya ilmu silat dari Go-bi-pai, tetapi sudah berbeda dari aslinya, mirip pula ilmu silat Kun-lun-pai, namun juga tak sama. Ilmu silat ini adalah ilmu silat ciptaannya sendiri yang tentu saja dipengaruhi oleh ilmu-ilmu silat dari Go-bi-pai dan Kun-lun-pai yang merupakan dua partai persilatan terbesar di dunia barat. Akan tetapi, dalam ilmu silatnya ini juga terdapat dasar-dasar dari gerakan ilmu silat India dan Nepal.

Namun harus diakui bahwa ilmu silat itu aneh dan juga tangguh sekali, karena dengan gerakan-gerakan itu dia selalu dapat menempatkan dirinya dalam posisi yang baik. Dan selain ilmu silatnya yang tangguh, juga Bu-taihiap memiliki sinkang yang amat kuat namun bersifat halus sehingga dia berani menangkis pukulan Katak Buduk dengan telapak tangannya tanpa terluka, bahkan hawa pukulan lawan itu seperti batu dilempar ke dalam air saja, tenggelam dan lenyap.

Selama dua puluh jurus, Bu-taihiap hanya mengelak dan menangkis sampai dia tahu benar akan sifat-stfat ilmu silat dua orang lawannya. Setelah dia betul-betul mengenal, Bu-taihiap tiba-tiba berdiri tegak, sama sekali tidak bergerak dan berkata sambil tertawa, “Apakah kalian hendak terus melawak di sini?”

Melihat lawannya berhenti bergerak itu, Su-ok dan Ngo-ok terheran, akan tetapi juga girang. Su-ok cepat meloncat ke depan dan memukul dengan ilmunya dari jarak dekat. Dua buah lengannya yang pendek itu bergerak mendorong ke arah dada lawan, sambil mengerahkan tenaganya. Akan tetapi, lawannya itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, bahkan menyambut pukulan dorongan kedua tangan itu dengan sambaran lengan dari kanan dan tahu-tahu dia sudah mencengkeram tengkuk Su-ok!

Su-ok merasa girang karena kedua pukulannya tidak dielakkan dan dua tangannya yang terbuka itu dengan cepatnya meluncur ke depan. Akan tetapi tiba-tiba dia mengeluarkan suara.

“Kekkk!” dan tengkuknya sudah dicekik kuat.

Karena tenaga ilmu katak buduk itu digerakkan oleh tulang punggung dan sekarang tengkuknya dicekik, maka seketika tenaganya banyak berkurang dan biar pun kedua tangannya masih mengenai dada lawan, namun tenaganya tinggal seperempatnya dan agaknya pendekar itu tidak merasakan apa-apa dan sebaliknya Su-ok merasa kedua tangannya seperti menghantam karet saja dan tengkuknya terasa nyeri bukan main seolah-olah tulang lehernya akan patah!

Pada saat itu Ngo-ok sudah menerjang dengan dua kakinya, yang sebelah kiri menotok ke arah jalan darah di pundak dan yang kanan menyambar ke arah ubun-ubun kepala Bu-taihiap. Akan tetapi pendekar ini meloncat ke belakang dan sekali melontarkan tangannya, tubuh pendek bulat dari Su-ok itu seperti peluru meluncur ke arah kepala dan dada Ngo-ok yang masih berjungkir balik.

“Heii, hati-hati....!” Su-ok berteriak, tanpa dapat menahan lajunya tubuhnya.

“Heii, apa ini....?” Ngo-ok juga terkejut dan cepat dia sudah menggunakan kepala untuk menahan tubuh di atas tanah sedangkan dua lengannya yang panjang sudah bergerak menyambut tubuh kawannya.

“Plakkk!” Kedua tangannya seperti kiper menangkap bola, berhasil menangkap tubuh Su-ok, akan tetapi tiba-tiba tubuhnya sendiri melayang bersama-sama tubuh Su-ok yang dipeluknya.

“Brukkk....!” Ngo-ok dan Su-ok terbanting kepada sebatang pohon dan keduanya roboh tunggang langgang dan tumpang tindih.

Kiranya saat Ngo-ok menerima tubuh Su-ok tadi, dalam keadaan lengah, kedua kakinya sudah ditangkap oleh Bu-taihiap yang mempergunakan ilmu gulat Nepal, kemudian dia melemparkan tubuh yang tinggi itu tanpa dapat dicegah oleh Ngo-ok yang tidak berdaya karena dia ‘berdiri’ di atas kepala saja. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terlempar dan terbanting pada pohon dan jatuh tumpang tindih seperti itu. Ketika mereka bangkit dengan kepala pening dan tubuh babak belur, mereka melihat Bu-taihiap berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa.

“Wah, kalian masih belum patut bermain di sirkus, baru main begitu saja sudah jatuh tunggang-langgang, akan tetapi kalau untuk menjadi pelawak sudah lumayan karena memang cukup lucu!”

“Bedebah!” bentak Su-ok.

“Keparat sombong!” Ngo-ok juga berseru dan keduanya lalu menyerang lagi dengan lebih ganas dari pada tadi.

Bu-taihiap sudah meloncat ke sana-sini dan melayani mereka. Akan tetapi, serangan-serangan kedua kaki Ngo-ok yang tinggi itu membuat dia merasa payah juga, maka tiba-tiba Bu-taihiap lalu duduk bersila di atas tanah!

Tentu saja kedua orang lawannya menjadi bingung. Bagaimana pula ini? Lawan mereka duduk bersila. Mana ada orang berkelahi dengan cara duduk bersila seperti arca? Akan tetapi mereka tidak peduli dan menganggap bahwa perbuatan Bu-taihiap ini seperti orang bunuh diri dan mereka memperoleh kesempatan baik untuk membunuhnya.

Dan tentu saja Ngo-ok tidak lagi dapat menggunakan ilmunya berjungkir balik, bahkan sukar pula bagi Su-ok untuk menggunakan ilmunya Katak Buduk, oleh karena ilmu ini dipergunakan untuk memukul dengan tubuh merendah, lantas dipukulkan ke arah atas, barulah terdapat tenaga mukjijat dari bawah itu. Kalau lawan duduk bersila, tentu saja tidak dapat dipukulnya karena terlalu rendah.

Demikian pula bagi Ngo-ok yang mengandalkan kedua kaki kalau dia mainkan ilmunya berjungkir-balik, menghadapi orang bersila tentu saja kedua kakinya itu mati kutu dan tidak mampu menyerang. Maka dia pun lalu berloncatan membalik dan berdiri di atas kedua kaki seperti biasa.

Tanpa berkata apa-apa, keduanya menubruk ke depan, Ngo-ok dari kanan dan Su-ok dari kiri. Mereka merasa yakin bahwa biar pun tidak mempergunakan ilmu-ilmu mereka yang istimewa, sekali ini mereka akan mampu membunuh lawan yang duduk bersila itu.

Mereka sama sekali tidak tahu bahwa Bu-taihiap memiliki banyak sekali ilmu silat yang aneh, di antaranya adalah ilmu yang dinamakannya Ngo-lian-hud (Buddha Lima Teratai) ini! Ilmu ini menurut dongeng berasal dari seorang pertapa yang selama puluhan tahun bertapa sambil memuja Buddha dengan duduk dalam bentuk Teratai, yaitu bersila dengan dua kaki bersilang di atas paha. Kabarnya, pertapa yang puluhan tahun bertapa dalam keadaan bersila seperti itu, kedua kakinya sampai tidak dapat dilepaskan lagi, seperti sudah mati! Akan tetapi dia memperoleh tenaga yang dahsyat bukan main, dan dengan duduk bersila seperti itu tanpa pindah dari tempatnya, dengan kedua lengannya dia mampu menolak lawan yang bagaimana tangguh pun, bahkan kalau diserang oleh binatang buas, dia dapat menundukkan binatang buas itu dengan kedua lengannya tanpa bergerak pindah dari tempatnya.

Bu-taihiap juga mempelajari ilmu ini dan tadi ketika melihat keistimewaan ilmu pukulan Su-ok yang mendapatkan tenaga memukul dari bawah ke atas, sedangkan Ngo-ok amat lihai menyerang dengan kedua kakinya dari atas ke bawah, maka dia mendapatkan akal untuk menghadapi mereka dengan ilmu Ngo-lian-hud ini.

Ketika kedua orang lawannya itu menubruk dan menyerang dengan dahsyat, mengirim pukulan-pukulan maut ke arah kepalanya, tiba-tiba saja Bu-taihiap menggerakkan kedua lengannya yang tadinya ditaruh di atas pangkuan. Dia mengerahkan tenaga dari pusar yang ketika duduk seperti itu terkumpul menjadi kekuatan dahsyat. Dari perutnya keluar bunyi dan melalui mulutnya dia mengeluarkan suara melengking.

“Hiiaaaattt....!” Dan kedua lengan itu berkembang ke atas, ke kanan kiri menyambut dua orang lawannya.

“Dessss! Dessss!”

Akibatnya hebat luar biasa. Ngo-ok dan Su-ok mengeluarkan teriakan panjang. Mereka merasa seperti disambar geledek saja yang tiba-tiba keluar dari tubuh Bu-taihiap dan biar pun mereka telah menggerakkan tangan menangkis, tetap saja tenaga dahsyat itu menyambar mereka dan membuat mereka terjengkang serta terlempar sampai lima meter! Mereka terbanting roboh dan ketika mereka bangkit, dari ujung mulut mereka mengalir darah! Itu menandakan bahwa mereka telah terluka di sebelah dalam tubuh mereka!

Sekarang tahulah Su-ok dan Ngo-ok bahwa mereka tidak akan menang. Maka, setelah memandang kepada Bu-taihiap dengan sinar mata penuh kebencian, Su-ok berkata, “Lain kali kita bertemu lagi, orang she Bu!”

Dan dia bersama Ngo-ok lalu ngeloyor pergi tanpa banyak kata lagi. Melihat ini, Su-bi Mo-li juga diam-diam telah melarikan diri dengan hati gentar dan menganggap hari itu sebagai hari sial karena mereka bertemu dengan rombongan Bu-taihiap yang demikian lihainya!

“Ha-ha-ha, bagus! Lanjutkan.... lanjutkan pibu....!” Pangeran Kian Liong bertepuk tangan dan tubuhnya bergoyang-goyang tanda bahwa dia masih mabok dan hanya setengah sadar.

Melihat ini, Bu-taihiap segera menghampiri dan setelah mengurut tengkuk dan dada, memijit kepala bagian belakang, lalu memberi dua butir pel merah kepada pangeran itu untuk ditelan, Sang Pangeran memejamkan mata seperti orang pening dan memegangi kepalanya, terhuyung-huyung. Bu-taihiap lalu merangkulnya dan membantunya duduk di atas tanah. Setelah duduk sambil memejamkan mata sampai kurang lebih sepuluh menit lamanya, pangeran itu mengeluh lalu muntah-muntah. Bu-taihiap membantunya dan setelah memuntahkan sebagian besar minuman bercampur obat yang diminumnya tadi, Sang Pangeran segera menjadi sembuh. Dia bangkit dan memandang heran ketika melihat seorang pria setengah tua sedang membersihkan bibir dan dagunya dengan sapu tangan.

“Paduka sudah pulih kembali sekarang, Pangeran.”

Pangeran Kian Liong memandang penuh perhatian, lalu menoleh ke kanan kiri, melihat empat orang wanita itu dan mengerutkan alisnya. “Ahh, apa yang terjadi? Bukankah tadi terjadi pibu di sini? Mana mereka yang telah menculikku tadi?”

“Mereka telah kami usir pergi, Pangeran. Paduka telah selamat.”

Sang Pangeran teringat dan mengangguk-angguk. “Benar, kulihat engkau mengalahkan dua orang tinggi dan pendek itu. Aihhh, engkau hebat sekali, dan mereka ini.... adalah wanita-wanita yang perkasa. Siapakah Paman yang perkasa ini?”

Bu-taihiap menjura dengan dalam, dan tiga orang isterinya ikut pula menjura, termasuk pula Siok Lan. “Kami sekeluarga menghaturkan selamat bahwa Paduka telah lolos dari bencana, Pangeran. Hamba adalah Bu Seng Kin dan semua mereka ini adalah keluarga hamba....“ Bu-taihiap merasa sungkan sekali, akan tetapi melanjutkan juga. “Mereka ini adalah isteri-isteri hamba dan ini adalah puteri hamba.” Dia lalu memperkenalkan nama isteri-isterinya dan juga nama puterinya. Bu Siok Lan dan tiga orang wanita itu memberi hormat.

“Hebat, sebuah keluarga yang hebat, ayah ibu-ibu dan anak memiliki kepandaian silat yang tangguh....“ Sang Pangeran memuji.

Pada saat itu, datanglah rombongan pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw Kee An sendiri. Ketika melihat Sang Pangeran berada dalam keadaan selamat, komandan pengawal itu tentu saja merasa girang sekali dan cepat dia menjatuhkan diri berlutut. “Hamba mohon maaf telah gagal dan terlambat menyelamatkan Paduka, akan tetapi terima kasih kepada Thian bahwa Paduka dalam keadaan selamat.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan dengan tangannya dia memberi isyarat kepada komandan itu untuk bangun. “Souw-ciangkun, kalau kita perlu mengucapkan terima kasih, maka kita harus berterima kasih kepada keluarga Paman Bu Seng Kin ini, karena mereka inilah yang telah menyelamatkan aku dari tangan para penculik itu!”

Souw Kee An terkejut sekali dan memandang kepada pendekar itu dan keluarganya, kemudian dia bangkit menjura kepada Bu Seng Kin. “Bu-taihiap, terimalah hormat dan terima kasih kami atas budi pertolongan Bu-taihiap yang sudah menyelamatkan Sang Pangeran.”

Souw Kee An mengucapkan pernyataan terima kasih itu dengan setulusnya, karena pertolongan itu sama artinya dengan menyelamatkan dirinya sendiri, oleh karena kalau pangeran mahkota yang sedang dikawalnya itu sampai celaka, sama saja dengan dia sendiri yang celaka. Sebagai komandan pengawal, maka dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan Sang Pangeran.

Akan tetapi Bu-taihiap hanya tersenyum dan balas menjura kepada komandan itu, lalu Bu-taihiap berkata kepada Pangeran Kian Liong, “Pangeran, hamba kira sangat tepat ucapan Souw-ciangkun ini, yaitu bahwa kita harus berterima kasih kepada Thian saja. Betapa pun juga, tanpa adanya Tuhan dan kekuasaan-Nya, tak mungkin hamba dapat menyelamatkan Paduka.”

Sang Pangeran tersenyum dan tidak menjawab kata-kata ini, hanya lalu mempersilakan Bu-taihiap dan keluarganya untuk ikut bersama dia ke tempat pemberhentian di pantai, di mana Souw-ciangkun telah menyediakan tempat bagi Pangeran untuk beristirahat sebelum melanjutkan pelayaran, setelah terjadi peristiwa yang cukup mengkhawatirkan itu. Kini, tanpa pengawalan ketat tentu saja dia tidak berani membiarkan Sang Pangeran berlayar ke Kim-coa-to. Bu-taihiap tak dapat menolak dan bersama keluarganya mereka pun ikut dengan rombongan itu, kembali ke pantai laut tempat penyeberangan ke Pulau Kim-coa-to.

Ucapan dari Bu Seng Kin dan juga Souw Kee An itu seolah-olah menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang yang rendah hati dan selalu ingat akan Tuhan, maka dalam segala hal mereka berterima kasih dan mengucap syukur atas kemurahan Tuhan. Hal ini amat menarik sekali karena hampir setiap manusia di dunia ini menyebut-nyebut nama Tuhan dalam bahasa masing-masing, ditujukan kepada Sesuatu yang Maha Kuasa.

Manusia agaknya merupakan satu-satunya makhluk yang memiliki otak yang mampu dipergunakan untuk memikirkan hal-hal yang jauh lebih mendalam dari pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indera, memiliki akal budi dan daya ingatan yang luar biasa. Dengan kemampuan ini agaknya, manusia menyadari bahwa ada terdapat kemujizatan, keajaiban, kekuasaan yang teramat tinggi dan luas, yang tak dapat terjangkau oleh alam pikirannya. Kekuasaan yang menggerakkan matahari dan bulan, bintang-bintang, dan dunia, yang memberi kehidupan kepada segala benda, baik yang bergerak mau pun yang tidak.

Manusia dengan akal budi dan pikirannya menyadari bahwa memang sungguh ADA SESUATU yang lebih berkuasa dari pada diri-nya, yang berkuasa atas mati hidupnya, atas segala benda. Inilah agaknya yang mengawali pemujaan terhadap sesuatu itu, dengan segala macam sebutan menurut bahasa dan jalan pikiran masing-masing, yang kemudian menjadi kepercayaan turun-temurun, menjadi agama. Yang Sesuatu itu masih tetap ada dan menjadi pusat kepercayaan, disebut dengan berbagai nama, Tuhan, Thian dan sebagainya menurut bahasa dan adat istiadat atau pun tradisi atau agama masing-masing.

Sebutan Tuhan inilah yang membuat manusia merasa bahwa dia ber-Tuhan! Akan tetapi, apakah artinya ber-Tuhan itu? Apakah kalau kita sudah selalu mempersiapkan di bibir sebutan Tuhan itu, apakah kalau kita sudah MENGAKU bahwa kita percaya, lalu kita sudah boleh ber-Tuhan?

Nama dan sebutan itu hanyalah permainan bibir belaka. Nama dan sebutan itu jelas BUKAN yang dinamakan atau disebutkan itu. Akan tetapi pada kenyataannya, kita lebih mementingkan nama dan sebutan ini! Kita selalu lebih mementingkan gerak bibir yang menyebut atau menamakan itu.....

Oleh karena itulah maka kita mengukur seseorang itu ber-Tuhan atau tidak hanya dari pengakuan bibirnya. Kita agungkan sebutannya belaka hingga untuk mempertahankan itu, kalau perlu kita saling serang, saling bunuh! Sebutannya itu telah menjadi terlalu muluk dan terlalu berharga, karena sebutan itu menjadi milik si-Aku. Tuhan-Ku! Sama saja seperti keluarga-Ku harta-Ku, bangsa-Ku, dan sebagainya. Di situ unsur AKU yang penting, yang lainnya itu hanya sebutan yang melekat kepada si-Aku, mengikat si-Aku, maka dipentingkan. Jangan merendahkan Tuhan-Ku. Tuhan orang lain sih terserah. Jangan mengganggu keluarga-Ku, keluarga orang lain masa bodoh. Jangan menghina bangsa-Ku. Bangsa orang lain sesukamulah! Dan demikian selanjutnya.

Mengapa kita terkecoh dan terbuai oleh sebutan? Apakah bukti iman itu terletak pada bibir dan lidah? Sedemikian mudahnya mulut kita menyebut-nyebut Tuhan sehingga semudah itu pula kita melupakan Sesuatu Yang Maha Kuasa yang kita sebut Tuhan itu! Melupakan intinya. Akibatnya, kita hanya ingat kepada sebutan itu saja, yakni sewaktu kita membutuhkannya, dalam marabahaya, dalam sengsara, dan sebagainya.

Sebaliknya, dalam mengejar kesenangan kita melakukan segala hal tanpa mengingat sebutan itu sama sekali. Baru setelah terjadi akibat dari pada mengejar kesenangan itu yang menyusahkan kita, kita menyesal dan kembali teringat kepada sebutan itu. Kenapa demikian? Mengapa begitu mudahnya kita mengaku bahwa kita ini ber-Tuhan?

Dengan dada penuh terisi kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan, pementingan diri sendiri, mungkinkah kita menjadi manusia ber-Tuhan? Tanpa adanya cinta kasih di dalam batin setelah semua kekotoran itu lenyap, mungkinkah kita menjadi manusia yang sungguh-sungguh ber-Tuhan dalam arti kata yang seluas-luasnya? Tanpa adanya cinta kasih yang bukan merupakan perluapan nafsu, bukan merupakan pementingan diri pribadi, mungkinkah kita menjadi seorang manusia dalam arti kata sebenarnya, yaitu manusia yang berperi kemanusiaan?

Manusia ber-Tuhan, berperi kemanusiaan, tidak terpisahkan dari cinta kasih! Seorang manusia yang ber-Tuhan sudah pasti berperi kemanusiaan, dalam arti kata, hidupnya penuh dengan cinta kasih. Dan hal ini baru mungkin terjadi kalau batinnya sudah tidak dikotori oleh kebencian, permusuhan, iri hati, keserakahan dan sebagainya itu, yang semua timbul karena dasar yang satu, yaitu si-Aku yang ingin senang. Jadi dengan masih adanya si-Aku yang ingin senang, tidak mungkinlah bagi kita untuk ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, dalam arti kata yang sesungguh-sungguhnya.

Kalau pun mulut mengaku ber-Tuhan dan berperi kemanusiaan, maka itu hanya ucapan si-Aku, dan tentu dasarnya pun pengakuan itu hanya untuk kepentingan, keuntungan atau kesenangan si-Aku itu pula. Beranikah kita membuka melihat semua kenyataan ini semua yang terjadi dalam batin kita masing-masing? Beranikah kita membuka melihat dalam cermin dan mengamati kekotoran dan kepalsuan diri kita masing-masing? Hanya dengan keberanian inilah maka kita akan terhindar dari kemunafikan.

Apa artinya kalau hanya mulut mengaku ber-Tuhan tetapi berani melakukan perbuatan-perbuatan yang jahat tanpa mengenal takut kepada Tuhan yang kita akui Maha Tahu dan Maha Adil? Apa artinya kalau hanya mulut mengaku berperi kemanusiaan akan tetapi di dalam batin mengandung kebencian terhadap manusia atau manusia-manusia lainnya? Semua ini perlu dibongkar! Dan kita sendirilah yang harus membongkarnya dengan berani!


“Harap Paduka suka hati-hati karena dua orang yang menculik Paduka itu sungguh tak boleh dipandang ringan sama sekali. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian amat tinggi dan berbahaya sekali. Karena itu, sebaiknya jika Paduka memperoleh pengawalan yang kuat,” Bu-taihiap memberi nasehat.

Pangeran itu tertawa. “Ah, betapa tidak enaknya bepergian harus dikawal, apalagi kalau pengawalan itu terlampau ketat. Sudah biasa aku melakukan perjalanan sendirian saja, dengan menyamar dan tiada seorang pun mengenalku sebagai pangeran mahkota. Sekarang, terpaksa aku dikawal sebagai tamu resmi dari Pulau Kim-coa-to.”

“Hemm, melihat pasukan yang tidak berapa kuat ini, biarlah hamba menawarkan diri untuk mengawal Paduka.”

“Terima kasih, Bu-taihiap, engkau baik sekali. Akan tetapi sudah kukatakan tadi, aku merasa tidak leluasa kalau dikawal. Bagaimana kalau engkau ikut sebagai undangan di Kim-coa-to? Akan ramai di sana.”

“Di manakah Kim-coa-to itu dan ada apakah di sana, Pangeran?”

Mendengar pertanyaan ini, Sang Pangeran terheran, lalu tersenyurn. “Pertanyaan itu saja jelas menandakan bahwa agaknya sudah lama Taihiap tidak turun ke dunia ramai, sehingga tidak mendengar akan nama Kim-coa-to dan penghuninya, yaitu Syanti Dewi, puteri yang cantiknya seperti bidadari itu!” Pangeran lalu dengan singkat menceritakan tentang pulau itu dan tentang puteri cantik.

Tidak mengherankan apa bila Bu-taihiap mendengarkan dengan mata bersinar-sinar, wajah berseri dan nampak tertarik sekali. Dia adalah seorang pria yang tidak pernah melewatkan wanita cantik begitu saja, dan biar pun usianya sudah mendekati lima puluh tahun, namun semangatnya dalam soal wanita tidak pernah padam, bahkan semakin berkobar-kobar!

Memang yang dinamakan nafsu, apa pun juga macamnya, bagaikan api membakar, semakin diberi makanan semakin kelaparan dan semakin berkobar membesar, tidak pernah mengenal puas. Itulah nafsu! Oleh karena itu, sekali kita menjadi hamba nafsu, selamanya akan terus diperbudak, semakin lama semakin dalam.

“Aihhh.... kalau begitu, perlu hamba berkunjung....” Tiba-tiba dia berhenti dan menoleh. Benar saja, dia melihat tiga pasang mata yang melotot, pandang mata berapi-api penuh kemarahan dari ketiga orang isterinya! “Ehhh.... ohhh berkunjung ke sana mengawal Paduka....,” sambungnya cepat.

“Hemm mengawal ataukah melihat puteri cantik?!” Tang Cun Ciu menghardik dengan suara mendongkol.

“Huh, tak ada puasnya!” sambung Gu Cui Bi.

“Dasar mata keranjang!” Nandini juga mengomel.

Bu-taihiap menyeringai dan memandang kepada Sang Pangeran dengan muka berubah kemerahan. Melihat adegan ini, Sang Pangeran yang masih muda itu, tetapi yang amat bijaksana dan mudah menangkap segala hal yang terjadi, tertawa lebar dan berkata, “Sudahlah, Bu-taihiap. Tidak perlu aku dikawal. Lihat, pengawalku sudah cukup banyak dan kurasa mereka tak akan berani lagi muncul mengganggu setelah menerima hajaran keluargamu tadi.”

Betapa pun juga, Bu-taihiap dan keluarganya tetap mengawal Sang Pangeran sampai ke pantai tempat penyeberangan, dan di dalam perjalanan ini Bu-taihiap menggunakan kesempatan baik itu untuk minta bantuan Sang Pangeran mengenai niat keluarganya menjodohkan puterinya dengan Jenderal Kao Cin Liong.

“Jenderal Kao Cin Liong? Ahhh, dia adalah seorang sahabatku!” Sang Pangeran itu tanpa disangka-sangka berkata kepadanya, membuat pendekar itu dan ketiga orang isterinya memandang girang. “Jangan khawatir, kalau memang sudah ada kontak hati antara dia dan puterimu, aku pasti suka untuk menjadi perantara. Dia itu sahabatku yang baik dan amat kukagumi.”

Tentu saja keluarga itu menjadi girang bukan main mendengar kata-kata pangeran ini, terutama sekali Bu Siok Lan yang selama percakapan itu hanya menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan.

“Banyak terima kasih hamba haturkan atas kebaikan budi Paduka, Pangeran,” berkata Bu-taihiap. “Biarlah hamba sekeluarga menanti di kota raja sampai Paduka kembali ke sana.”

Demikianlah, setelah mengawal Pangeran sampai ke tepi pantai, di mana kini telah dipersiapkan perahu-perahu besar milik pemerintah daerah dengan pengawalan ketat pula, mereka berpisah. Bu-taihiap sekeluarganya melanjutkan perjalanan ke kota raja, sedangkan Pangeran Kian Liong melakukan penyeberangan ke Kim-coa-to dengan pengawalan ketat, yaitu pasukan yang dipimpin oleh Komandan Souw dan ditambah pula oleh pasukan keamanan dari daerah Tung-king.

Meski berita tentang diculiknya Pangeran Kian Liong telah sampai pula ke Kim-coa-to, dibawa oleh mereka yang menyaksikan peristiwa penyerbuan perahu yang ditumpangi pangeran dan juga menurut laporan anak buah perahu itu sendiri, namun keadaan pulau itu tetap saja ramai dan meriah. Hanya diam-diam Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi merasa khawatir akan keselamatan Sang Pangeran, terutama sekali Syanti Dewi karena puteri ini merasa amat suka dan sayang kepada pangeran yang amat bijaksana, pandai dan yang menjadi sahabatnya yang paling baik, bahkan antara mereka ada hubungan seperti kakak dan adik saja! Ingin sekali dia pergi sendiri untuk ikut menyelidiki, kalau perlu menolong pangeran itu. Akan tetapi karena pulau itu sedang bersiap hendak merayakan ulang tahunnya, maka tentu saja dia tidak dapat meninggalkannya.

Para tamu sudah berdatangan, ditampung di pondok-pondok darurat yang dibangun di pulau itu untuk keperluan ini. Para tamu itu bersikap hormat dan tertib karena mereka semua tahu betapa bahayanya kalau sampai mereka tidak mentaati peraturan dan sampai menimbulkan kemarahan pemilik pulau yang kabarnya memiliki kepandaian sangat tinggi dan juga pulau itu sendiri dikabarkan sebagai pulau yang mempunyai banyak sekali ular-ular beracun.

Pada saat perahu yang merupakan iring-iringan besar tiba dan semua orang melihat munculnya Sang Pangeran, tercenganglah mereka. Akan tetapi Syanti Dewi menyambut dengan girang dan lega bukan main, dan sebagai tamu kehormatan, tentu saja Sang Pangeran diberi tempat menginap di dalam gedung induk, di mana tinggal Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. Dan yang menyambut kedatangan pangeran itu adalah dua orang wanita cantik ini.

Munculnya Sang Pangeran ini mendatangkan berbagai perasaan di hati para tamu yang sudah mulai berkumpul. Ada yang merasa lega dan girang karena betapa pun juga, pangeran mahkota itu memiliki nama baik di kalangan rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana, pandai dan menjunjung tinggi kegagahan. Tetapi di samping perasaan ini, juga timbul rasa khawatir karena menurut mereka, hadirnya Sang Pangeran ini tentu saja banyak mengurangi kemungkinan mereka akan terpilih sebagai jodoh Sang Dewi, sebagaimana didesas-desuskan orang. Kalau Sang Dewi berkenan memilih jodoh pada kesempatan itu, siapa orangnya mampu bersaing dalam segala hal dengan pangeran mahkota? Suatu persaingan yang tidak adil!

Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui sendiri merasa girang bukan main. Dia memang sangat mengharapkan agar Syanti Dewi berjodoh dengan pangeran mahkota, kalau mungkin menjadi isteri pertama, kalau tidak mungkin menjadi selir terkasih sehingga kelak dapat menjadi selir pertama, kedua atau syukur-syukur jika dapat menjadi permaisuri, apabila Sang Pangeran sudah naik tahta menjadi kaisar! Dan dia sendiri, sebagai guru dan juga seperti kakak sendiri dari Syanti Dewi, tentu akan terangkat pula derajatnya. Maka, tidak mengherankan apabila nyonya rumah ini menyambut Sang Pangeran dengan segala kehormatan dan kemuliaan, amat meriah.

Ouw Yan Hui sudah mengambil keputusan untuk mencarikan calon jodoh bagi Syanti Dewi. Oleh karena itu, sejak para tamu belum berlayar menyeberang ke pulau, dia sudah menyebar banyak sekali mata-mata untuk menyelidiki keadaan mereka semua, memilih-milih orang-orang yang sekiranya patut menjadi calon jodoh sahabat atau muridnya yang baginya seperti anaknya sendiri itu. Dia memerintahkan kepada para mata-matanya itu untuk menyelidiki para tamu tentang kekayaan mereka, kedudukan dalam hal ilmu silat atau sastra dan segala macam segi kebaikan yang menonjol lagi.

Semua tamu yang dipersilakan menempati pondok-pondok yang dibangun khusus itu diberitahu bahwa perayaan yang diadakan besok pagi akan diramaikan dengan pesta, tari-tarian, ilmu silat, dan sebagainya. Sementara itu, setiap tamu menyerahkan hadiah sumbangan yang diterima oleh serombongan panitia khusus yang mencatat semua sumbangan itu dan menyusun sumbangan di atas meja besar, bertumpuk-tumpuk, dan berada di ruangan pesta yang baru akan diadakan pada keesokan harinya.

Malam itu, Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi menjamu Pangeran Kian Liong di dalam pondok kecil mungil yang terdapat di tengah-tengah taman yang luas dan indah di sebelah kiri gedung. Pondok mungil ini telah dihias dengan meriah, digantungi banyak lampu dengan warna bermacam-macam, dan di tengah-tengah pondok terdapat meja bundar di mana ketiga orang itu duduk menikmati hidangan serta minuman sambil bercakap-cakap. Sayup-sayup terdengar suara alunan musik yangkim dan suling yang dimainkan oleh beberapa orang wanita muda di sudut ruangan. Memang mereka ini diperintahkan untuk memainkan alat-alat musik itu dengan perlahan-lahan, agar tidak mengganggu percakapan mereka bertiga, namun cukup mendatangkan suasana yang indah.

Setelah beberapa kali menuangkan arak dalam cawan Sang Pangeran, Ouw Yan Hui kemudian berkata dengan penuh hormat, “Pangeran, mungkin Paduka telah mendengar bahwa untuk merayakan ulang tahun ke tiga puluh dari Syanti Dewi, kami juga telah bersepakat untuk mengadakan pemilihan jodoh untuk Adik Syanti....”

“Ahh, itu bukan persepakatan kami, Pangeran, melainkan kehendak Enci Hui saja....,” Syanti Dewi memotong sambil tersenyum.

Pangeran Kian Liong tertawa dan minum araknya. “Kehendak siapa pun juga, kurasa hal itu sudah sepantasnya, bukan? Seorang wanita secantik engkau, Enci Syanti Dewi, sudah sepatutnya kalau mempunyai seorang pemuja, yaitu seorang suami.”

Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah merah.

“Nah, tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangeran Yang Mulia! Engkau telah dengar sendiri, Adikku.” Kemudian Ouw Yan Hui memandang lagi kepada Sang Pangeran dan mengerutkan alisnya yang kecil panjang dan melengkung hitam itu. “Akan tetapi hamba merasa sangsi dan bingung, Pangeran. Walau pun besok akan berkumpul banyak pria sebagai tamu, siapakah gerangan di antara mereka itu yang cukup pantas untuk menjadi jodoh seorang wanita seperti Puteri Syanti Dewi ini?” Jelaslah bahwa ucapan Ouw Yan Hui ini ‘memancing’ pendapat Pangeran tentang hal itu.

Pangeran itu menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Memang sukar.... memang sukar mencari jodoh yang tepat untuk seorang wanita seperti Enci Syanti Dewi ini....”

Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yan Hui untuk cepat berkata, “Tidak ada yang tepat memang, kecuali Paduka sendiri, Pangeran! Kalau saja Paduka sudi melimpahkan kehormatan itu....”

“Enci Hui....!” Syanti Dewi berseru dengan suara mengandung teguran.

Pangeran Kian Liong tertawa dan mengangkat kedua tangan, menggoyang-goyangkan kedua tangannya itu. “Aihh, Ouw-toanio, mana mungkin itu? Enci Syanti Dewi bagiku seperti kakakku sendiri, setidaknya seperti seorang sahabat yang amat baik. Selain itu, aku sendiri pun sama sekali belum pernah memikirkan tentang jodoh.... usulmu itu sungguh tidak mungkin, Toanio.”

Syanti Dewi bertemu pandang dengan pangeran itu dan wanita ini tersenyum. Akan tetapi sebaliknya, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan dia merasa kecewa bukan main. Perjamuan dilanjutkan dengan sunyi sampai selesai. Setelah semua mangkok piring dibersihkan dari meja dan diganti dengan makanan kering dan minuman, Ouw Yan Hui lalu berkata kepada pangeran itu, suaranya penuh permohonan.

“Betapa pun kecewa rasanya hati hamba, namun hamba dapat mengerti alasan yang Paduka kemukakan tadi, Pangeran. Akan tetapi hamba mohon, sudilah kiranya Paduka menjadi pelindung dan penasehat dari adik hamba ini dalam menentukan pemilihan jodoh agar jangan sampai salah pilih.”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ahh, tentu saja, Toanio. Tanpa diminta pun aku selalu akan melindungi Enci Syanti, sungguh pun dalam hal perjodohan ini, orang semuda aku yang tidak ada pengalaman ini mana mampu memberi nasehat? Aku yakin bahwa seorang bijaksana seperti Enci Syanti Dewi tidak akan dapat salah pilih.”

Sedikit terhibur juga hati Ouw Yan Hui mendengar jawaban ini. Akan tetapi percakapan selanjutnya tidak lagi menarik hatinya. Apalagi antara adiknya itu dan Sang Pangeran memang nampak terdapat keakraban dan mereka itu bicara seperti dua orang sahabat atau saudara. Maka dia pun merasa sebagai pengganggu atau merasa menjadi orang luar, karena itu dengan hormat dan alasan pening kepala dia pun mengundurkan diri meningggalkan kedua orang itu melanjutkan percakapan di dalam pondok mungil itu, sedangkan para penabuh musik masih terus memainkan musik dengan lirih sebagai latar belakang percakapan, tanpa mereka itu mampu menangkap apa yang dibicarakan oleh pangeran dan puteri itu.

Malam itu indah sekali. Dari tempat mereka duduk, mereka dapat memandang keluar jendela, ke atas langit yang bersih seperti beludru hitam baru saja disikat, tanpa ada debu atau awan sedikit pun yang menutupi bintang-bintang yang berkilauan gembira. Angin malam bersilir lembut, membawa keharuman bunga dan daun yang tumbuh di luar pondok. Dari sudut kiri nampak dari situ sebatang pohon besar yang berdiri seperti menyendiri dan silir angin lembut tidak mengganggu pohon itu dari tidurnya. Namun di antara celah-celah cabang dan daun, masih dapat nampak bintang-bintang di langit belakangnya, hingga dipandang sepintas lalu seolah-olah daun-daun pohon itu berubah menjadi benda-benda berkilauan.

Agaknya dua orang bangsawan yang duduk di dalam pondok dan kebetulan keduanya memandang keluar jendela itu, terpesona oleh keindahan malam gelap tertabur bintang itu, tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Akan tetapi keheningan yang meliputi seluruh tempat itu seolah-olah membuat mereka segan untuk mengganggu dengan kata-kata. Suara yangkim dan suling yang lirih itu pun termasuk ke dalam keheningan maha luas itu, seperti juga suara jengkerik dan belalang yang mulai berdendang dengan suara berirama.

Seekor nyamuk yang menggigit punggung tangan Pangeran Kian Liong seolah-olah menarik kembali kesadaran pangeran itu ke dalam dunia lama. Dia menepuk punggung tangan kiri dan menggaruknya, kemudian terdengar dia menarik napas. Gerakan dan suaranya ini membuat Syanti Dewi sadar pula, seolah-olah baru dia ingat bahwa dia duduk di situ menemani Sang Pangeran. Dan keheningan itu pun lenyap, tidak terasa lagi.

“Ouw-toanio agaknya mengharapkan sekali agar kita dapat saling berjodoh, Enci Syanti. Betapa lucunya.”

“Ahh, maafkanlah dia, Pangeran. Mana dia tahu akan perasaan kita berdua yang seperti dua orang kakak dan adik. Memang begitulah dia, mungkin karena kepatahan hatinya, dia selalu menilai hubungan antara pria dan wanita selalu hanya merupakan hubungan yang mengandung kasih asmara. Rupa-rupanya sukar baginya untuk membayangkan hubungan antara pria dan wanita yang bukan keluarga sebagai dua orang sahabat atau saudara dalam batin. Maafkan dia.”

“Ahh, tidak apa, Enci. Akan tetapi jika engkau memang tak setuju dengan diadakannya pemilihan calon jodoh, mengapa engkau tidak menolak saja?”

“Pangeran.... Paduka tidak tahu...., saya telah berhutang banyak budi kepada Enci Yan Hui.... kalau tidak ada dia, entah saya sekarang telah menjadi apa, bahkan apakah saya masih hidup. Ahh, saya hanya menurut saja, untuk sekedar membalas budinya, bahkan ulang tahun ini sebenarnya saya tidak setuju. Coba saja Paduka bayangkan, usia saya tahun ini sudah tiga puluh enam tahun! Dan dia mengatakannya sebagai ulang tahun ke tiga puluh!”

“Ahhh, aku tidak percaya!” pangeran itu berseru heran.

“Tidak percaya yang mana, Pangeran?”

“Bahwa usiamu sudah tiga puluh enam tahun! Bahkan kalau engkau mengatakan bahwa usiamu baru paling banyak dua puluh tahun, aku percaya itu!”

Syanti Dewi tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan muram. “Kecantikan dan awet muda ini bahkan makin lama menjadi semacam kutukan bagi saya, Pangeran. Coba saya tidak mempelajari ilmu itu, tentu saya sudah nampak tua dan tidak banyak orang datang mengganggu saya....”

“Wah, jangan masukkan aku sebagai seorang di antara mereka, Enci!”

Syanti Dewi lalu menjura dan berkata, “Jangan khawatir, Pangeran. Paduka merupakan seorang istimewa, seorang yang bukan datang karena kecantikan saya, melainkan datang dengan hati bersih dan bijaksana, karena itulah saya amat tunduk kepada Paduka.”

“Sudahlah, jangan sebut-sebut hal itu. Tapi, mana mungkin aku dapat percaya kalau engkau sudah berusia tiga puluh enam tahun?”

“Dan Enci Hui sudah berusia hampir lima puluh tahun!”

“Ahhh, masa....? Dia nampaknya tidak lebih dari tiga puluh tahun!”

“Itulah, Pangeran. Kami berdua telah menerima ilmu membuat diri kami awet muda, ilmu yang kami pelajari dari Bibi Maya Dewi dari India.”

Pangeran itu mengangguk-angguk dan diam-diam dia merasa kagum bukan main. Dia sendiri belum mempunyai niat untuk mencari jodoh, akan tetapi andai kata pada suatu waktu dia ingin mempunyai seorang kekasih, tantu dia akan membayangkan Syanti Dewi ini sebagai perbandingan.

“Enci, kalau benar usiamu sudah tiga puluh enam tahun, mengapa engkau masih juga enggan untuk memilih jodoh? Bukankah sudah cukup waktunya bagi seorang wanita seusiamu itu untuk mempunyai seorang suami?”

Syanti Dewi memandang wajah pangeran itu, kemudian tiba-tiba dia menutupi mukanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak! Pangeran Kian Liong terkejut dan terheran, akan tetapi dia diam saja, membiarkan puteri itu menangis untuk menguras tekanan batin yang dideritanya ketika itu. Akhirnya, setelah banyak air mata terkuras, dan mengalir keluar melalui celah-celah jari tangannya, Syanti Dewi menurunkan kedua tangannya dan menggunakan saputangan untuk menyusuti air matanya dari pipi.

“Ampunkan saya, Pangeran.... saya.... telah lupa diri membiarkan kedukaan menyeret hati....” Kemudian Syanti Dewi memberi isyarat dengan tangan untuk menyuruh para pelayan yang berada di situ, juga yang mainkan alat musik, untuk keluar meninggalkan ruangan itu dan menanti di luar.

Setelah mereka semua pergi, puteri itu lalu berkata dengan suara halus. “Sebaiknya saya ceritakan semua rahasia hati saya kepada Paduka, karena hanya pada Paduka seoranglah yang saya percaya dan yang juga memaklumi keadaan hati saya.” Dengan perlahan dan hati-hati Syanti Dewi mulai menceritakan semua pengalamannya secara singkat dengan Wan Tek Hoat, betapa sampai dia meninggalkan kota raja Bhutan, lari dari istananya karena hendak mencari Tek Hoat dan akhirnya bertemu dan ditolong oleh Ouw Yan Hui.

Pangeran Kian Liong yang masih muda itu mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia merasa terharu sekali mendengar kisah seorang puteri raja yang karena kasih asmara sampai terpaksa meninggalkan istana ayahnya, hidup terlunta-lunta dan sampai sekarang tetap tidak mau menikah.

“Tapi.... agaknya pria yang kau cinta itu bukan seorang laki-laki yang baik, Enci! Kalau benar dia seorang pria yang baik dan mencintamu, mengapa sampai sekarang dia belum juga datang mencarimu?”

Syanti Dewi menggeleng kepalanya, “Saya tidak tahu, Pangeran. Akan tetapi dia.... dia dahulu adalah seorang pendekar yang mulia.... setidaknya bagiku....”

“Dan apakah sampai saat ini engkau masih juga mencintanya, Enci?”

Sampai lama Syanti Dewi tak mampu menjawab, kemudian dia menarik napas panjang dan lebih mendekati keluhan dari pada jawaban, “Entahlah.... bagaimana, ya? Kalau ingat betapa sampai kini dia tidak muncul, rasa-rasanya sudah kubikin putus pertalian batin itu.... akan tetapi, betapa pun juga, rasanya tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain, atau lebih tepat lagi, rasanya hati saya tak mungkin dapat jatuh cinta kepada lain pria, Pangeran. Akan tetapi.... ahh, saya tidak tega untuk menolak permintaan Enci Hui, tidak tega untuk membuatnya berduka, maka saya terima saja permintaannya ini. Hanya saya ragu-ragu.... apakah penyerahan saya ini bukan merupakan jembatan menuju kepada kesengsaraan batin yang lebih besar lagi....?”

Sang Pangeran menggeleng-geleng kepala. Sudah banyak dia mendengar tentang cinta antara pria dan wanita yang berakibat pahit sekali. Kini, wanita yang amat disayangnya seperti sahabat baik atau seperti kakak sendiri ini malah menjadi korban cinta pula!

“Kalau memang engkau sudah bulat mengambil keputusan, nah, besok kau lakukanlah pemilihanmu itu, Enci Syanti. Kemudian, bersama pilihanmu itu engkau dapat pulang ke Bhutan. Aku akan memberimu surat pengantar untuk Ayahmu dan sepasukan pengawal kalau perlu.... engkau tidak boleh menyiksa diri seperti ini. Lupakan saja masa lalu dan anggap saja bahwa engkau tidak berjodoh dengan pria itu, dan jodohmu adalah hasil pilihanmu besok itu. Atau kalau engkau lebih menghendaki tinggal di kota raja, biarlah aku akan membantumu, dan suamimu dapat pula bekerja di kota raja, sesuai dengan kepandaian dan kemampuannya. Aku akan membantumu sedapatku, Enci.”

Mendengar ini, Syanti Dewi kembali menangis dan dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki pangeran itu. “Ahhh, Paduka adalah satu-satunya orang yang kujunjung tinggi karena kemuliaan hati Paduka. Walau pun Paduka masih muda, namun Paduka penuh dengan peri kemanusiaan dan kebijaksanaan. Pangeran, berilah jalan kepada hamba, bagaimana hamba harus berbuat? Rasanya.... tidak mungkinlah hamba dapat menyerahkan diri kepada pria lain....”

Pangeran Kian Liong cepat memegang kedua pundak Syanti Dewi dan mengangkatnya bangun, kemudian menyuruhnya duduk kembali di atas kursi, berhadapan dengan dia. Kemudian dia mengepal tangan kanannya. “Hemm, begini hebat cintamu terhadap pria itu. Dan dia.... dia membiarkanmu menderita. Mau rasanya aku memukul muka pria itu kalau aku berhadapan dengan dia! Engkau wanita yang memiliki cinta kasih yang begini murni, dan dia membiarkanmu menderita. Keparat!”

“Pangeran, harap ampunkan dia....”

“Sudahlah, hati wanita memang sukar dimengerti. Sekarang begini saja, Enci Syanti Dewi. Biarkan aku muncul pula sebagai calon! Jangan kaget, maksudku aku muncul sebagai calon hanya untuk membuat semua calon mundur, juga untuk menyenangkan hati Ouw-toanio sehingga engkau tak akan merasa tidak enak hati terhadapnya. Akan tetapi, bukan maksudku untuk memaksamu menjadi isteri atau selirku, sama sekali tidak! Engkau hanya akan kubebaskan dari sini tanpa merasa telah mengecewakan hati Ouw-toanio. Dan setelah ikut bersamaku ke kota raja, engkau boleh pilih, mau pulang ke Bhutan atau mau tetap tinggal di kota raja, terserah. Bagaimana pendapatmu?”

Syanti Dewi amat terkejut dan juga merasa terharu sekali. Pangeran itu adalah seorang sahabat yang sangat baik, yang bersikap manis kepadanya bukan karena tertarik akan kecantikannya belaka, melainkan karena terdapat kecocokan di antara mereka. Akan tetapi tidak disangkanya bahwa pangeran ini mau berbuat seperti itu, pura-pura menjadi calon jodohnya, bukan karena ingin memperisteri dia seperti yang dicita-citakan oleh Ouw Yan Hui, melainkan semata-mata untuk mencegah agar dia tidak usah terpaksa memilih seorang pria yang tidak dicintanya untuk menjadi jodohnya, karena sungkan menolak kehendak Ouw Yan Hui!

“Tapi.... tapi, Pangeran.... dengan demikian.... umum sudah mengetahui bahwa Paduka memilih saya dan....”

“Ah, apa sih anehnya bagi seorang pangeran untuk meengambil seorang wanita seperti selir atau isterinya? Tak akan ada yang memperhatikan atau mempedulikan, biar andai kata aku mengambil sepuluh orang wanita sekali pun.”

“Ahhh, kalau begitu saya hanya dapat menghaturkan banyak terima kasih atas budi pertolongan Paduka, Pangeran.”

“Sudahlah, di antara kita yang sudah menjadi sahabat baik, perlukah bicara tentang budi lagi?”

Pada saat itu nampak dua orang wanita pelayan berjalan masuk perlahan-lahan sambil membawa buah-buahan segar dan guci minuman anggur. Melihat ini, Syanti Dewi cepat menyuruh mereka mendekat karena dia ingin melayani Pangeran dengan buah-buahan dan anggur yang merupakan minuman halus itu.

Dengan sikap manis Syanti Dewi menuangkan anggur merah ke dalam cawan emas, lalu menghaturkan minuman itu kepada Sang Pangeran. “Untuk tanda terima kasih saya, Pangeran,” kata Syanti Dewi sambil menyerahkan cawan terisi anggur merah itu.

Pangeran Kian Liong tersenyum dan menerima cawan itu. Akan tetapi baru saja dia menempelkan bibir cawan ke mulutnya, mendadak ada sinar hitam kecil menyambar. Syanti Dewi melihat ini, akan tetapi dia tidak keburu menangkis.

“Tringgg....!”

Cawan itu terpukul runtuh dan terlepas dari tangan Sang Pangeran, anggurnya tumpah dan membasahi sedikit celana pangeran itu, cawannya terjatuh ke atas lantai sehingga mengeluarkan bunyi nyaring.

“Ihh! Siapa berani melakukan perbuatan ini?” Syanti Dewi sudah meloncat ke depan Pangeran dan bersikap melindungi, matanya memandang ke arah melayangnya sinar hitam kecil yang ternyata adalah sebutir batu itu, yaitu ke arah jendela. Dan pada saat itu terdengarlah suara hiruk-pikuk di luar pondok, suara gedebak-gedebuk orang-orang berkelahi di dalam taman.

“Pasti telah terjadi sesuatu yang gawat! Mari kita cepat tinggalkan tempat ini, kembali ke dalam gedung, Pangeran. Biarlah saya melindungi Paduka.”

Syanti Dewi kemudian mengambil sebatang pedang yang berada dalam pondok itu, lalu dengan pedang terhunus dia menggandeng tangan Sang Pangeran, diajaknya keluar dari pondok melalui pintu belakang. Sedangkan dua orang pelayan wanita tadi sudah saling rangkul dengan tubuh gemetar, berlutut di sudut ruangan itu.

Biar pun Sang Pangeran yang tabah itu sama sekali tidak merasa takut dan sikapnya tenang saja, namun dia tidak menolak ketika digandeng oleh Syanti Dewi dan diajak keluar dari pondok. Ketika pintu belakang dibuka, ternyata sunyi saja, tidak nampak pengawal di situ. Syanti Dewi menengok dan melihat dalam penerangan bintang-bintang yang suram-muram, ada sedikitnya enam orang sedang mengeroyok pria bertangan kosong, akan tetapi pria itu lihai sekali sehingga para pengeroyoknya mengepungnya dengan ketat. Dia tidak dapat melihat jelas siapakah yang dikeroyok dan siapa pula yang mengeroyok. Paling perlu adalah lebih dulu menyelamatkan Sang Pangeran dan membawanya pergi dari tempat berbahaya itu.

“Mari, Pangeran!” Dia berbisik dan menarik tangan pangeran itu, mengajaknya pergi sambil melindunginya.

Pangeran Kian Liong melihat betapa wanita cantik itu sengaja menempatkan diri di antara dia dan tempat berkelahi itu dan diam-diam Pangeran ini merasa kagum dan berterima kasih sekali. Seorang wanita yang cantik sekali dan juga gagah perkasa, mempunyai kesetiaan yang mengagumkan, baik sebagai kekasih mau pun sebagai seorang sahabat! Dia memandang ke arah orang-orang bertempur itu dan melihat orang yang dikeroyok itu. Walau pun yang nampak hanya bayang-bayangan berkelebat, akan tetapi dia dapat menduga bahwa bayangan itu seperti pengemis gagah yang pernah menyelamatkannya ketika dia diserbu perampok di dalam hutan. Akan tetapi dia tidak dapat melihat jelas, apalagi Syanti Dewi mengajaknya cepat-cepat pergi meninggalkan taman.

“Ahhh....!” Syanti Dewi menahan seruannya ketika dia tiba di tempat di mana tadinya para pengawal menjaga. Kiranya para pengawal telah roboh malang-melintang, entah pingsan entah tewas! Pantas saja taman itu tidak nampak ada pengawalnya.

Syanti Dewi tidak mau menyelidiki karena dia harus cepat-cepat menyelamatkan Sang Pangeran. Dia kini menarik tangan Sang Pangeran dan mengajaknya berlari menuju ke gedung. Baru lega hatinya ketika dia telah berada di dalam gedung dan setelah mengantar Pangeran ke dalam kamar yang sudah dipersiapkan untuk tamu agung itu, dan memesan kepada para penjaga yang berada di situ untuk menjaga keselamatan Pangeran dengan baik, dia lalu menemui Ouw Yan Hui.

Ternyata peristiwa yang terjadi di taman itu tidak diketahui oleh seorang pun di dalam gedung. Hal ini membuktikan betapa lihainya para penyerbu yang telah melumpuhkan semua penjaga yang berada di taman tanpa menimbulkan suara sedikit pun. Setelah mendengar penuturan Syanti Dewi, Ouw Yan Hui lalu memanggil penjaga, dan bersama Syanti Dewi dia lari ke taman, membawa sebatang pedang.

Akan tetapi, ketika dua orang wanita ini bersama sekelompok penjaga tiba di taman, di situ sunyi saja, tidak ada lagi orang yang bertempur. Baik yang dikeroyok mau pun para pengeroyok tadi sudah tidak nampak lagi, dan pada waktu diperiksa, semua pengawal ternyata tidak tewas, hanya roboh tertotok dalam keadaan lumpuh atau pingsan! Dan dua orang pelayan yang membawa minuman dan buah-buahan tadi pun masih berlutut dan menggigil ketakutan di sudut pondok. Sedangkan para pelayan lain juga seperti para pengawal keadaannya, yaitu pingsan tertotok! Ada pula yang pingsan atau pulas, menjadi korban obat bius.

Sibuklah Ouw Yan Hui, Syanti Dewi dan para penjaga untuk menyadarkan semua orang itu. Souw Kee An yang juga telah roboh tertotok segera bercerita di depan dua orang wanita itu dan juga kepada Sang Pangeran, dengan muka pucat dan khawatir sekali.

“Penyerbu-penyerbu itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi,” komandan ini bercerita dengan suara mengandung kekhawatiran besar. “Hamba sedang melakukan pemeriksaan di sekeliling taman untuk menjaga keselamatan Paduka Pangeran, dan tiba-tiba saja hamba diserang oleh seorang pria berkedok yang melompat keluar dari balik semak-semak. Hamba melawan dan sungguh luar biasa sekali orang itu. Dengan beberapa kali gerakan saja hamba telah roboh tanpa dapat mengeluarkan seruan untuk memperingatkan teman-teman, dan harus hamba akui bahwa selamanya hamba belum pernah bertemu dengan lawan selihai itu....” Komandan itu menggelengkan kepalanya. “Sungguh berbahaya sekali, yang tengah kita hadapi adalah ahli-ahli silat tinggi. Hamba mengaku salah dan lemah, hanya mohon pengampunan dari Paduka Pangeran.”

Pangeran Kian Liong menggerakkan tangannya. “Ah, tak perlu merendahkan diri seperti itu, Souw-ciangkun. Kami tahu bahwa engkau adalah seorang komandan pengawal yang baik, setia dan juga berkepandaian tinggi. Akan tetapi, menghadapi tokoh-tokoh dan datuk-datuk kang-ouw yang memiliki kesaktian luar biasa itu, tentu saja engkau tak berdaya. Sudahlah, mulai sekarang engkau harus mengerahkan pasukanmu dengan lebih hati-hati lagi.”

Para pengawal dan pelayan bermacam-macam ceritanya, ada yang selagi berjaga diserang dan sedikit pun mereka tidak sempat berteriak dan tahu-tahu telah roboh tak mampu bergerak dan ada yang mencium asap harum lalu tak ingat apa-apa lagi. Dua orang pelayan yang membawa buah-buahan dan minuman mengatakan bahwa mereka membawa minuman dan buah-buahan dari dapur dan tidak ada sesuatu yang nampak mencurigakan. Akan tetapi ketika diperiksa, ternyata minuman anggur itu mengandung obat perangsang dan obat yang memabokkan! Jelaslah bahwa diam-diam ada yang memasukkan obat itu ke dalam guci minuman tanpa diketahui oleh para pelayan.

Melihat kenyataan bahwa di dalam pulau itu, tentu di antara para tamu, terdapat orang orang jahat dan pandai yang hendak mencelakakan Pangeran, entah dengan tujuan apa, Ouw Yan Hui menjadi gelisah sekali dan dia mengerahkan semua pembantunya untuk berjaga-jaga. Bahkan Souw Kee An sendiri dengan berkeras menjaga sendiri di depan pintu kamar Sang Pangeran!

Tetapi Pangeran itu sendiri hanya tenang-tenang saja. “Aku tidak khawatir,” katanya kepada Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi. “Biar pun ada yang mengancam, ada yang berniat buruk kepadaku, akan tetapi ada pula yang berniat baik dan selalu melindungi. Buktinya, usaha mereka malam ini pun gagal, bukan?” Dan sambil tersenyum tenang dia memasuki kamarnya untuk beristirahat.

Diam-diam Syanti Dewi semakin kagum kepada pangeran itu. Sudah jelas ada orang jahat hendak mencelakainya, dan pangeran itu sendiri hanyalah seorang ahli sastra yang lemah, namun ternyata memiliki nyali yang demikian besarnya!

Malam itu keadaan menjadi tegang bagi para penghuni Pulau Kim-coa-to. Akan tetapi para tamu nampak tenang saja dan sampai jauh malam masih terdengar mereka bersenda-gurau di pondok-pondok penginapan mereka. Memang tidak ada di antara mereka yang tahu akan apa yang terjadi di taman tadi, karena Ouw Yan Hui memberi peringatan keras kepada semua penjaga agar supaya tidak mengabarkan hal itu keluar sehingga tidak akan menimbulkan panik di antara para tamu yang banyak itu.

Ketegangan itu terasa oleh Ouw Yan Hui, Syanti Dewi, Souw Kee An dan para penjaga dan pengawal, dan mereka melakukan penjagaan yang ketat malam itu. Bahkan Syanti Dewi sendiri yang mengkhawatirkan keselamatan Pangeran, apalagi setelah mendengar bahwa selama dalam perjalanannya ke Kim-coa-to Sang Pangeran telah mengalami beberapa kali serangan, bahkan telah pernah diculik, dia pun menjadi tegang dan dia sendiri ikut melakukan perondaan!

********************

Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang luar biasa sekali. Semenjak kecil dia sudah mempunyai kepribadian yang menonjol, maka tidaklah mengherankan kalau kelak dia dikenal dalam sejarah sebagai seorang kaisar yang cakap dan pandai serta bijaksana. Dalam usia dua puluh tahun itu saja dia telah memiliki kepribadian luar biasa, ketabahannya mengagumkan hati para pendekar serta ketenangannya menghadapi segala membuat dia selalu waspada dan dapat mengambil keputusan yang tepat karena tidak pernah dilanda kegugupan.

Malam itu, hanya Sang Pangeranlah, orang yang justru menjadi sasaran penyerangan gelap itu, yang tenang-tenang saja. Dia membaca kitab yang dipinjamnya dari Syanti Dewi, yaitu kitab tentang keagamaan Lama di Tibet. Tidak sembarangan orang dapat membaca kitab ini karena mempergunakan bahasa kuno, campuran antara bahasa daerah dan bahasa Sansekerta. Akan tetapi, Pangeran itu mampu membacanya!

Satu-satunya orang yang dapat membaca kitab itu di Kim-coa-to hanya Syanti Dewi, dan hal ini tidak aneh karena sejak kecil di istana ayahnya, Syanti Dewi mendapatkan pendidikan membaca kitab-kitab kuno dan dia pun paham sekali bahasa itu.

Baru setelah jauh malam, menjelang tengah malam, Sang Pangeran merasa lelah dan mengantuk. Diletakkannya kitab itu di atas meja dan dia pun merebahkan diri di atas pembaringan yang berkasur lunak tebal dan berbau harum itu.

Belum lama Sang Pangeran rebah dan baru saja dia mau tidur, tiba-tiba dia melihat bayangan berkelebat. Sang Pangeran membuka kedua matanya dan ternyata di dalam kamar itu telah berdiri seorang laki-laki! Sang Pangeran terkejut, akan tetapi dia tetap tenang dan tidak kehilangan kewaspadaannya. Begitu memperhatikan, hatinya lega kembali karena dia mengenal pria itu yang bukan lain adalah jembel muda yang pernah menolongnya ketika dia diserbu penjahat di dalam hutan!

Makin yakinlah hatinya bahwa orang yang tadi dikeroyok di dalam taman tentu jembel itu pula, dan dia pun dapat menduga bahwa tentu jembel ini pula yang menyambit jatuh cawan araknya yang terisi minuman anggur dan mengandung obat beracun! Dan tentu jembel ini tadi melawan enam atau lima orang yang mengeroyok itu dalam usahanya menyelamatkan dia pula!

Maka dengan tenang dia pun bangkit duduk. Betapa pun juga, Sang Pangeran merasa kagum dan juga terheran-heran bagaimana orang ini dapat memasuki kamarnya begitu saja, seperti setan. Bukankah kamarnya dijaga ketat, bahkan Souw-ciangkun sendiri berjaga di depan pintu kamar! Orang ini benar-benar memiliki ilmu kepandaian seperti setan, pikirnya.

Memang benar, orang yang berpakaian tambal-tambalan dan mukanya penuh kumis, jenggot dan cambang lebat itu bukan lain adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat! Seperti kita ketahui, pendekar yang rusak hatinya karena asmara ini melakukan perjalanan siang malam menuju ke Kim-coa-to dan di tengah hutan itu, ketika melihat Sang Pangeran terancam bahaya, dia cepat memberi pertolongan. Akan tetapi dia enggan untuk memperkenalkan diri, maka begitu dia berhasil menyelamatkan Pangeran itu, dia pun pergi berlayar ke Pulau Kim-coa-to menggunakan sebuah perahu nelayan yang ditumpanginya.

Dapat dibayangkan betapa tegang rasa hatinya ketika dia tiba di pulau ini. Di pulau inilah kekasihnya berada! Dengan cara bersembunyi dia memasuki pulau itu dan pada saat itu dia melihat Syanti Dewi ketika puteri ini menyambut Sang Pangeran dan para tamu lainnya, hampir saja Tek Hoat jatuh pingsan! Syanti Dewi tidak berubah sama sekali! Masih seperti dulu saja, bahkan makin cantik! Dia telah bersembunyi sehari semalam di batu-batu karang yang terpencil di ujung pulau dan baru sekarang dia berani mendekat, yaitu setelah para tamu mulai berdatangan. Dia melihat betapa Sang Pangeran disambut dengan manis oleh Syanti Dewi dan dia melihat pula betapa pantas Syanti Dewi berdamping dengan Pangeran itu. Kedua matanya menjadi basah.

Memang, sepatutnyalah kalau Syanti Dewi berdampingan dengan seorang pangeran mahkota, menjadi calon permaisuri! Sudah pantas sekali. Dia menunduk dan melihat pakaiannya, dan Tek Hoat menarik napas. Dia tidak merasa cemburu, tidak merasa iri, bahkan merasa heran mengapa seorang wanita seperti Syanti Dewi pernah mencinta seorang laki-laki macam dia! Melihat wajah yang cantik itu berseri dan tersenyum-senyum ramah dengan sepasang mata yang bersinar-sinar ketika menyambut Sang Pangeran, diam-diam Tek Hoat merasa ikut bergembira dan bersyukur. Biarlah dia berbahagia, pikirnya.

Dia telah mendengar bahwa pesta ulang tahun Syanti Dewi akan diikuti dengan pemilihan calon jodoh. Dan kini melihat sikap Syanti Dewi terhadap Sang Pangeran, dia merasa lega dan bersyukur. Dia mau melihat kenyataan dan dia mau menerimanya kalau bekas tunangannya itu menjadi calon isteri pangeran mahkota yang telah banyak didengarnya sebagai seorang pangeran yang amat bijaksana itu. Dan karena agaknya di situ akan terjadi banyak saingan bagi Pangeran, dia akan menjaga agar supaya Sang Pangeran dapat menang.

Kemudian dia mendengar bahwa setelah terlepas dari bahaya di dalam hutan berkat pertolongannya, kembali pangeran diserbu, bahkan diculik oleh para penjahat. Hal ini didengarnya dari percakapan di antara para tamu yang dapat ditangkapnya di tempat persembunyiannya. Kalau demikian, keadaan Sang Pangeran itu belum tentu aman. Di tempat ini pun perlu dijaga keselamatannya. Apalagi kini Sang Pangeran itu berubah keadaannya dalam pandang mata Tek Hoat. Sebagai calon suami Syanti Dewi.

Dia harus selalu melindungi Sang Pangeran dari ancaman bahaya! Inilah sebabnya mengapa Tek Hoat dapat mencegah ketika Pangeran berada di dalam taman bersama Syanti Dewi kemudian terjadi penyerbuan itu. Dia hanya merasa terkejut sekali ketika mendapat kenyataan betapa orang-orang yang mengeroyoknya itu rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat!

Dia maklum bahwa belum tentu dia akan dapat lolos dari maut dalam pengeroyokan itu jika saja para pengeroyok itu tidak cepat meninggalkan dia karena khawatir penyerbuan pengawal setelah melihat Pangeran dapat lolos dari pondok di taman. Diam-diam dia lalu membayangi mereka dan ternyata orang-orang itu menyelinap ke dalam pondok-pondok para tamu. Jelaslah bahwa para penyerang itu adalah orang-orang yang datang menyelinap di antara para tamu, sehingga sukar untuk diketahui siapa mereka, apalagi mereka semua mempergunakan kedok.

Hati Tek Hoat merasa tidak enak sekali. Jelas bahwa ada orang yang ingin mencelakai pangeran, entah dengan cara bagaimana. Mungkin tidak ingin membunuh Pangeran, karena jika hal itu yang dikehendaki mereka, agaknya sukarlah menyelamatkan nyawa Pangeran. Bukankah Pangeran itu sudah pernah diculik dan tidak dibunuh? Entah apa permainan mereka, akan tetapi yang jelas, Pangeran terancam keselamatannya dan dia harus melindungi Pangeran itu. Semata-mata demi Syanti Dewi!

Tek Hoat melihat betapa penjagaan keamanan Pangeran diperketat. Akan tetapi apa artinya para penjaga dan pengawal itu menghadapi orang-orang yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat lihai itu? Cara satu-satunya yang terbaik baginya ialah melindungi Pangeran itu secara langsung! Maka dia pun bersembunyi di wuwungan karena dia tahu bahwa penjahat-penjahat lihai itu kalau benar malam ini datang menyerang, tentulah mengambil jalan dari atas wuwungan.

Dugaannya ternyata tepat. Menjelang tengah malam, ia melihat berkelebatan bayangan di wuwungan depan. Cepat sekali gerakan itu dan dalam sekejap mata saja telah lenyap lagi ditelan kegelapan malam. Wan Tek Hoat merasa tegang dan khawatir. Bagaimana sebaiknya untuk melindungi Pangeran, pikirnya. Lalu dia mengambil keputusan, dengan gerakan ringan dan cepat, dia membuka genteng dan tanpa mengeluarkan suara, dia memasuki kamar Pangeran itu. Dia tadinya mengira bahwa Pangeran telah pulas, maka terkejutlah dia melihat Pangeran itu bangkit duduk. Tek Hoat menaruh telunjuk di depan bibir dan dia pun menghampiri Pangeran yang sudah menyingkap kelambu.

“Sssttt...., Pangeran, harap cepat meninggalkan kamar ini, ada orang jahat yang hendak datang.... biar hamba yang menyamar menggantikan Pangeran....,” bisik Tek Hoat.

Pangeran Kian Long yang bijaksana dan cerdik itu segera dapat mengerti keadaan, dan dia berbisik kembali sambil turun dari atas pembaringan, “Baik, cepat kau gantikan aku dan aku....” Dia lalu cepat menyusup ke bawah kolong pembaringan itu!

“Ahhh, kenapa Paduka....?”

“Sssttt...., aku mau menonton!” bisik Pangeran itu yang sudah bersembunyi di kolong pembaringan!

Tek Hoat membelalakkan mata, lalu mengangkat pundak dan menggelengkan kepala. Pangeran ini memang luar biasa, pikirnya. Menghadapi ancaman maut bukannya cepat menyingkirkan diri, malah ingin menjadi penonton dan sekarang bersembunyi di kolong pembaringan! Bukan main! Akan tetapi tidak ada waktu lagi baginya untuk berbantahan, maka cepat dia pun sudah memasuki pembaringan di bawah kelambu, dan menyusup di bawah selimut bulu yang hangat itu. Dengan jantung berdebar dia menanti.

Juga Sang Pangeran yang bersembunyi di kolong pembaringan itu menanti dengan jantung berdebar penuh ketegangan, juga kegembiraan karena Pangeran itu biar pun bukan seorang ahli silat tinggi namun satu di antara kegemarannya adalah menyaksikan orang-orang kalangan atas mengadu ilmu silat dan dia tahu bahwa tentu akan terjadi pertarungan yang seru di dalam kamar itu kalau ada penjahat berani masuk!

Tiba-tiba terdengar angin menyambar dan bagaikan daun kering yang besar, dari atas melayang turun tubuh seorang yang langsing kecil. Orang ini pun memakai kedok, bahkan kedoknya menyelubungi seluruh kepala, hanya nampak dua lubang dari mana ada sepasang mata mencorong dan memandang ke sekeliling! Kedua kaki orang itu yang kecil, sama sekali tidak mengeluarkan suara ketika tubuhnya melayang ke dalam kamar.

Dari balik kelambu, Tek Hoat yang memejamkan mata itu memandang dari balik bulu matanya, dan dia terkejut karena menduga bahwa tentu orang yang datang ini seorang wanita! Akan tetapi dia pun maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian yang tinggi, maka dia sudah siap siaga.

Sedangkan Sang Pangeran yang berada di kolong pembaringan, hanya melihat kaki sampai ke paha yang tertutup celana hitam, kaki yang kecil. Dari tempat dia sembunyi, Pangeran itu dengan hati geli membayangkan apa akan jadinya kalau dia mengulur tangan menangkap kaki itu dan menariknya! Tentu orang itu akan terkejut sekali, dia membayangkan.

Tiba-tiba orang berkedok itu menggerakkan tubuhnya, melesat ke arah pembaringan dan tangan kanannya bergerak menghantam ke arah kedua kaki Tek Hoat. Terdengar suara mencicit ketika jari-jari tangan yang lentik kecil itu menyambar.

Tek Hoat terkejut bukan main. Itulah pukulan yang amat berbahaya! Maka dia pun cepat meloncat dan menarik kakinya, kemudian menendangkan kaki kirinya ke arah pusar lawan sedangkan tangannya dengan gerakan cepat sekali, dengan jari-jari terbuka, menusuk ke arah leher lawan. Itulah pukulan jari telanjang yang membuat nama Si Jari Maut terkenal di seluruh dunia kang-ouw.

“Wuuuttt.... cettt....!”

Tek Hoat meloncat ke samping, tusukannya kena ditangkis dan ketika dia meloncat tadi, pukulan Si Wanita Berkedok mengenai kasur dan kasur itu pun robek tanpa tersentuh jari-jarinya! itulah pukulan Kiam-ci atau Jari Pedang, ilmu pukulan yang amat dahsyat mengerikan dari Ji-ok, orang ke dua dari Im-kan Ngo-ok! Telunjuk tangannya seperti mengeluarkan kilat kalau dia menggunakan pukulan ini dan dari telunjuk itu menyambar hawa yang luar biasa lihainya, yang berhawa dingin dan seketika dapat membunuh lawan!

Akan tetapi, bukan Tek Hoat saja yang terkejut, bahkan Ji-ok juga kaget setengah mati! Dia tadinya mengira bahwa tugasnya akan dapat dilaksanakan dengan mudah, yaitu merusak kaki Sang Pangeran! Setelah semua daya upaya Im-kan Ngo-ok gagal, maka kini Ji-ok yang menerima tugas langsung dari Toa-ok yang memimpin gerakan atas perintah Sam-thaihouw itu untuk memasuki kamar Pangeran dan merusak kedua kaki Pangeran. Ji-ok mengira bahwa hanya dengan sekali gerakan Kiam-ci saja tentu dia akan mampu membuat kedua kaki Pangeran itu lumpuh untuk selamanya. Apa artinya Pangeran Mahkota yang lumpuh kedua kakinya? Tidak mungkin bisa diangkat menjadi kaisar! Itulah rencana keji mereka.

Maka ketika tiba-tiba ‘Pangeran’ itu mampu mengelak, meloncat bahkan melakukan serangan sehebat itu, tentu saja Ji-ok terkejut. Lebih lagi melihat betapa serangan tusukan jari tangan orang itu ternyata ampuh bukan main, terbukti dari anginnya yang menyambar dahsyat. Tahulah dia bahwa dia telah terjebak dan hal ini dibuktikan ketika dia dapat melihat bahwa yang menyerangnya itu sama sekali bukan Pangeran Mahkota, melainkan seorang pria berpakaian jembel!

“Huh!” Ji-ok dalam kecewa dan penasarannya menerjang Tek Hoat, dan sebaliknya Tek Hoat yang juga marah sekali melihat kekejaman wanita ini, sudah pula menyerangnya dengan menggunakan pukulan-pukulan jari terbuka yang sama ampuhnya.

Pertempuran sengit pun terjadi di dalam kamar itu, ditonton oleh Sang Pangeran yang menjadi gembira sekali sampai berseri-seri wajahnya. Tek Hoat menjadi semakin heran dan kaget karena dia memperoleh kenyataan bahwa lawannya benar-benar amat hebat! Betapa pun dia berusaha menangkap atau merobohkannya, namun usaha ini sama sekali tak berhasil, bahkan dia sendiri terdesak oleh serangan-serangan telunjuk tangan yang amat berbahaya itu.

Akan tetapi, keributan itu memancing perhatian para penjaga. Pintu kamar digedor oleh Souw Kee An sampai terbuka, tetapi ketika komandan ini dan para pengawal menyerbu, dua orang yang sedang bertanding itu meloncat ke atas dan lenyap! Souw Kee An menjadi bingung karena tidak melihat Pangeran di atas pembaringan.

“Kejar mereka! Cari Sang Pangeran!” teriak Souw Ke An dengan wajah pucat karena dia mengira bahwa Pangeran telah terculik lagi.

Tiba-tiba sebuah kepala nongol dari bawah tempat tidur dan Souw Kee An sampai meloncat ke belakang saking kagetnya, namun dia pun membelalakkan kedua matanya dan berseru girang ketika mengenal kepala itu.

“Paduka Pangeran....”

Pangeran Kian Liong merangkak keluar dari kolong tempat tidur sambil tersenyum.

“Tenanglah, Souw-ciangkun, aku tidak apa-apa.”

Ouw Yan Hui dan Syanti Dewi juga berkelebat masuk dan ternyata dua orang wanita itu membawa sebatang pedang, wajah mereka agak pucat dan memegang tangan Sang Pangeran. “Paduka selamat, Pangeran? Aih, terima kasih kepada Thian bahwa Paduka selamat. Tadi saya sempat melihat dua bayangan berkelebat demikian cepatnya di atas wuwungan sehingga ketika saya dan Enci Hui mengejar, dua bayangan itu telah lenyap. Apa yang telah terjadi dalam kamar ini, Pangeran?”

Pangeran itu berkata kepada Souw Kee An, “Souw-ciangkun, lekas suruh anak buahmu keluar semua dan berjaga dengan tenang saja, jangan membikin ribut.”

Kemudian setelah Souw Kee An memberi perintah dan mengatur semua anak buahnya dan kembali ke dalam kamar itu, Sang Pangeran bercerita kepada Souw Ke An, Ouw Yan Hui, Syanti Dewi.

“Kalau tidak ada penolong lama itu, entah apa jadinya dengan diriku. Pengemis sakti itu muncul tiba-tiba dan mengatakan bahwa ada penjahat hendak menyerang, maka dia menggantikan aku di tempat tidur, dan minta agar aku menyingkir dari kamar. Tetapi aku lebih suka nonton, dan aku bersembunyi di kolong tempat tidur. Kemudian muncul seorang wanita berkedok, lihai bukan main dia, menyerang ke arah pembaringan dan terjadilah perkelahian yang hebat dalam kamar. Tapi para pengawal datang dan mereka lalu pergi.”

Ouw Yan Hui mengepal tinju tangannya. Kurang ajar sekali, ada penjahat yang berani menyerang pangeran di tempat ini, sedikit pun tak memandang kepada penghuni Pulau Kim-coa-to. “Kalau hamba dapat menemukan penjahat itu, Pangeran, tentu akan hamba jadikan dia makanan ular-ular Kim-coa!”

“Pangeran, sebaiknya kalau Enci Hui dan saya malam ini menjaga di sini, agar Paduka benar-benar terlindung,” kata Syanti Dewi.

“Ahh, apa akan kata orang nanti, Enci Syanti? Tidak, tidak baik kalau kalian menjaga dalam kamar ini.”

“Biarkan hamba saja yang menjaga di dalam kamar Pangeran,” kata Souw Kee An.

Akhirnya usul ini diterima dan dua orang wanita itu kembali ke kamar masing-masing, akan tetapi jelas bahwa malam itu mereka tak mampu tidur, selalu siap untuk meloncat keluar apabila terdengar suara mencurigakan. Souw Kee An duduk di atas kursi dalam kamar Pangeran yang sebentar saja sudah tidur pulas seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu dan tidak ada apa-apa yang mengancam keselamatannya. Akan tetapi para pengawal ini kini menjaga ketat, bukan hanya di sekeliling kamar itu, bahkan di atas wuwungan atap kini penuh dengan penjaga. Jangankan manusia. Biar seekor tikus pun agaknya tidak akan mampu masuk kamar itu tanpa diketahui pengawal…..

********************
Menurut hasil penyelidikan para mata-mata yang disebar oleh Ouw Yan Hui, wanita ini mendapat kepastian bahwa yang patut dijadikan calon jodoh Syanti Dewi hanya ada lima orang saja di antara begitu banyak tamu, yaitu yang menurut syarat-syarat yang ditentukannya, di samping keistimewaan masing-masing.

Orang pertama, menurut penyelidikan para mata-mata itu, tentu saja adalah Pangeran Kian Liong! Orang ke dua bernama Thio Seng Ki, seorang muda hartawan besar dari Cin-an di Propinsi Shan-tung. Orang ke tiga bernama Yu Cian, yaitu seorang pemuda sastrawan terkenal dari Pao-teng yang pernah menggondol juara pertama pada waktu diadakan ujian siucai tahun lalu di kota raja, juara yang diraihnya karena kepintarannya dalam hal kesusastraan, sama sekali tidak mempergunakan harta untuk menyogok para pembesar yang berwenang dalam ujian negara itu.

Orang ke empat bernama Lie Siang Sun, usianya lebih tua dari pada para calon lainnya, karena dia sudah berusia tiga puluh tahun lebih, terkenal sebagai seorang pendekar muda yang gagah perkasa di selatan dan selain terkenal alim dan belum menikah, juga di kalangan kang-ouw dia dikenal dengan julukan Pendekar Budiman, karena sepak terjangnya yang berbudi. Kemudian calon ke lima adalah seorang seniman terkemuka pula, seorang ahli lukis dan ahli musik yang pernah mengadakan pertunjukan di istana Kaisar.

Kelima orang calon yang terpilih ini rata-rata memiliki wajah yang tampan, bahkan kalau dibuat perbandingan, yang empat orang itu lebih tampan dan gagah dari pada Pangeran Kian Liong! Maka diam-diam Ouw Yan Hui lalu memberitahukan kepada Syanti Dewi tentang pilihan itu, dan minta kepada Syanti Dewi untuk menentukan pilihannya.

“Adikku, kalau Sang Pangeran tidak mungkin dimasukkan sebagai calon, maka pilihan kita hanya ada empat orang yang patut menjadi calon jodohmu. Aku sudah melihat sendiri mereka itu di antara tamu, dan memang hasil penyelidikan orang-orang kita itu cukup tepat. Mereka adalah pria-pria pilihan, Adikku.”

Syanti Dewi tersenyum pahit. “Tentu saja Pangeran Kian Liong boleh juga disebut calon, mengapa tidak?”

Jawaban ini tentu saja berani dikemukakan setelah dia bercakap-cakap dengan Sang Pangeran malam tadi di taman, sebelum terjadi penyerbuan. Biar pun dia belum melihat empat orang yang dicalonkan itu, akan tetapi hatinya sudah merasa yakin bahwa tidak mungkin dia bisa memilih seorang di antara mereka, maka dari itu dia sudah mengambil keputusan untuk ‘memilih’ Pangeran Kian Liong saja, agar dia dapat keluar dari pulau ini tanpa menyakitkan hati Ouw Yan Hui.

Mendengar ini, Ouw Yan Hui memandang dengan wajah berseri-seri. “Yakin benarkah engkau bahwa beliau boleh dimasukkan sebagai calon?”

“Mengapa tidak, Enci? Dia juga seorang pria dan dia suka kepadaku bukan?”

Tentu saja hati Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui girang sekali. Memang itulah yang diharapkan olehnya. Kalau saja Syanti Dewi dapat menjadi isteri Pangeran Mahkota, menjadi calon permaisuri!

Pada keesokan harinya, setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya menembus celah-celah daun di pohon-pohon, para tamu dipersilakan datang ke ruangan luas di depan, di mana telah dipersiapkan ruangan pesta dan diatur meja-meja yang dikelilingi bangku-bangku untuk tempat makan minum.

Berbondong-bondong para tamu mendatangi ruangan itu dan suasana meriah sekali karena selain tempat itu dihias dengan kertas-kertas berwarna dan bunga-bunga, juga diramaikan dengan musik yang dimainkan oleh wanita-wanita muda. Setelah semua tamu duduk, jumlah mereka tidak kurang dari seratus lima puluh orang dari bermacam golongan, segera dihidangkan teh wangi berikut kwaci dan beberapa macam kue kering.

Kemudian, seorang wanita muda cantik yang memiliki suara bening dan terang juga lantang, yang bertugas sebagai pengatur acara, memberitahukan bahwa sebelum pesta dilanjutkan dengan hidangan, akan dilakukan dahulu pembukaan barang-barang hadiah di depan para tamu. Suasana menjadi gembira ketika beberapa orang wanita pembantu mulai membuka barang-barang hadiah yang bertumpuk di atas meja besar itu.

Setiap bungkusan yang dibuka, diteriakkan nama penyumbangnya oleh seorang wanita dan benda sumbangan itu diangkat ke atas dengan kedua tangan oleh seorang wanita lain yang berdiri di tempat tinggi sehingga dapat kelihatan oleh semua tamu benda yang disebutkan nama penyumbangnya itu. Para tamu kadang-kadang mengeluarkan seruan kagum apabila ada bungkusan yang terisi barang sumbangan yang amat indah dan yang luar biasa mahalnya, merupakan benda yang sukar ditemukan. Agaknya para penyumbang itu hendak berlomba untuk memikat hati sang juita melalui barang-barang sumbangan itu.

Akan tetapi bungkusan terakhir dari barang-barang hadiah itu membuat semua tamu menahan napas. Memang hal ini disengaja oleh Ouw Yan Hui, yaitu membuka benda hadiah sumbangan dari pemuda hartawan Thio Seng Ki yang ternyata merupakan seuntai kalung bermata berlian sebesar biji-biji lengkeng, berlian yang berkeredepan mengeluarkan cahaya berkilauan dan ruangan itu seolah-olah memperoleh tambahan sinar yang terang. Setelah menahan napas, kini terdengar seruan-seruan kagum dan jelas bahwa seruan-seruan ini melebihi kekaguman mereka terhadap benda-benda berharga yang telah diperlihatkan tadi.

“Sumbangan ini datang dari Tuan Muda Thio Seng Ki dari kota Cin-an!” demikian terdengar suara wanita yang membuat laporan.

Terdengar tepuk tangan dan suara ini disusul oleh tepuk tangan para tamu-tamu lain tanda bahwa mereka semua mengenal barang indah dan mahal. Tanpa dinyatakan sekali pun semua tamu dapat merasakan bahwa dalam hal hebatnya sumbangan, orang muda she Thio itu jelas menduduki peringkat paling atas dan hal ini saja sudah bisa menguntungkan dia dalam penilaian Puteri Syanti Dewi. Semua mata kini melirik ke arah puteri itu dan memang sejak mereka semua berkumpul di tempat itu, Syanti Dewi merupakan sesuatu yang memiliki daya tarik seperti besi semberani, membuat para tamu sukar untuk tidak melirik ke arahnya.

Syanti Dewi mengenakan pakaian Puteri Bhutan, dengan sutera hijau tipis membalut tubuhnya dari kepala, ke leher terus ke bawah, seolah-olah hanya dibelitkan saja akan tetapi dengan cara yang demikian luwes dan menarik. Di balik sutera hijau yang tipis menerawang ini nampaklah lapisan pakaian dalam, dari pinggang ke bawah berwarna merah muda dan dari pinggang ke atas berwarna kuning. Ikat pinggangnya berwarna biru, sepatunya berwarna coklat. Rambutnya yang hitam itu nampak membayang di balik kerudung sutera hijau itu, dan nampak hiasan rambut dari emas bertaburan intan dan mutu manikam.

Betapa pun indahnya semua pakaian dan perhiasan yang menempel di tubuh puteri ini, semua itu nampak menyuram bila dibandingkan dengan wajah itu sendiri. Tanpa wajah yang gemilang dan berseri, cantik jelita mengandung kemanisan yang kadang-kadang menyejukan hati kadang-kadang menggairahkan birahi itu, kiranya semua pakaian dan perhiasan itu tidak akan ada artinya. Setiap gerak-geriknya begitu luwes dan pantas, membuat para pria yang memang sejak lama tergila-gila kepadanya kini menelan ludah dengan pandang mata yang sukar dialihkan.

Di samping kiri Sang Puteri itu duduk Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui yang juga nampak cantik dan anggun, sungguh pun kalah jauh kalau dibandingkan dengan Syanti Dewi. Dan di sebelah kanan Sang Puteri itu duduklah dengan amat tenangnya Pangeran Kian Liong.

Pangeran ini adalah seorang yang bijaksana dan pandai, maka biar pun dia hanya memandang dari jauh, dia dapat mengetahui dengan pasti bahwa benda yang diperlihatkan tadi, seuntai kalung tadi, berharga jauh lebih mahal dari pada semua barang sumbangan tadi dijadikan satu! Seuntai kalung itu saja sudah dapat dijadikan modal membuka sebuah toko yang besar! Sungguh merupakan benda yang amat langka dan amat mahal, maka diam-diam dia kagum kepada pemberinya. Hanya orang yang sungguh-sungguh serius sajalah yang mau menyumbangkan benda semahal itu.

Kalau Syanti Dewi menjadi isteri penyumbang ini, jelas bahwa dia akan menjadi isteri seorang yang kaya-raya. Apalagi penyumbang itu sendiri, yang bernama Tuan Muda Thio Seng Ki, ternyata adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh lima tahun yang cukup ganteng, seperti yang dapat dilihatnya dari tempat duduknya ketika benda itu diumumkan dan Syanti Dewi kelihatan mengangguk ke arah pemuda penyumbang itu! Itulah calon pertama, pikir Sang Pangeran.

Lalu hadiah-hadiah berupa lukisan, tulisan-tulisan lian, yaitu sajak-sajak berpasangan, dan sajak-sajak serta tulisan-tulisan indah juga dipamerkan satu demi satu, dan nama para penyumbangnya diumumkan. Pada saat nama pemuda Yu Cian disebut dengan sumbangannya berupa sajak, semua orang segera menaruh perhatian, terutama sekali di kalangan mereka yang memperhatikan tentang sastra.

Bahkan Sang Pangeran sendiri tertarik, karena dia pun sudah mendengar akan nama pemuda yang menggondol juara pertama ini, yang kabarnya amat menonjol keahliannya membuat sajak dan tulisan. Memang tulisan itu amat indah gayanya, akan tetapi tidak mungkin dapat terbaca oleh para tamu yang duduk agak jauh, maka terdengarlah Sang Pangeran berkata, “Harap sajak-sajak dari Yu Cian Siucai itu dibacakan!”

Mendengar anjuran Pangeran ini, beberapa orang berteriak mendukung dan akhirnya sebagian besar dari para tamu mendukungnya. Syanti Dewi mendengar Sang Pangeran berkata kepadanya di antara suara bising itu, “Enci, sudah sepatutnya kalau engkau minta penulis sajak untuk membacanya sendiri.”

Syanti Dewi tidak tahu mengapa Sang Pangeran berkata demikian, akan tetapi karena dia pun mengenal baik Yu Cian yang merupakan seorang kenalan yang selalu bersikap sopan terhadapnya. Maka ia pun tanpa ragu-ragu lagi lalu bangkit berdiri. Begitu wanita ini bangkit berdiri, semua suara pun sirep dan keadaan menjadi amat hening sehingga terdengarlah dengan jelas suara Syanti Dewi yang bening dan halus, “Untuk memenuhi permintaan para saudara, maka kami mohon sukalah Yu Cian Siucai membacakan sendiri sajak yang ditulisnya!”

Ucapan ini disambut dengan sorak-sorai yang riuh rendah. Dengan muka yang berubah merah sekali terpaksa Yu Cian bangkit berdiri dari tempat duduknya, dan dengan langkah-langkah tenang dia menuju ke tempat para pembantu wanita yang membuka barang-barang hadiah sumbangan itu.

Setelah menerima gulungan kain tulisannya, dia lalu menjura dengan hormat ke arah Pangeran, Syanti Dewi dan Ouw Yan Hui, dan semua tamu memandang kepada pemuda ini dengan kagum. Seorang pemuda yang tampan dan memang patutlah kalau dia menjadi siucai tauladan yang lulus sebagai juara di kota raja. Suasana menjadi hening sekali sehingga kini, suara pemuda itu terdengar satu-satu dengan jelas ketika membacakan sajaknya.

Cantik indah bagai bunga anggrek
harum semerbak bagaikan bunga mawar.
Merdu merayu bagaikan sumber air
gilang gemilang seperti fajar menyingsing.
Redup syahdu seperti sang senja kala,
duhai Bunga Pulau Ular Emas!
Tiada sesuatu mampu kupersembahkan,
kecuali seuntai sajak bisikan kalbu,
disertai hati yang subur basah,
tempat Sang Bunga mekar berseri
.

Cara pemuda pelajar itu membaca sajaknya sungguh amat mengesankan. Suaranya halus bening dan mengandung getaran karena pembacaan itu dilakukannya sepenuh perasaannya sehingga seakan dia sedang memuji-muji kecantikan Syanti Dewi secara terbuka, demikian terasa oleh semua orang sehingga suasana menjadi mengharukan. Bahkan setelah pemuda itu selesai membaca sajak, suasana masih hening sekali. Baru setelah pemuda itu menyerahkan kembali gulungan sajak, kemudian memberi hormat kepada Syanti Dewi dan Pangeran, meledaklah tepuk tangan dan sorak-sorai memuji.

Pangeran Kian Liong sendiri bertepuk tangan memuji dan memang dia merasa kagum sekali kepada pemuda itu. Sajak itu sepenuhnya mengandung pujian hati seorang pria yang sedang dilanda asmara! Syanti Dewi diumpamakan bunga anggrek, ratu segala bunga yang seolah-olah tidak pernah layu dibandingkan dengan semua bunga di dunia ini, kemudian harum seperti bunga mawar, bunga yang keharumannya tidak pernah lenyap biar pun bunganya sendiri telah lama layu!

Dan suara apakah yang melebihi kemerduan suara gemericik air sumber yang tidak pernah berhenti, mengandung dendang asmara yang kekal? Lalu dalam pemujaannya, Syanti Dewi dinyatakan gilang-gemilang seperti fajar menyingsing dan redup syahdu seperti sang senja kala. Memang tiada keindahan yang begitu menggetarkan hati yang peka melebihi keindahan fajar menyingsing di kala matahari mulai timbul sebagai bola besar kemerahan yang berseri, dan keredupan senja kala di waktu matahari tenggelam yang menciptakan warna-warna dan bentuk-bentuk awan yang luar biasa indahnya di langit barat.

Kemudian, yang amat mengharukan, pemuda itu tidak mampu mempersembahkan apa pun, kecuali sajak yang disertai sebuah hati yang akan selalu menghidupkan sang Bunga dengan luapan cinta kasih yang diumpamakan keadaan hati yang subur dan basah selalu! Pemberian seperti inilah yang dinantikan oleh setiap orang wanita, yaitu kasih sayang pria dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, bukan segala macam benda berharga kalau diberikan dengan hati yang kering dan tandus!

Dengan muka kemerahan, pemuda sastrawan itu kembali ke tempat duduknya semula. Kini Sang Pangeran menjadi bimbang. Dua orang itu, Thio Seng Ki yang tampan dan kaya raya, dan Yu Cian yang tampan dan ahli sastra, merupakan dua orang calon yang kuat sekali. Menjadi isteri Thio Seng Ki, Syanti Dewi akan berenang dalam lautan harta, sebaliknya menjadi isteri Yu Cian, dara itu akan berenang dalam lautan kemesraan!

Diam-diam Ouw Yan Hui merasa girang betapa dia telah berhasil ‘memperkenalkan’ dua di antara calon-calon itu secara tidak langsung kepada semua orang. Kini hidangan mulai dikeluarkan dan pelapor acara memberitahu bahwa akan dimainkan tari-tarian untuk menghibur para tamu. Mulailah pesta yang meriah itu.

Para tamu makan minum hidangan-hidangan yang istimewa, musik mulai dibunyikan keras-keras dan nampaklah penari-penari yang muda-muda dan cantik-cantik menari dengan lemah-gemulai di panggung yang agak tinggi itu. Para tamu makan minum sambil menikmati tontonan yang amat menarik itu. Karena ada hidangan dan tontonan tarian, maka baru sekaranglah para tamu agak ‘melupakan’ Syanti Dewi sehinga hanya beberapa orang saja yang sempat melihat pada waktu wanita itu meninggalkan tempat duduknya menuju ke dalam.

Setelah beberapa macam tarian disajikan, mendadak Ouw Yan Hui bangkit berdiri dan dengan suaranya yang nyaring dia mengumumkan, “Mohon perhatian Cu-wi yang mulia! Dengan penuh rasa terima kasih atas perhatian Cu-wi yang budiman, maka sekarang adik kami, Syanti Dewi, akan menghibur Cu-wi dengan sebuah tarian istimewa dari Bhutan!”

Musik berbunyi lagi, dan kini terdengar lagu yang asing, yaitu lagu Bhutan dan dari dalam muncullah Syanti Dewi. Semua orang menahan napas penuh kagum melihat betapa puteri itu dengan pakaian yang serba mewah meriah, memakai selendang kuning muda yang panjang, berlari-lari seperti terbang saja, seperti bidadari terbang dalam dongeng, dari dalam dan menuju ke panggung.

Meledaklah suara tepuk sorak menyabutnya. Demikian gemuruh sorak-sorai ini hingga menenggelamkan suara musik. Baru setelah sorak-sorai itu berhenti, Syanti Dewi yang kini sudah berjongkok dengan sikap manis sambil menyembah, mulai bangkit dan diikuti irama tetabuhan yang merdu, mulailah dia menari!

Memang indah sekali tarian itu. Syanti Dewi bukan saja cantik jelita, akan tetapi juga memiliki keluwesan dan dia memang merupakan seorang ahli dalam tari-tarian Bhutan yang dipelajarinya ketika dia masih kecil. Maka saat dia menari semua orang terpesona dan sesaat mereka bengong sehingga suasana di antara penonton menjadi hening.

Tari-tarian asing yang belum pernah ditonton memang selalu mempesonakan orang. Kalau orang sudah terbiasa, pesona itu semakin berkurang. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa gerakan menari dari Syanti Dewi amat indah, sehingga Pangeran Kian Liong sendiri yang sudah sering menyaksikan tari-tarian halus, merasa amat kagum.

Kalau para tamu itu saja terpesona dan penuh kagum, dapat dibayangkan bagaimana hebatnya pengaruh tarian itu pada hati Wan Tek Hoat! Pendekar ini juga ikut menonton dari tempat sembunyiannya, dan dia tidak pernah berkedip mengikuti gerak-gerik Syanti Dewi dengan pandang matanya. Melihat kekasihnya secantik itu, menari seindah itu, terkenanglah dia akan segala keadaannya ketika bersama kekasihnya itu, dan tak dapat ditahannya lagi matanya menjadi basah dan air mata perlahan-lahan menitik turun di atas pipinya yang tertutup cambang.

“Syanti.... Syanti.... kekasihku....,” demikian hatinya merintih-rintih penuh kerinduan dan rasa nyeri, karena kini semakin nampaklah olehnya betapa wanita itu sungguh tidak pantas menjadi kekasihnya, apalagi kalau dia mengingat betapa dia telah berkali-kali melakukan hal yang amat menyakitkan hati puteri itu.

Dan kini, melihat keadaan Sang Puteri yang begitu dipuja ratusan orang pria-pria pilihan, bahkan telah menjadi akrab dengan Sang Putera Mahkota, Pangeran yang amat tinggi kedudukannya dari kota raja, kemudian menengok pada keadaan dirinya sendiri, seorang jembel miskin yang tidak punya apa-apa, bahkan namanya pun telah dilupakan orang, dia melihat perbedaan yang amat mencolok dan semakin terasalah dia betapa dia adalah seorang yang kurang terima, orang yang tidak menengok keadaan diri sendiri dan telah bersikap keterlaluan kepada puteri itu!

Dan Syanti Dewi begitu setia, begitu suci murni, sehingga sampai sekarang pun belum melayani pria lain! Dan puteri sesuci itu pernah dia fitnah, ia tuduh telah berjinah dengan orang lain, telah menjadi pemberontak dan mengkhianati Raja Bhutan, ayahnya sendiri! Mengingat akan hal ini, kembali dua titik air mata menetes turun.

Sorak-sorai dan tepuk tangan meledak saat Syanti Dewi mengakhiri tariannya. Dengan langkah-langkah yang seolah-olah tidak menyentuh lantai Sang Puteri kembali ke dalam gedung itu, diikuti sorak-sorai memuji-mujinya dari segenap tamu, termasuk juga Sang Pangeran.

Ouw Yan Hui telah memberi isyarat kepada wanita pengatur acara, dan wanita ini lalu bangkit berdiri dan mengangkat kedua tangan, minta kepada semua tamu agar tenang kembali. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring, “Atas permintaan dari Ouw-toanio sebagai nyonya rumah, kami mohon kepada Tuan Muda Kui Lun Eng untuk tampil ke depan dan membantu pesta agar meriah dengan permainan musiknya!” Mendengar disebutnya nama ini, banyak di antara tamu yang mengenalnya menyambut dengan tepuk tangan.

Nama Kui Lun Eng ini amat terkenal, bahkan Pangeran Mahkoka juga mengenal nama ini sebagai seorang ahli musik dan pelukis yang memiliki kepandaian luar biasa. Dari rombongan tamu bangkitlah seorang pemuda jangkung yang kemudian melangkah dengan tenang ke arah panggung, memberi hormat kepada Pangeran dan Ouw Yan Hui, kemudian berkata, “Saya akan menanti sampai kembalinya Nona Syanti Dewi.”

Kemudian, diiringi suara ketawa para tamu yang maklum akan maksud kata-kata itu, yakni bahwa ahli musik itu hanya ingin main musik kalau didengarkan oleh Syanti Dewi, pemuda yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun melangkah ke arah rombongan pemain musik, yaitu para wanita muda yang duduk di sudut.

Dengan enak, karena agaknya sudah biasa dengan alat-alat musik, dia mencoba-coba suara beberapa buah yang-kim, kemudian dipilihnya sebuah dan diletakkan di depannya sedangkan dia duduk bersila di panggung pemain musik itu. Lalu dia mengeluarkan sebatang suling bambu dari saku bajunya yang sebelah dalam.

Tiba-tiba terdengar tepuk tangan riuh rendah ketika Syanti Dewi muncul kembali, kini dengan pakaian serba hijau dan duduk di tempat semula setelah mengangguk sebagai pernyataan terima kasih atas sambutan para tamu. Melihat munculnya nona itu, Kui Lun Eng lalu mulai dengan permainan yang-kimnya.

Mula-mula hanya terdengar beberapa nada berkentringan saling kejar, lambat-lambat dan lirih-lirih saja, akan tetapi makin lama kejar-kejaran nada itu semakin cepat dan semakin keras dan mulailah terdengar lagu yang dinyanyikan yang-kim itu dengan amat indahnya. Makin keraslah suara yang-kim itu dan kini semua orang yang mengenal lagu itu tahu bahwa itu adalah lagu perang, sedangkan yang tidak mengenal lagu itu pun dapat menduga bahwa itu tentulah lagu perang sebab mereka seperti mendengar derap kaki ribuan kuda di dalamnya, lalu pekik-pekik kemenangan, rintihan-rintihan orang terluka, suaranya senjata berdencing dan saling beradu, semua itu tercakup ke dalam suara nada-nada yang naik turun itu. Bukan makn!

Sang Pangeran sendiri sampai terpesona. Belum pernah dia mendengar orang bermain yang-kim seindah itu. Begitu hidup suara itu, bukan sekedar nada-nada kosong belaka, melainkan setiap rangkaian nada seperti menceritakan sesuatu sehingga terbayanglah cerita dari nada-nada itu. Bahkan dia seperti melihat darah mengalir dan debu mengepul tinggi!

Ketika suara yang-kim itu mencapai puncaknya dalam kecepatan lalu diakhiri dengan suara seperti sorak kemenangan, suara itu berhenti tiba-tiba dan para pendengar yang tadinya bagai terpukau, seolah-olah mereka merasakan terseret dalam suasana perang yang mengerikan, tiba-tiba seperti baru sadar dan kembali ke dalam nyata. Meledaklah sorak-sorai dan tepuk tangan mereka.

Dengan tenang Kui Lun Eng mengangguk ke arah mereka dan kini dia mulai meniup sulingnya, bukan dengan dua tangan, melainkan hanya dengan tangan kanan saja dan tangan kirinya mulai menggerayangi yang-kim kembali. Sekarang terdengarlah paduan suara yang-kim dan suling dimainkan oleh dua tangan itu dan kembali semua orang tenggelam ke dalam pesona suara yang sangat luar biasa. Paduan suara itu demikian serasinya, mengalunkan lagu cinta yang syahdu, menghayutkan perasaan ke suasana yang amat mesra, kadang-kadang menjadi halus merdu dan mengandung duka dan patah hati.

Memang hebat sekali permainan musik orang ini. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh suara musik itu pada wajah para pendengarnya. Wajah-wajah itu, biar pun di antaranya terdapat banyak wajah yang biasa dengan kekerasan, kadang-kadang tidak mampu lagi menguasai keharuan hati sehingga menjadi layu, bahkan ada yang menitikkan air mata!

Syanti Dewi sendiri tak dapat bertahan ketika lagu itu tiba di bagian yang sedih, seperti hati yang meratap-ratap dan menjerit-jerit. Puteri ini teringat akan keadaan diri sendiri yang menjadi korban cinta, sehingga dia pun tidak kuasa menahan air matanya dan beberapa kali menyapu air mata dari pipi dengan sapu tangannya. Semua ini dapat dilihat oleh Tek Hoat dan pendekar ini pun ikut menangis dengan diam-diam! Ia merasa jantungnya perih. Bukan air mata lagi yang mengalir dari matanya, tetapi seolah-olah jantungnya mengalirkan air mata darah.

Ketika akhirnya suara musik itu terhenti, Sang Pangeran sendiri bangkit bertepuk tangan memuji, diikuti oleh semua tamu yang benar-benar merasa kagum. Kui Lun Eng bangkit berdiri dan menjura ke arah Syanti Dewi dan Pangeran, wajahnya agak pucat karena permainan tadi dilakukan dengan sepenuh perasaannya sehingga selain makan banyak tenaga batin, juga menyeretnya ke dalam keharuan. Kemudian dengan masih diiringi tepuk sorak, dia kembali ke tempat duduknya semula.

Diam-diam Sang Pangeran melihat adanya calon yang baik pada diri pemuda ahli musik ini. Patut pula menjadi calon suami Syanti Dewi, pikirnya. Sudah ada tiga orang muda yang pantas menjadi calon, yaitu Thio Seng Ki Si Hartawan, Yu Cian Si Sastrawan, dan Kui Lun Eng Si Seniman. Akan tetapi sayang, ketiganya adalah orang-orang yang lemah, tidak memiliki kepandaian silat, pikir Sang Pangeran. Padahal, dia tahu betul bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita yang lihai ilmu silatnya. Bahkan dia sudah melihat sendiri betapa wanita itu memiliki ginkang yang amat luar biasa, membuat dia dapat berlari seperti terbang dan bergerak dengan amat cepatnya! Mungkinkah seorang wanita gagah dan lihai ini berjodoh dengan seorang pria yang tidak mengenal ilmu silat?

Kini Ouw Yan Hui bangkit berdiri lagi. Hatinya senang karena tanpa terlalu kentara, dia telah menonjolkan tiga orang calon jodoh Syanti Dewi. Kini tinggal memperkenalkan calon keempat dan untuk itu pun dia tidak kekurangan akal. Dari para penyelidiknya dia sudah mendengar bahwa Si Pendekar Budiman Lie Siang Sun adalah orang yang tepat pula menjadi calon, dibandingkan dengan ahli-ahli silat, juga Lie Siang Sun ini terkenal sebagai pendekar budiman, tidak pernah tercela namanya dan masih belum menikah pula.

Dengan suara lantang Ouw Yan Hui lalu berkata, “Adik kami yang ulang tahunnya dirayakan adalah orang yang suka sekali melihat pertunjukan ilmu silat. Oleh karena itu, pesta ini tidak akan lengkap kalau tidak diadakan pertunjukan ilmu silat. Kami tahu bahwa di antara para tamu terdapat banyak sekali ahli silat. Dan setelah memeriksa daftar nama para tamu, kami minta dengan hormat kepada Pendekar Budiman Lie Siang Sun, sudilah kiranya memeriahkan pesta ini dengan pertunjukan ilmu silatnya.”

Kembali banyak di antara para tamu yang bertepuk tangan karena selain nama Pendekar Budiman sudah terkenal dan banyak orang menaruh kagum kepadanya, juga mereka yang merasa memiliki kepandaian silat merasa lega ada orang lain yang disuruh maju lebih dulu. Tentu saja untuk maju sebagai orang pertama mendatangkan perasaan sungkan dan malu-malu.

Seorang pria yang usianya tiga puluh tiga tahun, bangkit berdiri dan nampak betapa tubuhnya itu tinggi tegap dan gagah perkasa, sikapnya sangat sederhana seperti juga pakaiannya. Di punggungnya nampak tergantung sebatang pedang dan dengan langkah yang lebar tegap namun tenang, orang ini berjalan menuju panggung. Dengan sopan ia memberi hormat ke arah Syanti Dewi, Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong, sambil berkata,

“Sebutan Pendekar Budiman dan ahli silat bagi saya sungguh terlalu dilebihkan, akan tetapi karena saya hanya bisa menyumbangkan sedikit ilmu silat yang pernah saya pelajari untuk memeriahkan pesta ini, maka harap Pangeran, Nona dan Toanio, juga Cu-wi yang hadir di sini suka memaafkan jika pertunjukan ini kurang berharga.”

Setelah mengangguk ke empat penjuru, mulailah Pendekar Budiman Lie Siang Sun menggerakkan kaki tangannya. Mula-mula ia bersilat dengan lambat, akan tetapi makin lama semakin cepat dan gerakan-gerakannya gesit, pukulan-pukulannya mantap dan kadang-kadang kedua kakinya yang berloncatan itu tak menimbulkan suara sedikit pun seperti langkah-langkah seekor kucing, akan tetapi adakalanya geseran-geseran kedua kakinya mendatangkan getaran dan membuat panggung berderak-derak!

Memang harus diakui bahwa ilmu silat tangan kosong yang dimainkan oleh pendekar ini cukup hebat dan juga indah dan bersih, ciri khas dari cabang ilmu persilatan para pendekar yang mengutamakan keindahan dan ketangguhan, bersih dari cara-cara yang curang. Tek Hoat juga menonton secara sepintas lalu saja karena sebagaian besar perhatiannya selalu tertuju kepada Syanti Dewi, mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai dan juga Bu-tong-pai, dan memiliki tingkat yang cukup tinggi, maka patutlah kalau dia disebut pendekar.

Setelah mainkan ilmu silat tangan kosong sebanyak tiga puluh enam jurus, tiba-tiba Lie Siang Sun mengeluarkan bentakan nyaring. Nampaklah sinar berkelebat yang segera bergulung-gulung, ternyata dia telah mencabut dan mainkan pedangnya. Gerakannya sedemikian cepatnya sehingga kebanyakan dari para tamu tidak melihat kapan pedang itu dicabutnya dan kini pun pedang itu tidak nampak karena telah berubah menjadi gulungan sinar saking cepatnya dimainkan!

Tepuk sorak menyambut permainan pedang ini dan memang Bu-tong Kiam-sut terkenal dengan keindahan gerakannya. Banyak tamu yang terdiri dari para tokoh kang-ouw mengangguk-anggukkan kepala dan memuji ketangkasan pendekar itu. Pangeran Kian Liong tidak mempelajari praktek ilmu silat secara mendalam, namun pengetahuannya tentang ilmu silat cukup banyak, maka dia pun mengenal keindahan dan ketangguhan ilmu pedang ini, maka dia merasa kagum sekali. Dia pun diam-diam merasa setuju kalau pendekar muda ini dijadikan calon pula karena memang cukup pantaslah pemuda ini menjadi pelindung atau suami Syanti Dewi.

Setelah Lie Siang Sun selesai bersilat pedang dan sudah menyimpan lagi pedangnya lalu memberi hormat ke arah deretan Pangeran, para tamu menyambutnya dengan tepuk tangan memuji. Kesempatan ini dipergunakan oleh Ouw Yang Hui yang tadi telah memperoleh bisikan dari Pangeran Kian Liong yang cerdik itu.

“Cu-wi sekalian, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami sudah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.”

Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai, sedangkan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berubah pucat. Biar pun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.

Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya, “Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”

Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidaklah sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton, “Bagaimana untuk menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau hanya berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!”

Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagai mana harus menjawab pertanyaan orang itu.

“Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan oleh karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khikang, maka suaranya mampu mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.

“Cu-wi yang mulia! Biar pun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”

Kembali para tamu menjadi, berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calonnya lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu?

Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini. Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa perlu mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya.

Dan memang benar pendapat mereka ini, karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau saja Syanti Dewi tidak menghendakinya, sebab ginkang yang dikuasai oleh Syanti Dewi telah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk menggunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.

Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran.

Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih, “Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!” Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu.

Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya. Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut berharap agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.

Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui kemudian berbisik, “Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!”

Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.

“Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!” Ouw Yan Hui berseru.

Dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula. Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang telah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata, “Silakan mulai, Thio-kongcu.”

“Maafkan saya....” Thio Seng Ki kemudian mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak.

Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya. Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu.

Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara mana pun juga yang dikehendaki atau diinginkannya. Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak? Karena penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biar pun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi.

Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput. Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.

“Waktunya habis, calon pertama telah gagal!” Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat.

Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat. “Harap Kongcu suka memaafkan saya.”

Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, tapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata, “Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.” Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, dan disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.

“Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.

Sastrawan muda itu tersenyum, lalu bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.

“Silakan, Yu-siucai,” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.

Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berubah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan.

“Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur. Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat.

Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia pun hanya dapat menjura ke arah pemuda itu. “Harap maafkan saya....,” katanya perlahan.

Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata, “Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai mati pun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona cukup menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”

Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguh pun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih. “Harap maafkan saya....”

Kui Lun Eng tertawa dan menengadah. “Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.” Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak ke dalam mulutnya!

Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu.

Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat. “Ingin sekali saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”

Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari.

Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya. Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki. Tidak, wanita itu memiliki ginkang yang jauh lebih tinggi dari pada Pendekar Budiman, sehingga andai kata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekali pun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil.

Betapa pun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!

“Ahhh, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....,” keluhnya.

Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.

“Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”

Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi, ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun.

Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata, “Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.”

“Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!” berkata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Jika saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.

Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi, “Sekarang ada pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”

Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?

“Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi,” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula. Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu.

Syanti Dewi memandang pada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia pun tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.

“Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.

Syanti Dewi mengangguk. “Silakan, Pangeran.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.

Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya. Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.

Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu tadi sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat dari pada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?

Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguh pun wanita itu tidak nampak lebih tua dari pada Sang Pangeran.

Sudah, habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu. Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak licin dan sikapnya garang.

“Sungguh tidak adil sekali!” Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!

Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru, “Siapa berani lancang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”

Kakek itu tertawa, suara ketawanya, bergema di seluruh ruangan. “Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?”

“Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapa pun juga menjadi jodohnya!” Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.

“Ha-ha! Jika memang ingin memilih Pangeran, kenapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah hal itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, kenapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, Pangeran Mahkota, malah ingin mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan untuk memenangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”

Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran.

Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali.

Tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.

Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya. “Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”

“Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.”

Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar. “Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota.”

“Tidak! Bagaimana pun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!”

“Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?” Mendadak Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.

“Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw jika telah berkumpul tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!”

“Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.”

“Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.

“Lihat seranganku!” Pendekar Budiman telah menerjang dengan sungguh-sungguh oleh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.

Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sinkang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam. Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Mengapa.....?

Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Akan tetapi segera ia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini, sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!

Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran sudah maju berturut-turut, akan tetapi empat lima orang yang maju itu satu demi satu dapat dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu menantang.

“Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”

Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya sudah berada di depan kakek itu.

“Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki ginkang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, aku hendak melihat sampai di mana kehebatanmu!”

“Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui.

Wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya. Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.

“Hebat, ginkang yang hebat!” kakek itu memuji.

Akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Tetapi, kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang seru bukan main, dan jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi.

Wanita itu memang mempunyai ginkang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang. Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sinkang Ouw Yan Hui kalah jauh, maka biar pun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-gullng.

Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.

“Plakk!” Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting.

Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!”

Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, begitu juga Syanti Dewi.

Akan tetapi, begitu memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajah Syanti Dewi menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling! Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu.

“Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, yaitu orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban-hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Orang ini mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!”

Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aslinya. Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan semua lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.

“Tangkap musuh negara!”

“Bunuh penjahat itu!”

Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga sekarang Souw Kee An telah mengerahkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Pulau Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!

Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek yang bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter lebih itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat tadi membuka kedok Sam-ok!

Melihat ini, para tamu, tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, telah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Pulau Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu.

Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak prajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para prajurit pengawal, yang masih terus melawan. Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu.

Namun setelah Ji-ok membiarkan ketiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat. Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biar pun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin yang amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.

“Ughhhhh....!”

Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.

“Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!” Tiba-tiba terdengar suara halus namun mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu.

Wan Tek Hoat girang sekali. “Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”

Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!

“Huhh, baru dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!” nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu. “Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!”

“Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantu sajalah, mengapa cerewet?” Tek Hoat mencela.

Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguh pun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka. Bahkan pada waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya seayah.

Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang!

Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini. Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biar pun dia itu orang ke tiga, bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.

Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang tadi diterimanya dari Sam-ok amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruk kemudian memeriksanya. Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.

“Bagaimana dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil turut memeriksa.

“Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya,” kata Wan Ceng.

Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu kemudian menempelkan telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.

“Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.

Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lantas melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran. “Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya.”

“Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tidak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya.”

“Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang. Memang dia sudah mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.

“Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.” Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi.

Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya.

Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa. “Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti.”

Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga. “Aku adalah Candra Dewi, saudara angkatnya.” Ceng Ceng memperkenalkan diri.

Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah dia orangnya yang sering dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu!

Ceng Ceng kemudian memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.

“Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini,” katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.

Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak buahnya yang luka-luka. Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru.

Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia segera bangkit duduk. Melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.

“Mana dia....? Ke mana dia....?”

“Engkau mencari siapa?” Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti pengemis ini ternyata Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.

“Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana.” Dan dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dahulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini....”

Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggelengkan kepalanya, memandang kepada Pangeran itu dengan sinar mata berterima kasih. “Biarlah, Pangeran. Biarlah hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.

Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri, “Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa....”

“Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar biasa sekali,” kata Sang Pangeran.

Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya memiliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya mendalam sekali. “Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?”

Pangeran itu mengangguk. “Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya.”

Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara ‘menangkap’ Syanti Dewi tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa harus menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang telah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi.

Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Ia termenung sebentar, kemudian berkata lirih. “Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali.”

Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu dan berkata, “Harap maafkan bahwa baru kini saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap.”

Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata, “Memang, Enci Syanti Dewi adalah kakak angkat dari isteri saya.”

Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biar pun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi. Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja telah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar itu.

Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es! Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya, membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat atas yang demikian hebatnya.

Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan di mana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua kesalahan dan dosanya. Dia tak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu bahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat itu tanpa diketahui seorang pun.

Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tak mungkin mendiamkan begitu saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas dari pada penyesalan.

Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti Dewi, biar pun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!

“Syanti....!” Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.

“Ssttt....!” Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia mengalami guncangan batin yang cukup parah.”

“Syanti....!” Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu.

Dipegangnya tangan saudara tirinya itu. “Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan kawin....?”

Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan mendekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi.... aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....”

Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini. “Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai begini? Kenapa engkau begini sengsara, Saudaraku?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.

Tek Hoat menunduk. “Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja agar engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya....”

“Tek Hoat....!” Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar.

Tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam keadaan tidur.

Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi mulai bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik, “Tek Hoat...., Tek Hoat....”

Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!

“Aku.... aku di sini....,” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang wanita itu.

Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan pembaringan itu, dia mengeluh, “Tek Hoat....!” isaknya membuat dia sesenggukan dan tak kuasa mengeluarkan suara lagi. Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.

“Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini....”

“Tek Hoat....” Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.

“Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati dari pada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”

“Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?” Syanti Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar. “Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?”

“Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.

“Tek Hoat, jangan....!” Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya!

Tek Hoat terkejut. Dia mundur dan terbelalak. “Jangan begitu, Syanti. Janganlah kau mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isterinya Pangeran Mahkota, dan kelak…. kelak menjadi permaisuri.... Wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut merasa amat bahagia melihat kebahagiaanmu....”

Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak. “Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”

“Tentu saja, Syanti Dewi. Aku merelakan semuanya, apa pun…. bahkan nyawaku, demi kebahagiaanmu....”

“Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”

“Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ahhh, orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti....”

“Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan mengampunimu. Tek Hoat.... Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak, menghancurkan hati dan perasaanku, Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.

Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong bagai orang kehilangan ingatan, atau seperti orang yang teramat tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.

“Tetapi.... tetapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”

Tek Hoat tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangannya, dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.

“Tentu saja engkau tak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanmu sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh, masih perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?”

Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri, memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya. “Syanti.... Syanti Dewi...., be.... benarkah itu? Benarkah itu....?”

“Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahhh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!”

Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.

Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu. Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata dengan suara lantang sekali.

“Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!”

Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng dan Pangeran Kian Liong sendiri. Dan ketika para tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguh pun di dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.

Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu, dan yang mereka ketahui sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.

Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata, “Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”

Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat. “Akan tetapi.... tapi.... bukankah Pangeran....?”

“Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon.” Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu diumumkan.

Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang, “Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silakan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”

Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi bising.

Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata, “Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, juga berganti pakaian....,” tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung. “Wah, pakaian yang mana....?”

Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pakaian pengganti, tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.

Pangeran Kian Liong tersenyum lebar. “Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya.”

Wan Ceng tersenyum girang. “Sungguh Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima kasih!”

Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat yang baik sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang sekarang menjadi seorang jenderal muda itu.

Syanti Dewi hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik, “Maafkan aku, Enci Hui. Engkau tahu, dia itu tunanganku dan.... dialah satu satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”

Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang padanya dengan penuh permohonan dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi. Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Kemudian mereka pun memasuki gedung untuk membuat persiapan.

Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, yaitu mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri pesta perayaan ulang tahun Syanti Dewi. Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan pihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.

“Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti Dewi.

Biar pun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang Pangeran. Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula. Suasana menjadi mengharukan sekali, namun Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana menjadi gembira kembali.

Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah, berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapa pun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua. Sebaliknya, Syanti Dewi biar pun usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!

Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selama-lamanya. Mereka merasa berbahagia sekali.

Benarkah mereka berbahagia?

Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.

Kata ‘kebahagiaan’ sudah menjadi kabur, bahkan sering kali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan?

Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka. Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tidak akan bersua dengan kesusahan. Siapa mengejar kepuasan, tak dapat tidak akan bertemu dengan kekecewaan.

Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku.

Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa. Bahkan jika keinginan telah terpenuhi sekali pun akan menimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu, kemudian menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka.

Kebahagiaan tak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh dengan usaha dan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tiada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih.

Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Dan kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan SINI kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang SANA saja?

Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita. Pernahkah kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa? Dan juga pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya.

Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah ‘merasakan’ keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh.

Dalam keadaan menderita sakit, kita selalu mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana jika kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan ‘ingin sehat’ tadi pun sudah terlupa, ‘bahagia karena sehat’ pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!

Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak berbahagia, atau kalau tidak ada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang DIANGGAP lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan.

Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, tetapi bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan.

Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Tapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!

Ahh, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk KESENANGAN itu selalu akan menimbulkan KEBOSANAN? Dapatkah kita hidup tanpa harus menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sendiri yang harus menyelidiki dan menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan PENGHAYATAN dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau dapat pula menyusahkan, tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!


Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka. Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan dengan pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan. Sedangkan Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat.

Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolongnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya.

Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang. “Bu-taihiap? Siapakah dia itu?” Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.

Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk. “Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”

“Dia memang hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”

Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,

“Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”

Sang Pangeran tertawa. “Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada waktu itu ada tiga orang.”

“Tiga orang isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.

“Benar, dan ketiga orang isterinya itu pun rata-rata amat lihai!”

“Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.

Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak mengherankan dia. “Aku tidak tahu, Bibi, dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar wanita. Menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara.”

“Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!” Wan Ceng berkata tak senang.

“Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar suara Cin Liong.”

“Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan.”

Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka. Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya, seolah-olah di dunia ini yang ada hanya mereka berdua…..

********************

Sebelum kita melanjutkan dengan mengikuti rombongan yang menuju ke kota raja ini, sebaiknya kalau kita lebih dulu menjenguk keadaan Kaisar dan keluarganya, dan apa yang sesungguhnya terjadi di dalam istana kaisar itu…..

Memang telah terjadi perubahan amat besar pada diri Kaisar. Kaisar Yung Ceng mungkin merupakan satu-satunya kaisar di jaman Pemerintahan Mancu yang pandai ilmu silat. Memang ilmu silatnya hebat, bahkan boleh dibilang dia seorang yang ahli dan lihai sekali karena di waktu mudanya, ketika dia masih menjadi seorang pangeran, dia suka sekali mempelajari ilmu silat dan bergaul di tengah-tengah kaum tukang pukul yang suka menjilat-jilatnya.

Dia disanjung sebagai seorang ‘pendekar’, maka di waktu mudanya Pangeran ini suka sekali berkelahi, menantang siapa pun yang dianggapnya memiliki ilmu silat. Tentu saja, orang yang ditantangnya kalau tahu bahwa penantangnya adalah Pangeran, mengalah dan akibatnya orang itu dipukul babak-belur dan Sang Pangeran lalu dipuji-puji oleh para tukang pukul sebagai seorang ahli silat yang menang pi-bu!

Pangeran yang masih muda ketika itu, baru berusia tujuh belas tahun, merasa menjadi seorang pendekar dan entah sudah berapa banyak guru-guru silat, orang-orang baik, yang telah dikalahkannya, sebagian ada yang memang kalah, akan tetapi banyak yang memang mengalah. Namun, pada suatu hari, dia membentur batu karang! Dia bertemu dengan seorang pemuda, dan melihat pemuda ini pandai silat, dia menantangnya dan memaksa pemuda itu untuk ‘pi-bu’, dan akibatnya, Sang Pangeran yang kini dihajar babak-belur karena pemuda itu adalah seorang jago murid Siauw-lim-pai!

Pangeran Yung Ceng terkenal mempunyai watak yang keras dan tidak mau kalah. Menghadapi kekalahan dari seorang murid Siauw-lim-pai ini membuat dia penasaran sekali dan dia lalu menyamar sebagai seorang pemuda biasa dan pergilah dia ke kuil Siauw-lim-si untuk belajar ilmu silat dari para hwesio Siauw-lim-pai yang terkenal ahli.

Akan tetapi pada waktu itu Siauw-lim-si hanya menerima anak-anak saja sebagai murid, maka permintaan Pangeran muda itu ditolak oleh para pimpinan Siauw-lim-si. Pangeran ini memang memiliki kemauan yang amat keras. Penolakan para pimpinan Siauw-lim-si tidak mematahkan semangatnya dan dia tetap berlutut di depan kuil siang malam dan tidak mau pergi sebelum permohonannya untuk menjadi murid Siauw-lim-pai diterima!

Melihat kemauan yang luar biasa ini, para pimpinan Siauw-lim-pai jadi tertarik. Setelah mereka membiarkan Pangeran yang mereka kira pemuda biasa itu berlutut di situ selama tiga hari tiga malam, mereka lalu menerima Sang Pangeran yang menggunakan nama biasa, yaitu Ai Seng Kiauw. Diterimalah Ai Seng Kiauw sebagai seorang murid tanpa mengharuskan pemuda ini menggunduli kepala menjadi hwesio. Dan mulailah Pangeran itu dilatih ilmu silat Siauw-lim-pai yang terkenal hebat itu.

Memang Pangeran itu memiliki bakat yang amat baik untuk ilmu silat, hanya sayang bahwa dia memiliki hati yang keras sekali, sungguh tidak sesuai dengan seorang pendekar yang seharusnya memiliki keteguhan hati yang tidak mungkin tergoyahkan oleh nafsu amarah. Ai Seng Kiauw atau pangeran ini tekun berlatih. Bahkan untuk mengejar ilmu silat, dia rela membiarkan dirinya diuji oleh para pimpinan Siauw-lim-pai yang mengharuskan dia mencari kayu bakar dan mengangsu air, yang harus dipikulnya naik turun bukit ke dalam kuil.

Pekerjaan ini amat berat dan selama berbulan-bulan ia melakukan pekerjaan itu sampai pundaknya lecet-lecet dan kakinya lelah sekali. Akan tetapi setelah lewat setengah tahun, dia dapat memikul kayu atau dua gentong air sambil berlari-larian menaiki bukit! Tenaganya menjadi kuat sekali, tenaga sinkang-nya bertambah dengan cepat.

Para murid Siauw-lim-pai adalah para hwesio yang mempelajari ilmu silat sebagai mata pelajaran yang diharuskan, dan dimaksudkan untuk menggembleng tubuh mereka agar kuat, tahan uji, dan sehat. Maka mereka itu kebanyakan hanya mempelajari ilmu silat sekedarnya saja.

Tidak demikian dengan Sang Pangeran. Dia belajar dengan tekun sekali, bahkan secara diam-diam, kadang-kadang secara mencuri-curi, dia memasuki ruangan perpustakaan di waktu malam dan membaca kitab-kitab pelajaran ilmu silat Siauw-lim-pai di dalam ruangan itu, sering kali sampai pagi! Dan dia pun berlatih siang malam tanpa mengenal lelah sehingga pelajaran-pelajaran yang akan dikuasai oleh lain murid selama empat lima tahun, telah dapat diraihnya selama satu tahun saja!

Akan tetapi, ternyata para pimpinan Siauw-lim-pai itu akhirnya dapat mengetahui bahwa murid yang bernama Ai Seng Kiauw itu bukan lain adalah pangeran putera kaisar! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali. Beramai-ramai menghadap pangeran dan memberi hormat mereka, minta maaf bahwa karena tidak tahu, mereka telah memperlakukan Sang Pangeran sebagai murid biasa.

Ai Seng Kiauw atau Pangeran Yung Ceng merasa kecewa sekali. Setelah ketahuan, kini dia tidak diperlakukan sebagai murid, dan dalam hal mengajarkan ilmu, para pimpinan itu tidak sungguh-sungguh hati lagi. Dan kini, orang-orangnya atau saudara-saudaranya dapat mengunjungi dia dengan bebas, juga dia boleh keluar masuk dengan bebas dari kuil itu.

Hal ini membuat dia merasa bosan dan karena melihat bahwa para tokoh Siauw-lim-pai hanya setengah hati saja mengajarnya setelah mengetahui bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, maka Pangeran Yung Ceng lalu meninggalkan kuil di mana dia belajar selama hampir tiga tahun lamanya. Kini ilmu silatnya menjadi lihai sekali karena betapa pun juga, dia telah digembleng oleh para pimpinan Siauw-lim-pai dan telah menguasai ilmu-ilmu silat Siauw-lim-pai yang amat tangguh.

Sewaktu dia masih menjadi ‘murid’ Siauw-lim-pai, yaitu sebelum dia dikenal sebagai pangeran, Yung Ceng ini bersikap ramah dan bersahabat terhadap para murid-murid Siauw-lim-pai sehingga dia amat disuka. Bahkan setelah dia diketahui sebagai seorang pangeran, para anak murid Siauw-lim-pai masih menganggapnya sebagai sahabat atau saudara seperguruan.....

Ketika itu, Kaisar Kang Hsi sudah tua dan sakit-sakitan selalu. Seperti biasa terjadi dalam keluarga kaisar, terutama sekali setelah kaisar menjadi tua dan sakit-sakitan, di antara para pangeran diam-diam terjadi perebutan kekuasaan untuk menjadi putera mahkota atau calon pengganti kaisar kalau kaisar sudah meninggal dunia. Dan tentu saja, di belakang para pangeran ini berdiri orang-orang ambisius yang mengatur segala-galanya.

Menurut perkiraan para menteri yang setia, pilihan Kaisar tentu akan terjatuh kepada pangeran yang ke empat, yaitu Pangeran Yung Lok, yang saat itu merupakan pangeran tersayang dan juga seorang pangeran yang bijaksana dan disuka oleh para menteri setia. Selain itu, juga Yung Lok merupakan putera selir ke dua, sedangkan permaisuri tidak mempunyai putera. Maka sudah sepatutnyalah kalau Pangeran Yung Lok menjadi putera mahkota.

Hal ini pun diketahui pula oleh Pangeran Yung Ceng yang memiliki ambisi besar untuk menjadi kaisar. Dengan amat cerdiknya Yung Ceng lalu mendekati selir yang ke tiga dari ayahnya, seorang selir yang paling dicinta dan dimanja oleh Kaisar dan yang lebih sering berada di dalam kamar kaisar dari pada selir-selir lainnya. Selir ke tiga ini tidak mempunyai anak dan selain amat cantik juga pandai mengambil hati pria, maka Kaisar yang tua itu paling senang kalau ditemani selir ke tiga ini. Terjadilah persekutuan antara Pangeran Yung Ceng dan selir ke tiga ini.

Pada suatu malam, Sang Selir ke tiga ini menemui Yung Ceng dan mengabarkan bahwa kaisar yang sudah agak payah sakitnya itu sore tadi telah membuat surat wasiat yang ditulis oleh seorang pembantu kaisar.

“Dalam surat wasiat itu dijelaskan bahwa yang menggantikan kedudukan Beliau adalah Pangeran ke empat,” demikian selir itu memberi tahu.

Pangeran Yung Ceng terkejut sekali dan merasa gelisah. “Ibu harus dapat membantuku dalam hal ini.”

“Jangan khawatir,” kata selir ke tiga itu. “Mari kita rundingkan ini dengan Lan-thaikam.”

Thaikam adalah pembesar kebiri yang bertugas di dalam keraton kaisar. Segera mereka berdua menemui Lan-thaikam dan pembesar kebiri yang perutnya gendut inilah yang kemudian mencari siasat.

“Surat wasiat itu harus dapat kita pinjam untuk sebentar, agar kita dapat melakukan perubahan-perubahan di dalamnya.” Akhirnya dia mengemukakan siasatnya. Dan untuk tugas ini, tentu saja selir ke tiga yang paling mudah untuk melakukannya.

Pada malam berikutnya, ketika Kaisar tidur nyenyak setelah dilayani dan dipijati oleh selirnya yang ke tiga, selir itu lalu mengambil kunci dari ikat pinggang Kaisar, membuka peti kecil hitam yang berada di dekat pembaringan dan mengambil gulungan surat wasiat itu. Cepat-cepat dia keluar dari kamar, menutupkan pintunya dan berlari kecil menuju ke salah sebuah kamar di mana telah menanti Pangeran Yung Ceng bersama Lan-thaikam.

Sang Pangeran membuka surat wasiat itu dan mukanya menjadi merah. Dua tangannya dikepal ketika dia membaca sendiri surat wasiat itu di mana dengan jelas disebutkan bahwa yang berhak menggantikan kedudukan Kaisar adalah ‘Pangeran ke empat’! Dia sendiri adalah Pangeran ke empat belas, sebagai putera dari selir ke delapan, sebuah kedudukan yang tiada artinya dalam urutan pangeran.

“Harap Paduka jangan khawatir, hamba telah menemukan siasat yang amat bagus sekali,” kata Lan-thaikam, lalu dia membeber surat itu di atas meja, dan mengambil alat tulis.

Dengan hati-hati dia lalu membubuhi huruf angka sepuluh di depan empat, sehingga kini kalimat ‘Pangeran ke empat’ berbunyi ‘Pangeran ke empat belas’! Wajah pangeran itu berseri, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat saking girangnya dan dia lalu merangkul pundak pembesar itu.

“Bagus, Paman, engkau sungguh hebat sekali. Aku pasti tidak akan melupakan kalian berdua. Kelak kalau aku sudah menjadi kaisar, kalian tentu akan kuberi kedudukan dan kekuasaan tinggi!”

“Hanya satu hal yang meragukan,” kata selir itu. “Huruf-huruf tulisan dari Coa-sianseng ini amat indah dan sukar dipalsukan, maka apakah penambahan huruf dari Lan-thaikam ini cukup dapat dipertanggung jawabkan? Orang lain mungkin tidak dapat melihat perbedaannya, akan tetapi Coa-sianseng sendiri yang menulisnya....”

“Hemm, Jangan kuatir. Dia seorang yang lemah, aku akan dapat menggertaknya!” kata Lan-thaikam. “Kalau dia tidak mau bekerja sama, biar kita habiskan saja.”

“Serahkan hal ini kepadaku, Paman,” kata Pangeran itu. “Pada hari dia membacakan surat wasiat itu, aku akan mengambil nyawanya untuk menutup mulutnya, tentu melalui tangan lain.” Lalu dia menceritakan siasatnya dan dua orang itu menjadi girang dan memuji siasat Sang Pangeran yang amat cerdik itu.

Selir ke tiga cepat-cepat mengembalikan surat wasiat yang sudah dirubah isinya itu, memasukkan kembali ke dalam peti kecil, menguncinya dan mengembalikan kuncinya di ikat pinggang Kaisar. Hal ini tidak ada yang mengetahui kecuali tiga orang itu.

Dan dalam bulan itu juga, Kaisar Kang Hsi meninggal dunia! Tentu saja seluruh isi istana berkabung dan pada hari yang ditentukan, peti wasiat itu dibawa ke balairung di mana terdapat singgasana Kaisar yang kosong. Suasana di ruangan itu sunyi dan diliputi suasana berkabung. Semua pembesar berkumpul dan pada wajah mereka terbayang kedukaan, sungguh pun tidak ada yang tahu pasti berapa orang di antara mereka itu yang benar-benar merasa berduka dengan kematian Sang Kaisar!

Yang sudah pasti, terdapat ketegangan-ketegangan, karena mereka menduga-duga siapa yang akan menjadi pengganti Kaisar, dan hal ini tentu saja amat penting bagi mereka karena penggantian itu mempunyai dua kemungkinan hebat dalam kehidupan mereka. Kalau kaisar baru itu pilihan mereka, tentu keadaan mereka terjamin, akan tetapi kalau bukan, besar kemungkinan kedudukan mereka akan dirampas. Dan hampir semua orang menduga bahwa yang akan diangkat sebagai pengganti sudah pasti Pangeran ke empat.

Ketegangan hebat itu terutama sekali terasa oleh mereka yang berkepentingan, yaitu oleh para pangeran yang telah berkumpul di tempat itu dengan pakaian seragam, pakaian berkabung. Keluarga mendiang Kaisar Kang Hsi kumpul semua di tempat itu, terutama para pembesar dalam istana. Ketika Coa-taijin, yaitu sastrawan yang menjadi pembantu Kaisar dalam hal tulis-menulis, yang dipercaya oleh mendiang Kaisar Kang Hsi, memasuki ruangan diikuti oleh dua orang thaikam yang membawa sebuah peti kecil hitam, semua orang memandang dengan hati berdebar penuh ketegangan.

Mereka semua tahu apa isinya peti kecil hitam itu, ialah surat wasiat peninggalan Kaisar yang akan dibacakan oleh Coa-taijin sendiri sebagai penulis surat wasiat yang telah dibubuhi cap kebesaran dan tanda tangan Kaisar itu. Suasana menjadi sunyi dan seluruh perhatian dari semua yang hadir tertuju kepada pembesar she Coa itu sehingga tidak ada seorang pun yang tahu bahwa terdapat gerakan aneh dan tidak wajar di belakang mereka, di atas balok-balok melintang di bawah atap ruangan itu.

Semua mata para pembesar yang hadir mengikuti semua gerak-gerik itu, seolah-olah dengan menahan napas, dari saat ketika Coa-taijin membuka tutup peti yang dikunci, kemudian mengeluarkan segulung kertas kuning. Dengan kedua tangan memegang kertas kuning itu diluruskan ke depan, mulailah Coa-taijin membaca surat wasiat itu dengan suara tenang dan terdengar jelas sekali karena suasana di ruangan itu sunyi sekali, bahkan kalau ada jarum jatuh ke atas lantai pun agaknya akan dapat terdengar suaranya.

Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran ke.... empat.... ehhh.... empat belas....?”

Coa-taijin terbelalak, mukanya pucat, pucat sekali, kedua tangannya menggigil, dan dia seperti tidak percaya kepada pandang matanya sendiri sehingga bagian terakhir itu diulangnya beberapa kali. Dialah penulis surat wasiat itu, maka tentu saja dia tahu bahwa surat wasiat itu telah dirubah orang. Dia memandang ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata terbelalak dan telunjuk kanannya menuding ke arah Pangeran itu.
"
Akan tetapi sebelum dia mampu berkata-kata, tiba-tiba nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu sebatang pisau telah menancap ke dada Coa-taijin, disusul oleh pisau ke dua yang menancap ke lehernya! Coa-taijin terhuyung, gulungan surat wasiat terlepas dari tangannya, dan sebelum dia roboh, dia masih menuding ke arah Pangeran Yung Ceng dengan mata melotot, lalu dia terguling roboh dan berkelojotan.

Semua orang menjadi panik dan gempar, dan tiba-tiba Pangeran Yung Ceng sudah berteriak keras, “Itu dia pembunuhnya....!” Dan dia menuding ke atas.

Semua orang memandang dan benar saja, di atas sebatang balok melintang nampak seorang laki-laki tinggi besar bersembunyi dan hendak melarikan diri. Beberapa orang komandan pengawal bergerak dengan sigap, berloncatan ke atas dan menyerang Si Pembunuh yang terpaksa meloncat lagi ke bawah, ke dalam ruangan itu.

Dia seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya memakai kedok hitam. Gerakannya gesit dan ringan ketika dia meloncat turun, tetapi dia segera disambut oleh seorang panglima yang berkepandaian tinggi. Terjadilah perkelahian yang tidak memakan waktu terlalu lama karena pembunuh itu dikeroyok oleh banyak panglima dan komandan pengawal yang rata-rata berilmu silat tinggi dan yang pada waktu itu memang sedang berkumpul di ruangan itu. Pembunuh itu roboh oleh sebuah tendangan dan sebelum dia sempat meloncat bangun, dia telah diringkus!

Seorang panglima merenggut kedoknya terlepas dan terkejutlah semua orang ketika mengenal orang itu sebagai salah seorang di antara pengawal-pengawal dalam istana! Seorang perwira pengawal yang biasanya bertugas mengawal di dalam harem Kaisar, tentu saja di bagian luar karena di bagian dalam hanya mempunyai penjaga-penjaga para thaikam (laki-laki kebiri).

“Plakk! Plakk!” Pangeran Yung Ceng sudah meloncat ke depan dan menampari muka orang ini yang masih diringkus oleh dua orang panglima.

“Hayo katakan, siapa yang menyuruhmu melakukan pembunuhan ini?” Pertanyaan Sang Pangeran nyaring sekali, terdengar oleh semua orang dan kini keadaan menjadi sunyi karena semua orang juga ingin mendengar jawaban dari mulut penjahat itu.

Pembunuh itu memandang dengan muka pucat sekali, kemudian dia menuding ke arah Pangeran Yung Lok, yaitu Pangeran ke empat sambil berkata, suaranya menggigil, “Dia.... dialah yang menyuruhku.... Pangeran Ke Empat....”

“Bohong kau! Keparat busuk, berani kau memfitnahku?” Pangeran Yung Lok berteriak dengan nada marah sekali.

“Pembunuh busuk!” teriakan ini terdengar dari mulut Yung Ceng dan sebelum ada yang tahu atau dapat mencegah, pangeran ini telah mencabut pedangnya, dan memasukkan pedangnya itu ke dada Si Pembunuh sampai tembus ke punggungnya!

Tentu saja dua orang panglima yang meringkusnya itu cepat melepaskan dan tubuh Si Pembunuh itu terpelanting. Sambil mendekap dada dengan tangan kiri, ia menudingkan tangan kanan ke arah Pangeran Yung Ceng, lalu tangan itu membentuk cengkeraman seolah-olah dia hendak mencengkeram Pangeran itu. Akan tetapi tenaganya habis dan dia pun terkulai lemas karena pedang yang ditusukkan tadi telah menembus jantungnya!

“Seorang pengacau dan pembunuh harus dibasmi!” kata Pangeran Yung Ceng dengan suara lantang, seolah-olah hendak membela diri dengan semua perbuatannya itu. “Dan pembacaan surat wasiat tidak boleh ditunda lagi!”

Lan-thaikam, sebagai kepala di istana, lalu membuka gulungan kertas wasiat yang tadi telah diselamatkannya ketika kertas itu terlepas dari tangan pembesar Coa, kemudian membacanya dengan suara lantang.

Dengan ini kami meninggalkan pesan terakhir kami, bahwa setelah kami meninggal dunia, kami mewariskan tahta kerajaan dan kedudukan sebagai kaisar baru kepada putera kami, Pangeran Ke Empat Belas, dan penobatan agar supaya segera dilakukan sehingga singgasana tidak terlalu lama dibiarkan kosong.

Tertanda:
Kaisar Kang Hsi
.

Begitu mendengar isi surat wasiat ini terdengar habis, semua orang, seperti diberi komando oleh suara yang hanya terdengar oleh mereka, menjatuhkan diri berlutut dan semua orang berseru, “Ban-swe, ban-ban-swe,” yang artinya sama dengan ‘Hidup’, sebagai penghormatan kepada Pangeran yang diangkat menjadi Kaisar baru serta menjadi junjungan mereka yang baru itu.

Demikianlah, Pangeran Yung Ceng dengan resmi kemudian diangkat menjadi kaisar dan perintahnya yang pertama kali adalah agar Pangeran Ke Empat, yaitu Pangeran Yung Lok, ditangkap dan dihukum mati! Tetapi, para panglima yang terkejut mendengar ini, maju berlutut dan mintakan ampun. Dengan sikap bijaksaana untuk menimbulkan kesan, Sang Kaisar baru berkata bahwa mengingat akan kesetiaan para panglima itu, dia mau mengampuni Pangeran Yung Lok dan membuang Pangeran itu ke selatan.

Demikianlah sedikit riwayatnya Kaisar Yung Ceng yang ketika masih muda memang dia seorang yang memiliki kekerasan dan kemauan hati yang amat kuat, akan tetapi sayang sekali, kekerasan ini pula yang masih mendorongnya pada saat dia mulai melakukan penyelewengan-penyelewengan dalam hidup, sama kuatnya ketika dia dengan keras hati mengejar-ngejar ilmu di Siauw-lim-si.

Setelah Pangeran ini menjadi kaisar, dia semakin haus akan kekuasaan, bahkan sering kali dia bertindak sewenang-wenang hanya untuk memperlihatkan kekuasannya. Lebih parah lagi, dia mulai tergelincir ke dalam lembah nafsu birahi sehingga dia seperti tiada puasnya mendapatkan wanita-wanita yang dikehendakinya. Dia tak segan-segan untuk mengganggu isteri-isteri para pejabat, para pembesar di istana, walau pun tentu saja di antara para pembesar itu banyak pula terdapat penjilat-penjilat yang memang sengaja mempergunakan isterinya yang cantik untuk mencari jasa sehingga mereka boleh mengharapkan anugerah dari Kaisar berupa kenaikan pangkat dan sebagainya.

Mula-mula para murid Siauw-lim-pai masih menganggap Kaisar ini sebagai seorang saudara seperguruan mereka sehingga ada pula yang datang berkunjung ke istana. Dan mereka ini selalu diterima oleh Kaisar Yung Ceng dengan ramah, diperlakukan sebagai tamu agung dan sebagai saudara seperguruan sendiri.

Akan tetapi, mulailah para anak murid Siauw-lim-pai geger ketika pada suatu hari, ketika seorang murid wanita Siauw-lim-pai yang terhitung sumoi (adik seperguruan) dari Kaisar sendiri datang berkunjung, Kaisar Yung Ceng yang memandang gadis pendekar itu dengan sinar mata lain, telah memaksa sumoi-nya itu untuk menuruti kemauannya!

Gadis Siauw-lim-pai itu dirayu dan digauli dengan setengah paksa. Gadis itu kemudian membunuh diri dan Kaisar lalu menyuruh orang-orangnya untuk mengubur jenazahnya dan merahasiakan peristiwa itu. Akan tetapi, tetap saja rahasia itu bocor dan akhirnya secara selentingan terdengar oleh para anak murid Siauw-lim-pai betapa murid wanita Siauw-lim-pai itu digauli oleh Kaisar dan membunuh diri! Karena tidak ada bukti, maka Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat sesuatu, hanya mulai memandang kepada Kaisar dengan curiga.

Akan tetapi, rasa permusuhan dari Siauw-lim-pai terhadap Kaisar ini baru terasa ketika pada suatu hari datang seorang suheng dari Kaisar sendiri bersama isterinya. Suheng ini adalah seorang sahabat baik ketika Sang Kaisar masih tekun belajar di Siauw-lim-si, merupakan sahabat dan saudara terbaik.

Akan tetapi, celakanya adalah bahwa suheng ini datang bersama isterinya dan lebih celaka lagi isterinya itu adalah seorang wanita muda yang cantik manis. Seketika hati Kaisar muda itu tergiur dan karena Kaisar tahu bahwa suheng-nya itu adalah orang yang suka sekali main catur, maka dia lalu memanggil seorang thaikam yang pandai main catur.

Suheng-nya segera tenggelam di meja catur semalam suntuk dengan thaikam itu dan kesempatan ini, kesempatan yang memang sengaja diadakannya, dipergunakan oleh Kaisar untuk memasuki kamar suheng-nya yang asyik bertanding catur di ruangan tamu itu, dan diganggulah isteri suheng-nya! Diperkosanya wanita itu dengan paksa, dan oleh karena wanita itu tidak berani melawan, maka dia hanya bisa menangis saja, menyerah karena tidak berdaya. Pada esok paginya, ketika Sang Suheng kembali ke kamarnya, dia mendapatkan isterinya telah mati menggantung diri!

Peristiwa inilah yang membuat Siauw-lim-pai mengambil keputusan untuk secara resmi mengeluarkan Sang Kaisar dari Siauw-lim-pai, tidak diakuinya lagi sebagai anak murid Siauw-lim-pai! Betapa pun juga, Sang Suheng itu dapat menduga apa yang telah terjadi, mengapa isterinya itu secara tiba-tiba tanpa sebab telah membunuh diri.

Tindakan para pemimpin Siauw-lim-pai itu sungguh terlalu benar! Mengeluarkan Kaisar yang sedang berkuasa dari Siauw-lim-pai! Menganggapnya sebagai seorang murid murtad! Tentu saja hal ini amat menyakitkan hati Kaisar Yung Ceng yang mulai saat itu menganggap Siauw-lim-pai sebagai musuh, bukan lagi sebagai perguruan silat atau partai persilatan yang dibanggakannya sebagai tempat di mana dia pernah digembleng.

Akan tetapi Kaisar Yung Ceng juga tahu bahwa amatlah tidak menguntungkan kalau dia menuruti perasaan dendam pribadi dan menggempur Siauw-lim-pai dengan pasukan, karena betapa pun juga partai persilatan itu sangat kuat dan merupakan hal yang amat merugikan kalau pemerintah menghadapinya sebagai musuh. Betapa pun juga, orang orang Siauw-lim-pai masih dapat banyak diandalkan kalau negara menghadapi musuh dari luar. Maka sakit hati itu pun disimpannya di dalam hati dan menimbulkan dendam dan rasa tidak suka saja.

Demikianlah riwayat dan keadaan Kaisar Yung Ceng. Putera Kaisar itu, yaitu Pangeran Kian Liong merasa sangat berduka kalau dia memikirkan semua perbuatan ayahnya. Sampai kini pun ayahnya itu mudah sekali tergila-gila kepada wanita cantik. Pangeran yang bijaksana ini pun tahu bahwa ayahnya kini terjatuh ke dalam cengkeraman dan pelukan selir ke tiga yang pandai merayu dan yang bersekutu dengan Sam-thaihouw, yaitu Ibu Suri Ke Tiga yang agaknya amat disegani dan dihormati oleh ayahnya.

Dia tidak tahu bahwa memang ayahnya yang kini menjadi kaisar amat tunduk kepada Ibu Suri Ke Tiga karena ibu suri ini amat berjasa kepada ayahnya. Dia tidak tahu bahwa memang ada persekutuan antara ayahnya, Sam-thaihouw, dan Lan-thaikam yang juga merupakan kepala istana yang menguasai semua pejabat dan pembantu yang bekerja di dalam istana, dan bahwa Kaisar amat percaya kepada orang kebiri tua ini.

Hal yang amat menggelisahkan hati Pangeran Kian Liong adalah peristiwa yang terjadi bulan lalu. Ketika itu Jenderal Kao Cin Liong memimpin pasukan untuk menggempur pergolakan di barat, di perbatasan Himalaya, untuk membantu Tibet yang diserang oleh Nepal. Dan pada waktu itu, di kota raja dikabarkan banyak terdapat mata-mata musuh.

Mungkin karena memang ada mata-mata yang menyelundup ke dalam kuil, atau memang hanya dipergunakan sebagai alasan saja oleh Kaisar yang memang sudah membenci Siauw-lim-pai, Kaisar memerintahkan untuk menyerbu kuil Siauw-lim-si yang merupakan cabang dari pusat Siauw-lim-pai, sebuah kuil yang cukup besar di kota raja, di mana para hwesio Siauw-lim-pai lebih banyak mengurus soal pelajaran agama dari pada ilmu silat.

Serbuan itu merupakan gerakan pertama dari Yung Ceng yang memusuhi Siauw-lim-pai semenjak dia dipecat dari keanggotaannya. Kuil itu dibakar, semua pendetanya diusir, bahkan dalam bentrokan itu ada beberapa orang pendeta yang tewas. Akan tetapi karena alasan penyerbuan itu adalah untuk mencari dan membasmi mata-mata yang dikabarkan bersembunyi di kuil, maka pihak Siauw-lim-pai tidak dapat berbuat apa-apa, hanya memesan kepada semua muridnya agar berhati-hati karena jelas bahwa Kaisar membenci Siauw-lim-pai.

Hal ini pun membuat Pangeran Kian Liong merasa berduka dan prihatin sekali, karena dia tahu bahwa semenjak dulu, Siauw-lim-pai merupakan partai besar yang berdasarkan agama, yang tugasnya menyebarkan keagamaan di samping memberi pelajaran ilmu silat tinggi dan terdiri dari rata-rata orang-orang budiman dan pendekar-pendekar gagah perkasa yang tidak pernah memberontak terhadap negara.

Ketika rombongan Pangeran Kian Liong yang disertai oleh Kao Kok Cu dan Wan Ceng, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, pada malam hari itu memasuki kota raja, di istana terjadi kegemparan besar. Untunglah bahwa Pangeran Kian Liong berkeras mengajak dua pasang suami isteri itu langsung pergi ke istana dan menjadi tamu-tamunya.

“Kita telah melakukan perjalanan jauh, sebaiknya kalau kalian berempat langsung saja ke istana dan mengaso. Besok baru kita akan menghadap Ayahanda Kaisar.”

Akan tetapi, ternyata bahwa ketika mereka tiba di istana, di situ terjadi hal yang amat hebat. Kiranya malam hari itu, istana diserbu oleh seorang dara perkasa dan tujuh orang pendeta Siauw-lim-pai yang menyamar sebagai pengawal-pengawal istana!

Ketika itu, Kaisar baru saja memasuki kamarnya dan selir ke tiga telah datang untuk melayaninya ketika tiba-tiba di luar kamar itu terjadi keributan dan tiba-tiba terdengar teriakan nyaring.

“Ada penjahat....!”

Kaisar Yung Ceng adalah seorang kaisar yang memiliki ilmu silat Siauw-lim-pai yang cukup tinggi, bukan seorang kaisar yang lemah, maka mendengar seruan ini, dia bukan lari berlindung, sebaliknya malah meloncat keluar dari dalam kamar, sedikit pun tidak merasa takut. Dan begitu keluar, dia sudah diserang oleh seorang dara yang berpakaian ringkas berwarna putih dan dibantu seorang hwesio yang menyamar dalam pakaian pengawal istana, akan tetapi yang kini telah membuang penutup kepalanya sehingga nampak kepalanya yang gundul. Selain dua orang ini yang mengeroyok Kaisar, masih ada enam orang hwesio lain yang semua menyamar dalam pakaian pengawal sedang bertempur dikepung oleh banyak pengawal istana.

“Ai Seng Kiauw manusia keji, bersiaplah engkau untuk mampus!” gadis itu membentak marah dan telah menyerang dengan dahsyatnya, menggunakan sebatang pedang yang tadi disembunyikan di balik jubahnya.

Hwesio tinggi besar yang membantunya juga telah menyerang Kaisar dengan sebatang golok, namun Kaisar Yung Ceng dengan sigapnya sudah meloncat lagi ke dalam kamar, menyambar sebatang pedang yang tergantung di kamarnya, lantas melawan dengan gagah. Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,

“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”

Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayang menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.

Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.

“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan dari mana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.

“Li Hwa, kau larilah!” Hwesio tinggi besar itu berseru.

Walau dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan sangat berbahaya maka sekali loncat dia pun telah lenyap melalui jendela kamar.

Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti pedang pusaka menyambar, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.

Biar pun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biar pun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.

Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi menyerang Kaisar bersama gadis itu, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.

“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suheng-nya sendiri, dan biar pun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami para murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!

Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suheng-nya sendiri saat dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar kemudian menghampiri dan membentak, “Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”

Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.

“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berubah merah saking marahnya.

“Ha-ha-ha-ha!” Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya.

Melihat ini, Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar. Syanti Dewi sendiri sampai membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu.

Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati. “Cepat cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.

Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, jaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Untung sekali kalian datang,” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya. Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, lalu kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.

“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi.

Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.

Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan, “Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”

Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk. “Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”

Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata, “Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dahulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”

Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali, “Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”

Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Keempat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa amat heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak lagi batang hidungnya!

Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini kemudian menyelinap dan melakukan pengejaran.

Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biar pun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.

Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susiok-nya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susiok-nya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana. Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.

Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.

“Sssttt.... ke sinilah, Nona....,” kata pemuda itu berbisik.

Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia kemudian menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.

“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka,” pemuda itu berkata.

Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu.

Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar. Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Tetapi dia terheran-heran ketika melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.

“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.

Komandan pasukan pengawal itu lalu menjawab dengan suara penuh hormat, “Harap maafkan jika hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”

“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”

Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.

Sunyi sekali di situ. Namun dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!

“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”

Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya, “Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”

Pangeran Kian Liong mengangguk. “Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”

“Ahhh....!” Gadis itu nampak terkejut sekali dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya. “Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona, dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.”

Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu dapat mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku yang terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas yang beraneka warna dan bentuk, yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.

“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba…. sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.

Pangeran Kian Liong mengangguk maklum. “Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapa pun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar.”

Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri. Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik. Dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.

Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biar pun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah mala petaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana. Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan mala petaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun dan bahagia itu.

“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....” Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya.

Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.

Li Hwa kemudian melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi masa mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia. Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.

“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami telah gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”

Pangeran Kian Liong memandang tajam. Meski dia masih muda dan bukan merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya. Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.

“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiok-mu yang terkepung itu?”

Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berubah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab. “Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....”

Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya itu dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, yaitu putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!

“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”

“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... dan hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan kini, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”

Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran. “Ahh, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”

“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”

“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”

Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan. “Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya. “Benarkah itu? Suhu-mu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku karena kelemahannya sendiri, Nona.”

“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”

“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhu-mu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhu-mu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi! Coba bayangkan, andai kata dia tidak datang ke istana, dan andai kata dia tidak membawa isterinya, dan andai kata isterinya itu tidak cantik, dan andai kata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih banyak andai kata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apa pun juga, merupakan pemberontakan!”

Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.

“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”

Pangeran itu tersenyum lebar. “Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkah engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”

Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biar pun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!

“Aku.... aku tidak tahu....”

“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”

“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”

Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala, “Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam keadaan sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”

Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, semakin lama semakin dekat. “Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”

Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata, “Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”

“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”

“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala di bawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”

Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.

Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.

“Maaf, Pangeran,” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”

Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya. “Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu, aku lagi!”

Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.

Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.

“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”

Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup. “Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”

Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut. Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguh pun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.

Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian ia mengambil satu stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa. “Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.”

Li Hwa menerima pakaian itu dengan muka berubah merah, lalu dia pergi ke balik tirai hijau yang tergantung di sudut kamar, menanggalkan pakaiannya yang basah, lalu mengenakan pakaian Pangeran itu yang tentu saja agak terlalu besar untuknya. Ketika dia telah selesai dan keluar dari balik tirai sambil membawa pakaiannya yang basah dan sudah digulungnya, Pangeran itu memandang dengan wajah berseri dan kagum.

“Ah, engkau telah berubah menjadi seorang kongcu yang tampan sekali!”

Li Hwa menunduk dan mukanya menjadi merah. Makin lama dia merasa makin tertarik kepada Pangeran ini sebagai seorang yang amat bijaksana dan dapat menghargai orang kang-ouw, juga amat adil dan berpandangan luas. Sekarang dia bertemu dengan Pangeran ini dan menyaksikan sendiri tindak-tanduk Pangeran ini yang memang amat bijaksana.

“Sekarang, bagaimana selanjutnya, Pangeran?” tanya Li Hwa sambil mengangkat muka memandang pangeran itu.

Kembali Pangeran Kian Liong terpesona. Sekarang mereka berada di dalam kamarnya yang terang dan dia melihat dengan jelas wajah itu, sepasang mata itu dan dia merasa benar-benar kagum sekali hingga pertanyaan itu seperti tak terdengar olehnya. Melihat betapa Pangeran itu memandang bengong kepadanya, Li Hwa kembali menunduk dan barulah Sang Pangeran sadar.

“Ohhh.... sekarang.... hemm, biarlah sekarang aku akan mengantarmu sendiri sampai keluar dari istana. Tidak akan ada yang berani menyentuh selembar rambutmu, Nona. Kemudian, setelah tiba di luar istana, engkau boleh keluar dari kota raja dan kau pakailah cincinku ini. Dengan cincin ini dan sepucuk suratku ini, engkau akan dapat pergi ke mana pun juga tanpa ada yang berani mengganggumu.” Pangeran itu lantas meloloskan sebuah cincin bermata merah yang ada ukiran huruf-huruf namanya, berikut sampul surat yang ditulisnya ketika Li Hwa bertukar pakaian tadi.

Li Hwa menerima cincin dan sampul itu, lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sang Pangeran. “Pangeran telah menyelamatkan hamba, hamba telah hutang nyawa kepada Paduka. Hamba tak mungkin dapat membalasnya dan....”

“Li Hwa, bangkitlah.” Sang Pangeran memegang kedua pundaknya dan menariknya berdiri. Mereka berdiri berhadapan dekat sekali dan kedua tangan Pangeran itu masih berada di atas pundak Li Hwa. “Engkau tak perlu membalas, tak perlu berterima kasih. Aku akan merasa girang sekali kalau engkau mau membuang jauh-jauh dendam dari hatimu itu.”

Dara itu menunduk, dan mengangguk, lalu mengangkat muka memandang. Sepasang matanya bersinar lembut dan bisikannya menggetar. “Demi Paduka, mengingat akan kebijaksanaan Paduka, hamba berjanji akan membuang dendam itu, Pangeran. Kini hamba melihat bahwa memang tiada gunanya semua itu, bahkan Paduka sendiri yang semestinya yang menghukum hamba, bersikap begini mulia.”

“Bagus! Aku girang sekali, Li Hwa. Dan ingatlah, kelak.... kalau aku sudah menjadi kaisar....”

“Ya....?” Li Hwa mendesak, melihat pemuda bangsawan itu nampak malu-malu untuk melanjutkan ucapannya.

“....dan jika engkau masih bebas.... engkau boleh datang ke sini mengembalikan cincin ini...., dan engkau selamanya boleh tinggal bersamaku di dalam istana.... tentu saja di sampingku....”

Jantung Li Hwa berguncang keras, jalan darahnya menjadi cepat dan dia menundukkan muka sampai dagunya menempel di dada. Sungguh tak disangka-sangkanya sama sekali ucapan Pangeran ini! Dia sudah merasa berhutang budi, putera Kaisar yang sepatutnya menyerahkannya kepada pengawal, yang sepatutnya menghukumnya sebagai seorang pemberontak yang berusaha membunuh Kaisar, bukan hanya malah menyelamatkannya, menolongnya, bahkan kini secara tidak langsung mengaku cinta kepadanya dan minta dia untuk kelak mendampinginya atau menjadi isterinya!

Rasa haru yang amat mendalam membuat Li Hwa memejamkan matanya, hampir tidak percaya akan kata-kata yang didengarnya tadi. Kalau Pangeran ini bersikap kasar atau merayunya, mencoba untuk memperkosanya, hal itu tidak akan mengherankan hatinya, bahkan tadi dia sudah mempunyai dugaan seperti itu dan diam-diam sudah mengambil keputusan bahwa kalau Pangeran itu mencoba untuk memperkosanya atau bersikap kurang ajar kepadanya, dia akan membunuh Pangeran itu lalu mengamuk sampai titik darah terakhir.

Akan tetapi, sama sekali tidak terjadi hal seperti itu! Sang Pangeran ini bukan saja telah menyelamatkannya, bahkan bersikap amat sopan dan baik sekali kepadanya, bahkan kini menyatakan cintanya dengan cara tidak langsung, malah ‘meminangnya’ secara tidak langsung pula! Dia merasa terharu sekali, dan merasa terpukul betapa tadi dia merasa curiga dan mengira bahwa Pangeran itu akan memperkosanya…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar