Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 36-40

Kho Ping Hoo, Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 36-40 Setelah meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil menundukkan mukanya.
Anonim
Setelah meningggalkan Hong Bu, Ci Sian melakukan perjalanan seorang diri sambil menundukkan mukanya. Ia tak tahu ke mana kakinya melangkah, pokoknya kembali ke timur. Ia harus mencari suheng-nya. Ia tak mau menerima begitu saja sikap suheng-nya yang meninggalkan ia hidup sendirian di dunia yang kejam ini. Ia sungguh tak mengerti sikap suheng-nya. Suheng-nya itu nampak demikian cinta kepadanya, tetapi mengapa tiba-tiba saja suheng-nya meninggalkannya?

Dan bagaimana pula dengan Hong Bu itu? Ia benar-benar bingung mengenangkan sikap dan kata-kata Hong Bu. Pemuda itu begitu saja menyatakan cinta padanya. Benarkah Hong Bu cinta padanya? Kiranya hal itu memang benar. Buktinya, selain Hong Bu mengakui cintanya, juga pemuda itu bahkan rela untuk dibunuhnya dan sama sekali tidak hendak melawan ketika ia menodongnya dengan suling. Betapa mudahnya untuk membunuh Hong Bu saat itu, dan pemuda itu hanya pasrah saja, Hong Bu memang jatuh cinta padanya! Dan Kam Hong? Apakah suheng-nya itu tidak cinta padanya?

Dan bagaimana dengan ia sendiri? Apakah ia dapat menerima cinta Hong Bu? Apakah ia juga dapat membalas cintanya itu? Dan bagaimanakah perasaannya terhadap suheng-nya? Ci Sian bingung sendiri menghadapi pertanyaan-pertanyaan hatinya ini. Ia tidak tahu apakah ia mencinta mereka. Yang ia ketahui adalah bahwa ia merasa kehilangan dan bersedih ketika ditinggalkan Kam Hong. Dan ia juga amat suka kepada Hong Bu dan agaknya, ia akan suka melakukan perjalanan dengan pemuda itu di sampingnya, sebagai sahabatnya, kalau saja Hong Bu bukan musuhnya, musuh Kam Hong, dan terutama sekali kalau saja pemuda itu tidak lancang menyatakan cintanya!

Cinta asmara adalah pengikatan. Dan ikatan antara dua orang manusia, atau juga antara manusia dengan benda atau dengan gagasan. Ikatan seperti ini dapat timbul melalui kebiasaan, melalui pergaulan. Seseorang yang dekat dengan seorang lain, yang dapat merasakan banyak kenikmatan dari pergaulannya itu, akan menjadi biasa dan terikat, dan akan sakitlah kalau pada suatu saat ia harus terpisah dari orang lain itu, baik orang lain itu anaknya, isterinya, suaminya, orang tuanya atau pun sahabatnya. Bahkan dengan benda pun dapat terjadi hal seperti itu.

Cinta asmara atau cinta yang timbul karena kenikmatan adalah pengikatan yang dapat timbul dari kebiasaan atau pergaulan yang erat. Kita sejak kecil sudah terbiasa untuk mengikatkan diri kita secara batiniah kepada segala sesuatu yang menimbulkan kenikmatan atau kesenangan. Dan justru ikatan inilah yang menjadi sebab utama dari pada rasa takut akan kehilangan, dan rasa duka karena perpisahan
.

Beberapa pekan kemudian, pada suatu hari, pagi-pagi sekali Ci Sian yang melakukan perjalanan ke timur itu tiba di sebuah padang rumput yang amat luas. Tempat itu amat sunyi, jauh dari pedusunan dan ia semakin merasa betapa ia seorang diri saja di dunia ini. Berdiri menghadapi padang rumput yang sedemikian luasnya, di lereng bukit, memandang ke kaki langit yang tidak memperlihatkan tanda-tanda adanya rumah atau manusia, mendatangkan rasa kesepian yang mencekik. Keadaan di situ hening sekali. Ci Sian melihat rumput-rumput hijau seperti air samudera yang bergelombang kecil, ujungnya digerakkan angin berombak-ombak amat indahnya, mengeluarkan bunyi berdesau seperti desau keluhan hatinya di saat itu.

Tiba-tiba ia mendengar ringkik kuda di depan, di balik puncak bukit. Kesepiannya yang mencekam itu membuyar dan timbul harapan akan bertemu dengan manusia. Sudah sejak kemarin dulu ia tidak bertemu manusia di daerah yang amat sunyi itu. Maka ia pun bergerak dan berlari menuju ke puncak bukit. Setelah ia tiba di puncak itu, ia berhenti dan memandang dengan penuh kagum ke bawah puncak.

Di sana, di padang rumput yang subur ia melihat sekumpulan kuda yang bergerak bebas, sedang makan rumput dan berkejaran. Sekumpulah kuda yang amat baik, akan tetapi pandang mata Ci Sian melekat kepada seekor kuda berbulu hitam yang menjadi pemimpin kuda-kuda itu. Kuda hitam yang bertubuh ramping dan nampak kuat sekali, dengan leher yang panjang dan gerakan yang lincah. Dan dari puncak itu, nampaklah atap-atap rumah di bawah bukit. Pemandangan ini membuat hatinya lega. Bukan hanya sekumpulan kuda yang sedang makan rumput itu yang amat indah dipandang, akan tetapi juga atap rumah-rumah dusun itu. Ia sudah dekat dengan sebuah dusun, akan bertemu dengan manusia, dan akan dapat makan makanan yang pantas.

Dengan hati-hati ia lalu turun dari puncak agar tidak mengejutkan sekelompok kuda itu. Matanya tidak pernah terlepas dari kuda hitam yang amat indah itu, dan diam-diam ia merasa kagum dan suka sekali karena ia maklum bahwa kuda itu amat baik dan jarang ia melihat seekor kuda sebaik itu.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut dan memandang terbelalak ke depan. Ia melihat ada dua orang laki-laki yang menghampiri sekumpulan kuda itu dan anehnya, kuda hitam itu meringkik dengan nyaring, mengangkat kedua kaki ke atas, agaknya untuk memberi tanda kepada teman-temannya dan sekumpulan kuda itu lalu lari cerai-berai! Sikap sekumpulan kuda itu jelas membuktikan bahwa mereka tidak biasa dengan dua orang itu atau melihat orang-orang asing mendekati mereka.

Dan Ci Sian melihat dengan jelas bahwa dua orang itu bermaksud menangkap kuda hitam! Dan ia pun mengerti bahwa dua orang itu ternyata memiliki gerakan yang amat ringan sekali. Seorang di antara mereka, yang bertubuh kecil, kurus dan pendek, dengan gerakan seperti seekor burung terbang telah meloncat ke depan kuda itu dan mengangkat kedua tangan.

Kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, dan hendak menubruk laki-laki kurus itu. Tetapi pada saat kuda itu mengangkat tubuhnya ke atas, kepalanya tinggi-tinggi di udara dan dengan hidung mendengus-dengus, tiba-tiba ada sinar hitam melayang dan ternyata itu adalah sebatang tali laso yang dilemparkan oleh pria ke dua, yaitu yang bertubuh tinggi besar. Cepat sekali tali laso itu meluncur dan si kuda hitam tidak sempat mengelak, tali laso sudah menjerat lehernya. Binatang itu meringkik keras dan meronta-ronta.

“Cepat naik ke punggungnya dan jinakkan dia!” kata orang tinggi besar itu kepada temannya.

Si Kurus Pendek meloncat lagi dan diam-diam Ci Sian kagum karena memang ginkang dari Si Kurus itu hebat sekali. Sekali meloncat saja Si Kecil itu sudah melayang ke atas punggung kuda hitam itu, dan sudah duduk di atas punggungnya.

Kuda hitam meringkik semakin keras dan tubuhnya menggeliat-geliat, meronta-ronta dan meloncat-loncat, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan berusaha untuk melemparkan orang yang menempel di punggungnya. Akan tetapi Si Kecil itu agaknya memang seorang ahli menunggang kuda, karena seperti seekor lintah dia menempel di atas punggung dan tetap duduk di situ biar pun kuda itu berusaha melemparkannya dengan meloncat-loncat lucu, melekuk-lengkungkan punggung sejadi-jadinya. Sampai lama sekali kuda itu meronta-ronta dan Si Kecil itu dengan susah payah berusaha bertahan, diberi semangat oleh temannya dengan teriakan-teriakan.

Ci Sian yang menonton perjuangan kuda hitam itu, yang dengan sekuat tenaga hendak membebaskan diri dari pengganggunya, merasa tegang dan diam-diam ia berpihak kepada si kuda hitam, mengharapkan kuda itu berhasil melempar Si Penunggang dan menang! Maka ia ikut mengepal tinju ketika kuda itu menjerit-jerit dan meringkik-ringkik, dan tiba-tiba saja kuda itu menjatuhkan dirinya ke kanan dan tentu dengan maksud hendak bergulingan agar pengganggu di punggungnya itu tergencet!

Orang tinggi besar itu terkejut sekali dan berteriak, “Cepat pergi!”

Tentu saja Si Kecil itu lebih kaget lagi. Dan untung dia memiliki ilmu ginkang yang hebat, maka ia dapat melempar tubuhnya dengan loncatan cepat menghindarkan diri sehingga tidak sampai tergencet! Ci Sian hampir bersorak gembira ketika kuda itu bangun kembali dan meringkik-ringkik seperti yang bersorak karena menang. Akan tetapi, pada saat itu, Si Tinggi Besar yang agaknya menjadi marah, telah menggunakan kedua tangannya untuk memegang ujung tali laso dan menahan, menariknya dengan kuat.

Kuda itu tertarik dan hampir terjatuh, akan tetapi kuda itu bangkit kembali dan mengerahkan tenaga, melawan tenaga tarikan itu. Tali itu tadi agak turun mengalungi pangkal lehernya yang besar dan kini dia menarik sekuat tenaga, ditahan oleh orang tinggi besar itu. Terjadilah pertandingan yang lain lagi dengan tadi. Kalau tadi kuda itu berusaha melempar penunggangnya dan dia berhasil, kini dia mengadu tenaga dengan Si Tinggi Besar yang nampak kuat itu. Si Tinggi Besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang agak merendah dan mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya, kalau temannya tadi seorang ahli ginkang, maka dia sendiri adalah seorang yang memiliki tenaga raksasa!

Kembali Ci Sian, mengepal tinju dan diam-diam ia pun mengerahkan tenaganya seperti hendak membantu kuda hitam itu. Tali yang mengikat pangkal leher kuda itu menegang, tertarik antara dua kekuatan besar dan akhirnya, orang tinggi besar itu menyumpah-nyumpah dan tubuhnya terseret ke depan! Ci Sian sekali ini tidak dapat menahan ketawanya. Untung jarak antara ia dan orang-orang itu cukup jauh sehingga suara ketawanya tidak sampai terdengar orang.

Akan tetapi, dua orang itu kini melompat ke depan kuda hitam dan mereka menggerak-gerakkan tangan mereka yang memegang sehelai kain hitam, dikibas-kibaskan di depan muka kuda itu. Dan kuda hitam itu berbangkis-bangkis, meringkik dan menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian terhuyung-huyung seperti mabok dan menjadi lemas, berdiri dengan kepala menggantung ke bawah, tubuhnya gemetaran.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. ”Pencuri-pencuri kuda busuk!”

Dan muncullah seorang kakek tinggi kurus yang membawa sebatang cambuk kuda.

“Tar-tar-tarrr!”

Cambuk kudanya itu diledak-ledakkan di udara dan dengan sikap mengancam dia lalu menghampiri dua orang itu. Mendengar bentakan ini, Ci Sian menjadi tertarik dan baru ia tahu bahwa dua orang yang berusaha menangkap kuda hitam itu adalah pencuri-pencuri kuda! Maka ia pun cepat lari ke tempat itu karena ia melihat betapa Si Kecil tadi telah menuntun kuda hitam untuk dibawa lari dari situ, sedangkan Si Tinggi Besar telah menyambut kakek yang memegang cambuk itu dengan permainan tali lasonya.

Pencuri kuda yang bertubuh kecil itu kini sudah menuntun kuda hitam yang menjadi jinak karena pengaruh obat bius yang dikebut-kebutkan dari kain hitam tadi, menjauhi tempat itu, sedangan kawannya yang lihai menahan kejaran Si Kakek pemilik kuda. Akan tetapi tiba-tiba dia melihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu di depan kuda itu telah berdiri seorang dara yang cantik dan bersikap gagah, berdiri sambil bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan alis berkerut marah seperti seorang dewasa melihat kenakalan seorang anak-anak saja.

“Ehh, maling Cilik! Mau dikemanakan kuda orang ini?” bentak Ci Sian dengan suara lantang.

Ia melihat bahwa laki-laki itu tidak muda lagi, akan tetapi karena tubuhnya katai dan kecil, bahkan kalah tinggi olehnya, amat sukar diduga berapa sesungguhnya usianya, akan tetapi melihat wajah yang sudah agak berkeriput itu, tentu tidak kurang dari lima puluh tahun.

Orang pendek kecil itu tadinya terkejut, akan tetapi setelah melihat bahwa yang menghadangnya hanyalah seorang dara remaja yang hanya cantik dan bersikap tabah saja, akan tetapi sama sekali tidak membawa senjata dan tidak menunjukkan seorang ahli silat, dia memandang rendah dan tersenyum lebar. Ci Sian heran melihat betapa orang yang segala-galanya serba kecil itu ternyata mempunyai mulut yang besar. Baru nampak lebarnya ketika tersenyum, karena seolah-olah mukanya robek di tengah-tengah sampai ke telinga.

“Heh, gadis manis, minggirlah dan jangan mencampuri urusan orang tua. Sayang kalau sampai pipimu yang halus itu tertabrak kuda hitam dan menjadi terluka. Minggirlah, anak baik, biarkan kakekmu lewat!”

“Hemm, maling kuda adalah maling yang paling busuk di antara segala maling!” kata Ci Sian dan memang apa yang dikatakannya itu benar.

Di antara kaum kang-ouw, rata-rata mereka membenci maling kuda, bahkan maling yang paling rendah sekali pun tidak sudi dinamakan maling kuda. Mungkin istilah maling paling busuk di dunia bagi maling kuda ini didasarkan atas pertimbangan bahwa kuda merupakan milik yang paling penting bagi kehidupan seorang perantau, jadi kalau diambil kudanya, maka perbuatan pencuri itu amatlah kotor dan kejamnya.

Kiranya Si Katai itu pun bukan tidak mengenal kata-kata ini, karena mukanya tiba-tiba berubah merah, bukan hanya karena malu, akan tetapi terutama sekali karena marah, “Bocah setan, engkau memang bosan hidup agaknya!”

Dan tubuhnya dengan amat cepatnya melesat ke depan, dan tahu-tahu dia telah menyerang Ci Sian dengan totokan pada pundak dan lambung dara itu! Agaknya maling bertubuh kecil ini memandang rendah kepada Ci Sian, dan disangkanya bahwa sekali serang dia akan dapat merobohkan dara remaja itu. Akan tetapi, dia kecelik bukan main karena begitu Ci Sian menggerakkan tangan kirinya menampar, sebaliknya malah tubuh Si Maling itu sendiri yang terpelanting dan terbanting keras ke atas tanah!

Akan tetapi, dasar ia tidak tahu diri. Dia masih belum mau percaya bahwa dia akan kalah oleh dara remaja itu, maka dengan kemarahan semakin memuncak, ia merangkak bangun dan mencabut sebatang ruyung dari punggungnya. Tanpa mengeluarkan suara lagi dia sudah menerjang maju, menyerang Ci Sian dengan ganasnya.

Akan tetapi, jika hanya kepandaian maling ini saja, masih jauh untuk dapat menandingi Ci Sian. Gadis ini melihat gerakan yang dianggapnya lemah dan lambat, biar pun ia tahu bahwa kakek kecil ini mempunyai kecepatan yang lebih dari pada orang biasa. Melihat ruyung menyambar, Ci Sian hanya miringkan sedikit tubuhnya, membiarkan ruyung lewat.

“Plakkk!”

Terdengar suara begitu tangan kirinya menyambar, dan kepala maling itu telah kena tampar di pangkal telinganya. Tubuhnya terputar dan terpelanting, roboh terbanting untuk kedua kalinya, akan tetapi sekali ini agak hebat. Ruyungnya terlepas dan dia mencoba bangkit, akan tetapi matanya menjadi juling karena dia melihat betapa dunia telah berputar di sekelilingnya!

Sementara itu, perkelahian antara kakek pemilik kuda dan maling kuda yang tinggi besar itu terjadi dengan serunya. Kepandaian mereka seimbang, akan tetapi karena Si Tinggi Besar itu memiliki tenaga yang besar dan lebih kuat, Si Kakek terdesak dan sudah beberapa kali dia kena disabet oleh tali laso itu.

Ketika Ci Sian berhasil merobohkan lawannya yang menjadi pening tujuh keliling dan tidak dapat bangkit lagi, dara ini cepat menghampiri mereka yang sedang bertempur. Akan tetapi pada saat itu, Si Tinggi Besar telah berhasil melaso kakek pemilik kuda itu. Untungnya kakek itu dapat meronta sehingga tali laso itu tidak membelit lehernya, melainkan membelit dadanya dan terjadilah tarik-menarik!

Kakek itu kalah kuat dan hampir terdorong ke depan. Akan tetapi, Ci Sian datang dan dengan tangan kirinya ia memegang tali itu pada tengah-tengahnya, kemudian dengan suatu sentakan tiba-tiba, sambil membentak nyaring ia membuat Si Tinggi Besar itu terpelantlng dan terbanting keras! Si Tinggi Besar terkejut dan marah sekali. Dia melepaskan talinya dan menyerang Ci Sian dengan tubrukan bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Dikiranya kalau dia mampu menerkam dara remaja itu, tentu dara itu takkan mampu bergerak lagi. Akan tetapi, Ci Sian sengaja membiarkan orang itu menubruk dekat dan tiba-tiba saja, tubuhnya menyelinap pergi.

“Brukkk....!”

Si Tinggi Besar yang sudah merasa yakin akan kemenangannya itu menubruk tempat kosong dan tengkurap seperti anak-anak menubruk katak dan luput! Dia bangkit dengan muka merah, membalik dan melihat Ci Sian berdiri sambil bertolak pinggang dan tersenyum mengejek, dia lalu menyerang dengan pukulan tangannya yang besar dan kuat itu. Ci Sian melangkahkan kaki kirinya ke belakang, lalu memutar tubuh miring dan ketika lengan yang besar itu menyambar lewat, dengan perlahan ia menggunakan jari tangannya mengetuk jalan darah di dekat siku.

“Tukkk....!”

Perlahan saja ketukan itu, akan tetapi karena tepat mengenai jalan darahnya, Si Tinggi Besar itu mengaduh dan menekuk lengannya yang tiba-tiba saja menjadi kaku dan kejang. Pada saat itu pula, Si Katai sudah kehilangan peningnya dan dia sudah lari menghampiri.

“Siauw-te, mari kita bekuk dulu bocah setan ini!” kata Si Katai kepada Si Tinggi Besar yang juga sudah bangkit kembali sambil menggoyang-goyang kepala seperti hendak mengusir kepeningannya karena terbanting tadi.

Si Katai telah memungut lagi ruyungya yang tadi terpental, dan kini Si Tinggi besar juga mencabut sebatang golok dari punggungnya. Dengan sikap mengancam, dua orang pencuri kuda itu menghampiri Ci Sian yang masih berdiri dengan tenang dan bertolak pinggang.

Melihat ini, pemilik kuda tadi yang maklum bahwa dara itu datang membantunya, segera membentak. “Maling-maling keji, jangan mengganggu anak perempuan!”

Akan tetapi Ci Sian berkata halus, “Lo-pek, biarlah. Dua ekor tikus itu harus diberi hajaran keras agar kelak tidak berani lagi mencuri kuda.”

Melihat sikap dara itu yang tenang-tenang saja menghadapi ancaman dua orang kasar itu, Si Kakek pemilik kuda lalu diam dan hanya memegang cambuk erat-erat, siap membantu kalau gadis itu terancam bahaya. Dia mulai dapat menduga bahwa tentu gadis itu bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar wanita yang lihai, maka sikapnya begitu tenang menghadapi ancaman dua orang bersenjata itu.

Dua orang yang marah itu, dan yang menganggap Ci Sian sebagai batu penghalang yang menggagalkan usaha mereka membawa kuda hitam yang sudah hampir berhasil tadi, dengan marah menerjang dari kanan kiri, menggerakkan ruyung dan golok dengan ganasnya. Akan tetapi, dengan amat mudah Ci Sian mengelak ke sana sini, ke kanan kiri dan kadang-kadang melompat tinggi, dan semua sambaran senjata itu tiada yang mengenai tubuhnya, bahkan menyentuh ujung bajunya saja tidak!

“Lepaskan senjata!” Mendadak Ci Sian berseru nyaring dan.... kakek pemilik kuda itu menyaksikan hal yang aneh.

Dua orang itu, seperti anggota pasukan yang diperintah oleh aba-aba komandannya, melepaskan senjata mereka masing-masing! Sebenarnya tidak terjadi keanehan atau sihir seperti yang disangka oleh kakek itu, melainkan karena kecepatan gerakan Ci Sian tidak terlihat olehnya. Bukan dara ini melakukan sihir, melainkan dengan cepat sekali ia sudah membalas serangan sambil berloncatan mengelak tadi, menotok pundak kanan mereka sambil membentak dan karena totokanya tepat mengenai jalan darah, maka seketika dua orang itu merasa lengan kanan mereka lumpuh, dan tentu saja senjata yang mereka pegang itu terlepas. Dan selagi mereka belum sempat bergerak, dengan tubuh yang masih setengah lumpuh, tiba-tiba Ci Sian menyambar punggung baju Si Kecil, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi dan melontarkannya ke arah Si Tinggi Besar.

“Brussss....!”

Kaki Si Kecil mengenai dada Si Tinggi Besar sedangkan tangan kiri Si Tinggi Besar yang hendak menangkis tadi menghantam muka Si Kecil. Keduanya lantas terpelanting bergulingan.

“Ehhh, Siauw-te, kenapa kau memukulku?” Si Kecil mengomel.

“Dan engkau menendang dadaku!” Si Tinggi Besar juga membentak.

Keduanya bangkit, akan tetapi tiba-tiba ada tangan kecil halus yang bukan main kuat mencengkeram tengkuk baju mereka dan sekali Ci Sian menggerakkan kedua tangan, kepala dua orang itu bertumbukan.

“Brukkkk....!”

Dan keduanya menjadi nanar! Ci Sian lalu memandang ke kanan kiri dan melihat benda-benda hitam di sana, benda-benda hitam kehijauan, yaitu tahi-tahi kuda, ia lalu membawa mereka ke tempat itu dan melemparkan mereka di antara tumpukan tahi-tahi kuda itu sehingga muka mereka berlepotan tahi kuda!

“Nah, pencuri-pencuri kuda harus makan tahi kuda!” katanya sambil tertawa gembira.

“Tar-tar-tarrr....!” Kakek pemilik kuda memainkan pecut kudanya hingga meledak-ledak dan ujung pecut itu menyambar-nyambar mengenai punggung dan tubuh dua orang itu bergantian.

“Pencuri-pencuri kuda harus merasakan lecutan cambuk kuda!” katanya sambil tertawa gembira pula.

Sengatan-sengatan ujung pecut membuat dua orang pencuri berteriak-teriak kesakitan dan mempercepat mereka merangkak bangun, kemudian sambil melindungi punggung dan pinggul yang disambar lecutan cambuk, dengan muka yang hitam coreng-moreng terkena kotoran kuda, mereka melarikan diri, diikuti suara ketawa Ci Sian yang merasa betapa lucunya adegan itu dan juga karena hatinya lega dapat memberi hajaran kepada dua orang pencuri yang hendak memaksa kuda hitam yang dikaguminya ltu.

“Li-hiap, terima kasih atas bantuan Li-hiap menggagalkan pencurian kuda itu.”

Ci Sian memandang kakek itu. Seorang kakek berusia kurang lebih enam puluh tahun, bertubuh jangkung kurus akan tetapi wajahnya masih nampak segar seperti biasa wajah orang-orang tua yang biasa hidup di tempat terbuka, banyak terkena hawa segar dan sinar matahari yang panas.

“Engkaukah yang memiliki kuda-kuda itu, Lo-pek?” tanya Ci Sian sambil memandang kepada kuda hitam yang masih berdiri dengan kepala tergantung.

“Benar, Nona. Dan kuda hitam itulah yang selalu diincar oleh penjahat. Pencuri-pencuri tadi bukanlah pencuri kuda biasa, Nona. Andai kata tidak ada Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) itu, tentu mereka tidak akan sudi menyentuh kuda.”

Ci Sian mengangguk. Ia pun tadi melihat bahwa yang hendak dicuri oleh dua orang itu hanya kuda hitam itu saja.

“Hek-liong-ma....? Hemm, seekor kuda yang hebat, Lo-pek. Akan tetapi, kuda itu tadi terkena bubuk yang keluar dari kain hitam, jangan-jangan ia akan sakit.....”

“Tidak, tidak perlu khawatir, Nona. Aku tahu bahwa itulah bubuk bius yang biasanya dipergunakan orang untuk menundukkan kuda liar atau binatang buas lainnya. Dengan penggunaan obat itu, maka jelas bahwa mereka tadi adalah pencuri-pencuri kuda yang baik, bukan pencuri kuda biasa.”

“Ah, pekerjaanmu ini cukup berbahaya, Lo-pek. Para penjahat itu tentu tidak mau sudah sebelum berhasil mencuri Hek-liong-ma.”

”Itulah yang sedang menyusahkan hatiku, Li-hiap.... ahhh, sungguh aneh pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku.... coba saja bayangkan.... kuda ini hanya ditukar untuk makan selama dua hari dan pengobatan kuda yang tidak berapa banyak. Akan tetapi, aku tidak ingin menjual kuda pemberian ini.... aku terlalu mencinta kuda ini.... dan celakanya, selama berada bersamaku dia selalu menarik datangnya penjahat-penjahat yang menggangguku! Karena itu, aku ingin menyerahkan kuda ini kepadamu, Li-hiap.”

Ci Sian terkejut sekali. Dengan heran ia memandang kepada pemilik kuda itu, dan memperhatikan apakah orang itu tidak berubah gila. Kuda seperti ini hendak diberikan begitu saja kepadanya? Dan juga orang itu menerimanya begitu saja dari pemberian orang lain?

“Siapakah yang telah menyerahkan kuda ini kepadamu, Lo-pek? Sungguh aneh sekali kalau ada orang memberikan kuda seperti itu kepadamu begitu saja.”

“Seorang pendekar! Sungguh, biar aku tidak pernah melihat dia memperlihatkan ilmu silat, namun mata tuaku tidak akan salah lihat. Dia tentu seorang pendekar yang luar biasa, tentu seorang pendekar sakti!”

“Siapa dia, Paman? Bagaimana ceritanya?”

“Aku tidak tahu dia siapa, pergi dan datang seperti malaikat saja. Dia muncul dengan kuda hitam yang sakit cukup parah, akan tetapi aku sebagai pedagang kuda sejak kecilku tahu bahwa kuda itu hanya lelah dan kurang baik terpelihara. Dia menyerahkan kuda kepadaku, bukan untuk dijual, melainkan untuk diobati dan selama dua hari dia setiap pagi datang minta makanan untuk dua orang. Lalu dia lenyap dan tak pernah datang kembali. Itu terjadi sebulan yang lalu dan kuda hitam itu telah sembuh dan kau lihat sendiri, Li-hiap. Kuda itu memang hebat. Akan tetapi sejak itu, aku diganggu terus-terusan oleh orang-orang jahat yang ingin mencurinya.”

“Tapi...., tapi kuda itu mahal sekali tentu....”

“Memang, sebagai pedagang kuda, aku tahu bahwa kuda itu harganya melebihi sepuluh ekor kuda yang baik dan muda. Akan tetapi, aku menerimanya sebagai hadiah dan sekarang aku pun hendak menghadiahkannya kepadamu. Aku adalah pedagang, maka aku hanya menjual barang yang kubeli. Dan kuda ini kalau berada padaku hanya akan mendatangkan maling-maling belaka, memang sudah sepatutnya menjadi tunggangan seorang pendekar. Engkau masih muda, Li-hiap, namun ilmu kepadandaianmu sudah demikian hebat. Engkau agaknya segolongan dengan Taihiap yang memberi kuda ini kepadaku, maka pakailah dia. Jangan khawatir, kuda itu kalau diperlakukan dengan halus, akan jinak dan penurut sekali.”

Kakek itu lalu mengambil sebuah botol kecil berisi tepung putih, memasukkan tepung ke dalam semangkok air dan memberi minum kuda hitam itu. Tidak lama kemudian, kuda hitam itu berbangkis-bangkis dan segar kembali. Dia tidak meronta sama sekali ketika dipasangi kendali oleh kakek itu.

Ketika kakek itu menyerahkan kendali kuda hitam kepada Ci Sian setelah memasangi sela yang lengkap, dara itu menerimanya. “Terima kasih, Lo-pek. Sungguh engkau baik sekali.”

“Tidak lebih baik dari pada pendekar yang menyerahkan kuda ini kepadaku, Li-hiap. Nah, selamat jalan, Li-hiap, aku sengaja tidak bertanya nama agar kalau ada yang tanya tentang kuda, kukatakan sudah hilang dibawa orang. Habis perkara.”

Ci Sian meloncat dengan hati-hati ke atas sela kuda dan memang benar, kuda itu sama sekali tidak liar atau buas, dan diam saja ketika Ci Sian naik ke atas punggungnya. Agaknya ia dapat membedakan mana perlakuan kasar dan mana yang tidak kasar.

Ci Sian memandang kepada kakek itu. “Lo-pek, jarang bertemu dengan orang aneh sepertimu. Dan sekali lagi terima kasih.”

“Ha-ha, dan jarang bertemu dengan seorang gadis seperti Li-hiap. Tidak ada terima kasih, karena kalau tidak ada Li-hiap, mungkin karena kuda itu nyawaku telah melayang tadi. Selamat jalan!” Dan kakek itu lalu membalikkan tubuh meninggalkan Ci Sian untuk menggiring rombongan kudanya meninggalkan tempat itu.

Ci Sian lalu membedalkan kudanya dan ia merasa gembira bukan main. Kuda hitam itu meloncat dan berlari seperti terbang saja. Ia merasa betapa angin menentang mukanya dan terdengar suara desir angin di kanan kirinya. Ke empat kaki kuda itu seolah-olah tak menginjak bumi saking cepatnya. Dan amat enak dan mudah sekali mengendalikannya, seolah-olah sedikit sentuhan pada kendali itu sudah dimengerti oleh Hek-liong-ma arah mana yang dikehendakinya. Benar-benar seekor kuda tunggangan yang baik sekali! Seekor kuda yang telah terlatih baik. Maka heranlah ia mengapa kuda sebaik itu sampai berpisah dari pemiliknya.

Maka ia menuruni lereng menuju ke kaki bukit di sebelah timur di mana ia melihat rumah-rumah pedusunan. Di tengah jalan di luar dusun, ia melihat tiga orang laki-laki berdiri di depan. Melihat cara mereka berdiri, terang mereka sengaja menghadangnya karena mereka itu berdiri di tengah-tengah jalan. Kalau ia melanjutkan larinya kuda, tentu ia akan menabraknya.

Akan tetapi, Ci Sian yang tadinya hendak mencoba kudanya dengan jalan membuat kudanya meloncat ke atas, tiba-tiba menahan kendali kudanya ketika ia mengenal bahwa dua di antara tiga orang itu adalah Si Pencuri Kuda yang tinggi besar dan katai tadi! Biar pun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah seorang yang berpakaian seperti pendeta, dengan jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang sangat tebal menyeramkan.

“Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.

“Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian.

Dia memperhatikan saikong itu. Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk dan tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.

“Hei, mata iblis! Engkau lagi memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.

“Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biar murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”

Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapa pun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.

“Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu?” Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan.

Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main. Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya.

“Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!” Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring.

Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara. Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khikang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mukjijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh. Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walau pun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat.

Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khikang tingkat tinggi melalui sulingnya, justru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti mainan anak-anak saja bagi Ci Sian!

“Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!” Ci Sian mengejek.

Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu birahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berubah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. Sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking memuncak marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.

Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum dia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.

Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.

“Wuuuuttt.... plakkk!”

Dan saikong itu terpelanting. Biar pun saikong itu memiliki gerakan yang cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biar pun dia sudah berusaha mengelak, tetap saja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus akan tetapi mengandung tenaga kuat itu sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.

“Plak-plak-dukkk!”

Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan. Akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya.

“Singgg....!” Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam dan mengerikan sekali.

Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti. Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar.

Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong itu memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalik dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya. Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khikang-nya.

Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, maka terdengar suara yang amat nyaring….

“Plakkk!” dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling olehnya.

Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tidak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.

Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus.

Pada saat dia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.

“Singgg....!” Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya.

Akan tetapi mereka segera tertawa geli. “Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”

“Aihhh, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”

Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung. Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka lalu memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek.

Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololan teman-temannya yang memandang rendah gadis itu. Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibiirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini? Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyian dan tarian?

Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya. Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum.

Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masih saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua!

Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya. Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari.

Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah. Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengarahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah!

Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang mau pun khikang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!

Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang penuh lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja!

Ci Sian yang masih memegang sulingnya cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin merosot ke bawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam! Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang tidak sudi dia lakukan.

Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali!

Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya. “Ihhh, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu?”

Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!

Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah!

Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-oraag yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!

Ci Sian menjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi. Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi antara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.

Ci Sian sudah marah dan sudah memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi, ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya.

Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya, “Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!”

Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat!

Ci Sian menjadi terkejut dan marah. Dia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing! Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya!

Maka tahulah Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat. Menurut petunjuk suheng-nya, suara yang mengandung getaran khikang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekali pun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.

Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap. Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma.

Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya. Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!

“Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi.

Dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri. Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukanlah Hek-liong-ma, juga bukan berwarna hitam, melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.

“Ihhh....!” Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran.

Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang, yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.

Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.

Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tidak jauh dari situ. Dia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja.

Seorang laki-laki yang tak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian dan bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga. Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda, pikirnya. Ia harus berhati-hati.

Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang sekarang menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu.

Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, dia bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut penjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki yang telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua. Akan tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda.

Setelah tiba agak dekat sekali pun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapa pun juga, karena harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka dia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.

Mendadak laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya, “Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu.”

Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya. “Mengapa?” tanyanya dengan nada suara tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?”

“Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana,” kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.

“Kenapa?” tanya Ci Sian penasaran.

Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua. “Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau pasti akan menghadapi kesukaran.”

Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikutan merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya.

Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.

“Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!” Ci Sian coba menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut.

Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang laki-laki yang nampak berwajah tampan dan gagah. Melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suheng-nya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya sekitar dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan!

Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.

“Pergilah, Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih.

Ci Sian terkejut. “Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?” Tiba-tiba dia teringat akan cerita kakek itu.

Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh. “Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”

Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi laki-laki ini memperlakukan dia seolah-olah dia tidak nampak olehnya. Laki-laki yang sombong, pikirnya dan dia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.

Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankannya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa amat lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan. Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah.

Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu. Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu.

Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walau pun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan. Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia dapat melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.

“Berhenti! Berhenti dan turun kau!” Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.

“Apa.... apa katamu....?” tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.

“Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!” kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya.

Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.

“Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!”

Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkang-nya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.

“Siluman betina! Jangan sembarangan menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”

“Eh, ehhh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau memang patut dihajar!” Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.

“Plakkk!”

Ci Sian menangkis dan dua tangan yang sama kecil dan halusnya, akan tetapi juga sama kuatnya itu bertemu, membuat keduanya merasa betapa kulit tangan mereka panas dan lengan mereka kesemutan. Terkejutlah keduanya, maklum bahwa lawan adalah orang yang tidak boleh dipandang ringan. Wanita berpayung itu sudah meloncat ke belakang dan memandang kepada Ci Sian dengan sinar mata lain.

“Aihhh, kiranya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, ya? Pantas berani kurang ajar kepadaku!”

“Perempuan galak, siapa takut kepadamu?” Ci Sian membalas bentakan orang itu dengan marah dan ia pun sudah mencabut sulingnya karena ia maklum bahwa wanita ini memiliki kepandaian tinggi dan terutama sekali memiliki ilmu sihir agaknya.

Sungguh tempat yang menyeramkan daerah ini, pikirnya. Agaknya semua orang pandai ilmu sihir di sini! Maka, untuk melindungi dirinya dari pengaruh ilmu hitam, dia sengaja mengeluarkan sulingnya.

“Ahhh, kiranya engkau yang main-main dengan suling itu. Bagus, mari kita main-main sebentar!” Suara wanita itu berubah, tidak marah seperti tadi, bahkan agak ramah dan gembira, seperti seorang anak kecil menemukan permainan baru.

Dan cepat seperti kilat menyambar payungnya sudah bergerak menyerang. Mula-mula payung yang terbuka itu menyambar dan mendatangkan angin seperti kipas yang mengebut ke arah muka Ci Sian, lalu dilanjutkan dengan menutupnya payung yang meluncur dengan ujungnya yang runcing menotok ke tiga jalan darah di leher, pundak dan lambung Ci Sian secara bertubi-tubi!

“Bagus!” Ci Sian juga memuji karena harus diakuinya bahwa serangan wanita itu amat ganas dan cepat, berbahaya sekali dan juga aneh gerakannya. Ia pun cepat memutar sulingnya yang mengeluarkan bunyi melengking penuh dengan getaran hawa khikang, dan sekaligus dia menangkis tiga kali.

Wanita itu memandang kagum oleh karena tiga kali tangkisan itu membuat semua serangannya gagal total, bahkan payungnya terpental, memaksa ia melangkah mundur untuk mengatur posisi agar ia dapat melanjutkan penyerangannya.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara laki-laki yang tadi berjumpa dengan Ci Sian, “Cukup, jangan berkelahi!”

Akan tetapi anehnya, begitu wanita berpayung itu mendengar suara laki-laki ini, kegembiraannya berganti kemarahan dan ia malah menyerang Ci Sian lebih dahsyat dan lebih ganas lagi dibandingkan dengan tadi! Tentu saja Ci Sian juga memutar sulingnya, menangkis dan tidak mau kalah, membalas serangan lawan dengan sama ganasnya.....

“Aihh, dua-duanya keras kepala!” terdengar laki-laki itu berseru.

Dan tiba-tiba saja Ci Sian mengenal suara itu. Itulah suara yang pernah terdengar olehnya ketika ia terjerumus ke dalam kolam lumpur, dan suara laki-laki ini pula yang menyadarkan dia bahwa dirinya telah terpengaruh sihir ketika memilih kuda penyakitan sebagai Hek-liong-ma!

Dan tiba-tiba ia melihat bayangan berkelebat, demikian cepatnya laki-laki itu bergerak, padahal tadinya dia itu berdiri di tempat yang agak jauh. Bagaikan terbang saja laki-laki itu telah berkelebat datang di tengah-tengah antara mereka dan di lain saat, laki-laki itu telah memegang ujung payung dan ujung suling yang saling berhantam itu dan Ci Sian merasa betapa amat sukar baginya untuk menggerakkan suling yang tertangkap itu. Ia terkejut setengah mati, tidak mengira bahwa di dunia ada orang yang mampu bergerak secepat itu!

“Sudah, jangan berkelahi. Nona, maafkanlah isteriku dan harap kau suka mundur,” kata pria itu kepada Ci Sian. Ci Sian mengangguk dan menarik sulingnya lalu meloncat ke belakang.

“Isteriku, engkau tahu bahwa Nona ini bukan musuh, bukan penjahat, mengapa engkau mendesak dan menyerangnya?”

Wanita berpayung itu membelalakkan matanya yang jeli dan berbentuk indah itu, mukanya menjadi merah karena marah dan tiba-tiba ia mengeluarkan kata-kata yang ketus dan keras. “Bagus! Ia muda dan cantik dan lihai! Engkau tergila-gila kepadanya, ya?”

“In-moi....! Kau.... cemburu? Ah, Isteriku, kenapa begini jadinya dengan kita....!” Pria itu berkata dengan nada mengeluh dan wanita berpayung itu membuang muka.

Akan tetapi Ci Sian dapat melihat betapa kedua mata yang indah itu mulai membasah dan berlinang air mata. Ia merasa terkejut, terheran dan juga terharu. Ada sesuatu antara suami isteri yang mengganggu perasaan mereka. Padahal, suami isteri ini amat luar biasa. Kini ia dapat melihat wajah pria itu. Wajah seorang pendekar yang amat mengagumkan dan gagah perkasa, dan wanita itu sungguh cantik dan gagah pula.

Pasangan yang amat hebat, dan kepandaian mereka luar biasa pula. Akan tetapi mengapa kini seolah-olah ada ganjalan penyesalan di antara mereka dan mereka itu nampak sangat berduka? Tiba-tiba ia teringat. Pendekar ini! Persis seperti yang pernah diceritakan oleh Kam Hong kepadanya! Dan gerakan yang seperti kilat tadi, gerakan meloncat yang seperti terbang saja itu.

“Taihiap.... bukankah Taihiap ini adalah.... Pendekar Siluman Kecil?” akhirnya dia memberanikan diri bertanya.

Sepasang mata yang mencorong itu kini menatap wajahnya, mengingatkan Ci Sian akan sepasang mata Kam Hong dan juga mata Hong Bu, walau pun tidak setajam mata pendekar ini. Terpaksa ia menundukkan pandang matanya.

“Bertahun-tahun lamanya tidak ada orang menyebut nama itu. Bagaimana engkau bisa tahu, Nona?” Suara pendekar itu halus, tapi mempunyai wibawa dan juga mengandung desakan sehingga mau tidak mau Ci Sian terpaksa harus menjawab sejujurnya.

“Saya sering mendengar nama besar Taihiap dari Suheng. Dia mengenal Taihiap dengan baik dan sering kali bercerita tentang Taihiap.”

“Siapa Suheng-mu itu, Nona?”

“Suheng saya she Kam bernama Hong....”

“Ahhh, kiranya Siauw Hong? Kam Hong keturunan Pendekar Suling Emas?”

“Benar, dan dialah yang sekarang yang berjuluk Pendekar Suling Emas,” kata Ci Sian dengan bangga.

“Bagus! Kiranya begitu, pantas saja ilmu sulingmu hebat, Nona. Nah, isteriku lihat saja, bukankah kita bertemu dengan orang sendiri? Karena itu, tidak baik untuk membiarkan kemarahan mengamuk, salah-salah bisa bentrok dengan sahabat sendiri.”

Wanita cantik berpayung itu memandang kepada Ci Sian, kemudian menarik napas dan menghampiri, lalu memegang pundak Ci Sian. “Adik yang baik, engkau masih muda dan ternyata sudah memiliki kepandaian lihai. Kiranya sumoi dari keturunan Pendekar Suling Emas. Siapakah namamu?”

Melihat sikap yang begini terbuka dan ramah, Ci Sian segera merasa terharu dan balas merangkul. Seketika ia merasa suka sekali kepada wanita cantik jelita yang gagah ini.

“Enci yang gagah, maafkanlah sikap saya tadi.”

“Hush, aku yang bersalah, masa engkau yang minta maaf!” Wanita itu tertawa dan dia nampak manis bukan main. “Sudahlah, tidak perlu maaf-maafan antara kita. Engkau tentu sudah mendengar tentang nama kami....”

“Suheng hanya memberi tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil bernama Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti di Pulau Es yang hanya kuketahui sebagai dongeng, akan tetapi Suheng tidak tahu siapa nama isterinya. Siapakah nama Enci yang gagah?”

“Memang Suheng-mu benar. Suamiku ini bernama Suma Kian Bu dan aku bernama Teng Siang In, seorang perempuan buruk dan bodoh biasa saja.... tidak seperti dia....” suaranya mengandung keluhan lagi.

“Eihhh, isteriku, mengapa mulai lagi? Nah, ceritakan, Nona, siapakah namamu dan bagaimana engkau bisa sampai ke tempat ini?”

“Namaku Bu Ci Sian dan kami, yaitu aku dan Suheng, baru saja kembali dari barat untuk membasmi Hek-i-mo,” katanya dengan jujur dan akrab, karena merasa betapa mereka itu amat ramah kepadanya.

Suami isteri itu saling pandang. “Hek-i-mo? Dan bagaimana hasilnya?” tanya pendekar itu.

“Suheng telah berhasil membasmi mereka, hanya sayang bahwa Hek-i Mo-ong sendiri berhasil melarikan diri,” kata Ci Sian dengan bangga.

Pendekar berambut putih itu mengangguk-angguk. “Hebat, tidak mengecewakan dia menjadi keturunan Pendekar Suling Emas.”

Para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali dan Jodoh Rajawali tentu mengenal siapa adanya Pendekar Siluman Kecil ini. Telah diceritakan di dalam kisah Jodoh Rajawali, Suma Kian Bu, yaitu putera dari Pendekar Super Sakti Suma Han dan Puteri Nirahai, telah berjodoh dan menikah dengan Teng Siang In, dara cantik jelita yang selain pandai ilmu silat, juga pandai dalam ilmu sihir itu. Berbareng dengan kakaknya, yaitu Suma Kian Lee putera Suma Han dan Lulu, Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu merayakan pernikahannya dengan isterinya. Mereka lalu tinggal di Pulau Es, hidup berbahagia bersama keluarga Suma.

Akan tetapi, setelah menanti-nanti sampai sepuluh tahun belum juga suami isteri ini memperoleh keturunan, mulailah mereka berdua merasa gelisah dan berduka sekali. Sementara itu, Suma Kian Lee yang menikah dengan Kim Hwee Li, dan yang beberapa tahun kemudian telah meninggalkan Pulau Es dan tinggal di daratan besar, telah mempunyai dua orang anak, seorang putera dan seorang puteri.

Akhirnya, suami isteri itu tak dapat menahan kedukaan dan kekecewaan hati mereka lagi dan mereka berdua lalu meninggalkan Pulau Es, sungguh pun ayah mereka, yaitu Suma Han, dan kedua ibunya mereka, telah tua sekali. Mereka pergi ke daratan besar dan melakukan perantauan sampai akhirnya mereka sampai di daerah barat, di dekat Sin-kiang itu dan berjumpa dengan Ci Sian.

Tentu saja Suma Kian Bu masih ingat kepada Kam Hong yang dahulu disebutnya Siauw Hong, pemuda berpakaian pengemis yang lihai itu, yang pernah menjadi semacam kacungnya. Dan giranglah hatinya mendengar dari Ci Sian bahwa Kam Hong kini telah menjadi seorang pendekar yang amat lihai sehingga mampu membasmi gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu. Dia sendiri bersama isterinya telah mendengar di sepanjang perjalanan tentang Hek-i-mo dan bahkan telah mengambil keputusan untuk menghadapi gerombolan jahat itu yang kabarnya telah menewaskan banyak orang kang-ouw. Kiranya mereka telah didahului oleh keturunan Pendekar Suling Emas.

“Di mana sekarang Suheng-mu yang perkasa itu?” tanya Kian Bu kepada Ci Sian.

Wajah dara ini menyuram dan ia menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu, dia telah meninggalkan diriku dan aku sekarang justru sedang mencarinya, Taihiap.” jawabnya sejujurnya dan dengan suara mengandung kedukaan.

Siang In merangkulnya. Wanita ini sudah matang dan sudah tahu akan isi hati dan perasaan wanita lain, dan ia dapat merasakan bahwa kemasygulan hati Ci Sian ada hubungannya dengan kerinduan. Maka dia pun dapat menduga bahwa tentu ada hubungan yang lebih mesra antara Ci Sian dan Kam Hong dari pada hubungan suheng dan sumoi belaka.

“Jangan berduka, Ci Sian. Tidak ada kesulitan apa pun di dunia ini yang tidak dapat diatasi. Bersabarlah.”

Mendengar ucapan isterinya itu, wajah Kian Bu yang tadi nampak termangu-mangu itu berseri dan cepat menyambung, “Benar, dan tepat sekali ucapan isteriku itu, Nona Bu. Segala kesulitan akan dapat diatasi dengan kesabaran.”

Diam-diam Ci Sian merasa kasihan kepada suami isteri itu. Mereka itu, terutama Siang In, hendak menghiburnya dan agaknya kedukaan hatinya karena mencari suheng-nya itu setidaknya merupakan hiburan ringan bagi kedukaan suami isteri itu. Entah kedukaan apa yang telah membuat suami isteri itu seperti orang yang gelisah dan juga bahkan kerenggangan timbul di antara mereka.

Selagi ia hendak bicara, tiba-tiba saja lengannya dipegang oleh Siang In yang berkata dengan lirih. “Adik Ci Sian, serahkan saja tikus-tikus itu kepada kami.”

Melihat sikap Siang In, Ci Sian menengok dan melihat datangnya beberapa orang tosu yang berjalan cepat sekali ke arah mereka. Ketika mereka sudah tiba dekat, dia mengenal tosu yang pandai sihir tadi telah datang bersama lima orang tosu lainnya dan seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini memegang sebatang tongkat, tubuhnya kurus sekali dan mukanya pucat seperti tengkorak hidup, akan tetapi sepasang matanya seperti mata setan yang bergerak-gerak liar dan mengandung kekuatan aneh.

Begitu enam orang yang berpakaian tosu itu berhadapan dengan Kian Bu, Siang In dan Ci Sian, mereka berhenti dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, tosu kurus kering yang memegang tongkat itu melangkah maju.

“Siancai.... tidak disangka bahwa daerah kami kedatangan orang-orang muda yang memiliki kepandaian hebat. Tidak tahu siapakah Sicu dan dari manakah Sicu datang?”

Suma Kian Bu sejenak memandang kepada tosu ini. Melihat gerak-gerik tosu ini, juga pandang matanya yang seperti setan itu, dia tahu bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, dan lagaknya tidak seperti penjahat. Maka dia pun menjura dan menjawab dengan suara tenang.

“Totiang, kami bertiga adalah pelancong-pelancong biasa saja yang tidak ingin mencari permusuhan dengan siapa pun di sini. Akan tetapi sayang, agaknya orang-orang pandai di daerah sini suka mencari keributan, bahkan tidak segan-segan untuk mencuri kuda. Karena itu terpaksa kami membela yang benar dan kami menyesal sekali.”

Tosu kurus itu mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, kemudian tersenyum pahit. “Gara-gara kuda hitam itu agaknya yang menimbulkan salah paham, Sicu.”

“Salah paham apa?” Ci Sian sudah berkata sambil tersenyum mengejek. “Sudah jelas ada teman-temanmu yang mencuri kuda dari pemiliknya, kemudian mengeroyokku untuk merampas kuda hitam!”

Sepasang mata yang amat hitam itu kini memandang kepada Ci Sian dan begitu bertemu pandang, Ci Sian bergidik dan cepat membuang pandang mata. Mata setan, pikirnya seram.

“Aha, agaknya kesalah-pahaman ini berasal darimu, Nona,” tosu itu berkata sambil tersenyum.

“Apa? Sudah jelas bahwa orang-orangmu hendak mencuri kuda pedagang kuda tua itu. Apakah engkau hendak menyangkalnya, Totiang?” Ci Sian berkata lagi, penasaran.

Kakek itu mengangguk-angguk. “Memang benar.... memang benar...., akan tetapi lalu muncul Nona yang lihai dan menggagalkan mereka. Akan tetapi kemudian para sahabat itu melihat Nona menunggang kuda itu, sehingga timbul kesalah pahaman yang makin besar. Mereka mengira bahwa Nona telah mencuri kuda itu, maka mereka berusaha untuk merebutnya.... dan muncullah Sicu dan Toanio ini yang lihai sekali!”

“Enak saja menuduh orang! Kalian sudah jelas pencuri-pencuri kuda, sekarang hendak menuduh aku mencuri pula. Huhh, aku bukan pencuri kuda macam kalian! Kakek pedagang kuda itu atas kehendaknya sendiri memberikan kuda itu kepadaku!” Ci Sian membentak.

“Dan kakek pedagang kuda itu menerima pemberian kami!” Tiba-tiba Siang In berkata, suaranya lantang. “Hek-liong-ma adalah kuda milik kami yang kami berikan kepada pedagang kuda itu!”

Mendengar ini, para tosu itu memandang kepada Siang In, bahkan Ci Sian sendiri terkejut. Tak disangkanya bahwa Pendekar Siluman Kecil inilah yang dimaksudkan oleh Si Pedagang kuda sebagai pendekar yang telah menukarkan kuda hitam itu dengan makanan selama dua hari!

“Ahh, kiranya Hek-liong-ma ini kudamu, Enci?” Ci Sian bertanya heran.

“Nah, lihatlah, Totiang. Kami bukanlah pencuri-pencuri kuda, akan tetapi teman-teman Totianglah yang mencuri dan hendak merampas kuda orang. Maka, harap Totiang mau mengerti dan suka meninggalkan kami yang tidak mencari keributan,” kata Suma Kian Bu, sikap dan suaranya tegas dan berwibawa.

“Ho-ho-ho, Sicu. Harap jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Sesungguhnya teman-teman kami itu pun bukan pencuri-pencuri kuda, walau pun mereka berusaha mencuri Hek-liong-ma.”

“Omongan apa itu?” Ci Sian membentak. “Bukan pencuri akan tetapi mencuri!”

“Siancai.... Nona muda amat keras hati,” tosu itu berkata sambil mengelus jenggotnya. “Agar jelas bagi Sam-wi (Kalian Bertiga) baiklah kami ceritakan. Kami hanya orang-orang yang bertugas mendapatkan kuda terbaik di daerah ini. Pada waktu kami melihat Hek-liong-ma, kami tahu bahwa itulah kuda yang harus kami dapatkan. Kami membujuk pedagang kuda, hendak membelinya dengan harga berapa pun, lalu membujuk untuk meminjamnya, namun sia-sia. Dia tidak mau menyerahkannya dan terpaksalah kami berusaha mencurinya.” Tosu itu dengan singkat lalu menceritakan keadaannya dan anak buahnya yang ‘terpaksa’ mencuri kuda terbaik.

Di daerah Sin-kiang yang amat luas itu terdapat banyak pengusaha-pengusaha yang hidupnya seperti raja-raja kecil. Mereka adalah orang-orang yang menguasai tanah yang luas sekali, yang kebanyakan didapatkannya dengan mengandalkan kekayaan mereka yang amat besar. Dengan tanah yang amat luas itu, dan dengan harta mereka, maka raja-raja kecil ini memperkuat dirinya dengan pembantu-pembantu bayaran, dengan pasukan-pasukan kecil untuk melindungi keamanan jiwa dan hartanya.

Keadaan seperti ini sudah turun-temurun terjadi di daerah itu. Bahkan setelah Kerajaan Mancu berkuasa sekali pun, kerajaan ini tidak dapat menghapus begitu saja kekuasaan raja-raja kecil ini, sungguh pun penguasa-penguasa ini juga membayar pajak kepada pemerintah. Dan tidak jarang di antara raja-raja kecil ini terjadi bentrokan-bentrokan dan perang-perang kecil untuk soal-soal yang kecil. Adakalanya karena perbatasan tanah kekuasaan, karena anak buah dan sebagainya yang pada hakekatnya hanyalah karena berlomba kedudukan dan kekuasaan.

Akan tetapi, karena sudah terlalu sering terjadi bentrokan-bentrokan yang menimbulkan kekacauan, Kerajaan Mancu bertindak dengan keras dan melarang semua bentrokan itu, menghukum mereka yang menimbulkan kekacauan. Dan semenjak pemerintah ini bertangan besi, perlombaan kekuasaan itu pun mengambil bentuk lain. Sekarang bukan lagi perlombaan kekuasaan dengan kekerasan, melainkan dengan jalan perlombaan-perlombaan seperti perlombaan kekayaan, atau perlombaan kuda dan beberapa macam ketangkasan-ketangkasan lain lagi. Semua ini hanya dengan satu tujuan, yaitu mencari kemenangan, karena dalam kemenangan ini mereka yang menang akan merasa bahwa mereka lebih unggul dan lebih segala-galanya dari yang kalah!

Yang paling sering diadakan perlombaan atau balapan kuda. Karena inilah, dengan menggunakan kekayaan mereka, para penguasa atau raja kecil ini, mendatangkan kuda-kuda terbaik dari seluruh negeri, bahkan ada yang mendatangkan dari jauh, dari barat melalui pegunungan-pegunungan yang amat sukar perjalanannya dan membuat kuda itu mempunyai harga yang sangat mahal. Setiap tahun sekali tentu diadakan perlombaan kuda ini, dan dalam setahun penuh, para pembantu raja-raja kecil ini juga saling berlomba sendiri untuk mengumpulkan sebanyak mungkin kuda-kuda terbaik. Jadi semacam perlombaan mencari kuda terbaik.

Tosu itu bersama anak buahnya adalah serombongan petugas dari seorang raja kecil yang memiliki wilayah luas di perbatasan sebelah timur. Pada waktu mereka melihat kakek pedagang kuda menggiring banyak kuda dan di antara kuda-kuda itu terdapat Hek-liong-ma, tentu saja mereka tertarik sekali. Belum pernah mereka melihat kuda sebaik itu dan tentu saja sebagai orang-orang yang haus akan kuda baik sehubungan dengan tugas mereka, mereka segera menghubungi kakek itu untuk membeli atau meminjam kuda hitam itu untuk keperluan perlombaan beberapa hari yang akan datang.

Akan tetapi, kakek pedagang kuda itu menolak, dengan alasan bahwa kuda itu adalah pemberian seseorang, maka tidak hendak dijualnya juga tidak dapat dipinjamkan atau disewakannya. Hal inilah yang membuat anak buah tosu itu terpaksa mencoba untuk mencuri kuda hitam dan secara kebetulan pula mereka itu dilihat Ci Sian yang segera membantu kakek pedagang kuda.

“Nah, demikianlah duduk perkaranya. Harap Sam-wi, suka memaklumi keadaan kami.” Sambung tosu itu. ”Maksud kami mencuri kuda itu pun hanya untuk meminjamnya sampai perlombaan berlangsung dan majikan kami menang. Kami akan mengembalikan kepada pemiliknya lagi. Akan tetapi sekarang, pedagang kuda itu telah memberikan kuda hitam kepada Nona sehingga kami benar-benar menghadapi kesulitan sekarang.”

“Setelah kuda ini menjadi milikku, dan setelah orang-orangmu gagal merampasnya dariku, sekarang engkau datang dengan maksud bagaimanakah?” Ci Sian bertanya, sikapnya menantang.

Tosu itu tersenyum. “Nona muda, tentu engkau tahu bahwa seorang petugas yang baik adalah orang yang tidak akan pernah putus asa sebelum tugasnya terlaksana dengan baik. Demi suksesnya tugas, tentu saja kami akan mempergunakan segala daya untuk mendapatkan kuda hitam itu, Nona. Misalnya dengan begini!”

Dan mendadak kakek itu menudingkan tongkatnya ke arah kuda hitam yang diikatkan pada batang pohon oleh Ci Sian tadi. Dan terjadilah hal yang amat luar biasa dalam pandangan Ci Sian. Kuda itu telah terlepas dari batang pohon dan kini kuda itu berjalan perlahan-lahan menghampiri tosu yang menudingkan tongkatnya itu!

“Hemm, permainan kanak-kanak saja!” Tiba-tiba terdengar suara mengejek dari mulut Siang In.

Teng Siang In, isteri dari Pendekar Siluman Kecil itu adalah seorang wanita yang selain ahli dalam ilmu silat, juga memiliki kepandaian sihir yang kuat. Ia pernah menjadi murid dari mendiang See-thian Hoat-su. Maka, melihat ilmu sihir yang dilakukan oleh tosu itu, ia mentertawakannya.

“Ci Sian, jangan mudah ditipu olehnya, Hek-liong-ma masih tetap berada di sana, terikat di batang pohon!”

Ci Sian terkejut sekali karena ketika dia menengok, benar saja kudanya masih tetap berada di pohon, terikat kendalinya seperti tadi, sedangkan kuda hitam yang berjalan menghampiri kakek itu kini telah lenyap seperti asap saja!

Melihat ini, kakek itu tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Di tempat ini kami bertemu dengan seorang wanita sakti! Bagus, Toanio, marilah kita main-main sebentar untuk mempererat perkenalan!”

Setelah berkata demikian, kakek itu mengeluarkan suara teriakan halus panjang. Ketika Ci Sian memandang, ia melihat kakek itu sudah berhadapan dengan Siang In dalam jarak kurang lebih lima meter dan kakek itu menudingkan tongkatnya ke atas. Dari ujung tongkat itu keluarlah asap putih yang mengeluarkan suara mendesis. Asap itu makin lama makin banyak dan tebal, kemudian terbentuklah seekor ular yang dari mulutnya mengeluarkan asap dan api. Ular itu seperti terbang turun hendak mematuk Siang In!

Ci Sian kaget sekali, akan tetapi karena ia melihat betapa Pendekar Siluman Kecil hanya berdiri sebagai penonton saja dan kelihatan tenang dan enak-enakan, maka ia pun tidak mau sembarangan turun tangan. Ia tahu bahwa kakek itu menggunakan sihir, dan agaknya Siang In yang cantik itu sama sekali tidak merasa khawatir, bahkan nyonya ini mengangkat tangan kiri ke atas sambil berkata,

“Totiang, apa daya seekor ular menghadapi seekor burung bangau?” Dan aneh sekali, tangan kirinya itu seperti berubah menjadi seekor pek-ho (bangau putih) yang terus terbang ke atas, lalu menyambar turun dan menangkap ular itu dengan paruhnya yang kuat, lalu menelan ular itu!

“Bagus....! Akan tetapi kami belum kalah, Toanio!” kata tosu itu.

Dan kini dia menudingkan tongkatnya sampai ujungnya menyentuh tanah, dan sekali mencongkel ada tanah tercongkel tongkat dan tanah itu berhamburan, lalu berubah menjadi.... tikus-tikus hitam yang banyak sekali dan kini semua lari menghampiri Siang In! Melihat tikus-tikus itu, Ci Sian sendiri memandang terbelalak dengan jijik dan geli. Juga wajah Siang In agak berubah, ada bayangan kengerian pada wajah cantik itu. Memang pada umumnya tikus-tikus merupakan binatang yang paling menjijikkan bagi wanita. Karena agaknya merasa jijik ini, maka Siang In tidak membuang banyak waktu lagi, cepat-cepat ia pun menudingkan telunjuknya ke arah tikus-tikus itu dan membentak dengan suara melengking nyaring yang mengandung wibawa amat kuatnya.

“Asal tanah kembali jadi tanah!”

Nampak asap mengepul dan tikus-tikus itu pun lenyaplah, berubah menjadi seonggok tanah kembali! Tosu itu mengangguk-angguk dan memandang heran. “Kami lihat bahwa kekuatan sihir dari Toanio hebat bukan main dan agaknya bersatu sumber dengan kami. Bolehkah kiranya pinto mengetahui siapa gerangan guru Toanio dalam ilmu sihir?”

Siang In tersenyum. Untuk mencegah pertentangan selanjutnya, memang perlu untuk mendatangkan kesan kepada orang-orang ini, maka tanpa ragu-ragu dia menjawab. “Kenalkah Totiang kepada See-thian Hoat-su dan Nenek Durganini? Dari merekalah aku mempelajari sihir.”

Tiba-tiba saja sikap tosu itu berubah, amat hormat dan dia pun malah segera menjura. “Ahh, kiranya Toanio murid dari Locianpwe Durganini yang sakti! Sungguh pinto terlalu lancang berani memperlihatkan kebodohan sendiri!” Lalu dia menoleh kepada teman-temannya yang telah mencabut senjata mereka itu dan berkata. “Ahhh, para rekan, ternyata mereka ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali tak boleh diganggu....“

Akan tetapi, wajah para jagoan yang biasanya mengandalkan senjata dan ilmu silat seperti mereka itu, membayangkan kekecewaan dan penasaran. Baru pertunjukan sihir seperti itu saja mengapa membuat tosu itu ketakutan dan menyuruh mereka mundur?

“Tapi, pihak lawan yang paling kuat, yaitu Si Topi Merah, juga telah mendapatkan seekor kuda yang mirip dengan Hek-liong-ma. Tanpa bantuan Hek-liong-ma ini, mana mungkin kita bisa menang? Dan kekalahan sekali ini tentu akan menjatuhkan nama majikan kita dan mungkin membuat kita kehilangan pekerjaan!” kata seorang di antara mereka yang memegang sepasang golok besar dan nampaknya gagah dan juga tangguh.

“Habis, kalian mau apa? Mau tetap merampas kudaku ini?” Ci Sian membentak dan melangkah maju sambil mengangkat dada, sikapnya menantang sekali.

Si Pemegang Sepasang Golok besar yang kepalanya botak itu berkata, sikapnya gagah namun jelas bahwa dia termasuk orang yang jujur dan kasar, tidak biasa bersikap halus. “Nona, kami bukanlah perampok dan orang-orang jahat, bukan pula pencuri kuda. Akan tetapi, karena terpaksa, kami hanya bermaksud menyewa atau meminjam kuda Nona itu untuk satu kali perlombaan saja.”

“Hemm, kalau aku menolak?”

“Terpaksa kami akan menggunakan kekerasan. Kami akan merampas kuda ini untuk dipinjam dan kelak kami kembalikan bersama uang sewanya,” kata Si Botak sambil melintangkan sepasang goloknya di depan dada. Teman-temannya yang belasan orang jumlahnya juga sudah siap dengan senjata masing-masing, untuk menggertak supaya nona itu suka meminjamkan kudanya tanpa adanya kekerasan.

Akan tetapi sebelum Ci Sian melayani orang itu, tiba-tiba terdengar suara Suma Kian Bu. Si Pendekar Siluman Kecil ini sejak tadi hanya mendengarkan dan melihat saja, akan tetapi begitu melihat sikap Si Botak yang agaknya bertekad untuk merampas kuda, timbul perasaan tidak senang di hatinya yang dapat dilihat dari kerutan kedua alisnya. “Aku paling tidak suka orang-orang yang suka bermain-maln dengan senjata! Nah, biar kusingkirkan semua senjata itu!”

Dan tiba-tiba saja tubuhnya berkelebat di antara orang itu. Terdengar teriakan-teriakan kaget dan orang-orang itu hendak mempertahankan senjata masing-masing dengan jalan mengelak atau bahkan memapaki pendekar itu dengan serangan, akan tetapi semua ini percuma saja. Bahkan Si Botak itu sendiri yang mengelebatkan sepasang goloknya, tahu-tahu merasa kedua tengannya kaku dan kedua goloknya itu terlepas dari pegangan tangannya, lenyap entah ke mana! Dalam waktu yang tidak terlalu lama, Kian Bu telah meloncat ke depan tosu itu dan menurunkan belasan batang senjata tajam itu ke atas tanah. Terdengar bunyi berkerontangan ketika senjata-senjata itu berjatuhan di depan kaki Si Tosu yang menjadi pemimpin atau juga guru mereka!

Diam-diam Ci Sian kagum bukan main. Ia dapat mengikuti semua gerakan pendekar itu yang bagi belasan orang itu tidak dapat dilihat, dan dara perkasa ini harus mengakui bahwa gerakan pendekar itu sungguh amat luar biasa, seperti kilat saja berloncatan ke sana sini dengan amat cekatan. Ia tahu bahwa Pendekar Siluman Kecil ini sungguh merupakan seorang berilmu tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh!

Juga tosu itu kini sadar bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

“Siancai....,” katanya sambil merangkapkan kedua tangan di depan dada, “Kami orang-orang kasar seperti buta saja tidak mengenal menjulangnya Bukit Thai-san yang tinggi di depan mata. Sesungguhnya, orang yang dapat memiliki kuda seperti Hek-liong-ma itu tentu saja seorang pendekar sakti. Alangkah bodohnya kami.... harap Cu-wi para pendekar yang sakti sudi memaafkan kami yang oleh keadaan terpaksa bersikap kasar.”

“Ah, celaka! Sekali ini hancurlah kita!” kata Si Botak. “Kuda mana lagi yang akan mampu menandingi kuda hitam milik Si Topi Merah itu? Hayaaaa....!” Dia mengeluh panjang pendek.

Mendengar ucapan ini, Kian Bu dan isterinya merasa tertarik sekali. Siang In lalu berkata, “Coba ceritakan tentang kuda hitam milik Si Topi Merah itu. Kuda hitam yang bagaimanakah yang dimilikinya?”

Tosu itu lalu menarik napas panjang. “Si Topi Merah adalah julukan tuan tanah yang menjadi saingan terbesar dari majikan kami, Toanio. Dia terkenal sebagai tuan tanah yang jahat, kejam dan sewenang-wenang, karena itu majikan kami memusuhinya. Dia mengandalkan kekayaannya dan terkenal sebagai tukang jual beli wanita yang amat kejam.”

“Hemm, setiap orang tentu membela majikan masing-masing,” kata Kian Bu tertawa.

“Siancai, agaknya memang demikianlah. Akan tetapi Taihiap tentu mengerti bahwa seorang tosu seperti pinto ini sama sekali tidak mengharapkan gaji besar dan hadiah. Sama sekali tidak! Jikalau pinto membela majikan kami, yaitu Thio-wangwe, adalah karena pinto tahu bahwa dialah satu-satunya hartawan atau tuan tanah di daerah ini yang pantas dibantu. Thio-wangwe adalah seorang yang adil dan bijaksana, juga amat mengagumi dan menjunjung orang-orang kang-ouw.”

“Teruskanlah cerita tentang kuda hitam itu,” Siang In mendesak karena ia merasa tertarik sekali mendengar cerita tentang kuda hitam yang lain itu.

“Kami tidak tahu banyak, Toanio,” Tosu itu melanjutkan. “Yang kami dengar hanya baru-baru ini, Bouw-thicu (Tuan Tanah Bouw) telah memperoleh seekor kuda hitam yang luar biasa, sama dengan Hek-liong-ma ini, bahkan sudah memperoleh ahli penunggangnya pula, yaitu seorang wanita cantik yang amat terkenal. Wanita itu memang amat lihai menunggang kuda, dan ia pun terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang ahli penjinak kuda. Namanya Lui Shi dan ilmu silatnya pun lihai sekali.”

“Hemm....“ Siang In saling pandang dengan suaminya. “Dan kuda hitam yang sama dengan Hek-liong-ma itu tentu seekor kuda betina, bukan?”

“Benar sekali, Toanio.”

“Itu adalah kuda kami pula yang hilang dicuri orang!” Siang In berkata dan bukan saja orang-orangnya Thio-wangwe atau Thio-thicu itu saja yang kaget, akan tetapi juga Ci Sian terkejut mendengar ini.

“Kami tadinya mempunyai dua ekor kuda, jantan dan betina. Akan tetapi ketika kami memasuki daerah Sin-kiang, pada suatu malam, di rumah penginapan, kuda betina kami hilang dicuri orang. Kami sudah berusaha mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil menemukan kuda itu. Dan karena kawannya hilang itulah maka Hek-liong-ma menjadi sakit-sakitan, dan untuk menolongnya, kami menyerahkannya kepada pedagang kuda yang amat mencinta kuda dan pandai mengobati itu.”

“Dan kakek pedagang kuda itu memberikan kuda hitam kepadaku karena takut akan gangguan kalian,” Ci Sian menyambung.

“Ahh, kalau begitu, kuda hitam Si Topi Merah itu pun kuda curian!” Si Botak berseru keras.

“Biarlah kita ikut bersama kalian untuk merampas kembali kuda kami,” kata Siang In.

“Dan biarkan Hek-liong-ma berlomba dengan kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu untuk mengalahkannya. Aku pun mau menjadi penunggang Hek-liong-ma,” kata pula Ci Sian.

“Bagus, dan dengan bantuan kami, tentu kuda itu dapat kau kalahkan,” Siang In berseru gembira.

Tentu saja tosu itu dan anak buahnya girang bukan main. Cepat mereka memberi hormat dan mempersilakan tiga orang pendekar itu untuk mengikuti mereka ke tempat tinggal majikan mereka, yaitu Thio-thicu.

Di dalam perjalanan, Ci Sian memperkenalkan dirinya kepada suami isteri pendekar itu dan berkata terus terang. “Sudah lama sekali saya mendengar tentang nama besar Pendekar Siluman Kecil dan isterinya dari Kam-suheng, ternyata memang hebat sekali. Dan saya pun pernah bertemu dan berkenalan dengan baik sekali dengan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Apakah Ji-wi (Kalian Berdua) mengenalnya?”

“Jenderal Kao Cin Liong? Ahh, kami sudah mendengar bahwa putera saudara Kao Kok Cu Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menjadi jenderal di kota raja, akan tetapi telah belasan tahun kami tidak berhubungan dengan keluarga Kao,” kata Kian Bu.

Bicara tentang Si Naga Sakti, teringatlah pendekar ini akan pengalaman-pengalaman masa lalu dan akan isteri pendekar sakti itu, yaitu Wan Ceng yang masih cucu kandung dari ibu tirinya, yaitu Nenek Lulu. Banyak sudah yang dialaminya dengan para tokoh itu dan mengundang kenangan lama. Juga mengingatkan dia akan keadaannya sendiri bersama isterinya yang sampai sekian lamanya belum juga mempunyai keturunan. Hal ini mendatangkan duka.

Semua orang sudah mempunyai keturunan, bahkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir telah mempunyai seorang putera yang demikian gagah dan perkasa, muda usia telah menjadi seorang jenderal. Akan tetapi dia sendiri sampai hampir berusia empat puluh tahun, belum juga mempunyai anak! Justru karena urusan ingin mempunyai anak inilah dia dan isterinya merantau sampai sejauh itu, sampai ke daerah Sin-kiang. Dan isterinya selalu mengalami derita batin, sehingga sering kali sakit-sakitan.

Dia tahu bahwa sakitnya isterinya itu sesungguhnya karena batin yang tertekan dan gelisah. Seolah-olah kadang-kadang isterinya itu kehilangan kegembiraan hidup sama sekali. Wataknya yang dahulunya amat riang jenaka itu tenggelam dan lenyap, terganti watak murung dan mudah marah.

Oleh karena itu, melihat isterinya timbul kegembiraan ketika bertemu dengan Ci Sian dan menghadapi urusan kuda itu, dia pun tidak membantah. Sesungguhnya, bagi pendekar ini, urusan perlombaan kuda itu merupakan urusan kekanak-kanakan, dan andai kata dia tidak menghendaki agar isterinya dapat bergembira, tentu dia langsung saja mendatangi pencuri kuda, merampasnya kembali dan memberi hajaran, dan terus pergi lagi. Akan tetapi, dia sengaja membiarkan isterinya pulih kembali kegembiraan hidupnya.

Thio-wangwe atau Thio-thicu (Tuan Tanah Thio) adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahun yang bertubuh gendut dan berwajah ramah menyenangkan. Memang dia ini berpotongan cukong, akan tetapi sikapnya ramah dan tidak sombong, menyenangkan hati orang yang diajaknya bicara. Ketika mendengar bahwa tiga orang pendekar yang memiliki kesaktian, demikian laporan Liang Go Tosu padanya, datang mengunjungi dan bersedia membantunya dalam perlombaan dengan meminjamkan Hek-liong-ma yang akan mampu bersaing dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hartawan ini menyambut dengan segala kehormatan. Dia bersama isterinya dan kelima orang anaknya keluar semua menyambut, dengan wajah tersenyum gembira dan sikap ramah seperti keluarga menyambut datangnya anggota keluarga lain.

Tiga orang pendekar itu dipersilakan memasuki gedung megah itu dan mereka dijamu di dalam ruangan yang luas dan berperabot mewah. Kuda Hek-liong-ma pun tadi sudah disambut oleh para tukang kuda, dikalungi bunga dan diselimuti selimut tebal yang hangat, lalu dibawa ke kandang kuda yang bersih dan rapi, dipimpin sendiri oleh Si Botak yang bersikap hormat sekali.

Dalam perjamuan yang diadakan untuk menyambut mereka, yang dihadiri pula oleh Liang Gi Tosu yang tidak menolak hidangan berjiwa, Thio-thicu yang ramah itu lalu menjelaskan kesemuanya kepada Siang In dan Ci Sian. Dia lebih berani bicara kepada dua orang wanita cantik yang ramah dan lembut ini dari pada Kian Bu yang nampaknya menyeramkan dan menakutkan baginya karena pendekar itu lebih banyak diam saja, hanya tersenyum sedikit, akan tetapi wajahnya demikian penuh wibawa, dan terutama sekali sinar matanya yang mencorong membuat orang lain tidak tahan untuk bertemu pandang terlalu lama dengan pendekar ini.

“Sungguh menyesal sekali kami terpaksa harus melibatkan diri dengan persaingan yang berbahaya ini dan karenanya merepotkan Sam-wi saja,” antara lain tuan tanah Thio itu berkata. “Tetapi, orang she Bouw itu sungguh selalu mencari perkara. Sesungguhnya, pada dasarnya ia hendak menentang campur tangan pemerintah, ingin memperlihatkan kekuasaannya, akan tetapi karena dia tidak berani berterang menentang pemerintah, maka dia selalu mencari gara-gara di antara para thicu yang paling berkuasa di daerah ini. Dan kami tahu benar bahwa diam-diam dia itu condong menoleh kepada orang-orang Mongol yang kini mulai berkembang kekuasaannya di utara. Maklumlah, orang she Bouw itu adalah peranakan Mongol. Walau pun kini belum nampak bukti-buktinya, akan tetapi kami berani bertaruh bahwa kalau kelak terjadi pemberontakan orang Mongol, agaknya mungkin sekali dari Sin-kiang inilah pecahnya.”

Mendengar ucapan itu, diam-diam Kian Bu menaruh perhatian. Kalau urusan ini sudah menyangkut gejala pemberontakan, maka penting juga baginya. Dia sendiri, seperti juga ayahnya dan semua keluarga Pulau Es, tidak melibatkan diri dengan politik. Kalau kakaknya, Puteri Milana, dan ibunya, Puteri Nirahai, pernah membela kerajaan, hal itu adalah karena mereka itu masih berdarah kerajaan.

Tetapi bukan itu saja, sebenarnya pembelaan mereka untuk menumpas pemberontakan adalah untuk mencegah terjadinya perang lagi, karena semua perang hanya berakibat mendatangkan mala petaka dan kesengsaraan bagi rakyat jelata. Pendekar ini maklum bahwa biar pun ibunya adalah puteri Mancu, namun ayahnya adalah seorang Han tulen. Dan dia maklum pula bahwa sekarang ini, tanah air dijajah oleh bangsa Mancu.

Dia maklum pula akan adanya perasaan tidak puas dan penyesalan di dada orang-orang gagah bangsa Han dan adanya daya upaya untuk membebaskan negara dan bangsa dari pada penjajahan. Dan dia tidak menyalahkan sikap patriotik dari bangsa Han itu, apalagi kalau ada kaisar penjajah yang bertindak sewenang-wenang seperti yang didengarnya dilakukan oleh Kaisar Yung Ceng sekarang ini.

Akan tetapi dia sendiri bingung, tidak tahu harus berpihak mana. Ibunya adalah puteri Mancu! Dan ayahnya ialah seorang pendekar Han! Maka, seperti juga semua keluarga Pulau Es, dia tidak mau turut mencampuri, hanya sedapat mungkin harus mencegah terjadinya perang, sebab yang jelas perang akan mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat, apa pun alasan perang itu.

Akan tetapi Siang In adalah seorang pendekar wanita yang di dalam hatinya condong berpihak kepada penentang pemerintah penjajah Mancu. Mendengar betapa hartawan ini memburukkan nama tuan tanah yang agaknya hendak menentang pemerintah, ia mengerutkan alisnya dan bertanya, “Thio-wangwe, apakah alasannya maka engkau menganggap bahwa orang she Bouw itu ingin berkuasa, amat jahat dan juga hendak memberontak?”

Sikap dan nada suara nyonya ini agaknya menyadarkan Thio-wangwe, maka dia pun bersikap sungguh-sungguh dan memandang kepada nyonya yang cantik jelita dan gagah ini dengan tajam. “Harap Toanio jangan salah mengerti dan mengira saya memburuk-burukkan nama orang lain. Sesungguhnyalah, dahulu, dua tiga tahun yang lalu sebelum pemerintah campur tangan, semua thicu di tempat ini, termasuk saya sendiri, selalu ingin unggul dan menang, tidak mau kalah oleh thicu lain, dan untuk itu kami semua masing-masing memperkuat diri dan mengumpulkan orang-orang pandai. Akan tetapi setelah pemerintah turun tangan melarang segala macam pertikaian dan pertentangan, timbul persaingan lain, yaitu persaingan untuk mencari keunggulan dalam perlombaan-perlombaan, terutama sekali lomba kuda. Kami semua telah sadar bahwa perkelahian-perkelahian seperti yang sudah-sudah memang sangat tidak baik dan membahayakan. Akan tetapi agaknya tidak demikian dengan Bouw-thicu. Dia malah mengumpulkan orang-orang pandai dari golongan hitam, suka main gertak dan main keras, dan tidak jarang jagoannya melakukan penculikan dan pembunuhan secara diam-diam, tidak terang-terangan seperti dulu. Akan tetapi, semua orang tahu belaka perbuatan siapakah pembunuhan-pembunuhan dan penculikan-penculikan yang terjadi akhir-akhir ini di daerah Sin-kiang. Dan lebih mencolok lagi, setelah memperoleh kuda hitam yang luar biasa itu, dia pun menerima seorang tokoh hitam seperti Lui Shi itu!”

“Hemm, bukankah Lui Shi itu hanya seorang penjinak kuda saja?” pancing Siang In.

“Penjinak kuda? Memang, akan tetapi dia menjinakkan kuda untuk dicurinya! Dan dia kejam bukan main. Tentu saja saya mengenal betul wanita itu, Toanio, karena dengan wanita itu saya pernah mempunyai hubungan baik. Ia pernah membantu kami di sini, akan tetapi karena kekejaman dan kecurangannya, terpaksa kami mengeluarkannya.”

Akan tetapi sebagai seorang pendekar yang banyak pengalamannya dan selalu bersikap teliti dan waspada, Siang In tidak membiarkan dirinya terpikat oleh keterangan sepihak. “Baiklah, kita lihat saja nanti, Thio-wangwe. Kuda itu adalah kuda kami, hal ini aku yakin sekali, karena tidak akan ada lain kuda betina yang serupa benar dengan Hek-liong-ma kami. Kalau memang benar seperti ceritamu bahwa wanita she Lui itu pencuri kuda dan ia telah berani mencuri kuda kami, ia akan tahu rasa! Dan kalau benar orang she Bouw itu sewenang-wenang dan jahat, kami juga sekalian akan memberi hajaran kepadanya! Akan tetapi, kuharap saja engkau tidak memberi keterangan yang palsu, Thio-wangwe.” Ucapan terakhir ini mengandung ancaman halus.

Thio-wangwe tertawa dan mengangkat cawan araknya. “Kalau aku berbohong, biarlah aku menerima hajaran dari Sam-wi yang gagah perkasa.” Setelah berkata demikian, dia menuangkan arak cawannya ke dalam perut melalui mulutnya.

Tiga orang tamu itu mendapatkan dua kamar yang mewah di dalam rumah besar itu. Akan tetapi Siang In dan Ci Sian tidak mau tinggal diam. Mereka tidak mau bertindak sembrono membela orang yang belum mereka ketahui benar bagaimana keadaannya. Mereka tidak mau hanya mendengarkan keterangan sepihak saja. Oleh karena itu, mereka berpamit dari Kian Bu untuk melakukan penyelidikan berdua. Keluarlah mereka dari rumah gedung itu, meninggalkan Kian Bu yang kelihatan tidak acuh dan yang hendak beritirahat di dalam kamarnya.

Hari telah menjelang senja. Dua orang wanita itu mulai melakukan penyelidikan mereka dan bertanya-tanya kepada orang-orang di sepanjang perjalanan tentang Thio-wangwe. Dan hati mereka puas karena setiap orang, dari anak kecil sampai kakek-kakek yang mereka tanyai, semua memberikan jawaban yang memuaskan, bahwa Thio-wangwe adalah seorang hartawan yang amat dermawan dan tidak pernah bertindak sewenang-wenang.

Namun mereka masih belum puas dan pergilah mereka keluar kota ke dusun-dusun yang tanahnya menjadi milik hartawan ini. Kepada para buruh petani mereka bertanya dan melihat keadaan rumah tangga mereka. Memang, seperti biasa kaum tani di situ pun miskin, rumah mereka gubuk dan pakaian mereka sederhana, namun mereka itu sehat-sehat tanda tidak kurang makan dan wajah mereka juga gembira.

Pada senja hari itu, anak-anak para petani bermain-main di pekarangan luar dengan gembira, ini saja sudah menunjukkan bahwa kehidupan mereka cukup baik, tidak kekurangan makan dan tidak dicekam rasa takut akan hari depan. Setelah menerima keterangan yang membuktikan adanya dugaan mereka, kedua orang wanita ini merasa puas dan yakin bahwa mereka benar-benar membela orang yang memang patut dibela.

“Cici, sebaiknya kalau kita menyelidiki sekalian orang she Bouw itu,” kata Ci Sian ketika Siang In mengajaknya kembali.

“Ehh, beberapa kali kukatakan agar engkau menyebut Bibi kepadaku, Ci Sian. Usiamu baru tujuh belas tahun dan aku sudah tiga puluh empat tahun. Aku lebih patut menjadi Bibimu.”

“Aihh, engkau masih nampak begini muda, sungguh tidak patut dan tidak enak sekali menyebut Bibi kepadamu, Enci Siang In,” kata Ci Sian tertawa. “Pula, engkau belum mempunyai anak, belum pantas disebut Bibi....“

Tiba-tiba wajah yang tadinya cerah dan berseri gembira itu menjadi muram, bahkan kata-kata yang mengandung kelakar dari Ci Sian itu seperti menusuk jantung dirasakan oleh Siang In sehingga pendekar wanita ini memejamkan matanya dan berdiri agak terhuyung. Ci Sian terkejut dan merangkulnya.

“Cici! Engkau kenapakah....?” Dan terkejutlah Ci Sian karena orang yang dirangkulnya itu tiba-tiba saja menangis! Mereka berada di luar dusun, di tempat yang sunyi sehingga peristiwa itu tidak nampak oleh orang lain.

Siang In tidak menjawab, melainkan terisak menangis di atas pundak Ci Sian. Sampai beberapa lama ia menangis, dan akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. “Maafkan, Ci Sian.... ahhh, baru sekarang aku dapat menangis, seolah-olah aku bertemu seorang adik, seorang saudara yang dapat kucurahkan kesedihanku.... aku.... aku sungguh lemah....“

“Ahhh, tidak mengapa, Cici. Anggaplah aku adikmu sendiri. Akan tetapi mengapakah engkau bersedih? Sungguh sukar untuk dipercaya, orang seperti engkau ini, isteri dari Pendekar Siluman Kecil Sakti dan tidak kekurangan apa-apa, dapat bersedih.”

“Ci Sian, kata-katamu tadi bahwa aku.... aku belum memiliki anak itulah yang menusuk perasaanku dan membongkar kesedihan yang sudah lama bertumpuk di dalam hatiku.”

“Ohh.... kalau begitu maafkanlah aku, Cici, aku.... aku tidak sengaja hendak menyakiti hatimu....”

“Tidak mengapa, Adikku, tidak mengapa. Memang aku seorang wanita malang, seorang isteri yang bodoh. Engkau tahu, kami berdua, suamiku dan aku meninggalkan Pulau Es hanya karena kebodohanku inilah, karena kami tidak punya anak. Sudah belasan tahun menikah.... belum juga aku mempunyai anak. Aku sampai merasa malu sekali kepada kedua orang ibu mertuaku. Aku sudah membujuk suamiku agar dia mau mengambil selir, akan tetapi dia tidak mau. Akhirnya, kami berdua pergi, merantau sampai di tempat ini, hanya dengan maksud untuk dapat memperoleh keturunan.”

“Kasihan engkau, Cici...., kalau saja aku dapat membantumu....“

“Tidak ada seorang pun di dunia ini dapat membantu kami, Adikku. Kecuali.... kalau engkau tahu di mana adanya ular naga hijau, karena katanya, hanya Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) saja yang dapat memberikan keturunan kepada suami-isteri.”

“Jeng-liong-cu....? Di mana kita bisa mendapatkan itu?” Ci Sian bertanya heran.

“Kabar angin yang kami tangkap, katanya ular naga hijau itu berada di daerah ini, dan karena itulah kami tiba di tempat ini, Ci Sian. Ah, baru sekarang selama hidupku aku merasa kecewa dan sengsara!” Nyonya yang masih cantik jelita itu menarik napas panjang dan bersama napasnya tedengar suara rintihan lirih.

Ci Sian termenung, melamun dengan penuh keheranan. Melihat kenyataan itu dia pun menjadi bengong, kemudian termenung memikirkan nasibnya sendiri. Akhirnya dia pun mengeluarkan kata-kata bersama tarikan napas panjang. “Aihhh....siapa kira....“

Siang In mencoba untuk memandang wajah gadis itu melalui keremangan senja. “Apa maksudmu, Ci Sian?”

“Sungguh keadaan dan penjelasan Cici tadi membuat aku terheran-heran bukan main. Kukira hanya aku seorang saja yang dirundung duka. Tadinya kusangka bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang lebih kebingungan dan berduka dari pada aku. Apalagi Cici yang nampak hidup demikian bahagia, di samping suami yang mencinta, berkepandaian tinggi dan menjadi isteri dari putera majikan Pulau Es yang amat ternama. Setelah mendengar penuturanmu, Enci Siang In, aku menjadi semakin bingung. Apakah hidup ini hanya terisi oleh kekecewaan-kekecewaan belaka?”

Memang demikianlah pandangan setiap orang yang sedang dilanda kekecewaan dan kedukaan. Kecewa menimbulkan iba diri dan melahirkan duka. Dan orang yang sedang dilanda duka selalu beranggapan bahwa di dunia ini, dialah yang paling sengsara, yang paling buruk nasibnya, paling malang, paling celaka. Inilah sebabnya mengapa orang yang sedang dilanda duka merasa terhibur apabila melihat orang lain menderita duka, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar dari pada yang dideritanya sendiri.

Orang yang dilanda duka selalu berusaha untuk menghindarkan rasa duka itu dengan berbagai macam hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan, baik hiburan berupa kesenangan mau pun hiburan berupa pelarian diri kepada filsafat-filsafat atau petuah-petuah yang menghibur. Atau ada pula yang menyerah dan takluk membiarkan dirinya tenggelam ke dalam duka sampai menjadi putus asa, membunuh diri, menjadi gila dan sebagainya.

Namun, segala macam pelarian tidak mungkin membebaskan kita dari duka. Mengapa? Karena duka adalah kita sendiri. Duka adalah kita, yang ingin melarikan diri itu pula. Duka tidak terpisah dari kita sendiri, takkan dapat kita tinggalkan, ke mana pun kita melarikan diri. Jika kita menutupinya dengan berbagai hiburan, baik hiburan badaniah mau pun batiniah, maka penutupan itu hanya sementara saja. Si duka masih ada, kadang-kadang menyelinap ke bawah sadar dan selalu menghantui kehidupan kita.

Lalu bagaimana agar kita benar-benar terbebas dari pada duka? Terbebas dari pada kecewa? Tanpa menyerah dan takluk? Pertanyaan ini perlu kita ajukan kepada diri kita masing-masing, karena tanpa menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya, kehidupan kita akan selalu penuh dengan kecewa dan duka sepanjang hidup, hanya dengan adanya kesenangan sekilas lintas sebagai selingan lemah saja.

Kecewa bukanlah akibat dari peristiwa di luar diri, melainkan seuatu proses dari penilaian pikiran atau si aku. Pikiran membentuk suatu gambaran tentang diri sendiri, yaitu si aku yang selalu menginginkan hal-hal yang menyenangkan. Keinginan-keinginan untuk senang ini kalau tidak tercapai akan menimbulkan kekecewaan. Keinginan-keinginan itu dapat juga dinamakan harapan-harapan berlangsungnya sesuatu yang telah terjadi. Pikiran atau gambaran si aku ini tak terpisahkan dari kenang-kenangan akan kesenangan yang menimbulkan ikatan kuat sekali.

Si aku terikat erat dengan kesenangan, baik kesenangan badani mau pun rohani, dan kalau ikatan itu putus, akan menimbulkan rasa sakit. Kalau kesenangan dijauhkan dari si aku, maka si aku merasa sakit, kecewa, dan duka. Lalu si aku pula yang menilai bahwa duka amat tidak enak, maka si aku pula yang berusaha melarikan diri dari kecewa dan duka itu, dengan berbagai macam hiburan lahir mau pun batin. Padahal, sang suka itu ya si aku itu juga, yang agar tidak ingin duka. Dengan begini, tercipta lagi suatu keinginan lain, yaitu ingin tidak duka! Betapa berbelit-belitnya pikiran ini bekerja, betapa licinnya.

Kita akan menjadi permainannya, diombang-ambingkan oleh permainan pikiran yang membentuk si aku. Si aku selalu mengejar senang, selalu menjauhkan yang tidak enak. Mula-mula menginginkan kesenangan, lalu tidak tercapai, lalu kecewa dan duka, lalu menganggap kecewa dan duka tidak enak, lalu ingin lari dari itu pula, bukan lain karena ingin agar senang, agar terlepas dari keadaan yang tidak enak itu. Dan demikian seterusnya. Padahal, justru keinginan untuk lari dari duka inilah yang memberi pupuk dan memperkuat adanya duka! Karena memperkuat si aku, maka menambah subur keinginan-keinginan si aku.

Habis bagaimana? Kalau tidak melarikan diri dari duka, kalau tidak mencari hiburan dari duka lalu apakah kita harus menerima begitu saja, membiarkan duka menenggelamkan kita? Sama sekali tidak demikian, karena sikap ‘menerima nasib’ ini hanya akan mendatangkan kelemahan jiwa, membuat orang menjadi frustasi dan apatis, menjadi masa bodoh! Ini mendatangkan kemalasan dan mengurangi semangat atau gairah hidup!

Kalau datang kecewa? Kalau datang rasa duka? Pernahkah kita MENGHADAPINYA? Bukan membiarkan pikiran sibuk sendiri, memikirkan hal-hal yang menimbulkan kecewa dan duka itu, melainkan menghadapi dan mengamati perasaan kecewa atau duka itu dengan penuh perhatian, penuh kewaspadaan dan tidak lari dari padanya? Beranikah kita mengamati diri sendiri ketika kecewa atau duka datang, mengamati tanpa penilaian baik atau buruk, tanpa keinginan melenyapkannya, melainkan hanya pengamatan saja yang ada?

Bukan si aku yang mengamati duka, karena jika begitu, tentu akan timbul penilaian dan tanggapan dari si aku dan kita kembali terseret ke dalam lingkaran setan dari permainan si aku lagi. Yang ada hanya kewaspadaan saja, pengamatan penuh perhatian, tanpa pamrih apa pun melainkan hanya kewaspadaan. Maukah dan beranikah kita mencoba? Mungkin hanya inilah rahasia pemecahannya, tanpa teori melainkan harus dihayati oleh diri masing-masing
.

Kini Ci Sian yang merenungkan keadaan dirinya, sudah tenggelam dalam renungan itu, tenggelam dalam kesedihannya sendiri. Wajah gadis ini lesu, pandang matanya layu, merenung dan menerawang ke tempat jauh tanpa melihat sesuatu kecuali isi lamunan dan kesenangannya sendiri saja.

Sebuah tangan dengan halus menyentuh pundaknya. Tangan Siang In. “Adikku, Ci Sian, mengapakah engkau yang semuda ini dirundung duka? Pada saat aku sebaya denganmu, hidup ini rasanya penuh kegembiraan bagiku, akan tetapi engkau yang muda remaja ini mengapa sudah dilanda duka?”

“Ahh, Enci, aku sungguh bingung sekali....“ Kemudian, karena merasa betapa wanita isteri pendekar Siluman Kecil itu amat akrab kepadanya, bahkah telah membuka rahasia hatinya, Ci Sian yang selama ditinggal Kam Hong merasa berduka dan bingung, kini seperti memperoleh tempat pencurahan isi hatinya.

Dengan sedih dia menceritakan semua pengalamannya, sejak dia diajak oleh kakeknya dan pertemuannya yang pertama sekali dengan Kam Hong, sampai pengalamannya bersama Kam Hong yang amat berbahaya, sehingga akhirnya mereka berdua secara kebetulan menemukan jenazah kuno yang mengandung rahasia ilmu silat sehingga mereka menjadi suheng dan sumoi. Kemudian tentang penyerbuan mereka berdua ke sarang Hek-i-mo, betapa mereka berdua mengobrak-abrik sarang gerombolan jahat itu. Betapa kemudian ia melawan Hek-i Mo-ong dan munculnya Sim Hong Bu yang lalu membantunya.

“Dan pada saat itu, Kam-suheng telah pergi meninggalkan aku, Cici! Tanpa ada alasan sama sekali, meninggalkan aku begitu saja sendirian di dunia ini....” Ci Sian mengakhiri ceritanya dengan suara sedih. “Dia tidak memberi tahu hendak ke mana dan di mana aku dapat bertemu dengan dia. Aku tidak mempunyai keluarga.... aku tidak mau lagi mengenal Ayahku.... dan aku tidak tahu harus pergi ke mana. Aku mencarinya, tapi aku pun tidak tahu harus mencari ke mana....“

“Hemm.... Kam Hong, meninggalkanmu setelah pemuda bernama Sim Hong Bu itu muncul?” tanya Siang In.

“Benar, Cici. Aku sendiri pun tidak tahu mengapa.”

“Bagaimana keadaan Sim Hong Bu itu? Pemuda yang baikkah dia?”

“Dia seorang pemuda yang mewarisi ilmu dan pedang Koai-liong-kiam, kepandaiannya tinggi sekali dan dia.... dia seorang pemuda yang gagah dan baik.”

“Usianya sebaya denganmu?”

“Ya, begitulah, mungkin hanya selisih dua tiga tahun....”

“Dan Kam Hong? Berapa usianya?” Siang In mengingat-ingat dan menjawab sendiri. “Kalau tidak salah, dia itu sudah sebaya denganku, tentu sudah tiga puluh tahun lebih.”

“Cici, mengapa engkau bertanya-tanya tentang usia?”

“Jawab dulu pertanyaanku, apakah engkau dan Kam Hong saling mencinta?”

“Tentu saja, kami adalah Suheng dan Sumoi, dan lebih dari itu, kami sudah banyak menghadapi banyak hal-hal yang hebat bersama, menghadapi maut dan kesengsaraan, ancaman bahaya....“

“Bukan begitu maksudku, tapi mencinta sebagai seorang pria dan wanita.”

Ditanya demikian, sampai lama Ci Sian menundukkan mukanya. Pertanyaan seperti ini memang pernah memasuki hatinya, akan tetapi setiap kali ia segera menghindarinya, karena merasa sukar menerima pertanyaan itu. Akan tetapi, karena pertanyaan itu keluar dari mulut orang lain, maka ia memikirkannya secara mendalam dan akhirnya ia menjawab sejujurnya.

“Entahlah, Enci Siang In. Aku sendiri tak tahu, karena kami tidak pernah menyatakannya dengan kata-kata. Akan tetapi, Kam-suheng amat baik kepadaku dan aku.... ah, setelah berpisah darinya, aku merasa betapa aku kehilangan dia, betapa hidupku kesepian dan tiada kegembiraan.”

“Hemm, itu artinya engkau cinta padanya, Ci Sian. Dan aku yakin bahwa dia pun tentu jatuh cinta kepadamu.”

“Tapi, kalau benar demikian, Cici, kenapa dia malah meninggalkan aku?”

“Ya, cinta memang kadang-kadang mendatangkan hal-hal yang aneh-aneh,” kata Siang In yang merenung dan mengenangkan pengalaman-pengalamannya sendiri ketika dia bercinta dengan Suma Kian Bu yang kini menjadi suaminya. “Jika dia meninggalkanmu, hanya ada dua kemungkinan, Ci Sian. Pertama, karena dia cemburu....”

“Cemburu....? Dia, Kam-suheng cemburu....?” Ci Sian berseru dengan pandang mata terbelalak keheranan.

“Mungkin sekali! Bukankah dia meninggalkanmu setelah munculnya pemuda gagah perkasa Sim Hong Bu itu? Mungkin dia melihat sesuatu antara engkau dan pemuda itu, atau barangkali menduga sesuatu....”

“Ah, jangan-jangan demikian adanya! Sim Hong Bu itu kutinggalkan karena dia.... dia menyatakan cintanya kepadaku!”

“Nah, itulah! Dia tentu melihat tanda-tanda bahwa pemuda yang lain itu jatuh cinta padamu dan merasa cemburu, mengira engkau juga tertarik kepada Sim Hong Bu itu.”

“Akan tetapi, tidak mungkin. Kam-suheng sama sekali tidak memiliki watak seperti itu! Dia seorang pendekar tulen, tidak mungkin sedangkal itu jalan pikiran atau perasaan hatinya!”

”Kalau tidak demikian, maka besar kemungkinan adalah karena hal yang kedua.”

“Apakah itu, Enci Siang In?”

“Karena dia jauh lebih tua darimu, sepatutnya menjadi pamanmu, maka mungkin saja dia sengaja mengundurkan diri setelah melihat bahwa engkau lebih pantas dengan pemuda Sim yang lebih muda dan yang sebaya denganmu itu. Mungkin dia merasa bahwa engkau lebih cocok dengan pemuda yang sebaya, dan melihat bahwa pemuda itu mencintamu, maka dia sengaja mundur. Banyak terdapat pendekar berhati mulia yang sengaja mau berkorban diri demi orang yang dicintanya.”

“Ah, Kam-suheng....!” Dan Ci Sian menangis! Hatinya terharu sekali karena ia pun kini melihat kemungkinan ini.

Kini Siang In yang merangkul dara yang menangis itu, membiarkan Ci Sian menangis dan setelah agak reda tangis dara itu, ia menghibur, “Sudahlah, Ci Sian. Jangan berduka, dan jangan putus asa. Kalau memang dia mencintamu, tentu dia tidak akan membiarkan engkau begitu saja. Dan kalau memang engkau berjodoh padanya, tentu akan tiba saatnya engkau bertemu kembali dengannya. Agaknya memang orang yang jatuh cinta harus selalu mengalami banyak suka duka, seperti aku dahulu.”

Akhirnya, setelah Ci Sian terhibur dan menghentikan tangisnya, dua orang wanita perkasa ini lalu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke utara untuk mendatangi rumah keluarga Bouw, yaitu tuan tanah yang memiliki daerah kekuasaan di sebelah utara dari wilayah kekuasaan Thio-thicu. Batas tanah antara mereka itu ditandai dengan pagar kawat yang tinggi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian dan Siang In untuk melompati pagar dan memasuki wilayah kekuasaan Bouw-thicu. Mereka sebelumnya memang sudah menyelidiki tempat tinggal Bouw-thicu ini, maka kini dengan mudah mereka mengunjungi perkampungan Bouw-thicu yang cukup ramai, tak kalah ramainya dengan perkampungan tempat tinggal Thio-thicu…..


Bagaikan bayangan burung-burung raksasa saja dua orang wanita ini berkelebatan di atas genteng-genteng rumah para penghuni perkampungan itu sampai akhirnya mereka tiba di atas wuwungan yang tinggi dari rumah berloteng milik Bouw-thicu.

Tiba-tiba sekali Ci Sian memegang dengan Siang In dan berbisik. “Ssttt....!”

Siang In kagum sekali akan ketajaman pendengaran dan penglihatan dara itu, dan cepat ia menengok. Benar saja, dari arah barat nampak bayangan orang berkelebatan di atas genteng-genteng rumah orang, dan gerakannya memang cepat bukan main. Dan melihat bentuk tubuh bayangan itu, walau pun dari jauh sudah mudah diduga bahwa bayangan itu adalah seorang wanita.

Mereka berdua cepat mendekam di balik wuwungan yang tinggi dan menanti. Dan memang dugaan mereka benar karena bayangan yang bertubuh ramping itu ternyata datang ke jurusan mereka, atau lebih tepat lagi ke jurusan rumah gedung bertingkat tempat tinggal Bouw-thicu. Dan melihat cara bayangan itu melompat dari genteng tingkat pertama ke atas genteng loteng, dapatlah dimengerti oleh dua orang pendekar wanita itu bahwa bayangan itu memiliki ginkang yang cukup tinggi, bahkan ketika kaki bayangan itu hinggap di atas genteng loteng, sama sekali tidak terdengar jejak kakinya.

“Tentu ia malingnya....,“ bisik Ci Sian dan dara ini sudah hendak bergerak.

Siang In merasakan gerakan ini. Cepat ia memegang lengan Ci Sian dan menggeleng kepala, “Jangan....”

Ci Sian sadar akan kesembronoannya. Kalau ia bergerak, berarti menggagalkan segala-galanya. Padahal, menurut percakapan antara suami istri pendekar itu, dia mengerti bahwa mereka berdua itu bukan semata-mata ingin merampas kembali kuda dan menundukkan orang she Bouw, akan tetapi juga berusaha untuk mengatasi dan mendamaikan pertentangan antara para tuan tanah di daerah Sin-kiang itu. Maka dia mengangguk dan keduanya membiarkan bayangan itu menyelinap dan melayang turun di bagian belakang bangunan itu.

Setelah memberi waktu beberapa lama dan keadaannya sunyi benar, barulah keduanya dengan hati-hati meloncat turun ke belakang bangunan, kemudian melalui taman bunga mereka berindap-indap memasuki bangunan dari tembok belakang yang dapat dengan mudah mereka lompati.

Tidak lama kemudian kedua orang wanita sakti itu telah mengintai ke dalam sebuah ruangan belakang di gedung itu dan mereka menemukan wanita yang tadi melayang masuk sedang bercakap-cakap dengan seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam. Dari percakapan itu, tahulah mereka bahwa laki-laki tinggi besar itu bukan lain adalah Bouw-thicu, ditemani oleh empat orang pembantunya yang semuanya nampak garang dan bertenaga kuat, sedangkan wanita itu tentulah Lui Shi yang telah mereka dengar.

Memang seorang wanita yang cantik, usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun akan tetapi nampak masih cantik dengan muka dirias tebal, sikapnya genit, dan pakaiannya serba ringkas namun wanita ini pesolek sekali. Dan mendengar percakapan mereka, tahulah Siang In dan Ci Sian bahwa Lui Shi ini pun baru pulang dari penyelidikannya ke tempat tinggal Thio-thicu!

“Bagaimana, Nona Lui, benarkah berita angin itu bahwa orang she Thio itu memperoleh seekor kuda hebat yang dapat menyaingi kuda kita?” antara lain Bouw-thicu bertanya.

Mendengar pertanyaan ini, diam-diam Siang In dan Ci Sian kagum juga akan cara kerjanya para anak buah orang ini sehingga tentang kuda Hek-liong-ma yang akan membantu Thio-thicu dalam perlombaan, sudah didengar oleh orang she Bouw ini.

“Memang benar, Bouw-loya,” jawab wanita yang masih disebut nona itu, menunjukkan bahwa wanita ini masih belum menikah. “Akan tetapi Lo-ya tidak usah khawatir, karena biar pun kuda hitam mereka itu pun baik sekali, akan tetapi kuda itu hanyalah seekor kuda jantan. Maka dalam perlombaan, tidak mungkin kuda jantan itu mau melampaui kuda hitamku yang betina. Dan andai kata demikian pun, saya masih mempunyai akal untuk menundukkan kuda lawan itu agar jangan melanggar atau mendahului.”

“Hemm, perlombaan kuda itu penting sekali, Nona Lui, dan bagaimana pun juga, pihak kita sekali-kali tak boleh kalah. Jika memang orang she Thio itu betul-betul menemukan kuda jempolan dan dalam perlombaan dapat mengalahkan kudamu, lalu bagaimana?”

“Jangan khawatir, saya mempunyai jampe untuk menahan kuda itu, dan kalau jampe itu gagal, masih ada jarum-jarum saya untuk merobohkannya kalau perlu agar kuda kita tidak terkalahkan.”

Mendengar ini, Bouw-thicu tertawa girang. “Bagus, bagus.... akalmu sungguh bagus sekali, Nona. Kalau kuda kita benar-benar menang, jangan khawatir, hadiahnya besar sekali untukmu!” Terdengar mereka tertawa-tawa.

Siang In lalu menarik lengan Ci Sian untuk meninggalkan tempat itu. Dengan hati-hati mereka pergi dan meloncat naik ke atas genteng, lalu mempergunakan ilmu berlari cepat untuk kembali ke perkampungan Thio-thicu.

“Si Genit itu! Ingin sekali kutampar mukanya yang dipulas itu!” Di tengah jalan Ci Sian mengomel. “Ia mau menjampe kuda dan menyerang dengan jarum! Si keparat!”

“Kita harus sabar dan menanti sampai perlombaan diadakan. Tentang jampe, jangan khawatir, Hek-liong-ma tentu masih lebih taat kepada suamiku, dan tentang serangan jarumnya....”

“Serahkan saja jarum-jarum itu kepadaku, Enci Siang In! Kalau benar-benar ia berani menyerang dengan jarum, awas Si Genit itu!” Ci Sian mengepal tinju.

Ketika dua orang pendekar wanita ini tiba kembali di rumah Thio-thicu, ternyata Suma Kian Bu masih menanti di luar kamar. Pendekar ini dengan tersenyum mendengarkan cerita isterinya tentang hasil penyelidikannya. Malam itu mereka mengaso dan tidak terjadi hal-hal yang luar biasa, kecuali antara Kian Bu dan isterinya. Luar biasa.....

********************

Lapangan rumput itu sangat luas dan sepotong tanah ini merupakan wilayah milik pemerintah, jadi merupakan daerah netral bagi para tuan tanah yang pada pagi hari itu berkumpul di situ. Suasana amat meriah, seperti dalam pesta. Dan memang pesta itu diadakan tiap tahun dan diprakarsai oleh pejabat pemerintah di Sin-kiang, dalam usahanya untuk mengalihkan permusuhan antara para tuan tanah itu menjadi semacam perlombaan yang sehat. Dan yang populer adalah lomba kuda itulah.

Pembesar yang paling tinggi, yaitu semacam gubernur atau kepala Propinsi Sin-kiang, sudah hadir bersama para pembesar bawahannya yang lain, dan sepasukan tentara pengawal berbaris rapi di seputar panggung kehormatan yang dibangun untuk para pembesar ini, di luar arena perlombaan kuda. Dari tempat yang tinggi di panggung ini, para pembesar dapat melihat pemandangan yang indah dan aneh, yaitu kelompok-kelompok orang yang mudah dibedakan dari atas dengan melihat warna tenda, pakaian pasukan pengawal, dan bendera mereka.

Setiap tuan tanah datang bukan hanya membawa kuda jagoan mereka, akan tetapi juga para pembantunya dan sepasukan pengawal masing-masing yang berpakaian seragam. Bermacam-macam warna pakaian pasukan pengawal ini, tetapi semuanya berbeda! Dan lucunya, tenda yang mereka dirikan, untuk Sang Tuan Tanah dan keluarganya tentu saja, agar terlindung dari panas dan dapat menyaksikan balapan itu dengan santai, tenda-tenda itu pun tidak ada yang sama warnanya! Karena perbedaan warna inilah maka pemandangan dari atas panggung para pembesar itu nampak indah dan aneh. Tenda-tenda para tuan tanah itu didirikan di sekitar luar arena perlombaan yang amat luas itu, masing-masing memilih tempat yang agak tinggi agar mudah mengikuti perlombaan kuda.

Rombongan Thio-thicu berada di tempat yang tidak jauh dari panggung, tempat para pembesar duduk. Seperti para tuan tanah yang lain, juga di tempat ini didirikan sebuah tenda besar tempat Thio-thicu berlindung dari sengatan matahari siang nanti. Akan tetapi tidak seperti yang lain, Thio-thicu tidak membawa pasukan pengawal, melainkan hanya beberapa orang pengawal saja yang juga bertindak sebagai pelayan. Thio-thicu bahkan tidak membawa keluarganya. Pihak tuan tanah Thio ini hanya membawa seekor kuda saja, yang ditutupi selimut kuda sehingga tidak nampak jelas dari luar apa warna kuda itu dan bagaimana macamnya karena muka kuda itu pun tertutup selimut.

Suma Kian Bu dan dua orang pendekar wanita itu datang bersama Thio-thicu. Karena ia akan menunggang Hek-liong-ma ikut berlomba, Ci Sian mengenakan pakaian ringkas warna kuning, rambutnya diikat dengan kain sutera merah. Akan tetapi ia telah memberi tahu kepada Thio-thicu bahwa ia hanya akan keluar bersama kudanya kalau semua peserta telah berkumpul. Sejak tadi, banyak sudah peserta yang memasuki gelanggang, menunggangi kuda masing-masing dan menjalankan kuda mereka berkeliling sebagai pemanasan dan juga untuk berlagak. Setiap kuda dengan penunggangnya mempunyai pendukung sendiri-sendiri, tentu saja kawan-kawannya para pembantu majikan masing-masing.

Kali ini, yang mengikuti perlombaan hanya ada sembilan orang thicu, sungguh pun hampir semua thicu yang jumlahnya sekitar dua puluh orang lebih itu datang untuk menyaksikan perlombaan itu, juga untuk bertaruh dengan taruhan-taruhan yang besar sekali nilainya. Hal ini adalah karena para thicu yang tanggung-tanggung saja sudah mengundurkan diri, tidak berani mengikuti perlombaan, apalagi setelah mendengar akan adanya kuda hitam milik Bouw-thicu yang dapat lari seperti terbang itu. Yang mengikuti perlombaan hanyalah para thicu yang tergolong besar, dalam arti luas daerahnya dan kekayaannya.

Namun semua orang sudah mendengar bahwa yang agaknya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu hanyalah kuda Thio-thicu. Menurut kabar angin, Thio-thicu memiliki kuda ‘simpanan’ yang belum pernah dilihat orang, akan tetapi yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu itu. Maka, tujuan orang-orang di situ, termasuk para pembesar, hanyalah kepada dua orang tuan tanah ini. Dan terjadilah taruhan-taruhan besar di antara para thicu yang tidak ikut berlomba, bahkan yang ikut berlomba dengan menurunkan seekor kuda pun kemudian ikut bertaruh antara dua thicu terkemuka ini.

Sudah ada tujuh ekor kuda yang memasuki arena. Tujuh ekor kuda pilihan yang besar dan kuat, dengan penunggang yang semuanya adalah pria-pria muda yang tubuhnya kerempeng. Memang sebaiknya kalau penunggang kuda balap dipilih orang bertubuh kecil dan ringan, demikian pendapat para pemilik kuda balap.

Tujuh ekor kuda itu dengan para penunggangnya berjalan dengan gagah berputaran di sekitar tempat permulaan, atau garis start di mana telah berkumpul pula para petugas yang mengatur perlombaan. Di tempat pemberangkatan itu telah dipasang sembilan tempat kuda, agar para kuda itu dapat bersiap dengan tenang dan baru bergerak kalau aba-aba dan pintu tempat itu sudah diberikan dan dibuka. Akan tetapi karena para pengikut belum lengkap, maka para penunggang kuda belum memasuki tempat masing-masing, masih memperagakan kebolehan mereka menunggang kuda dan keindahan kuda tunggangan mereka.

Agaknya Lui Shi, wanita pembantu Bouw-thicu itu memang sengaja menanti dan hendak melihat seperti apa macamnya kuda yang akan diajukan oleh Thio-thicu. Oleh karena itu, ia pun menanti dan belum juga keluar bersama kudanya. Akhirnya setelah menanti dan belum juga kuda jagoan Thio-thicu muncul, dan para penonton yang sudah tidak sabar lagi berteriak-teriak menuntut agar Bouw-thicu yang sudah dinanti-nanti orang itu suka mengeluarkan kudanya, Bouw-thicu menyuruh Lui Shi untuk memasuki arena. Maka muncullah wanita cantik ini di atas kudanya yang hitam, dengan amat gagahnya memasuki arena itu.

Kuda hitamnya memang amat indah. Besar dan bertubuh kuat sekali, bulunya hitam mengkilap seperti dicat, bulu surinya riap-riapan amat rapinya dan bulu ekornya juga subur dan indah. Wanita itu sendiri nampak cantik dan gagah, perkasa, apalagi karena wajahnya yang dirias tebal, dari jauh nampak amat cantik, jelita. Pakaiannya dari sutera putih dan merah muda itu serasi benar dengan bulu kuda yang hitam kelam, maka ketika kudanya memasuki arena, dan angin membuat bulu suri dan ekor kuda juga baju sutera putih dan merah muda itu berkibar-kibar, para penonton menyambutnya dengan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Pada pagi hari itu, boleh dibilang seluruh penduduk di sekitar daerah itu berkumpul di tempat itu, terutama kaum prianya. Sorak-sorai yang menggegap-gempita menyambut munculnya Lui Shi ini membuat kuda hitam yang ditungganginya terkejut dan berdiri di atas dua kaki belakang. Semua orang terkejut dan khawatir, akan tetapi Lui Shi dapat duduk di atas punggung kuda yang berdiri itu dengan enaknya, bahkan mengangkat tangan kiri melambai-lambai ke segala jurusan dengan gaya memikat.

Ketika kuda hitam itu sudah menurunkan kembali kedua kaki depannya, tiba-tiba wanita itu sendiri meloncat dan tubuhnya yang tadinya duduk itu kini berdiri di atas punggung kuda, dan ia melarikan kudanya berputar-putar di situ seperti seorang akrobat pemain sirkus kuda yang mahir. Kembali para penonton menyambutnya dengan tepuk sorak gembira. Lui Shi sengaja lewat di depan panggung, memberi hormat kepada para pembesar kemudian lewat pula di depan rombongan Thio-thicu dengan lagak mengejek. Ketika Lui Shi lewat di situ, Suma Kian Bu dan Siang ln sengaja tidak memperlihatkan diri.

Ci Sian melihat bahwa calon lawannya sudah muncul, lalu membuka penutup dan pelindung tubuh kudanya, meloncat ke atas pungung kuda itu dan setelah mengangguk kepada Siang In dan Kian Bu, dia pun lalu menggerakkan kudanya memasuki arena perlombaan.

Semua penonton memang sudah sejak tadi menanti munculnya kuda dari Thio-thicu, terutama mereka yang berpihak kepada tuan tanah ini dan telah mempertaruhkan banyak uang untuk kuda Thio-thicu. Kini, melihat munculnya seekor kuda hitam yang serupa benar dengan kuda hitam milik Bouw-thicu, hanya bedanya kuda hitam ini jantan sedangkan kuda hitam milih Bouw-thicu betina, semua orang terheran-heran. Apalagi ketika melihat bahwa yang menunggang kuda hitam itu adalah seorang dara remaja yang berpakaian serba kuning, seorang dara yang biar pun tidak memakai riasan muka seperti Lui Shi akan tetapi yang memiliki kecantikan seperti bidadari dan sikapnya amat gagah, pecahlah ledakan sorak-sorai dan tepuk tangan.

Semua orang memang sudah mendengar berita angin bahwa Thio-thicu juga telah mendapatkan seekor kuda pilihan yang kabarnya akan mampu menandingi kuda hitam milik Bouw-thicu. Akan tetapi tidak ada yang mengira bahwa kuda itu pun adalah seekor kuda hitam yang sama benar, bahkan agak lebih tinggi dibandingkan dengan kuda milik Bouw-thicu. Dan yang membuat mereka gembira dan terheran-heran karena sama sekali lebih tidak mereka sangka lagi adalah bahwa penunggangnya juga seorang wanita, bahkan seorang dara remaja yang demikian cantik dan gagahnya!

Biar pun dari jauh Lui Shi nampak cantik sekali, akan tetapi semua orang tahu bahwa kecantikan wanita yang lebih tua itu banyak dibantu oleh bedak dan gincu, sedangkan kecantikan dara remaja itu adalah kecantikan asli. Maka, kenyataan bahwa kuda kedua orang tuan tanah yang saling bersaing itu serupa, dan juga penunggangnya sama wanita cantik, tentu saja para penonton menjadi gembira sekali dan suasana menjadi tegang, apalagi mereka yang bertaruh. Sibuklah mereka ini untuk menambah atau merubah taruhan mereka setelah kedua ‘jago’ itu keluar.

Sementara itu, melaLui wakil masing-masing, terjadi pertaruhan yang luar biasa antara Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka itu saling mempertaruhkan tanah di perbatasan antara wilayah mereka, tanah yang luasnya lebih dari separoh milik mereka, masih ditambah lagi dengan sejumlah perak dan emas yang membuat salah satu di antara mereka rudin kalau kalah! Dan pertaruhan besar ini disyahkan dan disaksikan oleh kepala daerah sendiri!

Ci Sian tidak berlagak seperti yang diperlihatkan Lui Shi tadi. Akan tetapi tanpa berlagak sekali pun dara ini sudah nampak gagah sekali. Hek-liong-ma berlari congklang dan Ci Sian langsung melarikan kudanya ke dalam tempat berkotak yang diperuntukkan para pembalap itu. Ia membawa kudanya memasuki tempat yang bertuliskan huruf Thio.

Sementara itu, semua kuda sudah memasuki kotak masing-masing sebab para petugas perlombaan sudah mengibarkan bendera, pertanda bahwa perlombaan akan dimulai dan semua kuda harus bersiap-siap di dalam kotak masing-masing. Semua pembalap memandang ke arah petugas yang memegang sebuah bendera merah dan yang berdiri di tempat yang agak tinggi. Petugas inilah yang akan memberi tanda dimulainya balap kuda itu. Kalau bendera yang diangkatnya tinggi itu sudah dikelebatkan turun, itulah tandanya.

Dan Si Petugas itu pun masih memegang tangkai bendera dengan kedua tangannya dan dia sejak tadi memandang ke atas panggung, ke arah kepala daerah. Karena kalau para pembalap itu menanti tanda dari dia, maka dia pun menanti tanda dari pembesar itu. Hanya kepala daerah saja yang berhak memberi tanda bahwa perlombaan boleh dimulai.

Agaknya kepala daerah itu sedang menerima laporan-laporan dari para petugas dan penyelidikannya bahwa segala sesuatunya berjalan beres, tidak ada apa apa yang mencurigakan dan tidak ada permainan curang dilakukan orang dalam perlombaan itu. Maka, setelah merasa yakin bahwa tidak ada hal yang patut dicurigai, kepala daerah itu lalu bangkit dari tempat duduknya, lalu mengangkat tangan ke kanan, ke atas dan menggerakkan tangan itu tiba-tiba ke bawah. Inilah tanda bahwa perlombaan boleh dimulai, yang merupakan isyarat bagi Si Petugas pemegang bendera merah.

Semua mata penonton hampir tak pernah berkedip memandang ke arah kotak-kotak itu, menanti dengan hati berdebar saat dimulainya perlombaan yang menegangkan hati itu, terutama yang akan terjadi di antara dua penunggang kuda wanita itu. Akan tetapi, di dalam ketegangan ini ada saja penonton yang berkelakar mengatakan bahwa jangan-jangan yang dinanti-nanti dengan tegang, yaitu dua orang pembalap wanita itu, ternyata akan menjadi pemenang dari belakang!

“Bagaimana pun juga, mereka hanyalah wanita-wanita!” tambahnya.

Kelakar ini mengurangi ketegangan dan terdengar suara ketawa. Bagaimana pun juga, kelakar itu masuk di akal dan bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi seperti yang diramalkan oleh orang itu. Dan betapa akan lucunya kalau kedua penunggang kuda wanita itu, yang kini dikagumi dan dijadikan pusat pertaruhan yang amat ramai, di akhir perlombaan itu akan menjadi juara dari belakang, yaitu nomor satu dan nomor dua paling akhir!

Begitu kepala daerah itu menggerakkan tangannya, petugas yang memegang bendera merah pun berseru dengan suara nyaring, suara yang sudah dinanti-nanti oleh para peserta perlombaan.

“Perlombaan dimulaiiiii!” Dan bendera merah itu pun berkelebat turun dari atas.

Para pembalap itu menggebrak kuda masing-masing pada saat para petugas menarik palang yang menutup kotak-kotak itu dan mulailah terdengar derap kaki kuda yang diiringi tepuk tangan dan sorak-sorai para penonton. Binatang-binatang itu seperti mendapatkan semangat tambahan, atau memang ketakutan mendengar sorak-sorai itu dan mereka pun lari semakin kencang.

Menurut peraturan perlombaan, para pembalap harus mengelilingi arena balap itu sebanyak tiga kali putaran, dan setelah memutar lapangan itu tiga kali, lalu membelok ke depan panggung para pembesar di mana telah disediakan seikat bunga dengan pita merah yang digantungkan. Peserta yang paling dulu meraih dan mengambil seikat bunga inilah yang dinyatakan sebagai pemenang pertama. Adapula di situ digantungkan ikatan bunga untuk diambil oleh pemenang ke dua dan ke tiga. Dan di sepanjang arena perlombaan itu, di tengah jalan diadakan rintangan-rintangan seperti pagar dan parit yang mesti dilompati oleh kuda peserta. Jadi, yang diperlombakan bukan sekedar hanya kecepatan, melainkan juga ketangkasan dan kemahiran si penunggang kuda.

Pada tengah putaran pertama, sembilan ekor kuda itu masih kelihatan sama cepatnya. Mereka lari kencang berdampingan seolah-olah mereka itu sudah bersepakat untuk lari bersama, tidak saling mendahului. Akan tetapi begitu mereka tiba di rintangan-rintangan di mana mereka harus mengerahkan kekuatan kaki dan kemahiran penunggang kuda masing-masing untuk melompat agar tidak sampai tersandung pagar atau jatuh ke dalam parit lumpur, mulailah nampak keunggulan Lui Shi. Wanita ini mengeluarkan teriakan melengking dan agaknya ini merupakan tanda bagi kuda hitamnya untuk meloncati parit dengan loncatan yang amat indah dan tinggi, jauh melampaui para saingannya dan ketika tiba di seberang parit, kuda itu lalu lari membalap dengan cepat sekali seolah-olah keempat kakinya tidak lagi menyentuh bumi!

Sorak-sorai meledak dari para penonton di luar arena balap itu, terutama sekali dari anak buah Bouw-thicu dan dari mereka yang berpihak dan bertaruh atas kuda hitam milik Bouw-thicu. Dan seolah-olah didorong oleh suara sorak-sorai ini, kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi makin membalap sehingga jauh meninggalkan para saingannya.

Sedangkan Hek-liong-ma yang ditunggangi Ci Sian masih bersama-sama dengan para pembalap lain, hanya berada paling depan saja. Makin cepat juga kuda hitam Lui Shi meluncur sehingga ketika putaran pertama habis, ia telah meninggalkan para lawan sejauh hampir seperempat putaran! Tentu saja para penonton menjadi gegap-gempita, bersorak-sorak dan mencemooh kuda lain, terutama Ci Sian yang tadinya diharapkan akan dapat mengimbangi kecepatan kuda milik Bouw-thicu itu. Hal ini membuat Lui Shi timbul kesombongannya dan mulailah ia berlagak.

Ia berloncatan di atas punggung kudanya, berjungkir-balik, berjongkok dan menari-nari di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu. Memang harus diakui bahwa wanita ini pandai sekali menunggang kuda. Berdiri di atas punggung kudanya yang berlari kencang itu agaknya bagi wanita itu tiada bedanya dengan berdiri di atas tanah saja!

Para penonton tentu saja menjadi semakin gembira, ada yang tertawa dan bertepuk tangan riuh, bahkan mereka yang berpihak kepada kuda lain pun mau tidak mau harus mengagumi kepandaian wanita itu dan kecepatan lari kuda hitam yang ditungganginya. Mereka semua tahu bahwa apa yang dipertontonkan wanita itu bukanlah main-main, berbeda dengan pertunjukan komedi kuda di mana kudanya tidak berlari sekencang itu dan bukan sedang dalam suatu perlombaan besar. Sekali saja salah perhitungan dan wanita itu terjatuh dari punggung kuda, akibatnya maut!

Thio-thicu memandang semua itu dan wajahnya berubah agak lesu. Dia adalah seorang yang sudah sering mengadakan perlombaan kuda dan setelah melihat betapa dalam putaran pertama, jadi sepertiga jarak perlombaan, pihak musuh sudah mendahului dengan seperempat putaran, harapannya sudah menipis. Tak mungkin ada kuda yang akan dapat menyusul ketinggalan sejauh itu. Dan diam-diam dia pun harus mengakui bahwa kuda hitam milik orang she Bouw itu memang luar biasa sekali. Belum pernah dia melihat ada kuda dapat berlari secepat itu, juga belum pernah melihat penunggang kuda sepandai wanita yang bekerja untuk lawan itu.

Maka dia pun menoleh ke arah Suma Kian Bu dan Teng Siang In yang duduk di sebelah kirinya dan dia terheran-heran. Suami isteri pendekar ini nampak tenang-tenang saja! Hal ini membuat dia penasaran, maka dia pun tak dapat menahan hatinya bertanya kepada Siang In yang duduknya paling dekat dengannya, “Bagaimana pendapat Toanio? Kuda kita agaknya akan kalah....”

Betapa herannya hati tuan tanah itu ketika mendengar jawaban pendekar wanita itu dengan suara tenang, “Ia tidak akan kalah. Adik Ci Sian adalah seorang penunggang kuda yang baik dan mencinta kudanya. Ia tidak mau menguras tenaga kudanya, tetapi menanti saat baik. Lihatlah....!”

Tuan tanah itu menengok, apalagi karena tepat pada saat itu terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah, dan tepuk tangan gegap-gempita. Ketika dia menoleh ke arah perlombaan, wajahnya segera berubah, kalau tadinya lesu kini menjadi berseri-seri dan saking lupa diri dia sampai bangkit berdiri dari tempat duduknya. Dia melihat kuda hitam yang ditunggangi Ci Sian mulai ‘terbang’! Ya, memang lebih pantas disebut terbang karena kuda hitam itu berlompatan atau berlari seperti terbang saja, meninggalkan kelompok teman-temannya yang tadinya tertinggal jauh oleh kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi!

Lui Shi tadinya masih enak-enakan, masih mengira bahwa semua tepuk sorak itu adalah untuknya. Memang dia sudah yakin akan kemenangannya dan memandang rendah kepada semua lawannya. Bukankah ia sudah menang seperempat putaran dan dua putaran lagi ia akan meninggalkan mereka lebih jauh lagi!

Akan tetapi ketika dia iseng-iseng menoleh ke arah panggung dan melihat betapa rombongan Thio-thicu juga bersorak-sorak, bahkan Thio-thicu sendiri yang gendut itu bangkit berdiri dan berjingkrak-jingkrak, dia terkejut dan heran sekali. Cepat Lui Shi menoleh dan ketika ia melihat seekor kuda hitam meluncur cepat sekali dari belakang, tahulah ia bahwa kuda hitam yang ditunggangi dara remaja itu, milik Thio-thicu, telah mulai berusaha untuk mengejar dan menyusulnya!

“Setan!” Ia memaki.

Kalau tadinya ia enak-enakan jongkok di atas punggung kudanya, kini ia turun lagi dan duduk di atas punggung, lalu membedal kudanya agar berlari lebih cepat lagi. Kuda hitam tunggangannya itu bukan lain adalah kuda hitam milik suami isteri dari Pulau Es itu, dan kuda ini memiliki ketangkasan yang seimbang dengan Hek-liong-ma. Maka begitu dibedal, kuda ini meringkik dan me-luncur ke depan lebih cepat lagi.

Terjadilah kejar-mengejar antara dua ekor kuda hitam ini. Kejar-mengejar dalam putaran yang kedua dan pada saat menghadapi rintangan, mereka berlompatan dengan amat cekatan. Karena kuda hitam Lui Shi dibedal sekuatnya, maka kembali Hek-liong-ma tidak dapat menyusulnya dan jarak di antara mereka masih cukup jauh, sungguh pun Hek-liong-ma juga sudah jauh sekali meninggalkan para lawan yang lain! Dan ketika putaran kedua habis, jarak antara mereka masih ada sedikitnya lima puluh meter!

Tentu saja kejar-kejaran ini membuat para penonton panas dingin rasanya, apalagi di pihak Bouw-thicu dan Thio-thicu. Mereka dari kedua rombongan ini sudah bangkit berdiri semua dan tiada yang tidak menggerakkan kaki tangan dan mulut mereka untuk memberi dorongan semangat. Seolah-olah nampak semangat mereka beterbangan ke arah dua kuda jagoan masing-masing dan semangat itu ikut mendorong pantat kuda agar lebih cepat lagi!

Tinggal satu putaran lagi dan di sinilah letak keuntungan Ci Sian. Kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi telah lebih dulu diperas tenaganya, dipaksa berlari sekencangnya dan pada putaran terakhir ini, nampak betapa kuda itu menjadi lemah. Mulutnya mulai berbuih dan hidungnya mendengus-dengus, tanda bahwa kuda itu mulai kelelahan. Tidak demikian dengan Hek-liong-ma yang kelihatan semakin gembira untuk mengejar kuda di depan itu.

Lomba itu kini seolah-olah hanya dilakukan oleh dua ekor kuda hitam itu. Yang lain-lain sudah tidak masuk hitungan lagi. Bahkan para thicu yang memiliki kuda lain itu sama sekali tidak lagi memperhatikan kuda mereka sendiri yang jauh tertinggal di belakang, melainkan menujukan perhatian mereka kepada dua ekor kuda yang berlari secepat terbang itu. Dan para petaruh mulai berteriak-teriak untuk menambah taruhan mereka.

Kini, lambat namun jelas sekali, Hek-liong-ma mulai dapat mengurangi jaraknya dari kuda hitam di depan. Dan Lui Shi yang sejak tadi sering menoleh ke belakang, melihat pula akan hal ini. Telinganya dapat menangkap derap kaki kuda di belakangnya itu, yang merupakan suara seperti ancaman setan, makin lama semakin jelas.

Sekarang mereka berdua tiba di tempat di mana ada rintangan-rintangan pagar dan parit dan mulailah kini Hek-liong-ma memperlihatkan ketangkasannya. Lompatan demi lompatan dilakukannya dan perlahan-lahan kuda ini mulai dapat menyusul kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi! Ketika semua rintangan dapat dilompati oleh dua ekor kuda itu, kini dua ekor kuda itu sudah hampir sejajar, dan Hek-liong-ma hanya kalah setengah badan saja!

Sekarang Lui Shi dapat melihat wajah Ci Sian yang tersenyum tenang, wajah yang menimbulkan benci dan iri dalam hati Lui Shi. Tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan suara nyaring yang bunyinya seperti ringkikan kuda.

“Hiiii-yehh.... hiii-yehhh....!”

Dan akibatnya memang hebat. Hek-liong-ma mengurangi kecepatan gerakan kakinya dan berlari di belakang kuda hitam betina itu! Mereka kini sudah melalui separuh dari putaran terakhir!

Ci Sian terkejut sekali dan ia teringat bahwa wanita ini adalah seorang penjinak kuda. Tentu teriakannya tadi merupakan teriakan yang khas, yang merupakan bahasa kuda yang agaknya menahan Hek-liong-ma! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lain di dekat mereka. Suara ini seolah-olah berada dekat sekali dengan dua orang wanita itu, dan seperti suara setan yang tidak nampak.

“Hek-liong-ma.... ckk, ckk.... hyaaakkk....!”

Mendengar suara ini, Hek-liong-ma tiba-tiba meloncat ke depan dan dengan beberapa kali loncatan saja kuda ini sudah dapat menyamai lagi sehingga lari berendeng dengan kuda hitam! Penonton seperti gila, berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan menyaksikan peristiwa ini, kejar-mengejar yang mendebarkan dan menegangkan hati ini. Ada beberapa orang petaruh yang jantungnya lemah sudah jatuh pingsan di tempat dia berdiri!

Melihat ini, Lui Shi terkejut bukan main dan beberapa kali ia berusaha untuk menguasai Hek-liong-ma dengan teriakan-teriakan aneh. Akan tetapi selalu ada suara lain yang menentangnya dan agaknya Hek-liong-ma lebih taat kepada suara tanpa rupa ini. Diam-diam Ci Sian kagum bukan main dan tahulah dia bahwa suara itu tentulah suara Pendekar Siluman Kecil yang mempergunakan khikang yang amat kuat, mengirim suara dari jauh untuk menguasai Hek-liong-ma.

Melihat betapa Hek-liong-ma kini malah telah menang setengah badan dibandingkan dengan kudanya, Lui Shi marah bukan main. Tangan kirinya mengambil sesuatu dari balik bajunya dan tangan itu bergerak. Sinar lembut menyambar ke arah belakang kuda Hek-liong-ma.

Akan tetapi, sejak tadi Ci Sian tidak pernah lengah. Ia tahu akan kecurangan lawan, maka sejak tadi pun ia sudah bersiap. Melihat tangan kiri lawan merogoh saku saja ia sudah curiga, maka begitu tangan kiri itu bergerak dan jarum-jarum meluncur ke arah belakang tubuh Hek-liong-ma, cepat dara ini mencondongkan tubuhnya ke belakang.

Dengan tangan kiri ia mengebut dan mengerahkan tenaga khikang sehingga jarum-jarum itu runtuh, akan tetapi dia masih sempat menyambar dan menangkap beberapa batang jarum dengan tangan kirinya, lalu langsung menyambit dan jarum-jarum itu terbang kembali kepada pemiliknya. Akan tetapi berbeda dengan Lui Shi, Ci Sian tidak menyerang kuda, melainkan langsung menyambitkan jarum-jarum itu ke arah tubuh Lui Shi!

Lui Shi kaget bukan main. Tak disangka bahwa dara remaja yang menjadi penunggang kuda hitam itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali! Disangkanya hanya seorang penunggang kuda yang mahir ilmu menunggang kuda saja. Siapa tahu, dengan kebasan tangannya, bukan saja dara itu mampu meruntuhkan jarum-jarumnya, bahkan dapat menangkap jarum-jarumnya dan kini sambitan cepat seperti kilat menyambar! Wanita ini mengeluarkan seruan kaget dan mendadak saja tubuhnya lenyap dari atas kuda.

“Ehhh....?!” Ci Sian terkejut, akan tetapi ia menjadi kagum ketika wanita itu muncul kembali dan ternyata tadi ketika mengelak dari serangan jarumnya, wanita itu telah menjatuhkan dirinya ke bawah perut kuda dengan kedua kaki tetap mengait tubuh kuda itu. Sungguh merupakan ilmu menunggang kuda yang hebat, yang hanya dimiliki oleh ahli-ahli pemain sirkus yang amat mahir.

Kini mereka terus membalapkan kuda mereka dan dua ekor kuda itu masih terus lari berendeng, sungguh pun Hek-liong-ma menang setengah badan. Sorak-sorai masih menggegap-gempita di kalangan penonton, bahkan para pembesar yang juga ikut-ikutan merasa tegang, sudah berdiri semua di atas panggung dan ikut bertepuk-tangan.

Kini putaran terakhir hampir habis! Melihat kudanya akan kalah begini terus, tiba-tiba Lui Shi mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan menaburkan benda putih di atas pinggul dan ekor kudanya. Tiba-tiba Hek-liong-ma mengeluarkan suara meringkik aneh dan.... kuda ini menahan larinya, lalu berlari di belakang kuda hitam itu sambil mendengus-dengus!

Ci Sian menjadi terkejut dan juga bingung. Ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Ia tidak tahu bahwa Lui Shi yang ahli itu telah menaburkan obat yang membuat kuda-kuda jantan seolah-olah menganggap kuda betina itu sedang dalam waktu birahi! Dan hal ini merangsang kuda Hek-liong-ma yang sudah mengenal kuda hitam itu sebagai kawan lamanya, lalu lari di belakangnya, tidak mau mendahului.

Tentu saja para penonton bersorak-sorak lagi melihat ramainya perlombaan itu, melihat betapa kini kembali kuda tuan tanah Thio tertinggal di belakang, kalah satu badan! Bahkan Suma Kian Bu dan isterinya juga berdiri saling pandang dengan bingung, tidak tahu apa yang telah terjadi dan tidak tahu pula harus berbuat apa. Pendekar Siluman Kecil telah mengirim aba-aba kepada Hek-liong-ma, akan tetapi tetap saja kuda ini tidak mau mendahului kuda betina.

Putaran terakhir sudah habis dan kini tinggal membelok untuk merebutkan ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda pemenang atau juara pertama! Dan Hek-liong-ma masih ketinggalan satu badan! Pada saat terakhir itu, saking penasarannya, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan suling emasnya, meniup suling itu dengan nada yang begitu tinggi sehingga tidak terdengar oleh telinga manusia. Akan tetapi karena dia mengerahkan khikang dan menujukan suara suling dengan ilmu yang dipelajarinya bersama Kam Hong, menujukan suara itu menyerang kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi, tiba-tiba saja kuda hitam yang ditunggangi Lui Shi itu meringkik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke atas dan tentu saja otomatis larinya terhenti!

Kuda itu telah terserang pendengarannya oleh suara lengkingan tinggi yang menggetar dan seolah-olah menusuk kedua telinganya, membuat binatang itu meringkik kesakitan dan juga amat terkejut. Tentu saja kesempatan baik ini tidak disia-siakan oleh Ci Sian. Ia membedal kudanya, Hek-liong-ma meloncat ke depan dan sebelum Lui Shi mampu menguasai kembali kuda hitamnya yang ketakutan, dengan mudahnya Ci Sian sudah meraih dan menyambar ikatan bunga dengan pita merah sebagai tanda bahwa ia keluar sebagai juara.

Sorak-sorai dan tepuk tangan riuh memenuhi lapangan itu dan Lui Shi yang akhirnya berhasil menguasai kembali kudanya karena kini tidak ada lagi suara suling yang membikin takut kuda itu, baru dapat melihat ketika mendengar sorak-sorai itu bahwa kejuaraan telah direbut oleh Ci Sian dan kuda hitamnya.

“Keparat....!” ia mengutuk dan membalapkan kudanya ke depan dengan muka merah penuh geram.

Ia tahu bahwa dara remaja itu tentu telah melakukan sesuatu yang membuat kudanya tadi ketakutan. Ia pun tadi melihat dara itu meniup suling yang mengkilap, dan biar pun telinganya tidak menangkap suara apa-apa, namun getaran yang halus sekali terasa olehnya maka tahulah ia bahwa dara itu menggunakan siasat untuk membuat kudanya ketakutan dan berjingkrak tadi. Maka ia menjadi marah sekali sehingga ia tidak ingat lagi bahwa di samping hadiah sebagai juara pertama, masih ada juara ke dua dan ke tiga. Ia membalapkan kudanya untuk mengejar Ci Sian yang sudah mengambil ikatan kembang dengan pita merah itu.

“Iblis curang!” bentak Lui Shi sambil mengejar.

Melihat sikap wanita ini, Ci Sian maklum bahwa ia terancam serangan, maka cepat ia melemparkan ikatan bunga sebagai tanda juara itu ke arah Thio-thicu karena ia sudah tiba di depan rombongan itu, lalu ia pun meloncat turun ke atas tanah, dan membiarkan Hek-liong-ma dirawat oleh beberapa orang tukang kuda pembantu Thio-thicu yang segera menyelimuti kuda itu dengan selimut bulu dan menyeka keringat kuda itu.

Melihat betapa Ci Sian sudah menantinya dengan berdiri tegak, Lui Shi menjadi makin marah, merasa kalau ditantang. Maka ia pun meloncat turun dari atas kudanya ke depan Ci Sian.

“Lui Shi.... ambil juara ke dua!” terdengar Bouw-thicu dan anak buahnya berteriak.

Akan tetapi Lui Shi seperti tidak mendengar seruan-seruan itu, dan Ci Sian yang diam-diam merasa marah kepada wanita curang ini, sengaja mengejek agar Bouw-thicu kehilangan semua kejuaraan.

“Hemm, wanita tak tahu malu. Engkau sudah kalah, masih banyak lagak mau apakah?” Setelah berkata demikian, sambil tersenyum mengejek Ci Sian lalu meloncat ke atas panggung.

Panggung itu memang memanjang ke depan, tempat para petugas tadi menyampaikan pengumuman dan lain-lain, dan kini ditinggalkan kosong karena semua pembesar dan petugas sudah duduk di kursi masing-masing. Dan Ci Sian melompat ke tempat ini dengan sengaja, untuk memancing Lui Shi menjauhi kejuaraan yang ke dua dan ke tiga, dan juga agar mereka berdua dapat nampak oleh semua orang yang berada di bawah, terutama sekali oleh para pembesar yang duduk di atas panggung.

Diejek oleh Ci Sian, kemarahan Lui Shi meluap, membuatnya menjadi mata gelap dan tanpa peduli apa-apa lagi, melihat lawannya itu melompat naik ke atas panggung, ia pun lalu menggunakan ginkang-nya meloncat ke atas panggung. Semua ini dapat dilihat dengan jelas oleh para penonton, juga oleh para pembesar dan tentu saja semua orang tertarik dan tegang. Kini semua mata memandang ke arah dua orang wanita itu yang sudah saling berhadapan di ujung panggung, dan agaknya tidak ada seorang pun yang mempedulikan jalannya perlombaan lagi. Ada pertunjukan yang lebih menarik dan menegangkan di atas panggung.

“Eh, engkau berani mengejarku?” Ci Sian terus menggoda dan mengejek. “Sudah kalah tidak mau menyadari kebodohan sendiri, malah mengamuk-ngamuk. Sungguh engkau ini nenek-nenek tak tahu malu, tebal muka....!” Ci Sian terus menggoda.

Sepasang mata wanita itu mendelik dan kini wajahnya tidak kelihatan terlalu cantik lagi. Bahkan mengarah buruk, karena keringatnya membasahi dahi, membuat pupur tebal itu luntur dan kulit mukanya yang tertutup bedak tidak rata itu malah menjadi coreng-moreng.

“Keparat, kubunuh engkau.... kubunuh engkau....” Lui Shi berkata, suaranya mendesis dan napasnya agak memburu saking marahnya.

“Aha, begitu mudahkah? Benarkah engkau akan mampu?” Ci Sian tetap saja mengejek.

Ucapan dan sikap dara remaja ini bagaikan angin yang mengipasi api kemarahan Lui Shi, maka wanita ini menjadi lupa diri. Ia lupa bahwa ia berada di tempat yang gawat, di depan para pembesar dan pejabat setempat, bahkan di depan kepala daerah Propinsi Sin-kiang! Dengan mata gelap ia sudah melolos keluar senjatanya, yaitu sebatang pedang lemas yang dapat digulungnya dan disembunyikannya di balik bajunya, dan dengan pedang di tangan ini ia menerjang maju, mulutnya mendesis, “Kucincang engkau.... kucincang dan kupenggal kepalamu....!”

Akan tetapi ia terlalu memandang rendah kepada Ci Sian, terkecoh oleh keadaan dara remaja itu. Meski dalam pandangan orang-orang lain yang menyaksikannya, serangan pedang dari Lui Shi itu amat cepat dan kuat serta amat berbahaya, namun dalam pandangan Ci Sian tidaklah demikian. Ia dapat mengikuti gerakan pedang itu dengan baik, dan dengan mudahnya ia mengelak sampai tujuh kali beruntun ketika pedang itu menyerang bertubi-tubi.

Tenaga manusia itu terbatas dan tidak mungkin serangan dilanjutkan terus tanpa henti, karena si penyerang perlu memulihkan tenaga dan mengatur napas. Ketika pedang itu berhenti bergerak menyerang setelah semua bacokan dan tusukannya mengenai angin belaka, detik ini dimanfaatkan oleh Ci Sian. Tangan kirinya menyambar dan biar pun Lui Shi juga seorang wanita yang gesit, namun sehabis menyerang bertubi-tubi itu, ia belum mampu menjaga diri, maka dengan kecepatan sekejap mata, tahu-tahu pipinya telah berkenalan dengan telapak tangan Ci Sian yang menyambar.

“Plakkk....!”

Telapak tangan Ci Sian itu halus lembut dan hangat, telapak tangan seorang dara yang terpelihara dan terawat baik-baik, yang tidak pernah atau jarang bekerja berat. Akan tetapi karena tangan itu terlatih, mengandung kekuatan sinkang yang amat hebat, maka biar pun tamparan itu dilakukan oleh Ci Sian dengan perlahan saja, bukan dengan niat membunuh, tidak urung tubuh Lui Shi terputar seperti disambar halilintar, dan setelah berjungkir balik dan memutar pedang mengatur keseimbangan, barulah ia terhindar dari keadaan terpelanting dan roboh. Seluruh mukanya terasa berdenyut-denyut dan panas sekali, dan ternyata pipi kanannya telah membengkak dan merah, sedangkan ujung bibirnya pecah berdarah! Sejenak ia terbelalak, saking terkejut, heran dan penasaran. Akan tetapi segera semua itu ditelan oleh kemarahannya yang berkobar-kobar.

Orang marah sama dengan orang mabuk. Dalam keadaan marah, kewaspadaan kita tertutup, seolah-olah tertutup oleh asap dari api kemarahan, membuat kita buta dan tidak dapat melihat kenyataan dengan terang. Kemarahan membutakan mata menulikan telinga. Dalam keadaan mabuk seperti itu, orang dapat melakukan apa saja, terutama melakukan hal-hal yang kejam, karena satu-satunya tujuan hanyalah melampiaskan kemarahan yang hanya dapat terlaksana dengan membalas dendam kepada orang yang menimbulkan kemarahan itu. Kemarahan merupakan penghamburan energi batin yang amat besar dan amat kuat sehingga banyaknya kemarahan akan mempengaruhi jasmani, menjadi lekas lapuk dan tua.

Dalam kemarahannya, Lui Shi seperti tidak melihat apa-apa lagi kecuali wajah dara remaja yang dianggapnya seperti setan yang amat dibencinya itu. Ia mengeluarkan pekik melengking tinggi yang menyeramkan dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak. Dari tangan kiri itu menyambar sinar yang sama ketika ia menyerang kuda, dan tahulah Ci Sian bahwa lawannya yang curang ini kembali mempergunakan senjata rahasia jarum-jarum halus.

Namun, senjata rahasia seperti itu tentu saja merupakan permainan kanak-kanak bagi pendekar wanita remaja yang telah memiliki kesaktian ini. Dengan kebutan tangan kirinya, Ci Sian membuat semua jarum itu runtuh, sedangkan yang melesat dan sempat mengenai kulit tubuhnya setelah menembus pakaian, hanya bertemu dengan kulit yang dilindungi sinkang amat kuat sehingga tidak terasa sama sekali! Ci Sian mencabuti empat lima batang jarum yang menancap di pakaiannya, dan membuangnya ke atas lantai seperti membuang kutu busuk.

Lui Shi terbelalak. Kalau saja tidak dimabokkan oleh kemarahan yang berkobar, semua kenyataan ini saja tentu telah menyadarkannya bahwa dara remaja itu bukan lawannya, terlalu tangguh baginya. Namun ia sudah mabok dan ia sudah menubruk lagi dengan pedangnya, menyerang dengan tusukan kilat ke arah dada Ci Sian.

Kini Ci Sian tidak mau memberi hati lagi. Ia miringkan tubuh, tangan kirinya mengikuti gerakan lawan menusuk dengan jari tangan ke arah lambung. Tusukan ini amat cepat dan berbahaya, mengeluarkan angin bersuit mengejutkan Lui Shi yang cepat menarik pedang dan hendak membacok tangan yang menusuk itu. Akan tetapi tiba-tiba saja tangan Ci Sian Sian menyambar dan tanpa dapat dihindarkan lagi, untuk kedua kalinya pipi Lui Shi ditampar. Sekali ini pipi kiri.

“Plakkk!”

Tamparan yang keras sekali, membuat tubuh itu terputar dan terpelanting, dan ketika Lui Shi mampu bergulingan untuk mematahkan kejatuhan tubuhnya dan ia melompat bangun, pipi kirinya bengkak lebih besar dari pada pipi kanannya dan ujung mulut kirinya juga berdarah. Mukanya menjadi buruk sekali setelah kedua pipinya bengkak itu, bahkan bengkak-bengkak itu sampai membuat kedua matanya nampak sipit dan lucu, dan hidungnya terjepit antara dua bukit membengkak dari kedua pipinya.

“Anak setan....!” Ia memaki dan menerjang lagi.

Ci Sian memapaki dengan tendangan hingga akhirnya Lui Shi terjengkang. Akan tetapi kembali wanita itu bangkit dan menyerang. Kembali Ci Sian menendang dan sekali ini ia mengerahkan lebih banyak tenaga.

“Dessss....!”

Tubuh Lui Shi terlempar dan terguling-guling sampai ke depan kursi kepala daerah yang sudah menjadi marah sekali. Semua orang melihat betapa Lui Shi yang mulai lebih dulu berkelahi itu. Lui Shi yang melakukan penyerangan-penyerangan sedangkan Ci Sian hanya melindungi diri saja. Maka kepala daerah itu lalu membentak.

“Tangkap perempuan pengacau ini!”

Lui Shi bukanlah wanita sembarangan. Ialah yang menghubungkan Bouw-thicu dengan para pemberontak Mongol. Kini melihat bahwa dirinya hendak ditangkap, kemarahannya yang sudah meluap itu membuat ia meloncat berdiri dan hendak menyerang pembesar itu! Akan tetapi tiba-tiba dua bayangan berkelebat dan tahu-tahu Suma Kian Bu dan Teng Siang In telah berdiri di depannya!

Lui Shi mengenal suami isteri yang menjadi pemilik kuda yang dicurinya. Akan tetapi ia tidak mengenal mereka ini siapa dan belum tahu bahwa pemilik kuda itu adalah sepasang suami isteri yang kepandaiannya malah lebih tinggi dari pada kepandaian gurunya sekali pun! Maka ia tidak takut.

“Maling kuda, engkau menyerahlah!” Kian Bu berkata.

“Huh! Mampuslah!” kata Lui Shi dan ia pun menubruk dengan tusukan pedangnya.

“Takkkk!”

Pedang itu dengan tepat mengenai dada pendekar berambut putih itu, akan tetapi pedang itu melengkung! Pedang lemas, akan tetapi kalau dipergunakan oleh Lui Shi dengan pengerahan sinkang, pedang itu dapat menjadi keras atau lemas. Kini, dia menggunakan tenaga keras dan ternyata ketika mengenai dada orang, pedangnya melengkung seperti sebatang daun saja! Dan tahu-tahu pedangnya itu telah dijepit oleh dua jari tangan pria itu.

Lui Shi mengerahkan tenaga untuk mencabut pedangnya terlepas dari jepitan ibu jari dan telunjuk tangan kiri pendekar itu, namun hasilnya sia-sia belaka, pedangnya itu seolah-olah sudah berakar pada kedua jari itu! Bukan main kagetnya hati Lui Shi. Baru sekarang ia tahu bahwa pemilik kuda yang memiliki wajah tampan gagah namun amat menyeramkan ini kiranya memiliki kepandaian lebih hebat lagi! Kian Bu mengerahkan tenaga pada jari-jari tangannya, membuat gerakan menekuk dan memuntir.

“Krekkkk!” Pedang itu patah menjadi dua!

Pucatlah wajah Lui Shi. Pedangnya itu adalah sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan, yang mampu membabat putus besi dan baja biasa. Akan tetapi kini pedang itu patah oleh tekukan dua jari tangan orang ini! Tubuhnya mulai gemetaran karena tahulah ia bahwa ia sedang berhadapan dengan seorang sakti!

“Maling busuk, sebaiknya engkau menyerah,” kata lagi Suma Kian Bu.

“Aku.... aku tak mencuri apa-apa....” Dalam gugupnya Lui Shi mencoba untuk membela diri.

“Bagus! Sudah mencuri, membohong pula!” Siang In mencibir. “Sungguh pengecut tak tahu malu. Kuda hitam betina itu adalah kuda milik kami yang sudah kau curi dari kami, menggunakan kepandaianmu menjinakkan kuda. Dan kini engkau masih berani hendak menyangkal?”

Tiba-tiba dari samping terdengar suara orang, suara yang berat dan berwibawa, “Harap jangan ada fitnah-fitnah yang tidak sehat di sini! Kuda hitam itu adalah milik kami, dan kami menerimanya dari Lui Shi dengan syah. Kuda itu sejak dahulu adalah milik Lui Shi, bagaimana kini tiba-tiba ada orang menuduhnya mencuri?”

Suara ini adalah suara Bouw-thicu yang sudah tiba di tempat itu bersama beberapa orang pengawal pribadinya. Tuan tanah yang bertubuh tinggi besar ini naik ke panggung dan setelah memberi hormat kepada para pembesar, terutama kepala daerah yang dikenalnya dengan baik, lalu mengeluarkan teguran itu kepada Suma Kian Bu dan Teng Siang In.

Mendengar teguran tuan tanah yang tinggi besar itu, Kian Bu berkata, “Bouw-thicu, mungkin engkau sendiri juga tertipu oleh wanita ini. Akan tetapi kuda hitam itu benar milik kami. Kuda kami adalah sepasang, dan yang betina hilang dalam perjalanan kami, dan ternyata di curi oleh wanita ini.”

“Bohong....!” Lui Shi berkata dengan suara teriakan, sikapnya sudah pulih karena ia dibela oleh Bouw-thicu. Kini ia kelihatan marah dan penasaran, “Kuda itu sejak kecil kukenal dan kupelihara, bagaimana tiba-tiba ada orang mengakuinya?”

“Taijin, kami mohon keadilan!” Bouw-thicu berkata kepada Kepala Daerah Propinsi Sin-Kiang yang langsung menghadapi pertikaian ini.

Kepala daerah itu tersenyum dan memandang kepada Suma Kian Bu.

“Kalau ada dua pihak mengakui seekor kuda sebagai miliknya, maka jalan satu-satunya hanyalah agar kedua pihak memperlihatkan bukti akan kebenaran pengakuan masing-masing. Kalau ada bukti, barulah benar bahwa dia pemiliknya.“

Bouw-thicu tersenyum. Biar pun dia tadi kecewa karena kekalahan Lui Shi, bahkan kejuaraan kedua dan ketiga telah direnggut peserta lain, namun kini agaknya terbuka kesempatan baginya untuk menjatuhkan nama Thio-thicu, atau setidaknya orangnya tuan tanah lawan itu, di hadapan semua pembesar dan semua penonton. Biar pun dia kalah bertaruh, kekalahannya yang amat besar, baik dalam hal tanah yang luas mau pun jumlah uang yang amat banyak, namun dia akan menang muka.....

“Nah, pihak kami telah dapat membuktikan, lalu apakah bukti pihak lain yang mengaku-ngaku kuda hitam itu sebagai kudanya?”

Ucapan ini jelas ditujukan kepada pihak Thio-thicu yang juga sudah naik ke atas panggung itu, dan Thio-thicu tentu saja hanya dapat menoleh kepada Suma Kian Bu dan menyerahkan jawabannya kepada pendekar ini. Suma Kian Bu bersikap tenang saja, dan mengangguk-angguk.

“Memang adil sekali, pemiliknya yang asli harus dapat menunjukkan bahwa kuda itu taat kepadanya, dan itu dapat menjadi bukti. Nah, untuk membuktikan hal itu, aku akan menyuruh kuda itu melemparkan siapa pun juga yang berani menungganginya!” kata pendekar itu dengan tenang.

“Baik, aku akan menungganginya!” Tiba-tiba Lui Shi sudah berseru dengan cepat dan wajahnya berseri-seri.

Di dalam hidupnya, selama ini Lui Shi tidak pernah terpisah dari kuda yang menjadi kegemarannya, juga memang keahliannya adalah menunggang kuda. Selain itu, dia merasa yakin bahwa ia telah benar-benar menguasai kuda hitam itu yang tentu takkan pernah mau membangkang terhadap perintahnya. Maka ia menerima tantangan ini. “Biarlah masing-masing pihak membuktikan bahwa ia pemilik sejati. Siapa yang mampu menungganginya selama terbakarnya sebatang hio maka dialah pemiliknya!”

“Itu sudah adil!” Siang In berseru pula.

Kepala daerah itu merasa gembira dan minta kepada para pembantunya membuat pengumuman di ujung panggung itu akan adanya pertunjukan yang cukup menarik ini, untuk membuktikan siapa pemilik asli dari kuda hitam itu. Seorang petugas dengan suaranya yang nyaring segera membuat pengumuman dan para penonton menjadi gembira sekali karena setelah perlombaan yang sangat menarik dan ramai itu, kini terdapat lagi sebuah pertunjukan yang akan cukup menegangkan.

Dan kembali ramailah orang saling bertaruh, yaitu bertaruh untuk siapa yang akan keluar sebagai pemenang. Dan seperti juga tadi, kini banyak yang berani menjagoi Lui Shi, setelah mereka tadi melihat ketangkasan wanita ini dalam menunggangi kudanya. Mereka, para penonton ini, tidak peduli siapa sesungguhnya pemilik kuda hitam itu, maka mereka bertaruh untuk siapa yang akan menang dalam menundukkan kuda itu dan tetap dapat menungganginya selama terbakarnya sebatang hio.

“Biarlah aku yang akan menungganginya,” bisik Ci Sian kepada suami isteri itu.

Akan tetapi sekali ini Siang In menggeleng kepala. “Jangan Ci Sian. Aku sendiri pun tidak berani untuk melayaninya menunggang kuda. Satu-satunya yang akan dapat mengalahkannya hanyalah suamiku.”

Mendengar bisikan kembali dari Siang In ini, Ci Sian tidak banyak cakap karena dia percaya penuh kepada suami isteri ini. Apalagi karena memang kuda itu adalah milik mereka.

Apa yang diucapkan oleh Siang In memang tepat sekali. Mereka mempunyai dua ekor kuda, yang keduanya sama benar, sama-sama hitam dan merupakan sepasang kuda yang sukar dicari bandingnya dan merupakan binatang-binatang yang luar biasa. Yang jantan mereka sebut Twa-liong, sedangkan yang betina mereka sebut Siauw-liong (Naga Kecil), dan keduanya merupakan jenis kuda Hek-liong-ma (Kuda Naga Hitam) yang dahulu pernah dimonopoli oleh keluarga Kerajaan Mongol pada saat berkuasa di Tiongkok.

Di jaman itu, boleh dibilang Hek-liong-ma hanya dimiliki oleh keluarga Raja dan orang lain tidak diperbolehkan memilikinya. Kalau ada yang memilikinya tentu dirampas. Setelah Kerajaan Goan (Mongol) roboh dan hancur, diperkirakan orang bahwa keluarga Raja itu pun membasmi kuda-kuda Hek-liong-ma. Dan memang kenyataannya juga demikian, akan tetapi ternyata ada beberapa ekor kuda yang dapat lolos dan dua ekor kuda yang dimiliki oleh pendekar penghuni Pulau Es dan isterinya itu adalah keturunan dari kuda-kuda Hek-liong-ma yang lolos itu.

Twa-liong (Naga Besar) yang jantan menjadi tunggangan Siang In, sedangkan Siauw-liong menjadi tunggangan Suma Kian Bu. Oleh karena itulah, maka biar pun Siauw-liong juga tidak asing dengan Siang In, namun nyonya ini maklum bahwa kuda itu akan lebih akrab dan mudah mengenal bau badan orang lain. Pula, dengan membiarkan suaminya yang menunggangi kudanya itu, ia sendiri dapat berjaga-jaga untuk menolak pengaruh ilmu sihir atau ilmu hitam, kalau-kalau pihak lawan mempergunakannya untuk mencapai kemenangan.

“Untuk menentukan siapa yang lebih dulu harus mencoba menunggangi kuda itu, akan diadakan undian,” kata seorang petugas yang telah ditugaskan oleh pembesar Kepala Daerah untuk mengurus pertandingan ini dan Sang Petugas ini memang ahli dalam mengurus segala macam perlombaan atau pertandingan.

“Tidak adil!” kata Lui Shi. “Dialah yang menuduhku maling kuda dan dia yang mengakui kudaku ini sebagai kudanya, maka dia yang harus lebih dulu membuktikan kebenaran omongannya bahwa kuda ini akan taat kepadanya!”

Petugas itu hendak membantah karena peraturan perlombaan tidak peduli akan semua alasan. Yang penting, para peserta perlombaan harus mentaati peraturan dan berlaku bagi semua peserta, itu barulah adil namanya.

Akan tetapi Kian Bu segera berkata, “Baiklah, biar aku yang menunggangi kudaku itu lebih dulu!”

Karena pihak yang lain sudah setuju, maka petugas itu pun tidak banyak ribut lagi dan wajah Lui Shi berseri, walau pun wajah itu kini tidak dapat nampak manis lagi setelah bedak dan gincunya luntur dan bengkak-bengkak bekas tamparan Ci Sian tadi. Memang wanita ini amat cerdik.

Ia memang sudah yakin akan kemampuannya sendiri yang membuat ia percaya bahwa ia tidak mungkin dapat terjatuh dari punggung kuda hitam itu untuk selama terbakarnya sebatang hio (dupa) saja. Akan tetapi ia belum tahu sampai di mana kemahiran lawan menunggang kuda. Kalau lawan ini pun berhasil bertahan sampai selama itu, bukankah hal itu masih belum membuat ia keluar sebagai pemenang?

Oleh karena itu, ia mencari jalan untuk memaksa lawan lebih dulu menunggang kuda dan ia akan menggunakan semua kepandaiannya untuk membuat lawan ini tidak dapat bertahan sampai habisnya hio itu terbakar. Kalau lawan gagal, barulah ia dengan enak akan dapat memetik kemenangan itu! Sebaliknya, andai kata lawannya berhasil, ia pun dapat mempelajari rahasia apa yang dimilikinya atas kuda itu sehingga ia akan dapat menguasai rahasia itu pula! Memang ia seorang wanita cerdik! Setidaknya, ia sendiri menganggap dirinya amat cerdik.

Karena perlombaan balap kuda sudah selesai, maka kini para penontan tanpa dapat dicegah lagi telah mendesak maju mengerumuni panggung dan para pasukan penjaga hanya dapat mencegah mereka terlalu mendekat panggung dan memberi arena pertandingan menunggang kuda yang cukup luas di bawah panggung. Para pembesar sudah berpindah duduk, kini di tepi panggung itu agar dapat menyaksikan dengan jelas pertandingan kemahiran menunggang kuda yang akan berlangsung antara dua orang wakil dari Thio-thicu dan Bouw-thicu itu.

Biar pun persoalannya kini tidak ada sangkut-pautnya dengan kedua orang tuan tanah itu, melainkan lebih merupakan persoalan pribadi antara Lui Shi dan Suma Kian Bu, akan tetapi karena mereka berada di pihak dua orang tuan tanah itu, maka umum menganggap bahwa pertandingan ini merupakan kelanjutan dari pada balap kuda tadi.

Untuk memberi kesempatan kedua orang itu memperlihatkan bukti bahwa seorang di antara mereka adalah pemilik kuda yang sah, maka ketika yang seorang menunggang kuda, pihak lain diperbolehkan memberi aba-aba kepada kuda itu, akan tetapi harus dengan duduk di pinggiran dan tidak boleh mendekati kuda untuk mengganggunya dengan gerakan. Aba-aba saja sudah merupakan bukti cukup, kepada orang yang mana kuda itu akan lebih taat.

Seorang petugas yang ahli tentang kuda telah memeriksa kuda hitam itu dan tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, yang mengkhawatirkan dipasangkan kepada kuda itu. Ia memegangi kendali kuda dan mengelus kuda itu, menanti seorang rekannya membuat persiapan menyalakan sebatang dupa. Setelah dari atas panggung, pembesar kepala daerah yang bertindak sebagai juri itu memberi tanda dengan tangannya, maka petugas yang memegang dupa lalu menyalakannya dan Suma Kian Bu diberi tanda untuk mulai menunggang kuda yang diperebutkan itu.

Kian Bu menghampiri kuda hitam, merangkulnya dan berbisik lirlh, “Siauw-ma....!”

Kuda itu mendengus-dengus, kemudian seperti mengenal bau badan pendekar itu dan kegirangan, kuda itu meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas, membuat petugas yang memegang kendali kuda menjadi kewalahan dan terpaksa melepaskan kendali kuda. Kian Bu girang sekali dan karena petugas sudah memberi isyarat kepadanya untuk mulai menunggang, sedangkan hio sudah dinyalakan, dia pun lalu melompat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung Siauw-ma.

Tiba-tiba, dari tempat duduknya Lui Shi mengeluarkan suara aneh, teriakan parau seperti yang biasa dipergunakan oleh bangsa Tibet kalau membentak binatang yak mereka. Mendengar suara ini, Siauw-ma nampak terkejut dan mengangkat kedua kaki depannya, akan tetapi Kian Bu masih duduk dengan tenang di atas punggung kuda itu dan membisikkan suaranya memanggil nama kuda itu dan menepuk-nepuk lehernya.

Kuda itu tenang kembali walau pun matanya masih terbelalak. Suara Kian Bu telah dikenalnya benar, dan bukan hanya suaranya, juga bau badannya dan bahkan cara pendekar itu duduk di atas punggungnya telah dikenalnya kembali dan membuat kuda itu menjadi jinak dan taat. Dengan tenang Kian Bu menjalankan kudanya berputaran di depan panggung itu, namun dia tidak menjadi lengah dan diam-diam dia memperhatikan kepada lawannya, yaitu Lui Shi yang menjadi mulai penasaran karena kuda hitam itu tidak mau mentaati perintahnya.

Kembali ia mengeluarkan bentakan-bentakan aneh, yaitu perintah-perintah kepada kuda itu untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggungnya. Perintah-perintah ini memang ada pengaruhnya terhadap Siauw-ma, bahkan sebuah perintah membuat kuda itu sempat bertekuk lutut kedua kaki ke depannya dan membuat kuda itu mendekam! Akan tetapi, Pendekar Siluman Kecil itu masih saja enak-enak duduk di atas punggung kuda, dan dengan suara halus Kian Bu memerintahkan kudanya bangkit kembali dan Siauw-ma juga menurut!

Bertubi-tubi Lui Shi membentakkan perintahnya dan mengeluarkan semua keahliannya untuk menjinakkan dan menaklukkan kuda itu, namun selalu kuda itu menjadi tenang kembali setelah mendengar suara Kian Bu. Sementara itu, dupa yang dinyalakan terus menyala dan sudah hampir habis, tanda bahwa sepuluh menit sudah hampir dilewati. Lui Shi menjadi semakin penasaran dan tiba-tiba saja ia mengeluarkan suara mendesis-desis seperti datangnya ratusan ekor ular!

Mendengar suara ini, Siauw-ma menjadi terkejut sekali, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik, matanya liar terbelalak dan nampaknya ketakutan sekali. Akan tetapi kuda itu tetap tidak mampu membuat Kian Bu terlempar dari punggungnya. Pendekar itu lalu merangkul leher kuda, mendekatkan mulutnya ke telinga kuda itu dan berbisik-bisik serta membujuk-bujuk dengan lemah-lembut. Akhirnya, perlahan-lahan Siauw-ma menjadi tenang kembali dan menurunkan lagi kedua kaki ke depan, walau pun binatang itu masih nampak takut-takut dan tubuhnya masih gemetar.

Sementara itu, hio telah terbakar habis dan petugas memberi tanda. Kian Bu tersenyum dan di bawah tepuk sorak mereka yang menjagoi pihak Thio-thicu, dia pun meloncat turun dari atas kudanya.

Kini tibalah giliran Lui Shi untuk memperlihatkan kemahirannya berkuda, dan terutama untuk memperlihatkan sebagai bukti bahwa kuda itu akan taat kepadanya dan ia akan dapat bertahan di atas punggungnya selama terbakarnya sebatang hio. Dengan penuh keyakinan akan kemampuannya sendiri, wanita ini pun menghampiri kuda itu. Dengan lagak yang genit ia merangkul leher kuda lalu mencium muka kuda itu.

Akan tetapi ketika wanita itu meloncat ke atas punggung kuda, pandang mata yang tajam dari Kian Bu dan yang selalu waspada itu telah dapat melihat betapa wanita itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam saku baju dalamnya. Dia tidak tahu benda apakah itu, akan tetapi dapat menduga bahwa tentu wanita itu akan menggunakan kecurangan dan dia menduga bahwa benda itu tentu semacam alat atau obat untuk membuat Siauw-ma menjadi penurut dan seperti lumpuh sehingga akan kehilangan semangat dan mau saja diperlakukan apa pun oleh wanita itu. Inilah agaknya yang membuat kuda itu dahulu dengan mudah dapat dicurinya.

Memang dugaan Kian Bu itu benar. Lui Shi sudah melihat tadi betapa pria berambut panjang putih itu memiliki kepandaian hebat dan juga benar-benar memiliki pengaruh yang besar terhadap kuda hitam itu. Agaknya, dalam soal mempengaruhi kuda itu, ia akan kalah. Tadi pun ia tidak berhasil membuat kuda itu mengamuk dan menjatuhkan penunggangnya.

Biar pun ia percaya akan ketrampilannya sendiri dalam hal menunggang kuda, akan tetapi tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi melihat betapa kuda itu begitu taat kepada pemiliknya. Untuk mencegah terjadinya kemungkinan yang akan membuat ia kalah, maka ia telah mengeluarkan akar pembius kuda. Dengan akar ini, ia akan dapat menundukkan kuda hitam dan membuatnya terbius sehingga tidak memiliki semangat dan kemauan lagi.

Caranya, selain membiarkan kuda itu mencium akar itu, juga menotok beberapa jalan darah di belakang telinga dan menusukkan jarumnya di atas kepala di antara kedua matanya. Hal itu akan dapat dilakukannya dengan mudah saja, akan tetapi ia baru akan melakukan kalau benar-benar ia nanti tidak dapat lagi menguasai kuda itu dan terancam bahaya dipaksa turun dari punggungnya.

Tiba-tiba wanita itu terkejut bukan main. Ada suara di dekat telinganya, seolah-olah ada orang bicara di dekatnya, dekat sekali dengan telinganya sehingga biarpun suara itu seperti bisikan saja, namun terdengar jelas satu-satu.

“Kalau engkau pergunakan benda itu terhadap Siauw-ma, sebelumnya engkau akan roboh dan binasa!”

Lui Shi terkejut bukan main dan cepat menengok ke arah Suma Kian Bu. Pada saat itu ia melihat pendekar itu menggerakkan tangan kanannya dengan telunjuk menuding ke arahnya sambil terdengar pendekar itu berkata, “Jangan bermain curang!”

Bagi orang lain, agaknya pendekar itu hanya menuding dan memperingatkannya agar lawan tidak bermain curang. Akan tetapi bagi Lui Shi berbeda sekali akibatnya. Dia merasakan adanya sambaran tenaga yang amat kuat dari telunjuk pendekar itu dan mendadak saja ia merasakan dekat tenggorokannya tersentuh sesuatu! Maklumlah ia bahwa kalau pendekar itu menghendaki, dari jarak jauh pendekar itu akan mampu membunuhnya! Mukanya berubah pucat dan dengan cepat ia sudah mengantongi kembali benda akar yang tadinya hendak dipergunakan untuk membius kuda hitam! Dan ia melihat pendekar itu tersenyum!

Lui Shi menenangkan hatinya yang terguncang. Ia maklum bahwa dalam menghadapi pendekar ini, dia harus hati-hati sekali dan tidak boleh sembrono. Kalau dia nekat menggunakan akal curang, tentu pendekar itu akan turun tangan dan agaknya akan sukar baginya untuk menyelamatkan diri. Tetapi ia masih percaya akan kemampuannya menunggang kuda. Jangankan kuda hitam itu yang sudah terbiasa dengannya, biar pun seekor kuda liar yang belum pernah dikenalnya sekali pun, tentu dia akan mampu menungganginya! Maka, dengan penuh kepercayaan akan kemampuannya sendiri, ia pun membalas senyuman itu, dengan senyum mengejek.

Dengan lagak yang genit Lui Shi menjalankan kudanya berputaran di depan panggung seperti yang dilakukan oleh Kian Bu tadi. Tiba-tiba terdengar suara Kian Bu, terdengar oleh semua orang, akan tetapi dengan khikang-nya, Kian Bu dapat membuat suaranya itu langsung terdengar oleh Siauw-ma dengan jelas sekali. Ketika kuda itu masih berada padanya, memang Kian Bu mengajarnya dengan aba-aba yang biasa saja sehingga kuda itu dapat mengenal baik suara dan maksud kata-kata Kian Bu, tentu saja kata-kata tertentu yang sudah biasa didengarnya ketika kuda itu dilatih.

“Siauw-ma, lemparkan penunggangmu dari punggungmu!”

Dan reaksi yang menjadi tanggapan kuda itu memang seketika. Binatang itu meringkik dan mula-mula ia mengangkat kedua kaki depan ke atas, kemudian berloncatan ke kanan kiri sambil menggoyang-goyang tubuhnya. Dan para penonton bersorak-sorak karena melihat pemandangan yang mendebarkan. Kuda itu membuat segala macam gerakan aneh dan kuat untuk melemparkan penunggangnya dari atas punggung.

Mula-mula Lui Shi berusaha menenangkan kuda itu dengan belaian-belaian tangan pada leher, dengan bisikan-bisikan, dengan bentakan-bentakan dan dengan tendangan-tendangan kakinya pada perut dan tubuh kuda. Akan tetapi, segera dia memperoleh kenyataan bahwa kuda itu sama sekali tidak mau mentaati semua perintah lawannya yang menyuruh binatang itu melemparkannya dari punggungnya.

“Setan hitam! Bagaimana pun engkau tidak akan mungkin dapat melemparkan aku!” Akhirnya ia berseru marah dan menempel di punggung kudanya seperti seekor lintah menempel di perut kerbau!

Kuda itu berjingkrak-jingkrak, menggoyang-goyang tubuhnya dan berusaha menggigit ke arah penunggangnya. Namun dengan kemahirannya yang mengagumkan, Lui Shi tetap dapat bertahan terus. Tubuh wanita itu terguncang-guncang, miring ke kanan kiri, depan belakang, namun ia tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma.

Diam-diam Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian harus mengakui bahwa memang wanita itu memiliki kemahiran menunggang kuda yang hebat! Sukar dicari orang lain yang akan mampu bertahan setelah kuda hitam itu membuat usaha mati-matian seperti itu, untuk melemparkan penunggangnya! Dan dupa itu pun terbakar perlahan-lahan, mendekat gagangnya. Sebentar lagi akan habis, namun Lui Shi tetap dapat bertahan di atas punggung Siauw-ma. Melihat ini, Pendekar Siluman Kecil mengangguk-angguk.

“Keras kepala!” gumamnya dan tiba-tiba terdengar lagi suaranya yang sangat nyaring. “Siauw-ma, bergulinglah engkau!”

Lui Shi terkejut sekali. Tak disangkanya pendekar itu pernah mengajarkan Siauw-ma untuk bergulingan! Maka ketika kuda itu menjatuhkan diri, ia berusaha menahannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Namun ia tidak dapat menahan dan ketika kuda itu akhirnya rebah miring dan hendak bergulingan, tentu saja Lui Shi tidak mau tubuhnya terhimpit oleh badan kuda itu. Akan remuk-remuk tulangnya kalau terjadi hal itu! Maka ia pun meloncat ke atas tanah sebelum kuda itu bergulingan dan dengan demikian ia pun kalah! Dupa itu belum habis terbakar dan ia sudah turun dari atas punggung kuda!

Sorak-sorak dan tepuk tangan yang riuh menyambut kemenangan pihak Thio-thicu ini dan wajah Bouw-thicu menjadi merah sekali. Habislah sudah dia! Balapan kuda kalah, dan untuk itu dia telah kalah taruhan yang amat banyak, lebih dari setengah hartanya. Dan sekarang, dalam lomba ketangkasan kuda yang sekaligus juga menentukan siapa pemilik kuda dan siapa pencurinya, dia pun kalah. Hal ini berarti bahwa namanya akan tercemar sebagai orang yang memelihara pencuri kuda! Kekecewaan demi kekecewaan membuat dia menjadi marah sekali dan diam-diam dia telah mempersiapkan para tukang pukulnya yang berkepandaian tinggi.

“Orang asing ini mempergunakan ilmu siluman! Dia orang asing yang datang untuk mengacau di Sinkang. Bunuh dia!” teriaknya.

Dan lebih dari dua puluh orang tukang pukulnya dengan senjata di tangan sudah menerjang kepada Suma Kian Bu! Akan tetapi pada saat itu, Ci Sian dan Teng Siang In sudah berloncatan, demikian pula Suma Kian Bu sendiri sudah menyambut serangan orang-orang itu dengan tangkas sekali. Semua penonton yang tadinya menjadi panik dan ketakutan, kini berdiri melongo dan kagum sekali melihat betapa pendekar dan dua orang wanita cantik itu dengan mudahnya merobohkan semua pengeroyok!

Bagaikan tiga ekor naga sakti mengamuk, mereka itu bergerak ke sana-sini di antara kilatan senjata para pengeroyok dan ke mana pun tiga orang ini bergerak menyambar, tentu ada seorang pengeroyok yang roboh! Dalam waktu singkat saja, lebih dari dua puluh orang itu roboh semua. Lui Shi yang tadinya juga ikut mengeroyok, hendak melarikan diri, demikian pun Bouw-thicu. Akan tetapi Siang In sudah meloncat dengan cepat menghadang Lui Shi.

“Engkau ini hanya tikus busuk, bisanya hanya merayap lari, sekarang hendak merayap ke manakah?”

Terjadilah keanehan yang luar biasa. Lui Shi sejenak terbelalak, kemudian.... wanita ini pun kemudian menurunkan kedua lengannya dan.... merangkak-rangkak dan hendak melarikan diri dengan merangkak seperti seekor tikus besar! Tentu saja semua orang terheran-heran melihat ini, bahkan ada yang tertawa geli.

Di lain saat, Siang In yang tadinya menguasai wanita itu dengan kekuatan sihir, sudah menotok pundaknya, membuat Lui Shi roboh dan tak mampu bergerak lagi. Sementara itu, Bouw-thicu juga dihadang oleh Suma Kian Bu. Tuan tanah yang tinggi besar itu ternyata bukanlah orang lemah. Melihat bahwa segala usahanya gagal, dia menjadi nekat. Sambil berteriak memberi aba-aba kepada semua orangnya untuk menyerang, dia sudah menyerang Kian Bu. Akan tetapi, sekali tangkis dan sekali totok saja, Kian Bu membuatnya terjungkal dan ketika anak buah tuan tanah ini hendak bergerak maju, tiba-tiba pasukan pemerintah sudah bergerak dan mengepung mereka.

Pembesar kepala daerah yang sudah berdiri di tepi panggung lalu berkata dengan suara nyaring, dan karena keadaan amat menegangkan sedangkan baru sekarang Kepala Daerah mengeluarkan suara, maka suaranya terdengar dengan jelas dan menjadi perhatian semua orang.

“Perhatian para tamu dan penonton! Suami-isteri pendekar yang memiliki kuda hitam ini adalah adik kandung dari Panglima Puteri Milana! Sudah terbukti bahwa Thio-thicu memenangkan perlombaan balapan kuda, dan bahkan kuda hitam yang dikeluarkan Bouw-thicu ternyata adalah milik Suma-taihiap ini! Bouw-thicu sudah sengaja membuat keributan dan dia akan diadili. Kalau ada yang berani berbuat keributan, mereka akan dianggap pemberontak dan akan ditumpas!”

Tentu saja semua orang terkejut sekali mendengar pengumuman pembesar ini. Bahkan Thio-thicu sendiri menjadi terkejut. Tak pernah disangkanya bahwa tamunya itu adalah adik kandung Panglima Puteri Milana yang amat terkenal itu. Siang In dan Ci Sian sendiri juga terkejut dan mengertilah mereka bahwa semalam, ketika mereka pergi menyelidiki keadaan Bouw-thicu, diam-diam pendekar itu telah pergi menghubungi pembesar Kepala Daerah dan menceritakan segala hal tentang dirinya dan tentang Bouw-thicu.

Bouw-thicu dan Lui Shi ditangkap, demikian pula para pengawal Bouw-thicu yang tadi membikin ribut dengan menyerang Kian Bu dan akhirnya semua roboh oleh Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Setelah pembesar Kepala Daerah membagi-bagi semua hadiah kejuaraan, pertemuan itu dibubarkan dan semua penonton pulang ke rumah masing-masing dengan hati puas karena banyak hai yang dapat mereka saling bicarakan dan ceritakan kepada orang lain, yang telah terjadi di padang rumput tempat perlombaan itu.

Malam hari itu, Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian diundang dan dijamu makan oleh Pembesar Kepala Daerah! Dalam pesta ini diundang pula Thio-thicu dan semua tuan tanah yang telah ikut perlombaan. Memang Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu cukup cerdik.

Setelah malam tadi Kian Bu menjumpainya dan memperkenalkan diri, diam-diam dia terkejut sekali dan khawatir kalau-kalau pendekar ini adalah utusan dari kerajaan untuk menyelidiki hasil pekerjaan atau tugasnya di Sin-kiang. Oleh karena itulah maka dia siang tadi bersikap keras terhadap Bouw-thicu, sungguh pun tuan tanah ini merupakan seorang di antara para sahabatnya, bahkan yang paling royal terhadap dirinya.

Dan pada malam hari ini, selain mengundang pendekar itu dan keluarganya sebagai penghormatan, juga sekalian memanggil atau mengundang semua tuan tanah karena kesempatan ini hendak dipergunakan untuk dua hal. Pertama, agar pendekar itu, kalau benar utusan pemerintah pusat, dapat melihat betapa para tuan tanah sudah dapat dipersatukannya, dan kedua, kehadiran pendekar itu hendak dipergunakannya untuk mempengaruhi para tuan tanah agar mereka tidak lagi menimbulkan keributan satu sama lain.

Pesta itu berlangsung meriah dan dalam kesempatan ini Suma Kian Bu juga mencari keterangan tentang berita angin adanya ular naga hijau di daerah itu.

Mendengar pertanyaan pendekar ini, Sang Kepala Daerah terbelalak dan berkata, “Ah, memang ada ular raksasa itu, Suma-taihiap! Bukan hanya dongeng dan berita bohong belaka. Bahkan kami sendiri pernah mengirim pasukan untuk membasminya, akan tetapi sebaliknya kami malah kehilangan belasan orang yang tewas oleh amukan ular naga itu!”

Suma Kian Bu, Teng Siang In dan Ci Sian tertarik sekali. Apalagi suami isteri itu yang memiliki kepentingan pribadi dengan ular naga itu.

“Bagaimana ceritanya Taijin?” tanya Kian Bu.

“Dua tahun yang lalu, ketika baru-baru kami dipindahkan ke sini, kami mendengar akan adanya ular naga hijau yang sering kali makan manusia. Mula-mula kami tidak percaya akan adanya berita itu dan hanya mengira bahwa yang dikabarkan itu tentulah seekor ular besar biasa saja dan sangat boleh jadi kalau ada ular besar makan manusia yang kebetulan lewat di dekatnya. Tetapi karena semakin banyak orang yang mengabarkan akan hal itu, sebagai seorang pembesar baru kami kemudian mengirim pasukan untuk menyelidiki dan kalau memang benar, membasmi ular itu. Dan akibatnya, belasan orang anggota pasukan kami tewas dalam keadaan mengerikan.” Pembesar itu berhenti sebentar dan menarik napas panjang.

“Apakah yang terjadi dengan mereka, Taijin?” tanya Siang In, tertarik sekali.

Ia dan suaminya telah datang dari tempat yang demikian jauh ke Sin-kiang ini. Selain merantau juga terutama sekali tertarik oleh cerita atau dongeng tentang naga hijau itu, dan kini mendengar keterangan yang demikian jelas dari pembesar kepala daerah, tentu saja ia merasa amat tertarik. Kiranya dongeng itu memang ada sungguh-sungguh!

Kembali pembesar itu menarik napas panjang dan untuk menenteramkan hatinya, dia minum arak dari cawannya. “Mengerikan sekali dan sampai sekarang kami tidak lagi berani mengirim pasukan, hanya menganjurkan agar orang-orang di daerah itu jangan sekali-kali berani melewati daerah hutan itu, agar mengambil jalan memutar saja karena ular naga itu benar-benar amat berbahaya dan agaknya memang siluman yang bertapa. Bayangkan saja, semua jenis senjata tajam dari pasukan kami tidak ada yang dapat melukainya sedikit pun juga! Dan semburan dari mulutnya, bahkan suaranya saja cukup membuat banyak prajurit kami pingsan! Dan yang lebih mengerikan, ular itu setiap kali memperoleh korban manusia, yang dimakan hanya kepalanya saja. Jadi belasan orang prajurit kami itu tewas dengan kepala lenyap dan badan masih utuh!”

Semua orang, juga para tuan tanah yang mendengar cerita ini bergidik. Mereka memang sudah mendengar akan semua hal itu, dan sudah lama tidak ada orang berani bercerita tentang ular naga itu, karena didesas-desuskan bahwa kalau disebut-sebut, maka malamnya siluman ular itu akan datang dan mencelakakan orang yang menyebut namanya.

Diam-diam Suma Kian Bu dan isterinya girang sekali mendengar bahwa dongeng tentang ular naga itu ternyata benar-benar terjadi dan ular naga itu memang benar ada! “Taijin, kami ingin sekali melihat ular naga hijau itu dan kalau perlu kami akan mencoba untuk menundukkannya agar ia tidak lagi mengganggu rakyat. Bagaimana kami dapat menemukannya?”

Semua orang merasa tegang dan juga gembira mendengar bahwa pendekar yang masih adik kandung Panglima Puteri Milana yang terkenal itu hendak membasmi ular naga siluman itu.

“Ular naga itu tempatnya di daerah Pegunungan Kun-lun-san, di bagian selatan yang jarang dilalui orang, sudah termasuk wilayah Tibet. Dan jalan menuju ke sana bukan mudah, dan kiranya, tanpa penunjuk jalan akan sukarlah bagi Taihiap untuk dapat menemukannya. Akan tetapi, siapakah yang akan berani menjadi penunjuk jalan?” kata pembesar itu.

“Tidak perlu penunjuk jalan, Taijin. Asal kami mendapatkan gambaran dan peta yang jelas menuju ke tempat itu, kami akan dapat mencarinya sendiri,” jawab Kian Bu penuh semangat.

“Itu mudah diatur. Komandan pasukan dua tahun yang lalu itu masih ada dan dia tentu dapat membuatkan gambaran dan peta menuju ke tempat itu. Ya, dialah satu-satunya orang yang akan dapat membuatkan peta itu untukmu.”

Dan memang demikianlah. Setelah komandan pasukan itu ditemui, komandan tua ini dapat bercerita banyak dan juga dapat membuatkan peta yang cukup jelas menuju ke tempat yang baginya sangat mengerikan itu. Kian Bu membuat gambar dan catatan-catatan, sementara itu Siang In terus mendengarkan penuh harapan dan Ci Sian juga mendengarkan penuh perhatian karena hatinya merasa amat tertarik.

Setelah mereka bertiga berada di ruangan istirahat, Ci Sian berkata kepada Siang In, “Enci In, biarlah aku ikut dengan kalian dan membantu kalian menaklukkan ular naga hijau itu!”

Suami isteri pendekar itu memandang kepadanya dan nampak kaget. “Tapi, Nona.... perjalanan ini berbahaya sekali....,” kata Suma Kian Bu sambil mengerutkan alisnya.

“Benar, Adik Sian. Engkau sudah mendengar sendiri betapa dahsyat dan berbahayanya ular itu. Sungguh kami akan merasa menyesal bukan main kalau sampai terjadi apa-apa denganmu....,” sambung Siang In.

Ci Sian mengerutkan alisnya dan memandang kepada suami isteri itu bergantian. Kemudian ia berkata, suaranya tegas, “Harap Taihiap dan Enci menenangkan hati. Aku hendak pergi ikut atas kehendakku sendiri dan bukan karena bujukan kalian, jadi kalau terjadi apa-apa denganku, tidak akan ada seorang pun di dunia ini yang akan menyalahkan kalian. Setelah melakukan perjalanan seorang diri dan bertemu dengan kalian, dan setelah apa yang kita alami bersama di sini, bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian begitu saja? Akan tetapi, kalau kalian tidak menghendaki aku ikut, kalau aku hanya merupakan gangguan bagi kalian berdua, biarlah aku pergi sendiri mencari ular itu, untuk mencoba menandinginya. Siapa tahu aku dapat melenyapkan suatu bahaya bagi rakyat....”

Mendengar ini dan melihat sikap Ci Sian yang mukanya merah seperti mau menangis itu, Siang In lalu merangkulnya. Ia tahu akan isi hati dara yang keras wataknya ini. Ia tahu bahwa Ci Sian merasa amat cocok dengan ia dan suaminya, maka dara itu masih ingin bekerja sama dengan mereka dan agaknya merasa enggan berpisah. Apalagi karena dara itu sedang kesepian dan menderita batinnya ditinggalkan suheng-nya.

“Adikku yang baik, sama sekali bukan karena kami menolakmu. Kami sendiri pun sangat suka bersamamu akan tetapi.... engkau tahu bahwa kami pergi mencari ular itu untuk kepentingan kami pribadi.... jadi, kalau sampai.... terjadi apa-apa denganmu....”

Ci Sian balas merangkul. “Enci Siang In, kau kira aku ini orang macam apa? Setelah lama mempelajari ilmu, apakah aku terlalu menyayangi nyawa? Mati dan hidup bukan urusan manusia, kenapa takut kalau sudah berani hidup? Aku ingin membantu kalian.... aku.... aku kesepian....”

“Baiklah, dan tentu saja, dengan bantuanmu, kami merasa lebih yakin akan dapat menaklukkan ular naga hijau itu!”

Ci Sian merasa girang sekali dan Suma Kian Bu hanya menarik napas panjang saja dan tidak membantah lagi. Dia mengerti bahwa antara dua orang wanita itu tentu ada ikatan yang lebih mendalam, dan kalau dia berkeras menolak, bukan hanya dara itu yang akan merasa sedih dan kecewa, akan tetapi juga dia akan menyinggung hati isterinya.

Pada keesokan harinya, berangkatlah tiga orang itu meninggalkan rumah Thio-thicu. Siang In menunggang Hek-liong-ma sedangkan Kian Bu menunggang seekor kuda yang baik pula, pemberian Thio-thicu. Biar pun Siang In menyuruh Ci Sian agar tetap menunggangi Hek-liong-ma, dara ini menolak dengan halus dan mengatakan bahwa kuda itu adalah milik suami isteri pendekar ini dan jika ia menunggangi, ia akan merasa seperti menunggang sesuatu yang bukan haknya.

Dengan diantar oleh Thio-thicu dan para anak buahnya sampai keluar perkampungan mereka, ketiga orang pendekar ini meninggalkan tempat itu dengan hati puas karena mereka telah melakukan sesuatu yang sangat berguna untuk kesejahteraan rakyat setempat. Mereka percaya bahwa selanjutnya, para thicu itu tidak lagi akan menurutkan hati dendam untuk saling gempur.

Ular hijau yang amat besar itu dikabarkan orang yang suka tahyul sebagai seekor ular siluman yang sudah bertapa ratusan tahun. Sudah lajim terjadi di antara manusia di dunia ini yang suka sekali akan hal yang aneh-aneh dan menambah sesuatu yang mereka tidak mengerti menjadi semakin aneh dengan dugaan-dugaan dan reka-rekaan mereka sendiri yang kemudian menjadi semacam tahyul.

Menurut dongeng atau berita angin itu, ular yang sangat besar itu kabarnya memiliki mustika di dalam kepalanya yang kalau malam gelap mencorong. Bahkan ada orang berani bersumpah mengatakan bahwa pada suatu malam dia melihat ular itu terbang ke angkasa dan dari mulutnya keluar mustika yang bernyala-nyala. Tentu saja cerita orang ini mirip dengan dongeng tentang naga yang beterbangan di angkasa, seperti yang dimainkan orang pada hari-hari pesta, yaitu naga dengan mustikanya.

Tentu saja semua itu hanyalah khayalan orang-orang yang dihantui oleh rasa takut yang amat sangat. Ular itu memang ada, dan memang merupakan seekor ular yang amat besar. Jarang ada orang dapat menjumpai ular sebesar itu. Perutnya melebihi besarnya paha manusia yang gemuk sekali pun, dan kalau binatang itu sudah menelan korban perutnya menggembung sebesar tubuh korban yang ditelannya. Panjangnya tidak lebih dari lima belas meter!

Ular ini kulitnya kehijauan dan saking tuanya, kulitnya itu gelap menghitam dan amat keras. Entah sudah berapa kali ular ini berganti kulit. Ular ini semenjak lama sekali, entah berapa tahun atau belas atau berapa ratus tahun tak seorang pun tahu, berdiam dari pohon besar ke pohon besar lainnya dalam sebuah hutan lebat di Pegunungan Kun-lun-san. Dan setiap kali berdiam di sebatang pohon besar, binatang ini seperti bertapa bertahun-tahun lamanya.

Akan tetapi ada sesuatu keanehan pada binatang yang sudah amat tua ini. Kalau ada binatang lain seperti kijang, kelinci atau bahkan harimau sekali pun, dan kebetulan perutnya lapar, tentu dia langsung menyambar binatang itu dari atas pohon. Dengan melibatkan ekornya pada cabang besar di atas, kepalanya bergantung di bawah, ular yang amat besar itu menyambar korbannya yang sama sekali tidak menduga karena tidak mendengar sesuatu dan tidak dapat mencium bau ular yang berada di atasnya itu.

Ada kalanya, kalau yang disambarnya itu binatang besar lain seperti harimau dan lain-lain yang lebih buas, maka korban itu tentu saja melakukan perlawanan. Dan kalau sudah begini, ular itu akan melepaskan ekornya yang melilit cabang sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, lalu ekornya melilit tubuh korbannya, melilit dengan tenaga raksasa dan binatang yang betapa kuatnya akan patah-patah tulangnya kalau dililit oleh ekor dan tubuh ular yang amat kuat ini.

Biasanya, perlawanan para korban itu tidak akan berjalan lama karena selain memiliki tenaga lilitan yang amat kuat, juga ular itu dapat menyemburkan uap yang membius dan beracun, juga gigitannya amat kuat dengan taring yang mengerikan dan mengandung racun pula. Keanehan ular itu adalah, kalau korbannya binatang lain, maka setelah melilitnya dan membuat tulang-tulang tubuh korban itu patah-patah lalu korban itu ditelannya dan tubuh yang tulangnya sudah patah-patah itu menjadi lemas dan dapat melalui kerongkongannya yang tidak begitu besar.

Akan tetapi, kalau korbannya manusia, maka ia hanya mencaplok kepala orang itu saja, menggigit putus lehernya dan menelan kepalanya, sedangkan badan para korban manusia itu dibiarkannya membusuk begitu saja! Dengan adanya tulang-tulang manusia tanpa kepala di bawah pohon-pohon besar yang pernah dijadikan tempatnya bertapa, maka dapat diketahui bahwa banyak sudah manusia-manusia yang menjadi korban ular ini.

Jangan dikira bahwa hanya pasukan yang dikirim Pembesar Kepala Daerah Sin-kiang itu saja yang merupakan manusia-manusia yang menjadi korbannya. Banyak sudah manusia yang kepalanya telah masuk ke dalam perut ular ini. Para pemburu yang belum tahu akan adanya ular ini, juga orang-orang yang tidak tahu dan kebetulan lewat di hutan itu. Selain mereka ini yang tidak tahu akan adanya ular itu dan menjadi setan penasaran, banyak pula seperti para anggota pasukan itu yang tewas ketika sengaja datang untuk melawan ular itu. Mereka ini adalah para pendekar yang sengaja datang di tempat itu untuk membasmi ular ini, akan tetapi akhirnya bahkan mereka sendiri yang tewas dalam keadaan mengerikan, yaitu kepala mereka lenyap ke dalam perut ular dan tubuh mereka membusuk sampai tinggal rangkanya saja di bawah pohon tanpa ada yang berani mengurusnya.

Bahkan ada beberapa orang pertapa di Kun-lun-san, ada pula beberapa orang pendekar Kun-lun-pai sendiri yang pernah mencoba untuk menaklukkan ular itu, namun akibatnya payah, ada yang tewas, ada pula yang luka-luka dan masih untung bagi mereka yang dapat menyelamatkan dirinya dan hanya menderita luka-luka yang cukup parah.

Semenjak kegagalan para pendekar Kun-lun-pai, maka Ketua Kun-lun-pai lalu membuat pengumuman kepada rekan-rekan di dunia kang-ouw agar jangan mengganggu ular itu yang dianggap sebagai ular keramat tak terkalahkan, bahkan ada yang menyebutnya siluman ular yang bertapa. Sebetulnya bukan karena ular itu sakti, ular dewa, atau ular siluman, ular itu memang kuat sekali dan hal ini tidaklah mengherankan. Sedangkan ular sebesar lengan saja sudah amat kuat, apalagi sebesar dan sepanjang itu!

Dan harus diingat bahwa ular ini sudah tua sekali, kulitnya demikian kerasnya sehingga kebal terhadap senjata tajam, melebihi kerasnya kulit buaya tua. Dan karena kulit ular itu merupakan sisik yang bertumpuk, maka sukar ditembusi senjata tajam. Orang-orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi itu sudah berusaha membunuhnya, namun tidak ada senjata yang mampu menembus kulitnya dan hal inilah yang membuat ular itu sukar dikalahkan. Selain itu, ternyata ular ini mempunyai racun sehingga dapat mengeluarkan hawa beracun melalui semburan dan juga gigitannya mengandung racun yang amat kuat.

Perjalanan menuju ke hutan di mana ular hijau itu berada merupakan sebuah perjalanan yang tidak mudah. Apalagi karena hutan yang dimaksudkan itu berada di dekat puncak, yang kini terkenal dengan nama Puncak Naga Hijau, sebuah di antara puncak-puncak yang tinggi dari Pegunungan Kun-lun-san yang terkenal itu. Mereka bertiga melakukan perjalanan berpekan-pekan, dan akhirnya mereka tiba di dusun terakhir yang berada di lereng bawah puncak.

Dari dusun itu ke atas, selain tidak ada dusun lagi karena orang-orang tidak berani tinggal terlalu dekat dengan hutan itu, perjalanan amatlah sukarnya melalui jalan setapak yang kadang-kadang harus melalui jurang dan bergantungan pada akar-akar pohon dan batu-batu, maka terpaksa tiga ekor kuda itu mereka titipkan pada kepala dusun.

Dusun itu kecil dan sederhana sekali, jauh dari pada tempat ramai, bahkan jauh dari peradaban kota sehingga kepala daerahnya pun merupakan orang yang diangkat oleh kelompok dusun itu sendiri, bukan merupakan seorang pejabat pemerintah. Dan dusun itu hanya dihuni oleh beberapa puluh keluarga yang miskin, yang hidup dengan jalan bertani dan berburu. Tentu saja kedatangan tiga orang yang berpakaian indah menurut mereka itu, merupakan hal yang luar biasa sehingga tiga orang pendekar ini disambut dengan gembira.

Kepala Dusun itu merupakan satu-satunya orang yang sudah pernah hidup di kota dan lebih beradab dibandingkan dengan yang lain-lainnya, dan Kepala Dusun inilah yang menyambut Kian Bu dan dua orang wanita itu.

“Sungguh luar biasa sekali kami dapat menerima kunjungan Sam-wi,” katanya setelah mempersilakan mereka duduk di atas bangku-bangku kayu yang kasar buatannya, di ruangan depan yang terbuka dan keadaannya miskin sekali di mana para penduduk dusun itu berkerumun dan mendengarkan percakapan mereka. “Bertahun-tahun sudah tidak ada orang asing yang datang ke dusun ini. Sam-wi hendak pergi ke manakah maka sampai di tempat terpencil ini?”

Suma Kian Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang dusun yang jauh dari dunia ramai, dan biasanya, orang-orang di dalam dusun yang terpencil seperti ini jauh pula dari kebiasaan orang-orang kota yang suka berpalsu-palsu, dan biasanya orang-orang seperti ini adalah terbuka dan polos, jujur. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk menyembunyikan maksud kunjungannya.

“Lopek, kami jauh-jauh datang dengan hanya satu tujuan, yaitu menuju ke Puncak Naga Hijau itu. Karena perjalanan ke atas puncak menurut keterangan yang kami peroleh amat sukar dan tak bisa dilakukan dengan berkuda, maka kami bermaksud untuk selain beristirahat sehari di sini melewatkan malam, juga untuk menitipkan tiga ekor kuda kami di sini.”

Para penduduk dusun itu, yang mendengarkan kata terjemahan dari seorang laki-laki tua yang mengerti bahasa Han, satu-satunya orang yang tahu bahasa itu di samping kepala dusun, yang tadinya berisik, tiba-tiba berhenti bicara dan semua mata kemudian memandang kepada Suma Kian Bu dengan terbelalak dan wajah mereka berubah, kini penuh ketegangan!

Kepala Dusun itu sendiri pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya kepada Kian Bu kehilangan keramahannya, namun mulutnya masih bicara dengan ramah, “Tentu saja Sam-wi boleh menitipkan tiga ekor kuda itu di sini dan kami akan merawatnya dengan baik. Tetapi belum pernah ada orang naik ke puncak itu. Apakah keperluan Sam-wi hendak mendaki puncak?”

“Kami bertiga bermaksud untuk mencari ular naga hijau dan membasminya,” kata Suma Kian Bu dengan terus terang karena dia merasa yakin bahwa penduduk dusun ini, yang berada di lereng puncak di mana terdapat hutan tempat tinggal ular itu, tentu sudah tahu akan ular besar itu.

Akan tetapi, akibatnya sungguh membuat tiga orang pendekar itu terkejut bukan main. Kepala Dusun itu mengeluarkan teriakan panjang, wajahnya pucat sekali, matanya terbelalak dan terdengar bentakan-bentakan keras ketika semua penduduk dusun yang mendengarkan terjemahan ucapan Suma Kian Bu itu serentak bangkit dan maju dengan senjata perburuan mereka siap di tangan, jelas hendak mengeroyok Suma Kian Bu dan dua orang wanita pendekar itu!

Dengan mengeluarkan teriakan-teriakan aneh, puluhan orang yang memenuhi tempat itu serentak maju menerjang. Melihat ini, Suma Kian Bu, Siang In dan Ci Sian terkejut sekali dan tentu saja mereka pun cepat meloncat dari bangku mereka.

“Jangan lukai orang!” Kian Bu berseru cepat kepada isterinya dan dara itu, karena dia menduga bahwa tentu ada kesalah pahaman dalam hal ini.

Tiga orang pendekar ini menghadapi para penyerang dengan tangan kosong saja, akan tetapi para penyerang yang terdepan segera berteriak-teriak kaget, senjata mereka terampas dan tubuh mereka sendiri terlempar ke belakang menimpa teman-temannya yang berada di belakang. Suma Kian Bu sendiri sudah menangkap lengan tangan kepala dusun itu, menjatuhkan golok yang dipegangnya, kemudian menekuk lengan kepala kampung itu ke belakang dan cepat dia berseru dengan suara nyaring sekali, menggetarkan seluruh tempat itu karena dia mengerahkan khikang-nya.

“Tahan semua, atau pemimpin kalian akan mati!”

Meski ucapannya tidak diterjemahkan, namun mudah saja menangkap artinya, apalagi melihat betapa lengan Kepala Dusun itu sudah ditekuk ke belakang sehingga dia tidak berdaya!

“Hayo, ceritakan, apa artinya semua ini?!” bentak Suma Kian Bu kepada Kepala Dusun itu. “Mengapa engkau dan orangmu mendadak mengeroyok kami?”

Kepala Dusun itu menyeringai kesakitan, akan tetapi dengan suara tegas dia berkata, “Kau bunuhlah aku, kau bunuhlah kami, karena kalau tidak kau bunuh sekali pun, kami semua akan mati! Dan lebih baik mati di tanganmu, seorang manusia, dari pada mati di tangannya....“

Kian Bu makin heran. “Sungguh aneh, apa sih maksudmu, Lopek? Harap kau menyuruh teman-teman mundur dulu dan jelaskan pada kami kenapa kalian tiba-tiba mengeroyok kami, dan mengapa pula engkau begini putus asa dan minta mati. Kesalahan apakah yang telah kami lakukan?”

Dengan wajahnya yang masih bersungut-sungut, setelah dilepaskan oleh Kian Bu dan semua penghuni dusun sudah agak tenang walau pun mereka masih mengurung dan sikap mereka masih marah dan bermusuhan, kepala dusun itu berkata, “Kalian bertiga hendak mengganggu dewa ular, hal itu berarti sama saja dengan hendak membunuh kami orang sedusun!”

“Dewa ular....? Membunuh kalian sedusun? Lopek, jelaskan, apa maksudmu dengan kata-kata itu?” Kian Bu mendesak.

“Dengan susah payah selama bertahun-tahun kami orang-orang sedusun meredakan kemarahan dewa ular, bahkan kami rela mengorbankan seorang di antara kami setiap tahun untuk menjadi korban. Semua itu adalah untuk melindungi kehidupan kami agar tidak sampai terancam. Akan tetapi, hari ini kalian datang untuk mengganggunya dan sudah pasti bahwa kami semua yang akan menerima hukuman akibat kemarahannya.”

Tentu saja tiga orang pendekar itu menjadi terkejut bukan main. “Apa katamu, Lopek? Kalian memberikan korban setiap tahun?”

“Ya.... bahkan.... tahun lalu.... seorang di antara anak-anakku perempuan kurelakan.... dan tahun ini, telah tiba saatnya, kami masih bingung untuk memilih siapa lagi yang harus kami korbankan. Dan kalian datang untuk mengganggunya, berarti kami semua akan mati....“

Suma Kian Bu mengepal tinjunya, tiba-tiba dia marah sekali kepada ular itu. Tahulah dia bahwa saking tangguhnya, ular itu mendatangkan rasa takut sedemikian rupa kepada para penghuni dusun ini sehingga mereka menganggapnya sebagai dewa yang akan mendatangkan mala petaka kalau tidak diberi korban seorang manusia setiap tahun. Kepala Dusun ini bahkan telah menyerahkan anak perempuannya untuk korban!

“Lopek, dan Saudara-saudara semua. Janganlah khawatir, kali ini kami datang untuk membasminya, untuk membunuhnya agar kalian semua terbebas dari pada ancaman binatang laknat itu!”

“Ahhh, tiada guna.... entah sudah berapa banyak orang sombong yang bersumbar sebelum bertemu dengan dewa ular, dan akhirnya mereka itu tewas satu demi satu! Kalian pun akan tewas dan sesudah itu, karena gangguan kalian, maka ular itu akan mengamuk dan akan menghabiskan kami semua!” Kembali Kepala Dusun itu nampak marah dan penasaran.

Melihat betapa orang-orang itu sukar sekali diberi penjelasan, akhirnya Suma Kian Bu memperoleh akal. “Engkau tadi mengatakan bahwa untuk tahun ini belum ada korban yang dipilih? Kapankah biasanya diadakan korban?”

“Setiap setahun sekali, pada permulaan musim rontok. Pada saat itu dewa ular akan meninggalkan pohon yang mulai rontok daunnya, dan pada saat itu pulalah kami harus menyerahkan seorang korban. Kalau tidak, dewa ular tentu akan mendatangi dusun untuk mencari korban sendiri dan kalau sudah begitu, kami akan dihukum sehingga sedikitnya dia akan mengambil dua tiga orang korban!”

“Kapankah hari penyerahan korban itu?”

“Dua hari lagi, tepat pada saat bulan purnama,” jawab Si Kepala Dusun.

“Bagus! Kalau begitu, sekali ini kalian bukan menyerahkan seorang korban, melainkan tiga orang korban, yaitu kami bertiga. Biar dia kekenyangan dan puas sehingga tidak akan menganggu kalian lagi!” kata Suma Kian Bu.

Aneh, mendengar ucapan ini yang segera diterjemahkan, semua orang memandang dengan wajah berseri kepada Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian. Sinar mata mereka penuh dengan harapan dan rasa syukur. Kalau begini lain lagi soalnya, pikir mereka. Kalau tiga orang itu mengatakan hendak membasmi dewa ular, hal itu sungguh tak masuk di akal dan selain tiga orang itu akhirnya akan tewas, yang lebih celaka lagi ular itu akan menimpakan kutuk dan pembalasannya kepada mereka sedusun. Sebaliknya kalau tiga orang itu mau menjadi korban, tentu saja hal ini melepaskan mereka dari pada bahaya amukan ular itu, setidaknya untuk waktu setahun dan mereka tak perlu bingung-bingung mencari dengan hati berat, anak siapa yang akan dikorbankan!

Akan tetapi, Kepala Dusun itu masih memandang penuh keraguan. “Benarkah kalian bertiga mau menjadi korban untuk dewa?”

“Benar, Lopek. Kami bertiga bersedia untuk dikorbankan demi menyelamatkan dusun ini dari ancamannya,” jawab Kian Bu dengan suara tegas.

“Tapi.... biasanya para korban itu dibelenggu kaki tangannya, dan direbahkan dalam goa sebelum dewa ular pindah dari pohon ke dalam goa....”

Mendengar ini wajah Siang In menjadi merah dan hampir saja nyonya ini menjadi marah karena dianggapnya sebagai penghinaan kalau ia harus membiarkan dirinya dibelenggu kaki tangannya! Akan tetapi suaminya memandang kepadanya dan isteri yang sudah mengenal dengan baik segala pandang mata suaminya ini dapat menerima isyarat suaminya yang kemudian menjawab.

“Kalau begitu, biarlah kalian boleh mengikat dan membelenggu kaki tangan kami dan merebahkan kami di dalam goa itu.”

Mendengar ini, lenyap semua keraguan dari pandang mata Kepala Dusun itu, terganti dengan ketakjuban dan kegirangan. “Ahh, sungguh hampir tak dapat dipercaya. Kalian bertiga seperti utusan dewa yang datang untuk menolong kami saja!” serunya.

Dari percakapan dan sikap mereka itu, Suma Kian Bu yang amat cerdik itu sudah dapat menangkap keadaan dan watak mereka. Dia tahu bahwa orang-orang ini adalah orang-orang dusun yang jujur dan polos, bodoh dan amat tahyul. Oleh karena itu, dengan suara garang dengan pengerahan khikang sehingga suaranya bergema di ruangan itu dan amat mengejutkan semua orang dia berkata, “Kalian sangka siapa kami ini? Kami memang utusan dewa untuk datang ke dusun ini dan menyelamatkan kalian!”

Siang In juga sudah dapat menanggapi kata-kata suaminya. Maka selagi semua orang terbelalak mendengar terjemahan kata-kata Kian Bu tadi, dan kepala dusun itu tengah memandang dengan muka pucat saking kagetnya, mendadak nyonya yang cantik ini mengeluarkan suara melengking tinggi, menggetarkan jantung semua pendengarnya. Kemudian dengan suara yang amat berpengaruh karena disertai kekuatan sihirnya, dengan pandang mata mencorong ketika semua orang menoleh dan memandangnya, tertarik oleh lengkingan tinggi tadi, ia berkata. “Apakah kalian semua sudah buta? Lihat baik-baik! Kami adalah utusan dari Kwan Im Pouwsat sendiri! Aku adalah Dewi Api, lihat tubuhku mengeluarkan api bernyala! Lihat baik-baik!”

Dan terdengar semua orang yang terbelalak itu tiba-tiba berteriak-teriak ketakutan ketika mereka melihat betapa tubuh nyonya yang cantik itu tiba-tiba berkobar-kobar di tengah-tengah api! Bahkan Ci Sian sendiri juga terkena pengaruh sihir itu dan ia kaget sekali melihat tubuh Siang In terbakar. Akan tetapi, ia segera mengerahkan sinkang-nya dan mengusir pengaruh itu sehingga ia melihat betapa nyonya itu tetap berdiri biasa saja, sama sekali tidak ada api keluar dari tubuhnya!

Akan tetapi kini semua penduduk dusun itu, dipimpin oleh Kepala Dusun mereka, sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap tiga orang itu!

“Ampunkan hamba sekalian.... hamba tidak tahu bahwa Paduka bertiga adalah para dewa-dewa....“

Kian Bu merasa kasihan dan tidak tega untuk mempermainkan orang-orang yang jujur dan bodoh ini. Dia tersenyum dan mengangkat kedua tangannya. “Bangkitlah kalian dan jangan berlutut. Ketahuilah bahwa biar pun kami ini utusan pada dewa, akan tetapi pada saat ini, kami memakai tubuh manusia biasa, maka kalian juga harus memperlakukan kami sebagai manusia biasa. Nah, kami sudah siap untuk menjadi korban. Kapan hal itu dapat dilaksanakan?”

“Biasanya yang kami lakukan setiap tahun, pada hari bulan purnama penuh. Siangnya korban dibawa ke goa dan ditinggalkan, karena pada malam harinya dewa ular akan datang, pindah dari pohon yang mulai rontok daunnya ke dalam goa itu. Dan tahun ini, bulan purnama penuh akan muncul dua hari lagi.”

“Baiklah, kami bertiga boleh kalian bawa ke goa itu pada besok lusa siang, agar malamnya kami dapat bertemu dengan dewa ular itu,” kata Kian Bu.

Sebetulnya, setelah para penghuni dusun itu dapat ditundukkan oleh ilmu sihir Siang In, mereka semua itu sudah percaya dan tentu saja mau membantu. Akan tetapi Kian Bu berpikir lain.....

Menghadapi ular yang lihai itu tidak perlu bantuan orang-orang dusun yang sudah ketakutan itu, karena selain mereka itu tiada gunanya, juga bahkan di antara mereka mungkin saja akan tewas dan hal ini tidak dikehendakinya. Selain itu, ular yang sudah amat tua itu agaknya jauh lebih cerdik dari pada ular-ular biasa.

Dia khawatir kalau-kalau ular itu mencari tempat lain dan tidak akan datang ke goa kalau tidak disediakan korban, yaitu calon mangsanya yang mudah. Dan menghadapi ular itu di tempat terbuka jauh lebih menguntungkan dari pada menghadapinya di dalam goa. Atau kalau ular itu datang, sebelum memasuki goa, mereka bertiga dapat lebih dulu menyambutnya di depan goa, di tempat terbuka dengan diterangi oleh sinar bulan purnama, dan mereka bertiga akan siap untuk memegang obor di tempat itu. Mengenai belenggu kaki tangan itu, tentu saja bukan merupakan persoalan bagi mereka bertiga.

Kini para penduduk dusun itu amat menghormati mereka bertiga yang dianggap selain utusan dewa, juga merupakan penolong mereka. Baru mau menjadi pengganti korban saja sudah membuat mereka bersyukur dan berterima kasih! Maka, kini ketiga orang pendekar itu dijamu oleh para penduduk dan dilayani dengan sikap hormat sekali.

Pada dua hari berikutnya, setelah matahari condong ke barat, Suma Kian Bu, Sian In dan Ci Sian sudah siap. Semua penghuni dusun, laki-laki perempuan tua muda, sudah berkumpul di depan rumah Kepada Dusun. Dengan dibantu oleh beberapa orang dan disaksikan oleh semua penghuni, Kepala Dusun mulai mengikatkan tali-tali yang kuat pada kaki tangan tiga orang pendekar itu. Tiga orang pendekar itu sudah makan sore dan sudah mandi bersih, suatu keharusan bagi para calon korban, memakai pakaian bersih dan lalu pengikatan kaki tangan mereka dilakukan dengan penuh khidmat oleh Kepala Dusun dan para pembantunya.

“Lihatlah, agar kalian semua yakin bahwa kami adalah utusan para dewa!” kata Suma Kian Bu untuk memberikan kesan terakhir. Dia menggerakkan kedua lengannya dan….

“Kreekkk....!” Putuslah tali yang mengikat kedua pergelangan tangannya, dan sekali dia menggerakkan kedua kakinya, putus pula belenggu kedua kakinya!

Semua orang terkejut sekali dan wajah Kepala Dusun menjadi pucat. Akan tetapi Kian Bu sudah memasangkan kembali kaki tangannya untuk diikat kembali dengan tali-tali baru.

Setelah mengikatkan kaki tangan itu selesai, Kian Bu berkata, “Dengar baik-baik pesan kami. Setelah menaruh kami di mulut goa, harap kalian semua pergi dan bersembunyi di rumah masing-masing. Kalau ada suara apa pun jangan sekali-kali keluar dan biarkan kami bertiga menghadapi ular itu. Dan jangan lupa, sediakan obor, minyak dan lilin bernyala di goa.”

Kepala Dusun mengangguk-angguk dan tidak lama kemudian, tiga orang pendekar itu yang kaki tangannya terbelenggu, sudah digotong di atas tandu seperti yang setiap tahun biasa terjadi. Akan tetapi kalau biasanya yang digotong hanya seorang korban saja, kini ada tiga orang calon korban yang digotong ramai-ramai. Dan seperti biasanya, para penghuni dusun itu dengan dipimpin seorang pendeta yang menganut agama campuran antara Bhudis dan Taoism, menyanyikan lagu-lagu pujaan untuk para dewa.

Kian Bu, Siang In, dan Ci Sian duduk di atas tandu dengan kaki tangan terbelenggu, akan tetapi mereka tersenyum-senyum dan merasa bagaikan menjadi pengantin saja karena mereka berpakaian baru, diberi kalungan bunga, dipikul di dalam tandu, dan diiringkan oleh banyak orang yang bernyanyi-nyanyi dipimpin oleh pendeta satu-satunya yang berada di dusun itu.

Iring-iringan mengantar calon korban untuk dewa ular ini tiap tahun biasanya dilakukan dengan iringan air mata keluarga Si Korban. Akan tetapi sekali ini, suasananya gembira dan semua wajah orang dusun itu cerah dan berseri. Hal ini bukan hanya karena di antara mereka tidak ada yang kehilangan sanak keluarga, akan tetapi juga karena ada harapan dalam hati mereka untuk dapat terbebas selamanya dari pada rasa takut terhadap Si Dewa Ular. Akan tetapi di antara harapan dan kegembiraan ini, ada pula kekhawatiran menyelinap di dalam hati mereka. Bagaimana kalau tiga utusan dewa itu gagal? Dan andai kata mereka berhasil dan dewa ular dapat dienyahkan, bukankah hal itu berarti bahwa berkah dari dewa ular untuk mereka pun akan ikut lenyap?

Kepercayaan tahyul seperti yang dimiliki oleh para penduduk dusun di dekat Puncak Naga Hijau di Pegunungan Kun-lun-san itu bukan hanya merupakan peristiwa yang dapat terjadi dan menimpa sekelompok manusia yang masih terbelakang atau yang peradabannya belum tinggi.

Kalau kita mau mengamati keadaan sekeliling kita, mau mengamati kehidupan kita sendiri, bahkan di jaman modern ini sekali pun, kita masih terikat dan terbelenggu oleh berbagai kepercayaan dan ketahyulan! Kelompok ini percaya akan ini dan tidak percaya akan itu. Golongan lain percaya akan itu dan tidak percaya akan hal yang dipercaya oleh kelompok pertama ini. Bahkan kepercayaan-kepercayaan yang merupakan adat pusaka keturunan nenek moyang itu dapat menjadi bahan untuk saling bertentangan dan bermusuhan!

Kepercayaan akan hal-hal yang di luar jangkauan pikiran merupakan ketahyulan yang lama-lama lalu berubah menjadi tradisi. Dan biasanya, hal-hal seperti itu hanya untuk dipercaya saja, bukan untuk dimengerti! Dan kita pun takut untuk melanggarnya atau meninggalkannya dari batin kita. Tentu saja rasa takut ini timbul oleh suatu kepercayaan pula bahwa memegang teguh tradisi kepercayaan tahyul itu mendatangkan selamat, berkah, yang pada pokoknya adalah menyenangkan atau menguntungkan. Sebaliknya kalau kita menanggalkan atau membuangnya, maka kita akan kehilangan apa yang kita namakan selamat, berkah atau hal-hal yang menyenangkan itu. Kita takut akan dilanda kesusahan karenanya. Inilah sumber rasa takut menanggalkan atau membuangnya.

Lalu bagaimanakah timbulnya kepercayaan akan tahyul yang menjadi tradisi itu? Semua kepercayaan, jika kita mau merenungkannya dengan penuh kebebasan dan perhatian, timbul karena kebodohan, karena ketidak mengertian. Kepercayaan itu pasti timbul oleh karena kita tidak mengerti, tidak tahu, lalu kita mendengar pengertian itu dari mulut orang yang kita hormati, kita kagumi, kita anggap lebih tahu dari pada kita, atau dari kitab yang ditulis oleh orang yang kita muliakan, maka kita pun lalu percayalah! Kalau ketidak mengertian kita tentang sesuatu itu diterangkan oleh orang yang tidak kita agungkan, tidak kita hormati atau kagumi, maka kita pun kemudian tidak percaya! Jadi, percaya atau tidak percaya itu timbul dari sumber yang sama, yaitu dari kebodohan atau ketidak mengertian.

Sebagai contoh misalnya, kita belum pernah melihat sendiri, belum pernah membaca, belum pernah mendengar, pendeknya kita tidak mengerti sama sekali tentang Kutub Utara. Lalu datanglah seseorang yang menulis atau bercerita kepada kita tentang Kutub Utara, tentang keanehan-keanehannya, keajaiban-keajaibannya dan sebagainya. Nah, di sinilah asal mula timbulnya percaya atau tidak percaya.

Karena kita sendiri tak mengerti, maka kita lalu mendengarkan orang itu dan tanggapan kita tentu saja dipengaruhi oleh perasaan kita terhadap orang itu. Kalau orang itu kita agungkan, kita akan percaya, dan kalau sebaliknya kita tidak mengagungkannya, kita tidak percaya! Dan kepercayaan atau ketidak percayaan ini kita turunkan kepada murid-murid atau anak-anak keturunan, dan selanjutnya menjadi kepercayaan turun temurun.

Sebaliknya kalau orang itu, atau siapa pun juga adanya, datang lalu bercerita atau menulis tentang sesuatu yang sudah kita mengerti atau ketahui, sudah tentu tidak akan timbul percaya atau tidak percaya lagi. Yang ada hanyalah kenyataan bahwa apa yang diceritakan itu benar atau bohong. Kalau ada orang mengatakan bahwa darah manusia itu hijau warnanya atau matahari itu timbul dari barat, maka di sini tidak ada percaya atau tidak percaya, karena kita sudah tahu dan mengerti benar bahwa keterangan orang itu bohong! Sebaliknya, kalau ada orang mengatakan bahwa pohon besar itu dihuni setan atau dewa, maka keterangan ini menimbulkan percaya atau tidak percaya, karena kita tidak mengerti dan tidak mengetahui benar akan hal itu.

Maka, dapatkah kita hidup bebas dari segala macam kepercayaan dan ketahyulan ini? Beranikah kita mengakui dengan rendah hati bahwa kalau timbul pertanyaan akan sesuatu yang tidak kita mengerti, yang tidak terjangkau oleh akal budi pikiran kita, lalu kita menjawab bahwa kita TIDAK TAHU? Biasanya, kita takut atau malu untuk mengakui bahwa kita tidak tahu. Kita selalu ingin mengaku bahwa kita tahu segalanya, padahal sebagian besar dari hal-hal yang kita katakan kita tahu itu sebenarnya hanyalah pengetahuan mati yang kita dengar dari keterangan orang lain, yang tidak kita hayati sendiri.

Karena, sesungguhnya hanya orang yang tidak tahu sajalah yang dapat membuka mata, yang dapat menyelidiki, dapat menyelami, dapat mempelajari dengan otak dan hati kosong sehingga penyelidikan itu dapat dilakukan seteliti-telitinya, tidak dipengaruhi oleh pengetahuan-pengetahuan mati yang hanya akan menjadi batu penghalang bagi penyelidikannya akan hal-hal yang baru. Sayang bahwa mereka yang tidak tahu itu begitu ingin untuk dianggap tahu sehingga dengan mudah mereka menerima segala pengetahuan dari orang lain melalui kepercayaan
.

Setelah tiba di depan goa, semua penghuni dusun nampak ketakutan dan sejak mendekati tempat itu tadi pun sudah tidak ada lagi yang berani mengeluarkan suara. Suasana memang amat menyeramkan karena tempat itu terpencil, jauh dari dusun, jauh dari manusia dan tidak nampak bekas-bekas tangan manusia di situ dan selama dalam perjalanan mereka itu, mereka tidak melihat tapak seorang pun manusia.

Tiga buah joli atau tandu itu diturunkan dan tiga orang pendekar digotong dengan hati-hati dan dengan sikap penuh hormat, lalu satu demi satu direbahkan di mulut goa yang gelap. Kepala Dusun lalu menyalakan sebatang lilin di sudut goa, obor-obor yang belum dinyalakan ditinggalkan di sudut pula, yaitu obor yang sudah diberi minyak pembakar. Kemudian, setelah mereka semua memberi hormat ke arah tiga orang pendekar yang rebah di mulut goa, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Kepala Dusun itu lalu mengajak orang-orangnya untuk pergi meninggalkan goa seperti yang telah dipesankan oleh Suma Kian Bu kemarin.

Setelah semua orang pergi, Kian Bu, Siang In dan Ci Sian lalu memutuskan semua tali yang membelenggu kaki tangan mereka.

“Akan tetapi, kita harus tetap tinggal di sini,” kata Kian Bu kepada dua orang wanita itu. “Jangan lengah dan harus tetap waspada. Biar pun aku sendiri tidak percaya bahwa ular itu adalah siluman, iblis atau dewa, akan tetapi dia tentu seekor binatang yang sudah tua, kebal, dan cerdik sekali. Maka, biarlah kita tinggal rebah agar tidak membuat dia curiga, dan siap untuk menyerbu kalau dia sudah berada di depan goa. Sebelum aku menyerangnya, harap kalian jangan bergerak dulu. Kita belum tahu sampai di mana kelihaiannya, maka kita tidak boleh sembrono.”

Karena memang sudah mendengar betapa banyaknya orang-orang lihai menjadi korban ular itu, maka Siang In dan Ci Sian mengangguk. Tadi pun dua orang wanita ini merasa agak ngeri saat melihat adanya rangka-rangka manusia di dalam goa. Tentu itu adalah rangka-rangka para korban, karena rangka-rangka itu hanya merupakan tulang-tulang tubuh manusia, semua tanpa kepala!

Menanti merupakan pekerjaan yang amat berat. Dalam menanti, sang waktu seolah-olah menjadi luar biasanya lambannya, seperti gerakan maju seekor keong. Mereka bertiga ditinggalkan di tempat itu menjelang senja dan kini mereka menanti datangnya sang malam yang dirasakan amat lambatnya. Akan tetapi akhirnya cuaca menjadi gelap, malam mulai datang menyelubungi bumi, mengusir lenyap sinar-sinar matahari. Kegelapan menyelubungi hutan dan satu-satunya sinar hanyalah lilin yang bernyala di dalam goa.

Mereka yang berada di dalam goa itu menanti dengan hati tegang. Belum ada tanda pergerakan yang luar biasa, dan yang terdengar hanyalah bunyi belalang dan binatang malam, jauh di dalam hutan. Nyamuk-nyamuk mulai berdatangan dan mengganggu mereka, tertarik oleh nyala lilin. Tapi berkat ilmu kepandaian mereka yang sudah tinggi, gangguan itu tidak menyiksa benar. Dengan kibasan tangan saja mereka telah mampu meruntuhkan nyamuk-nyamuk yang berani menyerang mereka. Gangguan itu lebih dirasakan oleh mengiangnya nyamuk di dekat telinga dari pada penyerangan sengatan mereka.

Bulan purnama mulai menyinari bumi pada saat mereka mulai merasakan datangnya ancaman yang sejak tadi dinanti-nanti itu. Ada bau amis yang aneh yang memasuki hidung mereka. Apalagi kalau ada angin bersilir, bau itu makin tercium keras sekali, membuat Ci Sian merasa muak sekali.

“Awas.... agaknya dia mulai datang....,” kata Kian Bu dengan suara berbisik.

Pendekar ini adalah putera Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es, dan pendekar ini memiliki ilmu kesaktian hebat, telah mengalami segala macam pertempuran dan bahaya yang hebat-hebat. Akan tetapi malam itu dia merasakan ketegangan luar biasa juga. Demikian pula dengan Siang In. Terutama sekali, Ci Sian yang belum begitu banyak pengalaman hidupnya. Dara ini merasakan jantungnya berdebar penuh ketegangan dan keringat dingin membasahi lehernya.

Andai kata ia berada di situ seorang diri saja, tentu ia sudah meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Tetapi adanya Pendekar Siluman Kecil dan isterinya membesarkan hatinya dan dara ini memandang keluar goa dengan penuh perhatian, siap menghadapi segala kemungkinan.

Bau amis bercampur harum aneh yang keras itu makin terasa. Tak lama kemudian, terdengar bunyi kresek-kresek dan tumbangnya sebatang pohon seperti dilanda sesuatu yang berat.

“Kalau aku menyerangnya, kalian cepat nyalakan obor itu dan menancapkan obor-obor itu di luar goa, di empat penjuru agar kita dapat menghadapinya dengan baik,” bisik Kian Bu kepada dua orang wanita itu yang hanya mengangguk tanda mengerti. Dua orang wanita ini seperti kehilangan suara saking tegangnya.

Kian Bu memandang keluar goa dengan penuh perhatian. Cahaya bulan cemerlang menerangi keadaan di luar goa, dan sesungguhnya, tanpa obor sekali pun cuaca sudah cukup terang. Akan tetapi Kian Bu menyuruh menyalakan obor bukan hanya agar cuaca menjadi terang, akan tetapi untuk berjaga-jaga saja, kalau-kalau ada awan yang akan menutupi bulan dan membuat tempat itu menjadi gelap. Sangatlah berbahaya kalau bertanding melawan ular ganas di tempat gelap. Jadi obor-obor yang disuruhnya untuk dinyalakan itu hanya bertugas sebagai cadangan kalau-kalau sang bulan tertutup awan.

Akhirnya tibalah saat yang ditunggu-tunggu, yang menimbulkan ketegangan luar biasa itu! Mula-mula hanya nampak bayangan panjang menggeleser di atas tanah, membuat rumput-rumput tersibak. Saat tiba di depan goa, tiba-tiba ular itu mengangkat kepalanya, dan lehernya terangkat, kepalanya naik sampai satu meter di atas tanah. Nampaklah mukanya yang mengerikan itu!

Mukanya memang seperti muka ular biasa, hanya lebih besar dan yang mengerikan sekali adalah mulutnya yang mengeluarkan suara mendesis dibarengi hawa seperti uap putih mengepul. Sepasang cabang lidahnya bergerak-gerak keluar, lidah yang merah kehitaman. Sepasang mata yang besar itu mencorong seperti mengeluarkan api, dan kepalanya yang tertimpa sedikit cahaya bulan itu nampak berkilauan. inilah agaknya yang menimbulkan dongeng bahwa kepalanya mencorong padahal sebenarnya karena kulit kepalanya mengkilap seperti berminyak, tentu saja nampak berkilauan.

Betapa pun juga, Suma Kian Bu yang sudah banyak mengalami hal-hal yang luar biasa itu diam-diam terkejut dan harus mengakui di dalam hatinya bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat ular yang demikian besar dan panjangnya, dan juga yang kelihatan ganas dan menyeramkan. Akan tetapi, karena dia pun tahu bahwa binatang ini bukanlah sebangsa siluman atau dewa, juga bukan seekor naga seperti yang sering terdapat dalam dongeng, yang bisa terbang dan memiliki kesaktian lain, maka dia pun tidak menjadi gentar.

Agaknya ular besar itu memang sudah biasa pindah ke dalam goa di awal musim rontok seperti yang diceritakan oleh Kepala Dusun, juga agaknya telah terbiasa memperoleh mangsa yang mudah di dalam goa itu. Maka sekarang pun binatang ini berhenti di depan goa dan mengangkat kepalanya, agaknya untuk menjenguk lebih tinggi agar dapat melihat jelas apakah sudah tersedia mangsa baginya kali ini.

Sejak tadi Kian Bu memang sudah bersiap sedia. Seluruh urat syaraf di dalam tubuhnya telah menegang, terisi oleh pengerahan sinkang untuk menghadapi lawan yang tangguh dan berbahaya.

“Nyalakan obor!” tiiba-tiba Kian Bu berseru.

Dan belum juga gema suaranya itu lenyap, dia sudah meloncat keluar dari dalam mulut goa itu dan langsung saja dia menerjang ke arah kepala ular yang diangkat tinggi itu. Pendekar Siluman Kecil ini memiliki sebuah senjata yang luar biasa, yaitu sebatang tongkat sakti yang terbuat dari akar pohon yang hanya terdapat di sebuah pulau tak jauh dari Pulau Neraka. Akar kayu ini amat keras dan ulet, tidak rusak oleh baja yang tajam sekali pun, dan lebih peka untuk disaluri tenaga sinkang dari pada logam lainnya.

Biasanya, hampir tidak pernah pendekar ini menghadapi lawan dengan senjatanya ini yang lebih pantas dipergunakan untuk pegangan atau iseng saja. Hal ini adalah karena dengan dua pasang kaki dan tangan saja dia sudah lebih dari kuat menghadapi lawan. Kedua tangannya itu lebih dahsyat dari pada senjata lawan yang bagaimana pun.

“Dukkkk!”

Tongkat yang dipukulkan ke arah kepala ular itu tepat mengenai sasarannya, tetapi Kian Bu kaget sekali karena tongkatnya terpental dan seluruh lengan kanannya tergetar hebat. Ia memang sengaja hendak mengukur sampai di mana kekuatan dan kekebalan ular itu dan akibatnya dia terkejut.

Tiba-tiba, sebagai balasan serangan itu, ular itu menggerakkan kepalanya dan mulutnya terbuka. Terdengarlah bunyi mendesis nyaring dan Kian Bu harus meloncat jauh ke kiri untuk menghindarkan diri ketika dia merasakan sambaran angin dahsyat yang panas dan berbau amis! Pada saat itu, Ci Sian dan Siang In sudah menyalakan obor pada nyala lilin dan meloncat keluar, tepat pada saat ular itu menyembur kepada Kian Bu. Dua orang wanita ini terkejut karena tiba-tiba ada angin keras yang menyambar dan membuat obor mereka itu bergoyang-goyang apinya dan hampir padam, juga mereka merasakan hawa panas terkandung dalam angin itu, di samping bau amis yang memuakkan.

“Taruh obor itu agak jauh!” Kian Bu berseru lagi.

Kini pendekar ini yang sudah merasakan kekuatan ular yang amat besar itu meloncat maju sambil menggerakkan tongkatnya, kini menusuk ke arah mata kanan ular. Dia terkejut dan heran karena ular itu sama sekali tidak mengelak! Tetapi kegirangannya lenyap pada saat ujung tongkatnya bertemu dengan benda yang amat keras dan licin sehingga tusukannya meleset!

Kiranya, tanpa menggerakkan kepala, ular itu mampu membuat gerakan sedikit yang cukup untuk membuat ujung tongkat itu mengenai pinggiran mata yang sama kuatnya dengan kulit kepala mau pun badannya. Kulit bersisik itu amat keras dan licin, sehingga ketika tusukan tongkatnya meleset, Kian Bu terdorong ke depan. Dan pada saat itu dia merasa adanya angin pukulan yang amat kuatnya menimpanya dari arah kiri. Cepat Kian Bu mengerahkan ginkang-nya dan meloncat. Untung dia dapat bergerak cepat karena begitu dia menghindar, ekor ular yang besar dan berat itu, dengan kekuatan dahsyat yang ratusan kati beratnya, menimpanya dan karena luput, ekor itu menimpa batu yang pecah berantakan seperti dipukul palu godam yang amat berat!

Seperti juga tadi, begitu diserang ular itu membalas dengan cepatnya, maka kini Kian Bu bersikap hati-hati sekali. Dia sudah mencoba tongkatnya untuk memukul dan menusuk, dan akibatnya, bahkan serangan balasan ular itu tidak kalah hebatnya dan berbahayanya. Dan begitu serangannya luput, ular itu tidak melanjutkan serangan, tapi menanti seperti tadi, dengan kepala diangkat dan sepasang matanya yang mencorong memantulkan sinar obor-obor yang dipasang oleh Ci Sian dan Siang In di sekitar tempat itu. Dua orang wanita itu kini mendekat dan mengepung ular. Siang In sudah memegang senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang payung yang berujung runcing, sedangkan Ci Sian sudah memegang suling emasnya.

“Ci Sian, kita serang dari kanan kiri! Tujukan serangan ke arah matanya!” kata Siang In yang tadi sudah melihat betapa dua kali serangan suaminya gagal.

Wanita perkasa ini maklum bahwa kulit ular itu benar-benar sangat kebal sehingga menyerang kulitnya akan sia-sia belaka, bahkan amat berbahaya, maka dengan cerdik ia menganjurkan Ci Sian untuk melakukan serangan berbareng ke arah kedua mata binatang itu dari kanan kiri.

Ci Sian mengangguk dan dua orang wanita itu seperti berlomba cepat, menerjang dari kanan kiri. Ci Sian lalu menusukkan sulingnya ke arah mata kiri, sedangkan Siang In menusukkan ujung payungnya ke arah mata kanan.

Akan tetapi, tiba-tiba ular itu menurunkan kepalanya dan menyembunyikan kepala itu di bawah perut dan tiba-tiba saja ekornya sudah datang menimpa dengan kecepatan dan kekuatan yang mengerikan.

“Awas....!” Suma Kian Bu berseru.

Dua orang wanita itu sudah meloncat pergi dengan cepat. Akan tetapi, angin pukulan yang amat kuat masih mendorongnya dan membuat mereka berdua terbanting dan bergulingan sampai jauh. Tentu saja mereka terkejut bukan main pada saat melompat berdiri lagi. Pada saat itu, Kian Bu sudah meloncat dengan kecepatan kilat sehingga yang nampak hanya bayangannya saja dan tahu-tahu dia sudah mendekati kepala ular itu dan memukul dengan kepalan tangan kirinya.

“Dessss....!”

Pukulan itu dahsyat bukan main, mengandung tenaga Swat-im Sinkang dari Pulau Es, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya. Karena tahu bahwa ular itu sungguh kebal dan tidak dapat dilukai oleh senjata, maka Kian Bu kini mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang, yaitu tenaga dalam yang dingin, berkat latihan di Pulau Es. Biar pun tangannya tidak akan dapat melukai kulit binatang itu, namun dia mengharapkan bahwa getaran tenaga pukulannya akan dapat melukai sebelah dalam kepala binatang itu. Dan memang agaknya harapannya ini tidak sia-sia, karena ular itu ternyata menderita berat oleh pukulannya yang mengguncangkan isi kepalanya. Ekor ular itu membelit dan menghantam sehingga Kian Bu terpaksa menangkis dengan tangan kanannya yang memegang tongkat!

“Dessss....!”

Tubuh Kian Bu terlempar dan tongkatnya terlepas dari tangannya! Pendekar ini tidak terluka, hanya terlempar saking besarnya tenaga pukulan ekor ular itu. Begitu meloncat bangun, Kian Bu sudah menerjang lagi, meloncat dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sinkang di tangan kiri, dan tenaga Hwi-yang Sinkang di tangan kanan.

Kedua pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang berlawanan ini, yaitu dingin dan panas, dilakukannya berganti-ganti. Dan serangan-serangan ini memang hebat sekali. Satu kali pukulan tangan kanan atau tangan kiri pendekar itu sudah cukup untuk merobohkan, bahkan menewaskan seorang lawan tangguh. Biar pun berkali-kali terkena pukulan, namun nampaknya ia tak merasakan nyeri, bahkan kini ia mulai mengeluarkan teriakan-teriakan yang menyeramkan. Teriakannya itu seperti teriakan seekor burung gagak yang nyaring, parau dan menyeramkan sekali. Agaknya ia marah bukan main terkena pukulan-pukulan yang mendatangkan rasa nyeri itu.

Melihat betapa suaminya sudah mulai menyerang dengan bertubi-tubi, Siang In segera membantunya dengan menggerakkan payungnya, menerjang dan menusukkan ujung payungnya, kembali mengarah mata ular itu. Sedangkan Ci Sian juga membarenginya dan menghantamkan suling ke belakang kepala ular itu sambil mengerahkan semua tenaga dalamnya.

Kian Bu yang sudah menyerang bertubi-tubi itu berada dekat dengan ular dan dia tahu betapa ular itu tiba-tiba menggerakkan ekornya.

“Awas! Mundur....!” Dia berteriak, akan tetapi agaknya isterinya serta Ci Sian tidak menghiraukannya karena kedua orang wanita itu memang hendak membantunya dan tentu saja tidak tega melihat dia sendiri saja melawan ular yang amat tangguh itu. Melihat dua orang wanita itu tidak menghiraukannya, Kian Bu yang maklum akan dahsyatnya sambaran ekor ular, sudah meloncat dan menggunakan kedua lengannya untuk menangkis sambaran ular yang tadinya menghantam ke arah dua orang wanita itu.

“Dessss....!”

Hebat sekali pertemuan antara ekor ular dan kedua lengan Kian Bu. Pendekar ini merasa seolah-olah seluruh tulangnya remuk dan tak dapat bertahan lagi, terpelanting, sedangkan dua orang wanita itu terdorong oleh hawa pukulan yang dahsyat ini, kembali bergulingan. Sedangkan tusukan suling dan ujung payung itu pun tidak melukai ular, bahkan membuatnya menjadi semakin marah. Ular itu merasakan ekornya nyeri sekali, maka kemarahannya dipusatkan kepada Kian Bu yang telah banyak mendatangkan rasa nyeri kepadanya. Sebelum Kian Bu sempat meloncat, ular itu sudah menubruk dan tahu-tahu tubuh Kian Bu telah terkena libatan ekornya!

Pendekar itu terkejut, mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang, memberontak. Tenaga ini besar sekali. Belenggu baja saja kiranya akan patah-patah oleh tenaga Hwi-yang Sinkang yang panas ini. Akan tetapi, tubuh ular itu jauh lebih kuat dari pada baja, karena tubuh itu dapat melentur seperti karet, namun mengandung kekuatan libatan yang amat luar biasa.

Betapa pun juga, karena Kian Bu memberontak itu, libatannya berkurang kekuatannya dan Kian Bu berhasil menarik kedua lengannya keluar dari libatan sehingga hanya pinggangnya ke bawah saja yang terlibat. Dia merasa betapa tenaga libatan itu makin kuat saja, seperti ada tenaga dalam yang makin lama makin besar hendak meremukkan tulang-tulangnya dengan tekanan yang dahsyat. Dan kini kepala ular itu membalik dan dengan moncong terbuka lebar ular itu hendak mencaplok kepala Kian Bu!

“Dessss....!” Kian Bu memapaki kepala itu dengan pukulan tangan kanannya.

“Plakkk!” tangan kirinya juga menampar.

Ular itu terkejut dan kesakitan, kembali menggeluarkan teriakan parau yang nyaring sekali. Kian Bu merasa seolah-olah telinganya ditusuk-tusuk, maka ia pun mengerahkan khikang-nya dan melengking nyaring. Ular itu terkejut dan terdiam, akan tetapi tidak melepaskan lilitannya.

Siang In dan Ci Sian terkejut bukan main melihat Kian Bu terlilit ular dan tidak mampu melepaskan diri. Wajah Siang In menjadi pucat dan dengan nekat wanita ini lantas menyerang dengan senjata payungnya. Terjangannya hebat sekali dan ujung payung itu seperti kilat cepatnya menyambar ke arah kedua mata binatang itu. Dan Ci Sian pun cepat membantunya, memukul-mukulkan sulingnya dengan pengerahan khikang-nya yang amat kuat itu ke arah moncong ular, maksudnya andai kata tidak dapat melukai ular pun ia akan mencegah ular itu menggigit Kian Bu.

“Tak-tak....!” Ujung payung itu mengenai kulit yang keras ketika ular itu menggerakkan kepalanya sehingga tusukan-tusukan itu meleset, tidak mengenai mata melainkan mengenai bagian muka yang tertutup kulit keras.

“Trakkk!” Hantaman suling di tangan Ci Sian bertemu dengan gigi dan ada sebuah gigi ular itu yang patah terkena pukulan suling.

Kembali ular itu berteriak parau dan keras dan Kian Bu merasa betapa lilitan tubuh ular itu menjadi makin kuat. Dia pun menggunakan kedua tangannya untuk memukuli tubuh ular yang melilitnya, menggunakan pukulan-pukulan tangan miring seperti membacok-bacok. Tenaganya yang luar biasa kuatnya itu pun tidak dapat membuat kulit ular itu rusak, akan tetapi setidaknya tenaga pukulannya mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa sehingga ular itu berteriak-teriak atau mengeluarkan suara parau dan serak. Lilitannya menjadi semakin kuat.

Karena maklum bahwa dia tidak mampu melepaskan diri dari belitan maut itu, dan bahwa isterinya mau pun Ci Sian bisa terancam bahaya, maka Kian Bu cepat berteriak, “Mundurlah.... jangan dekat-dekat....!”

Tetapi, sebagai seorang isteri yang amat mencinta suaminya, tentu saja Siang In tidak mau meninggalkan suaminya yang sedang dibelit ular dan dalam keadaan terancam hebat itu. Pendekar wanita ini pun sudah menjadi panik penuh kekhawatiran, maka dengan muka pucat ia sudah menyerang lagi sambil membentak nyaring, “Lepaskan suamiku....!”

Payungnya menyambar seperti kilat, kembali menyerang ke arah mata kanan ular itu. Ular itu memang luar biasa sekali. Dia tidak mengelak, melainkan mempergunakan kepalanya untuk menangkis.

“Dessss....!”

Tubuh Siang In terlempar sampai beberapa meter jauhnya karena ditumbuk oleh kepala yang amat kuat itu. Siang In tidak terbanting hebat karena ia cepat menggulingkan tubuhnya, akan tetapi kepalanya agak pening juga oleh benturan keras itu. Sementara itu, Ci Sian melihat dengan penuh kengerian ketika ular itu kini mengangkat tinggi kepalanya dan mulutnya terbuka lebar, siap untuk mencaplok kepala Suma Kian Bu yang masih meronta-ronta seperti seekor lalat dalam perangkap sarang laba-laba itu. Agaknya tidak akan ada apa pun yang dapat menyelamatkan nyawa pendekar sakti itu.

“Mundurlah.... biarkan aku....” kata pula Kian Bu yang terkejut menyaksikan isterinya terlempar tadi.

Akan tetapi Siang In menjadi semakin nekat. Biar pun kepalanya masih pening dan tubuhnya sakit-sakit, terutama sekali pundak kirinya yang terkena hantaman langsung oleh kepala ular itu, namun kekhawatirannya akan keselamatan suaminya membuat ia lupa akan diri sendiri. Ia sudah hendak menyerbu lagi ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh tangan Ci Sian Sian.

“Enci, biarkan aku mencoba ini....”

Siang In menahan gerakannya dan memandang Ci Sian yang sudah menempelkan suling emasnya di depan mulut dan terdengarlah suara suling yang aneh dan suara itu melengking tinggi mengalun dan mengandung getaran yang amat halus namun amat kuat.

Ternyata dara ini teringat akan pelajaran tiupan sulingnya, dan menurut suheng-nya, tiupan suling itu mengandung suara yang penuh dengan kekuatan khikang, dan menurut suheng-nya, suara itu selain dapat mengusir pengaruh gaib atau juga segala macam kekuatan sihir dari lawan, dapat dipergunakan untuk menyerang atau mempengaruhi lawan pula. Dan Ci Sian juga teringat akan pelajaran dari gurunya, yaitu Si Raja Ular See-thian Coa-ong tentang kelemahan ular.

Dia sendiri dapat memanggil ular-ular dengan getaran suara meninggi dalam nada tertentu, yaitu ilmu yang didapatnya dari See-thian Coa-ong. Dengan menggabungkan ilmunya meniup suling dan ilmunya menguasai ular itu, ia ingin mencoba kepandaiannya untuk mempengaruhi dan menundukkan ular raksasa ini. Tentu saja Ci Sian belum yakin akan hasilnya, sebab pelajaran menaklukkan ular dari suhu-nya, yaitu See-thian Coa-ong itu, hanya ditujukan terhadap ular-ular biasa, terutama ular beracun. Belum pernah selama hidupnya dia melihat ular seperti yang mereka lawan ini. Ular yang menyelamatkannya ketika terjatuh dari tebing dahulu, yaitu ular peliharaan See-thian Coa-ong, tidak ada setengahnya dibandingkan dengan besar ular raksasa ini!

Dengan senjata payung di tangan, siap untuk menerjang, dan sepasang matanya tak pernah berkedip memandang ke arah ular yang melilit tubuh suaminya, Siang In berdiri memandang. Pendekar wanita ini sendiri bergetar mendengar suara suling melengking tinggi ini, sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya yang seperti ikut tergetar.

“Bagus, teruskan.... teruskan....!” Tiba-tiba terdengar Kian Bu berkata girang.

Terjadilah keanehan. Mendengar suara melengking tinggi yang beralun itu, ular yang tadinya sudah membuka mulut, dengan marah sekali hendak mencaplok kepala Kian Bu, tiba-tiba menghentikan gerakan kepalanya dan mengangkat kepala tinggi-tinggi, diam tak bergerak, seolah-olah terpesona! Kemudian, mulailah kepala itu bergerak-gerak ke kanan kiri, mulutnya masih terbuka dan kadang-kadang ular itu menyemburkan uap yang panas dan berbau amis!

Giranglah hati Ci Sian ketika melihat hasil tiupan sulingnya ini. Ia pun cepat meniupkan nada-nada suara yang telah dipelajarinya dari See-thian Coa-ong untuk membuat ular itu berlutut atau mendekam di depan kakinya. Ada bermacam-macam perintah yang dapat dilakukannya terhadap ular, sesuai dengan yang diajarkan See-thian Coa-ong, melalui nada suara tertentu yang biasanya dikeluarkan dari kerongkongannya dengan pengerahan khikang. Akan tetapi, kini dengan tiupan sulingnya, tentu saja kekuatan itu lebih hebat lagi.

Namun Ci Sian terkejut dan juga bingung. Ular raksasa itu tidak mentaati perintah melalui sulingnya, tetapi nampak panik dan bingung, juga seperti ketakutan. Agaknya, suara melengking yang langsung ditujukan kepadanya oleh dara perkasa itu amat mengganggu telinganya, membuat kepalanya rasanya seperti ditusuk-tusuk dari dalam! Ular itu kebingungan, ketakutan, dan membuka mulutnya lebar-lebar, mendesis-desis dan menggeliat-geliat, menggerakkan kepala seperti menari-nari, akan tetapi tarian yang tidak teratur, tarian kebingungan!

Ci Sian melanjutkan tiupannya, menduga bahwa agaknya ‘alat penerima’ ular raksasa ini sudah berbeda dengan ular-ular pada umumnya. Akan tetapi, melihat betapa tubuh ular itu menggeliat dan karenanya lilitannya juga mengendur, ia terus meniup sulingnya, bahkan menggunakan nada yang makin meninggi sampai tidak dapat ditangkap oleh anak telinga lagi! Dan ular itu semakin tersiksa!

Dalam keadaan kebingungan itu, ular raksasa ini agaknya melupakan Kian Bu sehingga lilitannya mengendur dan ketika memperoleh kesempatan baik, Kian Bu berhasil meloloskan diri, sekali meloncat sudah terbebas dari lilitan ular. Akan tetapi ketika kedua kakinya tiba di atas tanah dekat isterinya, dia terhuyung dan tentu akan terpelanting kalau tidak dipeluk isterinya. Kiranya pendekar ini tadi terlalu banyak mengerahkan tenaga untuk berusaha melepaskan diri dari lilitan ular itu, dan juga untuk menjaga agar tulang-tulangnya tidak remuk terhimpit.

Setelah mengatur napas sebentar dan keadaannya pulih kembali, Suma Kian Bu lalu mengambil payung isterinya, matanya tak pernah terlepas memandang ular itu. Ketika tadi ular itu membuka mulut lebar-lebar hendak mencaplok kepalanya, dia melihat betapa bagian dalam dari mulut ular itu merupakan daging yang kemerahan, dan dia percaya bahwa tidak mungkin daging di sebelah dalam rongga mulut itu kebal. Di situlah agaknya kelemahan ular ini, pikirnya. Di bagian luar tubuhnya, ular itu kebal, terlindung sisik yang amat tebal dan kuat. Akan tetapi kalau mulutnya terbuka, maka di dalam rongga mulutnya itu merupakan bagian yang lemah dan tidak terlindung.

Mulut ular itu masih ternganga lebar dan menyembur-nyemburkan uap, kebingungan dan kegelisahan sekali. Mendadak nampak bayangan berkelebat dan Kian Bu telah mempergunakan ilmu ginkang-nya yang luar biasa, melayang ke depan dan secepat kilat. Sebelum ular itu tahu bahwa dirinya diserang, pendekar ini sudah menusukkan payungnya dari bawah, memasuki mulut itu dan ujung payung yang seperti pedang itu menusuk dan menembus rongga mulut bagian atas, memasuki otak di kepala ular dan menembus sampai keluar di antara kedua mata ular itu.

“Mundur....!” Kian Bu berteriak nyaring sambil meloncat jauh meninggalkan ular itu.

Sementara itu, Ci Sian dan Siang In juga berloncatan ke belakang. Untung bahwa mereka melakukan ini karena tiba-tiba saja ular yang telah terluka parah itu mengamuk! Bukan main dahsyatnya amukan ular ini. Kepalanya yang sekarang sudah berlubang dan mengucurkan darah yang banyak sekali itu menyambar-nyambar ke sana sini dan apa saja yang ditemukan, baik batu mau pun batang pohon, tentu digigitnya sampai hancur! Ekornya juga menyambar ke kanan kiri hingga batu-batu besar pecah-pecah terkena hantaman ekornya. Debu mengepul tinggi dan semua hiruk-pikuk itu ditambah lagi dengan teriakan-teriakannya yang menyayat hati.

Teriakan-teriakan ini terdengar sampai ke dusun dan semua orang dusun, semenjak mendengar suara ular itu memekik-mekik tadi, sudah menjatuhkan diri berlutut di rumah masing-masing dengan muka pucat dan tubuh menggigil ketakutan. Mereka mengira bahwa tentu tiga orang pendekar itu telah tewas semua dan sekarang Dewa Ular itu marah-marah dan akan mengamuk ke dusun itu!

Akan tetapi, biar pun luka yang diderita oleh ular raksasa itu hanyalah luka kecil saja yang diakibatkan oleh tusukan ujung payung yang seperti pedang, namun luka itu menembus kepala dan merusak otak, pusat segala-galanya. Maka amukan itu hanya berlangsung beberapa menit saja dan akhirnya ular itu tergolek mati di depan goa!

Tiga orang pendekar itu menanti sampai beberapa lama, sampai akhirnya mereka yakin benar bahwa binatang itu telah mati. Barulah Kian Bu mendahului mereka, meloncat ke dekat ular itu dan menggerak-gerakkan kepala ular itu dengan kakinya. Namun, kepala itu terangkat dan terkulai lemas, tanda bahwa ular itu benar-benar telah tewas. Maka dia pun memberi isyarat kepada kedua orang wanita pendekar itu yang lalu segera maju menghampiri. Ngeri juga hati mereka melihat besarnya ular ini. Bahkan Ci Sian sendiri yang memiliki ilmu menaklukkan ular dan sudah dapat disebut ahli ular atau pawang ular, bergidik melihat ular yang luar biasa ini.

Pendekar Siluman Kecil yang melihat bahwa ular itu telah benar-benar tewas, menoleh kepada Ci Sian dan berkata, “Nona, engkau telah menyelamatkan nyawaku.”

Siang In juga merangkul dara itu dan berkata, “Kalau tidak ada engkau, Adikku, entah apa akibatnya yang menimpa kami berdua.”

Ci Sian tersenyum, balas merangkul Siang In dan berkata kepada Kian Bu, “Suma-taihiap, harap engkau jangan bersikap sungkan. Di antara kita, mana ada istilah saling menolong atau menyelamatkan? Kita maju bertiga menghadapi ular itu, jadi tidak ada yang ditolong atau menolong.”

Kian Bu mengangguk. “Baik, engkau masih muda akan tetapi pandai membawa diri, Nona. Tunggu, aku Suma Kian Bu bukan orang yang tidak pandai membalas budi.”

Setelah berkata demikian, pendekar ini menggunakan ujung payung isterinya untuk menggurat kepala ular yang sudah terluka itu. Anehnya, setelah ular itu mati, biar pun kulit kepalanya masih keras, tetapi tak begitu sukar bagi pendekar untuk membelahnya dengan hati-hati. Kepala itu terbelah dan nampak isinya ketika dikuakkan dan dapat dibayangkan betapa girang rasa hati suami isteri yang dipenuhi harapan itu ketika di dalam kepala itu mereka menemukan sebuah benda bulat sebesar ibu jari, berwarna kehijauan, macamnya seperti sebutir mutiara yang berkilauan, akan tetapi agak lunak. Itulah agaknya dongeng tentang mustika naga itu!

Dengan hati-hati sekali Siang In menyimpan benda itu, dibungkusnya dengan sehelai sapu tangan bersih. Sedangkan Kian Bu berkata, “Nona Bu Si Cian....“

Ci Sian terkejut dan memandang dengan mata terheran-heran, akan tetapi kemudian ia dapat menduga dan menoleh kepada Siang In.

“Memang aku telah menceritakan riwayatmu kepada suamiku, Ci Sian.”

“Benar Nona. Aku sudah mendengar bahwa Nona adalah puteri dari Bu Seng Kin atau yang terkenal dengan sebutan Bu-taihiap itu. Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan orangnya, namun namanya sudah terkenal lama di dunia kang-ouw. Nona, kami berdua sudah melihat bahwa Nona adalah orang yang patut menjadi sahabat baik atau bahkan keluarga kami sendiri. Oleh karena itu, kalau sekiranya Nona suka, aku ingin menurunkan semacam ilmu kepadamu yang akan menambah kepandaianmu dan memperhebat ilmu silatmu. Kami akan tinggal di sini selama beberapa bulan, dan kalau engkau mau, aku akan dapat mengajarkan ilmu itu kepadamu di sini.”

Siang In yang masih merangkulnya itu segera berkata, “Adikku, kesempatan baik sekali bagimu untuk memperdalam ilmumu! Percayalah, suamiku tidak pernah bicara main-main. Kau temanilah kami di sini mempelajari ilmu itu, karena bukankah engkau pun tidak mempunyai tujuan tertentu hendak ke mana? Kalau ilmumu sudah lebih sempurna, tentu akan lebih mudah bagimu untuk merantau dan.... mencari Suheng-mu.”

Ci Sian termenung sejenak. Ia tahu akan kelihaian pendekar ini dan sebagai seorang pendekar wanita muda, tentu saja ia pun masih haus akan ilmu-ilmu yang hebat. Dan ia pun merasa amat cocok dengan Siang In. Akhirnya ia menjatuhkan diri berlutut di depan Suma Kian Bu dan berkata, “Terima kasih atas kebaikan Taihiap.”

Siang In cepat membangunkan Ci Sian dan suaminya berkata, “Ah, mengapa sekarang engkau yang bersikap sungkan, Nona? Aku hendak menurunkan ilmu yang paling diandalkan keluarga Pulau Es, yaitu gabungan Hwi-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa aku lalu menjadi gurumu atau melepas budi kepadamu! Aku hanya melihat bahwa engkau adalah orang yang pantas memiliki ilmu keluarga kami itu.”

Tiba-tiba terdengar suara banyak orang datang ke tempat itu dan dari jauh saja sudah nampak obor-obor yang mereka bawa. Kiranya mereka itu adalah para penghuni dusun yang dipimpin oleh kepala dusun. Tadinya, orang-orang itu ketakutan setengah mati mendengar suara pekik-pekik yang dahsyat dari ular raksasa. Akan tetapi setelah suara itu berhenti, mereka lalu bermunculan dari rumah masing-masing dan dengan pimpinan Kepala Dusun, akhirnya mereka memberanikan diri untuk menuju ke goa.

“Kalau Dewa Ular mau mengampuni kita, itu baik sekali,” kata Kepala Dusun itu kepada semua orang. “Akan tetapi kalau beliau marah dan hendak membasmi kita semua, dari pada mati konyol, lebih baik kita melawan sampai mati! Lebih baik mati sebagai manusia yang pandai membela diri dari pada mati sebagai tikus-tikus yang penakut!”

Ucapan penuh semangat ini, yang sedikit banyak dipengaruhi oleh kedatangan tiga ‘utusan dewa’ itu, membakar semangat para penghuni dusun dan akhirnya, mereka pun mengumpulkan senjata seadanya, membawa obor dan berbondong-bondong datang ke arah goa. Dari jauh mereka pun sudah melihat obor yang dipasang di sekitar goa.

Dengan jantung berdebar-debar, mereka terus melangkah maju dan akhirnya mereka semua berdiri terbelalak memandang ke depan goa, di mana berdiri tiga orang ‘utusan dewa’ itu dan di depan tiga orang itu menggeletak tubuh ular besar yang tak bergerak-gerak! Ketika mereka semua melihat ke arah kepala ular itu, tahulah mereka bahwa ular itu telah mati. Serentak mereka bersorak gembira dan mereka dipimpin oleh Kepala Dusun untuk menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah tiga orang ‘utusan dewa’ itu!

Kian Bu menghadapi mereka dan berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa, “Saudara sekalian, bangkitlah dan tidak perlu kalian terlalu memuja kami. Ketahuilah, kami sama sekali bukan utusan dewa. Kami adalah manusia-manusia biasa yang menentang kejahatan, juga yang selalu siap menolong mereka yang tertindas atau terancam. Kami datang untuk membasmi ular raksasa ini dan kami telah berhasil. Kami tidak minta balasan apa-apa, hanya kami ingin tinggal untuk beberapa bulan di tempat ini, harap Saudara sekalian tidak menaruh hati keberatan.”

Tentu saja Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu sama sekali tidak keberatan, bahkan mereka merasa girang dan bangga sekali. Berkat bantuan Kepala Dusun dan para penghuni dusun itu, dibangunlah dua buah pondok kecil untuk suami isteri itu dan untuk Ci Sian dan mulai hari itu, tiga orang pendekar itu tinggal di tepi hutan, di dekat goa. Bangkai ular itu atas anjuran Kian Bu lalu dikuliti oleh para penghuni dusun, dagingnya dibagi-bagi dan dimasak. Kulit ular itu dijemur dan dijadikan semacam ‘lambang’ dusun itu, dipentang dan dipasang di dinding ruangan besar tempat tinggal Kepala Dusun, dan dengan resmi mereka menyebut dusun mereka itu sebagai dusun Naga Hijau!

Kian Bu, juga mencari daun-daun dan akar-akar obat sebagai campuran Jeng-liong-cu (Mustika Naga Hijau) itu, dimasak dan diminum oleh dia dan isterinya. Ramuan obat aneh ini setiap hari direbus dan airnya diminum oleh mereka dengan penuh harapan.

Sementara itu, mulailah Kian Bu menurunkan ilmu pusaka dari Pulau Es, yaitu ilmu gabungan dua tenaga sakti Hwi-yang Sinkang (Inti Api) Swat-im Sinkang (Inti Es). Ilmu ini adalah ilmu menghimpun tenaga dalam yang harus dilatih setiap hari oleh Ci Sian dengan cara bersemedhi. Kadang-kadang dara ini dilatih bersemedhi di dalam goa di mana dinyalakan api unggun besar sehingga udara di dalam goa itu pengap dan panas bukan main. Namun, berkat latihan dan petunjuk Kian Bu, Ci Sian mampu bertahan bertapa di dalam goa api ini sampai sehari penuh! Dan kadang-kadang dia diharuskan bersemedhi di puncak gunung di tengah malam yang amat dingin, bahkan duduk bersemedhi dengan merendam tubuhnya di dalam sumber air di hutan itu.

Karena memang Ci Sian berbakat baik dan juga amat, tekun, maka dengan cepat ia dapat menguasai sinkang itu, bahkan lewat beberapa pekan kemudian ia telah mulai latihan menyalurkan tenaga gabungan itu ke dalam gerak tangan, baik melalui pukulan tangan kosong atau pun melalui senjata suling emasnya.

Tiga bulan lewat dengan cepatnya. Selama itu, tiga orang pendekar ini dilayani oleh para penghuni dusun. Mereka bertiga tidak kekurangan bahan makanan, karena sedikitnya sepekan sekali Kepala Dusun dengan beberapa orang wakil penduduk tentu datang membawa bahan-bahan makanan hasil sawah ladang mereka.

Sementara itu, Ci Sian telah berhasil menguasai ilmu dari keluarga Pulau Es. Tentu saja penguasaan ilmu ini membuat ia menjadi semakin lihai, karena kini ilmu pedang yang dimainkan dengan sulingnya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut yang dipelajarinya bersama Kam Hong, bertambah kehebatannya.

Tadinya, ilmu itu sudah hebat sekali. Selain memiliki gerakan yang amat aneh dan lihai, juga gerakan suling itu mengandung tenaga khikang yang sangat kuat, di samping ditambah lagi suara suling melengking yang juga dapat melumpuhkan lawan. Semua kehebatan Kim-siauw Kiam-sut itu kini ditambah lagi dengan penyaluran sinkang yang dapat diatur menurut kehendaknya, bisa dingin seperti es, bisa panas seperti api!

Pada pagi hari itu, setelah semalam suntuk berlatih semedhi dengan hasil yang baik sekali, Ci Sian pergi ke sumber air dan mencuci mukanya untuk mengusir kantuk yang mulai menyerangnya. Setelah mencuci muka dan mengeringkan mukanya, ia lalu duduk di tepi air kolam di tepi sumber di mana airnya tergenang penuh dan jernih sekali, juga air itu diam hanya bergerak sedikit sekali, seperti sebuah cermin ketika sinar matahari menyinarinya.

Ia pun lalu mengurai rambut, menyisiri rambutnya yang panjang hitam dan halus itu. Baru kemarin ia mencuci rambutnya itu dengan getah daun semacam daun lidah buaya dan rambut itu kini nampak halus mengkilap dan bersih, berbau sedap karena ketika digelungnya, ia menaruh kembang mawar hutan di rambutnya. Sambil bersisir, Ci Sian menjenguk ke dalam air, di mana ia melihat wajahnya terpantul dengan jelasnya. Seraut wajah yang segar dan cantik manis, berbentuk bulat seperti bulan purnama. Karena raut wajahnya itulah maka ia disebut Siauw Goat (Bulan Kecil) oleh kakeknya dahulu.

Teringat akan ini, terbayanglah semua pengalamannya dan teringatlah ia kembali pada Kam Hong, suheng-nya. Dara itu menarik napas panjang dan sekali lagi ia menjenguk dan memandang wajahnya. Ia menyeringai, lalu menjebirkan bibirnya kepada bayangan itu. Kemudian, melihat wajahnya yang lucu di dalam air, ia geli dan tersenyum sendiri. Dan betapa manisnya ketika ia tersenyum.

“Ci Sian, engkau lebih bahagia ketika masih menjadi Siauw Goat dahulu,” katanya lirih, seolah-olah bayangan di dalam air itu adalah orang lain yang dapat diajaknya bercakap-cakap. “Ketika itu, engkau hidup bahagia dan selalu gembira di samping kakek, dimanja dan dicinta semua orang. Tapi sekarang? Uhh, Suheng-mu yang paling kau sayang pun meninggalkanmu!” Tiba-tiba saja Ci Sian menangis!

Sampai sekarang pun dia masih belum dapat menentukan perasaan apakah yang mengganggu hatinya ini. Ia memang mencinta suheng-nya itu, akan tetapi apakah ini cinta kasih antara sumoi terhadap suheng, antara seorang dara yang haus akan kasih sayang ayah bunda sehingga suheng-nya itu dianggapnya sebagai pengganti ayah bundanya, kasih seorang murid terhadap gurunya, atau kasih sayang antara sahabat yang dikaguminya dan dipujanya, ataukah ini kasih sayang seorang wanita terhadap seorang pria? Ia tidak tahu!

Cinta kasih! Apakah itu sesungguhnya? Sudah sering kali pengarang mengajak para pembaca untuk merenungkan dan mempelajari kenyataan hidup yang amat mukjijat ini, dan tiada bosannya pengarang mengajak pembaca untuk merenungkannya kembali. Cinta kasih, apakah itu sesungguhnya? Betapa halusnya!

Setiap orang merasakan keadaannya, tapi sekali mencoba untuk mengukurnya dengan pikiran-pikiran, dengan kata-kata, maka kita kehabisan kata-kata untuk menyelaminya, kehabisan akal untuk dapat menguraikannya. Kita terbiasa untuk membagi-bagi cinta kasih, karena kehabisan akal itu, membagi-baginya dengan cinta kasih antara anak dan orang tua, antara sahabat, antara warga dan negaranya, antara suami dan isteri, pria dan wanita dan sebagainya.

Bahkan, saking bingungnya kita, saking dangkalnya pikiran ini untuk dipakai mengukur cinta kasih, timbullah kata-kata untung-untungan bahwa cinta kasih itu buta, cinta kasih itu sorga, cinta kasih itu sengsara, dan sebagainya! Akan tetapi, semua anggapan itu hanyalah menjadi pengetahuan mati berdasarkan pengalaman masing-masing orang. Kalau orang merasa sengsara karena cinta, maka dikutuknyalah cinta, dan kalau orang merasa bahagia, maka di pujanyalah.

Cinta kasih tidak pernah terpecah belah. Yang memecah belah adalah sang pikiran atau si aku yang selalu mengambil kesimpulan senang susah, untung rugi.

Cinta kasih tak mungkin dapat diuraikan, karena bukan merupakan sesuatu yang mati, sesuatu yang sudah pasti dan tidak berubah lagi, karena pikiranlah yang selalu berubah sesuai dengan keadaan diri pribadi. Dengan pikiran kita yang dangkal, pikiran yang bukan lain hanya merupakan barang lapuk dan mati, tumpukan hal-hal yang sudah lalu, pikiran yang tak mungkin dapat mengenal hal-hal yang baru, mana mungkin kita dapat menentukan apakah sesungguhnya cinta kasih itu? Ratusan, bahkan ribuan orang yang dinamakan kaum cerdik pandai boleh mengatakan bahwa cinta kasih adalah begini atau begitu, ini atau itu. Namun, sampai sekarang, cinta kasih masih saja merupakan hal yang tidak kita mengerti benar.

Cinta kasih tidak mungkin dapat disentuh melalui pikiran yang lapuk dan usang. Cinta kasih adalah sesuatu yang selalu baru, sesuatu yang terlalu agung untuk dapat diraba oleh panca indera dan pikiran. Oleh karena itu, agaknya hanya ada satu jalan untuk menyentuhnya, yaitu kita harus membebaskan diri dari pada yang lapuk-lapuk itu, kita membiarkan diri kosong dari pada segala pengetahuan tentang cinta kasih yang selalu didasari untung rugi si aku ini.

Kita membiarkan diri bersih dari pada segala yang BUKAN CINTA KASIH. Yang bukan cinta kasih itu tentu saja adalah pementingan diri sendiri, kemarahan, kebencian, permusuhan, iri hati, dan segala hal yang menimbulkan konflik antara kita dengan orang lain, bahkan antara kita dengan kita sendiri, dengan pikiran sendiri. Dalam keadaan kosong itu, kosong tanpa dibuat-buat, dalam keadaan bebas itu, dalam keadaan bersih itu, seperti kaca yang sudah bersih dari pada debu, mungkin saja sinar cinta kasih akan dapat menembus masuk! Dan kalau sinar cinta kasih sudah menembus masuk, kiranya tidak ada lagi persoalan, tidak ada lagi pemecah-belahan
.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar