Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 51-54(Tamat)

Kho Ping Hoo, Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 51-54(Tamat). Bu Seng Kin mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata,
Anonim
Bu Seng Kin mengangguk-angguk, tersenyum dan mengelus jenggotnya. Kemudian dia menarik napas panjang dan berkata, “Kao-taihiap tentu percaya kalau saya katakan bahwa kami sekeluarga merasa terhormat sekali dengan pinangan ini, dan sekiranya anakku Ci Sian itu setuju, tentu dengan hati dan tangan terbuka akan kami terima pinangan ini. Akan tetapi, hendaknya Sam-wi mengerti keadaan kami dan anak kami itu. Pernah Sam-wi saksikan sendiri sikap anak itu terhadap saya, dan ibunya sudah tiada. Agaknya, dalam urusan perjodohannya, saya pun tidak dapat memutuskannya sama sekali. Anakku itu agaknya.... ahhh, lebih dekat dengan suheng-nya dari pada dengan kami, dan ini.... saya tidak dapat menyalahkannya. Sudahlah, tentu Sam-wi mengerti, yang jelas, saya akan merasa berbangga sekali kalau dapat mempunyai mantu seperti Jenderal Muda Kao Cin Liong. Akan tetapi, saya tidak berkuasa atas diri Ci Sian. Sebaiknya jika Sam-wi menghubungi Ci Sian secara langsung saja. Kalau ia menerima, kami akan berbahagia sekali. Akan tetapi kalau dia menolak, saya pun tidak dapat berbuat apa-apa. Nah, hanya inilah yang dapat saya katakan sebagai jawaban atas pinangan Sam-wi.”

Keluarga Kao merasa puas dan gembira dengan jawaban itu. Memang mereka pun mengerti bahwa antara Ci Sian dan ayah kandungnya ini tidak ada hubungan yang baik. Dan tentang perjodohan gadis itu tentu berada di tangan gadis itu sendiri. Hal ini dimengerti benar oleh Cin Liong yang sudah mengenal watak Ci Sian. Akan tetapi, Bu Seng Kin adalah ayah kandung Ci Sian, dan melewatinya dalam urusan perjodohan Ci Sian sungguh dapat diartikan sebagai penghinaan. Kini, mereka telah menyampaikan pinangan kepada pendekar itu dan biar pun pendekar itu tidak dapat memutuskan, namun pada dasarnya pendekar Bu telah menyetujui kalau puterinya berjodoh dengan Cin Liong dan ini sudah cukup bagi pemuda itu.

Ketika pesta bubar, mereka berpamit dan menghaturkan terima kasih. Setelah keluar dari kota Cin-an, Cin Liong tidak ikut dengan ayah bundanya yang hendak pulang kembali ke utara, ke tempat tinggal mereka, yaitu di Istana Gurun Pasir.

“Aku akan pergi ke kota raja lebih dahulu,” kata pemuda itu, “Setelah melapor kepada Pangeran yang kini telah menjadi Kaisar, aku akan minta cuti dan akan pergi mencari Ci Sian sampai dapat. Setelah bertemu dan memperoleh keputusan, barulah aku akan menyusul Ayah dan Ibu pulang ke utara.”

Ayah dan ibu itu memberi banyak nasehat sebelum mereka berpisah, atau lebih banyak ibunya yang menghujaninya dengan nasehat-nasehat agar berhati-hati dan sebagainya. Ayahnya, Kao Kok Cu, tidak banyak bicara, dan dengan suara yang berwibawa hanya berkata, “Cin Liong, satu hal harus kau ingat baik-baik bahwa perjodohan hanya dapat dilaksanakan apabila keinginan itu terdapat dari kedua belah pihak! Kalau keinginan itu hanya terdapat di satu pihak saja, kelak akan mendatangkan banyak masalah dalam rumah tangga. Dan ingat, cinta kasih bukan berarti harus menikah! Tapi kalau keduanya ada cinta kasih, menikah merupakan jalan yang paling tepat. Syukurlah andai kata gadis itu juga menghendaki perjodohan denganmu. Kalau ia tidak setuju, hal itu wajar saja dan tidak sepatutnya menyengsarakan perasaan hatimu.”

Pesan ayahnya ini meninggalkan kesan mendalam di hati Cin Liong. Dia tahu bahwa kalau sampai Ci Sian menolak cintanya, menolak menjadi isterinya, dia akan menderita pukulan batin, hatinya akan terasa sakit. Akan tetapi dia melihat pula kebenaran ucapan ayahnya, maka dia pun sudah bersiap-siap untuk menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekali pun…..

********************

Ketika Sim Hong Bu melarikan diri dari Cin-an, dari sarang para patriot karena dia panik dan berduka melihat betapa Ci Sian menyerangnya kalang-kabut, diam-diam Cu Pek In juga melakukan pengejaran. Akan tetapi kalau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cin Liong saja tidak mudah dapat menyusul Sim Hong Bu, apalagi Pek In yang ilmunya kalah jauh dibandingkan dengan suheng-nya yang dicintanya itu. Akan tetapi, ia tidak pernah berhenti mencari jejak Hong Bu dan telah mengambil keputusan bahwa baginya hanya ada dua pilihan, yaitu mencari sampai jumpa atau mati dalam usahanya itu!

Berpekan-pekan lamanya Cu Pek In mencari dan mengikuti jejak suheng-nya itu. Tetapi ia pun dibikin bingung ketika ia melihat jejak suheng-nya itu setelah menuju ke timur lalu kembali lagi ke barat, ke kota Cin-an dan menurut penyelidikannya, suheng-nya itu pergi ke Cin-an bersama seorang laki-laki setengah tua. Dan setelah pergi mengejar dan mencari Hong Bu selama hampir dua bulan, akhirnya Pek In kembali ke Cin-an dan bertemu dengan keluarga Bu. Dari Bu-taihiap ia mendengar banyak.

Bu Seng Kin yang mempunyai banyak sekali pengalaman itu dapat memaklumi bahwa gadis ini amat mencinta Hong Bu akan tetapi dia tahu pula bahwa Pek In bertepuk sebelah tangan dalam hal ini. Karena, baru beberapa hari yang lalu, Sim Hong Bu datang bersama seorang pamannya dan mengajukan pinangan atas diri Ci Sian! Dan hal ini terjadi baru beberapa hari setelah dia dan keluarganya menerima kunjungan dan pinangan dari keluarga Kao!

Bu-taihiap dan keluarganya menceritakan bahwa kini keadaan telah banyak berubah setelah Kaisar tua meninggal dan setelah Pangeran Kian Liong memegang kendali pemerintahan. Dia bercerita banyak tentang keadaan para pendekar patriot sekarang, yang sudah tidak dikejar sebagai musuh dan bagaimana pun juga harus mengakui kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan oleh kaisar baru.

Semua itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Cu Pek In, tetapi sesungguhnya di dalam hatinya, gadis ini tidak begitu tertarik. Kalau ia tadinya ikut pula dalam kelompok para pendekar patriot, hal itu hanya dilakukan karena ia mengikuti Hong Bu dan karena suheng-nya itu dianggap buronan dan di dalam pengejaran orang-orangnya Kaisar.

“Bu-locianpwe, saya mencari Sim-suheng sampai jauh, akan tetapi jejaknya malah menuju kembali ke Cin-an. Apakah dia datang ke sini?” akhirnya dia bertanya dan Bu Seng Kin yang memberi isyarat kepada isteri-isterinya itu segera menjawab.

“Dia memang pernah datang ke sini bersama seorang pamannya, tetapi tidak bermalam dan hari itu juga telah pergi lagi. Kurang lebih seminggu yang lalu dia datang. Ada hal yang amat menggembirakan, yaitu bahwa katanya, kaisar baru juga membebaskan dia, dan ia menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam oleh Kaisar telah dinyatakan sebagai pedang milik keluargamu. Jadi sekarang dia tidak lagi dikejar-kejar.”

Berita ini memang menggembirakan hati Cu Pek In. “Akan tetapi, Locianpwe, setelah meninggalkan Cin-an, dia pergi ke manakah?”

Pendekar itu menarik napas panjang. Tentu saja dia tak tega untuk menceritakan bahwa Hong Bu telah datang melamar Ci Sian. Namun dia dapat menduga ke mana perginya Hong Bu. Ke mana lagi kalau tidak mencari Ci Sian? Untuk mengatakan bahwa Hong Bu kini mencari-cari Ci Sian, apalagi kalau dijelaskan bahwa pemuda itu mencarinya untuk melamarnya, berarti tentu menghancurkan perasaan gadis ini. Maka dia pun lalu berkata, “Setelah dia dibebaskan oleh Kaisar, tentu dia akan memenuhi tugas yang dibebankan kepadanya oleh gurunya. Apakah engkau tidak dapat menduganya?”

“Tugas itu adalah mengalahkan Kim-Siauw Kiam-sut.”

Bu Seng Kin mengangguk. “Tentu saja. Dia tentu mencari Pendekar Suling Emas Kam Hong untuk melaksanakan tugas yang dipikulnya, yaitu mengadu ilmu dengan pendekar itu atau.... sumoi-nya.”

Cu Pek In mengepal tinju. “Aku harus membantunya!” Lalu dipandangnya pendekar itu dan ia bertanya, “Ke manakah dia mencari mereka?”

“Kami tidak tahu, Nona, hanya kami mendengar bahwa pamannya itu masih mempunyai keluarga di Lok-yang. Mungkin saja mereka itu pergi ke Lok-yang.”

Keterangan ini memang benar, dan lagi pula, menurut beberapa orang pendekar patriot yang melihatnya, memang paman dan keponakan itu meninggalkan Cin-an menuju ke barat.

“Kalau begitu, saya akan segera menyusul dan mencarinya, Locianpwe.” Cu Pek In berpamit.

Setelah gadis yang selalu berpakaian pria itu pergi, Bu Seng Kin menarik napas panjang dan berkata kepada tiga orang isterinya yang masih duduk di situ bersamanya. “Ahh, betapa cinta telah mengombang-ambingkan kehidupan para muda seperti gelombang samudera mempermainkan perahu-perahu kecil! Betapa cinta menciptakan sorga atau neraka di dunia ini.”

“Cinta memang selalu mendatangkan sorga dan sekaligus juga neraka dalam hidup!” tiba-tiba Nandini berkata. Dan anehnya, dua orang madunya lalu mengangguk-angguk membenarkan. Melihat ini, Bu Seng Kin membelalakkan matanya.

“Ehhh, agaknya kalian bertiga sudah sepakat begitu. Apa maksud kalian?”

“Lihat saja kehidupan kami! Kami mencari sorga bersamamu akan tetapi yang kami dapat neraka!” kata pula Nandini cemberut, dan dua orang madunya juga cemberut.

Mau tidak mau Bu-taihiap tertawa. “Akan tetapi mengakulah, bukankah di samping neraka kalian juga mendapatkan sorga? Bukankah kalau satu di antara kita saling berpisah kita merasa rindu dan menderita?”

Tiga orang isterinya diam saja karena memang mereka harus mengakui bahwa mereka baru merasa berbahagia kalau di samping suami ini, walau pun kadang-kadang mereka harus menahan panas hati karena cemburu.

“Memang demikianlah hidup,” pendekar itu menyambung. “Di mana ada senang tentu ada susah, kalau ada sorga tentu ada neraka. Akan tetapi, jangan dikira bahwa yang pahit-pahit dalam hidup itu tidak perlu. Coba saja bayangkan, tanpa kita merasakan pahit, bagaimana mungkin kita dapat menikmati manis? Tanpa kita merasakan bagai mana yang dinamakan susah itu, bagaimana kita dapat mengenal senang? Demikian pula, kalau kita tidak pernah mengenal neraka, mana mungkin kita dapat menikmati sorga? Ha-ha, selama kita berada dalam cengkeraman Im Yang, tentu saja keduanya itu saling kait-mengait dan tidak mungkin kita dapat terbebas dari kekuasaan dan roda perputarannya.”

Apa yang diucapkan oleh Bu Seng Kin itu memang merupakan kenyataan. Sayang dia tidak menyelami lebih mendalam lagi sehingga dia hanya menerima hal itu sebagai sesuatu yang seharusnya demikian, sehingga dia sendiri masih terseret ke dalam lingkaran setan dari baik dan buruk, senang dan susah dan sebagainya itu.

Senang dan susah adalah dua permukaan dari sesuatu yang sama. Keduanya tak dapat dipisahkan karena memang keduanya itu merupakan dua saudara kembar yang tak terpisahkan. Ada yang satu pasti ada yang lain. Karena itu, setiap pengejaran akan kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan karena kesenangan dan kesusahan itu berbadan satu tapi bermuka dua. Apa yang nampak pada muka itu, baik nampak sebagai senang mau pun sebagai susah, hanya merupakan akibat dari pada pilihan pikiran sendiri belaka. Apa yang hari ini dianggap sebagai menyenangkan, mungkin saja pada hari esok akan dianggap sebagai menyusahkan, dan demikian sebaliknya.

Senang dan susah muncul sebagai akibat dari pada penilaian. Dan penilaian ini selalu bersumber kepada kepentingan si aku. Si aku adalah pikiran, si aku adalah nafsu. Wajarlah bagi seorang manusia untuk dimasuki perasaan-perasaan itu. Senang, susah, takut, malu, marah, dan sebagainya. Namun, dengan pengamatan terhadap diri sendiri secara penuh kewaspadaan dan perhatian, di waktu perasaan-perasaan itu memasuki hati dan pikiran, maka kita tidak akan terseret. Mengamati semua itu, menghadapi semua itu, tanpa menilai-nilai sebagai baik atau buruk. Mengamati saja penuh kewaspadaan tanpa ada si aku yang mengamati. Jadi hanya pengamatan saja yang ada, kewaspadaan saja yang ada.

Menerima semua itu sebagai suatu hal yang sudah semestinya begitu, seperti yang dilakukan oleh Bu Seng Kin, maka tidak akan timbul perubahan dan untuk selama hidup, kita akan selalu terombang-ambing antara suka dan duka, dan biasanya, lebih banyak dukanya dari pada sukanya. Dan selama kita menjadi permainan si kembar ini, kita takkan pernah bahagia. Yang kita anggap kebahagiaan bukan lain hanyalah kesenangan belaka yang pada lain saat sudah akan berubah lagi menjadi kesusahan
.

Cu Pek In melakukan perjalanan ke barat dalam usahanya mencari Sim Hong Bu. Dia pergi menuju ke Lok-yang, sebuah kota yang besar dan ramai dan juga kuno di Propinsi Ho-nan. Gadis yang bagi yang tidak tahu dianggap sebagai seorang pemuda remaja yang amat tampan ini, melakukan perjalanan sambil bertanya-tanya dan menyelidik kalau-kalau ada yang melihat Sim Hong Bu lewat di situ. Akan tetapi, agaknya sampai di Lok-yang, tidak ada seorang pun yang dapat memberi keterangan tentang suheng-nya itu. Tidak ada yang melihat adanya seorang pemuda seperti Sim Hong Bu lewat di jalan yang dilaluinya.

Dengan hati yang gelisah dan berduka, kedua kakinya yang lemas karena melakukan perjalanan jauh dan tubuhnya lelah sekali. Hari telah menjelang senja ketika terpaksa untuk hari itu ia menunda dulu pencariannya dan mencari kamar di sebuah losmen. Karena ia merasa amat lelah dan ingin beristirahat sebaiknya, maka dipilihlah hotel yang paling besar di kota itu. Hotel itu nampak besar dan cukup megah, dengan huruf-huruf besar dengan tinta emas di depannya berbunyi ‘Thian Hok Li Koan’.

Ketika Pek In memasuki ruangan depan hotel itu dan menuju ke kantor di sudut, ia melihat enam orang laki-laki duduk menghadapi meja bercakap-cakap di ruangan itu. Seorang pelayan segera menyambutnya dan sesaat alis pelayan ini berkerut melihat pakaian dan sepatu Pek In yang kotor dan berdebu, akan tetapi ketika dia memandang wajah yang tampan itu, dia segera bertanya dengan suara yang cukup ramah, “Selamat sore, Tuan Muda. Kalau anda mencari kamar, sungguh sayang sekali karena semua kamar telah penuh.”

Cu Pek In memandang pelayan itu dan hatinya menjadi kesal sekali. Ia sudah lelah dan juga jengkel dan berduka karena kehilangan jejak suheng-nya. Dan begitu tiba di hotel, di mana ia ingin cepat-cepat merebahkan diri, pelayan itu mengatakan bahwa semua kamar telah penuh! Ia merasa curiga, karena pelayan itu tadi memandang pakaian dan sepatunya yang berdebu. Karena sedang duka dan jengkel, maka Pek In menjadi mudah berprasangka dan marah-marah. Ia menyangka bahwa tentu pelayan ini tidak percaya kepadanya, pakaiannya berdebu, jangan-jangan ia dianggap tidak punya uang untuk membayar kamar! Hotel ini begitu besar, tentu mempunyai banyak kamar, masa sudah penuh?

“Benarkah tidak ada kamar kosong sama sekali? Aku sanggup membayar sewanya, berapa pun juga!” tanyanya dengan suara yang mengandung kejengkelan.

Ia tidak tahu bahwa enam orang pria yang tadi bercakap-cakap kini berhenti bicara dan semua melirik ke arahnya. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan berkulit hitam, seorang pria yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, memandang kepada Pek In dengan sepasang matanya melotot lebar dan mulutnya mengandung senyum penuh arti. Tangannya meraba-raba kumisnya yang melintang ketika sepasang matanya itu menatap ke arah wajah dan tubuh Pek In dari pinggir.

“Sungguh, Kongcu, semua kamar telah penuh. Hari ini memang ramai sekali sehingga tidak ada lagi kamar di hotel kami yang kosong. Harap Anda memaafkan kami,” kata pengurus hotel yang sudah menjenguk keluar dari dalam kantornya.

Cu Pek In menarik napas panjang. Memang dia sedang sial, pikirnya, segala-galanya tidak pernah berhasil. Ingin ia menangis.

“Bung pengurus, biarlah kami mengosongkan sebuah di antara kamar-kamar yang kami sewa dan berikanlah kepada Tuan Muda ini!” Mendadak terdengar suara parau dan kasar, suara dari pria tinggi besar berkulit hitam itu.

“Tapi.... tapi Koa-kauwsu telah membayar semua kamar itu,” Si Pengurus berkata.

“Tidak mengapa, seorang temanku dapat tidur bersama temannya dan mengosongkan kamar itu untuk Kongcu ini. Atau kalau Kongcu ini mau, tempat tidurku cukup lebar dan boleh saja aku membagi tempat tidur dengan dia.”

Wajah Cu Pek In menjadi merah. Kalau didengarnya kata-kata itu sebagai seorang wanita, tentu saja kata-kata itu amat kurang ajar. Hampir saja ia marah sekali kalau tidak diingatnya bahwa ia kini sedang menyamar sebagai seorang pria. Maka ia pun berkata kepada pengurus hotel itu, “Kalau memang sudah penuh, sudahlah, aku bisa mencari kamar di hotel lain.”

Cu Pek In membalikkan tubuh tanpa menoleh kepada enam orang pria itu. Dia hendak meninggalkan ruangan hotel.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara parau itu, “Nanti dulu, Siauwte, aku hendak bicara denganmu!”

Cu Pek In menoleh dan melihat laki-laki tinggi besar itu sudah berdiri dan menjura kepadanya, demi kesopanan ia pun lalu balas menjura.

“Ada urusan apakah yang hendak dibicarakan?” Ia bertanya sambil memandang tajam.

Laki-laki itu bersikap cukup sopan dan ramah, dan sepasang matanya yang lebar memandangnya dengan kekaguman yang tak disembunyikannya. Bukan pandang mata orang jahat, pikirnya, melainkan pandang mata seorang yang mata keranjang. Akan tetapi ia lalu teringat bahwa ia berpakaian pria dan biasanya jarang ada orang yang dapat mengetahui penyamarannya, maka ia membantah penilaiannya sendiri, karena tidak mungkin pria tinggi besar itu tertarik kepada seorang pemuda!

“Siauwte, maafkan kalau aku mencampuri urusanmu. Akan tetapi melihat bahwa engkau nampak lelah, pakaian dan sepatumu penuh debu menunjukkan bahwa engkau telah melakukan perjalanan jauh, dan agaknya tidak akan mudah bagimu untuk mencari kamar di hotel-hotel lain yang tentu juga penuh, maka aku menawarkan sebuah kamar kami kepadamu. Kami berenam menyewa lima kamar, kalau dikurangi satu kamar kami masih dapat tidur. Sebuah kamar untuk berdua pun tidak mengapa.”

Cu Pek In tersenyum dan tak tahu betapa senyumnya yang membuat wajahnya nampak semakin tampan itu membuat Si Tinggi Besar semakin kagum. “Ahhh, aku tidak ingin merepotkan Paman yang belum kukenal.”

“Sama sekali tidak merepotkan. Atau Adik boleh pilih, memakai sebuah kamar sendirian atau berdua denganku. Tempat tidur di kamar kami cukup besar....”

“Tidak, terima kasih! Aku tak biasa tidur berdua....,” jawab Pek In cepat-cepat memotong perkataan orang.

“Kalau begitu, pakailah sebuah kamar sendirian saja. Temanku dapat mengalah,” kata pula Si Tinggi Besar.

Melihat kebaikan orang, Cu Pek In merasa ragu-ragu untuk menolak.

Dan pengurus hotel itu pun cepat berkata kepadanya, “Kongcu, apa yang dikatakan oleh Koa-kauwsu ini memang benar. Sekarang sedang ramainya orang berdagang hasil bumi. Banyak tamu pedagang dari luar kota ini dan setiap hari semua hotel di kota ini penuh. Agaknya akan sukar bagi Kongcu untuk memperoleh kamar di hotel yang baik, kecuali di hotel-hotel kecil yang kotor.”

Ucapan pengurus hotel ini menghilangkan keraguan Cu Pek In dan ia pun kemudian menghaturkan terima kasih kepada Si Tinggi Besar.

“Ah, tidak perlu sungkan, Adik yang baik. Kita manusia di mana-mana memang harus saling bantu, bukan? Dengan begini, kita menjadi kenalan baru. Aku senang sekali berkenalan denganmu, Siauwte. Perkenalkanlah, aku Koa Cin Gu dari Lo-couw sebelah selatan kota ini.”

“Koa-kauwsu adalah guru silat yang terkenal di Lo-couw, bahkan di kota Lok-yang ini, Tuan Muda,” kata Si Pelayan memuji.

“Koa-kauwsu,” kata Pek In sambil menjura, “Terima kasih atas kebaikanmu. Aku sudah lelah sekali dan ingin beristirahat.” Sambil berkata demikian, Pek In lalu meninggalkan orang tinggi besar itu dan mengikuti pelayan dan seorang teman Si Tinggi Besar yang hendak mengambil barang-barangnya dari kamar yang diberikan kepada Pek In.

Setelah kamar itu bersih, Cu Pek In membersihkan tubuhnya, berganti pakaian dan memesan makan minum dalam kamarnya. Ia sudah lelah dan agak turun semangat, maka ia tidak keluar lagi dan memesan makan di kamarnya saja. Setelah makan dan istirahat sebentar, duduk termenung memikirkan nasibnya, dia pun merebahkan dirinya dan tidur.

Ia sendiri tidak tahu berapa lama ia tertidur, akan tetapi tiba-tiba ia terbangun oleh ketukan di pintu. Cu Pek In membuka matanya dan tanpa turun dari pembaringan ia bertanya, “Siapa di luar?”

Suara parau di luar segera dikenalnya sebagai suara Koa-kauwsu. “Aku Koa Cin Gu, Cu-siauwte!”

“Koa-kauwsu, ada keperluan apakah mengetuk pintu kamarku?” tanya Pek In sambil duduk di tepi pembaringan. Saking lelahnya, tadi dia sudah tertidur dengan pakaian lengkap, hanya sepatunya saja yang dilepaskan.

“Harap buka pintunya, Adik Cu! Aku memiliki hal yang amat penting untuk dibicarakan denganmu.”

Cu Pek In adalah seorang gadis gagah yang tidak pernah mengenal takut, akan tetapi setelah banyak merantau seorang diri meninggalkan lembah, ia sudah mempunyai banyak pengalaman dan bersikap hati-hati. Betapa pun juga, ia harus mencurigai orang yang telah bersikap terlalu baik kepadanya itu. Dipakainya sepatunya dan diselipkan sulingnya di pinggang, tertutup baju, lalu ia pun melangkah ke pintu dan membukanya.

Koa Cin Gu masuk sambil tersenyum ramah. “Sudah tidurkah, Siauwte? Maafkan kalau aku mengganggu, ya?” Ketika dia bicara itu, Pek In mencium bau arak dan biar pun sikap guru silat itu masih biasa saja, namun melihat muka hitam itu kemerahan, juga matanya, ia dapat menduga bahwa orang ini tentu terlalu banyak minum arak dan agak mabok.

Tanpa mempersilakan duduk, ia pun bertanya, “Koa-kauwsu, ada keperluan apakah yang hendak kau bicarakan?”

“Banyak, banyak sekali. Cu-siauwte,” kata guru silat Koa itu dan dia pun menutupkan kembali daun pintu.

Karena mengira bahwa orang itu menutupkan pintu karena memang mempunyai urusan yang penting, maka Pek In juga diam saja, hanya memandang dengan penuh perhatian. Akan tetapi, orang she Koa itu tanpa dipersilakan lagi kini sudah duduk, bukan duduk di atas kursi, melainkan di tepi pembaringan!

Si Muka Hitam itu kini tersenyum menyeringai sambil berkata, “Aku ingin berkenalan lebih baik denganmu, Adik Cu Pek In. Sini duduklah di dekatku sini, agar kita lebih enak bicara. Sejak melihatmu tadi, aku sudah suka sekali kepadamu, Adik yang baik.”

Muka Pek In menjadi merah sekali. Akan tetapi ia masih teringat bahwa orang itu bicara kepadanya sebagai seorang pemuda, bukan seorang gadis!

“Ah, Paman Koa, mengapa begitu? Katakanlah apa yang perlu kau bicarakan sehingga malam-malam engkau datang ke sini. Aku mengantuk sekali.”

“Ha-ha, mengantuk? Tidurlah, tidurlah biar kita bicara sambil merebahkan diri. Ataukah engkau lelah dan perlu kupijati? Ke sinilah, sayang.”

Pek In mulai mengerutkan alisnya. Apakah orang ini sudah tahu akan penyamarannya dan bersikap kurang ajar karena tahu bahwa ia adalah seorang wanita?

Tetapi hatinya belum yakin benar dan ia masih berpura-pura menegur, “Koa-kauwsu, apa artinya sikapmu ini? Lupakah engkau bahwa aku adalah seorang pria?”

“Ha-ha-ha, lupa? Tentu saja tidak, Adik tampan! Kalau engkau seorang wanita, apa kau kira aku sudi mendekatimu? Aku membenci wanita, dan aku sayang kepada pemuda-pemuda tampan seperti engkau ini. Ke sinilah, Adik tampan, akan kupijiti engkau agar lelahmu lenyap dan engkau temani aku tidur. Marilah....!” Dan guru silat bermuka hitam itu sudah mengembangkan kedua lengannya ke arah Pek In!

Pek In memandang dengan mata terbelalak. Betapa pun banyaknya pengalaman yang dihadapinya selama ini, baru sekarang melihat keganjilan ini. Seorang pria yang hendak mencumbu pria lain! Inikah yang dinamakan orang banci? Tubuh guru silat itu demikian tinggi besar, kulitnya kasar hitam dan kumisnya melintang, tubuhnya jelas menunjukkan laki-laki seratus prosen. Akan tetapi mengapa dia menyukai pria muda tampan?

Teringat akan hal ini, Pek In bisa menduga betapa banyaknya pemuda-pemuda tampan yang menjadi korban orang aneh ini. Tentu di antara murid-muridnya yang belajar ilmu silat banyak terdapat pemuda-pemuda remaja yang tampan. Entah dipermainkan secara bagaimana. Tak dapat ia membayangkannya dan ia sudah merasa jijik dan geli, seperti melihat seekor ular.

“Manusia keparat! Keluarlah engkau dari sini!” Pek In membentak marah sekali dan menudingkan telunjuknya ke arah pintu.

Koa-kauwsu memandang bengis, lalu bangkit berdiri dan bertolak pinggang. “Ahhh.... kiranya engkau hanya seorang pemuda yang tak mengenal budi. Beginikah balasannya ditolong orang?”

“Hemm, kalau memberikan kamar kosong kepadaku kau anggap sebagai budi besar yang harus dibalas dengan kemesuman dan kecabulanmu, engkau mimpi, orang berhati binatang. Sudahlah, kau cepat keluar dari sini sebelum kuhancurkan kepalamu!” Pek In sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi.

Guru silat itu membelalakkan kedua matanya, dan dia tersenyum. Barulah kini nampak oleh Pek In betapa senyum pria ini mengandung sifat kegenit-genitan seperti wanita!

Koa Cin Gu sebetulnya bukanlah seorang penjahat, melainkan seorang guru silat yang cukup kenamaan. Akan tetapi, dia mempunyai kelainan dengan orang-orang biasa, yaitu, dia suka bermain cinta dengan pria-pria muda yang tampan. Dia sungguh tidak suka menyukai wanita, karena walau tubuhnya tinggi besar dan kasar seperti pria tulen, adalah hatinya seperti seorang wanita, terutama mengenai selera dan birahi. Dia tidak pernah melakukan pemaksaan terhadap pria-pria muda, karena dengan pengaruhnya sebagai guru silat, banyaklah murid-murldnya sendiri yang mau melayaninya dengan harapan memperoleh pelajaran silat yang lebih tinggi dari pada murid-murid lain. Maka, terhadap Pek In yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang tampan sekali ini pun Koa-kauwsu tidak bermaksud menggunakan kekerasan. Akan tetapi dia telah dihina dan dimaki, maka bangkitlah kemarahannya.

“Bocah kurang ajar! Engkau ditolong baik-baik, diperlakukan dengan sikap ramah dan manis, dan engkau malah menghina orang. Bocah sombong, benarkah engkau hendak menghancurkan kepalaku? Coba saja kalau engkau mampu!”

“Mampu? Apa sukarnya? Tetapi aku tidak ingin membikin kacau dengan pembunuhan, maka bukan kepalamu yang akan kuhancurkan, melainkan lengan tanganmu saja!” Berkata demikian, Pek In sudah menerjang ke depan dengan pukulan tangan kirinya.

Pukulannya mantap dan cepat sekali, sehingga guru silat itu yang mengenal serangan berbahaya, mengeluarkan seruan dan cepat menangkis dengan lengan kanannya, dan berbareng dengan itu langsung membalas dengan sodokan tangan kirinya ke arah dada Pek In. Walau pun hal ini bukan dimaksudkan untuk kurang ajar, akan tetapi sebagai seorang gadis, Pek In menganggapnya demikian, maka dia pun sudah mengerahkan tenaga sinkang pada lengan kanannya dan dia menghantam ke bawah, ke arah lengan kiri lawan.

“Krakkk....!”

Tulang lengan kiri Koa-kauwsu, dekat pergelangan, patah-patah dan di lain saat Pek In telah menendang tubuhnya sehingga guru silat terpelanting. Pek In cepat membuka pintu dan sekali lagi menendang. Tubuh guru silat itu terlempar keluar pintu kamar!

Tentu saja ia mengaduh-aduh karena bukan hanya lengan kirinya yang patah-patah tulangnya, akan tetapi juga dua kali tendangan itu membuat dadanya sesak dan perutnya mulas. Ribut-ribut ini mendatangkan lima orang temannya dan melihat betapa guru silat itu mengaduh-aduh, memegangi lengan kiri dengan tangan kanan, lima orang itu lalu menyerbu ke dalam kamar Pek In. Akan tetapi Cu Pek In sudah muncul di pintu dan membentak marah.

“Masih ada lagi yang hendak kurang ajar kepadaku?”

“Dia memukulku, dia mematahkan lenganku, pukul dia!” Koa-kauwsu yang merasa kesakitan itu sudah bangkit berdiri dan dengan meringis dia menuding ke arah Pek In dengan telunjuk kanannya.

Lima orang temannya terkejut bukan main, tidak disangkanya bahwa pemuda remaja yang halus tampan itu mampu merobohkan guru silat Koa yang lihai! Mereka berlima dapat menduga bahwa tentu pemuda itu memiliki kepandaian tinggi, maka mereka sudah mencabut senjata golok mereka dan menyerbu ke dalam kamar!

Akan tetapi Cu Pek In sudah marah sekali. Ketika tangannya bergerak, nampak sinar emas berkelebatan, dan terdengar bunyi nyaring ketika sinar emas itu bertemu dengan golok-golok di tangan lima orang yang mengaduh-aduh, ada yang kepalanya benjol, ada yang lengannya patah, dan ada pula yang mendekap perutnya yang kena ditendang! Keadaan menjadi geger karena semua tamu kini terbangun dan berdatangan ke tempat itu. Tiba-tiba, di antara para tamu itu, muncullah sepasang suami isteri yang gagah perkasa.

“Pek In....!” Mereka menegur.

Cu Pek In yang masih bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan dengan suling di tangan, cepat menengok dan melihat bahwa yang menegurnya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar bersama seorang wanita cantik, segera mengenalnya. Pria itu adalah pamannya sendiri, Cu Kang Bu dan wanita itu adalah isteri pamannya, Yu Hwi.

“Paman....!” teriaknya ketika mengenal pamannya.

“Pek In, mari kita pergi saja dari sini!” kata Kang Bu.

Pek In begitu girang bertemu dengan pamannya sehingga ia tidak membantah, cepat mengambil pakaiannya dan keluar dari dalam kamarnya bersama paman dan bibinya. Setelah mereka mengambil pakaian dari kamar suami isteri itu, Kang Bu lalu mengajak mereka keluar, berhenti di kantor pengurus, membayar untuk dua kamar mereka dan segera mengajak keponakannya pergi meninggalkan hotel.

Hal ini dilakukan oleh Kang Bu yang tidak mau menghadapi keributan setelah terjadi perkelahian antara keponakannya dan beberapa orang laki-laki tamu hotel itu. Mereka lalu mencari kamar di rumah penginapan kecil di pinggir kota. Di sini mereka lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Cu Pek In dengan hati sedih menceritakan betapa ia sudah bertemu dengan Hong Bu, bersama-sama pergi ke Cin-an di mana mereka berdua tinggal di sarang para patriot.

“Aku bertemu dengan Bibi Tang Cun Ciu di sana, Paman. Engkau tahu, yang menjadi pemimpin para pendekar patriot adalah Bu Seng Kin Locianpwe?”

“Hemm, pantas kalau begitu!” Hanya demikian Kang Bu berkata karena dia tidak mau mencampuri kehidupan pribadi bekas kakak iparnya itu.

Pek In lalu melanjutkan ceritanya, betapa Hong Bu bertemu dengan dua orang yang harus dilawannya, yaitu keluarga Kao dan juga Pendekar Suling Emas Kam Hong. Betapa kemudian karena diserang oleh Ci Sian, Hong Bu melarikan diri dan dikejar oleh Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Aku pun mengejarnya, Paman, namun aku tertinggal jauh dan aku terus mencarinya sampai berbulan-bulan. Jejaknya membawaku kembali ke Cin-an. Menurut keterangan Bu-locianpwe mungkin Sim-suheng pergi ke Lok-yang ini.” Kemudian ia menceritakan pengalamannya di hotel itu dan sikap guru silat she Koa yang aneh dan kurang ajar terhadap dirinya.

“Sungguh aneh, Paman. Dia sudah mengatakan bahwa dia menganggap aku pria, akan tetapi mengapa dia hendak merayuku? Apakah dia itu orang-orang gila, Paman?”

Pamannya tertawa, demikian pula Yu Hwi. Yu Hwi yang menjawab. “Pek In, ketahuilah bahwa di dunia ini memang terdapat orang-orang yang sejak lahir telah mempunyai kelainan-kelainan yang mungkin saja diperkuat oleh keadaan sekeliling di waktu dia masih kanak-kanak. Atau mungkin ada sesuatu yang salah dalam tubuhnya sehingga ada orang yang tubuhnya pria akan tetapi perasaan hatinya wanita, seperti orang yang mengganggumu tadi. Akan tetapi ada orang yang tubuhnya wanita akan tetapi perasaan hatinya pria, dan orang begitu hanya suka berdekatan dengan sesama wanita, dan membenci pria.”

“Demikianlah yang dinamakan banci, Bibi?”

“Biasanya, sebutan banci ditujukan kepada seorang pria yang berhati wanita seperti pengganggumu tadi. Pria-pria seperti itu condong untuk menjadi wanita, merasa dirinya sebagai wanita, bahkan yang sudah terlalu berat kecondongannya itu, tidak ragu-ragu lagi untuk berpakaian sebagai wanita dan bersikap sebagai wanita pula. Sebaliknya, wanita yang berhati pria itu pun condong untuk menjadi pria dan berpakaian sebagai pria....”

Tiba-tiba Yu Hwi berhenti dan memandang kepada Pek In dengan muka berubah dan sikap sungkan. Melihat sikap isterinya ini, Kang Bu tertawa.

“Jangan khawatir, Pek In adalah seorang wanita asli, buktinya ia jatuh cinta kepada Hong Bu. Kalau ia suka berpakaian pria adalah karena mendiang orang tuanya memberi pakaian pria kepada Pek In.”

Wajah Cu Pek In menjadi merah sekali. “Ah, jadi ada wanita yang hatinya seperti pria dan lebih suka menjadi pria? Aku tidak mempunyai perasaan seperti itu, Bibi. Akan tetapi setelah mendengar penuturan itu, aku jadi muak untuk memakai pakaian pria, jangan-jangan aku disangka orang banci lagi! Biarlah, mulai sekarang aku akan mengenakan pakaian wanita. Harap Bibi membantuku!”

Demikianlah pada keesokan harinya, kedua orang wanita itu berbelanja dan mulailah Cu Pek In mengenakan pakaian wanita. Dan sungguh harus diakui bahwa setelah ia mengenakan pakaian wanita, mau berbedak dan berhias, ia nampak sebagai seorang dara yang cantik jelita! Bahkan Cu Kang Bu sendiri memuji keponakannya itu dan menyatakan sayangnya, mengapa sejak dahulu keponakannya tidak mau berpakaian sebagai seorang wanita. Kemudian mereka bertiga melanjutkan usaha Pek In untuk mencari Sim Hong Bu…..

********************

Dan ke manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu. Akan tetapi Kao Cin Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tidak dapat dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu yang melerai.

Setelah kaisar yang baru ternyata telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai sahabat.

Setelah berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu kemudian mengajak pamannya pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu. Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu. Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah, Hong Bu melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.

Ketika Cu Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!

Pada pagi hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya berkata.

“Suheng, sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah, Suheng?”

“Air sungai Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut Po-hai,” jawab Kam Hong.

“Dan dari sana ke kota raja apakah masih jauh?”

“Tentu lebih dekat dibandingkan dari sini.”

“Kalau begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”

“Ahh, mana mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu? Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus. Sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah perahu kecil.”

“Wah, kalau begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan setiap hari. Wah, senangnya!”

Kam Hong tertawa dan memandang kepada sumoi-nya. Betapa sumoi-nya ini kadang-kadang masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang, dibandingkan dengan dia, sumoi-nya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoi-nya ini hanya seorang dara remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan tidak pantas berdekatan dengan sumoi-nya.

“Kenapa kau tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas, engkau ini bergembira atau berduka?”

“Suka dan duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, tetapi kalau sudah dilaksanakan, barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tiada kesenangan kekal atau kesusahan abadi, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”

“Wah, wah, sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang kekal?”

“Tidak, Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”

Ci Sian memandang wajah suheng-nya. Tertawanya bebas karena gadis ini tak pernah berpura-pura di depan suheng-nya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya, maka di depan suheng-nya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap seperti orang yang hendak bersopan-sopan. “Wah, lihat kakek-kakek ini yang berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua dari pada Suheng!”

“Kadang-kadang? Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”

“Kalau sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”

Akan tetapi tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya. “Ssttt, ada orang datang....,” bisiknya.

Mereka berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!

Melihat pemuda ini, Kam Hong tersenyum. “Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini, Adik Sim Hong Bu!”

Hong Bu sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.

“Engkau mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan.... ehhh…., Nona Ci Sian.”

“Hemm, mau apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.

“Ada dua hal yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menekan debar jantungnya.

Hampir saja dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi? Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia dengan sikap gagah dan suara lantang.

“Kam-taihiap dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama salah seorang pamanku telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku, Kam-taihiap.”

Ucapan ini sungguh amat di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang memang tepat kalau menjadi jodoh sumoi-nya!

Akan tetapi setelah sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu meledak karena marahnya!

“Tidak! Aku tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”

“Ci Sian, jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.

“Tidak, tidak adil! Suheng, biar pun engkau suheng-ku, jika engkau menerima pinangan orang terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!” Ci Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata.

Baik Kam Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!

“Maaf.... maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....,” kata Hong Bu, mukanya pucat dan ia menundukkan mukanya. “Aku telah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”

“Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagai mana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapa pun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?”

“Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Taihiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!” Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.

“Kau menantang....?” Ci Sian berseru.

Akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa. “Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.”

Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apa pun juga. Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Dan kemudian aku sebagai keturunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biar pun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”

Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasehat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.

“Kam-taihiap, aku memang telah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat, sesungguhnya sampai di mana kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!”

Meski pun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Hong Bu agaknya sengaja, terdorong kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.

“Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”

Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang. Mula-mula memang ada keraguan dan rasa kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya. Akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh.

Maka gerakan senjata mereka menjadi makin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang terang menyilaukan mata. Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang sangat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.

Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu. Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walau pun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suheng-nya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suheng-nya itu, seolah-olah dia tak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.

Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah. Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh-sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah.

Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan. Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak di antara keduanya, karena betapa pun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.

Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.

Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!

Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walau pun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh. Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat.

Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andai kata dia mengalah sekali pun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah. Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah.

Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya telah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.

“Dukkk!”

Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biar pun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sinkang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik! Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sinkang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.

Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri…..

“Trang....!” Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu.

Pemuda ini melangkah mundur dan menjura. “Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.

“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”

“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”

Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.

“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.

“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.

“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati. Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!

“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sendiri sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”

“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.

“Sumoi, engkau terlalu....!”

“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kalian berdua keroyoklah aku!” Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu.

Hong Bu terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga seaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.

Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoi-nya demikian marah dan membenci Hong Bu.

Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.

Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suheng-nya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu. Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu.

Dan pendekar tinggi besar ini sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh-sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.

Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingan itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Jika tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, sekarang Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian malah telah melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.

Sementara itu, pada saat Hong Bu melihat datangnya susiok-nya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.

“Tukkk!”

Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biar pun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!

“Suheng....!” Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu.

Sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu. Wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!

Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tidak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.

“Dia akan sembuh....,” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.

“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian dia memegang tangan sumoi-nya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.

Kam Hong maklum bahwa jika dibiarkan sumoi-nya berada di situ lebih lama lagi, bukan tak mungkin timbul kesalah pahaman baru dengan keluarga Cu. Dia tidak menghendaki hal ini, apa lagi di situ terdapat pula Yu Hwi, bekas tunangannya dan hal ini pun membuat dia merasa tidak enak sekali. Dan agaknya Cu Kang Bu juga tidak ingin mencari urusan. Dia sudah melihat betapa jago dari keluarga Cu telah kalah dan dia tahu bahwa melawan Pendekar Suling Emas dan sumoi-nya yang amat lihai itu dia dan isterinya tidak akan menang.

Cu Pek In sudah memondong tubuh Hong Bu. “Mari kita mencari tempat yang baik untuk merawatnya,” kata gadis itu kepada pamannya.

“Baik, akan tetapi biarkan aku memondongnya, Pek In,” kata pamannya.

“Biarlah, Paman, biarlah aku memondongnya,” Pek In berkata dan mendekap tubuh pemuda itu seperti orang memondong anak kecil saja. Bagi seorang gadis seperti Pek In yang memiliki kepandaian cukup tinggi, memondong tubuh seorang dewasa bukan hal yang sukar.

Akhirnya mereka menemukan sebuah pondok kecil terpencil di luar dusun. Mereka menyewa pondok ini dari kakek petani yang memilikinya dan Pek In lalu merebahkan Hong Bu di atas dipan bambu sederhana yang berada di dalam kamar. Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera memeriksa kembali keadaan pemuda itu. Mereka adalah suami isteri yang berilmu tinggi, bahkan Yu Hwi mengerti pula tentang ilmu pengobatan.

Totokan suling tadi memang hebat, akan tetapi untung meleset dari urat penting yang dapat membawa maut. Totokan itu menggetarkan jantung, akan tetapi karena tubuh Hong Bu memang amat kuat, maka tidak sampai membahayakan dirinya, walau pun membuatnya roboh pingsan dan sekitar pundak dan pangkal leher menjadi kebiruan karena ada otot yang pecah.

Cu Kang Bu dan isterinya lalu mencari obat ke Lok-yang, sedangkan Pek In menjaga pemuda itu dengan penuh perhatian. Pek In yang terus menjaga dan meminumkan obat sedikit demi sedikit, menjaga siang dan malam dan merawatnya penuh kasih sayang sehingga melihat ini, Cu Kang Bu dan Yu Hwi merasa terharu bukan main. Baru pada keesokan harinya, pernapasan Hong Bu berjalan seperti biasa dan mukanya yang tadinya pucat itu menjadi agak kemerahan kembali.

Hari telah larut ketika Hong Bu mengeluh lirih. Pek In cepat mendekatinya, duduk di tepi dipan dan meraba dahi pemuda itu, lalu mempergunakan sapu tangan untuk mengusap keringat yang membasahi dahi dan leher. Pemuda itu telah berkeringat dan menurut paman dan bibinya, kalau pemuda itu sudah mengeluarkan keringat berarti akan segera sembuh. Bukan main girang hati Pek In dan ia menatap wajah yang tampan itu dengan penuh kemesraan.

Kedua mata itu terbuka perlahan, lalu berkedip-kedip karena agak silau oleh sinar matahari yang memasuki kamar lewat jendela. Kemudian, setelah mata itu agak terbiasa, Hong Bu memandang kepada Pek In, lalu berkata lirih, “Siapa Nona....?”

Mendengar pertanyaan ini, hampir saja Pek In tertawa geli, akan tetapi ia segera teringat bahwa semenjak menjadi suheng-nya, barulah sekali ini Hong Bu melihat ia berpakaian sebagai seorang wanita dengan rambut digelung ke atas.

Pek In tersenyum manis. “Coba kau terka, siapa aku ini?” Suaranya terdengar merdu sekali karena hatinya riang melihat pemuda itu telah siuman dan tampak sehat.

“Seperti.... seperti tak asing bagiku....” Hong Bu mengerutkan alisnya. Memang gadis ini telah dikenalnya! Akan tetapi dalam detik-detik pertama dia lupa lagi siapa ia. Akan tetapi dia segera menepuk dahinya.

“Sumoi....! Ahhh, benar, engkau Sumoi Cu Pek In....!”

Pek In tertawa dan menutupi mulutnya. “Aku sudah khawatir kalau engkau tidak akan mengenalku,” katanya tertawa.

Hong Bu juga tertawa. “Siapa dapat mengenalmu? Engkau telah menjadi seorang gadis yang.... manis sekali!”

Cu Pek In cemberut. “Apa kau kira biasanya aku bukan seorang gadis?”

Hong Bu baru sadar bahwa ia telah kesalahan bicara. “Maaf, bukan begitu maksudku.... eh, maksudku....” memang baru sekarang inilah dia menyadari bahwa sumoi-nya adalah seorang gadis, seorang gadis yang cantik manis. Mungkin biasanya dia hampir tidak memperhatikan Pek In karena gadis itu baginya seperti adik seperguruan biasa saja, hampir seorang saudara atau kawan baik laki-laki karena gadis itu selalu berpakaian pria.

“Maksudmu bagaimana?” Pek In menggodanya.

“Maksudku.... ehhh, di mana aku ini? Apa yang telah terjadi? Ahhh....”

Dan Hong Bu bangkit duduk dengan wajah muram. Teringatlah dia akan semua itu, akan pertandingannya melawan Ci Sian dan betapa karena mengalah maka ia terkena totokan suling emas.

“Sekarang engkau sudah ingat, Suheng?” tanya Pek In halus, suaranya mengandung kekhawatiran.

Pemuda itu mengangguk dan menatap wajah sumoi-nya. “Kiranya aku belum mati....”

“Engkau nyaris tewas, Suheng. Kata Paman, kalau sedikit saja ke atas, mengenai urat penting, engkau takkan tertolong lagi. Menurut Paman dan Bibi, agaknya gadis itu memang sengaja tidak membunuhmu....”

“Hemm...., mana Susiok Cu Kang Bu?”

“Dia dan Bibi sedang berada di luar tadi....”

Akan tetapi pada saat itu, Cu Kang Bu dan Yu Hwi memasuki kamar dan mereka berdua merasa girang melihat betapa Hong Bu telah siuman dan nampak sehat kembali. Hong Bu cepat memberi hormat kepada suami isteri itu dan berkata dengan suara penuh penyesalan,

“Susiok, harap maafkan bahwa teecu tidak berhasil memenuhi pesan Suhu sehingga teecu kalah ketika melawan pewaris Kim-siauw Kiam-sut.”

Cu Kang Bu menarik napas panjang. “Aku sudah menyaksikan pertandingan itu dan aku tidak menyalahkanmu, Hong Bu. Memang hebat sekali Ilmu Suling Emas itu, tiada keduanya di dunia ini. Bagaimana pun juga, kita harus bijaksana dan dapat melihat kelemahan sendiri. Aku tidak setuju dengan pendapat kakakku yang berkeras hendak membalas kekalahan. Biar pun kedua ilmu itu bersumber dari keluarga kita, akan tetapi jelaslah bahwa Ilmu Suling Emas ini jauh lebih tua dan tidak mengherankan kalau lebih kuat dari pada Koai-liong Kiam-sut yang tercipta ratusan tahun kemudian. Sudahlah, Hong Bu, tidak perlu hal itu dibuat menjadi beban batin dan rasa penasaran. Bagaimana pun juga, harus kita akui bahwa mereka berdua itu adalah pendekar-pendekar yang hebat.”

Atas bujukan Cu Kang Bu, akhirnya Sim Hong Bu mau untuk ikut kembali ke lembah. Bahkan Cu Kang Bu yang berwatak jujur itu menambahkan pula secara blak-blakan, di depan Pek In.

“Engkau tentu masih ingat akan pesan Twako bahwa dia menghendaki agar engkau dan Pek In berjodoh, Hong Bu. Kurasa hal itu sangat baik, dan kalau memang engkau menyetujui, marilah kita segera langsungkan saja pernikahan itu di sana. Usia Pek In sudah cukup untuk segera membentuk rumah tangga denganmu.”

Mendengar ucapan itu otomatis Hong Bu menoleh dan memandang kepada Pek In. Sejenak mereka saling pandang, akan tetapi Pek In lalu menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dan Hong Bu mempunyai perasaan yang aneh. Mengapa baru sekarang dia seolah-olah baru melihat Pek In? Seorang gadis yang amat manis, dan dia mendengar betapa gadis ini merawatnya sehari semalam tanpa pernah beranjak dari sampingnya, tidak makan tidak tidur.

Dia tahu benar betapa besar rasa cinta kasih sumoi-nya ini terhadap dirinya dan dia selama ini tidak memperhatikan karena keadaan Pek In yang selalu berpakaian seperti pria itu seolah-olah memiliki daya tolak yang besar. Akan tetapi sekarang lain sekali keadaannya. Gadis itu ternyata memiliki daya tarik yang cukup kuat dan terus terang saja, dia suka melihat wajah yang manis itu, bentuk tubuh yang padat, indah dan menggairahkan sebagai wanita itu. Dan dia pun kini sudah tidak mempunyai harapan lagi terhadap diri Ci Sian. Mengapa tidak? Kalau dia menolak, apa pula alasannya? Dan penolakannya tentu akan membuat Pek In merasa sengsara, di samping membuat hubungannya dengan keluarga Cu menjadi hambar.

“Baiklah, Susiok. Akan tetapi usul Susiok itu mengingatkan kepada teecu bahwa untuk memperoleh doa restu dari arwah ayah teecu, selagi teecu berada di Propinsi Ho-nan ini, sebaiknya kalau teecu mengunjungi makam ayah dan bersembahyang di sana.”

“Tentu saja, itu baik sekali! Di manakah makam ayahmu?”

“Di dekat kota Sin-yang, di selatan Sungai Huai.”

“Baik, kalau begitu mari kita pergi beramai ke sana, aku pun ingin memberi hormat kepada makam ayahmu,” kata Cu Kang Bu yang tidak ingin kehilangan lagi murid keponakannya itu kalau mereka harus berpisah lagi.

Maka berangkatlah mereka meninggalkan dusun itu menuju ke selatan. Tubuh Hong Bu yang kuat itu membuat dia sembuh kembali dalam waktu singkat dan beberapa hari kemudian dia sudah pulih kembali seperti biasa…..

********************

“Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris saja dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu.

Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut, “Habis hatiku mengkal sekali sih!”

“Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ahhh, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau pasti tahu bahwa dia amat mencintamu....”

“Suheng!” Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justru itulah yang membikin hatiku jengkel!”

Kam Hong memandang dengan terheran-heran. “Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?”

“Bukan!”

“Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan lalu menantangku?”

“Juga tidak!”

“Habis, apa yang membuatmu jengkel?”

“Karena dia berani melamarku!”

“Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran serta penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya dan malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja?”

Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suheng-nya dengan sinar mata muram. “Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?”

“Ehhh?” Kam Hong memandang bengong dan terheran.

“Engkau sedemikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!”

Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoi-nya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!

“Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”

“Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal.”

Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoi-nya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoi-nya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu sudah meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoi-nya.

“Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”

“Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya.”

“Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”

Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, dan kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.

Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan. “Suheng, bukankah itu ada orang datang?”

Kam Hong juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.

Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoi-nya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru, “Ahhh, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”

“Kiranya Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.

Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!

“Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?”

“Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biar pun saya seorang jenderal akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat.”
Kam Hong tersenyum. “Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?”

Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong. “Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja.”

“Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?”

Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena pada saat itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh.

Betapa pun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung.

Kam Hong yang bepandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus, “Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silakan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”

“Ahhh, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong dengan gugup.

“Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!” kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.

“Nah, sekarang bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum untuk memberanikan hati pemuda itu.

“Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Taihiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!”

Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoi-nya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran. Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda! Sumoi-nya itu sungguh ‘laris’, dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan.

Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau-kalau sumoi-nya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!

Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.

“Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagai mana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”

“Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Taihiap. Sebelum saya mencari Taihiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”

“Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”

Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab, “Benar demikian, Taihiap.”

“Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapa pun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagai mana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini.”

Cin Liong menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dengan pasti....,” katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu. “Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Taihiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”

“Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya.”

Kembali Cin Liong nampak gugup. “Ahhh, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Taihiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Taihiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya.”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walau pun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoi-nya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain! Akan tetapi, bukankah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah dari pada menjadi jodoh Hong Bu?

Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Ia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoi-nya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin, kalau di samping dia masih terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya, bahkan mengajukan pinangan kepadanya!

“Sumoi....!” dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.

Gadis itu menoleh. Melihat suheng-nya menggapai, ia kemudian menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.

“Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”

“Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai.”

“Ehhh, kalau begitu mengapa memanggil aku?”

“Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi, dan dengarlah baik-baik,” kata Kam Hong.

Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.

“Ada apa sih, begini penuh rahasia?”

“Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an bersama ayah bundanya, lalu sekarang ia mencari kita. Ada pun keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong....”

“Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau....,” dan Ci Sian lalu menangis!

Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoi-nya.

“Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”

“Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, meski apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini....”

“Sumoi, sama sekali tidak begitu....”

“Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku....”

Tapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang. “Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapa pun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!”

Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoi-nya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.

“Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!” Kam Hong menegur. Dia jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong.

Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan oleh karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suheng-nya.

“Suheng, dari pada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekalian dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!”

“Sumoi....!”

Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.

“Nona Bu Ci Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia.” Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua.

Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,

“Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ahhh, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya....”

Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Ci Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suheng-nya dan akhirnya ia pun berkata, “Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”

“Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?”

“Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?” Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya.

Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.

“Kam-suheng....!” Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suheng-nya yang lalu memeluknya.

Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.

“Suheng....!” akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”

Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata, “Sumoi, sejak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku pun dapat melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoi-nya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu....”

Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya, “Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?”

“Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua dari padamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang, kini hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.

Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, kemudian memandang suheng-nya dengan sinar mata penasaran. “Suheng, kalau aku mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”

“Sumoi, kau maafkan aku....” Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu.

Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suheng-nya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra.

Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walau pun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik. Akan tetapi, hubungan kasih sayang barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya apabila ada keinginan dan tindakan-tindakan nyata untuk membahagiakan orang yang dicinta.

Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!


Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.

Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia ‘mengenal’ Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya! Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!

Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh karena permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.

Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa. Akan tetapi sekarang, begitu pikirnya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.

Kita ini, biar pun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang tumbuh menjadi besar. Kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis ketika kehilangan sesuatu yang disenanginya. Tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan mau pun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.

Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang mana pun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja. Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai.

Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi dari pada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja? Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang selalu mencari manis, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?


Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut. Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan dari pada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.

“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.

Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak, “Ahh, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.

Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus, “Ahhh, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”

Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu. Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban-hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.

Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, yaitu manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!

Sementara itu, pada saat Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya langsung berubah. Tadinya kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suheng-nya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!” katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu.

Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.

“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan dia pun sudah mencabut sulingnya dan bersiap menyerang.

“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.

Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka dia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.

“Dukkk....!”

Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat-cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting. Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.

Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti, orang pertama Im-kan Ngo-ok.

Karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggota termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga telah menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman, sedangkan perkumpulannya juga diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.

Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat dari pada sebelumnya. Ketiga orang anggota Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat dari pada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong. Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat dari pada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!

Biar pun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang dari golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka. Dan mereka telah menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban-hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.

Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.

Koa-kauwsu lalu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan ‘pemuda’ itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!

“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” berkata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tidak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera, tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”

Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.

Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekali pun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini. Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya sebagai keponakan-keponakan muridnya juga, ia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu. Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!

Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.

“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.

Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.

“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!” kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang sangat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khikang amat kuatnya.

“Trang-trang-trang....!”

“Wuuuuttt.... cringggg....!”

Dalam segebrakan saja mereka telah saling serang dengan hebat, dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi segera menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.

Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, hingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok sedangkan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia sudah harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.

Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.

Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini sudah mencabut senjata cambuknya, yaitu sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya. Walau pun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, akan tetapi menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.

Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas. Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, akan tetapi dia juga cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya. Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali.

Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.....

Akan tetapi tidak demikianlah pertempuran, antara dua orang wanita itu melawan Ji-ok dan Sam-ok. Semenjak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok. Tingkat kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.

Betapa pun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala melakukan terus perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.

“Sumoi....!” Hong Bu berseru dan hendak menolongnya.

Akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut sekali. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biar pun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Serigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tak memiliki kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.

Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biar pun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.

Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat. Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya. Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju.

Sam-ok mengenal temannya ini. Jika Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.

“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.

“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”

Akan tetapi Ji-ok telah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung ‘adik’ dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.

“Sam-te, berani engkau menghalangiku?” Dan nenek itu pun sudah cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!

“Eh, apakah engkau sudah gila?” Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas.

Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya! Dan melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.

“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.

“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!” Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok.

Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing lalu meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan meski terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.

“Plakk!” Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.

“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.

Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring, “Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”

Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan sekarang Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala. Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu tidak akan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.

“Aku menyerah....,” katanya dengan suara lemah.

“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.

“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.

“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.

“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.

Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tidak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, dari pada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih mati dalam perlawanan!

Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan?

Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu. Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu.

Memang, jika Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walau pun dia nampak tenang saja.

Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, ketiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru. Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya.

Biar pun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang sangat kuatnya. Betapa pun lihainya ketiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun kemudian mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!

Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.

Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya. Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.

“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.

Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapa pun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu.

Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring. Pedangnya bergerak dengan hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api. Pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka terkejut dan meloncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu.

Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan! Akan tetapi Kang Bu diam-diam bersyukur bahwa murid keponakannya itu tidak sampai tewas di tangan orang-orang yang lihai itu. Bagaimana pun juga, dia akan merasa menyesal kalau sampai murid keponakan itu, pewaris nenek moyangnya, sampai mati konyol.

Empat orang datuk itu tidak mengejar terus. Betapa pun juga, tiga orang anggota keluarga Lembah Suling Emas telah berada di tangan mereka dan melalui tiga orang tawanan ini, mereka dapat menguasai pusaka-pusaka dari lembah itu. Maka, tanpa banyak cakap Hek-i Mo-ong lalu memberi perintah kepada kawan-kawan guru silat Koa untuk mengangkat tiga orang yang sudah tertotok itu dan membawa mereka ke tempat persembunyian mereka, di rumah guru silat Koa Cin Gu.

Hong Bu berlari terus secepatnya, mengerahkan seluruh ilmu ginkang-nya. Dia sudah terluka dan banyak darah mengalir dari pundaknya, tetapi dia harus dapat melarikan diri. Kalau dia sampai tertawan pula, maka habislah harapannya untuk dapat menolong tiga orang itu. Maka, dia memaksa tenaganya yang mulai lemah dan barulah setelah dia melihat bahwa dirinya tidak dikejar musuh, dan dia tiba di lereng sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah pohon besar di mana dia duduk terengah-engah lalu dia bersila dan mengatur pernapasan untuk mengembalikan tenaganya yang hampir habis. Melawan empat orang tadi sungguh terasa amat berat dan dia tadi telah mengerahkan seluruh sinkang-nya sehingga setelah berlari secepat itu, dia merasa tenaganya hampir habis dan napasnya hampir putus.

Setelah bersemedhi kurang lebih satu jam lamanya, barulah pernapasannya menjadi tenang kembali dan perlahan-lahan dia berhasil menghimpun tenaga murni di lereng gunung yang sejuk bersih itu. Tenaganya pun berangsur-angsur pulih kembali dan dia sudah mempergunakan kekuatan dalam untuk menghentikan darahnya yang mengucur keluar. Dalam kedaan hening itu, Hong Bu melupakan segala-galanya, melupakan keadaan tiga orang yang tertawan, karena kalau pikirannya terganggu, tentu dia tidak mungkin dapat mengosongkan dan mengheningkan batinnya.

“Hong Bu....!”

Pemuda itu terkejut. Dalam keadaannya seperti tadi, kalau tiba-tiba yang datang itu musuh dan menyerangnya, dia pasti celaka. Dia cepat membuka mata dan ketika dia melihat siapa orangnya yang datang, hatinya merasa girang sekali dan dia pun segera bangkit.

“Cin Liong....! Ahhh, hanya Tuhan yang membimbingmu datang kepadaku pada saat seperti ini, Cin Liong!” Dia pun memegang tangan bekas lawan yang telah menjadi sahabat baik yang dikaguminya itu.

Sejak dia berlawan tangan dengan jenderal muda ini dan merasakan betapa lihainya jenderal muda ini, ia merasa kagum sekali. Apa lagi setelah ia mendapatkan kenyataan bahwa pertentangan di antara mereka sebagai buronan dan pengejar telah habis dengan adanya pengumuman kaisar baru bahwa pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dinyatakan sebagai miliknya yang syah.

Seperti kita ketahui, Cin Liong lari meninggalkan Ci Sian setelah mendapat kenyataan bahwa dara yang dicintanya dan dipinangnya itu ternyata telah jatuh cinta kepada pria lain, bahkan kepada suheng-nya sendiri, Kam Hong, pendekar yang dikaguminya itu. Hal ini dapat dilihatnya dengan jelas ketika gadis itu marah-marah karena lamarannya, marah kepada suheng-nya.

Dia segera dapat menduga apa yang terjadi antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Dia tahu bahwa Ci Sian mencinta Kam Hong, dan dia dapat menduga pula dengan hati kagum bahwa Kam Hong juga mencinta sumoi-nya, akan tetapi dengan cinta yang demikian suci murninya, sehingga Kam Hong rela menyampaikan pinangan pria lain kepada sumoi-nya itu. Sikap Kam Hong ini membuat Cin Liong merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri, maka dia pun lalu minta maaf dan melarikan diri.

Ketika dia melihat seorang pemuda duduk bersila, dia merasa terheran-heran, lalu didekatinya pemuda itu. Giranglah hatinya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Sim Hong Bu, sahabat barunya, bekas lawan yang dikaguminya karena kelihaiannya dan juga kejujurannya itu.

“Apakah yang terjadi, Hong Bu? Wajahmu agak pucat dan engkau gelisah.... dan pundakmu luka! Apa yang telah terjadi?” tanya Cin Liong sambil membalas pegangan tangan sahabat barunya itu.

Hong Bu lalu menceritakan tentang Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Pek In yang tertawan oleh empat orang datuk sesat itu. “Aku mohon bantuanmu, Cin Liong. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu bagaimana caranya aku dapat menyelamatkan mereka.” Hong Bu mengakhiri ceritanya.

Cin Liong terkejut bukan main. Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok muncul lagi! Dan malah ditambah seorang datuk yang telah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang sakti, yaitu Hek-i Mo-ong yang pernah menguasai daerah Sin-kiang di barat dengan gerombolannya, yaitu gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.

“Jangan khawatir, Hong Bu. Aku tentu membantumu. Akan tetapi di manakah mereka berada? Dan.... keluarga Cu itu, apakah tidak berbahaya sekali tertawan oleh mereka? Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu adalah manusia-manusia busuk yang amat kejam.”

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka,” kata Hong Bu. “Aku tahu bahwa mereka sengaja menawan keluarga Cu karena mereka menghendaki pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman. Tentu mereka tidak akan mengganggu keluarga Cu untuk sementara waktu ini. Dan menurut penuturan Sumoi Cu Pek In, agaknya kita akan bisa menemukan tempat persembunyian mereka melalui seorang guru silat bernama Koa Cin Gu yang tinggal di Lo-couw. Mari kita menyelidiki ke sana.”

“Baik, mari kita cepat pergi. Aku khawatir sekali akan keadaan keluarga Cu,” jawab Cin Liong.

Dua orang pemuda perkasa itu, lalu berangkat menuju ke kota Lo-couw yang tidak jauh dari situ letaknya. Dalam perjalanan itu Cin Liong selalu menghibur hati Hong Bu dan mengatakan bahwa dia pasti akan dapat menghancurkan persekutuan penjahat itu dan dia akan minta bantuan pasukan keamanan di kota Lo-couw untuk membantunya mengepung sarang penjahat.

“Tiga orang Im-kan Ngo-ok itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan aku dapat menduga bahwa Hek-i Mo-ong tentu juga lihai sekali.”

“Kakek itu lebih lihai dari pada mereka bertiga,” kata Hong Bu.

“Hemm, mungkin bagi kita berdua tidak akan mudah mengalahkan mereka berempat, akan tetapi dengan bantuan pengepungan pasukan, tentu setidaknya keluarga Cu akan dapat diselamatkan dan dibebaskan.”

“Kalau saja kita dapat lebih dulu membebaskan Cu Kang Bu Susiok, kita bertiga dengan dia tentu akan mampu menandingi mereka berempat.”

“Sebaiknya kita menggunakan siasat memancing harimau-harimau keluar dari sarang, Hong Bu. Biar kukerahkan pasukan untuk menyerbu. Ketika mereka sibuk menghadapi pasukan, kita menyelinap masuk untuk lebih dahulu membebaskan keluarga Cu,” kata Cin Liong.

“Terserah kepadamu, dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengharapkan bantuanmu.”

Ketika mereka tiba di Lo-couw, Cin Liong langsung mencari markas pasukan keamanan dan menemui komandannya. Ketika komandan mengenal Cin Liong sebagai Jenderal Muda Kao yang terkenal, tentu saja dia terkejut dan menyambut dengan sikap amat hormat. Cin Liong lalu mencari keterangan tentang guru silat Koa Cin Gu dan dengan mudah mendapat keterangan di mana guru silat itu tinggal. Kiranya kehadiran para datuk itu merupakan rahasia dan tidak diketahui orang di Lo-couw.

Cin Liong memerintahkan kepada komandan itu untuk menyiapkan sepasukan prajurit dan mengepung rumah guru silat itu dari jarak agak jauh, menanti tanda darinya, sedangkan dia sendiri berdua dengan Hong Bu lalu melakukan penyelidikan ke rumah guru silat yang cukup besar dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi itu.

Senja telah mendatang dan cuaca mulai menjadi gelap ketika mereka tiba di luar pagar tembok, di mana pintu gerbangnya telah tertutup dan tidak nampak seorang pun di luar pintu. Hanya dapat terdengar suara orang-orang di dalam pintu, mungkin suara para anak buah guru silat yang melakukan penjagaan.

Dua orang muda perkasa itu tidak mau lancang turun tangan, karena mereka harus yakin dulu bahwa empat orang datuk itu benar-benar berada di situ, dan terutama sekali bahwa keluarga Cu juga tertawan di tempat itu. Kalau tidak demikian, mereka akan menangkap guru silat Koa dan memaksanya mengaku di mana tawanan disembunyikan dan di mana pula adanya para datuk kaum sesat itu! Dan untuk ini tentu saja tidak perlu dikerahkan pasukan yang telah dipersiapkan itu.

Mereka menanti sampai cuaca menjadi gelap betul dan ketika mereka sedang menyelinap di luar tembok, tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan dua orang di depan. Tentu saja keduanya terkejut melihat betapa cepat dan ringannya gerakan dua orang di depan itu. Karena menduga bahwa tentu dua orang itu adalah dua di antara para datuk yang sedang mereka cari, mereka cepat menyelinap ke depan untuk mengejar. Akan tetapi bayangan dua orang di depan itu telah lenyap, padahal jelas bahwa dua orang itu tadi belum meloncat ke sebelah dalam pagar tembok.

“Aneh,” bisik Hong Bu. “Kalau mereka itu orang dalam, mengapa mereka bergerak di luar pagar tembok, dan bukan langsung masuk melalui pintu gerbang?”

“Siapa pun adanya mereka, kita harus mengetahui dengan jelas sebelum turun tangan,” bisik Cin Liong.

Karena dua orang itu lenyap, Hong Bu dan Cin Liong melanjutkan perjalanan mereka untuk memeriksa keadaan sekeliling pagar tembok itu, untuk mencari jalan masuk yang baik dan tepat sambil menanti cuaca sampai gelap benar. Akan tetapi, ketika mereka melalui semak-semak tiba-tiba ada dua sosok tubuh orang menerjang mereka dari balik semak-semak itu. Gerakan dua orang itu demikian cepatnya sehingga Hong Bu dan Cin Liong terpaksa bergerak cepat pula. Sambil mengerahkan tenaga mereka menangkis lengan dua orang itu yang bergerak untuk menotok.

“Dukkk!”

“Desss....!”

Empat orang itu terdorong mundur dan semua merasa kaget bukan main saat mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga pihak lawan. Akan tetapi, mereka menjadi semakin kaget, heran dan juga gembira setelah saling mengenal. Kiranya dua orang itu bukan lain adalah Kam Hong dan Ci Sian! Melihat mereka seketika wajah Cin Liong menjadi kemerahan karena merasa malu, akan tetapi sebaliknya Hong Bu menjadi girang bukan main.

Di lain pihak, Kam Hong dan Ci Sian juga terkejut melihat dua orang pemuda itu yang baru mereka kenal setelah mereka bertanding tangan tadi karena cuaca sudah mulai gelap.

“Saudara Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong!” seru Kam Hong dengan mata terbelalak lebar. “Kiranya kalian berdua! Kami sangka peronda!”

Sementara itu, Ci Sian hanya memandang kepada dua orang pemuda itu dengan wajah kemerahan. Dua orang pemuda yang baru saja mengajukan pinangan kepadanya!

“Mari kita bicara agak jauh dari sini,” bisik Hong Bu sambil meloncat pergi dan yang lain mengikutinya.

Setelah tiba di tempat agak jauh dari pagar tembok, Hong Bu lalu menjura kepada Kam Hong dan Ci Sian, lalu berkata, “Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Ji-wi di sini, seolah-olah Ji-wi dituntun oleh Tuhan untuk membantuku, setelah Jenderal Kao Cin Liong juga datang membantuku.” Lalu dengan singkat namun jelas Hong Bu menceritakan tentang rombongannya yang berjumpa dengan tiga orang datuk Im-kan Ngo-ok dan Hek-i Mo-ong dan betapa keluarga Cu telah ditawan oleh empat orang datuk sesat itu.

“Aku seorang diri tidak mampu melawan mereka dan terpaksa melarikan diri,” Hong Bu mengakhiri ceritanya, “Dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Cin Liong. Malam ini kami melakukan penyelidikan untuk melihat apakah benar empat orang datuk itu berada di sini dan apakah keluarga Cu ditawan di tempat ini. Pada saat melihat bayangan Ji-wi, kami mengira Ji-wi adalah dua orang di antara mereka.”

“Dan bagaimanakah Kam-taihiap dan Nona Bu juga dapat berada di sini?” Cin Liong bertanya.

Melihat sikap kedua orang pemuda itu biasa saja, seolah-olah tidak ada kandungan penyesalan hati sedikit pun tentang peristiwa penolakan pinangan mereka terhadap Ci Sian, hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali. Mereka sungguh patut menjadi pendekar-pendekar muda yang gemblengan, tidak mudah menaruh dendam pribadi. Juga Ci Sian merasa lega melihat sikap mereka.

“Kebetulan sekali ketika kami lewat di sini, kami melihat berkelebatnya bayangan Hek-i Mo-ong memasuki rumah ini. Kami merasa curiga dan terheran-heran bagaimana datuk itu tiba-tiba muncul di tempat ini, maka kami lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan, kalau perlu membasmi kakek iblis itu. Dan baru saja kami melakukan penyelidikan, kami melihat kalian berdua dan mengira bahwa kalian adalah peronda atau anak buah Koa-kauwsu,” Kam Hong menjelaskan.

“Janganlah khawatir, Hong Bu. Aku akan membantumu menghadapi iblis-iblis itu dan membebaskan keluarga Cu!” kata Ci Sian dan suaranya kini biasa kembali terhadap Hong Bu, mengingatkan pemuda ini ketika mereka berdua dahulu pernah bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang lihai. Maka gembiralah hatinya.

“Terima kasih, terima kasih!” katanya gembira dan kini dia tidak merasa ragu lagi bahwa dia akan dapat menyelamatkan keluarga Cu, terutama Pek In yang dicintanya. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata melanjutkan, “Kini aku yakin bahwa tunanganku akan dapat diselamatkan!”

Kam Hong dan Ci Sian memandang dengan mata terbelalak, dan Cin Liong sendiri pun bertanya, “Tunanganmu....? Ahh, kiranya engkau telah bertunangan dengan Nona Cu Pek In? Bagus! Selamat, Hong Bu!”

Kam Hong dan Ci Sian juga memberi selamat yang diterima dengan gembira oleh Hong Bu. “Sekarang belum waktunya kita bergembira,” tiba-tiba Cin Liong mengingatkan, “Yang penting sekarang adalah rencana penyerbuan untuk menyelamatkan keluarga Cu. Setelah Kam-taihiap dan Nona Bu hadir, hatiku tidak khawatir lagi. Kami berempat kiranya akan sanggup menghadapi mereka berempat. Betapa pun juga, yang paling perlu adalah membebaskan keluarga Cu yang tertawan. Maka, menurut pendapatku, harus digunakan siasat untuk memberi kesempatan kepada Hong Bu untuk menyelinap ke dalam dan membebaskan mereka.”

Jenderal muda ini kemudian menjelaskan siasatnya dan tiga orang pendekar yang mendengarkan dengan penuh perhatian hanya mengangguk menyetujui karena mereka tahu bahwa Kao Cin Liong, selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga adalah seorang ahli siasat perang sehingga tentu saja lebih ahli dalam melakukan penyerbuan seperti itu.

Tak lama kemudian, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Kao Cin Liong, sepasukan prajurit penjaga keamanan kota Lo-couw telah mengepung rumah perguruan silat itu, dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong sendiri yang ditemani oleh Kam Hong dan Ci Sian. Pintu gerbang digedor dari luar dan dengan suara lantang seorang prajurit pelapor meneriakkan kepada guru silat Kao Cin Gu untuk membuka pintu gerbang karena komandan pasukan keamanan kota Lo-couw hendak bicara.

Tentu saja para penghuni perguruan itu menjadi panik ketika mereka mengintai dari balik pintu gerbang dan melihat bahwa tempat mereka sedang dikepung pasukan pemerintah yang bersenjata lengkap! Dengan wajah pucat terpaksa Koa Cin Gu keluar setelah pintu gerbang dibuka. Dia mengenal komandan Thio yang mengepalai pasukan keamanan kota itu, maka segera dia menghadap Thio-ciangkun yang berdiri di sebelah kiri Cin Liong yang tidak dikenalnya karena pemuda ini mengenakan pakaian biasa.

“Thio-ciangkun, ada terjadi apakah maka malam-malam Ciangkun datang bersama para pasukan?” Koa Cin Gu bertanya, sedapat mungkin mengambil sikap tenang.

“Koa Cin Gu, tak perlu engkau menutup-nutupi dosamu!” berkata Thio-ciangkun dengan suara galak. “Kami memperoleh keterangan bahwa engkau menyembunyikan tokoh-tokoh penjahat besar yang terkenal dengan nama Hek-i Mo-ong, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Suruh mereka segera keluar. Kalau tidak, engkau akan kami anggap sebagai pemberontak dan sekalian penghuni rumah ini akan kami tangkap sebagai anggota-anggota pemberontak!”

Bukan main kagetnya hati Koa-kauwsu mendengar ucapan ini. Akan tetapi sebelumnya tadi dia memang sudah berunding dengan empat orang tamunya itu, maka kini sesuai dengan rencana mereka tadi, Koa-kauwsu berkata, “Ah, Thio-ciangkun.... bagaimana Ciangkun dapat mempercayai fitnah seperti itu? Ciangkun sudah mengenal baik siapa saya. Saya tanggung bahwa tidak ada penjahat di sini. Harap Ciangkun suka menarik kembali pasukan dan besok saya akan menghadap Ciangkun untuk bicara soal ini.” Di balik kata-katanya itu seperti biasa tersembunyi maksud, yaitu bahwa dia hendak membereskan persoalan ini dengan hadiah atau sogokan!

Akan tetapi biar pun komandan itu bukan seorang pejabat yang tidak biasa menerima sogokan macam itu, kini di depan seorang jenderal yang terkenal dari kota raja, tentu saja dia menjadi marah sekali. “Koa Cin Gu, jangan engkau main-main! Hayo cepat suruh empat orang itu keluar, kalau tidak, terpaksa kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap semua orang dan menggeledah ke dalam!”

Melihat bujukannya tidak berhasil, orang she Koa itu lalu berkata, “Ciangkun, memang benar saya mempunyai empat orang tamu, akan tetapi mereka adalah para Locianpwe yang datang memberi petunjuk-petunjuk ilmu silat, sama sekali bukan penjahat. Semua itu adalah fitnah belaka.”

“Tidak peduli mereka itu pendekar atau penjahat, suruh mereka keluar supaya dapat menemui dan bicara dengan kami!” kata pula Thio-ciangkun.

Karena tidak melihat jalan lain, sesuai dengan rencana mereka, Koa Cin Gu terpaksa lalu menghadap ke dalam rumah dan berseru, “Harap Cu-wi Locianpwe suka keluar menemui Thio-ciangkun!”

“Ciangkun, kami adalah orang baik-baik, mengapa….?”

Akan tetapi ucapan Sam-ok yang menjadi juru bicara mereka itu tertahan dan matanya terbelalak ketika dia mengenal Kam Hong, Ci Sian, dan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Juga Hek-i Mo-ong mengenal Kam Hong dan Ci Sian, maka kakek ini pun tahu bahwa dia telah berhadapan dengan musuh yang pandai, maka tangannya bergerak dan senjata Long-ge-pang telah berada di tangannya.

“Ah, kiranya kalian bocah-bocah setan yang datang mengacau!” katanya dan langsung saja Hek-i Mo-ong menerjang maju.

Kam Hong menyambutnya, dengan suling emas yang sudah dicabutnya, sebab maklum betapa dahsyatnya serangan kakek raksasa berambut putih dan berpakaian serba hitam itu.

Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang juga mengenal tiga orang muda perkasa itu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berpura-pura dan bahwa untuk menyelamatkan diri mereka harus mempergunakan kekerasan. Maka mereka bertiga pun segera menerjang ke depan, disambut oleh Kao Cin Liong dan Ci Sian. Melihat ini, guru silat Koa Cin Gu juga mengerti bahwa rahasianya telah terbongkar, maka dia pun menjadi nekat. Dengan teriakan nyaring dia pun memimpin anak buahnya untuk mencegah pasukan memasuki rumahnya. Terjadilah pertempuran hebat di pekarangan depan rumah itu.

Sementara itu, Cu Kang Bu, Yu Hwi, Cu Pek In ditahan dalam kamar-kamar terpisah-pisah. Mereka dalam keadaan tertotok dan dibelenggu tangan mereka, rebah di atas dipan dalam kamar tahanan masing-masing, dan setiap orang dijaga oleh dua orang anak buah Koa-kauwsu.

Para anak buah Koa-kauwsu bukanlah orang-orang baik. Koa-kauwsu sendiri biar pun seorang guru silat, akan tetapi dia adalah orang yang berkecimpung dalam dunia hitam sehingga para muridnya tentu saja terdiri dari tukang-tukang pukul dan penjahat-penjahat yang ingin memperkuat dirinya. Ketika semua orang menyerbu keluar untuk menyambut musuh, enam orang yang bertugas jaga itu ditinggal berdua saja dengan masing-masing tawanan mereka. Kesempatan ini menimbulkan niat yang keji dalam benak mereka yang menjaga Yu Hwi dan Pek In.

Dua orang wanita ini adalah wanita-wanita yang tergolong cantik, maka melihat di situ tidak ada orang-orang lain, para penjaga dua orang tawanan wanita ini timbul niat yang kotor untuk mengganggu dua orang tawanan mereka. Mereka mulai mendekati tawanan masing-masing yang rebah terbelenggu dan tertotok di atas dipan, memandang dengan mulut menyeringai dan berliur.

Dua orang yang menjaga Cu Pek In sudah mendekati gadis itu. Cu Pek In merasa bulu romanya meremang ketika melihat sikap mereka berdua itu. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak karena telah tertotok jalan darahnya. Andai kata tidak tertotok, biar pun kaki tangannya terbelenggu, tentu ia dapat bergerak dan berdaya untuk melawan. Akan tetapi, kini ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak ketika dua orang itu mendekatinya dan terkekeh-kekeh.

“Heh-heh, kita tidak bisa maju berbareng, harus antri. Siapa yang lebih dulu?” kata yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Kita undi saja!” kata kawannya yang bermata juling.

“Kita main bertanding jari saja, siapa menang boleh maju lebih dulu dan yang lain menjaga di luar kamar menanti giliran!” kata Si Tinggi Besar.

Dua orang itu tertawa-tawa dan bermain jari. Ternyata Si Tinggi Besar yang menang dan dengan muka kecewa Si Mata Juling lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan kawannya dan berjalan di luar. Daun pintu ditutupkan, akan tetapi Si Mata Juling itu mengintai dari celah-celah daun pintu.

Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, melihat betapa sambil terkekeh dan menyeringai menyeramkan, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu mulai menanggalkan pakaiannya sendiri. Wajah Pek In menjadi pucat dan mulutnya berbisik, “Jangan.... ah, jangan....!”

“Ha-ha-ha diamlah, manis,” kata Si Tinggi Besar yang kini melangkah mendekati dipan, membuat Pek In merasa ngeri dan takut sehingga hampir ia roboh pingsan.

Akan tetapi pada saat jari tangan Si Tinggi Besar menyentuh pakaian Pek In, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar pintu. Daun pintu terbuka. Si Tinggi Besar menoleh dan seketika mukanya menjadi pucat ketika dia melihat temannya, Si Mata Juling itu sudah roboh mandi darah di depan pintu. Sebelum dia sempat menguasai hatinya, sesosok bayangan berkelebat dan Hong Bu telah menghantamnya dengan telapak tangan kanan.

Si Tinggi Besar tak sempat lagi berteriak karena terdengar suara keras ketika kepalanya kena ditampar. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya retak, mengeluarkan darah dan otaknya. Dia tewas seketika tanpa sekarat lagi.

Hong Bu cepat membebaskan totokan Pek In, kemudian mematahkan belenggu kaki tangannya.

“Engkau tidak apa-apa, In-moi....?” tanyanya.

“Ahh.... Bu-ko....!” Pek In merangkul dan menangis di dalam pelukan pemuda itu. Pek In melirik ke arah tubuh telanjang yang kepalanya retak itu dan menggigil. “Untung engkau segera datang, Buko....,” katanya dan hatinya lega sekali karena rasa penasaran dan duka karena ditinggal lari oleh Hong Bu itu kini terobati dengan munculnya kekasihnya yang telah menyelamatkannya.

Sebelum menolong Pek In, Hong Bu tadi telah memasuki kamar tahanan Cu Kang Bu, merobohkan dua orang penjaganya dan membebaskan Cu Kang Bu. Dan begitu bebas, Kang Bu segera minta kepada Hong Bu untuk menolong Pek In di kamar sebelah kanan sedangkan dia sendiri cepat lari ke kamar sebelah kiri di mana dia tahu isterinya ditawan. Dia memandang daun pintu itu dan dapat dibayangkan betapa marahnya saat dia melihat ada dua orang penjaga sedang menggerayangi tubuh isterinya dalam usaha mereka untuk melepaskan pakaian isterinya yang tertotok dan terbelenggu tak mampu melawan itu.

“Keparat!” bentak Cu Kang Bu dan sekali loncat dia sudah tiba di belakang dua orang penjaga yang kurang ajar itu.

Mereka membalikkan tubuh, akan tetapi tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak oleh Cu Kang Bu dan sekali menggerakkan kedua tangannya, pendekar tinggi besar dari Lembah Naga Siluman itu sudah membenturkan dua buah kepala itu.

“Prokk!” terdengar suara, dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Ketika Kang Bu membebaskan isterinya dan mereka berdua keluar dari dalam kamar itu, mereka bertemu dengan Hong Bu yang juga sudah berhasil membebaskan Pek In.

“Di luar sana aku dibutuhkan, harap Susiok bertiga suka membantu pasukan dari dalam. Aku sendiri harus membantu mereka menghadapi empat iblis itu!” Setelah berkata demikian, Hong Bu meloncat keluar dengan cepat sekali.

Kang Bu tadi telah diberi tahu oleh Hong Bu bahwa yang dimaksudkan dengan ‘mereka’ itu adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong dan Pendekar Suling Emas Kam Hong beserta sumoi-nya, Bu Ci Sian. Dengan singkat dia pun memberi tahu kepada isterinya dan keponakannya, lalu mereka bertiga juga menyerbu keluar dan mengamuk, menyerang para anak buah guru silat Koa dari sebelah dalam. Tentu saja anak buah Koa-kouwsu menjadi terkejut dan semakin panik karena mereka pun sudah terdesak oleh pasukan keamanan yang menyerbu dari luar.

Perkelahian antara Kam Hong melawan Hek-i Mo-ong masih berlangsung dengan amat serunya, tetapi Cin Liong dan Ci Sian yang bekerja sama menghadapi pengeroyokan tiga orang Im-kan Ngo-ok terdesak hebat. Mereka berdua itu hanya mampu memutar senjata untuk melindungi diri belaka, tanpa mempunyai banyak kesempatan untuk membalas. Tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Hong Bu sudah menerjang dan membantu mereka berdua.


Melihat betapa Koa-kauwsu dan anak buahnya sudah roboh semua karena amukan Cu Kang Bu bertiga, dan melihat betapa mereka berempat sudah terkurung oleh pasukan dan di situ terdapat orang-orang muda yang amat lihai itu, Hek-i Mo-ong maklum bahwa kalau terjadi pertempuran keroyokan tentu pihaknya akan mengalami kerugian karena kalah banyak, maka tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berseru dengan lantang, “Tahan senjata! Kami hendak bicara!”

Empat orang pendekar muda itu menahan senjata mereka dan Kam Hong mewakili teman-temannya, sambil melintangkan suling emas di depan dada dia pun menegur, “Hek-i Mo-ong, engkau hendak bicara dan menggunakan kecurangan apa lagi?”

Wajah kakek itu berubah merah. Teringat dia bahwa dia pernah melukai pemuda luar biasa ini, akan tetapi hal itu dilakukannya karena dia main curang, yaitu pada saat Kam Hong melawan delapan orang muridnya, ialah Hek-i Pat-mo dan ketika pendekar ini terdesak delapan orang itu, dia turun tangan membantu murid-muridnya sehingga Kam Hong menderita luka dalam yang cukup parah.

“Bocah she Kam! Kalau memang kalian adalah orang-orang muda yang gagah perkasa dan mengaku sebagai pendekar-pendekar sakti, mari kita melakukan pertandingan satu lawan satu tanpa pengeroyokan dan tanpa mengandalkan bantuan. Kita masing-masing mengadakan pertandingan satu lawan satu sampai mati dan tidak boleh ada orang lain yang membantu. Nah, bagaimana? Apa kalian berempat berani menyambut tantangan kami berempat?”

Kam Hong mengerutkan alis dan memandang kepada tiga orang kawannya. Dia melihat betapa Ci Sian, Hong Bu, dan Cin Liong mengangguk kepadanya, dan dia sendiri pun percaya sepenuhnya bahwa ketiga orang muda itu cukup tangguh dan kuat untuk melawan tiga orang datuk dari Im-kan Ngo-ok, maka ia pun menjawab dengan lantang,

“Baik, Hek-i Mo-ong. Kami berempat menerima tantangan kalian!”

Thio-ciangkun lalu membuat lingkaran dengan pasukannya, lingkaran yang cukup luas di pekarangan rumah itu, dan memasang obor yang cukup banyak sehingga tempat itu menjadi terang dan merupakan gelanggang pertandingan yang dipagari pasukan. Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang sudah selesai membasmi Koa-kauwsu dan anak buahnya itu pun kini berdiri menonton dengan penuh kepercayaan terhadap empat orang muda yang sakti itu, hanya Cu Pek In yang mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Bagus! Kami akan mengajukan jago pertama kali. Sam-ok, kau majulah!” berkata Hek-i Mo-ong.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin, bekas Koksu Nepal yang nama aslinya Lakshapadma itu segera melangkah maju ke tengah lapangan. Dia pun maklum bahwa jalan keluar tidak ada, maka tindakan Hek-i Mo-ong itu dianggapnya tepat. Hanya melalui pertandingan perorangan maka mereka mendapat kesempatan untuk lolos, asal dapat memenangkan lawan. Dan bagaimana pun lihainya, empat orang lawan itu hanyalah orang-orang muda yang tentu masih jauh kurang pengalamannya dibandingkan deagan mereka berempat.

Dia maju dengan tenang. Kakek raksasa yang kepalanya botak ini nampak gagah dengan mantelnya yang merah, dan kini dia menanggalkan mantel merahnya dan melemparkan mantel itu kepada Ji-ok. Dia sendiri dengan kedua kaki terpentang lebar, kedua lututnya agak ditekuk dan kedua lengannya membuat silang di depan dada, yang kanan miring di depan dahi, yang kiri miring di depan dada, sikapnya seperti seorang pendeta sedang melakukan sembahyang dengan sikap aneh.

“Biar aku yang menghadapi tua bangka Nepal ini!” kata Kao Cin Liong dan majunya Cin Liong melegakan hati Kam Hong.

Dibandingkan dengan Cin Liong, mungkin sumoi-nya masih kalah, dan biar pun di pihak musuh Sam-ok merupakan orang terakhir, namun dia tahu bahwa bekas Koksu Nepal ini mempunyai banyak tipu muslihat sehingga kalau Ci Sian yang melayani dia, hal itu amat berbahaya. Berbeda kalau Cin Liong yang menyambut kakek itu, karena biar pun masih muda, namun Cin Liong juga seorang yang memiliki banyak pengalaman dan mengenal banyak siasat-siasat licik pihak musuh.

“Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Kau lawan Sam-ok dan hati-hatilah terhadap akal busuk!” kata Kam Hong.

Cin Liong melangkah maju dengan tenang. Di bawah sinar obor yang banyak dinyalakan itu, pemuda ini nampak tegap dan gagah perkasa sekali. Wajahnya yang bundar itu nampak halus dan tampan, sepasang matanya yang lebar bersinar-sinar dan tahi lalat kecil di bawah telinga kirinya itu menambah kewibawaannya. Ketenangan pemuda ini nampak pada senyumnya, seolah-olah dia sama sekali tidak merasa jeri menghadapi lawan yang sudah amat tersohor karena kelihaiannya ini. Masih begitu muda sudah memperoleh kepercayaan Kaisar, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya pemuda ini.

Sam-ok juga merasa agak terkejut ketika melihat bahwa jenderal muda itu yang maju. Dia tahu akan kelihaian pemuda ini. Baru mengingat bahwa pemuda ini adalah putera tunggal dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir saja sudah membuat dia menjadi agak ngeri. Akan tetapi, dia segera dapat mengusir perasaan ini dengan keyakinan akan kepandaian sendiri. Betapa pun juga, pemuda ini bukanlah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, pikirnya, melainkan seorang yang masih muda dan tentu masih hijau pula dalam pengalaman.

“Ha-ha-ha!” Sam-ok tertawa bergelak untuk membesarkan hati. “Inikah Jenderal Muda Kao Cin Liong yang terkenal itu? Ha-ha-ha, orang muda, sudah rela benarkah engkau untuk mati konyol maka engkau berani melawanku?”

“Ban-hwa Sengjin! Engkau telah berdosa terhadap pemerintah dan negara ketika engkau menjadi Koksu Nepal, dan engkau berdosa terhadap rakyat ketika engkau menjadi Sam-ok. Dosamu sudah terlampau bertumpuk, terlampau banyak maka sudah sewajarnyalah kalau kini engkau menerima hukuman dari tanganku sendiri! Majulah!”

Sebelum maju tadi Cin Liong telah menitipkan pedangnya kepada Hong Bu dan kini dia menghadapi lawan dengan tangan kosong. Dia tahu bahwa Sam-ok adalah seorang yang memiliki ilmu silat yang sudah agak tinggi tingkatnya, maka datuk ini tidak lagi mengandalkan senjata. Dan karena dia sendiri pun murid ayah kandungnya yang memiliki ilmu silat tangan kosong pula, maka dia menghadapi lawan dengan tangan kosong.

Dia berdiri tegak lurus, mula-mula kedua lengannya tergantung lurus di kanan kiri, lalu diangkatnya sampai ke pinggang dengan jari-jari terbuka dan ibu jari ditekuk ke telapakan. Perlahan-lahan lengannya diangkat ke atas, lalu setelah sampai di atas kepala ditarik ke bawah sambil mengerahkan tenaga sinkang. Kedua lengannya itu nampak tergetar halus, dan kini tubuhnya penuh dengan saluran sinkang yang dahsyat!

Sam-ok mengeluarkan suara menggereng dan oleh karena gerengan ini mengandung getaran tenaga khikang yang amat kuat, maka para prajurit yang mengepung tempat itu untuk nonton perkelahian itu menjadi terkejut dan tubuh mereka menggigil. Sam-ok menyusul gerengannya ini dengan terjangan dahsyat, kedua lengannya yang panjang dan besar itu bergerak cepat. Tahu-tahu dia telah mengirim serangan beruntun sampai empat kali, memukul dengan kedua tangan dari atas ke bawah disusul cengkeraman dari kanan kiri.

Cin Liong juga bergerak cepat. Dua lengannya sudah menangkis dua pukulan pertama dan menghadapi cengkeraman dari kanan kiri itu dia meloncat ke belakang sambil membalik dan tiba-tiba saja tubuhnya berputar dan dia pun sudah membalas dengan sebuah tendangan kilat yang mengarah dagu lawan.

Ketika Sam-ok menggerakkan tangan hendak menangkap kaki yang menendangnya, Cin Liong menarik kembali kakinya dan tubuhnya meluncur ke depan, tangan kanan menotok ke arah pusar dan tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu! Dia telah mulai menggunakan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat yang hebat. Karena dia tahu bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka pemuda ini tidak mau membuang waktu dengan mengeluarkan ilmu silat lain, melainkan langsung mengeluarkan ilmu ciptaan kakek gurunya, yaitu Si Dewa Bongkok itu.

Sesungguhnya Ilmu Sin-liong Ciang-hoat asalnya adalah ilmu ciptaan Dewa Bongkok yang khas, yaitu untuk seorang yang berlengan tunggal. Akan tetapi Kao Kok Cu, Si Naga Sakti Gurun Pasir telah menyempurnakan ilmu tangan kosong ini untuk puteranya, sehingga kini yang dikuasai oleh Kao Cin Liong adalah ilmu silat tangan kosong yang cocok untuk di mainkan oleh seorang yang berlengan utuh, walau pun dasarnya masih ilmu asli. Justru karena dasarnya adalah ilmu silat yang tadinya diperuntukkan seorang yang berlengan buntung, maka sekarang setelah dimainkan oleh Cin Liong, gerakan-gerakannya amat aneh dan tak dapat diduga-duga oleh musuh.

Kadang-kadang pemuda itu hanya menggerakkan tangan kanannya saja, dan tangan kirinya bergantung mati, akan tetapi pada detik-detik yang sama sekali tidak disangka oleh lawan, tiba-tiba saja tangan kirinya bergerak mengirim serangan susulan, serangan maut yang amat dahsyat, lebih dahsyat dari pada serangan-serangan tangan kanannya!

Biar pun Sam-ok seorang yang tinggi ilmunya, namun menghadapi ilmu silat ini dia merasa bingung juga sehingga setelah lewat lima puluh jurus, ia kurang cepat mengelak dan tamparan tangan kiri yang tadinya tergantung mati itu sempat mengenai pundak kanannya, dan membuat tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang. Sam-ok meloncat untuk mengatur keseimbangan badannya dan mulutnya menyeringai menahan rasa nyeri yang membuat separuh tubuhnya sebelah kanan seperti lumpuh sejenak.

“Haiiiikkk!” Tiba-tiba Sam-ok menubruk ke depan.

Cin Liong mengelak dengan loncatan ke kiri, akan tetapi tiba-tiba dari lengan baju yang lebar itu meluncur sinar-sinar hitam yang lembut menuju ke seluruh tubuh Cin Liong dari atas ke bawah! Itulah jarum-jarum rahasia beracun yang dilepas dari jarak dekat sekali! Dan ini merupakan satu di antara kecurangan-kecurangan Sam-ok. Akan tetapi, sejak tadi Cin Liong memang sudah waspada terhadap serangan gelap, maka begitu melihat sinar hitam menyambar dia sudah meloncat tinggi sehingga semua jarum lewat di bawah kakinya. Cin Liong bukan sembarangan meloncat, melainkan meloncat ke depan dan kini dari atas dia terjun menyerang ke arah kepala lawan dengan menggunakan kedua kakinya!

Sam-ok terkejut bukan main. Tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu selain dapat menghindarkan semua jarumnya, juga memiliki ginkang sedemikian hebatnya sehingga sambil mengelak kini bahkan langsung balas menyerang. Cepat dia secara terpaksa menggulingkan tubuhnya ke atas tanah sehingga serangan dari atas itu pun tidak mengenai sasaran dan begitu dia meloncat bangkit lagi, Sam-ok sudah mengeluarkan ilmunya yang paling diandalkan karena aneh dan tangguhnya.

Tubuhnya tiba-tiba berpusing bagaikan sebuah gasing dan terus berpusing sehingga tubuh itu tidak nampak lagi. Dan dari gerakan berpusing ini dengan cepat bagaikan kilat menyambar, ada serangan-serangan mencuat yang menuju ke arah lawan. Cin Liong menggerakkan kaki tangan menangkis, akan tetapi karena pusingan tubuh lawan itu mendatangkan angin dahsyat, dan oleh karena serangan yang mencuat dari tubuh yang berputar cepat itu sukar diikuti dengan pandangan mata, maka Cin Liong terkena sambaran pukulan yang mengarah lambungnya.

Tangkisannya menyeleweng dan biar pun dia tidak terkena pukulan langsung, namun tetap saja dia terdorong sampai hampir terjengkang dan merasa betapa paha kanannya panas oleh hawa pukulan lawan. Hanya dengan melempar diri ke belakang dan berjungkir balik saja pemuda itu dapat menyelamatkan diri dan tidak sampai roboh terjengkang.

Melihat hebatnya lawan, Cin Liong tiba-tiba mendekam di atas tanah dan ketika lawan yang berpusing itu mendekatinya, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara melengking dahsyat dan tubuhnya meluncur dari bawah dengan pukulan kedua tangan didorongkan ke depan. Itulah pukulan dari Ilmu Sin-liong Hok-te yang amat hebat dari Istana Gurun Pasir!

“Desssss....!”

Oleh karena hebatnya pukulan itu, Sam-ok mana mampu mengelak? Terpaksa dia menangkis dengan pengerahan seluruh tenaganya dan akibatnya, tubuhnya terlempar dan terbanting keras sekali! Itulah hebatnya pukulan Ilmu Sin-liong Hok-te (Naga Sakti Mendekam di Bumi). Kalau saja tadi Sam-ok mempergunakan tenaga lembut, tidak mempergunakan tangkisan tenaga kasar, dia pun akan celaka kalau Cin Liong juga mempergunakan tenaga Im.

Tubuh yang tinggi besar itu terguling-guling dan akhirnya dapat meloncat bangkit kembali, berdiri agak bergoyang-goyang dan di ujung bibir kakek itu nampak darah segar yang keluar dari mulutnya! Dengan bajunya, Sam-ok menghapus darah itu dan mukanya berubah merah sekali. Dia menggereng nyaring, gerengan yang keluar dari dalam perutnya saking marahnya dan tiba-tiba dia merenggut ke arah lehernya. Nampak sinar berkilauan ketika tangannya sudah memegang seuntai rantai hitam yang tadinya dipakai sebagai kalung lehernya. Rantai ini adalah untaian batu-batu hitam dari Nepal yang diuntai dengan tali baja yang amat kuat!

Jarang sekali Sam-ok mempergunakan senjata dalam perkelahian menghadapi lawan yang betapa pandai sekali pun. Ilmu silatnya sudah sangat tinggi, tenaga sinkang-nya amat kuatnya sehingga tanpa bantuan senjata pun dia sudah merupakan seorang yang sukar dikalahkan. Akan tetapi, sekali ini dia bertemu tanding, bahkan dia telah menderita guncangan dalam tubuh yang membuatnya terluka, maka tanpa malu-malu lagi dia mengeluarkan senjata simpanannya yang tadinya dipakainya sebagai sebuah kalung jimat! Menurut kepercayaan tahyul di Nepal, batu-batu hitam yang dipakainya sebagai kalung itu mempunyai daya kekuatan untuk menolak penyakit dan mala petaka. Selain itu, juga batu-batu hitam itu keras sekali dan kuat, dapat menahan senjata pusaka lawan yang bagaimana ampuh sekali pun.

“Trrrik.... wirr.... wirr!”

Senjata aneh itu mengeluarkan bunyi berketrik ketika digerakkan dan angin dahsyat menyambar ganas ke arah Cin Liong. Pemuda ini terkejut sekali dan mengelak, akan tetapi sinar hitam itu mengejarnya terus. Cin Liong terpaksa mengebutkan ujung lengan bajunya untuk menangkis, tidak berani langsung menangkis dengan lengannya karena dia belum mengenal sifat senjata lawan. Akan tetapi, biar pun lengan bajunya itu hanya merupakan kain saja, di dalam tangan pemuda ini berubah menjadi senjata penangkis yang ampuh dan kuat sekali.

“Prattttt!”

Tangkisan ujung lengan baju dari Cin Liong itu membuat serangan Sam-ok gagal dan sinar hitam senjata rantainya itu menyeleweng, akan tetapi pemuda itu terkejut bukan main ketika melihat betapa ujung lengan bajunya pecah-pecah! Dan kini sinar hitam itu telah menyambar lagi bertubi-tubi, mengarah kepalanya dan ujung sinar hitam itu dapat melakukan serangan totokan ke arah jalan darah yang mematikan. Maka Cin Liong segera mengelak dan berloncatan ke sana-sini, dan terdesak hebat oleh sinar hitam yang mengeluarkan bunyi berketrikan itu.

“Cin Liong, nih terima pedangmu!”

Tiba-tiba terdengar Hong Bu berseru dan nampak sinar terang ketika pedang Cin Liong yang tadi dititipkan kepada pemuda itu telah dicabut oleh Hong Bu dan dilemparkannya kepada jenderal muda itu. Cin Liong cepat menyambut pedangnya dengan tangan kanan.

“Terima kasih, Hong Bu!” katanya gembira dan seketika pedang itu diputar-putarnya di tangannya, berubah menjadi sinar bergulung-gulung menyilaukan mata ketika tertimpa sinar obor.

Pedang itu adalah sebuah pedang yang baik karena pedang itu merupakan pedang pemberian Kaisar sebagai tanda pangkatnya. Seperti juga Sam-ok, putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini sebetulnya tak lagi memerlukan senjata untuk membantunya dalam perkelahian. Akan tetapi karena lawannya yang tangguh itu mempergunakan senjata yang aneh dan yang mungkin saja dapat melukai lengannya, maka tentu saja dia merasa gembira untuk mempergunakan pedangnya menghadapi senjata lawan.

Sam-ok masih terus mendesak dengan senjatanya yang diputar-putar dan menghujani lawannya dengan serangan-serangan maut. Cin Liong juga memutar pedangnya dan menyambut serangan itu dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaganya.

“Tranggg.... cringggg....!”

Keduanya melompat ke belakang ketika merasa betapa telapak tangan mereka panas dan nyeri, seolah-olah kulitnya terkupas. Mereka masing-masing memeriksa senjata sendiri, akan tetapi hati mereka lega melihat bahwa senjata mereka tidak rusak oleh benturan yang hebat tadi. Mereka gembira karena senjatanya dapat menahan senjata lawan, keduanya lalu saling terjang lagi dengan dahsyatnya. Tubuh mereka lenyap terbungkus gulungan sinar hitam dan sinar terang dari pedang Cin Liong, dan kedua sinar yang bergulung-gulung itu saling belit, saling tekan dalam sebuah pertempuran yang amat seru.

Semua orang yang menyaksikan pertandingan ini, diam-diam merasa tegang bukan main karena memang jaranglah terdapat perkelahian antara dua orang yang demikian lihainya. Yang menegangkan adalah karena kedua pihak tidak mau turun tangan membantu teman. Pihak Hek-i Mo-ong tentu saja tidak berani melakukan ini sebagai pihak yang lebih lemah atau yang lebih sedikit jumlah temannya, sebaliknya pihak Kam Hong dan kawan-kawannya tentu tidak mau melanggar perjanjian sebagai pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kehormatan dan kegagahan. Maka semua orang tahu bahwa pertandingan antara Sam-ok dan Cin Liong ini, seperti juga pertandingan lain yang akan terjadi antara kedua pihak, merupakan perkelahian mati-matian tanpa dapat mengharapkan bantuan orang lain.

Kembali puluhan jurus lewat dengan cepat dan kedua pihak belum juga mampu saling melukai, apalagi merobohkan. Cin Liong maklum akan kelihaian lawan, dia gerakkan tubuh dan pedangnya dengan tenang dan hati-hati, sebaliknya Sam-ok yang memang merasa gelisah oleh karena maklum bahwa pihaknya kalah kuat dan telah terkepung, menyerang dengan penuh nafsu. Melihat betapa pertahanan pemuda itu tangguh sekali, dia menjadi penasaran.

Tiba-tiba, pada saat kedua senjata itu saling bertemu di udara, Sam-ok menggerakkan pergelangan tangannya, dan senjata rantai batu hitam itu segera bergerak membelit-belit pedang di tangan Cin Liong, seperti seekor ular. Kedua senjata itu tidak dapat terlepas kembali dan mereka kini saling tarik-menarik dan tiba-tiba kaki kanan Cin Liong terpeleset karena dia menginjak batu yang basah dan licin. Pemuda itu terjatuh miring di atas tanah. Tentu saja semua temannya menahan teriakan kaget melihat hal ini.

Melihat kesempatan yang amat baik baginya ini, Sam-ok menjadi girang sekali dan dia pun lalu menubruk ke bawah, tangan kirinya bergerak mencengkeram ke arah kepala pemuda itu! Hebat bukan main serangan ini dan semua orang tahu bahwa sekali kepala itu terkena cengkeraman jari-jari tangan yang kuat itu, tentu pemuda itu akan tewas seketika!

Melihat hal ini, Ci Sian tentu sudah meloncat kalau saja suheng-nya tidak memegang lengannya. Hong Bu juga mengepal tinju dan matanya melotot memandang ke arah sahabatnya yang rebah miring itu sedangkan kepalanya terancam cengkeraman yang mengandung ancaman maut itu.

Sam-ok tidak tahu, juga para ahli silat di situ tidak ada yang tahu bahwa ketika terjatuh tadi, otomatis Cin Liong mengatur gerakan jurus dari ilmu silat sakti Sin-liong Hok-te. Ilmu silat ini memang meminjam kekuatan bumi dan dilakukan dengan lebih banyak mendekam di atas tanah. Maka ketika Sam-ok menyerangnya dengan cengkeraman tangan ke arah kepalanya, sebenarnya Cin Liong sudah siap siaga dengan jurus ilmu silatnya yang ampuh. Dia cepat-cepat menggerakkan kepalanya menyingkir, dan tangan Sam-ok itu kini mencengkeram pundaknya dan pada saat itu juga, tiba-tiba dari bawah, tangan kiri pemuda ini meluncur dengan dahsyat mengirim serangan-serangan pukulan mendadak.

“Dessss....!”

Terdengar gerengan serak dari mulut Sam-ok ketika tubuh raksasa itu terlempar sampai tiga meter lebih, terbanting jatuh ke atas tanah! Sam-ok merangkak bangun, berdiri dan terhuyung-huyung, memandang dengan mata melotot ke arah Cin Liong, tangan kiri mencengkeram dadanya yang terpukul, tangan kanan mengangkat rantainya tinggi-tinggi, sikapnya seperti hendak menyerang. Akan tetapi, tiba-tiba mulutnya terbuka dan menyemburkan darah segar, kedua kakinya terkulai dan dia pun roboh menelungkup dan nyawanya melayang meninggalkan tubuhnya! Koit.....

Cin Liong bangkit dan menyeringai, tangan kirinya memegangi pundak kanannya yang tadi kena dicengkeram lawan. Cu Kang Bu yang pandai dalam hal pengobatan cepat meloncat mendekatinya dan memeriksa pundaknya. Untung hanya luka daging saja, dan tenaga sinkang telah melindungi tulang pundak itu sehingga tidak remuk. Cu Kang Bu cepat memberi sebuah pel merah untuk ditelan oleh jenderal muda itu dan luka di pundaknya ditempeli koyok hitam.

Kemenangan jenderal muda ini disambut sorak-sorai oleh para pasukan, akan tetapi Toa-ok, Ji-ok, dan Hek-i Mo-ong mengerutkan alis dan muka mereka sebentar pucat sebentar merah.

Tiba-tiba Ji-ok mengeluarkan pekik melengking nyaring dan ia sudah meloncat ke depan, lalu ia menoleh kepada Hek-i Mo-ong sambil berkata, “Biarkan aku menebus nyawa Sam-te!”

Nenek bertopeng tengkorak ini adalah seorang datuk kaum sesat yang kejam sekali sehingga ia mampu memperoleh julukan Si Jahat ke Dua. Akan tetapi kini melihat betapa Sam-ok tewas di depan matanya, hatinya terasa seperti disayat dan ia merasa sakit hati sekali. Kini, Ji-ok Kui-bin Nio-nio sudah berdiri tegak, tubuhnya yang kecil ramping seperti tubuh orang muda itu bergoyang-goyang, dadanya turun naik terbawa tarikan napas panjang karena kemarahannya, sepasang mata di balik topeng tengkorak itu bagai dua titik api yang mencorong. Rambutnya yang sudah putih semua riap-riapan, sebagian menutupi muka tengkorak, kedua tangannya yang berkuku runcing bertolak pinggang, sikapnya menantang sekali.

“Bocah-bocah sombong, lekas majulah dan terimalah kematian di tanganku!” bentaknya menantang.

Ci Sian melangkah maju dan berkata kepada suheng-nya, “Suheng, ia adalah satu-satunya wanita di pihak lawan seperti juga aku di pihak kita. Biarkan aku menghadapi iblis betina ini!”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Tentu saja diam-diam dia merasa khawatir sekali akan keselamatan gadis yang amat dicintanya ini, dan dia pun tahu akan kelihaian Ji-ok. Akan tetapi, di antara lawan yang masih tinggal tiga orang, kiranya Ji-ok masih terhitung yang paling lemah dibandingkan dengan Toa-ok, dan Hek-i Mo-ong, dan selain itu, dia pun maklum bahwa sumoi-nya sekarang sama sekali tidak boleh disamakan dengan sumoi-nya setahun yang lalu. Sumoi-nya telah mewarisi ilmu sinkang dari Pulau Es saat digembleng oleh pendekar sakti Suma Kian Bu, dan dibandingkan dengan dirinya, sumoi-nya hanya kalah setingkat saja. Maka dia pun merasa yakin bahwa sumoi-nya akan mampu menandingi Ji-ok Kui-bin Nio-nio. Maka dia pun mengangguk.

“Hati-hati, Sumoi. Hadapi ia dengan tenang saja, karena engkau tidak akan kalah!” katanya memperingatkan sumoi-nya bahwa menghadapi seorang datuk kaum sesat yang tentu saja memiliki banyak pengalaman bertanding dan juga mempunyai banyak tipu muslihat, harus dilakukan dengan penuh ketenangan dan kepercayaan kepada diri sendiri. Terburu nafsu menghadapi orang seperti Ji-ok ini bisa celaka sendiri. Ci Sian mengangguk dan tersenyum.

“Suheng, aku tidak akan membikin malu dan kecewa padamu,” katanya dan janji ini mengelus hati Kam Hong yang merasa terharu dan juga berbahagia sekali.

Ci Sian kini menghadapi Ji-ok dan ia telah mencabut suling emasnya. Dara ini sekarang telah menjadi seorang gadis dewasa. Wajahnya yang berbentuk bulat manis itu masih membayangkan kelincahan dan kejenakaan. Sinar matanya penuh keberanian sedang senyum di mulutnya masih membayangkan kenakalan remajanya walau pun sikapnya kini nampak tenang dan membayangkan kematangan pengalaman-pengalaman yang selama ini dihadapinya. Mukanya yang bulat itu nampak amat manis ketika diangkatnya suling melintang di depan dada dan matanya memandang kepada lawan dengan tajam, kedua kakinya agak terpentang dan jari telunjuk dan tengah tangan kiri menyentuh ujung sulingnya yang melintang.

Melihat bahwa yang maju dan hendak melawannya hanya seorang gadis yang nampak masih remaja itu, Ji-ok mengeluarkan suara tertawa mengejek, lalu ia mendengus dengan suara memandang rendah sekali, sikap yang disengaja untuk menjatuhkan nyali lawan. “Hi-hik, bocah ini yang hendak menandingiku? Apakah tidak sayang kalau gadis secantik dan semuda ini harus mampus di tanganku? Bocah manis, lebih baik kalau lekas berlutut minta ampun dan nenekmu mungkin akan menaruh kasihan kepadamu!”

Ucapan ini selain hendak merendahkan dan mengecilkan nyali lawan, juga disengaja dikeluarkan untuk membakar hati lawan, agar marah. Kemarahan yang mengawali pertandingan berarti merugikan sekali dan hal ini diketahui dengan baik oleh Ci Sian yang selain menerima gemblengan Kam Hong, juga pernah digembleng oleh seorang pendekar sakti seperti Suma Kian Bu. Maka, mendengar ucapan dan melihat sikap nenek itu, ia tetap tersenyum, bahkan mengambil sikap seperti seorang dewasa melihat tingkah laku seorang anak kecil yang nakal.

“Ji-ok Kui-bin Nio-nio,” katanya lantang, “Sudah lama aku mendengar bahwa engkau adalah seorang nenek yang amat kejam seperti siluman, banyak membunuh anak-anak kecil untuk kau hisap darah dan otaknya. Kejahatanmu sudah melampaui takaran dan engkau telah layak untuk mati sampai seratus kali. Maka sekarang tiba saatnya engkau menebus dosa-dosamu di dasar neraka menyusul Sam-ok yang sudah mendahuluimu dan sedang menantimu di ambang pintu neraka. Bersiaplah engkau, wahai nenek iblis!”

Kini terjadilah senjata makan tuan. Senjata yang dipergunakan oleh Ji-ok, yaitu kata-kata untuk memancing kemarahan lawan, ternyata dipergunakan pula oleh Ci Sian yang cerdik. Dara ini maklum akan kelemahan lawan pada saat itu, maka Ci Sian sengaja mengingatkannya tentang kematian Sam-ok. Di luar kesadarannya sendiri, mendengar ucapan ini, Ji-ok teringat akan kematian Sam-ok dan ia menjadi marah bukan main. Sambil mengeluarkan suara mendengus karena tidak mampu lagi mengeluarkan kata-kata saking marahnya, nenek ini sudah menggerakkan tubuhnya dan tangan kirinya yang berkuku panjang itu telah melakukan penyerangan dahsyat, mencengkeram ke arah muka Ci Sian!

Ci Sian tersenyum mengejek dan cepat mengelak sambil menggerakkan sulingnya menotok ke arah sambungan siku lengan nenek yang menyerangnya itu dari samping, memaksa Ji-ok untuk cepat menarik kembali lengannya yang melakukan penyerangan tadi. Mereka segera mulai serang-menyerang dengan sengit dan terjadilah perkelahian yang tidak kalah serunya dibandingkan dengan pertandingan pertama antara Cin Liong dan Sam-ok tadi.

Pelampiasan kemarahan merupakan pembuangan kekuatan batin yang amat besar, merupakan penghamburan energi yang sungguh sia-sia. Orang yang melampiaskan kemarahan melalui kata-kata keras atau tindakan-tindakan kekerasan, tentu akan merasa betapa sesudahnya dia akan kehabisan tenaga, lemas lahir batin. Oleh karena itu, orang yang mampu menghadapi nafsu-nafsu yang muncul seperti nafsu amarah, tanpa menghamburkan kekuatan dahsyat itu melalui pelampiasan, berarti akan menyimpan kekuatan batin yang kuat. Bukan mengendalikan kemarahan, melainkan menghadapinya dan memandangnya dengan wajar dan waspada dan sadar, tidak dikuasai olehnya. Pengendalian kemarahan hanya akan meredakan nafsu itu untuk sementara waktu saja.

Ji-ok telah dikuasai nafsu kemarahan sendiri, dan kemarahannya ini semakin melonjak saja ketika ia mendapatkan kenyataan betapa ia tidak mampu mengalahkan lawan yang dianggapnya masih bocah ingusan ini, betapa pun ia telah mengerahkan seluruh tenaga dan memeras seluruh kepandaiannya. Bahkan sebaliknya, serangan-serangan balasan dari suling emas itu sungguh membuat ia kadang-kadang terkejut dan beberapa kali nyaris terkena totokan ujung suling emas.

Lebih dari itu pula, setelah lewat puluhan jurus, suling emas itu selain mengeluarkan serangan yang sangat berbahaya, juga mengeluarkan suara melengking tinggi rendah bagaikan ditiup mulut yang tidak nampak, dan di dalam suara ini terkandung tenaga khikang yang teramat kuat, membuat kepalanya pening dan pengumpulan tenaganya kadang-kadang membuyar!

Ji-ok yang biasanya amat yakin akan kemampuan sendiri, yang biasanya memandang rendah kepada pihak lawan, sekali ini merasa penasaran bukan main dan hal ini lalu mendorong kemarahannya menjadi semakin memuncak sampai napasnya terengah engah dan dari atas kepala yang penuh rambut putih itu mengepul uap putih yang tebal!

“Mampuslah engkau! Haiiittt....!”

Tiba-tiba nenek itu merendahkan dirinya untuk membiarkan suling itu meluncur lewat, kemudian kakinya mengirim tendangan kilat ke arah dada Ci Sian. Bukan sembarang tendangan karena tendangan itu dilakukan sambil meloncat dan merupakan tendangan berantai, dilakukan oleh kaki bersepatu yang dilapisi besi meruncing itu. Bertubi-tubi kedua kaki itu menendang, dan setiap kaki dapat melakukan tendangan berantai sampai tiga empat kali mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh lawan!

“Tak-tuk-tak-tuk!”

Terdengar suara pada saat Ci Sian mengelak dan menangkis dengan sulingnya sampai akhirnya nenek itu terpaksa menghentikan serangan tendangan berantai yang selain tak berhasil, juga membuat kedua kaki yang terbungkus sepatu itu terasa nyeri bertemu dengan suling emas. Akan tetapi masih dua kali lagi ia menendang dan sekali ini, dari pinggiran ujung sepatunya menyambar sinar kecil-kecil merah ke arah tubuh Ci Sian!

“Tring-tring-tring....!”

Paku-paku berwarna merah yang mengandung racun itu runtuh semua ketika tertangkis suling dan dengan marah Ci Sian memutar sulingnya, menggunakan jurus yang ampuh dari Kim-siauw Kiam-sut untuk balas menyerang. Gulungan sinar keemasan dari suling itu menghimpit dan nenek itu terpaksa berloncatan mundur karena terdesak oleh serangan suling berubi-tubi yang mengeluarkan bunyi melengking tinggi itu.

Untuk menghindarkan diri dari serangan suling bertubi-tubi yang sinarnya menggulung dirinya itu, terpaksa Ji-ok harus melempar tubuhnya ke belakang, ke atas tanah lalu ia bergulingan sampai jauh. Ketika Ci Sian yang melihat lawan bergulingan menjauhi ini mengejar dengan serangan sulingnya, dengan hati girang karena lawan memperlihatkan kelemahannya, tiba-tiba saja Ji-ok melakukan penyerangan dari bawah, menggunakan ilmunya yang ampuh, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang). Telunjuknya menusuk atau menotok, mengeluarkan suara bercicitan seperti tikus terjepit dan dari telunjuk tangannya itu keluarlah sinar berkilat yang mengandung hawa dingin sekali!

Melihat telunjuk lawan menuju ke arah tenggorokannya, dan merasakan hawa dingin yang menyambar, Ci Sian kemudian menggerakkan tangan kirinya menangkis sambil mengerahkan Hwi-yang Sinkang atau sinkang yang mengandung hawa panas yang pernah dilatihnya dari Pendekar Pulau Es Suma Kian Bu.

“Tasssss....!”

Pertemuan dua tenaga yang saling bertentangan itu merupakan benturan keras lawan keras hingga akibatnya keduanya terdorong ke belakang. Ji-ok merasa betapa seluruh lengannya tergetar dan panas sekali, sebaliknya Ci Sian cepat mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin yang menyusup ke tubuh melalui tangan yang menangkis tadi.

Betapa pun, girang juga hati Ji-ok melihat betapa ilmunya yang hebat itu sempat membuat lawan tangguh ini terhuyung, maka ia pun sudah meloncat ke depan lagi sambil menyerang dengan ilmu Kiam-ci secara dahsyat dan bertubi-tubi.

Menghadapi serangan aneh dan amat berbahaya ini, Ci Sian cepat menggerakkan dan memutar sulingnya dengan tangan kanan, dan tangan kirinya membantu, bukan hanya untuk menangkis, melainkan juga untuk menyerang dengan pukulan-pukulan jarak jauh untuk mengimbangi serangan lawan. Tentu saja ia sudah mempergunakan tenaga gabungan Im dan Yang dari Pulau Es yang pernah diajarkan Suma Kian Bu kepadanya.

Kini pertandingan itu berjalan lebih seru, tetapi juga aneh karena jarak antara mereka agak jauh dan agaknya kedua tangan mereka tidak pernah saling menyentuh, namun di antara dua orang wanita ini menyambar-nyambar hawa pukulan yang mengeluarkan bunyi bercicitan dan juga terasa betapa angin pukulan yang kadang-kadang dingin bukan main, kadang-kadang panas, menyambar-nyambar ke semua jurusan. Hebat memang perkelahian itu dan semua orang yang menonton menjadi kagum luar biasa. Terutama Kam Hong, pendekar ini bangga bukan main. Sumoi-nya itu, setelah memiliki sinkang gabungan dari Pulau Es, benar-benar menjadi seorang wanita yang sangat hebat!

Adu pukulan jarak jauh itu berlangsung sampai seratus jurus, dan keduanya mulai lelah karena perkelahian macam ini membutuhkan pengerahan sinkang yang terus menerus dan siapa lengah tentu akan celaka. Dan hal ini pun menguntungkan Ci Sian. Dara ini masih muda sekali, tentu saja memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan lawannya yang mulai terengah-engah dan uap yang mengepul dari kepala itu kini makin tebal saja, dan nampak keringat menetes-netes dari balik kedok tengkorak, juga di leher nenek itu nampak keringat membasahi kulit dan baju.

Memang tidak dapat disangkal pula bahwa Ci Sian juga sudah merasa lelah, dadanya bergelombang, pernapasannya mulai terdengar, dan dahi serta lehernya nampak basah. Namun, dibandingkan dengan lawannya, ia masih lebih segar.

Tentu saja Ji-ok menjadi semakin penasaran dan marah, sungguh pun kemarahannya itu mulai bercampur dengan kekhawatiran. Sungguh tidak disangkanya, lawannya yang masih amat muda ini ternyata benar-benar lihai bukan main, bukan saja memiliki ilmu silat yang amat tinggi dengan suling emasnya, juga ternyata memiliki tenaga sinkang yang hebat sekali di samping tenaga khikang yang membuat sulingnya dapat bersuara melengking tinggi menggetarkan jantung.

Maka nenek ini pun mengambil keputusan bulat untuk mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yang merupakan senjata rahasianya yang selama ini bahkan belum pernah dikeluarkannya menghadapi lawan-lawan tangguh. Pada waktu itu, Ci Sian yang melihat betapa lawannya sudah nampak lelah sekali, memutar sulingnya dan melakukan desakan hebat sehingga Ji-ok terpaksa hanya main mundur dan mengelak ke sana sini. Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya seperti orang hendak lari.

Tentu saja Ci Sian tidak membiarkan lawannya melarikan diri dan ia pun cepat meloncat mengejar. Dan pada saat itu pula, tiba-tiba Ji-ok membalikkan tubuh lagi dan kedua tangannya menyerang dengan jurus Kiam-ci yang mengeluarkan suara bercuitan. Dan bukan hanya tusukan-tusukan jari yang dahsyat ini saja yang menyambar ke arah Ci Sian, akan tetapi juga didahului oleh dua sinar hitam yang menyambar dan tahu-tahu dua sinar itu telah mengenai leher dan juga pinggang Ci Sian.

Semua orang terkejut sekali melihat dua sinar ini adalah dua ekor ular yang sangat berbahaya. Semacam ular cobra yang jahat dan beracun sekali! Ular-ular cobra itu sudah melingkari leher dan pinggang Ci Sian dan semua orang tahu bahwa sekali saja terkena gigitan ular seperti ini, maka tidak ada obat di dunia ini yang akan dapat menyelamatkan nyawa orang yang digigitnya. Hanya Kam Hong yang masih nampak tenang-tenang saja, padahal Cin Liong dan Hong Bu sudah menahan seruan dan wajah kedua orang muda ini sudah menjadi pucat sekali. Juga Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, walau pun Yu Hwi juga segera tersenyum karena ia teringat bahwa Ci Sian akan mampu menghadapi ular-ular itu.

Dugaannya memang benar dan hal ini pun diketahui oleh Kam Hong maka pendekar ini nampak tenang saja. Ci Sian adalah murid terkasih dari See-thian Coa-ong, raja ular yang memiliki ilmu pawang ular yang lihai bukan main. Gadis ini selain telah menguasai Sin-coa Thian-te-ciang, ilmu silat ular yang lihai, juga telah menguasai ilmu pawang ular.

Maka begitu ia tadi melihat bahwa senjata rahasia lawannya adalah dua ekor ular cobra, diam-diam ia tertawa dan segera mengerahkan ilmu menundukkan ular itu. Hebatnya, begitu ular-ular itu mengenai leher dan pinggangnya, dua ekor ular yang segera mengenal ilmu itu dan tahu bahwa manusia ini adalah ‘ratu’ mereka, sama sekali tidak menggigit malah lalu melingkar dengan manja!

Yu Hwi maklum bahwa Ci Sian pernah menjadi murid See-thian Coa-ong, dan Kam Hong juga tahu akan hal ini, maka mereka berdua tidak merasa khawatir. Akan tetapi, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terjengkang! Kam Hong sendiri sampai terkejut setengah mati melihat hal yang tidak diduga-duganya ini.

Ji-ok terkekeh girang, lalu menubruk untuk memberi pukulan maut terakhir. Akan tetapi, mendadak kedua tangan Ci Sian bergerak dan dua ekor ular itu kini meluncur ke arah tubuh Ji-ok yang sedang menubruk, dengan mulut mendesis penuh kemarahan! Ji-ok terkejut, namun tidak mampu mengelak lagi dan dua ekor ular itu telah mengenai pundak kanan dan paha kirinya, terus saja dua ekor ular cobra itu mematuk dan menggigit! Ji-ok menjerit ngeri, lalu terpelanting.

Ci Sian juga sudah melompat bangun, sulingnya menotok ke arah tenggorokan wanita itu. Ji-ok mengelak dan suling itu mengenai topengnya. Terdengar suara keras dan topeng itu terlepas dari muka Ji-ok. Dan semua orang pun menahan seruan kaget dan ngeri ketika melihat muka nenek itu.

Muka yang cantik sesungguhnya, biar pun sudah tua akan tetapi kulit muka itu masih halus dan putih. Bentuk mulutnya, hidungnya, matanya, semua jelas menunjukkan bahwa muka itu dahulu adalah wajah seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi, sungguh mengerikan sekali, wajah yang demikian eloknya itu ternoda oleh goresan bersilang dari atas kiri ke bawah kanan dan dari atas kanan ke bawah kiri sehingga membuat muka itu nampak mengerikan sekali! Sekarang semua orang baru tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu tersembunyi wajah cantik yang sudah cacad.

Tentu saja Ji-ok yang mempunyai senjata rahasia ular cobra yang amat berbahaya telah menggunakan obat sehingga tubuhnya kebal terhadap gigitan ular-ular itu, dan biar pun tadi dua ekor ular yang telah dikuasai oleh ilmu Ci Sian itu membalik dan menggigit majikan sendiri, namun Ji-ok tidak terancam bahaya maut oleh gigitan itu. Yang membuatnya terkejut bukan main adalah terlepasnya kedok. Ia marah sekali dan menubruk ke arah Ci Sian tanpa mempedulikan lagi keselamatan dirinya, sama sekali tidak lagi memperhatikan daya tahan untuk melindungi dirinya. Ia seperti orang nekad yang hendak mengadu nyawa dengan lawannya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini ketika mula-mula memakai kedok tengkorak, telah bersumpah bahwa tidak ada orang lain yang boleh melihat wajahnya dan kalau sampai wajahnya nampak oleh orang lain berarti ia akan mati! Maka, begitu kedoknya terlepas oleh pukulan suling lawan, ia pun menjadi marah dan melakukan serangan nekad, menubruk dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar garuda, dengan kuku panjang yang mengandung tenaga dahsyat dari Kiam-ci itu.

Tentu saja Ci Sian dapat melihat kenekadan lawan, maka ia pun cepat meloncat ke samping dan melihat betapa tubuh orang terbuka tanpa perlindungan, sulingnya sudah menyambar, merupakan sinar kuning emas yang meluncur cepat.

“Takkk....! Aihhhh....!”

Ji-ok mengeluarkan jeritan satu kali lalu tubuhnya terguling dan jatuh menelungkup di atas tanah, tewas seketika karena dua kali tubuhnya tertotok ujung suling, pertama kali pada lambungnya lalu disusul totokan pada leher bawah telinganya.

Bukan main sedihnya hati Toa-ok melihat tewasnya Ji-ok dan Sam-ok di depan matanya tanpa ia mampu melindungi mereka itu. Kini tinggal dia seorang diri di dunia. Im-kan Ngo-ok yang terdiri dari lima orang itu kini tinggal dia seorang saja. Su-ok dan Ngo-ok telah tewas lebih dulu dan kini menyusul Sam-ok dan Ji-ok. Biar pun Toa-ok merupakan seorang datuk kaum sesat yang biasa berhati kejam sekali, akan tetapi sekali ini dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri.

Dengan muka berubah merah dia sudah melompat ke depan. Ketika dia menggerakkan tangannya, lengan bajunya berkibar dan dari situ menyambar angin dahsyat ke depan, membuat debu mengebul dan daun-daun kering beterbangan. Akan tetapi Ci Sian yang merasa lelah dan juga girang karena telah berhasil keluar sebagai pemenang, kini telah meloncat ke belakang dan tidak mau melayani Toa-ok yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bersinar-sinar penuh kemarahan dan dendam.

Tanpa membuang waktu lagi, Sim Hong Bu melangkah maju sambil berkata kepada Kam Hong, “Biar aku yang melayaninya.”

Kam Hong mengangguk. “Hati-hatilah, Saudara Hong Bu, lawanmu itu cukup tangguh.”

Melihat majunya pemuda tegap sederhana yang sikapnya gagah ini, Toa-ok segera menghadapinya dan sepasang matanya yang masih terbelalak penuh kemarahan itu seperti hendak menelan Hong Bu bulat-bulat. Dia mengenal pemuda ini, bahkan dia tahu pula bahwa pemuda inilah yang dahulu bersahabat dengan Yeti. Mengingat bahwa pemuda ini baru beberapa tahun saja mempelajari ilmu silat, tentu saja Toa-ok yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pemuda ini, walau pun dia sama sekali tidak mau bersikap sembrono dan memandang rendah.

Tadi sudah disaksikannya betapa orang-orang muda seperti Kao Cin Liong dan Bu Ci Sian telah mampu merobohkan dan menewaskan Sam-ok dan Ji-ok. Dia sekarang harus dapat membalas kematian dua orang adik-adiknya itu. Akan tetapi ketika Hong Bu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampak sinar biru berkelebat, Toa-ok merasa gentar juga. Bagaimana pun juga, pemuda ini sudah pernah membuktikan kelihaiannya ketika dikeroyok dan dapat juga melarikan diri. Pedang di tangan pemuda itu adalah sebatang pedang yang amat ampuh, dan juga ilmu pedang yang dimiliki pemuda ini luar biasa aneh dan lihainya, maka Toa-ok bersikap hati-hati.

Di antara kelima orang Im-kan Ngo-ok, hanya Toa-ok sajalah yang tidak pernah mau mempergunakan senjata. Tentu saja, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, dia pandai memainkan segala macam senjata yang dipergunakan orang di dunia persilatan. Tetapi, tokoh ini memiliki tingkat yang tinggi dan tenaga sinkang yang kuat sekali sehingga dia tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu telah dilindungi oleh kekuatan sinkang dan dapat menahan senjata tajam yang bagai mana pun kuatnya. Setiap serangan tangan atau kakinya juga lebih berbahaya dari pada senjata tajam.

Setelah melihat pemuda pewaris Koai-liong Po-kiam itu mencabut pedangnya, Toa-ok juga tidak mau banyak cakap lagi. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor monyet raksasa, kakek ini pun lalu mulai membuka serangannya.

Gerakannya biasa saja, seperti bukan gerakan silat, juga nampak kaku dan dia hanya mengembangkan kedua lengannya ke depan dan kedua tangannya itu menyambar dari atas, kanan dan kiri, akan tetapi, biar pun nampak kaku dan lamban, namun dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali, yang mengeluarkan suara angin keras. Dan baru saja kakek itu mulai dengan serangannya, Hong Bu sudah merasakan sambaran hawa pukulan yang amat panas. Maka pemuda ini pun lalu memutar pedangnya dan selain mengelak serta melindungi diri dengan gulungan sinar pedang kebiruan, juga dia membalas secara kontan dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan yang agak gendut itu.

“Trakkk!”

Toa-ok menangkis dengan lengannya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga, mencoba membuat pedang lawan terpental, bahkan tangkisan itu disambung dengan cengkeraman untuk merampas pedang. Ketika lengan bertemu pedang, Hong Bu merasa betapa pedangnya tergetar hebat, akan tetapi dia pun cepat menarik pedangnya itu dan gulungan sinar pedang kembali berkelebat dan sudah membabat ke arah leher lawan. Ketika Toa-ok mengelak, pedang itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya, seolah-olah mempunyai nyawa dan setiap serangan yang tidak mengenai sasaran disambung dengan serangan berikutnya.

Terjadilah perkelahian yang sama serunya dengan dua pertandingan yang terdahulu. Bahkan lebih menegangkan lagi karena para pendekar itu maklum bahwa kepandaian Toa-ok ini masih lebih lihai dibandingkan dengan Ji-ok atau Sam-ok. Sekali ini, yang paling khawatir adalah Cu Pek In. Dara ini biar pun merupakan puteri dari pendekar sakti keluarga Cu, namun tingkat kepandaiannya belumlah setinggi Hong Bu, maka ia hanya dapat menonton dengan hati gelisah. Ia pun tahu betapa lihainya kakek yang seperti gorila itu dan biar pun gerakan kakek itu kaku dan aneh seperti gerakan seekor monyet raksasa, namun ia mengerti bahwa kalau tidak lihai bukan main, tidak nanti kakek yang mukanya menyerupai monyet ini dapat menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok!

Sim Hong Bu maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan kini pemuda itu mulai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang amat hebat itu. Perlahan-lahan nampak sinar pedang berwarna biru begulung-gulung, makin lama makin cepat dan makin lebar. Mula-mula hanya terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi itu makin meninggi menjadi lengking yang aneh, seperti auman singa, makin lama makin nyaring sampai menggetarkan anak telinga. Pedang itu lenyap membentuk gulungan sinar biru yang agaknya memenuhi tempat itu, membungkus tubuh Sim Hong Bu sehingga yang nampak pada diri pendekar muda perkasa ini hanya kedua kakinya yang kadang-kadang turun ke atas tanah, akan tetapi sebentar saja sudah lenyap lagi.

“Hyaaaattt....!”

Tiba-tiba terdengar teriakan Hong Bu di antara lengking suara pedangnya, dan dengan gerakan kilat sinar biru menyambar ke arah leher Toa-ok. Jurus ini amat hebatnya, tusukan pedang itu bergetar, membuat ujung sinar pedang itu menjadi banyak dan membingungkan lawan karena sukar untuk menduga ke arah mana pedang itu akan menyerang.

Akan tetapi, Toa-ok yang juga berkelahi dengan amat hati-hati itu tahu bahwa lehernya yang menjadi sasaran utama, maka dia pun sudah miringkan tubuh menarik kepalanya ke belakang dan kedua lengannya membuat gerakan menggunting dalam usahanya menangkap pedang lawan. Tapi Hong Bu menarik sedikit pedangnya dan menggunakan ujung pedang untuk menusuk ke arah sambungan siku kanan Toa-ok.

“Hemmm!” Toa-ok mendengus, menarik sikunya turun dan tangan kirinya menangkis pedang sedangkan tangan kanan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sim Hong Bu.

Pemuda ini tentu saja tahu akan datangnya bahaya maut, maka sambil menarik pedangnya dia melompat ke belakang. Akan tetapi, alangkah terkejut hati pemuda itu ketika melihat betapa tangan yang besar berbulu seperti tangan monyet itu masih terus saja mengejar kepalanya dan mengancam dengan cengkeraman yang mengerikan. Kiranya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini mempunyai ilmu memanjangkan lengan tangan sehingga biar pun Hong Bu sudah mundur sampai dua meter, lengan itu masih dapat menjangkaunya dan tangan itu masih meneruskan serangannya.

“Plakkk!”

Terpaksa Hong Bu menangkis dengan lengan kirinya yang kebetulan berada dalam posisi yang baik untuk menangkis sedangkan pedangnya tidak sempat melindungi dirinya. Dan tangkisan ini membuat Hong Bu terhuyung. Diam-diam pemuda ini merasa kagum dan juga kaget. Nyaris dia menjadi korban ilmu aneh memanjangkan lengan itu! Maka dia pun cepat menyusuli tangkisannya dengan babatan pedangnya ke arah sambungan siku lengan yang memanjang itu.

“Wwuuuuttt....!”

Tiba-tiba saja lengan yang panjangnya lebih dari dua meter itu menjadi pendek kembali seolah-olah ditarik dengan amat cepatnya dan kini kakek raksasa seperti monyet itu sudah memutar tubuhnya dan kedua kakinya sudah melakukan serangan Im-yang Soan-hong-twi (Ilmu Tendangan Angin Puyuh Im dan Yang). Kedua kaki yang besar dan panjang itu dengan amat cepatnya berputar-putar silih berganti melakukan tendangan berantai dan ketika Hong Bu mengelak dan beberapa kali menangkis, dia memperoleh kenyataan bahwa tendangan itu selang-seling dengan dua macam tenaga lemas dan kasar.

Menghadapi tendangan berantai yang ganas ini, Hong Bu lantas memutar pedangnya dengan jurus Naga Sakti Bercanda Dengan Mustika. Pedang itu berputar membentuk lingkaran sinar biru di depannya, merupakan benteng yang berbahaya bagi kedua kaki Toa-ok yang terpaksa menghentikan tendangan berantai itu karena terdapat bahaya kakinya akan menjadi buntung kalau berani memasuki lingkaran sinar biru itu.

Setelah kini Hong Bu mainkan Koai-liong Kiam-sut, mengeluarkan jurus-jurus pilihan saja sehingga pedangnya mengeluarkan suara mengaum-aum nyaring, perlahan-lahan Toa-ok nampak repot juga, terdesak karena memang ilmu pedang ini luar biasa sekali dan dia belum dapat mengenal dasar-dasarnya.

“Arrrghhh....!” Bentakan yang keluar dari kerongkongan Toa-ok ini mirip benar dengan gerengan seekor monyet yang sedang marah, dan tiba-tiba saja tangan kiri kakek itu dapat menangkap pedang Koai-liong Po-kiam!

Dapat dibayangkan betapa lihainya kakek ini yang telah dapat menangkap pedang telanjang dengan tangan kosong, padahal pedang itu tadi berubah menjadi sinar berkelebatan. Hong Bu terkejut, merasa betapa pedangnya seperti terjepit pada sebuah jepitan baja yang amat kuat! Dia menarik dan membetot, tidak dapat ditarik kembali.

Dan pada saat itu, Toa-ok telah menghantamkan tangan kanannya yang terbuka lebar itu ke arah dada Hong Bu dengan dorongan tenaga sinkang yang amat kuatnya! Karena pedangnya masih terjepit di tangan lawan, tentu saja Hong Bu tidak mau mengelak dan melepaskan pedang. Dia tahu bahwa kalau dia kehilangan pedang pusaka itu, maka dia akan menjadi bagaikan harimau yang dicabuti giginya, dan jalan satu-satunya untuk menghadapi pukulan telapak tangan lawan itu hanya dengan keras melawan keras. Maka dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya, menerima hantaman itu dengan memapaki tangan dengan tangan pula.

“Dessss....!”

Dua telapak tangan bertemu, dan telapak tangan kakek itu dua kali lebih lebar dari pada telapak tangan Hong Bu. Akan tetapi pendekar muda ini pun tadi sudah menggunakan sinkang sekuatnya sehingga ketika dua telapak tangan bertemu, kedua tangan itu seperti saling melekat, tidak dapat ditarlk kembali karena siapa yang menarik lebih dulu, akan menghadapi bahaya maut karena lawan tentu langsung menyerangnya. Maka kini keduanya berkutetan, sebelah tangan saling menarik pedang untuk merampasnya, sebelah tangan yang lain saling dorong mengadu kekuatan sinkang! Keadaan amat menegangkan, bahkan Cin Liong sudah mengepal-ngepal tinjunya, ragu-ragu apakah pemuda itu akan mampu menandingi Toa-ok dalam adu tenaga ini.

Memang Hong Bu mulai terdesak dalam adu tenaga ini. Bagaimana pun juga inti ilmu yang diwarisinya adalah ilmu pedang dan kini setelah pedangnya tertangkap dan dia tidak lagi mampu mempergunakan ilmu pedangnya, maka tentu saja kelihaian Hong Bu seperti mati langkah, dan dalam hal tenaga sinkang, dia masih kalah oleh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu! Kalau dilanjutkan adu tenaga itu, tentu Hong Bu akan kalah dan Kam Hong sudah bersiap-siap untuk menyelamatkan sahabatnya itu, bukan untuk mengeroyok namun untuk menyelamatkan sahabatnya dan tentu saja mengaku kalah. Kekalahan di pihaknya berarti harus membiarkan yang menang untuk pergi dengan aman! Sedangkan orang seperti Toa-ok itu amatlah berbahaya kalau dibiarkan berkeliaran di dunia ini.

Akan tetapi, mendadak saja Toa-ok yang seperti juga Hong Bu tidak mampu lagi mempergunakan kedua tangan itu, menggerakkan kepalanya dan mulut yang agak lonjong ke depan seperti monyong monyet itu, dengan giginya yang besar-besar dan bersiung, dibuka dan hendak menggigit ke arah tenggorokan Hong Bu!

Semua orang terkejut sekali melihat ini, bahkan Hong Bu sendiri juga kaget. Tidak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang begitu tinggi kedudukannya, seorang datuk seperti Toa-ok, mau mempergunakan cara yang hanya dilakukan binatang buas dalam perkelahian, yaitu menggigit! Betapa pun aneh dan lucunya hal ini, namun harus diakui bahwa serangan menggunakan mulut untuk menggigit tenggorokan ini amat berbahaya.

Tentu saja Hong Bu tak lagi bisa mengelak. Tangan kanannya masih mempertahankan pedang pusaka yang hendak dirampas, dan tangan kirinya masih menahan telapak tangan Toa-ok. Dua tangannya tak dapat dipakai untuk menangkis, dan untuk mengelak ke belakang pun tidak mungkin.

Akan tetapi, pemuda ini teringat bahwa dahulu, sebelum dia menjadi murid pendekar sakti keluarga Cu, dia pernah mempelajari ilmu silat tingkat rendahan dari ayahnya dan para pamannya. Dan di dalam latihan-latihan ketangkasan dan latihan tenaga ini ada semacam latihan yang pernah dilatihnya, bahkan telah dikuasainya dengan baik, yaitu melatih kepalanya, terutama bagian dahi untuk menyerang! Dengan latihan yang tekun, di waktu dia masih kecil saja dia sudah mempunyai batok kepala yang kuat dan dengan dahi kepalanya dia sudah mampu menghancurkan batu bata yang keras.

Kini, kepandaian ini timbul dalam benaknya ketika dia menghadapi bahaya. Kekuatan kepalanya yang hanya berkat latihan dan dilandasi kekuatan otot dan kekerasan tulang kepala yang dilatih itu tentu saja tidak akan berguna, bahkan berbahaya kalau dilawan oleh tenaga sinkang lawan, maka dia pun tidak pernah mau menggunakan kepalanya dalam pertempuran. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi gigi! Dan tidak terdapat jalan lain untuk menyelamatkan tenggorokanhya dari ancaman gigi yang besar-besar dan runcing itu. Maka, dengan cepat Hong Bu juga menggerakkan kepalanya, menyambut mulut lawan yang dimoncongkan untuk menggigitnya itu dengan benturan yang dilakukan dengan sekuat tenaga.

“Bresss....!”

Bukan main hebatnya pertemuan antara mulut dengan dahi itu dan terdengar Toa-ok berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Mulutnya berdarah dan ternyata giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Gigi orang yang sudah tua ini, yang hanya tinggal beberapa potong dan itu pun sudah kurang kuat, tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan dahi yang terlatih dan kuat itu!

Toa-ok menjadi marah sekali. Bukan hanya dia telah dibikin rugi, kehilangan semua sisa giginya dan bibirnya berdarah, tetapi juga dia telah mendapat malu karena keadaannya itu sama saja artinya dengan dia menderita kekalahan. Sambil menggereng, dia pun lalu menerjang maju dan angin yang keras mendahului terjangannya ini. Kedua lengannya dipentang lebar-lebar ke atas, seperti seekor orang hutan raksasa sedang marah dan menyerang, dari tenggorokannya keluar gerengan yang menggetarkan jantung.

Akan tetapi, Hong Bu sudah siap menanti kemarahan lawan ini, pedangnya berkelebat ke depan dan pada saat kedua tangan dari atas itu menerkam, Hong Bu menyelinap di bawah ketiak kanan lawan sambil membalik dan pedangnya menusuk lambung.

“Crotttt!”

Biar pun pedang itu tidak dapat memasuki lambung yang penuh dengan hawa sinkang yang kuat itu, namun tetap saja baju kakek itu di bagian lambung terobek, berikut kulit lambung dan sedikit dagingnya, cukup untuk membuat darahnya mengucur dari tempat itu. Sedangkan Hong Bu sudah meloncat menjauh.

Kembali kakek yang semakin marah itu menerjang, dan sekali lagi Hong Bu mengelak sambil menyerang, sekali ini pedangnya berhasil menggores pipi dan leher lawan yang menjadi robek kulitnya dan berdarah. Dan ketika kakek itu membalik, lawannya yang lincah itu sudah menjauh pula. Hong Bu kini memperoleh akal, mempergunakan siasat seperti seekor lebah menyengat lalu terbang menjauh, menyengat lagi dan menjauh lagi. Dan dia pun tahu di mana letak kelemahan lawannya atau di mana dia dapat mengungguli lawan, yaitu pada kecepatan gerakan.

Mengandalkan kecepatannya ini, dan mengandalkan pedang Koai-liong Po-kiam yang amat tajam, maka mulailah Hong Bu dapat mengacau lawan, bahkan kini sengatan pedangnya semakin cepat dan semakin sering sehingga lewat tiga puluh jurus saja, baju yang menutupi tubuh Toa-ok sudah robek-robek di sana-sini dan pada setiap tempat yang terobek itu tentu ternoda darah. Toa-ok merasa penasaran sekali, dia pun sudah mengerahkan tenaga dan kecepatannya, namun pemuda itu terlalu lincah baginya, dan ilmu pedang pemuda itu masih belum juga dapat dia pecahkan rahasia dasarnya sehingga dia selalu dibuat bingung, tidak dapat mengikuti ke mana arah perkembangan sinar pedang yang cepat itu.

Toa-ok benar-benar merasa kewalahan sekarang. Kalau tadinya, dengan sinkang-nya dia masih dapat melindungi seluruh tubuh sehingga sengatan-sengatan ujung pedang itu hanya mendatangkan luka kulit daging yang kecil dan dangkal saja, makin lama sengatan-sengatan itu makin dalam karena tenaga pemuda itu semakin bertambah sedangkan tenaganya sendiri sudah menjadi makin lemah. Tubuh yang mulai tua dan kurangnya latihan membuat dia terpaksa mengakui keunggulan lawan yang masih muda itu.

Betapa pun juga setelah lewat seratus jurus lebih, ketika untuk kesekian kalinya ujung pedang pemuda itu menyengat dan mengenai paha kirinya, tiba-tiba dia membarengi dengan hantaman kedua tangannya, dengan pengerahan tenaga yang masih bersisa, tanpa mempedulikan sengatan pedang pada pahanya.

“Crott! Desss....!”

Tubuh Hong Bu terlempar dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya, akan tetapi celana di paha Toa-ok terobek dan darah muncrat dari lukanya yang cukup dalam karena pedang itu menusuk sampai mengenai tulangnya! Rasa nyeri membuat Toa-ok menggereng dan melihat pemuda itu bergulingan, dia pun menubruk ke depan tanpa memberi kesempatan pemuda itu untuk bangun kembali. Serangan ini hebat bukan main dan Pek In sudah menjerit, akan tetapi Cu Kang Bu, juga Kam Hong dan Ci Sian dapat melihat gerakan pemuda itu ketika menerima hantaman dengan bahunya dan mereka bertiga menduga dengan penuh harapan bahwa Hong Bu setengah sengaja membiarkan dirinya dihantam tadi.

“Wuuuttt....!” Toa-ok menubruk seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba saja.

“Crottt....!” Pedang Koai-liong Po-kiam menembus lambung.

Hong Bu cepat meloncat menyingkir dan terpaksa meninggalkan pedang yang terbenam di lambung lawan itu karena kalau tidak, tentu dia terpaksa menerima cengkeraman yang dahsyat sekali itu.

“Bressss....!”

Biar pun Toa-ok sudah terluka hebat, pedang itu pun menembus lambung sampai ke belakang tubuh, namun batu besar yang kena ditubruknya dan dicengkeramnya itu pecah berhamburan. Debu mengepul tinggi dan bumi rasanya terguncang! Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya.

Begitu dicabut, darah muncrat-muncrat dan Toa-ok memutar-mutar pedang Koai-liong Po-kiam yang berlepotan darah itu, menyerbu ke arah Hong Bu! Pemuda ini terpaksa mengelak ke sana-sini dengan hati penuh kagum dan juga gentar melihat lawan yang lambungnya sudah ditembusi pedang itu masih dapat mengamuk seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba serangan Toa-ok terhenti. Kakek itu berdiri kejang, matanya terbelalak, lalu terpelanting dan roboh miring.

Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya dengan pedang masih di tangan! Dia tewas dalam keadaan penasaran dan pedang lawan masih digenggamnya, mukanya masih memperlihatkan kebengisan. Dengan hati-hati Hong Bu menghampiri, khawatir kalau-kalau orang jahat itu menjebaknya dan pura-pura pingsan atau mati. Akan tetapi ternyata ketika dia merampas pedangnya, pedang itu dengan mudah berpindah tangan dan dengan kakek itu terkulai lemas dan ketika diperiksa, ternyata lawannya itu telah tewas.

Melihat ini, para pasukan, seperti juga ketika tadi ketika menyambut kemenangan Cin Liong dan kemudian Ci Sian, bersorak dan memuji. Tetapi sebaliknya Hek-i Mo-ong memandang kepada mayat Toa-ok dengan mata pucat dan mata terbelalak. Tiga orang pembantunya atau sekutunya telah tewas semua dan kini hanya tinggal dia seorang diri! Kam Hong sudah melangkah maju dan memandangnya sambil tersenyum, akan tetapi sinar matanya penuh tantangan.

“Hek-i Mo-ong, kini tiba giliran kita untuk menentukan siapa di antara kita berdua yang berhak untuk hidup!”

Akan tetapi tiba-tiba kakek raksasa yang rambutnya sudah putih dan pakaiannya serba hitam itu mengeluarkan suara menggeram parau yang aneh, akan tetapi suara ini mengandung pengaruh yang amat berwibawa dan semua orang yang ada di situ tergetar hatinya dan memandang dengan kaget dan gentar. Nampak sinar merah ketika kakek itu sudah mengeluarkan sebatang kipas merah yang sudah dikembangkan, matanya berapi-api memandang kepada Kam Hong, kemudian terdengar suaranya yang parau menggetar.

“Orang she Kam! Kau kira akan dapat melawanku? Ha-ha-ha-ha, lihat baik-baik, kalian semua, ha-ha-ha-ha!”

Kam Hong maklum bahwa kakek ini mempunyai kekuatan sihir, maka dia pun sudah siap dan mengerahkan kekuatan batin untuk melawannya. Akan tetapi, tetap saja dia terbelalak, seperti semua orang lain yang berada di situ, melihat betapa kakek raksasa berjubah hitam itu tiba-tiba saja, perlahan-lahan, berubah menjadi besar dan tinggi, sampai tiga meter tingginya dan suara ketawanya makin lama makin nyaring bergema! Jenderal Muda Kao Cin Liong juga terkejut dan pemuda perkasa ini maklum bahwa kakek yang pandai ilmu silat itu berbahaya sekali, maka dia pun cepat memberi aba-aba kepada pasukan.

“Kepung tempat ini, jangan biarkan iblis itu melarikan diri!”

Dengan panik karena mereka merasa ketakutan, para penjaga keamanan itu segera melakukan pengepungan. Sementara itu, Kam Hong sudah mencabut sulingnya dan terdengar suara melengking lembut sekali ketika pemuda perkasa ini menyerang raksasa itu dengan suling emasnya.

“Blarrrr....!” Raksasa yang dihantamnya dengan suling itu seperti meledak dan lenyap dalam asap hitam tebal.

“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa Hek-i Mo-ong kini terdengar di sebelah belakang Kam Hong.

Ci Sian juga sudah mencabut sulingnya dan kembali terdengar suling melengking ketika gadis ini pun menerjang maju, menyerang kakek itu yang berada di belakang Kam Hong. Baru mereka tahu bahwa raksasa tinggi besar tadi hanyalah jadi-jadian saja, hasil ilmu hitam kakek itu. Akan tetapi, terpaksa Ci Sian mundur lagi ketika dari tempat dia berdiri, kakek itu sudah menggerakkan tangan ke arahnya dan tiba-tiba saja terdengar ledakan di depan Ci Sian dan asap hitam menggelapkan segalanya.

“Sian-moi, hati-hati....!” Kam Hong berseru saat melihat dara itu terhuyung ke belakang.

Dia cepat meloncat mendekati dan menyambar tangan dara itu. Akan tetapi Ci Sian tidak terluka, hanya terkejut saja dan terhuyung karena terkejut oleh ledakan dan asap. Suara ketawa itu masih terdengar terus, disusul dengan ledakan-ledakan yang mengeluarkan asap hitam.

“Cegah dia lari!” Kam Hong berseru.

Juga Hong Bu bersama Ci Sian yang pernah melawan kakek ini dan melihat betapa kakek ini dapat melarikan diri dengan bantuan asap-asap hitam, sudah cepat meloncat ke sana-sini untuk mencari kakek itu dan mencegahnya melarikan diri.

Akan tetapi ledakan-ledakan masih terus berbunyi dan asap semakin tebal. Di antara gumpalan asap hitam itu, terdengar suara ketawa Hek-i Mo-ong, disusul suaranya yang parau, “Biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Tetapi tunggu saja kalau Hek-i Mo-ong sudah mengumpulkan kembali kekuatannya. Ha-ha-ha!”

Suara ketawa itu semakin jauh dan biar pun para pendekar, termasuk Cu Kang Bu dan Yu Hwi, mencari dan mengejar, usaha mereka tidak berhasil dan setelah asap hitam bergumpal-gumpal itu membuyar, kakek iblis itu pun sudah tidak nampak lagi dan tidak meninggalkan jejak. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan terdesak, kakek yang memiliki ilmu iblis itu telah dapat meloloskan diri.

Kam Hong menarik napas panjang. “Ahh, sukar memang menghadapi ilmu hitamnya. Dan selama Hek-i Mo-ong masih berkeliaran dengan bebas dipermukaan bumi ini, tentu dia hanya akan menyebar kejahatan belaka.”

“Betapa pun juga, Kam-taihiap telah berhasil membasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok dan ini merupakan hasil gemilang,” kata Cin Liong.

“Kenapa aku? Yang membasmi adalah termasuk engkau pula, Saudara Kao. Memang, kalau para pendekar muda mau bersatu, kiranya orang-orang jahat akan menerima hajaran keras dan mereka tidak akan berani merajalela secara semena-mena.”

Thio-ciangkun, komandan pasukan itu, lalu mengerahkan pasukannya untuk membuat pembersihan, mengangkut mayat-mayat dan menangkapi sebagian dari anak buah guru silat Koa Cin Gu yang tadi melempar senjata dan menyerahkan diri.

Para pendekar muda itu bercakap-cakap dan saling mengagumi kepandaian masing-masing. Hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali kepada Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong. Biar pun dua orang pemuda itu belum lama berselang telah menderita pukulan batin dengan penolakan Ci Sian atas pinangan mereka, namun kini sikap mereka sama sekali tidak berubah, tidak memperlihatkan penyesalan atau kekecewaan hati, seperti sikap seorang sahabat karib yang tidak pernah terjadi sesuatu yang tidak baik di antara mereka.

Juga Cu Kang Bu merasa kagum sekali pada mereka. Semenjak muda dia banyak bersembunyi di lembah dan kini baru dia mengenal para pendekar yang benar-benar amat mengagumkan hatinya dan diam-diam dia pun merasa betapa keluarganya, keluarga Cu, selama ini merasa bahwa merekalah yang paling pandai sehingga mereka itu menjadi agak angkuh dan memandang rendah orang lain. Kini, semua perasaan penasaran terhadap Kao Cin Liong dan Kam Hong yang pernah dianggap musuh oleh keluarganya itu, lenyap dari dalam hatinya.

Yu Hwi juga girang sekali. Kini dengan terjadinya peristiwa itu, di mana mereka semua berkumpul sebagai sahabat-sahabat baik yang saling bantu, ia dapat memandang wajah Kam Hong, bekas tunangannya itu, dengan sinar mata terbuka, memandangnya sebagai seorang sahabat baik yang berilmu tinggi dan tidak ada perasaan lain yang tidak baik tersisa di dalam hatinya terhadap bekas tunangannya ini. Bahkan Cu Pek In sendiri pun berubah, dan dara ini pun mengagumi Cin Liong, Kam Hong, dan Ci Sian, yang bagaimana pun juga telah menyelamatkan keluarganya, bahkan dengan cara yang mati-matian, mengadu ilmu dengan tokoh-tokoh sesat yang amat lihai.

Kini, mendengar akan pertunangan antara Sim Hong Bu dan Cu Pek In, Ci Sian adalah orang pertama yang memberi hormat. “Kionghi (Selamat), kionghi atas pertalian jodoh antara kalian Pek In dan Hong Bu!”

Cu Pek In menjadi merah mukanya. Ia mengucapkan terima kasih sambil menundukkan mukanya. Juga wajah Hong Bu menjadi merah sekali, tapi dia membalas penghormatan Ci Sian dan berkata sambil tersenyum, “Terima kasih, Ci Sian. Kami pun mengharapkan agar segera menerima undangan kartu merahmu!”

“Ha, tidak perlu menanti lama. Tentu sebentar lagi Kam-taihiap akan mengirim kartu merahnya!”

Mendengar ini, Ci Sian mengerling kepada jenderal muda itu dan Kam Hong hanya tersenyum, sedangkan Hong Bu diam-diam merasa kaget sekali, lalu dia mendekati Kam Hong dan memegang tangan pendekar itu. “Ahhh, betapa buta mataku.... ehh, selamat, Kam-taihiap, sungguh mati, berita ini merupakan berita yang sungguh amat mengejutkan dan menggembirakan hatiku!”

Kam Hong merasa tidak enak terhadap Cin Liong. Bekas tunangannya, Yu Hwi, telah mendapatkan seorang suami yang gagah perkasa seperti Cu Kang Bu itu, dan Hong Bu juga sudah memperoleh jodoh, yaitu Nona Cu Pek In yang cukup jelita dan gagah, sedangkan dia sendiri saling mencinta dengan Ci Sian. Akan tetapi, hanya Kao Cin Liong seoranglah yang masih belum memperoleh ganti setelah dia tidak berhasil berjodoh dengan Ci Sian. Agaknya semua orang juga merasakan hal ini, maka Kam Hong lalu berkata, “Dan bagaimana denganmu sendiri, Jenderal? Kapan kiranya kami semua akan dapat diperkenalkan kepada calon nyonya Jenderal?”

Ucapan Kam Hong ini, kalau orang lain yang mengucapkan, tentu merupakan kata-kata yang mengandung bahaya, dapat disangkanya sebagai ejekan. Akan tetapi, cara Kam Hong mengucapkannya, dan pandang matanya, sama sekali tidak mengandung ejekan, melainkan merupakan kelakar yang mengandung kesungguhan. Wajah Cin Liong menjadi merah, akan tetapi jenderal muda itu pun tertawa gembira.

“Ha-ha-ha, kalian tunggu saja! Masa aku kalah oleh kalian? Lihat saja nanti, masa di dunia ini tidak ada gadis yang mau menjadi sisihanku? Kalian semua pasti akan menerima undanganku, dan mudah-mudahan tidak akan terlalu lama lagi.”

Setelah bercakap-cakap dengan hati tulus dan dalam suasana gembira, akhirnya mereka semua saling berpisah. Sim Hong Bu bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke barat, ke Lembah Naga Siluman di daerah Himalaya di mana mereka segera pergi menghadap kepada Cu Han Bu dan Cu Seng Bu yang kini bertapa mengasingkan diri, untuk membuat semua laporan. Juga Sim Hong Bu melaporkan tentang tugas-tugas yang diberikan kepadanya oleh gurunya.

Mendengar semua penuturan itu, Cu Han Bu menarik napas panjang.

“Kalau pedang pusaka kita itu oleh Kaisar yang baru sudah direlakan kepada kita, tentu saja hal itu baik sekali dan kita harus berterima kasih kepada Sri Baginda Kaisar yang bijaksana. Dan bagaimana pun juga, engkau telah mengadu ilmu melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir, juga dengan pewaris Suling Emas, sehingga dunia tidak akan memandang rendah kepada Pedang Pusaka Naga Siluman.” Kemudian kakek ini lalu merundingkan tentang perjodohan puterinya dengan Hong Bu yang akan dilakukan secepat mungkin dengan mengundang sahabat-sahabat baik saja ke lembah.

Ada pun Kam Hong dan Ci Sian, dua pewaris Ilmu Pedang Suling Emas, meninggalkan tempat itu dan pergi menuju ke Puncak Bukit Nelayan, yaitu tempat yang indah di lereng Tai-hang-san di tepi sungai itu, di mana mereka tinggal berdua dan untuk mengesahkan pernikahan mereka, dua orang ini, atas bujukan Kam Hong, lalu pergi menghadap keluarga Bu Seng Kin yang kini menetap di Cin-an.

Tentu Bu Seng Kin merasa girang sekali melihat betapa puterinya mau menganggapnya sebagai ayah dan dengan terharu dia pun memberi doa restunya, bahkan keluarga Bu ini pula yang merayakan pernikahan ganda antara puterinya Bu Ci Sian dengan Kam Hong, dan antara Siok Lan dengan Cia Han Beng. Perayaan itu meriah sekali, dikunjungi oleh para tokoh besar dunia kang-ouw, terutama sekali para pendekar patriot. Kemudian, sebagai suami isteri, Kam Hong bersama Ci Sian tinggal di puncak Bukit Nelayan, di istana kuno bekas tempat tinggal Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek.

Bagaimana dengan Kao Cin Liong, jenderal muda yang gagal dalam bercinta itu? Dia tidak patah hati, bahkan dia merasa bergembira sekali melihat dara yang dicintanya itu berjodoh dengan Kam Hong, seorang pendekar yang amat dikagumi. Pendekar muda putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir ini terlalu gagah untuk mudah begitu saja patah hati seperti seorang yang cengeng…..

Bagaimana perjalanan Cin Liong selanjutnya akan diceritakan oleh pengarang dalam cerita lain. Karena cerita ini sesungguhnya dimaksudkan untuk menceritakan tentang pewaris Suling Emas dan Pedang Naga Siluman, maka akan terlalu panjanglah kalau digabungkan dengan cerita tentang para pendekar ini, terutama dengan kehidupan para pendekar keturunan Pulau Es. Cerita tentang para pendekar Pulau Es akan disusun dalam sebuah cerita lain oleh pengarang dalam kesempatan mendatang. Sebagai akhir kalimat, pengarang hanya mengharapkan semoga cerita ini seperti cerita-cerita yang lain dapat menghibur hati para pembaca dan ada pula bagian-baglan yang mengandung manfaat bagi kesadaran kita bersama dalam kehidupan yang serba rumit ini, lanjutan cerita ini adalah KISAH PARA PENDEKARPULAU ES

TAMAT

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar