Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 6-10

Kho Ping Hoo, Suling Emas Dan Naga Siluman Jilid 6-10 “Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?” Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.
Anonim
“Sungguh ajaib. Boneka apa ini, dibakar tidak rusak?” Ci Sian menjadi tertarik dan sambil makan daging burung mereka lalu menambah kayu bakar memperbesar api untuk terus membakar boneka itu sampai hancur.

Sinar api menciptakan pemandangan yang menakjubkan. Sinar api itu terpantul oleh bongkahan es yang besar-besar itu, dan timbullah beraneka warna gemilang seperti pelangi di mana-mana. Mereka merasa aneh, seolah-olah mereka berada di dalam dunia lain, atau dalam dunia mimpi anak-anak yang amat luar biasa. Seperti berada di dalam ruangan penuh dengan cermin. Bayangan mereka berdua nampak di mana-mana, akan tetapi bayangan-bayangan itu menjadi aneh bentuknya seperti ada ratusan buah cermin palsu mengelilingi mereka, ada yang membuat mereka menjadi berbentuk gemuk sekali, ada yang membuat mereka menjadi tinggi kurus dengan muka pletat-pletot lucu sekali. Dua ekor burung panggang sudah mereka makan habis, akan tetapi boneka itu masih tetap utuh!

“Hentikan saja, Paman. Engkau sudah membakarnya sejak tadi. Kakek itu memang agaknya sengaja mempermainkan kita. Lebih baik kita mengaso, sebentar lagi akan gelap. Tadi aku melihat di sebelah sana terdapat sebuah goa yang cukup besar untuk kita berlindung dari angin dan beritirahat.”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Walau pun nampaknya benar ucapan Ci Sian itu, akan tetapi dia tidak percaya bahwa orang seperti locianpwe itu sengaja mempermainkan orang dengan bonekanya. “Ci Sian, biarlah engkau pergi istirahat dulu di sana. Aku akan melanjutkan membakar boneka ini.”

Dengan marah Ci Siang bangkit berdiri, lalu dia menuding-nuding ke arah mayat yang sekarang rebah di atas tanah tertutup salju itu sambil berkata. “Awas kau, kalau kau yang menyiksa Paman Kam ini kemudian tidak memberi sesuatu kepadanya sebagai balasan, engkau tentu akan kukutuk habis-habisan!”

“Ci Sian....!” Kam Hong mencela, akan tetapi gadis cilik itu sudah meloncat dan lari meninggalkannya.

Kam Hong merasa penasaran sekali dan menghabiskan kayu yang disediakannya tadi untuk membakar boneka itu. Akan tetapi sampai api padam kehabisan bahan bakar, boneka itu tetap utuh saja sedangkan cuaca mulai gelap sekarang.

“Maaf, Locianpwe. Bukan maksud teecu tidak mau mentaati perintah Locianpwe, akan tetapi agaknya boneka ini memang tidak dapat terbakar,” katanya.

Dia mengambil boneka yang sudah telanjang karena pakaiannya sudah hancur menjadi abu itu, dan yang gosong kehitaman, meletakkannya kembali ke dalam tangan jenazah yang masih rebah telentang, kemudian sambil berloncatan dengan satu kaki Kam Hong pergi menyusul Ci Sian. Dia harus bersama gadis cilik itu untuk tetap dapat melindungi dan menjaganya. Kam Hong mendapatkan Ci Sian meringkuk di dalam goa, agaknya merasa kedinginan.

Melihat bayangan yang dipantulkan oleh sinar terakhir dari matahari yang sedikit demi sedikit mulai bersembunyi di balik bukit salju, bayangan Kam Hong berdiri di depan goa, Ci Sian segera menyambutnya dengan pertanyaan. “Sudah hancurkah dia?”

“Belum, sampai apinya padam boneka itu masih tetap utuh.”

“Huh! Lalu kau apakan dia?”

“Kukembalikan kepada Locianpwe itu.”

“Sudah kukatakan, Paman. Jenazah itu adalah mayat seorang badut dulunya, atau orang yang memang jahat dan suka mempermainkan orang lain.”

“Biar besok akan kubakar kembali jenazah itu bersama bonekanya.”

Tidak ada jawaban, akan tetapi Kam Hong mendengar suara Ci Sian kedinginan. Dia lalu memasuki goa dan duduk di dekat gadis yang merebahkan diri miring itu. Dia melihat Ci Sian meringkuk bulat menarik kaki tangannya dan agak menggigil.

“Kau merasa kedinginan?”

“Tentu saja.... uhhh.... Paman, bagaimana kalau kita tidak dapat keluar dari sini? Kalau begini terus aku akan menjadi seperti badut itu!” Ci Sian menggigil. “Sayang aku tidak dapat memikirkan sesuatu yang baik untuk meninggalkan permainan seperti dia untuk mempermainkan orang!”

“Hushh, jangan bicara seperti itu, Ci Sian. Nah, duduklah bersila, aku akan membuat tubuhmu menjadi hangat. Mulai sekarang engkau harus menuruti petunjukku, aku akan mengajarmu bagaimana untuk mengerahkan hawa murni di dalam tubuh agar kau dapat melawan dingin.”

Ci Sian menjadi girang sekali dan dengan taat dia lalu bangkit duduk dan bersila. Kam Hong juga duduk bersila, dengan hati-hati menggerakkan kakinya yang patah tulangnya, kemudian dia menempelkan telapak tangan kanannya di atas punggung gadis cilik itu.

“Dengarkan baik-baik,” bisiknya. “Engkau sudah diajari mendiang Kakekmu tentang jalan darah, nah, kalau aku menyebutkan jalan darah tertentu, engkau harus mencoba untuk membuka jalan darah itu dengan mengerahkan tenaga dari hawa murni dalam tubuhmu. Aku akan mendorongnya dengan tenagaku....”

Tak lama kemudian Ci Sian merasa ada hawa yang amat kuat dan hangat masuk melalui punggungnya. Dia menjadi girang sekali dan dengan tekun dia mulai mempelajari ilmu ini, mendengarkan petunjuk-petunjuk dari Kam Hong dan akhirnya dia dapat membuat tubuhnya menjadi hangat, sama sekali tidak lagi menderita oleh serangan hawa dingin dari luar tubuhnya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ci Sian sudah keluar dari goa. Kam Hong masih duduk bersemedhi setengah tidur. Pendekar itu tidak tahu berapa lama Ci Sian pergi, akan tetapi ketika dia sudah bangun, dia melihat Ci Sian sudah membuat api unggun dan dara itu sedang membakar atau memanggang sesuatu yang sedap baunya. Kiranya Ci Sian sudah pandai membuat api dengan batu api dan bahan bakarnya, dan ketika Kam Hong mendekat, ternyata gadis cilik itu sedang memanggang daging, entah daging apa!

“Heii, dari mana engkau memperoleh daging itu? Daging apakah itu?”

Ci Sian tertawa dan mengangkat kulit yang berbulu putih ke atas. “Entah binatang apa, macamnya seperti kelinci, gemuk sekali, Paman, dan baunya sedap, ya?”

Melihat kulit berbulu putih itu Kam Hong menahan ketawanya dan tidak mau memberi tahu kepada Ci Sian bahwa yang sedang dipanggangnya itu adalah daging tikus salju! Akan tetapi, dalam keadaan seperti itu, daging tikus pun baik saja untuk pengisi perut, dari pada kelaparan.

“Paman, aneh sekali. Ketika tadi aku lewat di dekat jenazah itu dan melihat boneka hangus itu, ternyata pada tubuh boneka itu pun ada huruf-hurufnya.”

“Ehhh....? Apa bunyinya?”

“Entah aku tidak membacanya. Aku tahu pasti huruf-huruf itu merupakan siasat baru dari badut itu untuk mempermainkan kita. Aku lebih tertarik mengejar kelinci ini dari pada membaca tulisan tiada gunanya itu.”

Malam tadi Kam Hong memang sudah sangat tertarik untuk mencari tahu rahasia dari jenazah itu. Dia tidak percaya akan kelakar Ci Sian bahwa jenazah itu dahulunya adalah seorang badut yang sengaja hendak meninggalkan lelucon untuk mempermainkan orang lain. Tentu ada rahasia yang tersembunyi dan terkandung di dalam semua pesan yang ditinggalkan oleh jenazah itu. Apakah dia yang keliru mengartikan pesan itu? Ah, tidak mungkin. Kalimat-kalimat pada dahi boneka itu tidak bisa diartikan lain.

Mungkin orang lain akan merasa sayang kepada boneka itu. Ci Sian tidak rela boneka itu dibakar, akan tetapi anak perempuan itu hanya menyayangkan keindahan boneka itu saja, merasa sayang bahwa benda mainan yang demikian bagusnya dibakar! Akan tetapi orang lain, terutama orang-orang kang-ouw, setelah melihat tulisan yang menyebutkan bahwa boneka itu merupakan benda keramat yang mengandung pelajaran dahsyat, pasti akan menyimpannya dan berusaha untuk mencari rahasia pelajaran dahsyat itu.

Akan tetapi dia tidak mau melakukan hal seperti itu. Dia adalah keturunan Suling Emas, dan dia sendiri sudah memiliki kepandaian peninggalan nenek moyangnya yang tinggi dan hebat, perlu apa dia menginginkan kepandaian lain? Juga, dia tidak sudi melanggar pesan orang yang sudah mati.

Kini, mendengar bahwa boneka yang dibakar sekian lamanya tetap utuh itu ada huruf hurufnya, Kam Hong menjadi tertarik sekali. Tanpa berkata apa pun dia kemudian meninggalkan Ci Sian yang masih sibuk memanggang daging ‘kelinci’ sambil mengomel karena di situ tidak terdapat bumbu masak, dan sambil berloncatan dengan sebelah kaki, Kam Hong menuju ke tempat jenazah itu. Dia melihat jenazah itu masih rebah telentang seperti malam tadi, boneka itu masih terletak di atas dadanya, di antara tangannya seperti yang dia letakkan semalam, lalu dia mengamati boneka yang gosong itu.

Benar! Ada huruf-huruf pada tubuh boneka itu! Agaknya huruf-huruf itu timbul setelah boneka itu terbakar! Sungguh aneh akan tetapi nyata! Dia tahu benar bahwa ketika dia membakar boneka itu, tidak terdapat huruf apa pun pada tubuh boneka, kecuali pada dahinya itu. Cepat dia mengambil boneka gosong itu dan membersihkan angus dari tubuh boneka yang masih utuh.

Bukan main girang hatinya ketika melihat bahwa huruf-huruf yang timbul setelah boneka dibakar itu merupakan kalimat yang urut dan dapat dibaca dengan mudah. Dia bersihkan seluruh tubuh boneka, kemudian mulai membaca dengan jantung berdebar tegang dan tertarik sekali. Makin lama, sepasang matanya makin terbelalak, mukanya pucat dan tangan yang memegang boneka itu menggigil. Lalu dia menggoyang-goyang kepala dan mengejap-ngejapkan kedua matanya seolah-olah tak percaya akan apa yang dibacanya, lalu dibacanya lagi huruf-huruf yang tersusun rapi dari atas ke bawah di tubuh boneka itu.


Mau membakar boneka pertanda jujur dan tidak tamak akan pusaka orang lain. Berarti berjodoh untuk mewarisi ilmu-ilmuku. Fa Sian sendiri pun tidak berhasil membujukku menyerahkan ilmu ini, kecuali hanya suling emas buatanku. Akan tetapi suling itu tanpa ilmu sejati, apa artinya? Muridku, rendamlah boneka itu dalam air, dan pergunakan airnya untuk memandikan jenazahku. Kemudian, pelajari semua ilmu yang ada padaku dengan hati yang besih. Tunggui aku selama tiga hari tiga malam, baru boleh engkau menguburku. Mulai saat ini engkaulah muridku dan ahli warisku.



SULING EMAS

Dapat dibayangkan mengapa Kam Hong menjadi terbelalak lalu bengong seperti orang kehilangan ingatan saking bengong, heran dan kagetnya. Jenazah yang meninggalkan pesan itu menamakan dirinya sendiri Suling Emas! Padahal, bukankah Suling Emas itu adalah Pendekar Suling Emas yang bernama Kam Bu Song dan juga merupakan nenek moyangnya? Apakah.... apakah jenazah ini jenazah nenek moyangnya itu, jenazah Suling Emas Kam Bu Song?

Ah, tidak bisa jadi! Nenek moyangnya itu meninggal dunia di utara, bukan di Pegunungan Himalaya. Dan lagi pula, tulisan itu menyebutkan bahwa penulisnya yang bernama Suling Emas itu hidup di jaman Pendeta Fa Sian yang amat sakti itu hidup pada jaman sesudah Dinasti Cin atau pada kurang lebih tahun empat ratus, jadi sudah seribu empat ratus tahun kurang lebih. Sedangkan nenek moyangnya itu, Pendekar Suling Emas Kam Bu Song hidup dalam tahun sembilan ratus lebih. Jadi ada selislh lima ratus tahunan antara penulis surat ini dan nenek moyangnya yang berjuluk Suling Emas itu. Penulis atau jenazah ini jauh lebih tua.

Tetapi, jenazah ini menyebut-nyebut tentang suling emas. Suling emas yang dikatakan buatannya itu diberikan kepada Pendeta Fa Sian yang masyhur itu, pendeta yang amat sakti dan yang terkenal menjelajah sampai jauh ke luar Cina. Pendeta Fa Sian ini terkenal di seluruh dunia karena dia telah mencatat semua perjalanannya sehingga catatannya itu merupakan catatan sejarah yang amat penting. Ada hubungan apakah antara jenazah ini dengan nenek moyangnya, Kam Bu Song? Dan ada hubungan apakah antara suling emas buatan jenazah ini yang diberikan kepada Pendeta Fa Sian itu dengan suling emas peninggalan nenek moyangnya yang sekarang terselip di ikat pinggangnya?

Sampai bagaimana pun juga, Kam Hong tidak mungkin dapat menyelidiki pesoalan itu tanpa bahan-bahan. Tak ada hal yang lebih ajaib dari pada hal yang telah terjadi secara ‘kebetulan’. Dia tidak tahu bahwa memang suling emas yang berada di pinggangnya itu adalah buatan jenazah inilah! Kurang lebih seribu empat ratus tahun yang lalu! Dan memang pencipta ilmu-ilmu suling emas yang sejati adalah kakek yang kini membujur di depannya sebagai jenazah ini. Entah sudah berpindah tangan berapa puluh kali ketika suling emas itu terjatuh ke dalam tangan pendekar Kam Bu Song.

Seperti dapat dibaca dalam cerita SULING EMAS, pendekar Kam Bu Song memperoleh suling itu di Pulau Pek-coa-to, dari tangan sastrawan terkenal Ciu Bun. Dan dia juga memperoleh kitab terisi sajak-sajak yang menjadi pelengkap suling emas itu dari tangan sastrawan besar Ciu Gwan Liong, adik sastrawan Ciu Bun itu. Kedua orang sastrawan besar she Ciu ini menerima kitab sajak dan suling emas itu dari seorang tokoh manusia sakti yang dianggap dewa, yaitu Bu Kek Siansu! Mungkin saja Bu Kek Siansu menerima suling emas itu dari orang lain, ataukah dari Pendeta Fa Sian sendiri?

Tidak ada yang mengetahui karena memang apa pun boleh saja dan mungkin saja terjadi pada dua orang tokoh yang memiliki kesaktian tidak lumrah manusia itu, yaitu Pendeta Fa Sian dan Bu Kek Siansu! Kakek pembuat suling emas itu telah lenyap dari dunia selama seribu empat ratus tahun, dan kini secara kebetulan yang amat aneh sekali, kakek itu, dengan jasad yang masih utuh, telah berhadapan dengan ahli waris suling emas buatannya itu, ahli waris yang terakhir dan yang memegang suling emas itu!

Bagaikan orang yang kehilangan ingatan Kam Hong masih memegangi boneka itu dan entah sudah berapa kall dia membaca tulisan itu, ketika Ci Sian datang membawa panggang daging ‘kelinci’nya dengan wajah berseri.

“Paman, sarapan dulu! Ehh, mengapa engkau melamun? Lelucon apa lagi yang ditulis oleh badut kuno itu?”

Suara bening merdu ini menyeret Kam Hong kembali ke alam kenyataan. Dia menoleh, tersenyum dan menaruh kembali boneka gosong itu ke atas dada jenazah, kemudian menghampiri Ci Sian sambil berkata. “Ada perintah baru dari Locianpwe ini. Baiklah kita sarapan, dan nanti akan kuceritakan kepadamu suatu keanehan yang benar-benar ajaib sekali, Ci Sian.”

Mereka lalu makan panggang daging tikus salju itu yang terasa sedap karena memang di situ tidak ada apa-apa lagi untuk dijadikan perbandingan. Setelah makan dan minum air cairan es, dan mencuci tangan, barulah Kam Hong menceritakan tentang tulisan pada boneka gosong itu. Ci Sian mendengarkan dengan ragu-ragu karena dia sudah curiga saja kalau-kalau pamannya ini akan menjadi korban lelucon permainan yang ditinggalkan oleh jenazah badut itu! Akan tetapi ketika dia mendengar tentang suling emas, membuat dia mengerutkan alisnya dan terheran-heran.

“Suling Emas? Paman Kam, bukankah engkau juga memiliki suling emas itu?”

Kam Hong mengangguk dan mencabut sulingnya. Nampak sinar keemasan berkilat dan pendekar ini mengangkat sulingnya ke atas. “Bukan hanya memiliki suling pusaka ini, Ci Sian, bahkan kepadamu aku tidak perlu merahasiakan bahwa aku adalah keturunan terakhir dari Pendekar Sakti Suling Emas.”

“Ahhh....!”

“Kenapa?”

“Aku pernah mendengar dari mendiang Kongkong, kiraku hanya nama dalam dongeng saja....“

“Bukan dongeng, Ci Sian. Pendekar Suling Emas bernama Kam Bu Song dan menjadi nenek moyangku. Maka dapat kau mengerti betapa anehnya penemuan ini! Locianpwe ini, seperti dapat kita baca pada pesanannya, memakai nama Suling Emas dan bahkan mengaku dialah pembuat suling emas! Membuat aku berpikir-pikir apakah hubungan Locianpwe ini dengan nenek moyangku? Dan apakah suling emas buatannya yang dimaksudkan ini adalah suling yang kini menjadi milikku ini?”

Ci Sian yang merasa tertarik sekali ikut pula membaca huruf-huruf pada tubuh boneka itu, yang kembali dibaca oleh Kam Hong untuk ke sekian kalinya. Setelah ikut membaca, Ci Sian berkata dengan nada suara bersungguh-sungguh, tidak lagi memandang rendah kepada jenazah itu.

“Paman, mengapa tidak kau taati perintahnya? Ternyata dia tidak main-main! Mungkin suling emas yang diberikan olehnya kepada Pendeta Fa Sian itulah yang terjatuh ke tangan nenek moyangmu dan sekarang menjadi milikmu. Akan tetapi ilmu yang disebut sebutnya itu, sepatutnya kau pelajari. Kini engkau telah menjadi murid dari Locianpwe ini, Paman! Engkau memang berjodoh dengan dia. Buktinya, engkaulah yang berkeras ingin membakar boneka itu. Kalau aku, aku tadinya merasa sayang, dan kalau menurut aku tentu boneka itu tidak akan pernah kubakar.”

Kam Hong mengangguk. “Memang benar ucapanmu, Ci Sian. Aku juga hendak mentaati perintahnya.”

Kam Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di depan jenazah yang rebah telentang itu, kemudian berkata, “Teecu Kam Hong, hendak melaksanakan perintah Locianpwe, harap Locianpwe memberi berkah.”

Setelah memberi hormat, dia lalu merendam boneka gosong itu dalam air. Kemudian, air rendaman itu dipergunakan untuk memandikan jenazah. Ci Sian yang merasa agak ngeri dan jijik, menjauh. Apalagi karena dia mengerti bahwa dia adalah ‘orang luar’ dan tidak berhak ikut-ikut.

Setelah memandikan jenazah itu dan membereskan kembali pakaian jenazah itu, Kam Hong berpendapat bahwa tidak baik membiarkan jenazah itu di tempat terbuka, maka dia lalu memondong jenazah itu dan dibawanya masuk ke dalam goa lebih kecil yang berada di sebelah kanan goa tempat dia dan Ci Sian bermalam. Goa ini juga diliputi es dan salju, jadi merupakan ‘peti es’ yang lebih besar lagi.

“Ci Sian, aku harus mentaati perintah Locianpwe ini yang aku percaya adalah pembuat suling emas ini, sehingga dengan demikian agaknya beliau ini justru merupakan pencipta suling emas dan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan pusaka itu. Maka beliau ini masih terhitung nenek moyang perguruanku yang pertama! Maka, harap kau tidak mengganggu selama tiga hari tiga malam ini, karena aku hendak menjaganya seperti yang sudah diperintahkannya itu.”

Ci Sian mengerutkan alisnya, agak cemberut karena dia merasa betapa beratnya kalau dia selama tiga hari tiga malam harus sendirian saja, tetapi dia pun sudah membaca sendiri pesan itu maka dia mengangguk dan berkata, “Baiklah, Paman. Itu urusan keluargamu. Aku akan menangkap burung, kelinci dan mencoba-coba untuk mencari jalan keluar dari tempat ini.”

“Akan tetapi hati-hatilah, Ci Sian. Dan engkau berteriaklah kalau terjadi sesuatu. Biar pun aku sedang menjaga jenazah, kalau engkau terancam sesuatu tentu aku akan datang menolongmu.”

Lenyaplah rasa tidak enak di dalam hati Ci Sian. Dia kini tidak cemberut lagi, bahkan tersenyum manis sekali. Baru dari ucapan itu saja dia sudah maklum bahwa sebetulnya, pada dasarnya, Kam Hong masih lebih sayang kepadanya dari pada kepada mayat itu!

“Bagaimana dengan makan dan minummu selama tiga hari itu, Paman?”

Kam Hong tersenyum. “Kalau engkau memperoleh sesuatu, kau taruh saja bagianku di dekatku tanpa bicara. Kalau aku lapar atau haus tentu akan kumakan dan kuminum.”

“Baik, Paman,” kata Ci Sian lalu dia pergi meninggalkan Kam Hong yang duduk bersila seorang diri di dekat jenazah.

Setelah dia memandikan mayat itu, dia tadinya mengira tentu akan timbul petunjuk baru, namun ternyata tidak terjadi apa-apa sehingga dia merasa heran. Pikirannya dikerahkan untuk menduga-duga, di mana kiranya mayat ini menyimpan ilmunya yang katanya dalam pesan terakhir itu agar dipelajarinya dengan hati bersih. Apakah tersembunyi di dalam tubuhnya? Akan tetapi, ketika memandikan tubuh itu, dia tidak melihat sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai petunjuk.

Kini, untuk menggeledah badan mayat itu, dia merasa tidak berani karena betapa pun juga, dia mempunyai perasaan menghormat terhadap jenazah orang yang selain telah mengangkatnya sebagai murid, juga diduganya merupakan nenek moyang perguruan Suling Emas itu. Dia tahu bahwa keadaan jenazah ini memang penuh rahasia, dan agaknya pengasuhnya sendiri, Sin-siauw Sengjin, yang merupakan keturunan pengasuh kepercayaan nenek moyangnya dan bahkan yang menyimpan dan mewarisi ilmu-ilmu nenek moyangnya yang kemudian diturunkan kepadanya, agaknya juga tidak akan dapat memecahkan rahasia jenazah ini.

Sampai tiga hari tiga malam lamanya Kam Hong menjaga jenazah itu, tepat seperti yang diperintahkan oleh tulisan jenazah itu pada boneka. Selama tiga hari tiga malam itu, dia sama sekali tidak pernah makan panggang daging yang setiap hari dihidangkan oleh Ci Sian. Bukankah jenazah itu memesan agar dia mempelajari ilmu-ilmunya dengan hati yang bersih? Dan untuk menjaga agar Ci Sian tidak kecewa atau menyesal, Kam Hong mengubur panggang daging itu di bawah salju, seolah-olah dia telah menghabiskan semua hidangan gadis itu.

Pada hari ke empat, dia sudah merasa sangat yakin bahwa jenazah itu memang tidak meninggalkan suatu petunjuk apa pun, maka dia pun mengambil keputusan untuk menguburnya. Pagi hari ia berlutut didekat tubuh yang rebah telentang itu sambil berkata. “Locianpwe, teecu telah memenuhi perintah Locianpwe, maka perkenankan hari ini teecu mengubur jenazah....“

Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya karena dia melihat sesuatu pada kuku-kuku jari tangan yang terletak di atas dada memegang boneka gosong itu. Pada kuku-kuku itu nampak ada huruf-hurufnya! Padahal pada hari-hari sebelumnya huruf-huruf itu belum ada! Hal ini dia ketahui benar karena dia sudah memeriksa seluruh bagian tubuh yang nampak, dan ketika dia memandikan jenazah itu pun dia melihat bahwa pada kuku yang panjang terpelihara itu tidak ada apa-apanya. Bagaimana kini dapat timbul huruf-huruf itu? Akan tetapi pikirannya yang cerdas itu segera dapat menangkap rahasianya. Tentu huruf-huruf itu ditulis oleh tinta istimewa yang bara timbul setelah tiga hari sesudah dicuci dengan air rendaman boneka gosong itu! Cepat diteliti dan dibacanya huruf-huruf itu dari kuku ibu jari sampai kuku kelingking.


Muridku, salurkan tenaga ‘Yang’ ke badanku agar aku tidak kedinginan.


Sungguh aneh, pikir Kam Hong. Mana mungkin jenazah merasa kedinginan? Memang aneh-aneh saja pesan dari jenazah ini, dan pantaslah kalau Ci Sian menganggapnya seorang badut yang suka mempermainkan orang, biar telah mati sekali pun. Akan tetapi, karena ada rasa hormat yang mendalam terhadap jenazah itu, Kam Hong tidak merasa ragu-ragu lagi. Dia meletakkan kedua tangannya ke atas dada jenazah itu, kemudian dia mengerahkan tenaga ‘Yang’ yaitu tenaga sinkang yang mendatangkan hawa panas dan disalurkannya ke dalam tubuh itu melalui dada. Tubuh jenazah yang tadinya dingin itu perlahan-lahan menjadi hangat, makin lama menjadi semakin panas.

Pada saat itu, seperti biasanya Ci Sian datang membawa hidangan panggang daging burung. Karena sekarang sudah hari keempat, maka Ci Sian pun berani memasuki goa mendekati Kam Hong, terheran-heran melihat betapa Kam Hong mengerahkan sinkang disalurkan kepada tubuh jenazah itu. Apa yang hendak dilakukan oleh pendekar ini? Dia merasa heran dan juga ngeri. Bagaimana kalau mayat itu tiba-tiba dapat bangkit dan hidup kembali? Meremang bulu tengkuknya memikirkan kemungkinan yang tak masuk akal ini. Akan tetapi mengapa Kam Hong mengerahkan sinkang ke dalam tubuh mayat itu sampai tubuhnya gemetaran. Tiba-tiba dia melihat sesuatu yang membuat menjerit.

“Heiii! Ada huruf-huruf timbul di punggung tangannya!”

Kam Hong juga melihat hal itu dan dia menjadi terkejut. Tentu saja dia menghentikan pengerahan sinkang-nya dan sempat membaca sedikit tulisan pada punggung lengan tangan itu yang ternyata berisi catatan-catatan pelajaran ilmu yang aneh. Akan tetapi, baru sedikit dia membaca, huruf-huruf itu sudah memudar dan lenyap kembali. Padahal tadi amat jelas, yaitu ketika dia masih mengerahkan sinkang-nya. Maka dicobanya lagi. Begitu dia mengerahkan tenaga ‘Yang’, huruf-huruf itu timbul kembali dengan jelasnya.

Sekarang mengertilah Kam Hong. Dia lalu membuka jubah jenazah itu setelah memberi hormat, dan begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka pada dada, perut, dan lengan jenazah itu terdapat huruf-huruf yang disusun rapi, dimulai dari dada dekat leher terus menurun. Akan tetapi, untuk mengerahkan sinkang sambil mempelajari huruf-huruf itu sungguh merupakan hal yang tidak mungkin. Maka dia lalu mencari akal.

“Ci Sian, kini engkau harus membantuku. Tanpa bekerja sama, tidak mungkin aku dapat mempelajari ilmu yang diwariskan oleh Locianpwe ini. Memang sesungguhnya beliau ini adalah nenek moyang perguruanku, pembuat suling emas ini.”

“Bagaimana engkau bisa tahu, Paman?”

“Lihat, sedikit tulisan yang sampai kubaca tadi menyebutkan tentang pelajaran meniup suling!”

“Wah, untuk apa pelajaran meniup suling, Paman?”

“Aku ingin mempelajarinya. Maukah engkau membantuku, Ci Sian?”

“Tentu saja. Akan tetapi bagaimana aku dapat membantumu?”

“Aku akan mengerahkan sinkang dan ketika huruf-huruf itu timbul, engkau mencatatnya dari permulaan dekat leher ke bawah.”

“Hemm, dengan apa aku harus menulis? Tidak ada alat tulis....“

Akan tetapi Ci Sian menghentikan kata-katanya karena dari balik jubahnya Kam Hong mengeluarkan alat tulis berikut tinta keringnya.

“Kau kira aku berpakaian sastrawan ini hanya untuk aksi saja? Aku selalu membawa alat tulis ke mana pun aku pergi. Dan engkau dapat menuliskannya di sini.” Kam Hong merobek sebagian dari baju dalamnya dan menyerahkan baju dalam berwarna kuning muda itu kepada Ci Sian.

Ci Sian menggosok tinta bak (tinta kering) dan mempersiapkan alat tulisnya. Kemudian mulailah mereka bekerja sama, Kam Hong menyalurkan sinkang-nya ke dalam tubuh jenazah itu dan Ci Sian lalu mencatat semua huruf yang timbul. Ternyata huruf-huruf itu memang aneh sekali. Makin kuat Kam Hong mengerahkan sinkang-nya, makin jelas pula huruf-huruf itu timbul, akan tetapi begitu Kam Hong mengurangi tenaganya, maka huruf huruf itu pun menyuram!

Mereka bekerja sama dengan tekun. Akan tetapi, sering kali mereka terpaksa harus berhenti karena Kam Hong harus beristirahat dahulu untuk mengumpulkan tenaga yang terus-menerus dikerahkan itu. Sampai selama tiga hari barulah habis semua tulisan yang terdapat pada dada, perut dan lengan itu ditulis Ci Sian. Ternyata di bagian punggung tidak terdapat tulisan, dan tulisan itu terus menurun sampai ke pusar dan bawah pusar! Akan tetapi, ketika mereka sudah mengutip tulisan itu sampai ke pusar, Kam Hong mau pun Ci Sian tidak melanjutkan lebih ke bawah lagi.

“Paman, kalau engkau hendak membuka celana itu aku tidak mau melanjutkan dan biar kau tulis saja sendiri!” katanya.

“Ahhh, aku pun tidak mau melakukan hal itu, Ci Sian. Aku menghormati Guruku, tidak mungkin akan melakukan hal tidak sopan terhadap beliau, biar diupah pelajaran yang bagaimana hebat sekali pun.”

Maka berhentilah mereka. Kam Hong yang kelelahan itu lalu bersemedhi mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaga sinkang-nya yang selama tiga hari ini terus menerus dikerahkannya itu, sedangkan Ci Sian lalu menyusun tulisannya itu agar teratur. Kalau saja keduanya tahu bahwa sikap mereka yang sopan terhadap jenazah itu ternyata malah menyelamatkan mereka, atau setidaknya menyelamatkan Kam Hong! Kiranya, locianpwe yang luar biasa saktinya itu, memang sebelum mati telah memperhitungkan segala-galanya.

Di dalam tempat-tempat terlarang itu memang ada dibuatnya tulisan-tulisan, akan tetapi tulisan-tulisan di tempat terlarang ini mengandung pelajaran-pelajaran menyesatkan yang hanya dapat menyeret orang yang mempelajarinya ke jurang kesesatan! Jadi locianpwe itu telah memperhitungkan dengan cermat sekali, memberi ganjaran kepada penemu mayatnya yang berwatak baik, sebaliknya memberi hukuman kepada penemu mayatnya yang berwatak buruk! Hanya orang-orang kurang menghormat, tidak sopan dan serakah akan ilmu sajalah yang akan membuka celana untuk menuliskan huruf-huruf di bagian tubuh yang terlarang itu!

Setelah tenaga sinkang-nya pulih kembali, mulailah Kam Hong membaca catatan-catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu. Memang kurang tersusun baik, akan tetapi akhirnya Kam Hong dapat menyusunnya kembali dan dia menjadi girang sekali. Ternyata catatan catatan itu mengandung dua macam pelajaran.

Pelajaran pertama adalah pelajaran cara meniup suling! Akan tetapi bukan sembarangan meniup suling, melainkan meniup suling dengan mempergunakan khikang dan sinkang yang amat aneh dan tinggi. Menurut catatan itu, kalau orang berhasil mempelajari cara meniup suling menurut pelajaran ini, maka dia akan dapat meniup suling yang semua lubangnya ditutup, dimulai satu demi satu, sampai akhirnya bahkan dia akan mampu meniup suling tanpa suling! Memang aneh dan gila! Akan tetapi bukan tidak mungkin.

Kalau tingkat khikang dan sinkang yang dimiliki sudah setinggi itu, dia akan mampu mengeluarkan hawa tiupan melalui tenggorokkannya sendiri tanpa suling dan akan dapat mengeluarkan bunyi seindah suara suling yang berlagu! Dan kalau sudah setinggi ini tingkatnya, kiranya di dunia ini akan jarang sekali terdapat orang yang akan mampu menandingi sinkang dan khikang-nya sehingga pantaslah disebut Pendekar Suling Emas yang sejati!

Pelajaran ke dua mengandung pelajaran gerakan ilmu pedang yang hanya terdiri dari delapan belas jurus. Ilmu pedang ini tidak begitu baik kalau dimainkan dengan pedang, melainkan baru tepat kalau dimainkan dengan suling emas! Dan nama ilmu ini adalah Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas)!

Giranglah hati Kam Hong dan sambil menanti sembuhnya tulang kakinya yang patah, mulailah dia berlatih meniup suling! Kadang-kadang Ci Sian mentertawakan pendekar ini. Kalau meniup suling dengan cara biasa, pendekar ini mampu meniup lagu-lagu indah yang mempesona. Bahkan Ci Sian sendiri menjadi kagum mendengarnya. Akan tetapi sekarang dia belajar meniup bagai seorang anak kecil yang belum pandai meniup suling. Suaranya tidak karuan.

Tentu saja demikian karena dia meniup dengan menurut pelajaran dalam catatan itu, yaitu setiap lubang harus dapat dipergunakan untuk meniupkan suara bermacam-macam not! Dan untuk menguasai ini tidaklah mudah, karena dia harus dapat mengatur tenaga khikang sedemikian rupa sehingga sesuai benar dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menciptakan not itu. Mulailah Kam Hong belajar dengan amat tekunnya, Ci Sian sendiri yang menjadi pencatat dari ilmu-ilmu itu sama sekali tidak mengerti, karena dasar ilmu silatnya masih terlampau rendah kalau harus mengerti ilmu-ilmu yang amat tinggi itu.

Ci Sian, kadang-kadang dibantu oleh Kam Hong yang sudah mulai dapat menggunakan kakinya yang patah tulangnya, akan tetapi terpincang-pincang, sering kali mencari-cari jalan keluar, namun mereka terpaksa harus melihat kenyataan bahwa tempat itu benar benar dikurung oleh jurang-jurang yang amat curam sekali sehingga seolah-olah tidak mungkin lagi bagi mereka untuk keluar dari tempat itu. Ci Sian hampir menangis melihat kenyataan ini.

“Haruskah kita hidup terus di sini, sampai mati menjadi orang-orang terasing di tempat dingin ini?” keluhnya.

“Sabarlah, Ci Sian. Tunggu sampai kakiku sembuh sama sekali. Aku akan mencari jalan keluar dan aku akan menuruni jurang itu untuk memeriksa kemungkinan keluar dari tempat ini. Jangan khawatir. Sementara ini, untungnya di sini engkau bisa mendapatkan burung dan.... ehh, kelinci itu untuk makan, bukan?”

“Aih, bosan aku! Setiap hari makan daging burung dan kelinci tanpa bumbu! Lama-lama kita bisa berubah menjadi binatang buas!”

Betapa pun juga, Ci Sian bukanlah seorang anak perempuan cengeng yang hanya suka mengeluh. Dia sudah menjadi lincah gembira kembali dan dia pun membuang waktu luangnya untuk berlatih ilmu silat atas petunjuk dari Kam Hong sehingga dalam waktu beberapa hari saja dia sudah memperoleh kemajuan pesat…..


********************


Kita tinggalkan dulu dua orang anak manusia yang terpencil di tempat sunyi dan dingin itu dan mari kita mengikuti perjalanan Sim Hong Bu dan pamannya Sim Tek. Seperti telah kita ketahui, dua orang paman dan keponakan yang merupakan pemburu-pemburu yang gagah perkasa ini telah menolong Ci Sian akan tetapi sebaliknya mereka malah terancam bahaya maut dan baru selamat setelah Kam Hong turun tangan. Mereka berdua kagum bukan main menyaksikan kelihaian pendekar yang memegang kipas dan suling emas itu. Diam-diam Sim Hong Bu merasa kecewa bahwa ia tak dapat berkenalan lebih jauh dengan gadis cilik yang pemberani dan dengan pendekar yang begitu perkasa.

Dua orang pemburu ini melanjutkan perjalanan. Ketika mereka melihat adanya banyak mayat berserakan di mana-mana dalam keadaan terluka parah dan mengerikan, timbul keraguan dalam hati Sim Hong Bu yang biasanya tabah itu.

“Paman, di mana-mana selalu terdapat bekas amukan binatang buas seperti yang belum pernah kita lihat sebelumnya. Kalau benar ini semua adalah perbuatan Yeti seperti yang dikabarkan orang selama ini, sungguh amat berbahaya sekali kalau kita bertemu dengan dia. Apakah perlu perjalanan ini kita lanjutkan?” tanyanya sambil membantu pamannya mengubur setiap mayat yang mereka temukan di jalan.

“Hong Bu, engkau tentu mengerti dan dapat merasakan desir darah dan tuntutan hati seorang pemburu! Setelah melihat seekor binatang yang begini buasnya, yang bukan hanya amat menarik akan tetapi juga telah membunuh banyak manusia, bagaimana mungkin kita dapat kembali sebelum berusaha menangkap atau membunuhnya!”

“Aku mengerti, Paman, akan tetapi yang kita buru sekali ini adalah makhluk yang luar biasa kuat dan kejamnya melebihi setan! Apa mungkin kita akan mampu menangkapnya apalagi membunuhnya kalau sekian banyaknya orang kang-ouw saja juga tidak mampu, bahkan menjadi korban dan mati konyol di bawah kebuasannya?”

“Kalau pun tidak mungkin menangkap atau membunuh, baru melihatnya saja pun sudah merupakan suatu kebanggaan besar bagi seorang pemburu sejati! Pemburu manakah di dunia ini yang sudah dapat melihat, bertemu dan berhadapan muka dengan Yeti? Belum ada, dan aku mengharapkan untuk menjadi pemburu pertama yang mengalaminya!”

Hong Bu tidak membantah lagi. Dia dapat merasakan hasrat itu di dalam hatinya, hasrat seorang pemburu yang seperti juga setiap orang pemburu atau penangkap ikan, selalu rindu akan kebanggaan bercerita tentang keanehan binatang yang diburunya. Semakin ganas binatang itu, semakin buas dan semakin berbahaya, akan makin banggalah untuk menceritakan pengalamannya! Ia pun terus mengikuti pamannya tanpa membantah lagi, bertekad untuk menghadapi segala kemungkinan bersama pamannya tanpa mengenal takut.

Paman dan keponakan ini tidak tahu bahwa di balik puncak yang menjulang di depan mereka, yang akan mereka lewati siang hari itu, sedang terjadi hal yang lebih hebat dan mengerikan lagi. Di antara para orang kang-ouw yang ramai-ramai mendatangi Himalaya, tertarik akan berita tentang pedang pusaka yang diperebutkan itu, terdapat lima orang murid-murid Kun-lun-pai. Mereka berlima ini tidak ada hubungannya dengan tiga orang tokoh Kun-lun yang pernah diceritakan dalam awal cerita ini, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti, dan Hui-siang-kiam Ciok Kam yang terluka, biar pun tiga orang tosu itu pun datang dari Pegunungan Kun-lun-san. Sama sekali tidak ada hubungannya, karena lima orang ini adalah murid dari partai persilatan besar Kun-lun-pai yang berpusat di pegunungan Kun-lun-san.

Mereka adalah murid-murid kelas atau tingkat dua, yang bagi dunia kang-ouw sudah merupakan tingkat yang lumayan dan mereka telah memiliki ilmu silat yang cukup kuat. Mereka terdiri dua orang pemuda dan tiga orang gadis yang kesemuanya memiliki sikap yang gagah perkasa. Yang pertama bernama Tan Coan, merupakan orang pertama dan tertua, usianya dua puluh lima tahun dan merupakan pemimpin rombongan mereka itu. Orang ke dua adalah seorang pria pula, bernama Lim Sun berusia dua puluh tiga tahun. Orang ke tiga adalah adiknya yang bernama Lim Siang, seorang gadis berusia dua puluh tahun. Yang ke empat dan ke lima juga wanita, kakak beradik bernama Tio Gin Bwee berusia delapan belas tahun dan Tio Ang Bwee berusia enam belas tahun.

Lima orang murid Kun-lun-pai ini pun tertarik oleh berita tentang pedang pusaka yang dilarikan pencuri dari istana dan kabarnya dibawa ke daerah Himalaya. Kebetulan mereka berada di Pegunungan Kun-lun-san, maka mereka minta perkenan dari para pimpinan Kun-lun-pai untuk pergi ke Himalaya, sekedar untuk meluaskan pandangan, menambah pengetahuan dan kalau mungkin mendapatkan kembali pedang pusaka kerajaan itu untuk berbakti kepada negara. Para pimpinan Kun-lun-pai merasa khawatir, akan tetapi karena lima orang muda itu mendesak, akhirnya para tosu Kun-lun-pai memberi ijin dengan pesan agar mereka tidak melayani orang-orang kang-ouw dan tidak menimbulkan perkelahian dan permusuhan, melainkan hanya sekedar untuk menambah pengalaman belaka.

Demikianlah, ketika lima orang murid Kun-lun-pai ini tiba di daerah bersalju, tiba-tiba mereka bertemu dengan tiga orang tua aneh yang memandang kepada tiga orang gadis muda itu sambil tertawa-tawa. Lima orang murid Kun-lun-pai itu tidak mengenal mereka ini, tidak tahu bahwa mereka itu adalah tiga orang tokoh kaum sesat yang amat terkenal dan lihai sekali. Mereka itu adalah bekas para pembantu dari tokoh sesat Hwa-i-kongcu Tang Hun, Ketua Liong-sim-pang yang kemudian bergabung dengan pemberontak Pangeran Nepal dan kemudian tewas di tangan pendekar yang terkenal Suma Kian Bu atau lebih terkenal lagi dengan julukan Pendekar Siluman Kecil.

Tiga orang aneh ini adalah orang-orang yang sudah biasa berkecimpung dalam dunia kejahatan. Yang pertama berpakaian seperti seorang tosu, usianya kurang lebih enam puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus berwajah bengis. Orang kedua adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, usianya sebaya dengan tosu tadi, tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam. Kalau Hak Im Cu terkenal dengan ginkang-nya yang hebat, orang ke dua ini, sesuai dengan julukannya, yaitu Ban-kin-kwi (Setan Selaksa Kati), tenaganya sebesar gajah dan dia adalah seorang yang memiliki sinkang kuat sekali dan kedua kepalan tangannya merupakan senjata ampuh. Orang ketiga adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To, usianya juga sebaya, kepalanya gundul tetapi dia bukanlah seorang hwesio. Tubuhnya pendek gemuk, tidak sesuai dengan keahliannya, yaitu ahli bermain dalam air dan memiliki tenaga dalam yang kuat pula. Orang ketiga ini suka tertawa-tawa, dan tangannya memegang sebatang dayung yang kini dipergunakan sebagai tongkat.

Sesungguhnya, sebelum mereka bertiga ini menghambakan diri kepada ketua Liong-sim-pang, walau pun mereka itu termasuk tokoh-tokoh kaum sesat, namun mereka bertiga tidak atau jarang sekali menggoda wanita. Akan tetapi, semenjak mereka menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang selalu menghibur mereka dengan wanita-wanita cantik, ketiga kakek ini berubah menjadi orang-orang yang haus akan pemuasan nafsu berahi mereka yang bangkit karena kebiasaan di Liong-sim-pang itu.

Maka, kini ketika mereka melihat ada tiga orang gadis muda yang manis-manis, bertemu dengan mereka di tempat sunyi, tentu saja mereka menjadi tertarik karena pikiran mereka sudah membayangkan pengalaman-pengalaman lalu dengan wanita-wanita muda dan membayangkan betapa akan senangnya kalau mereka mendapatkan teman seorang satu di tempat yang sunyi dan berhawa dingin itu!


Demikianlah timbulnya nafsu berahi atau nafsu apa pun juga yang menguasai hati dan pikiran, menguasai batin kita setiap saat dan yang kemudian menjadi pendorong dari setiap perbuatan kita dalam hidup ini. Pikiranlah sumbernya. Pikiran yang bekerja mengenangkan segala kesenangan yang pernah dialami. Pikiran yang merupakan gudang dari pengalaman dan ingatan.



Kalau mata kita tertarik dan suka melihat segala sesuatu yang indah, setangkai bunga yang indah warnanya, awan berarak di langit, tamasya alam terbentang luas di depan kita, matahari senja yang menakjubkan, wajah seorang wanita yang cantik manis, semua rasa suka memandang itu adalah wajar, karena mata kita sudah dibentuk sejak kecil untuk menilai apa yang dinamakan indah dan apa yang buruk itu.

Kalau yang ada hanya memandang saja, maka hal itu wajar dan tidak terjadi konflik. Akan tetapi sayang, setiap kali kita memandang, pikiran yang penuh dengan ingatan ini selalu campur tangan. Pikiran yang mendambakan kesenangan ini lalu membayangkan kembali segala kesenangan yang pernah dialami atau pernah didengarnya, kemudian membayangkan hal-hal yang menimbulkan nafsu. Mata melihat wanita cantik jelita dan terjadi daya tarik, timbul semacam dorongan untuk memandang keindahan yang terdapat pada wajah itu. Kalau yang ada hanya memandang saja, maka setelah wanita itu lewat dan lenyap, habislah saja sampai di situ. Tetapi kalau pikiran memasukinya, kemudian membayangkan betapa akan senangnya kalau dapat bercinta dengannya dan sebagainya, maka timbullah nafsu berahi!

Pikiran adalah sumber segala konflik. Pikiran menjadi tempat bertumpuknya kenangan akan hal-hal yang telah lalu, yang pernah kita alami dan selalu pikiran mengejar kesenangan atau lebih tepat lagi, mengejar pengulangan kesenangan yang lalu dengan menciptakan kesenangan yang ingin dialami di masa mendatang, dan selalu karenanya menolak dan menghindarkan ketidak senangan. Oleh karena keinginan untuk mengejar kesenangan inilah maka kemudian timbul perbuatan-perbuatan yang menyeleweng dari pada kebenaran, perbuatan-perbuatan jahat yang merugikan orang lain dan diri sendiri.

Setelah melihat semua ini, dapatkah kita membebaskan diri dari pencampur tanganan pikiran? Bisakah kita memandang atau mendengar saja penuh perhatian, tanpa adanya pikiran yang membandingkan, mempertimbangkan lalu memutuskan baik buruknya atau senang susahnya? Dapatkah pikiran berhenti mengoceh dan menghidupkan kembali hal-hal yang telah lalu?

Tentu saja bukan berarti bahwa kita hidup tanpa pikiran! Hal itu sama sekali tidaklah mungkin! Pikiran adalah alat yang amat dibutuhkan untuk hidup, atau untuk melengkapi hidup ini. Tanpa pikiran, tanpa ingatan tentu saja kita tidak akan dapat pulang ke rumah, tidak akan dapat melakukan pekerjaan, tidak akan dapat menghitung, membaca dan sebagainya lagi. Pikiran amatlah penting bagi kita, yaitu dalam soal-soal teknis saja. Dalam soal-soal keperluan lahiriah saja.

Akan tetapi begitu pikiran penuh ingatan memasuki batin, mengusik hubungan antara kita dengan manusia lain, akan terjadilah konflik. Dalam komunikasi antara kita dengan manusia lain, dengan benda, dengan batin, sebenarnya tidak dibutuhkan pikiran yang menilai berdasarkan ingatan masa lalu.


Melihat sikap tiga orang kakek yang jelas membayangkan bahwa mereka itu adalah tokoh-tokoh berilmu, sebagai orang-orang muda yang tahu aturan kang-ouw, lima orang murid Kun-lun-pai itu lalu berhenti melangkah dan menjura kepada tiga orang kakek itu dengan sikap hormat. Tan Coan sebagai yang tertua dan pemimpin rombongan, lalu melangkah maju.

“Sam-wi Locianpwe (Tiga Orang Gagah), selamat berjumpa dan silakan Sam-wi lewat.” Mereka lalu berdiri di tepi jalan untuk membiarkan mereka lewat lebih dulu.

Tiga orang kakek itu saling pandang dan Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biasanya terus menyeringai dan tertawa-tawa itu berkata. “Aha, kalian adalah orang-orang muda yang tahu aturan dan menyenangkan sekali. Siapakah kalian?”

“Kami berlima adalah murid-murid Kun-lun-pai....“

“Wah-wah-wah, murid-murid Kun-lun-pai juga berkeliaran sampai ke sini? Apakah kalian juga ingin pula memperebutkan pedang keramat Koai-liong-po-kiam?” berkata Hak Im Cu dengan nada suara mengejek.

Diam-diam Tan Coan terkejut dan tidak senang melihat sikap mereka dan mendengar ucapan-ucapan yang nadanya mengejek itu. Sikap mereka tidak menghormat Kun-lun-pai itu saja sudah dapat menimbulkan dugaan bahwa mereka ini adalah orang-orang dari golongan hitam! Kaum bersih, di mana juga dia berada, tentu akan menghormati Kun-lun-pai yang merupakan sebuah di antara partai-partai persilatan besar. Akan tetapi dia menahan kesabaran dan menjura sambil berkata, suaranya tetap tenang dan halus.

“Kami mendengar tentang pokiam itu, akan tetapi kami hanya datang untuk melihat dan mendengar, meluaskan pengalaman kami yang dangkal. Harap Sam-wi Locianpwe tidak mentertawakan kami yang bodoh.”

“Huhh, orang-orang Kun-lun-pai selamanya sombong dan tinggi hati!” Tiba-tiba Ban-kin-kwi Kwan Ok mencela, suaranya berat dan memang dia pernah menaruh dendam karena pernah dia dikalahkan oleh seorang tosu Kun-lun-pai beberapa tahun yang lalu.

Akan tetapi Hai-liong-ong Ciok Gu To yang masih tersenyum sambil memandangi tiga orang gadis itu, masih bicara dengan ramah. “Orang-orang muda, ketahuilah bahwa tempat ini amat berbahaya! Ada Yeti mengamuk dan sudah banyak sekali orang kang-ouw yang tewas.”

“Oleh karena itu...” sambung Hak Im Cu, “tidak baik bagi nona-nona ini untuk melakukan perjalanan sendiri! Kalian dua orang pemuda boleh saja berjalan sendiri, akan tetapi biarlah tiga orang nona ini melanjutkan perjalanan bersama dengan kami. Kami akan menjaga dan melindungi keselamatan kalian, Nona-nona manis!”

“Bagus! Seorang satu, itu baru adil namanya,” kata pula Ciok Gu Tosu sambil tertawa bergelak. “Marilah, Nona-nona, kalian akan melakukan perjalanan yang menyenangkan, selain akan aman juga tidak akan kedinginan lagi, ha-ha-ha!”

Lima orang murid Kun-lun-pai itu terkejut bukan main. Muka mereka sudah berubah merah sekali dan sinar mata mereka bernyala karena marah. Mereka memang telah diperingatkan oleh guru mereka agar tidak bermusuhan dan agar jangan berkelahi, akan tetapi kalau berhadapan dengan tiga orang kurang ajar semacam tiga orang kakek ini, apakah mereka juga harus bersahabat? Bagaimana pun juga, mereka adalah orang-orang muda gemblengan, maka Tan Coan bisa menyabarkan adik-adik seperguruannya dengan pandang matanya, kemudian dia menjura lagi dan berkata kepada tiga orang kakek itu, nada suaranya masih halus namun penuh ketegasan.

“Kiranya Sam-wi adalah orang-orang yang merupakan tokoh besar di dunia kang-ouw, maka agaknya sengaja Sam-wi hendak menggoda kami orang-orang muda dari Kun-lun-pai! Akan tetapi para pemimpin dan guru-guru kami telah berpesan kepada kami agar kami tidak berlaku kurang ajar dan tidak mencari permusuhan dengan siapa pun juga. Oleh karena itu, harap Sam-wi menaruh kasihan kepada kami dan membiarkan kami pergi melanjutkan perjalanan kami.”

“Heh, bocah yang bermulut manis! Kalau engkau mau pergi bersama temanmu pemuda yang satunya lagi itu, lekaslah minggat dan menggelinding pergi! Akan tetapi tinggalkan tiga orang gadis manis itu untuk menemani kami!” bentak Ban-kin-kwi Kwan Ok dengan bentakan keras.

Tak mungkin kini mereka berlima dapat menahan kemarahan mereka yang memuncak oleh ucapan yang amat menghina ini. Sekarang jelaslah bagi mereka bahwa mereka berhadapan dengan tokoh-tokoh golongan hitam yang jahat sekali. Lim Sun yang lebih muda dan lebih berdarah panas itu lalu maju membentak. “Siapakah kalian bertiga yang bersikap seperti memusuhi Kun-lun-pai?” bentaknya dengan melotot.

Hak Im Cu tertawa menyambut pertanyaan ini. “Ha-ha-ha, memang sebaiknya kami memperkenalkan diri agar kalian berdua tidak mati penasaran dan agar ketiga orang gadis itu akan merasa lebih senang karena telah kami pilih sebagai teman-teman seperjalanan di tempat dingin ini. Dengarlah baik-baik, Pinto adalah Hak Im Cu, dia itu adalah Ban-kin-kwi Kwan Kok, sedangkan Si Gundul itu adalah Hai-liong-ong Ciok Gu To! Nah, sudah jelaskah?”

Lima orang muda Kun-lun-pai itu memang belum banyak pengalaman di dalam dunia kang-ouw, apalagi dunia penjahat, maka tentu saja nama-nama itu asing bagi mereka.

“Sekali lagi kami harap Sam-wi tidak menanam permusuhan dengan kami orang-orang muda yang tidak ingin berkelahi dengan siapa pun juga dan membiarkan kami pergi,” Tan Coan berkata lagi, sungguh pun nada suaranya tidak sehormat tadi, akan tetapi juga tidak kasar dan dia sudah memberi tanda kepada adik-adik seperguruannya untuk meninggalkan tempat itu.

“Haiiiit, tahan dulu!” bentak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang biar pun tubuhnya pendek gemuk akan tetapi dapat bergerak gesit sekali karena tahu-tahu dia sudah berkelebat dan menghadang di depan mereka berlima. “Tulikah kalian? Yang dua laki-laki boleh minggat, akan tetapi yang tiga wanita harus tinggal!”

“Manusia jahat!” bentak Tio Ang Bwee, murid perempuan Kun-lun-pai yang baru berusia enam belas tahun itu dan dia sudah menyerang dengan menggunakan pedangnya yang dicabut secepatnya.

“Ha-ha-ha, engkau memilih aku sayang? Aha, engkau tidak salah pilih!” Si Pendek Gendut yang berkepala gundul ini tertawa dan dengan tenang saja dia mengelak dari sambaran pedang Tio Ang Bwee. Sementara itu, empat orang murid Kun-lun-pai yang lain sudah mencabut pedang dan mereka pun menerjang maju.

Hak Im Cu dan Ban-kin-kwi Kwan Ok menyambut mereka dengan tertawa mengejek. Dan memang sesungguhnya tingkat kepandaian murid-murid kelas dua dari Kun-lun-pai ini masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan tingkat kepandaian tiga orang tokoh sesat itu. Tanpa mengerahkan banyak tenaga, lewat belasan jurus saja lima orang muda itu sudah terdesak hebat dan akhirnya Tan Coan dan Lim Sun roboh oleh pedang Hak Im Cu dan senjata dayung di tangan Hai-liong-ong Ciok Gu To, sedangkan tiga orang gadis itu telah roboh tertotok!

Sambil tertawa-tawa tiga orang kakek yang kejam seperti binatang buas itu telah memilih masing-masing seorang gadis, mengangkat dan memondong mereka itu sambil terkekeh dan hendak membawa mereka pergi. Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan yang cepat sekali dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang lain. Melihat dua orang ini, tiga orang kakek itu terkejut bukan main dan wajah mereka berubah pucat.

Yang baru muncul ini adalah dua orang kakek lain yang amat luar biasa. Yang seorang amat pendek, jauh lebih pendek gendut dibandingkan dengan Hai-liong-ong Ciok Gu To, karena Si Pendek yang berkepala gundul dan berpakaian seperti hwesio ini tingginya tidak lebih dari satu seperempat meter! Dia berdiri di situ sambil tertawa ha-ha-ha-ha seperti orang gendeng akan tetapi sepasang matanya mencorong menyeramkan. Orang kedua tidak kalah anehnya. Sebagai kebalikan dari Si Gendut Pendek, orang kedua ini berpakaian tosu, kurus sekali dan tingginya sampai dua setengah meter, dua kali lebih tinggi dari pada Si Pendek. Kalau Si Gendut Pendek itu berwajah riang gembira, Si Tinggi Kurus ini mukanya sedih seperti orang menangis, sepasang matanya sipit seperti terpejam.

Tentu saja tiga orang kakek jahat itu terkejut seperti melihat setan, karena memang dua orang di depan mereka itu seperti manusia-manusia setan yang terkenal sebagai manusia-manusia yang paling jahat di kolong langit! Mereka itu adalah orang ke empat dan ke lima dari sekelompok orang-orang sakti jahat yang terkenal dengan julukan Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat). Si Pendek itu adalah Su-ok (Jahat ke Empat) Siauw-siang-cu, sedangkan Si Jangkung itu adalah Ngo-ok (Jahat ke Lima) Toat-beng Sian-su! Para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu sudah mengenal mereka ini karena mereka adalah tokoh-tokoh utama yang memimpin pemberontakan Pangeran Nepal terhadap Kerajaan Ceng beberapa tahun yang lampau. Dan karena tiga orang kakek jahat itu tadinya menjadi pembantu-pembantu Hwa-i-kongcu yang juga bersekutu dengan pemberontak tentu saja mereka bertiga mengenal siapa adanya dua orang aneh ini.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya cepat melepaskan tubuh tiga orang gadis Kun-lun-pai itu dan menjura dengan sikap hormat sekali kepada Su-ok dan Ngo-ok. “Sungguh tidak mengira akan bertemu dengan Ji-wi Locianpwe di sini!” kata Hak Im Cu. Orang seperti Hak Im Cu sampai menyebut Locianpwe terhadap mereka berdua, sungguh merupakan penghormatan yang amat besar.

“Selamat berjumpa, apakah selama ini Ji-wi Locianpwe baik-baik saja?” Ban-kin-kwi Kwan Ok juga menyapa dengan ramah.

“Kami menghaturkan hormat kepada Ji-wi Locianpwe!” kata pula Hai-liong-ong Ciok Gu To.

Akan tetapi Su-ok dan Ngo-ok tidak menjawab. Su-ok hanya tetap ha-ha-he-he menyeramkan, sedangkan Ngo-ok yang cemberut itu memandang kepada tubuh tiga orang gadis muda yang tak dapat bergerak karena tertotok itu.

Akhirnya Su-ok menoleh kepada Ngo-ok dan melihat betapa mata yang sipit itu ditujukan ke arah tiga orang gadis Kun-lun-pai itu, Su-ok tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, kalau engkau menghendaki mereka, tiga ekor anjing tua ini harus dibunuh dulu.”

Ngo-ok mengangguk. “Untuk apa kalau tidak dibunuh!” katanya.

Hak Im Cu dan dua orang kawannya terkejut bukan main. “Ji-wi Locianpwe mengapa berkata demikian? Kalau Locianpwe menghendaki mereka, biarlah kami mengalah dan menghaturkan mereka kepada Locianpwe dengan senang hati.”

“Ha-ha, anjing-anjing tua pengecut. Sudah berani naik ke sini mengapa takut mati? Hayo majulah, bagaimana pun juga kami harus membunuh kalian.”

Tiga orang tokoh sesat itu makin ketakutan sampai wajah mereka berubah pucat. “Locianpwe sungguh tidak adil!” Ban-kim-kwi Kwan Ok berkata. “Kami bertiga adalah sahabat-sahabat yang tidak pernah mengganggu Locianpwe, bahkan dengan hormat kami mempersembahkan tiga orang gadis ini kalau Locianpwe menghendaki. Mengapa hendak membunuh kami?”

“Siapa bilang kita bersahabat?” Ngo-ok mendengus dan matanya terbuka sedikit, sikapnya sungguh mengerikan.

“Locianpwe, bukankah kita pernah bersama-sama membantu Pangeran Nepal? Bukankah kita adalah orang-orang sendiri dan karena itu bersahabat?” Hak Im Cu berkata.

“Ha-ha-ha!” Si Pendek Gendut Suok tertawa mengejek. “Memang ketika itu kalian menguntungkan, maka bersahabat. Sekarang, kalian merupakan saingan kami dalam mencari dan memperebutkan Koai-liong-pokiam, maka kalian adalah saingan kami atau musuh dan harus dibunuh. Lain dulu lain pula sekarang! Dulu menguntungkan maka sahabat, sekarang merugikan maka musuh!”

Sungguh pendapat yang sama sekali mau enak sendiri saja! Akan tetapi, benarkah sikap Su-ok dan Ngo-ok itu aneh dan jahat? Lupakah kita bahwa kita sendiri pun dengan diselubungi oleh segala sopan santun dan kebudayaan, pada hakekatnya mempunyai perhitungan dan pandangan yang tidak jauh bedanya dengan sikap dua orang manusia iblis itu?


Sebaiknya kalau kita meneliti dan memandang diri sendiri, mengenal diri sendiri. Coba kita renungkan dan pandang dengan sejujurnya, mengapa kita mempunyai sahabat-sahabat dan mengapa pula kita mempunyai musuh-musuh? Bukankah orang yang kita anggap sahabat itu adalah orang yang kita pandang akan menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin? Dan sebaliknya bukankah orang yang kita anggap musuh itu adalah orang yang kita pandang merugikan lahir mau pun batin? Dan orang yang sekarang kita anggap sahabat, kalau pada suatu hari dia itu merugikan kita lahir atau batin, apakah dia masih kita anggap sahabat, ataukah lalu kita anggap sebagai musuh? Berapa banyaknya orang yang kini kita anggap musuh itu dahulu pernah menjadi sahabat kita?



Ahhh, kehidupan kita penuh dengan penilaian yang didasarkan untung rugi bagi kita sendiri, oleh karena itulah maka kita memisah-misahkan orang-orang lain sebagai yang disuka dan yang tidak disuka, sebagai sahabat atau musuh. Bukankah pada dasarnya kita, yang masih mempunyai sahabat dan musuh, tidak jauh beda pandangan kita dengan Su-ok dan Ngo-ok?

Tiga orang kakek itu sendiri adalah tokoh-tokoh jahat dan kejam. Baru saja mereka memperlihatkan watak mereka yang kejam, dengan membunuh dua orang pemuda Kun-lun-pai yang tidak berdosa dan hendak memaksa tiga orang gadis Kun-lun-pai untuk melayani mereka. Maka, kini melihat sikap Su-ok dan Ngo-ok, maklumlah mereka bahwa tidak ada jalan lain bagi mereka selain membela diri mati-matian. Dan karena mereka sudah tahu akan kelihaian Su-ok dan Ngo-ok, maka mereka pun tidak mau mengalah dan tidak segan melakukan kecurangan demi untuk menyelamatkan diri…..

“Haiiittttt....!”

Mendadak Hai-liong-ong Ciok Gu To yang berdiri di sebelah agak kiri dari Su-ok, sudah menggerakkan dayungnya yang terbuat dari pada kuningan itu dan menghantam ke arah kepala Su-ok yang pendek gendut seperti dirinya, akan tetapi tetap saja dia masih lebih tinggi sehingga Su-ok itu hanya sampai di bawah telinganya saja tingginya. Dayung itu menyambar dengan dahsyat sekali. Melihat ini, Hak Im Cu sudah menerjang maju lagi dengan pedangnya, sedangkan Ban-kin-kwi Kwan Ok sudah menggunakan kepalan tangannya untuk membantu Ciok Gu To mengeroyok Su-ok yang mereka tahu lebih lihai dari pada Ngo-ok Si Jangkung itu.

Terjadilah perkelahian yang amat seru. Su-ok dengan enak saja menyelinap ke bawah dan dayung itu menyambar ke atas kepalanya. Ketika melihat berkelebatnya bayangan Ban-kin-kwi yang memukul sehingga menyambar angin pukulan dahsyat dari tokoh bertenaga gajah ini, Su-ok tertawa dan tubuhnya sudah bergulingan ke atas tanah sehingga pukulan itu pun luput. Dua orang lawannya terus mengepung dan mengirim serangan bertubi-tubi, namun Su-ok selalu dapat mengelak dengan ilmu silatnya yang aneh, tubuhnya kadang-kadang berloncatan, kadang-kadang menggelundung ke sana sini seperti trenggiling dan kalau dia meloncat dari atas tanah, dia sudah mengirimkan pukulan yang amat kuat sehingga beberapa kali kedua orang lawan yang sudah mengelak itu tetap saja terhuyung, terbawa angin pukulan yang amat dahsyat.

Sementara itu, Ngo-ok juga dengan enaknya menghadapi pedang di tangan Hak Im Cu. Tubuhnya yang jangkung itu kalau mengelak hanya dengan lengkungan-lengkungan panjang dan pedang itu selalu mengenai angin, kemudian kedua tangan itu dari atas menyambar dengan lengan yang panjang seperti dua ekor burung menyambar-nyambar dari atas membuat Hak Im Cu sibuk sekali untuk melindungi tubuhnya dari sambaran dua buah tangan itu. Pedangnya terpaksa diputarnya secepat mungkin dan membentuk sinar bergulung-gulung yang merupakan benteng yang melindungi tubuhnya.

Tingkat ilmu silat dari tiga orang kakek itu sesungguhnya sudah mencapai tingkat tinggi dan nama mereka di dunia kang-ouw sudah terkenal sekali. Murid-murid Kun-lun-pai kelas dua tadi pun sama sekali bukan lawan mereka, dan di dunia kaum sesat mereka ini sudah merupakan tokoh-tokoh yang disegani. Akan tetapi sekali ini mereka bertemu dengan datuk-datuk kaum sesat yang jauh lebih lihai dari pada mereka. Baru ada satu saja di antara Im-kan Ngo-ok, ada Su-ok atau Ngo-ok seorang saja, belum tentu mereka bertiga akan mampu mengalahkannya. Apalagi sekarang sekali muncul ada dua orang, tentu saja mereka menjadi kewalahan sekali.

Yang pertama kali mengalami desakan hebat adalah Hak Im Cu. Hal ini tidak mengherankan karena biar pun tingkat kepandaian Ngo-ok masih kalah setingkat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Su-ok, akan tetapi Hak Im Cu menghadapi tokoh ini seorang diri saja, dan watak Ngo-ok berbeda dengan Su-ok. Su-ok adalah orang yang suka bergurau dan suka mempermainkan orang, maka kini menghadapi pengeroyokan dua orang lawan itu dia pun sengaja mempermainkan mereka, seperti dua ekor tikus dipermainkan seekor kucing yang sudah merasa yakin akan kekuatan dan kemenangannya. Oleh karena itulah maka kalau Ngo-ok sudah dapat mendesak lawannya. Su-ok masih belum mendesak dan membiarkan dua orang lawannya itu melakukan serangan bertubi-tubi yang dapat dihindarkannya dengan mudah saja.

Ngo-ok sudah mendesak hebat dan kedua tangannya semakin gencar melakukan serangan ke arah kepala Hak Im Cu. Tosu ini sudah mandi keringat karena berkali-kali tangan yang berlengan panjang itu hampir saja berhasil menotoknya atau menghantam kepalanya dari arah yang tidak terduga-duga sebelumnya karena dia tidak mungkin dapat mengikuti gerakan dari atas itu.

Dengan kegelisahan yang membuatnya nekat, mendadak dia menusuk ke depan, memutar pedang itu dan tangan kirinya ikut melancarkan pukulan yang mengandung sinkang kuat ke arah dada lawan, pedangnya berputar hendak merobek perut. Serangan ini dahsyat bukan main sehingga biar pun Ngo-ok amat lihai, tokoh ini terkejut juga. Dan tiba-tiba terjadilah apa yang dikhawatirkan sejak tadi oleh Hak Im Cu. Tubuh tinggi kurus itu tiba-tiba berjungkir balik dan selagi Hak Im Cu terkejut dan tidak tahu bagaimana harus menghadapi lawan ini, tahu-tahu ubun-ubun kepalanya kena dicium ujung jari kaki kanan Ngo-ok.

“Aughhhh....!” Hak Im Cu terhuyung ke belakang, pandang matanya berkunang-kunang dan pada saat itu, Ngo-ok sudah menubruk ke depan dengan tubuh berjungkir balik kembali seperti semula dan dua kali tangannya menampar.

“Krekk! Krekk!” terdengar suara dan patahlah kedua pergelangan tangan Hak Im Cu. Pedangnya terlempar jauh dan tahu-tahu jari-jari tangan kiri yang panjang dari Ngo-ok telah mencekik lehernya dari belakang disambung oleh jari-jari tangan kanannya dari depan.

Hak Im Cu meronta-ronta, tidak mampu melakukan tendangan karena tubuh lawan berada di belakangnya, sedang kedua lengannya sudah tidak dapat dipergunakan lagi. Dia meronta-ronta dan tubuhnya berkelojotan, namun sia-sia belaka. Cekikan itu makin kuat saja. Sungguh merupakan penglihatan yang amat mendirikan bulu roma apa yang dilakukan oleh Ngo-ok secara kejam bukan main itu. Akhirnya tubuh itu berhenti juga berkelojotan dan Ngo-ok melemparkan tubuh Hak Im Cu yang telah mati dengan mata melotot dan lidah keluar sampai memanjang.

“Aha, engkau terburu-buru amat, Ngo-te!” Su-ok yang dikeroyok dua itu masih sempat mentertawakan Ngo-ok. Akan tetapi Ngo-ok sudah tidak mau mempedulikan lagi karena manusia iblis ini dengan langkah panjang sudah menghampiri Tio Gin Bwee, gadis Kun-lun-pai yang berusia delapan belas tahun itu.

Tiga orang gadis itu tidak pingsan, hanya tertotok saja dan tidak mampu menggerakkan tubuhnya. Semenjak tadi, mereka itu menangis melihat kedua orang suheng mereka tewas, kemudian mereka menonton pertempuran antara manusia-manusia iblis itu dengan hati merasa ngeri dan takut. Mereka adalah gadis-gadis yang sudah menerima gemblengan lahir batin, akan tetapi baru sekarang mereka merasa ngeri dan takut karena maklum betapa mereka itu sama sekali tidak berdaya dan mereka terjatuh ke dalam tangan manusia-manusia yang lebih jahat dari pada iblis sendiri.

Saat Si Jangkung itu menghampiri dan menyambarnya seperti seekor elang menyambar anak ayam saja, lalu mengangkatnya tinggi-tinggi, Tio Gin Bwee menjadi ketakutan dan merintih. Dua orang lainnya memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Rintihan Gin Bwee makin lama menjadi jeritan-jeritan menyayat hati ketika dia dibawa ke balik tumpukan salju oleh Si Jangkung itu dan akhirnya tak terdengar lagi jeritannya.

Tak lama kemudian Ngo-ok sudah datang lagi dan sekarang tangannya yang berlengan panjang itu menyambar tubuh Lim Siang, juga seperti tadi dibawanya gadis itu ke balik tumpukan salju. Terdengar oleh Ang Bwee bagaimana suci-nya ini menjerit-jerit akan tetapi makin lama jeritannya menghilang terganti isak tangis yang menyedihkan.

Sementara itu, terdengar Su-ok tertawa dan kini mulailah dia menyerang kedua orang pengeroyoknya. Tubuhnya merendah bagaikan berjongkok dan pada waktu tangannya dihantamkan ke depan, Hai-liong-ong Ciok Gu To berteriak dan tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting dan tewas seketika, dari mulutnya menyembur darah segar. Itulah pukulan Katak Buduk yang berbau amis dan beracun, akan tetapi juga ampuhnya menggila itu!

Melihat ini, Ban-kin-kwi Kwan Ok tidak mempedulikan rasa malu lagi, dia telah meloncat hendak melarikan diri. Akan tetapi tahu-tahu Si Pendek itu sudah berada di depannya dan sekali Su-ok melancarkan pukulannya seperti tadi, Ban-kin-kwi juga terjengkang dan tewas seketika dengan muntah-muntah darah!

“Ho-ho-ha-ha-ha....!” Su-ok tertawa dan pada saat itu Ngo-ok sudah menangkap Ang Bwee, gadis ke tiga.

Gadis ini saking takut dan ngerinya telah berhasil membebaskan diri dari totokan, maka kini dia meronta-ronta dan melawan, menangis sambil berusaha mencakar dengan kedua tangannya. Akan tetapi Ngo-ok tidak peduli, lalu membawa gadis itu ke tempat tadi, diikuti oleh Su-ok dan dengan buas dia merenggut dan merobek-robek pakaian Ang Bwee, kemudian memperkosa gadis itu di bawah penglihatan Su-ok yang tertawa-tawa gembira. Ang-Bwee sempat mengeluarkan jerit yang amat melengking saking takut dan ngerinya, akan tetapi selanjutnya dia tidak berdaya seperti dua orang suci-nya yang sudah rebah sambil menangis dan dalam keadaan setengah pingsan itu.

Agaknya jeritan inilah yang terdengar oleh Sim Hong Bu dan Sim Tek. Dua orang paman dan keponakan yang melakukan perjalanan mencari Yeti ini mendengar suara jerit aneh di tempat sunyi itu. Mereka tadinya mengira bahwa jerit-jerit yang mereka dengar terdahulu dan hanya terdengar lapat-lapat itu adalah jerit dari makhluk yang mereka buru, yaitu Yeti. Maka mereka menuju ke tempat itu, di balik puncak, dengan hati-hati agar mereka tidak sampai bertemu begitu saja dengan makhluk berbahaya itu.

Mereka berindap-indap dan mendekati tempat itu sambil berlindung. Akan tetapi jerit terakhir yang mereka dengar, yaitu jerit yang keluar dari mulut Ang Bwee, adalah jerit yang jelas dapat mereka kenal sebagai jerit yang keluar dari seorang wanita yang mungkin berada dalam keadaan ketakutan amat hebat. Maka kini keduanya berlari-lari menuju ke arah datangnya suara. Mereka mendengar suara orang tertawa-tawa di balik tumpukkan salju dan jerit wanita tadi tidak terdengar lagi. Maka keduanya lalu meloncat dan menuju ke balik tumpukan salju.

Apa yang mereka saksikan membuat kedua orang pemburu ini berdiri terpukau dengan mata terbelalak dan sejenak mereka seperti berubah menjadi patung. Kemudian wajah mereka menjadi merah sekali, terutama sekali Sim Hong Bu. Mereka melihat seorang kakek tinggi kurus sedang memperkosa seorang gadis yang bergerak meronta lemah, sedangkan seorang kakek lain yang berpakaian hwesio dan berkepala gundul sedang menonton sambil tertawa-tawa seolah-olah sedang menonton pertunjukkan yang amat lucu dan menyenangkan.

“Manusia hina-dina! Manusia iblis tak berjantung!” Sim Hong Bu sudah memaki dan dia meloncat ke depan sambil mencabut pedang dengan tangan kanan dan tangan kiri memegang busurnya. Niatnya untuk menerjang kakek yang sedang memperkosa gadis itu, akan tetapi tiba-tiba kakek gundul itu menggerakkan tangannya menampar dan angin dahsyat menyambar ke arah Sim Hong Bu dan membuat pemuda ini terjengkang dan bergulingan.

“Ha-ha-ha-ha! Ada lagi yang bosan hidup!” kata Su-ok ketika dia melihat Sim Tek yang juga sudah tidak dapat bertahan menyaksikan peristiwa yang terkutuk itu, sudah menyerang pula dengan pedang di tangan kanan dan busur di tangan kiri.

Sim Tek maklum bahwa kakek gundul pendek itu lihai bukan main, akan tetapi untuk membela gadis yang diperkosa itu, dia tidak peduli akan apa pun dan bersedia untuk mengorbankan nyawanya kalau perlu. Juga Hong Bu sudah bangkit lagi dan membantu pamannya menyerang. Akan tetapi tetap saja mereka berdua tidak mampu menyerang kakek jangkung yang sedang memperkosa gadis itu, karena kakek pendek gundul selalu menghadang mereka. Maka terpaksa mereka kini menerjang kakek gundul dan terjadilah perkelahian yang tidak seimbang.

Jangankan dikeroyok oleh dua orang pemburu paman dan keponakan ini. Sedangkan pengeroyokan dua orang berilmu tinggi seperti Ban-kin-kwi Kwan Kok dan Hai-liong-ong Ciok Gu To pun berakhir dengan kematian dua orang lihai itu! Kini dengan enaknya Su-ok mempermainkan paman dan keponakan itu. Dia hanya berdiri saja sambil bertolak pinggang, sedikit pun tidak bergerak, hanya kalau dua orang itu datang menyerang, dia mendorong dengan tangan kanan atau kiri dan kedua orang itu sudah terjengkang sebelum disentuh oleh telapak tangannya!

Melihat ini, Sim Tek marah sekali dan cepat dia memasang anak panah pada busurnya. Memang dia seorang pemburu yang pandai dan terlatih, juga berpengalaman, maka begitu dia mainkan anak panah pada busurnya, dengan cepat sekali anak panah menyambar bertubi-tubi ke arah Su-ok. Melihat ini, Hong Bu juga meniru perbuatan pamannya, akan tetapi dia tidak membidik ke arah Su-ok, melainkan menujukan anak-anak panahnya ke arah punggung dan pinggul Ngo-ok yang telanjang!

Terjadilah hal-hal yang amat luar biasa. Su-ok hanya menggerakkan kedua tangannya dan semua anak panah yang dilepas oleh Sim Tek itu kembali ke arah penyerangnya dengan kecepatan jauh lebih laju lagi dari pada ketika anak-anak panah itu tadi meluncur dari gendewa Sim Tek! Pemburu ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi sebatang anak panah yang ditangkap oleh Su-ok dan dilontarkannya, seperti kilat menyambar dan menembus dadanya! Robohlah pemburu itu dengan dada tertembus anak panah sampai ke punggung dan tentu saja dia roboh dan tewas!

Anak-anak panah yang dilepas oleh Hong Bu dengan tepat mengenai punggung dan pinggul Si Jangkung, akan tetapi anak panah itu seperti mengenai tubuh dari baja saja, semua terpental dan meleset, tidak ada sebatang pun yang mampu melukai tubuh Ngo-ok! Dan sebelum Hong Bu dapat memanah lagi, tahu-tahu tengkuknya telah dipegang oleh Su-ok dan dia tidak mampu bergerak lagi, hanya meronta-ronta di udara sambil memaki-maki.

“Kalian membunuh Pamanku! Kalian adalah iblis-iblis terkutuk, kalian manusia-manusia jahanam! Hayo, bunuh aku sekalian!” teriaknya sambil kakinya menendang-nendang.

“Su-ko, jangan bunuh bocah itu. Mulutnya kotor, dia cocok untuk menjadi bujang kita,” Ngo-ok berkata dan dia sudah bangkit berdiri.

Kemudian, di depan mata Hong Bu yang terbelalak penuh kengerian, Ngo-ok mencabuti kuku ibu jari tiga orang gadis yang rebah diperkosanya itu. Gadis-gadis itu menjerit satu kali dan roboh pingsan. Kemudian, setiap habis mencabut kedua kuku ibu jari tangan, Ngo-ok melemparkan tubuh itu dan dia sengaja membanting secara keras sehingga kepala gadis yang dibantingnya itu menimpa batu dan pecah, tewas seketika! Tiga orang gadis itu tewas dalam keadaan yang amat mengerikan dan menyedihkan.

“Iblis kau! Bukan manusia kau! Terkutuk kau, menjadi intip neraka kelak, jahanam busuk!” Sim Hong Bu memaki-maki dan hampir dia pingsan saking ngeri menyaksikan kekejaman yang belum pernah disaksikan sebelumnya, bahkan belum pernah dia mendengar atau mimpi tentang kekejaman sehebat itu!

“Uhh, mulutmu benar busuk! Kau sungguh pandai memaki, bagus sekali!” Su-ok tidak marah bahkan memuji-muji!

Tentu saja Hong Bu tidak sudi dipuji dan dia memaki-maki makin hebat. “Anjing kau, babi kau! Kalian buas dan keji, melebihi binatang, melebihi iblis!”

“Hemm, suruh dia diam, Su-ko. Biar pun dia pandai bernyanyi, akan tetapi lama-lama bosan juga,” kata Ngo-ok. “Atau biar kurobek saja perutnya dan kita lihat isi perut anak yang begini berani?”

“Ha-ha-ha, nanti dulu, Ngo-te. Di tempat seperti ini kita butuh pembantu, dan anak ini mempunyai bakat yang baik sekali untuk menjadi seorang tokoh kita kelak. Lihat saja, keberaniannya menonjol, dan mulutnya pun cukup busuk. Kalau saja kelak tindakannya sebusuk mulutnya, wah, dia bisa menandingi kita.”

“Jahanam keparat, siapa sudi ikut kalian? Hayo bunuhlah aku, keparat. Kau kira aku pengecut takut mati? Mau merobek perutku, robeklah, siksalah, kalian memang anjing-anjing serigala yang buas. Lihat saja, kalau ada Pendekar Siluman Kecil di sini, kepala kalian tentu akan dihancurkan!”

Saking marahnya dan karena merasa tidak berdaya melihat orang-orang ini berbuat kejam, dia teringat kepada pendekar yang dikaguminya itu dan menyebut namanya. Akan tetapi, dua orang tokoh sesat itu terkejut bukan main, wajah mereka berubah dan mereka memandang ke kanan kiri, seperti orang ketakutan!

“Di mana Pendekar Siluman Kecil?” bentak Ngo-ok yang biasanya pendiam dan tenang itu, kini kelihatan beringas dan gentar.

Hong Bu adalah seorang anak yang cerdik sekali. Melihat perubahan pada wajah kedua orang manusia iblis ini, tahulah dia bahwa nama pendekar yang dijunjungnya itu kiranya juga sudah dikenal oleh mereka ini dan mereka kelihatan gentar terhadap pendekar itu, maka dia lalu tertawa.

“Kalian masih bertanya lagi? Kalian tentu tahu sendiri kalau sudah mengenal beliau bahwa beliau adalah malaikat yang bisa menghancurkan iblis-iblis macam kalian dan dapat muncul sewaktu-waktu!”

“Kau ingin mampus!” Ngo-ok menghantam ke arah kepala Hong Bu dan anak ini tanpa berkedip menanti datangnya maut.

“Plakkk!” tangan Ngo-ok itu ditangkis oleh Su-ok.

“Ehh, kau mengapa, Su-ko?” Ngo-ok mendengus marah.

“Bodoh, anak ini agaknya memang mengenal dia dan kalau benar dia muncul, kita dapat mempergunakan dia sebagai sandera, tolol!”

Hong Bu juga segera mengerti persoalan ini dan dia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanya garang kalau menghadapi orang lemah saja. Sekali mendengar nama Pendekar Siluman Kecil, kalian terkencing-kencing dan terkentut-kentut ketakutan dan menggunakan akal licik dan curang untuk menggunakan aku sebagai sandera. Ha-ha-ha lihat siapa di sana itu?” Tiba-tiba dia menuding ke kanan.

Dua orang itu terkejut bukan main, cepat menoleh ke kanan akan tetapi di situ tidak ada siapa-siapa.

“Oho, siapa itu di sana?” Kembali Hong Bu menuding ke kiri, dan secepat itu pula kedua orang itu menengok ke kiri, sikap mereka jelas membayangkan ketakutan sehingga Hong Bu mentertawakan mereka.

“Bocah ini mempermainkan kita!” Ngo-ok mengomel.

“Sudah kukatakan dia berbakat untuk menjadi tokoh golongan kita,” kata Su-ok. “Mari kita pergi!” Dia lalu melompat sambil tetap mencengkeram tengkuk Hong Bu, diikuti oleh Ngo-ok.

“Ehh, kalian tidak tahu? Di depan situ, lihat siapa yang menanti kalian!” kata pula Hong Bu yang sengaja hendak mempermainkan mereka. Dia tidak berdaya, tidak mampu melawan, tidak mampu membalas, maka dia hanya dapat membalas mereka dengan menakut-nakuti mereka saja.

“Bocah tolol, kamu kira dapat menakut-nakuti....”

Tiba-tiba ucapan Ngo-ok ini terhenti dan dia diam berdiri seperti patung, juga Su-ok mengeluarkan seruan kaget. Bahkan Hong Bu sendiri juga terkejut setengah mati ketika pada saat itu terdengar suara geraman yang luar biasa dahsyatnya, suara geraman yang membuat salju berhamburan dan tanah yang mereka injak berguncang! Dan di depan mereka telah berdiri seekor makhluk yang mengerikan dan menakutkan sekali. Tingginya luar biasa sekali, sama dengan tingginya Ngo-ok yang sudah terlalu luar biasa itu, akan tetapi kalau Ngo-ok kecil kurus, makhluk itu sebaliknya tinggi besar, lebih besar dari pada Su-ok yang gendut.

Otomatis Su-ok melepaskan Hong Bu karena dia harus bersiap siaga menghadapi makhluk ini yang mereka sudah dapat menduganya karena selama beberapa pekan ini mereka sudah sering mendengar tentang makhluk ini. Yeti! Sepasang mata makhluk itu kemerahan dan liar, beringas seperti sedang marah sekali. Sebatang pedang menancap di paha kanannya dan dia berdiri agak membungkuk, agaknya siap untuk menyerang!

“Yeti....!” Sim Hong Bu merangkak ke samping, lalu terduduk dengan kedua kaki lemas karena tegang dan ngerinya.

Dia belum pernah merasa takut, walau pun di dalam perburuan semenjak dia kecil, banyak sudah dia menghadapi bahaya maut dan menghadapi binatang-binatang buas yang kuat dan liar. Akan tetapi belum perah dia bertemu dengan makhluk seperti ini! Tidak seperti binatang buas lain, juga jauh dari pada manusia liar, melainkan lebih dekat dengan ujud dari setan neraka sendiri! Ahh, sayang pamannya telah tewas. Kalau ada pamannya di situ, tentu pamannya itu akan terpesona dan hatinya penuh kebanggaan. Kebanggaan seorang pemburu yang menjadi pemburu pertama yang dapat berhadapan dengan Yeti, makhluk yang selama ini hanya terdapat dalam dongeng belaka!

Sementara itu, Su-ok dan Ngo-ok sudah bersiap siap. Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, mereka tidak mau mendahului karena mereka sudah mendengar betapa tangguhnya dan berbahayanya makhluk ini. Banyak sudah tersiar berita betapa orang-orang kang-ouw yang pandai-pandai menjadi korban Yeti ini. Hal itu mereka tidak pedulikan, karena sesungguhnya bukan hanya Yeti yang membunuh mereka. Banyak pula yang mati di tangan Im-kan Ngo-ok!

Memang, mereka ini membunuhi banyak orang kang-ouw, terutama dari pihak kaum bersih agar mengurangi saingan dalam memperebutkan pedang pusaka yang terkenal itu. Dan kini, melihat sebatang pedang menancap di paha Yeti, timbullah niat mereka untuk merobohkan makhluk Ini. Dua pasang mata yang tajam itu mengenal pedang yang baik, dan bukan tidak boleh jadi bahwa pedang itulah yang sedang diperebutkan orang-orang kang-ouw. Pedang itulah yang bernama Koai-liong-pokiam! Akan tetapi bagaimana pedang yang diperebutkan oleh semua orang kang-ouw itu menancap di paha Yeti?

Su-ok dan Ngo-ok tidak mempedulikan hal ini. Yang lebih penting bagi mereka adalah merobohkan Yeti dan merampas pedang itu. Dan sekali Yeti terluka oleh pedang itu, agaknya tak akan sukar bagi mereka untuk dapat menundukkannya. Selama ini semua orang yang bertemu dengan Yeti tentu mati, maka tidak ada seorang pun yang pernah bercerita tentang pedang yang menancap di paha Yeti. Kalau pun ada yang melihatnya, agaknya juga tidak akan mau membuka rahasia ini kepada orang lain!

“Ngo-te, bersiaplah kau di belakangnya. Hati-hati, dia nampak kuat, pergunakan semua pukulan mematikan!” kata Su-ok.

Tetapi Ngo-ok adalah seorang yang sombong dan terlalu mengagulkan kepandaiannya sendiri. Dia memandang rendah makhluk ini. Hanya binatang buas yang agak besar, apanya yang berbahaya, pikirnya.

“Mampuslah....!” bentaknya.

Tiba-tiba dia sudah menerjang dari samping, lengannya yang panjang itu terulur dan dengan pengerahan sinkang yang amat dahsyat tangan itu menghantam ke arah kepala makhluk itu dari atas ke arah ubun-ubun yang dianggap tempat yang lemah dan agaknya Ngo-ok ini hendak merobohkan makhluk itu dengan sekali pukul saja maka dia mengerahkan seluruh tenaganya.

Melihat Si Jangkung ini sudah menyerang, Su-ok juga membarengi dengan pukulan dahsyat, Katak Buduk yang dilakukan sambil berjongkok, menghantam ke arah perut makhluk itu. Serangan orang ke empat dan ke lima dari Im-kan Ngo-ok itu dahsyat bukan main dan seorang ahli silat yang jagoan sekali pun kiranya tidak akan begitu mudah untuk menghindarkan diri dari serangan-serangan yang hebat itu.

Makhluk yang disebut Yeti itu mengeluarkan gerengan dahsyat sekali. Seolah-olah tidak tahu bahwa dirinya diserang dengan pukulan-pukulan maut dan tanpa mempedulikan serangan lawan, kedua lengannya yang besar panjang berbulu itu tahu-tahu sudah mencengkeram ke arah dua orang lawan yang menyerangnya. Jadi serangan-serangan lawan itu dibalasnya dengan serangan pula dari jari-jari tangan yang berkuku panjang dan runcing tajam melengkung itu!

“Desss! Bukkk!”

Hantaman Ngo-ok pada kepala dan hantaman Su-ok pada perut itu tepat mengenai sasaran, akan tetapi seperti menghantam bola karet saja karena kedua pukulan dahsyat itu membalik begitu menyentuh tubuh Yeti! Kiranya Yeti itu memiliki kekebalan yang sungguh luar biasa dan selamanya belum pernah dilihat oleh dua orang datuk kaum sesat itu. Dan pada saat itu, kedua tangan Yeti sudah menyambar ke arah leher mereka dengan cepat dan kuatnya!

Dua orang datuk kaum sesat itu berseru keras dan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi angin sambaran tangan itu menyambar dan membuat mereka merasa leher mereka perih seperti diserempet pedang tajam! Kagetlah kedua orang datuk itu dan mereka tahu bahwa Yeti itu ternyata bukan lawan sembarangan, melainkan makhluk yang memiliki kekebalan sukar dipercaya. Maka mereka berhati-hati dan kini Ngo-ok mengeluarkan suara mendengus dan tubuhnya sudah berjungkir balik, sedangkan Su-ok sudah mengumpulkan kekuatannya dan bergulingan seperti seekor trenggiling!

Yeti menggereng-gereng dan berdiri agak membungkuk, kedua tangan diangkat seperti sikap seekor beruang, dengan gerakan kepala dan lirikan matanya yang merah itu dia mengikuti gerakan aneh dari dua orang pengeroyoknya itu. Yang seorang berjungkir balik dan berloncatan dengan kepala menjadi kaki sehingga terdengar suara dak-duk-dak-duk sedangkan yang seorang lagi bergulingan bagaikan trenggiling atau seperti seorang anak kecil yang rewel!

Mendadak Ngo-ok mendengus lagi dan tubuhnya menyambar ke depan. Mulailah dia menyerang dengan kedua kakinya, dengan ujung kaki dia menotok ke arah jalan darah di leher dan sebelah kaki lagi menusuk ke mata Yeti itu! Sedangkan dari arah lain Su-ok yang tadinya bergulingan itu sekarang telah berjongkok serendahnya sehingga perut gendutnya mengenai tanah, sikapnya seperti seekor kodok tulen, dan dari bawah itu dia mengeluarkan pukulan yang ampuh dengan pengerahan seluruh tenaga sehingga tercium bau amis bukan main ketika terdengar suara mencicit diikuti angin berdesir dari kedua telapak tangannya, menghantam ke arah Yeti.

Agaknya Yeti itu pun tahu bahwa dua orang lawannya ini adalah orang pandai, dan mungkin pengetahuannya ini timbul ketika dia merasakan hantaman mereka yang pertama tadi, yang biar pun dapat diterimanya dengan kekebalan yang luar biasa, namun agaknya juga terasa olehnya. Pukulan kaki Ngo-ok ke arah leher dan mata datang lebih dulu dari serangan Su-ok. Yeti itu tiba-tiba miringkan tubuh atas sehingga totokan itu luput dan dengan cepat dia menyambar dengan tangannya. Gerakannya itu cepat bukan main dan tahu-tahu sebelah kaki Ngo-ok telah dapat dicengkeramnya! Ngo-ok terkejut bukan main, mengerahkan tenaga dan meronta. Pada saat itu, pukulan Su-ok telah tiba dan menghantam dada Yeti.

“Dessss!”

Sekali ini karena Yeti itu membagi tenaganya untuk menangkap kaki Ngo-ok dan Su-ok memukul dengan pengerahan seluruh tenaga, maka Yeti menggereng, pegangannya terlepas dan dia terlempar ke belakang, lalu jatuh terbanting. Akan tetapi hal ini membuatnya semakin marah dan agaknya dia hanya nanar sedikit saja, kemudian dia meloncat dan menubruk ke arah Su-ok!

Bukan main kagetnya orang pendek gendut ini ketika merasa betapa tubrukan ini mengandung tenaga sedikitnya seribu kati. Dia melempar tubuh ke belakang dan bergulingan sehingga terhindar dari tubrukan itu. Sebaliknya, yang kena ditubruk adalah sebuah batu besar terbungkus salju dan terdengar suara keras ketika batu itu pecah berhamburan mencelat ke sana-sini! Su-ok bergidik juga menyaksikan kedahsyatan Yeti itu. Kini dia dan terutama sekali Ngo-ok tidak berani main-main lagi. Mereka berdua lalu menerjang dari depan belakang, mengeluarkan semua ilmu kepandaian mereka, mengandalkan kegesitan dan secara bertubi-tubi namun hati-hati mereka menyerang dengan pukulan-pukulan sakti.

Yeti itu agaknya juga berhati-hati kini. Dan mulailah dia menggerak-gerakkan kedua tangannya dan sungguh aneh sekali, gerakan-gerakannya itu biar pun kelihatan kaku dan lucu, namun ternyata mengandung dasar-dasar ilmu silat tinggi, juga demikian pula gerakan dan loncatan kedua kakinya sambil terpincang-pincang sehingga terjadilah pertempuran yang amat hebat.

Melihat ini, Sim Hong Bu yang sejak tadi merasa kasihan kepada Yeti yang kakinya sudah tertusuk pedang itu, memaki-maki dua orang datuk kaum sesat itu. “Kalian berdua kakek tua bangka yang jahat! Manusia berwatak iblis! Yeti itu sudah terluka pedang, dan kalian masih mendesaknya. Sungguh tidak tahu malu sama sekali! Kalian lebih buas dan liar dari pada binatang! Tak tahu malu! Pengecut, beraninya mengeroyok seekor binatang yang sudah terluka pula. Cih, tak tahu malu!”

Untuk melampiaskan kedongkolan hatinya, Sim Hong Bu mencari batu-batu sebesar kepalan tangan dan mulailah dia menyambiti dua orang kakek yang mengeroyok Yeti itu! Tentu saja sambitan-sambitan itu tidak ada artinya bagi Su-ok dan Ngo-ok, akan tetapi mereka tidak dapat melayani Hong Bu dan tidak mempedulikan anak itu karena mereka sendiri terdesak hebat oleh Yeti!

Memang hebat sekali makhluk itu. Setiap kali dua orang datuk itu beradu lengan atau kaki Ngo-ok bertemu dengan lengan yang berbulu itu, mereka berdua merasa betapa tubuh mereka tergetar hebat. Diam-diam mereka merasa heran dan juga terkejut, karena mereka tahu bahwa Yeti itu bukan hanya mempergunakan tenaga kasar atau tenaga otot seperti binatang-binatang buas pada umumnya, melainkan tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya! Sungguh sukar dapat dimengerti bagaimana mungkin makhluk yang seperti binatang buas ini dapat menghimpun sinkang yang sedemikian kuatnya!

Dua orang datuk itu telah merasa lelah dan seluruh tubuh sakit-sakit, juga pipi Su-ok telah berdarah terkena cakar, sedangkan telinga kiri Ngo-ok pecah-pecah terkena sambaran pukulannya! Mereka kewalahan sekali dan akhirnya dengan marah Su-ok berkata. “Ngo-te, mari satukan tenaga dan serang dia!”

Ngo-ok yang juga merasa penasaran sekali, lalu meloncat ke dekat Su-ok. Memang mereka merasa penasaran. Masa mereka, dua orang di antara Im-kan Ngo-ok yang menggetarkan dunia persilatan, kini harus mengaku kalah terhadap seekor binatang, padahal mereka maju bersama? Hal ini kalau sampai diketahui oleh dunia kang-ouw, bukankah nama mereka akan runtuh dan terseret ke dalam lumpur?

Su-ok sekarang berjongkok mengerahkan tenaga Katak Buduk, sedangkan Ngo-ok juga mengerahkan tenaganya, kemudian dengan berbareng mereka menghantamkan kedua tangan mereka dengan tangan terbuka ke arah Yeti yang menerjang maju. Angin yang dahsyat bukan main menyambar ke depan, dan inilah pukulan jarak jauh yang disertai penggabungan tenaga sinkang oleh kedua orang datuk kaum sesat itu. Agaknya Yeti itu pun maklum akan hal ini, maka sambil menggereng, gerengan yang menggetarkan jantung dua orang lawannya dia pun mendorongkan kedua tangannya ke arah mereka!

Terjadilah adu tenaga yang amat hebat di tengah udara yang dingin itu dan akibatnya, Yeti itu terhuyung ke belakang akan tetapi dua orang datuk kaum sesat itu terlempar ke belakang seperti dua buah layang-layang putus talinya! Akhirnya mereka terbanting ke atas salju dan keduanya mengeluh panjang, lalu merangkak bangun, menoleh ke arah Yeti dengan muka pucat. Melihat Yeti masih berdiri dengan tubuh agak membungkuk, mata merah penuh kemarahan itu, keduanya lalu lari tunggang-langgang! Adu tenaga yang terakhir itu meyakinkan hati mereka berdua bahwa mereka sungguh kalah kuat dan kalau dilanjutkan pertempuran itu, agaknya mereka akhirnya akan kalah.

Yeti itu tidak mengejar, dan setelah dua orang lawan yang tangguh itu lenyap, dia jatuh terduduk! Yeti itu mengeluarkan suara merintih-rintih dan kedua tangannya memijit-mijit pahanya yang tertusuk pedang. Sim Hong Bu yang masih duduk di atas batu itu memandang dengan bengong. Dia melihat Yeti itu merintih dan dari kedua mata yang merah itu turun beberapa tetes air mata! Yeti itu menangis!

Tadi Hong Bu merasa kagum bukan main menyaksikan sepak terjang Yeti. Sungguh di luar dugaannya bahwa dua orang manusia iblis yang luar biasa lihainya itu bukan hanya tidak mampu menandingi Yeti, bahkan mereka terdesak hebat dan kemudian mereka bahkan lari tunggang langgang. Ingin rasanya dia bersorak-sorai dan bertepuk tangan menyaksikan kesudahan dari perkelahian yang seru dan dahsyat itu karena memang di dalam hatinya dia menjagoi dan berpihak kepada Yeti. Akan tetapi kini melihat Yeti ini merintih-rintih, bahkan menangis, timbul rasa kasihan yang mendalam di hatinya. Dia sendiri tidak perlu melarikan diri, karena merasa percuma saja. Mana mungkin melarikan diri dari makhluk yang amat dahsyat itu? Sekali loncat saja Yeti itu akan dapat menangkapnya, karena itulah maka tadi dia pasrah saja. Akan tetapi Yeti itu tidak mengganggunya, menengok puh tidak, bahkan kini merintih-rintih, memijati kakinya yang tertusuk pedang dan menangis.

“Ah, Yeti itu sesungguhnya tidak jahat!” Kini Hong Bu teringat bahwa tadi pun bukan Yeti itu yang lebih dulu menyerang dua orang datuk sesat itu, melainkan mereka yang lebih dulu menyerang, barulah Yeti bergerak melawan. Makin kasihanlah rasa hatinya.

Luka itu hebat, dan kalau dibiarkan tentu akan membengkak dan membusuk. Sebagai seorang pemburu, tentu saja di dalam saku baju Hong Bu tersimpan obat-obat, terutama sekali obat luka, obat untuk melawan racun dan gigitan binatang berbisa. Bagaimana pun juga, tadi dia telah terjatuh ke dalam tangan dua orang kakek iblis yang telah membunuh pamannya itu, dan tipislah harapannya untuk dapat selamat di tangan mereka itu. Kini dia terbebas dan hal ini tidak dapat disangkal lagi adalah karena pertolongan Yeti ini. Maka, akan malulah dia kalau sekarang tidak membalas budi selagi Yeti itu dalam keadaan yang demikian sengsara!

Maka Hong Bu lalu bangkit berdiri, perlahan-lahan dia melangkah menghampiri Yeti yang masih duduk di atas salju memijit-mijit kaki atau paha kanannya itu. Luka yang tertusuk pedang itu kini mengeluarkan darah yang agak kehitaman.

“Ahhh, dia keracunan,” pikir Hong Bu. “Harus cepat diberi obat.”

Ketika Hong Bu sudah tiba mendekat di depan Yeti itu, tiba-tiba Yeti itu mengangkat kepalanya, sepasang mata merah itu memandang, mata yang masih basah oleh air mata dan tiba-tiba Yeti itu menggereng dengan geram. Hong Bu terkejut sekali, akan tetapi anak ini sudah bertekad untuk menolong makhluk itu, maka dia menuding ke arah paha Yeti sambil berkata, “Yeti.... aku.... aku hanya ingin membantumu, mengobati luka di pahamu itu.”

Yeti itu masih menggereng-gereng, tangan kanannya diangkat tinggi-tinggi seolah-olah hendak menghantam. Akan tetapi Hong Bu yang sudah nekat itu memandang dengan sepasang matanya yang jernih, terang dan tajam, sedikit pun tidak merasa takut. Dia sudah melampaui rasa takut karena maklum bahwa melawan atau tidak, lari atau tidak, kalau Yeti itu menghendaki, dia tentu akan mudah dibunuhnya!

“Aku memiliki obat untuk luka, dan lukamu itu sudah keracunan. Biarlah aku merawatmu dan mengobatimu untuk membalas budimu telah membebaskan aku dari dua orang jahat tadi.” Hong Bu menuding ke arah larinya dua orang kakek iblis tadi, kemudian dia mengeluarkan bungkusan obat dari dalam saku jubahnya sebelah dalam.

Yeti itu masih menggereng-gereng, akan tetapi hanya perlahan saja dan kelihatannya tidak marah lagi, sungguh pun masih nampak curiga. Ketika Hong Bu mendekati dan berlutut di depannya, dia memandang dengan matanya yang merah basah, kemudian dia mengangguk-angguk! Girang bukan main hati Hong Bu, Yeti ini bukan hanya pandai berkelahi dan amat tangguh melebihi ahli-ahli silat kelas tinggi, akan tetapi juga dapat mengerti kata-katanya agaknya. Buktinya dia mengangguk-angguk!

Hong Bu menyentuh paha itu dan memeriksanya. Luka itu memang sudah agak membengkak, akan tetapi baiknya ketika dipakai berkelahi tadi, lukanya pecah sehingga darah hitam keluar. Tidak ada lain jalan, pedang itu harus dicabut lebih dulu, baru mungkin mengobati luka yang menembus paha itu! Dan Yeti itu perlu diberi minum pel pencuci darah dengan segera! Akan tetapi, mana mungkin mencabut pedang itu selagi Yeti dalam keadaan sadar? Pencabutan pedang itu akan mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa dan kalau hal ini dilakukan, tentu Yeti akan marah dan mungkin salah sangka, mengira dia menyakitinya dan tentu akan membunuhnya sebelum pedang tercabut semua! Serba sulit, pikirnya.

Akan tetapi Hong Bu yang sejak kecil seolah-olah sudah belajar hidup sendiri dan menghadapi sendiri segala macam kesulitan dan bahaya itu telah memiliki kecerdikan luar biasa. Di antara obatnya terdapat bubukan obat bius, yaitu yang kadang-kadang perlu dipergunakan oleh para pemburu yang ingin menangkap binatang buas hidup-hidup memenuhi pesanan langganan, untuk menjebak harimau-harimau atau beruang-beruang atau sebangsa binatang buas dan kuat lainnya, kemudian membius binatang itu agar pingsan sehingga mudah diikat atau dimasukkan kerangkeng dan ditangkap hidup-hidup.

“Yeti, engkau telah keracunan, harus makan obat ini. Maukah?” Hong Bu mengeluarkan sebungkus obat bubuk dan memperlihatkannya kepada Yeti. Obat bubuk itu adalah obat bius yang biasanya dicampur dengan daging atau makanan lain untuk diberikan sebagai umpan kepada binatang buas yang akan ditangkap. Kembali Yeti itu mengangguk-angguk.

Giranglah hati Hong Bu. Dengan sebuah cawan yang selalu dibawanya, dia mencampur obat bubuk itu dengan salju. Biasanya, untuk seekor harimau cukup diberi seperempat bungkus saja. Akan tetapi dia tahu bahwa Yeti ini amat kuat, jauh lebih kuat dari pada seekor binatang yang bagaimana besar pun, maka dia menaruh seluruh isi bungkusan itu ke dalam cawan dan mencampurnya dengan salju. Tentu saja tidak bisa mencair seperti air dan Hong Bu menjadi bingung.

“Ahh, di mana bisa mendapatkan air di tempat yang semuanya serba beku ini?”

Gerakan mulut Yeti itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh aneh, kemudian sekali sambar, cawan itu sudah pindah tangan. Hong Bu terkejut sekali.

“Yeti, engkau harus meminumnya!” katanya.

Makhluk itu memandang sebentar ke arah cawan, dalam beberapa detik dia tidak bergerak dan Hong Bu terbelalak melihat betapa cawan itu mengepulkan uap dan salju di dalamnya menjadi cair seolah-olah cawan itu ditaruh di atas api! Kemudian sekali tenggak isi cawan itu pun lenyaplah memasuki perut Yeti melalui mulutnya!

Yeti mengembalikan cawan kepada Hong Bu yang menjadi girang bukan main. Dia masih terheran-heran bagaimana cawan itu dapat mengepulkan uap dan salju itu dapat mencair. Keluarganya yang semua merupakan ahli-ahli silat belum mencapai tingkat setinggi itu sehingga melihat hal itu seperti sulapan saja.

“Yeti yang baik, engkau memang cerdik sekali. Nah, kini percayalah, Hong Bu akan menolongmu, akan menyelamatkan nyawamu seperti engkau tadi telah menyelamatkan nyawaku!”

Hong Bu lalu mengelus-elus paha itu. Agaknya Yeti itu merasa keenakan dan dia diam saja, kemudian dia menguap seperti orang diserang kantuk! Hong Bu kembali terheran-heran. Makhluk ini memang mirip manusia, bisa menguap segala kalau mengantuk, dan dia tahu bahwa obat bius itu sudah mulai bekerja. Maka sambil mengelus-elus paha itu dia berkata halus, “Yeti, kau tidurlah kalau lelah dan mengantuk. Biar aku menjagamu di sini. Tidurlah!” Dengan lembut dia mendorong dada Yeti itu disuruhnya berbaring. Yeti itu agaknya mengerti karena dia lalu merebahkan diri miring, berbantal lengannya yang besar dan tak lama kemudian dia pun sudah tidur atau pingsan karena pengaruh obat bius!

Hong Bu kemudian mengeluarkan perlengkapannya dari dalam saku-saku jubahnya. Dia membuat api, hal yang amat sukar akan tetapi akhirnya dia berhasil juga dan menggodok obat-obat luka dan obat-obat minum. Setelah itu, barulah dia mencoba untuk mencabut pedang itu dari paha Yeti. Agaknya pedang itu terselip antara tulang dan otot, sukar sekali dicabutnya biar dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya. Tiba-tiba Yeti mengeluarkan suara dan terkejutlah Hong Bu, mengira makhluk itu sadar! Akan tetapi ternyata tidak dan agaknya rasa nyeri membuat Yeti mengigau dalam tidur atau pingsannya.

Hong Bu mengerahkan tenaganya lagi. Dia menginjakkan kaki kirinya pada paha Yeti itu, dan kedua tangannya memegang gagang pedang lalu menarik. Dia menahan napas, mengerahkan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, dan akhirnya pedang itu mulai dapat ditarik!

Begitu bergerak, maka sekali dia mengerahkan tenaga, pedang itu tertarik keluar dan dia pun jatuh terjengkang! Bukan main girangnya, tetapi matanya silau melihat pedang yang berkilauan itu. Pedang yang hebat, pikirnya, dan dengan hati-hati dia meletakkan pedang itu di dekat tubuh Yeti. Darah mengalir keluar dari depan dan belakang paha, darah yang agak menghitam. Hong Bu memijit-mijit paha itu. Akan tetapi paha itu terlalu besar dan keras sehingga akhirnya dia menggunakan kedua kakinya, menginjak-injak paha itu dan mengenjot-enjotnya agar darah dapat keluar dari dua lubang luka di depan dan belakang paha.

Usahanya ini berhasil dan lebih banyak darah hitam lagi keluar. Lalu darah pun berhenti dan betapa pun dia mengusahakan, tidak ada lagi darah yang keluar. Terpaksa dia lalu menaruh obat-obat luka di kedua luka itu sampai penuh, dan dibalutnya paha itu kuat-kuat dengan robekan kain ikat pinggangnya. Setelah selesai, puaslah hatinya. Kini dia tinggal menanti Yeti itu sadar dan akan diberinya minum obat pencuci darah yang telah digodoknya itu.

Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat Hong Bu menoleh dan dilihatnya seorang tosu yang usianya setengah tua, berwajah tampan dan gagah, tubuhnya tinggi tegap, kedua tangannya memegang sepasang pedang, sudah berdiri di situ sambil memandang dengan penuh perhatian ke arah Yeti yang sedang tidur atau pingsan. Tosu ini bukan lain adalah Hui-siang-kiam Ciok Kam, tosu dari Kun-lun-san itu, yang pernah bertemu dengan Yeti bersama dua orang temannya, yaitu Hok Keng Cu dan Hok Ya Cu yang sudah tewas oleh Yeti. Hanya kebetulan saja tosu ini lolos dari maut, dan dia merasa sakit hati, terus mencari jejak Yeti dan akhirnya tibalah dia di tempat ini, melihat Yeti sedang tidur atau pingsan dan seorang anak laki-laki tanggung duduk di dekat tubuh Yeti yang rebah miring!

Hampir dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana ada seorang pemuda tanggung yang berani duduk di dekat Yeti dan tidak apa-apa lagi? Akan tetapi perhatiannya segera tertuju kepada sebatang pedang di dekat tubuh Yeti itu, pedang yang berkilauan indah dan dikenalnya sebagai pedang yang dulu menancap di paha Yeti yang kini dibalut kain putih! Itulah pedang yang dicari-cari oleh semua orang. Tak salah lagi! Jelas bahwa itu adalah sebatang pedang keramat, pedang yang terbuat dari bahan luar biasa, pedang pusaka. Kembali dia mengerling ke arah wajah Yeti yang masih tidur, hatinya berdebar tegang.

“Dia.... dia kenapa....?” Akhirnya dia bertanya kepada Hong Bu karena dia masih ragu-ragu untuk bergerak. Siapa tahu kalau-kalau Yeti itu hanya tidur dan akan bangkit kalau diganggu, dan dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Yeti itu.

Hong Bu tentu saja tidak tahu bahwa tosu yang datang ini mengandung sakit hati yang besar terhadap Yeti dan bermaksud membunuhnya, maka dia lalu menjawab. “Dia sedang tidur, pengaruh obat bius. Sekarang pedang itu telah kucabut dan lukanya telah kuobati.”

Mendengar ini, bukan main girangnya hati Hui-siang-kiam Ciok Kam. “Baguslah! Kalau begitu tibalah saatnya aku membalas dendam! Minggirlah, orang muda, biar kubunuh makhluk iblis kejam ini!”

Dapatlah dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Bu mendengar kata-kata itu dan melihat sikap tosu itu yang sudah melangkah maju dan mengangkat pedangnya. “Ehh, Totiang... eh, jangan! Apa yang hendak kau lakukan itu!” teriaknya sambil bangkit berdiri dan menghadang di depan tosu itu.

“Pinto hendak membunuhnya!”

“Jangan, Totiang! Jangan.... dibunuh....!” Hong Bu berkata dengan kaget dan matanya terbelalak, kedua tangannya diangkat dan digoyang-goyangkan.

“Engkau anak kecil tahu apa! Dua orang sahabatku telah dibunuhnya secara kejam, juga banyak sekali orang kang-ouw telah dibunuhnya. Dia makhluk jahat sekali, kalau tidak dibunuh tentu akan mendatangkan banyak mala petaka.”

Hong Bu menjadi bingung sekali. Ia memang tahu bahwa Yeti telah banyak membunuh orang, akan tetapi melihat betapa Yeti itu baik kepadanya, dan melihat pertempuran antara Yeti dengan dua orang kakek iblis itu, dia dapat menduga bahwa Yeti tentu membunuh siapa yang hendak mengganggunya. Jadi Yeti ini seperti hampir semua binatang buas yang dikenalnya, hanya menjadi buas dan ganas kalau diganggu yang merupakan naluri untuk membela diri dan melindungi keselamatannya. Tetapi kini Yeti masih pulas, tentu takkan mampu melawan dan akan mati kalau dia tidak membelanya. Cepat disambarnya pedang yang tadi menusuk paha Yeti dan dipegangnya erat-erat.

Melihat bocah itu mengambil pedang, Hui-siang-kiam Ciok Kam berseru, “Minggir dan serahkan pedang pusaka itu kepada pinto!”

Mendengar ini, Hong Bu memandang ke arah pedang di tangannya. Pedang ini ringan dan aneh, dan kalau semua orang memusuhi Yeti, apakah bukan untuk memperebutkan pedang ini? Dia pun mendengar desas-desus tentang sebatang pedang keramat yang kabarnya dicuri orang dari kota raja dan dibawa ke Himalaya dan kini orang-orang kang-ouw memenuhi daerah ini hanya untuk mencari pedang keramat itu. Inikah gerangan pedang yang diperebutkan itu?

“Totiang, sesungguhnya.... Totiang hendak membunuh Yeti ataukah hendak merampok pedang ini....?”

Wajah Hui-siang-kiam Ciok Kam berubah merah. Memang tidak dapat disangkal pula, yang mendorong dia membayangi dan mencari Yeti adalah pedang yang menancap di paha Yeti itu, dan tentu saja juga karena dia ingin membalas kematian kedua orang sahabatnya.

“Pinto.... pinto.... wah, engkau anak kecil banyak cerewet. Minggirlah biar kubunuh dia!”

“Tidak! Engkau tidak boleh membunuhnya!” Hong Bu berkata dengan tegas dan berdiri melindungi tubuh Yeti yang masih rebah miring.

“Hemm, bocah setan, engkau hendak melindungi binatang buas seperti itu?” Hui-siang-kiam Ciok Kam mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah melayang ke atas, gerakannya ringan dan cepat sekali dan dia bermaksud untuk melampaui Hong Bu dan menyerang ke arah Yeti yang masih rebah.

Hong Bu terkejut bukan main menyaksikan gerakan yang cepat itu dan tahu-tahu tosu itu sudah melewati atas kepalanya. Dia membalik dan melihat betapa tosu itu sudah menusukkan kedua pedangnya ke arah leher dan dada Yeti dengan kecepatan kilat.

“Jangan....!” Hong Bu memekik dengan sekuatnya dan tubuhnya menubruk ke depan, pedang di tangannya digerakkan untuk menangkis dua sinar pedang yang menyerang Yeti itu.

Terdengar suara nyaring pada saat sepasang pedang itu patah-patah bertemu dengan pedang di tangan Hong Bu, disusul jeritan tosu yang roboh mandi darah bergulingan sampai beberapa meter jauhnya, kemudian diam tak bergerak lagi. Hong Bu terbelalak memandang ke arah mayat tosu itu, lalu kepada tangannya sendiri yang memegang pedang. Dia cepat menghampiri tosu itu dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat tosu itu telah tewas dengan dada luka bercucuran darah!

Terdengar suara gerengan dan ketika dia menoleh, dia melihat Yeti itu sudah bangkit duduk, lalu Yeti itu sekali lompat sudah tiba di dekat mayat tosu itu dan melihat tosu itu sudah tewas, Yeti lalu mengeluarkan suara aneh seperti orang tertawa, dan sekali menggerakkan tangan dia telah merampas pedang dari tangan Hong Bu kemudian dia memondong Hong Bu, diangkatnya tinggi-tinggi dan dia menari-nari kegirangan sambil terpincang-pincang. Kiranya Yeti itu tadi telah sadar dan melihat betapa Hong Bu sudah membelanya dan merobohkan tosu yang menyerangnya, maka dia girang bukan main, apalagi melihat bahwa pedang sudah dicabut dari pahanya dan pahanya sudah diobati dan dibalut.

Yeti itu lalu meloncat jauh sekali. Hampir Hong Bu berteriak karena merasa ngeri ketika Yeti itu kini berlompatan dan berlari dengan kecepatan yang luar biasa, melalui tempat-tempat tinggi, melalui jurang-jurang yang curam dan memasuki ‘dunia es’ yang amat aneh bagi Hong Bu. Tempat yang dilalui oleh Yeti ini amatlah sukar dan tidak mungkin dilalui oleh manusia dengan kecepatan seperti itu, maka kadang-kadang Hong Bu memejamkan mata karena merasa ngeri kalau Yeti itu setengah berloncatan melalui tebing-tebing yang curam sekali.

Yeti yang masih memondong tubuh Hong Bu sambil membawa pedang itu terus mendaki puncak Gunung Kongmaa La dan di antara bongkahan-bongkahan es yang besar dan batu-batu gunung raksasa Yeti itu bergerak cepat. Dia tentu sudah hafal akan tempat ini karena dia bergerak di antara batu-batu dan bukit-bukit salju dan es itu dengan cepat tanpa ragu-ragu, kemudian dia menyelinap antara dua buah batu yang berhimpitan dengan miringkan tubuhnya. Akan tetapi baru masuk lima langkah, Yeti itu berhadapan dengan batu bulat yang amat besar dan tidak nampak ada jalan sama sekali.

Hong Bu mengira bahwa tentu Yeti itu tersesat jalan, akan tetapi tiba-tiba Yeti itu menggunakan tangan kanannya untuk mendorong batu itu, sedangkan tangan kirinya masih memondong tubuh Hong Bu. Batu sebesar bukit kecil itu bergerak dan menggelinding beberapa kaki ke kiri, dan nampaklah sebuah lubang yang besarnya hanya satu meter persegi! Yeti itu menurunkan Hong Bu, menuding ke arah lubang dengan isyarat seolah-olah menyuruh Hong Bu masuk.

Pada waktu itu, Hong Bu merasa sendirian saja di dunia ini, sudah tidak ada siapa-siapa lagi setelah pamannya tewas. Maka kini dia pasrah saja kepada Yeti dan dia pun merangkak masuk. Yeti itu pun masuk, akan tetapi lebih dulu dia mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menarik batu itu menggelinding kembali menutupi lubang.

Mereka lalu merangkak melalui lubang terowongan itu sampai beberapa puluh meter dalamnya dan tiba-tiba saja nampak cahaya terang dan lubang kecil itu berubah menjadi lorong yang besar dan berlantai batu. Kiranya di situ terdapat terowongan rahasia yang besar dan Yeti itu menggandeng tangan Hong Bu, diajaknya masuk terus. Mereka berjalan maju, berlika-liku melalui terowongan yang kadang-kadang gelap sekali akan tetapi ada kalanya terang karena bagian atasnya terdapat lubang-lubang atau celah-celah batu dari mana sinar matahari dapat masuk.

Ketika Yeti itu akhirnya berhenti, mereka tiba di ruangan dalam puncak atau di bawah batu-batu, ruangan yang amat luas. Hong Bu merasa seperti hidup di alam mimpi. Bukan main indahnya pemandangan dari ruangan itu. Terdapat lubang-lubang besar seperti jendela dan dari sini dia dapat melihat puncak-puncak yang diliputi salju, lain bagian memperlihatkan dunia es yang bentuknya bermacam-macam dan berkilauan memantulkan sinar matahari, dan ada lagi bagian yang penuh tumbuh-tumbuhan, hal yang amat aneh sekali di puncak itu. Di sudut ruangan itu, agak tertutup dan sebagai penghalang, dia menemukan dua orang manusia yang sedang duduk bersila!

Akan tetapi ternyata mereka itu duduk di dalam es atau salju yang turun dari atas sehingga tempat itu tidak pernah lepas dari kurungan es. Dua mayat orang yang masih seperti hidup saja, masih lengkap pakaiannya dan melihat pakaian mereka itu, jelas bahwa mereka adalah sepasang orang muda yang tampan dan cantik, juga keduanya menunjukkan sifat gagah!

“Yeti, siapakah mereka ini....?” Tak terasa lagi Hong Bu bertanya kepada Yeti seolah-olah Yeti itu adalah seorang manusia lain yang dapat bicara.

Akan tetapi ternyata anehnya, Yeti menghampiri tempat itu dengan langkah lemas, kemudian melihat mayat wanita yang cantik, yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, tiba-tiba dia menjatuhkan diri di depan kurungan es di mana wanita itu bersila, dan dia pun menundukkan mukanya dan mengeluh panjang pendek, dan dari kedua matanya bercucuran air mata pula! Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, terheran dan juga kasihan. Dia menghampiri Yeti itu, meraba pundaknya dan berkata lirih.

“Yeti, perlu apa menangisi orang yang sudah mati? Yang mati takkan hidup kembali, dan kita yang hidup toh akhirnya akan mati juga seperti mereka ini.”

Yeti itu mengeluarkan suara ah-uh, akan tetapi agaknya dia pun berhenti berduka, lalu dia mengajak Hong Bu dengan menggandeng tangannya meninggalkan arca aneh itu, menghampiri sudut di mana terdapat sebuah peti hitam. Dibukanya peti itu dan lalu dikeluarkannya sebuah kitab catatan yang diserahkannya kepada Hong Bu. Setelah begitu, Yeti itu lalu merebahkan dirinya di sudut lain yang kering dan tak lama kemudian sudah terdengar dengkurnya!

Kasihan, pikir Hong Bu. Semua gerak-gerik dan sikap Yeti itu sama sekali bukan seperti binatang, melainkan seperti seorang manusia yang dirundung malang dan menderita kepedihan hati yang hebat! Maka dia lalu membawa kitab itu ke dekat ‘jendela’ yang terang dan mulailah dia membalik lembaran pertama dari kitab itu. Kitab itu terbuat dari kertas yang sudah tua sekali, sudah menguning dan tulisannya juga sudah kabur, akan tetapi masih dapat dibaca karena ditulis dengan huruf-huruf yang kuat dan jelas. Hong Bu mulai membaca catatan itu dengan asyik, dan tahulah dia bahwa catatan itu adalah catatan yang dibuat oleh mayat pria yang seperti pendekar itu, agaknya menceritakan atau mencatat semua peristiwa yang mereka alami di tempat ini…..


********************
Kami adalah suami isteri yang malang, demikian catatan itu memulai. Percuma saja aku disebut Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Tangan Dewa) kalau ternyata aku tidak mampu melindungi diri sendiri dan isteriku. Aku, Kam Lok, hanyalah seorang laki-laki lemah yang terpaksa melarikan diri bersama isteriku karena dikejar-kejar musuh besarku yang tak dapat kulawan! Kasihan Loan Si, isteriku yang tidak dapat menikmati kehidupan suami isteri dalam rumah tangga yang tenteram karena semenjak menikah harus mengikuti aku melarikan diri.

Kami lari ke Himalaya, namun raksasa itu terus mengikuti jejak kami! Agaknya dia tidak mau menerima kenyataan bahwa dia kalah memperebutkan Loan Si yang lebih dulu suka menjadi isteriku dari pada menjadi isteri raksasa yang tergila-gila kepadanya itu. Ouwyang Kwan, engkau sebagai seorang pendekar yang gagah, bekas sahabat baikku, kenapa tidak mau melihat kenyataan dan masih terus merasa penasaran? Ahh, andai kata aku dapat mengalahkanmu pun, sukar bagiku untuk bertega hati membunuhmu, engkau sahabatku yang amat baik dan yang kutahu benar-benar amat mencinta Loan Si. Akan tetapi apa daya, sahabatku juga musuhku, Loan Si tidak membalas cintamu, cintanya melainkan untukku seorang!

Kami berhasil menemukan lorong rahasia yang tersembunyi ini, dan merasa aman tinggal di sini sampai setahun lebih! Betapa senang kami melewatkan bulan-bulan madu di tempat ini, berdua saja, mencurahkan segala cinta kasih antara kami tanpa ada yang mengganggu. Sayang, karena ancaman Ouwyang Kwan, maka ketegangan mengisi lubuk hati isteriku sehingga hubungan kami tidak dapat menghasilkan keturunan!

Akan tetapi, kehidupan kami yang tenteram itu hanya berlangsung satu tahun saja, karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah Ouwyang Kwan, bekas sahabatku yang kini telah menjadi musuh besar kami itu, atau lebih tepat musuh besarku, karena dia tidak memusuhi Loan Si, bahkan sebaliknya dia amat mencintanya!

Tiada jalan lain bagi kami kecuali bertanding memperebutkan Loan Si! Pertandingan mati-matian di tempat ini, hal itu sudah pasti akan terjadi. Aku terpaksa menghentikan catatan ini karena kami berdua sudah berjanji untuk bertanding sekarang juga, begitu matahari terbit dan sinarnya menerangi ruangan ini. Semalaman ini, mungkin malam terakhir, kuhabiskan untuk mencurahkan seluruh cintaku kepada Loan Si, isteriku. Siapa tahu, malam ini merupakan malam yang terakhir
.

Sampai di sini, catatan itu ditulis dengan gaya tulisan lain, gaya tulisan yang halus, tulisan seorang wanita! Mereka bertanding mati-matian dan amat mengerikan, demikian tulisan wanita ini memulai.

Betapa risau dan gelisah hatiku. Aku tidak dapat membantu, karena selain tingkat kepandaianku jauh lebih rendah, juga suamiku tidak menghendaki demikian. Mereka bertanding sebagai dua orang pendekar yang gagah perkasa, yang tidak menemukan jalan lain kecuali saling bertanding mati-matian untuk memperebutkan aku. Ahh, betapa hancur rasa hatiku. Aku hanya mencinta Kam Lok, suamiku, mana mungkin aku harus mencinta orang lain? Mereka itu setingkat, akan tetapi semalam suamiku telah mengaku bahwa sebetulnya ia masih kalah kuat oleh lawannya itu. Aku hanya dapat memandang dengan gelisah dan berdoa dalam hati semoga suamiku yang akan menang.

Berjam-jam mereka bertanding dan akhirnya, apa yang kutakuti terjadilah. Suamiku roboh dengan muntah darah dan tewas setelah mengucapkan hanya dua buah kata memanggil namaku. Aku menangis, kemudian aku dihibur oleh Ouwyang Kwan yang menyatakan cintanya, yang juga bersumpah bahwa dia akan mencintaku melebihi cinta suamiku. Akan tetapi, aku benci melihat raksasa itu. Aku benci kepadanya!

Aku lalu menyerangnya kalang kabut, akan tetapi dengan mudah dia menghindar dan pergi dari tempat itu. Sesuai dengan pesan suamiku, aku lalu membereskan pakaian jenazah suamiku, lalu mengatur agar dia duduk di sudut ruangan di mana turun salju dan es melalui celah-celah sehingga tubuhnya akan terbungkus salju dan es, dan tidak akan rusak sehingga aku dapat memandangnya setiap hari, seolah-olah dia masih hidup.

Setiap hari Ouwyang Kwan datang, membujukku, mengancamku. Akan tetapi aku bertekad untuk tidak melayaninya. Aku mengatakan kepadanya bahwa lebih baik aku mati dari pada harus menjadi isterinya, bahwa aku sama sekali tidak cinta padanya, bahwa sebaliknya aku benci kepadanya. Akan tetapi orang itu sungguh keterlaluan, dia tak mau melakukan kekerasan, sebaliknya membujuk-bujuk, memohon-mohon sehingga kadang-kadang timbul juga rasa kasihan dalam hatiku. Akan tetapi, aku berkeras tidak mau menjadi isterinya, bahkan tidak mau melayani hasratnya.

Sampai setahun lebih ia terus-menerus membujukku, menyediakan segala keperluanku, bahkan dia memelihara jenazah suamiku sehingga nampak terbungkus es dengan baik, tak pernah rusak. Dia menyatakan menyesal sambil menangis jika dia melihat suamiku. Akan tetapi, aku tetap tidak mau melayaninya, bahkan aku mulai senang menggodanya, melihat dia tersiksa oleh cintanya yang tidak kubalas. Dia jelas amat menderita dan itulah hukumannya! Kadang-kadang dia menangis sendiri di sudut, lalu bicara sendiri.

Aku khawatir dia menjadi gila karena rindunya dan cintanya yang tak terbalas dan tak terpuaskan. Aku makin menggodanya, aku sengaja berganti pakaian di depannya agar dia makin tergila-gila melihat tubuhku setengah telanjang, akan tetapi kalau dia sudah berapi-api aku lalu menghina dan mengejeknya, menyatakan benciku. Aku ingin dia memperkosaku, karena kalau hal itu terjadi, dia tentu akan terpukul hebat batinnya, tentu akan merasa menyesal sekali demi cintanya kepadaku yang kutahu memang benar-benar amat mendalam itu. Godaanku membuat dia semakin gila.

Pada suatu hari, ketika aku berada di luar, aku bertemu dengan makhluk aneh. Agaknya itulah yang bernama Yeti. Aku terkejut dan ketakutan, jatuh pingsan di depan Yeti, akan tetapi Ouwyang Kwan menyelamatkan aku, membawa lari masuk ke dalam goa dan menutup goa dengan batu besar. Yeti itu berkeliaran di luar goa sampai tiga hari dan tiga malam mengeluarkan suaranya yang aneh. Aku ketakutan bukan main.

Dan mulai hari itu, hampir setiap hari aku melihat Yeti dan makin jarang melihat Ouwyang Kwan. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku menjadi nekat dan ingin menyerahkan diriku kepada Yeti! Aku ingin mengecewakan hati Ouwyang Kwan karena hatiku sakit mengingat suamiku dibunuh, akan tetapi aku sebetulnya mulai jatuh cinta kepadanya, mungkin karena kebutuhanku kepada pria! Namun, benciku melebihi cintaku sehingga aku lebih suka menyerahkan diri kepada Yeti, makhluk buas menyeramkan itu dari pada kepada Ouwyang Kwan.

Akan tetapi, pengalamanku ketika aku menyerahkan diri kepada Yeti malam itu membuat aku semakin tergila-gila. Aku jatuh cinta kepada Yeti, demikian pikirku. Akan tetapi, ketika pada keesokan harinya aku terbangun dalam pelukan Yeti, ternyata Yeti itu adalah Ouwyang Kwan yang menyamar. Aku malu, aku benci, aku menyesal, apalagi karena aku tahu bahwa seluruh tubuhku jatuh cinta kepada Ouwyang Kwan pembunuh suamiku.

Aku harus mati…! Aku lebih baik mati…! Aku semalam telah mengkhianati suamiku, di depan mata suamiku sendiri aku telah bermain cinta, berjinah semalam suntuk dengan Ouwyang Kwan, musuh dan pembunuh suamiku. Aku harus mati....!


Tulisan itu berakhir, akan tetapi pada lembar berikutnya terdapat tulisan kasar seperti cakar ayam, tulisan yang besar-besar hurufnya dan ditulis oleh tangan yang kaku.

Aku menyebabkan kematiannya. Aku berdosa! Aku binatang, bukan manusia! Aku Yeti yang buas!

Demkianlah isi buku catatan yang dibaca oleh Hong Bu dengan asyiknya. Dia lalu termenung. Hebat sekali pengalaman suami isteri pendekar itu. Dia lalu menghampiri lagi mayat-mayat yang seperti arca itu. Pendekar itu memang tampan, dan setelah dia meneliti, dia melihat memang pada bajunya terdapat lubang bekas tusukan pedang, tepat di ulu hatinya. Kemudian dia meneliti jenazah wanita itu. Terdapat pula lubang bekas tusukan senjata tajam di lambung kirinya. Agaknya wanita itu telah bunuh diri. Dan agaknya tulisan kasar terakhir itu adalah tulisan Ouwyang Kwan yang menaruh mayat Loan Si di dekat suaminya, kemudian tentu saja Ouwyang Kwan meninggalkan tempat itu.

Akan tetapi.... tiba-tiba Hong Bu teringat dan bulu tengkuknya meremang, Yeti itu! Mengapa menangis di depan mayat Loan Si? Dan di dalam catatan Loan Si, Yeti yang diserahi dirinya adalah yang penyamaran Ouwyang Kwan! Dan Ouwyang Kwan mulai menjadi gila! Dan Yeti itu, gerak-geriknya lebih mirip manusia, malah bisa merintih, menangis, dan seolah-olah mengerti dan dapat menangkap kata-katanya. Jangan-jangan Yeti yang sekarang ini pun adalah penyamaran Ouwyang Kwan! Bukankah dalam catatan-catatan itu disebutkan bahwa Ouwyang Kwan bertubuh raksasa? Jadi, tentu tinggi besar, pantas kalau menyamar sebagai Yeti!

Hong Bu berindap mendekati Yeti yang masih tidur. Tidurnya nyenyak dan mendengkur. Dengkurnya seperti dengkur manusia! Berdebar jantung Hong Bu. Benarkah makhluk ini yang dinamakan orang Yeti, ataukah ini adalah Ouwyang Kwan yang menyamar? Bagai mana dia akan dapat membuka rahasia ini? Betapa pun juga, jelas bahwa makhluk ini memperlihatkan sifat-sifat yang liar dan ganas, maka dia harus berhati-hati dan jangan sampai membuatnya marah, karena hal itu amatlah berbahaya. Makhluk buas, atau manusia yang sudah menjadi gila dan merasa dirinya menjadi binatang, sama saja berbahayanya, maka dia harus bersikap halus dan hati-hati.

Malam itu Hong Bu tidur dalam ruangan itu yang tidaklah begitu dingin seperti kalau berada di luar, Yeti tidak nampak, semenjak tadi telah pergi. Hong Bu tidak berani sembarangan mencarinya karena memang dia tidak tahu harus pergi ke mana, dan tak lama kemudian nampak bayangan berkelebat dan Yeti telah berada di dekatnya dan menyerahkan segebung daun-daun yang kekuning-kuningan.

Dia menerimanya dalam keremangan cahaya malam yang berbulan tipis itu, sinar bulan yang memasuki ruangan melalui jendela, tetapi tidak tahu mengapa Yeti memberikan daun-daun itu kepadanya. Untuk tilam tidur? Akan tetapi daun-daun basah itu malah tidak enak kalau untuk tidur, lebih enak tidur di atas tanah dalam ruangan itu yang cukup hangat. Akan tetapi, Yeti itu mengambil setangkai daun lalu memakannya dan memberi isyarat dengan tangan agar Hong Bu makan daun itu pula!

Celaka, pikirnya, kalau Yeti ini termasuk binatang pemakan rumput dan daun, apa dikiranya dia pun harus hidup sebagai kerbau atau kuda? Akan tetapi, agar tidak membikin marah binatang itu, dia pun mengambil sehelai dan dimasukkan ke mulutnya, lalu dikunyahnya. Eh? Rasanya enak! Hong Bu menjadi girang sekali. Daun itu rasanya enak, seperti daun sawi! Maka dia pun lalu makan daun-daun itu. Lumayan untuk mengisi perut kosong. Dan malam itu dia tidur nyenyak, dengan perut kenyang walau pun hanya diisi daun-daun itu.

Pada keesokan harinya, Yeti itu memberi isyarat pada Hong Bu untuk ikut bersamanya keluar dari ruangan itu. Hong Bu menurut saja. Yeti itu keluar melalui jendela dan ketika Hong Bu menjenguk keluar, hampir dia berteriak saking ngerinya. Ternyata di luar ‘jendela’ itu merupakan tebing yang luar biasa curamnya, tak berdasar lagi karena tertutup oleh kabut kebal. Demikian pula semua jendela di ruangan itu dikelilingi tebing yang curam. Akan tetapi Yeti mengajaknya keluar dari situ! Mana mungkin?

Yeti agaknya mengerti dan dengan tangan kirinya dia mengempit Hong Bu sedangkan pedang yang kemarin menancap di pahanya itu diangsurkan kepada Hong Bu. Hong Bu mengerti bahwa dia disuruh memegang pedang itu, maka dia pun memegang pedang itu dengan hati-hati dan mulailah Yeti itu memanjat tebing! Bukan main! Berkuranglah kecurigaan Hong Bu. Kalau Yeti ini manusia yang menyamar, agaknya tidak mungkin ada manusia berani atau dapat memanjat tebing seperti ini!

Hong Bu beberapa kali memejamkan matanya kalau Yeti itu melompat-lompat dan akhirnya mereka tiba di sebuah taman yang luar biasa. Di sekeliling itu terdapat es yang berkilauan, bermacam-macam betuknya. Ada es yang kemerahan, ada yang berwarna biru, seperti batu-batu akik yang besar-besar. Tetapi kalau Hong Bu membantingnya, maka di dalamnya tidak ada apa-apa dan warna itu pun menghilang. Kiranya itu hanyalah warna sinar matahari yang tertangkap bagian-bagian tertentu saja oleh bentuk-bentuk yang aneh itu.

Dan di situ tumbuh berbagai tanam-tanaman. Sungguh luar biasa ada tanaman dapat hidup di tempat sedingin ini! Yeti lalu berloncatan pergi membawa pedang itu. Hong Bu yang ditinggal sendiri diam saja, menanti dengan tenang karena dia maklum bahwa tentu Yeti itu hendak melakukan sesuatu dan dia disuruh menanti di situ. Benar saja tak lama kemudian Yeti kembali dan tangan kirinya menggenggam dua ekor ular! Ular salju yang berwarna kemerahan. Merah darah! Selain itu, Yeti masih membawa pula sepotong cula, semacam cula badak yang cukup besar.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, Yeti itu mengulurkan tangan memberikan ular itu kepada Hong Bu. Tentu saja Hong Bu melangkah mundur dan menarik tangannya, tidak mau menerima. Untuk apa dia diberi ular? Kalau seperti ketika memberi daun semalam dia disuruh makan ular, maka Yeti atau apa pun adanya makhluk itu sudah benar-benar menjadi gila! Biar pun dua ekor ular itu telah mati, agaknya dipencet oleh jari-jari tangan yang kuat itu, akan tetapi Hong Bu masih merasa ngeri. Bukan dia tidak pernah makan ular. Sering kali malah, akan tetapi daging ular kembang yang besar, diambil dagingnya dipanggang atau dimasak. Bukan ular kecil merah yang agaknya mengandung bisa amat jahatnya ini.

Yeti lalu memisahkan dua ular yang saling belit itu, kemudian membawa seekor ke dekat mukanya, membuka mulut dan....

“Kress!” kepala ular itu digigitnya, putus sampai ke leher dan dikunyahnya, matanya berkedip-kedip, kelihatan enak sekali.

“Huh-huhh!” katanya lagi sambil menyerahkan yang seekor kepada Hong Bu.

Celaka, pikir Hong Bu. Benar-benar sudah gila. Akan tetapi melihat sinar mata yang keras dan seperti memaksa itu, dia takut untuk menolak. Dia harus dapat mengambil hati Yeti dengan halus, dan kalau perlu biarlah dia ikut-ikutan menjadi gila sedikit. Dia menerima ular itu, dan seperti yang dilakukan oleh Yeti tadi, dia membawa, kepala ular itu ke mulutnya, membuka mulut dan menutup matanya, lalu….

“Krekk!” kepala ular itu digigitnya kuat-kuat sampai putus sebatas leher, kemudian sambil memejamkan mata rapat-rapat dia lalu mengunyah kepada ular itu yang hanya sebesar ibu jari kakinya. Terasa agak masam, akan tetapi ada manisnya dan dia terus memakannya sampai habis, menelannya sampai kepalanya bergerak naik turun karena dipaksanya seperti orang minum obat pahit.

Yeti itu kelihatan gembira sekali ketika Hong Bu membuka matanya. Ditangkapnya pinggang Hong Bu dan dilemparkannya tubuh anak itu ke atas, ketika melayang turun, diterimanya tubuh itu lalu dilontarkannya ke atas, makin lama makin tinggi! Hong Bu yang diperlakukan seperti bola itu tadinya gembira, akan tetapi karena makin lama dia dilontarkan semakin tinggi, dia merasa ngeri juga dan dia berteriak-teriak. “Heii! Yeti, turunkan aku....!”

Yeti itu menyambut tubuhnya dan menurunkannya ke atas tanah, sepasang matanya sekarang berseri dan bersinar-sinar, lenyap keliarannya. Kemudian Yeti itu melanjutkan makan ular merah, dan memberi isyarat kepada Hong Bu untuk makan ularnya pula. Biar pun muak, Hong Bu memejamkan matanya dan terus makan ular itu mentah-mentah begitu saja sampai akhirnya habis juga seluruh ular itu dari kepala sampai ekornya ke dalam perutnya!

Dia mau muntah, akan tetapi ditahannya dan tiba-tiba dia merasa kepalanya pening. Dia terhuyung-huyung dan seluruh tubuhnya terasa panas, perutnya mulas dan bergerak gerak seolah-olah ular yang dimakannya tadi hidup lagi dan meronta-ronta di dalam perutnya.

“Celaka, Yeti! Ular itu beracun....!” Hong Bu sudah terlalu banyak pengalaman dalam pekerjaannya berburu sehingga dia dapat menduga apa yang terjadi dengan dirinya. Dia sudah mencari-cari di dalam saku bajunya untuk cepat menelan obat penawar racun, akan tetapi Yeti menggereng dan merampas bungkusan obat itu, lalu membuangnya jauh-jauh obat!

“Ahhh!” Hong Bu berseru.

Obat-obatnya telah dibuang ke dalam jurang! Padahal, dia masih membutuhkan untuk memberi obat pencuci darah untuk Yeti, karena makhluk itu belum minum obat pencuci darah, tidak sempat ketika kemarin di serang orang setelah dia bela, kemudian sadar dan terus saja pergi tanpa minum obat pencuci darah! Dan kini semua obatnya telah dibuang, bukan hanya obat pencuci darah untuk Yeti namun juga obat penawar racun untuk menyelamatkan nyawanya.

“Celaka, agaknya engkau hendak membiarkan aku mati!” serunya penuh sesal.

Dengan suara ah-ah-uh-uh, Yeti lalu menarik tangan Hong Bu, disuruhnya menirukan dia. Dan Yeti itu lalu duduk bersila dengan kedudukan kaku berbentuk teratai, yaitu duduk bersila dengan kedua kaki di atas paha kanan kiri! Aneh seekor binatang dapat duduk bersila seperti itu. Akan tetapi Hong Bu lalu mencontohnya. Tentu saja dia pun tidak asing dengan cara bersila seperti itu.

Yeti itu lalu menunjuk ke arah pusarnya. Dan memang di situlah Hong Bu merasakan hawa panas yang luar biasa. Lalu Yeti menarik napas panjang, menahan napas itu, dan menyuruh Hong Bu menirunya. Demikianlah, Yeti lalu memberi contoh cara bernapas kepada Hong Bu, cara menyalurkan hawa panas itu ke seluruh tubuhnya dan dengan jari tangan kirinya yang besar Yeti menotok beberapa jalan darah di tubuh Hong Bu dan terbukalah jalan darah itu sehingga hawa panas dari pusar itu dapat menembus naik. Lalu dengan gerakan tangan dia memberi contoh pengerahan napas untuk membuat hawa itu berputar-putar.

Hong Bu merasa terheran-heran, akan tetapi secara membuta dia menurut petunjuk Yeti dan sungguh luar biasa sekali. Perutnya tidak sakit lagi, peningnya lenyap dan kini bahkan tubuhnya terasa hangat. Yeti itu lalu membuka jubah tebalnya dan dia tetap merasa hangat, padahal hawanya di situ amat dinginnya! Setelah duduk berlatih napas selama satu jam lebih, Hong Bu merasa betapa tubuhnya enak sekali.

Yeti kini melompat bangun dan Hong Bu tersenyum kepadanya. Diam-diam dia makin curiga dan terheran-heran. Yeti ini sama sekali tidak pantas kalau menjadi binatang buas, lebih patut menjadi seorang manusia sakti yang sedang bingung dan berubah ingatannya! Makin tebal dugaannya bahwa Yeti ini tentulah Ouwyang Kwan yang lagi menyamar.

Sekarang Yeti mengambil cula badak salju itu, lalu menggunakan kuku jarinya untuk mengeruknya, dan memberikan kepada Hong Bu isi dari cula itu yang agak empuk, seperti tulang muda, dan menyuruh dia makan cula itu! Hong Bu tidak ragu-ragu lagi kini, disuruh apa pun dia akan menurut dan biar pun agak keras, seperti makan tulang muda, dia pun makan cula itu sampai habis dan ternyata baunya amis-amis harum. Dia tidak tahu bahwa dia sedang diberi makan racun ular, daun salju dan cula badak salju yang dapat menguatkan badannya. Makanan seperti ini dapat membuat tubuh tidak hanya kuat, akan tetapi juga kebal seperti tubuh Yeti itu!

Sampai tiga hari lamanya, setiap hari Yeti mengajak Hong Bu ke tempat ini dan Hong Bu kini ikut pula menangkap ular merah untuk dimakannya mentah-mentah saja, dan juga mencari daun-daun salju dan cula badak salju. Pada hari ke empat, Yeti mengajak Hong Bu keluar dari terowongan itu dan menutupkan lagi batu bundar itu menutupi lubang rahasia itu, kemudian dia mengajak Hong Bu untuk berjalan menuju ke sebuah puncak bukit yang tak jauh dari situ. Tiba-tiba saja bermunculan beberapa orang yang agaknya memang sejak lama telah menanti dan bersembunyi di situ dan agaknya memang mengamat-amati jejak Yeti!

Melihat betapa di antara mereka itu terdapat kakek jangkung dan kakek pendek, yaitu Su-ok dan Ngo-ok, Hong Bu terkejut sekali. Tetapi Yeti lalu menyambar pinggangnya, memanggulnya dan kemudian membawanya lari dari tempat itu. Dengan cepat sekali ia berlompatan, dengan kaki masih terpincang-pincang. Dan para tokoh kang-ouw yang memang mengamati gerak-gerik Yeti dan terutama sekali pedang di tangan Yeti itu, juga menggunakan ginkang mereka, bergerak dengan ringan dan cepat, mengikuti jejaknya yang nampak jelas di atas salju.

Terjadilah kejar-kejaran dan sampai dua hari dua malam Yeti terus berjalan tanpa henti, hanya makan bekal daun yang dibawa Hong Bu ketika mereka keluar dari terowongan. Akan tetapi, setiap kali Yeti berhenti mengaso, nampak sudah orang-orang kang-ouw yang ternyata berilmu tinggi itu berdatangan dan membayangi dari jauh!

Pada hari ke tiga, ketika dia tiba di puncak yang tinggi dari Pegunungan Kongmaa La, di bagian yang penuh rahasia bahkan dia sendiri jarang datang ke tempat berbahaya itu, Yeti yang melihat belasan orang kang-ouw itu tetap saja masih membayanginya, menjadi marah bukan main. Dia menggereng dan meloncat ke balik sebuah bukit salju yang bertumpuk di tepi puncak yang datar itu, akan tetapi dia tidak lari melainkan bersembunyi mendekam di situ sambil tetap memeluk Hong Bu dan memegang pedang.

Benar saja, semua orang kang-ouw kini mengejar ke tempat itu. Hong Bu yang juga ikut bersembunyi mengintai itu melihat banyak orang yang aneh-eneh bentuk mau pun pakaiannya. Bahkan ada pula empat orang laki-laki gundul yang tinggi besar seperti raksasa memikul sebuah tandu yang tertutup sehingga tidak dapat dilihat apa atau siapa isinya. Sungguh lucu sekali kalau dipikir. Mengejar atau membayangi jejak Yeti kenapa mesti naik tandu yang dipikul empat orang? Seperti orang pesiar saja! Sungguh gila!

Akan tetapi begitulah kenyataannya dan Hong Bu memandang terus. Ada beberapa orang kakek yang aneh yang berdekatan dengan Su-ok dan Ngo-ok, dan ada pula seorang nenek yang amat mengerikan, karena nenek ini, atau wanita itu, karena sukar dikatakan tua atau muda, memakai topeng tengkorak manusia tulen! Ada pula seorang kakek tinggi besar yang persis gorila bentuknya, baik bentuk tubuhnya mau pun bentuk mukanya, seperti gorila memakai pakaian! Dan ada pula raksasa berkepala botak yang memakai mantel merah.

Dia tidak tahu bahwa mereka itu adalah Twa-ok Su Lo Ti Si Kakek Gorila, kemudian Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang memakai topeng tengkorak, kemudian Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang berkepala botak. Mereka itulah, bersama Su-ok dan Ngo-ok merupakan gerombolan lengkap dari Im-kan Ngo-ok, datuk-datuk kaum sesat! Akan tetapi di samping kelima orang ini dan empat orang penggotong joli yang melihat gerakannya juga merupakan orang-orang pandai, masih terdapat lagi beberapa orang sehingga jumlah mereka hampir dua puluh orang! Semua orang itu nampak berilmu tinggi dan berkumpul di puncak datar itu, siap untuk mengejar Yeti.

Akan tetapi, tiba-tiba Yeti mengeluarkan gerengan keras dan melompat keluar dari tempat persembunyiannya, memondong Hong Bu dengan tangan kiri dan memegang pedang berkilauan itu dengan tangan kanan, memutar-mutar pedang ke atas kepala dan menggereng-gereng memperlihatkan kemarahannya karena dia terus dibayangi oleh orang-orang kang-ouw itu.

Akan tetapi, orang-orang kang-ouw itu bersikap tenang dan siap untuk membela diri. Mereka itu semua menanti kesempatan baik. Tentu saja orang-orang seperti Im-kan Ngo-ok yang datang dengan lengkap itu tidak takut terhadap Yeti dan merasa bahwa kalau mereka berlima maju, mereka akan mampu merampas pedang keramat yang amat diinginkan itu. Namun mereka adalah orang-orang cerdik, mereka dapat berpikir secara jauh. Kalau mereka merampas pedang itu, berarti mereka akan menghadapi pengeroyokan orang-orang kang-ouw lainnya dan hal itu merupakan bahaya yang jauh lebih besar lagi. Mereka melihat betapa setiap orang kang-ouw yang melakukan pengejaran ini terdiri dari orang-orang yang amat tinggi kepandaiannya. Oleh karena itulah maka belasan orang kang-ouw itu hanya membayangi Yeti saja, belum mau turun tangan merampas pedang.

Kini tahu-tahu Yeti itu sendiri yang agaknya hendak menyerang mereka maka mereka siap siaga untuk menghadapi amukan Yeti. Betapa pun juga, setelah mendengar betapa banyaknya orang-orang kang-ouw yang tangguh-tangguh binasa di tangan Yeti ini, maka ketika Yeti melangkah maju mengayun-ayun pedang yang berkilauan itu, semua orang menjadi agak gentar juga dan melangkah mundur. Akan tetapi, empat orang gundul tinggi besar seperti raksasa itu agaknya tidak mengenal takut karena mereka tidak melangkah mundur, hanya berdiri diam saja memanggul tandu sambil memandang kepada Yeti dengan muka seperti topeng, sedikit pun tidak membayangkan perasaan apa pun.

Yeti sudah marah sekali karena orang-orang yang mengepungnya itu tidak mau pergi. Dia lalu melemparkan tubuh Hong Bu begitu saja ke samping dan pemuda ini terguling-guling, kemudian bangkit duduk dan merangkak ke belakang sebuah batu besar untuk berlindung. Yeti menggereng-gereng, lalu dengan gerakan tiba-tiba dan cepat sekali, tangan kirinya menyambar ke depan, ke arah rombongan orang terdekat, yaitu ke arah empat orang pemikul tandu itu sendiri.

Meski dia hanya menampar dengan tangan kiri, namun tamparan itu hebat bukan main akibatnya. Empat orang yang tinggi besar dan nampaknya kuat kokoh seperti menara besi itu, kini seperti pohon-pohon cemara dilanda angin kencang. Mereka terpelanting ke kanan kiri dan tandu itu pun terlepas dari pundak mereka dan jatuh ke atas tanah dalam keadaan berdiri. Akan tetapi tangan kiri Yeti meluncur terus dan dengan tepat dan keras mengenai lagi tandu itu.

“Brakkk....!”

Tandu itu hancur berantakan kena pukulan itu dan bersama dengan hancurnya tandu, nampak pecahan-pecahan tandu berhamburan dan di antara pecahan-pecahan itu nampak berkelebat bayangan yang sedemikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti oleh pandang mata para tokoh kang-ouw yang memandang peristiwa itu, saking cepatnya gerakan bayangan yang meloncat keluar dari tandu itu sebelum tandu itu hancur lebur.

“Yeti keparat!” terdengar bentakan nyaring merdu dan ternyata di situ telah berdiri seorang yang wajahnya amat.... buruknya!

Tubuh wanita itu tinggi ramping dan montok, dengan lekuk lengkung tubuh seorang wanita yang sudah matang dan yang memiliki daya tarik yang menggairahkan. Namun apabila orang melihat wajahnya tanggung semua gairah akan terbang lenyap dari hati orang itu, karena wajah wanita ini benar-benar luar biasa buruknya, bukan hanya buruk bahkan menjijikkan dan menakutkan. Kulit muka ini agak kehitaman, belang-belang dan berlubang-lubang semacam bopeng yang berat, dan selain itu juga pletat-pletot seolah-olah terbuat dari malam yang terkena panas! Sungguh ganas sekali alam memberi wajah cacat sedemikian buruknya pada seorang wanita yang melihat bentuk tubuhnya adalah seorang wanita muda yang sedang-sedangnya berkembang!

Semua orang memandang dengan terheran-heran. Bahkan Im-kang Ngo-ok sendiri tidak mengenal nona buruk muka itu, padahal melihat gerakannya tadi jelas bahwa tingkat ginkang yang dimiliki wanita itu tidak kalah oleh tingkat ginkang dari Ngo-ok sendiri! Gerakannya seperti dapat menghilang saja, sedemikian cepatnya gerakan tadi sampai tidak nampak oleh mata mereka.

Biar pun sinar matanya membayangkan kemarahan karena tandunya dihancurkan Yeti, akan tetapi wanita itu dengan tenang berdiri tegak, kemudian dia menyingsingkan kedua lengan bajunya! Mula-mula nampak kulit lengannya yang halus mulus, montok dan putih bersih, akan tetapi segera semua orang menahan napas, bahkan ada yang menahan seruan karena merasa ngeri. Ternyata bahwa kedua lengan itu penuh dengan ulat-ulat berbulu! Ulat-ulat yang gemuk dan berbulu lebat, ada yang berwarna putih, merah, biru, hijau, hitam, kuning dan sebagainya. Baru melihat saja sudah menimbulkan perasaan gatal-gatal di tubuh, apalagi kalau sampai terkena bulu-bulu lebat yang kesemuanya pasti mengandung racun yang amat hebat itu.

“Binatang liar, berani engkau merusak tanduku? Hayo tukar dengan pedangmu itu!” bentak wanita itu dengan suara yang melengking nyaring.

“Si Ulat Seribu....,” terdengar Ji-ok Kui-bin Nio-nio berseru kaget.

Wanita bermuka buruk itu menoleh kepada wanita bermuka tengkorak. “Heh-heh, Ji-ok Kui-bin Nio-nio kiranya? Huh, kalau tidak bersama-sama dengan Ngo-ok selengkapnya, mana berani keluar?”

Diejek demikian itu, Ji-ok mendengus marah. “Bocah sombong! Siapa yang takut ulat-ulatmu?”

Akan tetapi Si Ulat Seribu tidak mempedulikan Ji-ok lagi karena tiba-tiba, selagi dia bicara kepada Ji-ok dan mukanya agak menengok ke arah wanita bertopeng tengkorak itu, mendadak saja tangannya bergerak menyambar dan dia sudah menyerang Yeti! Sungguh suatu gerakan yang selain cepat, juga tidak terduga-duga sama sekali dan membayangkan kelicikan dan kecurangan hebat dari orang-orang golongan sesat!

Akan tetapi Yeti itu pun memiliki ketangkasan yang luar biasa sekali. Biar pun dia diserang secara tiba-tiba, tangan kiri wanita itu menyambar ke arah pusarnya dan tangan kanan wanita itu langsung menyambar ke atas untuk merampas pedang, akan tetapi dia malah membiarkan saja pukulan ke arah pusarnya itu, sedangkan pedangnya cepat digerakkan ke bawah menyambut lengan kanan Si Ulat Seribu.

“Dukk....! Aihhh....!” Si Ulat Seribu itu untungnya dapat bergerak dengan kecepatan kilat sehingga lengannya tertolong sungguh pun ujung lengan bajunya terbabat putus hanya oleh sinar pedang itu sehingga dia memekik kaget.

Kekagetan akibat putusnya ujung lengan ini ditambah dengan terpentalnya tangannya yang menghantam pusar, seolah-olah bertemu dengan perut dari baja atau bola karet yang amat kuat! Akan tetapi, ulat-ulat dari lengannya itu beterbangan dengan warna-warnanya yang cerah sehingga seperti kembang api berpijar dari percikan ke mana-mana, terutama sekali ke arah tubuh Yeti.

Akan tetapi, tubuh Yeti penuh bulu maka ulat-ulat itu tidak mempengaruhi dirinya. Tidak ada bulu ulat yang dapat membuat gatal kulit yang dilindungi bulu! Yeti itu hanya menggoyangkan tubuhnya dan sungguh aneh, ulat-ulat itu semua beterbangan ke satu jurusan, yaitu ke arah empat orang raksasa gundul para pemikul tandu tadi sehingga terjadilah pemandangan yang mengerikan.

Empat orang itu segera bergulingan, menggunakan kuku jari tangan menggaruki seluruh tubuhnya sampai pakaian mereka robek-robek semua dan dalam waktu singkat mereka itu sudah bertelanjang bulat menggaruki semua bagian tubuh mereka yang bintul-bintul dan bengkak-bengkak! Hebatnya, bagian yang digaruk dan mengeluarkan darah segera dilekati oleh ulat-ulat yang ternyata suka minum darah seperti lintah-lintah! Dan dalam waktu singkat saja empat orang raksasa gundul tukang pikul tandu Si Ulat Seribu itu telah tewas semua, badan mereka yang telanjang bulat itu penuh dengan ulat-ulat yang kini menjadi semakin menggembung gemuk kekenyangan darah!

Semua orang mengkirik karena seram, akan tetapi seorang kakek berjenggot panjang, seorang di antara para tokoh kang-ouw yang datang ke tempat itu, menjadi tidak senang. Dia lalu menggosok kedua telapak tangannya, lalu memukulkan kedua telapak tangan itu ke arah mayat-mayat tadi. Hawa panas menyambar-nyambar dan keempat mayat itu menjadi kehitaman seperti hangus, dan semua bulu berwarna-warni dari ulat-ulat itu rontok terbakar semua, akan tetapi hebatnya, ulat-ulat itu tidak menjadi mati! Kini semua ulat itu menjadi ulat-ulat gundul yang makin menggelikan lagi, juga menjijikkan karena nampak gerakan-gerakan perut mereka yang naik turun.

Si Ulat Seribu menjadi semakin marah, kini kemarahannya ditumpahkan kepada kakek berjenggot panjang itu. “Keparat, berani engkau merusak ulat-ulatku!”

Dan tiba-tiba saja tubuhnya menggeliat roboh ke atas tanah, kemudian seperti gerakan seekor ulat, tubuhnya menggeliat-geliat dan tiba-tiba melenting ke atas, ke arah kakek berjenggot panjang itu dan kedua tangannya sudah mengirim serangan. Bukan main cepatnya gerakan ini, sukar diikuti pandang mata.

Kakek itu sudah kaget setengah mati, tidak mengira bahwa dia akan diserang secepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba dari arah belakang muncul seorang laki-laki yang berpakaian seperti pengemis, mukanya ditumbuhi kumis dan jenggot lebat tak terpelihara, sikapnya acuh tak acuh dan mulutnya yang tersembunyi di balik kumis itu terkekeh aneh. “Jangan ganggu orang tua!” dia mendengus dan tiba-tiba jari telunjuk kanannya menuding dan menyambar ke depan, memapaki serangan Si Ulat Seribu itu.

“Dukk! Aihhhh....!” Untuk kedua kalinya Si Ulat Seribu menjerit dan tubuhnya terdorong ke belakang, tubuhnya tergetar hebat. Dia berdiri dan memandang kepada jembel yang ternyata masih muda itu dengan sinar mata penuh kemarahan, akan tetapi juga dengan muka agak pucat karena dia terkejut bukan main.

“Kau.... kau.... Si Jari Maut....?”

Im-kan Ngo-ok juga sangat terkejut mendengar disebutnya nama ini dan mereka semua memandang ke arah jembel muda itu. Mereka sudah mengenal Si Jari Maut Wan Tek Hoat, calon mantu Raja Bhutan! Benarkah jembel muda itu adalah mantu Raja Bhutan? Sungguh mengherankan hati Im-kang Ngo-ok, dan tiba-tiba Sam-ok Ban Hwa Sengjin tertawa bergelak sampai perutnya yang tersembunyi di balik mantel itu bergerak-gerak.

“Ha-ha-ha-ha! Kiranya Si Jari Maut tidak jadi menjadi mantu Raja Bhutan, melainkan menjadi jembel terlantar!” katanya sambil memandang kepada jembel muda yang bukan lain adalah Wan Tek Hoat atau juga dahulu disebut Ang Tek Hoat Si Jari Maut itu. Akan tetapi, orang muda yang menjadi seperti jembel itu hanya ha-ha-he-he saja, terkekeh dan kemudian malah mengguguk dan terisak menangis!

“Oohhh, dia telah menjadi gila....!” kata Twa-ok Su Lo Ti dan semua orang memandang karena merasa aneh. Kakek ini seperti gorila, pantasnya sikap dan kata-katanya tentu kasar, akan tetapi sebaliknya malah, suaranya dan ucapannya itu seperti orang yang mempunyai belas kasihan besar sekali!

Melihat munculnya demikian banyaknya orang lihai, Si Ulat Seribu tidak mau mencari penyakit dan dia sudah menerjang lagi, menerjang Yeti yang semenjak tadi berdiri kebingungan. Mereka berdua segera bertarung lagi, akan tetapi tetap saja Si Ulat Seribu terdesak hebat dan terpaksa harus menggunakan ginkang-nya yang memang istimewa kalau dia tidak mau tubuhnya disayat-sayat oleh pedang di tangan Yeti yang digerak-gerakkan secara aneh dan seperti ngawur namun amat berbahaya itu!

“Twa-ko, biar kucoba sampai di mana Si Jari Maut yang telah menjadi gila ini!” tiba-tiba terdengar Ngo-ok berseru.

“Baiklah, Ngo-te!” kata Twa-ok dengan halus.

Ngo-ok yang jangkung itu lalu berseru keras dan tubuhya sudah menubruk Si Jari Maut Wan Tek Hoat. Akan tetapi ternyata pengemis muda ini juga memiliki gerakan yang amat gesitnya. Dengan mudah dia meloncat ke kiri sambil terkekeh. Akan tetapi tiba-tiba kakek berjenggot panjang yang tadi ditolongnya dari serangan Si Ulat Seribu itu telah meloncat ke depan.

“Siancai, mengapa Im-kan Ngo-ok yang tersohor sebagai jagoan-jagoan cabang atas itu hendak mengganggu seorang muda yang ternyata sedang terganggu jiwanya? Tidak mungkin aku, Sai-cu Kai-ong, mendiamkan saja kekejaman ini!”

Im-kan Ngo-ok terkejut bukan main. Kiranya kakek berjenggot panjang yang berpakaian sederhana, bukan pakaian pengemis itu, adalah Sai-cu Kai-ong yang amat terkenal sebagai keturunan dari ketua Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal dan akhirnya telah mengundurkan diri dan kabarnya telah bertapa di Pegunungan Tai-hang-san itu.

Akan tetapi, Ngo-ok adalah orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri. Dia pun sudah mendengar nama orang yang terkenal di golongan bersih ini, akan tetapi dia tidak menjadi gentar, apalagi karena di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap, takut apa? Dia mendengus marah. “Kaukah Raja Pengemis? Biar kubikin kau menjadi pengemis mati?” Dan dia sudah berjungkir-balik dan menyerang Sai-cu Kai-ong dengan hebatnya!

Para pembaca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu tidak lupa kepada tokoh ini. Sai-cu Kai-ong adalah seorang tokoh besar, keturunan dan ahli waris dari ketua-ketua Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia bernama Yu Kong Tek dan tinggal di puncak Bukit Nelayan, di tepi sungai sebelah selatan kota Paoteng, di Pegunungan Tai-hang-san. Seperti telah diceritakan dalam cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI, kakek ini pernah mendidik Kam Hong saat pendekar itu masih kecil, bahkan dasar-dasar ilmu silat yang dimiliki Kam Hong adalah hasil didikan kakek ini.

Kini, menghadapi cara berkelahi dari Ngo-ok yang aneh, dengan jungkir balik itu, Sai-cu Kai-ong tidak menjadi gentar dan dia segera mainkan Ilmu silat Khong-sim Sin-ciang (Tangan Sakti Hati Kosong). Dengan tenang dia menghadapi setiap serangan kaki atau tangan, dan dia membalik keadaan, yaitu menghadapi kedua kaki lawan dengan kedua tangannya, sedangkan kedua tangan lawan dihadapi dengan kedua kakinya! Artinya, dia menangkis tendangan-tendangan kaki dengan tangan, dan sebaliknya menangkis pukulan-pukulan tangan dengan kaki! Terjadilah perkelahian yang amat aneh dan seru sehingga keadaan di situ menjadi semakin ribut.

Setelah kini ada yang berani turun tangan menyerang Yeti, maka mulailah beberapa orang kang-ouw mencoba-coba untuk merampas pedang di tangan Yeti itu. Mereka seolah-olah membantu Si Ulat Seribu, padahal tentu saja maksud mereka tidak demikian, melainkan mereka menyerang Yeti untuk dapat merampas pedang itu. Akan tetapi sungguh akibatnya hebat sekali. Beberapa orang di antara mereka terkena sambar sinar pedang keramat itu dan roboh tewas, ada pula yang dirubung ulat-ulat dari lengan Si Ulat Seribu sehingga jatuh beberapa orang lagi menjadi korban. Akan tetapi ada pula yang masih terus mengurung Yeti sehingga Hong Bu yang melihat keadaan itu menjadi khawatir sekali akan keselamatan Yeti.

Tiba-tiba Wan Tek Hoat tertawa-tawa dan dia pun segera masuk ke dalam medan pertempuran! Memang dia sedang bingung dikarenakan kedukaannya mencari-cari kekasihnya tanpa hasil. Maka dia pun berkelahi seperti orang bingung, kadang-kadang membantu Sai-cu Kai-ong, kadang-kadang dia membantu Yeti, dan ada kalanya juga dia menyerang Yeti! Akan tetapi anehnya belum pernah dia menyerang Sai-cu Kai-ong! Maka terjadilah perkelahian yang simpang-siur akan tetapi karena dilakukan oleh orang-orang yang berilmu tinggi, maka menjadi pertempuran yang amat seru dan timbul angin pukulan yang menyambar-nyambar amat dahsyatnya.

Selagi pertempuran yang kacau itu berlangsung dengan serunya, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu yang diiringi oleh bunyi musik yang amat indah. Sungguh merupakan hal yang teramat aneh di tempat seperti itu, di tengah-tengah orang yang sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengar suara nyanyian merdu diiringi suara musik yang demikian indahnya. Tentu saja suara aneh ini membuat semua orang terheran-heran dan otomatis yang sedang berkelahi itu dengan sendirinya berhenti dan semua orang berloncatan mundur, membuat Yeti dan Wan Tek Hoat menjadi bingung. Yeti berdiri bengong seperti tidak tahu harus berbuat apa, dan Tek Hoat terkekeh aneh, akan tetapi keduanya lalu diam dan juga seperti terpesona oleh suara nyanyian dan musik itu.

Suara itu adalah suara wanita, amat merdu, akan tetapi juga mengandung tenaga yang mukjijat dan seolah-olah dapat meredakan panasnya hati mereka semua. Semua mata memandang ke arah datangnya suara dan dari bawah puncak datar itu muncullah seorang pemuda yang diiringkan oleh belasan orang dayang yang berpakaian indah dan berwajah cantik-cantik.

Pemuda itu sendiri adalah seorang pemuda tanggung, kurang lebih lima belas tahun usianya, berwajah tampan sekali dan kulit mukanya halus, sepasang matanya yang lebar itu mengandung sinar jernih dan tajam. Di belakangnya ada seorang dayang yang membawa sebuah bendera yang berwarna merah dan ada sulaman benang emas yang berbunyi KIM SIAUW SAN KOK (Lembah Gunung Suling Emas).

Setelah tiba di atas pucak datar yang menjadi tempat pertempuran itu, Si Pemuda Tanggung memandang kepada mereka semua, lalu memandang kepada mayat-mayat di atas tanah, kemudian dia berkata kepada seorang dayang yang berpakaian kuning, “Kui Hwa, lenyapkan mayat-mayat itu untuk membersihkan tempat kita.”

Wanita berpakaian atau berbaju kuning itu mengangguk, kemudian dia mengeluarkan sebuah botol yang bentuknya seperti tubuh ular, membuka tutup botol dan begitu dia memercikkan sedikit cairan berwarna putih seperti perak ke atas tubuh mayat-mayat itu, maka nampaklah asap mengepul tebal dan dalam waktu beberapa menit saja mayat-mayat itu lenyap menjadi cairan kuning dan akhirnya cairan itu pun lenyap masuk ke dalam tanah di antara salju! Semua orang menjadi bengong, apalagi mereka yang tahu akan obat-obatan seperti Sai-cu Kai-ong, karena dia tahu bahwa obat yang dapat mencairkan mayat secepat itu hanya terdapat dalam dongeng saja dan dia sendiri belum pernah menyaksikannya dengan mata kepala sendiri! Kini tinggal bau yang tidak enak saja tercium di tempat itu, sedangkan mayat-mayat itu lenyap sama sekali, berikut ulat-ulat gundulnya!

“Lan-hwa, lenyapkan bau busuk agar berubah wangi,” kembali pemuda itu berkata, suaranya halus dan tenang seolah-olah di situ tidak ada orang lain kecuali dia dan para dayangnya!

Seorang dayang berbaju hijau yang juga muda dan cantik mengangguk, lalu mengambil sebuah botol merah, menghampiri bekas tempat mayat dicairkan tadi, dan ketika dia membuka tutup botol itu dan memercikkan sedikit isinya ke atas tempat-tempat itu, terciumlah bau yang sedap harum dan lenyap sama sekali bau yang tidak enak tadi, membuat semua orang merasa seakan-akan mereka berada di taman yang penuh dengan bunga!

Kini pemuda itu memandang kepada semua orang yang berada di situ, dan ketika pandang matanya bertemu dengan Yeti, dia membelalakkan sepasang matanya yang lebar dan indah itu, “Aih, kiranya inikah yang selama ini didesas-desuskan sebagai Yeti? Dan dia pula yang telah menemukan pedang kami? Betapa anehnya!”

Pada saat itu, Hong Bu yang sejak tadi khawatir akan keselamatan Yeti yang dikeroyok, kini merasa lega dengan munculnya pemuda yang tampan halus itu. Akan tetapi dia terkejut menyaksikan kelihaian pemuda itu menyingkirkan mayat-mayat dan bau-bau mayat dicairkan, dan dia juga mendengar ucapan terakhir tadi. Maka meloncatlah dia keluar dari balik batu besar, mendekati Yeti dan memegang lengan Yeti seperti hendak melindungi.

“Memang Yeti yang menemukan pedang ini, akan tetapi sama sekali tidak pernah merampas pedang seperti yang akan dilakukan oleh semua orang yang tak tahu malu ini!” Dia menentang pandang mata semua yang hadir dengan penuh keberanian. “Melainkan ada orang yang menusukkan pedang ini di pahanya. Lihat, pahanya masih juga belum sembuh. Dan sekarang, kembali dia dikejar-kejar hendak dibunuh dan dirampas pedangnya! Sungguh manusia merupakan makhluk paling kejam dan licik di dunia ini!”

Pemuda tampan itu seperti tercengang mendengar ini dan sampai lama matanya menatap wajah Hong Bu seperti orang tidak percaya akan apa yang didengarnya. “Siapa kau?” akhirnya pemuda itu bertanya, suaranya mengandung keheranan dan mungkin pula kekaguman.

“Aku Sim Hong Bu, dan aku adalah satu-satunya manusia yang menjadi sahabat Yeti!” jawab Hong Bu dengan bangga dan berani. Yeti agaknya senang mendengar ini, tangan kirinya mengelus-elus rambut kepada Hong Bu dan tangan kanan masih memegang pedang dengan kaku.

“Cukup semua ini!” Tiba-tiba Sam-ok Ban Hwa Sengjin berkata dengan suaranya yang nyaring. “Siapakah engkau, orang muda? Dan mengapa engkau mengatakan bahwa pedang itu adalah pedang kalian?“

Pemuda itu menoleh dan menghadapi Ban Hwa Sengjin. “Aha, kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang bicara! Bukankah engkau pernah menjadi Koksu dari Nepal? Dan semua saudaramu juga turut hadir. Hemm, juga Si Ulat Seribu, Si Golok Setan, dan bukankah Anda Sai-cu Kai-ong?” katanya mengangguk kepada kakek berjenggot itu. “Hem, dan inikah Si Jari Maut? Betapa bedanya dengan yang pernah kami dengar. Yang di sana itu, bukankah kalian bertiga adalah Liok-te Sam-mo (Tiga Iblis Bumi)? Kulihat hadir pula Pat-pi Kim-wan (Lutung Emas Tangan Delapan), dan dia itu Tok-gan Sin-liong (Naga Sakti Mata Satu), mengapa matamu yang sebelah kau tutupi dengan kain? Hemm, masih banyak tokoh-tokoh yang terkenal. Pantas saja tempat ini menjadi ramai!”

Semua orang terkejut bukan main dan mereka memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenal pemuda ini, akan tetapi pemuda ini mengenal mereka satu demi satu, padahal mereka itu datang dari seluruh pelosok dunia, ada yang dari selatan, dari timur, dari utara dan dari barat! Tentu saja hal ini membuat mereka menjadi ingin sekali tahu, kecuali tentu saja Si Jari Maut dan Yeti yang tetap tidak peduli sikapnya.

“Siapakah engkau?” tanya pula Ban-hwa Sengjin, kini suaranya menjadi halus, dan hati-hati.

“Anda sekalian yang telah datang ke sini hendaknya jangan membuat ribut di tempat kami ini. Ini termasuk wilayah Lembah Gunung Suling Emas, tempat keluarga kami sejak turun temurun ribuan tahun lamanya. Jika kalian hendak berkunjung ke tempat kami, lakukanlah hal itu dengan sopan seperti layaknya tamu-tamu terkenal. Ayah dan paman-pamanku tentu akan menyambut kalian dengan gembira. Silakan! Juga engkau, Sim Hong Bu. Sahabatmu, Yeti itu, boleh ikut pula, jangan khawatir, kami tidak biasa membeda-bedakan tamu, baik dia itu anjing, beruang, atau pun manusia!” Bibir itu tersenyum dan Sim Hong Bu juga tersenyum karena ucapan itu setidaknya menyatakan bahwa dalam pandangan pemuda tampan itu, derajat Yeti tidaklah kalah oleh manusia mana pun!

Sungguh aneh memang. Kini pemuda itu diikuti oleh para dayangnya yang belasan orang banyaknya itu membalikkan tubuh dan berjalan perlahan pergi dari situ tanpa menoleh sedikit pun juga kepada para tamu itu seolah-olah mereka semua yakin bahwa para tamu yang sudah dipersilakan itu tentu akan mengikuti mereka. Dan memang kenyataannya pun begitu! Para tokoh kang-ouw itu kini melangkah dan perlahan-lahan mengikuti rombongan aneh itu menuruni puncak datar itu.

Orang-orang yang tadinya saling berkelahi itu kini seperti serombongan tamu terhormat, berjalan bersama-sama tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Di dalam hati masing-masing memang ingin sekali tahu siapa ‘tuan rumah’ yang memiliki tempat seaneh ini. Mereka tidak berani lancang melanjutkan perkelahian yang belum menentu itu, apalagi jika sampai pihak tuan rumah turun tangan. Tentu membuat mereka yang sudah saling berlawan sendiri itu menjadi makin berabe. Maka, mereka semua ingin melihat bagai mana perkembangannya agar mereka dapat mengambil tindakan yang menguntungkan pihak masing-masing. Tentu saja kecuali Si Jari Maut yang hanya ikut-ikutan saja dengan rombongan itu, dan Yeti yang ditarik lengannya oleh Hong Bu.

Pemuda tampan itu bersama rombongannya berjalan terus berliku-liku, melalui lereng-lereng yang terjal, menyelinap di antara bukit-bukit es yang amat banyak terdapat di situ, ada puluhan buah banyaknya dan macamnya sama sehingga orang luar akan sukar sekali untuk mengenal jalan yang dilalui rombongan ini.

Akhirnya mereka berhenti di tepi tebing yang curam sekali. Tidak ada jalan turun atau naik dan semua tamu itu sudah melongo keheranan mengapa rombongan pemuda itu membawa mereka ke tempat seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba pemuda itu menggerakkan tangannya dan dia sudah memegang sebatang suling. Suling dari emas! Tentu saja melihat ini Sai-cu Kai-ong terbelalak dan hampir saja dia mengeluarkan seruan kaget. Bukankah yang memiliki suling emas itu hanya bekas muridnya dan calon cucu mantunya, Kam Hong keturunan langsung dari keluarga Suling Emas?

Dan kini pemuda tampan itu menyuling. Suara sulingnya merdu bukan main, bernada tinggi sampai melengking dan seperti hendak memecahkan anak telinga. Tiba-tiba pula dia berhenti meniup suling dan dari bawah tebing itu ‘terbanglah’ sehelai tambang yang merentang antara tepi tebing itu sampai ke puncak di depan sana! Kiranya tadinya tambang itu memang sudah ada, hanya tergantung ke bawah sehingga tidak nampak, dan kini, atas isyarat bunyi suling, agaknya para penjaga di sebelah sana, yaitu di puncak depan yang nampak tertutup sebagian oleh awan atau kabut, menarik ujung tambang di sana sehingga kini tambang yang diikatkan ujungnya yang sebelah sini pada batu besar dan ditanamkan di tebing sini, merentang kuat-kuat dan nampak jelas.

“Maaf, Cu-wi yang terhormat. Tiada jalan lain menuju ke lembah kami kecuali melalui jembatan ini. Siapa saja yang ingin mengunjungi tempat tinggal kami, kami persilakan mengikuti kami.”

Setelah berkata demikian, pemuda itu dengan tenang lalu melangkahkan kaki ke atas tambang itu, diiringkan oleh belasan orang dayang itu dan mereka semua lalu berjalan di atas tambang itu, merupakan barisan yang aneh. Hebatnya, selagi menyeberang jurang tebing yang amat curam itu melalui tambang, mereka yang memegang alat musik itu masih memainkan lagu merdu, seolah-olah mereka bukan sedang berjalan di atas tambang maut, melainkan sedang berjalan-jalan di kebun bunga saja!

Para orang kang-ouw yang berada di situ adalah orang-orang pandai. Berjalan di atas tambang seperti itu saja tentu bukan merupakan hal aneh bagi mereka. Akan tetapi mereka maklum dan bergidik kalau memikirkan bahwa orang luar tidak mungkin dapat melalui tambang ini karena pasti terjaga siang malam dan sekali ada orang luar berani lancang mempergunakan tambang ini tanpa ijin, pihak sana tinggal melepaskan ujung tambang di sana dan orang luar yang lancang hendak memasuki daerah itu, betapa pun saktinya dia, tentu akan menghadapi kematian yang mengerikan di dasar jurang yang luar biasa curamnya sehingga tidak nampak dari atas itu. Mereka lalu melangkah ke atas tambang dan satu demi satu mereka pun berjalan di atas tambang.

Hong Bu juga tidak takut untuk berjalan di atas tambang, akan tetapi hatinya merasa ngeri juga ketika melihat ke bawah dan tidak nampak apa-apa, hanya nampak kabut saja, seolah-olah orang berjalan di atas tambang yang direntang di udara yang amat tinggi. Akan tetapi Yeti agaknya tidak sabar lagi, dan dia sudah menyambar pinggang Hong Bu lalu dipanggulnya dan dia berjalan di atas tambang itu dengan mudah dan enaknya. Tambang itu agak terayun-ayun karena tubuh Yeti yang lebih berat dari pada yang lain.

Akhirnya semua tamu tibalah sudah di tepi sana, yaitu di tebing dari sebuah lembah yang sungguh lain dari pada di seberang sini. Sungguh aneh sekali karena lembah ini biar pun juga tidak terhindar dari hawa dingin dan salju, namun salju tidak begitu tebal dan di sini tumbuh macam-macam tumbuhan yang aneh-aneh, bahkan ada burung-burung dan ada binatang-binatang berkeliaran di lembah itu. Puncaknya juga tertutup salju, akan tetapi diselang-seling warna hijau daun-daun. Dan lembah itu sungguh tak mungkin dapat didatangi orang luar kecuali melalui tambang tadi karena selain terkurung jurang-jurang yang curam, juga melalui daerah-daerah yang mudah sekali terjadi salju dan tanah longsor sehingga merupakan daerah maut!

Semua tamu, kecuali Si Jari Maut dan Yeti yang nampak tidak mengacuhkan apa pun, memandang ke sekeliling penuh takjub. Anehnya, Yeti kelihatan biasa saja, bahkan tenang-tenang sekarang, dan kadang-kadang ada nampak oleh Hong Bu betapa Yeti menarik napas panjang beberapa kali. Dan agaknya daerah ini bukan merupakan daerah asing bagi Yeti, seoah-olah dia berada di rumah atau daerah sendiri. Dan hal ini mungkin saja, pikir Hong Bu. Yeti memiliki kepandaian menjelajahi daerah salju itu jauh lebih hebat dari pada kepandaian manusia mana pun, tentu bukan tidak mungkin kalau Yeti pernah mendatangi tempat ini melalui jalan lain betapa pun tidak mungkin hal itu dilakukan agaknya oleh manusia.

“Cu-wi, silakan,” kata pemuda itu dan para tamu melihat betapa dari tempat penjagaan di tepi tebing sebelah sini, nampak beberapa orang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap memutar alat penggulung tambang dari baja.

Benar dugaan mereka, tempat itu selalu terjaga dan bahkan jembatan tambang itu selalu dijaga orang sehingga tidaklah mungkin orang luar datang melalui tambang itu tanpa seijin pemilik lembah yang dinamakan Lembah Gunung Suling Emas ini! Mereka lalu mengikuti rombongan dayang dan pemuda itu menuju ke tengah lembah di mana nampak bangunan-bangunan mengelilingi sebuah bangunan besar yang megah dan mewah.

Sungguh mengagumkan dan juga mengejutkan sekali bagaimana di tempat seperti itu, yang terasing dari keramaian dunia ada orang dapat membangun bangunan yang seperti istana itu! Dan mereka makin kagum ketika tiba di dekat bangunan-bangunan seperti perkampungan itu karena di situ memang indah, terdapat taman-taman bunga yang aneh-aneh, yang penuh dengan batu-batu ukir-ukiran, arca-arca yang dibuat secara indah sekali.

Ketika melewati sebuah taman, tiba-tiba Yeti mengulur tangannya memetik setangkai bunga merah dan langsung saja memakannya, bahkan memberikan setangkai kepada Hong Bu yang tanpa ragu-ragu juga memakannya. Dan memang seperti yang diduga, Yeti tidak menipunya, bunga merah itu berbau sedap dan rasanya enak, agak masam-masam seperti buah apel! Melihat ini, pemuda itu menengok dan berkata dengan wajah berseri, “Aihhh, kiranya Yeti mengenal Bunga Hati Merah kami!” serunya gembira dan juga kagum.

“Dia adalah penjelajah nomor satu di Himalaya, tentu saja mengenal segalanya,” jawab Hong Bu membanggakan sahabatnya.

Pemuda tampan itu hanya tersenyum, lalu dengan tangannya mempersilakan semua orang untuk melanjutkan perjalanan menuju ke ruangan depan rumah terbesar di perkampungan aneh itu.

Ketika mereka tiba di depan rumah besar dan indah seperti istana itu, nampak papan nama yang besar dan indah tulisannya dipasang orang di depan pintu gerbang. Istana Suling Emas, demikian bunyi tulisan dan kembali Sai-cu Kai-ong tertegun.

Para pembaca tentu juga sama herannya seperti Sai-cu Kai-ong, karena bukankah keluarga Pendekar Suling Emas adalah keluarga yang sudah habis dan kini tinggal diri Kam Hong seorang sebagai keturunan terakhir? Bagaimana di Himalaya, di tempat terasing ini terdapat perkampungan yang disebut Lembah Gunung Suling Emas, dan pemuda yang menyambut mereka itu pun tadi meniup suling emas dan kini istana ini disebut Istana Suling Emas? Apa hubungannya ini dengan nenek moyang dari cucu mantunya itu?

Akan tetapi sebelum menerangkan soal yang aneh ini, lebih dulu sebaiknya kita ketahui bagaimana Sai-cu Kai-ong, tokoh kang-ouw yang sudah lama menutup diri di Tai-hang-san itu, kini tiba-tiba muncul pula bersama orang-orang kang-ouw di Himalaya? Apakah dia juga ingin memperebutkan pedang keramat yang dikabarkan lenyap dari istana itu?

Sesungguhnya tidak demikian. Seorang kang-ouw yang gagah perkasa seperti Sai-cu Kai-ong tidak sudi lagi memperebutkan sesuatu seperti sebagian besar tokoh-tokoh kaum sesat. Dia memang datang ke Pegunungan Himalaya sehubungan dengan berita membanjirnya orang-orang kang-ouw di pegunungan yang tinggi itu, akan tetapi bukan untuk mencari pedang. Andai kata dia dapat memperoleh pedang itu, tentu hanya untuk dikembalikan ke istana kaisar.

Tidak, dia tak ingin berebut pedang, akan tetapi dia mengharapkan untuk dapat bertemu dengan cucu perempuannya yang telah menghilang bertahun-tahun lamanya. Cucu perempuan itu adalah Yu Hwi, atau yang pernah dikenal sebagai Kang Swi Hwa atau Ang Siocia, seorang yang cantik dan lincah, penuh keberanian dan kecerdikan, pandai sekali menyamar menjadi apa pun, dan memiliki ilmu mencopet yang luar biasa. Semua ilmu ini dipelajarinya dari gurunya, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling yang terkenal itu.

Cucu perempuan yang menjadi tunangan Kam Hong itu sudah melarikan diri, agaknya menolak dijodohkan dengan Kam Hong dan sampai kini tidak pernah ada beritanya! Maka hal ini amat menyusahkan hati kakek ini dan berangkatlah dia ke Pegunungan Himalaya untuk mencari cucunya itu yang diharapkannya akan datang juga ke daerah itu untuk beramai-ramai memperebutkan pedang keramat. Maka, sudah tentu saja kakek ini terheran-heran bukan main ketika disambut oleh pemuda yang bersuling itu dan dibawa ke dalam perkampungan luar biasa yang dinamakan Lembah Gunung Suling Emas, karena keluarga Suling Emas adalah sahabat dari keluarganya sendiri.

Sejak ratusan tahun yang lalu, keluarganya, yaitu keluarga Yu dari Khong-sim Kai-pang adalah sahabat-sahabat dari keluarga Pendekar Suling Emas dan karena mengingat pertalian persahabatan antara nenek moyangnya itulah maka diambil keputusan untuk menjodohkan Yu Hwi, keturunan terakhir dari keluarga Yu, dengan Kam Hong, yaitu keturunan terakhir dari keluarga Kam atau keluarga Suling Emas. Dan kini tiba-tiba muncul keluarga Suling Emas lain di tengah-tengah Pegunungan Himalaya!

Tentu saja Sai-cu Kai-ong tidak tahu akan hal ini. Akan tetapi di lain pihak, keluarga yang tinggal di Lembah Gunung Suling Emas ini adalah keluarga yang benar-benar hebat, sedemikian hebatnya sehingga keluarga ini sudah mengenal semua orang yang mendatangi daerah mereka dan pemuda yang menyambut tadi pun sudah mengenal nama-nama mereka! Meski keluarga ini tidak pernah berkecimpung di dunia kang-ouw, akan tetapi mereka mempunyai banyak sekali penyelidik, apalagi dalam menghadapi perebutan pedang keramat itu, maka mereka sudah menyelidiki semua tokoh yang ikut naik ke Pegunungan Himalaya sehingga gambaran-gambaran tentang mereka telah dikenal oleh semua penghuni lembah itu dan pemuda itu pun dengan mudah dapat mengenalnya satu demi satu!

Keluarga Suling Emas yang berada di lembah ini bukan lain adalah keturunan langsung dari kakek kuno yang ditemukan mayatnya oleh Kam Hong di bagian lain dari lembah itu! Memang aneh sekali. Keluarga ini sendiri tidak tahu bahwa masih ada mayat nenek moyang mereka yang masih utuh dan membawa-bawa rahasia terbesar dari ilmu keturunan mereka dan sama sekali tidak mengira bahwa mayat nenek moyang mereka itu akan ditemukan oleh Kam Hong dan bahkan pemuda ini yang akhirnya mewarisi semua ilmu nenek moyang mereka!

Mereka ini adalah keturunan dari kakek pembuat suling emas yang lihai itu, dan turun temurun tinggal di tempat itu. Karena mereka merupakan keluarga yang pandai, dan berhubungan dekat dengan keluarga Raja Nepal, maka mereka tidak kekurangan sesuatu. Semenjak nenek moyang mereka, mereka itu merupakan sahabat keluarga Raja Nepal dan seringkali memberi nasehat dan petunjuk, dan sebaliknya Raja Nepal juga selalu mencukupi keperluan mereka, bahkan mendirikan istana itu untuk mereka setelah pada puluhan tahun yang lalu keluarga mereka berjasa mengusir musuh-musuh yang datang dari barat Kerajaan Nepal!

Jadi memang ada perbedaan besar antara keluarga Suling Emas yang berada di Himalaya ini dengan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam yang menjadi keturunan Pendekar Suling Emas Kam Bu Song. Keluarga Suling Emas di Himalaya ini adalah keturunan dari pembuat suling emas itu, sedangkan keluarga Kam adalah orang yang akhirnya mendapatkan Suling itu dan dipergunakan sebagai senjata sehingga akhirnya terkenal dengan julukan Pendekar Suling Emas. Jadi terdapat perbedaan yang besar sekali, dan tidak ada hubungannya sama sekali, kecuali hubungan melalui suling emas yang kini dipegang Kam Hong itu, hubungan antara pembuat suling dan pemakai suling. Sungguh pun terdapat suatu keistimewaan yang sama, yaitu ahli menggunakan suling sebagai senjata…..


Keluarga Suling Emas di lembah ini adalah dari keluarga Cu, yaitu nama keturunan dari kakek pembuat suling emas, yang sebetulnya masih seorang pangeran dari Kerajaan Cin yang suka merantau dan akhirnya menetap di Himalaya, yaitu di lembah itu. Menurut dongeng keluarga Cu, setelah berkeluarga dengan puteri Nepal, kakek ini menetap di situ dan hidup sampai beranak cucu. Akan tetapi pada suatu hari dia menghilang, katanya untuk pergi bertapa dan tidak ada lagi yang mendengar tentang dirinya.

Anak cucunya hidup terus di lembah itu, ada pula yang pergi merantau, akan tetapi lembah itu tetap dipelihara, bahkan sekarang, keturunan terakhir yang tinggal di situ terdapat tiga orang laki-kaki. Yang pertama bernama Cu Han Bu, pria sederhana berusia empat puluh tahun, ayah dari pemuda tampan yang menyambut para tamu tadi. Yang ke dua bernama Cu Seng Bu, pria berusia tiga puluh lima dan yang ke tiga bernama Cu Kang Bu, pria berusia tiga puluh tahun. Kedua orang ini belum menikah. Tiga orang inilah merupakan keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas she Cu itu.

Cu Han Bu baru mempunyai seorang anak saja, yaitu ‘pemuda’ yang menyambut para tamu tadi. Akan tetapi anak itu sebetulnya bukan seorang laki-laki, melainkan seorang anak perempuan. Karena ingin sekali mempunyai anak laki-laki, maka untuk menutupi kekecewaannya, Cu Han Bu dan isterinya memperlakukan anak mereka seperti anak laki-laki, bahkan sejak kecil anak itu memakai pakaian laki-laki, sungguh pun dia sadar sepenuhnya bahwa dia seorang perempuan. Sebagai seorang anak yang berbakti, Cu Pek In, demikian nama anak itu, dia ingin menyenangkan hati orang tuanya dan selalu berpakaian pria sehingga dia menjadi seorang pemuda cilik sekarang! Sebagai keturunan dari kakek sakti pembuat suling emas itu, sudah tentu saja keluarga Cu ini mewarisi ilmu-ilmu yang mukjijat dan tinggi sekali.

Sudah belasan tahun semenjak ayah mereka meninggal, keluarga yang terdiri dari tiga orang pria perkasa ini tidak lagi berhubungan dengan Nepal. Mereka melihat betapa Nepal mulai melakukan penyelewengan, mulai mencampuri urusan kaisar di Tiongkok, maka mereka tidak mau mencampuri. Apalagi ketika mereka mendengar bahwa Raja Nepal yang baru mempunyai seorang Koksu yang kabarnya merupakan orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, keluarga Cu ini makin mengundurkan diri dan tidak pernah berhubungan. Oleh karena itu, maka mereka tidak mengenal Sam-ok Ban-hwa Sengjin, sungguh pun mereka mendengar namanya, dan mungkin juga Koksu Nepal itu pernah mendengar tentang nama mereka.

Dan memang demikianlah kenyataannya. Ketika pemuda tampan yang sesungguhnya adalah Cu Pek In itu bersama rombongan dayangnya menyambut dan menyebut nama Lembah Gunung Suling Emas, berdebar rasa jantung Sam-ok. Dia sudah mendengar tentang keluarga di Himalaya ini, yang menurut berita di Nepal merupakan keluarga yang turun temurun bersahabat dengan keluarga Raja Nepal, tetapi yang semenjak raja yang sekarang, yaitu raja yang mengangkat dirinya sebagai koksu, tidak pernah lagi terdengar beritanya dan agaknya putus hubungan antara keluarga Cu itu dengan keluarga Kerajaan Nepal.

Sam-ok tidak peduli akan hal itu ketika dia masih menjadi koksu, apalagi mendengar bahwa tempat tinggal keluarga itu merupakan rahasia besar dan tidak ada seorang pun tahu persis di mana letak tempat tinggal mereka. Yang diketahui umum hanyalah bahwa tempat itu berada di Pegunungan Himalaya. Dan kini, tanpa disangka-sangkanya, dia telah ikut rombongan orang kang-ouw memasuki daerah itu, tempat tinggal keluarga Cu yang menjadi sahabat keluarga raja sejak ratusan tahun yang lalu! Dengan demikian, maka ada dua orang dalam rombongan itu yang berdebar-debar hatinya, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sam-ok Ban-hwa Sengjin.

Ketika para tamu yang mengikuti Cu Pek In dan rombongan dayang itu sudah tiba di ruangan depan yang luas dan terhias gambar-gambar dan tulisan-tulisan indah, Cu Pek In mempersilakan mereka menanti di situ dan para dayang lalu masuk ke dalam melalui pintu besar di depan dan di tengah ruangan itu. Tidak lama kemudian, para tamu yang masih berdiri karena belum dipersilakan duduk itu melihat pintu itu terbuka dari dalam dan keluarlah tiga orang laki-laki. Semua orang memandang dengan penuh perhatian.

Akan tetapi tidak ada sesuatu yang mengesankan pada diri tiga orang pria itu. Mereka itu berpakaian biasa saja, dengan sikap yang sederhana pula, akan tetapi wajah dan pandang mata mereka serius dan penuh wibawa, sedangkan sinar mata mereka yang mencorong itu mengejutkan orang karena hal itu menunjukkan bahwa mereka itu memiliki kekuatan dalam yang hebat!

“Ayah, inilah mereka yang membikin ribut di puncak datar. Semua, kecuali yang tewas dalam keributan antara mereka, telah kuundang datang sebagai tamu sesuai dengan perintah Ayah,” kata Cu Pek In sambil menyelipkan sulingnya di ikat pinggangnya.

Tentu saja Sai-cu Kai-ong dan Ban-hwa Sengjin, lebih-lebih dari para tamu lainnya, memandang dengan penuh perhatian dan dengan hati tertarik sekali. Tiga pasang mata dari pihak tuan rumah itu dengan tajamnya memandang para tamunya seorang demi seorang, dan paling lama mereka memperhatikan Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang menjadi tidak enak hati, kemudian mereka juga memandang Yeti sampai lama, terutama ke arah pedang yang berada di tangan Yeti.

“Tidak salah lagi, itulah Koai-liong-pokiam keluarga kami!” Tiba-tiba orang termuda di antara mereka, Cu Kang Bu berseru. Orang ke tiga ini bertubuh tinggi besar, bermata lebar dan selain sikapnya gagah, juga dia kasar dan jujur. “Dan inilah Yeti seperti yang diceritakan Toaso (Kakak Ipar Perempuan Tertua)!”

Tiba-tiba terdengar suara merdu, “Tidak salah, dialah binatang itu!”

Semua orang menengok karena terkejut. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang berilmu tinggi, akan tetapi tiada yang mendengar datangnya seorang wanita di tempat itu, tahu-tahu wanita itu telah muncul saja di situ, entah sejak kapan. Wanita itu usianya kurang lebih tiga puluh tahun, cantik sekali, dengan pinggang ramping dan gerak geriknya luwes dan lemah gemulai seperti gerakan seorang penari pandai atau gerakan tubuh seekor ular saja, dan pakaiannya juga mentereng dan mewah, rambutnya yang hitam gemuk digelung ke atas seperti gelung rambut puteri-puteri istana!

“Dialah binatang itu, dan itulah pedang kami! Kalian harus merampasnya dari tangan Yeti keparat itu!” bentak lagi wanita ini.

Akan tetapi tiba-tiba Cu Pek In berkata, “Pek-bo, Ayah, Yeti itu adalah milik pemuda itu. Sebaiknya pedang itu diminta kepadanya.”

Mendengar ini, Cu Han Bu memandang kepada Hong Bu dengan penuh perhatian, seolah-olah tidak percaya pada omongan puterinya. Mana mungkin Yeti, makhluk yang selama ini menjadi dongeng dan ditakuti semua orang, yang amat sakti sehingga Toaso-nya sendiri kewalahan menghadapinya, menjadi milik bocah ini?

“Siapakah namamu, orang muda?” tanyanya hati-hati. Memang tokoh ini selalu bersikap hati-hati, tidak seperti Kang Bu.

Sim Hong Bu maklum bahwa dia berhadapan dengan keluarga yang berilmu tinggi, dan juga mereka adalah tuan rumah, maka sebagai tamu yang tahu diri dan mengenal kesopanan, dia lalu melangkah maju, memberi hormat dan menjawab, “Nama saya Sim Hong Bu, Locianpwe.”

Sikap dan ucapan Hong Bu ini menyenangkan hati Han Bu yang mengangguk-angguk. Bocah ini sungguh mengagumkan dan jarang pada jaman itu menemukan bocah yang begini matang, begini tabah dan berani berdiri di atas kakinya sendiri seperti orang yang sudah dewasa benar. Juga, sekali pandang saja dia dapat mengukur bahwa bocah ini memiliki bakat yang baik sekali, sinar matanya begitu tajam, gerak-geriknya begitu tenang.

“Benarkah bahwa Yeti ini adalah milikmu, peliharaanmu?”

Hong Bu melirik ke arah pemuda tampan itu, lalu menjawab lantang. “Harap jangan ada yang menghina Yeti! Dia ini sama sekali bukan binatang peliharaan, bukan binatang liar yang jahat, harap semua mengetahui betul hal ini!”

“Huh, omongan apa itu! Kami semua sudah merasakan kebuasannya!” Tiba-tiba Ngo-ok mendengus marah, tangannya meraba daun telinganya yang pecah-pecah ketika dia berkelahi melawan Yeti itu.

“Benar!” Su-ok berteriak, “Yeti itu makhluk buas seperti iblis!”

Sepasang alis tuan rumah ini berkerut dan sinar matanya seperti kilat menyambar ke arah dua orang itu. “Tuan-tuan berada di tempat sopan, harap Tuan-tuan menjaga kesopanan dan bicara menanti giliran!” kata Cu Han Bu, suaranya berwibawa. Su-ok dan Ngo-ok berdiam diri dan wajah mereka agak merah.

“Bagaimana jawabanmu, Sim Hong Bu? Banyak orang kang-ouw mengabarkan bahwa Yeti ini jahat, kejam dan telah membunuh dan melukai banyak orang,” kata pula Cu Han Bu. Mereka semua masih berdiri dan semua orang kini memandang kepada Hong Bu.

“Yang mengatakan bahwa Yeti jahat dan kejam, suka menyerang atau membunuh orang adalah bohong, Locianpwe!” kata Hong Bu. “Yeti ini bukan binatang buas, bukan peliharaan saya, melainkan sahabat saya yang paling baik. Manusialah yang jahat, yang mengganggunya, menyerangnya sehingga dia membela diri dan untuk membela diri, tentu saja ia harus mengalahkan lawannya, jika perlu mungkin membunuhnya. Pahanya dilukai orang ditusuk pedang, tentu saja dia menjadi marah. Semua orang agaknya hendak membunuhnya untuk merampas pedang yang ditusukkan di pahanya. Siapa yang tidak akan menjadi marah dan membela diri?”

“Toaso,” tiba-tiba Cu Han Bu menoleh kepada wanita cantik tadi, “Apakah dia tidak menyerangmu dan apakah Toaso yang mendahului menyerangnya?”

Wanita cantik itu berjebi, bibirnya yang penuh dan merah itu bermain sebentar, kemudian dia berkata, “Memang aku yang menyerangnya lebih dulu, akan tetapi siapa yang tidak menjadi kaget melihat dia tiba-tiba muncul dan kelihatan begitu buas? Aku menyerangnya dan dia melawan, ternyata dia lihai sekali dan walau pun aku berhasil menusuk pahanya, pedang itu tertinggal di pahanya, dia menjadi buas dan aku terpaksa melarikan diri. Lalu dia menghilang....“

Cu Han Bu mengangguk-angguk, lalu menghadapi semua orang kang-ouw yang berdiri di hadapannya. “Apakah Cu-wi sengaja berdatangan ke Himalaya untuk mencari pedang Koai-liong-pokiam itu?” Dia menuding ke arah pedang yang masih dipegang oleh Yeti.

“Hemm, terus terang saja, siapakah yang tidak ingin mendapatkan pedang itu?” jawab Toa-ok dengan suara halus.

“Ketahuilah, Cu-wi. Pedang pusaka itu adalah milik keluarga kami sejak turun menurun. Nenek moyang kami yang membuatnya dan menciptakannya. Pada suatu hari pedang itu hilang dan setelah kami mendengar pedang itu berada di istana kaisar, Toaso-ku ini pergi ke sana dan mengambilnya kembali. Akan tetapi malang baginya, di tengah jalan bertemu dengan Yeti dan pedang itu tertinggal di paha Yeti. Pedang itu adalah hak kami dan hendaknya Cu-wi tidak memperebutkan lagi. Untuk itu kami dapat menjelaskannya, dan untuk jeri payah Cu-wi kami bersedia mengganti sekedar ongkos perjalanan yang telah dikeluarkan.”

“Ah, mana ada aturan seperti itu?” Tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring, suara Si Ulat Seribu. Wajahnya yang buruk menjadi semakin buruk karena marahnya. Dialah yang merasa paling dirugikan dalam perebutan pedang itu, karena selain empat orang pemikul tandu yang menjadi pembantu-pembantunya itu tewas oleh ulat-ulatnya sendiri, juga sebagian ulatnya telah mati dan lenyap pula. “Bagaimana bisa enak saja mengakui pedang tanpa bukti-bukti yang jelas? Kalau hanya penjelasan saja, setiap orang pun mampu mengisap jempol!”

Wanita cantik kakak ipar keluarga Cu itu melangkah maju dan suaranya lantang ketika dia berseru, “Perempuan buruk! Apakah kini Si Ulat Seribu sudah mempunyai nyawa rangkap berani berkata seperti itu di sini?” Dia sudah melangkah maju, akan tetapi Cu Han Bu lalu melerai dan berkata dengan suara berwibawa.

“Harap Toaso suka memaafkan bicaranya. Ingat, siapa dia dan sudah patutlah kalau orang seperti dia bicara demikian.” Agaknya Sang Toaso itu cukup segan terhadap adik iparnya ini maka dia mundur lagi dengan mulut cemberut.

Cu Han Bu lalu berkata kepada Sim Hong Bu, suaranya ramah dan halus. “Orang muda, apakah engkau percaya kepada kami keluarga dari Lembah Gunung Suling Emas? Kalau percaya, serahkan pedang itu kepadaku untuk dipergunakan sebagai bukti bahwa memang kami yang berhak atas pedang itu.”

Sim Hong Bu cepat berkata. “Tentu saja, Locianpwe. Saya kira, Yeti pun tidak akan serakah mengukuhi pedang bukan miliknya, apalagi saya. Hanya kami mohon agar pedang benar-benar dikembalikan kepada yang berhak.” Setelah berkata demikian, dia menoleh kepada Yeti dan berkata halus. “Sahabatku Yeti, tolong pinjamkan sebentar pedang itu.”

Aneh sekali, sejak tadi Yeti diam saja seperti termenung, dan mendengar ucapan Hong Bu itu dia segera menurunkan tangannya yang memegang pedang dan menyerahkan pedang itu kepada Sim Hong Bu. Hong Bu mengambil pedang itu dan menyerahkannya dengan sikap hormat kepada Cu Han Bu.

Tuan rumah ini mengangkat pedang tinggi-tinggi di atas kepalanya. “Pedang Koai-liong-pokiam ini adalah pedang pusaka buatan nenek moyang kami, oleh karena itu kami tahu segala hal-ihwalnya, riwayatnya dan rahasia-rahasianya. Ada rahasia pada pedang ini. Cu-wi sekalian boleh mencoba dan mencarinya. Kalau tidak ada yang tahu, barulah kami akan menunjukkan rahasianya sebagai bukti bahwa pedang itu adalah milik dan pusaka keluarga kami.”

Kemudian tanpa ragu-ragu lagi, Cu Han Bu menyerahkan pedang pusaka itu kepada orang yang berdiri paling dekat dengannya, yaitu Si Ulat Seribu tadi. Wanita bermuka buruk itu menerima pedang itu. Semua mata memandang dan tidak ada seorang pun yang mempunyai pikiran untuk melarikan pedang itu, bahkan Im-kan Ngo-ok pun tidak berani. Karena siapa yang melarikan pedang itu tentu akan berhadapan dengan mereka semua, ditambah lagi pihak tuan rumah! Dan jalan keluar dari tempat itu hanya melalui tambang. Tidak mungkin melarikan diri dengan pedang itu!

Maka kini Si Ulat Seribu meneliti pedang itu, digerak-gerakkan, ditekan sana-sini, akan tetapi karena dia memang tidak tahu rahasianya, dia tidak menemukan sesuatu yang aneh pada pedang itu, kecuali bahwa pedang itu benar-benar amat hebat, sebatang pedang yang terbuat dari pada logam yang aneh sekali, agak kemerahan dan ada sinar-sinar kehijauan, amat ringannya namun membayangkan kekerasan yang tak terlawan oleh apa pun!

“Sebatang pedang yang luar biasa!” katanya kemudian dan dia pun mengembalikannya kepada tuan rumah. “Akan tetapi aku tidak melihat apa-apa yang aneh padanya.”

“Nah, jelas bahwa Si Ulat Seribu tidak dapat menunjukkan rahasianya, maka sekarang giliran orang berikutnya.” Dan dia lalu menyerahkan pedang itu kepada tokoh lain.

Pedang itu terus berpindah-pindah tangan setelah setiap orang meneliti dengan penuh kecermatan, namun biar Im-kan Ngo-ok sendiri yang terkenal sebagai orang-orang licik dan cerdik, tidak dapat menemukan rahasia itu. Orang terakhir adalah Sam-ok Ban-hwa Sengjin yang memegang pedang itu, menerimanya dari Cu Han Bu sambil berkata.

“Sudah lama sekali kami mengenal nama penghuni Lembah Gunung Suling Emas sebagai orang-orang terhormat dan gagah perkasa, maka kini kami percaya bahwa dalam urusan pedang ini penghuni Lembah Gunung Suling Emas tidak akan berlaku curang.”

Cu Han Bu tersenyum tenang. “Sam-ok Ban-hwa Sengjin, kami pun mendengar akan namamu sebagai bekas Koksu Nepal yang pandai. Cobalah pergunakan kepandaianmu untuk mengetahui rahasia pedang yang menjadi milik nenek moyang kami ini. Bahkan Kaisar Ceng sendiri yang menyimpan pedang ini sejak dua keturunan, tidak tahu akan rahasianya. Hanya kami, pemilik sah dari pedang ini yang akan dapat menunjukkan rahasianya.”

Sam-ok memeriksa dengan teliti sekali, dari ujung pedang sampai ke gagangnya. Akan tetapi dia pun tidak dapat menemukan rahasia pedang itu. Akhirnya dia mengembalikan kepada tuan rumah sambil berkata, “Kami tidak melihat ada rahasia apa pun pada pedang ini.”

Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu berkata. “Nah, Cu-wi sekalian melihat sendiri bahwa tidak ada seorang pun yang tahu akan rahasia pedang ini. Sekarang hendak kami perlihatkan.”

Tuan rumah memegang batang pedang itu dan mengacungkan pedang ke atas, ke arah udara. “Cu-wi, lihatlah baik-baik!”

Tiba-tiba pedang itu mengeluarkan bunyi dan tergetar, lalu nampaklah sinar berkilat keluar dari gagang pedang, melalui dua bagian meruncing yang mengapit pedang dan tak lama kemudian, jatuhlah dua ekor burung yang tadi beterbangan di atas, kemudian menggelepar-gelepar sekarat! Semua orang terkejut dan kagum. Kiranya pedang itu mengandung rahasia, dapat mengeluarkan senjata rahasia seperti itu!

“Bagus sekali!” Sim Hong Bu berteriak memuji. “Locianpwe, bagaimana hal itu dapat terjadi?”

Tuan rumah tersenyum, menjawab pertanyaan itu akan tetapi ditujukan kepada semua tamunya, “Cu-wi lihat, tanpa mengenal rahasia pedang ini mana mungkin melakukan hal tadi? Nenek moyang kami membuat pedang ini dengan menyimpan rahasia itu. Gagang pedang menyimpan jarum-jarum halus yang digerakkan oleh alat rahasia di dalam gagang, dan untuk menggerakkan alat rahasia itu kita harus mengerahkan tenaga sinkang yang mengandung hawa panas sampai suhu tertentu, barulah alat itu bergerak dan jarum-jarum itu dapat keluar dengan kecepatan yang mematikan.”

Semua orang merasa kagum sekali. Akan tetapi dengan terheran-heran mereka melihat betapa tuan rumah itu menyerahkan pedang itu kembali kepada Sim Hong Bu sambil berkata, “Nah, terimalah kembali pedang yang kami pinjam tadi. Pedang ini telah terjatuh ke tangan Yeti dan hal ini terus terang saja terjadi karena kelengahan pihak kami sendiri.” Dia tidak terang-terangan menyalahkan Toaso-nya sungguh pun semua tamu maklum wanita itulah yang lengah sehingga pedang menancap di paha Yeti. “Oleh karena itu, kalau Yeti tidak ingin mengembalikan, kami tidak menyalahkan dia dan kelak kami akan mempergunakan kepandaian untuk merampasnya kembali dari tangannya.”

Sim Hong Bu juga terkejut sekali melihat pedang dikembalikan kepadanya. Akan tetapi dia mengerti dan makin kagumlah hatinya terhadap tuan rumah yang ternyata selain gagah perkasa, juga jujur dan budiman. Maka dia kemudian menerima pedang itu, dan menyerahkan kepada Yeti sambil berkata, “Yeti, kalau engkau telah menganggap aku sahabatmu, aku minta keikhlasanmu agar engkau mengembalikan pedang ini kepada yang berhak, yaitu kepada Locianpwe majikan dari Lembah Suling Emas ini. Akan tetapi kalau engkau tidak rela, aku pun tidak berani memaksa, hanya aku akan kecewa.”

Yeti itu mengeluarkan suara aneh, nampak ragu-ragu, sebentar memandang kepada pedang itu, kepada wajah Hong Bu, kemudian menoleh ke arah wanita cantik yang telah melukai pahanya, dan akhirnya pedang yang telah diterimanya itu dikembalikannya kepada Hong Bu dan dia menunduk, sikapnya tak acuh!

“Yeti, engkau merelakan pedang ini dikembalikan kepada pemiliknya yang sah?” tanya Hong Bu dengan suara girang sekali. Yeti itu tidak menjawab, hanya mengangguk dan tetap diam saja.

Girang dan legalah hati Hong Bu. “Bagus, engkau sahabatku yang sejati, Yeti, jauh lebih budiman dari pada manusia-manusia yang jahat di dunia ini!” Maka Hong Bu tidak ragu-ragu lagi menyerahkan pedang itu dengan kedua tangannya kepada Cu Han Bu sambil berkata, “Inilah pedang itu, Locianpwe. Yeti mengembalikannya kepada Locianpwe sebagai pemilik yang sah. Seorang gagah tidak akan menginginkan barang orang lain, dan Yeti, biar pun bukan termasuk manusia, namun berjiwa tidak kalah gagahnya dengan para pendekar.”

Cu Han Bu memandang dengan kagum kepada Hong Bu, lalu menarik napas panjang, “Amat sukar menemukan makhluk seperti Yeti, namun lebih sukar lagi menemukan seorang anak seperti engkau, Sim Hong Bu.” Kemudian dia menerima pedang itu dan menyerahkannya kepada Cu Kang Bu untuk disimpan. Cu Kang Bu menerima pedang itu dengan sikap hormat, lalu membawanya masuk ke dalam.

Dengan wajah cerah kini Cu Han Bu mempersilakan semua tamunya duduk. “Silakan Cu-wi sekalian duduk untuk menerima hidangan penghormatan kami dan untuk mendengarkan kisah tentang pedang itu sekadarnya dari kami.”

Semua orang diam-diam merasa kecewa sekali karena pedang itu telah kembali kepada majikan Lembah Suling Emas ini dan akan sukarlah bagi mereka untuk mengharapkan memperoleh pedang keramat itu. Akan tetapi terdapat hiburan bahwa mereka berhasil memasuki daerah terlarang dan rahasia ini. Hal ini sudah merupakan pengalaman yang luar biasa bagi mereka. Maka mereka pun tanpa malu-malu lagi lalu mengambil tempat duduk dan berkelompok memilih teman masing-masing. Sim Hong Bu mengambil tempat duduk di sudut bersama Yeti yang tidak mau duduk di atas kursi, melainkan mendeprok di atas lantai. Sejak tadi Yeti nampak seperti orang yang lemas dan kesal, lebih banyak menunduk seperti orang termenung.

Hidangan pun dikeluarkan oleh para dayang yang muda dan cantik dan berbau harum itu. Dan semua orang semakin kagum karena arak yang dihidangkan adalah arak yang amat baik, masakan-masakan mengepulkan uap itu pun bukan masakan sembarangan dan terbuat dari bahan dan bumbu yang mahal-mahal! Tentu saja di tempat itu terdapat ruangan es yang dingin dan yang dapat dipakai menyimpan daging atau apa saja sehingga berbulan-bulan dalam keadaan masih segar!

Setelah semua tamu dipersilakan makan minum, semua orang merasa puas kecuali Yeti yang tidak mau makan apa-apa sehingga Hong Bu pun merasa tidak begitu lezat makan sendirian saja, dan dayang-dayang sudah menyingkirkan mangkok piring meninggalkan cawan dan guci arak berikut penganan, tuan rumah kemudian bercerita tentang pedang keramat itu. Semua orang mendengarkan dengan asyik karena memang cerita itu agak aneh.

Kakek buyut dari ketiga orang saudara Cu itu, yang bernama Cu Hak, mewarisi kepandaian nenek moyangnya dalam hal kesenian memasak dan membentuk logam, pendeknya kepandaian seorang pandai besi yang luar biasa. Akan tetapi, kalau di antara nenek moyangnya itu ahli dalam hal pembuatan benda dari logam emas, ada yang ahli perak, dan ada pula yang ahli ukir-ukir batu atau kayu, Cu Hak ini adalah seorang ahli pembuat pedang yang amat baik.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Cu Hak yang sudah berusia lanjut itu bangun dalam keadaan lemah dan agaknya penyakit jantungnya kumat. Dia mengeluh panjang pendek dan tidak bangkit dari tempat tidurnya. Anak cucunya datang menjaganya, akan tetapi kakek itu tetap gelisah dan akhirnya berkata bahwa malam tadi dia bermimpi melihat seekor naga terbang melayang turun dan kemudian menghilang ke belakang rumahnya, masuk ke bawah sebuah batu sebesar rumah yang berada di belakang rumah mereka.

“Cari di bawah batu itu.... carilah.... tentu ada apa-apa di situ,” pintanya berkali-kali.

Karena melihat kakek itu keadaannya payah, maka anak cucunya lalu beramai-ramai mencari. Dengan kekuatan yang disatukan, keluarga yang memang lihai dan berilmu tinggi ini mendorong batu sehingga menggelinding beberapa meter dari tempat semula, lalu digalilah tanah di bawah batu itu. Dan mereka menemukan sebongkah batu yang berwarna hijau kemerahan. Mereka membawa batu itu kepada kakek Cu Hak.

Kakek yang sedang sakit itu seketika bangkit dari tidurnya, memegang batu itu dan berseru girang. “Hebat....! Ini adalah logam mulia! Ini adalah logam pusaka keramat. Ah, pantas saja bersemangat naga.”

Kakek itu seperti sembuh seketika dan dia pun menyibukkan dirinya di dalam dapur perapian tempat dia membuat pedang itu. Bongkahan batu yang ternyata merupakan logam mulia itu dibakar dan digemblengnya menjadi sebatang pedang yang diberi nama Koai-liong-pokiam. Diberi nama Pedang Naga Siluman karena ternyata ‘naga’ itu ternyata tidak mendatangkan berkah. Semenjak membuat pedang itu, Kakek Cu Hak menderita sakit. Akan tetapi dia memaksa diri menyelesaikan pedang itu, dan kemudian pedang itu selesai dan sempurna, dia pun meninggal dunia setelah meninggalkan pesan tentang rahasia yang terkandung dalam gagang pedang.

“Nah, demikianlah riwayat pedang kami itu,” Cu Han Bu melanjutkan. “Akan tetapi, hanya beberapa bulan setelah pedang itu jadi, pedang itu pun lenyap dari sini. Kami tahu siapa yang mengambilnya, akan tetapi itu merupakan rahasia keluarga kami dan tidak dapat kami ceritakan kepada siapa pun juga. Karena itu kami tak pernah ribut-ribut dan menganggap bahwa pedang itu telah lenyap begitu saja. Sampai kemudian setelah kami bertiga saudara menjadi dewasa, kami mendengar bahwa pedang itu tahu-tahu sudah berada di gudang pusaka istana Kaisar! Setelah mengetahui akan pedang kami itu, Toaso kami lalu turun tangan, datang ke kota raja dan mengambil kembali pedang pusaka kami itu. Akan tetapi, dia bertemu dengan Yeti dan selanjutnya Cu-wi telah mengetahui. Demikianlah riwayat pedang itu, yang berada di tangan kaisar selama puluhan tahun tanpa kami ketahui dan sekarang pedang pusaka itu telah kembali ke dalam lingkungan keluarga kami. Maka harap Cu-wi maklumi dan tidak menjadi penasaran. Tentu saja untuk jerih payah Cu-wi, kami tidak akan tinggal diam dan kami hendak membekali Cu-wi dengan hadiah sekadarnya.”

“Nanti dulu....!” Tiba-tiba Si Ulat Seribu, wanita muda bermuka mengerikan itu berkata dan dia sudah bangkit dari kursinya. Mukanya yang bopeng dan pletat-pletot kelihatan merah, tanda bahwa arak tua telah mulai mempengaruhinya. Semua orang memandang kepadanya dan pihak tuan rumah juga memandangnya dengan penuh perhatian.

“Kami berterima kasih kepada keluarga Cu yang telah menerima kami sebagai tamu. Tetapi kami, terutama aku sendiri, bukanlah sebangsa pengemis yang datang untuk minta-minta sedekah!” Dia melirik ke arah Sai-cu Kai-ong yang tadi telah merugikannya. Kemudian, melihat betapa kakek ini tidak mempedulikannya, dia melanjutkan. “Tetapi kami adalah orang-orang gagah yang terus terang saja tertarik untuk memperebutkan pedang pusaka yang dicuri dari istana kaisar. Kini ternyata pedang itu adalah milik keluarga Cu di sini. Biar pun kami melihat buktinya, namun tentu saja sebagai orang-orang yang biasa memandang kepada kegagahan, kami merasa ragu-ragu apakah pedang pusaka itu patut dimiliki oleh keluarga Cu. Oleh karena itu, ingin sekali aku melihat apakah sudah selayaknya dan sepantasnya keluarga Cu menjadi majikan pedang itu.” Setelah berkata demikian, tanpa nampak dia bergerak, tahu-tahu tubuhnya sudah melayang ke tengah ruangan itu. Memang Si Ulat Seribu ini adalah seorang ahli ginkang yang luar biasa. Tubuhnya dapat bergerak sedemikian ringannya seolah-olah dia pandai terbang saja!

Bagi para tokoh yang hadir, ucapan itu sudah cukup jelas. Wanita bermuka aneh mengerikan ini jelas menantang pihak tuan rumah itu untuk mengadu ilmu! Memang ada semacam ‘penyakit’ yang hinggap di dalam batin hampir semua tokoh kang-ouw, yaitu mereka ini haus sekali akan ilmu silat dan adu kepandaian. Mereka belum merasa puas kalau belum menguji ilmu orang lain yang terkenal pandai, bahkan untuk kesenangan mengadu ilmu ini mereka tidak akan menyesal andai kata harus kehilangan nyawa dalam pi-bu (adu kepandaian silat) itu!

Sebelum Cu Han Bu menjawab, terdengar suara tertawa merdu dan Tang Cun Ciu, wanita yang cantik dan berpakaian mewah berlagak genit itu, yang disebut toanio oleh pihak tuan rumah, telah bangkit dari duduknya.

“Hi-hi-hik, Si Ulat Seribu boleh berlagak di luar tempat ini, akan tetapi di sini tidak akan laku lagakmu. Akulah yang mencuri pedang dan kalau ada yang tidak terima dan meragukan kemampuan kami, boleh menguji kepandaiannya dengan aku. Toa-cek (Paman Terbesar), biarkan aku menandingi Si Ulat Seribu!” kata-kata terakhir ini ditujukan kepada Cu Han Bu.

Wanita ini adalah isteri dari kakak angkat Cu Han Bu, maka dia memanggil Han Bu dengan sebutan toa-cek, kemudian kepada Seng Bu dia menyebut ji-cek (paman ke dua) dan kepada Kang Bu menyebut sam-cek (paman ke tiga), yaitu sebutan lazim dari seorang kakak ipar untuk menyebut adik-adik suaminya, yang menyebutnya untuk anaknya, sungguh pun Tang Cun Ciu ini tidak mempunyai anak dalam pernikahannya dengan mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, anak angkat dari ayah keluarga Cu itu.

Si Ulat Seribu sudah menghadapi Tang Cun Ciu dan memandang tajam sekali. Dia tahu bahwa orang yang mampu mencuri pedang dari dalam gedung pusaka istana tanpa diketahui orang, tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Akan tetapi anehnya, dia belum pernah mendengar nama wanita ini atau bertemu dengannya, padahal hampir semua nama orang-orang kang-ouw yang terkenal telah dikenalnya.

“Orang menamakan aku Si Ulat Seribu, dan aku tidak pernah melakukan pi-bu (adu ilmu silat) dengan orang yang tidak kukenal namanya,” kata Si Ulat Seribu dengan sikapnya yang kereng.

Tang Cun Ciu tertawa dan semua orang harus mengakui bahwa di samping gesit, wanita ini memang cantik dan mempunyai daya tarik atau daya pikat yang amat kuat. Apalagi kalau tertawa nampak deretan giginya yang seperti mutiara, biar pun usianya sudah tiga puluh tahun akan tetapi dia nampak masih seorang gadis remaja saja!

“Hi-hi-hik, Ulat Seribu! Sungguh julukan yang menjijikkan. Aku Tang Cun Ciu memang tidak suka memamerkan nama di dunia kang-ouw, akan tetapi orang-orang menyebutku dahulu Cui-beng Sian-li. Nah, kalau engkau ada kepandaian, majulah.”

Diam-diam Si Ulat Seribu terkejut. Ternyata dia pernah mendengar nama Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah)! Akan tetapi sudah lama sekali, sedikitnya sepuluh tahun yang lalu, di perbatasan Sin-kiang muncul nama ini yang amat menggemparkan, lalu nama itu lenyap bersama orangnya. Kiranya orangnya telah berada di Lembah Suling Emas!

“Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu! Bagus, ternyata aku melakukan pi-bu dengan orang yang telah bernama besar dan memiliki kepandaian yang pantas untuk bertanding melawanku. Nah, mari kita mencoba ilmu silat masing-masing! Awas serangan!” Baru saja ucapan itu berhenti, orangnya sudah mencelat ke depan dan mengirim serangan dengan kecepatan yang mengejutkan sekali.

Akan tetapi, hanya terdengar Tang Cun Ciu tertawa merdu dan tubuh wanita cantik ini pun sudah mencelat dan lenyap, tahu-tahu dia sudah berada di tempat tinggi dan kini tubuhnya sedang melayang turun dan melakukan serangan balasan dengan tendangan dahsyat!

“Bagus....!” Si Ulat Seribu memuji.

Selain terkejut Si Ulat Seribu juga gembira sekali karena ternyata lawannya ini pun merupakan seorang ahli ginkang yang hebat. Dia cepat mengelak dan kini kedua orang wanita yang wajahnya sungguh amat berlawanan itu, yang seorang amat buruk dan yang seorang lagi amat cantik, mulai serang-menyerang dengan gerakan-gerakan yang cepat sekali. Bukan hanya cepat, akan tetapi juga dari setiap serangan mereka itu menyambar hawa pukulan yang kadang-kadang mengeluarkan suara bercuitan saking kuatnya!

Berbeda dengan tadi ketika berkelahi untuk memperebutkan pedang pusaka, Si Ulat Seribu tidak menggunakan ulat-ulatnya. Dia tahu bahwa dia berada di tempat musuh, di tempat berbahaya dan bahwa pertandingan ini hanya merupakan adu ilmu silat belaka, untuk menguji siapa yang lebih pandai. Maka dia hanya mengandalkan ilmu silatnya yang aneh dan ginkang-nya yang tinggi. Ilmu silat dari wanita bermuka buruk ini memang luar biasa sekali. Tubuhnya melejit-lejit ke atas dengan tubuh melengkung-lengkung, seperti loncatan semacam ulat. Dan gerakannya amat gesitnya sehingga beberapa kali Tang Cun Ciu sendiri sampai terkejut.

Akan tetapi, ternyata bahwa tingkat kepandaian silat Dewi Pengejar Arwah ini masih lebih unggul, dan dasar ilmu silatnya lebih asli dan lebih tinggi. Bahkan dalam gerakan yang mengandalkan ginkang yang lihai, ternyata Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu juga lebih tinggi dan matang. Si Ulat Seribu hanya menang aneh saja, namun intinya kalah kuat.

Itulah sebabnya maka setelah lewat lima puluh jurus, Si Ulat Seribu mulai terdesak hebat dan tidak mampu balas menyerang lagi karena dia sibuk harus menghindarkan diri dari serangan yang amat cepat, bertubi-tubi dan teratur baik, kuat dan indah. Dan akhirnya, Cui-beng Sian-li mengeluarkan lengking panjang yang menggetarkan jantung, tubuhnya mencelat ke atas menukik turun dan seperti garuda menyambar ular dia menyerang dari atas. Si Ulat Seribu berusaha menghindar, namun dia kalah cepat dan pundaknya kena didorong oleh Cui-beng Sian-li. Tidak dapat dihindarkan lagi, Si Ulat Seribu terpelanting roboh bergulingan. Lawannya meloncat dan hendak menyusulkan tamparan berikutnya, akan tetapi terdengar bentakan Cu Han Bu, ”Cukup, Toaso!”

Aneh sekali, biar pun dia amat dihormat dan disebut kakak ipar, wanita itu agaknya taat kepada adik mendiang suaminya ini, karena dia pun menahan serangannya dan berdiri memandang kepada Si Ulat Seribu dengan senyum mengejek. Si Ulat Seribu maklum bahwa kalau tadi pihak tuan rumah tidak menahan dan dia diserang lagi, tentu dia akan celaka, maka dia hanya melangkah mundur dan duduk kembali di atas kursinya tanpa mengeluarkan sepatah kata. Wajahnya yang buruk itu nampak semakin buruk.

“Siapa lagi di antara para tamu yang masih meragukan kepandaian kami? Boleh maju!” Karena kemenangannya, Cui-beng Sian-li menantang.

Para tamu itu terdiri dari orang-orang pandai, Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek melihat benar betapa lihainya wanita itu, memiliki tingkat kepandaian yang amat tinggi sehingga dia sendiri pun tidak berani sembrono untuk maju dalam pi-bu dan mencari penyakit seperti Si Ulat Seribu tadi. Akan tetapi di antara mereka terdapat Im-kan Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang merasa bahwa merekalah yang merupakan orang-orang paling pandai di dunia persilatan.

Lima orang kakek sakti ini sudah saling pandang. Tentu saja diam-diam mereka pun merasa tidak puas bahwa perjalanan susah payah mereka untuk merebut pedang pusaka itu berakhir seperti ini, hanya menjadi tamu di Lembah Suling Emas dan melihat pedang pusaka yang diinginkan itu kembali kepada pemiliknya. Tentu saja diam-diam mereka mencari akal untuk dapat merampas pedang itu, bahkan begitu mereka tahu bahwa tempat itu adalah Lembah Suling Emas yang tentu menyimpan banyak macam pusaka, diam-diam mereka merasa girang dan timbul keinginan mereka untuk dapat merampas pusaka-pusaka yang berada di tempat tersembunyi itu.

Akan tetapi mereka pun bukan orang-orang bodoh yang sembrono. Mereka maklum bahwa mereka berada di tempat berbahaya, tempat yang hanya mempunyai hubungan dengan dunia melalui jembatan terbang itu, dan bahwa pihak tuan rumah terdiri dari orang-orang yang lihai, maka semenjak mereka datang, mereka belum melihat cara yang baik untuk dapat memetik keuntungan dari kunjungan ini. Ketika melihat Si Ulat Seribu beraksi, diam-diam mereka menjadi girang. Mungkin inilah kesempatan itu, ialah dengan cara berpibu! Dalam pi-bu itu, kalau mereka berlima dapat mengalahkan pihak tuan rumah, bukankah mereka memperoleh kekuasaan? Dan menguji kepandaian pihak tuan rumah melalui pi-bu adalah cara yang halus dan tidak kentara!

Betapa pun juga, kegirangan mereka itu dikejutkan dan disapu pergi ketika mereka menyaksikan sepak terjang wanita cantik yang berjuluk Cui-beng Sian-li itu. Wanita itu saja sudah demikian lihainya! Dari gerakan Cui-beng Sian-li ketika melayani Si Ulat Seribu, Im-kan Ngo-ok maklum bahwa tingkat kepandaian wanita itu saja sudah mampu mengimbangi tingkat Su-ok atau Ngo-ok! Dan hal ini berarti bahwa yang agaknya dapat dipastikan untuk dapat menghadapi Cui-beng Sian-li hanya Sam-ok, Ji-ok atau Toa-ok sendiri. Dan di pihak tuan rumah masih ada tiga orang saudara Cu itu yang mereka belum dapat mengukur sampai di mana kelihaian mereka.

Sam-ok Ban-hwa Sengjin adalah orang yang cerdik, paling cerdik di antara lima Im-kan Ngo-ok. Karena kecerdikannya itulah maka dia pernah diangkat menjadi Kok-su dari Negara Nepal. Dan di antara lima orang Im-kan Ngo-ok itu, dialah yang dianggap sebagai pengatur siasat, bahkan Toa-ok sendiri mengakui kecerdikan adik ke tiga ini. Maka kini empat pasang mata itu pun memandang kepada Sam-ok seolah-olah mereka menyerahkan tindakan selanjutnya kepada Si Jahat Nomor tiga ini untuk mengaturnya.

Sam-ok lalu bangkit dan sambil tersenyum dia menjura dan memuji. “Hebat.... hebat sekali. Sudah lama kami mendengar kebesaran nama majikan Lembah Suling Emas dan ternyata nama besar itu bukan kosong belaka. Si Ulat Seribu sungguh tak tahu diri sehingga membentur batu karang! Karena itu kami Im-kan Ngo-ok amat kagum sekali. Dan kami percaya bahwa tidak ada seorang pun di antara para tamu yang akan berani menganggap pihak tuan rumah kurang patut memiliki pedang pusaka itu.”

Cui-beng Sian-li yang masih berdiri itu tersenyum. Dia paling tidak suka mendengar orang bicara bertele-tele dan berputar-putar, maka dia lalu tertawa dan berkata dengan suara mengejek. “Kalau Im-kan Ngo-ok hendak menguji kepandaian kami pun boleh saja! Perlu apa banyak bicara memuji-muji kosong? Kami tidak butuh pujian.”

Tiba-tiba terdengar suara tertawa merdu dan nyaring, disusul suara melengking tinggi. “Cui-beng Sian-li bicara besar! Apa dikiranya Im-kan Ngo-ok terdiri dari bocah-bocah penakut? Biar aku mencobanya, Sam-te!” Dan Ji-ok Kui Bin Nio-nio sudah berada di depan Cui-beng Sian-li.

Sungguh mereka merupakan dua orang wanita yang amat berlawanan. Yang seorang bertubuh ramping dan berwajah cantik, yang ke dua juga bertubuh ramping seperti tubuh wanita muda, akan tetapi karena mukanya ditutup topeng tengkorak, maka amat menyeramkan, bahkan lebih menakutkan dari pada wajah Si Ulat Seribu yang buruk itu. Dari balik topeng tengkorak itu mengintai sepasang mata yang mengeluarkan sinar mencorong dan liar seperti mata setan, dan rambut di kepala itu telah putih semua.

Melihat Ji-ok telah maju, Sam-ok tersenyum dan mengundurkan diri. Dia sendiri merasa bahwa dia akan dapat menundukkan wanita cantik itu, akan tetapi karena Ji-ok juga wanita dan lebih tepat untuk menguji lawannya yang juga perempuan, maka dia pun mengalah dan mengundurkan diri tanpa berkata apa pun.

Suara Ji-ok yang melengking nyaring itu membayangkan adanya khikang dan sinkang yang amat kuat, maka Cu Han Bu memberi isyarat dengan pandang matanya kepada Cu Kang Bu. Pria tinggi besar dan gagah perkasa yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun ini lalu bangkit berdiri dan segera ia menghampiri Cui-beng Sian-li yang agaknya sudah bersiap untuk menandingi Ji-ok.

“Harap Toaso yang sudah capek melayani lawan suka mengaso, biar aku saja yang menghadapi Ji-ok.”

Melihat munculnya adik iparnya ini, Cui-beng Sian-li mengangguk dan dia kembali ke tempat duduknya, lalu menyambar cawan araknya, mengisinya dengan arak dari guci dan meminumnya. Sementara itu, pemuda yang tinggi besar dan gagah perkasa itu kini sudah menghadapi Ji-ok. Suaranya lantang dan kasar ketika dia berkata dengan sikap gagah.

“Aku Ban-kin-sian Cu Kang Bu sudah lama mendengar nama Ji-ok Kui-bin Nio-nio yang tersohor kejam, jahat dan lihai! Maka sekarang dapat memperoleh kesempatan untuk bertanding, sungguh aku merasa girang!”

Semua orang terkejut. Betapa besar bedanya sikap Cu Han Bu dan adiknya yang bernama Cu Kang Bu ini. Orang ini memiliki watak yang sama dengan bentuk tubuhnya yang tinggi besar dan gagah. Wataknya kasar, jujur dan tidak menyimpan rahasia dalam hatinya. Maka begitu bertemu, dengan jujur dan dengan suara yang tidak mengandung ejekan melainkan sewajarnya, dia telah mengatakan Ji-ok kejam dan jahat! Julukannya adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) yang juga merupakan julukan yang terang-terangan, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.

Seperti semua tokoh di Lembah Suling Emas itu, nama Cu Kang Bu juga tidak terkenal sama sekali, bahkan kalah terkenal dibandingkan dengan Cui-beng Sian-li yang menjadi Toaso-nya itu. Oleh karena itu, Ji-ok belum pernah mendengarnya dan tentu saja orang nomor dua dari Im-kan Ngo-ok ini memandang rendah.

Akan tetapi watak Im-kan Ngo-ok memang aneh. Mereka sudah menggunakan julukan Ngo-ok (Lima Jahat) dan ini bukan nama kosong belaka. Kejahatan bagi mereka ini bukan merupakan suatu hal buruk yang patut membuat mereka malu, sebaliknya malah, mereka itu seperti mengagungkan kejahatan dan malah merasa bangga kalau disebut jahat dan kejam! Oleh karena itu, ketika Cu Kang Bu secara jujur menyebutnya kejam dan jahat, Ji-ok tersenyum di balik kedoknya dan sepasang mata di balik kedok itu berseri-seri!

“Hi-hi-hi-hik, bagus sekali! Aku girang sekali mendengar bahwa namaku sampai dikenal di tempat yang tersembunyi ini. Ban-kin-sian Cu Kang Bu, engkau hendak mewakili pihak tuan rumah menguji kepandaianku? Bagaimana kalau sampai engkau terluka parah atau mati? Ketahuilah, Ji-ok sekali turun tangan tentu ada yang mati!”

Cu Kang Bu tertawa dan wajahnya nampak tampan kalau dia tertawa. “Ha-ha-ha-ha, bicaramu lucu sekali, Ji-ok! Pi-bu, kalah, menang, luka dan mati adalah hal-hal yang merupakan rangkaian tak terpisahkan. Sudah berani pi-bu tentu berani kalah, luka atau mati. Akan tetapi ingat, hal itu berlaku untuk kedua pihak. Bukan hanya aku yang mungkin luka atau mati, akan tetapi engkau juga.”

“Hi-hik, bagus! Kalau begitu bersiaplah engkau untuk mati, orang she Cu!” Baru saja dia berkata demikian, tahu-tahu Ji-ok sudah menubruk maju, kedua tangannya membentuk cakar-cakar setan dan gerakannya cepat bukan main, tahu-tahu tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah kedua mata lawan sedangkan tangan kanan mencengkeram ke arah kemaluan! Bukan main bahayanya serangan ini, semacam serangan yang amat curang dan kotor, yang tidak akan dilakukan oleh ahli silat tinggi.

“Duk! Desss!”

Serangan maut itu sama sekali tidak dielakkan oleh Cu Kang Bu, melainkan ditangkis dengan kekerasan! Kedua lengannya yang kuat itu menangkis dengan pengerahan tenaga dan adu lengan itu membuat Ji-ok meringis di balik kedoknya karena kedua lengannya yang kecil itu seolah-olah bertemu dengan dua batang baja besar yang amat kuat!

Ji-ok bukan seorang ahli silat sembarangan. Tangkisan yang amat kuat itu biar pun membuat kulitnya terasa nyeri, akan tetapi tidak sampai melukai lengannya dan dia yakin akan kekuatan lawan yang berjuluk Dewa Bertenaga Selaksa Kati itu, maka dia pun mengandalkan kecepatan gerakannya dan mulailah dia menghujani lawan dengan serangan-serangannya. Setiap serangan merupakan serangan maut yang mengerikan, dan sekali saja tangan Ji-ok mengenai sasaran, akan celakalah lawannya.

Pihak tuan rumah memandang dengan alis berkerut, maklum betapa kejinya serangan-serangan yang dilakukan oleh Ji-ok itu. Sama sekali tidak pantas dinamakan pi-bu atau mengadu ilmu silat untuk mengukur kepandaian masing-masing, lebih patut dinamakan serangan-serangan yang mengarah nyawa lawan!

Akan tetapi, betapa terkejut hati Ji-ok ketika dia melihat bahwa semua serangannya itu, betapa cepat dan kuatnya karena dia mengerahkan segenap tenaganya, tidak ada satu pun yang mampu membobol pertahanan orang muda itu! Cu Kang Bu bergerak dengan tenang sekali, mantap dan tubuhnya seolah-olah dilindungi oleh benteng baja yang tercipta dari gerakan tubuhnya, setiap serangan dapat ditangkisnya dengan sangat mudah dan sekali-kali dia membalas dengan tamparan atau dorongan tangan yang mengandung kekuatan dahsyat!

Ji-ok bukan seorang bodoh. Setelah melakukan penyerangan hampir lima puluh jurus lamanya, dia sudah tahu bahwa tingkat kepandaian lawannya itu ternyata luar biasa tingginya dan sukarlah baginya untuk mencapai kemenangan! Maka dia pun kemudian mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah mempergunakan ilmunya yang terbaru, ilmu dahsyat sekali yang merupakan andalannya, yaitu Kiam-ci (Jari Pedang)! Jari telunjuknya bergerak dan hawa yang seperti kilat cepatnya, amat dingin dan tajamnya seperti pedang pusaka, menyambar ke arah dada Cu Kang Bu! Hawa pukulan jari mukjijat ini mengeluarkan suara bercuitan amat mengerikan.

Cu Kang Bu maklum akan hebatnya pukulan itu, dia mengenal ilmu mukjijat. Cepat dia menangkis dengan dorongan telapak tangannya dari samping dan memutar lengan.

“Bretttt....!” Tetap saja lengan bajunya dekat pangkal lengan terobek oleh hawa pukulan dari Kiam-ci! Karena dia tidak menyangka, maka kulit pangkal lengannya ikut terobek dan mengeluarkan sedikit darah, seperti bekas dicakar kucing!

“Hi-hi-hik!” Ji-ok tertawa mengejek di balik kedoknya, akan tetapi suara tertawanya itu segera terhenti karena Cu Kang Bu kini sudah menyerangnya dengan hebat, kedua lengan yang besar kuat itu bergerak-gerak bergantian ke depan, kedua kakinya juga menggeser maju. Dari kedua telapak tangan itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah lawan! Ji-ok tidak berani menghadapi dengan kekerasan, maklum akan kekuatan lawan, maka dia sibuk menghindarkan diri dan mengelak ke sana-sini, terus didesak oleh lawan.

Ji-ok menjadi marah sekali. Dia harus menang, demikian pikirnya. Di depan begitu banyak orang kang-ouw, akan rusaklah nama besarnya kalau sampai dia kalah oleh seorang lawan yang sama sekali tidak memiliki nama besar di dunia persilatan, walau pun sungguh harus diakui bahwa tingkat kepandaian lawannya ini benar-benar amat tinggi. Dia mengeluarkan bentakan yang menggetarkan seluruh tempat itu dan tiba-tiba, dalam keadaan terdesak itu dia mengirim serangan balasan, kedua jari telunjuknya mencuat ke depan seperti sepasang pedang dan ada hawa pukulan yang amat dingin menyambar dahsyat ke arah lawan!

Diam-diam Cu Kang Bu terkejut. Serangan ini adalah serangan mengadu nyawa, karena wanita berkedok tengkorak itu menyerang dengan sepenuh tenaga tanpa mempedulikan penjagaan diri lagi, pendeknya ingin membunuh lawan dengan taruhan nyawa sendiri! Tentu saja dia tidak sudi untuk mengorbankan nyawa dan mati bersama lawan yang amat keji dan jahat ini. Dia pun mengeluarkan seruan panjang dan kedua tangannya dibuka menyambut terjangan ganas itu.

“Bressss....!”

Dua tenaga sakti bertemu amat hebatnya dan akibatnya, tubuh Ji-ok terpelanting dan terbanting ke belakang sampai bergulingan! Tubuh Cu Kang Bu tetap berdiri, akan tetapi kedua lengannya berdarah karena kulitnya tergores seperti tergores pedang. Dia menderita luka tergores kulitnya dan mengeluarkan darah sedangkan Ji-ok terbanting keras, maka dalam adu tenaga ini pihak tuan rumah yang menang, sungguh pun mengenai ilmu pukulan, sungguh Ji-ok memiliki Kiam-ci yang amat ganas dan dahsyat!

Ji-ok sudah meloncat bangun kembali, dan sebelum dia sempat menyerang lagi, tiba-tiba terdengar gerengan keras, nampak bayangan besar berkelebat dan tahu-tahu Yeti, makhluk raksasa itu telah berdiri di depannya dengan sikap beringas dan mengancam! Yeti mengembangkan kedua lengannya yang panjang dan besar, menggereng dan memukul-mukul dada dengan tangan kiri seolah-olah menantang lawan, dan kemudian tangan kanannya menunjuk-nunjuk keluar sambil menggereng. Jelas sekali gerakannya ini, yaitu dia menantang Ji-ok kalau mau berkelahi, dan mengusir semua orang agar pergi meninggalkan tempat itu!

“Cuuuttt....!” Kiam-ci dari tangan kiri Ji-ok, yaitu telunjuk kirinya telah mengirim serangan ke arah Yeti. Makhluk itu menggereng saja, seolah-olah kurang cepat mengelak dan hawa pukulan dari telunjuk kiri itu mengenai dadanya, disusul telunjuk itu menotok dadanya.

“Dukkkk!”

Ji-ok berteriak dan meloncat ke belakang. Hampir patah telunjuknya ketika mengenai dada Yeti. Kiranya Yeti memiliki kekebalan yang amat luar biasa sehingga ilmu pukulan itu tidak mempan. Dan pada saat itu Yeti menggerakkan lengannya. Hampir saja kepala wanita berkedok itu kena dicengkeram kalau saja dia tidak cepat membuang tubuh ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali.

Melihat makhluk itu menyerang Ji-ok, Toa-ok sudah cepat bergerak ke depan, kedua tangannya membuat gerakan memutar dan ada angin dahsyat menyambar ke arah Yeti! Tubuh Yeti yang tinggi besar itu terbawa oleh angin dahsyat ini sampai terhuyung, akan tetapi ketika Toa-ok menampar dengan tangan kiri, Yeti juga menggerakkan tangannya dan tak dapat dicegah lagi dua dengan itu saling beradu.

“Dessss....!”

Dan akibatnya, mereka berdua terpental ke belakang! Bukan main kagetnya hati Toa-ok. Dia tadi telah mengerahkan tenaga sinkang-nya yang paling kuat, namun Yeti itu dapat menangkisnya dan ternyata tenaga mereka seimbang! Dan dia tahu benar bahwa Yeti itu juga memiliki tenaga sinkang, bukan hanya tenaga otot seperti layaknya binatang buas! Benar-benar dia tidak mengerti dan terheran-heran.

Seperti juga tadi, Yeti memukul-mukul dada sendiri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menunjuk keluar seperti orang mengusir. Ngo-ok berlima kini sudah mengepung Yeti dengan sikap mengancam. Melihat ini, Cu Han Bu bangkit berdiri dan berkata, suaranya berwibawa dan tegas, “Harap Im-kan Ngo-ok suka mundur dan tidak membikin ribut di tempat kami!”

Lima orang datuk kaum sesat itu melirik ke arah Cu Han Bu. Ji-ok mengeluarkan suara ketawa mengejek, Su-ok dan Ngo-ok juga tersenyum menyeringai. Tentu saja di dalam hati mereka tidak sudi mentaati permintaan orang yang dianggap masih muda itu. Akan tetapi berbeda dengan saudara-saudaranya, Toa-ok dan Sam-ok yang cerdik melihat betapa selain Cu Han Bu, juga Cu Seng Bu yang bermuka pucat dan Cu Kang Bu sudah bangkit berdiri, juga Tang Cun Ciu wanita lihai itu. Yeti itu lihai sekali, dan keluarga Cu itu pun tak boleh dipandang ringan, maka kalau mereka nekat, tentu mereka berlima akan mengalami rugi.

Toa-ok lalu tersenyum ramah dan menjura ke arah Cu Han Bu sambil berkata, “Maaf.... maaf.... kami hanya main-main saja melihat Yeti menantang.”

Cu Han Bu memandang kepada Sim Hong Bu dan berkata, “Bujuklah dia agar jangan membikin ribut.”

Hong Bu lalu menghampiri Yeti, dipegangnya tangan Yeti itu sambil berkata. “Mari kita duduk kembali dan tidak perlu membikin ribut di tempat ini....”

Yeti masih menggereng-gereng, akan tetapi dia menurut saja dituntun oleh Hong Bu ke pinggir.

“Pek In, kau bagi-bagikan pek-giok (batu kumala putih) itu kepada para tamu, masing-masing sebutir!” tiba-tiba Cu Han Bu berkata kepada pemuda tanggung tampan yang sejak tadi hanya menonton dengan anteng itu.

“Baik, Ayah,” jawab Cu Pek In. Pemuda tampan ini mengeluarkan sebuah kantung kuning, membuka tali mulut kantung dan merogoh dengan tangan kanan.

“Cu-wi, harap suka menerima pemberian hadiah dari Kim-siauw-san-kok!” katanya nyaring dan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebutir batu berwarna putih bening sebesar gundu dan dia melemparkan gundu itu ke arah Si Ulat Seribu. Bukan sembarang lemparan karena gundu itu berubah menjadi sinar putih menyambar ke arah mata kanan Si Ulat Seribu! Tetapi wanita berwajah buruk ini dengan mudah menyambut dan menerima batu itu, memeriksanya penuh perhatian.

Cu Pek In sudah melempar-lemparkan batu-batu putih itu, satu demi satu ke arah para tamu, setiap lemparan dilakukan dengan gaya yang indah namun batu itu meluncur dengan cepatnya ke arah sasaran. Karena mereka yang menjadi tamu adalah orang-orang kang-ouw yang rata-rata berilmu tinggi, tentu saja mereka semua dapat menerima lontaran batu itu dengan mudah, tetapi diam-diam mereka pun terkejut karena mereka dapat merasakan betapa tenaga lontaran pemuda tanggung itu sudah mengandung tenaga sinkang yang cukup kuat!

Hanya Hong Bu yang tidak diberi batu itu, demikian pula Yeti. Kepada Hong Bu, pemuda tanggung yang tampan itu berkata halus. “Karena engkau dan Yeti telah mengembalikan pedang pusaka kami, maka Ayahku sendiri yang akan memberi hadiah kepada kalian.”

Hong Bu tidak menjadi kecewa. Dia tidak mengharapkan dan membutuhkan hadiah. Dikembalikannya pedang pusaka kepada keluarga Cu itu adalah hal yang wajar dan bahkan sudah sepatutnya, maka dia tidak mengharapkan upah apa pun.

“Harap Cu-wi tidak memandang rendah batu kecil itu,” terdengar Cu Han Bu berkata kepada para tamu yang masih meneliti batu sebesar gundu di tangan mereka. “Itu adalah pek-giok tulen yang terdapat dalam tempat rahasia di Pegunungan Himalaya, dan sebagai orang-orang kang-ouw, tentu Cu-wi tahu akan khasiat pek-giok yang tulen. Apabila terkena racun apa pun, dia akan berubah menjadi hijau. Dengan pek-giok di tangan, Cu-wi takkan sampai terjebak oleh makanan beracun.”

Semua orang tahu akan kegunaan pek-giok itu, maka mereka lalu menyimpan batu kecil itu ke dalam saku baju masing-masing.

“Sekarang kami persilakan Cu-wi untuk meninggalkan tempat kami. Jite dan Sam-te, kalian antar mereka keluar lembah. Sim Hong Bu, engkau dan Yeti tinggal dulu di sini, kami akan bicara dengan kalian.”

Sebetulnya penahanan tuan rumah terhadap Sim Hong Bu ini ada maksudnya. Melihat betapa pemuda tanggung itu tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, sedangkan para orang kang-ouw itu selain lihai juga di antara mereka banyak terdapat orang-orang jahat seperti Im-kan Ngo-ok, maka melepas pemuda itu bersama mereka merupakan hal yang amat berbahaya bagi pemuda itu. itu. Apalagi kalau pemuda itu membawa hadiah pusaka yang berharga, tentu akan dirampas oleh mereka. Biar pun ada Yeti yang agaknya melindungi pemuda itu, namun Yeti berada dalam keadaan terluka dan hal ini diketahui benar oleh pihak tuan rumah yang bermata tajam itu. Oleh karena itulah maka Cu Han Bu sengaja menahan Hong Bu agar keluarnya dari tempat itu tidak berbareng dengan rombongan itu.

Cu Seng Bu dan Cu Kang Bu lalu mengantar rombongan itu yang berjumlah delapan belas orang, diikuti pula oleh Tang Cun Ciu dari belakang. Seperti ketika mereka memasuki lembah, kini mereka pun harus menggunakan satu-satunya jalan keluar, yaitu melalui jembatan tambang yang berbahaya di atas jurang yang amat lebar dan dalam itu. Setelah mereka semua menyeberang sampai ke seberang sana, tiba-tiba tali yang menjadi jembatan itu dikendurkan dan tali itu turun ke bawah sampai lenyap di balik kabut yang memenuhi jurang di bawah itu.

Ketika Cu Seng Bu, Cu Kang Bu dan Tan Cun Ciu kembali ke rumah yang disebut Istana Lembah Suling Emas itu, terjadi keributan di situ. Kiranya, setelah rombongan orang-orang kang-ouw itu pergi, tiba-tiba Yeti mengeluh dan roboh terpelanting. Sim Hong Bu terkejut sekali dan cepat dia berlutut di dekat tubuh Yeti. Ternyata Yeti itu telah roboh pingsan dan dari mulutnya keluar darah menetes-netes!

“Yeti....! Yeti....! Ah, Locianpwe, tolonglah....!” Hong Bu berteriak dan Cu Han Bu cepat menghampiri dan memeriksa keadaan Yeti dengan meraba dada, memeriksa urat nadi dan lain-lain. Dan tuan rumah ini terkejut bukan main. Kiranya Yeti ini telah parah sekali keadaannya, bukan hanya terluka di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga jalan darahnya kacau-balau dan ada tanda-tanda bahwa darahnya keracunan hebat!

“Mari kita membawanya ke dalam untuk dirawat,” katanya singkat dan dengan bantuan Hong Bu, mereka menggotong tubuh Yeti itu ke sebelah dalam dan merebahkannya ke atas sebuah pembaringan dalam sebuah kamar kosong.

Cu Han Bu lalu meninggalkan kamar itu untuk mencari obat-obat yang kiranya dapat menolong Yeti. Ketika itulah dua orang adiknya dan twako-nya kembali dari mengantar para tamu dan mereka pun terkejut mendengar bahwa Yeti telah pingsan dengan tiba-tiba dan keadaannya payah sekali…..

“Agaknya luka oleh Koai-liong-pokiam yang lama itu telah membuat dia keracunan dan kini darahnya telah keracunan, juga perlawanannya terhadap banyak orang kang-ouw mendatangkan luka parah dalam tubuhnya. Dan lebih-lebih lagi ketika dia tadi beradu tenaga dengan Twa-ok, agaknya hal itu membuat lukanya semakin parah. Keadaannya mengkhawatirkan sekali, betapa pun juga, kita harus berdaya untuk menolongnya,” kata Cu Han Bu kepada adik-adiknya dan Toaso-nya.

Mereka berempat lalu pergi ke kamar itu dan Cu Han Bu sudah membawa obat-obat yang diperlukan. Namun ketika mereka tiba di depan kamar, mereka terkejut mendengar suara Hong Bu yang memanggil-manggil sambil meratap sedih. “Ouwyang-locianpwe....! Ouwyang-Locianpwe, kau.... sadarlah.”

Cu Pek In yang diam-diam datang pula di belakang ayahnya dan paman-pamannya, mendengar suara Hong Bu itu segera berkata heran. “Ah, bocah itu pun telah menjadi gila!”

Akan tetapi ayahnya dan dua orang pamannya tidak mempedulikannya dan segera meloncat masuk kamar. Mereka melihat Hong Bu berlutut dan mengguncang-guncang tubuh Yeti sambil menangis! Kiranya Hong Bu yang melihat keadaan Yeti yang terus mengeluarkan darah dari mulut itu menjadi sedemikian khawatir dan kasihan sehingga dia memanggil-manggil dengan nama itu karena dia yakin bahwa sesungguhnya Yeti adalah penyamaran Ouwyang Kwan seperti yang riwayatnya dia baca dalam goa es. Apalagi ketika tadi dia mendengar bisikan Yeti dalam keadaan tidak sadar, “Loan Si.... Loan Si....,“ maka dia tidak ragu-ragu lagi.

Melihat masuknya keluarga Cu, Hong Bu sadar dan terkejut bahwa dia telah membuka rahasia itu, maka untuk menutupinya dia berkata, “Locianpwe, harap Locianpwe sudi menolong Yeti....“

Akan tetapi Cu Kang Bu yang kasar itu telah menangkap bahunya dan menariknya bangun. “Kau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe! Siapa dia?!” Pertanyaan itu amat keras dan agak membentak.

Akan tetapi Hong Bu adalah seorang anak yang luar biasa tabah dan tidak pernah mengenal takut. Makin diperlakukan dengan kasar, dia akan semakin melawan. Maka dengan mata melotot dia menatap orang yang mencengkeram bahunya itu tanpa menjawab! Melihat ini, Cu Kang Bu yang paling menghargai keberanian diam-diam merasa kagum sekali. Dan Cu Han Bu segera berkata halus, “Sim Hong Bu, engkau tadi menyebut-nyebut Ouwyang-locianpwe, ada hubungan apakah nama itu dengan Yeti ini?”

Ditanya secara halus, kemarahannya Hong Bu yang sudah dilepaskan bahunya itu menjadi cair, dan dengan muka menunduk dan halus dia berkata, “Maaf, Locianpwe. Saya tidak berani bicara tentang itu....“

“Sim Hong Bu, engkau menyebut nama Ouwyang-locianpwe, apakah engkau hendak maksudkan bahwa Yeti ini adalah seorang yang bernama Ouwyang Kwan....?”

Diam-diam Hong Bu terkejut dan menyesal sekali bahwa dalam kekhawatirannya akan keselamatan Yeti itu tadi dia telah lupa diri dan menyebut-nyebut nama itu, Ouwyang Kwan telah bersusah payah menyembunyikan diri dan menyamar sebagai Yeti, tentu ada sebabnya, maka jika dia sekarang membuka rahasia sungguh dia merasa bersalah besar terhadap Yeti yang sudah menjadi penolong jiwanya berkali-kali itu.

“Tidak.... tidak tahu.... saya tidak berani bicara....,” ratapnya.

“Ahhh, tidak mungkin!” kata Cu Kang Bu keras.

“Dia ini.... Ouwyang Kwan....? Mana mungkin....!” kata pula Cu Seng Bu.

Tiba-tiba Yeti yang tadi tidak bergerak-gerak itu mengeluarkan suara gerengan, Hong Bu meloncat bangun dan menubruk dengan girang. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut mendengaar Yeti itu bicara, suaranya kaku dan aneh, seperti suara orang yang sudah hampir lupa akan bahasanya. “Dia.... anak ini.... benar.... aku adalah.... Ouwyang.... Kwan....“

Mendengar ini, tiga orang pria itu terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan sambil menyebut, “Twa-supek....!” Melihat ini, Tang Cun Ciu juga ikut menjatuhkan diri dan juga Cu Pek In lalu berlutut sambil memandang dengan mata terbelalak.

Tentu saja Sim Hong Bu menjadi terkejut, heran dan juga girang! Kiranya Ouwyang Kwan benar adalah Yeti ini dan ternyata masih keluarga orang-orang gagah ini! Malah mereka menyebut Twa-pek, berarti bahwa Ouwyang Kwan yang menyamar sebagai Yeti adalah kakak dari ayah tiga orang she Cu itu.

“Ouwyang Twa-pek.... kenapa Twapek menjadi begini....?” Cu Han Bu bertanya dengan suara halus penuh penghormatan.

“Kretttt....!”

Mendadak Yeti itu menggunakan kedua tangannya merobek bibirnya yang tebal dan terobeklah muka Yeti menjadi dua, dan nampak kini wajah seorang laki-laki yang tua, sedikitnya ada tujuh puluh tahun usianya, rambut, alis dan jenggotnya sudah putih semua, dan sepasang matanya kelihatan penuh kedukaan. Kiranya Yeti itu hanya merupakan kedok saja, kedok yang amat bagus dan agaknya sudah menempel pada muka pria itu karena ketika dirobek, ada sebagian leher dan pipi kakek itu yang lecet-lecet dan berdarah! Kedua mata tua itu berlinang air mata dan dari ujung mulutnya masih menetes-netes darah segar.

Dengan suara yang amat kaku karena puluhan tahun tidak pernah bicara, kakek itu lalu berkata lirih dan didengarkan oleh semua orang dengan penuh perhatian. “Aku.... aku seperti baru sadar dari mimpi buruk.... dalam saat terakhir ini baru aku sadar bahwa aku telah berubah menjadi makhluk ganas....“

“Harap Twa-pek jangan berkata demikian. Twa-pek terlampau lelah dan terluka, biarlah kami merawat Twa-pek sampai sembuh. Sementara ini sebaiknya Twa-pek mengaso...,“ kata Cu Han Bu dengan lembut.

Akan tetapi kakek itu mengangkat tangan kanannya yang besar dan masih merupakan tangan Yeti. “Tidak ada gunanya.... aku akan mati.... akan tetapi aku harus lebih dahulu menceritakan semuanya kepada kalian keponakan-keponakanku.... dan meninggalkan pesan untuk.... bocah ini....“ Tangan yang besar itu mengelus kepala Sim Hong Bu yang masih berlutut di dekatnya dengan penuh kasih sayang.

Kakek yang menyamar sebagai Yeti selama puluhan tahun itu lalu bercerita. Dia bernama Ouwyang Kwan, dan di dalam keluarga Cu, sebenarnya dia adalah keturunan luar. Ibunya she Cu yang menikah dengan seorang luar she Ouwyang. Akan tetapi karena dia memiliki bakat yang amat baik dalam ilmu silat, maka oleh keluarga Cu dia diberi hak untuk mewarisi ilmu-ilmu keluarga itu yang amat tinggi. Bahkan kakeknya, yaitu Cu Hak pembuat pedang pusaka Koai-liong-pokiam itu amat sayang kepada cucu luar yang berbakat ini.

Akan tetapi ketika Ouwyang Kwan telah menjadi seorang pemuda gagah perkasa, terjadilah mala petaka itu. Di Lembah Gunung Suling Emas datang sepasang suami isteri yang masih pengantin baru, yaitu pendekar silat dan sastrawan yang bernama Kam Lok dan berjuluk Sin-ciang Eng-hiong bersama isterinya yang bernama Loan Si, seorang wanita yang amat cantik. Hati Ouwyang Kwan yang masih muda dan belum berpengalaman itu seketika jatuh dan tergila-gila kepada isteri orang itu!

Karena dia bersikap menggoda terhadap Loan Si, maka terjadilah kesalah-pahaman dan terjadilah perkelahian antara Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan Ouwyang Kwan. Dalam pertandingan ini, Ouwyang Kwan harus mengakui kelihaian lawannya dan dia tahu bahwa kalau dilanjutkan perkelahian itu, dia tidak akan menang. Sesuai dengan julukannya, yaitu Sin-ciang Eng-hiong (Pendekar Bertangan Sakti), Kam Lok memiliki ilmu silat yang hebat dan kekuatan tangannya mengejutkan. Akan tetapi, keluarga Cu lalu melerai dan melihat bahwa keluarga pihak mereka yang bersalah, keluarga Cu lalu menegur Ouwyang Kwan dan minta maaf kepada suami isteri yang menjadi tamu itu.

Kam Lok dan isterinya lalu berpamit dan meninggalkan Lembah Suling Emas. Namun, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila itu lalu mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam peninggalan kakeknya Cu Hak, lalu minggat dari Lembah Suling Emas!

“Aku.... aku berdosa kepada keluarga Lembah Suling Emas....,” demikian kakek yang menyamar sebagai Yeti itu berkata, menghentikan ceritanya sebentar.

Semua orang mendengarkan dengan hati amat tertarik, dan Sim Hong Bu kini mengerti mengapa keluarga Cu merahasiakan kehilangan pedang pusaka keluarga itu kepada para tokoh kang-ouw. Kiranya pedang itu hilang dari keluarga Lembah Suling Emas karena dicuri dan dilarikan oleh seorang anggota keluarga mereka sendiri!

Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya dengan suara lirih dan terputus-putus. Melihat keadaan kakek itu yang payah, beberapa kali para anggota keluarga Cu itu hendak menghentikan ceritanya, akan tetapi Ouwyang Kwan memaksa, bahkan mengatakan bahwa ceritanya itu merupakan pesan terakhir!

Dengan pedang pusaka keluarganya sendiri di tangan, Ouwyang Kwan mengejar Sin-ciang Eng-hiong Kam Lok dan dengan terang-terangan dia minta agar Loan Si diberikan kepadanya! Tentu saja Kam Lok menjadi marah. Mana mungkin isteri diminta orang begitu saja? Dan tentu saja pertemuan itu disusul dengan perkelahian yang lebih seru dan dahsyat lagi. Tetapi kini Ouwyang Kwan memegang Koai-liong-pokiam, sebatang pedang pusaka yang amat ampuh. Dan dengan pedang di tangan ini, Ouwyang Kwan membuat lawannya terdesak hingga akhirnya Sin-ciang Eng-hiong tidak kuat melawan terus dan melarikan diri bersama isterinya.

Maka terjadilah kejar-kejaran. Setiap kali terkejar, Kam Lok melawan hanya untuk mengakui keunggulan Ouwyang Kwan, atau lebih tepat, kehebatan Koai-liong-pokiam karena sesungguhnya pedang pusaka itulah yang membuat Ouwyang Kwan dapat membuat lawannya repot. Tanpa adanya pedang itu Ouwyang Kwan tak akan mampu menandingi Kam Lok.

Dan akhirnya, Kam Lok dan isterinya berputar-putar di daerah Pegunungan Himalaya dan bersembunyi di dalam goa batu dan es. Akan tetapi, Ouwyang Kwan yang sudah tergila-gila kepada Loan Si, yang sudah bersumpah tidak akan berhenti mengejar sebelum dia dapat memiliki wanita yang membuat dia jatuh hati itu, terus mencari dan bertemulah kedua orang musuh besar ini di dalam goa! Terjadilah perkelahian mati-matian yang amat seru, akan tetapi akhirnya, pedang Koai-liong-pokiam bersarang di dada Kam Lok dan pendekar itu pun tewaslah!

Akan tetapi, kenyataan tidaklah sama indahnya dengan apa yang dicita-citakan dan diharapkan. Biar pun Ouwyang Kwan berhasil membunuh Kam Lok, namun dia tidak berhasil menundukkan hati Loan Si. Wanita ini tidak mau diperisteri olehnya. Loan Si hanya mencinta seuaminya seorang, dan tentu saja terhadap Ouwyang Kwan, dia tidak hanya bersikap tidak peduli dan tidak mau membalas cintanya, bahkan timbul rasa bencinya karena pendekar gagah perkasa ini telah membunuh suaminya!

Segala bujuk rayu Owyang Kwan tidak menarik hatinya dan tidak ada hasilnya. Untuk menggunakan kekerasan, Ouwyang Kwan tidak mau. Dia bukan seorang pria yang begitu rendahnya untuk memperkosa wanita, dan pula, wanita itu amat dicintanya sehingga dia tak tega untuk menghinanya. Dia menghendaki agar Loan Si menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela! Ternyata hal itu sama sekali tidak mungkin sehingga akibatnya ia sendiri yang merana dan mulailah dia menyalahkan perbuatannya terhadap Kam Lok yang sama sekali tidak bersalah kepadanya itu.

Betapa pun juga, gairah cintanya terhadap Loan Si makin menghebat dan inilah yang membuat dia makin merana. Api birahi berkobar-kobar di dalam dirinya dan dia seperti orang terbakar dari sebelah dalam. Ketika pada suatu hari dia melihat betapa takutnya Loan Si melihat seekor beruang besar di luar goa, Ouwyang Kwan lalu mendapat akal. Diam-diam ia membunuh beruang salju itu, mengulitinya dan dia lalu memakai kulit beruang salju itu sebagai kedok, dengan sedikit merubah muka atau kulit muka beruang itu. Maka terciptalah Yeti, manusia salju mengerikan. Dengan penyamaran ini, dia hendak menakut-nakuti Loan Si dengan harapan agar dalam keadaan takut itu Loan Si mau menoleh kepadanya, minta tolong kepadanya, dan menyerahkan diri dengan suka rela kepadanya!

Namun, apa yang terjadi sungguh di luar dugaannya. Memang tadinya Loan Si ketakutan setengah mati. Munculnya beruang setengah monyet setengah manusia itu amat mengejutkan hatinya dan hampir membuat dia pingsan. Akan tetapi, pada saat dia ketakutan dan hampir memanggil musuh besarnya, Ouwyang Kwan, untuk menolong dan melindunginya, dia teringat akan kebenciannya terhadap Ouwyang Kwan dan mengurungkan niatnya itu. Lebih baik dia dibunuh makhluk ini dari pada minta tolong kepada Ouwyang Kwan!

Dan terjadilah hal yang sama sekali tidak diduga-duga oleh Ouwyang Kwan! Loan Si bukan menjadi takut kepada Yeti dan bukan minta tolong kepadanya, bahkan Loan Si menyerahkan dirinya kepada Yeti! Wanita cantik jelita itu, yang membuatnya tergila-gila, menolaknya mati-matian dan sekarang justru menyerahkan diri kepada Yeti yang begitu mengerikan, menjijikkan dan menakutkan!

Akan tetapi, oleh karena yang menjadi Yeti itu adalah Ouwyang Kwan, maka melihat penyerahan diri wanita yang membuatnya tergila-gila itu, dia lupa diri dan terjadilah cinta semalam suntuk di depan mayat Kam Lok yang dibiarkan membeku dalam tumpukan salju dan es di dalam goa itu! Walau pun dia masih menyamar sebagai Yeti, namun Ouwyang Kwan mencurahkan seluruh cinta kasihnya malam itu kepada Loan Si, tak pernah mengenal puas. Di lain pihak, Loan Si juga merasa betapa dia jatuh cinta kepada makhluk buas itu! Maka terjadilah hal yang luar biasa itu, saling memberi dan saling mengambil, dengan sepenuh hati, dengan mesra dan juga dengan buas dan liar! Akhirnya, Ouwyang Kwan tidur kelelahan sambil memeluk tubuh wanita yang dicintanya.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Loan Si terbangun lebih dulu dan mendapat kenyataan bahwa semalam suntuk tadi dia telah menyerahkan diri dengan suka rela, bahkan dengan panas, kepada Ouwyang Kwan! Ada rasa bahagia dalam hatinya, karena memang dia mulai tertarik dan jatuh cinta kepada pria ini, akan tetapi perasaan malu terhadap jenazah suaminya yang semalam suntuk telah ‘menonton’ perbuatannya yang berjinah itu, jauh lebih besar dari pada rasa senangnya. Dia malu, dan dia merasa telah mengkhianati suaminya yang tercinta. Dan dia melihat pedang pusaka Koai-liong-pokiam menggeletak di dekat tubuh Ouwyang Kwan. Maka disambarnya pedang itu dan di lain saat pedang itu telah menembus jantungnya!

Bercerita sampai di sini, kedua mata tua Ouwyang Kwan menitikkan air mata. “Aku manusia berdosa.... aku telah menjadi Yeti, makhluk buas....!” demikian keluhnya.

Semua pendengarnya memandangnya dengan muka pucat, kecuali Hong Bu yang memang sudah tahu akan cerita itu, sudah dibacanya catatan dari suami isteri yang mati di dalam goa itu. Kemudian Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya.

“Melihat wanita yang kucinta sepenuh nyawaku itu roboh tak bernyawa di sampingku, bergelimang darah yang keluar dari dadanya karena tusukan pedang Koai-liong-pokiam, aku menjadi seperti gila. Dan memang aku telah gila.... aku telah gila....!” Kembali Ouwyang Kwan menghentikan ceritanya dan menangislah kakek itu!

Kemudian, dengan suara yang semakin payah, dengan napas satu-satu yang menyesak dada, Ouwyang Kwan melanjutkan ceritanya. Dia pun lalu mendudukkan wanita yang tercinta itu di samping Kam Lok, membiarkan tubuh Loan Si membeku terbungkus es seperti keadaan mayat Kam Lok. Kedukaannya membuat dia seperti linglung, apalagi ketika ditemukannya buku catatan Kam Lok yang kemudian disambung dengan catatan Loan Si yang menyatakan betapa wanita itu mulai meragu, mulai jatuh cinta kepadanya, akan tetapi munculnya Yeti itu menggagalkan segalanya! Kiranya sebelum membunuh diri, Loan Si masih sempat melanjutkan tulisannya dalam buku catatan itu. Makin hancur rasa hati Ouwyang Kwan dan dia tidak lagi mau menanggalkan penyamarannya sebagai Yeti! Dia merasa dirinya bukan manusia, lebih patut menjadi makhluk buas Yeti!

“Pedang pusaka itu yang telah membunuh Kam Lok dan Loan Si, membuat aku benci melihatnya dan kubuang jauh-jauh ke dalam jurang yang curam,” demikian katanya. “Dan aku tidak ingat apa-apa lagi, tidak ingat bahwa aku adalah manusia. Aku merasa bahwa aku adalah Yeti, makhluk buas!” Dia berhenti dan memejamkan mata, seolah-olah merasa ngeri setelah dia kini teringat akan semua itu.

“Kemudian, pada suatu hari, aku melihat seorang wanita yang membawa pedang itu. Aku masih mengenali pedang itu dan timbul kemarahanku. Apalagi ketika wanita itu menyerangku. Agaknya selama aku lupa segalanya itu, hanya ilmu silat yang tak pernah kulupakan, bahkan aku memperdalam ilmu silat selama puluhan tahun itu....!”

“Maafkan saya, Ouwyang Twa-pek...,” terdengar Cui-beng Sian-li Tang, Cun Ciu berkata ketika mendengar penuturan itu.

“Ya, engkaulah wanita itu. Dan aku mulai teringat segalanya ketika Sim Hong Bu ini membawaku ke lembah ini. Ketika aku melarikan diri, kalian belum ada di dunia ini, akan tetapi mendengar semuanya, aku teringat kembali dan aku mulai mengerti. Tubuhku telah kulatih sehingga kebal terhadap segala macam senjata, namun agaknya tidak cukup kebal menghadapi Koai-liong-pokiam.... ahhh, pedang yang kupakai membunuh Kam Lok dan telah menembus jantung Loan Si kekasihku itu, kini ternyata mengantar pula nyawaku ke alam baka menyusul mereka. Aku tidak penasaran....”

Sampai di sini Ouwyang Kwan mengeluh panjang dan roboh pingsan. Tentu saja tiga orang kakak beradik Cu itu menjadi sibuk dan berusaha menolong. Kini semua orang mengerti atau dapat menduga apa yang terjadi. Agaknya pedang pusaka itu setelah dibuang oleh Ouwyang Kwan ke dalam jurang, kemudian ditemukan oleh seseorang dan akhirnya pedang pusaka itu, entah bagaimana, mungkin melalui jual beli yang mahal, terjatuh ke tangan Kaisar dan menjadi pengisi kamar pusaka istana. Ketika hal ini diketahui oleh keluarga di Lembah Suling Emas, Tang Cun Ciu lalu menerima tugas untuk mengambilnya kembali. Pencurian atau lebih tepat pengambilan kembali pedang ini menggegerkan dunia kang-ouw.

Seperti diketahui, Tang Cun Ciu yang sedang membawa pulang pedang itu, di tengah perjalanan bertemu dengan Yeti dan karena kaget dan takut, dia menyerang makhluk itu. Terjadi perkelahian dan ternyata makhluk itu terlalu tangguh bagi Tang Cun Ciu sehingga ketika pedang pusaka itu berhasil menusuk paha Yeti, wanita ini melarikan diri. Dan terjadilah peristiwa-peristiwa yang menggegerkan itu di daerah Pegunungan Himalaya.

Pada malam hari itu, Ouwyang Kwan siuman dari pingsannya. Tiga orang kakak beradik Cu itu yang merupakan ahli-ahli pula dalam urusan kesehatan, maklum bahwa keadaan Twa-pek mereka tidak mungkin dapat tertolong lagi. Seluruh darah telah keracunan dan luka di dalam tubuh Twa-pek itu pun amat hebat.

Dengan napas terengah-engah Ouwyang Kwan yang tubuhnya amat panas itu memberi isyarat kepada Hong Bu untuk mendekat. Pemuda tanggung ini maju berlutut dan Ouwyang Kwan membelai kepalanya. Kemudian kakek itu memandang kepada kakak beradik Cu yang berkumpul di dalam kamar itu, lalu berkata lemah sekali.

“Dia ini sudah kupilih menjadi muridku.... jadi terhitung saudara kalian sendiri.... Aku ada mencatatkan ilmu pedang yang kuciptakan di balik kulit Yeti ini.... baru kalian boleh buka setelah aku mati.... dan kupesan agar supaya kalian menuntun Sim Hong Bu ini untuk mempelajarinya dan sampai berhasil menguasainya.... dan karena ilmu ini kuciptakan untuk pedang Koai-liong-pokiam.... maka kuminta.... kelak kalau dia sudah menguasai ilmunya.... kalian serahkan pedang itu kepadanya....” Mulut itu masih bergerak-gerak, akan tetapi tidak ada suaranya lagi dan kepalanya lalu terkulai, maka tamatlah riwayat Ouwyang Kwan yang hidup merana karena asmara gagal itu.

Sim Hong Bu seorang yang menangisi kematian kakek itu. Dia merasa suka, sayang dan kasihan kepada ‘Yeti’ ini, dan kematiannya amat menyedihkan. Tiga orang kakak beradik Cu lalu mengurus jenazah twa-pek mereka, dengan hati-hati membuka kulit beruang yang sudah melekat pada kulit twa-pek mereka itu sehingga di sana-sini kulit Twa-pek itu ikut terobek dan lecet-lecet. Dan ternyata bahwa di sebelah dalam kulit ini terdapat coretan-coretan ilmu yang dimaksudkan itu. Dengan hati-hati Cu Han Bu lalu menyimpan kulit itu dan dengan penuh khidmat jenazah Ouwyang Kwan itu lalu dibersihkan, kemudian dilakukan pembakaran jenazah itu dalam keadaan berkabung.

“Mulai sekarang, Sim Hong Bu, engkau sudah murid kami! Ingat, murid Lembah Suling Emas harus bersumpah untuk melaksanakan semua peraturan yang ada pada keluarga kami. Pertama, engkau tidak boleh meninggalkan tempat ini tanpa ijin dari kami. Ke dua, engkau tak boleh mengajarkan ilmu-ilmu dari kami kepada orang lain tanpa persetujuan dari keluarga kami. Ke tiga, engkau harus menjunjung tinggi nama Lembah Gunung Suling Emas dan tidak menyeret nama baiknya dengan perbuatan-perbuatan jahat. Masih ada peraturan-peraturan tambahan yang kelak akan diberitahukan kepadamu, dan kalau engkau melakukan pelanggaran terhadap peraturan-peraturan kami, maka engkau akan dianggap musuh oleh Lembah Suling Emas.”

Sim Hong Bu menjatuhkan diri berlutut di depan tiga orang laki-laki gagah perkasa itu, disaksikan Tang Cun Ciu dan Cu Pek In yang tersenyum-senyum melihat ini semua.

“Bagimu aku adalah Twa-suhu, Cu Seng Bu adalah Ji-suhu, dan Cu Kang Bu adalah Sam-suhu. Akan tetapi karena aku telah dan sedang mengajarkan ilmu-ilmu kepada anakku sendiri, maka Ji-suhu dan Sam-suhu-mu yang akan membimbingmu.”

Sim Hong Bu yang sudah yatim piatu itu merasa girang dan cepat memberi hormat dan menyatakan sumpahnya. Demikianlah, mulai saat itu Sim Hong Bu diterima sebagai ‘anggota keluarga’ Lembah Suling Emas, suatu hal yang amat beruntung baginya, dan hal itu hanya mungkin terjadi karena pertemuannya dengan Yeti…..

********************

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Kam Hong bersama Bu Ci Sian yang terasing dari dunia sekitarnya karena terdampar ke ‘pulau’ yang merupakan gunung diselimuti es yang terkurung jurang-jurang yang amat curam sehingga tidak memungkinkan mereka keluar dari ‘pulau’ itu!

Biar pun dia terkurung di tempat itu, namun Kam Hong tidak merasa kesal. Pertama, kakinya yang patah tulangnya itu memerlukan waktu untuk sembuh sehingga andai kata tidak terkurung dan terasing pun, dia toh tidak dapat pergi ke mana pun dan perlu berisirahat dan menghimpun kekuatan untuk mempercepat pertumbuhan tulangnya yang patah. Selain itu, semenjak dia menemukan ilmu dari catatan di tubuh jenazah kakek kuno itu, Kam Hong dengan amat tekunnya melatih diri. Setiap hari dia berlatih meniup suling!

Memang sungguh luar biasa kalau dipikir betapa sejak kecil Kam Hong sudah pandai sekali meniup suling. Akan tetapi dia meniup suling untuk berlagu merdu dan sekali ini dia belajar meniup suling dengan cara yang lain sama sekali! Kini dia belajar meniup suling sebagai cara untuk berlatih agar dia bisa mencapai tingkat yang amat tinggi dalam ilmu sinkang dan khikang!

Dia berlatih menurut petunjuk dalam catatan yang dibuat oleh Ci Sian itu, dan karena catatan itu merupakan huruf-huruf kuno yang ditiru oleh Ci Sian yang kadang-kadang hanya mencontoh saja tanpa tahu artinya, maka sebelum melatih diri dia harus lebih dulu meneliti apa yang menjadi isi dan maksud dari catatan-catatan itu. Dan setelah dia melatih diri, barulah dia tahu bahwa ilmu itu bukanlah ilmu sembarangan dan amat sukar untuk dapat meniup suling seperti yang dimaksudkan oleh nenek moyang Suling Emas yang asli itu!

Ketika terjadi pertempuran antara Yeti dan para orang kang-ouw di puncak yang berada di seberang sana, dari jauh Kam Hong dapat melihat peristiwa itu. Tentu saja hatinya ingin sekali untuk menghampiri dan menonton pertempuran dahsyat itu, akan tetapi kakinya dan tempat di mana dia berada tidak memungkinkan hal itu, maka dia hanya dapat melihat dari jauh dan tidak tahu siapa yang bertempur itu dan apa yang terjadi kemudian karena tak lama setelah pertempuran itu, orang-orang yang nampak di atas puncak di seberang itu pun menghilang. Tentu saja dia tidak melihat betapa orang-orang kang-ouw itu disambut oleh penghuni Lembah Suling Emas.

Dengan tekun sekali sehingga lupa akan keadaan dirinya yang berada di tempat terasing itu, Kam Hong terus belajar menyuling. Hal ini tentu saja jauh bedanya dengan keadaan Bu Ci Sian. Dara cilik ini setiap hari murung saja karena merasa kesal! Bagaimana dia tidak menjadi kesal? Berada di tempat terasing itu, setiap hari hanya makan panggang daging burung dan hanya kadang-kadang saja dia dapat menangkap binatang kelinci yang sebenarnya adalah tikus salju. Siapa tidak akan menjadi bosan?

Akan tetapi kekesalannya itu segera berubah ketika dia mulai menerima petunjuk dari Kam Hong yang mulai mengajarnya dengan ilmu-ilmu silat atau dasar-dasar ilmu silat tinggi dan ternyata Ci Sian merupakan seorang murid yang cerdas dan juga berbakat. Demikianlah, dua orang itu melewatkan waktu dan mengusir kekesalan dengan berlatih ilmu. Hanya suara suling yang itu-itu saja, tanpa melagu, hanya tuat-tuit kadang-kadang panjang kadang-kadang pendek itu kadang-kadang menimbulkan kebosanan pada Ci Sian dan kalau sudah begitu dia lalu murung dan tidak mau berlatih, kadang-kadang marah. Baru setelah Kam Hong menghiburnya dengan kata-kata manis kemarahannya berkurang kemudian lenyap lagi.

“Paman Kam Hong, aku pernah mendengar engkau meniup suling itu dengan lagu yang amat merdu dan indah menyenangkan, mengapa sekarang setelah engkau mempelajari catatan-catatan dari kakek pelawak itu engkau sekarang belajar menyuling seburuk itu? Hanya tuat-tuit menulikan telinga saja!” Pernah Ci Sian menegur Kam Hong yang lagi meniup suling emasnya.

Kam Hong tersenyum. “Ahh, engkau tidak tahu, Ci Sian, Kelihatannya saja aku belajar meniup suling, akan tetapi sesungguhnya ini merupakan pelajaran latihan sinkang dan khikang yang paling tinggi tingkatnya!”

“Aihhh....!” Anak perempuan itu memandang dengan mata terbelalak dan diam-diam Kam Hong harus mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah dia melihat mata seindah itu! “Kalau begitu, kau ajarilah aku meniup suling seperti itu, Paman! Ingat, aku pun membantumu mencatat pelajaran itu, aku berhak mempelajarinya!”

Kam Hong tersenyum dan mengangguk. “Jangan khawatir Ci Sian. Memang kita berdua yang menemukan jenazah dan pelajaran itu. Akan tetapi ketahuilah, pelajaran meniup suling ini sama sekali tidaklah mudah, tetapi merupakan latihan sinkang dan khikang tingkat tinggi. Engkau tidak akan mungkin dapat melatihnya sebelum memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat. Maka, biarlah kini kuajarkan engkau latihan sinkang melalui siulian dan kelak, kalau engkau sudah kuat, aku mau memberimu pelajaran dari catatan ini.”

Dan Ci Sian mulai melatih dengan menghimpun tenaga sinkang seperti yang diajarkan oleh Kam Hong. Dengan latihan-latihan ini setiap hari maka sang waktu lewat tanpa terlalu menimbulkan kejemuan biar pun mereka setiap hari harus makan daging burung dan tikus!

Tiga bulan lewat dengan cepatnya dan setelah tiga bulan, Kam Hong yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat itu, yang sukar dicari bandingnya, ternyata baru mampu berlatih meniup suling dengan satu lubang saja. Baru tingkat permulaan dari latihan menurut catatan itu! Betapa pun juga, giranglah hati Kam Hong karena biar pun baru mencapai tingkat permulaan, ternyata kini sinkang-nya sudah bertambah kuat, jauh lebih maju dibandingkan dengan sebelum dia berlatih meniup suling.

Pada suatu pagi, selagi dia asyik berlatih meniup suling, dia mendengar jerit panjang yang mendirikan bulu romanya, karena dia mengenal suara itu adalah suara Ci Sian! Suara jerit mengerikan seolah-olah dara itu berada dalam ancaman bahaya besar dan dalam keadaan ketakutan. Dengan hati penuh kekhawatiran, sekali menggerakkan tubuh, Kam Hong telah meloncat jauh dari tempat duduknya ke arah suara itu dan berlarilah dia secepatnya.

Kini kakinya telah sembuh dan tulang yang patah telah tersambung kembali. Biar pun telah sembuh selama beberapa hari, namun biasanya dia masih amat berhati-hati kalau berjalan. Akan tetapi pada saat itu, begitu mendengar jerit suara Ci Sian, dia lupa akan kakinya dan berlari secepatnya dan ternyata bahwa kakinya yang patah tulangnya itu kini telah benar-benar sembuh sama sekali.

Akan tetapi, ke mana pun Kam Hong lari dan mencari, dia tidak melihat dara itu! Padahal tadi jeritnya terdengar jelas di tepi sebelah barat dari bukit atau pulau terpencil terkurung jurang itu! Berlarilah Kam Hong ke sana ke mari, mengelilingi sepanjang tepi jurang. Dan mulailah dia merasa gelisah sekali.

“Ci Sian....!” Dia memanggil dan terkejutlah dia karena di dalam suaranya itu terkandung tenaga khikang yang amat hebat sehingga suaranya menggetarkan seluruh permukaan bukit es itu. Tak disangkanya bahwa latihan selama tiga bulan meniup suling itu telah mendatangkan tenaga yang demikian kuatnya, padahal dia baru saja dapat menutup sebuah lubang dari suling itu yang berlubang enam buah. Akan tetapi kenyataan yang menggirangkan ini tak terasa oleh hatinya yang penuh dengan kekhawatiran tentang Ci Sian.

“Ci Sian, di mana engkau....?!” Dia berlari-lari lagi, kini sambil berteriak-teriak memanggil nama dara itu. Namun hasilnya sia-sia belaka. Ci Sian lenyap dari tempat itu, seolah-olah ditelan bumi.

Mengingat hal ini, tersirap darah Kam Hong dan wajahnya berubah pucat. Ditelan bumi ataukah ditelan jurang yang mengerikan itu? Jantungnya bagai ditusuk rasanya. Apakah Ci Sian tergelincir dan jatuh ke dalam jurang yang sedemikian curamnya sehingga tidak nampak dasarnya dari atas itu? Kalau begitu halnya, tidak mungkin gadis cilik itu tertolong nyawanya!

“Ci Sian....!” Dia mengeluh dan memejamkan mata, hendak mengusir bayangan yang demikian mengerikan, bayangan Ci Sian terjungkal ke dalam jurang dan mengalami kematian menyedihkan jauh di bawah sana. Dan dia pun bertekad untuk menyelidiki dan mencarinya. Kakinya sudah sembuh benar, dia hendak mencoba untuk mencari jalan, kalau perlu menuruni jurang yang curam sekali itu!

Ke manakah perginya Ci Sian?

Kekhawatiran dalam hati Kam Hong memang benar, dan mala petaka menimpa dara itu seperti yang dibayangkannya. Ketika Kam Hong sedang berlatih meniup suling, seperti biasa Ci Sian mencari burung untuk ditangkap dan dijadikan sarapan pagi mereka. Ketika dia melihat seekor burung putih seperti burung dara di antara kelompok burung yang biasa, timbul keinginannya untuk menangkap burung itu. Tentu rasa dagingnya lain, pikirnya. Akan tetapi burung putih itu gesit sekali. Beberapa kali disambitnya burung itu dapat mengelak dan berpindah-pindah tempat.

Ci Sian terus mengejarnya dan akhirnya, ketika burung itu melayang turun di tepi jurang, dia menyambitnya dengan batu dan berhasil! Ci Sian bersorak girang dan berlari-lari menghampiri, akan tetapi alangkah kecewa hatinya melihat burung itu tergelincir dari atas tebing. Dia menjenguk dan melihat bangkai burung itu kurang lebih dua meter dari tebing, tertahan oleh batu besar di dinding tebing. Burung itu telah mati, angin gunung membuat bulu dada burung itu bergerak-gerak tersingkap memperlihatkan kulit dada yang putih dan mulus, montok dan berdaging menimbulkan selera Ci Sian.

Hanya dua meter dan di situ ada batu besar menahan, pikirnya. Batu itu tentu akan cukup kuat menahanku, pikirnya dan dengan nekad karena dia terangsang oleh daging burung itu, Ci Sian lalu merayap turun dari tepi tebing yang amat curam itu. Dia merosot dan berhasil menginjak batu besar itu, lalu mengambil burung yang gemuk itu dengan girang. Burung itu masih hangat dan enak sekali terasa di telapak tangan.

Akan tetapi, tiba-tiba batu besar yang menahan tubuhnya itu bergerak. Ci Sian terkejut bukan main dan sebelum dia dapat memanjat naik, batu itu telah runtuh dan membawa tubuhnya bersama-sama melayang ke bawah! Ci Sian mengeluarkan jerit melengking yang terdengar oleh Kam Hong tadi, akan tetapi sebentar saja tubuhnya sudah ditelan oleh udara yang tertutup kabut tebal, terus melayang ke bawah menyusul batu di bawahnya. Batu itu menimpa dinding tebing dan terlempar jauh ke kiri, akan tetapi tubuh Ci Sian untung sekali tidak melanggar tebing dan terus meluncur ke bawah. Dara itu pingsan!

Ketika Ci Sian siuman dan membuka matanya dia segera teringat akan peristiwa tadi. Dia masih memejamkan mata dan menggerakkan kedua tangan meraba-raba tubuhnya yang terbungkus mantel tebal. Ahh, masih utuh! Kiranya semua itu tadi hanya mimpi, pikirnya dengan girang dan juga geli. Dia telah bermimpi jatuh ke dalam jurang!

Ci Sian membuka kedua matanya dan seketika dia terloncat bangun saking heran dan kagetnya. Dia tidak lagi berada di dalam goa di mana biasa dia tidur! Dia berada di tempat lain! Tempat yang seperti sebuah istana es! Banyak terdapat batu-batu runcing tergantung dari atas dan juga batu-batu runcing terbungkus es, putih berkilauan seperti jamur-jamur aneh tumbuh dari tanah yang tertutup salju. Dia berada di sebuah goa yang lain, di mulut goa yang aneh sekali.

Ci Sian bangkit berdiri dan ketika dia memutar tubuh ke arah goa, hampir dia berteriak saking kagetnya. Di mulut goa itu, yang tadi seperti kosong, kini sudah nampak seorang kakek duduk di atas batu bulat. Kakek yang tubuhnya telanjang, hanya bercawat saja. Hawa begitu dinginnya namun kakek itu telanjang dari kepalanya yang gundul kelimis sampai ke kakinya yang mekar seperti kaki bebek! Dan dari kepala gundul yang besar itu nampak uap mengepul! Lebih mengerikan lagi, seluruh tubuh kakek itu, dari leher sampai ke pinggang, lengan dan kaki, dibelit-belit oleh seekor ular yang amat panjang dan besar, perutnya sebesar paha kakek itu!

Ci Sian makin mengkirik kegelian melihat ular yang panjang besar itu, dan dia merasa gentar dan ngeri saat melihat kakek yang kurus tinggi dengan hidung besar mancung melengkung itu. Pasti seorang kakek bangsa asing, melihat bentuk mukanya yang kurus dengan alis yang sangat lebat, mata lebar tajam sekali, hidung seperti paruh burung kakatua, telinga lebar yang dihias anting-anting, dan kumis jenggot yang tak terpelihara, kulit mukanya yang kehitaman mengkilap.

Melihat dara remaja itu ketakutan, tiba-tiba kakek itu berkata, suaranya lembut akan tetapi dengan logat yang aneh dan asing. “Jangan takut, anak baik, ular inilah yang menyelamatkan engkau ketika jatuh dari sana tadi.”

“Jatuh....? Dari atas....?” Ci Sian berkata dengan mata terbelalak memandang ke atas, ke arah tebing tinggi yang puncaknya tak nampak dari bawah, tertutup awan atau kabut.

“Ya, engkau jatuh dari atas sana.”

Jadi, kalau begitu ini bukan mimpi! Dia benar-benar sudah jatuh dari atas. Dia lalu memandang ke kanan kiri dan mencari-cari. Ketika dia melihat bangkai burung putih menggeletak tak jauh dari situ, dia meloncat dan diambilnya bangkai burung itu. Benar! Inilah bangkai burung yang menjadi biang keladi sampai dia terjatuh ke dalam jurang! Ci Sian membuang burung itu, lalu dia melangkah maju mendekati kakek aneh itu, kini tidak takut lagi.

“Aku hendak menangkap burung itu dan tergelincir jatuh ke dalam jurang. Jadi ular itukah yang menyelamatkan aku? Bagaimana mungkin?” Dia berkata, tidak percaya bahwa seekor ular, betapa pun panjang dan besarnya, mampu menyelamatkannya yang terjatuh dari tempat sedemikian tingginya.

“Anak baik, engkau tidak tahu lihainya ular salju kembang ini! Dia bergantung pada batu di dinding tebing dengan membelitkan ekornya, kemudian dengan seluruh tubuhnya dia menerima tubuhmu dan membelitmu sehingga dengan demikian engkau terhindar dari bencana maut! Lihat, kulit-kulit pada ekornya masih rusak dan luka-luka karena tertarik oleh tenaga luncurannya ketika dia menahanmu.”

Ci Sian mendekat dan benar saja. Kulit pada sekitar ekor ke atas itu lecet-lecet dan berdarah, tetapi telah diberi obat oleh kakek itu dan mengering. Ular itu ketika melihat Ci Sian mendekat lalu menjilat-jilatkan lidahnya seperti seekor anjing yang jinak. Lenyaplah rasa takut dan jijik dari Ci Sian ketika mendengar betapa ular itu telah menolongnya dan melihat betapa ular itu jinak sekali.

“Ah, kalau begitu aku berhutang budi kepada ular ini dan kepadamu, Kek!” katanya dan wajahnya berseri.

Kakek itu menggeleng kepala. “Tidak ada hutang-piutang budi. Semua terjadi secara kebetulan. Semua ada yang menggerakkan dan kita hanyalah pelaku-pelaku belaka! Kalau tidak begitu mengapa kebetulan sekali ular ini melingkar di tempat engkau akan jatuh lewat, dan kebetulan sekali dapat menangkapmu dengan tepat, dan kebetulan sekali ular itu adalah ular sahabatku sehingga kebetulan pula engkau dapat bertemu dengan aku dan menggugahku dari semedhiku? Bukankah semua kebetulan ini sudah diatur? Hanya kita yang bermata ini selamanya seperti orang buta saja.”

Ci Sian tidak begitu mengerti akan kata-kata itu yang selain terlalu tinggi untuknya juga dikeluarkan dengan logat yang kaku dan asing. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek yang duduk bersila di atas batu itu sambil berkata, “Aku menghaturkan terima kasih kepada ularmu itu dan kepadamu, Kakek yang baik.”

Kakek itu tersenyum dan nampak mulutnya yang ompong tidak ada giginya sepotong pun. “Siapakah engkau, Nona dan apa sebabnya engkau sampai terjatuh dari atas sana?”

“Namaku Bu Ci Sian, Kek, dan sudah kukatakan tadi, aku tergelincir dari atas sana ketika hendak menangkap burung putih keparat itu!”

“Ho-ho, engkau sudah mewarisi kekejaman manusia Bu Ci Sian. Engkau membunuh burung itu untuk kau makan dagingnya, kemudian setelah membunuhnya kau hendak mengambil bangkainya lalu terjatuh, dan engkau memaki-maki burung yang sudah kau bunuh itu!”

Akan tetapi Ci Sian tidak mempedulikan celaan ini dan dia berkata. “Di atas sana masih ada Pamanku, Kek. Bagaimana aku dapat naik ke sana, kembali kepada Pamanku?”

“Ahhh, yang suka meniup suling itu?”

“Hei, bagaimana engkau bisa tahu, Kek?”

“Aku dapat mendengar getaran suara sulingnya dalam semedhiku. Dia berkepandaian hebat!”

“Benar dia, Kek! Dia adalah Paman Kam, dan aku ingin kembali ke sana.”

Kakek itu menggeleng kepala. “Tak mungkin naik ke sana. Sama sukarnya seperti naik ke langit saja. Salju dan es longsor telah membuat bukit itu terasing, terkurung jurang. Dan Pamanmu itu, betapa pun lihainya dia, jika dia tidak memiliki sayap untuk terbang, selamanya dia pun tidak akan dapat turun.”

“Ahh.... kalau begitu tolonglah dia, Kakek yang baik. Tolonglah dia agar dapat turun ke sini.”

“Menolong dia? Ci Sian, engkau mengkhayal yang bukan-bukan. Dia yang begitu lihai saja tidak mampu turun, bagaimana pula aku dapat menolongnya?”

“Akan tetapi, engkau tentu seorang Locianpwe berilmu tinggi.”

“Ahhh, sama sekali bukan. Aku hanya seorang tua bangka sahabat para ular yang telah kalah bertaruh melawan seorang wanita. Hemm.... sampai sekarang aku telah terhukum selama tiga tahun di goa ini.... gara-gara kebodohanku yang kalah bertaruh melawan seorang wanita.”

“Apa? Ada wanita yang dapat mengalahkanmu, Kek? Tentu dia itu hebat sekali ilmu silatnya!”

“Bukan kalah dalam ilmu silat....”

“Habis, kalah dalam hal apakah?”

“Kalah dalam menebak teka-teki.”

“Eh?” Ci Sian terbelalak dan merasa geli. Seperti anak-anak kecil saja, main tebak teka-teki. Dia tertarik sekali.

“Kek, ceritakanlah padaku, teka-teki apa yang membuatmu kalah. Barangkali saja aku dapat membantumu!” Memang Ci Sian adalah seorang anak yang suka akan teka-teki dan dahulu ketika dia tinggal bersama Kongkong-nya, setiap kali berkumpul dengan anak dusun sebaya, dia selalu bermain teka-teki dan dialah yang selalu menang karena kecerdasannya menebak segala macam teka-teki yang sulit-sulit.

Wajah kakek yang hitam itu tiba-tiba menjadi berseri. “Ah, siapa tahu engkau yang akan dapat membantuku. Nah, dengarlah, Ci Sian. Akan kuceritakan kisahku secara singkat agar engkau tahu akan duduknya perkara.”

Kakek itu adalah seorang saniyasi atau seorang pertapa bangsa Nepal yang bernama Nilagangga. Semenjak masih muda kesukaannya hanyalah merantau di sekitar daerah Pegunungan Himalaya, bahkan dia pernah merantau sampai jauh ke timur, ke Tiongkok dan akhirnya setelah tua dia pulang kembali ke Pegunungan Himalaya. Selama dalam perantauannya itu, dia telah memperoleh banyak ilmu dan terutama sekali dia menjadi ahli dalam ilmu pawang ular sehingga dia memperoleh julukan See-thian Coa-ong (Raja Ular dari Barat) di dunia kang-ouw. Tentu saja dia pun memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, seperti juga mereka yang telah ‘menjauhkan’ diri dari dunia ramai, ada semacam penyakit menghinggapi diri kakek ini, yaitu dia suka sekali untuk mengadu ilmu dan di samping itu, dia gemar pula untuk berdebat tentang ilmu kebatinan dan suka pula bermain teka-teki!

Demikianlah memang keadaan manusia pada umumnya. Di dalam batin sebagian besar dari kita manusia terdapat gairah atau hasrat ingin menonjolkan diri, ingin memiliki sesuatu yang dapat dibanggakan dan agar dapat membuat kita dipandang oleh manusia lain, baik sesuatu itu merupakan harta kekayaan, kedudukan tinggi, kepintaran luar biasa, kekuatan yang dahsyat, kemampuan-kemampuan lain lagi, pendeknya yang dapat membuat kita menonjol dan menjadi lebih tinggi dari pada orang-orang lain!

Kebanggaan diri ini telah menjadi ‘kebudayaan’ kita manusia, sejak kecil ditanamkan pada batin kita oleh orang tua, oleh nenek moyang, oleh kitab-kitab dan oleh guru-guru dalam pendidikan kita. Betapa sampai kini pun kita selalu menganjurkan anak-anak kita agar tidak kalah oleh orang lain! Agar menjadi paling menonjol, paling pintar, paling rajin dan segala macam ‘paling’ lagi. Bukankah pendidikan semacam ini yang menanam sifat tidak mau kalah, sifat ingin menonjol dalam batin anak-anak kita?

Kemudian, setelah kita menjadi dewasa, setelah sifat ingin menang dan ingin menonjol, ingin dipuji ini membawa kita bertemu dan bertumbuk dengan segala konflik, kita sadar bahwa sifat inilah yang menimbulkan pertentangan antara manusia, sifat inilah yang mendatangkan permusuhan dan bentrokan. Kemudian, sebagian dari kita lalu melarikan diri!

Seperti halnya Nilagangga itu, dia melarikan diri dari kenyataan itu, kemudian menyepi, dan menjauhkan diri dari tempat ramai. Namun, apakah gunanya pelarian ini? Sifat itu berada di dalam batin, kita bawa ke mana pun juga kita pergi. Sifat ingin menonjol itu tidak terpisah dari kita, maka tidaklah mungkin kita melarikan diri darinya, yang berarti kita melarikan diri dari kita sendiri. Sungguh tidak mungkin ini!

Maka, tidaklah mengherankan kalau sifat ingin menang ini muncul dalam bentuk lain, seperti halnya Nilagangga itu sifat ingin menang itu muncul dalam adu ilmu silat, ilmu batin, teka-teki dan sebagainya lagi.

Kita sudah biasa melarikan diri dari kenyataan pahit. Kita pemarah, kemudian kita lari ke dalam kesabaran! Kita berduka, lalu lari ke dalam hiburan. Dan selanjutnya lagi. Kita lupa bahwa yang marah, yang duka, adalah kita dan kemarahan atau kedukaan itu tidak pernah terpisah dari kita, berada di dalam batin kita, oleh karena itu, kalau kita lari ke dalam kesabaran dan hiburan, maka kita hanya akan terlupa atau terbius sebentar saja. Kemarahan dan kedukaan itu MASIH ADA di dalam batin kita, seperti api dalam sekam, dan sewaktu-waktu dapat meletus dan berkobar lagi!


“Pada suatu hari, ketika merantau di daerah Himalaya, aku memasuki daerah Lembah Gunung Suling Emas tanpa aku sengaja. Akan tetapi pihak penghuni itu melarangku memasuki lembah. Karena aku menganggap bahwa seluruh Himalaya adalah daerah bebas, maka terjadilah perbantahan dan dilanjutkan dengan pertandingan silat. Wanita itu, seorang wanita muda dan cantik yang menjadi anggota keluarga penghuni lembah itu, ternyata lihai sekali dan sampai kami berdua kehabisan tenaga, kami ternyata seimbang. Maka aku mengusulkan untuk bertanding dalam teka-teki dan ternyata aku kalah!” demikian kata kakek itu melanjutkan ceritanya.

“Bagaimana teka-tekinya, Kek?” Ci Sian yang mendengarkan dengan penuh perhatian itu bertanya, hatinya tertarik sekali.

Kakek itu melanjutkan ceritanya. Lawannya itu menerima tantangannya untuk masing-masing mengeluarkan sebuah teka-teki. Dan mereka berdua berjanji, janji orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan dan menganggap janji lebih berharga dari pada nyawa, bahwa siapa yang tidak dapat menjawab teka-teki harus bertapa dalam goa itu dan sampai lima tahun tidak boleh meninggalkan goa sebelum dapat menjawab teka-teki itu!

“Aku mengajukan teka-teki, tetapi dia sungguh hebat, teka-tekiku dapat dijawabnya dengan mudah. Dan dia juga mengeluarkan teka-tekinya, dan.... sungguh sial aku, sampai sekarang sudah tiga tahun aku bertapa di dalam goa ini, tetap saja aku belum dapat menemukan jawabannya. Kalau tidak ada yang menolongku, agaknya aku terpaksa harus bertahan sampai dua tahun lagi di tempat ini.”

Tentu saja Ci Sian merasa geli dan panasaran. Mana ada aturan seperti itu? Mengapa orang memegang janji sampai mati-matian begitu? Andai kata kakek itu meninggalkan goa, tentu lawannya itu pun tidak akan tahu!

“Apa sih teka-tekinya yang begitu hebat? Coba kau beritahukan, Kek, siapa tahu aku akan-dapat menebaknya untukmu.”

“Begini teka-tekinya, dan mustahil engkau yang masih kanak-kanak ini akan dapat menebaknya!”

“Teruskanlah!” Ci Sian menjadi tidak sabar.

“Apakah perbedaan pokok antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?” Kakek itu berhenti sebentar setelah mengucapkan pertanyaan yang agaknya sudah begitu hafal olehnya itu, yang agaknya sudah ribuan kali diulanginya tanpa dia dapat memberi jawaban. “Nah, itulah pertanyaan atau teka-tekinya. Aku tak mampu menjawab. Bagiku, cinta ya cinta, mana ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan? Akan tetapi dia membantah, mengatakan bahwa ada bedanya. Kami berdebat, dia bilang bahwa dia adalah wanita maka dia tahu akan perbedaan itu. Dan aku.... wah, aku yang sialan ini, aku tidak tahu, apalagi bedanya, bahkan aku tidak pernah mencinta seorang wanita, aku tidak tahu bagaimana rasanya cinta itu.... wah, aku kalah.”

Ci Sian mengerutkan alisnya. Dia pun pusing memikirkan teka-teki itu. Dia juga tidak tahu apa-apa tentang cinta! Dalam urusan cinta, dia sama ‘buta hurufnya’ dengan kakek tua renta itu.

“Bagaimana, Ci Sian? Dapatkah engkau membantuku dan memberikan jawabannya?”

Memang tentu saja Ci Sian, sebagai seorang dara yang baru remaja, baru menanjak dewasa, belum pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Akan tetapi dia adalah seorang anak yang amat cerdik. Dia lalu membayangkan tentang Kam Hong, satu-satunya pria yang pernah mendatangkan rasa kagum dalam hatinya dan dia lalu membayangkan dirinya sendiri, bagaimana seandainya dia jatuh cinta kepada pendekar sakti itu! Setelah mengerutkan kedua alisnya agak lama, sambil memejamkan kedua matanya sehingga kakek itu memandang penuh harapan, tiba-tiba dia membuka mata memandang kakek itu, sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar.

“Coa-ong, engkau sebagai seorang pria, coba kau beritahukan bagaimana perasaanmu, apa yang kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta kepada seorang wanita,” Ci Sian menyebut Coa-ong (Raja Ular) kepada orang asing itu, mengingat bahwa julukannya adalah Raja Ular dari Barat!

Dan kakek itu agaknya malah senang disebut demikian. Hanya karena pertanyaan itu justru merupakan pertanyaan yang dianggapnya amat sulit, dia mengerutkan alisnya.

“Wahhh.... engkau tanya yang bukan-bukan. Mana aku tahu?”

“Coa-ong, engkau harus ingat bahwa teka-teki yang diajukan oleh lawanmu itu baru dapat dijawab kalau aku tahu bagaimana perasaan seorang pria yang mencinta seorang wanita. Tanpa mengetahui perasaan pria, bagaimana mungkin aku dapat tahu akan perbedaan antara cinta seorang pria dan seorang wanita? Dan tanpa diberi tahu oleh seorang pria, bagaimana aku dapat tahu bagaimana cinta seorang pria itu? Ayo pikirlah, Coa-ong. Aku pun belum pernah jatuh cinta, tetapi setidaknya kita sama-sama dapat membayangkan bagaimana perasaan kita dan apa keinginan kita kalau kita masing-masing jatuh cinta kepada seseorang.”

“Wah-wah.... ini tugas yang paling berat yang pernah kuhadapi....,” kakek itu mengomel.

Akan tetapi dia pun segera mengerutkan alis dan memejamkan mata, seperti yang dilakukan oleh Ci Sian tadi untuk membayangkan tentang bagaimana seandainya dia jatuh cinta! Juga Ci Sian sudah memejamkan mata membayangkan keadaannya sendiri. Demikianlah, dua orang ini, seorang kakek tua renta dan seorang dara menjelang dewasa, duduk bersila dan memejamkan mata, mengerutkan alis, membayangkan jika mereka jatuh cinta!

Cinta adalah suatu hal yang amat lembut, amat halus, amat rumit, dan amat banyak lika-likunya sehingga menjadi bahan percakapan, bahan tulisan dari bahan perdebatan para sastrawan, para cerdik pandai, dari jaman dahulu sampai sekarang, tanpa ada yang mampu melukiskannya atau memperincinya dengan tepat! Apalagi bagi dua orang ini, yang selama hidupnya belum pernah jatuh cinta, kini keduanya membayangkan bagaimana seandainya mereka itu jatuh cinta! Padahal cinta antara pria dan wanita adalah sedemikian ruwetnya dan banyak sekali kaitan-kaitan dan lika-likunya!

Betapa pun juga, Ci Sian yang cerdik itu dengan naluri kewanitaannya seperti dapat meraba apa yang dimaksudkan dengan teka-teki yang diajukan oleh seorang wanita pula itu! Maka dia langsung menuju kepada sasaran pokok, yaitu tentang perasaan seorang pria dan seorang wanita yang jatuh cinta, apa yang paling dikehendakinya dari orang yang dicinta.

Ada satu jam lamanya kakek itu duduk diam seperti itu! Dan biar pun hawa udara amat dinginnya, namun kakek yang tubuhnya tidak terlindung pakaian ini mulai berkeringat! Keringatnya besar-besar menempel di seluruh tubuhnya, dan uap yang mengepul di atas kepalanya semakin tebal. Tiba-tiba dia menarik napas panjang, membuka matanya dan mata itu berseri-seri memandang kepada Ci Sian yang sudah sejak tadi membuka matanya. Kakek itu mengguncang tubuhnya seperti seekor anjing kalau mengusir air yang membasahi tubuhnya. Terdengar suara berketrikan ketika keringat yang telah membeku itu berjatuhan rontok dari tubuhnya, merupakan butiran-butiran es kecil!

“Wah, memenuhi permintaanmu membayangkan tentang cinta itu malah mendatangkan bayangan yang amat mengerikan dan menakutkan!” katanya.

Diam-diam Ci Sian merasa geli juga. Bagaimana mungkin bayangan mencinta orang bisa begitu mengerikan dan menakutkan?

“Yang penting, apakah engkau kini sudah mampu menceritakan atau menggambarkan bagaimana perasaan seorang pria yang jatuh cinta kepada seorang wanita?”

“Aku sudah membayangkan.... aku sudah membayangkan dan.... hiihhh....“ Kakek itu menggigil, bukan karena kedinginan, melainkan karena geli dan takut! “Yang terbayang adalah cerewetnya, manjanya, dan betapa dia merongrong hidupku sehingga hidupku tidak lagi mengenal ketenteraman dan ketenangan, betapa dia ingin menguasai seluruh diriku dan hidupku. Ihhhh....!”

Kembali Ci Sian tertawa dalam hatinya, akan tetapi mulutnya hanya tersenyum saja. Betapa anehnya kakek ini! “Bukan itu maksudku, Kek. Tetapi bagaimana perasaanmu dan apa yang paling kau inginkan andai kata engkau jatuh cinta pada seorang wanita?”

Kakek itu mengingat-ingat. “Keinginanku hanya ingin menyenangkan dia, memanjakan dia, membahagiakan dia,” akhirnya dia berkata dengan alis berkerut, seolah-olah dia harus menjawab sesuatu persoalan yang amat rumit!

“Nah, itulah!” Ci Sian bersorak dan wajahnya berseri-seri. “Ketemu sekarang! Biar pun hanya hasil bayangan kita berdua, akan tetapi agaknya tidak salah lagi, Coa-ong!”

“Sudah kau temui jawaban teka-teki itu?”

Ci Sian mengangguk. “Agaknya tidak akan keliru lagi.”

“Bagaimana itu?” Wajah hitam itu pun berseri dan penuh harap. “Coba jawab, apakah perbedaan antara cinta seorang pria dan cinta seorang wanita?”

“Seperti keteranganmu tadi, Coa-ong. Cinta pria adalah ingin selalu menyenangkan dan memanjakan, sedangkan cinta seorang wanita adalah sebaliknya, yaitu menurut hasil khayalan dan bayanganku tadi, cinta seorang wanita justru menjadi kebalikannya, yaitu dalam cintanya, wanita ingin selalu disenangkan, dimanjakan oleh pria yang dicintanya.”

Kakek itu melompat bangun dan baru nampak oleh Ci Sian betapa jangkungnya kakek itu. Jangkung kurus sehingga potongan tubuhnya tidak menarik sama sekali! See-thian Coa-ong Nilagangga kini bertepuk tangan dan mengeluarkan suara melengking seperti suara suling.

Dan tiba-tiba Ci Sian terbelalak dan merasa jijik dan ketakutan ketika mendengar suara mendesis dan berdatanganlah ular-ular dari empat penjuru serta mengurung tempat itu! Heran dia bagaimana di tempat bersalju bisa terdapat begitu banyak ular!

“Coa-ong, aku takut....!” katanya dan dia bersembunyi di belakang tubuh kakek itu. Dia bukan takut, melainkan jijik.

“Kenapa takut? Engkau akan kujadikan puteri ular, mengapa takut?”

“Jadi puteri ular? Aku.... aku tidak mau!”

“Ehh, bocah bodoh. Jika engkau menjadi puteri ular, siapa lagi berani mengganggumu? Sahabatmu ular-ular itu berada di mana-mana dan jika saja engkau terancam bahaya, engkau dapat sewaktu-waktu memanggil mereka! Kini engkau telah berjasa kepadaku, maka aku ingin menurunkan ilmuku kepadamu. Apakah kau tidak mau?”

Ci Sian menelan ludah, kini hatinya tertarik juga. “Kalau... kalau begitu, aku mau, kukira tadi.... aku hendak kau jadikan ular....”

“Ha-ha-ha, bagus! Nah, coba kau dekati mereka dan kau pegang-pegang mereka. Ke sinikan dulu kedua telapak tanganmu!”

Ci Sian menghampiri ke depan kakek itu, kemudian mengulurkan kedua tangannya, ditelentangkan. Tiba-tiba tangan kanan kakek itu bergerak cepat ke depan.

“Plak! Plak!”

“Aduhhhh....!” Ci Sian berteriak ketika kedua telapak tangannya terasa panas sekali ditampar oleh tangan kakek itu dan dia memandang terbelalak marah.

“Ha-ha-ha, sekarang semua ular akan tunduk kalau tersentuh tanganmu, Ci Sian,” kata kakek itu.

Ci Sian menelan kembali kemarahannya begitu tahu bahwa tamparan itu merupakan semacam pemindahan ilmu untuk menalukkan ular! Dia lalu menghampiri ular-ular itu yang nampak diam tidak bergerak di atas tanah, hanya lidah mereka yang bergerak keluar masuk di mulut masing-masing. Biar pun hatinya merasa jijik dan takut-takut, akan tetapi Ci Sian segera meraba kepala ular-ular itu dan sungguh aneh, ular-ular itu nampak takut dan jinak sekali! Giranglah dia dan di lain saat dia sudah mengangkat seekor ular kemerahan sebesar jari kakinya, membelainya dan mempermainkannya. Ular itu sama sekali tidak berani berkutik!

“Ha-ha-ha, tahukah engkau betapa satu gigitan ular itu akan dapat membunuh seorang manusia seketika juga?”

“Ihhh!” Mendengar ini, Ci Sian melemparkan ular merah itu.

“Anak bodoh, kepadamu dia tidak akan berani berbuat apa-apa!” See-thian Coa-ong lalu mengeluarkan suara melengking tiga kali dan.... ular-ular itu lalu membalikkan tubuh dan merayap pergi dengan cepat dari tempat itu, seperti sekumpulan anjing yang ketakutan diusir pergi oleh majikan mereka.

“Ha-ha-ha, ternyata aku yang bodoh sekali, Ci Sian. Tentu saja jawabanmu tadi tepat, ha-ha-ha, begitu mudahnya! Mengapa aku tidak ingat akan hukum alam? Wanita adalah Im dan pria adalah Yang. Wanita adalah Bumi dan pria adalah Matahari! Sinar matahari menembus apa pun juga untuk mencari bumi, untuk menyinari bumi, untuk membuat bumi hidup dan subur, untuk memberikan semangat dan kekuatan kepada bumi. Sebaliknya, bumi menanti-nanti untuk disinari, untuk dibelai, untuk disuburkan, untuk menerima. Ha-ha-ha, benar sekali. Pria ingin mencinta, ingin menyenangkan, ingin memiliki. Sedangkan wanita ingin dicinta, ingin dimanjakan, ingin dimiliki dan untuk itu dia menyerahkan jiwa raganya kepada pria untuk dimiliki dan dicinta dan dipuja! Ha-ha, betapa bodohnya tidak mampu menjawab teka-teki yang amat sederhana itu!”

Melihat sikap kakek itu yang kegirangan, Ci Sian lalu memperingatkan. “Jangan anggap sederhana dan mudah, Coa-ong. Tanpa bantuan seorang wanita, tidak mungkin engkau dapat menjawab teka-teki itu.”

“Ha-ha-ha-ha, benar sekali. Oleh karena itulah maka aku akan menurunkan ilmu-ilmuku kepadamu.”

“Aku ingin kembali kepada Paman Kam Hong.”

“Ahhh, tidak mungkin, Ci Sian. Tidak mungkin bagimu untuk naik ke bukit itu dan tidak mungkin pula bagi Pamanmu untuk turun dari sana. Longsoran bukit itu telah merubah keadaan dan kita hanya bisa mengharapkan terjadi longsoran lain sehingga tempat di mana Pamanmu terkurung itu akan dapat dihubungkan dengan tempat lain. Sementara ini, marilah kau ikut denganku untuk menjumpai musuhku itu.”

Hati Ci Sian menjadi tertarik. “Wanita yang memberimu teka-teki itu?”

“Ya, dan kuharap engkau suka membantuku, Ci Sian. Dia pandai bicara dan pandai berdebat, dan engkau pun agaknya tidak kalah pandai. Maka bantuanmu kuharapkan. Mari kau temanilah aku menghadapinya, dan kelak aku akan membantumu mencari Pamanmu itu.”

Ci Sian berpikir sejenak. Omongan kakek ini tidak bohong. Memang dia tahu bahwa tidak terdapat jalan yang bisa membawanya kembali pada Kam Hong. Dia memerlukan bantuan Kam Hong untuk mencari orang tuanya, setelah kini dia terpisah dari Kam Hong dan agaknya tidak mungkin dapat berkumpul kembali, apa salahnya kalau kini Coa-ong ini yang membantunya mencari orang tuanya? Namun dia belum mengenal betul kakek asing ini, oleh karena itu dia pun tidak perlu menceritakan tentang orang tuanya dan mendiang kakeknya. Sementara ini, dari pada sendirian saja di daerah liar dan berbahaya dari Pegunungan Himalaya ini, lebih baik dia berteman dengan seorang pandai seperti See-thian Coa-ong. Apalagi akan diajari ilmu-ilmu yang tinggi, tentu saja dia merasa girang…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar