“Jangan panggil dengan sebutan
yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga
kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.
“Ya” sahut Agung Sedayu. “Aku
lebih senang.”
“Baiklah” sahut Swandaru. “Marilah,
minumlah.”
Widura dan Agung Sedayupun
minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin
banyak mengalir membasahi tubuh mereka.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir
itupun bertanya pula, “Dari manakah Angger berdua malam ini. Apakah seperti
biasanya nganglang setiap gardu perondan?”
“Ya” sahut Widura. “Dan ke
Gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah
mencobakan ilmu yang paling akhir.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi
Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah, “Ah.”
Mereka menjadi semakin tidak
mengerti ketika Widura berkata, “Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai
Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun tidak dapat
kami lakukan seperti yang kami kehendaki.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sebelum berkata sesuatu, maka
Widura telah berkata pula, “Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi
kami berpacu dengan orang yang tidak kami kenal itu ke kademangan.”
Ki Tanu Metir menarik alisnya.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Siapakah yang lebih dahulu sampai?”
“Ki Tanu Metir” jawab Widura.
“He?” sahut Ki Tanu Metir.
“Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?”
Widura menggeleng. Jawabnya
“Entahlah. Aku tidak tahu.”
Ki Tanu Metir itu menundukkan
wajahnya. Widura dan Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang
Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka dengan penuh pertanyaan
yang memancar dari wajah-wajah mereka.
Agung Sedayu yang semula juga
ikut menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan
pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimanakah dengan
Kakang Untara?”
Pertanyaan itu mengejutkan Ki
Tanu Metir, sehingga dengan serta-merta ia menjawab, “Sudah semakin baik.
Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka itu
akan sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya.”
“Tetapi malam ini aku tidak
harus berkuda ke Sangkal Putung sendiri. Dan Kiai tidak usah menyusulku dan
setelah Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur melawan
Alap-Alap Jalatunda.”
Ki Tanu Metir tidak dapat
menyembunyikan senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati
Untara.
Ternyata Untara itu juga tidak
sedang tidur. Bahkan ketika ia melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka
desisnya, “Bagaimana Kiai?”
“Kemana aku harus bersembunyi
lagi Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara.
“Kiai tidak perlu bersembunyi
lagi.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
panjang. Kemudian gumamnya, “Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan
tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing.”
“Cerita itu sudah lama tamat”
sahut Widura.
Ki Tanu Metir berpaling.
Ditatapnya wajah Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa
geli. Katanya, “Terlalu banyak yang ingin kau ketahui Ngger. Tetapi baiklah,
aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar.”
Widura tertawa. Agung
Sedayupun tertawa. Tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali
tidak tahu, apakah yang lucu.
Karena itu, maka Swandaru
itupun segera bertanya, “Apakah yang aneh paman Widura?”
Widura menggeleng sambil
tersenyum, “Tidak apa-apa. Hanya suatu permainan saja.”
“Permainan apa?”
“Ki Tanu Metir mencoba
bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Jawaban Widura itu semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia mendesaknya,
“Tetapi, bagaimanakah cerita tentang Paman Widura dan orang yang disebut
gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?”
Oh” sahut Widura. “Aku hanya
bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku, karena
aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya, Agung Sedayu.”
Swandaru mengumpat-umpat di
dalam hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya.
Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi.
Namun, bagaimanapun juga, ia
tidak dapat menjajagi, bahwa senda gurau itu telah mengungkapkan suatu
peristiwa yang selama ini menjadi teka-teki bagi Widura. Meskipun Ki Tanu Metir
belum mengatakan kepadanya, namun Widura telah dapat merabanya. Bagaimanakah
yang pernah terjadi atas Untara. Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang di
sekitar rumah Ki Tanu Metir menyangka bahwa orang tua itu bersama Untara telah
hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini semuanya sudah menjadi agak jelas
bagi Widura. Sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-Alap Jalatunda tidak akan
dapat berbuat sesuatu terhadapnya.
Ki Demang Sangkal Putungpun
sebenarnya mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang
dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera mengendalikan
dirinya. Persoalan-persoalan di luar dirinya, dan mungkin menyangkut
kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut
mempersoalkannya apabila tidak diminta.
Sesaat kemudian kembali mereka
duduk melingkar di atas tikar pandan di pringgitan. Untara masih tetap berbaring
di pembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun ia masih belum
kuat benar untuk terlalu lama duduk.
Di antara mereka sudah
terhidang berbagai makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga
untuk menggerakkan rahang-rahang mereka.
Sambil makan Ki Tanu Metir
berkata seakan-akan sambil lalu saja. “Bagaimanakah kabarnya Angger Sidanti itu
sekarang?”
Widura mengerutkan keningnya.
Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang.
“Tak ada kabarnya” jawab
Widura. “Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung.”
“Tetapi ia pasti mendendam”
potong Swandaru tiba-tiba. “Aku telah melukainya.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja kepada
Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan Agung
Sedayupun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi,
bahwa dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
Agung Sedayu yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar Mirah, dan
Swandaru yang telah melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu
itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai Gringsing yang sekarang duduk
di hadapannya sebagai seorang dukun tua itu, akan melindunginya.
Tetapi Swandaru tidak mendengar
janji yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar apabila diingatnya
nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada di halaman yang sama, Sidanti
telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak akan
sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya.
Ayahnyapun merasakan kecemasan
itu. Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki
Demang Sangkal Putung itupun ingin mencari perlindungan bagi anaknya. Maka
katanya, “Aku menjadi cemas juga akan Angger Sidanti itu. Hubungannya dengan
Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru kinipun selalu terancam pula
olehnya. Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah berusaha untuk
membunuhnya, sehingga dengan demikian maka dendam Angger Sidanti itupun menjadi
semakin dalam pula.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Swandaru berusaha
menyelamatkan aku.”
Widura melihat kecemasan yang
membayang di wajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun
Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, maka Widura
itupun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata,
“Jangan cemas Kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih di sini.”
Ki Demang terkejut mendengar
kata-kata Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiripun terkejut. Tetapi
kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa Widura
masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah, “Ah, nasib Swandaru benar-benar
mencemaskan.”
Widura menyadari kata-katanya.
Bahkan ia menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka katanya
kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu, “Aku berkata sebenarnya
Kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir untuk
menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.”
Ki Demang Sangkal Putung sama
sekali tidak segera dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya
wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga
akhirnya ia bertanya, “Maksud Adi, apakah apabila Angger Agung Sedayu atau
Swandaru dicederai oleh Angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya
hingga sembuh?”
Ternyata Ki Demang Sangkal
Putung itu benar-benar tidak mengerti maksud Widura. Dan sebenarnya bahwa
Widura mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk menerimanya.
Widura mengatakan suatu hal di luar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung.
Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki Tanu
Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya.
Setelah menimbang beberapa
lama, maka kemudian Widura itupun menjawab, “Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir
berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung Sedayu dan
Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengerutkan keningnya. Katanya dengan ragu-ragu, “Angger Agung Sedayu
barangkali dapat berbuat demikian. Sebab malahan Angger Sedayu sudah melampaui
ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?”
“Itulah yang aku maksud,
Kakang” sahut Widura. “Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung
Sedayu. Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah untuk
sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung Sedayu.
Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha
menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka akupun minta dengan
sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu.”
Ki Demang Sangkal Putung
benar-benar menjadi pening mendengar keterangan Widura yang justru
menjadikannya semakin bingung. Swandarupun tidak kalah bingungnya. Sehingga
bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata, “Paman Widura,
bahaya itu sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu.
Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka supaya aku
sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti mencelakakan aku?”
Widura benar-benar menjadi
sulit untuk mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali
tidak membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir, “Ki
Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada Kakang Demang dan Swandaru.
dan katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan kami.
Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai dan memberi mereka bekal
keselamatannya dari ancaman Sidanti.”
Ki Tanu Metir mengangkat
wajahnya. Ditatapnya setiap orang yang duduk di sekitarnya satu demi satu.
Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Jadi bagaimana Angger Widura?”
“Terserahlah kepada Kiai”
jawab Widura.
Ki Tanu Metir
mengangguk-angguk. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Angger, permintaan
Angger aku terima dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian,
seperti yang telah aku ucapkan kepada Ki Tambak Wedi sendiri. Sekarang apakah
Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?”
Agung Sedayulah yang dengan
serta-merta menjawabnya, “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai.”
Tetapi Swandaru belum juga
menyadari keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti
senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa, hanya sinar
matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan kebingungannya.
Ki Tanu Metir menangkap
kebimbangan di hati Swandaru itu. Karena itu, maka katanya, “Angger, aku tahu
Angger menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan
belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya
yang akan ditimbulkan oleh Sidanti. Karena itu, maka aku akan mencoba
menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan Angger sendiri.”
Ki Tanu Metir itu berhenti
sesaat. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Terasa
alangkah berat hatinya untuk mengatakan sesuatu yang terkandung di dalam
dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir bukanlah seorang yang suka menunjukkan
kelebihan-kelebihannya kepada orang lain. Sebenarnyalah bahwa apakah Swandaru
percaya atau tidak, bukanlah kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak
akan mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itupun sama sekali bukan
kepentingannya.
Namun ia sadari bahwa
seharusnyalah anak itu diusahakan untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Meskipun Ki Tanu Metir itupun mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru
dan Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu. Tetapi sejak
masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada. Namun sebab
yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat
Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu.
Karena itu, oleh sesuatu
tekanan di dalam hatinya yang belum pernah dikatakannya kepada orang lain, maka
Ki Tanu Metir merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia
menolong Agung Sedayu sendiri, karena persoalan yang bersangkut-paut.
Dengan demikian, maka setelah
berhenti sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata, “Angger Swandaru, sebelum Angger
mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah wajar
sekali kalau Angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi itu akan
dapat memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan
Angger. Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan mungkin juga
menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat cara yang lain untuk itu.”
Swandaru memandang Ki Tanu
Metir tanpa berkedip. Ki Demang Sangkal Putungpun menjadi semakin bingung.
Tetapi ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tanu
Metir itu.
Ki Tanu Metir itupun kemudian
berpaling kepada Agung Sedayu dan berkata, “Angger, apakah peristiwa yang
Angger saksikan tadi mampu meyakinkan Angger Swandaru?”
Agung Sedayu tahu benar maksud
Ki Tanu Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya.
Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah ceritanya
cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri.
Meskipun demikian, maka Agung
Sedayu telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki
Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu adalah Ki
Tanu Metir itu sendiri.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putung mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka
dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun tampaklah pada wajah
Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung Sedayu.
Mereka bukan tidak percaya
pada Agung Sedayu, namun mereka sangatlah sukar untuk membayangkannya, bahwa
hal itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir itu.
Ki Tanu Metirpun dapat
menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan
mereka itu?
Dalam kebimbangan itu
tiba-tiba terdengar Untara berkata, “Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah
kau mau mendengarkan Swandaru?”
“Tentu” sahut Swandaru kosong.
“Baiklah” berkata Untara pula.
Perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan duduk
di samping Ki Tanu Metir.
“Lukaku sudah tidak berbahaya
lagi” katanya.
Swandaru dan Ki Demang
memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.
“Ki Demang Sangkal Putung dan
kau Swandaru” berkata Untara itu kemudian. “Cerita ini adalah cerita tentang
diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi
kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu, namun
aku yakin bahwa pada saat itu Paman Widura dan Agung Sedayu telah berusaha
mencari aku.” Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan
ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi juga Agung Sedayu
dan Widura sendiri.
“Aku kira, pada waktu itu
hampir semua orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka
bahwa aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal Agung
Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-Alap Jalatunda.
Namun ternyata aku selamat. Di dalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki
Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak parah hampir seperti
lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut dugaan kalian yang telah menyelamatkan
aku dari tangan Plasa Ireng itu?”
Widura dan Agung Sedayu
menjadi semakin jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan
mampu mengambil Untara pada saat itu, sebab di dalam rumah itu ada Ki Tanu
Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putungpun segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu
Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah
dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya
kira-kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki Tambak Wedi
ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng dengan beberapa orang kawannya.
Swandaru dan Ki Demang itu
benar-benar berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian
terdengar Untara berkata seterusnya, “Nah, ternyata Ki Tanu Metirlah yang
berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir Plasa
Ireng dan orangnya, maka segera akupun disembunyikannya di atas kandang kuda,
sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu. Baru setelah Ki Tanu
Metir kembali, maka aku dibawanya pergi, mengungsi ke tempat yang tak banyak
dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang yang akan menyangka bahwa aku
disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun sebenarnyalah demikian.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar seandainya
kakaknya mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi pingsan
ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat
terakhir, tidak seorangpun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa Agung
Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya akan terjadi.
Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putungpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan yang bersarang di
dalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan.
Ki Tanu Metir yang melihat
perasaan itupun kemudian berkata, “Angger Swandaru. Aku akan mencoba
menunjukkan beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-mata
aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar kepercayaan
kepada Angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia. Mungkin
memang tidak akan dapat berhasil seperti yang diharapkan, misalnya, dalam waktu
yang pendek akan segera dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada
usaha ke arah itu. Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari
sedikit.”
Swandaru tiba-tiba menjadi
gembira. Kalau ia akan dapat melihat apapun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir,
maka ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian, maka
ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menjadi seorang murid yang tekun.
Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti sepanjang
umurnya.
Karena itu ketika Ki Tanu
Metir mengajak mereka itu ke halaman, maka dengan serta-merta Swandaru itupun
berdiri dan berkata, “Benar-benar diluar kemampuanku untuk memikirkan apa yang
telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku
berjanji, bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku
sendiri dan demi kelangsungan ketentraman di daerah ini.”
“Bagus” desis Ki Tanu Metir.
“Angger adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu.
Mudah-mudahan Angger akan dapat membawa bekal secukupnya.”
“Terima kasih Kiai” jawab
Swandaru.
Ki Tanu Metir itupun kemudian
berjalan mendahului mereka. Tetapi di muka pintu ia berhenti. Sambil berpaling
ia berkata, “Kita ke Gunung Gowok.”
Swandaru tidak peduli, apakah
permainan itu dilakukan di rumah, di halaman, atau di Gunung Gowok. Karena itu
ia menjawab, “Marilah. Aku akan ikut kemana Kiai akan pergi.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan ke halaman. Ki
Demang Sangkal Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat
dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya Untara
sajalah yang tinggal di pringgitan dan kembali ia membaringkan dirinya.
Para penjaga regol yang melihat
mereka keluar menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Kemanakah mereka
itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang. Sekarang
mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada
seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu?
Tetapi mereka tidak bertanya
terlalu banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun
Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya, “Berjalan-jalan”
katanya.
Mereka itupun kemudian
berjalan tergesa-gesa ke Gunung Gowok. Di sepanjang jalan itu, mereka hampir
tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan
angan-angannya.
Ki Tanu Metir itupun sibuk
pula dengan pikirannya sendiri. Adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan
memaksa seseorang untuk menjadi muridnya, tidak atas permintaan anak itu
sendiri. Hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan
kepada anak itu sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya.
Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Widura. Dan ia tidak dapat membiarkan
anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan orang lain yang mendendamnya. Ia
harus menolongnya, meskipun dengan demikian terjadi kejanggalan itu.
Pada saat permulaan dari
penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik
perhatiannya pada Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari
Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak
Demang, sehingga seakan-akan iapun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh
ayahnya, Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi muridnya. Namun
ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-hal yang tidak dimengertinya itu
lambat laun namun dalam kebimbangan ia menunggu, meskipun telah didengarnya
beberapa keterangan mengenai dirinya.
Tetapi dengan demikian, maka
Swandaru mempunyai sifat yang lebih terbuka pula. Ia lebih senang melihat dan
membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki di dalam hatinya.
“Namun anak muda itu harus
tahu” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya. “Bahwa bukan kehendakku untuk
mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku lakukan adalah
untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia seharusnya tidak
berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi harus benar-benar
bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri.”
Tetapi Ki Tanu Metir belum
dapat mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan segera
dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus melihat sesuatu
lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya dan kepercayaannya.
Tetapi apa?
Ki Tanu Metir menarik nafas
panjang. Ia harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain.
Benar-benar suatu hal yang asing baginya. “Mudah-mudahan aku tidak sekedar
terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum di dalam hati.
Tanpa terasa merekapun
kemudian sampai pula di sebuah tanah lapang kecil di dekat puntuk kecil yang
bernama Gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan gunung
itu. Kepada batang kelapa sawit di atasnya, dan kepada tanah lapang yang kecil
itu. Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri.
Swandaru menjadi gembira.
Dilihatnya bintang-bintang yang bergantungan di langit yang biru. Dilihatnya
awan yang tipis bergerak lembut ke utara.
Sesaat Ki Tanu Metir berdiri
termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah permainan
yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam keadaan yang
serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih dahulu, maka malahan
terasa menjadi sulit.
Setelah sesaat mereka tegak
membeku, maka Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. Karena itu,
maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya di ikat
pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru, “Lihatlah Ngger,
mungkin kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potongan-potongan
besi semacam ini Ki Tambak Wedi mencoba menakut-nakuti lawannya. Dengan
tangannya Ki Tambak Wedi membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga hampir
berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan bentuk senjata yang disukainya di
samping nenggalanya seperti kepunyaan Sidanti yang tertinggal di Sangkal
Putung.”
Swandaru tidak menjawab. Ia
hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan dilakukan
oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu.
Orang-orang yang berdiri tegak
itupun kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian
dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir berbentuk
sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih
Widura. Ia pernah melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan permainannya
semacam itu.
Tetapi mereka terkejut ketika
Swandaru itu berkata, “Kiai, apakah aku tidak dapat melakukannya?”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu
diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru. “Apakah Angger ingin
mencoba?”
Swandaru menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Biarlah aku mencobanya Kiai.”
Swandaru kemudian menerima
potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan
besi itu berganti-ganti.
“Silakan Ngger, silakan
mencoba.”
Swandaru itu masih berbimbang
hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat
oleh Ki Tanu Metir.
Ketika ia mencoba
melengkungkan besi itu, Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan
itu amat mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada
padanya. Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi
itu.
Ternyata kekuatan Swandarupun
benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian
perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.
Nafas Swandaru menjadi
terengah-engah. Ternyata kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini
hanya mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itupun telah dikerahkan
tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat berbuat
demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu.
“Bagaimana Ngger?” bertanya Ki
Tanu Metir kemudian.
Swandaru menyerahkan potongan
besi itu kembali sambil berkata, “Aku tidak mampu Kiai.”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Dilihatnya mata Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu
Metir melihat kepercayaan yang mulai tumbuh di dalam hati Swandaru. Namun
kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar
memiliki kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu.
Sebenarnyalah bahwa
Swandarupun belum pernah melihat kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain.
Tetapi Swandaru telah mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, selain setiap orang menyebutnya sebagai
seorang yang paling ditakuti di sekitar gunung Merapi. Swandaru percaya karena
hampir setiap mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah seorang
yang sama sekali tak dikenal sebelumnya.
Ki Tanu Metir menyadari
keadaan itu. Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain
terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran sebenarnya dari
seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari pendapat itu. Karena itu, maka
ia masih harus mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon muridnya
itu.
Namun setiap ia akan mulai,
maka keragu-raguannya tumbuh kembali didadanya. Permainan yang manakah yang
sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau Widura
bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan
kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan Agung Sedayu
telah bersama-sama bersetuju. Kalau demikian, maka sebaiknya Swandaru itu
sendiri yang melakukannya.
Tetapi sudah tentu, bahwa
permainan itu tidak harus merupakan perkelahian. Karena itu, maka berkatalah Ki
Tanu Metir kepada Swandaru, “Kau telah melihat pameran dengan kekuatan Ngger.
Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat menyelamatkannya
dari orang lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan seseorang
juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang marilah kita melihat, apakah kita
cukup memiliki kelincahan.”
Sebelum menjawab, maka Ki Tanu
Metir itu kemudian mencari beberapa buah batu. Batu itupun kemudian
diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian katanya
kepada Swandaru, “Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah Angger
Swandaru mampu menyentuh aku di dalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat terlalu
jauh keluar lingkaran atau apabila Angger Swandaru berhasil menyentuh tubuhku,
maka aku telah Angger kalahkan.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Permaian ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu
maka ia menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya, “Marilah
Ngger. Kejarlah aku.”
Swandaru menarik nafas.
Meskipun demikian dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir di dalam
lingkaran itu. Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap
dirinya sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu
Metir itu dengan segan-segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan
dengan loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya.
Tetapi semakin lama Swandaru
itupun menjadi semakin jengkel. Telah berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap
kali orang tua itu selalu menghindarinya. Karena itu semakin lama Swandaru
menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia tinggal
mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk mendapat serangan atau apapun
dari orang tua itu.
Tetapi ia tidak pernah
berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang tua itu menjadi semakin cepat
pula. Sekali-sekali merunduk, namun di saat yang lain meloncat tinggi-tinggi.
Bahkan ketika Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan
sepenuh tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah
membingungkannya. Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika
orang tua itu memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada di
belakangnya.
Ternyatalah kemudian bahwa
bukan Swandaru yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki
Tanu Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung, “Satu, dua, tiga……” dan
setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya.
Ketika hitungan Ki Tanu Metir
telah sampai bilangan ke duapuluh lima, maka ia berkata, “Kalau kita bertaruh
Ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka duapuluh lima butir Angger harus
membayar.”
Akhirnya Swandaru itupun
berhenti. Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan
dengan kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata, “Tidak
dapat. Tidak dapat Kiai.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan permainan yang
sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan kekuatan dan
kelincahan yang luar biasa.
Ki Demang Sangkal Putung yang
telah memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera melihat,
bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh kesederhanaan. Ia
tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan
mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan dengan demikian, maka
Ki Demang itupun segera memahami, bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki
Tanu Metir. Bukan orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya.
Namun berbeda dengan Swandaru
sendiri, Swandaru adalah anak muda yang sedang berkembang. Angan-angannya
membumbung tinggi ke atas awan di langit yang biru. Tak pernah ia puas melihat
keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat dan
mengejutkan.
Karena itulah maka ia sama
sekali belum puas dengan apa yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia
tidak mampu menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah
kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu
berbuat sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan
tangannya sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan main-main
kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat melihat kelincahan dan
kecepatan bergerak Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir yang melihat
Swandaru itu berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya, “Bagaimana
Angger Swandaru. apakah Angger dapat memahami apa yang Angger lihat?”
“Tetapi dalam keadaan bahaya
Kiai,” jawab Swandaru, “kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan
diri. Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari dan
menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya “Yang paling baik bagi kita Ngger, adalah
menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita dalam
setiap pertempuran?”
Swandaru menjadi semakin tidak
mengerti. Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar
menghindarkan diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya,
“Jadi, apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak
Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika aku bertemu dengan Sidanti, dan
ia menyerangku, apakah aku hanya akan mampu melarikan diri, atau katakanlah
menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian persoalanku dengan Sidanti
selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu disaat yang lain?”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki
Tanu Metir.
“Kalau aku bertempur,” sahut
Swandaru dengan nada yang berat, “maka aku harus dapat menghindari serangan
lawan dan harus pula dapat membinasakan lawan.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menarik nafas. Katanya, “Jadi Angger harus dapat membinasakan lawan dalam
artian membunuhnya atau bagaimana?”
“Ya, demikianlah seharusnya.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam
antara Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan
mungin sebaya, namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus
dihadapinya dengan cara berpikir berbeda.
Swandaru, seorang anak yang
bertubuh kokoh kuat dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa
pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia dihadapkan pada kekisruhan
yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan lahiriah
semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau tidak ingin
dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah, dibinasakan atau
membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan
lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat membinasakan lawan
dalam tekad dan tujuannya yang salah, dan menjadikannya orang yang baik
sehingga menyadari kesalahannya, untuk seterusnya menghentikan
perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap sebagai usaha yang berhasil,
meskipun tanpa membunuhnya.
Tetapi ia tidak dapat
memberitahukan hal itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan
segera dapat mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu
diperlukan waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan
untuk Swandaru akan jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung
Sedayu. Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai suatu kelemahan
atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng.
Namun banyaklah contoh-contoh
yang akan dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika akan
dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus dan menjadi
seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi dalam
banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun persoalan yang
lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh Widura. Para pengikut Arya
Penangsang sampai saat itu, masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya.
Sehingga karena itu maka mereka terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tercela.
Bukan sebagai seorang prajurit yang memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi,
tetapi kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakut-nakuti rakyat.
Apa yang terjadi dihadapan
Swandaru itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan
tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak oleh mata.
Ki Tanu Metirpun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan,
tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan.
Karena itulah maka Ki Tanu
Metir itupun kemudian tidak mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan
Swandaru, meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu
contoh yang tepat menurut selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi
apakah yang dapat dipertunjukkan di hadapannya. Di hadapan Swandaru dan
orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya atau
memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak tangannya?
Tetapi bagaimanapun juga Ki
Tanu Metir harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat menurut
seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka lebih baik
baginya untuk bertanya saja. Katanya, “Angger Swandaru, kalau Angger tidak puas
dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah yang Angger senangi?”
Swandarupun tertegun diam. Ia
sendiri menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang
jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia mendengar
pertanyaan itu, maka iapun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya,
tetapi ia tidak dapat mengatakan.
Karena itu, maka Swandaru
itupun berkata dengan jujur. “Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi
laki-laki yang sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya
seperti Kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan
pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menarik nafas dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru
ternyata adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam
perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengangankan
kemenangan lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi
Ki Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata apa saja yang
dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir masih mempunyai harapan, bahwa
kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya sedikit demi sedikit.
Kali ini, Ki Tanu Metir
benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain.
Tetapi bagaimana?
Tiba-tiba orang yang tampaknya
demikian lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu
meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata, “He Angger Widura,
cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan
Swandaru. Cepat sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini.”
Hampir tak terlihat oleh mata
mereka, Ki Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang
berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur melawan Ki
Tambak Wedi. Tetapi cambuk ini agak lebih kecil.
Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu
benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan senjatanya.
Letusan cambuk itu meledak-ledak di telinga Swandaru seperti letusan-letusan
bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru benar-benar terkejut melihat
gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya.
Dan dengan serta-merta iapun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal
datang.
Widura dan Agung Sedayupun
segera menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa
menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah membantu
meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir.
Tetapi kembali Swandaru
terkejut bukan kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa
seakan-akan sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu
Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu dari
tangannya.
Sesaat Swandaru tegak seperti
patung. Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah daripadanya.
Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia tidak
bergerak seperti tonggak.
“Kenapa pedangmu kau
lepaskan?” bertanya Ki Tanu Metir.
Swandaru tidak menjawab. Namun
ia segera menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah
menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun serangan
keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan
berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.
“Mereka tidak
bersungguh-sungguh” pikir Swandaru. “Aku akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus
yang kagum melihat kucing menari-nari.”
“Beri kesempatan aku mengambil
senjataku” teriak Swandaru.
“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir
sambil melayani Agung Sedayu dan Widura.
Ki Tanu Metir itupun kemudian
berkata pula, “Marilah Ki Demang, kita bermain-main.”
Ki Demang belum lagi selesai
mengelus dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu
bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi ia
tersadar ketika Swandaru berbisik, “Mereka hanya pura-pura. Mari ayah, kita
buktikan, apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja.”
Mula-mula Ki Demang Sangkal
Putung merasa segan pula. tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan
pedangnya seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka
perlahan-lahan Ki Demang itupun menarik pedangnya pula.
Kini mereka bertiga menghadapi
Ki Tanu Metir dengan pedang ditangan. Swandarupun kemudian dengan tergesa-gesa
memungut pedangnya pula. Dengan hati-hati ia segera mendekati lingkaran
pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa iapun memiliki kekuatan yang
dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit pedangnya, maka
pedang itu akan dipertahankan dengan kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu
memiliki kekuatan yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya,
sedangkan orang-orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila
Widura dan Agung Sedayu hanya berpura-pura saja.
Tetapi sekali lagi Swandaru
itu terkejut bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu,
tiba-tiba sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia
mendengar Ki Tanu Metir itu berkata, “Jangan lepaskan Swandaru”
Swandaru menggeram.
Berlari-lari ia memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang.
Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi
bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya, maka
pedang itu dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya
terjerembab.
Tertatih-tatih Swandaru segera
berusaha bangun. Sekali lagi menggeram. Swandaru merasa bahwa tarikan ujung
cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam pedangnya
terlampau erat, sehingga ia tertarik ke depan dan kehilangan keseimbangan.
Ketika ia tegak berdiri,
dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki
Demang Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa
tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia
terpaksa jatuh terjerembab mencium tanah.
Dengan lengan bajunya,
Swandaru membersihkan debu yang melekat diwajahnya. Bajunyapun menjadi kotor
pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia benar-benar
akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu
Metir, namun apabila ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk
yang kecil itu akan terputus oleh tajam pedangnya, meskipun terbuat dari janget
tenatelon sekalipun.
Karena itu, maka kini Swandaru
memungut pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan
hati-hati ia berjalan ke titik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya kearah
Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya. Sedang kedua
kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit. Kini
Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung kearah Ki Tanu Metir. Namun
Swandaru itu sama sekali tidak bergerak. Kakinya seakan-akan menghunjam jauh ke
dalam tanah, sehingga anak muda itu kini seakan-akan sebuah pokok dari sebatang
pohon yang berakar jauh ke pusat bumi.
“Kali ini aku akan bertahan
sekuat-kuat tenagaku” kata Swandaru di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian
maka Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman pedangnya serta
kedua belah kakinya.
Beberapa saat ia melihat
pertempuran itu masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah
dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya gerak
sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat menjilat
langit dan memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru
masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan yang keempat. Pedangnya
terjatuh atau dirinya terjerembab.
Tetapi kembali Swandaru itu
terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari
tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung ketika
Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya, “Swandaru, dengan berdiri mematung
seperti itu, kau tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya lawanmu
itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba menyerangmu dari arah yang dipilihnya.
Sedang engkau sendiri hanya tegak saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?”
Pertanyaan itu benar-benar tak
diduganya. Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan wajahnya menjadi merah.
Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Tetapi
kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat
bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak.
Karena itu, maka tiba-tiba
Swandaru itu segera meloncat, menyerbu ke dalam pertempuran itu. Digerakkan
pedangnya dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi
pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.
Kali ini Swandaru benar-benar
terpaku di tempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun dengan demikian,
benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki Tanu
Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan sama
sekali untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak mendapatkan
waktu sekejappun untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Sehingga dengan
demikian, maka tiba-tiba Swandaru berkata, “Aku tidak akan mengambil pedangku
kembali.”
Ki Tanu Metir tersenyum dalam
hati. Tetapi terdengar ia bertanya, “Kenapa Ngger?”
“Hem” Swandaru menarik nafas
panjang-panjang. Jawabnya, “Tak ada gunanya.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Ki
Tanu Metir.
“Ya bagaimana? Aku sama sekali
tidak sempat berbuat apa-apa.”
Ki Tanu Metir itupun kemudian
meloncat beberapa langkah ke belakang sambil berkata, “Sudahlah. Kita akhiri
pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.”
Perkelahian itupun segera
berakhir. Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat
Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya
bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apapun juga.
“Bagaimana?” bertanya Ki
Demang Sangkal Putung pada anaknya.
Swandaru menggeleng-gelengkan
kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh, “Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali
tidak.”
“Kenapa?” bertanya Widura
sambil tertawa.
Sekali lagi Swandaru
menggelengkan kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali.
Namun kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki Tanu
Metir benar-benar orang yang luar biasa.
Tetapi meskipun demikian,
selera Swandaru agak berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang
memiliki kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya yang besar dan hampir
bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak cepat. Karena itu, maka ingin
sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan suatu perbuatan yang dapat
menggetarkan dadanya.
Namun ia tidak berani
mengatakannya. Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. “Mungkin suatu ketika
aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu berbuat seperti
itu. Membanggakan kecepatan gerak tanpa dasar kekuatan?“ Namun kemudian katanya
didalam hatinya, “Tetapi Ki Tanu Metir mampu melengkungkan sepotong besi.”
Swandaru itu menggeleng
kepalanya kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya
pula, “Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau
menggempur padas itu sampai pecah.”
Tetapi Swandaru tidak
mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja di dalam hatinya.
Berbeda dengan Ki Demang
Sangkal Putung. Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu.
Orang itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan
sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir
mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga Swandaru
sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bermain pedang, tetapi orang tua
itu kagum juga akan cara Ki Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa
bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu
berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan tidak menunjukkan kesadaran diri akan
kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar jarang
ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan perasaan dan pikiran.
Orang-orang yang berada di
lapangan kecil itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang
bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal di langit, satu demi satu
telah menghilang. Sedang di timur membayang warna semburat merah mengusap
langit yang biru kehitaman.
“Hampir fajar” desis Ki Tanu
Metir.
“Apakah permainanmu ini sudah
cukup?” bertanya Widura kepada Swandaru.
Swandaru mengangguk kepalanya.
Jawabnya, “Sementara sudah cukup Paman.”
“Sementara?” ulang ayahnya.
Swandaru tidak menjawab.
Ditundukkannya kepalanya. Namun hatinya menyahut, “Ya. Sementara. Aku ingin
melihat kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau mengeringkan
lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti
melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hidup. Yang menggetarkan dada
ini.”
Namun kata-kata itu sama
sekali tidak terloncat dari bibirnya.
“Nah, apakah kita dapat
kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir.
Semuanya mengiakan. Mereka
segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka.
Ketika fajar merekah, maka
burung-burung liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan
selamat pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung
pepohonan yang hijau segar. Di langit awan yang putih berhamburan mengalir ke
utara didorong oleh angin ngarai.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Anak muda itu tegak berdiri di samping kandang kuda di belakang
rumah kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main di atas tanah
yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran.
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti di halaman ini, di
samping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih
banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah
berjanji untuk menjadikannya seorang murid.
“Mudah-mudahan aku dapat
menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata
Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya.
Agung Sedayu itu kemudian
berpaling ketika ia mendengar gerit senggot di atas sumur. Dilihatnya seorang
gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir. Gadis
yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah segar dalam
siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main di tubuhnya. Tubuh yang bulat
segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak
saja duduk bersolek di dalam biliknya tetapi juga bekerja keras membantu ayah
bundanya.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu
tersenyum kepadanya, “Biarlah aku membantumu.”
“Jangan, Tuan” sahut Sekar
Mirah. “Biarlah aku mengambil air sendiri.”
Panggilan itu terasa asing
baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar sebutan itu.
Karena itu, maka katanya, “Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita
yang menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi
diperkenankan bersikap terlalu hormat.”
Sekar Mirah menundukkan
wajahnya. Dilihatnya bayangannya di dalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja
yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap ketika
upihnya menyentuh permukaan air itu.
“Bagaimana aku harus menyebut
Tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.
“Bertanyalah pada Swandaru”
sahut Agung Sedayu. “Bagaimana ia menyebut aku sekarang.”
“Ah” Sekar Mirah itu
tersenyum. Diangkatnya takir upihnya ke atas. Dan dituangkannya air dari takir
upih sebesar bejana itu ke dalam kelentingnya.
“Marilah, aku ambilkan air
untukmu” berkata Agung Sedayu.
“Jangan Tuan” jawab Sekar
Mirah.
“Jangan panggil demikian.”
“Bagaimana?”
“Bertanyalah pada kakakmu.”
“Baik, aku akan merubah
panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan Kakang Swandaru. Bukankah
sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil Tuan?”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya, “Kenapa bukan orang
lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”
“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah.
Agung Sedayu terdiam.
Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti baru
sekali dilihatnya.
Sekar Mirah yang merasa selalu
diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian, “Tuan,
apakah yang aneh padaku?”
“Oh” wajah Agung Sedayu
menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata, “Tak ada. Tak
ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air.”
“Tak usah” sahut Sekar Mirah.
Agung Sedayu tidak lagi
memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan
kemudian menjinjingnya pada lambungnya.
“Berat?” bertanya Agung
Sedayu.
Sekar Mirah menggeleng lemah.
“Tidak” jawabnya. “Aku sudah biasa mengambil air.”
Agung Sedayu tidak
berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing
kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu.
Cepat, lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.
“Gadis yang keras hati” desah
Agung Sedayu.
Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai
hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang dari
anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi seorang, dan
dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang melawan musuh-musuhnya.
Itulah sebabnya mula-mula
Sekar Mirah hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu
untuk bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Didesaknya pemuda itu untuk
menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti
untuk meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan datang.
Dan Sidanti mendengarkannya
dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa
yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. Ia
adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya
sendiri.
Sebagai api yang disiram
minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat yang tersimpan dihatinya menjadi
semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki Tambak Wedi.
Seorang yang bercita-cita setinggi awan di langit. Namun dirinya sendiri tidak
pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya dirinya
sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti di daerah lereng Gunung
Merapi. Pertemuan di antara merekalah yang sebenarnya telah membakar Sangkal
Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang nyata-nyata berhadapan beradu
dada, namun Sidanti ternyata merupakan bahaya yang membayang di balik punggung.
Tetapi ternyata Sekar Mirah
itupun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin
didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu Sidanti yang
menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk dirinya
sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang
baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak untuk Pajang,
tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar Mirah adalah seorang gadis
yang cantik.
Ketika kemudian hadir Agung
Sedayu, maka hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan
seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya.
Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang
untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya.
Tetapi Sekar Mirah belum
menemukannya pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar
seorang yang berjuang dengan tulus.
“Ia adalah kemenakan Paman
Widura” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. “Sehingga karena itu maka ia
tidak akan berani berbuat di luar kehendak pamannya itu.”
Karena itu, maka Sekar Mirah
menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding di lapangan, antara Sidanti
dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya benar-benar
berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta
nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan di tangannya. Ia melihat anak
muda itu dengan penuh tekad menentang setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu
seolah-olah dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian
perasaan Sekar Mirah itu terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam
kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan
bidiknya telah menariknya ke dalam satu pertimbangan yang kacau.
Kemenangan Agung Sedayu pada
saat itu telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti
pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap
keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti.
Bahkan meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang,
maka masa-masa yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang
dimilikinya sendiri. Bukan masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan
dirinyapun bagi Sidanti, pasti hanya akan dipergunakan untuk kepentingan anak
muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih
terang, bagi Sidanti.
Tetapi kini Sidanti sudah
tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya.
Ia mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian di antara
Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti
tidak akan memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang.
Tetapi karena itulah maka Swandarupun menjadi terlibat pula ke dalamnya.
Sekar Mirah yang kemudian
bekerja di dapur itupun tidak dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu
tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Di hari-hari yang
lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru sejak
akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan di halaman. Namun wajahnya
masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi kini sudah
tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar Mirah tidak dapat mengingkari
dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus
dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala di dada Sedayu itu
sedahsyat api yang menyala di dada Sidanti?
Hari itu Sangkal Putung tidak
mendapat perubahan apa-apa. Seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk
dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang mengawasi
keadaan. Dan warung di ujung desa masih juga ramai dikunjungi para pembeli dan
penjual yang tidak berani pergi ke tempat yang lebih jauh.
Untara kini telah menjadi
lebih baik. Ia telah dapat turun ke halaman dan melihat laskar Pajang melakukan
tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan rumah
tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang berhubungan
dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai manusia.
Ketika Untara itu bertanya
kepada seorang yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya
jawaban, “Aku beranak sebelas tuan.”
“Sebelas?” Untara terkejut.
“Dimana sekarang mereka tinggal?”
“Pengging.”
“Kau berasal dari Pengging?”
“Ya” jawab orang itu.
Untara meninggalkannya.
Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya menunggunya di rumah.
Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.
“Hem” Untara menggeram.
Katanya dalam hati, “Persoalan Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau
tidak, maka persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk
merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan
tahun.”
Tetapi Untara harus menunggu
punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia
akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh hanya
menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk di jantung pertahanan dan
tempat persembunyian mereka.
Adapun Agung Sedayu dan
Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi
dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing.
Namun Ki Tanu Metir sendiri
itupun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah sebenarnya ia seorang
dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan
Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru? Namun Agung Sedayu dan
Swandaru sama sekali tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu
dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu itu kelak.
Sejak hari itu, maka Swandaru
dan Agung Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir
membawa mereka ke sungai yang agak jauh dari Sangkal Putung. Di sanalah mereka
mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai
dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan
petunjuk-petunjuk itu dan mencoba mengertinya.
Agung Sedayu mendengarkan
setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan
dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu terbuang-buang.
Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak
daripada harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal yang penting
untuk masa depannya.
Tetapi Ki Tanu Metir itu
berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.
“Anak-anakku” berkata Ki Tanu
Metir. “Apa yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi
masa-masa mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa
lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu
tidak selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi
alat hanya akan dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Swandaru memandangi percikan-percikan
air yang mengalir di bawah batu-batu tempat duduk mereka.
“Hari ini adalah hari yang
pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu. “Dan di hari pertama kalian
harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik.
Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya akan
dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat kalian pakai. Namun
jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada kemungkinan untuk
mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat yang paling jelek
yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah ada di dalam
dirimu. Kasih sayang di antara sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat
dari ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian
mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu.”
Kembali Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Swandaru masih saja memandangi percikan air
di bawah tempat duduk mereka.
“Apakah kalian mengerti
kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu
dan Swandaru hampir bersamaan.
“Bagus” berkata Ki Tanu Metir
kemudian. “Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada
seorangpun di dunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan
dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang
lain lagi. Lebih baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang
hidupmu, daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan
ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang wajib kalian tegakkan. Sudah tentu
tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain.”
Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya dan kali inipun Swandaru mengangguk-angguk pula.
“Nah, kita kembali
kekademangan” berkata Ki Tanu Metir.
Swandaru terkejut. Jadi hanya
inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar lagi. Sidanti
dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat mencapai
ilmu yang diharapkannya?
Ki Tanu Metirpun meihat
perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh
keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itupun bertanya, “Kenapa Ngger?”
Swandaru mengangkat alisnya.
Kemudian jawabnya, “Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?”
“Ya.”
“Kenapa hanya duduk-duduk
begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”
Ki Tanu Metir memandang
Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya
sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak menjadi
kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh
itu.
“Swandaru” berkata Ki Tanu
Metir. “Lebih baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang.
Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang
sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang
mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar ke
segenap sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hari. Hari ini
kau dapat berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi.”
“Baik Kiai” jawab Swandaru.
“Aku sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku
bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain
untuk melawannya.”
Ki Tanu Metir terkejut
mendengar kata-kata itu. Namun kemudian iapun tersenyum. Jawabny,a “Angger,
ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu
diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih.
Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan
menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau
harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan
demikian kau memerlukan waktu yang lama?”
Alangkah kecewanya Swandaru
mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa
berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap
kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat
diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja di terik
matahari, sesudah itu pulang kembali ke kademangan. Bukankah dengan demikian
mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka akan kehilangan waktu
pula. Lusa dan seterusnya.
Tetapi Swandaru itu tidak
berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, iapun
segera berdiri pula.
Namun Ki Tanu Metirlah yang
masih berkata lagi. Katanya, “Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal
untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan segera
dapat menyusul Sidanti itu.”
“Ya Kiai” sahut Swandaru
kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa
melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia masih harus
menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat apa-apa di hari
pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.
Ia tersadar ketika Ki Tanu
Metir itu berkata pula, “Marilah kita pulang.”
“Marilah Kiai” sahut Swandaru
kosong.
Tetapi sekali lagi Swandaru
heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ke tengah sungai sambil mengajak mereka,
“Mari ikuti aku.”
Swandaru dan Agung Sedayu
menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia
malahan pergi ke tengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti semula.
Tetapi Agung Sedayu segera
mengerti maksud orang tua itu. Iapun kemudian mengikutinya meloncat dari batu
ke batu menyusul Ki Tanu Metir.
“Bukankah sungai ini nanti
akan sampai di pinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah
halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.
“Ya” jawab Swandaru yang
berdiri di tepian.
“Karena itu, marilah kita
mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai.”
“Ah” desah Swandaru. “Aku
lebih senang menyusur tanggul ini.”
Ki Tanu Metir tertawa. Agung
Sedayupun tersenyum pula. Agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud
gurunya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Swandaru, mari kita
bermain kejar-kejaran di atas batu-batu ini.”
Swandaru menggeleng malas. Ia
semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih
harus bermain seperti anak-anak.
Tetapi kembali Agung Sedayu
mengajaknya sambil tertawa, “Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat
dari batu ke batu. Marilah.”
Kembali Swandaru menggeleng.
Katanya dalam hati, “Ah, apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik memberitahukan
kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur gerak, satu atau dua,
untuk diulang-ulang.”
Tetapi dengan demikian Agung
Sedayupun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud
orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya
sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu
itupun terpaksa berkata, “Swandaru, kau ikut berlatih atau tidak?”
Swandaru terkejut. “Berlatih?”
ulangnya. “Berlatih apa?”
“Inilah latihan pertama yang
harus kita lakukan.”
“Oh” Swandaru itu tertegun
sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat
dari satu batu ke batu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air
sedikitpun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil dan
goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerakpun tidak.
Sesaat Swandaru terpaku di
tempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang sedang
menari. Di belakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu
meloncat pula dari batu kebatu. Namun tampaklah betapa ia masih harus
memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan
oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus berhenti menjaga
kesetimbangan tubuhnya.
Tiba-tiba Swandaru itupun
tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam, “Alangkah bodohnya aku.
Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu.”
Maka dengan serta-merta
Swandaru itupun berteriak, “Tunggu, aku ikut serta.”
Ki Tanu Metir itupun segera
berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan
dilihatnya Swandaru Geni meloncat ke atas sebuah batu yang besar. Tubuhnya yang
bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri di atas batu itu.
Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa
sambil berkata, “Tunggulah, aku akan segera sampai ke tempatmu Kakang Sedayu.”
Swandaru itupun segera mulai
dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu ke batu yang lain. Dicobanya juga
meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun
sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan pada
batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk ke dalam
air.
“Gila” gumamnya seorang diri.
Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari
dalam air seperti seekor tikus kehujanan.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir
tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri
di atas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata, “Bukan apa-apa. kau hanya jatuh
ke dalam air.”
“Ya, tidak apa-apa” sahut
Swandaru kesal.
Tetapi tiba-tiba ia mengumpat
ketika Ki Tanu Metir berkata, “Ulangi. Ulangi sekali lagi.”
“Kenapa aku harus mengulangi.
Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh ke dalam air?”
“Tidak” jawab Ki Tanu Metir.
“Latihan ini adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu,
maka Angger harus dapat melakukannya.”
Swandaru bersungguh-sungguh.
Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali lagi
meloncat ke jurusan Agung Sedayu. Namun kali inipun Swandaru masih belum dapat
berdiri dengan tegak pada batu yang telah menggelincirkannya. Namun kali ini ia
tidak jatuh bulat-bulat ke dalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas
keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak di
atas kakinya, meskipun di dalam air juga.
“Bukan main” Swandaru itu
mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.
Swandaru terpaksa mengulangi
sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan
hati-hati ia meloncat dari satu batu ke batu berikutnya. Dan ketika ia meloncat
ke batu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya keseimbangan
tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam
pemusatan perhatian yang bulat.
Swandaru menarik nafas panjang
ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi
bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia tidak tahu
apakah sebabnya hal itu dapat terjadi. “Mungkin karena aku telah melakukannya
tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.
Tetapi ia tidak dapat terlalu
lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat
wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata, “Marilah, teruskan perjalanan ini
sampai ke ujung desa Sangkal Putung.”
Agung Sedayupun kemudian
berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali,
dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itupun bergerak sedikit
ke samping, dan kini Agung Sedayulah yang terbanting di permukaan air.
Swandaru terkejut, namun
kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu
mandi. Kakangpun harus mandi pula.”
Ki Tanu Metirpun berhenti
pula. Dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya,
bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan
dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.
“Hem” desis Swandaru. “Memang
segar Kakang, mandi dengan segenap pakaiannya.”
Agung Sedayu tersenyum.
Katanya, “Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru.”
“He” Swandaru mengerutkan
keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang
seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak seberapa deras.
“Ah” katanya dalam hati.
“Bagaimana mungkin.”
Sesaat kemudian dilihatnya
Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah
dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus dibetulkannya.
Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang tegang ditatapnya batu
itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia meloncati
kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada batu yang agak
goyah itu. Namun kali ini ia berbuat cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan
tidak berpijak pada batu itu. Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya
yang lain segera meloncat kebatu yang lain pula.
Batu itupun bergerak pula
sedikit. Namun Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut, sehingga kali ini
Agung Sedayu selamat sampai ke batu berikutnya. Agung Sedayu itupun kemudian
berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Ketika ia sampai ke batu yang
goyah itu, maka ia bergumam di dalam hati “Aku sudah bersedia, dan aku tidak
akan jatuh lagi ke dalam sungai.”
Tetapi ternyata ia salah
sangka. Batu itu adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya, maka ketika ia
meloncat ke atasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan keseimbangan.
Meskipun ia berusaha untuk meloncat ke batu yang lain, namun ternyata ia tidak
berhasil.
Tetapi Swandaru kali ini tidak
mau jatuh sendiri ke dalam air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa
tiba-tiba terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru meraih
pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua ke dalam air bersama-sama.
Ketika mereka muncul lagi dari
permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti
meledak dari dada.
Ki Tanu Metir yang melihat
mereka bergumul di dalam air itupun tertawa pula terkekeh-kekeh, sampai
tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat
murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak melihat bahwa
beberapa orang melihatnya dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak
mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu.
Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu
Metir berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir kehilangan
keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang orang di
tepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metirpun
terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air.
Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut. Ki Tanu Metir itupun terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka
terlihat beberapa orang di tepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang
diantaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata,
“Lemparanmu tepat Kakang.”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru
terbelalak melihat orang-orang itu, seorang diantaranya adalah orang yang
bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Di tangannya tergenggam sebatang
tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan berbentuk sebuah
tengkorak.
Hampir saja Swandaru berdesis.
Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya berteriak, “Macan
Kepatihan.”
Agung Sedayupun berdiri tegak
tak bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika mendengar Ki Tanu
Metir berkata, “Le,Tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.”
Sesaat mereka heran melihat Ki
Tanu Metir tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun sekali-sekali ia
tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan terbata-bata ia
berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya.
Agung Sedayu cepat menangkap
maksud Ki Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang tua yang tak berdaya.
Karena itu segera ia berlari dan menolong Kiai Gringsing yang sedang menggigil.
Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya di atas sebuah batu yang
besar.
Sedangkan Swandaru melihat
perbuatan Sedayu itu dengan herannya. Kenapa orang tua itu harus ditolongnya
berdiri dan harus dipapah ke atas sebuah batu yang besar? Bukankah orang tua
itu pula yang telah memaksanya meloncat-loncat dan memberi mereka beberapa
contoh untuk melakukannya?
Namun Swandaru tidak bertanya
apapun juga. Iapun perlahan-lahan berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin
heran ketika dilihatnya orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah
tiga kali jatuh terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru
sekali jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian payahnya.
Tetapi ia menarik nafas ketika
ia mendengar orang tua itu berbisik, “Jangan terjadi bentrokan dengan
orang-orang itu sekarang.”
“Oh” desahnya. Sekali
dilayangkannya pandangan matanya ke tebing dan kemudian dipandanginya orang tua
yang duduk kedinginan di atas batu itu.
Tetapi Swandaru kini telah
mengerti maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung Sedayu dan
Swandarupun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir pasti akan
mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir di pinggir kali itu
Ki Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai pertimbangan lain sehingga
ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan Tohpati dan beberapa kawannya saat
ini.
“He!” tiba-tiba mereka mendengar
seseorang di antara orang-orang yang berdiri di tebing itu berteriak, “Siapakah
kalian?”
Ki Tanu Metir memandangi
mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar, “Kami orang-orang
Benda, Tuan.”
“Apa kerja kalian disini?”
“Kami sedang menyelusur air
sawah, Tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi.”
Orang-orang itu tertawa. Kata
salah seorang dari mereka itu, “Apakah kalian biasa mandi dengan seluruh
pakaian kalian?”
“Tidak Tuan. Salah seorang
anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat kawannya masih
tetap kering.”
Kembali mereka tertawa. Dan
kembali terdengar salah seorang berteriak, “Apakah benar-benar kalian hanya
menyusuri air?”
“Ya Tuan” sahut Ki Tanu Metir.
“Tetapi siapakah Tuan-Tuan ini?”
“Kami dari Sangkal Putung”
sahut orang yang bertongkat baja putih itu.
Swandaru menjadi
berdebar-debar. Ia pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu, selagi
Tohpati itu bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu hanya
sekejap dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu. Sehingga
agaknya Tohpati itu kurang mengenalnya.
Ki Tanu Metir kemudian
bertanya pula, “Apakah yang akan Tuan lakukan disini?”
“Hem. Aku ingin mendapat
beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan, “Ah, Tuan telah
memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di Sangkal
Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul beras, sehingga
kami sendiri akan menjadi kelaparan karenanya.”
Tohpati itu tertawa. Kemudian
katanya, “Bukankah dengan demikian kalian membantu perjuangan kami melawan
orang-orang Jipang?”
“Bagi kami Tuan, sudah tentu
lebih penting makan kami sehari-hari.”
Macan Kepatihan mengerutkan
keningnya. Dipandangnya ketiga orang yang berada di bawah tebing itu
berganti-ganti. Kemudian katanya, “He, apakah anak-anak muda itu tidak mau ikut
bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan Kepatihan?”
Ki Tanu Metir menggeleng. “Mereka
adalah cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup di rumah. Apakah
keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut bertempur?”
“Anak-anak muda seluruh
kademangan Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah menyumbangkan tenaga
mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu tidak ikut serta he?”
“Sudah aku katakan, buat apa
mereka ikut bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan orang-orang Pajang dan
orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?”
“Kami sedang mempertahankan
pendirian kami masing-masing. Kami tidak senang melihat pengikut-pengikut Arya
Penangsang berkeliaran.”
“Mungkin pimpinan Tuan tidak
senang melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya pertengkaran itu
berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka persoalan kalian
sebenarnya telah selesai.”
“Siapa yang bilang, he, Pak
Tua?”
Ki Tanu Metir tertawa.
Kemudian katanya, “Lima enam hari yang lalu, kawan-kawan Tuan datang ke
pondokku. Seorang bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh
seorang yang sudah menginjak setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan
kewibawaan yang tinggi. Namanya Untara dan Widura.”
Macan Kepatihan mengerutkan
keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang mereka lakukan dipondokmu?”
“Apakah Tuan-Tuan kenal
mereka?”
“Tentu” sahut Macan Kepatihan.
“Untara adalah senapati laskar Pajang di daerah ini. Di kaki-kaki Gunung
Merapi. Sedang Paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung.”
“Oh, jadi mereka adalah
pemimpin-pemimpin Tuan?”
Macan Kepatihan menggigit
bibirnya. Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia terpaksa
menjawab, “Ya, apa yang mereka lakukan?”
“Pertama, mereka mencari beras
seperti Tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras. Apakah Tuan tidak
mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga Tuan terpaksa mencari
sendiri?”
Tohpati terdiam sesaat. Tetapi
kemudian jawabnya, “Kau benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang
Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup untuk
tiga hari, paling lama lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan besok, lusa
dan seterusnya?”
“Dari desa-desa lain Tuan akan
dapat mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting. Yang penting
pemimpin-pemimpin Tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya mereka telah jemu
bertempur.”
“Tidak” sahut Macan Kepatihan.
“Apa yang tidak, Tuan? Apakah
Tuan tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Tuan pernah berkata demikian? Atau
apakah Tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga jenuh bertempur? Atau
Tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran?”
“Aku tidak percaya bahwa
pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak percaya bahwa
orang-orang Jipang telah jemu bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya bahwa
setiap orang sudah jemu melihat pertempuran.”
“Jadi jelasnya Tuan tidak
percaya kepadaku?”
“Bukan. Mungkin orang Pajang
berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang sebenarnya.”
“Mereka berbohong? Apakah
gunanya?”
“Orang-orang Jipangpun tidak
pernah merasa jemu bertempur. Mereka sedang memperjuangkan sebuah cita-cita.
Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.”
“Cita-cita?” bertanya Ki Tanu
Metir. “Apakah sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah mereka akan
menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu apabila
mereka sudah berhasil? Tuan. Apakah Tuan tidak sependapat dengan
pemimpin-pemimpin Tuan? Bahwa sebenarnya di antara mereka dan orang-orang
Jipang itu tidak terdapat soal-soal yang tidak perlu melibatkan mereka dalam
pertentangan yang berlarut-larut? Pemimpin-pemimpin Tuan itu berkata, bahwa
orang-orang Jipang yang sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah
orang-orang yang keras hati dalam kesetiakawanan mereka. Kalau mereka setia
pada cita-cita mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana.
Apapun yang akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya dapat
mereka tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari perjuangan Arya
Penangsang telah punah. Tak ada orang yang dapat menempatkan diri sebagai
penerus cita-cita itu. Tak ada orang yang dapat menamakan diri trah Sekar Seda
Lepen.”
“Tetapi itu adalah perjuangan
menuntut keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda Lepen? Kalau Sekar Seda
Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik ke atas tahta?”
“Ya,ya. Pemimpin Tuan juga
mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang Tuan juga
mengatakan.”
“Oh” Tohpati mengusap
kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang Sangkal Putung.
Tetapi tak seorangpun tahu
pasti, apa yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. Terdengar Ki Tanu Metir
meneruskan, “Dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam urut-urutan
dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi sesama kita?”
Tohpati terdiam. Sesaat sambil
mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Di dalam hatinya timbullah
berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari Padukuhan Benda
itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti, kenapa orang-orang dari
Benda dapat berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang tua itu.
“Mungkin orang-orang Widura,
atau Widura sendiri pernah berkata demikian seperti yang dikatakannya tadi”
berkata Tohpati dalam hatinya.
Kemudian suara di dalam
hatinya itu berkata pula, “Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah jemu
bertempur?”
Tohpati kemudian menggelengkan
kepalanya ketika di dalam hatinya terbetik suatu pertanyaan, “Apakah
orang-orang Jipang tidak jemu bertempur? Kapankah pertempuran itu akan
berakhir?”
“Tidak” kata-kata orang itu
dibantahnya sendiri di dalam hatinya pula. “Aku tidak akan pernah jemu
bertempur. Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu adalah
pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ke tepi jurang kehancuran mereka.”
Tetapi Tohpati itu terkejut
ketika Ki Tanu Metir berkata pula, “Nah, Tuan. Kalau Tuan tidak sedang
mengejar-ngejar orang Jipang, maka Tuan akan dapat hidup di dalam lingkungan
keluarga Tuan. Di dalam lingkungan anak istri Tuan kalau Tuan sudah punya.
Kalau tidak, maka ibu Tuan dan ayah Tuan tidak akan selalu menunggu Tuan di
ambang pintu halaman.”
“Kami bukan laki-laki cengeng”
sahut Tohpati. “Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Kaupun harus
mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera datang
ke Benda untuk mengambil beras itu.”
“Jangan tuan, jangan hari ini.
Tuan pasti akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami belum menumbuk padi.
Besok atau lusa baru Tuan dapat datang mengambilnya.”
“Aku perlu hari ini. Katakan
kepada penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat menunda kebutuhannya.
Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang, maka ia akan
dihabisi jiwanya. Kau dengar?”
“Huh, Tuan menakut-nakuti
kami. Laskar Jipangpun tidak mengancam sekasar itu, Tuan. Apakah Tuan sedang
bersenda gurau?”
Tohpati tersenyum di dalam
hati. Kalau ia dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat yang
mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang. Setidak-tidaknya di
Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya, “Persetan dengan laskar Jipang.
Apakah mereka juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?”
“Ya Tuan, kadang-kadang.
Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti Tuan.”
“Jipang ternyata sedang
berusaha mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk mendapat
dukungan. Tetapi Pajanglah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian tidak
bebas membantah perintahnya.”
Mata Agung Sedayu dan Swandaru
yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan kemarahannya yang selama
ini ditahan di dalam hatinya. Mereka tidak dapat mendengar fitnahan yang
sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Tetapi
sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang disembunyikan
di balik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka berbuat sesuatu.
Dalam pada itu, maka terdengar
Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Nah, itulah Tuan. Kalau kalian, Tuan-Tuan
tidak saling bertentangan, maka Tuan-Tuan tidak perlu berebut pengaruh atas
rakyat padesan. Tuan-Tuan dapat berbuat banyak untuk orang-orang kecil seperti
kami ini.”
“Tidak mungkin. Mereka
bertentangan kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan mempertahankan
kemenangan kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil.”
Mendengar kebohongan itu,
hampir-hampir Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menguasai diri. Tetapi
sekali lagi Ki Tanu Metir memberinya isyarat.
“Ya, katakanlah bahwa tuntutan
Arya Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang sekarang memegang
kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah hampir
punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Sunan Hadiri
dari Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal adalah Adipati Jipang.
Katakanlah bahwa Arya Penangsang sedang berjuang menuntut warisan. Lalu, apakah
Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan rela hati menyerahkan lehernya untuk
dipancung? Sedang Hadiwijaya itu sama sekali tidak tahu menahu tentang
terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajangpun merasa, bahwa kini
sedang memperjuangkan keadilan?
Nah Tuan, selama keadilan itu
dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan
dapat serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang
dikatakan pemimpin Tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut adalah
menjemukan sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada
kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan menguras lumbung-lumbung
kami. Beras-beras kami dan hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau
Tuan tidak saling bertentangan menimbang dendam dihati, maka kami akan dapat
bekerja dengan baik, dengan tenang, dengan tentram. Dan Tuan-Tuan yang
bijaksana akan dapat menuntun kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam
bermain pedang dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami
sehari-hari.”
Macan Kepatihan terdiam pula
sesaat. Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut hatinya. Tetapi tiba-tiba
terdengar orang yang berdiri disampingnya, Sanakeling, tertawa terbahak-bahak.
Katanya, “He Pak Tua. Darimana kau dengar uraian yang melingkar-lingkar itu?”
Ki Tanu Metir memandang orang
yang berdiri di samping Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya, “Sebagian aku
dengar dari pemimpin-pemimpin Tuan sendiri. Dari orang yang bernama Widura dan
yang lain bernama Untara.”
Sekali lagi Macan Kepatihan
mengerutkan keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian demikian, maka
apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang Pajang dan
orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling berkata,
“Mungkin pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka tidak segera
berhasil menguasai keadaan disini, begitu?”
Swandaru dan Agung Sedayu
menjadi benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka menjadi heran, kenapa
Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan Kepatihan. Apalagi
orang yang berdiri di sampingnya itu.
Yang paling sukar untuk
mengendalikan dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak memaki-maki.
Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang menggamitnya. Agung Sedayu
yang sejak masa anak-anaknya selalu menghindari bentrokan-bentrokan, ternyata
berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun alasannya telah berbeda.
Dahulu Agung Sedayu
menghindari setiap bentrokan dengan siapapun juga karena ia takut mengalami.
Tetapi sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini
gurunya tidak mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap
pertentangan pada masa kecilnya ternyata membantu memperliat hatinya, menambah
kesabarannya.
Karena ini, apalagi disamping
gurunya, ia sama sekali tidak takut bertempur dengan beberapa orang yang berada
diatas tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk tetap tenang dan
menghindari betrokan. Meskipun Agung Sedayu tidak tahu benar alasan gurunya,
namun ia mematuhinya.
Ki Tanu Metir yang mendengar
kata-kata orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan menjadi seakan-akan
terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya, “Apakah
pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?”
“Tentu” sahut Sanakeling.
“Kalau tidak, maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang adalah
kewajiban seorang prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau
berperang, maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai.”
“Oh, jadi apabila keadaan
Pajang dan Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah Adipati Pajang akan
memecat semua prajuritnya?”
“Ah, orang tua yang bodoh.
Tentu tidak. Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu akan tidak
berarti. Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok segala
miliknya”
“Oh, jadi apabila peperangan
yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat persoalan dengan
negara lain?”
“He, kenapa?”
“Prajurit dan perang adalah
satu, menurut Tuan yang di samping itu.”
Macan Kepatihan tertawa.
Sanakeling akhirnya tertawa juga. “Alangkah bodohnya pertanyaan itu” gumam
Sanakeling.
Tetapi Macan Kepatihan
menggelengkan kepalanya. Gumamnya, “Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang
bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang tepat dari kata-katamu sendiri.”
“Tetapi maksudku bukan begitu
Kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia berperang, tidak boleh jemu.”
“Jelaskan kepada orang tua
itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan.
“Oh” Sanakeling mengerutkan
keningnya. Dipandangnya orang tua yang duduk di atas batu di bawah. Kakinya
berjuntai terendam di dalam arus sungai yang tidak sedemikian keras. Tiba-tiba
wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata,
“Marilah kita tinggalkan orang tua gila itu.”
Sanakeling tidak menunggu
jawaban Macan Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi
tebing sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan
Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya, “Tuan,”
katanya, “tunggulah sebentar.”
Macan Kepatihan berhenti.
Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya, “Ada apa kakek?”
“Tuan, apakah nanti Tuan akan
datang kepadukuhan kami?
“Tentu. Prajurit Pajang tidak
dapat menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya sendiri. Orang yang
mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan.”
“Tuan” berkata Ki Tanu Metir.
“Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?”
“Kenapa?”
“Aku ingin menghitung umurku
dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, Tuan. Kalau peperangan ini
masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku benar-benar
menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan. Sebab beras-beras
kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami serahkan kepada
Tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain kepada laskar Jipang.”
“Kenapa kau beri juga beras
kepada orang-orang Jipang?”
“Mereka datang dengan senjata
di tangan, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang Pajang maupun orang
Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin Tuan menjadi jemu berperang. Apakah
Tuan tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata kepadaku, bahwa ketika ia
berangkat ke medan perang, anaknya baru berumur tiga hari. Anak yang lahir dari
istrinya tercinta, setelah mereka hampir sepuluh tahun kawin. Prajurit itu
berkata, ‘Kalau aku pulang nanti, anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti
takut melihat wajahku yang setiap hari menjadi semakin buas karena bau darah’.
Tuan, benarkah demikian? Apakah prajurit yang selalu berada di peperangan
menjadi buas, eh, maksudku keras?”
Tohpati melangkah kembali ke
tebing sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Pertanyaan
yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan tanpa setahunya
ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Mungkin prajurit itu benar. Setiap hari
seorang prajurit dihadapkan pada saat-saat yang tegang dan melihat kekerasan.”
“Apakah Tuan tidak berpendapat
bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?”
Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya.
Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak mau mendengarkan
pertanyaan-pertanyaan orang tua itu lebih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan
yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati seorang manusia yang kebetulan
menjadi seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan memiliki senjata di
tangannya dan sedang memperjuangkan kehendak dan cita-cita dengan senjata itu.
Bahkan mencoba memaksakan kehendak itu kepada orang lain dengan tajam
senjatanya, baik atau tidak baik menurut penilaian orang lain.
Tohpati kini tidak mau
mendengarkan lagi Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar dan melangkah
pergi meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai di atas batu. Beberapa
langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Di sampingnya dua
orang kawannya sedang mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya.
“Kenapa orang tua gila itu
masih saja dilayani” gumam Sanakeling.
Macan Kepatihan tidak
menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil menundukkan
wajahnya.
Sanakelingpun kemudian
berjalan pula di belakangnya bersama kedua orang yang berdiri di sampingnya. Di
kejauhan. tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam rombongan itu
pula. Dan mereka masih mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda yang
bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang yang
harus mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti di tepi sungai. Untunglah bahwa
Alap-Alap Jalatunda tidak turut menjenguk ke dalam sungai itu. Apabila
demikian, maka ia pasti tidak akan melupakan Agung Sedayu.
Sepeninggal Macan Kepatihan,
Swandaru tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kiai,
Tohpati itu ternyata telah datang ke hadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak saja
Kiai tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai katakan
menjemukan itu akan segera berakhir?”
“Tidak mungkin Ngger. Apakah
kita bertiga akan mampu menangkapnya?”
“Kenapa tidak? Bukankah mereka
hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan mampu melakukannya.”
“Mungkin aku mampu mengalahkan
lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, apakah mereka
benar-benar hanya berlima?”
“Bukankah aku masih dapat
menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.
“Belum tentu. Coba, tengoklah
sekarang.”
Swandaru menjadi ingin
membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat
berlari ke tebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati
ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh.
Ketika dilihatnya rombongan
itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka
tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak
kurang dari sepuluh orang. Bahkan di sudut-sudut desa di kejauhan masih mungkin
pula berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya.
Perlahan-lahan Swandaru
meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Kiai
benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi.”
“Nah, karena itu, maka
sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian menghadapi
sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian
menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus membuang-buang
waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung Sedayu
bertanya pula, “Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu bohong belaka?
Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat
sedemikian kasarnya terhadap penduduk?”
“Tentu tidak Ngger”
“Tetapi orang-orang itu
mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal
yang jelek atas penduduk.”
Ki Tanu Metir tersenyum. “Namun
dengan demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang
mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan tombak,
namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan
prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari
penduduk di sekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat
penting. Angger Untara dan Angger Widura harus segera mengetahuinya pula.”
Kembali Agung Sedayu dan
Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari
kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut pertimbangan
yang semasak-masaknya.
Dalam pada itu maka Ki Tanu
Metir itu berkata pula, “Nah Ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan
yang kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini segera. Aku tidak
dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun apabila mereka
kemudian berbicara di antara mereka, dan diketemukannya persoalan-persoalan
yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti akan segera kembali. Karena
itu, maka marilah kita segera menyingkir.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab, “Marilah Kiai.”
Ki Tanu Metir itupun kemudian
berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Namun
kali ini ia berkata, “Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah
sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun kalian dapat melihat,
bagaimana caraku meloncat. Cara inipun nanti akan sangat berguna bagi kalian
dalam langkah-langkah unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari.”
Swandaru menarik nafas
panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling ke dalam air. Kini ia dapat
memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian
sekali-sekali ia masih juga harus terjun ke dalam air, meskipun tidak
terpelanting jatuh.
Ternyata Agung Sedayu lebih
lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari
saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah senjatapun Agung
Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir.
Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itupun pasti akan
dapat diatasinya.
Ketika mereka mendekati
padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai di sekitar tanah
persawahan yang sedang digarap, maka merekapun segera berhenti. Mereka kemudian
berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal Putung.
Tetapi ketika seseorang
melihat mereka, maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera
mengenal Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah
sangat menggelikan. “Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”
Swandaru tersenyum lucu
sekali. Dengan singkat ia menjawab, “Mandi.”
“Apakah kalian mandi dengan
seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kalian dan kamus timang segala?”
“Ya.”
“Tanpa membuka baju dan kain
panjang?”
”Aku terjatuh, tahu” potong
Swandaru.
“Bertiga?”
“Ya, bertiga. Kami berjatuhan
ke dalam sungai”
Orang itu tertawa
berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka bersama
berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang
akan sampai di belakang rumah Swandaru Geni.
Ketika mereka naik pinggiran
susukan itu, maka Swandaru itupun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata
ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu regol itu.
Namun tidak seorangpun yang mendengarnya.
“Gila orang-orang Sangkal
Putung” desahnya.
“Marilah kita lewat jalan
samping” ajak Agung Sedayu.
“Tidak mau” jawab Swandaru.
“Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan
kita.”
“Lalu bagaimana?”
Swandaru berpikir sejenak.
Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu di luar regol
halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat ke atas. Kemudian dengan susah payah ia
mencoba menggapai dinding halaman. Namun ternyata ia tidak berhasil.
“Bagaimana?” bertanya Agung
Sedayu.
Swandaru menggeleng. “Sulit”
desahnya.
“Turunlah, biar aku
mencobanya” berkata Agung Sedayu.
“Huh. Sejak kecil aku sudah
pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir
kau lebih pandai daripadaku?”
“Aku hanya akan mencoba” jawab
Agung Sedayu.
Swandaru itupun kemudian
meloncat turun. Kini Agung Sedayulah yang mencobanya. Namun iapun tidak juga
berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon randu itu
tersenyum. Kemudian katanya, “Turunlah Ngger. Biarlah aku mencoba pula.”
Agung Sedayupun turun pula
dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran
pula di dalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat?
Namun ternyata orang tua
itupun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor
tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir
itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar dengan
dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya
orang tua itu berjejak pada batang randu itu dan melenting hinggap di atas
dinding halaman yang cukup tinggi itu.
Sekali lagi Swandaru harus
melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak
saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan
kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah.
Ki Tanu Metir itupun kemudian
meloncat dan menghilang di belakang dinding, sedang sesaat kemudian regol
dinding itupun terbuka. “Masuklah” berkata orang tua itu.
Swandaru dan Agung Sedayu
segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun di dalam
kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang menamakan diri
Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya barulah
sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi semakin
mantap berguru kepadanya.
Jauh dari padukuhan Sangkal
Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya. rombongannya semakin lama
menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada dua puluh orang. Tidak
banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang
berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri.
Dalam perjalanan itu, hati
Tohpati selalu diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari
Ki Tanu Metir. “Ya” gumamnya di dalam hati. “Berapa tahun pertempuran ini akan
berakhir?”
Tohpati itupun kemudian
berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti
otak mereka yang kosong pula.
“Apakah kepentingan mereka
bertempur?” desis Tohpati di dalam hatinya. “Apakah mereka tahu juga, bahwa
kami sedang melepaskan dendam kami atas gugurnya Adipati Jipang?”
Tohpati itupun terkejut
sendiri mendengar kata-kata hatinya. “Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal
mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua di
tengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat mencapai
apa yang sejak semula mereka perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada
garis keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat duduk di atas
singgasana.
Macan Kepatihan itu berdesah
di dalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang
tidak tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan kunjung habis.
Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat
dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan kembali.
Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui tentang Arya Penangsang
dan tuntutan-tuntutannya?
Tiba-tiba Macan Kepatihan itu
mengumpat. “Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol.”
Sanakeling terkejut. Selangkah
ia menyusul maju dan bertanya, “Kenapa?”
Macan Kepatihan menggeram
dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia
mengulangi kata-katanya. “Orang tua di tengah sungai itu benar-benar bukan
orang bodoh.”
Sanakeling mengangkat alisnya.
Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik pada
orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah
orang Pajanglah yang selalu datang ke padesannya dan merampas beras. Bukankah
itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu menyebarluaskan
kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar
Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka kepada orang-orang
Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi akan memberikan banyak keterangan
tentang gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka lihat dan mereka ketahui.
Tetapi Sanakeling itu menjadi
semakin terkejut ketika Tohpati berkata, “Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan
orang tua itu.”
“Siapakah orang tua itu
menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.
Macan Kepatihan menggeleng.
“Aku tidak tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh di dalam
hatiku. Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti
bukanlah kebetulan kalau mereka berada di tempat itu di siang hari begini.”
Sanakeling tidak bertanya
lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian
menjadi suram.
“Apakah kita akan kembali lagi
ke sungai itu untuk meyakinkan diri?”
Tohpati menggeleng. “Tidak ada
gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan
anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka basah
kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku
baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya
terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian di dalam hati mereka.
Mereka duduk terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat
kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan
sesuatu di dalam tubuhnya, sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah
melihatnya.”
“Dimana?”
Macan Kepatihan berpikir
sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi
anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan,
seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah
Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka tiba-tiba Macan
Kepatihan itu berteriak, “Gila! Kita tidak saja bodoh, tetapi kita sudah
benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kau tidak mempunyai mata lagi he?”
Sanakeling menjadi bertambah
heran. “Apa yang telah kau lihat?”
“Anak itu. Anak yang gemuk
itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah di lapangan dekat
banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang di antara
anak-anak muda Sangkal Putung?”
Sanakeling mengerutkan
keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya iapun tersentak sambil berkata,
“Ya, ya. Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti
anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi.”
“Hem” Tohpati menggeram, namun
kemudian ia berkata, “Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa
Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga berbuat
hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang.”
“Tetapi mereka kini mengetahui
cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang
sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula.”
“Ya. Tetapi Untara akan
melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh
benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi Tohpati
akan mampu menggulung Sangkal Putung.”
Sanakeling
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita kembali. Kita lihat,
apakah mereka masih berada ditempat itu.”
Tohpati menggeleng. Katanya,
“Mereka bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita.
Karena itu mereka pasti sudah pergi.”
Sanakeling tidak menjawab.
Dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling
tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat digoncangkan itu
kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri, “Apakah ia
benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”
Dan kembali beberapa
pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores dinding hatinya,
“Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal Putung?
Makan. Itu saja?”
Pertanyaan itu tak pernah
mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu.
Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat
mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain
bermunculan pula di dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat
menyulitkannya.
Apakah ia untuk seterusnya
akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya? “Tidak”
pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan
yang kuat untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu.
Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan yang lain
tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan
Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila kami tetap bertahan di kademangan
itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian? Menjadi Adipati? Mewarisi
cita-cita Arya Penangsang?”
“Menjemukan” desisnya
tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan
serta-merta ia bertanya, “Apa yang menjemukan?”
Tetapi Macan Kepatihan sendiri
bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri.
Sehingga karena itu maka Macan
Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya, “Apakah
yang menjemukan he?”
Tohpati menjawab sekenanya,
“Widura dan Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus
segera dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar
sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan
segala macam isinya.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun
demikian ia menjawab, “Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada
di tempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan ke utara.”
“Aku tidak peduli.”
“Masih harus dipertimbangkan”
sahut Sanakeling. “Aku tidak mau membunuh diri.”
“Terserah kepadamu. Aku akan
pergi malam ini.”
“Jangan kehilangan
perhitungan.”
Tohpati tersadar dari
kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah
Macan Kepatihan itu kemudian, “Kau tidak sependapat?”
“Berbahaya sekali.”
“Kapan orang-orang yang pergi
itu akan datang kembali?”
“Tiga empat hari. Mereka akan
membawa sisa-sisa laskar kita yang betebaran di sisi utara Pajang. Kekuatan itu
akan dipusatkan disini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau telah
berhasil disini, maka kau akan membawa seluruh barisan ke utara dan melepaskan
beberapa kepentingan di selatan. Kalau keadaan di utara menjadi lebih baik, kau
akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan landasan daerah utara.
Bukankah begitu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata, “Ya. Aku pernah berkata demikian.”
“Nah, karena itu, apakah kau
akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”
“Ya, aku akan menunggu dalam
waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini seluruh
pasukan harus disiapkan.”
“Bagus. Kita harus menebus
kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu.”
“Ya, kau benar. Mari kita
kembali.”
Tohpati tidak menunggu jawaban
Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali ke sarangnya. Sanakeling
berjalan di belakangnya bersama-sama dengan Alap-Alap Jalatunda. Dengan
berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya, “Kenapa dengan Macan Kepatihan
itu?”
Sanakeling menggeleng.
“Entahlah. Mungkin orang tua di tengah-tengah kali yang dijumpainya tadi
membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan.”
“Tetapi bukankah ia masih
mendengarkan nasehat Kakang?”
“Untunglah demikian. Kalau
tidak, maka ia akan membunuh dirinya.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab. Ia berjalan saja di samping Sanakeling. Di dalam hatinya ia bergumam,
“Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan
menjadi semakin tercerai berai.”
Tetapi orang-orang itu
ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka
tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung meskipun
Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu
sebaik mungkin. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan menyetujuinya.
Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya seorang dukun tua yang pasti
akan menggemparkan mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu di dalam
pertempuran yang terjadi.
Karena itulah maka kini Macan
Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan
yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yang semakin hari
tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang
tuapun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal
Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan.
Anak muda itu ternyata tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia
telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak
akan mengecewakan.
Demikianlah ketika Macan
Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal
Putung, maka Sangkal Putungpun sedang giat menempa dirinya.
Sementara itu Swandaru dan
Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka
kini tidak lagi berlatih di sungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang tertutup
di belakang kademangan, atau di tempat lain yang telah disediakan oleh Ki
Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan
bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke Gunung Gowok. Di tempat
itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun
sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititikberatkan pada Swandaru. Anak yang gemuk
itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung Sedayu. Barulah
mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa.
Semakin hati luka Untarapun
menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi.
Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan diminumnya setiap
hari, maka kesehatannyapun telah benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya,
ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya
kembali.
Di hari-hari terakhir, Untara
telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah
ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi
setelah lewat tiga hari dari peristiwa di pinggir kali itu, Tohpati ternyata
belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepala Tohpati
telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak.
Sebenarnyalah Tohpati kemudian
menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia
telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung.
Sanakeling, Alap-Alap
Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa
persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan menunda
rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang
sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu.
Tetapi tak seorangpun yang
tahu, apakah yang telah bergolak di dalam dada Tohpati. Seorang senapati yang
tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin yang
mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan.
Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas segala
keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi bingung tak bernafsu.
Keadaan itu benar-benar
mencemaskan beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-Alap
Jalatunda. Namun sampai sedemikian jauh, belum ada diantara mereka yang berani
menanyakannya.
Meskipun laskar Jipang
kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun seluruh
sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa
Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul dihutan-hutan di
sebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan serangannya.
Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat
terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari seorang
laskarnya ke orang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang dalam
berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak
bersangkut-paut dengan kelaskarannya.
Beberapa orang anggota
laskarnya menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani
itu tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam
banyak persoalan.
Seorang yang bertubuh tinggi
kurus dan berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba
saja Tohpati telah berdiri di sampingnya sambil bertanya, “He, apa kerjamu?”
Orang itu memandang
pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi,
“Apa kerjamu?”
Terbata-bata orang itu
menjawab, “Duduk Tuan, aku hanya duduk saja.”
Tohpati tersenyum.
Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Berapa
umurmu?”
“Delapan belas tahun, Tuan”
“He?” Tohpatilah yang kemudian
terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh
lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi
pertanyaannya, “Umurmu berapa?”
Laskar yang kurus itu
benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab, “Delapan belas tahun Tuan.
Benar-benar delapan belas tahun.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata, “Kau masih sangat muda. Apakah
kau masih mempunyai ayah dan ibu?”
Anak itu menggeleng. Tiba-tiba
wajah anak itupun menjadi suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara
parau ia menjawab, “Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan yang lampau.”
“Kenapa?” bertanya Tohpati.
“Siapakah yang membunuhnya?”
“Ayah terbunuh ketika laskar
Pajang memasuki padukuhanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung tombak
orang Pajang telah menyobek dadanya.”
“Oh” Tohpati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya, “Sekarang
apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”
“Tentu Tuan. Aku harus
membalas dendam yang membara di hati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus
dapat menebus kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku tidak
peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang.”
Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya
dengan cita-cita Arya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha menuntut
keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang dikehendaki oleh Adipati
Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda Lepen. Tidak tahu menahu
tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya berkain rambutnya
sendiri, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang. Tidak tahu bahwa
Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan Arya Penangsang dengan
tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak. Anak itu tidak tahu
apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya terbunuh. Mungkin ayahnya sedang
berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini hanya ingin melepaskan
dendam di hatinya.
Tetapi ia melihat semangat
yang menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan
tubuhnya yang kurus.
Tiba-tiba terluncur dari mulut
Tohpati, “Ibumu?”
Anak itu menggeleng. Jawabnya,
“Aku tidak tahu. Ibu telah lama pergi.”
“Kemana?”
Anak itu menjadi ragu-ragu.
Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab, “Ibu pergi dengan laki-laki
lain.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Ia menjadi semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka adalah
suatu kemungkinan bahwa ayahnyapun bertempur bukan karena cita-cita. Tetapi
sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh keluarga yang buruk itu kemudian
telah memaksa anak itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memancarkan
dendam di hatinya.
Tiba-tiba Tohpati mendengar
kawannya yang duduk di sampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda.
Tohpati sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia
membentak, “Kanapa kau tertawa?”
Orang yang tertawa itu
terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. Karena itu, maka
ia menjadi ketakutan.
“Kenapa kau tertawa, he?”
Tohpati mengulangi.
Sedemikian takutnya orang itu
sehingga tanpa dapat berpikir ia menjawab, “Anak itu Tuan. Anak itu berbuat
seperti laki-laki yang dikatakannya.”
“He?” wajah Tohpati menjadi
merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu, “Apa yang
telah kau lakukan?”
Anak muda itu menggigil
seperti kawannya yang duduk di sampingnya. “Tidak, tidak Tuan” katanya dengan
gemetar. Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia memandang kaki
Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu mengatakannya, dan kawannya
itupun bukan main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.
“Apa yang telah kau lakukan?”
bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.
“Aku tidak apa-apa Tuan” jawab
anak muda itu terbata-bata.
“Apa yang sudah kau lakukan?”
ulang Tohpati.
“Tidak ada Tuan.”
Sekali lagi Tohpati bertanya,
kali ini perlahan-lahan. “Apa yang sudah kau lakukan?”
Tubuh anak muda itu menjadi
semakin gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata, “Aku hanya membalas sakit
hatiku Tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia.”
“Apa yang telah kau lakukan
terhadap perempuan?”
Laki-laki itu menjadi semakin
ketakutan. Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab, “Tidak
apa-apa Tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal.”
Tohpati berpaling pada
laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itupun menunduk dalam-dalam.
Tiba-tiba ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya. “Apa yang sudah
dilakukannya?”
Laki-laki itu menjadi gemetar.
Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika
Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata, “Ia, ia membawa
istri orang Tuan.”
Bukan main marah Tohpati
mendengar jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak
dapat dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan berkumis jarang
yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba disabarkannya
dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.
Tohpati mengangkat wajahnya.
Apa yang dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah
terjadi di antara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa anak buahnya
pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya di perjalanan. Membunuh,
menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi Tohpati menyadari,
bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan dari keadaan laskarnya
kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan. Beberapa orangnya telah menjadi
berputus asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda yang baru berumur
delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang sudah
dilakukannya.
Tohpati itu menekan dadanya
sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kenapa hal itu kau
lakukan?”
Anak muda yang kurus pucat dan
berkumis jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya,
kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya kepada dirinya,
kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu tidak pernah merasa bahwa
ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu sampai sekarang masih juga
selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya.
Ia terkejut pula ketika
mendengar Tohpati bertanya pula, “Kenapa kau bawa perempuan itu. Dan apakah
perempuan itu tidak ketakutan tinggal bersamamu di antara kawan-kawanmu?”
Laki-laki itu menggeleng. “Ia
senang tinggal bersama kami Tuan.”
“Oh” Tohpati mengelus
kumisnya. “Siapakah perempuan itu?”
Laki-laki itu ragu-ragu
sesaat. Kemudian jawabnya, “Namanya Nyai Pinan.”
“He?” sekali lagi Tohpati
terkejut. Nyai Pinan. “Hem” Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam.
Katanya dalam hati, “Untunglah anak itu belum aku pukul kepalanya.”
Tohpati itu tiba-tiba
kehilangan kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai
Pinan adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu.
Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahun, bukanlah perempuan yang perlu
disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah bahwa
perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal di antara
laskarnya, di antara laki-laki yang kasar dan keras.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba
saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih
terbayang di dalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu dahulu
pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain di antara laskarnya.
“Gila. Kehidupan ini
benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan.”
Tohpati itupun kemudian
langsung pergi ke dalam gubugnya di tengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan
dirinya di atas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram.
Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada dekat-dekat di sekitarnya,
dan yang betebaran di beberapa tempat yang lain. Laskar yang diperintahkannya
untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun dirinya karena
kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.
“Apakah hasil yang telah
kucapai dengan itu” desahnya.
Dibayangkannya bahwa rakyatnya
justru menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan
mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.
“Tetapi bukankah itu yang aku
kehendaki?”
Kata-kata itu dijawabnya
sendiri, “Ya. Kini ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam di hati,
melepaskan kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil
menenangkan dirinya dan melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”
Macan Kepatihan itu menggeram.
Dengan serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya ke tanah sambil berkata
kepada dirinya sendiri, “Gila. Kenapa aku bertemu dengan orang tua itu. Dengan
orang yang mengatakan dirinya orang Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu
bukan orang Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh. Pertanyaannya telah
menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah berada di tengah-tengah arus. Aku tidak
dapat berjalan kembali.”
Macan Kepatihan itu tiba-tiba
melangkah dan berjalan keluar. Di luar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya,
“Panggil Sanakeling.”
Sesaat kemudian Sanakeling
telah berada di dalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali
timbullah pertanyaan memancar dari matanya.
“Apakah kita sudah benar-benar
siap” bertanya Macan Kepatihan.
Pertanyaan itu terdengar aneh
di telinga Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri,
bahwa laskar Jipang telah ditarik sebagian besar ke dalam hutan itu untuk
melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang
diperluakan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan bahan
makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnyapun pasti akan berkurang.
Meskipun demikian, maka
Sanakeling itu menjawab, “Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar
Jipang telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir kehilangan
gairah untuk bertempur karena pertempuran tertunda-tunda.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa
seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila mereka harus menunggu dan
menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan setiap perintah.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Tohpati menjawab, “Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk
kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita kali ini akan berhasil.”
“Kita telah mengukur kekuatan
mereka” sahut Sanakeling. “Kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada di dalam
Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah memperhitungkan kekuatan itu
pula. Orang yang berhasil membunuh Plasa Ireng itupun telah kita perhitungkan.
Tiga orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan melampaui kekuatan Plasa
Ireng. Sedangkan lawan Alap-Alap Jalatunda ternyata memerlukan perhatian.
Seorang dari Mentaok akan mengawasi Alap-Alap Jalatunda. Widura serahkan
kepadaku, dan Untara adalah lawanmu. Terserah kepadamu, apakah perlu seseorang
untuk membantumu, ataukah kau merasa bahwa kau akan berhasil melawannya
sendiri. Sedang jumlah laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah
banyak. Hanya untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu sehari. Sebab
untuk mengurangi kesempatan, sebagian tersebar di beberapa tempat.”
“Bagus. Siapkan mereka besok.
Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”
Sanakeling mengerutkan
alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Kenapa?”
“Apakah kali ini tidak akan
tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”
Macan Kepatihan mendengar
sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.
Sesaat mereka berdiam diri.
Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata, “Tinggalkan aku
sendiri.”
Sanakeling mengangkat alisnya.
Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali
ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya. Pemimpin laskar Jipang
itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu. Karena itulah Sanakeling
menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan yang ada di dalam dirinya,
di dalam tubuh laskarnya, apalagi di pucuk pimpinannya. Ia menghendaki semuanya
berjalan keras, cepat dan dapat menimbulkan akibat yang menggoncangkan
lawan-lawannya. Menimbulkan kengerian dan ketakutan.
Sepeninggal Sanakeling, maka
Tohpati itupun segera memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu pernah
menjadi penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang yang tidak saja memiliki
pengalaman yang luas. Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan
yang jauh.
Orang tua itu berdebar-debar
mendengar panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya.
Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh
daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati memanggilnya.
“Duduklah paman Sumangkar.”
Orang yang telah agak lanjut
dan bernama Sumangkar itu duduk di samping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Terima Kasih, ngger.”
“Kenapa Paman tidak pernah
menampakkan diri akhir-akhir ini?”
Sumangkar mengerutkan alisnya
yang hampir memutih. Jawabnya, “Angger tidak pernah memanggil Paman ini. Dan
karena itu maka aku tidak berani mengganggu Angger.”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya serta-merta, “Paman, aku akan memulai dengan sebuah
sergapan baru. Apakah Paman sependapat?”
Sumangkar mengerutkan
keningnya pula. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati
melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang garang itu
bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka Sumangkar menjadi
ragu-ragu.
“Bagaimana Paman?” desak
Tohpati.
Sumangkar menarik nafasnya
dalam-dalam. Dikenangnya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan
seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu marah ketika
ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah
sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang seperti
pernah didengarnya dahulu.
Karena itu maka untuk sejenak
Sumangkar menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati
memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula?
Karena Sumangkar tidak segera
menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya, “Bagaimana Paman?”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”
“Kenapa? Bukankah Paman
memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan?
Bukankah Paman bekas seorang yang cukup dekat dengan Paman Mantahun? Nah, bagaimanakah
pendapat Paman?”
“Aku adalah seorang yang telah
berumur agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut
pertimbangan di dalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi kenyataan, bahwa
untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah Angger pernah marah
kepadaku karena aku tidak sependapat dengan Angger?”
Tohpati menarik keningnya.
Dipandanginya Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya.
Dan karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.
“Paman,” berkata Tohpati, “aku
tahu Paman adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian
yang sukar dicari bandingnya. Kenapa Paman berpikiran terlalu pendek. Kalau
Paman mempunyai tekad yang agak kuat di dalam dada Paman, maka Paman akan dapat
menyumabangkan tenaga Paman dalam perjuangan ini. Tetapi selama ini Paman lebih
senang mendekam di dapur sambil menghangatkan tubuh. Kenapa Paman tidak lagi
bersedia memandi tombak atau memegang gagang pedang?”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa aku
untuk berdiam diri.”
“Tetapi kenapa Paman tidak
pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”
Sumangkar mengangkat kepalanya
sesaat. Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah sulitnya.
Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur.
“Raden, aku adalah hamba
kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena umurku yang
telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih Mantahun. Aku adalah
kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut serta menyetujui tuntutan
Arya Penangsang kepada Pajang dan putra-putra Sultan Trenggana yang lain.
Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh Angger Pangeran. Aku
menyarankan agar Angger melakukan tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan
saudara-saudara sepupunya dengan cara yang telah ditempuh. Dengan demikian maka
kawula Demak akan segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah
ditempuhnya, dan aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah
seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda oleh arus
perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang telah
terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk menyeberang
ke Pajang?”
Tohpati mendengarkan kata demi
kata dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian
adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya Penangsang. Namun
sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada
meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat dicapainya dengan
perjuangannya itu?
Meskipun demikian Tohpati itu
berkata tajam, “Tetapi Paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat
Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, Paman ternyata menjadi seorang
yang ditakuti digaris-garis perang. Namun kemudian Paman tidak lebih dari
seorang juru masak yang malas. Kenapa Paman tidak mau bertempur seperti
masa-masa lampau itu?”
Sumangkar menarik alisnya
tinggi-tinggi. Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka ia dapat
berpikir dengan tenang. Dan dengan tenang pula ia menjawab, “Kalau aku turut
dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku hanya akan
memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat Jipang sendiri.
Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak akan berhasil. Apa
yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan dendam pada beberapa pihak.
Melepaskan sakit hati dan membuat onar dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga
cita-cita Arya Penangsang sendiri? Seandainya Arya Penangsang berhasil merebut
tahta, apakah yang kira-kira akan dikerjakan? Memanjakan diri sendiri atau
berbuat sesuatu untuk membentuk Demak menurut seleranya? Nah, bandingkanlah
dengan apa yang kau lakukan Ngger. Dengan anak buah Angger dan dengan seluruh
perbuatan laskar Jipang ini.”
Tohpati mengerutkan keningnya.
Terdengar ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang
tua yang dijumpainya di sungai beberapa hari yang lampau. Kata-kata orang tua
yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi Tohpati masih ingin
meyakinkan dirinya.
“Paman, apakah dengan demikian
kita tidak menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani menghadapi pahit
getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah. Pantang
menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan.”
“Raden benar” sahut Sumangkar.
“Jangan menyerah kepada lawan. Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan
membutakan diri atas kenyataan. Selama kita masih dihadapkan pada cita-cita,
maka kita tidak akan berputus asa. Namun apabila kita menyakini kelemahan diri
dan meyakini bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi, maka
sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah semakin banyak dan korban itu
tidak akan berarti apa-apa. Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan
dendam dan sakit hati.”
Tohpati tidak berkata apa-apa
lagi. Ia kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan
laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan di kedua belah pihak tanpa
dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah korban yang
sia-sia.
Sesaat mereka berdiam diri.
Tohpati dengan angan-angannya dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. Namun
sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu menggeram, “Apakah Paman
menyayangkan korban-korban itu?”
“Ya” sahut Sumangkar pendek.
“Mati bagi prajurit adalah
kemungkinan yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah
kemungkinan yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati bagi
seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan.”
“Angger benar. Mati bagi aku
dan bagi Angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih
dekat dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka yang sama
sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah mati bagi
orang-orang Sangkal Putung, Dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain di
sekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, di sebelah barat Demak dan di sudut-sudut
Bergota itu juga sudah wajar? Laskar Raden yang terpencar dan menyusup di
daerah-daerah itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat di daerah itu dan
laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati di antara laskar angger dan
laskar Pajang adalah wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus peperangan
itu?”
Tohpati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Bahkan menurut bunyi di sudut relung hatinya berkata, “Bukan hanya
mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah orang-orang
yang tahu akan keadaannya. Ada di antara mereka yang hanya terlanjur terdorong
oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi ada yang
dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan yang
kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat di luar
peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan
perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau
berpihak kepada musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang
bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung
terus, maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.
Kembali mereka berdua
terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang
semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam
menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi
lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.
Ketika Tohpati berpaling
menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia
berdesis, “Sudah hampir gelap.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap.”
Tiba-tiba Tohpati berdiri.
Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja
putihnya yang tersangkut di atas pembaringannya. Sumangkar memandang senjata
itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh
Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat Tohpati memutar
tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang
wajar, maka Sumangkarpun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu
cahaya pelita menembus masuk ke dalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor
yang menyala-nyala di samping mulut pintu.
“Paman, aku ingin berjalan-jalan
bersama Paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.
Dada Sumangkar berdesir. Tidak
pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan Kepatihan
itu mengajaknya.
Banyak hal yang dapat terjadi
kemudian. Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan
itu ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah teka-teki yang
tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menolak. Kalau
Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak akan pergi
berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari keadaannya.
Sumangkar bukanlah lawannya.
Sumangkar adalah takaran dua
tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari gurunya,
Patih Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih
dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar dari laskarnya yang
baru ditemukan oleh orang-orang Jipang sepanjang peperangan atau
prajurit-prajurit Jipang yang tersebar di mana-mana tidak mengenal Sumangkar
dengan baik. Mereka menyangka bahwa orang itu benar-benar seorang juru masak.
Ketika Sumangkar tidak segera
menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata, “Paman, kita pergi berdua malam
ini.”
“Kemana Ngger?”
Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah
tahu kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun demikian
Tohpati itu menjawab, “Paman pasti sudah tahu, kemana kita akan pergi dalam
keadaan ini. Dimana laskarku sudah siap untuk menggempur Sangkal Putung.”
“Oh, jadi kita melihat-lihat
Sangkal Putung?”
“Ya.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan diri ke dalam
peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi semakin
jauh dari bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada padanya sendiri.
Tohpati ternyata kemudian
tidak menunggu Sumangkar menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu dan
sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati
itupun berjalan terus.
Di muka gubug Sanakeling dan
orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang
menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.
“Apakah Kakang akan pergi?”
bertanya Sanakeling.
“Ya” jawab Tohpati.
“Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat
Sangkal Putung bersama Paman Sumangkar”
Sanakeling mengerutkan
keningnya. Ia kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada
masa-masa lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih senang
menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur di tangannya. Membelah daging
binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar.
Bagi Sanakeling, Sumangkar
sekarang hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati
sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan. Sebab pekerjaannya
segera dapat diganti oleh orang lain.
Karena itu, maka Sanakeling
itupun bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan orang lain?”
“Tidak” jawab Tohpati menggelengkan
kepalanya.
Sanakeling tidak
bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya,
sehingga ia sudah cukup mempunyai perhitungan.
Ketika Tohpati itu kemudian
berjalan meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali ke dalam
biliknya, menjatuhkan dirinya di sebuah bale-bale dan kembali meneruskan
menikmati daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya ke atas bale-bale
sedang kakinya yang lain berjuntai ke bawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling
berkata tersendat-sendat, “He, panggil Alap-Alap kerdil di gubugnya.”
Seseorang yang berdiri di muka
pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata, “Panggil Alap-Alap itu.”
“Baik, baik Ki Lurah” jawab
orang itu sambil berlari-lari ke gubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya
terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan di hadapannya menuju ke
gubug Alap-Alap Jalatunda pula.