Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-008

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-008 “Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.
“Jangan panggil dengan sebutan yang terlalu jauh. Panggillah dengan sebutan yang lebih dekat. Kakang. Juga kepada Untara lebih baik kau memanggilnya demikian” potong Widura.

“Ya” sahut Agung Sedayu. “Aku lebih senang.”

“Baiklah” sahut Swandaru. “Marilah, minumlah.”

Widura dan Agung Sedayupun minum pula air jahe yang hangat. Dengan demikian maka keringat mereka semakin banyak mengalir membasahi tubuh mereka.

Dalam pada itu Ki Tanu Metir itupun bertanya pula, “Dari manakah Angger berdua malam ini. Apakah seperti biasanya nganglang setiap gardu perondan?”

“Ya” sahut Widura. “Dan ke Gunung Gowok. Aku sedang berlatih bermain pedang. Guruku, Agung Sedayu telah mencobakan ilmu yang paling akhir.”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Sedang Ki Demang Sangkal Putung menjadi terheran-heran. Apalagi Swandaru sehingga dengan serta-merta berdesah, “Ah.”

Mereka menjadi semakin tidak mengerti ketika Widura berkata, “Tetapi seorang yang menamakan diri Kiai Gringsing selalu saja mengganggu kami, sehingga usaha kami itupun tidak dapat kami lakukan seperti yang kami kehendaki.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya.


Sebelum berkata sesuatu, maka Widura telah berkata pula, “Akhirnya kami tidak meneruskan latihan kami. Tetapi kami berpacu dengan orang yang tidak kami kenal itu ke kademangan.”

Ki Tanu Metir menarik alisnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Siapakah yang lebih dahulu sampai?”

“Ki Tanu Metir” jawab Widura.

“He?” sahut Ki Tanu Metir. “Kau berpacu dengan Kiai Gringsing, namun kenapa aku yang lebih dahulu sampai?”

Widura menggeleng. Jawabnya “Entahlah. Aku tidak tahu.”

Ki Tanu Metir itu menundukkan wajahnya. Widura dan Agung Sedayu duduk dengan gelisahnya, sedang Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru masih saja memandang mereka dengan penuh pertanyaan yang memancar dari wajah-wajah mereka.

Agung Sedayu yang semula juga ikut menjadi bingung perlahan-lahan dapat menangkap, apakah yang dilakukan pamannya itu. Bahkan kemudian tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimanakah dengan Kakang Untara?”

Pertanyaan itu mengejutkan Ki Tanu Metir, sehingga dengan serta-merta ia menjawab, “Sudah semakin baik. Angger Untara sudah dapat bangun dan berjalan-jalan. Sebentar lagi luka itu akan sembuh, meskipun masih diperlukan waktu untuk memulihkan kekuatannya.”

“Tetapi malam ini aku tidak harus berkuda ke Sangkal Putung sendiri. Dan Kiai tidak usah menyusulku dan setelah Kiai kalah bertempur melawan aku, maka Kiai harus bertempur melawan Alap-Alap Jalatunda.”

Ki Tanu Metir tidak dapat menyembunyikan senyumnya lagi. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan mendekati Untara.

Ternyata Untara itu juga tidak sedang tidur. Bahkan ketika ia melihat Ki Tanu Metir itu mendekati maka desisnya, “Bagaimana Kiai?”

“Kemana aku harus bersembunyi lagi Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kepada Untara.

“Kiai tidak perlu bersembunyi lagi.”

Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Kemudian gumamnya, “Tamatlah cerita tentang seorang dukun tua dan tamatlah cerita tentang orang yang berkerudung kain gringsing.”

“Cerita itu sudah lama tamat” sahut Widura.

Ki Tanu Metir berpaling. Ditatapnya wajah Widura yang aneh. Tetapi sesaat kemudian orang tua itu tertawa geli. Katanya, “Terlalu banyak yang ingin kau ketahui Ngger. Tetapi baiklah, aku tidak perlu bersembunyi lagi. Dugaanmu benar.”

Widura tertawa. Agung Sedayupun tertawa. Tetapi Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru sama sekali tidak tahu, apakah yang lucu.

Karena itu, maka Swandaru itupun segera bertanya, “Apakah yang aneh paman Widura?”

Widura menggeleng sambil tersenyum, “Tidak apa-apa. Hanya suatu permainan saja.”

“Permainan apa?”

“Ki Tanu Metir mencoba bersembunyi ketika melihat kami lewat. Disangkanya kami tidak melihatnya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Jawaban Widura itu semakin membingungkannya. Sehingga kemudian ia mendesaknya, “Tetapi, bagaimanakah cerita tentang Paman Widura dan orang yang disebut gurunya yang bernama Agung Sedayu itu?”

Oh” sahut Widura. “Aku hanya bermain-main. Ki Tanu Metir pernah bertanya kepadaku, siapakah guruku, karena aku tidak mau menunjukkannya, maka aku jawab saja sekenanya, Agung Sedayu.”

Swandaru mengumpat-umpat di dalam hatinya. Ia tahu betul, bahwa bukan itulah jawaban dari pertanyaannya. Meskipun demikian ia sudah tidak bertanya lagi.

Namun, bagaimanapun juga, ia tidak dapat menjajagi, bahwa senda gurau itu telah mengungkapkan suatu peristiwa yang selama ini menjadi teka-teki bagi Widura. Meskipun Ki Tanu Metir belum mengatakan kepadanya, namun Widura telah dapat merabanya. Bagaimanakah yang pernah terjadi atas Untara. Bagaimanakah sebabnya, maka orang-orang di sekitar rumah Ki Tanu Metir menyangka bahwa orang tua itu bersama Untara telah hilang dibawa gerombolan Plasa Ireng. Kini semuanya sudah menjadi agak jelas bagi Widura. Sudah tentu Plasa Ireng beserta Alap-Alap Jalatunda tidak akan dapat berbuat sesuatu terhadapnya.

Ki Demang Sangkal Putungpun sebenarnya mempunyai keinginan untuk mengetahui, apakah sebenarnya yang sedang dipercakapkan oleh Ki Tanu Metir dan Widura, tetapi ia segera mengendalikan dirinya. Persoalan-persoalan di luar dirinya, dan mungkin menyangkut kepentingan kelaskaran Pajang, lebih baik baginya untuk tidak turut mempersoalkannya apabila tidak diminta.

Sesaat kemudian kembali mereka duduk melingkar di atas tikar pandan di pringgitan. Untara masih tetap berbaring di pembaringannya. Meskipun lukanya telah jauh berkurang, namun ia masih belum kuat benar untuk terlalu lama duduk.

Di antara mereka sudah terhidang berbagai makanan. Meskipun sudah terlalu dingin, namun dapat juga untuk menggerakkan rahang-rahang mereka.

Sambil makan Ki Tanu Metir berkata seakan-akan sambil lalu saja. “Bagaimanakah kabarnya Angger Sidanti itu sekarang?”

Widura mengerutkan keningnya. Dan dilihatnya wajah Swandaru menjadi tegang.

“Tak ada kabarnya” jawab Widura. “Tetapi sudah pasti ia tidak akan kembali ke Sangkal Putung.”

“Tetapi ia pasti mendendam” potong Swandaru tiba-tiba. “Aku telah melukainya.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnyalah bahwa Sidanti itu mendendam. Tidak saja kepada Swandaru tetapi juga kepada Agung Sedayu. Sedang mereka, Widura dan Agung Sedayupun, mendengar dengan jelas, apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, bahwa dendam Sidanti yang terbesar justru kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Agung Sedayu yang dianggap menggesernya dari sudut hati Sekar Mirah, dan Swandaru yang telah melukainya bahkan hampir membunuhnya. Tetapi Agung Sedayu itu menjadi tenteram ketika ternyata bahwa Kiai Gringsing yang sekarang duduk di hadapannya sebagai seorang dukun tua itu, akan melindunginya.

Tetapi Swandaru tidak mendengar janji yang pernah diucapkan oleh orang yang menamakan dirinya Kiai Gringsing. Sehingga dengan demikian maka dadanya menjadi berdebar-debar apabila diingatnya nama itu. Sidanti. Selagi mereka masih berada di halaman yang sama, Sidanti telah pernah menamparnya dua kali. Apalagi kini, maka Sidanti itu tidak akan sekedar menamparnya saja. Tetapi pasti membunuhnya.

Ayahnyapun merasakan kecemasan itu. Karena itu selagi mereka mempercakapkan Sidanti, maka sama sekali Ki Demang Sangkal Putung itupun ingin mencari perlindungan bagi anaknya. Maka katanya, “Aku menjadi cemas juga akan Angger Sidanti itu. Hubungannya dengan Swandaru terlalu jelek. Sehingga keadaan Swandaru kinipun selalu terancam pula olehnya. Apalagi pada saat terakhir, Swandaru itu telah berusaha untuk membunuhnya, sehingga dengan demikian maka dendam Angger Sidanti itupun menjadi semakin dalam pula.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Swandaru berusaha menyelamatkan aku.”

Widura melihat kecemasan yang membayang di wajah ayah-beranak itu. Baik Ki Demang Sangkal Putung maupun Swandaru agaknya tidak akan dapat merasa tenteram. Karena itu, maka Widura itupun menjadi iba pula kepada mereka. Sehingga tanpa sengaja ia berkata, “Jangan cemas Kakang Demang, selagi Ki Tanu Metir masih di sini.”

Ki Demang terkejut mendengar kata-kata Widura itu. Bahkan Ki Tanu Metir itu sendiripun terkejut. Tetapi kembali Ki Demang Sangkal Putung itu menjadi kecewa. Ia menyangka bahwa Widura masih saja bergurau. Karena itu ia berdesah, “Ah, nasib Swandaru benar-benar mencemaskan.”

Widura menyadari kata-katanya. Bahkan ia menyesal, bahwa Ki Demang merasa ia hanya bergurau saja. Maka katanya kemudian untuk meyakinkan Ki Demang Sangkal Putung itu, “Aku berkata sebenarnya Kakang Demang. Sekaligus aku minta pula keringanan hati Ki Tanu Metir untuk menyelamatkan Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama.”

Ki Demang Sangkal Putung sama sekali tidak segera dapat mengerti kata-kata itu. Sekali-sekali ditatapnya wajah Widura, dan sekali-sekali diamat-amatinya dukun tua itu. Sehingga akhirnya ia bertanya, “Maksud Adi, apakah apabila Angger Agung Sedayu atau Swandaru dicederai oleh Angger Sidanti, maka Ki Tanu Metir akan mengobatinya hingga sembuh?”

Ternyata Ki Demang Sangkal Putung itu benar-benar tidak mengerti maksud Widura. Dan sebenarnya bahwa Widura mengatakan sesuatu sebelum lawan berbicaranya siap untuk menerimanya. Widura mengatakan suatu hal di luar pengetahuan Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi, agak sulitlah bagi Widura untuk berkata terus terang tentang Ki Tanu Metir, meskipun ia sadar, bahwa itu harus dikatakannya.

Setelah menimbang beberapa lama, maka kemudian Widura itupun menjawab, “Ki Demang, biarlah Ki Tanu Metir berusaha untuk memberikan beberapa pengetahuan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka berdua tidak dapat dikalahkan oleh Sidanti.”

Ki Demang Sangkal Putung mengerutkan keningnya. Katanya dengan ragu-ragu, “Angger Agung Sedayu barangkali dapat berbuat demikian. Sebab malahan Angger Sedayu sudah melampaui ketinggian ilmu Sidanti. Tetapi anakku itu?”

“Itulah yang aku maksud, Kakang” sahut Widura. “Biarlah Ki Tanu Metir menuntun Swandaru dan Agung Sedayu. Karena Agung Sedayu telah memiliki bekal yang cukup, maka biarlah untuk sementara Swandaru akan mendapat perhatian lebih banyak daripada Agung Sedayu. Sebab ternyata bahwa dendam itu disebabkan oleh Swandaru sedang berusaha menyelamatkan Agung Sedayu. Sehingga karena itulah maka akupun minta dengan sangat Ki Tanu Metir untuk memenuhi permintaan itu.”

Ki Demang Sangkal Putung benar-benar menjadi pening mendengar keterangan Widura yang justru menjadikannya semakin bingung. Swandarupun tidak kalah bingungnya. Sehingga bahkan ia menjadi jengkel. Dengan bersungut-sungut ia berkata, “Paman Widura, bahaya itu sebenarnya sedang mengancam kami. Aku dan kakang Agung Sedayu. Apakah dalam keadaan itu aku harus belajar mengobati luka-luka supaya aku sempat mengobati lukaku seandainya Sidanti mencelakakan aku?”

Widura benar-benar menjadi sulit untuk mengatakan maksudnya. Sedang Ki Tanu Metir sendiri sama sekali tidak membantunya. Karena itu, maka katanya kemudian kepada Ki Tanu Metir, “Ki Tanu Metir, tolonglah, jelaskanlah maksudku kepada Kakang Demang dan Swandaru. dan katakanlah kepada kami, apakah Ki Tanu bersedia memenuhi permintaan kami. Mengambil Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid Kiai dan memberi mereka bekal keselamatannya dari ancaman Sidanti.”

Ki Tanu Metir mengangkat wajahnya. Ditatapnya setiap orang yang duduk di sekitarnya satu demi satu. Kemudian perlahan-lahan ia berkata, “Jadi bagaimana Angger Widura?”

“Terserahlah kepada Kiai” jawab Widura.

Ki Tanu Metir mengangguk-angguk. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Angger, permintaan Angger aku terima dengan senang hati. Mudah-mudahan aku mampu berbuat demikian, seperti yang telah aku ucapkan kepada Ki Tambak Wedi sendiri. Sekarang apakah Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru bersedia menerima tawaran itu?”

Agung Sedayulah yang dengan serta-merta menjawabnya, “Aku sangat berterima kasih atas kesempatan itu Kiai.”

Tetapi Swandaru belum juga menyadari keadaannya. Ia masih merasa seakan-akan percakapan itu seperti senda-gurau saja. Namun meskipun demikian ia tidak berkata apa-apa, hanya sinar matanya sajalah yang memancarkan kebimbangan dan kebingungannya.

Ki Tanu Metir menangkap kebimbangan di hati Swandaru itu. Karena itu, maka katanya, “Angger, aku tahu Angger menjadi ragu-ragu. Mungkin angger tidak mendapat keyakinan, bahwa dengan belajar kepadaku, angger mungkin akan menyelamatkan diri sendiri dari bahaya yang akan ditimbulkan oleh Sidanti. Karena itu, maka aku akan mencoba menyakinkan angger untuk kepentingan keselamatan Angger sendiri.”

Ki Tanu Metir itu berhenti sesaat. Sekali lagi ditatapnya wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Terasa alangkah berat hatinya untuk mengatakan sesuatu yang terkandung di dalam dadanya. Sebenarnya Ki Tanu Metir bukanlah seorang yang suka menunjukkan kelebihan-kelebihannya kepada orang lain. Sebenarnyalah bahwa apakah Swandaru percaya atau tidak, bukanlah kepentingannya. Juga seandainya Swandaru itu kelak akan mengalami nasib yang malang karena pokal Sidanti, itupun sama sekali bukan kepentingannya.

Namun ia sadari bahwa seharusnyalah anak itu diusahakan untuk dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun Ki Tanu Metir itupun mengetahuinya, bahwa pertentangan antara Swandaru dan Sidanti tidak saja timbul karena persoalan Agung Sedayu itu. Tetapi sejak masa-masa lampau sebelumnya, pertentangan itu memang telah ada. Namun sebab yang langsung sekali adalah usaha Swandaru membunuh Sidanti pada saat-saat Sidanti hampir saja berhasil melumpuhkan Agung Sedayu.

Karena itu, oleh sesuatu tekanan di dalam hatinya yang belum pernah dikatakannya kepada orang lain, maka Ki Tanu Metir merasa berkewajiban untuk menolong Swandaru itu, seperti ia menolong Agung Sedayu sendiri, karena persoalan yang bersangkut-paut.

Dengan demikian, maka setelah berhenti sejenak, Ki Tanu Metir itu berkata, “Angger Swandaru, sebelum Angger mulai dengan mematuhi petunjuk-petunjuk yang akan aku berikan, adalah wajar sekali kalau Angger harus menjadi yakin, bahwa orang yang dipatuhi itu akan dapat memberinya sesuatu. Karena itu, maka biarlah aku mencoba meyakinkan Angger. Aku bukan sengaja untuk menunjukkan keanehan dan mungkin juga menyombongkan diri, tetapi aku tidak melihat cara yang lain untuk itu.”

Swandaru memandang Ki Tanu Metir tanpa berkedip. Ki Demang Sangkal Putungpun menjadi semakin bingung. Tetapi ia benar-benar ingin melihat, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir itu.

Ki Tanu Metir itupun kemudian berpaling kepada Agung Sedayu dan berkata, “Angger, apakah peristiwa yang Angger saksikan tadi mampu meyakinkan Angger Swandaru?”

Agung Sedayu tahu benar maksud Ki Tanu Metir. Karena itu segera diceritakannya apa yang baru saja dilihatnya. Tetapi seperti juga Ki Tanu Metir, Agung Sedayu ragu-ragu, apakah ceritanya cukup meyakinkan tanpa melihatnya sendiri.

Meskipun demikian, maka Agung Sedayu telah mencoba menceritakan apa yang telah terjadi. Pertempuran antara Ki Tambak Wedi dan Kiai Gringsing. Dan ternyata bahwa Kiai Gringsing itu adalah Ki Tanu Metir itu sendiri.

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan cerita itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka dapat mengerti beberapa bagian dari cerita itu. Namun tampaklah pada wajah Swandaru, bahwa ia masih juga ragu-ragu mendengar cerita Agung Sedayu.

Mereka bukan tidak percaya pada Agung Sedayu, namun mereka sangatlah sukar untuk membayangkannya, bahwa hal itu dapat terjadi atas seorang dukun tua seperti Ki Tanu Metir itu.

Ki Tanu Metirpun dapat menangkap keragu-raguan itu. Tetapi apakah yang dilakukannya untuk meyakinkan mereka itu?

Dalam kebimbangan itu tiba-tiba terdengar Untara berkata, “Aku juga mempunyai sebuah cerita. Apakah kau mau mendengarkan Swandaru?”

“Tentu” sahut Swandaru kosong.

“Baiklah” berkata Untara pula. Perlahan-lahan ia bangkit dan dengan perlahan-lahan pula ia berjalan dan duduk di samping Ki Tanu Metir.

“Lukaku sudah tidak berbahaya lagi” katanya.

Swandaru dan Ki Demang memandanginya dengan tegang. Cerita apakah yang akan dikatakan oleh Untara itu.

“Ki Demang Sangkal Putung dan kau Swandaru” berkata Untara itu kemudian. “Cerita ini adalah cerita tentang diriku sendiri. Cerita tentang seorang prajurit yang gagal memenuhi kewajibannya. Mungkin sebagian kalian telah mendengar dari Agung Sedayu, namun aku yakin bahwa pada saat itu Paman Widura dan Agung Sedayu telah berusaha mencari aku.” Untara berhenti sejenak. Dilihatnya tidak saja Swandaru dan ayahnya yang mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Tetapi juga Agung Sedayu dan Widura sendiri.

“Aku kira, pada waktu itu hampir semua orang menyangka aku telah hilang. Bahkan mungkin orang menyangka bahwa aku telah diculik oleh gerombolan Plasa Ireng, sebab sepeninggal Agung Sedayu kemari, pada waktu itu datanglah Plasa Ireng dan Alap-Alap Jalatunda. Namun ternyata aku selamat. Di dalam rumah itu hanya ada aku berdua dengan Ki Tanu Metir. Seorang dukun tua. Aku sedang terluka, agak parah hampir seperti lukaku sekarang. Nah, siapakah menurut dugaan kalian yang telah menyelamatkan aku dari tangan Plasa Ireng itu?”

Widura dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas akan persoalan itu. Sudah tentu Plasa Ireng tidak akan mampu mengambil Untara pada saat itu, sebab di dalam rumah itu ada Ki Tanu Metir, yang kemudian menamakan dirinya Kiai Gringsing.

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun segera dapat menjawab pertanyaan Untara itu. Sudah pasti Ki Tanu Metir. Namun kembali mereka tidak dapat membayangkan, apakah yang sudah dilakukan oleh dukun tua itu untuk menyelamatkan Untara. Bagaimanakah rupanya kira-kira kalau orang tua itu bertempur, apakah ia harus melawan Ki Tambak Wedi ataukah ia harus berkelahi melawan Plasa Ireng dengan beberapa orang kawannya.

Swandaru dan Ki Demang itu benar-benar berada dalam kebimbangan dan keragu-raguan. Sehingga kemudian terdengar Untara berkata seterusnya, “Nah, ternyata Ki Tanu Metirlah yang berhasil menyelamatkan aku. Setelah Ki Tanu Metir itu berhasil mengusir Plasa Ireng dan orangnya, maka segera akupun disembunyikannya di atas kandang kuda, sementara itu Ki Tanu Metir pergi menyusul Agung Sedayu. Baru setelah Ki Tanu Metir kembali, maka aku dibawanya pergi, mengungsi ke tempat yang tak banyak dikenal orang. Dan memang tidak banyak orang yang akan menyangka bahwa aku disembunyikan oleh dukun tua itu. Namun sebenarnyalah demikian.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dadanya sudah berdebar-debar seandainya kakaknya mengatakan bahwa ia telah menjadi ketakutan dan hampir menjadi pingsan ketika kakaknya itu memaksanya pergi ke Sangkal Putung. Sehingga sampai saat terakhir, tidak seorangpun dari Sangkal Putung yang mengetahui, bahwa Agung Sedayu baru saja melampaui suatu masa yang tak pernah disangkanya akan terjadi.

Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putungpun mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun keragu-raguan yang bersarang di dalam dada mereka, masih belum dapat mereka lenyapkan.

Ki Tanu Metir yang melihat perasaan itupun kemudian berkata, “Angger Swandaru. Aku akan mencoba menunjukkan beberapa permainan yang dapat meyakinkan angger. Bukan semata-mata aku ingin dipercaya, namun semata-mata untuk memberikan dasar-dasar kepercayaan kepada Angger Swandaru, bahwa usahanya akan tidak terlalu sia-sia. Mungkin memang tidak akan dapat berhasil seperti yang diharapkan, misalnya, dalam waktu yang pendek akan segera dapat mengimbangi Sidanti, namun setidak-tidaknya ada usaha ke arah itu. Mudah-mudahan lambat-laun akan berhasil pula, meskipun dari sedikit.”

Swandaru tiba-tiba menjadi gembira. Kalau ia akan dapat melihat apapun yang dilakukan oleh Ki Tanu Metir, maka ia akan dapat meyakininya apa yang dilihat itu. Dan apabila demikian, maka ia berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan menjadi seorang murid yang tekun. Mudah-mudahan ia tidak akan merasa selalu terancam hidupnya oleh Sidanti sepanjang umurnya.

Karena itu ketika Ki Tanu Metir mengajak mereka itu ke halaman, maka dengan serta-merta Swandaru itupun berdiri dan berkata, “Benar-benar diluar kemampuanku untuk memikirkan apa yang telah terjadi itu, dan mungkin apa yang terjadi dalam permainan ini. Tetapi aku berjanji, bahwa aku akan menjadi seorang murid yang tekun, demi keselamatanku sendiri dan demi kelangsungan ketentraman di daerah ini.”

“Bagus” desis Ki Tanu Metir. “Angger adalah putra seorang Demang yang akan dapat nglintir kekuasaan itu. Mudah-mudahan Angger akan dapat membawa bekal secukupnya.”

“Terima kasih Kiai” jawab Swandaru.

Ki Tanu Metir itupun kemudian berjalan mendahului mereka. Tetapi di muka pintu ia berhenti. Sambil berpaling ia berkata, “Kita ke Gunung Gowok.”

Swandaru tidak peduli, apakah permainan itu dilakukan di rumah, di halaman, atau di Gunung Gowok. Karena itu ia menjawab, “Marilah. Aku akan ikut kemana Kiai akan pergi.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kembali ia berjalan ke halaman. Ki Demang Sangkal Putung yang ingin juga melihat hal-hal yang baginya tak dapat dimengertinya itu ikut pula bersama Widura dan Agung Sedayu. Hanya Untara sajalah yang tinggal di pringgitan dan kembali ia membaringkan dirinya.

Para penjaga regol yang melihat mereka keluar menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati. Kemanakah mereka itu pergi? Widura dan Agung Sedayu baru saja pulang dari nganglang. Sekarang mereka pergi lagi bersama Ki Demang, Swandaru dan Ki Tanu Metir. Apakah ada seseorang yang perlu segera mendapat pertolongan dukun tua itu?

Tetapi mereka tidak bertanya terlalu banyak. Mereka hanya menyapa dan sekedar bertanya sepantasnya. Namun Widura yang menjawabnya hanya sekedar menjawab sepantasnya, “Berjalan-jalan” katanya.

Mereka itupun kemudian berjalan tergesa-gesa ke Gunung Gowok. Di sepanjang jalan itu, mereka hampir tidak bercakap-cakap sepatahpun. Masing-masing sedang sibuk dengan angan-angannya.

Ki Tanu Metir itupun sibuk pula dengan pikirannya sendiri. Adalah aneh sekali, bahwa ia seakan-akan memaksa seseorang untuk menjadi muridnya, tidak atas permintaan anak itu sendiri. Hal yang benar-benar menggelikan. Bahkan terpaksa ia membuktikan kepada anak itu sesuatu yang meyakinkannya, untuk bersedia menjadi muridnya. Tetapi ia tidak dapat menolak permintaan Widura. Dan ia tidak dapat membiarkan anak itu hidup dalam ketakutan atas bayangan orang lain yang mendendamnya. Ia harus menolongnya, meskipun dengan demikian terjadi kejanggalan itu.

Pada saat permulaan dari penurunan ilmu itu, Ki Tanu Metir telah melihat sesuatu yang menarik perhatiannya pada Swandaru. Anak itu memiliki sikap tinggi hati lebih dari Agung Sedayu. Mungkin terpengaruh oleh kebiasaan hidupnya sebagai seorang anak Demang, sehingga seakan-akan iapun memiliki pula kekuasaan yang dimiliki oleh ayahnya, Swandaru tidak segera menerima tawaran untuk menjadi muridnya. Namun ia meragukannya. Ia tidak ingin melihat hal-hal yang tidak dimengertinya itu lambat laun namun dalam kebimbangan ia menunggu, meskipun telah didengarnya beberapa keterangan mengenai dirinya.

Tetapi dengan demikian, maka Swandaru mempunyai sifat yang lebih terbuka pula. Ia lebih senang melihat dan membuktikan langsung daripada menyimpan teka-teki di dalam hatinya.

“Namun anak muda itu harus tahu” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya. “Bahwa bukan kehendakku untuk mendapatkan murid-murid yang aku kehendaki, namun apa yang aku lakukan adalah untuk kepentingannya semata-mata, sehingga dengan demikian ia seharusnya tidak berbuat sekehendaknya seakan-akan tidak memerlukannya, tetapi harus benar-benar bertanggung-jawab bagi masa depannya sendiri.”

Tetapi Ki Tanu Metir belum dapat mengatakan itu sekarang kepada Swandaru. Mungkin Agung Sedayu akan segera dapat mengertinya, namun Swandaru pasti belum. Anak itu harus melihat sesuatu lebih dahulu, sesuatu yang dapat menarik perhatiannya dan kepercayaannya. Tetapi apa?

Ki Tanu Metir menarik nafas panjang. Ia harus berbuat untuk menunjukkan kelebihannya dari orang lain. Benar-benar suatu hal yang asing baginya. “Mudah-mudahan aku tidak sekedar terdorong untuk menyombongkan diri” orang tua itu tersenyum di dalam hati.

Tanpa terasa merekapun kemudian sampai pula di sebuah tanah lapang kecil di dekat puntuk kecil yang bernama Gunung Gowok. Widura dan Agung Sedayu sudah kenal betul dengan gunung itu. Kepada batang kelapa sawit di atasnya, dan kepada tanah lapang yang kecil itu. Jauh lebih baik dari Ki Demang Sangkal Putung itu sendiri.

Swandaru menjadi gembira. Dilihatnya bintang-bintang yang bergantungan di langit yang biru. Dilihatnya awan yang tipis bergerak lembut ke utara.

Sesaat Ki Tanu Metir berdiri termangu-mangu. Terasa sangatlah berat baginya untuk memulai sebuah permainan yang aneh-aneh. Mungkin ia akan dapat berbuat demikian dalam keadaan yang serta-merta, tetapi ketika hal itu dirancangnya lebih dahulu, maka malahan terasa menjadi sulit.

Setelah sesaat mereka tegak membeku, maka Ki Tanu Metir menyadari, bahwa ia harus segera mulai. Karena itu, maka dengan agak canggung diambilnya sepotong besi yang diselipkannya di ikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu ia berkata kepada Swandaru, “Lihatlah Ngger, mungkin kau kenal potongan-potongan besi semacam ini. Dengan potongan-potongan besi semacam ini Ki Tambak Wedi mencoba menakut-nakuti lawannya. Dengan tangannya Ki Tambak Wedi membengkokkan besi-besi semacam ini sehingga hampir berbentuk lingkaran, sehingga mirip dengan bentuk senjata yang disukainya di samping nenggalanya seperti kepunyaan Sidanti yang tertinggal di Sangkal Putung.”

Swandaru tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ia menunggu apa yang akan dilakukan oleh Ki Tanu Metir atas potongan besi itu.

Orang-orang yang berdiri tegak itupun kemudian melihat, Ki Tanu Metir menggenggam besi itu erat-erat, kemudian dengan kekuatan tangannya sepotong besi itu dilengkungkannya hampir berbentuk sebuah lingkaran. Widura dan Agung Sedayu menahan nafasnya. Terlebih-lebih Widura. Ia pernah melihat Ki Tambak Wedi menakut-nakutinya dengan permainannya semacam itu.

Tetapi mereka terkejut ketika Swandaru itu berkata, “Kiai, apakah aku tidak dapat melakukannya?”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mau mengecewakan Swandaru. Besi yang lengkung itu diluruskannya kembali dan diberikannya kepada Swandaru. “Apakah Angger ingin mencoba?”

Swandaru menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Biarlah aku mencobanya Kiai.”

Swandaru kemudian menerima potongan besi itu. Sesaat ia diam. Dipandanginya Ki Tanu Metir dan potongan besi itu berganti-ganti.

“Silakan Ngger, silakan mencoba.”

Swandaru itu masih berbimbang hati. Tetapi kemudian dicobanya melakukan seperti apa yang baru saja diperbuat oleh Ki Tanu Metir.

Ketika ia mencoba melengkungkan besi itu, Swandaru benar-benar terkejut. Disangkanya pekerjaan itu amat mudahnya. Karena itu, maka dikerahkannya segenap kekuatan yang ada padanya. Dengan menggertakkan giginya, kedua tangannya menekan potongan besi itu.

Ternyata kekuatan Swandarupun benar-benar menakjubkan. Besi itu seakan-akan menggeliat, dan kemudian perlahan-lahan membengkok. Tetapi hanya sedikit sekali.

Nafas Swandaru menjadi terengah-engah. Ternyata kekuatannya yang dibangga-banggakannya selama ini hanya mampu membengkokkan besi itu sedikit saja. Itupun telah dikerahkan tenaganya sebesar-besar mungkin. Sedang Ki Tanu Metir nampaknya dapat berbuat demikian mudahnya, bahkan kedua ujung dan pangkalnya menjadi hampir bertemu.

“Bagaimana Ngger?” bertanya Ki Tanu Metir kemudian.

Swandaru menyerahkan potongan besi itu kembali sambil berkata, “Aku tidak mampu Kiai.”

Ki Tanu Metir tersenyum. Dilihatnya mata Swandaru selalu memandanginya. Dari pandangan mata itu Ki Tanu Metir melihat kepercayaan yang mulai tumbuh di dalam hati Swandaru. Namun kepercayaan itu belum cukup meyakinkannya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar memiliki kelebihan seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu.

Sebenarnyalah bahwa Swandarupun belum pernah melihat kelebihan Ki Tambak Wedi dari orang lain. Tetapi Swandaru telah mempercayainya. Ia percaya karena ia melihat kelebihan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi itu, selain setiap orang menyebutnya sebagai seorang yang paling ditakuti di sekitar gunung Merapi. Swandaru percaya karena hampir setiap mulut telah mengucapkannya. Sedang Ki Tanu Metir adalah seorang yang sama sekali tak dikenal sebelumnya.

Ki Tanu Metir menyadari keadaan itu. Ketenaran seseorang berpengaruh juga bagi kepercayaan orang lain terhadapnya. Meskipun ketenaran belum tentu menunjukkan ukuran sebenarnya dari seseorang. Namun Ki Tanu Metir tidak mengingkari pendapat itu. Karena itu, maka ia masih harus mendapatkan kepercayaan lebih banyak lagi dari calon muridnya itu.

Namun setiap ia akan mulai, maka keragu-raguannya tumbuh kembali didadanya. Permainan yang manakah yang sepantasnya dipertunjukan. Apakah ia mengajak saja Agung Sedayu atau Widura bertempur atau berdua bersama-sama. Tetapi Ki Tanu Metir akan tetap merasakan kebimbangan Swandaru seandainya Swandaru merasa bahwa Widura dan Agung Sedayu telah bersama-sama bersetuju. Kalau demikian, maka sebaiknya Swandaru itu sendiri yang melakukannya.

Tetapi sudah tentu, bahwa permainan itu tidak harus merupakan perkelahian. Karena itu, maka berkatalah Ki Tanu Metir kepada Swandaru, “Kau telah melihat pameran dengan kekuatan Ngger. Tetapi tidak selalu bahwa kelebihan kekuatan pada seseorang akan dapat menyelamatkannya dari orang lain yang lebih lemah daripadanya. Kesempatan kelincahan seseorang juga akan turut menentukannya. Nah, sekarang marilah kita melihat, apakah kita cukup memiliki kelincahan.”

Sebelum menjawab, maka Ki Tanu Metir itu kemudian mencari beberapa buah batu. Batu itupun kemudian diletakkannya dalam sebuah lingkaran yang tidak terlalu besar. Kemudian katanya kepada Swandaru, “Nah, marilah kita bermain kejar-kejaran. Apakah Angger Swandaru mampu menyentuh aku di dalam lingkaran ini? Kalau aku meloncat terlalu jauh keluar lingkaran atau apabila Angger Swandaru berhasil menyentuh tubuhku, maka aku telah Angger kalahkan.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Permaian ini adalah permainan anak-anak saja nampaknya. Karena itu maka ia menjadi ragu-ragu. Sehingga Ki Tanu Metir itu mendesaknya, “Marilah Ngger. Kejarlah aku.”

Swandaru menarik nafas. Meskipun demikian dicobanya juga untuk menyentuh Ki Tanu Metir di dalam lingkaran itu. Mula-mula ia merasa bahwa Ki Tanu Metir terlalu menganggap dirinya sebagai anak-anak. Karena itu maka dilakukannya permintaan Ki Tanu Metir itu dengan segan-segan. Ia berjalan saja mendekati orang tua itu, dan dengan loncatan-loncatan dicobanya menyentuh tubuhnya.

Tetapi semakin lama Swandaru itupun menjadi semakin jengkel. Telah berkali-kali ia mencobanya, tetapi setiap kali orang tua itu selalu menghindarinya. Karena itu semakin lama Swandaru menjadi semakin bernafsu. Lingkaran itu tidak terlalu lebar. Ia tinggal mengejar dan menyentuh tanpa takut-takut untuk mendapat serangan atau apapun dari orang tua itu.

Tetapi ia tidak pernah berhasil. Semakin cepat ia bergerak, maka orang tua itu menjadi semakin cepat pula. Sekali-sekali merunduk, namun di saat yang lain meloncat tinggi-tinggi. Bahkan ketika Swandaru telah benar-benar kehilangan kesabarannya, dan dengan sepenuh tenaganya ia mengejarnya, maka Ki Tanu Metir itu benar-benar telah membingungkannya. Sekali-sekali ia bahkan kehilangan orang tua itu. Baru ketika orang tua itu memanggilnya, disadarinya, bahwa orang tua itu telah berada di belakangnya.

Ternyatalah kemudian bahwa bukan Swandaru yang berhasil menyentuh Ki Tanu Metir. Tetapi berkali-kali Ki Tanu Metirlah yang menggamitnya sambil menghitung, “Satu, dua, tiga……” dan setiap sentuhan maka Ki Tanu Metir menambah hitungannya.

Ketika hitungan Ki Tanu Metir telah sampai bilangan ke duapuluh lima, maka ia berkata, “Kalau kita bertaruh Ngger, setiap sentuhan sebutir kelapa, maka duapuluh lima butir Angger harus membayar.”

Akhirnya Swandaru itupun berhenti. Nafasnya benar-benar terengah-engah. Ia berdiri sambil bertelekan dengan kedua tangannya pada pinggangnya. Dan dengan parau ia berkata, “Tidak dapat. Tidak dapat Kiai.”

Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Sederhana sekali. Tetapi dengan permainan yang sederhana itu, Ki Tanu Metir benar-benar telah menunjukkan kekuatan dan kelincahan yang luar biasa.

Ki Demang Sangkal Putung yang telah memiliki pengalaman yang jauh lebih panjang dari Swandaru segera melihat, bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang yang sakti namun penuh kesederhanaan. Ia tidak menunjukkan kelebihannya dengan cara-cara yang mengejutkan dan mengerikan, namun dengan cara yang sangat sederhana. Dan dengan demikian, maka Ki Demang itupun segera memahami, bahwa sifat-sifat itulah sebenarnya sifat Ki Tanu Metir. Bukan orang yang sesongaran dan terlalu membanggakan kelebihannya.

Namun berbeda dengan Swandaru sendiri, Swandaru adalah anak muda yang sedang berkembang. Angan-angannya membumbung tinggi ke atas awan di langit yang biru. Tak pernah ia puas melihat keadaan sekitarnya. Ia ingin segalanya yang serba besar, dahsyat dan mengejutkan.

Karena itulah maka ia sama sekali belum puas dengan apa yang dilihatnya itu. Meskipun ternyata bahwa ia tidak mampu menyentuh ujung baju Ki Tanu Metir, namun tidak demikianlah kesaktian seseorang menurut angan-angannya. Seorang yang sakti harus mampu berbuat sesuatu yang dahsyat dan mengerikan. Memukul seekor lembu dengan tangannya sehingga pecah kepalanya. Ia sama sekali tidak puas dengan main-main kejar-kejaran, meskipun dengan demikian ia dapat melihat kelincahan dan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir.

Ki Tanu Metir yang melihat Swandaru itu berdiri dengan nafas terengah-engah segera bertanya, “Bagaimana Angger Swandaru. apakah Angger dapat memahami apa yang Angger lihat?”

“Tetapi dalam keadaan bahaya Kiai,” jawab Swandaru, “kita tidak hanya sekedar berlari-lari dan menghindarkan diri. Namun kita harus dapat melumpuhkan lawan. Apakah dengan berlari-lari dan menghindar kita akan mampu menjatuhkan musuh-musuh kita?”

Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya “Yang paling baik bagi kita Ngger, adalah menyelamatkan diri kita. Apakah kita harus selalu menjatuhkan lawan kita dalam setiap pertempuran?”

Swandaru menjadi semakin tidak mengerti. Lalu apakah artinya pertempuran kalau kita hanya sekedar menghindarkan diri dengan berlari-lari saja? Karena itu maka ia bertanya, “Jadi, apakah dengan berlari-lari menghindar persoalan akan selesai? Tidak Kiai. Misalnya Sidanti itu. Kalau suatu ketika aku bertemu dengan Sidanti, dan ia menyerangku, apakah aku hanya akan mampu melarikan diri, atau katakanlah menyelamatkan diriku sendiri. Apakah dengan demikian persoalanku dengan Sidanti selesai? Bagaimanakah kalau aku bertemu disaat yang lain?”

“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Kalau aku bertempur,” sahut Swandaru dengan nada yang berat, “maka aku harus dapat menghindari serangan lawan dan harus pula dapat membinasakan lawan.”

Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas. Katanya, “Jadi Angger harus dapat membinasakan lawan dalam artian membunuhnya atau bagaimana?”

“Ya, demikianlah seharusnya.”

Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia melihat perbedaan yang tajam antara Swandaru dan Agung Sedayu. Meskipun keduanya anak muda, dan bahkan mungin sebaya, namun keduanya memandang persoalan-persoalan yang harus dihadapinya dengan cara berpikir berbeda.

Swandaru, seorang anak yang bertubuh kokoh kuat dengan bekal yang keras dan tegang dalam masa-masa pancaroba. Ketika anak itu meningkat dewasa, maka ia dihadapkan pada kekisruhan yang melanda kademangannya. Dalam pada itu ia hanya mendapat tuntunan lahiriah semata-mata. Berlatih untuk bertempur. Membinasakan lawan kalau tidak ingin dibinasakan. Sehingga semboyan yang ada padanya adalah, dibinasakan atau membinasakan. Tidak ada orang yang memberinya petunjuk, bahwa membinasakan lawan tidak selalu harus membunuhnya. Seorang yang dapat membinasakan lawan dalam tekad dan tujuannya yang salah, dan menjadikannya orang yang baik sehingga menyadari kesalahannya, untuk seterusnya menghentikan perbuatan-perbuatan itu, dapat juga dianggap sebagai usaha yang berhasil, meskipun tanpa membunuhnya.

Tetapi ia tidak dapat memberitahukan hal itu sekarang. Dan sudah pasti, bahwa Swandaru tidak akan segera dapat mengerti. Pengertian tentang hal semacam itu, sudah tentu diperlukan waktu. Dan Ki Tanu Metir itu menyadari, bahwa waktu yang diperlukan untuk Swandaru akan jauh lebih banyak dari waktu yang diperlukan untuk Agung Sedayu. Swandaru pasti menganggap hal yang demikian sebagai suatu kelemahan atau bahkan mungkin sifat-sifat cengeng.

Namun banyaklah contoh-contoh yang akan dapat diberikannya. Seorang penjahat dan liar pada suatu ketika akan dapat menjadi seorang alim yang berbudi. Yang bertobat dengan tulus dan menjadi seorang hamba Tuhan yang baik. Kesadaran yang demikian akan dapat terjadi dalam banyak persoalan. Dalam persoalan yang bersifat pribadi maupun persoalan yang lebih luas, sebagaimana yang dihadapi oleh Widura. Para pengikut Arya Penangsang sampai saat itu, masih belum mengakui keadaan yang dihadapinya. Sehingga karena itu maka mereka terperosok kedalam perbuatan-perbuatan tercela. Bukan sebagai seorang prajurit yang memanggul cita-cita kenegaraan yang tinggi, tetapi kesempatan sebagai gerombolan-gerombolan yang menakut-nakuti rakyat.

Apa yang terjadi dihadapan Swandaru itulah yang mendorongnya dalam masa pancaroba itu, berangan-angan tentang kejantanan, kekerasan dan kemenangan-kemenangan yang tampak oleh mata. Ki Tanu Metirpun menyadari, bahwa tekad yang demikian tidak boleh dipatahkan, tetapi harus mendapat penyaluran yang wajar. Perlahan-lahan.

Karena itulah maka Ki Tanu Metir itupun kemudian tidak mempunyai pilihan yang lain untuk memenuhi harapan Swandaru, meskipun tidak berlebih-lebihan. Ia harus dapat memberikan suatu contoh yang tepat menurut selera anak muda dari Sangkal Putung itu. Tetapi apakah yang dapat dipertunjukkan di hadapannya. Di hadapan Swandaru dan orang-orang lain. Apakah ia harus mematahkan pedang dengan jari-jarinya atau memukul kelapa sawit itu hingga roboh dengan telapak tangannya?

Tetapi bagaimanapun juga Ki Tanu Metir harus melakukannya. Kali ini Ki Tanu Metir tidak mau berbuat menurut seleranya. Ia harus dapat memenuhi selera Swandaru. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk bertanya saja. Katanya, “Angger Swandaru, kalau Angger tidak puas dengan permainan kejar-kejaran itu maka permainan apakah yang Angger senangi?”

Swandarupun tertegun diam. Ia sendiri menjadi bingung. Sejak lama ia mengangan-angankan untuk menjadi seorang jantan yang tidak dapat dikalahkan. Tetapi yang bagaimana? Ketika ia mendengar pertanyaan itu, maka iapun menjadi bimbang. Ia tahu apa yang dimaksudkannya, tetapi ia tidak dapat mengatakan.

Karena itu, maka Swandaru itupun berkata dengan jujur. “Kiai, aku sebenarnya hanya ingin menjadi laki-laki yang sakti. Mungkin seperti Ki Tambak Wedi, atau setidak-tidaknya seperti Kakang Untara, atau yang lain-lain yang dapat memenangkan pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.”

Sekali lagi Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam. Kehormatan yang diidam-idamkan oleh Swandaru ternyata adalah kemenangan jasmaniah. Kemenangan-kemenangan dalam perkelahian-perkelahian dan pertempuran. Ia sama sekali tidak mengangankan kemenangan lain yang dapat dicapainya tanpa perkelahian dan pertempuran. Tetapi Ki Tanu Metir menghargai kejujurannya. Swandaru itu berkata apa saja yang dipikirkannya. Karena itu, maka Ki Tanu Metir masih mempunyai harapan, bahwa kelak Swandaru itu akan dapat dituntunnya sedikit demi sedikit.

Kali ini, Ki Tanu Metir benar-benar harus menunjukkan ketangkasannya berkelahi. Tidak ada pilihan lain. Tetapi bagaimana?

Tiba-tiba orang yang tampaknya demikian lemahnya, berjalan tersuruk-suruk dan dahi yang berkerut-kerut itu meloncat dengan garangnya. Dengan lantangnya ia berkata, “He Angger Widura, cabutlah pedangmu. Berdua dengan Agung Sedayu. Tidak, ayolah bertiga dengan Swandaru. Cepat sebelum aku melukai kalian dengan senjataku ini.”

Hampir tak terlihat oleh mata mereka, Ki Tanu Metir tiba-tiba telah menggenggam sebuah cambuk kecil yang berjuntai beberapa cengkang. Bukan cambuk yang dipakainya bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Tetapi cambuk ini agak lebih kecil.

Tetapi gerak Ki Tanu Metir itu benar-benar mengejutkan. Tiba-tiba saja ia sudah menyerang dengan senjatanya. Letusan cambuk itu meledak-ledak di telinga Swandaru seperti letusan-letusan bambu sebesar paha yang termakan api. Swandaru benar-benar terkejut melihat gerakan dan serangan yang tiba-tiba itu. Tanpa disadarinya segera ia mencabut pedangnya. Dan dengan serta-merta iapun bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang.

Widura dan Agung Sedayupun segera menarik pedangnya. Meskipun agak segan-segan juga, namun mereka terpaksa menuruti kehendak itu. Sebab dengan demikian, maka mereka telah membantu meyakinkan Swandaru terhadap kelebihan Ki Tanu Metir.

Tetapi kembali Swandaru terkejut bukan kepalang, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, maka terasa seakan-akan sebuah sambaran menyentuh pedangnya. Ternyata ujung cambuk Ki Tanu Metir telah membelit pedangnya. Sebuah sentakan telah merenggut pedang itu dari tangannya.

Sesaat Swandaru tegak seperti patung. Dilihatnya pedangnya terlempar dan jatuh beberapa langkah daripadanya. Demikian kagumnya ia melihat kecepatan itu, sehingga untuk sesaat ia tidak bergerak seperti tonggak.

“Kenapa pedangmu kau lepaskan?” bertanya Ki Tanu Metir.

Swandaru tidak menjawab. Namun ia segera menyadari keadaannya. Dilihatnya kini Widura dan Agung Sedayu telah menyerang Ki Tanu Metir itu dengan pedang masing-masing. Namun serangan keduanya seakan-akan sama sekali tidak berarti bagi Ki Tanu Metir. Dengan berloncatan serangan kedua orang itu dengan mudahnya dihindari.

“Mereka tidak bersungguh-sungguh” pikir Swandaru. “Aku akan membuktikan bahwa Swandaru bukan tikus yang kagum melihat kucing menari-nari.”

“Beri kesempatan aku mengambil senjataku” teriak Swandaru.

“Ambillah” sahut Ki Tanu Metir sambil melayani Agung Sedayu dan Widura.

Ki Tanu Metir itupun kemudian berkata pula, “Marilah Ki Demang, kita bermain-main.”

Ki Demang belum lagi selesai mengelus dadanya. Tidak disangkanya bahwa dukun tua itu benar-benar mampu bergerak selincah burung sikatan menghadapi ujung-ujung pedang. Tetapi ia tersadar ketika Swandaru berbisik, “Mereka hanya pura-pura. Mari ayah, kita buktikan, apakah benar-benar Ki Tanu Metir bukan hanya seorang dukun saja.”

Mula-mula Ki Demang Sangkal Putung merasa segan pula. tetapi ketika ia melihat Widura menggerakkan pedangnya seperti baling-baling dan melibat Ki Tanu Metir sejadi-jadinya, maka perlahan-lahan Ki Demang itupun menarik pedangnya pula.

Kini mereka bertiga menghadapi Ki Tanu Metir dengan pedang ditangan. Swandarupun kemudian dengan tergesa-gesa memungut pedangnya pula. Dengan hati-hati ia segera mendekati lingkaran pertempuran itu untuk mencoba menunjukkan bahwa iapun memiliki kekuatan yang dapat dibanggakan. Kalau sekali lagi ujung cemeti itu membelit pedangnya, maka pedang itu akan dipertahankan dengan kekuatannya. Meskipun Ki Tanu Metir itu memiliki kekuatan yang berlebihan, apakah ia dapat segera merebut pedangnya, sedangkan orang-orang lain akan menyerangnya? Setidak-tidaknya ayahnya, apabila Widura dan Agung Sedayu hanya berpura-pura saja.

Tetapi sekali lagi Swandaru itu terkejut bukan kepalang. Baru saja ia mengacungkan ujung pedang itu, tiba-tiba sekali lagi pedangnya meloncat dari tangannya. Dan sekali lagi ia mendengar Ki Tanu Metir itu berkata, “Jangan lepaskan Swandaru”

Swandaru menggeram. Berlari-lari ia memungut pedangnya. Kali ini ia tidak bernafsu untuk menyerang. Digenggamnya pedangnya erat-erat. Tetapi kali ini ia benar-benar menjadi bingung. Ketika terasa ujung cambuk Ki Tanu Metir menarik pedangnya, maka pedang itu dipertahankannya. Namun sebuah tarikan yang kuat telah membantingnya terjerembab.

Tertatih-tatih Swandaru segera berusaha bangun. Sekali lagi menggeram. Swandaru merasa bahwa tarikan ujung cambuk itu terlalu tiba-tiba dan menyentak, sedangkan ia menggenggam pedangnya terlampau erat, sehingga ia tertarik ke depan dan kehilangan keseimbangan.

Ketika ia tegak berdiri, dilihatnya Ki Tanu Metir masih sibuk melayani Widura, Agung Sedayu dan Ki Demang Sangkal Putung. Bukan main panas hati Swandaru Geni itu. Ternyata bahwa tiga kali ia kehilangan senjatanya, dan bahkan yang terakhir kalinya ia terpaksa jatuh terjerembab mencium tanah.

Dengan lengan bajunya, Swandaru membersihkan debu yang melekat diwajahnya. Bajunyapun menjadi kotor pula karenanya. Namun semuanya itu tak dihiraukannya. Kali ini ia benar-benar akan mempertahankan dirinya dari tarikan cambuk itu. Betapapun kuatnya Ki Tanu Metir, namun apabila ia benar-benar bertahan, maka ia pasti bahwa ujung cambuk yang kecil itu akan terputus oleh tajam pedangnya, meskipun terbuat dari janget tenatelon sekalipun.

Karena itu, maka kini Swandaru memungut pedangnya sekali lagi. Digenggamnya pedang itu erat-erat. Dengan hati-hati ia berjalan ke titik pertempuran, dan diacungkannya pedangnya kearah Ki Tanu Metir. Dengan sepenuh tenaga ia memegang hulu pedangnya. Sedang kedua kakinya yang melangkah setengah langkah ditekuk pada lututnya sedikit. Kini Swandaru berdiri rendah. Pedangnya teracung kearah Ki Tanu Metir. Namun Swandaru itu sama sekali tidak bergerak. Kakinya seakan-akan menghunjam jauh ke dalam tanah, sehingga anak muda itu kini seakan-akan sebuah pokok dari sebatang pohon yang berakar jauh ke pusat bumi.

“Kali ini aku akan bertahan sekuat-kuat tenagaku” kata Swandaru di dalam hatinya. Sehingga dengan demikian maka Swandaru itu memusatkan segenap kekuatannya pada genggaman pedangnya serta kedua belah kakinya.

Beberapa saat ia melihat pertempuran itu masih berlangsung. Sebenarnya bahwa Ki Tanu Metir sangat lincah dan cekatan diluar dugaan. Orang tua yang tampaknya tidak memiliki daya gerak sama sekali itu ternyata seorang yang dapat bergerak secepat kilat menjilat langit dan memiliki tenaga sekuat tenaga raksasa. Meskipun demikian, Swandaru masih tetap bertekad untuk bertahan dari kemungkinan yang keempat. Pedangnya terjatuh atau dirinya terjerembab.

Tetapi kembali Swandaru itu terkejut. Kali ini Ki Tanu Metir itu tidak menyerangnya, mencabut pedang dari tangannya atau menariknya jatuh. Tiba-tiba Swandaru itu menjadi bingung ketika Ki Tanu Metir itu bertanya kepadanya, “Swandaru, dengan berdiri mematung seperti itu, kau tidak akan dapat mengalahkan lawanmu. Betapa lemahnya lawanmu itu, maka ia akan dengan leluasa mencoba menyerangmu dari arah yang dipilihnya. Sedang engkau sendiri hanya tegak saja seperti sebuah tonggak. Kenapa?”

Pertanyaan itu benar-benar tak diduganya. Sesaat Swandaru tidak dapat menjawab. bahkan wajahnya menjadi merah. Dadanya bergelora dan berbagai perasaan berkecamuk di dalam hatinya. Tetapi kemudian ia menyadari kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Ia tidak dapat bertempur dengan caranya itu. Berdiri diam tanpa bergerak.

Karena itu, maka tiba-tiba Swandaru itu segera meloncat, menyerbu ke dalam pertempuran itu. Digerakkan pedangnya dengan garangnya, terayun-ayun menggetarkan. Tetapi sekali lagi pedangnya terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.

Kali ini Swandaru benar-benar terpaku di tempatnya. Kenapa hal itu dapat terjadi? Namun dengan demikian, benar-benar ia mendapatkan suatu keyakinan akan kecepatan bergerak Ki Tanu Metir itu. Dalam perkelahian itu, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencoba melawan Ki Tanu Metir. Ia sama sekali tidak mendapatkan waktu sekejappun untuk ikut serta dalam pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka tiba-tiba Swandaru berkata, “Aku tidak akan mengambil pedangku kembali.”

Ki Tanu Metir tersenyum dalam hati. Tetapi terdengar ia bertanya, “Kenapa Ngger?”

“Hem” Swandaru menarik nafas panjang-panjang. Jawabnya, “Tak ada gunanya.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Ya bagaimana? Aku sama sekali tidak sempat berbuat apa-apa.”

Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat beberapa langkah ke belakang sambil berkata, “Sudahlah. Kita akhiri pertempuran ini. Angger Swandaru telah menjadi jemu.”

Perkelahian itupun segera berakhir. Widura dan Agung Sedayu tidak dapat menahan geli hatinya melihat Swandaru berdiri bertolak pinggang. Wajahnya berkerut-kerut dan bibirnya bergerak-gerak meskipun ia tidak berkata apapun juga.

“Bagaimana?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung pada anaknya.

Swandaru menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya bersungguh-sungguh, “Aku tidak ikut apa-apa. Sama sekali tidak.”

“Kenapa?” bertanya Widura sambil tertawa.

Sekali lagi Swandaru menggelengkan kepalanya. Pipinya yang gembung itu bergerak-gerak lucu sekali. Namun kini ia telah mendapatkan suatu keyakinan di dalam hatinya, bahwa Ki Tanu Metir benar-benar orang yang luar biasa.

Tetapi meskipun demikian, selera Swandaru agak berbeda dengan apa yang dilihatnya. Ia adalah seorang yang memiliki kekuatan jasmaniah yang besar sekali. Tubuhnya yang besar dan hampir bulat itu, baginya terlalu sulit untuk bergerak cepat. Karena itu, maka ingin sekali ia melihat Ki Tanu Metir melakukan suatu perbuatan yang dapat menggetarkan dadanya.

Namun ia tidak berani mengatakannya. Disimpannya saja keinginan dalam hatinya. “Mungkin suatu ketika aku akan melihatnya, atau barangkali Ki Tanu Metir hanya mampu berbuat seperti itu. Membanggakan kecepatan gerak tanpa dasar kekuatan?“ Namun kemudian katanya didalam hatinya, “Tetapi Ki Tanu Metir mampu melengkungkan sepotong besi.”

Swandaru itu menggeleng kepalanya kembali. Diakuinya kekuatan Ki Tanu Metir. Tetapi hatinya bertanya pula, “Aku kurang puas. Aku kurang puas. Kenapa Ki Tanu Metir tidak mau menggempur padas itu sampai pecah.”

Tetapi Swandaru tidak mengatakan ketidakpuasannya. Ketidakpuasan itu disimpannya saja di dalam hatinya.

Berbeda dengan Ki Demang Sangkal Putung. Demang itu menjadi benar-benar kagum melihat Ki Tanu Metir itu. Orang itu ternyata memiliki ketangkasan yang benar-benar tidak dibayangkan sebelumnya. Kekaguman Ki Demang Sangkal Putung tidak saja karena Ki Tanu Metir mampu bergerak dengan kecepatan yang tidak dimengertinya, sehingga Swandaru sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk bermain pedang, tetapi orang tua itu kagum juga akan cara Ki Tanu Metir untuk menunjukkan kelebihannya. Terasa bahwa usaha Ki Tanu Metir untuk memperlihatkan kepada orang lain, tidak terlalu berlebih-lebihan. Tanpa sikap sombong dan tidak menunjukkan kesadaran diri akan kelebihan-kelebihannya. Sikap yang dalam keseluruhannya benar-benar jarang ditemuinya. Sederhana, berilmu tinggi dan keseimbangan perasaan dan pikiran.

Orang-orang yang berada di lapangan kecil itu terkejut ketika mereka mendengar kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan. Bintang-bintang yang berjejal-jejal di langit, satu demi satu telah menghilang. Sedang di timur membayang warna semburat merah mengusap langit yang biru kehitaman.

“Hampir fajar” desis Ki Tanu Metir.

“Apakah permainanmu ini sudah cukup?” bertanya Widura kepada Swandaru.

Swandaru mengangguk kepalanya. Jawabnya, “Sementara sudah cukup Paman.”

“Sementara?” ulang ayahnya.

Swandaru tidak menjawab. Ditundukkannya kepalanya. Namun hatinya menyahut, “Ya. Sementara. Aku ingin melihat kedasyatan tenaga Ki Tanu Metir. Menggugurkan gunung atau mengeringkan lautan. Dasyat. Tidak sekedar kelincahan dan kekuatan yang diam seperti melengkungkan sepotong besi. Tetapi kekuatan yang hidup. Yang menggetarkan dada ini.”

Namun kata-kata itu sama sekali tidak terloncat dari bibirnya.

“Nah, apakah kita dapat kembali sekarang?” bertanya Ki Tanu Metir.

Semuanya mengiakan. Mereka segera akan melakukan kewajiban ibadah mereka.

Ketika fajar merekah, maka burung-burung liar terdengar berkicauan seakan-akan berebut keras meneriakkan selamat pagi. Cahaya matahari yang cerah melontar mengusap ujung-ujung pepohonan yang hijau segar. Di langit awan yang putih berhamburan mengalir ke utara didorong oleh angin ngarai.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu tegak berdiri di samping kandang kuda di belakang rumah kademangan. Ditatapnya cahaya matahari yang bermain-main di atas tanah yang kering seperti berloncat-loncatan berkejaran.

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Hampir saja kepalanya dipecahkan oleh Sidanti di halaman ini, di samping kandang kuda itu. Namun kini ia akan mendapat kesempatan yang lebih banyak untuk mematangkan diri sendiri. Ki Tanu Metir yang dikaguminya itu telah berjanji untuk menjadikannya seorang murid.

“Mudah-mudahan aku dapat menjadi seorang murid yang baik” gumamnya.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sendirinya. Ia mencoba memahami kata-kata Ki Tanu Metir kepada Swandaru semalam. Dan ia dapat mengertinya.

Agung Sedayu itu kemudian berpaling ketika ia mendengar gerit senggot di atas sumur. Dilihatnya seorang gadis mengambil air dari sumur itu. Dada Agung Sedayu terasa berdesir. Gadis yang sudah sering kali dilihatnya itu tiba-tiba menjadi bertambah segar dalam siraman cahaya matahari pagi yang bermain-main di tubuhnya. Tubuh yang bulat segar. Tubuh yang kuat seperti tubuh kawan-kawannya gadis pedesaan yang tidak saja duduk bersolek di dalam biliknya tetapi juga bekerja keras membantu ayah bundanya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu berjalan menghampirinya. Ketika gadis itu berpaling, maka Agung Sedayu tersenyum kepadanya, “Biarlah aku membantumu.”

“Jangan, Tuan” sahut Sekar Mirah. “Biarlah aku mengambil air sendiri.”

Panggilan itu terasa asing baginya kini. Tiba-tiba ia sama sekali tidak senang mendengar sebutan itu. Karena itu, maka katanya, “Mirah. Jangan panggil aku demikian. Biarlah kita yang menghuni rumah ini bersikap akrab. Seperti Swandaru kini tidak lagi diperkenankan bersikap terlalu hormat.”

Sekar Mirah menundukkan wajahnya. Dilihatnya bayangannya di dalam sumur. Bayangan seorang gadis remaja yang segar gembira. Tetapi bayangan itu kemudian pudar dan lenyap ketika upihnya menyentuh permukaan air itu.

“Bagaimana aku harus menyebut Tuan?” bertanya Sekar Mirah tanpa berpaling.

“Bertanyalah pada Swandaru” sahut Agung Sedayu. “Bagaimana ia menyebut aku sekarang.”

“Ah” Sekar Mirah itu tersenyum. Diangkatnya takir upihnya ke atas. Dan dituangkannya air dari takir upih sebesar bejana itu ke dalam kelentingnya.

“Marilah, aku ambilkan air untukmu” berkata Agung Sedayu.

“Jangan Tuan” jawab Sekar Mirah.

“Jangan panggil demikian.”

“Bagaimana?”

“Bertanyalah pada kakakmu.”

“Baik, aku akan merubah panggilan itu nanti kalau aku telah bertemu dengan Kakang Swandaru. Bukankah sekarang aku belum tahu bagaimana aku harus memanggil Tuan?”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya bertanya, “Kenapa bukan orang lain yang mengambil air ini?. Bukan pembatu-pembatumu?”

“Tak ada bedanya” sahut Sekar Mirah.

Agung Sedayu terdiam. Ditatapnya sekali lagi Sekar Mirah yang sedang menimba air itu seperti baru sekali dilihatnya.

Sekar Mirah yang merasa selalu diperhatikan oleh Agung Sedayu menjadi segan. Sehingga katanya kemudian, “Tuan, apakah yang aneh padaku?”

“Oh” wajah Agung Sedayu menjadi kemerah-merahan. Cepat-cepat ia berpaling sambil berkata, “Tak ada. Tak ada yang aneh padamu. Tetapi aku ingin membantumu mengambil air.”

“Tak usah” sahut Sekar Mirah.

Agung Sedayu tidak lagi memaksanya. Dibiarkannya Sekar Mirah menimba air. Mengisi kelentingnya dan kemudian menjinjingnya pada lambungnya.

“Berat?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah menggeleng lemah. “Tidak” jawabnya. “Aku sudah biasa mengambil air.”

Agung Sedayu tidak berkata-kata lagi. Dilihatnya saja Sekar Mirah itu berjalan sambil menjinjing kelenting itu. Terasa hatinya menjadi tergetar melihat langkah gadis itu. Cepat, lincah dan penuh gerak dan gairah atas pekerjaannya.

“Gadis yang keras hati” desah Agung Sedayu.

Sebenarnya Sekar Mirah mempunyai hati yang menyala-nyala menyongsong hari depannya. Dilihatnya setiap orang dari anggota prajurit Pajang dengan seksama. Dinilainya seorang demi seorang, dan dikaguminya mereka yang penuh kejantanannya berjuang melawan musuh-musuhnya.

Itulah sebabnya mula-mula Sekar Mirah hampir tak pernah berpisah dengan Sidanti. Didorongnya pemuda itu untuk bertempur, berkelahi dan melawan musuh. Didesaknya pemuda itu untuk menemukan tempat yang sebaik-baiknya dalam kesatuannya. Dilecutnya Sidanti untuk meraih masa-masa yang gemilang pada masa-masa yang akan datang.

Dan Sidanti mendengarkannya dengan penuh minat. Sidanti menerimanya dengan penuh harapan. Bukan saja apa yang dikatakan oleh Sekar Mirah, namun demikianlah kata hatinya sendiri. Ia adalah seorang anak muda yang memandang masa depan sebagai miliknya. Miliknya sendiri.

Sebagai api yang disiram minyak ia bertemu dengan Sekar Mirah. Hasrat yang tersimpan dihatinya menjadi semakin menyala. Apalagi gurunya adalah seorang yang bernama Ki Tambak Wedi. Seorang yang bercita-cita setinggi awan di langit. Namun dirinya sendiri tidak pernah dapat menggapainya, sehingga dengan demikian maka dinobatkannya dirinya sendiri menjadi seorang yang disegani dan ditakuti di daerah lereng Gunung Merapi. Pertemuan di antara merekalah yang sebenarnya telah membakar Sangkal Putung. Bukan saja usaha Macan Kepatihan yang nyata-nyata berhadapan beradu dada, namun Sidanti ternyata merupakan bahaya yang membayang di balik punggung.

Tetapi ternyata Sekar Mirah itupun menjadi kecewa terhadap Sidanti. Ternyata bukan Sidanti yang ingin didorongnya maju, tetapi dirinya sendiri. Ketika ia melihat nafsu Sidanti yang menyala-nyala, justru ia menjadi kecewa. Sidanti berjuang untuk dirinya sendiri, bukan untuk Sekar Mirah. Sekar Mirah bagi Sidanti adalah seorang yang baik hati, yang mendorongnya untuk semakin gigih berjuang. Tidak untuk Pajang, tetapi untuk dirinya, Sidanti. Dan ternyata Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik.

Ketika kemudian hadir Agung Sedayu, maka hati Sekar Mirah segera berkisar. Ia mengharap untuk menemukan seorang pahlawan yang baru. Pahlawan yang dapat mendengarkan suara hatinya. Pahlawan yang dapat mengerti gelora dadanya. Pahlawan yang akan berjuang untuknya, yang akan mempersembahkan setiap kemenangan kepadanya.

Tetapi Sekar Mirah belum menemukannya pada Agung Sedayu. Ternyata sampai kini Agung Sedayu benar-benar seorang yang berjuang dengan tulus.

“Ia adalah kemenakan Paman Widura” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. “Sehingga karena itu maka ia tidak akan berani berbuat di luar kehendak pamannya itu.”

Karena itu, maka Sekar Mirah menjadi ragu-ragu. Ketika ia melihat perang tanding di lapangan, antara Sidanti dan Agung Sedayu dalam ketangkasan memanah dan seterusnya, hatinya benar-benar berguncang-guncang. Sekali-sekali ia kagum melihat ketangkasan Sidanti, serta nyala dan hasrat untuk menggenggam masa depan di tangannya. Ia melihat anak muda itu dengan penuh tekad menentang setiap tantangan. Sedang Agung Sedayu seolah-olah dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Tetapi kemudian perasaan Sekar Mirah itu terlempar pada suatu harapan yang diilihatnya dalam kemampuan Agung Sedayu. Ketrampilannya melepas anak panahnya, serta ketepatan bidiknya telah menariknya ke dalam satu pertimbangan yang kacau.

Kemenangan Agung Sedayu pada saat itu telah benar-benar meyakinkan Sekar Mirah, bahwa hari depan Sidanti pasti akan benar-benar tertutup. Dalam pada itu, maka hilanglah segenap keragu-raguannya. Ia tidak dapat lagi bergantung pada anak itu, kepada Sidanti. Bahkan meskipun seandainya Sidanti menemukan masa-masa yang maju dan gemilang, maka masa-masa yang demikian adalah masa-masanya sendiri. Masa-masa yang dimilikinya sendiri. Bukan masa-masa yang akan diperuntukkannya. Bahkan dirinyapun bagi Sidanti, pasti hanya akan dipergunakan untuk kepentingan anak muda itu. Sebagai pendorong dan penuntun menjelang hari-hari yang akan lebih terang, bagi Sidanti.

Tetapi kini Sidanti sudah tidak ada di Sangkal Putung lagi. Sidanti telah hilang dari halaman rumahnya. Ia mendengar beberapa orang berkata kepadanya, seandainya perkelahian di antara Agung Sedayu dan Sidanti itu dilakukan dengan jujur, maka sudah pasti Sidanti tidak akan memenangkannya. Tetapi tiba-tiba Sidanti telah berbuat curang. Tetapi karena itulah maka Swandarupun menjadi terlibat pula ke dalamnya.

Sekar Mirah yang kemudian bekerja di dapur itupun tidak dapat segera menggeser perasaannya. Agung Sedayu tampaknya telah berubah. Ia kini tampak segar dan gembira. Di hari-hari yang lewat, Agung Sedayu hampir tak pernah keluar dari pringgitan. Baru sejak akhir-akhir ini seringkali ia tampak berjalan-jalan di halaman. Namun wajahnya masih saja selalu dibayangi oleh kemuraman dan keragu-raguan. Tetapi kini sudah tidak lagi. Wajah itu menjadi cerah. Dan Sekar Mirah tidak dapat mengingkari dirinya lagi. Ia telah tertarik pada wajah itu. Wajah yang tampak lebih halus dan lunak dari wajah Sidanti. Tetapi apakah api yang menyala di dada Sedayu itu sedahsyat api yang menyala di dada Sidanti?

Hari itu Sangkal Putung tidak mendapat perubahan apa-apa. Seperti hari-hari yang lain, para petugas sibuk dengan kewajibannya. Gardu-gardu masih berisi penjaga-penjaga yang mengawasi keadaan. Dan warung di ujung desa masih juga ramai dikunjungi para pembeli dan penjual yang tidak berani pergi ke tempat yang lebih jauh.

Untara kini telah menjadi lebih baik. Ia telah dapat turun ke halaman dan melihat laskar Pajang melakukan tugasnya. Satu-satu Untara menanyakan kepada mereka, nama mereka dan rumah tempat tinggal mereka. Keluarga mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan mereka itu sebagai seorang prajurit dan sebagai manusia.

Ketika Untara itu bertanya kepada seorang yang berwajah keras dan berjanggut tebal, maka didengarnya jawaban, “Aku beranak sebelas tuan.”

“Sebelas?” Untara terkejut. “Dimana sekarang mereka tinggal?”

“Pengging.”

“Kau berasal dari Pengging?”

“Ya” jawab orang itu.

Untara meninggalkannya. Sebelas orang. Dan sebelas orang itu semua beserta ibunya menunggunya di rumah. Menunggu orang yang berjanggut tebal itu pulang.

“Hem” Untara menggeram. Katanya dalam hati, “Persoalan Macan Kepatihan harus cepat selesai. Kalau tidak, maka persoalan ini akan berlarut-larut. Waktu yang akan dipakai untuk merampungkan persoalan ini tidak terbatas pada bilangan minggu, bulan dan bahkan tahun.”

Tetapi Untara harus menunggu punggungnya sembuh benar-benar. Kalau kekuatannya telah pulih kembali, maka ia akan memimpin langsung laskar ini bersama Widura. Mereka tidak boleh hanya menunggu saja, namun mereka harus bergerak, menusuk di jantung pertahanan dan tempat persembunyian mereka.

Adapun Agung Sedayu dan Swandaru sejak hari itu adalah murid Ki Tanu Metir. Mereka sudah tidak lagi dibingungkan oleh orang yang berkerudung kain gringsing.

Namun Ki Tanu Metir sendiri itupun masih membawa teka-teki pula bagi mereka. Apakah sebenarnya ia seorang dukun tua saja? Seorang dukun yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan Agung Sedayu atau Untara atau Widura atau Swandaru? Namun Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak mempersulit diri mereka. Mereka ingin mendapat ilmu dari orang tua itu. Dan ia akan memanfaatkan ilmu itu kelak.

Sejak hari itu, maka Swandaru dan Agung Sedayu telah mulai dengan hari pertama mereka berguru. Ki Tanu Metir membawa mereka ke sungai yang agak jauh dari Sangkal Putung. Di sanalah mereka mendapat beberapa petunjuk dari Ki Tanu Metir. Petunjuk-petunjuk untuk memulai dengan pelajaran-pelajaran jasmaniah. Mereka harus mendengarkan petunjuk-petunjuk itu dan mencoba mengertinya.

Agung Sedayu mendengarkan setiap kata-kata Ki Tanu Metir dengan seksama. Dicobanya untuk mengerti dan dicobanya untuk mencernakannya. Namun Swandaru merasa waktu itu terbuang-buang. Baginya lebih baik Ki Tanu Metir langsung mengajarnya dengan unsur-unsur gerak daripada harus mendengarkannya berbicara saja tentang beberapa hal yang penting untuk masa depannya.

Tetapi Ki Tanu Metir itu berbicara terus, dan ia masih harus mendengarkannya.

“Anak-anakku” berkata Ki Tanu Metir. “Apa yang akan kalian dapat, hendaknya akan dapat bermanfaat bagi masa-masa mendatang. Bukan saja bagi kalian berdua, tetapi juga bagi beberapa lingkungan kalian. Ilmu yang akan kalian pelajari adalah sekedar alat. Alat itu tidak selalu harus dipergunakan dalam setiap kesempatan dan keadaan. Tetapi alat hanya akan dipergunakan pada kemungkinan yang paling tepat.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, sedang Swandaru memandangi percikan-percikan air yang mengalir di bawah batu-batu tempat duduk mereka.

“Hari ini adalah hari yang pertama bagi kalian” berkata Ki Tanu Metir itu. “Dan di hari pertama kalian harus yakini, bahwa alat yang akan kalian terima bukanlah alat yang terbaik. Katakanlah bahwa alat ini adalah alat yang paling jelek. Alat yang hanya akan dipergunakan apabila sudah tidak ada alat lain, yang dapat kalian pakai. Namun jangan pula mencari sebab, sehingga kalian terdorong pada kemungkinan untuk mempergunakan alat ini. Ingat-ingatlah, alat ini adalah alat yang paling jelek yang kau miliki. Alat yang paling baik adalah alat yang telah ada di dalam dirimu. Kasih sayang di antara sesama dan pegangan-pegangan yang kalian dapat dari ibadah kalian kepada Tuhan. Ingatlah ini. Janganlah dengan alat ini kalian mengorbankan apa yang sudah kalian miliki itu.”

Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Swandaru masih saja memandangi percikan air di bawah tempat duduk mereka.

“Apakah kalian mengerti kata-kataku?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.

“Ya Kiai” sahut Agung Sedayu dan Swandaru hampir bersamaan.

“Bagus” berkata Ki Tanu Metir kemudian. “Ingat, jangan sesorangan. Jangan salah langkah. Bahkan tak ada seorangpun di dunia ini yang paling menang. Suatu ketika seseorang pasti akan dikalahkan oleh yang lain, dan yang lain itu akan dikalahkan pula orang yang lain lagi. Lebih baik kalian tak pernah mempergunakan ilmu ini sepanjang hidupmu, daripada setiap kali kau terpaksa melakukannya. Namun kalian dengan ini mengemban tugas-tugas kemanusiaan yang wajib kalian tegakkan. Sudah tentu tanpa mengorbankan segi kemanusiaan yang lain.”

Kembali Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya dan kali inipun Swandaru mengangguk-angguk pula.

“Nah, kita kembali kekademangan” berkata Ki Tanu Metir.

Swandaru terkejut. Jadi hanya inilah pelajaran pertama yang akan diterimanya? Ia tidak sabar lagi. Sidanti dapat datang nanti sore atau besok atau lusa. Apakah ia telah dapat mencapai ilmu yang diharapkannya?

Ki Tanu Metirpun meihat perubahan wajah Swandaru. Dilihatnya Swandaru itu memandanginya dengan penuh keheranan. Karena itu maka Ki Tanu Metir itupun bertanya, “Kenapa Ngger?”

Swandaru mengangkat alisnya. Kemudian jawabnya, “Jadi hanya inikah yang Kiai berikan hari ini?”

“Ya.”

“Kenapa hanya duduk-duduk begini kita harus pergi jauh-jauh dari rumah?”

Ki Tanu Metir memandang Swandaru dengan heran. Anak itu sama sekali belum dapat menyesuaikan dirinya sebagai seorang murid terhadap gurunya. Namun Ki Tanu Metir tidak menjadi kecewa karenanya. Sedikit demi sedikit ia harus menuntun muridnya yang aneh itu.

“Swandaru” berkata Ki Tanu Metir. “Lebih baik kita mengambil tempat yang jauh daripada kita dilihat orang. Bagiku tidak akan menguntungkan bila sebelum kita mulai apa-apa orang-orang sudah meributkan perbuatan kita. Mungkin hanya seorang dua orang sajalah yang mengetahuinya, namun sampai sehari maka hal itu pasti sudah akan sumebar ke segenap sudut kademangan. Dan setiap orang akan menilaimu setiap hari. Hari ini kau dapat berbuat apa, dan besok kau akan dapat berbuat apa lagi.”

“Baik Kiai” jawab Swandaru. “Aku sependapat. Tetapi marilah segera kita mulai. Apabila besok atau lusa aku bertemu dengan Sidanti, maka aku tidak lagi memerlukan pertolongan orang lain untuk melawannya.”

Ki Tanu Metir terkejut mendengar kata-kata itu. Namun kemudian iapun tersenyum. Jawabny,a “Angger, ketahuilah, bahwa untuk membentuk seseorang menjadi seorang Sidanti, itu diperlukan waktu bukan sehari dua hari. Tetapi setahun dua tahun. Bahkan lebih. Tergantung juga kepada orang-orang itu sendiri. Kalau ia mampu, maka ia akan menjadi lebih cepat terbentuk. Tetapi tidak dalam sehari dua hari. Apalagi kau harus menyusul orang lain yang jauh lebih dulu daripadamu. Bukankah dengan demikian kau memerlukan waktu yang lama?”

Alangkah kecewanya Swandaru mendengar kata-kata Ki Tanu Metir itu. Ia memang pernah mendengar, bahwa berguru kepada seseorang diperlukan waktu yang lama. Tetapi kalau setiap kesempatan dipergunakan sebaik-baiknya maka waktu itu pasti akan dapat diperpendek. Seperti saat ini misalnya, mereka hanya duduk-duduk saja di terik matahari, sesudah itu pulang kembali ke kademangan. Bukankah dengan demikian mereka hanya membuang-buang waktu saja. Besoknya mereka akan kehilangan waktu pula. Lusa dan seterusnya.

Tetapi Swandaru itu tidak berkata-kata lagi. Ketika Ki Tanu Metir dan Agung Sedayu telah berdiri, iapun segera berdiri pula.

Namun Ki Tanu Metirlah yang masih berkata lagi. Katanya, “Swandaru, kau tidak perlu tergesa-gesa, asal untuk seterusnya kau bekerja dengan tekun, maka mudah-mudahan kau akan segera dapat menyusul Sidanti itu.”

“Ya Kiai” sahut Swandaru kesal. Ia telah membayangkan sejak semalam dirinya menjadi seorang yang perkasa melampaui Sidanti, bahkan melampaui keperkasaan Tohpati. Tetapi ia masih harus menunda keinginan itu. Bahkan sama sekali ia belum mendapat apa-apa di hari pertama, kecuali nasehat-nasehat saja.

Ia tersadar ketika Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Marilah kita pulang.”

“Marilah Kiai” sahut Swandaru kosong.

Tetapi sekali lagi Swandaru heran. Ki Tanu Metir itu malahan pergi ke tengah sungai sambil mengajak mereka, “Mari ikuti aku.”

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi ragu-ragu sejenak. Kalau orang tua itu mengajaknya pulang, mengapa ia malahan pergi ke tengah, dan tidak berjalan menyusur tanggul seperti semula.

Tetapi Agung Sedayu segera mengerti maksud orang tua itu. Iapun kemudian mengikutinya meloncat dari batu ke batu menyusul Ki Tanu Metir.

“Bukankah sungai ini nanti akan sampai di pinggir desa Sangkal Putung dan sidatannya akan lewat sebelah halaman rumahmu Swandaru?” bertanya Ki Tanu Metir.

“Ya” jawab Swandaru yang berdiri di tepian.

“Karena itu, marilah kita mengambil jalan memintas, lewat sungai ini maka kita akan lebih cepat sampai.”

“Ah” desah Swandaru. “Aku lebih senang menyusur tanggul ini.”

Ki Tanu Metir tertawa. Agung Sedayupun tersenyum pula. Agaknya Swandaru benar-benar tidak tahu maksud gurunya. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Swandaru, mari kita bermain kejar-kejaran di atas batu-batu ini.”

Swandaru menggeleng malas. Ia semakin kesal karenanya. Waktunya telah banyak terbuang. Apakah mereka masih harus bermain seperti anak-anak.

Tetapi kembali Agung Sedayu mengajaknya sambil tertawa, “Swandaru, lihatlah betapa Ki Tanu Metir meloncat dari batu ke batu. Marilah.”

Kembali Swandaru menggeleng. Katanya dalam hati, “Ah, apa lagi kerja orang tua itu. Bukankah lebih baik memberitahukan kepada kita, apa yang harus kita lakukan? Unsur-unsur gerak, satu atau dua, untuk diulang-ulang.”

Tetapi dengan demikian Agung Sedayupun menjadi kesal pula. Swandaru benar-benar tidak segera tahu maksud orang lain tanpa diberitahukannya sejelas-jelasnya. Seperti juga sifatnya sendiri yang selalu terbuka dan terus terang. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun terpaksa berkata, “Swandaru, kau ikut berlatih atau tidak?”

Swandaru terkejut. “Berlatih?” ulangnya. “Berlatih apa?”

“Inilah latihan pertama yang harus kita lakukan.”

“Oh” Swandaru itu tertegun sesaat. Kemudian dilihatnya Ki Tanu Metir meneruskan perjalanannya. Meloncat dari satu batu ke batu yang lain dengan lincahnya tanpa menyentuh air sedikitpun juga. Bahkan sekali-sekali diloncatinya batu-batu yang kecil dan goyah. Namun batu-batu itu seakan-akan bergerakpun tidak.

Sesaat Swandaru terpaku di tempatnya. Dilihatnya Ki Tanu Metir meloncat-loncat seperti orang sedang menari. Di belakangnya menyusul Agung Sedayu. Dengan hati-hati anak muda itu meloncat pula dari batu kebatu. Namun tampaklah betapa ia masih harus memperhitungkan setiap langkahnya. Dicobanya mengikuti apa yang telah dilakukan oleh Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali ia masih harus berhenti menjaga kesetimbangan tubuhnya.

Tiba-tiba Swandaru itupun tertawa. Digaruk-garuknya kepalanya sambil bergumam, “Alangkah bodohnya aku. Aku tidak segera tahu maksud orang tua itu.”

Maka dengan serta-merta Swandaru itupun berteriak, “Tunggu, aku ikut serta.”

Ki Tanu Metir itupun segera berhenti. Demikian juga Agung Sedayu. Mereka bersama-sama berpaling dan dilihatnya Swandaru Geni meloncat ke atas sebuah batu yang besar. Tubuhnya yang bulat itu meluncur dari tebing sungai dan mencoba berdiri di atas batu itu. Sesaat ia masih harus mengatur keseimbangannya, namun kemudian ia tertawa sambil berkata, “Tunggulah, aku akan segera sampai ke tempatmu Kakang Sedayu.”

Swandaru itupun segera mulai dengan loncatan-loncatannya. Dari satu batu ke batu yang lain. Dicobanya juga meloncati batu-batu yang telah tersentuh kaki Ki Tanu Metir. Namun sekali-sekali batu-batu itu terguncang dan Swandaru terpaksa berpegangan pada batu-batu yang lain. Bahkan satu kali ia tergelincir dan jatuh masuk ke dalam air.

“Gila” gumamnya seorang diri. Pakaiannya menjadi basah kuyup. Dengan wajah bersungut-sungut ia muncul dari dalam air seperti seekor tikus kehujanan.

Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir tidak dapat menahan tawa mereka. Ketika Swandaru kemudian bangkit dan berdiri di atas sebuah batu maka Ki Tanu Metir berkata, “Bukan apa-apa. kau hanya jatuh ke dalam air.”

“Ya, tidak apa-apa” sahut Swandaru kesal.

Tetapi tiba-tiba ia mengumpat ketika Ki Tanu Metir berkata, “Ulangi. Ulangi sekali lagi.”

“Kenapa aku harus mengulangi. Apakah Ki Tanu Metir ingin melihat aku sekali lagi jatuh ke dalam air?”

“Tidak” jawab Ki Tanu Metir. “Latihan ini adalah latihan dasar. Sekedar menghangatkan tubuh. Karena itu, maka Angger harus dapat melakukannya.”

Swandaru bersungguh-sungguh. Dilangkahinya kembali beberapa batu yang sudah dilampauinya. Dan sekali lagi meloncat ke jurusan Agung Sedayu. Namun kali inipun Swandaru masih belum dapat berdiri dengan tegak pada batu yang telah menggelincirkannya. Namun kali ini ia tidak jatuh bulat-bulat ke dalam air. Setelah beberapa saat ia bertahan atas keseimbangannya, maka terpaksa ia harus terjun kembali. Namun ia dapat tegak di atas kakinya, meskipun di dalam air juga.

“Bukan main” Swandaru itu mengeluh. Apalagi ketika Ki Tanu Metir minta ia mengulanginya satu kali lagi.

Swandaru terpaksa mengulangi sekali lagi. Kali ini ia benar-benar memperhitungkan setiap langkahnya. Dengan hati-hati ia meloncat dari satu batu ke batu berikutnya. Dan ketika ia meloncat ke batu yang itu-itu juga, maka ia menahan nafasnya. Dijaganya keseimbangan tubuhnya benar-benar dan ditapakkannya kakinya pada ujung jari-jarinya, dalam pemusatan perhatian yang bulat.

Swandaru menarik nafas panjang ketika untuk yang ketiga kalinya ia berhasil. Tubuhnya seakan-akan menjadi bertambah ringan, dan keseimbangannya serasa menjadi lebih baik. Ia tidak tahu apakah sebabnya hal itu dapat terjadi. “Mungkin karena aku telah melakukannya tiga kali berturut-turut” katanya dalam hati.

Tetapi ia tidak dapat terlalu lama tegak berdiri menikmati kemenangannya yang pertama itu. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya Ki Tanu Metir berkata, “Marilah, teruskan perjalanan ini sampai ke ujung desa Sangkal Putung.”

Agung Sedayupun kemudian berputar dan melanjutkan loncatan-loncatannya. Namun ketika suatu kali, dilompatinya sebuah batu yang sedikit goyah, maka batu itupun bergerak sedikit ke samping, dan kini Agung Sedayulah yang terbanting di permukaan air.

Swandaru terkejut, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Nah, rasakanlah. Aku sudah lebih dahulu mandi. Kakangpun harus mandi pula.”

Ki Tanu Metirpun berhenti pula. Dilihatnya Agung Sedayu bangkit dari dalam air sambil tertawa. Kainnya, bajunya, ikat kepalanya menjadi basah kuyup. Perlahan-lahan ia berdiri dan dikibaskannya pakaiannya yang dilekati pasir sungai.

“Hem” desis Swandaru. “Memang segar Kakang, mandi dengan segenap pakaiannya.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau nanti juga harus melampaui batu ini Swandaru.”

“He” Swandaru mengerutkan keningnya. Dilihatnya batu yang telah menjatuhkan Agung Sedayu itu. Batu yang seakan-akan bergoyang-goyang digerakkan arus sungai yang tidak seberapa deras.

“Ah” katanya dalam hati. “Bagaimana mungkin.”

Sesaat kemudian dilihatnya Agung Sedayu telah siap untuk mengulangi langkahnya tanpa mendapat perintah dari Ki Tanu Metir. Ia tahu benar, bahwa setiap kesalahan harus dibetulkannya. Dipusatkannya segenap perhatiannya. Dengan wajah yang tegang ditatapnya batu itu. Kemudian ditahankannya nafasnya dan dengan sepenuh hasrat ia meloncati kembali batu-batu itu sehingga akhirnya sampailah ia kepada batu yang agak goyah itu. Namun kali ini ia berbuat cepat sekali. Bahkan kakinya seakan-akan tidak berpijak pada batu itu. Batu itu hanya disentuhnya saja. Sedang kakinya yang lain segera meloncat kebatu yang lain pula.

Batu itupun bergerak pula sedikit. Namun Agung Sedayu telah meloncat lebih lanjut, sehingga kali ini Agung Sedayu selamat sampai ke batu berikutnya. Agung Sedayu itupun kemudian berhenti. Kini ia melihat Swandaru yang semakin lama menjadi semakin dekat.

Ketika ia sampai ke batu yang goyah itu, maka ia bergumam di dalam hati “Aku sudah bersedia, dan aku tidak akan jatuh lagi ke dalam sungai.”

Tetapi ternyata ia salah sangka. Batu itu adalah batu yang goyah. Sehingga karenanya, maka ketika ia meloncat ke atasnya, sekali lagi ia terguncang dan kehilangan keseimbangan. Meskipun ia berusaha untuk meloncat ke batu yang lain, namun ternyata ia tidak berhasil.

Tetapi Swandaru kali ini tidak mau jatuh sendiri ke dalam air. Agung Sedayu yang menunggunya sambil tertawa tiba-tiba terkejut. Dengan tidak disangka-sangka tangan Swandaru meraih pundaknya, dan jatuhlah mereka berdua ke dalam air bersama-sama.

Ketika mereka muncul lagi dari permukaan air, maka mereka tidak dapat menahan gelak tawa mereka yang seperti meledak dari dada.

Ki Tanu Metir yang melihat mereka bergumul di dalam air itupun tertawa pula terkekeh-kekeh, sampai tubuhnya terguncang-guncang. Demikian asyiknya ia tertawa dan melihat murid-muridnya yang basah kuyup, sehingga Ki Tanu Metir itu tidak melihat bahwa beberapa orang melihatnya dengan pandangan yang tajam. Mereka sama sekali tak mengetahuinya, apa yang dilakukan oleh kedua anak-anak muda itu.

Tiba-tiba batu tempat Ki Tanu Metir berdiri berguncang, dan hampir saja Ki Tanu Metir kehilangan keseimbangan. Secepat kilat ia sempat berpaling dan memandangi orang orang di tepi sungai itu. Tetapi sekejap kemudian tiba-tiba Ki Tanu Metirpun terhuyung-huyung dan jatuh pula ke dalam air.

Agung Sedayu dan Swandaru terkejut. Ki Tanu Metir itupun terpelanting jatuh. Tetapi segera mereka terlihat beberapa orang di tepi sungai itu tertawa terbahak-bahak. Seseorang diantaranya masih memegang sebutir batu, sedang orang yang lain berkata, “Lemparanmu tepat Kakang.”

Mata Agung Sedayu dan Swandaru terbelalak melihat orang-orang itu, seorang diantaranya adalah orang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang. Di tangannya tergenggam sebatang tongkat besi baja putih dengan kepala kekuning-kuningan berbentuk sebuah tengkorak.

Hampir saja Swandaru berdesis. Tetapi untunglah ia dapat menahan diri. Namun hatinya berteriak, “Macan Kepatihan.”

Agung Sedayupun berdiri tegak tak bergerak. Tetapi tiba-tiba mereka berdua terkejut ketika mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Le,Tole tolonglah. Tolonglah aku berdiri.”

Sesaat mereka heran melihat Ki Tanu Metir tertatih-tatih berusaha untuk berdiri. Namun sekali-sekali ia tergelincir kembali. Tubuhnya benar-benar menggigil dan dengan terbata-bata ia berteriak-teriak sambil melambaikan tangannya.

Agung Sedayu cepat menangkap maksud Ki Tanu Metir. Orang tua itu telah menjadi seorang tua yang tak berdaya. Karena itu segera ia berlari dan menolong Kiai Gringsing yang sedang menggigil. Diangkatnya orang tua itu berdiri dan didudukkannya di atas sebuah batu yang besar.

Sedangkan Swandaru melihat perbuatan Sedayu itu dengan herannya. Kenapa orang tua itu harus ditolongnya berdiri dan harus dipapah ke atas sebuah batu yang besar? Bukankah orang tua itu pula yang telah memaksanya meloncat-loncat dan memberi mereka beberapa contoh untuk melakukannya?

Namun Swandaru tidak bertanya apapun juga. Iapun perlahan-lahan berjalan mendekati Ki Tanu Metir. Ia semakin heran ketika dilihatnya orang tua itu menyeringai kesakitan. Ia sendiri telah tiga kali jatuh terpelanting, namun ia tidak merasa apa-apa. Orang tua itu baru sekali jatuh. Tetapi ia telah tampak sedemikian payahnya.

Tetapi ia menarik nafas ketika ia mendengar orang tua itu berbisik, “Jangan terjadi bentrokan dengan orang-orang itu sekarang.”

“Oh” desahnya. Sekali dilayangkannya pandangan matanya ke tebing dan kemudian dipandanginya orang tua yang duduk kedinginan di atas batu itu.

Tetapi Swandaru kini telah mengerti maksud Ki Tanu Metir itu. Dan mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian mengerti pula, bahwa sebenarnya Ki Tanu Metir pasti akan mampu mempertahankan keseimbangannya seandainya yang hadir di pinggir kali itu Ki Tambak Wedi, tetapi orang tua itu pasti mempunyai pertimbangan lain sehingga ia tidak mau terlibat dalam bentrokan dengan Tohpati dan beberapa kawannya saat ini.

“He!” tiba-tiba mereka mendengar seseorang di antara orang-orang yang berdiri di tebing itu berteriak, “Siapakah kalian?”

Ki Tanu Metir memandangi mereka dengan wajah ketakutan. Kemudian jawabnya gemetar, “Kami orang-orang Benda, Tuan.”

“Apa kerja kalian disini?”

“Kami sedang menyelusur air sawah, Tuan. Dan kami berhenti sejenak untuk mandi.”

Orang-orang itu tertawa. Kata salah seorang dari mereka itu, “Apakah kalian biasa mandi dengan seluruh pakaian kalian?”

“Tidak Tuan. Salah seorang anak itu tergelincir, namun rupa-rupanya ia tidak mau melihat kawannya masih tetap kering.”

Kembali mereka tertawa. Dan kembali terdengar salah seorang berteriak, “Apakah benar-benar kalian hanya menyusuri air?”

“Ya Tuan” sahut Ki Tanu Metir. “Tetapi siapakah Tuan-Tuan ini?”

“Kami dari Sangkal Putung” sahut orang yang bertongkat baja putih itu.

Swandaru menjadi berdebar-debar. Ia pernah bertemu muka dengan Macan Kepatihan itu, selagi Tohpati itu bertempur melawan Sidanti dan Widura. tetapi pertemuan itu hanya sekejap dan Tohpati waktu itu sedang disibukkan oleh perkelahian itu. Sehingga agaknya Tohpati itu kurang mengenalnya.

Ki Tanu Metir kemudian bertanya pula, “Apakah yang akan Tuan lakukan disini?”

“Hem. Aku ingin mendapat beras, apakah orang-orang Benda mempunyai persediaan cukup?”

Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia menggeleng. Jawabnya perlahan-lahan, “Ah, Tuan telah memeras semua persediaan kami. Beberapa orang Pajang yang berada di Sangkal Putung itu? Setiap minggu kami harus menyerahkan berbakul-bakul beras, sehingga kami sendiri akan menjadi kelaparan karenanya.”

Tohpati itu tertawa. Kemudian katanya, “Bukankah dengan demikian kalian membantu perjuangan kami melawan orang-orang Jipang?”

“Bagi kami Tuan, sudah tentu lebih penting makan kami sehari-hari.”

Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Dipandangnya ketiga orang yang berada di bawah tebing itu berganti-ganti. Kemudian katanya, “He, apakah anak-anak muda itu tidak mau ikut bergabung dengan kami untuk melawan laskar Macan Kepatihan?”

Ki Tanu Metir menggeleng. “Mereka adalah cucu-cucuku. Biarlah mereka menikmati ketentraman hidup di rumah. Apakah keuntungan kami apabila anak-anak muda itu turut bertempur?”

“Anak-anak muda seluruh kademangan Sangkal Putung bangkit serentak. Mereka telah menyumbangkan tenaga mereka untuk kemenangan Pajang. Apakah cucu-cucumu itu tidak ikut serta he?”

“Sudah aku katakan, buat apa mereka ikut bertempur? Dan apakah sebenarnya keuntungan orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang yang kini saling bertentangan?”

“Kami sedang mempertahankan pendirian kami masing-masing. Kami tidak senang melihat pengikut-pengikut Arya Penangsang berkeliaran.”

“Mungkin pimpinan Tuan tidak senang melihat Arya Penangsang. Tetapi apakah perlunya pertengkaran itu berlarut-larut terus? Sejak Arya Penangsang terbunuh, maka persoalan kalian sebenarnya telah selesai.”

“Siapa yang bilang, he, Pak Tua?”

Ki Tanu Metir tertawa. Kemudian katanya, “Lima enam hari yang lalu, kawan-kawan Tuan datang ke pondokku. Seorang bertubuh sedang, masih sangat muda dan tampan. Dikawani oleh seorang yang sudah menginjak setengah umur. Namun wajahnya menunjukkan kewibawaan yang tinggi. Namanya Untara dan Widura.”

Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kemudian ia bertanya, “Apakah yang mereka lakukan dipondokmu?”

“Apakah Tuan-Tuan kenal mereka?”

“Tentu” sahut Macan Kepatihan. “Untara adalah senapati laskar Pajang di daerah ini. Di kaki-kaki Gunung Merapi. Sedang Paman Widura adalah pimpinan laskar Pajang di Sangkal Putung.”

“Oh, jadi mereka adalah pemimpin-pemimpin Tuan?”

Macan Kepatihan menggigit bibirnya. Adalah tidak senang mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia terpaksa menjawab, “Ya, apa yang mereka lakukan?”

“Pertama, mereka mencari beras seperti Tuan, mereka telah membawa sepuluh bakul beras. Apakah Tuan tidak mendapat bagian dari yang sepuluh bakul itu sehingga Tuan terpaksa mencari sendiri?”

Tohpati terdiam sesaat. Tetapi kemudian jawabnya, “Kau benar-benar orang tua yang bodoh. Berapa ratus orang Pajang yang berada di Sangkal Putung. Sepuluh bakul beras hanya cukup untuk tiga hari, paling lama lima hari. Nah, apakah yang akan kami makan besok, lusa dan seterusnya?”

“Dari desa-desa lain Tuan akan dapat mengambil beras pula. Tetapi itu tidak penting. Yang penting pemimpin-pemimpin Tuan itu berkata kepadaku bahwa sebenarnya mereka telah jemu bertempur.”

“Tidak” sahut Macan Kepatihan.

“Apa yang tidak, Tuan? Apakah Tuan tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Tuan pernah berkata demikian? Atau apakah Tuan tidak percaya bahwa orang-orang Jipang juga jenuh bertempur? Atau Tuan tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran?”

“Aku tidak percaya bahwa pemimpin-pemimpin Pajang berkata demikian. Aku juga tidak percaya bahwa orang-orang Jipang telah jemu bertempur pula. Dan aku juga tidak percaya bahwa setiap orang sudah jemu melihat pertempuran.”

“Jadi jelasnya Tuan tidak percaya kepadaku?”

“Bukan. Mungkin orang Pajang berkata kepadamu. Tetapi mereka tidak berkata yang sebenarnya.”

“Mereka berbohong? Apakah gunanya?”

“Orang-orang Jipangpun tidak pernah merasa jemu bertempur. Mereka sedang memperjuangkan sebuah cita-cita. Dan cita-cita itu akan mereka bawa mati.”

“Cita-cita?” bertanya Ki Tanu Metir. “Apakah sebenarnya cita-cita itu bagi orang Jipang? Apakah mereka akan menghidupkan kembali dan meletakkan Arya Jipang yang sudah gugur itu apabila mereka sudah berhasil? Tuan. Apakah Tuan tidak sependapat dengan pemimpin-pemimpin Tuan? Bahwa sebenarnya di antara mereka dan orang-orang Jipang itu tidak terdapat soal-soal yang tidak perlu melibatkan mereka dalam pertentangan yang berlarut-larut? Pemimpin-pemimpin Tuan itu berkata, bahwa orang-orang Jipang yang sekarang masih mengangkat senjata, sebenarnya hanyalah orang-orang yang keras hati dalam kesetiakawanan mereka. Kalau mereka setia pada cita-cita mereka semula, maka cita-cita itu tidak akan dapat terlaksana. Apapun yang akan mereka lakukan. Seandainya orang-orang Pajang akhirnya dapat mereka tumpas, namun trah Sekar Seda Lepen, dasar dari perjuangan Arya Penangsang telah punah. Tak ada orang yang dapat menempatkan diri sebagai penerus cita-cita itu. Tak ada orang yang dapat menamakan diri trah Sekar Seda Lepen.”

“Tetapi itu adalah perjuangan menuntut keadilan. Siapakah yang membunuh Sekar Seda Lepen? Kalau Sekar Seda Lepen tidak terbunuh, apakah Arya Penangsang tidak akan naik ke atas tahta?”

“Ya,ya. Pemimpin Tuan juga mengatakan dasar tuntutan orang-orang Jipang itu, sekarang Tuan juga mengatakan.”

“Oh” Tohpati mengusap kumisnya. Hampir-hampir ia lupa, bahwa ia mengaku sebagai orang Sangkal Putung.

Tetapi tak seorangpun tahu pasti, apa yang terjadi dengan Sekar Seda Lepen. Terdengar Ki Tanu Metir meneruskan, “Dan semua itu telah lampau. Kalau kita tenggelam dalam urut-urutan dendam, kapan kita akan berhenti berkelahi sesama kita?”

Tohpati terdiam. Sesaat sambil mengurut-urut kumisnya yang tebal melintang. Di dalam hatinya timbullah berbagai pertanyaan tentang orang tua yang mengaku berasal dari Padukuhan Benda itu. Macan Kepatihan sama sekali tidak dapat mengerti, kenapa orang-orang dari Benda dapat berkata-kata seperti yang diucapkan oleh orang tua itu.

“Mungkin orang-orang Widura, atau Widura sendiri pernah berkata demikian seperti yang dikatakannya tadi” berkata Tohpati dalam hatinya.

Kemudian suara di dalam hatinya itu berkata pula, “Apakah benar-benar Widura dan Untara sudah jemu bertempur?”

Tohpati kemudian menggelengkan kepalanya ketika di dalam hatinya terbetik suatu pertanyaan, “Apakah orang-orang Jipang tidak jemu bertempur? Kapankah pertempuran itu akan berakhir?”

“Tidak” kata-kata orang itu dibantahnya sendiri di dalam hatinya pula. “Aku tidak akan pernah jemu bertempur. Syukurlah kalau orang-orang Pajang telah menjadi jemu. Itu adalah pertanda pertama bahwa mereka telah sampai ke tepi jurang kehancuran mereka.”

Tetapi Tohpati itu terkejut ketika Ki Tanu Metir berkata pula, “Nah, Tuan. Kalau Tuan tidak sedang mengejar-ngejar orang Jipang, maka Tuan akan dapat hidup di dalam lingkungan keluarga Tuan. Di dalam lingkungan anak istri Tuan kalau Tuan sudah punya. Kalau tidak, maka ibu Tuan dan ayah Tuan tidak akan selalu menunggu Tuan di ambang pintu halaman.”

“Kami bukan laki-laki cengeng” sahut Tohpati. “Setiap perjuangan memerlukan pengorbanan. Kaupun harus mengorbankan berasmu untuk perjuangan ini. Nanti siang aku akan segera datang ke Benda untuk mengambil beras itu.”

“Jangan tuan, jangan hari ini. Tuan pasti akan kecewa, sebab perempuan-perempuan kami belum menumbuk padi. Besok atau lusa baru Tuan dapat datang mengambilnya.”

“Aku perlu hari ini. Katakan kepada penduduk Benda, bahwa laskar Pajang tidak dapat menunda kebutuhannya. Siapa yang tidak tunduk kepada setiap perintah laskar Pajang, maka ia akan dihabisi jiwanya. Kau dengar?”

“Huh, Tuan menakut-nakuti kami. Laskar Jipangpun tidak mengancam sekasar itu, Tuan. Apakah Tuan sedang bersenda gurau?”

Tohpati tersenyum di dalam hati. Kalau ia dapat memisahkan laskar Pajang dari kekuatan rakyat yang mendukungnya, maka kekuatan Pajang pasti akan berkurang. Setidak-tidaknya di Sangkal Putung. Karena itu, maka jawabnya, “Persetan dengan laskar Jipang. Apakah mereka juga sering mengambil beras ke padukuhan Benda?”

“Ya Tuan, kadang-kadang. Tetapi mereka tidak pernah mengancam seperti Tuan.”

“Jipang ternyata sedang berusaha mendekatkan dirinya kepada orang-orang padesan untuk mendapat dukungan. Tetapi Pajanglah yang berkuasa atas kalian, sehingga kalian tidak bebas membantah perintahnya.”

Mata Agung Sedayu dan Swandaru yang sejak tadi duduk mematung, tiba-tiba memancarkan kemarahannya yang selama ini ditahan di dalam hatinya. Mereka tidak dapat mendengar fitnahan yang sedemikian tajamnya atas laskar Pajang yang berada di Sangkal Putung. Tetapi sebelum mereka berbuat sesuatu, maka dengan isyarat tangan yang disembunyikan di balik batu, Ki Tanu Metir telah mencegah mereka berbuat sesuatu.

Dalam pada itu, maka terdengar Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Nah, itulah Tuan. Kalau kalian, Tuan-Tuan tidak saling bertentangan, maka Tuan-Tuan tidak perlu berebut pengaruh atas rakyat padesan. Tuan-Tuan dapat berbuat banyak untuk orang-orang kecil seperti kami ini.”

“Tidak mungkin. Mereka bertentangan kepentingan. Kami orang-orang Pajang akan mempertahankan kemenangan kami, meskipun kami tahu, bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil.”

Mendengar kebohongan itu, hampir-hampir Swandaru dan Agung Sedayu tidak dapat menguasai diri. Tetapi sekali lagi Ki Tanu Metir memberinya isyarat.

“Ya, katakanlah bahwa tuntutan Arya Penangsang itu adil. Tetapi garis keturunan yang sekarang memegang kekuasaan atas Demak telah patah. Putra-putra Sultan Trenggana telah hampir punah pula. Pangeran Prawata telah dibunuh oleh Arya Penangsang. Sunan Hadiri dari Kalinyamat. Kemudian yang terakhir tetapi gagal adalah Adipati Jipang. Katakanlah bahwa Arya Penangsang sedang berjuang menuntut warisan. Lalu, apakah Adipati Hadiwijaya di Pajang harus dengan rela hati menyerahkan lehernya untuk dipancung? Sedang Hadiwijaya itu sama sekali tidak tahu menahu tentang terbunuhnya Sekar Seda Lepen. Bukankah Adipati Pajangpun merasa, bahwa kini sedang memperjuangkan keadilan?

Nah Tuan, selama keadilan itu dilihat dari sudut yang berbeda-beda, maka keadilan itu sendiri tidak akan dapat serupa bentuknya. Karena itu maka yang paling baik adalah apa yang dikatakan pemimpin Tuan. Menjemukan. Pertentangan yang berlarut-larut adalah menjemukan sekali. Pertentangan itu tidak akan dapat memberikan apa-apa kepada kami. Kepada orang-orang kecil. Bahkan hanya akan menguras lumbung-lumbung kami. Beras-beras kami dan hidup kami akan menjadi semakin kering. Tetapi kalau Tuan tidak saling bertentangan menimbang dendam dihati, maka kami akan dapat bekerja dengan baik, dengan tenang, dengan tentram. Dan Tuan-Tuan yang bijaksana akan dapat menuntun kami, tidak dalam olah senjata, tidak dalam bermain pedang dan tombak, tetapi dalam olah tetanen dan kebutuhan kami sehari-hari.”

Macan Kepatihan terdiam pula sesaat. Kata-kata itu benar-benar menyentuh sudut hatinya. Tetapi tiba-tiba terdengar orang yang berdiri disampingnya, Sanakeling, tertawa terbahak-bahak. Katanya, “He Pak Tua. Darimana kau dengar uraian yang melingkar-lingkar itu?”

Ki Tanu Metir memandang orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan itu. Kemudian jawabnya, “Sebagian aku dengar dari pemimpin-pemimpin Tuan sendiri. Dari orang yang bernama Widura dan yang lain bernama Untara.”

Sekali lagi Macan Kepatihan mengerutkan keningnya. Kalau Widura dan Untara berpendirian demikian, maka apakah sebenarnya yang telah mendorong mereka, orang-orang Pajang dan orang-orang Jipang saling berbunuhan? Namun kembali Sanakeling berkata, “Mungkin pemimpin-pemimpin kami sedang berputus asa karena mereka tidak segera berhasil menguasai keadaan disini, begitu?”

Swandaru dan Agung Sedayu menjadi benar-benar muak mendengar percakapan itu. Mereka menjadi heran, kenapa Ki Tanu Metir masih juga telaten berbicara dengan Macan Kepatihan. Apalagi orang yang berdiri di sampingnya itu.

Yang paling sukar untuk mengendalikan dirinya adalah Swandaru. Hampir-hampir ia berteriak memaki-maki. Untunglah bahwa Agung Sedayu yang agaknya lebih tenang menggamitnya. Agung Sedayu yang sejak masa anak-anaknya selalu menghindari bentrokan-bentrokan, ternyata berpengaruh juga sampai saat ini. Meskipun alasannya telah berbeda.

Dahulu Agung Sedayu menghindari setiap bentrokan dengan siapapun juga karena ia takut mengalami. Tetapi sekarang, ia menghindari bentrokan karena pertimbangan lain. Kali ini gurunya tidak mengijinkannya. Kebiasaannya untuk menghindari setiap pertentangan pada masa kecilnya ternyata membantu memperliat hatinya, menambah kesabarannya.

Karena ini, apalagi disamping gurunya, ia sama sekali tidak takut bertempur dengan beberapa orang yang berada diatas tebing. Namun gurunya mengisyaratkan kepadanya untuk tetap tenang dan menghindari betrokan. Meskipun Agung Sedayu tidak tahu benar alasan gurunya, namun ia mematuhinya.

Ki Tanu Metir yang mendengar kata-kata orang yang berdiri di samping Macan Kepatihan menjadi seakan-akan terkejut. Kemudian sambil mengangkat kepalanya ia bertanya, “Apakah pemimpin-pemimpin kalian benar-benar berputus asa?”

“Tentu” sahut Sanakeling. “Kalau tidak, maka ia pasti tidak akan mengigau seperti itu. Perang adalah kewajiban seorang prajurit. Jadi apabila ada seorang prajurit yang tidak mau berperang, maka ia adalah seorang prajurit yang tak bernilai.”

“Oh, jadi apabila keadaan Pajang dan Jipang telah menjadi baik kembali, maka apakah Adipati Pajang akan memecat semua prajuritnya?”

“Ah, orang tua yang bodoh. Tentu tidak. Negara yang tidak mempunyai prajurit maka negara itu akan tidak berarti. Setiap saat lawan mereka akan dengan senang hati merampok segala miliknya”

“Oh, jadi apabila peperangan yang satu sudah selesai, maka setiap negara perlu membuat persoalan dengan negara lain?”

“He, kenapa?”

“Prajurit dan perang adalah satu, menurut Tuan yang di samping itu.”

Macan Kepatihan tertawa. Sanakeling akhirnya tertawa juga. “Alangkah bodohnya pertanyaan itu” gumam Sanakeling.

Tetapi Macan Kepatihan menggelengkan kepalanya. Gumamnya, “Tidak. Pertanyaan itu bukan pertanyaan yang bodoh. Ia telah mengambil kesimpulan yang tepat dari kata-katamu sendiri.”

“Tetapi maksudku bukan begitu Kakang. Maksudku, setiap prajurit harus bersedia berperang, tidak boleh jemu.”

“Jelaskan kepada orang tua itu, jangan kepadaku” potong Macan Kepatihan.

“Oh” Sanakeling mengerutkan keningnya. Dipandangnya orang tua yang duduk di atas batu di bawah. Kakinya berjuntai terendam di dalam arus sungai yang tidak sedemikian keras. Tiba-tiba wajah Sanakeling menjadi tegang. Dan dengan bersungguh-sungguh ia berkata, “Marilah kita tinggalkan orang tua gila itu.”

Sanakeling tidak menunggu jawaban Macan Kepatihan. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan menjauhi tebing sungai itu bersama beberapa orang yang lain. Namun ketika Macan Kepatihan akan beranjak pergi, maka Ki Tanu Metir itu memanggilnya, “Tuan,” katanya, “tunggulah sebentar.”

Macan Kepatihan berhenti. Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir yang kedinginan. Katanya, “Ada apa kakek?”

“Tuan, apakah nanti Tuan akan datang kepadukuhan kami?

“Tentu. Prajurit Pajang tidak dapat menunggu lebih dari saat yang telah ditentukannya sendiri. Orang yang mencoba menghambat perintahnya, maka ia akan dibinasakan.”

“Tuan” berkata Ki Tanu Metir. “Berapa tahun peperangan ini akan berakhir?”

“Kenapa?”

“Aku ingin menghitung umurku dengan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi, Tuan. Kalau peperangan ini masih akan berlangsung lama maka aku akan melihat padukuhanku benar-benar menjadi kering, dan anak cucuku pasti akan mati kelaparan. Sebab beras-beras kami akan selalu mengalir keluar padukuhan kami. Sekali harus kami serahkan kepada Tuan. Kepada laskar Pajang. Sekali yang lain kepada laskar Jipang.”

“Kenapa kau beri juga beras kepada orang-orang Jipang?”

“Mereka datang dengan senjata di tangan, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan? Baik orang Pajang maupun orang Jipang. Dan sebenarnyalah pemimpin-pemimpin Tuan menjadi jemu berperang. Apakah Tuan tidak? Seorang prajurit Pajang pernah berkata kepadaku, bahwa ketika ia berangkat ke medan perang, anaknya baru berumur tiga hari. Anak yang lahir dari istrinya tercinta, setelah mereka hampir sepuluh tahun kawin. Prajurit itu berkata, ‘Kalau aku pulang nanti, anakku pasti sudah besar. Tetapi ia pasti takut melihat wajahku yang setiap hari menjadi semakin buas karena bau darah’. Tuan, benarkah demikian? Apakah prajurit yang selalu berada di peperangan menjadi buas, eh, maksudku keras?”

Tohpati melangkah kembali ke tebing sungai itu. Ia tertarik mendengar kata-kata Ki Tanu Metir. Pertanyaan yang didengarnya itu benar-benar telah menyentuh hatinya. Dan tanpa setahunya ia menganggukkan kepalanya, “Ya. Mungkin prajurit itu benar. Setiap hari seorang prajurit dihadapkan pada saat-saat yang tegang dan melihat kekerasan.”

“Apakah Tuan tidak berpendapat bahwa ketegangan dan kekerasan itu sebaiknya berakhir?”

Tohpati tiba-tiba mengerutkan keningnya. Dan dengan serta-merta ia melangkah surut. Ia tidak mau mendengarkan pertanyaan-pertanyaan orang tua itu lebih banyak lagi. Pertanyaan-pertanyaan yang mengetuk dinding hatinya. Dinding hati seorang manusia yang kebetulan menjadi seorang prajurit. Seorang manusia yang kebetulan memiliki senjata di tangannya dan sedang memperjuangkan kehendak dan cita-cita dengan senjata itu. Bahkan mencoba memaksakan kehendak itu kepada orang lain dengan tajam senjatanya, baik atau tidak baik menurut penilaian orang lain.

Tohpati kini tidak mau mendengarkan lagi Ki Tanu Metir memanggilnya. Cepat ia berputar dan melangkah pergi meninggalkan orang tua yang duduk berjuntai di atas batu. Beberapa langkah daripadanya berdiri Sanakeling bertolak pinggang. Di sampingnya dua orang kawannya sedang mengais-ngais tanah dengan ujung pedangnnya.

“Kenapa orang tua gila itu masih saja dilayani” gumam Sanakeling.

Macan Kepatihan tidak menjawab. Ia berpaling sejenak, namun ia berjalan terus sambil menundukkan wajahnya.

Sanakelingpun kemudian berjalan pula di belakangnya bersama kedua orang yang berdiri di sampingnya. Di kejauhan. tiga orang berjalan mendekati mereka dan berjalan dalam rombongan itu pula. Dan mereka masih mendapat kawan seorang lagi. Seorang anak muda yang bermata tajam, setajam mata burung alap-alap. Mereka adalah orang-orang yang harus mengawasi keadaan selama Tohpati berhenti di tepi sungai. Untunglah bahwa Alap-Alap Jalatunda tidak turut menjenguk ke dalam sungai itu. Apabila demikian, maka ia pasti tidak akan melupakan Agung Sedayu.

Sepeninggal Macan Kepatihan, Swandaru tidak sabar lagi, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Kiai, Tohpati itu ternyata telah datang ke hadapan Kiai. Kenapa orang itu tidak saja Kiai tangkap? Tidakkah dengan demikian maka pertempuran yang Kiai katakan menjemukan itu akan segera berakhir?”

“Tidak mungkin Ngger. Apakah kita bertiga akan mampu menangkapnya?”

“Kenapa tidak? Bukankah mereka hanya berempat atau lima orang? Kiai sendiri pasti akan mampu melakukannya.”

“Mungkin aku mampu mengalahkan lima orang itu. Tetapi bagaimana dengan kalian? Lihatlah, apakah mereka benar-benar hanya berlima?”

“Bukankah aku masih dapat menghitung demikian baik?” sahut Swandaru dengan nada tinggi.

“Belum tentu. Coba, tengoklah sekarang.”

Swandaru menjadi ingin membuktikan kebenaran kata-kata Ki Tanu Metir. Karena itu segera ia meloncat berlari ke tebing. Dengan tergesa-gesa ia mendaki tebing, dan dengan hati-hati ia mencoba mengintip Macan Kepatihan yang sudah berjalan agak jauh.

Ketika dilihatnya rombongan itu, Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Tanu Metir benar. Mereka tidak hanya berlima atau berenam. Tetapi sekarang rombongan itu menjadi tidak kurang dari sepuluh orang. Bahkan di sudut-sudut desa di kejauhan masih mungkin pula berdiri orang-orangnya yang sedang mengawasi keadaan di sekitarnya.

Perlahan-lahan Swandaru meluncur turun. Dengan mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Ya, Kiai benar. Mereka sudah bersepuluh sekarang. Mungkin masih akan tambah lagi.”

“Nah, karena itu, maka sebaiknya kalian tidak tergesa-gesa menentukan sikap apabila kalian menghadapi sesuatu. Cobalah membuat perhitungan-perhitungan yang cermat, baru kalian menentukan sikap. Tetapi itu tidak berarti bahwa kalian harus membuang-buang waktu untuk itu. Kalian perlu berpikir cepat dan tepat.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya mereka. Tetapi dalam pada itu Agung Sedayu bertanya pula, “Tetapi Kiai, bukankah yang mereka katakan itu bohong belaka? Apakah benar bahwa orang-orang Pajang dan Sangkal Putung selalu berbuat sedemikian kasarnya terhadap penduduk?”

“Tentu tidak Ngger”

“Tetapi orang-orang itu mengatakannya. Mereka berpura-pura menjadi orang Pajang. Dan berbuat hal-hal yang jelek atas penduduk.”

Ki Tanu Metir tersenyum. “Namun dengan demikian bukankah kita dapat mengetahuinya, salah sebuah cara yang mereka tempuh? Mereka ternyata tidak saja berperang dengan pedang dan tombak, namun mereka mempergunakan cara-cara yang licik untuk mengurangi kekuatan prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung dengan memisahkan mereka dari penduduk di sekitarnya. Dan pengetahuan kita atas cara itu adalah sangat penting. Angger Untara dan Angger Widura harus segera mengetahuinya pula.”

Kembali Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan kepala mereka. Dan sekali lagi mereka menyadari kekurangan mereka. Ternyata orang tua itu telah berbuat menurut pertimbangan yang semasak-masaknya.

Dalam pada itu maka Ki Tanu Metir itu berkata pula, “Nah Ngger, untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik, maka marilah kita meninggalkan tempat ini segera. Aku tidak dapat memastikan apakah mereka akan kembali atau tidak. Namun apabila mereka kemudian berbicara di antara mereka, dan diketemukannya persoalan-persoalan yang mereka anggap kurang wajar, maka mereka pasti akan segera kembali. Karena itu, maka marilah kita segera menyingkir.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk dan hampir bersamaan mereka menjawab, “Marilah Kiai.”

Ki Tanu Metir itupun kemudian berdiri. Dan segera kembali ia meloncat dari satu batu ke batu yang lain. Namun kali ini ia berkata, “Kalian tidak perlu menginjak batu bekas kakiku. Pilihlah sendiri batu-batu mana yang mungkin kalian loncati. Namun kalian dapat melihat, bagaimana caraku meloncat. Cara inipun nanti akan sangat berguna bagi kalian dalam langkah-langkah unsur-unsur gerak yang akan kalian pelajari.”

Swandaru menarik nafas panjang. Ia tidak perlu lagi jatuh terguling ke dalam air. Kini ia dapat memilih batu-batu yang tidak sesulit langkah Ki Tanu Metir. Namun meskipun demikian sekali-sekali ia masih juga harus terjun ke dalam air, meskipun tidak terpelanting jatuh.

Ternyata Agung Sedayu lebih lincah dari Swandaru. Kecakapannya dan bekalnya masih agak lebih banyak dari saudara seperguruannya yang gemuk bulat itu. Bahkan dalam olah senjatapun Agung Sedayu terpaut cukup jauh dari Swandaru. Dan inilah kesulitan Ki Tanu Metir. Namun ia adalah orang yang berpengalaman, sehingga kesulitan itupun pasti akan dapat diatasinya.

Ketika mereka mendekati padukuhan Sangkal Putung, dan ketika mereka sudah sampai di sekitar tanah persawahan yang sedang digarap, maka merekapun segera berhenti. Mereka kemudian berjalan sebagaimana biasa menyelusur tepian memasuki padukuhan Sangkal Putung.

Tetapi ketika seseorang melihat mereka, maka tiba-tiba orang itu tertawa terkekeh-kekeh. Mereka segera mengenal Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi bahwa mereka basah kuyup adalah sangat menggelikan. “Anakmas Swandaru, kenapa kau menjadi basah kuyup?”

Swandaru tersenyum lucu sekali. Dengan singkat ia menjawab, “Mandi.”

“Apakah kalian mandi dengan seluruh pakaian kalian? Dengan ikat kepala kalian dan kamus timang segala?”

“Ya.”

“Tanpa membuka baju dan kain panjang?”

”Aku terjatuh, tahu” potong Swandaru.

“Bertiga?”

“Ya, bertiga. Kami berjatuhan ke dalam sungai”

Orang itu tertawa berkepanjangan. Namun Swandaru tidak memperdulikannya lagi. Mereka bersama berjalan tergesa-gesa lewat pinggir kali, kemudian menyusuri parit sidatan yang akan sampai di belakang rumah Swandaru Geni.

Ketika mereka naik pinggiran susukan itu, maka Swandaru itupun mengumpat-umpat. Regol belakang ternyata ditutup rapat-rapat. Dengan jengkelnya Swandaru memukul-mukul pintu regol itu. Namun tidak seorangpun yang mendengarnya.

“Gila orang-orang Sangkal Putung” desahnya.

“Marilah kita lewat jalan samping” ajak Agung Sedayu.

“Tidak mau” jawab Swandaru. “Pakaian kita basah kuyup. Mereka, seisi halaman pasti akan mentertawakan kita.”

“Lalu bagaimana?”

Swandaru berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba ia berjalan mendekati sebatang pohon randu di luar regol halamannya. Lewat pohon itu ia memanjat ke atas. Kemudian dengan susah payah ia mencoba menggapai dinding halaman. Namun ternyata ia tidak berhasil.

“Bagaimana?” bertanya Agung Sedayu.

Swandaru menggeleng. “Sulit” desahnya.

“Turunlah, biar aku mencobanya” berkata Agung Sedayu.

“Huh. Sejak kecil aku sudah pandai memanjat. Kali ini aku tidak dapat meloncati jarak ini. Apakah kau pikir kau lebih pandai daripadaku?”

“Aku hanya akan mencoba” jawab Agung Sedayu.

Swandaru itupun kemudian meloncat turun. Kini Agung Sedayulah yang mencobanya. Namun iapun tidak juga berhasil. Ki Tanu Metir yang melihat mereka berdua sibuk dengan pohon randu itu tersenyum. Kemudian katanya, “Turunlah Ngger. Biarlah aku mencoba pula.”

Agung Sedayupun turun pula dari pohon itu. Namun mereka berdua, Agung Sedayu dan Swandaru menjadi heran pula di dalam hatinya, apakah Ki Tanu Metir juga cekatan memanjat?

Namun ternyata orang tua itupun masih sangat lincahnya. Dengan cepat ia melonjak naik, seperti seekor tupai. Jauh lebih cepat dari Swandaru dan Agung Sedayu. Tetapi Ki Tanu Metir itu tidak berhenti ketika ia telah mencapai ketinggian yang sejajar dengan dinding halaman. Ia masih naik lagi beberapa depa. Kemudian dengan lincahnya orang tua itu berjejak pada batang randu itu dan melenting hinggap di atas dinding halaman yang cukup tinggi itu.

Sekali lagi Swandaru harus melihat bahwa kelincahan orang tua itu benar-benar mengagumkan. Bahwa tidak saja kekuatan tubuhlah yang menentukan segala-galanya. Namun kecekatan dan kelincahan akan banyak dapat membantu dalam segala persoalan jasmaniah.

Ki Tanu Metir itupun kemudian meloncat dan menghilang di belakang dinding, sedang sesaat kemudian regol dinding itupun terbuka. “Masuklah” berkata orang tua itu.

Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Meskipun mereka tidak berkata apapun, namun di dalam kepala Swandaru semakin tajamlah pengakuannya atas seorang yang menamakan diri Ki Tanu Metir itu. Bahwa apa yang telah diperlihatkan kepadanya barulah sebagian kecil dari segenap ilmunya. Dan karena itulah maka ia menjadi semakin mantap berguru kepadanya.

Jauh dari padukuhan Sangkal Putung, Tohpati berjalan sambil menundukkan wajahnya. rombongannya semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga akhirnya sampai pada dua puluh orang. Tidak banyak di antara mereka yang bercakap-cakap. Sekali dua kali terdengar ada yang berbisik-bisik di antara mereka. Namun kemudian kembali mereka berdiam diri.

Dalam perjalanan itu, hati Tohpati selalu diganggu seja oleh pertanyaan-pertanyaan yang didengarnya dari Ki Tanu Metir. “Ya” gumamnya di dalam hati. “Berapa tahun pertempuran ini akan berakhir?”

Tohpati itupun kemudian berpaling. Dilihatnya beberapa wajah anak buahnya yang kosong. Kosong seperti otak mereka yang kosong pula.

“Apakah kepentingan mereka bertempur?” desis Tohpati di dalam hatinya. “Apakah mereka tahu juga, bahwa kami sedang melepaskan dendam kami atas gugurnya Adipati Jipang?”

Tohpati itupun terkejut sendiri mendengar kata-kata hatinya. “Dendam. Ya. Ternyata mereka kini tinggal mencoba untuk melepaskan dendam semata-mata. Seperti kata-kata orang tua di tengah-tengah sungai itu. Sebab mereka sudah pasti tidak akan dapat mencapai apa yang sejak semula mereka perjuangkan mati-matian. Kembalinya tahta pada garis keturunan Sekar Seda Lepen yang terbunuh sebelum sempat duduk di atas singgasana.

Macan Kepatihan itu berdesah di dalam hatinya. Apakah sudah sewajarnya kalau ia membawa orang-orang yang tidak tahu-menahu itu kedalam suatu peperangan yang tak akan kunjung habis. Sedang ia tahu pasti bahwa akhir dari perjuangan ini bukanlah suatu yang dapat dibangga-banggakan. Bagi dirinya sendiri, sudah pasti tidak ada jalan kembali. Namun bagi orang-orangnya yang tidak banyak mengetahui tentang Arya Penangsang dan tuntutan-tuntutannya?

Tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengumpat. “Setan. Orang tua itu bukan orang yang tolol.”

Sanakeling terkejut. Selangkah ia menyusul maju dan bertanya, “Kenapa?”

Macan Kepatihan menggeram dengan marahnya. Langkahnya tiba-tiba terhenti dan dengan kepala tengadah ia mengulangi kata-katanya. “Orang tua di tengah sungai itu benar-benar bukan orang bodoh.”

Sanakeling mengangkat alisnya. Kata-kata Tohpati itu mengherankannya. Apakah yang sebenarnya menarik pada orang tua itu? Tohpati telah memberi kesan kepada orang tua itu seolah-olah orang Pajanglah yang selalu datang ke padesannya dan merampas beras. Bukankah itu sudah memberikan suatu keuntungan. Kalau orang tua itu menyebarluaskan kata-kata Tohpati, maka mereka, penduduk Benda pasti akan membenci laskar Pajang dan setidak-tidaknya akan mengurangi bantuan mereka kepada orang-orang Pajang. Sehingga orang-orang Benda tidak lagi akan memberikan banyak keterangan tentang gerakan-gerakan Tohpati yang dapat mereka lihat dan mereka ketahui.

Tetapi Sanakeling itu menjadi semakin terkejut ketika Tohpati berkata, “Ternyata kitalah yang bodoh. Bukan orang tua itu.”

“Siapakah orang tua itu menurut dugaanmu?” bertanya Sanakeling.

Macan Kepatihan menggeleng. “Aku tidak tahu. Tetapi orang itu memberikan suatu kesan yang aneh di dalam hatiku. Ia bukan tidak sengaja mengajukan berbagai pertanyaan dan pasti bukanlah kebetulan kalau mereka berada di tempat itu di siang hari begini.”

Sanakeling tidak bertanya lagi. Namun ia benar-benar heran ketika ia melihat mata Tohpati kemudian menjadi suram.

“Apakah kita akan kembali lagi ke sungai itu untuk meyakinkan diri?”

Tohpati menggeleng. “Tidak ada gunanya. Mereka pasti telah pergi. Mereka pasti bukan orang-orang Benda. Dan anak-anak muda itu pasti bukan cucunya. Aku terpengaruh melihat mereka basah kuyup, sehingga aku kehilangan kewaspadaan dalam mengamati mereka. Sekarang aku baru membayangkan kembali kedua anak muda itu. Matanya bersinar tajam. Mulutnya terkatub rapat. Namun mereka duduk dengan suatu kepastian di dalam hati mereka. Mereka duduk terlalu tenang dan mereka sama sekali tidak keheranan melihat kita. Yang bertubuh kecil agaknya seorang anak muda yang tenang dan menyimpan sesuatu di dalam tubuhnya, sedang yang gemuk rasa-rasanya aku pernah melihatnya.”

“Dimana?”

Macan Kepatihan berpikir sejenak. Dicobanya untuk mengingat-ingat kapan ia melihat anak muda itu. Tetapi anak muda itu basah kuyup seluruh pakaiannya, sehingga memberikan kesan, seakan-akan anak itu benar-benar seorang anak padesan yang bodoh. Namun setelah Tohpati dengan segenap daya ingatnya mencoba mengenalnya, maka tiba-tiba Macan Kepatihan itu berteriak, “Gila! Kita tidak saja bodoh, tetapi kita sudah benar-benar gila, Sanakeling. Apakah kau tidak mempunyai mata lagi he?”

Sanakeling menjadi bertambah heran. “Apa yang telah kau lihat?”

“Anak itu. Anak yang gemuk itu. Bukankah anak itu pernah turut dalam lomba memanah di lapangan dekat banjar desa Sangkal Putung? Bukankah anak itu yang menjadi pemenang di antara anak-anak muda Sangkal Putung?”

Sanakeling mengerutkan keningnya sambil menggigit bibirnya. Akhirnya iapun tersentak sambil berkata, “Ya, ya. Aku melihat pula waktu itu. Aku memang melihat anak yang gemuk seperti anak muda yang basah kuyup seperti tikus sawah itu tadi.”

“Hem” Tohpati menggeram, namun kemudian ia berkata, “Biarlah mereka kembali dengan suatu pengertian, bahwa Tohpati tidak saja mampu bertempur dengan senjata. Tetapi Tohpati juga berbuat hal-hal yang lain, yang dapat mempersempit gerakan orang Pajang.”

“Tetapi mereka kini mengetahui cara itu. Anak itu pasti akan menyampaikannya kepada Widura atau Untara yang sekarang sudah berada di Sangkal Putung pula.”

“Ya. Tetapi Untara akan melihat pula bahwa luka-luka Tohpati yang ditimbulkannya kini telah sembuh benar-benar. Tohpati telah menjadi segar kembali. Dan sebentar lagi Tohpati akan mampu menggulung Sangkal Putung.”

Sanakeling mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita kembali. Kita lihat, apakah mereka masih berada ditempat itu.”

Tohpati menggeleng. Katanya, “Mereka bukan orang-orang bodoh seperti kita. Mereka pasti tahu siapa kita. Karena itu mereka pasti sudah pergi.”

Sanakeling tidak menjawab. Dilihatnya betapa Tohpati menjadi sangat kecewa karenanya. Tetapi Sanakeling tidak melihat bahwa hati Macan Kepatihan yang tak pernah dapat digoncangkan itu kini sedang ragu-ragu. Diragukannya kata-katanya sendiri, “Apakah ia benar-benar mampu menggulung Sangkal Putung?”

Dan kembali beberapa pertanyaan telah menggoncangkannya pula. Pertanyaan yang menggores dinding hatinya, “Apakah sebenarnya yang akan aku dapatkan dengan menduduki Sangkal Putung? Makan. Itu saja?”

Pertanyaan itu tak pernah mengganggunya sebelum ia bertemu dengan orang tua di tengah-tengah sungai itu. Pertanyaan itu bahkan tidak pernah ada. Namun kini pertanyaan itu sangat mengganggu ketenangannya. Bahkan kemudian pertanyaan-pertanyaan yang lain bermunculan pula di dalam benaknya. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyulitkannya.

Apakah ia untuk seterusnya akan dapat menduduki Sangkal Putung apabila berhasil direbutnya? “Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri. “Widura dan Untara akan mengerahkan pasukan yang kuat untuk merebut Sangkal Putung. Merampas kembali kademangan itu. Meskipun aku telah mendapatkan beberapa pikul padi dan kekayaan-kekayaan yang lain tetapi beberapa bulan kemudian, maka kami akan kelaparan lagi. Dan pasukan Untara akan diperkuat pula. Sedang apabila kami tetap bertahan di kademangan itu, apakah yang akan kami lakukan kemudian? Menjadi Adipati? Mewarisi cita-cita Arya Penangsang?”

“Menjemukan” desisnya tiba-tiba. Sanakeling terkejut mendengar kata-kata itu sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apa yang menjemukan?”

Tetapi Macan Kepatihan sendiri bukan main terkejutnya mendengar kata-kata itu. Kata-katanya sendiri.

Sehingga karena itu maka Macan Kepatihan itu menjadi gelisah. Apalagi ketika Sanakeling mendesaknya, “Apakah yang menjemukan he?”

Tohpati menjawab sekenanya, “Widura dan Untara. Mereka benar-benar menjemukan. Karena itu mereka harus segera dilenyapkan. Ayo, kita kembali. Malam ini Sangkal Putung kita bakar sampai habis. Persetan dengan segala lumbung-lumbungnya dan persetan dengan segala macam isinya.”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Dilihatnya wajah Macan Kepatihan menjadi merah membara. Namun demikian ia menjawab, “Bagaimana mungkin. Sebagian orang-orang kita tidak ada di tempat. Mereka sedang mencoba mengambil perbekalan ke utara.”

“Aku tidak peduli.”

“Masih harus dipertimbangkan” sahut Sanakeling. “Aku tidak mau membunuh diri.”

“Terserah kepadamu. Aku akan pergi malam ini.”

“Jangan kehilangan perhitungan.”

Tohpati tersadar dari kebingungannya. Ketika dilihatnya Sanakeling penuh kebimbangan, maka berkatalah Macan Kepatihan itu kemudian, “Kau tidak sependapat?”

“Berbahaya sekali.”

“Kapan orang-orang yang pergi itu akan datang kembali?”

“Tiga empat hari. Mereka akan membawa sisa-sisa laskar kita yang betebaran di sisi utara Pajang. Kekuatan itu akan dipusatkan disini. Bukankah begitu kehendakmu? Nanti apabila kau telah berhasil disini, maka kau akan membawa seluruh barisan ke utara dan melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Kalau keadaan di utara menjadi lebih baik, kau akan bertempur dan memulai perjuangan seterusnya dengan landasan daerah utara. Bukankah begitu?”

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan bimbangnya ia berkata, “Ya. Aku pernah berkata demikian.”

“Nah, karena itu, apakah kau akan menunggu orang-orang yang pergi itu?”

“Ya, aku akan menunggu dalam waktu yang pendek. Setelah itu, aku tidak akan dapat menunda lagi. Sejak kini seluruh pasukan harus disiapkan.”

“Bagus. Kita harus menebus kekalahan yang pernah terjadi, bukan untuk mengulangi kesalahan itu.”

“Ya, kau benar. Mari kita kembali.”

Tohpati tidak menunggu jawaban Sanakeling. Dengan tergesa-gesa ia melangkah kembali ke sarangnya. Sanakeling berjalan di belakangnya bersama-sama dengan Alap-Alap Jalatunda. Dengan berbisik-bisik alap-alap muda itu bertanya, “Kenapa dengan Macan Kepatihan itu?”

Sanakeling menggeleng. “Entahlah. Mungkin orang tua di tengah-tengah kali yang dijumpainya tadi membiusnya. Ia tampak bingung dan hampir-hampir kehilangan keseimbangan.”

“Tetapi bukankah ia masih mendengarkan nasehat Kakang?”

“Untunglah demikian. Kalau tidak, maka ia akan membunuh dirinya.”

Alap-Alap Jalatunda tidak menjawab. Ia berjalan saja di samping Sanakeling. Di dalam hatinya ia bergumam, “Untunglah, Tohpati mendengarkan nasehatnya. Kalau tidak, maka laskarnya akan menjadi semakin tercerai berai.”

Tetapi orang-orang itu ternyata tidak tahu kalau Untara terluka. Sehingga dengan demikian maka mereka tidak mempergunakan kesempatan itu untuk menghancurkan Sangkal Putung meskipun Widura masih ada. Seandainya Tohpati tahu, maka ia akan mempergunakan saat itu sebaik mungkin. Dan bahkan Sanakeling dan Alap-alap Jalatunda pasti akan menyetujuinya. Mereka pasti tidak akan memperhitungkan hadirnya seorang dukun tua yang pasti akan menggemparkan mereka, seandainya ia mau berbuat sesuatu di dalam pertempuran yang terjadi.

Karena itulah maka kini Macan Kepatihan benar-benar telah kehilangan pengertian dan gambaran tentang kekuatan yang sebenarnya ada di Sangkal Putung. Anak-anak muda yang semakin hari tekadnya semakin menyala dan berlatih dengan tak mengenal lelah. Orang-orang tuapun tidak juga mau ketinggalan. Meskipun Sidanti meninggalkan Sangkal Putung, namun Agung Sedayu telah siap menggantikannya dalam setiap persoalan. Anak muda itu ternyata tidak kalah dari Sidanti dalam segenap hal. Apabila ia telah memiliki pengalaman seperti Sidanti, maka Agung Sedayu benar-benar tidak akan mengecewakan.

Demikianlah ketika Macan Kepatihan menyiapkan kembali sebuah serbuan yang akan dilancarkan atas Sangkal Putung, maka Sangkal Putungpun sedang giat menempa dirinya.

Sementara itu Swandaru dan Agung Sedayu telah dengan tekun menuruti nasehat-nasehat Ki Tanu Metir. Mereka kini tidak lagi berlatih di sungai. Tetapi mempergunakan ruang-ruang tertutup di belakang kademangan, atau di tempat lain yang telah disediakan oleh Ki Demang Sangkal Putung. Apabila malam datang, maka pergilah mereka berjalan-jalan bersama dengan Widura dan kadang-kadang Untara ke Gunung Gowok. Di tempat itulah Swandaru dan Agung Sedayu bekerja keras untuk membentuk dirinya. Namun sebagian perhatian Ki Tanu Metir dititikberatkan pada Swandaru. Anak yang gemuk itu harus mencapai tingkatan yang tidak begitu jauh dari Agung Sedayu. Barulah mereka dapat bersama-sama menerima pimpinan dan bimbingan yang serupa.

Semakin hati luka Untarapun menjadi semakin ringan. Bahkan kini luka itu telah tidak mengganggunya lagi. Karena obat-obat reramuan yang dibuat oleh Ki Tanu Metir dan diminumnya setiap hari, maka kesehatannyapun telah benar-benar pulih. Kekuatan tenaganya, ketangkasannya, sehingga Untara telah benar-benar siap untuk melakukan tugasnya kembali.

Di hari-hari terakhir, Untara telah mendengar pula dari orang-orangnya bahwa kegiatan Tohpati telah ditingkatkan. Tohpati telah melakukan kegiatan yang melampaui kebiasaan. Tetapi setelah lewat tiga hari dari peristiwa di pinggir kali itu, Tohpati ternyata belum melakukan sergapannya. Namun dengan demikian, berarti kepala Tohpati telah menjadi dingin kembali, dan persiapannya akan menjadi lebih masak.

Sebenarnyalah Tohpati kemudian menjadi lebih tenang. Ia tidak lagi berbuat tergesa-gesa. Bahkan dua kali ia telah menunda rencananya untuk menyerang Sangkal Putung.

Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda, dan orang-orangnya semula menganggap bahwa Macan Kepatihan merasa persiapannya masih belum cukup masak. Namun setelah Macan Kepatihan menunda rencananya sampai dua kali, maka mereka terpaksa menduga-duga. Apakah yang sebenarnya telah terjadi pada pemimpin laskar Jipang yang gigih itu.

Tetapi tak seorangpun yang tahu, apakah yang telah bergolak di dalam dada Tohpati. Seorang senapati yang tidak pernah ragu-ragu dalam mengambil setiap keputusan. Seorang pemimpin yang mempunyai perbawa yang kuat, dan seorang pemimpin yang berjiwa kepemimpinan. Tetapi pada saat-saat terkhir, Tohpati tampaknya selalu ragu-ragu atas segala keputusannya. Bahkan kadang-kadang tampak ia menjadi bingung tak bernafsu.

Keadaan itu benar-benar mencemaskan beberapa orang pembantunya. Terutama Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda. Namun sampai sedemikian jauh, belum ada diantara mereka yang berani menanyakannya.

Meskipun laskar Jipang kemudian telah siap melakukan segala macam perintahnya, meskipun seluruh sisa-sisa pasukan Sanakeling, Alap-Alap Jalatunda dan sisa-sisa laskar Plasa Ireng beserta laskar yang tercerai berai telah berkumpul dihutan-hutan di sebelah barat Sangkal Putung, namun Tohpati tidak segera mulai dengan serangannya. Bahkan tampaklah ia menjadi murung dan ragu-ragu. Namun dalam saat-saat terakhir, Macan Kepatihan itu selalu berjalan berkeliling, dari seorang laskarnya ke orang berikutnya. Mereka bercakap-cakap dan berbincang dalam berbagai persoalan. Mereka berbicara tentang hal-hal yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan kelaskarannya.

Beberapa orang anggota laskarnya menjadi heran dan terkejut. Pemimpinnya yang ditakuti dan disegani itu tiba-tiba telah datang kepadanya, menepuk pundaknya sambil bertanya dalam banyak persoalan.

Seorang yang bertubuh tinggi kurus dan berkumis jarang-jarang hampir tak dapat menjawab ketika tiba-tiba saja Tohpati telah berdiri di sampingnya sambil bertanya, “He, apa kerjamu?”

Orang itu memandang pemimpinnya seperti baru sekali dilihatnya, sehingga Tohpati itu mengulangi, “Apa kerjamu?”

Terbata-bata orang itu menjawab, “Duduk Tuan, aku hanya duduk saja.”

Tohpati tersenyum. Dipandanginya wajah yang kurus pucat itu. Tiba-tiba ia bertanya pula, “Berapa umurmu?”

“Delapan belas tahun, Tuan”

“He?” Tohpatilah yang kemudian terkejut. Anak itu berumur delapan belas tahun. Namun wajahnya tampak jauh lebih tua dari umurnya itu. Sehingga hampir tidak percaya ia mengulangi pertanyaannya, “Umurmu berapa?”

Laskar yang kurus itu benar-benar menjadi heran. Namun ia menjawab, “Delapan belas tahun Tuan. Benar-benar delapan belas tahun.”

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan wajah yang suram ia berkata, “Kau masih sangat muda. Apakah kau masih mempunyai ayah dan ibu?”

Anak itu menggeleng. Tiba-tiba wajah anak itupun menjadi suram pula sesuram wajah pemimpinnya. Dengan suara parau ia menjawab, “Ayah telah mati terbunuh beberapa bulan yang lampau.”

“Kenapa?” bertanya Tohpati. “Siapakah yang membunuhnya?”

“Ayah terbunuh ketika laskar Pajang memasuki padukuhanku. Ayah mencoba ikut bertahan. Namun ujung tombak orang Pajang telah menyobek dadanya.”

“Oh” Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan nada yang rendah ia bertanya, “Sekarang apakah kau ingin menuntut kematian ayahmu itu?”

“Tentu Tuan. Aku harus membalas dendam yang membara di hati. Aku telah bersumpah, bahwa aku harus dapat menebus kematian ayahku dengan dua atau tiga orang Pajang. Aku tidak peduli apa yang sebenarnya terjadi antara Jipang dan Pajang.”

Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak ini bertempur sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan cita-cita Arya Penangsang yang dianggapnya sedang berusaha menuntut keadilan. Anak itu sama sekali tidak tahu, apakah yang dikehendaki oleh Adipati Jipang itu. Tidak tahu menahu tentang Sekar Seda Lepen. Tidak tahu menahu tentang Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat yang bertapa hanya berkain rambutnya sendiri, karena suaminya terbunuh oleh Arya Penangsang. Tidak tahu bahwa Adipati Pajang kemudian telah berhasil membinasakan Arya Penangsang dengan tangan putra angkatnya Mas Ngabehi Loring Pasar. Tidak. Anak itu tidak tahu apa-apa. Ia hanya mendendam karena ayahnya terbunuh. Mungkin ayahnya sedang berjuang untuk satu cita-cita. Tetapi anak ini tidak. Anak ini hanya ingin melepaskan dendam di hatinya.

Tetapi ia melihat semangat yang menyala dari mata anak itu. Mata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tubuhnya yang kurus.

Tiba-tiba terluncur dari mulut Tohpati, “Ibumu?”

Anak itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Ibu telah lama pergi.”

“Kemana?”

Anak itu menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian dengan berat hati ia menjawab, “Ibu pergi dengan laki-laki lain.”

Tohpati mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin iba mendengar jawaban itu. Sebab dengan demikian, maka adalah suatu kemungkinan bahwa ayahnyapun bertempur bukan karena cita-cita. Tetapi sekedar melepaskan sakit hatinya. Dan pengaruh keluarga yang buruk itu kemudian telah memaksa anak itu untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang memancarkan dendam di hatinya.

Tiba-tiba Tohpati mendengar kawannya yang duduk di sampingnya tertawa meringkik seperti seekor kuda. Tohpati sama sekali tidak senang mendengar suara tertawa itu, sehingga ia membentak, “Kanapa kau tertawa?”

Orang yang tertawa itu terkejut. Ia sendiri tidak menyadari bahwa ia telah tertawa. Karena itu, maka ia menjadi ketakutan.

“Kenapa kau tertawa, he?” Tohpati mengulangi.

Sedemikian takutnya orang itu sehingga tanpa dapat berpikir ia menjawab, “Anak itu Tuan. Anak itu berbuat seperti laki-laki yang dikatakannya.”

“He?” wajah Tohpati menjadi merah. Sambil menggertakkan giginya ia bertanya kepada anak muda itu, “Apa yang telah kau lakukan?”

Anak muda itu menggigil seperti kawannya yang duduk di sampingnya. “Tidak, tidak Tuan” katanya dengan gemetar. Sekali ia memandangi kawannya itu, dan sesekali ia memandang kaki Tohpati. Ia sangat menyesal kenapa kawannya itu mengatakannya, dan kawannya itupun bukan main terkejut mendengar kata-katanya sendiri.

“Apa yang telah kau lakukan?” bertanya Tohpati dengan nada yang berat penuh tekanan.

“Aku tidak apa-apa Tuan” jawab anak muda itu terbata-bata.

“Apa yang sudah kau lakukan?” ulang Tohpati.

“Tidak ada Tuan.”

Sekali lagi Tohpati bertanya, kali ini perlahan-lahan. “Apa yang sudah kau lakukan?”

Tubuh anak muda itu menjadi semakin gemetar. Hampir tak terdengar ia berkata, “Aku hanya membalas sakit hatiku Tuan. Aku membenci perempuan karena ibuku yang tidak setia.”

“Apa yang telah kau lakukan terhadap perempuan?”

Laki-laki itu menjadi semakin ketakutan. Hampir-hampir ia menangis karenanya. Lamat-lamat ia menjawab, “Tidak apa-apa Tuan. Aku hanya berbuat menuruti perasaan. Aku sudah menyesal.”

Tohpati berpaling pada laki-laki yang duduk di sampingnya. Laki-laki itupun menunduk dalam-dalam. Tiba-tiba ia menyambar pundaknya sambil mengguncang tubuhnya. “Apa yang sudah dilakukannya?”

Laki-laki itu menjadi gemetar. Bibirnya bergerak-gerak namun suaranya tidak juga keluar dari mulutnya. Ketika Tohpati sama sekali mengguncang pundaknya, barulah ia berkata, “Ia, ia membawa istri orang Tuan.”

Bukan main marah Tohpati mendengar jawaban itu. Itu adalah perbuatan terkutuk. Perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Hampir saja ia memukul laki-laki kurus dan berkumis jarang yang baru berumur delapan belas tahun itu. Namun tiba-tiba disabarkannya dirinya. Sambil menggigit bibirnya ia menggeram.

Tohpati mengangkat wajahnya. Apa yang dilakukan itu bukanlah satu-satunya kejahatan yang telah pernah terjadi di antara anak buahnya. Ia bukannya tidak mendengar bahwa anak buahnya pernah pula merampok, mencegat orang dan menyamunnya di perjalanan. Membunuh, menculik dan berbagai kejahatan-kejahatan yang lain. Tetapi Tohpati menyadari, bahwa itu adalah akibat yang tidak dapat dihindarkan dari keadaan laskarnya kini. Keadaan yang serba sulit dan tertekan. Beberapa orangnya telah menjadi berputus asa dan kehilangan pegangan, seperti anak muda yang baru berumur delapan belas tahun itu. Anak itu sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukannya.

Tohpati itu menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kenapa hal itu kau lakukan?”

Anak muda yang kurus pucat dan berkumis jarang itu tidak dapat menjawab. Ia tidak pernah berpikir sebelumnya, kenapa ia membawa perempuan itu. Barulah kini ia mencoba bertanya kepada dirinya, kenapa ia membawa perempuan itu. Tetapi perempuan itu tidak pernah merasa bahwa ia menyesal karena perbuatannya. Perempuan itu sampai sekarang masih juga selalu berusaha menyenangkannya dan memeliharanya.

Ia terkejut pula ketika mendengar Tohpati bertanya pula, “Kenapa kau bawa perempuan itu. Dan apakah perempuan itu tidak ketakutan tinggal bersamamu di antara kawan-kawanmu?”

Laki-laki itu menggeleng. “Ia senang tinggal bersama kami Tuan.”

“Oh” Tohpati mengelus kumisnya. “Siapakah perempuan itu?”

Laki-laki itu ragu-ragu sesaat. Kemudian jawabnya, “Namanya Nyai Pinan.”

“He?” sekali lagi Tohpati terkejut. Nyai Pinan. “Hem” Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dalam hati, “Untunglah anak itu belum aku pukul kepalanya.”

Tohpati itu tiba-tiba kehilangan kemarahannya. Ia menjadi kasihan kepada anak laki-laki itu. Nyai Pinan adalah seorang perempuan yang jauh lebih tua dari laki-laki itu. Perempuan yang berumur tigapuluh lima tahun, bukanlah perempuan yang perlu disesalkan apabila ia telah pergi meninggalkan suaminya. Pantaslah bahwa perempuan itu sama sekali tidak menyesal dan ketakutan tinggal di antara laskarnya, di antara laki-laki yang kasar dan keras.

Macan Kepatihan itu tiba-tiba saja melangkahkan kakinya pergi meninggalkan laki-laki itu. Sekilas masih terbayang di dalam benaknya, perempuan yang bernama Nyai Pinan itu dahulu pernah dibawa oleh Plasa Ireng atau oleh orang lain di antara laskarnya.

“Gila. Kehidupan ini benar-benar kehidupan yang liar. Menjemukan, menjemukan.”

Tohpati itupun kemudian langsung pergi ke dalam gubugnya di tengah-tengah hutan. Langsung ia merebahkan dirinya di atas sebuah pembaringan bambu. Sekali-sekali terdengar ia menggeram. Dibayangkannya kehidupan seluruh laskarnya. Yang berada dekat-dekat di sekitarnya, dan yang betebaran di beberapa tempat yang lain. Laskar yang diperintahkannya untuk membuat Pajang kehilangan kesempatan membangun dirinya karena kekisruhan-kekisruhan yang terjadi.

“Apakah hasil yang telah kucapai dengan itu” desahnya.

Dibayangkannya bahwa rakyatnya justru menjadi bingung dan ketakutan. Tak ada ketenangan dan tak ada kesempatan mereka menikmati hidup setenang-tenangnya.

“Tetapi bukankah itu yang aku kehendaki?”

Kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Ya. Kini ternyata bahwa aku hanya sekedar mendendam di hati, melepaskan kekecewaan dan sakit hati. Aku hanya ingin Pajang tidak berhasil menenangkan dirinya dan melakukan rencana-rencananya. Itu saja.”

Macan Kepatihan itu menggeram. Dengan serta-merta ia bangkit dan menghentakkan kakinya ke tanah sambil berkata kepada dirinya sendiri, “Gila. Kenapa aku bertemu dengan orang tua itu. Dengan orang yang mengatakan dirinya orang Benda. Alangkah bodohnya aku. Orang itu bukan orang Benda. Dan orang itu bukan orang yang bodoh. Pertanyaannya telah menggoncangkan hatiku. Tetapi aku sudah berada di tengah-tengah arus. Aku tidak dapat berjalan kembali.”

Macan Kepatihan itu tiba-tiba melangkah dan berjalan keluar. Di luar dipanggilnya seorang laskarnya. Katanya, “Panggil Sanakeling.”

Sesaat kemudian Sanakeling telah berada di dalam gubugnya. Wajahnya tampak tegang dan sekali-sekali timbullah pertanyaan memancar dari matanya.

“Apakah kita sudah benar-benar siap” bertanya Macan Kepatihan.

Pertanyaan itu terdengar aneh di telinga Sanakeling. Macan Kepatihan telah beberapa kali melihat sendiri, bahwa laskar Jipang telah ditarik sebagian besar ke dalam hutan itu untuk melakukan rencananya yang tertunda-tunda. Kalau waktu persiapan yang diperluakan terlalu lama, maka mereka akan segera kehabisan persediaan bahan makanan. Dengan demikian maka ketahanan laskarnyapun pasti akan berkurang.

Meskipun demikian, maka Sanakeling itu menjawab, “Sudah. Sudah sejak beberapa hari yang lalu laskar Jipang telah siap melakukan perintah. Bahkan kini mereka hampir kehilangan gairah untuk bertempur karena pertempuran tertunda-tunda.”

Tohpati mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak dapat membantah kata-kata Sanakeling itu. Ia mengakui, betapa seorang prajurit akan kehilangan semangatnya apabila mereka harus menunggu dan menunggu, sedangkan mereka sudah siap untuk melakukan setiap perintah.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Tohpati menjawab, “Baik. Aku tidak akan menunda sergapan untuk kesekian kalinya. Tetapi aku harus yakin bahwa sergapan kita kali ini akan berhasil.”

“Kita telah mengukur kekuatan mereka” sahut Sanakeling. “Kita sudah tahu kekuatan-kekuatan yang ada di dalam Kademangan Sangkal Putung. Dan kita kini telah memperhitungkan kekuatan itu pula. Orang yang berhasil membunuh Plasa Ireng itupun telah kita perhitungkan. Tiga orang itu dalam satu lingkaran pertempuran akan melampaui kekuatan Plasa Ireng. Sedangkan lawan Alap-Alap Jalatunda ternyata memerlukan perhatian. Seorang dari Mentaok akan mengawasi Alap-Alap Jalatunda. Widura serahkan kepadaku, dan Untara adalah lawanmu. Terserah kepadamu, apakah perlu seseorang untuk membantumu, ataukah kau merasa bahwa kau akan berhasil melawannya sendiri. Sedang jumlah laskar yang kita pergunakan kini ternyata bertambah banyak. Hanya untuk mengumpulkan mereka aku memerlukan waktu sehari. Sebab untuk mengurangi kesempatan, sebagian tersebar di beberapa tempat.”

“Bagus. Siapkan mereka besok. Malam nanti aku akan melihat-lihat keadaan.”

Sanakeling mengerutkan alisnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Apakah kau berkata sebenarnya?”

“Kenapa?”

“Apakah kali ini tidak akan tertunda lagi seperti hari-hari yang lalu?”

Macan Kepatihan mendengar sindiran itu. Namun ia tidak menjawab.

Sesaat mereka berdiam diri. Wajah Tohpati menjadi tegang. Kemudian terdengar ia berkata, “Tinggalkan aku sendiri.”

Sanakeling mengangkat alisnya. Kemudian ia berdiri dan berjalan keluar ruangan itu dengan hati bimbang. Sekali ia berpaling dan dilihatnya Tohpati menekur kepalanya. Pemimpin laskar Jipang itu tampaknya tidak segarang beberapa saat yang lalu. Karena itulah Sanakeling menjadi cemas. Ia tidak mau melihat setiap kelemahan yang ada di dalam dirinya, di dalam tubuh laskarnya, apalagi di pucuk pimpinannya. Ia menghendaki semuanya berjalan keras, cepat dan dapat menimbulkan akibat yang menggoncangkan lawan-lawannya. Menimbulkan kengerian dan ketakutan.

Sepeninggal Sanakeling, maka Tohpati itupun segera memanggil seorang yang telah agak tua. Orang itu pernah menjadi penasehatnya dalam berbagai hal. Seorang yang tidak saja memiliki pengalaman yang luas. Namun ia adalah seorang yang memiliki daya pengamatan yang jauh.

Orang tua itu berdebar-debar mendengar panggilan Tohpati. Telah agak lama Tohpati tidak memerlukannya. Hampir tidak pernah dapat ia menemui anak muda yang menggemparkan seluruh daerah Demak itu. Namun kini tiba-tiba Tohpati memanggilnya.

“Duduklah paman Sumangkar.”

Orang yang telah agak lanjut dan bernama Sumangkar itu duduk di samping Tohpati sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Terima Kasih, ngger.”

“Kenapa Paman tidak pernah menampakkan diri akhir-akhir ini?”

Sumangkar mengerutkan alisnya yang hampir memutih. Jawabnya, “Angger tidak pernah memanggil Paman ini. Dan karena itu maka aku tidak berani mengganggu Angger.”

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya serta-merta, “Paman, aku akan memulai dengan sebuah sergapan baru. Apakah Paman sependapat?”

Sumangkar mengerutkan keningnya pula. Pertanyaan ini agak aneh baginya. Sudah beberapa kali Tohpati melakukannya tanpa minta pendapatnya. Tiba-tiba kini pemimpin yang garang itu bertanya tentang rencananya itu. Justru karena itu maka Sumangkar menjadi ragu-ragu.

“Bagaimana Paman?” desak Tohpati.

Sumangkar menarik nafasnya dalam-dalam. Dikenangnya ketika Tohpati itu menjadi sangat marah, dan seterusnya hampir tak pernah ia diajaknya berbincang. Tohpati itu marah ketika ia mencoba memperingatkan bahwa segenap usaha yang akan dilakukan adalah sia-sia. Tetapi kini ia menghadapi pertanyaan itu. Pertanyaannya yang seperti pernah didengarnya dahulu.

Karena itu maka untuk sejenak Sumangkar menjadi ragu-ragu. Apakah sebabnya tiba-tiba saja Tohpati memanggilnya dan bertanya kepadanya mengenai hal itu pula?

Karena Sumangkar tidak segera menjawab, maka Tohpati itu mendesaknya, “Bagaimana Paman?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Kemudian jawabnya, “Raden. Pertanyaan itu sangat sulit bagiku.”

“Kenapa? Bukankah Paman memiliki pengetahuan dan pengalaman yang cukup dalam olah keprajuritan? Bukankah Paman bekas seorang yang cukup dekat dengan Paman Mantahun? Nah, bagaimanakah pendapat Paman?”

“Aku adalah seorang yang telah berumur agak lanjut. Seharusnya aku harus berkata sebenarnya menurut pertimbangan di dalam kepalaku. Namun aku tidak dapat menutupi kenyataan, bahwa untuk berkata sebenarnya adalah sulit sekali. Bukankah Angger pernah marah kepadaku karena aku tidak sependapat dengan Angger?”

Tohpati menarik keningnya. Dipandanginya Sumangkar tajam-tajam seperti ingin dilihatnya pusat jantungnya. Dan karena itulah maka Sumangkar itu menundukkan kepalanya.

“Paman,” berkata Tohpati, “aku tahu Paman adalah seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki kesaktian yang sukar dicari bandingnya. Kenapa Paman berpikiran terlalu pendek. Kalau Paman mempunyai tekad yang agak kuat di dalam dada Paman, maka Paman akan dapat menyumabangkan tenaga Paman dalam perjuangan ini. Tetapi selama ini Paman lebih senang mendekam di dapur sambil menghangatkan tubuh. Kenapa Paman tidak lagi bersedia memandi tombak atau memegang gagang pedang?”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Sudah aku katakan Raden, alasan-alasan yang memaksa aku untuk berdiam diri.”

“Tetapi kenapa Paman tidak pergi saja dan menyeberang ke pihak Pajang?”

Sumangkar mengangkat kepalanya sesaat. Namun kemudian ditundukkannya lagi. Pertanyaan itu amatlah sulitnya. Meskipun demikian dijawabnya pula dengan jujur.

“Raden, aku adalah hamba kepatihan Jipang sejak aku melepaskan pakaian Wira Tamtama karena umurku yang telah lanjut. Aku adalah saudara seperguruan Kakang Patih Mantahun. Aku adalah kawan berbincang, dan aku salah seorang yang ikut serta menyetujui tuntutan Arya Penangsang kepada Pajang dan putra-putra Sultan Trenggana yang lain. Tetapi caraku agak berbeda dengan cara yang telah ditempuh Angger Pangeran. Aku menyarankan agar Angger melakukan tuntutan dan perjuangan tanpa mengorbankan saudara-saudara sepupunya dengan cara yang telah ditempuh. Dengan demikian maka kawula Demak akan segera melihat noda-noda pada dirinya. Tetapi itu telah ditempuhnya, dan aku tidak dapat menghindarkannya. Kakang Mantahun adalah seorang yang keras hati sehingga Arya Penangsang yang terlalu dilanda oleh arus perasaannya itu terbakar oleh rencananya. Dan terjadilah apa yang telah terjadi. Apakah dengan demikian masih ada kemungkinan bagiku untuk menyeberang ke Pajang?”

Tohpati mendengarkan kata demi kata dengan penuh perhatian. Ia merasakan bahwa apa yang terjadi kemudian adalah akibat dari ketergesa-gesaan para pembantu Arya Penangsang. Namun sebagai seorang prajurit yang terpercaya, maka ia tidak dapat berbuat lain daripada meneruskan perjuangan itu. Tetapi apakah yang dapat dicapainya dengan perjuangannya itu?

Meskipun demikian Tohpati itu berkata tajam, “Tetapi Paman selama ini hampir tidak berbuat apa-apa. Pada saat Adipati Penangsang masih melakukan perjuangan, Paman ternyata menjadi seorang yang ditakuti digaris-garis perang. Namun kemudian Paman tidak lebih dari seorang juru masak yang malas. Kenapa Paman tidak mau bertempur seperti masa-masa lampau itu?”

Sumangkar menarik alisnya tinggi-tinggi. Sebagai seorang yang telah berusia lanjut, maka ia dapat berpikir dengan tenang. Dan dengan tenang pula ia menjawab, “Kalau aku turut dalam peperangan yang tidak akan berarti apa-apa ini Raden, maka aku hanya akan memperpanjang penderitaan. Penderitaan rakyat Pajang dan rakyat Jipang sendiri. Sebab seperti yang pernah aku katakan, perjuangan ini tidak akan berhasil. Apa yang dapat kita lakukan hanyalah pembalasan dendam pada beberapa pihak. Melepaskan sakit hati dan membuat onar dimana-mana. Apakah kira-kira demikian juga cita-cita Arya Penangsang sendiri? Seandainya Arya Penangsang berhasil merebut tahta, apakah yang kira-kira akan dikerjakan? Memanjakan diri sendiri atau berbuat sesuatu untuk membentuk Demak menurut seleranya? Nah, bandingkanlah dengan apa yang kau lakukan Ngger. Dengan anak buah Angger dan dengan seluruh perbuatan laskar Jipang ini.”

Tohpati mengerutkan keningnya. Terdengar ia menggeram. Kata-kata Sumangkar itu hampir seperti kata-kata orang tua yang dijumpainya di sungai beberapa hari yang lampau. Kata-kata orang tua yang telah memiliki berbagai pertimbangan. Tetapi Tohpati masih ingin meyakinkan dirinya.

“Paman, apakah dengan demikian kita tidak menjadi seorang pengecut? Seorang yang tidak berani menghadapi pahit getir perjuangan? Seorang prajurit sejati akan pantang menyerah. Pantang menyerah kepada lawan, dan pantang menyerah kepada keadaan.”

“Raden benar” sahut Sumangkar. “Jangan menyerah kepada lawan. Jangan menyerah kepada keadaan. Namun jangan membutakan diri atas kenyataan. Selama kita masih dihadapkan pada cita-cita, maka kita tidak akan berputus asa. Namun apabila kita menyakini kelemahan diri dan meyakini bahwa apa yang hendak kita capai itu tidak akan terpenuhi, maka sebaiknya kita menyadari keadaan. Korban telah semakin banyak dan korban itu tidak akan berarti apa-apa. Korban yang sia-sia. Korban dari nafsu pembalasan dendam dan sakit hati.”

Tohpati tidak berkata apa-apa lagi. Ia kini seakan-akan melihat sebuah gambaran yang suram tentang masa depan laskarnya. Ia kini melihat betapa korban berjatuhan di kedua belah pihak tanpa dapat merubah keadaan. Korban yang menurut Sumangkar adalah korban yang sia-sia.

Sesaat mereka berdiam diri. Tohpati dengan angan-angannya dan Sumangkar dengan angan-angannya pula. Namun sejenak kemudian terdengar Macan Kepatihan itu menggeram, “Apakah Paman menyayangkan korban-korban itu?”

“Ya” sahut Sumangkar pendek.

“Mati bagi prajurit adalah kemungkinan yang sudah diketahuinya. Mati bagi seorang prajurit adalah kemungkinan yang sama dengan kemungkinan untuk hidup. Sehingga mati bagi seorang prajurit sama sekali bukan suatu hal yang mengejutkan.”

“Angger benar. Mati bagi aku dan bagi Angger adalah kemungkinan yang paling dekat terjadi. Bahkan lebih dekat dari kemungkinan untuk hidup. Tetapi apakah mati bagi mereka yang sama sekali tidak tahu menahu persoalan ini juga dapat dibenarkan? Apakah mati bagi orang-orang Sangkal Putung, Dukuh Pakuwon, Benda dan orang-orang lain di sekitar Pajang dan Jipang Wanakerta, di sebelah barat Demak dan di sudut-sudut Bergota itu juga sudah wajar? Laskar Raden yang terpencar dan menyusup di daerah-daerah itu benar-benar tak terkendalikan. Rakyat di daerah itu dan laskar Pajang berusaha untuk menumpasnya. Yang mati di antara laskar angger dan laskar Pajang adalah wajar. Tetapi rakyat yang tergilas oleh arus peperangan itu?”

Tohpati mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan menurut bunyi di sudut relung hatinya berkata, “Bukan hanya mereka. Tetapi bahkan anggota-anggota laskarnya sendiri bukanlah orang-orang yang tahu akan keadaannya. Ada di antara mereka yang hanya terlanjur terdorong oleh arus yang tidak dapat dihindari tanpa keyakinan apa-apa. Tetapi ada yang dengan sengaja dan mempergunakan kesempatan untuk kepentingan-kepentingan yang kotor. Bahkan ada yang kedua-duanya, putus asa dan kesempatan berbuat di luar peraturan-peraturan. Merampas dengan dalih yang itu-itu juga, untuk kepentingan perjuangan. Membunuh dengan dalih itu-itu juga, mengkhianati perjuangan atau berpihak kepada musuh. Menculik dan merampok. Bahkan segala perbuatan yang bertentangan dengan perikemanusiaan. Apabila peperangan ini masih berlangsung terus, maka hal-hal yang serupa itu masih akan berlangsung lama.

Kembali mereka berdua terlempar dalam kesenyapan. Yang terdengar hanyalah nafas Macan Kepatihan yang semakin cepat mengalir lewat lubang-lubang hidungnya. Matanya yang tajam menerkam dinding bambu yang berlubang-lubang di hadapannya. Tetapi lubang-lubang itu kini sama sekali sudah tidak kelihatan.

Ketika Tohpati berpaling menembus celah-celah tutup keyong gubugnya yang tidak rapat, maka terdengar ia berdesis, “Sudah hampir gelap.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, sudah hampir gelap.”

Tiba-tiba Tohpati berdiri. Beberapa langkah ia berjalan ke sudut ruangan itu. Diraihnya tongkat baja putihnya yang tersangkut di atas pembaringannya. Sumangkar memandang senjata itu dengan wajah yang tegang. Ia tidak tahu, apakah yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan yang garang itu. Tetapi ketika ia melihat Tohpati memutar tubuhnya, dan dilihatnya dalam keremangan ujung malam itu kesan sikap yang wajar, maka Sumangkarpun tidak beranjak dari tempatnya. Dari lubang pintu cahaya pelita menembus masuk ke dalam ruangan. Bukan pelita, tetapi sebuah obor yang menyala-nyala di samping mulut pintu.

“Paman, aku ingin berjalan-jalan bersama Paman malam ini” suara Tohpati datar dalam nada yang rendah.

Dada Sumangkar berdesir. Tidak pernah Tohpati membawanya pergi akhir-akhir ini. Kini tiba-tiba Macan Kepatihan itu mengajaknya.

Banyak hal yang dapat terjadi kemudian. Apakah Macan Kepatihan itu marah kepadanya, apakah Macan Kepatihan itu ingin mendengar pendapat-pendapatnya lebih lanjut, adalah teka-teki yang tak dapat diketahuinya. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat menolak. Kalau Tohpati ingin berbuat jahat kepadanya, maka sudah tentu ia tidak akan pergi berdua, sebab Sumangkar tahu pasti, bahwa Tohpati menyadari keadaannya. Sumangkar bukanlah lawannya.

Sumangkar adalah takaran dua tiga kali daripadanya. Sebab Sumangkar adalah suadara seperguruan dari gurunya, Patih Mantahun. Tetapi apa yang dilakukan Sumangkar itu kemudian tidak lebih dari seorang juru masak yang baik. Bahkan sebagian besar dari laskarnya yang baru ditemukan oleh orang-orang Jipang sepanjang peperangan atau prajurit-prajurit Jipang yang tersebar di mana-mana tidak mengenal Sumangkar dengan baik. Mereka menyangka bahwa orang itu benar-benar seorang juru masak.

Ketika Sumangkar tidak segera menjawab, maka sekali lagi Tohpati berkata, “Paman, kita pergi berdua malam ini.”

“Kemana Ngger?”

Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu adalah pertanyaan yang aneh. Sumangkar pasti sudah tahu kemana mereka akan pergi dalam keadaan serupa itu. Meskipun demikian Tohpati itu menjawab, “Paman pasti sudah tahu, kemana kita akan pergi dalam keadaan ini. Dimana laskarku sudah siap untuk menggempur Sangkal Putung.”

“Oh, jadi kita melihat-lihat Sangkal Putung?”

“Ya.”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Tohpati telah memaksanya untuk melibatkan diri ke dalam peperangan yang dibencinya itu. Peperangan yang semakin lama menjadi semakin jauh dari bentuknya. Tetapi keputusan terakhir pasti ada padanya sendiri.

Tohpati ternyata kemudian tidak menunggu Sumangkar menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan ke pintu dan sekali ia berpaling. Ketika dilihatnya Sumangkar telah berdiri, maka Tohpati itupun berjalan terus.

Di muka gubug Sanakeling dan orang-orangnya, Tohpati berhenti. Dipanggilnya Sanakeling yang sedang menghadapi seceting nasi dan daging menjangan.

“Apakah Kakang akan pergi?” bertanya Sanakeling.

“Ya” jawab Tohpati. “Pekerjaanmu besok mengumpulkan semua kekuatan. Malam ini aku ingin melihat Sangkal Putung bersama Paman Sumangkar”

Sanakeling mengerutkan keningnya. Ia kenal siapakah Sumangkar itu. Ia kenal kebesaran namanya pada masa-masa lampau. Tetapi ia kenal juga, bahwa Sumangkar kini lebih senang menjadi seorang juru masak dengan pisau dapur di tangannya. Membelah daging binatang-binatang buruan dan membelah kayu-kayu bakar.

Bagi Sanakeling, Sumangkar sekarang hampir-hampir tidak berarti sama sekali. Seandainya Sumangkar itu mati sekalipun, maka laskar Jipang tidak akan merasa kehilangan. Sebab pekerjaannya segera dapat diganti oleh orang lain.

Karena itu, maka Sanakeling itupun bertanya, “Apakah kau tidak memerlukan orang lain?”

“Tidak” jawab Tohpati menggelengkan kepalanya.

Sanakeling tidak bertanya-tanya lagi. Macan Kepatihan sudah cukup dewasa untuk menjaga dirinya, sehingga ia sudah cukup mempunyai perhitungan.

Ketika Tohpati itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka segera Sanakeling masuk kembali ke dalam biliknya, menjatuhkan dirinya di sebuah bale-bale dan kembali meneruskan menikmati daging menjangan muda. Satu kakinya diangkatnya ke atas bale-bale sedang kakinya yang lain berjuntai ke bawah. Sambil mengunyah nasi, Sanakeling berkata tersendat-sendat, “He, panggil Alap-Alap kerdil di gubugnya.”

Seseorang yang berdiri di muka pintu berpaling. Sekali lagi Sanakeling berkata, “Panggil Alap-Alap itu.”

“Baik, baik Ki Lurah” jawab orang itu sambil berlari-lari ke gubug yang lain. Tetapi kemudian langkahnya terhenti. Dilihatnya Tohpati dan Sumangkar berjalan di hadapannya menuju ke gubug Alap-Alap Jalatunda pula.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar