Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 076

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 076
Buku 076
Dengan demikian maka bersama di dalam satu kelompok dengan Ki Lurah Branjangan, Raden Sutawijaya berusaha untuk menahan Daksina. Meskipun Raden Sutawijaya sadar, bahwa Daksina memiliki kemampuan yang lebih baik daripada dirinya sendiri, tetapi seperti yang pernah di lakukan, Raden Sutawijaya tidak berdiri sendiri.

Di pihak yang lain, senapati pangapit Panembahan Alit tertahan oleh Ki Argapati yang kini dirangkapi oleh anak gadisnya, Pandan Wangi, karena Pandan Wangi sadar, bahwa gangguan pada kaki ayahnya tentu akan segera kambuh lagi jika ia harus bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuannya. Itulah sebabnya maka ia merasa wajib selalu berada di sampingnya.

Di bagian lain, para pemimpin Mataram harus menahan serangan lambung yang berusaha memecah perhatian para pemimpin pasukan Mataram dan Menoreh. Namun ternyata bahwa kekuatan serangan pada lambung itu sama sekali tidak mampu mengatasi ketangkasan para pengawal dari Mataram.

Demikian juga di lambung yang lain. Ketika Agung Sedayu dan Swandaru mulai melecutkan cambuknya, maka ternyata bahwa lawan mereka tidak banyak berarti bagi gelar yang kurang sempurna itu, sehingga serangan lambung di belahan yang terdiri dari orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu pun tidak banyak memberikan gangguan.

Sementara itu, pasukan yang berada di bagian belakang dari gelar yang tidak sempurna itu sama sekali tidak mendapat gangguan apa pun. Ki Demang yang berada di bagian belakang, benar-benar merupakan tenaga cadangan yang setiap saat dapat dipergunakan sebaik-baiknya.


Sejenak setelah kedua pasukan itu berbenturan, Panembahan Alit sudah merasa tekanan yang berat dari lawannya. Namun demikian ia masih tetap merasa cukup kuat untuk melawan pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun ia segera dapat juga mengenal orang bercambuk yang kini menahannya di ujung medan.

“Kita bertemu lagi Panembahan,” berkata Kiai Gringsing setelah keduanya terlibat di dalam peperangan.

“Kenapa kau turut campur?” bertanya Panembahan Alit. “Aku kira kau mendendam ketika aku menahanmu di Alas Tambak Baya.”

“Bukan sekedar itu,” sahut Kiai Gringsing, “tetapi aku memang sependapat dengan Raden Sutawijaya bahwa alas tempat gerombolanmu berpijak ini harus dihancurkan. Sudah sekian lamanya Mataram harus mengalami gangguan-gangguan yang gila dari Panembahan Agung dan Panembahan Alit. Hantu-hantuan, racun, dan seakan-akan kalian telah memagari Mataram dengan kekerasan.”

“Persetan. Tetapi kali ini kalian benar-benar telah terjerumus ke dalam sarang serigala. Kau akan mati dan hancur disayat-sayat oleh ujung senjata kami.”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Yang terdengar adalah ledakan cambuknya sehingga Panembahan Alit terkejut dan meloncat menghindar dengan tangkasnya.

Selagi pertempuran itu berlangsung, maka masih terdengar suara Panembahan Agung, “Cepat, tahanlah pasukan Raden Sutawijaya. Kau dapat mempergunakan pengaruhmu. Kemudian aku akan menyerahkan anakmu itu.”

“Sayang, Panembahan,” sahut Ki Waskita, “aku tidak dapat melakukannya. Aku akan membebaskan anakku, tetapi tidak untuk menjerumuskan orang lain ke dalam tanganmu.”

Terdengar raksasa itu menggeram. Dengan nada tinggi ia kemudian berkata, “Jadi kau relakan anakmu mati dengan cara yang mengerikan itu?”

“Kenapa mengerikan?”

“Sudah aku katakan. Aku akan mengikat kakinya dan menjerat lehernya dengan tali yang terikat pada seekor kuda.”

“Jika kau mengerti bahwa hal itu mengerikan, kenapa kau lakukan?”

“Sengaja, agar kau tahu, bahwa kau terlampau sombong dengan membiarkan anakmu mati dengan cara itu. Mungkin kau lebih menghargai hadiah dari Raden Sutawijaya atas bantuanmu saat ini. Mungkin dijanjikan bahwa kau kelak akan diangkat menjadi seorang pemimpin di Mataram sehingga kau bersedia mengorbankan anakmu.”

“Aku sama sekali tidak bermaksud mengorbankan anakku yang manja itu. Aku akan membebaskan dengan caraku.”

“Persetan. Ia akan mati. Jika aku tidak melihat kau berusaha mempengaruhi Raden Sutawijaya dalam hitungan ke sepuluh, aku akan melepaskan isyarat.”

Waskita termangu-mangu sejenak. Tetapi ia sengaja memperpanjang waktu dengan berkata, “Tunggu dulu. Aku sedang berpikir. Jangan mulai dengan hitungan itu.”

“Kau menunggu pasukanku hancur?”

“Bukan itu, tetapi sekedar jaminan bahwa anakku akan selamat. Apakah kau dapat menunjukkan di mana anakku sekarang?”

“Ada padaku. Bukan aku sendirilah yang menemukannya. Tetapi orang-orang kepercayaanku. Kami mengira bahwa anak itu dapat kita pergunakan sebagai umpan antuk memancing kalian. Tetapi kami sudah gagal menghancurkan kalian di mulut lembah yang sempit. Kemudian pemainanku telah kau ganggu. Dan sekarang, satu-satunya kesempatan adalah mempergunakan kau dan anakmu itu.”

“Aku minta jaminanmu.”

Panembahan Agung menggeram. Ia masih belum mulai menghitung, karena Waskita sengaja memperpanjang pembicaraan.

Dalam pada itu, Waskita memang menunggu agar usahanya untuk melepaskan anaknya dapat terlaksana lebih dahulu sebelum Panembahan Agung menentukan sikap dan melepaskan isyarat untuk membunuh anaknya.

Dengan petunjuk dari Ki Waskita atas dasar isyarat yang ditangkapnya, maka Sumangkar merayap semakin dekat dengan padepokan Panembahan Agung yang seakan-akan telah menjadi kosong. Para penjaga dan pengawal telah dikerahkan ke medan untuk menahan arus pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh. Yang tinggal di padepokan itu hanyalah beberapa orang yang bertugas mengawasi keadaan dan dua orang untuk menjaga Rudita yang terikat pada tiang di ruang belakang padepokan itu. Panembahan Agung ternyata telah kecewa menahan anak cengeng yang semula disangkanya tidak akan mempunyai arti apa-apa, yang ternyata meleset dari perhitungannya.

Dengan demikian maka nilai Rudita bagi Panembahan Agung itu telah mengalami beberapa kali perubahan. Semula ketika ia menerima anak itu ia mendapat laporan, bahwa anak itu agaknya termasuk orang yang penting, sehingga ia tidak ikut di dalam pertempuran yang sedang berlangsung. Tetapi kemudian Panembahan Agung berpendapat, bahwa anak itu adalah anak yang dianggapnya tidak bernilai. Cengeng dan sama sekali tidak mengetahui apa pun juga tentang Mataram. Namun ketika anak itu akan dibunuhnya, tanpa disadari, anak itu telah berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh, sehingga Panembahan Agung berpendapat bahwa dari anak itu akan dapat diperas beberapa keterangan mengenai Menoreh. Yang terakhir ternyata, Panembahan Agung mengetahui bahwa anak itu adalah anak Jaka Raras, orang yang paling diseganinya karena orang itu juga memiliki ilmu seperti ilmunya sendiri. Ilmu yang dapat menjelmakan kebohongan yang paling besar yang dapat dilakukan oleh seseorang.

Tetapi ternyata bahwa di saat yang paling genting bagi Panembahan Agung, ayah anak cengeng itu sama sekali tidak berniat untuk menebus anaknya, karena ia tidak mau berkhianat kepada Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka anak itu benar-benar tidak berarti lagi baginya, sehingga agaknya lebih baik anak itu dibunuhnya saja.

Pada saat itu Sumangkar telah berada di dalam padepokan yang sepi. Menurut Ki Waskita, anaknya ada di bagian belakang dari padepokan itu, sehingga dengan hati-hati, ia berkisar dari balik gerumbul ke balik gerumbul yang lain mendekati ruangan yang paling mungkin dipergunakan untuk menahan Rudita.

Dalam pada itu, Sumangkar menyadari, bahwa Rudita akan dapat dijadikan barang penting untuk memeras Ki Waskita. Karena itu, maka ia pun berusaha dengan secepat-cepatnya untuk melepaskannya.

Sumangkar menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya masih ada beberapa orang yang hilir-mudik di halaman rumah induk padepokan itu. Dengan demikian, maka ia berpendapat, bahwa pada suatu saat, jika perlu, ia memang harus mempergunakan kekerasan.

Tetapi Sumangkar maju terus mendekati tempat yang diduganya dipergunakan untuk menyembunyikan Rudita. Ketika ia mendapat kesempatan, maka Sumangkar pun berlari dari balik gerumbul ke sudut rumah induk itu.

Namun, ternyata tanpa disengaja seseorang telah melihatnya. Tetapi karena orang itu tidak begitu jelas, siapakah yang dilihatnya itu, maka ia pun mendekatinya dengan senjata teracu.

Dalam keadaan itu, Sumangkar tidak dapat bersembunyi lagi. Bahkan ia pun kemudian berjongkok di sudut rumah itu sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Siapa kau, he?” bertanya orang yang mendekatinya.

Tetapi orang itu tidak dapat bertanya untuk kedua kalinya, ketika tiba-tiba saja ia terhuyung-huyung.

Dengan mata terbelalak orang itu masih melihat Sumangkar berdiri. Namun kemudian matanya menjadi berkunang-kunang. Dadanya serasa sesak.

Agaknya Sumangkar telah meloncat dan memukul dada orang itu, sehingga akhirnya orang itu pun terjatuh menelentang di tanah. Pingsan.

Dengan tergesa-gesa Sumangkar masih sempat menarik orang itu dan menyembunyikannya di balik pintu yang terbuka. Kemudian dengan hati-hati ia bergeser menuju ke tempat yang paling sesuai dengan keterangan yang diberikan oleh Ki Waskita menurut rabaan isyaratnya.

Sekali-sekali Sumangkar masih harus berhenti dan berlindung di balik sudut-sudut rumah atau gerumbul-gerumbul yang rimbun.

Ia masih berusaha untuk menghindari kekerasan sejauh dapat dilakukan, karena ia tidak mengetahui dengan pasti, ada berapa orang yang masih tinggal di padepokan ini.

Ketika Sumangkar mendekati rumah yang diduga sebagai tempat untuk menyembunyikan Rudita, maka ia terpaksa bersembunyi melekat dinding ketika ia melihat seseorang justru berjalan ke arahnya. Namun ia tidak membiarkan orang itu memberikan isyarat kepada kawan-kawannya. Demikian orang itu sampai di sudut rumah, maka ia tidak sempat berbuat apa pun juga. Sebuah tangan yang kuat telah mencengkam mulutnya dan sebuah pukulan yang keras terasa mengenai tengkuknya. Setelah itu, maka ia pun jatuh pingsan pula.

Seperti orang yang pertama, maka orang itu pun kemudian disembunykan di balik dinding. Agaknya rumah-rumah gubug yang bertebaran di padepokan itu sudah dikosongkan, karena orang-orangnya berada di medan di hadapan padepokan yang terpencil dan tersembunyi itu.

Dengan hati yang berdebar-debar Sumangkar melanjutkan langkahnya. Setiap kali ia berhenti dan mendengarkan setiap bunyi yang mencurigakan.

Akhirnya Sumangkar berhasil mendekati tempat yang dicarinya. Lamat-lamat ia mendengar seseorang menangis meskipun tertahan-tahan.

“Hanya Rudita-lah yang menangis dengan cara itu,” desis Sumangkar kepada diri sendiri.

Perlahan-lahan ia berusaha mendekati gubug itu. Ternyata gubug itu sepi. Meskipun demikian Sumangkar yakin, bahwa tentu ada satu atau dua orang yang menjaganya.

Selagi ia termangu-mangu, tiba-tiba ia mendengar suara yang menggelegar dari medan. Ketika ia berpaling, dilihatnya sesuatu telah berbenturan di langit. Sejenak Sumangkar termangu-mangu, namun kemudian ia tidak menghiraukan sama sekali. Ia sadar, bahwa yang dilihat dan didengarnya sama sekali bukannya bentuk yang sebenarnya, seperti dua raksasa yang berdiri di puncak bukit itu. Meskipun ia melihat juga bayangan raksasa di sela-sela dedaunan, tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya, karena raksasa-raksasa itu tidak akan dapat berbuat apa-apa atasnya.

Tetapi ketika ia melangkah semakin dekat, dan berdiri di ujung dinding di belakang gubug itu, ia mendengar bunyi yang berdesing di udara. Seperti bunyi sawangan yang kadang-kadang dipasang pada burung merpati.

Mula-mula Sumangkar tidak menghiraukannya. Namun kemudian ia mulai tertarik ketika ia mendengar suara seseorang di dalam gubug itu, “Kau mendengar bunyi sawangan?”

“Ya,” jawab yang lain.

“Apakah itu suatu isyarat?”

Sejenak mereka terdiam. Namun kemudian salah seorang berkata, “Ya. Itu tentu suatu isyarat. Bukankah Panembahan Agung sudah berpesan, bahwa jika terdengar isyarat yang akan akan dilontarkannya lewat bunyi, maka anak ini dapat dibunuh.”

Rudita yang agaknya mendengar pembicaraan itu pun tiba-tiba berteriak, “Jangan, Jangan bunuh aku.”

“Diam anak gila. Semakin keras kau berteriak, nasibmu akan menjadi semakin jelek. Aku kira Panembahan Agung akan sependapat jika kita memilih cara yang paling baik untuk membunuhnya.”

“Jangan, jangan,” teriak anak itu.

“Kita tunggu sejenak,” terdengar suara dari dalam gubug itu pula, “mungkin ada isyarat lain yang lebih jelas.”

Gubug itu menjadi sepi sejenak. Yang terdengar hanyalah tangis Rudita yang semakin keras.

“Tutup mulutmu, tutup mulutmu,” bentak salah seorang dari penjaganya.

Sumangkar tergeser setapak ketika ia mendengar sebuah pukulan diikuti jerit tertahan.

“Ampun, ampun. Aku tidak bersalah.”

“Jika kau tidak mau diam, aku remukkan mulutmu.”

Suara tangis itu pun menurun. Tetapi terdengar isak yang sesak. Agaknya Rudita mencoba menahan tangisnya sekuat-kuatnya.

Sumangkar terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang berlari-lari. Karena itu, ia pun mencoba bergeser dan berlindung di sudut gubug itu, di sisi yang lain dari arah suara yang didengarnya.

Ternyata suara langkah, orang itu telah memasuki gubug tempat Rudita ditahan.

“Aku mendapat perintah langsung dari Panembahan Agung,” desis orang itu.

“Bagaimana mungkin. Panembahan Agung masih berada dipuncak bukit.”

“Gila, seakan-akan kau tidak mengenal ilmunya. Dengar, aku diperintahkan, bersama kalian membawa anak ini ke medan. Cepat.”

“Untuk apa?”

“Untuk memaksa ayahnya menghentikan perlawanan.”

Sejenak bilik di dalam gubug itu menjadi sepi. Tetapi kemudian tangis Rudita seakan-akan meledak lagi. Agaknya, ia menyadari apa yang akan terjadi atas dirinya jika ia dibawa ke medan.

“Jangan, jangan,” Rudita berteriak lagi. Tetapi sekali lagi suaranya terputus ketika terdengar sebuah pukulan mengenai pipinya.

“Jika kau berteriak lagi, aku remukkan mulutmu.”

“Tetapi jangan bawa aku ke medan.”

“Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus pergi ke medan dengan diikat pada lehermu. Setiap kali ayahmu menolak perintah Panembahan Agung, maka tali di lehermu akan menjadi semakin mencekik leher itu. Perlahan-lahan tali itu akan ditarik ke atas dan digantungkan pada sebatang pohon. Jika ayahmu tetap menolak maka kau terayun-ayun di atas jurang yang paling dalam. Tetapi tentu tidak akan lama, karena tali itu akan segera diputuskan dan kau akan terlempar jatuh ke dalamnya. Kau tahu berapa dalam jurang itu? Tidak kurang dari tiga puluh depa.”

“Tidak, tidak,” Rudita menggeleng-gelengkan kepalanya sambil menangis. Tangannya masih terikat sehingga ia tidak dapat berbuat lain.

Orang-orang yang menjagainya tidak menghiraukan tangisnya lagi. Yang terdengar adalah, “Cepat. Lepaskan talinya.”

Sumangkar menahan nafasnya sejenak. Didekatkannya telinganya pada dinding gubug itu. Yang terdengar kemudian adalah desir tali yang sedang dilepaskan dan tangis Rudita yang tertahan-tahan.

Namun, Sumangkar terkejut ketika ia mendengar langkah mendekatinya. Agaknya perhatiannya terlampau tertuju kepada peristiwa di dalam gubug itu, sehingga ia tidak mendengar langkah mendekati. Baru ketika orang itu sudah terlampau dekat, Sumangkar dapat mendengar desir langkahnya dan desah nafasnya yang justru tertahan-tahan.

Tepat pada saatnya Sumangkar berpaling. Agaknya orang itu memang sedang merunduknya. Tanpa bertanya sesuatu, tombaknya langsung meluncur menyerang lambung.

Tetapi Sumangkar sempat melihat mata tombak itu. Karena itu, maka ia masih sempat mengelak sehngga ujung tombak itu langsung menubruk dinding gubug itu.

Ternyata dinding gubug itu bukannya dinding yang kuat. Ketika ujung tombak itu membentur dinding, maka dinding itu pun tembus dan bahkan oleh dorongan yang kuat, maka tali pengkat dinding itu pun terputus, dan dinding itu seakan-akan telah terbuka di sudut.

Orang-orang yang berada di dalam bilik di gubug kecil itu terkejut. Mereka melihat ujung tombak yang menerobos masuk, kemudian seseorang melanggar dinding sehingga dinding itu hampir roboh.

Selagi orang-orang itu termangu-mangu, maka Sumangkar menyadari keadaannya. Ia tidak dapat menyembunyikan diri lagi. Karena itu, maka ia harus mengambil tindakan yang cepat.

Sejenak kemudian, maka Sumangkar pun mulai bertindak. Selagi orang yang membentur dinding itu berusaha untuk bangkit, maka sebuah pukulan telah mengenai tengkuknya, sehingga sekali lagi ia jatuh terjerembab. Dan bahkan kesadarannya pun seakan-akan telah direnggut sama sekali daripadanya. Dan ia pun jatuh pingsan karenanya.

Untuk beberapa saat Sumangkar masih berdiri di tempatnya. Ia ragu-ragu untuk meloncat masuk. Karena itu, maka ia masih saja berdiri di luar dinding yang hampir roboh itu.

“Jika aku masuk, maka akan dapat mendorong orang-orang itu mempergunakan Rudita untuk memaksakan kehendaknya,” berkata Sumangkar kepada diri sendiri, sehingga dengan demikian, ia masih tetap berada di luar.

Ia berharap bahwa orang-orang yang ada di dalam bilik itulah yang justru keluar dan meninggalkan Rudita. Setidak-tidaknya, sebagian dari mereka.

Ternyata perhitungannya itu benar. Dua orang telah meloncat keluar dengan senjata terhunus, sedang yang seorang lagi justru sedang mengikat kembali tangan Rudita yang sudah hampir terlepas.

“Siapa kau?” bertanya salah seorang dari mereka.

Sumangkar tidak segera menyahut. Bahkan ia melangkah surut sambil memandang berkeliling. Jika ada orang lain lagi yang melihatnya, maka keadaannya akan menjadi gawat. Tetapi rupa-rupanya padepokan itu memang sudah sepi.

“Jangan lari,” bentak salah seorang dari orang-orang yang menunggui Rudita.

Sumangkar tidak menyahut. Ia melangkah lagi surut. Dan seperti yang dikehendakinya, maka kedua orang itu mengikutinya semakin jauh dari bilik Rudita.

“Siapa kau he?” bentak orang itu lagi.

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ia mengharap agar yang masih ada di dalam bilik itu tidak mempergunakan Rudita.

Agaknya kedua orang itu pun tidak sabar lagi. Karena Sumangkar tidak juga menjawab, maka salah seorang dari mereka menggeram, “Baik Jika kau tetap membisu, maka kau akan mati tanpa dikenal namamu.”

Kedua orang itu pun langsung menyerang Sumangkar dengan dahsyatnya. Senjata mereka berputar dan mematuk dengan cepatnya. Agaknya untuk menjaga Rudita, Panembahan Agung telah menempatkan orang-orangnya yang paling terpercaya.

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Sumangkar ternyata selalu meloncat surut meskipun hanya berputar-putar di tempat itu.

Tampaknya sulit bagi Sumangkar untuk melawan kedua orang yang menyerangnya dengan garang meskipun ia sudah mempergunakan senjatanya.

Tetapi ia masih sempat untuk berusaha menghindarkan diri dari setiap sentuhan senjata, meskipun ia harus selalu berloncatan dan bergeser surut.

“Kau tidak akan dapat lari,” bentak orang-orang itu.

Sumangkar tidak menyahut. Ia masih melawan dengan gigih sambil terdesak terus-menerus.

“Menyerahlah, dan katakan apa yang kau kehendaki,” berkata salah seorang dari lawannya sambil menyerangnya terus.

Sumangkar tidak menjawab.

“ Gila, apakah kau memang bisu?”

“Tidak,” jawab Sumangkar.

“Jadi bagaimana? Kenapa kau tidak dapat mengatakan, untuk apa kau datang kemari? Jika kau tidak mempunyai niat jelek, kami dapat mengampunimu.”

Sumangkar tidak menjawab lagi. Tetapi ia masih berusaha melawan terus.

Sejenak kemudian terdengar salah seorang dari lawannya tertawa. Katanya, “Kau tentu akan melepaskan anak manja yang bernama Rudita itu. Apakah kau ayahnya? Tentu tidak. Jika kau ayahnya, kau tentu sudah dibinasakan oleh Panembahan Agung, karena ayahnya selalu mengganggunya di medan yang berat itu. Aku mendapat perintah dari Panembahan Agung untuk membawa anak itu ke medan.”

Sumangkar sama sekali tidak menjawab. Ia masih saja bertempur dengan gigihnya meskipun ia masih selalu terdesak surut.

Kedua orang lawannya menjadi semakin marah karenanya. Karena itu, maka salah seorang berkata, “Cepat, kita selesaikan saja orang ini. Kita harus segera membawa anak cengeng itu sebelum pasukan kita menjadi semakin terdesak. Ayah anak itu akan dapat mempengaruhi medan, jika anaknya kita ikat pada sebatang pohon di atas jurang itu.”

Dengan demikian maka kedua orang itu bertempur semakin sengit, dan Sumangkar pun menjadi semakin terdesak karenanya. Ia harus berusaha sekuat tenaga untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Dengan senjatanya ia berusaha menahan desakan kedua lawannya itu.

Tetapi meskipun Sumangkar hampir tidak mampu berbuat apa-apa selain berloncatan, bahkan berlari-lari surut dan melingkar-lingkar, namun ia masih berhasil membebaskan diri dari senjata-senjata lawannya yang mematuk berganti-ganti.

Akhirnya lawan-lawannya itu tidak sabar lagi. Salah seorang dari mereka pun berteriak, “Cepat. He, kemarilah, jagalah agar orang ini tidak berlari-larian saja. Kita bunuh saja meskipun kita tidak mengenal namanya. Apa boleh buat. Ia terlalu keras kepala.”

Kawannya yang dipanggil, yang sedang menunggu Rudita, menjadi termangu-mangu. Namun ia pun melihat cara Sumangkar berkelahi. Agaknya jika seorang lagi terjun ke arena perkelahian itu, dan berusaha menahan agar Sumangkar tidak berlari-lari dan menghindar melingkar-lingkar, maka usaha mereka akan cepat berhasil.

Tetapi ia masih tetap ragu-ragu. Jika selain Sumangkar masih ada orang lain yang akan dapat mengambil anak cengeng itu, maka Panembahan Agung tentu akan marah sekali.

Karena itu maka orang itu pun tidak segera beranjak dari tempatnya.

“Cepat, kau kemarilah. Kita selesaikan saja orang tua ini,” teriak salah seorang lawan Sumangkar.

Tetapi orang yang menjagai Rudita itu menjawab, “Tetapi apakah anak ini akan ditinggalkan?”

“Ia tidak akan dapat melepaskan dirinya.”

“Bagaimana jika ada orang lain?”

Kedua lawan Sumangkar itu terdiam. Memang mungkin sekali ada orang lain yang dapat mengambil anak itu selagi mereka bertempur melawan Sumangkar yang meskipun tidak menggetarkan dada mereka, namun terlampau licin sehingga mereka masih belum dapat membunuhnya.

Untuk beberapa saat kemudian, kedua lawannya itu mencoba berusaha tanpa orang ke tiga yang menunggui Rudita. Tetapi Sumangkar memang terlampau licin, sehingga keduanya pun kemudian mengambil cara lain.

Keduanya menyerang Sumangkar dari arah yang berlawanan. Dengan demikian mereka berharap bahwa Sumangkar tidak dapat menghindarkan dirinya lagi dengan berloncatan surut.

Sumangkar memang tampaknya mendapat kesulitan. Tetapi ia masih saja dapat menghindar dengan loncatan-loncatan panjang dari antara kedua orang yang menyerangnya.

“Anak setan. Kau tidak akan berhasil melarikan diri,” teriak salah seorang lawannya yang jengkel, “menyerahlah. Kami tidak akan membunuhmu.”

Sumangkar sama sekali tidak menjawab.

“Apakah ia memiliki aji welut putih,” desis yang lain.

“Persetan. Tetapi ia harus mati. Tentu ia tidak memiliki aji apa pun. Welut putih hanya sekedar untuk melepaskan diri dari tangkapan tangan. Tetapi ia akan mati jika tersentuh senjata.”

Tetapi meskipun dengan banyak kesulitan, namun Sumangkar benar-benar tidak mau pergi apalagi menyerah, sehingga salah seorang dari lawannya berteriak lagi kepada kawannya yang menjaga Rudita, “Selarak pintu depan. Kau lewat dinding yang terbuka itu membantu kami. Dari tiga arah, maka orang ini akan segera mati terbunuh. Kita harus segera menghadap Panembahan Agung.”

Orang yang menjaga Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menyelarak pintu depan, dan dengan senjata terhunus terjun ke medan yang menjengkelkan itu.

Sumangkar melihat orang itu berlari-lari mendekati arena. Kemudian bertiga mereka mengepungnya. Dengan penuh ketegangan mereka merundukkan senjata-senjata mereka mengarah ke dada Sumangkar.

“Sekarang kau akan mati,” desis salah seorang dari mereka, “jika kau tidak berkeberatan, sebut namamu. Kelak akan ada orang yang dapat mengatakan jika seseorang mencarimu.”

Sumangkar berdiri diam. Dengan tegang pula ia bersiaga untuk mempertahankan dirinya dari sergapan ketiga orang yang sedang marah itu.

“Baiklah. Jika kau tidak mau menyebut namamu, maka kau akan mati tanpa meninggalkan bekas apa pun.”

Sumangkar masih tetap diam. Dan orang-orang itu tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Sejenak kemudian mereka pun segera berloncatan menyerang.

Saat yang demikianlah yang sebenarnya ditunggu oleh Sumangkar. Jika ia memberikan perlawanan dan berusaha menentukan akhir dari perkelahian itu, tidak ada orang lagi yang dapat mengancam Rudita dan memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka Sumangkar pun tidak mau memperpanjang permainannya lagi.

Demikian ketiga orang itu menyerang, maka Sumangkar pun memutar senjatanya. Sebuah trisula yang kecil terikat pada ujung rantai, dan trisula yang lain di tangan kirinya.

Tetapi orang-orang yang mengepungnya pun memang bukan orang-orang kebanyakan. Untuk beberapa saat mereka masih tetap bertahan dan berusaha untuk mengalahkan orang tua yang bersenjata aneh itu.

Namun usaha mereka sama sekali tidak berhasil. Kini Sumangkar justru tidak berloncatan mundur lagi. Ia tetap berdiri di tempatnya sambil memutar senjatanya. Bahkan rantai itu kadang-kadang dapat digerakkan ke arah yang tidak terduga-duga.

Akhirnya ketiga orang itu menyadari, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan orang yang disangkanya hanya mampu berlari-lari. Mereka pun mulai sadar, bahwa ternyata Sumangkar telah memancing mereka bertiga untuk keluar dari bilik itu. Karena itu, maka selagi masih sempat, tiba-tiba saja salah seorang dari mereka bersuit nyaring. Kemudian berteriak, “Ambil anak itu. Kita paksa orang ini berhenti dengan anak itu pula.”

Dada Sumangkar tergetar karenanya. Namun ia tidak mau terlambat. Karena itu, maka ketika orang itu berhenti berteriak, Sumangkar mempergunakan saat yang tepat.

Hampir tidak dapat ditangkap dengan indera wadag ketika begitu mulut orang itu terkatub, maka ia pun terdorong surut dan jatuh terlentang di tanah. Dadanya memancarkan darah yang merah dari lukanya. Tiga buah lubang yang meskipun tidak begitu besar, tetapi ternyata cukup parah dan berbahaya.

Dua kawannya yang lain terkejut melihat peristiwa itu. Tetapi mereka tidak sempat meninggalkan arena, dan apalagi mengancam Rudita. Dalam keragu-raguan itu, keduanya dikejutkan oleh sambaran senjata Sumangkar. Salah seorang dari mereka mengaduh tertahan. Sesaat ia masih berdiri terhuyung-huyung, namun kemudian ia pun jatuh terbanting di tanah.

Kawannya yang seorang menyadari keadaannya. Karena itu ia sama sekali tidak berusaha melawan. Dengan cepatnya ia meloncat berlari ke bilik tempat mereka mengikat Rudita. Namun nasibnya tidak berbeda dengan kedua kawannya. Ketika ia sedang merunduk masuk lewat dinding yang terbuka, maka terasa jari-jari yang kuat mencengkam pundaknya. Ia tidak dapat bertahan ketika ia seakan-akan terseret keluar lagi dari bilik itu.

Ketika ia mencoba berpaling maka ia masih sempat melihat wajah Sumangkar yang garang. Kemudian sebuah pukulan mengenai tengkuknya.

Semuanya menjadi gelap. Dan orang itu pun kemudian pingsan.

Ketika Sumangkar mencoba dengan tergesa-gesa memasuki ruangan itu, ia masih melihat dua orang berlari-lari ke arahnya. Agaknya keduanya telah mendengar suitan kawannya yang dadanya telah berlubang. Karena itu maka ia pun harus segera mengambil sikap agar ia tidak kehilangan kesempatan menyelamatkan Rudita yang terikat di dalam bilik.

Sejenak Sumangkar menimbang-nimbang. Jika ia melepaskan Rudita, mungkin ia justru akan mendapat kesulitan dari Rudita itu sendiri, karena ia sadar, bahwa Rudita adalah seorang yang sangat dipengaruhi oleh perasaan takut dan cemas.

Karena itu, Sumangkar tidak segera memasuki bilik itu ia justru meloncat dan berdiri beberapa langkah dari lubang dinding yang terbuka itu.

Kedua orang yang berlari-lari itu sempat melihat beberapa orang kawannya yang terbaring. Karena itu, maka ia pun langsung mengerti, bahwa orang yang berdiri di belakang gubug itu tentu bukan orang dari pihak mereka atau bukan prajurit Pajang yang berada di dalam lingkungan mereka bersama Daksina. Karena itulah maka mereka berdua pun langsung menyerang dengan garangnya.

Tetapi Sumangkar yang tergesa-gesa itu tidak memberikan banyak kesempatan kepada mereka, karena sejenak kemudian, keduanya pun telah terbaring di tanah.

Sesaat kemudian Sumangkar pun telah berada di dalam bilik itu. Dengan tergesa-gesa ia membuka ikatan Rudita sambil berdesis, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat merugikan dirimu sendiri. Aku akan berusaha menyelamatkan kau.”

“Tetapi, tetapi apa yang akan kau lakukan?”

“Bersembunyi. Hanya bersembunyi.”

“Apakah orang-orang itu tidak akan mencari kita?”

“Kita mencari jalan untuk menemui ayahmu. Aku sudah berjanji membawamu ke tempat yang sudah kami setujui bersama. Karena itu, kau harus menurut petunjukku. Jika tidak, dan kau tertangkap lagi, maka kau akan dicincang. Mengerti?”

Mengerikan sekali. Karena itu, maka Rudita pun menjadi gemetar dan berkata terbata-bata, “Baiklah, Kiai. Kita bersembunyi saja. Orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh ternyata bukan orang-orang yang baik.”

“Tidak semuanya.”

“Ya. Semuanya. Mereka senang sekali berkelahi satu sama lain. Jika Pandan Wangi dan kawan-kawannya tidak sengaja memburu orang-orang yang tidak dikenalnya untuk saling berkelahi, maka aku tidak akan sampai ke tempat ini.”

“Sudahlah. Sekarang, ikuti aku.”

Rudita tidak menyahut lagi. Dengan kaki gemetar ia mencoba mengikuti langkah Sumangkar, yang dengan sangat hati-hati keluar dari bilik itu lewat celah-celah dinding yang terbuka.

Ketika tanpa disadari kaki Rudita menyentuh orang yang terbaring, tiba-tiba saja ia memekik. Dengan serta-merta ia berlari memeluk lambung Sumangkar sambil berkata dengan gemetar, “Siapa yang mati itu, Kiai, siapa?”

“Yang dua orang itu tidak mati. Mereka hanya pingsan. Tetapi yang lain, entahlah. Mungkin mereka terbunuh oleh senjataku. Tetapi aku tidak sengaja membunuh mereka.”

Rudita melepaskan pelukannya sambil melangkah surut, “Kiai membunuh orang-orang itu?”

“Ya.”

“Kenapa Kiai membunuh?”

“Supaya kau tidak mati terbunuh oleh mereka.”

Darah Rudita serasa berhenti mengalir. Tetapi ia pun sadar bahwa sebenarnya hal itu memang dapat terjadi atasnya. Bahkan mungkin seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang akan membawanya kepada Panembahan Agung, bahwa ia akan digantung di atas jurang yang dalam.

Rasa-rasanya Rudita tidak lagi memiliki kekuatan. Tubuhnya bagaikan sudah tidak bertulang lagi. Ketakutan yang amat sangat telah mencengkam hatinya. Apalagi ketika ia melihat tidak hanya seorang yang terbaring diam. Tetapi beberapa orang.

Dalam keadaan yang demikian Sumangkar berkata, “Jangan kehilangan akal. Jika kau tidak mampu lagi berbuat sesuatu, dan kau akan tetap berada di sini maka kau benar-benar akan digantung atau dicincang. Nah, cepat, bukankah kau tidak ingin diperlakukan demikian?”

Rudita mengangguk lemah. Tetapi ia mengikuti ketika Sumangkar kemudian melangkah meninggalkan tempat itu dan menerobos masuk ke dalam semak-semak.

Dengan susah payah Sumangkar membawa Rudita meninggalkan padepokan itu dan menuju ke tempat ayahnya menunggu. Mereka menghindari daerah peperangan yang semakin bergeser mendekati padepokan. Namun agaknya pertempuran itu masih berjalan dengan sengit dan memerlukan waktu yang cukup panjang.

Dalam pada itu, ternyata Panembahan Agung masih tetap dalam bentuknya. Seorang raksasa yang berdiri di puncak bukit sambil menggeram dengan marahnya, sedang di puncak yang lain Jaka Raras sekedar melayaninya, dalam sikap yang tenang.

“Itulah ayahmu,” berkata Sumangkar sambil menunjuk kepada raksasa itu.

“He,” ternyata Rudita terkejut bukan kepalang. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di hadapannya seorang raksasa yang besar berdiri di atas bukit. Selama itu ia hanya memperhatikan semak-semak dan duri di sepanjang jalannya. Tetapi ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya bentuk yang mengerikan itu.

“Jadi raksasa itu sebenarnya ada?” ia bertanya kepada Sumangkar. “Selama ini aku hanya menyangka bahwa raksasa itu hanya terdapat di dalam cerita-cerita saja.”

“Memang tidak ada,” berkata Sumangkar.

“Jadi apakah yang tampak di puncak bukit itu?”

Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Ki Waskita benar-benar seorang yang rendah hati. Ia sama sekali tidak menampakkan ilmunya yang aneh itu. Kepada anaknya pun tidak. Ia tidak mau memberikan kesan kepada anaknya bahwa ayahnya adalah seorang pembohong besar, yang dengan ilmunya dapat mengelabuhi banyak orang sehingga mereka dapat kehilangan pegangan.

Tetapi dalam keadaan yang memaksa, maka Ki Waskita telah melawan setiap bentuk semu dengan bentuk semu pula, sehingga pasukan pengawal Menoreh dan Mataram tidak terjebak karenanya.

“Kiai,” Rudita mendesak, “jadi apakah yang tampak itu jika keduanya bukan raksasa?”

“Tidak ada apa-apa.”

“Yang kita lihat itu?”

“Sebuah gambaran di dalam angan-angan kita setelah kita dipengaruhi oleh ilmu kedua orang itu. Ilmu Panembahan Agung dan ilmu ayahmu sendiri. Pengaruh ilmunya telah menyesatkan kita. Apalagi pengaruh ilmu Panembahan Agung yang dengan sengaja menyesatkan kita dengan tujuan yang jahat.”

“Aku tidak mengerti,” sahut Rudita, “Kiai menyebut nama ayahku?”

“Sudahlah. Marilah kita mendekati bukit itu. Aku sudah berjanji akan membawamu ke tempat itu.”

Namun langkah mereka segera tertegun, ketika tiba saja raksasa yang berdiri di atas bukit itu tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Nah, apakah kau tetap pada pendirianmu Jaka Raras. Lihatlah, aku sudah benar-benar bermaksud membunuh anakmu.”

Dan ketika mereka yang mendengar suara itu berpaling memandang ke atas bukit, dilihatnya raksasa itu memegangi seorang anak muda. Anak muda itu adalah Rudita.

Sejenak mereka terpaku di tempat masing-masing. Bahkan mereka yang sedang bertempur, yang melihat Rudita di tangan raksasa itu pun menjadi ragu-ragu. Tetapi mereka tidak dapat membiarkan diri mereka terbunuh di peperangan, sehingga karena lawan-lawannya masih saja menyerang, maka pasukan Mataram dan Menoreh itu pun bertempur terus betapa mereka diganggu oleh kegelisahan yang sangat melihat Rudita di tangan raksasa yang telah diujudkan oleh Panembahan Agung itu.

“Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung dalam bentuknya yang mengerikan itu, “apakah kau melihat anakmu?”

Ki Waskita termenung sejenak. Dipandanginya anak muda yang meronta-ronta di tangan Panembahan Agung.

“Hentikan perlawanan orang-orang Mataram dan Menoreh. Jika tidak anakmu akan aku lemparkan ke dalam jurang yang dalam itu. Kepalanya akan membentur batu-batu padas dan akan remuk sama sekali. Otaknya berhamburan dan tulang-tulangnya akan patah.”

“Kau licik Panembahan,” geram Ki Waskita.

Panembahan Agung tertawa. Lalu, “Terserah kepadamu. Aku sudah kehilangan cara lain yang lebih sopan daripada cara ini. Karena itu, terserah kepadamu. Aku memberi waktu kau beberapa saat. Tetapi aku akan segera menentukan sikap.”

Jaka Raras yang juga bernama Ki Waskita itu berdiam diri sejenak. Dipandanginya anaknya dengan wajah yang tegang.

Dalam pada itu Rudita sendiri memandang orang yang di dalam genggaman raksasa itu dengan tegangnya pula. Sejenak ia berdiri membeku. Namun kemudian tubuhnya menjadi gemetar.

“Kiai, bagaimana aku dapat melihat diriku sendiri di tangan raksasa itu?”

“Yang manakah yang kau sadari saat ini tentang dirimu. Apakah kau merasa berdiri di sini bersama aku, atau kau merasa dirimu digenggam oleh raksasa itu.”

“Aku merasa di sini. Tetapi bagaimana dengan aku yang itu, Kiai?”

“Kau hanya satu. Tidak ada kau yang lain. Kesadaranmu tentang dirimu itulah yang benar. Yang kau lihat itu adalah kau di luar dirimu. Dan apa pun dapat berujud seperti dirimu di luar dirimu, tetapi tanpa dapat kau kuasai dan tanpa hubungan rohani sama sekali. Itulah yang kau lihat sekarang. Dan bentuk yang menyerupai dirimu sendiri itu adalah kesatuan bentuk semu dari Panembahan Agung.”

Rudita menjadi bingung. Dengan sosok mata penuh pertanyaan ia memandang Sumangkar. Dan Sumangkar pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kau kurang mengerti, jangan hiraukan. Marilah kita cepat menemui ayahmu, agar ayahmu tidak terpengaruh oleh ujudmu itu. Ayahmu adalah seorang yang memiliki ilmu yang seimbang dengan Panembahan Agung. Tetapi kejutan dan kegelisahannya melihat ujud anaknya, barangkali membuat pandangannya menjadi buram. Padahal di dalam pertarungan ilmu, ayahmu memerlukan hati yang bening. Demikian juga agaknya penglihatannya atas ujudmu itu. Goncangan perasaannya telah membuatnya agak bingung dan gelisah, sehingga ia tidak sempat memandang lawannya dengan cermat dengan mata hatinya.”

Rudita masih juga tidak mengerti. Tetapi ia tidak sempat bertanya karena Sumangkar segera menarik tangannya dan melangkah dengan tergesa-gesa di sela-sela gerumbul-gerumbul liar.

“Kakiku sakit, Kiai.”

Tetapi Sumangkar tidak menghiraukannya. Ia menarik anak muda itu semakin cepat.

“Kakiku sakit,” Rudita mengulangi.

Dan Sumangkar menjawab, “Lebih sakit lagi jika kau benar-benar dilemparkan ke dalam jurang itu.”

Rudita tidak menjawab lagi. Ia berusaha untuk mempercepat langkahnya betapa kakinya digigit oleh perasaan nyeri. Tetapi ketakutannya telah membuatnya menahan rasa sakit yang menggigit kakinya.

Namun sekali lagi orang-orang di lembah itu dikejutkan oleh suara tertawa. Kali ini Ki Waskita-lah yang tertawa sambil berkata, “Panembahan Agung. Ternyata kau berhasil mengejutkan aku sehingga aku kehilangan ketajaman penglihatanku untuk beberapa saat. Hampir saja aku menangis melihat anakku yang kau genggam itu, Panembahan. Tetapi akhirnya aku menyadari, bahwa kebohonganmu yang mantap itu hampir menelan aku dan tentu anakku juga. Tetapi Panembahan, sekarang aku sempat melihat apa yang terjadi dengan ilmuku. Dan kau tidak usah ingkar, bahwa bentuk semu yang kau ciptakan itu tentu tidak akan dapat menguasai bentuk yang sebenarnya jika benar anakkulah yang kau pegang dengan bentuk semumu itu. Nah, kau mengerti bahwa aku tidak kehilangan akal? Karena itu, terserahlah kepadamu, apakah kau akan melemparkan bentuk yang menyerupai ujud anakku itu ke dalam jurang, atau akan kau telan sama sekali.”

“Persetan,” teriak Panembahan Agung yang marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia telah gagal lagi. Karena itu maka diputarnya ujud Rudita yang ada ditangannya itu kemudian dilemparkannya membentur lereng bukit. Sebuah ledakan yang dahsyat telah terjadi, disusul dengan api yang melonjak tinggi menelan ujud Rudita yang terdengar berteriak-teriak sekuat-kuat tenaganya.

“Kiai, Kiai,” Rudita yang sebenarnya pun hampir berteriak. Tetapi Sumangkar sempat menutup mulutnya sambil berkata, “Diam saja kau. Jika terdengar oleh orang-orang Panembahan Agung, dan mereka telah mendapat laporan bahwa kau hilang, maka mereka akan mencarimu dan menangkapmu.”

Rudita mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi mengerti, apakah yang harus dilakukan dan bahkan keadaan yang sebenarnya sedang dialaminya.

Ia tidak dapat mempertimbangkan apa pun lagi ketika kemudian Sumangkar menariknya terus menyusup gerumbul-gerumbul perdu.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di lembah itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang Mataram dan Menoreh pun kemudian menyadari, bahwa yang kemudian hancur menjadi abu itu sama sekali bukan Rudita yang sebenarnya. Kebohongan Panembahan Agung hampir saja berhasil mengguncangkan pemusatan ilmu lawannya, Ki Waskita.

Panembahan Agung yang masih menunggu kedatangan anak buahnya yang disuruhnya mengambil Rudita, menjadi tidak sabar lagi. Apalagi setelah usahanya mengguncangkan ketabahan hati Ki Waskita tidak berhasil.

Dengan demikian, maka ia harus menilai pertempuran yang sedang terjadi itu dengan perhitungan dan pertimbangan wajar. Ia tidak lagi dapat mempergunakan perang urat syaraf yang seakan-akan tidak berpengaruh lagi atas orang-orang Mataram dan Menoreh.

Dengan dada yang berdebar-debar Panembahan Agung harus melihat kenyataan. Pasukannya semakin terdesak terus. Pemimpin-pemimpinnya sama sekali tidak berhasil menguasai lawannya. Meskipun Panembahan Alit mampu mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing, tetapi di bagian lain, pasukannya tidak berhasil menahan arus tekanan para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan tombak pendeknya Sutawijaya berusaha mendesak lawannya dilengkapi oleh kemampuan menggerakkan senjata Ki Lurah Branjangan. Di bagian lain Ki Argapati dan Pandan Wangi masih tetap merupakan kekuatan yang tidak dapat ditembus oleh lawannya.

Namun semakin lama terasa kaki Ki Argapati mulai dijalari oleh perasaan nyeri. Namun ia tidak mengeluh. Dan ia tidak ingin membuat Pandan Wangi berkecil hati. Sehingga karena itu, maka ia pun masih juga tetap bertempur dengan gigihnya.

Meskipun demikian, Pandan Wangi yang bertempur bersamanya merasakan, tekanan yang semakin berat padanya. Dengan demikian ia menyadari, bahwa tenaga ayahnya menjadi semakin susut karenanya.

Dengan demikian, maka Pandan Wangi pun bertempur semakin sengit. Ia ingin memaksa lawannya kehilangan kemampuan perlawanannya sebelum ayahnya menjadi lumpuh. Jika ayahnya tidak dapat melakukan perlawanan yang wajar, maka pertempuran itu akan menjadi sangat berbahaya baginya.

Apalagi Putut Nantang Pati yang harus melihat kenyataan yang dihadapinya itu menjadi sangat marah. Ia tahu bahwa usaha Panembahan Agung telah gagal karena tanpa mereka duga, di pihak Mataram dan Menoreh ada seorang yang memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu Panembahan Agung, sehingga orang itu berhasil mengacaukan semua usahanya.

Dengan segala kemampuan yang ada, Pandan Wangi mengisi kelemahan ayahnya melawan Putut Nantang Pati. Agaknya Putut Nantang Pati sudah mengetahui kelemahan Ki Argapati, sehingga ia berusaha untuk berkelahi dalam lingkaran yang luas, untuk memaksa Ki Argapati berloncatan. Tetapi Pandan Wangi-lah yang kemudian berusaha mengisi jarak yang panjang itu.

Namun Putut Nantang Pati, seperti yang sudah pernah terjadi tidak berhasil memancing Pandan Wangi menjauhi ayahnya dan menghancurkannya tanpa perlindungan ayahnya. Tetapi sebaliknya Putut Nantang Pati juga tidak pernah berhasil menyerang Ki Argapati yang sudah semakin lemah itu tanpa bantuan anak gadisnya.

Dalam pada itu, di bagian lain, di lambung gelar yang tidak sempurna itu, beberapa orang pemimpin Mataram di satu sisi, dan di sisi yang lain, Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa, sudah berhasil menghancurkan, usaha lawannya untuk menyergap gelar itu dari lambung. Pasukan Panembahan Agung yang berada di lereng perbukitan, sama sekali tidak berhasil mengganggu gelar itu dari sebelah-menyebelah. Bahkan tanpa mereka duga-duga mereka telah membentur kekuatan yang tiada dapat mereka lawan sama sekali.

Pasukan yang menyerang lambung di belahan pasukan Menoreh terkejut ketika tiba-tiba saja mereka telah dilanda oleh ujung-ujung cambuk Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang di sisi yang lain, para pemimpin pengawal Mataram pun dengan cepat berhasil menghancurkan mereka.

Putut Nantang Pati tidak dapat mengabaikan semua yang telah terjadi itu. Kemarahan yang menggelegak sampai keubun-ubunnya serasa akan meledakkan kepalanya.

Tetapi ia tidak dapat terbuat banyak karena ia masih harus menghadapi Ki Argapati meskipun ia mulai terganggu oleh kakinya, beserta anak gadisnya.

Di bagian lain tumpuan dari pertempuran itu, Panembahan Alit pun berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk segera mengalahkan Kiai Gringsing. Namun seperti yang pernah terjadi di Alas Tambak Baya, panembahan yang juga menyebut dirinya Tak Bernama itu tidak mampu segera mengatasi lawannya. Bahkan semakin lama rasa-rasanya cambuk Kiai Gringsing meledak semakin dekat dengan telinganya.

Tetapi Panembahan Alit adalah orang yang mumpuni di dalam olah kanuragan seperti Kiai Gringsing sendiri. Karena itulah maka pertempuran di antara keduanya adalah pertempuran yang sangat sengit. Di dalam puncak ilmu masing-masing, maka keduanya telah membuat arena yang seakan-akan terpisah dari keseluruhan pertempuran.

Tenaga mereka bagaikan berkembang sejalan dengan kemarahan yang berkembang di hati masing-masing. Bahkan ranting-ranting dan batang-batang perdu di sekitar mereka telah berpatahan dan daun-daun berguguran di tanah.

Agaknya keduanya sadar, bahwa kali ini mereka harus bertempur mati-matian. Mereka tidak dapat membiarkan pertempuran itu selesai tanpa akhir dalam keadaan serupa itu. Beberapa puluh langkah di belakang Panembahan Alit adalah padukuhan induk yang dihuni oleh Panembahan Agung sendiri. Jika pasukan Mataram dan Menoreh sampai ke pusat padepokan itu, maka habislah alat pertahanan mereka yang selama ini mereka susun.

Dengan demikian, maka tinggal ada dua pilihan bagi Panembahan Alit. Mempertahankan padepokan itu atau mati sama sekali. Itulah sebabnya, maka ia pun bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya.

Ternyata bahwa kemampuan Panembahan Alit tidak berada di bawah kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan agaknya Panembahan Alit mempunyai sedikit kelebihan dari Kiai Gringsing. Panembahan Alit di dalam keadaan yang paling sulit itu, tidak lagi menghiraukan sopan santun di dalam perkelahian. Ia tidak lagi memikirkan bahwa apa yang dilakukan adalah tata gerak yang kasar dan bahkan hampir liar. Namun satu hal yang dipegangnya, bertahan sampai kemungkinan yang lain merenggutnya, mati.

Agaknya sikapnya itu sangat berpengaruh kepada anak buahnya. Nantang Pati pun sama sekali tidak berniat untuk mundur setapak. Apalagi karena menurut penilaiannya Argapati tidak akan dapat lagi mendesaknya. Ia lebih banyak bertahan bersama anak gadisnya. Titik berat gerak Ki Argapati kini berada di tangannya. Namun demikian, tangannya tetap merupakan tangan seorang yang mumpuni di dalam olah kanuragan.

Di bagian lain, Daksina mulai terdesak oleh Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan para pemimpin pengawal yang telah kehilangan lawannya di lambung. Mereka melepaskan diri dari kelompoknya dan membantu Raden Sutawijaya yang sebenarnya masih belum dapat disejajarkan dengan kemampuan Daksina. Tetapi Daksima tidak dapat melawan beberapa orang sekaligus di dalam kepungan orang-orang Mataram dan Menoreh. Pengawal-pengawalnya seorang demi seorang telah berguguran dan terdesak menjauhinya tanpa dikehendakinya.

Dalam pada itu, Rudita yang dibimbing oleh Sumangkar, yang bahkan seakan-akan diseretnya saja di sela-sela gerumbul-gerumbul perdu itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan ayahnya. Namun ketika ia berada di lereng gunung alas berdiri raksasa yang berujud seperti ayahnya, Rudita menjadi ragu-ragu.

“Ayahku bukan sebesar itu,” katanya.

“Marilah,” berkata Sumangkar, “jangan ragu-ragu, akulah yang akan membawamu kembali kepada ayahmu.”

“Tetapi di manakah ayah sebenarnya jika raksasa itu hanya sekedar bentuk semu?”

“Aku mengetahui tempatnya. Karena itu, cepatlah sedikit, agar ayahmu segera dapat mengambil tindakan jika ia yakin bahwa kau sudah selamat.”

Meskipun dengan ragu-ragu, namun Rudita mengikuti saja dibimbing oleh Sumangkar merayap mendekati bukit. Sedang di bukit yang lain tampak Panembahan Agung masih berdiri dengan wajah yang merah membara.

Sejalan dengan kemenangan demi kemenangan yang dicapai oleh pasukan Mataram dan Menoreh, maka Panembahan Agung yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu pun semakin menjadi cemas. Ia sadar bahwa ia tidak dapat mempengaruhi pasukan Mataram dan Menoreh itu dengan kebohongan-kebohongan lain, karena kegagalannya pada bagian pertama dari pertempuran ini, telah membuat lawannya menjadi kebal. Mereka tahu pasti, bahwa apa yang akan diujudkan dalam bentuknya yang semu itu benar-benar tidak akan berpengaruh atas mereka.

Sementara itu Kiai Gringsing masih bertempur dengan gigihnya. Bahkan dengan mengerahkan segenap kemampuannya, perlahan-lahan Kiai Gringsing dapat membatasi kekasaran dan keliaran Panembahan Alit.

Ki Argapati yang bertempur tidak terlampau jauh dari Kiai Gringsing, melihat betapa Kiai Gringsing telah berjuang dengan sepenuh kemampuannya. Bahkan kadang-kadang tampak sesuatu yang mendebarkan jantung Ki Argapati. Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk memperhatikannya terlalu lama, karena Putut Nantang Pati yang mendekati kegoyahan sikap itu masih saja menyerangnya dengan garang. Bahkan kemudian yang tampak pada sikap Putut itu adalah keputus-asaan atas segala kegagalan Panembahan Agung yang selama ini dianggapnya sebagai manusia yang tidak ada tandingnya di muka bumi. Manusia yang seakan-akan dapat mengubah alam menurut keinginannya dan mengacaukan bentuk yang sebenarnya dengan bentuk-bentuk semu yang tidak dapat dibedakan dengan kenyataan di dalam ujud yang terbayang oleh pengaruh getaran ilmu yang langsung mempengaruhi pusat syaraf.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Swandaru, dan Prastawa tidak lagi harus bertempur mati-matian. Ia kini berada di antara para pengawal. Cambuknya masih meledak-ledak, tetapi mereka tidak lagi harus memeras segenap kemampuan. Apalagi Agung Sedayu yang menganggap lawan mereka tinggal para pengawal yang tidak banyak mengetahui apa yang harus dilakukan itu. Ia bertempur untuk sekedar menahan mereka. Sekali-sekali ia terpaksa melukai, tetapi ia sama sekali tidak ingin membunuh lagi, setelah dengan berat hati ia terpaksa mematahkan serangan lawan-lawannya dengan sungguh-sungguh, dan bahkan menimbulkan kematian.

Dalam keadaan yang demikian, sekali-sekali ia sempat melihat gurunya bertempur. Ada sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Di dalam penempuran yang sangat dahsyat melawan orang yang sudah mencapai puncak ilmunya, ternyata Kiai Gringsing memiliki sesuatu yang masih agak asing bagi kedua muridnya. Meskipun pada dasarnya murid-muridnya sudah memiliki ilmu itu, tetapi ada yang masih mendebarkan jantung mereka.

Agung Sedayu pernah melihat gurunya bertempur melawan orang-orang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Gurunya pernah bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Melawan hantu-hantu di Alas Mentaok. Melawan banyak lagi orang-orang yang tidak terduga-duga. Bahkan Kiai Gringsing pernah terluka di Jati Anom. Namun kali ini perkelahian di antara kedua orang itu benar-benar merupakan perkelahian yang luar biasa.

“Agaknya Panembahan Alit bukan saja mempergunakan ilmu olah kanuragan secara wajar,” perasaan itu tumbuh di dalam hati kedua murid-murid Kiai Gringsing itu.

Sebenarnyalah mereka melihat, bahwa pertempuran itu rasa-rasanya seperti tidak sewajarnya. Kadang-kadang mereka bergerak terlampau cepat. Namun kadang-kadang mereka berdiri saja dengan tegang sambil menggenggam senjata masing-masing.

Dalam pada itu Panembahan Alit merasa, bahwa kali ini ia benar-benar menemukan lawan yang tidak dapat dikalahkannya dengan segenap ilmu yang ada padanya. Seakan-akan Kiai Gringsing dapat melakukan apa saja yang dilakukannya.

Di lingkaran perkelahian yang lain, Putut Nantang Pati benar-benar telah dicengkam oleh perasaan putus asa. Anak buahnya telah terdesak semakin mundur. Sedangkan ia masih belum berhasil mengalahkan Ki Argapati dan anak gadisnya, meskipun tampaknya Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu menjadi semakin parah.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang anak muda telah terjun ke dalam arena itu pula. Prastawa, yang agaknya sudah kehilangan lawan-lawannya di lambung, tidak mau membiarkan Pandan Wangi semakin sulit mengalami tekanan Putut Nantang Pati justru karena Ki Argapati menjadi semakin lemah.

Kehadiran Prastawa membuat Putut Nantang Pati menjadi semakin marah. Dengan segenap kemampuan dilambari oleh perasaan putus asa ia mencoba memecahkan perlawanan ketiga orang itu. Tetapi ternyata usahanya sia-sia saja. Meskipun Prastawa tidak sekuat Pandan Wangi, namun kehadirannya benar-benar telah membuat Putut Nantang Pati kehilangan harapan untuk memenangkan perkelahian itu. Bahkan ia telah kehilangan harapan atas keseluruhan dari pertempuran itu.

Dan itulah sebabnya, maka ia pun seakan-akan menjadi kehilangan akal. Dengan membabi buta ia berusaha untuk, memecahkan kerja sama ketiga lawannya. Tetapi Putut Nantang Pati pun merasa bahwa usaha itu tidak akan berhasil.

Dalam keadaan itu, Ki Argapati merasa bahwa tugasnya pun menjadi semakin ringan. Prastawa dapat mengambil sebagian dari tugasnya mengatasi serangan-serangan Putut Nantang Pati yang menjadi semakin kasar dan liar.

Namun dalam kesempatan itu, kadang-kadang ia masih sempat memperhitungkan Kiai Gringsing yang bertempur melawan Panembahan Alit. Sebagai seorang yang memiliki ilmu yang hampir sempurna, Ki Argapati dapat menilai pertempuran yang sedang berlangsung antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit. Meskipun Ki Argapati pada saat itu tidak akan lagi mampu melawan Panembahan Alit karena cacatnya, namun Ki Argapati masih mampu melihat, apakah sebenarnya yang terjadi di arena kedua orang yang pilih tanding itu.

Ki Argapati melihat bahwa keduanya telah sampai kepada inti ilmu masing-masing. Bahkan kadang-kadang mereka telah sampai pada puncak tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya, sehingga nampaknya, tenaga yang terlontar dari kedua orang itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

Tetapi selain dari kekaguman Ki Argapati atas kemampuan Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang masih tetap utuh, meskipun umur mereka menjadi semakin tua bahkan seakan-akan justru menjadi semakin masak dan sempurna, Ki Argapati juga menjadi heran, bahwa Kiai Gringsing selama ini telah melakukan suatu usaha yang dapat membahayakan jiwanya. Sejak pertama kali ia melihat kehadiran orang itu di Menoreh pada saat pertentangan berkobar di Tanah Perdikan ini, dan yang ternyata telah didahului oleh peristiwa-peristiwa yang penting yang terjadi di Sangkal Putung, saat Tohpati masih memiliki kekuatan, telah menimbulkan beberapa pertanyaan di hatinya.

“Apakah yang telah mendorong orang tua itu untuk menyabung nyawa di setiap peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di sekitar Mataram? Jika ia sekedar seorang yang memiliki kelebihan di dalam olah kanuragan, kemudian mengambil kedua anak muda itu menjadi muridnya, maka ia tidak akan mempertaruhkan nyawanya bagi Mataram.” Namun kemudaan, “Apakah hanya secara kebetulan saja semuanya itu terjadi?”

Namun Ki Argapati masih tetap menganggap bahwa ada sesuatu yang lain yang mendorong Kiai Gringsng itu berbuat banyak bagi Mataram,

“Bukan hanya bagi Mataram,” Ki Argapati melengkapi pendapatnya sendiri di dalam hati, “ia telah membantu menegakkan Pajang di saat pasukan Jipang masih tersisa. Dan ia telah membantu memadamkan api yang berkobar di atas Tanah Perdikan Menoreh, dan kini ia berbuat banyak sekali bagi Mataram yang sedang tumbuh itu.”

Tetapi Ki Argapati terpaksa menghentikan angan-angannya. Ia melihat Pandan Wangi dan Prastawa menjadi semakin sulit melawan Putut Nantang Pati yang benar-benar telah berputus asa, meskipun beberapa orang pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang telah kehilangan lawan-lawannya datang membantu, sehingga Putut Nantang Pati itu seakan-akan telah dikepung oleh empat orang sekaligus, selain darinya sendiri, dan seorang di antaranya adalah seorang anak muda bertubuh gemuk dan bersenjata sebuah cambuk.

Sejenak Ki Argapati mengamati pertempuran itu. Putut Nantang Pati memang seorang yang memiliki perhitungan yang baik. Di dalam keputusasaan itu, hampir di luar sadarnya, ia masih mampu melakukan gerak-gerak yang mengejutkan. Di dalam saat ia tidak lagi dapat berpikir dengan baik, ia masih mampu menemukan sikap yang tidak disangka-sangka oleh lawannya.

“Di dalam segala keadaan, agaknya Putut Nantang Pati benar-benar sudah mapan dan menguasai ilmunya dengan baik,” berkata Ki Gede Menoreh di dalam hatinya. Dan itulah sebabnya, maka ia harus berada di tengah-tengah pertempuran itu meskipun ia hanya sekedar menentukan keadaan, karena untuk langsung bertempur menghadapi Putut Nantang Pati, kakinya menjadi semakin sakit dan lemah.

Kehadiran Swandaru di dalam arena itu telah menggetarkan hati Putut Nantang Pati. Bunyi cambuknya itu bagaikan suara hantu yang memanggilnya dari lubang kubur. Apalagi ketika mulai terasa ujung cambuk menyentuh tubuhnya.

Memang tidak ada jalan untuk keluar dari pertempuran itu. Pasukannya sudah terdesak, dan ia sendiri seakan-akan telah dipisahkan dari pasukannya. Di sekitarnya melingkar orang-orang Menoreh yang bersenjata telanjang teracu kepadanya.

Akhirnya, tidak ada pilihan lain daripada Putut Nantang Pati selain mati. Dan ternyata bahwa ia tidak lagi segan untuk melakukannya.

Demikian juga agaknya Daksina. Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan beberapa orang pengawal pilihan telah mengepungnya dan mendesaknya sampai ke tepi padas yang tegak pada kaki pebukitan.

“Kau tidak akan dapat lari lagi,” desis Sutawijaya, “menyerahlah. Mungkin aku masih dapat berbicara dengan mulutku, tidak dengan senjataku, karena aku tahu Paman adalah seorang Senapati Pajang. Di saat Pajang mulai tegak, Paman telah berjasa bagi Pajang. Barangkali jasa Paman itu dapat mengurangi kemurkaan Ayahanda Sultan Pajang dan Ayahanda Pemanahan.”

“Aku tidak akan memohon belas kasihan kepada siapa pun juga. Kepada kedua ayahmu itu pun tidak,” Daksina justru berteriak.

Sutawijaya mengerutkan keningnya, lalu, “Bukan belas kasihan, tetapi Pajang dan Mataram tidak akan melupakan jasa seseorang. Karena itu menyerahlah. Paman tidak akan mengalami nasib yang buruk.”

“Bohong. Aku tentu akan kau perah seperti cucian hingga darahku kering. Kau dan ayahmu Pemanahan tentu ingin tahu, siapa saja yang berada di pihakku.”

“Kau berprasangka. Kami telah bersama-sama berjuang menegakkan Pajang. Karena itu, marilah. Jangan kehilangan akal.”

Tetapi Daksina tidak menghiraukannya. Ia masih tetap bertempur dengan gigihnya.

Para pengawal dari Mataram itu pun masih mencoba melunakkan hati Daksina. Mereka memang berkepentingan untuk dapat menangkap Daksina hidup. Tetapi agaknya Daksina sendiri tidak lagi berminat untuk tetap hidup.

“Daksina,” berkata Ki Lurah Branjangan, “kau tentu mengenal aku dan beberapa orang prajurit Pajang yang ada di sini seperti aku mengenal kau dan beberapa orang kawanmu. Kenapa kau berkeras untuk berkelahi sampai mati jika kita dapat mencari cara penyelesaian yang lain?”

“Persetan!” bentak Daksina. “Jangan banyak bicara Branjangan, kau atau aku yang akan mati.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Daksina bagaikan orang mengamuk.

“Kita tangkap hidup-hidup,” desis Sutawijaya kepada Branjangan.

Tetapi agaknya Daksina mendengarnya sehingga dengan penuh kemarahan ia berteriak, “Sombong. Ayo tangkap aku hidup-hidup jika kau mampu.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang sudah tidak mempunyai lawan lagi berdiri termangu-mangu. Dilihatnya pasukan Panembahan Agung yang semakin jauh terdesak, sehingga mereka sudah hampir memasuki padepokan induk. Sejenak ia termangu-mangu karena di sekitarnya masih ada beberapa lingkaran perkelahian. Kiai Gringsing yang bertempur melawan Panembahan Alit benar-benar merupakan arena pertempuran yang tidak ada bandingnya. Pertempuran itu tentu lebih dahsyat dari saat-saat Kiai Gringsing harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Sekilas terbayang perang tanding yang pernah dilakukan oleh Ki Argapati melawan Ki Tambak Wedi. Tentu merupakan pertempuran yang sangat dahsyat pula. Namun kini di samping kemampuan olah kanuragan dan pengungkapan tenaga cadangan, di dalam pertempuran itu terasa sesuatu telah membakar keduanya. Kemarahan dan puncak dari ilmu mereka.

Setiap kali Agung Sedayu masih mendengar cambuk Kiai Gringsing meledak-ledak. Demikian juga cambuk Swandaru. Karena itu, maka Agung Sedayu mulai tertarik untuk membantu salah seorang dari mereka. Tetapi ia pasti, bahwa ia tidak akan dapat banyak berbuat di arena pertempuran melawan Panembahan Alit.

Karena itu, perlahan-lahan Agung Sedayu mendekati arena pertempuran melawan Putut Nantang Pati. Ia masih melihat senjata terayun. Tetapi ketika ia mendekat, terdengar seseorang mengaduh perlahan-lahan. Dan sekali lagi cambuk Swandaru meledak, maka suara itu pun terulang lagi.

Agung Sedayu tertegun ketika ia melihat darah ditubuh Putut Nantang Pati. Ternyata senjata Pandan Wangi telah menyentuhnya, disusul oleh senjata Swandaru, sehingga dari luka di tubuh Putut Nantang Pati itu pun meleleh darah dan menitik ke atas tanah di lembah yang terasing itu.

Putut Nantang Pati menggeram. Tetapi ia sudah bertekad, bahwa lembah terasing ini adalah lembah yang harus dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa. Karena itu, maka ia sama sekali tidak berusaha untuk menghindari maut yang sudah mulai menyentuhnya.

Serangan-serangan berikutnya adalah serangan-serangan yang lebih dahsyat lagi. Dan Putut Nantang Pati yang menjadi semakin lemah, sama sekali tidak mampu lagi untuk menghindarkan diri dari kematian.

Tetapi sebelum saat terakhir datang, maka terdengar suara Ki Argapati, “Cukup. Tidak bijaksana membunuh lawan yang sudah tidak berdaya.”

“Persetan,” tiba-tiba Pulut Nantang Pati berteriak dengan sisa tenaganya, “aku tidak akan mengharap belas kasihan seperti itu. Aku adalah Putut Nantang Pati, murid terpercaya dari Panembahan Agung. Jika kalian ingin membunuh aku, bunuhlah.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Argapati, “kematian bukan tujuan kami. Kau harus dapat mengerti, bahwa yang kami perangi bukan kau sebagai manusia wadag. Tetapi adalah sikap dan perbuatan. Jika wadagmu tidak mampu lagi mendukung sikap dan keinginanmu yang salah, maka kami tidak akan berbuat banyak lagi atas wadagmu itu.”

Mata Putut Nantang Pati justru menjadi semakin membara. Sejenak ia memandang Ki Argapati. Namun agaknya ia benar-benar tersinggung oleh kata-kata Ki Argapati itu, sehingga ia pun kemudian berteriak, “Kau menghina aku. Kau menghina kejantananku.”

Hampir di luar dugaan siapa pun juga, Putut Nantang Pati yang lemah itu, didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, tiba-tiba saja meloncat secepat tatit di udara, menyerang Ki Argapati, tanpa menghiraukan lawan-lawannya yang lain.

Namun sudah menjadi tekadnya, ketika ujung pedang Pandan Wangi, ujung cambuk Swandaru dan serangan mendatar Prastawa berbareng mengenainya. Bahkan Ki Argapati sendiri yang terkejut, tidak mampu lagi untuk menghindar. Apalagi kakinya benar-benar terasa sangat mengganggunya. Karena itu, yang dapat dilakukannya adalah mengacungkan tombak pendeknya ke arah lawannya.

Demikianlah beberapa ujung senjata, bersama-sama telah mengenai tubuh Putut Nantang Pati. Ia masih dapat menggeram dan menggeliat. Tetapi kemudian ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan, menelungkup di atas tanah yang dipertahankannya sampai ujung hidupnya.

Agung Sedayu yang juga melihat tubuh Putut Nantang Pati yang arang kranjang itu memalingkan wajahnya. Meskipun ia berada di medan, tetapi ia tidak sampai hati melihat luka dan darah yang bagaikan membalut tubuh yang terbaring itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar cerita tentang Ki Ageng Sela yang mengikuti pencalonan senapati. Di dalam pendadaran, Ki Ageng Sela harus bertempur melawan seekor harimau lapar di alun-alun. Dengan menaiki seekor kuda, Ki Ageng Sela memasuki arena, diringi oleh sorak sorai prajurit yang menjadi pagar arena dengan tombak di tangan.

Ketika sampai saatnya ia berhasil menusuk harimau itu tepat di punggungnya, dan ketika darah yang merah seakan-akan memancar dari luka itu. Ki Ageng Sela memalingkan wajahnya. Ia tidak sampai hati melihat harimau itu mengaum dan mandi darah.

Namun dengan demikian, ternyata ada orang yang lain melampauinya di dalam pendadaran itu. Bukan kemampuannya olah senjata sambil mengendalikan seekor kuda. Tetapi orang itu tanpa mengedipkan matanya memandang harimau korbannya yang berguling-guling kesakitan dan kemudian mati terkapar di alun-alun diiringi sorak sorai yang rasa-rasanya akan merobohkan langit.

Ki Ageng Sela tidak berhasil menjadi seorang senapati. Tetapi Ki Ageng Sela sama sekali tidak menyesal, bahkan ia masih berasa bersyukur bahwa ia tidak berhasil, karena di medan perang, yang dibunuhnya itu tentu bukannya sekedar seekor harimau.

Agung Sedayu sekali lagi menarik nafas dalam-dalam. Dan ia menjadi semakin yakin akan dirinya sendiri, bahwa ia tidak akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik.

Selagi merenungi keadaannya sendiri, maka Agung Sedayu pun terkejut pula ketika ia mendengar orang-orang Mataram bersorak. Ternyata beberapa orang yang juga berasal dari Pajang, termasuk Raden Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan, telah berhasil mengakhiri pertempuran itu. Seperti Putut Nantang Pati maka Daksina pun tidak mau menyerah. Ia sadar, bahwa ia akan mengalami banyak kesulitan di Mataram, jika ia tertangkap hidup-hidup. Ia akan mengalami perlakuan yang parah untuk diperas keterangan dari mulutnya tentang orang-orang Pajang.

Dalam pada itu, yang masih saja bertempur dengan gigihnya adalah Panembahan Alit. Kiai Gringsing benar-benar mengalami kesulitan, bahkan hampir tidak mungkin untuk mengalahkannya. Panembahan Alit memilki ilmu yang sulit diatasi. Kecepatannya bergerak merupakan senjata yang dibanggakannya. Karena itu, maka ujung cambuk Kiai Gringsing hampir tidak pernah berhasil menyentuhnya.

“Ilmu apa sajakah yang sedang bertarung di arena itu,” Raden Sutawijaya pun menjadi heran. Hampir saja ia memerintahkan pasukannya untuk bersama-sama membinasakan Panembahan Alit. Namun Kiai Gringsing sempat berterak, “Biarkan Panembahan Alit bermain-main dengan aku sendiri.”

Dengan demikian, maka perkelahian itu pun berlangsung dengan sangat sengitnya, sementara pasukan Panembahan Agung yang lain telah terdorong memasuki padepokannya.

Panembahan Alit pun mengetahui, bahwa pasukannya telah terdesak dan bahkan terpisah dari padanya. Dan ia pun mengetahui bahwa kedua senapati pengapitnya telah mati di peperangan itu. Namun ia tidak ingin lari, tidak berbuat seperti di Alas Tambak Baya. Kali ini ia bertempur mati-matian mengerahkan segenap ilmu yang ada padanya.

Ternyata bahwa Panembahan Alit yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama itu berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan sekali-sekali Panembahan Alit mampu mendesak Kiai Gringsing beberapa langkah surut.

Kiai Gringsing pun sadar, bahwa ia tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu begitu saja. Ia kagum akan kecepatan bergerak lawannya, yang kadang-kadang dapat melampaui kecepatan ujung cambuknya.

Dengan demikian, maka beberapa orang pemimpin dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh kemudian berdiri melingkari arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit yang semakin lama justru menjadi semakin seru. Bahkan mereka sudah bertekad untuk bertempur sehari semalam, dan jika perlu lebih panjang lagi dari waktu yang sehari semalam itu.

Namun dalam pada itu, Panembahan Agung sendiri tidak dapat mengingkari kenyataan. Pasukan lawan sedikit demi sedikit telah memasuki padepokannya, sehingga ia tidak akan dapat tinggal diam.

Karena itulah, maka telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan keseimbangan pertempuran itu.

Di dalam cengkaman perang tanding yang dahsyat itu, Panembahan Alit masih sempat melihat bayangan raksasa di puncak bukit. Semakin lama bayangan itu menjadi semakin samar. Bayangan itu tidak hilang dengan tiba-tiba, tetapi perlahan-lahan, sehingga akhirnya hilang sama sekali.

Bukan saja Panembahan Alit, tetapi hampir setiap orang sempat melihat raksasa yang seakan-akan perlahan-lahan menjadi asap sehingga akhirnya.tidak lagi kasat mata.

Kepergian bayangan itu agaknya menimbulkan kesan tersendiri. Raksasa yang lain pun tiba-tiba telah lenyap pula dari atas bukit, meskipun dengan cara yang lain, tidak dengan perlahan-lahan.

Sumangkar yang membimbing Rudita melihat juga bahwa kedua raksasa itu telah hilang. Karena itu dengan bergegas ia berkata, “Rudita, ayahmu telah selesai dengan semadinya. Marilah, cepat.”

Keduanya merayap naik di antara batu-batu padas. Hanya beberapa langkah. Di balik sebuah gerumbul mereka melihat Ki Waskita masih duduk di atas sebuah batu yang tersembunyi.

Rudita menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sumangkar berbisik, “Itu benar-benar ayahmu, bukan bentuk semu.”

Rudita memandang Sumangkar sejenak, namun kemudian ia berteriak, “Ayah.”

Ki Waskita pun kemudian berdiri. Dipandanginya saja anaknya yang kemudian tertatih-tatih berlari mendapatkannya dan langsung memeluknya sambil menangis seperti kanak-kanak.

Ki Waskita membelai kepala anaknya yang telah hilang beberapa lamanya itu.

“Kau tidak apa-apa?” desis ayahnya.

“Kenapa tidak apa-apa,” sahut anaknya di sela-sela tangisnya, “aku telah diikat, disakiti dan dipaksa untuk berbicara yang aku sendiri tidak mengerti.”

Ki Waskita menjadi semakin iba kepada anaknya. Anak laki-lakinya yang sangat manja, yang tidak pernah mengalami persoalan yang dapat menggoncangkan hatinya. Tiba-tiba saja ia mengalami peristiwa yang memang sangat dahsyat, bahkan bagi mereka yang berhati tabah sekali pun.

“Baiklah, Rudita. Beristirahatlah di sini bersama pamanmu Sumangkar. Aku masih harus menyelesaikan pekerjaan ini.”

“Apakah Ayah akan pergi?”

“Ya. Aku harus bertemu dengan Panembahan Agung Agaknya ia menyingkir dari padepokannya.”

“Darimana Ayah tahu?”

“Bentuk semu yang diciptakannya ditinggalkan begitu saja sehingga perlahan-lahan menjadi kabur dan hilang. Ia tidak sempat menghapusnya lebih dahulu ketika ia meninggalkan tempatnya.”

“Tetapi biar sajalah ia pergi, Ayah?”

“Ia akan menjadi manusia yang paling berbahaya. Kegagalannya kali ini akan menumbuhkan dendam yang semakin dahsyat di dalam hatinya.”

“Tetapi Ayah jangan pergi.”

Ki Waskita seolah-olah tidak menghiraukan suara anaknya. Perlahan-lahan ia melepaskan pelukan anaknya sambil berkata kepada Ki Sumangkar, “Aku titip anakku. Bawalah kepada Ki Gede Menoreh jika ia sudah selesai. Aku harus mendapatkan Panembahan Agung, jika kita tidak ingin melihat ia mengguncang-guncang ketenteraman bumi ini dengan ilmu kebohongan itu.”

“Ayah,” Rudita berteriak.

“Jangan gelisah. Kau sudah aman di sini. Tidak ada apa-apa lagi.”

“Tetapi Ayah jangan pergi.”

Ki Waskita tidak menghiraukannya. Ia pun segera berlari menghambur dan hilang di balik gerumbul.

“Ayah, Ayah,” Rudita masih berteriak.

“Sudahlah, Rudita. Marilah kita pergi mendapatkan Ki Argapati.”

Rudita mencoba untuk meronta melepaskan dirinya dari tangan Sumangkar untuk menyusul ayahnya. Tetapi Sumangkar memeganginya semakin erat sambil membujuknya, “Rudita. Kau adalah seorang anak muda yang sudah dewasa. Kau bukan anak-anak lagi. Anak-anak muda sebayamu kini berada di medan dengan senjata di tangan. Kenapa kau masih saja menangis?”

Rudita memandang Sumangkar dengan tatapan mata yang basah. Namun anak muda itu mencoba juga untuk menahan tangisnya yang menyesak di dadanya.

“Sudahlah,” berkata Sumangkar kemudian, “ayahmu adalah seorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Ia merasa mempunyai kewajiban untuk berbuat kebajikan. Karena itu, jangan kau tahan agar usahanya untuk bertemu dengan Panembahan Agung dapat berhasil.”

Rudita tidak menyahut.

“Nah, marilah kita menemui Ki Argapati.”

Rudita tidak meronta lagi ketika Ki Sumangkar membimbingnya seperti membimbing anak-anak menuruni tebing dan mendekati arena yang sudah menjadi lengang.

Namun ternyata masih ada pertempuran yang sengit terjadi di lembah itu. Bahkan seperti ayam jantan yang sedang bersabung, maka beberapa orang telah melingkarinya menyaksikan perkelahian yang dahsyat itu.

Sampai saat terakhir tidak ada tanda-tanda, bahwa Kiai Gringsing akan berhasil. Panembahan Alit bagaikan menyimpan sarang angin di dalam dadanya. Betapa pun ia bergerak dan berloncatan, nafasnya rasa-rasanya sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan seolah-olah tata geraknya semakin lama menjadi semakin mapan. Meskipun Panembahan Alit adalah seorang yang bertubuh wajar, namun ia selalu berhasil menyusup di antara lecutan-lecutan cambuk Kiai Gringsing yang meledak-ledak di seputarnya.

Tetapi di saat-saat terakhir, terjadilah perubahan itu. Ketika Panembahan Alit melihat bayangan raksasa di atas bukit yang lenyap dengan perlahan-lahan, maka seolah-olah ia mendapatkan isyarat, bahwa Panembahan Agung sudah tidak mampu lagi bertahan.

Bagi Panembahan Alit, maka Panembahan Agung adalah tumpuan perjuangannya. Ia bertempur mati-matian dan melakukan semua usaha selama ini untuk menggagalkan usaha membuka Alas Mentaok karena ia berharap bahwa pada suatu saat Panembahan Agung akan dapat menjadi Ratu Adil yang menguasai Tanah Jawa. Yang akan memerintah dengan kebesaran yang tiada taranya, yang akan disegani oleh kawan dan lawan, dihormati oleh bangsa-bangsa di permukaan bumi. Namun di dalam saat terakhir, pertahanan ini agaknya tidak lagi dapat diselamatkan. Panembahan Agung sendiri agaknya telah menjadi berputus asa, atau meninggalkan padepokan tanpa memberitahukan kepadanya lebih dahulu.

Perasaan kecewa, menyesal, dan cemas bercampur baur di dalam hatinya, sehingga tata geraknya pun menjadi terpengaruh olehnya.

Pada saat-saat yang demikian itulah maka cambuk Kiai Gringsing telah menyentuhnya tepat di lambung, sehingga Panembahan Alit itu pun terdorong beberapa langkah surut. Tetapi ternyata bahwa setiap mata menjadi terbelalak karenanya. Ujung cambuk Kiai Gringsing yang tiada taranya itu, sama sekali tidak berhasil melukai tubuh Panembahan Alit. Meskipun pakaian Panembahan Alit koyak karenanya, tetapi kulitnya sama sekali tidak tersobek, sehingga tidak setitik darah pun yang mengembun dari tubuhnya.

Bukan saja yang menyaksikan hal itu menjadi terheran-heran. Tetapi Kiai Gringsing sendiri menjadi heran pula. Hampir di luar sadarnya ia berdesis perlahan-lahan kepada diri sendiri, “Orang ini agaknya memiliki ilmu kebal.”

Ternyata bukan hanya sekali dua kali. Ujung cambuk Kiai Gringsing beberapa kali berhasil menyentuh lawannya. Tetapi sentuhan itu sama sekali tidak melukainya.

Dada Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Sepanjang petualangan yang pernah dilakukan, jarang sekali ia menjumpai orang yang memiliki ilmu serupa ini. Ki Tambak Wedi yang menggetarkan itu pun tidak memiliki kekebalan. Ki Argapati justru pernah terluka, dan sudah barang tentu Sumangkar pun tidak. Namun Panembahan Alit yang juga menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama ini ternyata tidak dapat dilukai oleh ujung cambuknya.

Meskipun oleh pengaruh perasaan sendiri, tandang Panembahan Alit seakan-akan menjadi susut, dan bahkan beberapa kali lawannya berhasil mengenainya, namun tidak ada tanda-tanda bahwa ia akan menghentikan pertempuran itu, atau bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa Kiai Gringsing akan berhasil mengalahkannya. Karena itulah, maka setiap orang yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi sangat cemas. Mereka tidak dapat membayangkan apakah yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Dengan kemampuannya Kiai Gringsing selalu berhasil menghindari serangan lawannya, sedang lawannya seakan-akan tidak dapat di lukai dengan senjata.

“Jika pertempuran berlangsung terus seperti ini, maka aku kira tidak akan dapat selesai tiga hari tiga malam,” berkata Raden Sutawijaya kepada diri sendiri.

Namun Raden Sutawijaya tidak dapat berbuat apa-apa. Jika ia turun ke gelanggang dan tidak memiliki kemampuan bergerak seperti Kiai Gringsing, maka ia tentu akan segera diterkam oleh bencana karena di dalam keadaan yang pahit itu, Panembahan Alit masih tetap seorang yang sangat berbahaya.

Dengan sepenuh tenaga Kiai Gringsing mencoba untuk mempergunakan saat-saat yang tidak menguntungkan bagi Panembahan Alit itu. Tetapi setiap kali ia gagal. Bahkan Kiai Gringsing pun menjadi cemas. Jika Panembahan Alit berhasil mengatasi persoalan di dalam dirinya, atau justru menjadi putus asa sama sekali dan bertempur membabi buta, maka akibatnya akan pahit pula baginya. Justru karena senjatanya seakan-akan tidak mampu menembus pertahanan kekebalan kulit Panembahan Alit itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi kian sengit. Kiai Gringsing berusaha sekuat tenaga untuk mencoba menembus kekebalan kulit Panembahan Alit. Tetapi usahanya tidak berhasil, karena kulit Panembahan Alit itu pun seakan-akan telah berlapis baja

Sejenak Kiai Gringsing menjadi termangu-mangu. Bahkan kadang-kadang ia harus meloncat surut. Namun ia tidak dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya. Lawannya tidak dapat dilukai dengan senjatanya.

Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat berbuat lain, Meskipun seakan-akan ia telah menyimpan ilmunya yang jarang-jarang sekali dipergunakannya itu, karena ia hampir tidak pernah menjumpai lawan yang sekuat Panembahan Alit, namun akhirnya datang saatnya ia harus mempergunakannya lagi.

Dalam keadaan yang sangat terdesak, Kiai Gringsing menggeretakkan giginya. Matanya menjadi merah dan tiba-tiba saja orang-orang yang berdiri di sekeliling arena melihat perubahan pada wajah orang tua itu. Kiai Gringsing yang berwajah lunak dan sejuk itu, betapa pun ia dilibat oleh kesulitan di dalam pertempuran tiba-tiba menjadi seorang yang berwajah keras seperti batu-batu padas di tebing pegunungan. Matanya menjadi seakan-akan bersinar kemerah-merahan oleh goncangan di dalam dirinya.

Ternyata Kiai Gringsing sedang memusatkan segenap kemampuannya pada ilmunya yang selama ini tidak pernah dibangunkannya lagi, setelah ia meninggalkan lingkungannya pada masa Demak masih berkuasa. Meskipun saat itu ia masih muda, namun gurunya telah mempercayakan sebuah ilmu yang hampir tidak dapat dicarinya duanya.

Di dalam kesulitan itulah, maka Kiai Gringsing mencoba untuk membangunkan ilmunya. Ilmu yang masih sangat asing meskipun bagi murid-muridnya sendiri.

Dengan sebuah loncatan panjang Kiai Gringsing menjauhi lawannya. Kemudian dengan sepenuh kekuatan yang terpusat pada anggauta badan wadagnya, maka Kiai Gringsing mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam cambuknya tinggi-tinggi menyilangkan tangan kiri di dadanya, dan sambil menggeram ia mematangkan dirinya pada pusat kekuatan yang ada padanya.

Pada saat itu, Ki Waskita yang sedang berusaha mengejar Panembanan Agung yang telah meninggalkan bentuk semunya begitu saja sehingga seperti asap lenyap perlahan-lahan, melihat dari kejauhan sikap Kiai Gringsing itu. Sejenak ia tertegun. Sebuah getaran telah mengguncang dadanya. Ilmu itu adalah ilmu yang dianggapnya telah tenggelam dilanda oleh arus waktu yang keras. Namun ternyata ia masih sempat melihat seseorang bersikap seperti yang pernah dilihatnya.

Namun Ki Waskita harus berusaha menenangkan debar jantungnya, karena ia harus mengejar Panembahan Agung. Dengan kemampuan mengenal isyarat di dalam dirinya, Ki Waskita dapat menduga ke mana arah yang dilalui oleh Panembahan Agung itu.

Demikianlah maka dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Ki Waskita berlari menyusup semak-semak dan gerumbul-gerumbul perdu memotong arah Panembahan Agung. Ia yakin, bahwa pada suatu saat ia tentu akan dapat menyusulnya. Jika tidak di hari itu maka di malam hari ia akan berhasil. Dan jika tidak di malam hari, maka ia akan mengejarnya terus, meskipun ia harus berlari sampai tiga hari tiga malam.

Langkah Ki Waskita terhenti sejenak ketika kakinya menginjak jalan lurus yang meninggalkan padepokan induk di lembah terasing itu. Sejenak ia memusatkan perhatiannya kepada orang yang sedang dikejarnya. Dan tiba-tiba saja ia meloncat berlari di antara pohon-pohon perdu dan merayap tebing pegunungan. Di antara batu-batu padas, Ki Waskita pun kemudian mencoba memotong arah dan menyilang sebuah jalan sempit yang mendaki pegunungan itu.

Tetapi tiba-tiba wajahnya menjadi tegang. Ia sama sekali tidak melihat bekas-bekas kaki di jalan sempit yang kotor itu. Karena itu maka dicobanya untuk meraba buruannya dengan inderanya yang lain.

Terdengar Ki Waskita menggeram. Ternyata ia telah melampaui jalur jalan yang ditempuh oleh Panembahan Agung itu, sehingga ia terpaksa meluncur turun beberapa, langkah dengan tergesa-gesa.

Ternyata bahwa isyarat yang dilihatnya dapat dipercayanya ketika ia juga melihat bekas kaki yang masih baru, menyelusuri sebuah jalan yang berbelok menyusur tebing. Panembahan Agung ternyata menempuh jalan yang tidak diperhitungkannya dengan nalar. Tetapi alat perabanya yang lain berhasil menyentuh jejak orang yang sangat berbahaya itu.

“Ia tidak akan dapat menghindar dengan cepat,” berkata Ki Waskita kepada diri sendiri, “aku tentu mampu berlari lebih cepat daripadanya.”

Dengan demikian maka ia yakin bahwa Panembahan Agung semakin lama menjadi semakin dekat daripadanya, meskipun Ki Waskita belum melihatnya.

Sebenarnya Panembahan Agung pun telah memperhihitungkan, bahwa hal itu akan terjadi. Tetapi ia merasa tidak akan ada gunanya mengganggu Ki Waskita dengan bentuk-bentuk semu yang dapat dibuatnya di sepanjang jejaknya, meskipun kemudian akan hilang dengan perlahan-lahan. Panembahan Agung yakin, bahwa orang yang menyebut dirinya Jaka Raras itu akan dengan mudah mengatasi bentuk-bentuk semu yang dibuatnya. Sehingga bentuk-bentuk semu itu justru akan mempertegas jejaknya saja. Atau usaha untuk melindungi diri dari tangkapan isyarat pun ia tidak akan berhasil karena jarak yang sudah terlampau dekat.

Sekali-sekali Panembahan Agung memang mencoba untuk membuat Ki Waskita bingung. Bukan dengan menciptakan jurang yang luas atau api yang membakar bukit, tetapi justru bentuk-bentuk yang sederhana dan kecil. Bekas-bekas kaki yang berbelok di jalan yang sebenarnya tidak dilaluinya.

Beberapa kali Ki Waskita memang dapat dihambat dengan cara itu, karena semula Ki Waskita tidak menduga, bahwa Pembahan Agung sempat melakukannya. Tetapi, ketika sekali ia disesatkan oleh bentuk semu, yang kemudian berhasil dipunahkannya, maka untuk seterusnya ia menjadi sangat berhati-hati. Di setiap simpangan ia melihat bekas-bekas yang diikutinya itu dengan mata ilmunya.

Meskipun Ki Waskita selalu berhasil menemukan bekas kaki yang benar, tetapi usaha untuk mengetahui itu telah memerlukan waktu meskipun pendek. Dengan demikian maka Panembahan Agung mendapat kesempatan untuk memperpanjang jarak yang telah menjadi semakin pendek.

Tetapi akhirnya Panembahan Agung sadar, bahwa usahanya untuk melepaskan diri itu tidak akan berhasil, ia tahu pasti bahwa Jaka Raras mampu menyelusur jejaknya bukan saja dari jejak-jejak kaki, tetapi juga getaran isyarat pada dirinya. Meskipun di dalam usaha melepaskan diri Panembahan Agung sudah membatasi kemungkinan itu sekecil-kecilnya, dengan ilmu yang ada padanya, mengaburkan setiap getaran yang dapat dikenal oleh orang lain, namun di dalam keadaan yang sulit itu, usahanya tidak banyak membawa hasil.

Demikianlah maka Ki Waskita yang mengejarnya terus itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sehingga pada akhirnya, ketika Ki Waskita telah sampai ke puncak bukit yang rendah, ia berhasil melihat di sela-sela semak belukar, Panembahan Agung yang sedang melarikan diri itu.

Dengan ilmunya Ki Waskita pun kemudian berkata dari jarak yang jauh, “Panembahan Agung, apakah kau masih akan berusaha untuk melarikan diri?”

Panembahan Agung mengerti bahwa suara itu bukan suara wajar Jaka Raras, seperti ia sendiri mampu melakukannya. Tetapi suara itu telah menggetarkan jantungnya pula.

Namun Panembahan Agung itu pun menjawab, “Jangan menakut-nakuti aku, Jaka Raras. Kau mempergunakan ilmumu. Tetapi sebenarnya kau belum melihat aku.”

Jaka Raras tertawa. Katanya, “Aku bukan anak kecil lagi Panembahan, seperti juga kau yang sudah berani menyebut dirimu panembahan, bahkan panembahan yang agung. Aku tahu bahwa kau memiliki ilmu serupa. Tetapi aku kali imi tidak sedang bermain-main. Aku telah melihatmu. Aku kini berada di puncak bukit kecil yang tebingnya baru kau turuni.”

Hampir di luar sadarnya, Panembahan Agung berpaling. Dan sebenarnyalah ia melihat seseorang berdiri di atas bukit padas itu. Bukan terbentuk seorang raksasa, tetapi seorang dalam ujudnya yang wajar. Kecil sekali di sela-sela batu-batu besar.

“Nah, bukankah kau sudah melihat aku? Aku yang sebenarnya. Kau tentu dapat membedakan, apakah yang kau lihat ini bentuk yang sebenarnya atau sekedar bentuk semu saja.”

Dada Panembahan Agung menjadi berdebar-debar. Ia tahu tenar, bahwa yang berdiri di atas bukit itu adalah Jaka Raras. Sebenarnya Jaka Raras, bukan bentuk semu yang diciptakannya.

Karena itu untuk beberapa saat ia tidak menyahut. Dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri dari kejaran Jaka Raras. Meskipun ia berpengawal saat itu sedang Jaka paras hanya seorang diri mengejarnya, tetapi ia merasa, bahwa terlampau berat agaknya untuk melawan Jaka Raras yang sedang didera oleh kemarahan karena anaknya, telah disembunyikannya.

“Panembahan Agung,” berkata Jaka Raras, “berhentilah. Dan marilah kita berbicara dengan baik. Aku dapat berbuat kasar, tetapi aku pun dapat berbuat lunak. Aku sekarang berdiri sendiri. Anakku yang telah aku ketemukan kembali, tidak ada bersamaku sekarang. Karena itu, jika perlu aku dapat berbuat liar atau buas. Kita memang bukan orang-orang yang berhati sutra. Kita telah ditempa oleh kehidupan yang keras, kasar dan bahkan liar dan buas. Jika selama ini aku menjadi seorang yang seolah-olah baik, lembut, dan lunak, semata-mata untuk kepentingan anakku, karena aku sadar bahwa hidup dengan cara kita, adalah hidup yang dipenuhi dengan kegelisahan dan kecemasan, sehingga karena itu, aku sama sekali tidak menghendaki anakku akan menempuh hidup seperti kehidupan yang pernah kita jalani. Namun agaknya aku salah hitung, ditambah dengan kasih yang berlebih-lebihan dari ibunya, maka anakku menjadi seorang laki-laki yang cengeng, bodoh, dan agak sombong. Aku sendiri sudah menyalurkan ilmu yang ada padaku pada bentuk yang bermanfaat bagi sesama. Melihat masa-masa yang dekat dan jauh di hadapan kita tanpa mendahului dan berusaha merubah takdir dan keharusan. Karena yang aku lihat adalah yang akan terjadi, bukan yang diinginkan terjadi. Namun aku harus mengakui betapa piciknya pengetahuan seseorang. Ternyata bahwa aku tidak mengerti, bahwa pada suatu saat anakku akan hilang, karena akulah yang menganjurkannya untuk ikut berburu supaya ia sedikit memiliki sifat seorang laki-laki.”

Panembahan Agung menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Jaka Raras. Ia sadar, bahwa Jaka Raras tidak hanya sekedar menggertaknya. Ia kenal orang itu di dalam perguruan. Jaka Raras memang dapat berbuat keras dan kasar, bahkan liar dan buas.

“Panembahan,” berkata Jaka Raras, “aku menunggu keputusanmu. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku kini tidak bersama anakku, sehingga jika aku kambuh lagi kepada sifat-sifatku, maka anakku tidak akan menjadi kecewa karena ia tidak melihat bahwa ayahnya bukannya orang yang baik seperti yang dikenalnya. Nah, bersiaplah. Kita akan bertempur dengan cara kita. Kemudian jika aku berhasil mengatasi kekuatan batinmu, maka wadagmu akan hancur menjadi makanan burung gagak, karena aku dapat melampaui kebuasan binatang yang paling buas di hutan.”

Panembahan Agung masih tetap berdiam diri. Ia seakan-akan telah terjepit pada suatu keharusan untuk bertempur melawan Jaka Raras. Meskipun ia tidak seorang diri, tetapi agaknya beberapa pengawalnya itu tidak akan berarti apa-apa bagi Jaka Raras.

Tetapi sudah barang tentu bahwa Panembahan Agung bukan seorang pengecut yang menyerah untuk diikat dan dibawa ke Mataram sebagai seorang tawanan. Dengan demikian ia akan dapat menjadi tontonan orang di alun-alun di negeri yang sedang tumbuh itu. Karena itu, maka tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh kecuali bertempur sampai kemungkinan yang paling akhir.

“Panembahan Agung,” terdengar lagi suara Jaka Raras, “kenapa kau tidak menjawab? Apakah kau sedang memperhitungkan untung dan rugi dari tindakan yang akan kau ambil?”

Panembahan Agung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jaka Raras, kau memang selalu menghina aku. Tetapi sampai saat ini, hinaan itu sudah cukup banyak. Aku tidak mau lagi mendengarnya. Sebaiknya kau tidak usah mendekati aku, karena itu akan berarti maut bagimu. Pergilah. Jika anakmu sudah kembali padamu, baiklah. Dan segera pergilah daripadaku, agar aku tidak terlanjur berbuat lebih banyak lagi atasmu.”

“Ah, kau aneh, Panembahan,” sahut Jaka Raras, lalu, “seakan-akan kita adalah orang-orang yang baru pertama kali ini bertemu. Bukankah kita sudah saling mengenal sejak di perguruan. Dan aku tahu pula seorang yang bernama Panembahan Cahyakusuma, yang kemudian menyebut dirinya bernama Panembahan Agung. Jangan mencoba menakut-nakuti, seperti aku juga tidak akan ada gunanya menakut-nakuti kau. Yang akan kita lakukan selanjutnya ada dua pilihan. Kau menyerah atau kita bertempur sampai mati. Mungkin kau tetapi mungkin juga aku. Tetapi itu adalah akibat yang sudah sama-sama kita ketahui sebelumnya.”

“Jika demikian, Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung, “kenapa kau masih saja berbicara berkepanjangan tidak ada habis-habisnya. Berbuatlah sesuatu. Sikapku sudah jelas, bahwa aku tidak akan membiarkan diriku menjadi pangewan-ewan di Mataram. Aku tahu bahwa sekarang ini selain kau mencari anakmu, kau juga berada di pihak Mataram. Dan itulah kesalahanku yang pokok, karena aku tidak mengerti bahwa Rudita adalah anakmu, sehingga kehadiranmu di pihak Mataram benar-benar membuat aku kehilangan kesempatan kali ini.”

“Kau sangka tanpa aku Mataram tidak dapat menggilasmu?” bertanya Ki Waskita. “Mungkin kehadiranku mempercepat saja penyelesaian yang berlangsung seperti sekarang ini. Tetapi tanpa aku pun kau tidak akan banyak berarti, karena di antara mereka terdapat orang-orang yang tidak akan menghiraukan bentuk-bentuk semu yang gila-gilaan itu.”

“Omong kosong,” geram Panembahan Agung, “mereka akan kebingungan dan kehilangan pegangan.”

“Jangan mimpi,” sahut Ki Waskita, “Kiai Gringsing akan mentertawakan ular nagamu, jurangmu, dan apimu. Ki Argapati akan menjadi acuh tidak acuh melihat raksasa yang berada di atas bukit-bukit padasnya. Dan bentuk-bentuk apa lagi yang akan terwujud tentu tidak akan menarik perhatian.” Jaka Raras itu berhenti sejenak, lalu, “Sudahlah Panembahan Agung. Jika kau memang memilih jalan kekerasan, kebuasan yang liar, baiklah, aku akan segera menyusulmu.”

Panembahan Agung menggeram. Katanya, “Datanglah. Aku akan menyambutmu.”

Jaka Raras tidak menyahut lagi. Ia pun kemudian menghambur menuruni tebing pegunungan mendekati Panembahan Agung yang sudah ada di lereng.

Dalam pada itu, maka Panembahan Agung pun kemudian berkata lantang kepada pengawalnya, “Tempatkan aku di atas jalan setapak menghadap arah ia akan datang.”

Sementara itu, Jaka Raras pun menjadi semakin dekat. Ia sadar bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kelebihan yang kadang-kadang tidak diduganya. Itulah sebabnya, maka ia pun menjadi sangat berhati-hati.

Di dalam keadaan yang tegang itu, Jaka Raras tidak kehilangan penguasaan atas perasaannya. Betapa pun ia marah dan dendam karena anaknya yang mendalami perlakuan yang sangat buruk itu. Namun ia tetap berhati-hati.

Tetapi seperti Panembahan Agung, ia tidak akan lagi mempergunakan bentuk-bentuk semu, karena ia tahu bahwa bentuk-bentuk yang demikian itu tidak akan ada gunanya lagi, karena keduanya benar-benar telah berada di puncak ilmunya.

Di balik sebuah batu padas, Ki Waskita terhenti sejenak. Ia menjadi ragu-ragu untuk melangkah maju. Karena itu, maka segera dilepasnya bajunya dan dilemparkannya dari balik batu padas itu.

Dugaannya ternyata, tidak salah. Begitu bajunya tersembul dari balik batu padas, sebuah anak panah yang besar telah menyambarnya.

“Hem,” Jaka Raras menarik nafas. Jika ia sendiri yang muncul, maka dadanya tentu akan tembus. Ia tahu benar, bahwa busur dan anak panah Panembahan Agung adalah busur dan anak panah yang khusus. Hampir tidak ada orang yang mampu menarik busurnya yang besar itu, selain mereka yang memiliki tenaga melampaui tenaga orang kebanyakan.

“Gila,” Panembahan Agung-lah yang berteriak kemudian ketika ia sadar, bahwa yang dikenainya sama sekalii bukan Jaka Raras, tetapi hanya selembar bajunya saja.

Dalam pada itu, Ki Waskita telah meloncat menyusup gerumbul perdu dan melingkari sebuah gundukan padas yang besar dan menjadi semakin dekat dari tempat Panembahan Agung. Tetapi ia harus hati-hati, bahwa setiap kali anak panah Panembahan itu akan dapat menyambar lehernya, sehingga ia tidak dapat menarik nafas sekali lagi.

Ternyata bahwa yang membingungkan Panembahan Agung kemudian sama sekali bukan bentuk-bentuk semu. Tetapi bentuk-bentuk wadag yang sebenarnya tidak mempunyai arti di dalam pertempuran itu. Baju Jaka Raras jauh lebih berarti daripada bentuk-bentuk apa pun yang mengerikan atau yang menggetarkan jantung. Ternyata Panembahan Agung yang tidak dapat dibingungkan dengan bentuk-bentuk semu itu menjadi bingung dan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya karena selembar baju yang telah dikenainya dengan anak panahnya.

Kini Panembahan Agung memusatkan perhatiannya kepada keadaan di sekelilingnya. Ia sadar, bahwa setiap saat Jaka Raras akan muncul dan menerkamnya. Dicobanya untuk menangkap setiap gerak dan getar dari udara di sekelilingnya. Tetapi agaknya Jaka Raras berhasil membersihkan dirinya dari isyarat-isyarat yang akan dapat ditangkap oleh Panembahan Agung.

Tetapi Panembahan Agung tidak berdiri sendiri. Beberapa orang pengawal pilihannya pun segera menebar dan menjaga segala penjuru. Mereka pun sadar, bahwa lawan Panembahan Agung kali ini bukannya orang kebanyakan. Bahkan memiliki ilmu yang serupa dengan ilmu Panembahan Agung sendiri.

Karena itu, maka mereka pun telah menyiapkan senjata telanjang. Setiap saat Jaka Raras muncul, maka mereka akan beramai-ramai menyerangnya, sebelum Panembahan Agung akan mengakhiri nyawanya dengan anak panahnya yang luar biasa itu.

Dalam pada itu, Panembahan Agung yang dijalari oleh perasaan gelisah itu menjadi semakin tidak tenang lagi. Ketika ia melihat sesuatu bergerak di balik segunduk batu padas, maka tiba-tiba saja sebuah anak panah telah meluncur dengan cepatnya, seperti petir menyambar di langit. Batu padas itu seolah-olah meledak karena hantaman anak panah yang besar dan dengan kekuatan yang luar basa. Segumpal batu padas itu pecah dan berserakan menghambur di sekelilingnya.

Mereka yang melihat dan mendengar ledakan itu menahan nafas. Jika yang dikenalnya itu tubuh seseorang, maka tubuh ini tentu akan tembus oleh anak panah raksasa itu, dan tulang-tulangnya pun akan remuk menjadi debu.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar akan kemampuan Panembahan Agung. Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati.

Tetapi bagi Jaka Raras, tentu tidak mungkin melawan Panembahan Agung yang memiliki kesaktian tiada taranya itu hanya dengan tangannya. Karena itu, untuk beberapa saat ia menjadi ragu-ragu sambil berjongkok di balik sebuah batu besar. Sudah bertahun-tahun ia tidak mempergunakan senjatanya. Tetapi di dalam keadaan ini, ia tidak akan dapat berbuat lain.

Betapa pun ia dicengkam oleh keragu-raguan, namun akhirnya Ki Waskita itu pun melepaskan ikat pinggangnya yang besar, yang terbuat dari kulit berlapis baja pilahan. Kemudian diurainya sebuah rantai di bawah ikat pinggangnya dan sebuah cakram kecil bergerigi yang diambilnya dari kantong ikat pinggangnya. Dengan ragu-ragu Jaka Raras mengaitkan rantainya pada cakram bergerigi itu. Namun akhirnya ia berkata kepada diri sendiri, “Di dalam keadaan tanpa pilihan, aku tidak dapat berbuat lain. Aku masih belum ingin mati. Bukan saja karena aku masih harus membentuk anakku, tetapi jika aku mati maka akibatnya akan sangat luas. Panembahan Agung akan menjadi gila, dan orang orang Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh harus menyediakan banyak korban sebelum berhasil membinasakannya.”

Karena itu, maka Jaka Raras pun kemudian menggeretakkan giginya, seakan-akan ingin mengusir keragu-raguan yang masih saja menggelitiknya.

Sambil menggeram maka Ki Waskita itu pun berkata kepada diri sendiri, “Bukan maksudku. Tetapi apa boleh buat.”

Namun sejenak Ki Waskita menundukkan kepalanya, bagaimana pun juga ia merasa bertanggung jawab atas perbuatannya. Bukan saja kepada orang lain, tetapi terutama kepada Penciptanya. Di dalam hatinya ia memohon agar jika perbuatannya itu sesat dari jalan yang telah dipilihnya selama ini, hendaklah diampuninya, karena yang dilakukannya itu semata-mata didorong oleh keinginannya menyelamatkan banyak orang dari kebuasan Panembahan Agung.

Sesaat kemudian, maka Ki Waskita itu pun membelitkan ikat pinggangnya yang berlapis baja dilengannya, ia dapat mempergunakan ikat pinggangnya itu sebagai perisai menghadapi anak panah Panembahan Agung.

“Tetapi anak panah itu bukan anak panah biasa,” katanya di dalam hati, “namun ikat pinggang ini pun bukan ikat pinggang biasa.”

Dengan demikian Ki Waskita kini sudah siap menghadapi lawannya yang paling berat. Setelah bertahun-tahun Ki Waskita menghindarkan diri dari tindakan kekerasan, sehingga anak laki-lakinya sama sekali tidak membayangkan bahwa ayahnya dapat melakukan hal serupa itu, kini terpaksa melakukannya.

“Mudah-mudahan hanya sekali saja lagi,” desisnya.

Menjelang Ki Waskita mengatur perasaannya dan memantapkan hatinya, maka Kiai Gringsing sudah sampai pada puncak pertempurannya.

Tangannya yang menggenggam cemeti itu seakan-akan telah dipenuhi dengan segenap kekuatan yang ada padanya, dan segenap kekuatan cadangan yang mampu dihimpunnya.

Pada saat terakhir Kiai Gringsing melihat lawannya, Panembahan Alit pun telah berada pada puncak kemampuannya dalam ilmu kebalnya, sehingga seakan-akan mereka berdua telah sampai pada saat yang menentukan, siepakah yang akan memenangkan pertempuran itu.

Rasa-rasanya setiap jantung dari mereka yang berada di seputar arena itu menjadi berhenti berdenyut melihat sikap kedua orang yang sudah sampai pada puncak ilmunya ini.

Beberapa saat keduanya masih melakukan gerakan-gerakan kecil, seakan-akan mencari kelemahan pada lawan masing-masing. Namun pada saatnya, keduanya sadar, bahwa pertempuran itu sudah mendekati akhirnya, siapa pun yang akan binasa.

Karena itu, ketika keduanya merasa bahwa mereka telah berada pada puncak kekuatannya, maka keduanya pun mulai mempersiapkan diri, untuk membenturkan ilmu masing-masing.

Ki Argapati yang memiliki kemampuan yang hampir sempurna itu pun menahan nafasnya. Seandainya kakinya tidak sedang cacat, maka ia akan dapat berbuat serupa, meskipun di dalam kenyataan terakhir, selagi Kiai Gringsing menghadapi puncak kesulitannya, ternyata mempunyai beberapa kelebihan yang menentukan.

Demikianlah lembah yang baru saja hiruk-pikuk oleh pertempuran yang sengit itu justru menjadi hening diam, namun betapa setiap hati dicengkam oleh ketegangan.

Sejenak kemudian perlahan-lahan tangan Kiai Gringsing mulai bergerak, sehingga ujung cambuknya mulai berjuntai perlahan-lahan. Ternyata gerakan itu telah menyentuh naluri Panembahan Alit, sehingga ia pun mulai melangkah ke samping. Tetapi ia tidak menunggu lebih lama lagi. Ia ingin perkelahian itu segera berakhir, siapa pun yang akan terkapar di tanah. Karena itu, maka ia pun segera mempersiapkan senjatanya. Sejenak ia memandang Kiai Gringsing sambil menggeram. Namun sejenak kemudian maka senjatanya itu pun mulai teracu.

Berhentilah segala tarikan malas dan detak jantung ketika tiba-tiba saja Panembahan Alit meloncat menyerang Kiai Gringsing dengan loncatan yang dilambari dengan puncak ilmunya, sehingga bagaikan loncatan petir di langit yang tidak mampu diikuti oleh mata telanjang.

Namun Kiai Grjngsing pun sudah mempersiapkan dirinya pula. Sekali cambuknya berputar, kemudian sebuah ayunan yang dahsyat telah menyongsong Panembahan Alit yang masih terapung di udara karena loncatannya.

Sebuah ledakan cambuk yang menggelegar rasa-rasanya telah mengguncangkan lembah itu. Orang-orang yang ada di sekitar arena itu sebelumnya telah mendengar cambuk itu meledak beberapa kali. Tetapi ledakan yang dilontarkan oleh puncak ilmunya itu rasa-rasanya telah memecahkan selaput telinga.

Panembahan Alit masih sempat menggeliat. Namun ia tidak dapat menghindari ujung cambuk Kiai Gringsing yang melecutnya jauh lebih cepat dari lecutan sewajarnya.

Terdengar Panembahan Alit menggeram. Tetapi ia masih sempat berdiri di atas kedua kakinya. Bahkan sebuah loncatan lagi yang tidak terduga telah mendorongnya mendekati Kiai Gringsing sambil mengacukan senjatanya.

Kiai Gringsing tidak sempat mengelak. Karena itulah maka ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi dadanya dengan lengannya. Betapa pun ia berusaha untuk memukul sisi pedang lawannya, namun Panembahan Alit sempat memutar pedangnya, sehingga lengan Kiai Gringsing tersobek karenanya.

Terdengar orang tua itu berdesis. Sekilas ia melihat darah mengalir dari luka itu.

Namun ternyata bahwa Panembahan Alit mampu bergerak terlalu cepat. Sekali lagi ia meloncat sambil, mematukkan senjatanya sehingga Kiai Gringsing kehilangan kesempatan untuk kedua kalinya. Meskipun Kiai Gringsing masih berusaha untuk mencondongkan tubuhnya, namun pedang itu telah tergores di pundaknya.

Kiai Gringsing sadar, bahwa ia tidak boleh kehilangan kesempatan berikutnya. Jika demikian maka ia akan kehilangan kesempatan untuk seterusnya. Karena itu, maka selagi Panembahan Alit menyiapkan serangan berikutnya, Kiai Gringsing sempat mendahuluinya. Sebuah ledakan cambuk yang dilambari oleh puncak ilmunya telah menggetarkan lembah itu. Tebing-tebing gunung bagaikan bergetar, dan dedaunan yang menguning satu-satu berguguran di tanah.

Tetapi rasa-rasanya setiap orang tidak mempercayai penglihatannya. Panembahan Alit masih tetap berdiri tegak dengan senjata di tangannya. Dua ledakan cambuk yang didorong oleh kekuatan yang tiada taranya, itu sama sekali tidak melukai kulitnya selagi Panembahan Alit berada di puncak ilmu kebalnya pula.

Sejenak Kiai Gringsing pun menjadi termangu-mangu. Namun ketika Panembahan Alit mulai bergerak, sekali lagi Kiai Gringsing mendahuluinya. Cambuknya meledak sekali lagi tanpa menghiraukan darahnya sendiri yang mengucur dari luka.

Panembahan Alit tampak bergoyang sedikit seperti sebatang pohon raksasa yang disentuh angin. Namun sekejap kemudian, ia ternyata masih sempat meloncat menyerang dengan pedang terjulur.

Kiai Gringsing sama sekali tidak menyangka, bahwa Panembahan Alit masih mampu melakukan serangan yang dahsyat itu. Karena itu, Kiai Gringsing kehilangan kesempatan sekali lagi. Kali ini lambungnya telah sobek oleh senjata Panembahan Alit. Untunglah bahwa ia mempergunakan ikat pinggang kulit yang tebal dan besar, sehingga dengan menyumbatkan kainnya yang dibelitkan pada ikat pinggangnya, Kiai Gringsing dapat mengurangi kucuran darah dan rasa sakit.

Tetapi dengan demikian tenaga Kiai Gringsing pun menjadi semakin lemah. Pemusatan ilmunya pun mulai menjadi kabur. Sejenak ia melihat Panembahan Alit masih berdiri tegak di hadapannya.

Dengan mata terbelalak Kiai Gringsing melihat, bahwa kulit Panembahan Alit benar-benar tidak dapat dilukainya meskipun ia sudah berada di puncak ilmunya. Meskipun demikian, Panembahan Alit itu bagaikan sudah tidak berpakaian lagu. Pakaiannya ternyata telah terbakar oleh ledakan dahsyat dari cambuk Kiai Gringsing yang dilambari oleh puncak ilmu simpanannya.

Lembah itu benar-benar telah dicengkam oleh keheningan yang sangat tegang. Semua orang yang berdiri melingkari arena pertempuran yang sangat dahsyat itu tidak dapat menahan kekaguman di dalam hati. Di tengah-tengah arena itu berdiri dua orang yang memiliki kelebihan yang hampir tiada bandingnya. Kiai Gringsing yang melepaskan puncak ilmunya itu telah mampu menimbulkan kekaguman yang sangat. Ternyata ujung cambuknya bukan saja mampu menyayat-nyayat pakaian Panembahan Alit. Tetapi ternyata bahwa bekas cambuk itu bagaikan bara api yang mampu membakar Panembahan itu sehingga menjadi hangus.

Namun kekaguman mereka pun kemudian bertumpu kepada kemampuan Panembahan Alit bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing yang telah membakar pakaiannya itu. Kulitnya yang dilambari oleh ilmu kekebalan itu sama sekali tidak terluka. Meskipun tampak juga jalur-jalur kehitam-hitaman seakan-akan kulit itu telah disengat oleh api.

Sejenak Panembahan Alit masih berdiri tegak dengan pedang terjulur. Kemudian tampak Panembahan itu menggerakkan tangannya, siap untuk menusuk perut Kiai Gringsing yang sudah menjadi semakin lemah.

Tetapi Kiai Gringsing pun pantang menyerah. Dengan sisa puncak ilmu yang masih ada, sekali lagi ia meledakkan cambuknya, tepat mengenai leher Panembahan Alit.

Ternyata ilmu Panembahan Alit masih mampu bertahan. Lehernya sama sekali tidak terluka.

Tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar arena itu pun kemudian menyaksikan perubahan yang terjadi pada keduanya. Kiai Gringsing yang kehilangan pemusatan ilmunya itu pun menjadi semakin tidak berdaya. Cambuknya tidak lagi menggetarkan tebing dan meruntuhkan dedaunan.

Namun dalam pada itu, orang-orang itu pun melihat tatap mata Panembahan Alit seakan-akan menjadi kosong di dalam keputus-asaannya. Ia tidak lagi berpengharapan apa pun selain membinasakan lawannya sebelum ia sendiri menyudahi hidupnya di peperangan.

Sejenak orang-orang yang berdiri di seputar arena itu menjadi tegang. Mereka melihat Kiai Gringsing melangkah surut. Dan mereka pun melihat Panembahan Alit selangkah maju mendekati dengan pedang di tangan.

Betapa pun juga, Kiai Gringsing masih tetap siap melecutkan cemetinya, meskipun pandangan matanya menjadi kabur. Darah yang mengalir dari lukanya telah membasahi sebagian besar tubuhnya. Luka-lukanya di pundak, lengan, dan lambung rasa-rasanya telah menghisap semua tenaganya dan bahkan pemusatan puncak ilmunya.

Ketika Panembahan Alit melangkah sekali lagi, maka dengan lemahnya Kiai Gringsing masih mengayunkan cambuknya. Tetapi cambuknya tidak lagi melecut dan meledak dalam gerak sendal pancing. Bahkan di luar kemampuan Kiai Gringsing yang lemah itu, ternyata ujung cambuknya telah tersangkut pada tubuh Panembahan Agung.

Di saat terakhir itulah Kiai Gringsing telah kehilangan segenap kemampuannya untuk bertahan. Matanya menjadi berkunang-kunang. Ia sadar, bahwa terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya, sehingga ia tidak mampu lagi mempertahankan puncak ilmunya.

Sekilas Kiai Gringsing masih melihat Panembahan Alit yang tidak dapat dilukainya itu masih berdiri tegak tanpa mengibaskan ujung cambuknya.

Sesaat kemudian, Kiai Gringsing sudah tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Perlahan-lahan ia terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya. Ia masih mencoba berpegangan pada tangkai cambuknya yang ujungnya tersangkut pada lawannya. Tetapi rasa-rasanya kesadarannya menjadi semakin samar. Dan ia pun jatuh terlentang di atas tanah dengan perlahan-lahan.

Semua orang yang menyaksikan menahan nafas. Bakan rasa-rasanya jantung Agung Sedayu dan Swandaru akan meledak menyaksikan hal itu. Kekalahan gurunya akan berarti kebinasaan bagi semua orang yang ada di lembah itu, karena Panembahan Alit akan mampu mengalahkan setiap orang dari mereka. Apalagi apabila Panembahan Agung sendiri akan turun ke gelanggang.

Namun demikian, bukan saja keduanya, tetapi semua orang yang ada di sekitar arena itu telah membulatkan hati untuk melawan siapa pun juga tanpa menghiraukan apa pun akibatnya.

Tetapi ternyata bahwa sekali lagi mereka dicengkam oleh peristiwa yang menggetarkan dada mereka. Ternyata demikian Kai Gringsing terjatuh dan berpegangan pada tangkai cambuknya, perlahan-lahan Panembahan Alit pun bagaikan dihisap pula oleh ujung cambuk itu. Ternyata kemampuan jasmaniahnya terbatas pula seperti Kiai Gringsing. Meskipun kulitnya tidak terluka, namun Panembahan Alit telah kehilangan semua kekuatannya. Seperti Kiai Gringsing, maka perlahan-lahan Panembahan Alit pun terjerembab jatuh di atas tanah.

Mereka yang mengerumuni arena itu melihat, segumpal darah yang kehitam-hitaman meloncat dari mulut Panembahan Alit itu.

Sejenak orang-orang di sekitar arena itu terdiam mematung, namun Ki Argapati pun segera menyadari bahwa ia harus berbuat sesuatu. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa ia mendekati Kiai Gringsing yang sudah terbaring diam. Dilekatkannya telinganya di dada orang tua itu. Dan perlahan-lahan ia berdesis, “Aku masih mendengar detak jantungnya.”

Agung Sedayu, Swandaru dan orang-orang lain bagaikan sadar dari mimpi mereka yang paling buruk. Mereka pun segera berloncatan mendekatinya.

“Darah ini masih saja mengalir,” desis Ki Argapati. Lalu, “Jika Kiai Gringsing kehabisan darah, maka tidak ada jalan untuk menolongnya.”

Orang-orang yang ada di sekitarnya saling berpandangan sejenak. Kiai Gringsing sendiri sudah menjadi semakin lemah. Matanya terpejam dan nafasnya menjadi terengah-engah.

“Ki Gede,” tiba-tiba Agung Sedayu berdesis, “biasanya Kiai Gringsing membawa obat pada kantong ikat pinggangnya.”

“O,” Ki Argapati dengan tergesa-gesa mencari obat yang memang biasa dibawa oleh Kiai Gringsing.

Ternyata di kantong ikat pinggang Kiai Gringsing memang terdapat beberapa bumbung kecil berisi serbuk-serbuk obat. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat mengatakan, yang manakah yang harus dipergunakan.

Dalam kebingungan itu, Ki Argapati mencoba berbisik ditelinga Kiai Gringsung, “Kiai, Kiai?”

Ternyata bahwa perlahan-lahan Kiai Gringsing masih sempat membuka matanya. Meskipun kabur, namun ia melihat bayangan orang-orang yang mengerumuninya.

Ki Argapati mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Ditunjukkannya beberapa buah bumbung di tangannya. Bumbung kecil yang berwarna wulung, yang lain berwarna kuning dan yang lain lagi dari ujung pring tutul yang berbintik-bintik.

Ketika Ki Argapati menunjukkan sebuah bumbung kecil yang terbuat dari pring gading, maka Kiai Gringsing mengangguk kecil.

Ki Argapati tidak menyia-nyiakan waktu. Ia tahu bahwa obat yang dicarinya terdapat di dalam bumbung kecil itu. Karena itu, maka ia pun segera membukanya dan menaburkan serbuk berwarna putih kehitam-hitaman ke atas luka-luka di lengan, pundak dan lambung Kiai Gringsing.

Betapa lemahnya orang tua itu, namun ternyata perasaan sakit yang menyengat membuatnya menggeliat. Namun kemudian orang tua itu mengatupkan bibirya rapat-rapat. Bahkan Kiai Gringsing itu pun kemudian jatuh pingsan.

Namun dalam pada itu, ternyata obat yang ditaburkannya di atas luka-lukanya mulai bekerja. Perlahan-lahan darah yang mengalir itu pun menjadi mampat.

“Mudah-mudahan kita berhasil,” desis Ki Demang yang sejak semula berdiri saja seperti patung.

“Mudah-mudahan,” desis Ki Argapati.

Di belakang Ki Argapati, Pandan Wangi berdiri termangu-mangu. Sekilas terkenang ujung dari peristiwa ini. Semula yang akan dilakukannya hanyalah sekedar berburu di hutan liar itu. Tetapi akhirnya ia telah menyeret Tanah Perdikan Menoreh ke dalam peperangan yang gawat. Sudah barang tentu ada beberapa orang korban yang jatuh. Dan bahkan di hadapannya seorang tua yang memiliki ilmu hampir sempurna ini pun terbaring diam dengan beberapa buah luka di tubuhnya.

Tetapi ketika orang-orang itu melihat luka di tubuh Gringsing tidak lagi mengucurkan darah, mereka menjadi agak tenang dan berpengharapan.

Dalam pada itu, barulah mereka teringat pada tubuh yang lain yang terbaring tidak jauh dari tempat itu. Tubuh Panembahan Alit.

Prastawa yang pertama-tama menyentuh tubuh itu, menarik rafas dalam-dalam sambil berkata, “Ia sudah meninggal.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Orang-orang yang lain telah menyibak. Dan Ki Argapati pun mendekati tubuh yang terbaring diam itu. sementara Ki Demang Sangkal Putung masih tetap menunggui Kiai Gringsing.

Ketika Ki Argapati meraba-raba tubuh Panembahan Alit yang bagaikan disengat oleh bara api hampir di seluruh tubuhnya, meskipun tubuh itu tidak terluka sama sekali, terasa betapa kedahsyatan ilmu Kiai Gringsing telah meremukkan tulang-tulangnya.

“Panembahan Alit memang seorang yang kebal,” berkata Ki Argapati, “tetapi ternyata bagian dalam tubuhnya tidak mampu bertahan atas ujung cambuk Kiai Gringsing. Ujung cambuk yang mampu membakar pakaiannya dengan ledakan-ledakan yang dahsyat dan membuat jalur-jalur hitam di kulit yang kebal ini.”

Orang-orang yang kemudian mengerumuni tubuh yang terbaring diam itu menjadi semakin kagum. Kagum akan kekebalan kulit Panembahan Alit dan kagum akan kedahsyatan tenaga Kiai Gringsing yang mampu meremukkan bagian dalam tubuh Panembahan Alit itu.

“Jika kita tidak bersama Kiai Gringsing dan Ki Waskita,” berkata Sutawijaya kemudian dengan nada yang dalam dan datar, “aku kira, yang akan kembali hanyalah sekedar nama-nama kita saja.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tiba-tiba ia teringat Ki Waskita, sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Ya, Ki Waskita masih belum ada di antara kita.”

Semua orang menengadahkan wajahnya. Mereka tidak lagi melihat bentuk-bentuk semu di sekitar lembah itu. Karena itu, maka Pandan Wangi pun berdesis, “Masih ada seorang yang lain yang harus dihadapi.”

“Ya, Panembahan Agung,” desis Sutawijaya.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tampak ketegangan membayang di wajahnya. Panembahan Agung tentu memiliki kemampuan yang setidak-tidakmya mengimbangi kemampuan Panembahan Alit di dalam olah kanuragan, selain ilmu semunya. Dan Ki Argapati tidak lagi dapat mengharapkan Kai Gringsing yang sudah terluka parah.

Namun dalam pada itu mereka semuanya terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata di antara mereka, “Serahkan Panembahan Agung kepada Ki Waskita.”

“Ki Sumangkar,” desis beberapa orang bersamaan. Perhatian mereka yang terpusat kepada Kiai Gringsing dan Panembahan Alit membuat mereka tidak segera melihat kehadiran Ki Sumangkar yang membimbing seorang anak muda.

Sumangkar tersenyum. Tetapi di wajahnya masih nampak ketegangan yang mencengkam perasaannya. Sambil membimbing Rudita ia melangkah maju.

“Aku telah mengambil Rudita dari sarang mereka,” berkata Sumangkar.

“Syukurlah,” Pandan Wangi-lah yang meloncat ke depan. Wajahnya seolah-olah memancar meskipun hanya sejenak. “Jadi, tidak terjadi apa-apa atasmu Rudita?”

Rudita termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian menggelengkan kepalanya.

“Kau tidak mengalami sesuatu?” bertanya Pandan Wangi seolah-olah tidak percaya.

Sekali lagi Rudita menggeleng. Perlahan-lahan ia menjawab seolah-olah suaranya tersangkut di kerongkongannya, “Tidak, Pandan Wangi.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam sambil menekankan tangannya di dadanya, “Syukurlah. Tuhan masih melindungi kita semua.”

Namun dalam pada itu Ki Argapati bertanya, “Tetapi di manakah Ki Waskita?”

“Aku sudah menyerahkan anak ini kepada ayahnya. Tetapi Ki Waskita mengembalikannya kepadaku. Ia kini sedang berusaha untuk menemukan Panembahan Agung.”

“O,” dada Ki Argapati menjadi berdebar-debar.

“Ia merasa berkewajiban untuk menemukannya,” sambung Ki Sumangkar.

“Tetapi, apakah Ki Waskita sudah siap menghadapinya dengan segala macam cara?” bertanya Ki Argapati.

“Ia cukup masak di dalam sikap. Karena itu, ia tentu dapat mengukur dirinya sendiri sebelum ia memutuskan untuk menemui Panembahan Agung.”

Ki Argapati tidak menyahut. Namun nampak kecemasan membayang di wajahnya meskipun tidak dikatakannya, karena jika dengan demikian Rudita akan menjadi semakin gelisah.

“Ki Waskita minta agar Rudita berada di antara kita. Agaknya tidak lagi akan ada bahaya yang mengancam. Seandainya masih ada juga, maka kita bersama-sama akan dapat melindunginya.”

Ki Argapati masih saja mengangguk-anggukkan kepalanya.

Namun tiba-tiba saja Ki Sumangkar bertanya, “Jadi bagaimana dengan Kiai Gringsing?”

Ki Argapati berpaling memandangi tubuh Kiai Gringsing yang masih terbaring ditunggui oleh Ki Demang Sangkal Putung.

“Lukanya sudah tidak lagi mengucurkan darah. Tetapi ia menjadi sangat lemah.”

“Luka itu tampaknya cukup parah.”

“Ya, cukup parah. Mudah-mudahan kita tidak terlambat. Darahnya sudah terlampau banyak mengalir.”

Ki Sumangkar termenung sejenak. Namun kemudian perlahan-lahan ia melangkah mendekati Kiai Gringsing.

“Ia pingsan,” desis Ki Argapati.

“Tetapi ia sudah mulai menggerakkan pelupuk matanya,” desis Ki Demang Sangkal Putung.

“Apakah tidak ada setitik air yang dapat dipercikkan ke bibirnya. Agaknya Kiai Gringsing merasa haus sekali.”

“Kita belum tahu, apakah ada air di sekitar tempat ini. Dan seandainya di padukuhan itu ada air, apakah airnya masih dapat kita minum tanpa kecurigaan apa pun juga.”

Ki Sumangkar menjadi termangu-mangu. Ia sadar, bahwa segala cara dapat dipakai oleh lawan untuk membunuh musuhnya. Dan Ki Sumangkar pun kadang-kadang masih merasa ngeri mendengar cerita tentang racun di Alas Mentaok.

Ketika Ki Sumangkar kemudian berjongkok di samping Kiai Gringsing, ternyata orang itu sudah mulai sadar. Karena itu maka Ki Sumangkar pun kemudian berkata, “Jika Kiai Gringsing mendapatkan kesadarannya sepenuhnya kembali, kita berpengharapan besar bahwa ia akan dapat sembuh kembali. Kiai Gringsing tentu dapat menyebut obat apakah yang diperlukannya.”

Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Apakah tidak sebaiknya Kiai Gringsing kita sisihkan dan kita tempatkan di tempat yang agak tenang?”

“Sebaiknya demikian. Biarlah murid-muridnya membawanya ke bawah pepohonan yang rimbun di kaki tebing itu,” sahut Sumangkar.

Demikianlah maka Agung Sedayu dan Swandaru membawa Kiai Gringsing yang masih sangat lemah itu menepi. Tetapi Kiai Gringsing ternyata sudah tidak pingsan lagi. Tetapi wajahnya masih sangat pucat dan tubuhnya sangat lemah.

Dalam pada itu, ketika Kiai Gringsing sudah berada di tempat yang lebih tenang, maka Ki Argapati pun mulai menanyakan lagi tentang Ki Waskita.

“Ia pergi seorang diri.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam, lalu, “Apakah tidak sebaiknya kita menyusulnya?”

Sumangkar merenung selenak, lalu, “Ki Gede. Sebaiknya Ki Gede berada di tempat ini. Kiai Gringsing tidak akan dapat ditinggalkan begitu saja. Biar aku sajalah yang mencari Ki Waskita. Mungkin aku dapat menemukannya.”

Ki Argapati memandang Ki Sumangkar sejenak, lalu, “Tugas itu cukup berbahaya, Ki Sumangkar.”

“Aku sadari. Tetapi aku sudah berniat melakukannya,” tanpa disadari Ki Sumangkar memandang kaki Ki Gede yang cacat, sehingga Ki Gede Menoreh memotong kata-katanya, “Aku mengerti, Ki Sumangkar. Agaknya Ki Sumangkar mencemaskan kakiku.”

“Bukan, Ki Gede,” cepat-cepat Sumangkar menyahut, “bukan hanya karena itu. Tetapi ada sebab-sebabnya yang lain. Dan agaknya Ki Argapati memang lebih baik berada di sini.”

“Jika demikian, biarlah aku saja yang ikut bersamamu,” berkata Sutawijaya tiba-tiba.

Ki Sumangkar memandang anak muda itu sejenak, lalu, “Angger memimpin pasukan dari Mataram.”

Sutawijaya termenung seienak. Kemudian dilontarkannya pandangan matanya ke padepokan yang sudah benar-benar dikuasai oleh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Maka katanya kemudian, “Di sini sudah tidak ada apa apa lagi. Pasukan kita sudah menguasai keadaan sepenuhnya.”

“Tetapi persoalannya belum berarti selesai. Jika timbul sesuatu yang memerlukan keputusan Raden, maka Raden harus berada di antara mereka.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.

Dalam pada itu Ki Sumangkar pun kemudian berkata, “aku akan pergi sendiri. Aku serahkan Rudita kepada Ki Argapati. Mudah-mudahan aku segera menemukannya.”

“Hati-hatilah,” pesan Ki Argapati, “Panembahan Alit telah berhasil mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing. Bahkan hampir saja membawanya serta ke dalam kekuasaan maut. Karena itu Panembahan Agung tentu merupakan orang yang lebih berbahaya dari Panembahan Alit itu.”

“Baiklah, Ki Gede,” jawab Sumangkar, “aku akan sangat berhati-hati.”

Demikianlah maka Ki Sumangkar pun meninggalkan para pemimpin pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh yang sedang menunggui Kiai Gringsing. Namun agaknya keadaan Kiai Gringsing sendiri menjadi berangsur baik.

Dengan tergesa-gesa Sumangkar mencoba mencari jejak yang ditinggalkan oleh Ki Waskita. Karena Ki Waskita tidak berusaha untuk menghilangkan jejaknya, maka Ki Sumangkar dapat melihat dengan jelas. Ranting-ranting yang patah, rerumputan yang terinjak kaki dan jejak-jejak kaki di atas tanah berdebu di sela-sela batu padas.

Sementara itu, Panembahan Agung masih menunggu. Beberapa orang pengawalnya yang menebar dengan penuh kewaspadaan mengawasi segala penjuru. Setiap saat Ki Waskita yang juga disebut Jaka Raras itu dapat meloncat menyerang.

Ki Waskita sendiri tidak berani bertindak dengan tergesa-gesa. Ia pun menyadari bahwa Panembahan Agung bukan orang yang dapat diabaikan kemampuannya, meskipun Jaka Raras sendiri memiliki bekal yang cukup untuk melawannya. Panahnya dan kekuatan busurnya yang besar, merupakan senjata yang sangat dahsyat. Jika anak panah itu berhasil menyentuh tubuhnya maka tulang-tulangnya pun akan menjadi lumat karenanya.

Karena itu Ki Waskita harus memperhitungkan sebaik-baiknya, apakah yang harus dilakukannya.

Dari tempatnya bersembunyi, ia dapat melihat samar-samar beberapa orang pengawal Panembahan Agung, sehingga karena itu ia harus bertindak dengan tepat. Jika pengawalnya itu dapat mengetahui, bahwa ia bersembunyi di balik gerumbul atau batu, maka Panembahan Agung tentu akan menghancurkan batu atau membakar gerumbul itu dengan panahnya yang besar sekali itu.

Sejenak Ki Waskita mencari cara yang paling baik dilakukan. Ia pun sadar, bahwa para pengawal Panembahan Agung itu tentu bukan orang-orang kebanyakan pula. Mereka tentu dipilih di antara pengawal yang lain.

Panembahan Agung sendiri menjadi sangat tegang. Sudah beberapa lama ia menunggu. Rasa-rasanya bahkan sudah terlampau lama. Tetapi Ki Waskita masih belum berbuat sesuatu.

Tetapi Ki Waskita tidak dapat dipancingnya keluar. Panembahan Agung sadar bahwa Ki Waskita yang dikenalnya bernama Jaka Raras itu pun mempunyai perhitungan yang masak pula.

Karena itu untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak hanya saling menunggu saja. Panembahan Agung tidak dapat mencari Ki Waskita, sedang Ki Waskita tidak segera menemukan cara untuk menyerang, karena Panembahan Agung memiliki beberapa orang pengawal. Jika ia menyerang juga, maka kedatangannya tentu sudah diketahui sebelumnya, dan anak panah Panembahan Agung akan menghujaninya tanpa kesempatan untuk mengelak sama sekali.

Dalam pada itu, Sumangkar pun menjadi semakin dekat pula dengan arena ketegangan yang senyap itu. Dari puncak bukit ia mencoba memandang ke tebing seberang. Sejenak Sumangkar merenung. Ia tahu pasti, bahwa jejak Ki Waskita berhenti untuk sesaat di tempat itu.

Tiba-tiba dadanya menjadi berdebar-debar. Di lereng, ia melihat beberapa buah bintik yang bergerak-gerak. Ia melihat beberapa orang yang berdiri dan berjalan-jalan hilir-mudik.

“Apakah mereka itu Panembahan Agung dengan pengawalnya?” bertanya Sumangkar di dalam hati.

Tetapi Sumangkar tidak yakin akan penglihatannya. Kadang-kadang ia masih saja ragu-ragu, bahwa ia melihat bentuk semu yang sebenarnya sama sekali tidak ada.

Karena itu untuk beberapa saat Sumangkar tidak melanjutkan langkahnya. Ia masih menunggu, apakah sebenarnya yang dilihatnya itu.

Sementara itu, Ki Waskita yang masih saja bersembunyi di balik sebuah batu, tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejengkal ia bergeser. Dilihatnya seseorang yang berdiri beberapa langkah daripadanya, menghadap ke arah yang lain. Ketika dengan hati-hati ia menjenguk semakin jauh, dilihatnya orang yang lain lagi dengan senjata telanjang di tangannya.

Tiba-tiba saja Ki Waskita bertekad untuk mulai. Ia tidak dapat berada di balik batu untuk waktu yang tidak terbatas. Apa pun yang terjadi, ia sudah bertekad untuk melawan Panembahan Agung sejadi-jadinya.

Sejenak ia memusatkan kemampuan lahir dan batinnya. Sekali lagi ia memohon kepada Penciptanya, agar ia mendapatkan petunjuk, apakah yang harus dilakukannya.

Dalam pada itu, para pengawal Panembahan Agung itu pun tiba-tiba terkejut ketika mereka melihat seseorang yang merunduk dari balik sebuah batu dan hilang di belakang semak-semak.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berdesis, “Aku melihat sesuatu bergerak di balik gerumbul itu.”

“Ya. Aku juga,” sahut yang lain.

“Kita lihat, siapa yang berada di balik gerumbul itu. Jika benar yang kita lihat itu seseorang, maka tentu orang yang sedang kita tunggu itulah.”

Dengan hati-hati keduanya mendekati gerumbul itu. Beberapa langkah kemudian mereka berpencar. Mereka ingin mencapai orang yang bersembunyi itu dari dua arah.

Namun agaknya orang yang bersembunyi itu telah melihat keduanya lebih dahulu, karena tiba-tiba saja orang itu pun merunduk berlari meninggalkan gerumbul itu ke gerumbul yang lain.

Setelah yakin bahwa yang ditunggunya berusaha menghindar maka salah seorang dari kedua pengawal itu berkata lantang, “Orang itu berada di sini.”

Para pengawal yang lain pun berlari-larian mendekatinya. Dengan tegang pengawal itu menunjuk sebuah gerumbul perdu yang rimbun sambil berkata, “Kepung gerumbul perdu itu.”

Dalam pada itu, Panembahan Agung pun menjadi tegang. Dari tempatnya ia tidak melihat sesuatu, sehingga karena itu ia bertanya, “Apakah yang kalian lihat?”

“Seseorang. Tentu yang sedang mengejar kita,” jawab salah seorang.

“Di mana?”

“Ia berlari dari balik batu besar itu, kemudian bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul. Kita akan mengepungnya, agar orang itu tidak dapat lolos lagi.”

Panembahan Agung menjadi ragu-ragu. Tetapi ia berkata, “Giringlah orang itu mendekat, agar aku dapat melumatkannya dengan anak panahku.”

“Baik, Panembahan.”

“Tetapi hati-hatilah. Ia bukan orang kebanyakan. Jika kalian tidak berhasil, berilah aku tanda sebelum kalian semuanya punah oleh ilmunya.”

Para pengawalnya itu pun kemudian berdiri dalam sebuah lingkaran mengepung sebuah gerumbul yang rimbun. Selangkah demi selangkah mereka maju, sedang Panembahan Agung pun sudah siap dengan anak panahnya.

Namun betapa terkejut Panembahan Agung, ketika ia mendengar desir lembut di belakangnya. Dengan cepatnya ia memutar tubuhnya. Dan dilihatnya Jaka Raras itu berdiri beberapa langkah dari padanya.

“Gila,” Panembahan Agung itu bergumam.

“Ajaklah anak buahmu mengenal bentuk-bentuk semu itu Panembahan, agar anak buahmu tidak mengejar sekedar bayangan yang tidak berarti.”

Panembahan Agung tidak menjawab. Ia harus bertindak cepat menghadapi seseorang yang memiliki kelebihan seperti Jaka Raras itu agar ia tidak menjadi korban kelambatannya. Itulah sebabnya ia tidak menyahut lagi. Namun hampir tidak dapat dilihat dengan mata, tangannya telah memasang anak panah pada busurnya, menarik talinya, dan sekejap kemudian sebuah anak panah raksasa telah meluncur mengarah ke dada Jaka Raras.

Tetapi Jaka Raras pun sudah bersiap menghadapi serangan itu. Selangkah ia bergeser, dan anak panah itu menghantam sebuah batu padas di belakangnya sehingga pecah berantakan.

Namun Jaka Raras terkejut, bahwa sebelum ia sempat memperbaiki keseimbangannya, anak panah kedua telah terlepas dari busurnya. Dengan demikian Jaka Raras tidak dapat berbuat lain daripada melemparkan dirinya sekali lagi agar anak panah itu tidak menyambar lehernya.

Tetapi demikian kakinya menginjak tanah berbatu padas, anak panah ketiga telah mengarah ke dadanya pula. Tidak ada kesempatan baginya untuk menghindar. Karena itu, maka tidak ada cara lain daripada melindungi dadanya dengan menangkis anak panah raksasa itu.

Meskipun Jaka Raras masih agak ragu-ragu, tetapi ia tidak sempat membuat banyak pertimbangan. Diangkatnya tangannya yang dibalut dengan ikat pinggangnya yang berlapis baja tipis, tetapi baja pilihan.

Sejenak kemudian terdengarlah benturan yang sangat dahsyat. Sepercik bunga api meloncat keudara ketika mata anak panah Panembahan Agung menghantam baja pilihan lapisan dari ikat pinggang Ki Waskita yang dililitkan di tangannya itu.

Selangkah Ki Waskita terdesak surut. Tetapi ternyata bahwa lapisan baja pada ikat pinggangnya tidak sobek oleh ujung anak panah raksasa itu, meskipun tampak juga bekasnya yang lekuk cukup dalam.

Panembahan Agung menjadi termangu-mangu melihat kemampuan Jaka Raras. Apalagi ketika Panembahan Agung melepaskan anak panahnya yang berikutnya.

Jaka Raras yang telah berhasil menyiapkan dirinya, berdiri agak condong ke depan. Sebuah kakinya ditekuknya pada lututnya sedang kakinya yang lain ditariknya sedikit ke belakang. Tangan kirinya yang dibalut dengan ikat pinggangnya siap untuk menangkis setiap serangan, sedang tangannya yang lain telah memutar rantainya yang pada ujungnya disangkutkan sebuah cakram kecil yang bergerigi.

“Gila,” geram Panembahan Agung, “kau berhasil menangkis anak panahku.”

“Panembahan,” berkata Ki Waskita, “kita sudah menjadi semakin tua. Sebaiknya kita berbuat baik bagi sesama. Karena itu, cobalah mengerti, bahwa tidak ada gunanya lagi kau menumbuhkan pertengkaran di antara kita.”

“Tutup mulutmu!” bentak Panembahan Agung. “Sebentar lagi kau akan mati dan dicincang oleh pengawal-pengawalku.”

Ki Waskita terdiam sejenak. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung yang agaknya sudah menyadari kesalahan mereka.

Sejenak Ki Waskita berdiri termangu-mangu. Dilihatnya para pengawal itu memandanginya masih dari tempat mereka disesatkan oleh bentuk semu yang dibuat oleh Ki Waskita.

“Jaka Raras,” berkata Panembahan Agung, “jangan menyesal bahwa kau sudah menyusul aku. Agaknya kau benar-benar sudah jemu hidup. Jika kau sudah menemukan anakmu, sebenarnya persoalanmu sudah selesai. Dan kau tidak perlu ikut campur dalam persoalan-persoalan berikut.”

Ki Waskita menarik nafas. Katanya, “Panembahan Agung. Aku sudah berjanji di dalam diriku sendiri untuk menghentikan petualanganmu yang sesat itu. Kenapa kau tidak mendengarkan tawaranku. Berhentilah. Dan marilah kita berbuat baik untuk tanah kelahiran kita. Kita tahu bahwa Mataram itu kini sedang tumbuh. Apakah salahnya jika kita justru membantu. Bukan menghalang-halangi. Sudah berapa puluh korban yang jatuh dalam usahamu menggagalkan perkembangan Mataram karena ternyata kau sendiri menghendakinya. Hantu-hantuanmu telah gagal. Racun yang kau sebarkan di daerah yang sedang dibuka itu pun tidak berhasil. Kemudian kau mencoba membenturkan Pajang dan Mataram ketika Senapati Pajang di daerah Selatan ini, Untara, sedang melangsungkan perkawinannya. Yang terakhir kau berusaha menutup daerah yang seharusnya sedang berkembang itu dari dunia luar. Nah, kenapa kau tidak berpikir untuk menghentikan usahamu yang selalu gagal itu?”

“Jaka Raras,” jawab Panembahan Agung, “setiap orang tentu mempunyai cita-cita. Aku pun mempunyai cita-cita. Apakah yang akan aku dapatkan jika Mataram menjadi ramai dan bahkan menjadi sebuah negeri. Aku hormat kepada Ki Gede Pemanahan, tetapi aku membenci Sutawijaya dalam segala bentuknya. Ia adalah putra angkat Sultan Pajang. Seharusnya ia tunduk kepada semua perintah ayah angkatnya, karena Sultan Pajang bukan saja ayah angkatnya, tetapi juga guru dan rajanya. Tiga kedudukan yang seharusnya memaksa Sutawijaya itu untuk tidak berbuat khianat kepada Pajang. Tetapi apa yang dilakukannya. Ia membuka Mataram dengan tujuan yang tidak baik. Ia ingin menghisap kebesaran Pajang ke Mataram. Dan yang terakhir, ia telah menodai seorang gadis yang dipersiapkan untuk menjadi istri Sultan Pajang itu sendiri. Yang seharusnya menjadi ibunya.”

Jaka Raras mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Setiap orang dapat memandang Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu dari seginya masing-masing. Dan kau memandang dari segi yang buram. Tetapi demikian juga setiap orang berhak menyebut Sultan Pajang dengan semua kelebihan dan kekurangannya sehingga memaksa Sutawijaya untuk berbuat sesuatu.”

“Apakah bedanya solah tingkah Sutawijaya itu dengan yang sedang aku lakukan? Kita masing-masing ingin mengambil alih kekuasaan Pajang. Dan kita masing-masing mempunyai cara kita sendiri.”

“Panembahan Agung,” berkata Jaka Raras, “apakah sebenarnya Sutawijaya itu sudah melakukan seperti yang kau katakan? Alas Mentaok sudah resmi diserahkan kepadanya oleh ayahandanya Sultan Pajang. Apakah salahnya jika ia membuka hutan itu dan kemudian mengusahakannya menjadi negeri yang ramai?”

“Kau jangan berpura-pura bodoh, Jaka Raras. Aku tahu kau memiliki ketajaman penglihatan lahir dan batin. Kau bukan saja mampu membuat uraian atas peristiwa-peristiwa yang terjadi, kemudian membuat kesimpulan berdasarkan perhitungan. Tetapi kau juga mampu melihat dari segi yang lain dari perhitungan nalarmu. Nah, karena itu jangan mencoba membodohkan diri sendiri.”

“Hanya karena prasangka buruk saja kau berpendapat demikian, Panembahan Agung, yang juga bergelar Panembahan Cahyakusuma dan pernah menyebut dirimu sendiri dengan Panembahan Panjer Bumi atau barangkali masih ada sebutan-sebutan lain. Seharusnya kau tidak usah berprasangka demikian. Biarlah Mataram berkembang.”

“Kau memiliki kemampuan tiada bandingnya. Tetapi jiwamu adalah jiwa penjilat kecil yang sama sekali tidak bercita-cita selain menggantungkan diri kepada orang lain. Kenapa kau tidak ingin berbuat sesuatu yang dapat mengangkat derajadmu? Kenapa kau sekedar menerima nasibmu yang buruk itu?”

“Setiap orang dapat bercita-cita setinggi bintang. Tetapi tidak setiap orang sampai hati berbuat onar seperti kau. Mengorbankan orang lain dan bahkan meletakkan bebanten tanpa hitungan. Caramu telah menimbulkan kekacauan dan bahkan kau harapkan peperangan antara Pajang dan Mataram. Apakah yang menarik dalam setiap peperangan? Kematian, luka-luka parah yang mengerikan? Anak-anak menjadi yatim dan perempuan menjadi janda? Adakah sepantasnya kita mencoba meraih cita-cita kita yang setinggi bintang itu dengan alas mayat yang bertimbun-timbun?”

“Kau memang berjiwa budak kecil yang hanya pantas menghambakan diri. Jika demikian sepanjang umurmu kau tidak akan dapat berdiri di depan.”

“Aku tidak memerlukannya, Panembahan Agung. Karena itu, marilah kita hentikan semuanya ini. Kau dapat bekerja bersama kami, membangun Mataram menjadi sebuah negeri.”

“Persetan! Jangan membujuk seperti membujuk anak kecil.”

“Jadi, apakah kita harus bertempur?”

“Apa boleh buat. Anak panahku pada suatu saat akan menyobek dadamu.”

Jaka Raras menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya para pengawal Panembahan Agung berdiri termangu-mangu.

“Panembahan,” berkata Jaka Raras, “aku terpaksa bertindak atasmu. Aku akan menghapuskan semua kemampuan ilmumu. Jika kau tetap bertahan, maka aku minta maaf, bahwa jiwamu pun akan serta bersama ilmumu yang kau pergunakan untuk tujuan yang sesat itu, meskipun bukan itulah yang aku kehendaki.”

Wajah Panembahan Agung menjadi merah padam. Ia benar-benar merasa terhina oleh Jaka Raras, seakan-akan Jaka Raras itu pasti, bahwa ia tidak akan dapat melawannya.

Karena itu, maka ia tidak berbicara lagi. Ia mulai lagi menghujani Jaka Raras dengan anak panah raksasa. Tetapi seperti yang sudah terjadi, Jaka Raras berhasil menangkis setiap anak panahnya. Sekali-sekali meloncat menghindar dan kadang-kadang memukul anak panah itu dengan cakram yang di putarnya seperti baling-baling.

Panembahan Agung menjadi semakin marah melihat kemampuan Jaka Raras yang seharusnya telah diketahuinya. Karena itu maka tiba-tiba saja ia berteriak, “Kepung orang ini! Hati-hati, jangan dikelabui lagi dengan bentuk-bentuk semu. Di hadapanku ia tidak akan sempat membuat bentuk-bentuk yang sebenarnya tidak ada itu.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar