Buku 064
“Bebahu Kademangan Semangkak
agaknya telah mengalami kesulitan mengendalikan anak-anak mudanya. Tetapi masih
juga dapat dicoba” berkata paman Wita.
“Biarlah Ki Jagabaya pergi ke
Semangkak.”
“Aku akan ikut serta” berkata
paman Wita.
“Baiklah. Kalau begitu,
pergilah ke rumah Ki Jagabaya, dan bawalah ia ke Semangkak. Katakan bahwa kau
telah menemui aku di sini.”
“Baiklah Ki Demang.”
“Aku akan berusaha agar
anak-anak Sangkal Putung tidak mengimbanginya.”
“Terima kasih. Aku akan segera
pergi ke rumah Ki Jagabaya. Mudah-mudahan ia ada di rumah.”
Demikianlah, sepeninggal paman
Wita, Ki Demang dengan prihatin mencoba mencari jalan, agar benturan antara
anak-anak muda itu dapat dihindarkan. Namun demikian Ki Demangpun merasa, bahwa
sulitlah kiranya untuk menekan perasaan anak-anak muda di Sangkal Putung.
“Kita harus berusaha,” berkata
Ki Demang kemudian, “dan sebagian besar dari masalah ini terletak di tanganmu
Swandaru.”
Swandaru tidak segera
menyahut.
“Kau harus berhasil menguasai
mereka sebelum anak-anak Semangkak itu datang.”
“Apa yang sebaiknya aku
lakukan Ayah?”
“Kau harus menyingkirkan
anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Jadi kita akan mengungsi ?”
Pertanyaan itu benar-benar
sulit untuk menjawabnya. Memang dalam menghadapi keadaan ini, perasaan dan
nalar tidak dapat selalu sejalan. Sebagai suatu Kademangan yang besar dan kuat,
anak-anak muda Sangkal Putung pasti merasa terhina apabila mereka harus lari
dan bersembunyi karena kedatangan anak-anak Semangkak Tetapi menurut
pertimbangan nalar, perkelahian yang demikian biasanya akan membawa akibat yang
berlarut-larut.
“Memang sulit,” tiba-tiba Ki
Demang berdesis, ”tetapi aku ingin bahwa benturan itu dapat terhindar tanpa
merendahkan diri kalian. Aku tahu, bahwa anak-anak muda Sangkal Putung tidak
mau di sebut lari, licik atau apalagi takut.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi kita harus menemukan
jalan itu” berkata Ki Demang kemudian.
Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja mengangguk-angguk. Dan tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata “Kita
bersembunyi meskipun tidak lari.”
“Maksudmu ?”
“Beberapa orang saja diantara
kita akan berada di Kademangan. Kita bersembunyi di atap kandang. Kita melihat
apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak apabila bebahu Kademangan
mereka tidak dapat mencegah mereka. Kalau mereka dapat diajak berbicara
syukurlah. Ki Demang dan Ki Jagabaya setelah pulang dari Semangkak akan
berbicara dengan mereka. Baru apabila hal itu tidak mungkin dilakukan, kami,
beberapa orang anak-anak muda akan mencoba mengusir mereka. Hanya beberapa
saja, supaya perasaan kami dapat dikendalikan. Kalau jumlah kami terlalu besar,
maka kami akan kehilangan kemampuan untuk mengendalikan diri, karena pengaruh
orang banyak. Di dalam suatu lingkungan yang besar, kita akan dapat kehilangan
kepribadian.”
Swandaru merenung sejenak.
Ditatapnya wajah ayahnya yang berkerut-merut. Agaknya Ki Demang sedang mencoba
merenungkan kata-kata Agung Sedayu itu.
“jadi maksudmu, anak-anak muda
Sangkal Putung jangan berbuat apa-apa?” bertanya Swandaru.
“Ya. Kecuali beberapa orang
yang justru sudah berpikir dewasa.”
Ki Demanglah yang kemudian
menyahut “Tetapi ada juga bahayanya. Jika mereka tidak dapat diajak berbicara,
apa yang akan kita lakukan dengan beberapa orang itu? Apalagi kalau mereka
menganggap bahwa anak-anak Sangkal Putung lari ketakutan, dan mereka berbuat
diluar dugaan.”
“Misalnya?”
“Mungkin angan-anganku
terlampau berlebih-lebihan. Tetapi kalau mereka membakar rumah ini?”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya “Memang dapat saja terjadi. Ledakan kemarahan yang
tidak menemukan sasaran memang akan dapat menimbulkan bencana di luar dugaan.
Tetapi sebelumnya kita memang harus memperhitungkan dengan cermat. Yang akan
tinggal di Kademangan adalah beberapa anak muda yang bukan saja dewasa cara
berpikir, tetapi juga cara bertindak. Aku dan Swandaru akan tetap berada di
sini. Kita masih memerlukan lima orang anak muda lagi.”
“Hanya bertujuh ?”
“Aku kira sudah cukup. Kalau
kami mengalami kesulitan, untuk sementara Ki Sumangkar dan Guru akan berusaha
memperlambat usaha anak-anak Semangkak itu, sementara salah seorang di antara
kami akan membunyikan tanda untuk memanggil beberapa orang, hanya beberapa
orang tertentu. Demikian berturut-turut, dengan tanda yang berbeda-beda.”
“Tampaknya terlampau sulit
untuk dijalankan.”
“Aku yakin, bahwa kita akan
dapat melakukannya. Susunan kesatuan pengawal yang masih ada di Sangkal Putung
sangat menguntungkan. Kita menghubungi pemimpin-pemimpin kelompok. Mereka harus
bertanggung jawab atas anak buah masing-masing.”
Swandaru menarik nafas.
Katanya ”Aneh sekali. Selama ini kita memanggil pemimpin-pemimpin kelompok
untuk menyiapkan para pengawal apabila ada musuh mendatang, kini kita berbuat
sebaliknya. Kita mengumpulkan para pengawal untuk menyingkir.”
“Sesekali. Memang ada kalanya
siput berjalan mundur.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ayahnya berkata “Swandaru. Ternyata pendapat angger Agung
Sedayu itu baik. Cobalah kita lakukan. Aku pada dasarnya tidak menghendaki
terjadi bentrokan antara anak-anak muda dari satu Kademangan dengan Kademangan
yang lain. Itu hanya akan membuang-buang tenaga dan terlebih-lebih lagi, kita
kehilangan ikatan kekeluargaan yang justru harus kita bina.”
Swandarupun kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Baiklah. Aku akan memanggil mereka,
para pemimpin kelompok.”
Tetapi Swandaru tidak
memanggil mereka dengan kentongan di Kademangan. Tanpa mengajak Agung Sedayu ia
pergi ke Banjar, dan memanggil para pemimpin kelompok pengawal dengan pertanda
kentongan dari banjar.
Setiap anak muda Sangkal
Putung dapat membedakan suara kentongan di banjar Kademangan, karena kentongan
itu termasuk salah satu dari beberara kentongan terbesar yang ada di Sangkal
Putung dengan warna nada khusus.
Ternyata suara kentongan itu
telah mengejutkan beberapa orang anak muda. Apalagi mereka yang dengan curiga
mengikuti peristiwa yang terjadi semalam.
“Apakah kita akan bertindak
sesuatu?” bertanya salah seorang dari anak-anak muda itu.
“Kita pergi ke Banjar.”
Ternyata di banjar Swandaru
mengumpulkan para pemimpin kelompok di ruangan dalam. Ia memberikan penjelasan
khusus dan terperinci, agar mereka tidak melakukan kesalahan yang akibatnya
justru bertentangan dengan yang mereka kehendaki sebenarnya.
“Apakah kalian sudah cukup
jelas ?” bertanya Swandaru kemudian.
“Ya.” sahut mereka hampir
berbareng “cukup jelas.”
“Kita menghindari benturan
jasmaniah. Itu tidak baik dan sama sekali tidak bermanfaat.”
“Kami mengerti.”
“Lima orang yang aku sebutkan,
ikut aku ke Kademangan. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.”
Para pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ikatan mereka tidak seerat pada
saat-saat Tohpati ada di depan hidung mereka, namun ternyata bahwa para
pemimpin kelompok itu masih mampu menghubungi anak buahnya. Tetapi tugas mereka
bertambah. Mereka harus mengatur juga anak-anak muda yang masih belum terikat
di dalam kelompok-kelompok pengawal. Namun demikian, agaknya anak-anak muda
yang pernah menjadi pengawal Kademangan Sangkal Putung di saat-saat yang gawat
itu, masih mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak muda yang sedang
menyusul tumbuh di bawah mereka selapis.
Dalam pada itu, paman Wita
bersama Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi ke Semangkak. Mereka bermaksud
langsung pergi menemui bebahu Kademangan Semangkak.
Tetapi di luar dugaan, ketika
mereka memasuki gerbang padukuhan Semangkak tiba-tiba saja mereka berpapasan
dengan segerombol anak-anak muda. Di antara mereka terdapat Wita.
“Paman?” wajah Wita menjadi
tegang.
Pamannyapun menjadi
berdebar-debar juga. Dipandanginya Wita yang berada diantara kawan-kawannya,
anak-anak muda yang tampaknya sedang dibius oleh dendam yang tidak mereka
mengerti sebab yang sebenarnya.
Sejenak suasana menjadi
tegang. Kawan-kawan Wita berdiri termangu-mangu. Sesekali mereka memandang
wajah Wita yang berkerut-merut kemudian memandang wajah orang yang mereka
jumpai itu.
Baru kemudian Wita bertanya
“Paman akan kemana?”
Paman Wita menjadi bingung
sejenak. Tetapi ia menemukan jawaban juga “Aku akan menemui ayahmu.”
“Untuk apa ?”
“Aku agak cemas, kau pagi-pagi
sekali sudah meninggalkan rumah kami. Jangan-angan ayahmu menjadi salah paham
tentang kau.”
“Aku dapat mengatakan
persoalanku kepada Ayah, bahwa Paman tidak apa-apa.”
“Tetapi boleh jadi ayahmu menganggap
bahwa kau tidak mau mengatakan persoalan yang sebenarnya. Karena itu, aku akan
menemuinya, supaya ayahmu tidak marah kepadaku.”
“Tidak usah. Paman tidak usah
pergi ke rumah.”
“Kenapa ?”
“Sebaiknya Paman tidak usah
menemui Ayah atau ibu atau siapapun juga.”
“Aku tidak mengerti Wita.”
“Maaf paman. Kami persilahkan
paman kembaii. Kami sedang sibuk di sini.”
“O” paman Wita menandang
anak-anak Semangkek itu dengan dada yang berdebar-debar. Tampak wajah-wajah
muda yang tegang, tetapi membayangkan pergolakan di dalam diri mereka. Ada
sesuatu yang bergejolak di dalam hati mereka. Gejolak yang seakan-akan
terrbendung, sehingga pada suatu saat memerlukan penyaluran.
“Betapa dahsyatnya tenaga yang
tersimpan di dalam diri mereka” berkata paman Wita di dalam hatinya “kalau saja
tenaga yang sedahsat itu dapat disalurkan. Maka tenaga yang dahsyat itu pasti
akan dapat membangkitkan kerja yang besar bagi Semangkak.”
Tetapi paman Wita tidak
mendapat kesempatan, karena Wita berkata “Paman, kami persilahkan Paman
kembaii.” Wita berhenti sejenak, lalu sambil memandang Ki Jagabaya, Wita
berkata “Ki Jagabaya dari Sangkal Putung pun akan kami persilahkan kembali ke
Sangkal Putung. Kami tidak dapat menerima Paman dan Ki Jagabaya dalam keadaan
ini.”
“Kenapa, dan apakah yang akan
kalian lakukan?”
“Tidak ada apa-apa Paman Kami
sedang mengerahkan tenaga anak muda Semangkak untuk membangun jalan-jalan yang
sudah terlampau jelek.”
“Alangkah baiknya jika
demikian. Lakukanlah. Tetapi aku akan menemui ayahmu.”
“Tidak usah. Paman harus
kembali ke Sangkal Putung.”
Paman Wita menarik nafas
dalam-dalam. Kedua orang Sangkal Putung itu adalah orang tua-tua yang cukup
berpengalaman, sehingga mereka merasa, dalam keadaan yang demikian, mereka
tidak akan dapat memaksakan kehendak mereka. Karena itu, maka Ki Jagabayapun
kemudian berkata ”Baiklah. Kalau kalian tidak mengijinkan kami memasuki daerah
Semangkak, kami akan segera kembali.”
Paman Wita mengerutkan
keningnya. Tetapi ketika ia memandang tatapan mata Ki Jagabaya, seolah-olah ia
dapat membaca isi hatinya, ”Kita mencari jalan lain.”
Karena itu, paman Witapun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata “Baiklah. Baiklah, kami
akan kembaii ke Sangkal Putung.”
“Terima kasih. Paman dan Ki
Jagabaya memang harus kembali ke Sangkal Putung, Tetapi kami ingin memberikan
penghormatan kepada Paman dan Ki Jagabaya”
“Maksudmu?” bertanya paman
Wita,
“Sebentar lagi matahari akan
segera turun dan tenggelam. Kami ingin mengantar Paman berdua.”
“He?” wajah paman Wita menjadi
merah.
“Paman kami persilahkan
menunggu sejenak. Kita akan pergi bersama-sama.”
“Gila” teriak paman Wita “kau
jangan asal berkata saja Wita.”
“Maaf Paman. Kami justru ingin
berbuat baik. Kami ingin mengantar Paman dan Ki Jagabaya.”
“Itu tidak sopan. Itu
perbuatan gila-gilaan. Aku mengerti maksudmu. Jangan kau kira aku anak kecil
yang dungu.”
Wita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang wajah kawan-kawannya. Dan hampir
berbareng kawan-kawannya berkata “Kau benar Wita.”
“Nah, bukankah kawan-kawanku
bersedia juga mengantar Paman nanti? Tetapi nanti sore paman. Dan bukankah
Paman tidak akan terlalu lama menunggu.”
Wajah paman Wita menjadi
semakin tegang. Seharian ia telah berjalan hilir mudik, di padukuhannya sendiri
dan di Semangkak. Tetapi tiba-tiba anak-anak muda Semangkak itu telah
menahannya.
Dalam pada itu Ki Jagabayapun
menjadi marah bukan buatan. Tetapi ia masih berusaha menahan dirinya. Adalah
tidak pantas apabila ia harus bertengkar dengan anak-anak. Apalagi apabila ia
harus mempergunakan kekerasan. Karena itu, untuk sesaat ia tidak menyahut. Ia
sedang mencari akal, untuk melepaskan diri dari tangan anaak-anak muda yang
sedang dibakar oleh dendam di hatinya.
“Sudahlah” berkata Wita
kemudian “Paman dan Ki Jagabaya tidak usah memikirkan keadaan kami. anak-anak
muda di Semangkak maupun di Sangkal Putung. Kami sudah cukup dewasa untuk
menentukan sikap kami sendiri.”
“Baiklah” berkata Ki Jagabaya
“kalian memang sudah cukup dewasa, Tetapi kenapa kalian harus menahan kami berdua?
Apakah huburgannya dengan perbaikan jalan itu?”
Wita mengerutkan keningnya.
Tetapi iapun menjawab. “Memang tidak ada. Tetapi maaf, kami terpaksa
melakukannya. Kami sudah membuat suatu rencana. Dan Ki Jagabaya jangan merusak
rencana kami itu.”
Terasa darah Ki Jagabaya
semakin cepat mengalir. Kalau saja ia tidak selalu berusaha menyadari dirinya,
bahwa ia berhadapan dengan anak-anak, maka ia pasti telah berusaha untuk
membebaskan diri tanpa menghiraukan akibatnya.
Tetapi berhadapan dengan
anak-anak muda yang sedang marah pula dibakar oleh dendam dan sakit hati, ia
harus membuat pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan orang tua.
Dalam pada itu Wita berkata
selanjutnya “Kami mengharap agar Paman dan Ki Jagabaya tidak berusaha
mengganggu kami. Kami memang tidak akan memperbaiki jalan. Tentu Paman berdua
sudah mengetahuinya, dan tentu kedatangan Paman dan Ki Jagabaya ada hubungannya
dengan masalah tersebut meskipun barangkali baru menduga-duga.”
Benar-benar di luar dugaan
paman Wita, ketika KI Jagabaya kemudian berdesah sambil berkata “Apa boleh
buat.”
“Terima kasih atas sikap Paman
yang baik itu. Sekarang Paman kami persilahkan singgah di rumah salah seorang
kawan kami di ujung desa.”.
Ki Jagabaya menarik nafas
dalam-dalam. Sambil berpaling kepada paman Wita ia berkata “Kita tidak usah
membuat ribut-ribut di sini. Sebentar lagi senja akan datang.”
“Tetapi ……?” bertanya paman
Wita. Namun suaranya tertahan ketika dilihatnya mata anak-anak muda itu
bagaikan menyala
“Tidak bijaksana kita
bersitegang terhadap anak-anak.”
Paman Wita akhirnya mengangguk
“Baiklah jika Ki Jagabaya memutuskan demikian.”
“Sekali lagi kami mergucapkan
terima kasih” lalu Wita itupun berkata kepada kawannya “bawa keduanya untuk
singgah ke rumahmu sebentar. Ajaklah dua orang untuk mengawaninya. agar Ki
Jagabaya dan Paman mempunyai teman bercakap-cakap.”
Ki Jagabaya mengerutkan
keningnya. Ternyata anak-anak itu cukup berhati-hati, sehingga mereka perlu
mengirimkan dua orang untuk mengawasinya, selain anak muda yang mempunyai rumah
itu sendiri.
Tetapi jalan yang dicari Ki
Jagabaya semakin jelas tampak olehnya. Baginya, tiga anak-anak muda itu tidak
akan begitu sulit untuk menerobosnya, apalagi berdua dengan paman Wita.
Demikianlah maka mereka
berlima berjalan memasuki halaman rumah di ujung desa. Rumah yang tampaknya
begitu sepi dan kotor.
“Inilah rumahku” berkata anak
muda yang membawanya “rumah ini sudah lama kosong. Rumah ini sebenarnya rumah
kakek. Tetapi kakek telah meninggal.”
“Dimana ayah dan ibumu?”
“Ayah dan ibuku berada di
rumah Ayah sendiri. Akulah yang menunggu rumah ini.”
“Sendiri?”
“Ya sendiri.”
“Bagaimana kau makan
sehari-hari?”
“Rumah Ayah tidak begitu jauh.
Aku makan di rumah. Ayah berada di ujung yang lain dari desa ini.”
“O” Ki Jagabaya
mengangguk-angguk.
Tetapi ia mengerutkan
keningnya ketika mereka memasuki rumah itu. Perkakas rumah yang tidak teratur,
bumbung berserakan di sana-sini. Dan yang membuat Ki Jagabaya dan paman Wita
menjadi berdebar-debar adalah bau tuak yang memenuhi ruangan.
Sambil menarik nafas
dalam-dalam Ki Jagabaya berkata “Inikah agaknya tempat yang dipergunakan oleh
anak-anak muda Semangkak untuk berkumpul, duduk-duduk dan berbicara tentang
macam-macam hal di malam hari?”
“Ya, justru karena rumahku
kosong.”
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Tetapi tidak semua anak-anak
Semangkak sering datang kemari. Anak-anak yang merasa dirinya piyayi tidak
pernah sudi menginjak rumahku yang jelek ini. Mereka adalah anak-anak muda yang
merasa dirinya terlalu bersih.”
Ki Jagabaya masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Silahkan duduk” anak muda itu
mempersilahkan. Ki Jagabaya dan paman Witapun segera memasuki bagian dalam dari
rumah itu. Terasa seakan-akan nafas mereka menjadi sesak oleh udara yang embab.
“Aku akan duduk di serambi
saja” berkata Ki Jagabaya.
“Maaf Ki Jagabaya” jawab anak
muda yang mempunyai rumah itu “aku biasa menerima tamu di ruang dalam.”
Ki Jagabaya menarik nafas.
Tetapi ia tidak membantah.
Demikianlah mereka duduk di
ruang dalam yang gelap. Terasa sinar matahari yang semakin rendah tidak lagi
dapat menerobos masuk pintu yang rendah untuk mencapai bagian dalam rumah yang
kotor itu, sehingga bau tuak semakin menusuk hidung.
“Apakah kalian minum tuak ?”
tiba-tiba Ki Jagabaya bertanya.
Anak-anak muda itu tertawa.
Salah seorang dari mereka menjawab ”Setiap laki-laki pantas minum tuak.”
“Dan kalian adalah laki-laki.”
“Ya. Kami minum tuak.” ketiga
anak-anak muda itu tertawa.
Tanpa disadarinya terasa
bulu-bulu tengkuk paman Wita meremang. Ini adalah gambaran hidup Wita sendiri
di padukuhannya, sehingga ayahnya mengirimkannya ke Sangkal Putung. Tetapi
justru karena itu, maka kini tumbuhlah persoalan yang gawat antara kedua
padukuhan itu.
Ki Jagabayapun kemudian hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dipandanginya saja dinding-dinding yang memutari ruangan itu. Kotor dan penuh
dengan sarang laba-laba.
Tetapi Ki Jagabaya tidak
menunjukkan sikap yang dapat menimbulkan kecurigaan. Ia duduk saja sambil
mengangguk-angguk. Ketika anak-anak itu menawarkan tuak kepadanya, tiba-tiba
saja ia tersenyum ”Masih ada?”
Paman Wita terkejut mendengar
pertanyaan itu. Apalagi ketika ia melihat wajah Ki Jagabaya yang
tersenyum-senyum ketika anak-anak muda itu memandanginya dengan heran pula.
“He” berkata Ki Jagabaya lebih
lanjut, ”masih ada?”
“Apakah Ki Jagabaya
benar-benar menghendaki?”
Ki Jagabaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Ya, sejak semalam aku tidak minum
tuak.”
“Jadi benar-benar Ki Jagabaya
mau minum?”
“Tetapi aku hanya mau minum
tuak yang baik.”
“O tentu Ki Jagabaya. Kamipun
tidak mau minum tuak yang jelek.”
“Baik. Baik. Terima kasih.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berdiri dan masuk
keruang sebelah. Ketika ia keluar dijinjingnya sebuah bumbung besar berisi
tuak, dan beberapa bumbung-bumbung kecil.
“Marilah Ki Jagabaya” anak
muda itu memberikan sebuah bumbung kecil kepada Ki Jagabaya dan kemudian
menuangi bumbung itu dengan tuak.
Ki Jagabaya tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sambil mengangkat bumbung itu di
hidungnya ia berkata ”Ah. Ini tuak untuk anak-anak. Bukan tuak untuk seorang
laki-laki.”
“Kenapa?”
Ki Jagabayapun kemudian
mencicipi tua itu “Tidak ada rasanya sama sekali. Hanya manis saja.”
“Ah” ketiga anak-anak muda itu
hampir berbareng berdesah. Salah seorang berkata “Tuak ini tuak yang baik.”
Wajah Ki Jagabaya menjadi
berkerut merut. Tetapi ia masih memegang bumbung berisi tuak itu.
“Silahkan Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya tidak segera meminumnya.
Katanya pula “Seperti minum legen mentah. Manis dan menghilangkan haus.”
“Tentu tidak” anak-anak muda
itu saling berpandangan. Tiba-tiba salah seorang dari mereka menuang tuak itu
ke dalam bumbungnya sendiri. Satu kali teguk isi bumbung itu telah kering.
“Benar-benar tuak malang. Tuak
itu sudah disimpan lama sekali. Apakah masih kurang keras bagi Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Tetapi anak muda itu telah
menuang tuak itu sekali lagi ke bumbungnya sendiri. Bahkan anak-anak yang lainpun
berbuat serupa pula. Mereka kemudian meneguk isi bumbung itu sampai habis
Tetapi mereka mengisinya pula demikian berkali-kali, sehingga lambat laun
kepala mereka menjadi pening.
Selagi mereka sibuk, dengan
diam-diam, tanpa diketahui oleh anak-anak itu, Ki Jagabaya telah membuang isi
bumbungnya ke lantai yang terbuat dari tanah. Kemudian ia berpura-pura meneguk
tuak itu sampai bumbungnya kering.
“Benar, benar” tiba-tiba ia
berkata, “tuak ini memang tuak yang baik. Tetapi bagiku tidak ubahnya seperti
legen, seperti yang sudah aku katakan. Mari isi bumbungku lagi.”
Anak-anak itu telah menuang
bumbung tuak itu pula ke dalam bumbung Ki Jagabaya, tetapi mereka tidak lupa
menuang ke dalam bumbungnya sendiri. Sementara Ki Jagabaya membuang tuak itu ke
sudut ruangan, anak-anak muda itu sudah menghabiskan beberapa bumbung lagi.
“Cukup” berkata salah seorang
dari mereka, “kepalaku pening.”
Yang lainpun
mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih memegang bumbung-bumbung kecil di tangan
mereka.
Ketika mereka hampir meletakkan
bumbung-bumbung kecil itu, Ki Jagabaya telah mengacungkan bumbungnya sekali
lagi sambil berkata “Beri aku lagi. Sebumbung penuh. Tuak semanis legen ini
memang enak. Tetapi tidak memuaskan.”
Sambil terhuyung-huyung anak
yang memegang bumbung tuak itu mengisi bumbung Ki Jagabaya tidak saja menjadi
penuh, tetapi bahkan melimpah-limpah.
Sambil tertawa ia berkata “Ki
Jagabaya juga seorang peminum yang baik. Mari, mari kita minum bersama-sama.”
Sekali lagi dan sekali lagi
anak-anak itu mengisi bumbungnya. Mereka meneguk tuak tanpa ragu-ragu lagi,
seperti yang selalu mereka lakukan.
Ki Jagabaya memandang
anak-anak muda itu dengan tegangnya. Akhirnya ketiga anak-anak muda itu menjadi
mabuk dan terkapar sambil mengigau tanpa arah.
“Mereka menjadi mabuk” berkata
Ki Jagabaya, “kita harus segera pergi.”
“Ya Kita tinggalkan rumah
lembab ini. Kita segera kembali ke Sangkal Putung.”
“Tidak. Kita pergi ke
Kademangan Semangkak.”
Dengan hati-hati Ki Jagabaya
itu menjengukkan kepalanya. Ketika halaman itu ternyata sepi, maka iapun segera
mengajak paman Wita segera keluar. Namun ia masih sempat mendengar anak muda
itu mengigau “Kita bunuh saja Swandaru yang gila itu.”
Dalam pada itu Ki Jagabayapun
segera meninggalkan halaman rumah itu diikuti oleh paman Wita. Dengan hati-hati
mereka keluar regol dan kemudian hampir berlari-lari mereka meliatas sebuah
simpang tiga dan kemudian hilang masuk ke jalan sempit.
Meskipun masih belum senja,
tetapi jalan sempit itu sudah sunyi. Dengan demikian Ki Jagabaya dapat berjalan
cepat-cepat menuju ke Kademangan.
Kedatangan KI Jagabaya Sangkal
Putung itu benar-benar telah mengejutkan. Semula mereka menyangka, bahwa Ki
Jagabaya itu sedang mengejar seseorang yang akan ditangkapnya. Tetapi orang itu
orang Semangkak. Namun akhirnya dahi Demang Semangkak itu menjadi tegang,
ketika ia mendengar keterangan Ki Jagabaya mengenai anak-anak muda mereka.
“Huh, kami memang hampir
menjadi gila dibuatnya” desis Ki Demang Semangkak.
Ki Jagabaya dari Sangkal
Putung dan paman Wita mengangguk-angguk. Mereka menyadari kesulitan yang
dihadapi oleh Ki Demang di Semangkak.
“Mereka telah bersiap untuk
berangkat” berkata Ki Jagabaya.
“Tidak semua anak-anak muda
bersikap seperti mereka” berkata Ki Demang, “tetapi karena yang lain tidak suka
keributan, mereka tidak berbuat apa-apa. Bahkan mereka seakan-akan telah
menyingkir dari pergaulan yang suram itu.”
“Kita dapat mencegah mereka”
berkata seorang bebahu Kademangan Semangkak, ”aku akan memanggil anak-anak muda
yang lain, yang tidak sependapat dengan mereka.”
“Ah” Ki Demang berdesah,
“tentu akibatnya tidak menyenangkan. Mereka bahkan akan berkelahi sesama
anak-anak Semangkak.”
“Itu lebih baik daripada
mereka dihancurkan oleh anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Aku akan berusaha agar anak-anak
muda Sangkal Putung tidak melibatkan diri.”
“Bagaimana mungkin. Anak-anak
Semangkak akan datang ke Sangkal Putung.” Ki Demang berpikir sejenak “Anak-anak
itu memang harus dicegah. Tetapi tidak bijaksana kalau anak-anak kita harus
saling berkelahi. Aku akan mencoba sekali lagi.”
Tetapi bebahu Kademangan itu
menggelengkan kepalanya “Apakah hal itu mungkin ?”
“Aku akan mencoba. Aku akan
memanggil Ki Jagabaya di Semangkak.”
“Silahkan Ki Demang” berkata
Ki Jagabaya di Sangkal Putung, “aku akan mendahului. Semuanya terserah kepada
kebijaksanaan Ki Demang. Kita mengutamakan keselamatan anak-anak kita.
Keselamatan badaniah dan keselamatan rohaniah.”
“Ya. Kita memang bertanggung
jawab. Orang-orang tua merekapun harus bertanggung jawab. Kesalahan anak-anak
muda itu sebagian adalah kesalahan orang-orang tua pula.”
“Baiklah. Sebelum terjadi
sesuatu, aku harus berada di Sangkal Putung.”
“Silahkan. Aku juga akan
segera berbuat sesuatu.”
Ki Jagabaya dan paman Witapun
segera meninggalkan kademangan. Mereka mengambil jalan lain sehingga mereka
tidak berpapasan lagi dengan anak-anak muda Semangkak yang semakin lama menjadi
semakin banyak menjelang senja.
Dengan tergesa-gesa Ki
Jagabaya meloncati parit kemudian menyelusuri pematang kembali ke Sangkal
Putung.
“Bekas prajurit yang mengajari
anak-anak itu olah kanuragan juga sedang dicari oleh kakang Santa” berkata
paman Wita, “mudah-mudahan ia dapat membantu mencegah persoalan ini”
“Mudah-mudahan” gumam Ki
Jagabaya sambil melangkah lebih cepat lagi.
Dalam pada itu, anak-anak yang
berkumpul di regol padukuhan Semangkak menjadi gelisah ketika matahari menjadi
semakin rendah. Mereka seakan-akan tidak sabar lagi me-nunggu.
“Ki Jagabaya sudah terlalu
lama menunggu” berkata salah seorang dari mereka hampir di luar sadarnya.
“Biar saja. Sesekali duduk
termenung di kademangan tetangga bersama anak-anak muda.”
“Bagaimana dengan pamanmu,
Wita ?” bertanya salah seorang kawannya.
“Ia selalu ingin mencampuri
persoalanku. Mudah-mudahan ia menjadi jera, dan tidak lagi merasa lebih
berpengaruh atasku dari ayahku sendiri.”
Kawannya tertawa. “Ia akan
mengumpat-umpat sepekan tidak ada habis-habisnya. Tetapi kasihan juga kalau ia
menjadi sasaran kemarahan anak-anak Sangkal Putung besok atau lusa.”
“Salahnya sendiri. Tetapi anak-anak
Sangkal Putung pasti tidak akan berani berbuat apa-apa lagi. Mereka harus
menyadari, bahwa Sangkal Putung bukan kademangan terkuat di daerah selatan ini.
Mungkin di saat Tohpati berkeliaran di sini, Sangkal Putung menjadi sasaran.
Tetapi itu bukan berarti bahwa anak-anak muda Sangkal Putung menjadi sekuat
prajurit-prajurit Pajang. Dan itu bukan berarti bahwa anak-anak Semangkak tidak
berbuat apa-apa waktu itu.”
“Sekarang kita akan
membuktikan. Kita akan merusak semua gardu di Sangkal Putung, dan memecah semua
kentongan. Swandaru harus menyadari, bahwa ia adalah seorang anak muda biasa.
Bukan seorang pahlawan besar yang pantas membanggakan diri” gumam salah seorang
dari mereka meskipun ia tidak mengenal Swandaru dari dekat.
Ketika matahari menjadi semakin
rendah, salah seorang dari anak-anak muda itu berkata “Senja itu telah datang.
Marilah kita bersiap. Kita sudah terlalu lama duduk di sini.”
“Ambil Ki Jagabaya dan Paman”
berkata Wita, “kita bawa mereka bersama. Mereka akan menyaksikan anak-anak muda
kebanggaan mereka itu lari lintang pukang melihat kedatangan kita.”
Demikianlah dua orang anak
muda pergi ke rumah di ujung desa untuk mengambil Ki Jagabaya dan paman Wita.
Tetapi ketika mereka sampal ke
rumah itu, mereka menjadi terkejut. Ternyata yang mereka jumpai adalah ketiga
kawan-kawan mereka yang sedang tidur karena mabuk tuak.
“Gila” teriak salah seorang
dari kedua anak-anak muda itu, “mereka mabuk tuak.”
“Mari, kita bangunkan mereka.
Ki Jagabaya pastI sudah lari.”
Dengan susah payah maka ketiga
anak-anak muda itu dibangunkan. Tetapi karena kesadaran mereka masih belum
pulih kembali, maka yang mereka ucapkanpun tidak lebih dari sebuah igauan yang
tidak menentu.
“Kalian sudah gila” bentak
kawannya, “dimana Ki Jagabaya dan paman Wita itu?”
Anak-anak muda yang baru
terbangun itu menggelengkan kepalanya.
“Kalian yang menunggui mereka
di sini.”
Perlahan-lahan ingatan
anak-anak yang mabuk itu merayapi otaknya kembali. Meskipun masih kabur namun
mereka mulai teringat kepada Ki Jagabaya dan paman Wita. Karena itu maka dengan
wajah yang tegang salah seorang dari mereka bertanya “Ya, dimana Ki Jagabaya?”
“Lari” sahut yang lain, “ia
pasti lari. Licik sekali. Ia membuat kita mabuk.”
“Bodoh. Bodoh sekali. Kalian
telah mabuk dan membiarkan Ki Jagabaya Sangkal Putung bersama paman Wita itu
pergi.”
“Mereka akan segera
memberitahukan hal ini kepada anak-anak muda Sangkal Putung sehingga mereka
sempat mempersiapkan diri.”
“Gila. Mari kita segera
kembaii ke regol. Kita harus berangkat sekarang.”
Demikianlah anak-anak muda itu
berlari-lari pergi ke regol padukuhan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka
memberitahukan bahwa Ki Jagabaya dan paman Wita telah pergi tanpa diketahui
oleh anak-anak yang menjaganya, karena mereka telah mabuk.
“Berbahaya sekali” desis Wita,
“jika mereka mencapai Sangkal Putung, maka anak-anak muda Sangkal Putung sempat
mempersiapkan diri.”
“Kalau begitu kita harus
segera berangkat. Meskipun Ki Jagabaya datang lebih dahulu dari kita, tetapi
mereka pasti belum sempat mengadakan persiapan apapun untuk menyambut
kedatangan kita. Sementara itu kita sudah dapat membuat mereka terkejut dengan
membakar gardu-gardu dan menghajar siapapun yang kita jumpai.Mereka masih harus
terpencar-pencar. Jika mereka sempat berkumpul, mereka akan dapat menyusun
kekuatan.”
Demikianlah, maka anak-anak
muda itu memutuskan untuk segera berangkat. Seperti orang yang pergi berperang,
mereka membawa bermacam-macam senjata.
Beberapa orang yang melihat
mereka meninggalkan padukuhan Semangkak menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka
hanya dapat saling bertanya. apakah yang akan dilakukan oleh anak-anak muda
itu.
Sementara itu, Ki Demang di
Semangkak setelah memanggil Ki Jagabaya dengan tergesa-gesa pergi pula ke regol
padukuhan Semangkak. Tetapi ternyata anak-anak Semangkak telah berangkat.
Mereka tidak dapat mencegahnya lagi, karena mereka datang terlambat beberapa
saat.
“Kenapa mereka tidak menunggu
senja?” bertanya Ki Demang kepada diri sendiri. Menurut Ki Jagabaya di Sangkal
Putung, anak-anak itu akan berangkat setelah senja.
Tetapi ketika Ki Demang
menengadahkan wajahnya ke langit, maka matahari telah hampir kehilangan
sinarnya. Senja memang sudah mulai turun perlahan-lahan.
“Jadi bagaimana sebaiknya Ki
Jagabaya ?” bertanya Ki Demang kemudian.
“Kita menyusul mereka.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya “Ya, kita menyusul mereka.”
Dengan demikian, maka Ki
Demang bersama Ki Jagabaya diiringi oleh beberapa-bebahu yang lain pergi
menyusul anak-anak muda dari Semangkak itu. Kali ini mereka harus benar-benar
berhasil mencegah mereka. Kalau tidak, maka keadaan anak-anak muda mereka
justru akan menjadi semakin parah.
Dalam pada itu, anak-anak muda
Semangkak itupun dengan tergesa-gesa pula pergi ke Sangkal Putung. Bahkan
kadang-kadang mereka berlari-lari kecil melintasi bulak, menyusur pematang.
Beberapa orang yang masih
berada di sawah melihat iring-iringan itu dengan hati yang berdebar-debar. Di
dalam hati mereka bertanya “Apalagi yang akan dilakukan oleh anak-anak itu?”
Namun mereka hanya dapat memandang
iring-iringan itu dari kejauhan dan dengan hati yang cemas.
Sementara itu, Sangkal Putung
telah mempersiapkan diri menyambut kedatangan anak-anak Semangkak dengan
caranya. Tidak ada seorang anak mudapun yang tampak, Yang ada di Kademangan
adalah Ki Demang Sangkal Putung dan beberapa orang bebahu. Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar sengaja berada di dalam gandok, karena langsung atau tidak
langsung, Kiai Gringsing mempunyai hubungan dengan Swandaru. Meskipun Ki Demang
sendiri adalah ayah Swandaru. tetapi dalam kedudukannya sebagai Demang Sangkal
Putung, ia tidak dapat ingkar akan tugasnya, menghadapi kemungkinan yang
manapun juga yang dapat terjadi.
Namun dalam pada itu, Agung
Sedayu, Swandaru dan beberapa orang anak muda terpilih, bersembunyi di atas kandang.
Jika keadaan memaksa, maka merekapun tidak akan dapat membiarkannya. Sedang di
dalam rumah Ki Demang masih ada seorang lagi yang dapat membantu mereka apabila
diperlukan. Sekar Mirah. Tetapi bagi Sumangkar, jika tidak memaksa sekali,
Sekar Mirah lebih baik berada di dapur daripada ikut di dalam keributan itu.
Yang datang lebih dahulu ke
Kademangan itu adalah Ki Jagabaya bersama paman Wita. Mereka dapat sekedar
memberikan gambaran apa yang akan dilakukan oleh anak-anak Semangkak itu.
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya “Memang terlampau sulit untuk mengendalikan anak-anak yang
sudah terlanjur lepas dari ikatan kepribadian kita yang sebenarnya lembut. Kita
memang harus berhati-hati.”
“Kalau mereka mengetahui aku
melepaskan diri, maka mereka pasti akan segera menyusul.”
Belum lagi Ki Demang menjawab,
maka seorang pengawas datang dengan tergesa-gesa melaporkan, bahwa anak-anak
muda Semangkak telah datang.
“Bersembunyilah. Untung kami
sempat memberikan penjelasan kepada anak-anak muda dan menenangkan penduduk.
Biarlah aku menerimanya. Mereka pasti akan langsung menuju kemari mencari
Swandaru” berkata Ki Demang.
“Bagaimana jika mereka keras
kepala dan tidak mau mendengarkan penjelasan Ki Demang?”
Ki Demang mengangkat bahunya.
Sejenak ia memandang Ki Jagabaya, kemudian orang-orang yang ada disekitamya.
Baru kemudian ia menjawab “Kita mengharap mereka akan mendengar
penjelasan-penjelasan.”
“Syukurlah kalau pimpinan
Kademangan Semangkak sendiri berhasil mencegah mereka.”
“Mereka sudah di ambang pintu
Sangkal Putung.”
Ki Jagabaya menarik nafas
dalam-dalam. Kalau pimpinan Kademangannya sendiri tidak dihiraukannya, apalagi
pimpinan Kademangan tetangga, terlebih-lebih anak-anak itu memang merasa
mempunyai persoalan dengan Sangkal Putung.
Dalam kebimbangan itu Ki
Demang berkata sekali lagi kepada anak muda yang mengawasi anak-anak Semangkak
itu, “Bersembunyilah. Kawan-kawanmu ada di kandang.”
“Baiklah” desis anak itu.
Baru saja ia hilang dari
pendapa, terdengar di kejauhan suara anak-anak muda yang berteriak-teriak tidak
menentu. Berteriak-teriak seperti orang yang sedang mengejar tupai.
“Serahkan Swandaru. Serahkan
Swandaru. Kalau tidak, Sangkal Putung menjadi lautan api.”
Yang mendengar teriakan-akan
itu menjadi ngeri juga. Anak-anak muda dalam jumlah yang besar beriring-iringan
sambil berteriak-teriak di sepanjang jalan Sangkal Putung.
“Mereka datang” desis Ki
Demang.
Ki Jagabaya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, anak-anak muda
Semangkak yang datang di Sangkal Putung itu merasa, bahwa kehadirannya tidak di
ketahui oleh anak-anak muda Sangkal Putung, temyata tidak ada seorangpun yang
menahan kedatangan mereka. Namun ketika mereka masuk lebih dalam, dan tidak
seorangpun yang mereka jumpai di gardu-gardu atau dimanapun, mereka mulai
curiga. Bahkan salah seorang dari mereka berkata “Pengecut. Ternyata anak-anak
Sangkal Putung yang merasa dirinya mampu melawan pasukan Tohpati ketika itu,
kini hanya berani menyembunyikan diri. Tidak seorangpun berani keluar dari
rumahnya.”
“Kita langsung pergi ke rumah
Swandaru.”
“Ya, kita langsung pergi ke
Kademangan. Kita temui Ki Demang dan kita minta Swandaru. Kalau Ki Demang tidak
mau memberikan, kita jadikan Kademangan Sangkal Putung karang abang.”
“Ya, kita jadikan Ki Demang
tanggungan, sebelum kita mendapatkan Swandaru yang sombong itu.”
“Akulah yang akan mengurus
Kademangan Sangkal Putung.” berkata Wita memotong kata-kata kawan-kawannya.
Kawan-kawannyapun tidak
menyahut lagi. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke Kademangan. Sepanjang jalan
yang sudah mulai gelap mereka sama sekali tidak menjumpai seorangpun. Bukan
saja anak-anak muda, tetapi seakan-akan Sangkal Putung itu telah berubah
menjadi sebuah kuburan yang besar. Sepi.
Sementara itu, Ki Demang di
Semangkak berlari-lari menyusul anak-anak mudanya yang telah berangkat
mendahului waktu yang diperkirakan. Mereka menjadi cemas, kalau sesuatu telah
terjadi. Jika mereka terlambat, maka semuanya hanya akan dapat disesali.
Namun selagi ia masih
berlari-lari di tengah sawah, anak-anak muda Semangkak telah memasuki halaman
Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang segera memencar di halaman, di kebun
belakang dan yang lain mendekati pendapa.
Ki Demang di Sangkal Putung
menjadi berdebar-debar juga. Kali ini ia tidak menghadapi pasukan Tohpati.
Tetapi yang datang adalah anak-anak muda dari Semangkak. Anak-anak muda yang
justru sedang tumbuh.
Seperti senja yang menjadi
gelap, maka masa depan anak-anak muda itupun menjadi gelap. Jika mereka hanya
dicengkam oleh kesibukan yang tidak berarti apa-apa itu, maka hari depan
mereka, bahkan hari depan Semangkak pasti akan suram.
Ketika anak-anak muda
Semangkak itu berdiri di bawah tangga pendapa Kademangan, maka seseorang telah
menyalakan lampu di pendapa itu.
“Ki Demang di Sangkal Putung”
berkata Wita yang agaknya telah menjadi pemimpin anak-anak Semangkak, “kami
ingin berbicara sedikit.”
Ki Demang menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi iapun kemudian berdiri dan berjalan ke tangga pendapa
diiringi oleh Ki Jagabaya dan para bebahu. Juga paman Wita mengikutinya dengan
cemas.
“Ya, aku memang sedang
menunggu kalian” berkata Ki Demang.
Dengan wajah yang tegang
mereka memandang Ki Jagabaya dan paman Wita yang sudah berada di pendapa itu
pula.
“Paman dan Ki Jagabaya sudah
ada di sini” desis Wita.
“Ya, maaf bahwa kami terpaksa
mendahului.”
“Kalian sudah membujuk
anak-anak yang menunggui kalian untuk minum tuak dan menjadi mabuk.”
“Merekalah yang memaksa aku
minum tuak.”
“Bohong” teriak anak yang baru
saja sadar dari mabuknya itu.
“Sudahlah” berkata Wita,
“sekarang kami akan segera saja menyampaikan keperluan kami.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Serahkan Swandaru.”
Ki Demang menarik nalas
dalam-dalam. Sejenak ia memandang Ki Jagabaya. Namun Ki Jagabaya tidak sedang
memandangnya.
“Anak-anak” berkata Ki Demang
kemudian, ”aku sedang digelisahkan oleh anakku itu. Ia tidak ada di rumah sejak
siang hari.”
“Bohong” teriak Wita.
“Ternyata Ki Jagabaya telah menyuruhnya bersembunyi. Sekarang, tunjukkan kepada
kami, dimana anak itu bersembunyi. Kami hanya memerlukan Swandaru. Tetapi jika
kami tidak menemukannya, kami akan berbuat atas siapa saja.”
Ki Demang menjadi semakin
cemas melihat wajah-wajah yang tegang itu. Seakan-akan mereka sudah tidak mau
lagi mendengarkan kata-kata orang lain. Namun demikian Ki Demang masih mencoba
berkata “Sudah aku katakan bahwa Swandaru pergi. Mungkin ia sudah menduga bahwa
kalian akan datang. Karena itu, iapun telah pergi meninggalkan rumah ini.”
“Bohong, aku tidak percaya”
teriak Wita, “aku minta Swandaru diserahkan.”
“Bakar saja rumahnya” teriak
salah seorang dari anak-anak muda itu.
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Tetapi Witapun berpaling kepadanya dan memberikan isyarat agar anak
itu diam.
“Wita” berkata Ki Demang
kemudian, “sebenarnya kita dapat membatasi persoalan ini. Yang kecil memang
dapat kita tiup-tiup menjadi besar Tetapi jika kita berkeinginan, maka yang
besarpun dapat kita jadikan kecil.”
“Aku tidak akan berbicara.
Yang kami tuntut, serahkan Swandaru. Hanya itu.”
“Cobalah, bayangkan kembali
apa yang terjadi. Apakah yang terjadi itu cukup besar untuk mengorbankan
jalinan kekeluargaan antara Semangkak dan Sangkal Putung.”
“Cukup, cukup” teriak Wita,
“aku hormati orang tua-tua. Tetapi jika ia mencoba menghalang-halangi aku,
apaboleh buat.”
Kata-kata itu benar-benar
menyakitkan hati. Tetapi Ki Demang adalah orang tua yang mencoba mengerti jalan
pikiran anak-anak muda yang sesat sekalipun. Maka katanya ”Tidak baik kita
terlalu memanjakan perasaan kita. Cobalah, dengarkan kata-kataku.”
“Tidak. Sudah cukup banyak.
Serahkan Swandaru.”
Ki Jagabaya menarik nafas
dalam-dalam. Apalagi ketika lagi seorang yang berkata ”Bakar setiap gardu yang
ada di Sangkal Putung. Bakar rumah ini jika Swandaru tidak kita ketemukan.”
“Membakar sebuah bangunan
akibatnya akan luas sekali” berkata Ki Demang, “bukan saja orang-orang
tertentu, tetapi seluruh keluarganya akan menderita. Anakku bukan saja
Swandaru. Tetapi aku mempunyai keluarga yang lain yang tidak tahu menahu.”
“Cukup, cukup. Jangan
membujuk.”
“Aku tidak membujuk. Jika ada
sesuatu yang kalian anggap salah, aku minta maaf bagi Swandaru. Tetapi marilah,
duduklah. Semuanya atau sebagian yang dapat kalian anggap mewakili kalian. Kita
dapat berbicara dengan baik.”
“Tidak. Tidak. Aku tidak mau
berbicara lagi.”
“Cobalah sebentar. Apa
salahnya kita mempergunakan akal dari sekedar perasaan. Kalian adalah anak-anak
muda. Sedang gadis-gadis yang menolak kawinpun kadang-kadang dapat juga diajak
berbicara dengan nalar. Tentu kalian, laki-laki Semangkak, dapat juga berbicara
dengan nalar yang bening.
“Diam, diam” Wita membentak,
”Ki Demang. Jangan membuat kami, anak-anak muda, kehilangan sikap hormat kami
kepadamu dan kepada orang-orang tua di Sangkal Putung. Tunjukkanlah kepada kami
dimana Swandaru dan anak-anak muda Sangkal Putung bersembunyi.”
“Silahkan. Marilah, aku
mengharap kalian duduk sejenak.”
“Tidak. Tidak” teriak Wita
semakin keras untuk mengatasi sentuhan kata-kata Ki Demang. Sementara
kawan-kawannya mulai berteriak pula “Tangkap Demang Sangkal Putung.”
“Ki Demang” berkata Wita,
“kalau Ki Demang tidak mau menunjukkan, maaf, kami akan mencarinya sendiri ke
dalam rumah ini.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam.
“Minggirlah Ki Demang. Kami
akan memasuki rumah ini untuk mencari Swandaru. Hanya Swandaru.”
“Itu tidak sopan” berkata Ki
Demang.
“Kami tidak peduli. Kami
memaksa untuk memasuki rumah ini meskipun Ki Demang berkeberatan.”
“Kita tidak usah minta ijin
kepadanya” teriak anak muda yang lain.
Suasana semakin meningkat tegang.
Ki Demang masih berdiri di tempatnya. Anak-anak yang sedang dibakar oleh
perasaannya, di dalam kumpulan orang banyak, memang terlampau sulit untuk
diajak berbicara. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat dengan kekerasan, karena
akibatnya akan menambah keadaan menjadi semakin parah.
Dalam ketegangan itu,
tiba-tiba terdengar suara di regol halaman “Tunggu, tunggu.”
Semua orang berpaling
kepadanya. Temyata Ki Demang di Semangkak diikuti oleh Ki Jagabaya beserta
beberapa orang bebahu datang dengan tergesa-gesa.
“Mereka datang” seorang kawan
Wita berbisik.
“Aku tidak peduli” desis Wita.
“Ya, kita tidak peduli.”
Dengan nafas terengah-engah Ki
Demang di Semangkak langsung naik ke pendapa mendapatkan Ki Demang di Sangkal
Putung sambil berkata “Maaf Ki Demang. Kami agak terlambat. Untunglah semuanya
belum terjadi.”
Ternyata Wita mendengar
kata-kata Ki Demang di Semangkak itu dan langsung menyahut “Semuanya tetap akan
terjadi.”
Wajah Ki Demang di Semangkak
menjadi merah padam. Dengan nada yang keras ia berkata “Wita. Apakah kau sudah
gila?”
“Mungkin Ki Demang. Mungkin
kami memang sudah gila. Tetapi kami tidak akan surut.”
“Gila. Kalian telah melakukan
kesalahan yang besar sekali. Aku akan mencegah kalian dengan cara apapun.”
“Seperti yang aku katakan kepada
Ki Demang di Sangkal Putung, jangan menghilangkan sikap hormat kami kepada
orang tua-tua. Menepilah. Cepat.”
“Tidak” teriak Ki Demang di
Semangkak, “aku tidak akan menepi. Kalau kalian akan berbuat gila, akulah
korban yang pertama.”
Anak-anak Sangkal Putung itu
menjadi semakin tegang. Sejenak mereka tercenung melihat sikap Ki Demang
Semangkak yang ternyata justru lebih keras dari sikap Ki Demang di Sangkal
Putung.
Tetapi nalar anak-anak itu
benar-benar sudah menjadi butek. Karena itu, maka salah seorang dari mereka
berteriak “Kami tidak peduli. Siapapun korban yang pertama. Jika seseorang
mencoba menghalangi kami, maka kami akan bertindak.”
“Ayo, lakukan. Lakukanlah!”
teriak Ki Demang yang menjadi sangat marah.
Tetapi Ki Demang Sangkal
Putung menjadi cemas. Jika suasana bertambah panas, dan terjadi sesuatu di
antara mereka, maka Kademangan Sangkal Putunglah yang akan menjadi korban.
Mungkin anak-anak itu benar-benar akan membakar rumah ini. Dan jika demikian,
maka sulitlah untuk mencoba mengendalikan anak-anak Sangkal Putung sendiri.
Karena itu. maka ia masih
mencoba menengahi ”Tunggulah. Aku minta kita berbicara.”
“Mereka tidak dapat diajak
berbicara lagi” geram Ki Demang di Semangkak.
“Aku akan mengatakan sekali
lagi kepada mereka, bahwa rumah ini tidak saja didiami oleh Swandaru. Aku,
istriku dan seorang anak gadisku. Mereka tidak tahu menahu tentang tingkah laku
Swandaru. Karena itu, jangan membuat mereka menjadi ketakutan.”
Tiba-tiba Wita mengerutkan
keningnya. Kata-kata Ki Demang itu justru membuka persoalan baru baginya,
sehingga tanpa diduga-duga ia berkata “Apakah mereka ada di rumah ?”
Tanpa prasangka jelek, Ki
Demang menjawab ””Ya, mereka ketakutan di belakang.”
“Terima kasih. Aku akan
mengambil Sekar Mirah.”
“He?” Ki Demang di Sangkal
Putung, Ki Demang Semangkak dan semua orang yang mendengar kata-kata itu
terkejut bukan kepalang.
“Jangan terkejut” berkata
Wita, “aku memerlukan Sekar Mirah.”
“Kenapa dengan Sekar Mirah?”
bertanya Ki Demang.
“Sebelum Swandaru datang
menjemput adiknya, Sekar Mirah tidak akan aku lepaskan.”
“Gila, itu lebih gila lagi” Ki
Demang di Semangkak masih berteriak, “sudah aku katakan. Aku akan menghalangi
kegilaan kalian. Biarlah aku menjadi korban yang pertama. Kalian sudah cukup
banyak membuat aku sakit hati, membuat aku pening dan gelisah. Sekarang ini
adalah puncak dari kegilaan kalian.”
“Jangan menghinakan diri
sendiri Ki Demang” berkata Wita, “kami tetap pada pendirian kami. Jika Swandaru
tidak ada, kami memerlukan Sekar Mirah.”
Suasana yang tegang menjadi
semakin tegang. Tiba-tiba saja seorang anak muda yang lain berteriak “Bawa
gadis itu.”
Hampir berbareng beberapa
orang menyahut “Ya. Bawa gadis itu. Bawa gadis itu.”
“Diam. Diam” teriak Ki Demang
di Semangkak.
Tetapi justru anak-anak muda
itu mendesak maju ke tangga. Bahkan beberapa orang yang semula berdiri di
pinggir halaman, melangkah pula mendekat sambil berteriak “Ya, bawa gadis itu.”
Suasana menjadi semakin panas.
Ki Jagabaya Semangkak yang tidak banyak berbicara seperti kebiasaannya sehari-hari,
melangkah maju dengan wajah yang membara. Tiba-tiba saja ia memutar kerisnya
sambil berteriak “Kalian, kalian akan melawan aku?”
Anak-anak muda Semangkak itu
terhenti sejenak, namun kemudian Wita berteriak pula “Menepilah Ki Jagabaya.
Aku hanya memerlukan gadis itu, agar Swandarulah yang kelak menjemputnya.”
Orang-orang tua yang marah di
pendapa itu justru terbungkam. Tetapi mereka tentu tidak akan membiarkan
semuanya itu berlangsung, apapun yang akan terjadi atas diri mereka. Karena
itu, tanpa berjanji, merekapun mulai bergerak melebar, seakan-akan ingin
menahan arus gelombang yang menghantam tebing.
Tetapi anak-anak muda
Semangkak itu bagaikan sedang mabuk tuak. Tidak ada cara untuk menahan mereka.
Namun demikian, tiba-tiba
semua orang yang ada dihalaman itu tergetar ketika mereka mendengar suara
seorang gadis yang melengking “Aku setuju.”
Suara itu benar-benar telah
mengejutkan setiap telinga yang mendengarnya, Apalagi ketika mereka kemudian
melihat Sekar Mirah naik ke pendapa dari arah samping.
“Mirah” desis Ki Demang
Sangkal Putung.
“Aku sependapat dengan usul
Wita. Biarlah ia membawa aku. Atau laki-laki yang manapun juga dari Semangkak.”
“Mirah” wajah Ki Demang
menjadi merah.
“Tetapi aku mempunyai syarat.”
“Apa syaratmu” Wita berteriak.
“Hanya laki-laki yang mampu
memaksa aku dengan kekerasan yang dapat membawa aku ke Semangkak. Tetapi
laki-laki itu harus laki-laki jantan, yang berani bertindak atas tanggung
jawabnya sendiri.”
Halaman Itu bagaikan dicengkam
oleh kesenyapan yang tajam. Setiap orang menahan nafasnya sambil memandang
Sekar Mirah yang berdiri ditengah-tengah pendapa, dalam cahaya samar-samar
lampu minyak.
“Mirah” terdengar suara lain
berdesis. Agaknya Sumangkar yang mengikuti peristiwa itu menjadi cemas pula.
Sekar Mirah hanya berpaling,
tetapi ia tidak surut. Bahkan ia berkata selanjutnya “Nah, laki-laki Semangkak
yang manakah yang akan membawa aku serta?”
Setiap orang masih saja
terheran-heran. Mereka sama sekali belum mengetahui maksud Sekar Mirah itu,
sementara Sumangkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Temyata perasaan
Sekar Mirahpun telah terlanjur menyala seperti anak-anak Semangkak yang datang
ke rumahnya itu.
Ki Demang di Sangkal Putungpun
kemudian menyadari, bahwa ia sudah berbuat suatu kesalahan. Yang selama ini
diperhatikan dan dijaganya agar tidak melonjak adalah perasaan anak-anak
mudanya. Atas usaha Swandaru, anak-anak muda itu dapat dikendalikan. Tetapi Ki
Demang dan para bebahu Sangkal Putung agaknya telah lupa, bahwa di samping
anak-anak muda itu masih ada seorang lagi yang perlu diperhatikan. Orang itu
adalah anak gadisnya, Sekar Mirah.
Tetapi kini sudah terlambat.
Sekar Mirah sudah berada di pendapa. Bahkan telah menantang anak-anak muda
Semangkak yang datang ke rumahnya.
Dalam pada itu anak-anak muda
Semangkak masih dicengkam oleh keheranan. Mereka belum tahu pasti maksud Sekar
Mirah. Karena itu, maka Witapun bertanya pula
“Jelaskan madsudmu Mirah.”
“Baik” Sekar Mirah mendekat
tanpa ragu-ragu. Ternyata bahwa pakaian Sekar Mirah membuat anak-anak muda
Semangkak semakin heran. Sekar Mirah berpakaian seperti seorang laki-laki.
Meskipun ia tidak memakai ikat kepala, tetapi rambutnya telah disanggulnya
tinggi-tinggi dan diikatnya erat-erat.
“Wita” berkata Sekar Mirah,
“kau sudah beberapa lama berada di Sangkal Putung. Tentu tidak akan kami duga,
bahwa kau pada suatu saat akan datang membawa kawan-kawanmu. Tetapi itu sudah
terjadi. Sekarang, kita lanjutkan persetujuan kita. Kalau kau mau membawa aku,
bawalah. Tetapi syaratnya, kalau kau dapat mengalahkan aku.”
Wajah Wita menjadi merah
sesaat. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa ia mendapat tantangan dari seorang
gadis. Dari Sekar Mirah. Dan apalagi ketika Sekar Mirah melanjutkan “Jika kau
menang, taruhannya adalah diriku. Apapun yang akan kau perbuat, Karena aku
adalah barang taruhan. Tetapi kalau kau kalah, bawa kawan-kawanmu pergi. Kau
setuju?”
Wita masih berdiri tegang. Di
Semangkak ia terhitung anak muda yang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya
di antara beberapa orang yang lain yang tidak banyak jumlahnya, tetapi yang
justru tidak mau membantunya saat ini.
“Kenapa kau diam saja Wita”
desak Sekar Mirah.
Tetapi Wita masih berdiri
termangu-mangu.
Dalam pada itu Ki Demang
Sangkal Putunglah yang bergeser mendekati Sekar Mirah sambil berdesis “Kau
sudah gila Mirah.”
Sekar Mirah justru tersenyum
sambil berbisik “Terpaksa ayah. Jika tidak demikian, aku kira keadaan akan
menjadi semakin buruk. Mereka tidak dapat diajak berbicara lagi.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam.
Berbeda dengan Ki Demang
Sangkal Putung, maka Ki Demang di Semangkak serta bebahu lainnya berdiri saja
terheran-heran. Ia tidak mengerti, apakah Sekar Mirah itu bersungguh-sungguh
atau suatu cara penyelesaian yang tidak dimengertinya.
Tetapi agaknya gadis itu
bersungguh-sungguh. Ternyata ia berkata “Ayo, siapakah yang akan mewakili
kalian jika bukan Wita. Aku memberi kesempatan kepada tiga orang anak-anak muda
dari Semangkak. Mereka harus berkelahi seorang demi seorang, justru untuk
menghormati harga diri kalian. Kemudian kita masing-masing harus memenuhi
perjanjian yang telah kita buat. Kalau aku kalah, akulah taruhannya, meskipun
aku harus menjadi juru masak atau pekatik kuda sekalipun. Tetapi kalau kalian
kalah, kalian harus pergi,” Sekar Mirah berhenti sejenak. Beberapa langkah ia
maju mendekati anak-anak muda Semangkak yang sudah mulai nalk tangga pendapa
“Cepat, tentukan wakil-wakil kalian.”
Wita yang ragu-ragu berdiri
saja di tempatnya. Dipandanginya Sekar Mirah dengan tatapan mata yang hampir
tidak berkedip. Ketika gadis itu berdiri beberapa langkah di hadapannya,
ternyata bahwa gadis itu memang terlalu cantik.
Selagi Wita masih ragu-ragu,
tiba-tiba saja terdengar suara di belakang “Baik. Aku terima perjanjian itu.
Aku akan mewakili kawan-kawanku.”
“Nah, aku sudah menemukan
lawan” berkata Sekar Mirah. “Masih ada kesempatan bagi dua orang.”
“Gila” teriak Wita, “tetapi
kalau itu yang kau kehendaki, baiklah. Aku menjadi orang ketiga, dan masih ada
kesempatan bagi orang kedua.”
Seorang anak muda jangkung
mengacukan tangannya. Katanya “Aku orang kedua itu.”
Ketiganya memang anak-anak
terpandang di Sangkal Putung. Mereka adalah anak muda yang paling menyulitkan
pimpinan Kademangan. Dan kini mereka pulalah yang akan mewakili kawan-kawannya
mencoba mengalahkan Sekar Mirah dan membawanya ke Semangkak.
“Bagus” berkata Sekar Mirah
kemudian, “minggirlah yang lain. Kita membuat arena, Kalian harus berdiri
mengelilingi arena itu dan tidak boleh ikut campur di dalam perkelahian, karena
kalian sudah diwakili. Aku percaya bahwa mulut anak-anak muda Semangkak masih
dapat dipercaya. Kalian masih cukup jantan untuk menepati janji kalian
sendiri.”
Sekar Mirah seakan-akan tidak
menghiraukan apapun lagi. Ia langsung berjalan menerobos anak-anak muda
Semangkak yang masih berdiri di tangga pendapa Tetapi justru dengan demikian
mereka telah menyibak dengan sendirinya.
“Marilah” ajak Sekar Mirah,
“lingkari arena yang kita buat di halaman ini. Tanpa tali dan tanpa gawar. Kita
melakukan sayembara tanding.”
Tiba-tiba saja halaman itu
telah dicengkam oleh ketegangan yang lain. Bukan karena anak-anak Semangkak
akan membakar rumah itu, tetapi perhatian mereka kini justru terpusat pada
seorang gadis yang berpakaian seperti seperti orang laki-laki berdiri bertolak
pinggang di tengah-tengah halaman Kademangan Sangkal Putung.
“Ki Demang” desis Demang
Semangkak, “bagaimana dengan gadismu itu?”
Ki Demang di Sangkal Putung
hanya menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga ia mencemaskan nasib Sekar
Mirah. Ia menyesal bahwa ia telah melupakan gadisnya itu, sehingga menghadapi
kedatangan anak-anak muda dari Semangkak, ia tidak berpesan apapun juga
kepadanya.
“Kini Sekar Mirah sudah
mengatakan suatu ketentuan. Adalah menjadi sifatnya. bahwa ia tidak akan
menarik kata-katanya” berkata Ki Demang Sangkal Putung itu dengan nada yang
datar.
“Tetapi” sahut Ki Demang di
Semangkak, “apakah ia tidak memikirkan akibatnya? Mungkin ia masih mengharap
bahwa anak-anak Semangkak itu menghargai kegadisannya dan bersifat jantan.
Tetapi mereka adalah anak-anak bengal yang tidak berperasaan lagi. Apakah kau
tidak mencoba untuk mencegahnya sebelum terlambat? Anak-anak itu pasti akan
memperlakukannya seperti yang dikatakannya itu. Bukan sekedar juru masak, atau
pekatik kuda, tetapi pasti lebih dari itu. Tebusannya adalah Swandaru sendiri.”
“Mudah-mudahan ia dapat
menjaga dirinya” desis Ki Demang Sangkal Putung, “aku harus menghargai
kata-katanya. Jika tidak, ia akan berbuat aneh-aneh. Meskipun ia seorang gadis,
tetapi jiwanya sekeras batu padas. Dan ia ingin bersikap jantan meskipun
kadang-kadang tidak mengena sasarannya.”
“Tetapi masih belum
terlanjur.”
“Terlambat” desis Ki Demang
Sangkal Putung.
Keduanya dan para bebahu kedua
Kademangan itu kini berdiri tegak seperti tonggak. Namun tiba-tiba Ki Demang
Sangkal Putung maju menyibakkan anak-anak muda Semangkak yang telah
mengelilingi sebuah arena yang cukup luas di dalam gelap yang samar-samar.
Sinar lampu minyak dipendapa tidak begitu terasa pengaruhnya, meskipun
memberikan bayangan yang kemerah-merahan.
Ki Demang dan para bebahu dari
kedua Kademangan itupun kemudian berdiri mengelilingi arena itu pula. Yang
berdiri ditengah-tengah lingkaran itu adalah Sekar Mirah dan seorang anak muda
Semangkak. Anak muda yang berwajah keras dan bertubuh kekar meskipun tidak
begitu tinggi. Rambutnya yang mencuat dari ikat kepalanya yang tidak mapan,
bergayutan dibelakang telinganya. Bahkan seperti segumpal ijuk yang tidak
terpelihara.
“Aku akan memboyongmu”
desisnya. Kawan-kawannya yang semula tegang, tiba-tiba tertawa melihat tingkah
lakunya. Bahkan anak itu berkata selanjutnya “Kau terlalu cantik untuk menjadi
juru dang atau juru pengangsu. Apalagi pekatik kuda. Kau akan menjadi pekatikku
saja.”
Sekali lagi suara tertawa
meledak disekitar arena itu.
“Kau tentu tidak akan menyesal
atas perjanjian yang kau buat sendiri.” berkata anak muda itu lebih lanjut,
lalu “tetapi kau memang cantik. Aku tidak mengerti, kenapa kau membuat semacam
sayembara tanding. Apakah kau sebenarnya memang ingin memilih salah seorang di
antara kami tetapi jalan inilah yang dapat kau tempuh ?”
Suara tertawa anak-anak muda
Semangkak itu bagai meledak. Dan anak muda itu bagaikan mabuk mendengar suara
kawan-kawannya, sehingga ia menjadi semakin berani “Nah, sekarang katakanlah
bahwa kau sudah kalah. Aku akan membawamu pulang ke Semangkak. Aku akan
berhenti berkelahi, berkelahi hampir setiap hari aku lakukan. Aku akan tinggal
di rumah peninggalan ayah dan ibuku yang kini dipakai oleh ibu tiriku. Aku akan
merampasnya kembali dan memberikannya kepadamu.”
Ketika suara tertawa
mengguruh, Ki Demang dl Sangkal Putung sempat menilai anak muda yang seperti
kehilangan keseimbangan itu. Ternyata ia mempunyai ibu tiri. Itulah agaknya
yang telah menggoncangkan sendi-sendi ketenangan hidup berkeluarga. Dan anak
itu mencari pelarian ke tempat yang keliru.
“Kenapa kau diam saja?” anak
itu menjadi semakin berani. Selangkah ia maju “Sayang sekali, kalau aku harus
berkelahi melawan gadis semanis kau. Apakah kau benar-benar bermaksud berkelahi
dalam arti berkelahi?”
Suara tertawa bagaikan
menggetarkan rumah Kademangan. Tetapi suara itu tiba-tiba terputus ketika anak
muda yang ada di arena itu mengaduh tertahan. Ternyata Sekar Mirah telah
menampar pipinya ketika anak muda itu menjadi semakin dekat.
“Oh” anak muda itu meloncat
mundur “kau memukul?”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Tetapi ia menjadi muak melihat tingkah lakunya.
Anak muda itu maju selangkah
sambil berkata “Jadi kau betul-betul ingin berkelahi? Apakah kau sudah berlatih
bantingan?”
Sebelum anak-anak muda yang
lain sempat tertawa. sekali lagi tangan Sekar Mirah telah melekat dipipinya.
Kali ini agak lebih keras sehingga anak muda itu menyeringai sambil
mengusapnya.
“Bukan main” ia mulai menjadi
tegang, ”kau ingin berkelahi sungguh-sungguh? Baik. Aku akan melayanimu. Aku
sering berkelahi dengan seribu macam cara. Aku mempelajari olah kanuragan. Aku
sering bantingan dan binten. Aku mampu menguasai tangan dan kakiku baik-baik.
Dan aku akan menaklukkan kau tanpa menyakitimu.”
Tetapi sekali lagi sebuah
pukulan mengenai bukan saja pipinya, tetapi kini pelipisnya sehingga ia
terdorong beberapa langkah surut.
Kawan-kawannya yang semula
selalu tertawa kini mulai mengerutkan kening. Ternyata bahwa gadls yang bernama
Sekar Mirah itu tidak sekedar bermain-main. Ia ingin benar-benar berkelahi.
Karena itu, merekapun mulai bersungguh-sungguh.
Demikianlah, anak muda yang
mulai benar-benar merasa sakit itu tidak lagi menganggap Sekar Mirah sebagai
golek kayu yang dapat dilela-lela. Karena itu, iapun kini maju dengan
berhati-hati.
“Mulailah” geram Sekar Mirah,
“jangan menganggap aku seekor tikus jika kau seekor kucing. Tetapi aku adalah
Sekar Mirah.”
Anak muda itu memang sudah
mulai bersungguh-sungguh. Tetapi kepalanya sudah menjadi pening karena pukulan
tangan Sekar Mirah di pelipisnya itu.
Tetapi anak muda dari
Semangkak itu benar-benar telah berniat untuk menundukkan Sekar Mirah yang
meskipun agak galak, tetapi cantik. Karena itu, maka dengan kening yang
berkerut-merut ia melangkah mendekatinya.
Sekar Mirah sama sekali tidak
beranjak dari tempatnya. Bahkan ditengadahkannya dadanya sambil bertolak
pinggang.
“Gila” anak muda yang kini
berdiri dihadapannya Itu berdesis. Digeleng-gelengkannya kepalanya untuk
mengusir perasaannya yang kisruh melihat sikap Sekar Mirah yang menantang itu.
“Kenapa kau masih diam saja?”
bertanya Sekar Mirah, “atau aku yang harus mulai?”
Anak muda itu seolah-olah
mulai tersadar dari mimpi indahnya. Yang berdiri di hadapannya tidak kurang
dari seekor macan betina yang dapat mencengkamnya dengan kuku-kukunya yang tajam.
Dengan demikian maka anak muda
itupun segera rnempersiapkan dirinya. Ia tidak mau didahului, diterkam oleh
Sekar Mirah. Lebih baik ialah yang meloncat menerkamnya dan membantingnya di
tanah. Jika ia sudah tidak berdaya, maka ia akan dapat membawanya pulang.
Sejenak kemudian anak muda itu
mengambil ancang-ancang. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun. lagi,
iapun meloncat sambil mengembangkan tangannya menerkam Sekar Mirah sambil
berkata di dalam hati “Aku tidak peduli apa saja yang akan dikatakan oleh
kawan-kawanku. Aku akan menerkamnya seperti menerkam seekor kijang. Hal itu
sudah dikehendaki oleh gadis itu sendiri.”
Namun yang terjadi adalah di
luar dugaannya. Ketika kedua tangannya yang berkembang itu hampir menyentuh
tubuh Sekar Mirah, maka dengan tangkasnya Sekar Mirah bergeser selangkah ke
samping. Kemudian didorongnya anak muda yang masih terayun oleh kekuatannya
sendiri itu, sehingga dua kekuatan yang tergabung itu seakan-akan telah
melemparkannya dengan kerasnya.
Anak muda itu sama sekali
tidak dapat menjaga keseimbangannya. Seperti menyuruk ia meluncur dan jatuh
terjerambab. Adalah di luar dugaan bahwa kepalanya telah membentur tangga
pendapa yang pertama ketika kawan-kawannya justru menyibak melihat ia
seakan-akan sedang menyerudukkan kepalanya.
Masih terdengar ia mengaduh
perlahan-lahan. Tetapi sejenak kemudian iapun menjadi pingsan.
Wita berdiri termangu-mangu.
Demikian juga anak-anak muda Semangkak yang lain. Bahkan bebahu Sangkal Putung
sendiri terheran-heran melihat ketangkasan Sekar Mirah itu. Apalagi ternyata
bahwa anak muda Semangkak itu tidak segera dapat bangkit lagi.
Beberapa orang kawannyapun
segera mengerumuninya dan mengguncang-guncangnya. Tetapi untuk beberapa lama
anak muda itu tetap diam.
“Nah” suara Sekar Mirah telah
menyobek ketegangan itu, “apakah aku harus menunggu ia sadar, atau aku akan
melayani orang kedua?”
Tidak segera ada jawaban. Dan
karena itu maka Sekar Mirahlah yang mengambil keputusan “Bangunkan kawanmu yang
pingsan itu. Marilah, kita isi waktu kita dengan orang kedua.”
Tetapi masih tidak ada
iawaban.
“Ayo, siapa yang menyatakan
dirinya orang kedua di dalam sayembara ini?”
Tidak seorangpun yang
menampakkan dirinya.
Sekar Mirah berdiri
termangu-mangu. Diedarkannya tatapan matanya yang tajam berkeliling. Tetapi
karena belum ada. yang memasuki arena, maka sekali lagi Sekar Mirah berkata
“Cepat. Mumpung belum terlampau malam.”
Sekar Mirah berpaling ketika
ia mendengar sedikit ribut dibelakangnya. Ketika ia memperhatikan tempat itu,
dilihatnya beberapa anak muda Semangkak sedang mendorong kawannya.
“Bukankah kau yang menyatakan
diri menjadi orang kedua” desis salah seorang dari mereka.
“Majulah. Tangkaplah gadis itu
dan bawalah pulang ke Semangkak.”
Tetapi anak muda jangkung yang
didorong-dorongnya itu tidak juga mau maju.
Sekar Mirah dapat mengenali
anak muda itu, betapapun lemahnya cahaya lampu di pendapa. Karena itu maka
katanya “Nah, bukankah kau yang akan bertaruh kini ?”
Tetapi anak muda itu
menggeleng “Tidak. Aku tidak.”
“Bukankah kau sudah menyatakan
dirimu?”
“Tidak. Tidak pantas aku
berkelahi dengan perempuan.”
“Kenapa ?” bertanya Sekar
Mirah.
“Tidak adil.”
“Apa yang tidak adil ?”
“Jika aku menang, hal itu
dianggap biasa, Laki-laki menang atas seorang perempuan. Tetapi kalau aku kalah,
memalukan sekali.”
“Tidak peduli. Kalau kau mau
berkelahi, mari.” Tetapi laki-laki itu menggeleng.
Wita yang berdiri
termangu-mangu tiba-tiba menggeretakkan giginya. Sambil melangkah maju ia
menggeram “Minggir, biarlah aku selesaikan perempuan ini. Aku tidak peduli kata
orang. Dan aku tidak peduli taruhan apa yang akan aku terima. Tetapi perempuan
ini sudah menyatakan diri sebagai tebusan. Aku akan menganggapnya berhadapan
sendiri dengan Swandaru. Jangan menyesal kalau aku benar-benar akan berkelahi
seperti aku berkelahi melawan Swandaru.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sama sekali tidak gentar. Bahkan dengan
serta-merta ia bertanya ”Bukankah kau dengan mudah dapat dikalahkan oleh kakang
Swandaru?”
“Persetan, aku belum siap.
Seperti kawanku yang kau kalahkan itu sebenarnya hanya karena ia tidak siap
menghadapl kenyataan ini. Ia terlampau menganggap kau sebagai seorang gadis
sombong yang kesurupan.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi iapun dapat mengerti bahwa lawannya yang pingsan itu
menganggapnya tidak lebih dari seorang gadis yang keras kepala, sehingga karena
itu ia kurang berhati-hati menghadapinya.
Tetapi kali ini lawannya tidak
akan dapat didorongnya begitu saja sehingga kepalanya membentur tangga.
Lawannya yang terakhir ini pasti akan berusaha menentukan keadaan, jika
lawannya itu menang, maka ia akan menjadi taruhan dan hanya dapat diambil oleh
Swandaru sendiri.
Dengan demikian Sekar Mirahpun
bersiaga sebaik-baiknya. Ia tidak mau menjadi korban janjinya sendiri. Namun ia
sudah dapat menduga, bahwa lawannya jauh berada di bawah kemampuan kakaknya
Swandaru. Itulah sebabnya, maka Sekar Mirah berani menjadikan dirinya sebagai
taruhan di dalam perkelahian ini.
Sejenak kemudian Wita yang
melangkah semakin dekat berkata dengan lantang “Bersiaplah. Sebentar lagi kau
akan berada di Semangkak.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Ditatapnya tangan Wita dengan tajamnya. Ternyata bahwa Witapun tidak menunggu
jawaban Sekar Mirah. Tangan itu segera bergerak menyerang Sekar Mirah.
Agaknya Wita benar-benar tidak
bermain-main. Serangannya datang dengan derasnya menyambar kening Sekar Mirah.
Sekar Mirah terkejut mendapat
serangan yang langsung mengarah ke keningnya. Namun itu baginya merupakan
pertanda bahwa Wita tidak lagi bermain-main. Ia benar-benar ingin
menjatuhkannya. Bukan saja untuk membawanya sebagai tanggungan, sampai saatnya
Swandaru datang mengambilnya, yang tentu tidak akan diberikannya begitu saja,
tetapi Wita tentu ingin juga memperbaiki nama anak-anak muda Semangkak yang tercemar
oleh kekalahan kawannya dalam waktu yang terlalu singkat. Apalagi kawannya yang
kedua menjadi berkerut terlampau kecil, setelah ia melihat kekalahan orang yang
pertama.
Tetapi Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang memiliki bekal terlampau banyak untuk sekedar melawan Wita.
Meskipun Sekar Mirah cukup berhati-hati, namun segera tampak pada setiap orang
yang menyaksikan, bahwa Sekar Mirah adalah lawan yang berat bagi Wita.
Sambil mengelakkan serangan
pertama. Sekar Mirahpun telah menyerang lambung Wita. Tetapi Wita masih sempat
menggeliat dan mengelakkan serangan itu, meskipun ia hampir kehilangan
keeeimbangan. Apalagi ternyata Sekar Mirah melihat kelemahan sesaat itu,
sehingga ia meloncat memburunya. Tetapi Wita menyadari kelemahannya, sehingga
karena itu, ia justru berguling sama sekali untuk menjauhi lawannya. Dengan
lincahnya ia melenting dan berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya
didadanya. Tetapi ia terkejut bukan buatan, bahwa begitu ia tegak, tangan Sekar
Mirah telah mendorongnya.
Kali ini Wita tidak dapat
bertahan lagi. Dorongan Sekar Mirah itu telah melemparkannya jatuh terlentang,
meskipun dengan cepatnya ia berhasil meloncat berdiri.
Namun dengan demikian, hampir
setiap orang sudah dapat menilai kemampuan dari kedua orang yang sedang-berkelahi
itu. Dengan dada berdebar-debar anak-anak muda Semangkak menyaksikan kelanjutan
yang akan berlangsung. Hanya dengan keajaiban sajalah Wita akan dapat bertahan
terus, apalagi memenangkan perkelahian itu.
Dalam pada itu, Ki Demang di
Sangkal Putung menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Sekar Mirah yang keras
hati itu, mampu juga menahan diri. Ia tidak dengan serta merta mengalahkan
lawannya, apalagi membuatnya terluka parah. Dengan demikian ia tidak membakar
perasaan anak-anak muda Semangkak yang memang sedang panas itu. Agaknya Sekar
Mirah kali ini berusaha mengalahkan lawannya dengan hati-hati.
Sementara itu, Swandaru, Agung
Sedayu dan beberapa orang kawannya tidak lagi berada di kandang. Selagi halaman
Kademangan itu diriuhkan oleh suara tertawa dan teriakan-akan liar anak-anak
muda Semangkak, sebelum Sekar Mirah mulai berkelahi, anak-anak Semangkak yang
tersebar di halaman berlari-larian ingin melihat apa yang terjadi di halaman.
Swandaru dan Agung Sedayu beserta kawan-kawannya, yang merasa tidak akan
mendapat pengawasan lagi, segera turun dari kandang dan dengan hati-hati
menyelinap di dalam kegelapan. Tetapi ternyata bahwa mereka tidak dapat melihat
apa yang terjadi di halaman karena anak-anak Semangkak telah melingkari arena
sehingga merekapun segera berusaha memanjat sebatang pohon. Dari atas dahan
mereka berhasil menyaksikan, bagaimana Sekar Mirah berkelahi melawan Wita.
Agung Sedayu menyaksikan
perkelahian itu dengan dada berdebar-debar. Bukan karena la mencemaskan Sekar
Mirah, bahwa ia akan dapat dikalahkan oleh Wita, tetapi justru karena perasaan
Sekar Mirah sendiri yang melonjak-lonjak, yang akan dapat membuat suasana lebih
memburuk.
Demikianlah perkelahian itu
berlangsung semakin seru. Tetapi Wita hampir tidak mendapat kesempatan sama sekali
untuk berbuat sesuatu. Semakin lama serangan Sekar Mirah menjadi semakin cepat,
meskipun tidak berbahaya. Namun demikian, kadang-kadang wajah Wita menjadi
merah padam, apabila beberapa kali ia harus jatuh berguling-guling. Ia tidak
menyangka sama sekali bahwa adik Swandaru itu ternyata benar-benar memiliki
kemampuan berkelahi. Bahkan kemampuannya berada diatasnya.
Tetapi alangkah memalukan
sekali kalau ia harus menyerah. Karena itu, Wita menjadi semakin bemafsu. Di
kerahkan semua tenaga untuk mencoba memenangkan perkelahian Itu. Namun ia sama
sekali tidak mempunyai harapan apapun.
Karena itu, timbullah sifatnya
yang licik. Ia harus berusaha membangkitkan kemarahan anak-anak Semangkak
sebelum ia berhasil dikalahkan. Dengan demikian ia tidak akan terlampau terhina
oleh kekalahan itu. Ia tidak memikirkan akibat apa yang akan dapat timbul dari
kelicikannya itu.
Sesaat berikutnya Wita masih
berkelahi. Meskipun ia selalu terdesak mundur, namun ia ingin membuat kesan,
bahwa ia sengaja menjauhi lawannya. Setiap kali ia siap untuk menyerang, tetapi
serangan itu diurungkannya.
Melihat sikap Wita, Sekar
Mirah menjadi termangu-mangu. Ia memang tidak ingin menghinakan anak Semangkak
itu dihadapan kawan-kawannya dengan berlebih-lebihan. Ia tidak ingin membuat
Wita semakin mendendam. Karena itu, iapun mengurangi tekanannya dan mencoba
mengerti maksud lawannya.
Tetapi keadaan itu telah
dimanfaatkan oleh Wita yang kemudian meloncat surut sambil berkata “Ternyata
tidak ada untungnya aku berkelahi melawan perempuan.”
Sekar Mirahpun terhenti pula.
Dengan dahi yang berkerut-merut ia memandang Wita dengan tajamnya. Namun ia
tidak akan menyangka sama sekali kalau Wita kemudian berteri’ak “He anak-anak
Semangkak. Aku tidak mau berkelahi lagi dengan perempuan. Beberapa langkah lagi
aku pasti akan dapat menjatuhkannya. Tetapi aku tentu akan ditertawakan orang.
Jika aku menang, memang tidak akan ada seorangpun yang mengagumi, tetapi jika
aku mengalah, disangkanya aku dapat dikalahkan oleh perempuan. Apalagi jika aku
benar-benar kalah. Kali ini aku masih mempunyai belas kasihan kepadanya. Aku
sadar, jika gadis itu aku bawa ke Semangkak, akibatnya tidak akan baik baginya
dan bagi kita sendiri. Karena itu, jangan hiraukan dia, cari Swandaru sampai
ketemu. Kalau perlu, bakar saja rumah ini.”
“Tunggu” Sekar Mirah yang
mendengar kata-kata Wita itu terkejut. Bahkan Ki Demang dan bebahu dari kedua
Kademangan itupun terkejut pula “kau licik. Kau kalah, tetapi kau tidak mau
mengakui karena kau ingin mengingkari perjanjian yang sudah kita setujui
bersama. Semula aku masih mempunyai harga diri.”
“Aku masih mempunyai harga
diri. Karena itu aku tidak mau berkelahi melawan perempuan.”
“Tidak. Mari kita teruskah.
Kita tepati perjanjian kita. Kalau perlu, kita yakini kemenangan yang terjadi.
Kita berkelahi dengan senjata. Kita tentukan siapa yang mati diantara kita.
Dengan demikian tidak akan ada yang dapat ditipu lagi, siapa yang sebenarnya
kalah dan menang.”
Tantangan Sekar Mirah itu
benar-benar mendebarkan jantung. Agaknya gadis itu benar-benar telah kehilangan
kesabaran. Ia merasa telah diingkari oleh anak Semangkak itu.
Sehingga dengan demikian
usahanya untuk mencapa penyelesaian tanpa menimbulkan korban tidak dapat
dilakukannya. Bahkan Wita telah dengan licik menghindari akhir dari perkelahian
ini
Kemarahan itu tidak dapat
ditahankannya lagi, sehingga karena Wita masih termangu-mangu, Sekar Mirah
mendesaknya “Ayo. Kita tegaskan. Siapa yang kalah dan siapa yang menang dengan
taruhan nyawa. Tidak saja taruhan wadagku dan sikap jantanmu.”
Wita masih termangu-mangu.
Namun ternyata bahwa ia benar-benar seorang anak muda yang licik, sehingga
dengan tidak malu-malu sama sekali ia menjawab “Aku tidak peduli, tetapi
berkelahi dengan perempuan benar-benar telah merendahkan derajatku.” Lalu katanya
kepada kawan-kawannya “Ayo, jangan hiraukan perempuan kesurupan itu. Kita cari
Swandaru. Tetapi kalau perempuan itu menghalangi, terserah kepada kalian.
Apakah kalian akan menangkapnya beramai-ramai atau akan melumpuhkannya,
terserah kepada kalian.”
Darah Sekar Mirah serasa
mendidih karenanya. Jika saat itu ia membawa pedang, maka ia pasti sudah
mencabut pedangnya. Tetapi karena ia tidak menduga, bahwa lawannya adalah orang
yang licik, maka ia tidak bersenjata karenanya.
Dalam kekalutan itu Sekar Mirah
teringat kepada gurunya. Tentu gurunya tidak akan mengijinkan jika ia
mempergunakan senjata. Apalagi senjata tongkat berkepala tengkorak itu. Namun
ia mengharap juga gurunya berbuat sesuatu untuk meredakan suasana. Atau bahkan
memerintahkannya berrtempur sama sekali.
Sekar Mirah tahu bahwa di
halaman rumahnya ada dua orang tua yang pasti tidak akan terlawan. Kiai
Gringsing dan Sumangkar. Ia tahu pula bahwa kedua Demang dan bebahu kedua
Kademangan itu pasti tidak akan membiarkan anak-anak Semangkak itu berbuat
liar. Selain mereka masih ada juga Swandaru, Agung Sedayu dan beberapa orang
anak muda Sangkal Putung yang terpilih di dalam kandahg.
Tetapi Sekar Mirahpun tahu,
bahwa bukan penyelesaian dengan cara itulah yang dikehendaki. Namun demikian,
apabila keadaan memaksa, apa boleh buat.
Dalam pada itu wajah-wajah
anak Semangkak telah menjadi tegang, seperti wajah Ki Demang dan bebahu dari
kedua Kademangan itu. Bahkan Ki Jagabaya dari Semangkak sendiri telah menjadi
gelisah dan sesekali menatap wajah Ki Demang di Semangkak, seolah-olah menunggu
jatuhnya perintah.
Dalam ketegangan itu sekali
lagi terdengar suara Wita “Ayo, jangan termangu-mangu. Kita sudah memutuskan
untuk mengambil Swandaru, apapun yang akan terjadi.”
Swandaru sendiri telah menjadi
gemetar. Bukan karena ketakutan Tetapi kemarahan yang menghentak-hentak
dadanya, hampir tidak tertahankan lagi jika setiap kali Agung Sedayu tidak
menggamitnya. Hampir saja ia meloncat turun dari riahan yang rendah itu. Namun
Agung Sedayu masih berhasil mencegahnya. “Tunggu. Kita lihat perkembangan
keadaan.”
Dalam ketegangan itu,
tiba-tiba halaman rumah Ki Demang Sangkal Putung itu digetarkan oleh suara
tertawa yang berkepanjangan. Semua orang yang berada di halaman itu berpaling.
Di dalam keremangan cahaya pelita, seseorang naik ke pendapa sambil tertawa,
diiringi oleh beberapa anak muda yang kemudian berdiri saja di tangga. Bersama
mereka telah datang pula ayah Wita dan adiknya yang masih kecil itu.
Dada Wita berdesir melihat
kehadiran mereka. Ia tidak segera mengetahui maksud kehadiran orang yang
tertawa itu, apalagi bersama ayah dan adiknya.
Ki Demang di Semangkak serta
bebahunya berdiri termangu-mangu sambil menahan gelora di dada masing-masing.
“Orang itulah yang telah
membuat onar” bisik Ki Jagabaya ke telinga Ki Demang.
“Ya, ialah yang telah
mengajari anak-anak Semangkak berkelahi. Kehadirannya akan menambah keruh
suasana. Jika ia membela anak yang telah dilatihnya itu, suasana akan bertambah
buruk. Apalagi ia membawa beberapa orang anak muda pula, yang agaknya justru
lebih matang dari anak-anak ini.”
“Ya. Mereka adalah
murid-muridnya terdekat.”
Ki Demang di Semangkak menjadi
semakin tegang.
Tetapi ia sudah bertekad untuk
mencegah kegilaan anak-anak muda Kademangannya. Apapun yang akan terjadi dan
apapun yang akan dikatakan orang atasnya, ia tetap akan berkelahi melawan
anak-anak yang sudah tidak dapat dicegahnya dengan kata-kata. Ia yakin bahwa
orang-orang Sangkal Putung itupun pasti akan membantunya, meskipun Ki Demang di
Semangkak itu menjadi heran, kenapa anak-anak-muda Sangkal Putung tidak
seorangpun yang nampak. Menilik kemampuan Sekar Mirah, seorang gadis, maka
kemampuan anak-anak mudanya pasti akan menggetarkan jantung. Tetapi Ki
Demangpun menduga, bahwa anak-anak itu dengan sengaja telah disingkirkan
sekedar untuk menghindari bentrokan. Bukan karena anak-anak Sangkal Putung
menjadi ketakutan dan bersembunyi.
Suara tertawa Itupun semakin
mereda. Bahkan kemudian berhenti dengan tiba-tiba. Sambil bertolak pinggang
orang itu kemudian bertanya “He, mana Wita?”
Wita berdiri termangu-mangu
ditempatnya.
“Ha, jangan bersembunyi.
Kemari. Kemari.”
Wita masih berdiri mematung
ditempatnya.
“Wita, kemari. Ini ayahmu
mencarimu.”
Wita sama sekali tidak
beranjak.
“Ternyata kau benar-benar
seorang anak muda yang berani. Kau tidak mau dihinakan oleh Swandaru, dan
sekarang kau datang untuk menuntut balas.”
Kata-kata itu benar-benar
telah menegangkan jantung Swandaru yang meskipun amat-lamat, dapat mendengarnya
juga. Tetapi sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.
“Aku bunuh orang gila itu”
desis Swandaru.
“Tunggu” sahut Agung Sedayu.
Dalam pada itu orang yang
berdiri di bibir pendapa berkata lagi “Tetapi sayang, bahwa kau bukan seorang
laki-laki jantan. Kau hanya berani melakukan pembalasan beramai-ramai seperti
nonton wayang beber. Tetapi kau tidak berani menengadahkan dadamu” orang itu
berhenti sejenak, lalu “apalagi setelah aku melihat kekalahanmu dari Sekar
Mirah. Aku menjadi sangat malu.”
Wajah Wita. menjadi merah
padam. Dengan serta-merta ia menjawab “Aku belum kalah.”
Orang itu tertawa meledak
sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Katanya ketika suara tertawanya mereda.
“Kau dapat menipu adikmu yang kecil itu. Tetapi kau tidak dapat menipu aku. Kau
kalah. Kalah mutlak” tiba-tiba suaranya meninggi dan bersungguh-sungguh, “Wita,
aku tidak malu karena kau kalah. Adalah wajar kalau kau kalah, kalah karena
bekalmu terlampau sedikit dibandingkan dengan gadis itu. Tetapi yang membuat
aku sangat malu adalah bahwa kau justru tidak mau mengakui kekalahan itu” Lalu
suaranya bertambah keras, bahkan membentak-bentak “Ternyata kau sudah gila. Kau
sama sekali tidak dapat dianggap seorang yang baik di dalam segala hal. Selagi
kau sudah kalah mutlak, kau masih mengelak, dan menganjurkan membakar rumah
ini. Itu gila, gila sekali”
Ia berhenti sejenak. Suaranya
menjadi bergetar, karena ia berusaha menahan perasaannya yang meluap-luap.
”Kedatanganmu ke Sangkal Putung bersama tikus-tikus dungu itu sudah membuat aku
sangat kecewa. Itukah hasil yang kalian peroleh dari ajaran-ajaan olah
kanuragan yang aku berikan? Aku mengakui, bahwa aku tidak menilik kau seorang
demi seorang dari segi sikap dan sifat. Tetapi bukan maksudku agar kau memusuhi
tetangga-tetangga Kademangan dengan sikap yang bodoh” orang itu berhenti sejenak,
lalu “kalian membuat aku kehilangan kesempatan untuk menang kali ini. Ketika
ayah Wita menyusul aku di perjudian, aku sebenarnya sedang berada di atas
angin. Aku sedang menanjak mendekap kemenangan demi kemenangan. Tiba-tiba saja
aku harus berhenti. Dan tentu aku kehilangan kesempatan. Jika aku mulai lagi,
mungkin aku akan kalah”
Lalu suaranya tampir berteriak
“Kalianlah yang gila. Wita dan kawan-kawannya itu sudah gila. Aku tidak dapat
membiarkan kalian mencoba mengganggu Sangkal Putung. Karena itu aku korbankan
kemenangan-kemenangan yang akan aku dapatkan dari perjudian itu. Aku tidak
ingin melihat atau mendengar kebodohan kalian. Meskipun aku penjudi, pemabuk,
penyabung ayam, tetapi aku tidak mau bersikap licik dan pengecut. Dan kalian
adalah anak-anak yang paling bodoh di seluruh muka bumi. Kenapa kalian tidak
pernah berpikir kenapa kalian tidak menjumpai seorang anak mudapun dari Sangkal
Putung? Alangkah bodohnya. Alangkah sombongnya kalian dan otak kalian memang
sudah membeku. Aku adalah bekas seorang prajurit. Karena umurku aku tidak lagi
berada di kesatuanku. Aku pernah ikut bertempur melawan Tohpati di Sangkal
Putung di bawah pimpinan Ki Widura dan Ki Untara. Kalau anak-anak Sangkal
Putung ingin melawan, kalian dapat ditumpas seperti pasukan Tohpati. Mengerti?
Mengerti? He?”
Orang itu telah
berteriak-teriak tidak menentu karena kemarahan yang memuncak. Dan tiba-tiba
saja suaranya merendah “Ayo… kalian kembali ke Semangkak. Wita sudah membuat
perjanjian, jika ia kalah dari Sekar Mirah, kalian akan dibawanya kembali. Dan
Wita sudah kalah. Mutlak. Tiga Wita bersama-sama tidak akan menang atas Sekar
Mirah. Ayo, cepat pulang, atau aku akan memukul kalian seorang demi. seorang.”
Ketika orang itu berhenti
berbicara, maka halaman itu tiba-tiba saja menjadi sepi. Semua mata terpancang
kepadanya dan kepada anak-anak muda yang berdiri di tangga di hadapannya.
Karena tidak ada seorangpun
yang berbicara maka bekas prajurit itu pulalah yang memecah kesenyapan “Kenapa
kalian berdiri bingung disitu. Ayo pulang, kataku. Aku datang bersama
kawan-kawanmu yang masih dapat berpikir jernih dan tidak mau bersama kalian
berbuat gila di Sangkal Putung ini. Apakah aku harus memaksa dengan kekerasan
atau aku akan membiarkan kalian menjadi endog pangamun-amun di Sangkal Putung,
karena orang-orang dan anak-anak muda di Sangkal Putung menjadi muak melihat
kebodohan kalian?”
Anak-anak muda itu masih
termangu-mangu.
“Aku akan menghitung sampai
tiga. Satu, dua…” Ternyata anak-anak muda Semangkak itu mulai bergerak surut
tanpa mereka sadari Bahkan Witapun mundur selangkah. Lalu, bekas prajurit itu
melanjutkan ”Tiga.”
Seperti air surut, anak-anak
muda Semangkak itu bergerak mundur. Namun mereka masih mendengar bekas prajurit
itu berkata “Nah, bagus. Kita pulang bersama-sama. Ikuti aku. Kalau ada yang
berani berbuat sesuatu, aku patahkah tangannya.” Lalu orang itu berpaling
kepada bebahu Kademangan Sangkal Putung dan Semangkak. “Maaf Ki Demang berdua.
Biarlah aku giring kambing-kambing bodoh ini kembali ke Semangkak. Mereka sudah
merampas kesempatanku untuk menang lebih banyak. Jika aku kembali ke perjudian,
mungkin aku akan kalah. Seandainya ayah Wita tidak mencari aku dan aku tidak
perlu meninggalkan perjudian, mungkin besok aku sudah menjadi seorang yang kaya
raya.”
“Terima kasih atas
pengorbananmu” jawab Ki Demang di Semangkak. “Mudah-mudahan anak-anak asuhanmu
itu tidak menjadi bengal lagi.”
“Aku akan mengawasinya
baik-baik.”
Demikianlah maka bekas
prajurit itu telah menggiring anak-anak Semangkak kembali ke Kademangan mereka.
Mereka tidak dapat berbuat lain daripada mematuhi perintah itu. Bagaimanapun
juga mereka harus memperhitungkan jumlah lawan mereka yang semakin banyak. Dan
lawan yang terutama adalah kawan-kawan mereka sendiri dari Semangkak yang
justru mereka segani bersama bekas prajurit yang selama ini mereka anggap
sebagai guru mereka.
Dengan dada yang
berdebar-debar anak Semangkak itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan
Kademangan. Apapun yang bergejolak di dalam hati, namun mereka harus kembali ke
Semangkak.
Wita yang berjalan di paling
depan menundukkan kepalanya. Iapun harus mundur meskipun hatinya sebenarnya
memberontak. Ia ingin melihat Kademangan Sangkal Putung menjadi bosah baseh dan
menemukan Swandaru yang bersembunyi ketakutan. Ia ingin mengikat anak yang
gemuk bulat itu dan memukuli perutnya dan pipinya yang gembung.
Tetapi pengasuhnya di dalam
olah kanuragan telah mencegahnya dan menggiring mereka kembali dengan kecewa.
“Kami gagal kali ini” desis
Wita, “orang itu menggagalkan rencana yang sudah kami susun baik-baik.”
Kawannya tidak menyahut.
Tetapi kawannya itu sudah mulai ragu-ragu, jika seandainya niat itu diteruskan,
apakah tidak akan timbul akibat-akibat lain yang lebih buruk.
Sebenarnyalah memang ada
beberapa tanggapan dari anak-anak muda Semangkak itu. Ada yang berkata didalam
hatinya “Untunglah bahwa segala sesuatunya belum terlanjur.” Tetapi ada yang
mengumpat “Gila orang itu. Kenapa kami dcegahnya? Jika tidak, kami akan
mendapatkan umpan yang menyenangkan sekali. Seekor kelinci gemuk dan seorang
gadis cantik sekaligus. Jika kami beramai-ramai menangkapnya, menyeretnya ke
Semangkak, tidak akan ada yang menyalahkan kami.” Meskipun timbul juga
persoalan didaiam hatinya. “Bagaimana jika anak-anak Sangkal Putung marah dan
menyusulnya ?”
“Persetan” dijawabnya sendiri,
“jika anak-anak Sangkal Putung mempunyai keberanian, ia pasti sudah menyongsong
kedatangan kami karena mereka pasti sudah mendengar sebelumnya. Jagabaya
Sangkal Putung itu pasti sudah memberitahukan kepada anak-anak Sangkal Putung, dan
mereka hanya berani bersembunyi. Adalah omong kosong bahwa mereka ikut
bertempur melawan pasukan Tohpati saat itu.”
Namun belum lagi
angan-angannya itu berakhir, anak-anak muda Semangkak yang sudah sampai di
pintu gerbang Kademangan induk, terkejut bukan kepalang ketika mereka melihat
beberapa orang anak muda berdiri di dalam kegelapan. Mereka hanya melihat
bayangan mereka di bawah cahaya lampu minyak di emper gardu.
“Gila, ada juga anak muda yang
berani menampakkan diri” desis Wita di dalam hati. Tanpa sesadarnya ia
berpaling. Di ujung belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu terdapat
pengasuhnya di dalam olah kanuragan, dan kawan-kawannya dari Semangkak yang
memang agak mereka segani. “Jika tidak ada mereka, anak-anak Sangkal Putung
yang ada di gardu itu dapat menjadi sasaran yang menyenangkan setelah kami
dikecewakan habis-habisan.”
Wita hanya dapat
menggeretakkan giginya. Tetapi rasa-rasanya tangannya memang menjadi gatal.
Bahkan ia berkata kepada diri sendiri “Apaboleh buat. Apakah aku dapat menyeret
salah seorang dari mereka tanpa ribut-ribut?’
Namun ternyata anak-anak muda
Sangkal Putung yang melihat iring-iringan itu lewat, segera menyingkir menepi,
Mereka meloncati parit di luar padukuhan dan berdiri di seberang parit.
Tetapi, dada anak-anak
Semangkak itu tiba-tiba bergetar dahsyat sekali. Ketika mereka keluar dari
padukuhan itu, barulah mereka melihat suatu kenyataan tentang anak-anak muda
Sangkal Putung. Yang berdiri di luar padesan, di seberang parit itu, bukannya
sekedar anak-anak muda yang di lihatnya pada cahaya lampu minyak di gardu di
sudut halaman, sehingga apabila timbul niat salah seorang dari mereka untuk
membakar gardu itu, maka niat itu harus dipikirkannya berulang kali.
Ketika mereka mula-mula
memandang ke dalam gelap, setelah mereka melintasi sinar pelita di gardu,
mereka menjadi termangu-mangu Seakan-akan mereka melihat tanaman di sawah, di
luar padesan itu tumbuh demikian rapatnya setinggi tubuh manusia. Bahkan hampir
seperti sebuah dinding yang membujur di sebelah parit.
Namun kemudian barulah dapat
mereka lihat dengan jelas, setelah merekapun ada di bulak itu. Yang mereka
lihat sama sekali bukan tanaman jagung raksasa yang rapat berhimpit-himpitan,
bukan pula sebuah dinding batu di pinggir parit, tetapi yang mereka lihat
adalah anak-anak muda Sangkal Putung yang berdiri berjajar rapat di sebelah
menyebelah jalan.
Darah anak-anak muda Semangkak
itu bagaikan berhenti mengalir. Mereka tidak dapat mengirakan, berapa jumlah
anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mungkin empat atau lima kali lipat jumlah
mereka.
Tetapi ternyata anak-anak muda
Sangkal Putung itu tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya berdiri saja seakan-akan
membeku.
Ketika anak-anak Semangkak
menyadari bahwa di sebelah menyebelah mereka berdiri anak-anak Sangkal Putung
dalam jumlah yang tidak mereka duga, terasa betapa kecutnya hati mereka.
Anak-anak bengal yang semula membusungkan dada, menjadi semakin berkerut
melihat kenyataan itu. Mereka mulai ragu-ragu sejak seorang gadis bernama Sekar
Mirah dengan mudahnya berhasil mengalahkan anak-anak muda Semangkak yang mereka
anggap anak-anak terbaik di kalangan mereka. Apalagi kini mereka melihat
anak-anak mudanya dalam jumlah yang tidak dapat mereka perkirakan.
Wita sendiri yang berjalan di
depan rasa-rasanya hampir tidak lagi dapat mengangkat kakinya. Kakinya itu
seakan-akan menjadi berat, dan meskipun ia melangkah terus, tetapi seakan-akan
ia tidak bergerak maju. Setiap kail ia memandang dengan sudut matanya, masih
saja dilihatnya bayangan hitam yang berderet di seberang parit.
“Gila, mereka memang gila” ia
menggeram di dalam hatinya. Namun ia dapat juga berpikir “Jika seorang gadis
dapat mengalahkan aku, apa saja yang dapat dilakukan oleh anak-anak muda
Sangkal Putung itu?”
Wita terkeiut ketika tiba-tiba
saja ia mendengar suara di belakang iring-iringan anak-anak Semangkak itu, ”Ha,
ternyata dugaanku benar. Anak-anak Sangkal Putung yang sekarang masih seperti
anak-anak mudanya pada masa-masa Tohpati ada di mulut gerbang Kademangan
kalian. He, apakah masih ada di antara kalian yang mengenal aku?”
Tidak terdengar jawaban.
“Siapakah yang masih mengenal
aku? Dimana Swandaru?”
Baru kemudian terdengar
jawaban “Ia berada di rumahnya.”
“Di rumahnya? Jadi ia berada
di Kademangan?”
“Ya. Ia sudah siap melindungi
rumahnya jika terjadi sesuatu bersama Agung Sedayu.”
“Maksudmu adik Senapatl
Untara?”
“Ya, bersama gurunya dan guru
Tohpati.”
“He gila kau. Gurunya dan guru
Tohpati ?”
“Ya, Kiai Gringsing dan paman
guru Tohpati, Sumangkar.”
“Bukan main, bukan main” bekas
prajurit Pajang itu mengangguk-angguk. Lalu ”Terima kasih atas kebaikan hati
kalian. Ternyata kalian bersikap cukup dewasa. Kalian tidak terpancing oleh
kebodohan anakku ini. Dan kalian telah menang tanpa mengalahkan kami.”
Anak-anak muda Sangkal Putung
itu tidak menjawab. Namun terdengar anak muda yang lain berkata “Selamat jalan,
mudah-mudahan hal yang serupa tidak terulang lagi.”
“Terima kasih. Terima kasih.
Aku akan menjaganya. Seharusnya aku menang di perjudian malam ini. Hari ini
adalah hari yang paling baik bagiku. Tetapi lewat tengah mala, kabegjan itu
sudah beralih pada orang lain.” Lalu iapun mengumpat “Anak setan. Kalian sudah
mengganggu kemujurunku malam ini.”
Anak-anak Semangkak itu
berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hati mereka memang sudah berkerut. Dan
mereka tidak berani memandang wajah-wajah anak Sangkal Putung meskipun di dalam
kegelapan.
Ternyata bahwa anak-anak
Sangkal Putung yang berdiri memanjang di pinggir jalan itu cukup banyak.
Rasa-rasanya pagar itu tidak habis-habisnya sampai ke tengah bulak. Dan
rasa-rasanya kaki anak-anak muda Semangkak itu semakin lama menjadi semakin
berat. Mereka yang berdiri di pinggir jalan tidak sekedar anak-anak dari induk
kademangan saja, tetapi juga dari padukuhan-padukuhan lain di Kademangan
Sangkal Putung. Susunan tata hubungan anak-anak muda Sangkal Putung yang
dibentuk sejak Tohpati masih berada di hadapan hidung mereka, temyata masih
memungkinkan mereka bergerak cepat dan teratur. Meskipun mereka berkumpul dalam
jumlah yang besar, tetapi mereka tetap terkendali oleh pemimpin kelompok yang
harus bertanggung jawab kepada Swandaru.
Demikianlah, ketika Wita
berhasil mencapai ujung dari pagar manusia itu, tiba-tiba langkahnya menjadi
semakin cepat. Rasa-rasanya ia sudah terlepas dari hisapan tanah di sepanjang
jalan, dan terasa kakinya menjadi semakin ringan. Demikian pula kawan-kawannya
yang lain. Mereka berjalan semakin cepat, bahkan seolah-olah mereka telah
berlari-lari kecil.
Dengan kepala tunduk mereka
mau tidak mau harus meresapi suatu pengalaman baru di dalam hidup. Mau tidak
mau mereka harus mulai menilai kembali perbuatan yang baru saja mereka lakukan.
Terlebih-lebih Wita. Meskipun mula-mula ia berusaha untuk mencari alasan yang
dapat menyenangkan hatinya sendiri, namun akhirnya ia jatuh kedalam suatu
pengakuan, bahwa perbuatan yang baru saja dilakukan adalah perbuatan yang
bodoh.
Kini hatinya menjadi
berdebar-debar. Pengasuhnya itu pasti akan marah-marah tiada terkirakan.
Mungkin ia benar-benar akan memukuli anak-anak muda itu seorang demi seorang.
Atau bahkan tidak mau lagi mengajari mereka dengan olah kanuragan. Jika
demikian maka kawan-kawannya itu pasti akan mulai menyalahkannya, karena ia
adalah sumber dari peristiwa ini.
Sejenak Wita yang gelisah itu
berpaling. Dilihatnya kawan-kawannya berjalan dengan kepala tunduk pula.
Demikianlah maka anak-anak
muda itu berjalan semakin cepat tanpa berbicara lagi yang satu dengan yang
lain. Yang masih terdengar bergeremang adalah bekas prajurit yang berjalan
bersama beberapa anak muda yang tidak mau membantu Wita. Karena setiap kali
bekas prajurit itu masih saja berkata “Aku kehilangan kesempatan. Jika aku
menang dan meniadi kaya, kalian akan aku belikan sepasang ayam yang paling
baik. Ayam-ayam itu akan bertelur dan menetas menjadi banyak Kalian dapat
menjualnya dan membeli kambing.”
Tidak seorangpun yang
menyahut. Tetapi beberapa orang di antara mereka hanya tersenyum saja.
Sepeninggal anak-anak
Semangkak, maka para bebahu Semangkakpun segera minta diri. Seperti juga ayah
Wita, maka para bebahu Kademangan Semangkak itupun minta maaf atas segala
kelalaian mereka mengurusi anak-anak itu.
“Kami akan berusaha lebih baik
lagi di masa datang” berkata Ki Demang di Semangkak, “kami menjadi iri melihat,
bagaimana kalian di sini berhasil menguasai anak-anak muda kalian.”
“Anak-anak muda itu sendiri
bersedia membantu kami. Mereka berusaha mengendalikan diri masing-masing” sahut
Ki Demang di Sangkal Putung, “tetapi itu bukan berarti bahwa tidak ada
persoalan sama sekali di sini.”
“Tetapi aku melihat Kademanganmu
selalu tenang.”
“Kadang-kadang ada juga
gelombang-gelombang kecil di dalam tata pergaulan. Tetapi justru perjuangan
untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran itulah yang telah mengikat
anak-anak kita. meskipun ada juga yang berusaha melupakannya seolah-olah hal
itu tidak pernah terjadi.”
“Salah” desis Ki Demang di
Semangkak “kalian yang sudah mempunyai kesempatan yang baik harus tetap
memelihara kesadaran itu. Kesadaran atas pengorbanan yang pernah kalian berikan
untuk mempertahankan Kademangan ini dari kehancuran. Kami yang meskipun juga
mengalami tetapi tidak sedahsyat Sangkal Putung, telah terlanjur kehilangan
ikatan itu. Dan ini adalah kesalahan kami yang terbesar.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Perjuangan itu adalah puncak perjuangan bagi
kalian. Yang dapat kita lakukan sekarang adalah akibat dari perjuangan kalian
dibantu oleh prajurit Pajang.”
“Setiap masa mempunyai
puncak-puncak perjuangan masing-masing, yang merupakan mata rantai perjalanan
sejarah Kademangan ini menjelang masa depan yang baik. Setiap masa menyimpan
kemungkinan yang sama dan setaraf dalam pembentukan wajah Kademangan ini. Namun
yang satu tidak boleh bertentangan dengan yang lain. Yang kemudian tidak boleh
menghapuskan nilai-nilai yang hakiki yang pernah dicapai sebelumnya, apalagi
jika diingat korban-korban yang pernah jatuh. Tentu mereka tidak akan merelakan
dirinya menjadi korban tanpa suatu keyakinan atas tujuan perjuangannya. Itulah
yang kita kenang. Dan tujuan itu tidak boleh menyimpang. Sekarang dan
seterusnya.”
Ki Demang di Semangkak dan
bebahunya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Aku akan berusaha. Kami di
Semangkak pernah mengalaminya juga meskipun tidak sebesar Sangkal Putung.
Tetapi itu bukan berarti bahwa kami sekarang dapat berbuat sekehendak hati. Dan
inilah yang sudah terjadi di daerah kami. Tuak, judi, sabung ayam dan semuanya
yang sama sekali tidak pernah dibayangkan akan berkembang sampai demikian
luasnya.”
“Dan yang tidak pernah
dibayangkan oleh siapapun juga di saat-saat kita menggenggam senjata di
peperangan” tiba-tiba terdengar suara lain di belakang mereka.
Ketika mereka berpaling.
dilihatnya Swandaru datang di ikuti oleh Agung Sedayu.
“O, kau” desis Ki Demang di
Semangkak, “dimana kau selama ini? Adikmu telah membuat kami semuanya kagum.
Meskipun ia seorang gadis, namun tindakannya yang tepat hampir menentukan.
Kelicikan sebagian anak-anak muda Semangkak itu akhirnya dapat diatasi oleh
guru mereka sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekilas ia berpaling memandang Sekar Mirah yang duduk di tangga
pendapa. Sambil tersenyum ia berkata “Kau tentu kecewa bahwa anak-anak muda itu
tidak berhasil mengalahkan kau.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya.
“Aku juga ikut berharap agar
salah seorang dari mereka dapat menang atasmu, dan kau akan ikut bersama dengan
mereka.”
Sekar Mirah menjadi tegang
sejenak. namun kemudian tangannya meraba-raba di bawah kakinya. Ketika
terpegang olehnya sebutir batu maka batu itupun segera dilemparkan kepada
kakaknya sambil berkata “Kaulah yang membuat gara-gara.”
“Eh, jangan” Swandaru sempat
menghindar. Ketika Sekar Mirah mencari batu berikutnya, Swandarupun segera
berlindung di balik ayahnya yang sedang berdiri berhadapan dengan Ki Demang
Semangkak.
“Sst, ketegangan di dada kami
masih belum mereda” berkata Ki Demang, “jangan bergurau. Ki Demang di Semangkak
masih ada di sini.”
“O” Swandaru menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “aku melihat semuanya dari dahan pohon di sebelah
halaman.”
Ki Demang di Semangkak
mengerutkan keningnya. Di dalam kegelapan ia melihat beberapa anak muda berdiri
termangu-mangu.
“Ternyata bahwa kalian mampu
mengendalikan diri. Perjuangan yang berat di masa lewat itu membuat kalian
benar-benar menjadi anak muda yang masak. Yang bertanggung jawab.”
“Ah, Ki Demang memuji.” sahut
Swandaru, “tidak semua anak-anak muda Semangkak mudah dibakar oleh api perasaan
sendiri. Tetapi karena jumlah mereka yang dewasa lebih sedikit dari mereka yang
sedang bergulat dalam pembentukan pribadi itu ternyata bahwa mereka tampaknya
justru tersisih.”
Demikianlah, sejenak kemudian
Ki Demang di Semangkakpun minta diri kepada Ki Demang di Sangkal Putung.
Bersama beberapa orang bebahu yang lain iapun kemudian meninggalkan halaman
Kademangan. Tetapi agaknya Ki Demang Sangkal Putung tidak melepaskannya begitu
saja. Maka diantarkannya Ki Demang itu sampai lepas dari padukuhan induk
Sangkal Putung.
Di depan regol, kedua Demang
itu mengerutkan keningnya. Mereka masih menjumpai anak-anak muda Sangkal Putung
di uar padesan berdiri berjajar di sebelah menyebelah jalan.
“Apa yang terjadi?” Ki Demang
Sangkal Putung bertanya dengan cemas.
Namun jawab salah seorang dari
anak-anak muda itu membuatnya menarik nafas lega “Tidak ada apa-apa Ki Demang.”
“Jadi, darimanakah kalian?”
bertanya Ki Demang di Semangkak.
“Kami baru datang
menyingkirkan diri.”
“O” Ki Demang di Semangkak
mengangguk-anggukkan kepalanya, “terima kasih atas kebaikan hati kalian. Kalian
telah menghindari benturan yang dapat terjadi.”
Anak muda itu tidak menyahut.
Ia hanya tersenyum saja.
“Aku minta diri” berkata Ki
Demang di Semangkak kepada anak-anak muda itu, “mudah-mudahan persoalannya
tidak akan terulang lagi. Aku minta maaf.”
“Mudah-mudahan Ki Demang”
sahut anak-anak muda itu.
Ki Demang di Semangkak dan
beberapa orang Semangkak yang lain itupun segera meninggalkan Sangkal Putung.
Ternyata mereka telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mengendalikan anak
mudanya. Bahkan ayah Wita yang hampir saja melepaskan anaknya yang tidak dapat
diaturnya lagi, untuk kali yang terakhir berusaha menghindarkan benturan antara
anak-anak Semangkak dan Sangkal Putung.
Meskipun demikian
kadang-kadang tumbuh juga di hati Demang di Semangkak, bahkan para bebahu yang
lain yang hampir-hampir tidak dapat menahan kejengkelannya terhadap anak-anak
mereka sendiri, pendirian “Jika anak-anak Semangkak itu sudah menjadi babak
belur oleh anak-Sangkal Putung, barulah mereka akan jera.”
Dalam pada itu, sepeninggal
para bebahu Kademangan Semangkak, Ki Demang di Sangkal Putung berbisik kepada Swandaru
“Apa kerja anak-anak itu di luar regol? Apakah mereka dengan sengaja memancing
persoalan atas Semangkak yang justru sudah berhasil didorong keluar dari
Kademangan ini?”
Swandaru menarik natas
dalam-dalam. Jawabnya “Mereka tidak berbuat apa-apa Ayah.”
“Tetapi kenapa mereka berada
disitu? Dalam keadaan yang panas, sesuatu masih mungkin terjadi. Bukankah aku
minta kau menyingkirkan anak-anak itu?”
“Aku memang sudah
menyingkirkan mereka. Tetapi bagaimana jika terjadi sesuatu? Aku memang minta
mereka tidak pergi terlampau jauh.”
Namun Ki Demang memotong “Dan
kau memang meminta kepada mereka agar mereka berdiri berderet-deret jika
anak-anak Semangkak itu kembali meninggalkan Sangkal Putung. Kau ingin
mengatakan kepada mereka bahwa sebenarnya anak-anak muda Semangkak itu sama
sekali tidak ada arti apa-apa bagi anak-anak muda Sangkal Putung. Kau ingin
mengatakan ‘Jika kami mau, kalian akan dapat kami hancurkan.’ Bukankah begitu?”
Swandaru tidak menyahut.
“Permainanmu termasuk
berbahaya Swandaru, masih juga tidak dapat melepaskan perasaanmu sama sekali.
Di satu pihak kau menyingkirkan anak-anak muda itu agar tidak terjadi benturan,
tetapi di lain pihak, kesombongan masih saja belum dapat kau tekan
sedalam-dalamnya. Kau masih tidak mau disebut, bahwa anak-anak muda Sangkal
Putung lari. Bukankah begitu?”
Swandaru masih belum menyahut.
Kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Bayangkan. Kau mengumpulkan
anak-anak muda sekian banyaknya, jika terjadi sesuatu, anak-anak Semangkak itu
pasti akan babak belur. Jika sudah terpercik setitik api pertengkaran, kau
tidak akan dapat mencegahnva lagi. Dan jika akibatnya terlampau berat bagi
anak-anak Semangkak, maka anak-anak yang lain, yang sebenarnya tidak
ikut-ikutan, akan menjadi sakit hati juga. Bagaimanapun juga mereka adalah
kawan-kawan sepermainan. Bahkan mungkin mereka akan berusaha berbuat sesuatu
untuk menghapuskan sakit hati mereka itu.”
Swandaru mengangguk-angguk
kecil. Dipandanginva anak-anak muda Sangkal Putung yang masih berkeliaran di
luar regol.
“Nah, akan kau suruh kemana
mereka sekarang. Tentu ada sesuatu yang tersimpan di dalam dada dan masih belum
tersalur. Mereka tidak akan puas berdiri saja di pinggir desa, kemudian pulang
tanpa berbuat apa-apa.”
Swandaru menjadi bingung.
Ditatapnya waiah Agung Sedayu sejenak, seolah-olah ia ingin bertanya “Bagaimana
sebaiknya ?”
Tetapi Agung Sedayu ternyata
menyesali pula sikap Swandaru yang seolah-olah bermain-main dengan api di
samping seonggok jerami yang basah karena minyak.
“Lalu apakah yang sebaiknya
kita kerjakan Ayah ?” bertanya Swandaru kemudian.
Ki Demang di Sangkal Putung
termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak akan dapat membiarkan anak-anak itu
begitu saja dan bubar dengan sendirinya. Karena itu, maka katanya kepada
Swandaru “Suruhlah mereka bubar. Tetapi kau harus berusaha agar anak-anak itu
tidak kecewa setelah berdiri saja tanpa berbuat apa-apa.”
“Jadi bagaimana ?”
“Mereka harus berada di
gardu-gardu di padukuhan mereka masing-masing. Katakan kepada mereka, bahwa
keadaan sudah akan mereda dengan perlahan-lahan. Jika tidak ada apa-apa lagi,
maka kau sendiri akan berkeliling ke setiap gardu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Itu berarti bahwa semalam suntuk ia tidak akan dapat tidur, karena
ia pergi dari gardu ke gardu. Dari padukuhan ke padukuhan.
Tetapi Swandaru tidak dapat
menolak. Ia harus memberikan imbangan, karena anak-anak muda itu telah
berkumpul di Kademangan induk untuk sekedar berdiri berjajar di pinggir jalan.
“Untunglah bahwa mereka cukup
kuat menahan perasaan” berkata Swandaru di dalam hatinya. Baru kini merasa,
permainan itu cukup berbahaya. Dan untuk sekedar memanjakan harga dirinya.
“Kenapa kau diam saja
Swandaru?” bertanya ayahnya.
Swandaru mengangguk sambil
menjawab ”Ya. Aku akan menemui mereka.”
“Cepat. Aku akan kembali. Para
bebahu yang lainpun akan kembali.”
Demikianlah maka dengan
langkah yang berat Swandaru pergi keluar regol padukuhannya. Atas permintaanya
maka Agung Sedayupun mengikutinya pula.
Hati Swandaru menjadi
berdebar-debar ketika ia melih-anak-anak muda itu masih utuh dan menunggunya.
Agaknnya mereka dengan patuh memenuhi segala pesannya untuk menahan diri jika
tidak ada persoalan yang tidak terhindarkan lagi, karena anak-anak Semangkak
telah memulai.
“Apa yang harus kita lakukan
sekarang Swandaru” bertanya salah seorang dari mereka.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya “Pertama-tama kita bersyukur bahwa tidak terjadi sesuatu
di antara kita dengan anak-anak Semangkak itu.”
“Aku berpikir lain” desis
seorang dari mereka, “aku merasa kecewa bahwa mereka tidak berbuat apa-apa.
Jika mereka memulainya akan ada alasan bagi kita untuk memukul mereka sampai
jera.”
“Ya, dan kita ternyata hanya
sekedar berdiri saja menjadi makanan nyamuk.”
“Tetapi kita sudah berbangga.”
“Apa yang dapat kita
banggakan.” bertanya seorang yang bertubuh tinggi.
“Kita berhasil menahan
perasaan yang bergejolak di dalam dada kita. Itu adalah suatu perjuangan
tersendiri. Perjuangan yang paling berat. Yang tidak dapat dilakukan oleh
anak-anak muda Semangkak sehingga mereka datang beramai-ramai kemari. Sedang
kita yang yakin akan kelebihan dan kemenangan kita, tidak berbuat apapun juga
meskipun anak-anak Semangkak itu sudah berada di hadapan hidung kita.”
Anak-anak muda itu menarik
nafas dalam-dalam.
“Lalu sekarang ?”bertanya
salah seorang dari mereka.
“Sebagian dari kewajiban kita
sudah selesai. Mudah-mudahan tidak ada akibat apapun yang menyusul.”
Anak-anak yang lebih muda dari
Swandaru menjadi kecewa. Tetapi yang lebih tua dari merekapun kemudian berkata
“Marilah kita kembali. Lebih baik tidak terjadi sesuatu daripada kita harus
mempersoalkannya sampai berkepanjangan.”
“Selanjutnya aku akan memberi
kabar kepada kalian” berkata Swandaru kemudian.
“Kabar apa?” bertanya salah
seorang dari mereka
“Aku akan memberikan kabar
tentang perkembangan keadaan. Apapun yang akan terjadi, aku akan menemui kalian
di gardu-gardu di padukuhan kalian.”
“Kau akan mengelilingi
Kademangan?”
“Ya.”
“Semalam suntuk?”
“Ya.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang bertanya ”Kau benar-benar akan
mengelilingi Kademangan ini?”
“Ya, kenapa?” jawab Swandaru,
”di dalam keadaan yang tenang dan aman seperti sekarang, mengelilingi
Kademangan adalah suatu tamasya yang menarik. Apalagi di malam hari. Sedang di
saat Kademangan ini berada di ujung kuku Tohpati, aku kadang-kadang harus
mengelilingi Kademangan ini di malam hari.”
Anak-anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka percaya bahwa Swandaru memang ikut
menghayati perjuangan melawan Tohpati seperti beberapa orang anak-anak muda
itu. Sedang mereka yang lebih muda saat itu, mengetahui pula, bahwa Swandaru
merupakan seorang yang ikut memimpin anak-anak muda Sangkal Putung.
Demikianlah, maka dengan hati
yang kecewa, anak-anak muda itu kembali kepadukuhan masing-masing. Meskipun
mereka berhasil menahan perasaan namun sebenarnya, sebagian besar dari mereka
ingin berbuat sesuatu, ingin membuat anak-anak muda Semangkak itu menjadi jera.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan itu.
Karena itu, mereka melepaskan
kekecewaan itu dengan duduk-duduk dan berbaring di gardu-gardu. Berbicara,
berkelakar dan bahkan ada yang melontarkan tembang macapat keras-keras.
“Kau kawani aku” berkata
Swandaru kepada Agung Sedayu.
“Mengelilingi Kademangan ?”
“Ya.”
Agung Sedayu menggelengkan kepala
sambil menyahut ”Aku lelah sekali. Pergilah sendiri. Apakah kau takut?”
“Takut tidak. Tetapi seorang
diri di malam begini menyelusur bulak adalah kerja yang menjemukan sekali.”
“Salahmu.”
“Kenapa salahku?”
“Kau suruh anak-anak itu
berkumpul di depan regol.”
“Kalau terjadi sesuatu ?”
“Asal mereka tahu. Dengan
kentongan kita dapat memanggil mereka tanpa membuat mereka jemu berdiri di
pinggir parit bernyamuk itu.”
Swandaru tidak segera
menyahut. Dipandanginya wajah Agung Sedayu sejenak. Tetapi ia tidak mendapat
kesan apapun dari wajah yang kosong itu.
“Jadi kau juga menyalahkan aku
seperti Ayah?” bertanya Swandaru.
“Ya. Barangkali setiap orang
di Sangkal Putung menganggap kau salah.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian berkata “Baiklah. Katakanlah aku telah
melakukan kesalahan. Tetapi kau harus mau mengawani aku mengelilingi Sangkal
Putung.”
Agung Sedayu menggeleng “Aku
akan tidur.”
“Aku akan memukul kentongan”
berkata Swandaru.
“Kenapa?”
“Kau orang asing di sini.”
“Ah” Agung Sedayu mengerutkan
keningnya.
“Pilih salah satu” berkata
Swandaru, “pergi bersamaku atau aku memanggil anak-anak itu kemari. Disini ada
orang asing. Biarlah mereka menyalurkan kekecewaannya disini, sehingga dengan
demikian aku tidak usah pergi mengelilingi Kademangan.”
“Ah, macammu.”
Swandaru tidak menyahut Tetapi
tiba-tiba ia tertawa sambil berkata “Kau tinggal memilih. Aku akan menghitung
sampai tiga. Kau harus menentukan pilihan.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi ia berjalan kembali ke Kademangan.
“Jika kau tidak menjawab,
artinya kau bersedia. Kita memang harus kembali ke Kademangan mengambil kuda.”
“Macam kau” gumam Agung
Sedayu, “cepat sedikit, sehingga kita masih mempunyai kesempatan untuk tidur
barang sekejap.”
Swandaru masih tertawa. Tetapi
iapun berlari-lari di belakang Agung Sedayu kembali ke Kademangan untuk
mengambil kuda.
Sejenak kemudian mereka berdua
telah menjelajahi Kademangan Sangkal Putung di atas punggung kuda. Di setiap
bulak mereka seakan-akan berpacu, agar mereka segera mencapai padukuhan
berikutnya. Di setiap padukuhan mereka berhenti pada gardu-gardu yang
berserakan sekedar menampakkan diri untuk mengurangi perasaan kecewa yang
mencengkam. Namun anak-anak muda yang lebih besar dapat juga memberikan
penjelasan sehingga anak yang lebih muda dapat mengerti, maksud dan tujuan
Swandaru.
“Swandaru ingin membuat mereka
jera tanpa menimbulkan benturan” berkata salah seorang pemimpin kelompok kepada
anak buahnya.
“Aku lebih senang berkelahi”
desis seorang anak tanggung yang baru saja meningkat masa yang gelisah.
“Mungkin kau senang mendapat
suatu pengalaman. Tetapi akibatnya akan berkepanjangan. Kita tidak ingin
berperang melawan Semangkak meskipun kita menang, karena kita memiliki ikatan
kesatuan dengan Kademangan di sekitar Sangkal Putung-
Anak-anak yang lebih muda itu
tidak menjawab. Mereka mencoba untuk mengerti arti kata-kata kawannya yang
lebih tua itu.
Demikianlah Swandaru dan Agung
Sedayu benar-benar telah mengelilingi Kademangan Sangkal Putung tanpa ada yang
dilampauinya. Terutama padukuhan-padukuhan yang terdekat dengan induk
Kademangan, yang telah mengirimkan beberapa orang anak-anak mudanya untuk pergi
ke Sangkal Putung, berdiri berderet-deret di tepi parit.
Dalam pada itu, di Kademangan
Ki Demang Sangkal Putung masih berbicara sejenak dengan para bebahu Kademangan
dan kedua orang guru yang tinggal di Kademangan itu pula, Kiai Gringsing dan
Sumangkar. Tetapi karena malam menjadi semakin larut, maka para bebahu yang
lainpun segera minta diri pula.
“Swandaru masih belum mencapai
separo perjalanannya” desis Ki Jagabaya, “kasihan anak itu.”
Ki Demang tidak menyahut. la
hanya tersenyum saja. Ia tahu benar, bahwa keadaan di Kademangan ini sudah
cukup baik, sehingga tidak akan ada bahaya di perjalanan.
Kecuali kalau karena lelah dan
kantuk, anak itu dilemparkan oleh kudanya. Tetapi Swandaru dan Agung Sedayu
adalah penunggang kuda yang baik.
Demikianlah, setelah
Kademangan itu menjadi sepi, Kiai Gringsing dan Sumangkar duduk di serambi
gandok. Pendapa Kademangan telah menjadi lengang dan di halamanpun tidak ada
lagi anak-anak muda yang berkeliaran, selain beberapa orang yang berada di
gardu. Keduanya masih belum dapat tidur jika Swandaru dan Agung Sedayu masih
belum datang kembali.
Namun selain kedua anak-anak
muda itu, keduanya melihat keadaan yang berkembang di daerah Selatan ini dengan
sudut pandangan mereka sendiri. Meskipun demikian agaknya keduanya mendapatkan
beberapa persesuaian penilaian atas keadaan itu.
“Mudah-mudahan goncangan-angan
atas nilai peradaban ini tidak berkembang terus” berkata Kiai Gringsing, “sebab
dengan demikian keadaan akan semakin goyah, sejalan dengan perkembangan
hubungan yang memburuk antara Pajang dan Mataram. Menurut Agung Sedayu, di
antara para prajurit Pajang telah berkembang suatu pandangan yang sangat buruk
terhadap Mataram. Bahkan ada diantara perwira yang tidak dapat mempergunakan
nalarnya lagi.”
“Kesan keseluruhan, ada
kecurigaan yang semakin lama semakin memuncak” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu “Dan disini kita menemukan
goncangan-goncangan semacam itu pula, meskipun dari segi yang berbeda. Jika
anak-anak muda itu tidak terkendali, maka jika terjadi sesuatu antara Mataram
dan Pajang, yang seharusnya masih mungkin dikendalikan, namun api itu pasti
sudah membakar jiwa anak-anak muda yang masih belum punya pegangan hidup itu.
Mereka tidak akan menyadari arti dari persoalannya, tetapi mereka akan menjadi
minyak yang paling peka terhadap api itu.”
“Itulah yang mencemaskan”
berkata Sumangkar kemudian, ”suasana yang berkembang mirip sekali dengan
keadaan menjelang Pajang berdiri. Saling curiga mencurigai, saling mendendam
dan berkelahi tanpa sebab.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Ternyata Sumangkar yang pernah tinggal di Kepatihan Jipang memandang
keadaan ini bukan saja dipermukaannya. Bukan saja riak-riak kecil di atas wajah
air yang bergetar karena angin. Tetapi Sumangkar sudah menilai arus yang
mengalir di bawah gelombang yang katon.
Dan Kiai Gringsingpun
sebenarnya menjadi sangat cemas pula. Jika para prajurit Pajang tidak lagi
mempunyai kepercayaan terhadap kehadiran Mataram, maka pengaruhnya pasti akan
meluas.
Tetapi keduanya kini tidak
mempunyai banyak kesempatan untuk berbuat sesuatu. Keduanya bukan orang-orang
istana dan bukan pula perwira tertinggi prajurit Pajang. Karena itu, mereka
hanya dapat berharap, agar para pemimpin di Pajang mampu mengendalikan dirinya,
sehingga persoalannya dengan Mataram dapat diselesaikan sewajarnya.
Demikianlah keduanya untuk
beberapa lamanya masih saja berbincang. Meskipun tidak ada yang dapat mereka
lakukan untuk ikut menentukan perkembangan keadaan secara pasti, tetapi mereka
berketetapan hati akan menempuh segala cara jikalau mungkin, untuk membantu
menjernihkan suasana.
“Tetapi Sultan Pajang ternyata
bukan seorang yang teguh memegang pendirian” berkata Sumangkar tiba-tiba.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Sumangkar adalah adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang
dikalahkan oleh Sultan Pajang, sehingga penilaiannya pasti masih dipengaruhi
oleh keadaannya itu.
Namun Sumangkar melanjutkan
”Aku adalah orang yang paling lunak menghadapi Pajang pada saat Jipang masih
kuat. Aku memang berpengharapan, bahwa Sultan Pajang yang sekarang akan dapat
mengembangkan kebesaran Demak yang hancur karena setiap orang ingin berkuasa.
Setiap orang merasa dirinya berhak dan mampu memerintah. Tetapi yang terjadi
adalah kehancuran yang hampir tidak dapat ditolong lagi. Dalam keadaan yang
gawat itu tampil Adiwijaya. Adipati Pajang. Namun setelah ia berhasil mewarisi
kekuasaan Demak, maka pemerintahan yang dipimpinnya sama sekali tidak
berkembang. Orang-orang yang paling penting di sekitarnya, ternyata telah
pergi. Meskipun orang-orang itu lahir dari celah-celah rakyat kecil, tetapi
kemampuan mereka dalam olah kanuragan dan tata pemerintahan memberikan banyak
keuntungan bagi Pajang dan bagi Adiwijaya sendiri. Tetapi orang-orang itu kini
tidak ada lagi di istana. Mereka telah berada di Pati dan Mataram yang baru
dibuka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudah lama ia bergaul dengan Sumangkar. Tetapi
jarang sekali ia menyatakan pendapatnya tentang pemerintahan Pajang. Kini
agaknya ia tidak dapat menahan kecewa yang mendesak di dalam hatinya terhadap
Sultan Adiwijaya.
Tetapi Kiai Gringsing tidak banyak
menanggapinya dalam keadaan yang semakin parah, Sumangkar pasti tidak terlepas
dari pengaruh lingkungannya dahulu. Dan seakan-akan terbayang di matanya
kata-kata hatinya ”Jika Arya Penangsang yang berhasil menduduki tahta, keadaan
akan berbeda.”
Namun bagi Kiai Gringsing,
baik Arya Penangsang maupun Adiwijaya, ternyata terdapat kelemahan-kelemahan
yang mengganggu perkembangan negeri ini. Adiwijaya yang membinasakan Arya
Penangsang dengan dorongan Ratu Kalinyamat, yang bahkan telah menyediakan dua orang
gadis cantik buatnya, kini semakin dalam tenggelam dalam kebesarannya sendiri.
Adiwijaya sibuk dengan persoalan-persoalan pribadinya, sehingga pemerintahannya
seakan-akan telah dikesampingkan. Sejak Pajang berkuasa, maka tidak ada
perubahan penting yang tumbuh dan tidak ada pembaharuan dapat menguntungkan
rakyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa
jika Arya Penangsang memegang pimpinan, Jipang akan mampu mengangkat bekas
daerah kekuasaan Demak menjadi suatu negara besar. Arya Penangsang memang lebih
lincah dan cita-citanya pasti melambung tinggi.
Tetapi ia adalah orang yang
keras hati yang pasti akan lebih mementingkan kekerasan dari
pembicaraan-pembicaraan yang baik.
Tiba-tiba Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam, sehingga Sumangkar berpaling kepadanya. Tetapi Kiai
Gringsing tidak berkata apapun juga.
“O” desis Sumangkar “apakah
aku sudah berbicara terlampau banyak?”
“Tidak, tidak” cepat-cepat
Kiai Gringsing menyahut. “Aku senang mendengar pendapatmu tentang Pajang, Pati
dan Mataram. Dengan demikian barulah kau tampak, bahwa kau bukan sekedar
seorang juru masak Tohpati di hutan-hutan rindang itu. Tetapi kau benar-benar
adik seperguruan Patih Mantahun dari Jipang.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya “Aku telah mendapat pengampunan khusus dari Pajang. Saat
itu Pemanahanlah yang membawa aku menghadap Sultan Adiwijaya. Dan aku merasa
sangat berterima kasih. Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan menaruh
kasihan kepada rakyatnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih menunggu, kelanjutan dari
kata-kata Sumangkar. Namun Sumangkar tidak berkata apapun.
Sekali lagi Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Tentu kalimat Sumangkar itu masih ada kelanjutannya.
Ia pasti akan memperbandingkan sifat-sifat yang baik yang ada pada Adiwijaya
dan kelemahan-kelemahannya. Tetapi kata-kata yang sudah disusunnya itu
ditelannya kembali.
Justru karena itu, maka Kiai
Gringsinglah yang berkata “Sultan Adiwijaya memang seorang yang sabar dan
menaruh banyak belas kasihan. Tetapi cita-citanya yang meledak-ledak di masa
mudanya tiba-tiba terhenti di antara istri-istri dan selir-selirnya.”
“Ah.”
“Memang bukan kau yang
mengatakannya. Tetapi aku.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menanggapinya. Bagaimanapun juga ia masih selalu
dibayangi oleh keadaannya beberapa saat yang lampau. Bagaimanapun juga ia
berada di dalam pasukan Tohpati yang telah mengeraskan hatinya, melawan Pajang
sepeninggal Arya Penangsang.
Kiai Gringsingpun tidak
mempersoalkannya lagi. Iapun sadar, bahwa Sumangkar pasti masih belum dapat
dibawa berbicara terbuka sepenuhnya. Ia pasti belum dapat mengatakan seluruhnya
yang tersimpan di dalam hati. Juga karena ia merasa berhutang budi kepada
Sultan Pajang, tetapi juga kepada Ki Gede Pemanahan.
Meskipun demikian, pandangan
yang tajam dari kedua orang tua itu, mendapatkan tanggapan dan penilaian yang
serupa tentang Pajang meskipun sebagian masih disimpan di dalam hati.
Bahkan penilaian mereka sampai
juga kepada Pangeran Benawa, Putra Sultan Pajang yang seharusnya diangkat
menjadi Putra Mahkota. Tetapi menilik sikapnya yang lemah, ia tidak akan
mungkin dapat mengangkat Pajang melampaui ayahnya, Sultan Adiwijaya. Pangeran
Benawa adalah putra yang sangat dikasihi oleh ayah bundanya. Namun dengan
demikian, Pangeran itu menjadi manja dan kehilangan kesempatan untuk menempa
diri di dalam linigkungan yang lebih keras. Seperti kerasnya tantangan yang
dihadapi oleh Pajang saat itu.
Pangeran Benawa menganggap
bahwa perjuangan ayahnya telah sampai pada titik akhir. Seakan-akan semuanya
sudah tercapai. Seakan-akan Pajang telah menjadi tenang dan bahkan tertidur
nyenyak.
Pangeran Benawa tidak mengenal
kerasnya benturan perjuangan membuka Alas Mentaok. Tidak melihat gejolak
gelombang di pesisir yang diperintah oleh para Adipati. Tidak mendengar desau
angin yang menghembus lajar para nelayan dan lebih-lebih lagi pedagang asing
yang merapat di pantai, meskipun sampai juga di telinganya, bagaimana
perjuangan leluhurnya, Pangeran Pati Unus yang menjelajahi lautan.
Bergesernya pemerintahan dari
Demak masuk ke daerah yang semakin dalam telah memisahkan Pajang dari keakraban
dengan buih lautan.
“Pusat pemerintahan tidak
perlu berada di pantai” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya “tetapi
pimpinan pemerintahan harus menyadari, betapa pentingnya air lautan bagi tanah
ini.”
Dan hidup yang dilingkungi
oleh gemerlapnya istana dan cantiknya wanita telah memisahkan Adiwijaya dan
putranya dari kerasnya gelombang dan pepohonan hutan.
Terlebih-lebih lagi, Pajang
tidak berhasil menguasai hasrat hidup dan kesatuan pandangan hidup yang
tercermin di dalam persoalan-persoalan kecil di Sangkal Putung dan Jati Anom.
Namun persoalan-persoalan kecil itu tumbuh justru pada jalur arus antara Pajang
dan Mataram.
Dalam pada itu, kedua orang-orang
tua yang seakan-akan lelap dalam angan-angan masing-masing itu terkejut ketika
mereka mendengar derap kuda memasuki halaman.
“Mereka datang” berkata Ki
Sumangkar. Kiai Gringsing menganggukkan kepalanya sambil berdiri diikuti oleh
Sumangkar. Keduanyapun kemudian luar dari gandok, menyongsong kedua anak-anak
muda yang baru datang setelah mengelilingi seluruh Kademangan. Namun dalam pada
itu, langitpun sudah mulai semburat merah. Hampir fajar.
“Perjalanan yang menyenangkan”
Swandaru meloncat turun dari kudanya sambil tersenyum. Ketika seseorang datang
kepadanya, maka diserahkannya kudanya-sama sekali dengan kuda Agung Sedayu yang
telah turun pula.
“Aku hampir tertidur di
punggung kuda” Swandaru meneruskan. “Untunglah aku tidak seorang diri, sehingga
ada kawan berbicara di tengah-tengah bulak yang dingin.”
“Beristirahatlah” berkata Kiai
Gringsing kepada kedua muridnya.
“Aku akan mencuci kaki” desis
Agung Sedayu sambil melangkah ke pakiwan bersama Swandaru. Tetapi langkah
mereka berhenti di longkangan ketika mereka melihat Sekar Mirah berdiri di
pintu butulan.
“Kau tidak mengajak aku” ia
bersungut-sungut.
“Jangan mencari perkara.
Mengelilingi Kademangan di malam hari terasa sangat melelahkan. Tidur sajalah.
Bukankah kau baru saja berkelahi” sahut Swandaru. “Sayang, Wita tidak
bersungguh-sungguh.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Tetapi ketika ia mencari sesuatu di bawah kakinya, Swandaru segera berlari
meninggalkannya langsung ke pakiwan di belakang rumah.
Agung Sedayu masih berdiri
termangu-mangu. la belum sempat berbicara banyak dengan gadis itu sejak ia
kembali dari Alas Mentaok, karena ia segera pergi ke Jati Anom dan begitu ia
kembaii, ia sudah dihadapkan pada anak-anak muda yang berkumpul di pendapa,
bahkan persoalan kentongan itupun telah merampas perhatiannya. Di hari
berikutnya, suasana Kademangan diliputi oleh kegelisahan karena pokal Wita
pula, sehingga waktunya seakan-akan terampas habis untuk ikut berbicara tentang
kemungkinan yang bakal terjadi. Apalagi semalaman ia harus bersembunyi di kandang,
memanjat pohon dan mengelilingi kademangan di atas punggung kuda.
Tetapi keduanya tidak
berbicara apapun. Namun sentuhan tatapan mata merekalah yang banyak melontarkan
isi hati masing-masing.
Tiba-tiba saja Sekar Mirah
melangkah surut, masuk ke dalam sambil berkata “Selamat tidur kakang.”
Agung Sedayu mengangguk kaku.
Sebelum ia menjawab, pintu itu sudah tertutup.
Perlahan-lahan ia melangkah
menyusul Swandaru dengan kepala tunduk. Terbayang kesibukan yang akan segera
terjadi di Jati Anom jika kakaknya kawin kelak. Setelah itu, jalan telah
terbuka pula baginya.
Setelah membersihkan dirinya,
maka iapun kemudian kembali kepada gurunya, menyusul Swandaru yang telah lebih
dahulu. Sejenak mereka menunggu gurunya yang juga pergi ke pakiwan bersama Ki Sumangkar
untuk kemudian bersama-sama menghadap Tuhannya, dalam suatu saat yang khusuk.
Setelah selesai, barulah Agung
Sedayu dan Swandaru pergi beristirahat, berbaring-baring sejenak di dalam bilik
gandok itu.
Mereka bangkit ketika gurunya
masuk ke ruangan itu bersama Ki Sumangkar, namun gurunya segera berkata
“Berbaringlah. Kau perlu beristirahat.”
“Kami tidak terlalu lelah”
jawab Agung Sedayu.
“Tidak. Kau tentu lelah.
Seandainya tidak, berbaringlah. Aku tidak akan membicarakan masalah yang berat.
Aku hanya akan berbicara saja untuk mengisi waktu sampai matahari naik.”
Agung Sedayu ragu-ragu
sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata “Maaf, kami berbaring.”
“Ya, berbaringlah.”
Swandarupun menyahut “Tetapi
dengan berbaring, aku dapat tertidur tanpa aku sadari,”
“Tidurlah jika kau mengantuk.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia
memang lebih senang berbaring daripada duduk di bibir amben bambunya, setelah
hampir semalam suntuk ia duduk di atas punggung kuda.
“Bagaimana dengan anak-anak
muda itu?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.
“Tidak apa-apa Guru” jawab
Swandaru, “meskipun mereka masih berkeliaran dan berkumpul di gardu-gardu,
tetapi mereka sudah dapat ditenangkan.”
“Kehadiranmu memang dapat
menenangkan mereka, meskipun kekecewaan masih tetap ada di dalam hati. Namun
mereka merasa kau perhatikan, sehingga meskipun malam telah larut, kau kunjungi
mereka di gardu-gardu.”
“Ya.”
“Jadikanlah suatu pengalaman”
berkata Kiai Gringsing, “anak-anak muda yang sudah bergerak, tetapi tidak
mendapat sasaran, kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan tersendiri. Namun
demikian, di dalam keadaan yang semakin gawat ini, cobalah memelihara ikatan
yang telah ada.”
Swandaru mengerutkan
keningnya.
“Disadari atau tidak disadari,
Sangkal Putung akan tersentuh oleh perkembangan hubungan antara Pajang dan
Mataram. Jika hubungan itu semakin baik, daerah inipun akan menjadi semakin
baik, tetapi jika hubungan itu memburuk, maka daerah ini akan mengalami
kesulitan pula, karena daerah ini berada di jalur lurus antara Pajang dan
Mataram.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. la menyadari, bahwa persoalan Pajang dan Mataram pasti akan
mempengaruhi kademangannya. Persoalan Jipang dan Pajangpun menyangkut keamanan
dan ketenteraman Sangkal Putung, apalagi Mataram dan Pajang.
Justru karena Sangkal Putung
merupakan daerah yang subur, maka Sangkal Putung akan dapat dijadikan daerah
perbekalan yang mantap. Baik Mataram maupun Pajang di dalam keadaan yang
memburuk, memerlukan daerah perbekalan.
“Karena itu Swandaru” berkata
Kiai Gringsing, “sebelum persoalan yang menyangkut daerah ini menjadi semakin
gawat, meskipun bukan itu yang kami harapkan, maka kau lebih dahulu dapat
menyiapkan dirimu sendiri dan Agung Sedayu. Maksudku, sebelum kau terlibat di
dalam persoalan yang berlarut-larut tanpa diketahui ujung dan pangkalnya, lebih
baik kau selesaikan dahulu persoalan-persoalan pribadimu.”
Tiba-tiba hampir berbareng
Swandaru dan Agung Sedayu bangkit. Hampir berbarengan pula keduanya bertanya
“Maksud guru?”
“Tentu persoalan-persoalan kalian
berdua sebagai anak-anak muda. Bukankah menurut Agung Sedayu, anakmas Untara
juga hampir menginjak masa baru di dalam hidupnya? Nah, jika demikian, Swandaru
dan Agung Sedayupun dapat segera menyusulnya. Tetapi tentu terlebih dahulu,
persoalan-persoalan yang menyangkut adat upacara harus dipenuhi.”
Kedua anak-anak muda itu
menundukkan kepalanya.
“Maksudku, setelah anakmas
Untara selesai, ayahmu Swandaru, harus segera datang ke Menoreh. Ki Gede
Menoreh pasti sudah terlampau lama menunggu. Apalagi ia kini menjadi cacat.
Tentu ia memerlukan seseorang yang akan segera menjadi pelindung Pandan Wangi.
Berbareng dengan itu, anakmas Untarapun harus menghadap Ki Demang Sangkal
Putung, untuk minta secara resmi, agar Sekar Mirah diperkenankan hidup bersama
Agung Sedayu.”