Buku 070
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sekali dua kali ayahnya sudah harus menolak lamaran yang datang
dari orang-orang penting di Menoreh, bahkan dari daerah tetangga. Agaknya
ayahnya pun masih juga menunggu karena ia sudah pernah membicarakannya dengan
Kiai Gringsing, apalagi Ki Argapati mengetahui bahwa agaknya anaknya telah
bersetuju di dalam hati.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
itu pun kemudian mengambil pakaiannya yang disimpannya di geledeg bambu.
Seperti di luar kehendaknya sendiri, maka dilepaskannya pakaian berburunya.
Dikenakannya pakaiannya yang lain, pakaian seorang gadis. Bahkan dibenahinya
rambutnya yang kusut dan disaputnya wajahnya dengan kain yang dibasahinya
dengan air kendi.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam.
Namun tiba-tiba ia
menyembunyikan wajahnya di balik ke dua telapak tangannya. Ia menjadi malu
kepada diri sendiri. Seakan-akan berpuluh-puluh pasang mata sedang
memandanginya. Memandang seorang gadis yang sedang dibayangi oleh
angan-angannya sendiri.
Dengan tergesa-gesa, Pandan
Wangi duduk di pembaringannya. Kepalanya masih saja menunduk dalam-dalam.
Gadis itu mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar suara gelak di pendapa. Agaknya ayahnya dan tamu-tamunya
sedang membicarakan kenangan yang menggelikan pada saat tamu-tamunya itu berada
di Tanah Perdikan ini.
Pandan Wangi pun tanpa
disadarinya telah tersenyum pula meskipun ia tidak tahu apa yang sedang mereka
bicarakan.
“Ternyata ayah sama sekali
tidak marah,” ia berkata kepada diri sendiri.
Pandan Wangi terkejut ketika
ia mendengar pintunya diketuk dari luar. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan
melangkah membukanya.
“Ada apa, Prastawa,” ia
bertanya kepada saudara sepupunya itu.
“Sudah waktunya menghidangkan
makan, Pandan Wangi.”
“Bukankah sudah dihidangkan?”
“Belum. Baru minum dan
makanan. Belum makan. Baru saja nasi masak.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba saja memberengut. Katanya, “Bukankah ada pelayan
yang dapat menghidangkan suguhan itu? Biarlah mereka membawanya ke pendapa.”
Prastawa termangu-mangu
sejenak. Itu sama sekali bukan kebiasaan Pandan Wangi. Jika ada tamu yang
khusus, biasanya Pandan Wangi sendirilah yang mengantarkan suguhan itu ke
pendapa. Seperti saat-saat yang lewat, untuk tamu-tamu yang masih ada hubungan
keluarga, atau tamu-tamu ayahnya yang terdekat, Pandan Wangi tidak membiarkan
orang lain membawakannya. Tetapi kini justru tamu yang datang dari jauh, dan
seperti yang sudah didengar oleh Prastawa, hubungan yang pernah terjalin antara
Swandaru dan Pandan Wangi, Pandan Wangi menolak membawakannya kepada mereka.
“He. Kenapa kau diam saja dan
seperti membeku di situ?” bertanya Pandan Wangi kepada anak muda yang
kebingungan itu.
“Jadi, bagaimanakah maksudmu
sebenarnya?” bertanya Prastawa.
“Aku sedang lelah sekali. Biar
orang lain saja yang menghidangkannya. Apakah Ayah menyuruhmu memanggil aku dan
menghidangkan makan itu?”
“Tidak. Tetapi bukankah itu
kebiasaanmu? Jika kau tidak membawanya ke pendapa saat ini, tentu Ki Gede akan
bertanya-tanya, meskipun hanya di dalam hati.”
“Aku lelah sekali,” Pandan
Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Prastawa tidak menyahut.
Tetapi dipandanginya saja Pandan Wangi yang sudah berpakaian rapi. Bukan lagi
pakaian berburunya. Tetapi pakaian seorang gadis.
“He, kenapa kau memandang aku
seperti itu?” bertanya Pandan Wangi kepada adik sepupunya.
“O,” Prastawa tergagap. Namun
ia masih sempat menjawab sambil tersenyum, “Kau jarang sekali berhias diri
seperti sekarang.”
“Ah.”
“Aku tidak pernah melihat kau
secantik itu.”
“Prastawa,” potong Pandan
Wangi, “pantaskah kau berkata begitu buat kakakmu sendiri.”
“Tentu tidak pantas jika aku
berkata buat aku sendiri. Tetapi aku berkata buat tamuku yang gemuk itu.”
“Ah, kau,” Pandan Wangi
melangkah maju. Tangannya sudah terjulur untuk mencubit lengan adiknya. Tetapi
Prastawa dengan tergesa-gesa meninggalkannya sambil berkata, “Aku berani
berkejar-kejaran sekarang jika kau memakai pakaian seperti itu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Ia mengacukan tangannya ketika ia melihat adik sepupunya itu berpaling. Tetapi
sejenak kemudian Prastawa itu sudah hilang di balik pintu.
Prastawa terkejut ketika
hampir saja ia melanggar anak muda yang mengikuti Pandan Wangi berburu. Sambil
mengerutkan keningnya ia berkata, “Ah kau. Hampir saja aku terantuk.”
“Kenapa dengan Pandan Wangi?”
anak muda itu bertanya.
“Ia sedang bersembunyi.”
“Ya, kenapa?”
“Aku tidak tahu. Bertanyalah
kepadanya.”
Anak muda itu termangu-mangu
sejenak. Lalu katanya, “Di mana Pandan Wangi sekarang?”
“Di dalam biliknya. Ia sedang
merias diri.”
“Merias diri? Kenapa?”
“Aku tidak tahu, bertanyalah.
Ia menjadi cantik sekali. Tidak lagi seperti laki-laki di atas punggung kuda.”
Anak muda itu ragu-ragu
sejenak. Tetapi wajahnya yang berkerut-merut itu membuat kesan yang aneh di
hati Prastawa. Karena itu ia justru mengganggunya, “Lihatlah sendiri. Apa yang
sedang dikerjakannya.”
Anak muda itu ragu-ragu
sejenak. Tetapi ia melangkah masuk ke ruang dalam.
Prastawa memandanginya dari
kejauhan. Tetapi ketika ia melihat anak muda itu mengayunkan tangannya mengetuk
pintu bilik Pandan Wangi yang tertutup, hatinya berdesir. Dengan serta-merta ia
berdesis sambil memberikan isyarat agar niat itu diurungkan. Tetapi ia
terlambat. Tangan itu sudah mengetuk pintu.
“Bodoh sekali,” desis
Prastawa.
Perlahan-lahan pintu bilik itu
terbuka. Pandan Wangi terkejut ketika dilihatnya anak muda itu berdiri di muka
pintu.
“He, kenapa kau mengetuk
pintu?”
Anak muda itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku hanya ingin mengetahui apa yang sedang
kau kerjakan. Menurut Prastawa, kau sedang berhias. Dan kau menjadi sangat
cantik, tidak seperti seorang laki-laki di atas punggung kuda. Tetapi kau
benar-benar menjadi seorang gadis.”
“Ah,” Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Ketika ia melihat Prastawa
menjengukkan kepalanya di pintu belakang, sekali lagi ia mengacukan tangannya.
Tetapi Prastawa itu pun segera menghilang.
“Aku tidak berhias,” berkata
Pandan Wangi kemudian, “aku sekedar berganti pakaian. Jika Ayah memanggilku dan
menyuruh aku membawa hidangan ke pendapa, aku sudah berpakaian rapi.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Tetapi matanya kemudian hinggap di wajah Pandan
Wangi. Matanya seakan-akan tidak berkedip sehingga Pandan Wangi menjadi bingung
karenanya.
“Kau memang menjadi cantik
sekali seperti yang dikatakan oleh Prastawa.”
“Ah, sudahlah. Jangan hiraukan
anak bengal itu.”
“Tidak. Bukan karena Prastawa.
Aku benar-benar menganggap kau seorang gadis yang sangat cantik. Sejak aku
datang, aku tidak pernah melihat kau berhias seperti ini. Kenapa sekarang kau
tiba-tiba saja berhias? Ketika kau menghidangkan suguhan bagi Ayah dan Ibu di
pendapa, kau juga berpakaian seorang gadis. Tetapi kau tidak secantik
sekarang.”
“Ah, sudahlah. Jangan memuji.
Aku akan beristirahat sebentar di dalam bilik.”
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah surut. Tetapi ia menjadi heran karena anak muda itu tidak segera
pergi. Bahkan ia melangkah maju pula sambil berkata, “Aku juga akan
beristirahat Pandan Wangi. Aku juga lelah sekali.”
“Di mana kau akan
beristirahat?”
“Apakah salahnya jika aku
beristirahat di bilikmu juga.”
“He,” wajah Pandan Wangi
menjadi merah padam, “apakah maksudmu?”
“Beristirahat,” katanya dengan
jujur.
“Kenapa di sini? Apa tidak ada
tempat lain.”
“Apakah aku tidak boleh
masuk.”
“Sudah disediakan tempat
sendiri buatmu dan ayah ibumu.”
Anak muda itu menjadi kecewa.
Katanya, “Kau terlampau tinggi hati, Pandan Wangi. Baiklah, memang tempatku
tidak di ruang dalam. Aku hanya seorang tamu dari daerah terpencil. Tetapi kau
harus ingat bahwa ayahku seorang yang kaya.”
“O,” Pandan Wangi justru
menjadi termangu-mangu, “bukan maksudku. Tetapi sebaiknya kau tidak berada di
dalam bilikku. Aku akan tidur sejenak.”
Anak muda itu pun kemudian
melangkah pergi. Di luar pintu ruang dalam ia melihat Prastawa sedang menunggui
para pelayan yang mengatur hidangan yang akan disuguhkan ke pendapa. Sejenak
Prastawa memandangi anak muda itu. Kemudian ia mendengar anak muda itu
mengeluh.
“Pandan Wangi terlampau tinggi
hati. Aku tidak boleh masuk ke dalam biliknya.”
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia bertanya, “Kenapa kau akan masuk ke dalam biliknya? Itu
tidak pantas. Ia adalah seorang gadis.”
“Kenapa? Aku hanya ingin
memandanginya. Ia memang cantik sekali dalam pakaian yang belum pernah aku
lihat sebelumnya. Kenapa ia berpakaian begitu bagusnya sekarang? Kenapa tidak
ketika ia akan menghidangkan suguhan bagi ayah dan ibuku pada saat kami
datang?”
“Ah, tentu ia tidak akan
memakai pakaian yang sama saja. Itu hanyalah suatu kebetulan bahwa yang
dipakainya sekarang agak lebih baik dari yang dipakainya dahulu.”
“Ayahku seorang yang paling
kaya di daerahku yang kecil itu. Mungkin juga karena ayah datang dari daerah
kecil, sedang tamu-tamu itu datang dari sebuah kademangan yang besar. Begitu?”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya, “Kau senang merangkai perasaan. Ada baiknya. Tetapi jika
berlebih-lebihan kau akan menjadi seorang anak muda perasa yang agak cengeng.”
“He,” mata anak muda itu
menyala sesaat. Namun kemudian katanya, “Kalian tidak menghormati tamu kalian.
Pandan Wangi tidak, dan kau juga tidak. Ayahku adalah keluarga Ki Gede Menoreh.
Kami adalah tamu dari orang yang berkedudukan paling tinggi di Menoreh. Kalian
harus menghormati aku.”
Prastawa mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Ia sadar, bahwa anak muda itu sedang
merajuk.
“Agaknya ia adalah anak yang
terlalu manja. Manja sekali,” berkata Prastawa di dalam hati. “Jika Pandan
Wangi menjadi jengkel akan kelakuannya itu, salah-salah ia dapat dibantingnya
sampai pingsan.”
Prastawa hanya memandanginya
berjalan ke pintu samping. Namun supaya tidak menimbulkan kesan yang dapat
membuat anak muda itu semakin merajuk, dan mengatakannya kepada ayah ibunya
agak berlebih-lebihan, maka Prastawa pun berkata, “Kami minta maaf. Kami tidak
tahu maksudmu yang sebenarnya.”
Anak muda itu berpaling.
Dilihatnya Prastawa sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Aku akan melupakannya. Kau anak yang baik.”
Prastawa menahan senyumnya.
Memang anak muda itu agaknya lebih tua daripadanya. Tetapi karena tempaan
keadaan, Prastawa menjadi lebih dewasa. Pengalamannya di saat-saat kemelutnya
pertentangan di atas Tanah Perdikan ini, membuatnya cepat menjadi dewasa.
Kematian Sidanti dan bahkan dirinya sendiri yang hampir saja tenggelam di dalam
keputus-asaan, membuatnya lebih matang menghadapi persoalan-persoalan hidup.
Prastawa itu terkejut ketika
di belakangnya terdengar suara kakak sepupunya, “Apa yang dikatakannya?”
Prastawa berpaling. Sambil
tertawa ia berkata, “Anak itu merajuk. Ayo, kau apakan saja tamumu itu?”
“Aku pilin telingamu. Aku
tidak berbuat apa-apa.”
“Katanya kau terlampau tinggi
hati karena ia tidak kau perkenankan ikut beristirahat di dalam bilikmu.”
“Ah, anak gila.”
“Tetapi ia tidak bermaksud
apa-apa. Ia berkata dengan sorot mata yang jujur. Kau sadari itu?”
Pandan Wangi mengangguk.
Katanya, “Anak itu tentu merupakan sebuah golek kencana yang hidup di rumahnya.
Ia anak orang yang kaya. Anak satu-satunya.”
“Seperti kau. Anak
satu-satunya. Tetapi kau tidak cengeng seperti anak itu.”
“Kau memuji lagi. Tentu kaulah
yang menyebabkannya seperti orang mabuk tuak. Ia memuji seperti memuji bakal
istrinya.”
“Sedang kau adalah bakal istri
orang lain.”
“Hus.”
Prastawa bergeser. Pandan
Wangi benar-benar akan memilin telinganya.
“Jangan,” berkata adik
sepupunya itu, “tetapi lihat, hidangan sudah tersedia. Siapakah yang akan
menghidangkannya ke pendapa? Pelayan atau aku atau kau?”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak, lalu, “Marilah, kita bersama-sama menghidangkannya. Kau membawa nasi
dan lauk pauknya.”
“Lalu kau membawa apa?”
Pandan Wangi tersenyum.
Dipandanginya hidangan yang sudah tersedia itu sejenak, lalu katanya, “Aku
membawa nampannya.”
“Ah,” Prastawa berdesah, lalu
katanya, “cepatlah. Nanti Paman Argapati menunggu.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Marilah kita hidangkan bersama.
Kaulah dahulu. Aku di belakang. Bawa apa saja, sisanya aku yang akan
membawanya.”
Demikianlah, maka hidangan itu
tidak jadi disuguhkan oleh para pelayan yang sudah siap, tetapi Prastawa dan
Pandan Wangi sendiri akan membawanya ke pendapa.
Beberapa orang pelayan yang
berdiri di ruang belakang itu kemudian saling menggamit. Mereka tahu siapakah
tamu yang ada di pendapa itu, sehingga seorang di antaranya tidak dapat menahan
senyumnya. Karena itu, maka kepalanya pun segera ditundukkannya dalam-dalam.
Apalagi ketika ia merasa bahwa Pandan Wangi sedang memandanginya dengan
tajamnya.
Ketika pintu pendapa berderit,
maka semuanya pun segera berpaling. Yang mula-mula mereka lihat adalah
Prastawa. Namun kemudian Pandan Wangi pun melangkah ke luar dengan kepala
tunduk.
Berbeda dengan kebiasaannya,
bahwa ia dapat dengan cekatan menghidangkan suguhan bagi tamu-tamu ayahnya,
maka kali ini Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia sama sekali tidak berani
mengangkat wajahnya sama sekali.
“Ha, inilah anak itu,” berkata
Ki Gede Menoreh, “ia baru pulang dari berburu bersama tamu kami.”
Kiai Gringsing tertawa. Di
luar sadarnya ia bertanya, “Siapakah nama anak muda itu?”
“Rudita,” jawab Ki Gede.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Nah, tentu hidangan ini
hasil buruan Angger Pandan Wangi.”
Pandan Wangi mendengar namanya
disebut. Tetapi ia tidak dapat menangkap kata-kata Kiai Gringsing dengan jelas.
Terasa tubuhnya benar-benar telah menggigil seperti kedinginan. Namun demikian
ia masih juga mencoba tersenyum.
Orang-orang tua yang ada di
pendapa itu sama sekali tidak heran melihat keadaan Pandan Wangi. Agak gemetar
dan kepalanya selalu menunduk.
Tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, Pandan Wangi pun kemudian melangkah surut setelah meletakkan hidangan yang
dibawanya. Begitu ia melangkahi pintu, maka ia pun segera berlari-lari ke
belakang. Dilemparkannya nampan yang dibawanya dan dengan serta-merta ia pun
membanting dirinya duduk di atas sebuah amben yang besar di belakang. Nafasnya
menjadi terengah-engah seperti ketika ia sedang memburu kijang di hutan
perburuan.
Prastawa pun kemudian
menyusulnya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kenapa kau menjadi begitu gelisah?
Kau sudah terbiasa membawa hidangan bagi para tamu. Apakah bedanya tamu yang
sekarang dengan tamu-tamu yang lain?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Dicobanya menenangkan hatinya sambil duduk bersandar kedua tangannya.
“Sudahlah. Biarlah aku saja
yang menyelesaikannya. Duduk sajalah. Jika kau sekali lagi membawa hidangan
itu, maka hidangan itu tentu akan tumpah.”
Pandan Wangi masih tetap diam
saja. Dipandanginya bayangan dedaunan di longkangan lewat pintu samping yang
terbuka.
Ketika Prastawa kemudian
menyelesaikan membawa hidangan itu ke pendapa, maka anak muda yang berburu
bersama Pandan Wangi dan bernama Rudita itu sudah berada di gandok kulon
menemui kedua orang tuanya.
“Tamu yang datang itu agaknya
lebih dihormati oleh Pandan Wangi dari kita, Ayah,” berkata anak muda itu.
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ia
adalah seorang Demang.”
“O,” ayahnya
mengangguk-anggukkan kepalanya, “tentu kawan baik Ki Gede Menoreh.”
“Ya,” jawab anaknya. “Pandan Wangi
mengenakan pakaiannya yang sangat bagus. Lebih bagus dari yang dipakainya saat
membawa suguhan buat kita.”
“Ah, kau.”
“Dan ternyata Pandan Wangi
sangat cantik.”
“Cantik? Jadi menurut
penilaianmu anak itu sangat cantik?”
“Ya, Ayah. Cantik sekali. Aku
belum pernah melihat gadis secantik Pandan Wangi.”
“Berbanggalah bahwa kau
mempunyai seorang saudara yang sangat cantik.”
“Ya, Ayah. Aku berbangga,”
jawab anak muda itu, “tetapi apakah Pandan Wangi termasuk sanak kita yang
dekat?”
Ayahnya menggelengkan
kepalanya, “Ia bukan sanak kita yang dekat. Sudah agak jauh, lewat garis
keturunan ibunya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.
Ayahnya memandanginya sejenak.
Ketika anak itu agak membelakanginya, ibunya menggamit ayah Rudita yang duduk
di sebelahnya. Keduanya saling berpandangan sejenak, dan ayah Rudita itu pun
tersenyum.
Istrinya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi mereka tidak berbicara apa pun juga. Mereka hanya duduk
saja berdiam diri sambil memandangi anak laki-lakinya yang kemudian berdiri dan
melangkah ke luar.
“Ia sudah dapat menyebut
tentang seorang gadis yang cantik. Sayang yang disebut itu adalah Pandan Wangi,
sanak sendiri,” berkata ibu anak muda itu.
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya istrinya sejenak, kemudian sambil
menarik nafas ia berkata, “Sekarang ia menyebut Pandan Wangi. Tetapi dengan
demikian perhatiannya kepada perempuan mulai bangkit. Aku berharap bahwa selain
Pandan Wangi ada pula perempuan cantik menurut anggapannya nanti.”
“Bagaimana jika tidak?”
bertanya isterinya.
“Maksudmu?”
“Jika tidak ada perempuan lain
yang menarik selain Pandan Wangi?”
“Ah tentu tidak. Ia tahu bahwa
Pandan Wangi adalah sanak sendiri.”
Istrinya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Mereka
bukan sanak yang dekat.”
Ayah Rudita
mengangguk-anggukkan kepalanya pula tanpa disadarinya. Namun sesaat kemudian
ayahnya itu mengerutkan keningnya dan berkata, “Tetapi siapakah tamu Ki Gede
dipendapa itu?”
Istrinya menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Orang itu tentu sangat
dihormati oleh Ki Gede. Jika tidak, meskipun ia seorang Demang, maka ia tidak
akan mendapat pelayanan yang begitu baik dan sambutan yang sangat hangat.”
Istrinya masih berdiam diri.
“Aku ingin memperkenalkan
diri,” berkata ayah Rudita.
“Sekarang?”
“Tentu tidak. Tetapi agaknya
mereka akan bermalam di sini pula. Kesempatan masih panjang.”
Tetapi belum lagi ia selesai
berbicara, dilihatnya Prastawa datang kepadanya sambil berkata, “Paman, Ki Gede
mempersilahkan Paman makan bersama tamu-tamu yang datang dari Sangkal Putung
itu.”
“O,” ayah Rudita itu
mengerutkan keningnya.
“Dan Paman sekarang
dipersilahkan ke pendapa bersama Bibi.”
Keduanya saling berpandangan sejenak,
lalu, “Baiklah. Kami akan datang. Kami akan membenahi pakaian kami sebentar.”
Demikianlah maka kedua suami
isteri itu pun kemudian diperkenalkan dengan tamu-tamu Ki Gede yang datang dari
Sangkal Putung itu. Namun mereka masih belum tahu maksud tamu-tamu yang datang
dari Sangkal Putung itu. Mereka hanya mendapat keterangan dari Ki Gede, bahwa
tamu-tamunya adalah sahabat-sahabatnya yang sudah lama tidak datang.
Apalagi tamu-tamu itu sendiri
memang belum mengatakan sesuatu tentang Swandaru, karena dirasa waktunya belum
tepat.
Setelah makan, maka tamu-tamu
itu pun dipersilahkannya untuk beristirahat. Ayah dan ibu Rudita berada di
gandok kulon, sedang tamu-tamu dari Sangkal Putung itu dipersilahkan
beristirahat di gandok wetan.
Dalam pada itu, selagi
orang-orang tua beristirahat dan berbicara di antara mereka, maka Swandaru dan
Agung Sedayu duduk di serambi gandok. Sejenak mereka saling berdiam diri
memandang halaman rumah yang sudah berubah itu. Suasananya benar-benar telah
jauh berbeda. Halaman rumah itu kini ditanami dengan pohon bunga-bunga di
pinggir-pinggir pagar batu. Sebatang bunga soka putih, seolah-olah tidak
berdaun lagi karena bunganya yang sedang berkembang. Sedang di sudut halaman
itu kini tumbuh sebatang bunga kemuning.
Keduanya berpaling ketika
mereka mendengar langkah mendekatinya. Ternyata yang datang itu adalah
Prastawa.
Agung Sedayu dan Swandaru
bergeser sedikit untuk memberikan tempat kepada anak muda itu, yang sambil
tersenyum kemudian Prastawa pun duduk pula di antara mereka.
Sama sekali tidak ada lagi
kesan permusuhan di antara mereka seperti juga pada Pandan Wangi dan adik
sepupunya itu. Prastawa mencoba memperbaiki keadaannya dengan berbuat
sebaik-baiknya, meskipun kadang-kadang hatinya masih juga merasa pedih.
Sejenak mereka berbicara
tentang keadaan masing-masing. Meskipun mereka masih juga tetap berhati-hati
agar pembicaraan mereka sama sekali tidak menyentuh persoalan yang dapat
mengungkat hubungan di masa lalu itu.
Selagi mereka dengan asyiknya
berbicara, di halaman melintas seorang anak muda yang pergi berburu bersama
Pandan Wangi. Sejenak anak muda itu berpaling memandang Prastawa, namun ia pun
kemudian melangkah terus meninggalkan halaman, masuk ke longkangan gandok
kulon.
“Siapakah anak muda itu?”
bertanya Swandaru.
“Rudita,” jawab Prastawa, “ia
adalah kadang yang sudah agak jauh dari Kakak Pandan Wangi dari garis ibunya.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah ia sudah lama berada di sini?”
“Tidak. Ia datang bersama ayah
dan ibunya, dua hari yang lalu. Sudah lama mereka tidak berkunjung kemari. Agar
hubungan persaudaraan itu tidak terputus, mereka memerlukan mengunjungi Ki Gede
di sini.”
Swandaru masih saja
mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian ia masih bertanya lagi, “Apakah ia
pandai berburu?”
Prastawa tersenyum. Tetapi ia
menjawab, “Ya. Ia senang berburu.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Namun sebelum ia menyahut maka seseorang datang mendekatinya
sambil berkata kepada Prastawa, “Rudita memanggilmu.”
Prastawa mengerutkan keningnya.
“Ada apa?”
“Aku tidak tahu.”
Prastawa mengangkat pundaknya.
Namun ia pun kemudian berdiri dan berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru. “Ia
memerlukan pelayanan melampaui seorang gadis kecil yang paling manja.”
Swandaru dan Agung Sedayu
berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak mengatakan apa pun. Mereka hanya
memandangi saja langkah Prastawa yang pergi ke gandok kulon.
Di longkangan, Rudita telah
menunggu kedatangan Prastawa. Dengan wajah yang tegang Rudita itu bertanya,
“Siapakah mereka itu?”
“Yang mana?” Prastawa ganti
bertanya.
“Dua orang anak muda di
serambi gandok wetan itu.”
“O, tamu Ki Gede yang baru
datang hari ini. Bukankah keduanya ikut duduk di pendapa pada saat kami
menghidangkan makanan?”
“Aku sudah tahu. Siapa nama
mereka?”
“O,” Prastawa
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Yang gemuk itu namanya Swandaru. Ia
adalah putra Ki Demang Sangkal Putung. Sedang yang sedang itu bernama Agung
Sedayu.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Kenapa mereka datang kemari? Apakah mereka
masih kadang Ki Gede?”
Prastawa menggeleng. “Bukan.
Bukan sanak, bukan kadang. Tetapi jika mati, kami akan kehilangan.”
Rudita mengerutkan keningnya,
“Apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa,” jawab
Prastawa, lalu katanya, “marilah. Sebaiknya kau memperkenalkan dirimu.”
“Bukan aku. Merekalah yang
harus datang memperkenalkan diri kepadaku. Aku adalah kadang Ki Gede Menoreh.
Ayahku meskipun bukan Demang, tetapi ia adalah orang yang terpandang, karena
ayahku lebih kaya dari Demang di Tempuran.”
Prastawa mengerutkan dahinya.
Jawabnya kemudian, “Mereka tentu tidak akan berani berbuat demikian, karena
mereka merasa diri mereka kecil.”
Rudita merenung sejenak, lalu
katanya, “Jadi bagaimana sebaiknya?”
“Kaulah yang datang kepadanya.
Mereka akan menyambut dengan senang hati.”
Sekali lagi Rudita merenung.
Namun kemudian katanya, “Baik, aku akan datang kepadanya. Tetapi jika mereka
ternyata menyombongkan diri, aku pilin lehernya sampai patah. Kau dan kedua
anak-anak muda itu harus mengerti, bahwa aku adalah murid Kiai Kuda Prakosa.”
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berdebar-debar juga. Agaknya anak muda yang
manja ini mempunyai bekal dalam olah kanuragan pula. Bahkan ia telah menyebut
pula nama gurunya. Tetapi nama itu belum pernah dikenalnya.
“He, kenapa kau diam saja? Kau
tidak usah takut mendengar nama guruku. Aku tidak akan berbuat apa-apa
kepadamu. Juga kepada kedua anak-anak muda itu pun aku tidak akan berbuat
apa-apa jika mereka menghormati aku seperti seharusnya.”
“Aku akan mengatakannya. Dan
mereka tentu akan menghormatimu.”
“Baiklah jika demikian. Tetapi
sekali lagi aku peringatkan, jangan mempermainkan aku. Kau pun jangan
mempermainkan aku.”
“Tidak, tentu aku tidak berani
mempermainkan kau,” berkata Prastawa.
“Marilah,” ajak Rudita.
“Tunggulah di sini. Aku akan
mempersiapkan kedua anak-anak muda itu agar mereka mengetahui siapakah kau
sebenarnya sebelum kau memperkenalkan diri.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya, lalu katanya, “Baik. Pergilah.”
Prastawa pun kemudian berlalu.
Hampir saja ia yang masih sangat muda itu tidak dapat menahan tawanya. Di dalam
kemelutnya api peperangan, ia sudah berani memegang pedang di medan pertempuran
yang paling ganas sekali pun. Namun menghadapi anak muda yang terlalu cengeng,
ia masih juga dapat menahan diri, untuk tidak menyakiti hatinya. Apalagi
Prastawa tahu bahwa anak itu adalah kadang Pandan Wangi dari saluran darah
ibunya, sedang ia bersumber dari saluran darah ayahnya. Anak muda yang cepat
menjadi dewasa berpikir karena tempaan keadaan itu tidak mau memberikan kesan
yang kurang baik kepada tamunya itu.
“Tetapi bagaimanakah jika
sikapnya kemudian menjadi berlebih-lebihan?” ia bertanya kepada diri sendiri di
dalam hatinya. Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Biarlah Pandan Wangi sendiri
mengurusnya.”
Agar tidak menimbulkan
persoalan, maka Prastawa pun kemudian berkata berterus terang kepada Agung
Sedayu dan Swandaru tentang anak muda yang bernama Rudita itu.
“Sekali-sekali anak semacam
itu perlu diperkenalkan dengan kehidupan yang sewajarnya,” berkata Swandaru.
“Ah, kau,” potong Agung
Sedayu, “itu bukan urusanmu. Biarlah ayahnya membenturkannya kepada kenyataan
hidup yang pahit dan keras. Biarlah kita menghindarkan diri dari
persoalan-persoalan yang dapat timbul. Apakah ruginya jika kita berbuat
demikian dan karena itu dapat menyenangkan hati orang lain?”
“Kau tidak pernah berusaha
menyenangkan hatiku,” sahut Swandaru.
“Apa? Kau sangka aku tidak
sedang menyenangkan hatimu sekarang, sehingga aku terlunta-lunta sampai ke
tempat ini.”
Prastawa-lah yang tersenyum.
Katanya, “Tentu. Kita semua sedang menyenangkan hati Swandaru. Semakin senang
ia akan menjadi semakin gemuk.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Sanak, terima kasih.”
Prastawa justru menjadi
tertawa karenanya. Dipandanginya wajah Swandaru yang bulat itu. Lalu katanya,
“Ingat, kita akan bermain-main dengan sebatang ranting yang kering. Jika kita
salah raba, ranting itu akan patah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menyahut. Mereka hanya memandangi Prastawa yang kemudian pergi menemui
Rudita, dan mengajaknya ke serambi gandok wetan.
Agung Sedayu dan Swandaru yg
melihat Prastawa dan Rudita berjalan ke arahnya, tergopoh-gopoh berdiri dan
menyongsongnya. Namun Swandaru masih juga sempat bergumam perlahan-lahan, “Jika
ada orang yang melihat sikap kita seperti kucing melihat tulang ini, mereka
tentu akan mentertawakan.”
Agung Sedayu tidak
menghiraukan. Ia bergegas mendapatkan Rudita sambil ngapurancang dan membungkuk
dalam-dalam.
“Siapa namamu?” bertanya
Rudita.
“Namaku Agung Sedayu, Ki
Sanak.”
“Rudita, panggil aku Rudita.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang kemudian menganggukkan kepala adalah
Swandaru. Dan ketika Rudita bertanya namanya, maka dijawabnya, “Namaku Swandaru.
Semula Swandaru Geni.”
“Kenapa semula?”
“Sekarang api itu sudah
menjadi suram.”
Rudita mengerutkan keningnya
dan Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Apa keperluan kalian kemari?”
bertanya Rudita kemudian.
“Tidak apa-apa,” Agung
Sedayu-lah yang menjawab, “kami hanya ingin melihat tanah yang sudah sangat
lama kami tinggalkan. Beberapa waktu yang lampau, aku dan adikku pernah tinggal
di padukuhan ini untuk beberapa lamanya.”
“Kenapa kalian pergi.”
“Kami pulang ke Sangkal
Putung.”
“Kenapa saat itu kau tinggal
di sini? Di rumah ini maksudmu?”
“Tidak, tidak dirumah ini.
Kami tinggal di gubug di padukuhan sebelah. Kami adalah penggembala kambing.”
“Kenapa sekarang kau
mengunjungi Tanah Perdikan Menoreh langsung menemui Ki Gede? Kenapa kau tidak pergi
ke rumah gubugmu itu?”
“Anak ini memang ingin dipilin
lehernya,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “dan Kakang Agung Sedayu agaknya
menjadi kambuh pula.”
“Rudita,” berkata Agung Sedayu
kemudian, “tidak ada tempat yang lebih baik dari rumah ini bagi kami. Itulah
sebabnya, ayah kami yang tua itu pun ikut pula untuk mengucapkan terima kasih
kepada Ki Gede Menoreh.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Kalian harus mencoba menyesuaikan diri di sini. Aku
dengar ayah kalian seorang Demang di Sangkal Putung. Jangan kalian menyangka
bahwa pangkat Demang adalah pangkat yang sangat tinggi.”
“Tentu tidak,” Swandaru-lah
yang tiba-tiba saja menyahut.
Tetapi sebelum ia melanjutkan,
Agung Sedayu telah mendahului, “Kami memang merasa, bahwa ayah kami adalah
seorang Demang dari sebuah kademangan yang kecil.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa bahwa kedua anak-anak muda itu cukup menghormatinya.
Karena itu, maka ia pun bersikap semakin tinggi, seakan-akan ia memang
benar-benar seorang yang pantas dihormati.
Dalam pada itu dari
celah-celah dinding pendapa, seseorang sedang mengintip peristiwa yang terjadi
di halaman dekat dengan longkangan di muka serambi gandok wetan. Selain orang
itu dapat melihat semua yang terjadi, maka meskipun lamat-lamat, ia mendengar
pembicaraan mereka, sehingga hampir saja ia tidak dapat menahan hatinya.
Kadang-kadang ia menjadi geli sehingga tertawanya harus ditahankannya di dada.
Namun kadang-kadang terasa betapa jengkelnya mendengar kata-kata Rudita itu.
Orang itu adalah Pandan Wangi.
Bahkan Pandan Wangi itu mengumpat di dalam hati, “Kakang Agung Sedayu selalu
bersikap begitu. Tetapi sebenarnya kini sudah bukan masanya lagi untuk
berpura-pura. Apalagi berpura-pura menjadi seorang yang sangat rendah martabatnya.
Sekali-sekali Rudita memang harus melihat kehidupan ini dengan sewajarnya.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat menyaksikan sambil mengumpat-umpat di
dalam hati.
“Marilah kita duduk di
pendapa,” ajak Rudita.
“Terima kasih,” jawab Agung
Sedayu, “udaranya sangat panas. Lebih baik aku duduk di serambi. Udaranya
terasa agak segar oleh angin yang lembab.”
“Duduklah di pendapa. Aku
mengajak kalian duduk di pendapa. Jangan membuat rencana sendiri. Jika aku
mempersilahkan kalian ke pendapa, maka kalian akan ke pendapa, bukan pergi ke
tempat yang kalian sukai masing-masing. Aku adalah keluarga Ki Gede Menoreh,
dan kalian adalah tamu-tamu kami.”
Swandaru berpaling kepada
Prastawa. Ia pun kadang langsung dari Ki Gede. Tetapi ia tidak pernah bersikap
seangkuh itu.
Namun demikian, ketika sekali
lagi Rudita menyuruh mereka naik, maka mereka pun segera naik pula ke pendapa,
dan duduk saling berhadapan.
“Ada juga untungnya berkenalan
dengan kalian,” berkata anak muda itu, “mungkin kalian lebih banyak mengenal
hutan daripadaku. Benar?”
“Maksudmu?” bertanya Agung
Sedayu.
“Apakah kau sering berburu?”
“Kadang-kadang.”
“Kau dapat mempergunakan anak
panah dan busur?”
“Serba sedikit, Rudita. Tetapi
aku memang pernah mencoba.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Aku ingin memberikan sebuah hadiah yang menarik
buat Pandan Wangi. Seekor rusa hasil buruan. Apakah kau mau pergi bersamaku ke
hutan perburuan itu?”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak. Ketika mereka berpaling kepada Prastawa dilihatnya
anak muda itu menganggukkan kepalanya, sehingga Agung Sedayu pun kemudian
berkata, “Baiklah. Aku senang sekali mendapat kesempatan mengantarkan kau
berburu. Tetapi sebenarnya aku sendiri tidak begitu mengerti cara-cara yang
harus dilakukan untuk mendapatkan seekor binatang buruan.”
“Katamu, kau pernah berburu.”
“Hanya kadang-kadang.
Kadang-kadang sekali. Itu pun di hutan yang kecil di sekitar Kademangan Sangkal
Putung. Memang kami pernah mendapat seekor rusa di hutan itu.”
“Kau panah?”
“Tidak.”
“Bagaimana kau
mendapatkannya?”
“Kami beramai-ramai
mengejarnya. Tiga puluh orang anak muda.”
“Bodoh sekali,” berkata
Rudita. Namun katanya kemudian, “Baiklah, kita coba. Kita akan berburu.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“O, kita akan kemalaman di
hutan perburuan itu. Kenapa tidak besok pagi?”
“Aku ingin memberikan hadiah
seekor rusa malam nanti.”
“Tetapi, waktunya tinggal
sedikit. Sebentar lagi matahari akan mulai turun di barat.”
“Aku tidak peduli. Aku ingin
sekarang. Akulah yang ingin sekarang. Bukan kalian.” Lalu Rudita itu berpaling
kepada Prastawa, “Di manakah hutan perburuan yang paling banyak mempunyai rusa
atau kijang?”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Kemudian ia pun menjawab, “Di ujung timur dari Tanah Perdikan ini. Dekat
Kali Praga.”
“Yang baru saja kami kunjungi,
bersama Pandan Wangi?”
“Terlalu jauh. Hutan itu
sedikit lebih dekat.”
“Berapa lama kita sampai ke
tempat itu?”
“Menjelang senja kita sampai
ke tempat itu.”
“Bodoh sekali kau. Apa yang
dapat kita kerjakan di dalam gelapnya malam?”
“Tidak ada hutan yang lebih
dekat lagi yang memiliki binatang buruan sebanyak hutan itu. Di hutan rindang
di sebelah barat ada juga satu dua ekor kijang. Tetapi terlalu sedikit untuk
diburu dengan tergesa-gesa.”
“Baiklah,” berkata Rudita,
“besok pagi saja kita berangkat. Pagi-pagi benar. Kita mengharap bahwa di sore
hari kita sudah pulang membawa seekor rusa.”
“Pandan Wangi sering berburu
di malam hari. Bahkan pernah ia bermalam dua malam berturut-turut di hutan
buruan.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Prastawa sejenak, lalu, “Kau berkata sebenarnya?”
“Ya, aku berkata sebenarnya.”
“Dan Pandan Wangi mendapatkan
binatang buruan?”
“Ya. Kadang-kadang
mendapatkannya. Tetapi kadang-kadang bukan Pandan Wangi sendiri yang berhasil,
tetapi para pengiringnya.”
Rudita memandang Prastawa
dengan tajamnya. Lalu katanya, “Itulah sebabnya aku ingin memberikan hadiah
kepadanya seekor rusa buruan.”
Pandan Wangi yang mengikuti
pembicaraan itu dari dalam rumahnya hampir tidak dapat menahan hati lagi. Suara
tertawanya hampir saja meledak. Tetapi ia bertahan sekuat-kuatnya. Bahkan
kemudian ia pun segera berlalu, agar pada suatu saat ia tidak kehilangan
mengendalikan diri.
Demikianlah, anak-anak muda
itu masih saja duduk di pendapa. Sebenarnya Pandan Wangi tidak sabar lagi
menunggu Rudita itu meninggalkan anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Ada
sesuatu yang mendesaknya untuk menemui mereka. Namun kadang-kadang ia mencoba
menekan perasaan itu sedalam-dalamnya, justru karena ia adalah seorang gadis.
Namun Pandan Wangi yang duduk
sendiri di ruang dalam itu terkejut ketika ayahnya berkata dari balik pintu,
“Pandan Wangi.”
“O,” Pandan Wangi menjadi
tersipu-sipu. Agaknya ayahnya mengetahui bahwa ia mengintip anak-anak muda yang
sedang di pendapa itu. Tetapi sebenarnya ia tidak sedang mengintip Swandaru.
Justru ia sedang mengintip Rudita yang berbuat aneh-aneh menurut penilaiannya.
Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat mengatakannya. Ketika ia kemudian berpaling dan memandang wajah ayahnya,
pipinya sendiri menjadi semakin merah, karena ayahnya tersenyum dengan
pandangan yang menggelitik hatinya.
“Pandan Wangi,” berkata
ayahnya, “mumpung mereka duduk di pendapa, kau dapat menyuguhkan minuman panas
bagi mereka.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.
“Aku kira tidak ada salahnya
jika kau menghidangkan minuman bagi mereka. Mereka bukan orang lain bagi kita.
Meskipun mereka tamu dari jauh, tetapi mereka sengaja datang untuk memperpendek
jarak antara Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.” Ayahnya pun kemudian
mendekatinya sambil berkata lirih, “Pandan Wangi. Marilah kita melihat ke dalam
diri kita. Aku memang termasuk orang tua yang ketinggalan batasan hidup seperti
yang dikehendaki oleh anak-anak muda. Tetapi aku mengerti bahwa kedatangan Ki
Demang Sangkal Putung mempunyai maksud yang khusus. Meskipun belum dikatakan,
tetapi sudah membayang di dalam pembicaraan kami. Karena itu aku tidak
berkeberatan kau menemui anak Ki Demang itu bersama dengan saudara seperguruannya.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
panas, tetapi hatinya memang terlonjak untuk melakukannya.
Ayahnya masih memandanginya
sejenak. Senyumnya masih saja membayang di bibirnya. Bahkan kemudian ia
berkata, “Kau memang seorang gadis yang lain dari gadis sebayamu. Kadang-kadang
kau bersikap dan bertindak sebagai seorang laki-laki. Namun dalam pakaian
seorang gadis yang baik, kau adalah seorang gadis yang utuh. Meskipun demikian
lebih baik bagimu keluar sama sekali ke pendapa daripada kau duduk di dalam
seorang diri.”
Wajah Pandan Wangi yang merah
menjadi semakin tunduk. Ayahnya tidak menyebut saja bahwa ia mengintip. Jika
demikian justru ia dapat membantah bahwa sebenarnya ia sekedar tertarik pada
sikap Rudita. Tetapi justru karena ayahnya tidak menyebutkannya, ia menjadi
bingung.
“Sudahlah, Pandan Wangi. Yang
paling baik buat mereka, sediakan minuman hangat. Agaknya Rudita tertarik pula
untuk menemui mereka.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Ia pun kemudian pergi ke dapur, menyediakan minuman hangat bagi anak-anak muda
yang duduk di pendapa.
Ketika pintu pendapa itu
terbuka dari dalam, anak-anak muda itu pun berpaling. Sejenak mereka memandang
seorang gadis yang berdiri di muka pintu sambil membawa nampan berisi beberapa
mangkuk minuman.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
melangkah mendekati mereka. Ditundukkannya saja kepalanya, agar ia tidak
menjadi gemetar jika pandangannya beradu dengan tatapan mata Swandaru.
Tetapi yang mula-mula
berbicara adalah Rudita, “Ha, duduklah di sini, Pandan Wangi.” Lalu sambil berpaling
ia berkata, “Prastawa, kau dapat menerima nampan itu.”
Prastawa mengumpat di dalam
hatinya. Tetapi ia beringsut juga menerima nampan yang dibawa oleh Pandan Wangi
yang mulai gemetar itu.
“Duduklah di sini. Apakah kau
sudah mengenal anak-anak yang baru datang dari Sangkal Putung ini?”
Prastawa hampir tidak dapat
menahan gelaknya mendengar pertanyaan itu.
“Apa salahnya kau duduk di
sini bersamaku menemui tamu-tamu ayahmu ini. Mereka adalah anak-anak yang
datang dari Sangkal Putung.”
“Kakak Pandan Wangi pernah
mengenal mereka,” berkata Prastawa. “Bukankah sudah aku katakan, bahwa mereka
pernah tinggal di sini? Eh, apakah aku belum mengatakannya?”
Rudita mengerutkan keningnya.
Tetapi ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu mulutnya pun bergerak, “Jadi
kalian memang pernah berkenalan?”
Yang menjawab adalah Prastawa,
“Mereka sudah saling mengenal.”
“O,” Rudita masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Kalau begitu, duduklah, Pandan Wangi.
Kita temui tamu-tamu kita ini.”
Pandan Wangi menjadi semakin
segan duduk di antara mereka justru karena ada Rudita. Tetapi ia tidak dapat
pergi lagi karena Prastawa pun mempersilahkannya pula.
“Kita sedang merencanakan
untuk pergi berburu,” berkata Rudita. “Aku ingin memberikan hadiah seekor rusa
buruan kepadamu.”
Kata-kata itu tidak
disangka-sangka akan dikatakannya kepadanya, sehingga karena itu Pandan Wangi
justru menjadi tersipu-sipu. Kepalanya menjadi semakin tunduk dan sikapnya yang
gelisah menjadi semakin gelisah.
Dalam pada itu, ternyata bahwa
Swandaru pun menjadi bingung menghadapi Pandan Wangi. Setelah sekian lamanya
mereka tidak bertemu, dan kini Pandan Wangi menemuinya dengan pakaian seorang
gadis yang menurut penilaiannya cukup sempurna, maka hatinya pun menjadi
berdebar-debar.
Karena itu, meskipun ada juga
debar di jantungnya, namun tidak sekeras debar jantung Swandaru, maka Agung
Sedayu-lah yang mulai bertanya kepada gadis itu, “Apakah sejak saat kami
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, kau masih saja senang berburu, Pandan
Wangi.”
Pertanyaan yang tidak langsung
menyentuh dirinya itu membuat gadis itu seakan-akan terlepas dari belenggu yang
menyesakkan. Karena itu maka jawabnya, “Sekali-sekali aku masih berburu,
Kakang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian. bertanya tentang hutan
perburuan di daerah Menoreh dan bahkan hutan-hutan yang kadang-kadang masih
belum banyak dijamah oleh seseorang.
“Kita akan berburu ke hutan
yang lebat itu,” berkata Agung Sedayu, “tentu binatang buruannya masih jauh
lebih banyak dari hutan-hutan perburuan.”
“Maksudmu?” bertanya Rudita
yang menjadi heran, bukan saja hubungan Agung Sedayu dan Pandan Wangi yang
tampaknya sudah begitu erat, juga karena Agung Sedayu menyebut-nyebut hutan
yang lebat dan jarang disentuh tangan manusia.
“Kita berburu di hutan itu.
Tentu akan lebih menarik dari sekedar berburu di hutan perburuan.”
Belum lagi Rudita mengerti
sepenuhnya, Pandan Wangi justru menyahut, “Kita akan mencobanya.”
Sambil menyentuh Swandaru,
Agung Sedayu bertanya, “He, bagaimana dengan kau, Swandaru Geni.”
Swandaru tergagap. Tetapi ia
menyahut, “Tentu menyenangkan sekali. Aku sependapat.”
Tetapi tiba-tiba saja Prastawa
menyahut sambil tersenyum, “Kau tidak usah berburu kemana-mana Swandaru. Kau
berburu saja di sini.”
Sejenak Swandaru justru
terbungkam. Sepercik warna merah menjalar di wajahnya. Bahkan bukan saja
Swandaru, tetapi Pandan Wangi yang mengerti maksud itu pun menjadi semakin
tertunduk dalam-dalam.
Tetapi Swandaru cepat dapat
mengatasi kesulitannya, bahkan ia sempat menyahut, “Bagaimana aku akan berburu,
kalau yang diburu tidak ada di sini di saat perburuan besok, karena justru akan
pergi ke hutan.”
Prastawa tidak dapat menahan
gelaknya. Agung Sedayu pun tertawa pula. Meskipun wajah Pandan Wangi terasa
panas, namun ia tersenyum pula.
Yang terheran-heran adalah
Rudita. Ia tidak mengerti kenapa hal itu dapat menimbulkan tertawa. Karena itu
ia pun dengan serta-merta bertanya, “He, siapakah yang kalian maksud? Siapakah
yang harus diburu di sini? Aku? Atau siapa?”
Prastawa menahan suara
tertawanya. Katanya, “Jangan terlampau perasa. Kami berbicara tentang diri
kami. Bukan kau. Kami memang saling memburu pada saat lampau pada saat Menoreh
masih belum setenteram sekarang. Akulah yang selalu diburu oleh Kakak Pandan
Wangi dan kedua anak-anak muda ini. Tetapi sekarang aku sudah menyadari
keadaanku, dosa-dosaku, dan kesalahan-kesalahanku.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Persoalan yang dikatakan Prastawa adalah persoalan yang berat bagi Menoreh.
Bukan persoalan yang dapat disebut sambil lalu saja. Tetapi Prastawa
mengucapkannya sambil tertawa-tawa, meskipun ia menyebut dirinya sendiri
sebagai buruan.
Sejenak Rudita termenung.
Namun kemudian ia berkata, “Kalian membohongi aku. Kalian jangan berbicara
tentang persoalan-persoalan yang aku tidak mengerti. Di dalam pembicaraan
dengan banyak pihak, kalian harus mengambil persoalan yang tidak dapat
menimbulkan salah paham.”
Prastawa menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara saja tentang binatang buruan
di hutan lebat itu. Jika kita berburu ke hutan buruan di sebelah Kali Praga
kita akan dapat menyusur ke utara dan kita akan sampai ke hutan yang masih
liar. Tentu di daerah itu banyak sekali binatang buruan. Apalagi tidak terlalu
jauh dari aliran Kali Praga sebagai tempat untuk mendapatkan air bagi
binatang-binatang yang kehausan, karena tebingnya yang landai.”
“Aku tidak mau,” berkata
Rudita, “aku hanya akan berburu di hutan buruan.”
Namun di luar dugaannya,
Pandan Wangi yang selama itu berdiam diri sambil menunduk, tiba-tiba menyahut,
“Aku ingin berburu di hutan itu. Jika kau tidak berani, kau dapat menunggu kami
di luar hutan.”
“Pandan Wangi,” desis Rudita
dengan sorot mata yang aneh. Apalagi saat itu Pandan Wangi mengenakan pakaian
seorang gadis yang hampir sempurna. Tidak pantaslah nampaknya jika ia berbicara
tentang perburuan.
Namun sebelum ia melanjutkan,
Pandan Wangi yang mengenakan kain panjang yang singset dan baju yang rapat itu
tersenyum kepadanya sambil berkata, “Ya Rudita. Kami akan berburu di hutan yang
paling liar di Menoreh. Tentu menyenangkan sekali. Tidak ada orang yang pernah
melakukannya selain aku dan Ayah. Sekarang Ayah sudah tidak pernah lagi
melakukannya sejak kakinya tidak mau pulih seperti sediakala. Dan kini aku
mempunyai beberapa orang kawan untuk melakukannya.”
Prastawa memandang Pandan
Wangi dengan tegangnya. Dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya, “Gila.
Tentu di hutan liar banyak binatang buas, ular-ular berbisa dan bahkan serangga
yang dapat menghentikan jalan darah.”
“Masih banyak lagi. Kumbang
biru, semut sabuk putih, kera yang buas berambut merah, harimau dahan yang
licik, anjing hutan.”
“Cukup,” Rudita memotong.
Wajahnya menjadi kemerah-merahan seperti wajah Pandan Wangi ketika ia baru saja
keluar dari pintu depan.
“Apakah kau tidak ingin ikut?”
bertanya Pandan Wangi.
Wajah Rudita yang merah
menjadi tegang. Namun katanya kemudian, “Aku akan ikut. Akulah yang ingin
berburu.”
“Baiklah. Kita akan berangkat
besok pagi-pagi. Mungkin kita akan bermalam di hutan itu.”
“Bermalam?” Rudita menjadi
heran. “Apakah Paman Argapati mengijinkan kau bermalam? Bukankah kau seorang
gadis? Dan apakah kau sering melakukannya seperti yang dikatakan oleh Prastawa,
bermalam di hutan dua tiga malam bersama banyak pengiring laki-laki.”
“Kenapa?” bertanya Pandan
Wangi.
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Dipeganginya keningnya. Lalu katanya, “Baik, baik. Aku akan pergi
berburu besok. Sekarang aku akan berkemas.”
Dengan tergesa-gesa Rudita pun
kemudian meninggalkan pendapa itu. Pandan Wangi dan Prastawa memandanginya
sambil tersenyum. Namun mereka tidak berkata apa pun juga, sedang Swandaru dan
Agung Sedayu pun segan juga bertanya tentang anak muda itu, karena mereka
mengetahuinya, bahwa Rudita adalah masih mempunyai hubungan keluarga dengan
Pandan Wangi lewat jalur ibunya.
Sejenak kemudian, ketika
Rudita telah hilang di longkangan, maka Pandan Wangi pun berkata pula, “Kita
benar-benar akan berburu besok. Tetapi yang kita hadapi dan yang mungkin kita
temui bukan sekedar binatang buas atau binatang-binatang berbisa. Tetapi
mungkin juga bahaya yang lain.”
“Apa yang kau maksud?”
bertanya Agung Sedayu.
“Kita harus bersenjata
selengkapnya, bukan sekedar senjata untuk berburu, karena di sepaniang tepian
Kali Praga kadang-kadang kita jumpai orang-orang yang tidak kita kehendaki.”
Ternyata kata-kata Pandan
Wangi itu telah menarik perhatian Agung Sedayu dan Swandaru sehingga tanpa
mereka sadari, hampir bersamaan mereka bertanya, “Siapakah mereka itu?”
Pandan Wangi sadar bahwa
kata-katanya pasti akan menarik perhatian. Karena itu maka ia pun segera
menjawab, “Kami di sini tidak tahu dengan pasti. Tetapi mereka adalah
orang-orang yang menyeberang dari sebelah Kali Praga. Kami mengetahui bahwa
telah terjadi pertentangan bersenjata di seberang. Dan kami tidak ingin Menoreh
menjadi tempat pelarian atau landasan di dalam pertentangan bersenjata itu.”
Kedua anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata bahwa cerita
pemilik getek yang membawa mereka menyeberang itu pasti bukan sekedar ceritera
atau desas-desus.
Namun dalam pada itu, ternyata
Swandaru menjadi sangat tertarik, sehingga katanya kemudian, “Jika demikian,
besok kita benar-benar pergi ke Kali Praga, berburu atau tidak berburu.”
“Ah, kau,” desis Agung Sedayu,
“tujuan kita adalah berburu. Jika kita menjumpai persoalan lain kecuali
binatang buruan, kita tidak dapat lari lagi dari padanya.”
Swandaru tersenyum.
Dipandanginya Agung Sedayu sejenak, lalu, “Baiklah, jika itu istilah yang
paling baik dipergunakan.”
Prastawa pun tersenyum pula,
sedang Pandan Wangi menundukkan kepalanya.
Demikianlah maka mereka masih
berbicara beberapa lama tentang hutan liar di sebelah Kali Praga itu. Juga
tentang orang-orang bersenjata yang kadang-kadang menyeberang ke Barat setelah
terjadi benturan senjata di sebelah Timur Kali Praga.
“Ah,” berkata Prastawa,
“kenapa kita berbicara tentang hal-hal yang dapat menegangkan syaraf. Marilah
kita berbicara tentang diri kita.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Aku akan pergi
sebentar ke belakang. Aku ingin melihat, apakah kuda-kuda sudah dibersihkan.”
Prastawa tidak menunggu
jawaban siapa pun. Ia pun segera bergeser. Namun sebelum ia pergi, Agung Sedayu
menyela, “Apakah aku dapat melihat bagian belakang dari halaman ini. Aku tidak
tahu lagi, di manakah letak pakiwan.”
“Baiklah, aku akan
menunjukkannya,” sahut Prastawa.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi
berkata, “Prastawa tunggulah di sini. Biarlah aku yang menunjukkannya.”
“Ah.”
Pandan Wangi pun kemudian
berdiri. Ia tahu maksud kedua anak-anak muda ini. Namun rasa-rasanya masih
asing bagi Pandan Wangi untuk duduk berdua saja dengan Swandaru di pendapa itu.
Karena itu dengan tergesa-gesa ia melangkah sambil berkata, “Marilah, Kakang
Agung Sedayu.”
Tetapi Agung Sedayu-lah yang
kemudian tersenyum sambil berkata, “Ah, tentu tidak pantas jika kau
mengantarkan aku ke pakiwan.”
“Apa salahnya. Aku pantas
pergi berburu dan bermalam di hutan.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi
ia justru memperbaiki letak duduknya dan bergeser mendekati Swandaru.
“Terserahlah,” berkata Pandan
Wangi, “tetapi jika perlu, biarlah Prastawa mengantarkanmu.”
Prastawa tidak menyahut.
Tetapi tatapan matanya sajalah yang membuat Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu.
Demikianlah, ketiga anak-anak
muda itu masih berbincang sejenak mengenai orang-orang yang tidak dikehendaki
di hutan di sepanjang Kali Praga. Kemudian Agung Sedayu dan Swandaru pun segera
kembali ke gandok.
Dalam pada itu maka orang tua
di kedua belah pihak, Swandaru dan Pandan Wangi, ternyata telah mempersiapkan
diri masing-masing untuk pada saatnya memasuki pembicaraan yang resmi. Agar
mereka tidak terlalu lama berada di Menoreh, maka Ki Demang Sangkal Putung
telah sependapat dengan Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bahwa pada malam
harinya mereka akan menyampaikan maksud kedatangan mereka di Tanah Perdikan
Menoreh.
Karena itulah, maka ketika
Tanah Perdikan Menoreh, dibayangi oleh cahaya senja, Kiai Gringsing-lah yang
pertama-tama menemui Ki Gede Menoreh, dan mengatakan bahwa malam nanti Ki
Demang di Sangkal Putung, ingin menyampaikan suatu kepentingan kepada Ki
Argapati.
Ki Argapati tersenyum. Katanya
kepada Kiai Gringsing, “Aku menjadi berdebar-debar. Tetapi aku mendapat firasat
bahwa kedatangan Kiai adalah kelanjutan dari apa yang pernah Kiai katakan
sebelumnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Demikianlah adanya, Ki Gede. Sekarang
Ki Demang sudah berada di Menoreh. Biarlah nanti malam Ki Demang
menyampaikannya sendiri.”
“Baiklah, Kiai Gringsing. Aku
akan menerimanya. Dan karena kebetulan di rumah ini ada juga seorang tamu yang
sudah agak lama tidak saling mengunjungi, maka kami akan membawanya menerima Ki
Demang, Kiai sendiri, dan Ki Sumangkar.”
“Terima kasih, Ki Gede,” desis
Kiai Gringsing, “sebenarnya persoalannya sudah jelas jika tidak ada persoalan
lain yang selama ini telah terjadi. Tetapi semuanya harus dilakukan sesuai
dengan jalur jalan yang sewajarnya.”
“Ya, ya Kiai. Aku mengerti dan
berterima kasih.”
Demikianlah, maka segala
sesuatunya pun telah dipersiapkan. Ki Gede Menoreh telah menemui ayah Rudita.
Dimintanya ayah Rudita untuk ikut menerima Ki Demang Sangkal Putung yang akan
membicarakan Pandan Wangi secara resmi.
“Ayah,” berkata Rudita
sepeninggal Ki Gede, “apakah maksud Ki Argapati sebenarnya.”
Ayahnya memandang Rudita
sejenak. Lalu sambil tertawa ia pun berkata, “Rudita, Pandan Wangi sudah cukup
dewasa. Bahkan umurnya justru sudah agak lampau bagi seorang gadis. Namun
sebenarnyalah pembicaraan tentang hubungannya dengan anak Sangkal Putung itu
sudah agak lama. Tetapi berhubung dengan banyak persoalan, baru sekarang mereka
datang dengan resmi untuk membicarakannya.”
Rudita memandang ayahnya
dengan wajah yang tegang. Lalu tiba-tiba saja ia berkata, “Jadi, maksud Ayah,
Pandan Wangi akan kawin?”
Ayahnya menganggukkan
kepalanya.
Anak muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja ia menjadi kecewa
mendengar kata-kata ayahnya itu. Bahkan Ia pun kemudian berkata, “Sayang
sekali.”
“Kenapa?” bertanya ayahnya.
“Ia cantik sekali.”
Ayahnya tertawa. Katanya,
“Apakah seseorang yang cantik sekali itu tidak seharusnya mengakhiri masa
remajanya dan kemudian kawin?”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Kau pun sebenarnya sudah
dewasa Rudita. Dan sekarang ternyata kau sudah mengenal kecantikan seorang
gadis. Memang sudah waktunya bagimu untuk berbicara tentang gadis.”
“Tetapi Pandan Wangi sudah
akan kawin.”
“Ya, tentu. Dan kau pun pada
saatnya akan kawin juga. Pada suatu kali kau tentu akan menjumpai seorang gadis
yang pantas untuk kau jadikan seorang istri.”
Anak muda itu tidak menjawab.
“Nah, kau harus mengucapkan
selamat kepada Pandan Wangi. Meskipun sudah tidak terlampau dekat, kau adalah
sanak kadangnya.”
Rudita tidak menyahut. Tetapi
kepalanya ditundukkannya. Tanpa disadarinya ia mulai memandang dirinya sendiri.
Bahkan kemudian ia mencoba memperbandingkan dirinya sendiri dengan anak muda
Sangkal Putung itu. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Ayah, yang manakah yang kelak
akan menjadi suami Pandan Wangi.”
Ayahnya memandanginya sejenak,
lalu, “Yang gemuk dan berwajah cerah seperti wajah kanak-kanak yang tidak
berlapis.”
“Yang tidak berlapis?”
“Ya. Yang di luar dan di
dalamnya sama sekali tidak berbeda. Mudah-mudahan dugaanku benar, karena aku
hanya menangkap kulit luarnya saja. Memang mungkin sifat yang terbaca pada
bentuk dan cahaya matanya itu tidak tepat.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Tetapi sayang, bahwa betapa
pun bersihnya hati seseorang, ada juga nodanya meskipun hanya setitik. Anak
yang gemuk itu agak terlampau bernafsu untuk memenuhi semua keinginannya tanpa
kendali. Mudah-mudahan aku salah.”
“Tidak, Ayah tidak pernah
salah.”
Ayahnya tersenyum, katanya,
“Mana mungkin seseorang tidak pernah salah.”
“Pada umumnya. Jika seseorang
bertanya kepada Ayah tentang sesuatu, biasanya Ayah benar. Bukankah karena itu
Ayah menjadi terkenal dan disegani. Juga bukankah karena itu Ayah menjadi
kaya?”
“Ah,” potong ayahnya, “tidak
seorang pun yang mengerti tepat seperti yang kemudian terjadi. Yang aku lihat
adalah semacam isyarat dari setiap peristiwa. Karena itu ada dua kemungkinan
yang dapat membuat aku keliru. Isyarat itu tidak tepat, atau uraianku tentang
isyarat itulah yang tidak tepat.”
Anaknya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Mungkin demikian. Tetapi sampai sekarang, kesalahan semacam
itu jarang sekali terjadi. Dan Ayah semakin lama menjadi semakin dikenal
orang.”
Ayahnya tersenyum. Katanya,
“Berterima kasihlah kepada Yang Maha Murah, bahwa aku mendapat anugerah
ketajaman pengamatan atas peristiwa yang bakal terjadi. Tetapi ingat, bahwa
yang dapat aku katakan, hanyalah yang aku lihat isyaratnya. Karena banyak
sekali persoalan yang tidak dapat aku jawab. Aku juga tidak tahu, apa yang akan
terjadi dengan diri kita, dengan Ki Gede Menoreh dan tentang banyak orang.
Namun kadang-kadang seseorang yang datang kepadaku membawa persoalan-persoalan
yang sudah disertai dengan isyarat itu sendiri.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Selama ini ia tidak pernah tertarik dengan ketajaman indra ayahnya.
Yang ia tahu ayahnya adalah seorang yang kaya dan disegani. Yang banyak
dikunjungi orang dan setiap kali dapat meramalkan apa yang akan terjadi atas
suatu persoalan.
“Atas sesuatu persoalan,”
berkata Rudita di dalam hatinya, “jadi tidak pada setiap persoalan. Menurut
Ayah, banyak sekali pertanyaan yang tidak dapat dijawabnya.”
Dan tiba-tiba saja Rudita
bertanya, “Ayah, siapakah bakal suami Pandan Wangi.”
Ayahnya menjadi heran.
Jawabnya, “Kau aneh. Bukankah Ki Gede sedang menerima lamaran seseorang? Tentu
anak muda Sangkal Putung itulah bakal suaminya. Dalam hal ini, kita tentu tidak
perlu menunggu bentuk isyarat yang mana pun dan kemudian mengurainya.”
“Maksudku, apakah benar-benar
akan terjadi, bahwa Pandan Wangi akan kawin dengan anak muda Sangkal Putung
itu.”
Ayahnya tersenyum. Katanya, “Aku
tidak berusaha melihat isyarat lain. Kita menganggap bahwa perkawinan itu akan
terjadi.”
“Cobalah, Ayah. Buatlah suatu
isyarat bahwa perkawinan itu tidak akan berlangsung.”
Ayahnya mengerutkan keningnya.
Dipandanginya wajah anaknya sejenak tanpa mengucapkan kata-kata.
“Ayah,” ulang anaknya,
“buatkan suatu isyarat. Agar kelak perkawinan itu gagal.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Yang aku lihat itu adalah suatu isyarat. Bukan
syarat-syarat untuk melakukan sesuatu.”
“Apakah bedanya?”
“Ah kau. Kelak kau akan
mengetahui dengan sendirinya. Tetapi dengan mudah dapat aku katakan bahwa
syarat-syarat diperlukan untuk melakukan sesuatu, atau untuk mengharap sesuatu
terjadi. Tetapi isyarat adalah sekedar petunjuk, tanda-tanda atau semacam itu
bahwa sesuatu akan terjadi. Jika aku melihat suatu isyarat bahwa seseorang akan
mengalami bencana, bukan akulah yang menyebabkan bencana itu terjadi, atau
bukan isyarat itulah yang menyebabkan sesuatu itu terjadi. Tetapi yang akan
terjadi itu tetap terjadi dengan atau tidak dengan isyarat.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Ia selama ini hampir tidak pernah berbicara dengan ayahnya tentang kerja
ayahnya itu. Dan tiba-tiba saja ia menjadi tertarik karenanya.
“Jika kau masih juga tidak
mengerti Rudita, cobalah perhatikan. Jika malam menjelang fajar, maka kau akan
mendengar ayam jantan berkokok. Nah, bagaimana seandainya semua ayam di dunia
ini dibungkam? Tentu matahari akan tetap terbit, karena bukannya matahari itu
terbit karena ayam berkokok, tetapi kokok ayam adalah suatu isyarat akan
datangnya fajar.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia tidak begitu mengerti, tetapi sudah mulai terbayang
maksud ayahnya.
Karena itu maka katanya, “Jika
demikian, apakah Ayah tidak dapat berbuat sesuatu agar yang akan terjadi itu
urung atau batal sama sekali.”
Ayahnya menggelengkan
kepalanya. “Tidak Rudita. Aku sebenarnya tidak dapat berbuat apa-apa. Untuk
mengetahui isyarat itu pun tidak setiap kali dapat aku lakukan. Kadang aku
gagal dan sama sekali tidak melihat apa-apa, tetapi kadang-kadang aku salah
mengartikan isyarat itu dengan bahasa sehari-hari.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Lalu katanya, “Baiklah, Ayah.”
“Kenapa?” bertanya ayahnya
dengan curiga.
“Tidak apa-apa. Bukankah Ayah
mengatakan bahwa Ayah tidak dapat berbuat apa-apa.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Terasa sesuatu menyentuh hatinya. Sudah lama ia mengharap anaknya
itu menyebut sesuatu tentang perempuan, karena umurnya memang sudah cukup
dewasa meskipun sifatnya yang kadang masih kekanak-kanakan.
Dan yang membuatnya prihatin,
ayah Rudita itu masih saja gagal melihat kemungkinan yang bakal terjadi dengan
anaknya, seperti yang kadang-kadang memang terjadi. Tetapi bagi masa depan
anaknya, bukan saja karena ia tidak berhasil tetapi sebagian karena pemusatan
pikirannya terganggu oleh perasaan takut dan cemas. Ayah Rudita itu tidak
berani melihat kenyataan tentang anaknya karena sikap dan sifat anaknya itu
sendiri. Jika ia melihat sesuatu yang gelap di masa depan itu, tentu ia akan
bersedih. Apalagi jika istrinya mengetahuinya pula.
Karena itulah kemudian ayah
Rudita itu hanya pasrah saja kepada Yang Maha Kuasa. Apa pun yang terjadi pasti
akan terjadi. Diketahui atau tidak diketahui lebih dahulu. Dan tentu demikian
pula atas anaknya itu.
Namun pertanyaan anaknya
tentang kemungkinan yang akan terjadi atas Pandan Wangi itu telah membuatnya
berprihatin. Ia mengerti, bahwa anaknya yang jarang sekali bergaul dengan
perempuan itu telah tertarik oleh Pandan Wangi meskipun mungkin sekali umur
Pandan Wangi agak lebih tua daripadanya, dan keduanya masih mempunyai hubungan
darah.
Ternyata bukan saja ayahnya.
Ibunya yang sama sekali tidak mencampuri pembicaraan itu pun menjadi
berprihatin pula. Ketika anaknya kemudian pergi dengan kepala tunduk, maka
ibunya mendekati suaminya sambil berkata, “Apakah yang Kakang pikirkan tentang
Rudita?”
“Aku justru menjadi semakin
prihatin, Nyai,” jawabnya.
“Agaknya ia mulai tertarik
kepada perempuan.”
“Ya. Tetapi sayang sekali,
bahwa perempuan itu adalah Pandan Wangi.”
“Ya sayang sekali. Tetapi
cobalah Kakang, apakah sama sekali tidak ada kemungkinan untuk menuruti
keinginan anak itu?”
“Ah, kau. Bagaimana mungkin.
Anak muda Sangkal Putung itu sudah datang untuk melamarnya. Sebentar lagi
mereka tentu akan kawin. Apa yang dapat aku lakukan?”
“Batalkan perkawinan itu.”
“Ah,” suaminya bergeser
sejenak, lalu, “mana mungkin, Nyai. Mana mungkin seseorang dapat merubah
keharusan yang bakal terjadi. Jika hal itu akan terjadi, terjadilah. Tetapi
jika batal, itu sama sekali bukan karena seseorang.”
“Kakang,” berkata isterinya,
“selama ini kau sudah melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang
lain. Selama ini kau dapat melihat apa yang tidak dapat dilihat oleh orang
lain. Jika demikian, maka kau pun tentu dapat berbuat sesuatu yang tidak dapat
diperbuat oleh orang lain pula. Selama ini kau hanya berusaha melihat apa yang
bakal terjadi. Tetapi kekuatan batiniah yang sudah ada itu, tentu akan dapat
kau pergunakan untuk mempengaruhi sesuatu yang bakal terjadi itu, karena hubungan
sebab dan akibat. Jika yang bakal terjadi itu adalah satu saja rangkaian
peristiwa dari kejadian-kejadian, maka pengaruh kekuatan batinmu akan berlaku.”
Ayah Rudita itu mengerutkan
keningnya. Ia memang memiliki kelebihan dari orang-orang lain. Ia dapat melihat
isyarat yang ada pada seseorang, sehingga kadang-kadang ia dapat mengatakan
sesuatu yang akan terjadi pada seseorang, meskipun ia tidak ingkar bahwa
kadang-kadang ia keliru. Keliru melihat isyarat itu atau keliru mengurai.
“Nyai,” berkata ayah Rudita
itu kemudian, “aku pun senang sekali jika aku dapat menuruti keinginan anak itu
seperti yang selalu kita lakukan sampai sekarang. Tetapi yang satu ini
menyangkut beberapa macam persoalan. Selain aku belum dengan sungguh-sungguh
berusaha melihat isyarat apa yang ada pada Pandan Wangi, pada anak muda Sangkal
Putung itu dan pada diri anak kita sendiri, sebenarnya aku pun mempunyai
beberapa keberatan. Pandan Wangi adalah sanak kita sendiri, sehingga pada kedua
anak itu terdapat tetesan darah yang sama. Selain daripada itu, agaknya Pandan
Wangi lebih tua dari Rudita.”
“Ah, keberatanmu bukan
persoalan yang pokok di dalam kehidupan rumah tangga. Banyak sekali perkawinan
antara sanak yang sudah jauh dan sangat berbahagia. Juga umur dua orang suami
isteri tidak menentukan.”
“Kau benar. Memang kedua
masalah itu tidak menentukan. Tetapi bagiku lebih baik jika Rudita itu kita
carikan jodoh yang lain. Bukan Pandan Wangi yang sudah mengikat pembicaraan
dengan Demang Sangkal Putung itu.”
“Ah, kau aneh, Kakang. Yang
diingini anak kita adalah Pandan Wangi. Ia adalah anak seorang Kepala Tanah
Perdikan. Meskipun umurnya lebih tua, tetapi di dalamnya banyak mengandung
kemungkinan yang baik bagi Rudita. Kelak Rudita tentu akan dapat menggantikan
kedudukan Ki Gede Menoreh. Dibekali dengan kekayaan kita, maka kedudukan Rudita
tentu akan menjadi sangat kuat di bagian tarat Kali Praga ini. Apalagi
menghadapi perkembangan daerah baru di seberang timur Kali Praga yang dipimpin
oleh Ki Gede Pemanahan itu.”
Ayah Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Itu adalah pamrih yang berlebih-lebihan. Soalnya adalah
Rudita dan Pandan Wangi itu lebih dahulu. Jika Rudita karena kemanjaannya saja
dengan tiba-tiba menganggapnya Pandan Wangi seorang perempuan yang paling
cantik, itu adalah sangat berbahaya. Setiap saat anggapan itu dapat berubah.
Jika demikian maka perkawinannya akan goyah.”
“Kau dapat melihatnya.
Seandainya demikian, kau pun dapat mencoba memberikan pengaruh atas rangkaian
sebab dan akibat dari kehidupan keduanya sehingga kesulitan itu tidak akan
terjadi.”
“Itulah kesalahan orang lain
menilai diriku. Bahkan istriku sendiri. Pengaruh batiniah dari seseorang atas
orang lain, hanya dapat terjadi sepanjang tidak menyilang garis keharusannya
yang sudah tersusun dalam rangkaian kehidupan seseorang. Dan itu pun hanya
dapat dilakukan oleh orang tertentu. Bukan aku yang mempunyai kerunia
penglihatan saja. Jika seseorang mencoba memaksakan pengaruhnya atas orang lain
dan bahkan kemudian dengan sifat kekerasan, maka ia sudah melawan kehendak Maha
Penciptanya. Dan itu berarti bahwa ia mencoba melawan Maha Kekuatan di atas
langit dan bumi. Mungkin di dalam bentuk lahiriahnya, orang itu akan berhasil.
Tetapi sudah tentu bahwa ia tidak akan berhasil berusaha menyelamatkan dirinya
sendiri dari tuntutan Yang Maha Adil.”
Isterinya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya, “Jika Yang Maha Adil itu tidak berkenan di
hati, maka kenapa sesuatu itu dapat terjadi? Bukankah kuasanya dapat mencegah
peristiwa yang akan berlaku. Jika yang berlaku itu sudah berlaku, itu tandanya
bahwa tidak ada persoalan lagi di hadapan Yang Maha Penciptanya.”
“Itulah justru sifat Yang Maha
Besar. Bahwa manusia mendapat kebebasan atas dirinya sendiri untuk menentukan
sikapnya. Di sinilah letak ujian bagi manusia itu sendiri. Di dalam dirinya ia
mendapatkan wewenang untuk memilih sikap dan perbuatan jasmaniah dan rohaniah.
Hasil pilihan itulah sebenarnya yang menentukan jalan baginya untuk sampai
kepada Yang Maha Pencipta. Itu pun bukan karena kemampuan diri sendiri, tetapi
dengan cahaya kasih Yang Maha Kasih itu juga adanya.”
“Di sini aku melihat kecemasan
seseorang yang menggenggam senjata atas senjatanya. Memang tidak bijaksana
untuk menusuk jantung sendiri. Tetapi jika hati berpandangan terang, yakinilah bahwa
senjata itu dapat dipergunakan bagi suatu perjuangan. Kebebasan memilih adalah
suatu kurnia pula sehingga tidak akan ada aibnya mempergunakan kurnia atas
kita. Kakang seharusnya tidak mengingkari kekuatan alam yang ada di sekitar
kita untuk dimanfaatkan seperlunya. Sedangkan aku tahu, bahwa kekuatan Kakang
jauh berada di atas kekuatan yang Kakang perlihatkan kepadaku. Dan jika itu
melanggar Kuasa-Nya karena Kuasa-Nya tidak terbatas, maka senjata itu akan
direnggutnya dari tanganmu.”
“Memang tidak bijaksana
menusuk jantung sendiri. Tetapi juga tidak bijaksana menusuk jantung orang lain
tanpa sentuhan sebab yang wajar. Dan bahwa Yang Kuasa tidak merampas yang
melanggar Kuasa-Nya, itulah sifatnya yang Maha Agung. Tetapi bahwa di dalam
alam ini ada kekuatan yang menentang Kuasa-Nya kita harus meyakini, mereka yang
sejak semula menyediakan diri dan kekuatannya untuk menentang Kasih dari Yang
Maha Kasih dengan pemanjaan nafsu lahiriah dan kekuasaan yang semu. Disinilah
manusia berdiri.” Ayah Rudita itu berhenti sejenak, lalu, “Berdoalah Nyai.
Barangkali doamu dapat mendekatkan kau kepada kemurnian kurnianya kepadaku. Dan
apakah aku dibenarkan untuk melakukan perbuatan seperti yang kau kehendaki,
karena pada dasarnya itu pun sekedar pemanjaan nafsu lahiriah. Justru karena
Pandan Wangi seorang gadis yang cantik menurut pengamatan Rudita.”
Istrinya tidak segera
menjawab. Tetapi seperti biasanya apabila mereka berselisih pendapat tentang
Rudita, maka perempuan itu pun menundukkan kepalanya sambil menitikkan air matanya.
“Hem,” ayah. Rudita itu
menarik nafas dalam-dalam. Sudah berpuluh kali ia mengalami persoalan yang
serupa. Istrinya menangis karena ia tidak dapat memenuhi permintaan anak
laki-laki satu-satunya yang menjadi sangat manja itu.
Tetapi tidak seperti biasanya,
laki-laki itu berkata, “Nyai. Biasanya aku tidak dapat menolak jika kau sudah
mulai menitikkan air mata. Sebenarnya kali ini pun aku ingin memenuhinya.
Tetapi apa boleh buat. Persoalannya ada di luar kemampuanku. Aku tidak dapat
merobah jalan hidup seseorang jika itu memang harus berlaku.”
“Bukan tidak dapat, tetapi kau
tidak mau melakukannya,” jawab istrinya di sela-sela sedu sedannya.
Sekali lagi ayah Rudita
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak tahu, bagaimana aku harus
mengatakan. Tetapi aku benar-benar tidak mempunyai kemampuan untuk mempengaruhi
jalan hidup seseorang dengan kekuatan batinku.”
Istrinya tidak menyahut lagi.
Tetapi kediamannya terasa bukan kediaman yang ikhlas. Agaknya istrinya kali ini
merasa bahwa suaminya tidak lagi mau menuruti permintaannya dan permintaan
anaknya. Meskipun perasaan itu diredamnya, namun suaminya yang mempunyai
pengamatan tajam sekali atas peristiwa manusiawi dan alami di sekitarnya
merasakan kekecewaan yang dalam itu. Namun demikian ia pun tidak dapat berbuat
apa-apa.
“Nyai,” berkata ayah Rudita
itu kemudian, “aku tahu bahwa kau kecewa, Nyai. Tetapi aku harap bahwa kau
dapat mengerti keadaanku pula.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Aku tidak dapat
menolak, bahwa malam nanti aku akan ikut membicarakan persoalan Pandan Wangi
itu secara resmi dengan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Tetapi istrinya sama sekali
tidak menjawab. Bahkan titik air matanya sajalah yang menjadi semakin deras.
Sambil terisak ia berkata, “Rudita adalah satu-satunya anak kita. Alangkah
malang nasibnya. Dan alangkah kecil arti orang-orang tua yang tidak dapat
memenuhi keinginan anaknya. Kelahiran yang tanpa dimintanya itu adalah
sepenuhnya tanggung jawab kita, sehingga kelanjutan dari kelahirannya itu pun
akan tetap menjadi tanggung jawab kita.”
Suaminya menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Di dalam keadaan yang demikian, istrinya
terlampau sulit untuk dapat mengerti kata-katanya. Tetapi kali ini ia sama
sekali tidak akan berniat untuk mencoba memenuhi permintaan istrinya itu.
Selain ia merasa bahwa ia akan memaksakan dirinya menjelajahi daerah kemampuan
yang tersembunyi baginya, juga karena ia merasa terlampau berat untuk
mengiakannya.
Dengan demikian maka untuk
beberapa lamanya keduanya berdiam diri. Masing-masing dihanyutkan oleh
angan-angan yang berselisih jalan.
Dalam pada itu Rudita sendiri
sedang berjalan-jalan di kebun belakang. Ada sesuatu yang belum pernah hinggap
di perasaannya. Tiba-tiba saja ia merasa tertarik sekali kepada Pandan Wangi.
Gadis itu serasa gadis yang paling cantik yang pernah dilihatnya. Selama ini ia
tidak pernah menghiraukan gadis yang mana pun juga. Namun tiba-tiba ia merasa
tertarik kepada gadis yang masih mempunyai saluran darah dari sumber yang sama.
Langkahnya terhenti ketika
kemudian ia melihat Prastawa sedang sibuk di kandang kudanya. Sejenak ia
memandang dari kejauhan. Tetapi ia tidak mendekatinya. Sambil menundukkan
kepalanya, ia melanjutkan langkahnya menyelusuri pepohonan yang rimbun.
“Besok aku akan berburu,”
berkata Rudita di dalam hati, “tetapi anak yang gemuk itu tentu akan lebih
menarik bagi Pandan Wangi. Apalagi apabila pembicaraan tentang mereka sudah
selesai.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Lalu, “Ayah kali ini tidak mau membantuku.”
Kekecewaan yang sangat telah
mencengkam hati anak muda itu. Namun ia tidak mempunyai jalan untuk
memecahkannya.
Demikianlah ketika waktu yang
dibicarakan tiba, secara resmi Ki Demang Sangkal Putung, diiringi oleh Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar naik ke pendapa diterima oleh Ki Gede Menoreh bersama
ayah Rudita.
Mula-mula mereka
memperkenalkan diri masing-masing sebelum mereka terlibat di dalam pembicaraan
pendahuluan yang riuh di seling dengan gelak tertawa.
“Namanya Waskita,” berkata Ki
Gede Menoreh. Lalu, “Bukan saja karena ia kemudian dapat melihat peristiwa yang
bakal terjadi atas seseorang, tetapi nama itu dimilikinya sejak kecil. Adalah
kebetulan saja, maksudku adalah terpenuhi keinginan orang tuanya dengan
memberinya nama Waskita.”
“Tidak melihat peristiwa yang
bakal terjadi atas seseorang. Tetapi aku sekedar mencoba menguraikan isyarat
yang dapat aku lihat. Hanya yang dapat aku lihat. Dan yang dapat aku lihat
jumlahnya terlampau sedikit dibandingkan dengan kejadian alam yang tidak
terhitung jumlahnya.”
“Yang sedikit itu pun sudah merupakan
kelebihan, karena pada umumnya kami tidak dapat melihatnya sama sekali.”
“Bukan tidak melihat. Tetapi
perhatian kalian tidak tertuju pada penggunaan mata hati untuk melihat
isyarat-isyarat yang ada. Kalian tertarik pada persoalan yang lain yang aku
tidak dapat melakukannya.”
“Tentu tidak. Kau pun memiliki
ilmu yang hampir sempurna di bidang kanuragan. Itulah kelebihanmu.”
Orang yang bernama Waskita itu
tersenyum. Dipandanginya Ki Gede Menoreh sesaat, lalu katanya, “Jangan menyebut
ilmu di dalam olah kanuragan. Aku menjadi malu karenanya. Benar-benar tidak
berarti dibandingkan dengan Ki Gede. Apalagi sebelum Ki Gede kena cidera.”
Ki Gede Menoreh tersenyum.
Katanya kemudian, “Kau memang seorang yang rendah hati.” Lalu katanya kepada Ki
Demang di Sangkal Putung dan kawan-kawannya, “Inilah orang yang sekarang ada di
rumah ini. Sudah lama sekali ia tidak berkunjung kemari. Tiba-tiba saja tanpa
mimpi apa pun, aku mendapat kunjungannya.”
“Tentu Ki Gede tidak
mengetahuinya bahwa akan ada tamu berkunjung kemari,” bertanya Kiai Gringsing.
“Tidak.”
“Dan kunjungan kami?”
“Juga tidak.”
“Tetapi bagi Ki Waskita,
barangkali kunjungan kami tidak mengejutkannya.”
“Ah, tentu mengejutkan. Aku
sama sekali tidak mengetahuinya bahwa sesudah kami akan datang tamu dari
Sangkal Putung. Sudah aku katakan, hanya jika ada isyarat aku mengetahuinya.
Itu pun kadang-kadang harus dengan tekun dan sengaja mencari pada seseorang
atau keadaan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang
luas dan dalam, ia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Waskita. Demikian
juga Ki Sumangkar dan Ki Demang di Sangkal Putung, seperti juga Ki Gede
Menoreh.
Dalam pada itu, pembicaraan
mereka pun segera berkembang dari satu persoalan ke persoalan yang lain,
sehingga akhirnya Ki Demang Sangkal Putung sampai juga pada pokok persoalannya
membicarakan hubungan yang sudah lama terjalin antara Swandaru yang gemuk itu
dengan Pandan Wangi.
Tidak ada kesulitan di dalam
pembicaraan itu. Ki Gede Menoreh yang sebenarnya memang sudah lama menunggu
kedatangan mereka, dengan senang hati menerimanya, meskipun sebagai kelaziman
seorang ayah Ki Gede berkata, “Baiklah Ki Demang, lamaran Ki Demang bagi putra
Ki Demang yang bernama Swandaru itu aku terima. Meskipun demikian, karena bukan
aku orangnya yang akan menjalaninya, maka aku akan menanyakannya kepada anakku.
Karena itu, kami persilahkan Ki Demang tinggal dua tiga hari di sini. Pada
saatnya kami akan memberikan jawaban atas lamaran Ki Demang bagi putra Ki Demang
itu.”
Ki Demang pun mengetahui,
bahwa akan demikian jawaban Ki Gede Menoreh. Itulah sebabnya ia sudah bersedia
jawaban pula. “Baiklah, Ki Gede. Kami akan menunggu sampai pintu yang kami
ketuk itu terbuka.”
Demikianlah pembicaraan itu
tidak mengalami persoalan apa pun. Semuanya berlangsung seperti yang
diharapkan. Meskipun kadang-kadang terasa perasaan Ki Waskita tersentuh. Setiap
kali ia teringat kepada anak laki-lakinya. Namun demikian sama sekali tidak
terlintas di dalam angan-angannya untuk berbuat sesuatu atas pembicaraan itu.
Ia tidak ingin mempergunakan sesuatu yang dimilikinya untuk mempengaruhinya.
“Jika terjadi sesuatu, biarlah
itu terjadi karena seharusnya terjadi. Bukan karena aku dan apalagi karena
usahaku untuk mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang bakal terjadi itu.”
Tetapi kegelisahan di hati Ki
Waskita seakan-akan selalu mengganggunya. Ketika ia mendapat kesempatan, maka
dicobanya untuk menilik di dalam dirinya, apakah ia menemukan sesuatu yang
kurang wajar di dalam persoalan yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba keringat dingin
mengembun di keningnya. Ia melihat sesuatu yang seakan-akan disaput oleh
mendung yang kelabu.
“Tidak, tidak,” desisnya di
dalam hati.
Tetapi itu di luar kuasanya.
Ia hanya melihat. Ia tidak dapat berbuat apa pun atas penglihatannya.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak mengerti, di manakah letak kesalahan dari persoalan yang
dihadapinya karena ia tidak sempat merenunginya ketika pembicaraan itu kemudian
berlangsung dengan riuhnya, diselingi oleh gelak tertawa.
Ki Waskita mencoba juga untuk
tertawa. Namun setiap kali terbayang di rongga mata hatinya, bahwa perkawinan
yang dibicarakan ini bagai bayang-bayang di dalam gelapnya kabut yang buram.
“Kenapa?” timbul pertanyaan
yang membelit hatinya. Tetapi Ki Waskita tidak sempat mencari jawab. Bahkan
menurut tanggapannya di dalam kesempatan yang sempit itu, seakan-akan
perkawinan yang akan terjadi antara Swandaru dan Pandan Wangi, akan diliputi
oleh kegelapan hati, meskipun perkawinan itu sendiri akan berlangsung.
“Mudah-mudahan aku salah,” ia
berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya, “aku tidak mendapat waktu yang
luas untuk meyakini isyarat yang tidak aku kehendaki terselip di dalam hati
ini.”
Namun yang terjadi kemudian
adalah pembicaraan-pembicaraan yang berkepanjangan, yang kadang-kadang sudah
menyimpang dari persoalan yang sebenarnya.
Sesaat kemudian maka Pandan
Wangi pun menghidangkan makanan dan minuman bagi mereka, bahkan makan malam
sama sekali.
“Biarlah anak-anak muda makan
kemudian,” berkata Ki Gede Menoreh. Lalu, “Biarlah nanti Swandaru, Agung Sedayu
dan Rudita berbujana sendiri dengan Prastawa dan Pandan Wangi.” Ki Gede
berhenti sejenak, kemudian, “Di mana mereka sekarang?”
“Mereka ada di gandok. Atau
mungkin di gardu peronda. Agaknya mereka ingin menemui kawan-kawannya ketika
mereka berada di Tanah Perdikan ini.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Bagi Swandaru dan Agung
Sedayu, maka sudah banyak sekali anak-anak muda di Tanah Perdikan ini yang
dikenalnya. Karena itu, maka mereka tentu ingin juga bertemu dan sedikit
membicarakan kenangan masa lampau itu meskipun bagi orang-orang di Tanah
Perdikan Menoreh, masalah-masalah di masa lampau itu sudah tidak ingin
dikenangnya lagi.
Tetapi dalam pada itu,
ternyata hanya Agung Sedayu sendirilah yang pergi ke gardu di regol halaman.
Ketika udara di gandok terasa terlampau panas, maka kedua anak muda itu pun
duduk di serambi. Mereka tidak ikut Ki Demang menghadap Ki Gede Menoreh, karena
persoalan yang akan dibicarakan adalah persoalan Swandaru.
“Kakang Agung Sedayu,” berkata
Swandaru yang gemuk itu, “udara panasnya bukan main. Aku akan ke pakiwan
sebentar.”
“Kenapa?”
“Aku akan membasahi wajahku
sejenak. Mencuci muka, agar badanku terasa agak segar.”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan ia pun kemudian duduk sendiri di serambi.
Tetapi ternyata Swandaru lama
sekali tidak kembali ke serambi gandok. Karena itulah maka Agung Sedayu yang
kesepian itu pun berdiri dan melangkah pergi ke gardu di regol untuk menemui
beberapa orang yang sedang bertugas meronda. Ternyata ada di antara mereka yang
sudah dikenalnya ketika ia berada di Tanah Perdikan itu, sehingga dengan
demikian maka Agung Sedayu pun segera terlibat dalam pembicaraan yang
mengasyikkan.
Dalam pada itu, Swandaru yang
pergi ke pakiwan, dan mencuci mukanya, tidak segera kembali ke serambi gandok
karena kebetulan saja ia berpapasan dengan Prastawa. Sejenak mereka
bercakap-cakap di dalam keremangan malam di serambi belakang. Tetapi sejenak
kemudian, seseorang telah mendekati mereka sambil bertanya, “Apa kerjamu di
situ, Prastawa?”
Prastawa berpaling. Lalu
jawabnya, “Aku kurang mengerti apa yang dikehendaki orang ini.”
“Siapa?” bertanya orang itu.
“Seorang pekatik. Ia bertanya
tentang kudamu yang hitam itu.”
“Kenapa kuda itu?”
Prastawa tidak menjawab.
Tetapi dengan sengaja ia bergeser membayangi Swandaru, sehingga tidak dapat
terlihat dengan jelas.
Swandaru menjadi
berdebar-debar. Apalagi ketika ia melihat orang yang mendekatinya itu.
“Apa katanya?” orang itu masih
bertanya.
“Bertanyalah sendiri
kepadanya.”
Ketika orang itu berdiri di
hadapan Prastawa, maka tiba-tiba Prastawa berkata, “Uruslah kudamu. Aku akan
menyiapkan keperluan tamu-tamu di pendapa itu.”
“Prastawa,” orang itu mencoba
mencegah, tetapi Prastawa sudah meninggalkannya.
“Anak Bengal,” orang itu
mengumpat. Wajahnya menjadi merah ketika ia melihat bahwa yang disebutnya
pekatik itu adalah Swandaru.
Tetapi ia masih berdiri saja
sambil menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang seakan-akan mengikatnya untuk
tetap di situ.
Swandaru pun menjadi bingung,
karena orang itu adalah Pandan Wangi. Sejak Prastawa memanggil gadis itu, maka
hampir saja mulutnya terbuka untuk menyatakan dirinya. Tetapi ternyata
kata-katanya tidak meloncat dari sela-sela bibirnya.
Kini keduanya berdiri
berhadapan di dalam keremangan malam di serambi belakang dalam suasana yang
beku.
Tetapi Swandaru pun akhirnya
dapat menguasai perasaannya dan berkata, “Bukan maksudku memanggilmu. Tetapi
apakah pekerjaanmu sudah selesai? Bukankah kau sedang mempersiapkan hidangan
buat para tamu?”
Dengan keringat yang membasahi
punggungnya, Pandan Wangi menjawab seperti di luar sadarnya, “Aku sudah
selesai. Aku sudah menghidangkan suguhan itu.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun dalam pada itu ada sepercik kegembiraan
bahwa Pandan Wangi tidak perlu lagi meninggalkannya.
Namun suaranya masih terasa
sendat ketika ia bertanya, “Apakah mereka sudah selesai berbincang?”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya, “Rupa-rupanya pembicaraan mereka sudah selesai.”
“Jadi, jadi,” suara Swandaru
bahkan menjadi gemetar, “apakah ayahmu tidak berkeberatan?”
Pandan Wangi nnenundukkan
kepalanya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar ia berkata, “Ayah
menyerahkan persoalannya kepadaku. Aku mendengar ayah berkata, bahwa Ayah akan
bertanya kepadaku lebih dahulu.”
Dada Swandaru menjadi semakin
berdebar-debar. Ketika terlihat olehnya sebuah dingklik bambu di serambi
belakang, maka katanya, “Apakah kita akan duduk saja di dingklik itu?”
Pandan Wangi tidak mengerti,
pesona apakah yang telah menggerakkan kepalanya, sehingga kepalanya itu
terangguk-angguk.
Keduanya pun kemudian duduk di
atas dingklik bambu di serambi belakang di dalam keremangan malam. Ketika amben
bambu itu bergoncang dan keduanya tanpa sengaja bersentuhan, terasa sesuatu
bagaikan mengalir di sepanjang jalur darah kedua anak muda itu dan merayap
sampai ke pusat jantungnya. Namun dengan demikian mulut mereka justru
seakan-akan menjadi terbungkam.
Sejenak mereka saling berdiam diri.
Dalam kesenyapan malam yang menjadi semakin dalam, terdengar jantung mereka
berdegup terlampau keras.
Namun perlahan-lahan keduanya
berhasil menguasai kegelisahannya. Pandan Wangi mengangkat wajahnya ketika ia
mendengar pembantu-pembantunya sibuk mencuci alat-alat dapur di sebelah serambi
itu.
“Aku mempunyai pekerjaan di
dapur,” berkata Pandan Wangi.
Swandaru .menganggukkan
kepalanya sambil menjawab singkat, “Ya.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
beringsut dari tempatnya. Ia masih saja duduk di samping Swandaru. Tatapan
matanya bahkan jauh menembus ke dalam gelapnya malam.
“Pandan Wangi,” sejenak
kemudian terdengar suara Swandaru perlahan-lahan, “tentu Ayah dan Ki Gede
membicarakan persoalan kita sampai sejauh-jauhnya. Meskipun Ki Gede masih akan
bertanya kepadamu, namun sebenarnya mereka telah mengetahui jawabnya, karena
Kiai Gringsing sudah mengatakannya kepada Ayah bahwa pernah dibicarakannya
masalah ini sebagai pendahuluan.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Meskipun demikian Pandan
Wangi, sebaiknya kau mengenal aku lebih jauh lagi. Tentu aku tidak akan dapat
mengatakan tentang diriku sendiri. Selama kami masih akan tinggal di sini
beberapa hari lagi untuk menunggu jawabmu, selama itu kau dapat bertanya kepada
Guru tentang diriku atau kepada Kakang Agung Sedayu. Kau mengenal aku selama
ini sebagai tamu di rumah ini. Karena itu, tentu tingkah lakuku, tutur kataku,
aku jaga sebaik-baiknya. Tetapi tidak demikian halnya jika aku berada di
rumahku sendiri.”
Pandan Wangi berpaling
sejenak. Tetapi hanya sejenak. Kata-kata Swandaru itu mempunyai kesan yang aneh
di dalam hatinya. Justru karena keterbukaannya itulah, maka Pandan Wangi merasa
semakin tertarik kepada anak yang gemuk ini. Hampir di luar sadarnya ia
menjawab, “Betapa pun sifatmu, Kakang, tetapi aku melihat kejujuran di dalam
sikap, kata, dan kalau aku tidak salah tangkap juga angan-anganmu. Itu adalah
bekal yang sangat berharga bagi kita kelak, karena aku tidak ingin ada rahasia
di antara keluarga, apalagi pada suami dan istrinya. Pengalaman yang pahit di
dalam keluargaku sendiri menyatakan, bahwa ketidak-jujuran hanya akan
menimbulkan malapetaka saja.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tiba-tiba menjadi sayu. Karena
itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Karena persoalannya pasti akan menyangkut
kakaknya, Sidanti, yang pernah menggemparkan Tanah Perdikan ini dan bahkan
tanpa dikehendakinya, Sidanti terbunuh oleh adiknya itu sendiri.
“Pandan Wangi,” berkata
Swandaru kemudian, “terima kasih atas pengertianmu. Tetapi keterbukaan hati
kadang-kadang ujudnya adalah sikap yang barangkali tampak kasar dan tidak
sopan. Aku merasakan betapa kadang-kadang orang tuaku, atau guruku, atau orang
lain tidak senang melihat sikapku. Aku memang berusaha untuk sedikit melunakkan
keterbukaan hatiku dengan bentuk yang lebih baik. Tetapi tidak selalu berhasil.
Setiap kali tiba-tiba saja meloncat sikapku yang kadang-kadang menyinggung
perasaan orang lain. Apalagi di hadapan Kakang Agung Sedayu yang mempunyai
sifat-sifat yang kadang-kadang tidak dimengerti oleh orang lain.”
Pandan Wangi sekali lagi
mengangkat wajahnya dan memandang wajah Swandaru yang bulat. Tetapi juga hanya
sesaat.
“Kakang Swandaru,” berkata
Pandan Wangi kemudian, “kekasaran bukan sifat yang kurang baik apabila itu disadari
dan dilandasi dengan niat-niat yang baik. Namun kejujuran itu sendiri mempunyai
nilai yang sangat tinggi bagiku.” Pandan Wangi menundukkan kepalanya semakin
dalam, lalu, “Dan aku bukannya orang yang terbuka, meskipun aku berusaha untuk
berbuat sejujur-jujurnya. Tetapi Kakang, aku adalah seorang gadis yang murung
sejak kanak-kanak.”
“Aku mengerti, Pandan Wangi,”
jawab Swandaru, “kau pernah kehilangan sesuatu yang paling mahal harganya,
yaitu kasih ibumu. Tetapi ayahmu adalah seorang yang sangat baik bagimu
sehingga kau dapat berkembang seperti sekarang ini.”
“Aku hanya ingin kau juga
mengetahui, Kakang. Jika aku setiap kali berwajah murung, sama sekali bukan
selalu karena persoalan yang aku hadapi pada suatu saat. Tetapi itu adalah
sifatku yang mungkin sangat menjemukan bagi orang lain.”
“Aku pernah mendengar guruku
menasehati aku, Pandan Wangi. bahwa di dalam hidup berkeluarga itu,
masing-masing tidak memasang harga diri yang mati. Kadang kita masing-masing
harus berbuat sesuatu yang bertentangan dengan keinginan sendiri. Itulah
agaknya salah satu bentuk pengorbanan yang kecil, dan tentu kau pun pernah
mendengar uraian yang panjang lebar di dalam setiap upacara perkawinan. Jika
kita memperhatikan setiap nasehat meskipun tidak ditujukan kepada kita, tetapi
kepada nganten yang dirayakan saat itu, kita akan dapat mengambil manfaat
sebanyak-banyaknya. Tetapi pokok dari persoalannya adalah bahwa kita
masing-masing harus menerima sisihan kita itu seutuhnya. Bukan hanya yang baik
saja yang ada padanya, tetapi dengan segada kekurangan-kekurangannya.”
“Aku mengerti, Kakang,”
berkata Pandan Wangi. “Dan kita bukan anak-anak yang baru menginjak usia remaja
yang membayangkan malam terang bulan di sepanjang tahun, namun yang dengan
segera menjadi kecewa ketika melihat bulan tidak bulat lagi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya. Kita memang bukan remaja kecil lagi. Mudah-mudahan
aku dapat menyesuaikan diriku dalam kehidupan yang lebih dewasa. Dengan segala
kekurangan dan kelebihan, aku berharap bahwa kita dapat mempertahankan segala
yang baik dan mengurangi sejauh mungkin kekurangan-kekurangan di hati kita
masing-masing.”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Tetapi kata-kata Swandaru itu membuatnya berbangga. Sehari-hari ia
melihat Swandaru itu seakan-akan tidak pernah bersungguh-sungguh dalam setiap
persoalan. Namun ternyata, menghadapi perkawinannya, Swandaru dapat berbicara
seperti seorang kakek di depan sepasang mempelai yang sedang dipersandingkan.
“Mudah-mudahan semuanya itu
bukan sekedar petuah-petuah yang didengarnya di dalam perhelatan-perhelatan
saja,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “tetapi benar-benar tumbuh dari
dasar hatinya.”
Namun dalam pada itu, selagi
keduanya masih sedang mencernakan pembicaraan mereka, maka mereka telah
dikejutkan oleh desir langkah seseorang di kegelapan. Keduanya adalah
orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga pendengaran mereka pun cukup
terlatih. Karena itulah, maka keduanya pun segera memperhatikan suara yang
mereka dengar itu dengan lebih saksama.
Langkah itu terdengar semakin
jelas. Dan tiba-tiba saja dari kegelapan mereka mendengar seseorang berkata,
“Pandan Wangi, apakah pantas hal itu kau lakukan?”
Kedua anak muda yang duduk di
amben bambu itu segera melihat bayangan di dalam kegelapan. Namun mereka pun
segera mengenalnya, bahwa orang itu adalah Rudita.
Perlahan-lahan Rudita
mendekati keduanya sambil berkata, “Pandan Wangi. Aku adalah saudaramu. Aku
berkeberatan melihat caramu bergaul dengan laki-laki. Laki-laki itu kini bukan
sanakmu, bukan kadangmu. Karena itu kau tidak boleh duduk berdua saja di dalam
gelap. Sentuhan kulit kalian, membuat kalian menjadi kotor, dan harus
disucikan.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
merah padam. Hampir saja ia meloncat menerkam Rudita dan meremas mulutnya. Namun
untunglah bahwa ia masih sempat menguasai perasaannya.
Rudita yang sudah berdiri di
hadapan mereka sambil bertolak pinggang berkata, “Pandan Wangi. Kau adalah
contoh dari setiap gadis di Tanah Perdikan ini. Jika anak gadis kepala Tanah
Perdikannya saja berbuat seperti itu, apakah yang akan dilakukan oleh
gadis-gadis yang lain?”
“Rudita,” jawab Pandan Wangi
yang berusaha menahan hati itu, “berbicaralah yang agak baik. Apakah yang salah
padaku sekarang? Apakah salahnya aku duduk di sini bersama Kakang Swandaru?”
“Kau sudah melanggar pantangan
bagi seorang gadis.”
“Rudita,” berkata Pandan Wangi
kemudian, “barangkali aku sudah terlampau sering melanggar pantangan serupa ini
jika hal serupa ini merupakan sebuah pantangan. Aku dibentuk oleh ayah menjadi seorang
gadis yang memang agak lain dari gadis yang lain. Aku oleh ayah diperkenankan
pergi berburu dan bermalam di perburuan. Aku adalah satu-satunya perempuan di
perburuan itu. Tentu di hutan perburuan aku selalu duduk bersama dengan lebih
dari tiga empat orang laki-laki pengiringku.”
“Soalnya berbeda,” sahut
Rudita, “kau benar-benar tidak mempunyai sentuhan apa pun dengan laki-laki itu.
Lahir dan batin. Tetapi dengan Swandaru, kau telah bersentuhan jasmaniah dan
rohaniah. Itu adalah perbuatan terlarang sebelum kalian menjadi pasangan suami
isteri yang sah.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah,
“kau jangan membuat keributan Rudita. Aku berterima kasih jika kau
memperingatkan kesalahanku. Tetapi jangan berbicara terlalu tajam. Kata-kata
bagi seseorang dapat berpengaruh baik tetapi juga dapat berpengaruh buruk bagi
diri sendiri.”
“Apa yang aku katakan?”
bertanya Rudita. “Memang mungkin tidak menyenangkan bagimu. Sudah barang tentu
seseorang tidak akan dengan senang hati melihat cacat di tubuh sendiri. Tetapi
aku merasa wajib. Dan kau harus menjaga bahwa hal yang serupa ini tidak
berkelanjutan.”
Wajah Pandan Wangi terasa
menjadi panas. Namun ia masih tetap bertahan untuk tidak berbuat sesuatu yang
dapat menimbulkan persoalan lebih jauh karena orang tua Rudita itu pun sedang
menjadi tamu ayahnya pula. Namun yang mencemaskannya adalah Swandaru yang masih
berdiam diri. Pandan Wangi sedikit banyak mengenal watak Swandaru. Karena itu,
jika anak muda yang gemuk itu menjadi jengkel, maka ia akan dapat berbuat
sesuatu yang dapat menumbuhkan keributan dan bahkan mungkin akan
berkepanjangan.
Karena itu, maka Pandan Wangi
itu pun berkata, “Rudita. Aku berterima kasih. Sekarang, barangkali ibumu
mencarimu. Aku pun akan segera pergi ke dapur untuk menyiapkan makan kita.”
“Kau harus pergi lebih
dahulu,” berkata Rudita, “jika tidak, maka sepeninggalku kau dapat berbuat apa
saja di dalam gelap.”
“Rudita, apakah kau dengar
suara para pelayan mencuci alat dapur di balik dinding ini? Mereka tentu
mendengar percakapan kita, juga jika aku berbicara dengan Kakang Swandaru. Di
sebelah kiri dari tempat duduk ini adalah sumur dan pakiwan. Setiap saat orang
akan pergi hilir-mudik ke sumur. Karena itu kami tidak melanggar pantangan.
Terutama pantangan ayahku sendiri, karena yang berkuasa di dalam rumah ini
adalah Ayah. Selama aku belum melanggar perintah dan pantangannya, maka aku
merasa bahwa aku masih dapat melakukannya.”
Wajah Rudita menjadi tegang,
dan Pandan Wangi berkata selanjutnya, “Ingat, ayahlah yang paling berkuasa di
sini. Tidak hanya di rumah ini, tetapi di seluruh Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, untuk mengukur apakah aku telah berbuat kesalahan di rumah ini dan
di atas Tanah Perdikan ini, bertanyalah kepada ayahku. Katakan apa yang kau
lihat, dan mintalah pendapatnya.”
Rudita menjadi semakin tegang.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi sejenak, kemudian wajah Swandaru yang hampir
bulat itu.
Bagi Rudita, kata-kata Pandan
Wangi itu seolah-olah merupakan tantangan, bahwa gadis itu tidak akan
mendengarkan semua pendapatnya. Pandan Wangi merasa bahwa apa yang dilakukannya
itu masih belum melanggar pantangan.
Karena itu, maka dirasa
dadanya semakin lama menjadi semakin pepat. Kemanjaannya membuatnya menjadi
sakit hati. Kebiasaannya adalah, bahwa semua keinginan dan kata-katanya terpenuhi
atau setidak-tidaknya orang lain berusaha untuk memenuhinya. Namun kini Pandan
Wangi justru bersandar kepada kekuasaan ayahnya di atas Tanah Perdikan ini.
Sejenak Rudita berdiri
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia pun meninggalkan kedua anak muda itu
tanpa berkata sepatah kata pun.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak ingin menyakiti hati tamunya itu. Tetapi
ia tidak mempunyai cara lain, apalagi Rudita sudah melanggar haknya sebagai
seorang tamu. Seandainya ia tidak senang melihatnya berbicara berdua dengan
Swandaru, sebaiknya ia tidak dengan langsung menegurnya.
Pandan Wangi berpaling ketika
ia mendengar Swandaru berkata, “Maafkan Pandan Wangi, jika kehadiranku di sini
menimbulkan persoalan di antara kalian, di antara sanak dan kadangmu, karena
bukankah Rudita itu masih bersangkut paut keluarga denganmu?”
“Ia tidak berhak
mempersoalkannya, Kakang Swandaru,” jawab Pandan Wangi.
“Mungkin maksudnya baik.
Tetapi sifatnya yang terlalu memandang setiap persoalan berkisar pada dirinya
dan kemanjaannyalah yang membuatnya berbuat sesuatu yang nampaknya kurang
menghiraukan perasaan orang lain.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Mungkin begitu, Kakang. Dan aku pun berterima kasih
karena Kakang menanggapi persoalan ini dengan hati yang lapang. Sebenarnya aku
sudah cemas, jika tiba-tiba saja Kakang Swandaru merasa tersinggung dan
bertindak langsung terhadapnya.”
Swandaru tersenyum. Katanya,
“Aku pun tamu di sini. Karena itu, sejauh mungkin aku harus menyesuaikan diriku
dengan keadaan apa pun di sini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Sudahlah, Kakang Swandaru, aku
akan pergi ke dapur. Jika tamu-tamu di pendapa itu sudah selesai, maka kita
akan makan bersama-sama.”
Swandaru memandang Pandan
Wangi sejenak, namun kemudian ia menganggukkan kepalanya meskipun sebenarnya ia
masih ingin duduk bersamanya agak lebih lama lagi, “Baiklah, Wangi.”
Pandan Wangi pun kemudian
berdiri dan melangkah perlahan-lahan meninggalkan Swandaru yang masih duduk di
atas amben bambu. Baru beberapa langkah Pandan Wangi berhenti sejenak. Ketika
ia berpaling, Swandaru pun sedang memandanginya sehingga tatapan mata keduanya
pun beradu.
Dengan tergesa-gesa Pandan
Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap saja berdiri di tempatnya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
Sejenak kemudian, Pandan Wangi
menyadari keadaannya. Sekali lagi ia memandang Swandaru sambil tersenyum.
Kemudian ia pun meneruskan langkahnya ke pintu dapur.
Swandaru termangu-mangu
sejenak di tempatnya. Bahkan kemudian ia bersandar tiang di belakang amben
bambunya. Dipandanginya kegelapan malam yang semakin pekat menyelubungi Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian di balik kegelapan itu seakan-akan dilihatnya
Rudita sedang berdiri tegang di balik dedaunan mengawasi setiap gerak-geriknya.
Ketika ia mendengar suara
Pandan Wangi yang sedang berbicara dengan pembantunya di dapur, barulah
Swandaru menyadari dirinya. Ia pun kemudian berdiri pula dan berjalan
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu, kembali ke gandok. Tetapi ia tidak
menjumpai Agung Sedayu di gandok itu.
Meskipun demikian, ia tidak
segera mencarinya. Ketika dilihatnya mereka yang sedang berbincang masih berada
di pendapa, bahkan bekas makan malam mereka pun masih belum disingkirkan, maka
Swandaru pun justru masuk ke dalam gandok dan membaringkan dirinya di amben
yang besar sambil menarik nafas dalam-dalam. Dibiarkannya angan-angannya
terbang ke dalam dunia yang asing baginya, namun memberikan harapan yang cerah
bagi hari depannya.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
mulai menyibukkan dirinya di dapur. Beberapa orang pelayannya pun kemudian
pergi ke pendapa untuk menyingkirkan mangkuk dan tempat nasi yang masih ada di
pendapa itu. Sementara ayahnya berpesan, agar bagi anak-anak muda yang ada
disediakan makan di pringgitan saja, karena orang-orang tua itu masih ingin
berbicara panjang, meskipun persoalannya sudah berkisar dari persoalan pokok
yang sebenarnya sudah selesai.
Sambil mengatur makan malam
bagi Swandaru dan anak-anak muda yang lain, perasaan Pandan Wangi pun selalu
disentuh oleh hubungannya dengan anak muda yang gemuk itu. Bahkan ia pun
kemudian bertanya kepada diri sendiri, “Apakah benar aku sudah melanggar
pantangan bagi seorang gadis?”
Tanpa disadarinya dikenangnya
jalan hidup ibunya yang telah diperciki noda yang tidak akan dapat terhapus
sepanjang umurnya. Tanpa dikehendakinya sendiri, ia membayangkan apa saja yang
dilakukan ibunya. Pergaulan yang melanggar batas dan bahkan kehilangan kekang
atas diri sendiri, sehingga lahirlah kakaknya Sidanti, bukan karena ayahnya Ki
Argapati. Kelahiran yang sebenarnya tidak dikehendaki oleh Sidanti sendiri,
sehingga karena itu, maka Sidanti tidak akan dapat dianggap bersalah oleh keadaannya
itu.
Diam-diam Pandan Wangi
mcmperbandingkan hubungannya dengan Swandaru dengan apa yang pernah terjadi
dengan ibunya, sehingga ia berkata di dalam hatinya, “Aku tidak boleh
mengulangi yang pernah terjadi dengan ibuku, agar aku tidak termasuk di dalam
kata orang, bahwa kacang tidak dapat ingkar dari lanjaran. Tetapi aku juga
tidak dapat membelenggu diriku di dalam bilik yang gelap, karena pada dasarnya
Ayah telah memberikan kebebasan kepadaku. Tetapi sudah barang tentu bahwa ia
tidak ingin terluka sampai dua kali oleh tusukan keadaan yang sama. Jika ibu
pernah melukai hatinya, maka aku harus membuktikan, bahwa aku dapat menjaga
diriku sendiri.”
Meskipun demikian, kenangannya
atas peristiwa yang pernah terjadi atas ibunya, telah membuatnya menjadi muram.
Bahkan kadang-kadang ia terpaksa menghapus setitik air yang mengembang di
pelupuknya, meskipun tidak seorang pun yang melihatnya.
Pandan Wangi pun kemudian
semakin menyibukkan diri dengan kerja di dapur menyiapkan makan malam
tamu-tamunya dan dirinya sendiri di pringgitan. Pandan Wangi berusaha melupakan
kepedihan hatinya itu.
Sejenak kemudian, maka
semuanya pun telah bersiap, Prastawa-lah yang kemudian mencari Swandaru di
gandok, dan diketemukannya anak muda yang gemuk itu sedang berbaring.
“He, bukankah kau belum
makan?” ia bertanya.
Swandaru terkejut.
Perlahan-lahan ia bangkit dan dilihatnya Prastawa telah berdiri di pintu.
“Ah, agaknya kau sedang
melamun, sehingga kau tidak mendengar kedatanganku. Di medan kau dapat
mendengar langkah seseorang pada jarak yang jauh. Ternyata di sini kau tidak
mendengar langkahku sampai ke ambang pintu.”
“Aku tertidur,” jawab
Swandaru.
“Hanya nampaknya kau tertidur.
Tetapi angan-anganmu pasti sedang terbang sampai ke bintang.”
Swandaru tersenyum.
Dibenahinya pakaiannya yang menjadi agak kusut.
Prastawa pun kemudian
mempersilahkannya pergi ke pringgitan. Kemudian dipanggilnya pula Agung Sedayu
yang diketemukannya di gardu depan, dan ia masih harus mencari Rudita di gandok
yang lain.
“Makanlah sendiri,” berkata
Rudita.
“Ah,” Prastawa menyahut,
“sebaiknya kau pergi ke pringgitan. Kita makan bersama-sama.”
“Biarlah Pandan Wangi makan
bersama anak yang gemuk itu.”
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam.
“Aku malu mempunyai seorang
saudara perempuan seperti Pandan Wangi. Ia duduk berdua di dalam kegelapan. Itu
melanggar kesusilaan.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya, “Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka hanya duduk di
amben yang kebetulan terlindung dari sinar lampu di serambi belakang.”
“Itulah salah mereka. Tentu
bukan sekedar kebetulan.”
Prastawa termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah, jangan hiraukan mereka. Marilah
kita makan.”
“Aku memang tidak
berkepentingan. Tetapi sebagai seorang yang tahu akan kesopanan dan kesusilaan,
aku tidak dapat melihat hal serupa itu terjadi”
“Biarlah hal itu diselesaikan
oleh orang-orang tua, oleh ayah mereka atau oleh siapa pun juga.”
“O, ternyata kau juga tidak
bertanggung jawab. Ternyata kau bukan seorang pembina kesusilaan yang baik.”
Prastawa menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia menemukan jawab, “Aku mengerti. Memang sebaiknya
mereka tidak melakukannya. Aku akan mencoba mencegahnya, justru karena aku
adalah saudara sepupu Pandan Wangi. Mungkin karena aku tidak melihat sendiri,
aku kurang menaruh perhatian. Namun pada suatu saat jika aku melihatnya, aku
akan menegur mereka.”
Rudita memandang Prastawa
sejenak. Kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Berbuatlah
sesuatu sebagai seorang yang beradab. Yang mengerti baik dan buruk.”
“Aku akan mencobanya,” sahut
Prastawa, lalu, “sekarang, marilah kita makan.”
Rudita termenung sejenak. Lalu
katanya sambil menganggukkan kepalanya, “Baiklah.”
Akhirnya anak-anak muda itu
pun makan bersama di pringgitan. Namun suasananya jadi agak tegang. Rudita
seakan-akan tidak mau berbicara apa pun juga selain sepatah-sepatah saja,
sehingga dengan demikian Pandan Wangi pun menjadi semakin diam pula.
“Besok kita pergi berburu,”
Prastawa-lah yang mencoba membuka pembicaraan agar suasananya tidak menjadi
beku.
“Ya,” Agung Sedayu-lah yang
pertama-tama menyahut, “kita akan pergi berburu besok. Bukankah begitu?”
Dengan sudut matanya Pandan
Wangi memandang wajah Rudita yang tegang. Namun kemudian anak muda itu
menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Baiklah. Kita besok pergi berburu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Hampir saja ia menyebut hutan yang liar itu. Namun untunglah bahwa ia tidak
mengucapkannya.
“Kita pergi bersama beberapa
orang pengiring,” berkata Rudita.
“Bukankah kita sudah berlima?”
bertanya Agung Sedayu.
“Belum cukup,” jawab Rudita.
Sebelum Agung Sedayu menyahut,
Prastawa-lah yang menengahi, “Ya, kita membawa beberapa orang pengawal. Seperti
yang sudah kita bicarakan, di pinggir Kali Praga itu sekarang tidak saja dihuni
oleh binatang-binatang buas, tetapi juga orang-orang bersenjata yang tidak
diketahui kedudukan dan asal usulnya. Namun demikian, senjata-senjata mereka
itu tetap berbahaya.”
“Jika kita tidak berbuat
apa-apa?” bertanya Rudita.
“Mereka pun tidak berbuat
apa-apa,” sahut Prastawa sebelum Agung Sedayu membuat Rudita menjadi ketakutan.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ketika terpandang olehnya wajah Prastawa, maka anak muda itu
mengedipkan matanya.
Isyarat itu dapat dimengerti
oleh Agung Sedayu, sehingga karena itu ia hanya menarik nafas saja panjang.
“Besok kita membawa tiga orang
pengawal pilihan,” berkata Prastawa, lalu, “ditambah dengan dua orang yang akan
melayani kebutuhan kita selama berburu. Makan, minum, dan membawa busur dan
anak panah.”
“Kenapa hanya tiga?” bertanya
Rudita.
“Masih ditambah dua orang
lagi.”
“Tetapi mereka hanya sekedar
pesuruh atau pelayan atau juru masak.”
“Tetapi sekaligus pengawal
yang berpengalaman mempergunakan senjata.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Dengan ragu-ragu ia pun
bertanya, “Bagaimana dengan kau? Apakah kau berani juga pergi berburu hanya
dengan lima orang pengawal?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Kenapa justru Rudita itu bertanya kepadanya. Karena itu, maka ia pun kemudian
menjawab dengan ragu-ragu pula, “Terserahlah kepadamu.”
Rudita mengangkat wajahnya
sambil berkata, “Kau belum mengerti bahaya yang dapat ditimbulkan oleh
hutan-hutan liar. Baru saja aku berburu dengan Pandan Wangi di hutan perburuan.
Di hutan perburuan itu pun kita dapat menemukan bahaya yang tidak
tersangka-sangka. Dan kau dengan tanpa berpikir berkata “Kita sudah berlima.”
Nah. Apakah kau dapat membayangkan bahaya yang dapat kita jumpai di perjalanan?
Jika kau sudah dapat membayangkannya, maka kau tentu akan minta pengawal lebih
dari sepuluh orang.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya dengan suara yang tertahan,
“Terserahlah kepadamu. Jika Prastawa berani bertanggung jawab hanya dengan lima
orang pengawal, aku juga berani, karena aku percaya bahwa ia sudah mengenal
medan dengan sebaik-baiknya.”
Tetapi ternyata bahwa Swandaru
mulai digelitik oleh perasaan sendiri, sehingga ia tidak dapat menahan dirinya
dan berkata, “Untunglah bahwa selama perjalanan kami berlima tidak ditelan oleh
ganasnya Alas Mentaok. Padahal Alas Mentaok jauh lebih ganas dari hutan yang
mana pun juga di sebelah selatan sepanjang tanah ini.”
“Ah,” desis Agung Sedayu.
Namun untunglah bahwa Prastawa
tidak mengetahui maksud Swandaru yang sebenarnya sehingga ia justru menyahut,
“Ya, beruntunglah kalian, bahwa kalian masih tetap hidup. Memang bagi orang
yang tidak mengetahui bahaya yang terdapat di perjalanannya, mereka justru
tidak akan mengenal takut. Meskipun sebenarnya bukan karena keberanian dan
percaya kepada diri sendiri, tetapi justru karena kalian tidak mengerti apakah
yang kalian hadapi.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ketika Agung Sedayu menggamitnya Swandaru tersenyum.
“Demikian juga agaknya sikap
kalian tentang perburuan yang akan kita lakukan. Kalian menganggap bahwa
perburuan itu seperti sebuah tamasya saja.”
Swandaru masih
mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnya ia sudah jemu mendengar sesorah itu.
Meskipun demikian ia masih tetap menghormati anak muda yang manja itu.
Ternyata kemudian Prastawa-lah
yang berhasil menutup persoalan seperti ia membukanya, “Baiklah. Kita sekarang
beristirahat. Kita akan tidur nyenyak malam ini. Besok kita akan berangkat
pagi-pagi benar. Nanti sesudah pembicaraan di pendapa selesai, kita masing-masing
akan minta ijin. Tentu Pandan Wangi akan minta ijin kepada Ki Gede dan minta
beberapa orang untuk mengawalnya.”
Demikianlah pembicaraan itu
seakan-akan telah selesai. Demikian juga acara makan malam pun selesai pula.
Namun di pendapa ternyata masih terdengar gelak tertawa yang berkepanjangan.
Hampir tengah malam, barulah
pembicaraan di pendapa itu diakhiri. Seperti yang sudah direncanakan oleh
anak-anak muda yang berkumpul di pringgitan untuk makan malam, masing-masing
minta ijin kepada orang tuanya untuk pergi berburu besok pagi-pagi benar dan
kembali di hari berikutnya.
“Berhati-hatilah,” berkata Ki
Gede Menoreh, “bawalah obat penawar racun karena di hutan liar itu masih banyak
terdapat binatang berbisa. Tetapi juga bersiaplah menghadapi kemungkinan yang
lain, karena kadang-kadang beberapa orang bersenjata telah menyeberangi Kali
Praga jika mereka berbenturan dengan pasukan pengawal Tanah Mataram yang sedang
tumbuh itu. Mereka adalah orang-orang yang tidak diketahui sikap dan
pendiriannya dengan pasti, sehingga siapa pun dapat dianggapnya sebagai
lawannya.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan
Wangi, “kami akan membawa beberapa orang pengawal dan orang-orang yang akan
membawa perlengkapan berburu kami.”
“Baiklah. Nanti aku akan
mempersiapkannya.”
“Kami akan berangkat besok
pagi-pagi benar.”
“Ya. Aku akan memanggil orang
yang bertugas di gardu malam ini dan menyuruhnya menghubungi orang itu.”
“Terima kasih, Ayah.”
“Tetapi, apakah Rudita akan
ikut serta?”
“Ya, Ayah.”
“Suruhlah ia minta ijin kepada
ayahnya.”
“Kami masing-masing akan minta
ijin lebih dahulu,” sahut Pandan Wangi, “dan karena bersama Rudita itulah, kami
memerlukan beberapa orang pengawal yang sebenarnya tidak kami perlukan.”
“Tentu kalian perlukan. Bukan
sekedar untuk menangkap kijang.”
Pandan Wangi memandang ayahnya
sejenak. Namun kemudian kepalanya pun terangguk-angguk. Ia mengerti maksud
ayahnya, bahwa ayahnya pun menganggap perlu untuk berhati-hati menghadapi
orang-orang yang tidak dikenal itu.
“Sekarang, beristirahatlah,” berkata
Ki Gede, “aku akan memanggil peronda itu untuk menghubungi orang-orang yang
akan aku tunjuk ikut di dalam perburuan itu. Agaknya perburuan memang menjadi
suguhan yang menyenangkan, bagi Agung Sedayu dan Swandaru. Mungkin juga
Rudita.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya, katanya, “Rudita bukan seorang pemburu yang baik.”
“Mungkin,” desis ayahnya,
“namun ayahnya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun
demikian, jika Rudita ikut serta, hati-hatilah. Jagalah anak muda yang manja
itu, agar kulitnya tidak terluka. Jika ia tergores duri betapa pun kecilnya,
ibunya akan menjadi sangat cemas dan ketakutan.”
“Baiklah, Ayah,” Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “sekarang aku akan tidur saja. Besok pagi-pagi
aku akan berangkat.”
Demikianlah maka Pandan Wangi
pun pergi ke dalam biliknya. Namun ia tidak segera dapat tertidur. Sebagai
seorang gadis, maka ia pun berangan-angan tentang hari depannya. Apalagi
setelah ayah Swandaru benar-benar datang ke Tanah Perdikan Menoreh setelah sekian
lama bagaikan hilang tidak ada kabar beritanya.
Untunglah bahwa ayahnya
termasuk seorang yang tabah, yang tidak segera goyah. Meskipun cukup lama
Swandaru tidak ada kabar beritanya, namun ayahnya tetap percaya bahwa pada
suatu saat anak muda itu akan kembali. Orang seperti Kiai Gringsing tentu dapat
dipercaya kata-katanya.
Dan sebenarnyalah bahwa
akhirnya ayah Swandaru itu pun datang untuk melamarnya dengan resmi.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan Swandaru pun telah minta ijin kepada gurunya dan kepada Ki Demang untuk
pergi berburu besok pagi-pagi bersama Pandan Wangi. Seperti yang didengarnya,
maka dikatakannya pula, bahwa daerah di sebelah-menyebelah Kali Praga memang
sering dilalui oleh orang-orang yang tidak dikenal. Karena itulah maka mereka
selain pergi berlima, akan pergi juga beberapa orang pengawal.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hati-hatilah. Jangan menyia-nyiakan
waktu yang sebenarnya sangat berharga bagimu Swandaru.”
“Aku mengerti, Guru.”
“Tetapi ingat, jangan menyeberangi
Kali Praga. Jika kebetulan kau bertemu dengan orang-orang bersenjata dan
ternyata mereka adalah orang-orang Mataram yang belum kau kenal sehingga
terjadi bentrokan senjata, maka kau akan membuat persoalan baru. Menurut
dugaanku, orang-orang Mataram tidak akan menyeberang Kali Praga, sehingga jika
ada sepasukan orang-orang bersenjata di sebelah barat Kali Praga, maka sudah
tentu bukan orang-orang Mataram.”
“Baik, Guru,” jawab Agung
Sedayu, “kami akan selalu menjaga diri. Kami tidak akan menyeberang ke timur
kali ini.”
“Baiklah. Jagalah dirimu
baik-baik,” pesan gurunya.
“Jangan membuat persoalan,
dengan siapa pun juga di atas Tanah Perdikan ini Swandaru,” pesan ayahnya.
“Tentu, Ayah. Aku akan menjaga
diriku baik-baik.”
Demikianlah maka kedua anak-anak
muda itu pun pergi ke pembaringan. Berbeda dengan Pandan Wangi, maka keduanya
tidak sekedar merenung. Swandaru mempunyai kawan berbincang untuk mengisi waktu
sebelum matanya terpejam.
Di bilik yang lain, Rudita
ternyata tidak juga dapat tidur. Bermacam-macam persoalan mengganggu
perasaannya. Betapa pun ia mencoba mengusirnya, namun setiap kali
bayangan-bayangan yang muram pun datang lagi hinggap di hatinya.
“Persetan,” geramnya, lalu,
“aku tidak peduli.” Namun ternyata ia memerlukan waktu yang lama pula untuk
dapat tertidur. Bahkan di dalam tidur pun Rudita masih juga diganggu oleh mimpi
yang menyeramkan, seakan-akan seekor harimau sedang merunduk untuk menerkamnya.
Untunglah ia segera terbangun
sebelum mulutnya berteriak-teriak. Namun rasa-rasanya seluruh bulu-bulunya
tegak berdiri. Ketika terlihat olehnya ayahnya tidur di pembaringan yang besar
itu juga, maka hatinya pun menjadi tentram.
Ketika kemudian ayam jantan
berkokok, maka anak-anak muda di rumah Ki Gede itu pun sudah terbangun. Prastawa
sudah sibuk mengisi jambangan pakiwan. Tanpa dimintanya Agung Sedayu pun ikut
pula membantunya, menimba air untuk mengisi gentong di dapur.
Sejenak kemudian anak-anak
muda itu pun segera bersiap. Rudita pun segera mandi dan mempersiapkan diri.
Demikian juga Agung Sedayu setelah selesai mengambil air.
Sebelum matahari terbit,
semuanya sudah siap di pendapa. Bahkan para pengawal pun telah siap pula.
Semalam-malaman para peronda berkeliling ke rumah mereka memberitahukan bahwa
pagi-pagi benar mereka harus sudah siap di halaman rumah Ki Gede Menoreh untuk
mengawal Panduan Wangi dan tamu-tamunya berburu.
Meskipun hari masih pagi,
namun mereka pun sempat juga makan pagi sekedarnya. Baru kemudian mereka turun
ke halaman menuju ke kuda masing-masing.
Sekali lagi anak-anak muda itu
minta ijin. Rudita mendapat beberapa pesan dari ibunya yang agaknya sangat
berat melepaskannya.
“Biarlah, Nyai,” berkata
ayahnya, “di sini ia mendapat kawan anak-anak muda. Biarlah Rudita menjadi
seorang anak muda.”
Istrinya tidak menyahut.
Dipandanginya saja anaknya yang kemudian meloncat ke punggung kudanya.
“Lihatlah, betapa gagahnya,”
desis ayah Rudita itu. Istrinya hanya menganggukkan kepalanya saja. Tetapi ia
tidak menyahut.
Sejenak kemudian beberapa ekor
kuda itu pun berderap meninggalkan halaman. Debu yang putih mengepul di
keremangan pagi. Di langit cahaya merah mulai memancar membayang di wajah yang
kebiru-biruan.
Orang-orang tua yang melepas
anak-anak muda itu pun kemudian kembali masuk ke tempat mereka masing-masing.
Ki Gede naik ke pendapa sedang Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
kembali ke gandok peristirahatannya, sedang ayah dan ibu Rudita di gandok yang
lain.
Sementara itu pengawal yang
sedang meronda di halaman rumah Ki Argapati, memandang iring-iringan itu dengan
perasaan yang aneh. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru bukan anak-anak Tanah
Perdikan, namun anak-anak Menoreh mempunyai perhatian terhadap mereka. Apalagi
mereka yang pernah bersama-sama berjuang mengatasi perpecahan yang pernah
membakar Tanah Perdikan itu.
Dalam pada itu, iring-iringan
kuda itu pun telah keluar dari padukuhan induk, tepat pada saat matahari
merayap naik ke atas punggung bukit.
Pandan Wangi yang sedang
dibelit oleh perasaan gairah seorang gadis yang menjelang hari-hari perkawinannya,
tampak begitu cerah di dalam cahaya matahari pagi. Pandan Wangi itu pulalah
yang berkuda di paling depan. Dengan dada tengadah ia memegang kendali kudanya
yang tegar, memandang tanah persawahan yang hijau terbentang di hadapannya.
Cahaya matahari yang kekuning-kuningan terpantul di wajah daun yang hijau
menumbuhkan sinar yang menyentuh hati.
Di belakangnya Rudita
memandangnya tanpa berkedip. Rambutnya yang disanggul tinggi-tinggi, lehernya
yang jenjang, kemudian pakaiannya yang tidak lazim dipergunakan oleh seorang
gadis, dengan endong panah di lambung kuda dan busur menyilang punggung,
membuat Pandan Wangi bagaikan seorang tokoh yang hanya terdapat dalam dongeng
dan mimpi.
Di belakang Rudita, Prastawa
berkuda berjajar tiga dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali mereka
mengedarkan pandangan mata mereka menyapu langit yang jernih dan ujung
pegunungan di kejauhan.
Namun sekali-sekali Swandaru
sempat memandang Rudita dan memperhatikan sikapnya. Namun ia selalu mencoba
untuk tidak berprasangka, karena Rudita adalah masih ada hubungan darah dengan
Pandan Wangi.
Perjalanan ke hutan di pinggir
Kali Praga itu merupakan perjalanan yang segar bagi Agung Sedayu dan Swandaru
yang sudah lama tidak menjelajahi Tanah Perdikan ini.
Sawah dan ladang yang luas,
yang kadang-kadang masih diseling dengan hutan-hutan sempit yang sengaja
dibiarkan untuk kepentingan masa depan Tanah Perdikan Menoreh, jalan yang lebar
dan dipagari oleh parit yang mengalirkan air yang jernih, pematang yang panjang
dan lurus, ditumbuhi rerumputan yang hijau di sela-sela batang padi yang tumbuh
dengan suburnya.
Tanpa disadarinya Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Ada, sesuatu yang menyentuh hatinya. Tiba-tiba saja
ia teringat kepada Sangkal Patung yang subur. Betapa suburnya Menoreh, namun
daerah di sebelah barat merupakan daerah pegunungan padas yang keras. Sedangkan
Sangkal Putung adalah daerah perbekalan yang terbesar di bagian selatan, di
sebelah timur Alas Tambak Baya. Bahkan Prambanan tidak sesubur Sangkal Putung.
“Pada suatu saat aku harus
memilih,” tiba-tiba saja Swandaru berangan-angan, “apakah aku harus menangani
Tanah Perdikan Menoreh ini atau aku harus berada di kampung halaman
kelahiranku. Sudah barang tentu aku tidak akan dapat berada di kedua tempat ini
bersama-sama. Jika aku berdiri sebagai menantu Ki Argapati, maka aku adalah
orang yang melakukan tugas Pandan Wangi, sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi dengan demikian aku harus meninggalkan Sangkal Putung. Daerah yang
selama ini merupakan tanah yang memberiku segala macam kebutuhan hidupku, dan
yang selama ini telah dibina oleh ayah serta seluruh rakyatnya yang baik. Yang
sudah dipertahankan dengan segala pengorbanan dari bahaya kehancuran pada saat
Tohpati berada di daerah selatan ini. Jika aku berada di sini, maka tugasku di
Sangkal Putung akan melimpah kepada Sekar Mirah, dan itu berarti akan jatuh di
pundak Kakang Agung Sedayu.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata ia akan menghadapi persoalan, di mana ia harus
menjatuhkan pilihan.
“Tetapi itu masih cukup lama.
Selama Ki Gede Menoreh masih dapat menjalankan tugasnya, maka hal itu belum
akan menjadi persoalan yang penting bagiku. Juga selama Ayah masih tetap berada
di tempatnya, maka semuanya masih akan berjalan seperti biasa. Namun memang akan
datang saatnya aku harus memikirkannya.”
Tanpa disadarinya Swandaru
memandang kepada Agung Sedayu yang berkuda di sebelah Prastawa.
Namun jantung Swandaru
bergetar ketika ia melihat Prastawa yang berkuda sambil memandang lurus ke
depan. Ia adalah kemanakan Ki Gede Menoreh. Jika ia tidak mau menerima jabatan
Ki Gede Menoreh, karena ia memberatkan kampung halamannya, maka itu berarti
bahwa kekuasaan Menoreh akan jatuh ke tangan Ki Argajaya, ayah Prastawa. Dan
itu akan berarti pula bahwa arus kekuasaan itu akan sampai kepada Prastawa.
Tidak kepada orang lain.
Swandaru menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ia ingin mengusir persoalan itu. Persoalan yang belum waktunya
dipikirkannya sekarang. Namun bagaimana pun juga persoalan itu masih saja
membayanginya.
“Aku tidak peduli,” geramnya
di dalam hati. Dan Swandaru itu pun kemudian melemparkan pandangan matanya
jauh-jauh. Dengan sepenuh niat ia ingin melupakan persoalan itu dan memandang
ujung-ujung pepohonan yang hijau berkilat ditempa cahaya matahari pagi.
“Apakah perjalanan ini masih
jauh,” tiba-tiba saja Swandaru bertanya untuk melepaskan kepepatan di dadanya.
Yang mendengar pertanyaan itu
menjadi heran. Swandaru pernah berada di Tanah Perdikan ini, sehingga
seharusnya sudah mengetahui, bahwa perjalanan mereka itu baru saja mulai.
“Pertanyaanmu aneh,” desis
Agung Sedayu.
“O,” Swandaru tidak dapat
menahan tertawanya Tetapi kali ini ia mentertawakan dirinya sendiri. Karena itu
dengan tergesa-gesa ia berkata, “Maksudku, apakah kita akan langsung pergi ke
hutan liar itu, atau kita akan beristirahat dahulu sambil melihat-lihat
hutan-hutan kecil yang bertebaran itu.”
“Hutan-hutan itu sudah
kosong,” Pandan Wangi-lah yang menyahut, “yang ada hanyalah tikus-tikus tanah.
Namun dengan demikian, kadang-kadang dapat menimbulkan bencana bagi tanaman.”
“O,” Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya, “apakah tidak ada usaha untuk mengatasinya?”
“Tentu. Dan usaha itu
nampaknya akan berhasil.”
Rudita yang berkuda di
belakang Pandan Wangi tiba-tiba saja memotong, “Kenapa kita berbicara tentang
tikus tanah? Kenapa kita tidak berbicara tentang harimau loreng atau harimau
kumbang yang licik. Atau tentang ular sebesar paha.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat melepaskan sama sekali
kebiasaannya, sehingga hampir tanpa disadarinya ia bertanya, “Paha siapa?”
Rudita berpaling mendergar
pertanyaan itu. Wajahnya menegang. Ia merasa bahwa Swandaru sedang
mempermainkannya.
Tetapi Swandaru menundukkan
kepalanya, sedang Prastawa mencoba menyembunyikan tertawanya yang
ditahan-tahannya sekuat tenaga. Bahkan Pandan Wangi yang berkuda di paling
depan pun tersenyum. Demikian juga para pengawal yang mendengar pertanyaan itu.
Bahkan salah seorang dari mereka berbisik, “Paha anak-anak. Bahkan bayi.”
Kawannya tidak menjawab.
Mereka mengerti bahwa Rudita sama sekali bukan seorang pemburu yang baik.
Bahkan ia masih harus berteriak-teriak memanggil ketika Pandan Wangi memburu
kijang di hutan perburuan kemarin.
Ketika Swandaru itu kemudian
berpaling memandang Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dan Swandaru pun mendekatinya sambil berbisik, “Aku benar-benar
tidak sengaja, Kakang.”
“Itulah. Kau biasa melepaskan
setiap kata yang kau pikirkan. Anak itu tentu tersinggung.”
“Begitu saja kata-kata itu
terlontar dari bibirku,” Swandaru berhenti sejenak lalu, “sebenarnya aku agak
bosan mendengar kata-katanya.”
“Kau tidak mau melihat alasan,
kenapa ia berkata begitu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah alasannya? Untuk menyombongkan diri?”
“Ya, tetapi bukan semata-mata
karena ia sombong,” jawab Agung Sedayu. “Ternyata ia merasa betapa dirinya
terlampau kecil sehingga ia perlu membusungkan dadanya, agar ia dapat seimbang
dengan kebesaran pribadi Pandan Wangi.”
“Kenapa Pandan Wangi?”
“Bukankah ia merasa bahwa
masih ada hubungan keluarga dengan gadis itu betapa pun jauh jaraknya? Karena
itulah, maka ia harus seimbang dengan pribadi Pandan Wangi. Apalagi ia seorang
laki-laki, sedang Pandan Wangi seorang gadis. Selain dari itu, ayahnya pun
termasuk orang terpandang, sehingga ia perlu menyesuaikan dirinya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Hatinya yang kecil jangan kau
injak sama sekali,” berkata Agung Sedayu pula. “Cobalah kendalikan kebiasaanmu
itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baik. Baik. Aku akan mengendalikan kebiasaanku ini.”
Namun Agung Sedayu pun
kemudian menarik nafas dalam-dalam. Gurunya pun kadang-kadang berbuat sesuatu
yang aneh menurut tanggapan kebanyakan orang, meskipun maksudnya jauh lebih
jelas dan bermanfaat dari sekedar letupan hati Swandaru.
Samar-samar teringat oleh
Agung Sedayu, bagaimana gurunya itu mengenakan topeng dan menegurnya sebagai
seorang pertapa ketika ia terjun ke dalam parit, karena ia dicengkam oleh
ketakutan tiada taranya selagi dikejar oleh Alap-Alap Jalatunda selagi ia
meneruskan tugas kakaknya Untara. Begitu juga permainan gurunya di hutan Tambak
Baya selagi ia bertiga pergi ke Alas Mentaok bersama Swandaru dan Raden
Sutawijaya.
Swandaru memang merupakan
tanah yang subur bagi benih yang ditaburkan oleh gurunya itu, dengan sikap yang
kadang-kadang aneh. Namun keterbukaan sifat Swandaru membuat sikap yang aneh
itu kadang-kadang terlampau langsung dan menyinggung orang lain.
Sejenak kemudian mereka saling
berdiam diri. Pandan Wangi masih tetap berkuda di paling depan. Rudita yang di
belakangnya kadang-kadang masih saja berpaling memandang Swandaru. Tetapi
Swandaru selalu menghindari tatapan mata itu.
“Jangan hiraukan,” tiba-tiba
saja Prastawa berdesis.
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya. Aku justru sedang menghiraukan daerah ini. Aku tidak
tahu, kenapa hutan-hutan kecil itu tidak dibuka sama sekali.”
“Sebuah persediaan di masa
mendatang. Pada saatnya kita akan kekurangan tanah garapan. Padahal sementara
ini kita sudah cukup.”
Swandaru mengerutkan
keningnya, katanya, “Apakah jika kita sudah cukup, kita harus berhenti.”
“Bukan berhenti. Tetapi kami
justru menyediakan tanah itu buat perkembangan di masa datang.”
Ternyata Swandaru, anak
laki-laki seorang Demang yang kelak akan menggantikan kedudukannya itu
mempunyai sikap tersendiri. Karena itu, maka katanya, “Sebenarnya Tanah
Perdikan ini dapat berbuat lain. Hutan itu sebagian dapat dibuka. Hanya
sebagian kecil sajalah yang dapat dibiarkan untuk kepentingan khusus. Meskipun
saat ini lahan pertanian bagi Tanah Perdikan ini sudah cukup, namun alangkah
baiknya jika hutan-hutan itu dapat digarap sebagai tanah pertanian. Jika ada
kelebihan hasil sawah, maka hasil sawah itu dapat dijual atau ditukar dengan
kebutuhan-kebutuhan lain yang akan menjadi kebutuhan Tanah Perdikan ini
meskipun tidak sekarang, tetapi masa depan. Dengan demikian maka Tanah Perdikan
ini sudah mempunyai tabungan yang bermanfaat bagi masa mendatang.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Dan Swandaru berkata seterusnya, “Ada baiknya kita bekerja keras
sekarang. Jika kita sudah mendapat sesuap nasi, bukan berarti kita sudah harus
puas. Tetapi tidak ada salahnya jika masih ada waktu kita mengumpulkan dua suap
nasi. Yang sesuap untuk kepentingan-kepentingan lain bagi kesejahteraan hidup
kita.”
Prastawa masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Bagus sekali. Mungkin kelak
Tanah Perdikan ini akan berbuat demikian. Sisa tenaga yang ada sekarang,
daripada sekedar untuk termenung di pojok padukuhan atau berbincang tentang hal
yang tidak bermanfaat, ada baiknya dipergunakan untuk membuat hutan-hutan yang
berserakan itu menjadi tanah garapan, setelah diperhitungkan, berapa banyaknya
yang harus disisakan, sehingga tanah itu dapat merupakan jaminan bagi masa
datang. Bukan sekedar persediaan.”
“Begitulah. Kecuali jika
tenaga kita sekarang memang sudah tidak mampu lagi, sehingga kita harus
menunggu perkembangan.”
Prastawa hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka
dilihatnya matahari menjadi semakin tinggi. Sedang dalam pada itu Agung Sedayu
sudah berada agak di depan mereka, tepat di belakang Rudita.
Demikianlah perjalanan itu pun
semakin lama menjadi semakin jauh dari induk Tanah Perdikan. Matahari pun
menjadi semakin tinggi memanjat langit, sehingga dedaunan yang hijau bagaikan
menyala di kejauhan memantulkan cahaya matahari, yang mulai terasa panas di
wajah kulit.
Ketika Agung Sedayu melihat
gerumbul-gerumbul perdu yang semakin lebat, maka ia pun memperlambat kudanya
dan kemudian kepada Prastawa itu berkata, “Bukankah kita sudah mendekati
tujuan?”
“Ya. Di seberang hutan perdu
inilah kita mendapatkan sebuah lapangan pasir yang agak luas, sampai ke tepian
Kali Praga.”
“Jika begitu, bukankah hutan
yang tampak itulah yang akan kita tuju?”
“Hutan perburuan.”
“Ya, bukankah kita akan
berburu?”
“Tetapi bukankah kita ingin
berburu di hutan yang masih liar? Tidak di hutan perburuan itu.”
“O, jika demikian, ke mana
kita akan pergi?”
“Kita tidak langsung sampai ke
tepian. Kita berbelok di pinggir hutan perdu itu dan kita akan sampai di hutan
perburuan. Jika kita ingin beristirahat, kita beristirahat sebentar. Tetapi
jika kita ingin langsung berburu di hutan yang liar itu, kita berjalan terus
dan kita akan memasuki daerah yang semakin lama menjadi semakin lebat dengan
jenis-jenis binatang hutan yang ganas.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun rasa-rasanya ia akan mendapatkan
permainan yang mengasyikkan. Sudah lama ia tidak bermain-main dengan alat
bidik. Kini ia membawa busur dan anak panah.
“Bagaimana rencana kita
selanjutnya?” justru Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya. “Apakah kita akan
berhenti atau terus?”
“Terserah kepada kita,” jawab
Prastawa.
“Kalau begitu, bertanyalah
kepada Pandan Wangi.”
Prastawa pun kemudian
mempercepat kudanya dan melampaui Rudita. Ketika ia berada di samping Pandan
Wangi, maka ia pun bertanya, “Bagaimana rencanamu, Pandan Wangi?”
“Rencana yang mana?”
“Apakah kita akan langsung
pergi ke hutan yang buas?”
Sebelum Pandan Wangi menyahut,
Rudita telah menyahut, “Tentu ke hutan perburuan. Kita akan menangkap seekor
kijang. Aku akan menghadiahkannya kepada Pandan Wangi.”
Semua orang berpaling
kepadanya. Pandan Wangi memandanginya dengan heran. Namun Swandaru-lah yang
kemudian bertanya, “Bagaimana jika Pandan Wangi yang mendapat lebih dahulu dari
kita?”
Rudita mengerutkan keningnya.
Lalu jawabnya, “Tentu tidak. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Ia akan menunggu
kita mendapatkan seekor buatnya.”
“Bagaimana jika Agung Sedayu
yang mendapatkannya?” bertanya Prastawa.
“Semua yang kita dapatkan,
akulah yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi. Itu sudah menjadi
keputusanku. Tidak ada orang lain yang berhak atas hasil buruan ini, selain aku
yang akan menyerahkannya kepada Pandan Wangi.”
Swandaru dan Agung Sedayu
berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak menghiraukannya lagi. Sikap itu
bagaikan sikap anak yang sedang dalam pertumbuhannya, yang menganggap dirinya
adalah pusat berkisarnya dunia.
Karena itulah, maka justru
mereka tidak memberi tanggapan apa pun juga. Swandaru yang mempunyai sifat yang
aneh itu pun kemudian berdiam diri.