Buku 077
Ki Waskita menjadi
berdebar-debar. Ia sadar, bahwa beberapa orang pengawal Panembahan Agung itu
tentu bukan orang kebanyakan. Jika mereka bersama-sama menyerangnya, maka ia
akan menjadi agak bingung juga. Namun ia sudah bertekad, bahwa ia harus terlibat
dalam perkelahian yang kisruh sehingga Panembahan Agung akan menjadi ragu-ragu
melepaskan anak panahnya, karena dengan demikian akan dapat mengenai anak
buahnya sendiri. Atau ia justru harus langsung menyerang Panembahan Agung dalam
jarak yang pendek, sehingga Panembahan Agung tidak sempat lagi melepaskan anak
panah itu ke arahnya.
Dan agaknya cara yang kedua
itulah yang condong akan diambil oleh Jaka Raras. Dengan tangkasnya ia meloncat
maju sambil menangkis setiap serangan yang menghujaninya. Semakin lama semakin
dekat. Ternyata bahwa ikat pinggangnya benar-benar memiliki kekuatan yang
mengagumkan, sehingga ia tidak lagi mencemaskannya, bahwa ikat pinggang itu
akan menjadi hancur.
Dalam pada itu, para pengawal
Panembahan Agung pun mulai bergerak. Mereka sudah mendengar perintah yang
diberikan oleh pemimpinnya, sehingga mereka sudah tidak ragu-ragu lagi untuk
bertindak.
Tetapi sebelum mereka sempat
berbuat apa-apa, mereka pun terkejut ketika mereka mendengar seseorang berkata,
“He, Ki Sanak. Jangan ganggu Jaka Raras. Marilah kita membuat arena permainan
sendiri.”
Para pengawal itu pun
berpaling. Dilihatnya seseorang muncul dari balik gerumbul-gerumbul perdu di
belakang mereka.
Sejenak para pengawal itu
termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang berkata, “Biarkan bentuk semu itu.
Lawan Panembahan Agung yang licik itu tentu akan mencoba menahan kita di sini,
agar ia tidak menjadi bingung karena ia harus melawan kita bersama-sama.”
“Lihatlah dengan saksama,”
berkata orang itu, “ini bukan sekedar bentuk semu. Sebenarnyalah kau melihat
seseorang yang berdiri di sini.”
Tetapi para pengawal itu
menjadi ragu-ragu. Sementara Panembahan Agung hampir tidak mendapat kesempatan
untuk membantu mereka, karena Jaka Raras berloncatan semakin mendekatinya.
“Jangan hiraukan,” sekali lagi
seorang pengawal berdesis, “yang pasti, Jaka Raras itu sajalah yang harus kita
binasakan.”
Para pengawal itu pun kemudian
tidak menghiraukan lagi orang yang berdiri di depan gerumbul-gerumbul perdu
itu. Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian siap untuk menerjunkan diri
melawan Jaka Raras yang sedang bertempur melawan Panembahan Agung.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba saja salah seorang pengawal itu pun memekik tertahan. Ternyata
senjata orang yang berdiri di depan gerumbul itu telah menyambar lengannya,
sehingga lengannya itu pun tersobek karenanya.
“He,” salah seorang kawannya
berdesis, “apakah kau benar-benar terluka, atau sekedar penglihatanku.”
Orang yang terluka itu
terdorong beberapa langkah dan bersandar pada sebuah batu padas yang besar
sambil menggeram, “Setan. Ia benar-benar melukai tanganku.”
“Nah, kalian harus percaya
bahwa aku bukannya sekedar bentuk semu. Trisulaku telah berhasil menyobek
lengan itu, dan sebentar lagi, dada kalian pun akan berlubang karenanya.”
Meskipun demikian para
pengawal itu masih termangu-mangu sejenak sehingga mereka tidak segera
melibatkan diri dalam perkelahian.
“He, siapakah orang itu?”
Panembahan Agung yang sempat memperhatikan dengan seksama itu pun bertanya
ketika ia sekilas melihat seseorang yang bersenjata sebuah trisula yang
diikatkan pada ujung rantai, hampir seperti cakram bergerigi Jaka Raras.
“Ki Sumangkar,” Ki Waskita-lah
yang menjawab, “ia akan menghancurkan pengawalmu.”
“Apakah kalian seperguruan di
dalam olah kanuragan setelah kita berpisah dari perguruan kita itu?” bertanya
Panembahan Agung.
“Ya. Kami seperguruan. Guru
kami adalah tuntunan keadilan sehingga kami harus bekerja bersama melawanmu dan
para pengawalmu kali ini.”
Panembahan Agung menjadi
semakin marah sehingga rasa-rasanya dadanya akan meledak karenanya. Sambil
menyerang Jaka Raras dengan anak panahnya ia berteriak, “Bunuhlah orang itu.
Yang berdiri di hadapan kalian itu bukannya bentuk semu.”
Tetapi ketika para pengawal
itu mulai menyadari sepenuhnya akan keadaan mereka, maka seorang lagi di antara
mereka telah berteriak kesakitan. Trisula Ki Sumangkar benar-benar telah
menyambar lambung salah seorang dari mereka.
Yang lain tidak membiarkan Ki
Sumangkar mendahului lagi. Mereka pun segera menyerangnya hampir berbareng
dengan senjata masing-masing.
Tetapi mereka tidak segera
dapat mendekat. Ki Sumangkar memutar rantai yang berujung trisula dan trisula
yang lain di tangan kirinya.
Dengan demikian, maka di
antara mereka, Ki Sumangkar dan para pengawal Panembahan Agung itu pun segera
timbul pertempuran yang sengit. Ki Sumangkar harus melawan beberapa orang
sekaligus yang mengepungnya rapat-rapat. Tetapi mereka tidak dapat dengan mudah
menyerang Ki Sumangkar yang mempunyai senjata yang aneh itu.
Meskipun demikian, karena
jumlah mereka berlipat banyaknya, maka Ki Sumangkar pun akhirnya harus berusaha
melepaskan diri dari kepungan yang rapat itu. Untunglah bahwa di sekitarnya
terdapat pohon-pohon perdu, sehingga Ki Sumangkar dapat memanfaatkannya
sebaik-baiknya.
“Licik,” teriak salah seorang
pengawal Panembahan Agung, “kau tidak bertempur secara jantan.”
“Kenapa?” bertanya Ki
Sumangkar.
“Kau berlari-lari
melingkar-lingkar di seputar gerumbul-gerumbul perdu. Bukan begitu caranya
seorang laki-laki bertempur.”
“Maaf, aku akan bersikap
jantan terhadap orang-orang yang bersikap jantan pula. Jika salah seorang dari
kalian siap untuk berperang tanding, aku akan melayaninya dengan jantan.”
Sejenak para pengawal itu
tidak menjawab. Namun sejenak kemudian salah seorang dari mereka berteriak,
“Aku menantangmu. Marilah kita bertempur dengan jantan.”
“Aku tidak membawa saksi,”
sahut Ki Sumangkar sambil memutar senjatanya.
“Pengecut.”
“Aku mempunyai firasat bahwa
kalian akan menjebak aku. Perang tanding itu sendiri adalah suatu cara yang
licik dan pengecut.”
“Jangan banyak bicara.”
Di luar dugaan mereka, Ki
Sumangkar menjawab, “Baik.”
Dan Ki Sumangkar pun tidak
berbicara lagi. Tetapi ia masih mempergunakan caranya. Sekali-sekali ia
menyusup di balik batang-batang perdu, kemudian berlari-lari dan dengan
tiba-tiba ia menyerang dengan garangnya. Di antara gerumbul-gerumbul yang
rimbun itu, sulitlah untuk dapat mengepungnya dan kemudian menyerang
bersama-sama dari banyak arah.
Selagi Ki Sumangkar bertempur
dengan sengitnya, maka Panembahan Agung pun mengerahkan segenap kemampuannya
untuk membinasakan Jaka Raras.
Tetapi anak panahnya
seakan-akan tidak banyak berarti lagi. Jaka Raras mempunyai perisai yang dapat
memunahkan serangan-serangan anak panah Panembahan Agung. Bahkan semakin lama
Jaka Raras justru menjadi semakin dekat.
“Kau tidak akan dapat lari
lagi, Panembahan. Aku tahu bahwa kau terikat pada tempatmu itu.”
“Persetan.”
Terdengar Jaka Raras tertawa.
Suaranya dalam dan datar. Katanya, “Sekali lagi aku tawarkan kepadamu, hentikan
semua kegiatanmu.”
“Syaratnya?” tiba-tiba
Panembahan Agung bertanya.
“Aku akan memunahkan semua
kesaktian yang ada padamu. Kau akan menjadi seorang panembahan yang baik dan
hidup tenteram di padukuhanmu di mana pun yang kau kehendaki.”
“Gila. Syarat itulah yang
gila. Lebih baik aku membunuhmu.”
Jaka Raras tidak menjawab. Ia
disibukkan oleh anak panah yang bagaikan hujan menyerangnya. Namun ia berhasil
menangkis dan menghindarinya.
Betapa pun banyaknya
persediaan anak panah pada Panembahan Agung, namun semakin lama menjadi semakin
susut juga, sejalan dengan kecemasan yang semakin mengguncangkan dadanya.
Apalagi karena ia sadar, bahwa tidak akan banyak gunanya lagi ia melepaskan
anak panah itu kepada lawannya.
Apabila sekilas ia melihat
kepada pertempuran yang berlangsung antara pengawalnya melawan Sumangkar, maka
ia tidak mendapat gambaran sama sekali, siapakah yang akan dapat menang. Setiap
kali Sumangkar berlari bersembunyi di balik batang-batang perdu yang rimbun.
Kemudian dengan tiba-tiba saja ia menyerang lawan-lawannya yang sedang
mencarinya. Setiap kali justru ialah yang berhasil melukai lawannya, sehingga
kekuatan para pengawal itu pun semakin lama menjadi semakin berkurang.
Sekali lagi, Panembahan Agung
menggeram. Ia tidak dapat mengelakkan kenyataan itu. Yang terjadi bukannya
sekedar bentuk-bentuk semu yang dilontarkan oleh Jaka Raras. Tetapi yang
terjadi adalah sebenarnya terjadi. Pengawalnya tidak segera dapat mengalahkan
lawannya, sehingga karena itu mereka tidak akan segera dapat membantunya.
Karena itu, maka Panembahan
Agung pun tidak lagi ingin berbuat setengah-setengah. Ia sudah melepaskan
ilmunya yang dahsyat dengan membingungkan lawannya. Tetapi ternyata di antara
lawan-lawannya itu terdapat orang yang memiliki kemampuan yang serupa.
Dengan demikian maka
Panembahan Agung pun berusaha untuk sampai kepada puncak ilmunya. Ilmu yang
didapatkannya dari perguruannya. Ia tahu, bahwa lawannya juga pernah menerima
ilmu itu dari gurunya. Tetapi ia mendapatkan lebih banyak sampai saatnya
gurunya tidak lagi mampu menambah ilmu itu, justru karena ia lebih dekat pada
gurunya itu daripada Jaka Raras. Pada saat maut tidak lagi terelakkan, karena
usia yang lanjut, gurunya belum sempat meratakan ilmunya itu kepada Jaka Raras
sampai setingkat dengan dirinya.
“Aku terpaksa membinasakannya
dengan ilmu ini,” katanya di dalam hati, “jika tidak, maka akulah yang akan
dibinasakannya, atau semua ilmuku akan dipunahkannya.”
Dalam pada itu, Ki Sumangkar
pun semakin lama semakin sibuk melayani lawan-lawannya yang marah. Tetapi ia
masih dapat melawan dengan caranya. Dengan trisula di ujung rantainya dan
dengan berlari-lari sambil bersembunyi. Namun yang kemudian menyerang dengan
tiba-tiba.
Agaknya Ki Sumangkar berhasil
mengurangi jumlah lawannya. Tetapi ia masih belum berhasil melepaskan dirinya
sama sekali dari bahaya yang masih selalu mengancamnya dari segala arah.
Apalagi ketika kemudian terasa nafasnya mulai mengganggu.
Tetapi Ki Sumangkar adalah
saudara seperguruan Patih Mantahun dari Jipang yang dikenal seakan-akan
memiliki nyawa rangkap. Karena itu, maka ia masih mampu mengatasi kesulitan
yang ada di sekitarnya.
Namun demikian, jumlah
lawannya yang banyak itu telah menimbulkan kesulitan yang beruntun. Ketika
ujung tombak seorang lawannya berhasil menyentuhnya, maka rasa-rasanya dadanya
mulai diganggu oleh debar yang semakin cepat.
Ternyata ketika ia bersembunyi
di balik sebuah gerumbul yang rimbun, seorang lawannya yang marah tidak
menunggunya atau mengitari gerumbul itu. Untung-untungan ia melontarkan
tombaknya dengan sekuat tenaga. Namun ternyata bahwa ujung tombak itu justru
berhasil mengenai lengan Ki Sumangkar yang sedang bersembunyi di dalamnya,
meskipun luka itu tidak terlampau dalam.
“Setan alas,” Ki Sumangkar
mengumpat. Kemarahannya bagaikan menyala sampai ke ujung ubun-ubun. Namun
demikian ia harus menyadari bahwa kemampuannya pun terbatas. Apalagi menghadapi
lawan yang jumlahnya cukup banyak.
Ternyata kemudian bahwa
lawan-lawannya itu telah berhasil melukainya.
Sekilas teringat olehnya Kiai
Gringsing yang terbaring dengan luka-lukanya pula. Bagi Ki Sumangkar Kiai
Gringsing adalah seorang yang memiliki kelebihan daripadanya betapapun
tipisnya. Meskipun di Jati Anom Kiai Gringsing pernah juga terluka, tetapi
agaknya hal itu terjadi karena kesalahan yang dilakukan oleh Kiai Gringsing
sendiri. Sedang berhadapan dengan Panembahan Alit, ternyata bahwa Kiai
Gringsing tidak akan dapat menghindarkan diri dari luka-lukanya itu, meskipun
ia sama sekali tidak melakukan kesalahan di dalam pertempuran itu.
Dan kini, ia pun sudah mulai
terluka. Seorang demi seorang lawan-lawannya bukannya orang yang harus
disegani. Tetapi mereka berada di dalam satu kelompok yang berusaha
mengepungnya dan menyerangnya dari segala penjuru.
Debar jantung Ki Sumangkar
terasa semakin cepat. Tangannya menggenggam senjata semakin erat. Ketika ia
meraba lukanya dengan ujung jarinya, terasa ujung jari itu menjadi hangat oleh
darah.
Tetapi Ki Sumangkar tidak
segera kehilangan akal. Ia masih tetap menguasai perasaannya. Karena itu ia
tidak menjadi putus asa dan membabi buta. Ia masih sempat memperhitungkan dan
mempertimbangkan setiap langkahnya.
Sementara itu Panembahan Agung
yang sudah sampai pada puncak ilmunya, sudah siap untuk menghancurkan Jaka
Raras. Namun Jaka Raras yang agaknya mengetahui bahwa Panembahan Agung berusaha
untuk melontarkan ilmunya yang dahsyat, ia pun segera meloncat semakin dekat
dan menyerangnya dengan cakramnya yang digantungkannya pada ujung rantainya.
Panembahan Agung mengumpat di
dalam hati. Ia belum sempat melontarkan ilmunya itu ketika Jaka Raras
mengayunkan cakramnya yang bergerigi itu hampir menyambar hidungnya.
Dengan demikian maka
Panembahan Agung terpaksa mempergunakan busurnya untuk menangkis setiap
serangan Jaka Raras, sedang tangannya yang lain menggenggam anak panahnya yang
sekaligus dipergunakannya sebagai senjata yang mematuk-matuk.
Namun Jaka Raras ternyata
sangat lincah. Ia mampu meloncat selincah anak kijang di padang perburuan.
Ditambah lagi dengan ayunan senjatanya yang dahsyat itu.
Sekali-sekali terdengar
Panembahan Agung menggeram ia belum mendapat kesempatan melontarkan ilmunya.
Justru karena Jaka Raras berhasil mendekatinya sampai pada jarak putar
cakramnya.
Namun Panembahan Agung pun
memiliki kecepatan bergerak yarg luar biasa. Ketika terbuka sedikit kesempatan,
maka anak panahnya telah melekat pada busurnya. Dalam jarak yang sangat pendek
Panembahan Agung membidikkan anak panahnya.
Jaka Raras terkejut melihat
kecepatan bergerak tangan Panembahan Agung itu. Namun jaraknya tidak lagi
memungkinkannya untuk menyerang dengan cakramnya.
Karena itu, dadanya menjadi
berdentangan. Jarak itu sangat pendek. Sedangkan Jaka Raras mengetahui dengan
pasti kekuatan busur Panembahan Agung itu.
Tetapi Jaka Raras tidak
membiarkan lehernya terputus oleh anak panah itu. Dengan memusatkan kekuatan
pada tangan kirinya ia berdiri tegak. Justru memusatkan tatapan matanya kepada
ujung anak panah Panembahan Agung itu.
Yang terjadi kemudian hanyalah
beberapa saat yang pendek. Anak panah Panembahan Agung pun telah terlepas dari
busurnya dan meluncur dengan cepatnya. Hampir berbareng, karena jarak yang
sangat pendek, terdengar benturan yang sangat dahsyat. Jaka Raras terlontar
beberapa langkah surut. Dorongan anak panah pada lengannya yang terbalut ikat
pinggang itu benar-benar bagaikan merontokkan tulang-tulangnya.
Untunglah bahwa ia memiliki
kemampuan dan ketahanan tubuh yang luar biasa sehingga ia masih sempat meloncat
berdiri dan mempersiapkan diri dengan serangan berikutnya.
Tetapi Panembahan Agung tidak
ingin menyerangnya lagi dengan anak panah, karena ia kini mendapat kesempatan
untuk melontarkan puncak ilmunya.
Jaka Raras yang juga bernama
Ki Waskita itu terkejut melihat tatapan mata Panembahan Agung. Ia tidak menduga
bahwa Panembahan Agung telah sampai kepada ilmu simpanannya.
Untunglah bahwa Jaka Raras
masih melihat seolah-olah asap yang tipis bergulung lepas dari mata Panembahan
Agung.
Dengan serta-merta Jaka Raras
meloncat dan berguling di atas batu-batu padas.
Pada saat itulah terdengar
ledakan di sebelah Jaka Raras. Ternyata kekuatan aji pamungkas yang terlontar
dari mata Panembahan Agung tidak mengenai sasarannya. Ketika kekuatan itu
menyentuh batu padas, maka padas itu seakan-akan meledak.
“Kau gila Panembahan!” teriak
Jaka Raras.
“Kau harus lumat dibakar oleh
ilmu ini.”
Tetapi Jaka Raras tidak mau
menjadi debu. Ia pun pernah menerima dasar-dasar dari ilmu yang dahsyat itu.
Tetapi sebelum ia menjadi sempurna, bahkan belum sejauh Panembahan Agung yang
dekat dengan gurunya, gurunya itu telah kehilangan kemampuannya, karena
kekuasaan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah direnggut oleh Maha
Kekuasaan yang tidak dapat dilawannya, dan yang sebenarnyalah memang tidak
terbatas.
Namun dalam pada itu,
sepeninggal gurunya ia masih sempat bersunyi diri mematangkan ilmu yang baru
diterima dasar-dasarnya. Tetapi dengan dasar-dasar ilmu yang telah lengkap itu,
ia telah berhasil membentuk dirinya pada saat itu menjadi orang yang luar
biasa. Dengan mesu raga dan olah tapa, maka ternyata bahwa ia berhasil
menguasai dan mengembangkan ilmu itu.
Itulah sebabnya, ketika ia
diserang dengan kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas itu, Jaka Raras
benar-benar telah kehilangan pengekangan diri. Ia pun kemudian meloncat
bangkit, berdiri pada kedua kakinya yang renggang, dan dengan wajah yang
seakan-akan membara memandang mata Panembahan Agung yang mulai melepaskan asap
yang tipis bergulung-gulung melibatnya.
Tetapi pada saat yang
bersamaan, dari mata Jaka Raras pun telah memancar kabut yang tipis pula,
sehingga sejenak kemudian gulungan asap tipis yang seakan-akan saling menyerang
itu pun berbenturan dengan dahsyat sekali.
Tidak seorang pun yang
mendengar sesuatu. Tidak seorang pun yang melihat batu-batu berguguran atau
gumpalan api yang memancar. Namun terasa pada keduanya, maka dada mereka telah
berguncang dengan dahsyatnya.
Benturan ilmu yang telah
dilontarkan oleh dua buah ujung dari garis lurus yang menghubungkan pasangan
mata kedua orang itu bagaikan guruh yang meledak hanya di dada masing-masing.
Demikian dahsyatnya sehingga keduanya telah berguncang.
Sebenarnyalah telah terjadi
pergolakan yang dahsyat di dalam diri masing-masing ketika keduanya kemudian
saling berpandangan. Masing-masing telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada
di dalam dirinya.
Panembahan Agung telah
menerima ilmu itu hampir lengkap dari gurunya, sedang Jaka Raras baru menerima
dasar-dasarnya saja. Tetapi ia telah berhasil mengembangkannya sendiri dan
justru tidak kalah dahsyatnya dengan yang dimiliki Panembahan Agung. Panembahan
Agung menerima dari gurunya seakan-akan telah berada dalam tingkatnya yang
sekarang, sedang Jaka Raras yang harus mencari kesempurnaannya sendiri,
ternyata telah justru mendapatkan lebih banyak dari yang ada pada Panembahan
Agung yang sudah puas dengan apa yang telah dimilikinya itu.
Sejenak mereka masih saling
memandang. Dari segenap lubang kulit mereka, mengembun bintik-bintik keringat
yang semakin lama bukan saja keringat yang bening, tetapi menjadi semburat
merah seakan-akan di dalam butiran-butiran keringat itu mengembun pula warna
darah.
Dengan sekuat tenaga keduanya
mencoba mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam diri mereka. Kedua
macam ilmu yang serupa itu bagaikan saling mendesak dan mendorong.
Namun dengan demikian, maka
tubuh kedua orang itu rasa-rasanya semakin lama menjadi semakin panas.
Desakan-desakan yang tidak kasat mata itu membuat keduanya terbenam dalam
ketegangan yang semakin memuncak.
Keringat yang semburat merah
itu semakin lama justru menjadi semakin jelas berwarna darah. Semakin lama
semakin rata di seluruh tubuh kedua orang yang sedang bertempur dengan ilmu
yang dahsyat itu.
Untuk beberapa saat lamanya
keduanya bagaikan menjadi patung. Nafas mereka semakin lama menjadi semakin
cepat mengalir. Apalagi ketika kemudian dari ubun-ubun mereka seakan-akan telah
mengepul kabut yang berwarna putih, seperti yang telah terlontar dari mata
masing-masing.
Sejenak kemudian keduanya pun
menjadi gemetar. Jantung mereka rasa-rasanya semakin lama semakin lemah, dan
darah mereka pun mengalir semakin lambat. Tetapi dalam pada itu, keringat
mereka telah benar-benar berwarna darah.
Tidak ada kekuatan seseorang
yang dapat mencegah apa yang terjadi kemudian. Kedua sosok tubuh itu
benar-benar telah menjadi gemetar seperti orang kedinginan. Perlahan-lahan
keduanya telah kehilangan kekuatan mereka, sehingga akhirnya keduanya merasa
bahwa pertempuran yang aneh itu memang harus segera berakhir.
Tetapi mereka masih belum tahu
pasti, siapakah yang masih akan dapat menghisap udara pegunungan yang segar
oleh angin lembah yang mengusap punggung-punggung bukit itu.
Jaka Raras pun kemudian tidak
mampu lagi tetap berdiri tegak pada kedua kakinya. Perlahan-lahan ia jatuh
berlutut dan mencoba menahan tubuhnya dengan kedua tangannya. Namun demikian ia
masih tetap memandang sepasang mata Panembahan Agung yang masih juga
memandanginya.
Dalam keadaan yang semakin
lemah keduanya tidak mau melepaskan tatapan mata mereka, karena dari mata
mereka itulah pancaran kekuatan mereka saling berbenturan. Betapa pun lemahnya
keadaan mereka, namun keduanya masih tetap saling memandang dalam puncak ilmu
masing-masing.
Dari tubuh kedua orang itu
telah benar-benar mengalir keringat yang bercampur dengan darah. Wajah mereka
menjadi kehitam-hitaman seakan-akan hangus terbakar oleh ilmu mereka
masing-masing.
Dalam pada itu, Sumangkar pun
masih harus bertempur mati-matian melawan para pengawal Panembahan Agung.
Segores demi segores kulitnya telah disobek oleh senjata lawannya. Semakin lama
semakin banyak. Seperti juga Panembahan Agung dan Jaka Raras, maka Sumangkar
pun telah dibasahi oleh darahnya, meskipun tidak mengembun lewat lubang-lubang
kulitnya, tetapi mengalir lewat luka senjata.
Tetapi senjata Sumangkar yang
dahsyat itu masih juga sempat melukai lawan-lawannya. Seorang demi seorang
telah tersentuh oleh ujung trisula, sehingga bukan saja dirinya sendiri yang
terluka, tetapi beberapa orang lawannya pun telah dilukainya pula.
Namun demikian Sumangkar yang
seorang diri itu semakin lama menjadi semakin lemah. Sedang jumlah lawannya
masih cukup banyak mengepungnya dan mengejarnya kemana ia berlari dan
bersembunyi sebelum ia tiba-tiba meloncat menyerang.
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak akan dapat berbuat lebih banyak lagi. Apalagi ketika ia
sekilas melihat Jaka Raras yang berdiri pada lututnya dan menahan tubuhnya
dengan kedua tangannya.
Tetapi bagi Sumangkar, tugas
seorang di medan perang memang mengarah kepada kemungkinan yang paling pahit
itu. Jika ia tidak berhasil, maka ia akan mati. Dan mati di peperangan adalah
mati yang paling terhormat bagi seorang prajurit.
Meskipun Sumangkar sudah bukan
seorang prajurit, tetapi tugasnya kini adalah tugas seorang prajurit, sehingga
baginya apa pun yang akan terjadi, bukannya harus diratapi dan disesali. Meskipun
demikian Sumangkar masih tetap bertempur sekuat tenaga.
Tetapi kemampuan dan tenaganya
benar-benar tidak dapat dipaksakannya melampaui batas tertentu. Nafasnya yang
semakin lama menjadi semakin dalam. Kekuatannya yang semakin susut, dan darah
yang semakin banyak mengalir.
Namun dalam pada itu, selagi
Sumangkar sudah hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya,
seorang anak muda telah meloncat ke tengah-tengah perkelahian itu dengan
sebatang tombak pendek. Kemudian disusul oleh dua orang yang lain dengan cambuk
di tangannya.
Ketika seorang anak gadis
muncul di antara mereka, maka terdengar anak muda bertombak pendek itu
berdesis, “Tolonglah Paman Sumangkar lebih dahulu.”
Gadis itu adalah Pandan Wangi.
Mereka yang datang ke arena itu adalah anak-anak muda yang merasa cemas karena
Sumangkar yang pergi menyusul Panembahan Agung. Setelah mendapat ijin dari
orang-orang tua, serta menyerahkan pimpinan pasukan Mataram kepada Ki Lurah
Branjangan, maka Sutawijaya bersama dengan kedua murid Kiai Grinsing dan Pandan
Wangi mencoba menyusulnya. Semula mereka hanya akan melihat apakah kira-kira
yang telah terjadi. Namun dari puncak bukit mereka melihat bahwa di lereng
seberang, Sumangkar sedang bertempur melawan beberapa orang yang mengeroyoknya.
Anak-anak muda yang melihat
perkelahian yang tidak seimbang itu tidak dapat membiarkannya terjadi. Karena
itu, maka mereka pun segera berlari turun dan berusaha membantu Sumangkar yang
menjadi semakin lemah.
Pandan Wangi segera mendekati
Sumangkar. Masih ada satu dua orang yang mencoba menyelesaikan hidup Sumangkar
yang sudah hampir tidak dapat melawan sama sekali, sedang yang lain menghambur
melawan anak-anak muda yang berdatangan itu.
Namun Pandan Wangi ternyata
cukup cepat. Dengan sepasang pedangnya ia menyerang orang-orang yang masih
berusaha menghabisi nyawa Sumangkar.
Sumangkar melihat kehadiran
anak-anak muda itu. Terasa dadanya berdesir oleh haru yang mendalam. Apalagi
ketika dilihatnya dengan lincah Pandan Wangi berhasil menghalau dua orang yang
masih tetap berusaha menyerangnya.
Sesaat Sumangkar masih tetap
berdiri di tempatnya. Namun kemudian terasa tubuhnya menjadi semakin lemah.
Karena itu, maka ia pun melangkah tertatih-tatih menepi dan duduk bersandar
pada sebatang pohon sambil menyaksikan pertempuran yang seakan-akan menyala
semakin dahsyat antara anak-anak muda itu melawan para pengawal Panembahan
Agung.
Sutawijaya, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Pandan Wangi bertempur dengan gigihnya. Senjata mereka yang
terayun-ayun itu pun berhasil memecah kesatuan pengawal Panembahan Agung yang
menjadi kisruh.
Sementara itu Sumangkar
melihat dalam sekilas, bahwa anak-anak muda itu akan segera berhasil menguasai
keadaan. Jumlah mereka cukup banyak untuk melawan para pengawal yang jumlahnya
sudah menjadi semakin susut.
Demikianlah, maka seorang demi
seorang para pengawal itu pun terluka oleh ujung pedang, tombak, dan cambuk.
Betapa pun mereka berusaha, namun mereka tidak dapat melawan anak-anak muda
yang darahnya seolah-olah mendidih menyaksikan perkelahian yang tidak seimbang,
sehingga hampir saja membunuh Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam, ketika ia melihat beberapa orang pengawal itu mencoba melarikan
diri. Tetapi mereka justru tergelincir dan terperosok ke dalam tebing padas
yang dalam, sehigga yang terdengar hanyalah teriakan ngeri yang menyayat.
Akhirnya, para pengawal
Panembahan Agung itu pun tidak lagi dapat berbuat apa pun juga. Tiga orang yang
tersisa, kemudian melemparkan senjatanya dan menyerah.
“Kalian benar-benar menyerah?”
bertanya Sutawijaya.
“Ya. Kami benar-benar
menyerah. Tetapi jangan bunuh kami.”
Sutawijaya memandang mereka
sejenak, lalu, “Kalian harus diikat, sementara kami akan melihat pertempuran
antara Panembahan Agung dan Ki Waskita itu.”
Ketiga orang pengawal yang
menyerah itu tidak mengelak ketika tangan mereka kemudian diikat pada sebatang
pohon dengan kain panjang mereka sendiri.
Dalam pada itu, maka anak-anak
muda itu pun mendekati Ki Sumangkar dan bertanya, “Apakah Ki Sumangkar tidak
terlampau parah?”
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku telah mencoba mengurangi arus darah dari
luka-lukaku dengan serbuk-serbuk ini yang aku dapatkan dari Kiai Gringsing.”
Sutawijaya melihat sebuah
bumbung kecil di tangan Ki Sumangkar yang berisi serbuk seperti yang
dikatakannya.
“Aku akan melihat pertempuran
itu.”
“Hati-hatilah. Mereka tidak
saja mempergunakan ilmu kanuragan. Jangan memasuki daerah kemampuan kekuatan
aji mereka yang belum kita ketahui dengan pasti.”
Sutawijaya menganggukkan kepalanya.
Ia tidak dapat membiarkan pula sesuatu terjadi atas Ki Waskita yang nampaknya
telah menjadi sangat lemah dan berlutut di hadapan Panembahan Agung.
Dengan tergesa-gesa anak-anak
muda itu berlari-lari mendekat arena itu. Tetapi langkah mereka tertegun
beberapa langkah, ketika rasa-rasanya mereka telah menyentuh arena yang tidak
dapat mereka masuki. Rasa-rasanya udara menjadi sangat panas dan mencengkam.
Yang dapat mereka lakukan
adalah sekedar menyaksikan apa yang kemudian terjadi. Dengan hati yang berdebar-debar
anak-anak muda itu menyaksikan Ki Waskita yang meskipun sudah berdiri di atas
lututnya, namun ia masih tetap memandang mata Panembahan Agung. Sebaliknya
Panembahan Agung pun masih tetap pula menatap sepasang mata Ki Waskita.
Namun dalam pada itu,
anak-anak muda itu pun menjadi heran. Mereka hampir tidak percaya pada
penglihatannya, bahwa Panembahan Agung di dalam keadaannya itu duduk bersila di
atas sebuah amben kecil dengan sepasang kayu usungan. Tandu.
Serentak tumbuh dihati
anak-anak muda itu dugaan, “Apakah Panembahan Agung telah diusung dengan tandu
itu?”
Tetapi mereka tidak segera
dapat kepastian. Yang dilihatnya adalah Panembahan Agung yang sedang bertempur
itu duduk dengan lemahnya di atas sebuah amben kecil yang terikat dengan beberapa
helai tali-temali pada usungan yang terletak di sebelah menyebelah amben kecil
itu.
Untuk beberapa saat keduanya
tetap dalam keadaannya. Mereka seakan-akan telah terpisah dengan dunia
sekitarnya. Keduanya seakan-akan tidak melihat anak-anak muda yang ada di
sekitar arena itu.
Dengan demikian keduanya masih
tetap saling memandang. Agaknya ilmu mereka yang berdasarkan pada sumber yang
sama itu sudah berada pada batas kemampuan mereka. Yang mereka lakukan kemudian
adalah sekedar bertahan agar diri masing-masing tidak lumat dilanda oleh ilmu
lawannya.
Tetapi keadaan itu pun sampai
pula pada saatnya berakhir. Baik Panembahan Agung mau pun Jaka Raras
benar-benar telah sampai pada batas kemampuan mereka. Namun batas itu ternyata
berselisih beberapa kejap.
Pada saat terakhir, Panembahan
Agung yang duduk bersila di atas ambennya itu masih sempat menghempaskan
sisa-sisa kekuatannya pada saat yang pendek, sehingga hampir saja Jaka Raras
kehilangan kemampuan untuk bertahan. Namun sekejap kemudian, ternyata Panembahan
Agung benar-benar telah kehilangan segenap kekuatannya. Betapa pun ia mencoba
bertahan namun perlahan-lahan kepalanya mulai menunduk dengan lemahnya.
Yang dapat dilakukan olehnya
hanyalah mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi kepalanya itu tetap bergerak
perlahan-lahan.
Maka sampailah batas yang
mengerikan itu. Ketika Panembahan Agung telah kehilangan segenap kekuatannya,
ia pun tidak dapat lagi bertahan memandang sepasang mata Jaka Raras, sehingga
dengan demikian, maka ilmunya pun perlahan-lahan menjadi padam sejalan dengan
gerak kepalanya yang lemah itu.
Karena itulah, maka kekuatan
ilmu Jaka Raras bagaikan mendapat kesempatan. Seakan-akan Panembahan Agung
telah membuka pintu bagi serangan yang melontar dari kekeuatan ilmu Jaka Raras
yang tidak kasat mata itu.
Demikianlah, maka sesaat
Panembahan Agung terlepas dari kemampuan tatapan matanya, maka serasa api
neraka telah melanda tubuhnya. Sejenak ia menggeliat. Namun ia pun kemudian
terkapar tidak berdaya. Meskipun kakinya masih tetap bersila, namun tubuhnya
terkulai di atas ambennya dan kepalanya seolah-olah bergantungan tanpa kekuatan
sama sekali.
Panembahan Agung agaknya telah
terbakar oleh ilmu yang dahsyat yang dilontarkan oleh Jaka Raras.
Namun dalam pada itu, dalam
saat yang bersamaan, Jaka Raras pun seakan-akan telah kehilangan segenap
kekuatannya pula. Sejenak ia bertahan pada lututnya, namun kemudian ia pun
segera duduk bersila pula sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Kepalanya
tertunduk dalam-dalam dan matanya telah terpejam.
Anak-anak muda itu berdiri
termangu-mangu. Untuk beberapa lamanya mereka tidak tahu apa yang harus
dilakukannya selain setiap kali memandang Jaka Raras yang duduk dengan kepala
tunduk dan mata terpejam itu berganti-ganti dengan Panembahan Agung yang sudah terkulai
dengan lemahnya.
Dalam ketegangan itu, mereka
dikejutkan oleh suara di belakang mereka, “Pertempuran sudah selesai.”
Serentak anak-anak muda itu
berpaling. Dilihatnya Sumangkar yang lemah berdiri di belakang mereka. Kedua
tangannya memegangi luka-lukanya yang dirasanya paling pedih.
“Bagaimana dengan Ki Waskita?”
bertanya Agung Sedayu.
“Ia sedang memusatkan segenap
kekuatan untuk memulihkan tenaganya. Kekuatan yang tidak tampak di mata kita,
tetapi ada di dalam dirinya.”
Anak-anak muda itu termangu-mangu
sejenak. Tanpa sesadarnya Pandan Wangi memandang Panembahan Agung yang terkulai
diam itu sambil berdesis, “Dan Panembahan Agung itu?”
“Ia kehabisan tenaga sama
sekali, sehingga di saat terakhir kekuatan aji pamungkas Ki Waskta berhasil
menghantamnya. Tetapi ternyata kekuatan itu pun tidak ada lagi sepersepuluh
dari kemampuan yang sebenarnya sehingga Panembahan Agung tidak hancur menjadi
debu karenanya.”
Anak-anak muda itu
mengangguk-angguk. Dengan ragu-ragu Sutawijaya pun kemudian bertanya, “Apakah
kami dapat mendekati keduanya, Kiai?”
“Kita harus menunggu sampai Ki
Waskita selesai dengan semadinya. Mudah-mudahan ia akan segera dapat pulih
kembali.”
Anak-anak muda itu tidak
menyahut. Mereka masih saja berdiri termangu-mangu memandang kedua orang yang
sudah tidak berdaya itu berganti-ganti. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya,
“Paman Sumangkar, apakah Panembahan Agung itu mati.”
“Aku pun tidak tahu. Apakah ia
mati atau sekedar pingsan karena kekuatan aji Ki Waskita yang sudah sangat
lemah itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia pun kemudian bertanya pula, “Paman. Apakah sebenarnya
amben kecil itu? Apakah benar amben itu sebuah tandu?”
“Ya,” jawab Sumangkar.
“Kenapa Panembahan Agung harus
ditandu? Apakah ia tidak mau berjalan sendiri atau …”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Dugaanmu benar. Dari Ki Waskita aku mendengar bahwa
Panembahan Agung memang cacat kaki. Lebih parah dari Ki Argapati. Tetapi bahwa
ia harus berada di atas tandu itu pun baru aku ketahui ketika aku mengikuti
perkelahian ini dan melibatkan diri ke dalamnya. Menilik keadaannya, maka
Panembahan Agung telah mengalami cacat kaki yang sangat parah.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan sejenak. Meskipun tidak mereka ucapkan, namun seakan-akan mereka
berkata di dalam hatinya bersama-sama, “Ia telah mengimbangi cacat tubuhnya
dengan ilmu yang luar biasa dahsyatnya.”
Dalam pada itu, Ki Waskita
masih saja tekun dalam semadinya dalam usahanya untuk memulihkan segenap
kekuatan tenaganya. Karena itu, ia sama sekali tidak menghiraukan apa pun yang
terjadi di sekitarnya. Bahkan seandainya ada seekor harimau yang hendak
menerkamnya pun ia tidak dapat melawannya sama sekali.
Karena itu, maka agar mereka
tidak melakukan kesalahan, maka Sumangkar yang lemah itu pun berkata, “Baiklah,
kita menunggunya sampai selesai. Lebh baik kita duduk sejenak di sini. Aku
masih harus banyak beristirahat karena rasa-rasanya tubuhku terlampau lemah
meskipun kini darah sudah tidak banyak mengalir lagi dari luka-lukaku. Sedangkan
orang-orang yang terikat itu pun tidak akan dapat melepaskan diri mereka
sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah, Kiai. Kita sudah
tidak tergesa-gesa lagi. Semuanya seakan-akan sudah selesai. Rudita sudah
diketemukan dan sarang Panembahan Agung ini sudah kita kuasai pula seluruhnya.”
Dengan demikian, maka anak
anak muda itu pun kemudian duduk di atas rerumputan menunggui Ki Waskita yang
sedang semadi. Namun demikian, mereka masih saja selalu diganggu oleh kegelisahan.
Mereka tidak dapat melepaskan diri dari perasaan, bahwa mereka masih tetap
berada di medan peperangan.
Dada anak-anak muda itu
bergetar ketika mereka melihat justru Panembahan Agung yang terkulai itulah
yang mula-mula bergerak. Ternyata Panembahan Agung itu tidak mati. Bahkan
perlahan-lahan ia berusaha mengangkat kepalanya dan bangkit duduk meskipun
nampaknya masih terlampau lemah. Sejenak kepalanya tertunduk kembali karena
kekuatannya sama sekali masih belum mampu menahan kepalanya yang tegak.
Sumangkar pun menjadi
berdebar-debar. Ia mengenal Panembahan Agung sebagai seseorang yang memiliki
ilmu yang luar biasa. Ia pun mengetahui bahwa busurnya yang besar itu dapat
melontarkan anak panah raksasa yang dapat meledakkan kepala seseorang.
“Kiai,” berkata Sutawijaya,
“Panembahan Agung itu seolah-olah bagaikan mayat yang bangkit lagi dari
kuburnya. Mengerikan sekali. Ia akan dapat membakar kita dengan ilmunya.”
“Ya,” sahut Sumangkar.
“Kita mendahuluinya,” geram
Swandaru, “kita membunuhnya selagi ia masih belum mampu berbuat apa-apa.”
Sumangkar berpikir sejenak.
Agaknya pendapat Swandaru itu dapat dimengertinya. Lebih baik mendahuluinya
daripada mereka harus dibakar hidup-hidup oleh ilmunya yang sangat dahsyat itu.
Namun demikian mereka masih
tetap ragu-ragu. Sekilas mereka berpaling. Dilihatnya Ki Waskita masih duduk
dalam semadinya.
Dalam pada itu, perlahan-lahan
Panembahan Agung mendapatkan sebagian kecil kekuatannya kembali sehingga
meskipun masih bersandar pada kedua telapak tangannya yang bertelekan di sisi
tubuhnya, ia sudah berhasil mengangkat kepalanya.
Dalam pada itu, mereka yang
ditinggalkan oleh anak-anak muda itu menyusul Ki Sumangkar menjadi cemas juga.
Namun mereka percaya bahwa anak-anak muda yang sudah cukup matang menghadapi
berbagai jenis medan itu akan dapat menolong diri mereka sendiri apabila
terjadi sesuatu.
Sementara itu, pasukan
pengawal Menoreh dan pasukan pangawal dari Mataram telah benar-benar menguasai
seluruh padepokan yang oleh Panembahan Agung disebutnya Padepokan Medang.
Sebagian dari para pengawal
padepokan itu dapat dikuasai hidup-hidup. Namun korban pun berserakan hampir
tidak terhitung jumlahnya dari kedua belah pihak. Namun karena pasukan Mataram
dan Menoreh telah mempersiapkan diri menghadapi medan yang membingungkan,
justru korban di antara mereka tidak jatuh sebanyak korban dari padepokan itu
sendiri. Para pengawal Panembahan Agung ternyata telah terguncang oleh
kenyataan yang tidak mereka duga-duga. Mereka menyangka bahwa hanya Panembahan
Agung sajalah yang dapat menciptakan kebohongan-kebohongan yang membingungkan.
Namun ternyata bahwa lawan mereka pun mampu melakukannya, sehingga karena
mereka belum bersiap sama sekali menghadapi hal itu, justru merekalah yang
menjadi sangat bingung sehingga korban berjatuhan tanpa hitungan.
Apalagi para pemimpin
padepokan itu. Tidak seorang pun yang berusaha untuk tetap hidup. Sepeninggal
Putut Nantang Pati dan Daksina, apalagi kemudian Panembahan Alit, maka mereka
pun bagaikan saling mendahului membunuh diri di peperangan.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
yang lemah sudah dibawa ke padepokan. Dibaringkannya tubuhnya di pembaringan
yang terletak di sebuah gubug kecil dekat regol terdepan padepokan Panembahan
Alit.
Namun Kiai Gringsing sudah
dapat memberikan petunjuk kepada Ki Demang Sangkal Putung, bagaimana merawat
luka-lukanya sendiri. Sementara itu Ki Argapati dan Prastawa sibuk mengatur
para pengawal yang memasuki padepokan itu. Menempatkan mereka di tempat-tempat
yang pantas mendapat pengawasan dan menjaga para tawanan yang menyerah.
Sementara itu beberapa orang
pemimpin pengawal dari Mataram telah mengatur beberapa orang pengawal dan para
tawanan untuk membersihkan medan. Menyingkirkan mayat yang berserakan dan
mengurus penguburannya.
Di dalam kesibukan itu, Ki
Lurah Branjangan segera dapat mengenali beberapa orang yang sebenarnya
prajurit-prajurit Pajang. Baik yang menjadi korban di dalam peperangan itu,
maupun yang masih hidup dan menjadi tawanan.
Tetapi mereka adalah
prajurit-prajurit. Mereka tidak akan dapat memberikan banyak keterangan selain
menyebut nama Daksina sebagai senapati mereka yang telah membawa mereka ke
padepokan terpencil itu.
Namun dengan demikian semakin
nyata bagi Ki Lurah Branjangan, bahwa sebenarnyalah Pajang telah terpecah.
Seperti dirinya sendiri yang pernah menjadi seorang senapati di Pajang, kini
telah berada di antara para pengawal di tanah Mataram yang sedang berkembang
itu. Dengan demikian maka ternyata bahwa kekuatan Pajang telah terpecah dalam
bagian-bagian kecil yang saling bertentangan dan bahkan saling bertempur. Jika
di peperangan ini ia bertemu dengan Daksina, itu berarti bahwa dua orang
Senapati Pajang telah berhadapan di bawah panji-panji yang berbeda warna. Namun
dengan demikian, warna-warna itu seakan-akan telah melambangkan keringkihan
Pajang yang semakin lama menjadi semakin parah.
Sementara itu, selagi
orang-orang di padepokan itu sibuk dengan menyingkirkan mayat-mayat yang akan
dikubur di tempat yang masih harus dicari, maka Ki Pemanahan yang berada di
Mataram dengan gelisah menunggu kedatangan Sutawijaya. Namun sebagai seorang
prajurit ia menyadari, bahwa tugas Sutawijaya tidak akan dapat diselesaikan
dalam waktu satu dua hari saja. Mungkin Sutawijaya berhasil menduduki sarang
orang-orang bersenjata itu, tetapi tentu diperlukan waktu untuk menguasainya
sama sekali.
Namun dalam pada itu, yang
seakan-akan membuat Ki Gede Pemanahan tidak sabar lagi menunggunya adalah
berita yang sudah sampai di telinganya, yang bersumber dari seorang prajurit
Pajang, bahwa Sutawijaya telah melakukan tindakan yang tercela. Ia telah
melakukan kesalahan yang besar sekali terhadap Sultan Pajang, yang telah
mengangkat menjadi anaknya dan mengasihinya seperti anaknya sendiri.
“Jika berita ini benar,
celakalah Sutawijaya. Sultan Pajang mempunyai alasan yang kuat untuk menghukum
Sutawijaya. Jika beberapa daerah sebelumnya menyetujui sikapnya, meskipun hanya
di dalam hati, tentu akan melepaskan dukungannya terhadap Mataram. Beberapa
orang bupati yang menjunjung tinggi nilai kesopanan, akan mengutuknya dan meninggalkannya
dalam kesulitan. Bahkan mereka tentu akan mendukung tindakan Sultan Pajang
seandainya mereka akan menangkap Sutawijaya,” keluh Ki Gede Pemanahan di dalam
hati.
Sekali-sekali Ki Gede
Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ia tidak segera mengambil
tindakan berhubung dengan berita yang sampai kepadanya, namun ia merasa
seakan-akan tersiksa karenanya.
Karena itu, ketika ia tidak
dapat menahan hati lagi, masa diperintahkannya beberapa orang penghubung untuk
menyusul Sutawijaya ke Menoreh.
“Katakan kepadanya, jika
persoalan yang dihadapinya sudah selesai, ia harus segera kembali ke Mataram.
Ada sesuatu yang sangat penting untuk dibicarakan,” berkata Ki Gede kepada
utusan itu.
Utusan itu menjadi
termangu-mangu. Kepergian Sutawijaya ke Menoreh dengan membawa pasukan berkuda
adalah untuk melakukan tugas yang cukup berat. Namun tiba-tiba Ki Gede
Pemanahan seolah-olah tidak sabar menunggunya dan memerintahkan putranya segera
kembali ke Mataram.
Karena itu maka utusan itu pun
memberanikan diri untuk bertanya, “Ki Gede. Kami kurang mengerti Bukankah
kepergian Raden Sutawijaya itu untuk menunaikan tugas pengamanan daerah
Mataram?”
“Ya. Tetapi yang harus kau
sampaikan itu ada juga sangkut pautnya dengan pengamanan daerah yang sedang
kita buka ini. Justru tidak kalah pentingnya dengan persoalan yang kini sedang
dihadapi oleh Sutawijaya di Menoreh.”
“Apakah aku dapat menyampaikan
persoalan itu kepada Raden Sutawijaya.”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kau tidak usah menyebut persoalan itu. Mungkin Sutawijaya
sendiri tidak segera mengetahui apakah yang akan dijumpainya di dalam persoalan
yang aku pesankan kepadamu. Itu tidak penting. Yang penting biarlah Sutawijaya
segera kembali.”
“Tetapi bagaimanakah jika
tugas itu belum selesai.”
Ki Gede Pemanahan
termangu-mangu sejenak.
“Panggilan ini tentu akan
menggelisahkannya, Ki Gede. Jika Raden Sutawijaya sedang berada di medan, sudah
tentu bahwa aku tidak akan dapat menyampaikan kepadanya.”
“Kenapa?” bertanya Ki Gede.
“Aku mengetahui benar tabiat
Raden Sutawijaya. Jika ia dikecewakan oleh sesuatu persoalan, selagi
persoalannya yang dahulu belum selesai, ia akan menjadi marah, dan berbuat atas
landasan perasaannya.”
“Kau benar.”
“Jadi?”
“BaiKiah. Jika ia masih berada
di medan, kau dapat menunggunya sampai selesai. Mudah-mudahan ia tidak
mengalami sesuatu di tlatah Menoreh, dan bahkan mudah-mudahan ia dapat
berhasil.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Tetapi ingatlah, ia harus segera
berada di Mataram, sebelum ada persoalan yang datang justru dari Pajang.”
Penghubung itu mengerutkan
keningnya. Tetapi Ki Gede berkata seterusnya, “Jangan kau pikirkan apa yang
telah terjadi dengan Sutawijaya. Tugasmu adalah membawanya kembali. Biar aku
sajalah yang menyampaikan persoalan itu kepadanya, agar tidak terjadi salah
mengerti.”
“Baiklah, Ki Gede.”
“Nah, berangkatlah. Pergilah
ke induk Tanah Perdikan Menoreh. Kebijaksanaan selanjutnya ada padamu.”
Demikianlah maka penghubung
itu pun segera berkemas. Dengan tiga orang kawannya maka ia pun segera berangkat
menyeberangi Sungai Praga.
Ternyata di lereng perbukitan
padas di perbatasan Menoreh, Raden Sutawijaya bersama anak-anak muda murid Kiai
Gringsing, Pandan Wangi, dan Ki Sumangkar sedang dicengkam oleh kegelisahan.
Panembahan Agung itu pun
perlahan-lahan mencoba sekali lagi mengangkat wajahnya. Namun sekail lagi wajah
itu tertunduk. Agaknya masih belum cukup kekuatan padanya untuk memandang
keadaan di sekelilingnya dengan tatapan matanya.
Sementara itu, Swandaru hampir
tidak sabar lagi. Sekali lagi ia berdesis, “Apakah kita akan menunggu
Panembahan Agung itu berhasil membangunkan kekuatannya dan membakar kita di
sini menjadi debu?”
Sutawijaya memandang Ki
Sumangkar sejenak, seakan-akan mencari jawab atas pertanyaan Swandaru itu yang
memang dapat dimengertinya.
Sekilas Ki Sumangkar memandang
Panembahan Agung yang lemah. Nampaknya betapa pun ia berusaha, tetapi ia masih
tetap tidak bertenaga. Ia hanya berhasil bangkit dan duduk bertelekan kedua
tangannya dengan kepala yang seakan-akan terkulai tunduk tidak bertulang lagi.
Namun tiba-tiba Sutawijaya
berdesis, “Apakah ia memiliki ilmu kebal seperti Panembahan Alit. Jika tidak,
maka ia tentu sudah menjadi debu oleh kekuatan ilmu Ki Waskita.”
Anak-anak muda itu saling
berpandangan. Hampir bersamaan mereka pun memandang kepada Ki Sumangkar.
Swandaru-lah yang mula-mula bertanya kepadanya, “Apakah Panembahan Agung itu
juga kebal seperti Panembahan Alit?”
Ki Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti. Tetapi kemungkinan itu memang ada. Ternyata
ia berhasil lolos dari maut oleh kekuatan ilmu Ki Waskita. Tubuhnya sama sekali
tidak terluka meskipun menjadi kehitam-hitaman.”
Anak-anak muda itu menjadi
tegang. Jika benar Panembahan Agung juga memiliki ilmu kebal, maka sudah barang
tentu mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Hanya Kiai Gringsing-lah yang
akan berhasil meremukkan bagian dalam orang itu meskipun kulitnya masih tetap
utuh. Tetapi Kiai Gringsing bangkit pun seakan-akan tidak mampu lagi karena
luka-lukanya yang agak parah.
Dalam keragu-raguan itulah
mereka melihat Panembahan Agung bergerak-gerak lagi. Dengan sepenuh sisa tenaga
yang dapat dibangunkannya lagi, ia berusaha mengangkat wajahnya yang
kehitam-hitaman.
Betapa pun beratnya, namun
akhirnya Panembahan Agung itu berhasil. Ia berhasil mengangkat wajahnya dan
memandang keadaan di sekelilingnya. Tatapan matanya itu pun kemumudian terhenti
ketika terlihat olehnya Ki Sumangkar bersama anak-anak muda yang sedang
termangu-mangu itu.
Debar di jantung Ki Sumangkar
dan anak-anak muda itu pun rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Mereka hanya
dapat berdiri tegak memandang Panembahan Agung dari tempat mereka. Rasa-rasanya
mereka bagaikan melekat di atas tanah tempat mereka berdiri.
Sejenak Panembahan Agung
menggeram. Matanya masih memandang kepada Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang
ada di sekitarnya.
“Panembahan Agung sedang
menyiapkan ilmunya,” berkata anak-anak muda itu di dalam hatinya.
Namun tiba-tiba anak-anak muda
itu mendengar Ki Sumangkar berkata, “Kita harus memencar. Jika tenaga itu
tumbuh lagi di mata Panembahan Agung, kita tidak bersama-sama terbakar.”
“Bagus,” desis Sutawijaya,
“kita bersembunyi di balik batu-batu padas.”
Anak-anak muda itu pun telah
siap untuk meloncat memencar agar mereka tidak hangus bersama-sama. Dari tempat
mereka bersembunyi mereka akan dapat berusaha melawan Panembahan Agung sejauh
dapat mereka lakukan.
Namun sebelum mereka
melangkahkan kaki mereka, terdengar suara lemah di belakang mereka, “Kalian
tidak usah menyingkir ke mana pun.”
Serentak mereka berpaling. Dan
mereka pun merasa seolah-olah telah terlepas dari mulut seekor harimau yang
paling ganas. Mereka melihat Ki Waskita telah mengangkat wajahnya meskipun ia
masih duduk bersila.
“Ki Sumangkar,” berkata Ki
Waskita, “kau tidak usah cemas lagi terhadap Panembahan Agung. Meskipun ia
masih tetap hidup tetapi ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Ia telah
kehilangan sebagian besar dari dirinya sendiri. Ia sudah tidak dapat
memancarkan ilmunya yang dahsyat itu lagi. Di dalam keadaan yang terakhir, kita
berjuang untuk saling menghancurkan sumber ilmu yang ada di dalam diri kita
masing-masing, bukan bentuk jasmaniah ini meskipun siapa yang menang akan
dengan mudah dapat menjadikan bentuk jasmaniah ini menjadi debu.”
Sumangkar mengerutkan keningnya.
Sejenak ia memandang Panembahan Agung yang masih juga memandang ke arahnya dan
anak-anak muda yang berdiri di sekitarnya.
Namun tiba-tiba Ki Sumangkar
menarik nafas dalam-dalam. Baru kini ia sadar, bahwa tatapan mata Panembahan
Agung itu bagaikan tatapan sebutir batu hitam. Tanpa sorot dan tanpa lukisan
kehendak sama sekali.
Tiba-tiba saja Sumangkar
menjadi ngeri. Seakan-akan ia melihat sebuah sumur yang sudah mati, namun
dalamnya tidak dapat dijajagi. Dalam sekali tanpa dasar, namun kosong.
Agaknya anak-anak muda. yang
ada di sekitarnya pun menangkap keadaan itu pula, sehingga Pandan Wangi yang
meremang di seluruh tubuhnya bergeser mendekatinya sambil berdesis, “Kiai,
apakah yang sebenarnya terjadi?”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Sambil memandang Panembahan Agung ia berkata, “Ia telah kehilangan
segala-galanya yang ingin ia miliki di dunia ini. Ilmunya, kedudukannya, dan
kini dirinya sendiri.”
Pandan Wangi bergeser semakin
mendekati Sumangkar. Meskipun ia prajurit di medan perang, tetapi kesan yang
ditangkapnya pada Panembahan Agung agak berbeda. Semula ia sudah siap untuk
pergi memencar dan berjuang seorang demi seorang. Tetapi kini justru ia menjadi
ngeri dan seakan-akan ia ingin berlindung di belakang Sumangkar yang telah
mengalami luka-luka.
Dalam pada itu, perlahan-lahan
Ki Waskita pun berdiri pula. Dengan kening yang berkerut ia melangkah mendekati
Panembahan Agung yang masih duduk sambil memandang berkeliling. Seakan-akan ia
menjadi heran melihat alam yang gumelar di sekitarnya.
Ketika Ki Sumangkar melangkah
mengikutinya, Pandan Wangi pun ikut pula di belakangnya diiringi oleh anak-anak
muda yang lain.
Beberapa langkah di hadapan
Panembahan Agung, Ki Waskita pun berdiri tegak. Kemudian sambil membungkukkan
kepalanya ia bertanya, “Apa kabar, Panembahan?”
Panembahan Agung memandanginya
sejenak, lalu terdengar ia bertanya. Namun Ki Sumangkar dan anak-anak muda itu
terkejut mendengar suaranya yang tidak ubahnya suara seorang tua yang sudah
pikun, “Kau siapa, he?”
“Panembahan, apakah Panembahan
tidak mengenali aku lagi? Aku Jaka Raras.”
“Jaka Raras,” Panembahan Agung
mengingat-ingat. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Siapakah Jaka
Raras itu?”
“Aku Panembahan.”
“Kenapa kau panggil aku
Panembahan.”
“Bukankah kau menyebut dirimu
Panembahan Agung?”
Panembahan Agung itu
mengangkat alisnya, lalu, “Aku tidak mengerti.”
“Baiklah. Jika kau tidak
mengenal lagi dirimu sebagai Panembahan Agung, biarlah aku memanggilmu Gantar,
yang kemudian kau lengkapi namamu menjadi Gantar Angin. Kau ingat.”
“Ya, ya. Aku adalah Gantar
Angin.”
“Dan aku adalah Jaka Raras.”
“Jaka Raras,” orang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mengingat-ingat. Lalu, “O, aku ingat
sekarang. Kau Jaka Raras. Ya, Jaka Raras yang dungu itu.” Terdengar suara orang
itu tertawa terkekeh-kekeh. Suara tertawa seorang tua.
Namun tiba-tiba suara
tertawanya terhenti. Sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Jaka Raras. Ya,
kita pernah berguru bersama.”
“Benar. Kau sudah menemukan
permulaan dari kesadaranmu. Cobalah, kau telusuri ingatan itu, sehingga kau
tentu akan menemukan keadaanmu sekarang, sebagai seorang Panembahan yang
menyebut dirinya Panembahan Agung.”
Orang yang menyebut dirinya
Panembahan Agung itu termenung sejenak. Ia masih tetap duduk bersila di atas sebuah
amben kecil. Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan
tangannya yang lemah ia mencoba mengusap keningnya yang sudah menjadi
kehitam-hitaman.
Tetapi, ketika kulitnya
bersinggungan, Panembahan Agung itu menyeringai menahan sakit.
“O,” Pandan Wangi semakin
bergeser di belakang Sumangkar. Ia menjadi bertambah ngeri melihat keadaannya.
Rasa-rasanya ia benar-benar menghadapi sesosok mayat yang hidup kembali.
“Jaka Raras,” berkata
Panembahan Agung, “di manakah aku sekarang ini berada?”
“Jangan kau cari di mana kau
sekarang. Telusurilah kenanganmu sejak kita bersama-sama berguru.”
Panembahan Agung tidak segera
menjawab. Dengan ingatannya yang gelap ia mencoba mengenang semua yang telah
terjadi atas dirinya.
“Gantar Angin,” berkata Jaka
Raras, “mulailah dari nama itu.”
Panembahan Agung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sedang mencoba. Tetapi aku rasa,
aku tidak akan berhasil.”
“Kau akan berhasil,” sahut
Jaka Raras, “kau telah mendapatkan ilmu yang tidak ada taranya. Ilmu yang dapat
menciptakan bentuk-bentuk semu, kemudian ilmu yang dapat kau pergunakan untuk
membakar gunung dan memecahkan batu-batu hitam sebesar kerbau dengan tatapan
matamu. Dan kau mempunyai sebuah busur yang besar sekali yang tidak setiap
orang dapat mempergunakan.”
“O,” Gantar Angin yang
kemudian menyebut dirinya Panembahan Agung itu mengangguk-angguk kecil.
“Nah, bukankah kau sudah
menemukan.”
“Kau benar,” tiba-tiba
Panembahan Agung itu mengangkat wajahnya. Sambil memandang Jaka Raras ia
berkata, “Aku memiliki ilmu itu, ilmu yang dapat membakar gunung. He, apakah
kau akan menghalang-halangi aku? Jaka Raras, aku ingat semuanya. Aku memiliki
ilmu untuk menciptakan bentuk-bentuk semu. Nah, malanglah nasibmu. Aku akan
membakarmu dengan ilmuku.”
“Panembahan,” berkata Jaka
Raras, “kau belum selesai. Ingatanmu baru merambat sampai saat kau mendapatkan
ilmu itu.”
“Aku tidak peduli. Aku
mempunyai firasat bahwa kau berniat buruk. Karena itu kau harus mati.”
Panembahan Agung itu memandang
Jaka Raras dengan tajamnya.
“Jangan kau siksa dirimu
dengan kenangan itu. Jika kau menyadari kenyataanmu, dan jika kau berhasil
menemukan dirimu saat ini, kau akan mengetahui, bahwa ilmumu sudah punah
semuanya.”
Mata Panembahan Agung
terbelalak. Dan tiba-tiba saja ia memandang ke dirinya sendiri.
“Panembahan Agung. Kau adalah
Panembahan Agung. Tetapi kau bukan lagi Panembahan Agung seperti pada saat kau
menyebut dirimu demikian.”
“He,” mata Panembahan Agung
itu terbelalak, “jadi ilmuku sudah punah? He, siapakah yang sudah memunahkan
ilmuku. Tidak mungkin. Hanya gurukulah yang dapat melakukannya. Tidak orang
lain. Tidak ada ilmu yang dapat menyingkirkan ilmuku dari diriku.”
“Gantar Angin,” berkata Jaka
Raras, “kita bersama telah menerima bagian dari ilmu guru. Meskipun kau mendapat
kesempatan lebih banyak, tetapi setelah guru tidak ada lagi, aku berhasil
menyempurnakan ilmuku sehingga mendekati kemampuan guru. Dan aku, seperti juga
kau, tentu akan dapat melakukannya. Memunahkan ilmu itu. Kita telah bertempur
untuk berusaha saling membakar dan memunahkan ilmu kita masing-masing. Dan
karena usahaku aku landasi dengan keyakinan bahwa aku benar, maka aku berani
mohon kepada Tuhan agar menolongku di dalam puncak perjuanganku. Ternyata aku
berhasil.”
“O, gila kau Jaka Raras. Aku mempelajari
ilmu itu bertahun-tahun. Kini kau khianati aku. Kau khianati aku,” Panembahan
Agung itu tiba-tiba berteriak keras sekali sehingga suaranya seakan bergema
memenuhi lembah dan tebing-tebing pegunungan, meskipun ia tidak mampu lagi
melontarkan suara di luar jangkauan getaran tenggorokannya seperti yang pernah
dapat ia lakukan.
“Sudahlah, Panembahan.
Sadarilah bahwa hukuman Tuhan telah datang.”
“Persetan. Aku tidak mau.
Kembalikan ilmuku itu, kembalikan,” Panembahan itu berteriak-teriak.
“Sadarlah, kau bukan anak-anak
lagi.”
“Tidak, tidak. Kembalikan,
kembalikan,” Panembahan itu menjerit. Namun tiba-tiba suaranya terputus.
Sejenak Panembahan Agung itu jatuh terkulai. Namun sejenak kemudian ia pun
bangkit kembali perlahan-lahan.
Wajahnya masih tetap
kehitam-hitaman. Tetapi justru menjadi semakin mengerikan ketika Panembahan
Agung itu justru tertawa, “Ha, akulah manusia yang paling sempurna di muka
bumi. Aku adalah satu-satunya orang yang memiliki ilmu yang dahsyat, yang mampu
membakar gunung dan memecahkan batu hitam sebesar kerbau. Aku pulalah yang
dapat menciptakan apa pun juga yang aku kehendaki.”
“Panembahan,” Jaka Raras
mengerutkan keningnya.
Panembahan Agung tertawa
semakin keras, semakin keras sehingga tubuhnya yang lemah itu menjadi terguncang-guncang.
“Panembahan, sadarilah
keadaanmu.”
Suara tertawanya justru
semakin keras. Sambil berteriak ia menengadahkan tangannya, “Aku adalah manusia
yang paling sempurna. Aku akan menghancurkan semua negeri yang ada di muka
bumi. Akulah penguasa tunggal alam semesta. Aku adalah yang Maha Kuasa di atas
bumi.”
Ki Waskita yang juga disebut
Jaka Raras itu mundur selangkah. Wajahnya menjadi tegang. Demikian pula agaknya
Ki Sumangkar dan anak-anak muda yang ada di sebelahnya.
“Panembahan,” desis Jaka Raras.
“Pergi, pergilah kalian.
Jangan ganggu aku lagi. Atau aku harus membakar kalian menjadi abu?”
“Semuanya sudah lampau,
Panembahan. Sebaiknya Panembahan melanjutkan selangkah lagi. Panembahan belum
sampai pada ujung penjelajahan kenangan masa lampau itu.”
Panembahan Agung mengerutkan
keningnya. Namun ia kemudian tertawa lagi, “Persetan. Jangan mencoba menghasut.
Jika kau ingin hidup, pergilah.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia tidak dapat menolong lagi goncangan jiwa Panembahan Agung
yang agaknya telah menghancurkan nalarnya, sehingga ia tidak lagi dapat
mengendalikan gejolak perasaannya.
“Pergi, pergi. Aku akan
menghancurkan Mataram. Aku akan menghancurkan Demak yang sudah bergeser ke
Pajang itu. Aku akan menghancurkan kekuasaan para Adipati di pesisir dan Bang
Wetan. Semuanya, semuanya. Dan aku adalah penguasa tunggal di atas bumi.”
Jaka Raras hanya dapat
memandanginya saja ketika Panembahan Agung berusaha untuk meloncat bangkit.
Sambil berteriak mengerikan ia menolak kenyataan tentang dirinya yang
sebenarnya lumpuh.
Tetapi Panembahan Agung sama
sekali tidak mempunyai kekuatan lagi. Ilmunya sudah punah dan kekuatan
jasmaniahnya pun telah hampir punah sama sekali.
Karena itulah, maka hentakan
kekuatan yang dipaksakannya itu ternyata telah merampas semua yang tersisa
padanya. Seperti sebatang pohon pisang, Panembahan Agung roboh di tanah.
Nafasnya menjadi terengah-engah, dan wajahnya yang hitam menjadi semakin hitam.
Perlahan-lahan Ki Waskita
mendekatinya. Sambil berjongkok di samping tubuh Panembahan Agung ia berkata,
“Panembahan, sebaiknya kau menyadari dirimu. Marilah, ikutlah aku.”
“Aku adalah orang yang paling
berkuasa. Jangan memerintah aku.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
“He kau dengar, bukankah aku
orang yang paling berkuasa di muka bumi.”
Hampar di luar sadarnya
tiba-tiba saja Ki Waskita mengangguk, “Ya, Panembahan.”
“Nah, bersujudlah.”
“Ya, Panembahan.”
“Akuilah bahwa aku mempunyai
kekuasaan yang tidak terbatas atas manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan di
muka bumi.”
“Ya, Panembahan.”
Panembahan Agung memandang Ki
Waskita sejenak. Perlahan-lahan ia menggeliat. Ketika terpandang olehnya wajah
Ki Waskita yang sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, maka tiba-tiba ia pun
tersenyum sambil berdesis, “Bagus, akulah yang Maha Kuasa itu.”
Ki Waskita tidak sempat
menjawab. Tiba-tiba saja kepala Panembahan Agung itu terpejam untuk
selama-lamanya.
Perlahan-lahan Ki Waskita
bergeser surut. Diusapkan kening Panembahan Agung yang menjadi dingin.
“Ia sudah meninggal,” desisnya.
Ki Sumangkar diikuti oleh
Agung Sedayu, Swandaru, dan Sutawijaya mendekatinya. Tetapi Pandan Wangi masih
tetap berdiri di kejauhan. Ia tidak berani memandang wajah dan tubuh Panembahan
Agung, yang mengerikan baginya itu.
“Ia tetap pada pendiriannya sampai
saat matinya,” desis Ki Waskita. “Ia bertahan pada jalannya yang sesat tanpa
setitik terang pun sampai ia harus kembali kepada Yang Maha Pencipta.”
“Mengerikan sekali,” tiba-tiba
Agung Sedayu berdesis.
Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Panembahan Agung adalah gambaran orang yang tetap mengeraskan
hatinya sampai saat pengadilan yang abadi itu tiba. Dan ia tidak akan sempat
lagi untuk menyesali segenap kesalahan dan mohon ampun kepada Yang Maha
Pengasih.
Rasa-rasanya semua pintu telah
tertutup baginya, bagi orang yang tidak mengindahkan kasih dan pengampunan-Nya.
Ki Waskita pun kemudian
berdiri. Dipandanginya orang-orang yang terikat pada batang-batang pohon sambil
menahan segala macam pergolakan di dalam hati. Panembahan yang mereka sangka
tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun juga itu, akhirnya terbunuh di peperangan
“Ki Sanak,” berkata Ki
Waskita, “Panembahan Agung telah mati. Ia adalah orang yang memiliki ilmu tanpa
tanding. Tetapi ia memilih jalan sesat. Kalian yang selama ini mengaguminya dan
percaya kepadanya, kini melihat kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang
sempurna di muka bumi.” Ki Waskita berhenti sejenak. “Nah, yang dapat kalian
lakukan kemudian adalah menguburnya dan mengubur kawan-kawanmu yang terbunuh.
Berilah pertanda pada kuburannya, panembahan yang pernah menggoncangkan dunia.”
Orang-orang itu tidak
menyahut. Tetapi mereka dengan sepenuh hati menguburkan Panembahan Agung
setelah ikatan mereka dilepaskan. Salah seorang dari mereka pun kemudian
menemukan sebatang pohon nyamplung yang baru tumbuh dan memindahkannya di atas
kuburan Panembahan Agung itu, sehingga apabila pohon nyamplung itu kelak dapat
tumbuh dan menjadi sebesar gumuk kecil yang berada di lereng bukit, maka akan
dapat dikenal, bahwa di tempat itulah Panembahan Agung dikuburkan, tanpa
setetes pengampunan atas segala dosa-dosanya.
Demikianlah, setelah
penguburan Panembahan Agung dan korban-korban yang lain telah selesai, maka
mereka pun segera kembali kepada induk pasukan yang sedang menunggu. Swandaru
berjalan di paling depan sambil menolong Ki Sumangkar yang terluka. Sedang
dibelakangnya Pandan Wangi melangkah sambil menundukkan kepalanya. Beberapa
orang tawanan mengikutnya dengan hati yang kosong. Mereka sama sekali tidak
dapat membayangkan, apakah yang akan dapat terjadi atas diri mereka. Dan di
belakang mereka berjalan Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Ki Waskita.
Sutawijaya sekali-sekali
menarik nafas dalam-dalam. Yang terjadi adalah peristiwa yang sangat gawat bagi
Mataram. Jika tidak secara kebetulan ia pergi bersama Ki Waskita dan pasukan
pengawal terpilih dari Menoreh, maka ia tidak akan dapat menyelesaikan tugas
itu. Bahkan mungkin hanya tinggal namanya sajalah yang akan diucapkan oleh
orang-orang Mataram, sebagai seorang pahlawan yang mengorbankan diri sebagai
bebanten berdirinya Tanah Mataram. Atau dengan demikian ayahnya akan menjadi
sangat kecewa dan melepaskan niatnya untuk mendirikan sebuah negeri yang ramai.
Mataram akan terbengkalai, dan akhirnya benar-benar jatuh ke tangan orang-orang
yang gila itu.
Tetapi bagi Sutawijaya,
peristiwa ini bukan akhir dari perjuangannya untuk menegakkan Mataram. Ia yakin
bahwa di Pajang masih ada beberapa orang yang memiliki kelebihan di dalam
berbagai bidang, yang tidak senang melihat Mataram tumbuh dan menjadi kuat.
Mereka tentu akan melakukan apa saja yang dapat mereka usahakan untuk
menghancurkan Ki Gede Pemanahan.
“Persetan dengan mereka,”
berkata Sutawijaya di dalam hatinya, “pada suatu saat aku akan menemukan
mereka. Ayahanda Sultan Pajang akan mengetahui, siapakah sebenarnya yang telah
menggali jarak antara Pajang dan Mataram.”
Namun tiba-tiba dada
Sutawijaya terguncang. Hampir di luar kemampuannya untuk menolak, telah hadir
pula di dalam angan-angannya wajah seorang gadis cantik dari Kalinyamat itu.
“Persetan,” sekali lagi ia
berdesis.
Namun ia akhirnya gagal untuk
mengusir kegelisahan di hatinya itu. Ia tidak akan dapat ingkar, jika
seandainya ia dihadapkan pada gadis itu.
“Tetapi, apakah benar-benar ia
mengandung?” pertanyaan itu telah mengguncangkan dadanya. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata kepada diri sendiri, “Mudah-mudahan
tidak. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu akibat dari kekhilafan itu.”
Meskipun demikian Sutawijaya
tidak dapat mengingkari, bahwa rahasia itu tentu sudah tersebar. Jika Daksina
berhasil mengetahui rahasia itu, maka para pemimpinnya di Pajang pun pasti
telah mengetahuinya pula. Bukannya aneh jika kekhilafan itu akhirnya akan
didengar pula oleh ayahandanya
Baik ayahanda angkatnya,
Sultan Pajang, maupun ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan.
Raden Sutawijaya berusaha
mengusir angan-angan itu dengan menggeretakkan giginya. Bahkan kemudian
menggeleng-gelengkan kepalanya. Untunglah bahwa orang-orang yang berjalan di
sekitarnya tidak memperhatikannya, karena mereka sedang sibuk dengan persoalan
mereka masing-masing.
Kedatangan mereka di induk
pasukannya disambut dengan perasaan lega, setelah beberapa lamanya pasukan itu
dicengkam oleh kegelisahan. Rudita pun kemudian berlari-larian mendapatkan
ayahnya dan seperti seorang kanak-kanak yang baru pandai berjalan, ia menangis
terisak-isak.
“Rudita,” berkata ayahnya,
“lihatlah. Kawan-kawan sebayamu tidak menangis seperti kau meskipun mereka
mengalami peristiwa yang barangkali lebih dahsyat dari yang kau alami.”“
Rudita menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak merengek seperti biasanya. Matanya yang redup
memandang ke kejauhan, seakan-akan menggapai-gapai mencari persoalan di dalam
dirinya sendiri yang tidak dapat diketemukannya selama ini di dalam dirinya
itu.
“Memang ada kelainan pada diri
ini dengan anak-anak muda sebayaku,” tiba-tiba saja terbersit perasaan itu di
dalam dadanya.
Tetapi Rudita hanya menarik
nafas dalam-dalam. Ia mulai menyadari bahwa dirinya berbeda dengan Agung
Sedayu, dengan Swandaru, Prastawa, dan apalagi Sutawijaya.
Sementara itu, Pasukan dari
Mataram dan Menoreh itu pun mempersiapkan diri dan berkemas. Setelah
beristirahat secukupnya mereka harus segera kembali ke tempat masing-masing.
Di malam hari, lembah itu
bagaikan dunia yang senyap dan terpisah dari dunia yang lain. Gelap pekat dan
sunyi. Suara malam bagaikan lagu yang sangat asing menyentuh relung-relung hati
yang paling dalam.
Meskipun para pengawal
menyadari bahwa peperangan yang aneh itu sudah selesai, namun hampir tidak
seorang pun dari mereka yang sempat tidur dengan nyenyak. Berbagai bayangan
mengganggu angan-angan mereka. Bahkan kadang-kadang mereka seakan-akan melihat
bentuk-bentuk semu yang mengerikan di dalam gelapnya malam.
Ketika angin lembut mengusap
tubuh mereka, terasa malam menjadi dingin. Dingin, sepi, tetapi mengerikan.
Di lewat tengah malam para
pengawal itu terkejut mendengar suara anjing liar menyalak di kejauhan.
Melolong-lolong, seperti hantu-hantu yang buas mencium bau mayat yang
berserakan, yang terlampaui tidak diketemukan oleh kawan-kawannya dan karena
itu tidak dikuburkan.
Lembah itu rasa-rasanya
bagaikan neraka yang dingin beku, tetapi melampaui panasnya bara api kayu
mlandingan.
Setiap orang mengharap agar
mereka segera terlepas dari belenggu yang menegangkan itu. Setiap kali mereka
selalu memandang batas langit di ujung sebelah timur.
Ketika seorang pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat menahan lagi kesepian yang mencengkam, ia
mencoba untuk bangkit dan melangkah hilir-mudik di antara beberapa orang
kawannya yang terbaring membujur lintang. Namun hatinya menjadi bergetar ketika
ia mendengar di kejauhan terdengar suara burung kadasih. Perlahan-lahan ia
kembali duduk dan merayap ke atas rerumputan yang telah dibuatnya menjadi
pembaringannya.
“Kau ngeri mendengar suara
burung itu?” tiba-tiba saja terdengar kawannya yang berbaring di sampingnya
bertanya. Meskipun suaranya lambat sekali, namun pengawal yang gelisah itu
terkejut bukan buatan, sehingga hampir saja ia melonjak.
“Kau mengejutkan aku,” desah
pengawal yang terkejut itu.
“Aku hanya berbisik,” jawab
kawannya.
Pengawal itu menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kesepian yang memuncak itu telah membuat setiap hati
menjadi semakin mudah tersentuh.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan Swandaru mendengarkan suara burung kedasih itu dengan hati yang semakin
gelisah. Suara burung kedasih bagi mereka mempunyai arti tersendiri. Beberapa
kali mereka pernah mendengar suara burung kedasih sebagai pertanda yang khusus
dari anak buah orang yang ternyata menyebut dirinya Panembahan Agung itu.
Namun setelah mereka
mendengarkan suara burung itu dengan saksama, disusul oleh suara burung kedasih
yang lain di kejauhan, maka mereka pun yakin bahwa yang didengarnya itu adalah
benar-benar suara burung kedasih.
“Kau mendengar suara burung
itu?” bertanya Agung Sedayu berbisik.
Swandaru mengangguk lemah.
Katanya, “Tetapi agaknya suara itu benar-benar suara seekor burung.”
“Ya. Memang agak berbeda.
Tetapi agaknya di daerah ini memang banyak burung kedasih. Bahkan mungkin
daerah ini merupakan sarang sekelompok besar burung kedasih, sehingga
menimbulkan gagasan bagi Panembahan Agung untuk mempergunakan suara burung itu
sebagal suatu isyarat tertentu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi suara burung kedasih yang ngelangut itu masih saja
menggelitik hatinya.
Namun keduanya tidak lagi
membicarakannya. Keduanya mencoba untuk mempergunakan sisa malam itu untuk
benar-benar beristirahat meskipun mereka sama sekali tidak dapat tertidur
sekejap pun.
Di antara mereka yang tidak
dapat tertidur terdapat Rudita. Malam baginya benar-benar merupakan malam yang
dahsyat. Setiap kali ia terkejut mendengar desir daun yang terlepas dari
tangkainya dan jatuh di tanah.
Namun dalam pada itu, Rudita
sempat melihat kepada dirinya sendiri. Pengalamannya telah menimbulkan
persoalan yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Tetapi pengalaman itu ternyata
telah memacunya untuk berpikir lebih dewasa. Ia merasa, bahwa sebenarnyalah ia
bukan lagi kanak-kanak yang dapat bermanja-manja kepada setiap orang. Memang
ayah dan ibunya akan berusaha untuk dapat mengerti perasaannya, tetapi tentu
tidak bagi orang lain. Jika orang lain mencoba mengertinya, maka tentu dalam
batas-batas yang jauh lebih sempit dari ayah dan ibunya sendiri.
Dalam pada itu, mereka yang
mendapat perintah untuk melihat kuda-kuda mereka yang terikat, merasa jauh
lebih sepi lagi dari kawan-kawannya, yang ada di dalam pasukan. Beberapa orang
yang berada di daerah terpisah, di antara sekelompok kuda yang tertidur sambil
terikat pada batang-batang pohon, merasa diri mereka selalu terancam bahaya.
Mereka belum mengerti akhir dari pertempuran yang terjadi di depan padepokan
Panembahan Agung, sehingga karena itu, mereka masih tetap dibayangi oleh
kecemasan bahwa para pengawal dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh akan
mengalami kegagalan.
Kecemasan dan kegelisahan yang
mencengkam hati mereka, membuat mereka selalu berjaga-jaga sepanjang malam.
Senjata mereka sama sekali tidak terlepas dari tangan. Apa pun yang sedang
mereka lakukan, maka mereka tetap menggenggam senjata telanjang.
Ketika cahaya kemerah-merahan
mulai membayang di langit sebelah timur, maka rasa-rasanya setiap orang yang
berada di lembah itu mulai dijalari oleh ketenangan. Rasa-rasanya darah yang
seakan-akan telah membeku di malam hari, mulai mengalir lagi perlahan-lahan di
seluruh tubuh.
Para pengawal itu tidak
menunggu sampai matahari terbit. Ketika cahaya kemerah-merahan semakin jelas
membayang di punggung pegunungan, maka mereka pun membenahi diri mereka masing-masing.
Mereka menyiapkan segala peralatan, dan mengumpulkan para tawanan. Dengan
batang-batang kayu yang dianyam dengan tali, mereka telah membawa Kiai
Gringsing yang terluka. Namun agaknya badan Kiai Gringsing sudah merasa lebih
segar dan lebih baik.
Ketika lembah itu menjadi
semakin terang, para pengawal itu mulai menghitung diri. Setiap kelompok
melihat keadaan masing-masing. Mereka harus tahu pasti, apakah ada korban yang
jatuh di dalam kelompok itu.
Setelah semuanya selesai, maka
mulailah pasukan itu berjalan perlahan-lahan, bersamaan dengan cahaya yang
semakin terang muncul di balik bukit.
Demikianlah maka mulailah
perjalanan mereka, pasukan pengawal dari Mataram dan dari Tanah Perdikan
Menoreh menyusuri lembah kembali keluar dari daerah yang terpencil itu.
“Raden Sutawijaya, kami harap
singgah sejenak di Tanah Perdikan Menoreh,” Ki Argapati mempersilahkan.
Semula Raden Sutawijaya ragu
ragu. Namun kemudian ia menganggukkan kepalanya. Namun ia sama sekali tidak
tahu, bahwa utusan ayahandanya telah menunggunya dengan membawa kabar yang
sangat penting baginya.
Setelah menempuh jalan yang
sulit, dan setelah mereka melalui daerah yang mengerikan karena guguran-guguran
tebing di sebelah-menyebelah lembah yang mereka lalui, maka mereka pun akhirnya
sampai ke daerah hutan perdu, di mana kuda-kuda mereka terikat.
Sejenak mereka beristirahat
dan membenahi kuda-kuda mereka yang gelisah. Beberapa orang yang terluka
terpaksa naik ke atas punggung kuda dijagai oleh kawannya. Yang tidak terlalu
parah masih dapat berkuda sendiri, tetapi ada di antara mereka yang sudah tidak
mampu lagi untuk berpegangan pada kendali.
Demikian juga Kiai Gringsing.
Tubuhnya masih terlalu lemah untuk berkuda sendiri Karena itu, maka Agung
Sedayu terpaksa menjaganya. Dipilihnya kuda yang tegar dan besar. Dan di atas
punggung kuda itulah Kiai Gringsing dan Agung Sedayu naik bersama-sama.
Setelah semuanya siap, maka
pasukan berkuda itu pun kemudian meniggalkan lembah yang masih saja selalu
membekas dalam kenangan setiap orang. Peristiwa yang mengerikan dan hampir
tidak dapat mereka percaya, telah terjadi. Tebing yang bagaikan runtuh.
Batang-batang kayu yang bergulung-gulung menimbuni lembah. Bahkan beberapa
orang kawan mereka telah tertimbun pula di bawah batu dan kayu-kayu itu. Kemudian
bentuk-bentuk semu yang hanya dapat mereka lihat di dalam mimpi, namun ternyata
bahwa mata mereka seakan-akan telah benar-benar melihatnya.
“Perang yang paling gila yang
pernah aku alami,” desis Ki Lurah Branjangan. “Aku adalah prajurit Pajang sejak
aku masih sangat muda. Aku sudah mengalami banyak sekali peperangan. Namun baru
kali ini aku berada di dalam dunia yang seolah-olah hanya sekedar khayalan
saja.”
Kawannya yang berada di
sisinya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia menyahut, “Jika aku ceritakan
pengalaman ini kepada orang lain, maka apakah mereka dapat mempercayainya?”
Ki Lurah Branjangan
menggelengkan kepalanya, “Tentu tidak. Dan menurut Ki Waskita semuanya itu
adalah sebuah kebohongan yang paling besar yang dapat dibuat oleh Panembahan
Agung.”
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka memandang lurus ke depan. Ke jalan yang samar di antara batang-batang
perdu. Sebentar lagi mereka akan sampai ke tempat yang lebih lapang.
Namun perjalanan mereka tidak
dapat lebih cepat lagi, karena mereka harus membawa beberapa orang tawanan yang
tidak dapat berjalan secepat seekor kuda. Karena itu, maka perjalanan itu pun
menjadi sangat lamban dan hampir merampas kesabaran para pengawal itu.
Tetapi mereka tidak dapat
memaksa tawanan mereka berjalan sambil berlari-lari, karena perjalanan yang
akan mereka tempuh adalah perjalanan yang cukup jauh.
Sekali-sekali iring-iringan
itu harus beristirahat di sepanjang jalan yang mereka lalui. Para tawanan yang
tidak dapat berjalan lagi karena luka-luka, mendapat kesempatan untuk naik ke
punggung kuda yang tidak berpenumpang. Mungkin karena penumpangnya berkuda
bersama kawannya karena keadaan tubuhnya yang lemah. Tetapi mungkin juga karena
mereka tidak dapat lagi kembali karena mereka gugur di peperangan yang karena
keadaannya, mereka terpaksa dikuburkan di medan dengan ciri-ciri tertentu,
sehingga kuburan itu akan tetap dapat dikenal apabila pada suatu saat sanak
keluarganya akan pergi menengoknya.
Karena perjalanan yang lambat
itulah maka iring-iringan itu tidak dapat langsung mencapai padukuhan induk
Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berhenti pada sebuah padukuhan kecil di sebelah
hutan yang lebat itu. Padukuhan yang hanya dihuni oleh beberapa orang, yang
kerjanya sehari-hari berburu binatang dan mencari kayu.
Baru di pagi harinya mereka
meneruskan perjalanan menuju ke induk Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan pasukan itu
disambut dengan berbagai macam perasaan. Ada yang gembira, terharu, tetapi ada
juga yang harus menitikkan air mata karena yang ditunggunya terpaksa tidak
dapat datang bersama kawan-kawan mereka.
“Mereka adalah bebanten bagi
ketenteraman Tanah Perdikan ini,” berkata kawan-kawannya menghibur mereka yang
kehilangan sanak keluarganya. “Seluruh Tanah Perdikan tidak akan melupakan
jasa-jasanya.”
Orang yang kehilangan itu
menahan isaknya sambil bertanya, “Apakah begitu?”
“Ya. Kita semuanya akan
menghargai mereka yang mendahului kita. Untuk selama-lamanya. Anak cucu kita
pun harus mengetahui siapa saja yang pernah melakukan pengorbanan tanpa dapat
dinilai dengan nilai kebendaan, karena yang mereka korbankan adalah jiwa.”
Namun demikian, mereka yang
kehilangan masih juga menitikkan air mata. Meskipun nalar mereka dapat
mengerti, tetapi perasaan mereka bersikap lain.
Setelah beristirahat sejenak
di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh serta setelah setiap kelompok
mengulangi hitungan mereka, maka pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu
pun diperkenankan pulang ke rumah masing-masing. Sedangkan yang kemudian
menjaga para tawanan adalah para pengawal dari Mataram dan pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang tidak ikut serta pergi ke peperangan.
Dalam pada itu, para pemimpin
pasukan pengawal itu pun kemudian naik ke pendapa. Mereka duduk melingkar di
atas tikar pandan yang putih
Namun yang tidak ada di antara
mereka adalah Ki Waskata. Ia langsung membawa Rudita ke gandok, mendapatkan
ibunya yang menunggu dengan hati yang bagaikan dipanggang di atas bara sambil
menangis tanpa henti-hentinya.
Pandan Wangi yang merasa
bertanggung jawab atas hilangnya Rudita pun kemudian mengikutinya beberapa
langkah di belakang Ki Waskita.
Pandan Wangi tidak dapat
menahan air matanya yang mengembun di pelupuknya melihat betapa ibu Rudita itu
menyambut anaknya yang dikembalikannya kepadanya, setelah hilang untuk beberapa
saat lamanya.
Beberapa orang yang ada di
pendapa melihat pertemuan itu dengan perasaan haru pula. Namun mereka pun
bersukur bahwa Tuhan masih melindungi anak muda itu dan dapat kembali kepada
orang tuanya dengan selamat.
Sementara itu di gandok yang
lain, Kiai Gringsing terbaring di atas pembaringan ditunggui oleh Agung Sedayu.
Namun karena keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Kiai Grigsing pun
menyuruh muridnya itu naik ke pendapa bersama dengan para pemimpin yang lain.
“Apakah keadaan Guru sudah
baik?” bertanya Agung Sedayu.
“Sudah. Aku sudah menjadi
semakin baik. Tinggalkan aku. Aku akan tidur. Dan sebaiknya kau berada di
pendapa. Mungkin ada persoalan yang perlu kau dengar.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Dengan ragu ragu ia melangkah meninggalkan Kiai Gringsing yang sudah
tampak lebih segar.
Tetapi langkahnya tertegun
ketika di pintu gandok Agung Sedayu berpapasan dengan Ki Sumangkar yang masih
pucat dilayani oleh seorang pengawal.
“Kenapa, Kiai?” bertanya Agung
Sedayu.
“Tidak apa-apa. Aku hanya
merasa pening. Luka-lukaku agak terasa pedih meskipun tidak mengalirkan darah
lagi. Aku hanya ingin beristirahat sejenak mengawani Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu masih berdiri
termangu-mangu.
“Aku tidak apa-apa,” berkata
Sumangkar kemudian, “aku hanya ingin tidur. Luka-lukaku akan sembuh dalam waktu
yang dekat.”
Kiai Gringsing tersenyum
melihat kehadiran Ki Sumangkar di bilik itu. Katanya, “Marilah kita berlomba,
siapakah yang lebih dahulu tertidur.”
Ki Sumangkar pun tertawa.
Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata, “Apakah kau akan ikut pula?”
Agung Sedayu pun tersenyum.
Namun dengan demikian ia tidak ragu-ragu meninggalkan kedua orang-orang tua itu
karena keadaan mereka agaknya menjadi berangsur baik.
Sepeninggal Agung Sedayu, maka
Ki Sumangkar pun berbisik kepada Kiai Gringsing, “Utusan dari Mataram ternyata
telah menunggu Raden Sutawijaya.”
“Ki Gede Pemanahan tentu
sekedar cemas karena putranya tidak segera datang,” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin. Tetapi jika demikian
utusan itu tidak akan memanggil Raden Sutawijaya untuk segera menghadap
ayahandanya.”
“Kenapa? Seperti ayah dan ibu
Rudita, mereka pun tidak sabar menunggu kedatangan anaknya lebih lambat lagi.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Desisnya, “Mungkin demikian. Tetapi masih ada bedanya. Raden
Sutawijaya adalah seorang prajurit.”
Kiai Gringsing-lah yang
kemudian mengangguk-angguk. “Ya, agaknya demikian.”
Dalam pada itu, di pendapa,
utusan yang sudah ada di Menoreh itu masih berada bersama di antara para
pemimpin yang sedang beristirahat sambil menikmati minuman hangat dan sekedar
makanan ringan yang tergesa-gesa dipersiapkan.
Namun agaknya suasananya
memang dipengaruhi oleh kehadiran beberapa orang utusan dari Mataram itu,
karena mereka langsung menyampaikan pesan Ki Gede Pemanahan kepada Raden
Sutawijaya.
“Biarlah Raden Sutawijaya
beristirahat sehari dua hari di sini,” berkata Ki Argapati.
Utusan itu tersenyum. Katanya,
“Ki Gede Pemanahan berpesan, agar Raden Sutawijaya segera kembali.”
“Apakah sebenarnya yang telah
terjadi di Mataram?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Kami tidak mengetahui dengan
pasti,” sahut utusan itu, sehingga Ki Lurah Branjangan pun hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam.
Raden Sutawijaya sendiri
menjadi gelisah mendengar panggilan ayahandanya. Sekilas terngiang ancaman
Daksina bahwa rahasianya tentu akan terbongkar. Gadis dari Kalinyamat itu tidak
akan dapat lagi menyembunyikan dirinya akibat hubungannya dengan Raden
Sutawijaya.
“Apakah ayahanda sudah
mendengar?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi hal itu mungkin sekali
terjadi karena orang-orang Pajang banyak sekali yang tidak menyukainya lagi,
justru karena ia berusaha membuka hutan Mentaok dan menjadikannya sebuah negeri
yang ramai.
“Tetapi,” berkata Ki Argapati kemudian,
“bukankah Ki Gede tidak perlu gelisah lagi, bahwa puteranya telah pasti selamat
dan berada di sini?”
Utusan itu masih tersenyum,
katanya, “Aku tidak dapat membuat pertimbangan seperti itu menilik pesan yang
agaknya sangat mendesak.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku akan segera kembali. Tetapi aku minta
kesempatan untuk beristirahat sejenak. Aku harus membersihkan diri dahulu.
Demikian juga para pengawal. Kami harus mengurus orang-orang yang terluka dan
para tawanan.”
“Tentu, Raden. Kami akan
membantu. Bukan maksud kami, Raden harus berangkat sekarang. Tetapi sudah
barang tentu Raden akan berkemas lebih dahulu dan beristirahat secukupnya.
Tetapi tidak terlampau lama.”
Raden Sutawijaya merasa bahwa
sesuatu yang sangat penting telah terjadi. Dan firasatnya pun telah mengatakan
kepadanya, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan gadis dari Kalinyamat
itu. Gadis yang seharusnya disediakan untuk ayahandanya Sultan Pajang, namun
yang terjadi adalah di luar kemampuannya untuk menghindar.
Sutawijaya yang termangu-mangu
itu pun kemudan mencoba mengusir kegelisahannya. Di pendapa itu masih ada
beberapa orang yang duduk sambil menghirup minuman hangat dan makanan
sepotong-sepotong.
Pandan Wangi yang
sekali-sekali masih mengusap matanya yang basah telah duduk di pendapa pula,
sedang Ki Argapati-lah yang kemudian turun dari pendapa menemui Ki Waskita dan
isterinya.
“Kami berterima kasih kepada
Ki Gede dengan para pengawal dari Menoreh dan Mataram,” berkata Ki Waskita.
“Ah, justru kamilah yang
berterima kasih kepada Ki Waskita. Tanpa Ki Waskita, kami tidak akan kembali
dengan selamat,” sahut Ki Gede Menoreh.
Namun dengan segera Ki Waskita
memotong, “Aku tidak berbuat apa-apa. Aku sekedar menggantungkan diri kepada
kalian. Aku hanya sekedar orang yang mencoba melihat isyarat buat masa depan
yang sebenarnya tidak jelas.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Apalagi ketika dilihatnya wajah Rudita yang keheran-heranan.
“Aku tidak lebih dari sebuah
beban bagi Ki Gede,” berkata Ki Waskita. Sambil berpaling kepada anaknya ia
melanjutkan, “Kau harus mengucapkan terima kasih. Kau tahu bahwa ayahmu tidak
lebih adalah seorang tukang ramal yang lebih banyak gagal dari hasil yang
memadai. Tanpa pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kau benar-benar telah
hilang.”
Rudita masih termangu-mangu.
Namun kemudian ia berkata, “Ki Gede. Aku mengucapkan terima kasih kepada Ki
Gede, kepada pasukan pengawal Menoreh dan Mataram, kepada Pandan Wangi, kepada
Prastawa kepada Ki Demang dari Sangkal Putung, Kiai Gringsing dan kedua
muridnya, dan terlebih-lebih kepada Ki Sumangkar. Ki Sumangkar-lah yang secara
langsung membebaskan aku dari kekuasaan mereka.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Ia merasakan nada yang berbeda pada cara Rudita menyatakan
perasaannya.
“Ki Gede,” berkata Rudita
kemudian, “agaknya selama ini aku telah keliru menilai diriku sendiri.”
“Rudita,” hampir berbareng Ki
Waskita dan ibunya memotong meskipun tanggapan mereka berbeda-beda.
“Kau tidak keliru, Rudita,”
berkata ibunya, “kamilah yang kurang berhati-hati menjagamu. Ayahmu terlalu
lengah karena ia telah melepaskanmu berburu hanya dengan anak-anak muda.”
Ibunya berhenti sejenak, lalu, “Aku pun tidak dapat menyalahkan anak-anak muda
itu, karena mereka pun masih dipengaruhi oleh kemudaannya dan memburu
kesenangan diri masing-masing.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya, sedang Ki Waskita pun dengan tergesa-gesa menyahut, “Tentu tidak,
Nyai. Meskipun mereka masih muda, tetapi sikap mereka cukup dewasa.”
“Tetapi tentu berbeda dengan
orang-orang tua.”
“Ya,” potong Ki Argapati,
“tentu berbeda dengan orang-orang tua. Biasanya anak-anak lebih memperhatikan
diri sendiri seperti yang dikatakan oleh Nyai Waskita. Tetapi orang tua lebih
banyak menjaga anak-anaknya dan anak-anak muda yang bersamanya.”
“Nah,” sahut Nyai Waskita,
“bukankah benar kataku. Kau jangan menyalahkan anakmu saja. Meskipun aku juga
tidak menyalahkan anak-anak muda yang bersamanya, tetapi bahwa keadaan yang
demikian itulah yang telah memungkinkan Rudita hilang.”
“Tetapi kita sekarang
tinggallah mengucap sukur,” Ki Argapati menyela, “dan Rudita sudah ada di
antara kita.”
“Ya. Demikianlah aku mengucap
sukur kepada semuanya, terutama kepada kemurahan Yang Maha Agung.”
Ki Argapati memandang Rudita
yang menundukkan kepalanya sejenak, lalu katanya, “Tenteramkan hatimu. Kau
sudah berada di sarang sendiri, di bawah sayap induk yang akan selalu
melindungmu. Dan agaknya indukmu adalah seekor burung garuda yang luar biasa.”
“Aku tidak mengerti, Ki Gede,”
desis Ki Waskita, “tetapi bagaimana pun juga, aku mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga.”
Demikianlah Ki Argapati pun
kembali ke pendapa. Ternyata Raden Sutawijaya masih tetap duduk di tempatnya.
Agaknya ia masih sangat segan untuk segera berkemas dan kembali ke Mataram.
Karena itulah, maka Ki Gede sama sekali tidak bertanya apa pun kepadanya.
Sepeninggal Ki Argapati, ibu
Rudita agaknya masih belum puas mendengar pembicaraan suaminya dengan Ki
Argapati. Katanya, “Kiai, sebenarnya Kiai harus menunjukkan kekecewaan kita
terhadap anak-anak muda itu. Kiai jangan mencari kesalahan pada Rudita. Adalah
suatu kurnia bahwa mereka berhasil menemukan Rudita. Jika tidak, maka anak itu
akan benar-benar sudah hilang. Dan akulah orang yang akan merasa paling pedih
karena kehilangan itu. Bukan Ki Argapati, bukan tamu-tamu dari Sangkal Putung
itu dan bukan anak-anak muda yang membawanya tanpa bertanggung jawab itu.”
“Kau jangan menyalahkan mereka
Nyai. Mereka adalah anak-anak muda yang sebaya dengan Rudita.”
“Siapa pun mereka, tetapi
mereka telah membawanya.”
“Tidak, Ibu,” potong Rudita
tiba-tiba saja, “seharusnya Ibu tidak menganggap bahwa mereka telah membawa aku
serta di dalam perburuan itu. Tetapi yang benar, kami pergi bersama-sama.
Karena aku pun anak muda yang sudah sebaya dengan mereka, sehingga di antara
kita, tidak ada yang harus mempertanggung-jawabkan yang seorang atas yang
lain.”
Ibu Rudita menjadi heran
mendengar jawaban itu. Demikian juga ayahnya. Tetapi tanggapan mereka terhadap
Rudta menjadi semakin jauh berbeda. Ki Waskita melihat sesuatu yang tumbuh dan
berkembang pada anaknya seperti yang diharapkannya. Sedang ibunya sama sekali
tidak mengerti, kenapa Rudita menjawab demikian.
“Rudita,” berkata ibunya,
“kenapa kau menganggap bahwa kau tidak pergi bersama anak-anak muda itu di
dalam tanggung jawab mereka. Bukankah mereka telah membawamu?”
“Seperti juga Pandan Wangi
tidak bertanggung jawab atas Prastawa, dan juga Prastawa tidak bertanggung
jawab atas Agung Sedayu, maka kenapa mereka harus bertanggung jawab atasku?”
“Tetapi kedudukanmu lain dari
mereka, Rudita. Mereka adalah anak-anak yang sudah terbiasa melakukan perburuan
atau pekerjaan-pekerjaan kasar seperti itu. Tetapi tidak dengan kau. Kau adalah
anakku. Kau wajib mendapat perlindungan sebaik-baiknya. Jika kau hilang, maka
aku akan kehilangan milikku yang paling berharga di muka bumi ini. Tetapi jika
orang lain, anak-anak Sangkal Putung itu, aku sama sekali tidak akan merasa
kehilangan apa pun juga. Aku mungkin akan terharu dan iba jika terjadi sesuatu
atas mereka, tetapi aku sendiri tidak kehilangan apa pun juga.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sebelum la menyahut ternyata Rudita berkata, “Ibu memandang
persoalan ini dari satu segi. Coba katakan, apakah kira-kira yang akan terjadi
seandainya Swandaru itu hilang. Aku tidak menyebut Agung Sedayu, karena ia
adalah anak yatim piatu. Jika Swandaru hilang, maka banyak sekali orang yang
akan merasa kehilangan. Ibunya. Tentu ia akan berkata seperti ibu. Swandaru
adalah miliknya yang paling berharga. Kemudian ayahnya. Seperti Ayah, Ki Demang
Sangkal Putung menganggap Swandaru adalah anak yang paling baik. Tetapi masih
ada orang lain yang merasa kehilangan. Luka di hatinya tentu akan sangat parah.
Orang itu adalah Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Rudita,” potong ibunya. Wajahnya
benar-benar diwarnai oleh keheranan yang menghentak dadanya.
“Sudahlah,” berkata Ki Waskita
menengahi, “Rudita baru saja dicengkam oleh kegelisahan yang sangat. Mungkin
sesuatu telah terjadi di dalam dirinya. Kita belum dapat menilai, apakah ia akan
menjadi semakin dewasa atau sebaliknya. Karena itu biarlah ia beristirahat.
Pengaruh goncangan perasaannya itu tentu masih terasa. Dan karena itulah maka
kau seakan-akan tidak mengenali lagi perasaan anakmu. Tetapi jika ia sudah
tenang, maka biarlah ia menilai dirinya sendiri.”
Ibunya mengusap air matanya.
Dibelainya kepala anaknya. Lalu katanya, “Tenangkan hatimu, Anakku. Kita berada
di halaman rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang dijaga dengan baik. Kau
akan dapat tidur nyenyak dan beristirahat sebaik-baiknya.”
Rudita menganggukkan
kepalanya.
“Jika kau memerlukan sesuatu,
kau dapat mengatakannya kepadaku. Di sini banyak pelayan yang dapat
melayanimu.”
Sekail lagi Rudita mengangguk.
Tetapi kata-kata ibunya itu kini bukannya ditelannya begitu saja, tetapi ia
sudah mulai mencernakannya.
Ketika ibunya pergi ke
belakang, dan berada di antara para pelayan dan tetangga yang sibuk menyediakan
makan dan minuman bagi para pengawal di halaman depan, maka Ki Waskita pun
mendekati anaknya sambil bertanya, “Rudita, siapakah yang mengajarimu bahwa
kepergianmu ke hutan perburuan itu sama sekali bukannya menjadi beban tanggung
jawab orang lain, tetapi sekedar pergi bersama-sama di dalam tanggung jawab
kalian masing-masing?”
Rudita memandang ayahnya
sejenak, lalu, “Apakah maksud Ayah?”
“Rudita, aku memang melihat
sesuatu berubah di dalam dirimu.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Ki Waskita tidak lagi melihat mata anaknya itu mengembun dan
menitikkan air mata. Mulutnya tidak lagi menyeringai dibuat-buat untuk
memberikan tekanan kepada usahanya menarik perhatian orang lain.
“Ayah,” berkata Rudita,
“pengalaman beberapa hari ini telah membangunkan aku. Aku tidak tahu, kenapa
aku merasa bahwa aku memang agak lain dari anak-anak muda itu. Mereka berbuat
sesuatu untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Tetapi aku tidak. Aku masih saja
menggantungkan diriku kepada orang lain seperti aku berada di rumah, di antara
Ayah dan Ibu. Dan agaknya ibu memang mendidik aku untuk selalu bergantung
kepada orang lain.”
Ki Waskita menepuk bahu
anaknya. Sesuatu telah bergetar di dalam hatinya, seakan-akan ia melihat cahaya
terang yang memercik di sanubari anaknya.
“Rudita,” berkata ayahnya,
“kau telah tumbuh ke arah yang benar. Kau masih mempunyai waktu untuk meraih
bentuk dirimu. Meskipun barangkali tidak untuk menjadi anak-anak muda seperti
Agung Sedayu dan Swandaru.”
Rudita menganggukkan
kepalanya.
“Banyak cara yang dapat di
tempuh untuk menentukan diri sendiri. Ciri seorang yang bertanggung jawab atas
dirinya sendiri bukannya hanya ada pada mereka yang pandai bermain pedang dan
tombak.”
Sekali lagi Rudita
menganggukkan kepalanya.
“Rudita, betapa pun dahsyatnya
ilmu yang dimiliki seseorang namun sebenarnya bahwa tujuan setiap manusia
adalah perasaan damai dan tenang. Kehidupan yang aman tenteram. Bukankah
seseorang mempelajari ilmu sejauh-jauhnya sekedar berusaha melindungi dirinya
dari ketidak-tenangan. Dengan ilmu itu ia menjadi tenang karena ia merasa tidak
ada orang lain yang dapat mengganggunya dan menghalang-halangi kehendaknya.
Meskipun ada satu dua perkecualian, namun demikianlah pada umumnya.”
Rudita tidak menyahut. Tetapi
kepalanya pun kemudian tertunduk. Rasa-rasanya di dalam waktu terakhir, di
sepanjang pulang kembali ke induk Tanah Perdikan Menoreh ini, hatinya bergejolak
dahsyat sekali. Seolah-olah ada sesuatu yang saling berbenturan dan
melingkar-lingkar di dalam hatinya itu.
Tetapi di dalam waktu yang
singkat itu, Rudita masih belum dapat menemukan apakah yang sebenarnya kini
sedang berkembang di dalam dirinya. Namun ia mulai meyakini bahwa jalan yang
dilaluinya selama ini tidak menguntungkannya.
Dalam pada itu, para pengawal
dari Mataram yang bertebaran di halaman, telah mendapatkan makan mereka
masing-masing. Mereka sebenarnya masih juga segan untuk segera berangkat
kembali ke Mataram karena badan mereka yang masih terasa letih setelah
melakukan peperangan yang dahsyat itu. Namun ada juga dorongan untuk segera
kembali kepada keluarga mereka yang menunggu siang dan malam. Karena itu, maka
mereka tidak mengerti tentang diri mereka sendiri, manakah yang lebih-baik,
segera kembali atau beristirahat barang semalam di Menoreh.
“Terserah kepada Raden
Sutawijaya,” berkata seorang pengawal yang sudah setengah tua, “tetapi ada juga
baiknya kita pulang. Sama sekali kita menjadi letih. Tetapi kita segera berada
di antara keluarga.”
Seorang pengawal yang masih
muda menarik nafas. Katanya, “Sebenarnya aku ingin tidur sejenak.”
“Tidurlah. Tidak ada yang
melarangmu tidur. Mungkin di bawah jambu itu kau dapat tidur nyenyak,” sahut
seorang kawannya.
“Aku masih malas untuk
meneruskan perjalanan.”
“Kau masih sendiri,” berkata
seorang yang sudah lebih tua sedikit daripadanya.
“Ah, tentu. Kau penganten
baru,” jawab pengawal yang muda itu.
“Sudahlah,” sahut yang sudah
setengah umur, “sekarang tidur sajalah. Nanti jika pasukan ini benar-benar akan
segera kembali ke Mataram, aku akan membangunkanmu.”
Pengawal muda itu
termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berbaring di bawah pohon jambu yang
sejuk, sehingga beberapa saat kemudian, ia pun benar-benar telah tertidur.
Ternyata bukan hanya pengawal
muda itu saja yang telah tertidur. Di kebun belakang, beberapa orang pengawal
bertebaran dan tidur silang melintang.
Di pendapa, Sutawijaya sama
sekali tidak sempat beristirahat dengan baik. Utusan ayahnya benar-benar tidak
memberinya kesempatan untuk menunda perjalanannya kembali ke Mataram.
Karena itu, setelah pasukannya
beristirahat beberapa lamanya, maka Sutawijaya pun membenahi dirinya. Untuk
menyegarkan tubuhnya, maka ia pun memerlukan mandi di pakiwan. Kemudian
bersiap-siap untuk meneruskan perjalanannya.
Para pengawal dari Mataram pun
kemudian berkemas pula. Ada di antara mereka yang masih segan untuk bangun
meskipun mereka hanya sekedar bersandar tiang gedogan.
Tetapi Sutawijaya pun
memutuskan untuk segera kembali ke Mataram. Baginya hal itu tentu lebih baik.
Ia tidak akan dapat beristirahat dengan tenang di Tanah Perdikan Menoreh,
karena ayahnya sudah mengharapnya menghadap karena ada persoalan yang cukup
penting.
Demikianlah, maka Raden
Sutawijaya itu pun segera mohon diri kepada Ki Argapati. Dengan mengucapkan
terima kasih, maka ia terpaksa sekali segera meninggalkan Tanah Perdikan
Menoreh.
“Agaknya persoalan yang akan
disampaikan oleh ayahanda Raden cukup penting.”
Raden Sutawljaya hanya
tersenyum saja.
“Kami di sini tidak dapat
memaksa Raden untuk tinggal lebih lama lagi, jika ayahanda memang ingin segera
bertemu dengan Raden.”
Raden Sutawijaya pun kemudian
minta diri pula kepada orang-orang tua yang ada di Induk Tanah Perdikan
Menoreh. Kepada Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal Putung, dan
terutama kepada Ki Waskita.
“Jasa Ki Waskita tidak akan
dilupakan. Bukan saja olehku dan pasukanku, tetapi oleh seluruh Tanah Mataram.”
“Ah,” Ki Waskita berdesah, “sudahlah,
Raden. Aku sudah senang sekali bahwa aku dapat bertemu dengan anakku. Tidak ada
yang lebih baik dari ketenangan di dalam hidup kekeluargaan. Dan agaknya Rudita
pun akan menempuh jalan yang sudah terbuka baginya. Ketenangan di dalam hati
sendiri.”
Raden Sutawijaya memandang
wajah Rudita sejenak. Tetapi anak muda yang perkasa itu mengerutkan keningnya.
Seakan-akan wajah Rudita itu adalah wajah yang lain dari yang dilihatnya pada
saat anak itu belum hilang. Dan bahkan sesaat setelah ia diketemukan.
“Memang ada sesuatu yang
berkembang di dalam jiwa anak itu,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.
Demkianlah, maka pasukan
pengawal dari Mataram itu pun segera bersiap untuk berangkat. Atas persetujuan
Ki Argapati, maka para tawanan pun akan dibawanya pula bersama pasukan itu ke
Mataram. Karena jumlah mereka tidak begitu banyak lagi maka Sutawijaya pun
meminjam beberapa ekor kuda di samping kuda-kuda pasukan Mataram sendiri yang
tersisa, untuk membawa tawanan-tawanan itu.
“Kita akan segera mengembalikan,”
berkata Sutawijaya.
Ketika pasukan pengawal itu
mulai bergerak, anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Menoreh melambaikan
tangannya. Bahkan Prastawa telah melambaikan kedua belah tangannya, sedang
Pandan Wangi memandangi pasukan itu dengan senyum yang tergores di bibirnya.
“Menoreh akan segera menjadi
sunyi kembali,” desisnya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Memang Menoreh akan menjadi sunyi. Setelah terasa kegelisahan dan
kesibukan di seluruh tlatah Menoreh, meskipun pertempuran itu hanya terjadi di
salah satu sudutnya saja, maka kini semuanya itu telah berlalu.
Yang tinggal adalah kepedihan
hati mereka yang telah kehilangan keluarganya di peperangan itu. Seakan-akan
masih terdengar isak tangis mereka di antara derap kaki-kaki kuda yang
gemeretak di atas tanah berbatu-batu.
Demikianlah, maka mereka yang
berada di regol pun perlahan-lahan melangkah melintasi halaman dan kembali ke
pendapa. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru pergi sejenak ke gandok menengok Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar yang masih berbaring.
“Raden Sutawijaya itu sudah
berangkat?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya, Guru,” jawab Agung Sedayu
dan Swandaru hampir bersamaan.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi. Sumangkar pun agaknya lebih
senang mengangguk-angguk saja tanpa bertanya sesuatu. Sambil melangkah ke
pendapa, Swandaru berdesis ragu, “Apakah kau tahu apakah yang penting bagi
Raden Sutawljaya itu?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu.”
“Bagaimana pendapatmu tentang
gadis yang disebut-sebut oleh beberapa orang termasuk Daksina? Apakah agaknya
gadis itu telah menumbuhkan persoalan yang penting bagi Raden Sutawijaya?”
“Mungkin. Bahkan mungkin bukan
saja bagi Raden Sutawijaya. Tetapi juga bagi Mataram.”
Swandaru menarik nafas.
Katanya, “Agaknya memang demikian. Gadis itu gadis yang penting bagi Sultan
Pajang. Menurut pendengaran kami, Sultan Pajang adalah seorang raja yang agak
banyak terlibat hubungan dengan perempuan.”
“Ya. Dan itulah kelemahan Sultan
Pajang.”
“Tetapi agaknya Raden
Sutawijaya pun demikian.”
Agung Sedayu hanya menundukkan
kepalanya saja. Meskipun tidak jelas baginya, namun ia dapat menduga, bahwa
agaknya Sultan Pajang telah mendengar, bahwa salah seorang gadis yang
ditemukannya di Kalinyamat itu telah membuat hubungan dengan Raden Sutawijaya
tanpa ijinnya. Dan apabila persoalannya telah memuncak, maka persoalan pribadi
itu akan membakar hubungan baik antara Pajang dan Mataram yang nampaknya memang
sudah menjadi semakin buram.
Tetapi keduanya tidak
memperbincangkannya lagi. Mereka pun kemudian duduk di pendapa bersama beberapa
orang pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati sendiri telah masuk ke dalam
rumah bersama Pandan Wangi.
Prastawa yang masih ada di
pendapa pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Aku akan ke belakang
dahulu.”
Agung Sedayu merenung sejenak,
lalu, “Aku ikut bersamamu.”
Prastawa memandang Agung
Sedayu sejenak, lalu berpaling kepada Swandaru, “Kau di sini mengawani Ki
Demang sejenak?”
“Aku ikut ke belakang.”
“Biarlah ia ikut ke belakang.
Barangkali ia dapat membantu mengambil air atau membersihkan kuda,” potong Ki
Demang Sangkal Putung. “Aku akan menengok Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
Demikianlah maka mereka pun
telah meninggalkan pendapa. Tetapi di pendapa itu masih ada beberapa orang
pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun agaknya Menoreh
telah menjadi tenang kembali, namun di setiap padukuhan harus dipersiapkan
penjagaan yang baik. Orang-orang yang berhasil melarikan diri dari padepokan
yang pecah itu tentu akan bertebaran ke mana-mana. Mungkin ke tlatah Tanah
Perdikan Menoreh. Mungkin justru memasuki daerah Mataram yang sedang dibuka.
Tetapi mungkin juga mereka memasuki Tanah Mataram dengan tujuan yang sudah jauh
berbeda dengan yang pernah mereka lakukan. Mereka memasuki tlatah Mataram
dengan niat yang baik. Karena mereka telah kehilangan pegangan, maka mereka
merasa lebih baik membuka hutan dan hidup wajar di dalam sebuah padukuhan yang
baru bersama orang-orang yang baru dalam suasana yang lain dari suasana
kehidupan di padepokan Panembahan Agung.
Dalam pada itu, di gandok yang
lain, Ki Waskita duduk di amben yang besar bersandar dinding. Dibiarkannya
angan-angannya terbang dari waktu ke waktu. Yang baru saja terjadi di lembah
terasing itu telah mengungkapkan masa hidupnya yang lampau. Petualangan yang
kadang-kadang agak binal. Namun kemudian semakin matang ia menguasai ilmunya,
maka rasa-rasanya apa yang sudah dilakukannya itu bagaikan bayangan yang pahit.
Dengan sepenuh hati maka ia bertekad untuk menghentikannya.
Maka Ki Waskita memilih suatu
kehidupan yang tenang. Meskipun sebagian dari ilmunya masih terus dapat
dipergunakan, ia memiliki kurnia dari Yang Maha Kuasa untuk melihat isyarat
bagi masa dan tempat yang terpisah oleh waktu dan jarak. Dan karena ilmu itu
dirasakannya tidak merugikan orang lain, maka ia masih tetap mempergunakannya.
Tetapi pada suatu saat ia
harus mempergunakan ilmu yang lain, yang telah disimpannya untuk beberapa lama.
“Untunglah Rudita tidak melihat
seluruhnya, sehingga ia tidak akan menuntut untuk mewarisinya.” Ki Waskita
berhenti sejenak, lalu, “Aku kira ilmu ini tidak sesuai dengan jiwanya yang
agak lemah. Ia memandang semuanya dari kepentingan diri sendiri.” Ki Waskita
mengerutkan keningnya sejenak, lalu, “Tetapi agaknya ia telah berubah. Tetapi
tidak seorang pun dapat menjamin, bahwa apabila ia memiliki ilmu itu, ia akan
menjadi semakin mengendap.”
Dan sekilas terbayang olehnya
Panembahan Agung yang salah langkah justru karena ia memiliki ilmu yang dahsyat
itu.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia adalah orang yang berusaha memandang persoalan yang
dihadapinya, apalagi yang menyangkut orang banyak dengan sejujur-jujurnya.
Meskipun Rudita adalah anaknya sendiri, tetapi ia tidak dapat dengan begitu
saja memberikan pengetahuan yang dapat membahayakan ketenangan lingkungannya
seperti Panembahan Agung.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengucapkan sukur di dalam hatinya, bahwa Yang Maha Kuasa
memberikan tuntunan kepadanya sehingga ia tidak kehilangan akal karena justru
ia telah berhasil menguasai beberapa macam ilmu yang dahsyat, dan bahwa ia
masih dapat menyumbangkan ilmunya bagi ketenangan hidup sesamanya.
Namun agaknya Ki Waskita masih
mempunyai banyak harapan pada anak laki-lakinya itu untuk menemukan jalan yang
baik dan matang. Meskipun sebagai seorang ayah Ki Waskita dibayangi oleh
keragu-raguan dan kecemasan sehingga ia tidak berani melihat isyarat bagi masa
depan Rudita, tetapi berdasarkan perkembangan pribadinya yang dirasakannya di
saat terakhir, agaknya Rudita akan menemukan dirinya bukan sebagai seorang anak
yang cengeng, manja, dan mementingkan dirinya sendiri.
Meskipun demkian setiap kali
ia ingin mencoba melihat masa depan anaknya, ia masih saja dibayangi oleh
keragu-raguan. Ia tidak akan begitu banyak terpengaruh seandainya ia melihat
kemungkinan yang buram bagi orang lain. Bahkan, ia merasa beruntung bahwa ia
dapat memberitahukannya, sehingga orang itu sempat mempersiapkan dirinya dan
menjauhkan kemungkinan yang lebih buruk lagi. Tetapi jika yang dilihatnya itu
adalah masa yang buram bagi anaknya sendiri, maka hatinya tentu akan menjadi
sangat bersedih. Dan itu pun disadarinya, bahwa kelemahan hati manusiawinyalah
yang telah membuatnya takut melihat kenyataan yang bakal dihadapi.
Di belakang, pada saat itu
Prastawa sibuk dengan kerjanya. Meskipun sebenarnya ia masih lelah, namun ia
termasuk anak yang rajin. Ia harus membersihkan kuda yang baru saja mereka
pakai ke medan. Kuda yang dipergunakan oleh pamannya dan Pandan Wangi.
Tetapi kini ia mendapat kawan
bekerja. Agung Sedayu dan Swandaru pun termasuk anak-anak muda yang biasa
bekerja berat, selain beberapa orang pelayan.
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak saja sekedar membersihkan kuda yang mereka pakai sendiri, tetapi juga
kuda-kuda Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
“Daripada kita kehabisan waktu
menimba air, bagaimana jika kuda-kuda ini kita bawa saja ke sungai?” berkata
Swandaru.
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya, “Tetapi tentu tidak sebanyak ini. Nanti kita pergi ke
sungai membawa beberapa saja yang mudah dikuasai.”
Demikianlah, setelah sebagian
dibersihkan di halaman belakang dan dimasukkan ke dalam gedogan, maka yang lain
pun dimandikannya di sungai. Mereka membawa kuda-kuda itu ke dalam air sehingga
dengan mudah mereka memandikannya tanpa menghabiskan tenaga untuk menimba.
Dalam pada itu selagi mereka
sibuk dengan kuda-kuda itu, seseorang perlahan-lahan mendekatinya dengan
ragu-ragu. Sejenak ia berdiri di tepian. Namun kemudian ia melangkah mendekat.
Prastawa-lah yang mula-mula
melihatnya, sambil mengerutkan keningnya ia berdesis, “Anak cengeng itu datang
pula kemari.”
Swandaru berpaling sejenak.
Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Aku juga termasuk anak
manja. Tetapi aku tahu bahwa manja yang berlebih-lebihan seperti itu sama
sekali tidak menguntungkan.”
Agung Sedayu yang juga
berpaling tidak berkata sepatah kata pun. Namun ia melihat sesuatu yang lain di
wajah anak muda yang bernama Rudita itu. Tetapi karena ia tidak yakin akan
penglihatannya, maka ia pun sama sekali tidak mengatakannya.
Prastawa yang benar-benar
telah menjadi jemu melayani Rudita, masih saja berpura-pura tidak melihatnya.
Bahkan ia telah bergeser dan membelakangi anak muda yang berdiri di tepian itu.
Nampaknya ia masih saja sibuk memercikkan air ke tubuh kuda yang sedang
dimandikannya.
Ternyata Swandaru pun tidak
menghiraukannya sama sekali. Seperti Prastawa ia sibuk dengan kudanya dan
menggosoknya dengan sepotong kain.
Agung Sedayu-lah yang kemudian
tidak sampai hati membiarkan anak muda itu terlalu lama berdiri termangu-mangu
di tepian. Karena itulah maka anak muda itu pun mengangkat wajahnya dan
seakan-akan baru saja melihat Rudita itu berdiri di situ.
“O, kau?” bertanya Agung
Sedayu.
Rudita menganggukkan kepalanya.
Jawabnya lambat, “Ya.”
“Kenapa kau kemari?” bertanya
Agung Sedayu pula.
Rudita termangu-mangu sejenak,
lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah aku dapat membantu kalian memandikan
kuda-kuda itu?”
Pertanyaan itu ternyata telah
mengejutkan, sehingga Prastawa dan Swandaru pun terhenti sejenak sambil
memandang Rudita yang termangu-mangu.
“Kau akan memandikan kuda?”
bertanya Prastawa.
Rudita mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Aku memang tidak biasa memandikan kuda, Prastawa. Tetapi aku ingin
belajar melakukannya, akhirnya aku berpendapat, bahwa pada suatu saat aku pun
harus memandikan kuda seperti yang kalian lakukan.”
Prastawa dan Swandaru saling
berpandangan sejenak, sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Seakan-akan ia melihat bayangannya sendiri pada anak muda yang bernama Rudita
itu. Sebagai seorang anak muda yang pernah mengalami perkembangan pribadi yang
cukup berat, maka Agung Sedayu segera dapat merasakan, ada sesuatu yang
bergejolak di hati Rudita.
Karena itu, maka ialah yang mula-mula
menanggapinya dengan penuh minat. Sejenak dipandanginya wajah Rudita yang
nampak bersungguh-sungguh. Kemudian sambil menganggukkan kepalanya ia berkata,
“Kemarilah jika kau memang ingin mencoba menyesuaikan dirimu dengan kehidupan
yang barangkali agak terlampau keras bagimu.”
“Ya. Aku selama ini menganggap
bahwa aku dapat berbuat apa saja tanpa berbuat sesuatu.”
Swandaru dan Prastawa mulai
merasakan getaran di dalam hati anak muda itu. Wajah Rudita nampaknya telah
berubah. Tatapan matanya tidak lagi memancarkan perintah yang tidak
berkeputusan. Mulutnya tidak lagi menuntut perhatian orang lain dan ia mulai
mendengarkan pendapat orang lain atas dirinya.
Anak-anak muda itu pun menjadi
iba kepadanya. Prastawa yang mula-mula merasa sangat jemu karena tingkah
lakunya, kini menganggap anak itu sebagai anak yang paling malang.
“Apakah kau benar-benar akan
mencoba memandikan kuda?” hampir di luar sadarnya Swandaru bertanya.
Rudita mengangguk.
“Baiklah. Kemarilah. Kau tentu
akan segera dapat melakukannya. Jika kau tidak mengejutkan kuda yang sedang kau
mandikan, maka kuda itu pun tidak akan berusaha untuk lari.”
Perlahan-lahan Rudita
melangkah ke dalam air sungai yang tidak begitu dalam. Kakinya memang agak
merasa sakit karena batu-batu kerikil, tetapi sama sekali tidak dihiraukannya,
sehingga semakin lama ia pun menjadi semakin ke tengah mendekati anak-anak muda
yang sedang memandikan kuda itu.
Sejenak kemudian Rudita telah
ikut serta memandikan kuda-kuda itu. Semula tangannya memang agak canggung. Tetapi
semakin lama pekerjaan itu menjadi semakin menarik. Bahkan rasa-rasanya ia
menemukan kegembiraan baru di dalam percikan-percikan air sungai itu.
Rudita tidak menghiraukan lagi
pakaiannya yang kemudian menjadi basah kuyup seperti pakaian anak-anak muda
yang lain. Tetapi Rudita tidak mau melepaskan bajunya seperti kawan-kawannya.
Karena itu, maka baju yang masih dipakainya itu pun menjadi kuyup pula
karenanya.
Sejenak kemudian maka
anak-anak muda itu pun menuntun kuda-kuda itu kembali ke rumah Ki Argapati.
Tidak banyak orang yang memperhatikannya. Mereka yang bertemu di sepanjang
jalan, sekedar mengangggukkan kepalanya, karena mereka sudah mengenal anak-anak
muda itu, sedang memandikan kuda sama sekali bukan pekerjaan yang aneh bagi
mereka.
Ketika mereka sampai di rumah
Ki Argapati, maka mereka pun segera memasukkan kuda-kuda itu ke dalam kandang.
Kemudian anak-anak muda itu pun kembali ke bilik masing-masing untuk mengambil
ganti pakaian yang basah. Mereka masih akan mengguyur tubuh mereka di pakiwan
sebelum mereka berganti pakaian.
Berbeda dengan Agung Sedayu,
Swandaru dan Prastawa yang setelah memberikan keterangan bahwa mereka baru saja
memandikan kuda di sungai maka pakaian mereka yang basah sama sekali tidak
menjadikan persoalan apa pun, namun ternyata bahwa pakaian Rudita yang basah
telah sangat mengejutkan ibunya.
“Kenapa pakaianmu Rudita? Dan
apalagi yang telah terjadi atasmu?”
Rudita memandang ibunya
sejenak, lalu jawabnya dengan tenang, “Aku ikut memandikan kuda di sungai,
Ibu.”
“Memandikan kuda?” ibunya
mengulangi dengan mata terbelalak. “He, kenapa kau harus memandikan kuda?
Apakah tidak ada seorang pelayan pun yang mau memandikan kudamu dan barangkali
juga kuda ayahmu?”
“Aku ikut dengan Agung Sedayu,
Swandaru, dan Prastawa.”
“Kenapa kau ikut dengan
anak-anak itu? Kau dapat menyuruh orang lain. Atau barangkali kau dapat
menyuruh anak-anak itu memandikan kudamu dengan sekedar upah.”
Tetapi kali ini Rudita
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ternyata senang sekali memandikan kuda di
sungai. Barangkali kerja yang lain pun memberikan kegembiraan yang serupa. Aku
belum pernah pergi ke sawah untuk membajak dan mencangkul. Aku kira pekerjaan
itu pun memberikan kepuasan tersendiri. Apalagi jika kelak kita memetik
hasilnya.”
“He, aku tidak mengerti apa
yang kau maksudkan?”
“Ibu,” berkata Rudita,
“ternyata aku selama ini telah jauh ketinggalan dari anak-anak muda sebayaku.
Aku tidak dapat mengerjakan apa yang sanggup mereka lakukan dengan baik.”
“O, Rudita. Apakah sebenarnya
yang telah terjadi atasmu. Kenapa kau tiba-tiba saja telah berubah. Kau tidak
perlu berbuat apa-apa anakku. Kau tidak perlu berbuat seperti anak-anak padesan
itu. Kita mempunyai banyak pelayan di rumah. Kita mempunyai uang untuk mengupah
orang-orang yang dapat mengerjakan pekerjaan kita.”
“Itulah yang membuat aku
ketinggalan, Ibu. Terlalu jauh.”
Ibunya masih akan menjawab.
Tetapi mereka berpaling ketika terdengar suara, “Tetapi masih ada kesempatan
mengejar ketinggalan itu, Rudita.”
Ibunya memandang Ki Waskita
yang berdiri di muka pintu sambil menatap wajah anaknya. Dengan nada yang datar
ayahnya itu berkata selanjutnya, “Kau agaknya telah menemukan jalan yang benar
anakku.”
“Apakah yang kau maksud,
Kiai?” bertanya ibu Rudita itu. “Apakah kau akan menjadikan anak kita seperti
anak-anak padesan yang melarat itu dan membuatnya menjadi budak? Tidak. Anakku
harus menjadi anak yang lebih baik dari mereka. Anakku tidak seharusnya bekerja
di sawah, apalagi memandikan kuda.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya kita berterima kasih, bahwa sepercik cahaya
terang telah memancar di hati anak kita itu.”
Nyai Waskita termangu-mangu
sejenak. Tetapi nampak pada sorot matanya bahwa ia tidak dapat mengerti
keterangan suaminya. Baginya Rudita adalah anak yang lain dari anak-anak
padesan. Bahkan bagi ibu Rudita itu, anaknya adalah anak yang lebih tinggi
martabatnya dengan anak-anak Sangkal Putung meskipun yang seorang dari keduanya
adalah anak Demang di Sangkal Putung.
Tetapi ibu Rudita itu tidak
berusaha mengetahui lebih banyak tentang sikap suaminya. Ia seolah-olah telah
menentukan sikapnya sendiri terhadap anaknya. Karena itu maka katanya kemudian,
“Aku akan tetap menjaga agar derajat anakku tidak merosot. Ia harus tetap anak
yang baik, yang terhormat dan berwibawa.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia pun sadar, bahwa tidak akan ada gunanya menjelaskan
kepada isterinya untuk langsung dapat dimengerti.
“Mudah-mudahan pada suatu saat
ibunya dapat mengerti,” katanya di dalam hati.
Rudita sendiri kemudian merasa
dirinya berdiri di persimpangan jalan. Ia kini sadar, bahwa ibunya masih tetap
dalam sikapnya. Dan itulah yang membuatnya semakin jauh dapat menyelami dirinya
sendiri. Perlahan-lahan ia dapat melihat sebab yang membuatnya tumbuh di dalam
keadaan yang lain dari anak-anak muda sebayanya.
Ketika malam kemudian menyaput
induk Tanah Perdikan Menoreh, maka Rudita mendapatkan Agung Sedayu dan Swandaru
yang duduk di serambi gandok. Udara yang panas membuat mereka tidak tahan
berada di dalam bilik menunggui Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi mereka
terlampau asik berbicara di antara mereka orang-orang tua bersama Ki Demang
Sangkal Putung.
Tetapi sikap Rudita pun
kemudian sudah sangat berlainan. Ia tidak lagi memandang kedua anak-anak muda
itu dengan kepala tengadah dan mengucapkan perintah-perintah dan menyatakan
keinginan-keinginannya tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Kini Rudita itu
duduk di hadapan Agung Sedayu dan Swandaru dengan kepala tunduk.
“Aku minta maaf kepada
kalian,” berkata Rudita itu, “kepada kau berdua, kepada Pandan Wangi, dan
kepada Prastawa.”
Agung Sedayu bergeser setapak.
Lalu katanya, “Kesalahanmu bukan kesalahan yang tidak termaafkan. Kami tahu,
bahwa kau selama ini dibayangi oleh kepribadian yang belum terbentuk karena
lingkungan keluargamu. Hampir tidak masuk akal bahwa kau adalah anak Ki Waskita
yang tidak dapat dibayangkan, betapa tinggi kemampuannya.”
Rudita mengerutkan keningnya,
lalu,”Maksudmu?”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Lalu, “Ayahmu adalah seorang yang memiliki ilmu tidak ada duanya dari
mereka yang pernah aku kenal.”
Rudita tidak mengerti yang
dimaksud oleh Agung Sedayu. Namun kemudian ia menyahut, “Ayah hanya mampu
menebak apa yang dilihatnya dalam isyarat. Kadang-kadang benar dan
kadang-kadang salah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mulai merasakan sesuatu yang ganjil pada tanggapan Rudita terhadap ayahnya.
Bahkan mereka pun kemudian mulai curiga bahwa Rudita tidak banyak mengetahui
bahwa ayahnya memiliki kemampuan olah kanuragan yang luar biasa di samping
ilmunya yang ajaib itu.
Karena itu, maka Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian tidak lagi berbicara tentang kemampuan Ki Waskita.
Namun mereka ingin menjajagi perkembangan pribadi Rudita
“Rudita,” Swandaru-lah yang
kemudian bertanya kepadanya, “aku melihat sesuatu yang berubah pada dirimu.
Apakah kau menyadarinya?”
“Aku menyadari,” berkata
Rudita, “aku merasa bahwa aku selama ini bersikap lain dengan sikap anak-anak
muda sebayaku. Aku dipengaruhi oleh perasaan yang baru sekarang aku sadari,
bahwa hal itu kurang menguntungkan bagi diriku sendiri.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Tetapi kau adalah orang yang jujur sekali Rudita. Jarang
sekali orang yang mau mengakui kelemahan sendiri di masa lampaunya.”
“Aku mengalami getaran yang
sangat dahsyat di dalam jiwaku. Aku bahkan merasa bahwa aku tidak akan pernah
dapat melihat matahari terbit esok pagi.” Rudita berhenti sejenak, lalu,
“Ketika Paman Sumangkar menemukan aku, rasa-rasanya aku adalah orang yang mati
dan hidup lagi. Goncangan itulah yang membuat aku harus mengakui apa yang
terjadi atas diriku.”
“Apakah dengan demikian kau
kemudian berhasrat untuk mempelajari olah kanuragan?”
“Sudah terlambat.”
“Tidak. Kau adalah seorang
laki-laki. Adikku, Sekar Mirah adalah seorang gadis. Ia bertekun mempelajari
ilmu di saat ia sudah dewasa. Ia pun mengalami goncangan seperti yang terjadi
atasmu ketika ia diculik oleh seorang laki-laki yang menginginkannya. Kini
Sekar Mirah adalah seorang gadis yang dapat menjaga dirinya sendiri.”
Rudita tersenyum. Katanya,
“Tetapi aku memilih jalan lain. Kekerasan bukan satu-satunya jalan untuk
membina ketenteraman. Jika Raden Sutawijaya dan Paman Argapati mempergunakan
kekerasan untuk membuat Mataram dan Menoreh tenteram dan tidak lagi diganggu
oleh orang-orang bersenjata yang ternyata di bawah pimpinan Panembahan Agung
itu, maka aku akan memilih jalan lain.”
“Apakah yang kau pilih itu?”
bertanya Agung Sedayu.
“Jika setiap orang
menghindarkan diri dari tindak kekerasan, maka rasa-rasanya kita bersama-sama
akan hidup tenteram. Memang agaknya kemungkinan itu jauh sekali dari batas
pencapaian di masa kini. Tetapi aku kira, itu adalah cara yang dapat dimulai.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mendengarkan kata-kata Rudita itu dengan dada yang berdebar-debar. Mula-mula mereka
tidak begitu menyadari arti dari kata-kata itu. Namun kemudian terasa sesuatu
yang lain menyentuh hati mereka.
“Jika kita masih tetap
menganggap bahwa kekerasan adalah jalan satu-satunya untuk mendapatkan
ketenangan, maka aku kira kita tidak akan pernah sampai pada ketenangan yang
sebenarnya,” berkata Rudita pula.
“Tetapi,” dengan ragu-ragu
Swandaru menyahut, “apakah sikap itu akan ada artinya apabila kita harus
berhadapan dengan kekerasan? Kita tentu tidak akan dapat meneriakkan aba-aba
agar semua orang menghentikan kekerasan dalam satu saat yang sama. Dengan
demikian, maka sikap itu pun akan terguncang oleh kenyataan bahwa kita
berhadapan dengan sikap yang lain. Apakah dalam keadaan serupa itu kita tidak
seharusnya berusaha mempertahankan diri sebagai salah satu sifat manusiawi,
bahwa kita selalu ingin mempertahankan hidup kita dan menghindari kematian
sejauh dapat kita lakukan.”
“Kau benar, Swandaru,” berkata
Rudita, “seperti yang aku katakan, masa itu adalah masa yang masih jauh sekali
dari masa kini, di mana sikap tenang dan damai tidak dilambari dengan sikap
kekerasan. Tetapi menurut pendapatku, sesuai dengan keadaanku, maka bagiku
jalan inilah yang paling tepat aku tempuh. Tentu tidak akan dapat tercapai
sejauh umurku. Jika ada orang lain yang dapat mengerti caraku berpikir dan
berusaha untuk bersama-sama melakukannya, maka aku akan berbesar hati.
Mudah-mudahan pada suatu saat yang jauh sekali, akan datang waktunya bahwa
kekerasan bukan merupakan pelindung yang paling utama untuk mendapatkan kedamaian.”
Swandaru memandang wajah
Rudita sejenak. Rasa-rasanya yang diajaknya berbicara kali ini bukan Rudita
yang beberapa hari yang lalu masih saja membentak sambil berkata, “Hasil buruan
yang pertama akan aku hadiahkan kepada Pandan Wangi.”
Bahkan Agung Sedayu menerima
kata-kata Rudita itu dengan debar yang rasa-rasanya menghentak-hentak di
dadanya. Ia sendiri pernah mengalami masa yang serupa dengan Rudita. Tetapi
akibat yang kemudian tumbuh adalah berbeda sekali. Ia sendiri memilih jalan
kekerasan untuk memantapkan diri, mempelajari ilmu kanuragan dan ketahanan
jasmaniah, namun Rudita memilih jalan yang lain. Ia memilih jalan yang terasa
asing. Namun justru jalan yang sangat mengagumkan.
Namun Agung Sedayu pun
menyadari alasan dari perkembangan yang berbeda itu. Pada masa kecilnya, betapa
pun ibunya memanjakannya seperti ibu Rudita, namun ia sempat mempelajari
beberapa jenis kemampuan jasmaniah. Ia mempelajari dasar-dasar tata bela diri
dan ilmu bidik yang ternyata melampaui kemampuan orang kebanyakan. Modal itulah
yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan kepribadiannya. Dan
agaknya berbeda dengan Rudita. Meskipun ayahnya seorang yang memiliki kelebihan
yang jarang ada duanya, namun agaknya Rudita sama sekali tidak pernah
diperkenalkan dengan ilmu olah kanuragan sehingga arah perkembangan
kepribadiannya pun sangat berlainan dangan Agung Sedayu.
“Rudita,” berkata Agung Sedayu
kemudian, “sikapmu sangat mengagumkan. Aku iri mendengar pernyataanmu tentang
dunia yang kau cita-citakan. Tetapi apakah kau tidak membayangkan, betapa pun
bersihnya suatu cita-cita, namun apabila cita-cita itu tidak pernah dapat
berkembang, bukankah itu sama artinya dengan kesia-siaan?”
“Tentu, Agung Sedayu,” jawab
Rudita, “karena itu terserahlah kepada orang lain yang menanggapi sikapku. Jika
tidak ada orang lain yang berpendapat sesuai dengan pendapatku, dan bahkan aku
akan tergilas oleh sikap yang lain dalam waktu yang singkat, maka yang aku
harapkan itu tidak akan pernah terwujud. Tetapi aku masih ada harapan lain,
bahwa pada suatu saat ada orang lain yang meskipun belum pernah mendengar
namaku dan belum pernah mengetahui sikapku ini, akan mengambil sikap serupa.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk
kecil. Lalu katanya, “Apakah bedanya sikapmu itu dengan sikap seseorang yang
meskipun memiliki kemampuan yang tinggi tetapi ia mendambakan kedamaian yang
kekal. Justru dengan demikian ia akan dapat memelihara dan mempertahankan
sikapnya itu jika orang lain berusaha menghancurkan cita-citanya dengan
kekerasan, maka ia mempunyai kekuatan untuk melindunginya.”
“Agung Sedayu. Di dalam
pertempuran yang baru saja terjadi di padepokan yang terpencil itu, aku melihat
sesosok tubuh raksasa. Aku semula tidak mengerti, karena bentuk yang satu mirip
sekali dengan ayahku. Ternyata Panembahan Agung sedang bermain-main dengan
bentuk semunya. Bentuk yang menurut Paman Sumangkar dapat mengelabuhi siapa pun
juga yang ada di sekitar jarak jangkau ilmunya. Namun akhirnya yang semu itu
tidak ada artinya apa-apa. Demikian juga agaknya kekerasan itu. Yang dapat
dicapai dengan kekerasan adalah keadaan yang semu, karena pada suatu saat
kekerasan yang lain akan saling berbenturan sehingga akhirnya kekuatan yang
satu akan segera lenyap karena kekuatan yang lain yang timbul kemudian.
Demikian seterusnya. Tetapi jika kita bersama-sama sama sekali tidak memiliki
kemampuan apa pun yang bersifat kekerasan, kita tidak akan dapat berbuat
demikian. Dan kita akan menemukan ketenangan yang sebenarnya di dalam sikap
damai setiap orang.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Ia dapat mengerti pendirian itu, namun bagi Swandaru pendirian Rudita masih
merupakan suatu mimpi yang samar-samar terapung di langit yang jauh sekali.
Meskipun Swandaru tidak menolak, bahwa jika benar keadaan yang demikian itu
dapat dicapai, maka hidup di dunia ini akan menjadi semakin tenang.
Agung Sedayu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Seperti Swandaru ia pun mengerti. Bahkan ia
lebih dalam tersentuh oleh kata-kata Rudita itu. Dan menurut pendapat Agung
Sedayu, apa yang dikatakan oleh Rudita itu adalah murni tumbuh dari sanubarinya
sendiri setelah ia mengalami goncangan perasaan yang sangat dahsyat.
“Agung Sedayu,” berkata Rudita
kemudian, “peristiwa yang baru saja terjadi telah melontarkan aku ke dalam
puncak perasaan takut. Dengan demikian maka kini justru timbul pertanyaan di
dalam diriku, kenapa aku harus ketakutan menghadapi peristiwa semacam itu.
Takut atau tidak takut sebenarnya bagiku tidak akan ada bedanya. Jika tidak ada
Paman Sumangkar yang menolongku, maka aku sekarang sudah tidak akan sempat
berbicara dengan kau lagi. Karena itu sebenarnya sia-sialah perasaan takut itu
bagiku. Mungkin tidak bagimu, karena di dalam ketakutan kau dapat mencurahkan
ilmumu untuk melindungi dirimu. Tetapi tidak bagiku. Aku tidak perlu takut,
karena aku tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sehingga karena perasaan takut
atau tidak takut sama saja bagiku, sebaiknya aku belajar mengusir perasaan
takut itu. Ketakutan yang bagaimana pun juga tidak akan menolongku.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berpaling memandang wajah Swandaru. Wajah itu tampak
tegang. Namun kemudian kepala Swandaru pun terangguk-angguk kecil.
Agung Sedayu pun kemudian
mengangguk-angguk pula di luar sadarnya. Rudita benar-benar telah menemukan
dirinya di dalam bentuknya yang lain. Jika Agung Sedayu pun kemudian berhasil
melepaskan diri dari belenggu perasaannya dari ketakutan, maka agaknya Rudita
pun demikian. Namun Rudita menganggap bahwa lebih baik baginya untuk berada di
dalam sikapnya yang damai tanpa ketakutan sama sekali apa pun yang akan
dialami.
Untuk beberapa saat ketiga
anak-anak muda itu berdiam diri, masing-masing dengan angan-angannya sendiri.
Agung Sedayu dan Swandaru masih saja merenungi sikap Rudita yang dapat mereka
mengerti, namun masih belum dapat mereka lakukan karena pertimbangan yang
berlapis-lapis.
“Aku hormati sikapmu,” desis
Agung Sedayu kemudian, “ternyata bahwa kau jauh lebih berani daripada aku. Aku
mengerti bahwa jalan itu benar. Tetapi aku tidak mempunyai keberanian untuk
menempuhnya. Dan kau pun benar, bahwa dengan ketakutan sebagai dasar yang
paling dalam, maka aku merasa perlu untuk menempa diri dengan berbagai macam
ilmu, sekedar untuk mendapatkan ketentraman hati. Dan agaknya kau telah
menemukan sikap yang damai dan tenang tenteram tanpa mempelajari ilmu yang kau
sebut dengan sikap kekerasan itu.”
Rudita tersenyum. Katanya,
“Mungkin dapat juga diartikan, aku sudah terlanjur menjadi anak yang malas,
yang tidak mempunyai kemampuan dan kemauan apa pun lagi untuk memilih sikap
yang lain dari sikapku ini.”
“Sikapmu agaknya bukan sekedar
karena kau tidak dapat berbuat yang lain,” jawab Swandaru, “agaknya kau
meyakini bahwa sikap itu adalah sikap yang paling baik kau lakukan.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut.
Maka malam pun menjadi semakin
dalam. Di langit bintang bertebaran dari ujung sampai ke ujung. Di kejauhan
terdengar suara bilalang berderik bersahut-sahutan.
Rudita menarik nafas.
Kadang-kadang bulu-bulunya masih juga meremang jika ia mengenang masa-masa yang
mengerikan di padepokan yang terasing itu. Namun ia tersenyum sendiri
mengenangkan saat-saat ia menangis hampir semalam suntuk. Dan ternyata
tangisnya sama sekali tidak menolongnya. Yang menolongnya adalah Ki Sumangkar
yang memasuki padepokan itu.
Meskipun Ki Sumangkar harus
berbekal kekerasan selagi melepaskannya, namun kekerasan itu sendiri agaknya
tidak lagi diperlukannya bagi dirinya sendiri.
Pembicaraan mereka pun
terputus ketika Prastawa kemudian datang memanggil mereka dan Ki Demang Sangkal
Putung untuk makan bersama. Sedang bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, Pandan
Wangi telah membawa dan melayani mereka berdua makan di dalam biliknya.
“Aku dapat naik ke
pringgitan,” berkata Sumangkar, “mungkin bagi Kiai Gringsing masih diperlukan
pelayanan di dalam bilik ini.”
“Beristirahat sajalah, Kiai,”
sahut Pandan Wangi, “biarlah aku melayani Kiai berdua. Meskipun luka-luka Kiai
tidak separah Kiai Gringsing, tetapi biarlah Kiai beristirahat secukupnya.”
Dengan demikian, di pringgitan
kemudian berkumpul beberapa orang tua bersama anak-anak muda untuk makan
bersama. Sedangkan ibu Rudita seperti biasanya makan bersama beberapa orang
perempuan yang sibuk di dapur membantu menyediakan makan bagi para tamu dan
pengawal yang masih selalu bersiap-siap.
Sekali-sekali mereka yang
makan di pringgitan itu masih juga berbicara tentang kekuatan yang tersembunyi
di padepokan terpencil itu. Kekuatan yang sebenarnya akan sangat berarti jika
disalurkan lewat jalan yang benar dan baik.
Dengan demikian Rudita pun menjadi
semakin yakin, bahwa ilmu yang semakin tinggi, akan semakin berbahaya. Sifat
manusia adalah lupa diri. Betapa pun juga ia mendasari dirinya dengan
sifat-sifat yang baik, namun apabila pada suatu saat ia tersentuh oleh nafsu
yang tidak terkendali, maka kemampuannya itu pun akan tergeret oleh nafsunya
dan akan disalah-gunakannya.
Demikian asyiknya mereka
berbicara, akhirnya sampai juga mereka pada Raden Sutawijaya. Seorang anak muda
yang mengagumkan. Namun timbul pula pertanyaan di dalam diri mereka, siapakah
sebenarnya gadis yang telah disebut-sebut berasal dari Kalinyamat itu.
Dalam pada itu, Raden
Sutawijaya sendiri yang sedang dibicarakan itu, telah dicengkam oleh kecemasan
yang sangat. Betapa pun ia mencoba menyembunyikan perasaannya, namun tampaklah
bahwa ia sedang kebingungan.
Ki Lurah Branjangan yang telah
menduga bahwa sesuatu sedang bergolak di dalam hati anak muda itu,
sekali-sekali ingin juga bertanya kepadanya. Tetapi ia selalu ragu-ragu dan
pertanyaan itu masih belum dapat dilontarkannya. Ia hanya dapat duduk
memandangi anak muda yang murung itu sambil menunggu saat yang baik untuk
bertanya.
Namun dalam pada itu, beberapa
orang pengawal justru menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti, kenapa Sutawijaya
telah menghentikan pasukannya justru setelah mereka berada di mulut Tanah
Mataram.
“Apakah kita harus tidur di
belukar ini setelah rumah kita berada di depan hidung?” desis seorang pengawal
yang nampaknya sudah terlalu letih sehingga seakan-akan ia sudah tidak lagi
dapat menahan hati untuk segera pulang dan tidur dengan nyenyaknya.
Kawannya hanya dapat
mengangkat bahu. Mereka tidak mengerti kenapa mereka harus berhenti. Jika
mereka harus beristirahat di tempat itu, maka akan lebih baik jika jarak yang
pendek itu mereka selesaikan saja sama sekali. Baru kemudian mereka
beristirahat sebaik-baiknya.
Tetapi tidak seorang pun yang
menanyakannya kepada Sutawijaya. Bahkan utusan yang memanggilnya agar ia
cepat-cepat pulang ke Tanah Mataram itu pun tidak bertanya apa-apa. Bahkan
utusan itu malahan mendekati Ki Lurah Branjangan dan duduk di sebelahnya.
“Apakah ada sesuatu yang tidak
wajar terjadi atas Raden Sutawijaya?” bertanya utusan itu.
Ki Lurah Branjangan hanya
dapat menarik nafas dalam-dalam, sambil bergumam, “Aku tidak mengerti perasaan
apa yang berkecamuk di dalam dadanya.”
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka sekilas memandang Raden Sutawijaya yang duduk bersandar sebatang pohon.
Kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir.
“Ki Lurah,” berkata utusan
itu, “agaknya Raden Sutawijaya memang sedang menghadapi kesulitan.”
“Ya,” sahut Ki Lurah
Branjangan, “apakah kau benar-benar tidak mengerti, atau setidak-tidaknya
mendengar desas-desus, apakah desas-desus itu salah atau benar, bahwa sesuatu
telah terjadi sehingga ia telah terpaksa pulang dengan tergesa-gesa?”
Utusan itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Hanya sekedar desas-desus. Tetapi sudah barang
tentu tidak akan dapat dijadikan pegangan. Dan itulah sebabnya aku bertanya
kepada Ki Lurah barangkali Ki Lurah mengetahuinya.”
“Aku tidak tahu. Tetapi
bagaimana bunyi desas-desus itu?”
Utusan yang menjemput Raden
Sutawijaya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya berbisik, “Raden
Sutawijaya telah membuat hubungan gelap dengan seorang gadis dari Kalinyamat,
yang seharusnya diperuntukkan bagi ayahandanya Sultan Pajang.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnya ia sudah tidak terkejut lagi. Ia memang
sudah menduga bahwa hal itulah yang menjadi persoalannya. Ia pernah mendengar
desas-desus yang serupa pula. Dan agaknya hal itu sudah bukan merupakan rahasia
lagi, meskipun belum seorang pun yang berani mengatakannya dengan
berterus-terang. Setiap mulut berbisik ke setiap telinga dengan pesan, “Jangan
kau katakan kepada orang lain.” Namun akhirnya desas-desus itu sudah merata di
seluruh Tanah Mataram.
Utusan yang membisikkan
desas-desus itu menjadi berdebar-debar. Bahkan kemudian ia bertanya, “Kau tidak
sependapat bahwa hal itu telah terjadi?”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Bukan aku tidak sependapat bahwa hal itu
telah terjadi. Jika hal itu sudah terjadi, apa yang dapat aku lakukan? Tetapi
aku memang tidak sependapat bahwa hal itu terjadi. Tetapi sudah barang tentu
yang sudah terjadi itu terjadilah.”
Utusan itu mengangguk-angguk.
Katanya, “Jika benar hal itu telah dilakukan oleh Raden Sutawijaya, maka yang
akan terjadi tentu tidak kita harapkan bersama. Kesulitan demi kesulitan akan
melanda Mataram. Hari ini Mataram telah membebaskan diri dari gangguan orang
yang menyebut dirinya Panembahan Tidak Bernama yang juga disebut Panembahan
Alit dan orang yang lebih berbahaya lagi, Panembahan Agung, namun kesulitan
yang bakal datang adalah dari Pajang. Di Pajang tidak kurang jumlah orang sakti
yang akan dapat mempengaruhi pertumbuhan Mataram.”
Ki Lurah Branjangan memandang
saja ke dalam kegelapan yang rasa-rasanya semakin mencengkam. Lamat-lamat ia
masih melihat bayangan Sutawijaya yang berjalan hilir-mudik. Sepercik cahaya
perapian telah mewarnai wajahnya menjadi kemerah-merahan.
“Ya,” jawab utusan itu, “di
Pajang masih ada beberapa orang sakti. Mereka adalah senapati-senapati yang
terpilih. Sepeninggal Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, masih ada Ki
Mancanagara, masih ada Ki Wilamarta dan Ki Wuragil. Masih ada senapati-senapati
lain yang namanya cukup mendebarkan, selain mereka masih juga harus diingat,
bahwa kekuasaan Pajang meliputi Pesisir Lor dan Wetan, para adipati tentu tidak
akan tinggal diam jika Sultan Pajang menjatuhkan perintah atas mereka untuk
menyapu Mataram yang kini masih tidak lebih dari sebutir debu di pantai.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Memang Mataram masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan
Pajang keseluruhan. Tanpa para adipati itu pun Mataram tentu akan menghadapi
kesulitan apabila senapati di daerah Selatan yang justru merupakan jalur lurus
antara Pajang dan Mataram itu mulai bertindak. Jika Sultan Pajang menjatuhkan
perintah atas Untara maka Mataram akan menghadapi persoalan yang sangat rumit.
Kekuatan Untara memang masih belum sebesar kekuatan Mataram jika dihimpun
seluruhnya. Tetapi Untara adalah bagian kecil saja dari seluruh pasukan yang
ada. Jika dikehendaki, maka pasukan Untara dalam waktu satu hari satu malam
dapat ditambah dengan dua kali lipat, di bawah pimpinan senapati yang berilmu
tinggi.
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Ia mengetahui semuanya itu. Tetapi ada sesuatu yang
mendesaknya untuk pergi ke Mataram saat itu. Bukan ia sendiri, tetapi beberapa
kawannya dan beberapa orang prajurit.
Tetapi agaknya Pajang yang tampak
kuat di luar itu, ternyata semakin lama menjadi semakin rapuh. Para senapatinya
telah menentukan sikapnya sendiri-sendiri. Jika Ki Lurah Branjangan itu pergi
ke Mataram, maka Daksina telah berada di padepokan terpencil di bawah pengaruh
Panembahan Agung, meskipun Daksina sendiri bukannya orang tertinggi di Pajang
di dalam lingkungannya.
“Apakah pada saatnya Pajang
akan runtuh dengan sendirinya?” bertanya Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan
masih tetap berdiam diri. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya langit yang
gelap menjadi semakin gelap. Segumpal mendung yang hitam mengalir di ujung
langit menutupi bintang yang bertebaran, dan hujan tentu sudah jatuh di bagian
lain dari daerah Mataram
Raden Sutawijaya masih saja berjalan
hilir-mudik dengan gelisahnya. Kegelisahannya ternyata membuat para pengawal
itu menjadi gelisah pula.
“Jika kita berjalan terus,
kita tentu sudah berada di mulut gerbang,” desis seorang pengawal.
Tetapi kawannya sama sekali
tidak menyahut. Mereka tidak akan dapat merubah keputusan Raden Sutawijaya.
Bahkan utusan yang seolah-olah telah memaksa anak muda itu meninggalkan
Menoreh, sama sekali tidak berbuat apa-apa meskipun pasukan para pengawal itu
sudah berada di depan pintu gerbang.
Selagi para pengawal itu
merenung, maka tiba-tiba saja terdengar Raden Sutawijaya itu memanggil Ki Lurah
Branjangan, sehingga dengan tergesa-gesa Ki Lurah itu berdiri dan melangkah
mendekatinya.
“Raden memanggil aku?”
bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Ya, Ki Lurah,” sahut Raden
Sutawijaya, “kemarilah. Aku ingin berbicara sedikit.”
Ki Lurah Branjangan pun
menjadi termangu-mangu. Namun ketika Sutawijaya kemudian duduk di atas sebuah
batu, maka Ki Lurah Branjangan pun berjongkok pula.
“Duduklah,” berkata Raden
Sutawijaya, “aku ingin berbicara dengan Paman seorang diri.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk pula di atas sebuah batu. Ketika ia
berpaling, dilihatnya utusan yang tadi berbicara dengannya itu sudah melangkah
pergi.
“Ki Lurah,” berkata Sutawijaya
kemudian, “sebenarnya ada sesuatu yang menyulitkan kedudukanku sekarang.”
Ki Lurah Branjangan yang sudah
menduga, persoalan apa yang sedang mencengkam hati Raden Sutawijaya itu,
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih tidak segera menanggapinya,
seolah-olah ia masih belum mengetahuinya sama sekali.
Tetapi Sutawijaya itu pun
berkata, “Paman tentu sudah mengetahuinya. Bahkan sebagian para pengawal
Mataram pun sudah membicarakannya. Daksina menyebutnya dengan berterus-terang
di hadapan para pengawal. Maksudnya memang dengan sengaja mempengaruhi
perasaanku pada waktu itu.”
“Persoalan apakah yang Raden
maksudkan?”
“Ki Lurah tentu sudah
mengetahuinya.”
Ki Lurah memandang wajah Raden
Sutawijaya sejenak. Meskipun wajah itu hanya disentuh oleh nyala perapian yang
redup namun Ki Lurah Branjangan dapat menangkap betapa tegangnya perasaan Raden
Sutawijaya, sehingga ia sama sekali tidak dapat menyembunyikannya lagi.
“Raden,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “ada beberapa persoalan yang sedang kita hadapi bersama. Tetapi
persoalan yang khusus bagi Raden, tentu aku tidak berani menyebutnya. Jika aku
keliru, barangkali Raden dapat marah kepadaku, sedangkan persoalan yang
sebenarnya adalah persoalan yang sama sekali tidak menyangkut masalah yang aku
perkirakan itu.”
Raden Sutawijaya termenung
sejenak. Lalu katanya, “Baiklah, Paman. Paman adalah orang yang sudah jauh
lebih masak dari padaku.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Aku kini
dihadapkan pada persoalan yang sangat rumit. Aku tentu akan dituntut oleh suatu
pertanggungan jawab yang barangkali berada di luar batas kemampuanku untuk
mempertanggung-jawabkannya.”
Ki Lurah Branjangan hanya
mengangguk-angguk saja. Dan Sutawijaya pun mulailah menceriterakan apa yang
pernah terjadi atas dirinya selagi ia pada suatu saat datang ke Pajang.
“Aku menjumpai gadis itu di
luar rencanaku,” berkata Sutawijaya, “tetapi tiba-tiba saja hal itu sudah
terjadi. Gadis itu terlampau cantik, manja, dan seakan-akan pasrah diri. Dan
akhirnya terjadilah semuanya itu. Apa yang dikatakan Daksina itu sebenarnyalah
memang sudah terjadi.”