Ki Argapati menarik nafas
dalam. Tetapi tatapan matanya sama sekali tidak bergeser serambut pun.
Perlahan-lahan ia berkata, “Pandan Wangi. Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu.
Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku besok malam, maka kau akan berkata
seperti yang sudah kau ucapkan sebelum ini. Bukankah kau berusaha mencegah aku
melakukan gerakan hari ini?”
Sekali lagi Ki Argapati
berhenti. Dan sejenak kemudian dilanjutkannya, “Tetapi itu adalah wajar sekali.
Kau sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang gadis yang kebetulan
menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk mencegah benturan yang terjadi antara
ayah dan kakakmu.”
“Tidak Ayah. Tidak. Kakang
Sidanti telah mendurhakai ayahnya.”
Terasa dada Argapati berdesir.
Perlahan-lahan, perlahan sekali ia berkata supaya tidak didengar oleh orang
lain, “Tidak Wangi. Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia melakukan
perintah ayahnya tanpa berpikir lagi.”
“Oh,” nafas Pandan Wangi
serasa semakin sesak. Dan tiba-tiba tangisnya pun menjadi semakin keras.
“Sudahlah Wangi. Jangan kau
risaukan apa yang akan terjadi. Kau adalah pewaris satu-satunya tanah ini.
Seandainya terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang akan menjadi Kepaia
Tanah Perdikan Menoreh.”
Pandan Wangi masih akan
menjawab. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, ayahnya mendahuluinya,
“Sudahlah. Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang.”
Gadis itu sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya, ketika ia melihat ayahnya
memberi isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah terdikan ini untuk menarik
pasukannya. Kepada Samekta ia berkata, “Kita tunda sampai lusa. Besok malam aku
mendapat kepastian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiagaan penuh. Setiap
saat dapat terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat berkembang dengan cepatnya.”
Segores kekecewaan membayang
di wajah Samekta, seperti di setiap wajah para pemimpin pasukan pengawal tanah
perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat itu. Mereka serasa
mempunyai sebuah bisul di dada mereka. Apabila bisul itu masih belum pecah,
maka mereka pun sama sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu,
lebih baik mereka datang kepada lawan daripada mereka harus bertahan, apabila
Sidanti dan pasukannya mendahului.
Tetapi apa boleh buat, Ki
Argapati menghendaki demikian. Betapa beratnya, maka para pengawal itupun
segera ditarik ke tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak
segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang dengan sukarela ikut
serta di dalam pasukan itu sajalah yang diperkenankan pulang. Namun setiap saat
mereka harus berkumpul dengan senjata siap di tangan.
Mekipun demikian, para peronda
menjadi semakin sibuk memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi.
Setiap saat mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang paling suram dalam
sejarah pertumbuhan tanah perdikan itu.
Sementara itu matahari menjadi
semakin lama semakin rendah. Kemudian cahayanya yang kemerah-merahan mewarnai
langit yang bersih, ketika matahari itu hampir tenggelam di balik pebukitan.
Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan didorong oleh angin ke Utara.
Pandan Wangi duduk termenung
di pembaringannya. Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang
paling pahit dan yang paling dahsyat memang dapat terjadi.
Terasa dadanya menjadi
berdebar-debar. Ia tidak akan dapat tenang, apapun yang dilakukannya.
Kadang-kadang ia berdiri dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba
membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi kegelisahannya
tidak dapat dilupakannya.
Ia sama sekali tidak
melepaskan pakaian berburunya. Seperti pakaian seorang laki-laki. Pakaian yang
tidak biasa dikenakannya sehari-hari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk selalu
mengenakan pakaian itu. Seolah-olah sesuatu akan terjadi. Dan seolah-olah ia
harus ikut serta berbuat sesuatu.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya melihat seseorang masuk ke dalam biliknya dan memasang lampu minyak.
Tanpa berkata sepatah kata pun, orang itu segera keluar lagi. Ternyata hari
sudah menjadi semakin suram. Satu-satu bintang mulai bergayutan di langit,
seakan-akan berebut dahulu.
“Malam ini adalah malam
terakhir sebelum purnama naik,” desisnya perlahan-lahan sekali. Namun terasa
hatinya menjadi pedih oleh angan-angannya sendiri.
Dalam kegelisahannya itu,
Pandan Wangi melangkah keluar biliknya. Tanpa sesadarnya ia berjalan lewat di
muka pintu bilik ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya sedang
menimang-nimang tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik berbicara, apakah
sebaiknya yang akan mereka lakukan bersama-sama besok malam.
“Ayah,” perlahan-lahan Pandan
Wangi memanggil.
Ayahnya mengangkat wajahnya.
Ketika dilihatnya puterinya berdiri di muka pintu, maka katanya, “Masuklah,
Pandan Wangi.”
Dengan ragu-ragu Pandan Wangi
melangkah masuk.
“Duduklah,” berkata ayahnya
pula. Dengan ragu-ragu pula Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya sambil
memandangi tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi kian
berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilulus dari wrangkanya itu.
“Tombak ini bukan tombakku,
Wangi, tombak ini adalah tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan pamanmu
menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab selongsongnya
adalah selongsongku, dan bahkan wrangka tombak inipun ternyata wrangkaku pula.”
Debar di dada Pandan Wangi
menjadi semakin karas memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya akan memikul
tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak yang selalu menjadi
sipat kandelnya.
Namun ia mendengar ayahnya
berkata, “Tetapi itu tidak penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa
saja. Jangankan tombak sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah kayu pun sudah
cukup bagiku. Dengan apa pun dan dengan cara yang bagaimanapun, aku sudah siap
menjelang saat yang kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah
mencemaskannya. Kau harus berbesar hati menghadapi setiap akibat dari peristiwa
itu, Wangi.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Tetapi tombak pendek yang telah ditukar itu menambah kecemasannya.
Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah menemaninya sejak
muda. Kini menghadapi saat yang paling genting, tombak itu sudah tidak ada
lagi. Yang ada adalah tombak lain, tombak pamannya.
Dalam pada itu terdengar
ayahnya berkata pula, “Sekarang beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak
beristirahat. Sehari-harian kau mengalami persoalan yang membuatmu lelah.
Mandilah, dan berganti pakaian. Pakaianmu terlampau kotor dan bahkan noda-noda
darah itu masih melekat.
Pandan Wangi memandangi
pakaiannya yang kotor. Yang selama ini tidak diperhatikannya. Ia memang tidak
ingin mandi dan berganti pakaian dengan pakaiannya sehari-hari. Seandainya ia
mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan mengenakan pakaian serupa itu.
Pakaian berburu, seperti pakaian seorang laki-laki.
“Mandilah. Malam ini aku akan
bertemu dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang masih dapat berpikir
bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang berhak memerintah
tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka telah berpihak kepada Argajaya dan
Sidanti, namun sebagian terbesar masih tetap setia kepadaku. Bukan karena aku,
Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai kebenaran kedudukanku
sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Apakah aku boleh hadir
di dalam pertemuan itu, Ayah?”
“Sebaiknya kau beristirahat
Tetapi kalau kau ingin mendengar pembicaraan itu, dan kau tidak terlampau
lelah, baiklah kau ikut mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya kau pergi
tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan bersih.”
Pandan Wangi kemudian berdiri
dan melangkah meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di muka biliknya,
namun kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar pakaiannya yang
lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang dipakainya. Kemudian pergi ke
perigi. Namun ia tidak melepas sepasang pedangnya dari lambung. Seolah-olah ia
merasa bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.
Ketika ia mandi pun, sepasang
pedangnya terletak dekat sekali di sisinya. Ketika ia mendengar suara langkah
mendekat, segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi langkah itu adalah langkah
pelayannya yang lewat dari kebun belakang.
Malam itu Argapati
menyelenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh.
Berbagai macam persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin pengawal
mendesaknya untuk segera bertindak, maka jawabnya selalu, “Besok malam aku akan
mengambil keputusan terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu semalam saja
lagi. Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan sikap. Seandainya
kalian tidat dapat menemui aku, maka kalian dapat berbicara dengan pewarisku,
Pandan Wangi.”
Jawaban itu benar-benar
membuat para pemimpin dan pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti benar
maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan itu dengan saat purnama
naik di bawah Pucang Kembar. Karena itu maka salah seorang dari mereka
bertanya, “Ki Gede, kenapa besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat
menemui Ki Gede, dan dengan demikian kami harus berhubungan dengan Pandan Wangi
sebagai pewaris tunggal? Kami tidak mengerti, apakah yang dapat terjadi dengari
Ki Gede besok lusa? Tentang pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki
Gede sudah menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk selanjutnya, haknya
atas tanah ini sudah dicabut.”
“O,” Ki Gede berdesah. Katanya
kemudian, “Bukan maksudku berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini
besok lusa aku akan menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan yang dapat
terjadi.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang sudah cukup umur ia bertanya, “Ki Gede.
Kami telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah perjanjian dengan
Ki Tambak Wedi pada saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu
pasti apa yang akan terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula
menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini menghadapi Angger
Sidanti. Supaya kami tidak selalu bertanya-tanya, Ki Gede, kami ingin tahu,
apakah yang sebenarnya akan terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan
kami?”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Sekilas dipandangnya Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya. Namun
kemudian ia menjawab dengan nada yang dalam, “Tidak ada hubungan apa-apa dengan
persoalan kalian. Persoalan ini adalah persoalan pribadi. Aku ingin
menyelesaikan secara pribadi.”
“Tetapi keadaan tanah perdikan
ini demikian gawatnya sehingga agaknya Ki Gede tidak akan dapat menerima setiap
persoalan secara pribadi.”
“Persoalan ini tidak ada
hubungan apa pun dengan persoalan tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau
persoalkan persoalan pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian
besok adalah menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal yang masih dapat
dipercaya dan setiap laki-laki yang dengan sukarela ikut mengangkat senjata.
Tetapi hati-hatilah. Kau harus dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali
ini ada di antara kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah
diantara kita yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang ragu-ragu,
siapakah yang berdiri dengan sebelah menyebelah kaki nya berpijak pada alas
yang berbeda, dan siapakah yang sengaja memulas diri sendiri untuk
kepentingan-kepentingan pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah
warna kulitnya.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memperingatkan Ki Argapati, “Ki Gede. Aku
tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki Tambak Wedi juga
bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi persoalan pribadinya dengan Ki Gede?
Aku ragu-ragu. Bahkan aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang
yang jujur.”
Ki Gede Menoreh tidak segera
menjawab. Peringatan itu menggurat jantungnya, membuat seberkas goresan yang
dalam. Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan serupa itu. Tetapi
kenyataan yang pernah di hadapinya, beberapa puluh tahun yang lampau, ternyata
Paguhan pernah menghadapinya secara jantan di dalam perang tanding seperti yang
telah mereka janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu
telah berubah? Bukan seperti Paguhan pada waktu itu?
Dalam keragu-raguan itu, Ki
Gede Menoreh mendengar suara Samekta, “Ki Gede, kami harap Ki Gede
rmempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya, apabila janji itu
dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji apakah yang telah dibuat,
tetapi aku dapat menduga-duga.”
Perlahan-lahan Ki Gede
menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak dapat membatalkannya Samekta. Aku
harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah kita setujui bersama. Dan akan
menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila ia tidak menepati seperti
janji yang pernah dikatakannya sendiri, apalagi apabila ia berbuat curang.
Kalian akan mengingatnya di dalam hati dan akan mengatakannya kepada setiap
orang, bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak Wedi, telah
berbuat curang dan licik.”
Samekta menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya lambat, “Apakah artinya sebutan itu bagi seorang yang telah
menebalkan telinganya dan lelah membutakan matanya?”
Sekali lagi Ki Gede berkata, “Samekta,
aku tahu, bahwa kau bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin
menyelesaikan persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat
mengurangi penumpahan darah yang akan membanjiri tanah ini.”
Samekta mengangkat wajahnya.
Hampir saja rnulutnya mengucapkan sebuah pertanyaan, “Tetapi bagaimana kalau Ki
Gede gagal?” Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.
Namun demikian, Samekta
melihat bahwa pertanyaan yang serupa telah membersit pula di dalam dada Pandan
Wangi. Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan pandangan yang
suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air yang mengambang di kelopak mata
gadis itu. Tetapi Pandan Wangi pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.
Samekta, para pemimpin tanah
perdikan dan para pemimpin pengawal, hanya dapat menyimpan kecemasan di dalam
hati mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh yang keras hati. Sukar
bagi mereka untuk mencoba merubah pendiriannya Apalagi yang langsung menyangkut
harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Karena itu, maka mereka tidak berani
untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI Gede Menoreh kemudian
menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka untuk dapat berbicara.
Pandan Wangi pun mengenal
watak itu pula. Karena itu, maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air
matanya. Bayangan yang semakin jelas di pelapuk matanya melukiskan, betapa
pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang Kembar besok malam.
Sementara itu waktu berjalan
terus. Malam menjadi semakin malam. Meskipun Pandan Wangi kemudian tidak lagi
duduk di antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam biliknya, namun yang
bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang dibawanya dari pembicaraan itu.
Justru semakin lama ia
berbaring di pembaringannya, maka hatinya menjadi semakin dicengkam oleh
kegelisahan dan kecemasan. Bermacam-macam angan-angan dan gambaran telah
membuatnya menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau
bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya
menjadi terlampau deras mengalir.
Sekali-kali Pandan Wangi itu
tersentak duduk. Kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia
tidak menahan diri lagi untuk tetap tinggal di dalam biliknya. Perlahan-lahan
ia melangkah keluar dan menuju ke pringgitan, tempat para pemimpin yang
terpenting bertemu, setelah beberapa orang termasuk dirinya diperkenankan
meninggalkan pembicaraan.
Tetapi ketika ia menjenguk
pintu pringgitan, dilihatnya pringgitan itu sudah kosong. Ternyata pertemuan
sudah lampau. Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah mangkuk
dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.
“Di manakah Ayah?” desisnya.
Berjingkat Pandan Wangi
berjalan menuju ke bilik ayahnya. Perlahan-lahan didorongnya pintu bilik itu.
Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah tertidur di
pembaringannya.
Pandan Wangi berdesah
perlahan-lahan, “Ternyata aku lebih gelisah dari Ayah sendiri,” desisnya di
dalam hati. “Ayah masih dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali
tidak dapat memejamkan mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti Ayah.”
Perlahan-lahan sekail Pandan
Wangi menutup pintu itu kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan berjingkat ke
biliknya mencoba tidur meskipun hanya sejenak.
Tetapi Pandan Wangi sama
sekali tidak tahu, bahwa setelah pintu bilik ayahnya tertutup, ayahnya membuka
matanya kembali. Sebenarnya ayahnya itupun sama sekali belum dapat tidur
sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan. Tetapi sama
sekali bukan tentang dirinya sendiri. Seandainya persoalannya hanya terbatas
pada dirinya sendiri, pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka hal itu
sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini persoalannya berkait
dengan persoalan tanah perdikannya. Persoalan yang sebenarnya memang berpusar
pada sumber yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan sikap
mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan Pajang. Kini, api yang
kemelut di tanah perdikan ini pun disebabkan karena Sidanti pula.
“Samekta benar,” desis Ki
Argapati di dalam hatinya, “persoalan ini bukan sekedar persoalan pribadi.
Tetapi aku tidak dapat melepaskan janji pribadi ini, meskipun di dalam
kaitannya dengan persoalan seruruh tanah perdikan, karena justru aku tidak
dapat melepaskan pribadiku dari tanggung jawabku sebagai Kepala Tanah Perdikan
ini. Karena itu, aku besok malam harus menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang
akan terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini dan
menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal, maka biarlah Pandan Wangi
memegang pimpinan. Aku mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan
dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya.”
Tiba-tiba pandangan Ki
Argapati tersangkut pada sebatang rombak pendek yang masih berada di dalam
selongsongnya. Terasa desir yang lernbut menyentuh hatinya. Tombak itu bukan
tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki Tambak Wedi yang
memiliki sepasang senjata yang mengerikan, tidak dengan tombak yang paling
dipercayanya.
“Aku tidak boleh terpengaruh
olehnya. Tombak itu tidak akan tanyak berpengaruh. Tergantung pada tangan yang
menggerakkannya.” Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hati, “Namun aku mengenal
tombakku seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu pasti jangkauan ujungnya
dan berat pangkal landeannya. Aku tahu pasti,
di mana tanganku harus
menggenggam tangkainya. Aku tahu pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya.
Bahkan aku tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi tombak
ini belum begitu aku kenal.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia bergumam, “Semuanya terserah kepada Tuhan Sang Maha
Adil.”
Ki Argapati kemudian mencoba
melepaskan segala kegelisahannya. Ia mencoba untuk beristirahat, meskipun hanya
sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam jantan berkokok untuk yang kedua
kalinya. Namun karena lelah lahir dan batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu
lelap juga untuk sejenak.
Sedang di bilik yang lain,
Pandan Wangi pun terlena karena kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek
sepasang pedangnya. Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu.
Kesibukan pagi telah mewarnai
rumah Ki Argapati, ketika matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede
Menoreh duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadipi semangkuk air
hangat, gula kelapa, dan beberapa potong makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede Menoreh,
untuk minum air hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong makanan
sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan nasi di waktu
pagi.
Namun terasa kegelisahan telah
membakar seluruh tanah perdikan, jauh melebihi terik matahari di tengah hari.
Setiap orang seolah-olah selalu dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di
padukuhan induk, tetapi di mana-mana. Di sekitar rumah Argajaya pun terjadi
kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Persiapan-persiapan telah mereka adakan
dengan saksama. Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal
yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka yang terpengaruh
oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi Sidanti telah melakukan kecerobohan
yang mempunyai kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin
dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar dari berbagai golongan.
Orang-orang yang menyimpan pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang
yang ingin mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah
orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal.
Mereka coba mengadu untung di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Ki Tambak Wedi bukan
pula seorang yang bodoh. Sengaja ia memanggil orang-orang yang mempunyai
kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka satu sama lain
apabila persoalannya sudah selesai, lalu menumpas mereka dengan mudahnya.
Namun permainan itu adalah
permainan yang terlampau berbahaya. Apabila perhitungan itu meleset serambut,
maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi karang abang. Tanah akan tinggal arang
yang sudah membara, kemudian hancur menjadi abu.
Ia tidak akan dapat berhasil
mencapai maksudnya, menjadikan tanah ini pancadan bagi anak dan sekaligus
muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini akan menjadi tanah di mana anak
itu segera akan dikuburkan. Kalau ia mati dalam perlawanannya atas Ki Argapati,
masih juga ia dapat merasa dirinya pahlawan dari suatu cita-cita. Tetapi
apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang dipanggilnya sendiri masuk
ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah penyesalan.
Tetapi setiap kali Ki Tambak
Wedi berkata, “Kita harus membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus
lebih kecil dari kekuatan kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan kita
dengan Argapati sudah selesai, maka kita akan dengan mudahnya menyelesaikan
mereka pula.”
Namun ternyata Ki Tambak Wedi
tidak menghiraukan, apa yang telah dilakukan oleh orang-orang itu atas
orang-orang Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa
orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan ini.
Dalam keadaan yang gelisah,
tegang, dan kemelutnya kecemasan itulah, matahari naik semakin tinggi di atas perbukitan
Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal mengadakan persiapan di beberapa tempat,
dan betapa sepinya jalan-jalan dan pedukuhan-pudukuhan di seluruh tanah
perdikan itu. Seperti angin, yang bertiup dari segala penjuru, maka setiap
telinga di tanah perdikan itu telah mendengar, bahwa nanti malam, di saat
purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling mengerikan di atas tanah ini.
Mereka tidak tahu pasti, apakah yang kira-kira akan terjadi. Yang paling
mungkin menurut dugaan mereka, adalah benturan antara Ki Argapati dan Sidanti.
Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak Wedi dan Ki Gede Menoreh,
telah membuat kepala mereka semakin pening, dan membuat dada mereka semakin
berdebar-debar.
Dan kegelisahan yang semakin
memuncak telah membakar dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laki-lakinya ia
mondar-mandir di dalam rumahnya. Sekali-kali ia pergi kepringgitan melihat
ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini,
kemudian berjalan ke dapur, melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun
kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya, setidak-tidaknya
meredakannya.
Tanpa sesadarnya, maka
langkahnya telah membawanya turun ke halaman ketika tiba-tiba seseorang datang
memanggilnya, “Pandan Wangi, Ki Argapati ingin bertemu.”
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pringgitan. Dilihatnya
ayahnya masih duduk di antara para pemimpin yang lain.
“Pandan Wangi,” berkata
ayahnya sebelum ia duduk, “sebaiknya kau hentikan usahamu untuk bertemu dengan
Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti. Aku kira kau tidak akan berhasil.”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengar peringatan ayahnya itu. Sejenak ia berdiri mematung tanpa dapat
menjawab sepatah kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkala seterusnya,
“Aku menjadi cemas melihat kau gelisah seperti di panggang di atas bara.
Mondar-mandir tidak menentu. Aku sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan
untuk bertemu dengan kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi, demi keselamatanmu,
jangan pergi lagi dari batas padukuhan induk ini. Keadaan telah menjadi semakin
panas. Orang-orang di kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk
dikendalikan. Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak
merasa bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau metngerti?”
Debar di dada Pandan Wangi
menjadi semakin cepat. Tetapi ia telah mengenal betul sifat-sifat ayahnya.
Apabila demikian, berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh melanggarnya lagi.
Apa pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya adalah menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Baik Ayah.”
“Nah, kalau kau ingin keluar
halaman, berhati-hatilah. Ingat, jangan meninggalkan padukuhan induk. Kau masih
dapat merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku memagarinya dengan
pasukan pengawal. Meskipun aku menempatkannya juga di padukuhan-padukuhan lain,
tetapi kau tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi di bulak-bulak yang betapa
pun sempitnya.”
Sekali lagi Pandan Wangi
mengangguk dan menjawab, “Ya, Ayah.”
Namun dengan demikian, justru
Pandan Wangi seolah-olah mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman
rumahnya. Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol halaman,
apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi kini seolah-olah ia
diperingatkan, bahwa di luar halaman ia masih mempunyai tempat untuk sedikit
menghibur dirinya, asalkan tidak keluar dari padukuhan induk.
Karena itu, maka Pandan Wangi
pun segera setelah meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol
halaman. Selangkah demi selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia bertemu
dengan dua tiga orang peronda, sehingga akhirnya ia sampai pada ujung sebuah
lorong di dalam pedukuhan induk, yang menuju ke rumah pamannya.
“Hem, jalur ini akan sampai
kepada Kakang Sidanti,” desisnya di dalam hati. Tetapi ia sadar, bahwa ayahnya
melarangnya untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari pula, bahaya yang dapat
dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan, seperti yang pernah terjadi
atasnya.
Ketika Pandan Wangi itu
berdiri sambil bersilang tangan di dadanya, memandangi ujung jalan yang
seolah-olah hilang ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan
mendekatinya. Perlahan-lahan salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede telah
memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari pedukuhan ini, Pandan
Wangi. Siang mau pun malam nanti.”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Ternyata perintah itu telah tersebar kepada seluruh pengawal. Tetapi apa
artinya, ia tidak boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan malam nanti,
justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki Tambak Wedi di
bawah Pucang Kembar.
Terasa jantung Pandan Wangi
berdenyut semakin cepat di dalam dadanya. Berbagai pertanyaan hilir mudik tidak
henti-hentinya. Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada pengawal itu.
Ia tahu, bahwa pengawal itu tidak akan mengerti, kenapa. Ia hanya sekedar
melakukan perintah. Selebihnya adalah persoalan para pemimpinnya.
Pandan Wangi berpaling kepada
mereka, ketika mereka bertanya, “Apakah kau sendiri sudah mengerti pesan Ki
Argapati itu?”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku sudah mengerti.”
“Syukurlah,” desis pengawal
yang sedang meronda itu.
Kemudian ditinggalkannya
Pandan Wangi berdiri di tempatnya. Keduanya melangkah ke gardunya di sudut
pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyata masih ada beberapa kawan-kawannya lagi
yang sedang berjaga-jaga.
Pandan Wangi masih tetap
berdiri di tempatnya. Tegak seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di
lambung. Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas tanah, di
sepanjang jalur jalan berdebu di depannya.
Gadis itu mengerutkan
keningnya, ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam sinar matahari.
Beberapa ekor kambing berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing
itu berjalan seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya diperjalanannya
kemarin. Gupita.
Tiba-tiba saja, dada gadis itu
menjadi berdebar-debar. Ternyata hari ini anak muda itu masih menggembalakan
kambing-kambingnya. Dengan demikian, maka kemarin kambing-kambing itu pasti
tidak dirampas oleh orang-orang liar yang telah mencegatnya.
“Mungkin orang-orang itu hanya
memerlukannya satu atau dua,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia
masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang pedangnya
berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah.
Sejenak kemudian ia melihat
kumpulan kambing-kambing itu berjalan menyeberangi jalan. Sekepul debu yang
putih terlontar di udara ketika kaki-kaki kambing itu menyentuh tanah berdebu
yang menjelujur panjang.
Seorang pengawal melonccat
turun dari gardunya. Memandangi sekumpulan kambing itu sambil berkata, “Aneh,
masih juga ada seorang gembala yang berani membawa kambing-kambing ke tempat
terbuka seperti ini. Apakah anak itu tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di
tanah pendikan ini?”
Tetapi tidak ada seorang pun
yang menjawab. Kawan-kawannya yang sedang berjaga-jaga itupun menjadi
keheran-heranan pula. Namun pengawal itu menjawabnya sendiri, “Mungkin ia
menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu pengawal. Dengan demikian ia
merasa aman menggembala kambingnya di sekitar tempat ini.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu
memang dapat dimengerti. Di tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik,
sehingga tidak mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat
ini.
Sejenak kemudian, Pandan Wangi
melihat kambing-kambing itu berhenti di sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan
hijau, di pinggir padesan. Gambala itu mengikat seekor di antara
kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang paling besar, pada sebatang
pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat pergi dan kawan-kawannya pun tidak
akan pergi juga dari tempat itu. Sedang masuk ke dalam tanaman di persawahan.
Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang
rindang sambil menyandarkan dirinya. Cambuknya diletakkannya di pangkuannya.
Sejenak kemudian diambilnya sebatang seruling bambu yang terselip di ikat
pinggangnya.
Sejenak gembala itu duduk
memandangi warna langit yang jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti
ayah Pandan Wangi sedang mengusap landean tombaknya.
Pandan Wangi sendiri tidak
menyadari, kenapa ia tertarik melihat tingkah laku gembala itu. Dengan
demikian, maka diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat
serulingnya dan meletakkannya di mulutnya.
Sejenak kemudian terdengarlah
suara seruling itu berlagu. Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar
burung-burung liar yang berloncatan didahan-dahan pepohonan.
Pandan Wangi terkejut ketika
tiba-tiba ia mendengar salah seorang pengawal berkata, “Aku merasa aneh dengan
gembala itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani menggembalakan
kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini tanpa suatu maksud tertentu.
Apakah dengan demikian tidak cukup alasan bagi kita untuk mencurigainya?
Mungkin anak itu adalah seorang petugas sandi dari Sidanti.”
Beberapa orang kawannya
mengerutkan keningnya. Dan terdengar hampir bersamaan mereka menjawab, “Hal itu
juga mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini.”
“Tetapi apakah kau pernah
mengenal anak itu?”
Kawan-kawannya terdiam. Dan
sejenak kemudian mereka menjawab, “Belum. Aku belum mengenalnya.”
“Belum ada yang mengenalnya di
antara kita. Bukankah kita wajib bercuriga?”
Tetapi para pengawal itu
terkejut, ketika tiba-tiba Pandan Wangi yang masih berdiri di ujung jalan itu
berkata, “Aku sudah mengenalnya. Namanya Gupita.”
Serentak para pengawal itu
berpaling ke arah Pandan Wangi. Kini Pandan Wangi memandang mereka pula dan,
berkata, “Aku akan menemuinya.”
“Tetapi kau tidak boleh
meninggalkan padukuhan ini.”
“Bukankah aku tidak
meninggalkan padukuhan ini? Gembala itu duduk di pinggir padukuhan ini. Dan
kalian dapat mengawasi aku dari gardu kalian seandainya aku harus berkelahi
melawannya.”
Para pengawal itu sejenak
saling berpandangan. Mereka sama sekali belum yakin, bahwa Pandan Wangi
benar-benar mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu. Sebelumnya
mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang ikut bersama ayahnya. Hanya
satu dua orang sajalah yang menemaninya.
Karena itu, maka mereka pun
menjadi ragu-ragu pula untuk melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang
sedang membunyikan serulingnya itu.
Ketika Pandan Wangi kemudian
melangkahkan kakinya, mendekati gembala itu, maka beberapa orang pengawal
segera berloncatan turun dari gardunya. Sekali lagi mereka saling berpandangan,
dan beberapa di antara mereka segera mengikutinya.
Tetapi Pandan Wangi justru
tertegun. Sambil berpaling ia bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”
Para pengawal itu tidak segera
dapat menjawab. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka
akhirnya menyahut, “Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri. Kami wajib
mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami. Termasuk kehadiran
gembala itu.”
“Kalian akan mengantar aku?”
Orang itu mengangguk dan
menjawab ragu-ragu, “Ya.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak usah. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku
memerlukan kalian, kalian akan dapat melihat dari sini, atau aku akan
berteriak-teriak memanggil kalian. Aku kira kalian akan dapat mendengarnya.”
Para pengawal itu terdiam
sejenak. Memang jarak antara gardu dan gembala yang duduk di bawah pohon itu
tidak terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu yang tidak
terduga-duga? Para pengawal memang pernah mendengar, bahwa Pandan Wangi
sebenarnya mampu pula bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam orang
laki-laki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tinggallah kalian di sini,”
berkata Pandan Wangi kemudian, “Jangan cemas tentang aku.”
Para pengawal itu kemudian
berdiri tegak seperti patung. Dengan hati yang berdebar-debar, mereka
memandangi saja langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang duduk
sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang yang berjuntai di lambungnya, sebelah
menjebelah, bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya.
Beberapa orang pengawal
menarik nafas dalam-dalam. Mereka biasa melihat Pandan Wangi dalam pakaian
seorang gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian, apabila ia
pergi berburu.
Gembala yang bersandar pada
pokok sebatang kayu itu, masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun
menyusur arus angin yang lembut. Lagu yang gembira kini terasa mengetuk dinding
jantung. Seolah-olah gembala itu sedang bercerita tentang langit yang cerah.
Angin yang lemah dan burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan
kemudian suara seruling itu meninggi, melonjak seperti gelak tertawa seorang
gadis yang sedang bercanda dengan kekasih.
“Hem,” Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam.Ia belum pernah merasakan betapa mesra bercanda dengan
kekasih. Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah Panji dan
Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya pula kemesraan di
sekitarnya. Pandan Wangi memang menghadiri peralatan perkawinan kawan-kawannya
yang sebaya atau sedikit lebih tua daripadanya.
Tetapi lagu itu rasa-rasanya
bercerita kepadanya. Lagu yang melukiskan kasih yang dalam. Kidung tentang
cinta.
Pandan Wangi seakan-akan
tersadar dari sebuah mimpi yang asing, ketika tangannya menyentuh hulu
pedangnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Persetan dengan suara seruling itu. Kini
Menoreh sedang diasapi oleh kemelutnya pertentangan yang tajam antara Ayah dan
Kakang Sidanti.”
Tiba-tiba Pandan Wangi itu
menengadahkan wajahnya. Ia tidak mau dihanyutkan oleh angan-angan seorang gadis
yang meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam tugas, bukan sebagai seorang
gadis, tetapi sebagai seorang putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang
bergolak.
Selangkah demi selangkah
Pandan Wangi menjadi semakin dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi
berdebar-debar. Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia begitu
asyik dengan serulingnya, sehingga sama sekali tidak menghiraukan keadaan di
sekitarnya.
Tanpa sesadarnya pula, kaki
Pandan Wangi menyentuh daun-daun kering yang bertebaran di atas jalan sempit di
pinggir padukuhan itu, melontarkan suara gemersik. Tetapi gembala itu
seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara serulingnya.
Sejenak kemudian Pandan Wangi
telah berdiri di belakangnya. Ia yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu
kedatangannya. Tetapi gembala itu sama sekali tidak melepaskan serulingnya.
Bahkan matanya menjadi hampir terpejam ketika suara serulingnya melonjak
mengalun menyentuh hati.
Terasa perasaan aneh bergetar
di dada Pandan Wangi. Dalam suasana yang tegang, ia mendengar lagu yang
memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala itu adalah seorang
anak muda yang aneh.
Wajah Pandan Wangi serasa
menjadi panas dan kemerah-merahan. Kini baru disadarinya, bahwa gembala itu
adalah seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis.
Tiba-tiba Pandan Wangi
menggeretakkan giginya. “Aku tidak peduli,” katanya di dalam hati, “aku harus
melihat, apakah gembala ilu tidak mencurigakan?”
Pandan Wangi itu kemudian
berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang. Dengan
tajamnya dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan serulingnya itu.
Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil, “Gupita. Bukankah kau Gupita yang kemarin
aku jumpai di jalan bersama kambing-kambingmu.”
Gupita masih meniup
serulingnya beberapa lama. Kemudian memutus lagunya pada nada yang merendah.
Sesaat kemudian ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Ya, aku
adalah Gupita yang kemarin kau jumpai.”
Ketika terpandang mata gembala
itu, terasa dada Pandan Wangi berdesir. Mata itu adalah mata yang dilihatnya
kemarin. Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh. Tetapi kini Pandan Wangi
menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata itu memancarkan kejujuran yang
dungu?
Sekali lagi Pandang Wangi
menggeretakkan giginya, Wajahnya menjadi tegang, dan nada suaranya merendah
datar, “Apa kerjamu di sini?”
Gapita bergeser setapak. Kini
ia duduk menghadap Pandan Wangi yang masih berdiri bertolak pinggang. Dengan
penuh keheranan, Gupita menjawab, “Bukankah aku seorang gembala? Kehadiranku di
sini bersama kambing-kambingku adalah kenyataan kerjaku kini.”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengar jawaban gembala itu. Sejenak ia terdiam. Terasa jantungnya menjadi
semakin cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak ia berdiam diri. Ia
tidak segera menemukan kata-kata untuk menyahut.
Gupata masih duduk di tanah.
Karena Pandan Wangi berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekali-sekali
dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di mulut lorong agak jauh
daripadanya.
Baru sejenak kemudian, Pandan
Wangi dapat menguasai dirinya dan berkata, “Gupita. Aku memang melihat bahwa
kau sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu. Tetapi apakah kau tidak
berbuat lain daripada menggembala?”
Gembala itu menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Tidak. Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja
dan duduk membunyikan serulingku.”
Debar di dada Pandan Wangi
menjadi semakin cepat. Terasa memancarkan kelainan dengan gembala-gembala yang
lain, yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Wajah gembala itu
dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk kelainan itu.
Sikali lagi Pandan Wangi
terpaku diam. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir, ia merasa kehilangan
kata-kata untuk menyatakan pikirannya.
Namun sejenak kemudian
tiba-tiba dada Pandan Wangi itu seolah-olah meledak, setelah ditahannya
kuat-kuat. Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk berbuat
demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi pepat di dalam
dadanya.
Karena itu maka tiba-tiba ia
berkata lantang, “Tidak! Aku tidak percaya! Di dalam keadaan serupa ini,
mustahil kalau kau hanya sekedar menggembala saja sampai di tempat ini, justru
di samping gardu peronda. Nah, katakan, bahwa kau termasuk salah seorang petugas
sandi dari Kakang Sidanti!”
Gembala itu memandang wajah
Pandan Wangi tanpa mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut, “Tetapi, tetapi,
aku tidak kenal dengan Sidanti.”
“Bohong!” bentak Pandan Wangi,
“Kau kira aku dapat mempercayainya? Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu
di tengah jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti. Beberapa orang liar
yang tak dikenal berjalan menyusulku. Kau berada di tempat itu juga pada waktu
itu. Mustahil bahwa kau bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan
nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu, bahwa waktu itu kau
sengaja menghambat perjalananku, supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat
menangkapku.”
Gupita menjadi semakin heran
mendengar kata-kata Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir itu.
Dipandanginya saja wajah gadis itu dengan mulut ternganga.
“Nah, apakah kau masih akan
ingkar?” bertanya Pandan Wangi.
Wajah gembala itu menjadi
tegang, sejenak kemudian menjadi pucat dan berubah lagi menjadi
kemerah-merahan.
“Jangan ingkar!” Pandan Wangi
membentak pula.
Kini gembala ilu menjadi
gemetar. Tergagap ia mencoba menjelaskan, “Aku benar-benar seorang gembala yang
sedang menggembala kambing-kambingku di sini. Aku tidak berbuat lain, dan aku
sama sekali bukan petugas sandi dari Sidanti.”
“Coba katakan kepadaku,
Gupita,” berkata Pandan Wangi, “kenapa kau terlepas dari tangan orang-orang
liar yang waktu itu mendatangi kau sepeninggalku?”
Gupita tampak menjadi semakin
gugup, “Aku tidak tahu, kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya,
apa kerjaku di sana waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas sandi dari
Ki Argapati. Tetapi aku menjawab, bahwa aku hanyalah seorang gembala. Lalu
salah seorang dari mereka menampar mukaku seningga aku jatuh ke dalam parit. Seterusnya,
mereka pergi. Dan bukankah aku bukan petugas sandi dari Ki Argapati dan bukan
pula dari Sidanti?”
“Bohong!” potong Pandan Wangi.
Namun terasa sesuatu yang aneh semakin mencengkam jantungnya. Gembala itu
benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di Tanah Perdikan Menoreh.
Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi semakin cepat. Tatapan
matanya seolah-olah telah mengguncang seluruh isi dadanya.
Tetapi Pandan Wangi mencoba
menolak pengaruh yang tidak dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan giginya, ia
menunjuk ke arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram, “Pergi! Pergi kau
dari tempat ini supaya kau tidak menyesal. Bawalah kambing-kambingmu
sejauh-jauhnya dari induk padukuhan Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu.
Menurut penilaian kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak
ada seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambing-kambingnya di tempat
terbuka seperti kau. Mereka hanya mencoba menggembala di pategalan-pategalan
yang berada di ujung-ujung padesan.”
“Tetapi, tetapi,” suara
gembala itu semakin tergagap, “bukankah aku juga menggembala di ujung padesan.
Aku berani menggembala di sekitar tempat ini, justru aku tahu, bahwa tempat ini
pasti aman karena dekat dengan gardu peronda.”
“Tetapi kau kemarin
menggembala di seberang bulak ini.”
“Pengalaman yang kemarinlah
yang memaksa aku untuk menggembala di sini.”
“Bohong! Bohong!” Pandan Wangi
tiba-tiba berteriak. Tangannya masih menunjuk ke kejauhan dan mulutnya berkata,
“Pergi, cepat, selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila kesempatan itu
tidak ada lagi, maka sikap kami akan sangat berlainan. Mungkin kau dapat kami
tangkap dan kami bawa kepada pimpinan pengawal tanah ini.”
“Jangan, jangan,” gembala itu
kini berjongkok dan kemudian berdiri pada lututnya, “aku jangan ditangkap. Aku
akan pulang kepada ayahku yang sudah tua.”
“Kalau kau akan pulang, cepat,
pulanglah sekarang.”
“Baik. Baik. Aku akan pulang
sekarang,” jawab gembala itu sambil tertatih-tatih berdiri. Selangkah-selangkah
ia berjalan meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri kambingnya yang sedang
diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena Pandan Wangi memanggilnya.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sedang berjongkok memungut
serulingnya yang agaknya terjatuh.
Gupita terpaku sejenak di
tempatnya. Sejak pertemuannya kemarin, ia masih belum sempat memandangi wajah
gadis itu, seperti saat ia berjengkok mengambil serulingnya. Wajah yang tegang
itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, memandanginya
dengan seruling di tangangannya, tampaklah betapa wajah itu memancar seperti
bintang pagi.
Gupita menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia menyadari dirinya, maka tiba-tiba ia pun berjongkok
sambil berkata, “Itu serulingku.”
Pandan Wangi mengangguk perlahan.
Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tiba-tiba ia tidak
dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling yang telah didengar,
betapa merdu suaranya.
“Marilah,” desis Pandan Wangi,
kemudian sambil mengacungkan seruling itu.
Gupita menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia bergeser maju sambil menjawab, “Terima kasih.”
Ketika Gupita menerima
serulingnya, terasa tangan Pandan Wangi itu bergelar. Dan seolah-olah getar itu
telah merambat sepanjang tangannya menyentuh dadanya.
“Terima kasih,” sekali lagi
Gupita berdesis, “sekarang perkenankanlah aku pergi.”
Pandan Wangi mengangguk kecil.
Tetapi tanpa sesadarnya, ia berkata, “Kau pandai meniup seruling.”
“Aku belajar sejak kecil.
Sejak aku dapat membedakan tinggi rendah nada.”
Pandan Wangi
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
“Sekarang aku akan pulang,”
berkata Gupita kemudian, “kalau kalian berubah pendirian, maka aku tidak akan
mendapat kesempatan lagi untuk pergi meninggalkan tempat ini.”
Sekali lagi Pandan Wangi
mengangguk. Tetapi ia masih saja berdiam diri.
“Bukankah aku harus pergi?”
Terasa dada Pandan Wangi
menjedi berdebar-debar. Sejenak ia terpukau dalam kebingungan. Sesaat ia
seakan-akan telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya seakan-akan
telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia menggeretakkan gigi.
Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri sambil membentak, “Pergi. Pergi. Cepat.
Kau membuat aku muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu.”
Gupita terkejut, melihat sikap
yang tiba-tiba saja berubah. Tetapi sejenak kemudian ia menyadari keadaannya.
Sekali ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergumam, “Terima kasih
atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada ayahku, dan mengatakan bahwa aku
telah bertemu dengan putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan
Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, meskipun
dengan tidak sengaja aku telah memasuki daerah terlarang.”
“Jangan banyak bicara. Cepat
pergi. Kau terlampau memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas seperti kau,
tidak akan banyak berarti bagi tanah ini.”
Gupita masih ingin menjawab.
Tetapi Pandan Wangi telah mendahului membentaknya, “Jangan bicara lagi. Pergi
sebelum aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia membungkukkan kepalanya, kemudian melangkah surut. Dengan
ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri kambingnya yang sedang
diikatnya. Dengan tergesa-gesa ia melepas tali yang mengikat kambing itu pada
sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya cambuknya dan digiringnya
kambing-kambing itu pergi.
Tetapi belum lagi sepuluh
langkah, maka diletakkan ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian
terdengarlah sebuah lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis
yang kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian suara seruling
itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.
“Diam. Diam kau!” teriak
Pandan Wangi tanpa sebab.
Suara seruling itu membuat jantungnya
seakan-akan berhenti bergetar. Dengan serta merta dipungutnya sebutir batu dan
dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih meniup serulingnya sambil
melangkah menjauh. Tetapi suara serulingnya itu segera terputus, ketika sebuah
batu jatuh tepat di sampingnya.
Ketika ia berpaling dilihatnya
Pandan Wangi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tetapi Gupita tidak berani
lagi berkata sepatah kata pun. Bahkan kemudian langkahnya pun dipercepat
meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi ia berpaling. Ketika ia
masih melihat Pandan Wangi berdiri di tempatnya, maka tiba-tiba diangkatnya
cambuknya tinggi-tinggi. Cambuk itu berputar di udara seperti baling-baling.
Sejenak kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah meledak di udara.
Letupan cambuk itu serasa
memecahkan dada Pandan Wangi. Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa
gembala itu dapat meledakkan cambuk sekeras itu. Tetapi kemudian, sebagai
seorang yang memiliki ilmu yang cukup, segera Pandan Wangi menyadari, bahwa
letupan cambuk itu bukan sekedar letupan biasa. Terasa sebuah tenaga yang
terlampau kuat telah membantu menggerakkan tangannya dan meledakkan cambuk itu.
Terasa darahnya menjadi
semakin cepat mengalir. Kini baru disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada
gembala itu, sama sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru
disadarinya, bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah kekuatan yang luar
biasa.
Sejenak Pandan Wangi terpaku
di tempatnya. Ia merasa bahwa bukan gembala itulah yang dungu, tetapi betapa bodohnya
dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh. Gembala itu sudah tidak
dilihatnya lagi.
Yang kemudaan merambat di
dadanya adalah dugaan yang kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang
petugas sandi yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka
segera ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat purnama naik.
Ayahnya akan menjumpai Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.
Dada Pandan Wangi menjadi
semakin berdebar-debar. Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang tebal.
Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak dapat diduga-duga.
Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri setelah mengalami goncangan yang
dahsyat, tetapi mungkin Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh api
perselisihan di antara mereka sendiri.
Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat berbuat sesuatu. Semuanya telah meluncur menuju ke puncak peristiwa ini.
Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan berhadapan dengan Ki
Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede Menoreh akan menentukan sikap. Tetapi
bagaimana kalau ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi? Apalagi melakukan
perlawanan’. Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian pun sudah tidak
mungkin lagi.
Dalam kegelisahan itu, Pandan
Wangi mendengar suara langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya
seseorang mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang tadi berada di rumahnya
berbicara dengan ayahnya.
“Pandan Wangi,” katanya, “Ki
Gede Menoreh memanggilmu. Kau harus pulang sekarang.”
“Kenapa”?
Orang itu menjadi heran.
Keadaan sudah sedemikian panasnya dan Pandan Wangi masih bertanya mengapa.
Namun ia menjawab juga, “Ayahmu ingin berbicara dengan kau.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Aku akan
segera pulang.”
Dengan langkah yang malas,
Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali ia masih berpaling ke arah
Gupita menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya tentang gembala itu.
Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas sandi dari kakaknya. Mungkin ia
termasuk salah seorang dari orang-orang liar yang kini berada di Tanah Perdikan
Menoreh. Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat sentuhan yang lain dari
orang-orang liar yang telah dijumpainya, dan bahkan mencegat perjalanannya.
Kesannya kepada Gupita mempunyai corak tersendiri. Sorot matanya dan tingkah
lakunya.
“Seandainya ia salah seorang
dari mereka yang membantu kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang
lain dari orang-orang yang telah mencegatku kemarin,” berkata Pandan Wangi di
dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi menggeretakkan giginya sambil
berdesis, “Buat apa aku mempersoalkannya dari mana ia datang? Kalau benar-benar
ia berpihak kepada Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus disingkirkan. Ia
hanya akan mengotori tanah ini dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung
jawab,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berdesis, “Ia
harus dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas mempersoalkan tanah ini,
selain orang-orang Menoreh sendiri. Tidak seorang pun dari para pengawal yang
telah mengenalnya. Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya
benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para pengawal itu
mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya.”
Tiba-tiba Pandan Wangi
mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja ia ingin segera bertemu dengan ayahnya
dan menceritakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah dijumpainya dua
hari berturut-turut.
Ketika Pandan Wangi masuk ke
pringgitan, ayahnya masih duduk bersama beberapa orang. Ketika ia membuka
pintu, dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya telah
mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau dalam, dan
terlampau suram.
Sejenak Pandan Wangi berdiri
termangau-mangu, sehingga ayahnya menyapainya, “Darimana kau, Wangi?”
“Dari ujung jalan di mulut
desa, Ayah.”
“Kemarilah, Wangi,” suara
ayahnya datar, dalam nada yang dalam sekali, “duduklah.”
Pandan Wangi pun kemudian
duduk di hadapan ayahnya. Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri.
Ia menunggu ajahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi ternyata ayahnya
tidak bertanya lagi. Yang didengarnya adalah keterangan ayahnya tentang
pembicaraan yang telah dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini
dan para pemimpin pengawal.
“Pandan Wangi,” berkata
ayahnya, “kau sudah cukup dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan
seorang gadis kecil yang sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang
sedang dibakar oleh suasana yang semakin panas. Setiap saat dapat meledak
peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki. Dan kau tahu, bahwa nanti malam
aku telah mengikat janji dengan Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku
harus datang ke bawah Pucang Kembar, untuk membuat perhitungan pribadi.
Meskipun persoalan yang berkembang kini adalah persoalan antara Menoreh dan
Pajang, yang menyangkut diri kakakmu, Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang
telah meledakkan hati kami masing-masing, sehingga kami telah melontarkan janji
tanpa dapat kami kendalikan lagi.”
Ayahnya berhenti sejenak.
Sesaat ia berdiam diri sambil memandangi anyaman tikar di bawah kakinya.
Sejenak kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang, “Pandan Wangi.
Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah ini dan tentang diriku sendiri.
Karena itu, aku minta kalian selalu bersiaga. Mungkin Sidanti dan Argajaya akan
menggunakan kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang Kembar bersama Ki
Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan Wangi, kau harus tetap berada
di rumah ini untuk memegang segenap pimpinan, bersama para pemimpin pengawal.
Kau dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan, kemudian kau dapat
mengambil keputusan yang kau anggap baik. Lakukanlah menurut kata hatimu, Kau
tidak perlu menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti ayah tidak kembali.”
“Ayah,” suara Pandan Wangi
terpotong di kerongkongan.
“Sudah aku katakan. Kau bukan
anak-anak lagi. Kau bukan seorang gadis yang sedang menunggu kekasih merantau.
Kau adalah seorang putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang telah sanggup
membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Nah, hatimu harus sesuai dengan
sikapmu, dengan pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang pewaris
satu-satunya Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau mengerti?”
Sejenak Pandan Wangi tidak
dapat mengucapkan sepatah kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru menjadi
semakin keras melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar olehnya,
seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali lagi. Memang
kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di dalam perang tanding. Salah
seorang akan terbunuh. Dan siapakah yang akan tertunuh itu, tidak seorang pun
yang tahu.
Argapati melihat kecemasan di
hati puterinya. Tetapi hal itu adalah hal yang wajar sekali. Namun ia harus
mencoba memberinya sedikit pengharapan. Katanya, “Pandan Wangi. Sudah berulang
kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan leherku sukarela. Aku akan
bertahan. Aku tahu, siapakah orang yang bergelar Tambak Wedi itu, sehingga aku
dapat menduga, apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun demikian, semuanya
terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun sejauh mungkin kita memang harus
berusaha.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
“Hadapilah hari depanmu dengan
dada tengadah, Wangi,” berkata ayahnya kemudian, “semuanya akan dapat kau
atasi, apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada Yang Maha
Esa.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “sekarang biarlah aku beristirahat. Aku
akan mencoba mengumpulkan tenaga dan kekuatanku. Aku juga akan berdoa supaya
aku mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat seperti saat ini,
mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau banyak pesan, seandainya
keadaan tanah ini tidak sedang panas seperti ini. Seandainya janji itu tidak
kami ucapkan dalam kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan ini, maka aku
tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi kali ini tidak
mungkin, sebab keadaan akan berkembang di luar kemungkinan aku tangani sendiri
selagi aku sedang berada di bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan
kepadamu dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin
pengawal. Tetapi kau tidak perlu menjadi cemas. Kau harus bersikap benar-benar
seperti seorang putra Kepala Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai
goncangan-goncangan perasaan, dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah
ini akan tenggelam pula. Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau harus mampu
menguasai perasaanmu, supaya kau dapat berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang
kita pertahankan ini.”
Pandan Wangi masih menundukkan
kepalanya. Ia masih tetap diam. Namun ia berjanji di dalam hatinya, akan
melakukan segala pesan ayahnya.
“Wangi,” berkata ayahnya, “kau
jangan pergi lagi. Kau harus selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku
meninggalkan rumah ini.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Dengan mata yang basah, dipandanginya wajah ayahnya yang suram. Dan
ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan kau basahi pipimu dengan air mata. Itu
adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau bukan seorang gadis manja, dan kau
bukan seorang gadis cengeng. Kau adalah seorang gadis dengan sepasang pedang di
lambungmu.”
Sekali lagi Pandan Wangi
tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat memandangi wajah ayahnya. Terasa getaran
yang asing menyentuh dinding hatinya.
Pandan Wangi itu masih
mendengar beberapa nasehat ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup.
Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Tinggallah kau di sini bersama para pemimpin
tanah ini. Aku akan pergi ke dalam bilikku.”
Gadis itu menganggukkan
kepalanya. Diawasinya saja ketika ayahnya kemudian melangkah meninggalkan
pertemuan itu. Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya menjadi kabur.
Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke dalam asap putih yang tebal.
Semakin lama menjadi semakin suram. Sehingga pada suatu saat ayahnya itu
seolah-olah hilang dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya melangkahi
pintu, masuk ke ruang dalam.
Bersamaan dengan itu, terasa
setitik air jatuh di pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang
telah menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan bukan asap yang
menelan tubuh ayahnya.
Dengan lengan bajunya, Pandan
Wangi mengusap air matanya. Tetapi ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana
ia sedang berada, maka ia mencoba berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.
Disekitarnya duduk beberapa
orang pemimpin tanah perdikan dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun
tidak seorangpun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam kediaman, Masing-masing
menundukkan kepala mereka.
Namun dengan-demikian, dada
Pandan Wangi menjadi sesak. Kediaman itu terasa terlampau tegang menghimpit
dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan itu, dan berjalan
di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan udara yang menyesakkan nafasnya.
Pandan Wangi menarik nafasnya
dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya
beberapa orang tua duduk termenung. Beberapa orang pengawal dengan pedang di
lambung. Seorang yang bertubuh raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak
mengantuk. Ketegangan suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekali tidak
mempengaruhinya.
“Hem,” Pandan Wangi berdesah.
Ia kenal anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang pemimpin
pengawai yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari pempinan-pimpinan
pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain senjata dan karena
kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya yang tinggi besar, berdada bidang,
memberi kesan yang meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu adalah
seorang pengawal yang baik.
Pandan Wangi yang dadanya
menjadi semakin sesak itu, tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun,
“Aku akan keluar sebentar. Aku akan berada di halaman.”
Anak muda yang bernama
Wrahasta itu memandanginya. Kemudian katanya, “Jangan Pandan Wangi. Kau harus
tetap berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh. Setiap saat semua
persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede tidak ada, maka kaulah yang
harus mengambil keputusan. Aku telah mendapat kepercayaan untuk melindungimu,
dalam keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa orang pengawal yang
lain.”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Agaknya ayahnya telah membuat persiapan yang matang, untuk menahannya supaya ia
tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman ini. Mungkin ayahnya
benar-benar menghendaki agar ia tetap berada di rumah ini untuk memimpin
perlawanan, apabila keadaan tiba-tiba saja memburuk selama ayahnya berada di
bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama sekali tidak menghendaki,
apabila pergi juga melihat apa yang terjadi di tempat yang telah di janjikan
oleh ayahnya dan Ki Tambak Wedi itu.
Karena itu, sejenak Pandan
Wangi berdiam diri. Ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu.
Tubuhnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang baik.
Tetapi untuk tetap berada di
dalam ruangan itu, Pandan Wangi sama sekali tidak akan dapat betah. Terasa
ruangan itu terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa dadanyalah
yang terasa pepat.
“Aku akan keluar sebentar,”
tiba-tiba Pandan Wangi mengulangi. Seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata
Wrahasta.
“Jangan,” Wrahasta pun
mencegahnya pula, “kau tetap tinggal di sini seperti pesan ayahmu.”
“Ya, aku tidak akan pergi.
Tetapi aku tidak tahan berada di dalam ruangan yang panas ini. Aku tidak akan
keluar dari halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap saat aku
dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam ruangan ini.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Sesaat ia berpaling kepada beberapa orang tua yang berada di dalam
ruangan itu. “Bagaimanakah pertimbangan kalian?”
Seorang yang berjanggut putih
berkata, “Apabila Angger Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki
Gede Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap saat ada perkembangan
keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat diberitahukannya untuk membuat
pertimbangan dan kemudian keputusan apa yang harus dilakukan.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Tetapi jangan keluar dari regol
halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai dengan kepercayaan Ki Gede
Menoreh kepadaku.”
Tetapi Pandan Wangi
menggelengkan kepalanya, “Tidak usah Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh
musuh di dalam halaman ini. Seandainya, ya seandainya demikian, aku akan
berteriak memanggilmu.”
“Tetapi aku harus melakukan
pesan Ki Gede, Pandan Wangi. Aku harus mengawalmu disetiap keadaan.”
“Sudah tentu maksud Ayah,
apabila aku berada di dalam bahaya. Tidak di halaman rumahku sendiri.”
Sekali lagi Wrahasta memandang
berkeliling. Dan sekali lagi orang berjanggut putih itu berkata, “Pandan Wangi
benar, Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan sangat
berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang kau katakan, apalagi
selama ia berada di halaman rumah ini.”
Wrahasta sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah, tetapi jangan keluar dari
halaman mi. Setiap petugas di regol halaman telah mendapat perintah itu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Dengan demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang tahanan
daripada seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya berhalangan
melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian, dugaannya menjadi semakin kuat,
bahwa yang penting bagi ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap masalah yang
berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi supaya ia tidak
pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran itu.
Sesaat kemudian, Pandan Wangi
itupun meninggalkan ruangan yang dirasanya terlampau panas itu. Ketika kakinya
melangkahh turun ke halaman, terasa udara yang sejuk menyusup ke dalam
tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihat matahari telah condong
ke barat.
Tiba-tiba saja dadanya
berdebar kembali. Saat purnama tidak akan terlalu lama lagi. Begitu matahari
tenggelam, maka datanglah saat yang mendebarkan jantung itu.
Dalam kegelisahannya, Pandan
Wangi berjalan menyusuri sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu
dapur, dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan makan,
lebih-sibuk dari hari-hari biasa.
Pandan Wangi terkejut, ketika
seorang perempuan setengah umur menegurnya, “Kau belum makan, Wangi.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak merasa lapar. Karena itu, maka jawabnya,
“Aku tidak makan.”
“Makanlah, supaya kau menjadi
segar.”
Pandan Wangi menggeleng.
Langkahnya kemudian diteruskannya menuju ke halaman belakang. Menyusup di
antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batang-batang perdu yang rimbun.
Namun di halaman belakang itupun dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga
di depan regol-regol butulan.
Panas udara telah membawa
Pandan Wangi duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk
mengusap tubuhnya yeng penat.
Tiba-tiba Pandan Wangi itu
mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling mengalun lirih,
seakan-akan menyusur sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang
menyentuh-nyentuh dinding hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah
mencengkamnya. Tetapi suara seruling itu telah mendebarkan jantungnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
berdiri. Ditangkapnya suara seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi,
kemudian perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang menunggu
kedatangan kekasih.
Tetapi sejenak kemudian,
Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia mendengar suara gemersik di belakangnya.
Ketika ia berpaling, dilihatnya Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah
berdiri beberapa langkah di belakangnya.
Sejenak mereka saling
memandang, namun sejenak kemudian, Pandan Wangi melemparkan tatapan matanya ke
kejauhan, sambil bertanya, “Apakah Ayah memanggil aku?”
Perlahan-lahan anak muda yang
bertubuh raksasa dan bernama Wrahasta itu menggelengkan kepalanya. Namun
tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi, sehingga Pandan
Wangi pun kemudian terpaksa menundukkan kepalanya.
“Tidak, Wangi,” jawab Wrahasta
itu kemudian. “Ayahmu tidak memanggilmu.”
“Kenapa kau menyusul aku?
Apakah ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan?”
Wrahasta tampak ragu-ragu.
Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia
tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut, dan di keningnya
mengembun beberapa titik keringat.
Pandan Wangi menjadi heran
melihat sikap Wrahasta itu. Ia kenal betul kepadanya, karena anak muda itu
terlampau sering berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat
kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta mendapat
tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian, anak muda yang bertubuh
raksasa itu sering benar berada di antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah
melihat sikap yang begitu aneh dan kaku.
“Pandan Wangi,” berkata
Wrahasta kemudian dengan suara gemetar, “memang ada hal yang harus kita
bicarakan.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Maka jawabnya, “Baiklah. Aku akan segera kembali.”
“Tidak Wangi, Tidak. Aku tidak
akan membicarakannya dengan orang lain, selain dengan kau sendiri.”
Pandan Wangi menjadi semakin
heran. Apalagi ketika ia melihat keringat yang semakin banyak mengalir di
kening Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.
“Kenapa tidak dengan orang
lain?” bertanya Pandan Wangi.
“Persoalan ini sama sekali
bukan persoalan orang lain, Wangi. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kita
berdua. Hanya kita berdua.”
“Aku tidak mengerti,” desis
Pandan Wangi kemudian, “aku tidak mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.
“Mungkin. Mungkin kau merasa
bahwa kau tidak mempunyai persoalan dengan aku. Tetapi aku lain, Wangi. Aku
merasa mempunyai persoalan dengan kau,” Wrahasta berhenti sejenak. Wayahnya
kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sejenak kemudian
dilanjutkannya, “Persoalan ini tidak langsung menyangkut keadaan tanah perdikan
di masa yang menegangkan ini. Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan sangat
berpengaruh.”
“Apakah persoalan yang kau
maksud itu?” bertanya Pandan Wangi.
“Wangi. Aku tidak tahu, kenapa
ayahmu menyerahkan rumah ini dalam perlindunganku. Di tanah perdikan ini ada
beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain aku. Tetapi Ki Gede
justru menyerahkannya kepadaku.” Wrahasta itu berhenti sejenak, lalu, “Dan
penyerahan itu telah membuat jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal
kau, Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Dan
aku memang tidak sering berbicara. Namun dalam kediaman itu, aku telah
menyimpan sesuatu di dalam hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?”
Kini terasa jantung Pandan
Wangi menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan serupa ini, ia mendengar persoalan
yang lain sekali dengan persoalan yang selama ini membuat darahnya serasa
bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat dewasa, Pandan Wangi
segera dapat menangkap maksud Wrahasta. Tetapi sebagai seorang gadis yang belum
pernah mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah dibasahi oleh
keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap lubang di kulitnya.
“Pandan Wangi,” Wrahasta
berkata seterusnya, “aku ingin mendengar tanggapanmu tentang perasaanku.
Perasaanku sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis. Aku mempunyai
tangkapan, bahwa ayahmu sengaja mempertemukan kita di dalam keadaan yang sulit
ini. Aku tahu benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata diperuntukkannya
bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal inipun telah dihubungkannya dengan
kepentingan itu pula. Supaya aku selalu dapat melindungimu, tidak hanya sekedar
di saat-saat yang kemelut ini, maka aku harap kau dapat menerimainya.”
Debar jantung Pandan Wangi
menjadi semakin cepat berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam dadanya.
Sesaat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti sebatang
tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya.
“Aku ingin mendengar jawabmu,
Wangi.”
Pandan Wangi masih belum mampu
menjawab. Bahkan kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.
“Wangi. Jawablah, supaya aku
dapat berbuat apa saja untukmu, dan untuk tanah perdikan ini. Hidup matiku akan
aku serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan kepentingan tanah ini.
Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi keinginan ini, tetapi apabila
aku sudah mendengar kesanggupanmu, aku akan rela. Aku merasa bahwa aku
berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan tanah ini.”
Terasa kini tubuh Pandan Wangi
menjadi gemetar. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa ia akan di hadapkan pada
persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya dicengkam oleh
kegelisahan dan kecemasan tentang nasib ayahnya sebentar lagi. Sebentar lagi,
apabila matahari tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah, akan terjadi
suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.
“Jawablah Wangi,” desak
Wrahasta, “aku ingin mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga sebelumnya.
Kau pasti tidak akan ingkar dari keinginan ayabmu. Ingat, bahwa kau telah
diserahkan kepadaku.”
Pandan Wangi kini menjadi
semakin bingung. Persoalan yang begitu tiba-tiba di hadapkan kepadanya,
menambah hatinya menjadi semakin pepat.
“Jawablah. Jawablah Wangi,
meskipun hanya sepatah kata.”
Tubuh Pandan Wangi menjadi
semakin gemetar mendengar desakan itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus menjawab.
Karena itu, maka setelah berjuang sejenak ia menjawab, “Tunggulah Wrahasta.
Kita sedang menghadapi bahaya yang besar.”
Pandan Wangi menjadi semakin
berdebar-debar melihat wajah Wrahasta menegang. Tampaklah kekecewaan yang
sangat, memancar dari sepasang matanya, Sejenak ia berdiri mematung.
Dipandanginya Pandan Wangi, seolah-olah hendak dilihatnya langsung ke dalam
hatinya.
Sejenak keduanya terdiam.
Terasa angin yang sejuk mengalir menyentuh dedaunan. Namun keduanya sama sekali
tidak mengacuhkannya.
Baru ketika Wrahasta telah
sempat mengatur perasaannya, maka terdengar ia berkata, “Pandan Wangi. Jangan
membuat aku kecewa. Sebentar lagi aku harus menghadapi pekerjaan yang terlampau
berat. Karena itu, berilah aku kekuatan, supaya aku tidak ragu-ragu mengangkat
senjata. Aku tidak tahu, sampai di mana kemampuan Sidanti kini bermain dengan
senjata. Tetapi apabila mungkin, aku akan mencobanya. Untuk kepentinganmu dan
kepentingan tanah ini, mudah-mudahan aku dapat menghancurkannya.”
Dada Pandan Wangi berdesir
mendengarnya. Ia tahu benar, betapa besar kemampuan kakaknya Sidanti dalam olah
kanuragan. Dan ia dapat pula mengira-kirakan, sampai di mana kemampuan Wrahasta
itu.
Tetapi Pandan Wangi sama
sekali tidak menyatakannya. Ia tidak ingin mengecewakan Wrahasta dalam menilai
diri. Tetapi sudah tentu ia tidak akan segera dapat menjawab pertanyaannya itu.
“Berjanjilah Wangi. Aku tidak
terikat dan mengikatkan diri kepada waktu. Seandainya kau masih ingin hidup
sebagai seorang gadis setahun, dua tahun, bahkan sepuluh tahun sekalipun. Aku
akan tetap menunggumu. Yang ingin aku dengar sekarang adalah janji
kesanggupanmu untuk hidup bersamaku kelak, seperti yang diharapkan oleh
ayahmu.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
kemerah-merahan. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, Perlahan-lahan
ia menjawab, “Wrahasta, aku tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Aku harus
berbicara dengan Ayah lebih dahulu.”
“Wangi,” sahut Wrahasta,
“apakah kau masih meragukan keinginan ayahmu? Kau harus tanggap akan sasmita
yang telah diberikan. Dalam keadaan yang kalut ini, kau diserahkan kepadaku.
Kepada perlindunganku, justru pada saat Ki Gede akan melakukan suatu pekerjaan
yang sangat berbahaya.”
“Tetapi Ayah belum pernah
mengatakannya kepadaku. Sama sekali belum. Bahkan menyinggung mengenai masalah
itupun belum, yang selalu dikatakannya setiap hari adalah keadaan yang panas
ini, yang setiap saat dapat membakar Tanah Perdikan Menoreh menjadi abu.”
“Justru saat ini adalah saat
yang paling tepat bagi Ki Argapati untuk menyatakan keinginannya itu. Kita
tidak menginginkan sesuatu terjadi atasnya, Wangi. Tetapi agaknya Ki Argapati
sendiri tidak ingin kau kehilangan akal apabila terjadi sesuatu. Kau sudah di
sandarkan pada sandaran yang dikehendaki. Dan aku akan mencoba untuk berbuat
sebaik-baiknya.”
“Berilah aku kesempatan
berpikir, Wrahasta.”
“Waktunya telah datang
sekarang. Sebentar lagi Ki Argapati akan pergi ke bawah Pucang Kembar itu.”
Pandan Wangi menjadi semakin
terdesak. Ia sadar, bahwa Wrahasta adalah seorang pemimpin pasukan pengawal
tanah perdikan yang berpengaruh. Terutama atas anak-anak mudanya. Saat ini
sebagian dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah dipengaruhi olen
Sidanti, dan memihak kepadanya. Apabila Wrahasta ini menjadi kecewa, dan
meninggalkan ayahnya, maka kekuatan ayahnya pasti akan menjadi semakin jauh
berkurang. Sedang agaknya Sidanti sama sekali tidak lagi mengingat tanggung jawabnya
atas tanah ini dengan mengundang orang-orang yang sama sekali tidak dikenal,
untuk ikut serta mengeruhkan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam keragu-raguan yang
mencengkam itu, lamat-lamat Pandan Wangi mendengar suara seruling di kejauhan.
Melonjak, memekik tinggi, kemudian hilang dibawa angin dari Selatan. Sejenak
kemudian, suara itu melengking dan menjerit.
Suara seruling itu seolah-olah
seperti suara yang menggelora di dalam dadanya sendiri. Menjerit, kemudian
pepat dan sama sekali kehilangan arah.
Karena Pandan Wangi masih juga
membisu, maka terdengar Wrahasta mendesaknya, “Kenapa kau diam saja, Wangi? Matahari
semakin lama menjadi semakin rendah. Kita akan kehabisan waktu.”
“Tidak. Kita tidak akan
kehabisan waktu. Waktu masih terlampau panjang.”
“Wangi,” Wrahasta melangkah
setapak maju. Dan tanpa disadarinya Pandan Wangi pun surut setapak.
“Aku ingin mendengar jawabmu
sekarang.”
Pandan Wangi menjadi semakin
bingung. Ingin ia berteriak keras-keras seperti suara seruling yang
memekik-mekik di kejauhan. Ia kini benar-bener terdorong ke sudut yang paling
sulit. Ia harus memilih. Sedang pilihan itu semuanya tidak menyenangkannya. Ia
tidak dapat menolak dan mengecewakan Wrahasta. Tetapi ia masih belum sempat
membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menerima pernyataan itu. Ia masih belum
sempat menjajagi hatinya, apakah ia dapat membuka perasaannya untuk anak muda
yang bertubuh raksasa itu.
Kesulitan itu telah membuat
kepala Pandan Wangi menjadi pening. Apalagi ketika ia melihat matahari sudah
menjadi semakin rendah. Hampir-hampir ia menangis seperti anak-anak yang
kehilangan permainan.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi
itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar suara berdesir. Ketika ia berpaling,
dilihatnya Samekta datang mendekatinya.
“Paman,” desis Pandan Wangi
tanpa sesadarnya.
Wrahasta pun kemudian
berpaling pula. Tampaklah betapa wajahnya diwarnai oleh kekecewaan yang tidak
terkatakan. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau kemari?”
Samekta mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Wrahasta berganti-ganti dengan Pandan Wangi. Ia tidak tahu,
apakah yang sudah terjadi, tetapi karena ia melihat seorang anak muda dan
seorang gadis berdua saja, maka tiba-tiba ia tersenyum. Katanya, “Maafkan,
apabila aku mengganggu. Tetapi aku terpaksa memotong pertemuan kalian.”
Sepercik warna merah memulas
wajah Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis yang masih sedang meningkat dewasa,
maka sindiran itu telah membuatnya sangat berdebar-debar. Sejenak dipandanginya
Samekta dengan sudut matanya, namun sejenak kemudian kepalanya telah tertunduk
pula. Dalam sekali.
Dalam pada itu, wajah Wrahasta
pun terasa menjadi panas. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal mendengar gurau
itu. Bahkan kemudian ia tersenyum sambil berkata sendat, “Ah, jangan
mengganggu. Kami tidak sengaja bertemu di sini.”
Samekta masih juga tersenyum.
Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tertunduk dan kemerah-merahan. Kemudian
dipandanginya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tanpa disadarinya,
terasa sesuatu berdesir di dadanya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau keras
dibanding dengan wajah Pandan Wangi yang lembut, meskipun kerut keningnya
menunjukkan ketajaman pikirannya.
Meskipun demikian, meskipun
sendau gurau itu menyenangkan hati Wrahasta, namun ia diganggu pula oleh
perasaan kecewa, karena kehadiran pemimpin pengawal yang sudah setengah umur
itu. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya, “Apakah keperluanmu kemari?”
Samekta masih ingin bergurau,
“kalau begitu, aku tidak akan menahan kau lebih lama di sini. Akulah yang akan
tinggal di sini lebih lama,” jawab Samekta sambil tersenyum.
“Ah,” sekali lagi Wrahasta,
berdesis.
Namun dalam pada itu, Pandan
Wangi sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak tahu, perasaan apa
yang bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia sama sekali tidak senang mendengar
sindiran-sindiran itu. Ia tidak merasakan kejenakaannya sama sekali. Bahkan
sendau gurau itu sangat menjengkelkannya.
“Tetapi,” Wrahasta kemudian
berkala dengan suara bergetar, “apakah tugasmu sudah selesai.”
Samekta menggelengkan
kepalanya, “Belum. Tugasku belum selesai.”
“Aku tidak akan mengganggu
tugasmu, Paman Samekta. Lakukanlah. Nanti pada saatnya, aku akan menggantikanmu
dengan kelompokku.”
“Terima kasih Wrahasta. Aku
akan melakukan tugasku. Tetapi aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku
sedikit mengganggumu.” Samekta berhenti sejenak, lalu ia berpaling kepada
Pandan Wangi, “Maaf Ngger. Aku terpaksa mengganggu. Tetapi adalah tugasku saat
ini. Ayahmu memanggilmu sekarang.”
Terasa seolah-olah dada Pandan
Wangi yang sedang membara itu tersiram air. Dengan serta-merta ia bertanya,
“Ayah memanggil aku sekarang?”
Samekta terdiam sejenak. Ia
menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Ya. Ayahmu memanggilmu sekarang. Aku terpaksa menyampaikan ini kepadamu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari himpitan pertanyaan yang paling sulit
untuk dijawabnya. Maka katanya terbata-batta, “Baik. Baik Paman. Aku akan
menghadap Ayah.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Ternyata ia salah mengerti. Disangkanya Pandan Wangi menjadi sangat kecewa atas
panggilan itu, sehingga katanya, “Maaf Ngger. Aku hanya sekedar menyampaikannya.”
Sebelum Pandan Wangi menyahut,
maka Wrahasta telah mendahuluinya, “Baiklah, Paman Samekta. Katakanlah kepada
Ki Argapati, bahwa sebentar lagi Pandan Wangi akan menghadap.”
Samekta mengerutkan keningnya.
Kemudian jawabnya, “Tetapi Ki Argapati memanggilnya sekarang. Lihatlah,
matahari telah menjadi terlampau rendah. Hampir tidak ada waktu lagi baginya.
Sebentar lagi ia harus pergi. Sebelum purnama naik, Ki Argapati harus sudah
berada di bawah Pucang Kembar.”
“Ya, ya, aku tahu,” sahut
Pandan Wangi, “aku akan kembali sekarang. Ayah harus segera pergi.”
“Tetapi,” potong Wrahasta,
“apakah kau dapat menunggu sebentar, Wangi?” Lalu kepada Samekta ia berkata,
“Dahululah Paman. Katakan kepada Ki Gede. Sebentar lagi kami akan datang.”
“Sekarang,” Pandan Wangi
memotong, “sekarang. Tidak ada waktu lagi.”
Samekta menjadi bingung. Ia
tidak mengerti, kenapa keduanya tidak sependapat. Tetapi ia tidak sempat untuk
berpikir, karena Pandan Wangi kemudian telah melangkah mendahuluinya.
“Pandan Wangi, tunggulah,”
panggil Wrahasta. Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti, sehingga Wrahastalah yang
harus berjalan menyusulnya.
Samekta masih berdiri di
tempatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi bingung. Namun
kemudian sambil meraba-raba janggutnya, ia berdesis, “Anak-anak muda memang
terlampau aneh.” Tetapi sejenak kemudian ia mengerutkan keningnya sambil
berdesah, “Dalam keadaan semacam ini, masih juga mereka sempat memikirkan diri
mereka sendiri.”
Wrahasta yang kemudian telah
berada di samping Pandan Wangi, mendesaknya pula, “Katakan Wangi. Katakan, satu
kata saja. Aku hanya ingin mendengar satu kata saja.”
“Tunggulah Wrahasta.
Tunggulah. Pada saatnya aku akan menjawab.”
“Tetapi bagaimana jawabmu
itu.”
“Aku belum tahu Wrahasta. Aku
akan memikirkannya, apabila persoalan tanah perdikan ini sudah selesai.”
“Tetapi, tetapi aku
memerlukannya sekarang. Aku memerlukannya sebelum ujung pedang Sidanti atau Ki
Tambak Wedi membekas pada kulitku.”
Dada Pandan Wangi serasa akan
bengkak. Tetapi ia justru terdiam sejenak.
“Wangi,” desak Wrahasta.
“Sst,” Pandan Wangi berdesis,
“kita akan dilihat oleh banyak orang. Biarlah aku berjalan sendiri.”
“Tetapi kau belum menjawab,
Wangi. Kau belum menjawab.”
Pertanyaan-pertanyaan yang
meluncur seperti hujan yang tercurah dari langit itu membuat Pandan Wangi
mendadi semakin bingung. Dadanya serasa menjadi pepat, dan nafasnya serasa
sesak. Wrahasta masih saja mendesaknya dan berjalan di sampingnya.
“Wrahasta,” berkata Pandan
Wangi kemudian, “biarlah aku berjalan sendiri. Bukankah kurang baik dilihat
orang, apabila kita berjalan bersama-sama.”
“Aku pengawalmu, sesuai
seperti yang dikehendaki oleh Ki Argapati. Meskipun demikian, aku akan berhenti
di sini kalau kau sudah menjawab pertanyaanku.”
“Jangan membuat aku menjadi
sangat bingung Wrahasta. Sebentar lagi Ayah akan pergi. Seolah-olah Ayah akan
terjun ke dalam kegelapan. Tak seorang pun tahu, apakah yang ada di dalamnya.
Di dalam kegelapan itu. Sekarang kau membuat persoalan yang membuat aku menjadi
semakin pening. Kalau kau menaruh sedikit pengertian tentang keadaanku,
Wrahasta, aku harap kau menunda pertanyaanmu itu.”
“Tetapi apakah aku akan dapat
menyimpan harapan, seandainya aku menunda pertanyaan ini?
“Pertanyaan itu tidak ada
bedanya. Simpanlah semua persoalan di dalam hati.”
“Aku ingin tahu Pandan Wangi.”
Pandan Wangi merasa semakin
terdesak. Ia tidak melihat jalan untuk keluar dari persoalan itu. Tetapi ia
sadar, bahwa ia tidak dapat menolaknya. Karena di dalam kepepatan hati, Pandan
Wangi menjawab sekenanya, “Simpanlah harapanmu itu, Wrahasta.”
Jantung anak muda yang
bertubuh tinggi tegap, berdada bidang, dan berbulu lebat di dadanya itu
berdesir. Dengan serta-merta ia bertanya, “Jadi aku dapat menyimpan harapan
kepadamu Wangi.”
Dada Pandan Wangi yang semakin
pepat itu menjawab, “Setiap orang harus berpengharapan bagi masa depannya.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Terima kasih Pandan Wangi. Aku sudah
puas untuk sementara mendengar jawabmu. Aku harap kau tidak ingkar.”
Kini dada Pandan Wangi-lah
yang berdesir. Ia sadar, bahwa jawabannya telah menimbulkan salah mengerti.
Tetapi ketika ia ingin menjelaskannya, Wrahasta telah mendahului, “Aku kini
sudah siap, Pandan Wangi. Siap untuk berbuat apa saja untukmu dan tanah
perdikan ini. Apapun yang harus aku lakukan, aku telah bersedia dengan dada
tengadah. Kau adalah pewaris satu-satunya atas tanah ini. Semua persoalanmu
adalah persoalanku. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh.”
Pandan Wangi sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk menjawab. Wrahasta itu segera meloncat
meningalkannya. Langkahnya ringan, seperti seekor burung yang berloncatan
menyambar bilalang. Dalam sekejap kemudian, Wrahasta itu sudah hilang di balik
dedaunan yang rimbun di halaman belakang rumah Pandan Wangi.
Pandan Wangi kemudian berdiri
termangu-mangu. Tiba-tiba hatinya menjadi terlampau gelisah. Beberapa macam
persoalan bercampur-baur, menggelegak di dalam dadanya. Tanpa sesadarnya, telapak
tangannya di letakkannya di dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun
sesaat kemudian terasa setitik air meleleh dari pelupuk matanya.
Tetapi sejenak kemudian,
seperti orang yang terbangun dari mimpinya, ia menggeram. Mimpinya terlampau
mencemaskannya. Namun kini ia sadar, bahwa ayahnya sedang menunggunya. Sebentar
lagi ayahnya akan pergi ke bawah Pucang Kembar. Persoalan itu jauh lebih
penting dan berharga dari persoalannya sendiri. Karena itu, maka Pandan Wangi
pun segera berlari-lari mendapatkan ayahnya yang duduk di antara beberapa
pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata di sana telah duduk pula Wrahasta
yang masih terengah-engah. Dan sekejap kemudian masuk pula Samekta.
Ternyata orang tua itu telah
mengikutinya, dan mendengar semua percakapannya dengan Wrahasta. Orang yang
telah cukup menyimpan pengalaman itu segera dapat mengerti, persoalan yang
tumbuh diantara Wrahasta dan Pandan Wangi. Di dalam hatinya ia bergumam, “Kasihan
Angger Pandari Wangi.” Tetapi untuk sementara Samekta tidak dapat
mencampurinya. “Apabila persoalan itu dapat mereka selesaikan sendiri, biarlah
mereka selesaikan,” katanya di dalam hati.
Ketika Pandan Wangi berada di
dalam lingkungan para pemimpin tanah perdikan itu, ayahnya telah bersiap untuk
memenuhi janjinya. Telah dikenakannya pakaian keprajuritannya ,yang telah lama
disimpannya. Di pangkuannya terletak sebatang tombak pendek yang masih berada
di dalam selosong putih. Namun Pandan Wangi kini melihat perubahan pada wajah
ayahnya. Wajah itu tiba-tiba tampak menjadi cerah dan seolah-olah bahkan
berseri-seri. Ia melihat senyum yang tergores pada bibir ayahnya. Dan sejenak
kemudian Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata, “Wangi, semua persiapan telah
selesai. Aku tinggal menunggu matahari merendah di atas bukit, kemudian aku
akan pergi ke Pucang Kembar untuk memenuhi janjiku.”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Tanpa disadarinya, matanya menyentuh sorot mata Wrahasta, yang
seolah-olah membakar dadanya, sehingga dengan serta-merta kepalanya menunduk
dalam-dalam.
“Aku sudah cukup memberikan
pesan kepada semua orang yang aku anggap penting di sini. Kepada orang-orang
tua, kepada para pemimpin pengawal, dan kepadamu, Wangi. Sepeninggalku, maka
kaulah yang akan memegang semua kekuasaan atas tanah ini, sampai aku datang
kembali. Apabila sepeninggalku ada perkembangan yang cepat melanda tanah ini,
maka kaulah yang harus memutuskan, apakah yang sebaik-baiknya kau kerjakan. Di
sini ada beberapa orang yang akan mengawanimu di dalam segala pertimbangan.
Dalam tata pemerintahan kau dapat berbicara dengan orang-orang tua. Sedang
dalam persoalan keamanan tanah, ini kau dapat berbicara dengan para pemimpin
pengawal. Aku telah menyerahkan pimpinan keselamatan rumah ini dengan segala
isinya kepada Wrahasta. Sedang untuk persoalan yang timbul di luar rumah dan
halaman, aku serahkan kepada Samekta. Kecuali itu, pemomongmu, Kerti, aku
tempatkan di dalam rumah ini, supaya kau selalu dapat berhubungan dengan orang
itu. Ia akan merupakan penghubung yang baik pula antara kau dan Samekta. Namun
jangan kau lupakan, sebaiknya kau tetap berada di rumah ini. Kau dapat
menyerahkan semua persoalan kepada orang-orang yang telah aku serahi tugasnya
masing-masing.”
Darah Pandan Wangi serasa
menjadi semakin cepat mengalir. Ia tahu benar arti pesan ayahnya. Ia tidak akan
dapat meninggalkan halaman rumahnya. Apalagi pergi ke Pucang Kembar. Karena itu
maka untuk sejenak ia masih berdiam diri, tanpa menjawab sepatah kata pun.
Ki Gede Menoreh melihat
kekecewaan di wajah puterinya. Agaknya Pandan Wangi telah menangkap maksudnya,
tetapi Ki Gede tidak punya cara lain. Ia pun tahu benar, bahwa seandainya tidak
demikian, putrinya itu pasti akan pergi ke Pucang Kembar. Setidak-tidaknya
ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
“Pandan Wangi,” berkata Ki
Gede kemudian, “tidak seorang pun yang akan ikut serta bersamaku. Aku akan
pergi seorang diri, karena aku pun yakin, bahwa Ki Tambak Wedi pun akan pergi
sendiri pula. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi yang sekarang masih Ki Tambak Wedi
yang dahulu.” Ki Argapati itu terdiam sejenak. Lalu, “Seperti sudah aku
katakan, seandainya hal ini tidak bersamaan waktunya dengan kemelut yang
mengasapi tanah perdikan ini, maka tidak seorang pun yang boleh tahu, apa yang akan
terjadi. Tidak boleh seorang pun mendengar, bahwa akan terjadi perang tanding
itu. Tetapi dalam keadaan ini, aku tidak dapat berbuat demikian.”
Pandan Wangi masih tetap diam.
Kepalanya tunduk, dan matanya menjadi basah. Ia sangat gelisah dan cemas, tetapi
juga sangat kecewa.
“Aku tahu, kau kecewa Wangi,”
berkata ayahnya.
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi
mengangguk. Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Sebenarnya aku ingin pergi ke Pucang
Kembar, Ayah.”
“Aku sudah tahu,” sahut
ayahnya, “karena itu, aku memaksa kau untuk tinggal di sini. Kehadiranmu akan
memecahkan pemusatan perlawananku. Mungkin akan berakibat kurang baik bagiku
dan bagimu. Tetapi seorang diri, aku akan dapat mempergunakan setiap saat untuk
menolong dan memperhatikan diriku sendiri.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Ia dapat mengerti keterangan
itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat perang tanding
itu.
“Karena itu Wangi,” berkata Ki
Gede Menoreh seterusnya, “tinggallah di rumah. Mungkin kau akan diperlukan
sekali. Mungkin orang-orang Sidanti akan melakukan gerakan justru pada saat aku
tidak ada di rumah. Apabila kau tidak ada, maka mungkin kita akan kehilangan
segala-galanya. Apakah kau mengerti?”
Sekali lagi Pandan Wangi
mengangguk.
“Nah, mudah-mudahan kau
benar-benar mengerti.” Ki Argapati berhenti sejenak. Dilemparkan pandangan
matanya menembus pintu hinggap di halaman rumahnya. Sinar matahari sudah
menjadi terlampau lemah. Dan waktu yang ditentukan telah menjadi terlampau
sempit.
“Aku sudah kehabisan waktu,”
gumam Ki Argapati, “aku kira sudah saatnya aku berangkat. Mungkin aku akan
sampai beberapa saat, sebelum saat yang kami tunggu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ketika ia mencoba memandang setiap wajah, maka dilihatnya wajah-wajah
itu menjadi tegang. Orang-orang tua dan para pemimpin pasukan pengawal yang
berada di ruangan itu agaknya benar-benar terpengaruh oleh keadaan itu. Oleh
keberangkatan Ki Gede Menoreh sebentar lagi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak mau membawa seorang pun untuk
mengawaninya. Setidak-tidaknya untuk menjadi saksi dalam perang tanding itu. Ki
Gede telah memutuskan untuk melakukannya sebagaimana pernah dilakukan. Sendiri.
Ketika Ki Gede kemudian
beringsut, wajah-wajah di dalam ruangan itu menjadi kian menegang. Apalagi
ketika kemudian Ki Gede itu berdiri sambil berkata, “Sudah waktunya aku
berangkat. Tinggallah kalian pada tugas kalian masing-masing. Aku mengharap
bahwa Ki Tambak Wedi cukup jantan.”
Pandan Wangi hampir-hampir
tidak dapat menahan diri lagi. Hampir saja air matanya memecahkan
pertahanannya. Tetapi Ki Gede yang melihatnya segera berkata, “Pandan Wangi,
lepaskan aku sebagaimana seorang laki-laki pergi berperang. Jangan kau lepaskan
aku seperti kanak-kanak nakal yang pergi ke ladang orang. Kau pun harus
bersikap seperti sikap-sikap yang seharusnya kau perlihatkan. Kau adalah putri
Kepala Tanah Perdikan yang kini memegang tampuk pimpinan selama aku tidak di
rumah. Ingat, jangan kau tinggalkan rumah ini. Kau harus tetap dalam
kewaspadaan yang tertinggi.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.
Sejenak kemudian, Ki Gede
Menoreh itupun melangkahkan kakinya, diikuti oleh setiap orang yang berada di
dalam ruangan itu. Perlahan-lahan melintas pendapa, kemudian turun ke halaman.
Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Pandan Wangi memandanginya. Kemudian
terdengar bibirnya berdesis, “Ayah. Tombak itu.”
KI Argapati mengangkat
tombaknya. Dipandanginya tombak yang masih berada di selongsongnya itu. Terasa
dadanya berdesir. Tombak itu memang bukan tombaknya yang dipergunakan beberapa
puluh tahun yang lalu untuk melawan Paguhan. Namun sejenak kemudian ia
tersenyum. Katanya, “Tidak ada bedanya Wangi. Keduanya pusaka sipat kandel
tanah perdikan ini.”
Pandan Wangi tidak
berkata-kata lagi. Ia berjalan dengan lemahnya di belakang ayahnya. Di
belakangnya, anak muda yang bertubuh raksasa melangkah dengan tegapnya. Dan di
sampingnya, di antara orang-orang lain adalah Samekta, yang sudah agak lanjut
usia.
Ketika Argapati sampai di
regol halaman rumahnya, sejenak berhenti. Dilayangkannya pandangan matanya
berkeliling, seolah-olah ingin dilihatnya sekali lagi sudut-sudut halamannya.
Pohon-pohon buah-buahan dan tanam-tanaman perdu yang tersebar menghijau di
halaman. Kemudian katanya, “Aku akan berangkat.”
Seorang pekatik maju ke depan
orang-orang yang berdiri berjajar itu membawa seekor kuda. Dengan tenangnya Ki
Gede Menoreh menerima kendali, lalu dengan tenangnya pula ia meloncat ke atas
punggung kuda itu.
“Selamat tinggal,” desisnya,
“aku serahkan tanah ini kepada kalian selama aku belum kembali. Mudah-mudahan
kita semua selamat. Kita akan selalu bermohon kepada Tuhan.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Tetapi setiap pasang mata memancarkan kesediaan yang mantap. Apa pun
yang akan terjadi, mereka akan bersedia menjalani. Sampai pada pengorbanan yang
tertinggi yang dapat diberikan kepada tanah ini.
Sesaat kemudian, Ki Argapati
menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu bergerak, maka Ki Gede Menoreh
tersenyum sambil berkata, “Kita yakin, bahwa kita berada di pihak yang benar.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Tetapi Ki Gede Menoreh dapat menangkap sorot mata yang memancar dari
setiap wajah. Karena itu, maka dengan hati yang tetap ia pun segera berpacu
meninggalkan regol halaman rumahnya, melintas lewat lapangan kecil di depan
rumahnya, yang biasa disebut alun-alun Menoreh. Debu yang putih mengepul di
belakang derap kaki-kaki kudanya.
Ki Gede Menoreh itu semakin
lama menjadi semakin jauh. Kemudian hilang di balik dedaunan di seberang alun-alaun
kecil itu.
Setiap orang yang berdiri di
depan regol halaman rumah Ki Gede itu, menarik nafas dalam-dalam. Betapapun
juga, mereka merasa dirayapi oleh kecemasan di dadanya. Mereka memang tidak
dapat meramalkan, apa yang akan terjadi. Ki Gede Menoreh dan Ki Tambak Wedi
mempunyai kesempatan yang sama. Keduanya dapat menang, dan keduanya dapat kalah
dalam perang tanding itu. Tetapi mungkin juga, bahwa perang tanding itu akan
berlangsung lebih lama dari semalam suntuk. Mungkin apabila matahari besok terbit
di Timur, perang tanding itu masih juga berlangsung. Dan kemungkinan yang lain
adalah sampyuh. Keduanya terbunuh dengan luka di tubuh masing-masing.
Pandan Wangi masih berdiri
tegak di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menemukan kekuatan di dalam
dirinya. Ketika ia melihat kuda ayahnya berderap, serta melihat debu yang putih
nengepul di belakang kaki-kaki kuda itu, terasa sebuah getar menyentuh dadanya.
Tiba-tiba ia menemukan tekad yang menyala di dalam dirinya. Dengan dada
tengadah ia bergumam di dalam hatinya, “Aku adalah pewaris satu-satunya tanah
perdikan ini. Aku harus menyelamatkannya dari setiap bencana yang bakal
datang.”
Pandan Wangi itu tersedar
ketika ia mendengar suara Wrahasta di belakangnya, “Sudahlah Pandan Wangi.
Masuklah. Ki Argapati sudah tidak kelihatan lagi.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah masuk menyusup regol
halaman, melintas ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, diikuti oleh
orang-orang tua dan pemimpin-pemimpin pengawal.
Di paling belakang berjalan
Samekta dengan wajah yang suram. Ketika dilihatnya Kerli, maka segera
digamitnya sambil berbisik, “He, aku ingin berbicara sedikit.”
Kerti berpaling. Jawabnya,
“Berbicaralah, Kau tidak berbicara sedikit. Kau biasanya berbicara terlampau
banyak.”
Samekta tersenyum. Sudah lama
ia mengenal Kerti dengan segala tabiatnya.
“Dengar,” berkata Samekta
kemudian, “kau mendapat pekerjaan yang cukup berat dari Ki Gede.”
Kerti mengerutkan keningnya,
“Apa?”
“Bukankah kau telah
mendengarnya sendiri?”
Kerti tertawa, “Kau membuat
aku berdebar-debar. Apakah anehnya tugas itu?”
“Dengar,” berkata Samekta
perlahan-lahan, “kau harus melindungi gadis momonganmu itu. Lebih berhati-hati
apabila ia pergi berburu. Kau mengerti maksudku?”
Kerti mengerutkan keningnya.
Katanya, “Mana mungkin aku mengerti. Tetapi apakah kau bermaksud membuat
teka-teki?”
“Tidak. Aku berkata
sebenarnya. Lindungilah gadis itu baik-baik.”
“Kau bergurau. Kau harus tahu,
bahwa seharusnya Pandan Wangilah yang akan selalu melindungi aku. Bukan aku
yang akan melindunginya. Kemampuannya lipat sepuluh dari kemampuanku berkelahi.
O, kalau kau melihat bagaimana ia berkelahi melawan Sidanti, meskipun tidak
bersungguh-sungguh, kau pasti akan pingsan.”
“Aku sudah melihat, meskipun
tidak langsung. Enam orang-orang liar tidak dapat mengalahkannya segera.”
“He?” Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya. Kau pernah bercerita. Tetapi, lalu apakah
yang harus aku lindungi?”
“Lindunglah perasaannya. Ia
sedang dikejar oleh kecemasan tentang ayahnya. Tetapi ia dikejar pula oleh
persoalan lain.”
Samekta mengedarkan pandangan
matanya. Satu-satu para tetua tanah perdikan dan para pemimpin pengawal telah
masuk ke dalam pringgitan.
“Wrahasta. Ia salah paham atas
kepercayaan Ki Argapati kepadanya tentang Pandan Wangi. Ia merasa, bahwa ia
mendapat kepercayaan bukan sekedar dalam mengemban kewajibannya. Ia merasa
bahwa tugas itu merupakan kepercayaan rangkap. Sebagai seorang pengawal yang
terpercaya dan sebagai seorang anak muda.”
Kirti mengerutkan keningnya.
Dan ia mendengar Samekta berkata selanjutnya tentang anak muda yang bertubuh
raksasa itu.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kerti berkata, “Kasihan Angger Pandan Wangi. Tetapi aku kira
Wrahasta tidak akan dapat berbuat apa-apa atas gadis itu. Tiga sampai lima
Wrahasta akan digilasnya dengan ilmu yang diterimanya dari ayahnya.”
“Tetapi Pandan Wangi tidak
dapat berbuat demikian. Ia terlalu mementingkan tanah ini, sehingga ia tidak
berani menyakiti hati raksasa yang mabuk itu.”
Sekali lagi Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Baik. Aku akan berusaha, bahwa bagi
raksasa itu tidak akan ada kesempatan untuk mempersoalkannya lagi selama ini.
Aku akan selalu berada di sampingnya. Bukankah aku mendapat tugas di dalam
rumah itu, Samekta di luar halaman, tetapi meliputi seluruh tanah ini dengan
segala macam bentuknya, dan Wrahasta mendapat tugas di dalam halaman ini.
Mengawal dan menyelamatkan segala isinya, termasuk Pandan Wangi dan aku.”
“Hus,” desis Samekta,
“pergilah. Sebentar lagi aku akan. meninggalkan halaman ini. Untuk sementara
aku akan berada di banjar. Setiap persoalan dengan tanah ini dari segi
pengamanannya, hubungilah aku di banjar. Kau tidak usah pergi sendiri. Kau
dapat menyuruh satu dua orang yang kau percaya untuk itu, tetapi yang harus
sudah aku kenal baik-baik.”
Kerti mengangguk-anggukan
kepalanya. Di dalam keadaan yang demikian, maka semua orang harus berhati-hati.
Semua menjadi saling bercuriga. Mereka tidak segera dapat membedakan, siapakah
lawan mereka masing-masing, dan siapakah yang menjadi kawan. Karena itu, maka
setiap orang harus sangat berhati-hati. Mereka harus tahu pasti, apakah mereka
tidak berhadapan dengan lawan.
“Aku akan memberi mereka
sasmita sandi. Hanya mereka yang memakai sasmita sandilah yang harus kau
percaya, “berkata Kerti, “dan sebaliknya orang-orangmu yang menghubungi aku
pun, harus memakai sasmita sandi yang serupa.”
“Bagus, “jawab Samekta,
“apakah sasmita sandi itu?”
“Katakan. Apa yang harus di
ucapkan oleh orang-orangku dan, orang-orangmu dalam sasmita sandi.”
Samekta berpikir sejenak.
Kemudian jawabnya, “Nah, kita bersepakat untuk mempergunakan sasmita sandi.
Orang-orang kita harus menyebut namanya dalam sasmita sandi itu, kemudian
mengucapkan bilangan tiga dan sembilan.”
“Kenapa tiga dan sembilan?”
“Hus,” desis Samekta, “berapa
saja tidak menjadi soal. Tetapi kita bersepakat, bilangan itu tiga dan
sembilan. Kau mengerti. Bilangan itu dapat berubah setiap saat kita membuat
perjanjian baru. Bahkan mungkin kita akan berjanji menyebut nama binatang, atau
nama gunung, atau sungai, atau apa saja.”
Kerti mengangguk-angguk,
“Baik. Aku akan memberi tahukan kepada setiap penghubung sasmita sandi itu.
Tetapi bagaimanakah sasmita sandi itu, apabila Wrahasta yang berkepentingan
dengan kau?
“Aku lebih percaya kepadamu.”
“Jangan berprasangka. Suatu
ketika ia dapat mempunyai kepentingan dengan kau. Bukan kepentingan diri
sendiri, tetapi kepentingan kita bersama.”
“Baik,” Samekta
mengangguk-anggukkan kepalanya, “sebut juga sasmita sandi serupa untuk hari
ini. Tetapi tidak usah menyebut namanya, sehingga aku dapat membedakan dengan
penghubung siapa aku berbicara.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata, “Pergilah ke banjar. Mungkin kau segera akan
mendapat tugas di dalam kemelutnya suasana ini.”
“Aku akan segera pergi, tetapi
aku akan minta diri dahulu kepada Pandan Wangi dan membawa beberapa orang
pemimpin pengawal yang lain di dalam tugas ini. Aku akan menyiapkan beberapa
ekor kuda di banjar, di gardu-gardu peronda, dan dirumah ini, supaya setiap
perkembangan dapat segera kita ketahui.”
“Marilah. Kita masuk ke
pringgitan.”
Kedua segera melangkahkan
kakinya menyusuri orang-orang lain yang telah mendahului berada di pringgitan.
Samekta segera minta diri bersama beberapa orang yang bertugas bersamanya,
pergi ke banjar untuk menyusun jaring-jaring pengamanan di tempat-tempat yang
telah ditentukannya. Terutama tempat-tempat yang langsung berhadapan dengan
daerah yang hampir pasti berada di bawah pengaruh Argajaya dan Sidanti.
Sejenak kemudian, maka
beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan halaman rumah itu pula. Kali ini
membawa Samekta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain, pergi ke banjar dan
ke tempat-tempat penting yang lelah ditentukan. Mereka memencar untuk melihat
keadaan dari dekat di setiap penjuru, dan pada saatnya mereka selalu membuat
hubungan-hubungan satu dengan yang lain.
Di setiap tempat penting,
telah disediakan beberapa penghubung berkuda dan senjata-senjata sasmita yang
lain. Panah-panah sendaren, panah api, kentongan dan tanda yang lain, yang
telah disepakati bersama.
Di rumah Ki Gede tinggallah
kini beberapa orang tetua tanah perdikan dan beberapa orang pengawal di bawah
pimpinan Wrahasta, di samping Kerti dengan beberapa orang yang harus mengawani
Pandan Wangi di dalam rumah itu.
Setiap orang telah mengenal
Kerti sebagai pemomong Pandan Wangi, terutama apabila Pandan Wangi pergi
berburu. Meskipun Kerti sudah agak lanjut, namun ia masih dapat dipercaya untuk
mengawani Pandan Wangi, apabila gadis itu berada di dalam bahaya.
Tetapi kehadiran Kerti di
dalam rumah itu, agaknya terasa kurang memberi keleluasaan bagi Wrahasta. Ia
merasa kepercayaan Argapati dikurangi. Seharusnya ia menerima seluruh tanggung
jawab atas keselamatan gadis itu. Sehingga ia adalah satu-satunya pelindung
yang terpercaya untuk Pandan Wangi.
Untunglah, bahwa umur Kerti
telah merayap ke pertengahan abad, sehingga bagaimanapun juga, kehadirannya
masih dapat diterima oleh Wrahasta.
Sementara itu, matahari
menjadi semakin lama semakin rendah. Cahayanya mulai menjadi pudar dan
kemerah-merahan. Sisa-sisa sinarnya sudah tidak lagi berwarna cerah dan
menyilaukan. Tetapi semakin lama menjadi semakin suram.
Awan yang putih
kemerah-merahan hanyut dibawa angin dari Selatan. Menyentuh ujung pebukitan,
mengalir ke Utara. Satu-satu burung seriti terbang berputaran. Kemudian saling
bertemu, dan berkumpul dalam kelompok-kelompok yang semakin-besar. Akhirnya,
mereka terbang mengitari sebatang pohon randu alas tua di ujung pedukuhan.
Ratusan, seperti segumpal mendung yang mengambang.
Seekor kuda berderap dengan
kencangnya di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin laju. Sekali-sekali
penunggangnya nengadahkan wajahnya, melihat langit yang menjadi semakin suram.
Dan setiap kali tangannya menggerakkan kendali, supaya kudanya terbang lebih
cepat lagi.
Sejenak kemudian, kaki-kaki
kuda itu telah berderap menyusur lereng-lereng pebukitan. Menyusup di antara
semak-semak yang rimbun dan liur, sepanjang jalan sempit menuju ke Pucang
Kembar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek yang masih berada
di selongsongnya.
Orang itu adalah Ki Argapati,
yang bergelar Ki Gede Menoreh. Ia ingin sampai ke tempat yang telah dijanjikan,
sebelum saat purnama naik. Ia tidak mau terlambat, meskipun hanya sepenginang.
Karena itu, maka ia berpacu semakin cepat. Suara derak kaki kudanya menggelepar
di lereng bukit-bukit yang terjal.
Matahari di langit menjadi
semakin rendah. Kini telah meyentuh punggung bukit di sebelah barat. Sebentar
lagi matahari itu akan tenggelam, dan sebentar pula hari akan menjadi semakin
gelap. Sejenak kemudian akan segera disusul oleh saat purnama yang akan naik di
ujung timur.
Kuda Argapati berlari semakin
kencang. Meluncur dari selatan ke utara.
Di sepanjang perjalanannya,
pikiran dan angan-angan Argapati telah hinggap pada pertemuan yang akan datang,
meloncat-loncat di antara kenangan masa lampaunya pada kesempatan yang serupa.
Jalan ke Pucang Kembar yang dilaluinya kini, sama sekali tidak berubah seperti
saat ia melampauinya beberapa puluh tahun yang lampau.
Jalan sempit yang dahulu disusurinya
adalah jalan sempit ini pula. Ketika itu, ia menjinjing tombak pula seperti
saat ini. Tetapi tombak yang dibawanya kini, bukan tombaknya beberapa puluh
tahun yang lampau.
Hatinya berdesir, ketika
terbayang di rongga matanya senjata Tambak Wedi yang nggegirisi. Sepasang
senjata yang bermata rangkap. Sehingga ujung tombaknya waktu itu, harus melawan
empat ujung mata senjata yang mengerikan dari sepasang nenggala Ki Tambak Wedi.
Tanpa sesadarnya, Ki Argapati
memandangi selongsong senjatamja. Namun perlahan-lahan ia bergumam kepada diri
sendiri, “tidak ada bedanya, meskipun tombak ini bukan tombakku sendiri.”
Pucang Kembar semakin lama
menjadi semakin dekat. Matahari pun sudah semakin dalam membenam di balik
bukit. Sisa-sisa cahayanya yang kemerah-merahan masih menyangkut di pinggir
mega yang berarak di langit yang biru bersih.
Ki Argapati menengadahkan
wajahnya. Dilihatnya kesuraman yang kelabu perlahan-lahan menurun menyelubungi
puncak pebukitan. Sehingga dengan demikian, kudanya berpacu semakin laju.
Demikian asyiknya, Kepala
Tanah Perdikan Menoreh itu terpukau oleh kemungkinan yang bakal datang,
sehingga ia sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua pasang mata sedang
mengawasinya dari balik gerumbul beberapa langkah dari jalan yang dilaluinya.
Ketika salah seorang dari mereka mencoba bergerak, maka yang seorang segera
menggamitnya sambil menggoyangkan kepalanya.
Keduanya kemudaan terdiam.
Hanya mata mereka sajalah yang bergerak mengikuti derap kuda yang laju
meninggalkan debu yang putih, menghambur di atas jalan yang dilaluinya itu.
Ketika kuda itu telah hilang
di kejauhan, maka mereka berdua yang sedang mengintip di balik rimbunya
dedaunan itupun segera keluar dari persembunyiannya.
“Itukah yang bernama
Argapati?” bertanya yang seorang.
Yang lain menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya. Orang itulah yang bernama Argapati, dan bergelar Ki
Gede Menoreh.
“Orang yang pertama
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ia menepati janjinya. Pada saat
purnama naik, ia pasti sudah berada di bawah Pucang Kembar.”
“Tidak terpikir olehnya untuk
ingkar atau justru berkhianat. Ia adalah seorang yang menjunjung tinggi
nilai-nilai harga dirinya dan sifat-sifat kesatria. Jarang orang yang berpegang
teguh, pada pendirian yang demikian meskipun keadaan tanah perdikan ini sedang
goncang.”
Orang yang pertama masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Argapati benar-benar
pergi ke Pucang Kembar seorang diri.”
“Aku sudah menduga. Ia akan
pergi seorang diri.”
Yang lain mengangguk-angguk
lagi, “Lalu, apakah kita akan pergi ke Pucang Kembar pula?”
“Ya, bukankah kita memang akan
pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi? Marilah. Kita jangan terlambat.
Kita tidak naik kuda seperti Argapati. Kita tidak mau kehilangan pertunjukan
ini sejak dari permulaan sekali.”
“Marilah. Kita dapat memintas.
Kita menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar, sehingga kita tidak akan
tertinggal terlampau jauh dari Ki Argapati.”
Yang lain tidak menjawab.
Tetapi mereka pun kemudian segera melangkahkan kaki mereka menyusup di antara
gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalam kemuraman senja.
Dari arah yang lain, Ki Tambak
Wedi berjalan dengan tergesa-gesa pula, menuju ke bawah Pucang Kembar, sambil
menjinjing senjatanya yang mendebarkan jantung. Tetapi ia kini tidak membawa
sepasang. Ia hanya tinggal mempunyai sebatang, karena yang sebatang telah
tertinggal di Sangkal Putung. Bahkan pernah dibawa pula oleh Kiai Gringsing.
Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus melawan Argapati
dengan sebatang senjatanya itu.
Tetapi ternyata di dalam
perjalanan itu, Ki Tambak Wedi tidak hanya berjalan seorang diri. Di belakangnya
berjalan dua orang yang bertubuh kekar, berbulu lebat di dadanya. Yang seorang
berambut panjang terurai di bawah ikat kepalanya, sedang yang seorang lagi
justru hampir tidak berambut, karena botaknya yang memenuhi sebagian besar dari
kepalanya. Ikat kepalanya sama sekali tidak dikenakannya di atas botaknya,
tetapi disangkutkannya saja di atas pandaknya.
“Apakah kau yakin, bahwa
Argapati akan datang seorang diri?” bertanya orang yang berkepala botak.
“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi.
“Aku tidak yakin,” sahut yang
berambut panjang, “mungkin ia akan menjebakmu.”
Ki Tambak Wedi menggelengkan
kepalanya, “Tidak, ia tidak akan berbuat demikian.”
“Tetapi kaulah yang berbuat
demikian,” sambung yang berkepala botak.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Lalu jawabnya, “Aku terpaksa berbuat demikian untuk menyelamatkan
tanah ini. Kalau Argapati telah tidak ada, maka tidak akan seorang pun yang
berani mengambil alih pemerintahan, kecuali satu-satunya trah Argapati, Sidanti.
Dengan demikian, pertumpahan darah akan terhindarkan. Memang kita harus
berkorban. Kali ini, korban itu kebetulan adalah Argapati. Dan mungkin korban
lain yang tidak kalah pentingnya, adalah justru harga diriku sendiri. Tetapi
aku memandang kepentingan yang jauh lebih besar dari harga diri seorang Tambak
Wedi.”
Kedua orang kawan Tambak Wedi
itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka berdiam diri. Tetapi mereka tidak
dapat mengerti jalan pikiran Ki Tambak Wedi itu, sehingga salah orang dari
mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Ho, kau aneh Ki Tambak
Wedi. Jalan pikiranmu memang berbelit-belit. Kalau kau memang tidak ingin
terjadi pertumpahan darah, kenapa kau tidak berusaha mencegah muridmu, anak
Argapati itu untuk memberontak terhadap ayahnya? Itu jalan yang paling mudah
dapat kau tempuh daripada jalan yang kau pilih sekarang.”
“Itu tidak mungkin,” sahut Ki
Tambak Wedi, “dengan demikian, keadaan tanah ini akan tetap seperti sekarang
dan hari-hari yang lampau. Rakyat Menoreh ingin mendapat nafas baru, di atas
tanah perdikan ini.”
Tiba-tiba orang yang lain,
yang berkepala botak berkata, “Aku tidak peduli, apa saja yang sedang
berkecamuk di atas tanah ini. Aku tidak peduli, apakah kau korbankan harga
dirimu, bahkan nyawamu sama sekali. Tetapi peristiwa ini membuat aku menjadi
gembira. Aku akan menerima upah darimu, sementara aku mendapat kesempatan untuk
membunuh. Sudah lama aku tidak melibatkan diri dalam perkelahian yang ribut,
seperti apa yang akan terjadi di atas tanah ini. Mudah-mudahan aku akan
berhasil membunuh Aigapati.”
Kawannya yang berambut panjang
mengerutkan dahinya Katanya, “Kenapa kau tidak yakin? Meskipun aku dan kau
tidak dapat melawannya seorang demi seorang, tetapi kita akan merupakan unsur
penentu di dalam perkelahian yang akan datang. Kita mengharap, bahwa Ki Tambak
Wedi dan Argapati akan merupakan kekuatan yang seimbang. Maka kehadiran kita
akan menjadi penyebab, bahwa keseimbangan itu akan goyah. Dan Argapati akan
dapat kita selesaikan.”
“Ha itu jangan kau ragukan lagi,”
berkata Tambak Wedi, “seandainya Argapati membawa beberapa orang kawan, maka
sepasukan kecil di belakang kita akan menyelesaikannya.”
Kedua kawan-kawannya itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Semua rencana itu sudah siap dan
meyakinkan. Argapati tidak akan dapat keluar lagi dari jebakan mereka.
Sejenak kemudian mereka
berhenti. Ki Tambak Wedi memberi isyarat kepada mereka, agar mereka tidak
berjalan bersamanya. Keduanya harus memilih jalan lain, supaya mereka dapat
mencapai tempat yang mereka tentukan tanpa diketahui oleh Ki Argapati.
Kedua orang itu segera
memisahkan diri dan masuk ke dalam gerumbul di pinggir jalan. Mereka mencari
jalan sendiri untuk mencapai Pucang Kembar. Tugas mereka adalah membantu Ki
Tambak Wedi memusnahkan Ki Gede Menoreh. Bukan saja sekedar mereka berdua,
tetapi di belakang mereka masih ada sepasukan kecil, yang terdiri dari sebagian
orang-orang Menoreh sendiri, dan sebagian lagi orang-orang dari luar, yang
sengaja diundang oleh .Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Tetapi rencana Ki Tambak Wedi
ternyata jauh lebih besar dari kedua rencana yang akan saling mengisi itu.
Bukan hanya sekedar rencana yang dipersiapkan untuk membunuh Argapati. Tetapi
sementara itu, Sidanti pun telah sibuk bersama Argajaya. Sepeninggal Ki Tambak
Wedi, maka Sidanti dan Argajaya telah menjalankan tugas masing-masing sesuai
dengan kesatuan rencana Ki Tambak Wedi. Mereka menyiapkan sebagian besar dari
kekuatannya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya malam itu juga harus
dapat merebut padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa
seandainya benar-benar terjadi peperangan antara dua kekuatan yang ada di
Menoreh, maka peperangan itu tidak akan dapat selesai sehari dua hari. Tetapi
peperangan itu akan dapat menjadi jauh lebih cepat selesai, apabila pedukuhan
induk segera dapat direbutnya. Pasukan Argapati yang telah kehilangan
pimpinannya itu pasti akan pecah tercerai-berai, sehingga untuk membangun satu
kekuatan yang utuh pasti akan sangat sulit.
“Apakah kita akan mulai sekarang
paman?” bertanya Sidanti.
“Jangan terlampau
tergesa-gesa. Kita mulai setelah purnama naik di atas cakrawala. Kita
mengharap, bahwa Kakang Argapati sudah terikat dalam sebuah perang tanding
dengan Ki Tambak Wedi, supaya Kakang Argapati tidak sempat mengetahui, apa yang
terjadi sepeninggalnya. Seandainya seseorang pergi melaporkan kepadanya atau
tanda-tanda lainnya, maka itu akan berakibat terlampau jelek pula bagi Kakang
Argapati. Dengan demikian, ia akan kehilangan pemusatan perhatiannya atas perang
tandng itu, sehingga kematiannya pun akan menjadi lebih cepat.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang demikianlah maksud Ki Tambak Wedi. Malam ini juga, mereka
harus mendapat kepastian, bahwa mereka akan berhasil menguasai Tanah Perdikan
Menoreh, meskipun penyelesaiannya masih memerlukan waktu.
Tetapi bagi Sidanti, waktu
rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Matahari yang telah hilang di balik
pegunungan, masih saja meninggalkan sinar yang cerah di langit.
Namun kemuraman senja pun
semakin lama menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin dalam terbenam,
sehingga akirnya sisa-sisa sinarnya sama sekali sudah tidak lagi dapat
menerangi lereng Bukit Menoreh.
“Kita harus bersiap Paman,”
berkata Sidanti, “sebentar lagi purnama pasti akan naik.”
“Ya, kita akan bersiap.” jawab
pamannya, “yang mula-mula harus berangkat adalah pasukan kecil, yang harus
meyakinkan, bahwa Kakang Argapati pasti akan terbunuh di bawah Pucang Kembar.”
“Pasukan itu sudah lama siap.”
“Nah, lepaskanlah. Biarlah
mereka berangkat.”
Sidanti pun segera memberikan
perintah bagi pasukan kecil yang akan pergi ke Pucang Kembar. Pasukan yang
mendapat tugas khusus. Apabila Ki Taimbak Wedi dan kedua orang kawannya tidak
segera berhasil menyelesaikan Argapati, maka adalah menjadi tugas pasukan kecil
itu untuk bertindak. Juga seandainya Argapati membawa beberapa orang
pengawalnya, maka semuanya harus ditumpas.
Ketika pasukan kecil itu sudah
berangkat, maka Sidanti segera mempersiapkan induk pasukannya. Induk pasukannya
inilah yang nanti harus langsung masuk ke pedukuhan induk dan mendudukinya.
Meskipun peperangan masih akan berlangsung terus, namun dengan menduduki
padukuhan induk, maka Sidanti sudah mempunyai alas yang kuat menuju ke arah
kemenangannya.
Pada saat Sidanti
mempersiapkan pasukannya yang cukup kuat untuk langsung menusuk jantung Tanah
Perdikan Menoreh, maka kuda yang membawa Argapati telah naik memanjat tebing,
sebuah puntuk kecil lereng bukit. Di atas puntuk itu berdiri dua batang pohon
pucang, sehingga puntuk itu disebut Pucang Kembar. Di bawah sepasang pohon
pucang itu, terbentang sebuah dataran yang tidak terlampau luas, ditumbuhi oleh
rumput-rumput liar dan pohon-pohon perdu yang rimbun.
Dibawah sepasang pohon pucang
itulah, Argapati berjanji untuk menemui Ki Tambak Wedi dalam perang tanding,
seperti yang pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau.
Ketika kaki-kaki kudanya
berderap di bawah sepasang pucang itu, hati Argapati berdesir. Hatinya telah
dilanda oleh arus kenangan lama, seolah-olah terguncang dengan dahsyatnya di
dalam dadanya. Dan kini ia sekali lagi akan melakukannya. Dengan orang yang
sama dan di tempat yang sama.
Argapati kemudian meloncat
turun dari punggung kudanya. Dituntunnya kudanya ke arah sebatang pohon perdu
dan mengikatnya di sana. Kemudian perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya ke
bawah sepasang pucang itu kembali.
“Aku tidak terlambat,”
gumamnya perlahan sekali. Disapunya keadaan di sekitannya yang telah mulai
suram dengan pandangan matanya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ki Tambak Wedi
pun masih belum tampak olehnya.
Dengan tenangnya Ki Argapati
menyandarkan dirinya pada sebatang dari sepasang pohon pucang itu.
Perlahan-lahan tangannya mengangkat senjatanya dan melepas selosongnya,
kemudian melipatnya. Namun ketika terasa olehnya lendean tombaknya, maka sekali
lagi dadanya berdesir. Tiba-tiba saja, ia menyadari bahwa ia akan berkelahi
dengan senjata yang kurang dikenalnya. Ia masih belum biasa mempergunakan
tombak itu. Beratnya, sifat-sifatnya dan kebiasaannya.
“Mudah-mudahan aku dapat
segera menyesuaikan diriku,” gumamnya pula perlahan-lahan. Dan dengan
perlahan-lahan pula, Ki Argapati membuka wrangka ujung tombaknya dan meletakkan
wrangka itu di samping lipatan selongsongnya.
“Tajam tombak inipun cukup
baik,” desisnya, “tidak jauh berbeda dengan ujung tombakku.” Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua tombak itu memang tombak sipat kandel
Tanaih Perdikan Menoreh, yang masing-masing dimiliki oleh kakak beradik,
Argapati dan Argajaya. Tetapi ternyata Argajaya diam-diam telah menukarkan
tombak itu, karena ia menganggap bahwa tombak Argapati lebih baik dari
tombaknya sendiri.
Sambil menunggu Ki Tambak
Wedi, Argapati mencoba menimang-nimang tombaknya, supaya ia tidak salah hitung.
Ia harus tahu pasti berapa banyak tenaga yang diperlukannya untuk mengayunkan
tombak itu pada jarak tertentu.
Ketika Argapati menengadahkan
wajahnya, dilihatnya warna yang merah kekuningan menyaput langit di ujung
Timur.
“Purnama itu hampir naik,”
tanpa sesadarnya ia berbicara kepada diri sendiri.
“Ya,” tiba-tiba terdengar
sebuah jawaban, “purnama hampir naik.”
Argapati berpaling ke arah
suara itu. Dilihatnya di atas sebongkah batu padas sesosok tubuh, berdiri di
atas sepasang kakinya yang renggang. Tegak seperti sebatang tombak baja yang
kokoh kuat tertancap dalam-dalam pada tanah yang keras berbatu-batu.
Ki Gede Menoreh mengerutkan
keningnya. Segera ia mengenal, siapakah orang yang berdiri di atas sebongkah
batu padas itu. Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka katanya seperti acuh tidak
acuh, “Hem, kau datang tepat pada saatnya.”
“Aku tidak pernah ingkar
janji,” jawab Ki Tambak Wedi, “sebentar lagi purnama akan naik. Kita akan
segera berhadapan seperti beberapa puluh tahun lampau. Berhadapan sebagai
laki-laki jantan yang tahu akan harga dirinya.”
“Aku mengharap demikian.”
“Apakah kau datang seorang
diri?” bertanya Ki Tembak Wedi.
Pertanyaan itu ternyata
membuat Argapati menjadi heran. Dipandanginya Ki Tambak Wedi di dalam sinar
yang temaram. Perlahan-lahan ia maju setapak sambil berkata, “Pertanyaan itu
aneh sekali?”
“Kenapa aneh?” potong Ki
Tambak Wedi.
“Tidak sepantasnya kita
menyimpan pertanyaan itu di dalam hati kita. Aku pun tidak akan bertanya
demikian. Kalau kita sudah kehilangan kepercayaan kepada diri masing-masing,
maka kita sudah kehilangan sebagian dari kejantanan kita.” Ki Gede Menoreh
terdiam sejenak, lalu tiba-tiba, “He, Ki Tambak Wedi. Meskipun hanya sepercik,
apakah pernah tersirat di dalam hatimu untuk datang ke tempal ini bersama satu
atau dua orang kawan yang meskipun hanya akan menjadi saksi? Sehingga kau
dipengaruhi oleh pertanyaanmu itu?”
Pertanyaan itu telah
mengguncangkan dada Ki Tambak Wedi. Serasa ujung tombak Argapat itu telah
mematuk pusat dadanya. Ia tidak menyangka, bahwa pertanyaannya dapat
menumbuhkan kecurigaan pada lawannya. Namun segera ia berusaha melepaskan kesan
itu dari wajahnya. Kemuraman senja telah menolongnya untuk melindungi
perubahan-perubahan pada kerut-kerut di keningnya.
“Pertanyaanmu itupun aneh
Argapati. Selama Ki Tambak Wedi masih menyebut dirinya Ki Tambak Wedi, maka aku
masih orang yang pernah kau hadapi beberapa puluh tahun di tempat ini.”
“Bagus,” sahut Argapati,
“turunlah. Sebentar lagi cahaya di langit itu akan menjadi semakin cerah.
Kemudian pada saatnya purnama akan segera naik. Marilah kita peringati
masa-masa muda kita, sebagai Paguhan dan Arya Teja dengan cara ini. Loloslah
senjatamu itu dari selongsongnya. Aku ingin melihat, betapa dahsyatnya senjata
yang berujung rangkap itu.”
Terdengar suara tertawa
perlahan-lahan, “Kau terlampau tergesa-gesa,” sahut Ki Tambak Wedi, “meskipun
sesaat lagi purnama akan naik, tetapi malam masih panjang. Kau tidak akan
kehabisan waktu untuk memeras keringatmu. Aku akan melayanimu. Kenapa kita
harus tergesa-gesa dan memulainya tepat pada saat purnama itu nanti naik dari
atas cakrawala?”
Sekali lagi Argapati menjadi
terheran-heran. Pertanyaan di dalam dirinya menjadi semakin tajam menggores di
jantungnya. Sikap Ki Tambak Wedi itu tidak dapat dimengertinya. Beberapa puluh
tahun, ketika ia bertemu di tempat ini pula dengan Ki Tambak Wedi, maka orang
itu sama sekali tidak terlampau bersabar hati seperti kini.
“Waktu itu telah cukup lama
berlalu,” katanya di dalam hati, “sepanjang itu, adalah mungkin sekali
seseorang mengalami perubahan tabiat dan sifatnya. Mungkin Ki Tambak Wedi
mendapat pengalaman yang cukup banyak untuk merubah sifat-sifatnya itu. Kini ia
menanggapi keadaan dengan hati yang mengendap.”
Meskipun demikian, Argapati
itu menjawab juga, “Ki Tambak Wedi. Aku memang tidak tergesa-gesa. Tetapi
bukankah ancer-ancer waktu itu telah kita letakkan? Marilah kita mencoba
menepatinya. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita. Bukankah masih ada
pekerjaan lain yang menunggu?”
Terdengar suara tertawa Ki
Tambak Wedi, “Apakah kau masih mengharap dapat keluar dari tempat ini?”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. “Tentu,” jawabnya, “di rumah anakku menunggu kedatanganku.”
Suara Ki Tambak Weda itu
tiba-tiba meninggi. Katanya, “ Seandainya kau dapat keluar dari tempat ini,
belum tentu kau akan dapat bertemu lagi dengan anakmu.”
“Kenapa?” bertanya Argapati
dengan herannya.
“Kedua kakak beradik seibu
itu, berada dalam pertentangan yang tajam. Aku tidak tahu, apakah Sidanti dapat
mengendalikan dirinya, supaya tidak segera bertindak. Tetapi jangan takut.
Seandainya Sidanti malam ini barhasil menguasai Menoreh, putrimu, adik Sidanti
itu, tidak akan mengalami cidera. Sidanti menyayanginya sebagai seorang adik,
meskipun adiknya itu berpihak kepadamu. Tetapi sebagai seseorang yang
bercita-cita, maka Sidanti harus bertindak, meskipun ia yakin bahwa kau pasti
telah berjanji untuk menyerahkan tanah perdikan ini kepada gadismu itu.”
Terasa sesuatu berdesir di
dalam dada Argapati. Ia sudah menduga, bahwa hal serupa itu akan terjadi.
Sidanti pasti akan mempergunakan saat yang genting ini. Saat ia tidak dapat
memimpin perlawanan langsung untuk menghadapinya.
Namun ia sadar pula, bahwa Ki
Tambak Wedi sengaja mengatakan hal itu kepadanya, karena Ki Tambak Wedi
berusaha untuk mempengaruhi perasaannya. Apabila perasaannya dikacaukan oleh
berbagai macam persoalan, maka ia pasti tidak akan dapat mencurahkan segenap
perhatiannya di dalam perlawanannya. Meskipun demikian sepercik kebimbangan
membayang pada dinding hati Argapati.
“Kenapa kau diam saja?”
bertanya Ki Tambak Wedi, “jangan hiraukan mereka. Biarlah hal itu diurus oleh
anak-anak. Mereka sedang membuat permainan untuk diri mereka sendiri. Biarlah
Sidanti dan Pandan Wangi bergurau dengan caranya. Dan marilah kita melakukan
pekerjaan kita pula di sini.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “kau keliru Paguhan. Aku tidak
membiarkan Pandan Wangi melakukan perlawanan, seandainya Sidanti benar-benar
akan memulainya malam ini. Meskipun Pandan Wangi memiliki kemampuan bermain
senjata, tetapi ia masih terlampau hijau. Aku menyerahkan pimpinan pasukan
pengawal kepada seseorang, yang aku percaya akan dapat melakukan perlawanan
sebaik-baiknya. Mungkin tenaga Pandan Wangi diperlukan, tetapi tidak menentukan
cara perlawanan yang harus dilakukan.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Siapa orang itu?”
Kini Argapati-lah yang
tertawa. Perlahan-lahan sekali, “ Kau belum mengenalnya. Ia orang baru di
Menoreh, tetapi ia bukan orang baru di dalam tata keprajuritan.”
“Siapa? Sebutkan namanya. Aku
mengenal hampir setiap orang di sini.”
“Kau tidak perlu mengetahuinya.
Biarlah itu diselesaikan oleh anak-anak. Marilah kita melakukan pekerjaan kita
di sini.”
Terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Tetapi tidak akan ada harapan
lagi buatmu. Kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Seandainya kau dapat
juga melarikan diri, tetapi kau tidak mempunyai lagi tanah untuk berpijak.”
“Marilah kita tidak
membicarakan hal-hal yang belum terjadi. Lihat, cahaya yang merah itu sudah
semakin cerah. Turunkah. Kita akan segera mulai.”
Ki Tambak Wedi tidak segera
menjawab. Tetapi kini justru di dadanya tersimpan berbagai macam pertanyaan
tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam pertempuran yang
pasti akan segera berkobar. Siapakah yang telah diserahi pimpinan oleh Argapati
itu?
“Huh, ia sekedar membesarkan
hatinya sendiri,” katanya di dalam hati.
Karena Ki Tambak Wedi tidak
segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Turunlah. Kita tidak dapat
bermain-main di atas padas itu. Terlampau sempit dan terjal.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia mencoba menduga-duga, apakah
pasukan kecil yang telah dipersiapkan itu telah dilepaskan oleh Sidanti. Ia
tidak ingin perkelahian akan berlangsung terlampau lama. Ia harus segera
menyelesaikannya, kemudian ikut serta bersama Sidanti, menyelesakan rencananya
untuk menduduki induk tanah perdikan malam itu juga.
“He, apakah kau tertidur?”
desak Argapati.
“Hem,” sekali lagi Ki Tambak
Wedi menggeram. Kemudian ia menjawab, “kau terlampau tergesa-gesa. Baiklah. Aku
akan segera turun. Bersiaplah, supaya kita segera dapat mulai.”
“Aku sudah bersiap sejak aku
datang ke tempat ini.”
Terdengar suara Ki Tambak Wedi
tertawa hambar. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya setapak demi setapak
menuruni padas yang terjal.
“He,” berkata Ki Argapati
hampir berteriak, “apakah kau sudah pikun Paguhan. Seharusnya dengan sekali
loncat kau sudah berada di atas tanah yang datar. Kenapa kau merangkak seperti
bayi yang sedang berumur tiga bulan?”
Dada Ki Tambak Wedi berdesir
mendengar sindiran Argapati. Sebenarnyalah bahwa betapapun curamnya puntuk
padas itu, namun seorang Tambak Wedi tidak sepantasnya menuruninya setapak demi
setapak sambil berpegangan erat-erat seperti anak-anak sedang turun dari
pembaringan. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak menyangka, bahwa parbuatannya itu
mendapat pengamatan yang saksama dari lawannya. Ia tidak menyangka, bahwa
usahanya untuk mengulur waktu itu dapat ditangkap oleh Argapati.
Meskipun demikian, Ki Tambak
Wedi yang licik itu menjawab, “Ki Gede Menoreh, aku memang sudah tua. Aku sudah
lama sekali tidak mengenali lagi setiap jengkal tanah di bawah Pucang Kembar
ini, sehingga aku harus sangat berhati-hati.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Keheranannya menjadi kian bertambah-tambah. Kelakuan Ki Tambak Wedi
tampak semakin lama semakin tidak wajar. Dan ketidak- wajaran itu membuat Ki
Argapati kadang-kadang tidak mengerti, apakah ia masih berhadapan dengan Ki
Tambak Wedi beberapa puluh tahun yang lampau.
“Aku tidak boleh berprasangka,”
ia mencoba menenteramkan hatinya yang mulai gelisah. Dalam keadaan itu,
berbagai persoalan timbul terbenam di dalam dadanya. Tiba-tiba pada saat yang
demikian, Ki Argapati menyadari keadaan yang sebenarnya di hadapi. Apakah
artinya kejantanan kini bagi Ki Tambak Wedi. Ternyata ia lelah mengundang
langsung kekuatan-kekuatan di luar tanah perdikan untuk mencampuri persoalan
yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Tanpa menghiraukan akibatnya, Ki
Tambak Wedi dan Sidanti telah membakar rumah sendiri.
“Apakah yang telah berbuat
demikian itu masih juga mempunyai harga diri untuk berperang tanding dengan
jujur?” Pertanyaan itu kini mengganggu perasaan Ki Argapati. Mamun sekali lagi
ia mencoba mengusir prasangka itu. “Tidak, Aku mengharap bahwa tidak terjadi
kecurangan serupa itu.”
Tetapi Argapati masih melihat
Ki Tambak Wedi turun perlahan-lahan. Kadang orang itu berhenti, kemudian
berdiri menengadahkan wajahnya.
“Ki Tambak Wedi,” berkata
Argapati, “lihat, bulan purnama telah naik. Beberapa puluh tahun yang lampau,
kau sudah tidak dapat di ajak berbicara apa pun lagi. Begitu cahaya bulan
menyentuh senjatamu, begitu kau menyerang seperti orang gila. Tetapi kenapa kau
sekarang masih juga berdiri saja di situ?”
Ki Tambak Wedi tertawa.
Jawabnya, “Kita sudah bukan anak-anak muda yang dibakar oleh nafsu kemudaan
kita, Argapati. Kita bukan lagi anak-anak muda yang. mendambakan kasih di
terang bulan purnama. Apakah artinya bagi kita kini? Cahaya bulan itu sudah
terlampau banyak kita lihat dan kita rasai. Karena itu, kita tidak perlu lagi
mengaguminya seperti pengantin batu. Biar sajalah bulan itu naik di langit yang
biru. Ujung senjata kita tidak akan segera tumpul.”
Wayah Argapati menjadi semakin
berkerut-marut. Kecurigaannya menjadi kian meruncing. Dengan demikian ia
menjadi kian gelisah. Kenyataan-kenyataan yang di hadapinya telah membuatnya
semakin curiga atas orang yang bergelar Ki Tambak Wedi itu. Meskipun demikian
ia masih menahan dirinya. Kecurigaannya masih belum berpijak pada alasan yang
jelas.
“Semuanya itu sekedar
prasangka,” Argapati masih mencoba memulas perasaannya itu.
Tetapi ia masih melihat Ki
Tambak Wedi berdiri di lambung puntuk padas itu. Sebenarnya tidak terlampau
tinggi. Seorang anak tanggung pun akan dapat segera meloncat turun. Tetapi
tampaknya Ki Tambak Wedi itu terlampau berhati-hati. Ki Tambak Wedi yang
namanya telah menggemparkan udara di sekitar Gunung Merapi.
“Itu tidak mungkin,” berkata
Argapati di dalam hatinya. Dan tumbuhlah kecurigaannya semakin tajam di dalam
dadanya.
Ki Tambak Wedi itu mengangkat
wajahnya sekali lagi seolah-olah ia sedang menikmati bulatnya bulan. Tetapi
dalam pada itu didengarnya lama-lama suara burung kedasih. Lamat-lamat sekali.
Tetapi cukup jelas. Ngelangut, seperti ratap seorang nenek kematian cucunya
tercinta.
“Aku telah mendengar suara
burung kedasih itu,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Dan tiba-tiba
saja ia menggeram sambil meloncat turun. Sama sekali tidak mengalami kesulitan,
bahkan seandainya ia meloncat dari ujung seonggok batu padas itu.
“Kita akan segera mulai
Argapati,” suaranya bernada berat dan datar.
Tetapi ternyata sikapnya itu
telah menggetarkan dada Argapati. Seolah-olah ia mendapat suatu keyakinan,
bahwa sebenarnya ia tidak hanya sekedar bercuriga. Tiba-tiba kini ia hampir
pasti, bahwa ia tidak berhadapan dengan Paguhan beberapa puluh tahun yang lampau,
tetapi ia kini berhadapan dengan seorang yang sangat licik.
Karena itu, betapa kemarahan
telah menghentak dada Argapati. Selangkah ia maju sambil berkata dengan suara
gemetar, “Paguhan. Jangan kau anggap aku anak-anak yang heran melihat tingkah
lakumu. Aku kini tahu pasti, meskipun aku belum melihatnya. Tetapi seperti kau,
akupun mempunyai telinga. Aku mendengar suara burung kedasih yang kau dengar
itu pula. Aku menangkap perbedaan suara itu dengan.suara burung kedasih yang
sebenarnya. Hampir setiap malam aku mendengar suara burung itu. Dan suara
burung yang setiap malam aku dengar itu sama sekali tidak serupa dengan suara
burung yang baru saja menggerakkanmu, meloncat turun dari batu padas itu.”
Tuduhan itu serasa seonggok
bara yang menyentuh telinga Ki Tambak Wedi. Ternyata perasaan Argapati
terlampau tajam, sehingga segera ia dapat mencium apa yang sebenarnya sedang
dipersiapkan. Ternyata Argapati kini sudah mengetahui hampir seluruhnya, apa
yang tersembunji di balik gerumbul-gerumbul di dalam kesuraman malam terang
bulan. Agaknya Argapati telah membayangkan, berapa orang sedang
merangkak-rangkak mendekati Pucang Kembar. Dan orang-orang itu akan berbuat
curang. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berusaha untuk
menyembunyikannya. Meskipun demikian, ia masih juga ingin menghadapi Argapati
seorang lawan seorang lebih dahulu. Ia masih ingin melihat, betapa Ki Gede
Menoreh kini meloncat jauh maju dari Arja Teja beberapa puluh tahun lampau.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi pun beberapa langkah meloncat mendekati Argapati sambil menarik
senjatanya. Tetapi kini ia hanya membawa sebatang dari sepasang senjatanya yang
mengerikan itu. Ketika ia sudah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan
Argapati, maka ia pun menggeram, “Argapati, apakah yang sebenarnya sedang kau
ingatkan itu? Apakah kau sedang mimpi terlampau buruk, sehingga kau
membayangkan seolah-olah di sekitar tempat ini bertebaran orang-orangku yang
bertanda sandi suara burung kedasih? O, Kepala Tanah Perdikan yang malang.
Ternyata kau telah dipengaruhi oleh kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa,
sehingga kau tidak lagi dapat membayangkan harapan untuk mendapatkan
kemenangan, setidak-tidaknya kesempatan untuk melarikan diri dari arena,
sehingga kau berpikir yang bukan-bukan.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Mungkin aku memang
bermimpi buruk Tambak Wedi. Mungkin pula pendengaranku salah. Mudah-mudahan kau
masih dapat bersikap jantan seperti Paguhan beberapa tahun yang lampau.”
“Arja Teja,” berkata Ki Tambak
Wedi, “kau ternyata sudah berputus asa sebelum kau berbuat sesuatu. Apabila
memang demikian, maka sebaiknya kau urungkan niatmu untuk melakukan perang
tanding. Kau hanya akan membuang waktu dan tenaga. Sebenarnya lebih baik bagimu
untuk mati dengan tenang daripada dengan tusukan senjata di lambungmu. Apakah
kau pernah berpikir demikian. Kalau kau setuju, marilah. Aku mempunyai sebutir
racun yang sudah aku keringkan. Kalau kau bersedia menelannya, maka kau akan
dapat berbaring di tanah dengan tenang. Kau akan menghembuskan nafasmu yang
terakhir tanpa merasakan sakit, karena lambungmu sobek oleh senjata.”
Terasa dada Ki Argapati
berdesir mendengar penghinaan itu. Namun dengan susah payah ia berhasil menahan
dirinya. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya perlahan-lahan, “Terima
kasih atas kebaikan hatimu, Tambak Wedi. Memang mati dengan menelan racun itu
agaknya lebih menyenangkan daripada mati setelah memuntahkan darah dari luka di
tubuh ini. Tetapi bagi seorang laki-laki, maka mati dengan senjata di tangan
adalah suatu kebanggaan. Sudah tentu kita akan lebih berbangga, apabila kita
untuk selamanya tidak pernah menyentuh senjata. Namun apabila keadaan memaksa
seperti keadaanku kini, maka adalah paling nikmat untuk berjuang sekuat tenaga
daripada membunuh diri.”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya, tetapi wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Hem, kau memang keras
kepala Argapati. Sejak muda kau memang keras kepala. Baiklah. Marilah kita
segera mulai. Agaknya perkembanganmu sepeninggalku telah merubah kau menjadi
seorang yang mabuk berkelahi. Tak ada tanda-tanda sikap damaimu sama sekali.
Sejak kau melihat aku, maka kau begitu tergesa-gesa untuk melakukan
perkelahian.”
“Aku kira kau sudah menyimpan
jawaban atas kata-katamu sendiri, Tambak Wedi. Aku tidak perlu menjawabnya.”
Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berkata, “Ki Tambak Wedi. Aku
mempunyai usul yang barangkali baik buatmu. Suatu sikap damai yang barangkali
sesuai dengan keinginanmu atasku.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya, sehingga alisnya yang tebal seakan-akan bertemu, “Apakah usulmu
itu?” ia bertanya dengan ragu-ragu.
Ki Argapati tersenyum. Tetapi
ujung tombaknya merendah setinggi dada. Katanya, “Marilah kita saling berbaik
hati. Supaya kita masing-masing tidak lelah seperti kau inginkan. Aku harap kau
terbaring di tanah, kemudian aku akan melakukannya perlahan-lahan sampai
saatnya ujung tombakku menyentuh jantungmu.”
Ternyata darah Ki Tambak Wedi
tiba-tiba saja telah mendidih, ia tidak mampu menahan dirinya lagi. Tiba-tiba
ia berteriak nyaring. Tangannya bergetar secepat kilat, hampir-hampir tidak
dapat dilihat oleh mata.
Tetapi yang berdiri di
hadapannya adalah Argapati. Argapati telah memperhitungkan, bahwa hal itu akan
dapat terjadi, sehingga begitu matanya yang tajam menangkap gerakan Ki Tambak
Wedi, maka secepat itu pula ia memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah
kakinya surut.
“He,” katanya, “kau sudah
mulai Tambak Wedi.”
Dada Ki Tambak Wedi serasa
akan meledak, ketika ia melihat sikap Argapati yang dengan mudah berhasil
menghindari sambaran gelang-gelang besinya yang meluncur sejengkal di depan
dada.
“Alangkah tangkasnya kau
sekarang,” Tambak Wedi menggeram.
“Jangan memuji. Marilah kita
mulai dengan bersunguh-sungguh . Aku tidak akan melayani, apabila kau sekedar
bermain lempar-lemparan. Bukankah kau menggenggam senjatamu yang dahsyat itu.
Tetapi kenapa kau hanya membawa sebatang saja?”
“Aku menganggap bahwa
terlampau berlebih-lebihan bagiku untuk membawa kedua-duanya,” sahut Tambak
Wedi, “tetapi jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai.”
Argapati tidak menjawab lagi.
Selangkah ia maju. Kini keduanya lelah berhadapan dalam jarak yang lebih dekat.
Ki Tambak Wedi mempergunakan sebatang nenggalanya, namun setiap saat ia dapat
melemparnya dengan gelang-gelang besi yang cukup banyak tersimpan di bawah kain
panjangnya, bergantungan pada ikat pinggang yang khusus.
Sejenak mereka berdiri
berhadapan. Dan sejenak kemudian Argapati lelah menjulurkan senjatanya.
Kemudian dengan gerak yang sukar dipahami, keduanya segera terlibat dalam
perkelahian yang seru. Pada benturan yang mula-mula, telah terdengar dentang
kedua senjata itu dengan dahsyatnya, sehingga bunga-bunga api memercik seperti
ribuan kunang-kunang yang berloncatan menghambur menjauhi kedua senjata itu.
Pada saat berikutnya, maka
mereka bertempur seperti pergulatan sepajang angin pusaran. Kemudian saling
berbenturan seperti prahara menghantam batu karang. Keduanya adalah
orang-orang’ yang hampir mumpuni dalam olah kanuragan. Keduanya adalah
orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.
Senjata Ki Tambak Wedi
mematuk-matuk seperti ribuan mulut ular yang berkerumun dari segala arah. Kedua
tajamnya seakan-akan berubah menjadi beribu-ribu nenggala yang bergerak
bersama-sama. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang yang pilih tanding.
Kakinya melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di atas tanah.
Namun ternyata pula bahwa
Argapati mampu mengimbanginya. Tombaknya berputar seperti baling-baling.
Kadang-kadang menebas seperiti sehelai pedang, namun kemudian menusuk langsung
ke pusat jantung. Tubuhnya seolah-olah menjadi ringan seperti kapas yang
berputar-putar ditiup angin pusaran.
Di dalam perkelahian itu,
kaki-kaki mereka telah menyapu bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang
Kembar itu. Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah habis
dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas semua tumbuh-tumbuhan dan
batang-batang kayu yang tumbuh di seputar tempat perkelahian.
Burung-burung liar yang
bersarang di dekat Pucang Kembar itupun segera berterbangan. Mereka terkejut
mendengar derak batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang berguncang
seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang kedahsyatan perkelahian itu telah
melanda binatang-binatang yang berkeliaran di sekitarnya, sehingga
berlari-larian. Rusa, kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan macan-macan
kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam lubang-lubang yang
gelap di balik puntuk-puntuk padas.
Demikianlah, perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar,
melawan seekor banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka
datang seperti petir di langit, dan benturan-benturan di antara mereka serasa
akan meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan.
Tetapi yang pernah terjadi
ternyata terulang kembali. Tidak ada di antara mereka yang segera mampu
menguasai lawannya. Setelah sekian puluh tahun mereka berpisah, setelah mereka
mengembangkan ilmu masing-masing, dengan cara masing-masing pula, kini mereka
bertemu dalam keseimbangan yang serupa dengan beberapa paluh tahun yang lampau.
Mereka tidak dapat menentukan siapakah yang akan menang di antara mereka. Yang
dapat mereka lakukan adalah bertempur sebaik-baiknya. Setiap kelengahan dan
kesalahan betapa pun kecilnya, akan mempunyai akibat yang sangat berbahaya.
Yang terasa di dalam perang
tanding itu adalah, bahwa Ki Tambak Wedi hanya mempergunakan sebatang
senjatanya. Senjata itu ternyata lebih pendek dari senjata Argapati. Keuntungan
inilah yang dipergunakan oleh Argapati sebaik-baiknya untuk menyerang lawannya
dalam jangkauan panjang tombaknya. Namun Ki Tambak Wedi pun menyadari hal ilu
pula. Karena itu, maka setiap kali ia memanfaatkan jarak di antara mereka untuk
meluncurkan gelang-gelang besinya. Satu demi satu, di setiap kesempatan.
Dan beruntung pulalah Ki
Tambak Wedi, bahwa tombak Argapati itu bukan tombaknya yang dipergunakan
bertempur beberapa puluh tahun yang lampau. Tombak yang dipakai ini agak
terlampau ringan bagi Argapati. Ayunan dan lontarannya agak kurang mantap.
Apalagi ia masih harus menyesuaikan diri untuk beberapa saat.
Sementara itu, di rumahnya,
Pandan Wangi selalu dalam keadaan gelisah. Ia menjadi terlampau berdebar-debar,
ketika ia melihat purnama mulai merayap naik di atas cakrawala. Terbayang di
dalam angan-angannya, ayahnya telah mulai melakukan perang tanding dengan Ki
Tambak Wedi. Gadis itu menyadari, bahwa persoalan mereka yang lamalah yang
sebenarnya telah mendorong keduanya untuk melakukan perang tanding. Seandainya
di antara mereka tidak ada persoalan apa pun, maka perselisihan paham pada
saat-saat itu tidak akan segera menyeret ke dalam suatu kancah perkelahian.
Bagaimanapun juga, Argapati
tidak dapat segera menghapus kenyataan bahwa Sidanti sebenarnya bukan anaknya.
Meskipun ia telah berusaha dengan, susah payah, meskipun dalam beberapa puluh
tahun, seolah-olah hal itu tidak berbekas, bahkan yang nampak pada Pandai
Wangi, bahwa ayahnya telah berlaku sebaik-baiknya terhadap kakaknya, tetapi
ungkapan kepahitan kenyataan itu betapa kecilnya akan segera mengangkat kembali
luka di dalam hati ayahnya. Apalagi ayahnya harus mempertaruhkan tanah yang
selama ini telah dibinanya.
Dalam kegelisahan dan
kecemasan itu, Pandan Wangi duduk seperti sebuah patung yang mati. Tidak
sepatah kata pun diucapkannya dan seoah-olah semua keadaan di sekitarnya tidak
menarik perhatiannya.
Di luar rumahnya, di halaman,
Wrahasta sedang sibuk mengatur para pengawal yang berada di bawah tanggung
jawabnya. Dengan sepenuh hati, ia melakukan tugasnya untuk mengamankan halaman
dan seluruh isi rumah itu, terutama Pandan Wangi. Dengan sepenuh hati, ia
setiap kali memeriksa setiap sudut dan setiap kelompok. Tidak ada sejengkal
dinding pun yang terlepas dari pengawasan para pengawal tanah perdikan yang
bertugas di halaman.
Sedang di luar halaman, para
peronda hilir mudik tidak henti-hentinya. Peronda-peronda yang berkeliaran di
setiap pedukuhan, dan peronda-peronda yang nganglang dari pedukuhan yang satu
kepeduhan yang lain di atas punggung kuda dengan senjata telajang. Setiap orang
dari mereka selalu dilengakapi pula dengan senjata-senjata yang dapat
dipergunakan untuk mengirimkan tanda dan sasmita. Panah-panah api dan
panah-panah sendaren. Mereka tidak henti-hentinya menghubungi gardu-gardu
peronda di setiap pedukuhan, dan kemudian melaporkannya ke banjar.
Di banjar, Samekta duduk
menghadapi lampu minyak yang berkerdipan ditiup angin malam. Sekali-sekali ia
berdiri, berjalan hilir mudik di halaman. Kemudian duduk di antara para
pengawal yang berjaga-jaga di gardu di regol halaman. Kadang-kadang ia pergi ke
gandok, di mana telah berkumpul sepasukan pengawal yang siap untuk bertempur ke
segenap medan di atas tanah perdikan ini. Pasukan itu adalah pasukan yang
dipersiapkan untuk dikirim kemana pun yang memerlukannya, membantu setiap
pasukan pengawal yang telah siap di setiap padukuhan, apalagi yang langsung
berhadapan dengan padukuhan-padukuhan yang diperkirakan telah berada di bawah
pengaruh Sidanti dan Argajaya.
Pasukan-pasukan sandi pun
berkeliaran di segenap sudut dalam, samaran dan selimut masing-masing. Bahkan
ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat di lihat oleh siapa pun,
bertengger di atas batang pohon yang rimbun dan berdaun lebat.
Demikianlah, maka malam pun
menjadi kian malam. Bulan yang bulat di langit merambat semakin tinggi.
Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara anjing-anjing liar menggonggong
bersahut-sahutan.
Pandan Wangi masih saja duduk
di pringgitan menghadapi mangkuk air jahe yang hangat. Tetapi sejak
dihidangkan, mangkuk itu sama sekali belum disentuhnya. Apalagi makanan yang
teronggok di hadapannya. Sama sekali tidak menarik perhatiannya.
Kerti pun terpaksa harus duduk
sambil berdiam diri di hadapan momongannya. Hanya kadang-kadang saja ia
berpaling memandangi dua orang kawannya yang duduk sebelah menyebelah. Tetapi
kedua kawannya itupun menundukkan kepala mereka sambil mengembara di dalam angan-angan.
Yang dapat di lakukan oleh
Kerti, berulang kali adalah menarik nafas dalam-dalam, untuk mengurangi
ketegangan yang menyekat dadanya. Namun ia tidak berani lebih dahulu membawa
Pandan Wangi ke dalam pembicaraan.
Tiba-tiba mereka yang duduk di
pringgitan itu terkejut ketika pintu perlahan-lahan terbuka. Serentak mereka
berpaling, dan mereka segera melihat Wrahasta berdiri di muka pintu.
“Oh,” desisnya, “maafkan
apabila aku mengganggu.”
Pandan Wangi menjadi gelisah.
Tiba-tiba saja dadanya dijalari oleh kegelisahan yang lain menghadapi orang
yang bertubuh raksasa ini. Ia masih dihinggapi oleh kebingungan dan
keragu-raguan atas pertanyaan yang mengalir seperti banjir. Bahkan terasa
bulu-bulu tengkuk gadis itu meremang. Ia telah membayangkan, bahwa Wrahasta itu
pasti akan mendesaknya lagi supaya ia menjawab pertanyaan yang membingungkan
itu.
Namun hatinya agak tenang,
karena di dalam ruangan itu duduk pula Kerti dan dua erang pembantunya.
Orang-orang tua itu yelah mendapat kepercayaan pula dari ayahnya, untuk
mengawasi seisi rumah, dan terutama karena orang tua itu adalah pemomongnya.
Dalam setiap perburuan, maka sebagian terbesar Kerti-lah yang mengawaninya
dengan beberapa orang yang lain.
“Apakah aku boleh duduk?”
bertanya Wrahasta yang masih berdiri di muka pintu.
“Oh,” Pandan Wangi tergagap,
“silahkan.”
Wrahasta melangkah maju sambil
bergumam, “Aku perlu melaporkan semua kegiatan di halaman rumah ini, Pandan
Wangi.”
“Ya,” Pandan Wangi bergumam,
“silahkan.”
Wrahasta pun kemudian duduk di
samping Pandan Wangi. Sekali-sekali ditatapnya Kerti dengan sudut matanya.
“Semuanya telah aku persiapkan
sebagaimana seharusnya, Pandan Wangi. Setiap saat tidak akan mengecewakan.
Mudah-mudahan Paman Samekta berhasil menguasai keadaan di luar halaman, sehingga
kami tidak perlu terlampau banyak berbuat.”
“Terima kasih,” sahut Pandan
Wangi, “mudah-mudahan Kakang Sidanti tidak berbuat malam ini, sehingga Ayah
besok akan dapat memimpin langsung pasukan pengawal tanah perdikan ini, apabila
terjadi sesuatu.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Mudah-mudahan,” katanya, “tetapi seandainya Sidanti mulai juga
malam ini, aku tidak akan berkeberatan untuk melayaninya.”
“Terima kasih, Wrahasta,”
jawab Pandan Wangi, “tetapi aku mengharap, supaya tidak terjadi sesuatu.”
“Kita boleh mengharap, Pandan
Wangi, tetapi kita tidak tahu, apakah yang kini sedang dipikirkan oleh Sidanti.
Karena itu, adalah sebaiknya kita bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Wrahasta berhenti sejenak. Ditatapnya sekali lagi Kerti dengan sudut matanya,
lalu katanya pula, “Seharusnya, kau melihat sendiri kesiagaan pasukanmu di
dalam halaman ini.”
Tanpa dikehendakinya sendiri,
Kerti mengangkat wajahnya. Namun ketika tatapan matanya membentur mata Pandan
Wangi yang suram, maka orang tua itupun segera berpaling. Namun dengan demikian
hatinya menjadi berdebar. Segera teringat olehnya pesan Samekta, bahwa agaknya
Pandan Wangi telah dirisaukan oleh sikap Wrahasta, justru dalam saat-saat yang
menegangkan ini.
Kerti menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendengar Pandan Wangi menjawab, “Aku percaya kepadamu,
Wrahasta. Kau sudah cukup berpengalaman. Mudah-mudahan semuanya seperti yang
kau katakan.”
“O, itu kurang bijaksana,
Wangi. Ki Argapati selalu mengawasi pasukannya langsung, apalagi dalam keadaan
yang genting ini. Apakah kau tidak ingin berbuat seperti ayahmu? Kau akan
mendapat banyak sekali keuntungan. Kau akan dapat melihat langsung semua
persiapan. Kau akan mengetahui, bahwa tidak ada kelengahan di dalam barisanmu.
Dan yang tidak kalah pentingnya, kau akan memberi mereka pengaruh yang dapat
membesarkan hati mereka di dalam ketegangan yang semakin memuncak.”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Ia dapat menerima alasan itu. Tetapi terasa sekali lagi bulu-bulu
tengkuknya meremang. Ia takut akan di hadapkan lagi pada pertanyaan-pertanyaan
yang membuat hatinya semakin bingung, bahkan hatinya akan dapat menjadi gelap
sama sekali. Ia akan dapat kehilangan akal, dan bertindak di luar kesadaran.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi
mengangkat dadanya. Dipandanginya Kerti dan dua orang kawannya. Maka katanya
kemudian perlahan-lahan, “Paman, marilah kita melihat kesiagaan pasukan
pengawal di halaman.”