Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-035

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-035 Ki Argapati menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia berkata, “Pandan Wangi.
Ki Argapati menarik nafas dalam. Tetapi tatapan matanya sama sekali tidak bergeser serambut pun. Perlahan-lahan ia berkata, “Pandan Wangi. Aku tahu, betapa sulitnya perasaanmu. Seandainya kau tidak mencemaskan nasibku besok malam, maka kau akan berkata seperti yang sudah kau ucapkan sebelum ini. Bukankah kau berusaha mencegah aku melakukan gerakan hari ini?”

Sekali lagi Ki Argapati berhenti. Dan sejenak kemudian dilanjutkannya, “Tetapi itu adalah wajar sekali. Kau sama sekali tidak berbuat kesalahan, sebagai seorang gadis yang kebetulan menjadi adik Sidanti. Kau berusaha untuk mencegah benturan yang terjadi antara ayah dan kakakmu.”

“Tidak Ayah. Tidak. Kakang Sidanti telah mendurhakai ayahnya.”

Terasa dada Argapati berdesir. Perlahan-lahan, perlahan sekali ia berkata supaya tidak didengar oleh orang lain, “Tidak Wangi. Anak itu tidak mendurhakai ayahnya. Justru ia melakukan perintah ayahnya tanpa berpikir lagi.”

“Oh,” nafas Pandan Wangi serasa semakin sesak. Dan tiba-tiba tangisnya pun menjadi semakin keras.

“Sudahlah Wangi. Jangan kau risaukan apa yang akan terjadi. Kau adalah pewaris satu-satunya tanah ini. Seandainya terjadi sesuatu dengan aku, maka kaulah yang akan menjadi Kepaia Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi masih akan menjawab. Tetapi ketika ia mengangkat wajahnya, ayahnya mendahuluinya, “Sudahlah. Tenangkan hatimu. Marilah kita pulang.”


Gadis itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menyatakan perasaannya, ketika ia melihat ayahnya memberi isyarat kepada para pemimpin pengawal tanah terdikan ini untuk menarik pasukannya. Kepada Samekta ia berkata, “Kita tunda sampai lusa. Besok malam aku mendapat kepastian. Tetapi kalian harus tetap dalam kesiagaan penuh. Setiap saat dapat terjadi sesuatu. Keadaan akan dapat berkembang dengan cepatnya.”

Segores kekecewaan membayang di wajah Samekta, seperti di setiap wajah para pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan. Bahkan pada setiap pengawal yang ada di tempat itu. Mereka serasa mempunyai sebuah bisul di dada mereka. Apabila bisul itu masih belum pecah, maka mereka pun sama sekali tidak dapat merasa tenang. Bagi para pengawal itu, lebih baik mereka datang kepada lawan daripada mereka harus bertahan, apabila Sidanti dan pasukannya mendahului.

Tetapi apa boleh buat, Ki Argapati menghendaki demikian. Betapa beratnya, maka para pengawal itupun segera ditarik ke tempat yang sudah disediakan bagi mereka. Tetapi mereka tidak segera pulang ke rumah masing-masing. Hanya mereka yang dengan sukarela ikut serta di dalam pasukan itu sajalah yang diperkenankan pulang. Namun setiap saat mereka harus berkumpul dengan senjata siap di tangan.

Mekipun demikian, para peronda menjadi semakin sibuk memutari daerah masing-masing. Setiap gardu telah terisi. Setiap saat mereka harus menanggapi keadaan. Keadaan yang paling suram dalam sejarah pertumbuhan tanah perdikan itu.

Sementara itu matahari menjadi semakin lama semakin rendah. Kemudian cahayanya yang kemerah-merahan mewarnai langit yang bersih, ketika matahari itu hampir tenggelam di balik pebukitan. Selembar awan yang putih terbang perlahan-lahan didorong oleh angin ke Utara.

Pandan Wangi duduk termenung di pembaringannya. Berbagai gambaran hilir mudik di dalam angan-angannya. yang paling pahit dan yang paling dahsyat memang dapat terjadi.

Terasa dadanya menjadi berdebar-debar. Ia tidak akan dapat tenang, apapun yang dilakukannya. Kadang-kadang ia berdiri dan berjalan hilir mudik. Kadang-kadang ia mencoba membaringkan tubuhnya dan mencoba memejamkan matanya. Tetapi kegelisahannya tidak dapat dilupakannya.

Ia sama sekali tidak melepaskan pakaian berburunya. Seperti pakaian seorang laki-laki. Pakaian yang tidak biasa dikenakannya sehari-hari. Tetapi kali ini merasa perlu untuk selalu mengenakan pakaian itu. Seolah-olah sesuatu akan terjadi. Dan seolah-olah ia harus ikut serta berbuat sesuatu.

Pandan Wangi mengerutkan keningnya melihat seseorang masuk ke dalam biliknya dan memasang lampu minyak. Tanpa berkata sepatah kata pun, orang itu segera keluar lagi. Ternyata hari sudah menjadi semakin suram. Satu-satu bintang mulai bergayutan di langit, seakan-akan berebut dahulu.

“Malam ini adalah malam terakhir sebelum purnama naik,” desisnya perlahan-lahan sekali. Namun terasa hatinya menjadi pedih oleh angan-angannya sendiri.

Dalam kegelisahannya itu, Pandan Wangi melangkah keluar biliknya. Tanpa sesadarnya ia berjalan lewat di muka pintu bilik ayahnya yang terbuka. Dilihatnya ayahnya sedang menimang-nimang tombak pendeknya. Seolah-olah ia sedang asyik berbicara, apakah sebaiknya yang akan mereka lakukan bersama-sama besok malam.

“Ayah,” perlahan-lahan Pandan Wangi memanggil.

Ayahnya mengangkat wajahnya. Ketika dilihatnya puterinya berdiri di muka pintu, maka katanya, “Masuklah, Pandan Wangi.”

Dengan ragu-ragu Pandan Wangi melangkah masuk.

“Duduklah,” berkata ayahnya pula. Dengan ragu-ragu pula Pandan Wangi duduk di sisi ayahnya sambil memandangi tombak yang berada di tangannya. Hati Pandan Wangi menjadi kian berdebar-debar melihat mata tombak yang sudah dilulus dari wrangkanya itu.

“Tombak ini bukan tombakku, Wangi, tombak ini adalah tombak pamanmu. Aku tidak tahu, kapan pamanmu menukarnya. Tetapi hal itu pasti sengaja dilakukannya. Sebab selongsongnya adalah selongsongku, dan bahkan wrangka tombak inipun ternyata wrangkaku pula.”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin karas memukul jantungnya. Tombak yang pada saatnya akan memikul tugas yang berat itu, ternyata bukan tombak ayahnya, tombak yang selalu menjadi sipat kandelnya.

Namun ia mendengar ayahnya berkata, “Tetapi itu tidak penting Wangi. Aku dapat mempergunakan senjata apa saja. Jangankan tombak sebaik ini, bahkan sebuah parang pembelah kayu pun sudah cukup bagiku. Dengan apa pun dan dengan cara yang bagaimanapun, aku sudah siap menjelang saat yang kami janjikan. Besok malam. Dan kau tidak usah mencemaskannya. Kau harus berbesar hati menghadapi setiap akibat dari peristiwa itu, Wangi.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tombak pendek yang telah ditukar itu menambah kecemasannya. Mungkin tombak itu tidak sebaik tombak ayahnya yang telah menemaninya sejak muda. Kini menghadapi saat yang paling genting, tombak itu sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah tombak lain, tombak pamannya.

Dalam pada itu terdengar ayahnya berkata pula, “Sekarang beristirahatlah Wangi. Kau harus banyak beristirahat. Sehari-harian kau mengalami persoalan yang membuatmu lelah. Mandilah, dan berganti pakaian. Pakaianmu terlampau kotor dan bahkan noda-noda darah itu masih melekat.

Pandan Wangi memandangi pakaiannya yang kotor. Yang selama ini tidak diperhatikannya. Ia memang tidak ingin mandi dan berganti pakaian dengan pakaiannya sehari-hari. Seandainya ia mandi dan berganti pakaian, maka ia pun akan mengenakan pakaian serupa itu. Pakaian berburu, seperti pakaian seorang laki-laki.

“Mandilah. Malam ini aku akan bertemu dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang masih dapat berpikir bening. Yang masih dapat melihat siapakah sebenarnya yang berhak memerintah tanah ini. Meskipun sebagian dari mereka telah berpihak kepada Argajaya dan Sidanti, namun sebagian terbesar masih tetap setia kepadaku. Bukan karena aku, Argapati orang yang baik, tetapi mereka menghargai kebenaran kedudukanku sebagai Kepala Tanah Perdikan yang sah.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Apakah aku boleh hadir di dalam pertemuan itu, Ayah?”

“Sebaiknya kau beristirahat Tetapi kalau kau ingin mendengar pembicaraan itu, dan kau tidak terlampau lelah, baiklah kau ikut mendengarkannya sebentar. Kemudian sebaiknya kau pergi tidur. Sekarang pergilah mandi. Kau akan menjadi segar dan bersih.”

Pandan Wangi kemudian berdiri dan melangkah meninggalkan bilik itu. Ia berdiri sejenak di muka biliknya, namun kemudian ia melangkah masuk. Mengambil beberapa lembar pakaiannya yang lain, tetapi juga pakaian berburu seperti yang dipakainya. Kemudian pergi ke perigi. Namun ia tidak melepas sepasang pedangnya dari lambung. Seolah-olah ia merasa bahwa ia memerlukan pedang itu setiap saat.

Ketika ia mandi pun, sepasang pedangnya terletak dekat sekali di sisinya. Ketika ia mendengar suara langkah mendekat, segera dirabanya hulu pedangnya. Tetapi langkah itu adalah langkah pelayannya yang lewat dari kebun belakang.

Malam itu Argapati menyelenggarakan pertemuan dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Berbagai macam persoalan dibicarakannya. Tetapi setiap Para pemimpin pengawal mendesaknya untuk segera bertindak, maka jawabnya selalu, “Besok malam aku akan mengambil keputusan terakhir. Tidak terlalu lama. Aku minta waktu semalam saja lagi. Besok lusa, sebelum fajar, kita harus sudah menentukan sikap. Seandainya kalian tidat dapat menemui aku, maka kalian dapat berbicara dengan pewarisku, Pandan Wangi.”

Jawaban itu benar-benar membuat para pemimpin dan pengawal menjadi gelisah. Mereka tidak mengerti benar maksudnya. Namun segera mereka menghubungkan keterangan itu dengan saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Karena itu maka salah seorang dari mereka bertanya, “Ki Gede, kenapa besok lusa ada kemungkinan bahwa kami tidak dapat menemui Ki Gede, dan dengan demikian kami harus berhubungan dengan Pandan Wangi sebagai pewaris tunggal? Kami tidak mengerti, apakah yang dapat terjadi dengari Ki Gede besok lusa? Tentang pewaris tunggal, kami dapat mengerti, agaknya Ki Gede sudah menganggap Sidanti mendurhakai ayahnya dan untuk selanjutnya, haknya atas tanah ini sudah dicabut.”

“O,” Ki Gede berdesah. Katanya kemudian, “Bukan maksudku berkata demikian. Besok lusa aku ada di rumah ini besok lusa aku akan menentukan sikap dan memimpin setiap pergolakan yang dapat terjadi.”

Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sebagai seorang yang sudah cukup umur ia bertanya, “Ki Gede. Kami telah pernah mendengar, bahwa Ki Gede mengadakan sebuah perjanjian dengan Ki Tambak Wedi pada saat purnama naik di bawah Pucang Kembar. Kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi, tetapi kami dapat membayangkannya. Kami dapat pula menghubungkan persoalan dengan sikap Ki Gede saat ini menghadapi Angger Sidanti. Supaya kami tidak selalu bertanya-tanya, Ki Gede, kami ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi, dan apakah hal itu ada hubungannya dengan kami?”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Sekilas dipandangnya Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya. Namun kemudian ia menjawab dengan nada yang dalam, “Tidak ada hubungan apa-apa dengan persoalan kalian. Persoalan ini adalah persoalan pribadi. Aku ingin menyelesaikan secara pribadi.”

“Tetapi keadaan tanah perdikan ini demikian gawatnya sehingga agaknya Ki Gede tidak akan dapat menerima setiap persoalan secara pribadi.”

“Persoalan ini tidak ada hubungan apa pun dengan persoalan tanah perdikan ini, Samekta. Jangan kau persoalkan persoalan pribadiku. Aku akan menyelesaikannya sendiri. Tugas kalian besok adalah menyiapkan semua kekuatan pasukan pengawal yang masih dapat dipercaya dan setiap laki-laki yang dengan sukarela ikut mengangkat senjata. Tetapi hati-hatilah. Kau harus dapat menilai sikap seseorang. Lawan kita kali ini ada di antara kita. Kita terlampau sulit untuk membedakan, siapakah diantara kita yang sepenuhnya masih dapat dipercaya. Siapakah yang ragu-ragu, siapakah yang berdiri dengan sebelah menyebelah kaki nya berpijak pada alas yang berbeda, dan siapakah yang sengaja memulas diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan pribadi, seperti seekor bunglon yang dapat merubah warna kulitnya.”

Samekta menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih mencoba memperingatkan Ki Argapati, “Ki Gede. Aku tidak dapat mempercayai Ki Tambak Wedi sepenuhnya. Apakah Ki Tambak Wedi juga bersikap seperti Ki Gede dalam menanggapi persoalan pribadinya dengan Ki Gede? Aku ragu-ragu. Bahkan aku mendapat kesan, bahwa Ki Tambak Wedi bukanlah seorang yang jujur.”

Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Peringatan itu menggurat jantungnya, membuat seberkas goresan yang dalam. Jauh di dasar hatinya memang tersimpan dugaan serupa itu. Tetapi kenyataan yang pernah di hadapinya, beberapa puluh tahun yang lampau, ternyata Paguhan pernah menghadapinya secara jantan di dalam perang tanding seperti yang telah mereka janjikan. Apakah sekarang Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah berubah? Bukan seperti Paguhan pada waktu itu?

Dalam keragu-raguan itu, Ki Gede Menoreh mendengar suara Samekta, “Ki Gede, kami harap Ki Gede rmempertimbangkannya masak-masak. Apakah salahnya, apabila janji itu dibatalkan, meskipun aku tidak tahu pasti janji apakah yang telah dibuat, tetapi aku dapat menduga-duga.”

Perlahan-lahan Ki Gede menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak dapat membatalkannya Samekta. Aku harus datang. Seorang diri. Janji itu sudah kita setujui bersama. Dan akan menepatinya. Terkutuklah Ki Tambak Wedi, apabila ia tidak menepati seperti janji yang pernah dikatakannya sendiri, apalagi apabila ia berbuat curang. Kalian akan mengingatnya di dalam hati dan akan mengatakannya kepada setiap orang, bahwa seorang yang bernama Paguhan bergelar Ki Tambak Wedi, telah berbuat curang dan licik.”

Samekta menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya lambat, “Apakah artinya sebutan itu bagi seorang yang telah menebalkan telinganya dan lelah membutakan matanya?”

Sekali lagi Ki Gede berkata, “Samekta, aku tahu, bahwa kau bermaksud baik. Terima kasih. Tetapi aku ingin menyelesaikan persoalan pribadiku. Kalau aku berhasil, maka aku akan dapat mengurangi penumpahan darah yang akan membanjiri tanah ini.”

Samekta mengangkat wajahnya. Hampir saja rnulutnya mengucapkan sebuah pertanyaan, “Tetapi bagaimana kalau Ki Gede gagal?” Tetapi pertanyaan itu ditelannya kembali.

Namun demikian, Samekta melihat bahwa pertanyaan yang serupa telah membersit pula di dalam dada Pandan Wangi. Samekta melihat gadis itu memandangi ayahnya dengan pandangan yang suram. Lamat-lamat Samekta melihat setitik air yang mengambang di kelopak mata gadis itu. Tetapi Pandan Wangi pun tidak mengucapkan pertanyaan itu.

Samekta, para pemimpin tanah perdikan dan para pemimpin pengawal, hanya dapat menyimpan kecemasan di dalam hati mereka. Mereka telah mengenal watak Ki Gede Menoreh yang keras hati. Sukar bagi mereka untuk mencoba merubah pendiriannya Apalagi yang langsung menyangkut harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Karena itu, maka mereka tidak berani untuk mencoba lagi merubah sikap itu. Sebab apabila KI Gede Menoreh kemudian menjadi marah, maka sulitlah bagi mereka untuk dapat berbicara.

Pandan Wangi pun mengenal watak itu pula. Karena itu, maka ia pun lebih baik diam sambil menahan air matanya. Bayangan yang semakin jelas di pelapuk matanya melukiskan, betapa pertarungan yang dahsyat akan terjadi di bawah Pucang Kembar besok malam.

Sementara itu waktu berjalan terus. Malam menjadi semakin malam. Meskipun Pandan Wangi kemudian tidak lagi duduk di antara para pemimpin Menoreh dan berada di dalam biliknya, namun yang bergolak di dalam hatinya adalah persoalan yang dibawanya dari pembicaraan itu.

Justru semakin lama ia berbaring di pembaringannya, maka hatinya menjadi semakin dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan. Bermacam-macam angan-angan dan gambaran telah membuatnya menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau bingung. Jantungnya seakan-akan menjadi terlampau cepat berdetak, dan darahnya menjadi terlampau deras mengalir.

Sekali-kali Pandan Wangi itu tersentak duduk. Kemudian berdiri dan berjalan hilir mudik. Bahkan kemudian ia tidak menahan diri lagi untuk tetap tinggal di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dan menuju ke pringgitan, tempat para pemimpin yang terpenting bertemu, setelah beberapa orang termasuk dirinya diperkenankan meninggalkan pembicaraan.

Tetapi ketika ia menjenguk pintu pringgitan, dilihatnya pringgitan itu sudah kosong. Ternyata pertemuan sudah lampau. Yang ditemuinya di pringgitan tinggallah beberapa buah mangkuk dan sisa makanan yang tidak terhabiskan.

“Di manakah Ayah?” desisnya.

Berjingkat Pandan Wangi berjalan menuju ke bilik ayahnya. Perlahan-lahan didorongnya pintu bilik itu. Ia menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya ayahnya sudah tertidur di pembaringannya.

Pandan Wangi berdesah perlahan-lahan, “Ternyata aku lebih gelisah dari Ayah sendiri,” desisnya di dalam hati. “Ayah masih dapat tidur dengan nyenyaknya. Sedang aku sama sekali tidak dapat memejamkan mata. Tetapi baiklah, aku mencoba seperti Ayah.”

Perlahan-lahan sekail Pandan Wangi menutup pintu itu kembali. Perlahan-lahan pula ia berjalan berjingkat ke biliknya mencoba tidur meskipun hanya sejenak.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak tahu, bahwa setelah pintu bilik ayahnya tertutup, ayahnya membuka matanya kembali. Sebenarnya ayahnya itupun sama sekali belum dapat tidur sekejap pun. Ia pun dibayangi oleh kegelisahan dan kecemasan. Tetapi sama sekali bukan tentang dirinya sendiri. Seandainya persoalannya hanya terbatas pada dirinya sendiri, pada perang tanding di bawah Pucang Kembar, maka hal itu sama sekali tidak akan digelisahkannya. Tetapi kali ini persoalannya berkait dengan persoalan tanah perdikannya. Persoalan yang sebenarnya memang berpusar pada sumber yang sama. Janji yang terucapkan didorong oleh perbedaan sikap mereka, menanggapi keadaan Sidanti berhadapan dengan Pajang. Kini, api yang kemelut di tanah perdikan ini pun disebabkan karena Sidanti pula.

“Samekta benar,” desis Ki Argapati di dalam hatinya, “persoalan ini bukan sekedar persoalan pribadi. Tetapi aku tidak dapat melepaskan janji pribadi ini, meskipun di dalam kaitannya dengan persoalan seruruh tanah perdikan, karena justru aku tidak dapat melepaskan pribadiku dari tanggung jawabku sebagai Kepala Tanah Perdikan ini. Karena itu, aku besok malam harus menghadapi Ki Tambak Wedi. Apa pun yang akan terjadi. Tetapi kegagalanku tidak harus mengorbankan tanah ini dan menyerahkannya kepada Sidanti. Seandainya aku gagal, maka biarlah Pandan Wangi memegang pimpinan. Aku mengharap bahwa para pemimpin pengawal yang setia akan dapat mendampinginya, meskipun harus berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”

Tiba-tiba pandangan Ki Argapati tersangkut pada sebatang rombak pendek yang masih berada di dalam selongsongnya. Terasa desir yang lernbut menyentuh hatinya. Tombak itu bukan tombaknya sendiri, sehingga besok, ia harus menghadapi Ki Tambak Wedi yang memiliki sepasang senjata yang mengerikan, tidak dengan tombak yang paling dipercayanya.

“Aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Tombak itu tidak akan tanyak berpengaruh. Tergantung pada tangan yang menggerakkannya.” Tetapi dibantahnya sendiri di dalam hati, “Namun aku mengenal tombakku seperti aku mengenal diriku sendiri. Aku tahu pasti jangkauan ujungnya dan berat pangkal landeannya. Aku tahu pasti,
di mana tanganku harus menggenggam tangkainya. Aku tahu pasti imbangan gerak ujung dan pangkalnya. Bahkan aku tahu pasti kekuatan yang tersimpan pada tombakku itu. Tetapi tombak ini belum begitu aku kenal.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia bergumam, “Semuanya terserah kepada Tuhan Sang Maha Adil.”

Ki Argapati kemudian mencoba melepaskan segala kegelisahannya. Ia mencoba untuk beristirahat, meskipun hanya sejenak. Lamat-lamat ia masih mendengar ayam jantan berkokok untuk yang kedua kalinya. Namun karena lelah lahir dan batinnya, akhirnya Ki Gede Menoreh itu lelap juga untuk sejenak.

Sedang di bilik yang lain, Pandan Wangi pun terlena karena kelelahan pula. Namun di sisinya tergolek sepasang pedangnya. Bahkan tangannya terletak pada hulu pedang itu.

Kesibukan pagi telah mewarnai rumah Ki Argapati, ketika matahari telah mulai melambung di langit. Ki Gede Menoreh duduk di pringgitan bersama Pandan Wangi menghadipi semangkuk air hangat, gula kelapa, dan beberapa potong makanan. Adalah kebiasaan Ki Gede Menoreh, untuk minum air hangat di pagi hari sambil makan beberapa potong makanan sebagai makan paginya. Tetapi Ki Argapati tidak pernah makan nasi di waktu pagi.

Namun terasa kegelisahan telah membakar seluruh tanah perdikan, jauh melebihi terik matahari di tengah hari. Setiap orang seolah-olah selalu dihantui oleh kegelisahan. Tidak saja di padukuhan induk, tetapi di mana-mana. Di sekitar rumah Argajaya pun terjadi kesibukan-kesibukan yang luar biasa. Persiapan-persiapan telah mereka adakan dengan saksama. Tidak kalah dari kesibukan yang dilakukan oleh para pengawal yang masih setia kepada Ki Argapati. Meskipun jumlah mereka yang terpengaruh oleh Sidanti tidak terlampau banyak, tetapi Sidanti telah melakukan kecerobohan yang mempunyai kemungkinan yang paling parah atas tanah perdikan yang ingin dikuasainya. Ia telah mengundang orang-orang liar dari berbagai golongan. Orang-orang yang menyimpan pamrih terlampau besar atas tanah ini, orang-orang yang ingin mendapatkan upah, dan orang-orang yang paling liar adalah orang-orang yang tidak menentu, yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Mereka coba mengadu untung di Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Ki Tambak Wedi bukan pula seorang yang bodoh. Sengaja ia memanggil orang-orang yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda. Ia ingin membenturkan mereka satu sama lain apabila persoalannya sudah selesai, lalu menumpas mereka dengan mudahnya.

Namun permainan itu adalah permainan yang terlampau berbahaya. Apabila perhitungan itu meleset serambut, maka Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi karang abang. Tanah akan tinggal arang yang sudah membara, kemudian hancur menjadi abu.

Ia tidak akan dapat berhasil mencapai maksudnya, menjadikan tanah ini pancadan bagi anak dan sekaligus muridnya yang dimanjakannya, untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Tetapi adalah mungkin sekali, bahwa tanah ini akan menjadi tanah di mana anak itu segera akan dikuburkan. Kalau ia mati dalam perlawanannya atas Ki Argapati, masih juga ia dapat merasa dirinya pahlawan dari suatu cita-cita. Tetapi apabila ia mati oleh tangan-tangan yang hitam yang dipanggilnya sendiri masuk ke dalam rumahnya, maka yang tinggal adalah penyesalan.

Tetapi setiap kali Ki Tambak Wedi berkata, “Kita harus membuat perimbangan. Kekuatan yang kita undang, harus lebih kecil dari kekuatan kita sendiri, supaya kelak apabila persoalan kita dengan Argapati sudah selesai, maka kita akan dengan mudahnya menyelesaikan mereka pula.”

Namun ternyata Ki Tambak Wedi tidak menghiraukan, apa yang telah dilakukan oleh orang-orang itu atas orang-orang Menoreh sendiri. Ia sama sekali tidak menghiraukan, bahwa orang-orang itu telah berbuat terlampau gila di tanah perdikan ini.

Dalam keadaan yang gelisah, tegang, dan kemelutnya kecemasan itulah, matahari naik semakin tinggi di atas perbukitan Menoreh. Betapa sibuknya para pengawal mengadakan persiapan di beberapa tempat, dan betapa sepinya jalan-jalan dan pedukuhan-pudukuhan di seluruh tanah perdikan itu. Seperti angin, yang bertiup dari segala penjuru, maka setiap telinga di tanah perdikan itu telah mendengar, bahwa nanti malam, di saat purnama naik, akan terjadi sesuatu yang paling mengerikan di atas tanah ini. Mereka tidak tahu pasti, apakah yang kira-kira akan terjadi. Yang paling mungkin menurut dugaan mereka, adalah benturan antara Ki Argapati dan Sidanti. Namun janji yang telah ditentukan antara Ki Tambak Wedi dan Ki Gede Menoreh, telah membuat kepala mereka semakin pening, dan membuat dada mereka semakin berdebar-debar.

Dan kegelisahan yang semakin memuncak telah membakar dada Pandan Wangi. Dalam pakaian laki-lakinya ia mondar-mandir di dalam rumahnya. Sekali-kali ia pergi kepringgitan melihat ayahnya sedang berbicara dengan beberapa orang pemimpin tanah perdikan ini, kemudian berjalan ke dapur, melihat perempuan-perempuan sedang memasak. Namun kegelisahannya tidak juga dapat disingkirkannya dari hatinya, setidak-tidaknya meredakannya.

Tanpa sesadarnya, maka langkahnya telah membawanya turun ke halaman ketika tiba-tiba seseorang datang memanggilnya, “Pandan Wangi, Ki Argapati ingin bertemu.”

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke pringgitan. Dilihatnya ayahnya masih duduk di antara para pemimpin yang lain.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya sebelum ia duduk, “sebaiknya kau hentikan usahamu untuk bertemu dengan Sidanti, dan mencoba membuatnya mengerti. Aku kira kau tidak akan berhasil.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar peringatan ayahnya itu. Sejenak ia berdiri mematung tanpa dapat menjawab sepatah kata pun. Selanjutnya ia mendengar ayahnya berkala seterusnya, “Aku menjadi cemas melihat kau gelisah seperti di panggang di atas bara. Mondar-mandir tidak menentu. Aku sangka, kau masih dihinggapi oleh angan-angan untuk bertemu dengan kakakmu dan berbicara dengannya. Pandan Wangi, demi keselamatanmu, jangan pergi lagi dari batas padukuhan induk ini. Keadaan telah menjadi semakin panas. Orang-orang di kedua belah pihak sudah terlampau sulit untuk dikendalikan. Apalagi orang-orang yang tidak dikenal, yang sama sekali tidak merasa bertanggung jawab apa pun atas tanah ini. Apakah kau metngerti?”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Tetapi ia telah mengenal betul sifat-sifat ayahnya. Apabila demikian, berarti bahwa ia sama sekali tidak boleh melanggarnya lagi. Apa pun alasannya. Karena itu maka yang dapat dilakukannya adalah menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baik Ayah.”

“Nah, kalau kau ingin keluar halaman, berhati-hatilah. Ingat, jangan meninggalkan padukuhan induk. Kau masih dapat merasa aman di dalam padukuhan induk ini, karena aku memagarinya dengan pasukan pengawal. Meskipun aku menempatkannya juga di padukuhan-padukuhan lain, tetapi kau tidak akan tahu, apakah yang akan terjadi di bulak-bulak yang betapa pun sempitnya.”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk dan menjawab, “Ya, Ayah.”

Namun dengan demikian, justru Pandan Wangi seolah-olah mendapat kesempatan untuk keluar dari halaman rumahnya. Semula ia sama sekali tidak ingin melangkah keluar regol halaman, apabila setiap saat ayahnya memerlukannya. Tetapi kini seolah-olah ia diperingatkan, bahwa di luar halaman ia masih mempunyai tempat untuk sedikit menghibur dirinya, asalkan tidak keluar dari padukuhan induk.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera setelah meninggalkan pringgitan, justru berjalan keluar regol halaman. Selangkah demi selangkah. Dan hampir setiap langkahnya ia bertemu dengan dua tiga orang peronda, sehingga akhirnya ia sampai pada ujung sebuah lorong di dalam pedukuhan induk, yang menuju ke rumah pamannya.

“Hem, jalur ini akan sampai kepada Kakang Sidanti,” desisnya di dalam hati. Tetapi ia sadar, bahwa ayahnya melarangnya untuk mengikuti jalur itu. Dan ia menyadari pula, bahaya yang dapat dijumpainya di tengah-tengah bulak dan pategalan, seperti yang pernah terjadi atasnya.

Ketika Pandan Wangi itu berdiri sambil bersilang tangan di dadanya, memandangi ujung jalan yang seolah-olah hilang ditelan kaki langit, dua orang peronda berjalan mendekatinya. Perlahan-lahan salah seorang dari mereka berkata, “Ki Gede telah memerintahkan kepada kami, kau tidak boleh keluar dari pedukuhan ini, Pandan Wangi. Siang mau pun malam nanti.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Ternyata perintah itu telah tersebar kepada seluruh pengawal. Tetapi apa artinya, ia tidak boleh meninggalkan padukuhan induk ini siang dan malam nanti, justru malam nanti ayahnya akan memenuhi janjinya dengan Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

Terasa jantung Pandan Wangi berdenyut semakin cepat di dalam dadanya. Berbagai pertanyaan hilir mudik tidak henti-hentinya. Tetapi Pandan Wangi tidak bertanya apa pun kepada pengawal itu. Ia tahu, bahwa pengawal itu tidak akan mengerti, kenapa. Ia hanya sekedar melakukan perintah. Selebihnya adalah persoalan para pemimpinnya.

Pandan Wangi berpaling kepada mereka, ketika mereka bertanya, “Apakah kau sendiri sudah mengerti pesan Ki Argapati itu?”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku sudah mengerti.”

“Syukurlah,” desis pengawal yang sedang meronda itu.

Kemudian ditinggalkannya Pandan Wangi berdiri di tempatnya. Keduanya melangkah ke gardunya di sudut pedukuhan. Di dalam gardu itu ternyata masih ada beberapa kawan-kawannya lagi yang sedang berjaga-jaga.

Pandan Wangi masih tetap berdiri di tempatnya. Tegak seperti sebuah patung dengan sepasang pedang di lambung. Dipandangnya berkas-berkas sinar matahari yang jatuh di atas tanah, di sepanjang jalur jalan berdebu di depannya.

Gadis itu mengerutkan keningnya, ketika ia melihat sesuatu bergerak-gerak di dalam sinar matahari. Beberapa ekor kambing berjalan di atas pematang. Di belakang sekumpulan kambing itu berjalan seorang gembala. Gembala yang pernah ditemuinya diperjalanannya kemarin. Gupita.

Tiba-tiba saja, dada gadis itu menjadi berdebar-debar. Ternyata hari ini anak muda itu masih menggembalakan kambing-kambingnya. Dengan demikian, maka kemarin kambing-kambing itu pasti tidak dirampas oleh orang-orang liar yang telah mencegatnya.

“Mungkin orang-orang itu hanya memerlukannya satu atau dua,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum bergerak. Ia masih berdiri tegak di tempatnya. Sepasang pedangnya berjuntai di lambungnya. Sebelah-menyebelah.

Sejenak kemudian ia melihat kumpulan kambing-kambing itu berjalan menyeberangi jalan. Sekepul debu yang putih terlontar di udara ketika kaki-kaki kambing itu menyentuh tanah berdebu yang menjelujur panjang.

Seorang pengawal melonccat turun dari gardunya. Memandangi sekumpulan kambing itu sambil berkata, “Aneh, masih juga ada seorang gembala yang berani membawa kambing-kambing ke tempat terbuka seperti ini. Apakah anak itu tidak tahu apa yang kini sedang kemelut di tanah pendikan ini?”

Tetapi tidak ada seorang pun yang menjawab. Kawan-kawannya yang sedang berjaga-jaga itupun menjadi keheran-heranan pula. Namun pengawal itu menjawabnya sendiri, “Mungkin ia menyadari, bahwa di tempat ini ada sebuah gardu pengawal. Dengan demikian ia merasa aman menggembala kambingnya di sekitar tempat ini.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia tidak diajak berbicara. Pikiran itu memang dapat dimengerti. Di tempat ini ada sebuah pengawalan yang baik, sehingga tidak mungkin ada orang-orang liar yang berkeliaran sampai di tempat ini.

Sejenak kemudian, Pandan Wangi melihat kambing-kambing itu berhenti di sebuah tempat yang ditumbuhi rerumputan hijau, di pinggir padesan. Gambala itu mengikat seekor di antara kambing-kambing itu. Seekor kambing jantan yang paling besar, pada sebatang pohon perdu, supaya kambing itu tidak dapat pergi dan kawan-kawannya pun tidak akan pergi juga dari tempat itu. Sedang masuk ke dalam tanaman di persawahan. Dengan demikian, maka gembalanya kemudian duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil menyandarkan dirinya. Cambuknya diletakkannya di pangkuannya. Sejenak kemudian diambilnya sebatang seruling bambu yang terselip di ikat pinggangnya.

Sejenak gembala itu duduk memandangi warna langit yang jernih, sambil mengusap-usap serulingnya. Seperti ayah Pandan Wangi sedang mengusap landean tombaknya.

Pandan Wangi sendiri tidak menyadari, kenapa ia tertarik melihat tingkah laku gembala itu. Dengan demikian, maka diawasinya saja ketika gembala itu kemudian mengangkat serulingnya dan meletakkannya di mulutnya.

Sejenak kemudian terdengarlah suara seruling itu berlagu. Dilontarkannya lagu yang segar, sesegar burung-burung liar yang berloncatan didahan-dahan pepohonan.

Pandan Wangi terkejut ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang pengawal berkata, “Aku merasa aneh dengan gembala itu. Adalah mustahil, bahwa seorang gembala berani menggembalakan kambingnya di tempat terbuka seperti saat ini tanpa suatu maksud tertentu. Apakah dengan demikian tidak cukup alasan bagi kita untuk mencurigainya? Mungkin anak itu adalah seorang petugas sandi dari Sidanti.”

Beberapa orang kawannya mengerutkan keningnya. Dan terdengar hampir bersamaan mereka menjawab, “Hal itu juga mungkin. Tetapi mungkin pula ia merasa aman di sini.”

“Tetapi apakah kau pernah mengenal anak itu?”

Kawan-kawannya terdiam. Dan sejenak kemudian mereka menjawab, “Belum. Aku belum mengenalnya.”

“Belum ada yang mengenalnya di antara kita. Bukankah kita wajib bercuriga?”

Tetapi para pengawal itu terkejut, ketika tiba-tiba Pandan Wangi yang masih berdiri di ujung jalan itu berkata, “Aku sudah mengenalnya. Namanya Gupita.”

Serentak para pengawal itu berpaling ke arah Pandan Wangi. Kini Pandan Wangi memandang mereka pula dan, berkata, “Aku akan menemuinya.”

“Tetapi kau tidak boleh meninggalkan padukuhan ini.”

“Bukankah aku tidak meninggalkan padukuhan ini? Gembala itu duduk di pinggir padukuhan ini. Dan kalian dapat mengawasi aku dari gardu kalian seandainya aku harus berkelahi melawannya.”

Para pengawal itu sejenak saling berpandangan. Mereka sama sekali belum yakin, bahwa Pandan Wangi benar-benar mampu berkelahi. Belum lama mereka mendengar hal itu. Sebelumnya mereka hanya mengetahui, bahwa gadis itu senang ikut bersama ayahnya. Hanya satu dua orang sajalah yang menemaninya.

Karena itu, maka mereka pun menjadi ragu-ragu pula untuk melepaskannya pergi sendiri mendekati gembala yang sedang membunyikan serulingnya itu.

Ketika Pandan Wangi kemudian melangkahkan kakinya, mendekati gembala itu, maka beberapa orang pengawal segera berloncatan turun dari gardunya. Sekali lagi mereka saling berpandangan, dan beberapa di antara mereka segera mengikutinya.

Tetapi Pandan Wangi justru tertegun. Sambil berpaling ia bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”

Para pengawal itu tidak segera dapat menjawab. Mereka menjadi ragu-ragu. Namun salah seorang dari mereka akhirnya menyahut, “Kami tidak dapat melepaskan kau pergi sendiri. Kami wajib mencurigai setiap keadaan yang tidak wajar bagi kami. Termasuk kehadiran gembala itu.”

“Kalian akan mengantar aku?”

Orang itu mengangguk dan menjawab ragu-ragu, “Ya.”

Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak usah. Biarlah aku pergi sendiri. Kalau aku memerlukan kalian, kalian akan dapat melihat dari sini, atau aku akan berteriak-teriak memanggil kalian. Aku kira kalian akan dapat mendengarnya.”

Para pengawal itu terdiam sejenak. Memang jarak antara gardu dan gembala yang duduk di bawah pohon itu tidak terlampau jauh. Tetapi bagaimanakah apabila terjadi sesuatu yang tidak terduga-duga? Para pengawal memang pernah mendengar, bahwa Pandan Wangi sebenarnya mampu pula bertempur. Bahkan menurut Samekta, melawan enam orang laki-laki sekaligus. Tetapi mereka masih dicengkam oleh keragu-raguan.

“Tinggallah kalian di sini,” berkata Pandan Wangi kemudian, “Jangan cemas tentang aku.”

Para pengawal itu kemudian berdiri tegak seperti patung. Dengan hati yang berdebar-debar, mereka memandangi saja langkah Pandan Wangi menuju ke arah seorang gembala yang duduk sambil membunyikan serulingnya. Sepasang pedang yang berjuntai di lambungnya, sebelah menjebelah, bergerak-gerak seirama dengan langkah kakinya.

Beberapa orang pengawal menarik nafas dalam-dalam. Mereka biasa melihat Pandan Wangi dalam pakaian seorang gadis. Hanya kadang-kadang saja ia berpakaian demikian, apabila ia pergi berburu.

Gembala yang bersandar pada pokok sebatang kayu itu, masih saja meniup serulingnya. Lagunya mengalun menyusur arus angin yang lembut. Lagu yang gembira kini terasa mengetuk dinding jantung. Seolah-olah gembala itu sedang bercerita tentang langit yang cerah. Angin yang lemah dan burung-burung yang berterbangan dengan riangnya. Bahkan kemudian suara seruling itu meninggi, melonjak seperti gelak tertawa seorang gadis yang sedang bercanda dengan kekasih.

“Hem,” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.Ia belum pernah merasakan betapa mesra bercanda dengan kekasih. Tetapi ia pernah mendengar kisah tentang kasih. Kisah Panji dan Kirana. Kisah Ratih dan Kama. Dan pernah dijumpainya pula kemesraan di sekitarnya. Pandan Wangi memang menghadiri peralatan perkawinan kawan-kawannya yang sebaya atau sedikit lebih tua daripadanya.

Tetapi lagu itu rasa-rasanya bercerita kepadanya. Lagu yang melukiskan kasih yang dalam. Kidung tentang cinta.

Pandan Wangi seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi yang asing, ketika tangannya menyentuh hulu pedangnya. Tiba-tiba ia berdesis, “Persetan dengan suara seruling itu. Kini Menoreh sedang diasapi oleh kemelutnya pertentangan yang tajam antara Ayah dan Kakang Sidanti.”

Tiba-tiba Pandan Wangi itu menengadahkan wajahnya. Ia tidak mau dihanyutkan oleh angan-angan seorang gadis yang meningkat dewasa. Kini ia sedang menggenggam tugas, bukan sebagai seorang gadis, tetapi sebagai seorang putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bergolak.

Selangkah demi selangkah Pandan Wangi menjadi semakin dekat. Tanpa disadarinya, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Ia mengharap gembala itu berpaling. Tetapi agaknya ia begitu asyik dengan serulingnya, sehingga sama sekali tidak menghiraukan keadaan di sekitarnya.

Tanpa sesadarnya pula, kaki Pandan Wangi menyentuh daun-daun kering yang bertebaran di atas jalan sempit di pinggir padukuhan itu, melontarkan suara gemersik. Tetapi gembala itu seakan-akan benar-benar sedang tenggelam dalam suara serulingnya.

Sejenak kemudian Pandan Wangi telah berdiri di belakangnya. Ia yakin, bahwa gembala itu pasti sudah tahu kedatangannya. Tetapi gembala itu sama sekali tidak melepaskan serulingnya. Bahkan matanya menjadi hampir terpejam ketika suara serulingnya melonjak mengalun menyentuh hati.

Terasa perasaan aneh bergetar di dada Pandan Wangi. Dalam suasana yang tegang, ia mendengar lagu yang memancarkan kedamaian hati seorang anak muda. Ya, gembala itu adalah seorang anak muda yang aneh.

Wajah Pandan Wangi serasa menjadi panas dan kemerah-merahan. Kini baru disadarinya, bahwa gembala itu adalah seorang anak muda, sedang dirinya adalah seorang gadis.

Tiba-tiba Pandan Wangi menggeretakkan giginya. “Aku tidak peduli,” katanya di dalam hati, “aku harus melihat, apakah gembala ilu tidak mencurigakan?”

Pandan Wangi itu kemudian berdiri tegak dengan kaki renggang. Tangannya bertolak pinggang. Dengan tajamnya dipandanginya gembala yang masih asyik membunyikan serulingnya itu. Lalu, tiba-tiba pula ia memanggil, “Gupita. Bukankah kau Gupita yang kemarin aku jumpai di jalan bersama kambing-kambingmu.”

Gupita masih meniup serulingnya beberapa lama. Kemudian memutus lagunya pada nada yang merendah. Sesaat kemudian ia berpaling dan menganggukkan kepalanya dalam-dalam, “Ya, aku adalah Gupita yang kemarin kau jumpai.”

Ketika terpandang mata gembala itu, terasa dada Pandan Wangi berdesir. Mata itu adalah mata yang dilihatnya kemarin. Mata yang memancarkan kejujuran yang bodoh. Tetapi kini Pandan Wangi menjadi ragu-ragu. Apakah benar, bahwa mata itu memancarkan kejujuran yang dungu?

Sekali lagi Pandang Wangi menggeretakkan giginya, Wajahnya menjadi tegang, dan nada suaranya merendah datar, “Apa kerjamu di sini?”

Gapita bergeser setapak. Kini ia duduk menghadap Pandan Wangi yang masih berdiri bertolak pinggang. Dengan penuh keheranan, Gupita menjawab, “Bukankah aku seorang gembala? Kehadiranku di sini bersama kambing-kambingku adalah kenyataan kerjaku kini.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengar jawaban gembala itu. Sejenak ia terdiam. Terasa jantungnya menjadi semakin cepat berdentangan. Namun dengan demikian, sejenak ia berdiam diri. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk menyahut.

Gupata masih duduk di tanah. Karena Pandan Wangi berdiam diri, maka ia pun diam pula menunggu. Sekali-sekali dilemparkannya pandangan matanya kepada para pengawal di mulut lorong agak jauh daripadanya.

Baru sejenak kemudian, Pandan Wangi dapat menguasai dirinya dan berkata, “Gupita. Aku memang melihat bahwa kau sekarang sedang menggembalakan kambing-kambingmu. Tetapi apakah kau tidak berbuat lain daripada menggembala?”

Gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Tidak. Seperti kau lihat. Aku hanya menggembala saja dan duduk membunyikan serulingku.”

Debar di dada Pandan Wangi menjadi semakin cepat. Terasa memancarkan kelainan dengan gembala-gembala yang lain, yang terasa sesuatu yang aneh di dalam hatinya. Wajah gembala itu dikenalnya. Tetapi ia tidak tahu, apakah bentuk kelainan itu.

Sikali lagi Pandan Wangi terpaku diam. Nafasnya terasa semakin cepat mengalir, ia merasa kehilangan kata-kata untuk menyatakan pikirannya.

Namun sejenak kemudian tiba-tiba dada Pandan Wangi itu seolah-olah meledak, setelah ditahannya kuat-kuat. Pandan Wangi tidak tahu, apakah yang mendorongnya untuk berbuat demikian. Tetapi ia merasa memerlukan cara untuk mengurangi pepat di dalam dadanya.

Karena itu maka tiba-tiba ia berkata lantang, “Tidak! Aku tidak percaya! Di dalam keadaan serupa ini, mustahil kalau kau hanya sekedar menggembala saja sampai di tempat ini, justru di samping gardu peronda. Nah, katakan, bahwa kau termasuk salah seorang petugas sandi dari Kakang Sidanti!”

Gembala itu memandang wajah Pandan Wangi tanpa mengedipkan matanya. Tergagap ia menyahut, “Tetapi, tetapi, aku tidak kenal dengan Sidanti.”

“Bohong!” bentak Pandan Wangi, “Kau kira aku dapat mempercayainya? Aku tidak dapat melupakan saat kita bertemu di tengah jalan, ketika aku kembali dari Kakang Sidanti. Beberapa orang liar yang tak dikenal berjalan menyusulku. Kau berada di tempat itu juga pada waktu itu. Mustahil bahwa kau bukan tidak kehilangan kambing-kambingmu, atau bahkan nyawamu, kalau kau salah seorang dari mereka. Aku tahu, bahwa waktu itu kau sengaja menghambat perjalananku, supaya orang yang tidak aku kenal itu dapat menangkapku.”

Gupita menjadi semakin heran mendengar kata-kata Pandan Wangi yang mengalir seperti banjir itu. Dipandanginya saja wajah gadis itu dengan mulut ternganga.

“Nah, apakah kau masih akan ingkar?” bertanya Pandan Wangi.

Wajah gembala itu menjadi tegang, sejenak kemudian menjadi pucat dan berubah lagi menjadi kemerah-merahan.

“Jangan ingkar!” Pandan Wangi membentak pula.

Kini gembala ilu menjadi gemetar. Tergagap ia mencoba menjelaskan, “Aku benar-benar seorang gembala yang sedang menggembala kambing-kambingku di sini. Aku tidak berbuat lain, dan aku sama sekali bukan petugas sandi dari Sidanti.”

“Coba katakan kepadaku, Gupita,” berkata Pandan Wangi, “kenapa kau terlepas dari tangan orang-orang liar yang waktu itu mendatangi kau sepeninggalku?”

Gupita tampak menjadi semakin gugup, “Aku tidak tahu, kenapa mereka membiarkan aku. Mereka hanya bertanya, apa kerjaku di sana waktu itu. Mereka bertanya, apakah aku petugas sandi dari Ki Argapati. Tetapi aku menjawab, bahwa aku hanyalah seorang gembala. Lalu salah seorang dari mereka menampar mukaku seningga aku jatuh ke dalam parit. Seterusnya, mereka pergi. Dan bukankah aku bukan petugas sandi dari Ki Argapati dan bukan pula dari Sidanti?”

“Bohong!” potong Pandan Wangi. Namun terasa sesuatu yang aneh semakin mencengkam jantungnya. Gembala itu benar-benar memiliki kelainan dari gembala-gembala di Tanah Perdikan Menoreh. Dan kelainan itu telah mendebarkan jantung Pandan Wangi semakin cepat. Tatapan matanya seolah-olah telah mengguncang seluruh isi dadanya.

Tetapi Pandan Wangi mencoba menolak pengaruh yang tidak dikenalnya itu. Sambil menggeretakkan giginya, ia menunjuk ke arah kejauhan. Sejenak kemudian ia menggeram, “Pergi! Pergi kau dari tempat ini supaya kau tidak menyesal. Bawalah kambing-kambingmu sejauh-jauhnya dari induk padukuhan Menoreh, sebelum kami bertindak atasmu. Menurut penilaian kami, kau pantas dicurigai dalam keadaan serupa ini. Tidak ada seorang gembala pun yang berani menggembalakan kambing-kambingnya di tempat terbuka seperti kau. Mereka hanya mencoba menggembala di pategalan-pategalan yang berada di ujung-ujung padesan.”

“Tetapi, tetapi,” suara gembala itu semakin tergagap, “bukankah aku juga menggembala di ujung padesan. Aku berani menggembala di sekitar tempat ini, justru aku tahu, bahwa tempat ini pasti aman karena dekat dengan gardu peronda.”

“Tetapi kau kemarin menggembala di seberang bulak ini.”

“Pengalaman yang kemarinlah yang memaksa aku untuk menggembala di sini.”

“Bohong! Bohong!” Pandan Wangi tiba-tiba berteriak. Tangannya masih menunjuk ke kejauhan dan mulutnya berkata, “Pergi, cepat, selagi kau masih mendapat kesempatan. Apabila kesempatan itu tidak ada lagi, maka sikap kami akan sangat berlainan. Mungkin kau dapat kami tangkap dan kami bawa kepada pimpinan pengawal tanah ini.”

“Jangan, jangan,” gembala itu kini berjongkok dan kemudian berdiri pada lututnya, “aku jangan ditangkap. Aku akan pulang kepada ayahku yang sudah tua.”

“Kalau kau akan pulang, cepat, pulanglah sekarang.”

“Baik. Baik. Aku akan pulang sekarang,” jawab gembala itu sambil tertatih-tatih berdiri. Selangkah-selangkah ia berjalan meninggalkan Pandan Wangi, menghampiri kambingnya yang sedang diikati. Namun tiba-tiba langkahnya tertegun, karena Pandan Wangi memanggilnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi sedang berjongkok memungut serulingnya yang agaknya terjatuh.

Gupita terpaku sejenak di tempatnya. Sejak pertemuannya kemarin, ia masih belum sempat memandangi wajah gadis itu, seperti saat ia berjengkok mengambil serulingnya. Wajah yang tegang itu tiba-tiba menjadi tenang. Ketika gadis itu mengangkat wajahnya, memandanginya dengan seruling di tangangannya, tampaklah betapa wajah itu memancar seperti bintang pagi.

Gupita menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menyadari dirinya, maka tiba-tiba ia pun berjongkok sambil berkata, “Itu serulingku.”

Pandan Wangi mengangguk perlahan. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tiba-tiba ia tidak dapat membentak lagi seakan-akan terpesona oleh seruling yang telah didengar, betapa merdu suaranya.

“Marilah,” desis Pandan Wangi, kemudian sambil mengacungkan seruling itu.

Gupita menjadi ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia bergeser maju sambil menjawab, “Terima kasih.”

Ketika Gupita menerima serulingnya, terasa tangan Pandan Wangi itu bergelar. Dan seolah-olah getar itu telah merambat sepanjang tangannya menyentuh dadanya.

“Terima kasih,” sekali lagi Gupita berdesis, “sekarang perkenankanlah aku pergi.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Tetapi tanpa sesadarnya, ia berkata, “Kau pandai meniup seruling.”

“Aku belajar sejak kecil. Sejak aku dapat membedakan tinggi rendah nada.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.

“Sekarang aku akan pulang,” berkata Gupita kemudian, “kalau kalian berubah pendirian, maka aku tidak akan mendapat kesempatan lagi untuk pergi meninggalkan tempat ini.”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih saja berdiam diri.

“Bukankah aku harus pergi?”

Terasa dada Pandan Wangi menjedi berdebar-debar. Sejenak ia terpukau dalam kebingungan. Sesaat ia seakan-akan telah kehilangan akal. Namun tiba-tiba kesadarannya seakan-akan telah melonjak kembali di dalam dadanya. Tiba-tiba pula ia menggeretakkan gigi. Dengan tangkasnya ia meloncat berdiri sambil membentak, “Pergi. Pergi. Cepat. Kau membuat aku muak dengan solah tingkahmu yang bodoh itu.”

Gupita terkejut, melihat sikap yang tiba-tiba saja berubah. Tetapi sejenak kemudian ia menyadari keadaannya. Sekali ia membungkukkan kepalanya dalam-dalam sambil bergumam, “Terima kasih atas kesempatan ini. Aku akan pulang kepada ayahku, dan mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh, yang bernama Pandan Wangi. Aku telah diberinya kesempatan untuk meninggalkan tempat ini, meskipun dengan tidak sengaja aku telah memasuki daerah terlarang.”

“Jangan banyak bicara. Cepat pergi. Kau terlampau memuakkan bagiku. Setiap gembala yang malas seperti kau, tidak akan banyak berarti bagi tanah ini.”

Gupita masih ingin menjawab. Tetapi Pandan Wangi telah mendahului membentaknya, “Jangan bicara lagi. Pergi sebelum aku memanggil para pengawal untuk menangkapmu.”

Gupita mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia membungkukkan kepalanya, kemudian melangkah surut. Dengan ragu-ragu ia memutar tubuhnya dan berjalan menghampiri kambingnya yang sedang diikatnya. Dengan tergesa-gesa ia melepas tali yang mengikat kambing itu pada sebatang pohon perdu. Kemudian dilecutkannya cambuknya dan digiringnya kambing-kambing itu pergi.

Tetapi belum lagi sepuluh langkah, maka diletakkan ujung serulingnya di mulutnya. Sejenak kemudian terdengarlah sebuah lagu yang melengking tinggi, seperti jerit seorang gadis yang kegirangan menyambut kekasih dari medan perang. Kemudian suara seruling itu berderai seperti gelak tertawa yang renyah.

“Diam. Diam kau!” teriak Pandan Wangi tanpa sebab.

Suara seruling itu membuat jantungnya seakan-akan berhenti bergetar. Dengan serta merta dipungutnya sebutir batu dan dilemparkannya kuat-kuat ke arah Gupita yang masih meniup serulingnya sambil melangkah menjauh. Tetapi suara serulingnya itu segera terputus, ketika sebuah batu jatuh tepat di sampingnya.

Ketika ia berpaling dilihatnya Pandan Wangi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Tetapi Gupita tidak berani lagi berkata sepatah kata pun. Bahkan kemudian langkahnya pun dipercepat meninggalkan tempat itu. Namun dikejauhan sekali lagi ia berpaling. Ketika ia masih melihat Pandan Wangi berdiri di tempatnya, maka tiba-tiba diangkatnya cambuknya tinggi-tinggi. Cambuk itu berputar di udara seperti baling-baling. Sejenak kemudian terdengarlah cambuk itu seolah-olah meledak di udara.

Letupan cambuk itu serasa memecahkan dada Pandan Wangi. Semula ia telah dicengkam keheranan, bahwa gembala itu dapat meledakkan cambuk sekeras itu. Tetapi kemudian, sebagai seorang yang memiliki ilmu yang cukup, segera Pandan Wangi menyadari, bahwa letupan cambuk itu bukan sekedar letupan biasa. Terasa sebuah tenaga yang terlampau kuat telah membantu menggerakkan tangannya dan meledakkan cambuk itu.

Terasa darahnya menjadi semakin cepat mengalir. Kini baru disadarinya, bahwa sorot mata yang lain pada gembala itu, sama sekali bukan sorot mata yang jujur tetapi dungu. Kini baru disadarinya, bahwa pada sorot mata itu memancar sebuah kekuatan yang luar biasa.

Sejenak Pandan Wangi terpaku di tempatnya. Ia merasa bahwa bukan gembala itulah yang dungu, tetapi betapa bodohnya dirinya sendiri. Tetapi gembala itu sudah jauh. Gembala itu sudah tidak dilihatnya lagi.

Yang kemudaan merambat di dadanya adalah dugaan yang kuat, bahwa sebenarnyalah gembala itu seorang petugas sandi yang dikirim oleh kakaknya, Sidanti. Berbareng dengan itu, maka segera ingatannya terbang kepada ayahnya. Malam nanti, saat purnama naik. Ayahnya akan menjumpai Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.

Dada Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Menoreh benar-benar sedang disaput oleh asap yang tebal. Gelap. Masa depan dari tanah perdikan ini sama sekali tidak dapat diduga-duga. Mungkin Menoreh akan tetap tegak berdiri setelah mengalami goncangan yang dahsyat, tetapi mungkin Menoreh akan menjadi abu, terbakar oleh api perselisihan di antara mereka sendiri.

Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat sesuatu. Semuanya telah meluncur menuju ke puncak peristiwa ini. Malam nanti, saat purnama naik. Ki Gede Menoreh akan berhadapan dengan Ki Tambak Wedi. Baru setelah itu Ki Gede Menoreh akan menentukan sikap. Tetapi bagaimana kalau ia sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi? Apalagi melakukan perlawanan’. Bahkan menyaksikan apa yang terjadi kemudian pun sudah tidak mungkin lagi.

Dalam kegelisahan itu, Pandan Wangi mendengar suara langkah di belakangnya. Ketika ia berpaling dilihatnya seseorang mendekatinya. Seorang pemimpin pengawal yang tadi berada di rumahnya berbicara dengan ayahnya.

“Pandan Wangi,” katanya, “Ki Gede Menoreh memanggilmu. Kau harus pulang sekarang.”

“Kenapa”?

Orang itu menjadi heran. Keadaan sudah sedemikian panasnya dan Pandan Wangi masih bertanya mengapa. Namun ia menjawab juga, “Ayahmu ingin berbicara dengan kau.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Kemudian dianggukkannya kepalanya sambil berkata, “Baiklah. Aku akan segera pulang.”

Dengan langkah yang malas, Pandan Wangi meninggalkan tempat itu. Sekali-sekali ia masih berpaling ke arah Gupita menghilang di balik dedaunan. Aneh sekali kesannya tentang gembala itu. Ia menyangka, bahwa gembala itu seorang petugas sandi dari kakaknya. Mungkin ia termasuk salah seorang dari orang-orang liar yang kini berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi meskipun demikian, perasaannya mendapat sentuhan yang lain dari orang-orang liar yang telah dijumpainya, dan bahkan mencegat perjalanannya. Kesannya kepada Gupita mempunyai corak tersendiri. Sorot matanya dan tingkah lakunya.

“Seandainya ia salah seorang dari mereka yang membantu kakang Sidanti, maka orang ini pasti golongan yang lain dari orang-orang yang telah mencegatku kemarin,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya. Namun kemudian ia sekali lagi menggeretakkan giginya sambil berdesis, “Buat apa aku mempersoalkannya dari mana ia datang? Kalau benar-benar ia berpihak kepada Kakang Sidanti, maka orang itu pun harus disingkirkan. Ia hanya akan mengotori tanah ini dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung jawab,” Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian ia berdesis, “Ia harus dilenyapkan. Tak ada orang lain yang pantas mempersoalkan tanah ini, selain orang-orang Menoreh sendiri. Tidak seorang pun dari para pengawal yang telah mengenalnya. Gupita. Nama itu pun asing bagi para pengawal. Seandainya benar-benar ia anak Menoreh, pasti salah seorang dari para pengawal itu mengenalnya atau setidak-tidaknya mendengar namanya.”

Tiba-tiba Pandan Wangi mempercepat langkahnya. Tiba-tiba saja ia ingin segera bertemu dengan ayahnya dan menceritakan tentang seorang gembala yang aneh yang telah dijumpainya dua hari berturut-turut.

Ketika Pandan Wangi masuk ke pringgitan, ayahnya masih duduk bersama beberapa orang. Ketika ia membuka pintu, dilihatnya ayahnya itu berpaling. Tetapi sinar mata ayahnya telah mengejutkan hati Pandan Wangi. Mata itu tampaknya terlampau dalam, dan terlampau suram.

Sejenak Pandan Wangi berdiri termangau-mangu, sehingga ayahnya menyapainya, “Darimana kau, Wangi?”

“Dari ujung jalan di mulut desa, Ayah.”

“Kemarilah, Wangi,” suara ayahnya datar, dalam nada yang dalam sekali, “duduklah.”

Pandan Wangi pun kemudian duduk di hadapan ayahnya. Sejenak ia menundukkan kepalanya sambil berdiam diri. Ia menunggu ajahnya mendahului bertanya kepadanya. Tetapi ternyata ayahnya tidak bertanya lagi. Yang didengarnya adalah keterangan ayahnya tentang pembicaraan yang telah dibicarakannya dengan para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin pengawal.

“Pandan Wangi,” berkata ayahnya, “kau sudah cukup dewasa. Kau tidak boleh tetap pada angan-angan seorang gadis kecil yang sedang bermain-main. Tanah perdikan ini sekarang sedang dibakar oleh suasana yang semakin panas. Setiap saat dapat meledak peristiwa-peristiwa yang tidak kita kehendaki. Dan kau tahu, bahwa nanti malam aku telah mengikat janji dengan Ki Tambak Wedi. Janji itu harus aku tepati. Aku harus datang ke bawah Pucang Kembar, untuk membuat perhitungan pribadi. Meskipun persoalan yang berkembang kini adalah persoalan antara Menoreh dan Pajang, yang menyangkut diri kakakmu, Sidanti, tetapi masalah pribadilah yang telah meledakkan hati kami masing-masing, sehingga kami telah melontarkan janji tanpa dapat kami kendalikan lagi.”

Ayahnya berhenti sejenak. Sesaat ia berdiam diri sambil memandangi anyaman tikar di bawah kakinya. Sejenak kemudian, suaranya yang datar terdengar lagi mengambang, “Pandan Wangi. Semuanya akan mungkin terjadi. Tentang tanah ini dan tentang diriku sendiri. Karena itu, aku minta kalian selalu bersiaga. Mungkin Sidanti dan Argajaya akan menggunakan kesempatan selagi aku berada di bawah Pucang Kembar bersama Ki Tambak Wedi. Karena itu, selagi aku pergi, Pandan Wangi, kau harus tetap berada di rumah ini untuk memegang segenap pimpinan, bersama para pemimpin pengawal. Kau dapat mendengar nasehat mereka. Kau pertimbangkan, kemudian kau dapat mengambil keputusan yang kau anggap baik. Lakukanlah menurut kata hatimu, Kau tidak perlu menunggu aku lagi. Juga seandainya malam nanti ayah tidak kembali.”

“Ayah,” suara Pandan Wangi terpotong di kerongkongan.

“Sudah aku katakan. Kau bukan anak-anak lagi. Kau bukan seorang gadis yang sedang menunggu kekasih merantau. Kau adalah seorang putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang telah sanggup membawa sepasang pedang di kedua lambungnya. Nah, hatimu harus sesuai dengan sikapmu, dengan pedangmu dan dengan kedudukanmu sebagai seorang pewaris satu-satunya Tanah Perdikan Menoreh. Apakah kau mengerti?”

Sejenak Pandan Wangi tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun, Tetapi gelora di hatinya justru menjadi semakin keras melanda dinding jantung. Pesan ayahnya itu terdengar olehnya, seolah-olah ayahnya minta diri kepadanya, untuk tidak kembali lagi. Memang kemungkinan yang demikian itu dapat terjadi di dalam perang tanding. Salah seorang akan terbunuh. Dan siapakah yang akan tertunuh itu, tidak seorang pun yang tahu.

Argapati melihat kecemasan di hati puterinya. Tetapi hal itu adalah hal yang wajar sekali. Namun ia harus mencoba memberinya sedikit pengharapan. Katanya, “Pandan Wangi. Sudah berulang kali aku katakan. Aku tidak akan menyerahkan leherku sukarela. Aku akan bertahan. Aku tahu, siapakah orang yang bergelar Tambak Wedi itu, sehingga aku dapat menduga, apakah yang akan terjadi kemudian. Meskipun demikian, semuanya terserah kepada kekuasaan Yang Tunggal. Namun sejauh mungkin kita memang harus berusaha.”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

“Hadapilah hari depanmu dengan dada tengadah, Wangi,” berkata ayahnya kemudian, “semuanya akan dapat kau atasi, apabila kau berusaha sungguh-sungguh sambil berdoa kepada Yang Maha Esa.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “sekarang biarlah aku beristirahat. Aku akan mencoba mengumpulkan tenaga dan kekuatanku. Aku juga akan berdoa supaya aku mendapat perlindungan. Aku tidak akan berbuat seperti saat ini, mengumpulkan para pemimpin dan memberimu terlampau banyak pesan, seandainya keadaan tanah ini tidak sedang panas seperti ini. Seandainya janji itu tidak kami ucapkan dalam kemelutnya asap perpecahan di tanah perdikan ini, maka aku tidak akan memberitahukannya kepada siapa pun juga. Tetapi kali ini tidak mungkin, sebab keadaan akan berkembang di luar kemungkinan aku tangani sendiri selagi aku sedang berada di bawah Pucang Kembar. Itulah sebabnya aku berpesan kepadamu dan kepada para pemimpin tanah perdikan ini dan para pemimpin pengawal. Tetapi kau tidak perlu menjadi cemas. Kau harus bersikap benar-benar seperti seorang putra Kepala Tanah Perdikan. Kalau kau menjumpai goncangan-goncangan perasaan, dan kau tenggelam di dalamnya, maka seluruh tanah ini akan tenggelam pula. Karena itu, kau harus tetap tabah. Kau harus mampu menguasai perasaanmu, supaya kau dapat berbuat sebaik-baiknya demi tanah yang kita pertahankan ini.”

Pandan Wangi masih menundukkan kepalanya. Ia masih tetap diam. Namun ia berjanji di dalam hatinya, akan melakukan segala pesan ayahnya.

“Wangi,” berkata ayahnya, “kau jangan pergi lagi. Kau harus selalu berada di rumah, supaya kau melihat aku meninggalkan rumah ini.”

Pandan Wangi mengangkat wajahnya. Dengan mata yang basah, dipandanginya wajah ayahnya yang suram. Dan ia mendengar ayahnya berkata, “Jangan kau basahi pipimu dengan air mata. Itu adalah tingkah laku seorang gadis manja. Kau bukan seorang gadis manja, dan kau bukan seorang gadis cengeng. Kau adalah seorang gadis dengan sepasang pedang di lambungmu.”

Sekali lagi Pandan Wangi tertunduk dalam-dalam. Ia tidak dapat memandangi wajah ayahnya. Terasa getaran yang asing menyentuh dinding hatinya.

Pandan Wangi itu masih mendengar beberapa nasehat ayahnya, sehingga akhirnya ayahnya merasa cukup. Maka katanya kemudian, “Sudahlah. Tinggallah kau di sini bersama para pemimpin tanah ini. Aku akan pergi ke dalam bilikku.”

Gadis itu menganggukkan kepalanya. Diawasinya saja ketika ayahnya kemudian melangkah meninggalkan pertemuan itu. Terasa matanya menjadi panas dan pandangannya menjadi kabur. Ayahnya seolah-olah melangkahkan kakinya masuk ke dalam asap putih yang tebal. Semakin lama menjadi semakin suram. Sehingga pada suatu saat ayahnya itu seolah-olah hilang dari pandangan matanya, tepat pada saat ayahnya melangkahi pintu, masuk ke ruang dalam.

Bersamaan dengan itu, terasa setitik air jatuh di pangkuannya. Baru disadarinya, bahwa air matanyalah yang telah menghalangi pandangannya. Bukan kabut yang putih dan bukan asap yang menelan tubuh ayahnya.

Dengan lengan bajunya, Pandan Wangi mengusap air matanya. Tetapi ketika kemudian disadarinya dirinya, di mana ia sedang berada, maka ia mencoba berjuang sekuat-kuatnya untuk tidak menangis.

Disekitarnya duduk beberapa orang pemimpin tanah perdikan dan pemimpin pengawal yang terpenting. Namun tidak seorangpun yang berbicara. Mereka tenggelam dalam kediaman, Masing-masing menundukkan kepala mereka.

Namun dengan-demikian, dada Pandan Wangi menjadi sesak. Kediaman itu terasa terlampau tegang menghimpit dadanya. Karena itu, maka ingin ia pergi meninggalkan ruangan itu, dan berjalan di luar untuk melepaskan diri dari kepengapan udara yang menyesakkan nafasnya.

Pandan Wangi menarik nafasnya dalam-dalam sambil mengedarkan pandangan matanya di sekitarnya. Dilihatnya beberapa orang tua duduk termenung. Beberapa orang pengawal dengan pedang di lambung. Seorang yang bertubuh raksasa, masih muda duduk tepekur. Bahkan agak mengantuk. Ketegangan suasana di pringgitan itu, seolah-olah sama sekali tidak mempengaruhinya.

“Hem,” Pandan Wangi berdesah. Ia kenal anak muda yang bertubuh raksasa itu. Ia adalah seorang pemimpin pengawai yang mendapat kepercayaan dari ayahnya, dan dari pempinan-pimpinan pengawal yang lain, karena ketrampilannya bermain senjata dan karena kekuatannya yang luar biasa. Tubuhnya yang tinggi besar, berdada bidang, memberi kesan yang meyakinkan, bahwa anak muda yang bernama Wrahasta itu adalah seorang pengawal yang baik.

Pandan Wangi yang dadanya menjadi semakin sesak itu, tiba-tiba bergumam, tidak ditujukan kepada siapapun, “Aku akan keluar sebentar. Aku akan berada di halaman.”

Anak muda yang bernama Wrahasta itu memandanginya. Kemudian katanya, “Jangan Pandan Wangi. Kau harus tetap berada di ruangan, ini seperti pesan Ki Gede Menoreh. Setiap saat semua persoalan akan dibicarakan di sini. Selama Ki Gede tidak ada, maka kaulah yang harus mengambil keputusan. Aku telah mendapat kepercayaan untuk melindungimu, dalam keadaan yang bagaimanapun juga, bersama beberapa orang pengawal yang lain.”

Dada Pandan Wangi berdesir. Agaknya ayahnya telah membuat persiapan yang matang, untuk menahannya supaya ia tidak pergi keluar padukuhan ini. Bahkan keluar halaman ini. Mungkin ayahnya benar-benar menghendaki agar ia tetap berada di rumah ini untuk memimpin perlawanan, apabila keadaan tiba-tiba saja memburuk selama ayahnya berada di bawah Pucang-Kembar. Tetapi mungkin pula ayahnya sama sekali tidak menghendaki, apabila pergi juga melihat apa yang terjadi di tempat yang telah di janjikan oleh ayahnya dan Ki Tambak Wedi itu.

Karena itu, sejenak Pandan Wangi berdiam diri. Ditatapnya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tubuhnya memang meyakinkan, bahwa ia adalah seorang pengawal yang baik.

Tetapi untuk tetap berada di dalam ruangan itu, Pandan Wangi sama sekali tidak akan dapat betah. Terasa ruangan itu terlampau panas dan sesak. Meskipun sebenarnya bahwa dadanyalah yang terasa pepat.

“Aku akan keluar sebentar,” tiba-tiba Pandan Wangi mengulangi. Seolah-olah ia tidak mendengar kata-kata Wrahasta.

“Jangan,” Wrahasta pun mencegahnya pula, “kau tetap tinggal di sini seperti pesan ayahmu.”

“Ya, aku tidak akan pergi. Tetapi aku tidak tahan berada di dalam ruangan yang panas ini. Aku tidak akan keluar dari halaman ini, apabila memang Ayah menghendakinya. Setiap saat aku dapat dipanggil dan berbicara apa saja di dalam ruangan ini.”

Wrahasta mengerutkan keningnya. Sesaat ia berpaling kepada beberapa orang tua yang berada di dalam ruangan itu. “Bagaimanakah pertimbangan kalian?”

Seorang yang berjanggut putih berkata, “Apabila Angger Pandan Wangi tidak meninggalkan halaman, aku kira Ki Gede Menoreh pun tidak akan berkeberatan. Sebab setiap saat ada perkembangan keadaan Angger Pandan Wangi akan dapat diberitahukannya untuk membuat pertimbangan dan kemudian keputusan apa yang harus dilakukan.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah Pandan Wangi. Tetapi jangan keluar dari regol halaman. Selain itu, aku harus mengawasimu sesuai dengan kepercayaan Ki Gede Menoreh kepadaku.”

Tetapi Pandan Wangi menggelengkan kepalanya, “Tidak usah Wrahasta. Aku tidak akan disergap oleh musuh di dalam halaman ini. Seandainya, ya seandainya demikian, aku akan berteriak memanggilmu.”

“Tetapi aku harus melakukan pesan Ki Gede, Pandan Wangi. Aku harus mengawalmu disetiap keadaan.”

“Sudah tentu maksud Ayah, apabila aku berada di dalam bahaya. Tidak di halaman rumahku sendiri.”

Sekali lagi Wrahasta memandang berkeliling. Dan sekali lagi orang berjanggut putih itu berkata, “Pandan Wangi benar, Wrahasta. Ia memerlukan pengawalan hanya apabila keadaan sangat berbahaya baginya. Tidak di setiap keadaan seperti yang kau katakan, apalagi selama ia berada di halaman rumah ini.”

Wrahasta sekali lagi mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata, “Baiklah, tetapi jangan keluar dari halaman mi. Setiap petugas di regol halaman telah mendapat perintah itu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian, ia merasa tidak lebih dari seorang tahanan daripada seorang wakil Kepala Tanah Perdikan, selagi ayahnya berhalangan melakukan tugasnya. Tetapi dengan demikian, dugaannya menjadi semakin kuat, bahwa yang penting bagi ayahnya, bukan masalah pemecahan setiap masalah yang berkembang apabila ia harus tetap berada di rumah ini, tetapi supaya ia tidak pergi ke Pucang Kembar melihat pertempuran itu.

Sesaat kemudian, Pandan Wangi itupun meninggalkan ruangan yang dirasanya terlampau panas itu. Ketika kakinya melangkahh turun ke halaman, terasa udara yang sejuk menyusup ke dalam tubuhnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihat matahari telah condong ke barat.

Tiba-tiba saja dadanya berdebar kembali. Saat purnama tidak akan terlalu lama lagi. Begitu matahari tenggelam, maka datanglah saat yang mendebarkan jantung itu.

Dalam kegelisahannya, Pandan Wangi berjalan menyusuri sudut-sudut rumahnya. Ketika ia sampai di muka pintu dapur, dilihatnya beberapa orang perempuan lagi sibuk menyiapkan makan, lebih-sibuk dari hari-hari biasa.

Pandan Wangi terkejut, ketika seorang perempuan setengah umur menegurnya, “Kau belum makan, Wangi.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi ia sama sekali tidak merasa lapar. Karena itu, maka jawabnya, “Aku tidak makan.”

“Makanlah, supaya kau menjadi segar.”

Pandan Wangi menggeleng. Langkahnya kemudian diteruskannya menuju ke halaman belakang. Menyusup di antara tanaman di kebun. Pohon buah-buahan dan batang-batang perdu yang rimbun. Namun di halaman belakang itupun dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga di depan regol-regol butulan.

Panas udara telah membawa Pandan Wangi duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun. Terasa angin yang sejuk mengusap tubuhnya yeng penat.

Tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara seruling mengalun lirih, seakan-akan menyusur sepanjang silirnya angin. Suara seruling yang menyentuh-nyentuh dinding hatinya. Ia tidak tahu, pengaruh apakah yang telah mencengkamnya. Tetapi suara seruling itu telah mendebarkan jantungnya.

Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri. Ditangkapnya suara seruling itu selengkapnya. Nadanya yang meninggi, kemudian perlahan-lahan menurun, seperti debar dada seorang gadis yang menunggu kedatangan kekasih.

Tetapi sejenak kemudian, Pandan Wangi itu terkejut, ketika ia mendengar suara gemersik di belakangnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Wrahasta yang bertubuh raksasa itu telah berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Sejenak mereka saling memandang, namun sejenak kemudian, Pandan Wangi melemparkan tatapan matanya ke kejauhan, sambil bertanya, “Apakah Ayah memanggil aku?”

Perlahan-lahan anak muda yang bertubuh raksasa dan bernama Wrahasta itu menggelengkan kepalanya. Namun tatapan matanya masih saja melekat pada wajah Pandan Wangi, sehingga Pandan Wangi pun kemudian terpaksa menundukkan kepalanya.

“Tidak, Wangi,” jawab Wrahasta itu kemudian. “Ayahmu tidak memanggilmu.”

“Kenapa kau menyusul aku? Apakah ada sesuatu yang penting yang harus dibicarakan?”

Wrahasta tampak ragu-ragu. Tanpa sesadarnya dilayangkannya pandangan matanya ke sekelilingnya. Namun ia tidak segera menjawab. Wajahnya tampak berkerut-merut, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat.

Pandan Wangi menjadi heran melihat sikap Wrahasta itu. Ia kenal betul kepadanya, karena anak muda itu terlampau sering berada di rumahnya. Sebagai seorang pengawal yang mendapat kepercayaan melampaui orang lain, maka setiap kali Wrahasta mendapat tugas-tugas dari ayahnya, sehingga dengan demikian, anak muda yang bertubuh raksasa itu sering benar berada di antara keluarganya. Tetapi ia tidak pernah melihat sikap yang begitu aneh dan kaku.

“Pandan Wangi,” berkata Wrahasta kemudian dengan suara gemetar, “memang ada hal yang harus kita bicarakan.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Maka jawabnya, “Baiklah. Aku akan segera kembali.”

“Tidak Wangi, Tidak. Aku tidak akan membicarakannya dengan orang lain, selain dengan kau sendiri.”

Pandan Wangi menjadi semakin heran. Apalagi ketika ia melihat keringat yang semakin banyak mengalir di kening Wrahasta yang tinggi besar dan berdada bidang itu.

“Kenapa tidak dengan orang lain?” bertanya Pandan Wangi.

“Persoalan ini sama sekali bukan persoalan orang lain, Wangi. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kita berdua. Hanya kita berdua.”

“Aku tidak mengerti,” desis Pandan Wangi kemudian, “aku tidak mempunyai persoalan dengan kau, Wrahasta.

“Mungkin. Mungkin kau merasa bahwa kau tidak mempunyai persoalan dengan aku. Tetapi aku lain, Wangi. Aku merasa mempunyai persoalan dengan kau,” Wrahasta berhenti sejenak. Wayahnya kini menjadi tegang dan nafasnya menjadi terengah-engah. Sejenak kemudian dilanjutkannya, “Persoalan ini tidak langsung menyangkut keadaan tanah perdikan di masa yang menegangkan ini. Tetapi mau tidak mau, persoalan ini akan sangat berpengaruh.”

“Apakah persoalan yang kau maksud itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Wangi. Aku tidak tahu, kenapa ayahmu menyerahkan rumah ini dalam perlindunganku. Di tanah perdikan ini ada beberapa orang yang mendapat kepercayaan dari ayahmu selain aku. Tetapi Ki Gede justru menyerahkannya kepadaku.” Wrahasta itu berhenti sejenak, lalu, “Dan penyerahan itu telah membuat jantungku berdebar-debar. Sudah lama aku mengenal kau, Wangi. Tetapi aku tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara. Dan aku memang tidak sering berbicara. Namun dalam kediaman itu, aku telah menyimpan sesuatu di dalam hatiku Wangi. Apakah kau dapat menangkap maksudku?”

Kini terasa jantung Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Dalam keadaan serupa ini, ia mendengar persoalan yang lain sekali dengan persoalan yang selama ini membuat darahnya serasa bergolak. Sebagai seorang gadis yang lelah meningkat dewasa, Pandan Wangi segera dapat menangkap maksud Wrahasta. Tetapi sebagai seorang gadis yang belum pernah mendengar kata-kata serupa itu, maka bajunya telah dibasahi oleh keringat dingin, yang seolah-olah mengalir dari setiap lubang di kulitnya.

“Pandan Wangi,” Wrahasta berkata seterusnya, “aku ingin mendengar tanggapanmu tentang perasaanku. Perasaanku sebagai seorang laki-laki terhadap seorang gadis. Aku mempunyai tangkapan, bahwa ayahmu sengaja mempertemukan kita di dalam keadaan yang sulit ini. Aku tahu benar, bahwa apa yang dipikirkannya semata-mata diperuntukkannya bagi tanah perdikan ini. Aku kira hal inipun telah dihubungkannya dengan kepentingan itu pula. Supaya aku selalu dapat melindungimu, tidak hanya sekedar di saat-saat yang kemelut ini, maka aku harap kau dapat menerimainya.”

Debar jantung Pandan Wangi menjadi semakin cepat berdentang, seolah-olah menggelepar di dalam dadanya. Sesaat ia tidak dapat mengucapkan kata-kata. Ia membeku, seperti sebatang tonggak mati. Namun keringatnya mengalir seperti terperas dari dalam tubuhnya.

“Aku ingin mendengar jawabmu, Wangi.”

Pandan Wangi masih belum mampu menjawab. Bahkan kemudian kepalanya menjadi semakin menunduk.

“Wangi. Jawablah, supaya aku dapat berbuat apa saja untukmu, dan untuk tanah perdikan ini. Hidup matiku akan aku serahkan sepenuhnya untuk kepentinganmu dan kepentingan tanah ini. Seandainya aku mati sebelum aku dapat memenuhi keinginan ini, tetapi apabila aku sudah mendengar kesanggupanmu, aku akan rela. Aku merasa bahwa aku berkorban untuk sesuatu yang paling berharga bagiku. Kau dan tanah ini.”

Terasa kini tubuh Pandan Wangi menjadi gemetar. Ia tidak menduga sama sekali, bahwa ia akan di hadapkan pada persoalan ini begitu tiba-tiba. Justru pada saat hatinya dicengkam oleh kegelisahan dan kecemasan tentang nasib ayahnya sebentar lagi. Sebentar lagi, apabila matahari tenggelam dan purnama naik. Pada saat itulah, akan terjadi suatu peristiwa yang dahsyat bagi keluarganya.

“Jawablah Wangi,” desak Wrahasta, “aku ingin mendengarnya, meskipun aku sudah dapat menduga sebelumnya. Kau pasti tidak akan ingkar dari keinginan ayabmu. Ingat, bahwa kau telah diserahkan kepadaku.”

Pandan Wangi kini menjadi semakin bingung. Persoalan yang begitu tiba-tiba di hadapkan kepadanya, menambah hatinya menjadi semakin pepat.

“Jawablah. Jawablah Wangi, meskipun hanya sepatah kata.”

Tubuh Pandan Wangi menjadi semakin gemetar mendengar desakan itu. Namun ia sadar, bahwa ia harus menjawab. Karena itu, maka setelah berjuang sejenak ia menjawab, “Tunggulah Wrahasta. Kita sedang menghadapi bahaya yang besar.”

Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar melihat wajah Wrahasta menegang. Tampaklah kekecewaan yang sangat, memancar dari sepasang matanya, Sejenak ia berdiri mematung. Dipandanginya Pandan Wangi, seolah-olah hendak dilihatnya langsung ke dalam hatinya.

Sejenak keduanya terdiam. Terasa angin yang sejuk mengalir menyentuh dedaunan. Namun keduanya sama sekali tidak mengacuhkannya.

Baru ketika Wrahasta telah sempat mengatur perasaannya, maka terdengar ia berkata, “Pandan Wangi. Jangan membuat aku kecewa. Sebentar lagi aku harus menghadapi pekerjaan yang terlampau berat. Karena itu, berilah aku kekuatan, supaya aku tidak ragu-ragu mengangkat senjata. Aku tidak tahu, sampai di mana kemampuan Sidanti kini bermain dengan senjata. Tetapi apabila mungkin, aku akan mencobanya. Untuk kepentinganmu dan kepentingan tanah ini, mudah-mudahan aku dapat menghancurkannya.”

Dada Pandan Wangi berdesir mendengarnya. Ia tahu benar, betapa besar kemampuan kakaknya Sidanti dalam olah kanuragan. Dan ia dapat pula mengira-kirakan, sampai di mana kemampuan Wrahasta itu.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak menyatakannya. Ia tidak ingin mengecewakan Wrahasta dalam menilai diri. Tetapi sudah tentu ia tidak akan segera dapat menjawab pertanyaannya itu.

“Berjanjilah Wangi. Aku tidak terikat dan mengikatkan diri kepada waktu. Seandainya kau masih ingin hidup sebagai seorang gadis setahun, dua tahun, bahkan sepuluh tahun sekalipun. Aku akan tetap menunggumu. Yang ingin aku dengar sekarang adalah janji kesanggupanmu untuk hidup bersamaku kelak, seperti yang diharapkan oleh ayahmu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk, Perlahan-lahan ia menjawab, “Wrahasta, aku tidak akan dapat memutuskannya sendiri. Aku harus berbicara dengan Ayah lebih dahulu.”

“Wangi,” sahut Wrahasta, “apakah kau masih meragukan keinginan ayahmu? Kau harus tanggap akan sasmita yang telah diberikan. Dalam keadaan yang kalut ini, kau diserahkan kepadaku. Kepada perlindunganku, justru pada saat Ki Gede akan melakukan suatu pekerjaan yang sangat berbahaya.”

“Tetapi Ayah belum pernah mengatakannya kepadaku. Sama sekali belum. Bahkan menyinggung mengenai masalah itupun belum, yang selalu dikatakannya setiap hari adalah keadaan yang panas ini, yang setiap saat dapat membakar Tanah Perdikan Menoreh menjadi abu.”

“Justru saat ini adalah saat yang paling tepat bagi Ki Argapati untuk menyatakan keinginannya itu. Kita tidak menginginkan sesuatu terjadi atasnya, Wangi. Tetapi agaknya Ki Argapati sendiri tidak ingin kau kehilangan akal apabila terjadi sesuatu. Kau sudah di sandarkan pada sandaran yang dikehendaki. Dan aku akan mencoba untuk berbuat sebaik-baiknya.”

“Berilah aku kesempatan berpikir, Wrahasta.”

“Waktunya telah datang sekarang. Sebentar lagi Ki Argapati akan pergi ke bawah Pucang Kembar itu.”

Pandan Wangi menjadi semakin terdesak. Ia sadar, bahwa Wrahasta adalah seorang pemimpin pasukan pengawal tanah perdikan yang berpengaruh. Terutama atas anak-anak mudanya. Saat ini sebagian dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah dipengaruhi olen Sidanti, dan memihak kepadanya. Apabila Wrahasta ini menjadi kecewa, dan meninggalkan ayahnya, maka kekuatan ayahnya pasti akan menjadi semakin jauh berkurang. Sedang agaknya Sidanti sama sekali tidak lagi mengingat tanggung jawabnya atas tanah ini dengan mengundang orang-orang yang sama sekali tidak dikenal, untuk ikut serta mengeruhkan keadaan di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam keragu-raguan yang mencengkam itu, lamat-lamat Pandan Wangi mendengar suara seruling di kejauhan. Melonjak, memekik tinggi, kemudian hilang dibawa angin dari Selatan. Sejenak kemudian, suara itu melengking dan menjerit.

Suara seruling itu seolah-olah seperti suara yang menggelora di dalam dadanya sendiri. Menjerit, kemudian pepat dan sama sekali kehilangan arah.

Karena Pandan Wangi masih juga membisu, maka terdengar Wrahasta mendesaknya, “Kenapa kau diam saja, Wangi? Matahari semakin lama menjadi semakin rendah. Kita akan kehabisan waktu.”

“Tidak. Kita tidak akan kehabisan waktu. Waktu masih terlampau panjang.”

“Wangi,” Wrahasta melangkah setapak maju. Dan tanpa disadarinya Pandan Wangi pun surut setapak.

“Aku ingin mendengar jawabmu sekarang.”

Pandan Wangi menjadi semakin bingung. Ingin ia berteriak keras-keras seperti suara seruling yang memekik-mekik di kejauhan. Ia kini benar-bener terdorong ke sudut yang paling sulit. Ia harus memilih. Sedang pilihan itu semuanya tidak menyenangkannya. Ia tidak dapat menolak dan mengecewakan Wrahasta. Tetapi ia masih belum sempat membuat pertimbangan-pertimbangan untuk menerima pernyataan itu. Ia masih belum sempat menjajagi hatinya, apakah ia dapat membuka perasaannya untuk anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Kesulitan itu telah membuat kepala Pandan Wangi menjadi pening. Apalagi ketika ia melihat matahari sudah menjadi semakin rendah. Hampir-hampir ia menangis seperti anak-anak yang kehilangan permainan.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar suara berdesir. Ketika ia berpaling, dilihatnya Samekta datang mendekatinya.

“Paman,” desis Pandan Wangi tanpa sesadarnya.

Wrahasta pun kemudian berpaling pula. Tampaklah betapa wajahnya diwarnai oleh kekecewaan yang tidak terkatakan. Sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau kemari?”

Samekta mengerutkan keningnya. Dipandanginya Wrahasta berganti-ganti dengan Pandan Wangi. Ia tidak tahu, apakah yang sudah terjadi, tetapi karena ia melihat seorang anak muda dan seorang gadis berdua saja, maka tiba-tiba ia tersenyum. Katanya, “Maafkan, apabila aku mengganggu. Tetapi aku terpaksa memotong pertemuan kalian.”

Sepercik warna merah memulas wajah Pandan Wangi. Sebagai seorang gadis yang masih sedang meningkat dewasa, maka sindiran itu telah membuatnya sangat berdebar-debar. Sejenak dipandanginya Samekta dengan sudut matanya, namun sejenak kemudian kepalanya telah tertunduk pula. Dalam sekali.

Dalam pada itu, wajah Wrahasta pun terasa menjadi panas. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal mendengar gurau itu. Bahkan kemudian ia tersenyum sambil berkata sendat, “Ah, jangan mengganggu. Kami tidak sengaja bertemu di sini.”

Samekta masih juga tersenyum. Dipandanginya wajah Pandan Wangi yang tertunduk dan kemerah-merahan. Kemudian dipandanginya wajah anak muda yang bertubuh raksasa itu. Tanpa disadarinya, terasa sesuatu berdesir di dadanya. Wajah anak muda itu agaknya terlampau keras dibanding dengan wajah Pandan Wangi yang lembut, meskipun kerut keningnya menunjukkan ketajaman pikirannya.

Meskipun demikian, meskipun sendau gurau itu menyenangkan hati Wrahasta, namun ia diganggu pula oleh perasaan kecewa, karena kehadiran pemimpin pengawal yang sudah setengah umur itu. Karena itu maka sekali lagi ia bertanya, “Apakah keperluanmu kemari?”

Samekta masih ingin bergurau, “kalau begitu, aku tidak akan menahan kau lebih lama di sini. Akulah yang akan tinggal di sini lebih lama,” jawab Samekta sambil tersenyum.

“Ah,” sekali lagi Wrahasta, berdesis.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Ia tidak tahu, perasaan apa yang bergolak di dalam dadanya. Tetapi ia sama sekali tidak senang mendengar sindiran-sindiran itu. Ia tidak merasakan kejenakaannya sama sekali. Bahkan sendau gurau itu sangat menjengkelkannya.

“Tetapi,” Wrahasta kemudian berkala dengan suara bergetar, “apakah tugasmu sudah selesai.”

Samekta menggelengkan kepalanya, “Belum. Tugasku belum selesai.”

“Aku tidak akan mengganggu tugasmu, Paman Samekta. Lakukanlah. Nanti pada saatnya, aku akan menggantikanmu dengan kelompokku.”

“Terima kasih Wrahasta. Aku akan melakukan tugasku. Tetapi aku terpaksa minta maaf kepadamu, bahwa aku sedikit mengganggumu.” Samekta berhenti sejenak, lalu ia berpaling kepada Pandan Wangi, “Maaf Ngger. Aku terpaksa mengganggu. Tetapi adalah tugasku saat ini. Ayahmu memanggilmu sekarang.”

Terasa seolah-olah dada Pandan Wangi yang sedang membara itu tersiram air. Dengan serta-merta ia bertanya, “Ayah memanggil aku sekarang?”

Samekta terdiam sejenak. Ia menjadi ragu-ragu, tetapi akhirnya ia menganggukkan kepalanya sambil menjawab, “Ya. Ayahmu memanggilmu sekarang. Aku terpaksa menyampaikan ini kepadamu.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa terlepas dari himpitan pertanyaan yang paling sulit untuk dijawabnya. Maka katanya terbata-batta, “Baik. Baik Paman. Aku akan menghadap Ayah.”

Samekta mengerutkan keningnya. Ternyata ia salah mengerti. Disangkanya Pandan Wangi menjadi sangat kecewa atas panggilan itu, sehingga katanya, “Maaf Ngger. Aku hanya sekedar menyampaikannya.”

Sebelum Pandan Wangi menyahut, maka Wrahasta telah mendahuluinya, “Baiklah, Paman Samekta. Katakanlah kepada Ki Argapati, bahwa sebentar lagi Pandan Wangi akan menghadap.”

Samekta mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Tetapi Ki Argapati memanggilnya sekarang. Lihatlah, matahari telah menjadi terlampau rendah. Hampir tidak ada waktu lagi baginya. Sebentar lagi ia harus pergi. Sebelum purnama naik, Ki Argapati harus sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

“Ya, ya, aku tahu,” sahut Pandan Wangi, “aku akan kembali sekarang. Ayah harus segera pergi.”

“Tetapi,” potong Wrahasta, “apakah kau dapat menunggu sebentar, Wangi?” Lalu kepada Samekta ia berkata, “Dahululah Paman. Katakan kepada Ki Gede. Sebentar lagi kami akan datang.”

“Sekarang,” Pandan Wangi memotong, “sekarang. Tidak ada waktu lagi.”

Samekta menjadi bingung. Ia tidak mengerti, kenapa keduanya tidak sependapat. Tetapi ia tidak sempat untuk berpikir, karena Pandan Wangi kemudian telah melangkah mendahuluinya.

“Pandan Wangi, tunggulah,” panggil Wrahasta. Tetapi Pandan Wangi tidak berhenti, sehingga Wrahastalah yang harus berjalan menyusulnya.

Samekta masih berdiri di tempatnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia menjadi bingung. Namun kemudian sambil meraba-raba janggutnya, ia berdesis, “Anak-anak muda memang terlampau aneh.” Tetapi sejenak kemudian ia mengerutkan keningnya sambil berdesah, “Dalam keadaan semacam ini, masih juga mereka sempat memikirkan diri mereka sendiri.”

Wrahasta yang kemudian telah berada di samping Pandan Wangi, mendesaknya pula, “Katakan Wangi. Katakan, satu kata saja. Aku hanya ingin mendengar satu kata saja.”

“Tunggulah Wrahasta. Tunggulah. Pada saatnya aku akan menjawab.”

“Tetapi bagaimana jawabmu itu.”

“Aku belum tahu Wrahasta. Aku akan memikirkannya, apabila persoalan tanah perdikan ini sudah selesai.”

“Tetapi, tetapi aku memerlukannya sekarang. Aku memerlukannya sebelum ujung pedang Sidanti atau Ki Tambak Wedi membekas pada kulitku.”

Dada Pandan Wangi serasa akan bengkak. Tetapi ia justru terdiam sejenak.

“Wangi,” desak Wrahasta.

“Sst,” Pandan Wangi berdesis, “kita akan dilihat oleh banyak orang. Biarlah aku berjalan sendiri.”

“Tetapi kau belum menjawab, Wangi. Kau belum menjawab.”

Pertanyaan-pertanyaan yang meluncur seperti hujan yang tercurah dari langit itu membuat Pandan Wangi mendadi semakin bingung. Dadanya serasa menjadi pepat, dan nafasnya serasa sesak. Wrahasta masih saja mendesaknya dan berjalan di sampingnya.

“Wrahasta,” berkata Pandan Wangi kemudian, “biarlah aku berjalan sendiri. Bukankah kurang baik dilihat orang, apabila kita berjalan bersama-sama.”

“Aku pengawalmu, sesuai seperti yang dikehendaki oleh Ki Argapati. Meskipun demikian, aku akan berhenti di sini kalau kau sudah menjawab pertanyaanku.”

“Jangan membuat aku menjadi sangat bingung Wrahasta. Sebentar lagi Ayah akan pergi. Seolah-olah Ayah akan terjun ke dalam kegelapan. Tak seorang pun tahu, apakah yang ada di dalamnya. Di dalam kegelapan itu. Sekarang kau membuat persoalan yang membuat aku menjadi semakin pening. Kalau kau menaruh sedikit pengertian tentang keadaanku, Wrahasta, aku harap kau menunda pertanyaanmu itu.”

“Tetapi apakah aku akan dapat menyimpan harapan, seandainya aku menunda pertanyaan ini?

“Pertanyaan itu tidak ada bedanya. Simpanlah semua persoalan di dalam hati.”

“Aku ingin tahu Pandan Wangi.”

Pandan Wangi merasa semakin terdesak. Ia tidak melihat jalan untuk keluar dari persoalan itu. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak dapat menolaknya. Karena di dalam kepepatan hati, Pandan Wangi menjawab sekenanya, “Simpanlah harapanmu itu, Wrahasta.”

Jantung anak muda yang bertubuh tinggi tegap, berdada bidang, dan berbulu lebat di dadanya itu berdesir. Dengan serta-merta ia bertanya, “Jadi aku dapat menyimpan harapan kepadamu Wangi.”

Dada Pandan Wangi yang semakin pepat itu menjawab, “Setiap orang harus berpengharapan bagi masa depannya.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Terima kasih Pandan Wangi. Aku sudah puas untuk sementara mendengar jawabmu. Aku harap kau tidak ingkar.”

Kini dada Pandan Wangi-lah yang berdesir. Ia sadar, bahwa jawabannya telah menimbulkan salah mengerti. Tetapi ketika ia ingin menjelaskannya, Wrahasta telah mendahului, “Aku kini sudah siap, Pandan Wangi. Siap untuk berbuat apa saja untukmu dan tanah perdikan ini. Apapun yang harus aku lakukan, aku telah bersedia dengan dada tengadah. Kau adalah pewaris satu-satunya atas tanah ini. Semua persoalanmu adalah persoalanku. Seperti yang dikehendaki oleh Ki Gede Menoreh.”

Pandan Wangi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menjawab. Wrahasta itu segera meloncat meningalkannya. Langkahnya ringan, seperti seekor burung yang berloncatan menyambar bilalang. Dalam sekejap kemudian, Wrahasta itu sudah hilang di balik dedaunan yang rimbun di halaman belakang rumah Pandan Wangi.

Pandan Wangi kemudian berdiri termangu-mangu. Tiba-tiba hatinya menjadi terlampau gelisah. Beberapa macam persoalan bercampur-baur, menggelegak di dalam dadanya. Tanpa sesadarnya, telapak tangannya di letakkannya di dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun sesaat kemudian terasa setitik air meleleh dari pelupuk matanya.

Tetapi sejenak kemudian, seperti orang yang terbangun dari mimpinya, ia menggeram. Mimpinya terlampau mencemaskannya. Namun kini ia sadar, bahwa ayahnya sedang menunggunya. Sebentar lagi ayahnya akan pergi ke bawah Pucang Kembar. Persoalan itu jauh lebih penting dan berharga dari persoalannya sendiri. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera berlari-lari mendapatkan ayahnya yang duduk di antara beberapa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Ternyata di sana telah duduk pula Wrahasta yang masih terengah-engah. Dan sekejap kemudian masuk pula Samekta.

Ternyata orang tua itu telah mengikutinya, dan mendengar semua percakapannya dengan Wrahasta. Orang yang telah cukup menyimpan pengalaman itu segera dapat mengerti, persoalan yang tumbuh diantara Wrahasta dan Pandan Wangi. Di dalam hatinya ia bergumam, “Kasihan Angger Pandari Wangi.” Tetapi untuk sementara Samekta tidak dapat mencampurinya. “Apabila persoalan itu dapat mereka selesaikan sendiri, biarlah mereka selesaikan,” katanya di dalam hati.

Ketika Pandan Wangi berada di dalam lingkungan para pemimpin tanah perdikan itu, ayahnya telah bersiap untuk memenuhi janjinya. Telah dikenakannya pakaian keprajuritannya ,yang telah lama disimpannya. Di pangkuannya terletak sebatang tombak pendek yang masih berada di dalam selosong putih. Namun Pandan Wangi kini melihat perubahan pada wajah ayahnya. Wajah itu tiba-tiba tampak menjadi cerah dan seolah-olah bahkan berseri-seri. Ia melihat senyum yang tergores pada bibir ayahnya. Dan sejenak kemudian Pandan Wangi mendengar ayahnya berkata, “Wangi, semua persiapan telah selesai. Aku tinggal menunggu matahari merendah di atas bukit, kemudian aku akan pergi ke Pucang Kembar untuk memenuhi janjiku.”

Pandan Wangi tidak segera menyahut. Tanpa disadarinya, matanya menyentuh sorot mata Wrahasta, yang seolah-olah membakar dadanya, sehingga dengan serta-merta kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Aku sudah cukup memberikan pesan kepada semua orang yang aku anggap penting di sini. Kepada orang-orang tua, kepada para pemimpin pengawal, dan kepadamu, Wangi. Sepeninggalku, maka kaulah yang akan memegang semua kekuasaan atas tanah ini, sampai aku datang kembali. Apabila sepeninggalku ada perkembangan yang cepat melanda tanah ini, maka kaulah yang harus memutuskan, apakah yang sebaik-baiknya kau kerjakan. Di sini ada beberapa orang yang akan mengawanimu di dalam segala pertimbangan. Dalam tata pemerintahan kau dapat berbicara dengan orang-orang tua. Sedang dalam persoalan keamanan tanah, ini kau dapat berbicara dengan para pemimpin pengawal. Aku telah menyerahkan pimpinan keselamatan rumah ini dengan segala isinya kepada Wrahasta. Sedang untuk persoalan yang timbul di luar rumah dan halaman, aku serahkan kepada Samekta. Kecuali itu, pemomongmu, Kerti, aku tempatkan di dalam rumah ini, supaya kau selalu dapat berhubungan dengan orang itu. Ia akan merupakan penghubung yang baik pula antara kau dan Samekta. Namun jangan kau lupakan, sebaiknya kau tetap berada di rumah ini. Kau dapat menyerahkan semua persoalan kepada orang-orang yang telah aku serahi tugasnya masing-masing.”

Darah Pandan Wangi serasa menjadi semakin cepat mengalir. Ia tahu benar arti pesan ayahnya. Ia tidak akan dapat meninggalkan halaman rumahnya. Apalagi pergi ke Pucang Kembar. Karena itu maka untuk sejenak ia masih berdiam diri, tanpa menjawab sepatah kata pun.

Ki Gede Menoreh melihat kekecewaan di wajah puterinya. Agaknya Pandan Wangi telah menangkap maksudnya, tetapi Ki Gede tidak punya cara lain. Ia pun tahu benar, bahwa seandainya tidak demikian, putrinya itu pasti akan pergi ke Pucang Kembar. Setidak-tidaknya ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.

“Pandan Wangi,” berkata Ki Gede kemudian, “tidak seorang pun yang akan ikut serta bersamaku. Aku akan pergi seorang diri, karena aku pun yakin, bahwa Ki Tambak Wedi pun akan pergi sendiri pula. Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi yang sekarang masih Ki Tambak Wedi yang dahulu.” Ki Argapati itu terdiam sejenak. Lalu, “Seperti sudah aku katakan, seandainya hal ini tidak bersamaan waktunya dengan kemelut yang mengasapi tanah perdikan ini, maka tidak seorang pun yang boleh tahu, apa yang akan terjadi. Tidak boleh seorang pun mendengar, bahwa akan terjadi perang tanding itu. Tetapi dalam keadaan ini, aku tidak dapat berbuat demikian.”

Pandan Wangi masih tetap diam. Kepalanya tunduk, dan matanya menjadi basah. Ia sangat gelisah dan cemas, tetapi juga sangat kecewa.

“Aku tahu, kau kecewa Wangi,” berkata ayahnya.

Tanpa sesadarnya Pandan Wangi mengangguk. Tanpa sesadarnya ia bergumam, “Sebenarnya aku ingin pergi ke Pucang Kembar, Ayah.”

“Aku sudah tahu,” sahut ayahnya, “karena itu, aku memaksa kau untuk tinggal di sini. Kehadiranmu akan memecahkan pemusatan perlawananku. Mungkin akan berakibat kurang baik bagiku dan bagimu. Tetapi seorang diri, aku akan dapat mempergunakan setiap saat untuk menolong dan memperhatikan diriku sendiri.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Ia dapat mengerti keterangan itu. Tetapi ia tidak dapat melepaskan keinginannya untuk melihat perang tanding itu.

“Karena itu Wangi,” berkata Ki Gede Menoreh seterusnya, “tinggallah di rumah. Mungkin kau akan diperlukan sekali. Mungkin orang-orang Sidanti akan melakukan gerakan justru pada saat aku tidak ada di rumah. Apabila kau tidak ada, maka mungkin kita akan kehilangan segala-galanya. Apakah kau mengerti?”

Sekali lagi Pandan Wangi mengangguk.

“Nah, mudah-mudahan kau benar-benar mengerti.” Ki Argapati berhenti sejenak. Dilemparkan pandangan matanya menembus pintu hinggap di halaman rumahnya. Sinar matahari sudah menjadi terlampau lemah. Dan waktu yang ditentukan telah menjadi terlampau sempit.

“Aku sudah kehabisan waktu,” gumam Ki Argapati, “aku kira sudah saatnya aku berangkat. Mungkin aku akan sampai beberapa saat, sebelum saat yang kami tunggu.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Ketika ia mencoba memandang setiap wajah, maka dilihatnya wajah-wajah itu menjadi tegang. Orang-orang tua dan para pemimpin pasukan pengawal yang berada di ruangan itu agaknya benar-benar terpengaruh oleh keadaan itu. Oleh keberangkatan Ki Gede Menoreh sebentar lagi. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Ki Gede Menoreh sama sekali tidak mau membawa seorang pun untuk mengawaninya. Setidak-tidaknya untuk menjadi saksi dalam perang tanding itu. Ki Gede telah memutuskan untuk melakukannya sebagaimana pernah dilakukan. Sendiri.

Ketika Ki Gede kemudian beringsut, wajah-wajah di dalam ruangan itu menjadi kian menegang. Apalagi ketika kemudian Ki Gede itu berdiri sambil berkata, “Sudah waktunya aku berangkat. Tinggallah kalian pada tugas kalian masing-masing. Aku mengharap bahwa Ki Tambak Wedi cukup jantan.”

Pandan Wangi hampir-hampir tidak dapat menahan diri lagi. Hampir saja air matanya memecahkan pertahanannya. Tetapi Ki Gede yang melihatnya segera berkata, “Pandan Wangi, lepaskan aku sebagaimana seorang laki-laki pergi berperang. Jangan kau lepaskan aku seperti kanak-kanak nakal yang pergi ke ladang orang. Kau pun harus bersikap seperti sikap-sikap yang seharusnya kau perlihatkan. Kau adalah putri Kepala Tanah Perdikan yang kini memegang tampuk pimpinan selama aku tidak di rumah. Ingat, jangan kau tinggalkan rumah ini. Kau harus tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi.”

Pandan Wangi menganggukkan kepalanya. Tetapi tidak sepatah kata pun yang diucapkannya.

Sejenak kemudian, Ki Gede Menoreh itupun melangkahkan kakinya, diikuti oleh setiap orang yang berada di dalam ruangan itu. Perlahan-lahan melintas pendapa, kemudian turun ke halaman. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Pandan Wangi memandanginya. Kemudian terdengar bibirnya berdesis, “Ayah. Tombak itu.”

KI Argapati mengangkat tombaknya. Dipandanginya tombak yang masih berada di selongsongnya itu. Terasa dadanya berdesir. Tombak itu memang bukan tombaknya yang dipergunakan beberapa puluh tahun yang lalu untuk melawan Paguhan. Namun sejenak kemudian ia tersenyum. Katanya, “Tidak ada bedanya Wangi. Keduanya pusaka sipat kandel tanah perdikan ini.”

Pandan Wangi tidak berkata-kata lagi. Ia berjalan dengan lemahnya di belakang ayahnya. Di belakangnya, anak muda yang bertubuh raksasa melangkah dengan tegapnya. Dan di sampingnya, di antara orang-orang lain adalah Samekta, yang sudah agak lanjut usia.

Ketika Argapati sampai di regol halaman rumahnya, sejenak berhenti. Dilayangkannya pandangan matanya berkeliling, seolah-olah ingin dilihatnya sekali lagi sudut-sudut halamannya. Pohon-pohon buah-buahan dan tanam-tanaman perdu yang tersebar menghijau di halaman. Kemudian katanya, “Aku akan berangkat.”

Seorang pekatik maju ke depan orang-orang yang berdiri berjajar itu membawa seekor kuda. Dengan tenangnya Ki Gede Menoreh menerima kendali, lalu dengan tenangnya pula ia meloncat ke atas punggung kuda itu.

“Selamat tinggal,” desisnya, “aku serahkan tanah ini kepada kalian selama aku belum kembali. Mudah-mudahan kita semua selamat. Kita akan selalu bermohon kepada Tuhan.”

Tidak seorang pun yang menjawab. Tetapi setiap pasang mata memancarkan kesediaan yang mantap. Apa pun yang akan terjadi, mereka akan bersedia menjalani. Sampai pada pengorbanan yang tertinggi yang dapat diberikan kepada tanah ini.

Sesaat kemudian, Ki Argapati menarik kendali kudanya. Ketika kuda itu bergerak, maka Ki Gede Menoreh tersenyum sambil berkata, “Kita yakin, bahwa kita berada di pihak yang benar.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Tetapi Ki Gede Menoreh dapat menangkap sorot mata yang memancar dari setiap wajah. Karena itu, maka dengan hati yang tetap ia pun segera berpacu meninggalkan regol halaman rumahnya, melintas lewat lapangan kecil di depan rumahnya, yang biasa disebut alun-alun Menoreh. Debu yang putih mengepul di belakang derap kaki-kaki kudanya.

Ki Gede Menoreh itu semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian hilang di balik dedaunan di seberang alun-alaun kecil itu.

Setiap orang yang berdiri di depan regol halaman rumah Ki Gede itu, menarik nafas dalam-dalam. Betapapun juga, mereka merasa dirayapi oleh kecemasan di dadanya. Mereka memang tidak dapat meramalkan, apa yang akan terjadi. Ki Gede Menoreh dan Ki Tambak Wedi mempunyai kesempatan yang sama. Keduanya dapat menang, dan keduanya dapat kalah dalam perang tanding itu. Tetapi mungkin juga, bahwa perang tanding itu akan berlangsung lebih lama dari semalam suntuk. Mungkin apabila matahari besok terbit di Timur, perang tanding itu masih juga berlangsung. Dan kemungkinan yang lain adalah sampyuh. Keduanya terbunuh dengan luka di tubuh masing-masing.

Pandan Wangi masih berdiri tegak di tempatnya. Tetapi tiba-tiba ia seakan-akan menemukan kekuatan di dalam dirinya. Ketika ia melihat kuda ayahnya berderap, serta melihat debu yang putih nengepul di belakang kaki-kaki kuda itu, terasa sebuah getar menyentuh dadanya. Tiba-tiba ia menemukan tekad yang menyala di dalam dirinya. Dengan dada tengadah ia bergumam di dalam hatinya, “Aku adalah pewaris satu-satunya tanah perdikan ini. Aku harus menyelamatkannya dari setiap bencana yang bakal datang.”

Pandan Wangi itu tersedar ketika ia mendengar suara Wrahasta di belakangnya, “Sudahlah Pandan Wangi. Masuklah. Ki Argapati sudah tidak kelihatan lagi.”

Pandan Wangi mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun melangkah masuk menyusup regol halaman, melintas ke pendapa dan masuk ke dalam pringgitan, diikuti oleh orang-orang tua dan pemimpin-pemimpin pengawal.

Di paling belakang berjalan Samekta dengan wajah yang suram. Ketika dilihatnya Kerli, maka segera digamitnya sambil berbisik, “He, aku ingin berbicara sedikit.”

Kerti berpaling. Jawabnya, “Berbicaralah, Kau tidak berbicara sedikit. Kau biasanya berbicara terlampau banyak.”

Samekta tersenyum. Sudah lama ia mengenal Kerti dengan segala tabiatnya.

“Dengar,” berkata Samekta kemudian, “kau mendapat pekerjaan yang cukup berat dari Ki Gede.”

Kerti mengerutkan keningnya, “Apa?”

“Bukankah kau telah mendengarnya sendiri?”

Kerti tertawa, “Kau membuat aku berdebar-debar. Apakah anehnya tugas itu?”

“Dengar,” berkata Samekta perlahan-lahan, “kau harus melindungi gadis momonganmu itu. Lebih berhati-hati apabila ia pergi berburu. Kau mengerti maksudku?”

Kerti mengerutkan keningnya. Katanya, “Mana mungkin aku mengerti. Tetapi apakah kau bermaksud membuat teka-teki?”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya. Lindungilah gadis itu baik-baik.”

“Kau bergurau. Kau harus tahu, bahwa seharusnya Pandan Wangilah yang akan selalu melindungi aku. Bukan aku yang akan melindunginya. Kemampuannya lipat sepuluh dari kemampuanku berkelahi. O, kalau kau melihat bagaimana ia berkelahi melawan Sidanti, meskipun tidak bersungguh-sungguh, kau pasti akan pingsan.”

“Aku sudah melihat, meskipun tidak langsung. Enam orang-orang liar tidak dapat mengalahkannya segera.”

“He?” Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya, “ya. Kau pernah bercerita. Tetapi, lalu apakah yang harus aku lindungi?”

“Lindunglah perasaannya. Ia sedang dikejar oleh kecemasan tentang ayahnya. Tetapi ia dikejar pula oleh persoalan lain.”

Samekta mengedarkan pandangan matanya. Satu-satu para tetua tanah perdikan dan para pemimpin pengawal telah masuk ke dalam pringgitan.

“Wrahasta. Ia salah paham atas kepercayaan Ki Argapati kepadanya tentang Pandan Wangi. Ia merasa, bahwa ia mendapat kepercayaan bukan sekedar dalam mengemban kewajibannya. Ia merasa bahwa tugas itu merupakan kepercayaan rangkap. Sebagai seorang pengawal yang terpercaya dan sebagai seorang anak muda.”

Kirti mengerutkan keningnya. Dan ia mendengar Samekta berkata selanjutnya tentang anak muda yang bertubuh raksasa itu.

Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kerti berkata, “Kasihan Angger Pandan Wangi. Tetapi aku kira Wrahasta tidak akan dapat berbuat apa-apa atas gadis itu. Tiga sampai lima Wrahasta akan digilasnya dengan ilmu yang diterimanya dari ayahnya.”

“Tetapi Pandan Wangi tidak dapat berbuat demikian. Ia terlalu mementingkan tanah ini, sehingga ia tidak berani menyakiti hati raksasa yang mabuk itu.”

Sekali lagi Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Baik. Aku akan berusaha, bahwa bagi raksasa itu tidak akan ada kesempatan untuk mempersoalkannya lagi selama ini. Aku akan selalu berada di sampingnya. Bukankah aku mendapat tugas di dalam rumah itu, Samekta di luar halaman, tetapi meliputi seluruh tanah ini dengan segala macam bentuknya, dan Wrahasta mendapat tugas di dalam halaman ini. Mengawal dan menyelamatkan segala isinya, termasuk Pandan Wangi dan aku.”

“Hus,” desis Samekta, “pergilah. Sebentar lagi aku akan. meninggalkan halaman ini. Untuk sementara aku akan berada di banjar. Setiap persoalan dengan tanah ini dari segi pengamanannya, hubungilah aku di banjar. Kau tidak usah pergi sendiri. Kau dapat menyuruh satu dua orang yang kau percaya untuk itu, tetapi yang harus sudah aku kenal baik-baik.”

Kerti mengangguk-anggukan kepalanya. Di dalam keadaan yang demikian, maka semua orang harus berhati-hati. Semua menjadi saling bercuriga. Mereka tidak segera dapat membedakan, siapakah lawan mereka masing-masing, dan siapakah yang menjadi kawan. Karena itu, maka setiap orang harus sangat berhati-hati. Mereka harus tahu pasti, apakah mereka tidak berhadapan dengan lawan.

“Aku akan memberi mereka sasmita sandi. Hanya mereka yang memakai sasmita sandilah yang harus kau percaya, “berkata Kerti, “dan sebaliknya orang-orangmu yang menghubungi aku pun, harus memakai sasmita sandi yang serupa.”

“Bagus, “jawab Samekta, “apakah sasmita sandi itu?”

“Katakan. Apa yang harus di ucapkan oleh orang-orangku dan, orang-orangmu dalam sasmita sandi.”

Samekta berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Nah, kita bersepakat untuk mempergunakan sasmita sandi. Orang-orang kita harus menyebut namanya dalam sasmita sandi itu, kemudian mengucapkan bilangan tiga dan sembilan.”

“Kenapa tiga dan sembilan?”

“Hus,” desis Samekta, “berapa saja tidak menjadi soal. Tetapi kita bersepakat, bilangan itu tiga dan sembilan. Kau mengerti. Bilangan itu dapat berubah setiap saat kita membuat perjanjian baru. Bahkan mungkin kita akan berjanji menyebut nama binatang, atau nama gunung, atau sungai, atau apa saja.”

Kerti mengangguk-angguk, “Baik. Aku akan memberi tahukan kepada setiap penghubung sasmita sandi itu. Tetapi bagaimanakah sasmita sandi itu, apabila Wrahasta yang berkepentingan dengan kau?

“Aku lebih percaya kepadamu.”

“Jangan berprasangka. Suatu ketika ia dapat mempunyai kepentingan dengan kau. Bukan kepentingan diri sendiri, tetapi kepentingan kita bersama.”

“Baik,” Samekta mengangguk-anggukkan kepalanya, “sebut juga sasmita sandi serupa untuk hari ini. Tetapi tidak usah menyebut namanya, sehingga aku dapat membedakan dengan penghubung siapa aku berbicara.”

Kerti mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata, “Pergilah ke banjar. Mungkin kau segera akan mendapat tugas di dalam kemelutnya suasana ini.”

“Aku akan segera pergi, tetapi aku akan minta diri dahulu kepada Pandan Wangi dan membawa beberapa orang pemimpin pengawal yang lain di dalam tugas ini. Aku akan menyiapkan beberapa ekor kuda di banjar, di gardu-gardu peronda, dan dirumah ini, supaya setiap perkembangan dapat segera kita ketahui.”

“Marilah. Kita masuk ke pringgitan.”

Kedua segera melangkahkan kakinya menyusuri orang-orang lain yang telah mendahului berada di pringgitan. Samekta segera minta diri bersama beberapa orang yang bertugas bersamanya, pergi ke banjar untuk menyusun jaring-jaring pengamanan di tempat-tempat yang telah ditentukannya. Terutama tempat-tempat yang langsung berhadapan dengan daerah yang hampir pasti berada di bawah pengaruh Argajaya dan Sidanti.

Sejenak kemudian, maka beberapa ekor kuda telah berderap meninggalkan halaman rumah itu pula. Kali ini membawa Samekta dan beberapa pemimpin pengawal yang lain, pergi ke banjar dan ke tempat-tempat penting yang lelah ditentukan. Mereka memencar untuk melihat keadaan dari dekat di setiap penjuru, dan pada saatnya mereka selalu membuat hubungan-hubungan satu dengan yang lain.

Di setiap tempat penting, telah disediakan beberapa penghubung berkuda dan senjata-senjata sasmita yang lain. Panah-panah sendaren, panah api, kentongan dan tanda yang lain, yang telah disepakati bersama.

Di rumah Ki Gede tinggallah kini beberapa orang tetua tanah perdikan dan beberapa orang pengawal di bawah pimpinan Wrahasta, di samping Kerti dengan beberapa orang yang harus mengawani Pandan Wangi di dalam rumah itu.

Setiap orang telah mengenal Kerti sebagai pemomong Pandan Wangi, terutama apabila Pandan Wangi pergi berburu. Meskipun Kerti sudah agak lanjut, namun ia masih dapat dipercaya untuk mengawani Pandan Wangi, apabila gadis itu berada di dalam bahaya.

Tetapi kehadiran Kerti di dalam rumah itu, agaknya terasa kurang memberi keleluasaan bagi Wrahasta. Ia merasa kepercayaan Argapati dikurangi. Seharusnya ia menerima seluruh tanggung jawab atas keselamatan gadis itu. Sehingga ia adalah satu-satunya pelindung yang terpercaya untuk Pandan Wangi.

Untunglah, bahwa umur Kerti telah merayap ke pertengahan abad, sehingga bagaimanapun juga, kehadirannya masih dapat diterima oleh Wrahasta.

Sementara itu, matahari menjadi semakin lama semakin rendah. Cahayanya mulai menjadi pudar dan kemerah-merahan. Sisa-sisa sinarnya sudah tidak lagi berwarna cerah dan menyilaukan. Tetapi semakin lama menjadi semakin suram.

Awan yang putih kemerah-merahan hanyut dibawa angin dari Selatan. Menyentuh ujung pebukitan, mengalir ke Utara. Satu-satu burung seriti terbang berputaran. Kemudian saling bertemu, dan berkumpul dalam kelompok-kelompok yang semakin-besar. Akhirnya, mereka terbang mengitari sebatang pohon randu alas tua di ujung pedukuhan. Ratusan, seperti segumpal mendung yang mengambang.

Seekor kuda berderap dengan kencangnya di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama semakin laju. Sekali-sekali penunggangnya nengadahkan wajahnya, melihat langit yang menjadi semakin suram. Dan setiap kali tangannya menggerakkan kendali, supaya kudanya terbang lebih cepat lagi.

Sejenak kemudian, kaki-kaki kuda itu telah berderap menyusur lereng-lereng pebukitan. Menyusup di antara semak-semak yang rimbun dan liur, sepanjang jalan sempit menuju ke Pucang Kembar. Di tangan kanannya tergenggam sebatang tombak pendek yang masih berada di selongsongnya.

Orang itu adalah Ki Argapati, yang bergelar Ki Gede Menoreh. Ia ingin sampai ke tempat yang telah dijanjikan, sebelum saat purnama naik. Ia tidak mau terlambat, meskipun hanya sepenginang. Karena itu, maka ia berpacu semakin cepat. Suara derak kaki kudanya menggelepar di lereng bukit-bukit yang terjal.

Matahari di langit menjadi semakin rendah. Kini telah meyentuh punggung bukit di sebelah barat. Sebentar lagi matahari itu akan tenggelam, dan sebentar pula hari akan menjadi semakin gelap. Sejenak kemudian akan segera disusul oleh saat purnama yang akan naik di ujung timur.

Kuda Argapati berlari semakin kencang. Meluncur dari selatan ke utara.

Di sepanjang perjalanannya, pikiran dan angan-angan Argapati telah hinggap pada pertemuan yang akan datang, meloncat-loncat di antara kenangan masa lampaunya pada kesempatan yang serupa. Jalan ke Pucang Kembar yang dilaluinya kini, sama sekali tidak berubah seperti saat ia melampauinya beberapa puluh tahun yang lampau.
Jalan sempit yang dahulu disusurinya adalah jalan sempit ini pula. Ketika itu, ia menjinjing tombak pula seperti saat ini. Tetapi tombak yang dibawanya kini, bukan tombaknya beberapa puluh tahun yang lampau.

Hatinya berdesir, ketika terbayang di rongga matanya senjata Tambak Wedi yang nggegirisi. Sepasang senjata yang bermata rangkap. Sehingga ujung tombaknya waktu itu, harus melawan empat ujung mata senjata yang mengerikan dari sepasang nenggala Ki Tambak Wedi.

Tanpa sesadarnya, Ki Argapati memandangi selongsong senjatamja. Namun perlahan-lahan ia bergumam kepada diri sendiri, “tidak ada bedanya, meskipun tombak ini bukan tombakku sendiri.”

Pucang Kembar semakin lama menjadi semakin dekat. Matahari pun sudah semakin dalam membenam di balik bukit. Sisa-sisa cahayanya yang kemerah-merahan masih menyangkut di pinggir mega yang berarak di langit yang biru bersih.

Ki Argapati menengadahkan wajahnya. Dilihatnya kesuraman yang kelabu perlahan-lahan menurun menyelubungi puncak pebukitan. Sehingga dengan demikian, kudanya berpacu semakin laju.

Demikian asyiknya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu terpukau oleh kemungkinan yang bakal datang, sehingga ia sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua pasang mata sedang mengawasinya dari balik gerumbul beberapa langkah dari jalan yang dilaluinya. Ketika salah seorang dari mereka mencoba bergerak, maka yang seorang segera menggamitnya sambil menggoyangkan kepalanya.

Keduanya kemudaan terdiam. Hanya mata mereka sajalah yang bergerak mengikuti derap kuda yang laju meninggalkan debu yang putih, menghambur di atas jalan yang dilaluinya itu.

Ketika kuda itu telah hilang di kejauhan, maka mereka berdua yang sedang mengintip di balik rimbunya dedaunan itupun segera keluar dari persembunyiannya.

“Itukah yang bernama Argapati?” bertanya yang seorang.

Yang lain menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya. Orang itulah yang bernama Argapati, dan bergelar Ki Gede Menoreh.

“Orang yang pertama mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Ia menepati janjinya. Pada saat purnama naik, ia pasti sudah berada di bawah Pucang Kembar.”

“Tidak terpikir olehnya untuk ingkar atau justru berkhianat. Ia adalah seorang yang menjunjung tinggi nilai-nilai harga dirinya dan sifat-sifat kesatria. Jarang orang yang berpegang teguh, pada pendirian yang demikian meskipun keadaan tanah perdikan ini sedang goncang.”

Orang yang pertama masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ki Argapati benar-benar pergi ke Pucang Kembar seorang diri.”

“Aku sudah menduga. Ia akan pergi seorang diri.”

Yang lain mengangguk-angguk lagi, “Lalu, apakah kita akan pergi ke Pucang Kembar pula?”

“Ya, bukankah kita memang akan pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi? Marilah. Kita jangan terlambat. Kita tidak naik kuda seperti Argapati. Kita tidak mau kehilangan pertunjukan ini sejak dari permulaan sekali.”

“Marilah. Kita dapat memintas. Kita menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar, sehingga kita tidak akan tertinggal terlampau jauh dari Ki Argapati.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian segera melangkahkan kaki mereka menyusup di antara gerumbul-gerumbul liar dan hilang di dalam kemuraman senja.

Dari arah yang lain, Ki Tambak Wedi berjalan dengan tergesa-gesa pula, menuju ke bawah Pucang Kembar, sambil menjinjing senjatanya yang mendebarkan jantung. Tetapi ia kini tidak membawa sepasang. Ia hanya tinggal mempunyai sebatang, karena yang sebatang telah tertinggal di Sangkal Putung. Bahkan pernah dibawa pula oleh Kiai Gringsing. Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah, bahwa ia harus melawan Argapati dengan sebatang senjatanya itu.

Tetapi ternyata di dalam perjalanan itu, Ki Tambak Wedi tidak hanya berjalan seorang diri. Di belakangnya berjalan dua orang yang bertubuh kekar, berbulu lebat di dadanya. Yang seorang berambut panjang terurai di bawah ikat kepalanya, sedang yang seorang lagi justru hampir tidak berambut, karena botaknya yang memenuhi sebagian besar dari kepalanya. Ikat kepalanya sama sekali tidak dikenakannya di atas botaknya, tetapi disangkutkannya saja di atas pandaknya.

“Apakah kau yakin, bahwa Argapati akan datang seorang diri?” bertanya orang yang berkepala botak.

“Ya,” jawab Ki Tambak Wedi.

“Aku tidak yakin,” sahut yang berambut panjang, “mungkin ia akan menjebakmu.”

Ki Tambak Wedi menggelengkan kepalanya, “Tidak, ia tidak akan berbuat demikian.”

“Tetapi kaulah yang berbuat demikian,” sambung yang berkepala botak.

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Aku terpaksa berbuat demikian untuk menyelamatkan tanah ini. Kalau Argapati telah tidak ada, maka tidak akan seorang pun yang berani mengambil alih pemerintahan, kecuali satu-satunya trah Argapati, Sidanti. Dengan demikian, pertumpahan darah akan terhindarkan. Memang kita harus berkorban. Kali ini, korban itu kebetulan adalah Argapati. Dan mungkin korban lain yang tidak kalah pentingnya, adalah justru harga diriku sendiri. Tetapi aku memandang kepentingan yang jauh lebih besar dari harga diri seorang Tambak Wedi.”

Kedua orang kawan Tambak Wedi itu mengerutkan keningnya. Sejenak mereka berdiam diri. Tetapi mereka tidak dapat mengerti jalan pikiran Ki Tambak Wedi itu, sehingga salah orang dari mereka tiba-tiba tertawa terbahak-bahak sambil berkata, “Ho, kau aneh Ki Tambak Wedi. Jalan pikiranmu memang berbelit-belit. Kalau kau memang tidak ingin terjadi pertumpahan darah, kenapa kau tidak berusaha mencegah muridmu, anak Argapati itu untuk memberontak terhadap ayahnya? Itu jalan yang paling mudah dapat kau tempuh daripada jalan yang kau pilih sekarang.”

“Itu tidak mungkin,” sahut Ki Tambak Wedi, “dengan demikian, keadaan tanah ini akan tetap seperti sekarang dan hari-hari yang lampau. Rakyat Menoreh ingin mendapat nafas baru, di atas tanah perdikan ini.”

Tiba-tiba orang yang lain, yang berkepala botak berkata, “Aku tidak peduli, apa saja yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Aku tidak peduli, apakah kau korbankan harga dirimu, bahkan nyawamu sama sekali. Tetapi peristiwa ini membuat aku menjadi gembira. Aku akan menerima upah darimu, sementara aku mendapat kesempatan untuk membunuh. Sudah lama aku tidak melibatkan diri dalam perkelahian yang ribut, seperti apa yang akan terjadi di atas tanah ini. Mudah-mudahan aku akan berhasil membunuh Aigapati.”

Kawannya yang berambut panjang mengerutkan dahinya Katanya, “Kenapa kau tidak yakin? Meskipun aku dan kau tidak dapat melawannya seorang demi seorang, tetapi kita akan merupakan unsur penentu di dalam perkelahian yang akan datang. Kita mengharap, bahwa Ki Tambak Wedi dan Argapati akan merupakan kekuatan yang seimbang. Maka kehadiran kita akan menjadi penyebab, bahwa keseimbangan itu akan goyah. Dan Argapati akan dapat kita selesaikan.”

“Ha itu jangan kau ragukan lagi,” berkata Tambak Wedi, “seandainya Argapati membawa beberapa orang kawan, maka sepasukan kecil di belakang kita akan menyelesaikannya.”

Kedua kawan-kawannya itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Semua rencana itu sudah siap dan meyakinkan. Argapati tidak akan dapat keluar lagi dari jebakan mereka.

Sejenak kemudian mereka berhenti. Ki Tambak Wedi memberi isyarat kepada mereka, agar mereka tidak berjalan bersamanya. Keduanya harus memilih jalan lain, supaya mereka dapat mencapai tempat yang mereka tentukan tanpa diketahui oleh Ki Argapati.

Kedua orang itu segera memisahkan diri dan masuk ke dalam gerumbul di pinggir jalan. Mereka mencari jalan sendiri untuk mencapai Pucang Kembar. Tugas mereka adalah membantu Ki Tambak Wedi memusnahkan Ki Gede Menoreh. Bukan saja sekedar mereka berdua, tetapi di belakang mereka masih ada sepasukan kecil, yang terdiri dari sebagian orang-orang Menoreh sendiri, dan sebagian lagi orang-orang dari luar, yang sengaja diundang oleh .Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.

Tetapi rencana Ki Tambak Wedi ternyata jauh lebih besar dari kedua rencana yang akan saling mengisi itu. Bukan hanya sekedar rencana yang dipersiapkan untuk membunuh Argapati. Tetapi sementara itu, Sidanti pun telah sibuk bersama Argajaya. Sepeninggal Ki Tambak Wedi, maka Sidanti dan Argajaya telah menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan kesatuan rencana Ki Tambak Wedi. Mereka menyiapkan sebagian besar dari kekuatannya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya malam itu juga harus dapat merebut padukuhan induk dari Tanah Perdikan Menoreh. Mereka sadar, bahwa seandainya benar-benar terjadi peperangan antara dua kekuatan yang ada di Menoreh, maka peperangan itu tidak akan dapat selesai sehari dua hari. Tetapi peperangan itu akan dapat menjadi jauh lebih cepat selesai, apabila pedukuhan induk segera dapat direbutnya. Pasukan Argapati yang telah kehilangan pimpinannya itu pasti akan pecah tercerai-berai, sehingga untuk membangun satu kekuatan yang utuh pasti akan sangat sulit.

“Apakah kita akan mulai sekarang paman?” bertanya Sidanti.

“Jangan terlampau tergesa-gesa. Kita mulai setelah purnama naik di atas cakrawala. Kita mengharap, bahwa Kakang Argapati sudah terikat dalam sebuah perang tanding dengan Ki Tambak Wedi, supaya Kakang Argapati tidak sempat mengetahui, apa yang terjadi sepeninggalnya. Seandainya seseorang pergi melaporkan kepadanya atau tanda-tanda lainnya, maka itu akan berakibat terlampau jelek pula bagi Kakang Argapati. Dengan demikian, ia akan kehilangan pemusatan perhatiannya atas perang tandng itu, sehingga kematiannya pun akan menjadi lebih cepat.”

Sidanti mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang demikianlah maksud Ki Tambak Wedi. Malam ini juga, mereka harus mendapat kepastian, bahwa mereka akan berhasil menguasai Tanah Perdikan Menoreh, meskipun penyelesaiannya masih memerlukan waktu.

Tetapi bagi Sidanti, waktu rasa-rasanya berjalan terlampau lambat. Matahari yang telah hilang di balik pegunungan, masih saja meninggalkan sinar yang cerah di langit.

Namun kemuraman senja pun semakin lama menjadi semakin muram. Matahari menjadi semakin dalam terbenam, sehingga akirnya sisa-sisa sinarnya sama sekali sudah tidak lagi dapat menerangi lereng Bukit Menoreh.

“Kita harus bersiap Paman,” berkata Sidanti, “sebentar lagi purnama pasti akan naik.”

“Ya, kita akan bersiap.” jawab pamannya, “yang mula-mula harus berangkat adalah pasukan kecil, yang harus meyakinkan, bahwa Kakang Argapati pasti akan terbunuh di bawah Pucang Kembar.”

“Pasukan itu sudah lama siap.”

“Nah, lepaskanlah. Biarlah mereka berangkat.”

Sidanti pun segera memberikan perintah bagi pasukan kecil yang akan pergi ke Pucang Kembar. Pasukan yang mendapat tugas khusus. Apabila Ki Taimbak Wedi dan kedua orang kawannya tidak segera berhasil menyelesaikan Argapati, maka adalah menjadi tugas pasukan kecil itu untuk bertindak. Juga seandainya Argapati membawa beberapa orang pengawalnya, maka semuanya harus ditumpas.

Ketika pasukan kecil itu sudah berangkat, maka Sidanti segera mempersiapkan induk pasukannya. Induk pasukannya inilah yang nanti harus langsung masuk ke pedukuhan induk dan mendudukinya. Meskipun peperangan masih akan berlangsung terus, namun dengan menduduki padukuhan induk, maka Sidanti sudah mempunyai alas yang kuat menuju ke arah kemenangannya.

Pada saat Sidanti mempersiapkan pasukannya yang cukup kuat untuk langsung menusuk jantung Tanah Perdikan Menoreh, maka kuda yang membawa Argapati telah naik memanjat tebing, sebuah puntuk kecil lereng bukit. Di atas puntuk itu berdiri dua batang pohon pucang, sehingga puntuk itu disebut Pucang Kembar. Di bawah sepasang pohon pucang itu, terbentang sebuah dataran yang tidak terlampau luas, ditumbuhi oleh rumput-rumput liar dan pohon-pohon perdu yang rimbun.

Dibawah sepasang pohon pucang itulah, Argapati berjanji untuk menemui Ki Tambak Wedi dalam perang tanding, seperti yang pernah terjadi beberapa puluh tahun yang lampau.

Ketika kaki-kaki kudanya berderap di bawah sepasang pucang itu, hati Argapati berdesir. Hatinya telah dilanda oleh arus kenangan lama, seolah-olah terguncang dengan dahsyatnya di dalam dadanya. Dan kini ia sekali lagi akan melakukannya. Dengan orang yang sama dan di tempat yang sama.

Argapati kemudian meloncat turun dari punggung kudanya. Dituntunnya kudanya ke arah sebatang pohon perdu dan mengikatnya di sana. Kemudian perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya ke bawah sepasang pucang itu kembali.

“Aku tidak terlambat,” gumamnya perlahan sekali. Disapunya keadaan di sekitannya yang telah mulai suram dengan pandangan matanya. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Ki Tambak Wedi pun masih belum tampak olehnya.

Dengan tenangnya Ki Argapati menyandarkan dirinya pada sebatang dari sepasang pohon pucang itu. Perlahan-lahan tangannya mengangkat senjatanya dan melepas selosongnya, kemudian melipatnya. Namun ketika terasa olehnya lendean tombaknya, maka sekali lagi dadanya berdesir. Tiba-tiba saja, ia menyadari bahwa ia akan berkelahi dengan senjata yang kurang dikenalnya. Ia masih belum biasa mempergunakan tombak itu. Beratnya, sifat-sifatnya dan kebiasaannya.

“Mudah-mudahan aku dapat segera menyesuaikan diriku,” gumamnya pula perlahan-lahan. Dan dengan perlahan-lahan pula, Ki Argapati membuka wrangka ujung tombaknya dan meletakkan wrangka itu di samping lipatan selongsongnya.

“Tajam tombak inipun cukup baik,” desisnya, “tidak jauh berbeda dengan ujung tombakku.” Ki Argapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Kedua tombak itu memang tombak sipat kandel Tanaih Perdikan Menoreh, yang masing-masing dimiliki oleh kakak beradik, Argapati dan Argajaya. Tetapi ternyata Argajaya diam-diam telah menukarkan tombak itu, karena ia menganggap bahwa tombak Argapati lebih baik dari tombaknya sendiri.

Sambil menunggu Ki Tambak Wedi, Argapati mencoba menimang-nimang tombaknya, supaya ia tidak salah hitung. Ia harus tahu pasti berapa banyak tenaga yang diperlukannya untuk mengayunkan tombak itu pada jarak tertentu.

Ketika Argapati menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna yang merah kekuningan menyaput langit di ujung Timur.

“Purnama itu hampir naik,” tanpa sesadarnya ia berbicara kepada diri sendiri.

“Ya,” tiba-tiba terdengar sebuah jawaban, “purnama hampir naik.”

Argapati berpaling ke arah suara itu. Dilihatnya di atas sebongkah batu padas sesosok tubuh, berdiri di atas sepasang kakinya yang renggang. Tegak seperti sebatang tombak baja yang kokoh kuat tertancap dalam-dalam pada tanah yang keras berbatu-batu.

Ki Gede Menoreh mengerutkan keningnya. Segera ia mengenal, siapakah orang yang berdiri di atas sebongkah batu padas itu. Ki Tambak Wedi. Karena itu, maka katanya seperti acuh tidak acuh, “Hem, kau datang tepat pada saatnya.”

“Aku tidak pernah ingkar janji,” jawab Ki Tambak Wedi, “sebentar lagi purnama akan naik. Kita akan segera berhadapan seperti beberapa puluh tahun lampau. Berhadapan sebagai laki-laki jantan yang tahu akan harga dirinya.”

“Aku mengharap demikian.”

“Apakah kau datang seorang diri?” bertanya Ki Tembak Wedi.

Pertanyaan itu ternyata membuat Argapati menjadi heran. Dipandanginya Ki Tambak Wedi di dalam sinar yang temaram. Perlahan-lahan ia maju setapak sambil berkata, “Pertanyaan itu aneh sekali?”

“Kenapa aneh?” potong Ki Tambak Wedi.

“Tidak sepantasnya kita menyimpan pertanyaan itu di dalam hati kita. Aku pun tidak akan bertanya demikian. Kalau kita sudah kehilangan kepercayaan kepada diri masing-masing, maka kita sudah kehilangan sebagian dari kejantanan kita.” Ki Gede Menoreh terdiam sejenak, lalu tiba-tiba, “He, Ki Tambak Wedi. Meskipun hanya sepercik, apakah pernah tersirat di dalam hatimu untuk datang ke tempal ini bersama satu atau dua orang kawan yang meskipun hanya akan menjadi saksi? Sehingga kau dipengaruhi oleh pertanyaanmu itu?”

Pertanyaan itu telah mengguncangkan dada Ki Tambak Wedi. Serasa ujung tombak Argapat itu telah mematuk pusat dadanya. Ia tidak menyangka, bahwa pertanyaannya dapat menumbuhkan kecurigaan pada lawannya. Namun segera ia berusaha melepaskan kesan itu dari wajahnya. Kemuraman senja telah menolongnya untuk melindungi perubahan-perubahan pada kerut-kerut di keningnya.

“Pertanyaanmu itupun aneh Argapati. Selama Ki Tambak Wedi masih menyebut dirinya Ki Tambak Wedi, maka aku masih orang yang pernah kau hadapi beberapa puluh tahun di tempat ini.”

“Bagus,” sahut Argapati, “turunlah. Sebentar lagi cahaya di langit itu akan menjadi semakin cerah. Kemudian pada saatnya purnama akan segera naik. Marilah kita peringati masa-masa muda kita, sebagai Paguhan dan Arya Teja dengan cara ini. Loloslah senjatamu itu dari selongsongnya. Aku ingin melihat, betapa dahsyatnya senjata yang berujung rangkap itu.”

Terdengar suara tertawa perlahan-lahan, “Kau terlampau tergesa-gesa,” sahut Ki Tambak Wedi, “meskipun sesaat lagi purnama akan naik, tetapi malam masih panjang. Kau tidak akan kehabisan waktu untuk memeras keringatmu. Aku akan melayanimu. Kenapa kita harus tergesa-gesa dan memulainya tepat pada saat purnama itu nanti naik dari atas cakrawala?”

Sekali lagi Argapati menjadi terheran-heran. Pertanyaan di dalam dirinya menjadi semakin tajam menggores di jantungnya. Sikap Ki Tambak Wedi itu tidak dapat dimengertinya. Beberapa puluh tahun, ketika ia bertemu di tempat ini pula dengan Ki Tambak Wedi, maka orang itu sama sekali tidak terlampau bersabar hati seperti kini.

“Waktu itu telah cukup lama berlalu,” katanya di dalam hati, “sepanjang itu, adalah mungkin sekali seseorang mengalami perubahan tabiat dan sifatnya. Mungkin Ki Tambak Wedi mendapat pengalaman yang cukup banyak untuk merubah sifat-sifatnya itu. Kini ia menanggapi keadaan dengan hati yang mengendap.”

Meskipun demikian, Argapati itu menjawab juga, “Ki Tambak Wedi. Aku memang tidak tergesa-gesa. Tetapi bukankah ancer-ancer waktu itu telah kita letakkan? Marilah kita mencoba menepatinya. Kita akan segera menyelesaikan pekerjaan kita. Bukankah masih ada pekerjaan lain yang menunggu?”

Terdengar suara tertawa Ki Tambak Wedi, “Apakah kau masih mengharap dapat keluar dari tempat ini?”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. “Tentu,” jawabnya, “di rumah anakku menunggu kedatanganku.”

Suara Ki Tambak Weda itu tiba-tiba meninggi. Katanya, “ Seandainya kau dapat keluar dari tempat ini, belum tentu kau akan dapat bertemu lagi dengan anakmu.”

“Kenapa?” bertanya Argapati dengan herannya.

“Kedua kakak beradik seibu itu, berada dalam pertentangan yang tajam. Aku tidak tahu, apakah Sidanti dapat mengendalikan dirinya, supaya tidak segera bertindak. Tetapi jangan takut. Seandainya Sidanti malam ini barhasil menguasai Menoreh, putrimu, adik Sidanti itu, tidak akan mengalami cidera. Sidanti menyayanginya sebagai seorang adik, meskipun adiknya itu berpihak kepadamu. Tetapi sebagai seseorang yang bercita-cita, maka Sidanti harus bertindak, meskipun ia yakin bahwa kau pasti telah berjanji untuk menyerahkan tanah perdikan ini kepada gadismu itu.”

Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Argapati. Ia sudah menduga, bahwa hal serupa itu akan terjadi. Sidanti pasti akan mempergunakan saat yang genting ini. Saat ia tidak dapat memimpin perlawanan langsung untuk menghadapinya.

Namun ia sadar pula, bahwa Ki Tambak Wedi sengaja mengatakan hal itu kepadanya, karena Ki Tambak Wedi berusaha untuk mempengaruhi perasaannya. Apabila perasaannya dikacaukan oleh berbagai macam persoalan, maka ia pasti tidak akan dapat mencurahkan segenap perhatiannya di dalam perlawanannya. Meskipun demikian sepercik kebimbangan membayang pada dinding hati Argapati.

“Kenapa kau diam saja?” bertanya Ki Tambak Wedi, “jangan hiraukan mereka. Biarlah hal itu diurus oleh anak-anak. Mereka sedang membuat permainan untuk diri mereka sendiri. Biarlah Sidanti dan Pandan Wangi bergurau dengan caranya. Dan marilah kita melakukan pekerjaan kita pula di sini.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Namun sejenak kemudian ia menjawab, “kau keliru Paguhan. Aku tidak membiarkan Pandan Wangi melakukan perlawanan, seandainya Sidanti benar-benar akan memulainya malam ini. Meskipun Pandan Wangi memiliki kemampuan bermain senjata, tetapi ia masih terlampau hijau. Aku menyerahkan pimpinan pasukan pengawal kepada seseorang, yang aku percaya akan dapat melakukan perlawanan sebaik-baiknya. Mungkin tenaga Pandan Wangi diperlukan, tetapi tidak menentukan cara perlawanan yang harus dilakukan.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Tanpa sesadarnya ia bertanya, “Siapa orang itu?”

Kini Argapati-lah yang tertawa. Perlahan-lahan sekali, “ Kau belum mengenalnya. Ia orang baru di Menoreh, tetapi ia bukan orang baru di dalam tata keprajuritan.”

“Siapa? Sebutkan namanya. Aku mengenal hampir setiap orang di sini.”

“Kau tidak perlu mengetahuinya. Biarlah itu diselesaikan oleh anak-anak. Marilah kita melakukan pekerjaan kita di sini.”

Terdengar Ki Tambak Wedi menggeram. Namun sejenak kemudian ia berkata, “Tetapi tidak akan ada harapan lagi buatmu. Kau tidak akan dapat keluar dari tempat ini. Seandainya kau dapat juga melarikan diri, tetapi kau tidak mempunyai lagi tanah untuk berpijak.”

“Marilah kita tidak membicarakan hal-hal yang belum terjadi. Lihat, cahaya yang merah itu sudah semakin cerah. Turunkah. Kita akan segera mulai.”

Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab. Tetapi kini justru di dadanya tersimpan berbagai macam pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi di dalam pertempuran yang pasti akan segera berkobar. Siapakah yang telah diserahi pimpinan oleh Argapati itu?

“Huh, ia sekedar membesarkan hatinya sendiri,” katanya di dalam hati.

Karena Ki Tambak Wedi tidak segera menjawab, maka Ki Argapati mendesaknya, “Turunlah. Kita tidak dapat bermain-main di atas padas itu. Terlampau sempit dan terjal.”

Ki Tambak Wedi menggeram. Tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Ia mencoba menduga-duga, apakah pasukan kecil yang telah dipersiapkan itu telah dilepaskan oleh Sidanti. Ia tidak ingin perkelahian akan berlangsung terlampau lama. Ia harus segera menyelesaikannya, kemudian ikut serta bersama Sidanti, menyelesakan rencananya untuk menduduki induk tanah perdikan malam itu juga.

“He, apakah kau tertidur?” desak Argapati.

“Hem,” sekali lagi Ki Tambak Wedi menggeram. Kemudian ia menjawab, “kau terlampau tergesa-gesa. Baiklah. Aku akan segera turun. Bersiaplah, supaya kita segera dapat mulai.”

“Aku sudah bersiap sejak aku datang ke tempat ini.”

Terdengar suara Ki Tambak Wedi tertawa hambar. Kemudian ia mulai melangkahkan kakinya setapak demi setapak menuruni padas yang terjal.

“He,” berkata Ki Argapati hampir berteriak, “apakah kau sudah pikun Paguhan. Seharusnya dengan sekali loncat kau sudah berada di atas tanah yang datar. Kenapa kau merangkak seperti bayi yang sedang berumur tiga bulan?”

Dada Ki Tambak Wedi berdesir mendengar sindiran Argapati. Sebenarnyalah bahwa betapapun curamnya puntuk padas itu, namun seorang Tambak Wedi tidak sepantasnya menuruninya setapak demi setapak sambil berpegangan erat-erat seperti anak-anak sedang turun dari pembaringan. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak menyangka, bahwa parbuatannya itu mendapat pengamatan yang saksama dari lawannya. Ia tidak menyangka, bahwa usahanya untuk mengulur waktu itu dapat ditangkap oleh Argapati.

Meskipun demikian, Ki Tambak Wedi yang licik itu menjawab, “Ki Gede Menoreh, aku memang sudah tua. Aku sudah lama sekali tidak mengenali lagi setiap jengkal tanah di bawah Pucang Kembar ini, sehingga aku harus sangat berhati-hati.”

Argapati mengerutkan keningnya. Keheranannya menjadi kian bertambah-tambah. Kelakuan Ki Tambak Wedi tampak semakin lama semakin tidak wajar. Dan ketidak- wajaran itu membuat Ki Argapati kadang-kadang tidak mengerti, apakah ia masih berhadapan dengan Ki Tambak Wedi beberapa puluh tahun yang lampau.

“Aku tidak boleh berprasangka,” ia mencoba menenteramkan hatinya yang mulai gelisah. Dalam keadaan itu, berbagai persoalan timbul terbenam di dalam dadanya. Tiba-tiba pada saat yang demikian, Ki Argapati menyadari keadaan yang sebenarnya di hadapi. Apakah artinya kejantanan kini bagi Ki Tambak Wedi. Ternyata ia lelah mengundang langsung kekuatan-kekuatan di luar tanah perdikan untuk mencampuri persoalan yang sedang berkecamuk di atas tanah ini. Tanpa menghiraukan akibatnya, Ki Tambak Wedi dan Sidanti telah membakar rumah sendiri.

“Apakah yang telah berbuat demikian itu masih juga mempunyai harga diri untuk berperang tanding dengan jujur?” Pertanyaan itu kini mengganggu perasaan Ki Argapati. Mamun sekali lagi ia mencoba mengusir prasangka itu. “Tidak, Aku mengharap bahwa tidak terjadi kecurangan serupa itu.”

Tetapi Argapati masih melihat Ki Tambak Wedi turun perlahan-lahan. Kadang orang itu berhenti, kemudian berdiri menengadahkan wajahnya.

“Ki Tambak Wedi,” berkata Argapati, “lihat, bulan purnama telah naik. Beberapa puluh tahun yang lampau, kau sudah tidak dapat di ajak berbicara apa pun lagi. Begitu cahaya bulan menyentuh senjatamu, begitu kau menyerang seperti orang gila. Tetapi kenapa kau sekarang masih juga berdiri saja di situ?”

Ki Tambak Wedi tertawa. Jawabnya, “Kita sudah bukan anak-anak muda yang dibakar oleh nafsu kemudaan kita, Argapati. Kita bukan lagi anak-anak muda yang. mendambakan kasih di terang bulan purnama. Apakah artinya bagi kita kini? Cahaya bulan itu sudah terlampau banyak kita lihat dan kita rasai. Karena itu, kita tidak perlu lagi mengaguminya seperti pengantin batu. Biar sajalah bulan itu naik di langit yang biru. Ujung senjata kita tidak akan segera tumpul.”

Wayah Argapati menjadi semakin berkerut-marut. Kecurigaannya menjadi kian meruncing. Dengan demikian ia menjadi kian gelisah. Kenyataan-kenyataan yang di hadapinya telah membuatnya semakin curiga atas orang yang bergelar Ki Tambak Wedi itu. Meskipun demikian ia masih menahan dirinya. Kecurigaannya masih belum berpijak pada alasan yang jelas.

“Semuanya itu sekedar prasangka,” Argapati masih mencoba memulas perasaannya itu.

Tetapi ia masih melihat Ki Tambak Wedi berdiri di lambung puntuk padas itu. Sebenarnya tidak terlampau tinggi. Seorang anak tanggung pun akan dapat segera meloncat turun. Tetapi tampaknya Ki Tambak Wedi itu terlampau berhati-hati. Ki Tambak Wedi yang namanya telah menggemparkan udara di sekitar Gunung Merapi.

“Itu tidak mungkin,” berkata Argapati di dalam hatinya. Dan tumbuhlah kecurigaannya semakin tajam di dalam dadanya.

Ki Tambak Wedi itu mengangkat wajahnya sekali lagi seolah-olah ia sedang menikmati bulatnya bulan. Tetapi dalam pada itu didengarnya lama-lama suara burung kedasih. Lamat-lamat sekali. Tetapi cukup jelas. Ngelangut, seperti ratap seorang nenek kematian cucunya tercinta.

“Aku telah mendengar suara burung kedasih itu,” berkata Ki Tambak Wedi di dalam hatinya. Dan tiba-tiba saja ia menggeram sambil meloncat turun. Sama sekali tidak mengalami kesulitan, bahkan seandainya ia meloncat dari ujung seonggok batu padas itu.

“Kita akan segera mulai Argapati,” suaranya bernada berat dan datar.

Tetapi ternyata sikapnya itu telah menggetarkan dada Argapati. Seolah-olah ia mendapat suatu keyakinan, bahwa sebenarnya ia tidak hanya sekedar bercuriga. Tiba-tiba kini ia hampir pasti, bahwa ia tidak berhadapan dengan Paguhan beberapa puluh tahun yang lampau, tetapi ia kini berhadapan dengan seorang yang sangat licik.

Karena itu, betapa kemarahan telah menghentak dada Argapati. Selangkah ia maju sambil berkata dengan suara gemetar, “Paguhan. Jangan kau anggap aku anak-anak yang heran melihat tingkah lakumu. Aku kini tahu pasti, meskipun aku belum melihatnya. Tetapi seperti kau, akupun mempunyai telinga. Aku mendengar suara burung kedasih yang kau dengar itu pula. Aku menangkap perbedaan suara itu dengan.suara burung kedasih yang sebenarnya. Hampir setiap malam aku mendengar suara burung itu. Dan suara burung yang setiap malam aku dengar itu sama sekali tidak serupa dengan suara burung yang baru saja menggerakkanmu, meloncat turun dari batu padas itu.”

Tuduhan itu serasa seonggok bara yang menyentuh telinga Ki Tambak Wedi. Ternyata perasaan Argapati terlampau tajam, sehingga segera ia dapat mencium apa yang sebenarnya sedang dipersiapkan. Ternyata Argapati kini sudah mengetahui hampir seluruhnya, apa yang tersembunji di balik gerumbul-gerumbul di dalam kesuraman malam terang bulan. Agaknya Argapati telah membayangkan, berapa orang sedang merangkak-rangkak mendekati Pucang Kembar. Dan orang-orang itu akan berbuat curang. Karena itu, maka Ki Tambak Wedi sudah tidak dapat berusaha untuk menyembunyikannya. Meskipun demikian, ia masih juga ingin menghadapi Argapati seorang lawan seorang lebih dahulu. Ia masih ingin melihat, betapa Ki Gede Menoreh kini meloncat jauh maju dari Arja Teja beberapa puluh tahun lampau.

Karena itu, maka Ki Tambak Wedi pun beberapa langkah meloncat mendekati Argapati sambil menarik senjatanya. Tetapi kini ia hanya membawa sebatang dari sepasang senjatanya yang mengerikan itu. Ketika ia sudah berdiri tegak beberapa langkah di hadapan Argapati, maka ia pun menggeram, “Argapati, apakah yang sebenarnya sedang kau ingatkan itu? Apakah kau sedang mimpi terlampau buruk, sehingga kau membayangkan seolah-olah di sekitar tempat ini bertebaran orang-orangku yang bertanda sandi suara burung kedasih? O, Kepala Tanah Perdikan yang malang. Ternyata kau telah dipengaruhi oleh kegelisahan dan kecemasan yang luar biasa, sehingga kau tidak lagi dapat membayangkan harapan untuk mendapatkan kemenangan, setidak-tidaknya kesempatan untuk melarikan diri dari arena, sehingga kau berpikir yang bukan-bukan.”

Argapati mengerutkan keningnya. Terdengar suaranya dalam nada yang berat, “Mungkin aku memang bermimpi buruk Tambak Wedi. Mungkin pula pendengaranku salah. Mudah-mudahan kau masih dapat bersikap jantan seperti Paguhan beberapa tahun yang lampau.”

“Arja Teja,” berkata Ki Tambak Wedi, “kau ternyata sudah berputus asa sebelum kau berbuat sesuatu. Apabila memang demikian, maka sebaiknya kau urungkan niatmu untuk melakukan perang tanding. Kau hanya akan membuang waktu dan tenaga. Sebenarnya lebih baik bagimu untuk mati dengan tenang daripada dengan tusukan senjata di lambungmu. Apakah kau pernah berpikir demikian. Kalau kau setuju, marilah. Aku mempunyai sebutir racun yang sudah aku keringkan. Kalau kau bersedia menelannya, maka kau akan dapat berbaring di tanah dengan tenang. Kau akan menghembuskan nafasmu yang terakhir tanpa merasakan sakit, karena lambungmu sobek oleh senjata.”

Terasa dada Ki Argapati berdesir mendengar penghinaan itu. Namun dengan susah payah ia berhasil menahan dirinya. Bahkan kemudian terdengar suara tertawanya perlahan-lahan, “Terima kasih atas kebaikan hatimu, Tambak Wedi. Memang mati dengan menelan racun itu agaknya lebih menyenangkan daripada mati setelah memuntahkan darah dari luka di tubuh ini. Tetapi bagi seorang laki-laki, maka mati dengan senjata di tangan adalah suatu kebanggaan. Sudah tentu kita akan lebih berbangga, apabila kita untuk selamanya tidak pernah menyentuh senjata. Namun apabila keadaan memaksa seperti keadaanku kini, maka adalah paling nikmat untuk berjuang sekuat tenaga daripada membunuh diri.”

Ki Tambak Wedi menganggukkan kepalanya, tetapi wajahnya menjadi tegang. Katanya, “Hem, kau memang keras kepala Argapati. Sejak muda kau memang keras kepala. Baiklah. Marilah kita segera mulai. Agaknya perkembanganmu sepeninggalku telah merubah kau menjadi seorang yang mabuk berkelahi. Tak ada tanda-tanda sikap damaimu sama sekali. Sejak kau melihat aku, maka kau begitu tergesa-gesa untuk melakukan perkelahian.”

“Aku kira kau sudah menyimpan jawaban atas kata-katamu sendiri, Tambak Wedi. Aku tidak perlu menjawabnya.” Argapati berhenti sejenak, lalu tiba-tiba ia berkata, “Ki Tambak Wedi. Aku mempunyai usul yang barangkali baik buatmu. Suatu sikap damai yang barangkali sesuai dengan keinginanmu atasku.”

Ki Tambak Wedi mengerutkan keningnya, sehingga alisnya yang tebal seakan-akan bertemu, “Apakah usulmu itu?” ia bertanya dengan ragu-ragu.

Ki Argapati tersenyum. Tetapi ujung tombaknya merendah setinggi dada. Katanya, “Marilah kita saling berbaik hati. Supaya kita masing-masing tidak lelah seperti kau inginkan. Aku harap kau terbaring di tanah, kemudian aku akan melakukannya perlahan-lahan sampai saatnya ujung tombakku menyentuh jantungmu.”

Ternyata darah Ki Tambak Wedi tiba-tiba saja telah mendidih, ia tidak mampu menahan dirinya lagi. Tiba-tiba ia berteriak nyaring. Tangannya bergetar secepat kilat, hampir-hampir tidak dapat dilihat oleh mata.

Tetapi yang berdiri di hadapannya adalah Argapati. Argapati telah memperhitungkan, bahwa hal itu akan dapat terjadi, sehingga begitu matanya yang tajam menangkap gerakan Ki Tambak Wedi, maka secepat itu pula ia memiringkan tubuhnya sambil menarik sebelah kakinya surut.

“He,” katanya, “kau sudah mulai Tambak Wedi.”

Dada Ki Tambak Wedi serasa akan meledak, ketika ia melihat sikap Argapati yang dengan mudah berhasil menghindari sambaran gelang-gelang besinya yang meluncur sejengkal di depan dada.

“Alangkah tangkasnya kau sekarang,” Tambak Wedi menggeram.

“Jangan memuji. Marilah kita mulai dengan bersunguh-sungguh . Aku tidak akan melayani, apabila kau sekedar bermain lempar-lemparan. Bukankah kau menggenggam senjatamu yang dahsyat itu. Tetapi kenapa kau hanya membawa sebatang saja?”

“Aku menganggap bahwa terlampau berlebih-lebihan bagiku untuk membawa kedua-duanya,” sahut Tambak Wedi, “tetapi jangan banyak bicara. Kita akan segera mulai.”

Argapati tidak menjawab lagi. Selangkah ia maju. Kini keduanya lelah berhadapan dalam jarak yang lebih dekat. Ki Tambak Wedi mempergunakan sebatang nenggalanya, namun setiap saat ia dapat melemparnya dengan gelang-gelang besi yang cukup banyak tersimpan di bawah kain panjangnya, bergantungan pada ikat pinggang yang khusus.

Sejenak mereka berdiri berhadapan. Dan sejenak kemudian Argapati lelah menjulurkan senjatanya. Kemudian dengan gerak yang sukar dipahami, keduanya segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Pada benturan yang mula-mula, telah terdengar dentang kedua senjata itu dengan dahsyatnya, sehingga bunga-bunga api memercik seperti ribuan kunang-kunang yang berloncatan menghambur menjauhi kedua senjata itu.

Pada saat berikutnya, maka mereka bertempur seperti pergulatan sepajang angin pusaran. Kemudian saling berbenturan seperti prahara menghantam batu karang. Keduanya adalah orang-orang’ yang hampir mumpuni dalam olah kanuragan. Keduanya adalah orang-orang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang kebanyakan.

Senjata Ki Tambak Wedi mematuk-matuk seperti ribuan mulut ular yang berkerumun dari segala arah. Kedua tajamnya seakan-akan berubah menjadi beribu-ribu nenggala yang bergerak bersama-sama. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang yang pilih tanding. Kakinya melontar-lontarkan tubuhnya, seperti tidak berinjak di atas tanah.

Namun ternyata pula bahwa Argapati mampu mengimbanginya. Tombaknya berputar seperti baling-baling. Kadang-kadang menebas seperiti sehelai pedang, namun kemudian menusuk langsung ke pusat jantung. Tubuhnya seolah-olah menjadi ringan seperti kapas yang berputar-putar ditiup angin pusaran.

Di dalam perkelahian itu, kaki-kaki mereka telah menyapu bersih tetanaman liar di sekitar sepasang Pucang Kembar itu. Rerumputan dan batang-batang perdu menjadi rata, seolah-olah habis dibajak. Ujung-ujung senjata mereka telah menebas semua tumbuh-tumbuhan dan batang-batang kayu yang tumbuh di seputar tempat perkelahian.

Burung-burung liar yang bersarang di dekat Pucang Kembar itupun segera berterbangan. Mereka terkejut mendengar derak batang-batang yang patah, serta ranting-ranting yang berguncang seperti dilanda angin ribut. Sedang gelombang kedahsyatan perkelahian itu telah melanda binatang-binatang yang berkeliaran di sekitarnya, sehingga berlari-larian. Rusa, kijang-kijang di dalam gerumbul, dan bahkan macan-macan kumbang. Mereka segera menjauh dan bersembunyi di dalam lubang-lubang yang gelap di balik puntuk-puntuk padas.

Demikianlah, perkelahian itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Seperti seekor harimau yang lapar, melawan seekor banteng terluka. Tangguh tanggon. Serangan-serangan mereka datang seperti petir di langit, dan benturan-benturan di antara mereka serasa akan meruntuhkan gunung dan mengeringkan lautan.

Tetapi yang pernah terjadi ternyata terulang kembali. Tidak ada di antara mereka yang segera mampu menguasai lawannya. Setelah sekian puluh tahun mereka berpisah, setelah mereka mengembangkan ilmu masing-masing, dengan cara masing-masing pula, kini mereka bertemu dalam keseimbangan yang serupa dengan beberapa paluh tahun yang lampau. Mereka tidak dapat menentukan siapakah yang akan menang di antara mereka. Yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sebaik-baiknya. Setiap kelengahan dan kesalahan betapa pun kecilnya, akan mempunyai akibat yang sangat berbahaya.

Yang terasa di dalam perang tanding itu adalah, bahwa Ki Tambak Wedi hanya mempergunakan sebatang senjatanya. Senjata itu ternyata lebih pendek dari senjata Argapati. Keuntungan inilah yang dipergunakan oleh Argapati sebaik-baiknya untuk menyerang lawannya dalam jangkauan panjang tombaknya. Namun Ki Tambak Wedi pun menyadari hal ilu pula. Karena itu, maka setiap kali ia memanfaatkan jarak di antara mereka untuk meluncurkan gelang-gelang besinya. Satu demi satu, di setiap kesempatan.

Dan beruntung pulalah Ki Tambak Wedi, bahwa tombak Argapati itu bukan tombaknya yang dipergunakan bertempur beberapa puluh tahun yang lampau. Tombak yang dipakai ini agak terlampau ringan bagi Argapati. Ayunan dan lontarannya agak kurang mantap. Apalagi ia masih harus menyesuaikan diri untuk beberapa saat.

Sementara itu, di rumahnya, Pandan Wangi selalu dalam keadaan gelisah. Ia menjadi terlampau berdebar-debar, ketika ia melihat purnama mulai merayap naik di atas cakrawala. Terbayang di dalam angan-angannya, ayahnya telah mulai melakukan perang tanding dengan Ki Tambak Wedi. Gadis itu menyadari, bahwa persoalan mereka yang lamalah yang sebenarnya telah mendorong keduanya untuk melakukan perang tanding. Seandainya di antara mereka tidak ada persoalan apa pun, maka perselisihan paham pada saat-saat itu tidak akan segera menyeret ke dalam suatu kancah perkelahian.

Bagaimanapun juga, Argapati tidak dapat segera menghapus kenyataan bahwa Sidanti sebenarnya bukan anaknya. Meskipun ia telah berusaha dengan, susah payah, meskipun dalam beberapa puluh tahun, seolah-olah hal itu tidak berbekas, bahkan yang nampak pada Pandai Wangi, bahwa ayahnya telah berlaku sebaik-baiknya terhadap kakaknya, tetapi ungkapan kepahitan kenyataan itu betapa kecilnya akan segera mengangkat kembali luka di dalam hati ayahnya. Apalagi ayahnya harus mempertaruhkan tanah yang selama ini telah dibinanya.

Dalam kegelisahan dan kecemasan itu, Pandan Wangi duduk seperti sebuah patung yang mati. Tidak sepatah kata pun diucapkannya dan seoah-olah semua keadaan di sekitarnya tidak menarik perhatiannya.

Di luar rumahnya, di halaman, Wrahasta sedang sibuk mengatur para pengawal yang berada di bawah tanggung jawabnya. Dengan sepenuh hati, ia melakukan tugasnya untuk mengamankan halaman dan seluruh isi rumah itu, terutama Pandan Wangi. Dengan sepenuh hati, ia setiap kali memeriksa setiap sudut dan setiap kelompok. Tidak ada sejengkal dinding pun yang terlepas dari pengawasan para pengawal tanah perdikan yang bertugas di halaman.

Sedang di luar halaman, para peronda hilir mudik tidak henti-hentinya. Peronda-peronda yang berkeliaran di setiap pedukuhan, dan peronda-peronda yang nganglang dari pedukuhan yang satu kepeduhan yang lain di atas punggung kuda dengan senjata telajang. Setiap orang dari mereka selalu dilengakapi pula dengan senjata-senjata yang dapat dipergunakan untuk mengirimkan tanda dan sasmita. Panah-panah api dan panah-panah sendaren. Mereka tidak henti-hentinya menghubungi gardu-gardu peronda di setiap pedukuhan, dan kemudian melaporkannya ke banjar.

Di banjar, Samekta duduk menghadapi lampu minyak yang berkerdipan ditiup angin malam. Sekali-sekali ia berdiri, berjalan hilir mudik di halaman. Kemudian duduk di antara para pengawal yang berjaga-jaga di gardu di regol halaman. Kadang-kadang ia pergi ke gandok, di mana telah berkumpul sepasukan pengawal yang siap untuk bertempur ke segenap medan di atas tanah perdikan ini. Pasukan itu adalah pasukan yang dipersiapkan untuk dikirim kemana pun yang memerlukannya, membantu setiap pasukan pengawal yang telah siap di setiap padukuhan, apalagi yang langsung berhadapan dengan padukuhan-padukuhan yang diperkirakan telah berada di bawah pengaruh Sidanti dan Argajaya.

Pasukan-pasukan sandi pun berkeliaran di segenap sudut dalam, samaran dan selimut masing-masing. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat di lihat oleh siapa pun, bertengger di atas batang pohon yang rimbun dan berdaun lebat.

Demikianlah, maka malam pun menjadi kian malam. Bulan yang bulat di langit merambat semakin tinggi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan.

Pandan Wangi masih saja duduk di pringgitan menghadapi mangkuk air jahe yang hangat. Tetapi sejak dihidangkan, mangkuk itu sama sekali belum disentuhnya. Apalagi makanan yang teronggok di hadapannya. Sama sekali tidak menarik perhatiannya.

Kerti pun terpaksa harus duduk sambil berdiam diri di hadapan momongannya. Hanya kadang-kadang saja ia berpaling memandangi dua orang kawannya yang duduk sebelah menyebelah. Tetapi kedua kawannya itupun menundukkan kepala mereka sambil mengembara di dalam angan-angan.

Yang dapat di lakukan oleh Kerti, berulang kali adalah menarik nafas dalam-dalam, untuk mengurangi ketegangan yang menyekat dadanya. Namun ia tidak berani lebih dahulu membawa Pandan Wangi ke dalam pembicaraan.

Tiba-tiba mereka yang duduk di pringgitan itu terkejut ketika pintu perlahan-lahan terbuka. Serentak mereka berpaling, dan mereka segera melihat Wrahasta berdiri di muka pintu.

“Oh,” desisnya, “maafkan apabila aku mengganggu.”

Pandan Wangi menjadi gelisah. Tiba-tiba saja dadanya dijalari oleh kegelisahan yang lain menghadapi orang yang bertubuh raksasa ini. Ia masih dihinggapi oleh kebingungan dan keragu-raguan atas pertanyaan yang mengalir seperti banjir. Bahkan terasa bulu-bulu tengkuk gadis itu meremang. Ia telah membayangkan, bahwa Wrahasta itu pasti akan mendesaknya lagi supaya ia menjawab pertanyaan yang membingungkan itu.

Namun hatinya agak tenang, karena di dalam ruangan itu duduk pula Kerti dan dua erang pembantunya. Orang-orang tua itu yelah mendapat kepercayaan pula dari ayahnya, untuk mengawasi seisi rumah, dan terutama karena orang tua itu adalah pemomongnya. Dalam setiap perburuan, maka sebagian terbesar Kerti-lah yang mengawaninya dengan beberapa orang yang lain.

“Apakah aku boleh duduk?” bertanya Wrahasta yang masih berdiri di muka pintu.

“Oh,” Pandan Wangi tergagap, “silahkan.”

Wrahasta melangkah maju sambil bergumam, “Aku perlu melaporkan semua kegiatan di halaman rumah ini, Pandan Wangi.”

“Ya,” Pandan Wangi bergumam, “silahkan.”

Wrahasta pun kemudian duduk di samping Pandan Wangi. Sekali-sekali ditatapnya Kerti dengan sudut matanya.

“Semuanya telah aku persiapkan sebagaimana seharusnya, Pandan Wangi. Setiap saat tidak akan mengecewakan. Mudah-mudahan Paman Samekta berhasil menguasai keadaan di luar halaman, sehingga kami tidak perlu terlampau banyak berbuat.”

“Terima kasih,” sahut Pandan Wangi, “mudah-mudahan Kakang Sidanti tidak berbuat malam ini, sehingga Ayah besok akan dapat memimpin langsung pasukan pengawal tanah perdikan ini, apabila terjadi sesuatu.”

Wrahasta mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan,” katanya, “tetapi seandainya Sidanti mulai juga malam ini, aku tidak akan berkeberatan untuk melayaninya.”

“Terima kasih, Wrahasta,” jawab Pandan Wangi, “tetapi aku mengharap, supaya tidak terjadi sesuatu.”

“Kita boleh mengharap, Pandan Wangi, tetapi kita tidak tahu, apakah yang kini sedang dipikirkan oleh Sidanti. Karena itu, adalah sebaiknya kita bersiap menghadapi setiap kemungkinan.” Wrahasta berhenti sejenak. Ditatapnya sekali lagi Kerti dengan sudut matanya, lalu katanya pula, “Seharusnya, kau melihat sendiri kesiagaan pasukanmu di dalam halaman ini.”

Tanpa dikehendakinya sendiri, Kerti mengangkat wajahnya. Namun ketika tatapan matanya membentur mata Pandan Wangi yang suram, maka orang tua itupun segera berpaling. Namun dengan demikian hatinya menjadi berdebar. Segera teringat olehnya pesan Samekta, bahwa agaknya Pandan Wangi telah dirisaukan oleh sikap Wrahasta, justru dalam saat-saat yang menegangkan ini.

Kerti menarik nafas dalam-dalam ketika ia mendengar Pandan Wangi menjawab, “Aku percaya kepadamu, Wrahasta. Kau sudah cukup berpengalaman. Mudah-mudahan semuanya seperti yang kau katakan.”

“O, itu kurang bijaksana, Wangi. Ki Argapati selalu mengawasi pasukannya langsung, apalagi dalam keadaan yang genting ini. Apakah kau tidak ingin berbuat seperti ayahmu? Kau akan mendapat banyak sekali keuntungan. Kau akan dapat melihat langsung semua persiapan. Kau akan mengetahui, bahwa tidak ada kelengahan di dalam barisanmu. Dan yang tidak kalah pentingnya, kau akan memberi mereka pengaruh yang dapat membesarkan hati mereka di dalam ketegangan yang semakin memuncak.”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Ia dapat menerima alasan itu. Tetapi terasa sekali lagi bulu-bulu tengkuknya meremang. Ia takut akan di hadapkan lagi pada pertanyaan-pertanyaan yang membuat hatinya semakin bingung, bahkan hatinya akan dapat menjadi gelap sama sekali. Ia akan dapat kehilangan akal, dan bertindak di luar kesadaran.

Namun tiba-tiba Pandan Wangi mengangkat dadanya. Dipandanginya Kerti dan dua orang kawannya. Maka katanya kemudian perlahan-lahan, “Paman, marilah kita melihat kesiagaan pasukan pengawal di halaman.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar