Buku 036
Ketika Kerti mengangkat
wajahnya, dilihatnya dahi Wrahasta berkerut merut. Bahkan Wrahasta itu berkata
terbata-bata, “Tetapi, tetapi itu tidak perlu, Pandan Wangi. Aku akan
mengantarmu bersama orang-orang yang telah aku sediakan.”
“Terima kasih Wrahasta. Aku
berterima kasih sekali. Tetapi biarlah Paman Kerti ikut bersamaku. Ia akan ikut
melihat pula kesiagaan di halaman ini. Ia akan dapat memberi aku nasehat apa
yang harus aku lakukan.”
“Itu tidak perlu sama sekali.
Biarlah Paman Kerti berada di dalam rumah. Bukankah tugasnya di dalam rumah ini
saja.”
“O, kau aneh sekali Wrahasta.
Apakah sebenarnya keberatanmu? Paman Kerti adalah pemomongku. Biar sajalah ia
ikut bersama aku.”
“Tetapi bukan demikian
perintah Ayahmu, Pandan Wangi. Akulah yang bertanggung jawab atas keselamatan
seisi rumah ini, termasuk kau. Bukan Kerti. Karena itu, biarlah Paman Kerti
duduk saja di sini. Kau tidak akan terlampau lama. Dan kita akan segera kembali
ke pringgitan ini.”
Terasa debar di dada Pandan
Wangi menjadi semakin keras. Agaknya Wrahasta benar-benar ingin mendapat
kesempatan untuk mendesakkan pertanyaannya. Namun justru karena itu, maka
Pandan Wangi menjadi semakin kecut untuk pergi sendiri tanpa Kerti dan
kawan-kawannya. Karena itu maka katanya, “Wrahasta, aku akan pergi bersama
Kerti dan kedua kawannya. Tidak ada keberatan yang dapat kau ajukan. Seandainya
Ayah tidak berbuat demikian, inilah perbedaan antara Pandan Wangi dan ayahnya.”
“Ah,” Wrahasta berdesah.
Tampak kekecewaan menjalar di wajahnya. Sejenak ia berdiam diri memandangi
nyala pelita yang bergetar disentuh angin malam yang menyusup lubang pintu yang
tidak tertutup rapat-rapat sekali.
Melihat kekecewaan itu, Pandan
Wangi menjadi kian berdebar-debar. Bagaimanapun juga, ia malam ini sangat
memerlukan Wrahasta dan pengaruhnya atas pasukan pengawal yang terutama terdiri
dari anak-anak muda sebaya dengan raksasa itu. Seandainya ia berbuat kurang
sepantasnya bagi tanah kelahirannya ini, maka keadaan akan kian menjadi kisruh.
Sesaat kemudian terdengar
pengawal muda bertubuh raksasa itu berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Silahkan
pergi bersama Paman Kerti melihat-lihat pasukan pengawalmu.”
Sekilas Pandan Wangi memandang
wajah Kerti yang tampaknya tidak memberikan kesan apa pun. Namun sebenarnya
orang tua itu telah menahan perasaannya. Kini ia tahu benar arti pesan Samekta
kepadanya. Sehingga dengan demikian, maka ia benar-benar ingin untuk pergi
bersama Pandan Wangi.
Sejenak kemudian maka Pandan
Wangi itupun segera berdiri bersama semua orang yang berada di pringgitan itu.
Perlahan-lahan ia melangkah keluar lewat pendapa yang remang-remang. Beberapa
orang yang berada di pendapa berpaling ke arahnya. Orang-orang tua yang wajib
mendampingi Pandan Wangi di bidang pemerintahan dan para pengawal yang lain,
yang sedang duduk-duduk beristirahat. Namun segera mereka mengerti kemana
Pandan Wangi akan pergi.
Pandan Wangi pun kemudian
turun ke halaman, melangkah dengan kepala tunduk memutari halaman rumahnya,
halaman depan dan halaman belakang. Hanya kadang-kadang saja ia mengangkat
kepalanya, menyapa beberapa orang yang sedang berjaga-jaga. Lalu sejenak
kemudian kepalanya telah menunduk lagi, seperti sedang menghitung langkah
kakinya.
Tetapi dengan demikian, Pandan
Wangi tahu, bahwa tidak ada dinding yang tidak terawasi sejengkal pun.
“Aku benar-benar tidak dapat
lepas dari pengawasan mereka,” katanya dalam hati.
Sebenarnyalah bahwa di dalam
hatinya tersimpan hasrat untuk pergi tanpa diketahui oleh orang lain ke Pucang
Kembar. Ia ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. Apakah ayahnya
kira-kira dapat memenangkan perang tanding itu, atau barangkali Ki Tambak Wedi
berbuat curang.
“Hatiku selalu diganggu oleh
kecemasan. Aku merasakan getar yang menggelisahkan,” desisnya di dalam hati.
Tetapi sudah tentu bahwa orang-orang di halaman itu tidak akan membiarkannya
pergi seperti pesan ayahnya. Tugas para pengawal itu selain bertahan apabila
ada bahaya, tetapi juga mengawasinya juga, sehingga Pandan Wangi itu merasa
dirinya sebagai wakil ayahnya, Kepala Tanah Perdikan, sekaligus seorang
tawanan. Meskipun ia menyadari dan mengerti maksud ayahnya, namun hatinya
semakin lama semakin gelisah. Apalagi apabila teringat olehnya
pertanyaan-pertanyaan yang diberikan oleh Wrahasta.
Setelah Pandan Wangi melihat
seluruh kegiatan di halaman rumahnya, maka ia pun segera kembali ke pendapa.
Wrahasta mengantarnya sampai ke pintu, lalu katanya, “Silahkan Pandan Wangi.
Aku akan berada di halaman. Setiap kau memerlukan aku. Aku telah sedia.”
“Terima kasih Wrahasta,” jawab
Pandan Wangi. Betapa pun hatinya bergolak, namun ia harus bersikap baik. Bahkan
ia cenderung untuk membuat Wrahasta itu tidak kehilangan harapannya. “Setiap
saat aku mungkin memerlukan kau.”
Sesaat mata Wrahasta menjadi
berkilat-kilat. Namun kemudian ia berkata, “Beristirahatlah. Percayakanlah
halaman rumah dan seisinya kepadaku, seperti ayahmu mempercayakan pula.”
“Ya Wrahasta, aku percaya
kepadamu. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu yang dapat menggoncangkan tanah
ini.”
“Seandainya ada, kita siap
menghadapinya.”
“Ya.”
“Silahkan beristirahat. Aku
minta diri.”
Pandan Wangi melihat langkah
yang tegap dan berat meninggalkannya, melintas pendapa turun ke halaman.
Wrahasta adalah seorang yang memiliki kepercayaan kepada diri sendiri. Bahkan
agak terlampau besar.
Pandan Wangi pun kemudian
masuk ke dalam pringgitan bersama Kerti dan dua orang kawannya. Ia telah
berhasil menghindari desakan pertanyaan-pertanyaan Wrahasta yang pasti akan
menambahnya menjadi semakin bingung. Namun sejalan dengan itu, ia menyadari
bahwa salah paham pada diri raksasa itupun jadi semakin dalam. Agaknya Wrahasta
benar-benar menaruh harapan kepadanya.
“O,” Pandan Wangi berdesah di
dalam hatinya, “aku benar-benar di hadapkan pada keadaan yang tidak aku
kehendaki.”
Ketika kemudian Pandan Wangi
duduk bersama-sama dengan Kerti dan kedua kawannya, ia seolah-olah menjadi
beku. Kepalanya tertunduk dan wajahnya menjadi terlampau suram.
“Pandan Wangi,” berkata Kerti
kemudian, “sebaiknya kau memang harus beristirahat, Ngger. Mungkin kau
terlampau ditegangkan oleh keadaan. Seandainya ada sesuatu yang penting,
biarlah aku mengetuk pintu bilikmu. Meskipun kau pasti tidak akan dapat tidur,
tetapi setidak-tidaknya kau akan mendapat kesegaran baru setelah kau berbaring
beberapa saat.”
Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam.
Sejenak ia berpikir. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Baiklah Paman. Aku akan
beristirahat sebentar. Mungkin aku akan mendapat sedikit ketenangan. Tetapi
mungkin pula aku justru menjadi semakin tegang.” Pandan Wangi berhenti sejenak,
lalu, “Sebentar lagi aku memerlukan laporan keadaan, di dalam dan di luar
halaman ini.”
Maka sejenak kemudian Pandan
Wangi, telah berada di dalam biliknya. Dibaringkannya dirinya di pembaringannya
untuk mencoba beristirahat. Sekali-sekali dipejamkannya matanya, namun ia tidak
berhasil untuk sekejap saja melupakan persoalan yang kini sedang membelit tanah
perdikannya, ayahnya, dan dirinya sendiri.
“Hem,“ Pandan Wangi berdesah.
Kepalanya terasa pening. Sekali-sekali angan-angannya terbang ke Pucang Kembar.
Ia sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi. Tetapi satu hal
yang sangat mengganggunya, adalah bahwa ia sama sekali tidak dapat mempercayai
Ki Tambak Wedi.
Ketika ia melihat sikapnya,
pada saat ia dicegat oleh enam orang yang tidak dikenal, maka tumbuhlah
berbagai pertanyaan di dalam dirinya. Apalagi setelah ia merenungkan semua
ceritera ayahnya, sikapnya dan kata-katanya, ia mendapat kesimpulan, bahwa Ki
Tambak Wedi kini tidak dapat lagi dipercaya.
“Mungkin aku terlampau
berprasangka,” gumamnya di dalam hati, “tetapi aku tidak dapat mengingkari kata
hati ini. Mungkin aku sekedar dicemaskan oleh nasib ayahku kini.”
Pandan Wangi menggigit
bibimya. Dicobanya mencari jalan agar ia dapat pergi ke Pucang Kembar. Tetapi
ia sadar, bahwa apabila ayahnya mengetahuinya, maka akibatnya akan dapat
membahayakan sekali.
“Aku akan minta Paman Kerti
pergi untuk melihat-lihat apa yang kini terjadi di bawah Pucang Kembar.”
desisnya. Namun kemudian, “Tetapi Wrahasta membuat aku menjadi ngeri. Paman
Kerti harus tetap berada di sini.”
Pandan Wangi menjadi semakin
bingung. Ia tidak berani memberi perintah langsung kepada seseorang atau siapa
pun untuk pergi ke Pucang Kembar. Tidak seorang pun akan sanggup berangkat
karena mereka takut kepada ayahnya. Ayahnya telah berpesan, tidak seorang pun
boleh melihat apa yang telah terjadi. Ia tidak mau menodai namanya sendiri.
Satu atau dua orang yang melihat perkelahian itu, akan dapat menumbuhkan kesan
yang kurang baik pada Ki Argapati, seolah-olah Ki Argapati telah membawa satu
atau dua orang pengawal.
Karena itu, juga mustahil
baginya untuk memerintahkan seseorang atau dua orang untuk pergi.
Dengan demikian, maka justru
ketegangan dan kegelisahan semakin mengamuk di dalam dirinya. Sehingga dadanya
serasa berguncang-guncang dan jantungnya serasa akan meledak.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi
itu meloncat berdiri. Ia menemukan suatu cara untuk melaksanakan maksudnya.
Perlahan-lahan ia melangkah keluar. Dan perlahan-lahan ia memanggil Kerti yang
masih duduk di pringgitan.
“Paman, Paman Kerti.”
Kerti yang sedang
terkantuk-kantuk terperanjat. Dengan tergesa-gesa ia berdiri dan bersama kedua
kawannya mendekati Pandan Wangi, “Ada apa Ngger?”
“Paman, kenapa aku tidak boleh
keluar dari halaman rumah ini untuk pergi ke Pucang Kembar?”
“Jangan Ngger. Kau mempunyai
tugas di sini. Tugas yang tidak dapat kau tinggalkan. Lebih daripada itu,
kehadiranmu akan mengganggu ayahmu. Menurut penilaianku, Ki Tambak Wedi dan
ayahmu memiliki kelebihannya masing-masing. Sekejap saja ayahmu lengah, atau
perhatiannya terganggu, maka akibatnya akan berbahaya sekali baginya.”
“Tetapi bagaimanakah kalau Ki
Tambak Wedi curang.”
“Apakah kira-kira bentuk
kecurangannya itu?”
“Ia telah memanggil beberapa
orang tidak dikenal ke dalam tanah perdikan ini. Apakah tidak mungkin bahwa ia
membawa beberapa orang bersamanya dan beramai-ramai berkelahi bersamanya
melawan Ayah di bawah Pucang Kembar.”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Kemungkinan itu memang dapat terjadi. Sidanti telah melakukan apa
saja tanpa mengenal tanggung jawab untuk mencapai maksudnya. Di antaranya
orang-orang yang tidak dikenal itu. Maka tidak mustahil apabila Ki Tambak Wedi
mempergunakan cara yang sama. Tetapi tiba-tiba orang tua itu menggelengkan
kepalanya, “Tidak seorang pun yang berani melanggar perintah Ki Gede Menoreh.”
“Aku akan pergi, Paman. Aku
tidak akan menampakkan diriku. Aku akan bersembunyi. Hanya apabila keadaan
memaksa aku akan membantu Ayah.”
“Tidak Ngger, tidak.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Bagaimana apabila aku memaksa?”
“Jangan Ngger. Mungkin Angger
akan berhasil. Tidak seorang pun yang dapat menahan Angger di sini, meskipun
kami mempergunakan segala wewenang yang diberikan oleh Ki Gede Menoreh, sebab
tidak seorang pun di sini yang mampu menahanmu, apalagi apabila Angger
mempergunakan kekerasan. Namun demikian, aku minta jangan kau lakukan, Ngger.
Untuk kepentinganmu dan kepentingan Ki Gede sendiri.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Kerut di keningnya menjadi semakin dalam. Tiba-tiba saja ia berbalik dan dengan
tergesa-gesa masuk ke dalam biliknya. Sebelum Kerti sempat bertanya sesuatu
kepadanya, maka pintu bilik itu telah tertutup.
Kerti mengangkat bahunya.
Dipandanginya kedua temannya dengan penuh kecemasan. Tetapi kedua kawannya
itupun menggelengkan kepalanya. Mereka pun tidak tahu, apakah yang sepantasnya
dilakukan.
Perlahan-lahan Kerti
meninggalkan pintu bilik Pandan Wangi kembali ke pringgitan. Dengan penuh
persoalan di dalam dirinya, ia merenung sambil menundukkan kepalanya. Namun
kecemasan Pandan Wangi itu beralasan. Mungkin Ki Tambak Wedi berbuat curang.
Mungkin, mungkin sekali. Memang tidak ada salahnya apabila seseorang atau dua
orang pergi menengoknya. Tentu saja sambil bersembunyi-sembunyi, agar Ki
Argapati tidak mengetahuinya. Apabila Ki Tambak Wedi tidak berbuat curang, maka
orang-orang itu tidak boleh menampakkan dirinya.
Tetapi seperti orang disengat
lebah. Kerti terlonjak berdiri dan langsung berlari ke bilik Pandan Wangi.
Tanpa mengetuk pintu bilik itu langsung dibukanya, untuk melihat apakah Pandan
Wangi masih ada di dalamnya.
Terasa dada Kerti akan meledak
ketika ia tidak melihat Pandan Wangi di dalam biliknya. Dilihatnya setiap
sudut, setiap lekuk dan bahkan di sisi gelodog bambu. Namun Pandan Wangi
benar-benar tidak ada lagi di dalam bilik itu.
Dengan tergesa-gesa Kerti
meloncat keluar. Di depan bilik itu, hampir ia berbenturan dengan kedua
kawannya yang menyusulnya.
“Pandan Wangi tidak berada di
biliknya,” desis orang tua itu.
“Apakah ia pergi?”
“Mungkin sekali. Lihatlah
pintu belakang. Apakah pintu itu terbuka. Tetapi jangan membuat gaduh.
Lakukanlah seolah tidak terjadi sesuatu.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan mereka melangkah ke ruang dalam.
Dilihatnya pintu belakang yang langsung menuju ke serambi yang berhadapan
dengan dapur masih tertutup rapat.
“Salarak pintu itu masih di
tempatnya.” desis yang seorang.
Yang lain menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Mungkin ia masih berada di dalam biliknya atau di dalam
rumah ini.”
“Mungkin di bilik Ki Argapati.”
Keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian mereka melangkah kembali. Mereka ingin melihat ke dalam
bilik Ki Argapati. Mungkin Pandan Wangi ada di sana. Tetapi sekali lagi mereka
hampir berbenturan dengan Kerti yang baru saja melangkahi pintu bilik Ki Gede
dari dalam.
“Kosong,” desis Kerti.
Kedua kawannya mengerutkan
keningnya. Namun seperti orang tersadar dari mimpinya, Kerti berkata, “Lihat
pintu butulan samping.”
Ketiganya segera pergi ke
pintu butulan. Pintu itupun masih tertutup rapat. Tetapi ketika Kerti
merabanya, pintu itu bergerak setebal jari.
“Pintu ini sudah tidak
terkancing.”
Kawannya meninting selarak
pintu sambil berkata, “Inilah selaraknya.”
“Hem,” Kerti menarik nafas
dalam-dalam. “Aku terlampau bodoh. Seharusnya sejak aku mendengar maksudnya
untuk pergi ke Pucang Kembar, aku sudah dapat menduga, bahwa anak yang keras
hati itu akan lari seperti yang pernah dilakukan. Ia pernah lari untuk menemui
kakaknya. Padahal waktu itu Ki Argapati ada di rumah. Apalagi kini. Tidak seorang
pun yang ditakutinya di dalam rumah ini. Bodoh sekali. Bodoh sekali. Aku
menyadarinya setelah aku terlambat.”
“Itukah sebabnya kau terloncat
dari tempat dudukmu?”
“Ya, itulah. Tetapi sudah
terlambat.”
Kedua kawannya saling
berpandangan. Tetapi mereka tidak mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Karena itu maka mereka pun kemudian terdiam sambil memandangi wajah Kerti yang
pucat.
“Oh. kalau Pandan Wangi benar
sampai ke Pucang Kembar, dan Ki Argapati mengetahuinya, alangkah besar
akibatnya. Meskipun gadis itu menyadarinya juga, namun perasaannya yang
melonjak-lonjak akan sangat sulit untuk dikendalikannya. Darah muda yang
mengalir di dalam dirinya, justru darah Argapati yang keras hati, akan
membuatnya kehilangan pengamatan diri.”
“Lalu apakah yang sebaiknya
kami kerjakan?” bertanya salah seorang kawannya.
Kerti termenung sejenak. Namun
kemudian ia berkata, “Marilah kita lihat dahulu, mungkin ia masih berada di
halaman.”
Kedua kawannya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berkata, “Memang
mustahil untuk keluar dari halaman rumah ini.”
Ketiganya pun kemudian
berjalan keluar. Mereka mencoba untuk tidak terpengaruh oleh hilangnya Pandan
Wangi. Mereka berjalan seperti tidak terjadi sesuatu.
Di luar pendapa mereka pun
segera berpencar. Tanpa berkata apa pun, mereka mencari ke arah yang
berbeda-beda.
Wrahasta yang duduk di gardu,
di regol halaman melihat ketiga orang itu turun. Sejenak ia mengikuti dengan
pandangan matanya yang tajam. Memang tumbuh pula pertanyaan di dalam dirinya,
kenapa mereka kemudian pergi berpencaran. Namun karena sikap ketiga orang itu
sama sekali tidak mencurigakannya, maka ia pun kemudian tidak mempedulikannya
lagi.
Tetapi tiba-tiba teringat
olehnya, Pandan Wangi, yang tidak pernah dapat dijumpainya sendian. Setiap kali
Kerti selalu ada bersamanya. Karena itu, kepergian Kerti bersama kedua kawannya
itu akan merupakan kesempatan baginya untuk bertemu dengan Pandan Wangi tanpa
diganggu oleh siapa pun.
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan mempergunakan
kesempatan itu? Namun agaknya hasratnya yang tidak tertahankan lagi untuk
mendapat penjelasan dari Pandan Wangi telah mendesaknya. Sehingga karena itu,
maka perlahan-lahan ia berdiri. Sesaat ia berdiri mematung di tempatnya. Kerti
dan kedua kawannya tidak dilihatnya lagi, hilang di dalam bayang-bayang
pepohonan.
“Aku akan masuk,“” katanya di
dalam hati, “banyak alasan yang dapat aku berikan, kenapa aku masuk.”
Wrahasta itupun kemudian
membulatkan maksudnya. Kepada para penjaga di gardu ia berkata, “Aku akan
menghadap Pandan Wangi. Ia setiap kali harus mendengar perkembangan keadaan.”
Kawan-kawannya tidak
berprasangka apa pun. Tetapi salah seorang berkata, “Tidak ada perkembangan
apa-apa.”
“Itulah yang akan aku katakan,
bahwa sampai saat ini tidak ada perkembangan apa pun, supaya ia tidak bertambah
gelisah.”
Wrahasta itupun kemudian
melangkah perlahan-lahan ke pendapa. Ia masih melihat beberapa orang
duduk-duduk sambil berbicara perlahan-lahan. Tetapi tidak seorang pun dari
mereka yang menaruh perhatian terhadap sikapnya.
Perlahan-lahan Wrahasta
melintasi pendapa, membuka pintu pringgitan dan masuk ke dalamnya. Kemudian
menutup pintu itu kembali. Namun di pringgitan itu sama sekali tidak
dijumpainya seseorang. Pandan Wangi tidak ada di pringgitan.
“Hem,” ia berdesah, “aku harus
bertemu sekarang. Tetapi di mana anak itu?”
Sejenak Wrahasta menjadi
bimbang. Bahkan hampir-hampir ia melangkah keluar. Tetapi sekali lagi hasratnya
untuk berbicara dengan Pandan Wangi mendesaknya lagi.
“Anak ini pasti tertidur,”
densisnya perlahan-lahan sekali, “karena itulah, maka Kerti meninggalkannya.”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Ia benar-benar berada di dalam kebimbangan. Namun dalam pada itu
di luar sadarnya ia melangkah ke pintu bilik Pandan Wangi yang separo tertutup.
Keragu-raguan semakin memuncak
di dalam dadanya. Kini ia berdiri tegak di sisi pintu bilik itu dengan keringat
yang membasahi tubuhnya. Bahkan terasa tubuhnya menjadi gemetar. Jauh melampaui
dari saat-saat ia berdiri di hadapan seorang lawan yang betapa pun dahsyatnya.
Sekali-sekali disapunya seluruh ruangan itu dengan matanya. Kecemasan yang
sangat, mencengkam dadanya. Bagaimanakah kata Kerti nanti apabila melihat
sikapnya itu?
“Tetapi aku harus menemuinya,”
katanya di dalam hati. “Sekarang.”
Dengan demikian, maka Wrahasta
segera membulatkan tekadnya. Tetapi ia tidak mau mengejutkan Pandan Wangi.
Apalagi membuat gadis itu memekik. Karena itu maka ia tidak mau langsung masuk
ke dalam bilik itu. Perlahan-lahan mengetuk pintu sambil bergumam lirih,
“Wangi. Pandan Wangi.”
Namun bilik itu terlampau
sepi. Sehingga Wrahasta mengulanginya, “Pandan Wangi. Wangi.” Dan ketukan
tangannya menjadi semakin keras.
Masih belum ada jawaban.
Wrahasta menarik nafas dalam-dalam.
Pandan Wangi adalah seorang gadis yang menurut pendengarannya mempunyai ilmu
yang cukup, meskipun ia belum pernah menyaksikannya sendiri. Karena itu, maka
pendengarannya pun pasti terlatih baik, meskipun ia sedang tidur. Mustahillah
apabila gadis itu masih belum mendengar panggilannya.
“Hem,” ia berdesah, “terlampau
sulit untuk mengetahui perasaan yang sesungguhnya. Aku hanya dapat
berharap-harap cemas. Tetapi aku tidak dapat mendengar ia berkata
setegas-tegasnya, ‘Ya’.”
Akhirnya Wrahasta tidak
telaten menunggu. Beberapa kali ia telah mengulangi panggilannya. Tetapi sama
sekali tidak ada jawaban.
“Ia pasti sudah mendengar
suaraku,” katanya di dalam hati, “aku mengharap tidak akan mengejutkannya.”
Perlahan-lahan dan sangat
hati-hati Wrahasta melangkah ke pintu. Ditolaknya daun pintu lereg itu ke
samping, dan dijengukkannya kepalanya. Perlahan-lahan sekali sambil berdesis,
“Maafkan aku Wangi.”
Tetapi tiba-tiba hatinya
berguncang. Nafasnya terasa seakan-akan berhenti. Bilik itu ternyata kosong.
Kosong sama sekali. Tidak ada seorang pun di dalamnya. Apalagi Pandan Wangi
yang sedang tidur.
Jantung Wrahasta serasa akan
meledak oleh kekecewaan. Bahkan hampir-hampir ia terlempar dalam kemarahan yang
sangat. Tetapi kemudian orang yang bertubuh raksasa itu berusaha untuk
mengendalikan dirinya.
“Salahku,” ia mencoba
menghibur diri sendiri, “bukan salah Pandan Wangi dan bukan salah Kerti. Tidak
seorang pun yang mengatakan kepadaku, bahwa Pandan Wangi sedang tidur di dalam
biliknya. Tetapi dengan demikian di manakah anak itu sekarang? Apakah ia sedang
berada di dapur, atau di pakiwan, atau di mana?”
Kegelisahan yang tajam telah
tergores di dinding hatinya. Bahkan ia menjadi cemas tanpa disadari
sebab-sebabnya.
“Ke manakah Kerti dan kedua
kawannya itu?” baru kinilah tumbuh kecurigaan di hatinya. Karena itu, maka
tergesa-gesa ia melangkah keluar dari ruangan itu, melintasi pendapa dan
kemudian turun ke halaman. Kini ia berusaha untuk menemukannya Kerti dan
bertanya tentang Pandan Wangi.
Tidak terlampau sulit untuk
mencari Kerti di halaman itu. Kerti sedang berdiri disisi regol butulan.
Meskipun Kerti tidak bertanya sesuatu, tetapi apabila orang-orang di regol
butulan itu melihat seseorang keluar, lewat regol atau meloncat dinding, mereka
pasti akan mengatakannya. Tetapi ternyata orang-orang di regol halaman belakang
itu tidak mengatakan sesuatu.
“Paman Kerti,” Wrahasta tidak
dapat menahan dirinya lagi, “aku memerlukanmu sekarang.”
Kerti mengerutkan keningnya.
Ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Wrahasta. Apakah mungkin Wrahasta yang
melepaskan Pandan Wangi keluar regol halaman?
“Cepatlah sedikit,” desak
Wrahasta.
Kerti tidak menyahut. Tetapi
segera diikutinya Wrahasta ke tempat yang agak terlindung.
“Apakah kau melihat Pandan
Wangi?” bertanya Wrahasta langsung.
Kerti yang tua itu memandang
wajah Wrahasta tajam-tajam, seolah-olah langsung ingin melihat ke dalam pusat
dadanya. Sejenak kemudian perlahan-lahan ia bertanya, “Kenapa kau bertanya
tentang Pandan Wangi?”
“Jangan mempersulit. Katakan di
mana Pandan Wangi sekarang.”
“Jangan mendesak seperti itu,
Wrahasta. Tetapi dengan demikian aku tahu bahwa kau telah mencarinya di dalam
rumah dan kau tidak menemukannya. Bukankah begitu?”
Dada Wrahasta berdesir. Tetapi
ia tidak sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Sambil menganggukkan
kepalanya ia menjawab, “Ya. Aku telah mencarinya.”
“Pada saat kau melihat aku dan
kedua kawan-kawanku keluar dari rumah itu?”
“Ya.”
“Kenapa? Kenapa kau
mempergunakan waktu itu untuk bertemu dengan Pandan Wangi? Justru pada saat aku
pergi keluar?”
Wrahasta tidak dapat segera
menjawab pertanyaan itu. Dengan demikian sejenak ia terdiam. Namun sejenak
kemudian ia menjawab, “Kalau kau akan mempersoalkan hal itu, baiklah kita
persoalkan kelak. Tetapi di mana Pandan Wangi sekarang?”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Maka dijawabnya dengan nada datar, yang meskipun perlahan-lahan,
tetapi benar-benar telah menggoncangkan dada Wrahasta, “Pandan Wangi ternyata
tidak ada di dalam rumah itu. Itulah sebabnya aku sekarang sedang mencarinya di
halaman rumah ini.”
Sejenak Wrahasta membeku di
tempatnya. Namun gemuruh di dadanya serasa akan memecahkan jantungnya. Bahkan
serasa ia tidak yakin akan pendengarannya. Apakah benar Kerti berkata demikian?
Bahwa Pandan Wangi tidak ada di dalam rumah?
Karena Wrahasta tidak segera
berkata sesuatu, maka terdengar suara Kerti seolah-olah bergumam saja di dalam
mulutnya, “Ia masuk ke dalam biliknya. Aku sangka ia ingin beristirahat atau
apabila mungkin tidur. Tetapi ternyata ia lenyap seperti ditelan hantu. Tetapi
menurut dugaanku, amatlah sulit untuk keluar dari halaman ini tanpa dilihat
oleh seseorang.”
Terdengar Wrahasta menggeram.
Kemudian jawabnya patah-patah, “Ya. Memang tidak mungkin keluar dari halaman
rumah ini.”
“Marilah kita mencoba mencarinya.
Tetapi tidak usah membuat gaduh. Biarlah mereka yang tidak tahu tidak menjadi
ikut gelisah karenanya.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Marilah,” desisnya.
Kerti dan Wrahasta kemudian
meninggalkan tempat itu ke arah yang berbeda-beda, seperti kedua kawan Kerti
yang lain. Mereka menyusup ke segenap sudut dan tempat-tempat yang terlindung.
Bahkan kandang kuda pun mereka lihat pula, kalau-kalau Pandan Wangi baru
sekedar bersembunyi sebelum mendapat kesempatan pergi.
Tetapi belum juga salah
seorang dari mereka berhasil menemukan Pandan Wangi, sehingga mereka menjadi
gelisah. Kerti yang kemudian berjalan di sepanjang dinding halaman, akhirnya
menemukan juga tempat-tempat yang menurut penilaiannya cukup lemah. Satu dua
penjaga ternyata duduk sambil terkantuk-kantuk.
“Apakah mungkin Pandan Wangi
meloncat dinding halaman ini?” pertanyaan itu selalu mengganggunya.
Namun akhirnya Kerti
berkesimpulan, bahwa hal itu memang mungkin sekali dilakukan. Pandan Wangi
bukan seorang gadis biasa. Bahkan ia berada di atas semua laki-laki di tanah
perdikan itu dalam olah kanuragan, sehingga sangat mungkin baginya untuk
mengelabuhi satu dua orang pengawas yang berjaga-jaga di seputar rumahnya.
Beberapa saat kemudian, Kerti,
kedua kawannya, dan Wrahasta telah berkumpul di dalam pringgitan. Tampaklah
wajah-wajah mereka menjadi tegang dan nafas mereka seakan-akan berkejaran lewat
lubang hidung mereka karena kegelisahan.
“Kita ternyata tidak dapat
menemukannya,” gumam Kerti seolah-olah kepada diri sendiri.
“Ya,” sahut Wrahasta, “anak
itu seolah-olah hilang ditelan hantu.”
“Aku mencemaskannya apabila ia
pergi ke Pucang Kembar,” berkata Kerti kemudian.
“Apakah ia bermaksud
demikian?” bertanya Wrahasta.
“Ia selalu menyatakan
keinginannya itu.”
“Kalau begitu, aku akan
menyusulnya.”
“Jangan berbuat bodoh.
Pikirkan lebih dahulu setiap tindakan,” sahut Kerti, “apakah sudah sepantasnya
kau meninggalkan tanggung jawabmu atas halaman dan rumah ini.”
“Pandan Wangi termasuk
sebagian, bahkan yang terbesar dari tanggung jawabku. Karena itu, sudah
seharusnya aku mencarinya sampai ketemu.”
Kerti yang tua itu
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Jangan Wrahasta. Kau bertanggung jawab atas
halaman ini seisinya. Kalau halaman ini kau tinggalkan dan malam ini juga
Sidanti memasuki rumah ini, maka kesalahan terbesar terletak di bahumu. Sedang
Pandan Wangi, serahkanlah ia kepadaku. Aku akan mencarinya dan membawanya
kembali ke dalam rumah ini.”
Sejenak Wrahasta menahan
nafasnya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Ia mengerti maksud Kerti, tetapi
perasaannya seolah-olah tidak dapat lagi dikekangnya. Ia menjadi terlampau
cemas atas nasib Pandan Wangi.
“Jangan kau terlampau menuruti
perasaanmu anak muda,” berkata Kerti kemudian, “aku tidak akan mencampuri
persoalanmu, persoalan anak-anak muda. Tetapi kau harus dapat memisahkan
kepentingan yang satu dengan yang lain. Persoalan yang menyangkut tanah
perdikan ini dan persoalan pribadimu.”
“Oh,” Wrahasta berdesah,
“darimana kau tahu, Paman?”
“Aku adalah orang tua. Aku
dapat menangkap getar dalam dada anak-anak muda. Karena itu, dengarlah
nasehatku. Kau tinggal di sini. Aku akan pergi. Aku tahu apa yang harus aku
kerjakan. Aku akan pergi ke Pucang Kembar, tanpa mengganggu perang tanding itu.
Sebab apabila Ki Gede Menoreh mengetahui kehadiranku, atau salah seorang dari
kita, maka alangkah marahnya. Kalau aku terlambat, dan Pandan Wangi telah ada
di sana pula, maka aku pun akan menerima akibat yang sama. Bahkan kehadiran
Pandan Wangi apabila diketahui oleh ayahnya benar-benar merupakan bahaya yang
pasti bagi Ki Gede.”
Wrahasta tidak segera
menjawab. Perlahan-lahan kepalanya menunduk.
“Tinggallah kau di sini anak
muda,” berkata Kerti kemudian, “kedua kawanku ini pun akan tinggal di sini
pula. Setiap saat Sidanti dan Argajaya akan merayap memasuki induk tanah
perdikan ini. Adalah menjadi kuwajibanmu untuk bertahan di sini.”
Wrahasta masih belum menjawab.
Kepalanya kini benar-benar telah tertunduk dalam-dalam. Tampaklah ia sedang
berpikir. Dicobanya untuk mengatasi gelora perasaannya, dan menempatkannya pada
keadaan yang wajar. Wajar bagi seorang pemimpin pasukan pengawal yang mendapat
perintah untuk bertanggung jawab atas halaman dan rumah ini.
“Apakah kau mengerti
maksudku?” bertanya Kerti.
Perlahan-lahan Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku mengerti. Tetapi apakah kau
akan pergi seorang diri?”
“Aku akan singgah ke banjar.
Aku akan menemui Samekta. Mungkin aku akan mendapat kawan yang baik dari
banjar. Sebab kita sadar, siapakah yang kini sedang berada dan berperang tanding
di bawah Pucang Kembar itu.”
Wrahasta mengangguk pula,
“Baiklah. Aku akan tinggal di sini. Mudah-mudahan kau berhasil menemukan dan
membawa anak itu kembali ke rumah ini.”
“Aku akan berusaha,” sahut
Kerti, “nah, baiklah aku segera berangkat. Aku akan membawa kuda, supaya aku
datang lebih cepat dari Pandan Wangi.”
Sesaat kemudian seekor kuda
berderap lari meninggalkan halaman rumah Pandan Wangi. Suaranya gemeretak di
atas jalan berbatu-batu, memecah sepinya malam. Semakin lama semakin jauh dan beberapa
saat kemudian hilang dari pendengaran.
Wrahasta masih berdiri di
regol halaman. Debar jantungnya masih terasa menghentak-hentak di dadanya. Ia
telah dicengkam oleh kecemasan tentang hilangnya Pandan Wangi. Cemas bahwa ia
untuk seterusnya tidak akan dapat mengharapkannya, dan cemas atas tanggung
jawab yang dibebankan kepadanya.
Tetapi Wrahasta mencoba untuk
menumpahkan segala harapannya kepada Kerti. Ia kenal orang tua itu. Ia tahu
kemampuan yang tersimpan di dalam diri pemomong Pandan Wangi itu. Karena itu
maka ia masih belum berputus asa.
Sementara itu Kerti memacu
kudanya menyusup dalam keremangan malam. Sekali-sekali ditengadahkan wajahnya.
Dilihatnya bulan yang bulat semakin meninggi. Seperti Pandan Wangi, terbayang
di dalam angan-angannya, sebuah perkelahian antara hidup dan mati yang dahsyat
telah terjadi di Pucang Kembar. Perkelahian antara dua orang yang pilih
tanding.
“Hem,” orang tua itu menarik
nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin menghirup kesejukan malam
sebanyak-banyaknya. “Pandan Wangi benar-benar anak yang keras hati.
Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”
Kerti pun mencoba memacu
kudanya semakin cepat, supaya ia dapat mendahului Pandan Wangi. Kalau
kedatangan Pandan Wangi itu diketahui oleh ayahnya, maka rusaklah perang
tanding itu.
Ketika Kerti sampai dimuka
halaman banjar, maka segera ia menarik kekang kudanya. Seorang penjaga regol
mendekatinya dengan tombak menunduk, “Siapa?”
“Aku, Kerti. Apakah Samekta
ada di dalam banjar?”
“O, kau Kiai, masuklah.”
Kerti segera memasuki halaman.
Setelah kudanya diikatkannya pada sebatang kayu, maka dengan tergesa-gesa ia
menemui Samekta yang duduk dengan beberapa orang pemimpin pengawal di pendapa.
“He, kau sendiri datang
kemari?” bertanya Samekta.
Kerti mengangguk, “Ya,”
jawabnya pendek.
“Kau nampak terlalu
bersungguh-sungguh. Aku menjadi berdebar-debar.”
“Memang seharusnya kau menjadi
berdebar-debar,” jawab Kerti yang masih juga sempat bergurau, “aku memang ingin
melihat kau menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas, supaya aku tidak dicengkam
perasaan demikian seorang diri.”
“O, jadi kau memerlukan kawan
dalam kebingungan? Baiklah. Aku akan menjadi tegang, berdebar-debar dan cemas.
Tetapi aku harus tahu apakah sebabnya, maka kau menjadi demikian.”
“Dengarlah baik-baik.
Berpeganganlah pada tiang, supaya kau tidak terjatuh dan pingsan.”
“Katakanlah. Aku sudah
terlanjur cemas. Dadaku sudah berdebar-debar dan darahku serasa semakin cepat
mengalir.”
“Baiklah,” jawab Kerti yang
wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh, “Pandan Wangi ternyata tidak berada
di rumahnya.”
“He,” Samekta tergeser
secengkang, “kau berkata sebenarnya?”
“Hal ini benar-benar telah
terjadi.”
Sejenak Samekta tidak dapat
mengucapkan sepatah kata pun. Ditatapnya saja wajah Kerti, seakan-akan ingin
melihat apa yang tersembunyi di balik wajah yang sudah mulai dilukai oleh
kerut-merut itu.
“Apakah kau kurang percaya?”
Samekta tidak segera menjawab.
Tetapi sejenak kemudian ia menggeleng, “Bukan. Bukan karena aku tidak percaya.
Hal itu memang mungkin sekali terjadi. Apabila benar demikian, maka anak itu
sudah lari untuk kedua kalinya dari rumahnya. Tetapi apakah kalian lengah
mengawasinya.”
“Sudah tentu. Kalau tidak, ia
tidak akan dapat keluar dari halaman.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya, “Memang tidak perlu untuk mencari siapakah yang bersalah.
Tetapi apakah kau dapat menduga, ke mana perginya? Yang terpenting sekarang
adalah menemukannya, bukan mempersoalkan siapakah yang bertanggung jawab atas
hilangnya itu.”
”Bagus. Ternyata pikiranmu
masih cukup sehat,” sahut Kerti, yang kemudian menceriterakan apa yang dilihat
dan didengarnya di dalam rumah Ki Argapati. Bagaimana sikap dan keinginan
Pandan Wangi, sehingga pada suatu saat ia menemukan bilik itu kosong.
“Kalau begitu kita harus cepat
pergi,” berkata Samekta, “tetapi apakah aku dapat meninggalkan banjar ini?”
“Bukan kau sendiri. Tetapi kau
dapat menunjuk seseorang yang paling kau percaya untuk menemaniku.”
“Kau akan pergi?”
“Ya. Pekerjaan ini bukan
pekerjaan sambilan. Aku harus menemukannya. Sedang kita tahu, di bawah Pucang
Kembar itu kini sedang terjadi benturan yang dahsyat antara dua orang raksasa
yang perkasa.”
Samekta mengerutkan keningnya
sambil mengangguk-angguk. Ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka
dipilihnyalah dua orang pemimpin pengawal yang paling kuat di antara sekian
banyak kawan-kawannya untuk pergi ke Pucang Kembar.
“Usahakan, supaya Ki Argapati
tidak tahu apa yang terjadi. Kau harus menemukan Pandan Wangi sebelum Pandan
Wangi berhasil mendekat. Kalau kau mempergunakan kuda, maka kau pasti akan jauh
lebih cepat daripadanya, sehingga kau dapat mencegatnya sebelum ia naik ke
tebing itu.”
“Ya. Aku akan berangkat
sekarang.”
“Pergilah.”
Kerti pun segera pergi bersama
dua orang pemimpin pengawal yang terpilih. Mereka segera memacu kuda-kuda
mereka seperti angin. Setiap kali mereka harus memperlambat derap kaki-kaki
kuda itu di depan gardu-gardu peronda, untuk menjawab berbagal pertanyaan yang
hampir bersamaan satu dengan lainnya. Namun betapa mereka menjadi jemu, mereka
harus menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.
Maka semakin lama ketiga orang
itu menjadi semakin dekat dengan Pucang Kembar. Tetapi mereka masih belum
menemukan atau melampaui Pandan Wangi, sehingga Kerti semakin lama menjadi
semakin gelisah karenanya.
“Derap kuda kita agaknya telah
mendorong Pandan Wangi untuk bersembunyi,” berkata Kerti perlahan-lahan.
“Ya. Beberapa puluh langkah di
muka, suara derap kuda ini sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi, semakin kita
maju, maka Ki Argapati di bawah Pucang Kembar pun akan mendengarnya pula,”
sahut salah seorang temannya.
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil memperlambat lari kudanya ia berkata, “Jangan terlampau
cepat, supaya derap kaki-kaki kuda kita tidak terlampau keras.”
Ketiganya kemudian meneruskan
perjalanan mereka dengan langkah-langkah yang lebih lamban. Kuda-kuda mereka
berlari perlahan-lahan, sehingga sentuhan kaki-kaki kuda itu di atas tanah
berbatu padas tidak meninmbulkan suara terlampau keras.
“Kita sudah terlampau dekat,”
berkata Kerti beberapa saat kemudian. “lebih baik kita turun. Kita sembunyikan
kuda kita, lalu kita mendekat dengan berjalan kaki. Kalau kita terlampau dekat,
maka apabila kuda-kuda itu meringkik, rusaklah segala acara.”
Kawan-kawannya menyetujuinya,
sehingga mereka bertigapun meneruskan perjalanan itu sambil berjalan kaki.
Hati-hati dan dengan penuh kewaspadaan. Tangan-tangan mereka seolah-olah tidak
terpisah lagi dari hulu pedang mereka. Sedang kawan Kerti yang seorang, yang
bertubuh kecil, mempunyai beberapa bilah pisau di ikat pinggangnya yang lebar,
selebar telapak tangan. Tangannya yang pendek itu terlampau cepat melepaskan
pisau-pisaunya, dengan bidikan yang tepat. Ia hampir tidak pernah gagal
mengenai sasarannya. Apalagi sasaran yang diam, sedang sasaran bergerak pun
hampir pasti dapat dikuasainya.
Semakin dekat mereka dengan
Pucang Kembar, mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka berjalan di antara
semak-semak yang rimbun. Kemudian membungkuk-bungkuk dan berlari-lari kecil
dari satu gerumbul kegerumbul yang lain.
Namun mereka sama sekali tidak
menemukan Pandan Wangi. Mereka sama sekali tidak melihat tanda-tanda apapun
tentang gadis itu. Sehingga dengan demikian, maka Kerti pun menjadi semakin
berdebar-debar. Keringat dingin telah mengalir di segenap wajah kulitnya.
Bajunya menjadi basah, dan di keningnya mengembun beberapa titik keringat.
Beberapa langkah lagi mereka
menjadi semakin dekat. Dengan dada berdebar-debar mereka menjengukkan kepala
mereka dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun. Terasalah desir yang tajam di
dalam dada mereka, ketika remang-remang di kejauhan mereka melihat dua bayangan
seperti endog pangamun-amun, bergetar di dalam keremangan cahaya rembulan yang
bulat.
Sesaat mereka saling
berpandangan. Meskipun tidak sepatah kata pun yang terucapkan, namun
seolah-olah mereka saling dapat menangkap isi hati masing-masing.
Kerti dan kedua orang kawannya
adalah orang-orang yang memiliki pengalaman yang cukup sebagai
pengawal-pengawal tanah perdikan. Namun mereka seperti kanak-kanak yang baru
pertama kalinya melihat seekor kuda berpacu. Mereka melihat bayangan yang
seakan-akan melayang-layang itu dengan mulut ternganga. Alangkah dahsyatnya.
Namun sejenak kemudian, Kerti
menyadari keadaannya. Dengan berbisik perlahan sekali ia berkata, “Kita tidak melihat
Pandan Wangi di sini.”
“Mungkin ia berada di depan
kita, semakin dekat dengan perkelahian itu.”
“Mungkin. Tetapi dengan
demikian, sangat berbahaya baginya dan bagi Ki Argapati. Kalau kakinya
menyentuh daun-daun kering itu, maka gemersik suaranya akan didengar oleh kedua
orang yang luar biasa itu. Nah, kau pasti akan tahu akibatnya.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sedang Kerti berbisik pula, “Tetapi
mungkin Pandan Wangi belum sampai ke tempat ini.”
“Baiklah kita menunggu saja di
sini. Tempat ini cukup jauh, meskipun lamat-lamat kita melihat bayangan mereka
yang berkelahi,” sahut kawannya.
Kerti mengangguk sambil
berdesis, “Kita sulit membedakan keduanya selain dari bentuk senjata mereka.
Yang bertombak itu pasti Ki Argapati, sedang yang bersenjata lebih pendek itu
adalah Ki Tambak Wedi.”
Demikianlah, maka mereka
bertiga tetap berada di tempat itu, di balik sebuah gerumbul yang rimbun.
Dengan sepenuh hati mereka mengikuti perkelahian antara kedua orang yang pilih
tanding. Perkelahian yang te!ah sampai pada pucaknya dengan bertaruh nyawa.
Seolah-olah mereka sedang melanjutkan perkelahian yang pernah terjadi di bawah
Pucang Kembar itu pula beberapa puluh tahun yang lampau.
Sementara itu, Sidanti, dan
Argajaya, sedang sibuk mengatur pasukannya. Mereka merasa, bahwa telah sampai
saatnya, mereka berangkat untuk merebut induk Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita akan memasuki padukuhaan
induk itu dari timur, Paman,” berkata Sidanti ketika pasukan mereka telah siap,
“seperti pesan guru.”
“Ya,” sahut pamannya, “apakah
pasukan yang akan memancing para pengawal itu telah siap pula.”
“Sudah. Aku sediakan sepasukan
yang cukup kuat untuk bertahan beberapa lama, sementara pasukan induk kita
masuk dari arah lain. Pasukan yang akan memancing perhatian itu akan datang
dari arah barat.”
“Bagus. Biarlah pasukan itu
berangkat lebih dahulu.”
“Kita berangkat bersama-sama.
Tetapi kita berpisah di jalan. Aku mengharap bahwa waktu yang kita perlukan
tidak terpaut banyak. Kalau kita terlambat, pasukan yang datang dari Barat itu
pasti sudah hancur lumat. Menurut pengamatan petugas-petugas sandi kita,
pasukan pengawal Menoreh telah benar-benar dalam keadaan siaga.”
“Tetapi pasukan kita tidak
berselisih banyak, Sidanti. Kekuatan kita pun cukup besar.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia adalah orang yang cukup berpengalaman. Namun ia kagum melihat
ketangkasan Sidanti berpikir, merencanakan serangan atas padukuhan induk Tanah
Perdikan Menoreh. Agaknya pengetahuan Sidanti selama ia menjadi prajurit, di
alasi oleh darah Paguhan yang mengalir di dalam tubuhnya, menjadikannya seorang
yang cerdas.
Maka sejenak kemudian Sidanti,
Argajaya, dan kedua pasukannya telah siap. Setelah Sidanti memberi beberapa
penjelasan kepada kedua pasukan itu, maka mereka itu pun segera berangkat.
Pasukan yang pertama, yang sekedar memancing perlawanan pasukan-pasukan
pengawal Menoren, telah diserahkan kepada seseorang yang dipercayanya, justru
bukan orang Menoreh. Pasukan itu sebagian besar memang terdiri dari orang-orang
yang tidak dikenal di tanan perdikan ini. Mereka terdiri dan orang-orang yang
sama sekali tidak mempunyai tanggung jawab apa pun. Mereka sekedar berkelahi
untuk kepentingan pribadi masing-masing. Dengan berkelahi mereka mengharap
mendapatkan keuntungan-keuntungan yang jauh lebih banyak daripada apabila
mereka bekerja wajar. Tetapi mereka menyadari, bahwa taruhannya adalah leher
mereka.
“Merampok pun aku harus
mempertaruhkan kepala,” pikir salah seorang dari mereka, “kini aku mendapat
kesempatan untuk melakukannya secara terbuka.”
“Kenapa kita dijadikan umpan
di dalam gelar ini?” salah seorang dari mereka berdesis kepada kawannya.
Kawannya menggelengkan
kepalanya, “Tidak. Pasukan induk itu akan segera menarik perhatian para
pengawal. Kita akan mendapat banyak kesempatan. Kalau kita masuk ke induk tanah
perdikan ini bersama Sidanti dan Argajaya, maka setiap gerak kita akan
diawasinya. Tetapi dari jurusan ini, kita akan bebas melakukan apa saja yang
kita kehendaki.”
“Tetapi tugas ini terlampau
berat. Sebelum pasukan induk itu datang, kita akan bertempur melawan kekuatan
yang jauh melampaui kekuatan kita.”
“Sidanti sudah berjanji, bahwa
waktu yang diperlukannya tidak terpaut banyak.”
“Bagaimana kalau ia ingkar,
justru menunggu sampai kita binasa?”
“Tidak ada gunanya kita
membunuh diri. Kalau menurut pertimbangan kita, pekerjaan kita terlampau berat,
kenapa kita tidak lari saja dan kemudian memukul sendiri Sidanti dari arah yang
lain. Kita akan mendapat hadiah dari Ki Argapati, seperti apa yang dijanjikan
Sidanti. Bahkan kalau kita sempat, biarlah kedua pasukan itu saling berhantam.
Kita akan mengambil apa saja yang dapat kita ambil.”
Keduanya tertawa pendek.
Pekerjaan yang mereka hadapi sama sekali lidak memerlukan tanggung jawab apa
pun, selain menuggu upah yang dijanjikan oleh Sidanti, dan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan sepanjang pertempuran itu
berlangsung.
Demikianlah, maka kedua
pasukan itu telah membelah gelap malam menyelusur jalan yang menuju ke induk
Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti tidak terlampau
bodoh untuk menempuh jalan terdekat. Ia yakin, bahwa di sepanjang jalan
terdekat itu, telah berhamburan petugas-petugas sandi dan pengawas-pengawas
dari pasukan Ki Argapati. Karena itu, maka dipilihnya jalan yang lain. Jalan
kecil yang agak melingkar. Namun menurut perhitungannya adalah jalan yang
paling aman.
Semakin lama, maka pasukan
itupun menjadi semakin dekat dengan induk tanah perdikan. Beberapa orang yang
tinggal di rumah di pinggir jalan terkejut mendengar langkah kaki seperti air
yang mengalir. Tidak henti-hentinya, seakan-akan tanpa ujung.
Tetapi di dalam rumah itu pada
umumnya sudah tidak ada lagi seorang laki-laki pun. Mereka telah menempatkan
diri mereka menurut keyakinan masing-masing. Sebagian dari mereka berada di
banjar Tanah Perdikan Menoreh, dan sebagian lagi turut serta dalam arus pasukan
Sidanti yang menelusur jalan kecil seperti seekor ular raksasa yang sedang
bergerak perlahan-lahan.
Ketika pasukan itu telah
sampai di tempat yang mereka tentukan, maka pasukan ini pun segera berhenti. Di
tempat itulah pasukan akan berbagi. Sebagian akan membelok ke barat dan akan
masuk melalui padukuhan-padukuhan kecil di sebelah barat induk tanah perdikan,
dan yang lain akan menuju ke timur, untuk seterusnya masuk ke pedukuhan induk
dari arah yang berlawanan dari arah pasukan yang pertama.
“Aku percayakan pasukan ini
kepadamu,” berkata Sidanti kepada pemimpin pasukan yang bertugas memancing dari
arah barat. Seorang yang datang dari seberang Kali Bogowanta, yang menamakan
dirinya Ki Peda Sura. Meskipun namanya tidak begitu dikenal, namun ia adalah
seorang yang berpengaruh. Ki Peda Sura adalah seorang yang mempunyai kekuatan
tersendiri, karena ia datang ke tanah perdikan ini bersama beberapa orang anak
buahnya, bahkan merupakan satu pasukan kecil tersendiri. Seperti orang-orang
lain, maka Ki Peda Sura mendapat janji yang menyenangkan. Ia akan mendapat
daerah yang subur di sisi barat Tanah Perdikan Menoreh selama Sidanti
memerintah tanah perdikan itu. Itulah sebabnya, maka ia berkeras hati untuk
membantu dan memenangkan perlawanan Sidanti atas ayahnya, Ki Argapati, meskipun
Ki Peda Sura telah mengenal Argapati pula.
“Selama Argapati berkuasa di
Menoreh, aku tidak akan mendapat keuntungan apa-apa daripadanya,” katanya di dalam
hati, “tetapi agaknya berbeda dengan Sidanti. Aku dapat mengharap banyak
daripadanya. Ia tidak akan dapat ingkar janji sebab selain aku dan
orang-orangku banyak sekali orang-orang yang telah dilibatkannya dalam
pertengkaran ini. Kalau ia ingkar, maka selamanya tanah ini tidak akan dapat
tenteram meskipun di sini ada Ki Tambak Wedi.”
Sesaat kemudian Ki Peda Sura
telah membawa pasukannya membelok kearah barat, menyusur sebuah pematang yang
sempit. Mereka akan sampai pada sebuah jalan kecil untuk segera memasuki sebuah
padesan kecil pula. Ki Peda Sura, meskipun bukan orang Menoreh, tetapi ia cukup
mempunyai pengetahuan tentang daerah itu, sehingga ia menduga bahwa ia harus
berhati-hati menghadapi peronda-peronda yang mungkin dipasang oleh Argapati di
desa kecil itu.
Sedangkan Sidanti dan Argajaya
bersama-sama berada di dalam induk pasukannya. Mereka akan memasuki induk tanah
perdikannya dari arah yang berlawanan. Yang masuk ke rumah Argapati harus
mendapat pengawasan sebaik-baiknya, sehingga Sidanti dan Argajaya berdua
bersama-sama merasa perlu berada di induk pasukan itu.
“Rumah itu harus
diselamatkan,” desis Sidanti, “isinya maupun bangunannya.”
“Ya,” sahut pamannya. “tidak
boleh sehelai papan pun yang pecah pada rumah itu. Apalagi kehilangan harta
milik. Orang-orang gila yang ikut dalam pasukan Peda Sura adalah
perampok-perampok yang buas. Biar sajalah mereka akan dihancurkan oleh pasukan
Argapati.”
“Jangan Paman. Kita masih
memerlukan mereka untuk saat-saat mendatang.”
“Kalau kita sudah menduduki
padukuhan induk, kita tidak lagi memerlukan mereka.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Jadi itukah alasannya, kenapa Paman tadi sebelum berangkat
berpendapat bahwa pasukan itu harus berangkat lebih dahulu?”
Argajaya tidak segera
menjawab.
“Jangan sekarang Paman,”
berkata Sidanti kemudian, “seperti Guru berpesan, mereka kita manfaatkan sampai
selesai.”
“Apabila kita sudah selesai,
maka sulitlah bagi kita untuk menyingkirkan mereka.”
“Itu adalah tugas Guru. Tetapi
aku kira tidak demikian. Kita dapat membuat persoalan sehingga mereka saling
berkelahi, karena kita tahu kepentingan mereka di sini satu dengan yang lainnya
berbeda, tetapi hakekatnya adalah sama. Mereka ingin merampok dan memiliki apa
saja sebanyak-banyaknya.”
“Ya. Tetapi lebih lama mereka
tinggal di sini, maka tanah ini akan menjadi semakin rusak.”
“Kita akan mempergunakan
mereka sampai Argapati sama sekali tidak mampu lagi melawan kita. Baik Argapati
sendiri apabila ia berhasil lolos dari tangan Guru, maupun orang-orangnya.”
“Tidak mungkin Sidanti. Tidak
mungkin Kakang Argapati akan lolos dari tangan gurumu dan
pembantu-pembantunya.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
timbullah pertanyaan di dalam dirinya, “Kenapa Argajaya itu berpihak kepadaku?
Tetapi dijawabnya sendiri, “Ah, biarlah itu diurus oleh Guru. Sudah tentu sikap
itu mengandung pamrih, sebab Argapati adalah kakaknya sendiri.”
Namun terasa sesuatu berdesir
di dalam dadanya. Sampai saat terakhir, saat gurunya berceritera kepadanya, ia
pun menganggap bahwa Argapati itu adalah ayahnya. Bahkan sikapnya sama sekali
tidak berbeda terhadapnya dan terhadap Pandan Wangi. Dan kini, tiba-tiba saja
ia harus memusuhinya. Melawan orang yang selama ini dianggapnya sebagai
ayahnya.
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata pada akhirnya ia harus berpihak kepada ayahnya yang
sebenarnya. Ki Tambak Wedi. Dan orang itupun terlampau baik kepadanya selama
ini. Karena itu pula agaknya Ki Tambak Wedi memanjakannya jauh melampaui
seorang murid biasa.
Sementara itu, pasukan Sidanti
kedua-duanya menjadi semakin dekat, sehingga mereka harus berjalan lebih
berhati-hati lagi. Baik Ki Peda Sura, maupun Sidanti, telah melepaskan beberapa
orang yang harus berjalan mendahului pasukan-pasukan mereka yang sebenarnya.
Dalam pada itu, di rumah Ki
Argapati, Wrahasta menjadi terlampau gelisah. Ia berjalan hilir mudik di
halaman. Kadang-kadang ia masih berusaha mencari Pandan Wangi di sudut-sudut
gelap di halaman, tetapi ia sama sekali tidak menemukannya.
“Hem,” desahnya, “anak itu
memang anak yang terlampau keras hati. Tetapi ia sama sekali tidak menyadari,
apakah yang sedang terjadi di dalam tanah perdikan ini. Ia tidak menyadari,
betapa besarnya bahaya di sepanjang jalan dan bahaya yang menunggunya di bawah
Pucang Kembar.”
Tetapi tiba-tiba Wrahasta itu terperanjat,
ketika salah seorang kawan Kerti yang ditinggalkan berjalan-jalan tergesa-gesa
menemuinya.
“Mengapa?” bertanya Wrahasta
yang menjadi berdebar-debar karenanya.
“Wrahasta, ternyata Pandan
Wangi ada di dalam rumahnya.”
“He,” Wrahasta itu hampir saja
terlonjak, “kau gila. Apakah kau ingin membuat aku semakin bingung?”
“Ikutlah aku,” jawab orang itu
pendek tanpa memperhatikan kata-kata Wrahasta. Orang itupun sama sekali tidak
menunggu jawaban. Denqan tergesa-gesa ia berjalan mendahului, langsung menuju
ke pringgitan. Sedang di belakangnya Wrahasta pun berjalan mengikutinya tanpa
bertanya lagi.
Ketika mereka melampaui pintu
pringgitan, dada Wrahasta benar-benar berguncang. Ia melihat Pandan Wangi itu
duduk bersama seorang kawan Kerti yang tidak ikut bersamanya.
“Pandan Wangi,” Wrahasta
berkata dengan serta merta, “permainan apakah yang sedang kau lakukan? Di
manakah kau selama ini?”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Perlahan-lahan ia berkata, “Duduklah, Wrahasta. Dengarlah baik-baik,
apakah sebenarnya maksudku dengan permainan ini.”
Wrahasta tidak menyahut.
Seolah-olah di luar sadarnya ia melangkah mendekati Pandan Wangi dan duduk di
hadapannya bersama kawan Kerti yang seorang lagi.
“Wrahasta,” berkata Pandan
Wangi, “aku memang sengaja bersembunyi, supaya kalian mencari aku. Aku memanjat
pohon duku di halaman samping. Tidak seorang pun yang melihatku. Aku memang
sengaja membuat kesan supaya Kerti menyangka aku pergi ke Pucang Kembar
menyusul Ayah.”
“Apakah maksudmu Pandan Wangi?
Apakah kau tidak sadar, bahwa permainan itu adalah permainan yang sangat
berbahaya. Berbahaya bagi jiwa Kerti yang menyusulmu, dan berbahaya bagi Ki
Argapati?”
“Mungkin demikian Wrahasta,
tetapi mungkin sebaliknya. Aku mendapat firasat, bahwa Ki Tambak Wedi kali ini
tidak akan berbuat dengan jantan dan jujur. Apabila Kerti mencari aku ke sana,
maka setidak-tidaknya Ayah mempunyai seorang saksi, apa yang telah dilakukan
oleh Ki Tambak Wedi.”
Getar jantung Wrahasta terasa
semakin cepat berdentangan di rongga dadanya. Namun kecemasan yang sangat telah
menguasai perasaannya. Ia tahu benar, apakah akibat yang dapat timbul,
seandainya Ki Argapati mengetahui, bahwa seseorang telah melihat perkelahian
itu. Maka katanya, “Apakah menurut pertimbanganmu saksi itu akan menguntungkan
kedudukan Ki Argapati? Justru dengan hadirnya seorang saksi, maka pemusatan
kemampuan Ki Argapati akan terganggu. Nah, kau dapat membayangkan, sedikit saja
gangguan pada salah seorang dari mereka, maka ia akan kehilangan kesempatan
untuk melakukan perang tanding itu seterusnya”
Dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Memang kemungkinan yang demikian itupun dapat juga terjadi.
Tetapi ia menjawab, “Wrahasta. Kerti tahu benar, bahwa hal yang serupa itu
dapat terjadi. Tetapi aku pun percaya, bahwa Kerti bukan anak-anak lagi. Ia
tahu apa yang harus dilakukan. Ia datang ke Pucang Kembar sama sekali tidak
dengan maksud untuk menarik sebagian dari pemusatan pikiran Ayah. Ia tahu hal
itu, dan karena itu ia akan berhati-hati. Tetapi lebih daripada itu, aku merasa
bahwa Ayah justru sedang diintai oleh bahaya yang tersembunyi. Wrahasta, aku
tidak dapat mengatakan, tetapi firasatku berkata, Ki Tambak Wedi akan berbuat
curang.”
“Maksudmu, Ki Tambak Wedi
tidak datang seorang diri dalam gelanggang perkelahian itu?”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
Wrahasta sejenak terdiam,
sehingga suasana di dalam ruangan itu menjadi sepi. Sepi yang tegang.
Masing-masing hanyut dalam arus angan-angan sendiri.
Dikejauhan terdengar suara
burung-burung malam menggetarkan udara. Suaranya yang ngelangut serasa mengetuk
hati yang sedang gelisah.
Didalam keheningan itu’
tiba-tiba bergetar derap suara kaki-kaki kuda membelah sepinya malam. Gemeretak
di atas tanah berbatu-batu. Semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak
kemudian suara suara derap kaki-kaki kuda itu berhenti. Namun sesaat
berikutnya, derap itu telah bergetar di halaman.
“Siapakah itu?” bertanya
Pandan Wangi.
Wrahasta menggelengkan
kepalanya, “Mudah-mudahan bukan Kerti. Kalau kau berfirasat buruk atas Ki
Tambak Wedi, sebaiknya memang Kerti akan dapat menyaksikannya. Tetapi ia
seharusnya dapat membawa diri.”
“Lihatlah, siapakah orang yang
baru datang.”
Wrahasta pun kemudian berdiri
dan melangkah keluar. Tetapi ketika ia membuka pintu, hampir saja ia membentur
seseorang yang dengan tergesa-gesa melangkah masuk.
“Oh, kau,” desis Wrahasta
ketika ia melihat seorang pengawal yang dengan nafas terengah-engah berdiri di
depan pintu. “Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Ya. Aku akan menemui Pandan
Wangi.”
“Masuklah.”
Orang itupun segera masuk,
diikuti oleh beberapa orang pemimpin tanah perdikan yang sedang duduk-duduk di
pendapa. Mereka melihat gelagat yang membuat jantung mereka menjadi
berdebar-debar.
Ketika mereka telah duduk
melingkar di atas tikar, maka orang yang baru saja datang itu segera berkata,
“Aku mendapat tugas untuk menyampaikan berita kemari.”
“Ya,” sahut Pandan Wangi
pendek.
“Beberapa orang petugas sandi
telah melihat gerakan pasukan yang mendekati padukuhan induk ini”
Sederet warna merah membayang
di wajah Pandan Wangi. Hampir-hampir ia tidak percaya akan pendengarannya.
Seperti mimpi ia membayangkan, apakah mungkin kakaknya, Sidanti, yang
bermain-main dengannya di masa-masa kecil itu benar-benar telah sampai hati
menggerakkan pasukan untuk melawan ayahnya? Apakah mungkin, bahwa Sidanti yang
tinggal di dalam rumah ini di masa kanak-kanaknya sebagai anak dari ibunya dan
mendapat perlakuan tidak ubahnya seperti anak sendiri dari ayahnya, Ki
Argapati, kini telah sampai hati melawan dengan kekerasan, dan bahkan dengan
cara yang curang dan licik?
“Ki Tambak Wedi,” katanya di
dalam hati, “ini pasti pokal Ki Tambak Wedi. Aku tidak percaya bahwa Kakang
Sidanti akan berbuat demikian menurut hasratnya sendiri.” Namun tiba-tiba
Pandan Wangi itu menjadi kecewa ketika di dalam hatinya itu pula ia menyadari,
bahwa sebenarnyalah bahwa Sidanti adalah anak Ki Tambak Wedi. Darah yang
mengalir di dalam tubuh kakaknya itu selain darah ibunya seperti yang juga
mengalir di dalam dirinya adalah darah dari orang tua yang licik itu, yang di
dalam masa mudanya telah berhubungan terlampau rapat dengan ibunya.
“Oh,” Pandan Wangi berdesah.
Hampir saja ia memekikkan perasaan pedih di dalam hatinya. Namun untunglah
bahwa segera ia menyadari kedudukannya kini. Ia adalah seorang yang kini sedang
mewakili ayahnya, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia seorang gadis.
Karena itu, maka Pandan Wangi
segera berusaha menguasai perasaannya. Dengan nada yang datar ia bertanya,
“Dari manakah gerakan itu datang?”
“Dari arah barat. Sepasukan orang-orang
yang tidak dikenal merayap mendekati padukuhan induk ini. Justru sebagian
terbesar dari mereka bukan orang-orang Menoreh. Agaknya mereka akan menyerang
dari arah barat pula.”
“Apakah Paman Samekta telah
mendapat laporan yang serupa?”
“Ya. Kawanku yang seorang
telah menyampaikan berita ini kepada Ki Samekta.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya kepada Wrahasta, “Orang ini belum tahu, apakah yang
akan dilakukan oleh Paman Samekta, karena ia langsung menuju kemari. Aku harus
mendengar gerakan yang akan dilakukan oleh Paman Samekta. Nah, kau dapat
memerintahkan dua orang untuk menemuinya.”
“Orang yang datang bersamaku
akan singgah kemari setelah bertemu dengan Ki Samekta,” potong orang itu.
“Biar sajalah. Tetapi aku
minta Wrahasta mengirim orang ke sana segera.”
Wrahasta mengerutkan
keningnya. Terasa kini bahwa gadis itu ternyata mempunyai pribadi yang kuat
yang terpancar pada perbawanya atas dirinya.
Karena itu, maka tidak ada
kesempatan lagi bagi Wrahasta untuk berbicara tentang bermacam-macam persoalan.
Kata-kata Pandan Wangi tidak lebih dan tidak kurang dari suatu perintah.
Perintah atas nama Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Wrahasta pun kemudian berdiri.
Katanya sambil melangkah keluar, “Aku akan segera melakukannya. Aku akan
mengirim dua orang untuk menemui Paman Samekta.”
Sejenak kemudian, maka di
halaman terdengar derap kaki dua ekor kuda yang memecah sepinya malam, meluncur
menyusup keluar regol. Dua orang telah dikirim oleh Wrahasta untuk menemui
Samekta. Dan sejenak berikutnya, Wrahasta telah berada kembali di dalam
pringgitan.
“Apakah kira-kira yang akan
dilakukan oleh Paman Samekta?” bertanya Pandan Wangi.
“Sudah tentu mengerahkan
pasukan pengawal ke arah yang dikatakan itu,” sahut Wrahasta.
Tetapi Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Terlampau sederhana.”
Wrahasta heran mendengar
tanggapan Pandan Wangi, sehingga ia bertanya, “Apakah maksudmu, Pandan Wangi?”
“Baiklah, kita tunggu kedua
orang itu datang. Sekarang kau pun harus menyiapkan orang-orangmu di halaman
ini, Wrahasta. Aku memperhitungkan, bahwa gerakan Kakang Sidanti tidak
sesederhana itu. Datang dari arah barat, kemudian menyerang dalam gelar yang
sempurna di malam hari begini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya di luar sadarnya. Pikiran itu memang dapat diterimanya. Justru karena
itu, maka sekali lagi Wrahasta mengaguminya. Pandan Wangi adalah seorang gadis
yang selama ini tidak pernah atau hampir tidak berminat untuk ikut serla di
dalam kegatan-kegiatan ayahnya sebagai Kepala Tanah Perdikan. Hanya
kadang-kadang ia ikut dalam pembicaraan-pembicaraan dan kadang-kadang sekali
melihat para pengawal mengadakan latihan-latihan. Tetapi ternyata dalam keadaan
ini, ia menunjukkan ketangkasannya berpikir.
“Pasukanmu harus kau atur
sebaik-baiknya Wrahasta. Kita tidak tahu cara apa yang akan ditempuh oleh
Kakang Sidanti dengan penasehatnya sekaligus gurunya yang licik itu. Mungkin ia
akan mempergunakan cara yang licik pula.”
“Ya, aku mengerti, Pandan
Wangi.”
“Jangan membiarkan dirimu didekap
di dalam dinding halaman yang sempit ini. Tetapi kau harus berusaha agar mereka
tidak dapat masuk lewat jalan manapun juga, seandainya Kakang Sidanti membuat
pasukan yang khusus menembus langsung ke jantung tanah perdikan ini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kini ia benar-benar berada di bawah pengaruh puteri Kepala Tanah
Perdikan itu. Sekali lagi Wrahasta berdiri dan melangkah keluar untuk mengatur
orang-orangnya. Dinding halaman itu dirubahnya menjadi benteng yang kuat.
Setiap sudut, bahkan setiap jengkal dinding dijadikannya tempat bertahan.
Bahkan Wrahasta mempersiapkan pula senjata-senjata jarak jauh, untuk melawan
arus apabila lawan datang terlampau banyak. Tetapi bulan di langit betapa pun
terangnya, namun bayangan pepohonan akan menjadi tempat bersembunyi yang
sebaik-baiknya bagi lawan yang akan menghindarkan diri dari bidikan anak panah.
Sejenak kemudian, lamat-lamat
mereka telah mendengar derap kaki-kaki kuda yang datang mendekat. Dua orang
yang diperintahkan oleh Wrahasta rnenemui Samekta di banjar desa telah kembali.
Mereka segera dibawa masuk ke
pringgitan oleh Wrahasta, agar mereka dapat langsung berbicara dengan Pandan
Wangi.
“Bagaimanakah sikap Paman
Samekta?”
“Akan segera dikirim pasukan
untuk menyongsong sergapan itu.”
“Berapa bagian dari kekuatan
Paman Samekta yang berangkat.”
“Sebagian terbesar. Ki Samekta
berhasrat untuk menghancurkan sama sekali pasukan itu, supaya untuk seterusnya
tidak ada lagi kekuatan untuk mengganggu ketenangan tanah perdikan ini.”
“Apakah Paman Samekta menarik
semua pasukan di padesan disekitar padukuhan induk ini?”
Sejenak orang itu terdiam.
Kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Tidak dikatakannya.”
Pandan Wangi tampak berpikir
sejenak. Tetapi ia tidak puas dengan tindakan Samekta itu, meskipun
alasan-alasannya cukup kuat. Tetapi seperti yang terjadi dengan ayahnya, kali
ini pun Pandan Wangi mempunyai firasat yang lain dari perhitungan Samekta itu.
Sidanti tidak akan melakukan perang terbuka dengan beradu dada. Selain
sifat-sifat licik gurunya, Sidantipun harus memperhitungkan, bahwa pasukannya
tidak akan cukup kuat untuk melakukan perang dengan cara itu. Karena itu maka
tiba-tiba ia berkata, “Aku akan menemui Paman Samekta.”
“Pandan Wangi,” tiba-tiba saja
Wrahasta memotong, “kau tidak dapat meninggalkan halaman ini. Ini adalah rumah
Kepala Tanah Perdikan. Dari sinilah kau harus mengatur kekuatan dan
perlawananmu.”
“Paman Samekta yang mendapat
tugas itu berada di banjar. Bagaimana aku dapat berbicara dengannya, apabila
aku tidak pergi menemuinya, atau Paman Samekta pergi kemari? Tetapi karena
tugas Paman Samekta yang berat, maka biarlah aku pergi ke banjar sekarang.”
“Pandan Wangi,” sekali lagi
Wrahasta memotong, “jangan mengabaikan pesan Ki Gede Menoreh. Aku harus
melidungimu di sini. Kau tidak boleh pergi.”
”Aku adalah wakil Ayah
sekarang. Aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Aku bukan tawananmu,
Wrahasta.”
“Tetapi, tetapi,” wajah
Wrahasta menjadi merah.
Tiba-tiba saja Pandan Wangi
teringat akan sikap Wrahasta beberapa saat sebelum ayahnya pergi. Tersirat pula
kembali di dalam hatinya, kemungkinan-kemungkinan yang dapat dilakukan oleh
Wrahasta, apabila ia diterkam oleh kekecewaan. Karena itu, maka betapa
pahitnya, Pandan Wangi itu kemudian berkata, “Lepaskan aku pergi kali ini,
Wrahasta. Persoalan ini adalah persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan
menempatkan setiap persoalan yang lain pada waktu dan tempatnya sendiri. Kalau
kau bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku. Tetapi
kalau kau menurut perintahku, maka aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan
sebaik-baiknya. Kita dapat berbicara di kali lain.”
Terasa desir yang tajam
tergores di dalam dada Wrahasta. Sejenak ia membeku di tempatnya sambil
memandangi Pandan Wangi tajam-tajam. Berbagai macam perasaan bergolak di dalam
dirinya. Ia menyadari tanggung jawabnya atas keamanan seluruh isi halaman rumah
ini, termasuk Pandan Wangi seperti yang dipesankan oleh Ki Gede Menoreh. Tetapi
kalau ia tidak mau melepaskan Pandan Wangi, maka kepentingan pribadinya atas
gadis itu akan tertutup sama sekali.
Dalam pada itu, orang-orang
lain yang mendengar pembicaraan mereka berdua hanya dapat memandang dengan
mulut ternganga-nganga. Mereka sama sekali tidak mengerti ujung dan pangkal
dari pembicaraan itu, sehingga dengan demikian, tidak dapat berbicara apa-apa.
Sedangkan Wrahasta sendiri,
masih saja diselubungi oleh kebimbangan yang bahkan semakin memuncak. Ia
melihat kepentingan yang bertentangan. Tanggung jawabnya, kepentingan
pribadinya, dan kecemasannya tentang keselamatan Pandan Wangi apabila ia
melepaskannya pergi.
“Bagaimana pertimbanganmu,
Wrahasta,” bertanya Pandan Wangi kemudian.
Wrahasta terperanjat atas
pertanyaan itu. Ia sama sekali belum siap untuk menjawabnya. Karena itu, maka
dengan gelisah ia bergeser setapak. Dipandanginya Pandan Wangi dengan
ragu-ragu.
“Wrahasta, sebenarnya tidak
seharusnya aku minta ijin kepadamu. Yang wajib aku lakukan adalah
memberitahukan, bahwa aku akan pergi ke banjar menemui Paman Samekta. Hanya
itu, karena akulah kini Kepala Tanah Perdikan sampai Ayah datang.”
Dada Wrahasta semakin
terguncang mendengar kata-kata itu. Tanpa dikehendakinya sendiri, diedarkannya
pandangan matanya berkeliling. Dilihatnya beberapa orang-orang tua duduk dengan
wajah yang tegang penuh pertanyaan.
Namun kata-kata itu hampir
tidak menyentuh perasaan Wrahasta. Apa pun yang dikatakan oleh Pandan Wangi,
meskipun terlampau keras sekalipun, karena Pandan Wangi masih juga dipengaruhi
oleh kemudaannya. Tetapi yang paling mendebarkan adalah tantangan Pandan Wangi
mengenai masalah pribadinya yang membuat pertimbangannya menjadi sangat
terpengaruh.
Sejenak kemudian, ternyata
Wrahasta mencoba mencari alasan-alasan di dalam dirinya unluk membenarkan sikap
Pandan Wangi pergi ke banjar menemui Samekta. Dengan demikian, maka Pandan
Wangi akan bersedia untuk berbicara dengan dirinya mengenai masalah-masalah
pribadi.
“Tetapi bagaimana kalau
terjadi sesuatu dengan anak itu,” katanya di dalam hati, “aku akan dimarahi
oleh Ki Argapati dan lebih dari pada itu aku akan kehilangan.” Wrahasta menjadi
semakin ragu-ragu. Namun terngiang kembali kata-kata Pandan Wangi. “Kalau kau
bersitegang, maka kau tidak akan dapat mengharap apa pun daripadaku.”
“Hem,” Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk segera menemukan keputusan, apalagi setelah Pandan
Wangi mendesaknya, “Bagaimana Wrahasta. Setiap saat harus kita manfaatkan
sebaik-baiknya. Kalau kita membiarkan diri kita sendiri diombang-ambingkan oleh
keragu-raguan, maka kita akan segera ditelan oleh pasukan Kakang Sidanti. Di
ujung-ujung padukuhan dan bahkan sebentar lagi kita di sini.”
Tergagap Wrahasta
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya. Aku sadar Pandan Wangi. Tetapi pilihan
yang kau hadapkan di mukaku sekarang ternyata terlampau sulit untuk dipecahkan.
Tetapi apabila kau berkeras untuk pergi kepada Paman Samekta, dan tidak dapat
aku cegah lagi, baiklah. Namun kau harus memperhitungkan setiap keadaan. Kau
tidak dapat pergi tanpa pengawalan.”
“Baiklah,” sahut Pandan Wangi.
Kemudian, “Aku akan membawa dua orang pengawal yang ditinggalkan oleh Kerti di
sini.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya, Dipandanginya kemudian orang-orang yang berada disekitarnya.
Orang-orang tua yang duduk mendengarkan pembicaraan itu dengan kepala pening.
”Bagaimana pendapat
Paman-paman sekalian?” tiba-tiba Wrahasta bertanya kepada mereka.
Orang-orang tua itu tidak
segera menjawab. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian salah
seorang dari mereka berkata, “Terserahlah kepada pertimbanganmu, Ngger. Didalam
keadaan serupa ini, kau pasti lebih tahu tentang keadaan dan keharusan yang
berlaku di tanah yang sedang dibakar oleh api kedengkian ini.”
Wrahasta menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak mendapatkan pertimbangan dari orang tua-tua itu. Namun ia
sadar, bahwa ia harus segera bersikap. Maka katanya, “Baiklah Pandan Wangi.
Kalau kau akan menemui Paman Samekta untuk membicarakan sesuatu, sebaiknya kau
segera pergi sekarang bersama kedua pengawal ini. Tetapi apabila pembicaraan
itu sudah selesai kau harus segera kembali. Kau sebaiknya setiap saat dapat
ditemui di dalam rumah ini untuk segala macam kepentingan. Tetapi ingat, kau
hanya pergi ke banjar. Tidak ke tempat lain. Kedua pengawal akan mencegahmu
apabila kau mempunyai tujuan yang lain.”
“Baiklah, aku akan segera
pergi dan segera pula kembali apabila pembicaraan sudah selesai,” desis Pandan
Wangi, yang sejenak kemudian segera berdiri dan berkata selanjutnya, “Aku akan
pergi berkuda.”
Beberapa orang segera
menyiapkan tiga ekor kuda untuk Pandan Wangi dan dua orang pengawalnya. Dengan
tergesa-gesa mereka meninggalkan halaman rumah itu, pergi ke banjar untuk
menemui Samekta yang sedang mempersiapkan perlawanan.
Kedatangan Pandan Wangi di
banjar itu ternyata telah mengejutkan Samekta, sehingga dengan serta-merta ia
bertanya, “Kenapa kau pergi ke banjar, Pandan Wangi?”
“Aku perlu menemui Paman,
dalam saat yang meruncing serupa ini. Aku perlu bertanya dan mengetahui semua
gerakan.”
“Aku akan memberikan laporan
setiap saat lewat orang-orangku. Kalau kau memerlukan sekali bertemu dengan
aku, Ngger, maka sebaiknya kau memanggil aku.” Samekta berhenti sejenak,
kemudian gumamnya kepada diri sendiri, “bagaimana dengan Wrahasta. Kenapa
dilepaskannya Angger Pandan Wangi pergi?” Dan orang tua itu menjadi semakin
heran, bahwa Wrahasta telah melepaskan Pandan Wangi pergi. Bukankah Wrahasta
mempunyai kepentingan pribadi dengan gadis itu? Mustahil kalau Wrahasta
melepaskannya meninggalkan daerah wewenangnya seperti yang diberikan oleh Ki
Gede Menoreh. Sehingga tiba-tiba saja Samekta itu teringat sesuatu dan
bertanya, “Apakah Angger Pandan Wangi meninggalkan halaman itu tanpa setahu
Wrahasta? Oh bukankah Kerti memang sedang mencarimu ke Pucang Kembar?”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Ditatapnya saja wajah Samekta yang keheran-heranan melihat
kehadirannya. Tetapi Pandan Wangi dapat mengerti sepenuhnya perasaan orang tua
itu. Kerti pasti singgah ke banjar ini sebelum ia pergi ke Pucang Kembar
mencarinya.
Sejenak kemudian, barulah
Pandan Wangi itu menjawab. “Ya Paman. Paman Kerti pasti mencariku ke Pucang
Kembar. Apakah ia singgah kemari sebelum ia berangkat?”
“Ya. Ia singgah kemari dalam
kegelisahan karena ia kehilangan kau, Ngger. Bersama dua orang ia pergi
menyusulmu.”
“Jadi, Paman Kerti pergi
bertiga?”
“Ya. Sebab pamanmu mengerti,
siapakah yang sedang berada di bawah Pucang Kembar. Bukan berarti bahwa pamanmu
Kerti merasa cukup kuat bersama dua orang kawannya itu, tetapi apabila ada
sesuatu yang penting, maka mereka dapat berbincang.” Samekta berhenti sebentar,
namun dalam keheranan itu ia bertanya, “Tetapi ternyata Angger sekarang masih
berada di sini.”
Dengan singkat Pandan Wangi
menceriterakan keadaannya. Kegelisahannya dan perhitungannya. Tetapi kalau
tidak ditempuh cara itu, maka tidak seorang pun yang akan bersedia pergi ke
Pucang Kembar.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Tetapi aneh sekali bagiku. Sebenarnya Angger
tidak perlu mempergunakan cara yang aneh-aneh itu. Ternyata sekarang Angger
dapat meninggalkan halaman rumah itu pula. Kalau Angger pergunakan cara ini
sejak semula, bukankah Angger sendiri dapat pergi ke Pucang Kembar?”
“Sebelum Kerti pergi, sebelum
ada laporan tentang gerakan Kakang Sidanti, aku pasti tidak akan dapat keluar
Paman. Aku tidak ubahnya seperti seorang tawanan.”
“Bukan maksudnya Ngger. Tetapi
demi kebaikan semuanya dan atas perintah ayah, Ki Argapati.”
“Ya. Aku mengerti Paman,
semuanya dapat aku mengerti. Yang kini akan aku persoalkan adalah mengenai
gerakan Kakang Sidanti.”
Samekta menarik nafas.
Kemudian katanya, “Duduklah. Kita berbicara tentang gerakan Sidanti itu.”
Mereka pun kemudian duduk di
pringgitan banjar tanah perdikan itu. Di tengah-tengah lingkaran para pemimpin
pengawal dari Pandan Wangi beserta kedua pengawalnya, sebuah lampu minyak
berada di atas sebuah ajuk-ajuk pendek.
“Bukankah kau sudah mendapat
laporan tentang gerakan itu dan sudah mendengar gerakan perlawanan yang aku
lakukan?” bertanya Samekta sejenak kemudian setelah mereka duduk.
“Aku ingin mendengar langsung
dari Paman. Dan apakah pasukan pengwal yang Paman persiapkan sudah mulai
bergerak pula menyongsong pasukan Kakang Sidanti?”
“Sudah Ngger. Mereka sudah
berangkat. Petugas-petugas sandi melihat gerakan itu menuju ke barat. Sebagian
besar dari pasukan pengawal telah aku kirim, supaya aku dapat menghancurkan
mereka sama sekali. Supaya mereka besok atau lusa tidak bangkit lagi dan
membuat kegaduhan-kegaduhan baru.”
“Aku mengerti Paman. Tetapi
soalnya tidak sedemikian sederhana. Apakan Paman yakin, bahwa yang dilihat oleh
petugas sandi itu seluruh pasukan Kakang Sidanti?”
“Tentu tidak Ngger. Tentu
bukan seluruh pasukan. Mungkin Angger Sidanti akan mengambil kesempatan lain,
pada saat pertempuran itu terjadi. Tetapi aku masih menyimpan beberapa bagian
dari pasukan cadangan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Apakah petugas sandi itu
dapat mengatakan, siapa sajakah yang berada di dalam pasukan itu?”
Samekta menggelengkan
kepalanya, “Tidak Ngger. Mereka tidak dapat mengatakan siapakah yang memimpin
pasukan itu.”
“Lalu apakah sikap Paman
seterusnya”
“Aku sebentar lagi akan
menyusul pasukanku. Berkuda. Aku akan melihat sendiri benturan yang bakal
terjadi itu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sejenak ia berdiam diri. Dipandanginya kedua pengawalnya berganti-ganti.
Lalu tiba-tiba ia bergumam, “Aku akan pergi juga bersamamu Paman.”
“He,” kata-kata itu ternyata
telah mengejutkan semua orang yang mendengarnya. Beberapa pemimpin pengawal
yang tinggal di banjar, Samekta sendiri dan kedua pengawalnya.
“Jangan Ngger,” sahut Samekta
kemudian, “jangan berbuat hal-hal yang dapat membahayakan dirimu.”
“Kenapa aku tidak boleh berada
di medan itu? Tidak seorang pun yang melarang, seandainya Kakang Sidanti
menghendaki demikian. Bahkan setiap orang akan mengatakan, bahwa itu adalah
kewajibannya. Orang akan menertawakannya apabila ia justru ingkar, dan tidak
mau terjun ke gelanggang.”
“O, persoalannya lain sekali
Ngger. Angger Sidanti memang berkewajiban. Tetapi tidak dengan kau.”
“Karena aku seorang perempuan
dan Kakang Sidanti laki-laki?”
Samekta tidak segera menjawab.
Sejenak ia berdiam diri. Tetapi ditatapnya wajah Pandan Wangi dengan tajamnya.
“Begitu Paman?” desak Pandan
Wangi.
Samekta mengangguk
perlahan-lahan. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ya Ngger. Begitulah. Meskipun itu
hanya salah satu alasan saja.”
“Masih adakah alasan yang
lain, yang lebih baik dan lebih dapat aku terima dengan nalar?”
“Angger belum berpengalaman.”
“Kalau aku menghindari
pengalaman yang pertama, maka selamanya aku tidak akan dapat langsung menginjak
pengalaman yang kedua.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawaban itu memang benar. Tetapi seandainya Pandan Wangi benar akan
pergi ke gelanggang, maka ia tidak berani menanggung akibat yang dapat terjadi
atasnya. Kalau anak itu mendapat cidera, maka ia harus
mempertanggung-jawabkannya kepada Ki Gede Menoreh.
Karena itu, maka Samekta itu
menggelengkan kepalanya, “Jangan Ngger. Jangan mempersulit diriku. Sebaiknya
Angger kembali saja pulang. Angger dapat memberikan perintah apa saja. Tetapi
tidak pergi sendiri ke medan pertempuran itu.”
Dada Pandan Wangi tergetar
mendengar jawaban Samekta. Meskipun ia dapat mengerti alasannya, tetapi
keinginannya untuk melihat sendiri pertempuran itu seakan-akan tidak dapat lagi
dibendungnya. Namun kesulitan yang di hadapi Samekta itupun mempengaruhinya
pula.
Sejenak Pandan Wangi terpaku
diam di tempatnya. Di dalam dadanya terjadi benturan-benturan perasaan yang
sulit mendapat pemecahan. Dalam pada itu, Samekta berkata selanjutnya, “Angger
Pandan Wangi. Menurut perhitunganku, maka perang yang bakal terjadi, pasti
bukan perang di dalam gelar yang baik, meskipun aku sudah mempersiapkannya.
Yang paling mungkin terjadi di dalam peperangan ini adalah perang brubuh.
Menurut laporan dari beberapa pengawas yang melihat gerakan itu, maka sama
sekali tidak ada persiapan untuk menyusun gelar. Tetapi kemungkinan untuk
bertempur di dalam gelar yang baik masih ada. Pasukan Sidanti akan dapat
menyusun dirinya, setelah berhadapan dengan lawan. Tetapi perbuatan yang
demikian akan sangat berbahaya. Meskipun demikian, kemungkinan itu bisa juga
terjadi apabila orang-orang yang memimpin pasukan itu kurang menguasai keadaan
medan, tetapi juga mungkin karena meremehkan kekuatan lawan atau merasa dirinya
terlampau kuat. Dalam kemungkinan yang pertama Ngger, yaitu perang brubuh, maka
kehadiranmu di medan pertempuran akan sangat berbahaya. Tidak seorang pun yang
dapat meluangkan waktunya untuk mengawasi dan melindungi orang lain.”
“Aku menyadari Paman. Meskipun
aku belum pernah menghayati perang yang sebenarnya dalam bentuk apa pun, perang
gelar maupun perang brubuh, namun aku berniat untuk melihat perang itu. Aku
juga tidak perlu mendapat perlindungan dari siapa pun. Aku akan mencoba
melindungi diriku sendiri.”
“Ya, ya aku tahu Ngger.
Tetapi, terlampau berbahaya. Itulah kata-kata yang paling tepat aku pergunakan.
Terlampau berbahaya. Aku tidak dapat menjelaskannya lebih jauh.”
“Aku ingin melihat Paman,
betapa pun besarnya bahaya itu.”
“Kalau Ki Gede ada Ngger,
terserahlah kepada ayahmu itu. Apa pun yang akan terjadi adalah tanggung jawab
ayahmu. Tetapi sekarang Ki Gede tidak ada. Betapa mungkin aku membawamu ke
medan peperangan yang masih belum dapat dibayangkan bentuknya? Menurut para
pengawas dan para petugas sandi, sebagian terbesar dari mereka adalah
orang-orang yang tidak dikenal. Kita masih belum dapat membayangkan kekuatan
mereka dan kemampuan mereka seorang demi seorang.”
“Aku pernah menghadapi
orang-orang yang tidak dikenal itu, Paman. Enam orang sekaligus. Paman datang
terlambat, sehingga Paman tidak menyaksikan aku berkelahi, meskipun aku aku,
bahwa aku tidak mampu melawan mereka berenam bersama-sama, tetapi aku masih
menyediakan diri untuk mencoba melawan lima orang di antara mereka.”
Hati Samekta tergetar mendengar
jawaban Pandan Wangi yang dikatakan itu benar-benar telah terjadi. Pandan Wangi
memang pernah berkelahi melawan enam orang, dan Pandan Wangi tidak binasa oleh
mereka. Karena itu, maka sejenak Samekta terdiam. Ia terdorong ke sudut yang
sulit untuk mengatasi. Dengan demikian ternyata baginya dan bagi Pandan Wangi
itu, meskipun tidak terkatakan, bahwa sebenarnya kemampuan Pandan Wangi itu
berada jauh di atasnya.
Meskipun demikian, bertempur
di dalam perang brubuh terutama, yang diperlukan bukan ketrampilan perseorangan
saja, tetapi juga pengalaman dan ketajaman naluri membawakan diri, di dalam
hiruk pikuk ayunan senjata dan benturan-benturan kekuatan.
Karena Samekta tidak segera
menjawab, maka Pandan, Wangi mendesaknya, “Bagaimanakah pendapat Paman?”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia mencoba memberikan beberapa penjelasan tentang segala
macam kemungkinan yang dapat terjadi.
“Aku telah mempersiapkan diri
untuk menghadapi apa pun, Paman. Aku adalah salah seorang anak yang dilahirkan
di atas Bumi Menoreh. Aku merasa mengemban kuwajiban seperti anak-anak yang
lain. Apalagi aku adalah putri Kepala Tanah Perdikan.”
Samekta menjadi semakin
bingung. Dan dalam puncak kebingungannya ia mendengar Pandan Wangi berkata,
“Paman. Sebaiknya aku memang tidak membuat Paman Samekta menjadi semakin sulit.
Baiklah Paman, kini memikirkan perang yang akan terjadi itu saja. Jangan
hiraukan aku. Aku akan berbuat atas hakku sendiri. Dalam keadaan yang paling
jauh dari setiap kemungkinan kita sependapat, maka aku akan berdiri sebagai
seorang Kepala Tanah Perdikan. Aku tidak akan minta ijin kepada siapa pun,
tetapi aku akan memerintah di sini kepada siapa pun yang aku kehendaki,
sepanjang orang itu masih setia kepada Bumi Menoreh dan kepada Kepala Tanah
Perdikannya.”
Dada Samekta kini benar-benar
bergelora. Seolah-olah akan meledak. Dia masih menyimpan banyak sekali
tugas-tugas yang harus diselesaikan segera. Tiba-tiba kini ia dihadapkan kepada
sikap yang keras dari Pandan Wangi. Sehingga betapa pun ia mencoba mengendalikan
dirinya, namun akhirnnya ia merasa bahwa nasehat-nasehatnya sama sekali tidak
mendapat perhatian. Karena itu, supaya ia tidak terpancing dalam pembicaraan
itu saja ia berkata, “Pandan Wangi, aku sudah mencoba mencegahmu. Tetapi kau
sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan kau telah mempergunakan wewenang
tertinggi yang ada di tanganmu sekarang. Karena itu, maka aku tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi. Namun setiap peristiwa yang terjadi atas dirimu, apabila
aku dan pasukanku tidak mungkin lagi mencegahnya, adalah akibat dari sikapmu
dan kekerasan hatimu.
“Bagus,” tiba-tiba Pandan
Wangi memotong, “sekarang Paman jangan memikirkan aku lagi. Apakah yang akan
Paman kerjakan dengan pasukan Paman, lakukanlah.”
“Aku akan menyusul pasukan
yang telah berangkat lebih dahulu.”
“Aku akan pergi bersama
Paman.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Bagaimanapun juga, ia tidak akan dapat melepaskan diri dari
tanggung jawab. Tetapi adalah di luar kemampuannya saat ini untuk mencegah
Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu, kedua
pengawalnyalah yang kemudian berusaha mencegahnya. Salah seorang dari mereka
berkata, “Pandan Wangi, bukankah kau sudah berjanji, bahwa kau tidak akan pergi
ke tempat lain kecuali ke banjar ini? Kau harus segera kembali sesuai dengan
kata-katamu sendiri kepada Wrahasta di rumahmu.”
Terasa dada Pandan Wangi
bergetar. Wrahasta memang harus mendapat perhatian khusus daripadanya. Bukan
saja karena ia adalah seorang pemimpin pengawal yang mendapat kepercayaan dari
ayahnya untuk mengawal rumahnya seisinya, yang menurut tafsiran Wrahasta
termasuk dirinya, tetapi juga karena Wrahasta mempunyai kepentingan pribadi.
Karena itu, sejenak Pandan
Wangi tidak dapat menyahut. Namun Samekta dapat melihat jelas di wajah gadis
itu, bahwa ia tidak akan dapat dicegah lagi.
Dan sejenak kemudian pengawal
itu mendesaknya, “Bukankah kau berjanji, Pandan Wangi? Supaya aku tidak
dianggap bersalah, kau sebaiknya kembali ke rumah.”
Tetapi Pandan Wangi
menggeleng. Dalam kebingungan mencari jawab, Pandan Wangi telah terdorong lagi
ke dalam suatu keadaan yang lebih menyulitkan hubungannya dengan Wrahasta.
Karena gadis itu tidak ingin menyakitkan hati anak muda yang bertubuh raksasa
itu, maka katanya, “Kembalilah. Kembalilah kepada Wrahasta, dan katakan
kepadanya, bahwa aku pun akan kembali. Jangan digelisahkan kepergianku. Sebab
aku tidak mempuayai tempat lain untuk berteduh, selain rumah itu. Biarlah ia
menungguku di sana, sampai saatnya aku kembali.”
Kedua pengawalnya itu tidak
dapat menangkap maksud gadis itu. Karena itu salah seorang dari mereka berkata,
“Tetapi kau harus kembali bersamaku.”
“Dengar perintahku,” tiba-tiba
gadis itu menggeram, sehingga kedua pengawalnya itu terkejut, “kalian berdua
kembali atau mau ikut bersamaku. Tetapi tidak menghalang-halangi aku. Kalian
hanya dapat menyebut salah satu dari kedua pilihan itu.”
Keduanya tidak segera dapat
menjawab. Tetapi hati mereka menjadi berdebar-debar. Sejenak mereka saling
berpandangan dan sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kalau
demikian Pandan Wangi, maka aku tidak akan dapat keluar daripada ikut
bersamamu. Kau harus kembali bersama kami. Kalau kau tidak mau kembali, maka
aku pun tidak akan kembali ke rumahmu.”
“Terserah kepadamu,” sahut
Pandan Wangi, lalu katanya kepada Samekta, “Kapan kau berangkat Paman? Apakah
kau menunggu pertempuran itu selesai?”
Pertanyaan itu mengejutkan
hati Samekta. Namun dengan demikian terasa olehnya kekerasan hati Pandan Wangi.
Maka jawabnya, tidak kalah kerasnya, “Kalau kau tidak datang kemari, Ngger, aku
pasti sudah berangkat. Seandainya kini kedua pasukan itu sudah bertemu, aku
pasti sudah ikut di dalam pertempuran itu.”
“Jadi Paman mencoba untuk
membebankan kesalahan kepadaku seandainya terjadi sesuatu di peperangan itu.”
“Bukan maksudku, tetapi kedatanganmu
dan keinginanmu untuk pergi ke medan peperangan itu menimbulkan soal baru
bagiku.”
“Kalau begitu, sebaiknya aku
pergi sendiri. Aku tidak usah pergi bersama Paman, atau berbicara apa pun
dengan Paman.”
Debar di dada Samekta menjadi
semakin tajam. Dengan tergesa-gesa ia memotong, “Tidak Ngger. Bukan begitu.
Mungkin aku telah mengucapkan kata-kata yang tidak menyenangkan hatimu,”
Samekta berhenti sejenak. Ia merasa bahwa umurnya telah jauh lebih tua,
sehingga ia tidak boleh hanyut dalam kekerasan sikap masing-masing. “Kalau
begitu baiklah, aku minta maaf.”
Pandan Wangi justru terbungkam
mendengar kata-kata Samekta itu. Sejenak ia mematung, namun kemudian terdengar
ia menarik nafas dalam-dalam.
“Tetapi Ngger,” berkata
Samekta kemudian, “kalau Angger berkeras hati akan pergi ke garis peperangan,
biarlah salah seorang dari kedua orang itu kembali untuk menyampaikan keputusan
itu kepada Wrahasta, supaya ia tidak menjadi terlampau gelisah menunggumu.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya kepada kedua pengawalnya,
“Salah seorang dari kalian harus kembali, dan mengatakan kepada Wrahasta
seperti yang telah aku katakan.”
Sekali lagi keduanya saling
berpandangan. Tetapi sebelum mereka berkata sesuatu, Pandan Wangi telah berkata
lebih dahulu, “Paman harus segera berangkat.”
“Oh,” desah Samekta, “baiklah
kita akan segera berangkat.”
Samekta pun segera menyiapkan
diri. Bersama beberapa orang pengawal tanah perdikan, Pandan Wangi dan seorang
pengawalnya, mereka segera berangkat menyusul pasukan yang telah berangkat
lebih dahulu.
Pasukan yang tinggal di banjar
telah diserahkannya kepada pembantunya. Kepadanya telah diberikan pesan tentang
segala kemungkinan yang dapat terjadi. Kemungkinan bahwa Sidanti akan
mempergunakan setiap kesempatan untuk menyusup masuk ke dalam induk tanah
perdikan ini.
Tetapi satu hal yang tidak
diperhitungkan oleh Samekta adalah bahwa justru induk pasukan Sidanti-lah yang
akan datang dari jurusan yang lain dari tanah perdikan ini. Pasukan yang telah
siap untuk menghancurkan semua rintangan di sepanjang jalannya.
Sejenak kemudian terdengarlah
derap kaki-kaki kuda menyelusur jalan pedukuhan, menuju ke arah barat sepasukan
pengawal yang kuat yang telah lebih dahulu berangkat.
Sementara itu, pasukan
pengawal yang telah berangkat lebih dahulu, berjalan menurut tiga jalur lorong
kecil menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh para pengawas. Mereka akan
menghadapi lawan mereka dari ketiga arah itu. Seandainya mereka harus bertempur
dalam gelar yang baik, maka untuk menyusun gelar dari keadaan itu tidaklah
terlampau sulit. Tetapi seandainya mereka di hadapkan pada perang brubuh, maka
mereka tidak akan mudah terkurung dalam suatu lingkaran kekuatan lawan. Mereka
akan menghadapi lawan mereka dalam garis yang cukup luas. Apalagi Samekta
yakin, bahwa kekuatan pasukannya pasti melampaui kekuatan pasukan lawannya.
Setiap pemimpin kelompok
pasukan pengawal itu telah mendapat petunjuk-petunjuk yang jelas, apa yang
harus mereka lakukan untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Dalam pada itu, pasukan
Sidanti yang dipimpin oleh Ki Peda Sura pun menjadi semakin dekat. Jarak antara
kedua pasukan itu susut dengan cepatnya. Hal itu disadari sepenuhnya oleh kedua
pemimpinnya. Mereka masing-masing mengetahui, bahwa di hadapan mereka, pada jarak
yang semakin pendek, lawan telah menanti.
Ki Peda Sura berhenti pada
sebuah pedukuhan kecil yang dilampauinya. Di emper gardu peronda di mulut
lorong yang memasuki padukuhan itu, sebuah pelita masih menyala. Di dalam gardu
itu mereka masih menemukan beberapa buah mangkuk dan air hangat.
“Setan,” geram Ki Peda Sura,
“iblis-iblis yang ada di dalam gardu ini sempat meloloskan diri.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Bukankah di
padukuhan ini terdapat beberapa orang penghuni yang cukup mampu.”
“Apa yang akan kau lakukan?”
bertanya Peda Sura.
“Kami ingin melepaskan
perasaan geram kami, karena kami telah kehilangan buruan kami.”
“Jangan sekarang!” bentak Ki
Peda Sura, “kalian akan mendapat waktu untuk mencari harta benda di dalam
rumah-rumah yang mungkin menyimpannya. Tetapi jangan dengan demikian kalian
menjadi lengah. Sebentar lagi pasukan Argapati pasti akan datang menerkammu,
selagi kau sibuk dengan urusanmu itu.”
“Apakah kita menunggu leher
kita terpotong menjadi empat?”
“Kenapa?” bertanya Peda Sura.
“Kalau kita menunggu pasukan
Argapati, kita akan kehabisan waktu. Kita akan menjadi umpan dan mati berkubur
di kaki Bukit Menoreh ini.”
“Lalu apakah kepentinganmu
datang kemari?” bertanya Peda Sura.
Orang itu tidak menjawab.
Tetapi tampak kerut merut di keningnya menjadi semakin dalam.
“Kita datang kemari untuk
membantu Sidanti berperang melawan ayahnya. Kelak kita akan mendapat imbalan
dari jerih payah kita, sesuai dengan keadaan kita masing-masing. Tetapi
selebihnya, kita akan mendapatkan atas usaha kita sendiri. Kita akan dilepaskan
di dalam kandang domba. Kita tinggal memilih menurut selera kita masing-masing.
Tetapi kita harus dapat membawa diri, supaya kita tidak saling berbenturan.
Itulah sebabnya, maka kita harus mengekang diri kita sendiri, dan berusaha
berbuat seadil-adilnya di antara kita.” Ki Peda Sura berhenti sejenak, lalu
dengan suara lantang ia berkata, “Tetapi tidak sekarang. Kita jangan sampai
mati tanpa mengadakan perlawanan, karena kita lengah. Rumah-rumah itu, dan
rumah-rumah yang lain tidak akan dapat lari dari tempatnya.”
Tidak seorang pun yang
menjawab, meskipun di antara orang-orang sewaan itu ada yang tidak sependapat.
Tetapi mereka mengenal, siapakah Ki Peda Sura. Di dalam pasukan itu ia tidak
berdiri sendiri. Sebagian besar anak buahnya ada bersamanya. Dan orang-orang
itu mengenal pula, siapakah sebenarnya Ki Peda Sura. Seorang yang ditakuti dan
disegani oleh lingkungannya.
“Marilah kita tinggalkan
padukuhan ini. Jangan dibangunkan orang-orang yang sedang tidur nyenyak, supaya
mereka tidak menghindar malam ini. Nanti, setelah Sidanti memasuki induk tanah
perdikannya, yang dengan demikian menghisap segala kekuatan perlawanan Menoreh
atas kita, maka kita akan mendapat kesempatan itu.”
Orang-orang sewaan di dalam
pasukan itu masih saja berdiam diri. Meskipun wajah-wajah mereka menunjukkan
kekecewaan, namun mereka tidak berani berbuat sesuatu. Mereka tidak berani
menentang keputusan Ki Peda Sura, karena di dalam pasukan itu terdapat sebagian
besar dari anak buahnya.
Kecuali anak buah Ki Peda
Sura, maka pasukan Sidanti yang ikut di dalamnya yang terdiri dari orang-orang
Menoreh, mereka tidak senang melihat sikap mereka. Namun jumlah mereka tidak
terlampau banyak. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdiam diri, namun pada
saatnya hal itu pasti akan mereka sampaikan kepada Sidanti dan Argajaya. Kini
yang penting bagi mereka adalah menggilas kekuatan Argapati dan
pengikut-pengikutnya.
Pasukan itupun kemudian
bergerak maju menyusup padukuhan kecil itu, dan muncul kembali masuk ke dalam
bulak yang tidak begitu panjang, Di hadapan mereka masih terdapat beberapa
padukuhan-padukuhan kecil yang sepi.
“Kita harus berhati-hati,”
berkata Ki Peda Sura. “Siapa tahu, bahwa di dalam pedesan-padesan itu
bersembunyi pasukan Menoreh. Kita akan disergap dari dalam kegelapan, dan kita
akan kehilangan kesempatan untuk melawan.”
“Lalu, apakah kita akan
menunggu di sini?”
Peda Sura menggeleng, “Tidak.
Kita akan maju. Tetapi kita tidak akan masuk ke dalam pedesan kecil itu lewat
lorong ini. Kita akan melingkar melampaui sawah dan petegalan. Kita akan
melihat dari sisi padesan itu, apakah di dalam padesan itu di tempatkan
pasukan-pasukan Menoreh atau tidak. Kalau tidak, kita tidak akan singgah.
Tetapi kalau di sana bersembunyi orang-orang Argapati, kita pancing mereka
keluar. Kita akan bertempur di tempat yang terbuka. Cahaya bulan yang terang,
akan banyak memberi keuntungan kepada kita. Mungkin jumlah kita lebih sedikit
dari jumlah mereka, tetapi kita mempunyai kelebihan diri dalam perkelahian
seorang lawan seorang. Karena itu, kita akan memilih perang tanpa gelar. Kalau
kita harus memilih gelar, maka kita akan mempergunakan gelar Gelatik Neba,
untuk seterusnya kita akan sampai juga kepada perang brubuh.”
Orang-orang di dalam pasukan
itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka memang tidak pernah memikirkan
gelar apa pun yang akan mereka lakukan. Mereka berkelahi dengan cara mereka,
dengan kebiasaan dan selera masing-masing. Cara itu tidak dimiliki oleh para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun mereka mendapat latihan perlawanan
seorang demi seorang, tetapi mereka bukan orang-orang yang berpengalaman
berkelahi orang demi orang seperti orang-orang sewaan itu. Mereka tidak dapat
berlaku kasar dan licik. Berbuat apa saja untuk memenangkan pertempuran.
Meskipun demikian, namun
ternyata Ki Peda Sura cukup mengenal bentuk-bentuk perlawanan dalam gelar. Ia
memiliki segala macam pengalaman perang dalam segala macam bentuknya. Perang
dalam susunan gelar yang sempurna, sampai pada cara perang yang paling kasar
dan liar sekalipun.
Demikianlah, maka pasukan Ki
Peda Sura itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan induk tanah
perdikan. Dua buah padukuhan telah dilampauinya. Tetapi di dalam kedua padukuhan
itu sama sekali tidak dijumpainya pasukan Argapati, sehingga tumbuhlah
keheranan di dalam hati Peda Sura.
“Apakah orang-orang Menoreh
masih belum mengetahui gerakan pasukan ini?” bertanya Ki Peda Sura di dalam
hatinya, namun kemudian dijawabnya sendiri, “Mustahil. Aku yakin bahwa
petugas-petugas sandi telah melaporkan gerakan ini. Dan kami selanjutnya
tinggal menunggu, di mana kami akan dijebak dan masuk perangkap.”
Meskipun demikian, Ki Peda
Sura tidak menghentikan pasukannya. Tetapi ia menjadi semakin berhati-hati,
ketika ia mendekati padesan berikutnya.
“Kita berhenti di sini,” desis
Ki Peda Sura kemudian. Pasukannya pun kemudian berhenti. Beberapa orang
pemimpin kelompok mendekatinya sambil bertanya, “Adakah sesuatu yang menarik
perhatian?”
“Lihat,” berkata Peda Sura,
“padesan itu justru terlampau gelap. Aku mengira, bahwa di dalam desa itu
bersembunyi pasukan Argapati.”
Beberapa orang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka bergumam, “Kita lebih
baik segera berbuat sesuatu. Adalah menjemukan sekali, berjalan saja di
sepanjang malam. Aku kira malam telah menjadi terlampau malam. Bahkan mungkin
kita telah sampai ke tengah malam, melihat bulan yang telah berada di atas
kepala ini.”
Peda Sura mengangguk-angguk.
Dipandanginya padesan di hadapannya dengan tajamnya, seolah-olah ia ingin
langsung memandangi, apa saja yang tersembunyi di balik bayang-bayang dedaunan
yang kelam itu.
”Kita harus segera menemukan
mereka,” berkata orang yang lain, “kita terlampau disiksa oleh ketegangan tanpa
ujung. Kalau benar orang-orang Menoreh bertahan di desa itu, maka marilah kita
langsung masuk, menyergap ke dalamnya. Aku tidak yakin, bahwa orang-orang
Menoreh mampu mempergunakan pedangnya. Mereka hanya orang-orang yang terlampau
banyak tingkah dan banyak bicara.”
Namun kata-kata itu terpotong
oleh sebuah jawaban, “Kau jangan terlampau sombong. Kalau kau berbuat
sedemikian gila, maka lehermu akan menjadi taruhan. Jangan menghina orang-orang
dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang yang berbicara pertama
mengerutkan keningnya. Kemudian terdengar ia bertanya, “Siapa yang menyahut
kata-kataku itu? Apakah ia orang Menoreh juga.”
“Ya, aku adalah orang
Menoreh,” dijawab orang itu.
“Nah, marilah kita lihat,
apakah orang-orang dari Menoreh mampu menahan pedangku.”
“Cobalah.”
“Gila,” Ki Peda Sura hampir
berteriak, “ternyata kalian termasuk bilangan orang-orang gila. Kalau kalian
tidak mampu menahan diri dalam keadaan serupa ini, marilah kita batalkan saja
niat kita untuk membantu Sidanti dalam perjuangannya. Kalian adalah orang-orang
yang terlampau mementingkan diri sendiri dan pamrih-pamrih pribadi. Tetapi
kalian harus menyadari, bahwa aku mendapat kekuasaan untuk memimpin pasukan
ini. Aku mempunyai wewenang berbuat apa pun juga. Aku dapat membunuh kalian
tanpa bertanggung jawab apa pun kepada siapa pun.”
Kedua orang yang berbantah
itupun terdiam. Mereka menyadari, bahwa mereka berhadapan dengan Ki Peda Sura.
Berhadapan dengan orang yang benar-benar harus diperhitungkan sikap dan
kata-katanya. Sebagian besar orang tahu, apa saja yang pernah dilakukan oleh Ki
Peda Sura ini. Beberapa orang bahkan pernah melihat Ki Peda Sura itu membunuh
seseorang sambil mengunyah jenang alot. Tangan kanannya memasukkan makanan itu
ke dalam mulutnya, sedang dengan tangan kirinya ditusukkannya perlahan-lahan
ujung pisau belati pada arah jantung seseorang yang sudah tidak berdaya
tersandar pada dinding batu.
“Nah, kita akan memancing
mereka,” berkata Ki Peda Sura kemudian, “aku ingin berkelahi di tempat terbuka.
Aku ingin melihat setiap kali ujung senjataku menghunjam lambung lawan.”
“Apakah yang akan kita
lakukan?” bertanya salah seorang pemimpin kelompoknya.
“Kita dekati desa itu. Tetapi
beberapa puluh langkah daripadanya kita bergeser ke kiri. Kita akan masuk ke
dalam pategalan itu. Pategalan itupun cukup rimbun untuk bersembunyi. Tetapi
kita tidak akan bersembunyi. Kalau di dalam padesan itu ada pasukan Menoreh,
mereka akan berusaha menyergap kita di dalam pategalan. Tetapi kita akan
menyongsong mereka. Kita akan berkelahi di bawah terang bulan seperti yang
sedang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar.”
Beberapa orang mengerutkan
keningnya. Cara itu kurang menguntungkan. Langkah yang pertama, masuk ke dalam
pategalan itu dapat dipahami. Tetapi kemudian mereka tidak usah menyongsong
lawan di tempat terbuka, mereka dapat menunggu orang-orang Menoreh itu di bawah
bayangan dedaunan di pategalan. Menyergap mereka selagi mereka melangkahkan
kakinya masuk ke daerah kegelapan.
Tetapi orang lain bertanya,
“Bagaimanakah seandainya mereka tidak memburu kita ke pategalan itu?”
“Kita akan maju mendekat. Kita
akan menyergap mereka dari lambung, namun kemudian menarik mereka keluar dari
padesan. Itulah sebabnya, maka hanya ujung pasukan kita sajalah yang akan mulai
menyentuhkan senjatanya di padesan itu, kemudian kita membiarkan mereka
mendesak kita. Berkelahi di dalam padesan atau pategalan sama sekali tidak
menarik. Apalagi jumlah kita mungkin kalah. Pepohonan dan gerumbul-gerumbul
dapat memberi banyak perlindungan bagi mereka yang licik, yang tidak berani
bertempur beradu dada.”
Beberapa orang yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Peda Sura terlampau berbangga atas
keperkasaannya. Ia tahu benar, bahwa Ki Argapati telah terikat dalam
perkelahian melawan Ki Tambak Wedi. Bahkan menurut perhitungan mereka, Ki
Argapati tidak akan dapat lagi keluar dari daerah Pucang Kembar itu. Karena
itu, maka di atas Tanah Perdikan Menoreh, tidak akan ada lagi orang yang dapat
melawannya.
Maka pasukan Ki Peda Sura itupun
merayap maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan kecil di
hadapan mereka. Menurut perhitungan Ki Peda Sura, di situlah pasukan Menoreh
akan bertahan. Mereka sudah pasti tidak akan bertahan di bibir padukuhan induk
mereka. Sedang padukuhan di depan mereka itu, adalah padukuhan terakhir sebelum
mereka memasuki induk Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah pedukuhan yang besar dan
ramai.
Ternyata perhitungan Ki Peda
Sura itu tidak sisip. Di dalam padukuhan itu bersembunyi pasukan Menoreh.
Bahkan Samekta dan Pandan Wangi pun telah sampai ke tempat itu pula. Mereka
segera menghubungi para pemimpin kelompok dan memberikan beberapa petunjuk yang
mereka perlukan.
Belum lagi Samekta selesai,
maka datanglah seorang pengawas kepadanya sambil berkata, “Di depan kita
berjalan sepasukan orang-orang Sidanti seperti yang telah dilaporkan lebih
dahulu.”
“Apakah mereka menuju kemari?”
bertanya Samekta.
“Ya, mereka menuju kemari.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dengan berjalan kaki ia pergi ke ujung lorong untuk melihat pasukan
yang disebutkan olen pengawas itu.
“Hem,” desis Samekta, “pasukan
itu agaknya ingin membunuh dirinya. Mereka langsung maju ke padukunan ini dalam
iring-iringan seperti orang mengantar mayat ke kuburan.”
Pandan Wangi yang melihat
bayangan-bayangan remang-remang di bawah sinar bulan yang cerah, mengerutkan
keningnya. Pasukan itu agaknya memang tidak bersiap sama sekali. Mereka
berjalan seenaknya, seolah-olah tidak melihat bahaya yang menunggu di hadapan
mereka.
“Pasukan itu tidak terlampau
besar,” gumam Samekta, “aku memang sudah menyangka, bahwa pasukan Sidanti tidak
terlampau besar. Tetapi jumlah yang datang itu benar-benar di luar dugaanku.
Jumlah itu terlampau sedikit bagi pasukanku.”
“Paman jangan terlalu
menganggap diri terlampau kuat. Bukankah Paman sudah memperhitungkan pula,
bahwa mungkin Kakang Sidanti menyisakan pasukannya untuk tujuan khusus.”
“Ya. Tetapi menghancurkan
pasukan yang datang itu, apalagi apabila mereka memasuki padukuhan ini dengan
cara itu, adalah pekerjaan yang terlampau ringan. Separo dari pasukanku akan
dapat menyelesaikannya sebelum fajar. Apalagi seluruh pasukan ini.”
“Jangan memandang mereka
terlampau rendah, Paman.”
“Tidak Ngger. Aku tidak
memandang mereka terlampau rendah. Tetapi aku mendasarkan pada perhitungan.
Perhitungan yang telah di alasi dengan pengalaman yang bertahun-tahun.”
“Paman Argajaya adalah orang
yang cukup berpengalaman pula. Sedang Kakang Sidanti adalah bekas seorang
prajurit yang baik.”
Samekta tidak menjawab. Tetapi
dipandanginya bayangan di dalam cahaya bulan itu yang semakin lama menjadi
semakin jelas. Mereka berjalan beriringan.
Samekta tersenyum melihat
pasukan yang mendekat itu. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku tidak menyangka,
bahwa pasukan Sidanti akan sedemikian lengah menghadapi lawan yang jauh lebih
kuat.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tetapi firasatnya terasa mengetuk hatinya, bahwa sesuatu akan
terjadi atas tanah perdikan ini. Justru kebodohan yang berlebih-lebihan dari
pasukan Sidanti itu membuatnya bercuriga.
Tiba-tiba dengan serta-merta
ia berkata, “Paman, apakah Paman sendiri tidak lengah menghadapi pasukan itu?
Sampai saat ini Paman belum membuat perintah apa-apa.”
“Oh,” peringatan itu telah
membuat dada Samekta berdesir. Ia memang belum berbuat apa-apa justru karena ia
menganggap lawannya terlampau kecil. Maka sejenak kemudian ia berkata kepada
setiap pemimpin kelompok pasukannya, “Semua masuk ke dalam dinding halaman.
Kita biarkan pasukan itu masuk ke lorong ini, kemudian kita sergap mereka setelah
semuanya berada di dalam padukuhan. Aku akan memberikan aba-aba yang harus
disambut oleh setiap pemimpin kelompok dan kemudian oleh setiap pengawal. Suara
yang bersahut-sahutan akan membuat mereka semakin bingung.”
Setiap pemimpin kelompok tidak
menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka berloncatan ke pasukan
masing-masing. Dan sebelum Pandan Wangi menyadari keadaan itu, semua pasukan
telah hilang di balik dinding batu di sepanjang jalan padukuhan. Bahkan kuda
Pandan Wangi pun sudah tidak tampak lagi di tempatnya.
Pandan Wangi menarik nafas.
Pasukan Menoreh memang terlatih baik. Mereka dapat berbuat dengan cepat tanpa
banyak menimbulkan keributan.
“Tetapi pasukan Kakang Sidanti
yang terdiri dari orang-orang Menoreh pun akan sebaik itu pula,” gumam Pandan
Wangi di dalam hatinya. Tetapi sebelum gadis itu sempat bertanya, maka
dilihatnya pasukan yang sudah menjadi terlampau dekat di hadapan mereka itu
berhenti.
“Mereka agaknya mulai menyusun
diri,” berkata Samekta kepada Pandan Wangi.
“Ternyata mereka tidak sebodoh
yang kita sangka.”
Samekta tidak menjawab. Tetapi
matanya seakan-akan hendak meloncat dari pelupuknya ketika ia melihat pasukan
itu bergeser. Ternyata mereka tidak maju lagi, tetapi mereka berjalan memintasi
pematang. Namun sejenak kemudian Samekta tersenyum, “Biar saja mereka memilih
lawan.”
Pandan Wangi tidak mengerti,
apakah yang dimaksud oleh Samekta. Tetapi ia tidak bertanya. Beberapa langkah
ia maju meskipun ia masih tetap terlindung oleh bayangan dedaunan yang rimbun.
“Kemana mereka akan pergi
Paman?”
“Mungkin mereka melihat
tanda-tanda, bahwa kita menunggu mereka di sini. Mungkin beberapa orang
pengawas mereka berhasil mendekat tanpa setahu kita. Karena itu mereka merubah
arah. Agaknya mereka akan berlindung untuk sementara di pategalan itu sambil
menyusun pasukan mereka menjadi pasukan yang agak pantas untuk maju ke medan
perang.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia melihat kesan yang aneh di wajah
Samekta. Apalagi ketika ia bergumam, “Kita akan melihat, apa yang akan terjadi
di pategalan itu.”
Sepercik pertanyaan menyala di
wajah Pandan Wangi, meskipun tidak terucapkan, dan Samekta pun dapat menangkap
pertanyaan itu. Katanya, “Marilah Ngger, kita maju beberapa langkah lagi. Kita
menunggu, apa yang akan terjadi kemudian.”
“Paman tidak menyiapkan
sesuatu untuk menyongsong perubahan tata gelar lawan?”
“Tentu Ngger. Aku akan berbuat
sesuatu.”
Tiba-tiba terdengarlah suara
suitan pendek dari mulut Samekta, tetapi kemudian berubah seperti suara derik
angkup kering. Berturut-turut menusuk sepinya malam. Meskipun suara itu tidak
terlampau keras, tetapi cukup dapat didengar oleh pemimpin-pemimpin kelompok
pasukannya.
Sekejap kemudian, para
pemimpin kelompok itu telah berkumpul. Dan dengan singkat Samekta memberitahukan,
bahwa pasukan lawan telah menggeser arah dan pergi ke pategalan di sebelah.
“Oh,” pemimpin pengawal yang
tertua di antara mereka bertanya, “lalu apakah yang harus kita lakukan?”
“Kita bersiap. Kita akan
segera menyusul mereka.”
“Bagaimana dengan sayap kiri
dari pasukan ini?”
“Pada saatnya kita panggil
pemimpinnya dengan isyarat. Kemudian mereka harus bergeser dan menempati tempat
ini. Kita akan pergi ke pategalan di sebelah.”
“Apakah sayap itu tidak akan
ikut dalam pertempuran nanti.”
“Kita melihat perkembangan.
Kalau kita tidak segera dapat mengatasi lawan kita, maka sayap itu kita bawa
masuk ke dalam peperangan.”
“Apakah kita tidak akan
menyusun gelar?”
“Kita lihat keadaan lawan.
Tetapi bahwa mereka terperosok ke pategalan itu dalam keadaannya, maka
rasa-rasanya kita tidak akan menyusun gelar. Kita akan terlibat dalam perang
brubuh seperti yang sudah kita duga sebelumnya.”
“Lalu apakah yang akan kita
lakukan dahulu?”
“Bersiap bersama pasukan
masing-masing. Aku akan memberikan perintah kepada kalian, apabila datang
saatnya kalian harus pergi ke pategalan itu.”
Para pemimpin kelompok itupun
segera kembali ke dalam kelompok masing-masing. Tetapi sejenak kemudian, para
pengawal sudah tidak lagi bersembunyi dan berlindung di balik pagar-pagar batu.
Mereka kini bahkan telah meloncat kembali kelorong padukuhan itu.
“Aku tidak mengerti Paman,”
gumam Pandan Wangi.
“Ini adalah pengalaman Angger
yang pertama berada di medan. Angger harus mencoba menyesuaikan diri.” Samekta
berhenti sebentar, lalu, “Tetapi maafkan Ngger, kalau aku kau anggap
menyinggung perasaaanmu. Maksudku agar kau tidak terperosok ke dalam keadaan
yang tidak kau mengerti sebelumnya.”
Sekali lagi Samekta berhenti,
ia menjadi ragu-ragu untuk meneruskannya. Namun akhirnya ia berkata juga,
“Angger Pandan Wangi. Aku mengharap bahwa, Angger mencoba menyesuaikan diri
dengan peperangan yang bakal terjadi. Jangan langsung terjun ke dalam
hiruk-pikuk perang brubuh. Angger akan melihat hal-hal yang mungkin belum
pernah terbayangkan. Betapapun tangkasnya kau, namun kau adalah seorang gadis.
Seorang perempuan. Kau akan sangat terpengaruh oleh penglihatanmu dalam perang
semacam itu. Orang akan mudah sekali kehilangan kepribadian karena pengaruh
dentang senjata. Apalagi orang-orang yang datang itu adalah orang-orang liar
yang tidak mengenal peradaban.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia mencoba mengerti keterangan Samekta. Sebenarnyalah bahwa ia agak
tersinggung pula. Seolah-olah Samekta masih saja menganggapnya anak-anak yang
perlu selalu dilindungi. Tetapi ia tidak membiarkan perasaan itu berbicara.
Karena itu maka ia pun bertanya, “Apakah maksud Paman Samekta dengan kehilangan
kepribadian itu?”
“O, Ngger,” jawab Samekta,
“mungkin kau pernah melihat darah mengalir dari luka. Mungkin kau bahkan pernah
mengalami bertempur melawan enam orang laki-laki liar serupa itu. Tetapi kau
belum pernah berada dalam perang brubuh. Orang-orang yang terlibat di dalamnya
akan kehilangan otaknya. Yang berkuasa di dalam arena yang demikian adalah
ujung senjata. Lebih dari itu. Setiap orang akan berusaha melepaskan kemarahan,
dendam dan kebencian, sehingga tingkah lakunya jauh melampaui tingkah laku
binatang yang paling buas sekalipun.”
Dada Pandan Wangi berdesir.
Kini ia mengerti maksud Samekta. Tetapi ia sudah bertekad untuk mengenal bentuk
peperangan dari dekat. Ia ingin mendapat pengalaman, apalagi apabila
benar-benar ayahnya menganggap, bahwa ia sudah sepantasnya untuk mengganti
kedudukan ayahnya itu. Kalau ia gagal pada pengenalannya atas bentuk peperangan
yang pertama kali dan menjadi korban karenanya, maka itu adalah akibat yang
wajar dari peperangan.
Karena itu maka katanya,
“Terima kasih Paman. Aku akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Tetapi aku akan
tetap berada dalam pasukan ini.”
Samekta menarik nafas. Tetapi
sebelum ia menjawab, ia mengangkat kepalanya. Lamat-lamat ia mendengar suara
isyarat. Panah sendaren.
“Kita harus bersiap,”
desisnya. Sekali lagi terdengar suara suitan dari mulut Samekta, kemudian
berubah menjadi derik angkup kering. Dan sekali lagi para pemimpin kelompok
berloncatan mendekatinya.
“Siapkan pasukan. Kita akan
pergi ke pategalan.” Sekali lagi Pandan Wangi melihat para pemimpin kelompok
itu seolah-olah lenyap ditelan gelap malam. Namun sekejap kemudian pasukan di
padukuhan itu telah siap untuk menyergap lawannya. Kelompok demi kelompok. Sama
sekali tidak tersusun dalam gelar yang sempurna.
Pandan Wangi terkejut, ketika
tiba-tiba ia mendengar sorak bergeletar di pategalan sebelah. Sehingga dengan
serta-merta ia bertanya, “Siapakah yang bersorak itu Paman?”
“Kedua pasukan itu telah
bertemu.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Ia masih belum mengerti, pasukan siapakah yang sudah bertemu itu.
Karena itu dipandanginya Samekta dengan dahi yang berkerut merut.
Sementara itu, Peda Sura pun
terkejut bukan buatan. Tanpa disangka-sangkanya, ketika ia merasa bahwa di
hadapannya bersembunyi pasukan Menoreh, ia mencoba untuk menariknya keluar
dengan caranya. Tetapi ternyata bahwa di dalam pategalan itupun dijumpainya
pasukan Menoreh yang telah siap menunggunya.
Sorak yang meledak itu
membuatnya sekejab menjadi bingung. Tetapi pengalamannya segera menempatkannya
ke dalam keadaan yang mantap. Dengan lantangnya ia berteriak, “Tarik mereka
keluar.”
Orang-orangnya yang telah
terjebak itu, segera bergeser surut. Mereka berusaha untuk bertempur di luar
pategalan yang dibayangi oleh dedaunan dan pohon-pohon buah-buahan yang rimbun.
Ternyata orang-orang Peda Sura
adalah orang-orang yang memang cukup liar, namun cukup mempunyai pengalaman di
dalam keliarannya. Segera mereka berkelahi dengan buasnya, sambil bergeser
setapak demi setapak. Mereka pun berteriak-teriak tidak menentu, jauh lebih
keras dari suara orang-orang Menoreh yang mengejutkan mereka untuk pertama
kali.
Perkelahian yang terjadi kemudian
adalah perkelahian yang kisruh. Bukan sekedar perang brubuh, tetapi benar-benar
campuh seperti debu dalam putaran angin pusaran.
Di padesan sebelah Samekta
telah menyiapkan pasukannya. Dengan isyarat pemimpin pasukan di sayap kiri
telah datang kepadanya. Samekta segera memberinya beberapa pesan, dan
memerintahkan pasukan di sayap kiri itu segera berada di tempat induk pasukan
yang akan segera bergeser ke sayap kanan.
“Kalau keadaan memaksa, kalian
akan mendapat isyarat untuk bertempur di sayap itu pula.”
“Ya,” jawab pemimpin sayap
kiri itu, “kami akan selalu bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian berkata kepada setiap pemimpin kelompok, “Kita berangkat.
Kelompok demi kelompok. Kita akan menghadapi perang brubuh yang tidak beraturan
sama sekali.” Lalu kepada Pandan Wangi ia berkata, “pertimbangkan kata-kataku,
Ngger.”
“Terima kasih Paman, tetapi
aku ingin melihat, apa yang terjadi itu.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Dengan suara berat ia berkata pula, “Kalau kau berkeras hati
Ngger, maka aku hanya dapat berpesan, berhati-hatilah. Berhati-hati sekali.”
“Terima kasih, Paman.”
Samekta pun kemudian bersiap
dengan segenap pasukannya. Pemimpin pasukan sayap kiri telah pergi mengambil
pasukannya. Sejenak kemudian, maka iring-iringan pasukan itu telah berada di
tengah-tengah bulak pendek, menyeberang ke padukuhan itu.
“Pasukan itu telah datang.
Marilah kita berangkat,” desis Samekta yang kemudian memberikan perintah kepada
pemimpin-pemimpin kelompoknya untuk segera melibatkan diri ke dalam perang yang
ribut itu.
Sejenak kemudian maka
mengalirlah pasukan Samekta itu, keluar dari padukuhan tempat mereka
berlindung. Di antara mereka terdapat Pandan Wangi yang berdebar-debar, tetapi
ia sama sekali tidak ragu-ragu. Ia memang sudah bertekad bulat untuk pergi
berperang.
Namun di sepanjang jalan ia
masih mencoba mengerti, apakah yang sedang terjadi. Ternyata bahwa pasukan
Samekta itu dibagi menjadi tiga kelompok besar.
“Paman Samekta tidak pernah
mengatakannya dengan pasti,” desisnya, “yang kini bertempur itu adalah sayap
kanan pasukan Paman Samekta.”
Tetapi angan-angan Pandan
Wangi itu segera terputus, ketika ia melihat seseorang berlari-lari menyongsong
pasukan yang sedang bergerak itu.
“Siapakah orang itu Paman?”
Samekta menggeleng, “Aku tidak
tahu. Aku kira seorang penghubung.”
Ternyata dugaan Samekta itu
benar. Orang itu adalah seorang penghubung.
Belum lagi orang itu berkata
sesuatu, Samekta telah lebih dahulu bertanya, “Kenapa kalian bertempur di luar
pategalan?”
“Pasukan lawan memancing kami
keluar.”
“Dan kalian mengejar mereka
keluar seperti yang mereka kehendaki.”
“Mereka mendesak kami keluar.”
“He?” Samekta mengerutkan
keningnya.
“Mereka terlalu kuat buat
sayap kanan. Mereka masuk dalam-dalam. Kami memang menjebaknya. Dengan
serta-merta kami menyerang mereka. Tetapi mereka mampu mendesak kami. Karena
itu kami segera memerlukan bantuan.”
“Ya, aku sudah mendengar
isyarat kalian dengan panah sendaren.”
“Tetapi aku dikirim untuk
langsung memberitahukan, bahwa yang memimpin pasukan lawan adalah seorang yang
bernama Peda Sura.”
“He,” Samekta terperanjat. Ia
sudah pernah mendengar nama itu. Dan ia menyadari kini, dengan siapa ia harus
berhadapan.
“Bagus,” desisnya. Terasa
dadanya menjadi sesak oleh kemarahan yang meluap-luap. Tetapi ia tidak dapat
menutup kenyataan, bahwa Peda Sura bukanlah lawannya untuk bertempur seorang
lawan seorang. Namun Samekta adalah seorang pengawal yang cukup berpengalaman
pula. Segera disusunnya satu kelompok kecil dari orang-orang yang dipilihnya,
untuk bersama-sama dengan dirinya sendiri menghadapi Ki Peda Sura. Tanpa cara
yang demikian, ia tidak akan dapat berhasil. Kepada orang-orangnya ia berpesan
berantai, “Jangan menghadapi lawan seorang lawan seorang. Bentuklah
kelompok-kelompok kecil yang tidak terpisahkan oleh perang yang betapa pun
kisruhnya. Meskipun kita tidak dapat mengimbangi mereka seorang lawan seorang,
tetapi jumlah kita jauh lebih banyak.”
Lalu kepada Pandan Wangi ia
berkata, “Kau sudah mendengar Ngger, siapa yang berada di pasukan lawan. Kau
harus berada di dalam kelompokku, untuk bersama-sama melawan Ki Peda Sura.”
Kali ini Pandan Wangi tidak
membantah. Ia menyadari, bahwa Samekta mempunyai pengalaman yang jauh lebih
banyak daripadanya. Karena itu, maka sambil menganggukkan kepalanya ia berkata,
“Baik Paman. Aku akan berada di kelompok itu.”
Samekta menarik nafas panjang.
Ternyata Pandan Wangi tidak terlampau membiarkan perasaannya melambung tanpa
batas. Dengan demikian ia akan dapat langsung mengawasi gadis itu, dan
sekaligus Pandan Wangi akan merupakan kekuatan yang harus diperhitungkan oleh
Ki Peda Sura.
Kepada beberapa orang prajurit
yang dipilihnya, Samekta berpesan untuk melindungi kelompok kecil yang nanti
akan bertempur melawan Ki Peda Sura, supaya tidak terganggu oleh orang-orang
yang telah dipersiapkan pula oleh pemimpin pasukan lawan yang garang itu.
Dari penghubung yang datang
kepadanya, Samekta sama sekali tidak mendapat keterangan tentang Sidanti dan
Argajaya. Mereka masih belum terlihat berada di pasukan yang sedang bertempur
itu, sehingga dengan demikian, maka kedua orang itu telah menimbulkan persoalan
di hati Samekta.
Pandan Wangi yang belum
terlampau banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan perang pun bertanya di
dalam hatinya, “Kenapa Kakang Sidanti dan Paman Argajaya tidak berada di dalam
pasukan itu?” Berbagai dugaan tumbuh di dalam hati gadis Menoreh itu. Bahkan ia
sampai pada suatu kesimpulan, “Pasti ada kekuatan lain yang dipimpin oleh
Kakang Sidanti. Bahkan mungkin masih ada yang lain pula yang dipimpin oleh
Paman Argajaya.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
menyatakan pikirannya itu. Ia menganggap, bahwa Samekta pasti telah mempunyai
perhitungan-perhitungan yang cukup baik. Dan anggapannya itupun ternyata
kemudian ketika Samekta memanggil seorang penghubung datang kepadanya.
Pemimpin pasukan Menoreh itu
ternyata menjadi gelisah pula, karena Sidanti dan Argajaya tidak ada di dalam
peperangan itu. Katanya kepada penghubungnya, “Kau segera kembali ke pasukan
sayap kiri. Menurut pengamatan penghubung dari sayap kanan, belum seorang pun
yang melihat Sidanti dan Argajaya berada di dalam pasukan mereka. Pasukan itu
dipimpin oleh Ki Peda Sura. Dengan demikian mereka harus lebih berhati-hati.”
Penghubung itu menganggukkan
kepalanya.
“Bawalah seorang kawan dari
sayap kiri,” berkata Samekta selanjutnya, “hubungi pasukan cadangan di banjar,
supaya mereka mendengar hal ini pula. Kemudian sampaikan pula kepada Wrahasta.
Berita ini harus sampai pula kepada setiap gardu peronda di manapun juga.
Pergilah segera. Berkuda. Bawalah tanda-tanda sandi apabila diperlukan di
sepanjang perjalananmu. Panah api atau panah sendaren.”
“Baik,” sahut penghubung itu,
yang dengan segera meloncat berlari melakukan tugasnya. Ia harus mengambil kuda
di padesan yang baru saja ditinggalkan dan seorang kawan.
Samekta pun kemudian
melanjutkan langkahnya, dengan tergesa-gesa menuju ke pategalan. Di sepanjang
bulak yang tidak terlampau panjang itu ia sempat membentuk beberapa
kelompok-kelompok lain. Seandainya Sidanti ada di dalam pasukan lawan, apalagi
bersama Argajaya pula, maka mereka pun tidak akan dapat dilawan oleh siapa pun
juga dalam perang seorang lawan seorang. Karena itu, mereka harus dihadapi oleh
kelompok-kelompok terpilih.
Sejenak kemudian, mereka telah
dapat melihat hiruk pikuk pertempuran di luar pagar pategalan. Terdengar
teriakan yang melengking-lengking di antara dentang senjata, disahut oleh
umpatan-umpatan kasar dan gemeretak gigi. Ternyata orang-orang yang tidak
banyak dikenal di Menoreh itu berkelahi dengan kasarnya. Mereka berbuat apa
saja tanpa kendali, sehingga kadang-kadang menggoncangkan hati para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh. Namun anak-anak Menoreh itu telah dibekali tekad di
dalam dadanya, bahwa mereka bertempur untuk tanah kelahiran mereka. Tanah yang
selama ini telah memberinya tempat untuk membangun suatu bebrayan yang rukun
dan damai. Tanah yang telah disadapnya setiap saat untuk makan dan minumnya.
Dorongan itulah yang membuat
mereka tabah menghadapi keliaran orang-orang yang datang untuk membuat tanah
perdikan ini menjadi semakin parah.
Namun orang-orang yang
berkelahi dengan buasnya itu mempunyai beberapa kelebihan. Pengalaman mereka
mempergunakan senjata, kebiasaan mereka berbuat kasar dan sewenang-wenang,
bahkan tangan-tangan mereka yang telah terlampau sering dibasahi oleh darah,
menempatkan mereka pada kesempatan yang lebih baik dari lawan-lawan mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, betapapun juga dilandasi oleh tekad yang
bulat, namun kadang-kadang mereka masih juga ragu-ragu untuk menghunjamkan
pedang mereka terlampau dalam ke tubuh lawan seandainya mereka mendapat
kesempatan. Tetapi saat-saat yang demikian itu ternyata telah menutup setiap
kemungkinan berikutnya baginya. Sebab orang-orang di pasukan lawan itu akan
mempergunakan segala kesempatan yang mereka peroleh.
Tepat pada saatnya, Samekta
dan pasukannya berhasil menolong keadaan. Kelompok demi kelompok pasukan
pengawal Menoreh dari induk pasukan itu melanda perkelahian yang sedang
berlangsung, seperti arus banjir yang melanda tanggul. Kelompok demi kelompok
mereka langsung melibatkan diri dalam perkelahian yang hiruk-pikuk. Perang
brubuh, sehingga tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan. Mereka harus
mengenal setiap kawan-kawan mereka dari bentuk, pakaian dan jenis senjata yang
di pergunakan. Seperti pesan Samekta, maka para pengawal dari Menoreh telah
mencoba untuk berkelahi dalam kelompok kecil yang terdiri dari tiga atau empat
orang tanpa terpisahkan. Apabila keadaan memaksa, maka setidak-tidaknya mereka
bertempur berpasangan. Dua-dua.
Tidak sukar bagi Samekta untuk
segera dapat menemukan Ki Peda Sura. Orang itu ternyata telah menimbulkan
terlampau banyak korban. Senjatanya, sepasang bindi yang panjang telah
melumpuhkan korban-korban di pihak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Sepasang senjata itu berputaran seperti sepasang baling-baling, kemudian
terayun-ayun mendatar, dan menyambar-nyambar seperti burung garuda.
“Itulah setan itu,” desis
Samekta, “kita harus menghentikannya. Semakin lama ia akan menjadi semakin
gila. Bau darah akan membuatnya semakin buas.” Lalu kepada Pandan Wangi ia
berkata, “Hati-hatilah, Ngger. Perang brubuh adalah jenis perang yang paling
tidak menyenangkan.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Ia sudah menggenggam sepasang pedangnya. Namun ternyata bahwa
pengenalannya yang pertama atas peperangan telah membuat hatinya menjadi
berdebar-debar.
Tetapi Pandan Wangi sama
sekali tidak ingin surut. Ia benar-benar ingin melihat dan menghayati perang.
Apalagi kali ini, pada saat tanah perdikannya terancam.
Namun sebenarnyalah, bahwa
bukan tiba-tiba saja Pandan Wangi ingin melibatkan dirinya di dalam peperangan.
Peperangan ini adalah penyaluran yang dapat diketemukannya untuk melepaskan
masalah-masalah yang telah membuat dadanya semakin pepat. Persoalan yang
sedikit demi sedikit tertimbun di hatinya. Sejak ia melihat kakaknya pulang
dengan tabiat yang aneh. Sejak ia berkelahi dengan Sidanti di halaman rumah Ki
Sentol. Kemudian sifat-sifat Sidanti yang sangat berubah dari sifat-sifatnya
yang pernah dikenalnya dahulu. Pertentangan pendapat antara ayahnya dan Ki
Tambak Wedi, kemudian memuncak pada saat ia mendengar cerita ayahnya tentang
Sidanti, tentang ibunya dan tentang persoalan mereka.
Sejak saat itulah terasa di
dalam dada Pandan Wangi melonjak-lonjak suatu perasaan yang tidak dapat
dimengertinya. Ancaman terhadap tanah perdikan ini telah membuatnya menjadi
seorang yang seakan-akan menyimpan dendam di dalam dirinya. Meskipun ia masih
mencoba menemui kakaknya dan berbicara dalam suasana yang baik, tetapi telah
menyala api di dalam dirinya, yang setiap saat dapat meledak dan membakar
seluruh hati dan jantungnya.
Itulah sebabnya, maka
peperangan kali ini telah sangat menarik perhatiannya. Seolah-olah ia menemukan
tempat untuk menyalurkan dendam dan kebenciannya. Dendam dan kebencian yang
selama ini berkembang di dalam dirinya, meskipun ia tidak akan dapat
menyebutkannya kepada siapa ia mendendam dan siapakah yang telah dibencinya.
Namun selama ini ia mencoba mencari sasaran yang paling mungkin untuk
melepaskan dendam dan kebencian itu. Orang yang paling mungkin disangkutkannya
sebagai sumber bencana itu adalah Ki Tambak Wedi. Dan Pandan Wangi mencoba
memusatkan segenap kebencian dan dendamnya kepada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki
Tambak Wedi kini sedang berkelahi dengan ayahnya. Yang ada di peperangan ini
adalah orang-orang Ki Tambak Wedi. Kepadanyalah dendam harus ditumpahkan.
Tetapi ketika ia telah berada
di tengah-tengah perang brubuh yang liar dan buas itu, terasa betapa asingnya
dunia yang ada di sekitarnya. Ia sama sekali tidak membayangkan sebelumnya,
bahwa di dalam peperangan jiwa seseorang benar-benar tidak berharga. Ia
mendengar orang yang berteriak-teriak dengan umpatan-umpatan kasar, kemudian
pekik orang kesakitan. Yang lain mengerang dan yang lain lagi mengaduh di
sela-sela terkaman-terkaman senjata yang saling berbenturan. Ia melihat dunia
yang jauh berlawanan dengan dunianya sendiri. Ia setiap kali melihat seorang
ibu mendukung bayinya. Setiap nyamuk yang menggigit bayi itu selalu diusirnya.
Setiap goresan kuku-kukunya sendiri yang memerah pada kulitnya, selalu di
lumurinya dengan minyak. Apabila bayi itu merasa badannya kurang sehat dan
menangis, merengek-rengek, betapa ibunya menjadi bingung setiap malam sampai
sehat kembali.
Tetapi di peperangan ini, ia
melihat jiwa yang sama sekali tidak dihargai lagi. Dada yang sobek oleh luka
ujung senjata. Darah merah yang mengalir membasahi tanah. Tangan yang patah dan
lengan yang lemah terkulai tidak berdaya lagi.
“Dua dunia yang jauh
berlawanan,” desisnya di dalam hati. Di dunia yang satu, setiap gangguan pada
sesamanya, selalu mendapat pertolongan sejauh-jauh dapat dilakukan. Betapa
orang berusaha menyelamatkan setiap jiwa yang terancam. Oleh sakit maupun
kecelakaan. Betapa orang berusaha menyambung jalan atas kemungkinan, umur yang
dijamah oleh maut. Tetapi di dunia yang sekarang diinjaknya, maka setiap orang
berusaha melenyapkan jiwa sesama. Bunuh membunuh dengan penuh nafsu dan
kebanggaan. Semakin banyak jiwa yang dijemput oleh maut, maka semakin riuhlah
sorak sorai orang-orang yang masih dapat bertahan dari dekapan kematian. Dan
orang-orang yang masih hidup itu justru berusaha dengan sepenuh kemampuannya,
memperbanyak kematian-kematian berikutnya.
Tetapi ia sudah berada didunia
itu.
Pandan Wangi tersedar dari
angan-angannya, ketika ia melihat Samekta sudah mulai memutar pedangnya.
Beberapa orang di sekitarnya pun telah siap untuk bertempur. Sebuah kelompok
kecil berhadapan dengan seorang yang telah mendengungkan namanya dengan nada
yang hitam di dalam hiruk pikuk perang brubuh.
”Kaukah pemimpin orang-orang
Menoreh itu,” terdengar suara Ki Peda Sura yang parau datar.
“Ya,” sahut Samekta pendek.
Tetapi pedangnya langsung menyerang lambung lawannya. Bertubi-tubi dan sekejap
kemudian setiap pedang di dalam kelompok itupun segera bergetar dan menyambar.
Hanya sepasang pedang Pandan Wangi sajalah yang masih bersilang di depan
dadanya.
“Kenapa kau bawa pererapuan
itu kemari?“ getar suara Peda Sura.
Ternyata pertanyaan itu telah
menggetarkan dada Pandan Wangi. Sejenak kemudian terungkaplah kembali segala
macam kebenciannya terhadap orang-orang yang tidak dikenal itu. Enam orang
pernah berusaha untuk menangkapnya dengan maksud yang paling keji yang dapat
dilakukan oleh manusia. Kemudian dendam dan kebenciannya kepada Ki Tambak Wedi
yang telah merusak Tanah Perdikan, dan lebih-lebih lagi keluarganya. Ia telah
memercikkan noda yang tidak terhapus pada nama ibunya. Tetapi ibunya sendiri
telah membantu menggoreskan noda itu pula.
Meskipun demikian, Pandan
Wangi masih tetap ragu-ragu. Apakah benar ia telah digerakkan oleh dendam dan
kebencian untuk memasuki dunia yang hitam kelam ini?
“Tidak,” tiba-tiba Pandan
Wangi menggeram di dalam hatinya, “bukan dendam dan kebencian. Seandainya
hatiku hanya diwarnai oleh dendam dan kebencian aku dapat mengambil jalan lain.
Aku akan melepaskan dendam itu dengan cara yang lain. Tetapi aku kini dibebani
oleh tanggung jawabku atas Tanah Perdikan ini. Kecintaanku atas tanah ini, atas
keluargaku dan atas rakyat Menoreh telah memaksa aku untuk masuk ke dalam
daerah yang kelam ini.”
Pandan Wangi terkejut, ketika
seorang pengawal telah mendorongnya ke samping. Ketika ia menyadari keadaannya,
maka hatinya terasa berdesir. Seluruh pengawal yang ada di tempat itu telah
terlibat di dalam peperangan. Beberapa orang terpaksa berada di sekitarnya
untuk mencoba melindunginya.
Kini Pandan Wangi merasa bahwa
dirinya tidak boleh tenggelam dalam angan-angannya saja di tengah-tengah
peperangan yang kisruh itu. Dengan demikian ia benar-benar menjadi beban orang
lain yang harus mengawasi dan melindunginya. Apalagi ketika ia melihat, betapa
Peda Sura sudah sampai pada puncak kemampuannya.
Terdengar gadis itu menggeram.
Ia berpaling ketika ia mendengar seseorang terpekik di sampingnya. Matanya
menjadi terbelalak ketika ia melihat pengawal yang mendorongnya dari ujung
senjata lawan itu memegangi lambungnya yang terluka.
Darah yang menitik dari luka
itu seolah-olah titik-titik minyak yang menyiram dadanya yang membara. Kalau
semula ia menjadi ngeri melihat darah dan luka, serta melihat kekasaran dan
keliaran lawannya, maka kini tiba-tiba ia merasa wajib, bahwa ia harus
menghentikan semuanya. Peristiwa-peristiwa yang membuat dadanya berdebar-debar
telah mendorongnya untuk segera berbuat sesuatu.
Pandan Wangi itu
menggeretakkan giginya. Selangkah ia maju mendekat Peda Sura kini sedang
bertempur melawan beberapa orang yang mengelilingnya. Beberapa orang pengawal
terpilih.
Namun meskipun demikian, para
pengawal itu seolah-olah tidak dapat berbuat terlampau banyak. Mereka hanya
dapat menyerang berganti-ganti dari jurusan yang berbeda-beda. Terus-menerus
untuk berusaha agar Peda Sura tidak dapat berbuat terlampau banyak.
Tetapi Peda Sura bukan
kanak-kanak. Segera ia memekik tinggi sambil memutar kedua senjatanya. Seperti
prahara ia maju langsung menyerang orang yang memegang pimpinan pada pasukan
pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
Samekta terkejut melihat
serangan yang langsung melibatnya itu. Seakan-akan ia tidak mendapat kesempatan
untuk menghindar.
Orang-orang lain di dalam
kelompok itupun serasa telah kehilangan kesempatan untuk mengimbangi gerak yang
terlampau cepat. Peda Sura seolah-olah sudah tidak menghiraukan orang-orang
lain kecuali Samekta.
Beberapa orang masih mencoba
menahannya dan menyerangnya dari arah yang lain. Tetapi gerak Peda Sura dalam
kesempatan ini ternyata terlampau cepat.
Samekta yang langsung mendapat
serangan itu sudah tentu tidak akan membiarkan dirinya binasa. Sejauh-jauh
dapat dilakukan ia harus memberikan perlawanan atau menghindar. Karena itu,
ketika serangan itu meluncur dengan cepatnya, maka ia pun segera mencoba
mengambil jarak dengan meloncat ke samping.
Tetapi senjata Peda Sura
seolah-olah mempunyai mata. Serangan itupun dengan cepatnya berkisar dan mengejarnya.
Sehingga dengan demikian, maka Samekta benar-benar tidak dapat lagi
menghindarinya. Kini diayunkannya pedangnya, untuk mendapatkan kekuatan
membentur serangan lawan itu.
Sejenak kemudian, terjadilah
sebuah benturan yang dahsyat. Senjata di tangan kiri Ki Peda Sura yang
diayunkannya ke pundak lawannya ternyata tertahan oleh pedang Samekta. Meskipun
Ki Peda Sura tidak menumpahkan kekuatannya pada tangan kirinya, namun kekuatan
ayunan senjatanya itu telah membuat tangan Samekta menjadi pedih. Senjata di
dalam genggamannya hampir saja terlepas dan terlempar. Hanya dengan mengerahkan
segenap kekuatan dan kemampuan yang ada padanya, pedangnya masih tetap berada
di genggaman. Namun dengan demikian, ia terdorong beberapa langkah surut.
Kesimbangannya pun hampir-hampir tidak dapat dipertahankannya, sehingga ia
terhuyung-huyung beberapa saat. Tetapi begitu ia berhasil tegak berdiri di atas
kedua kakinya, dadanya berdesir dengan dahsyatnya. Sebuah bayangan meluncur ke
arahnya dengan kecepatan yang luar biasa. Dua buah senjata di kedua tangannya
terayun-ayun mengarah ke tubuhnya.
Dalam sekejap, Samekta segera
dapat mengenal, orang itu adalah Peda Sura yang kali ini benar-benar tidak mau
melepaskannya. Ki Peda Sura agaknya telah mengabaikan beberapa orang di
sekitarnya, dan memusatkan serangan-serangannya kepada pemimpin pasukan
pengawal Menoreh. Agaknya orang itu mempunyai perhitungan tersendiri. Ia
menyadari, bahwa kekuatan lawannya agak lebih besar dari kekuatan pasukannya.
Jumlahnya pun berselisih agak besar, sehingga Ki Peda Sura harus mendapat cara
yang secepat-cepatnya, mempengaruhi tenaga perlawanan pasukan pengawal Menoreh.
Kalau ia dapat membunuh Samekta, maka keberanian dan tekad para pengawal itu
pasti segera akan surut.
Karena itulah, maka serangannya
kali ini benar telah diwarnai oleh bayangan maut yang hampir mencengkamnya.
Sejenak Samekta menjadi
bingung. Tetapi naluri keprajuritannya telah menggerakkan tangannya untuk
menangkis serangan itu.
Loncatan Peda Sura yang
secepat tatit itu agaknya telah meyakinkannya, bahwa kali ini Samekta tidak
akan dapat menghindar lagi. Kalau serangan ini tidak langsung dapat
membunuhnya, maka serangan berikutnyalah yang pasti akan merobek dadanya.
Ternyata perhitungan Peda Sura
itu benar-benar tepat. Samekta sudah tidak mempunyai kekuatan yang cukup untuk
melawan serangan yang datang bertubi-tubi seperti gelombang yang berurutan
menghantam tebing.
Sekali lagi terjadi benturan
antara kedua jenis senjata. Senjata Peda Sura yang diayunkannya dengan tangan kiri
untuk kedua kalinya telah membentur senjata Samekta. Dan ternyata kali ini
Samekta sudah tidak mampu lagi bertahan. Tangannya terasa seperti tersayat dan
pedangnya pun terlepas dari genggaman.
Melihat pedang lawannya
terlepas, Peda Sura tertawa. Ia masih harus menangkis satu dua serangan dari
orang-orang yang berada di dalam kelompok Samekta. Tetapi serangan-serangan itu
sama sekali tidak berarti. Yang di hadapinya sekarang adalah Samekta yang telah
siap menanti maut.
Dengan mata yang buas, Peda
Sura mengangkat senjata di tangan kanannya. Sesaat terdengar suara tertawanya
yang mengerikan, seperti suara iblis dari dalam lubang kubur.
Samekta sendiri kini sama
sekali sudah tidak berdaya untuk berbuat apapun. Yang dapat dilakukan hanyalah
meloncat menghindar. Tetapi itu tidak akan banyak berguna lagi. Karena itu,
maka hidup matinya kini sangat tergantung kepada orang-orang di dalam
kelompoknya.
Tetapi Peda Sura mampu
memunahkan setiap serangan dengan tangan kirinya, atau bergeser setapak-setapak
surut, dan kemudian maju lagi.
Samekta yang sudah tidak
bersenjata itu kini sama sekali telah kehilangan kesempatan. Meskipun ia masih
mencoba untuk melihat seseorang yang mungkin dapat memberinya senjata, tetapi
ia sudah tidak mempunyai waktu lagi.
Ki Peda Sura kemudian telah
membuat perhitungan selanjutnya. Yang pertama-tama setelah Samekta mati, adalah
meneriakkan kemenangan itu untuk mempengaruhi setiap ketahanan di dalam diri
setiap pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di dalam peperangan itu.
Tetapi tanpa disangka-sangka,
Ki Peda Sura itu terkejut. Ternyata senjatanya telah membentur suatu kekuatan
yang tidak diduganya. Ia sama sekali tidak menaruh perhatian atas serangan yang
tiba-tiba datang dari arah samping. Seperti serangan-serangan yang lain, digerakkannya
tangan kirinya untuk menangkis serangan itu sambil berkisar, sebelum ia
mengayunkan tangan kanannya, dan mematahkan leher Samekta yang berdiri tegak
seperti patung.
Namun ternyata benturan yang
terjadi telah menggetarkan dadanya. Karena Ki Peda Sura sama sekali tidak
menyangka, maka senjatanyalah yang hampir-hampir terlepas dari tangannya.
Terdengar pemimpin dari
pasukan yang liar itu menggeram. Ia terpaksa meloncat beberapa langkah surut.
Namun agaknya serangan yang datang kali ini, jauh berbeda dengan
serangan-serangan yang terdahulu. Sepasang pedang seakan-akan memburunya, dan
dengan kecepatan yang luar biasa kedua ujung pedang itu mematuknya dari arah
yang berbeda.
“Setan betina,” Ki Peda Sura
berteriak, “ternyata kau mampu juga berkelahi, he!”
Orang yang memegang sepasang
pedang itu adalah Pandan Wangi. Pada saat terakhir, ia menggeretakkan giginya
dan langsung meloncat menyerang Ki Peda Sura, ketika Samekta benar-benar telah
terancam bahaya maut. Ia dengan susah payah telan berhasil menyingkirkan
keragu-raguannya, karena ia yakin, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Berbuat
sesuatu untuk tanah ini dan untuk rakyat yang berada di dalam lingkungannya.
Itulah sebabnya, maka sambil
menggeretakkan giginya, Pandan Wangi telah meluncurkan serangan-serangan yang
sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun lawannya itu adalah Ki Peda Sura.
Ternyata Ki Peda Sura harus
mengerahkan tenaga dan kemampuannya untuk menghindari serangan-serangan Pandan
Wangi yang mengalir seperti banjir bandang. Bertubi-tubi. Sekali-sekali terjadi
benturan-benturan antara dua pasang senjata. Tetapi karena Ki Peda Sura sama
sekali tidak bersiap untuk melawan serangan-serangan yang demikian, maka
beberapa kali ia terpaksa jauh-jauh menghindar untuk mendapat kesempatan memperbaiki
keadaannya. Tetapi setiap kali Pandan Wangi telah berada di hadapannya sambil
menjulurkan kedua ujung pedangnya. Berganti-ganti, tetapi kadang-kadang
bersama-sama, sehingga sepasang pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi
puluhan ujung pedang yang digerakkan oleh puluhan tangan dari penari-penari
yang menarikan sebuah tarian maut.
Tetapi Ki Peda Sura bukan
anak-anak yang baru pandai menghapus ingus di hidungnya. Ia adalah seorang yang
telah menggetarkan lingkungannya dengan berbagai macam perbuatan dan
tindakannya yang nggegirisi. Ia adalah seorang yang telah mampu mencengkam
lingkungannya dengan kelebihan-kelebihannya yang meyakinkan.
Itulah sebabnya, betapapun
sulitnya, akhirnya perlahan-lahan Ki Peda Sura dapat menemukan keseimbangannya
kembali. Perlahan-lahan ia dapat menempatkan dirinya, dalam perlawanan yang
wajar terhadap lawannya yang kali ini ternyata jauh melampaui segala orang di
dalam peperangan itu.
Kini Ki Peda Sura telah
berdiri tegak di atas kedua kakinya. Senjatanya telah mantap di dalam
genggaman. Dan matanya tajamnya memandang lawannya dengan hampir tidak
berkedip, bahkan dari sepasang mata yang buas itu seakan-akan memancar api yang
menjilat-jilat.
“Ternyata di Menoreh ada juga
setan betina macam kau,” geramnya.
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ia menyadari sepenuhnya dengan siapa ia berhadapan. Karena itu, maka
dipusatkannya perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Dipercayakannya dirinya kepada
para pengawal yang selalu berusaha menahan serangan-serangan dalam hiruk pikuk
perang brubuh itu, sehingga seolah-olah kedua orang yang berhadap-hadapan itu
telah dipisahkan dari lingkungan perang yang semakin kisruh.
“Hem,” Peda Sura menggeram,
“sayang sekali, bahwa gadis secantik dan semuda kau, sudah harus mati di
peperangan. Mungkin kaulah yang bernama Pandan Wangi putri Kepala Tanah
Perdikan Menoreh yang gila itu. Aku pernah mendengar namamu dan
kelebihan-kelebihan yang kau miliki.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Selangkah ia maju mendekati lawannya dengan penuh kewaspadaan. Kedua pedangnya
kini bersilang di muka dadanya.
“Uh,” Peda Sura berdesah,
“bukan main. Kau memang seorang yang luar biasa. Kau mempunyai kepercayaan yang
mantap kepada dirimu sendiri. Aku kira kau pun pernah mendengar namaku. Tetapi
agaknya kau benar-benar tidak gentar.”
Pandan Wangi sama sekali tidak
merasa perlu untuk menjawab. Karena itu ia hanya mengatupkan mulutnya
rapat-rapat. Kini jarak mereka menjadi semakin dekat, dan pandangan mata
keduanya sama sekali tidak berkisar dari senjata lawan.
Sementara itu, Samekta telah
berhasil memperoleh senjatanya kembali. Meskipun tangannya masih terasa pedih,
namun ia tidak akan dapat membiarkan perkelahian antara Pandan Wangi dan Peda
Sura itu berlangsung tanpa bantuan orang lain. Meskipun Pandan Wangi cukup
mempunyai bekal dan kemampuan, namun Peda Sura menyimpan pengalaman yang jauh
lebih banyak dari gadis yang baru untuk pertama kalinya terjun di peperangan.
Apalagi perang brubuh. Karena itu, maka ia pun segera mendekat bersama beberapa
orang di dalam kelompoknya.
“Ha,” berkata Ki Peda Sura,
“lihat, kawanmu yang hampir menjadi bangkai itu mendekat pula. Agaknya ia
benar-benar ingin mati di peperangan ini.”
Tetapi Pandan Wangi sama
sekali tidak berpaling. Bahkan setelah Samekta berada di sampingnya. Ia
mengerti benar, bahwa Peda Sura mampu bergerak secepat tatit.
Peda Sura mengumpat-umpat di
dalam hatinya. Ia melihat banyak kelebihan pada gadis itu. Keyakinan kepada
diri sendiri, penuh kewaspadaan dan otak yang terang. Dengan demikian, maka
dadanya telah diamuk oleh kecemasan. Kini ia tidak yakin, bahwa ia akan dapat
berbuat sekehendaknya atas lawan-lawannya. Kesempatan untuk membunuh Samekta
seolah-olah telah lenyap, sedang ia menyadari, bahwa jumlah pasukan Menoreh
lebih banyak dan lebih kuat dari pasukannya.
Namun demikian Peda Sura masih
mempunyai harapan. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan masuk ke induk padukuhan
Menoreh. Pada saat itulah, maka pasukan Menoreh pasti akan dapat di pecahnya.
“Tetapi bagaimanakah
seandainya Sidanti sengaja memperpanjang waktu menunggu pasukan ini hancur?”
pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi dijawabnya sendiri, “tentu
tidak. Tentu tidak. Ia masih memerlukan kami.”
Dan Ki Peda Sura tidak dapat
berangan-angan berkepanjangan. Pandan Wangi melangkah semakin dekat dan
pedangnya yang bersilang kini mulai bergetar.
“Betina ini benar-benar
seperti iblis,” desis Ki Peda Sura di dalam hati.
Dan ternyata bahwa sekejap
kemudian Pandan Wangi telah meloncat ke samping, menggerakkan pedangnya dan
langsung menyerang dengan sengitnya.
Bukan saja Ki Peda Sura yang
menggeram, tetapi Samekta pun menggeram pula oleh keheranan yang menyesak di
dadanya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Pandan Wangi yang luruh itu
dapat berubah menjadi demikian garangnya.
Samekta pun tidak mau melewatkan
setiap kesempatan. Selagi ia mendapat kesempatan, maka ia pun mendekat pula dan
menyerang bersama-sama dengan beberapa orang di dalam kelompok kecil itu.
Baru kini Ki Peda Sura merasa,
bahwa ia sebenarnya lagi berperang. Dengan lincahnya ia berloncatan sambil
menggerakkan sepasang senjatanya. Tetapi kini dengan penuh kewaspadaan dan
sepenuh kemampuannya. Ia tidak lagi dapat bermain-main.
Dengan demikian, maka
perkelahian itupun menjadi semakin lama semakin seru. Tidak hanya di dalam
lingkaran yang memutari Ki Peda Sura, tetapi di seluruh daerah perang brubuh
itu. Satu-satu korban jatuh di tanah, dan darah pun mengalir dan luka, memerahi
tanah dan batu-batu padas. Erang kesakitan, dan pekik yang mengerikan membelah
hiruk pikuk dentang senjata.
Pada saat yang demikian
itulah, dua ekor kuda berlari berderap memecah kesepian malam di dalam
padukuhan. Mereka singgah dari gardu ke gardu memberitahukan, bahwa Sidanti
masih belum dijumpai di peperangan. Akhirnya orang itu sampai pula di rumah
Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang ditunggui oleh sepasukan kecil di bawah
pimpinan Wrahasta.
“Hem,” Wrahasta menggeram,
“bagaimana dengan pasukan cadangan di banjar?”
“Pasukan itu telah aku
beritahukan pula. Mereka mengumpulkan kuda sebanyak-banyaknya dapat mereka
peroleh, supaya sebagian dari mereka dapat bergerak cepat ke manapun juga.”
“Bagus. Dan apakah kau telah
memberitahukan semua penjaga dan semua peronda?”
“Hampir seluruhnya. Berita ini
akan berkembang dengan secara beranting, bagi gardu-gardu di padukuhan-padukuhan
yang agak jauh.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia menjadi berdebar-debar. Kepergian Pandan Wangi ke medan
peperangan telah membuat hatinya gelisah. Dan berita yang didengarnya itupun
telah menambah kegelisahan dan kecemasannya.
“Sekarang, kalian akan pergi
ke mana lagi?”
“Aku akan meneruskan
perjalanan ke gardu-gardu di sebelah timur. Syukurlah kalau berita beranting
itu telah sampai, kalau belum maka mereka harus segera mendengarnya pula.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Hati-hatilah. Musuh dapat berada di segala tempat.”
Sesaat kemudian derap kaki dua
ekor kuda itu kembali memecah kesenyapan malam. Menyelusur jalan padukuhan,
singgah di gardu-gardu di mulut lorong dan di sudut-sudut desa.
Namun dengan serta-merta,
kedua penunggang kuda itu menarik kekang kudanya ketika ia bertemu dengan
seorang penunggang kuda yang datang dari arah yang berlawanan. Kuda itu berpacu
seperti angin. Dalam kilatan cahaya bulan keduanya melihat bahwa orang itu
membawa senjata terhunus di tangannya.
“Penghubung yang pasti membawa
berita terlampau penting.”
“Ya, ternyata senjatanya telah
berada di dalam genggaman.”
Kini keduanya menjadi semakin
berhati-hati. Namun semakin dekat, mereka segera mengenal, bahwa penunggang
kuda itupun seorang pengawal dari Menoreh.
Penunggang kuda yang seorang
itu, yang membawa senjata terhunus, telah melihat kedua orang yang berkuda pula
di hadapannya. Karena itu maka segera diperlambatlah derap kudanya. Belum lagi
mereka berpapasan, orang itu telah berkata keras-keras, “Pasukan yang besar
datang dari arah timur.”
Kedua orang yang menunggunya
terkejut, “Pasukan siapa?”
“Setan,” hampir bersamaan
keduanya menggeram.
“Langsung dipimpin oleh
Sidanti dan Argajaya.”
“Pasukan cadangan telah siap.”
“Tidak cukup. Pasukan itu
terlampau kuat.”
“Lalu maksudmu?”
“Semua yang ada harus
dikerahkan. Sebagian harus ditarik dari peperangan di medan sebelah barat.”
Keduanya mengerutkan
keningnya. Kini penghubung yang bersenjata itu telah berhenti pula. Katanya,
“Kembalilah. Salah seorang dari kalian pergi kepada Ki Samekta. Yang seorang
kepada Wrahasta dan aku akan pergi ke banjar, mengambil pasukan cadangan yang
dapat segera digerakkan.”
Mereka tidak terlampau banyak
berbincang. Keadaan akan segera memuncak. Karena itu, maka ketiganya segera
memacu kuda mereka berderap ke jurusan masing-masing. Mereka merasa betapa
berat tugas pasukan pengawal kali ini, menghadapi kawan-kawan sendiri dan
orang-orang liar yang tidak mereka kenal yang terjun di dalam perselisihan di
antara keluarga.
Wrahasta yang mendengar
tentang gerakan itu menggeretakkan giginya. Hampir saja ia lupa, bahwa ia
bertugas untuk menjaga rumah Kepala Tanah Perdikan itu seisinya. Dengan
kemarahan yang meluap-luap ia menggeram, “Seandainya aku tidak terikat oleh
tanggung jawab ini. Aku ingin tahu, apakah benar-benar Sidanti telah melonjak
terlampau jauh dari anak-anak muda sebayanya di tanah perdikan ini.”
“Tetapi kau tidak boleh
meninggalkan halaman rumah ini,” berkata seorang pengawal yang lain.
“Ya, dan aku kecewa
karenanya.”
“Tugasmu telah ditentukan,”
sahut penghubung yang memberitahukan gerakan Sidanti itu kepadanya, “aku
memberitahukan kepadamu, supaya kau berwaspada. Mungkin pasukannya dapat
meresap sampai ke halaman ini. Setiap orang harus menyiapkan diri menghadapi
kemungkinan.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Aku akan menyongsong setiap orang dari pasukan
lawan di luar halaman. Tidak boleh setapak kaki pun yang mengotori halaman
rumah Ki Argapati.”
Penghubung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Baiklah, aku kini pergi ke
banjar.”
Tetapi kata-katanya terpotong
ketika mereka yang berada di halaman itu mendengar derap kaki kuda.
Bergemeretak di atas tanah berbatu-batu. Berurutan meluncur secepat loncatan
tatit di langit. Mereka adalah bagian dari pasukan cadangan yang langsung
menyongsong pasukan Sidanti. Menurut perhitungan mereka, pasukan itu pasti
sudah berbenturan dengan para peronda yang telah menarik diri dari gardu-gardu mereka
dan berkumpul untuk menahan arus pasukan Sidanti. Tetapi jumlah mereka
terlampau sedikit, sehingga pengaruhnya pun tidak akan terlampau terasa pada
pasukan lawan. Namun kedatangan para pengawal berkuda itu pasti akan segera
mengganggu laju pasukan lawan itu.
“Mereka telah berangkat,”
desis Wrahasta, “darimana mereka mendengar bahwa pasukan Sidanti maju di
sebelah timur?”
“Bersama aku seorang
penghubung langsung pergi ke banjar dan ke medan di sebelah barat untuk
memberitahukan kepada Paman Samekta. Seandainya Samekta mempunyai kelebihan
kekuatan, maka kekuatan itu akan dialirkan ke medan di sebelah timur.”
Wrahasta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia mencoba melihat bayangan yang meluncur berurutan di
hadapannya. Tetapi yang dilihatnya tinggallah orang yang paling belakang.
“Jumlah pengawal berkuda
itupun tidak terlampau banyak.”
“Tetapi cukup untuk menahan
pasukan Sidanti sampai pasukan cadangan yang lain datang.”
“Pasukan cadangan itupun tidak
begitu banyak.”
Penghubung itu tidak menyahut.
Menurut pendengarannya, pasukan Sidanti yang datang dari timur itu cukup kuat,
sehingga untuk menahannya diperlukan pasukan yang kuat pula.
Sejenak kemudian mereka
melihat pasukan cadangan dari Banjar, dengan tergesa-gesa menuju ke timur,
lewat jalan di alun alun kecil di hadapan rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan mereka berlari-lari kecil berloncatan, seakan-akan tidak sabar lagi
untuk segera bertemu dengan pasukan lawan.
Ternyata pasukan Sidanti yang
kuat sama sekali tidak menemukan perlawanan yang berarti. Para peronda di
gardu-gardu dan para pengawal yang di tempatkan di padukuhan-padukuhan kecil
tidak terlampau bodoh untuk membunuh diri dengan menahan arus gerakan lawan.
Mereka segera menghindar, menarik diri dan mencoba berkumpul dalam kelompok
yang lebih besar. Tetapi jumlah mereka masih terlampau sedikit untuk melakukan
perlawanan, sehingga dengan demikian, mereka masih tetap mundur dan bergabung
dengan lima atau sepuluh orang di setiap padukuhan-padukuhan kecil.
Baru ketika jumlah mereka
menjadi lebih banyak, mereka mencoba mengganggu pasukan lawan dengan
panah-panah dari jarak yang agak jauh. Mereka menyerang pasukan lawan dari
pedukuhan-pedukuhan di hadapan gerakan pasukan Sidanti, namun kemudian hilang
di dalam kegelapan dan mencoba menghindar dari benturan terbuka.
“Setan,” Sidanti menggeram,
“mereka licik seperti kancil. Mereka tidak berani berhadapan beradu dada.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi ia mengagumi cara yang dipergunakan oleh para pengawal itu. Ia termasuk
salah seorang yang menganjurkan cara itu untuk melawan kekuatan yang jauh
melampaui kekuatan sendiri. Dan cara itu kini dipergunakan untuk melawannya
sendiri.
Para peronda yang mengundurkan
diri itu akhirnya mendengar derap kaki-kaki kuda semakin mendekat. Dengan serta-merta,
kegembiraan melonjak di hati mereka. Mereka akan segera mendapatkan kawan yang
cukup berarti untuk melawan pasukan Sidanti. Meskipun mereka tetap ragu-ragu,
apakah usaha itu akan berhasil, karena pasukan Sidanti itu agak terlampau
besar.
Dengan tergesa-gesa mereka
menahan para pengawal berkuda itu, supaya mereka tidak langsung terjun ke dalam
jebakan lawan. Dengan berapa petunjuk dari para peronda itu, akhirnya mereka
bersepakat, bahwa mereka akan mempergunakan cara yang telah mereka lakukan
sebelumnya. Setiap kali menunggu pasukan lawan mendekati padukuhan. Kemudian
menyerang mereka dengan senjata-senjata jarak jauh. Kini, mereka menambah cara
penyerangan dengan para pengawal berkuda. Pada saat mereka sibuk menangkis
serangan-serangan senjata jarak jauh, maka para pengawal berkuda itu harus
menyerang mereka dengan tiba-tiba, tetapi kemudian menghilang lagi, untuk
muncul pula disaat yang lain.
Demikianlah, maka mereka
mencoba mempergunakan cara itu. Pertama kali, ketika Sidanti mendengar ringkik
kuda, ia terkejut. Beberapa orang berkuda tiba-tiba saja meloncat dari dalam
bayangan pepohonan, langsung menyerang mereka dengan melontarkan tombak-tombak
panjang. Kemudian menebaskan pedang-pedang mereka. Sesaat kemudian kuda-kuda
itu telah lenyap menghilang sambil meninggalkan beberapa orang korban.
Tetapi cara itu tidak akan
dapat mereka ulangi. Sidanti dan Argajaya bukanlah orang-orang yang terlampau
bodoh. Itulah sebabnya, maka para pengawal yang menyadari keadaan, harus
mempergunakan cara yang lain untuk menyergap lawan mereka.
Tetapi cara-cara yang mereka
pilih tidak selalu berhasil. Kadang-kadang mereka terpaksa mengurungkan
penyerangan mereka, dan menghindar jauh-jauh. Namun pada dasarnya, mereka
selalu menghindarkan diri dari benturan-benturan terbuka, sambil menunggu
kedatangan pasukan cadangan yang menyusul mereka dengan berjalan kaki.
Tetapi pasukan Sidanti yang
datang dari arah timur ini ternyata terlampau kuat. Para pengawal berkuda,
segera dapat menilai, bahwa pasukan cadangan itupun tidak akan mampu untuk
bertahan dari arus pasukan lawan. Karena itu, maka segera mereka berusaha
menghubungi setiap peronda, dan bahkan setiap orang yang mungkin dapat
memperkuat pasukan pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.
Satu dua dan kadang-kadang lima
orang atau lebih berhasil berhimpun menjadi kelompok-kelompok kecil dan
bergabung dengan pasukan pengawal, yang masih menunggu pasukan yang lebih besar
lagi untuk melakukan perlawanan terbuka. Namun dalam pada itu, pasukan Sidanti
maju terus dengan cepatnya. Semakin lama semakin dekat dengan padukuhan induk
Tanah Perdikan Menoreh.
Setiap orang dari para
pengawal itu menjadi berdebar-debar. Ketika mereka menerima seorang penghubung
dari pasukan cadangan, mereka menjadi berbesar hati, Pasukan itu telah berada
dan menunggu lawannya di sebuah padukuhan kecil di belakang mereka.
“Kami tahu, bahwa pasukan
Sidanti cukup besar,” berkata penghubung itu, “karena itu, maka kami tidak
membawanya di tempat terbuka, supaya kami dapat sedikit perlindungan dari
keadaan di sekitar kami.”
“Baiklah,” jawab seorang
pengawal yang tertua di antara mereka yang telah bergabung menjadi
kelompok-kelompok kecil, “kami akan bergabung. Tetapi kami akan mencari jalan
lain, supaya tidak segera diketahui oleh pasukan lawan.”