S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-028
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. “Jangan Mirah. Kau akan kepanasan. Sebaiknya kita duduk sebentar
di gardu itu. Aku dapat mengurus apa yang harus kita lakukan. Aku akan mencari
Kakang Untara.”
“Tidak perlu, Kakang. Kita
tamu di sini. Kita tidak perlu mencari orang untuk mempersilahkan kita. Kalau
kita tetap di sini dan tetap tidak seorang pun yang mempersilahkan kita, maka
lebih baik kita kembali hari ini ke Sangkal Putung. Ayahku pun seorang demang
seperti pemimpin tertinggi kademangan ini.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya perlahan-lahan dan hati-hati, “Angger
Sekar Mirah. Jangan merajuk. Suasana peperangan adalah seperti ini. Kedatangan
Angger Agung Sedayu di Sangkal Putung juga disambut denggan perang tanding.
Hal-hal serupa ini memang sering terjadi. Dan kitalah yang harus menyesuaikan
diri. ”
“Tetapi sama sekali bukan
permintaan kita untuk datang minta perlindungan ke Jati Anom. Kehadiran kita di
sini sama sekali bukan atas kehendak kita sendiri.”
“Ya, Ngger, Angger benar.
Tetapi sebaiknya kita juga dapat mengerti,” Ki Tanu Metir itu berhenti sejenak.
”Dan bukankah Angger Agung Sedayu di sini sama sekali bukan tamu? Ia adalah
salah seorang dari tuan rumah. Angger Agung Sedayu dapat mempersilahkan kita,
setidak-tidaknya singgah sebentar di rumahnya.”
“Oh,” Agung Sedayu seolah-olah
tersadar dari angan-angannya, “baiklah. Marilah, aku persilahkan Kiai dan adi
Swandaru serta Sekar Mirah untuk singgah di rumah.”
Swandaru berdiri saja seperti
patung. Hatinya memang dibingungkan oleh keadaan di sekitarnya. Ia dapat
mengerti keterangan Ki Tanu Metir, tetapi ia merasa seperti yang dirasakan oleh
adiknya.
Sesaat mereka menjadi
termangu-mangu. Sekar Mirah sama sekali tidak beringsut dari tempatnya, di
samping pagar halaman kademangan, di bawah sebatang pohon nyiur.
“Marilah,” Agung Sedayu
mempersilahkan sekali lagi, “rumahku tidak begitu jauh.”
Tak ada jawaban. Sekar Mirah
sama sekali tidak berkisar. Bahkan berpaling pun tidak. Sedang Swandaru masih
juga berdiri termangu-mangu.
Agung Sedayu kemudian menjadi
gelisah. Setiap kali dipandanginya wajah gurunya yang berkerut-merut. Tetapi
agaknya Ki Tanu Metir pun belum menemukan sikap yang sebaik-baiknya menghadapi
keadaan.
Dalam ketegangan itu tiba-tiba
terdengar seseorang menyapa, “He, Agung Sedayu. Kenapa kau berdiri saja di
situ?”
Agung Sedayu berpaling.
Dilihatnya seorang anak muda berjalan menemuinya.
“Untara berada di gandok
Wetan,” berkata anak muda itu.
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku datang bersama tamu-tamu ini.”
Anak muda itu memandangi
mereka satu demi satu. Swandaru dan Ki Tanu Metir serasa pernah dilihatnya.
Tetapi gadis ini sama sekali belum.
“Kenapa tidak kau persilahkan
mereka masuk?” berkata anak muda itu.
“Kalianlah yang harus
mempersilahkannya.”
Pemuda itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Lalu katanya, “Marilah ke gandok wetan. Di sana akan kalian temui
Untara dan anak-anak muda yang lain.”
“Apakah mereka sedang
berunding, atau membicarakan hal yang penting?”
“Tidak, kami, anak-anak muda
Jati Anom sedang menjamunya sebagai pernyataan terima kasih kami. Marilah.”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mirah yang menjadi kemerah-merahan karena
panas matahari yang serasa membakar halaman itu. Tetapi Agung Sedayu tidak
segera mengajaknya memenuhi pemintaan anak muda Jati Anom yang mempersilahkan
mereka. Ia masih ragu-ragu melihat wajah Sekar Mirah yang seakan-akan acuh tidak
acuh.
Ki Tanu Metir melihat
keragu-raguan itu. Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Di sini ia melihat
berbagai perangai anak-anak muda yang berbeda-beda. Yang di antaranya tanpa
sengaja telah menyinggung perasaan masing-masing.
Orang tua itu melihat watak
Untara sebagai seorang senapati muda. Seakan-akan anak itu memang dilahirkan
untuk menjadi seorang senapati yang keras dan mengikat diri dalam kewajibannya.
Setiap soal dikaitkannya dengan pendiriannya sebagai seorang senapati.
Adiknya, meskipun perkembangan
sifatnya telah membentuk menjadi seorang Agung Sedayu yang sekarang, tetapi ia
masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Anak itu belum dapat meyakini
dirinya dalam suatu pendirian. Ia masih selalu memerlukan orang lain untuk
memperkuat pendapatnya. Ia masih memerlukan orang lain untuk memperbincangkan
setiap pikirannya. Pengaruh kakaknya sebagai seorang anak laki-laki yang
jantan.
Sedang muridnya yang lain,
Swandaru adalah seorang yang hampir tidak mengacuhkan apa pun kecuali
kesenangannya sendiri. Meskipun demikian, anak muda itu kadang-kadang berhasil
juga melihat suasana dalam menentukan langkahnya. Namun setiap kali
sifat-sifatnya itu lepas juga dalam peledakan-peledakan yang sering terlampau
aneh, terlampau berpusar pada kepentingan dan selera sendiri.
Sedang Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang tinggi hati. Kehidupannya sebagai seorang putri demang yang
kaya di daerah yang kaya telah membuatnya terlampau manja. Meskipun gadis itu
bukan gadis yang hanya duduk menghias diri, bahkan gadis itu tidak segan-segan
pula melakukan pekerjaan-pekerjaan yang cukup berat di rumahnya, tetapi
semuanya itu didorong oleh kehendak untuk memimpin gadis-gadis dan
perempuan-perempuan di dalam kademangan itu. Ia ingin memberikan contoh yang
baik bagi mereka, apakah yang harus mereka lakukan. Namun setiap sentuhan
perasaan telah membuatnya merajuk dan murung.
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam. Setiap kali ia harus menilai keseimbangan sifat-sifat itu.
Setiap kali ia harus melihat dan melengkapi pengamatannya atas anak-anak muda
itu. Lebih-lebih Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya adalah murid- muridnya.
Atas keduanya ia harus melihat dengan jelas. Sifat, watak, kebiasaan dan
kesenangan masing-masing.
“Sekian lama aku berada di
antara mereka,” berkata orang tua itu di dalam hatinya, “tetapi aku belum
menemukan pribadi-pribadi mereka selengkapnya.”
Dalam pada itu, sekali lagi
mereka mendengar anak muda Jati Anom mempersilahkan. “He, Agung Sedayu, kenapa
kau justru termenung. Marilah. Ajak tamu-tamumu masuk ke gandok wetan. Untara
dan Wuranta berada di sana pula.”
Sekali lagi Agung Sedayu
berpaling memandangi wajah Sekar Mirah. Ia ragu-ragu untuk mengucapkan
kata-kata, karena Sekar Mirah masih juga bersikap acuh tak acuh.
Ketika Agung Sedayu memandangi
wajah Swandaru, dilihatnya keragu-raguan memancar pula pada sorot matanya.
Tetapi anak yang gemuk itu tidak terlampau membingungkannya seperti Sekar
Mirah.
“Untara dan Wuranta
menunggumu,” berkata anak muda Jati Anom itu pula.
Nama Wuranta telah
menggetarkan dada Agung Sedayu. Tetapi ia lebih terpengaruh oleh keadaan Sekar
Mirah kini.
Ki Tanu Metir melihat
kegelisahan di dalam dada Agung Sedayu kemudian mencoba untuk menolongnya.
Katanya, “Marilah Ngger. Kita sudah dipersilahkan. Adalah lebih baik bagi kita
untuk menerimanya. Kita adalah tamu-tamu yang baik.”
“Anak muda itu tidak
mempersilahkan kita Kiai,” bisik Sekar Mirah, yang berdiri tepat di samping Ki
Tanu Metir.
“Kenapa?”
“Ia hanya mengatakan bahwa
Untara mencari adiknya. Itu saja. Adalah kebetulan sekali kalau kita berdiri di
sini bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu. Adalah sekedar sopan-santun saja
ia mempersilahkan kita pula.”
“Tidak, Ngger. Tentu tidak.
Angger Untara tahu pasti bahwa kita berada di antara mereka. Kita bersama-sama
dengan Angger Agung Sedayu. Mungkin anak muda itu belum mengenal kita. Yang
dikenalnya baru nama Agung Sedayu.”
Anak muda Jati Anom itu
berdiri saja dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang
dipercakapkan oleh gadis dan orang tua tamu-tamu Agung Sedayu itu. Satu-dua ia
mendengar desis gadis itu, tetapi ia tidak jelas mendengar seluruh kalimatnya.
Tanpa prasangka apa pun anak
muda itu bertanya, “Bagaimana, Kiai?”
“Oh,” Ki Tanu Metir mengangkat
wajahnya yang berkerut–merut, “Tidak apa-apa, Anakmas. Kita akan berterima
kasih. Kita akan segera pergi ke gandok wetan.”
“Terima kasih. Mereka akan
bergembira melihat kalian.”
“Marilah, marilah kita ke
gandok Wetan,” berkata Ki Tanu Metir itu kemudian sambil melangkahkan kakinya.
“Silahkan, silahkan,” berkata
anak muda Jati Anom itu. Tetapi agaknya ia akan pergi ke arah yang lain. Cepat
Ki Tanu Metir melangkah ke sampingnya sambil menggandengnya. Katanya, ”Bukankah
Angger akan menunjukkan kepada kami, di manakah letak gandok wetan itu.”
Anak muda Jati Anom itu tidak
dapat berbuat lain daripada mengayunkan kakinya ke gandok wetan. Sementara itu
Agung Sedayu yang ragu-ragu, memandangi Sekar Mirah dan Swandaru
berganti-ganti. Perlahan-lahan ia berkata, “Marilah Adi Swandaru, marilah Mirah.”
Ternyata Swandaru dapat
merasakan kegelisahan dan kebingungan Agung Sedayu. Meskipun sebersit perasaan
sesal meloncat pula di dalam hatinya atas perlakuan terhadap mereka, namun ia
berkata pula kepada adiknya, “Marilah Mirah. Kita harus menjadi tamu yang baik
di kademangan ini. Supaya hubungan antara kademangan ini dan kademangan kita
kelak akan bertambah baik.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Dan Swandaru mendesaknya lagi, ”Penilaian orang-orang Jati Anom atas
kita adalah penilaian mereka terhadap Sangkal Putung.”
“Karena itu kita harus
mempunyai harga diri.”
“Tetapi kita harus
mencerminkan keramahan kademangan kita.”
Sekar Mirah tidak dapat
menolak lagi. Dengan langkah yang berat ia berjalan di belakang Agung Sedayu,
bersama-sama dengan kakaknya. Beberapa langkah di hadapan mereka adalah Ki Tanu
Metir yang berjalan bersama anak muda Jati Anom yang mempersilahkan mereka
kemudian masuk ke gandok.
Anak-anak muda, Untara dan
Wuranta yang berada di gandok itu, ternyata sedang menikmati makanan yang
dihidangkan kepada mereka. Sekali-sekali terdengar gelak tertawa mereka.
Agaknya mereka sedang benar-benar bergembira. Mereka berkelakar dan bertanya
tentang banyak masalah kepada Untara dan Wuranta.
Dalam keadaan yang demikian,
Wuranta dapat sejenak melupakan perasaannya sendiri. Ia kini tengah berada di
antara kawan-kawannya bermain dan bekerja. Itulah sebabnya, maka ia dapat
berceritera dengan lancar. Bahkan kadang-kadang menggelikan, sehingga
kawan-kawannya menjadi tertawa tergelak-gelak.
Tetapi suara tertawa itu
terputus ketika mereka mendengar langkah ke pintu. Sejenak kemudian mereka
melihat seorang anak muda masuk sambil mempersilahkan tamu-tamu mereka.
“Siapa?” bertanya salah
seorang yang sudah duduk di dalam.
“Agung Sedayu,” jawab anak
muda yang baru masuk itu.
“He,” yang bertanya itu
terkejut “Agung Sedayu? Marilah. Marilah. Kita hampir lupa kepadamu. Sedayu, di
sini kami sedang mendengarkan cerita Wuranta tentang padepokan Tambak Wedi.”
Agung Sedayu yang kemudian
menjulurkan kepalanya mengerutkan keningnya. Diedarkannya pandangan matanya
berkeliling, dilihatnya kawan-kkawannya tengah berkumpul di gandok itu bersama
kakaknya dan Wuranta.
Namun, tiba-tiba dadanya
berdesir. Kini ia melihat Wuranta dengan sudut pandangan yang berbeda. Persoalan
antara mereka berdua telah menjauhkan mereka. Seolah-olah masing-masing menjadi
segan dan malas untuk saling bertemu. Meskipun ia telah mendengar dari Kiai
Gringsing, betapa Wuranta telah menyadari dirinya, tetapi masih juga terasa
sesuatu yang berdesir di dalam dadanya.
Agung Sedayu itu terperanjat
ketika tiba-tiba seseoraug menariknya masuk ke dalam sambil berkata, “Ha,
inilah anak itu. Kau telah menggemparkan Jati Anom, Sedayu. Kita mengenal kau
sejak anak-anak. Tiba-tiba kita melihat kau kini menjadi seorang raksasa yang
perkasa. Bukankah begitu?”
“Ah.”
“Cerita tentang kau telah
tersebar. Aku tidak tahu, siapakah sumber cerita itu. Kau kini benar-benar
seorang laki-laki melampaui kami.”
Sebelum Agung Sedayu menyahut,
terdengar orang berkata, “Ya, kami telah mendengar tentang kau, Sedayu. Kalau
begitu maka sambutan kali ini kami tujukan kepadamu juga. Marilah, kenapa baru
sekarang kau datang kemari? Untunglah kami masih mempunyai ingkung ayam yang
masih utuh. Marilah.”
Tetapi, Agung Sedayu tidak
sendiri. Ketika Untara melihatnya, maka dahinya pun berkerut. Baru saat itu ia
ingat kepada adiknya.
“Kemana selama ini kau
Sedayu?” bertanya Untara.
“Di halaman, Kakang,” jawab
Agung Sedayu seadanya.
Untara mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak memperhatikan jawaban itu lagi. Tak ada tempat di dalam hatinya
untuk mengerti bahwa seseorang sedang merajuk.
“Masuklah,” katanya kemudian,
“di mana yang lain?”
“Inilah, Kakang.”
Untara kemudian terpaksa
berdiri dan melangkah ke pintu. Di luar pintu dilihatnya Ki Tanu Metir, Swandaru,
dan Sekar Mirah.
“Marilah, Kiai,” katanya
mempersilahkan, “marilah, Adi Swandaru dan Sekar Mirah.”
Ketiganya menganggukkan kepala
mereka.
“Aku takut kehilangan kau,
Ngger,” berkata Ki Tanu Metir sambil tersenyum.
Sekali lagi Untara mengerutkan
keningnya. Kini ia menjawab dengan jujur. “Maaf. Aku lupa kepada kalian. Begitu
aku masuk ke halaman ini, maka aku telah diseret oleh anak-anak muda ini ke
gandok wetan. Sekarang marilah. Kami masih menyediakan makan untuk kalian.”
Mereka pun kemudian masuk ke
gandok itu. Mereka ikut duduk di antara anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan
Wuranta.
Sejenak kemudian, maka kembali
anak-anak muda Jati Anom itu ribut dengan berbagai pertanyaan. Kini pusat
perhatian mereka adalah Agung Sedayu. Mereka telah mendengar sedikit tentang
anak muda yang mereka kenal sebagai penakut itu, kini tiba-tiba telah
menggenggam keberanian yang menakjubkan.
Namun terasa bahwa suasana di
gandok itu menjadi semakin kaku. Wuranta sudah tidak banyak lagi berbicara, dan
Agung Sedayu pun hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seperlunya.
Sekali-sekali ia tersenyum, namun kemudian ia pun terdiam pula. Untunglah bahwa
Ki Tanu Metir telah berhasil menengahi keadaan. Ia mencoba untuk mengisi
kekosongan itu dengan berbagai macam cerita, yang justru lucu-lucu sehingga
gelak tertawa mulai menggetarkan gandok itu pula.
Namun dalam suasana yang
demikian itu, keringat dingin mengalir di punggung Wuranta. Terasa ruangan itu
terlampau menyiksanya. Wajah Sekar Mirah itu serasa sebagai duri yang
menusuk-nusuk hatinya. Sejenak dikenangnya masa-masa ia pertama sekali bertemu
dengan gadis itu. Gadis itu tersenyum kepadanya dan Alap-Alap Jalatunda, serta
berkata-kata dengan ramahnya. Kemudian pada saat ia menerima pesan Alap-Alap
Jalatunda untuk disampaikan kepada gadis itu, maka senyum gadis itu seakan-akan
telah meremas jantungnya. Hampir tidak masuk di akalnya, bahwa pada saat itu
Sekar Mirah berkata kepadanya tentang Alap-Alap Jalatunda “Aku menunggunya.”
“Ternyata gadis itu pun mampu
berpura-pura,” desisnya di dalam hati. “Agaknya ia telah menyusun rencana
sebaik-baiknya, menjebak Alap-Alap Jalatunda unluk melarikannya dari padepokan
itu, dan menjerumuskannya ke dalam Kademangan Sangkal Putung. Tetapi betapapun
juga gadis itu telah membuat aku hampir kehilangan akal dan keseimbangan.”
Tetapi ternyata wajah itu kini
sama sekali tidak membayangkan senyum. Bahkan wajah Sekar Mirah tampak
berkerut-merut. Agaknya ada sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya.
“Apakah ia tidak senang
melihat kehadiranku di sini,” pertanyaan itu sekilas menyambar hati Wuranta.
Tetapi ia tidak mendapat jawabnya.
Gandok itu sejenak kemudian
menjadi sunyi. Anak-anak muda Jati Anom, Untara, dan yang lain-lain lagi sedang
melanjutkan menyuapi mulut-mulut mereka. Sedang Agung Sedayu, Swandaru, Sekar
Mirah, dan Kiai Gringsing dipersilahkan pula oleh mereka untuk makan. Namun
dengan kehadiran beberapa orang tamu itu, mereka kini tidak lagi makan sambil
berkelakar.
Hari itu terasa oleh Sekar
Mirah menjadi terlampau panjang. Ketika kemudian malam datang perlahan-lahan
seolah-olah turun dari ujung Gunung Merapi, maka Agung Sedayu mendapat ijin
dari kakaknya untuk membawa tamu-tamunya bermalam di rumahnya.
“Kita masih menunggu sehari
dan semalam besok,” gumam Sekar Mirah “aku tidak sabar lagi. Hari-hari terakhir
ini terasa sangat menyiksa. Aku ingin segera pulang.”
“Beberapa hari kita menunggu
untuk malam besok, Ngger,” sahut Ki Tanu Metir, “dan kini tinggal sehari dan
semalam. Kita sebaiknya menunggunya.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi tampaklah wajahnya menjadi semakin suram. Namun Ki Tanu Metir pun dapat
mengerti pula. Betapa perasaan rindu mengamuk di dalam dada gadis itu kepada
ibu dan ayahnya.
Betapa lambatnya, tetapi
akhirnya malam itu terlampaui juga.
Malam yang mendatang, Jati
Anom disegarkan dengan berbagai macam kata-kata sanjungan terhadap mereka yang
dianggap telah berhasil menumpas lawan-lawan mereka yang bersarang di Padepokan
Tambak Wedi.
Ternyata malam itu benar-benar
telah melepaskan segenap ketegangan bagi para prajurit Pajang. Mereka tertawa
gembira dalam kelakar mereka dengan kawan-kawan mereka. Mereka menjadi
terpesona melihat gerak tari anak-anak gadis Jati Anom meskipun tidak sebaik-baik
penari-penari Pajang. Mereka bersorak-sorak dan berteriak-teriak seperti
anak-anak kecil. Sejenak mereka melupakan keadaan diri mereka masing-masing.
Tetapi, malam yang riuh itu
sama sekali tidak memikat hati Sekar Mirah. Namun, ditahannya perasaannya itu
di dalam hati. Kali ini ia duduk menonton tidak bersama-sama kakaknya, Agung
Sedayu, dan Ki Tanu Metir, tetapi ia duduk bersama-sama dengan
perempuan-perempuan kademangan. Isteri pemimpin-pemimpin kademangan.
Lebih menjemukan lagi bagi
Sekar Mirah, bahwa setiap kali ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
diberikan oleh perempuan-perempuan itu. Beraneka macam. Dari yang paling mudah
hingga yang paling sulit untuk dijawab.
Ketika pertunjukan itu hampir
selesai di tengah malam, serta mereka telah menyelesaikan pula acara makan
bersama, maka malam yang menyenangkan itu mendekati pada akhirnya.
Sementara itu, para penjaga di
gardu-gardu masih tetap pada tugas masing-masing meskipun mereka
mengumpat-umpat. Suara gamelan yang menggelitik telinga mereka, membuat mereka
ingin meloncat meninggalkan gardunya dan berlari ke kademangan. Tetapi mereka
diikat oleh kewajiban.
Namun kejengkelan mereka
terhibur ketika beberapa orang gadis datang ke gardu-gardu itu sambil membawa
ancak berisi makanan. Dengan ramah gadis itu memberikan ancak-ancak itu kepada
para penjaga.
“He, Nduk, apakah kalian pergi
tanpa pengantar?”
“Apakah yang kami takutkan?”
jawab gadis-gadis itu.
“Bagaimana kalau hantu-hantu
lereng Merapi itu menyusup ke dalam kademangan ini dan menyergap kalian di
dalam gelap.”
“Kami akan berteriak.”
“Kalau mulut kalian disumbat?”
“Salah seorang dari kami pasti
sempat berteriak. Dengan demikian kalian akan berlari-lari menolong kami.”
“Tidak mau, aku dan
kawan-kawanku tidak akan menolong kalian.”
“Kenapa?”
“Apa upahnya?” bertanya
seorang prajurit muda.
“Apa saja yang kau ingini,”
jawab gadis yang gemuk.
“Oh,” prajurit muda itu
menarik nafas dalam-dalam, “aku tidak ingin apa-apa, supaya aku tidak menjadi
pingsan memikirkannya.”
Kawan-kawannya tertawa.
Meskipun ditahankannya, tetapi gadis-gadis itu tertawa pula.
Akhirnya malam yang gembira
itu berakhir pula. Namun malam itu sama sekali tidak berkesan apa-apa bagi
Sekar Mirah, sebab ia selalu dicengkam oleh kerinduannya kepada ayah dan ibu di
Sangkal Putung.
Bahkan malam itu terasa jauh
lebih panjang dari malam-malam yang dirasanya sudah terlampau panjang.
Ketika semuanya sudah selesai,
maka Sekar Mirah dengan tergesa-gesa kembali ke rumah Agung Sedayu bersama
dengan Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu. Seolah-olah ia ingin
mempercepat agar malam ini pun lekas berakhir. Besok jika fajar menyingsing,
maka akan berangkat dari Kademangan Jati Anom kembali pulang kepada ayah bunda
di Sangkal Putung.
Demikianlah, ketika fajar
telah mengembang, maka cepat-cepat Sekar Mirah pergi ke perigi. Tetapi Swandaru
berkata kepadanya, “Mirah, semalam suntuk kau tidak dapat memejamkan mata.
Bahkan malam-malam sebelum ini pun kau selalu kurang tidur. Karena itu kau
jangan mandi.”
Sekar Mirah mengangguk. Tetapi
ia pergi juga ke perigi untuk mandi.
Sementara itu Agung Sedayu
telah pergi ke kademangan. Ia ingin menyampaikan kepada kakaknya, bahwa nanti
Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah akan datang untuk minta diri.
“Mereka akan pergi ke Sangkal
Putung hari ini,” berkata Agung Sedayu.
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba saja terasa sesuatu tergetar di dadanya. Terasa bahwa pada
saat-saat terakhir Ki Tanu Metir banyak tidak menyetujui sikapnya tentang
berbagai hal. Sebenarnya Untara sama sekali tidak ingin untuk menyakiti hati
orang tua itu, atau setidak-tidaknya membuatnya kurang senang.
Tetapi Untara pun tidak ingin
melepaskan beberapa pendiriannya. Bahkan masalah Agung Sedayu itu pun
sebenarnya tidak diterimanya sepenuh hati.
“Baiklah,” berkata Untara itu
kemudian “aku akan menerimanya. Aku akan menyiapkan pengawalan bagi Sekar
Mirah.”
“Kami akan mengantarkan Sekar
Mirah bertiga, Kakang.”
“Aku tahu,” sahut Untara, “aku
tahu bahwa kau pun akan pergi juga ke Sangkal Putung seperti katamu dan Ki Tanu
Metir. Tetapi aku tidak mau menanggung akibat yang pahit bagi kalian dan Sekar
Mirah. Aku tidak yakin bahwa Ki Tambak Wedi telah meninggalkan derah ini, dan
aku tidak yakin bahwa tidak ada satu dua orang yang masih mengikutinya. Karena
itu, maka aku akan menyediakan sejumlah prajurit untuk mengikuti kalian sampai
ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi, sebelum ia menjawab kakaknya sudah berkata pula, “Jangan
terlampau sombong. Aku tahu, bahwa prajurit-prajurit itu akan memperkecil arti
perjuanganmu membebaskan Sekar Mirah. Dengan demikian kau tidak datang
menyerahkan Sekar Mirah dengan tanganmu sediri, tetapi seolah-olah kau telah
mendapat bantuan dari prajurit-prajurit itu, sehingga bukan kau seorang sajalah
pahlawan yang mengagumkan di mata Ki Demang Sangkal Putung.”
Terasa dada Agung Sedayu
berdentangan. Ia menyadari bahwa kakaknya kini benar-benar tidak dapat menerima
hubungan yang terjadi antara dirinya dengan Sekar Mirah. Alasan-alasan yang
semula hanya sekedar dikemukakan untuk melerai keadaan yang kurang baik antara
dirinya dan Wuranta, ternyata kemudian telah diyakini kebenarannya oleh
kakaknya. Agaknya ia dapat menerima pendapat Ki Tanu Metir tidak sebulat
hatinya. Tetapi ia tidak dapat membantah.
Perlahan-lahan ia menjawab,
“Baiklah, Kakang. Akan aku minta pertimbangan Ki Tanu Metir.”
“Kau beritahukan saja
keputusan ini kepada Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Baik, Kakang.”
Agung Sedayu pun kemudian
kembali ke rumahnya untuk menjemput Swandaru, Sekar Mirah dan Ki Tanu Metir.
Ternyata gadis itu hampir-hampir tidak sabar menunggunya.
“Kenapa kita masih harus
singgah di kademangan?” bertanya Sekar Mirah.
“Kita minta diri kepada Kakang
Untara,” jawab Agung Sedayu.
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi alisnya menjadi berkerut. Hal itu bagi Sekar Mirah hanya akan membuang
waktu saja.
“Kakang Untara akan
menyediakan pengawalan,” berkata Agung Sedayu pula.
Ki Tanu Metir berpaling
kepadanya, “Apakah pengawalan itu perlu sekali?” desisnya.
“Menurut Kakang Untara hal itu
perlu dilakukan, karena Kakang Untara masih mempertimbangkan kemungkinan, bahwa
ada orang-orang Jipang dan Tambak Wedi yang masih berkeliaran dan bergabung
dengan Ki Tambak Wedi.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Baiklah, kita akan berterima kasih.”
Mereka berempat pun kemudian
pergi ke kademangan. Mereka menemui Untara, Ki Demang Jati Anom, dan para
pemimpin prajurit Pajang dan kademangan itu yang lain.
Ki Tanu Metir pun kemudian
minta diri kepada mereka, dan dengan berat orang-orang di kademangan itu
terpaksa melepasnya. Mereka menyadari bahwa orang tua yang selalu
tersenyum-senyum itu adalah satu-satunya orang di antara mereka yang hanya
seorang diri dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi. Tetapi kesan kepergian Swandaru,
Sekar Mirah, dan Agung Sedayu hampir tidak menyentuh perasaan mereka. Hal yang
demikian adalah hal yang wajar dan tidak menumbuhkan banyak persoalan di antara
mereka.
Namun ada di antara mereka,
orang-orang yang berada di kademangan itu merasa hatinya seolah-olah terpecah
belah. Meskipun ia tidak mengucapkan sepatah katapun, namun tampak pada
binti-bintik keringat di keningnya, bahwa ia sedang menahan hati. Bahkan
sebelum pertemuan itu selesai, sebelum Ki Tanu Metir yang minta diri itu
meninggalkan ruangan, maka anak muda itu, Wuranta, telah berdiri dan melangkah
ke luar lewat tangga samping.
Melihat kepergian Wuranta,
Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu bergerak di dalam dadanya.
Debar jantungnya menjadi bertambah cepat.
Tetapi ia tidak berbuat
sesuatu. Dicobanya untuk menenteramkan hatinya. Meskipun demikian terasa
keringatnya menjadi semakin deras membasahi bajunya.
Ki Tanu Metir ternyata
tertarik juga melihat sikap Wuranta. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia pun sama
sekali tidak bertanya tentang anak muda itu.
Ketika Ki Tanu Metir,
Swandaru, dan Sekar Mirah sudah selesai dengan kata-katanya, minta diri kepada
setiap orang di ruangan itu, dan kemudian Agung Sedayu dengan kata-kata yang
lambat tertahan dan bernada datar, maka mereka pun meninggalkan ruangan itu,
diantar oleh Untara sampai ke halaman. Ternyata di halaman itu itu telah
bersiap beberapa orang prajurit untuk mengantar mereka yang akan kembali ke
Sangkal Putung.
Sejenak kemudian maka
rombongan itu pun berangkat dengan ucapan selamat jalan dari Untara dan para pemimpin
yang lain. Meskipun Sekar Mirah tidak biasa berkuda, namun kali ini ia
memberanikan diri, naik seekor kuda yang paling jinak. Di sampingnya kakaknya
Swandaru menjaganya agar ia tidak menjadi cemas apabila kudanya berjalan
terlampau cepat.
“Dalam waktu yang dekat, aku
pun akan pergi ke Sangkal Putang,” berkata Untara.
“Kami menunggu kalian, Ngger,”
sahut Ki Tanu Metir.
“Aku ingin bertemu dengan
Paman Widura. Tetapi sebelum itu, sampaikan salamku dalam jabatanku kepada
Paman Widura. Paman harus tetap berhati-hati menghadapi keadaan yang tampaknya
sudah menjadi bertambah baik. Dan sampaikan baktiku sebagai kemanakannya kepada
paman,” berkata Untara kepada Agung Sedayu.
“Baik, Kakang,” jawab Agung
Sedayu.
“Jaga dirimu baik-baik,”
berkata Untara, “hari depanmu masih sangat panjang. Kalau kau sia-siakan
hari-harimu kini, maka kau pasti akan menyesal di hari tuamu.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung
Sedayu pula.
“Aku akan selalu mengawasimu.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya.
Kepada Ki Tanu Metir Untara
kemudian berkata, “Aku titipkan adikku yang keras kepala itu, Kiai.
Mudah-mudahan Kiai akan dapat berhasil, membawanya ke jalan yang lurus
menjelang hari depannya.”
“Mudah-mudahan, Ngger. Aku
akan berusaha sebaik-baiknya.”
Dan kepada Swandaru Untara
berkata, “Sampaikan salamku kepada Ki Demang Sangkal Putung. Pajang sangat
berterima kasih kepadanya. Sangkal Putung ternyata telah berjasa sekali bagi
keutuhan wilayah Pajang di daerah Selatan ini.”
“Ya, Kakang. Akan aku
sampaikan kepada ayah,” jawab Swandaru.
Ketika pesan-pesan Untara
sudah selesai, maka rombongan itu pun bergerak meninggalkan halaman Kademangan
Jati Anom.
Demikian mereka keluar dari
halaman kademangan itu, mereka merasakan betapa cerahnya sinar matahari. Apalagi
Sekar Mirah. Ia merasa bahwa ia benar-benar telah terlepas dari suatu
lingkungan yang mengerikan. Kini ia berada dalam perjalanan kembali kepada ayah
dan ibunya.
Ketika iring-iringan itu
hampir sampai ke mulut lorong kademangan, maka tiba-tiba Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Di ujung lorong itu dilihatnya Wuranta berdiri tegak seperti
sebatang tonggak.
Tanpa disengaja Agung Sedayu
berpaling memandangi Ki Tanu Metir yang justru dalam saat yang bersamaan, Ki
Tanu Metir pun sedang berpaling kepadanya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sorot matanya seolah-olah minta pertimbangan kepada gurunya, apa
yang harus dilakukannya. Tetapi ia tidak menangkap kesan apa pun pada wajah
orang tua.
Ketika iring-iringan itu
sampai beberapa langkah di hadapan Wuranta, maka Ki Tanu Metir yang berkuda di
paling depan, memperlambat langkah kudanya. Dengan sebuah senyum ia
menganggukkan kepalanya, “Kau di sini Angger Wuranta?” bertanya orang tua itu.
“Ya, Kiai,” sahut Wuranta
dengan nada yang dalam, “aku ingin bertemu dengan Adi Agung Sedayu.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Ketika ia memandangi wajah Agung Sedayu, anak muda itu sedang
memandangnya pula.
Agung Sedayu melihat gurunya
itu mengangguk kecil. Karena itu maka didorongnya kudanya beberapa langkah maju
mendekati Wuranta.
“Maaf, Kiai,” berkata Wuranta,
“aku hanya ingin bertemu dengan Agung Sedayu.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengangguk kecil. Tetapi tampak
jelas di wajahnya pertanyaan yang membersit dari dadanya. Agung Sedayu
menangkap percikan isyarat, supaya ia berhati-hati.
“Baiklah,” berkata orang tua
itu kemudian, “kami akan berjalan mendahului.”
Swandaru menjadi agak
ragu-ragu karenanya. Maka katanya, “Apakah aku akan menemani Kakang Agung
Sedayu di sini, Kiai.”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tinggalkan ia sendiri.”
Dengan bimbang akhirnya
Swandaru pun berlalu. Namun ia masih sempat mengucapkan selamat tinggal kepada
Wuranta dan pernyataan terima kasih. Hampir-hampir Wuranta tidak dapat menjawab
ketika Sekar Mirah pun kemudian mengucapkan pernyataan terima kasihnya pula
kepadanya.
“Aku mengharap suatu ketika
kau akan dapat berkunjung ke Sangkal Putung, Kakang Wuranta,” berkata Sekar
Mirah yang sudah menemukan kegembiraannya kembali setelah ia mulai dengan
perjalanan pulang itu.
“Ya, ya,” Wuranta menjadi
tergagap, “aku akan datang.”
“Tetapi tidak dengan Alap-Alap
Jalatunda,” sambung Sekar Mirah tanpa prasangka apa pun.
Wajah Wuranta tiba-tiba
menjadi merah. Tetapi hanya sejenak. Dengan sekuat tenaganya ia mencoba
menguasai perasaannya yang mudah sekali tersentuh. Dipaksakannya bibirnya
bergerak dan menjawab, “Mudah-mudahan aku tidak akan bertemu lagi dengan anak
itu.”
“Bagaimana kalau hantu
jadi-jadiannya mendatangimu?” Sekar Mirah mencoba bergurau.
Namun Wuranta tidak segera
dapat menanggapinya. Bahkan terasa dadanya menjadi semakin pedih. Betapa
sulitnya, ia menjawab, “Mudah-mudahan tidak.”
“Nah,” berkata Sekar Marah
kemudian, “aku minta diri. Aku berterima kasih sekali kepadamu, Kakang Wuranta.
Maaf, bahwa aku pernah menyangka kau benar-benar seorang sahabat yang baik dari
Alap-Alap Jalatunda. Datanglah ke Kademangan Sangkal Putung. Aku akan memperkenalkan
kau kepada ayah.”
Wuranta mengangguk kaku.
Tetapi kening Agung Sedayu menjadi berkerut.
“Terima kasih. Mudah-mudahan
aku dapat memenuhinya,” sahut Wuranta sendat.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
seorang yang telah berusia cukup untuk melihat gelagat wajah seseorang, segera
berkata, “Marilah. Mumpung masih pagi.”
Iring-iringan itu kemudian
bergerak pula, hanya Agung Sedayu sajalah yang kemudian tinggal bersama Wuranta.
Ketika iring-iringan itu
menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu pun segera meloncat turun. Meskipun ia
tampaknya bersikap wajar, namun ia berada dalam kesiagaan penuh. Ia tidak akan
dapat ditipu dengan gerak jasmaniah seandainya Wuranta ingin berbuat sesuatu
karena jarak ilmu mereka terlampau jauh. Tetapi Agung Sedayu harus tetap
berwaspada seandainya Wuranta mempunyai cara-cara yang lain.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Namun tampak betapa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Baru sesaat kemudian, setelah
menelan ludahnya beberapa kali Wuranta baru berhasil berkata, “Agung Sedayu.
Aku menemuimu hanya untuk minta maaf. Mudah-mudahan kau melupakannya.”
Masih banyak sekali kata-kata
yang tersimpan di dalam hatinya. Masih bertumpuk-tumpuk kalimat-kalimat yang
ingin diucapkannya. Tetapi tiba-tiba mulut Wuranta seolah-olah tersumbat
terlampau rapat. Meskipun bibirnya bergerak-gerak namun tidak sepatah kata pun
yang dapat dilontarkannya.
Dada Agung Sedayu berdesir.
Kalimat itu terlampau pendek. Tetapi langsung menyentuh perasaan anak muda itu.
Meskipun ia tidak mendengar kata-kata lebih banyak lagi yang diucapkan oleh
Wuranta, namun dari sorot matanya ia dapat membaca apa saja yang tersirat di
dalam hatinya.
Sejenak Agung Sedayupun
menjadi terdiam. Ia tidak segera menemukan kata-kata untuk menjawabnya.
Sehingga seperti juga Wuranta, maka Agung Sedayu pun sulit untuk mengucapkan
kalimat-kalimat yang seakan-akan berdesakan di dalam dadanya. Akhirnya,
terpatah-patah ia menjawab, “Marilah kita lupakan, Kakang.”
Hanya itulah yang dapat
diucapkan oleh Agung Sedayu. Namun meskipun demikian, meskipun tidak banyak
kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, tetapi di dalam tekanan kata-kata mereka
seakan-akan telah tercurah seluruh perasaan mereka.
Kini sekali lagi mereka
berdiri berhadapan sambil berdiam diri. Terasa dada mereka menjadi tegang dan
bahkan serasa penuh dengan desakan-desakan yang ingin meloncat ke luar. Tetapi
tidak sepatah kata pun yang mereka ucapkan. Hanya lewat sorot mata mereka
sajalah mereka dapat merasakan perasaan masing-masing.
Baru sejenak kemudian
terloncat kata-kata dari mulut Wuranta untuk melepaskan ketegangan di dadanya,
“Selamat jalan, Agung Sedayu. Mudah-mudahan kita masing-masing mendapat
perlindungan dari Tuhan.”
“Terima kasih, Kakang,” suara
Agung Sedayu terlampau dalam.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
melangkah ke kudanya. Perlahan-lahan pula ia meloncat ke punggungnya.
Sekali lagi ia berkata,
“Terima kasih, Kakang. Aku akan meneruskan perjalanan.”
Wuranta tidak menjawab, tetapi
kepalanya terangguk perlahan-lahan.
Sejenak kemudian kuda Agung
Sedayu itu pun bergerak perlahan-lahan. Tetapi semakin lama semakin cepat.
Kemudian dengan sebuah sentuhan pada perut kuda itu, maka kuda itu pun meloncat
dengan cepatnya menyusul iring-iringan yang sudah agak jauh di hadapan mereka.
Tetapi bagi Agung Sedayu, bukan iring-iringan itulah yang telah memaksanya
untuk berpacu. Ia ingin secepatnya menjauhi Jati Anom. Tempat ia dilahirkan,
tetapi yang memberinya persoalan yang cukup berat dalam usianya yang masih
terlampau muda.
Wuranta memandangi kuda itu
berlari semakin kencang. Matanya hampir tidak berkedip meskipun terasa pedih
karena debu yang putih yang dilemparkan dari kaki-kaki kuda Agung Sedayu.
Sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia bergumam lirih,
“Anak itu luar biasa. Meskipun ia seorang penakut di masa kanak-anak, tetapi ia
kini menjadi seorang laki-laki yang perkasa. Hampir aku merusak harapan bagi
masa depannya karena kebodohanku.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi terasa dadanya berdesir. Ia belum dapat melupakan wajah Sekar
Mirah yang segar. Apalagi senyumnya yang seolah-olah langsung menyentuh hati.
Tetapi kini ia sudah dapat mengimbangi perasaannya itu dengan nalarnya.
Sementara itu iring-iringan
itu berjalan dengan kecepatan sedang meluncur mendekati Sangka Putung.
Sekali-sekali Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Sekar Mirah berpaling, untuk melihat
apakah Agung Sedayu sudah menyusul mereka.
Ternyata ada kekhawatiran juga
di hati mereka tentang Agung Sedayu. Terutama Ki Tanu Metir. Orang tua itu
tidak mencemaskan nasib Agung Sedayu sendiri, tetapi justru apabila Agung
Sedayu terdorong oleh perasaannya, berbuat hal-hal yang tidak menguntungkannya.
Tetapi sejenak kemudian mereka
melihat debu yang putih mengepul ke atas di belakang mereka. Seekor kuda
berlari kencang menyusul iring-iringan itu. Di atas punggung kuda itu adalah
Agung Sedayu.
Ketika Agung Sedayu menjadi
semakin dekat, dan kemudian telah berada di antara mereka, maka dengan
serta-merta Swandaru bertanya, “Apakah yang dikatakannya, Kakang?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Sesaat ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Bahkan seperti seorang anak-anak
yang ingin mendapat pertolongan dipandanginya gurunya.
“Apakah Angger Wuranta
mengucapkan selamat jalan kepada Anakmas?” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
“Ya, Kiai,” sahut Agung Sedayu
asal saja menjawab.
“Ya, aku sudah menyangka,”
berkata Ki Tanu Metir, “ia pasti merasa kehilangan seorang kawan yang dapat
mengerti tentang dirinya. Kita dianggapnya sebagai kawan-kawan yang berbuat
sejak permulaan bersamanya.”
“Tetapi sikapnya mengherankan.
Aku melihat sesuatu yang tidak wajar padanya,” berkata Sekar Mirah.
“Anak itu seorang pemalu,”
jawab Ki Tanu Metir.
“Tidak. Ia bukan seorang
pemalu,” jawab Sekar Mirah.
Mendengar jawaban itu Agung
Sedayu mengerutkan keningnya. “Darimana kau tahu Mirah?” Agung Sedayu bertanya.
Dan Sekar Mirah menjawab, “Di
Padepokan Tambak Wedi ia bersikap bukan sebagai seorang pemalu. Wurantalah yang
pertama-tama menegurku sebelum Alap-Alap Jalalunda, meskipun ia orang baru di
padepokan itu. Ia menjadi penghubung yang baik antara aku dan Alap-Alap
Jalatunda yang hampir saja menerkam aku apabila Sidanti tidak segera datang.”
Mereka yang mendengar
kata-kata Sekar Mirah itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka telah
mendengar pula dari Wuranta. Dan soal itu pulalah yang telah membakar padepokan
Tambak Wedi menjadi karang abang. Bentrokan antara orang-orang Jipang dan
Tambak Wedi yang tidak dapat dihindarkan lagi.
Sejenak kemudian mereka
menjadi saling berdiam diri. Mereka terbenam di dalam angan-angan
masing-masing. Sekali-sekali Sekar Mirah mengerutkan lehernya apabila
diingatnya apa yang telah terjadi di padepokan Tambak Wedi.
Seandainya, ya seandainya
Alap-Alap Jalatunda tidak dapat dicegah lagi, maka ia kini tidak lagi dapat
berkuda bersama-sama dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Mungkin ia telah
membunuh dirinya dan tubuhnya telah hancur menjadi debu.
Tiba-tiba Sekar Mirah itu menundukkan
kepalanya. Kebesaran Yang Maha Kasih telah menyelamatkannya dengan cara yang
hampir tidak dapat dimengertinya.
Tetapi dalam pada itu
terbersit pula pikiran di kepalanya, “Seandainya aku tidak selemah ini.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Ia bertanya pula di dalam hatinya, “Apakah aku hanya dapat menjadi
tanggungan orang lain sepanjang hidupku?”
Gadis itu kemudian
membayangkan tentang dirinya sendiri. Seandainya ia mampu berbuat sesuatu.
Seandainya ia tidak hanya seorang gadis yang lemah dan tidak dapat berbuat apa
pun.
Terbayanglah di dalam
ingatannya cerita-cerita tentang masa-masa lampau. Dongeng-dongeng yang pernah
didengarnya tentang beberapa orang puteri. Di dalam ceritera wayang yang
terkenal, pernah juga didengarnya tentang seorang Srikandi dan Larasati.
Keduanya adalah puteri-puteri prajurit yang pilih tanding. Bahkan di dalam
perang besar Baratayuda, Srikandi pernah menjadi senapati perang dan dalam masa
jabatannya itulah Senapati Besar Astina yang dikagumi terbunuh. Bisma. Meskipun
kematiannya itu ditangisi oleh kedua pihak yang berperang. Kurawa dan Pendawa.
“Apakah pada jaman ini tidak
mungkin seorang wanita memegang busur dan anak panah seperti Srikandi?”
pertanyaan itu menggetarkan hatinya.
“Tentu mungkin,” pertanyaan
itu dijawabnya sendiri, “dan aku akan berusaha untuk dapat menjadi seorang
wanita yang demikian. Aku harus dapat menjaga diriku sendiri. Kalau suatu
ketika Sidanti kembali ke Sangkal Putung, aku tidak akan menjadi barang rebutan
antara Sidanti dan orang-orang Sangkal Putung, Kakang Swandaru dan mungkin
Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah itu menengadahkan
kepalanya, seolah-olah ia sudah mendapat keputusan untuk memulai dengan
langkahnya. Menjadi seorang gadis yang mampu menjaga diri sendiri.
“Tetapi kepada siapa aku harus
berguru supaya aku mendapat tuntunan olah kanuragan?” pertanyaan itu mengusik
hatinya.
Tanpa disengaja ia memandangi
Ki Tanu Metir yang berkuda beberapa langkah di mukanya. Dipandanginya punggung
orang tua itu yang berselimutkan kain gringsing. Kain ciri yang selalu
dipakainya meskipun sudah mulai tampak keputih-putihanan.
Tiba-tiba Sekar Mirah
menggelengkan kepalanya. “Orang tua itu sedang sibuk dengan Kakang Swandaru dan
Kakang Agung Sedayu. Aku tidak yakin kalau ia mau menerimaku pula di dalam
lingkungannya. Aku sama sekali belum mengenal ilmu apa pun dalam olah
kanuragan. Aku harus mulai dari permulaan.” Lalu ditambahkannya keterangan di
dalam hatinya itu, “Tetapi seandainya ayah dan ibu mengijinkannya.”
Dan dicobanya untuk meyakinkan
dirinya, “Ayah dan ibu pasti tidak akan berkebetatan. Setiap saat aku terancam
bahaya, karena aku kira Sidanti tidak akan berhenti sekian. Mungkin ia akan
kembali di saat-saat orang Sangkal Putung sudah hampir melupakannya. Seandainya
aku tidak mampu menjaga diriku, maka akan terulanglah peristiwa itu. Dan
Sidanti tentu tidak akan sesabar beberapa saat yang lampau.”
Sementara itu matahari di
langit merayap semakin lama semakin tinggi. Sinarnya yang cerah telah mulai
menggatalkan kulit. Angin yang berhembus dari selatan menghalau debu-debu yang
dihamburkan oleh kaki-kaki kuda yang berjalan dalam iring-iringan itu. Beberapa
prajurit yang ikut serta di dalamnya hampir tidak mengucapkan kata-kata sama
sekali. Satu dua di antara mereka bercakap-cakap, tetapi kemudian terdiam.
Memang tidak banyak yang mereka perbincangkan.
Ketika mereka melampaui sebuah
tikungan yang tajam di antara gerumbul-gerumbul yang liar terdengar Agung
Sedayu berdesis, “Bukankah menerobos jalan kecil ini kita akan sampai ke Dukuh
Pakuwon Kiai?”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Dipandanginya jalan simpang yang sempit itu. Katanya, “Sebenarnya aku telah
merindukan rumahku yang hampir roboh itu. Tetapi aku agaknya masih belum
sempat. Lain kali, aku akan menengok, apakah pohon kates yang aku tanam sudah
mulai berbuah.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kenangannya mulai menjelajahi kembali masa-masa
yang pernah dilampauinya. Ia hampir pingsan ketakutan ketika ia bertemu dengan
Alap-Alap Jalatunda di daerah ini. Apalagi ketika kemudian kakaknya menyuruhnya
berangkat sendiri ke Sangkal Putung untuk menemui pamannya. Seandainya kakaknya
tidak mengancam untuk membunuhnya, maka ia pun pasti tidak akan berani
berangkat.
Agung Sedayu itu tersadar
ketika ia mendengar Ki Tanu Metir bertanya, “Kita akan menempuh jalan yang
mana, Ngger? Apakah kita akan lewat Kali Asat dan melalui tikungan Randu Alas?
Barangkali Angger masih ingin bertemu dengan sahabat Angger di sana, Gendruwo
bermata satu?”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah.
Swandaru yang tidak tahu
maksud Kiai Gringsing tiba-tiba menyahut, “Terlampau jauh, Kiai. Kita tidak
akan melalui Kali Asat.”
Perjalanan itu pun semakin
lama menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung. Jarak, antara kedua
kademangan itu memang tidak terlampau jauh. Tetapi kekalutan yang timbul di
daerah itu, orang-orang Jipang yang berkeliaran, apalagi kemudian setelah
Tohpati mengambil tempat di hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di sebelah
barat Sangkal Putung, maka kedua kademangan itu seakan-akan telah dipisahkan
oleh lautan. Perjalanan dari kademangan yang satu ke kademangan yang lain
terasa terlampau menakutkan. Padukuhan-padukuhan kecil yang berada di antara
kedua kademangan itu pun menjadi semakin kecil. Bahkan penduduknya
kadang-kadang merasa tidak mendapat perlindungan sama sekali, sehingga pada
saat-saat itu mereka tidak akan dapat menolak apabila orang-orang Jipang,
seperti Alap-Alap Jalatunda, Pande Besi Sendang Gabus yang terbunuh oleh
Untara, Plasa Ireng yang kemudian dibunuh oleh Sidanti, dan Sanakeling yang
sudah terbunuh pula beserta anak buah mereka, datang untuk mengambil persediaan
makanan mereka yang memang sudah terlampau tipis. Orang-orang Jipang itu
mengambil apa saja yang dapat mereka ambil, sebelum mereka berhasil merebut
pusat lumbung makanan dan kekayaan di daerah Selatan, Sangkal Putung.
Tetapi, dalam keadaan kini
maka jarak antara kedua kademangan itu terasa terlampau dekat. Belum lagi
matahari melampaui puncak langit, maka mereka sudah menjadi semakin dekat
dengan Sangkal Putung.
Sekar Mirah hampir-hampir
tidak sabar lagi menunggu jarak yang sudah kian pendek itu. Seandainya ia mampu
ia pasti akan meloncat langsung ke halaman rumahnya berlari mendapatkan ayahnya
dan memeluk ibunya.
Tetapi ia masih harus tetap
berada di punggung kudanya.
Beberapa saat kemudian mereka
telah masuk ke daerah Kademangan Sangkal Putung. Mereka telah berada di
tengah-tengah bulak persawahan. Bulak yang beberapa saat yang lampau
jarang-jarang sekali disentuh tangan karena keadaan, tetapi kini sawah-sawah
itu telah mulai tampak dibasahi oleh air. Sebentar lagi sawah-sawah itu pasti
akan menjadi hijau kembali, apabila orang-orang Sangkal Putung telah yakin,
bahwa tidak akan ada gangguan lagi yang bakal datang ke kademangan mereka.
Agaknya beberapa orang telah mulai memperbaiki parit-parit dan mengalirkan air
ke sawah-sawah yang selama ini tidak sempat ditanaminya.
Semakin dekat dengan induk
kademangan, maka sawah-sawah telah menjadi hijau. Sawah-sawah itu masih tetap
selalu digarap meskipun dalam keadaan yang kalut, karena sawah-sawah itu
terletak tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
Melihat induk kademangan yang
terbentang di hadapannya, dada Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Beberapa
lama ia tidak melihat wajah kampung halamannya, terasa seakan-akan sudah
bertahun-tahun. Apalagi apabila diingatnya, bahwa hampir saja ia terjerumus ke
dalam jurang yang terlampau dalam. Dan ia yakin bahwa ia pasti tidak akan
bangkit kembali.
Kademangan Sangkal Putung yang
terbentang itu, seolah-olah seperti seorang raksasa yang baru berbaring diam.
Warnanya yang hijau segar langsung terasa menyentuh hati.
Ketika Sekar Mirah melihat
ujung daun nyiur yang bargerak-gerak disentuh angin, seolah-olah melambai
menyambut kedatangannya, terasa kerongkongannya menjadi pepat. Ada sesuatu
ingin meledak di dadanya. Mata gadis itu pun kemudian menjadi pedih. Bukan oleh
debu yang menyentuhnya, tetapi kenangan yang ngeri dan harapan bagi masa
mendatang, bercampur baur di dalam hatinya
Ki Tanu Metir yang berkuda di
depan bersama Agung Sedayu pun merasakan, seolah-olah kademangan itu
benar-benar telah siap menyambut kedatangan mereka
Tetapi dahi orang tua itu pun
kemudian berkerut ketika dilihatnya debu mengepul di kejauhan.
Ternyata tidak hanya Ki Tanu
Metir sajalah yang tertarik melihat debu yang keputih-purihan itu. Agung
Sedayu, Swandaru, dan prajurit pun memperhatikannya dengan penuh perhatian.
“Orang-orang berkuda, Kiai,”
desis Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku kira mereka adalah para peronda
dari Sangkal Putung.”
“Tetapi agaknya tidak hanya
dua tiga orang. Mereka kira-kira terdiri dari lima enam orang, Kiai?
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Beberapa saat kemudian orang-orang berkuda itu menjadi semakin jelas.
Ketika mereka muncul dari balik tanaman yang rimbun, tampaklah bahwa mereka
berjumlah lima orang.
“Mereka memang peronda dari
Sangkal Putung,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Mungkin,” sahut Agung Sedayu.
Tetapi matanya hampir tidak berkedip melekat pada bintik-bintik yang berpacu
menyongsong mereka.
Sejenak kemudian mereka
melihat kelima orang itu berhenti sejenak. Kemudian tiga di antara mereka
meneruskan perjalanan kearah Ki Tanu Metir dan iring-iringanya.
“Kenapa sebagian dari mereka
berhenti Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Suatu sikap hati-hati. Ketiga
orang itu harus melihat siapa yang datang. Kalau yang datang ini berbahaya bagi
mereka, maka kedua orang yang berhenti itu sempat memberikan laporan atau
tanda-tanda sandi kepada induk pasukannya, sementara yang lain sedang
menghadapi bahaya itu”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia bertanya, “Apakah mereka
mencurigai kita? Maksudku, mereka mencurigai iring-iringan yang belum mereka
ketahui ini?”
“Mungkin.”
“Kalau demikian maka ada
sesuatu yang penting terjadi di sini,” berkata Agung Sedayu.
“Sangkal Putung belum
mendengar secara pasti bahwa Tambak Wedi sudah jatuh.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi karena Jati Anom dan Sangkal Putung
sebenarnya tidak terlampau jauh, maka adalah suatu kemungkinan bahwa Widura
telah mendengar berita tentang Tambak Wedi.
“Apakah Kakang Untara tidak
segera mengirimkan utusan ke Sangkal Putung untuk memberitahukan keadaan Tambak
Wedi?” bertanya Agung Sedayu.
“Aku kira belum. Kita adalah
utusan-utusan itu. Dan kitalah yang akan memberitahukan kepada pamanmu Widura,
bahwa Tambak Wedi telah jatuh. Seandainya Angger Untara mengirimkan utusan,
maka angger Untara pasti tidak yakin bahwa utusannya akan segera sampai.
Apabila mereka bertemu dengan Ki Tambak Wedi, maka utusan itu pasti akan
menjadi korban. Mungkin Angger Untara mempunyai perhitungan lain pula, supaya
Sangkal Putung tetap berada dalam kewaspadaan dan tidak menjadi lengah. Sebab
masih banyak sekali kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin masih ada satu dua
orang Sanakeling yang terlepas dari kehancuran justru karena mereka berkeliaran
di daerah ini pada saat Tambak Wedi jatuh. Atau mungkin hal-hal lain menurut
pertimbangan Angger Untara.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia memandang lurus-lurus ke depan kepada
tiga orang prajurit yang sudah menjadi semakin dekat.
Demikian para prajurit itu
mengenali Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah, serta
prajurit-prajurit Pajang yang mengantarkan mereka, maka terdengar salah seorang
dari mereka berteriak gembira, “He, kaukah itu, Kiai?”
“Ya, iniah aku,” sahut Ki Tanu
Metir.
“Dengan Adi Sekar Mirah?”
“Ya,” jawab Ki Tanu Metir
pula.
“Syukurlah. Ibunya selalu
menangis.”
Mendengar kata-kata prajurit
itu, Sekar Mirah yang berkuda di samping kakaknya tiba-tiba memotong, “Apakah
ibuku selalu menangis saja?”
Prajurit itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Kemudian jawabnya, “Ya, tetapi setiap orang di Sangkal Putung yakin,
bahwa kau akan dapat dibebaskan.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Ia semakin ingin cepat-cepat sampai. Tetapi ia tidak cukup pandai
untuk berpacu. Karena itu maka ia menjadi gelisah. Serasa ingin ia meloncati
jarak yang sudah menjadi semakin pendek.
Yang bertanya kemudian adalah
Ki Tanu Metir, “Kalian agaknya terlampau hati-hati menghadapi keadaan. Kalian
tinggalkan kedua kawan kalian. Bukankah dengan demikian kalian memperhitungkan
kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya.”
Salah seorang dari ketiga
prajurit itu mengangguk, “Ya. Kami memang sedang gelisah.”
“Kenapa?”
Prajurit itu tidak segera
menjawab. Mereka bertiga menganggukkan kepala mereka kepada prajurit-prajurit
Pajang yang datang dari Jati Anom.
Perwira yang memimpin
rombongan kecil itu pun maju mendekati prajurit Sangkal Putung itu sambil
bertanya, “Apakah yang telah menggelisahkan kalian di SangKal Putung?”
Prajurit-prajurit itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian berkata, “Marilah. Kami antar kalian untuk
menemui Ki Widura.”
“Kami akan menemuinya,” sahut
perwira itu, “tetapi apa yang menggelisahkan itu?”
Prajurit itu berpaling kepada
kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya tidak dapat memberikan kesan apa pun
kepadanya.
“Berkatalah,” perintah perwira
itu.
“Baiklah,” sahut prajurit yang
datang dari Sangkal Putung. “Kami telah kehilangan beberapa orang peronda.”
“He,” perwira itu terkejut. Ki
Tanu Metir pun mengerutkan keningnya, sedang wajah Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi tegang karenanya.
Para prajurit yang datang dari
Jati Anom pun pegera mengerumuni ketiga orang prajurit itu sambil
bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang sudah terjadi di Sangkal Putung.
Dalam pada itu salah seorang
prajurit yang datang dari Sangkal Putung itu berkata, “Marilah, aku ceritakan
sambil berjalan ke Sangkal Putung. Kedua kawan-kawanku yang menunggu itu supaya
tidak menjadi salah paham, dan dengan serta-merta meluncurkan panah sendaren.”
Perwira Pajang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Baiklah, marilah kita teruskan
perjalanan ini.” Kepada Ki Tanu Metir ia berkata pula, “Marilah, Kiai.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya pula sambil menyahut, “Marilah.”
Iring-iringan itu kemudian
meneruskan perjalanan mereka ke Sangkal Putung bersama ketiga prajurit Pajang
yang sedang meronda itu.
Perwira yang datang dari Jati
Anom itu kemudian bertanya, “Kesiap-siagaan kalian ternyata cukup tinggi,
sehingga kedua kawan-kawanmu itu perlu mempergunakan panah sendaren.”
“Ya, bahaya yang mengancam
kami pun cukup berat.”
“Katakan, apa yang telah
terjadi.”
Prajurit-prajurit itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Sejak empat lima hari ini kami menjadi gelisah. Beberapa orang peronda kami
hilang di luar induk kademangan.”
“Bagaimana mereka dapat
hilang?”
“Itu yang tidak dapat kami
ketahui. Beberapa dari mereka dapat kami ketemukan mayatnya. Tetapi ada juga
yang belum.”
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Sekali ia berpaling memandangi wajah Ki Tanu Metir yang kini berkuda
di belakangnya.
“Bagaimana pendapat, Kiai?”
bertanya perwira itu. “Apakah ini ada hubungannya dengan jatuhnya Tambak Wedi
dan lenyapnya para pemimpinnya?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Tidak dapat disangsikan lagi,
Ngger.”
“Memang Kakang Widura masih
belum tahu tentang peristiwa di Tambak Wedi,” gumam perwira itu. Lalu kepada Ki
Tanu Metir ia berkata pula, “Kiai, selain mengantarkan Kiai dan anak-anak muda
ini, aku pun mendapat tugas khusus dari Kakang Untara.”
“Tugas apa itu, Ngger?”
“Menyampaikan pesan Kakang
Untara tentang Tambak Wedi.”
“Aku memang sudah menyangka,
tetapi aku tidak bertanya kepadamu. Apabila nanti Angger Widura telah mendengar
laporanmu, maka ia pasti akan mampu memperhitungkan keadaan. Kita pun telah
dapat menduga, siapa yang melakukan hal itu.”
Tiba-tiba Swandaru memotong,
“Tambak Wedi. Pasti Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.”
Hampir semua orang berpaling
kepadanya. Dan hampir semua orang menganggukkan kepalanya. Hanya para prajurt
dari Sangkal Putung sajalah yang saling berpandangan. Mereka tidak tahu alasan
dari dugaan Swandaru yang tampaknya disetujui oleh semua orang dalam
iring-iringan itu.
“Kenapa Tambak Wedi, Sidanti,
dan Argajaya?” bertanya salah seorang prajurit itu.
“Tak ada orang lain. Hal ini
pula yang harus aku sampaikan kepada Ki Widura nanti,” sahut perwira itu. Lalu
ia bertanya pula, “Berapa orang yang telah hilang dan terbunuh?”
“Delapan orang,” sahut salah
seorang dari mereka.
“Delapan orang?” perwira itu
mengulangi hampir bersamaan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Berkata perwira
itu lebih lanjut, “Sudah terlampau banyak. Jumlah itu harus dihentikan.”
“Itulah sebabnya kami kini
meronda dengan cara ini supaya korban tidak bertambah-tambah.”
”Lima orang prajurit tidak
akan dapat melawan Ki Tambak Wedi bertiga,” berkata perwira yang datang dari
Jati Anom itu.
“Itulah sebabnya kami harus
memberitahukan kepada pasukan peronda induk di mulut kademangan itu, dengan
panah sendaren. Peronda berkuda pasti akan segera datang.”
“Berapa orang?” bertanya
perwira itu.
“Sepuluh orang. Kalau perlu
dapat ditambah lagi.”
“Sepuluh orang itu pun hanya
akan menambah jumlah kematian. Duapuluh lima orang, barulah memadai buat ketiga
iblis yang sedang putus asa itu,” geram perwira itu pula.
Prajurit-prajurit dari Sangkal
Putung itu tidak menyahut. Mereka masih belum tahu pasti apa yang sudah
terjadi.
Sementara itu kedua kawannya
yang menunggu di kejauhan menjadi termangu-mangu. Ketika mereka melihat ketiga
kawannya dikerumuni oleh orang-orang yang ditemui, maka hati mereka menjadi
bedebar-debar. Mereka telah menyiapkan busur-busur mereka untuk setiap saat
dapat melepaskan panah-panah sendaren sebelum mereka datang membantu ketiga
kawan-kawannya itu.
Tetapi kemudian mereka melihat
iring-iringan itu meneruskan perjalanan dan tidak ada sesuatu yang terjadi.
Meskipun demikian mereka masih tetap ragu-ragu. Busur mereka masih tetap berada
di tangan, bahkan kemudian anak panah sendaren mereka telah mereka pasang pula,
siap untuk meluncur di udara.
Baru ketika mereka dapat
melihat dengan jelas, siapa yang datang bersama dengan ketiga kawan-kawannya
itulah, maka mereka menjadi berlega hati. Hampir bersamaan mereka menarik nafas
dalam-dalam untuk melepaskan ketegangan yang baru saja mencengkam mereka.
“Ki Tanu Metir,” desis yang
seorang.
“Ya,” sahut yang lain.
“Bukankah gadis itu Sekar Mirah?”
Prajurit yang lain mengerutkan
dahinya, “Ya, itulah Sekar Mirah yang hilang itu. Tetapi justru ia menjadi
bertambah cantik.”
Kawannya mengerutkan dahinya, tetapi
ia tidak segera menyahut. Diamatinya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan
dilihatnya iring-iringan yang semakin dekat itu. Dan dilihatnya pula kemudian
Agung Sedayu, Swandaru, dan beberapa orang prajurit Pajang di bawah pimpinan
seorang perwiranya.
“Hem, mereka cukup hati-hati,”
desis salah seorang dari kedua prajurit itu. “Agaknya mereka mengetahui keadaan
di sini sehingga iring-iringan itu cukup kuat apabila mereka menghadapi bahaya
di sepanjang perjalanan.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi yang dikatakannya, “Memang gadis itu agak kurus meskipun
hanya beberapa hari saja ia meninggalkan rumahnya.”
“Hus,” desis yang lain,
“apakah kau sudah bersedia berperang tanding dengan Sidanti? Bukankah gadis itu
hilang diambil Sidanti?”
“Kenapa aku harus perang
tanding?”
”Bukankah Sidanti menginginkan
Sekar Mirah itu pula.”
“Biar sajalah Sidanti
menginginkannya. Tetapi aku tidak.”
“Kenapa kau selalu memujinya?”
“Aku hanya memuji. Aku senang
melihat sesuatu yang baik, yang cantik, yang tampan. Apakah kau tidak?”
Kawannya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ya, aku juga tertarik kepada semua yang baik.”
“Nah, bukankah kalau kau
melihat sesuatu yang indah kau akan memujinya? Melihat Gunung Merapi yang biru
kemerah-merahan di ujungnya itu, atau melihat air terjun yang tinggi, atau
melihat padi yang menguning menggelombang dibuai angin yang silir, atau taman
bunga yang sedang berkembang, atau ……..”
“Cukup. Contoh yang kau
ucapkan sudah terlampau panjang.”
“Belum. Masih kurang satu,
seorang gadis yang secantik Sekar Mirah?”
“Ya.”
“Apakah kau lebih senang
melihat Titah yang gemuk bulat dan selalu memberengut itu?”
“Tentu tidak.”
“Nah, itulah sebabnya aku
memujinya. Gadis itu memang cantik.”
“Kau memang cukup cakap.”
“Untuk menjadi seorang
pemimpin yang baik.”
Prajurit yang seorang
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum. Ia sebenarnya masih
ingin berbicara banyak, tetapi iring-iringan itu sudah terlampau dekat. Karena
itu mereka pun menepi untuk memberi kesempatan mereka lewat.
Ketika iring-iringan itu
berjalan di depan kedua prajurit itu, mereka pun menganggukkan kepala mereka,
memberi hormat kepada mereka yang lewat, terutama kepada perwira prajurit
Pajang yang ada di dalam iring-iringan itu pula.
Ketika iring-iringan in. sudah
melampaui mereka, maka mereka pun menempatkan diri mereka di ujung belakang.
Sejenak mereka terdiam diri, tetapi yang seorang segera mulai berbicara lagi.
Katanya, “Nah, apakah kau masih juga tidak percaya bahwa gadis itu memang
cantik. Lihatlah punggungnya, lehernya, rambutnya yang meskipun agak kusut.”
Kawannya berpaling. Alisnya
tampak berkerut. Katanya sambil mengangkat panah sendarennya, “Lihat, mulutmu
ternyata tidak berbeda dengan sendaren ini. Kalau sudah mulai mengiang, maka ia
tidak akan berhenti sebelum jatuh di tanah.”
Sekali lagi prajurit yang satu
itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula.
“Ah,” katanya, “sebaiknya
panah dan busur-busur ini disingkirkan saja. Bukankah sudah pasti tidak akan
terpakai lagi.”
“Apakah akan kau buang saja.”
Yang lain menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menyahut.
Meskipun demikian, mulut
lorong Kademangan Sangkal Putung sudah menjadi semakin jelas, seperti mulut goa
yang selalu menganga. Namun dengan demikian hati Sekar Mirah menjadi semakin
berdebar-debar. Terasa seolah-olah kudanya berjalan semakin lambat. Tetapi ia
tidak berani mempercepat, karena ia belum terlampau biasa berkuda.
Kini iring-iringan itu pun
akhimya memasuki mulut lorong itu pula. Satu-satu berurutan seperti ditelan
oleh mulut seekor ular raksasa. Sejenak kemudian maka mereka itu pun telah
hilang ke dalam induk Kademangan Sangkal Putung.
Sekar Mirah yang gelisah
menjadi hampir tidak sabar menunggu kudanya memasuki halaman rumahnya. Setiap
kali ia lihat orang-orang berlari-larian ke luar dari rumahnya sambil menyebut
namanya. Gadis-gadis kawannya bermain berteriak-teriak memanggil namanya,
sedang anak-anak muda saling berbisik di antara mereka, “Itu Sekar Mirah.
Ternyata adik Untara telah berhasil membebaskannya.”
Sekar Mirah sendiri hampir
tidak dapat menahan perasaan harunya. Tetapi ia tidak mau berhenti di antara
kawan-kawan gadisnya. Ia ingin segera pulang. Ia ingin segera menyatakan diri
kepada ibunya, bahwa ia masih Sekar Mirah yang dulu. Sekar Mirah seperti saat
meninggalkan Sangkal Putung.
Kabar tentang Sekar Miiah itu
segera sampai ke kademangan mendahului Sekar Mirah sendiri. Beberapa orang
berlari-larian meloncat pagar-pagar batu menyampaikan kabar kedatangan Sekar
itu kepada ayah ibunya.
Sesaat kademangan itu
dicengkam oleh perasaan haru dan tegang. Widura yang berada di kademangan itu
menjadi berdebar-debar pula.
Namun tiba-tiba mereka
terpaksa menyusul ibu Sekar Mirah yang tidak dapat menahan hati, berlari-larian
turun tangga pendapa menyongsong anak gadisnya yang kembali pulang.
Meskipun Ki Demang
memanggilnya untuk menunggu saja di halaman, namun Nyai Demang sama sekali
sudah tidak menghiraukannya. Dengan mata yang basah dan rambut terurai Nyai
Demang berlari melintasi halaman. Beberapa orang prajurit yang melihatnya
berdiri saja termangu-mangu, tanpa dapat berbuat apa pun, meskipun mereka tahu,
bahwa Ki Demang sedang memanggil-manggil isterinya itu.
Tetapi ternyata Nyai Demang
tidak perlu berlari-larian terlampau jauh. Tiba-tiba, ia melihat iring-iringan
muncul di regol halaman.
Ketika dilihatnya Sekar Mirah
yang kemudian berada di paling depan bersama kakaknya Swandaru, maka tiba-tiba
perempuan itu pun menjerit tinggi menyebut nama anaknya yang pernah hilang itu
Sekar Mirah pun segera melihat
ibunya berlari-larian menyongsongnya. Ia kini tidak lagi dapat menahan hatinya.
Dengan serta-merta ia meloncat turun dari kudanya. Tetapi karena terlampau
tergesa-gesa dan kurang dapat membawakan diri, maka gadis itu terjatuh di
tanah.
“Mirah,” Swandaru mencoba
mencegahnya. Tetapi terlambat. Gadis itu telah jatuh menelungkup.
Hampir bersamaan Swandaru dan
Agung Sedayu meloncat dari punggung kudanya pula, disusul oleh Ki Tanu Metir
dan para prajurit. Dengan cekatan Swandaru menolong adiknya, mengangkat dan
memapahnya berdiri.
“Mirah,” sekali lagi terdengar
pekik ibunya.
Ternyata Sekar Mirah tidak
dapat merasakan sakit pada tubuhnya sendiri. Tiba-tiba ia pun meronta dan
melepaskan diri dari tangan kakaknya, langsung berlari kepada ibunya.
Keduanya pun kemudian
berpelukan. Keduanya melepaskan tekanan-tekanan perasaan yang berdesakan di
dalam dada masing-masing, sehingga meledaklah tangis yang mengharukan.
Swandaru, Agung Sedayu, Ki
Tanu Metir, Widura, dan Ki Demang sendiri dan orang-orang lain yang
menyaksikan, berdiri saja termangu-mangu. Dibiarkannya kedua perempuan ibu dan
anak itu melepaskan perasaannya.
Sejenak halaman kademangan itu
seolah-olah dicengkam oleh suasana yang tegang. Yang terdengar hanyalah suara
tangis Nyai Demang Sangkal Putung dan anaknya Sekar Mirah.
Sesaat kemudian, ketika tangis
mereka sudah menurun, maka berkatalah Ki Demang Sangkal Putung dengan nada yang
dalam, “Nyai, bawalah anakmu itu masuk.”
Keduanya tidak menyahut.
Keduanya tidak mengucapkan kata-kata sepatah kata pun, kecuali tangis mereka.
Tetapi titik-titik air mata mereka telah menyatakan perasaan mereka sampai
tuntas. Melampaui kata-kata yang beribu-ribu jumlahnya.
“Nyai,” sekali lagi terdengar
suara Ki Demang Sangkal Putung, “bawalah anakmu masuk. Mungkin ia lelah, dan
mungkin ia lapar.”
Nyai Demang menganggukkan
kepalanya. Kemudian dibimbingnya Sekar Mirah masuk ke dalam rumah, melintasi
pendapa, kemudian pringgitan dan langsung dibawanya ke ruang dalam.
Ketika Sekar Mirah telah
dibimbing masuk, maka barulah orang-orang yang berada di halaman itu mulai
bergerak. Mereka mulai berbisik-bisik dan bercakap-cakap di antara mereka.
Beberapa orang prajurit sedang mempercakapkan kawan-kawan mereka yang datang
dari Jati Anom bersama dengan Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru
dipimpin oleh seorang perwira.
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu,
dan Swandaru mulai mengangkat kepala mereka, memandang berkeliling.
Dipandanginya wajah-wajah yang sudah lama ditinggalkannya. Beberapa orang yang
akrab dengan mereka segera mendekatinya dan bercakap-cakap dengan asyiknya. Hudaya,
Sonya, dan beberapa orang lain. Jagabaya Sangkal Putung dan anak-anak muda yang
lain.
Tetapi Ki Tanu Metir, Agung.
Sedayu, dan Swandaru itu pun terkejut ketika kemudian seorang laki-laki berdiri
di hadapan mereka sambil tersenyum. Rambutnya yang telah mulai memutih serta
kerut-merut di dahinya menyatakan bahwa sudah melampaui setengah abad ia
menghuni dunia ini.
“Kau, Adi,” desis Ki Tanu
Metir itu.
“Ya, Kakang Tanu Metir. Aku.
sekarang berada di kademangan ini.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sejenak kemudian ia berkata, “Syukurlah.
Apakah kau sudah dibebaskan dari setiap persoalan?”
“Aku tidak tahu, Kakang.
Tetapi aku mendapat kesempatan dan kepercayaan membantu Angger Widura di sini.”
Ki Tanu Metir masih
mengangguk-anggukan kepalanya, Ketika ia berpaling dan memandangi wajah Widura,
maka Widura itu pun menganggukkan kepalanya pula.
“Sudah berapa lama kau berada
di tempat ini?” bertanya Ki Tanu Metir.
Tetapi sebelum ia menjawab,
maka berkatalah Widura, “Marilah. Aku persilahkan Kiai masuk.”
“Marilah,” sambung Ki Demang.
“Ah, maafkan. Aku hampir kehilangan akal ketika aku melihat gadisku kembali.”
Mereka pun segera masuk ke
pringgitan. Ki Tanu Metir dengan kawannya berbicara, Agung Sedayu, Swandaru. Ki
Demang Sangkal Putung, Widura, dan perwira yang datang dari Jati Anom, beserta
beberapa orang lain.
Ketika mereka duduk di dalam
pringgitan itu, mereka masih mendengar isak Nyai Demaug dan Sekar Mirah. Mereka
mendengar pula beberapa perempuan bertanya-tanya tidak henti-hentinya, seperti
berpuluh-puluh burung sedang berkicau bersama-sama.
Setelah saling menanyakan
keselamatan masing-masing, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Tidak ada
kesenangan melampaui kesenanganku hari ini, Ngger. Ternyata anakku itu dapat
aku ketemukan kembali.”
Tak ada yang menyahut, tetapi
hampir semuanya menganggukkan kepala mereka.
“Aku harus mengadakan
keramaian untuk menyambut anakku itu,” berkata Ki Demang kemudian. Tetapi
Widura yang duduk di sampingnya agaknya mempunyai pendapat lain.
Sebagai seorang perwira yang
memimpin prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung ia mempunyai
pertimbangan-pertimbangan tentang keamanan dan keselamatan daerahnya. Keramaian
dalam keadaan ini agaknya masih belum dapat disetujui oleh Widura.
Meskipun demikian Widura tidak
segera memotong kata-kata Ki Demang yang dilanjutkannya, “Aku akan memotong
kerbau dan sapi berapa saja diperlukan untuk menjamu seluruh penduduk
Kademangan Sangkal Putung dan para prajurit yang berada di sini. Kegembiraan
ini bukan saja kegembiraan buat keluargaku, tetapi juga kegembiraan seluruh
rakyat Sangkal Putung. Meskipun kita tidak dapat menangani pembebasan Sekar
Mirah itu sendiri, tetapi dengan demikian Sangkal Putung telah terlepas dari
aib yang akan dapat menodai sepanjang umur kita, bahkan akan selalu dikenang
oleh anak cucu kita bahwa kita pernah kehilangan seorang gadis tanpa berbuat
sesuatu. Tetapi sekarang, atas bantuan beberapa pihak, Sekar Mirah telah
terbebaskan. Aku harus menyatakan kegembiraan itu. Sebagai pernyataan terima
kasihku, terutama kepada Yang Maha Kuasa, yang telah memperkenankan semuanya
itu terjadi.”
Dibiarkannya Ki Demang
melimpahkan segala perasaannya. Widura mengerti, bahwa perasaan yang demikian
itu tidak akan dapat ditahan-tahankannya. Apabila pelepasan perasaannya itu
dapat dikendalikan.
Tetapi agaknya Ki Demang telah
merasa puas melepaskan kata-kata yang menyesak di dadanya. Orang tua itu pun
kemudian terdiam.
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi, seperti sedang dijamah hantu. Masing-masing duduk sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di ruang dalam masih terdengar isak
tangis Nyai Demang dan Sekar Mirah. Bahkan beberapa perempuan yang lain dan
pelayan Sekar Mirah yang gemuk itu pun menangis pula. Lebih keras dari Sekar
Mirah sendiri.
“Untung, bukan aku yang
diambilnya,” tangis pelayan yang gemuk itu. “Seandainya aku maka aku pasti
telah mati membeku.”
“Siapa yang mengambilmu itu?”
bertanya suara yang lain.
“Seandainya, ya, seandainya
saja yang diambil Sidanti itu aku, maka aku pasti akan mati di tengah jalan,
selama aku dibawa ke sarang hantu itu.”
“Buat apa Sidanti
mengambilmu?” terdengar suara lain pula.
Tiba-tiba perempuan yang gemuk
itu menyadari dirinya. Sekar Mirah diambil karena kecantikannya. Karena itu
maka jawabnya, “Tidak. Sidanti tidak akan mengambil aku. Tetapi seandainya
orang lain pun yang mengambil, aku akan mati pula.”
“Tidak ada orang yang berpikir
begitu gila untuk mengambilmu,” teriak Swandaru jengkel dari pringgitan. “Orang
itu harus membawa gerobak untuk mengangkutmu.”
Pelayan yang gemuk itu
terkejut. Ia tidak menyangka bahwa suaranya itu didengar oleh orang-orang yang
duduk di pringgitan. Dengan demikian maka mulutnya pun segera terkatup. Bukan
saja ia tidak berani berbicara lagi, tetapi tengisnya pun tiba-tiba terdiam pula.
Dan sejenak kemudian barulah
Widura berkata, “Ki Demang. Aku akan senang sekali ikut menyelenggarakan
keramaian itu. Para prajurit pun pasti akan senang sekali menerima rangsum yang
jauh lebih baik dari rangsumnya sehari-hari. Apalagi apabila Ki Demang
menyelenggarakan wayang beber semalam suntuk. Alangkah senangnya. Tetapi Ki
Demang, aku kira kita harus mempertimbangkan waktu. Kapan saja keramaian itu
dapat diadakan, sesudah kita pasti bahwa keramaian itu tidak akan terganggu.”
Wajah Ki Demang tiba-tiba
menjadi berkerut-merut, Perlahan-lahan ia bergumam, “Ya, ya. Benar. Aku
melupakan keadaan terakhir di kademangan ini. Setelah beberapa saat kami bebas
dari ketakutan dan kegelisahan, tiba-tiba suasana yang demikian itu kini
dimulai lagi.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Ya. Itu harus dipertimbangkan. Tamu-tamu kita ini pun
harus tahu keadaan kita di sini.”
“Aku sudah mendengar,” sahut
perwira yang datang dari Jati Anom.
“Dari siapa kau mendengarnya?”
“Dari para peronda yang aku
temui di luar induk kademangan.”
“Begitulah keadaan kami di
sini,” berkata Widura. “Aku sudah berusaha untuk mencari sebab dari kematian
dan hilangnya beberapa orang peronda. Tetapi aku belum menemukannya.”
“Kau akan segera mengerti,”
sahut perwira itu. “Aku ingin mendapat kesempatan untuk menyampaikan pesan Ki
Untara kepadamu, Kakang Widura.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Tidak ada orang lain di sini. Katakanlah.”
Perwira itu menebarkan
pandangan matanya berkeliling. Seolah-olah ingin mengenal setiap orang yang ada
di dalam pringgitan itu. Kemudian dipandanginya pintu yang terbuka, yang
menghubungkan ruangan itu dengan ruangan dalam.
“Apakah perempuan-perempuan
itu tidak boleh mendengarnya?” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Sebenarnya tidak ada keberatannya, tetapi apakah berita
ini dapat membuat mereka gelisah dan orang-orang di seluruh kademangan ini
menjadi gelisah, itulah soalnya.”
“Tutuplah pintu itu,
Swandaru,” berkata Ki Demang. “Kalau Angger berbicara tidak terlampau keras
mereka tidak akan mendengar.”
Perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sama sekali bukan rahasia,” katanya. Tetapi ia
terdiam lagi. Memandanginya seorang yang rambutnya sudah memutih yang duduk di
samping Ki Tanu Metir.
Rasa-rasanya ia pernah melihat
orang itu, tetapi perwira itu tidak dapat lagi mengingatnya, kapan dan di mana.
Sejak ia datang ke Sangkal Putung untuk menggabungkan diri pada Untara, maka ia
tidak melihat orang itu.
“Apakah ia orang kademangan
ini yang pada saat aku singgah di sini sebelum aku berangkat ke Jati Anom
kebetulan tidak ikut menemui prajurit-prajurit Pajang di sini?” pertanyaan itu
timbul di dalam hatinya. Tetapi kemudian dibantahnya sendiri, “Bukan, pasti
bukan. Ia bukan sekedar orang kademangan. ini. Sorot matanya adalah sorot mata
yang terlampau tajam dan dalam.”
Agaknya Widura melihat
keragu-raguan perwira itu, sehingga dengan demikian maka ia perlu bertanya
kepada perwira itu, “Apakah kau belum pernah melihatnya?”
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Dan dijawabnya dengan jujur, “Aku merasa pernah mengenalnya, tetapi
di mana dan kapan aku tidak ingat lagi.”
“Aku kira kau memang pernah
melihatnya. Di Jipang barangkali?”
Perwira itu mencoba
mengingat-ingat. Sebelum pecah perang yang sama-sama tidak dikehendaki itu,
antara Pajang dan Jipang, ia memang pernah pergi ke Kadipaten Jipang, menjadi
salah seorang pengawal Ki Gede Pemanahan.
“Apakah orang ini orang
Jipang, dan kenapa ia berada di sini?” pertanyaan itu tumbuh pula di dalam
hatinya. “Sayang aku tidak sempat melihat orang-orang Jipang yang menyerah
sebelum aku bertugas di sini itu. Mungkin orang ini salah seorang daripadanya.”
Orang tua yang sedang
dipercakapkan itu sendiri hanya tersenyum-senyum saja. Sekali ia menengadahkan
wajahnya dan sekali-sekali kepalanya ditundukkannya.
“Kau masih. belum ingat?”
bertanya Widura.
Perwira itu menggelengkan
kepalanya, “Belum.”
“Nah, Kiai. Cobalah
memperkenalkan dirimu kepada utusan Untara ini. Sebab kelak Untaralah yang akan
menerima Kiai di sini secara resmi.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dalam nada yang datar, “Ya, Ngger. Aku
memang termasuk salah seorang dari Kadipaten Jipang. Mungkin Angger memang
pernah melihat aku.”
Perwira itu mengangguk-angguk
pula.
“Seperti barangkali Angger
pernah juga melihat Ki Tambak Wedi di Kepatihan Jipang, karena Ki Tambak Wedi
pun termasuk salah seorang kawan dari Ki Patih Mantahun.”
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Dari keterangan itu ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang tua
ini pun adalah salah seorang kawan Ki Patih Mantahun. Patih yang hampir-hampir
tidak ada lawannya itu. Untunglah bahwa Pajang juga memiliki orang-orang yang
mampu mengimbangi kekuatan dan kesaktian ki Patih Mantahun.
Dengan demikian maka orang ini
pun pasti seorang yang memiliki kekuatan ilmu seperti Ki Patih Mantahun dan Ki
Tambak Wedi.
“Tetapi apa kerjanya di sini?”
ia bertanya pula kepada dirinya sendiri.
Orang tua itu melihat berbagai
pertanyaan bergelut di dalam pandangan mata perwira yang selalu memandanginya
dengan saksama. Maka katanya kemudian, “Angger pasti tidak akan terkejut
mendengar namaku. Bahkan mungkin belum pernah mendengarnya sama sekali, karena
aku hanya seorang abdi saja di Kepatihan Jipang. Namaku adalah Sumangkar.”
“He,” perwira itu terperanjat.
Nama itu telah pernah didengarnya dan bahkan cukup menggetarkan jantungnya.
“Sumangkar,” ia mengulanginya.
“Ya, Ngger, aku adalah
Sumangkar. Seorang abdi Kepatihan Jipang, yang hanya karena kebetulan saja aku
menjadi saudara seperguruan Ki Patih Mantahun.”
Perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditatapnya wajah Widura, seolah-olah
ia ingin mendapat keterangan, kenapa Sumangkar itu berada di Sangkal Putung.
Pertanyaan itu sebenarnya
tidak saja bergolak di dalam dada perwira itu saja, tetapi di dalam dada
Swandaru, Agung Sedayu, dan bahkan Ki Tanu Metir.
Widura dapat menangkap siratan
sorot mata perwira itu dan mereka yang baru saja datang dari Jati Anom. Karena
itu maka ia pun berkata, “Mungkin kehadiran Paman Sumangkar di sini dapat
menumbuhkan berbagai macam pertanyaan. Pertanyaan yang sebenamya tumbuh pula di
dalam dadaku. Tetapi aku kira Paman Sumangkar dapat pula menjelaskannya.”
Orang tua yang rambutnya telah
menjadi keputih-putihan itu berkata, “Ya. Jangankan pada diri Angger sekalian,
dan pada Kakang Tanu Metir yang sering menyebut dirinya Kiai Gringsing ini. Aku
sendiri pun semula terkejut menerima keputusan Ki Gede Pemanahan, bahwa aku
harus pergi ke Sangkal Putung.”
“Apa katanya?” potong Ki Tanu
Metir.
“Aku diperbantukan kepada
Angger Untara dan Angger Widura. Menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan, Ki
Tambak Wedi pasti akan menumbuhkan bahaya yang akan dapat lebih besar dari
bahaya yang pernah ditimbulkan oleh Tohpati di daerah ini. Ki Gede Pemanahan
menilai Tohpati masih lebih baik dari Ki Tambak Wedi. Tohpati, meskipun masih
cukup muda, tetapi ia memiliki kematangan sikap. Ia bukan seorang yang
membiarkan dirinya diombang-ambingkan oleh nafsu saja. Tohpati telah memilih
sasaran yang dianggapnya perlu, dan ia tidak akan berbuat lain daripada menuju
kepada sasaran yang telah ditentukannya, meskipun ada juga satu dua orang
bawahannya yang sering berbuat lain. Tetapi, Tambak Wedi adalah seorang yang
licik. Seorang yang jauh lebih berbahaya dari Tohpati. Justru karena ilmunya
yang tinggi dan kelicikannya itulah.”
Ki Tanu Metir dan orang-orang
lain yang mendengar keterangan Sumangkar itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka dapat mengerti alasan Ki Gede Pemanahan untuk mengirimkan seseorang yang
cukup kuat menghadapi Ki Tambak Wedi. Tetapi kenapa yang dikirim justru
Sumangkar?
Meskipun pertanyaan itu tidak
terucapkan, namun agaknya orang tua itu dapat menangkap dari sorot mata,
beberapa orang yang duduk di pendapa itu. Maka katanya, “Aku tidak tahu kenapa
pilihan itu jatuh kepadaku. Aku tidak tahu kenapa Ki Gede Pemanahan tidak
menunjuk orang lain. Tetapi dengan demikian aku mengucapkan banyak terima kasih
atas kesempatan ini. Mungkin aku dianggap tidak berbahaya lagi bagi Pajang,
atau barangkali dosaku tidak dianggap terlampau besar sehingga cukup alasan
untuk menggantung aku di alun-alun. Aku tidak tahu.”
Ki Tanu Metir masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Dosamu memang tidak terlampau besar.
Di saat-saat terakhir kau menunjukkan sikap yang dapat menolong dirimu
sendiri.”
“Penyerahan itu?” bertanya
Sumangkar.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya. Penyerahan itu. Kita dapat membedakan
sikap yang didasari oleh alasan yang berbeda untuk menyerah. Dan kau ternyata
menyerah karena di dalam dirimu telah tumbuh kesadaran, bahwa perlawananmu
tidak akan berguna. Bukan karena keringkihan pasukanmu, tetapi secara lahir
maupun batin, perbuatan maupun tujuan, kau menganggap bahwa perlawanan itu
tidak akan ada gunanya buat kepentingan apa pun.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mungkin alasan itu pulalah yang dipakai oleh Ki Gede Pemanahan atas
persetujuan Adiwijaya.
“Satu-satunya yang dapat
dimengerti adalah alasan itu.”
“Ternyata bukan aku saja yang
mendapat pengampunan. Setelah dipertimbangkan, maka sebagian kecil dari para
prajurit Jipang telah dipekerjakan pula oleh Ki Gede Pemanahan untuk membantu
pasukan-pasukan Pajang yang sedang bertugas. Selebihnya masih dalam
pengawasan.”
“Ya, perlakuan atasmu dan
orang-orangmu yang menyerah akan berbeda sekali dengan orang-orang Jipang yang
menyerah di Tambak Wedi,” sahut Ki Tanu Metir.
“Bagaimana dengan mereka?”
bertanya Sumangkar. Ki Tanu Metir tidak menjawab. Dipandanginya perwira yang
memimpin serombongan kecil prajurit yang datang bersamanya. Agaknya prajurit
itu mengerti maksud Kiai Gringsing, bahwa kewajibannyalah untuk menyampaikan
persoalan prajurit-prajurit Pajang yang telah menduduki Tambak Wedi.
Perwira itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Inilah yang akan aku sampaikan kepada Kakang
Widura. Dengan demikian Kakang Widura akan mendapat gambaran yang lengkap
tentang keadaan di Jati Anom dan di padepokan Tambak Wedi.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Ya, aku memerlukan keterangan itu selengkap-lengkapnya
supaya aku dapat memperhitungkan keadaanku di sini.”
Sekali lagi perwira itu
memandangi Sumangkar yang duduk di samping Kiai Gringsing. Orang itu adalah
orang yang penting bagi Jipang. Namanya telah dikenalnya dengan baik tetapi
orangnya baru sekali dua kali dilihatnya, sehingga ketika ia melihat kali ini
untuk pertama kali, ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang itulah yang
bernama Sumangkar.
Tetapi Ki Gede Pemanahan telah
mengirimkannya kepada Widura pasti dengan bukti-bukti yang dapat meyakinkan
Widura, sehingga Widura dapat menerimanya dengan tanpa ragu-ragu.
Widura yang segera ingin
mendengar keterangan perwira itu tentang Tambak Wedi, melihat bahwa perwira itu
masih disaput oleh keragu-raguan betapapun tipisnya. Karena itu, maka ia
berkata, “Kedatangan Ki Sumangkar kemari disertai oleh dua prajurit yang membawa
penjelasan dari Ki Gede Pemanahaan di atas rontal.”
Perwira itu mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia pun tersenyum, seperti juga Sumangkar yang
tersenyum pula mendengar penjelasan Widura itu.
“Baiklah,” berkata perwira
itu, “aku akan bercerita tentang Tambak Wedi kecuali pesan-pesan yang khusus
hanya dapat aku sampaikan kepada Kakang Widura di sini.”
“Ya,” sahut Widura.
Maka perwira itu pun kemudian
menceritakan apa yang telah terjadi di Padepokan Tambak Wedi. Semuanya. Tidak
ada yang dilampauinya. Sejak Ki Tanu Metir sampai di Jati Anom dan berhubungan
dengan anak muda yang bernama Wuranta. Kemudian permainan Wuranta yang
berbahaya. Hubungan Wuranta dengan Alap-Alap Jalatunda dan kemudian keretakan
hubungan antara Alap-Alap Jalatunda dan Sidanti.
Orang-orang yang berada di
ruangan itu mendengarkan keterangan perwira itu dengan saksama. Swandaru, Agung
Sedayu, dan Ki Tanu Metir yang mengalami peristiwa-peristiwa itu sendiri pun,
mendengarkannya dengan penuh minat. Kadang-kadang terasa betapa berbahaya
permainan yang telah mereka lakukan dan dilakukan oleh Wuranta. Tetapi pada
saat-saat mereka melakukannya, maka bahaya itu seolah-olah tidak mereka lihat.
Urung-urung di Padepokan
Tambak Wedi itu pun telah direnanginya. Swandaru masih teringat, bahwa kepalanya
telah membentur langit-langit urung-urung itu. Seandainya benturan itu terjadi
cukup keras, dan ia pingsan selagi masih berada di bawah urung-urung itu, maka
ia pasti tidak akan, dapat menyelesaikan tugasnya dan bertemu kembali dengan
adiknya. Tetapi betapapun berbahayanya, namun usaha harus dilakukan.
Widura seolah-olah terpaku
mendengar ceritera itu. Terbayang peristiwa-peristiwa itu terjadi di depan
matanya. Ternyata menghadapi Tambak Wedi tidak lebih ringan dari menghadapi
Tohpati.
Hanya karena keadaan yang
khusus sajalah, maka Untara dapat menyelesaikan tugasnya dengan cepat. Keadaan
yang memberinya kesempatan. Ternyata Sekar Mirah yang diambil oleh Sidanti dari
Sangkal Putung hanya mempercepat keruntuhan Tambak Wedi itu saja.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Widura itu berkata, “Jadi kini Padepokan Tambak Wedi itu telah
pecah?”
“Ya,” jawab perwira yang
ditugaskan oleh Untara itu.
“Dan Ki Tambak Wedi sendiri
beserta Sidanti dan Argajaya mampu melepaskan diri?”
“Ya.”
“Dengan demikian kita dapat
menilai keadaan,” gumam Widura seolah-olah kepada diri sendiri. “Kehilangan
yang kami alami di sini pasti ada sangkut pautnya yang erat dengan ketiga orang
yang berhasil lolos itu.”
“Itu sudah pasti.”
Widura menarik nafas panjang.
Tanpa dikehendakinya maka ia berpaling kepada Ki Sumangkar. Katanya, “Agaknya
perhitungan Ki Gede Pemanahan cukup tajam. Meskipun tidak tepat benar, tetapi
kelicikan Ki Tambak Wedi benar-benar telah dibuktikannya tanpa malu-malu. Aku
di sini telah kehilangan beberapa orang peronda. Agaknya orang-orang itu ingin
melepaskan dendamnya.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Jawabnya, “Ya, orang tua itu benar-benar tidak tahu diri.”
“Kemudian adalah kewajibanmu,
Adi,” sahut Ki Tanu Metir. “Kau, harus menyelesaikan Tambak Wedi bersama kedua
orang yang mengikutinya itu.”
Sumangkar tersenyum.
Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Kemudian katanya, “Perhitungan Ki Gede
Pemanahan yang lain juga cukup mengenai sasaran. Menurut Ki Gede Pemanahan,
meskipun di Sangkal Putung ada seorang yang bernama Kiai Gringsing, tetapi
orang itu tidak dapat diikat oleh suatu kewajiban, karena ia bukan seorang
prajurit. Begitu?”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah.
“Ki Gede Pemanahan belum dapat
mengerti dengan tepat, siapakah Ki Tanu Metir itu. Ia hanya menduga dari
keterangan yang didengarnya. Dari puteranda Mas Ngabehi Loring Pasar, dan dari
orang-orang yang pernah bergaul rapat dengan Kakang. Akhirnya Ki Gede Pemanahan
berkata ‘Orang iu adalah orang yang mempunyai perhitungan-perhitungan
tersendiri. Karena itu, maka harus ada orang lain yang pasti dapat dihadapkan
kepada Ki Tambak Wedi yang dapat saja berbuat aneh.’ Dan orang itu adalah aku.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Kemudian bertanya, “Apa kata Ki Gede tentang aku?”
Sumangkar Tersenyum. “Tidak
apa-apa. Hanya begitulah. Ki Gede hanya dapat menduga-duga, siapakah Ki Tanu
Metir itu.”
“Kenapa harus menduga-duga.
Bukankah setiap orang di sini tahu, bahwa orang inilah, dukun inilah yang
bernama Ki Tanu Metir.”
“Salahmu sendiri,” sahut
Sumangkar.
“Kenapa pula salahku?”
“Kakang Tanu Metir tidak
pernah berdiri berhadapan langsung dengan Ki Gede Pemanahan agaknya. Kalau Kiai
Gringsing tidak selalu menghindar ketika Ki Gede datang kemari, maka Ki Gede
akan dapat berkata dengan tegas. O, Ki Tanu Metir itu adalah orang ini, dukun
yang aneh dari Dukuh Pakuwon.”
“Ki Gede Pemanahan memang
belum pernah mengenal aku.”
“Ya, memang belum pernah
mengenal Ki Tanu Metir atau Kiai Gringsing. Tetapi dalam bentuk-bentuknya yang
lain?”
“Ah, sudahlah. Kau dan Ki Gede
Pemanahan bersama-sama sedang memimpikan hal-hal yang tidak pernah ada,” potong
Kiai Gringsing. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Maaf Angger, agaknya percakapan
ini agak berkisar kepada persoalan yang tidak bemanfaat bagi Angger di sini.”
Tetapi Kiai Gringsing justru
melihat Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku menemukan Kiai
Gringsing dalam keadaan yang khusus. Kemudian aku menyangka bahwa aku adalah
orang yang akhirnya dapat mengenalnya setelah Kiai tidak lagi bermain-main
dengan topeng. Ternyata topeng Kiai berangkap tujuh.”
“Ah, ada-ada saja. Kalian
sudah dijalari penyakit mimpi. Sudahlah. Sekarang bagaimana dengan Tambak Wedi,
Sidanti, dan Argajaya? Kalian hanya membuat anak-anakku menjadi semakin
bingung. Untunglah Angger Agung Sedayu pernah mendatangi aku di rumahku,
sehingga baginya tidak ada lagi persoalan tentang Ki Tanu Metir.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi sebenarnya pertanyaan yang demikian itu sudah lama pula bersarang di
dalam dirinya. Pertama sekali ia melihat orang tua itu sebagai seorang dukun.
Hanya seorang dukun yang selalu mencoba mengobati orang-orang yang sakit dengan
berbagai macam dedaunan. Hanya itu, tidak lebih. Namun adalah mengejutkan
sekali bahwa Ki Tanu Metir itu mampu melindungi kakaknya. Bahkan kemudian
mengambil peranan yang pasti di dalam penyelesaian masalah orang-orang Jipang
dan kemudian di Padepokan Tambak Wedi.
Tetapi beberapa orang lain di
dalam ruangan itu benar-benar duduk terpaku tanpa dapat mengerti arah
pembicaraan itu. Meskipun demikian mereka membiarkan saja persoalan itu
berlangsung. Tetapi ternyata Ki Tanu Metir sendirilah yang mengakhirinya, dan
menggeser pembicaraan itu kembali kepada persoalan Ki Tambak Wedi.
“Ternyata Ki Gede Pemanahan
telah berbuat tepat, bahkan seandainya Tambak Wedi belum pecah,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian. “Kedatangan adi pasti akan sangat berarti.”
“Mudah-mudahan,” sahut
Sumangkar.
“Lalu bagaimana menurut
pertimbanganmu, Angger Widura,” bertanya Ki Tanu Metir itu kemudian.
Widura tidak segera menjawab.
Perlahan-lahan ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil mempertimbangkan segala
pembicaraan itu di dalam hatinya. Ia kini mendapat gambaran yang semakin jelas
tentang peronda-perondanya yang hilang. Tidak ada orang lain yang melakukan
pembunuhan terhadap prajurit-prajurit itu selain Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya untuk sekedar memuaskan hatinya. Mereka sudah pasti tidak akan dapat
lagi mengharap untuk merebut Sangkal Putung hanya bertiga saja atau mungkin
satu dua orang yang dapat mereka temui di perjalanan mereka karena kebetulan
mereka tidak berada di Padepokan Tambak Wedi pada saat padepokan itu pecah.
Betapapun saktinya hantu lereng Merapi itu, tetapi mereka tidak akan dapat
menghadapi pasukan Widura dan anak-anak muda Sangkal Putung segelar-sepapan.
Karena itu, maka yang dapat
mereka lakukan adalah membuat kegelisahan dan kecemasan dengan cara yang sangat
licik dan kejam.
Tetapi, persoalan itu kini
sudah jelas bagi Widura. Ia sudah dapat membayangkan apa yang terjadi, sehingga
dengan demikian ia akan dapat menghadapinya. Tidak cukup dengan menambah jumlah
para peronda menjadi lima orang. Tetapi harus dilipatkan.
Sejenak kemudian barulah ia
menjawab penanyaan Ki Tanu Metir. “Kita harus lebih hati-hati Kiai. Iblis itu
seolah-olah dapat berada di segala tempat pada setiap saat dan kemudian dapat
melenyapkan diri dengan tiba-tiba.”
Tetapi Ki Tanu Metir
menggeleng, “Tidak terlampau sulit, Ngger. Setiap kali mereka bertemu dengan
para peronda, maka peronda-peronda itu lalu mereka bunuh. Mereka tidak perlu
dengan tergesa-gesa pergi. Bukankah sebelum peristiwa-persitiwa ini terjadi,
setiap peronda tidak lebih dari dua orang bersama-sama.”
Widura menganggukkan
kepalanya. “Ya Kiai.”
“Nah, sekarang Angger harus
berbuat lain.”
“Ya.”
“Tetapi di Sangkal Putung kini
telah tinggal seorang yang dapat dihadapkan langsung kepada Ki Tambak Wedi, Adi
Sumangkar ini,” berkata Ki Tanu Metir kemudian.
“Dan Kiai Gringsing,” sambung
Sumangkar.
Keduanya tersenyum. Namun
tampaklah bahwa masih ada persoalan yang membayang pada Ki Tanu Metir. Meskipun
ia masih juga tersenyum, namun tampaklah ia mengangguk-angguk perlahan.
“Adi,” berkata Ki Tanu Metir
itu kemudian, keningnya tampak berkerut. “Ada daerah lain yang dapat mengalami
nasib seperti daerah ini. Bahkan lebih parah, karena di sana tidak ada kekuatan
seperti di Sangkal Putung.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya dan bahkan Widura segera bertanya, “Jati Anom?”
Ki Tanu Metir menggelengkan
kepalanya. “Di Jati Anom ada Angger Untara dan pasukannya yang cukup kuat.
Apalagi hanya menghadapi tiga orang itu.”
Widura mengerutkan keningnya.
Dan Sumangkar bertanya, “Lalu manakah yang Kiai cemaskan?”
“Argajaya pernah mempunyai
persoalan dengan prajurit-prajurit Pajang di Prambanan. Ia pernah dikalahkan
dalam perang tanding oleh Angger Sutawijaya di ujung Gunung Baka. Mungkin
dendamnya yang semakin bertimbun-timbun itu akan dapat menumbuhkan keinginan
yang tidak terkekang seperti apa yang pernah dilakukan di daerah ini.”
Tanpa berjanji maka mereka
yang mendengarkan penjelasan Ki Tanu Metir itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Mereka pernah mendengar serba sedikit apa yang pernah terjadi di Prambanan.
Dalam pada itu, terdengar
Swandaru berkata, “Kiai pada saat itu bukankah orang-orang Prambanan, terutama
beberapa orang prajurit berpihak kepadanya?”
“Tetapi ia tahu dengan pasti,
siapakah yang tidak menyenanginya. Apalagi apabila ia sengaja singgah di tempat
itu, dan ditemuinya tanggapan yang berbeda dengan tanggapan yang pernah
didapatinya sebelum ia pergi ke Tambak Wedi. Kekecewaan yang bertimbun-timbun
ditambah dengan sifat-sifatnya yang keras dan sifat-sifat Sidanti akan sangat berbahaya
bagi Kademangan itu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti apa yang terjadi dan kira-kira dapat terjadi di
waktu yang akan datang.
“Ya, kademangan itu memerlukan
perlindungan,” desisnya.
“Apakah tidak ada perlindungan
dari prajurit-prajurit Pajang yang berada di sana seperti terhadap Sangkal
Putung dan Jati Anom,” bertanya Ki Demang Sangkal Putung.
“Daerah itu dianggap oleh
pimpinan prajurit Pajang, sebagai daerah yang tidak berbahaya karena sisa-sisa
prajurit Jipang hampir tidak tertarik sama sekali kepada daerah itu, karena
mereka terikat kepada keinginan mereka untuk menduduki lumbung di daerah ini.
Tetapi pimpinan Wira Tamtama tidak akan segera melihat kepentingan yang lain
dari Argajaya, seorang tamu dari seberang hutan Mentaok, dan keadaan di
Prambanan sendiri, karena sikap para prajurit yang berada di sana. Kehadiran
Angger Sutawijaya agaknya mempunyai akibat yang baik, tetapi juga mencemaskan
apabila Argajaya datang kembali ke daerah itu, apalagi bersama dengan Ki Tambak
Wedi dan Sidanti.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak, lalu, “Hanya ada beberapa
saja prajurit yang ditempatkan di Prambanan. Semuanya itu akan tidak berarti
sama sekali bagi Ki Tambak Wedi, seandainya mereka yang sakit hati, akan dengan
mudahnya jatuh dalam pengaruh Argajaya yang keras kepala itu.”
Yang mendengarkan kata-kata
Kiai Gringsing itu dapat membayangkan bahwa Prambanan memang berada dalam
keadaan yang mencemaskan apabila ketiga orang itu benar-benar akan singgah di
sana.
Apalagi mereka yang telah
berada di Prambanan dan melihat dari dekat apa yang telah terjadi sebelumnya.
Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian menjadi sangat cemas pula. Anak-anak
muda Prambanan yang berdiri berseberangan, akan dapat menjadi kambuh kembali.
Keadaan yang demikian akan sangat mudah dimanfaatkan oleh Argajaya, Sidanti,
dan Ki Tambak Wedi untuk membuat kekisruhan, meskipun sudah pasti bahwa Ki
Tambak Wedi tidak akan dapat membuat Prambanan menjadi pancadan untuk melakukan
perlawanan terhadap Pajang, karena Prambanan tidak memiliki syarat-syarat yang
cukup untuk itu.
Dengan demikian yang dapat
mereka lakukan hanyalah perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kesan bahwa
sejak Pajang berdiri telah tumbuh keributan di mana-mana. Masalah pesisir utara
masih belum selesai seluruhnya, Sangkal Putung masih belum aman benar, kemudian
Tambak Wedi di lereng Merapi. Sebelum daerah itu bersih sama sekali maka
kembali Sangkal Putung dan kemudian ditimbulkan pula di Prambanan. Belum
terhitung keributan-keributan kecil, perampokan oleh orang-orang yang putus
asa, kejadian-kejadian yang lain di seluruh wilayah Pajang.
Tetapi, yang mencemaskan Ki
Tanu Metir sebenarnya, bukanlah Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya di dalam
perjalanan mereka pulang ke Menoreh, tetapi bagaimana sesudah itu. Bagaimanakah
sikap Ki Argapati setelah ia melihat dan mendengar, Sidanti pulang dengan luka
di hati.
Meskipun demikian, bukan
berarti bahwa Prambanan harus dibiarkan saja. Bukan berarti bahwa Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya akan mendapat kesempatan untuk melakukan apa saja
sekehendak hati mereka.
Tetapi Prambanan dalam
keadaannya seperti pada saat mereka tinggalkan, pasti tidak akan dapat berbuat
apa-apa, selain membiarkan ketiga orang itu berbuat apa saja yang mereka
kehendaki.
Dalam pada itu terdengar
Widura bergumam, “Lalu apa yang sebaiknya dilakukan untuk Prambanan?”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam, jawabnya, “Angger dapat menyampaikan laporan ini kepada Angger
Untara. Mungkin Angger Untara dapat berbuat sesuatu. Bukankah Prambanan masih
termasuk di dalam lingkungan kekuasaannya?”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya,” desisnya di dalam hati, “atasanku adalah Untara.”
Hadirnya seorang perwira dari
Jati Anom merupakan kesempatan yang baik bagi Widura. Pesan itu langsung
diserahkannya kepada perwira yang besok pagi akan segera kembali ke Jati Anom.
“Daerah itu perlu segera
mendapat perhatian.” berkata Widura. “Kedudukan prajurit-prajurit Pajang di
sana sangat lemah, sedangkan mereka tidak dapat berbuat banyak atas anak-anak
mudanya karena kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan sendiri.”
Perwira itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sendiri dapat mengerti, bahwa seharusnya Untara tidak berdiam
diri atas persoalan itu. Meskipun tidak dikatakannya, tetapi perwira itu dapat
menghubungkan dengan rencana Untara untuk mengirim beberapa orang langsung ke
daerah-daerah terpencil, yang setiap saat harus menyampaikan laporan kepadanya.
Untara memang akan segera mengirimkan pengawasan ke daerah Prambanan, dan
beberapa daerah yang mungkin dilalui oleh Sidanti apabila karena hatinya yang
panas benar-benar akan datang dengan membawa pasukan dari Menoreh. Meskipun
daerah Menoreh itu agak terpisah, tetapi keadaan alamnya ternyata telah membuat
orang-orangnya menjadi kuat dan keras hati, seperti Sidanti dan Argajaya.
Tetapi, baik Untara, Ki Tanu
Metir, maupun Widura sebenarnya masih mempunyai harapan, bahwa Argapati tidak
segera terbakar mendengar laporan anak dan adiknya. Argapati meskipun seorang
yang keras hati pula, tetapi ia mampu membuat pertimbangan-pertimbangan yang
masak menghadapi setiap persoalan. Namun Argapati bagi orang-orang Pajang,
bukanlah nama yang seharusnya sangat dicurigai. Tetapi bagaimana dan sampai
seberapa jauh pengaruh Ki Tambak Wedi atasnya, itulah yang tidak dimengerti.
Pertemuan itu pun kemudian
diakhiri setelah beberapa orang pelayan menghidangkan makan bagi mereka. Betapa
sederhananya, namun terasa bahwa makanan yang mereka suapkan ke dalam mulut
mereka adalah makanan yang selezat-lezatnya.
Setelah mereka selesai, maka
Ki Demang pun segera meninggalkan ruangan itu. Ia ingin bertemu dengan
puterinya yang telah sekian lama terpisah. Swandaru dan Agung Sedayu beserta
beberapa orang yang lain meninggalkan ruangan itu pula.
“Silahkan kau beristirahat,
Adi,” berkata Widura kepada perwira yang datang dari Jati Anom.
“Baik, Kakang, tetapi aku
memerlukan kesempatan untuk berbicara. Aku ingin menyampaikan pesan Ki Untara,
yang harus langsung aku sampaikan kepadamu.”
Widura mengerutkan keningnya.
“Baiklah,” katanya, “apakah soalnya?”
“Pesan pribadi,” sahut perwira
itu.
Kening Widura masih berkerut.
Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Kau akan mendapat
cukup kesempatan. Sekarang, silahkanlah beristirahat.”
Perwira itu pun kemudian
meninggalkan ruangan itu pula. Di pendapa ia melihat orang-orangnya sedang
makan pula. Sambil tersenyum ia berkata, “Makanlah, aku sudah cukup kenyang.”
Kemudian ditemuinya beberapa
orang kawan-kawannya yang berada di Sangkal Putung bersama dengan Widura.
Mereka saling berceritera tentang diri masing-masing.”
Dalam pada itu, Ki Tanu Metir
dan Sumangkar masih tinggal bersama-sama dengan Widura. Ketika di dalam ruangan
itu sudah tidak ada orang lain, maka Ki Tanu Metir pun berkata “Aku pun membawa
pesan pribadi untukmu, Ngger.”
Widura mengerutkan keningnya.
Dipandanginya Ki Tanu Metir dan Sumangkar berganti-ganti, seolah-olah ia ingin
bertanya, apakah pesan itu dapat didengar oleh Sumangkar.
Tetapi sebelum ia bertanya, Ki
Tanu Metir berkata, “Pesan pribadi Angger Untara agaknya berhubungan dengan
pesan yang dibawa oleh perwira bawahannya itu pula.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian bertanya, “Apakah Untara berpesan kepadanya dan kepada Kiai
bersama-sama?”
“Tidak,” sahut Ki Tanu Metir.
“Pesan yang aku bawa agak berbeda segi pandangannya dengan pesan yang dibawa
oleh perwira itu.”
Kening Widura menjadi semakin
berkerut-merut. “Bagaimana dapat terjadi demikian?”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Ketika ia melihat Widura sekali lagi memandang Sumangkar, maka berkatalah Ki
Tanu Metir, “Tidak apa-apa. Biarlah Adi Sumangkar mendengarnya.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam.
“Pesan itu menyangkut
kemanakan Angger, Agung Sedayu,” berkata Ki Tanu Metir kemudian. “Pendapat
Angger Untara ternyata agak berbeda dengan pendapatku. Agaknya Angger Untara
tidak begitu senang dengan keinginanku untuk membawa Angger Agung Sedayu
menempuh jalan yang diingininya.” Kemudian dengan agak berbisik Ki Tanu Metir
berkata, “Ada sangkut pautnya dengan Angger Sekar Mirah. Agaknya Angger Untara
ingin melihat adiknya tumbuh tanpa terganggu, apalagi oleh seorang wanita.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam, “Aku mempercayainya, Kiai. Demikianlah
agaknya sifat Untara, seorang anak muda yang berada dalam jabatannya sekarang.
Semua segi pandangan hidupnya terlampau dipengaruhi oleh tugasnya itu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Lalu diceriterakan sikap sebenarnya dari
Untara terhadap adiknya. Dikatakannya pula bagaimana ia mencari penyelesaian
yang sebaik-baiknya dengan tidak terlampau menyinggung perasaan keduanya,
apalagi membenturkan sikap kakak beradik itu.
“Aku sependapat dengan Kiai,”
berkata Widura kemudian. “Memang Untara bersikap terlampau keras apabila
demikian. Ia seorang senapati yang menganggap semua persoalan dapat diatasinya
dengan sikap seorang senapati perang. Aku akan mencobanya sebagai seorang
paman, bukan sebagai seorang perwira bawahannya.”
“Mudah-mudahan,” desis Ki Tanu
Metir. “Tetapi untuk sementara aku telah mendapat jalan. Membawa Angger Agung
Sedayu pergi. Kemana saja untuk mendapatkan pengalaman yang akan berguna bagi
masa depannya.”
“Kemana?” bertanya Widura.
Ki Tanu Metir mengerutkan
dahinya yang telah dilukisi oleh garis-garis usianya yang semakin tua.
“Angger Widura,” berkata orang
tua itu, “seperti yang telah aku katakan, jalan ke Menoreh kini berada dalam
bahaya. Apabila Ki Tambak Wedi membiarkan Sidanti dan Argajaya melepaskan
dendamnya di sepanjang jalan, maka keadaan daerah-daerah yang dilaluinya cukup
mencemaskan, apalagi Prambanan.”
“Lalu?” wajah Widura menjadi
menegang.
“Kami, maksudku aku, Agung
Sedayu, dan Swandaru akan menyusur jalan itu pula.”
“Oh,” Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bergumam, “Apakah Kiai beranggapan
bahwa Sidanti telah mulai dengan perjalanan itu sekarang?”
“Belum,” sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi apabila Ki Tambak Wedi mengetahui bahwa aku dan Adi Sumangkar berada di
sini, ia pasti segera akan pergi.”
“Baru kemarin dulu aku masih
kehilangan dua orang peronda dekat sekali dari induk kademangan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Ketika ia berpaling ke arah Ki Sumangkar,
maka orang itu segera berkata, “Aku belum dapat berbuat apa-apa. Aku belum
mulai, dan wilayah Sangkal Putung terlampau luas. Ki Tambak Wedi dapat berada
di segala arah. Itulah yang masih harus aku usahakan, agar aku dapat
menjumpainya.”
“Ya, ya aku tahu,” sahut Ki
Tanu Metir. Kemudian kepada Widura ia berkata, “Kita harus mencoba bertemu
dengan orang-orang itu. Sebelum aku pergi, aku akan berusaha bersama Adi
Sumangkar. Tetapi apabila usaha itu tidak membawa hasil apa pun, aku akan
segera pergi ke Prambanan. Ada dua keuntungan. Bagi Prambanan dan bagi
murid-muridku. Agaknya kami tidak akan berhenti di Prambanan untuk seterusnya,
tetapi kami akan langsung menuju ke barat, melintasi Hutan Mentaok, dan
memasuki daerah Menoreh.”
Wajah Widura menjadi semakin
menegang.
“Kami ingin tahu langsung,
apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti di daerahnya sendiri. Apakah ia akan
menyusun kekuatan dan dibawanya ke Sangkal Putung atau Tambak Wedi, atau bahkan
langsung menusuk jantung Pajang, atau rencana-rencana yang lain yang mungkin
akan lebih berbahaya.”
“Kiai,” berkata Widura
kemudian, “apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya bagi Kiai dan kedua
anak-anak itu?”
“Mereka memerlukan pengalaman,
Ngger. Sebelum aku berangkat, aku masih akan membuat kedua anak-anak itu
semakin banyak mempunyai bekal di dalam diri masing-masing. Setiap malam kami
berada di Gunung Gowok. Apakah Angger akan ikut serta? Menyenangkan sekali
apabila tiba-tiba Ki Tambak Wedi muncul pula untuk ikut berlatih. Dengan
demikian aku tidak perlu lagi menempuh jalan yang terlampau panjang. Tidak
perlu lagi melintas Hutan Mentaok mendaki Pegunungan Menoreh.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Perjalanan itu adalah perjalanan yang cukup berbahaya. Memang
Agung Sedayu dan Swandaru memerlukan pengalaman buat hari depannya, tetapi
untuk langsung masuk ke daerah Menoreh akan mengandung kemungkinan yang sangat
pahit.
Meskipun demikian, maka ia
harus mempercayai Ki Tanu Metir yang memiliki ilmu dan pengalaman jauh lebih
banyak daripada Widura itu sendiri.
“Angger Widura,” berkata Ki
Tanu Metir, “sekarang perkenankan aku beristirahat pula. Nanti Angger akan
mendengar pesan Angger Untara lewat perwira utusannya itu, yang aku kira juga
berkisar pada Angger Agung Sedayu. Mungkin Angger Widura harus mengawasinya
atau bahkan Angger Untara akan menitipkannya kepada Angger di sini.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Mudah-mudahan aku dapat memenuhi keinginan Untara tanpa
menyinggung perasaan Agung Sedayu. Bukankah Untara telah memperkendor
keinginan-keinginannya tentang Agung Sedayu?”
“Ya. Beberapa hal telah
dilepaskannya. Tetapi akulah yang harus mempertanggung-jawabkannya.”
Widura masih
mengangguk-angguk. Sahutnya, “Aku mengharap semuanya dapat teratasi.”
“Baiklah,” berkata Ki Tanu
Metir sambil mengangkat dadanya dan menarik nafas dalam-dalam, “aku minta
diri.” Kemudian kepada Sumangkar ia berkata, “Kita masih mempunyai banyak
kesempatan untuk bercerita. Marilah sekarang kita beristirahat. Aku ingin
tidur.”
”Silahkan, Kakang. Aku agaknya
terlampau banyak tidur semalam, sehingga aku tidak juga berhasil menemukan Ki
Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Kemudian ditinggalkannya ruangan itu. Untuknya telah disediakan tempat di
gandok kulon di kademangan, sehingga orang tua itu tidak usah pergi ke banjar
kademangan.
Ternyata pada malam harinya
Widura benar-benar mendapat pesan yang berkisar pada Agung Sedayu dari perwira
utusan Untara. Sebenarnya bahwa Untara minta tolong kepada Widura untuk
mengawasi adiknya yang dianggapnya kurang dapat menyesuaikan diri pada masa
perkembangannya.
Sementara itu, Swandaru, Agung
Sedayu, dan Ki Tanu Metir telah berada di Gunung Gowok. Orang tua itu berusaha
mempergunakan setiap waktu yang terluang untuk menambah ilmu kedua
murid-muridnya.
“Sebentar lagi kita akan mulai
dengan sebuah perjalanan yang barangkali kurang menyenangkan. Karena itu,
berbuatlah sejauh mungkin dapat kita lakukan di sini. Berlatihlah
sebaik-baiknya. Aku akan memberikan beberapa petunjuk-petunjuk baru.”
Kedua anak-anak muda itu pun
dengan patuh melakukannya. Kiai Gringsing ingin memberikan ciri perguruannya
lebih banyak lagi kepada kedua muridnya. Itulah sebabnya untuk seterusnya, maka
keduanya di samping memperdalam ilmu pedang, mereka juga mulai memperdalam ilmu
senjata lemas dan lentur. Kadang-kadang mereka mempergunakan cambuk, namun di
lain kesempatan mereka mempergunakan cemeti yang lentur. Bahkan kadang-kadang
mereka belajar mempergunakan pasangan daripadanya. Pedang dan cambuk di tangan
kiri, atau sebaliknya.
Sepeninggal rombongan kecil
prajurit dari Jati Anom di hari berikutnya, maka Sangkal Putung semakin
memperketat setiap pengawasan. Ketika Widura melepaskan para prajurit dari Jati
Anom untuk kembali ke induk pasukannya, terasa juga kecemasan merambati hatinya.
Bagaimanakah seandainya pasukan yang kecil itu bertemu dengan Ki Tambak Wedi di
perjalanan.
“Kami sudah siap untuk
menghadapinya, Kakang,” berkata perwira itu. “Yang mengawani aku kali ini
adalah prajurit-prajurit pilihan. Aku kira kita bersama-sama akan berhasil,
setidak-tidaknya menyelamatkan diri kami dari tangan iblis-iblis itu.”
“Mudah-mudahan,” sahut Widura.
Tetapi tawarannya untuk memberikan beberapa orang prajurit pilihan telah pula
ditolak oleh perwira itu.
“Kalau aku terpaksa diantar
kembali ke Jati Anom, maka besok Ki Untara memerintahkan untuk mengantar
prajurit-prajurit dari Sangkal Putung dan demikian pula sebaliknya, maka jalan
antara Sangkal Putung dan Jati Anom akan menjadi sangat licin.”
Keduanya tersenyum. Ki Tanu
Metir, Sumangkar, dan beberapa orang lain yang mendengar jawaban itu pun
tersenyum pula.
Ternyata di hari-hari
berikutnya, tidak terjadi persoalan-persoalan yang dapat menambah kegelisahan
orang-orang Sangkal Putung. Para peronda yang diperkuat, selalu kembali ke
gardu masing-masing dengan selamat.
“Mungkin orang-orang itu telah
pergi,” gumam salah seorang prajurit.
“Belum pasti,” tiba-tiba
terdengar jawaban di belakangnya. Ternyata Sumangkarlah yang berdiri di situ
sambil tersenyum. Katanya seterusnya, “Jangan lengah. Setiap saat bahaya dapat
menerkam kalian.”
Prajurit-prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka menyadari betapa liciknya Ki Tambak Wedi
dan Sidanti.
Ketika malam turun
perlahan-lahan di atas Kademangan Sangkal Putung, maka tiga buah bayangan telah
mulai berloncat-loncatan di pinggir Gunung Gowok. Tak ada waktu terluang bagi
Agung Sedayu dan Swandaru. Kali ini bukan saja mereka bertiga yang berada di
gumuk kecil itu, tetapi seseorang yang lain duduk dengan tenangnya melihat
anak-anak muda yang sedang berlatih itu. Orang itu adalah Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia menyaksikan kemajuan yang pesat dari murid-murid Kiai Gringsing.
Mau tidak mau maka orang tua itu harus mengaguminya. Kelincahan Agung Sedayu,
kecepatannya bergerak dan betapa tenaga Swandaru yang luar biasa kuatnya.
Namun tiba-tiba orang tua yang
duduk di atas sebuah puntuk itu memiringkan kepalanya. Lalu diangkatnya
wajahnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Aku mendengar suara panah sendaren.”
Dan belum lagi ia sempat mengulangi
kata-katanya, maka terdengarlah desing panah sendaren untuk yang kedua kalinya.
“Aku harus pergi,” orang tua
itu berkata lantang. Sebelum Kiai Gringsing menjawab, maka Sumangkar telah
meloncat ke atas punggung kudanya dan hilang ditelan gelapnya malam.
Latihan yang berat itu pun
terpaksa terhenti. Kiai Gringsing yang juga telah mendengar suara panah
sendaren itu bergumam, “Agaknya para peronda bertemu dengan iblis dari lereng
Merapi itu.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun
kemudian sempat mendengar suara panah sendaren itu pula. Bahkan kemudian sekali
lagi lamat-lamat terdengar suara desing panah sendaren yang ketiga.
“Guru,” berkata Swandaru,
“apakah kita akan pergi juga ke sana?”
Kiai Gringsing mengerutkan
teningnya. “Kami tidak membawa kuda.”
“Kita dapat berlari.”
Sejenak Kiai Gringsing
berpikir. Tetapi tentu ia tidak dapat berdiam diri seandainya yang datang itu
benar-benar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya,
“Marilah, Kita melihat apa
yang terjadi. Mudah-mudahan kita tidak terlambat.”
Mereka bertiga pun segera
pergi meninggalkan gunung Gowok. Tetapi mereka tidak berada dalam kesiagaan
sepenuh Ki Sumangkar yang merasa mempunyai tanggung jawab sepenuhnya atas Ki
Tambak Wedi, sehingga setiap saat ia seakan-akan tidak pernah terpisah dari
kudanya.
Dengan tergesa-gesa mereka
menuju langsung ke induk kademangan untuk mencari arah suara panah sendaren
itu. Menurut pengamatan Ki Tanu Metir, maka suara itu bersumber dari sebelah
utara, tidak terlampau jauh dari induk kademangan.
“Mereka memang berani,”
gumamnya di dalam hati. “Mereka berani melakukan perbuatannya itu dekat sekali
dengan induk kademangan. Mungkin mereka sengaja memancing beberapa orang
peronda dan kemudian membunuhnya. Tetapi mereka tidak tahu bahwa di sini telah
hadir Adi Sumangkar yang akan dapat mengimbangi ketangguhan Ki Tambak Wedi.”
Ketika mereka kemudian
memasuki induk kademangan, maka mereka melihat prajurit-prajurit Pajang dan
anak-anak muda Sangkal Putung telah berada di gardu masing-masing, serta yang
lain telah menuntun, kuda-kuda mereka. Setiap saat mereka akan dapat melakukan
apa saja, untuk kepentingan kademangan itu.
“Di manakah Angger Widura?”
bertanya Ki Tanu Metir kepada salah seorang prajurit pengawal kademangan.
“Ki Widura sudah berangkat,
Kiai. Berkuda bersama beberapa orang prajurit. Kami telah mendapat perintah
untuk bersiap. Setiap saat para prajurit berkuda itu harus berangkat
membantunya apabila diperlukan.”
“Kita mengambil kuda-kuda
kita,” berkata Swandaru kemudian sambil berlari ke belakang rumahnya, ke
kandang kuda.
Agung Sedayu dan Ki Tanu Metir
pun kemudian menyusulnya. Secepat-cepatnya mereka mempersiapkan kuda-kuda yang
masih berada di kandang. Kuda Ki Demang Sangkal Putung. Tetapi kuda itu hanya
dua ekor, sehingga Swandaru sendiri akhirnya mencari seekor kuda yang lain.
Ketika di halaman kademangan ia melihat segerombol anak-anak muda Sangkal
Putung, dan ada satu dua di antaranya yang menuntun kuda-kuda mereka, maka
segera kuda itu dipinjamnya.
“Aku sangat memerlukan
segera,” katanya.
Swandaru itu terkejut ketika
ia mendengar seseorang bertanya, “Kau akan pergi ke mana Swandaru?”
Suara itu adalah suara
ayahnya, Ki Demang Sangkal Putung.
“Aku harus pergi juga ayah.
Mungkin aku dapat bertemu dengan Sidanti.”
“Sendiri?”
“Tidak, bersama Kakang Agung
Sedayu dan Kiai Grinsing.”
Ki Demang Sangkal Putung
memandang ke arah yang ditunjuk oleh Swandaru di sisi regol kademangan.
Remang-remang dilihatnya dua orang yang memegangi kendali dua ekor kuda telah
siap menanti.
“Kuda-kuda itu kuda kita?”
bertanya ayahnya.
“Ya, tetapi hanya ada dua
ekor. Aku sendiri terpaksa meminjam kuda ini.”
“Hati-hatilah,” berkata
ayahnya, “kau belum mengenal tabiat kuda ini. Tetapi yang lebih berbahaya lagi
adalah Ki Tambak Wedi dan kedua orang kawannya itu.”
“Aku bersama Guru,” sahut Swandaru.
Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia melangkah di
belakang Swandaru ketika Swandaru pergi mendapatkan gurunya.
“Ki Sumangkar belum ada di
sini,” berkata Ki Demang itu. “Angger Widura berangkat tanpa orang tua itu.
Hanya beberapa orang prajurit pilihan yang memang telah disiapkannya saja yang
pergi bersamanya.
“Adi Sumangkar telah pergi
langsung mendapatkan tamunya,” sahut Kiai Gringsing.
“Oh, sokurlah,” gumam Ki
Demang itu seakan-akan kepada diri sendiri.
“Baiklah, kami segera minta
diri,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Maka mereka bertiga itu pun
segera meninggalkan halaman kademangan. Ketika mereka telah berada di jalan
yang membelah induk Kademangan Sangkal Putung, maka segera mereka memacu
kuda-kuda mereka. Semakin lama semakin cepat.
“Kita kemana Guru?” bertanya
Swandaru. “Apakah kita menyusur jalan ini lalu berbelok ke utara?”
“Ya. Kita telusuri jalan ini.
Sebelum kita sampai ke ujung kademangan, kita berbelok ke utara. Mungkin Angger
Widura mengambil jalan lain. Tetapi itu tidak penting. Setelah kita berada di
bulak, maka kita akan segera mengetahui, di mana terjadi perkelahian itu.”
Swandaru tidak menjawab. Dan
kuda-kuda mereka pun berpacu semakin cepat.
Angin malam yang sejuk
mengusap wajah-wajah yang tegang itu. Semakin cepat kuda-kuda mereka berpacu,
maka dingin malam semakin tajam, maka dingin malam semakin menyengat kulit.
Tetapi karena ketegangan hati yang semakin tajam, maka dingin itu pun tidak
begitu terasa lagi.
Dalam berpacu kuda terdengar
Kiai Gringsing berkata, “Aku tidak mendengar tanda-tanda berikutnya.”
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“mungkin Paman Widura atau Ki Sumangkar telah berada di antara mereka. Atau
bahkan keduanya.”
“Mudah-mudahan demikian,”
berkata Kiai Gringsing. “Sumangkar cukup cepat bertindak. Agaknya Angger Widura
pun tidak akan terlambat pula.”
Kedua anak-anak muda itu pun
kemudian terdiam. Mereka berusaha memacu kuda mereka semakin cepat.
Sementara itu Sumangkar pun
sedang memacu kudanya, lewat jalan sempit di antara tanaman-tanaman pategalan
yang sedang menghijau. Ia tahu tepat dari manakah arah suara panah sendaren
itu. Karena itu, maka ia langsung dapat menuju ke tempat itu. Di bulak yang
tidak terlampau luas, di samping sebuah tegalan yang agak rimbun.
“Setan-setan itu pandai
memilih tempat untuk mencegat para peronda,” desis Sumangkar di dalam hatinya.
“Mereka pasti bersembunyi di pategalan itu, lalu dengan tiba-tiba menyergap
para peronda. Untunglah bahwa salah seorang di antara mereka masih sempat
memberikan tanda sampai tiga kali berturut-turut.”
Orang tua itu sama sekali
tidak menghiraukan lagi titik-titik embun di dedaunan yang tersentuh bajunya.
Betapa dingin malam itu, namun baju Sumangkar menjadi basah. Basah oleh
keringat dan basah oleh embun.
Ternyata perhitungan Sumangkar
sama sekali tidak salah. Di ujung pategalan yang rimbun di seberang bulak, lima
orang peronda telah bertemu dengan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya yang
masih saja berkeliaran membawa dendam yang membara di hatinya, seperti hantu
yang setiap kali bangkit dari kuburnya untuk menghisap darah orang-orang yang
masih hidup.
Pertemuan itu begitu
tiba-tiba, sehingga hampir-hampir para peronda tidak sempat memberikan
tanda-tanda itu. Untunglah bahwa salah seorang dari padanya dengan cepat mampu
menjauhkan dirinya di atas punggung kudanya. Dengan kemungkinan yang ada ia
sempat melepaskan tiga buah anak panah sendaren. Selebihnya, ia harus berkelahi
dengan pedangnya.
Tetapi lawan mereka sama
sekali tidak seimbang. Sidanti dan Argajaya. Meskipun demikian, kuda-kuda
mereka sekedar dapat membantu mereka. Kecepatan kaki-kaki kuda mereka sajalah
yang mampu menyelamatkan mereka dari tangan Sidanti dan Argajaya. Agaknya Ki
Tambak Wedi masih terlampau malas untuk berbuat sesuatu.
Bahkan sambil berdiri
bersandar sebatang pohon nangka ia berkata lantang, “Sidanti, jangan segera kau
bunuh kelinci-kelinci itu. Biarlah kita pergunakan mereka sebagai umpan. Aku
ingin kawan-kawan mereka segera datang membunuh dirinya di sini. Aku mengharap
Widura sendirilah yang datang. Aku ingin melihat bagaimana Untara menangisi
mayat pamannya itu. Ia pasti akan diberitahu seandainya pamannya itu
benar-benar terbunuh.”
Sidanti dan Argajaya tidak
menjawab. Tetapi mereka senang mendengar rencana Ki Tambak Wedi. Bahkan orang
yang melepaskan panah sendaren itu pun seolah-olah diberinya kesempatan sebelum
ia melibatkan diri dalam perkelahian itu pula.
Ki Tambak Wedi melihat Sidanti
berkelahi melawan tiga orang lawannya, sedang Argajaya melawan dua orang.
Betapa kelima prajurit itu mengerahkan segenap kecakapan dan kemampuan yang ada
padanya, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu. Meskipun
kuda-kuda mereka menyambar berganti-ganti, tetapi mereka masih mendengar
Sidanti tertawa dan berkata, “He, hati-hati. Kudamu dapat terperosok ke dalam
parit.”
Prajurit-prajurit itu
menggeram, tetapi mereka menyadari, dengan siapa mereka sedang berkelahi, dan
mereka masih juga mendengar Sidanti berteriak, “Jangan mati dulu karena pokalmu
sendiri. Kami ingin menjadikan kalian umpan untuk mengundang kawan-kawanmu yang
kami ingini.”
Sama sekali tidak terdengar
jawaban. Prajurit-prajurit itu berkelahi semakin sengit. Tetapi lawan mereka
terlampau lincah. Bahkan apa yang dikatakan Sidanti benar-benar terjadi, Salah
seekor dari kuda-kuda itu terperosok ke dalam parit, sehingga penunggangnya pun
terpelanting jatuh.
“He, apakah kau sudah berputus
asa dan mencoba membunuh dirimu?” bertanya Sidanti.
Prajurit itu tidak menjawab.
Tetapi ia menyeringai menahan sakit di punggungnya.
Ki Tambak Wedi masih berdiri
saja bersandar pohon nangka. Ia mengharap Widura datang sendiri ke arena
perkelahian itu, sehingga ia akan dapat membunuhnya.
“Aku sudah jemu membunuh
kelinci-kelinci yang tidak berarti itu,” gumamnya. “Aku ingin membunuh
orang-orang yang dianggap penting di Sangkal Putung, Widura dan Demang itu
pula.”
Ki Tambak Wedi berhenti
sejenak. Diangkatnya kepalanya. Katanya kemudian, “Nah, aku mendengar derap
beberapa ekor kuda, Mudah-mudahan Widura ada di antara mereka.”
Dalam keremangan malam,
akhirnya Ki Tambak Wedi melihat iring-iringan kuda mendekatinya. “Hem,”
desisnya, “mereka terlampau sombong. Mereka datang dalam jumlah yang terlampau
kecil. Tidak sampai sepuluh orang.”
Sidanti dan Argajaya pun
sempat melihat kuda-kuda yang menjadi semakin dekat. Memang yang datang itu
tidak sampai berjumlah sepuluh orang.
“Mereka memang terlampau
sombong,” sahut Sidanti.
“Ada kemungkinan bahwa mereka
tidak tahu, bahwa kitalah yang berada di sini,” berkata Argajaya.
“Mungkin. Mungkin mereka
menyangka bahwa yang di sekitar Sangkal Putung hanyalah beberapa orang perampok
atau pencuri ayam,” sahut Ki Tambak Wedi kemudian.
Orang tua itu pun kemudian
melangkah maju. Dilihatnya Sidanti dan Argajaya yang masih saja berkelahi
melawan prajurit peronda itu.
“Guru,” bertanya Sidanti,
“apakah aku harus mengakhiri perkelahian. Bukankah mereka telah melihat dan
mengetahui bahwa kawan-kawannya berada di sini?”
Ki Tambak Wedi merenung
sejenak. Kuda-kuda yang mendatangi itu menjadi semakin dekat.
Ki Tambak Wedi berpaling
ketika ia mendengar seekor lagi jatuh terperosok. Dan seorang prajurit lagi
terpelanting jatuh di seberang parit dan terlempar ke dalam pategalan yang
ditumbuhi oleh bermacam-macam tanaman itu. Tetapi belum lagi orang itu sempat
berdiri, maka kuda yang ketiga telah jatuh pula. Kali ini tidak tergelincir ke
dalam parit, tetapi kaki depannya ternyata telah disentuh oleh tombak Argajaya.
Tiba-tiba terdengar suara Ki
Tambak Wedi lantang, “Selesaikan mereka.”
Sementara itu kuda-kuda yang
lain telah menjadi terlampau dekat. Ki Tambak Wedi membiarkan kuda-kuda itu
memencar. Sebagian meloncati parit dan berada di tengah-tengah sawah yang
becek. Yang lain berputar dari arah seberang menyeberang.
Ki Tambak Wedi berdiri tegak,
di tengah-tengah jalan di ujung pategalan yang rimbun. Dalam keremangan malam,
ia melihat seseorang yang memimpin prajurit-prajurit Pajang itu. Orang itu
adalah Widura.
“Kau, Widura,” desis Ki Tambak
Wedi.
Widura mengerutkan keningnya.
Katanya lantang, “Menyerahlah Tambak Wedi. Lepaskan perkelahian antara muridmu
dengan prajurit-prajuritku itu.”
“Jangan mimpi. Sidanti harus
membunuhnya segera.”
“Tidak terlampau mudah. Mereka
adalah prajurit pilihan.”
“Oh, itukah prajurit-prajurit
Pajang pilihan? Tiga ekor kuda mereka telah tidak dapat dipergunakan lagi. Yang
dua jatuh di parit, agaknya kaki-kakinya terkilir. Meskipun kuda-kuda itu
sempat bangun, tetapi kuda-kuda itu tidak akan dapat dipergunakan lagi. Yang
seekor sebentar lagi akan mati di tengah jalan itu.”
Widura tidak segera menjawab.
Tetapi ia mencoba melihat keadaan. Namun malam yang gelap tidak memberinya
kesempatan untuk memperhatikan perkelahian itu dengan seksama. Apalagi ia harus
selalu waspada, bahwa setiap saat Ki Tambak Wedi dapat saja melepaskan gelang-gelangnya.
Mungkin ke arahnya, tetapi mungkin juga ke arah prajurit-prajuritnya.
Widura mengangkat dahinya
ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Mungkin kau tidak dapat melihat
perkelahian itu dengan jelas Widura, sebab kami berada di tempat yang agak
gelap. Tetapi kami dapat melihat kau dan orang-orangmu lebih jelas karena kau
berada di tempat yang terbuka.”
Widura menggeram, dan sekali
lagi ia berkata lantang, “Hentikan perkelahian dan menyerahlah.”
“Jangan sombong,” sahut Ki
Tambak Wedi. “Sebentar lagi orang-orangmu akan mati, kau pun akan mati pula.
Aku ingin melihat Untara yang perkasa itu menangisi mayatmu. Dan aku ingin
melihat apa yang akan dilakukan oleh Kiai Gringsing apabila ia datang pula
kemari bersama Untara dari Jati Anom.”
Widura terdiam sejenak.
Ternyata berita kedatangan Kiai Gringsing masih belum didengar oleh Ki Tambak
Wedi yang berada di dalam persembunyiannya.
“Ayo Widura,” berkata Ki
Tambak Wedi itu kemudian. “Kenapa kau masih diam saja. Sudah aku katakan, aku
tidak akan menyerah. Aku ingin membunuhmu dan menggantungmu di ujung Kademangan
Sangkal Putung. Aku ingin memperlihatkan bahwa inilah seorang yang diserahi
pimpinan tertinggi prajurit Pajang di Sangkal Putung.”
Widura masih berdiam diri.
Tetapi ia menjadi heran. Panah sendaren yang berdesing tiga kali berturut-turut
dirasanya cukup dapat didengar dari seluruh induk kademangan. Tetapi ia masih
belum melihat Ki Sumangkar hadir di tempat itu. Menurut perhitungannya, dimana
pun Sumangkar berada, maka ia pasti sudah sampai di tempat itu dan berbuat
sesuatu. Karena itu ia hanya membawa sepuluh orang prajurit pilihan.
Sejenak timbul kecurigaannya
kepada orang tua, adik perguruan Patih Mantahun dari Jipang itu. Apakah
sebenarnya ia dapat dipercaya? Apakah sengaja ia memperlambat kedatangannya
dengan perhitungan-perhitungan tertentu? Kalau ia telah hadir, maka pasti sudah
melibatkan dirinya melawan Ki Tambak Wedi, tetapi ternyata Ki Tambak Wedi masih
berdiri hebas.
Namun bagaimanapun juga ia
harus bertindak. Ia tidak boleh membiarkan orang-orang itu berbuat sekehendak
hatinya. Apalagi ia masih melihat orang-orangnya yang terdahulu melakukan
perlawanan yang gigih. Bahkan terlampau gigih meskipun Widura tidak dapat
melihat dengan jelas. Dua di antara mereka masih berada di atas punggung kuda,
sedang yang lain berkelahi di atas tanah.
“Aku tidak boleh menunggu
mereka binasa,” pikir Widura, karena itu maka hadir atau tidak hadirnya
Sumangkar, ia harus bertindak. Namun ia harus memberi isyarat kepada prajurit
penghubungnya untuk melepaskan tanda setiap saat, apabila Sumangkar benar-benar
tidak hadir. Bahkan Widura itu mengharap, Kiai Gringsing, Swandaru, dan Agung
Sedayu dapat menangkap isyarat panah sendaren itu pula, sehingga apabila
demikian, maka kemungkinan terbesar iblis-iblis itu tidak akan dapat lolos
lagi.
Tetapi ia memerlukan waktu
untuk itu. Sekarang, pada saat-saat yang genting itu, ia harus sudah dapat
mengambil sikap untuk menghadapi Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Sesaat Widura memandang ke
arah prajurit-prajuritnya yang bertebaran di segala arah. Ia harus segera
memberikan aba-aba, dan prajurit-prajuritnya segera akan berbuat sesuatu,
sementara itu salah seorang dari mereka harus melepaskan panah-panah sendaren.
Ketika Widura hampir
meneriakkan aba-aba, tiba-tiba ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata “He,
Sidanti. Kenapa kau tidak segera menyelesaikan yang lima orang itu bersama
Angger Argajaya. Di sini telah hadir permainan-permainan yang baru, yang akan
lebih mengasyikkan dari yang lima itu.”
Tetapi Sidanti tidak segera
menjawab. Bahkan nafasnyalah yang mengalir semakin cepat dari lubang-lubang
hidungnya.
“Sidanti,” teriak Ki Tambak
Wedi kemudian “bunuh saja mereka itu.”
Masih belum terdengar jawaban.
Dalam kegelapan mereka masih saja bertempur berputaran. Bahkan sekali-sekali
mereka menyusup ke dalam pategalan yang rimbun, kemudian terjadi perkelahian di
antara tanaman-tanaman yang berjajar sebagai pagar pategalan itu.
Sejenak kemudian mereka muncul
lagi. Dua orang prajurit yang masih berada di punggung kudanya bahkan merasa
canggung. Kuda-kuda mereka selalu terhalang oleh pepohonan.
“Setan benar kedua orang itu,”
berkata mereka di dalam hati. “Mereka berusaha menyeret perkelahian ke dalam
pategalan, sehingga kuda-kuda ini tidak bisa bergerak lagi.”
Karena itu, maka tanpa
berjanji mereka pun segera berloncatan dari kuda-kuda mereka, dan langsung
melibatkan diri dalam perkelahian yang berputar-putar itu.
“Sidanti,” terdengar Ki Tambak
Wedi berkata, “apa kau sudah menjadi gila, he?”
Tetapi Sidanti tidak menjawab.
Bahkan kemudian Ki Tambak Wedi melihat Sidanti itu terdesak beberapa langkah
surut. Namun sesaat kemudian Argajayalah yang terpaksa meloncat-loncat.
“Kenapa kau, he?” berteriak Ki
Tambak Wedi pula.
“Guru,” sahut Sidanti, “ada
yang tidak wajar di sini.”
Ki Tambak Wedi tidak menunggu
lebih lama lagi. Segera ia meloncat mendekati Sidanti yang hampir-hampir saja
kehilangan kesempatan untuk melawan serangan lawannya. Dan inilah yang tidak
masuk ke dalam akalnya. Lawannya tiba-tiba menjadi sangat garang. Salah seorang
dari mereka mampu berloncatan seperti burung sikatan. Sekali-kali menyerangnya,
dan tiba-tiba saja orang itu telah menyelamatkan prajurit-prajurit yang hampir
mati karena tombak Argajaya.
Bahkan seandainya orang itu
berkelahi seorang diri, mungkin Sidanti dan Argajaya justru tidak dapat melawannya
lagi. Karena orang itu masih berhasrat ingin menyelamatkan kawan-kawannya, maka
Sidanti dan Argajaya masih sempat memberikan perlawanan serba sedikit. Namun
mereka benar-benar berada di dalam kesulitan. Dan kesulitan itu kemudian dapat
dilihat oleh Ki Tambak Wedi.
Tambak Wedi yang mempumyai
pengamatan yang jauh lebih tajam dari murid-muridnya dan Argajaya segera
melihat ketidak wajaran itu. Meskipun di dalam gelap karena bayangan rimbunnya
dedaunan, namun ia segera dapat melihat, siapakah yang berdiri di hadapannya
dengan ikat kepala yang menutup sampai di kening. Karena itu maka segera ia
berteriak lantang, “Minggir Sidanti, apakah kau sudah buta. Untung kau belum
mati. Biar aku selesaikan orang ini. Bunuh saja yang lain secepat kau mampu
melakukan.”
Namun pada saat itu, Widura
ternyata mencoba mengambil kesempatan. Ia tidak mau terlambat. Karena itu maka
segera kudanya melangkah maju. Tetapi sulitlah baginya untuk berkelahi di
antara pagar pategalan itu dengan kudanya. Karena itu maka segera ia pun meloncat
turun diikuti oleh beberapa prajuritnya.
“Sidanti,” panggil Widura,
“kau masih ingin melakukan perang tanding?”
Sidanti menggeram. Tetapi ia
terdiam ketika ia mendengar gurunya berkata, “Apa kerjamu he bunglon busuk?”
Yang terdengar adalah suara
tertawa yang bernada tinggi.
“Tutup mulutmu!” teriak Ki
Tambak Wedi. Tetapi suara tertawa itu masih terdengar, dan di antara suara itu
terdengar kata-kata, “Aku di sini, Angger Widura.”
“Oh,” Widura menarik nafas
dalam-dalam. Suara itu adalah suara Sumangkar.
“Aku juga baru saja tiba di
tempat ini,” terdengar suara itu pula. “Aku mencoba mengambil kesempatan ketika
aku melihat salah seorang prajurit Pajang terbaring di pategalan ini. Agaknya
ia pingsan ketika ia terlempar dari kudanya.”
“Apakah Kiai tidak berkuda?”
Widura sempat bertanya. Dalam pada itu, ia melihat Ki Tambak Wedi telah
menyerang Sumangkar dengan garangnya. Di dalam kegelapan ia melihat bayangan
orang-orang tua itu berloncatan dengan cepatnya.
Dan Sumangkar masih memerlukan
menjawab, “Aku tinggalkan kudaku di sebelah pategalan ini. Aku ingin mengintai
lebih dahulu. Tetapi ternyata aku hampir terlambat.”
Widura tidak bertanya lagi.
Bukan waktunya untuk bercakap-cakap. Kini ia melihat Sidanti berdiri tegak dan
telah bersiap untuk melawannya. Sedang Argajaya masih terlampau sibuk
berkelahi. Tetapi, kini lawannya justru bertambah ringan, meskipun jumlahnya
bertambah banyak. Karena seorang di antaranya, yang telah menumbuhkan
keheranannya, kini sudah mendapat lawan sendiri. Sumangkar yang sudah harus
bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itulah, maka kini ia mampu menghadapi
lawan-lawannya sendiri dan lawan-lawan Sidanti sekaligus. Empat orang. Sedang
Sidanti harus berhadapan dengan Widura. Tetapi ternyata Widura itu tidak
sendiri. Ia datang bersama beberapa orang prajurit, justru prajurit-prajurit
pilihan.
Namun, Widura masih saja
berdiri dengan tegangnya di tepi jalan di ujung pategalan itu. Dalam keremangan
malam dilihatnya Sidanti sudah siap untuk menghadapinya. Meskipun demikian
Widura berusaha apabila mungkin untuk menangkap mereka tanpa perkelahian dan
korban meskipun harapan itu sangat tipis baginya.
Karena itu, maka sekali lagi
ia berkata lantang, “Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Gurumu sudah
terikat oleh sebuah perkelahian yang seimbang dengan Ki Sumangkar. Kawanmu yang
seorang itu, yang menurut pendengaranku adalah pamanmu, Argajaya, harus
berkelahi mati-matian pula melawan keempat orang prajurit itu. Sekarang kau
harus berhadapan dengan aku. Tetapi aku datang bersama sepuluh orang prajurit
pilihan. Apakah kau tidak lebih baik menyerah saja sebelum kami mendapat kesan
yang lebih buruk lagi tentang kau dan guru serta pamanmu? Dengan demikian
tanggung jawabmu atas segala perbuatanmu itu akan menjadi lebih ringan.”
Yang terdengar kemudian adalah
anak muda itu menggeram. Dengan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya ia
menjawab kasar, “Jangan banyak berbicara saja. Ayo Widura, berbuatlah sesuatu.
Kalau kau ingin menangkap Sidanti dengan cara yang licik itu, segera
lakukanlah. Aku sudah menyangka bahwa kau tidak akan berani berbuat secara
jantan. Kau tidak dapat mengalahkan aku dalam perang tanding. Sekarang kau
datang beramai-ramai dengan pengawalmu itu. Tetapi aku tidak akan dapat kau
takut-takuti seperti perempuan cengeng.”
“Kau terlalu diburu oleh nafsu
yang tidak terkendali Sidanti.”
“Jangan banyak bicara. Ayo,
aku sudah siap.”
Widura mengerutkan keningnya.
Ia sudah mengira bahwa anak itu benar-benar keras kepala seperti gurunya.
“Kau keras kepala.”
“Majulah bersama. Jangan hanya
sepuluh orang. Seluruh kekuatan yang ada di Sangkal Putung, prajurit-prajurit
Pajang dan anak-anak mudanya yang bengal. Aku tidak akan gentar.”
“Apakah itu sudah menjadi
keputusanmu?”
“Ya. Aku bukan Widura yang
licik dan pengecut. Aku ingin berbuat jantan. Kalau kau hanya berani berkelahi
dengan cara itu, ayo lekas lakukanlah.”
Widura mengerutkan keningnya.
Wajahnya menjadi kian tegang. Ia merasa kata-kata Sidanti sengaja diucapkan
untuk memanaskan hatinya sehingga ia mendapat kesempatan untuk melawannya
seorang lawan seorang. Tetapi kali ini Widura tidak ingin terbakar oleh
kata-kata lawannya. Maka jawabnya, “Aku adalah seorang pemimpin prajurit dalam
suatu kesatuan yang bulat. Tugasku adalah tugas anak buahku dan sebaliknya.
Maka tugas kami bersama-sama pulalah untuk menyelesaikan pengkhianatanmu.
Masalah ini bukan masalah pribadi yang harus diselesaikan secara pribadi.”
“Setan!” geram Sidanti.
“Kenapa kau hanya berbicara saja? Aku menjadi muak mendengarnya. Apakah perwira
Wira Tamtama Pajang hanya mampu berbicara dan berkelahi beramai-ramai?”
“Baiklah Sidanti,” jawab
Widura dalam nada yang berat. Dugaannya sama sekali tidak salah, bahwa Sidanti
tidak akan dapat dijinakkannya.
Dengan demikian, maka Widura
itu pun melangkah maju semakin dekat. Dengan tangannya maka diberinya
prajurit-prajuritnya isyarat. Sebagai prajurit-prajurit pilihan, di bawah
pimpinan Widura langsung, maka mereka hanya memerlukan waktu yang sangat pendek
untuk segera menebar dan menutup kemungkinan perlawanan yang berarti bagi
Sidanti.
Sidanti yang melihat kilatan
ujung senjata dari segala pihak segera menempatkan dirinya dalam kewaspadaan
tertinggi. Ia mengharap bahwa pepohonan dan pagar pategalan itu dapat
membantunya. Ketika ia memandang dengan sudut matanya, maka dilihatnya Argajaya
telah berhasil mendesak keempat lawannya sehingga keempatnya harus berjuang
sekuat tenaga mereka untuk bertahan dan menghindari sambaran ujung tombak
pendek orang kedua dari Menoreh itu. Sedang di tempat lain, gurunya bertempur
mati-matian melawan Sumangkar. Namun, dalam sekilas, Sidanti tidak dapat
melihat, siapakah yang berada dalam keadaan lebih baik dari mereka berdua itu.
“Kau tidak akan mendapat
bantuan dari siapa pun,” geram Widura.
“Persetan!” teriak Sidanti.
“Aku memberi kesempatan
terakhir.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
matanya seolah-olah menyala karena kemarahannya.
Widura yang melihat keempat
prajuritnya terdesak melawan ketangkasan Argajaya, maka segera dilepaskannya
dua orangnya untuk membantu keempat kawannya. Sedang sisanya segera bergerak
mendekati Sidanti dari arah yang berbeda-beda.
Tetapi, bagi Sidanti tidak ada
seleret pikiran pun untuk menyerahkan diri. Kalau Widura berhasil menangkapnya,
maka ia hanya akan menangkap mayatnya. Dengan demikian, maka Sidanti itu pun
menjadi seolah-olah wuru. Tidak ada pertimbangan lain soal itu kecuali mati.
Tetapi, agaknya gurunya, Ki
Tambak Wedi mempunyai perhitungan tersendiri. Sambil bertempur ia melihat apa
yang telah dihadapi oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat bahwa keadaan
Argajaya tidak begitu membahayakan. Meskipun demikian dua orang baru yang
ditempatkan Widura untuk melawan orang itu, agaknya akan segera mengganggu
keseimbangan. Tetapi yang membuat ia cemas adalah Sidanti. Orang tua itu
menyadari, bahwa untuk melawan Widura seorang diri, Sidanti belum pasti akan
dapat memenangkannya meskipun ilmu Sidanti bertambah maju. Apalagi kini ia
harus menghadapi Widura itu bersama delapan orang prajurit pilihan. Suatu
kekuatan jauh di luar kemampuan Sidanti untuk mengimbanginya.
Sedang Ki Tambak Wedi sendiri
telah terikat dalam pertempuran melawan Sumangkar, yang sama sekali tidak
diduga-duganya akan berada di Sangkal Putung.
Itulah sebabnya, maka Ki
Tambak Wedi berusaha untuk memecahkan persoalan yang dihadapinya dengan
secepat-cepatnya. Sambil berkelahi ia masih sempat melihat apa yang dilakukan.
oleh Argajaya dan Sidanti. Ia melihat Widura telah siap untuk berbuat sesuatu
atas Sidanti. Meskipun tampaknya Sidanti tidak ingin mundur karena kekerasan
hatinya, tetapi bagi Ki Tambak Wedi perbuatan itu sama sekali tidak akan
berarti apa-apa. Seandainya Sidanti terbunuh, maka kematiannya benar-benar
kematian yang sia-sia.
Karena itu, sebelum Sidanti
terlibat dalam perkelahian yang sangat berbahaya baginya, Ki Tambak Wedi harus
mengambil suatu sikap.
Dan sikap itu ternyata
kemudian, ketika di pategalan itu terdengar suitan nyaring. Itu adalah aba-aba
yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi.
Sidanti sendiri terkejut
mendengar aba-aba itu. Terasa untuk sejenak jantungnya meronta. Sebagai seorang
laki-laki yang keras hati, tanda-tanda itu telah memperkecil arti
kejantanannya. Namun sejenak kemudian terasa suatu sikap baru di dalam dirinya.
Sikap yang hampir-hampir tidak dipikirkan sebelumnya. Yaitu menghindar untuk
sementara.
“Menghindar bukan berarti
mengaku kalah,” kata Sidanti di dalam hatinya.
Ketika sekali lagi ia
mendengar suara gurunya bersuit nyaring, maka ia telah memutuskan untuk
menerima keadaan itu, betapa pedih terasa di dadanya. Tetapi anak muda itu
bertekad untuk suatu saat dapat berbuat sesuatu. Ia ingin menebus segala
kegagalan yang pernah dialaminya dalam petualangannya di sekitar Gunung Merapi
ini.
Tetapi Widura ternyata dapat
menangkap isyarat yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi. Widura mengerti bahwa Ki
Tambak Wedi ingin melepaskan dirinya. Karena itulah maka ketika terdengar suitan
Ki Tambak Wedi untuk kedua kalinya, maka suitan itu seolah-olah aba-aba yang
diberikannya kepada Widura untuk mulai menyerang Sidanti.
Sidanti yang sudah siap untuk
menyingkir, masih sempat melihat para prajurit Pajang berloncatan dari beberapa
arah. Tetapi untunglah bahwa Sidanti telah memperhitungkan keadaan pategalan
itu sejak lama, Karena itu, maka segera ia menyelinap di antara pepohonan dan
rimbunnya daun-daun perdu di dalam pategalan itu. Anak muda itu menyelinap di
antara gerumbul-gerumbul salak yang tumbuh liar, di samping batang-batang
melandingan dan pohon buah-buahan.
Melihat sikap itu, Widura
mengumpat di dalam hatinya. Tetapi dengan prajurit-prajuritnya ia berusaha
untuk mengejarnya. Bukan saja Sidanti, tetapi juga Argajaya dan Ki Tambak Wedi
sendiri. Namun mengejar orang-orang yang cukup berilmu itu di dalam pategalan
yang rimbun dan cukup pepat oleh tumbuh-tumbuhan perdu dan pohon buah-buahan,
di malam yang gelap adalah pekerjaan yang cukup sulit. Itulah sebabnya, maka
baik Widura sendiri, Sumangkar, maupun para prajurit Pajang terpaksa mengumpat
di dalam hati masing-masing. Setelah sekian lama mereka berkejaran, namun
mereka tidak berhasil menangkap ketiga orang ini.
Sesaat kemudian, mereka masih
mendengar suara suitan Ki Tambak Wedi di kejauhan. Widura, Sumangkar, dan para
prajurit dapat mengerti, bahwa suitan itu adalah tanda-tanda yang diberikan
oleh Ki Tambak Wedi. Namun demikian tanda-tanda itu tidak segera dapat
dipecahkan oleh Widura maupun oleh Sumangkar. Mereka hanya dapat mengerti
maksudnya, tetapi mereka tidak dapat mengerti arti yang sebenarnya.
Akhirnya, Widura terpaksa
menghentikan pengejarannya. Widura menyadari bahaya yang dapat timbul, apabila
pengejaran itu dilakukan terus. Widura mencemaskan para prajuritnya, apabila tiba-tiba
saja satu demi satu mereka akan ditemui oleh Ki Tambak Wedi. Dalam
kejar-mengejar hal yang demikian itu akan mungkin terjadi. Apalagi Ki Tambak
Wedi mampu membunuh orang dari kejauhan dengan gelang-gelang besinya.
Seandainya kali ini pun Ki Tambak Wedi membawa banyak gelang-gelang besi itu,
maka akibatnya akan sangat berbahaya. Seandainya ia kehabisan gelang-gelang
besinya, maka kecakapannya membidik itu akan dapat juga dipergunakan dengan
benda yang ditemuinya di sembarang tempat. Batu-batu misalnya atau apa saja.
Sejenak kemudian Sumangkar,
Widura, dan para prajuritnya telah berkumpul kembali. Meskipun tidak ada yang
terbunuh, namun peronda yang pingsan karena terlempar dari punggung kudanya,
ternyata mengalami luka yang cukup parah. Punggungnya terantuk segumpal padas
yang tajam. Seorang lainnya yang bertempur melawan Argajaya terluka di pelipis
dan yang seorang lagi di lengannya. Untunglah bahwa luka-luka itu bukan luka
yang parah. Meskipun demikian, mereka harus segera mendapat perawatan. Sumangkar
segera memberi mereka obat yang dapat menawarkan mereka dari gigitan warangan
yang mungkin diberikan pada ujung tombak Argajaya.
“Tubuhku terasa panas sekali,”
prajurit-prajurit yang terluka itu mengeluh.
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Nah, aku memang menyangka, bahwa ada racun
warangan betapapun lemahnya di ujung tombak Argajaya. Untunglah bahwa racun itu
belum mencengkaram jantungmu, sehingga berhenti berdenyut.”
Prajurit-prajurit yang terluka
itu tidak menyahut. Dengan susah payah mereka diangkat oleh kawan-kawan mereka
untuk dibawa ke kademangan.
“Selama ini kita tidak melihat
Kiai Gringsing,” gumam Widura di sepanjang jalan menuju ke halaman Kademangan
Sangkal Putung.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebenarnya ia pun mengharap Ki Tanu Metir untuk segera datang
sebelum mereka kehilangan ketiga orang buruan itu. Tetapi agaknya Ki Tanu Metir
memerlukan waktu untuk menyusulnya.
“Aku sebenarnya
mengharapkannya,” berkata Widura kemudian.
“Aku juga,” sahut Sumangkar.
“Apabila Kiai Gringsing hadir dalam pertempuran ini, maka aku kira Ki Tambak
Wedi akan dapat ditangkap, mati atau hidup.”
“Ya, itulah sebabnya aku
mengharapkannya. Tetapi ternyata ia tidak datang. Kehadirannya bersama Swandaru
dan Agung Sedayu akan sangat berarti dalam pertempuran ini.”
“Ya,” Sumangkar menyahut, “aku
kira ketiganya akan datang juga. Tetapi mereka memerlukan waktu.”
“Waktu telah cukup panjang.”
“Belum cukup bagi mereka,”
Sumangkar berhenti sejenak, lalu katanya kemudian, “Aku bersama mereka di
Gunung Gowok ketika para peronda melemparkan panah sendaren.”
”Oh.”
“Aku segera meninggalkan
mereka dengan kudaku. Tetapi mereka tidak membawa seekor kuda pun.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Apakah kalau mereka berjalan cepat-cepat, masih juga belum sampai
di tempat perkelahian itu?”
“Belum Ngger. Mereka masih
harus melintasi bulak dan pategalan. Jarak antara Gunung Gowok sampai ke ujung
pategalan tempat perkelahian itu cukup panjang.”
“Mungkin mereka dapat singgah
di kademangan untuk mengambil beberapa ekor kuda.”
“Itu pun memerlukan waktu.
Mereka harus menyiapkan kuda-kuda mereka, kemudian menyusul kita kemari.”
“Apabila demikian kita harus
bertemu mereka di jalan kembali ini.”
“Juga belum pasti. Kiai Gringsing
dapat mengambil jalan yang lain karena mereka tidak tahu, jalan manakah yang
kita lalui.”
Widura terdiam. Memang hal-hal
yang serupa itu dapat terjadi. Ia menyesali bahwa ia tidak berhasil menahan
ketiga orang itu agak lama untuk memberi kesempatan Kiai Gringsing hadir di
tempat itu. Dengan demikian maka kemungkinan yang terbesar adalah Ki Tambak
Wedi akan dapat ditangkap, hidup atau mati. Tetapi, kini mereka telah berhasil
melepaskan dirinya. Dan semua perbuatan-perbuatannya masih akan dapat diulangi.
Dengan merucutnya Ki Tambak Wedi, maka bahaya masih saja setiap saat menerkam
kademangan ini dan seperti yang dikatakan oleh Ki Tanu Metir,
kademangan-kademangan lainnya akan dapat menjadi pelepasan kesal dan dendam
orang-orang yang licik itu. Terutama yang telah membuat hubungan kurang baik
dengan salah seorang dari mereka adalah Prambanan.
Dalam pada itu, Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya berdiri di pategalan itu di ujung yang lain. Dengan
wajah yang seolah-olah menyalakan kemarahannya, setiap kali terdengar Ki Tambak
Wedi menggeram.
“Kenapa kita tidak tahu bahwa
Sumangkar, bunglon gila itu berada di sini?” desis Ki Tambak Wedi.
Sidanti dan Argajaya tidak
menjawab. Seharusnya merekalah yang melontarkan pertanyaan itu kepada Ki Tambak
Wedi. Namun bagi keduanya, hal itu sudah bukan merupakan pertanyaan lagi.
Setiap hari mereka hanya berusaha menyembunyikan diri saja. Mereka tidak ingin
dikenal sebagai Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Sebab apabila demikian,
maka Sangkal Putung akan meningkatkan kewaspadaan mereka semakin tinggi. Para
peronda akan memperlengkapi diri dengan syarat-syarat perlawanan yang cukup
bagi mereka. Itulah sebabnya, maka hubungan mereka hampir terputus sama sekali
dengan orang-orang di sekitar tempat mereka bersembunyi. Hanya sekali-sekali
mereka mendatangi satu dua rumah dengan menutup muka mereka agar tidak seorang
pun yang dapat mengenal. Mereka hanya memerlukan makan dan sekedar bekal untuk
segera menghilang lagi ke dalam hutan-hutan yang tidak terlampau lebat di
sekitar Kademangan Sangkal Putung, untuk setiap saat muncul dan mencegat para
peronda. Dengan tidak segan-segan mereka membunuh prajurit-prajurit yang tentu
tidak akan mampu melawan mereka bertiga, meskipun seandainya jumlah prajurit
itu berlipat tiga dari jumlah mereka. Apalagi hanya dua sampai lima orang.
“Sekali lagi tercoreng arang
di wajah kita,” gumam Ki Tambak Wedi dengan nada yang terlampau dalam.
“Sumangkar telah turut serta menghalang-halangi kesenangan kita.”
“Ya,” sahut Sidanti. “Apakah
kita akan tinggal diam untuk seterusnya.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya.
“Kita harus menebus semua
kekalahan ini,” geram Sidanti.
“Sidanti,” berkata Argajaya
kemudian, “kau masih memiliki kemungkinan itu. Bukankah kau putra Kakang
Argapati. Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”
“Ya, aku adalah putra dari
Menoreh,” sahut Sidanti. “Bukankah begitu Guru?”
Ki Tambak Wedi menganggukkan
kepalanya. Tetapi tampaklah ia agak ragu.
“Bukankah Guru sendiri sering
mengatakan demikian?”
“Ya,” sahut Ki Tambak Wedi.
“Kita harus menebus segala
kekalahan,” sekali lagi Sidanti menggeram.
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
segera menanggapi angan-angan Sidanti tentang tanah perdikannya. Tampaklah
orang tua itu kini dicengkeram kebimbangan.
“Apakah kita akan membiarkan
diri kita dihinakan begini jauh Guru?”
Ki Tambak Wedi masih berdiam
diri. Matanya memandang jauh menembus gelapnya malam, seolah-olah ia ingin
melihat apakah yang tersimpan di balik layar yang hitam pekat.
“Bagaimana Guru?” bertanya
Sidanti. “Bagaimanakah pertimbangan Guru tentang hal ini?”
Ki Tanbak Wedi menarik nafas
da!am-dalam. Dihirupnya udara malam yang dingin sebanyak-banyaknya, seakan-akan
orang tua itu ingin mendinginkan dadanya yang sedang membara.
“Ya, Kiai,” terdengar Argajaya
menyambung. “Sidanti adalah putera Kakang Argapati. Aku pun tidak rela melihat
putera Kakang Argapati itu dihinakan orang di lereng Merapi ini.”
Perlahan-lahan Sidanti dan
Argajaya melihat Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ternyata
jawabannya masih melontarkan keragu-raguannya, “Mungkin demikian, Ngger.”
“Kenapa Kiai ragu-ragu,”
bertanya Argajaya. “Apakah Kiai ingin berbuat lain, atau mempunyai perhitungan
lain?”
Ki Tambak Wedi belum menjawab.
“Kiai,” berkata Argajaya,
“Sidanti adalah putra seorang yang bukan saja mempunyai wewenang tertinggi di
daerahnya, tetapi ayah Sidanti adalah seorang yang pilih tanding. Aku tidak
tahu, siapakah yang lebih tua di dalam umur dan ilmu dengan Ki Tambak Wedi
sendiri, tetapi setidak-tidaknya Kakang Argapati akan menjadi seorang yang
dapat dihadapkan baik melawan Sumangkar maupun Ki Tanu Metir seandainya mereka
bersama-sama berada di daerah ini. Jati Anom atau Sangkal Putung. Kakang
Argapati akan dapat bersama-sama dengan Kiai, berhadapan dengan siapa pun di
sekitar lereng Merapi ini.”
Ki Tambak Wedi sekali lagi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bukankah begitu?” bertanya
Argajaya.
“Ya, Ngger,” jawab Ki Tambak
Wedi pendek.
“Tetapi kenapa Kiai menjadi
ragu-ragu?”
“Sebenarnyalah bahwa aku
ragu-ragu,” desis Ki Tambak Wedi.
“Kenapa?”
“Apakah Argapati dapat
mengerti, apa yang sebenarnya terjadi atas puteranya?”
“Kenapa tidak?” sahut
Argajaya. “Aku akan menjadi saksi. Aku melihat sendiri, betapa perlakuan
orang-orang Pajang sangat menyakitkan hati.”