Buku 049
Swandaru menjadi heran melihat
sikap itu. Tetapi kemudian ia pun menyadarinya pula, sehingga tiba-tiba saja
sikapnya pun menjadi lain. Dengan nada yang datar ia berkata, “Mirah. Kau di
sini bukan berada di rumahmu sendiri. Kau harus mencoba menyesuaikan dirimu.”
Gupita melihat sikap kedua
anak-anak muda yang tiba-tiba menjadi kaku itu. Karena itu, maka ia pun mencoba
untuk mengatasi keadaan, “Marilah kita teruskan perjalanan yang tinggal
beberapa langkah ini.”
Pandan Wangi berpaling kepadanya.
Dan Gupita pun berkata pula, “Berjalanlah dahulu. Kaulah yang akan
mempersilahkan tamu-tamu kami.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kudanya melangkah lambat mendahului yang lain. Di belakangnya Gupita dan
Sumangkar tidak lagi berada di punggung kuda. Mereka pun berloncatan turun dan
berjalan bersama-sama dengan Sekar Mirah dan Gupala.
Pandan Wangi-lah yang
mendahului masuk ke halaman rumahnya. Didapatinya Samekta dam Kerti berdiri
gelisah di tangga pendapa.
“Hem, kau Wangi,” desis
Samekta. “Dapat saja kau membuat orang-orang tua berdebar-debar. Dari mana kau,
he?”
Pandan Wangi tidak menjawab
pertanyaan itu. Tetapi ia langsung memberitahukan kehadiran dua orang tamu,
yang salah seorang di antaranya adalah adiknya Gupala.
“Yang seorang?” bertanya Samekta.
“Gurunya,” jawab Pandan Wangi,
“seorang yang pasti luar biasa seperti gembala bercambuk itu. Muridnya yang
bernama Sekar Mirah, mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.”
Samekta mengerutkan keningnya
Kemudian ia pun bertanya, “Apakah keperluannya? Tanah Perdikan ini sudah mulai
tenang. Apakah mereka akan ikut mengguncang-guncangnya lagi?”
“Tidak, Paman,” jawab Pandan
Wangi. “Menilik pembicaraan mereka, agaknya mereka sedang mencari Gupala yang
sebenarnya bernama Swandaru.”
“He?”
“Itulah mereka,” berkata
Pandan Wangi ketika ia melihat Gupita dan tamu-tamunya memasuki regol.
Samekta sejenak berdiri
mematung.
“Sambutlah, Paman. Paman
adalah wakil Ayah saat ini, sebelum Ayah dapat menemui mereka.”
“O,” Samekta tersadar,
“marilah,” ajaknya kepada Kerti.
Keduanya pun kemudian
menyongsong kedatangan tamu mereka, seorang gadis dengan gurunya yang bernama
Sumangkar itu.
Ketika Sekar Mirah melihat
Samekta dan Kerti menyongsongnya, maka ia pun bertanya kepada kakaknya, “Yang
manakah yang bernama Ki Gede Menoreh?”
“Bukan kedua-duanya,” jawab
Swandaru. “Tetapi yang satu, yang di depan itu adalah tetua Tanah Perdikan ini
sesudah Ki Argapati. Ialah yang menerima kepercayaan untuk melakukan
tugas-tugas pemerintahan. Sedang untuk tugas-tugas yang menyangkut keamanan
sebagian terbesar diletakkan pada putrinya itu.”
“Pantas,” desis Sekar Mirah.
“Kenapa?”
“Gadis itu luar biasa.”
“Darimana kau tahu?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi Sumangkar yang mendengar percakapan itu tersenyum. Namun ia tidak sempat
menyahut. Sedang Gupita yang meskipun mendengar pula, tetapi ia pura-pura tidak
mendengarnya sama sekali.
Gupita-lah yang kemudian
memperkenalkan tamu-tamunya kepada Samekta dan Kerti. Keduanya kemudian
mempersilahkan Sumangkar dan muridnya untuk naik ke pendapa.
“Di sini tinggal seorang
gembala yang aneh,” berkata Samekta kemudian, “yang menurut pengakuannya adalah
ayah Gupala dan Gupita. Tetapi sejak semula aku sudah ragu-ragu. Apakah Ki
Sumangkar mengenalnya?”
“Siapa?” bertanya Sumangkar.
“Bertanyalah kepada Gupita dan
Gupala, siapakah sebenarnya orang yang mengaku ayahnya itu. Seorang gembala
yang bersenjata cambuk.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum.
Ia tahu benar siapakah yang dimaksud oleh Samekta itu. Karena itu ia menjawab,
“Apakah yang kalian maksud seorang gembala tua bersenjata cambuk, tetapi juga
seorang dukun?”
“Tepat,” sahut Kerti. “Dukun
itulah yang mengobati luka-luka Ki Argapati dengan cermatnya, sehingga agaknya
luka, itu akan segera dapat sembuh.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Tentu aku mengenalnya. Di manakah gembala itu sekarang?”
“Ia ada di dalam.” Kemudian
katanya kepada Gupita, “apakah kau tidak mengundang ayahmu supaya ikut menemui
tamu kita di sini?”
Gupita tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah. Aku akan mengundangnya untuk ikut menemui Ki Sumangkar.”
Gupita pun kemudian masuk ke
pringgitan. Gembala tua itu sedang duduk di dalam bilik Ki Argapati.
Dengan hati-hati Gupita
menjengukkan kepalanya di pintu yang terbuka. Kemudian mengangguk sambil
bertanya, “Apakah aku dapat masuk?”
“Masuklah,” desis gembala itu
perlahan-lahan.
Gupita pun segera masuk dengan
hati-hati pula.
“Siapakah yang masuk?”
bertanya Ki Argapati dengan nada datar.
“Gupita, Ki Gede. Anakku.”
“O, apakah, ada keperluan
dengan aku?”
“Tidak, Ki Gede,” sahut Gupita
perlahan-lahan. “Aku hanya sekedar menemui ayah untuk menyampaikan
pemberitahuan.”
“Ada apa?” bertanya gembala
itu.
“Ada tamu, Ayah.”
“Siapa?”
“Ki Sumangkar bersama Sekar
Mirah, yang agaknya telah diangkat menjadi muridnya.”
Gembala itu mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia tertawa. “Baik. Baik, aku akan menemuinya.”
Kemudian kepada Ki Gede yang terluka itu gembala tua itu berkata, “Ki Gede,
seorang saudaraku datang berkunjung kemari. Aku minta diri sejenak untuk
menemuinya.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia bertanya, “Apakah Pandan Wangi sudah
kembali? Bukankah ia pergi bersamamu, Gupita. Ia minta ijin kepadaku. Tetapi
menurut Ki Samekta, ia belum datang sehingga menimbulkan kegelisahan.”
“Ya, Ki Gede,” jawab Gupita,
“tetapi ia sudah datang bersama aku. Ia berada di pendapa menemui tamu-tamu
kami bersama Ki Samekta dan Ki Kerti.”
“Kemana saja kalian pergi?”
“Kami hanya sekedar melihat-lihat
daerah Tanah Perdikan ini. Tetapi kami bertemu dengan Ki Sumangkar di
perjalanan, sehingga kami bersama-sama kembali ke rumah ini.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Syukurlah, kalau tidak terjadi sesuatu di
perjalanan.”
“Tidak, Ki Gede.”
“Sekarang silahkan, kalau
kalian ingin menemui tamu-tamu kalian,” berkata Ki Argapati kemudian.
“Ya, Ki Gede, kalau Ki Gede
tidak berkeberatan, Ki Sumangkar pun akan menemui Ki Gede pula. Tidak ada
persoalan apa pun yang akan dibicarakan, selain memperkenalkan dirinya.”
“Tentu aku sama sekali tidak
berkeberatan.” Ki Gede berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi siapakah Ki
Sumangkar itu?”
“Ia pernah menjadi seorang
penghuni Kepatihan Jipang. Ki Sumangkar sebenarnya adalah saudara seperguruan
Ki Patih Mantahun yang terbunuh di peperangan antara Jipang dan Pajang.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya.
“Tetapi,” gembala itu
meneruskan, “Sumangkar telah mendapat pengampunan, karena ia tidak banyak
terlibat dalam masalah Jipang dan Pajang.”
Ki Argapati kemudian
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya, “Saudara seperguruan Patih Mantahun,
bukanlah orang kebanyakan.”
Gembala tua itu tersenyum,
“Demikianlah kiranya, Ki Gede.”
“Baik, baik. Aku akan
menerimanya dengan senang hati.”
Sejenak kemudian maka Gupita
pun mengikuti gurunya keluar dari bilik Ki Argapati. Di ruang tengah mereka
berpapasan dengan Pandan Wangi.
“Kemana, Wangi?” bertanya
Gupita.
“Menyiapkan minuman untuk
tamu-tamu kita.”
“O,” Gupita mengangguk-angguk,
lalu, “ayahmu agaknya menjadi gelisah pula.”
“Kenapa?”
“Kita terlampau lama pergi,”
sambung Gupita. Lalu diberitahukannya apa yang sudah dikatakan kepada Ki Gede
tentang kepergian mereka berdua. “Jangan salah,” pesan Gupita kepada Pandan
Wangi, “kalau kau ingin bercerita, sesuaikan ceritamu dengan ceritaku.”
Pandan Wangi mengangguk.
“He,” tegur gembala tua,
“darimanakah sebenarnya kalian? Jadi apa yang kau katakan kepada Ki Argapati
tidak benar?”
“Bukan tidak benar,” jawab
Gupita, “tetapi tidak lengkap. Masih ada beberapa hal yang belum kami katakan
sekarang.”
Gembala tua itu menarik nafas.
Gumamnya, “Anak-anak muda sekarang kadang-kadang memang membuat orang-orang tua
kebingungan.”
Gupita tidak menjawab. Ia
mengikut saja di belakang gurunya ketika gurunya meneruskan langkahnya ke pendapa,
sedang Pandan Wangi pergi ke dapur untuk mengatur jamuan bagi tamu-tamunya,
sebelum ia pergi ke bilik ayahnya.
Pertemuan antara dua orang
tua-tua di pendapa rumah itu merupakan pertemuan yang meriah. Dengan nada yang
tinggi Sumangkar berkata, “Apakah Kiai selamat selama kita tidak bertemu? Dan
bagaimanakah kabar tentang kambing-kambingmu?”
Gembala tua itu pun tertawa.
Sambil membungkuk dalam-dalam ia menjawab, “Kami selamat semua di sini.
Bagaimana dengan kalian, dan Ki Demang Sangkal Putung suami isteri?”
Sumangkar pun tertawa pula. Ia
mengenal orang tua itu dengan seribu nama dan seribu warna. Kali ini ia menjadi
seorang gembala dengan kedua anak-anaknya.
“Selamat, Kiai,” jawab
Sumangkar kemudian. “Ki Demang dan Nyai Demang Sangkal Putung dan seluruh
rakyatnya dalam keadaan selamat. Kademangan Sangkal Putung telah mulai
berkembang kembali, setelah sekian lama dibayangi oleh ketakutan.”
“Syukurlah. Dan kini Adi
Sumangkar sempat berjalan-jalan sampai ke daerah ini.”
“Ya,” jawab Sumangkar, “Ki Demang
Sangkal Putung mengharap Angger Swandaru segera kembali. Kini Sangkal Putung
telah diserahkan seluruhnya kepada Sangkal Putung sendiri. Pasukan Pajang sama
sekali sudah ditarik.”
“Angger Widura?”
“Sudah ditarik pula.”
“Jadi Paman sudah tidak berada
lagi di Sangkal Pulung?” bertanya Gupita.
“Tidak,” jawab Sumangkar,
“Sangkal Putung sudah dianggap dapat menjaga dirinya sendiri.”
“Dan Kiai masih saja berada di
Sangkal Putung itu?”
“Ya,” sahut Sumangkar, “aku
diijinkan tinggal. Tetapi setiap saat aku dipanggil, aku harus datang ke
Pajang.”
“Kalau Kiai tidak berada di
tempat, seperti sekarang ini?”
“Aku sudah mendapat ijin.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agaknya Sumangkar masih belum memiliki kebebasannya sepenuhnya.
Dan orang tua itu berkata
pula, “Tetapi, aku hampir tidak dapat mengenal lagi daerah sebelah barat
Sangkal Putung. Sejak meninggalkan Prambanan, kami merasakan perubahan yang
pasti telah menjadi di sebelah barat. Hutan Tambak Baya rasa-rasanya sudah tidak
singup lagi. Sebuah jalan telah dibuka, dan berbagai padukuhan kecil telah
dihuni orang. Semakin ke barat, yang menurut pengenalan kami sebelumnya semakin
pepat, karena daerah itu mendekati Alas Mentaok, namun ternyata justru menjadi
semakin ramai. Agaknya Alas Mentaok telah dibuka. Dan menurut pendengaran kami,
yang membuka alas Mentaok itu adalah Ki Gede Pemanahan dengan putranya, Mas
Ngabehi Loring Pasar.”
Gembala tua beserta
anak-anaknya mengerutkan keningnya. Demikian juga Samekta dan Kerti.
“Apakah Alas Mentaok sudah
menjadi sebuah kota yang ramai?”
“Belum dapat disebut sebuah
kota,” berkata Sumangkar, “tetapi sebuah padukuhan yang besar, meskipun masih
belum teratur. Namun setiap hari berdatangan orang-orang baru dari daerah di
sekitarnya, dan menetap menjadi penghuni-penghuni baru dari padukuhan yang
semakin lama semakin besar itu. Lebih dari itu, mereka yang mengenal siapakah
Ki Gede Pemanahan dan siapakah Sutawijaya itu pun segera mengarahkan pandangan
matanya kepada mereka. Padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan besar yang baru
itu, secara diam-diam mengakui bahwa Ki Gede Pemanahan dan putranya, akan dapat
memberikan bimbingan kepada mereka, sehingga mereka telah berkiblat ke
padukuhan yang baru itu. Mereka tiba-tiba merasa, bahwa mereka menjadi
terlampau jauh dari Pajang.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Tetapi aku tidak tahu,
apalagi yaag sudah berkembang di daerah itu, karena aku hanya sekedar lewat.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Bagaimanakah dengan padukuhan-padukuhan
di sebelah timur Alas Mentaok itu sendiri. Prambanan dan Sangkal Putung sendiri
misalnya?”
“Alas Mentaok baru menjadi
dongeng di daerah kami, Sangkal Putung. Tetapi sekali pernah datang Angger
Widura dan beberapa orang perwira yang lain. Mereka berbicara dengan Ki Demang
tentang perkembangan daerah baru itu.”
“Apa kata mereka?”
Sumangkar menggeleng, “Aku
tidak tahu.”
“Aku mendengar sedikit,”
berkata Sekar Mirah.
“Apa kata mereka?”
“Kakang Untara mendapat tugas
langsung untuk mengawasi daerah Selatan.”
Terasa dada Gupita berdesir
mendengar jawaban itu. Sejak semula mereka yang berada di Menoreh telah
menduga, bahwa senapati muda itulah yang akan mendapat tugas yang berat itu.
“Tetapi selanjutnya kami tidak
tahu.”
Setiap orang yang mendengarkan
ceritera itu hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepala mereka, sehingga pada
suatu saat Pandan Wangi datang dengan nampan kayu di tangannya, membawa minuman
bagi tamu-tamu yang baru datang itu.
Sejenak kemudian, mereka pun
telah meneguk air hangat dan menikmati makanan yang dihidangkan untuk mereka.
Sedang pembicaraan mereka pun telah berkisar tanpa sesadar mereka.
Dengan demikian, maka
tamu-tamu yang bermalam di rumah itu pun menjadi bertambah dengan dua orang.
Mereka ditempatkan di gandok, kecuali Sekar Mirah, yang mendapat tempat di
ruang dalam.
Namun dengan demikian, setiap
kali Sekar Mirah pasti melihat bagaimana Pandan Wangi berusaha melayani
kakaknya sebaik-baiknya, meskipun masih tetap di dalam pengawasan yang ketat.
Meskipun Sidanti sendiri tetap
acuh tak acuh terhadap siapa pun, tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak
berkecil hati. Ia bersikap baik dan teliti, seperti juga terhadap pamannya.
Namun terasa oleh Pandan Wangi, bahwa sikap kakaknya dan pamannya kini telah
menjadi jauh berlainan. Hati pamannya yang sekeras batu padas itu semakin lama
akan semakin dapat dilunakkan. Tetapi agaknya tidak begitu mudah bagi Sidanti.
Tetapi Pandan Wangi dapat
mengerti. Argajaya adalah adik kandung Argapati, sedang sejak kelahirannya,
Sidanti telah dipisahkan oleh jarak yang seakan-akan tidak akan terseberangi
lagi dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu, meskipun hal itu belum lama
disadarinya.
Meskipun demikian, Pandan
Wangi tidak segera berputus asa. Meskipun kadang-kadang ia harus menitikkan air
matanya.
Betapa besar dendam yang
membara di dada Sekar Mirah terhadap Sidanti, namun sikap Pandan Wangi
menumbuhkan iba juga di hatinya. Setiap kali ia melihat betapa Pandan Wangi
seakan-akan diguncang-guncang oleh perasaannya. Ia berdiri di persimpangan yang
sangat sulit.
Argapati adalah ayahnya. Ayah
yang dicintai dan mencintanya. Sedang Sidanti adalah kakaknya, yang dilahirkan
oleh ibunya pula. Kakak yang telah banyak menolongnya sejak ia masih
kanak-kanak hingga api permusuhan antara ayah dan kakaknya itu sudah mulai
kemelut.
“Kalau Kakang Sidanti tetap
berkeras hati dan Ayah kemudian kehilangan kesabarannya, maka hatiku pasti akan
semakin hancur.” desisnya kepada diri sendiri.
Dengan hadirnya Sekar Mirah,
Pandan Wangi merasa mendapat seorang kawan. Meskipun kadang-kadang ia tidak
dapat mengerti sifat kawan barunya, adik Gupala yang juga ternama Swandaru itu,
namun sedikit banyak ia mendapat tempat untuk mengungkapkan perasaannya.
Atas nasehat Gupita, Gupala,
dan gurunya, Sekar Mirah berusaha menyesuaikan dirinya dengan cara hidup Pandan
Wangi, meskipun kadang-kadang ia harus memaksa diri. Sebenarnya Sekar Mirah
tidak begitu telaten menenggang perasaan seperti gadis putri Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu. Menurut Sekar Mirah, apabila Sidanti memang berkeras
kepala, apa salahnya kalau ia dihukum mati saja meskipun menurut pengertiannya
ia adalah putra Argapati sendiri.
“Jangan berkata begitu kepada
Pandan Wangi,” Agung Sedayu mencoba menasehatinya.
“Gadis itu terlampau cengeng.”
“Bukan, bukan terlampau
cengeng, tetapi perasaannya sangat lembut meskipun ia mampu bertempur dengan
sepasang pedangnya di peperangan.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi ia mencoba untuk menahan hatinya. Ia mencoba seolah-olah ia
mengerti dan menampung perasaan gadis Menoreh yang lembut itu.
Tetapi di hadapan Swandaru,
Sekar Mirah masih juga berkata sambil mencibirkan bibirnya, “He, kaukah yang
berkata kepadaku dahulu di Sangkal Putung, bahwa kau akan kembali sambil
menjinjing kepala Sidanti?”
“Hus, jangan begitu, Mirah.
Hati-hatilah sedikit dengan kata-katamu. Kami semua tidak akan dapat berkata
begitu lagi. Kita berhadapan dengan orang-orang yang lain daripada orang-orang
Tohpati dan bahkan Sidanti sendiri.”
Sekar Mirah tersenyum.
Jawabnya, “Aku mengerti. Mereka mencoba untuk menjadi pahlawan-pahlawan yang
luhur budi, yang mengampuni segala kesalahan orang lain, agar dirinya sendiri
mendapat pujian atas kebaikan hati itu.”
“Begitukah caramu memandang
sikap Ki Argapati, Pandan Wangi, dan orang-orang lain lagi? Apa katamu terhadap
Kakang Untara dan Ki Gede Pemanahan yang telah mengampuni Ki Sumangkar, yang
sekarang menjadi gurumu?” bertanya Swandaru.
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan kakaknya.
“Sudahlah. Jangan kita
persoalkan lagi. Kau coba menyesuaikan dirimu. Setidak-tidaknya kau harus
menjadi tamu yang baik.”’
“Kau sekarang memandang aku
menurut caramu,” berkata Sekar Mirah, “tetapi aku tidak boleh memandang sikap
orang lain menurut caraku. Sekarang di dalam pandanganmu aku selalu bersalah,
sedang gadis Menoreh itu selalu benar, karena kau sudah jatuh cinta kepadanya.”
“Hus.”
“Karena Sidanti adalah kakak
gadis yang kau cintai itu, maka kau pun telah merubah niatmu untuk membalas
sakit hatimu. Bukankah kau sudah dua atau tiga kali dipukulnya?”
“Sudahlah. Jangan ribut.
Lihat, itu Pandan Wangi mencari kau. Ia membutuhkan seorang kawan yang dapat
diajaknya membagi duka. Kau adalah adikku, sehingga kau harus membantu aku,
agar ia tidak benci kepadaku.”
“Bukankah ternyata bahwa kita
masing-masing mementingkan diri kita sendiri?”
“Ya. Aku tidak ingkar.”
Sekar Mirah menjadi
bersungut-sungut. Tetapi ia menyongsong Pandan Wangi yang pergi ke arahnya.
Keduanya pun kemudian berjalan
bergandengan ke belakang rumah sambil bercakap-cakap dengan akrabnya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi harapannya kini menjadi kian membara di dalam dadanya.
Kalau Sekar Mirah dapat membantunya, maka kemungkinan untuk mempertautkan
hatinya kepada gadis itu akan berhasil.
Dari hari ke hari, maka luka
Ki Argapati pun kian menjadi baik. Dengan sangat hati-hati dan lambat laun Ki
Argapati mencoba untuk bangkit dan duduk. Gembala tua itu pun dengan telaten
selalu menungguinya apabila Ki Argapati mulai dengan perkembangan baru sesuai
dengan kesehatannya yang menjadi semakin baik.
“Aku sudah merasa seakan-akan
aku sudah sehat sama sekali,” desisnya.
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampak sesuatu mengganggu pikirannya.
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“bagaimana menurut pendapat Kiai dengan keadaanku kemudian? Apakah aku akan
dapat pulih kembali seperti sediakala?”
Gembala itu merenung sejenak.
“Berkatalah terus terang. Aku
bukan anak-anak lagi.”
“Ki Gede,” berkata gembala tua
itu, “aku tidak dapat mengatakan dengan pasti. Meskipun aku tetap berusaha.
Namun agaknya ada sesuatu yang kurang pada Ki Gede sekarang, sehingga untuk
dapat pulih kembali seperti sediakala, agaknya memerlukan waktu yang sangat
panjang.”
Ki Argapati memandang wajah
gembala tua itu dengan saksama. Tetapi dari sorot matanya terpancar hatinya
yang sudah pasrah kepada pepesten, kepada keharusan yang tidak akan dapat
dielakkannya lagi.
Karena itulah maka Ki Argapati
tidak lagi menjadi gelisah dan cemas, apa pun yang akan terjadi atasnya.
Seandainya ia tidak akan dapat pulih kembali sekalipun. Yang terutama menjadi
persoalan di dalam hatinya adalah justru Tanah Perdikan Menoreh. Kalau ia tidak
kuasa lagi memimpin tanah ini dan tidak ada orang lain yang dapat
dipercayainya, maka Tanah yang kini tinggal abunya ini tidak akan dapat tumbuh
dan berkembang kembali. Samekta dan Kerti memang dapat memimpin pemerintahan
dalam arti yang sangat sempit. Tetapi untuk mengembangkan apa yang masih
tersisa untuk mencapai tingkat yang diharapkan agaknya akan banyak menjumpai kesulitan.
“Tanah ini memerlukan orang
kuat,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya.
Sekilas terlintas di
angan-angannya satu-satunya anaknya Pandan Wangi. Kepadanyalah Ki Argapati
menumpahkan segala harapannya.
“Tetapi ia hanya seorang
gadis,” desisnya, “bagaimana pun juga nalarnya kadang-kadang terdesak oleh
perasaannya.”
“Kiai,” berkata Ki Argapati
kepada gembala tua itu, “bagaimana pun juga aku mengucapkan terima kasih yang
tidak terhingga kepadamu dan kedua anak-anakmu.”
Gembala tua itu pun tersenyum.
“Tetapi,” berkata Ki Argapati,
“aku masih ingin mendapat pertimbanganmu Kiai.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya.
“Apakah yang sebaiknya aku
lakukan atas Argajaya dan Sidanti?” bertanya Ki Argapati kemudian.
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kedua orang itu adalah termasuk dalam keluarga Ki Argapati. Karena
itu maka sulitlah baginya untuk menyatakan sikapnya. Apalagi bahan-bahan yang
ada padanya tentang hubungan kekeluargaan dan sikap Argajaya dan Sidanti atas
Menoreh sebelumnya terlampau sedikit.
“Ki Gede,” berkata gembala
itu, “kalau aku boleh berterus terang, aku tidak dapat menyatakan apa pun
tentang kedua anggota keluarga terdekat Ki Gede itu. Ki Argajaya adalah adik
kandung Ki Gede, sedang Sadanti adalah putra Ki Gede.”
“Kau benar Kiai, tetapi apakah
katamu setelah kau melihat sikap mereka kini? Menurut laporan yang aku terima,
agaknya Argajaya sempat melihat kepada dirinya sendiri. Kepada apa yang sudah
dilakukannya. Ia sempat memisahkan mana yang salah dan mana yang benar. Tetapi
agaknya Sidanti masih tetap berkeras hati.”
Gembala tua itu menganggukkan
kepalanya, “Ya Ki Gede. Memang demikanlah agaknya. Aku memang menjadi heran
justru Angger Sidanti sama sekali tidak mau mengerti akan kedudukannya,
meskipun gurunya sudah meninggal.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia menduga bahwa gembala tua itu belum tahu, hubungan yang
sebenarnya antara dirinya dan anak muda yang keras hati itu.
“Itulah yang membuat aku
berprihatin,” desis Ki Argapati.
“Ki Gede,” berkata gembala tua
itu, “aku kira ada jalan yang dapat Ki Gede tempuh. Tetapi sudah tentu itu
bukan satu-satunya.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Bagaimana kalau Ki Gede
memanggil mereka, dan berbicara langsung dari hati ke hati? Ki Gede akan dapat
bertanya kepada mereka, bagaimanakah sikap mereka sekarang.”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku memang sudah berpikir demikian. Aku memang berhasrat
untuk memanggil mereka. Tetapi sudah tentu tidak bersama-sama.”
“Aku kira memang itu adalah
jalan yang sebaik-baiknya. Kini di rumah ini ada dua orang tamu, yang apabila
diperlukan dapat membantu Ki Gede dengan pendapat-pendapatnya pula. Terutama
Adi Sumangkar.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sesudah aku bertemu dengan keduanya berganti-ganti,
aku memang mungkin memerlukan pendapat-pendapat itu.”
“Aku kira mereka tidak akan
berkeberatan.”
“Tetapi bukankah kalian masih
akan tinggal di Tanah Perdikan ini untuk waktu yang tidak terlampau pendek?”
“Kami berharap bahwa kami akan
segera dapat minta diri, Ki Argapati. Perkembangan di sebelah timur Kali Praga
agaknya memerlukan perhatian. Alas Mentaok yang kini sudah menjadi semakin
ramai ternyata menjadi pusat perhatian seluruh kerajaan Pajang. Bahkan daerah
di sekitarnya kini seakan-akan telah berpaling ke daerah baru itu.”
Ki Argapati menganggukkan
kepalanya. Dan tiba-tiba ia berkata, “Bagaimana dengan Ki Ageng Mangir?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, “Aku tidak tahu.”
Ki Argapati merenung sejenak.
Tetapi menurut pengenalannya atas Ki Ageng Mangir, agaknya pemimpin Tanah
Perdikan di Mangir itu pun tidak akan banyak mengambil peranan di dalam
perubahan keadaan yang tidak akan dapat dielakkan lagi. Entahlah apabila Ki
Ageng Mangir itu sudah tidak mampu lagi memimpin pemerintahan, dan yang kelak
akan menyerahkan pimpinan kepada putranya. Mungkin putranya yang kini masih
kecil itu akan bersikap lain apabila ia mendengar riwayat perkembangan Tanah
Perdikannya dan hadirnya suatu daerah baru di Alas Mentaok yang lebih muda dari
Tanah Perdikannya.
“Kiai,” berkata Ki Argapati
kemudian, “apalagi menghadapi keadaan yang berkembang terus di sebelah Kali
Praga. Tanah Perdikan ini sendiri memerlukan seorang yang kuat. Apabila aku
tidak dapat melakukan tugasku dengan baik, maka aku menjadi cemas, bahwa Tanah
Perdikan yang kini seakan-akan menjadi lumpuh ini tidak dapat mengikuti
perkembangan keadaan, sehingga akhirnya justru ditelan oleh pergeseran yang
terjadi di luar Tanah ini sendiri. Apalagi apabila selama ini, kami keluarga
Tanah Perdikan ini masih belum dapat mengatasi goncangan-goncangan keadaan yang
telah timbul sebagai akibat api yang baru saja membakar Tanah ini.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, aku memanggil Argajaya
segera. Kemudian Sidanti. Aku harus mendapat kepastian, apakah mereka akan ikut
serta, atau harus kita tinggalkan.”
Gembala tua itu masih
mengangguk-angguk. Memang tidak ada jalan lain daripada berbicara langsung
dengan keduanya. Baik Argajaya maupun Sidanti.
“Tetapi,” berkata gembala itu,
“apakah Ki Gede tidak menunggu keadaan Ki Gede menjadi semakin baik?”
“Kapan, Kiai?” jawab Ki
Argapati. “Kalau aku masih harus menunggu lagi, maka aku kira Tanah Perdikan
ini akan banyak kehilangan waktu.”
Gembala tua itu tidak
menjawab, ia mengerti bahwa Ki Argapati harus bertindak cepat. Apabila Ki
Argapati sudah mempunyai keputusan, apakah yang sebaiknya dilakukan atas
Argajaya dan Sidanti, maka ia pun akan segera dapat membuat rencana bagi
keseluruhan Tanah Perdikannya, meskipun masih banyak masalah yang harus
diatasinya. Putera Ki Argajaya yang masih berkeliaran dengan beberapa orang
yang keras kepala, tanah yang kering karena parit-parit yang rusak, persediaan
makanan yang menipis, dan panen yang harus segera dapat diusahakan untuk
mengatasi kekurangan bahan makanan akibat peperangan.
Menoreh memang harus
mengadakan perbaikan di segala bidang, terutama mengembalikan kepercayaan
rakyat kepada pemimpinnya.
Dalam keadaannya, Ki Gede
pasti tidak akan dapat bekerja selincah sebelumnya. Badannya sudah tidak
memungkinkan lagi meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede harus selalu berada di
pembaringan.
“Kiai,” berkata Ki Gede
Menoreh kemudian, “aku ingin bertemu dengan Argajaya. Tetapi maaf, aku kira
lebih baik tidak seorang pun. yang mendengarkan pembicaraan kami. Bukan karena
aku tidak percaya kepada siapa pun juga terutama kepada Kiai, tetapi aku
menjaga agar Argajaya dapat berkata dengan hati terbuka.”
Gembala itu mengerutkan
keningnya. Namun katanya, “Ki Gede memerlukan saksi meskipun hanya seorang.
Saksi itu bukan orang lain, tetapi sebaiknya adalah Angger Pandan Wangi.”
Ki Argapati merenung sejenak.
Katanya, “Apakah, kehadiran Pandan Wangi tidak justru mengganggu?”
“Menurut pendapatku tidak, Ki
Gede. Pandan Wangi adalah putri Ki Gede yang diharap kelak akan berperanan di
dalam pemerintahan.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Aku sependapat. Aku minta tolong sama
sekali, apakah Kiai dapat membawa keduanya kemari?”
“Maksud Ki Gede aku harus
membawa Angger Pandan Wangi dan Ki Argajaya?”
“Ya.”
Gembala itu merenung sejenak.
Kemudian, “Sebaiknya biarlah Angger Pandan Wangi sajalah yang membawa pamannya
kemari?”
“Tetapi Argajaya adalah
seorang yang keras kepala. Meskipun menurut laporan yang kami terima, orang itu
sudah menjadi agak lunak, tetapi aku belum mempercayainya sepenuhnya.”
Gembala itu tidak segera
menjawab.
“Bagaimana kalau tiba-tiba
timbul niatnya untuk melakukan perbuatan yang tidak terpuji?”
“Ki Gede, kami akan mengawasi
dari kejauhan.”
“Argajaya dapat berbuat cukup
cepat.”
“Tetapi Angger Pandan Wangi
adalah seorang gadis yang cukup terlatih, ia mempunyai kemampuan yang
seandainya terpaut, tidak terlampau banyak dari Ki Argajaya. Karena itu,
setidak-tidaknya ia mempunyai kesempatan bertahan sampai kami datang mendekati
mereka.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku sependapat, Kiai,” katanya kemudian,
“tetapi aku titipkan keselamatan Pandan Wangi kepadamu.”
Gembala itu mengangguk, “Ya.
Aku akan mencoba.”
“Baiklah. Aku menunggu
kedatangan Argajaya dan Pandan Wangi.”
Gembala tua itu pun kemudian
minta diri. Ditemuinya Pandan Wangi, dan diberitahukannya maksud ayahnya untuk
berbicara langsung dengan Ki Argajaya.
“Bagus,” Pandan Wangi menjawab
dengan serta-merta, “sudah lama aku memikirkan hal itu. Sebaiknya Ayah memang
berbicara langsung apabila keadaannya sudah memungkinkan.”
“Ya, Ngger. Aku juga mengharap
bahwa segala sesuatunya akan segera selesai.”
“Lalu?”
“Kami sudah terlampau lama di
sini. Aku dan anak-anakku harus kembali menyeberang Kali Praga dan Alas
Mentaok.”
“Bukankah Alas Mentaok sudah
mulai ramai?”
“Kami masih harus
membuktikan.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Sekilas terbayang kedua anak-anak muda yang mengaku anak gembala tua itu, yang
ternyata bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni. Terasa sesuatu berdesir di
dadanya. Apakah ia akan dapat membiarkan keduanya pergi begitu saja tanpa kesan
apa pun? Bagaimana dengan pesan Swandaru lewat Agung Sedayu?
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Ia sudah pasti tidak akan dapat memikirkan Agung Sedayu. Sama sekali
tidak akan ada gunanya, karena sudah hadir Sekar Mirah.
Tetapi anak yang gemuk itu pun
agaknya, sudah mulai tersangkut di hatinya, meskipun perlahan-lahan. Sikapnya
yang terbuka meskipun tidak terhadapnya dan mengenai masalahnya. Tertawanya
yang lepas dan tidak tertahan-tahan. Sikap dan tingkah lakunya yang
kadang-kadang penuh kejenakaan.
“Bagaimana, Ngger?” suara
gembala tua itu mengejutkannya.
“O,” Pandan Wangi tergagap,
“maksud Kiai, aku sekarang supaya membawa Paman Argajaya menghadap Ayah?”
“Ya, Ngger, kami akan
mengamat-amati dari kejauhan.”
“Kenapa Kiai masih harus
mengamat-amati?”
“Ayahmu masih belum
mempercayainya sepenuhnya.”
“Aku percaya kepadanya. Paman
tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu Kiai tidak perlu mengawasinya. Aku
bertanggung jawab atas Paman Argajaya.”
Gembala itu menarik nafas
dalam-dalam. Ada juga sifat keras hati pada gadis ini, seperti juga pada
keluarga Menoreh yang lain. Pada Ki Argapati dan Ki Argajaya, dan meskipun
berbeda sumber aliran darahnya, namun juga Sidanti. Bahkan putera Argajaya itu
pun ternyata keras kepala juga.
“Kapan Ayah akan menerima
Paman?” bertanya Pandan Wangi.
“Sekarang ayahmu sudah siap,
Ngger.”
“Baik. Baik. Aku akan pergi
kebilik Paman di ujung gandok.”
Pandan Wangi pun kemudian
berlari-lari pergi ke bilik Ki Argajaya. Gupita, Gupala, dan beberapa orang
pengawal terkejut melihat kedatangannya. Bahkan Sekar Mirah dan Sumangkar yang
duduk agak jauh dari mereka pun mengerutkan keningnya.
“Kenapa anak itu berlari-lari”
desis Sumangkar.
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia pun kemudian berdiri dan berjalan mendekatinya.
Gupita dan Gupala yang merasa
diserahi tanggung jawab atas Ki Argajaya serentak berdiri dan bertanya, “Ada
apa Wangi?”
“O,” Pandan Wangi menarik
nafas dalam-dalam, “Ayah memanggil Paman Argajaya.”
Gupita dan Gupala berpandangan
sejenak. Namun kemudian guru mereka pun datang sambil berkata, “Ya, Ki Argapati
memanggil Ki Argajaya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Katanya, “Apakah kalian tidak percaya kepadaku, sehingga ayahmu
perlu menjelaskan?”
“Tidak. Sama sekali tidak,”
Gupalalah yang menjawab. “Aku percaya kepadamu.”
Pandan Wangi memandang Gupala
dengan tajamnya. Dan Gupala berkata terus, “Silahkan mengambil Ki Argajaya.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kemudian ia melangkah menghampiri pintu yang diselarak dari luar.
Perlahan-lahan ia menarik selarak itu, lalu perlahan pula pintu bilik itu
terbuka.
“Paman,” desis Pandan Wangi
sebelum ia memasuki bilik itu.
Argajaya yang duduk termenung
di atas pembaringannya mengangkat wajahnya. Ketika ia berpaling, memandang ke
arah pintu, dilihatnya seorang gadis dengan ragu-ragu memasuki biliknya.
“Paman,” sekali lagi Pandan
Wangi berdesis.
“O,” Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam, “kau Wangi.”
“Ya, Paman.”
“Jangan masuk. Udara sangat
lembab dan aku hampir tidak dapat bernafas di dalam bilik yang sempit dan gelap
ini.”
Pandan Wangi tertegun sejenak.
“Apakah keperluanmu Wangi?”
“Aku akan berbicara sedikit,
Paman.”
Argajaya tidak segera
menjawab. Matanya yang menyala kini menjadi cekung dan dalam.
Perlahan-lahan ia berdiri dan
melangkah mendekati Pandan Wangi.
“Kau lebih baik tetap berada
di muka pintu itu Wangi. Kau tidak akan menjadi sesak nafas.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ditungguinya pamannya mendekatinya.
“Paman,” katanya kemudian
setelah pamannya berdiri di hadapannya, “Ayah memanggil Paman.”
Ki Argajaya mengerutkan
keningnya. Kemudian kepalanya terangguk-angguk. Sejenak kemudian ia menarik
nafas sambil bertanya, “Wangi, apakah ayahmu sudah menemukan keputusan, hukuman
apakah yaag akan dijatuhkan atasku?”
“Tidak, Paman,” jawab Pandan
Wangi, “Ayah sekedar ingin berbicara dengan Paman.”
“Apakah yang akan
dibicarakan?”
“Aku tidak tahu, Paman. Tetapi
sudah terang, tentang Tanah Perdikan ini.”
“Pandan Wangi,” berkata
Argajaya, “kau tahu bahwa aku pasti sudah dianggap bersalah oleh ayahmu. Sudah
tentu ayahmu akan mengambil suatu keputusan untuk menghukum aku.”
“Tidak, Paman. Tidak.”
“Sejak semula ayahmu tidak mau
bertanggung jawab terhadap semua tindakanku dan Sidanti yang menyangkut
kekuasaan Pajang. Itulah sebabnya Sidanti mencoba mencari kekuatan dibantu oleh
gurunya. Karena aku terlibat dalam masalah Tambak Wedi yang langsung
berbenturan dengan kekuasaan Pajang di Selatan yang dipimpin oleh Untara, maka
aku tidak mempunyai pilihan lain daripada mencoba mencari kekuatan bersama
Sidanti untuk menghadapi setiap tindakan Pajang atas diri kami.”
“Tetapi ternyata Pajang tidak berbuat
apa-apa. Bahkan sekarang mereka tidak akan sempat lagi mengurus masalah-masalah
yang kecil seperti itu, Paman.”
“Kenapa?.”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
Ki Gede Pemanahan sudah tidak menjadi panglima lagi. Bersama putranya mereka
membuka hutan Mentaok di sebelah Kali Praga.”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia berkata, “Mungkin kau salah, Wangi. Mereka
membuka Alas Mentaok sebagai batu landasan untuk meloncat ke barat.”
“Aku kira tidak begitu,
Paman.”
Argajaya mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak segera menjawab.
“Tetapi entahlah, apa yang
terjadi di seberang Kali Praga. Yang penting sekarang Paman diminta datang oleh
Ayah. Tetapi Ayah sama sekali tidak akan menjatuhkan keputusan saat ini.”
Ki Argajaya merenung sejenak.
Dari sela-sela pintu yang terbuka ia memandang ke luar, ke hijaunya dedaunan.
Ketika terasa angin yang silir menyusup lewat pintu yang terbuka menyentuh
wajahnya, ia menarik nafas dalam-dalam.
“Marilah, Paman,” berkata
Pandan Wangi, “aku antarkan Paman menghadap ayah.”
“Sudah tentu aku tidak akan
dapat ingkar,” jawab Argajaya. “Adalah hak ayahmu untuk memanggil aku, bahkan
menggantung aku di alun-alun kalau aku dianggapnya sebagai seorang pengkhianat
yang telah menodai Tanah Perdikan ini.”
Pandan Wangi menahan nafasnya
sejenak. Ditatapnya wajah pamannya yang cekung dan pucat. Tetapi pada wajah itu
kini sudah tidak dilihatnya lagi gelora yang menyala seperti sebelum terjadi
peperangan yang telah membuat Tanah Perdikan Menoreh menjadi abu. Wajah yang
pucat itu kini seolah-olah seperti wajah telaga yang tenang. Pasrah.
“Paman,” berkata Pandan Wangi
kemudian, “aku menjamin bahwa ayah tidak akan menghukum Paman, apabila Paman
sejak kini masih tetap menjadi seorang putra Menoreh yang bersedia uutuk
bersama-sama membangun tanah ini kembali.”
“Jangan, Pandan Wangi,” potong
pamannya, “jangan memberikan jaminan apa-apa. Kalau kau berbeda pendirian
dengan ayahmu, maka akan timbul persoalan-persoalan berikutnya sebagai akibat
jaminan yang kau berikan itu.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sifat-sifat itu masih juga ditemui pada pamannya yang agaknya
sudah pasrah.
“Sekarang, bawalah aku
menghadap ayahmu. Apa pun yang akan diperlakukan atasku, aku tidak akan dapat
ingkar. Aku tidak dapat menolak dengan cara apa pun. Kasar atau halus.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ia bergeser ketika pamannya perlahan-lahan melangkah ke luar pintu.
Selangkah di luar pintu Ki
Argajaya berhenti sejenak. Disekanya matanya, seakan-akan ia menjadi silau
melihat sinar matahari yang menyala di halaman. Namun sejenak kemudian ia
melangkah lagi dengan kepala tunduk. Ki Argajaya sama sekali tidak mempedulikan
siapa saja yang memandanginya dari dekat dan kejauhan. Ia tidak melihat gembala
tua, Gupita dan Gupala, Sumangkar dan bahkan Sekar Mirah yang memandanginya
dengan tatapan mata yang tidak berkedip.
Perlahan-lahan Ki Argajaya
berjalan naik ke pendapa, kemudian masuk ke pringgitan diantar oleh Pandan
Wangi. Beberapa langkah di belakangnya, gembala tua itu mengikutinya. Tetapi ia
tidak ikut memasuki bilik Ki Argapati. Karena itu, maka ia pun kemudian duduk
saja di ruang tengah bersama beberapa orang prajurit yang bertugas mengawasi
bilik Sidarti.
Ketika kaki Argajaya memasuki
bilik kakaknya yang masih berbaring, rasanya kaki itu menjadi lemah dan
gemetar. Karena itu maka langkahnya pun tertegun sejenak. Terlampau sulit
baginya untuk mengendalikan perasaannya yang tiba-tiba saja bergolak.
“Kau Argajaya,” terdengar
suara Ki Argapati datar.
Ki Argajaya menelan ludahnya.
“Marilah. Duduklah.”
Ki Argajaya tidak menjawab.
Tetapi ia maju selangkah.
“Duduklah.”
Pandan Wangi pun kemudian
memberikan sebuah dingklik kayu kepadanya.
Ki Argajaya pun kemudian duduk
di atas dingklik kayu itu di dekat pembaringannya Ki Argapati.
“Mendekatlah Argajaya. Badanku
masih belum terlampau baik untuk duduk terlampau lama.”
Argajaya tidak menjawab dan
tidak bergeser dari tempatnya.
Terdengar desah nafas Ki Gede,
kemudian Ki Gede itu pun perlahan-lahan bangkit.
Pandan Wangi segera
mendekatinya dan menolongnya duduk. Tetapi ia bertanya, “Apakah Ayah tidak
terlampau lelah?”
Ki Argapati menggeleng,
“Tidak, Wangi.”
Pandan Wangi tidak bertanya
lagi. Dibantunya ayahnya menempatkan diri, duduk menghadap kepada adiknya,
Argajaya.
Setelah menarik nafas dalam-dalam
Ki Argapati berkata, “Argajaya. Kau sudah mendengar akibat dari peperangan yang
baru saja terjadi?”
Ki Argajaya yang menundukkan
kepalanya itu mengangguk.
“Ya, Kakang. Aku
mendengarnya.”
“Baik,” sahut Ki Argapati,
“bukankah kau juga mendengar bahwa Tanah Perdikan ini sudah benar-benar menjadi
abu?”
“Ya, Kakang.”
“Ini adalah suatu contoh dan
pengalaman yang baik bagi masa depan. Setiap perpecahan tidak akan membawa
manfaat apa pun bagi Tanah ini. Seandainya Ki Tambak Wedi, kau, dan Sidanti memenangkan
perang yang baru saja terjadi itu, kalian pun pasti hanya akan menemukan
sisa-sisa seperti Tanah Perdikan ini sekarang. Kerusuhan masih terdapat di
mana-mana. Setiap saat rakyat masih selalu dicengkam oleh ketakutan. Mereka
yang selalu menghantui rakyat Tanah Perdikan Menoreh ini.”
Dan tiba-tiba saja Ki Argapati
bertanya, “Bagaimana dengan anakmu?”
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Dengan kepala yang masih menunduk ia berkata, “Aku tidak tahu, apa
yang telah terjadi atasnya.”
“Pandan Wangi sudah mencoba
mencarinya.”
Ki Argajaya tidak menyahut,
sedang Pandan Wangi menjadi berdebar-debar. Untunglah bahwa mereka tidak
membicarakan anak itu lebih jauh.
“Itu adalah salah satu
gambaran, Argajaya,” berkata Ki Argapati, “ayah yang terpisah dari anak, anak
yang terpisah dari ibu dan isterinya yang terpisah dari suami.”
Argajaya masih tetap berdiam
diri.
“Meskipun hal itu dapat
dianggap wajar terjadi dalam peperangan, tetapi alangkah baiknya kalau
peperangan, perpecahan lebih-lebih di antara keluarga sendiri itu tidak
terjadi. Dengan demikian tidak akan ada suami yang terpisah dari isterinya, ibu
yang terpisah dari anaknya dan anak yang terpisah dari bapaknya. Lebih
menyedihkan lagi, apabila anak dan ayah, adik dan kakak telah memilih pihak
yang berlawanan seperti yang sudah terjadi atas kita berdua, justru sebagai
pusat perhatian orang-orang dari tlatah Menoreh ini. Maka jalur perpecahan itu
akan membelah seluruh rakyat Tanah Perdikan ini. Bahkan akan membelah
keluarga-keluarga dan saudara-saudara sekandung seperti kita pula.”
Ki Argajaya masih saja
menundukkan kepalanya. Tetapi kata-kata kakaknya itu telah menyentuh hatinya.
Terbayang kembali peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di atas Tanah Perdikan
ini. Pertempuran demi pertempuran. Kekerasan dan perampasan yang hampir tidak
terkendali atas rakyat yang seakan-akan tidak terlindungi lagi.
Dan tiba-tiba Ki Argajaya itu
memandang ke dirinya sendiri. Benarkah bahwa ia melakukan perlawanan atas
kakaknya itu hanya karena ia memerlukan perlindungan terhadap orang-orang
Pajang yang mungkin masih mencarinya sampai ke Tanah Perdikan Menoreh? Benarkah
bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain kecuali berpihak kepada Sidanti dan Ki
Tambak Wedi karena ia sudah terlanjur terlibat dalam peperangan di Tambak Wedi?
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak dapat membohongi dirinya sendiri, bahwa ia merasa
satu-satunya keluarga trah Argapati. Kalau Ki Argapati tidak ada lagi, maka ia
adalah satu-satunya waris yang sah atas Tanah Perdikan ini. Sudah tentu ia harus
menyingkirkan Pandan Wangi pula. Ia tidak lagi terhalang oleh Sidanti, karena
ia akan segera dapat mengumumkan bahwa Sidanti sama sekali bukan darah
keturunan Ki Argapati.
Tetapi yang terjadi kini
adalah sama sekali tidak seperti yang dibayangkannya waktu itu. Yang terjadi,
Tanah Perdikan Menoreh kini menjadi abu setelah terbakar oleh api peperangan di
antara keluarga sendiri.
Dan Ki Argajaya yang sedang
merenung itu kemudian mendengar suara Ki Argapati, “Argajaya, apakah kau
merasakan semuanya itu kini?”
Argajaya mengangguk perlahan,
“Ya, Kakang. Aku merasakan kini. Dan aku tidak ingkar, bahwa aku telah ikut
membakar Tanah Perdikan Menoreh apa pun alasanku. Karena itu, sekarang Kakang
dapat menjatuhkan keputusan, apakah aku akan digantung, atau dipancung atau
dipicis sekalipun.”
Ki Argapati mengerutkan
alisnya. Katanya, “Kau masih seperti dulu. Apakah kau tidak dapat menanggapi
keadaan ini dengan cara yang lain-lain. Apakah kau masih saja mengeraskan
hatimu meskipun kau sudah melihat sendiri Tanah Perdikan ini terbakar menjadi
abu?”
Ki Argajaya mengangkat
wajahnya. Sorot matanya memancarkan pertanyaan yang tersimpan di dalam hatinya
atas kata-kata kakaknya.
“Argajaya,” berkata Ki
Argapati kemudian, “kalau kau masih berkeras hati, maka harapanku untuk
membangun Tanah ini akan lenyap sama sekali. Aku sendiri bukan orang yang dapat
menahan diri dan bersabar menghadapi persoalan-persoalan yang berat. Apalagi
dalam keadaanku sekarang. Karena itu, aku harap kau dapat mengerti maksudku.
Aku pun tidak akan dapat merendahkan diri, mohon kepadamu agar kau sudi
membantu aku, seperti kau tidak akan mengatakan kepadaku, bahwa kau merasa
bersalah, kemudian minta agar kesalahan itu diampuni dan mendapat kesempatan
untuk hidup. Tidak. Kau tidak mau dan aku pun tidak, karena kita masing-masing
adalah orang-orang yang berhati batu.”
Dada Ki Argajaya tiba-tiba
menjadi berdebar-debar. Dan ia mendengar Ki Argapati berkata seterusnya, “Kau
merasa lebih jantan apabila kau digantung atau dipacung di alun-alun, sehingga
karena itu kau menantang aku untuk melakukannya.” Argapati berhenti sejenak,
lalu, “Argajaya. Kalau aku menuruti perasaanku, aku cenderung untuk memenuhi
tantanganmu. Tetapi dengan demikian aku tidak berhasil mengatasi persoalan di
antara kita sendiri dengan cara yang baik. Yang aku inginkan, kita dapat
membangun Tanah yang sudah menjadi abu ini. Tentu saja dengan ikhlas.”
Ki Argajaya tidak menjawab.
Tetapi kepalanya kini tertunduk semakin dalam.
“Kita masing-masing harus
bersedia mengorbankan sebagian kecil harga diri kita masing-masing. Mungkin aku
terpaksa menelan ucapan-ucapan orang yang tidak senang melihat sikap ini, bahwa
aku tidak berani mengambil sikap yang tegas, atau karena kau adalah adik
kandungku. Dan kaupun barangkali akan mendapat sebutan seorang pengecut yang
minta ampun dan tidak bertanggung jawab setelah kalah di peperangan. Tetapi
kalau kelak kita dapat membuktikan bahwa kita berhasil membangun Tanah Perdikan
ini sehingga menjadi pulih kembali, maka suara-suara itu akan hilang dengan
sendirinya.”
Ki Argajaya tidak menyahut.
“Tetapi sudah tentu, bahwa
persetujuan di antara kita harus dibuat dengan ikhlas. Kalau tidak, maka
benih-benih api yang akan membakar Tanah ini, kelak masih belum terpadamkan.”
Terasa sesuatu bergetar di
dada Argajaya. Belum pernah ia mendapat sentuhan begitu tajam pada dinding
jantungnya, sehingga tanpa sesadarnya kepalanya terangguk-angguk lemah.
“Bagaimana pendapatmu,
Argajaya?”
Sejenak ia masih berdiam diri.
Tetapi kepalanya masih terangguk-angguk.
“Apakah kau dapat mengerti dan
bersedia untuk bersama-sama dengan semua orang yang masih ada dan sejalan
dengan pikiran kita untuk membangun kembali Tanah ini.”
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian diangkatnya kepalanya perlahan-lahan sambil berdesis,
“Ya, Kakang. Aku mengerti maksud Kakang. Agaknya meskipun samar-samar aku telah
dapat melihat ke dalam diriku sendiri. Apakah memang benar kata-kata Kakang
Argapati bahwa aku adalah orang yang keras kepala? Jika demikian, maka biarlah
aku mencoba untuk melunakkan diri sendiri. Dan agaknya aku memang harus
mengakui bahwa aku kadang-kadang tidak dapat mempertimbangkan sikapku lebih
dahulu.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,” berkata Ki
Argapati, “apakah katamu tentang masa depan Tanah ini, tentang kau dan tentang
aku? Apakah kau dapat menerima pendapatku?”
Ki Argajaya mengangguk-angguk
kecil pula, sambil menyahut perlahan-lahan, “Aku akan menerima kemurahan hati
Kakang itu dengan segala senang hati dan terima kasih. Kalau aku memang masih mendapat
kesempatan, maka kesempatan itu akan aku pergunakan sebaik-baiknya.”
Sejenak Ki Argapati berdiam
diri sambil menatap wajah adiknya seakan-akan ingin mengunyah jawaban itu di
dalam hati.
Sepercik harapan telah tumbuh
di dalam dada Ki Argapati, bahwa ia akan dapat menyiapkan kembali Tanah
Perdikan Menoreh, meskipun ia masih harus tetap mempunyai kecurigaan, bahwa
masih ada benih-benih yang dapat menyalakan api di kemudian hari.
“Agaknya laporan-laporan
tentang Argajaya ada juga benarnya,” katanya di dalam hati. “Setelah ia
mendapat kesempatan menilai perbuatannya, maka agaknya ia menemukan
kesadarannya.”
Tanpa sesadarnya Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Ketika terpandang olehnya
wajah putrinya Pandan Wangi, maka putrinya itu pun mengangguk kecil.
“Agaknya Pandan Wangi
menyetujui pembicaraan ini,” katanya di dalam hati pula, “tetapi, apabila
pembicaraan nanti sampai pada Sidanti, apakah juga akan dapat selancar ini?”
Sejenak mereka yang ada di
dalam ruangan itu saling berdiam diri, tenggelam dalam angan-angan
masing-masing.
“Argajaya,” berkata Ki
Argapati kemudian, “aku merasa bahwa aku pun akan segera sembuh sama sekali.
Kalau kau dapat melupakan apa yang terjadi, maka aku kira Tanah ini akan segera
pulih kembali seperti sedia kala.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Argajaya,” berkata Ki
Argapati kemudian, “aku akan segera mempersiapkan segala sesuatunya. Aku juga
akan segera bertemu dengan Sidanti. Mudah-mudahan hatinya pun sudah terbuka.
Dengan demikian kita akan segera dapat bersama-sama membangun Tanah yang
tinggal sisa-sisanya ini.”
Tetapi dada Argajaya tiba-tiba
menjadi berdebar-debar. Ia mengenal benar sifat Sidanti yang keras seperti batu
hitam. Karena itu, apakah usaha Ki Argapati itu akan berhasil?
Sejenak Ki Argajaya melihat ke
dirinya sendiri. Ke hatinya yang semula tidak kalah kerasnya dari Sidanti.
Namun akhirnya hatinya menjadi luluh. Bukan saja karena ia menyadari segala
kekeliruannya, tetapi sebagian juga karena sikap Argapati yang tidak
disangka-sangka. Menurut pengenalan Ki Argajaya, kakaknya itu pun berhati
padas. Namun agaknya kali ini ia sempat mempergunakan nalarnya. Bukan sekedar
perasaannya.
“Argajaya,” berkata Ki
Argapati kemudian, “meskipun kita sudah menemukan persetujuan, tetapi aku minta
maaf, bahwa aku masih akan mempersilahkan kau kembali ke dalam bilikmu. Mungkin
bilik itu sama sekali tidak memadai. Setelah aku menemukan kesamaan pendapat
dengan Sidanti, kita akan segera berbuat sesuatu. Kau akan segera dapat mencari
anakmu bersama dengan beberapa orang yang akan mengawani kau dalam perjalanan,
karena orang-orang yang tidak puas mungkin masih akan melakukan
tindakan-tindakan yang tidak sepantasnya.”
“Terserahlah kepada Kakang,”
jawab Ki Argajaya.
“Nah, Argajaya, biarlah Pandan
Wangi membawamu kembali. Besok atau lusa kita akan bertemu lagi. Hari ini aku
akan berusaha bertemu dengan Sidanti supaya masalahnya, lekas selesai.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menahan diri ketika dari mulutnya
meloncat suatu peringatan kepada kakaknya, “Hati-hatilah terhadap Sidanti,
Kakang.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Tetapi dari lontaran kata-kata itu ia melihat ketulusan hati
Argajaya. Karena itu maka ia menjawab, “Terima kasih Argajaya. Aku akan
berhati-hati kepadanya. Tetapi aku telah mengenalnya sejak kecil. Ia adalah
anakku.”
Ki Argajaya memandang wajah
Argapati sejenak. Tetapi tampaklah kemuraman yang dalam menikam jantungnya.
Kata-kata itu telah dipaksanya untuk meloncat dari bibirnya, sedang hatinya
sendiri tersayat karenanya.
Namun Ki Argajaya tidak
berkata apa pun lagi.
“Argajaya,” Ki Argapatilah
yang berkata lagi, “biarlah Pandan Wangi mengantarkan kau.” Kemudian kepada
Pandan Wangi ia berkata, “Langsung sajalah kau pergi menjemput kakakmu. Bawalah
ia kemari. Aku ingin berbicara pula kepadanya.”
“Baik, Ayah,” jawab Pandan
Wangi.
“Marilah, Wangi,” berkata Ki
Argajaya. Lalu kepada Ki Argapati, “Aku minita diri Kakang. Aku menunggu apa
pun yang akan Kakang lakukan. Tetapi sebelumnya aku mengucapkan banyak terima
kasih atas kebaikan hati Kakang itu.”
“Sudahlah. Kita saling
memerlukan.”
Pandan Wangi pun kemudian,
mengantarkan pamannya keluar dari bilik ayahnya. Di ambang pintu, Pandan Wangi
melihat gembala tua itu duduk di antara mereka yang bertugas menjaga Sidanti.
“Hem, gembala itu tidak
percaya lagi kepada Paman Argajaya dan barangkali juga kepada Kakang Sidanti,”
katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak mengucapkan kata-kata itu.
Ketika Argajaya juga melihat
gembala itu, maka ia pun segera berpaling. Ia masih belum dapat mengatur
perasaannya apabila ia melihat orang-orang dari luar Tanah Perdikan ini, tetapi
terlampau banyak ikut mencampuri masalah di dalam wilayah ini.
Karena itu, maka Argajaya pun
kemudian melangkah tanpa berpaling lagi diikuti oleh Pandan Wangi. Apalagi
ketika di luar pendapa ia melihat Gupita dan Gupala dan bahkan Sekar Mirah ada
di antara mereka. Dahinya pun segera menjadi berkerut-merut. Tetapi tidak ada
yang dapat dilakukannya selain membuang wajahnya. Ia menjadi muak mendengar
suara Gupala dan Gupita dari dalam biliknya, selama Gupala dan Gupita bertugas
di luar pintu menungguinya.
“Mereka pun harus pergi.
Selama mereka masih ada di atas Tanah ini, Kakang Argapati tidak akan dapat
melakukan pekerjaannya sesuai dengan kehendaknya yang murni. Orang-orang ini
pun pasti mempunyai maksud pula untuk kepentingan diri mereka sendiri, yang
mungkin bertentangan dengan kepentingan Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam
hati.
Gupala dan Gupita pun sama
sekali tidak menegurnya. Bahkan mereka pun kemudian berpaling pula memandang
kearah lain.
Sejenak kemudian Ki Argajaya
telah masuk kembali ke dalam biliknya. Namun pertemuannya dengan kakaknya
menjadikannya semakin menyadari diri. Meskipun perlahan-lahan namun pasti,
bahwa Ki Argajaya merasa, bahwa tidak ada jalan lain daripada menundukkan
kepalanya kembali di hadapan kakaknya. Baik sebagai seorang saudara muda,
maupun sebagai seorang warga Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Argajaya mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata, “Silahkan, Paman, aku minta
diri untuk menemui Kakang Sidanti.”
“O,” Ki Argajaya menjawab,
“baiklah. Mudah-mudahan semuanya dapat berjalan lancar seperti yang diharapkan
oleh ayahmu. Sekali lagi aku menyampaikan terima kasih atas kemurahannya.
Tetapi aku pun berpesan, agar orang-orang asing itu segera diusir dari Tanah
ini. Mereka akan menjadi benalu yang memuakkan apabila mereka dibiarkan untuk
tetap berada di atas Tanah ini.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. “Maksud Paman?” ia bertanya.
“Orang-orang gila itu.
Swandaru, Agung Sedayu, gurunya, dan orang-orang lain yang datang bersamanya.
Termasuk perempuan muda itu pula.”
Pandan Wangi menarik nafas.
Tetapi ia tidak menjawab. Yang dikatakannya kemudian, “Silahkan Paman beristirahat.
Aku akan menemui Kakang Sidanti.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia melangkah ke pembaringannya di dalam bilik yang gelap
dan lembab.
Sejenak kemudian pintu bilik
itu pun tertutup kembali. Argajaya merasa bahwa kini ia kembali terpisah dari
dunia di sekitarnya. Dunianya adalah ruangan yang sempit, gelap, dan lembab.
Dunia yang sama sekali tidak berarti apa-apa itu.
Ia mengangkat kepalanya ketika
ia mendengar pintu, biliknya diselarak dari luar. Dan ia berdesah ketika ia mendengar
suara Gupala, “Aku akan menungguinya.”
“Jagalah ia baik-baik,” pesan
Pandan Wangi.
“Tentu. Aku akan menjaganya
baik-baik.”
Sejenak kemudian tidak
terdengar apa-apa lagi. Sepi. Agaknya Pandan Wangi telah pergi meninggalkan
pintu biliknya.
Sebenarnyalah bahwa Pandan
Wangi telah pergi. Dengan hati yang berdebar-debar ia menuju ke bilik kakaknya.
Terasa sesuatu yang lain. Dan gadis itu sadar, bahwa kakaknya Sidanti memang
bersikap lain dari pamannya, Ki Argajaya.
“Aku akan mencoba melunakkan
hatinya,” katanya di dalam hati. Namun demikian Pandan Wangi sendiri masih
ragu-ragu. Apakah ia akan berhasil? Agaknya hati Sidanti benar-benar sudah
mengeras, sekeras batu hitam.
“Tetapi kami harus berusaha.
Keputusan terakhir terserah kepada Ayah,” ia berbicara kepada dirinya sendiri.
Di muka pintu ruangan tengah
ia menjadi ragu-ragu sejenak. Ia masih melihat gembala tua itu duduk di antara
penjaga bilik Sidanti.
“Marilah, Ngger,” gembala itu
mempersilahkan.
Pandan Wangi maju beberapa
langkah, kemudian katanya, “Kiai, aku mendapat perintah dari ayah untuk membawa
Kakang Sidanti menghadap sekarang.”
“Sekarang?” bertanya gembala
itu.
“Ya. Ayah ingin menyelesaikan
pembicaraan ini sama sekali. Kemudian ayah akan segera dapat menyusun rencana
untuk Tanah Perdikan ini. Rencana yang segera dapat dikerjakan, dan rencana
yang akan dikerjakan kemudian.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Pembicaraan antara Ki Argapati dan Sidanti
pasti akan merupakan peristiwa yang cukup penting. Sementara itu ia tidak
melihat Ki Samekta dan Ki Kerti.
“Karena itu,” berkata Pandan
Wangi kemudian, “aku akan menemui Kakang Sidanti sekarang.”
“Ya, ya. Silahkan,” berkata
orang tua itu. “Tetapi apakah Angger melihat Ki Samekta dan Ki Kerti?”
“’Mereka berada di antara para
pengawal. Mungkin sekarang mereka sedang nganglang atau melihat-lihat apa pun.”
“Apakah mereka tidak dipanggil
oleh Ki Argapati?”
“Kali ini tidak.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Kalau begitu, silahkanlah.
Tetapi hati-hatilah.”
“Aku adalah adiknya. Aku
mengenal tabiatnya sejak kanak-kanak.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya Pandan Wangi sama sekali tidak dapat
melepaskan hubungan yang telah mengikatnya sejak ia dilahirkan. Sebagai dua
orang anak yang dilahirkan oleh ibu yang sama, maka Pandan Wangi tetap merasa
sebagai seorang adik dan Sidanti adalah seorang kakak. Pergaulan mereka di masa
kanak-kanak pun agaknya membekas terlampau dalam di hati gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah perlahan-lahan mendekati ujung ruangan itu. Di muka pintu bilik
Sidanti, Pandan Wangi menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia berusaha menindas
setiap perasaan yang telah menghambatnya.
“Sekasar-kasar Kakang Sidanti,
ia tetap kakakku. Ia masih berusaha menolongku justru di permulaan pertentangan
antara Ayah dan Kakang Sidanti itu, sedang Kakang Sidanti sadar, bahwa aku
pasti akan berpihak kepada Ayah.”
Ketika Pandan Wangi maju
semakin dekat, maka seorang pengawal telah mendekatinya dan berkata, “Apakah
pintu ini akan dibuka.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi.
Pengawal itu pun kemudian maju
ke depan pintu. Perlahan-lahan ia meraba selaraknya, dan perlahan-lahan ia
mulai menarik. Namun demikian dadanya menjadi kian berdebar-debar. Berbagai
bayangan melonjak di kepalanya. Bagaimana kalau tiba-tiba saja pintu ini
menyentak terbuka. Kemudian sebuah pukulan melayang ke wajahnya, sehingga ia
menjadi pingsan.
Oleh angan-angannya sendiri,
maka tangannya menjadi semakin gemetar. Ketika selarak itu telah terlepas, maka
tiba-tiba selarak itu sekan-akan meloncat dari tangannya dan jatuh
berderak-derak dilantai.
Semua orang terkejut
karenanya. Lebih-lebih lagi adalah orang itu sendiri, sehingga ia meloncat
beberapa langkah surut sambil menarik pedangnya.
“He, kenapa kau?” bertanya kawannya.
Ketika ia menyadari keadaanya,
maka wajahnya menjadi merah padam. Tersipu-sipu ia menyarungkan pedangnya
kembali sambil melangkah maju.
“Kenapa kau, he?” bertanya
Pandan Wangi.
“Tidak apa-apa,” jawab
pengawal itu. Tetapi hatinya masih tetap berdebaran.
Ketika kemudian Pandan Wangi
perlahan-lahan membuka pintu, pengawal itu menekan nafasnya. Namun kemudian ia
menarik nafas dalam-dalam ketika dari sela-sela pintu yang mulai terbuka itu ia
melihat Sidanti duduk saja di pembaringannya. Bahkan berpaling pun tidak.
Seakan-akan ia tidak mendengar pintu itu terbuka dan adiknya melangkah masuk.
“Kakang,” desis Pandan Wangi
kemudian.
Tanpa berpaling Sidanti
katanya, “Kenapa kau kemari?”
Pandan Wangi tidak segera
menyahut. Selangkah ia maju. Ditatapnya wajah kakaknya yang muram dan gelap.
Rambutnya yang kusut dan ikat kepalanya yang tersangkut di lehernya.
Terasa dada Pandan Wangi
tergetar. Setiap kali ia melihat kakaknya itu dikawani oleh beberapa orang
pengawal dan diawasi oleh gembala tua, apabila ia pergi ke sumur atau ke
pakiwan. Namun ia tidak melihat wajah yang semuram dan segelap itu.
“Kenapa?” suaranya datar.
Terasa kesepian yang tajam
membakar dada anak muda itu. Ia merasa bahwa kini ia tinggal hidup sendiri.
Karena itu maka setiap orang sama sekali sudah tidak berarti lagi baginya. Juga
Pandan Wangi.
“Kakang,” berkata Pandan
Wangi, “aku perlu berbicara sedikit.”
“Tidak,” jawab Sidanti, “tidak
ada yang dapat kita bicarakan.”
“Tentu ada Kakang. Soal apa
pun juga.”
“Tidak. Pergilah. Tinggalkan
aku sendiri.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun ia maju selangkah, “Kakang, aku ingin berbicara kepadamu.
Bukankah aku adikmu.”
“Dahulu kau adikku. Tetapi
sekarang kau sudah berpihak kepada laki-laki tamak itu.”
Dada Pandan Wangi tergetar. Ia
memang sudah menyadari bahwa ia seakan-akan berdiri di simpang jalan yang
paling sulit untuk memilih arah. Sidanti adalah kakaknya, dan Argapati adalah
ayahnya. Tetapi sama sekali tidak ada hubungan darah antara Argapati dan
Sidanti itu. Bahkan sejak dilahirkan, sebuah jurang yang dalam memang telah
ternganga di antara keduanya. Betapa pun Ki Argapati mencoba menimbuni jurang
itu, namun ketika banjir bandang yang dahsyat melanda dari tebing-tebing
pegunungan, maka semua lumpur di dalam jurang yang sedikit demi sedikit
tertimbun itu telah hanyut kembali seluruhnya. Dan jurang itu kini menganga
semakin dalam dan semakin lebar.
“Kakang,” berkata Pandan
Wangi, “apa pun yang telah terjadi atas diri kita masing-masing, tetapi ikatan
itu tidak akan dapat berubah. Kau dilahirkan oleh Rara Wulan, dan aku pun
dilahirkan oleh perempuan itu pula. Kita tidak akan dapat lari dari kenyataan
itu. Kenyataan bahwa kita seibu. Kita adalah kakak-beradik.”
“Aku bukan laki-laki cengeng,”
suara Sidanti meninggi, “aku tidak mau terbelenggu oleh ikatan-ikatan yang
tidak aku kehendaki. Aku tidak minta dilahirkan oleh perempuan yang melahirkan
kau juga. Aku tidak pernah menghendaki apa pun atas kelahiranku. Justru aku
merasa tersiksa bahwa aku telah dilahirkan oleh perempuan yang bernama Rara
Wulan itu, karena ia berhubungan dengan laki-laki yaug bukan bakal suaminya.”
“Kakang.”
“Apakah kau akan ingkar?
Bukankah kau yang mengatakan bahwa kita tidak dapat lari dari kenyataan. Dan
kenyataan itu mengatakan bahwa perempuan yang bernama Rara Wulan itu telah
berbuat keji karena ia berhubungan dengan Ki Tambak Wedi sehingga aku terlempar
ke dunia dengan cacat yang tidak akan terhapuskan. Apakah aku harus berbangga
dan berterima kasih atas kejadian serupa itu? Kalau kemudian Rara Wulan itu
melahirkan kau juga itu sama sekali tidak aku minta.” Sidanti berhenti sejenak,
lalu, “apakah sekarang aku harus tetap mengikatkan diri pada masalah-masalah
dan hubungan yang tidak aku kehendaki itu. Tidak. Tidak. Aku kini sudah
melepaskan diri dari semuanya itu. Aku adalah aku. Aku tidak terikat oleh siapa
pun.”
“Kakang,” suara Pandan Wangi
menjadi semakin dalam, “hatimu menjadi gelap. Kau sudah kehilangan dirimu
sendiri.”
“Di dalam bilik yang sempit
ini aku menemukan diriku. Aku. Aku. Tanpa orang lain aku tetap Sidanti. Dan
kini suatu kenyataan pula, yang menurut kau, sebaiknya tidak kita hindari bahwa
aku adalah aku sendiri. Tanpa kau, tanpa Argapati, tanpa Tambak Wedi seandainya
ia masih hidup, tanpa Argajaya, dan tanpa Rara Wulan seandainya ia masih ada
pula.”
Pandan Wangi menggelengkan
kepalanya. Tetapi matanya mulai basah, “Tidak, Kakang. Tidak mungkin. Kau
adalah putra ibuku. Itu tidak akan dapat berubah betapa pun kau membencinya,
betapa kau menganggap ia perempuan yang paling hina sekalipun. Kau dapat malu
kepada dirimu sendiri, bahwa kau mempunyai seorang ibu bernama Rara Wulan dan
seorang ayah bernama Tambak Wedi, tetapi kau tidak dapat menghapusnya. Itu
sudah terjadi. Kau sudah lahir. Dan kau adalah kau itu juga.”
Suara Pandan Wangi terpotong
oleh isaknya yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya. Sejenak ia tidak dapat
mengucapkan kata-kata selain suara isaknya yang tertahan-tahan.
Sidanti masih duduk di
tempatnya. Ia sama sekali tidak berpaling dan beringsut sama sekali. Tatapan
matanya yang tajam, seakan-akan terpaku ke sudut bilik yang sempit itu.
Dengan susah payah Pandan
Wangi mencoba menahan perasaannya. Dengan susah payah ia membendung air
matanya. Tetapi setitik-setitik air mata itu jatuh pecah di atas lantai.
“Kau hanya akan memamerkan
tangismu,” geram Sidanti kemudian.
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Dengan ujung bajunya ia mengusap matanya yang basah.
“Kalau kau hanya akan
menangis, sebaiknya kau keluar.”
“Tidak. Aku tidak menangis,”
jawab Pandan Wangi terputus-putus.
“Bohong! Kau menangis.”
“Tidak.”
“Air matamu mengalir semakin
deras.”
“Itu adalah air mata
kegadisanku. Tetapi aku tidak mau tunduk pada perasaan itu. Aku harus tetap
pada suatu pendirian bahwa kau harus menghadap Ayah saat ini. Memang itu bukan
ayahmu, itu adalah ayahku. Tetapi kita bersama-sama adalah putra Tanah Perdikan
ini yang bersama-sama mempunyai tanggung jawab bagi masa depannya. Kau
dilahirkan dan dibesarkan di atas Tanah ini meskipun kau kemudian pergi ke
Tambak Wedi. Ibumu adalah anak Tanah ini juga. Kau tidak dapat acuh tidak acuh
terhadap masa depan Tanah ini. Mungkin orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu
seandainya masih hidup sama sekali tidak peduli, apakah Tanah ini menjadi abu
atau akan tetap berkembang. Tetapi kau tidak. Kau tidak dapat.”
“Diam! Diam!” bentak Sidanti.
“Kenapa aku harus diam?
Marilah kita berbicara tentang diri kita, pendirian kita, sikap kita dan
pandangan hidup kita masing-masing. Baik atas Tanah Perdikan Menoreh maupun
atas diri kita sendiri.”
“Cukup! Cukup!”
“Aku akan berbicara. Kalau kau
akan berbicara, berbicaralah. Mungkin kau akan melepaskan endapan-endapan yang
selama ini terpaksa kau simpan di dalam dadamu. Sekarang lontarkanlah semuanya.
Mungkin kau akan mengatakan bahwa Argapati adalah seorang yang tamak, yang
tidak bertanggung jawab, yang hanya mementingkan dirinya sendiri, yang apa
lagi, apa lagi. Kemudian kau dapat menilai orang-orang lain, menilai aku,
menilai ibuku dan ibumu itu dan menilai apa pun juga. Berbicaralah,
berteriaklah sepuas-puasmu.” Pandan Wangi berhenti sejenak, kemudian, “Tetapi
apa yang sudah terjadi akan tetap seperti yang sudah terjadi itu. Kau akan
tetap menjadi anak Rara Wulan seperti aku.”
“Cukup, cukup!” Sidanti
berteriak semakin keras, sehingga setiap orang yang berada di ruang tengah
menjadi berdebar-debar. Gembala tua yang ada di ruangan itu telah beringsut
mendekat. Ia tidak dapat lengah, seandainya Sidanti kehilangan kendali atas
dirinya sendiri.
Tetapi yang dilihatnya,
Sidanti itu tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Sejenak bilik itu menjadi
sepi. Hanya desah nafas mereka sajalah yang terdengar, saling berkejaran.
Dengan dada yang
berdebar-debar mereka yang berada di luar bilik itu melihat lewat pintu yang
masih terbuka, apa yang kira-kira akan terjadi.
Mereka kemudian menahan nafas
ketika tiba-tiba saja mereka melihat Pandan Wangi meloncat maju. Dengan
serta-merta ia berjongkok di hadapan kakaknya yang masih menundukkan kepalanya
dalam-dalam. Dengan nada suara yang meninggi Pandan Wangi berkata sambil mengguncangi
lengan Sidanti, “Kakang. Kakang. Dengarlah kata-kataku. Aku datang kepadamu
sebagai seorang anak Tanah Perdikan ini, dan lebih daripada itu aku tidak akan
dapat melepaskan diri dari ikatan kekeluargaan kita. Kakang. Apakah kau tidak
sempat melihat ke dalam dirimu, ke masa lampau kita dan ke masa datang yang
panjang?”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
ia tidak dapat menatap wajah adiknya, sehingga karena itu ia memalingkan
wajahnya.
“Kakang. Berbicaralah seperti
kau dahulu berbicara kepadaku.”
Sidanti masih tetap berdiam
diri.
“Kakang. Kenapa kau diam saja,
kenapa?”
Tetapi Sidanti masih tetap
mematung.
Akhirnya bagaimanpun juga,
Pandan Wangi tetap seorang gadis yang tidak kuat menahan gelora perasaannya.
Seperti bendungan yang tidak tahan lagi menahan arus banjir yang melandanya,
Pandan Wangi kemudian menangis sejadi-jadinya. Tanpa malu-malu diletakkannya
kepalanya di pangkuan kakaknya yang masih duduk diam seperti patung batu.
Tetapi Sidanti tidak
mengusirnya. Sidanti tidak lagi berkata. Terasa sesuatu bergetar di dada anak
muda yang keras hati itu. Guncangan isak tangis Pandan Wangi telah mengguncang
jantungnya pula.
Kembali keduanya terdiam.
Tetapi kini yang terdengar adalah isak tangis Pandan Wangi yang semakin keras.
Air matanya pun menjadi semakin deras mengalir.
Tetapi Sidanti tidak
mengusirnya Sidanti tidak lagi berteriak-teriak. Meskipun hatinya telah
mengeras sekeras batu, namun Pandan Wangi tetap mempunyai kesan yang lain
padanya. Meskipun ia berusaha, tetapi ia tidak akan dapat melepaskan dirinya
dari kenangan masa kanak-kanaknya.
Terbayang di angan-angannya
gadis kecil itu menangis memeluknya sambil berkata terputus-putus, “Kakang,
anak itu nakal Kakang. Aku dicubitnya. Permainanku diambilnya.”
Di saat-saat yang demikian
itulah ia berteriak, “Siapa yang nakal? Tunggu di sini. Aku pilin tangannya.”
Tetapi apakah yang harus
dilakukannya kini? Pandan Wangi kini menangis di pangkuannya dalam keadaan yang
jauh berbeda dari tangis seorang gadis kecil.
Apalagi pikiran Sidanti
sendiri memang sedang kalut oleh keadaan yang tidak menentu baginya. Sidanti
tidak tahu apa yang akan terjadi atas dirinya. Mungkin Ki Argapati kini sudah
menyiapkan seorang pengawal untuk memenggal lehernya, atau menggantungnya di
alun-alun. Sedang kini Pandan Wangi sedang membujuknya untuk menghadap ayahnya,
agar ia dapat mendengar keputusan hukuman itu.
Terasa dada Sidanti bergetar.
Hampir saja ia mendorong Pandan Wangi dan melemparkannya ke sudut ruangan.
“Ia membawa sepasang pedang,”
katanya di dalam hati, “Aku dapat mengambilnya dan mempergunakannya. Atau aku
dapat menjadikan gadis ini sebagai perisai untuk keluar dari rumah ini.”
Ketika Sidanti hampir saja
melakukannya, tiba-tiba tangannya menjadi gemetar. Ia benar-benar tidak dapat
berbuat demikian betapa pun ia sendiri sedang dilanda oleh kekalutan hati.
Meskipun Sidanti mencoba menyingkirkan segala macam pertimbangan, namun ia
masih tetap diam tanpa berbuat sesuatu.
Sejenak kemudian, ketika
tangis Pandan Wangi mereda, maka terdengar suaranya kembali, “Kakang, apakah
kau mendengarkan aku?”
Sidanti tidak menjawab.
“Akulah yang minta kepadamu.”
“Kau membujuk aku, Wangi. Kau
ingin mengeluarkan aku dari bilik ini, dan tidak akan kembali lagi ke mari.”
“Kenapa, Kakang?”
“Sidanti akan tinggal namanya
saja,” sahut Sidanti. “Aku menyesal bahwa aku tidak terbunuh di peperangan. Itu
akan menjadi jauh lebih baik dari keadaanku sekarang.”
“Tidak. Kalau kau terbunuh,
maka tidak akan ada kemungkinan lagi bagimu, untuk turut serta membangun Tanah
ini.”
“Sekarang pun tidak.”
“Ada. Seperti Paman Argajaya.
Paman telah menyatakan kesediaanya untuk ikut serta membangkitkan Tanah ini
kembali.
Sidanti mengerutkan keningnya.
“Begitukah dengan Paman Argajaya?”
“Ya.”
Sidanti terdiam sejenak.
Wajahnya menjadi tegang kembali. Namun sejenak kemudian ia menarik nafas.
“Argajaya adalah adik
Argapati,” katanya. “Aku bukan apa-apanya.”
“Itu tidak penting. Yang
penting, kita adalah putra-putra Tanah Perdikan. Pada kitalah terletak tanggung
jawab masa depan Tanah ini. Tanah yang kini sudah menjadi abu.”
“He, kau ingin mengatakan
bahwa akulah yang telah membakar Tanah ini, dan adalah menjadi tanggung jawabku
untuk mengembalikannya kembali.”
“Tidak. Bukan itu. Kita akan
melupakan apa yang sudah terjadi. Kita akan melupakannya.”
Sidanti terdiam sejenak.
Ditatapnya wajah adiknya dengan saksama. Dilihatnya wajah itu tidak secerah
wajahnya dahulu. Betapa sayunya.
Ketika Pandan Wangi kemudian
menatapnya dengan mata yang merah karena tangis, Sidanti tidak dapat menolaknya
lagi.
“Aku minta kau pergi kepada
Ayah, Kakang.”
Sidanti tidak menjawab.
“Bukankah kau bersedia?”
Sidanti akhirnya menganggukkan
kepalanya.
“Kalau bukan kau, Wangi, aku
tidak akan beranjak dari tempat ini apa pun yang akan terjadi atasku. Aku kira
aku akan lebih merasa berbahagia kalau aku mati di bilik ini daripada di
alun-alun.”
“Aku yang meminta kau pergi.”
Sidanti mengangkat wajahnya.
Dipandanginya sudut-sudut bilik ini, seolah-olah ia tidak akan dapat melihatnya
lagi.
“Di sini aku tinggal di masa kecil
itu. Di bilik ini pula aku tidur. Kadang-kadang sendiri, kadang-kadang bersama
Paman Argajaya.”
Sidanti terdiam sejenak, “aku
merasa bersyukur bahwa aku masih sempat melihat untuk yang terakhir kalinya
sebelum aku mati.”
“Kau tidak akan mati.”
“Marilah, Pandan Wangi,”
berkata Sidanti, “aku sudah muak melihat wajah-wajah di luar bilik ini. Kau
lupa menutup pintu.”
Pandan Wangi berpaling. Ia
melihat beberapa orang yang duduk di ruang dalam agak jauh dari pintu bilik
itu.
“Mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa.”
“Maksudku, mereka adalah
orang-orang yang memuakkan. Mereka adalah penjilat-penjilat yang tidak tahu
diri.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Ia takut kalau suasana itu akan rusak karenanya. Karena itu, maka ia hanya
sekedar menganggukkan kepalanya saja.
Pandan Wangi kemudian berdiri
ketika air matanya sudah menjadi agak kering. Sidanti pun berdiri pula dan
berjalan mengikuti Pandan Wangi. Sekali-sekali matanya masih juga tertarik pada
sepasang pedang di lambung adiknya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.
Ketika ia melintasi ruang
tengah, anak muda itu sama sekali tidak mengacuhkan, siapa saja yang duduk di
atas tikar pandan itu. Ia hanya sekilas melihat sebuah tombak pendek yang
mencuat di antara mereka. Maka sadarlah ia bahwa orang-orang yang duduk itu
pasti para pengawal yang sedang menjaganya, sedang di antara mereka adalah
gembala tua yang dikenalnya bernama Kiai Gringsing.
Seperti Argajaya, maka ketika
kakinya melangkah memasuki ruangan bilik Ki Argapati, hatinya menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia merasa heran, bahwa di dalam bilik itu sama sekali
tidak terdapat para pengawal yang berjaga-jaga.
Ki Argapati yang melihat
kedatangannya pun segera bangkit dan duduk di pembaringannya. Dengan nada yang
dalam ia berkata, “Kemarilah, Sidanti.”
Sidanti tidak menjawab. Tetapi
yang pertama-tama dilihatnya adakah tombak pendek yang bersandar dinding di
atas pembaringan Ki Argapati.
Tetapi segera ia menggeser
tatapan matanya kepada Ki Argapati yang duduk dengan nafas yang masih belum
teratur benar karena luka-lukanya.
“Duduklah dulu, Sidanti,”
orang tua itu mempersilahkan Sidanti duduk di atas dingklik kayu di dekat
pembaringannya.
Tetapi Sidanti tidak segera
duduk. Ia berdiri saja di tempatnya. Meskipun demikian ia masih juga merasa
heran. Bilik tempat Ki Argapati berbaring itu sama sekali tidak seperti yang
dibayangkannya. Tidak ada seorang pengawal pun yang ada di dalam. Ki Argapati
yang sakit itu tidak juga diapit-apit oleh dua orang pengawal pilihan, kemudian
di setiap sudut, dan di sisi pintu, tidak juga ada ujung-ujung senjata yang
merunduk ke arahnya.
“Duduklah,” Ki Argapati
mengulangi. Tetapi Sidanti masih tetap berdiam diri.
Pandan Wangi-lah yang kemudian
membimbingnya dan meletakkannya di atas dingklik itu. Seperti anak-anak yang
dibimbing ibunya Sidanti tidak melawan. Ia melangkah dengan berat, dan kemudian
duduk di atas dingklik kayu itu dengan kepala tunduk.
“Sudah lama aku ingin
berbicara dengan kau, Sidanti,” berkata Ki Argapati, “tetapi lukaku agaknya
masih belum mengijinkan. Hari ini aku merasa agak ringan, sehingga aku segera
memanggil kau dan pamanmu berganti-ganti.”
Sidanti tidak menjawab.
Kepalanya masih saja menunduk.
“Apakah adikmu sudah
mengatakan sesuatu kepadamu?”
Sidanti mengangkat wajahnya
sejenak, kemudian dipalingkannya kepalanya kepada Pandan Wangi. Tetapi
kepalanya itu pun kemudian menunduk lagi tanpa menjawab apa pun juga.
“Aku belum mengatakan apa-apa
kepadanya, Ayah,” sela Pandan Wangi. “Aku hanya mengajaknya kemari, agar Ayah
mengatakan sendiri maksud Ayah itu.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah, Pandan Wangi. Aku akan mengatakannya
seperti aku mengatakan kepada Argajaya.”
Tetapi Sidanti sama sekali
tidak menyahut.
Ki Argapati terdiam sejenak.
Dipandanginya kepala Sidanti yang menunduk. Tetapi tangkapan mata hati Ki
Argapati yang tajam segera merasakan, bahwa hati Sidanti masih belum dapat
dilunakkan sama sekali, tidak seperti pamannya Argajaya.
“Anak ini benar-benar keras
kepala,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya. Meskipun demikian Ki Argapati
masih akan mencobanya untuk menjajagi hati Sidanti lebih jauh.
“Sidanti,” katanya, “apakah
hatimu sudah terbuka untuk berbicara? Seperti pamanmu Argajaya, aku membawanya
berbicara tentang keadaan kita saat ini. Tentang Tanah Perdikan Menoreh, dan
tentang masa depannya. Aku ingin bersama melihat, di mana kita sekarang ini
berada. Dan ke mana kita masing-masing akan pergi. Kalau kita dapat menemukan
persesuaian arah, maka kita akan dapat berjalan bersama-sama.”
Ternyata Sidanti masih belum
menjawab. Kepalanya masih menunduk, seakan-akan ia sedang merenungi dirinya
sendiri dalam-dalam.
“Sidanti, kenapa kau diam
saja?” bertanya Ki Argapati. “Katakanlah apa yang ingin kau katakan. Aku memang
ingin mendengarkan isi hatimu dengan terbuka, supaya aku dapat memperhitungkan
segala sesuatu buat masa depan Tanah ini.”
Perlahan-lahan Sidanti
mengangkat wajahnya. Tetapi wajah itu adalah wajah yang suram dan gelap. Dengan
suara parau ia berkata datar, “Kalau kau akan menjatuhkan hukuman atasku,
segera katakan. Ternyata aku menjadi muak berada di bilik ini lebih lama lagi.”
“Kakang,” Pandan Wangi
memotong, “sadarilah keadaan ini, Kakang. Kita sedang mencari jalan
sebaik-baiknya, agar kita menemukan titik pertemuan.”
“Itulah yang sulit. Kalian
kini sedang berkuasa atasku. Kalian dapat berbuat apa saja.”
“Tetapi kami tidak ingin
berbuat demikian. Kami ingin mencari cara yang baik. Seperti Paman Argajaya,
yang dengan hati terbuka menyatakan keinginannya untuk bersama-sama membangun
kembali Tanah Perdikan ini.”
“Apakah aku harus berjanji
seperti Paman Argajaya itu pula?”
“Tidak, Sidanti,” sela Ki
Argapati, “tidak seorang pun yang mengharuskannya. Mungkin aku dapat memaksa
berjanji. Tetapi janji yang demikian adalah janji yang tidak akan menghasilkan
buah yang wajar. Janji itu sendiri harus terlontar dari hati dan kesadaran
diri.”
Jawab Sidanti ternyata telah
mengejutkan Pandan Wangi dan Ki Argapati, “Aku tidak akan berjanji apa-apa. Aku
tidak merasa wajib untuk berbuat sesuatu.”
“Kakang,” Pandan Wangi hampir
berteriak, “kita adalah anak-anak Tanah ini. Kita dilahirkan di atas Tanah
ini.”
“Tetapi aku sudah mengkhianati
Tanah ini menurut anggapanmu dan anggapan orang-orang yang sekarang ini
berkuasa. Kenapa kalian tidak menghukum aku saja? Apakah kalian sedang berusaha
untuk memperalat aku, agar perlawanan yang mungkin masih ada itu segera padam?”
“Seandainya demikian,
Sidanti,” jawab Ki Argapati, “itu sudah merupakan urusanmu membangun Tanah ini.
Dengan demikian maka ketenteraman akan segera pulih kembali.”
“Aku tidak mau diperalat
dengan cara itu, dengan cara yang licik. Kalian sudah menang atas pasukanku.
Kalian berhak membunuh aku. Aku tidak boleh berkhianat untuk kedua kalinya.
Berkhianat menurut anggapanmu dan berkhianat terhadap pasukanku yang telah kau
hancurkan. Apalagi berkhianat terhadap guruku, dan………” Sidanti tidak dapat
mengatakannya. Terasa sesuatu menahan di kerongkongannya sehingga kata-katanya
terputus. Tetapi dengan demikian api kebenciannya kepada Ki Argapati serasa
meluap. Tiba-tiba saja ia merasa terlempar pada kenyataannya. Seperti yang
dikatakan oleh Pandan Wangi. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu,
bahwa Argapati bukan apa-apa baginya.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ia merasa bahwa usahanya kali ini tidak akan dapat berhasil.
Agaknya hati Sidanti benar-benar telah mengeras seperti batu hitam.
Namun demikian, berbeda dengan
Ki Argapati, Pandan Wangi merasa bahwa masih ada harapan untuk merubah sikap
kakaknya itu. Meskipun harapan itu tampaknya semakin lama menjadi semakin tipis.
Tetapi ia masih berkata, “Apakah kita tidak dapat melupakan apa yang telah
terjadi? Atau bahkan kita menganggap hal itu sebagai suatu pengalaman?”
“Tidak, tidak!” Sidanti
berteriak.
Pandan Wangi terkejut
mendengar teriakan itu. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang tegang. Terasa
bahwa di wajah ayahnya itu telah terbayang warna hatinya yang muram.
“Apakah Kakang Sidanti tidak
juga dapat dilunakkan?” pertanyaan itu mulai membelit hatinya.
Dalam pada itu, di ruang
tengah beberapa orang duduk dengan cemasnya. Mereka kini sudah beringsut dari
depan pintu bilik Sidanti ke depan pintu bilik Ki Argapati. Bahkan kini jumlah
mereka telah bertambah pula karena Ki Samekta dan Ki Kerti telah ada di antara
mereka.
“Apakah Ki Gede memang
memanggil Angger Sidanti?” bertanya Samekta sambil berbisik.
“Ya,” jawab gembala tua itu.
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Kerti pun berkata, “Ki Argapati masih juga dipengaruhi oleh
hubungan masa lampau. Bagaimana pun juga Sidanti pernah dianggap sebagai
anaknya.”
“Ya,” jawab Samekta, “tetapi
apakah pantas bahwa anak itu kini berteriak-teriak begitu di dalam bilik Ki
Argapati yang sedang sakit.”
Kerti mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Siapa sajakah yang ada di
dalam?” bertanya Kerti kemudian.
“Selain Angger Sidanti
hanyalah Angger Pandan Wangi.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Ia percaya kepada Pandan Wangi. Tetapi hatinya hampir-hampir
tidak tahan lagi mendengar Sidanti berteriak-teriak dan membentak-bentak.
“Itu sudah terlalu,” gumam
Samekta. “Sedang Sidanti yang bukan tawanan saja, tidak sepantasnya
berteriak-teriak dan membentak-bentak seperti itu. Apalagi kini Sidanti adalah
tawanan.”
“Kalau ia bukan seorang
tawanan, aku kira ia tidak akan membentak-bentak,” berkata gembala tua itu
lirih.
“Kenapa?”
“Sebagai seorang tawanan ia
merasa bahwa tubuhnya terbelenggu. Karena itu, maka yang dapat dilakukan
hanyalah sekedar melepaskan suaranya menembus ikatan-ikatan yang membatasinya.”
“Tetapi akibatnya dapat
berbahaya bagi dirinya. Kalau Ki Argapati marah, maka segala kebaikan hatinya
akan larut, karena ia adalah manusia biasa.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Sidanti telah dicengkam
oleh keputus-asaan dan kehilangan pegangan. Ia menyadari hal itu, tetapi agaknya
ia memang memilih jalan yang terdekat untuk mati.”
Samekta dan Kerti mengerutkan
keningnya. Namun kepala mereka pun kemudian terangguk-angguk lemah.
Sejenak mereka pun terdiam.
Mereka mencoba mendengarkan apa yang dikatakan oleh Pandan Wangi. Tetapi mereka
tidak dapat mendengarnya dengan jelas, apalagi kemudian terdengar suara Pandan
Wangi seakan-akan tenggelam di dalam isaknya.
“Jangan membujuk lagi,” suara
Sidanti-lah yang terdengar jelas, “aku sudah memutuskan. Kalau kalian akan
membunuh aku, segera lakukanlah. Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal
yang tidak akan mungkin bagiku. Aku tidak bertabiat serendah itu.”
“Kau tidak mau memikirkannya,
Kakang,” sahut Pandan Wangi, “kau menanggapinya dengan perasaan tanpa nalar.
Itu adalah kebiasaan perempuan. Kau adalah seorang anak muda. Seorang
laki-laki. Tetapi hatimu digelapi oleh perasaanmu. Seharusnya kau mempergunakan
nalarmu, Kakang.”
“Tidak. Aku tidak dapat kau
paksa lagi dengan cara apa pun.”
“Kalau begitu, maka kau adalah
laki-laki cengeng. Bukan sebaliknya, karena kau tidak dapat mempergunakan
nalarmu.”
Wajah Sidanti menjadi merah
padam. Sejenak ia membeku. Dipandanginya wajah Pandan Wangi dan Argapati
berganti-ganti.
Melihat kakaknya berdiam diri,
maka tumbuh kembalilah harapan Pandan Wangi. Karena itu maka suaranya segera
menurun, “Bukankah begitu, Kakang? Bukankah kau seorang laki-laki yang berani
menghadapi kenyataan? Seharusnya kau memang tidak usah lari. Marilah kita
terima apa yang sudah tersedia di hadapan kita. Kalau kita menerimanya dengan
ikhlas, maka semuanya akan berlangsung dengan baik.”
Sidanti tidak menjawab. Dengan
demikian maka Pandan Wangi pun menjadi semakin berpengharapan. Bahkan Ki
Argapati yang sudah berputus asa untuk dapat mengait Sidanti dari kegelapan,
menjadi heran. Apakah Pandan Wangi akan berhasil.
“Kau mengerti maksudku bukan,
Kakang?”
Sidanti masih tetap berdiam
diri.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
melangkah mendekati tempat duduk kakaknya sambil berkata pula, “Bukankah kau
mengerti? Ini bukan kebaikan hati kami. Tidak. Tetapi kita akan bertanggung
jawab bersama-sama.”
Namun yang terjadi kemudian
benar-benar di luar dugaan Pandan Wangi. Ternyata kediaman Sidanti telah
menumbuhkan kelengahan pada Pandan Wangi. Pandan Wangi tidak dapat mencegahnya
ketika tiba-tiba saja Sidanti meloncat menyambar tombak yang terletak di atas
pembaringan Ki Argapati. Demikian cepatnya, sehingga Pandan Wangi sadar, ketika
tombak itu sudah ada di tangan Sidanti.
Argapati pun terkejut bukan
buatan. Getaran dadanya yang tergoncang agaknya telah membuat lukanya menjadi
seakan-akan terhenti. Dengan darah yang seakan-akan terhenti ia menatap ujung
tombaknya itu merunduk ke arah dadanya yang luka.
Pandan Wangi tidak mendapat
kesempatan untuk merebut tombak itu dari tangan kakaknya. Tetapi ia tidak
tinggal diam menyaksikan ujung tombak itu menembus dada ayahnya. Karena itu,
maka dengan secepat-cepat kemampuannya ia meloncat memeluk kakangnya dari
belakang.
Tetapi Sidanti telah menjadi
wuru. Seakan-akan ia telah kehilangan akal. Tanpa menghiraukan apa pun lagi,
maka dikibaskannya Pandan Wangi sekuat-kuatnya.
Pandan Wangi yang belum siap
benar menanggapi peristiwa itu, tidak dapat bertahan. Ia terlempar membentur
dinding kayu bilik itu, kemudian terjatuh di lantai.
Kini Sidanti berdiri dengan
mata yang merah menghadap Argapati yang belum mampu melakukan perlawanan apa
pun karena luka-lukanya. Tombak di tangannya kini telah merunduk kembali
setelah diguncang oleh Pandan Wangi, tepat mengarah ke dada Ki Argapati.
Benturan tubuh Pandan Wangi
pada dinding kayu telah mengejutkan beberapa orang yang berada di luar pintu.
Tetapi mereka tidak segera melihat apa yang telah terjadi di dalamnya. Pintu
yang terbuka sedikit, tidak tepat pada pembaringan Ki Argapati, sehingga
orang-orang yang di luar pintu, tidak melihat Sidanti yang menggenggam tombak
telah menggeram seperti seekor harimau yang terluka.
“Suara apakah itu?” bertanya
Ki Samekta.
Tetapi yang lain hanya
menggelengkan kepalanya saja. Tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya.
Mereka agaknya segan untuk memasuki ruangan itu, sebelum mereka dipanggil.
Namun demikian, tanpa mereka
sadari, seorang demi seorang telah beringsut dari tempat duduknya semula.
Pandan Wangi yang terbanting
di lantai masih sempat melihat kakaknya maju setapak dengan tombak di
tangannya. Dan tiba-tiba saja ia terpekik, “Kakang, Kakang Sidanti. Jangan.”
Tetapi Sidanti sama sekali
tidak mendengarkan lagi suara ini. Ia maju selangkah lagi. Kini ia sudah
memusatkan tenaganya di telapak tangannya yang menggenggam tombak pendek itu.
Ki Argapati benar-benar telah
tidak mempunyai kesempatan apa pun. Ia tidak melihat senjata apa pun yang akan
dapat menolongnya, sedang tenaganya sama sekali belum cukup kuat untuk
melontarkan tubuhnya dari pembaringannya itu. Karena itu, ia hanya menunggu apa
yang akan terjadi, ia mengharap bahwa ia masih sempat untuk mengelak apabila
Sidanti benar-benar ingin menghunjamkan, tombak pendeknya.
Ternyata suara Pandan Wangi
telah mengejutkan mereka yang berada di luar pintu. Serentak mereka berloncatan
dan tanpa menunggu lagi, mereka berlari-larian ke bilik Ki Argapati.
Tetapi untuk memasuki pintu
itu mereka memerlukan waktu. Sedang Sidanti telah benar-benar siap menusukkan
tombaknya.
Terdengar ia menggeram,
“Orang-orang Menoreh hanya dapat menghukum mati aku satu kali. Meskipun aku
membunuhmu, maka hukuman itu tidak akan dapat ditambah lagi.”
Ketika gembala tua, Ki
Samekta, Kerti, dan beberapa orang prajurit meloncat tlundak pintu, maka pada
saat itu, mereka kehilangan segala kemungkinan untuk dapat menolong Ki Argapati
karena Sidanti sudah mulai mengayunkan tombaknya untuk menusuk langsung ke dada
Ki Argapati.
Tetapi dalam kecemasan yang
amat sangat, yang telah mencekam setiap dada, mereka melihat kilatan senjata
yang langsung menghunjam ke lambung Sidanti. Demikian, cepat dan kerasnya,
sehingga Sidanti yang telah mengayunkan tombak itu terdorong ke samping.
Terdengar sebuah keluhan
tertahan. Kemudian perlahan-lahan tombak yang sudah hampir saja menembus dada
Ki Argapati itu menjadi bergetar, dan terjatuh di lantai.
Yang telah terjadi itu telah
benar-benar mencengkam semua orang yang menyaksikannya. Nafas mereka
seakan-akan telah berhenti mengalir ketika kemudian mereka melihat, apakah yang
sebenarnya telah terjadi.
Pandan Wangi berdiri dengan
tubuh gemetar di sisi pembaringan ayahnya. Dengan wajah yang pucat pasi
dipandanginya pedangnya yang masih menghunjam di lambung kakaknya yang berdiri
tertatih-tatih. Sejenak Sidanti memandang adiknya, namun kemudian ia tidak lagi
mampu bertahan. Perlahan-lahan ia jatuh di atas lututnya, sedang darah yang
merah mengalir dari lukanya.
Dengan kekuatan terakhirnya
Sidanti masih sempat mencabut pedang yang telah terlepas dari tangan Pandan
Wangi itu, kemudian meletakkannya di sampingnya.
Pandan Wangi memandanginya
dengan wajah yang tegang beku. Namun ketika kemudian Sidanti tidak lagi mampu
berdiri di atas lututnya, dan perlahan-lahan menahan tubuhnya dengan kedua
tangannya, terdengar Pandan Wangi menjerit keras sekali, “Kakang. Kakang
Sidanti.”
Seperti orang yang kehilangan
akal, Pandan Wangi memeluk kakaknya yang sudah hampir kehabisan tenaganya,
sehingga justru dengan demikian Sidanti tidak lagi dapat bertahan.
Perlahan-lahan ia menelentang dan terbaring di lantai, sedang Pandan Wangi
menelungkup memeluknya sambil menangis sejadi-jadinya. Darah Sidanti yang
bergelimang di lantai, telah memerahi pakaian gadis itu pula.
“Kakang, Kakang Sidanti.”
Ki Argapati yang masih berada
di pembaringan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia beringsut
dan memaksa dirinya untuk duduk di pinggir pembaringan, sementara gembala tua,
Samekta, dan Ki Kerti serta beberapa orang yang lain telah melingkarinya.
“Kakang, Kakang, kenapa jadi
begini, Kakang. Aku tidak sengaja, Kakang. Aku tidak sengaja melukaimu.”
Nafas Sidanti semakin cepat
memburu. Ketika ia membuka matanya ia melihat Pandan Wangi yang menangis
seperti kanak-kanak, meraung-raung tidak terkendali lagi. Penyesalan yang tiada
taranya telah melanda dadanya. Dengan gerak naluriah ternyata ia telah meloncat
dan menusuk lambung Sidanti untuk mencegah Sidanti membenamkan ujung tombaknya
di dada ayahnya.
Ternyata akibat dari tusukan
di lambung anak muda itu terlampau parah, sehingga maut telah membayang di
wajahnya.
Dalam suatu saat, ternyata
Pandan Wangi memang harus memilih. Dan saat itu terlampau pendek. Hanya
sekejap. Ia tidak dapat membuat pertimbangan lebih jauh ketika ia melihat
kakaknya sudah siap menusukkan tombak pendeknya ke dada Argapati.
Dan Pandan Wangi pun memang
sudah melakukan pilihan itu. Betapa besar ikatan kasih antara kakak-beradik,
namun ia tidak dapat membiarkan ayahnya terbunuh di pembaringan selagi ia tidak
kuasa berbuat apa-apa. Dan di saat yang sekejap itu, ia telah memilih ayahnya
daripada kakaknya meskipun akhirnya ia harus memeras air matanya.
“Pandan Wangi,” terdengar
suara Sidanti parau.
“Kakang. Aku minta maaf.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Orang-orang yang kini berjongkok di sekitarnya melihat Sidanti
menyeringai menahan sakit. Namun kemudian mereka menjadi heran dan kemudian
terharu ketika mereka melihat Sidanti itu tersenyum, “Kau tidak bersalah,
Adikku,” desisnya.
“Aku tidak sengaja, Kakang.”
“Aku tahu bahwa kau memang
tidak sengaja. Tetapi dipandang dari segi keharusanmu, kau sudah bertindak
tepat. Kau berusaha menyelamatkan ayahmu.”
“Tetapi maksudku tanpa
mengorbankan kau.”
“Dalam keadaan ini tidak
mungkin, Pandan Wangi,” jawab kakaknya. “Alangkah anehnya hati ini. Justru pada
saat terakhir aku melihat cahaya yang terang.”
“Maksudmu, Kakang?”
“Aku merasa bersalah.”
“Kakang,” Pandan Wangi
menggucang-guncang tubuh kakaknya.
“Jangan kau guncang, Wangi.
Sakit.”
“Tetapi jangan berkata
saat-saat terakhir. Kau pasti akan sembuh,” tiba-tiba saja Pandan Wangi dengan
nanar mengedarkan tatapan matanya. “Kiai. Kiai,” katanya kepada gembala tua
itu, “kenapa kau diam saja? Kenapa kau tidak berbuat sesuatu untuk mengobati
luka Kakang Sidanti.”
Gembala tua itu beringsut
maju. Tetapi suara Sidanti menjadi semakin lemah, “Tidak ada gunanya. Aku akan
mati.”
“Tidak. Tidak. Kau tidak akan
mati.”
Sekali lagi Pandan Wangi
melihat Sidanti tersenyum. Kemudian dicobanya memandangi Argapati yang duduk di
pinggir pembaringannya. “Ayah,” desisnya.
Terasa sesuatu berdesir di
dada Ki Argapati. Panggilan itu selalu didengarnya dahulu. Tetapi di saat-saat
api membakar Tanah Perdikan, anak muda itu telah menjadi musuhnya. Kini, ketika
jari-jari maut mulai merabanya, ia mendengar panggilan itu lagi.
“Aku minta maaf.”
“Kau tidak bersalah, Sidanti,”
suara Ki Argapati berat.
Tetapi Sidanti tertawa,
“Maafkan aku, Ayah, jangan berkata aku tidak bersalah.”
Ki Argapati terdiam sesaat.
Dan Sidanti mengulanginya,
“Aku mengharap Ayah memaafkan kesalahanku.”
“Ya, ya, Sidanti. Aku maafkan
semua kesalahanmu.”
“Terima kasih,” nafas Sidanti
menjadi semakin sendat.
Dan yang terdengar adalah
suara Pandan Wangi, “Kiai, kenapa Kiai diam saja? Apakah Kiai memang mengharap
luka itu tidak dapat ditolong lagi.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi, sebagai seorang yang telah mengenal beribu jenis luka,
maka luka Sidanti itu tidak akan dapat ditolong lagi.
“Sudahlah,” Sidanti sendiri
memang menolak, “aku sudah sampai pada batas,” suaranya menjadi semakin lambat.
Lalu, “Kiai, bukankah murid-muridmu ada di sini?”
“Ya. Mereka ada di sini,
Ngger.”
“Apakah aku dapat bertemu.”
Gembala itu mengerutkan
keningnya, “Apakah maksud Angger Sidanti, anak-anak itu dipanggil kemari?”
Sidanti mengangguk lemah.
“Apakah Paman Argajaya juga ada?”
Gembala itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian kepada seseorang yang ada di belakangnya ia memberi
isyarat untuk memanggil mereka.
Dengan tergesa-gesa orang itu
berdiri. Tetapi di muka pintu ia tertegun sejenak. Dipandanginya Ki Argapati,
seolah-olah ingin mendapat ketegasannya.
Ketika Ki Argapati pun
kemudian menganggukkan kepalanya, maka orang itu pun berlari ke gandok. Dengan
singkat disampaikannya berita tentang Sidanti dan diperintahkannya kedua murid
gembala tua itu membawa Ki Argajaya menghadap.
Mereka pun segera memenuhinya
pula. Argajaya justru berjalan di paling depan. Kemudian Gupala dan Gupita.
Tetapi tidak hanya mereka, Sekar Mirah dan Sumangkar pun ikut serta pula.
Ketika mereka sampai ke dalam
bilik itu, Sidanti sudah menjadi terlampau lemah. Tetapi ia masih sempat
melihat Argajaya, Agung Sedayu, dan Swandaru berjongkok di sampingnya. Dan ia
masih sempat berbisik, “Maafkan aku.”
Agung Sedayu yang dikenal juga
bernama Gupita dan Swandaru yang dipanggil Gupala itu menganggukkan kepalanya.
Tetapi mereka tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Betapa kebencian
mencengkam dada mereka, namun mereka menjadi terharu juga melihat kematian yang
tidak disangka-sangka itu.
Dalam pada itu, semua orang
yang ada di seputarnya terkejut, ketika tiba-tiba saja Sidanti menghentakkan
kepalanya dan seolah-olah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi ia sudah terlampau
lemah, sehingga ia sama sekali tidak berhasil menggerakkan dirinya. Yang
terdengar kemudian suaranya lambat, “Apakah mataku masih juga tidak salah?
Apakah benar aku melihat Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun ia menjawab, “Ya, Sekar Mirah memang ada di sini.”
Sidanti tersenyum. Bibirnya
bergetar lamban sekali. Dan Pandan Wangi masih mendengar ia berdesis, “Mirah.”
Tidak seorang pun yang dapat
mengucapkan kata-kata ketika mereka melihat Sidanti menjadi semakin lemah.
Tatapan matanya menjadi semakin redup. Tetapi ia masih berusaha tersenyum.
Dipandanginya Argajaya yang seolah-olah menjadi semakin kabur, Argapati, Pandan
Wangi, Sekar Mirah, dan yang lain-lain.
Sekali lagi Sidanti menarik
nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menyambung nafasnya yang menjadi
semakin pendek. Tetapi ketika ia melepaskan nafas itu, ternyata itu adalah
tarikan nafasnya yang terakhir.
Yang terdengar adalah jerit
Pandan Wangi yang melengking. Sidanti telah meninggal, justru karena ujung
senjatanya, yang tidak dengan sengaja telah menghunjam ke lambung kakaknya yang
selama ini masih diharapkannya untuk dapat hidup dan berbuat sesuatu
bersama-sama untuk kepentingan Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang telah mencoba
menenangkan hati gadis itu. Sekar Mirah pun kemudian mendekatinya dan mencoba
membawanya pergi meninggalkan mayat Sidanti yang masih terbujur di lantai.
Tetapi Pandan Wangi masih saja memeluknya, betapa tubuh itu telah mulai menjadi
dingin.
“Pandan Wangi,” bisik Sekar
Mirah, “biarlah tubuh Kakang Sidanti segera mendapat perawatan yang
sebaik-baiknya.”
Tetapi Pandan Wangi masih
belum melepaskannya.
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam. Bahkan kemudian ditatapnya mayat Sidanti yang pucat.
Tiba-tiba dada Sekar Mirah
berdesir. Teringat olehnya, bagaimana Sidanti pernah menculiknya dan
menyembunyikannya di padepokan Tambak Wedi. Pada saat itu, hatinya yang
seakan-akan terbakar oleh kemarahan dan kebencian, seakan-akan berjanji, bahwa
pada suatu saat ia menginginkan kepala anak muda itu. Ia pernah mengharap Agung
Sedayu berkata kepadanya, “Aku akan pergi ke Menoreh dan akan kembali, dengan
membawa kepala Sidanti.”
Tetapi ketika kini ia melihat
anak muda itu terbujur sambil memejamkan matanya, hatinya menjadi iba juga.
Bagaimana pun juga, Sidanti pernah tinggal serumah dengan keluarganya di
Sangkal Putung. Dan tiba-tiba pula ia merasa, bahwa perasaan Sidanti kepadanya
saat itu agaknya memang bersungguh-sungguh. Sidanti tidak sekedar ingin melepaskan
ketegangan urat syarafnya selagi ia berada di peperangan. Tetapi Sidanti
benar-benar mencintainya.
Argajaya, gembala tua yang
dikenal juga bernama Kiai Gringring, Argapati yang duduk di pembaringan, dan
orang-orang lain yang ada di sekitar mayat Sidanti itu pun telah mencoba untuk
menenteramkan hati Pandan Wangi.
Akhirnya tangis gadis itu pun
mereda. Sekali lagi Sekar Mirah berbisik di telinganya, “Marilah kita
tinggalkan Kakang Sidanti, agar ia segera mendapat perawatan yang
sebaik-baiknya. Ternyata bahwa setiap orang masih menaruh hormat kepadanya.
Kepada kejantanannya dan kekerasan hatinya. Ia mati setelah ia mempertahankan
keyakinannya sampai batas terakhir.”
Pandan Wangi masih
terisak-isak. Dan di sela-sela isaknya ia menjawab, “Tetapi kekerasan hatinya
itu pulalah yang menyeretnya ke dalam keadaannya yang pahit ini. Kakang Sidanti
sama sekali tidak mau melihat kenyataan yang dihadapinya.”
“Ya, hatinya memang sekeras
batu. Tetapi itu adalah ciri kejantanannya. Meskipun ia tersesat jalan. Karena
itu, maka biarlah ia dihormati karena kekerasan hatinya pula.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Marilah. Kau pun perlu
membersihkan dirimu. Mandi dan berganti pakaian.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ketika Sekar Mirah membimbingnya, maka perlahan-lahan ia pun melepaskan
pelukannya dan bangkit berdiri. Pakaiannya yang kusut telah dinodai oleh darah
Sidanti yang menjadi kehitam-hitaman.
“Marilah,” ajak Sekar Mirah.
Sambil menundukkan kepalanya
Pandan Wangi melangkah setapak demi setapak meninggalkan bilik itu dibimbing
oleh Sekar Merah. Di depan pintu ia berpaling. Sejenak ia berdiri memandangi
tubuh kakaknya yang pucat membeku. Namun kemudian ia meneruskan langkahnya
meninggalkan bilik itu.
Sepeninggal Pandan Wangi,
barulah mayat Sidanti itu diangkat dan dibawa keluar dari bilik Ki Argapati.
Atas perintah Ki Argapati, Sidanti dirawat sebagai putra Kepala Tanah Perdikan
Menoreh apa pun yang telah dilakukannya.
Dalam pada itu, ketika tubuh
Sidanti sedang sibuk dibersihkan dan dirawat seperlunya, Pandan Wangi duduk di
dalam biliknya dengan air mata yang selalu membasah pipinya. Yang paling
mencengkamnya adalah justru penyesalan yang sangat, bahwa ia adalah lantaran
kematian kakaknya itu.
“Kau tidak dapat berbuat lain,
Pandan Wangi,” berkata Sekar Mirah. Lalu, “Aku kira setiap orang akan berbuat
seperti yang telah kau lakukan dalam saat-saat serupa itu.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
“Kau dapat membuat
perbandingan, sekedar untuk mengurangi penyesalan yang selalu menyesakkan
dadamu. Seandainya kau tidak berbuat demikian, maka apakah kira-kira jadinya.
Kau harus bersukur, bahwa kau hadir pada saat itu. Bukan berarti bahwa Kakang
Sidanti pantas dikorbankan, tetapi kau sudah menghindarkan korban yang lebih
banyak lagi.”
Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi
kepalanya terangguk kecil.
“Kau harus berusaha untuk
melupakan apa yang sudah terjadi. Dan kau harus mencoba melihat ke masa depan.”
Pandan Wangi mengangguk pula.
Setiap kali ia sendiri selalu mengatakan tentang masa depan. Karena itu, ia
tidak harus mengorbankan masa depan itu karena peristiwa yang meledak sesaat.
“Tanah ini memerlukan
penanganan,” katanya di dalam hati. Dan Pandan Wangi sadar, bahwa ia tidak
boleh tenggelam dalam kekecewaan dan kesedihan.
Dalam pada itu, maka di
pendapa orang-orang sedang sibuk merawat tubuh Sidanti yang segera akan
dimakamkan.
Seperti perintah Ki Argapati,
maka Sidanti diperlakukan sebagai seorang putra Kepala Tanah Perdikan. Meskipun
ada di antara mereka, para pengawal dan rakyat Menoreh yang melakukannya dengan
setengah hati, karena mereka tidak dapat menutup mata, apa yang telah dilakukan
oleh Sidanti itu.
Tetapi bagaimana pun juga
mereka harus melakukan perintah Kepala Tanah Perdikannya.
Ketika semuanya sudah selesai,
maka mayat Sidanti pun segera dimakamkan dengan penghormatan secukupnya.
Argajaya, Pandan Wangi dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh, gembala tua
yang juga bernama Kiai Gringsing serta kedua muridnya, Sumangkar, dan Sekar
Mirah hadir di pemakaman itu.
“Aku kehilangan satu-satunya
saudara laki-lakiku,” gumam Pandan Wangi ketika mereka kembali dari tanah
pekuburan.
“Kau akan segera mendapatkan,”
desis Sekar Mirah.
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi terasa bahwa kini hatinya yang kosong menjadi kian sepi.
“Satu-satunya keluarga adalah
ayah,” berkata Pandan Wangi seterusnya.
“Hari ini,” jawab Sekar Mirah,
“tetapi keluarga itu akan segera berkembang. Bahkan kita akan meninggalkan
ayah-ayah kita untuk hidup dalam keluarga yang baru.”
Pandan Wangi tertegun sejenak.
Ditatapnya wajah Sekar Mirah yang tersenyum karenanya.
Tetapi Pandan Wangi tidak
menyahut. Kepalanya masih selalu tunduk. Terasa bahwa apa yang baru saja
terjadi itu adalah suatu goncangan yang sangat berat baginya.
Di rumahnya pun Pandan Wangi
seakan-akan kehilangan segala kegairahannya. Ia tidak mau makan dan sama sekali
tidak dapat memejamkan matanya. Terbayang-bayang selalu di rongga matanya,
Sidanti yang terbaring berlumuran darah. Sebuah luka yang dalam telah
menghunjam di lambungnya.
“Akulah yang membunuhnya.
Justru aku.”
Atas desakan Swandaru, Agung
Sedayu, dan gurunya sendiri, Sekar Mirah selalu berusaha mengawani Pandan Wangi
untuk mengurangi kesepian yang mencengkam dadanya. Tetapi bagaimana pun juga
Sekar Mirah sudah mencoba, namun agaknya masih saja ada ruang-ruang yang kosong
di dalam hati Pandan Wangi.
Dalam saat-saat yang demikian
itulah maka Agung Sedayu berkata kepada Swandaru, “Kau lihat, betapa akibat
yang sangat parah telah mencengkam hati gadis itu.”
“Ya. Ia menjadi sangat sedih
dan menjadi semakin diam.”
“Swandaru,” berkata Agung
Sedayu, “Sekar Mirah memang dapat menjadi sekedar isi di dalam kekosongan jiwa
Pandan Wangi. Tetapi ia memerlukan seorang kakak. Tidak sekedar menghiburnya,
tetapi yang dapat memberinya ketenangan. Ketenangan seorang gadis dewasa.”
“Maksudmu?”
“Aku tahu, bahwa kau
bersungguh-sungguh menaruh hati kepada gadis itu, bukan?”
Swandaru mengerutkan
keningnya, “Tentu. Aku memang menaruh hati kepada gadis itu. Sepenuh hati.”
“Nah,” berkata Agung Sedayu,
“kini adalah waktunya bagimu. Kau akan dapat mengisi kekosongan hatinya.”
Swandaru termenung sejenak,
lalu, “Bagaimana aku dapat mengisinya?”
“Jangan kau tunggu gadis itu
melamarmu. Kaulah, yang harus datang kepadanya. Dengan bijaksana dan sopan,
rebutlah hatinya.”
“Tetapi, tetapi bukankah kau
sudah mengatakan kepadanya?”
“Belum sepenuhnya.”
“Kalau begitu, kau pasti
bersedia menolong aku.”
“Swandaru,” berkata Agung
Sedayu, “kau sendirilah yang harus melakukannya. Ia memerlukan seseorang
setelah ia kehilangan kakaknya.”
“Tetapi aku tidak mengerti,
bagaimana aku harus mulai.”
“Hem,” Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam, “pergunakanlah Sekar Mirah. Bukankah kau dapat saja
menemuinya bersama Sekar Mirah, kemudian berbicara apa saja?”
Swandaru berpikir sejenak,
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya, “Ya, aku mengerti.”
“Nah, lakukanlah. Semakin lama
ia mengalami kekosongan, semakin berbahaya baginya. Ia akan selalu merenung dan
memikirkan banyak sekali kemungkinan di dalam hidupnya. Kalau kau tidak segera
hadir di dalam hatinya, mungkin ia tidak akan dapat lagi membuka kemungkinan
itu bagi siapa pun.”
“Ya, ya. Aku mengerti.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dipandanginya wajah Swandaru sejenak. Ia
melihat sesuatu membayang di wajah yang bulat itu. Agak lain dari kebiasaannya.
Ketika dahi Swandaru mulai berkerut, tahulah Agung Sedayu, bahwa adik
seperguruannya itu mulai berpikir dengan sungguh-sungguh.
Sebenarnyalah Swandaru
memikirkan petunjuk Agung Sedayu itu. Ia sadar, bahwa kekosongan jiwa itu
memerlukan isi. Bahkan kemudian ia pun sadar, seandainya Agung Sedayu yang
datang kepadanya setiap kali, meskipun membawa pesannya, namun akan dapat
terjadi kesalah-pahaman. Justru Agung Sedayu-lah yang akan mengisi kekosongan
hati gadis itu.
“Terima kasih,” desisnya, “memang
aku harus berbuat sesuatu. Aku sendiri. Tanpa perantara orang lain.”
“Bagus. Tetapi hati-hatilah.
Jangan tergesa-gesa supaya tidak terjadi hal yang sebaliknya. Kalau kau salah
langkah, maka hatinya tidak akan tersentuh.”
“Ya, ya. Aku mengerti.”
Demikianlah Swandaru mulai
berpikir sungguh-sngguh atas masalah yang dihadapinya. Masalah ini memang bukan
masalah yang dapat dilakukannya sambil lalu, dengan tertawa dan kemudian
dilupakannya. Masalah ini akan menyangkut seluruh hidupnya kelak, yang menurut
perhitungan lahiriah masih cukup panjang.
Kali ini Swandaru tidak akan
dapat melakukannya dengan cara yang semudah-mudahnya saja. Setiap langkah harus
diperhitungkannya masak-masak.
Untunglah bahwa di antara
mereka hadir Sekar Mirah yang dapat menjadi jembatan, yang akan
menghubungkannya dengan gadis itu.
“Mirah,” berkata Swandaru
dalam suatu kesempatan, “sekarang kau harus menolong aku.”
“Apa yang harus aku kerjakan?”
“Kawani aku.”
“Untuk apa?”
“Aku ingin mengatakan sesuatu
kepada Pandan Wangi. Aku harus mengatakannya sendiri. Menurut Kakang Agung
Selayu, saat ini Pandan Wangi sedang dicengkam oleh kekosongan jiwa.”
Meskipun Sekar Mirah lebih
muda dari Swandaru, tetapi ia lebih cepat dapat mengerti apa yang dimaksud.
Karena itu maka katanya sambil tersenyum, “Ah, sudah tentu aku tidak akan dapat
mengawanimu. Kau harus pergi sendiri kepadanya.”
“Jangan mengganggu aku, Sekar
Mirah.”
“Kau keliru. Sudah tentu
maksudnya, kau harus dapat mengisi kekosongan jiwanya kalau kau ingin merebut
hatinya. Kalau aku selalu mengawanimu, maka maksud itu tidak akan tercapai.
Pandan Wangi akan dibayangi oleh perasaan malu seorang gadis.”
Swandaru mengerutkan
keningnya.
“Tetapi Kakang Sedayu
mengatakan, bahwa kau dapat menjadi penghubung yang baik.”
“Tentu. Maksudnya, aku hanya
sekedar mendekatkan kau kepadanya, sehingga kau mendapat kesempatan itu. Bukan
mengawani.”
Swandaru mengangguk-angguk
kecil. “Jadi, bagaimana?”
“Ikuti aku. Tetapi kemudian
kau harus melakukannya sendiri.”
“Kapan?”
“Sekarang.”
“Jangan sekarang. Dadaku sudah
mulai berdebar-debar.”
“Lalu?”
“Sebaiknya nanti, atau besok,
agar aku dapat mengatur perasaanku sebaik-baiknya.”
Sekali lagi Sekar Mirah
tertawa. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kalau kau terlampau lamban maka
burung itu akan terlepas dan terbang terlampau tinggi. Padahal kau terlampau
pendek, sehingga kau akan mengalami kesulitan untuk meraihnya.”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi ia bersungut-sungut. Adiknya memang nakal. Tetapi bahwa Sekar Mirah
telah menyanggupinya untuk mendekatkannya kepada Pandan Wangi, maka anak yang
gemuk itu menjadi agak berlega hati.
Ketika saat itu tiba di
keesokan harinya, maka Sekar Mirah berkata, “Marilah, bukankah perasaanmu telah
tenang. Selagi Pandan Wangi tidak sedang sibuk. Ia sedang duduk di serambi
gandok. Baru saja ia membagikan makan para pengawal.”
Swandaru berpikir sejenak.
Namun kemudian, “Ayolah, Kakang, sebaiknya kau ikut pula.”
“Ah, ada-ada saja kau. Aku
akan mengganggu,” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi kehadiran kita tidak
akan menimbulkan kecurigaan. Kita menemuinya seperti biasanya saja.”
“Kalau begitu waktu ini pun
akan terbuang seperti biasanya pula.”
“Jadi, bagaimana?”
“Pergilah bersama Sekar Mirah.
Kemudian Sekar Mirah akan meninggalkan kau berdua.”
“Jangan sekarang. Jangan
sekarang.”
“Kapan. Kapan lagi,” Sekar
Mirah hampir berteriak. “Kau akan kehilangan waktu. Suatu ketika kau hanya akan
melihat orang datang melamarnya, dan kau kehilangan segala kesempatan.”
Swandaru yang juga dikenal
bernama Gupala itu termangu-mangu sejenak.
“Tetapi kali ini aku minta
kalian mengawani aku.”
Agung Sedayu tidak dapat
menghindar lagi ketika Swandaru menarik tangannya. Sehingga kemudian mereka
bertiga berjalan ke serambi gandok.
Tetapi benar apa yang
dikatakan oleh Agung Sedayu. Pembicaraan mereka sama sekali tidak dapat
mengarah seperti yang dimaksudkan Swandaru. Ketegangannya hampir tidak berkata
apa-apa, karena Pandan Wangi nampaknya masih diliputi oleh kepedihan hati.
Sekali-sekali Sekar Mirah-lah
yang mencoba menenteramkan hatinya seperti yang setiap kali dilakukannya.
Seperti setiap kali ia mendengar kata-kata Sekar Mirah, maka Pandan Wangi
selalu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Lihat,” bisik Agung Sedayu,
“kau tidak akan mendapat kesempatan.”
Swandaru mengerutkan keningnya.
Akhirnya Swandaru benar-benar
tidak berbuat apa-apa, karena Pandan Wangi kemudian dipanggil oleh ayahnya.
“Maaf,” berkata gsdis itu,
“Ayah memanggil aku.”
“Silahkan,” jawab Sekar Mirah,
“tetapi di saat lain kami akan selalu mengawani kau kalau kau memerlukan.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Terima kasih.”
Namun demikian tumbuhlah
sebuah pertanyaan di hatinya. Sekar Mirah setiap hari sudah selalu
mengawaninya. Kenapa tiba-tiba ia harus berkata, bahwa ia selalu akan mengawani
di kesempatan lain?
“Tetapi katanya ‘Kami akan
selalu mengawani’. Kami, bukan aku,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.
Ia merasa aneh, bahwa ia
sempat mempersoalkan kata-kata itu di dalam hatinya yang sedang pepat. Bahkan
sekali-sekali terbayang wajah-wajah yang telah menggetarkan jantungnya. Dalam
kekosongan jiwa, wajah-wajah itu rasanya menjadi semakin terbayang. Bahkan
semakin dibayangkannya di dalam hatinya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia pun meninggalkan anak-anak muda itu berserta Sekar
Mirah, masuk dalam bilik ayahnya.
Sepeninggal Pandan Wangi,
Sekar Mirah tertawa berkepanjangan meskipun ia berusaha menahannya. Ditatapnya
wajah kakaknya yang kecewa dan sekaligus gelisah.
“Nah, apakah yang kau
dapatkan?”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi dahinya menjadi berkerut-merut.
“Lain kali,” berkata Agung
Sedayu, “berbuatlah lebih baik. Kalau kau tetap ragu-ragu, maka kau akan
kehilangan banyak waktu. Siapa tahu, besok atau lusa kita harus sudah
meninggalkan tempat ini. Sepeninggal Sidanti, agaknya tidak banyak lagi yang
harus dilakukan oleh Ki Argapati untuk mengatasi pertentangan yang setiap kali
masih akan meledak.”
“Anak Argajaya masih belum
diketemukan.”
“Ah, anak-anak itu tidak
banyak dapat berbuat. Ia masih belum mempunyai sikap sekuat Sidanti. Kalau pada
suatu saat ia bertemu dengan ayah ibunya, ia akan segera tunduk kepada mereka.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Di dalam setiap tindakan kau
pasti lebih cepat mengambil keputusan daripadaku. Kau kadang-kadang menjadi
jengkel karena aku selalu saja menunggu dan menurut kau ragu-ragu. Tetapi
sekarang kau lebih ragu-ragu daripadaku.”
“Tetapi persoalan ini belum
pernah aku hadapi,” jawab Swandaru.
“Berapa kali kau akan
menghadapi masalah serupa ini, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.
“Maksudku, aku masih sangat
asing.”
“Cobalah.”
“Baiklah. Aku akan mencobanya.
Aku akan menemuinya dengan Sekar Mirah. Kemudian biarlah Sekar Mirah
meninggalkan aku.”
Sekar Mirah tersenyum.
“Sungguh. Aku
bersungguh-sungguh.”
Sambil melangkah Sekar Mirah
berkata, “Aku percaya. Tetapi marilah kita pergi. Aku akan menemui Guru.”
“Untuk apa?”
“He, apakah kita akan
selamanya di sini? Bukankah pada suatu saat kita akan kembali ke tempat kita
masing-masing? Ayah dan Ibu dahulu berpesan, kami jangan terlampau lama di
perjalanan. Ibu pasti menunggu kita dengan gelisah. Aku akan bertanya kepada
Guru, apakah kami dapat menunggu kau yang maju mundur ini.”
“Hus, jangan mengacaukan
perasaanku. Kau dan Ki Sumangkar harus menunggu sampai aku selesai dengan
persoalan ini.”
“Kau belum mulai. Kapan akan
selesai.”
Swandaru menjadi
bersungut-sungut karenanya. Tetapi ia tidak menjawab. Sambil mengikuti langkah
adiknya ia menundukkan kepalanya. Sedang Agung Sedayu berjalan di sampingnya.
Tetapi mereka pun kemudian tidak berkata apa pun juga.
Sehari-harian Swandaru hanya
berbaring saja di ujung gandok, di atas sebuah lincak kayu. Wajahnya tampak
bersungguh-sungguh dan gelisah sekaligus. Sekali-sekali ia menarik nafas
dalam-dalam. Direka-rekanya apa yang akan dikatakan seandainya ia nanti
benar-benar dapat berbicara dengan Pandan Wangi.
Namun tiba-tiba sesuatu telah
meledak di dadanya, “Kenapa aku tiba-tiba saja menjadi pengecut?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Di dalam pergaulan sehari-hari ia dapat berbuat wajar, berbicara dan
bahkan bergurau, dengan gadis itu. Tetapi apabila masalahnya membentur
perasaannya terhadap gadis itu, tiba-tiba saja lehernya seakan-akan menjadi
berkerut terlampau pendek.
“Aku tidak boleh berlaku
demikian,” katanya kepada diri sendiri, “aku harus mulai dengan sikap yang
bersungguh-sungguh.”
Perlahan-lahan maka Swaudaru
pun kemudian menemukan kepercayaan kepada diri sendiri. Katanya di dalam hati,
“Seandainya aku menunda-nunda, maka akhirnya aku pun harus sampai pada masalah
itu. Aku harus sampai pada suatu batas, bahwa aku harus mengucapkannya dengan
mulutku sendiri.”
Demikianlah di saat Swandaru
mendapat kesempatan untuk menjumpai Pandan Wangi bersama Sekar Mirah ketika
senja turun di serambi belakang, sikapnya sudah berlainan. Meskipun dadanya
masih juga berdebar-debar, tetapi Swandaru tampaknya sudah menjadi tenang.
“Apakah Ki Argapati sudah
menjadi semakin baik?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, gembala tua yang ternyata
bernama Kiai Gringsing itu dengan tekun merawatnya”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ia seorang dukun yang luar biasa,” desis Sekar
Mirah. “Namanya bukan saja Kiai Gringsing. Ketika ia pertama kali muncul di
Sangkal Putung, ia memakai pakaian gringsing. Tetapi ia dikenal juga dengan
nama Ki Tanu Metir.”
“Tidak,” sahut Swandaru, “ia
menyebut dirinya Kiai Gringsing pertama-tama ketika ia menjumpai Kakang Agung
Sedayu di perjalanan ke Sangkal Putung.”
“O,” Sekar Mirah mengerutkan
keningnya.
Sementara itu, Swandaru
meneruskan ceritanya tentang dukun yang aneh itu, sehingga akhirnya ia menjadi
muridnya bersama Agung Sedayu.
“Sampai saat ini, aku masih
belum tahu benar, siapakah sebenarnya Kiai Gringsing itu.”
Pandan Wangi mendengarkannya
dengan penuh minat.
Namun tiba-tiba ia berpaling
ketika Sekar Mirah meloncat berdiri, “He, ada yang harus aku tanyakan kepada
Guruku di padepokan Ki Gede Menoreh. Sesuatu. Tunggulah kau di sini sebentar.
Hanya sebentar.”
“Apa?”
Sekar Mirah tidak menunggu
jawaban. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Pandan Wangi dan Swandaru sambil
berkata, “Teruskan ceritamu, Kakang. Aku tidak lama.”
“He,” Pandan Wangi memanggil.
Sekar Mirah berpaling sambil
tersenyum. Tetapi ia berjalan.
Swandaru dan Pandan Wangi yang
ditinggalkannya sejenak menjadi termangu-mangu. Mereka memandangi langkah Sekar
Mirah yang hilang di sudut serambi.
Tetapi Swandaru yang
benar-benar ingin menyatakan perasaannya, dan yang perlahan-lahan telah
menemukan keberanian itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Biar
saja anak itu pergi.”
Pandan Wangi tidak menjawab,
tetapi kepalanya tiba-tiba saja tertunduk dalam-dalam.
“Sampai di mana aku tadi
bercerita?” bertanya Swandaru.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Ia tidak menyangka bahwa pembicaraan mereka masih akan tetap dapat
berjalan lancar. Namun ia tidak menjawab.
“O, ya, kita sudah sampai di
jilid limapuluh tiga” berkata Swandaru, “aku sendiri sampai sekarang tidak
tahu, siapakah sebenarnya guruku.”
“Aneh,” desis Pandan Wangi
tiba-tiba.
“Apa yang aneh.”
“Kau. Kau yang sudah sekian
lama berguru, masih juga tidak tahu siapakah gurumu.”
“Memang aneh.”
“Dan sekarang, aku dan
orang-orang Menoreh lebih-lebih lagi tidak tahu. Bukan saja siapa gurumu itu,
tetapi siapakah kau sebenar-benarnya. Mula-mula kau mengaku seorang gembala.
Kemudian adikmu itu mengatakan bahwa kau bukan bernama Gupala, tetapi Swandaru
yang kau tambahi sendiri menjadi Swandaru Geni, anak seorang Demang di Sangkal
Putung.”
Swandaru tersenyum.
“Kakakmu itu pun orang aneh.”
Swandaru tertawa pendek.
Katanya, “Kami memang kumpulan orang aneh-aneh. Tetapi itu adalah ajaran Guru.
Guru orang aneh. Murid-muridnya pun orang aneh pula.”
Pandan Wangi pun tersenyum
pula.
“Tetapi kepadamu aku pasti
harus berterus terang,” berkata Swandaru kemudian. Terasa bahwa nadanya menjadi
agak gemetar.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya, memandang langit yang menjadi semakin hitam. Tanpa memandang Swandaru
itu berkata, “Kenapa?”
Swandaru menjadi agak bingung.
Tetapi kemudian ia menjawab, “Karena kau pemilik rumah ini, di mana aku, kakak
seperguruanku, adikku, dan Guru tinggal.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menyahut, sehingga suasana menjadi hening
sejenak.
Dan tiba-tiba saja terdengar
Pandan Wangi menarik nafas panjang. Panjang sekali. Meskipun yang ada di
sampingnya kini adalah Gupala, yang ternyata bernama Swandaru itu, namun sekali
melintas juga bayangan gembala yang lain, yang telah menyentuh hatinya dengan
suara serulingnya.
Tetapi sudah pasti bahwa ia
tidak akan dapat menyebut namanya lagi di dalam hatinya, karena kini sudah
pasti baginya bahwa telah terjadi ikatan antara gembala yang pandai bermain
seruling itu dengan Sekar Mirah.
“Aku memang tidak
memerlukannya,” ia menghentak di dalam hatinya sendiri. Namun kemudian terasa
seolah-olah dunianya menjadi sepi. Apalagi sepeninggal Sidanti.
Terasa kekosongan yang sunyi
telah melihatnya. Di dalam saat-saat tertentu ia merasa, seakan-akan terlempar
ke dalam suatu dunia yang asing. Kadang-kadang ia merasa berdiri di atas jalur
yang panjang sekali. Seolah-olah tidak ada ujung dan pangkalnya. Kadang-kadang
ia seakan-akan berdiri di sebuah padang yang luas. Luas sekali tanpa tepi.
Hanya kadang-kadang ia melihat ayahnya berdiri di kejauhan. Dengan luka di
dadanya ia berjalan tertatih-tatih. Lambat sekali.
Dalam kesepian, dalam
kesendirian di dunia yang serasa asing dan sunyi itu hadir seorang anak muda.
Anak muda yang mempunyai beberapa kelebihan dari anak-anak muda yang lain.
Tiba-tiba terasa sesuatu telah
menyentuh hatinya. Sentuhan-sentuhan yang semula tidak begitu terasa, kini
benar-benar telah menumbuhkan kesan yang agak mendalam.
Dalam keadaan itu, Swandaru
tidak mau kehilangan kesempatan. Ia harus sampai pada pokok masalah yang selama
ini telah dipendamnya. Karena itu, maka ia masih juga berusaha mencari jalan,
untuk dapat sampai pada masalah itu.
Karena Pandan Wangi masih juga
diam saja maka Swandaru itu pun bertanya, “Kenapa kau tiba-tiba terdiam?”
Pandan Wangi berpaling. Tetapi
ia tidak menjawab.
Swandaru menjadi agak gelisah.
Namun ia tidak mau mundur lagi. Dengan suara yang semakin gemetar, ia kemudian
bertanya, “Pandan Wangi, pada suatu saat aku dan rombonganku yang kecil ini
pasti akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, tidak akan ada
salahnya kalau kau mengenal aku bukan sebagai murid seorang guru yang selalu
terselubung.”
Pandan Wangi masih tetap
berdiam diri.
“Apakah Sekar Mirah sudah
mengatakan tentang dirinya dan diriku?”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya.
“Nah, baiklah. Kalau ia
berkata bahwa aku adalah anak seorang Demang di Sangkal Putung itu berarti
bahwa ia berkata sebenarnya.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Dan selain Sekar Mirah,
apakah Kakang Agung Sedayu sudah pernah mengatakan sesuatu tentang dirinya
sendiri?”
“Belum,” jawab Pandan Wangi
lambat.
“Mungkin. Mungkin ia tidak
akan mengatakan tentang dirinya sendiri, sehingga sampai saat ini kau pasti
belum mengenalnya dengan baik. Ia adalah seorang anak Jati Anom. Kakaknya
adalah seorang Senapati Pajang yang mempunyai daerah kekuasaan di sepanjang
sisi Selatan Pulau ini. Tetapi yang penting bukan itu.” Swandaru berhenti
sejenak, lalu, “Yang penting bagiku adalah Kakang Agung Sedayu pernah
mengatakan sesuatu tentang diriku?”
Sepercik warna merah membayang
di wajah Pandan Wangi. Kini ia merasa bahwa ia sudah diseret ke dalam suatu
pembicaraan pribadi yang berat.
Dengan demikian Pandan Wangi
menjadi semakin tunduk. Diusapnya keringatnya yang membasahi keningnya.
Kemudian dengan jari-jarinya ia mempermainkan ujung kain panjangnya. Tetapi Pandan
Wangi masih tetap berdiam diri.
“Pandan Wangi,” desis Gupala,
“kau belum menjawab pertanyaanku.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam.
“Apakah Kakang Agung Sedayu
yang kau panggil sehari-hari dengan nama Gupita itu sudah pernah mengatakan
sesuatu pesan dari padaku?”
Tiba-tiba kepala Pandan Wangi
terangguk lemah.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Kini ia sudah, hampir sampai pada pokok pembicaraannya. Karena
itu, meskipun dadanya menjadi semakin berdebar-debar ia berkata selanjutnya, “Bagaimanakah
jawabmu?”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Kepalanya kini terangkat. Dipandanginya hitamnya malam yang kini
telah merata. Hijaunya dedaunan yang menjadi kelam dan seolah-olah bersembunyi
di balik kegelapan.
Sejemput angin yang silir
mengalir mengusap wajah-wajah yang menegang itu. Di kejauhan sinar obor yang
lemah telah menyentuh kulit mereka yang menjadi merah tembaga.
Tetapi Pandan Wangi tidak
segera menjawab. Di dalam dirinya masih saja terjadi gelora yang mengguncang
jantungnya. Namun ia tidak akan dapat lari dari kenyataan, bahwa Swandaru
memang mempunyai sentuhan-sentuhan yang membekas di hatinya.
“Bagaimana, Pandan Wangi?”
desak Swandaru.
Pandan Wangi menarik nafas.
Kemudian terdengar suaranya lemah sekali, “Tetapi Agung Sedayu belum mengatakan
pesanmu seluruhnya. Tiba-tiba kalimat-kalimatnya terganggu oleh gerombolan di
bawah pimpinan adik sepupuku sendiri.”
“Tetapi bukankah kau sudah
tahu maksudnya?”
Swandaru menggerutu di dalam
hatinya ketika ia melihat Pandan Wangi menggelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Belum. Aku belum tahu maksudnya.”
“Tetapi, menurut Kakang Agung
Sedayu, ia sudah mengatakannya.”
“Kalau begitu akulah yang
tidak mendengarnya,” jawab Pandan Wangi. “Jalan itu memang menegangkan,
sehingga perhatianku terlampau banyak tertuju kepada daerah yang sedang kami
lewati daripada yang lain-lain.”
“O,” Swandarulah yang kini
menundukkan kepalanya, “memang mungkin pesan itu sama sekali tidak berharga
bagimu, sehingga kau sama sekali tidak berkesempatan untuk mendengarkannya.”
Pandan Wangi terkejut
mendengar suara Swandaru yang tiba-tiba mendatar itu, sehingga ia pun
berpaling. Ketika dilihatnya Swandaru menunduk dalam-dalam maka ia pun
berdesis, “Tidak. Bukan maksudku untuk mengabaikannya. Tetapi, aku tidak dapat menangkapnya
dengan jelas karena berbagai macam keadaan. Aku sudah mencoba untuk
mengetahuinya, tetapi tidak seluruhnya aku mengerti.”
“Apakah kesanmu terhadap yang
sedikit itu?” desak Swandaru.
Namun jawaban yang didengarnya
sama sekali tidak diduganya. Sambil menundukkan kepalanya Pandan Wangi
menjawab, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu. Aku takut kalau pesan yang
sedikit itu keliru.”
Swandaru menggeleng-gelengkan
kepalanya tanpa sesadarnya. Kini sudah pasti baginya untuk mengatakan sendiri.
Agaknya Pandan Wangi memang ingin mendengar hal itu daripadanya.
Setelah beberapa kali ini
menarik nafas dalam-dalam, maka ia berkata lambat, “Begitulah, Pandan Wangi.
Seperti yang aku pesankan kepada Kakang Agung Sedayu,” Swandaru berhenti
sejenak. Kemudian, “Seperti yang dinasehatkan oleh Kakang Agung Sedayu
kepadaku. Katanya “Swandaru, kau harus mulai dengan suatu sikap hidup yang baru
karena umurmu sudah cukup dewasa. Kalau kau memang menaruh hati kepadanya,
katakanlah berterus terang.’ Dan aku memang tidak ingkar lagi akan hal itu.”
Swandaru berhenti sejenak. Ia
menunggu kesan Pandan Wangi atas kata-katanya itu, tetapi Pandan Wangi masih
tetap berdiam diri.
“Begitulah Pandan Wangi, dan
aku sekarang telah mencoba memenuhi petunjuk Kakang Agung Sedayu.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Sekali lagi dilontarkannya tatapan matanya jauh ke alam gelap. Tanpa
memandangi Swandaru ia berkata, “Hanya sekedar memenuhi pesan Kakang Agung
Sedayu?”
“O, tidak. Tidak,” cepat-cepat
Swandaru menyahut. Kini keringatnya sudah mengalir membasahi tubuhnya. Betapa
ia mengatur perasaannya, namun terasa jantungnya menjadi semakin cepat
berdebaran.
“Bukan maksudku, Pandan
Wangi,” katanya, “tetapi aku memang harus mengatakannya. Maksudku bahwa aku
sama sekali tidak mengerti apa yang harus aku perbuat. Dan Kakang Agung Sedayu
memberi nasehat itu kepadaku.”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya pula. Malam menjadi semakin lama semakin gelap, dan obor di regol
butulan halaman belakang terombang ambing disentuh angin. Lamat-lamat tampak
bayangan para penjaga yang hilir-mudik, meskipun tidak begitu jelas.
Dalam pada itu, seseorang yang
sedang berjalan ke regol belakang berhenti sejenak di balik bayangan yang
kelam. Tatapan matanya yang tajam memandang kedua sosok tubuh yang duduk di
serambi. Meskipun keduanya tidak tersentuh langsung oleh sinar-sinar lampu,
tetapi tampak olehnya betapa mereka sedang berbicara bersungguh-sungguh.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia pun melangkah pergi sambil menundukkan
kepalanya. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Namun kemudian ia mengatupkan
bibirnya rapat-rapat.
“Mudah-mudahan Swandaru
berhasil,” desisnya. “Tidak pantas lagi aku memikirkan tentang seseorang.”
Sambil menggigit bibirnya
orang itu pun sekali lagi berpaling. Tetapi orang itu, Agung Sedayu, tidak
berhenti. Ia sadar bahwa ia harus berdiri di atas kaki yang kuat. Perasaannya
memang kadang-kadang menjadi agak lentur. Namun ia mencoba melawannya
sekuat-kuatnya.
Sementara itu Swandaru sendiri
duduk dengan gelisahnya. Punggungnya menjadi basah oleh keringat. Sekali-sekali
ia menarik nafas dalam-dalam, karena serasa dadanya tersumbat oleh perasaannya
yang bergejolak.
“Pandan Wangi,” berkata
Swandaru kemudian. Dikerahkannya segenap keberaniannya, sehingga meledaklah
kata-katanya, “Aku ingin mendengar jawabmu, apakah kau bersedia menjadi
imbangan hidupku kelak?”
Pertanyaan Swandaru yang
terlampau langsung itu ternyata telah menggetarkan isi dadanya. Terasa
darah-darahnya seakan-akan menjadi semakin cepat mengalir.
Kini mulutnya justru menjadi
seakan-akan terbungkam. Ia memang mengharapkan Swandaru mengatakan hal itu
langsung kepadanya. Bukan sekedar pesan atau cara-cara yang miring. Tetapi ia
ingin mendengarnya langsung. Namun justru karena ia kini mendengar pertanyaan
itu langsung, maka sejenak ia menjadi kebingungan.
Swandaru yang dengan segala
macam usaha dengan pengerahan keberaniannya telah berhasil melontarkan
pertanyaan itu, seakan-akan merasa dadanya menjadi terlampau lapang.
Seakan-akan ia telah melontarkan sesuatu yang selama ini membebaninya. Karena
itu, kini darahnya menjadi tidak terasa terlampau panas, sedang dadanya tidak
lagi berguncang-guncang. Bahkan karena Pandan Wangi tidak segera menjawab ia
mendesaknya, “Kau belum menjawab, Pandan Wangi.”
Untunglah bahwa cahaya obor di
kejauhan tidak mencapai langsung ke tempat mereka, sehingga Swandaru tidak
melihat wajah itu menjadi kemerah-merahan.
“Aku sudah mengucapkannya,”
berkata Swandaru pula, “dan aku ingin mendengar kau menjawabnya.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Tetapi ia tidak berpaling kearah Swandaru. Perlahan-lahan ia berkata,
“Kakang Swandaru. Aku adalah seorang gadis. Sudah menjadi kelaziman bagi
seorang gadis Menoreh, bahwa lamaran itu ditujukan kepada orang tuanya.
Demikian pula aku. Sebaiknya Kakang Swandaru memintanya kepada Ayah.”
“Tetapi, bagaimana dengan kau
sendiri, Wangi. Aku ingin mendengar perasaanmu.”
“Aku tidak dapat menentukan
sesuatu atas diriku sendiri.”
“Tetapi bukankah kau mempunyai
perasaan itu?” suara Swandaru menjadi gelisah kembali. “Aku tidak peduli,
apakah jawaban orang tuamu nanti. Tetapi bagaimana perasaanmu sendiri?”
“Tidak, Kakang Swandaru,”
sahut Pandan Wangi, “kau tidak dapat untuk tidak menghiraukan suara ayahku.
Suara Ayah itu pasti menentukan. Kalau Ayah berkata ‘ya’, maka semua itu akan
terjadi, tetapi kalau Ayah berkata ‘tidak’, maka semuanya tidak akan dapat
terjadi.”
“Aku tahu, aku tahu,” nada
suara Swandaru meninggi, “tetapi aku ingin tahu perasaanmu sendiri. Kalau kau
berkata ‘ya’, aku akan berusaha melamarmu lewat ayahmu, meskipun memang mungkin
juga ditolak dan urung. Tetapi kalau kau berkata ‘tidak’, maka aku tidak akan
berbuat apa-apa. Meskipun seandainya ayahmu mengijinkan, tetapi aku tidak
mendapatkan kau seutuhnya.”
Pandan Wangi tidak dapat
mengelak lagi. Ketika Swandaru kemudian bertanya lagi, “Bagaimana pendapatmu,
Pandan Wangi?” maka dengan wajah yang merah dan bibir yang gemetar gadis itu
menjawab parau, “Apakah kau akan menemui Ayah?”
“Tentu. Seandainya bukan aku,
karena itu juga tidak lazim, tetapi Ayah atau orang-orang tua yang lain, itu
pun akan tergantung kepada jawabanmu.”
“Datanglah kepadanya.
Bertanyalah kepada Ayah.”
“Aku akan melakukannya, tetapi
setelah aku mendapat kepastian. Aku juga mempunyai adik seorang gadis. Aku kira
adat kita tidak akan jauh berbeda. Kalau seseorang datang melamar, maka orang
tuanya akan menjawab ‘Aku akan menanyakannya dahulu kepada gadisku’. Bukankah
ayahmu nanti akan berkata begitu juga? Nah, sebelumnya aku sudah membawa
jawabnya. Meskipun aku tidak akan dapat mendahului jawaban ayahmu, tetapi
setidak-tidaknya aku berpengharapan untuk mendapatkan kau seutuhnya. Kau dan
perasaanmu. Kalau kau kemudian mengiakannya, itu bukan karena ayahmu yang
mendesaknya. Aku tahu pasti, kalau kau sendiri tidak berkeberatan.”
Pandan Wangi benar-benar sudah
tersudut. Sedang Swandaru mendesaknya lagi, “Bagaimana, Wangi?”
Gadis itu tidak dapat
menghindarinya. Karena itu, maka betapa pun beratnya, dianggukkannya kepalanya.
“Terima kasih, terima kasih,”
terdengar Swandaru berdesis, “aku sudah mengerti perasaanmu sekarang. Aku
memang sudah menduga. Tunggulah. Aku akan memenuhi segala macam upacara adat
kelak. Tetapi sudah tentu aku harus kembali dahulu ke Sangkal Putung. Namun
selain ayahku, aku mempunyai orang tua di sini, guruku. Mungkin sebelum ayahku
datang, guruku akan dapat membicarakannya dengan ayahmu. Guruku, guru adikku
itu, dan Kakang Agung Sedayu.” Swandaru berhenti sejenak, lalu, “Begitu,
bukankah begitu?”
Namun ketika ia tanpa
sesadarnya menyentuh lengan Pandan Wangi gadis itu beringsut sejengkal.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia sadar, bahwa sentuhan di antara mereka memang tidak
dibenarkan.
Pandan Wangi sendiri tidak
tahu, kenapa ia harus bergeser. Ia tidak mengelak, ketika tangannya dibimbing
oleh gembala yang lain di peperangan setelah mereka berkelahi melawan Ki Peda
Sura.
“Saat itu, perasaanku telah
dirampas oleh tegangnya peperangan,” ia mencoba mencari jawabnya.
“Nah,” terdengar suara
Swandaru, “nanti malam aku akan dapat tidur nyenyak, Pandan Wangi. Dan aku akan
mengatakannya kepada guruku. Apakah ia dapat berbuat sesuatu sebelumnya,
mendahului ayah dan ibuku di Sangkal Putung.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Kembali kepalanya tunduk dalam-dalam. Dan malam pun menjadi semakin malam.
Akhirnya kedua anak-anak muda
itu menjadi seakan-akan tersadar, bahwa mereka telah terlampau lama duduk
berdua, di dalam keremangan malam yang tidak langsung dicapai oleh cahaya obor
di kejauhan.
Karena itu, ketika Swandaru
mendengar tembang macapat yang melontar dari gandok di sebelah barat, ia
berkata, “Sudahlah Pandan Wangi, aku sudah puas dengan jawabanmu. Aku merasa
bahwa kehadiranku di atas Tanah Perdikan ini tidak sia-sia. Bukan saja untuk
kepentingan Tanah Perdikanmu, tetapi untuk kepentinganku pula.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi kepalanya terangguk lemah.
“Hari sudah menjadi semakin
malam. Aku sudah mendengar salah seorang pengawal membaca tembang macapat.”
Sekali lagi kepala Pandan
Wangi terangguk.
Swandaru kemudian berdiri dan
melangkah menjauhi serambi. Sekali ia berhenti dan berpaling.
“Apakah kau tidak akan masuk
ke dalam,” ia bertanya ketika ia masih melihat Pandan Wangi duduk di tempatnya.
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih tetap berdiam diri.
“Masuklah,” berkata Swandaru,
“malam akan menjadi terlampau dingin.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi
pun berdiri. Seperti bukan kehendaknya sendiri. Ia pun melangkah, menuju ke
pintu butulan. Sejenak kemudian ia pun segera hilang di balik pintu.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia pun meneruskan langkahnya kembali ke ujung gandok.
Tugasnya bersama Agung Sedayu masih belum dicabut, menunggui bilik Argajaya,
meskipun sudah tidak seketat semula.
Malam itu rasa-rasanya menjadi
malam yang terlampau segar bagi Swandaru. Kadang-kadang ia tersenyum sendiri
mengenangkan pembicaraannya. Ia merasa sebagai seorang pahlawan yang telah
memenangkan perang.
“Apakah kau berhasil?”
bertanya Agung Sedayu ketika ia melihat Swandaru berbaring sambil memandang
langit-langit biliknya.
“Agaknya aku merasa berhasil,”
jawab Swandaru, “aku masih perlu meyakinkan.”
Agung Sedayu tersenyum, “Apa
yang akan kau yakinkan?”
“Kebenaran kata-katanya.”
Sambil tertawa Agung Sedayu
menepuk bahunya, “Kau memang harus yakin.”
Swandaru tidak menjawab. Ia
masih tetap berbaring ketika Agung Sedayu meninggalkan biliknya. Dan Swandaru
itu pun tidak mendengar Agung Sedayu bergumam, “Mudah-mudahan kau menemukan
kebahagiaan.”
Di ruang dalam, Sekar Mirah
sempat juga mengganggu Pandan Wangi yang tersipu-sipu. Karena Sekar Mirah tidak
juga berhenti, maka Pandan Wangi pun kemudian berlari menuju ke pintu bilik
ayahnya. Namun kemudian, berjingkat ia masuk. Dengan demikian ia berhasil
melepaskan dirinya dari Sekar Mirah.
Tetapi pertemuan dan pengakuan
merupakan jenjang kehidupan baru bagi keduanya. Keduanya tidak dapat melepaskan
diri dari pengaruh perasaan masing-masing, sehingga hampir setiap orang segera
dapat melihat, bahwa ada sesuatu yang berkembang di hati keduanya.
Namun bukan saja hati Swandaru
dan Pandan Wangi yang telah berkembang. Keadaan di Tanah Perdikan Menoreh pun
telah berkembang pula.
Ki Argapati yang mengikuti
keadaan dengan seksama, meskipun ia masih tetap berada di pembaringannya, pada
suatu kesempatan telah memanggil Argajaya untuk menghadap, dikawani oleh Pandan
Wangi, Samekta, dan Ki Kerti.
“Aku percaya kepadamu,”
berkata Ki Argapati kepada adiknya setelah mereka berbincang panjang,
“mudah-mudahan kau tidak menyia-nyiakan kepercayaanku itu.”
“Aku sudah menyesali semuanya
itu, Kakang. Bukan karena aku sudah tidak berdaya lagi. Tetapi aku melihat
noda-noda yang melekat di hati ini. Aku memang banyak dipengaruhi oleh pamrih
dan ketamakan. Kalau semula aku hanya dicemaskan oleh kejaran orang-orang
Pajang, namun kemudian masalahnya menjadi berkembang terlampau jauh, sehingga
aku harus malu kepada diri sendiri.”
“Baiklah. Atas persetujuan
kami, kau kami ijinkan pulang ke rumahmu.”
“Kakang?”
“Ya. Aku kira kau tahu apa
artinya.” Ki Argapati menarik nafas, kemudian, “kau telah ditunggu oleh suatu
kewajiban bagi Tanah perdikan ini.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Ketahuilah, bahwa anakmu
masih belum dapat kami ketemukan. Ia masih berada di antara orang-orang yang
belum dapat diyakinkan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sia-sia.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepala. Ia mengerti bahwa anaknya telah berada di antara gerombolan orang-orang
yang dengan putus asa telah melakukan apa saja tanpa tujuan, selain memuaskan
nafsu kekerasan mereka.
“Pulanglah, mungkin anakmu
akan datang kepadamu. Ia masih terlampau muda.”
“Baiklah, Kakang.
Mudah-mudahan aku dapat menjumpainya dan menjinakkannya.”
“Cobalah,” Ki Argapati
berhenti sejenak. Ia tampak menjadi ragu-ragu, namun kemudian, “Tetapi, kau pun
jangan salah mengerti. Apakah kau memerlukan perlindungan? Mungkin seseorang
telah menjadi sakit hati atau mencoba untuk melakukan sesuatu atasmu.”
Argajaya menarik nafas pula.
Semakin dalam ia menyadari bahwa kakaknya seharusnya tidak mengatakan bahwa ia
perlu dilindungi, tetapi ia agaknya memang perlu diawasi.
“Mana yang baik bagi, Kakang,”
jawab Argajaya.
“Jangan salah mengerti.
Menurut perhitunganku, masih ada orang yang akan melakukan sesuatu yang
berbahaya bagimu, karena sikapmu. Kau pasti akan dianggap bersalah terhadap
mereka, karena justru kau menyadari keadaanmu yang sebenarnya.”
Argajaya tidak menjawab.
Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam. Ia dapat mengerti sikap kakaknya. Dan
karena itu maka ia tidak menolaknya. Meskipun berat ia berkata, “Baiklah,
Kakang. Kalau Kakang menganggap perlu.”
“Aku masih menganggap perlu,”
jawab Argapati. “Mungkin dari orang-orangmu sendiri yang kini tidak dapat
terkendali. Tetapi mungkin juga dari pihak lain. Rakyat yang merasa terjerumus
ke dalam kesulitan karena peperangan yang baru lalu dan mereka pasti akan melemparkan
kesalahan kepada Sidanti dan gurunya. Apabila yang ada kemudian tinggal kau
sendiri, maka kau akan dapat menjadi sasaran kemarahan mereka.”
Ki Argajaya menganggukkan
kepalanya. Memang alasan kakaknya dapat diterima, di samping dugaannya yang lain,
bahwa kakaknya masih perlu mengawasinya.
Demikianlah maka Ki Argajaya
pada hari itu juga telah diijinkan meninggalkan bilik sempit yang dihuninya
selama ini. Bilik yang sempit, gelap, dan pengap. Kebebasan yang didapatnya
kali ini terasa sebagai suatu kurnia yang tidak ternilai harganya. Kini ia
dapat melihat alam yang terbentang. Tidak hanya sesempit sebuah bilik dan
bayangan dedaunan yang kadang-kadang dapat dilihatnya dari sela-sela pintunya
apabila sedang terbuka.
Diantar oleh sepasukan kecil
pengawal, Argajaya akan pulang ke rumahnya. Untuk mengurangi bahaya yang dapat
menerkamnya setiap saat, Ki Argapati telah berpesan dengan sungguh-sungguh
kepada pemimpin pengawal itu, “Ingat, kau jangan sampai melakukan kesalahan.
Aku sudah memaafkan kesalahan Argajaya dengan beberapa macam pertimbangan.
Bahkan aku sudah mengumumkan pengampunan umum. Kau harus mengawasi anak buahmu
dan setiap orang di sekitar rumah Argajaya. Tidak boleh ada dendam yang
dilontarkan kepadanya. Bukan karena Argajaya adikku, tetapi aku mempunyai
banyak pertimbangan. Aku mengampuni semua orang yang mau mendengarkan seruanku
dan dengan kesungguhan hati berusaha ikut membangunkan kembali Tanah yang sudah
hampir runtuh ini.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tampaknya ia tidak begitu yakin. Bukan
karena ia sendiri tidak dapat menyingkirkan dendam di hatinya, tetapi apakah ia
akan mampu membendung perasaan seluruh anak buahnya dan bahkan rakyat di
sekitarnya?
“Apakah kau ragu-ragu?”
bertanya Ki Argapati.
“Tugas ini sangat berat
bagiku,” jawab pemimpin pengawal itu.
“Ya, aku tahu bahwa tugasmu
sangat berat. Tetapi aku harap kau dapat melakukannya.”
Orang itu tidak segera
menyahut.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mungkin kau memerlukan seorang kawan?”
Pemimpin itu menganggukkan
kepalanya.
Ki Argapati berpikir sejenak.
Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Namun sejenak kemudian ia berkata,
“Panggillah gembala tua itu.”
Pemimpin pasukan itu ragu-ragu
sejenak. Tetapi ia pun kemudian meninggalkan bilik Ki Argapati memanggil
gembala tua yang kini juga disebut Kiai Gringsing itu.
“Kiai,” berkata Ki Argapati,
“aku memerlukan bantuan Kiai.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Aku masih mengharap Kiai
berada di Tanah Perdikan ini beberapa saat. Hanya beberapa saat saja.”
“Maksud Ki Gede?”
“Aku akan meminjam
anak-anakmu. Salah seorang atau keduanya.”
“Untuk?”
Maka diceritakannya maksudnya.
Untuk melindungi Argajaya ia memerlukan sepasukan prajurit. Tetapi pemimpin
prajurit itu memerlukan kawan, karena ia agak bimbang atas kemampuannya
melakukan tugas yang berat ini. Ia merasa bahwa ia tidak hanya sekedar
berhadapan dengan banyak kemungkinan yang datang dari sekelilingnya. Mungkin
sisa-sisa pasukan Argajaya sendiri yang mendendam, mungkin rakyat yang marah,
tetapi juga mungkin timbul dari pasukannya itu sendiri.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kesulitan pemimpin pasukan
itu. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan menyuruh kedua anak-anakku
itu mengikuti Ki Argajaya, karena tugas mereka selama ini pun adalah menjaganya
di dalam bilik itu.”
“Terima kasih,” Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ketika Kiai Gringsing
mengatakannya kepada Swandaru, tampak betapa ia menjadi kecewa. Bahkan sambil
berdesah ia menjawab, “Guru, apakah aku boleh beristirahat?”
Kiai Gringsing menjadi heran
mendengar jawaban itu. Swandaru adalah seorang anak muda yang lebih senang
berada dilingkungan ketegangan daripada duduk menunggu sambil bertopang dagu.
Tetapi tiba-tiba kini sikapnya menjadi lain.
“Lalu apakah yang akan kamu
lakukan?”
“Aku minta ijin untuk
beristirahat barang sejenak di rumah ini. Aku ingin beberapa hari tidak lagi
dibebani oleh tugas-tugas yang berat.”
Kiai Gringsing masih belum
mengerti, kenapa tiba-tiba tabiat muridnya ini berubah. Namun sebelum orang tua
itu menanyakannya kepada Swandaru sendiri, Agung Sedayu telah mendahuluinya,
“Biarlah aku berangkat sendiri untuk kali ini, Guru.”
“Kenapa?” bertanya Kiai
Gringsing.
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Tetapi sambil tersenyum dipandanginya wajah Swandaru yang murung.
“Kenapa?” gurunya mendesak.
“Adi Swandaru sedang sakit.”
“Sakit,” guruya menjadi
semakin heran, “apakah yang sakit? Kenapa kau tidak mengatakannya kepadaku?
Meskipun segalanya tergantung kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi kita wajib
berusaha. Dan aku akan berusaha untuk mengobatinya.”