Akhirnya dari tempat yang
terlindung itu Kiai Gringsing melihat dua orang mendekatinya.
“Benarkah kau, Kiai?”
“Ya, aku datang bersama dengan
Anakmas Swandaru dan Agung Sedayu.”
“Oh, di mana mereka sekarang?”
“Itu, di situ. Kami tidak
ingin mengejutkan kalian. Kalau kalian melihat kami berempat, maka kalian akan
terkejut dan mungkin berbuat sesuatu diluar perhitungan kami.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dalam pada itu Swandaru yang tidak sabar telah keluar dari
persembunyiannya diikuti oleh Sutawijaya dan Agung Sedayu.
“Seluruh kademangan menunggu
kalian” kata penjaga itu. “ Kita telah menjadi bingung.”
“Apakah mereka mencemaskan
nasib kami?” bertanya Swandaru. “Dan karena itu ibu menangis?”
“Bukan saja karena itu,” jawab
penjaga, “kami menghadapi soal yang lain.”
Dada Swandaru berdesir
mendengar jawaban penjaga itu. Karena itu dengan serta-merta ia bertanya,
“Apakah ada soal lain yang penting?”
“Ya” sahut penjaga itu.
“Apa?”
Penjaga itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Pendapa Kademangan itu itu tinggal beberapa puluh langkah lagi. Di
sana duduk para pemimpin Kademangan Sangkal Putung dan para pemimpin prajurit
Pajang yang akan dapat memberi penjelasan sebaik-baiknya kepada anak itu.
Karena itu maka prajurit itu menjawab,
“Biarlah Ki Demang sendiri
memberi penjelasan. Ki Demang berada di pringgitan.”
Swandaru tidak dapat menahan
diri lagi. Tanpa menjawab sepatah katapun ia segera meloncat dan berjalan
tergesa-gesa ke pendapa. Di belakangnya berjalan Agung Sedayu dan Sutawijaya
bersama Kiai Gringsing.
Di pendapa Swandaru melihat
beberapa orang prajurit Pajang masih juga duduk dalam beberapa gerombol. Di
sana-sini mereka agaknya sedang memperbincangkan sesuatu yang cukup penting.
Tetapi kesan yang didapat oleh Swandaru adalah bahwa tidak ada penyerbuan yang
gawat telah terjadi. Kalau demikian, soal apakah yang penting itu.
Dengan langkah yang panjang
anak-anak muda itu bersama Kiai Gringsing itu masuk kedalam pringgitan.
Beberapa orang yang melihatnya menyapa pendek, dan mereka pun menyapa pendek
pula.
Ketika pintu pringgitan
terbuka, maka setiap orang yang duduk melingkar di sekeliling sebuah pelita
minyak kelapa, berpaling memandang ke arah pintu. Hampir bersamaan mereka
melihat Swandaru melangkah masuk dan hampir bersamaan pula mereka berdesis,
“Kau, Swandaru?”
Swandaru tertegun. Ia melihat
beberapa orang pemimpin kademangan dan prajurit Pajang lengkap. Karena itu
dadanya menjadi berdebar-debar.
“Masuklah” terdengar Untara
mempersilakannya.
Swandaru tersadar dari
kegelisahannya yang mencekam dadanya. Ia pun kemudian melangkah dan meletakkan
busurnya di sisi pintu. Tetapi pedangnya masih juga menggantung di lambungnya.
Agung Sedayu dan Sutawijaya pun kemudian meletakkan busur-busur mereka dan
berjalan di belakang Swandaru duduk di dalam lingkungan para pemimpin itu.
“Hem” Ki Demang Sangkal Putung
berdesah. Ditatapnya wajah anaknya yang gemuk bulat itu dalam pandangan yang
aneh, setelah dipersilahkannya pula Kiai Gringsing duduk di antara mereka.
“Kau pergi ke Mentaok?”
bertanya Ki Demang.
“Ya, Ayah, bersama dengan
Putranda Panglima Wira Tamtama. Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Oh” Ki Demang pun
menganggukkan kepalanya. Ia tidak dapat langsung marah kepada anaknya yang
gemuk itu karena kehadiran Sutawijaya.
Untara pun harus menahan
kejengkelannya pula akan kepergian adiknya tanpa seijinnya.
Tetapi mereka tidak berani
menegurnya, menegur Swandaru dan Agung Sedayu, sebab di ruangan itu hadir juga
putera Ki Gede Pemanahan. Yang dapat mereka lakukan hanyalah berdesah di dalam
dada masing-masing, sambil sekali-sekali memandangi wajah ketiga anak-anak muda
itu berganti-ganti. Tetapi kedatangan mereka bersama-sama dengan Kiai Gringsing
yang selama ini seakan-akan menghilang menimbulkan teka-teki pula di dalam hati
mereka. Apakah Kiai Gringsing pergi juga bersama mereka? Ataukah memang Kiai
Gringsing yang telah membawa ketiga anak-anak muda itu untuk bertamasya ke Alas
Mentaok?
“Sepeninggalmu Swandaru,
kademangan ini menjadi geger” berkata Ki Demang penuh tekanan.
Swandaru mengangkat wajahnya.
Tetapi ia tidak segera bertanya. Ia mengharap ayahnya menceritakan apa yang
telah terjadi.
Dan ayahnya itu berkata pula,
“Kami, seluruh isi kademangan, termasuk para prajurit dari Pajang menjadi
bingung. Bingung dan cemas, sebab kami tidak tahu kemana kalian pergi. Kami hanya
mendengar bahwa kalian akan pergi ke Alas Mentaok. Dan kami mengerti bagaimana
buasnya alas itu.”
Swandaru menundukkan
kepalanya. Di dalam hati ia berkata, “Kalau hanya aku sajalah yang
dicemaskannya, maka sebenarnya kademangan ini tak perlu menjadi gelisah.”
Tetapi kata-kata itu tidak terlontar lewat bibirnya.
Sutawijaya yang merasa telah
membawa kedua anak-anak muda itu pun menundukkan kepalanya. Kini baru terasa
olehnya akibat dari keterlanjurannya. Dengan demikian ia dapat membayangkan,
bahwa ayahnya Ki Gede Pemanahan pun pasti akan marah pula kepadanya. Tetapi
semuanya telah terlanjur. Semuanya telah terjadi. Mekipun di dalam hati
kecilnya ia berkata, “Bukankah kami telah cukup dewasa. Adalah tidak
sepantasnya kami harus selalu berada di dalam pengawasan seperti kanak-kanak
supaya kamu tidak terperosok ke dalam kubangan.”
Tetapi terasa pula pada mereka
yang baru datang, bahwa sebenarnya yang telah terjadi bukanlah sekedar
kecemasan mengenai kepergian mereka. Tetapi pasti telah terjadi pula sesuatu di
kademangan ini sepeninggal mereka. Kecemasan atas kepergian anak-anak muda itu
pasti tidak akan menimbulkan penjagaan yang semakin ketat seperti kini.
Karena itu maka Swandaru
kemudian bertanya kepada ayahnya, “Ayah, apakah hanya karena kepergianku itu
Ayah telah memperkuat penjagaan di halaman ini dan di sudut-sudut padesan?”
Ki Demang mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Tentu tidak. Apakah kau dengar tangis ibumu?”
Swandaru mengangguk. “Ya,
Ayah.”
“Kau sangka ibumu
menangisimu?”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi hantinya bergumam, “Tidak.”
“Dengarlah Swandaru. Sudah dua
malam ini ibumu menangis tanpa berhenti di malam hari. Hanya di siang hari
agaknya ia dapat sekedar menahan diri.”
Debar di dada Swandaru menjadi
semakin cepat berderak, seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu ayahnya
berkata. Dengan tatapan mata yang tegang ia memandangi wajah ayahnya itu.
Tiba-tiba orang tua itu
berpaling kepada Kiai Gringsing yang duduk terpekur ambil menggerak-gerakkan
jari-jarinya. Seakan-akan Ki Demang itu pun berkata pula kepadanya, kenapa ia
selama ini tidak pula berada di kademangan?
“Kiai,” berkata Ki Demang itu
kemudian, “istriku telah kehilangan miliknya yang paling disayanginya.”
Ki Tanu Metir mengangkat
wajahnya. Tetapi ia tidak dapat segera mengucapkan sesuatu.
“Ya, tetapi apa yang hilang
itu, Ayah?” desak Swandaru yang kehabisan kesabaran. “Apakah perhiasan ibu,
emas, intan berlian, atau apa?”
Ki Demang menggeleng. “Yang
hilang itu adalah adikmu, Swandaru.”
“He?” Swandaru berjingkat dari
duduknya sehingga bergeser selangkah maju. Tetapi bukan saja Swandaru, Agung
Sedayu pun tidak kalah terkejut. Bahkan Sutawijaya dan Kiai Gringsing pula.
Dengan terbata-bata Swandaru
berkata, “Mirah, jadi Sekar Mirah yang Ayah maksud?”
Ayahnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya, Sekar Mirah telah hilang sejak kemarin.”
“Bagaimana maka Sekar Mirah
itu dapat hilang Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu terpatah-patah.
“Ya bagaimana?” sahut Ki
Demang. “Ia hilang begitu saja. Hilang dari kademangan ini. Aku pun bertanya
seperti itu, kenapa Sekar Mirah dapat hilang?”
Kiai Gringsing masih juga
berdiam diri. Ia tahu benar betapa perasaan Ki Demang menjadi gelap, sehingga
dengan demikian maka orang itu akan mudah menjadi marah.
“Nah, sekarang aku bertanya
kepadamu, Swandaru,” berkata Ki Demang itu, “apa yang kau dapat dengan
perjalananmu itu? Kalau kau ada di rumah, mungkin keadaan akan berbeda.”
Yang terdengar adalah Swandaru
menggeretakkan giginya. Dengan gemetar ia kemudian bertanya, “Apakah tak
seorang pun yang tahu, dengan siapa Sekar Mirah pergi? Apakah ia sengaja pergi
dengan suka-rela, apakah seseorang telah menculiknya?”
“Pertanyaanmu itu gila sekali.
Apakah kau sangka adikmu itu sebinal kau ini? Kenapa kau dapat berpikir bahwa
adikmu itu dengan suka-rela meninggalkan kademangan? Kau sangka adikmu sudah
tergila-gila pada Sidanti dan pergi mencarinya?”
Tetapi dada Swandaru pun sudah
sesak pula, sehingga ia menjawab, “Habis, bagaimana aku harus menanggapi
persoalan ini? Beri aku jalan untuk berbuat sesuatu ayah. Malam ini juga aku
akan berbuat.”
Wajah Ki Demang pun menjadi
kian tegang. Hampir berteriak ia berkata, “Terlambat. Terlambat. Apa artinya
kepergianmu selama ini?”
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi ia mengepalkan tinjunya.
“Tak ada yang kau dapatkan.
Tetapi kalau kau mati juga di perjalanan maka ibumu akan mati membeku, tahu?
Sekarang adikmu telah hilang. Hilang masuk ke dalam lingkungan yang tidak mudah
dapat disusupi.”
“Ya, kemana. Kemana ia pergi.”
“Seseorang melihat, bahwa pada
pagi-pagi hari ketika adikmu pergi ke warung, tiba-tiba ia diterkam oleh
seorang laki-laki. Bukan seorang laki-laki kademangan ini. Tetapi orang yang
melihat itu telah mengenalnya. Namanya Sidanti.”
“Sidanti. Sidanti. Jadi, adikku
dibawa oleh Sidanti?” teriak Swandaru.
“Ya. Orang yang melihatnya itu
pun hampir saja mati ketakutan. Tetapi Sidanti tidak berbuat sesuatu atasnya.
Bahkan anak itu berkata, ‘Katakan kepada ayahnya, bahwa akulah yang telah
membawa Sekar Mirah.’”
Terdengar gigi Swandaru berderak.
Justru dengan demikian maka sejenak ia terbungkam. Yang terdengar hanyalah
dengus nafasnya yang berkejaran lewat lubang-lubang hidungnya.
Untara, Widura, dan Kiai
Gringsing sejenak hanya dapat mendengarkanya. Persoalan itu hampir merupakan
persoalan keluarga, sehingga mereka tidak segera dapat turut campur. Sedang
Sutawijaya pun menjadi seakan-akan terbungkam. Ia menyadari kesalahannya, bahwa
ia telah membawa Swandaru pergi. Tetapi apakah apabila Swandaru ada di rumah,
hal itu dapat dihindari? Tiba-tiba Sutawijaya teringat kepada Argajaya. Apakah
ada hubungannya dengan dendam yang telah ditanamnya di dalam dada orang itu?
Dada Sutawijaya pun menjadi berdebar-debar pula.
Tetapi Agung Sedayu mempunyai
sikap yang lain, Meskipun ia bukan salah seorang keluarga Ki Demang Sangkal
Putung, tetapi ia pun merasa kehilangan pula. Sehingga tiba-tiba ia pun berkata
lancing, “Tak ada lingkungan yang tidak dapat disusupi. Tak ada dinding yang
tidak dapat dipecahkan.” Agung Sedayu itu pun kemudian berpaling kepada kakaknya.
“Kakang Untara. Aku akan kembali ke Jati Anom. Dari sana aku akan memanjat
lereng Merapi untuk menemukan Sekar Mirah kembali.”
Kini barulah Untara dapat
turut berbicara. “Seharusnya memang demikian, Agung Sedayu. Tetapi di lereng
Merapi itu tidak hanya terdapat Sidanti seorang diri.”
“Di Sangkal Putung tidak hanya
terdapat Sekar Mirah sendiri. Tidak hanya terdapat Ki Demang sendiri. Tetapi
Sidanti dapat mengambil Sekar Mirah. Apakah aku tidak dapat melakukan hal yang
sebaliknya?” sahut Agung Sedayu tidak kalah lantangnya dengan suara Swandaru.
Tetapi Sutawijaya yang merasa,
bahwa ia telah terlibat pula dalam persoalan itu karena ia telah membawa kedua
anak-anak muda itu, berkata pula, “Aku ikut serta. Kita pergi bertiga. Kita
masuki padepokan Tambak Wedi. Kita bakar segenap isinya setelah kita
membebaskan puteri Ki Demang itu.”
Semua orang yang mendengar
suara Sutawijaya itu berpaling kepadanya. Mereka segera melihat wajah anak muda
itu berwarna kemerah-merahan menahan perasaannya. Bahkan tangannya pun telah
dikepalkannya dan diketuk-ketuknya pahanya dengan tinjunya itu.
Tetapi terdengar kemudian
Untara menjawab, “Sayang Adi Sutawijaya. Ayahanda berpesan kepadaku, bahwa adi
Sutawijaya harus segera kembali ke Pajang. Demikian Adi datang ke Sangkal
Putung ini, maka secepat mungkin Adi harus menyusul ayahanda supaya ayahanda
tidak terlampau cemas dan Gusti Adiwijaya pun tidak terlampau lama
menanti-nanti kedatangan Adimas.”
Wajah Sutawijaya yang tegang
itu menjadi berkerut-merut. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Jadi Ayah sudah
kembali ke Pajang?”
“Ya. Sebagaimana Adimas lihat.
Di sini ayahanda sudah tidak ada lagi. Hanya beberapa orang prajurit pilihan
berkuda telah ditinggalkannya untuk membawa Adi kembali.”
Sutawijaya terhenyak dalam
kekecewaan. Namun tiba-tiba ia berkata, “Baik. Baik, aku akan kembali bersama
prajurit pengawal itu. Tetapi biarlah aku turut menyelesaikan masalah ini
dahulu. Hilangnya Sekar Mirah merupakan tantangan yang harus dijawab. Bukan
sekedar direnungkan dan ditangisi.”
Untara menganggukkan
kepalanya. Bahkan dada Ki Demang Sangkal Putung pun menjadi berdebar-debar pula
karenanya.
“Adi Sutawijaya benar. Tetapi
kita tidak boleh kehilangan keasdaran dalam berbuat. Kita tahu benar siapakah
Sidanti, siapakah Ki Tambak Wedi. Dan siapakah yang berada bersama-sama dengan mereka
di dalam sarangnya. Bagi Adimas, gambaran padepokan itu masih terlampau kabur.
Kita belum tahu pasti kekuatan mereka. Bahkan bagi kita masih jauh lebih jelas
melihat kekuatan Tohpati daripada kekuatan Tambak Wedi.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Naluri keprajuritannya kini membenarkan pendapat Untara itu
mengatasi nafsu mudanya. Kembali ia mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia pun
terdiam.
Tetapi dalam pada itu
terdengar Agung Sedayu berkata, “Kakang Untara, kita tidak dapat membiarkan
Sekar Mirah terlampau lama di sarang Sidanti. Itu terlampau berbahaya baginya.
Bagi seorang gadis.”
“Kita berangkat sekarang”
potong Swandarau. “Sidanti mampu mengambil Sekar Mirah di Sangkal Putung.
Kenapa kita tidak mampu mengambilnya?”
“Ada bedanya Adi Swandaru. Di
sini Sekar Mirah bebas tanpa pengawasan. Sehingga karena itulah maka di
pagi-pagi itu Sidanti berhasil menunggunya di pinggir jalan di tempat yang
terlindung . Tetapi sudah tentu tidak demikian bagi Sekar Mirah di padepokan
Tambak Wedi. Di sana ia pasti terkurung di tempat yang selalu mendapat
pengawasan.”
“Kalau begitu kita serbu
padepokan itu dengan kekuatan segelar sepapan. Semua anak-anak Sangkal Putung
siap melakukannya demi kehormatan kami, nama kademangan ini. Sekar Mirah bukan
saja adik kandungku, tetapi Sekar Mirah merupakan kembang dari kesucian kami,
kesucian nama keluarga kami. Setiap noda yang melekat padanya, adalah noda yang
tercoreng di wajah kami. Di wajah Kademangan Sangkal Putung.”
Mendengar kata-kata itu
tiba-tiba Ki Demang pun menjadi bertambah tegang. Ia pun sadar apa yang dapat
terjadi atas gadisnya itu. Karena itu maka tiba-tiba orang tua itu pun berkata,
“Kita akan menyusulnya ke lereng Merapi. Setiap laki-laki akan turut serta
merebut anak itu kembali.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia adalah seorang senopati. Ia tidak dapat berbuat menurut
nafsu yang menyala-nyala. Ia tidak dapat berbuat hanya berdasarkan perasaan,
tidak berdasarkan perhitungan. Karena itu ia berkata, “Benar Ki Demang. Kita
akan segera menyusul Sekar Mirah ke padepokan Ki tambak Wedi. Tetapi kita tidak
boleh terjerumus dalam kesalahan karena penglihatan kita tertutup oleh
kemarahan yang meluap-luap. Dan itulah yang dikehendaki oleh Sidanti dan Ki Tambak
Wedi, sehingga kita akan kehilangan kejernihan pikiran.”
“Kita sudah cukup lama
berpikir. Bagi Sangkal Putung tidak akan ada jalan lain daripada menerobos
masuk ke dalam sarang orang gila itu,” sahut Swandaru, yang disambung oleh
Agung Sedayu, “Hilangnya Sekar Mirah, adalah tantangan dan penghinaan bagi kami
yang berada di kademangan ini pula. Bukankah dengan demikian Sidanti ingin
mengatakan bahwa tak ada laki-laki di kademangan ini? Tak ada seorang pun yang
mampu melindungi gadis itu?”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia tahu bahwa perasaan adiknya itu pun sedang terbakar. Ia tahu
perasaan yang tersimpan di dada anak muda itu terhadap Sekar Mirah, sehingga
dengan demikian maka hatinya pun menjadi gelap. Anak yang biasanya selalu
mempergunakan berbagai macam pertimbangan dalam setiap tindakan, bahkan lebih
mirip dengan sifat yang selalu ragu-ragu, kini tiba-tiba tidak lagi dapat
membuat pertimbangan-pertimbangan sama sekali.
Tetapi menghadapi wajah-wajah
yang tegang, hati-hati yang tegang dan pikiran-pikiran yang gelap, Untara
menjadi cemas.
Apalagi ketika Ki Demang
sendiri berkata, “Swandaru, kita siapkan orang-orang kita besok. Kita segera
menyusul adikmu.”
Untara benar-benar kehilangan
cara untuk mencegahnya. Tetapi ia tahu benar bahaya yang dapat terjadi. Bahaya
bagi pasukan Sangkal Putung. Sudah tentu bahwa pasukannya sendiri tidak akan
dapat membiarkan orang-orang Sangkal Putung itu bertindak. Tetapi dengan cara
yang demikian itu, maka ia akan berbuat suatu kesalahan bagi seorang senopati.
Bertindak dengan tergesa-gesa sebelum tahu benar imbangan kekuatan yang ada.
Sebab bukan mustahil bahwa di padepokan Ki Tambak Wedi telah tersusun kekuatan
yang sangat rapi. Bukan pula mustahil bahwa Ki Tambak Wedi telah membuat
rencana tertentu. Masuk ke dalam kademangan ini selagi kademangan ini menjadi
kosong. Itulah sebabnya ia harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih
masak menghadapi hantu lereng Merapi itu.
Untara menjadi semakin bingung
menghadapi orang-orang yang telah dibakar oleh perasaannya itu. Swandaru yang
mendapat perintah ayahnya itu segera menyahut, “Baik, Ayah. Malam ini juga aku
akan mempersiapkan anak-anak muda Sangkal Putung.”
Untara menjadi bertambah
gelisah. Tiba-tiba tanpa disadarinya ditatapnya wajah pamannya, Widura, kemudian
Kiai Gringsing yang masih saja berdiam diri seakan-akan minta pertimbangan,
bagaimana mengatasi persoalan yang sedang dihadapinya.
Kiai Gringsing yang selama itu
hanya berdiam diri sambil mendengarkan persoalan yang terjadi di Sangkal Putung
itu pun mengangkat wajahnya. Perlahan-lahan tetapi jelas ia berkata, “Memang,
kita harus segera menemukan kembali Angger Sekar Mirah.”
Untara menarik alisnya
tinggi-tinggi. Tetapi dibiarkannya Kiai Gringsing berkata seterusnya, “Kita
tidak akan sampai hati membiarkannya terlampau lama di tangan Angger Sidanti.”
Swandaru pun dengan
serta-merta menyambung, “Nah. Bukankah begitu, Kiai. Kita harus segera
menemukan Sekar Mirah.”
“Secepatnya” sahut Kiai
Gringsing.
“Ya, secepatnya” Agung Sedayu
memotong. “Sekarang kita harus segera mempersiapkan diri.”
“Tetapi ingat. Kita harus
menyelamatkannya. Karena itu secepatnya, namun tidak boleh kehilangan
maksudnya, menyelamatkannya.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengerutkan keningnya. Namun yang bertanya adalah Ki Demang Sangkal Putung,
“Maksud Kiai?”
“Kita harus menyadari bahwa
Sekar Mirah kini berada di tangan Sidanti.”
Ki Demang menjadi semakin
tidak mengerti. Karena itu ia berkata, “Ya, kita menjadi bingung karena Sekar
Mirah berada di tangan anak gila itu.”
“Nah, karena itu kita harus
memperhitungkan gadis itu. Gadis yang harus kita selamatkan. Kita tidak boleh
terbakar oleh nafsu dan kemarahan tanpa menghiraukan titik bidik yang sebenarnya.
Kita hanya memperhitungkan kekuatan pasukan yang mungkin akan mampu memecahkan
pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi dan kemudian menjadikannya karang abang.
Tetapi kita lupa bahwa Sekar Mirah berada di sana, di dalam kekuasaan
orang-orang itu, di dalam pertahanan yang ingin kita pecahkan.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak. Dilihatnya sorot pandangan mata yang keheran-heranan di
sekitarnya. Ki Demang, Swandaru, Agung Sedayu, dan beberapa orang Sangkal
Putung yang lain.
“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing
seterusnya, “Sidanti dan Ki Tambak Wedi adalah orang-orang yang dapat berbuat
hal-hal yang tidak dapat kita duga sebelumnya. Kalau kita dengan serta-merta
memecahkan pertahanan mereka, maka dengan demikian kita hanya menuruti nafsu
sendiri. Kita telah kehilangan tujuan kita, menyelamatkan Sekar Mirah. Sebab
apabila pertahanan mereka tidak dapat melindungi padepokan mereka, maka nyawa
Sekar Mirah menjadi terancam. Mereka akan melepaskan kemarahan mereka pada
Sekar Mirah. Mungkin dengan sengaja mereka membuat kita menjadi ngeri. Dengan
alat gadis itu mereka membalas kekalahan mereka. Membalas sakit hati mereka.
Nah, bayangkanlah, apa yang akan dapat terjadi dengan Sekar Mirah?”
Ki Demang yang hampir-hampir
tidak dapat mengekang dirinya itu tiba-tiba menyadari keadaannya dan keadaan
puterinya itu. Dengan demikian maka terasa dadanya menjadi kian pepat, bahkan
hampir-hampir meledak.
Sedang Swandaru dan Agung
Sedayu dapat mendengar keterangan Kiai Gringsing itu dengan baik. Kata demi
kata. Dengan demikian berbenturanlah perasaan mereka dengan pengertian mereka
yang mereka dengar dari Kiai Gringsing itu.
Sejenak suasana di pringgitan
itu dicengkam oleh kesepian. Kesepian yang seakan-akan membakar jantung.
Tiba-tiba terdengar suara Ki
Demang menyobek, “Lalu, apakah yang harus kita lakukan, Kiai? Apakah kita akan
membiarkan saja semuanya itu terjadi tanpa berbuat sesuatu? Pendapat Kiai
memang benar. Memang dapat diterima oleh nalar. Tetapi apabila kita hanya
berpangku tangan, apakah Sekar Mirah itu akan dilepaskan atau akan dapat
melepaskan dirinya sendiri? Atau kita harus menunggu sampai Sidanti dan
orang-orang liar di padepokan itu sudah puas dengan segala macam perbuatannya
atas gadis itu dan melemparkannya ke luar sarang mereka, atau membunuhnya?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi orang tua itu tidak kehilangan
ketenangannya. Dengan sareh ia berkata, “Tentu tidak, Ki Demang. Kita pati
harus berusaha. Tetapi usaha kita itulah yang harus kita pertimbangkan
masak-masak. Kita dapat menangkap ikannya tanpa mengeruhkan airnya, bahkan
membinasakan ikan itu sendiri.”
Ki Demang terdiam sejenak.
Tetapi hatinya masih juga bergolak. Seakan-akan ia akan segera meloncat saat
itu juga ke padepokan Tambak Wedi di lereng Merapi. Dalam pada itu terdengar
Untara berkata, “Kita harus mempunyai persiapan yang baik untuk merebut kembali
Sekar Mirah. Bukan saja merebut Sekar Mirah, tetapi sekaligus membinasakan
orang-orang Jipang yang tidak mau mempergunakan kesempatan yang baik, yang
telah aku berikan kepada mereka.”
“Ah,” desah Ki Demang, “aku
akan membantu membinasakan Sanakeling dengan segenap kekuatannya. Tetapi
rencana itu jangan menghambat usahaku membebaskan anak itu. Kalian jangan
berpihak pada kepentingan kalian sendiri. Jangan berpihak pada pandangan
searah. Mungkin bagi kalian tidak ada bedanya, apakah kita akan menyerang
Sanakeling, Sidanti, dan Tambak Wedi itu sekarang, atau besok, atau lusa, asal
kalian yakin kekuatan kita sudah cukup, kita menyerang. Kita hancurkan mereka.
Tetapi aku tidak dapat berbuat demikian. Aku harus segera membebaskan anakku
sebelum terjadi sesuatu atasnya.”
Untara hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam mendengar jawaban Ki Demang Sangkal Putung yang lebih banyak
dipengaruhi oleh perasaan seorang ayah daripada seorang demang yang menghadapi
lawan di peperangan. Demikian juga agaknya Swandaru dan Agung Sedayu. Bahkan
segenap orang-orang Sangkal Putung. Bukan saja orang-orang Sangkal Putung,
sebagian prajurit-prajurit Pajang sendiri merasa apa yang dilakukan oleh
Sidanti itu merupakan penghinaan dan tantangan yang harus segera mendapat
pelayanan sewajarnya.
Yang menjawab kemudian adalah
Kiai Gringsing. “Ki Demang benar. Kita tidak dapat membuat pertimbangan dari
segi yang timpang. Kita tidak boleh memberatkan kepentingan Angger Untara
sebagai seorang Senopati Pajang. Tetapi kita pun tidak boleh hanya menuruti
perasaan sendiri. Harga diri yang berlebih-lebihan sebagai laki-laki pilihan.
Harga diri yang terbakar karena penghinaan itu. Dengan demikian, maka kalian
sudah kehilangan sasaran yang sebenarnya. Angger Untara terlalu memberatkan
tugasnya sebagai seorang senopati, sedang Ki Demang terlalu dibebani oleh
nilai-nilai kejantanan yang sedang terhina. Namun kedua-duanya tidak akan
menguntungkan Sekar Mirah. Terlalu cepat maupun terlalu lambat.”
“Ki Tanu Metir,” sahut Ki
Demang, “Mirah adalah seorang gadis yang berada di antara laki-laki yang buas.
Apakah yang dapat terjadi padanya?”
“Bermacam-macam” sahut Kiai
Gringsing.
“Nah, bukankah Kiai menyadari
kemungkinan yang bermacam-macam itu?” bertanya Ki Demang.
“Ya, bermacam-macam. Di
antaranya mencincang Sekar Mirah dan mengikat mayatnya di pintu gerbang yang
akan kita lalui dengan pasukan segelar sepapan.”
“He?” mata Ki Demang
terbeliak. Namun kemudian wajah yang menyala itu tertunduk lesu. Jawaban Kiai
Gringsing tepat mengenai sasarannya. Kemungkinan itu pun memang dapat terjadi
seperti kemungkinan-kemungkinan yang lain.
“Tetapi, lalu bagaimana?”
terdengar suara Ki Demang menurun.
Kini kembali pringgitan itu
terdampar pada kesenyapan yang tegang. Masing-masing sibuk dengan pikiran
sendiri-sendiri. Apakah kira-kira yang dapat mereka lakukan untuk membebaskan
kembali Sekar Mirah dari tangan Sidanti?
Swandaru dan Agung Sedayu
menjadi kian gelisah, seakan-akan mereka itu duduk di atas bara. Terdengar gigi
mereka gemeretak dan nafas mereka saling memburu. Di sisi mereka, Sutawijaya
duduk tepekur. Kepalanya menjadi pening. Sebenarnya banyak hal yang ingin
dikatakannya, tetapi ia harus kembali ke Pajang. Tidak mungkin baginya untuk
menolak perintah ayahnya lagi. Karena itu betapa kecewanya, betapa ia menyesal
telah mengajak kedua anak-anak muda itu. dan kini ia dikecewakan pula karena ia
tidak mendapat kesempatan untuk ikut serta merebut kembali Sekar Mirah. Bukan
karena Sekar Mirah adalah seorang gadis yang cantik, tetapi Sutawijaya pun
merasa tersinggung pula atas perbuatan Sidanti itu.
Dalam pada itu terdengar suara
Ki Demang bernada rendah, “Apakah aku akan membiarkan secercah noda melekat
pada kademangan ini karena keluargaku? Apakah aku harus membiarkan Sekar Mirah
menjadi korban karena persoalan yang seharusnya dipikul oleh kekuatan jantan di
kademangan ini? Oh, persoalan itu akan menjadi saling mengait. Seperti senjata
Sidanti yang mengerikan itu. nenggala beujung rangkap. Dengan ujung dan
pangkalnya, ia mampu membuat kita luka rangkap sekali gerak.”
“Itulah yang sebenarnya kita
hadapi, Ki Demang,” sahut Ki Tanu Metir. “Dengan demikian kita harus
berhati-hati menghadapinya. Kita tidak boleh tergesa-gesa tanpa memperhitungkan
setiap kemungkinan. Namun yang pertama-tama harus kita perhatikan adalah
keselamatan Sekar Mirah. Kalau kita berhasil membebaskan Sekar Mirah dengan
selamat, maka kedua-duanya telah dapat kami jawab sekaligus, seperti kita juga
menggerakkan senjata yang tajam di kedua ujungnya.”
“Ya, demikianlah” gumam Ki
Demang. “Tetapi, bagaimana? Pertimbangan dan pertimbangan saja tidak akan
banyak bermanfaat.”
“Memang tidak bermanfaat.
Tetapi perbuatan tanpa pertimbangan pun akan sama saja jeleknya.”
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki
Demang, “sekarang bagaimana pertimbangan Kiai?”
Kiai Gringsing menegakkan
punggungnya. Seakan-akan punggung itu menjadi sangat pegal. Kemudian orang itu
pun menarik nafasnya dalam-dalam.
Kepada Untara Kiai Gringsing
itu pun bertanya, “Angger Untara, apakah ada kekuatan yang cukup kini di
Sangkal Putung?”
Untara memandang wajah orang
tua itu dengan penuh pertanyaan. Senopati di tempat itu adalah dirinya. Tetapi
agaknya Kiai Gringsing mampu pula membuat perhitungan-perhitungan menurut tata
keprajuritan.
Namun Untara tahu benar, bahwa
Kiai Gringsing memang bukan orang kebanyakan, sehingga dengan demikian ia
merasa tidak berkeberatan untuk menjawab. “Tidak terlampau cukup Kiai. Sebagian
dari prajurit Pajang sedang mengawal orang-orang Jipang yang telah menyerah
bersama Ki Gede Pemanahan. Mereka sampai saat ini belum kembali. Bahkan menurut
Ki Gede Pemanahan, akan datang pula sepasukan prajurit yang lain, yang harus
pergi bersama aku ke Jati Anom untuk menyelesaikan persoalan Sanakeling dan
Sidanti.”
“Bagus” berkata Kiai
Gringsing. “Jadi akan datang pasukan baru yang segar, sedang yang lain tetap
berada di Sangkal Putung ini bersama Angger Widura?”
“Demikianlah seharusnya
menurut perhitungan Ki Gede Pemanahan. Sebab Ki Tambak Wedi dapat dengan
tiba-tiba saja berada di sekitar tempat ini selagi kita berada di Jati Anom.”
Kini Kiai Gringsing itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya satu demi satu anak-anak muda yang
sedang dilanda oleh arus kemarahan yang hampir tak tertahankan. Tetapi Kiai
Gringsing sendiri tidak segera menemukan jalan, bagaimanakah sebaiknya yang
harus dilakukan.
Dalam keheningan yang kemudian
mencengkam pringgitan itu terdengar beberapa kali Swandaru berdesah.
Sekali-sekali ia menggeser duduknya dengan gelisah.
Tetapi yang lebih dulu
bertanya adalah Agung Sedayu, “Lalu bagaimana Kiai? Apakah yang harus kita
kerjakan?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita harus berpikir dengan
kepala yang dingin. Kita harus mampu mempertimbangkan tanpa diburu oleh nafsu
supaya perimbangan kita menjadi jernih.”
“Ya, lalu bagaimana
perimbangan yang jernih itu?” sahut Swandaru. “Apakah kita harus pergi segelar
sepapan ke Jati Anom ataukah kita harus menunggu saja?”
Adalah sangat sulit untuk
menenangkan hati anak-anak muda itu. karenanya maka Kiai Gringsing pun harus
segera berbuat sesuatu untuk memecahkan ketegangan hati mereka. Kalau
ketegangan yang telah memuncak itu tidak dapat tersalur secara wajar, maka
mereka pasti akan berbuat sesuatu yang justru menguntungkan Sidanti. Bukan
mustahil kalau Ki Tambak Wedi telah menyusun rencana sebaik-baiknya untuk
menjebak mereka. Rencana penculikan itu pun mungkin adalah hasil dari perasan
otak hantu tua itu. Karena itu maka yang harus dilakukannya adalah terlampau
rumit.
Meskipun demikian, Kiai
Gringsing itu harus menemukan suatu pemecahan. Pemecahan yang tidak
membahayakan Sekar Mirah, tidak merugikan Untara sebagai senopati yang
mempunyai tanggung jawab yang besar. Bukan hanya sekedar soal Sekar Mirah saja,
tetapi persoalan yang jauh lebih luas lagi, namun tidak pula menahan arus kemarahan
anak-anak muda itu, Swandaru dan Agung Sedayu. Karena itu maka orang tua itu
pun berkata, “Swandaru, marilah kita lihat persoalan ini dari beberapa
kemungkinan. Di antaranya adalah, bahwa Ki Tambak Wedi telah mempergunakan
Sekar Mirah sebagai perisai.”
“Tidak, Kiai,” sahut Swandaru,
“Sidanti benar-benar memerlukan Sekar Mirah sebagai kelanjutan hubungan mereka
di kademangan ini dahulu. Dengan demikian maka sangat besar kemungkinannya
bahwa Sekar Mirah akan tetap hidup. Tetapi akibat-akibat lain daripada itulah
yang harus kami cegah.”
“Mungkin juga, tetapi ada juga
kemungkinan yang lain. Kalau Sidanti harus lari meninggalkan padepokannya
karena serbuan pasukan Sangkal Putung dan Pajang, maka Sidanti tidak akan
sempat membawa gadis itu. Nah, daripada ia kehilangan Sekar Mirah, maka lebih
baik baginya apabila Sekar Mirah itu dibinasakannya sama sekali. Itulah yang
harus kita hindari.”
“Oh,” Swandaru memegang
kepalanya dengan kedua tangannya, “soal itu akan selalu kembali dan
melingkar-lingkar. Tetapi kita tidak dapat membiarkannya dengan berbantah tanpa
berbuat sesuatu di sini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Muridnya itu agak terlampau berani menjawab setiap kata-katanya.
Tetapi Kiai Gringsing yang sudah lanjut itu dapat mengerti, apakah sebabnya
maka Swandaru dan Agung Sedayu itu seakan-akan menjadi kehilangan pengamatan diri.
Maka jawab orang tua itu
kemudian, “Karena itu Swandaru. Coba dengarlah, aku akan memberikan beberapa
cara yang mungkin dapat ditempuh.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Kepada
Untara ia berkata, “Angger. Senapati di daerah ini adalah Angger Untara.
Meskipun demikian perkenankanlah saya mengusulkan beberapa cara yang mungkin
dapat ditempuh.”
“Silahkanlah, Kiai,” sahut
Untara.
“Apakah pasukan yang sekarang
mengawal orang-orang Jipang ke Pajang itu akan segera kembali dan bahkan
bersama-sama dengan pasukan yang baru untuk Angger Untara?”
“Demikianlah menurut Ki Gede
Pemanahan.”
“Bagus. Kalau yang berkata
demikian adalah Ki Gede Pemanahan maka pasti akan terjadi,” sejenak Kiai
Gringsing itu berhenti, kemudian diteruskannya, “kalau demikian, maka sebaiknya
Angger Untara menunggu kedatangan pasukan itu di sini.”
“Kenapa harus menunggu Kiai,”
potong Agung Sedayu, “bagaimana kalau pasukan itu tidak segera datang?”
“Kita tinggal akan menemukan
Sekar Mirah yang telah menjadi klaras. Menjadi daun yang telah kering tanpa
arti,” sambung Swandaru.
“Tunggu dulu,” sahut Kiai
Gringsing, “bukan maksudku bahwa kita hanya menunggu saja sampai pasukan itu
datang. Kita harus memperhitungkan, bahwa di belakang Sidanti dan Sanakeling
itu berdiri Ki Tambak Wedi,” Kiai Gringsing itu terdiam sejenak. Tampaklah
kerut-merut menjadi semakin dalam di dahinya. Kemudian ia berkata pula, “Kita
harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Agal ataupun halus. Karena itu
pasukan Angger Untara itu sangat kami perlukan. Namun sementara itu kita tidak
akan tinggal diam. Kita harus berusaha mendekati padepokan Ki Tambak Wedi
dengan diam-diam. Nah, tugas itu dapat diserahkan kepadaku.”
“Bersama aku” hampir bersamaan
Agung Sedayu dan Swandaru berteriak.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baik, baik,” katanya, “kami bertiga pergi
mendahului pasukan Pajang. Tetapi pesanku Sangkal Putung jangan dikosongkan.
Sangkal Putung harus tetap dijaga dengan kekuatan yang cukup. Ini adalah tugas
Angger Widura. Mudah-mudahan kita dapat memecah perhatian Ki Tambak Wedi,
seperti Ki Tambak Wedi berhasil membuat kepala kita menjadi pening.
Mudah-mudahan perhatian KI Tambak Wedi tertarik pada pasukan Untara yang segera
akan mendekati padepokan mereka. Sementara itu kami bertiga mendapat kesempatan
untuk mendekat. Mudah-mudahan kita akan dapat melihat setidak-tidaknya
mendengar nasib Sekar Mirah.”
Pringgitan itu kini terdiam,
seakan-akan ingin mencernakan kata-kata Kiai Gringsing itu. Beberapa orang
saling berpandangan untuk mendapatkan pertimbangan, meskipun hanya lewat sorot
mata masing-masing.
Ki Demang Sangkal Putung
mengagguk-anggukkan kepalanya sambil berdesah. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.
Yang mula-mula berbicara
adalah Widura, yang selama ini lebih mendengarkan daripada menyatakan pendapatnya.
Katanya, “Apakah menurut pertimbangan Kiai, Ki Tambak Wedi masih akan kembali
lagi ke kademangan ini? Apakah Ki Tambak Wedi mempunyai kepentingan yang sama
seperti Tohpati terhadap Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku kira demikian. Ki Tambak Wedi
tidak akan dapat menyediakan makan yang cukup untuk waktu yang panjang kepada
Sanakeling dan anak buahnya. Mereka pada suatu saat pasti memerlukan lumbung
yang dapat disadap untuk kepentingan makan mereka.”
“Apakah tidak ada daerah yang
lebih dekat dari Sangkal Putung, Kiai. Misalnya Jati Anom.”
“Tentu mungkin. Tetapi kenapa
Tohpati memilih kademangan ini daripada kademangan-kademangan lain? Pasti
Tohpati itu pun mempunyai alasan yang telah memaksanya berbuat demikian. Bukan
mustahil bahwa Ki Tambak Wedi pun mempunya pilihan yang sama. Sebab menurut
penilaian orang-orang di luar kademangan ini, di Sangkal Putung tersimpan
kekayaan yang berlipat ganda dibandingkan dengan kademangan-kademangan yang
lain, sehingga pengorbanan yang diberikan untuk merebut kademangan ini tidak
akan sia-sia.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-angguk. Di dalam hati kecilnya terbersit pula secercah kebanggaan
atas pujian itu, tetapi kebanggaan itu benar-benar harus ditebus dengan sangat
mahal. Bahkan kini anak gadisnya harus direbutnya dari tangan orang-orang yang
memuakkan itu.
Widura pun
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Seperti Ki Demang ia merasa, bahwa Sangkal
Putung menelan tebusan yang mahal. Tetapi Widura adalah seorang prajurit.
Seorang prajurit yang bukan saja harus mempertahankan lumbung-lumbung yang akan
dapat memberi makan kepada lawan, tetapi prajurit memang harus melindingi hak
dan milik rakyat. Bukan sebaliknya. Karena itu, seandainya Sangkal Putung itu
tak ada apa-apa pun, adalah kewajiban setiap prajurit Pajang untuk menjaga dan
melindunginya dari pihak-pihak yang dapat menelan daerah itu, memperkosa hak
dan kemanusiaan.
Yang bertanya kemudian adalah
Swandaru, “Nah, apakah kita akan berangkat sekarang?”
“Jangan tergesa-gesa dan
kehilangan perhitungan” jawab gurunya. “Beristirahatlah. Besok kita berangkat
setelah kita membuat persiapan-persiapan secukupnya.”
“Kenapa besok, Guru?” sahut
Agung Sedayu. “Waktu yang sekejap sangat berguna bagi kita. Yang sekejap itu
akan dapat meluluhkan segenap masa depan bagi Sekar Mirah. Yang sekejap itu
akan bernilai seumur hidupnya.”
“Itu kalau kita dapat
memanfaatkan waktu yang sekejap itu” sahut Kiai Gringsing. “Tetapi kalau kita
gagal sama sekali karena kita ditelan oleh nafsu, maka bagi kita bukan saja
kehilangan waktu yang sekejap, tetapi kita akan kehilangan semuanya. Sekarang
sebaiknya kita beristirahat. Kita dapat menilai pembicaraan ini. Mungkin kita
akan menemukan pikiran-pikiran yang ternyata lebih bernilai dari
pikiran-pikiran yang kita temukan dengan tergesa-gesa dalam pertemuan ini.
Pertemuan yang lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu kemarahan, kecemasan dan
ketergesa-gesaan daripada perhitungan yang cermat. Apalagi perhitungan yang
bersasaran luas. Hubungan yang bersangkut-paut dengan sikap Pajang terhadap
Sanakeling dan Sidanti dan sikap Sangkal Putung atas hilangnya Sekar Mirah.
Kita masing-masing tidak dapat memandang dari satu segi. Sebab kedua-duanya
memiliki nilainya sendiri-sendiri yang tak dapat saling dipisahkan.”
Ki Demang Sangkal Putung
menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk dapat mengerti keterangan itu.
Keterangan Ki Tanu Metir. Ketika ia memandang Untara, maka anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Ki Tanu Metir benar-benar berpandangan
cukup luas, mencakup segenap kepentingan yang dihadapi. Untuk mendapatkan Sekar
Mirah bukan berarti dapat merusak segenap rencana sikap yang harus ditempuh
oleh para prajurit Pajang. Sekar Mirah bagi Pajang hanya merupakan salah satu
soal dari seribu macam soal yang harus diatasi. Meskipun demikian Untara tidak
akan dapat mengabaikannya. Apalagi Untara menyadari, bahwa adiknya, Agung
Sedayu dan Swandaru benar-benar terbakar oleh peristiwa hilangnya Sekar Mirah.
Demikianlah maka akhirnya
pertemuan itu pun dibubarkan. Swandaru segera pergi ke bilik ibunya. Ditemuinya
ibunya masih juga menangis ditunggui oleh beberapa orang perempuan. Ketika
dilihatnya Swandaru masuk ke dalam biliknya maka tiba-tiba tangisnya mengeras.
Seakan-akan diteriakkan kepedihan hatinya sepuas-puasnya.
“Oh, anakku Ngger, kemana kau
pergi selama ini? Sepeninggalmu ternyata adikmu hilang dicuri orang. Apakah kau
akan membiarkannya saja? Apakah kau tidak akan berusaha untuk mengambilnya
kembali? Swandaru, kalau adikmu tidak dapat diketemukan, o, lebih baik aku mati
saja sama sekali.”
Dada Swandaru seakan-akan
terbelah mendengar tangis ibunya. Dengan dada yang sesak ia berjongkok di
samping pembaringan ibunya. Perlahan-lahan ia berkata, “Ibu, aku berjanji bahwa
aku akan mengambil Sekar Mirah kembali bersama kakang Agung Sedayu dan Guru
Kiai Gringsing. Aku tidak akan kembali sebelum aku membawa anak itu menghadap
ibu.”
Mendengar janji anaknya,
tangis ibunya bahkan seakan-akan meledak. Namun di antara suara tangisnya
terdengar ia berkata, “Tidak sia-sia aku melahirkanmu Swandaru. Kau adalah anak
laki-laki yang harus dapat aku banggakan. Ayahmu menjadi semakin tua. Kaulah
tempat kami bergantung. Juga kali ini.”
Terasa dada Swandaru itu
seolah-olah menggelegak. Hampir-hampir ia kembali kehilangan pengamatan diri.
Hampir-hampir ia meloncat dan berteriak, bahwa malam ini juga ia akan berangkat
ke lereng Merapi. Tetapi kemudian kesadarannya berhasil mengekangnya. Ia tidak
dapat memaksa gurunya berangkat sekarang. Ia pun tidak akan dapat berangkat
sendiri masuk ke dalam sarang hantu Merapi itu. Karena itu, maka betapa dadanya
menjadi sesak, namun ia harus bersabar sampai gurunya bersedia membawanya
pergi.
Bilik itu pun kemudian sepi.
Yang terdengar hanyalah isak tangis Nyai Demang yang sedang kehilangan anak
gadisnya. Hilang diseret masuk ke dalam sarang yang penuh dengan serigala yang
sedang kelaparan.
Ternyata sisa malam itu sama
sekali tidak bermanfaat apapun bagi pemimpin-pemimpin Sangkal Putung dan
prajurit-prajurit Pajang di Sangkal Putung. Mereka tidak berhasil menemukan
pikiran-pikiran baru, meskipun mereka sama sekali tidak dapat memejamkan mata
mereka. Dengan demikian mereka tidak juga dapat beristirahat.
Malam itu, di padepokan Ki
Tambak Wedi, Sidanti duduk menunggui Sekar Mirah. Sekali-sekali terdengar isak
gadis itu memecah kesenyapan. Namun kemudian yang terdengar adalah gemeretak
giginya beradu. Tetapi betapa kemarahan memuncak di dalam dada Sekar Mirah,
namun ia sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu.
Tiba-tiba Sekar Mirah terkejut
ketika ia mendengar suara Sidanti. Meskipun suara itu hanya perlahan-lahan,
namun sudah cukup untuk menghentak dadanya. “Mirah.”
Sekar Mirah berpaling.
Dilihatnya mata Sidanti yang memerah liar seperti mata binatang buas yang ingin
menerkam mangsanya.
“Kau sekarang berada di
padepokanku. Di padepokan guruku. Kanapa agaknya kau tidak merasa senang di
sini?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi sorot matanya mamancarkan kebencian yang tiada taranya.
“Kau tidak usah mengingkari,
bahwa perasaan kita pernah bertaut. Betapapun orang lain menyebut aku sebagai
seorang yang paling kotor di muka bumi ini, tetapi aku memiliki kesetiaan.
Apakah kau jua memilikinya? Kau yang dikatakan orang sebagai sekar lati
Kademangan Sangkal Putung itu?”
Sekar Mirah masih berdiam
diri.
“Aku tidak akan dapat
melupakannya Mirah. Aku sadar bahwa kedatangan setan kecil yang bernama Agung
Sedayu itu telah mengganggu hubungan kita. Aku sadar pula, bukan saja hubungan
kita telah diganggunya, tetapi namaku di mata orang-orang Sangkal Putung telah
direbutnya. Anak itu berhasil memenangkan perlombaan memanah di alun-alun di
muka Banjar Desa Sangkal Putung. Bahkan sebelumnya, kedatangannya untuk
menyelamatkan Sangkal Putung telah mendesak kebanggaanku sebagai anak muda yang
paling jantan di kademangan itu.” Sidanti berhenti sejenak. Ditatapnya wajah
Sekar Mirah. Tetapi wajah itu seakan-akan menyala karena kemarahan yang membara
di dalam dadanya.
“Mirah,” Sidanti meneruskan,
“itulah sebabnya maka dendamku kepadanya bertimbun-timbun sampai ke langit.
Apalagi pada saat terakhir ini datang pamanku dari Menoreh. Adalah kebetulan
sekali bahwa paman yang bernama Argajaya itu bertemu dengan tiga anak-anak muda
di perjalanan. Aku tahu pasti bahwa kedua dari anak-anak muda itu pasti Agung
Sedayu dan Swandaru. Mereka telah menghinakan Paman Argajaya itu pula. Sehingga
kemarahanku tidak dapat lagi aku tahankan. Itulah sebab-sebab yang telah
mendorongku mengambil kau dari Sangkal Putung.”
“Pengecut!” tiba-tiba Sekar
Mirah itu berteriak sehingga Sidanti terkejut karenanya. “Kau tidak berani
berhadapan dengan sikap jantan dengan Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru
yang pernah kau tampar pipinya beberapa kali itu, karena mereka kini telah menemukan
guru yang dapat menyaingi gurumu. Sekarang kau hanya berani mengambil aku,
seorang gadis yang lemah.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tertawa. “Mirah, dengan mengambil kau dari Sangkal Putung aku
akan mendapatkan beberapa kemenangan sekaligus. Bukankah dengan demikian adalah
pertanda bahwa Sidanti mempunyai banyak kelebihan dari orang-orang Sangkal
Putung. Kalau tidak, bagaimana mungkin aku dapat masuk ke dalam kademangan itu
dan mengambilmu? Alangkah ringkihnya pertahanan kademangan itu sekarang
sepeninggalku. Seorang gadis, puteri Demang Sangkal Putung masih juga sempat
dilarikan orang.”
“Tutup mulutmu!” potong Sekar
Mirah beras-keras.
Kembali Sidanti terkejut,
tetapi kembali ia tertawa. Bahkan ia berkata, “Bukankah cara ini merupakan cara
yang paling baik untuk menantang salah seorang daripada kedua anak muda itu.
Agung Sedayu atau Swandaru. Apabila mereka benar-benar jantan, maka mereka
pasti akan mengambilmu kemari. Tetapi ternyata mereka tidak lebih dari
betina-betina pengecut. Sudah lebih dari sehari semalam kau berada di padepokan
ini, tak seorang pun datang menyusulmu. Apa yang disebut pasukan Sangkal Putung
dan prajurit-prajurit Pajang itu pun sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk
membelamu.”
“Kau mengigau” jawab Sekar
Mirah. “Kau mengambil kesempatan pada saat Kakang Agung Sedayu dan Kakang
Swandaru tidak ada di kademangan. Kau hanya berani berbuat demikian selagi
mereka tidak ada. Apakah dengan demikian kau merasa bahwa kau telah berbuat
secara jantan. Bukankah kau sendiri betina pengecut tiada taranya?”
“Oh,” Sidanti mengernyitkan
keningnya, “jadi apakah saat ini Agung Sedayu dan Swandaru tidak ada di rumah?
Aku sama sekali tidak mengetahuinya. Bahkan aku mengharap, bahwa aku akan dapat
bertemu dengan mereka. Bertempur melawan keduanya di sarang mereka sendiri.”
“Bohong!” potong Sekar Mirah.
“Kau sendiri mengatakan, bahwa pamanmu secara kebetulan bertemu dengan kedua
anak-anak muda dari Sangkal Putung itu. Di mana mereka bertemu? Mereka sama
sekali tidak bertemu di Sangkal Putung.”
Sidanti terkejut mendengar
jawaban Sekar Mirah. Ia tidak menduga sama sekali bahwa gadis itu ternyata
cukup cerdas menanggapi persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tak diduganya
bahwa ia mampu mempertentangkan kata-katanya yang dianggapnya berlawanan.
Tetapi sejenak kemudian
Sidanti itu pun berhasil menguasai perasaannya kembali. Dengan demikian maka ia
menjadi tenang, dan bahkan kembali tertawa. Katanya, “Mirah, aku tidak
menyangka bahwa kau memiliki otak yang cerdas. Aku sangka kau hanya mampu
mengingat macam-macam bumbu di dapur untuk bermacam-macam jenis masakan. Namun
agaknya kau mampu juga menangkap tentangan-tentangan yang ada di sepanjang
ceritaku. Bagus. Baiklah aku berkata sebenarnya, bahwa memang Paman Argajaya
bertemu dengan Agung Sedayu dan Swandaru di Prambanan. tetapi kemudian paman
itu sudah berjalan sampai di padepokan Ki Tambak Wedi ini. Menurut perhitungan,
maka jarak antara Prambanan kemari dan Prambanan ke Sangkal Putung tidak
terlampau banyak terpaut. Sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu dan
Swandaru pasti sudah ada di kademangan pada saat aku mengambilmu.”
“Bohong! Kau bohong! Kalau kau
katakan, bahwa kau ingin bertemu dengan mereka, maka kau pasti sudah berdusta.
Bukankah aku mempunyai ayah? Kalau kau jantan dan berkesopanan kau akan datang
kepada ayah. Minta aku untuk kau bawa kemari. Kalau ayah tidak boleh, maka kau
tantang ia berkelahi dalam perang tanding. Kalau ayah tidak bersedia melakukan
sendiri, ayah dapat menunjuk orang lain. Kakang Untara misalnya atau Paman
Widura yang pada saat itu berada di kademangan.”
Sidanti itu mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia menjawab, “Perbuatanku ini pun aku tujukan pula
kepada mereka berdua. Apakah gunanya prajurit-prajurit Pajang itu berada di
Sangkal Putung? Mereka hanya mampu menghabiskan beras rakyat Sangkal Putung
tanpa dapat berbuat sesuatu. Kau, anak Demang Sangkal Putung, yang memberi para
prajurit itu makan pagi, siang, dan malam, hilang tanpa seorang pun yang
mencarinya?”
Terdengar gigi Sekar Mirah
gemeretak. Kemarahannya benar-benar telah mendidihkan segenap urat darahnya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu. Hanya wajahnyalah yang menjadi merah
menyala dan matanya bagaikan berlapis darah.
“Mirah,” tiba-tiba suara
Sidanti menjadi lunak, “kau tidak usah marah. Marilah kita kenang kembali
masa-masa di mana kita selalu bersama-sama. Bukankah kau sering memijit
pundakku apabila tanganku kelelahan dalam peperangan? Bukankah kau juga yang
membalut lenganku yang terluka ketika aku berkelahi melawan Tohpati? Mirah. Aku
tahu bahwa kau tidak dapat melupakan aku seperti aku tidak dapat melupakan
kau.”
“Diam!” teriak Sekar Mirah.
Tetapi Sidanti tertawa. Bahkan kemudian ia pun berdiri sambil menggeliat.
“Padepokan ini adalah
padepokan guruku. Guruku tidak berputra dan berputri. Akulah muridnya dan aku
pulalah anaknya. Aku mempunyai kekuasaan di sini seperti kekuasaan Ki Tambak
Wedi sendiri. Nah, renungkan kata-kataku. Aku sengaja membawamu untuk banyak kepentingan.
Memancing orang-orang Sangkal Putung untuk masuk ke dalam perangkapku, termasuk
orang-orang Pajang. Dan apabila kau tetap berkeras kepala, maka aku akan
mendapatkan kau dengan tidak ada rasa hormat sama sekali. Aku dapat berbuat apa
saja.”
Dada Sekar Mirah hampir
meledak karenanya. Tetapi sebelum ia menjawab, maka Sidanti itu pun telah
melangkah pergi meninggalkannya seorang diri.
“Tinggallah di situ sampai ada
perubahan keadaan yang akan membawamu ke luar,” kata-kata itu terlontar dari
sisi pintu yang sesaat kemudian telah didorong dan terbanting keras. Kembali
Sekar Mirah tersekat dalam bilik tertutup. Kembali ia melihat dinding-dinding
yang membatasi ruangan itu, seperti memisahkannya dari dunia yang membatasi
ruangan itu. Tiba-tiba ia merasa terdampar ke dalam sebuah dunia yang asing.
Dunia yang sempit yang dipenuhi oleh perasaan benci, dendam, muak, dan bahkan
putus asa.
Dada Sekar Mirah itu pun
semakin lama menjadi semakin sesak. Nafasnya seakan-akan tersumbat di
kerongkongannya. Sejenak kemudian ia terhenyak dalam perasaan yang tidak
menentu. Namun tiba-tiba ia pun berteriak sedemikian kerasnya sambil
menjatuhkan dirinya telungkup ke atas sebuah amben bambu.
Sekar Mirah itu kini sama
sekali tidak dapat menahan tangisnya yang meledak-ledak tanpa dapat
dikendalikan.
Tetapi betapa kerasnya ia
menangis, ia masih mendengar tiba-tiba pintu bilik itu pun terbuka kembali. Ia
melihat Sidanti dengan tergesa-gesa meloncat masuk sambil berteriak pula,
“Kenapa kau, Sekar Mirah?”
Oleh pertanyaan itu justru
tangis Sekar Mirah terhenti. Diangkatnya kepalanya dan dipandanginya anak muda
itu dengan sorot mata semerah nyala api. “Pergi! Pergi kau pengecut! Kau hanya
berani berbuat atas seorang gadis. Kalau kau jantan, ayo, tantang Agung Sedayu
untuk berperang tanding!”
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia menjadi berlega hati ketika ia melihat Sekar Mirah masih
sanggup mengangkat wajahnya dan mengumpatnya.
“Kau mengejutkan aku Mirah,
bahkan guruku pun terkejut, sehingga disuruhnya aku menengokmu.”
“Aku tidak memerlukan kau.”
“Baik-baik. Kini kau tidak
memerlukan aku. Tetapi suatu ketika kau akan merasa sepi. Dan kau akan
menganggap aku adalah satu-satunya temanmu yang paling baik di sini.”
“Enyah, enyah kau dari sini!”
“Alangkah kerasnya hatimu Mirah.
Tetapi hati yang keras itu pun pasti akan lekas dapat aku patahkan.”
“Hanya mautlah yang dapat
mematahkan hatiku” bentak Sekar Mirah.
Mendengar jawaban itu hati
Sidanti berdesir. Disadarinya bahwa gadis yang berdiri di hadapannya itu adalah
puteri Demang Sangkal Putung dan adik seorang anak muda yang bernama Swandaru
Geni. Betapa keras hati ayah dan kakaknya, maka hati gadis inipun pasti tidak
jauh terpaut daripada mereka.
Namun justru karena itulah,
maka hasrat di dalam hati Sidanti untuk menaklukkannya pun menjadi semakin
besar. Semakin keras sikap Sekar Mirah, maka semakin besar nyala api di dalam
dada Sidanti. Sebagai seorang laki-laki yang kuat dan kasar, maka Sidanti merasa
bahwa kesanggupan yang ada di dalam dirinya pasti mratani. Juga untuk
menundukkan gadis ini.
Sejenak kemudian maka kembali
Sidanti tersenyum. Sambil melangkah ke pintu ia berkata, “Baiklah Mirah. Aku
menyadari bahwa yang aku hadapi kali ini adalah seorang gadis yang garang.
Karena itu aku harus berhati-hati. Bukan saja berhati-hati, tetapi aku harus
bersabar hati.”
Sekar Mirah kini tidak mau
menjerit lagi. Ia tahu bahwa jeritnya pasti akan mengundang Sidanti itu masuk
kembali ke dalam biliknya, apabila anak muda itu belum terlampau jauh.
“Lebih baik aku mati daripada
di jamah oleh iblis itu” desis Sekar Mirah di dalam hatinya. TIba-tiba
tangannya meraba ikat pinggangnya. Ia menjadi berlega hati ketika tangannya
menyentuh sebuah benda yang kecil. Patremnya masih terselip di ikat
pinggangnya.Ternyata kemarin Sidanti tidak mengetahuinya, pada saat membawanya
ke lereng ini dalam keadaan pingsan.
“Kalau ia mendekat, maka
patrem ini akan membunuhnya atau membunuh diriku sendiri.”
Tetapi terasa bilik itu menjadi
semakin sempit. Ketika kembali malam mencekam lereng Gunung Merapi, maka
kembali bilik kecil itu menjadi gelap. Tetapi hati Sekar Mirah jauh melampaui
gelapnya malam yang paling pekat sekalipun.
Ketika Sekar Mirah mendengar
pintu bergerit cepat-cepat ia bergeser menjauh. Tangannya segera melekat pada
tangkai patremnya yang kecil. Tetapi patrem itu akan dapat mencapai jantungnya
apabila ditusukkannya tepat di dada.
Tetapi yang masuk adalah
seorang yang bertubuh kecil. Dengan nanar ia memandangi seisi bilik itu. Ketika
terlihat olehnya Sekar Mirah berdiri di sudut bersandar dinding, maka tampaklah
seleret giginya yang kemerah-merahan oleh sinar pelita yang dibawanya.
“Heh, heh, heh,” terdengar
orang kecil itu tertawa, “aku mendapat tugas untuk memasang lampu ini Sekar
Mirah. Jangan takut.”
Sekar Mirah tidak menyahut. Ia
menjadi ngeri melihat wajah itu. Kecil tapi liar.
Ketika orang yang bertubuh
kecil itu telah meninggalkan biliknya, maka kepedihan di dalam dada Sekar Mirah
menjadi semakin menyekat dadanya. Kini biliknya tidak lagi menjadi gelap.
Sebuah pelita yang kecil telah terpancang di dinding. Tetapi justru sinar yang
samar-samar itu telah menjadikan Sekar Mirah bertambah ngeri.
“Oh,” desahnya, “kenapa aku
terlempar ke dalam sarang hantu-hantu semacam ini.” Namun ketika terasa dadanya
mendesak air matanya menetes, ditahannya hatinya. Ia harus tetap dapat
menguasai dirinya. Ia harus tetap melihat dan mendengar keadaan di sekitarnya.
“Aku tidak boleh tenggelam”
desahnya.
Pada saat yang bersamaan, Kiai
Gringsing dan Agung Sedayu menunggu di depan pendapa Kademangan Sangkal Putung
dengan gelisah. Keberangkatan mereka tertunda karena perkembangan keadaan di
Sangkal Putung. Hari itu datang seorang pesuruh dari Pajang yang mengabarkan
bahwa pasukan Pajang sedang di perjalanan. Pasukan yang akan diberikan kepada
Untara untuk menghadapi hantu di lereng Merapi bersama Sanakeling dan
pasukannya. Tetapi ternyata sampai lewat senja pasukan itu belum juga datang.
“Kenapa kita harus menunggu
Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Maksudku, aku akan dapat
melihat pasukan itu lebih dahulu. Kemudian apabila kita dapat melihat kekuatan
Tambak Wedi, maka segera kita akan dapat membuat perbandingan.”
“Ah. Apakah kita perlu menunggu
lebih lama lagi?” bertanya Swandaru pula. “Biarlah kita berangkat. Hari telah
menjadi gelap. Kita telah kehilangan waktu lagi satu hari.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah kita segera berangkat. Lebih
baik kita berangkat lebih dahulu.”
Kiai Gringsing itu pun segera
menemui Untara dan Widura. Diberitahukannya kepada Senapati itu bahwa ia tidak
dapat menunggu lebih lama lagi.
“Kalau keberangkatan kami
tertunda, Ngger, maka akibatnya pasti kurang baik bagi adikmu, Ki Demang dan
Swandaru. Apalagi kalau kedatangan kami di lereng Merapi ternyata terlambat,
maka kesalahan pasti akan ditimpakan kepadaku dan Angger.”
Untara dan Widura saling
berpandangan sejenak. Tetapi Untara masih mencoba menahannya, “Aku kira pasukan
itu pasti datang hari ini Kiai. Kiai akan segera dapat melihat kekuatan itu dan
langsung dapat menilainya. Perjalanan Kiai kemudian akan mendapat dua nilai
sekaligus. Melihat keadaan Sekar Mirah dan memperbandingkan kekuatan kita dan
kekuatan Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sudut pandangan itu akan bermanfaat bagi Untara
sebagai seorang Senapati. Tetapi ia tidak sampai hati untuk membiarkan kedua
murid-muridnya menjadi tegang, Ketegangan itu akan berbahaya bagi anak-anak
muda. Mereka akan dapat kehilangan pertimbangan dan bertindak di luar
perhitungan oleh desakan perasaan mudanya.
Karena itu sejenak Kiai
Gringsing menjadi bimbang. Menurut pendapatnya, selisih waktu yang beberapa
saat pasti tidak akan banyak pengaruhnya. Kalau Agung Sedayu dan Swandaru dapat
menunggunya lagi, maka prajurit Pajang itu pasti akan datang, Namun perasaan
kedua anak muda itu agaknya telah mencengkam mereka, sehingga nalar mereka
tidak lagi dapat bekerja dengan baik.
“Angger Untara,” berkata Kiai
Gringsing itu kemudian, “sebenarnya aku dapat mengerti perhitungan Angger.
Tetapi adik Angger itu benar-benar telah menjadi waringuten. Demikian pula
Swandaru. Kalau kami tidak segera berangkat, aku menjadi cemas bahwa mereka
akan pergi lebih dahulu tanpa aku. Nah, apabila demikian keselamatan mereka
pasti terancam.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Demikian juga Widura. Tetapi agaknya Widura yang telah lebih tua
dari Untara itu lebih dapat merasakan perasaan kedua anak-anak muda itu. Karena
itu maka katanya, “Untara, biarlah mereka berangkat. Tetapi Kiai Gringsing
pasti akan dapat mengatur perjalanan mereka, sehingga mereka akan dapat melihat
kekuatanmu nanti di Jati Anom. Yang penting bagi mereka adalah segera berangkat
meninggalkan Sangkal Putung. Mereka hanya ingin segera berbuat sesuatu.”
Akhirnya Untara tidak dapat
menahan Kiai Gringsing lebih lama lagi, kalau dengan demikian akan berbahaya
bagi adiknya dan Swandaru. Meskipun demikian mereka sempat juga membicarakan
cara-cara yang terbaik untuk menyelesaikan tugas mereka.
“Kalau malam ini pasukan itu
telah datang, Kiai,” berkata Untara, “dalam waktu yang singkat aku pasti sudah
berada di Jati Anom. Kiai dapat melihat kekuatan itu di sana. Aku akan memasang
rontek dan umbul-umbul untuk sedikit memberi sentuhan pada perasaan orang-orang
Jipang. Mudah-mudahan mereka segera akan terpengaruh, sehingga mereka pun akan
menjadi berkecil hati.”
“Bagus, Ngger,” sahut Kiai
Gringsing, “berilah tanda-tanda. Kebesaran pasukanmu akan memperkecil daya
tahan orang-orang Jipang. Dengan demikian, maka pekerjaanku mencari Sekar Mirah
pun akan menjadi lebih mudah. Mudah-mudahan perhatian mereka terpecah.
Mudah-mudahan mereka tidak menjadi gila dan berbuat liar di luar batas-batas
perikemanusiaan atas Sekar Mirah.”
“Baiklah, Kiai,” berkata
Untara kemudian, “mudah-mudahan Kiai besok sempat menghubungi aku di Jati Anom
untuk segala keperluan.”
Kiai Gringsing pun segera
mengabarkan kepada Agung Sedayu dan Swandaru, bahwa mereka dapat berangkat
segera. Agung Sedayu dan Swandaru pun dengan tergesa-gesa minta diri kepada
Untara, Widura dan Ki Demang berdua. Sekali lagi Swandaru berjanji kepada ibunya
bahwa ia akan membawa Sekar Mirah kembali bersama guru dan saudara
seperguruannya. Sedang ibunya melepas anak itu seperti melepasnya masuk ke
dalam api peperangan. Orang tua mereka sadar, bahwa apa yang mereka lakukan
adalah lebih berbahaya daripada menghadapi lawan di dalam garis perang.
Sesaat kemudian maka mereka
bertiga, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun segera berangkat
meninggalkan induk kademangan. Langkah mereka tampaknya tergesa-gesa
seakan-akan sesuatu telah menunggu mereka di luar sana. Namun mereka
hampir-hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun.
Yang terdengar hanyalah
gemerisik langkah mereka. Kadang-kadang angin yang agak kencang bertiup
menggerakkan dedaunan. Dan malam pun menjadi semakin lama semakin pekat,
meskipun di langit bintang bertabur seperti biji padi di sawah.
Tetapi tiba-tiba langkah
mereka itu pun tertegun. Di kejauhan mereka melihat dua tiga buah obor berjalan
ke arah Kademangan Sangkal Putung.
Sejenak mereka bertanya-tanya
di dalam hati. Namun kemudian terdengar Kiai Gringsing bergumam, “Aku kira
mereka itulah pasukan yang datang dari Pajang.”
“Mungkin” sahut Agung Sedayu.
“Apakah kita akan menunggu?”
bertanya Kiai Gringsing pula.
“Tidak,” jawab Swandaru,
“apakah gunanya?”
“Dengan pasukan itu kita akan
lebih banyak dapat berbuat.”
“Menyerang padepokan Ki Tambak
Wedi?” bertanya Swandaru, “Bukankah itu akan sangat berbahaya bagi Sekar Mirah?
Seperti tadi Kiai mengatakannya.”
“Tidak, Swandaru. Tetapi
pasukan itu dapat menarik perhatian setiap orang di dalam padepokan itu,
sehingga perhatian mereka terbagi. Mereka tidak saja terikat untuk mengawasi
Sekar Mirah di dalam ruang yang menahannya.”
“Pasukan itu dapat datang
kemudian,” berkata Agung Sedayu, “lebih baik kita berusaha memasuki padepokan
itu. Apabila kemudian pasukan kakang Untara datang maka keadaan kita akan
menjadi lebih baik. Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar Mirah karena pasukan
kakang Untara, kita dapat mengawasinya, dan mudah-mudahan dapat
membebaskannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Perasaan anak-anak muda yang sedang terbakar memang kadang-kadang
kurang mempunyai nilai pemikiran. Tetapi Kiai Gringsing tidak membantah.
Seperti seorang yang memancing ikan. Sekali-kali talinya diulurnya, Namun
sekali-sekali ditariknya pula.
“Baiklah, Ngger. Kita tidak
menunggu. Tetapi aku ingin melihat jumlah pasukan itu.”
“Apakah gunanya?”
“Kita akan membuat
perbandingan.”
“Itu adalah pekerjaan Kakang
Untara” sahut Swandaru. “Itu adalah pekerjaan petugas sandi dari Pajang. Tugas
kita adalah melepaskan Sekar Mirah.”
Sekali lagi Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah” katanya dalam nada yang rendah. Meskipun
demikian Kiai Gringsing itu sudah dapat menduga dengan pasti bahwa segera
Untara sudah berada di Jati Anom.
Tetapi tiba-tiba Kiai
Gringsing itu pun tertegun. Dengan nada yang datar ia berkata, “Apakah mereka
itu benar-benar pasukan dari Pajang yang akan diperbantukan kepada Angger
Untara?”
Agung Sedayu dan Swandaru pun
mengerutkan keningnya, Dengan serta merta mereka bertanya, “Lalu siapakah
mereka itu, Kiai?”
Kembali terdengar suara Kiai
Gringsing, “Bagaimana kalau mereka itu orang-orang Sanakeling atau orang-orang
Sidanti atau bahkan bersama-sama?”
Kedua anak muda itu tertegun.
Terasa denyut jantung mereka menjadi lebih cepat.
“Apakah mungkin demikian?”
desis Agung Sedayu.
“Kenapa tidak?” sahut Kiai
Gringsing. “Mereka tahu bahwa sebagian dari prajurit Pajang sedang pergi
mengantarkan orang-orang Jipang bersama Ki Gede Pemanahan. Bukankah saat ini
adalah waktu yang tepat untuk menyerang Sangkal Putung?”
“Kalau demikian, maka para
penjaga dan para peronda pasti akan mengetahuinya dan akan segera memberi tanda
kepada Kakang Untara. Mungkin dengan panah sendaren, panah api atau kentongan.”
“Benar. Namun dengan demikian
mereka akan menjadi terlampau tergesa-gesa. Persiapan mereka pasti kurang
matang.”
“Lalu, maksud Guru?” bertanya
Swandaru.
“Kita tunggu sejenak. Kita
tidak akan menjumpai mereka, siapa pun mereka itu. Kalau mereka pasukan yang
datang dari Pajang, maka kita tinggal saja mereka pergi tanpa menyapanya supaya
langkah kita tidak tertunda lagi. Tetapi kalau mereka orang-orang Sanakeling,
maka kita wajib mengabari Untara supaya korban kita tidak bertambah-tambah.”
“Bagaimana kita akan
mengabarinya? Kita tidak membawa tanda apapun.”
“Serahkan kepadaku” sahut Kiai
Gringsing. “Meskipun aku sudah bertambah tua, tetapi aku masih juga seorang
pelari yang cukup baik.”
Agung Sedayu dan Swandaru
terdiam. Bahkan mereka menjadi canggung akan pertanyaan mereka sendiri. Yang
berdiri di hadapan mereka itu adalah Kiai Gringsing. Guru mereka. Kenapa mereka
masih juga bertanya berbagai macam hal seperti sedang mengujinya. Namun yang
mendorong mereka sebenarnya adalah kegelisahan mereka atas keselamatan Sekar
Mirah. Karena itu mereka segera ingin dapat berbuat sesuatu. Apa saja yang
segera dapat dilakukan.
Tetapi kini mereka tidak
berkata apapun lagi. Mereka mengikuti saja ketika guru mereka yang tua itu
bersembunyi di balik rimbunnya dedaunan di sudut pategalan.
“Jangan membuat suara apapun.
Kalau mereka orang-orang Pajang, dan melihat kehadiran kita maka mau tidak mau
kita harus menyambutnya. Bahkan mungkin kita terpaksa kembali ke kademangan.
Sedang apabila mereka orang-orang Sanakeling, tinggallah di sini. Jangan sampai
kalian terpaksa lari karena mereka beramai-ramai menyerang kalian. Biarlah aku
saja yang memberitahukan kehadiran mereka itu kepada Angger Untara.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Namun mereka pun segera berlindung di balik dedaunan. Obor-obor
itu kini sudah menjadi semakin dekat.
Namun tiba-tiba dada mereka
berdesir. Mereka melihat remang-remang sebuah pasukan yang kuat, hampir sekuat
pasukan Widura di Sangkal Putung. Ternyata barisan itu adalah prajurit-prajurit
dari Pajang. Sebagian adalah prajurit-prajurit Widura yang kembali ke induk
pasukannya setelah mengantarkan orang-orang Jipang, sedang sebagian lagi adalah
prajurit-prajurit yang baru yang akan diserahkan kepada Untara untuk langsung
dipimpinnya, memecahkan pertahanan padepokan Ki Tambak Wedi.
Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru hanya dapat menahan nafasnya. Mereka tidak mau terlihat oleh
orang-orang di dalam pasukan itu, supaya mereka tidak usah menampakkan dirinya
dan terpaksa kembali lagi ke kademangan untuk ikut serta dalam upacara
penyambutan. Bagi mereka adalah lebih baik meneruskan perjalanan ke Jati Anom
daripada kembali ke Sangkal Putung.
Ketika pasukan itu telah
lewat, maka barulah mereka meloncat ke luar dari persembunyian mereka.
“Sebuah pasukan yang kuat dan
meyakinkan” gumam Kiai Gringsing.
“Tetapi pasukan itu adalah
suatu gabungan dengan pasukan Paman Widura” sahut Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi menilik derap
langkah mereka, maka aku benar-benar yakin bahwa mereka akan dapat mengatasi
keadaan.”
Ketiganya kemudian
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa sesadar mereka, mereka berdiri saja
di tengah jalan mengagumi iring-iringan yang sudah menjadi semakin jauh.
Perlahan-lahan terdengar Kiai
Gringsing bergumam, “Mudah-mudahan semuanya akan segera selesai. Mudah-mudahan
besok mereka sudah berada di Jati Anom. Nah, pekerjaan kita akan menjadi lebih
mantap.”
Seperti orang terbangun dari
tidurnya, maka Agung Sedayu dan Swandaru itu pun berkata hampir bersamaan,
“Marilah Kiai, kita berjalam terus.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah.”
Kembali mereka meneruskan
langkah mereka. Namun tiba-tiba Agung Sedayu berkata, “Kita memilih jalan yang
mana, Kiai?”
“Kita jalan timur. Bukankah
jalan itu lebih pendek dari jalan yang Angger pilih dahulu? Bukankah Angger
memilih jalan Kali Asat. Sekarang kita memilih jalan yang lain. Aku tidak
berani lewat ujung Bulak Dawa. Di pohon randu alas itu ada Gendruwo Bermata
Satu. Bukankah begitu?”
Betapa kisruhnya perasaan
Agung Sedayu tentang hilangnya Sekar Mirah, namun sempat juga ia bergumam, “Ah.
Itu sudah lama terjadi, Kiai. Dan di bulak itu pula aku bertemu dengan seorang
penari topeng yang kehilangan niaganya.”
Kiai Gringsing tertawa kecil,
namun Swandaru hanya dapat bersungut-sungut saja. Ia tidak tahu ujung pangkal
dari pembicaraan itu.
Demikianlah, maka mereka pun
segera berjalan semakn cepat menembus gelapnya malam. Ditelusurinya
pematang-pematang sawah dan tegalan. Mereka menempuh jalan yang
sedekat-dekatnya yang dapat mereka lalui.
Ternyata Kiai Gringsing telah
mengenal segala lekuk dan sudut daerah itu. Bahkan pematang-pematang sawah pun
dikenalnya dengan baik. Mereka berjalan dari satu desa ke desa yang lain.
Sehingga kemudian mereka pun sampai ke sebuah hutan yang tidak terlampau lebat.
Hampir tengah malam maka mereka sampai ke suatu pedukuhan kecil. Mereka datang
dari arah timur lewat sebuah simpang tiga.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing,
“apakah kalian berdua mengenal tempat ini?”
Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama menggelengkan kepalanya. Dan hampir bersamaan pula mereka
menjawab, “Tidak, Kiai.”
“Aneh. Apalagi Angger Agung
Sedayu. Sebelum pecah peperangan antara Pajang dan Jipang apakah Angger berdua
belum juga pernah kemari?”
“Belum, Kiai” jawab mereka
hampir bersamaan pula.
“Aku tidak percaya,” sahut
Kiai Gringsing, “terutama Angger Agung Sedayu.”
Agung Sedayu menjadi heran.
Kenapa Kiai Gringsing itu tidak mempercayainya. Ia sejak kecil memang jarang
sekali pergi menjelajahi daerah-daerah kecil dan pedukuhan-pedukuhan kecil.
Meskipun agaknya padukuhan ini tidak terlampau jauh dari Jati Anom.
“Entahlah, Kiai” berkata Agung
Sedayu kemudian. “Mungkin aku memang pernah datang ke padukuhan ini pada masa
kecilku. Tetapi di malam hari begini aku tidak dapat mengenalnya lagi.”
“Angger ingat simpang tiga
itu?”
Agung Sedayu mencoba
mengingat-ingat.
“Lihatlah jalan ini, Ngger.”
Tiba-tiba Agung Sedayu
mengangkat alisnya.
“Jalan ini adalah jalan ke
Macanan. Apakah Angger ingat sekarang? Simpang tiga itu adalah simpangan yang
membawa kita ke Sangkal Putung lewat dua jalan. Ke barat kita akan melewati
Kali Asat, sedang ke timur adalah jalan yang kita lewati tadi.”
Agung Sedayu pun kemudian
seakan-akan bertemu dengan seorang kenalan lamanya. Kini ia ingat dengan jelas
pedukuhan itu. Ya, ia pernah mengenalnya. Tidak hanya satu kali.
“Jalan ini jalan ke Macanan,
Kiai?”
“Bukankah begitu, dan jalan
ini akan sampai ke Tangkil.”
“Simpang tiga itu adalah
simpang tiga yang menuju ke Kali Asat?”
“Nah, kenalilah.”
“Oh” Agung Sedayu mencoba
memandangi jalan yang membujur di hadapannya. Sebuah kelokan kecil yang
memasuki padukuhan kecil itu. Tiba-tiba ia berkata, “Bukankah jalan ini menuju
ke rumah dukun tua di dukuh Pakuwon?”
Kiai Gringsing tertawa, “Ya,
begitulah.”
“Siapakah dukun tua itu”
bertanya Swandaru yang mendengarkan pembicaraan itu dengan wajah
berkerut-merut.
“Kau kenal juga orang itu, Adi
Swandaru.”
“He?” wajah Swandaru yang
gemuk itu menjadi aneh.
“Namanya Ki Tanu Metir.”
“Oh,” Swandaru menarik nafas,
“jadi di Dukuh Pakuwon inikah rumah Kiai?”
“Ya. Di sinilah rumahku.”
“Lalu bagaimana dengan rumah
itu saat Kiai tinggalkan selama ini?”
“Aku pernah mengunjunginya
sebelum aku menetap di Sangkal Putung. Aku titipkan rumah itu kepada seorang
tetangga yang baik, yang mau memelihara rumah tua dan halaman yang kotor itu.”
Kedua muridnya itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Semula rumah dan halaman itu tidak menimbulkan
persoalan di hati Agung Sedayu. Tetapi tiba-tiba kini tumbuhlah pertanyaan di
dalam dadanya. Apakah benar Ki Tanu Metir itu memang seorang dukun yang sejak
masa kanak-kanaknya berasal dari padukuhan yang kecil itu?
Pertanyaan itu demikian
mendesaknya sehingga Agung Sedayu tidak dapat menahannya lagi dan meloncatlah
pertanyaannya, “Kiai, apakah Kiai memang sejak kecil berdiam di padukuhan ini?”
Kiai Gringsing memandangi
wajah Agung Sedayu. Tetapi sesaat kemudian dilemparkannya pandangan matanya
menyelusur jalan yang membujur di hadapannya. Dengan nada rendah ia berkata,
“Ya, Ngger. Sejak kecil aku berada di padukuhan ini.”
Tetapi jawaban itu sama sekali
tidak meyakinkan Agung Sedayu. Jawaban itu terlampau datar menyentuh hatinya,
sehingga tanpa sesadarnya ia berkata, “Ah, aku berpendapat lain, Kiai.”
Sekali lagi Kiai Gringsing
memandangi wajah muridnya itu. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “Marilah kita
berjalan lebih cepat lagi. Kita masih belum sampai ke Tangkil.”
Yang segera menyahut adalah
Swandaru, “Marilah Kiai.”
Agung Sedayu tidak
berkata-kata lagi. Ia tahu bahwa Swandaru menjadi kesal mendengar pembicaraan
yang tidak diketahuinya. Karena itu, maka ketika langkah-langkah mereka menjadi
semakin panjang dan cepat, mereka tidak lagi bercakap-cakap. Mereka melangkah
di dalam malam yang gelap, berjalan di atas jalan berbatu-batu. Tetapi jalan
itu kini kering. Tidak digenangi air yang seolah-olah ditumpahkan dari langit,
seperti pada saat Agung Sedayu datang berkuda ke padukuhan ini bersama kakaknya
Untara, yang pada saat itu sedang terluka.
Bukan saja jalan ini yang kini
menjadi jauh berbeda dengan saat-saat ia melewatinya dahulu, tetapi hatinya pun
kini sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan dan kecemasan. Ia tidak
lagi hampir pingsan melihat tonggak yang tegak di pinggir jalan disambar oleh
sinar tatit. Dan ia tidak lagi menjadi lemas melihat sebuah bambu yang
menyilang di tengah jalan. Seandainya ia kini bertemu dengan apa yang
ditemuinya saat ia berjalan dengan kakaknya, maka hatinya justru akan menjadi
gembira. Apalagi kalau yang ditemuinya di jalan ini adalah Sidanti.
Tetapi jalan yang ditempuhnya
itu amatlah lengang. Tak seorang pun yang mereka jumpai di perjalanan. Bahkan
rumah-rumah di padukuhan kecil itu pun tampaknya gelap dan tidak berpenghuni.
Hanya kadang-kadang saja terdengar lamat-lamat rengek anak-anak yang kepanasan
oleh udara yang kering. Namun sejenak kemudian suara itu pun terputus.
Buru-buru ibunya menyumbatkan air susu ke dalam mulut anaknya.
Mereka yang berjalan di malam
yang kelam itu pun merasakan betapa daerah ini tertekan oleh suatu keadaan yang
tidak menyenangkan. Dan Agung Sedayu pun menyadari, apalagi setelah Tohpati
meninggal, maka laskar Jipang pasti akan menjadi semakin garang berkeliaran di
daerah ini.
Dalam kekelaman malam itu Kiai
Gringsing dan kedua muridnya berjalan semakin cepat. Ternyata jalan yang mereka
tempuh bukanlah jalan yang dahulu dilewati Agung Sedayu bersama Untara. Jalan
ini adalah jalan nyidat, langsung dari Dukuh Pakuwon ke Jati Anom. Bahkan
kadang-kadang mereka harus meloncati parit-parit dan menyeberangi sungai.
Menerobos pategalan dan sawah-sawah menyusup lewat padesan-padesan kecil.
Padesan kecil yang sepi.
Akhirnya mereka pun menjadi
semakin dekat. Tetapi mereka baru semakin dekat dengan Jati Anom. Mereka masih
balum mendaki lereng Merapi mencari padepokan orang yang bernama Ki Tambak
Wedi. Padepokan itu masih jauh di arah barat.
Ketika mereka sampai di jalan
yang cukup lebar, maka segera Agung Sedayu mengetahui bahwa mereka telah berada
di Sendang Gabus. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia adalah anak Jati
Anom sejak kecil, tetapi ternyata Kiai Gringsing lebih banyak mengenal
lekuk-lekuk padesan di sekitar tempat kelahirannya.
Tetapi Agung Sedayu kemudian
tergagap ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya, “Nah, kita sudah sampai
di Sendang Gabus. Apakah kita akan pergi ke Jati Anom, ataukah kita mempunyai
tujuan lain?” Agung Sedayu tidak dapat segera menjawab. Seharusnya ialah yang
mengajukan pertanyaan itu. Bukan gurunya.
Ternyata Kiai Gringsing pun
berkata seterusnya, “Angger berdua. Sudah tentu kita tidak akan dapat langsung
masuk ke padepokan Tambak Wedi malam ini. Kita masih belum mengenal jalan-jalan
di daerah itu dengan baik. Kita masih harus mendengar apakah yang ada di
padepokan itu. Sudah tentu bahwa Ki Tambak Wedi menyadari keadaan mereka
setelah mereka dengan dada terbuka menentang kekuasaan Pajang. Kalau Ki Tambak
Wedi tidak mempunyai kekuatan yang cukup, maka ia tidak akan berani berbuat
demikian. Sehingga dengan demikian, maka sudah pasti bahwa padepokan itu akan
dibentengi oleh kekuatan yang dapat mereka percayai. Karena itu, maka kita
harus mencari tempat peristirahatan. Tempat yang baik sebagai pancadan menuju
ke padepokan Tambak Wedi itu.”
Agung Sedaya dan Swandaru
tidak segera menjawab. Baru sekarang mereka menyadari, bahwa apa yang mereka
lakukan itu adalah suatu pekerjaan yang berbahaya. Meskipun mereka sama sekali
tidak takut menghadapi bahaya, namun sudah tentu bahwa mereka menginginkan
pekerjaan mereka berhasil. Sedang apa yang mereka hadapi kini adalah suatu
daerah yang masih gelap bagi mereka. Suatu daerah yang seolah-olah berada di
belakang tabir yang tak tertembus oleh penglihatan.
Dalam pada itu terdengar Kiai
Gringsing berkata pula, “Bagaimanakah pendapat kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak tahu, bagaimana mereka harus menjawab pertanyaan itu. Tetapi terasa oleh
mereka, bahwa sebenarnya mereka telah dibakar oleh kemarahan yang hampir tak
terkendali.
“Jadi,” berkata orang tua itu
“apa yang akan kita lakukan sekarang? Bukankah aku hanya menuruti kehendak
kalian?”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih juga terbungkam.
“Nah,” berkata orang tua itu
kemudian, “jadikanlah kali ini pelajaran buat kalian. Kalian ternyata masih
terlampau mudah dibakar oleh persaan tanpa mempertimbangkan nalar. Aku telah
membawa kalian ke kaki Gunung Merapi seperti yang kalian kehendaki. Agaknya
sampai ditempat ini kalian masih belum tahu apa yang akan kalian lakukan. Seandainya
kalian berdua pergi tanpa aku, apakah kalian akan langsung mendaki kaki Gunung
Merapi dan masuk ke dalam padepokan Tambak Wedi?”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih belum dapat menjawab. Namun kini mereka menjadi semakin menyadari
keadaan. Ketika sekali lagi Kiai Gringsing menasehati mereka, maka perasaan
merekapun segera tersentuh. Berkatalah orang tua itu, “Tetapi apa yang terjadi
ini merupakan suatu pelajaran yang berharga bagi kalian.”
Kini sejenak mereka terdiam.
Langkah mereka terdengar berdesah diantara daun-daun kering yang menyentuh
tubuh-tubuh mereka yang basah oleh keringat.
Jati Anom kini sudah berada di
hadapan hidung mereka. “Kita berhenti di Jati Anom” berkata Kiai Gringsing.
“Bukankah ada rumahmu di Jati Anom?” katanya kemudian kepada Agung Sedayu.
“Ya Kiai,” sahut Agung Sedayu,
“tetapi rumah itu agaknya telah kosong. Hanya seorang perempuan tua dan anaknya
yang masih kecil sajalah yang menungguinya, pada saat kami tinggalkan.”
“Kita hanya menumpang tidur”
berkata Kiai Gringsing pula. Segera mereka pun menuju ke rumah Agung Sedayu.
Dalam malam yang semakin dalam
maka jalan-jalan di padukuhan itu pun telah benar-benar sepi. Namun kesepian
padukuhan itu agaknya terasa berlebih-lebihan. Hampir tak terlihat nyala pelita
dari rumah-rumah di tepi-tepi jalan. Bahkan regol-regol halaman pun tertutup
rapat-rapat. Tak ada peronda di gardu-gardu ronda seperti di padesan-padesan
kecil yang telah dilaluinya.
Tetapi mereka pun segera
memaklumi. Daerah ini adalah daerah yang tidak terlampau jauh dari padepokan di
Lereng Merapi itu. Adalah mungkin sekali bahwa orang-orang Jipang di lereng
Merapi itu berkeliaran sampai ke padukuhan ini pula. Bahkan mungkin Alap-Alap
Jalatunda telah mempergunakan daerahnya yang lama untuk mencari apa saja yang
diinginkannya. Dengan cara-cara yang lama pula. Merampok dan menyamun.
Meskipun malam menjadi semakin
pekat, tetapi Agung Sedayu mengenal daerah itu dengan baik. Setiap lorong dan
tikungan dikenalnya seperti mengenali halaman rumah sendiri.
Akhirnya mereka pun sampai ke
depan sebuah regol pada halaman yang luas. Tetapi halaman yang luas itu
tampaknya gelap bukan main. Tidak ada pelita tersangkut di halaman, bahkan tak
ada sorot yang menerobos dari sela-sela dinding rumah itu.
Mereka bertiga, Kiai
Gringsing, Agung Sedayu dan Swandaru berhenti sejenak. Perlahan-lahan terdengar
Agung Sedayu berkata, “Inilah rumahku, Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, “Aku sudah mengetahuinya, Ngger.”
“He?” Agung Sedayu terkejut.
“Jadi Kiai sudah mengetahui bahwa ini adalah rumahku?”
“Tentu.”
“Darimana Kiai mengetahuinya?”
“Seperti ayanmu pernah
mengenal pondokku yang jelek di Dukuh Pakuwon, maka aku pun pernah juga datang
ke rumah ini.”
“Oh” Agung Sedayu menarik
nafas dalam. Tetapi lebih-lebih ia terkejut ketika Kiai Gringsing berkata, “Aku
pernah pula mengunjungi rumah ini bersama Angger Untara.”
“Kakang Untara?”
“Ya, Angger Untara yang
terluka itu harus bersembunyi. Tetapi untuk keselamatannya sebagai seorang
senapati, maka ia harus benar-benar tidak diketahui tempatnya. Sekali-sekali
kami harus berpindah tempat. Dalam kesempatan itu kami pernah bersembunyi pula
di rumah ini.”
“Oh” Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun yang terdengar adalah pertanyaan
Swandaru, “Tetapi apakah halamanmu ini sengaja kau jadikan rumah hantu?”
“Kenapa?” sahut Agung Sedayu.
“Tercium olehku bau bunga
kantil. Terbayang juga pohonnya yang besar rimbun. Tetapi gelapnya bukan main.”
Agung Sedayu tersenyum.
Tiba-tiba terkenanglah masa kanak-kanaknya. Ia sama sekali tidak berani
bermain-main di bawah pohon kantil itu, meskipun di sudut halaman rumahnya
sendiri. Tetapi kini ia mendapat kesan yang lain.
Ketika kemudian angin malam
berhembus agak kencang, terdengarlah benda berjatuhan. Tidak hanya satu dua,
tetapi lima, enam, sepuluh.
“Apakah itu?” bertanya
Swandaru.
“Apakah kira-kira?”
Swandaru menggeleng. “Aku
tidak tahu.”
Agung Sedayu tersenyum. “Di
halaman itu terdapat pula sebatang pohon kemiri. Agaknya pohon kemiri itu
sedang berbuah. Buahnya yang sudah tua akan berjatuhan ditiup angin.”
“Hem,” desah Swandaru,
“rumahmu memang rumah hantu.”
“Apakah kau takut hantu?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Aku hanya takut kepada hantu
di bekas perkemahan orang-orang Jipang itu” sahut Swandaru.
Kiai Gringsing tertawa kecil.
Sedang Agung Sedayupun kemudian mempersilahkan mereka masuk.
Terdengar sebuah gerit pintu
regol itu terbuka, dan ketiganyapun kemudian hilang ditelan oleh gelap malam di
balik regol halaman itu.
Halaman itu memang gelap bukan
main. Pohon-pohon yang besar tumbuh di sebelah menyebelah. Meskipun demikian
Agung Sedayu masih mengenal halamannya dengan baik. Dengan langkah yang tetap
ia berjalan lewat sisi rumahnya langsung ke belakang, ke tempat penunggu
rumahnya itu berdiam.
“Mudah-mudahan ia masih berada
di sana” desisnya.
“Ketika aku datang bersama
Angger Untara, perempuan itu masih disana” berkata Kiai Gringsing.
Dan ternyata di sebuah bilik
kecil di belakang rumah itu masih mereka lihat sebuah pelita yang menyala.
Agung Sedayu pun menarik nafas bergumam, “Ha itulah ia. Ternyata perempuan itu
masih di sana.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu
mengetuk pintu bilik itu. Dan dari dalam rumah itu pun terdengar suara menyapa,
“Siapa?”
“Aku. Sedayu.”
“Oh, Angger Sedayu? Apakah
Angger datang bersama Angger Untara?”
“Tidak, Bibi. Aku bersama dua
orang kawanku.”
Yang terdengar kemudian adalah
langkah kaki perempuan itu perlahan-lahan. Terdengar sebuah gerit kecil dan
pintu itu pun terbuka.
“Angger Agung Sedayu” desis
perempuan itu.
“Ya, Bibi.”
“Marilah. Marilah masuk
dahulu” berkata perempuan itu terbata-bata. Tetapi hal itu mula-mula sama
sekali tidak menarik perhatian Agung Sedayu. Disangkanya perempuan yang sudah
lama tidak melihatnya itu hanya sekedar terkejut melihat kehadiran yang
tiba-tiba jauh di tengah malam.
Tetapi ketika mereka bertiga
melangkah masuk, dengan tergesa-gesa pintu itu pun ditutupnya sambil bergumam, “Setiap
sorot lampu yang meloncat ke luar, akan dapat memanggil orang-orang itu untuk
datang.”
“Siapa?” bertanya Agung Sedayu
yang mulai menjadi curiga.
Sejenak perempuan itu
memandangi ketiga orang yang kini duduk di atas sebuah amben bambu. Di amben itu
pula, anaknya, seorang anak laki-laki, tidur mendekur.
Bilik itu pun kemudian menjadi
sepi. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas-nafas mereka, dan dekur anak yang
sedang tidur dengan nyenyaknya itu.
Wajah perempuan itu tiba-tiba
menjadi tegang. Ia telah mengenal Agung Sedayu sejak masa kana-kanak. Ia
mengenal Agung Sedayu sebagai seorang anak laki-laki yang manja, yang tidak
berani beranjak dari sisi ibunya. Karena itu maka sejenak perempuan itu menjadi
ragu-ragu. Bahkan kemudian ia bertanya, “Angger, apakah Angger datang hanya
bertiga di malam begini?”
“Ya, Bibi. Aku datang bertiga
dari Sangkal Putung. Tetapi siapa yang sering datang kemari?”
“Angger,” bisik orang itu
seakan-akan takut didengar oleh dedaunan di luar dinding biliknya, “sebaiknya
Angger Agung Sedayu menjauhi tempat ini.”
“Ya, kenapa?” Agung Sedayu
menjadi tidak sabar.
Kembali perempuan tua itu
menjadi ragu-ragu. Ditatapnya Agung Sedayu dan kedua temannya berganti-ganti.
Akhirnya Agung Sedayu dapat
memaklumi perasaan perempuan itu. Dengan sungguh-sungguh ia berkata untuk
meyakinkan pepempuan itu, “Bibi. Katakanlah. Sekarang barangkali aku tidak akan
pingsan mendengar nama siapa pun yang akan Bibi sebutkan. Mungkin Bibi masih
menganggapku seperti Agung Sedayu yang dahulu, yang sambil menangis mengikuti
Kakang Untara meninggalkan Jati Anom di malam yang gelap di bawah hujan yang
lebat. Tetapi sekarang tidak, Bibi. Bukan karena aku menjadi seorang yang
sakti, tetapi aku sekarang mempunyai seorang teman yang tidak akan dapat
dilukai oleh tajamnya senjata.” Sambil menunjuk kepada Swandaru ia berkata,
“Lihatlah temanku yang gemuk ini. Ia akan mampu melindungi rumah ini.”
Perempuan tua itu memandangi
Swandaru dengan sorot mata yang diwarnai oleh kebimbangan hatinya. Namun sekali
lagi Agung Sedayu meyakinkannya, “Bibi, namanya adalah Swandaru. Swandaru Geni.
Tangannya dapat menjadi sepanas bara dan sorot matanya apabila ia sedang marah dapat
menyala seperti semburan api.”
“Uh” Swandaru berdesah. Tetapi
ia tidak memotong kata-kata Agung Sedayu.
Perempuan itu akhirnya dapat
meyakini kata-kata Agung Sedayu. Wajah Swandaru yang bulat itu dapat
melenyapkan keragu-raguannya, sehingga perlahan sekali ia berkata, “Angger
Agung Sedayu. Daerah ini sekarang terlalu sering didatangi oleh orang-orang
dari lereng Merapi. Bahkan rumah ini pernah dimasukinya dan diaduk-aduk seluruh
isinya. Sambil memaki-maki mereka bertanya dengan kasar, apakah ini rumah
Untara dan Agung Sedayu. Angger Agung Sedayu, aku ternyata tidak dapat ingkar.
Mereka tahu benar bahwa rumah ini adalah rumah Angger berdua. Kalau nanti
Angger masuk ke ruang dalam, maka Angger akan melihat, bahwa perabot rumah ini
telah menjadi rusak.”
Dada Agung Sedayu menggelegak
mendengar kata-kata perempuan tua itu. Hatinya baru saja dibakar oleh peristiwa
hilangnya Sekar Mirah, sehingga di malam yang gelap ini ia merayapi jalan-jalan
kecil, pematang-pematang, dan kadang-kadang lumpur sawah untuk mendekati lereng
Merapi, tempat Ki Tambak Wedi membuat sarangnya. Dan kini ia mendengar rumahnya
diobrak-abrik orang.
Dengan gemetar Agung Sedayu
kemudian bertanya, “Bibi siapakah yang berani masuk ke rumah ini dengan kasar?”
“Orang-orang dari lereng
Merapi, Ngger. Mereka sengaja meninggalkan pesan untuk membuat Angger dan
Angger Untara marah.”
“Apa kata mereka?”
“Mereka menyebut nama-nama
mereka dengan Sidanti, Sanakeling, Argajaya, Alap-Alap Jalatunda, dan beberapa
orang lain.”
Nama-nama itu telah menyengat
hati Agung Sedayu demikian dahsyatnya sehingga anak muda itu terlonjak berdiri.
Dengan suara yang bergetar Agung Sedayu bertanya, “Kapan, kapan Bibi? Kapan
mereka itu datang kemari?”
“Kemarin, Ngger. Baru kemarin.
Dan hampir setiap hari ada saja orang-orang mereka yang berkeliaran. Siang dan
malam.”
Kernarahan Agung Sedayu kini
memuncak. Bukan saja Agung Sedayu, tetapi Swandaru pun tiba-tiba telah terbakar
pula. Dengan lantang ia berkata, “Mari kita cari orang-orang itu.”
“Mari,” sahut Agung Sedayu,
“mudah-mudahan kita dapat bertemu.”
Namun dalam pada itu terdengar
Kiai Gringsing bertanya, “Kemana kita harus mencari mereka itu, Ngger?
Mengelilingi padukuhan ini, atau mendaki lereng Merapi?”
Agung Sedayu dan Swandaru
terdiam.
“Kalau kita mengelilingi
padukuhan ini, semalam suntuk, bahkan ditambah lima hari lima malam, tetapi
kebetulan mereka tidak datang kemari, maka kita pasti tidak akan dapat bertemu.
Sedang apabila kita naik ke lereng Merapi, maka pertanyaan yang serupa seperti
tadi, tentang benteng yang mengelilingi padepokan itu, akan berulang kembali.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepala mereka, Kembali mereka terpaksa menyadari
ketergesa-gesaan mereka. Namun meskipun demikian Agung Sedayu masih juga
menemukan sebab, supaya mereka dapat bertemu dengan orang-orang lereng Merapi
itu. Dengan serta-merta ia berkata, “Bibi, bukalah pintunya.”
Perempuan tua itu memandang
Agung Sedayu dengan ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata sekali lagi,
“Bukalah pintu. Biarlah sorot lampumu meloncat ke luar. Biarlah orang-orang itu
melihatnya apabila ia berada di padukuhan ini. Biarlah mereka datang kemari.
Kami ingin bertemu dengan mereka.”
“Tetapi, Ngger……….” sahut
perempuan itu cemas.
“Jangan cemas, Bibi. Kami bertiga
membawa senjata di lambung kami. Aku bukan Agung Sedayu beberapa bulan yang
lampau.”
Tetapi perempuan tua itu masih
juga ragu-ragu sehingga sekali lagi Agung Sedayu berkata, “Bukalah bibi.
Bukalah.” Bahkan kemudian Agung Sedayu berkata, “Apakah di rumah ini ada lampu
yang lain? Kalau ada pasanglah di luar rumah, aku ingin melihat sekali lagi
mereka masuk ke halaman rumahku.”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepala melihat anak-anak muda yang sedang marah itu. Tetapi ia dapat mengerti,
betapa darah muda yang sedang bergolak itu melampaui bergolaknya ombak lautan
yang paling dahsyat.
Meskipun demikian Kiai
Gringsing merasa perlu untuk memperingatkannya. “Angger Agung Sedayu. Apakah
perlunya kalian memanggil orang-orang Merapi itu sekarang.”
Agung Sedayu menjadi heran
mendengar pertanyaan gurunya. Dengan pandangan mata yang aneh ia menjawab,
“Guru, apakah masih belum jelas, bahwa mereka telah menghina aku beberapa kali?
Hilangnya Sekar Mirah dan kini rumahku diobrak-abriknya.”
“Benar, Ngger. Angger pasti merasa
terhina. Tetapi apakah dengan perbuatan itu Angger akan mendapat keuntungan,
justru dalam usaha Angger menebus kekalahan yang pernah terjadi.”
“Aku belum pernah
dikalahkannya, Kiai,” sahut Agung Sedayu, sedang Swandaru menyelanya, “Kapan
kami mengalami kekalahan sejak ia meninggalkan Sangkal Putung?”
“Kekalahan itu telah membawa
Angger berdua kemari. Hilangnya Sekar Mirah.”
“Itu bukan kekalahan, Kiai.
Itu adalah kecurangan” sahut Swandaru.
“Ya, ya. Demikianlah” berkata
Kiai Gringsing memperbaiki istilahnya.
“Kenapa usaha itu akan dapat
mengganggu, Kiai?”
“Dengan demikian mereka akan
mengetahui bahwa Angger telah berada di sini. Selebihnya mereka akan dapat
membawa orang-orangnya kemari, mengepung tempat ini dan menangkap kita bertiga.
Kalau kita berhasil lolos misalnya, maka penjagaan atas diri Sekar Mirah akan
menjadi semakin ketat.”
“Ah,” terdengar kedua anak
muda itu mengeluh, “lalu apa yang dapat kami lakukan, Kiai. Segala perbuatan tidak
dapat dibenarkan. Apakah keperluan kita ini kemari?” bertanya Swandaru.
“Kita mencari Sekar Mirah,”
sahut Kiai Gringsing. “karena itu, tahanlah perasaan kalian. Jangan menimbulkan
sesuatu yang dapat mengganggu usaha itu.”
Swandaru menggeretakkan giginya,
sedang Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
“Sekarang tidurlah.
Beristirahatlah dengan baik. Kecuali kalau malam ini mereka datang dan kita
tidak mempunyai waktu untuk menyingkir, maka kita harus berkelahi. Tetapi kalau
tidak, kita harus mempergunakan saat ini sebaik-baiknya untuk beristirahat.
Waktu kita hanya sedikit, sedang pekerjaan yang kita hadapi adalah pekerjaan
yang cukup berat.”
Kembali terdengar gemeretak
gigi Swandaru. Tetapi anak-anak muda itu tidak membantah.
“Nyai,” berkata Kiai Gringsing,
“di manakah kami dapat beristirahat sejenak untuk menghabiskan malam ini?”
Perempuan penunggu rumah Agung
Sedayu itu menjadi agak bingung mendengar pertanyaan itu. Sejenak dipandanginya
wajah Agung Sedayu, seakan-akan ingin bertanya kepadanya. Di mana mereka akan
beristirahat.
Agung Sedayu pun kemudian
menangkap maksud perempuan tua itu, sehingga dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Bagaimana ruang dalam?”
“Ruang dalam itu telah menjadi
morat-marit, Ngger. Tetapi kalau saja kalian bersedia membentangkan tikar di
lantai.”
“O, itu sudah cukup” sahut
Kiai Gringsing. “Sehelai tikar sudah cukup baik untuk kami.”
Agung Sedayu dan Swandaru,
tidak menyahut lagi. Mereka pun kemudian mengikuti perempuan itu masuk ke ruang
dalam dengan sehelai tikar dan sebuah pelita kecil.
Demikian mereka melangkah
masuk, demikian dada mereka menjadi seolah-olah berguncang. Mereka melihat
perabot rumah mereka menjadi rusak. Bahkan beberapa bagian dari dinding sentong
tengah pun, menjadi rusak. Pembaringan, gelodok-gelodok dan paga-paga, menjadi
potongan-potongan kayu yang berserakan.
“Hem” Agung Sedayu
menggeretakkan giginya.
“Aku belum mengumpulkannya”
desis perempuan tua itu. “Aku ingin salah seorang dari kalian berdua, kau atau
Angger Untara, melihatnya bahwa rumah ini telah menjadi berantakan.”
“Ya” sahut Agung Sedayu
singkat. Dan tiba-tiba ia ingat akan bibinya yang tinggal di Banyu Asri.
Mungkin sekali bibinya pun akan dapat menjadi sasaran kekasaran orang-orang
Sanakeling. Maka dengan serta-merta ia bertanya, “Bibi, bagaimana dengan bibi
di Banyu Asri?”
“Bibimu tiba-tiba telah
hilang, Ngger.”
“He? Apakah bibi diambil pula
oleh orang-orang dari lereng Gunung Merapi itu?”
“Tidak, Ngger. Mungkin bibimu
mengetahui pula kemungkinan itu. Beruntunglah bahwa bibimu sempat mengungsi.
Tak seorang pun diberitahukannya, kemana ia pergi. Tetapi rumahnya pun menjadi
sasaran kemarahan orang-orang itu seperti rumah ini.”
“Hem” Agung Sedayu menggeram.
“Untunglah bibi mempunyai ketajaman firasat. Sebagai istri seorang prajurit ia
harus sigap bertindak sendiri.”
Dalam pada itu, maka mereka
pun kemudian membentangkan tikar di tengah-tengah ruangan. Sejenak kemudian
mereka pun telah membaringkan diri, sementara perempuan penunggu rumah itu
merebus air. Tidak di dapur, tetapi di dalam biliknya. Meskipun di dalam rumah
itu kini ada Agung Sedayu dan kedua orang teman-temannya, namun perempuan tua
itu masih juga berusaha supaya apinya tidak menarik perhatian orang di luar
halaman rumah. Bahkan ia menjadi cemas, kalau orang-orang itu akan menangkap
Agung Sedayu dan teman-temannya.
Belum lagi ketiga orang itu
sempat memejamkan mata mereka, maka lamat-lamat telah terdengar kokok ayam
jantan bersahut-sahutan. Semakin lama semakin riuh. Sedang di ujung timur
warna-warna merah telah tersembul dari balik cakrawala.
Tetapi ketiga orang yang
berada di ruang dalam itu telah hampir dua malam sama sekali tidak memejamkan
mata mereka. Karena itu, meskipun kemudian fajar memerah, namun karena lelah
dan kantuk, maka ketiganya pun kemudian tertidur juga.
Meskipun demikian, meskipun di
dalam tidur mereka tidak dapat melenyapkan perasaan mereka. Perasaan marah,
cemas, dan ragu-ragu, sehingga tidur mereka pun sama sekali tidak dapat
nyenyak.
Maka ketika matahari kemudian
menjenguk di atas dedaunan di timur, maka mereka pun telah terbangun.
Agung Sedayu dan Swandaru
sendiri tidak tahu, apakah sebabnya mereka tergesa-gesa mandi dan kemudian
duduk dengan gelisah menghadapi air hangat.
“Kiai belum mandi?” bertanya
Swandaru kepada Kiai Gringsing yang masih duduk berkerudung kain gringsingnya
yang sudah semakin lungset.
“Kenapa tergesa-gesa?”
bertanya Kiai Gringsing. Swandaru terdiam. Tetapi Agung Sedayu-lah yang
menjawab, “Kita akan dapat segera berbuat sesuatu Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Perlahan-lahan ia berdiri sambil menggeliat. Kemudian melangkah ke luar, ke
perigi.
Sementara itu matahari telah
merayap semakin tinggi di kaki langit. Di kejauhan terdengar burung-burung liar
bernyanyi bersahut-sahutan. Sekali-sekali gerit senggot timba yang ditarik oleh
Kiai Gringsing seolah-olah menjerit-jerit di antara kicau burung yang
melengking-lengking.
Tetapi tiba-tiba tangan Kiai
Gringsing yang sedang menarik senggot timba itu pun tertegun. Ia mendengar
langkah kaki tergesa-gesa di balik dinding belakang halaman rumah Agung Sedayu.
Telinganya yang tajam segera dapat menduga bahwa langkah itu adalah langkah
yang kurang wajar.
Ketika ia sedang memperhatikan
langkah itu dengan saksama, maka didengarnya perempuan tua penunggu rumah Agung
Sedayu mendekatinya untuk mengambil air ke sumur itu.
Tetapi langkah yang
tergesa-gesa itu disusul oleh langkah yang lain. Bahkan tidak hanya seorang,
tetapi dua, tiga orang. Sebelum Kiai Gringsing bertanya maka perempuan tua itu
telah berkata, “Kiai, ada beberapa orang di antara anak-anak muda yang tidak
betah tinggal di rumahnya. Mereka lebih senang dengan tergesa-gesa pergi ke
sawah atau ke ladang. Tidur sehari penuh di antara tanaman-tanamannya. Mereka
takut, apabila orang-orang dari lereng Merapi itu turun dan memaksa mereka
untuk berbuat sesuatu. Kadang-kadang mengambil milik orang lain untuk
kepentingan orang-orang dari lereng Merapi itu. Bukan saja bahan makanan,
tetapi juga perhiasan.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian orang tua itu pun bertanya, “Bagaimana kalau mereka tidak
mau Nyai?”
“Ah,” sahut perempuan tua itu,
“tak seorang pun yang dapat menolak. Itulah sebabnya mereka lebih baik
menghindar. Baru nanti malam mereka kembali kerumah masing-masing. Bahkan ada
juga yang lebih baik tidur di gubug-gubug di ladang mereka.”
Kembali Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang di luar halaman masih juga terdengar
beberapa orang melangkah menjauh.
Tetapi tiba-tiba Kiai
Gringsing dan perempuan tua itu terkejut. Ternyata anak-anak muda itu tidak
saja pergi dengan tergesa-gesa meninggalkan desa mereka, tetapi kini mereka
yang terlambat pergi harus bersembunyi dengan segera. Seseorang dengan wajah
yang tegang, tersembul dari balik dinding halaman yang agak lebih tinggi dari
tubuhnya sendiri, dan dengan nafas terengah-engah memanjat masuk ke dalam
halaman.
“Nyai,” desis pemuda itu, “aku
terpaksa masuk ke halaman ini. Aku mengharap Nyai tidak berkeberatan.”
Perempuan tua itu tiba-tiba
menjadi pucat. Dengan terbata-bata ia bertanya, “Kenapa Angger masuk kemari?
Apakah Angger tidak berusaha melarikan diri saja seperti kawan-kawan Angger
yang lain?”
“Aku tidak sempat, Nyai. Aku
baru saja memberitahukan kepada kawan-kawan untuk segera pergi. Tetapi agaknya
aku sendiri tidak mendapat waktu. Beberapa orang dari lereng Merapi telah
memasuki desa ini.”
“Oh,” perempuan tua itu
menjadi semakin kecut, “bagaimanakah kalau mereka menemukan Angger di sini?”
“Aku akan bersembunyi, Nyai.
Aku akan bersembunyi di atas kandang, atau di bawah timbunan kayu.”
“Kenapa Angger mesti
bersembunyi?” bertanya Kiai Gringsing. “Apakah mereka berbahaya bagi Angger?”
“Tidak, Kiai” sahut anak muda
itu yang tiba-tiba menjadi heran melihat kehadiran orang yang belum pernah
dikenalnya. “Siapakah kau?”
“Aku adalah saudara laki-laki
dari perempuan ini,” sahut Kiai Gringsing. Namun ia menjadi ragu-ragu sendiri.
Ia belum tahu siapakah perempuan itu sesungguhnya, tetapi ia berkata terus,
“Tetapi jangan hiraukan siapa aku. Sekarang bagaimana dengan orang-orang dari
lereng Merapi itu? Apakah mereka akan menangkap Angger?”
“Kalau mereka tahu ada seorang
anak muda di sini, pasti mereka akan memasuki halaman ini. Mereka akan membujuk
supaya kami ikut serta dengan mereka, kalau kita berkeberatan kadang-kadang
mereka menakut-nakuti dan mengancam. Bahkan mungkin kita akan dibawanya untuk
berbuat sesuatu yang tidak kita kehendaki. Kita harus menunjukkan di mana
mereka dapat menemukan berbagai macam barang-barang berharga dan bahan-bahan
makanan.”
“Bagaimana kalau Angger tidak
mau?”
“Nah apabila demikian, maka
barulah mereka berbahaya bagi kami” sahut anak muda itu. “Tetapi waktuku
tinggal sedikit. Aku telah melihat mereka memasuki desa ini. Biarlah aku bersembunyi,
Nyai.”
“Berapa orangkah mereka itu?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Enam atau tujuh orang.
Mungkin ada yang lain lewat jalan lain.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya di dalam hati, “Mudah-mudahan bukan Ki
Tambak Wedi sendiri bersama Sidanti dan Argajaya.” Namun kepada anak muda itu
ia berkata, “Jangan tergesa-gesa bersembunyi. Dua orang menunggumu di ruang
dalam rumah ini.”
Anak muda itu terkejut
mendengar kata-kata Kiai Gringsing. Bahkan wajahnya yang tegang menjadi
bertambah tegang. Dengan tergagap ia bertanya, “Siapakah Kiai ini sebenarnya?”
“Sudah aku katakan,” sahut
Kiai Gringsing, “jangan hiraukan aku. Marilah, masuklah ke dalam rumah ini. Ada
dua orang yang sedang menunggumu.”
“Tetapi…….,” katanya terputus,
dan keragu-raguan mulai melanda perasaannya.
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Apakah kau sangka aku salah seorang dari mereka itu? Bukan, Ngger.
Aku bukan salah seorang dari mereka.”
Anak muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia menjawab, “Kalau demikian, aku tidak ada waktu lagi. Aku
harus bersembunyi. Saat ini mereka pasti sudah berjalan-jalan di jalan-jalan
padesan kami. Suatu ketika ia akan melihat halaman demi halaman. Dan aku harus
tidak mereka lihat di sini. Bahkan Kiai pun sebaiknya masuk ke dalam rumah.
Tetapi siapakah kedua orang yang menunggu aku di dalam rumah? Kalau mereka itu
anak-anak muda, sebaiknya mereka bersembunyi juga supaya mereka tidak terpaksa
melakukan hal-hal yang tidak mereka kehendaki sendiri.”
“Jangan tergesa-gesa, Ngger.
Nanti baiklah kau bersembunyi. Tetapi marilah masuk dahulu. Orang-orang dari
lereng Merapi itu pasti memerlukan waktu yang lama untuk melihat setiap halaman
sebelum ia sampai ke halaman ini. Bahkan mungkin sekali mereka tidak akan masuk
kerumah ini.”
“Memang,” sahut anak muda itu,
“kemungkinan itu memang dapat terjadi, tetapi kemungkinan yang lain pun dapat
pula terjadi. Satu dari dua. Kalau yang satu itu terjadi, maka celakalah aku.”
“Rumah ini sudah dihancurkan,
Ngger. Perabot-perabotnya sudah porak-poranda tidak keruan. Apakah mereka masih
mungkin datang kemari?”
“Kemungkinan itu selalu ada.”
“Tetapi masuklah sejenak. Di
dalam rumah ini ada dua orang anak muda. Yang seorang mungkin Angger telah
mengenalnya. Namanya Agung Sedayu.”
“Agung Sedayu?” anak muda itu
mengulangi. “Agung Sedayu yang mempunyai rumah ini?”
“Ya” sahut Kiai Gringsing.
“O, kasihan anak itu. Ia harus
segera tahu bahaya yang dapat mengancamnya. Tetapi ia akan dapat membeku
mendengar kemungkinan yang dapat terjadi atasnya.”
“Tidak, Ngger. Ia tidak akan
menjadi gentar mendengar apapun yang dapat terjadi atasnya, Karena itu marilah,
beritahukan kepadanya apa yang dapat terjadi.”
Anak muda itu menjadi bimbang
sejenak. Tiba-tiba ia berkata, “Marilah Kiai, cepat-cepat. Waktu kita tidak
terlampau banyak.” Kepada perempuan tua penunggu rumah itu anak muda itu
berkata, “Nyai, aku minta ijin untuk bertemu dengan Agung Sedayu sejenak supaya
aku dapat memberitahukannya, bahwa ia pun harus bersembunyi pula.”
“Silahkan, Ngger.”
Kiai Gringsing yang belum jadi
mandi itu pun kembali masuk ke dalam rumah bersama anak muda itu. Demikan ia
memasuki pintu belakang masuk ke ruang dalam, maka dadanya pun menjadi
berdebar-debar. Ia melihat bahwa Agung Sedayu benar-benar duduk di dalam rumah
itu menghadapi semangkuk air hangat bersama seorang kawannya.
“Adi Sedayu” sapa anak muda
itu.
Agung Sedayu berpaling. Ia
terperanjat ketika dilihatnya Kiai Gringsing masuk ke rumah itu bersama seorang
anak muda. Tetapi kemudian terdengar ia menyapa sambil berdiri tergopoh-gopoh,
“Kakang Wuranta.”
Pertemuan itu adalah pertemuan
yang tidak terduga-duga. Keduanya pun kemudian duduk di samping Swandaru yang
kemudian di perkenalkannya kepada anak muda yang bernama Wuranta itu.
“Aku tidak tahu bahwa kau berada
di sini, Sedayu” berkata Wuranta. “Adalah nasibmu memang kurang baik. Sejak kau
meninggalkan rumah ini, agaknya baru kali ini kau kembali.”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
“Kalau saja kakakmu Untara
ada.”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Aku masuk ke halaman ini
untuk bersembunyi. Kau dan tamumu itu pun sebaiknya bersembunyi pula. Hari ini
orang-orang dari lereng Merapi kembali memasuki padesan ini. Hampir dua hari
sekali, bahkan kadang-kadang setiap hari, mereka datang kembali ke padesan ini.
Kemarin dulu mereka telah merusak rumah dan perabot ramahmu ini.”
Tetapi tanggapan Agung Sedayu
telah mengejutkan temannya itu. Ia menyangka Agung Sedayu akan gemetar dan
ketakutan. Kemudian lari terbirit-birit ke atas kandang atau ke bawah kolong
lumbung rumahnya. Namun kadi ini ia melihat Agung Sedayu tersenyum dan berkata,
“Aku akan menunggu mereka, Kakang Wuranta. Siapa sajakah yang kali ini datang
ke padesanku ini?”
Sejenak Wuranta terbungkam.
Hampir-hampir ia tidak percaya melihat sikap itu.
“Siapa sajakah yang datang
kali ini Wuranta?” kembali Agung Sedayu bertanya. “Sidanti, Argajaya,
Sanakeling, atau Alap-Alap Jalatunda.”
“Kau telah mengenal nama-nama
mereka, Adi Sedayu. Memang demikianlah nama-nama mereka. Kadang-kadang mereka
datang bersama-sama, tetapi kadang-kadang salah seorang dari mereka datang
bersama beberapa orang laskarnya.”
“Kali ini berapa orangkah yang
datang?”
“Aku hanya melihatnya dari
kejauhan. Enam atau tujuh orang. Tetapi aku tidak melihat para pemimpin itu
datang bersama-sama. Mungkin hanya satu dua orang saja yang datang, yang tidak
dapat aku lihat dengan jelas. Mungkin datang pula rombongan yang lain.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba ia tersenyum sambil bergumam, “Kita
berempat. Nah, kalau demikian, marilah kita songsong kedatangan mereka.”
Kembali Wuranta terheran-heran
melihat sikap Agung Sedayu. Ia mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik,
sebagai anak-anak muda sepedukuhan. Wuranta mengenal dan mengagumi Untara, yang
segera dapat mendapat tempat yang baik di dalam lingkungan Wira Tamtama Pajang.
Tetapi ia mengenal juga Agung Sedayu yang hanya berani mondar-mandir dari Jati
Anom ke Banyu Asri. Bahkan anak itu kadang-kadang menggigil ketakutan apabila
ia agak kemalaman di jalan. Anak-anak muda sepadukuhan menyebut kedua
bersaudara itu seperti anak siang dan anak malam Mereka menganggap, tanpa
mengetahui kebenarannya, bahwa Agung Sedayu lablr di tengah hari dan Untara
lahir di tengah malam. Sehingga Agung Sedayu tidak berani melihat gelap, sedang
Untara dapat hidup di segala keadaan. Tetapi tiba-tiba ia kini melihat Agung
Sedayu tersenyum mendengar enam atau tujuh orang bersenjata datang memasuki
padesan ini.
“Bagaimana, Kakang Wuranta?”
bertanya Agung Sedayu. “Apakah kau tidak membawa senjata?”
Tanpa sesadarnya Wuranta
menggeleng sambil menjawab, “Tidak, Sedayu,”
“Dahulu ayah menyimpan
bermacam-macam senjata. Kalau kita mencarinya, maka aku kira masih ada satu dua
yang tertinggal di rumah ini meskipun baru saja rumah ini diobrak-abrik oleh
demit-demit itu.”
“Tetapi,” potong Wuranta
bimbang, “mereka adalah prajurit-prajurit Wira Tamtama dari Jipang.”
“Apa salahnya?” sahut Agung
Sedayu.
Melihat sikap Agung Sedayu
itu, Wuranta justru menjadi bercuriga. Seharusnya Agung Sedayu menjadi pucat
dan menggigil kecemesan, Seharusnya anak muda itu bertanya kepadanya sambil
gemetar, “Wuranta kemana aku harus bersembunyi.” Tetapi Agung Sedayu tidak
berbuat demikian. Meskipun demikian Wuranta tidak akan dapat menyangka, bahwa
Agung Sedayu termasuk di dalam lingkungan orang-orang yang kini berada di
lereng Merapi itu, sebab kakaknya, Untara adalah Senapati Wira Tamtama Pajang.
Karena itu maka Wuranta sejenak tidak segera dapat menjawab.
Swandarulah yang agaknya tidak
bersabar lagi. Tiba-tiba ia berdiri. Sambil mengingsar pedangnya ia menggeliat.
Katanya, “Hem, untunglah, aku sudah minum air hangat pagi ini. Mungkin aku
harus segera minum darah Sidanti.”
Wuranta terkejut mendengar
kata-kata anak yang gemuk dan bernama Swandaru Geni itu. Dengan wajah yang
tegang dipandanginya wajah yang bulat, yang kini sedang menguap. Sidanti
menurut pendengarannya adalah seorang anak muda yang ditakuti di lereng Merapi,
sebab ia adalah murid Ki Tambak Wedi. Tetapi anak yang gemuk itu dengan
seenaknya menyebut namanya. Bahkan sambil menggeliat dan menguap.
“Marilah, Kakang Wuranta” ajak
Agung Sedayu. “Bukankah kau masih Wuranta yang dahulu? Wuranta jago binten yang
ditakuti?”
Wuranta menarik keningnya.
Sejenak ia terhenyak dalam keragu-raguan. Kalau Agung Sedayu itu kini telah
berani menyongsong kedatangan orang-orang dari lereng Merapi itu dengan pedang
di lambungnya, kenapa ia tidak?
Dalam kebimbangan itu tiba-tiba
terdengar Kiai Gringsing berkata, “Angger Wuranta. Tunggulah sebentar. Aku
mempunyai pendapat yang barangkali baik buat kita sekalian. Duduklah Swandaru.”
“Aku tidak mau kehilangan
mereka Kiai. Kalau mereka masuk ke halaman ini beruntunglah kami. Tetapi kalau
tidak, maka aku akan keccwa sepanjang umurku.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“duduklah.”
Swandaru menjadi kecewa.
Tetapi ia tidak berani membantah perintah gurunya.
“Angger,” berkata Kiai
Gringsing kepada Wuranta, “menilik sikap Angger, yang ternyata bahwa Angger
telah berbuat banyak untuk kawan-kawan Angger, anak-anak muda Jati Anom, maka
menurut penilaianku maka Angger adalah salah seorang dari tetua anak-anak muda di
padukuhan ini. Benarkah demikian?”
“Tak ada yang mengangkat aku
demikian, Kiai” sahut Wuranta pendek. “Namun aku berbuat sekedar untuk
kepentingan padukuhan serta anak-anak mudanya.”
“Ya, ya,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “agaknya Angger Agung Sedayu pun telah mengenal Angger
sebagai seorang anak muda yang pantas berdiri di depan.”
“Ah, agaknya anggapan Adi
Sedayu salah.”
“Tidak, Ngger” potong Kiai
Gringsing. “Tetapi aku mempunyai usul yang barangkali bermanfaat bagi kalian,
bagi Jati Anom khususnya dan bagi Pajang umumnya, asal Angger bersedia
melakukannya. Tetapi apa yang harus Angger lakukan adalah sesuatu yang cukup
berbahaya.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Jawabnya ragu-ragu, “Apakah itu Kiai? Meskipun demikian, meskipun aku harus
berbuat sesuatu yang berbahaya, namun asalkan dapat menguntungkan padesan ini
dan apalagi Pajang, maka mudah-mudahan aku dapat melakukannya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sekarang orang tua itulah yang ragu-ragu.
Katanya, “Tetapi taruhannya bukanlah taruhan yang dapat diperhitungkan dengan
cacah. Taruhannya adalah nyawa. Namum kalau Angger berhasil, maka seluruh
Pajang akan berhutang budi kepada Angger.”
Wuranta terdiam sejenak.
Ditatapnya wajah kedua anak muda yang duduk di hadapannya, seakan-akan ia ingin
bertanya, “Kenapa bukan anak-anak muda itu yang harus menjalani?”
“Angger Wuranta” berkata Kiai
Gringsing yang seakan-akan dapat menjajagi perasaan anak muda itu. “Agung
Sedayu dan Swandaru tidak akan dapat melakukan pekerjaan itu, sebab mereka
berdua telah dikenal dengan baik. Oleh Sidanti maupun oleh Sanakeluig.”
Wuranta mengerutkan keningnya
mendengar kata-kata orang tua itu. Ternyata Agung Sedayu dan kawannya yang
bulat itu telah mengenal dan bahkan dikenal oleh pemimpin laskar yang berada di
lereng Gunung Merapi itu.
Tetapi apa yang harus
dilakukan menurut orang tua itu pun telah mendebarkan hatinya. Dengan nada yang
datar Wuranta bertanya, “Apakah sebenarnya pekerjaan yang harus aku lakukan itu
Kiai?”
“Angger Wuranta,” berkata Kiai
Gringsing, “apakah Angger satu dua kali pernah ditangkap oleh orang-orang
Merapi itu?”
“Aku sendiri belum, Kiai,”
jawab Wuranta, “tetapi beberapa di antara kami pernah mengalami.”
“Bagaimanakah perlakuan mereka
atas kalian?”
“Mereka tidak begitu
menakutkan Kiai. Tetapi kadang-kadang mereka bersikap kasar. Apalagi kalau kami
tidak mau menuruti perintah-perintah mereka. Meskipun demikian, kami tidak
ingin bekerja bersama dengan mereka, justru karena kami tahu, bahwa mereka adalah
orang-orang yang tidak memihak Pajang.”
“Adakah kadang-kadang mereka
membujuk kalian untuk ikut dengan mereka?”
“Sekali dua kali hal itu
pernah dilakukan, Kiai.”
“Bagus,” sahut Kiai Gringsing,
“itulah yang aku harapkan. Angger Wuranta, Angger adalah anak muda yang akan
dapat membantu kami. Tetapi kami tidak akan menekankan maksud ini. Terserahlah
kepada Angger. Kami hanya menawarkan kesempatan kepada Angger untuk mencoba
memberikan sesuatu kepada Pajang dan sudah tentu kepada padukuhan ini, kepada
kademangan ini. Namun sekali lagi aku beritahukan, taruhannya adalah nyawa.”
Wuranta tertegun sejenak.
Bahkan Agung Sedayu dan Swandaru pun sama sekali tidak mengerti maksud gurunya.
Anak-anak muda itu pun sejenak
terdiam. Wajah mereka memancarkan keragu-raguan hati mereka.
“Angger Wuranta,” berkata Kiai
Gringsing lebih lanjut, “bagaimana kalau Angger bersedia menerima tawaran
mereka apabila kesempatan itu terbuka bagi Angger?”
“Kiai?” hampir bersamaan Agung
Sedayu dan Swandaru memotong kata-kata gurunya. Sedang Wuranta memandangi wajah
orang tua itu dengan tegangnya.
“Tunggu dulu,” sambung Kiai
Gringsing, “aku belum selesai. Pekerjaan ini adalah pekerjaan yang jauh lebih
berat dari pekerjaan prajurit yang bertempur di medan-medan perang.” Orang tua
itu berhenti sejenak, kemudian dilanjutkannya, “Bukankah dengan demikian Angger
ada di antara mereka? Nah, kami percaya bahwa meskipun Angger dalam ujud
jasmaniah berada di antara mereka, namun Angger akan tetap berjuang untuk
kepentingan Pajang dan Jati Anom.”
Kening Agung Sedayu, Swandaru
dan Wuranta itu menjadi berkerut- merut. Kini mereka dapat membayangkan apa
yang harus dilakukan oleh anak muda itu.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Wajah Wuranta yang tegang menjadi bertambah tegang. Dipandanginya wajah Agung
Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
“Pekerjaan itu memang sangat
berat, Ngger” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Tetapi apabila Angger berhasil,
maka Angger telah ikut serta membebaskan daerah ini dari ketakutan dan
kecemasan.”
Sejenak Wuranta mencoba
mencernakan kata-kata orang tua itu. Dicobanya membayangkan apakah yang dapat
dilakukan di antara orang-orang yang menakutkan itu. Apakah yang dapat
diperbuatnya seorang diri di dalam sangkar bekas-bekas prajurit Jipang dan
orang-orang dari padepokan Ki Tambak Wedi.
“Kalau Angger dapat berhasil
berada di antara mereka,” berkata Kiai Gringsing seterusnya, “maka pekerjaan
Angger seterusnya adalah, memberi kami beberapa penjelasan mengenai keadaan di
dalam lingkungan mereka.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Ia telah dapat menggambarkan pekerjaan apa yang harus
dilakukannya. Tetapi anak muda itu tidak segera dapat memberikan jawaban.
“Angger,” berkata Kiai
Gringsing lebih lanjut, “ketahuilah, bahwa hari ini, selambat-lambatnya besok,
Angger Untara akan datang bersama sepasukan prajurit yang cukup kuat. Tetapi
mereka tidak akan dengan begitu saja memasuki padepokan Ki Tambak Wedi tanpa
mengetahui seluk belum di dalamnya. Nah, kalau Angger berada di antara mereka,
maka kami bertiga, Agung Sedayu, Swandaru, dan aku sendiri, akan berusaha
selalu berada di dekat Angger di sekitar padepokan itu. Kami akan memasuki
padepokan mereka menurut petunjuk-petunjuk Angger. Sedang dari luar, Angger
Untara akan datang bersama pasukannya yang kuat, yang pasti akan dapat
mengimbangi kekuatan Sidanti dan Sanakeling.”
Setitik keringat meleleh di
kening Wuranta. Di dalam dadanya terjadilah suatu pergolakan yang dahsyat. Ia
tahu, bahwa dengan demikian ia telah memberikan sumbangan bagi perjuangan prajurit
Pajang dalam menghadapi sisa-sisa laskar Sanakeling dan orang-orang Sidanti
dari padepokan Ki Tambak Wedi. Namun pekerjaan itu memerlukan ketabahan,
kecerdikan, dan keberanian.
“Tetapi segala sesuatu
terserah kepada Angger Wuranta” akhirnya Kiai Gringsing berkata. “Kami menanti
pilihan Angger. Kalau Angger bersedia, maka sekarang kami harus berbuat
sesuatu. Mencoba mengelabuhi orang-orang lereng Merapi yang sedang turun itu,
sehingga Angger mendapat kepercayaan dari padanya. Tetapi kalau Angger tidak
bersedia karena sesuatu hal, maka kami harus mengambil sikap lain, misalnya
dengan membinasakan ketujuh orang itu.”
Wuranta masih belum menjawab.
Terasa darahnya bergelora di dalam dadanya.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
seolah-olah menjadi terbungkam karenanya. Ia tahu betapa beratnya pekerjaan
itu. Namun mereka pun menyadari, bahwa mereka masing-masing tidak akan dapat
melakukannya seperti kata gurunya, bahwa mereka telah dikenal oleh orang-orang
yang kini berada di padepokan Ki Tambak Wedi itu.
Sejenak ruangan itu dicengkam
oleh kesepian. Masing-masing terdiam, namun dadanya bergelora oleh berbagai
macam perasaan. Wuranta masih juga membungkam. Keringatnya menjadi semakin
banyak mengalir dari lubang-lubang kulitnya.
“Bagaimana, Ngger?” pertanyaan
Kiai Gringsing itu diucapkannya perlahan-lahan, namun meskipun demikian ketiga
anak-anak muda yang sedang dilanda oleh arus perasaan mereka itu terkejut.
Suara Kiai Gringsing yang perlahan-lahan itu terdengar seperti pecahnya
jambangan yang jatuh di atas batu.
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Katanya ragu-ragu, “Tugas itu menarik perhatianku Kiai. Tetapi
apakah aku akan dapat melakukannya dengan baik?”
“Semuanya tergantung kepada
keadaan dan Angger sendiri,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi apabila Angger benar-benar
bertekad untuk melakukannya, maka mudah-mudahan Angger dapat berhasil.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Anak muda itu memang bukan seorang penakut, tetapi disadarinya bahwa
tugas ilu adalah bukan sebuah permainan yang mengasyikkan. Ia sependapat dengan
Kiai Gringsing, bahwa taruhannya adalah nyawanya.
“Kiai,” bertanya Wuranta,
“sebelumnya aku menjawab pertanyaan itu, apakah Kiai tidak berkeberatan kalau
aku bertanya, siapakah Kiai ini sebenarnya?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, “Namaku Ki Tanu Metir, Ngger.”
“He,” Wuranta terkejut,
“maksud Kiai, Kiai itulah dukun dari Dukuh Pakuwon?”
“Ya, akulah Ki Tanu Metir itu.
Mungkin Angger pernah mendengar namaku. Aku memang sering berusaha menyembuhkan
orang yang sedang sakit.”
Kening Wuranta kini menjadi
berkerut-kerut. Nama itu sama sekali tidak memberinya jaminan apapun. Apakah
hubungannya dengan Pajang? Yang dapat langsung berhubungan dengan pasukan
Pajang di antara mereka hanyalah Agung Sedayu, karena kebetulan Agung Sedayu adalah
adik Untara. Tetapi apabila ia sudah berada di antara orang-orang Jipang,
apakah Agung Sedayu dapat menjaminnya, bahwa tidak akan ada salah paham kelak
antara orang-orang Pajang dengan dirinya seandainya ia masih hidup.
Keragu-raguan itu memancar pada
sorot mata Wuranta. Sekali-sekali dipandanginya dukun tua itu, dan
sekali-sekali wajah Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti.
Kiai Gringsing adalah seorang
yang memiliki simpanan pengalaman yang cukup. Itulah sebabnya ia merasakan
getar kebimbangan di dalam hati Wuranta. Karena itu maka orang tua itu berkata,
“Terhadap prajurit Pajang, Angger jangan bimbang. Aku akan menjadi jaminan.
Sampai saat ini Angger Untara percaya kepadaku sebagai seorang penasehat yang
tidak diangkat.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepanya. Tetapi ia masih bimbang. Sehingga Agung Sedayu yang sedikit banyak
dapat ikut merasakannya berkata, “Wuranta, Ki Tanu Metir adalah orang yang
selama ini telah membimbing aku dan Adi Swandaru. Ia adalah orang yang mendapat
banyak kepercayaan dari Kakang Untara pula. Itulah sebabnya, kadang-kadang Ki
Tanu Metir dapat berbuat sesuatu sebelum Kakang Untara sendiri melakukannya.”
Kembali Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun di dalam dadanya masih juga bergetar
keraguan dan kecemasan, tetapi ia sudah mulai dapat menjajagi, bahwa Ki Tanu
Metir di dalam tata keprajuritan Pajang, setidak-tidaknya dalam perjuangan ini,
adalah orang yang dapat dipercaya.
“Nah, sekarang terserah
kepadamu, Ngger.”
Dada Wuranta masih bergolak.
Ia berdiri di sudut jalan simpang. Kedua-duanya dapat dilaluinya. Ia melihat
bahaya bertebaran di simpang yang seaman-amannya baginya. Tetapi kesempatannya
untuk mengabdi kepada Pajang dan kademangannya telah sangat menarik
perhatiannya. Itulah sebabnya, maka tiba-tiba wajahnya menjadi kian tegang. Ia
sudah sampai pada puncak pergolakan di dalam dirinya. Anak muda itu kemudian
menghentakkan giginya untuk menemukan kekuatan buat menentukan pilihannya.
Akhirnya dengan suara bergetar ia berkata, “Kiai, aku bersedia. Tetapi
tunjukkanlah aku jalan itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Yang pertama-tama mengucapkan terima kasih adalah aku
dan kedua anak-anak muda ini, Ngger. Tetapi hati-hatilah. Kalau Angger sudah
berada di antara mereka, maka usahakanlah agar Angger tetap mendapat banyak
kesempatan untuk datang ke kademangan ini. Kalau tidak maka Angger harus
mendapat suatu tempat untuk meletakkan tanda-tanda dan keterangan yang akan
kami ambil di saat-saat tertentu. Misalnya di sudut Tegal Mlanding. Angger
dapat meninggalkan rontal dengan beberapa tulisan dan tanda-tanda.”
“Baik, Kiai. Tetapi dari mana
aku mendapat rontal?”
“Angger dapat mempergunakan
apa saja. Secarik kain dengan cocokan daun sirih atau apa saja yang dapat
Angger pergunakan. Batang-batang pohon dan mungkin orang-orang yang Angger
percayai.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kembali setitik keringat meleleh di keningnya.
“Akan aku usahakan menghubungi
Kiai dan Adi Agung Sedayu atau Adi Swandaru. Sudut Tegal Mlanding memang tempat
yang baik. Di sudut utara ada sebatang pohon beringin. Pohon itulah tempat yang
ditentukan apabila aku meletakkan sesuatu.”
“Baik. Baik, Ngger” berkata Ki
Tanu Metir. “Sekarang bagaimana Angger dapat mengelabuhi orang-orang itu
sehingga Angger akan mendapat kepercayaan?”
“Terserahlah kepada Kiai.”
“Baiklah. Angger akan
mengambil sesuatu dari rumah ini. Agung Sedayu akan mengejar sampai orang-orang
lereng Merapi itu melihat Anger. Angger Wuranta akan mengatakan bahwa Angger
telah mengambil benda-benda itu dari rumah ini, tetapi ternyata Agung Sedayu berada
di dalam rumahnya. Tetapi ingat bahwa Agung Sedayu seorang diri.”
Wuranta mendengarkan kata-kata
Kiai Gringsing itu dengan seksama. Lamat-lamat ia segera dapat menangkap
maksudnya. Meskipun demikian ia bertanya, “Kenapa Agung Sedayu hanya seorang diri?”
“Dengan demikian, maka mereka
tidak akan terlampau bersiaga. Pengaruhnya pun tidak akan terlampau banyak bagi
orang-orang di lereng Merapi itu. Mereka dapat menyangka bahwa Agung Sedayu
hanya sekedar melihat rumahnya.”
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi sebelum ia berkata selanjutnya, Ki Tanu Metir telah mendahuluinya,
“Tetapi Ngger, ada soal lain yang harus kau mengerti. Orang-orang lereng Merapi
itu mendendam Agung Sedayu sampai ke ubun-ubun.”
Ki Tanu Metir berhenti
sejenak. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kalau mereka
mendengar nama Agung Sedayu, maka jantung mereka akan segera menyala. Tetapi
kalau Agung Sedayu itu seorang diri, maka tanggapan merekapun akan berbeda
daripada apabila Agung Sedayu datang bersama Swandaru atau seorang tua yang
bernama Ki Tanu Metir. Bahkan mereka pasti ingin menjebak Agung Sedayu ke dalam
perangkapnya, sebab di lereng Merapi itu memang telah tersedia umpannya.”
Wuranta tidak segera menangkap
maksud Kiai Gringsing, sementara itu wajah Agung Sedayu pun menjadi
kemerah-merahan.
“Angger Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir itu selanjutnya, “ketahuilah, bahwa adik Swandaru yang bernama Sekar
Mirah, sejak beberapa hari yang lalu telah hilang. Ternyata Sekar Mirah itu
telah dilarikan oleh Sidanti. Hal ini adalah salah satu sebab yang mendorong
kami mendahului pasukan Untara. Dan hal ini pula termasuk salah satu yang harus
Angger perhitungkan apabila Angger berhasil masuk ke dalam lingkungan Sidanti
itu. Angger harus secepatnya berusaha memberi kami kabar, dari mana kami akan
mendapat kesempatan yang paling aman untuk memasuki padepokan Ki Tambak Wedi
dan mendekati tempat Sekar Mirah itu disimpan. Kami harus dapat mencegah supaya
Sekar Mirah tidak akan dapat dijadikan barang taruhan untuk memeras kekuatan
pasukan Angger Untara kelak. Sebab mau tidak mau, Angger Untara pasti akan
terpengaruh seandainya Sekar Mirah itu masih tetap berada di padepokan. Nah,
barangkali Angger Wuranta kini telah dapat membayangkan, apakah kira-kira yang
harus Angger lakukan apabila Angger bersedia mengorbankan diri untuk tugas
itu.”
Sekali lagi Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran tentang tugas yang disanggupinya itu
menjadi kian jelas. Anak muda itu tahu benar hubungan apakah yang ada antara
kedua anak muda itu dengan Sekar Mirah. Sekar Mirah itu adalah adik Swandari
dan adik Swandaru itu adalah umpan yang baik untuk memancing Agung Sedayu.
Tiba-tiba Wuranta itu
tersenyum, meskipun hatinya masih juga berdebar-debar. Sambil memandangi Agung
Sedayu ia berkata, “Baiklah Ki Tanu Metir. Aku akan mencoba melihat, darimana
sebaiknya Adi Swandaru harus menangkap umpannya, tetapi tidak tersangkut
kailnya, atau mungkin Adi Agung Sedayu?”
“Ah” Agung Sedayu berdesah.
Tetapi Swandaru tertawa hampir tak terkendali, sehingga Ki Tanu Metir
mencegahnya. “He, Swandaru, jangan menunggu Ki Tambak Wedi menutup mulutmu.”
Suara tertawa Swandaru itu pun
terhenti. Tetapi mulutnya masih juga tersenyum. Katanya, “Nah, ternyata kita
mendapat suatu cara yang baik untuk membebaskan Sekar Mirah karena pertolongan
Kakang Wuranta.” Kemudian kepada Wuranta ia berkata, “Kakang Wuranta,
mudah-mudahan usaha ini akan bermanfaat bagi kita semua. Bagi kami yang datang
dari Sangkal Putung ini dan bagi Jati Anom.
“Mudah-mudahan, Adi” jawab
Wuranta pendek.
“Sekarang,” berkata Ki Tanu
Metir, “Angger Wuranta harus meninggalkan rumah ini. Usahakan supaya
orang-orang lereng Merapi mencari Angger Agung Sedayu lewat halaman depan. Kau
dapat berbuat seakan-akan kau menentangnya dengan dengan mencegah orang-orang
itu dengan tergesa-gesa memasuki halaman ini. Dengan demikian kau memberi
kesempatan kepada kami untuk meninggalkan rumah ini lewat pintu belakang.
Apakah kau dapat mengerti?”
“Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang pergilah. Kau
merasa dikejar oleh Agung Sedayu. Kau harus dilihat oleh orang-orang yang
memasuki desa ini. Lalu kau kembali bersama mereka untuk menunjukkan bahwa di
rumah itu ada seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu yang mengejarmu karena
kau mengambil sesuatu dari rumah ini. Berangkatlah supaya orang-orang lereng
Merapi itu sempat melihatmu sebelum mereka pergi meninggalkan padukuhan ini.”
“Baik, Kiai.”
“Yang lain-lain akan menyusul.
Mudah-mudahan kita akan segera bertemu lagi. Atau tinggalkan pesan di sudut
Tegal Mlanding.”
“Baik, Kiai. Sekarang, baiklah
aku pergi.” Wuranta berhenti sesaat, lalu katanya, “Tetapi kemana aku harus
berlari. Apakah aku harus mengelilingi padukuhan ini sampai aku bertemu dengan
orang-orang itu?”
“Kau dapat bertanya kepada
seorang dua orang yang melihatnya. Bukankah perempuan dan anak-anak tidak perlu
melarikan dirinya apabila orang-orang itu datang?”
“Sampai sekarang anak-anak dan
perempuan tidak pernah mereka ganggu Kiai. Mungkin orang-orang itu sedang
mengambil hati orang-orang Jati Anom.”
“Demikianlah. Dan kau pasti
cukup bijaksana.”
Kemudian Wuranta itu pun minta
diri kepada Kiai Gringsing dan kedua anak muda, murid orang tua itu. Dengan
tergesa-gesa meninggalkan rumah itu. Sampai di luar regol halaman ia menjadi
ragu-ragu sejenak, namun kemudian ia pun berlari kearah barat.
Tiba-tiba ia berhenti ketika
terdengar seorang perempuan memanggilnya dari balik pintu regol. Ketika Wuranta
mendekat, perempuan itu berbisik, “Sst, Wuranta, larilah. Orang-orang itu
berada beberapa puluh langkah darimu. Dua halaman di sebelah barat itu.”
Dada Wuranta berdesir
mendengar bisik orang itu. Sejenak ia menjadi ragu-ragu kembali. Apakah ia
dapat melakukan tugas yang diberikan kepadanya itu? Ia tahu pasti bahwa Ki Tanu
Metir dan Agung Sedayu bukanlah prajurit-prajurit Padang yang berwenang untuk
memberinya tugas-tugas demikian. Apakah ia akan sampai hati untuk melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang kemudian diberikan kepadanya oleh orang-orang lereng
Merapi, yang mungkin akan sangat bertentangan dengan hatinya. Apakah kata
orang-orang Jati Anom sendiri tentang dirinya dan apakah orang-orang itu kelak
akan dapat mengerti, bahwa apa yang dilakukan itu justru untuk kepentingan
mereka.
Dalam keragu-raguan itu,
kembali Wuranta mendengar perempuan di belakang regol itu berkata, “Cepat,
masuklah kemari Wuranta. Cepat. Mereka berada di halaman sebelah barat itu.”
Tetapi Wuranta kini
benar-benar tidak dapat berbuat lain. Pada saat itul ia melihat beberapa orang
laki-laki dengan senjata dilambungnya keluar dari halaman di sebelah barat itu
berantara satu pomahan.
Ketika tampak oleh mereka itu
seorang anak muda berdiri di depan regol, maka tiba-tiba salah seorang dari
mereka melambaikan tangan mereka memanggil Wuranta mendekat.
“Masuklah” desis perempuan di
belakang regol.
“Mereka telah melihat aku”
desis Wuranta perlahan.
“Oh, kau terlambat, Nak” kata
perempuan itu sambil bergegas-gegas meninggalkan regol halamannya naik ke
rumah. Dengan tergesa-gesa pula didorongnya pintu leregnya dan kemudian
diselaraknya rapat-rapat.
Wuranta berjalan dengan hati
yang berdebar-debar mendekati orang-orang itu. Ketika ia menjadi semakin dekat,
maka tahulah ia bahwa orang-orang itu hanyalah berjumlah enam orang. Ketika
dilihatnya seorang anak muda di antara mereka yang berwajah tampan namun keras,
segera dikenalnya anak muda itu. Anak muda itu adalah Sidanti, seperti yang
dikatakan oleh beberapa orang kawan-kawannya yang pernah ditangkap pula. Di
dalam rombongan kecil itu pula dilihatnya seorang yang bersenjatakan tombak
pendek. Maka iapun menduga, bahwa orang itulah yang sering disebut oleh kawan-kawannya
bernama Argajaya.
Ketika Wuranta menjadi semakin
dekat, maka kini ia menjadi semakin jelas. Di samping kedua orang yang berada
di depan itu, maka yang lain hanyalah beberapa orang prajurit pengawalnya saja.
“Kemarilah,” berkata anak muda
yang disangkanya bernama Sidanti.
Wuranta melangkah
perlahan-lahan. Dadanya diamuk oleh kecemasan dan keragu-raguan. Namun akhirnya
ia membulatkan tekadnya bahwa ia akan berbuat sebaik-baiknya seperti yang
dipesankan oleh Ki Tanu Metir.
“Siapakah kau anak muda?”
bertanya orang yang disangkanya Sidanti itu.
Keringat dingin telah mengalir
membasahi punggung Wuranta. Perlahan-lahan ia menjawab, “Namaku Wuranta, Tuan.”
“Nama yang baik” desis orang
yang bertanya itu. “Sebaiknya kau mengenal aku pula. Namaku Sidanti.”
“O,” Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku telah pernah mendengar nama Tuan. Apakah
Tuan yang membawa tombak pendek itu bernama Argajaya?”
Sidanti tertawa, “Darimana kau
mengenal kami?”
“Kawan-kawanku mengatakan
kepadaku, Tuan.”
“O,” desis Sidanti, “aku
memang pernah bertemu dengan beberapa anak-anak muda dari Jati Anom. Sayang di
antara kita belum ada sentuhan perasaan yang dapat mempererat hubungan kita.
Sebagian dari anak-anak muda Jati Anom sengaja menghindari apabila kami datang
ke kademangan ini untuk memperkenalkan diri.”
“Ya, Tuan. Kami, anak-anak
Jati Anom kadang-kadang menjadi takut kepada Tuan-tuan.”
“Kenapa takut?” bertanya
Sidanti.
“Justru karena kami belum
mengenal Tuan.”
Sidanti tertawa. “Alasanmu
bagus sekali. Kita terperosok ke dalam suatu lingkaran yang tak berpangkal dan
berujung. Kalian takut berkenalan dengan kami, karena itu kalian selalu
menghindari kami. Adapun sebabnya kalian takut karena kalian belum mengenal kami.
Begitu?”
Wuranta tersenyum pula. Senyum
yang dipaksakannya. Tetapi kini ia telah mencoba melakukan pekerjaannya.
Berkali-kali ia berpaling ke belakang dengan gelisahnya. Ia mengharap Sidanti
akan bertanya tentang sikapnya itu.
Ternyata harapannya itu
berlaku. Dengan dahi yang berkerut-kerut, Sidanti bertanya, “Apakah kau sedang
menunggu seseorang?”
“Tidak, Tuan” sahut Wuranta.
“Tetapi seseorang tadi mengejarku. Hampir aku bersembunyi di halaman sebelah
seandainya Tuan tidak memanggilku.”
“Siapa yang mengejarmu?”
bertanya Sidanti dengan serta merta. “Dan kenapa kau dikejar orang?”
“Ah, soalnya agak memalukan,
Tuan.”
“Kenapa?”
“Hanya sebilah keris.”
“Bagaimana dengan sebilah
keris?” Argajaya tidak dapat bersabar.
“Aku mendapatkan sebilah keris
di sebuah rumah yang aku sangka kosong, Tuan. Tiba-tiba dari belakang datang
seorang anak muda penghuni rumah itu. Penghuni yang sebenarnya telah lama
sekali menghilang.”
“Siapa?”
“Agung Sedayu, Tuan.”
“He?” terasa darah Sidanti
tersirap, “kau berkata bahwa Agung Sedayu berada di rumahnya?”
“Ya, Tuan. Agung Sedayu adalah
lawan berkelahi sejak kami masih kanak-kanak.”
Wajah Sidanti tiba-tiba
menjadi merah. Dengan mata yang menyala ia bertanya, “Wuranta, mari tunjukkan
di mana Agung Sedayu sekarang?”
“Di rumahnya, Tuan. Baru saja
aku dikejarnya.”
“Apakah kau tidak berani
melawan Agung Sedayu?”
“Aku tidak bersenjata, Tuan.”
“Kalau kau bersenjata?”
Wuranta terdiam sejenak.
Dipandanginya Sidanti dengan wajah bertanya-tanya.
Tiba-tiba Sidanti tertawa.
Katanya, “Mungkin kau memang tidak akan dapat melawannya. Agung Sedayu tumbuh
terlampau cepat. Tetapi serahkan ia kepadaku.”
“Siapakah anak muda itu?”
bertanya Argajaya. “Agung Sedayu?”
“Ya.”
“Yang aku jumpai di
Prambanan?”
“Nah, itulah, Paman. Agung
Sedayu.”
Dada Argajaya pun berdesir. Ia
mengenal tiga anak-anak muda di Prambanan. Tetapi Agung Sedayu itu bukanlah
anak muda yang berkelahi melawannya.
“Apakah mereka juga bertiga?”
bertanya Argajaya.
Wuranta mengerutkan keningnya.
Kenapa Argajaya itu dapat menebak bahwa Agung Sedayu datang bertiga? Tetapi
maksud Argajaya adalah tiga anak-anak muda, Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang
lagi yang mengaku bernama Sutajia.
Untunglah bahwa Wuranta segera
ingat pesan Ki Tanu Metir, bahwa Agung Sedayu datang seorang diri ke rumahnya.
Maka jawabnya, “Sendiri Tuan. Agung Sedayu hanya seorang diri menurut
penglihatanku, Tetapi entahlah aku tidak tahu apakah ia datang bersama
kawan-kawannya.”
“Beruntunglah kalau aku dapat
bertemu dengan setan itu” desis Argajaya. “Sidanti,” katanya kepada
kemenakannya, “serahkan anak itu kepadaku.”
Sidanti tersenyum. Jawabnya,
“Jangan seperti berebut durian runtuh, Paman. Aku ingin menangkapnya
hidup-hidup. Membawanya kembali ke padepokan dan mempertemukannya dengan Sekar
Mirah. Tetapi tidak dalam keadaan yang wajar. Aku ingin supaya Sekar Mirah
melihat, Agung Sedayu akan aku ikat seperti anjing. Aku pukuli sampai Sekar
Mirah mau menerima aku sebagai suaminya.”
“Kau terlampau mementingkan
dirimu sendiri Sidanti. Kau tidak mengingat bahwa kita berada dalam keadaan
perang melawan Pajang. Persoalan-persoalan pribadi akan dapat mengganggu bagi
persoalan-persoalan yang lebih penting.”
Sidanti masih saja tersenyum.
Tetapi kini ia tidak dapat menjawab kata-kata pamannya. Kepada Wuranta ia
berkata, “Ayo bawa aku kepadanya. Kalau kau berhasil menunjukkan di mana Agung
Sedayu berada, maka kau akan mendapat keris yang kau kehendaki dan bukan itu
saja. Mungkin kau mempunyai beberapa permintaan.”
“Baik, Tuan” sahut Wuranta.
“Marilah, sebelum anak itu lari.”
Mereka pun kemudian berjalan
beriringan dengan tergesa-gesa. Wuranta berjalan di paling depan dengan
tegapnya. Sekali-kali ia meloncat berlari-lari seakan-akan ia benar-benar
segera ingin melihat Agung Sedayu itu tertangkap.
Di belakangnya, Sidanti dan
Argajaya berjalan sambil memperhatikan Wuranta. Sambil tersenyum Sidanti
berkata lirih, “Lagaknya anak itu. Seakan-akan ia sendirilah yang akan
menangkap Agung Sedayu. Ternyata ia lari pontang-panting ketika dikejarnya.”
Argajaya tidak menjawab. Tetapi
dendamnya kepada Sutajia masih belum dapat dilupakannya, kalau nanti ia
benar-benar bertemu dengan Agung Sedayu maka sekali lagi ia ingin minta kepada
Sidanti agar menyerahkan anak muda itu kepadanya, sebagai pelepas dendamnya.
Namun tiba-tiba di kepalanya melontar sebuah pertanyaan, “Bagaimanakah kalau
Sutajia itu kini bersama Agung Sedayu itu pula?”
Tanpa disengajanya ia
berpaling. Di belakang berjalan empat orang prajurit dengan senjata di
lambungnya. Tetapi bagi Argajaya, empat orang prajurit itu sama sekali tidak
banyak berarti apabila mereka benar-benar bertemu dengan ketiga anak-anak muda
yang ditemuinya di Prambanan.
Semakin dekat mereka dengan
regol halaman rumah Agung Sedayu, maka hati mereka pun menjadi semakin
berdebar-debar. Wuranta menjadi cemas, apakah Agung Sedayu benar-benar akan
berhasil melepaskan dirinya, sedang Sidanti dan Argajaya menjadi cemas kalau
anak itu telah meninggalkan rumahnya.
Sampai di muka regol halaman,
Wuranta berhenti. Ia menjadi ragu-ragu. Dalam keragu-raguan itu terdengar
Sidanti bertanya, “Kenapa berhenti?”
“Aku akan memanggilnya, Tuan.”
“Tak usah. Kita masuki saja
rumahnya.”
“Bagaimana kalau Agung Sedayu
membawa beberapa orang kawan?”
Sidanti tersenyum, katanya,
“Aku pun membawa beberapa orang kawan pula.”
Tetapi Argajayalah yang
menyahut, “Panggil anak itu keluar. Kita lebih baik tidak menampakkan diri.
Kita akan lebih mudah menangkapnya apabila kita telah melihat orangnya.”
Sidanti tidak membantah.
Pendapat itu baik juga agaknya. Karena itu maka katanya kepada Wuranta,
“Bagaimana caramu untuk memanggilnya. Apakah ia akan keluar juga?”
“Tunggulah, Tuan. Aku akan
membuat ia marah.”
Sidanti tersenyum. Katanya,
“Lakukanlah.”
Wuranta itu pun kemudian
berdiri di tengah-tengah regol halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi sebelum
berteriak, sekali lagi ia berpaling kepada Sidanti sambil berkata, “Tetapi,
Tuan jangan melepaskan aku sendiri. Aku akan dibunuhnya nanti.”
“Penakut” geram Sidanti. “Aku
disini. Jangan takut.” Beberapa orang di belakang Sidanti hampir tidak dapat
menahan tertawa mereka melihat sikap Wuranta. Sedang Argajaya dengan garangnya
berkata, “Lekas, jangan membuang waktu.”
Wuranta memandangi rumah itu
lagi. Dilihatnya pintu depan rumah Agung Sedayu tertutup. Tetapi ia mengharap
bahwa Agung Sedayu dan kawan-kawannya telah melihatnya dari bilik dinding.
Sekali lagi ia berpaling
kepada Sidanti, dan dilihatnya mata anak muda itu hampir saja meloncat dari
pelupuknya.
Wuranta itu pun kemudian
menengadahkan wajahnya. Dengan lantang ia berteriak, “He, Agung Sedayu. Kenapa
kau bersembunyi? Hampir mati kepayahan aku menunggumu di prapatan. Ayo, kalau
kau benar-benar jantan!”
Masih belum terdengar jawaban,
dan Wuranta berteriak lagi, “He, kalau kau tidak berani keluar, jangan sebut
dirimu Agung Sedayu! Jangan sebut dirimu putera Ki Sadewa dan jangan sebut
dirimu adik Untara! Ayo, keluarlah!”
Dada Sidanti tiba-tiba
berdesir, sedang jantung Argajaya terasa berderak ketika mendengar suara dari
dalam halaman, “Wuranta, jangan terlampau sombong. Halaman ini cukup luas untuk
mengadu liatnya kulit, kerasnya tulang. Jangan lari. Marilah kita jajagi,
siapakah yang jantan di antara kita.”
Tiba-tiba Wuranta tertawa
menyakitkan hati. Dengan nada yang tinggi ia berkata, “O, kau agaknya ingin
menjebak aku, he? Ayo keluarlah dari regol halaman rumahmu. Kalau kita
berkelahi di dalam halaman, maka mungkin kau menyimpan kawan di dalam rumahmu
yang jelek itu. Ayo, keluarlah!”
“Kaukah yang menjebak aku?
Apakah kau sudah mendapat kawan baru sehingga kau kembali lagi ke halaman ini?
Ha, jangan ingkar. Aku melihat kau sekali-sekali berpaling. Siapakah kawanmu,
he?”
“Persetan! Aku bukan pengecut.
Ayo, kemarilah!” sahut Wuranta.
Namun dada Sidantilah yang
tidak tahan lagi. Seakan-akan dada itu akan bengkah. Ia bukan pengecut yang
hanya berani bersembunyi, kemudian menyerang lawannya dalam kelengahan. Karena
itu, maka terdengar giginya gemeretak menahan diri.
Ternyata Argajaya pun
hampir-hampir tidak dapat menguasai perasaannya lagi. Dengan parau ia
menggeram, “Jangan bermain sembunyi-sembunyian. Ayolah Sidanti, kita selesaikan
tikus itu.”
Sidanti tidak menunggu ajakan
berikutnya. Cepat ia meloncat dari balik diding regol hampir bersamaan dengan
Argajaya. “Agung Sedayu!” teriak Sidanti. “Kita bertemu kembali. Apakah kau
memang mencari aku.”
“O,” sahut Agung Sedayu,
“kaukah itu Sidanti? Dan yang satu itu bukankah pamanmu yang bernama Argajaya?
Apakah kau datang bersama gurumu Ki Tambak Wedi?”
Kata-kata itu terasa seperti
bara api menyentuh telinga Sidanti. Dengan gigi gemeretak ia menjawab, “Agung
Sedayu. Jangan merasa dirimu jantan sendiri. Aku bersedia untuk sekali lagi
melakukan perang tanding dengan jujur. Ayo, turunlah. Kita berhadapan sebagai
laki-laki.”
Terdengar Agung Sedayu
tertawa. Nadanya menyakitkan hati. Katanya, “Wuranta, itukah minta-srayamu?”
“Jangan hanya berbicara!”
sahut Wuranta. “Sekarang kau sudah berhadapan dengan lawanmu.”
“Pengecut! Agaknya kau hanya
berani bersembunyi di balik punggungnya.”
“Jangan menghina Wuranta! Aku
terpengaruh oleh keadaan, karena aku berada di dalam rumahmu tanpa ijinmu,”
Jawab Wuranta.
Sidanti hampir tidak sabar
lagi mendengar percakapan yang tidak ada ujung pangkalnya. Sekali lagi ia
membentak, “Sedayu, ayo, kita mulai!”
Agung Sedayu terdiam.
Tampaklah wajahnya menjadi tegang. Keringat dingin mengalir dari keningnya. Ia
mendapat pesan dari gurunya, untuk kepentingan yang lebih besar, ia harus
menghindari perkelahian kali ini. Ia harus masuk ke dalam rumahnya dan lari bersama-sama
lewat pintu belakang dan meloncati dinding halaman belakang. Tetapi ketika ia
melihat Sidanti telah berdiri di hadapannya. Tiba-tiba darahnya menggelegak.
Hampir-hampir ia tidak dapat mengingat lagi, apa yang harus dilakukan
seandainya gurunya tidak berbisik dari balik dinding “Tinggalkan mereka. Cepat,
kita lari sebelum rencana ini bubrah.”
Agung Sedayu masih diam
mematung. Bahkan tangan Swandarupun menjadi gemetar. Dengan penuh kekecewaan ia
berkata, “Guru, kenapa mereka tidak kita bantai sekarang? Bukankah guru dan
kami berdua mampu melakukannya? Wuranta itu tidak lagi perlu mencari jalan
untuk masuk kedalam padepokan Tambak Wedi.”
“Kau tidak ingin adikmu
kembali? Dan apakah kau ingin melihat Jati Anom menjadi karang abang?”
Swandaru terdiam. Yang
terdengar kemudian adalah suara Sidanti, “Turunlah atau aku akan naik ke
rumahmu?”
“Cepat Agung Sedayu!” perintah
gurunya dari balik dinding. “Katakan kepadanya, suatu ketika kau akan
menerimanya menjadi tamumu.”
Mulut Agung Sedayu serasa
terbungkam. Namun ketika Kiai Gringsing berkata, “Agung Sedayu, taati perintah
gurumu,” maka Agung Sedayu itu pun tidak dapat menolak lagi. Ketika ia melihat
Sidanti maju setapak maka iapun berteriak “Sidanti kali ini aku berkeberatan
menerimamu. Tetapi lain kali aku harap kau sudi berkunjung ke rumahku lagi.”
Agung Sedayu tidak menunggu
jawaban Sidanti. Hatinya sendiri berguncang dahsyat sekali karena ia harus
meninggalkan lawan bebuyutan itu.
Melihat Agung Sedayu meloncat
dan hilang di balik pintu, Sidanti terkejut bukan kepalang. Sama sekali tidak
disangkanya bahwa begitu cepat Agung Sedayu meniggalkannya dengan tergesa-gesa.
Ia mengharap bahwa Agung Sedayu menerima tantangannya dan berkelahi dihalaman.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu berlari seperti tikus melihat kucing.
Justru karena itu maka sejenak
ia berdiri diam seperti patung. Argajaya terkejut pula. Sifat anak itu sama
sekali berubah dari sifat Agung Sedayu yang ditemuinya di Prambanan, yang
melihat ujung senjata dengan tegadah. Apalagi anak muda yang bernama Sutajia.
Tetapi adalah mengherankan kalau kali ini tanpa malu-malu Agung Sedayu itu
meloncat berlari sipat kuping.
Sejenak kemudian Sidanti
menyadari keadaanya. Menyentak ia berkata, “Setan itu harus aku tangkap.”
Tetapi ketika Sidanti meloncat
terdengar Wuranta berkata, “Tuan. Tunggulah.”
Sidanti tertegun. Diawasinya
wajah anak muda Jati Anom itu dengan heran.
“Tuan, siapa tahu di dalam
rumah itu ada beberapa orang yang telah siap menjebak Tuan.”
Sidanti ragu-ragu sesaat.
Tetapi kemudian ia bertanya, “Bukankah kau berkata bahwa Agung Sedayu hanya
seorang diri saja.”
“Itu menurut penglihatanku,
Tuan. Tetapi siapa tahu, bahwa sepuluh atau dua puluh orang telah siap menanti
Tuan.”
Argajaya ternyata tidak sabar
menunggu mereka berbincang. Ia tanpa berkata sepatah kata pun segera meloncat
mendahului Sidanti berlari melintasi halaman rumah Agung Sedayu. Sidanti pun
segera menyusul sambil berkata, “Kalau kau takut, tinggallah di luar. Kalau ia
tidak sendiri, maka mereka pasti sudah beramai-ramai mengejarmu tadi.”
Wuranta tidak menjawab lagi.
Ia mengharap bahwa waktu yang diusahakannya telah cukup panjang bagi Agung
Sedayu dan kedua kawannya.
Dalam pada itu Argajaya telah
naik ke pendapa disusul oleh Sidanti. Dengan kasarnya ia mendorong pintu sambil
berteriak, “He pengecut! Di manakah kejantananmu? Pilihlah di antara kami,
siapakah yang akan kau jadikan lawanmu.”
Suara Argajaya itu berderak
memukul dinding-dinding rumah yang kosong. Sama sekali ia tidak mendengar
jawaban. Meskipun demikian ia tidak dapat masuk dengan tanpa bersiaga
menghadapi setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Peringatan Wuranta ternyata
mempengaruhinya juga.
“Ayo, keluarlah. Siapa yang
berada dirumah ini?”
Masih tak ada jawaban. Sidanti
pun kini telah berada di dalam rumah itu. Tangannya telah melekat di hulu
pedangnya. Bahkan orang-orangnya yang berada di belakangnya telah menggenggam
senjata masing-masing. Sedang tombak pendek Argajaya pun telah siap bergerak apabila
terjadi sesuatu dengan tiba-tiba.
“Agung Sedayu” terdengar
Sidanti memanggil-manggil.
Masih tidak ada jawaban.
Dengan marahnya Sidanti pun
segera menendang pintu-pintu dan perabot rumah yang memang telah porak-poranda.
Suaranya berderak-derak tak keruan. Orang-orangnya pun menirukan saja apa yang
diperbuat oleh Sidanti itu.
Tiba-tiba terdengar Sidanti
berkata, “Kita cari ke belakang.”
Mereka pun kemudian berlari ke
halaman belakang. Wuranta pun ikut pula dengan mereka, bahkan seperti mereka
juga Wuranta ikut menendang-nendang beberapa macam barang.
“Sedayu!” teriak Sidanti.
Sepi. Tak seorang pun yang
menyahut.
“Agung Sedayu, pengecut!”
Suara itu saja yang melontar
menyentuh dedaunan. Seolah-olah memenuhi seluruh pedukukan Jati Anom.
“Gila,” geram Sidanti, “apakah
aku akan kehilangan dia?”
Tiba-tiba Sidanti itu melihat
sesuatu yang bergerak-gerak di dalam bilik belakang. Cepat ia meloncat
mendekati. Dengan gerak seperti kilat pedangnya telah tergenggam di dalam
tangannya. Kali ini ia tidak membawa pusakanya, neggala.
“Keluar!” teriaknya. “Ayo
keluar! Apakah kau Agung Sedayu?”
Yang terdengar kemudian adalah
suara tangis kanak-kanak yang meledak. Dengan penuh ketakutan seorang perempuan
dengan anak laki-laki yang masih kecil terbongkok-bongkok keluar dari bilik
kecil itu.
“O, gila kau” bentak Sidanti.
“Di mana Agung Sedayu, he?”
“Agung Sedayu lari, Tuan”
sahut perempuan itu.
“Suruh anak itu diam!” teriak
Argajaya sambil menunjuk kepala anak itu dengan ujung tombaknya.
“Cup, Ngger” desis perempuan
itu sambil menggigil . Didekapnya anak itu di dadanya.
“Suruh anak itu diam!” bentak
Argajaya pula.
Perempuan itu menjadi semakin
ketakutan. Dengan gemetar ia mencoba manahan tangis anaknya, “Cup, diam ya
Ngger.” Tetapi anak itu masih juga menangis.
“Di mana Sedayu?” sekali lagi
Sidanti membentak.
“Lari, Tuan. Ia lari meloncat
pagar dinding itu.”
“Kau berkata sebenarnya?
Apakah anak itu tidak kau sembunyikan?”
“Tidak, Tuan. Tuan dapat
mencari di seluruh halaman ini.”
“Kalau aku ketemukan dia, aku
penggal kepalamu.”
Perempuan itu tidak menjawab,
tetapi ia menggigil ketakutan.
“Ayo, tunjukkan di mana ia
bersembunyi!” perintah Argajaya.
Tiba-tiba Wuranta maju
selangkah sambil berkata, “Maaf Tuan-tuan, perempuan ini adalah bibiku. Memang
ia menjadi pembantu dan penunggu rumah Agung Sedayu sejak ayahnya masih hidup.
Karena petunjuknya pula aku ingin mengambil keris hari ini, tetapi tiba-tiba
saja Agung Sedayu itu datang.”
Argajaya dan Sidanti serentak
berpaling memandangi Wuranta. Dan Wuranta mencoba meyakinkan, “Ia berada di
pihakku, Tuan. Ia tidak akan menyembunyikan Agung Sedayu.”
Sidanti dan Argajaya menjadi
ragu-ragu sejenak. Ditatapnya wajah Wuranta dan perempuan itu berganti-ganti.
Kemudian berkata Sidanti, “Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Buat apa aku membohong, Tuan.
Bibi inilah yang mengatakan bahwa Untara telah menyimpan sebuah pusaka
berbentuk keris di dalam rumah ini. Tetapi ketika aku mencoba mencarinya, aku
masih belum menemukannya. Malahan hari ini Agung Sedayu yang datang tanpa
disangka-sangka telah mengejarku.”
Sidanti dan Argajaya
mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak segera berbuat sesuatu.
Ketika mereka masih saja
berdiri diam, maka tiba-tiba bertanyalah Wuranta kepada perempuan tua itu,
“Bibi, kemana Agung Sedayu melarikan dirinya? Ke samping atau ke belakang?”
“Ke belakang, Ngger” sahut
perempuan itu ragu-ragu.
“Apakah Tuan masih akan
mengejarnya?” bertanya Wuranta.
Sidanti dan Argajaya tiba-tiba
tersadar. Tanpa berkata sepatah katapun segera mereka berlari dan dengan
tangkasnya mereka meloncat dinding di bagian belakang. Wurantapun tidak
ketinggalan pula. Ternyata ia pun cukup tangkas untuk meloncat dinding itu
tanpa kesulitan.
Tetapi mereka sudah tidak
menemukan seseorang di belakang dinding itu. Meskipun demikian mereka masih
mencoba mencarinya ke sekitar halaman rumah Agung Sedayu, bahkan sampai ke
halaman rumah tetangga-tetangganya. NAmun mereka sudah tidak menemukan Agung
Sedayu.
“Sayang” desis Wuranta.
“Apa yang sayang?” bertanya
Sidanti.
“Monyet itu.”
“Huh” Argajaya mencibirkan
bibirnya. “Apa yang dapat kau lakukan seandainya kami menemukannya? Kau hanya
mampu lari terbirit-birit seperti anjing kena cambuk.”
Terasa dada Wuranta berdesir.
Sesaat darahnya bergolak, namun sesaat kemudian ia tersenyum kecut. Tetapi ia
tidak menjawab sepatah katapun. Meskipun demikian, terasa alangkah menyakitkan
kata-kata Argajaya itu. Ia tahu, bahwa orang-orang dari lereng Merapi adalah
orang-orang yang pilih tanding. Bahkan anak muda yang bernama Sidanti itu
memiliki kemampuan bertempur yang hampir di luar kemampuan prajurit biasa.
Argajaya itu adalah pemimpin yang agaknya disegani juga. Tetapi untuk
mendengarkan hinaan dari mereka terasa telinganya menjadi sakit juga.
Meskipun demikian Wuranta
harus menahan diri. Ia sedang melakukan tugas yang sangat berat. Karena itu ia
harus dapat mengorbankan perasaannya dan bahkan harga dirinya. “Pekerjaan yang
tidak menyenangkan” ia berdesah di dalam hantinya.
Namun sedikit banyak terasa
olehnya, bahwa orang-orang lereng Merapi sampai saat itu tidak mencurigainya.
Pekerjaannya kini tinggallah mencari kepercayaan yang lebih besar dan berusaha
untuk turut serta ke sarang mereka.
Setelah mereka tidak dapat
menemukan jejak Agung Sedayu, maka Sidanti kemudian berkata, “Apakah yang harus
kita lakukan kini, Paman?”
Argajaya tidak segera
menjawab. Diawasinya wajah Wuranta yang kemudian berpaling. Ia tidak mau
berpandangan mata dengan paman Sidanti yang kasar itu supaya ia tetap dapat
menahan diri dalam tugasnya.
“Bertanyalah kepada pengecut
itu,” jawab Argajaya, “apa saja yang ingin dilakukan di kampung halamannya
ini.”
Sidanti mengerutkan keningnya.
Baginya pamannya memang terlampau kasar menghadapi orang-orang yang sedang
dipancing untuk berpihak kepada mereka.
“Baiklah,” akhirnya Sidanti
itu menjawab, dan kepada Wuranta ia bertanya, “ Wuranta, apakah yang sebaiknya
kita lakukan. Apakah ada yang menarik di kademangan ini untuk dikunjungi?”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Ia tahu arti pertanyaan itu. Sidanti dan Argajaya ingin menemukan
sesuatu yang mungkin berharga bagi mereka.
Tetapi Wuranta pura-pura tidak
mengerti maksud Sidanti. Karena itu ia bertanya, “Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tersenyum. Kemudian
katanya, “Apakah kau tahu, di mana kami mendapat sesuatu yang dapat
disumbangkan untuk perjuangan kami melawan ketamakan orang-orang Pajang? Pusaka
misalnya atau perhiasan untuk menambah bekal?”
“Di rumah Agung Sedayu ada
pusaka, Tuan, tetapi beberapa hari aku sudah mencarinya, namun belum juga
ketemu.”
“Bodoh kau!” bentak Argajaya.
“Apakah kau tahu, di mana ada orang-orang kaya di kademangan ini?”
“O” desis Wuranta. Sekali lagi
telinganya menjadi pedih. “Tetapi Tuan, rumah-rumah itu telah pernah Tuan
kunjungi.”
Mata Argajaya terbelalak
karenanya. Hampir ia mengumpat sejadi-jadinya. Tetapi Sidantilah yang
mendahului sambil tertawa, “Baik. Memang barangkali kau benar. Hampir setiap
rumah yang cukup menarik telah kami kunjungi. Lalu barangkali kau mempunyai
pertimbangan lain?”
Wuranta menggelengkan
kepalanya.
“Selain harta benda apakah
yang dapat kau sumbangkan?” bertanya Sidanti.
“Apakah maksud Tuan?”
Sidanti tidak meneruskan
kata-katanya. Tetapi sambil tersenyum ia berkata, “Ah, hari telah siang. Apakah
kita sudah cukup, Paman?”
“Lalu anak ini?” berkata
Argajaya sambil menunjuk kepada Wuranta.
Sebelum Sidanti menjawab
Wuranta telah mendahului, “Apakah Tuan akan segera kembali naik ke lereng Merapi?
Aku menjadi takut Tuan apabila nanti Agung Sedayu datang kembali.”
Sidanti tersenyum melihat
Wuranta yang kecemasan itu, katanya, “Lalu? Apa yang kau kehendaki?”
Wuranta tidak segera menjawab.
Ditatapnya wajah kedua pemimpin dari lereng Merapi itu berganti-ganti. Namun
agaknya Argajaya tidak begitu senang melihat sikapnya. Maka katanya, “Kenapa
kau bertanya kepadanya? Biarkan saja, apa yang akan dilakukannya.”