Buku 096
Ketika pada suatu saat
perempuan yang menungguinya keluar juga sesaat, terasa kesepian telah
mencengkam hatinya di dalam keributan persiapan perelatan perkawinannya besok
di luar biliknya.
Bahkan dalam kilasan
angan-angannya, terbayang wajah ibunya yang cantik, tetapi muram. Sepercik noda
telah melekat pada wajah itu, dengan hadirnya dua orang laki laki di dalam
hatinya. Laki-laki yang menurunkan seorang anak laki-laki, dan laki-laki yang
lain yang telah melahirkan dirinya.
“O,” Pandan Wangi tiba-tiba
menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, “alangkah hinanya. Agaknya
hukuman dari Yang Maha Kuasa tidak saja mencengkamnya di saat ia memasuki
kehidupan langgeng, tetapi di kehidupan yang wadag ini pun sudah mulai terasa,
betapa hatinya tersiksa. Bahkan kedua anak yang lahir dari kedua laki-laki itu
pun telah ditakdirkan saling membunuh.”
Terasa pelupuk mata Pandan
Wangi menjadi semakin panas. Ia mencoba menghindarkan diri dari pengakuan,
bahwa ada dua orang laki-laki pula yang sudah hadir di dalam hatinya.
“Tidak,” ia mencoba mengelak.
Seorang perempuan yang
memasuki bilik Pandan Wangi terkejut melihat sikap gadis itu. Namun perempuan
itu pun tersenyum sambil berkata, “Jangan cemas, Pandan Wangi. Jika sesuatu
bergejolak di dalam hatimu, itu adalah wajar sekali.”
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya. Ia merasa bersyukur bahwa orang lain tidak menangkap perasaan yang
sebenarnya bergejolak di dalam hatinya. Apalagi ketika perempuan berambut putih
yang meriasnya masuk pula ke dalam bilik itu, maka hati Pandan Wangi mulai
terhibur lagi dengan kelakarnya yang riang.
Di dalam pondoknya. Swandaru
pun telah mengenakan pakaian yang khusus. Bahkan ia telah mengenakan perhiasan
yang meskipun belum selengkap yang akan dipakainya di saat ia akan dipersandingkan.
Untaian bunga melati yang dibawa oleh Agung Sedayu telah dikenakannya pula.
Seuntai di hulu keris, seuntai yang panjang dikenakan di lehernya. Kemudian dua
kuntum di atas telinganya sebelah-menyebelah.
Kawan-kawannya, para pengawal
dari Sangkal Putung pun sempat pula mengganggunya, seperti gadis-gadis dan
perempuan mengganggu Pandan Wangi. Namun Swandaru hanya sempat tertawa saja.
Apalagi Swandaru sama sekali tidak diganggu oleh perasaan-perasaan lain seperti
yang terjadi pada Pandan Wangi.
Selagi Swandaru dan para
pengiringnya bergurau dengan riuhnya, Agung Sedayu yang gelisah berjalan sambil
menundukkan kepalanya ke pakiwan. Ternyata berbagai macam perasaan telah
bergejolak di dalam hatinya. Bukan saja usahanya menindas gambaran wajah Pandan
Wangi yang bagaikan bercahaya, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi pada dirinya jika kelak pada suatu saat ia kawin dengan Sekar Mirah.
“Apa yang dapat aku lakukan
jika saat perkawinan itu tiba. Tentu aku tidak akan mampu mematut diri seperti
Swandaru, bahkan dengan segala macam persiapan perelatan di Sangkal Putung.”
Terbayang di angan-angan Agung
Sedayu, kemampuan yang ada pada dirinya dan keluarganya. Saat kakaknya kawin,
tidak ada perelatan sebesar yang diselenggarakan oleh Ki Gede Menoreh. Juga
sudah tentu tidak sebesar nanti yang akan diselenggarakan di Sangkal Putung.
Untara lebih senang hari-hari perkawinannya berlangsung dengan sederhana.
Tetapi karena ia adalah seorang senapati besar, maka kesederhanaannya itu
justru memberikan kewibawaan padanya. Bukan saja di dalam sorotan para prajurit
dan rakyat di sekitarnya, namun sebenarnyalah bahwa Untara adalah seorang
senapati yang persaja.
Meskipun demikian, dalam
kesederhanaan itu nampak juga keagungan karena jabatannya. Para prajurit bersiaga
dengan sepenuhnya. Di sepanjang perjalanan, maupun di rumah kedua pengantin
itu. Di rumah pengantin perempuan dan di rumah Untara sendiri.
Sekarang Swandaru kawin dengan
segala macam kebesaran karena kedua orang tua sepasang pengantin itu cukup mempunyai
biaya untuk menjadikan hari-hari perkawinan itu menjadi sangat meriah. Selain
biaya yang memang sudah tersedia, keduanya adalah anak orang-orang terpenting
di kedua tempat asal mereka. Swandaru anak seorang demang yang cukup di Sangkal
Putung, sedang Pandan Wangi adalah anak kepala Tanah Perdikan di Menoreh.
“Jika kelak aku kawin,”
berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “tentu Kakang Untara tidak akan
berniat sama sekali menyelenggarakan perelatan sebesar perelatan yang kini
disiapkan di Sangkal Putung saat ngunduh pengantin. Tentu tidak akan
diselenggarakan melampaui saat Kakang Untara sendiri kawin. Apalagi aku sudah
tidak mempunyai orang tua, sehingga kemampuan yang dapat diberikan oleh Paman
dan Bibi adalah kemampuan yang terbatas sekali.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Namun persoalan itu mengejarnya lagi. Katanya di dalam hati, “Aku
sendiri sebenarnya tidak mempunyai keberatan apa pun juga, seandainya
perkawinanku itu sama sekali tidak diramaikan dengan perelatan apa pun juga, apalagi
bermacam-macam pertunjukan, aku pun sama sekali tidak menyesal. Tetapi apakah
demikian pula Sekar Mirah?”
Kegelisahan itu justru semakin
mencengkamnya sehingga jantung Agung Sedayu rasa-rasanya berdentang semakin
cepat.
Namun tidak ada yang dapat memberinya
petunjuk apa pun juga, karena Agung Sedayu menyimpan kegelisahan itu di dalam
hatinya. Ia tidak dapat mengatakannya kepada siapa pun juga. Satu-satunya,
keluarganya adalah kakaknya, Untara. Tetapi sudah tentu Untara tidak akan dapat
mengerti perasaannya. Dengan tegas Untara akan berkata kepadanya, “Itu
tergantung kepadamu. Jika kau memang menghendaki, jadilah. Jika calon istrimu
itu berkeberatan, jangan kau hiraukan. Sejak saat perkawinanmu, kau dan istrimu
harus saling memaklumi keadaan masing-masing. Jika Sekar Mirah seorang gadis
yang baik, ia tidak akan terlampau banyak menuntut apa pun juga yang sulit kau
laksanakan.”
Tetapi sekilas terbayang di
angan-angan Agung Sedayu, sikap Sekar Mirah yang keras dan tinggi hati. Seperti
Untara ia pun akan berkata dengan lantang, “Perkawinan kita harus
diselenggarakan dengan meriah. Setidak-tidaknya seperti Kakang Swandaru. Baik
saat perelatan di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung. Kita pun
harus merayakan hari-hari perkawinan kita di Sangkal Putung dan di Jati Anom.
Bukankah kakakmu seorang perwira muda yang terpandang? Seorang senapati besar
yang mempunyai pengaruh yang luas?”
“O,” Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam. Angan-angan itu ternyata membuatnya menjadi sangat gelisah
dan cemas.
Dalam pada itu, ketika ia
sudah kembali dari pakiwan, dilihatnya Swandaru sedang mengenakan untaian bunga
yang dibawanya dari bilik pengantin perempuan. Anak muda yang gemuk itu nampak
cukup tampan pula. Sekali-sekali terdengar suara tertawanya jika kawan-kawannya
yang mengiringinya mengganggunya.
“Kau pantas mendapat
kehormatan yang tinggi Swandaru,” berkata seorang kawannya yang ikut serta
mengawalnya, “kau pantas disebut seorang tumenggung dengan pakaianmu itu.
Untaian bunga melati itu membuatmu semakin nampak berwibawa. Tidak seorang pun
yang akan menduga, bahwa kau adalah anak Kademangan Sangkal Putung.”
Swandaru tertawa.
“Aku kira perkawinanmu
melampaui perelatan perkawinan para pemimpin di Demak dan Mataram. Kau lihat,
perkawinan Sutawijaya dengan gadis dari Kalinyamat itu? Tidak seorang pun
melihat upacara semeriah ini.”
“Perkawinan itu berlangsung
begitu saja. Bahkan dengan diam-diam,” sahut yang lain.
“Tidak. Kanjeng Sultan telah
memberikan restunya. Seandainya perkawinan itu diselenggarakan dengan meriah,
tidak akan ada kesulitan apa pun lagi,” sahut yang mula-mula.
“Kesulitan perasaan,” jawab
yang lain.
Mereka masih saja berkelakar
terus. Kawan-kawan ternyata mengagumi Swandaru dalam pakaian midadareni. Dalam
gurau itu, Swandaru bahkan berkata, “Jika sekarang aku seperti seorang
tumenggung, maka besok aku tentu seperti seorang pangeran.”
Suara tertawa telah meledak.
Tetapi suara tertawa itu terputus ketika seorang tua memasuki biliknya sambil
berkata, “Angger Swandaru. Jika kau sudah selesai berpakaian, marilah, duduklah
di pendapa. Beberapa orang-orang tua dari Tanah Perdikan Menoreh yang belum
pernah melihatmu, ingin bertemu barang sebentar. Sedangkan mereka yang telah
mengenalmu saat api berkobar membakar, ingin melihatmu dalam pakaian yang lain
dari pakaian seorang yang hidup dalam asap api peperangan yang menyala di
Menoreh ini.”
Swandaru mengangguk sambil
menjawab, “Baik, Paman. Aku akan segera pergi ke pendapa.”
Ketika orang tua itu pergi,
maka orang-orang tua dari Sangkal Putung yang melayaninya pun segera
mempersiapkan Swandaru dan kemudian membawanya ke pendapa.
Ternyata di pendapa rumah yang
disediakan bagi pengantin laki-laki itu sudah ada beberapa orang tua dari
Menoreh yang duduk menunggu. Ketika mereka melihat Swandaru, maka mereka pun
segera bergeser sambil memandanginya dengan penuh kekaguman.
“Inilah calon menantu Ki
Gede,” berkata seorang tua yang pernah mengenal Swandaru sebelumnya. Kemudian
dengan senyum di bibirnya ia mempersilahkan Swandaru duduk di sebelahnya.
“Hampir setiap orang dari
Tanah Perdikan ini telah mengenalnya,” berkata orang tua itu, “meskipun ia
seorang anak muda dari Sangkal Putung dan saat ini ia baru merupakan calon
menantu Ki Gede, namun sebenarnyalah ia memiliki jasa yang barangkali lebih banyak
dari anak-anak muda daerah ini sendiri atas Tanah Perdikan Menoreh.”
Setiap orang di pendapa itu
mengangguk-angguk. Apalagi yang memang sudah mengenal Swandaru dalam peperangan
yang pernah menyala di atas Tanah Perdikan ini. Sedangkan mereka yang belum mengenal
dari dekat pun mengangguk-angguk sambil bergumam, “Jadi, inilah anak muda yang
dikagumi oleh setiap orang dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Di sudut lain dari pendapa
itu, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar duduk berdekatan. Di belakangnya Agung
Sedayu rasa-rasanya menjadi sangat gelisah oleh perasaan sendiri.
Tetapi ternyata bukan saja
Agung Sedayu yang menjadi gelsah karena persoalannya sendiri, tetapi
rasa-rasanya di hati Kiai Gringsing pun telah membayang sesuatu yang
menggelisahkannya pula. Ia melihat sikap Swandaru yang mulai dibayangi oleh
sifat dan wataknya yang sebenarnya. Di dalam asuhannya, Kiai Gringsing masih
sempat mengendalikan sifat dan watak anak muda yang gemuk itu. Namun dalam
saat-saat tertentu sifat itu masih juga muncul di luar sadar.
Dan kini Swandaru duduk dengan
dada tengadah. Sambil mengangguk-angguk kecil ia tersenyum mendengarkan pujian
orang-orang Menoreh atasnya. Bahkan seorang tua berkata, “Angger Swandaru tidak
perlu merasa berada di tempat lain. Tanah Perdikan Menoreh adalah rumahmu
sendiri. Pandan Wangi adalah satu-satunya anak Ki Gede. Jadi siapa lagi yang
kelak akan mengendalikan Tanah Perdikan ini selain Angger Swandaru.”
Rasa-rasanya dada Swandaru
menjadi penuh dengan kebanggaan. Tiba-tiba saja ia melihat orang-orang yang ada
di sekitarnya itu pada suatu ketika akan tunduk di bawah perintahnya.
Orang-orang tua dari Sangkal Putung tentu akan menghormatinya sebagai pewaris
satu-satunya dari kademangan yang besar dan subur itu, sedangkan orang-orang
dari Tanah Perdikan Menoreh menganggapnya sebagai orang yang paling berjasa dan
bahkan yang kelak akan menggantikan kedudukan Ki Gede Menoreh. Sehingga dengan
demikian, ketika terpandang olehnya dalam cahaya obor dedaunan yang hijau
kehitam-hitaman di halaman, maka rasa-rasanya ia melihat Tanah Perdikan Menoreh
yang terbentang di bawah bukit Menoreh yang membujur ke utara itu sebagai
tlatah yang sudah berada di bawah kekuasaannya.
Sanjungan orang-orang Menoreh
terhadapnya, membuat dada Swandaru rasa-rasarya menjadi bertambah sesak oleh
kebanggaan tentang dirinya, sehingga dalam saat yang demikian, ia tidak ingat
lagi untuk memanggil Agung Sedayu agar duduk di sebelahnya mengawaninya seperti
ketika ia kesepian di saat-saat menjelang hari perkawinannya di Sangkal Putung.
Meskipun Swandaru melihat juga Agung Sedayu yang duduk di belakang gurunya dan
Ki Sumangkar, namun ia sama sekali tidak memanggilnya, bahkan menegurnya.
Tetapi Agung Sedayu sama
sekali tidak memperhatikan sikap Swandaru. Ia sedang digelisahkan oleh
perasaannya sendiri. Karena itulah, maka meskipun ia duduk di pendapa, di
antara beberapa orang lain yang sibuk membicarakan Swandaru, namun
angan-angannya telah menerawang ke dunia angan-angan yang sangat jauh.
Berbeda dengan Agung Sedayu,
maka Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mulai memperhatikan Swandaru pada
saat-saat yang agak terlepas dari kebiasaan yang ditempakan oleh Kiai Gringsing
terhadapnya. Di medan perang, di padang pengembaraan, dan di pematang yang
berlumpur, Swandaru sempat mengendalikan diri. Tetapi di tengah-tengah
orang-orang tua yang seolah-olah mengerumuninya untuk menyatakan kekaguman
mereka, di antara puji dan sanjung, maka yang telah terdesak jauh ke bawah
pengendalian diri, di luar sadar telah melonjak kembali. Sebagaimana sifat dan
watak anak muda yang bertubuh gemuk itu, yang sejak masa kanak-kanaknya hidup
dengan manja dan terpenuhi segala keinginannya.
Sementara itu, di rumah Ki
Gede Menoreh, Pandan Wangi pun telah mulai dikerumuni oleh orang-orang
perempuan yang ingin melihat wajahnya yang tentu menjadi berbeda dengan
wajahnya sehari-hari. Hampir setiap orang menjadi kagum akan kecantikan gadis
itu. Setiap orang yang sehari-hari mengenalnya sebagai seorang gadis yang
lembut tetapi di saat-saat tertentu dapat berubah menjadi harimau betina itu,
menjadi terheran-heran melihat wajah yang seakan memancarkan cahaya yang
menyilaukan.
Namun perempuan-perempuan itu
pun ikut serta menahan hati ketika mereka melihat, di mata gadis yang cantik
itu telah mengembang air mata. Mereka menyadari, bahwa tentu ada sesuatu yang
bergejolak di hati gadis itu. Adalah wajar sekali bahwa di saat menjelang hari
perkawinan, tetapi tidak ditunggui oleh ibunya yang sudah mendahului menghadap
Tuhannya, rasa-rasanya hati menjadi pedih.
Tetapi tidak seorang pun yang
mengetahui, bahwa perasaan Pandan Wangi bukannya sekedar berhenti pada kesepian
yang mencengkamnya di dalam keramaian itu. Bukan saja bahwa ia tidak ditunggui
oleh ibunya. Namun gambaran ibunya itu telah dirangkapi oleh
peristiwa-peristiwa yang telah melibatkan keluarganya ke dalam bencana.
Tiba-tiba saja terbayang
saat-saat ibunya dikerumuni oleh perempuan-perempuan tua seperti dirinya saat
itu. Namun ibunya sudah bukan seorang gadis lagi, karena kehadiran seorang
laki-laki lain di samping ayahnya yang kemudian menjadi kepala Tanah Perdikan
ini.
“O,” sebuah keluhan telah
menggetarkan bibirnya. Tetapi Pandan Wangi kemudian sempat bersyukur. Meskipun
di hatinya juga terukir dua wajah laki-laki, namun ia telah memasuki jenjang
perkawinan dengan kegadisannya yang utuh.
“Tetapi hatiku tidak utuh,”
Pandan Wangi berteriak di dalam hati, “ini berarti aku sudah mulai berkhianat
di hari permulaan.”
Rasa-rasanya hati Pandan Wangi
menjadi semakin pedih. Bagaimana pun juga ia berusaha, namun air yang mengalir
dari matanya menjadi semakin deras. Bahkan Pandan Wangi pun kemudian
terisak-isak. Setiap kali lengannya mengusap air di matanya, maka rias di
wajahnya pun menjadi tergores oleh usapan itu pula.
Perempuan tua yang meriasnya
melihat Pandan Wangi menangis. Dengan sabar ia pun kemudian membisikinya,
“Sudahlah, Pandan Wangi. Kau tidak perlu menangis di masa yang berbahagia ini.
Apa pun yang menyebabkan kau menangis, sebaiknya kau sisihkan dari hatimu.
Setiap orang yang datang di malam ini ingin melihat wajahmu yang cantik dan
cerah. Jika wajahmu kau hiasi dengan air mata, maka pertemuan di malam
midadareni ini akan menjadi suram.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Marilah, aku perbaiki rias di
wajahmu.”
Pandan Wangi tidak menyanggah.
Dibiarkannya perempuan tua itu memperbaiki rias di wajahnya yang basah oleh air
matanya. Dengan sekuat hati ia kemudian melawan tangis yang masih saja terasa
menyekat lehernya.
Dalam pada itu, Sekar Mirah
yang ikut menunggui Pandan Wangi telah tersentuh pula oleh perasaan iba. Gadis
itu tidak beribu lagi. Itu sajalah yang berkesan di hatinya. Tidak lebih.
Untuk mengurangi perasaan
pepat di hatinya, Sekar Mirah justru telah meninggalkan ruang itu dan turun ke
halaman. Terasa angin malam yang sejuk telah menyentuh tubuhnya. Tubuhnya yang
langsing sesuai dengan kemampuannya memegang pedang. Tetapi tubuh itu juga
penuh berisi.
Dalam saat-saat seperti itu,
seperti juga para pengiring yang lain, Sekar Mirah pun telah berpakaian dengan
rapi. Ia pun mencoba merias dirinya sendiri, agar di dalam suasana yang cerah
itu, ia tidak nampak terlampau suram jika pada suatu saat ia harus berada di
samping Pandan Wangi.
Sejenak Sekar Mirah
termangu-mangu. Dipandanginya beberapa orang yang nampak selalu sibuk kian
kemari. Cahaya obor yang terang benderang di seluruh halaman dan rasa-rasanya
Tanah Perdikan malam itu tidak akan tidur sama sekali. Di sudut padukuhan induk
sekelompok anak-anak muda yang berjaga-jaga telah membuat suasana menjadi
semakin ramai. Sedangkan di banjar, terdengar suara gamelan yang riuh. Di banjar
itu ternyata sekelompok anak-anak muda sedang berlatih menari. Besok mereka
akan meramaikan hari perkawinan Pandan Wangi yang meriah.
Pada saat Sekar Mirah
termenung di bawah cahaya obor di halaman, seorang anak muda lewat dengan
tergesa-gesa, melintas di hadapannya. Semula anak muda itu tidak menghiraukan
Sekar Mirah yang juga tidak memperhatikannya. Namun tiba-tiba saja anak muda
itu berhenti sejenak. Dipandangnya wajah gadis itu sesaat.
“Sekar Mirah,” sapa anak muda
itu.
Sekar Mirah berpaling. Sambil
mengerutkan keningnya ia mencoba mengamati wajah itu. Namun Sekar Mirah pun
kemudian tersenyum sambil menyahut, “Kau nampak sibuk sekali, Prastawa.”
Prastawa pun tertawa.
Jawabnya, “Tidak. Aku sekedar membantu. Apa saja yang dapat aku lakukan. Aku
tidak dapat berbuat lebih banyak dari menyerahkan tenagaku. Apalagi aku agak
terlambat datang.”
“Kenapa kau baru datang hari
ini?”
“Aku berada di rumah ini.
Tetapi tiga hari yang lalu, aku pulang untuk menunggui rumah, karena ayah dan
ibuku ada di sini.”
“Ya. Aku sudah melihat ayah
dan ibumu sore tadi. Tetapi bukankah sekarang rumahmu juga kau tinggalkan.”
“Terpaksa. Tetapi sudah aku
serahkan kepada para penjaga.”
“Kau sudah bertemu dengan
Kakang Swandaru dan Kakang Agung Sedayu?”
Prastawa menggeleng, “Belum.
Aku terlalu sibuk. Aku harus pergi ke sana ke mari mencari perlengkapan yang
kurang. Meskipun Paman Argapati sudah menyiapkan lama sebelumnya, tetapi
ternyata masih ada juga yang kurang.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Katanya, “Itu wajar sekali. Di mana-mana pun terjadi serupa itu. Hal-hal di
luar perhitungan kadang-kadang tumbuh di saat yang sudah terlalu dekat seperti
sekarang ini.”
“Maaf, Sekar Mirah,” berkata
anak muda itu, “aku harus menemui ibuku, karena aku sedang melakukan sesuatu
untuknya.”
Sekar Mirah tersenyum.
Jawabnya, “Silahkan.”
Prastawa pun tersenyum pula.
Di luar sadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah yang meskipun sederhana telah
merias dirinya.
Terasa sesuatu tergerak di
hati anak yang masih sangat muda itu. Sekar Mirah yang pernah dikenalnya
sebagai seorang gadis bersenjata seperti Pandan Wangi itu, kini nampak
benar-benar sebagai seorang gadis yang cantik. Wajahnya yang agak tengadah, dan
dagunya yang terangkat, di mata Prastawa membuat Sekar Mirah nampak sebagai
seorang gadis yang berwibawa dan penuh dengan gairah hidup yang menyala di
dadanya.
Sekar Mirah mengangguk kecil.
Namun hampir di luar sadarnya sesuatu merambat di wajahnya yang cantik. Namun
kemudian terasa wajah itu menjadi panas.
Ketika Sekar Mirah kemudian
menundukkah wajahnya itu, dengan tergagap Prastawa berkata, “E, sudahlah. Aku
minta maaf Sekar Mirah. Aku akan ke belakang.”
Sekar Mirah mengangguk kecil.
Namun hampir di luar sadarnya, bibirnya terbersit sepercik senyum.
Dengan tergesa-gesa Prastawa
meninggalkan gadis itu berdiri temangu-mangu. Namun tanpa dikehendakinya,
Prastawa itu berpaling setelah beberapa langkah ia meninggalkan Sekar Mirah.
Untunglah bahwa Sekar Mirah saat itu tidak sedang memperhatikannya karena
seorang perempuan yang lewat sedang menyapanya.
“Sekar Mirah nampak cantik
sekali,” desis Prastawa yang masih sangat muda itu. Namun kemudian ia berdesis,
“Apa peduliku. Ia datang bersama Agung Sedayu. Sudah tentu setelah Swandaru,
maka Sekar Mirah pun tentu akan kawin pula.”
Prastawa pun kemudian
mengeleng-gelengkan kepalanya, seolah-olah ingin mengibaskan angan-angan itu
dari kepalanya. Namun rasa-rasanya bayangan itu justru melekat di pelupuk
matanya. Dan setiap kali ia bergumam di dalam hati, “Sekar Mirah memang cantik.
Cantik sekali.”
Sementara itu. Sekar Mirah pun
kemudian melangkahkan kakinya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu di halaman.
Namun kemudian ia pun pergi ke regol yang terang benderang.
Sekali lagi ia tertegun ketika
ia bertemu dengan seorang anak muda yang menyapanya. Ketika Sekar Mirah
memperhatikan wajah yang kemerah-merahan oleh cahaya obor itu, maka ia pun
berdesis, “Rudita.”
Rudita tersenyum. Jawabnya,
“Ya, Sekar Mirah. Kau masih ingat aku?”
Sekar Mirah tersenyum pula
sambil bertanya, “Kau sudah bertemu dengan Kakang Swandaru dan Agung Sedayu?”
“Sudah. Aku juga baru saja
dari pondok Swandaru. Ia sudah selesai berpakaian. Wajahnya nampak cerah
sekali. Di sana ada Agung Sedayu dan orang-orang tua.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Rasa-rasanya ia ingin sekali pergi melihat Swandaru. Tetapi ia merasa segan
pula, karena di sana tentu banyak anak-anak muda bukan saja para pengiring dari
Sangkal Putung, tetapi juga anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh.
“Apakah kau akan pergi ke sana
Sekar Mirah?” bertanya Rudita.
Sekar Mirah termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun menggeleng sambil menjawab, “Tidak sekarang.”
“Dan kau akan pergi ke mana?”
“Aku hanya kepanasan di
dalam.”
Rudita mengangguk-angguk. Lalu
katanya, “Baiklah. Aku akan pergi ke belakang sebentar.”
“Silahkan,” jawab Sekar Mirah.
Rudita pun kemudian melangkah
meninggalkannya. Langkahnya lamban dan seolah-olah sama sekali tidak mempunyai
kepentingan apa pun dengan kesibukan di seluruh halaman itu, bahkan di seluruh
Tanah Perdikan Menoreh. Berbeda sekali dengan langkah Prastawa yang cepat dan
nampak sibuk sekali.
“Anak malas,” desis Sekar
Mirah, “seharusnya ia bersikap sebagai anak laki-laki yang cekatan dan tangkas.
Prastawa adalah gambaran dari seorang anak muda yang mempunyai gairah hidup
yang besar.”
Untuk beberapa saat Sekar
Mirah masih memandangi langkah Rudita yang lambat menuju ke gandok.
Sejenak kemudian barulah Sekar
Mirah melangkah. Tetapi ia pun tidak dapat berdiri berlama-lama di regol
halaman itu, karena di gardu sebelah beberapa anak muda duduk sambil berbicara
dan berkelakar. Beberapa orang pengawal yang bertugas justru tidak mendapat
tempat untuk duduk di dalam gardu sehingga mereka berdiri saja di sisi regol
yang terang benderang di bawah lampu obor yang berlipat dari jumlah lampu obor
yang biasa terpasang.
Dengan mereka-reka tentang
hari depannya sendiri Sekar Mirah melangkah kembali ke ruang dalam.
“Untunglah, bahwa Kakang
Swandaru-lah yang mendahului kawin,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya,
“dengan demikian Kakang Agung Sedayu dapat mengukur, saat kita kawin nanti,
perelatannya harus lebih meriah dari yang diselenggarakan sekarang.”
“Aku akan minta Ayah untuk
menyelenggarakan perelatan di Sangkal Putung lebih baik dari yang
diselenggarakan di Tanah Perdikan Menoreh ini. Sedang Kakang Agung Sedayu akan
dapat penghormatan yang meriah di Jati Anom karena ia adalah seorang adik dari
Senapati Besar, Untara.” Namun kemudian wajah Sekar Mirah menjadi berkerut
ketika teringat olehnya, bahwa saat Untara kawin, Jati Anom tidak menyelenggarakan
sesuatu yang mengejutkan. Perkawinan itu berlangsung sederhana di Banyu Asri.
“Tetapi,” katanya kemudian,
“kehadiran utusan dari Mataram dan Pajang membuat perelatan itu mempunyai
wibawa yang agung meskipun tidak meriah.”
Sekar Mirah termangu-mangu sejenak.
Namun ia berniat untuk membicarakannya dengan Agung Sedayu. Perkawinan mereka
harus diselenggarakan dengan meriah sekali. Lebih meriah dari perkawinan
kakaknya, Swandaru.
Hampir di luar sadarnya, maka
Sekar Mirah pun masuk kembali ke dalam bilik Pandan Wangi. Ia melihat orang
perempuan berambut putih itu sudah memperbaiki rias Pandan Wangi yang
dirusakkannya karena air matanya yang meleleh di pipinya. Meskipun demikian,
wajah Pandan Wangi masih dibayangi oleh kepedihan hatinya, meskipun tidak ada orang
yang dapat menebak dengan tepat, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh
gadis itu.
Di luar kesibukan yang sedang
berlangsung di Tanah Perdikan Menoreh, dua orang melintas perlahan-lahan.
Keduanya telah menitipkan kuda mereka kepada seseorang yang belum mereka kenal
sama sekali. Tetapi dengan berbagai macam alasan, mereka berusaha untuk dapat
meyakinkan kepada orang yang dititipinya, bahwa kehadirannya semata-mata
didorong oleh keinginannya untuk melihat perkawinan putri Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.
“Tetapi aku belum mengenal
kalian,” desis orang itu.
Sejenak keduanya berpandangan.
Salah seorang dari mereka pun kemudian mengambil sesuatu dari kantong ikat
pinggang kulitnya.
“Aku mempunyai uang sedikit.
Barangkali dapat kau pergunakan untuk mengupah anak-anak agar besok dapat
mencari rumput buat kudaku.”
“Selama hari-hari perelatan
sampai hari kelima. Kami akan ikut mengiringi pengantin itu ke Sangkal Putung.”
“Tetapi kenapa kau titipkan
kudaku di sini?”
“Itu lebih baik daripada aku
membawanya kian kemari.”
Orang itu masih bingung. Namun
tiba-tiba saja ia mengangguk-angguk ketika salah seorang dari kedua orang itu
melemparkan uang kepadanya. Terlalu banyak dari dugaan yang tumbuh di hatinya.
“Aku kira kau memerlukan uang
itu,” desis orang itu.
Sejenak orang yang semula
ragu-ragu itu memandangi kedua orang yang terlalu baik kepadanya itu, yang
melemparkan uang terlalu banyak jika dinilai dengan sekedar menitipkan dua ekor
kuda meskipun ia harus mencari rumput untuk memberi makan kuda-kuda itu.
“Apakah masih kurang?”
bertanya salah seorang dari kedua penunggang kuda itu.
“Apakah kau akan menambah
lagi?”
“Gila,” geram yang lain, “kau
terlalu tamak.”
Namun sikap itu justru
menumbuhkan sesuatu di dalam hati pemilik rumah yang terhitung seorang yang
miskin itu. Ketamakan benar-benar telah mencengkamnya, sehingga ia pun kemudian
berkata, “Sebaiknya kalian menambah sedikit lagi, agar aku dapat mencarikan
rumput segar bagi kudamu selama lima hari.”
“Itu terlalu banyak.”
“Ki Sanak. Sebenarnya kalian
berdua menimbulkan kecurigaan padaku. Karena itu, kuda kalian di halamanku ini
akan dapat menimbulkan banyak kesulitan. Karena itu, berilah sedikit uang
tambahan. Aku akan mempertanggung-jawabkan semuanya.”
“Gila. Itu sudah cukup.”
“Mungkin ada tetangga yang
melihat kedua kudamu ini. Mereka pun menjadi curiga seperti aku, lalu mereka
pergi melaporkannya kepada para pengawal. Nah, sebelum mereka melaporkan
kuda-kudamu, aku dapat mencegahnya dengan memberikan sebagian dari pemberianmu
itu.”
“Itu adalah kegilaan yang
tidak pantas,” tiba-tiba salah seorang dari kedua orang berkuda itu menarik
pisau belati dari bawah bajunya. Sambil melekatkan ujung pisau itu di leher
pemilik rumah itu ia berkata, “Kau mencoba memeras kami. Tetapi kami bukan
orang yang terlalu baik hati. Jika terjadi sesuatu dengan kami di sini, maka
sumbernya pasti kau. Ketahuilah, kami berdua mempunyai seribu kawan yang
berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh. Masing-masing mengetahui keadaan dan
kemungkinan yang terjadi dengan kawan-kawannya. Jika aku tidak berkumpul pada
saatnya, maka mereka mengetahuinya, siapakah yang harus ditangkap, diseret di
belakang kaki kuda, dan kemudian dilemparkan ke dalam kedung di pusaran Kali
Praga untuk dijadikan makanan buaya. Bukan hanya kau, tetapi aku tahu, kau
mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Nah, tulangnya tentu masih lunak, dan
tentu menyenangkan sekali bagi buaya-buaya kerdil di kedung itu.”
Wajah orang itu tiba-tiba
menjadi pucat. Ketika ujung pisau itu menyentuh kulitnya, ia mundur selangkah.
“Jangan, jangan.”
“Kau orang yang sangat tamak.
Nah, katakan sekali lagi bahwa kau minta uang tambahan.”
“Tidak. Tidak. Itu sudah
cukup.”
“Jangan mencoba melaporkan
kehadiranku di sini, jika kau masih sayang kepada nyawamu, anak-anakmu yang
masih kecil-kecil dan istrimu.”
“Tidak. Aku tidak akan
melaporkannya.”
Kedua orang itu saling
berpandangan sejenak, lalu, “Kami akan pergi. Setiap saat kami akan datang
untuk mengambil kuda kami. Tetapi selama itu, orang-orang kami akan selalu
mengawasimu. Ingat. Nyawamu, nyawa anak-anak dan istrimu. Aku masih baik karena
aku tidak minta uang itu kembali.”
Kedua orang itu pun kemudian
pergi. Tetapi sorot matanya penuh dengan ancaman, sehingga pemilik rumah itu
menjadi semakin pucat. Namun ia benar-benar telah dicengkam oleh ketakutan,
sehingga ia tidak berani berbuat apa pun juga. Meskipun sebenarnya memang ada
kecurigaan di hatinya, tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk menyampaikan
hal itu kepada para pengawal. Bahkan kemudian ia telah berusaha menyembunyikan
kedua ekor kuda itu di longkangan belakang sehingga tidak seorang pun yang akan
dapat melihat.
Kepada istrinya ia berpesan,
agar tidak mengatakan apa pun juga tentang kedua ekor kuda itu kepada
tetangga-tetangganya, dan bahkan anaknya yang masih kecil pun dipesannya juga,
agar ia tidak bercerita kepada kawan-kawannya tentang kuda-kuda itu.
“Jika anak-anak menyebut
tentang kuda-kuda hantu itu, maka lidahnya akan berkerut. Semakin lama menjadi
semakin pendek, sehingga akhirnya lidah itu akan habis. Nah, jika lidahmu
habis, kau tidak akan dapat berbicara lagi,” ayahnya mencoba menakut-nakuti
anak-anaknya.
Anak-anak kecil itu
mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang benar-benar menjadi ketakutan sehingga
mereka sama sekali tidak berani menyebut tentang kedua ekor kuda yang berada di
longkangan itu.
Dalam pada itu, kedua
penunggang kuda itu pun dengan leluasa berada di Tanah Perdikan Menoreh. Di
siang hari mereka akan bersembunyi di hutan-hutan kecil, sedang di malam hari
mereka akan muncul untuk melihat perelatan yang meriah di Tanah Perdikan
Menoreh.
“Kenapa kita harus berada di
sini selama lima hari?” bertanya yang seorang.
“Kita akan mengikuti mereka ke
Sangkal Putung. Bukankah tugas kita mengawasi hasil dari usaha Gandu Demung
untuk merampas harta kekayaan yang ada pada sepasang pengantin itu bersama
pengiringnya?”
“Tetapi menurut keterangan
yang kami terima, hal itu akan dilakukannya di daerah Sangkal Putung.”
“Kita tidak tahu, tempat yang
mereka pilih dengan tepat. Jika kehadiran kita terlihat oleh Gandu Demung,
karena tiba-tiba saja kita telah terjerumus di tempat persembunyiannya, maka
tugas kita akan gagal. Gandu Demung mengetahui bahwa tingkah lakunya selalu
diawasi. Mungkin ia akan mengambil sikap yang tidak terduga-duga untuk
melepaskan dirinya dari pengawasan yang tentu tidak akan disukainya.”
“Jadi, apakah kita akan berada
di dalam iring-iringan pengantin?”’
“Kau memang bodoh. Kita akan
mengikutinya dari kejauhan. Tetapi jika benturan itu memang benar-benar
terjadi, kita akan melibatkan diri.”
“Aku mengerti. Tetapi kenapa
kita harus mengikutinya dari tempat ini, itulah yang semula aku bingung. Tetapi
keteranganmu memberikan sedikit gambaran yang jelas padaku.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Sambil menepuk bahunya ia berkata, “Jadi kau sudah mengerti alasannya kenapa
kita lebih baik mengikuti pengantin itu daripada mendahuluinya dan mencari
tempat Gandu Demung menghadang mereka?”
“Ya.” Ia berhenti sejenak,
lalu, “Tetapi di sini rasa-rasanya aku tersiksa. Semua orang bersuka ria dengan
hidangan yang cukup bahkan berlebihan, kita sama sekali tidak mendapatkan
apa-apa.”
“Kita dapat mencari jauh lebih
banyak, jika hanya sekedar untuk makan.”
“Tidak dapat. Itu menyalahi
pesan Gandu Demung. Ia mengharap Tanah Perdikan Menoreh menjadi tenang dan
tidak terganggu apa pun juga untuk melupakan kesiagaan orang-orang Menoreh.”
“Kau benar-benar bodoh. Kita
dapat berpacu sejenak keluar dari Tanah Perdikan ini. Di kademangan-kademangan
kecil kita akan mendapatkan sesuatu jika sekedar ingin makan sampai perutmu
pecah. Daging ayam, telur, daging lembu, dan apa lagi yang lebah enak dari
semuanya itu?”
Kawannya tersenyum. Tetapi ia
tidak menjawab.
Dengan demikian, maka keduanya
dengan leluasa dapat menjelajahi padukuhan-padukuhan di sekitar padukuhan induk
tanpa dicurigai. Di siang hari mereka lewat seperti kebanyakan orang lewat di
jalan-jalan raya. Di malam hari, dalam kelamnya malam mereka merayap mendekati
padukuhan induk, dan hilang bercampur baur dengan orang-orang yang ingin
melihat latihan di banjar, dan bahkan kemeriahan di tempat lain karena di
padukuhan induk dan sekitarnya, beberapa anak-anak muda dengan sengaja
berjalan-jalan dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Selain sekedar
untuk mengisi kemeriahan yang bergejolak di dalam hati, di antara mereka
terdapat anak-anak muda yang termasuk para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
sedang mengamati keadaan.
Tetapi seperti yang
dikehendaki oleh Gandu Demung, Tanah Perdikan Menoreh benar-benar tidak
terganggu oleh apa pun juga.
Karena itulah maka semua acara
di Tanah Perdikan Menoreh itu dapat berjalan lancar tanpa gangguan suatu apa.
Bahkan di antara beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh sendiri, maka
Gandu Demung memang sengaja menyebarkan beberapa orang yang ikut serta mengawasi
keadaan dan mencegah segala macam kejahatan.
Ketenangan di Tanah Perdikan
Menoreh itu benar-benar telah mempengaruhi kesiagaan para pengawal. Justru
karena mereka tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan, maka semakin lama,
mereka pun seakan-akan semakin tenggelam ke dalam kelengahan. Para pengawal
yang berada di gardu-gardu, maupun yang bertugas melakukan pengawasan keliling,
terseret oleh kegembiraan anak-anak muda, sehingga mereka tidak lagi bersikap
sebagai pengawal dalam tugas sandi, namun mereka benar-benar telah berada dalam
arus kemudaan mereka.
Meskipun demikian, memang
tidak ada suatu pun yang terjadi. Tidak ada kerusuhan, dan tidak ada gangguan
apa pun juga. Malam midadareni itu berlangsung dengan tenang. Setiap wajah
nampak cerah dan gembira. Apalagi keluarga terdekat Pandan Wangi. Lewat tengah
malam mereka beramai-ramai sesaji. Ingkung ayam jantan dengan segala macam
kelengkapannya.
Tetapi di antara kemeriahan
itu, terdapat beberapa kegelisahan yang tersembunyi. Pandan Wangi sendiri telah
digelisahkan oleh kesadarannya tentang dirinya yang bernoda suram atas
kesetiaannya kepada suaminya di saat permulaan, meskipun tidak ada orang lain
yang mengetahuinya. Tetapi ia tidak dapat berkata demikian kepada dirinya
sendiri.
Yang lain, yang juga dicengkam
oleh kegelisahan adalah Agung Sedayu. Bukan saja karena ia memandang wajah
Pandan Wangi meskipun hanya sekilas, tetapi ia sudah mulai membayangkan, apa
yang akan terjadi di saat perkawinannya nanti dengan Sekar Mirah.
“Ada sesuatu yang lain pada gadis
itu dengan keinginanku,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tetapi ia tidak dapat ingkar,
bahwa gadis itu telah menarik hatinya. Ia tidak dapat melupakan Sekar Mirah
pada saat-saat ia berkenalan dengan gadis itu. Tetapi sifat dan tabiatnya ternyata
menyimpang dari sifat dan watak seorang gadis yang diidamkan.
“Malam yang gelisah,” desis
Agung Sedayu di dalam hatinya ketika dadanya terasa menjadi pepat.
Yang tidak kalah gelisah dari
mereka adalah Ki Waskita. Ia selalu dihantui oleh isyarat yang selalu
dilihatnya. Bahkan rasa-rasanya terlampau sering, karena Ki Waskita sendiri
setiap kali tanpa dapat menghindarkan diri, selalu ingin melihatnya. Ia tahu,
bahwa tidak dapat diharapkan perubahan yang tiba-tiba. Tetapi kadang-kadang ia
kehilangan kepercayaan kepada dirinya sendiri.
“Apakah yang akan terjadi?” ia
bertanya kepada diri sendiri. Setiap kali tidak henti-hentinya. Dan warna-warna
buram itu membayang di wajah Swandaru dan Agung Sedayu.
Karena itulah, maka Ki Waskita
tidak terlepas dari kesiagaan. Meskipun Tanah Perdikan nampaknya tenang dan
damai, namun setiap saat dapat terjadi ledakan.
“Ledakan apa?” pertanyaan itu
tiba-tiba melonjak di dalam hati Ki Waskita. “Ledakan wadag atau ledakan batin.
Jika yang terjadi adalah kesulitan wadag, maka persoalannya tidak akan begitu
sulit untuk diatasi meskipun bekasnya tentu akan nampak pada Swandaru karena
warna-warna buram pada isyarat itu. Tetapi jika ledakan jiwani, persoalannya
akan menjadi terlalu sulit.”
Namun Ki Waskita tidak ingin
merusak ketenangan dan kemeriahan perelatan itu. Jika ia muncul di antara
orang-orang tua yang ada di pendapa, maka wajahnya pun nampak cerah dan
gembira. Bahkan kepada isteri dan anak laki-lakinya, Ki Waskita tidak
mengatakannya.
Tetapi Ki Waskita terkejut,
ketika upacara di malam midadareni itu lampau, Rudita mendekatinya sambil
berbisik, “Ayah. Apakah aku masih dipengaruhi oleh perasaan kanak-kanakku itu
terhadap Pandan Wangi?”
Ki Waskita menahan nafasnya.
Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu, Rudita?”
Rudita menarik nafas. Tetapi
sikapnya kini benar-benar telah menunjukkan sikap seorang anak muda yang
dewasa.
“Ayah,” berkata Rudita, “aku
pernah merasakan sesuatu yang asing di dalam diriku terhadap gadis itu. Agaknya
itulah yang disebut sentuhan perasaan cinta. Tetapi aku merasa bahwa aku telah
berhasil melepaskan diri dengan dasar pertimbangan nalar. Dan inilah yang
meragukan. Apakah perasaanku itu dapat aku sembunyikan di balik pertimbangan
nalar, ataukah hanya sekedar tersamar oleh sikap pura-pura.”
Ki Waskita memandang wajah
anaknya sejenak. Tetapi pada wajah itu sama sekali tidak nampak kedalaman
perasaan. Seolah-olah Rudita benar-benar berbicara atas pertimbangan nalar.
“Ayah,” berkata Rudita,
“tetapi masih ada kemungkinan lain. Jika aku benar-benar telah berhasil
membebaskan diri dari perasaan cinta itu, meskipun dengan pertimbangan nalar,
aku tentu kini dicengkam oleh perasaan cemas. Bahkan ketakutan.”
“Kenapa, Rudita? Apakah
sebenarnya yang kau rasakan?”
“Aku tidak tahu pasti, Ayah.
Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang kurang cerah di hari-hari mendatang.”
Ayahnya menarik nafas
dalam-dalam. Dipandanginya wajah anaknya itu dengan tajamnya. Hampir saja
terucapkan lewat mulutnya, bahwa yang ditangkap oleh perasaannya itu benar. Untunglah,
Ki Waskita berhasil menahan diri, sehingga yang terucapkan hanyalah di dalam
hatinya, “Agaknya Rudita pun mendapatkan kurnia tentang penglihatan itu. Jika
kurnia ini benar-benar menurun kepada anakku, aku mengucapkan syukur kepada
kasih-Nya yang tiada taranya. Namun hendaknya anakku dapat mempergunakannya
sebaik-sebaiknya tanpa menimbulkan akibat yang buruk.”
Namun yang kemudian
dikatakannya kepada anaknya itu ada-lah, “Rudita, mungkin kau masih dipengaruhi
oleh perasaanmu itu. Tetapi sebaiknya kau pun dapat mempergunakan nalarmu
dengan terang, agar kau dapat menguasai perasaanmu dan tidak menimbulkan akibat
apa pun juga pada dirimu sendiri dan pada kegembiraan ini.”
Rudita mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku akan mencoba, Ayah. Dan aku tentu akan berusaha untuk ikut
bergembira. Mungkin aku memang masih dipengaruhi oleh perasaan itu. Tetapi
mudah-mudahan aku benar-benar akan dapat menghapuskannya.”
Ki Waskita menepuk bahu
anaknya. Katanya kemudian, “Bergembiralah bersama orang orang dari Tanah Perdikan
Menoreh. Di pintu gerbang halaman anak-anak muda bukan saja berjaga-jaga,
tetapi juga berkelakar. Di banjar ada beberapa kelompok anak-anak muda yang
sedang berlatih untuk memeriahkan perkawinan Swandaru besok. Sedang di rumah
sebelah, Swandaru tentu sudah mengenakan pakaian khusus untuk malam ini dan
dikerumuni oleh orang-orang tua yang berjaga-jaga semalam suntuk. Sedang di
ruang dalam rumah ini agaknya sesaji telah dibagikan. Apakah kau tidak mencari
ibumu untuk mendapatkan bagian itu.”
Rudita tertawa. Katanya,
“Agaknya aku sudah tidak mendapat bagian lagi. Dalam sekejap sesaji itu sudah
habis. Gadis-gadis ingin mendapatkan meskipun hanya sepincuk kecil, agar
kebahagiaan ini segera menular kepada mereka.”
“Kalau begitu kau dapat
mencari kegembiraan di tempat lain.”
“Latihan di banjar tentu sudah
selesai.”
“Lalu, kau akan pergi ke
mana?”
“Aku akan pergi ke pondok
Swandaru. Di sana tentu banyak anak-anak muda.”
“Pergilah. Nanti menjelang
pagi aku juga akan pergi ke sana.”
Rudita pun kemudian meninggalkan
ayahnya. Di halaman masih nampak beberapa orang yang hilir-mudik meskipun
dedaunan telah basah oleh embun lewat tengah malam. Tetapi rasa-rasanya Tanah
Perdikan semalam suntuk tidak akan tidur.
Seorang diri Rudita pergi ke
rumah yang diperuntukkan bagi Swandaru. Dari luar regol halaman, sudah nampak
cahaya lampu yang terang benderang.
Ketika ia memasuki halaman,
maka terdengar suara gelak tertawa yang meledak-ledak. Agaknya mereka sedang
bergurau dengan riuhnya. Barangkali beberapa orang sedang mengganggu Swandaru.
Rudita sudah mulai
tersenyum-senyum. Rasa-rasanya ia pun hampir tertawa pula. Tetapi ia sadar
bahwa ia seorang diri, sehingga ia pun menahan senyumnya yang hampir menghiasi
bibirnya.
Ketika ia naik ke pendapa,
semua orang berpaling kepadanya sehingga Rudita menjadi segan karenanya. Namun
ia masih memerlukan menyapa Swandaru, “Kau nampak tampan sekali, Swandaru.”
Swandaru berpaling kepadanya.
Hanya sekilas. Dianggukkan kepalanya sambil menjawab pendek, “Terima kasih.”
Selebihnya Swandaru mulai
berbicara lagi dengan beberapa pemimpin Tanah Perdikan Menoreh yang sedang
mengganggunya.
Rudita mengerutkan keningnya.
Sikap itu agak terasa janggal baginya. Swandaru adalah anak muda yang ramah dan
gembira. Tetapi rasanya ia sama sekali tidak menghiraukan kehadirannya.
Rudita masih ingin
meyakinkannya sehingga ia pun bertanya, “Swandaru, berapa hari kau menghias
diri untuk malam ini dan besok?”
Swandaru berpaling sekali
lagi. Sambil mengangguk kecil ia menjawab pendek, “Sehari. Ya, sehari.”
Dan sekali lagi Swandaru
melepaskan perhatiannya dari Rudita. Ia agaknya lebih senang menanggapi gurau
orang-orang Tanah Perdikan itu selain Pandan Wangi. Dan itu berarti bahwa
Swandaru-lah yang kelak akan memegang kendali pemerintahan itu.
Karena itulah, di dalam
kelakar itu, Swandaru merasa bahwa dirinya mulai melangkah ke tingkat yang
lebih tinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Bahwa pada suatu saat ia akan berdiri
di atas semua orang yang sekarang sedang mengerumuninya.
Itulah sebabnya, maka ia tidak
begitu tertarik melihat kehadiran Rudita. Rudita bukanlah orang Tanah Perdikan
Menoreh yang akan menundukkan kepalanya kelak jika saatnya tiba.
Rudita yang termangu-mangu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sama sekali tidak menjadi sakit hati.
Bahkan ia pun ikut tertawa ketika orang-orang di pendapa itu kemudian tertawa
oleh kelakar yang segar.
Rudita adalah orang yang dalam
ujudnya yang mapan tidak mencari kesalahan pada orang lain. Karena itu, maka ia
pun tidak menganggap bahwa sikap Swandaru itu kurang pada tempatnya. Ia
menganggap bahwa Swandaru sedang diselubungi oleh suatu keadaan yang lain dari
keadaannya sehari-hari, sehingga karena itulah maka sikapnya pun terpengaruh
oleh keadaan itu.
Meskipun demikian, tetapi ia
memang merasakan suatu perbedaan sikap itu. Namun perubahan sikap itu bukannya
sesuatu yang perlu disesali, karena hal itu kemudian dianggapnya sebagai hal
yang sangat wajar.
Tetapi dalam pada itu, justru
orang-orang lainlah yang terkejut melihat sikap Swandaru itu. Agung Sedayu
mengerutkan keningnya, seolah-olah perasaannya sedang digelitik oleh sesuatu
yang tidak seharusnya terjadi menurut anggapannya. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar pun merasakan sesuatu tergetar di hatinya, meskipun orang-orang tua
itu berusaha untuk mencari alasan, kenapa sikap Swandaru menjadi agak berubah
terhadap Rudita.
“Swandaru mengetahui, bahwa
Rudita pernah merasa tergetar hatinya melihat kecantikan Pandan Wangi. Agaknya
itulah sebabnya, kenapa sikapnya terhadap Rudita agak lain dengan sikapnya
kepada orang lain,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi
Rudita termangu-mangu, ia merasa seseorang menggamit lengannya. Ketika ia
berpaling, dilihatnya Agung Sedayu berdiri di belakangnya sambil tersenyum.
“O,” Rudita pun tertawa pula.
“Marilah. Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar ada di sudut itu.”
“O,” Rudita mengangguk-angguk,
“baiklah. Aku ikut ke tempat mereka.”
Rudita pun kemudian mengikuti
Agung Sedayu berjalan di halaman ke tempat Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar duduk.
Sambil mengangguk dalam-dalam anak muda itu pun kemudian ikut duduk bersama
mereka.
Tetapi baik Agung Sedayu
maupun Rudita, sama sekali tidak berniat untuk menyinggung sikap Swandaru yang
agak lain dengan sikapnya sehari-hari.
Demikianlah, maka baik di
rumah Ki Gede Menoreh, maupun di rumah yang disediakan bagi Swandaru, beberapa
orang telah berjaga-jaga sambil berkelakar semalam suntuk. Menjelang pagi,
Pandan Wangi dan Swandaru telah dipersilahkan meninggalkan pertemuan itu untuk
tidur, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah. Sementara orang-orang di
pendapa masih tetap duduk berjaga-jaga sampai matahari terbit di timur.
“Ayah akan datang kemari,”
berkata Rudita menjelang pagi, “tetapi sampai pagi Ayah belum juga datang.”
“O, tentu kami akan menunggu.
Mungkin masih terlalu sibuk.”
“Ayah tidak berbuat apa-apa di
sana, selain duduk berbincang-bincang dengan Paman Argapati.”
“Justru berbincang-bincang
dalam keadaan seperti sekarang ini akan menjadi penting karena mereka tentu
membicarakan sesuatu menjelang hari perkawinan itu.”
Rudita mengangguk-angguk.
Tetapi belum lagi ia menjawab, maka dilihatnya Ki Waskita benar-benar memasuki
halaman. Sambil tersenyum, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar menyambutnya.
“O, maaf, Kiai,” desis Ki
Waskita, “baru sekarang aku sempat datang. Justru setelah matahari hampir
terbit.”
“O, tidak apa, Ki Waskita.
Tentu Ki Waskita sibuk sekali.”
“Tidak. Sebenarnya aku tidak
berbuat apa-apa. Tetapi sebenarnyalah bahwa rasa-rasanya ada sesuatu yang
membawaku berjalan-jalan mengelilingi padukuhan induk ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Desisnya, “Tentu bukan tidak beralasan jika Ki Waskita mengelilingi
padukuhan induk.”
“Kali ini benar-benar tidak
beralasan. Meskipun jika dicari memang ada pula alasannya. Aku ingin melihat
sambutan rakyat Tanah Perdikan Menoreh terhadap perkawinan Pandan Wangi ini.”
“Bukan karena aku mendapat
firasat buruk,” sambung Ki Waskita, “dan aku pun telah melihat, bahwa hampir
tidak ada orang yang tidur malam ini kecuali anak-anak.”
“Apa lagi malam nanti.”
“Ya. Malam nanti tentu lebih
meriah lagi.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian naik dan duduk di pendapa yang
sudah mulai sepi. Satu-satu orang-orang yang semula mengerumuni Swandaru telah
meninggalkan pendapa itu untuk beristirahat, karena malam nanti mereka pun
harus berjaga semalam suntuk pula.
Di siang hari yang kemudian
seolah-olah tumbuh di Tanah Perdikan Menoreh, kesibukan justru meningkat.
Persiapan-persiapan untuk perelatan malam nanti harus diselesaikan pada
waktunya. Sementara itu, orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya
datang berurut. Satu dua orang, tetapi mengalir tanpa henti-hentinya untuk
menyampaikan tanda ikut bergembira kepada Ki Gede Menoreh.
Kedatangan mereka membuat hati
Pandan Wangi justru menjadi semakin pedih. Dalam perelatan yang lazim, setiap
orang yang datang untuk menyampaikan tanda ikut bergembira dengan sekedar
menyerahkan sumbangan berupa apa pun juga, diterima oleh ibu dari pengantinnya.
Tetapi kedatangan mereka di rumah itu, tidak lagi menjumpai ibunya yang sudah
lama tidak ada lagi. Yang menerima mereka adalah perempuan tua yang diminta
oleh Ki Argapati untuk melakukannya atas namanya.
Karena itulah, maka Pandan
Wangi merasa hari-hari menjelang saat perkawinannya itu menjadi semakin sepi
dan ngelangut. Noda yang tumbuh di hatinya meskipun tidak ada orang lain yang
mengetahuinya, peristiwa yang mungkin masih akan terjadi.
“Tetapi aku harus berdiri di
atas kenyataan ini,” berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri, “aku harus
melangkah terus. Dan sekarang aku berada di sini dalam keadaan ini. Aku tidak
boleh tenggelam ke dalam masa lalu, karena aku menghadapi masa depanku yang
panjang.”
Dengan demikian di saat-saat
terakhir, Pandan Wangi berhasil menguasai perasaannya. Ia mulai mengendapkan
semua persoalan yang bergejolak di dalam hatinya, sehingga kemudian dari
bibirnya mulai nampak senyumnya yang jernih.
Orang-orang perempuan yang
dengan diam-diam memperhatikan keadaan Pandan Wangi menjadi tersenyum pula.
Agaknya kegelisahan gadis itu sudah dapat diatasinya. Apalagi ketika Pandan
Wangi sudah mulai mengajukan beberapa permintaan. Agaknya ia mulai merasa haus
dan lapar.
Ketika matahari mulai memanjat
langit semakin tinggi, di rumah yang diperuntukkan bagi para tamu dari Sangkal
Putung, beberapa orang perempuan mulai sibuk pula. Mereka diminta oleh Ki
Demang untuk mempersiapkan upacara iringan bagi pengantin laki-laki. Selain
bahan pakaian, juga mereka harus membawa makanan beberapa jodang sebagai
kelengkapan upacara.
Demikianlah kesibukan di Tanah
Perdikan Menoreh semakin meningkat. Lewat tengah hari ketika matahari mulai
turun, di dalam biliknya Pandan Wangi sudah mulai dipersiapkan pula. Beberapa
perempuan tua telah berkumpul di dalam bilik itu. Namun beberapa orang gadis,
berusaha untuk ikut mengintip dari luar pintu.
Sekar Mirah, yang datang
bersama iring-iringan bakal pengantin dari Sangkal Patung, ikut pula berada di
dalam bilik itu. Ia seolah-olah sedang mempelajari, apakah yang seharusnya
dilakukan oleh seorang calon pengantin perempuan.
Hari itu Pandan Wangi
mengalami rias yang lebih berat dari sehari sebelumnya menjelang malam
midadareni, karena saat itu Pandan Wangi benar-benar menghadapi saat-saat
perkawinannya.
Sementara itu, semakin banyak
tamu-tamu yang mengalir ke rumah Ki Gede Menoreh yang menjadi ramai. Hiasan
telah terpasang di mana-mana. Pendapa rumah Ki Gede nampaknya menjadi berwarna
cerah oleh janur yang seolah-olah tersangkut di segala bagian.
Akhirnya, saat yang ditentukan
itu pun tiba. Di pringgitan telah terbentang tikar pandan yang putih besih.
Sementara pendapa rumah itu telah disiapkan seperangkat gamelan. Setelah
saat-saat perkawinan selesai, maka di pendapa itu akan dipertunjukkan berbagai
macam tari yang dilakukan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan
di banjar, juga akan diselenggarakan keramaian bagi para pengawal yang
bertugas. Bergantian mereka berkumpul di banjar, setelah bergantian mereka
meronda berkeliling Tanah Perdikan, karena justru pada malam perkawinan itu,
para pengawal harus bersiaga semakin waspada.
Swandaru yang sudah lengkap
dengan pakaian pengantinnya menjadi berdebar-debar, ketika orang-orang tua
mempersilahkannya bersiap, karena sebentar lagi pengantin laki-laki itu akan
dipersilahkan pergi ke rumah pengantin perempuan untuk dipertemukan dengan
upacara lengkap. Di bawah tangga pendapa rumah Ki Gede telah disediakan
jambangan air dan sebuah pasangan lembu serta perlengkapan-perlengkapan upacara
yang lain.
“Kita menunggu seseorang dari
rumah pengantin perempuan,” berkata salah seorang dari orang-orang tua yang
ikut dari Sangkal Putung. “Salah seorang akan memberitahukan, kapan kita akan
berangkat.”
Swandaru tersenyum sambil
mengangguk-angguk. Setiap kali ia memperhatikan pakaiannya yang serba gemerlap.
Perhiasan yang dibawanya dari Sangkal Putung kini telah dipakainya semuanya.
Pendok emas dengan teretes permata. Timang yang juga terbuat dari emas bertabur
berlian. Cincin bermata jamrut yang kehijau-hijauan. Dan kelengkapan perhiasan
yang lain.
Apalagi Swandaru telah
dilengkapi pula dengan suatu kesadaran bahwa pada saatnya, ia akan menjadi
orang yang memerintah Tanah Perdikan Menoreh itu, karena calon istrinya adalah
satu-satunya anak Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dan itulah
agaknya yang membuat Swandaru seolah-olah menengadahkan kepalanya di saat-saat
ia menunggu.
“Kenapa Ayah tidak pergi?”
bertanya Swandaru kepada ayahnya.
“Tidak. Tentu tidak. Tidak
seharusnya ayah pengantin laki-laki ikut hadir pada upacara perkawinan itu. Aku
akan pergi menyusul jika upacara yang sebenarnya sudah selesai.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Namun hatinya rasa-rasanya menjadi semakin gelisah. Setiap kejap, terasa
seolah-olah hampir sehari penuh.
Kegelisahan Swandaru memuncak
ketika ia melihat beberapa orang datang dari rumah Ki Gede membawa pesan, bahwa
pengantin laki-laki diharap segera datang. Upacara sudah dapat dimulai, karena
saatnya memang sudah tiba.
Ki Demang mengangguk-angguk.
Dengan gagap ia menyahut, “Kami akan segera datang, Ki Sanak. E maksudku,
pengantin laki-laki.”
“Kami menunggu di regol, Ki
Demang.”
“Terima kasih. Tetapi bukankah
ada satu atau dua orang yang akan pergi bersama kami.”
“Ya,” jawab salah seorang dari
mereka, “biarlah dua orang dari kami menunggu di sini.”
Ketika yang lain meninggalkan
tempat itu, maka Swandaru pun segera disiapkan. Diiringi oleh orang-orang tua
dari Sangkal Putung, Swandaru turun ke halaman. Beberapa orang anak muda yang
mengiringinya dari Sangkal Putung, langsung menjadi pengiringnya pula. Sedang
yang lain akan menyusul bersama Ki Demang jika upacara telah selesai.
“Apakah kau akan pergi
sekarang juga?” bertanya Swandaru kepada Agung Sedayu.
Agung Sedayu memandang Ki
Demang sejenak, kemudian Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar berganti-ganti,
seolah-olah ingin bertanya, apakah ia akan pergi atau menunggu bersama-sama Ki
Demang Sangkal Putung,
Kiai Gringsing yang pergi
mendahului bersama Ki Sumangkar mengiringi pangantin laki-laki itu pun berkata,
“Baiklah kau pergi sekarang juga, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, “Baiklah, Guru.” Namun ia masih juga berpaling kepada Ki Demang yang
mengangguk pula.
Ki Demang pun mengangguk
sambil berkata, “Ya, pergilah sekarang.”
Agung Sedayu masih
termangu-mangu sejenak. Namun ketika iring-iringan itu mulai bergerak, maka ia
pun mengikutinya pula. Dengan kepala tunduk ia berjalan di sebelah gurunya dan
Ki Sumangkar. Sekali-sekali Agung Sedayu mencoba memandang Swandaru dalam
pakaian pengantinnya dengan perhiasan yang mahal. Perhiasan itu bukannya
perhiasan yang dipinjamnya dari orang lain. Tetapi perhiasan yang dikenakannya
adalah perhiasannya sendiri yaag dibeli oleh Ki Demang Sangkal Putung dan
diberikan kepadanya sebagai hadiah perkawinannya.
Agung Sedayu setiap kali hanya
menarik nafas. Bayangan-bayangan yang suram semakin nampak membayang di
wajahnya. Bayangan tentang dirinya sendiri.
“Aku sama sekali tidak
menginginkan semua itu,” desisnya di dalam hati, “tetapi jika kelak aku kawin,
maka aku tidak akan kawin seorang diri. Dan aku cemas mengenai Sekar Mirah.
Apakah ia tidak menginginkan seorang suami yang memiliki perhiasan, kehormatan,
dan wibawa seperti kakaknya itu.”
Agaknya Kiai Gringsing yang
sudah mengenal watak dan tabiatnya dapat meraba perasaannya serba sedikit.
Karena itu, maka untuk mengalihkan angan-angan Agung Sedayu, Kiai Gringsing pun
kemudian mengajaknya berbicara tentang apa saja. Namun demikian setiap Agung
Sedayu melihat gemerlapnya pakaian Swandaru atau mendengar suara tertawanya, ia
menjadi berdebar-debar.
Sementara itu, iring-iringan
itu perlahan-lahan berjalan menuju ke halaman rumah Ki Argapati. Seperti
lazimnya, maka di sepanjang jalan anak-anak kecil yang sudah lama menunggu,
berteriak-teriak sepuas-puasnya. Mereka mengelu-elukan kehadiran pengantin itu.
Rasa-rasanya mereka sudah terlalu lama berdiri di pinggir jalan yang pendek
antara rumah yang dipergunakan untuk tinggal pengantin laki-laki menjelang hari
perkawinannya, sampai ke halaman rumah Ki Gede Menoreh.
Ketika iring-iringan itu
memasuki halaman, maka debar jantung Swandaru rasa-rasanya menjadi semakin
keras bergetar di dalam dadanya. Sekali-sekali ia memandang orang-orang yang
mengiringinya. Kemudian dicarinya Kiai Gringsing yang berjalan bersama Agung
Sedayu dan Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing tersenyum
melihat kegelisahan Swandaru. Sambil menepuk bahu Agung Sedayu, ia berdesis,
“Aku akan mengawasinya.”
“Silahkan Guru,” jawab Agung
Sedayu tersendat.
Kiai Gringsing memandang wajah
Agung Sedayu yang nampak suram, betapa pun anak muda itu mencoba tersenyum.
Lalu sambil melangkah ia berpesan kepada Ki Sumangkar di telinganya, “Kawani
Agung Sedayu.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya. Namun sebagai orang tua ia pun segera mengerti. Ketika ia berpaling
memandang wajah Agung Sedayu, dilihatnya anak muda itu tersipu-sipu. Agaknya ia
juga mendengar pesan gurunya kepada Ki Sumangkar, sehingga dengan demikian ia
menduga, bahwa gurunya dapat mengetahui, apakah yang sebenarnya menggelepar di
dalam hatinya.
Kiai Gringsing pun kemudian
mempercepat langkahnya, dan kemudian berjalan bersama-sama orang-orang tua di
sisi Swandaru. Sementara Ki Sumangkar masih berada di belakangnya bersama Agung
Sedayu.
Saat yang paling mendebarkan
itu pun akhirnya tiba. Pandan Wangi yang kemudian digandeng oleh orang-orang
tua melintasi pendapa, turun di tangga depan menyongsong kehadiran Swandaru.
Sejenak ia menunggu. Di hadapannya terletak beberapa macam benda upacara yang
sebentar lagi akan dipergunakan. Seorang perempuan tua berdiri dengan segenggam
sadak di tangan.
Beberapa orang yang membawa
jodang berisi bahan pakaian dan buah-buahan sebagai kelengkapan upacara telah
dibawa naik ke pendapa. Kemudian menyusul Swandaru yang melangkah mendekati
Pandan Wangi yang menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Orang-orang yang menonton
upacara itu berdesak-desakkan maju. Anak-anak yang akan berebut kembar mayang
sudah bersiap-siap. Demikian pengantin nanti melangkah meninggalkan tempatnya,
mereka akan berdesak-desakan memperebutkan kembar mayang dan buah-buahan
beserta rangkaiannya yang tersangkut di kaki tarub janur kuning.
Satu-satu upacara berjalan
dengan rancak. Setelah kedua pengantin itu saling melempar sadak kinang, maka
pengantin laki-laki pun digandeng mendekati pengatin perempuan yang berjongkok
untuk mencuci kaki pengantin laki-laki. Kemudian keduanya berdiri berjajar di
atas pasangan lembu, sebagai perlambang bahwa keduanya akan bekerja sama
seperti dua ekor lembu dalam pasangan. Yang satu terikat oleh yang lain tanpa
dapat berbuat menurut kesukaan sendiri. Keduanya harus berjalan searah dan
seimbang. Seorang perempuan tua menyentuh dahi kedua pengantin itu dengan
telur, dan kemudian membantingnya sampai pecah.
Sepasang pengantin itu pun
kemudian perlahan-lahan dibawa melangkah naik pendapa.
Seperti kebiasaan yang
berlaku, maka anak-anak pun segera berloncatan memperebutkan sepasang kembar
mayang yang terdiri dari sepasang kelapa muda dengan beberapa macam buah-buahan
dan hiasan janur kuning. Sementara yang lain telah memperebutkan pisang dua
tandan di sebelah-menyebalah, dengan rangkaiannya, batang jagung, untaian pada
tebu wulung, dan lain-lainnya.
Orang-orang tua pun agaknya
senang melihat anak berebutan. Hanya kadang-kadang satu dua di antara mereka
berteriak mencegah jika anak-anak itu mulai bertengkar karena mereka berebut
buah yang sama dan saling mempertahankannya.
Dalam kesibukan itu, dua orang
yang asing memandang upacara itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah
seorang dari mereka tersenyum sambil berkata, “Upacara yang meriah.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Suara gamelan terdengar agung mengiringi langkah sapasang pengantin yang diapit
oleh sepasang patah dan didahului olah gadis-gadis kecil. Di paling depan
seorang yang sudah agak lanjut berjalan setengah menari membawa pengantin itu
menuju ke tengah-tengah pringgitan.
“Ki Gede akan menerima
keduanya,” desis salah seorang dari kedua orang itu.
“Ya. Keduanya akan
dipangkunya.”
“Di pangkuan? Apakah tidak
terlalu berat?”
Yang lain tertawa, “Kau memang
dungu.”
Kawannya termangu-mangu.
Dipandanginya pengantin yang berjalan perlahan-lahan melintasi pendapa itu
sejenak. Kemudian berpaling lagi kepada kawannya.
“Kenapa kau tertawa?” ia
bertanya.
Kawannya masih tertawa,
meskipun ia mencoba menahannya agar tidak menarik perhatian orang-orang di
sekitarnya.
“Jika Ki Argapati harus
membiarkan anak yang gemuk itu duduk di pangkuannya, aku kira untuk beberapa
kejap saja ia sudah menjadi pingsan.”
“Jadi bagaimana?”
“Lihat, mereka sudah mendekati
tempat duduk Ki Argapati.”
Keduanya terdiam. Mereka
mengikuti langkah yang lamban. Beberapa langkah dari Ki Gede, mereka berhenti.
Kemudian mereka berjalan sambil berjongkok mendekat dan langsung mencium lutut
Ki Argapati yang duduk bersila. Berganti-ganti mereka sungkem sambil menyembah
sebagai pertanda bakti seorang anak kepada orang tuanya.
Namun sekali lagi, perasaan
Pandan Wangi bagaikan disengat oleh kepedihan. Seharusnya ia mencium bukan saja
lutut ayahnya dan menyembahnya, tetapi juga ibunya yang duduk di samping
ayahnya itu.
Dengan sekuat-kuat hati,
Pandan Wangi bertahan. Ia berhasil menyelesaikan acara itu menjelang upacara
berikutnya.
Setelah sungkem, keduanya pun
kemudian duduk di sebelah-menyebelah Ki Argapati. Lutut-lutut mereka sajalah
yang diletakkan pada lutut ayahnya. Sambil tersenyum Ki Argapati berkata,
“Sudah timbang.”
Orang tua mengangguk-angguk.
Ki Argapati-lah yang kemudian diminta untuk bergeser. Kedua pengantin itu masih
meneruskan upacara-upacara berikutnya. Keduanya masih makan bersama dan saling
menyuap. Pengantin perempuan akan menerima pemberian nafkah dari suaminya dan
upacara-upacara yang lain.
Ki Argapati tersenyum-senyum
melihat upacara yang berlangsung dengan lancar itu. Bahkan sekali-kali ia,
tertawa sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun ia melihat
sekali-sekali kepedihan berkilat di mata anak perempuannya.
Sebenarnyalah, bahwa dada Ki
Argapati sendiri bagaikan rontok ketika ia melihat mata Pandan Wangi yang basah
meskipun air mata itu tidak menitik. Ia sadar, ada kekurangan yang pokok pada
saat upacara itu berlangsung. Namun sekaligus semuanya itu mengingatkan
saat-saat Ki Argapati sendiri duduk bersanding dengan istrinya. Ibu Pandan
Wangi. Ia sadar sepenuhnya, bahwa, yang terjadi itu adalah suatu mimpi yang
paling pahit. Saat itu, ternyata bahwa istrinya yang duduk di sampingnya di saat
perelatan perkawinan berlangsung, bukannya seorang gadis lagi. Di dalam dirinya
telah terkandung seorang anak yang bukan anaknya, yang ketika kemudian lahir
seorang laki-laki, akhirnya telah menyalakan api yang membakar Tanah Perdikan
Menoreh ini.
Tetapi Ki Argapati berhasil
menindas perasaan yang sesaat-sesaat melonjak di hatinya itu, karena ia sadar,
bahwa kesan yang setitik pada wajahnya bahwa ada gejolak perasaan di hatinya,
itu akan berarti pecahnya bendungan terakhir di pelupuk mata anak gadisnya,
yang nampaknya bertumpu kepadanya. Satu-satunya orang tua yang masih ada.
Karena Ki Argapati nampaknya
menjadi gembira oleh perkawinan itu, maka Pandan Wangi pun terpengaruh pula
olehnya. Ia mencoba untuk mengusir segala kepahitan yang pernah dialaminya dan
yang pernah terjadi atas keluarganya.
Karena itulah, maka lambat
laun Pandan Wangi mulai mengangkat wajahnya sedikit demi sedikit. Ia sudah
berani memandang meskipun sekilas, gadis-gadis kecil yang masih merubunginya
bersama dua orang patah yang duduk di sebelah-menyebelah.
Dengan demikian upacara itu
pun berlangsung semakin meriah. Sekali-kali nampak senyum yang betapa pun juga
hambarnya di bibir Pandan Wangi.
Ketika upacara pokok dari
perkawinan itu sudah selesai, maka kedua pengantin itu pun kemudian duduk
bersanding di depan pintu pringgitan. Di sebelahnya duduk Ki Argapati yang
masih saja tersenyum-senyum pula.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
mulai mencoba melihat, siapa sajakah yang hadir pada upacara itu. Ia melihat
orang-orang tua yang sudah dikenalnya dangan baik, termasuk pemomongnya di masa
kanak-kanak. Yang selama masa remajanya selalu mengawani dan mengawasinya.
Kemudian dilihatnya orang-orang tua dari Sangkal Putung yang belum dikenalnya
selain Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi denyut jantung Pandan
Wangi serasa melonjak ketika ia melihat seorang anak muda yang duduk di sebelah
Kiai Gringsing. Anak muda yang luruh dan rendah hati. Saudara seperguruan
Swandaru.
Pandan Wangi segera
memalingkan wajahnya ketika tatapan mata mereka bertemu. Dengan gelisah, Pandan
Wangi segera melepaskan kesan itu dari wajahnya. Namun yang nampak adalah
justru kegelisahannya yang lain karena orang-orang di sekitarnya sama sekali
tidak melihat warna hatinya yang sebenarnya.
“Alangkah kotornya warna
hatiku,” desis Pandan Wangi di dalam hatinya yang mulai dirayapi kembali oleh
kepedihan karena ia memulai membayangkan lagi kaadaan ibunya di saat perkawinan
berlangsung. Ibunya yang tentu pada mulanya disentuh oleh perasaan seperti yang
kini dirasakannya.
“Tidak,” tiba-tiba ia
memhentakkan perasaannya sehingga ia bergeser setapak, “aku tidak mau mengalami
peristiwa terkutuk semacam itu.”
Swandaru merasakan sesuatu
yang lain. Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya Pandan Wangi duduk tepekur.
Kepalanya tertunduk kembali memandangi helai-helai pandan pada tikar yang
terbentang di pendapa itu.
Agung Sedayu yang duduk di
sebelah gurunya, bagaikan mematung. Sebenarnyalah bahwa ia pun dilanda oleh
perasaan yang gelisah. Satu-satu ia memandang perempuan yang berada di deretan
di belakang pengatin. Sekilas ia melihat Sekar Mirah. Tanpa disadarinya ia
mulai membandingkan kedua parempuan yang dikenalnya dengan baik itu. Pandan
Wangi dan Sekar Mirah. Keduanya adalah perempuan yang memiliki kemampuan
bermain pedang. Bahkan karena salah paham keduanya pernah bertempur justru saat
Tanah Perdikan Menoreh masih membara oleh api yang membakar Tanah Perdikan ini.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat wajah Pandan Wangi yang tunduk. Dan ia memperhatikan
pula Sekar Mirah yang menengadahkan dadanya dan mengangkat dagunya, seperti
kebiasaannya menghadapi setiap peristiwa yang langsung atau tidak langsung akan
menyangkut dirinya.
Demikianlah upacara pokok dari
parkawinan Swandaru dan Pandan Wangi sebenarnya sudah selesai. Yang akan
berlangsung kemudian semata-mata adalah kelengkapanya saja. Pertunjukan, makan
bersama, dan segala macam kegembiraan yang lain.
Karena itulah, maka ketegangan
yang rasa-rasanya tertahan bebeberapa lamanya, bagaikan terlepas dari rongga
dada.
Ketika saatnya tiba, dan
makanan bagaikan mengalir dari ruang dalam, maka para tamu pun dengan riuhnya
saling berbicara dengan orang-orang, termasuk Ki Sumangkar yang duduk di
sebelah Agung Sedayu.
“Di manakah Rudita?” bertanya
Agung Sedayu.
Ki Waskita mengedarkan tatapan
matanya sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Tadi ia berada di halaman. Tetapi
entahlah. Mungkin ia bersama Prastawa di longkangan. Mereka sibuk membantu
anak-anak muda yang menghidangkan minuman dan makanan.”
Dengan demikian maka pendapa
itu pun menjadi semakin cerah. Apalagi ketika kemudian, beberapa orang telah
menyiapkan tempat bagi sebuah pertunjukan di pendapa untuk meramaikan
perkawinan itu. Para tamu pun kemudian dipersilahkan bergeser, sementara para
pradangga telah bersiap di tempatnya.
“Beberapa orang dalang akan
mengadakan pertunjukan tari topeng,” desis seorang tua dari Tanah Perdikan
Menoreh kepada seorang tua yang datang bersama Swandaru dari Sangkal Putung.
“O, menarik sekali,” desis
orang tua dari Sangkal Putung itu, “tentu bagus sekali.”
“Semalam suntuk dengan
ceritera Panji.”
“O,” tamunya
mengangguk-angguk.
Dengan demikian, maka para
tamu pun kemudian duduk sambil minum dan makan makanan yang dihidangkan sambil
menikmati sebuah pertunjukan yang menarik.
Dalam pada itu, Swandaru dan
Pandan Wangi masih duduk di tempatnya, meskipun sudah tidak lagi terikat oleh
upacara. Tetapi mereka masih belum dipersilahkan berganti pakaian, sebelum
pertunjukan itu berlangsung beberapa lama.
Namun agaknya upacara itu
ternyata telah menumbuhkan benih baru di dalam hatinya yang memang merupakan
ladang yang subur. Tanpa disiram pun benih itu akam segera tumbuh dan berdaun
rimbun.
Meskipun Ki Argapati, kepala
Tanah Perdikan Menoreh masih duduk di sampingnya, rasa-rasanya Swandaru telah mendapatkan
limpahan kekuasaan atas Tanah Perdikan itu. Ketika terpandang orang-orang tua,
para pembantu Ki Gede Menoreh, sanak kadang, rasa-rasanya mereka itu semuanya
telah menundukkan kepalanya menghormatinya. Bukan saja sebagai pengantin yang
sedang dipertemukan, tetapi juga karena mereka mengerti, bahwa kekuasaan Tanah
Perdikan Menoreh itu pada suatu saat akan berada di bawah perintah Swandaru,
suami anak perempuan satu-satunya dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang
sekarang sedang memegang kekuasaan.
Karena itu, maka sikap
Swandaru pun dipengaruhi pula oleh perasaan yang berkembang di hatinya itu.
Wajahnya yang bulat menjadi semakin tengadah.
Sekilas Agung Sedayu sempat
melihat sikap Swandaru. Tetapi ia tidak segera dapat menangkap apa yang
sebenarnya tergerak di hatinya. Karena itu ia tidak dapat segera menyebutnya,
selain menghubungkannya dengan sikap saudara seperguruannya itu, ketika ia
berada di pondok menanggapi kehadiran Rudita.
Sementara itu, di halaman
orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah berjejal-jejal. Mereka ingin melihat
sepasang pengantin yang sangat menarik perhatian itu. Namun mereka juga ingin
melihat pertunjukan yang akan dipertunjukkan di pendapa. Malam ini mereka akan
melihat tari topeng yang akan ditarikan oleh beberapa orang dalang yang
sebagian adalah orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Besok malam
mereka akan melihat anak-anak muda Menoreh yang sudah belajar menari
berbulan-bulan sebelumnya. Sedang di malam ketiga mereka akan menonton
pergelaran wayang kulit semalam suntuk.
Ketika pertunjukan di pendapa
itu dimulai, dua orang yang berada di halaman bergeser surut. Keduanya kemudian
berdiri di bagian belakang sambil bersandar pepohonan. Di sebelah-menyebelah
mereka, terdapat beberapa orang yang berjualan bermacam-macam makanan.
“Perkawinan yang meriah,”
desis salah seorang dari keduanya.
“Sayang, mereka tidak akan
sempat merayakannya di Sangkal Putung.”
Kawannya mengerutkan
keningnya. Namun ia pun mengangguk.
“Di ujung kademangan mereka
sendiri, di jalan yang melalui pinggir hutan kecil itu, mereka akan disergap
oleh Gandu Demung yang lengkap dengan pasukan yang besar.”
“Tetapi nampaknya pasukan yang
besar itu tidak akan menyesal. Nampaknya perhiasan yang akan mereka dapatkan
cukup banyak. Lihatlah, bagaimana sepasang pengantin itu bagaikan mengenakan
berpuluh-puluh bintang di tubuhnya. Pengantin perempuan mengenakan gelang,
kalung, subang cincin, tusuk konde, dam perlengkapan yang lain. Tentu dari
permata yang sebenarnaya intan dan berlian. Bukan sekedar barang-barang tiruan.
Sedangkan pengantin laki-laki memakai timang emas dengan tretes berlian, pendok
emas dan keris dengan ukiran bermata berlian pula. Cincin di jarinya dan
berbagai perhiasan di bajunya. Sementara itu tentu pengiringnya juga memakai
perhiasan yang mereka punyai untuk menunjukkan kelebihan masing-masing agar
mereka sempat menarik perhatian gadis-gadis di Tanah Perdikan Menoreh.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Katanya, “Mudah-mudahan Gandu Demung berhasil, sehingga barangkali aku akan
mendapatkan meskipun hanya sebutir berlian.”
“Tetapi jika ia gagal dan
tertangkap?”
“Tentu tidak. Ia membawa enam
puluh orang. Aku ulangi, enam puluh orang. Kau sadari, berapa besarnya
pasukannya kali ini?”
“Gandu Demung memang tidak
bekerja separo jalan. Agaknya ia akan berhasil.”
“Dan kita, di hari berikutnya
akan mencari satu dua butir permata yang rontok ketika perkelahian terjadi.”
Kawannya tertawa. Jawabnya,
“Itu sudah cukup.”
Yang lain pun tertawa pula.
Mereka membayangkan, bagaimana diri mereka masing-masing terbungkuk-bungkuk di
antara titik-titik darah yang membeku mencari perhiasan yang terjatuh ketika
perkelahian yang dahsyat terjadi di ujung Kademangan Sangkal Putung.
Namun yang seorang tiba-tiba
saja berkata, “Tetapi tugas kita akan menjadi berat dan menegangkan jika kita
kemudian mengetahui bahwa ternyata pasukan yang terdiri dari enam puluh orang
itu gagal, dan Gandu Demung dapat ditangkap oleh orang-orang Sangkal Putung.”
Wajah kawannya pun tiba-tiba
berkerut. Katanya, “Tidak. Hanya jika ada keajaiban yang terjadi, maka
orang-orang Sangkal Putung itu akan selamat.”
Kawannya berpaling. Dengan
wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata, “Aku belum mengenal seorang demi
seorang, siapa sajakah yang menjadi pengiring pengantin dari Sangkal Putung
itu. Namun nampaknya cukup meyakinkan.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Katanya, “Tetapi enam puluh orang adalah jumlah yang terlalu besar. Sedang dari
orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang melihat iring-iringan itu datang, kita
mendengar jumlahnya benar-benar tidak lebih dari dua puluh lima orang.”
“Ya. Betapa pun juga kuatnya
yang dua puluh lima orang itu,” desis kawannya.
Demikianlah di pendapa acara
yang sudah ditentukan berlangsung terus dengan lancar. Sama sekali tidak ada
gangguan yang berarti.
Seorang demi seorang peran
dari lakon yang berlangsung di pendapa naik dan kemudian turun disusul oleh
penari-penari yang lain. Bahkan kadang-kadang beberapa orang berdiri
bersama-sama di pendapa dalam adegan-adegan yang mengalir dari awal menjelang
akhir.
Para penonton kadang-kadang
hanyut dalam arus cerita yang menawan. Meskipun cerita itu sudah beberapa kali
mereka lihat, namun kadang-kadang mereka masih juga disentuh rasa haru di
saat-saat Candrakirana terusir dari istana dan mengembara di hutan-hutan. Dan kebencian
pun tidak dapat lagi disembunyikan, sehingga beberapa orang menggeram ketika
mereka mendengar Sarah menfitnah putri yang jelita itu.
Seorang yang tidak tahan lagi
hatinya, mencoba menghibur dirinya dengan bercerita kepada diri sendiri,
“Tetapi nanti semuanya akan menemukan kebahagiaannya. Putri yang seolah-olah
terbuang itu, akan menemukan suaminya dan mereka akan hidup berbahagia. Tentu
cerita itu akan berakhir seperti itu, karena aku pernah melihat tontonan
semacam ini sebelumnya.”
Ketika cerita itu sudah
berlangsung beberapa lama, barulah Swandaru dan Pandan Wangi dipersilahkan
meninggalkan tempatnya untuk melepaskan lelah dan berganti pakaian.
Acara pada malam perkawinan
itu ternyata berlangsung sebagaimana direncanakan. Tidak ada persoalan yang
dapat mengganggu. Semuanya berjalan lancar. Menjelang pagi, maka pertunjukan
itu baru selesai.
Seperti bendungan yang dibuka,
maka orang-orang yang memenuhi halaman itu pun kemudian larut lewat gerbang.
Mereka meninggalkan halaman dengan hati yang puas. Bukan saja karena
pertunjukan yang menarik, tetapi juga karena sepasang pengantin itu nampaknya
akan dapat mempengaruhi keadaan seterusnya. Tanah Perdikan Menoreh telah
mempunyai seorang yang mantap untuk pada saatnya menerima kekuasaan dari Ki
Gede Menoreh.
Ternyata bahwa bukan hanya
pada hari yang pertama sajalah acara-acara hari perkawinan itu dapat
berlangsung seperti yang direncanakan. Di hari-hari berikutnya pun
acara-acaranya dapat berlangsung berurutan tanpa ada yang terlampau.
Dengan demikian maka
seolah-olah kegembiraan di Tanah Perdikan Menoreh itu pun dapat berlangsung
sempurna. Setiap anak muda rasa-rasanya menemukan suguhan menurut selera
masing-masing. Baik mengenai jenis-jenis makanan yang bermacam-macam, maupun
jenis pertunjukan yang berlangsung beberapa malam di pendapa rumah Ki Gede
Menoreh dan bahkan juga di tempat-tempat lain.
Namun dalam pada itu,
rasa-rasanya Agung Sedayu menjadi semakin gelisah. Di hari-hari terakhir, ia
benar-benar dipengaruhi oleh sikap dan sifat Swandaru. Namun Agung Sedayu masih
mencoba mencari sebab dari perubahan itu. Bahkan di dalam hatinya ia berkata,
“Mungkin setelah hari-hari perkawinan ini lewat, ia akan menemukan dirinya
kembali.”
Karena kemudian Swandaru
berada di ruang dalam di rumah Ki Gede Menoreh, dan hampir-hampir tidak pernah
turun ke halaman, maka Agung Sedayu pun kemudian mengisi waktunya dengan
Rudita. Meskipun pada keduanya terdapat perbedaan sikap dan pandangan hidup,
namun ada beberapa sentuhan yang dapat membuat mereka banyak berbicara tentang
diri mereka masing-masing, tentang orang-orang di sekitarnya dan tentang
kehidupan yang luas.
Tetapi nampaknya masing-masing
telah menjaga diri untuk tidak mempercakapkan Swandaru yang sedang berada di
hari-hari yang paling menarik di sepanjang hidupnya.
Yang kemudian juga kehilangan
kawan adalah Sekar Mirah. Pandan Wangi nampaknya terkurung juga di ruang dalam
bersama suaminya dan orang-orang tua, sehingga tidak sempat lagi berbincang,
bermain dan kadang-kadang berjalan-jalan di halaman di belakang.
Apalagi jika Agung Sedayu dan
para pengiring dari Sangkal Putung tidak sedang berada di pendapa, karena
mereka berada di rumah yang disediakan bagi mereka, maka Sekar Mirah
benar-benar merasa kesepian. Meskipun satu dua orang-orang perempuan Tanah
Perdikan Menoreh termasuk gadis-gadisnya sudah dikenalnya, tetapi ternyata
mereka terlampau sibuk dengan kerja masing-masing.
Ketika Sekar Mirah sedang
digelisahkan oleh kejemuannya, dan berada seorang diri di halaman belakang, di
antara batang suruh di dekat pakiwan, seorang anak muda datang dan mendekatinya
dengan ragu-ragu.
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum pula sambil menyapanya, “Prastawa.
Apakah kau akan mengambil air di sumur?”
Prastawa yang ragu-ragu itu
termangu-mangu. Ia pun tersenyum pula sambil menjawab, “Tidak, Sekar Mirah. Aku
hanya ingin bertanya, kenapa kau berada di sini.”
Sekar Mirah tertawa. Katanya,
“Maksudmu, kenapa aku berada di Tanah Perdikan Menoreh?”
“Bukan. Aku tahu, bahwa yang
sedang dirayakan perkawinannya itu adalah kakakmu. Tetapi kenapa kau sendiri
berada di halaman belakang ini?”
“Kenapa?”
Prastawa termangu-mangu
sejenak. Hampir di luar sadarnya ia memandang wajah Sekar Mirah sejenak.
Rasa-rasanya tidak jemu-jemunya ia memandanginya, jika saja ia tidak merasa
malu ketika ia menyadari bahwa Sekar Mirah pun memandanginya pula sambil
tersenyum.
Prastawa yang masih sangat
muda itu menundukkan kepalanya. Ketika Sekar Mirah kemudian mendekatinya,
rasa-rasanya ia menjadi berdebar-debar.
“Prastawa,” bertanya Sekar
Mirah, “apakah salahnya jika aku berada di sini? Aku senang sekali melihat
batang sirih yang tumbuh subur merambat pada batang-batang kelor ini.”
Prastawa tergagap. Namun
katanya kemudian, “Tetapi, tetapi sebaiknya kau tidak berada di sini.”
“Ya, kenapa?”
Prastawa berpaling memandang
rumpun bambu di sudut halaman belakang itu. Katanya, “Di sudut, di bawah rumpun
bambu, pernah terjadi pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak
dikenal. Mereka melemparkan paser beracun.”
“O,” Sekar Mirah mengerutkan
keningnya, “kenapa mereka membunuh?”
“Aku tidak tahu. Pandan Wangi
mengetahui serba sedikit. Tetapi persoalan seluruhnya memang tidak begitu jelas
baginya. Bahkan Pandan Wangi pun telah dilempar pula dengan paser beracun.
Untunglah ia sempat menghindar.”
Sekar Mirah mengangguk-angguk.
Sebagai seorang gadis yang memiliki kemampuan untuk membela diri ia tidak
menjadi takut. Tetapi ia menjadi heran, bahwa hal itu telah terjadi di halaman.
Ia pernah juga mendengar bahwa telah terjadi peristiwa yang mengejutkan di
Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi hal itu sudah hampir dilupakannya. Dan kini ia
telah mengenangkannya kembali.
“Masuklah ke longkangan,”
desak Prastawa kemudian.
Sekar Mirah memandang Prastawa
sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum, “Baiklah. Tetapi aku akan mengambil
beberapa lembar daun sirih yang masih muda. Nampaknya segar sekali.”
Prastawa termangu-mangu. Namun
kemudian katanya, “Baiklah, aku akan mengambil beberapa lembar buatmu.”
Sekar Mirah termangu-mangu.
Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Kau sangat
baik.”
Dada Prastawa menjadi kian
berdebar-debar. Tetapi ia pun kemudian melangkah ke tengah-tengah tanaman sirih
yang tumbuh subur di dekat sumur di halaman belakang.
Sejenak kemudian, Prastawa pun
sibuk mengambil daun-daun sirih muda yang menjulur rendah, sehingga ia tidak
perlu memanjat. Hanya kadang-kadang ia berdiri beralaskan batu-batu yang agak
besar di pinggir sumur itu.
Sekar Mirah memandang anak
yang masih sangat muda itu. Anak muda yang lincah dan cekatan. Namun bagi Sekar
Mirah, Prastawa akan dapat menjadi seorang adik yang baik, apalagi ia tahu,
bahwa ia memang adik sepupu Pandan Wangi.
“Tidak usah terlalu banyak,”
berkata Sekar Mirah kemudian, “terima kasih. Itu bagiku sudah terlampau banyak.
Aku tidak banyak makan sirih.”
“Tetapi mungkin
perempuan-perempuan tua di ruang dalam,” jawab Prastawa.
Sekar Mirah mengangguk.
Jawabnya, “Baiklah. Aku akan membawanya kepada mereka. Tetapi itu sudah terlalu
banyak.”
Prastawa pun kemudian berhenti
memetik daun sirih. Rasa-rasanya ia berbangga hati dapat menyerahkan daun sirih
itu kepada Sekar Mirah.
“Jangan terlalu lama di sini,”
berkata Prastawa kemudian, “masuklah. Meskipun sudah lama tidak terjadi sesuatu
lagi di Tanah ini, tetapi siapa tahu, bahwa mereka sebenarnya hanya sekedar
menunggu saat-saat kita lengah.”
“Baiklah,” jawab Sekar Mirah.
Sambil membawa daun sirih itu,
Sekar Mirah pun kemudian masuk ke longkangan, langsung menuju ke ruang dalam.
Tetapi ia tidak lagi masuk ke dalam bilik Pandan Wangi, karena bilik itu
kemudian menjadi bilik pengantin.
Namun, ketika Sekar Mirah
melintas di ruang dalam, ia berpaling oleh sebuah suara yang memanggil namanya.
Dilihatnya Pandan Wangi berdiri termangu-mangu di sudut ruangan.
“O,” dengan serta-merta Sekar
Mirah mendekatinya sambil tertawa, “kau nampak pucat.”
“Ah, kau,” desis Pandan Wangi
sambil menjulurkan tangannya.
Sekar Mirah bergeser surut.
Sambil tertawa ia berkata, “Jangan. Jangan kau cubit aku. Jika kulitku
terkelupas, maka kecantikanku akan berkurang.”
Pandan Wangi pun kemudian
tertawa pula.
“Apakah kau tidak sempat
tidur?” bertanya Sekar Mirah. “Seharusnya kau tidak usah ikut sibuk lagi.
Biarlah orang-orang lain menemui tamu dan mengatur ruangan.”
“Tetapi tamu-tamu itu adalah
kawan-kawanku bermain. Mereka datang tidak bersama-sama, tetapi berurutan.
Sebaiknya kau ikut memenemuinya. Kemana saja kau sehari ini, seolah-olah hilang
di rumah ini.”
“Aku tidak mau mengganggumu.
Aku kadang-kadang berada di dapur. Tetapi kadang-kadang mencari daun sirih
seperti sekarang ini.”
Pandan Wangi memandang daun
sirih itu sambil termangu-mangu. Lalu, “Jangan terlalu sering pergi ke kebun
itu.”
“Ya. Aku sudah mendengar.
Ketika aku memetik daun sirih, Prastawa menyusulku dan mengatakannya bahwa
sebaiknya aku masuk ke longkangan.”
“Ia benar. Dan kau pun harus
mengikuti petunjuknya.” Pandan Wangi berhenti sejenak lalu, “Marilah. Kawani
aku.”
“Ah. Tidak mau. Bukankah kau
sudah mempunyai kawan?”
“Tidak. Aku sendiri jika aku
tidak sedang menemui kawan-kawanku yang kadang-kadang langsung saja masuk ke
ruang dalam. Marilah, kau pun seharusnya di ruang dalam bagian depan. Di
belakang pintu pringgitan terbentang tikar bagi kawan-kawanku yang
kadang-kadang sangat nakal.”
“Aku juga sering melihat pula
dan mendengar mereka bergurau mengganggumu. Tetapi tidak pantas aku berada di
antara mereka bersamamu, karena yang mereka kunjungi adalah kau dan suamimu
itu.”
“Ah. Kau memang nakal sekali.
Aku memang ingin mencubit kulitmu sampai terkelupas. Tetapi marilah. Kawani
aku. Aku terlalu sering sendiri karena Kakang Swandaru kadang-kadang berbincang
saja dengan Ayah dan orang-orang tua di pringgitan.”
“Ah, kau pura-pura saja. Aku
tentu lebih senang berada di dapur.”
Pandan Wangi memandang Sekar
Mirah dengan tajamnya. Apalagi ketika ia melihat Sekar Mirah tersenyum-senyum
sambil surut selangkah.
“Kawani aku. Meskipun
barangkali tidak terus-menerus. Sekarang aku pun sendiri. Kakang Swandaru
sedang duduk di pringgitan.”
“Baiklah. Nanti aku akan mengawanimu
menerima kawan-kawanmu. Tetapi sekarang, kau mau apa?” bertanya Sekah Mirah.
“Mandi. Aku akan mandi.”
“Mandilah. Aku akan membawa
daun sirih ini.”
Pandan Wangi pun kemudian
melangkah ke pintu butulan dan langsung ke pakiwan, sedang Sekar Mirah pergi ke
tempat orang-orang tua sedang sibuk di ruang dalam bagian belakang.
Dan hari-hari yang gembira di
atas Tanah Perdikan Menoreh itu, bagi Ki Gede terasa berlalu terlampau cepat.
Di malam terakhir upacara pengantin pada hari kelima, terasa bahwa kesepian
telah mulai mencengkam.
Malam itu adalah malam
sepasaran. Besok pagi-pagi sepasang pengantin akan meninggalkan Tanah Perdikan
Menoreh ke Sangkal Putung.
Sekar Mirah yang di hari-hari
terakhir juga merasa kesepian di Tanah Perdikan Menoreh, mengharap hari
berjalan lebih cepat, agar ia segera dapat ikut bersama iring-iringan pengantin
itu kembali ke Sangkal Putung. Bahkan, rasa-rasanya ia sudah terlalu lama
terpisah dari ibunya, sehingga perasaan rindunya telah mulai mengganggunya.
Malam itu, Ki Gede Menoreh
telah mempersiapkan segala-galanya. Di pendapa, orang-orang tua sibuk
membicarakan segala sesuatu tentang keberangkatan pengantin besok.
“Maaf, Ki Demang,” berkata Ki
Argapati, “aku tidak dapat ikut mengantarkan anakku. Baru beberapa hari kemudian
aku akan menyusul.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Ia mengerti, bahwa memang tidak biasa, bahwa orang tua pengantin perempuan
pergi bersama iring-iringan pengantin ke rumah keluarga pengantin laki-laki.
“Tetapi aku sudah datang,”
berkata Ki Demang, “apa salahnya jika Ki Gede juga datang di Sangkal Putung,
tetapi tidak langsung menuju ke kademangan.”
Ki Gede tersenyum. Katanya,
“Aku mohon maaf, Ki Demang. Mungkin lebih baik jika aku menyusul kemudian.
Mungkin aku masih harus mengemasi Tanah Perdikan ini untuk satu dua hari.”
Ki Demang pun tersenyum pula.
Jawabnya, “Aku mengerti. Dan aku menunggu kedatangan Ki Gede. Mungkin
kedatangan Ki Gede akan berpengaruh bagi ketenangan Pandan Wangi.”
Ki Gede mengangguk-angguk.
Terasa sesuatu berdesir di hatinya. Rasa-rasanya ia segan melepaskan anaknya
pergi meninggalkan rumahnya, karena dengan demikian rumahnya akan menjadi
semakin sepi dan kering. Namun, bahwa hal itu harus terjadi, ternyata tidak
akan dapat diingkarinya. Pada suatu saat, anaknya tentu akan meninggalkannya
dan mengikuti suaminya, meskipun ia masih dapat mengharapkan bahwa suami
anaknya itu akan tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh, karena menantunya
itulah yang kelak diharapkan akan menjadi penggantinya, melanjutkan pelayanan
terhadap rakyat Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, Ki Gede
tidak melepaskan anaknya begitu saja pergi ke Sangkal Putung. Ia telah menunjuk
beberapa orang tua yang akan mengikuti Pandan Wangi sampai ke Tanah Perdikan
Menoreh.
“Ki Waskita kami minta untuk
pergi bersama Ki Demang, mewakili aku,” berkata Ki Gede.
Ki Demang memang sudah menduga
bahwa Ki Waskita akan ikut serta bersama dengan iring-iringan pengantin itu.
Bukan saja karena Ki Waskita mempunyai hubungan yang khusus, tetapi ia pun akan
dapat ikut serta menjaga keselamatan Pandan Wangi di perjalanan.
Selain Ki Waskita akan ikut
pula Kerti, seorang yang meskipun sudah tua, tetapi ia mempunyai hubungan
tersendiri pula dengan Pandan Wangi. Ia adalah pemomong yang seolah-olah tidak
terpisahkan pada saat Pandan Wangi masih kanak-kanak sampai saat ia dewasa.
Bahkan saat-saat Pandan Wangi sering berburu di hutan-hutan perburuan, Kerti
masih ikut bersamanya. Ketika Tanah Perdikan Menoreh dibakar oleh pertentangan
antara keluarga, Kerti pun selalu berada di dekat Pandan Wangi.
Hanya di saat-saat terakhir,
ketika terasa tenaganya semakin lemah, dan anak-anaknya sendiri telah
meninggalkan ibunya karena mereka sudah berumah tangga sendiri, Kerti terpaksa
tinggal di rumahnya sendiri meskipun setiap kali ia masih mengunjungi Pandan
Wangi dan sebaliknya. Selain hubungannya yang khusus, maka di masa mudanya
Kerti adalah seorang yang memiliki kemampuan yang cukup dalam olah kanuragan.
Meskipun ia sudah termasuk seorang yang tua, tetapi ia masih akan sanggup
menunggang kuda sampai ke Sangkal Putung. Bahkan seandainya ada sesuatu yang
terjadi, ia masih sanggup mempergunakan senjata.
Selain Ki Waskita dan Kerti,
masih ada dua orang tua lagi yang akan pergi bersamanya mengantarkan Pandan
Wangi. Sehingga jumlah mereka yang ikut serta dalam iring-iringan itu dari
Tanah Perdikan Menoreh berjumlah lima orang termasuk Pandan Wangi, ditambah
dengan lima orang anak-anak muda pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang kelak
akan mengawani orang-orang tua yang kembali dari Sangkal Putung.
“Kita akan berjumlah sepuluh
orang,” berkata Ki Waskita.
“Dengan demikian jumlah
iring-iringan ini akan menjadi semakin besar,” desis Ki Sumangkar.
“Tiga puluh lima orang. Suatu
iring-iringan yang lengkap sepasukan kecil yang menuju ke medan perang,” desis
Swandaru sambil tertawa.
Yang lain pun tertawa pula.
Bahkan Agung Sedayu masih sempat bertanya kepada Rudita, “Apakah kau akan
ikut?”
Rudita berpaling. Jawabnya
sambil tersenyum pula, “Tidak Agung Sedayu. Aku tidak akan pergi. Aku akan
cepat menjadi pening berada di antara sekelompok orang-orang bersenjata.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ia mengerti kenapa Rudita lebih senang
tinggal di Tanah Perdikan Menoreh daripada ikut dalam iring-iringan yang
semuanya telah menyiapkan senjata yang setiap saat dapat dipergunakan.
Apalagi karena Ki Waskita
telah ikut pula dalam iring-iringan yang panjang itu, sehingga Rudita itu pun
kemudian berkata pula, “Sebaiknya aku mengawani ibu pulang.”
Agung Sedayu tersenyum. Bahkan
ia pun kemudian berdesis, “Bukankah kau akan tinggal di sini sampai Ki Waskita
dan orang-orang tua kembali dari Sangkal Putung?”
Rudita mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Terserah kepada ibu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia pun kemudian
mencoba mendengarkan pembicaraan orang-orang tua di pendapa itu.
Ketika terpandang olehnya
seorang tua yang duduk membeku di belakang Ki Gede Menoreh, dada Agung Sedayu
berdesir. Ia adalah orang kedua di Tanah Perdikan Menoreh setelah Ki Argapati.
Tetapi karena ia pernah melakukan kesalahan, maka ia seolah-olah merasa dirinya
tidak berharga lagi meskipun kakaknya, Ki Argapati telah berusaha melupakannya.
Di dalam pertemuan-pertemuan orang-orang tua ia jarang sekali hadir. Ia lebih
suka bekerja di belakang, menyiapkan keperluan-keperluan yang mendesak dan
memimpin pelayanan terhadap para tamu di longkangan yang terlindung daripada
berada di antara para tamu.
Namun malam ini ia ikut duduk
di pendapa. Ikut bersama-sama dengan orang-orang tua yang lain
berbincang-bincang tentang pengantin yang pada pagi harinya akan berangkat ke
Sangkal Putung.
Tetapi Ki Argajaya masih tetap
seperti patung. Ia duduk saja tanpa menyatakan pendapatnya sama sekali. Hanya
kadang-kadang saja ia tersenyum dan bahkan tertawa. Tetapi ia sendiri tidak
mengucapkan kata-kata apa pun juga di dalam setiap persoalan.
“Perasaan bersalah itu telah
melemparkannya ke dalam keasingan di kampung halamannya sendiri,” desis Agung
Sedayu di dalam hatinya. Namun dalam pada itu, sekilas ia melihat anak Ki
Argajaya itu pada suatu saat asyik berbicara dengan Sekar Mirah,
Tetapi Agung Sedayu tidak
menghiraukannya. Ia pun kemudian dicengkam oleh pembicaraan yang menarik dari
orang-orang tua di pendapa itu tentang keberangkatan Swandaru dan Pandan Wangi
ke Sangkal Putung.
“Kita tidak boleh lengah,”
berkata Ki Gede. “Memang selama ini tidak lagi terjadi sesuatu setelah hal yang
mengejutkan di halaman belakang itu menggoncangkan ketenangan kami. Namun yang
sebenarnya terjadi di padukuhan di dekat perbatasan, jauh lebih penting, karena
ternyata Tanah Perdikan ini telah dijamah oleh segerombolan orang-orang yang
tentu mempunyai jalur yang jauh, karena mereka menyatakan sesuatu yang sama
dengan yang pernah dialami oleh orang-orang tua di Sangkal Putung. Ketika Kiai
Gringsing menempuh perjalanan dari Jati Anom ke Sangkal Putung, maka di
perjalanan dijumpainya orang-orang yang mempergunakan istilah yang sama dengan
mereka yang terbunuh oleh Ki Waskita.”
“Ki Waskita mengetahuinya
pula,” berkata Kiai Gringsing.
“Ya. Karena itulah, maka dapat
diperhitungkan, bahwa jaringan itu meluas dari Jati Anom, Sangkal Putung,
sampai ke tlatah Tanah Perdikan ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Dipandanginya wajah Ki Demang yang menjadi tegang. Tetapi Ki
Demang itu pun segera berhasil menguasai dirinya. Bahkan kemudian katanya,
“Itulah sebabnya, kita berada dalam iring-iringan yang barangkali terlalu
panjang bagi sepasang pengantin dalam keadaan yang lain dari keadaan sekarang
ini.”
“Segelar sepapan,” desis
Swandaru sambil tersenyum.
Sekali lagi mereka yang
mendengarnya tertawa. Namun Agung Sedayu melihat sekilas sorot yang lain
memancar dari mata Swandaru. Rasa-rasanya iring-iringan itu telah memberikan
suatu kebanggaan padanya, seolah-olah bahwa perkawinannya adalah suatu
peristiwa yang sangat penting sehingga memerlukan pengawalan yang sangat kuat,
dan bahkan meskipun Agung Sedayu tidak tahu tepat, rasa-rasanya Swandaru merasa
berbangga juga karena para pemimpin di Mataram telah menaruh perhatian yang khusus
atas perkawinannya meskipun mereka baru akan datang nanti dalam perelatan di
Sangkal Putung, sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh mereka hanya mengirimkan
dua orang utusan sebagai tamu Ki Gede.
Demikianlah maka ternyata Ki
Gede Menoreh pun memberikan pesan seperti yang pernah diberikan oleh Ki Demang
di Sangkal Putung. Para pengiring dan sepasang pengantin itu sama sekali tidak
dibenarkan untuk memakai barang-barang perhiasan di sepanjang jalan. Mereka
harus menyimpannya dan berusaha menghindari setiap kemungkinan yang dapat
menarik perhatian.
“Aku sependapat dengan cara
yang ditempuh oleh iring-iringan ini pada saat kalian datang. Dan agaknya cara
itu pula yang akan kalian pergunakan di saat kalian kembali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi ia memandang Ki Demang Sangkal Putung, seolah-olah
mempersilahkannya untuk menjawab, karena Ki Demang adalah orang yang paling
berkepentingan.
Ki Demang mengangguk kecil. Ia
pun rasa-rasanya mengerti arti pandangan mata Kiai Gringsing. Maka jawabnya,
“Ya, Ki Gede. Kami akan mempergunakan cara itu. Meskipun kami mengharap bahwa
tidak akan terjadi sesuatu di perjalanan.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-angguk. Katanya, “Tidak ada salahnya kita berhati-hati.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi bukankah iring-iringan ini masih akan singgah di Mataram
seperti saat kalian datang kemari dari Sangkal Putung.”
“Ya. Dengan demikian
perjalanan kami tidak didesak oleh waktu. Kami besok tidak perlu berangkat
terlampau pagi, karena agaknya masih diperlukan persiapan, minta diri kepada
orang-orang tua dan keperluan-keperluan yang lain sebelum berangkat. Juga di
hari berikutnya kami tidak pula dikejar oleh matahari yang segera akan
terbenam.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-angguk. Katanya, “Pada saatnya aku pun akan menghadap di Mataram
untuk menyampaikan terima kasih atas kemurahan ini.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Swandaru mengangkat wajahnya dan berkata, “Mataram
tidak dapat berbuat lain.”
“Kenapa?” bertanya Ki Gede.
“Mataram ingin tetap
bersahabat dengan dua daerah di sebelah-menyebelah. Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh. Apalagi dalam pertumbuhannya sekarang ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukan
kepala. Ia tidak memikirkan latar belakang yang lebih dalam dari ucapan
Swandaru itu, karena Ki Gede menyangka bahwa kata-kata itu terlontar begitu
saja sebelum dipikirkan masak-masak.
Tetapi Kiai Gringsing dan
Agung Sedayu menangkap kata-kata itu agak lain. Rasa-rasanya memang terbersit
suatu pendapat di hati Swandaru yang bukannya sekedar suatu kebetulan, bahwa
Mataram memang memerlukan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, sehingga
Mataram harus berbuat sebaik-baiknya bukan atas dasar kebaikan hati, tetapi
justru karena Mataram memerlukan.
Namun Kiai Gringsing dan Agung
Sedayu tidak menunjukkan perasaannya meskipun barangkali nampak terbersit pula
sesaat.
Ketika Kiai Gringsing
memandang wajah Ki Sumangkar, wajah itu pun berkerut sesaat. Ki Sumangkar
adalah seseorang yang telah cukup masak mengikuti cara berpikir orang-orang
yang berada di tangan pemerintahan ketika ia berada di Jipang. Agaknya ia pun
dapat menangkap sepercik kelainan pada kata-kata Swandaru.
Yang nampak lebih berkesan
adalah justru Ki Waskita. Tetapi ia pun kemudian berpaling, seolah-olah ia
tidak mendengar kata-kata Swandaru itu.
Demikianlah pembicaraan malam
itu pun masih berkelanjutan. Namun kemudian Ki Demang pun minta diri untuk
mempersiapkan keberangkatannya besok bersama dengan sepasang pengantin yang
akan diterima dengan upacara yang meriah pula di Sangkal Putung.
“Silahkan, Ki Demang,” berkata
Ki Gede kemudian, “kedua pengantin itu pun harus beristirahat pula.”
Dengan demikian pertemuan itu
pun segera diakhiri. Semua persoalan agaknya telah selesai dan matang
dibicarakan. Bahkan sampai persoalan yang sekecil-kecilnya telah ikut
dibicarakan pula.
Tetapi sepeninggal orang-orang
tua di pendapa, maka Ki Gede tidak segera pergi ke biliknya. Ia masih
berkesempatan memanggil Pandan Wangi seorang diri. Sebagai orang tua, maka ia
pun memberikan beberapa pesan yang penting bagi bekal hidupnya.
Pandan Wangi mendengarkan
pesan ayahnya sebaik baiknya. Apalagi ayahnya berbicara kepadanya dengan sikap
dan cara yang dewasa. Dengan hati-hati Ki Gede mengatakan betapa hidupnya
sendiri pernah mengalami kepahitan saat-saat ia mulai menginjakkan kakinya di
jenjang perkawinan karena persoalan yang menyangkut orang ketiga. Namun
lambat-laun, meskipun hambar, ia dapat berusaha memperbaiki keadaannya. Tetapi
itu pun tidak berlangsung lama, ketika ibu Pandan Wangi kemudian meninggal.
“Kau harus dapat mengendalikan
dirimu. Perkawinan adalah suatu peristiwa yang agung dan suci.”
Pandan Wangi hanya dapat
menundukkan kepalanya. Dengan sekuat tenaga ia bertahan, agar air matanya tidak
meleleh dipipinya.
“Aku mohon doa restu, Ayah,”
berkata Pandan Wangi kemudian.
“Tentu, Wangi. Tetapi kau pun
harus tetap sadar, bahwa meskipun sebelumnya kau memiliki kemampuan untuk
menjaga diri dengan olah kanuragan, tetapi ilmu itu sama sekali jangan sampai
menyusup ke dalam hubungan keluargamu. Bagaimana pun juga kau tetap seorang
perempuan yang sudah mempunyai kedudukan tersendiri di dalam hubungan
keluargamu dengan suamimu seperti kedudukan perempuan-perempuan yang lain.”
Pandan Wangi mengangguk kecil.
Dan ia pun berjanji di dalam hatinya, bahwa ia akan tetap menjadi seorang
perempuan, meskipun ia memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.
Dalam pada itu, maka di rumah
yang telah disediakan bagi para pengiring dari Sangkal Putung, Ki Demang sibuk
mengemasi barang-barangnya. Demikian juga para pengiring, telah menyiapkan
beberapa lembar pakaian yang mereka bawa. Besok mereka tidak perlu lagi sibuk
dengan barang-barangnya. Apabila saat mereka berangkat, semuanya sudah siap dan
tidak akan ada yang ketinggalan lagi.
Tetapi Agung Sedayu masih
sempat berbicara dengan Rudita beberapa saat. Namun yang mereka bicarakan sama
sekali tidak ada hubungannya dengan keberangkatan pengantin besok ke Sangkal
Putung.
Pembicaraan mereka terganggu
ketika tiba-tiba Prastawa datang pula dengan tergesa-gesa, seolah-olah ada
sesuatu yang ingin dikatakannya.
“Duduklah,” Agung Sedayu
mempersilahkan.
Tetapi Prastawa tidak duduk.
Bahkan ia pun mulai berbicara, “Agung Sedayu. Aku sudah minta kepada Paman
Argapati, bahwa aku akan berada di antara kelima orang pengiring yang akan
pergi ke Sangkal Putung.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Lalu, “Tetapi rasa-rasanya Ki Gede sama sekali tidak menyebut
namamu.”
“Aku sudah menghadap. Seorang
dari mereka bersedia mengundurkan diri. Dan aku diperkenankan ikut serta.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk.
Katanya, “Bagus. Kau akan ikut serta dalam tamasya yang menyenangkan ini.”
Agung Sedayu pun kemudian berpaling kepada Rudita, “Apakah kau juga ingin ikut
serta?”
Rudita tertawa. Jawabnya,
“Seperti yang sudah aku katakan. Aku mengawani ibu pulang, karena Ayah sudah
pergi ke Sangkal Putung. Agaknya tugas-tugas semacam ini lebih sesuai dilakukan
oleh Ayah daripada aku.”
“Maksudmu?” bertanya Prastawa.
“Adalah kegemaran Ayah
bermain-main dengan senjata dan sudah menjadi kebiasaannya melihat kematian. Tetapi
aku tidak mempunyai keberanian yang cukup untuk melakukannya. Bahkan aku sama
sekali tidak mempunyai keberanian untuk membayangkan, bahwa aku akan
melakukannya.”
Prastawa mengerutkan
keningnya. Katanya, “Kau memang seorang yang asing bagi olah kanuragan sejak
kanak-kanak.”
Rudita hanya tersenyum
mendengar kata-kata Prastawa itu.
“Jadi,” berkata Prastawa
kemudian, “aku besok akan pergi bersama kalian ke Sangkal Putung. Aku sudah
menyiapkan senjata yang paling baik, jika di perjalanan iring-iringan kita akan
mendapat gangguan.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas ia memandang wajah Rudita. Yang nampak bukannya suatu
kebanggaan, tetapi wajah itu terbersit perasaan yang pedih.
“Rudita tersinggung sekali
jika ada seseorang membicarakan senjata,” berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya.
Tetapi Rudita sendiri tidak
mengatakan apa pun juga. Ia sadar, bahwa ia tidak seharusnya mengatakan begitu
saja kepada setiap orang jika yang terjadi tidak sesuai dengan kata hatinya. Ia
harus mencari kesempatan yang sebaik-baiknya agar peringatan yang diberikan
dapat menyentuh perasaan orang lain. Bukan sebaliknya yang akan dapat
menimbulkan perasaan yang bertentangan.
Karena itu, Rudita hanya dapat
memandang Prastawa dengan cemas, bahwa anak yang masih muda itu akan terseret
pula ke dalam arus kerasnya benturan olah kanuragan.
Tetapi ternyata bahwa Prastawa
sendiri merasa bangga akan kesempatan yang didapatnya itu. Seolah-olah ia telah
benar-benar dianggap sebagai seorang anak muda yang matang. Ia ternyata diperkenankan
oleh pamannya untuk ikut di dalam kelompok pasukan pengawal Tanah Perdikan
Menoreh.
“Jadi besok kita akan pergi
bersama-sama,” berkata Prastawa kemudian.
Agung Sedayu mengangguk,
“Baiklah. Besok kita akan pergi bersama.”
Prastawa yang gembira itu pun
kemudian meninggalkan Agung Sedayu dan Rudita. Sejenak keduanya masih
termangu-mangu. Namun Rudita pun kemudian minta diri untuk kembali ke rumah Ki
Gede Menoreh, karena bersama keluarganya ia bermalam di rumah itu.
Demikianlah, maka pada malam
itu, kesibukan di rumah Ki Argapati telah berubah. Bukan lagi kesibukan
perempuan menyediakan hidangan atau para penari yang sibuk menghias diri,
tetapi kesibukan telah beralih pada bilik Pandan Wangi dan suaminya, Swandaru.
Beberapa orang telah membantunya mengatur barang-barang yang akan dibawanya
besok ke Sangkal Putung.
Namun sejenak kemudian rumah
itu pun telah menjadi sepi. Semua orang telah mulai beristirahat. Mereka
melepaskan lelah di ruang belakang, di gandok, dan di dapur. Bahkan seorang
perempuan separo baya telah tertidur kelelahan di serambi bersandar tiang.
Tangannya masih menggenggam pisau karena ia baru saja sibuk membungkus beberapa
potong jadah dan jenang alot yang akan dibawa sebagai bekal di perjalanan bagi
para pengawal yang akan pergi ke Sangkal Putung besok.
Seorang perempuan yang
melihatnya, dengan hati-hati membangunkannya dengan menyentuh pundaknya.
“Jangan tidur di situ,”
berkata perempuan yang membangunkannya, “kau nanti masuk angin.”
Perempuan yang tertidur itu
pun terbangun. Sambil mengusap matanya ia bertanya, “Apakah aku tertidur?”
“Ya. Marilah. Semuanya sudah
pergi beristirahat. Besok kita akan bangun menjelang dini hari menyiapkan makan
pagi bagi mereka yang akan berangkat ke Sangkal Putung.”
“Apakah pendapa sudah sepi?”
“Tamu-tamu sudah pulang. Dan
mereka yang akan pergi besok pun sudah beristirahat. Kita pun mendapat
kesempatan beristirahat meskipun hanya sebentar. Dua tiga orang masih tetap
berada di dapur merebus air.”
“Untuk apa lagi?”
“Para peronda di gardu depan,
dan mungkin beberapa orang yang masih tetap berjaga-jaga di pringgitan.”
Perempuan yang masih
menggenggam pisau itu pun kemudian bangkit berdiri dan pergi tertatih-tatih ke
dapur. Rasa-rasanya matanya tidak mau dibuka lagi. Sehingga karena itu, maka
ketika ia sampai di dapur, ia pun langsung menjatuhkan dirinya di amben.
“Pisau itu,” minta seorang
kawannya.
Tetapi perempuan itu sudah
tidak menjawab. Ia tidak mengetahui lagi ketika seseorang memungut pisau itu
dari tangannya, karena ia sudah tenggelam lagi ke dalam mimpinya yang kabur.
Ternyata bukan saja perempuan
itu yang tidak sempat lagi membuka matanya setelah mereka bekerja beberapa
hari, hampir siang dan malam tanpa berhenti. Satu dua di antara mereka hanya
sempat tidur sesaat-saat dengan cara yang serupa dengan perempuan yang tertidur
itu.
Meskipun demikian, masih ada
satu dua orang di dapur yang harus menahan diri untuk mempersiapkan minum dan
makan mereka yang bertugas meronda dan berjaga-jaga di gardu di depan regol
halaman.
Tetapi ternyata yang
berjaga-jaga bukan saja para peronda di regol halaman rumah Ki Gede. Hampir di
setiap padukuan yang tersebar beberapa orang pengawal dan anak-anak muda tidak
meninggalkan kesiagaan. Mereka berada di dalam gardu-gardu yang terpencar.
Namun di antara mereka ada juga yang meronda berkeliling di sekitar padukuhan.
Ternyata bahwa malam itu
rasa-rasanya tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Jalan-jalan yang sepi, dan
padukuhan yang lengang, tidak menunjukkan gejala yang berbahaya bagi ketenangan
Tanah Perdikan Menoreh.
Demikianlah, malam itu terasa
menjadi sepi setelah malam-malam yang ramai karena perkawinan Pandan Wangi
dengan Swandaru. Beberapa orang yang meskipun berada di rumah masing-masing
nampak lelah dan tertidur dengan nyenyaknya, karena mereka pun berturut-turut
untuk beberapa malam telah menyaksikan berbagai macam pertunjukan yang meriah.
Menjelang dini hari, rumah Ki
Gede telah menjadi sibuk lagi. Beberapa orang perempuan yang sempat tidur untuk
beberapa saat telah terbangun dan mulai menanak nasi. Sebelum pengantin
berangkat ke Sangkal Putung lewat Mataram, mereka tentu akan dijamu untuk yang
terakhir kalinya selama mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Rumah Ki Gede itu menjadi
semakin ramai ketika beberapa orang mulai terbangun pula. Pandan Wangi telah
pula mandi, dan kemudian Swandaru dan mereka yang berada di gandok. Ki Waskita
pun telah bersiap pula, sementara orang-orang tua yang akan pergi ke Sangkal
Putung bersamanya dan Kerti, telah berada di pendapa pula ketika matahari mulai
melontarkan cahaya yang kemerah-merahan.
Tetapi iring-iringan itu tidak
akan berangkat pagi-pagi benar. Mereka masih akan makan pagi, minta diri kepada
orang-orang tua dan baru kemudian mereka akan dilepas dari rumah Ki Gede
Menoreh itu.
Suasana di Tanah Perdikan
Menoreh seakan-akan telah berubah dengan tiba-tiba. Sebelum Pandan Wangi
meninggalkan rumahnya, rasa-rasanya rumah itu sudah menjadi semakin sepi.
Apalagi bagi Ki Gede. Ia sadar, sepeninggal Pandan Wangi rumahnya akan
kehilangan kesegaran. Orang-orang yang sibuk di dapur itu pun akan segera
pulang, dan sanak kadangnya satu demi satu akan meninggalkan rumah itu,
sehingga akhirnya ia akan menjadi sendiri.
Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat sekedar mementingkan dirinya sendiri. Adalah
menjadi hak Pandan Wangi untuk kawin dan meninggalkannya mengikuti suaminya.
“Tetapi ia akan kembali,”
berkata Ki Gede Menoreh di dalam hatinya, “ia akan memerintah Tanah Perdikan
ini sebaik-baiknya. Aku akan menjadi semakin tua, dan aku akan meninggalkan
jabatanku. Aku sudah terlampau lelah. Sejak aku masih terlalu muda, aku sudah
dilibat oleh ketegangan yang seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Aku telah
diguncang oleh persoalan pribadiku, persoalan Tanah Perdikan Menoreh, adikku
yang kehilangan keseimbangan, dan ikut membakar Tanah Perdikan Menoreh, dan
bermacam-macam peristiwa yang membuat dada ini menjadi pepat. Jika semuanya
telah mapan kelak, mudah-mudahan aku mendapat kesempatan untuk menyepi dan
beristirahat sebaik-baiknya. Bahkan mendekatkan diri dengan Yang Maha Kuasa di
sebuah padepokan kecil yang terpencil, tanpa diganggu oleh siapa pun juga.”
Perasaan Ki Gede menjadi
bertambah sepi ketika ia melihat semua persiapan telah selesai. Beberapa orang
sedang berbincang di pendapa, sedang beberapa orang yang lain tengah berjalan
hilir-mudik di halaman.
“Ki Gede,” berkata Ki Waskita
kepada Ki Gede Menoreh kemudian, “agaknya waktunya telah dekat, bahwa sepasang
pengantin akan berangkat ke Kademangan Sangkal Putung.”
Ki Gede menganggukkan
kepalanya. Dipandanginya beberapa orang yang duduk di pendapa. Kemudian
dipandanginya dengan mata yang buram sepasang pengantin yang duduk di antara
orang-orang tua.
Namun ketika terpandang
olehnya Pandan Wangi tersenyum, hatinya menjadi agak terhibur pula. Katanya di
dalam hati, “Mudah-mudahan ia senang berada di Sangkal Putung sampai saatnya mereka
akan kembali ke Tanah Perdikan ini untuk memimpin dan membina. Agaknya memang
sudah waktunya anak-anak muda itu bangkit untuk memegang pimpinan. Di tangannya
Tanah Perdikan ini tentu akan bertambah maju oleh gejolak perjuangan yang
dihangati oleh darah mudanya.”
Sejenak kemudian, maka para
tamu yang berada di pendapa, orang-orang tua dan para pengiring, telah
menghadapi hidangan makan pagi. Sejenak mereka menyempatkan diri untuk makan
dan minum, dan sekedar membicarakan tugas yang akan dipikul oleh mereka yang
akan mengantarkan sepasang pengantin ke Sangkal Putung.
“Meskipun Ki Demang ada di
sini,” berkata seorang tua yang tidak akan pergi ke Sangkal Putung, “tetapi
pada suatu upacara yang tentu akan diadakan, wakil Ki Gede akan menyerahkan
dengan resmi kepada keluarga Ki Demang di Sangkal Putung, bahwa Pandan Wangi
untuk seterusnya akan menjadi momongan Ki Demang sebagai menantu.”
Ki Demang tersenyum. Katanya,
“Seseorang akan mewakili aku untuk menerimanya.”
Ki Gede pun tersenyum pula
betapapun kesepian sudah menjamah perasaannya.
Demikianlah pada saatnya, maka
iring-iringan yang akan mengantar sepasang pengantin ke Sangkal Putung itu pun
telah bersiap. Baik para pengawal dari Sangkal Putung, maupun para pengawal
dari Tanah Perdikan Menoreh, sementara orang-orang tua mulai mohon diri dan
menerima pesan-pesan terakhir.
Swandaru dan Pandan Wangi pun
kemudian minta diri pula kepada Ki Gede Menoreh. Meskipun gadis itu mencoba
tersenyum, namun nampak bahwa pelapuknya menjadi basah.
Ki Gede masih memberikan
pesan-pesan terakhir. Demikian juga orang-orang tua laki-laki dan perempuan
yang tidak ikut bersama mereka yang akan berangkat ke Sangkal Putung.
Sejenak kemudian, maka
iring-iringan itu pun telah siap. Ada dua orang perempuan di dalam
iring-iringan itu. Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Karena perjalanan yang berat,
maka Pandan Wangi sama sekali tidak nampak sebagai seorang pengantin perempuan
yang sedang diiringi oleh sekelompok orang-orang tua dan para pengawal. Tetapi
ia telah mengenakan pakaian seorang pemburu, karena setiap saat, pakaiannya
akan dapat mengganggunya apabila terjadi sesuatu di perjalanan. Demikian pula
dengan Sekar Mirah. Pakaiannya pun disesuaikan pula dengan perjalanan berkuda
yang akan makan waktu yang cukup lama.
Ketika semuanya telah selesai,
maka iring-iringan itu mulai bergerak. Titik air di mata Pandan Wangi tidak
dapat dibendung lagi. Ketika pipinya nampak menjadi basah, ia pun menundukkan
kepalanya dalam dalam.
Ki Gede mencoba tersenyum.
Katanya, “Pergilah. Sangkal Putung bukan jarak yang jauh. Aku akan segera
menyusul.”
Perlahan-lahan iring-iringan
itu pun mulai bergerak. Yang di ujung adalah sekelompok pengawal dari Sangkal
Putung yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu. Di belakangnya sekelompok
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh. Anak-anak muda yang dipimpin oleh
Prastawa, putra Ki Argajaya. Tidak seperti ayahnya yang merasa kehilangan
kesempatan untuk tampil ke depan, maka anak muda ini masih tetap nampak lincah
dan gembira.
Baru di belakangnya, sepasang
pengantin yang dikawani oleh Sekar Mirah dan beberapa orang tua. Kerti,
pemomong yang setia sejak Pandan Wangi masih terlampau muda, berada di dalam
kelompok itu pula. Demikian pula Ki Demang yang meskipun menyadari bahwa
kemampuannya tidak melampai Swandaru, namun rasa-rasanya kehadirannya di dalam
kelompok itu akan dapat memberikan ketenangan pada anaknya.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar kini berada di kelompok berikutnya bersama Ki Waskita. Nampaknya
mereka merasa perlu untuk berada tidak jauh dari sepasang pengantin itu.
Karena itulah maka kelompok
orang-orang tua itu seolah-olah tidak terpisah dari kelompok sepasang pengantin
serta orang-orang tua yang mengiringinya dari Tanah Perdikan Menoreh beserta Ki
Demang Sangkal Putung
Baru di belakang mereka adalah
orang-orang tua yang lain dan para pengiring yang masih tetap terpisah dalam
kelompok-kelompok kecil, agar mereka tidak terjebak jika orang-orang yang
berniat jahat benar-benar ingin merampok iring-iringan itu.
Dengan demikian, maka
iring-iringan itu benar-benar menjadi sebuah iring-iringan yang panjang. Selagi
mereka masih ada di jalan-jalan di tlatah Tanah Perdikan Menoreh, maka
kelompok-kelompok itu tidak terpisah jauh. Bahkan seolah-olah iring-iringan itu
adalah iring-iringan yang utuh, karena mereka merasa bahwa pengawasan di
sepanjang jalan cukup ketat oleh petugas-petugas sandi yang berada di
sawah-sawah dan di gardu-gardu.
Ternyata bahwa perjalanan
mereka di sepanjang jalan di Tanah Perdikan Menoreh tidak mengalami gangguan
apa pun juga. Jalan nampaknya lapang dan tenang. Apalagi ketika mereka melihat
orang-orang yang berada di sawah dan di gubug-gubug. Rasa-rasanya mereka
berjalan di dalam daerah yang diberi pagar dinding yang tinggi.
Ketika iring-iringan itu
mendekati Kali Praga, maka kesiagaan pun mulai ditingkatkan. Dengan hati-hati,
iring-iringan itu memilih beberapa perahu getek yang akan mereka pergunakan
untuk menyeberang.
Mula-mula para tukang
satanglah yang justru menjadi curiga bahwa sebuah iring-iringan berkuda ingin
menyeberangi Kali Praga. Namun ketika mereka melihat seorang tua yang
menyerahkan sebutir telur kepada Pandan Wangi dan melemparkannya ke dalam
sungai, maka tukang-tukang satang itu pun mengetahui, bahwa yang lewat adalah
sepasang pengantin dengan para pengiringnya.
“Tentu sepasang pengantin yang
kaya,” desis salah seorang tukang satang.
“Dari mana kau tahu. Aku tidak
melihat pakaian yang bagus dan perhiasan yang mahal mereka pakai.”
“Tentu perhiasan yang mahal
itu disembunyikan di dalam kampil,” sahut kawannya. “Tentu mereka tidak akan
mau mengalami kesulitan di perjalanan jika mereka dengan sengaja memamerkan
perhiasan mereka. Betapa pun jalan sudah tenang, namun kadang-kadang perhiasan
yang gemerlapan akan dapat merangsang para penjahat yang semula telah ingin
meletakkan senjata mereka.”
Kawannya mengangguk-angguk,
dan tukang satang itu pun melanjutkan, “Jika ia bukannya sepasang pengantin
yang kaya, tentu seorang pemimpin, karena ternyata pengiringnya seolah-olah
sepasukan prajurit segelar sepapan.”
“Mereka tentu kawan-kawan
pengantin itu. Lihatlah, mereka adalah anak-anak muda yang kira-kira sebaya
dengan sepasang pengantin itu.”
“Yang manakah menurut dugaamnu
sepasang pengantinnya?”
“Tentu yang melemparkan telur
itu.”
Pembicaraan itu terputus
ketika seorang mendekatinya sambil berkata, “Apakah kalian tidak mendengar
kabar, bahwa Tanah Perdikan Menoreh baru saja mengadakan perelatan perkawinan?”
“O,” tukang satang itu
bagaikan teringat sesuatu, “ya. Tentu sepasang pengantin dari Tanah Perdikan
itu.”
Demikianlah maka iring-iringan
itu pun akhirnya telah naik ke atas perahu-perahu getek. Beberapa getek
terpaksa menyeberang dua kali karena jumlahnya yang tidak mencukupi untuk
menyeberangkan tiga puluh lima orang beserta kudanya dalam kesibukan lalu
lintas, sehingga beberapa orang lain yang harus menyeberang terpaksa menunggu
beberapa saat.
Di sebelah sungai mereka pun
segera mengatur diri pula dan meneruskan perjalanan ke Mataram.
Ternyata Mataram pun telah
siap menerima mereka. Mereka sudah tahu pasti, kapan iring-iringan itu akan
datang dari Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Mataram tidak sedang mengadakan
perelatan, namun karena pengantin itu singgah untuk satu malam, maka
rasa-rasanya di Mataram itu pun sedang berlangsung suatu perelatan pula
Namun dalam pada itu, di luar
kota Mataram yang sedang tumbuh, dua orang berkuda yang dengan tidak
menimbulkan kecurigaan mengikuti iring-iringan itu dari Tanah Perdikan Menoreh,
sedang berhenti di pinggir sebuah pategalan yang sepi. Sambil menggerutu salah
seorang berkata, “Kita menjadi makanan nyamuk di sini. Gila! Iring-iringan itu
mendapat kehormatan di Mataram, sementara kita kedinginan di sini. Saat ini,
mereka tentu sedang dijamu makan dan minum.”
“Aku juga lapar,” berkata yang
seorang, “marilah, kita tinggalkan kuda kita di sini, kita mencari tempat yang
baik untuk membeli makan dan minum.”
“Berbahaya,” sahut kawannya,
“jika kuda kami hilang, maka kita akan gagal. Kau tahu akibatnya jika kita
benar-benar gagal. Apalagi jika Gandu Demung benar-benar tertangkap, dan kita
kehilangan jejak, maka kita tentu akan digantung oleh Empu Pinang Aring atau
pemimpin-pemimpin yang lain.”
“Jadi kita akan tetap menahan
lapar?”
“Bukankah di pelana kudamu
masih tersimpan beberapa potong jadah yang kau beli di Tanah Perdikan Menoreh?”
Kawannya menelan ludahnya.
Katanya, “Kau ternyata telah membuat aku menderita karena kau membayangkan
bahwa orang-orang yang berada di Mataram itu kini sedang menikmati hidangan
yang nikmat.”
Kawannya tidak menyahut. Namun
ia pun kemudian justru membaringkan dirinya di atas rerumputan kering.
Dalam pada itu di Mataram,
Agung Sedayu tetap berada di antara anak-anak muda pengiring pengantin.
Rasa-rasanya memang ada sesuatu yang kurang wajar pada Swandaru. Di sepanjang
jalan yang menyusuri Tanah Perdikan Menoreh, ia melihat sikap saudara
seperguruannya itu seolah-olah ia sudah menjadi Kepala Tanah Perdikan.
“Gila,” tiba-tiba Agung Sedayu
menggeram di dalam hati, “tentu tidak. Pikiran ini adalah pikiran iblis yang
menggelitikku karena akulah sebenarnya yang dengki dan iri hati.”
Namun dalam pada itu, di dalam
bilik-bilik yang khusus disediakan oleh para pemimpin Mataram bagi sepasang
pengantin itu, Swandaru duduk di bibir pembaringan di sisi Pandan Wangi. Nampak
sesuatu sedang menarik perhatian Swandaru untuk dibicarakannya dengan Pandan
Wangi.
“Ayah belum pernah
membicarakannya, Kakang,” desis Pandan Wangi perlahan-lahan.
Swandaru mengangguk-angguk.
Lalu, “Tetapi Ki Gede tidak akan dapat tinggal diam. Mataram tentu akan
berkembang. Aku adalah salah seorang pendukung yang nyata dari berdirinya
Mataram sejak Raden Sutawijaya mulai menebangi hutan sehingga kini sudah nampak
menjadi sangat padat. Penebangan berjalan terus sampai saat ini untuk perluasan
kota dan daerah Mataram, meskipun Raden Sutawijaya tidak ada di tempat. Dengan
demikian maka harus ada batas yang jelas antara Mataram dan Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Mungkin batas yang jelas itu
memang perlu Kakang. Tetapi sampai saat ini Ayah masih menunggu. Di sekitar
Mataram masih ada beberapa kademangan dan tanah perdikan yang langsung
berhadapan. Mangir di sebelah selatan, Cupu Watu di sebelah timur dan mungkin
juga daerah sebelah utara dan yang lain-lain. Perkembangan Mataram sampai saat
ini masih belum jelas. Hubungannya dengan Pajang pun belum jelas pula. Bahkan
seolah-olah terputus, meskipun Kanjeng Sultan Pajang telah mengangkat Raden
Sutawijaya menjadi Senapati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram yang
dibukanya. Namun Mataram belum menemukan bentuk tata pemerintahan yang jelas.
Berbeda dengan Pati yang diserahkan kepada Ki Penjawi.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia ber-tanya, “Dari mana kau mengetahuinya?”
“Ayah sering mengatakannya
kepadaku.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Lalu, “Itu adalah pertanda bahwa Ki Gede sudah mulai membicarakannya. Kau tahu
bahwa aku akan berada di kedua sisi dari Tanah Mataram ini. Meskipun di bagian
timur akan tidak langsung beradu batas, tetapi jalan antara Pajang dan Mataram
melintas di daerah Sangkal Putung. Sikap dan tingkah laku Untara pun harus
mendapat banyak perhatianku. Karena anak muda itu sering merasa dirinya lebih
berkuasa dari Kanjeng Sultan di Pajang.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sebelumnya ia belum pernah mendapat kesempatan berbicara cukup
banyak dengan Swandaru justru karena kesibukan perelatan. Di Mataram mereka
tidak mempunyai kewajiban yang mengikat, sehingga mereka sempat berbicara
berkepanjangan. Namun Pandan Wangi sendiri kurang dapat melihat dengan jelas
arah pembicaraan itu. Karena itu, maka Pandan Wangi pun tidak terlalu banyak
menanggapinya, selain sekedar mendengarkan dan mengangguk-angguk. Namun ia
merasa bahwa ternyata Swandaru bukannya seorang yang acuh tidak acuh terhadap
keadaan sekitarnya. Bahkan ia adalah seorang anak muda yang berpikir dengan
sungguh-sungguh mengenai keadaan lingkungan dan masa depannya.
Pandan Wangi masih
mengangguk-angguk ketika Swandaru membicarakan hubungan yang harus jelas antara
daerah di sekitar Mataram dan di sepanjang jalan antara Sangkal Putung dan
Tanah Perdikan Menoreh tanpa prasangka apa pun juga.
Di rumah yang lain, Prastawa
dengan gembira bercakap-cakap dengan kawan-kawannya. Ia memang merasa bahwa ia
mendapat kepercayaan penuh dari Ki Gede Menoreh untuk mengawasi para pengawal
dari Tanah Perdikan Menoreh agar mereka dapat menyesuaikan dirinya dengan para
pengawal dari Sangkal Putung.
“Udara ternyata panas sekali
di sini,” desis Prastawa tiba-tiba, “aku akan berjalan-jalan sebentar di
halaman. Jangan tinggalkan bilik ini. Aku akan berada di pintu gerbang. Aku
tahu, selain para pengawal dari Mataram, para pengawal dari Sangkal Putung pun
ada di antaranya.”
Prastawa pun kemudian
meninggalkan kawan-kawannya. Dengan ragu-ragu ia berjalan ke regol halaman.
Masih ada beberapa orang anak muda dari Sangkal Putung yang sedang berbincang
dengan para pengawal dari Mataram.
Ternyata bahwa semalam di
Mataram itu rasa-rasanya terlalu lama bagi mereka yang sedang mengiringi
pengantin itu. Terutama sepasang pengantin itu sendiri. Langit yang gelap dan
bintang yang berhamburan, terasa seolah-olah telah menghentikan waktu sama
sekali. Diam.
Namun dalam pada itu, di
longkangan di depan gandok rumah Raden Sutawijaya, di depan bilik yang
disediakan buat Ki Demang dan orang-orang tua, serta satu lagi buat Sekar
Mirah, Prastawa duduk dengan gelisah. Ketika ia melihat Sekar Mirah
menjengukkan kepalanya, ia pun dengan serta-merta mendekatinya sambil tertawa,
“Kau belum tidur, Mirah.”
“Aku mendengar derit seseorang
duduk di amben itu,” berkata Sekar Mirah.
“Bilikku terasa panas sekali,
sehingga aku tidak dapat segera tidur.”
“Tetapi kenapa kau sampai ke
longkangan ini? Apakah kau akan bertemu dengan Ayah di bilik sebelah?”
“O, tidak. Tidak, Sekar Mirah.
Aku sendiri tidak tahu, kenapa aku sampai ke tempat ini.”
Sekar Mirah tertawa. Tetapi ia
masih tetap berdiri di pintu.
“Apakah kau tidak merasa bahwa
udara terlampau panas di dalam bilikmu?”
“Tidak. Udara di sini terasa
sejuk sekali.” Sekar Mirah berhenti sejenak lalu, “Jika kau ingin bertemu
dengan Ayah atau mungkin orang-orang tua yang lain, ketuklah pintunya. Mereka
tentu belum juga tidur.”
“Tidak. Aku tidak memerlukan
mereka. Tetapi….” kata-katanya terputus oleh keragu-raguan.
Sekar Mirah tertawa. Namun
katanya, “Tidurlah, Prastawa. Hari sudah menjadi semakin malam. Besok kita akan
menempuh perjalanan meskipun tidak terlalu jauh.”
Prastawa masih termangu-mangu.
Namun ia terkejut ketika ternyata pintu di sebelahnya pun telah terbuka pula.
Ketika Prastawa berpaling,
dilihatnya Ki Demang Sangkal Putung telah berdiri di ambang pintu. Sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah ada yang penting, Anakmas?”
“O,” Pratawa tergagap, “tidak.
Tidak, Ki Demang.”
“Jadi?”
“Tidak apa-apa, Ki Demang. Aku
hanya sekedar melepaskan diri dari udara yang panas di dalam bilikku.”
“Tetapi bukankah Anakmas
berada di rumah sebelah? Maksudku tidak di rumah ini dan disertai para
pengawal?”
“Ya, ya, Ki Demang,” Prastawa
kebingungan. “Baiklah aku kembali saja kepada mereka.”
Ki Demang tidak bertanya lagi.
Namun Sekar Mirah yang melihat kegelisahan anak yang masih sangat muda itu
tertawa sambil berkata, “Tidurlah, anak muda, besok kita akan bangun pagi-pagi
benar.”
Prastawa pun meninggalkan
serambi gandok itu. Ketika ia berada di halaman, ia berpapasan dengan dua orang
pengawal. Tetapi kedua pengawal itu telah mengenalnya sebagai salah seorang
pengawal pengantin. Karena itu keduanya justru menganggukkan kepalanya sambil
tersenyum.
Prastawa sempat melihat senyum
itu di bawah cahaya obor di pendapa. Betapapun hambarnya, Prastawa itu pun
tersenyum pula sambil mengangguk.
Dengan gelisah Prastawa
kembali kepada kawan-kawannya. Seorang pengawal mendekatinya sambil mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu pengawal itu bertanya, “Kau lama sekali pergi,
Prastawa?”
“Aku hanya di luar.”
“Tidak. Aku melihat kau keluar
halaman ini.”
“Dari mana kau tahu? Kau tentu
tidak mematuhi pesanku.”
“Aku patuh. Tetapi aku hanya
keluar sejenak untuk melihatmu yang nampak gelisah. Ternyata kau pergi ke luar
halaman dan hilang dari pandangan mataku.”
“Aku berjalan-jalan.”
“Sampai larut?”
“Sekarang masih sore. Lihat,
masih banyak orang berada di pendapa.”
“Mereka sudah kembali ke
pondokan masing-masing.”
Prastawa menjadi ragu-ragu.
Rasa-rasanya ia hanya sebentar berada di serambi gandok.
“Tetapi agaknya aku berjalan
lambat sekali di sepanjang halaman di depan regol itu. Atau barangkali aku
telah berhenti di bawah pohon nyamplung itu? Atau aku tidak ingat lagi apa yang
sudah aku lakukan?” Prastawa menjadi termangu-mangu.
“Kau nampak bingung,” desis
kawannya.
“Tidak. Aku sama sekali tidak
bingung. Tetapi aku merasa panas sekali. Entahlah. Jika kau tidak merasakan
panasnya udara, mungkin aku memang sedang kurang sehat.”
Kawannya memandang Prastawa
yang gelisah. Lalu katanya, “Mungkin kau memang tidak sehat. Keringatmu mengalir
terlampau banyak, dan bibirmu nampak gemetar.”
“Apakah memang begitu?”
bertanya Prastawa yang menjadi semakin gelisah.
“Beristirahatlah. Mungkin kau
terlalu lelah setelah menempuh perjalanan dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke
Mataram.”
“O, jarak yang terlalu
pendek,” jawab Prastawa.
Kawannya tidak menyahut lagi.
Ketika ia bergeser maka Prastawa pun segera melangkah ke bilik yang disediakan
baginya dan kawan-kawannya. Tanpa mengatakan apa pun juga, Prastawa pun segera
membaringkan dirinya di atas sehelai tikar yang dibentangkan di atas sebuah
amben yang besar.
Kawan-kawannya melihatnya
dengan heran. Juga kawannya yang bertemu di luar bilik itu. Tetapi mereka tidak
bertanya apa pun juga.
Prastawa mencoba untuk
menyembunyikan kegelisahannya. Tetapi setiap kali terdengar ia mengeluh. Dan
bahkan kegelisahannya telah menganggu kawan-kawannya pula yang sebenarnya telah
mulai diganggu oleh perasaan kantuk.
Namun lambat laun
kawan-kawannya dapat melepaskan perhatiannya terhadap Prastawa yang mencoba berdiam
diri di pembaringannya. Ia pun sadar, bahwa tidak sepantasnya ia mengganggu
kawan-kawannya yang mungkin merasa lelah dan kantuk.
Malam itu, seperti saat mereka
berangkat, para pengawal benar-benar sempat beristirahat. Justru setelah
beberapa malam mereka kurang tidur dan kurang beristirahat karena perelatan
yang meriah.
Namun demikian, di pondokan
yang disediakan bagi Kiai Gringsing bersama-sama dengan Ki Sumangkar dan Ki
Waskita, orang-orang tua itu masih juga duduk sambil berbincang meskipun perlahan-lahan,
karena yang lain pun nampaknya telah tidur dengan nyenyaknya. Yang masih tetap
berjaga-jaga adalah para pengawal dari Mataram dan satu dua orang di setiap
pondok yang dipergunakan oleh para pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh.
Seperti saat mereka berangkat,
maka di perjalanan pulang itu pun tidak terdapat gangguan apa pun semalaman.
Mereka bangun dini hari dengan kesegaran baru.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita pun masih sempat pula tidur barang sekejap. Namun seperti yang
lain, mereka pun bangun menjelang dini hari dan segera pergi ke pakiwan untuk
sesuci diri.
Ketika matahari mulai memanjat
langit, maka iring-iringan itu pun telah siap pula untuk berangkat meninggalkan
Mataram. Namun atas permintaan Ki Lurah Branjangan, mereka pun masih sempat
singgah di pendapa untuk makan bersama. Tetapi karena jumlah para pengawal itu
terlalu banyak, maka hanya orang-orang tua sajalah yang sempat naik ke pendapa,
sedangkan orang lain dipersilahkan duduk di gandok sebelah-menyebelah.
“Kami telah membuat Ki Lurah
dan sanak-sanak di Mataram menjadi sibuk,” berkata Ki Demang.
“Ah, kami senang sekali
menerima kehadiran kalian. Tempat yang disinggahi sepasang pengantin biasanya
akan menjadi baik.”
Ki Demang tertawa. Mereka yang
mendengarnya pun tertawa pula. Sambil berkelakar Swandaru pun menyahut, “Memang
agaknya kami membawa pengaruh baik, Ki Lurah.”
Ki Lurah Branjangan tertawa
berkepanjangan. Ia sudah mengenal Swandaru sebelumnya. Dan anak ini memang
sedang bergurau. Bahkan saat-saat ia sedang menjadi pusat segenap perhatian, ia
pun sempat pula berkelakar.
“Ki Demang,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “kami sudah berhasil menghubungi Raden Sutawijaya. Sayang, bahwa
Raden Sutawijaya masih belum dapat menampakkan diri di antara kita semuanya.
Karena itu, maka aku akan menyampaikan permohonan maafnya, bahwa Raden
Sutawijaya yang sedang melakukan perjalanan mesu rasa, tidak dapat hadir di
Sangkal Putung. Demikian pula dengan Ki Juru Martani.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Apa yang dilakukan oleh Raden Sutawijaya sekarang tentu lebih
penting dari sekedar hadir di Sangkal Putulag. Jauh lebih penting, Ki Lurah.
Kami pun dapai mengerti, sehingga karena itu, maka kami pun tidak merasa kecewa
karena Raden Sutawijaya tidak dapat hadir. Tetapi aku percaya bahwa doa dan
restunya telah diberikannya kepada anak kami berdua.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk pula. Katanya, “Besok akulah yang akan menyusul. Bukankah
upacara ngunduh pengantin akan diadakan besok malam?”
“Ya, ya, Ki Lurah,” jawab Ki
Demang. “Sebelumnya kami mengucapkan diperbanyak terima kasih. Mudah-mudahan
Angger Untara yang kami undang itu pun dapat hadir pula meskipun kami tidak
mengundang pemimpin-pemimpin atau Senapati Pajang yang lain.”
“O, bagus sekali,” Ki Lurah
mengangguk-angguk, “aku juga sudah rindu dengan senapati muda itu.”
“Kami mengharap sekali
kedatangan para tamu dari Mataram dan restunya.”
Ki Lurah memandang Swandaru
sejenak. Namun ia melihat ada perubahan di wajah anak muda itu. Tertawa dan
senyumnya tidak nampak lagi di wajahnya.
“Anak itu kecewa bahwa Raden
Sutawijaya tidak dapat hadir,” berkata Ki Lurah di dalam hatinya.
Dalam pada itu, setelah para
pengiring dari Sangkal Putung dan Mataram itu selesai makan, maka mereka pun
segera berkemas. Mereka masih berbicara serba sedikit untuk mengisi sekedar
waktu setelah makan kenyang-kenyang. Apalagi mereka memang tidak terlampau
jauh.
Selebihnya, setelah mereka
melintas dari Sangkal Putung sampai ke Tanah Perdikan Menoreh dan kembali
sampai ke Tanah Mataram tanpa kesulitan apa pun, maka mereka telah diganggu
oleh perasaan, bahwa memang tidak akan ada gangguan apa pun juga di perjalanan.
Apalagi mereka telah menjadi semakin dekat dengan kampung halaman.
Yang masih harus mereka
perhatikan adalah jalan yang melintasi Alas Mentaok di ujung yang masih belum
ditebang, dan kemudian Alas Tambak Baya. Bagian-bagian dari hutan itu masih
lebat dan pepat. Namun jalur jalan yang melintas, nampaknya sudah menjadi
semakin ramai dilalui orang. Orang-orang yang mencari kayu pun tidak lagi takut
memasuki daerah di pinggir jalan yang dengan sengaja memang dibuka untuk
mengurangi kepepatan bagian dari hutan itu.
“Jika kedua bagian dari hutan
itu sudah lampau,” berkata salah seorang pengiring dari Sangkal Putung, “maka
kami menjadi pasti, bahwa perjalanan kami tidak akan terganggu sama sekali.
Swandaru dan istrinya akan pulang dengan selamat sampai ke pangkuan ibunya yang
tentu menunggu dengan gelisah.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Ia pun sama sekali tidak mempunyai pertimbangan bahwa
bencana dapat terjadi di mana-mana. Bahkan di ujung Kademangan Sangkal Putung
sendiri.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian, Ki Demang, sepasang pengantin, dan para pengiringnya telah
bersiap-siap. Mereka pun segera minta diri dan turun ke halaman.
“Pada suatu saat, aku akan
kembali,” bisik Kiai Gringsing. “Aku ingin mendengar cerita tentang Senapati
Ing Ngalaga yang sedang lelana di daerah selatan. Tetapi sebaiknya Ki Lurah
memberikan gambaran tentang pusaka-pusaka itu. Agaknya arahnya sudah dapat kami
ikuti jejaknya meskipun belum pasti. Lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu
itu akan menjadi daerah yang penting bagi mereka yang telah menyimpan kedua
pusaka itu.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Aku akan datang besok ke Sangkal Putung.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggeleng, “Tentu tidak ada kesempatan untuk membicarakannya. Setelah
perkawinan selesai, dan semuanya sudah baik, aku akan datang.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Ketika ia menebarkan pandangannya di halaman, beberapa orang sedang menuntun
kuda dari kandang dan menyerahkan kepada pemiliknya masing-masing. Bukan saja
dari kandang di belakang rumah Raden Sutawijaya itu, tetapi sebagian terpaksa
dititipkan pada tetangga-tetangga terdekat.
Namun dalam pada itu, rumah
Raden Sutawijaya itu memang sudah berkembang. Sebuah lapangan yang luas sudah
mulai dipelihara rapi di depan gerbang halaman rumah itu. Dinding batu yang
agak tinggi dan bertambah luas mengelilingi halaman dan kebun belakang.
Sambil menunggu kudanya
Swandaru sempat menilai keadaan di sekelilingnya. Dalam penglihatannya, Mataram
memang sedang tumbuh dengan pesatnya meskipun Raden Sutawijaya sedang tidak
berada di tempatnya.
“Sebentar lagi, rumah ini akan
disebut Istana Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram,” desis
Swandaru di dalam hatinya. “Dan Senapati Ing Ngalaga akan dengan pilihannya
sendiri menentukan daerah yang manakah yang langsung menjadi wilayah kekuasaan
Mataram. Mungkin dengan persetujuan Pajang, tetapi mungkin tidak sama sekali.
Bahkan mungkin pada suatu saat Pajang pun akan dimasukkan ke dalam daerah
kekuasaannya.”
Angan-angan Swandaru terputus
ketika beberapa orang pengiringnya mulai menerima kuda masing-masing. Beberapa
orang masih harus memilih, karena mereka yang mengambil kuda-kuda itu dari
rumah sebelah-menyebelah, kadang-kadang tidak dapat mengenal kuda-kuda itu.
Sejenak kemudian mereka pun
telah siap dengan kuda masing-masing. Yang menarik perhatian adalah Pandan
Wangi dan Sekar Mirah. Seperti saat mereka datang ke Mataram, mereka sama
sekali tidak segera dapat dikenal di antara para penunggang kuda. Apalagi
Pandan Wangi sebagai pengantin perempuan.
Keduanya terpaksa menyesuaikan
diri dengan perjalanan yang mereka lakukan. Pandan Wangi pun mengenakan pakaian
yang pantas untuk melakukan perjalanan dengan berkuda.
“Sepantasnya pengantin
perempuan naik tandu,” desis seseorang yang belum mengenal Pandan Wangi.
“Perjalanan dengan tandu akan
memerlukan waktu yang panjang sekali,” sahut yang lain.
“Tetapi lihat. Apakah
sepantasnya bahwa seorang perempuan, dalam perjalanan pengantin lagi,
mengenakan pakaian seperti itu?”
“Tidak apa-apa. Pakaian yang
nampak tidak banyak mempengaruhi keadaan.”
Kawannya tertawa. Tetapi ia
tetap menganggap aneh, bahwa pengantin perempuan sama sekali tidak nampak
sebagai seorang pengantin, kecuali jika dipandang dengan saksama pada bagian
atas dahinya yang masih nampak bekas-bekas rias pengantin di Tanah Perdikan
Menoreh, karena beberapa helai rambut di atas dahi itu telah dipotong.
Sejenak kemudian, maka
iring-iringan itu pun telah siap. Sepasang pengantin, Sekar Mirah, Ki Demang,
dan orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh serta para
pengiring telah bersiap dengan kuda masing-masing. Mereka telah menyangkutkan
bekal yang mereka bawa di pelana kudanya, dan siap untuk meloncat naik.
Sekali lagi Ki Demang minta
diri dan mengucapkan terima kasih. Dan sekali lagi ia mengulangi undangannya
kepada para pemimpin Mataram, agar besok datang ke Sangkal Putung dalam upacara
ngunduh pengantin.
“Kami mohon maaf, bahwa
pengantin perempuan kali ini sama sekali dalam pakaian yang kurang pantas,”
berkata Ki Demang, “tetapi hal itu sekedar bermaksud untuk pengamanannya di
perjalanan.”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Jawabnya, “Jika aku belum mengenal Angger Pandan Wangi, tentu aku akan berpikir
demikian. Juga Angger Sekar Mirah. Tetapi karena aku sudah mengenal sebelumnya,
maka aku sama sekali tidak heran melihat keduanya dalam pakaian yang agak lain
dari pakaian seorang pengantin perempuan dan pengiringnya. Bahkan lebih mirip
dengan pakaian seorang pemburu. Itu pun masih jarang sekali terdapat
pemburu-pemburu seperti Angger Pandan Wangi dan Sekar Mirah.”
Ki Demang tersenyum. Pandan
Wangi dan Sekar Mirah yang mendengar pembicaraan itu pun tersenyum pula sambil
menunduk dalam-dalam.
Sementara itu, semuanya pun
kemudian telah bersiap untuk berangkat. Beberapa orang yang masih sempat
mendekati Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang pemimpin yang lain mengangguk
sambil minta diri, sedangkan mereka yang berjajar di pinggir jalan mencoba pula
untuk mengangguk meskipun mereka ragu-ragu, apakah Ki Lurah Branjangan dan para
pemimpin di Mataram itu sedang memandanginya.
Sejenak kemudian iring-iringan
itu pun mulai bergerak. Seperti ketika mereka mendekati Mataram, maka di paling
depan adalah para pengawal dari Sangkal Putung, kemudian para pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh. Baru di belakang mereka adalah sepasang pengantin
dengan orang-orang tua. Sekar Mirah dan Ki Demang Sangkal Putung berkuda di
belakang Swandaru dan Pandan Wangi. Sementara Kerti yang tua itu berada di
depannya.
Di paling depan dari para
pengawal Sangkal Putung adalah Agung Sedayu. Meskipun ia berkuda sambil menatap
jalur jalan di hadapannya, tetapi rasa-rasanya ia tidak melihat sesuatu di hadapan
kaki kudanya. Tatapan angan-angannya menerawang ke tempat yang sangat jauh,
yang bahkan Agung Sedayu sendiri merasa ragu-ragu untuk dapat menjangkaunya.
Tetapi, pada suatu saat Agung
Sedayu rasa-rasanya seperti tersadar dari mimpi. Ketika jalan menjadi semakin
sepi, dan padukuhan-padukuhan kecil menjadi semakin jarang, maka ia pun mencoba
memusatkan perhatiannya kepada perjalanan yang sedang ditempuhnya.
“Sebentar lagi, iring-iringan
ini akan memasuki bagian Alas Mentaok yang masih belum terbuka seperti daerah
Mataram lainnya yang sudah menjadi ramai. Apalagi kami akan memasuki daerah
Tambak Baya yang masih merupakan hutan yahg pepat, meskipun biasanya jalan itu
sudah tidak lagi banyak mendapat gangguan. Tetapi iring-iringan ini adalah
iring-iringan yang khusus,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Bahkan
kemudian, “Tidaklah sekelompak penjahat pun yang akan mampu mengumpulkan
sejumlah orang sebanyak iring-iringan ini. Karena itu, seandainya ada juga
sekelompok perampok yang melihat iring-iringan ini, mereka tentu akan
mengurungkan niatnya, seandainya mereka sudah merencanakan.”
Karena itulah, maka hampir di
luar sadarnya, angan-angannya mulai menerawang lagi. Hanya sekali-sekali ia,
mengibaskan kepalanya, seakan-akan mencoba mengusir angan-angannya yang
menyusup jauh ke dunia yang lain.
Tetapi para pengawal di dalam
kelompok terdepan yang dipimpin langsung oleh Agung Sedayu itu bersikap lain.
Mereka tidak setenang Agung Sedayu menghadapi ujung Alas Mentaok dan Alas
Tambak Baya. Karena itu justru mereka tetap berhati-hati menghadapi setiap
kemungkinan yang dapat terjadi.
Ketika mereka sudah berada di
antara pepohonan yang besar, tetapi yang sudah disusupi oleh jalur jalan yang
baik dan rata yang menghubungkan Mataram dengan kademangan-kademangan di
sebelah Alas Tambak Baya, dan yang bahkan telah menjadi semakin ramai.
Beberapa orang yang bertemu
dengan iring-iringan itu nampak menjadi cemas. Tetapi karena orang-orang yang
berada di dalam kelompok-kelompok yang sedang beriring-iringan itu sama sekali
tidak menunjukkan kesan yang mencurigakan, maka mereka pun menjadi
bertanya-tanya tentang iring-iringan itu.