Buku 100
Tetapi Agung Sedayu sudah
bersiap menghadapinya. Dengan serta-merta, sebuah ledakan yang dahsyat telah
mengejutkan kedua orang lawannya. Ledakan itu terdengar jauh lebih menggetarkan
daripada ledakan-ledakan yang didengarnya sebelumnya.
Dalam keragu-raguan itu, Agung
Sedayu-lah yang kemudian menyerang lawannya dengan ujung cambuknya. Ledakan
yang mengejutkan itu disusul pula oleh ledakan lain, yang langsung menyerang
lawannya. Tetapi ternyata, ayah Gandu Demung itu masih sempat mengelak dengan meloncat
jauh-jauh ke belakang.
Agung Sedayu tidak sempat
mengejarnya. Serangan yang lain tiba-tiba saja telah menerkamnya. Itulah
sebabnya, maka ia harus menghindarinya. Tetapi karena ia tidak mau mendapat
serangan beruntun seperti yang pernah dilakukan oleh kedua orang itu, maka
Agung Sedayu pun segera memutar cambuknya pula, dengan meledakkan senjatanya
itu dengan dahsyatnya.
Demikianlah, perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin seru. Ternyata bahwa kedua orang, ayah dan anak,
itu mampu menempatkan diri sebagai lawan Agung Sedayu yang tangguh. Mereka
dapat bekerja bersama sebaik-baiknya. Ayahnya yang meskipun sudah semakin tua,
namun ia memiliki pengalaman dan kemampuan memancing perlawanan. Sedang anaknya
yang belum memiliki tingkat ilmu sedalam ayahnya, memiliki gairah dan kebuasan
yang dapat memaksa Agung Sedayu untuk selalu memperhatikan tata geraknya yang
kasar dan bahkan liar.
Menghadapi tata gerak lawannya
yang kasar itu, setiap kali Agung Sedayu harus meloncat surut, untuk
menempatkan dirinya pada jarak perlawanan yang sebaik-baiknya. Ia sekilas
membayangkan betapa Swandaru mengalami kesulitan melawan Gandu Demung, yang
bertempur pada jarak yang pendek, sehingga justru tidak mendapat kesempatan
untuk mempergunakan ujung cambuknya.
Namun yang terjadi kemudian
telah membuat Agung Sedayu memeras keringat. Ia harus bergerak dengan cepat dan
kemudian berusaha membalas menyerang, agar ia tidak semata-mata menjadi sasaran
kedua orang lawannya.
“Aku tidak dapat bertempur
dengan cara ini terus-menerus,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, ketika
ia menyadari bahwa pertempuran itu akan dapat berlangsung terlalu lama.
Karena itulah, maka Agung
Sedayu harus mengambil keputusan untuk bertempur lebih keras lagi. Kedua orang
lawannya bukannya orang-orang yang dapat dilawan dengan sekedar berhati-hati
agar ujung cambuknya tidak membunuh mereka.
“Kematian tidak aku harapkan,”
berkata Agung Sedayu, “tetapi aku pun tidak ingin mati di sini.”
Dengan demikian, maka tata
gerak Agung Sedayu pun kemudian menjadi semakin keras dan cepat. Meskipun ia
masih selalu dibayangi oleh keragu-raguan, bahwa senjatanya akan membelah kulit
lawannya dan bahkan membunuhnya, namun ia tidak mempunyai pilihan lain.
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Masing-masing mulai mengerahkan
segenap kemampuan yang ada. Jika sebelumnya mereka masih mencoba menahan diri,
agar mereka tidak kehabisan nafas dan menyerah karena kelelahan, maka mereka
pun kemudian telah berkelahi tanpa pertimbangan lain, kecuali mengalahkan
lawannya.
Cambuk Agung Sedayu menjadi
semakin cepat berputaran dan semakin sering meledak. Demikian juga kedua
lawannya pun bergerak semakin liar, bahkan seakan-akan mereka tidak lagi
mempergunakan pertimbangan nalar. Tetapi karena mereka berasal dari sumber ilmu
yang sama, dan setiap saat saling mengisi di dalam benturan-benturan kekerasan,
maka nampaknya, dengan sendirinya mereka dapat menyesuaikan diri dan saling
membantu.
Semakin lama semakin terasa
oleh Agung Sedayu, bahwa melawan dua orang pemimpin gerombolan dari daerah di
sekitar Gunung Tidar itu menjadi semakin berat. Masing-masing dari kedua orang
itu selalu menyerang dari arah dan kesempatan yang berbeda, sehingga Agung
Sedayu harus memeras segenap kemampuan dan tenaganya.
Kekasaran dan keliaran kedua
orang lawannya itu, ternyata membuatnya berdebar-debar. Teriakan yang
menghentak-hentak, serangan yang keras, dan kadang-kadang mendebarkan. Saudara
Gandu Demung itu tidak saja menyerang dengan senjatanya, tetapi dalam keadaan
tertentu kadang-kadang ia pun berusaha menyerang mata Agung Sedayu dengan
melontarkan segenggam pasir.
Serangan-serangan yang
demikian itu lambat laun ternyata telah membakar hati Agung Sedayu.
Bagaimanapun juga banyaknya pertimbangan di dalam hatinya, namun semburan
pasir, lemparan batu, dan teriakan-teriakan yang menggila, telah membuatnya
menjadi benar-benar marah.
Karena itulah, maka Agung
Sedayu pun bertempur semakin cepat pula. Cambukya bagaikan putaran
baling-baling di seputar tubuhnya. Ujungnya yang meledak-ledak dengan
dahsyatnya mematuk kedua lawannya seperti lebah yang berputaran, terbang
mengelilingi mereka dan sekali-sekali menukik dan menyengat tubuhnya.
Dalam pada itu, selagi
pertempuran di hutan itu menjadi semakin seru, di Jati Anom, Untara mulai merasa
jemu dengan tawanan-tawanannya yang sama sekali tidak dapat memberikan
keterangan apa pun juga, selain tentang diri mereka sendiri. Bagaimanapun juga
Untara berusaha, namun mereka tetap pada keterangan mereka yang sangat terbatas
itu.
Hampir setiap orang yang
disadap keterangannya menyebut nama Gandu Demung dan Pinang Aring. Tetapi
pengenalan mereka terhadap kedua orang itu tidak lebih dari nama mereka dan
hubungan di antara mereka.
“Gandu Demung adalah salah
seorang kepercayaan Empu Pinang Aring,” jawab Bajang Garing ketika Untara
menjadi semakin jengkel menghadapinya.
“Ya. Kau sudah mengatakan
seribu kali. Tetapi siapakah Empu Pinang Aring itu, he?”
Kiai Bajang Garing, yang tidak
mempunyai perasaan takut di medan peperangan itu, mulai menjadi gemetar melihat
sikap Untara yang garang. Dengan nada yang dalam ia menjawab, “Sudah aku
katakan. Aku tidak mengenal Empu Pinang Aring. Ada semacam jalur pemisah antara
kami dengan Pinang Aring. Pemisah itu adalah Gandu Demung, karena ia berdiri di
antara Empu Pinang Aring dan gerombolan kami.”
Untara hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang tidak akan dapat memaksa orang-orang yang
berada di tangannya itu untuk mengatakan apa yang tidak mereka ketahui.
“Aku tidak memerlukan mereka
lagi,” berkata Untara, “apalagi tawanan-tawanan yang ada di Sangkal Putung,
yang pada suatu saat akan diserahkan kepada kita.”
Senapati pembantunya hanya
dapat mengangguk-angguk saja.
“Kita harus mengirimkan
petugas ke Sangkal Putung untuk mengurus tawanan-tawanan itu, agar tidak perlu
dibawa ke Jati Anom.”
“Maksud, Ki Untara?”
“Kita akan segera membawa para
tawanan langsung ke Pajang, untuk mendapatkan keputusan tentang diri mereka.
Yang akan dihukum biarlah dihukum, sedang yang akan dibebaskan biarlah segera
dibebaskan.”
“Jadi?”
“Kita kirim sepasukan prajurit
untuk membawa tawanan itu langsung dari Sangkal Putung ke Pajang, sementara
para tawanan yang ada di Jati Anom akan kita kirim pula bersama mereka.”
“Tetapi apakah tidak lebih
baik jika kita menghubungi Ki Demang Sangkal Putung lebih dahulu? Mereka
menyiapkan para tawanan untuk dibawa ke Jati Anom. Tetapi jika keputusan Ki
Untara lain, bukankah sebaiknya Ki Demang diberitahukan juga?”
Untara mengerutkan keningnya.
Lalu katanya, “Kita akan memberitahukan saat kita akan membawa mereka ke
Pajang. Besok kita akan menyiapkan sepasukan prajurit untuk melaksanakannya.”
“Jadi besok kita akan mengirim
pasukan ke Pajang?”
“Ya. Sekaligus membawa para
tawanan.”
Senapati pembantu Untara itu
mengangguk-angguk. Keberangkatan iring-iringan pasukan itu tidak sebaiknya
diketahui oleh banyak orang, karena akan dapat menimbulkan kemungkinan yang
tidak baik. Jika kawan-kawan mereka mendengarnya, maka ada kemungkinan bahwa
mereka akan mencegat di perjalanan.
“Sebuah iring-iringan yang
panjang,” desis senapati pembantu Untara itu.
“Baiklah pengiriman itu
dilakukan bertahap,” berkata Untara kemudian, “pada tingkat pertama, bawalah
orang-orang terpenting. Baik yang ada di sini, maupun yang berada di Sangkal
Putung. Mungkin kalian dapat mempergunakan pedati untuk mengurangi perhatian
orang-orang di sepanjang jalan, meskipun perjalanan itu akan menjadi lama
sekali.”
Para senapati pembantunya
mengangguk-angguk.
“Nah, persoalan ini aku
serahkan kepada Paman,” berkata Untara kepada seorang senapati bawahannya, yang
sudah lebih tua daripadanya.
“Baiklah, Senapati,” jawab
orang itu. “Aku akan mencoba melaksanakan sebaik-baiknya. Besok kami akan mulai
dengan kelompok pertama.”
“Berangkatlah. Besok aku atau
Paman Widura juga akan pergi ke Sangkal Putung. Tetapi dalam persoalan
pribadi.”
Senapati-senapati pembantunya
mengerti, bahwa Untara sedang diganggu oleh persoalan yang menyangkut adik
laki-lakinya. Bahkan kadang-kadang Untara tidak dapat mencegah gejolak
perasaannya sehingga orang-orang terdekat daripadanya, dimintainya pertimbangan
tentang adiknya itu.
“Jika Paman Widura besok tidak
dapat berangkat, aku akan berangkat menemuinya, meskipun aku sadar, bahwa aku
tidak akan dapat berbicara sehalus Paman Widura,” berkata Untara. “Aku sudah
cukup sabar menunggunya setelah perelatan itu lampau.”
Senapati bawahannya yang lebih
tua daripadanya itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Memang sulit
untuk mengurus anak-anak muda sekarang ini. Tetapi sebaiknya Senapati tidak
berbuat tergesa-gesa atas Anakmas Agung Sedayu. Yang perlu diperhatikan, bahwa
mungkin ada perbedaan pendirian antara Anakmas Agung Sedayu dan Anakmas
Untara.”
“Tetapi aku berhak, Paman. Aku
berhak menunjukkan arah perkembangannya, sesuai dengan jalur jalan yang menurut
pendapatku paling baik sekarang ini,” berkata Untara.
Perwira bawahannya itu hanya
dapat menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab lagi.
Setelah memberikan pesan-pesan
dan perintah terhadap bawahannya, yang akan pergi ke Sangkal Putung langsung menuju
ke Pajang, Untara pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke Banyu Asri. Aku
harus bertemu dengan Paman Widura sekarang, agar Paman Widura bersiap-siap
untuk pergi ke Sangkal Putung besok.”
Perwira bawahannya itu
mengangguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan menjalankan perintah sebaik-baiknya.
Aku akan mengumpulkan beberapa orang yang akan ikut bersamaku besok, dan akan
memilih tawanan yang akan aku bawa lebih dahulu.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Berhati-hatilah. Sebaiknya orang-orang yang boleh mengerti hal itu
terbatas sekali, agar berita tentang keberangkatan Paman tidak meluas sampai ke
telinga orang-orang yang tidak kita kehendaki.”
Ketika senapati bawahannya itu
mulai bersiap-siap melakukan tugasnya, maka Untara pun menjumpai istrinya untuk
menyampaikan maksudnya menjumpai Widura di Banyu Asri.
Sejenak kemudian, Untara pun
telah bersiap. Kemudian bersama dua orang pengawalnya, ia pun menyiapkan
kudanya di halaman.
“Apakah Ki Untara akan pergi
sekarang?” bertanya seorang senapati yang bertugas berjaga-jaga saat itu.
“Ya. Aku akan pergi ke Banyu
Asri. Jika ada sesuatu yang penting, hubungilah aku di rumah Paman Widura.”
“Baik. Tetapi nampaknya tidak
ada sesuatu yang menarik perhatian hari ini. Para peronda pun tidak melihat
sesuatu yang pantas diperhatikan melampaui pengawasan sewajarnya.”
“Tetapi berhati-hatilah.
Keadaan masih selalu berubah. Dan perubahan itu cepat sekali berlangsung,
karena persoalannya menyangkut kekuatan-kekuatan yang berasal dari tempat yang
cukup jauh. Kita sudah berhasil membersihkan gerombolan-gerombolan kecil di
lereng Merapi ini, tetapi gerombolan-gerombolan lain berdatangan dari tempat
yang berada di luar pengawasanku.”
“Ya. Semuanya akan mendapat
perhatian sebaik-baiknya.”
Untara pun kemudian
meninggalkan para penjaga di halaman rumahnya, yang masih saja dipergunakan
oleh para prajurit yang berada di Jati Anom di samping banjar kademangan dan
tempat-tempat yang lain, meskipun keluarganya sendiri pun ada di rumah itu
pula.
Ketika Widura melihat Untara
memasuki regol halamannya, ia pun telah menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa
persoalan Agung Sedayu baginya merupakan persoalan yang harus diselesaikannya
sampai selesai. Tetapi sikap Untara yang kurang sabar itu selalu membuatnya
berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang kegelisahannya itu terasa di dalam
tidurnya yang kurang nyenyak, seolah-olah ia selalu diburu oleh persoalan itu
setiap saat.
Namun Widura tidak dapat
menghindar lagi. Sejenak setelah Untara duduk, maka ia pun langsung
menyampaikan persoalannya kepada pamannya.
“Besok aku minta Paman dapat
pergi ke Sangkal Putung. Aku menyadari, bahwa aku sendiri mungkin akan
menimbulkan salah paham jika langsung menyampaikan persoalan ini ke Sangkal
Putung. Salah paham dengan Ki Demang, dengan keluarganya, tetapi mungkin juga
dengan Agung Sedayu sendiri dan gurunya.”
Widura mengangguk-angguk.
Katanya, “Baiklah, Untara. Aku mengerti meskipun aku sendiri tidak dapat
menghindarkan diri dari kesalah-pahaman itu.”
“Jadi, Paman besok dapat
berangkat?”
“Aku akan pergi.”
Untara pun mengatakan bahwa
beberapa orang prajurit akan pergi ke Pajang dan akan singgah di Sangkal
Putung, untuk mengambil beberapa orang tawanan yang akan diserahkan oleh Ki
Demang. Tetapi tawanan itu akan langsung dibawa ke Pajang.
“Paman tentu akan datang lebih
dahulu, karena para prajurit akan membawa dua buah pedati.”
“Para tawanan akan dibawa
dengan pedati?”
“Mereka harus terikat, karena
mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Jika mereka berada di atas punggung
kuda, maka kemungkinan yang tidak diharapkan akan dapat terjadi. Lebih besar
daripada jika mereka berada dalam pedati dengan tangan terikat.”
Widura menarik nafas sambil
mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Untara memang harus berhati-hati dengan
tawanan-tawanannya, karena langsung tidak langsung tawanan-tawanan itu
dihubungkan dengan nama seorang yang belum dapat dijajagi, Empu Pinang Aring.
Namun dalam pada itu, selagi
mereka masih sibuk berbincang, seorang prajurit dengan tergesa-gesa telah
memasuki regol halaman rumah Ki Widura. Dengan tergesa-gesa pula ia menjumpai
kedua orang pengawal yang berada di pendapa.
“Bukankah Ki Untara ada di
sini?”
“Ya. Ada di ruang dalam.”
“Aku akan menghadap.”
“Kenapa?”
“Ada sesuatu yang penting yang
harus aku sampaikan.”
“Ya. Yang penting itu tentang
apa?”
“Tentang adiknya, Agung
Sedayu. “
Kedua orang yang ada di
pendapa itu termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka pun kemudian
bertanya, “Apakah kau akan menyampaikannya sendiri, atau kau akan berpesan saja
kepada kami?”
“Jika diperkenankan, aku akan
menghadap.”
Salah seorang dari kedua
pengawal itu pun segera menyampaikannya kepada Untara, bahwa seorang prajurit
ingin menghadap untuk menyampaikan berita tentang Agung Sedayu.
Dengan tergesa-gesa Untara dan
Widura pun segera keluar. Dengan berdebar-debar mereka kemudian duduk di
pendapa, menerima prajurit yang menyusulnya itu.
“Kau bertemu dengan Agung
Sedayu?”
“Empat orang peronda yang
sedang nganglang telah menemukannya, Agung Sedayu hampir pingsan di punggung
kuda.”
“Kenapa?”
“Kita masih belum dapat
bertanya terlalu banyak. Kini Agung Sedayu telah berada di rumah. Tubuhnya
penuh dengan luka-luka.”
Darah Untara tersirap. Sambil
memandang pamannya ia berdesis, “Aku akan pulang, Paman.”
“Aku ikut bersamamu.”
Sejenak kemudian, keduanya
telah berpacu diiringi oleh para pengawal menuju ke rumah Untara di Jati Anom.
Dengan dada yang berdebaran
Untara kemudian memasuki bilik tempat Agung Sedayu dibaringkan. Dilihatnya
adiknya terbujur diam dengan mata terpejam.
“Apakah ia pingsan?”
Istri Untara dan seorang
perwira yang menjaganya menganggukkan kepalanya. Dengan suara yang dalam
perwira itu berkata, “Lukanya cukup parah.”
“Siapakah yang melukainya?”
Perwira itu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Kami belum mengetahuinya, karena kami belum berhasil
bertanya kepadanya.”
“Apakah lukanya sudah
diobati?”
“Sudah. Lukanya sudah diobati
tabib keprajuritan, yang melihat luka-luka itu mengatakan bahwa meskipun
lukanya berat, tetapi mudah-mudahan tidak membahayakan jiwanya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian sambil duduk di pembaringan adiknya, ia memandangi wajah
Agung Sedayu yang pucat.
Sekilas teringat olehnya,
saat-saat ia menunaikan tugas yang berat ke Sangkal Putung menemui pamannya,
Widura, untuk mengambil alih pimpinan di Sangkal Putung. Dalam perjalanan
sandinya, ia hanya ditemani oleh adiknya. Hampir saja ia terbunuh di
perjalanan. Tanpa Agung Sedayu saat itu, mungkin keadaan Sangkal Putung akan
berbeda. Meskipun Agung Sedayu masih selalu dibayangi oleh perasaan takut, namun
ia berhasil menyampaikan berita tentang rencana Tohpati kepada Widura, sehingga
Sangkal Putung dapat diselamatkan.
Dengan ragu-ragu, Untara pun
kemudian meraba kening Agung Sedayu. Terasa kening itu agak panas.
“Panggillah tabib itu,”
berkata Untara kepada perwira yang menunggui Agung Sedayu itu.
Sejenak kemudian, tabib yang
telah memberikan obat kepada Agung Sedayu itu pun telah datang dan memberikan
beberapa keterangan tentang luka-luka Agung Sedayu.
“Ia diketemukan oleh empat
orang peronda di atas punggung kudanya dalam perjalanan ke Jati Anom. Saat itu
ia masih sadar. Tetapi ia tidak sempat mengatakan sesuatu tentang keadaannya
itu. Keadaannya sangat lemah dan hampir tidak mampu lagi untuk berbuat sesuatu.
Untunglah keempat prajurit peronda itu menemukannya dan membawanya ke Jati
Anom. Dua orang dari para peronda itu telah mengenalnya,” jawab tabib itu.
Lalu, “Tetapi mudah-mudahan lukanya tidak berbahaya bagi jiwanya, meskipun agak
parah.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Siapakah yang telah melukainya?”
Tidak seorang pun dapat
menjawab.
Perlahan-lahan Untara pun
meraba tubuh Agung Sedayu pada lambungnya. Ia ingin mengetahui apakah senjata
Agung Sedayu yang aneh, yang biasanya membelit pinggangnya itu masih ada.
Tetapi tabib yang mengobati
Agung Sedayu itu seolah-olah mengerti apa yang sedang dicari oleh Untara.
Katanya, “Aku telah mengambil senjatanya. Sekarang senjata itu disimpan oleh
perwira yang telah menerima Agung Sedayu.”
Untara mengangguk-angguk. Jika
senjata itu masih ada, berarti bahwa Agung Sedayu sampai saat terakhir masih
mungkin memberikan perlawanan.
“Tetapi kenapa keadaannya
sampai demikian parahnya?” pertanyaan itu telah membakar hatinya.
Untara hampir tidak sabar
menunggu Agung Sedayu sadar sepenuhnya. Seakan-akan ia ingin mengguncangkannya
dan bertanya siapakah yang telah melukainya.
“Apakah orang itu tidak
mengerti, bahwa Agung Sedayu adalah adikku?” katanya di dalam hati. Betapapun
juga ia sering dijengkelkan oleh adiknya itu, namun ia sama sekali tidak rela
melihat adiknya telah dilukai dengan parah, meskipun masih mungkin disembuhkan.
Beberapa kali istri Untara
mengusap dahi Agung Sedayu dengan air jeruk pecel, sehingga lambat laun, panas
tubuhnya menjadi semakin menurun.
Baru sejenak kemudian,
perlahan-lahan Agung Sedayu membuka matanya. Keningnya berkerut ketika
lamat-lamat baru ia melihat bayangan wajah kakaknya dan pamannya yang semakin
lama semakin jelas.
“Aku benar-benar telah
melihatnya,” katanya di dalam hati, “Tentu bukan sekedar bayangan. Tetapi
benar-benar Kakang Untara dan Paman Widura ada di sini.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu mulai bergerak. Sambil meraba
tangannya Widura bertanya, “Bagaimana keadaanmu, Sedayu? Sudah bertambah baik?”
Agung Sedayu memandang
pamannya sejenak. Kemudian mencoba menggerakkan tubuhnya yang masih terasa
sakit.
“Bagaimana dengan
luka-lukaku?” Agung Sedayu berdesis.
“Tidak berbahaya,” jawab
Untara, “Kau akan segera sembuh.”
Agung Sedayu berdesah. Ketika
ia mencoba menggerakkan tangan kirinya, ia menyeringai menahan sakit.
“Tidur sajalah
sebaik-baiknya,” berkata Untara, “kau akan segera sembuh.”
Agung Sedayu mengangguk kecil.
“Apakah kau dapat mengingat
apa yang telah terjadi?” bertanya Untara kemudian.
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Kesadarannya, yang mulai pulih kembali telah berhasil menyelusuri
peristiwa demi peristiwa yang telah terjadi atas dirinya.
“Jika keadaanmu memungkinkan,”
berkata Untara kemudian, “cobalah. Katakan, apa yang terjadi supaya aku tidak
terlambat mengambil sikap.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya menjelaskan ingatannya pada peristiwa yang dialaminya,
sejak ia meninggalkan Sangkal Putung.
Dengan suara yang
tertahan-tahan, Agung Sedayu pun menceritakan seluruh perjalanannya.
Seakan-akan setiap langkah kakinya disebutkannya.
“Jadi kau bertemu dengan
saudara laki-laki orang yang bernama Gandu Demung itu?” bertanya Untara ketika
Agung Sedayu menceritakan tentang seorang laki-laki di hutan, di ujung
Kademangan Sangkal Putung.
“Ya.”
Untara mengangguk-angguk. Ia
mendengarkan kelanjutan cerita Agung Sedayu, bagaimana ia harus terlibat dalam
perkelahian dengan orang itu. Dan bahkan kemudian telah muncul seseorang lagi
yang ternyata adalah ayah Gandu Demung.
“Aku harus melawan keduanya.
Mereka adalah pemimpin gerombolan penjahat di daerah sekitar Gunung Tidar,
seperti yang dikatakan oleh para tawanan,” desis AgungSedayu.
Untara mendengarkan cerita itu
dengan saksama. Kerut di keningnya menjadi semakin dalam, ketika ia
mendengarkan bagaimana Agung Sedayu harus memeras semua kemampuannya untuk
melawan kedua orang itu bersama-sama.
“Keduanya merupakan pasangan
yang mantap, sehingga aku mengalami kesulitan. Itulah sebabnya aku tidak
berhasil bertahan tanpa mengorbankan beberapa bagian dari tubuhku.
Serangan-serangan mereka kadang-kadang tidak dapat lagi aku hindarkan.”
“Kau tidak dapat mengalahkan
mereka dan terpaksa menghindar?” bertanya Untara.
Agung Sedayu menggeleng.
Jawabnya, “Aku tidak menghindarkan diri. Aku bertahan dan menyelesaikan
pertempuran itu, meskipun aku menjadi luka parah.”
“Bagaimana dengan keduanya?”
bertanya Untara. Agung Sedayu terdiam sejenak. Kemudian jawabnya, dengan
tatapan mata yang murung, “Sebenarnya aku tidak sengaja membunuh mereka. Aku
hanya mempertahankan diri.”
“Keduanya terbunuh?” bertanya
Widura dengan serta-merta.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas nampak wajahnya menegang menahan sakit.
“Jika keduanya tetap hidup,
mungkin beberapa hal akan dapat diungkapkan. Tetapi kematian itu sama sekali
tidak aku kehendaki. Kedua orang ayah dan anak itu telah mati. Gandu Demung
sendiri sudah mati pula.”
“Seorang saudaranya menjadi
tawanan kami,” berkata Widura.
Wajah Agung Sedayu sekilas
menjadi terang. Katanya, “Jadi mereka tidak tertumpas habis?”
“Kenapa kau bertanya begitu?”
bertanya Untara.
Agung Sedayu memandang
kakaknya sejenak. Kemudian sesaat ditatapnya wajah pamannya. Tetapi ia tidak
dapat menjawab pertanyaan kakaknya.
“Kau melakukan sesuatu yang
paling tepat. Meskipun masih ada yang harus diperbaiki. Aku tahu, bahwa kau
ragu-ragu untuk membunuh keduanya. Itulah sebabnya maka kau terluka parah.
Keragu-raguanmu-lah yang nyaris membunuh dirimu sendiri.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Seharusnya sejak semula kau
sudah mengambil keputusan, bahwa kau harus membinasakan musuh-musuhmu. Jika kau
berhasil menangkap hidup-hidup itu akan lebih baik. Tanpa keragu-raguan,
sehingga kau tidak usah mengorbankan dirimu sendiri. Dan ini adalah
kelemahanmu. Kelemahanmu yang paling buruk.”
“Untara,” desis Widura, “tentu
ia mempunyai alasan kenapa ia berbuat demikian.”
“Kelemahannya itulah alasan
yang paling tepat baginya. Dan itulah yang harus disingkirkan.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian bertanya kepada Agung Sedayu, seolah-olah
tidak menghiraukan kata-kata Untara, “Jadi kau sudah membunuh mereka?”
“Ya, Paman.”
“Setelah ia sendiri hampir
terbunuh,” potong Untara. Tetapi Widura yang seolah-olah tidak mendengarkan
pula bertanya kepada Agung Sedayu, “Tetapi bagaimanapun kau dapat sampai di
sini?”
“Ketika aku meninggalkan hutan
itu, aku masih merasa bahwa aku akan dapat meneruskan perjalanan sampai ke Jati
Anom. Apalagi setelah aku mencoba mengobati luka-lukaku sejauh dapat aku
lakukan. Karena itu aku tidak kembali ke Sangkal Putung meskipun masih belum
terlampau jauh. Tetapi agaknya ketahanan tubuhku tidak memungkinkannya.”
Widura mengangguk-angguk. Ia
sudah mendapat gambaran apa yang telah terjadi dengan Agung Sedayu. Ternyata ia
telah terlibat dalam pertempuran yang sangat dahsyat.
“Kau tidak berhasil mengatasi
kesulitan akibat luka-lukamu,” berkata Untara kemudian, “kau pingsan dan
diketemukan oleh para peronda.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mencoba bertahan di atas punggung kuda. Tetapi
kesadaranku memang sudah semakin lemah. Aku masih mendengar derap kaki-kaki
kuda mendekat. Tetapi aku sudah tidak dapat mengetahui dengan pasti, apakah
yang terjadi kemudian.”
“Untunglah bahwa kau jatuh ke
tangan para prajurit Pajang. Apalagi ada di antara mereka yang sudah
mengenalmu, sehingga kau dapat langsung dibawa kemari.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ia mencoba membayangkan perkelahian yang telah terjadi di hutan itu. Ketika ia
harus bertempur melawan kedua orang pemimpin penjahat dari Gunung Tidar.
“Agaknya Kakang Untara benar,”
desis Agung Sedayu di dalam hatinya, “aku selalu dibayangi oleh keragu-raguan.”
Sebenarnyalah Agung Sedayu
memang ragu-ragu. Ia semula tidak ingin membunuh kedua orang lawannya. Selain
karena ia memerlukan mereka hidup-hidup, agar mereka dapat menceriterakan lebih
banyak tentang Gandu Demung, juga karena Agung Sedayu mengerti, bahwa Gandu
Demung sudah terbunuh. Jika keduanya terbunuh pula, maka keluarga itu akan
terlalu banyak kehilangan.
Tetapi ternyata kedua orang
itu bertempur seperti badai, yang dengan dahsyatnya menempuhnya dari segala
penjuru. Kebuasan dan keliaran mereka telah berhasil mulai menitikkan darah
Agung Sedayu, sehingga anak muda itu menjadi kehilangan pengekangan diri.
Semakin banyak luka yang tergores
di tubuhnya, maka Agung Sedayu pun menjadi semakin garang, sehingga akhirnya
Agung Sedayu tidak lagi mempunyai pilihan. Ia masih terlalu muda untuk mati.
Karena itulah, maka tidak ada yang dapat dilakukannya untuk menyelamatkan
dirinya, selain membinasakan kedua lawannya itu.
Tetapi, ketika cambuknya
berhasil merenggut jiwa kedua lawannya, luka-luka di tubuhnya telah menjadi
semakin parah.
“Sudahlah, Agung Sedayu,”
berkata Widura kemudian, “yang terjadi sudah terjadi. Kau tidak perlu
memikirkannya lagi. Apakah kau menyesal karena telah membunuh atau kau menyesal
karena seakan-akan memberi kesempatan kepada lawanmu untuk melukaimu, atau
perasaan apa saja, namun kini ternyata bahwa persoalannya sudah jelas. Dan kau
telah selamat berada di antara kami di sini.”
Agung Sedayu mengangguk kecil,
“Ya, Paman.”
“Nah, sekarang cobalah untuk
tidur. Jika kau sudah beristirahat barang sejenak, maka kau akan menjadi
semakin segar.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
Untara yang berada di dalam
bilik itu pun kemudian berkata, “Beristirahatlah. Kita akan berbicara besok,
jika keadaanmu sudah semakin baik.”
Widura memandang kemanakannya
sambil menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu. Ia sudah
mengenal Untara sejak kecil dengan sifat dan wataknya, seperti juga mengenal
Agung Sedayu.
Sejenak kemudian, maka mereka
yang berada di dalam bilik itu pun melangkah ke luar. Widura pun telah berdiri
pula di sisi pembaringan Agung Sedayu. Sambil menepuk pundaknya ia berkata,
“Beristirahatlah sebaik-baiknya. Kami akan mengurus mayat kedua orang yang kau
tinggalkan. Bukankah sosok mayat itu masih belum diselenggarakan?”
Agung Sedayu menggeleng.
Katanya, “Aku tinggalkan dalam keadaannya. Terbujur di tanah.”
“Tentu. Kau sendiri sudah
terlalu lemah.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Sepeninggal orang-orang yang
menungguinya, Agung Sedayu berbaring seorang diri. Ia sempat berangan-angan
tentang dirinya. Ia sadar, bahwa kakaknya tentu sudah tidak sabar menunggunya.
Dan kini ia datang dengan luka parah.
Sekilas ia membayangkan
kembali pertempuran yang dahsyat itu. Hampir saja ia kehilangan kesempatan.
Namun kemudian, tubuhnya serasa meremang ketika ia mulai membayangkan, bahwa
tubuh-tubuh yang terbaring itu dapat dijamah oleh binatang buas yang berkeliaran
di hutan itu. Meskipun hutan itu tidak begitu lebat, tetapi di dalamnya
tersembunyi beberapa jenis harimau meskipun tidak terlalu besar, serigala dan
anjing-anjing hutan.
Ketika sejenak kemudian ia
mendengar kaki kuda berderap di halaman, maka ia pun berkata kepada diri
sendiri, “Mudah-mudahan mereka adalah orang-orang yang akan mengurusi kedua
sosok mayat itu.”
Ketika seseorang masuk ke
dalam untuk meletakkan semangkuk minuman hangat, Agung Sedayu sempat bertanya,
“Apakah sudah ada yang berangkat ke hutan di ujung Kademangan Sangkal Putung
itu?”
“Sudah. Sepuluh orang.”
“Sepuluh orang?” Agung Sedayu
mengulang.
“Ya, sepuluh orang. Mereka
masih memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi, karena ternyata masih ada
satu dua orang yang bertebaran di daerah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Ia sendiri hampir saja diterkam oleh kesulitan yang tidak
teratasi. Untunglah bahwa pada saat-saat yang gawat itu seolah-olah ia
merasakan betapa lembutnya tangan yang Maha Kasih, yang telah menyelamatkannya.
“Tetapi apakah dengan demikian
aku harus membunuh ayah dan anak itu sekaligus?” Pertanyaan itu masih selalu
mengejarnya, meskipun setiap kali ia selalu berusaha mengatasi pertanyaan itu
dengan jawaban, “Aku hanya membela diri. Aku terpaksa membunuh karena aku tidak
mau mati muda.”
Hati Agung Sedayu masih saja
dicengkam oleh kegelisahan. Tetapi semuanya telah terjadi. Dan bahkan kakaknya
telah menyalahkannya, bahwa ia adalah orang yang terlalu lemah.
Dalam pada itu, sepuluh orang
tengah berpacu menuju ke hutan di ujung Kedemangan Sangkal Putung. Mereka
mendapat tugas untuk menyelenggarakan kedua sosok mayat itu, sesuai dengan
keadaan yang mungkin mereka lakukan.
Namun agaknya sepuluh orang
prajurit berkuda itu telah menarik perhatian beberapa orang yang menyaksikan
mereka di sepanjang jalan. Bukan saja orang-orang Kademangan Jati Anom sendiri,
tetapi juga orang-orang Macanan, dan satu dua orang Sangkal Putung yang melihat
mereka memasuki hutan itu.
“Apakah yang dilakukan oleh
prajurit-prajurit itu di hutan?” bertanya salah seorang dari Sangkal Putung,
yang kebetulan melihat mereka.
Yang lain menggelengkan
kepalanya.
“Tentu ada sesuatu yang mereka
lakukan.”
“Biar sajalah. Itu bukan
urusan kita.”
“Tetapi hal itu terjadi di
kademangan kita.”
“Hutan itu adalah hutan yang
masih di tlatah Pajang. Biar sajalah prajurit-prajurit Pajang berburu di hutan
itu.”
“Menurut dugaanku, mereka
tentu tidak sekedar berburu.”
Orang-orang Sangkal Putung itu
menjadi termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari mereka berkata,
“Apakah tidak sebaiknya kita melaporkannya kepada Ki Demang atau Ki Jagabaya?”
“Ya. Kita pergi ke rumah
Jagabaya yang dari sini agak lebih dekat dari rumah Ki Demang.”
Orang-orang Sangkal Putung
yang kebetulan melihat prajurit yang memasuki hutan itu pun kemudian dengan
tergesa-gesa kembali ke padukuhan dan langsung menuju ke rumah Ki Jagabaya.
“Kami sedang menyusuri parit
untuk melancarkan arus air,” berkata salah seorang dari orang-orang Sangkal
Putung itu.
“Apakah mereka tidak
memperhatikannya?”
“Mereka seolah-olah tidak
memperhatikan apa pun juga. Mereka hanya berhenti sebentar mengamat-amati sisi
hutan. Kemudian mereka langsung memasuki hutan itu.”
Ki Jagabaya merenung sejenak.
Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan melihatnya.”
Bersama dua orang pengawal. Ki
Jagabaya pun segera berpacu pula menuju ke tempat yang ditunjukkan oleh
orang-orang Sangkal Putung, yang kebetulan melihat para prajurit itu memasuki
hutan.
Sementara itu, sepuluh orang
prajurit Pajang itu pun telah menemukan ciri-ciri yang disebut oleh Agung
Sedayu. Dengan teliti, mereka pun kemudian berusaha untuk menemukan kedua sosok
mayat di arena perkelahian seperti yang dikatakannya.
Usaha yang mereka lakukan
ternyata tidak banyak menemukan kesulitan. Seperti yang dikatakan oleh Agung
Sedayu, maka mereka pun segera menemukan bekas arena perkelahian itu.
Prajurit-prajurit itu
menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika mereka melihat bekas perkelahian yang
terjadi di hutan itu, antara Agung Sedayu dan kedua orang lawannya. Agaknya
perkelahian itu benar-benar telah terjadi dengan dahsyatnya. Senjata-senjata
mereka telah merampas dedaunan dan ranting-ranting di sekitar arena. Bahkan
dahan-dahan kayu pun berpatahan oleh sentuhan pedang dan cambuk Agung Sedayu.
Prajurit itu menarik nafas
dalam-dalam. Mereka menemukan kedua sosok mayat, seperti yang dikatakan oleh
Agung Sedayu, pada jarak beberapa langkah. Ternyata bahwa kemarahan Agung
Sedayu telah meledak tanpa dapat dikendalikannya lagi.
Luka-luka kedua sosok mayat
itu menunjukkan, betapa dahsyatnya kekuatan yang tersalur lewat ujung cambuk
Agung Sedayu. Mungkin luka-luka Agung Sedayu yang telah mendorongnya untuk
mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, sehingga ujung cambuknya
seolah-olah telah membelah kulit kedua lawannya silang-melintang.
“Bukan main,” desis salah
seorang prajurit.
“Adik Untara itu memang
memiliki kemampuan raksasa. Agaknya ia sudah bertempur dengan segenap
kemampuannya. Itu pun ia harus mengalami luka-luka berat. Kedua lawannya ini
pun tentu orang-orang yang memiliki kemampuan.”
“Yang satu adalah saudara
laki-laki orang yang bernama Gandu Demung, sedangkan yang lain adalah ayahnya,”
berkata salah seorang dari prajurit-prajurit itu.
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Mereka telah mendengar serba sedikit tentang orang yang
bernama Gandu Demung dari para tawanan. Sebagian dari mereka menggambarkan
bahwa Gandu Demung adalah orang yang memiliki tenaga raksasa.
“Tetapi ia terbunuh oleh
Swandaru,” desis salah seorang dari prajurit-prajurit itu.
“Dan kini, kedua orang itu
telah berkelahi melawan Agung Sedayu,” desis yang lain.
Prajurit-prajurit itu masih
saja merenungi bekas arena yang dahsyat itu. Mereka seolah ingin membayangkan,
apakah yang sudah terjadi di tempat itu. Tanah yang bagaikan dibajak dan
dedaunan yang gugur. Batang perdu yang berpatahan dan darah berceceran.
“Mengerikan sekali,” desis
salah seorang dari prajurit itu.
Yang lain mengangguk-angguk.
Tetapi mereka pun melihat kedahsyatan yang sukar dibayangkan.
“Sudahlah,” berkata pemimpin
kelompok kecil prajurit itu, “marilah, kita akan mengubur mayat-mayat itu.”
Yang lain pun seperti tersadar
dari mimpi buruknya. Mereka pun segera mempersiapkan alat-alat mereka untuk
mengubur mayat-mayat orang yang terbunuh oleh cambuk Agung Sedayu, dengan luka
parah yang silang-melintang di tubuhnya.
Namun dalam pada itu, Ki
Jagabaya pun sudah menjadi semakin dekat dengan tempat yang ditunjukkan oleh
orang-orang yang melihat prajurit-prajurit Pajang itu memasuki hutan.
Dalam pada itu, selagi para prajurit
Pajang sibuk menggali dua buah liang kubur, mereka tertegun ketika mereka
mendengar suara kuda meringkik di kejauhan.
“Siapakah yang datang?” desis
salah seorang dari mereka.
Pemimpin sekelompok kecil
prajurit itu pun meletakkan alat-alatnya dan berkata kepada
prajurit-prajuritnya, “Berhati-hatilah. Kita tidak mengetahui, siapakah yang
bakal datang.”
Sementara itu, Ki Jagabaya
telah turun dari kudanya beberapa tonggak dari arena perkelahian itu. Dari
jarak yang agak jauh, Ki Jagabaya sudah mendengar suara cangkul yang
bersentuhan dengan alat-alat yang lain.
“Kita menuju ke arah yang
benar. Bekas-bekas kaki kuda yang kita ikuti jejaknya, benar-benar jejak
sekelompok prajurit itu. Aku sudah mendengar sesuatu.”
“Ya, Ki Jagabaya. Kita sudah
dekat.”
Ki Jagabaya pun kemudian
memerintahkan salah seorang dari pengawalnya untuk berhenti di tempatnya sambil
berpesan, “Awasilah suasana. Jika terjadi sesuatu, cepat tinggalkan hutan ini
dan beri kabar kepada para pengawal di padukuhan terdekat.”
“Baik, Ki Jagabaya.”
“Jika tidak ada sesuatu yang
mencurigakan, aku akan memanggilmu.”
“Ya, Ki Jagabaya.”
Ki Jagabaya pun menjadi
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun maju mendekati bekas arena yang
mengerikan itu. Arena yang berbeda dengan arena yang dipergunakan oleh para
pengiring pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh, yang harus bertempur melawan
anak buah Gandu Demung.
Sejenak kemudian, Ki Demang
sudah melihat beberapa orang prajurit yang bersiaga menunggu kedatangannya.
Agaknya mereka cukup berhati-hati
menghadapi segala kemungkinan.
Namun tiba-tiba saja ketika Ki
Jagabaya muncul, salah seorang dari para prajurit itu berdesis, “Ki Jagabaya
dari Sangkal Putung.”
Ki Jagabaya yang kemudian
berdiri di hadapan para prajurit itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Aku
Jagabaya dari Sangkal Putung.”
“Apakah Ki Jagabaya lupa
kepadaku?” bertanya prajurit yang sudah mengenalnya.
Ki Jagabaya memandang prajurit
itu. Kemudian jawabnya, “Tidak, tentu tidak, Ki Sanak. Aku mengenalmu
sebaik-baiknya.”
Pemimpin prajurit itu pun
kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Aku pernah melihat Ki Jagabaya di Jati
Anom.”
“Agaknya Ki Jagabaya-lah yang
mendapat tugas dari Ki Demang, mengundang Ki Untara ketika Sangkal Putung
mengadakan perelatan perkawinan anak laki-lakinya.”
“Ya. Akulah yang saat itu
datang ke Jati Anom.”
Pemimpin prajurit itu pun
segera melangkah maju sambil tersenyum, “Aku sekarang sudah mengenalmu. Kau
benar-benar Ki Jagabaya dari Sangkal Putung,” ia berhenti sejenak. Lalu,
“Marilah, Ki Jagabaya. Adalah kebetulan sekali bahwa Ki Jagabaya memerlukan
datang pada saat ini.”
“Aku mendengar dari beberapa
orang yang kebetulan melihat, ada beberapa orang prajurit Pajang yang memasuki
hutan ini.”
“Benar. Kamilah yang
dimaksudkan.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Kemudian dilihatnya dua sosok mayat yang masih tergolek di tempatnya.
“Mayat siapakah itu?” bertanya
Ki Jagabaya.
Pemimpin prajurit itu pun
kemudian mempersilahkan Ki Jagabaya untuk melihatnya. Katanya, “Apakah kau
mengenal kedua sosok mayat itu?”
Ki Jagabaya maju beberapa
langkah. Dengan ragu-ragu ia mengamat-amati kedua sosok mayat itu
berganti-ganti. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Mengerikan
sekali. Kematian yang pahit,” ia berhenti sejenak. Lalu dengan ragu-ragu ia
berkata, “Tetapi menilik luka-lukanya, maka orang ini telah bertempur dengan
salah seorang dari mereka yang bersenjata cambuk.”
“Tepat. Mereka adalah
orang-orang yang telah salah memilih korban. Keduanya telah mencegat Angger
Agung Sedayu.”
“Angger Sedayu?” Ki Jagabaya
mengulangi. Pemimpin prajurit itu mengangguk.
“Bagaimana dengan Angger Agung
Sedayu sekarang?”
Pemimpin prajurit itu
menceritakan serba sedikit tentang keadaan Agung Sedayu. Meskipun ia terluka
parah, tetapi ia berhasil sampai ke Jati Anom, dengan pertolongan beberapa
orang peronda yang kebetulan menjumpainya.
“Jadi, Angger Agung Sedayu
telah terluka parah?”
Pemimpin prajurit itu
mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi tidak membahayakan jiwanya. Ia akan segera
sembuh.”
Ki Jagabaya termangu-mangu. Lalu
katanya, “Jarak ini jauh berbeda antara Sangkal Putung dan Jati Anom. Jika
Angger Agung Sedayu terluka parah, maka ia tentu akan kembali ke Sangkal
Putung.”
Pemimpin prajurit itu menyahut
sambil mengangguk-angguk, “Seharusnya memang demikian, Ki Jagabaya. Tetapi
agaknya Angger Agung Sedayu memilih arah yang lain. Ia sudah berniat ke Jati
Anom. Dan ia sudah meninggalkan Sangkal Putung. Karena itu ia melanjutkan
perjalanannya ke Jati Anom, dalam keadaan yang apa pun juga.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Katanya, “Mungkin. Memang mungkin bagi orang-orang seperti Angger Agung Sedayu.
Tetapi agak lain jika yang melakukannya itu orang-orang kebanyakan.”
Pemimpin prajurit Pajang itu
mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Nah, adalah perintah Ki Untara kepada kami
untuk menguburkan mayat-mayat yang ditinggalkan oleh Angger Agung Sedayu di
sini. Kami sedang mulai menggali lubang. Ki Untara menghendaki agar mayat-mayat
itu tidak menjadi mangsa binatang buas di hutan ini.”
Ki Jagabaya terdiam sejenak
merenungi mayat yang lukanya silang melintang. Sekilas terbayang kembali
mayat-mayat yang telah dikuburkan oleh orang-orang Sangkal Putung, saat
terjadinya pertempuran antara para pengiring sepasang pengantin dari Tanah
Perdikan Menoreh di ujung hutan itu pula.
“Ki Jagabaya,” bertanya
pemimpin prajurit itu kemudian, “apakah Ki Jagabaya mempunyai pendapat yang
dapat kami pertimbangkan tentang mayat-mayat ini?”
Ki Jagabaya menggeleng.
Jawabnya, “Tidak, Ki Sanak. Silahkan mengubur mayat-mayat itu. Agaknya memang
itulah yang harus dikerjakan. Kita tidak dibenarkan untuk menterlantarkan mayat
siapa pun juga.”
Pemimpin prajurit itu pun
kemudian memerintahkan anak buahnya untuk meneruskan kerja mereka menggali
lubang bagi kedua sosok mayat itu. Bahkan Ki Jagabaya pun telah memanggil
orangnya, yang ditinggalkannya, untuk bersama-sama dengan pengawalnya yang lain
membantu para prajurit menguburkan mayat-mayat itu.
Ketika kerja mereka selesai,
maka Ki Jagabaya pun kemudian minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung,
melaporkan apa yang telah disaksikannya di hutan, tidak jauh dari arena
pertempuran yang dahsyat beberapa saat yang lalu.
“Mungkin laporan ini akan
sangat menarik perhatian,” berkata Ki Jagabaya, “terutama bagi Kiai Gringsing.”
Pemimpin prajurit itu
mengangguk-angguk. Ia pun mengenal Kiai Gringsing sebagai guru Agung Sedayu dan
sekaligus seorang dukun yang pandai. Jika ia sempat melihat Agung Sedayu, maka
ia tentu akan dapat mengobatinya, sehingga anak muda itu akan dapat sembuh
lebih cepat lagi.
“Mungkin kehadiran Kiai
Gringsing akan sangat berarti bagi Angger Agung Sedayu,” berkata pemimpin
kelompok kecil prajurit Pajang di Jati Anom itu.
“Baiklah, aku akan
menyampaikannya,” sahut Ki Jagabaya.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian Ki Jagabaya pun telah berpacu meninggalkan hutan di ujung Kedemangan
Sangkal Putung itu. Namun sejenak kemudian, para prajurit itu pun segera
kembali pula ke Jati Anom.
Kedatangan Ki Jagabaya di
Kademangan Sangkal Putung dengan beritanya tentang dua sosok mayat itu memang
sangat menarik perhatian. Ki Demang, para bebahu, para tamunya dan Swandaru
mendengarkan laporan itu dengan saksama.
“Jadi prajurit-prajurit itu
langsung menguburkan mereka yang terbunuh itu?” bertanya Swandaru.
“Ya,” Jawab Ki Jagabaya.
“Kenapa mereka berbuat
begitu?”
“Apa salahnya?” justru Ki
Jagabaya-lah yang bertanya.
“Kau aneh, Ki Jagabaya.
Seharusnya kau lebih tahu dari aku, bahwa hutan itu berada di tlatah Sangkal
Putung. Seharusnya para prajurit itu tidak langsung melakukannya sendiri.”
Ki Jagabaya menjadi heran.
Sejenak dipandanginya Ki Demang yang juga termangu-mangu.
“Apakah maksudmu, Swandaru?”
bertanya Ki Demang.
“Hutan itu adalah hutan tlatah
Kademangan Sangkal Putung. Setiap kegiatan apa pun yang dilakukan oleh orang
lain di sini, harus ada ijin atau setidak-tidaknya sepengetahuan kita, sehingga
kita mengetahui dengan pasti apakah yang sedang terjadi di tlatah kita ini.”
“Tetapi prajurit-prajurit itu
adalah prajurit-prajurit Pajang, Swandaru,” sahut ayahnya. “Pajang mempunyai
kekuasaan atas daerah kecil yang dalam tugas sehari-hari di bawah perintah
seorang Demang.”
“Nah, itulah soalnya, Pajang
telah melimpahkan kekuasaan atas kademangan ini kepada Ayah, sehingga apa pun
yang mereka lakukan atas daerah ini, Ayah harus mengetahuinya.
Prajurit-prajurit itu harus datang lebih dahulu ke kademangan ini untuk minta
ijin, atau jika mereka merasa dirinya memiliki kekuasaan Pajang, memberitahukan
bahwa mereka akan melakukan sesuatu di daerah kita.”
“Swandaru,” berkata Ki
Jagabaya, “mereka datang untuk menguburkan mayat-mayat yang terbunuh oleh
Anakmas Agung Sedayu. Hanya itu. Mereka tidak melakukan apa-apa di sini. Dan
aku, Jagabaya Sangkal Putung, menunggui pekerjaan itu dari permulaan sampai
selesai.”
“Tetapi kehadiran Ki Jagabaya
adalah hanya karena kebetulan ada orang yang melihat prajurit-prajurit itu
memasuki hutan. Bukan dengan sengaja mereka memberitahukan kepada Ki Jagabaya.”
“Swandaru,” potong Ki Demang,
“aku sudah menjadi Demang sampai puluhan tahun. Tetapi dalam hal seperti ini
aku sama sekali tidak merasa tersinggung. Aku baru tersinggung jika prajurit
itu melakukan pungutan padi, atau hasil kebun yang lain tanpa sepengetahuanku.
Atau mereka mengepung kademangan ini untuk menangkap salah seorang perabot desa
tanpa pertimbanganku. Jika mereka hanya datang ke hutan di ujung kademangan itu
dan menguburkan mayat-mayat, aku sama sekali tidak berkeberatan.”
“Kali ini mereka datang
mengubur mayat, Ayah. Tetapi lain mereka datang membuat mayat di sini, tanpa
sepengetahuan kita.”
Ki Demang menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, “Swandaru, baiklah jika kau berpikir tentang kekuasaan atas
wilayah. Tetapi apakah kau dapat mengatakan bahwa hutan itu adalah wilayah
Kademangan Sangkal Putung sepenuhnya? Hutan itu memang berada di ujung
kademangan kita. Tetapi hutan itu adalah hutan yang tidak digarap oleh siapa
pun juga, dalam arti penguasaan tanahnya.”
Wajah Swandaru menjadi tegang.
Sejenak dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya. Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Waskita, sama sekali tidak berani mencampurinya, karena
mereka merasa tidak berhak sama sekali, kecuali memberikan sekedar pertimbangan
apabila diminta dan tanpa mengikat.
Tetapi dalam pembicaraan yang
langsung membicarakan masalah kademangan, mereka lebih baik berdiam diri.
Dalam pada itu agaknya
Swandaru yang masih muda itu tidak puas mendengar jawaban ayahnya. Karena itu,
maka ia pun kemudian berkata, “Ayah. Agaknya memang harus sudah dimulai sejak
kini. Kita harus menunjukkan sikap seorang pemimpin yang langsung menguasai
suatu daerah atas wewenang yang juga dilimpahkan dan mengalir dari kekuasaan
Sultan. Jika para prajurit itu merasa berhak melakukan tugasnya yang
dilimpahkan lewat para senapati perang, maka kita mendapat limpahan kekuasaan
itu lewat pemimpin-pemimpin pemerintahan. Lewat para bupati dan alat
kekuasaannya. Karena itu, kita berhak mengatur tata pemerintahan atas nama
Sultan di kademangan ini.”
Ki Demang Sangkal Putung
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Swandaru. Seandainya kau
benar, maka kau pun harus berlaku bijaksana. Menurut pendapatku, yang dilakukan
oleh para prajurit itu sama sekali tidak mengganggu kekuasaanku sebagai Demang
di Sangkal Putung.”
“Ayah memang terlalu baik
hati. Tetapi jika datang saatnya, Ayah akan menyadari bahwa sedikit demi sedikit,
kita akan kehilangan kewibawaan kita atas kampung halaman ini.”
Sejenak Ki Demang berdiam
diri. Ia pun merasakan perkembangan cara berpikir anaknya, sejak saat ia
melangsungkan perkawinannya.
Namun kemudian ia masih
berkata, “Entahlah bagi masa-masa mendatang, Swandaru. Tetapi pada saat ini,
aku sebagai Demang di Sangkal Putung, sama sekali tidak berkeberatan atas sikap
para prajurit itu.”
Swandaru tidak menjawab lagi.
Tetapi, nampak ketegangan di wajahnya. Ayahnya pun mengetahui, bahwa anak
laki-laki satu-satunya itu masih belum merasa puas terhadap sikapnya.
Yang ikut menjadi
berdebar-debar adalah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita. Bukan saja
karena perselisihan yang mungkin akan berkepanjangan antara Swandaru dan para
bebahu Kademangan Sangkal Putung, tetapi bagi Ki Waskita, sikap Swandaru itu
mulai menyeretnya ke dalam kegelisahan yang lebih mendalam. Ki Waskita selalu
diganggu oleh ingatannya, terhadap isyarat yang beberapa kali dilihatnya di
dalam dunia pengamatan batinnya. Lamat-lamat isyarat itu seakan-akan mulai
dikenalnya di dalam kehidupan wadag, pada sikap dan tingkah laku Swandaru.
“Tentu tidak,” ia masih
mengelak, “tentu hanya karena terlalu cemas. Bukankah sikapnya adalah sikap
yang wajar dari seorang anak muda yang merasa bertanggung jawab? Jika ia
kemudian memiliki pengalaman yang seluas ayahnya, maka ia pun akan dapat
mengerti, bahwa kebijaksanaan tidak dapat disamakan dengan kelemahan.”
Namun demikian, ia masih saja
menjadi gelisah.
Seperti juga Ki Waskita, Kiai
Gringsing, dan Ki Sumangkar pun menjadi cemas pula melihat perkembangan
Swandaru. Apalagi karena mereka pun pernah mendengar kecemasan Ki Waskita atas
isyarat yang pernah dilihatnya.
“Mungkin masih ada jalan,”
Kiai Gringsing pun kadang-kadang mencoba menenangkan hatinya, apabila ia
melihat kenyataan itu.
Swandaru, yang meskipun belum
puas karena sikap ayahnya, namun ia sudah tidak bernafsu lagi untuk membantah.
Tetapi kediamannya itu justru merupakan timbunan ketidak-puasan, yang pada
suatu saat akan dapat meledak.
Dalam pada itu, para prajurit
yang sudah menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada mereka pun telah sampai
pula ke Jati Anom. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka mereka pun segera
menghadap Untara dan melaporkan semuanya yang telah mereka kerjakan.
“Pada saat kami melakukan
tugas kami, Ki Jagabaya dari Sangkal Putung juga hadir,” berkata pemimpin
kelompok kecil itu.
“O, jadi Ki Jagabaya juga
datang? Siapakah yang memberitahukan kehadiran kalian kepadanya?” bertanya
Untara.
“Kebetulan saja satu dua orang
petani melihat kami memasuki hutan itu dan melaporkannya kepada Ki Jagabaya
Sangkal Putung. Karena itu, maka ia pun segera datang untuk melihat, apakah
kami benar-benar prajurit Pajang di Jati Anom.”
“Ketika ia sudah mengetahui
bahwa kalian adalah sekelompok prajurit, apakah ia masih menuntut sesuatu dari
kalian?”
“Tidak. Ki Jagabaya justru
membantu kami.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah bahwa ia tidak melakukan kesalahan.
Kadang-kadang orang-orang Sangkal Putung merasa dirinya terlalu berkuasa,
sehingga menimbulkan sifat dan tindakan yang aneh-aneh pada mereka.”
“Tidak, Ki Untara. Ki Jagabaya
bersikap dan bertindak tepat menurut penilaian kami.”
“Tetapi kehadirannya
sebenarnya tidak berguna.”
“Ia ingin membuktikan siapakah
yang datang ke tengah hutan itu.”
“Ya, dalam hal itu benar.
Tetapi ia dapat membuat kesalahan tanpa disadarinya pada segi yang lain.”
Para prajurit itu
termangu-mangu.
“Tanpa disadarinya tentu ia
akan bercerita tentang Agung Sedayu yang terluka. Nah, kau tahu, guru Agung
Sedayu adalah seorang dukun. Ia tentu tidak akan membiarkan muridnya mengalami
penderitaan selama ia sakit. Nah, apakah kira-kira yang akan dilakukan?”
“Ia akan datang kemari. Tetapi
bukankah itu lebih baik?”
“Jika ia datang sendiri, itu
lebih baik. Tetapi jika ia datang bersama muridnya yang lain, aku agak kurang
senang. Sikapnya terhadap Agung Sedayu membuat hatiku kadang-kadang bergolak.
Apalagi menurut Paman Widura, anak yang gemuk itu seolah-olah merasa dirinya
mempunyai wewenang dan kekuasaan atas Agung Sedayu.”
Para prajurit itu
mengangguk-angguk. Mereka tidak begitu mengerti, apakah yang telah terjadi
dalam hubungan antara guru dan murid, antara kakak beradik dan antara mereka
semuanya. Karena itu, maka para prajurit itu pun tidak menjawab.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing
tidak membawa muridnya, yang tentu akan berusaha untuk mengajak Agung Sedayu
segera kembali ke Sangkal Putung,” desis Untara.
Prajurit-prajurit itu tidak
menjawab. Bahkan mereka menundukkan wajah masing-masing, apabila sentuhan
tatapan mata Untara yang tajam mengenainya.
“Baiklah,” berkata Untara
kemudian, “tugasmu sudah selesai,”
Prajurit-prajurit itu pun
kemudian meninggalkan Untara seorang diri. Wajahnya yang tegang dan keningnya
yang berkerut-kerut, membuatnya menjadi seolah-olah semakin tua.
“Kakang,” terdengar seseorang
memanggilnya dari sela-sela daun pintu yang terbuka, “apakah aku boleh masuk?”
Ketika Untara berpaling,
dilihatnya istrinya berdiri termangu-mangu di luar pintu.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Lalu jawabnya, “Masuklah. Aku tidak sedang berbuat apa-apa di
sini.”
“Justru saat Kakang tidak
berbuat apa-apa,” sahut istrinya.
Untara memandang istrinya
dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Kemarilah.”
Sejenak kemudian, istrinya pun
sudah duduk di sampingnya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Kakang, aku tidak
berani mencampuri persoalan Kakang Untara, jika Kakang Untara berbicara tentang
tugas-tugas keprajuritan. Tetapi kini agaknya Kakang mempunyai persoalan lain,
persoalan Agung Sedayu.”
Untara mengangguk. Jawabnya,
“Ya. Aku sedang dirisaukan oleh adikku yang seorang itu.”
“Lukanya kini berangsur baik.
Ia sudah mulai mau makan meskipun hanya sedikit sekali. Nampaknya luka-lukanya
masih terasa pedih dan nyeri.”
“Tentu. Agaknya ia harus
berbaring secepat-cepatnya sepekan.”
“Jika keadaannya baik, ia akan
dapat mulai bangkit sepekan lagi. Tetapi jika keadaannya buruk, maka sakitnya
akan menjadi lebih panjang.”
“Maksudmu?”
“Kakang, agaknya selain sakit
karena luka-lukanya, Agung Sedayu juga digelisahkan oleh suasana. Ia sadar
sikap Kakang terhadapnya akan dapat menyulitkannya. Itulah sebabnya, maka
rasa-rasanya luka Agung Sedayu itu bertambah parah menurut penglihatan
lahiriah, meskipun sebenarnya sebab-sebabnya bukannya sebab kewadagannya.”
“Jadi, apakah aku harus
membiarkannya?”
“Bukan, Kakang. Bukan begitu.
Tetapi aku mempunyai permintaan untuk kebaikan anak itu.”
“Apa?”
“Kakang sebaiknya tidak
mempersoalkannya selagi ia masih sakit.”
“Sekarang aku memang tidak
akan mempersoalkannya. Mungkin besok atau lusa.”
“Juga tidak besok atau lusa.”
“Jadi?”
“Tunggulah agar ia menjadi
sembuh sama sekali.”
“Kenapa? Jika aku sekarang
atau nanti atau besok mempersoalkannya, maka aku hanya akan berbicara
dengannya. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku tidak akan menyentuhnya, apalagi
memperberat luka-lukanya.”
“Tentu Kakang tidak akan
berbuat demikian. Tetapi perasaannya yang peka akan sangat mempengaruhi
keadaannya.”
Untara termangu-mangu.
Dipandanginya wajah istrinya yang nampak bersungguh-sungguh.
“Kakang,” berkata isterinya,
“aku baru saja menengoknya. Sebenarnya hatinyalah yang jauh lebih pedih dari
luka-lukanya yang berangsur baik itu, sehingga nampaknya ia masih saja dalam
keadaan yang sangat parah.”
“Ah, tentu tidak. Ia seorang
laki-laki seperti aku. Ia akan menghadapi segala persoalan dengan sikap
laki-laki.”
“Tetapi, Kakang, tidak semua
orang memiliki sikap dan pandangan hidup yang sama. Aku tidak mengenal Agung
Sedayu di masa kecilnya. Tetapi aku pernah mendengarnya dari Kakang, sehingga
aku dapat membayangkan apa yang bergejolak di dalam hatinya sekarang, setelah
aku mendengar beberapa kalimat dari mulutnya.”
“Jadi, bagaimanakah yang baik
menurut pertimbanganmu?”
“Menurut pendapatku, biarlah
ia sembuh dahulu. Sementara itu Kakang jangan menunjukkan sikap yang tegang
terhadapnya. Hubungan antara Kakang Untara dan Agung Sedayu agaknya memang
menjadi seakan-akan dibatasi oleh sikap tertentu. Kakang sudah langsung
menganggap Agung Sedayu bersalah, sehingga sikap Kakang itu tentu sangat
mempengaruhi sikap Agung Sedayu pula. Jika ia bertemu dengan Kakang, ia segera
menyusun alasan-alasan untuk membela diri dari kesalahan-kesalahan yang pasti
akan ditimpakan kepadanya. Sehingga sebelum persoalan yang sebenarnya dibicarakan,
masing-masing telah dibebani oleh sikap yang kaku dan kurang terbuka.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah yang sebaiknya aku lakukan
terhadap adikku itu?”
“Biarlah Paman Widura dan
orang yang dikehendakinya saja, pada suatu saat berbicara dengan Agung Sedayu.
Jangan tergesa-gesa.”
Untara termangu-mangu sejenak.
Sikap prajuritnya mulai melonjak. Tetapi penjelasan istrinya itu memang
mempunyai pengaruh yang lain kepadanya. Ia melihat sesuatu yang meskipun masih
kabur, tetapi dapat dimengertinya.
“Kakang,” berkata istrinya
pula, “kini Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Biarlah ia merasakan bahwa
Jati Anom merupakan tempat yang teduh dan sejuk baginya. Jika sejak semula ia
harus mengalami sikap yang keras dan tegang, maka baginya Jati Anom adalah
tempat yang tidak menyenangkannya. Dengan demikian, ia akan menjadi semakin
jauh, bukan saja jiwani tetapi keinginannya untuk meninggalkan tempat ini akan
segera mendesaknya untuk merantau ke mana pun juga, seandainya ia tidak ingin
kembali ke Sangkal Putung.”
“Baiklah,” desis Untara
kemudian, “aku akan mencoba menahan diri kali ini.”
Istri Untara itu pun
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil
berdesis, “Sebaiknya Kakang memang berbuat demikian. Aku kira memperlakukan
Agung Sedayu tidak seharusnya sama seperti memperlakukan Kakang Untara
sendiri.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.
Istrinya pun kemudian minta
diri meninggalkan Untara duduk sendiri. Dicobanya untuk mengurai semua sikapnya
terhadap adiknya. Namun setiap kali Untara masih saja selalu diganggu oleh
sikapnya yang menurut pendapatnya adalah yang terbaik. Terutama bagi Agung
Sedayu.
Tetapi keterangan istrinya
dapat dimengertinya pula dan ia pun sudah berjanji untuk melakukannya.
Karena itulah, maka di hari
berikutnya, Untara mencoba menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa-apa
tentang Agung Sedayu. Jika ia menengok adiknya yang masih terbaring di
pembaringan, ia sama sekali tidak bertanya, apakah yang akan dilakukan oleh
Agung Sedayu setelah ia sembuh.
Untuk menyingkirkan persoalan
adiknya yang rasa-rasanya selalu menggelitik hatinya, maka Untara pun kemudian
mencoba menyibukkan dirinya dengan para tawanan. Ia telah menentukan, siapa di
antara para tawanan yang harus segera dibawa ke Pajang.
“Mereka harus berada di dalam
pedati yang tertutup,” berkata Untara, “kita semuanya masih meragukan, apakah
mereka tidak selalu dalam pengawasan kawan-kawannya.”
Demikianlah, beberapa orang di
antara mereka pun segera dinaikkan ke dalam pedati. Tiga orang prajurit dalam
pakaian sehari-hari berada pula di dalam setiap pedati, bersama lima orang
tawanan yang duduk berdesakan dengan tangan terikat.
“Kita tidak boleh menanggung
akibat yang dapat membuat kita menyesal karena kelengahan kita,” perintah
Untara.
Para prajurit yang menjalankan
tugas itu pun merasa sangat kesal, karena mereka harus mengiringi beberapa buah
pedati yang berjalan terlalu lamban. Rasa-rasanya mereka akan melakukan
perjalanan yang panjang sekali tanpa akhir. Jarak Jati Anom sampai ke Pajang
bukannya jarak yang sangat jauh jika mereka menempuhnya berkuda. Tetapi,
meskipun mereka berada di punggung kuda tetapi harus mengikuti langkah-langkah
lamban lembu yang menarik pedati, maka rasa-rasanya perjalanan itu tentu akan
sangat menjemukan.
“Tetapi jangan lengah,” pesan
Untara, “meskipun kalian dapat mengantuk di perjalanan, namun jika tiba-tiba
sehelai pedang siap memenggal lehermu, kalian tentu akan segera terbangun.”
Para prajurit itu menyadari
bahwa Untara ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali masih terjadi sesuatu di
perjalanan. Karena itu, mereka pun harus bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi
segala kemungkinan.
Oleh kesibukannya itu, Untara
dapat melupakan persoalan adiknya barang sesaat. Ia menyerahkan persoalan Agung
Sedayu kepada Widura dan istrinya, dengan harapan bahwa Agung Sedayu akan dapat
dijinakannya.
“Terserahlah kepada, Paman,”
berkata Untara kepada Widura yang setiap kali datang berkunjung. Bahkan ia
lebih banyak berada di Jati Anom daripada berada di rumahnya sendiri di Banyu
Asri, untuk menunggui Agung Sedayu.
Tetapi, agaknya ia sependapat
dengan istri Untara, bahwa untuk sementara, mereka tidak akan mempersoalkan
Agung Sedayu. Biarlah anak muda itu berusaha untuk memulihkan kekuatannya dan
merasa bahwa Jati Anom adalah rumahnya.
Sikap lembut Widura dan kakak
iparnya, membuat Agung Sedayu merasa agak tenang. Meskipun setiap kali ia
sadar, bahwa akan datang saatnya kakaknya, Untara, memanggilnya dan berbicara
dengan keras tentang dirinya. Namun untuk sementara ia dapat merasakan sejuknya
perawatan keluarganya di Jati Anom.
Seperti yang diduga oleh
Untara, maka beberapa orang dari Sangkal Putung telah datang mengunjungi Jati
Anom, justru setelah mereka mendengar bahwa Agung Sedayu terlibat dalam
perkelahian dengan orang-orang yang masih bersangkut paut dengan gerombolan
yang mencegat iring-iringan pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh.
Bagi Untara, ia sama sekali
tidak berkeberatan menerima orang-orang Sangkal Putung itu, terutama Kiai
Gringsing sendiri. Tetapi ketika ia melihat mereka terdapat Ki Demang,
Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, maka wajahnya pun menjadi buram.
Ternyata bahwa Untara bukannya
orang yang cakap memulas wajahnya. Kerut-merut di keningnya, dapat dilihat oleh
orang-orang Sangkal Putung, terutama Swandaru dan Sekar Mirah. Tanpa mereka
sadari, seakan-akan telah terbentang garis pemisah antara Senapati Pajang itu
dengan anak-anak Ki Demang di Sangkal Putung. Seakan-akan mereka ingin berebut
pengaruh atas Agung Sedayu.
Tetapi agaknya Untara
menyadari, bahwa ia lebih baik tidak mendengarkan percakapan antara orang-orang
Sangkal Putung itu dengan Agung Sedayu, daripada darahnya menjadi panas. Karena
itu, maka ketika tamu dari Sangkal Putung itu memasuki bilik Agung Sedayu,
Untara tidak ikut mengantarkannya.
Yang ada di dalam bilik itu
adalah Widura dan istri Untara, yang sedang menyuapi mulut Agung Sedayu dengan
bubur yang hangat.
“Ia menjadi manja di sini,”
desis Sekar Mirah di telinga kakaknya.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian kepalanya pun terangguk kecil.
Agung Sedayu sendiri terkejut
ketika ia melihat beberapa orang dari Sangkal Putung datang menengoknya. Dengan
serta-merta ia berusaha untuk bangkit. Tetapi Widura menahannya sambil berkata,
“Jangan bangkit dahulu, Agung Sedayu. Badanmu masih terlalu letih.”
Agung Sedayu yang sudah
mengangkat kepalanya itu pun berbaring kembali. Apalagi ketika gurunya
mendekatinya dan berkata, “Memang sebaiknya kau tetap berbaring, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu meletakkan
kepalanya sambil berkata perlahan-lahan, “Maafkan jika aku menemui kalian
sambil berbaring.”
“Kau sedang sakit,” desis
istri Untara, “mereka tentu memakluminya.”
Sekar Mirah menjadi tegang
melihat sikap kakak ipar Agung Sedayu. Nampaknya Agung Sedayu benar-benar
menjadi manja seperti anak-anak yang masih harus disuapi. Tetapi ia sama sekali
tidak mengatakan sesuatu.
Bersesak-sesakan mereka pun
kemudian duduk di amben yang ada di dalam bilik itu. Hanya Kiai Gringsing
sajalah yang duduk di pembaringan Agung Sedayu, sedangkan Ki Sumangkar dan Ki
Waskita berdiri di sebelah pembaringan itu.
“Terima kasih atas kunjungan
ini,” desis Agung Sedayu.
“Cepatlah sembuh,” berkata Ki
Demang, “aku sudah mendengar apa yang telah terjadi di hutan itu. Agaknya kau
harus melawan dua orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Kakang,” tiba-tiba saja
Swandaru memotong, “aku kira lebih baik kau kembali ke Sangkal Putung.”
Setiap wajah menjadi tegang. Bahkan
Ki Demang pun memandang wajah Swandaru dengan sorot mata yang aneh. Apalagi
Widura dan istri Untara.
“Di Sangkal Putung Kakang akan
mendapat pengobatan yang sempurna, sehingga Kakang akan menjadi lekas sembuh.
Apalagi di Sangkal Putung, Kiai Gringsing akan mendapatkan bahan obat-obatan
dengan mudah seperti yang dikehendaki.”
Agung Sedayu sendiri menjadi
berdebar-debar mendengar ajakan itu. Sekilas dipandanginya wajah pamannya. Dan
ia pun sudah menduga bahwa pamannya tentu merasa tersinggung karenanya.
Tetapi sebelum pamannya
menjawab, Kiai Gringsing telah mendahului, “Itu tidak perlu, Swandaru. Agung
Sedayu yang sedang sakit ini tidak perlu dibawa kemana pun juga. Ia sudah
berada di rumahnya, di bawah pengamatan sanak kadangnya.”
“Tetapi ia perlu pengobatan,
Guru,” jawab Swandaru, “mungkin di sini ada juga seorang dukun yang dapat
mengobatinya. Tetapi setiap orang mengakui, bahwa Guru adalah seorang dukun
yang tidak ada duanya, sehingga di bawah perawatan Guru, yang juga guru Kakang
Agung Sedayu, maka sakitnya akan segera dapat disembuhkan.”
“Ya, Kiai,” sambung Sekar
Mirah, “apakah tidak sebaiknya Kiai mempertimbangkannya.”
Tetapi jawaban Kiai Gringsing
sangat mengejutkan Swandaru. Sambil menggelengkan kepalanya Kiai Gringsing
berkata, “Tidak, Swandaru. Ia tidak perlu pergi ke mana pun juga, karena aku
akan menungguinya sampai ia sembuh.”
Wajah Swandaru menjadi tegang.
Seolah-olah tidak percaya kepada pendengarannya ia bertanya, “Guru akan
menungguinya di sini sampai sembuh?”
“Ya, Swandaru. Sampai sembuh.”
Swandaru memandang gurunya
dengan tajamnya. Kemudian dipandanginya Ki Demang yang duduk termangu-mangu.
Namun nampaknya Ki Demang sama sekali tidak berkeberatan. Bahkan ia pun
kemudian berkata, “Swandaru, aku kira itu adalah suatu keadaan yang paling baik
buat Angger Agung Sedayu. Biarlah ia mendapat perawatan dari gurunya di
rumahnya sendiri, meskipun aku selalu mengharapnya datang ke Sangkal Putung,
karena bagiku Angger Agung Sedayu adalah orang yang sangat berjasa bagi Sangkal
Putung. Di saat-saat Sangkal Putung dipanggang dalam api pertempuran melawan
pasukan Macan Kepatihan, maka kedatangan Angger Agung Sedayu di suatu malam
itu, bagaikan datangnya keselamatan bagi Sangkal Putung. Tetapi sudah tentu,
bahwa Angger Agung Sedayu mempunyai kebebasan untuk menentukan, apakah yang
paling baik bagi dirinya.”
“Ayah belum bertanya, apakah
Kakang Agung Sedayu lebih senang tinggal di sini atau di Sangkal Putung bersama
kita.”
“Kenapa aku harus bertanya?”
sahut ayahnya. “Jika dalam keadaan luka parah di hutan sebelah Kademangan
Sangkal Putung itu ia langsung menuju ke Jati Anom, maka itu berarti bahwa ia
memang ingin pergi ke Jati Anom.”
Swandaru terdiam. Tetapi
wajahnya yang tegang masih nampak tegang. Sekilas dipandanginya Sekar Mirah
yang termangu-mangu. Tetapi gadis itu sama sekali tidak menyambung.
Dalam pada itu Agung Sedayu
sendiri bagaikan dibaringkan di samping perapian. Ia merasa hatinya menjadi
parah, lebih pedih dari luka-lukanya. Setiap kali orang-orang di sekitarnya
selalu membicarakannya, di manakah ia harus tinggal. Setiap kali orang-orang
lain berusaha menentukan tentang dirinya, seolah-olah ia sendiri tidak mampu
lagi mengambil sikap apa pun.
Namun demikian, ia masih tetap
berdiam diri, seolah-olah menyerahkan keputusan tentang dirinya itu kepada
pembicaraan orang lain. Seolah-olah dirinya yang terbaring itu sudah terbujur
sebagai mayat yang menunggu ketentuan terakhir, ke manakah ia harus dikuburkan,
tanpa dapat ikut mengambil sikap apa pun juga.
Ketika sekilas dipandanginya
wajah Pandan Wangi, terasa dadanya berdesir. Ia melihat seolah-olah di dalam
tatapan mata gadis itu memancarkan kebimbangan yang mendalam tentang dirinya.
Bahkan kemudian bagaikan kebingungan.
“Jangankan kau, Pandan Wangi,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “Aku sendiri menjadi bingung tentang
diriku.”
Tetapi ketika tangan-tangan
lembut kakak iparnya memijit ujung kakinya, terasa olehnya, bahwa ia merasa
lebih tenang berada di Jati Anom bersama pamannya dan kakak iparnya.
Dalam pada itu, agaknya
Swandaru masih berkeinginan agar Agung Sedayu pergi saja ke Sangkal Putung. Di
Sangkal Putung Agung Sedayu akan segera sembuh. Selebihnya ia akan dapat
berbuat banyak bagi kademangan itu, karena Agung Sedayu memiliki kemampuan
tenaga dan kemampuan berfikir tidak ubahnya dirinya sendiri, sehingga jika ia
berhalangan untuk melakukan sesuatu karena berbagai macam sebab. Agung Sedayu
akan dapat melakukannya.
Tetapi agaknya Ki Demang tidak
membantunya. Bahkan Kiai Gringsing sudah menyatakan dirinya untuk tinggal
beberapa lama di Jati Anom.
Sekar Mirah tidak menyatakan
pendapatnya. Meskipun ia ingin Agung Sedayu berada di Sangkal Putung, tetapi ia
tidak mau memaksanya, seolah-olah sangat memerlukannya. Bahkan Sekar Mirah
bersikap seakan-akan acuh tidak acuh saja.
Pandan Wangi-lah yang justru
mengusap matanya yang basah. Bukan saja karena Agung Sedayu yang terbaring
karena lukanya yang cukup berat, meskipun tidak membahayakan jiwanya, namun ia
juga melihat seakan-akan anak muda itu terombang-ambing dalam kegelisahan yang tidak
terpecahkan. Serba sedikit ia mengenal Agung Sedayu, sifat dan tabiatnya.
Bahkan ia mengenal Agung Sedayu lebih dahulu daripada Swandaru, yang kemudian
menjadi suaminya itu. Ia mengenal Agung Sedayu dan Swandaru dengan segala
kekurangan dan kelebihannya.
Dalam pada itu, Widura yang
juga berada di dalam bilik itu berkata, “Maafkan. Dalam keadaan yang kurang
memungkinkan ini, biarlah Agung Sedayu memusatkan dirinya pada usaha
penyembuhannya. Aku mengucapkan terima kasih, bahwa Kiai Gringsing sudah bersedia
tinggal beberapa lama di Jati Anom. Itu sudah suatu pertanda bahwa Agung Sedayu
akan segera sembuh.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, “Aku akan berusaha.”
Namun dalam pada itu, wajah
Swandaru menjadi gelap. Ia tidak puas dengan keadaan itu. Apalagi jika ia
meragukan, apakah jika Agung Sedayu sembuh, kelak akan kembali ke Sangkal
Putung.
“Kelak aku akan memintanya.
Aku juga akan menyuruh Sekar Mirah berusaha mendesaknya untuk kembali ke
Sangkal Putung. Jika Agung Sedayu tidak kembali, aku akan kehilangan tenaga
yang tidak ada duanya,” berkata Swandaru di dalam hati.
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
berdiri saja mematung. Mereka tidak dapat mencampuri persoalan itu. Baru
kemudian, setelah Swandaru tidak lagi mempersoalkan kehadiran Agung Sedayu di
Sangkal Putung, mereka baru berbicara serba sedikit dengan Agung Sedayu, dengan
Widura, dan dengan istri Untara.
“Ia sangat tabah,” berkata
istri Untara, “aku sering melihat prajurit yang terluka. Kadang-kadang
terdengar juga desah dari mulut mereka, jika perasaan pedih menggigit lukanya.
Tetapi Agung Sedayu tidak pernah mengeluh. Ia diam saja menelan perasaan
sakitnya.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Namun nampaklah wajah Ki Waskita yang menjadi suram.
Seolah-olah ia mulai melihat kenyataan dari isyarat yang selalu diingkarinya.
“Mudah-mudahan aku salah,” ia
selalu mencoba lari dari penglihatan yang sebelumnya dapat dipercayainya, dan
banyak memberikan pertolongan kepadanya dan orang-orang yang datang minta
petunjuknya.
Tetapi perubahan yang mulai
tumbuh di dalam sikap dan tingkah laku Swandaru, benar-benar membuatnya
berprihatin. Anak muda yang mendapat kehormatan yang besar di saat
perkawinannya itu, mulai menyadari bahwa dirinya adalah orang yang akan menjadi
sumber putaran pemerintahan di kademangan Sangkal Putung yang makmur dan Tanah
Perdikan Menoreh yang besar. Namun kesadarannya itulah yang telah membuatnya
berubah. Ia mulai merasa lebih besar dari saudara seperguruannya, yang memang
tidak mempunyai pegangan menentu. Jika Untara seorang senapati, maka ia adalah
saudara tuanya. Bukan Agung Sedayu. Dan Agung Sedayu sama sekali tidak akan
dapat mewarisi kedudukan itu, karena kedudukan seorang senapati berbeda dengan
kedudukan seorang demang dan Kepala Tanah Perdikan.
Demikianlah, setelah beberapa
lama mereka menunggui Agung Sedayu, maka mereka pun kemudian dipersilahkan
duduk di pendapa. Dengan susah payah, Kiai Gringsing berusaha agar pembicaraan
mereka justru tidak menyangkut Agung Sedayu yang sedang terbaring, meskipun
sekali-sekali nama itu disebutnya juga.
Ketika mereka sudah merasa
cukup, maka Ki Demang pun kemudian minta diri. Ia tidak dapat terlalu lama
berada di Jati Anom, karena di kademangannya masih banyak yang perlu
dikerjakannya.
“Ah,” desis Untara, “Jika Ki
Demang berada di sini lima atau enam hari, maka tugas Ki Demang akan
terbengkelai. Tetapi jika hanya setengah hari saja, aku kira pengaruhnya tidak
akan begitu besar.”
Ki Demang tertawa. Jawabnya,
“Kau benar, Ngger. Tetapi rasa-rasanya dalam keadaan seperti ini, aku tidak
dapat menginggalkan kademangan. Jika saat ini ada satu dua orang yang memasuki
kademangan dan membuat keributan, maka aku akan sangat menyesal jika aku tidak
dapat ikut menyelesaikan.”
“Bukankah Ki Jagabaya ada di
kademangan?” bertanya Widura.
“Ya, Ki Jagabaya dan para
pengawal memang dapat dipercaya. Tetapi saat ini, kami yang tua-tua dan
katakanlah yang bertanggung jawab atas ketenteraman yang sebenarnya, sedang
berada di sini. Jika datang seseorang seperti Gandu Demung, maka tidak akan ada
yang dapat mengatasinya sekarang. Swandaru, Sekar Mirah, dan Pandan Wangi,
terlebih-lebih Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, tidak berada di
kademangan.”
Widura tersenyum. Namun di
dalam senyumnya nampak sesuatu yang agak lain daripada sekedar tanggapan sewajarnya.
Tetapi hanya sekilas saja, Widura segera berusaha menguasai perasaannya. Namun
bahwa Sangkal Putung sedang kosong memang perlu mendapat perhatian.
Setelah mendapat hidangan
secukupnya, serta setelah para tamu dari Sangkal Putung itu merasa cukup lama
berada di Jati Anom, maka mereka pun segera minta diri.
Namun dalam pada itu, sikap
dingin antara Untara dan Swandaru serta Sekar Mirah nampak menjadi semakin
nyata. Persoalannya tentu tidak sekedar menyangkut kekecewaan Swandaru, bahwa
saat itu justru Kiai Gringsing-lah akan tinggal di Jati Anom. Bahkan kemudian
Ki Waskita juga menyatakan keinginannya untuk tinggal.
Hanya Ki Sumangkar-lah yang
akan mengawasi mereka kembali ke Sangkal Putung.
Setelah minta diri kepada
Agung Sedayu, maka para tamu dari Sangkal Putung itu pun meninggalkan Jati
Anom. Sekar Mirah merasa sesuatu menahannya untuk tinggal lebih lama lagi di
Jati Anom. Tetapi ia berusaha untuk menekan perasaannya itu, sehingga sama
sekali tidak memberikan kesan apa pun. Ketika ia minta diri kepada Agung
Sedayu, ia sama sekali tidak mau menampakkan perasaan kegadisannya. Nampaknya
ia tetap tidak mengacuhkannya.
“Ia akan menjadi semakin manja
jika ia mengetahui, bahwa aku pun mengharapkannya sekali,” berkata Sekar Mirah
di dalam hatinya.
Namun justru Pandan Wangi-lah
yang berkata lembut di telinga Agung Sedayu ketika ia minta diri, “Lekaslah
sembuh, Kakang. Dan cepatlah pergi ke Sangkal Putung, meskipun hanya sekedar
untuk menengok keluarga di sana.”
Agung Sedayu mengangguk.
Tetapi ia tidak menjawab.
Iring-iringan itu semakin lama
menjadi semakin cepat. Mereka melintasi bulak-bulak panjang dengan sikap
hati-hati. Mungkin masih ada satu dua orang yang berkeliaran seperti yang
dijumpai oleh Agung Sedayu itu.
Tetapi ternyata mereka tidak menjumpai
seorang pun juga dari antara para penjahat. Yang mereka temui di bulak-bulak
panjang adalah para petani yang sedang sibuk mengerjakan sawahnya.
Baru ketika mereka sampai di
Sangkal Putung, Sekar Mirah menyatakan kekesalannya. Dengan serta-merta ia
memasuki biliknya dan menjatuhkan dirinya tanpa berganti pakaian. Ia hanya
sempat mencuci kaki dan tangannya. Seterusnya, ia berusaha menyembunyikan
wajahnya yang menjadi basah oleh titik-titik air dari pelupuknya.
“Aku tidak peduli,” ia
menggeram, “aku tidak memerlukannya. Ia-lah yang memerlukan aku. Dan ia tentu
akan datang, kapan pun juga. Ia akan tetap berada di sini, di Sangkal Putung.
Rumahnya di Jati Anom kini telah dimiliki sendiri oleh kakaknya dengan serakah.
Bahkan dipergunakannya untuk tempat tinggal beberapa orang perwira, tanpa
menghiraukan Agung Sedayu sama sekali.”
Swandaru pun menghentakkan
dirinya duduk di pembaringan sambil menggeram, “Anak itu memang bodoh sekali.
Apakah yang akan didapatinya di Jati Anom? Yang menjadi senapati adalah Untara,
kakaknya. Bukan Agung Sedayu. Jika ia tinggal bersama para prajurit, maka ia
akan menjadi tidak lebih dari seorang pesuruh.”
Tetapi nampaknya Pandan Wangi
tidak lagi memikirkan Agung Sedayu. Ketika ia sampai di kademangan, maka ia pun
segera membersihkan dirinya di pakiwan. Mencuci kaki dan tangannya. Tetapi ia
pun juga membasuh wajahnya.
Ketika Pandan Wangi masuk ke
dalam biliknya, ia bertanya, “Kau tidak mandi sama sekali, Kakang. Debu banyak
sekali melekat di tubuh kita.”
“Kau sudah mandi?” bertanya
Swandaru.
“Tidak, aku hanya mencuci
muka.”
Swandaru memperhatikan Pandan
Wangi sejenak. Lalu ia pun bertanya, “Matamu menjadi merah.”
“Ya. Agaknya seekor binatang
kecil terbang langsung masuk ke dalam mataku. Karena itu aku mencuci muka di
pakiwan.”
Swandaru tidak bertanya lagi.
Kembali ia merenungi Agung Sedayu yang berada di Jati Anom. Yang bahkan gurunya
pun tinggal pula bersama saudara seperguruannya ikut bersama Ki Waskita.
“Aku tidak peduli,” geram
Swandaru di dalam hatinya, “tanpa Agung Sedayu, Kademangan Sangkal Putung tetap
merupakan kademangan yang besar dan subur. Dahulu di kademangan ini juga tidak
ada Agung Sedayu, tidak ada Kiai Gringsing dan tidak ada Ki Waskita. Jika pada
suatu saat mereka tidak lagi berada di Sangkal Putung, itu sama sekali tidak
akan menimbulkan kesulitan apa-apa.”
Meskipun kemudian terbayang
sekilas, orang-orang kuat seperti Ki Tambak Wedi, Alap-Alap Jalatunda, dan
nama-nama yang disebut berada di sekitar Gunung Tidar, di antaranya Empu Pinang
Aring dan beberapa nama yang lain.
“Persoalan pusaka-pusaka
Mataram yang hilang itu pun harus mendapat pertimbangan sebaik-baiknya sekarang
ini. Persoalannya karena beberapa orang, beberapa pihak, dan beberapa perguruan
menaruh kepentingan dengan pusaka-pusaka yang hilang itu. Sangkal Putung tidak
boleh menjadi korban perebutan itu. Justu karena ketidak-terlibatannya, maka
seperti saat-saat yang lampau, Sangkal Putung justru menjadi ajang peperangan
yang sangat dahsyat,” Swandaru masih berkata kepada dirinya sendiri. “Apalagi
kini, bukan saja Sangkal Putung, tetapi juga Tanah Perdikan Menoreh.”
Dalam pada itu, Swandaru mulai
dipengaruhi oleh bayangan yang samar tentang pergolakan masa depan. Jika Agung
Sedayu dan gurunya memilih tempat lain, dan tidak lagi kembali berada di
tengah-tengah keluarga Sangkal Putung, maka Sangkal Putung harus mempersiapkan
diri.
“Masih ada waktu,” katanya
kemudian di dalam hati. Namun Swandaru pun kemudian berusaha menyisihkan
angan-angannya. Ia bangkit dan melangkah keluar dari dalam biliknya.
Dipandanginya halaman kademangannya yang luas. Ia masih melihat dua orang anak
muda, pengawal kademangan melintas keluar dari regol dan hilang di jalan induk
kademangan.
“Anak-anak muda itu masih
sempat ditempa menjadi benteng yang kokoh bagi kademangan ini,” katanya kepada
diri sendiri.
Karena itulah, maka timbullah
niat di hati Swandaru untuk meningkatkan kemampuan para pengawal di Kademangan
Sangkal Putung dalam waktu yang dekat. Baginya, tidak ada pihak lain yang dapat
dianggapnya akan dapat melindungi kademangan, selain orang-orang kademangan itu
sendiri.
“Mereka harus mulai mengalami
penilaian secara pribadi,” berkata Swandaru, “sehingga untuk tingkat pertama
akan dapat dipilih beberapa orang sebagai pengawal terpilih. Jika peningkatan
kemampuan untuk setiap tingkat berjalan setahun, maka dalam waktu tiga tahun,
para pengawal yang terlatih itu sudah akan dapat tersebar di segenap padukuhan
dan memimpin kelompok masing-masing untuk meningkatkan kemampuan mereka.”
Swandaru menarik nafas dalam-dalam.
Katanya, “Betapapun tinggi kemampuan Agung Sedayu, tetapi ia tidak akan
mengimbangi sekelompok pengawal, yang akan mengalami latihan di bagian pertama,
yang jumlahnya akan mencapai duapuluh orang.”
Agaknya Swandaru tidak hanya
sekedar didorong oleh kekecewaannya sesaat. Tetapi ia benar-benar ingin membuat
Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, menjadi daerah yang
memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dari bahaya yang manapun juga.
Sementara itu, Agung Sedayu
masih berbaring di rumahnya di Jati Anom. Sepeninggal orang-orang Sangkal
Putung, maka Kiai Gringsing mulai memeriksa luka-luka Agung Sedayu dengan
seksama. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Ia sudah mendapat
pengobatan sebagaimana seharusnya. Ia tentu akan segera sembuh.”
“Apakah Kiai akan memberikan
obat yang lebih baik dari obat yang sudah diberikan?” bertanya Widura.
Kiai Gringsing menggeleng.
Jawabnya, “Tidak. Agaknya obat yang diberikan kepada Agung Sedayu sudah
memadai. Obat yang memang seharusnya diberikan.”
Widura mengangguk-angguk.
Tabib dari para prajurit yang ada di Jati Anom itu pun seorang yang memiliki
kemampuan yang baik di dalam dunianya, seperti juga Kiai Gringsing. Namun
agaknya Kiai Gringsing memiliki pengetahuan yang lebih luas, karena pengembaraannya
dan pengalamannya yang panjang.
Sejak hari itu, Kiai Gringsing
menunggui Agung Sedayu di Jati Anom bersama Ki Waskita. Widura yang masih
selalu datang mengunjungi kemenakannya yang sakit itu, sempat setiap kali
berbincang dengan kedua orang tua itu, lebih banyak dari Untara, karena Untara
selalu sibuk dengan tugasnya.
Sementara itu, pengiriman para
tawanan ke Pajang pun berjalan lancar. Sebagian demi sebagian. Juga para
tawanan yang berada di Sangkal Putung, tidak jadi diserahkan kepada para prajurit
yang berada di Jati Anom, tetapi oleh para prajurit di Jati Anom, tawanan itu
langsung dibawa ke Pajang.
Setelah beberapa hari berada
di Sangkal Putung, maka mulailah Pandan Wangi mengenal kademangan itu. Ia mulai
membiasakan diri dengan kehidupannya yang baru.
Hampir setiap hari ia berada
di antara perempuan-perempuan dari Kademangan Sangkal Putung bersama Sekar
Mirah. Juga pergi ke sawah seperti kebiasaan perempuan yang lain. Bahkan
nampaknya Pandan Wangi tidak ada bedanya lagi dengan perempuan-perempuan yang
memang dilahirkan di daerah yang subur itu.
Namun dalam pada itu, Pandan
Wangi pun semakin merasakan jarak antara sifat-sifatnya sendiri dan sifat Sekar
Mirah. Di Kademangan Sangkal Putung, Sekar Mirah terlalu menyadari, bahwa ia adalah
anak pemimpin kademangan itu.
“Mungkin, sadar atau tidak
sadar, aku pun berbuat demikian di Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Pandan
Wangi di dalam hatinya.
Bahkan kadang-kadang satu dua
kali Sekar Mirah mencegahnya untuk melakukan sesuatu. Nampaknya Sekar Mirah
tidak senang melihat Pandan Wangi, istri anak laki satu-satunya dari Ki Demang
di Sangkal Putung, melakukan pekerjaan seperti kebanyakan perempuan dan
gadis-gadis.
“Apa salahnya?” bertanya
Pandan Wangi.
“Mereka akan menganggap kita
tidak lebih dari mereka,” berkata Sekar Mirah. “Bagi perempuan-perempuan di
kademangan ini masih harus diajarkan trapsila dan unggah-ungguh. Mereka harus
tetap menghormatimu. Bukan saja karena kau istri Kakang Swandaru yang sangat
dihormati di sini, tetapi kau sendiri adalah anak seorang Kepala Tanah Perdikan
yang besar.”
Pandan Wangi tidak mau
mengecewakan Sekar Mirah. Karena itu, setiap kali ia pun menurutinya.
Dalam pada itu, kepergian
Agung Sedayu yang sudah lewat beberapa hari memang menumbuhkan kesepian di Sangkal
Putung. Sekar Mirah pun merasa, bahwa ada sesuatu yang kosong di hatinya.
Meskipun baginya Agung Sedayu merupakan seorang laki-laki yang lamban dan
ragu-ragu, tetapi ada sesuatu yang lebih dalam dari tanggapannya sekedar
sebagai seorang dalam hubungan tugas dan kewajiban. Agung Sedayu memang
memiliki pesona yang tidak dapat diingkarinya dengan segala macam cacat dan
celanya.
Swandaru pun merasa sepi tanpa
Agung Sedayu dan gurunya, meskipun kesepiannya itu akan sudah jauh berkurang
karena hadirnya Pandan Wangi. Tetapi jika ia berada di pendapa, maka terasa
sesuatu yang kurang di kademangan itu. Para bebahu Kademangan Sangkal Putung
kadang-kadang terlampau sulit untuk diajaknya berbincang dalam tataran
kemudaannya. Hanya Ki Sumangkar sajalah yang kadang-kadang memiliki kemampuan
berpikir sesuai dengan caranya. Namun kadang-kadang Sumangkar pun terasa agak
menjemukan. Setiap kali ia masih saja memberinya pesan-pesan dan
peringatan-peringatan, seolah-olah ia masih anak-anak. Tetapi karena Ki
Sumangkar adalah guru Sekar Mirah dan juga mempunyai ikatan yang khusus dengan
gurunya sendiri, maka ia pun masih saja merasa segan.
Apalagi mengingat rencananya
untuk membentuk Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh menjadi daerah yang
mampu melindungi dirinya sendiri, agaknya ia sangat memerlukan Ki Sumangkar.
Swandaru yang muda itu sudah
mulai membayangkan daerah yang dipagari dengan kekuatan para pengawalnya.
Bahkan seolah-olah membentang sepanjang rentangan antara Sangkal Putung dan
Tanah Perdikan Menoreh.
“Jika kedua daerah yang akan
berada di dalam kekuasaanku itu menjadi kuat, maka kelahiran Mataram harus
diperhitungkan benar-benar dengan perkembangan Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh,” berkata Swandaru di dalam hatinya.
Namun dalam pada itu, selagi
Swandaru selalu dibayangi oleh cita-cita masa depan bagi kedua tlatah yang akan
berada di tangannya, serta Untara di Jati Anom masih saja menahan diri agar
tidak mengganggu perasaan adiknya yang baru mulai berangsur baik, Empu Pinang
Aring di Gunung Tidar menjadi semakin berhati-hati menghadapi keadaan. Ia sudah
mendengar laporan selengkapnya tentang kegagalan Gandu Demung. Ia merasa
beruntung, bahwa ia tidak melepaskan seorang pun dari lingkungannya yang
tertangkap, apalagi oleh pasukan Pajang di daerah selatan, maka kedudukan
pasukannya tentu akan terancam, karena Pajang tentu akan mengerahkan pasukan
untuk mengusirnya. Bahkan mungkin rencana pertemuan yang akan diselenggarakan
di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu pun akan gagal pula.
Prajurit Pajang tentu tidak
sekedar mempertahankan diri seperti para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang
hanya akan bertempur jika telatah kekuasaannya diganggu. Tetapi prajurit Pajang
tentu akan datang ke segala penjuru dengan kekuatan segelar sepapan, apalagi di
daerah sekitar Gunung Merapi dan Merbabu. Bahkan sampai ke daerah yang jauh, di
Pesisir Lor, di Bang Wetan, dan sampai ke ujung tanah ini.
Tetapi tidak seorang pun dari
antara orang-orang Gandu Demung yang dapat memberikan penjelasan tentang pasukannya.
Jika ada satu dua di antara mereka yang pernah mendengar namanya, Pinang Aring,
namun mereka tidak akan dapat banyak bercerita.
Karena itu, maka Empu Pinang
Aring dapat menyiapkan pasukannya dengan tenang. Ia sudah berketetapan hati
untuk datang ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu dengan wibawa
yang cukup besar, karena ia mempunyai bekal harta benda yang cukup banyak dan
kekuatan yang memadai. Dengan demikian, maka pertemuan itu baginya bukannya
sekedar mendengarkan perintah-perintah dan tugas-tugas yang harus dilakukannya.
Tetapi ia pun akan dapat ikut menentukan langkah-langkah yang akan diambil.
Bahkan jika memungkinkan, lebih banyak lagi daripada itu.
Dalam pada itu, Ki Argapati
pun mendengarkan berita tentang pertempuran di ujung Kademangan Sangkal Putung
itu dengan prihatin. Prastawa yang telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,
memberikan keterangan tentang semua peristiwa yang sudah terjadi. Tetapi
Prastawa tidak ingin mengatakan, bahwa kewaspadaan Agung Sedayu telah memungkinkan
para pengawal dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh untuk bertahan.
Meskipun Prastawa mengakui,
bahwa Agung Sedayu melihat getar dedaunan pada sebatang pohon yang siap untuk
menjebak iring-iringan yang melalui hutan di ujung kademangan itu, namun
rasa-rasanya amat sulit baginya untuk mengakuinya, apalagi mengatakannya kepada
orang lain bahwa Agung Sedayu memang mempunyai kelebihan.
Tiba-tiba saja Prastawa telah
dihinggapi perasaan yang aneh terhadap anak muda Jati Anom itu. Seolah-olah ia
ingin mengesampingkan semua kelebihan yang terdapat pada Agung Sedayu itu.
Demikian juga terhadap pamannya di Tanah Perdikan Menoreh.
“Kakang Swandaru memang
seorang yang luar biasa,” berkata Prastawa, “bagaikan seekor harimau lapar ia
bertempur melawan beberapa orang sekaligus. Ialah yang berhasil membunuh
pemimpin dari gerombolan yang mencegatnya di perjalanan itu.”
Ki Gede Menoreh
mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Swandaru adalah seorang anak muda yang
perkasa, yang pantas menjadi jodoh Pandan Wangi ditilik dari segi olah
kanuragan.
“Pandan Wangi pun masih tetap
seekor macan betina,” sambung Prastawa, “sehingga dengan demikian para perampok
itu telah salah memilih korbannya. Meskipun mula-mula mereka berhasil menguasai
arena, namun akhirnya kehadiran beberapa orang pengawal dari Sangkal Putung
telah menghancurkan semua harapan mereka.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Prastawa masih menceritakan kesigapan gadis Sangkal Putung, anak Ki Demang.
Dengan bangga ia menyebut nama Sekar Mirah jauh lebih banyak dari nama-nama
lain. Apalagi Agung Sedayu, yang hampir tidak pernah diucapkannya.
“Bagaimanakah dengan Agung
Sedayu,” Ki Argapati-lah yang justru kemudian bertanya.
Prastawa mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Ia adalah seorang anak muda yang mempunyai cacat
tersendiri. Ia selalu ragu-ragu dan tidak mempunyai sikap yang tegas.
Sebenarnya ia memiliki kemampuan seperti Kakang Swandaru. Tetapi karena
sikapnya, maka ia tidak lebih dari para pengawal yang lain.”
Ki Argapati termangu-mangu. Ia
mengenal Agung Sedayu. Meskipun anak itu selalu dibayangi oleh keragu-raguan,
tetapi pada suatu saat ia pun mampu menunjukkn kelebihannya di dalam olah
kanuragan. Dalam keadaan yang mamaksa, maka seseorang tidak sempat lagi menjadi
ragu-ragu terus menerus. Memang mungkin sekali keragu-raguan dapat
menjerumuskan seseorang ke dalam kesulitan. Tetapi apa yang pernah dikenalnya
atas Agung Sedavu masih jelas dalam ingatannya, bahwa pada suatu saat ia pun
telah bertempur dengan gigihnya.
Tetapi Ki Argapati tidak
bertanya lebih jauh tentang Agung Sedayu. Dibiarkannya Prastawa menceritakan
menurut tanggapan dan ungkapannya sendiri.
Namun dalam pada itu, usianya
yang sudah cukup dan pengalamannya yang luas sebagai orang tua, agaknya telah
menangkap sesuatu yang lain tersirat dalam cerita Prastawa. Sesuatu yang sama
sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pertempuran yang telah terjadi itu.
Karena itulah, maka Ki
Argapati menjadi berdebar-debar. Prastawa masih sangat muda. Ia masih belum
dapat mengendapkan perasaan yang bergejolak di dalam hatinya. Sehingga dengan
demikian, maka jika perasaan anak muda itu berkembang, agaknya dapat
menimbulkan suasana yang kurang baik antara dirinya dan Agung Sedayu.
“Ia harus mendapat
pengekangan,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya, “tetapi perlahan-lahan.
Jika tiba-tiba saja ia dihentakkan dari angan-angannya, maka ia tentu akan
meronta, sehingga justru akan timbul persoalan yang tidak dikehendaki.”
Sementara itu di Jati Anom,
Agung Sedayu menjadi berangsur-angsur sembuh. Dengan teliti Kiai Gringsing
setiap hari mengobati luka Agung Sedayu, sehingga rasa-rasanya luka itu menjadi
semakin cepat sembuh.
Ketika luka-luka itu mulai
merapat, maka Kiai Gringsing tidak melarang Agung Sedayu bangkit dari
pembaringannya. Ia tidak lagi makan makanan khusus yang dibuat untuknya oleh
kakak iparnya. Tetapi ia sudah mulai makan nasi seperti biasa. Bahkan Agung
Sedayu sudah mulai ikut makan bersama dengan keluarga Untara, gurunya dan Ki
Waskita.
Namun dalam pada itu, istri
Untara masih selalu memperingatkan suaminya, agar ia tidak tergesa-gesa
mempersoalkan hari depan Agung Sedayu. Biarlah anak itu sembuh sama sekali, dan
mendapatkan kegembiraannya kembali.
“Aku ingin segera mendengar
keputusannya,” berkata Untara kepada istrinya.
“Tetapi jika Kakang tergesa-gesa,
akibatnya akan tidak menguntungkan. Ia menjadi bingung dan kehilangan pegangan,
sementara ia masih harus berjuang melawan luka-lukanya yang mulai sembuh.”
“Apakah aku harus menunggu
sampai ia sembuh sama sekali dan pergi lagi dari Jati Anom?”
“Jika ia ingin pergi, tentu ia
minta diri,” jawab istrinya, “tetapi seandainya datang saatnya Kakang harus
bertanya kepadanya, Kakang harus bersikap lain.”
“Maksudmu?”
“Kakang harus bersikap sebagai
seorang kakak terhadap adiknya. Tidak sebagai seorang Panglima kepada seorang
Senapati bawahannya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam.
“Dan itu berarti bahwa Kakang
harus lebih banyak memberikan bimbingan, daripada menuntut agar Agung Sedayu
menjalani semua perintah Kakang.”
Untara termangu-mangu sejenak.
Dengan ragu-ragu ia pun berkata, “Itulah yang sulit. Aku tidak dapat membedakan
antara memberikan bimbingan dan semacam menentukan arah hidupnya. Jika aku
sekedar bertanya kepadanya, memberikan penjelasan dan dongeng-dongeng tentang
bermacam-macam kemungkinan kepadanya, maka ia akan mendengarkannya dengan
asyik. Namun kemudian sambil menggelengkan kepalanya ia menjawab, ‘Aku tidak
dapat melakukannya.’”
“Aku masih berpengharapan,
Kakang,” berkata istrinya, “tetapi baiklah Kakang minta pertimbangan kepada
Paman Widura, apakah yang sebaiknya dilakukan atasnya.”
Untara termangu-mangu sejenak.
Baginya Agung Sedayu merupakan teka-teki yang sulit untuk ditebak.
Ketika ia menemui pamannya,
maka Widura berkata, “Kita sebaiknya menunggu kesempatan untuk menyatakan
kepadanya. Bukankah yang terpenting adalah hubungannya dengan Sekar Mirah
dengan segala akibatnya?”
“Ya, Paman. Tetapi juga
tentang hari depannya. Agung Sedayu harus menunjukkan bahwa ia adalah putra Ki
Sadewa. Ia harus memiliki tanggung jawab atas kelangsungan nama yang sampai
saat ini masih tetap dihormati.”
Widura menarik nafas. Katanya,
“Itu merupakan beban yang sangat berat. Memang seharusnya Agung Sedayu dapat
mengangkat nama yang masih tetap dihormati itu. Tetapi tentu saja dengan cara
yang akan dipilihnya.”
“Menghambakan diri di Sangkal
Putung? Setiap orang yang mengetahui asal-usulnya akan bertanya, “Itukah putra
Ki Sadewa yang namanya disegani itu?””
Widura mengangguk-angguk.
Tetapi sebelum ia menyahut, Untara masih melanjutkan, “Paman, apakah artinya
Kademangan Sangkal Putung itu bagi nama baik Ayah dan keturunannya. Apalagi
harus menjadi budak yang tidak berharga.”
“Jangan telampau merendahkan
martabat adikmu, Untara. Aku tahu, bahwa kau mempunyai cita-cita yang baik bagi
adikmu. Tetapi kau pun harus menghormatinya. Mungkin ia sependapat dengan kita,
bahwa sebaiknya ia harus meninggalkan Sangkal Putung. Tetapi langkah yang akan
dipilihnya untuk menentukan arah hidupnya, berbeda dengan yang kita pilih
baginya.”
Untara menjadi tegang. Namun
katanya, “Aku akan menunggu beberapa hari lagi. Setelah ia sembuh benar, aku
ingin mengetahui apakah yang sebenarnya dikehendaki.”
Widura tidak menyahut. Ia
kadang-kadang merasa cemas melihat kedua kemanakannya yang nampaknya berbeda
arah itu. Tetapi bagi Widura, hal itu wajar sekali karena mereka berdua
mempunyai landasan masa kanak-anak yang jauh berbeda pula.
Namun sebagai orang tua, ia
harus berusaha agar kedua anak-anak Ki Sadewa itu tidak terlibat dalam
perselisihan yang semakin jauh. Jika Untara memaksakan kehendaknya atas
adiknya, maka akan dapat timbul persoalan pada diri Agung Sedayu. Mungkin ia
terpaksa menerima keharusan yang ditekankan oleh kakaknya, tetapi tidak dengan
sebulat hati, sehingga apa yang akan dijalaninya merupakan hari-hari yang gelap
dan menjemukan. Tetapi sudah barang tentu, jika keadaannya sekarang
dibiarkannya saja, maka ia benar-benar akan terbenam ke dalam lingkungan yang
kurang menguntungkannya. Justru Agung Sedayu sebagai seorang laki-laki.
Sementara Agung Sedayu masih
belum sembuh benar, dan Widura masih mengharap Untara bersabar, maka yang dapat
dilakukannya adalah sekedar berbincang-bincang dengan Kiai Gringsing dan Ki
Waskita.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing
pun tidak dapat mengatakan, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh Agung
Sedayu.
Sambil menggelengkan kepalanya
Kiai Gringsing berkata, “Agaknya memang sulit untuk mengetahui, apakah yang
sebenarnya diinginkannya. Sudah tentu bahwa ia harus menentukan masa depannya.
Ia adalah seorang laki-laki yang pada suatu saat akan menghadapi tanggung jawab
yang berat di dalam keluarganya.”
“Kiai,” berkata Widura
ragu-ragu, “apakah menurut pendapat Kiai, Agung Sedayu nanti jika sudah sembuh
harus kembali ke Sangkal Putung?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Sulit bagiku untuk mengatakannya. Tetapi sudah barang
tentu segala sesuatunya masih harus dibicarakan dengan Agung Sedayu dan
Swandaru.”
“Kenapa harus dibicarakan
dengan Swandaru?”
“Mungkin ia masih memerlukan
Agung Sedayu.”
“Kiai,” berkata Widura
kemudian, “apakah Kiai juga sependapat, bahwa sampai di hari tuanya, Agung
Sedayu menggantungkan dirinya kepada kepentingan Swandaru? Kiai, Agung Sedayu
adalah saudara tua dalam perguruan yang Kiai pimpin. Seharusnya Agung Sedayu
lebih banyak menentukan wewenang atas adik seperguruannya. Bagaimanakah
seandainya pada suatu saat Agung Sedayu diterima menjadi seorang prajurit dan
harus pergi ke tempat yang jauh, padahal Swandaru masih memerlukannya?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah Ki Waskita. Tetapi agaknya Ki Waskita
tidak ingin mencampuri persoalan itu sebelum diminta.
Sejenak Kiai Gringsing
termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tentu bukan seharusnya begitu. Aku
minta maaf, barangkali aku sudah salah mengucapkannya. Tetapi maksudku ingin
mengatakan, bahwa pada masa-masa kini Swandaru memerlukan seseorang. Memang di
sampingnya sudah ada Pandan Wangi. Namun kepergian Agung Sedayu yang tiba-tiba
tentu akan mempengaruhinya. Maksudku, meskipun pada suatu saat Agung Sedayu
akan meninggalkan Sangkal Putung, tetapi biarlah waktunya tidak terlampau
cepat, karena ia sudah terlanjur berada di Sangkal Putung untuk waktu yang
lama.”
Widura mengangguk-angguk
kecil. Ia masih belum dapat menerima pendapat itu seluruhnya. Tetapi ia tidak
mau berbantah. Karena itu maka katanya, “Terserahlah kepada Agung Sedayu.
Tetapi apakah pendapat Kiai, Agung Sedayu sudah benar-benar sembuh dan dapat
diajak berbicara tentang dirinya?”
Kiai Gringsing terdiam
sejenak. Baru kemudian ia menjawab, “Jangan tergesa-gesa. Biarlah ia sembuh
sama sekali. Tetapi sebelumnya aku ingin menjajagi keinginannya lebih dahulu
dengan tidak langsung.”
Widura mengangguk-angguk.
Tetapi hampir di luar sadarnya ia berkata, “Silahkan, Kiai. Tetapi kami di Jati
Anom berharap, bahwa ia akan dapat menentukan sikapnya sesuai dengan nuraninya,
meskipun ada kewajiban baginya sebagai seorang murid yang harus patuh kepada
gurunya.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam. Hubungan antara Jati Anom dan Sangkal Putung
rasa-rasanya sudah terlanjur dibayangi oleh kecurigaan.
Tetapi agaknya Widura
benar-benar mencoba untuk melepaskan Agung Sedayu dan membicarakan masalahnya
dengan gurunya lebih dahulu. “Mudah-mudahan gurunya dapat memberikan jalan yang
sesuai dengan kehendak keluarganya.”
Di hari-hari berikutnya, Agung
Sedayu telah benar-benar nampak sehat. Hanya goresan lukanya saja yang masih
harus mendapat perawatan. Tetapi ia sudah nampak sehat dan segar. Makan pun
agaknya telah pulih kembali seperti saat-saat ia belum terluka.
Di setiap hari Agung Sedayu
memerlukan mempergunakan waktu sedikit untuk mulai menggerakkan tubuhnya.
Mula-mula ia hanya berjalan-jalan saja di sepanjang jalan padukuhan. Semakin
lama semakin panjang mengelilingi Jati Anom. Bahkan ia sudah mengunjungi
pamannya di Banyu Asri. Pagi-pagi benar ia sudah berada di halaman rumah
pamannya, sehingga pamannya terkejut karenanya.
“He, darimana kau sepagi ini
Agung Sedayu?”
“Berjalan-jalan, Paman, agar
tubuhku tidak terbiasa berhenti bergerak.”
“Bagus. Kau sendiri?”
“Ya. Guru menyuruhku berjalan
di setiap pagi, sebelum aku dapat melakukan gerak-gerak yang lain karena lukaku
belum sembuh sama sekali.”
“Duduklah.”
“Terima kasih, Paman. Aku akan
berjalan terus.”
Widura tersenyum. Katanya,
“Baiklah. Tetapi untuk hari-hari pertama jangan terlalu jauh. Sudah agak lama
kau berbaring saja di pembaringan.”
“Aku sudah melakukannya
beberapa hari. Tetapi baru hari ini aku sampai ke Banyu Asri.”
Widura mengangguk-angguk.
Katanya, “Baiklah. Tetapi datanglah nanti atau kapan saja kau mau. Jika kau
pulang, ambillah jalan butulan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya. “Kenapa jalan butulan?”
“Adikmu ada di kebun
belakang.”
Agung Sedayu termangu-mangu.
Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah ia ada di sini? Aku dengar ia berada di
rumah kakek, paman bibi yang menjadi Demang di Tlaga Putih.”
Widura tersenyum. Jawabnya,
“Ya, ia berada di rumah kakeknya di Tlaga Putih atas permintaan kakeknya,
tetapi ia kini berada di sini. Agaknya ia sudah rindu kepada keluarganya.
Mungkin sehari dua hari lagi ia akan kembali ke Tlaga Putih.”
Agung Sedayu. termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah ke halaman samping, langsung ke kebun
belakang diikuti oleh Widura.
“Kakang Agung Sedayu,” terdengar
seorang anak yang masih sangat muda memanggil.
Agung Sedayu tertegun.
Dilihatnya laki-laki yang masih sangat muda itu berdiri termangu-mangu.
Keringatnya membasahi tubuhnya yang kecil meskipun terhitung agak tinggi
dibanding dengan anak-anak sebayanya.
“He kau, Glagah Putih,” Agung
Sedayu hampir berteriak.
Anak muda itu berlari
menghampiri Agung Sedayu sambil berkata, “Kau jarang sekali datang, Kakang.”
Agung Sedayu kemudian menepuk
pundak adik sepupunya sambil berkata, “Kau cepat menjadi anak muda yang tampan
dan kuat, meskipun tubuhmu masih saja kecil, sehingga panggilan masa kecilmu,
Glagah Putih itu masih pantas kau pergunakan sampai sekarang.”
“Itu namaku. Aku lebih senang
dipanggil Glagah Putih dari namaku sendiri.”
“Kau memang seperti sebatang
glagah yang panjang. E, barangkali lebih pantas disebut galah daripada glagah.”
Anak muda itu tertawa.
Katanya, “Aku sudah rindu kepadamu, Kakang.”
“Kau berada di Tlaga Putih
selama ini,” sahut Agung Sedayu, lalu, “tepat sekali. Mungkin Paman Widura
tidak pernah merencanakan bahwa Glagah Putih akan berada di Tlaga Putih.”
“Aku sering pulang,” sahut
Glagah Putih, “tetapi Kakang-lah yang tidak pernah berada di Jati Anom. Aku
sudah minta kepada Ayah beberapa kali untuk ikut ke Sangkal Putung, tetapi Ayah
tidak memperbolehkan.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Katanya, “Sekarang aku di sini. Apakah kau mau ikut aku ke Jati Anom?”
Anak muda yang dipanggil
dengan nama sebutannya Glagah Putih itu memandang ayahnya sejenak. Dengan
ragu-ragu ia berkata, “Apakah aku diperbolehkan ikut Kakang Agung Sedayu ke
rumah Kakang Untara?”
“Apakah kau sudah selesai?”
bertanya ayahnya. Glagah Putih menundukkan kepalanya. Jawabnya, “Aku malu. Di
sini ada Kakang Agung Sedayu.”
“O, apakah kau baru berlatih?”
bertanya Agung Sedayu.
“Ah, tidak. Tentu aku tidak
berbuat apa-apa selain berloncat-loncatan seperti seekor katak.”
“Lakukanlah. Aku akan
melihat.”
Glagah Putih menggeleng,
Katanya, “Tidak. Aku sudah selesai.”
“Lakukanlah,” berkata Widura,
“mungkin kakangmu akan dapat menjadi kawan berlatih yang baik bagimu, meskipun
buruk baginya.”
“Ah, kenapa buruk?” bertanya
Agung Sedayu.
“Ia tidak akan dapat
memberikan apa-apa kepadamu. Tetapi ia justru akan menyadap ilmumu.”
“Bukankah dengan demikian aku
pun tidak akan kehilangan?”
Widura tersenyum. Lalu katanya
kepada anaknya, “Lakukanlah. Kenapa kau malu kepada kakakmu Agung Sedayu? Ia
akan dapat memberikan banyak petunjuk. Jauh lebih banyak dari kakekmu di Tlaga
Putih, dan jauh lebih banyak dari ayahmu sendiri.”
“Ah,” desis Agung Sedayu.
“Jangan memperkecil arti
dirimu sendiri, Agung Sedayu, karena aku tahu benar sampai dimana tingkat
ilmumu sekarang.”
“Ah, Paman memuji. Jika aku
mempunyai ilmu yang cukup, tentu aku tidak akan tidur di pembaringan untuk
beberapa hari.”
“Tetapi kau harus melawan
lebih dari satu orang. Agung Sedayu, kau pernah mendengar kebesaran nama
Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan. Tetapi ilmunya ternyata tidak akan dapat
mengimbangi ilmumu sekarang ini.”
“Terima kasih, Paman. Tetapi
itu agaknya sekedar pujian. Mudah-mudahan aku benar-benar dapat melakukannya.”
Widura tertawa. Namun kemudian
katanya kepada anaknya, “Cepatlah. Lakukanlah apa saja yang kau ketahui.”
Glagah Putih masih saja
termangu-mangu. Namun ketika ayahnya mendekatinya maka ia pun merasa bahwa ia
tidak akan dapat ingkar lagi.
“Ayo, lakukan. Atau aku harus
memaksamu?”
Glagah Putih memandang Agung
Sedayu sejenak.
Meskipun demikian ia tersenyum
sambil berkata, “Ayah memaksa aku. Tetapi Kakang Agung Sedayu jangan
mentertawakan aku.”
Agung Sedayu menggeleng sambil
menjawab, “Tidak, aku tidak akan mentertawakanmu. Aku akan melihat dengan
sungguh-sungguh.”
Glagah Putih pun kemudian
bersiap meskipun rasa-rasanya masih juga segan, karena ia merasa bahwa ia masih
terlalu hijau dalam olah kanuragan, apalagi dibanding dengan Agung Sedayu.
Namun demikian, akhirnya ia
pun mulai melakukan latihannya. Mula-mula masih terasa sangat lamban. Namun
ketika keringatnya mulai membasahi punggung, maka mulailah ia berlatih dengan
sungguh-sungguh.
Agung Sedayu mengikuti latihan
itu dengan saksama. Memang tata gerak yang nampak pada latihan itu masih sangat
sederhana. Tetapi dengan demikian, Agung Sedayu dapat menilai kemampuan dasar
yang tersimpan pada anak itu.
Sejenak kemudian nampaklah
betapa Glagah Putih memiliki kemampuan yang memang ada pada dirinya dan yang
sudah mulai terungkat dalam ilmunya yang baru dalam tingkat permulaan.
“Jika ia berlatih dengan tekun
dan teratur, serta mendapat bimbingan yang baik, maka kemampuan dasar yang
memang ada pada dirinya itu tentu akan tersusun dengan baik. Dalam waktu
singkat ia akan dapat menjadi seorang anak muda yang berkemampuan cukup,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Tanpa dikehendakinya,
tiba-tiba saja ia mulai membandingkan anak itu dengan Prastawa. Katanya kepada
diri sendiri, “Prastawa sudah mulai lebih dahulu. Tetapi jika Glagah Putih
berlatih dengan tekun, ia akan dapat menyusulnya.”
Dalam pada itu, saudara sepupu
Agung Sedayu itu semakin lama bergerak semakin cepat. Meskipun tata geraknya yang
nampak adalah sekedar gerak-gerak dasar dari ilmu yang pernah dikenalnya, ilmu
yang dimiliki oleh pamannya seperti juga ilmu ayahnya yang temurun kepada
Untara, namun gerak-gerak dasar itu telah menunjukkan, betapa kemampuan dasar
dari anak muda itu menunjukkan kekuatan jasmaniahnya, meskipun nampaknya
tubuhnya tinggi kecil seperti sebatang glagah alang-alang. “Luar biasa,” desis
Agung Sedayu di luar sadarnya.
Namun agaknya pamannya
mendengar desis Agung Sedayu itu, sehingga sambil tersenyum ia pun bertanya
perlahan-lahan agar anaknya tidak mendengar, “Apa yang luar biasa?”
“Paman lihat betapa kekuatan
itu terpancar pada gerak Glagah Putih. Ayunan tangan dan kakinya yang
meyakinkan. Loncatan-loncatan yang cepat dan pandangan mata yang tajam. Syarat-syarat
yang harus ada itu sudah lengkap pada Glagah Putih, sehingga apabila ilmunya
dikembangkan dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka baginya ilmu itu akan
segera dikuasainya.”
Widura mengangguk-angguk.
Katanya, “Kakeknya bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup. Namun sekedar
untuk memberikan tata gerak dasar agaknya ia mampu, seperti ternyata kau lihat
pada Glagah Putih. Adalah kebetulan bahwa kakeknya memiliki saluran ilmu yang
sama dengan kakang Sadewa, meskipun kematangannya adalah jauh sekali terpaut.
Tetapi kakek Glagah Putih pernah berguru pada guru yang sama.”
“O,” Agung Sedayu
mengangguk-angguk, “itulah agaknya aku langsung dapat mengenal tata gerak dasar
itu.”
“Tentu. Tetapi karena kakek
Glagah Putih memang tidak mempunyai daya serap yang tinggi, akhirnya ia menjadi
patah di tengah. Pada saat itulah ayahmu mulai berkembang dengan suburnya.
Ilmunya mencapai tingkatan hampir sempurna. Sementara itu, aku sendiripun
ternyata tidak dapat mengembangkan ilmuku sebaik ayahmu, karena agaknya aku
tidak memiliki bekal jasmaniah seperti ayahmu.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Ia masih mengamati adik sepupunya yang bergerak cukup lincah. Namun geraknya
tetap meyakinkan, bahwa ia memiliki kekuatan yang besar.
“Agung Sedayu,” berkata
Widura, “apakah kau melihat kemungkinan yang baik pada adikmu?”
“Tentu, Paman,” desis Agung
Sedayu, “biarlah ia berlatih dengan sungguh-sungguh. Tuntutan yang terperinci
akan membuatnya menjadi seorang anak muda yang perkasa.”
“Kakeknya dan aku sendiri
tentu tidak akan melakukannya dengan baik. Tetapi saluran ilmu dari guru yang
sudah tidak ada lagi tinggallah aku dan kakek, di samping kakakmu. Yang paling
baik dari kami bertiga adalah kakakmu Untara. Tetapi ia tentu tidak mempunyai
kesempatan lagi untuk menyalurkan ilmunya kepada saudara sepupunya itu.”
Agung Sedayu hanya dapat
mengangguk-angguk. Sudah barang tentu bahwa Untara tidak akan mempunyai waktu
yang cukup untuk melakukannya.
“Paman,” berkata Agung Sedayu
kemudian, “biarlah ia melanjutkan latihan-latihannya dengan tata gerak dasar
itu dahulu. Jika ia sudah memilikinya lengkap, bahwa tinggallah
menyempurnakannya saja.”
“Siapakah yang akan dapat
menyempurnakannya sekarang? Aku tahu bahwa kau sudah lebih banyak menyadap ilmu
dari gurumu daripada ilmu yang sedikit pernah kau terima dari ayahmu.”
“Ya, Paman. Dan aku hampir
tidak pernah menerima ilmu dari ayah dengan sungguh-sungguh karena keadaanku
waktu itu.”
“Tetapi kau mewarisi ketajaman
bidik seperti ayahmu.”
“Hanya itu.”
Widura menarik nafas. Memang agaknya
ilmu yang tersalur lewat dirinya dan Untara, lambat laun akan menjadi semakin
mundur, karena tidak ada orang yang dapat mewarisinya dengan sempurna,
setidak-tidaknya setingkat dengan ilmu yang dimiliki Untara saat itu.
“Agung Sedayu,” berkata Widura
kemudian, “Apakah memang sudah saatnya, ilmu yang ada pada ayahmu itu akan
punah? Aku kira ada beberapa hal yang dapat dinilai sebagai kelebihan ilmu
ayahmu daripada ilmu yang lain, meskipun ada juga kekurangannya.”
Agung Sedayu hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun demikian ia pun mulai menyadari, bahwa
sebenarnya ilmu itu sebaiknya dapat dipertahankan kehadirannya meskipun hanya
pada tata gerak dasarnya, yang dalam perkembangannya akan dipengaruhi oleh
berbagai macam ilmu yang lain, dalam hubungan yang saling menguntungkan, karena
memang tidak ada salah satu cabang ilmu yang sempurna.
Sejenak kemudian ia masih
melihat unsur-unsur gerak dasar yang kuat dari ilmu yang mengalir lewat kakek
Glagah Putih, dan yang tersimpan pada pamannya, Widura, meskipun sebagai
seorang prajurit, ilmu Widura sudah banyak dibumbui oleh berbagai macam unsur
gerak yang didapatkannya dalam masa jabatannya sebagai seorang senapati.
Glagah Putih yang sedang
berlatih itu telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Meskipun
masih belum terlampau banyak, namun telah menunjukkan bahwa ia adalah seorang
pewaris yang baik bagi ilmu yang sedang dipelajarinya.
Sesaat kemudian, Glagah Putih
itu pun mengakhiri latihannya. Keringatnya membasahi seluruh badannya,
sedangkan nafasnya pun mulai berangsur cepat.
“Pernafasannya masih
memerlukan banyak perhatian,” desis Agung Sedayu.
“Ya,” sahut ayahnya, “itulah
adikmu menurut apa yang ada.”
Agung Sedayu tertawa. Ia pun
kemudian mendekati adiknya yang mulai lelah. “Kau luar biasa,” desis Agung
Sedayu.
“Kau memuji, Kakang,” sahut
Glagah Putih, “Aku tahu, bagi Kakang, yang kakang lihat itu bukan apa-apa.”
“Tentu apa bagi anak muda
sebayamu. Kau masih akan berkembang dengan pesat dan pada saatnya menyusul aku
dan kakang Untara.”
Glagah Putih justru menjadi
tersipu-sipu. Bahkan kemudian wajahnya menjadi tertunduk dalam-dalam.
Widura hanya tersenyum saja
melihat anaknya. Tetapi ia memang berharap, bahwa yang dikatakan Agung Sedayu
itu akan benar-benar dapat terjadi, setidak-tidaknya mendekati.
“Nah, sekarang
beristirahatlah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “Cobalah menarik nafas
dalam-dalam. Beberapa kali sampai ke pusat paru-paru. Kau akan merasakan
sentuhan tarikan nafasmu, berkali-kali dengan teratur.”
Glagah Putih mencoba memenuhi
nasehat kakak sepupunya. Ia mulai menarik nafas dalam-dalam. Beberapa kali
dengan teratur.
Sejenak kemudian, maka Agung
Sedayu berkata kepada Widura, “Paman. Biarlah ia mendapat kesempatan dan waktu.
Ia akan berkembang.”
“Ia memerlukan tuntunan yang
lebih baik.”
“Tetapi harus dari cabang
perguruan yang menurunkan jalur ilmu Ayah dan Paman.”
Widura menarik nafas.
“Bukankah itu sulit sekali,
Paman?”
Widura mengangguk. Katanya,
“Memang sulit sekali, Agung Sedayu. Itulah yang membuat aku prihatin. Kakangmu,
Untara, mempunyai bahan yang cukup. Tetapi ia tidak mempunyai waktu. Aku dan
kakek di Tlaga Putih itu hanya memiliki pengetahuan dasar yang sangat dangkal.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Ah, sudahlah. Jangan kau
pikirkan. Usahakan agar luka-lukamu segera sembuh sama sekali.”
“Sekarang sudah sembuh,
Paman.”
“Mungkin masih ada bekasnya.
Bahkan mungkin masih dapat mengeluarkan darah jika tersentuh terlalu keras.”
Agung Sedayu tidak menjawab,
tetapi ia pun kemudian minta diri, “Ah, sudahlah, Paman. Lain kali aku akan
datang lagi. Mungkin kita mendapat banyak kesempatan untuk berbincang tentang
ilmu Glagah Putih.”
“Ia akan kembali kepada
kakeknya dua atau tiga hari lagi.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah ia memahami tata gerak dasar itu dahulu.
Mungkin sesuatu dapat dilakukan atas anak itu.”
Agung Sedayu pun kemudian
minta diri kepada adik sepupunya. Ketika ia meninggalkan halaman belakang lewat
pintu butulan, ia berkata kepada adik sepupunya, “Pergilah ke Jati Anom. Kakang
Untara sama sekali tidak mengatakan bahwa kau ada di sini.”
“Kakang Untara juga belum tahu
bahwa aku pulang.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Kemudian sekali lagi ia minta diri dan meninggalkan rumah
pamannya.
Di sepanjang jalan,
angan-angannya masih saja dipengaruhi oleh kata-kata pamannya tentang ilmu
keturunan yang sampai kepada ayahnya, kemudian perkembangannya justru
terhambat, karena anak-anak Ki Sadewa yang tidak dapat memperkembangkannya.
Untara, anaknya yang sulung, sibuk dengan tugas yang tidak dapat
ditinggalkannya. Sedang Agung Sedayu lebih condong pada ilmu yang diturunkan
oleh gurunya, Kiai Gringsing, daripada ilmu yang pernah dipelajarinya dari
ayahnya. Apalagi ilmu yang disadap dari ayahnya di masa kanak-anaknya, sama
sekali belum memungkinkan baginya untuk memahaminya, karena berbagai macam
keadaan. Di luar dirinya dan di dalam dirinya sendiri.
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa ilmu dari Ki Sadewa harus punah,” berkata Agung Sedayu, “atau kemudian
merosot menjadi ilmu olah kanuragan bagi kanak-anak yang ingin sekedar
melemaskan tubuhnya yang pegal-pegal.”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
telah dicengkam oleh kegelisahan yang lain. Kegelisahan tentang dirinya sendiri
masih belum dapat dipecahkannya. Kini ia telah dibebani oleh persoalan yang
membuatnya juga gelisah.
“Aku harus menemukan cara,”
berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri, “Mumpung tata gerak dasar itu masih
dapat ditelusur. Apa salahnya jika aku pun mempelajarinya lagi dan kemudian
memperkembangkannya, meskipun tidak akan lepas dari pengaruh ilmu guru. Jika
aku menyampaikan hal ini kepada guru, tentu guru tidak akan berkeberatan, dan
bahkan tentu akan membantu.”
Ketetapan hatinya itulah yang
dibawanya kembali ke Jati Anom. Jika ada kesempatan baik, ia akan
menyampaikannya kepada gurunya dan mungkin juga Untara.
“Tetapi kapan?” tiba-tiba saja
ia bertanya kepada diri sendiri, “Jika waktunya aku kembali ke Sangkal Putung,
maka aku tidak akan sempat melakukannya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengerutkan keningnya ketika di dalam hatinya tumbuh
pertanyaan, “Apakah aku harus kembali ke Sangkal Putung, atau sebaliknya aku
harus tetap berada di Jati Anom?”
Di sepanjang jalan kembali ke
Jati Anom, Agung Sedayu dibebani oleh kegelisahannya, yang seolah-olah tidak
akan dapat dipecahkannya. Kembali ke Sangkal Putung atau tetap tinggal di Jati
Anom.
“Sebagai seorang laki-laki,
aku memang tidak pantas berada di rumah Sekar Mirah,” katanya kemudian, “Tetapi
jika guru menghendaki, aku tidak akan dapat ingkar.”
Namun timbul pertanyaan di
hatinya, “Apakah guru menghendaki? Atau aku sendiri yang memang ingin pergi ke
Sangkal Putung.”
Agung Sedayu tidak mendapat
jawaban sampai saatnya ia mendekati rumahnya di Jati Anom.
Di sepanjang jalan yang sudah
ramai karena matahari sudah menjadi semakin tinggi, Agung Sedayu melihat
perkembangan kademangannya. Seperti yang dikatakan oleh pamannya, pohon turi di
sebelah menyebelah jalan sudah mulai berkembang. Bunganya yang putih
keungu-unguan bergantungan lebat sekali.
Namun dalam pada itu, kenangannya
kepada ayahnya pun menjadi semakin tajam. Kepada masa kanak-kanaknya dan kepada
ilmu yang semakin tipis itu.
“Aku harus mendapatkan
pemecahan,” katanya di dalam hati, “Aku akan membicarakannya dengan guru,
secepatnya.”
Persoalan tentang ilmu peninggalan
jalur keturunan sampai kepada kakaknya Untara, tentang dirinya sendiri dan
tentang hubungannya dengan keadaan di sekelilingnya itulah yang kemudian selalu
berada di dalam angan-angannya. Sehingga akhirnya Agung Sedayu tidak dapat
membiarkan dirinya dicengkam oleh kegelisahan itu, dan ketika senja turun, ia
pun mendapatkan gurunya yang sedang duduk berdua saja dengan Ki Waskita di
serambi gandok.
Dengan kesungguhan hati, Agung
Sedayu menyampaikan persoalannya kepada gurunya. Persoalan yang ditemuinya di
halaman rumah pamannya.
“Jadi bagaimana maksudmu,
Agung Sedayu?” bertanya gurunya.
“Jika Guru tidak berkeberatan,
aku mohon ijin untuk mempelajari kembali tata gerak dan ciri-ciri perguruan
ayah, mumpung saat ini masih dapat aku ketemukan sumbernya, selain kakang
Untara.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sekilas dipandanginya Ki Waskita. Kemudian katanya, “Tentu aku tidak
berkeberatan. Bahkan pengenalanmu yang lebih dalam tentang ilmu itu, akan
memperkaya kemampuanmu,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Aku akan membantumu, Agung
Sedayu.”
“O,” wajah Agung Sedayu
menjadi cerah. “Terima kasih, Guru. Mungkin pekerjaan itu akan memerlukan waktu
yang agak panjang, meskipun dapat dilakukan sambilan, di samping tugas-tugas
yang lain.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Namun agaknya ada sesuatu yang tersimpan di hatinya. Nampak
disorot matanya keragu-raguan yang membayang. Setiap kali dipandanginya wajah
Agung Sedayu dan Ki Waskita berganti-ganti.
“Ki Waskita,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “sebenarnya aku masih ragu untuk mengatakannya kepada Agung
Sedayu. Tetapi karena tiba-tiba saja ia telah membawa persoalan baru, maka
agaknya ada jalur yang sejajar, yang dapat kita tempuh bersama-sama.”
Agung sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun ia tidak segera bertanya karena Ki Waskita menjawab, “Aku kira
memang sudah saatnya, Kiai. Biarlah Agung Sedayu tidak terombang-ambing tidak
menentu. Keputusan Kiai akan membantunya memecahkan persoalannya yang
melingkar-lingkar itu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Sebenarnya sudah
beberapa lamanya aku membicarakannya dengan Ki Waskita. Aku tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan yang kau hadapi. Sejak Swandaru kawin, maka
persoalanmu menjadi lain. Benar kata Angger Untara dan pamanmu Widura, bahwa
tidak sebaiknya kau berada di Sangkal Putung terus menerus. Dan aku tidak akan
ingkar, bahwa aku merupakan salah satu penyebabnya.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Dan ia mendengar gurunya meneruskan, “Agung Sedayu, seperti yang dikatakan
Ki Waskita, bahwa kini memang sudah saatnya, bahwa persoalan ini aku sampaikan
kepadamu,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Sudah beberapa kali Angger Untara
mengatakan, sebaiknya kau tidak lagi kembali ke Sangkal Putung. Tetapi menurut
pengamatanku, kau pun tidak akan dapat tenang tinggal di sini, karena pada
dasarnya kau mempunyai perbedaan pandangan hidup, sifat dan tabiat dengan
kakakmu. Karena itu, bagaimanakah pertimbanganmu, jika kita hidup dalam
lingkungan yang baru sama sekali. Tidak di Sangkal Putung dan tidak pula di
Jati Anom?”
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimanakah maksud, Guru?”
“Seperti yang ditawarkan oleh
kakakmu. Aku akan hidup di sebuah padepokan. Dan jika kau tidak berkeberatan,
kau akan menjadi penghuni padepokan itu pula. Di padepokan itu kita dapat
mempelajari dan menyusun kembali bersama pamanmu Widura, apa yang dicemaskan
akan hilang itu.”
Tiba-tiba saja wajah Agung
Sedayu menjadi bertambah cerah. Dipandanginya gurunya dan Ki Waskita
berganti-ganti. Lalu dengan ragu-ragu ia bertanya, “Dimanakah kita akan
tinggal?”
“Kakakmu menawarkan sebuah
pategalan. Tentu saja petegalanmu. Apakah kau bersedia tinggal di petegalan
yang akan kita bangun menjadi sebuah padepokan kecil? Di Karang misalnya.”
Agung Sedayu beringsut
setapak. Dengan serta-merta ia menjawab, “Tentu, Guru. Aku bersedia. Barangkali
itu memang suatu pemecahan yang paling baik bagiku. Apalagi jika Guru memang
menghendaki.”
Kiai Gringsing menepuk bahu
Agung Sedayu. Lalu katanya, “Kita akan mulai membangun pategalan yang sudah
banyak ditumbuhi pepohonan itu, menjadi sebuah padepokan kecil. Kecil saja. Dan
kita akan tinggal di sana. Bagimu, kau tinggal di pategalanmu sendiri.”
Persoalan itu ternyata telah
menumbuhkan berbagai macam tanggapan dan angan-angan pada Agung Sedayu. Ketika
malam tiba, dan ia sudah berbaring di pembaringannya, maka ia mulai
membayangkan suatu masa depan yang barangkali akan merubah cara hidupnya selama
ini.
Demikian dalamnya ia
memikirkannya, maka padepokan kecil itu telah dibawanya ke dalam mimpi yang
mengasyikkan.
Di pagi harinya, Kiai
Gringsing, Agung Sedayu dan Ki Waskita, duduk di pendapa bersama Untara dan
beberapa orang perwira bawahannya. Nampaknya mereka masih belum membicarakan
masalah yang manyangkut tugas keprajuritan, sehingga Kiai Gringsing
mempergunakan waktu itu untuk menyampaikan persoalan padepokan yang telah
dibicarakannya dengan Agung Sedayu.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas dipandanginya adiknya yang sudah nampak sehat kembali.
Sekilas terbayang sesuatu yang tidak mudah ditangkap. Agaknya Untara merasa
bahwa tuntutannya atas Agung Sedayu masih belum dapat terpenuhi.
Meskipun demikian Untara
berkata, “Agaknya untuk sementara hal ini lebih baik, daripada Agung Sedayu
harus kembali ke Sangkal Putung. Aku lebih senang melihat ia bekerja keras di
padepokan kecil, daripada ia membawa nampan menghidangkan makanan dan minuman
bagi tamu-tamu Ki Demang Sangkal Putung bersama Sekar Mirah.”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah.
Tetapi ia tidak menjawab.
“Baiklah, Kiai,” Untara
kemudian menegaskan, “pategalan itu juga milik Agung Sedayu. Tawaranku tentang
padepokan itu memang suatu cara untuk mengatasi Agung Sedayu, meskipun hanya
sementara. Tetapi bahwa ia sudah lepas dari halaman kademangan itu, aku sudah
mulai mempunyai harapan baik bagi masa depannya.”
Agung Sedayu memandang
kakaknya sekilas. Ia masih melihat tuntutan yang lebih jauh pada sorot matanya.
Tetapi agaknya Agung Sedayu menganggap, bahwa yang akan dilakukannya itu adalah
jalan yang paling baik yang dapat ditempuh.
Rencana itu ternyata mendapat
sambutan baik dari beberapa pihak di Jati Anom. Bahkan Widura menyatakan
kesediaannya membantu, membuat sebuah rumah meskipun kecil. Sementara Untara
mempersiapkan dinding batu mengelilingi pategalan yang tidak begitu luas, namun
akan merupakan sebuah padepokan kecil yang menarik.
“Kita akan segera mulai,”
berkata Untara, “rumah yang akan dibuat oleh paman Widura dan dinding batu yang
aku siapkan, akan jadi dalam waktu dekat.”
“Terima kasih,” jawab Kiai
Gringsing, “kesempatan ini merupakan kesempatan yang sangat besar artinya
bagiku. Aku tidak dapat kembali ke Dukuh Pakuwon dalam keadaanku sekarang.
Sementara itu, aku mendapat kesempatan untuk tinggal di sebuah padepokan, yang
akan dibangun baru sama sekali dengan berbagai macam kelengkapannya.”
Sebenarnyalah Untara bekerja
cepat, seperti jika ia menghadapi tugas keprajuritannya. Ia tidak menunggu dua
tiga hari. Hari itu juga, Untara sudah memerintahkan membuat sumur di pategalan
itu.
“Pekerjaan itu memerlukan
air,” berkata Untara, “meskipun dapat diambil dari parit di sebelah pategalan
itu untuk mencukupi kebutuhan pekerjaan yang akan dilakukan, namun akhirnya
diperlukan juga sebuah sumur bagi pategalan itu, setelah menjadi sebuah padepokan.”
Untara memang tidak mau
menunggu. Di hari berikutnya, pekerjaan untuk padepokan kecil itu sudah mulai
dilakukan.
Namun sementara itu, Kiai
Gringsing dan Agung Sedayu sependapat untuk minta diri kepada Ki Demang di
Sangkal Putung, karena mereka sudah agak lama tinggal di Kademangan itu.
“Tetapi seperti yang Kiai
lihat, pekerjaan itu sudah aku mulai,” berkata Untara, “aku harap Kiai jangan
mengecewakan aku dan paman Widura.”
“Tentu, Anakmas. Aku akan
segera kembali.”
Kiai Gringsing, Ki Waskita dan
Agung Sedayu yang kemudian pergi ke Sangkal Putung sudah dapat membayangkan,
bahwa tanggapan orang-orang Sangkal Putung atas rencana itu tentu tidak sebaik
orang-orang Jati Anom. Bahkan mungkin akan dapat timbul salah paham yang dapat
merenggangkan hubungan kedua murid Kiai Gringsing itu.
“Mudah-mudahan aku masih
mempunyai pengaruh yang cukup atas murid-muridku,” berkata Kiai Gringsing.
Ternyata bahwa dugaan itu
tidak jauh meleset dari keadaan yang mereka hadapi. Keputusan Agung Sedayu dan
Kiai Gringsing untuk meninggalkan Sangkal Putung dan tinggal di sebuah
padepokan kecil di dekat Jati Anom itu sangat mengecewakan mereka.
“Kau sudah berkeluarga
Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “tentu hubunganmu dengan Agung Sedayu akan
mengalami perubahan. Juga caramu berguru tidak akan dapat berlangsung seperti
saat-saat sebelumnya, meskipun aku akan tetap memperlakukan kalian berdua tetap
seperti muridku yang sudah sejak lama aku asuh.”
Ki Demang Sangkal Putung,
Swandaru dan keluarga di Sangkal Putung, tidak dapat mencegah maksud Kiai
Gringsing dan Agung Sedayu. Sekar Mirah menganggap keputusan Agung Sedayu itu
adalah keputusan yang bodoh.
“Apa yang kau harapkan dengan
padepokan kecil itu?” berkata Sekar Mirah, “Apakah kau menganggap bahwa dengan
demikian kau sudah memiliki sesuatu yang cukup berharga?”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun pertanyaan itu agaknya telah menyinggung perasaannya. Karena itu
jawabnya, “Sekar Mirah. Mungkin aku tidak akan mendapatkan apa pun juga. Tetapi
dengan demikian aku akan mendapat kesempatan untuk mengembangkan kepribadianku,
yang barang kali penting juga bagi masa depan.”
Terdengar Sekar Mirah
menggertakkan giginya. Tetapi ia masih tetap menahan perasaan yang bergejolak.
Namun dalam pada itu, Pandan
Wangi merasa sesuatu akan pergi daripadanya. Agung Sedayu adalah saudara
seperguruan suaminya. Tidak lebih. Tetapi kepergiannya telah membuat matanya
menjadi panas. Bahkan ketika berada di pakiwan, terasa setitik air mengambang
di pelupuknya.
“Biarlah ia pergi. Itu akan
lebih baik,” katanya kepada diri sendiri.
Kepergian Agung Sedayu dan
Kiai Gringsing dari Sangkal Putung memang menimbulkan berbagai tanggapan. Ki
Waskita akan ikut serta untuk beberapa lama, membantu mempersiapkan lahirnya
sebuah padepokan kecil. Sementara Ki Sumangkar akan tetap berada di Sangkal
Putung, meskipun ia berjanji akan membantu sejauh dapat dilakukan.
Tetapi tanggapan itu masih
akan berkembang pula. Di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di padepokan kecil
yang bakal lahir itu. Tetapi semuanya akan tetap dipengaruhi oleh keadaan di
sekitar mereka. Mereka tidak akan dapat ingkar melihat mendung yang semakin
gelap di atas Pajang dan fajar yang mulai menyingsing di atas Mentaok, yang
kemudin tumbuh dan berkembang semakin maju. Dan yang sedang tumbuh itu pun tidak
sepi dari segala macam hambatan dan kesulitan.
Maka terbayanglah tata
kehidupan baru bagi kedua murid Kiai Gringsing. Swandaru yang sudah mendapat
sisihan Pandan Wangi itu, mulai mengikuti perkembangan pemerintahan di Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, sedang Agung Sedayu bertekad untuk
menenggelamkan diri di padepokan kecil yang sedang dibangun itu, dengan kemauan
kerja yang keras.
Tetapi di samping
perkembangan-perkembangan kecil yang terjadi di sebelah timur Gunung Merapi
itu, maka telah ditetapkan bahwa di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung
Merbabu akan berlangsung pertemuan dari mereka yang merasa dirinya, dan
menyebut diri masing-masing sebagai keturunan yang langsung dapat mewarisi
kejayaan Kerajaan Majapahit.
Kekuatan-kekuatan yang tidak
dapat diabaikan oleh Pajang dan Mataram, sehingga pada suatu saat akan dapat
mengguncangkan bumi yang memang sedang bergejolak.
Sehingga karena itulah, maka
akhir dari kehadiran Agung Sedayu di Sangkal Putung adalah suatu permulaan yang
menghentak bagi masa yang panjang. Apalagi kedua pusaka yang hilang dari
Mataram masih belum diketemukan.