Buku 060
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Baiklah. Beristirahatlah
sambil menunggu. Mungkin kita memang harus menunggu sampai mendekati tengah
malam.”
Dalam pada itu di serambi
Sutawijaya duduk bersama Kiai Gringsing dan Sumangkar. Di belakang Sutawijaya
pengawas yang terluka itu pun duduk pula bersandar tiang. Tetapi ditangannya
sudah siap pula sehelai pedang. Meskipun lukanya masih terasa sakit, namun ia
tidak akan dapat duduk berpangku tangan apabila keadaan menjadi semakin panas.
Sedang Swandaru dan Agung Sedayu duduk di tangga memandang ke dalam kegelapan
malam, seolah-olah ingin melihat langsung orang-orang Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak yang sedang merayap mendekati barak itu.
Swandaru yang gelisah itu pun
kemudian berkata, “Aku tidak sabar lagi. Apakah yang mereka tunggu. Malam sudah
cukup gelap. Kita pun sudah siap. Apalagi?”
“Sst,” desis Agung Sedayu,
“mereka tidak akan menyerang begitu saja tanpa perhitungan.”
“Apalagi yang mereka
perhitungkan?”
“Itulah yang kita tidak tahu.”
“Aku akan tidur saja.”
“Nah, itulah salah satu hal
yang mereka tunggu.”
“Apa?”
“Orang-orang di barak ini
menjadi jemu menunggu dan tidur pulas.”
“Ah,” Swandaru berdesah,
“ada-ada saja kau ini. Sudah tentu aku mempunyai perhitungan sendiri.”
“Apa?”
“Kalau aku tidur, aku pasti
sudah mempercayakan pengawasan kepada orang lain.”
“Siapa?”
“Kau. Belum saja aku selesai
berbicara. Aku akan tidur. Kau yang harus mengawasi keadaan. Kalau musuh itu
datang, kau harus membangunkan aku. Tetapi jaga, jangan sampai aku terkejut.
Kalau aku terkejut, aku tidak akan dapat berbuat apa-apa karena bingung.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia sedang berpikir, bagaimana ia harus menjawab. Tetapi ternyata
Swandaru sudah berkata, “Jangan mengada-ada. Kau tidak usah menjawab. Kau
tinggal menjalankan perintah. Tidak ada alasan untuk mengelak.”
“Aku tidak akan mengelak,”
berkata Agung Sedayu, “tetapi aku ingin bertanya, di mana kau akan tidur?”
“He?”
“Di mana kau akan tidur? Di
sini? Bersandar dinding atau bersandar aku?”
“Tidak bersandar. Aku dapat
tidur sambil duduk tanpa bersandar apa pun.”
“Cobalah,” berkata Agung
Sedayu, “aku ingin melihat.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Kemudian ia pun menyilangkan kedua tangannya di dada. Matanya pun
segera terpejam.
Tetapi ia pun segera
membelalakkan matanya ketika Agung Sedayu berdiri dan melangkah pergi.
“He, kemana kau?”
“Melihat musuh di luar pagar.
Kalau ada aku akan membangunkan kau.”
“Ah kau,” Swandaru pun
kemudian berdiri dan meloncat menyusul Agung Sedayu.
“Kenapa kau tidak jadi tidur?”
“Aku sudah puas tidur sejenak.
Aku tidak kantuk lagi.”
Keduanya pun kemudian
menghilangkan kejemuan mereka sambil berjalan hilir-mudik di halaman. Di
beberapa tempat mereka melihat kelompok-kelompok kecil yang berserakan.
Masing-masing dipimpin oleh seorang pengawal. Setiap kelompok terdiri dari tiga
atau empat orang. Kelompok-kelompok yang sedang ditinggalkan oleh pimpinannya
mengawasi keadaan, masih harus bergabung dengan kelompok yang lain sampai pengawal
yang harus memimpinnya itu kembali.
“Cukup banyak,” desis Agung
Sedayu, “selain orang-orang tua yang bertugas menjaga pintu-pintu masuk ke
dalam barak, ada kira-kira duapuluh lima orang yang telah bersiaga untuk
bertempur apabila orang-orang Kiai Damar itu benar-benar datang.”
“Ya. Dua puluh lima orang,
ditambah dengan para pengawal itu sendiri dan kita berlima.”
“Kenapa lima?”
“Kita berdua, guru, Ki
Sumangkar, dan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin pengawas itu?”
“Jangan dihitung. Kalau kau
mau menghitung juga laki-laki berambut putih itu.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi tampaknya kekuatan itu cukup baik untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Namun tidak ada seorang pun yang tahu, berapa jumlah sebenarnya dari kekuatan
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Keterangan dari orang yang dapat
ditangkapnya tidak akan dapat dipergunakan sebagai pegangan. Masih ada
kemungkinan bahwa orang itu sengaja membuat kesan yang salah, agar orang-orang
dibarak ini menjadi lengah.
Namun demikian,
keterangan-keterangan yang dapat disadap dari orang-orang itu akan dapat
dijadikan bahan pertimbangan.
Demikianlah malarn pun menjadi
semakin malam. Orang-orang yang menunggu dengan berdebar-debar itu semakin lama
menjadi semakin jemu sehingga suasana di barak itu terasa menjadi semakin
gelisah.
“Kegelisahan adalah lawan yang
harus diatasi pula,” berkata seorang pengawal kepada orang-orang di dalam
kelompoknya. Dan seorang pengawal yang lain yang berdiri tidak jauh daripadanya
bersama kelompok kecilnya, menyambung, “Kalau kita tidak dapat mengatasi
kegelisahan semacam ini, maka kita akan kehilangan kewaspadaan. Kesabaran dan
keseimbangan di dalam keadaan semacam ini dituntut oleh keadaan. Lawan kita
agaknya sengaja menunggu sampai kita menjadi jemu dan kehilangan ketajaman pengamatan
atas keadaan yang berkembang selanjutnya.”
Orang-orang di dalam
kelompok-kelompok kecil itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka mencoba
untuk menyadari keadaannya. Mereka mencoba untuk menenangkan perasaannya
masing-masing.
Sejenak kemudian seorang
pengawal yang berdiri di sudut barak menengadahkan kepalanya ke langit.
Dilihatnya bintang gubug penceng di ujung Selatan, hampir berdiri tegak lurus.
Karena itu, maka ia pun berkata, “Hampir tengah malam. Adakah saat-saat semacam
ini yang selalu dipilih oleh hantu-hantu itu untuk keluar dari sarang mereka?”
“Ya,” jawab salah seorang dari
penghuni barak yang ada di dalam kelompok itu.
“Bagus. Kita akan menunggu
sejenak.”
Belum lagi kata-kata itu
lenyap dari pendengaran, tiba-tiba seisi barak itu dikejutkan oleh suara derap
kaki-kaki kuda. Tetapi tidak begitu banyak. Namun yang menggetarkan setiap dada
penghuni barak itu adalah suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin
keras.
“Hantu itu datang lagi,”
terdengar desis seseorang. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang mendengarnya.
Namun demikian, hampir setiap dada telah mengucapkan kata-kata yang serupa,
Orang-orang yang ada di
serambi pun segera berloncatan berdiri. Tetapi Kiai Gringsing segera mencegah
mereka, “Jangan tergesa-gesa mengambil sikap. Kita menunggu perkembangan
keadaan. Bukan inilah lawan yang sebenarnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Kiai benar. Tetapi aku akan berada di
antara para pengawal dan orang-orang dari barak ini yang sudah bersiaga di
halaman.”
“Kita pergi bersama-sama.”
Demikianlah mereka pun segera
menuruni tangga serambi barak itu. Sejenak mereka berdiri di dalam kegelapan
untuk menuai keadaan yang bakal berkembang.
“Kuda itu datang dari arah
belakang,” berkata Kiai Gringsing. “Mereka masih ingin mempengaruhi perasaan
kita dengan cara yang sudah sekian lama dipergunakannya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan Kiai Gringsing. Orang itu
masih berusaha mempergunakan sisa-sisa pengaruh yang mereka tanamkan untuk
waktu yang lama atas perasaan orang-orang di dalam barak itu. Dan sedikit
banyak usaha mereka itu berguna pula. Masih saja ada di antara orang-orang
penghuni barak itu yang meremang mendengar bunyi gemerincing yang menggelitik
jantung itu.
Beberapa orang telah berusaha
memerangi perasaan itu dengan nalar. Mereka mencoba meyakini, bahwa sebenarnya
hantu-hantu itu adalah permainan yang menggelikan saja, seperti anak-anak
bermain hantu-hantuan di malam hari. Siapa yang penakut, akan menjadi
benar-benar ketakutan karenanya, meskipun mereka tahu benar, bahwa mereka
sedang bermain-main.
Sejenak kemudian suara
gemerincing itu pun menjadi semakin dekat. Namun kemudian berhenti beberapa
puluh langkah dari barak.
“Mereka berhenti,” berkata
Sutawijaya.
“Mereka agak menjadi bingung
karena lampu-lampu itu telah berubah letaknya. Mereka tidak mempunyai
ancar-ancar lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Biasanya mereka mengelilingi
barak ini,” desis Kiai Gringsing yang berdiri di tempat yang terlindung.
Sutawijaya tidak menyahut.
Namun ternyata bahwa dugaan
mereka itu benar. Kuda-kuda itu mulai bergerak kembali dan mencoba mengelilingi
barak. Tetapi karena mereka kehilangan ancar-ancar, maka mereka telah mengambil
jarak yang agak panjang.
“Mereka berusaha meredupkan
gairah keberanian kita di sini,” berkata Kiai Gringsing, “kemudian pasukan
mereka yang sebenarnya akan datang.”
“Ya.”
“Kita harus mulai
bersiap-siap.”
Sutawijaya
meng-angguk-anggukkan kepalanya. Diperintahkannya seorang pengawal untuk menyampaikan
perintahnya.
Sejenak kemudian pengawal itu
telah mengelilingi halaman meskipun ia berusaha selalu berada di dalam
kegelapan dan perintah Sutawijaya pun telah tersebar, “Bersiap.”
“Kita hampir mulai,” berkata
salah seorang pengawal kepada orang-orang di dalam kelompoknya, “bersiaplah.
Lahir dan batin.”
“Suara gemerincing itu?”
tiba-tiba salah seorang bertanya.
“Hantu-hantu Alas Mentaok.
Tetapi hantu-hantu yang ini sama sekali tidak menakutkan lagi. Bukankah di
serambi kita juga telah menahan beberapa sosok hantu semacam itu.”
Dada orang itu berdesir. Namun
kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam kepada diri sendiri.
“Tidak ada hantu. Yang ada adalah orang-orang liar yang buas itu. Aku harus
melawan sebelum mereka membinasakan seluruh keluargaku.”
Dengan demikian hatinya yang
sudah mulai tumelung, tiba-tiba telah tengadah kembali. Sambil menggeretakkan
giginya ia telah mempersiapkan senjatanya untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Orang-orang yang ada di
halaman barak itu telah bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Setiap saat mereka
dapat mulai. Mereka tinggal menunggu perintah untuk bertempur.
Dalam pada itu, suara
gemerincing itu pun bergerak perlahan-lahan sekali. Tidak seperti yang biasa
mereka lakukan. Rasa-rasanya barak itu sudah berubah.
Namun akhirnya mereka
menyadari, bahwa sebenarnya hanya lampu-lampu sajalah yang berubah letaknya.
Barak itu masih tetap berada di tempatnya. Perlahan-lahan mereka mulai melihat
cahaya yang sangat redup membayang di dalam dinding barak.
“Pasti akal Sutawijaya,” desis
salah seorang dari hantu-hantu itu. “Marilah kita teruskan perjalanan ini. Kita
harus berputar tiga kali. Sesudah itu, maka pasukan yang bersembunyi di sekitar
barak ini akan segera menyerbu. Putaran kita merupakan aba-aba bagi mereka.”
Suara gemerincing itu pun
kemudian bergerak pula. Mereka telah mengelilingi hampir separo bagian dari
perjalanan mereka.
Namun dalam pada itu, salah
seorang pengawas yang ada di luar barak telah berhasil menyusup kembali masuk
ke halaman. Dengan nafas terengah-engah ia berkata, “Aku tidak melepaskan panah
sendaren karena aku mempunyai kesempatan untuk kembali. Mereka sudah bergerak
mendekat. Tetapi mereka agaknya masih menunggu.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak segera mengambil sikap. Sambil
memandang ke dalam kegelapan ia berkata, “Kita akan menunggu mereka. Semua
orang di halaman ini sudah bersiaga.”
Pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Kembalilah ke dalam
kelompokmu. Kau tidak usah mendekati lawan lagi. Kita sudah dapat menduga di
mana mereka berada.”
Belum lagi percakapan itu
selesai, ternyata pengawas yang lain pun telah melihat kedatangan orang-orang
yang hendak menyerang barak itu. Tetapi ia tidak berbuat seperti pengawas yang
terdahulu. Ternyata ia lebih senang melepaskan anak panah sendaren.
Suara sendaren itu pun
berdesing menyobek sepinya malam. Namun demikian, suaranya bagaikan gelora yang
dahsyat di setiap dada. Baik di dada orang-orang yang menunggu di barak, mau
pun orang-orang yang sedang mengendap-endap di gerumbul-gerumbul.
“Agaknya pengawas dari barak
itu telah melihat gerakan kita,” desis Kiai Damar yang berdiri di samping Kiai
Telapak Jalak. “Suara panah sendaren itu pasti suatu isyarat bagi mereka.”
Kiai Telapak Jalak mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia bergumam. “Kenapa orang-orangmu yang berkuda melingkari
barak itu sebagai isyarat, berjalan terlampau lamban.”
“Tidak begitu kebiasaan
mereka. Suara gemerincing itu memang seolah-olah tidak bergerak.”
Kiai Telapak Jalak menjadi
tegang. Agaknya sudah tidak ada gunanya lagi menunggu isyarat suara gemerincing
itu melingkari barak sampai tiga kali. Ia yakin bahwa pengawas-pengawas yang
mengawal Sutawijaya dapat bertindak jauh lebih sempurna dari orang-orang di
barak itu. Mereka sudah mempunyai banyak pengalaman sehingga mereka mengerti
gunanya pengawasan.
Dalam pada itu, orang-orang
yang berkuda dengan kerincing itu pun menjadi bingung. Mereka juga mendengar
suara panah sendaren yang terbang di udara. Dan mereka juga mengerti, bahwa di
kelompoknya tidak seorang pun yang mempergunakan isyarat itu.
“Pasti suara isyarat
orang-orang Sutawijaya,” desis salah seorang dari mereka.
“Kita percepat langkah kuda
kita.”
“Kita hampir tersesat.
Lampu-lampu di barak itu membingungkan.”
“Kita sekarang sudah
mengetahuinya dengan pasti. Kita dapat berpacu agak cepat.”
“Baiklah. Kita akan berpacu.”
Mereka pun segera mencambuk
kuda mereka, sehingga kuda-kuda itu pun segera berloncatan di dalam gelap.
Menyusup di antara gerumbul-gerumbul yang liar.
Namun ternyata mereka sama
sekali tidak mengerti, bahwa di hadapan barak agak menjorok masuk ke dalam
padang perdu, Swandaru dan Agung Sedayu telah merentangkan tali-tali lulup,
sehingga karena itu, maka hampir bersamaan, dua ekor kuda telah terjerat. Kuda
yang lain menjadi sangat terkejut karenanya, sehingga ketika dua ekor kuda yang
terjerat itu jatuh terjerembab, maka yang lain pun menjadi liar pula karenanya.
Namun seperti yang dua itu, kuda-kuda yang lain pun telah terjerat pula dan
berjatuhan tindih-menindih.
Suara ribut dan ringkik kuda
itu telah mengejutkan Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak di kejauhan. Mereka
segera menyadari bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak sewajarnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak
Jalak pun segera berkata, “Kita menempuh cara kedua. Kita melontarkan panah
api. Pasti terjadi sesuatu dengan hantu-hantuanmu itu.”
Kiai Damar tidak menyahut. Ia
pun segera menyalakan api dan membakar dimik belirang. Setelah ujung sebuah
panah api dibakarnya, maka panah itu pun segera dilontarkannya ke udara.
Sebuah nyala yang merah telah
naik memanjat langit. Sinarnya memancar ke segenap arah, sehingga orang-orang
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak pun dapat melihatnya. Karena itu, maka mereka
menyadari bahwa telah jatuh perintah bagi mereka untuk menyerang isi barak yang
terpencil itu.
Seperti banjir bandang,
orang-orang itu pun segera berloncatan maju. Sambil berteriak-teriak mengerikan
mereka mengacukan senjata mereka. Sementara Kiai Damar meneriakkan perintah,
“Jangan ada yang tersisa!”
Dalam pada itu, di halaman
barak, Sutawijaya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar,
menyaksikan pula nyala api yang terbang di udara. Mereka pun segera menduga,
bahwa itu pasti suatu perintah bagi orang-orang-Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak.
Karena itu, maka Sutawijaya
pun segera meneriakkan perintah kepada para pengawas yang memimpin
kelompok-kelompok kecil untuk bersiap menghadapi lawan yang sebentar lagi pasti
akan datang.
Para pengawal yang bertugas
mengawasi keadaan pun telah bermunculan masuk kembali ke halaman. Mereka segera
berlari-lari ke kelompoknya dan langsung membawa mereka ke pagar halaman.
“Kita menyambut mereka. Kita
tidak akan menunggu. Kita harus menyongsong mereka,” berkata para pengawal.
Kelompok-kelompok kecil itu
pun kemudian berloncatan dengan senjata terhunus. Sekali para pengawal
memperingatkan, kalau mereka menyerah, berarti kepala mereka akan terpisah.
Bukan saja kepala mereka, tetapi juga anak-anak dan isteri mereka.
Ternyata orang-orang Kiai
Damar itu tidak semuanya datang dari depan. Ada beberapa kelompok yang
menyerang barak itu dari belakang. Namun Sutawijaya pun telah meletakkan
beberapa kelompok kecil untuk melawan kemungkinan itu.
Sejenak kemudian barak itu
menjadi hiruk-pikuk. Suara derap kaki terdengar di segala penjuru. Di kejauhan
orang-orang Kiai Damar berteriak-teriak mengerikan.
Sutawijaya masih berdiri tegak
di halaman. Ia harus menguasai seluruh medan. Karena itu, maka katanya kepada
Agung Sedayu dan Swandaru, “Tinggallah di sini. Awasilah bagian belakang dari
barak ini. Kalau jumlah mereka ternyata terlampau banyak, maka kau berdua harus
ikut campur pula. Aku bersama gurumu dan Ki Sumangkar akan menyongsong mereka.”
Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apabila kau bertemu dengan Kiai
Damar atau Kiai Telapak Jalak, kau harus memberikan isyarat agar gurumu datang
membantumu.”
“Apakah isyarat itu.”
“Suruh seseorang membunyikan
kentongan dua ganda.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebenarnya ia ingin ikut menyongsong lawan yang
datang dari depan, tetapi yang datang dari belakang pun merupakan bahaya yang
harus mendapat perhatian.
Sejenak kemudian Sutawijaya
yang kali ini membawa tombaknya segera berlari menyongsong lawan diikuti oleh
Kiai Gringsing dan Sumangkar. Menilik isyarat yang melonjak ke udara dari arah
depan, maka agaknya pemimpin-pemimpin mereka pun ada di sana pula.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
masih berdiri di halaman menjadi termangu-mangu sejenak. Ketika mereka
berpaling, dilihatnya beberapa laki-laki bersenjata berdiri di serambi. Mereka
adalah laki-laki yang telah mendekati separo baya. Mereka harus menjaga
perempuan dan anak-anak apabila ada di antara lawan yang berhasil menerobos
pertahanan.
Ternyata bahwa mereka pun
telah berbuat sebaik-baiknya.
Mereka tidak saja berdiri di
muka pintu, tetapi dalam kelompok-kelompok kecil mereka berdiri di sudut-sudut
barak. Empat atau lima orang. Beberapa di antara mereka benar-benar berdiri di
muka pintu, sedang yang lebih tua lagi dari mereka berada di dalam barak.
Tetapi yang ada di dalam barak itu pun telah mempersenjatai diri mereka bersama
anak-anak tanggung.
“Pertahanan yang
berlapis-lapis ini agaknya cukup baik,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Marilah
kita melihat di bagian belakang dari barak ini.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Keduanya pun kemudian berjalan
tergesa-gesa ke bagian belakang dari barak itu, karena dari arah itu pun
beberapa orang musuh agaknya berusaha menembus pertahanan para pengawal yang
memimpin beberapa orang dari barak itu. Tetapi pertahanan di bagian belakang
itu tidak begitu kuat dibandingkan dengan jumlah orang-orang yang ada di bagian
depan dan samping sebelah-menyebelah.
Belum lagi keduanya sampai di
halaman belakang, mereka terkejut ketika mereka melihat dua orang yang
berlari-larian langsung menuju ke barak dengan senjata terhunus. Menilik sikap
dan tandangnya, mereka pasti bukan pengawal Sutawijaya dan bukan pula orang
dari barak itu. Agaknya dua orang lawan telah berhasil menyusup mendekati
barak.
Ketika Agung Sedayu hampir
saja meloncat mengejar, Swandaru berkata, “Kita lihat, apa yang akan dikerjakan
oleh orang-orang tua itu.”
“Ah kau, apakah kita menunggu
jatuhnya korban.”
“Tidak, Kita membayanginya.”
Keduanya pun kemudian
berlari-lari mengikuti orang itu.
Agaknya orang itu langsung
menuju ke serambi. Mereka membawa perintah dari pemimpin mereka, membunuh
setiap orang di dalam barak itu. Kalau mungkin menimbulkan keributan, agar
perempuan dan anak-anak berteriak-teriak dengan kerasnya, dan mempengaruhi
perlawanan suami-suami mereka.
Tetapi kedua orang itu
terkejut. Ternyata masih ada beberapa orang laki-laki di serambi, meskipun
laki-laki yang sudah agak lanjut usia.
Karena itu, keduanya pun
segera berhenti mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang tidak
terduga-duga itu. Empat orang laki-laki telah mendekati keduanya. Bahkan masih,
ada tiga orang lagi dari sudut serambi itu. Tujuh orang.
Kedua orang itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Namun mereka sadar, bahwa tujuh orang itu bukanlah
pengawal-pengawal yang sudah mapan mempergunakan senjata.
Agaknya orang-orang tua itu
pun tidak banyak membuang waktu. Salah seorang dari mereka mengucapkan
kata-kata sandi. Tetapi dua orang itu tidak dapat menjawab dengan tepat. Karena
itu, hampir berbareng ketujuh laki-laki itu menyerangnya.
Adalah di luar dugaan. Salah
seorang laki-laki tua itu ternyata dengan tangkasnya menggerakkan senjatanya.
Sambil menyerang salah seorang lawan ia berkata, “Aku pernah menjadi pengawal
padukuhanku. Aku pernah mendapat latihan olah kanuragan dari kakekku selagi aku
berumur 20 tahun. Ternyata sekarang aku baru mempergunakannya.”
Tetapi bukan seorang itu saja
yang membuat lawannya berdebar-debar. Laki-laki lain pun telah menyerang lawan
mereka yang lain sambil berkata, “Aku pernah mengikuti pendadaran menjadi
seorang prajurit ketika aku muda meskipun dari orang-orang ini.”
Namun demikian, ternyata
mereka tidak setangkas lawan-lawannya. Hampir saja senjata lawan-lawan mereka
langsung menembus tubuh mereka. Untunglah bahwa mereka berjumlah tujuh orang
seluruhnya, sehingga dengan demikian dua orang lawan itu pun agaknya harus
berjuang mati-matian.
“Gila,” geram salah seorang
dari kedua orang yang berhasil menyusup ke halaman itu, “orang-orang ini
benar-benar sudah jemu hidup.”
“Lebih baik kamilah yang mati
lebih dahulu daripada perempuan dan anak-anak.”
“Kalian akan mati dan
perempuan dan anak-anak itu pun akan mati pula.”
“Jangan membual.”
Ternyata meskipun ketujuh
orang itu sudah hampir sampai ke pertengahan abad, namun tenaga mereka masih
hampir utuh. Mereka masih sanggup mengayunkan kapak menebang pohon-pohon
raksasa di hutan-hutan. Dan kini mereka pun masih sanggup mengayunkan senjata
mereka melawan dua orang.
Tetapi kawan-kawannya yang
lain agaknya tidak sampai hati membiarkan ke tujuh orang itu berkelahi
mati-matian. Yang berada di sudut lain pun segera membagi diri. Mereka berada
di sana empat orang. Yang dua berkata, “Aku akan membantu mereka. Kau awasi
keadaan. Kalau kau melihat ada orang datang, berteriaklah memanggil kami.”
“Baiklah,” jawab yang lain.
Yang dua orang pun segera
berlari-lari mendekati medan perkelahian di halaman itu. Bahkan tiga orang
anak-anak muda tanggung yang berada di dalam barak pun telah keluar pula
meskipun ibunya melarangnya, “Jangan Ngger. Jangan.”
“Aku hanya akan melihat saja,
Ibu.”
Tepat pada saat kedua orang
yang berlari-lari dari sudut yang lain itu mendekat, salah seorang dari ketujuh
orang yang berkelahi itu berdesis. Ujung senjata lawannya telah mengenai
lengannya, sehingga ia harus meloncat mundur. Tetapi dua orang lain segera
menggantikannya.
Anak-anak tanggung itu pun
akhirnya tidak hanya sekedar melihat saja. Mereka pun ikut pula mengurung dua
orang lawan yang tidak menduga akan mendapat lawan sekian banyaknya.
Di serambi, kawan-kawannya
yang sudah tertawan lebih dahulu menjadi gelisah pula. Tetapi mereka mendapat
penjagaan yang cukup kuat, selain tangan mereka telah terikat.
Beberapa orang di antara
mereka mulai mencoba untuk merencanakan suatu usaha, agar mereka dapat terlepas.
Tetapi meskipun yang menjaga mereka adalah orang-orang tua, namun ikatan tangan
mereka yang dikaitkan dengan ikatan kawannya yang lain, sepasang demi sepasang,
sangat mengganggunya, selain luka-luka yang memang masih terasa terlampau
sakit.
Tetapi mereka pun sadar,
apabila mereka tidak dapat lepas dari ikatannya, apabila kawan-kawannya tidak
mendapat kesempatan membebaskannya, maka akibatnya pasti akan sebaliknya.
Kawan-kawannya pasti akan justru membunuhnya.
Sekilas mereka memandang
senjata-senjata terhunus di tangan laki-laki yang sudah mendekati setengah
abad. Salah seorang dari mereka berkata kepada diri sendiri, “Kalau saja aku
mendapat kesempatan melepaskan tanganku. Orang-orang tua itu tidak akan banyak
berarti bagiku.”
Belum lagi orang-orang itu
menemukan cara yang sebaik-baiknya untuk melepaskan diri, ternyata mereka
mendengar orang-orang di sudut barak itu berteriak-teriak, “Bunuh saja. Bunuh
saja keduanya.”
Tetapi orang-orang itu tidak
dapat melihat dengan jelas, apa yang terjadi di sudut barak itu.
Dalam pada itu, ternyata bahwa
salah seorang dari kedua orang yang menyusup ke halaman itu, tidak mampu lagi
menahan serangan-serangan sekian banyak ujung senjata. Bahkan ketika sepotong
besi yang panjang menyentuh matanya, ia kehilangan keseimbangan. Sekejap ia
memejamkan matanya. Namun yang sekejap itu berakibat kekal padanya, karena
sehelai pedang telah terhunjam di dadanya. Kemudian disusul oleh
tikaman-tikaman yang hampir bersamaan waktunya. Dengan demikian maka orang itu
pun segera roboh di tanah untuk tidak akan pernah bangun kembali.
Kini yang melakukan perlawanan
atas mereka tinggal seorang saja. Meskipun ia sudah berhasil melukai beberapa
orang, tetapi luka-luka yang tidak berarti sama sekali.
Ia sadar, bahwa ia seorang
diri tidak akan dapat melawan sekian banyak orang, meskipun mereka bukan
pengawal tanah Mataram. Karena itu, maka lebih baik baginya untuk segera
menyingkir dan kembali ke induk pasukannya saja.
Karena itu, maka sejenak
kemudian, ia pun segera meloncat ke luar dari lingkaran perkelahian dan
langsung berlari kencang-kencang meninggalkan orang-orang yang masih
mengejarnya.
Tetapi malang baginya. Di
dalam kegelapan kakinya ternyata telah terjerat sesuatu, sehingga ia pun
terpelanting dan jatuh tertelungkup.
Ternyata ujung cambuk Swandaru
telah menjeratnya, sehingga ia tidak berhasil melarikan dirinya. Sepasang
tangan yang kuat telah memilin tangannya tanpa ampun lagi.
“Ikat saja orang ini,” berkata
Swandaru kepada orang-orang yang mengejarnya.
“Bunuh saja.”
“Jangan. Ia sudah menyerah.
Ikat saja kuat-kuat. Orang ini masih berbahaya. Meskipun demikian, jangan
kalian bunuh.”
Orang-orang tua itu
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala.
Salah seorang segera maju sambil berkata, “Ikat saja ia erat-erat. Kemudian
kita ikat orang itu dengan tiang.”
Tanpa diduga-duga ia menyambar
ikat kepala orang yang tangannya masih terpilin itu. Kemudian dengan ikat
kepala itu, ia mengikat tangan orang yang masih berbahaya itu erat-erat.
Katanya, “Marilah orang ini
kita bawa ke serambi.”
Ternyata kemenangan itu telah
mengungkat keberanian orang tua-tua itu lebih bergelora lagi. Mereka
seakan-akan sudah tidak mengenal takut lagi menghadapi setiap kemungkinan.
Setelah mengikat orang itu, mereka pun kemudian turun ke halaman dan berjalan
hilir-mudik dengan senjata di tangan.
Dalam pada itu. Swandaru dan
Agung Sedayu masih saja berdiri di samping barak. Mereka pun kemudian berkisar
ke belakang. Di dalam gelapnya malam mereka tidak segera melihat, apa yang terjadi
di gerumbul-gerumbul di belakang barak itu.
“Agaknya kekuatan lawan pun
terpusat di arah depan,” desis Swandaru. “Ternyata tidak ada seorang pun yang
berhasil menembus pertahanan dua kelompok kecil yang dipimpin oleh dua orang
pengawal.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi lamat-lamat ia memang mendengar suara
perkelahian.
“Suara itu semakin lama
menjadi semakin dekat,” desis Agung Sedayu.
Wajah Swandaru menegang.
Katanya, “Kalau begitu, mereka pasti terdesak.”
“Marilah kita lihat.”
Keduanya pun kemudian
berloncatan berlari masuk ke dalam gelapnya malam. Dalam pada itu Swandaru
masih sempat bergumam, “Orang-orang tua di halaman itu masih dapat dipercaya.”
Di arah depan barak, pasukan
lawan memang cukup kuat. Ketika saatnya telah datang, serta isyarat telah
mereka lontarkan ke udara karena suara gemerincing itu tidak dapat berputar
secara wajar, maka mereka pun seperti banjir yang memecahkan bendungan,
langsung mencoba menyerbu ke halaman barak.
Tetapi tanpa mereka sadari,
ternyata sebagian dari mereka telah terpelanting karena kaki-kaki mereka telah
terjerat oleh tali-tali lulup yang direntangkan oleh Swandaru dan Agung Sedayu
dari batang perdu yang satu ke batang yang lain. Tali-tali lulup yang putus
telah mengguncang pohon-pohon perdu di gerumbul dan membuat kejutan-kejutan
yang langsung menghambat laju orang-orang yang menyerbu barak itu.
Dengan demikian, maka usaha
Swandaru ada juga hasilnya. Serangan itu terpaksa terhambat. Laju banjir itu
pun tidak seperti yang mereka rencanakan, untuk memberikan kesan yang
mengerikan pada serangan yang pertama. Bahkan ada beberapa orang di antara
mereka yang kakinya terkilir dan dahinya membentur batu.
Terdengar mereka yang terjerat
oleh tali-tali lulup itu mengumpat tidak habis-habisnya. Apalagi mereka yang
oleh kejutan itu, senjatanya telah terlepas. Di dalam kegelapan orang itu harus
merunduk-runduk mencari senjatanya yang terjatuh.
“He, apa kerjamu?” bentak
kawannya.
“Senjataku terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prajurit
yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo dari
nyawanya.”
“Itulah sebabnya aku mencari
separo nyawaku yang hilang.”
“Persetan,” kawannya
menggeram. Tetapi ketika kawannya itu meloncat meninggalkan orang yang sedang
mencari senjata itu, kakinya sendiri terjerat pula, sehingga ia pun jatuh
menelungkup. Senjatanya pun terlepas dan ter-pelanting jatuh ke dalam gerumbul
perdu.
“Setan alas!” ia mengumpat.
Dalam pada itu kawannya yang
terdahulu kehilangan senjatanya, sudah dapat menemukannya. Didekatinya kawannya
yang terjatuh kemudian sambil berkata, “Apa yang kau cari?”
“Gila, senjataku pun
terjatuh.”
“Bodoh kau. Seorang prjaurit
yang kehilangan senjata di medan perang, sama saja sudah kehilangan separo
nyawanya.”
Kawannya menggeretakkan
giginya. Tetapi ia pun segera menjawab, “Itulah sebabnya aku mencari separo
nyawaku yang hilang.”
“Macammu,” desis kawannya yang
sudah menemukan senjatanya. Tetapi ia tidak mau menunggu lebih lama lagi.
Dengan tergesa-gesa ia pun segera maju menyusul kawan-kawannya meskipun ia
harus berhati-hati karena ia tidak mau terjerat lagi oleh tali-tali lulup.
Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak yang melihat laju orang-orangnya tertahan-tahan mengumpat pula di dalam
hati. Laju pasukan pada benturan yang pertama itu cukup berpengaruh. Apalagi
lawannya adalah orang-orang yang tidak berpengalaman dalam peperangan. Hanya
beberapa orang sajalah yang mempunyai kemampuan mempergunakan senjata
sebaik-baiknya.
Demikianlah maka akhirnya dua
pasukan itu pun bertemu. Tetapi tidak di tepi halaman seperti yang diharapkan
oleh orang-orang Kiai Damar, karena pasukan yang mempertahankan barak itu sudah
agak maju menyongsong mereka.
Memang ada satu dua orang yang
lolos, dan mencoba langsung menyerbu ke barak untuk mempengaruhi hati
orang-orang barak yang sedang berkelahi itu. Tetapi orang-orang tua yang pernah
memenangkan perkelahian, menjadi semakin terbesar hati, sehingga mereka pun
berjuang semakin gigih. Setiap orang yang mencoba memasuki barak itu pasti
berhasil mereka lumpuhkan beramai-ramai. Itulah yang tidak pernah diduga oleh
orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah maka perkelahian
itu pun menjadi semakin seru. Orang-orang yang bertempur menjadi semakin
bernafsu. Demikian juga penghuni barak yang selama itu hanyalah sekedar
mengayunkan kapak-kapak mereka menebang pepohonan, tetapi kini mereka
mengayunkan senjata mereka sekuat tenaga untuk melawan orang-orang yang akan
menghancurkan segala usaha yang selama ini pernah mereka rintis.
Dengan demikian, meskipun
mereka bukan orang-orang yang cakap mempermainkan senjata tetapi kekuatan
ayunan senjatanya dapat dibanggakan, sehingga lawan-lawan mereka pun menjadi
ngeri juga karenanya.
Di samping orang-orang yang
bertenaga raksasa itu, para pengawal dan pengawas yang ada di antara mereka pun
bertempur mati-matian. Mereka bukan sekedar orang-orang yang dapat memegang
senjata, tetapi terlebih-lebih pengawal Sutawijaya adalah orang-orang pilihan.
Orang-orang yang mempunyai kemampuan bertempur melampaui seorang prajurit
biasa.
Sutawijaya sendiri bersama
Kiai Gringsing dan Sumangkar masih berdiri termangu-mangu. Sejenak mereka
memperhatikan medan yang meluas, hampir meliputi separo lingkaran. Sedang
mereka pun mengetahuinya, bahwa di belakang barak pun ada juga orang-orang Kiai
Damar yang mencoba menembus pertahanan. Tetapi mereka percaya bahwa Agung
Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu orang-orang yang bertahan di belakang
dengan kekuatan yang kecil.
Sebenarnyalah bahwa Agung
Sedayu dan Swandaru telah terjun ke dalam kancah perkelahian. Jumlah lawan
memang tidak begitu banyak. Tetapi mereka berhasil mendesak para penghuni barak
yang hanya dipimpin oleh dua atau tiga orang pengawal. Namun kehadiran Agung
Sedayu dan Swandaru ternyata mempunyai pengaruh yang besar sekali.
Meskipun keduanya tidak
bernafsu untuk membunuh, tetapi mereka sadar, bahwa mereka harus melumpuhkan
lawannya. Membuat mereka pingsan atau membuat mereka tidak berdaya sama sekali.
Namun demikian apabila ada yang terbunuh juga di antara mereka, sama sekali
bukanlah yang dikehendaki.
Sejenak kemudian di bagian
belakang barak itu telah bergema suara cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
Meledak-ledak seperti menghentak-hentak jantung. Semakin lama semakin sering,
dan setiap kali terdengar seseorang mengaduh tertahan.
Seorang laki-laki yang
berkumis lebat tetapi berkepala botak, menggeram, “Nah, sekarang barulah aku
mendapat kesempatan. Aku tidak percaya bahwa cambuk itu mampu melawan sepasang
pedangku.”
Dengan garangnya orang
berkumis itu pun segera meloncat menyerang Agung Sedayu.
Selangkah Agung Sedayu
meloncat surut. Ia melihat orang berkumis lebat di dalam keremangan malam.
Semula ia termangu-mangu melihat ikat kepala orang itu berkilat-kilat. Tetapi
ternyata bahwa orang itu sama sekali tidak memakai ikat kepala. Botak
kepalanyalah yang memantulkan cahaya bintang gemintang di langit yang jernih.
“Sekarang kau akan mati,”
desis orang botak itu.
Agung Sedayu meloncat surut
sekali lagi. Ternyata bahwa sepasang pedang orang itu memang garang. Yang satu
mematuk, sedang yang lain tiba-tiba terayun mendatar.
“Jangan lari,” orang itu
berteriak, “inikah yang dikatakan orang bercambuk itu? Sama sekali tidak
seperti yang pernah aku dengar. Apakah memang begitu caramu berkelahi?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu, “beginilah
caraku berkelahi.”
“Licik. Kalau begitu …”
Tetapi orang itu tidak sempat
menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba selaput telinganya serasa pecah. Cambuk
Agung Sedayu meledak dengan dahsyatnya beberapa jengkal saja dari kepalanya.
“Gila,” orang berkepala botak
dan berkumis lebat itu mengumpat. Namun sekali lagi ia harus menundukkan
kepalanya dalam-dalam karena ujung cambuk Agung Sedayu berdesing di atas
kepalanya.
Selanjutnya Agung Sedayu tidak
memberinya kesempatan. Ujung cambuknya menyusup di antara sepasang pedang
lawannya, seperti seekor lalat. Sekali-sekali hinggap di tubuhnya, kemudian
terbang lagi dengan cepatnya.
“Kubunuh, kau,” orang itu
berteriak sekali lagi. Pedangnya berputar semakin cepat dan garang. Namun ujung
cambuk Agung Sedayu masih juga sempat hinggap di kulitnya, meskipun belum
menumbuhkan luka-luka yang parah.
Namun demikian,
sentuhan-sentuhan ujung cambuk itu membuatnya seakan-akan berdiri di atas bara.
Setiap kali ia berloncatan menghindar, kemudian maju menyerang dengan dahsyatnya,
meskipun serangannya sama sekali tidak pernah menyentuh lawannya.
Dalam pada itu, justru ujung
cambuk Agung Sedayu-lah yang semakin sering mengenainya. Semakin lama semakin
keras, sehingga kemudian terasa, kulitnya seakan-akan terkelupas. Darah mulai
menitik dari luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu itu.
Di bagian lain, Swandaru harus
berkelahi melawan dua orang sekaligus. Yang seorang gemuk hampir seperti
dirinya sendiri, sedang yang lain bertubuh tinggi dan besar, bersenjata tombak
pendek, bergerigi seperti duri pandan.
“Juntai cambukmu akan rantas
tersentuh senjataku,” orang yang tinggi itu bergumam.
Tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya. Bahkan ia berkata kepada lawannya yang gemuk, “Kenapa kau
tidak memakai baju? Kulitmu akan terkelupas oleh ujung cambukku. Kalau kau
masih mempunyainya, ambillah, pakailah bajumu sekedar untuk mengurangi
jalur-jalur merah biru di punggungmu.”
“Persetan!” ia membentak.
Suaranya melengking seperti suara perempuan.
“He, suaramu aneh,” desis
Swandaru.
“Gila. Kau masih sempat
berbicara tentang suara,” orang yang tinggi besar itulah yang menjawab.
Swandaru tiba-tiba justru
tertawa. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Cambuknya semakin lama menjadi semakin
cepat, sehingga kedua lawannya itu pun menjadi semakin bingung karenanya.
Dalam pada itu, para pengawal
dan orang-orang yang tinggal di dalam barak itu pun masih berkelahi
mati-matian. Jumlah lawan memang agak lebih banyak di bagian belakang ini.
Tetapi ternyata bahwa para pengawal pun cukup tangkas. Apalagi karena Agung
Sedayu kemudian tidak mengikatkan diri pada lawannya yang seorang itu. Orang
yang berkumis lebat dan berkepala botak. Setiap kali Agung Sedayu masih juga
sempat menyerang siapa pun yang mendekatinya. Dan serangan Agung Sedayu itu
ternyata benar-benar mengejutkan.
Demikian pula orang berkepala
botak itu. Semakin lama ia pun semakin menyadari keadaannya. Sebenarnya, bahwa
orang yang bersenjata cambuk itu adalah orang yang luar biasa, sambil
berloncatan kian kemari, membantu orang-orang lain di dalam perkelahian itu, ia
masih sempat melukainya. Semakin lama semakin banyak. Jalur-jalur merah biru
menjadi silang-menyilang dipunggung dan lengannya.
“Anak ini memang anak setan,”
desisnya, “aku harus membunuhnya beramai-ramai. Kalau orang ini sudah mati,
maka, aku akan dapat segera membunuh orang-orang lain di dalam perkelahian
ini.”
Demikianlah, maka orang itu
pun memberi isyarat kepada tiga orang yang lain untuk bersama-sama melawan
Agung Sedayu. Menurut perhitungan orang berkepala botak itu, apabila Agung
Sedayu sudah terbunuh, maka semuanya akan berjalan lancar.
Tetapi perhitungan itu pun
tidak terlampau mudah dilakukan. Dengan demikian, maka orang-orang lain di
dalam perkelahian itu menjadi lebih bebas lagi karena lawannya berkurang.
Orang-orang dari barak yang semula menjadi cemas dan kadang-kadang bingung,
kini mereka merasa lapang, karena lawan-lawan mereka telah terhisap oleh Agung
Sedayu. Demikian juga pengawal yang ada di arena perkelahian itu, sehingga
mereka pun segera berhasil mendesak lawan mereka.
Sejenak kemudian perkelahian
itu menjadi semakin berat sebelah. Agung Sedayu dan Swandaru menganggap bahwa
tenaganya mungkin diperlukan pula di medan yang lain, sehingga akhirnya mereka
pun mengerahkan segenap kemampuan mereka. Cambuk kedua anak-anak muda itu
segera meledak-ledak semakin keras dan cepat. Ujungnya yang berkarah besi baja,
rasa-rasanya menjadi semacam ujung pedang. Setiap sentuhan, tidak lagi sekedar
meninggalkan bekas merah biru, tetapi ujung cambuk itu mampu merobek kulit dan
membuat luka memanjang yang mengalirkan darah yang segar.
“Anak setan!” geram orang
berkepala botak itu. Tetapi ia pun segera menyeringai ketika ujung cambuk Agung
Sedayu justru menyentuh botaknya meskipun tidak terlampau keras.
Pasukan yang menyerang barak
itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama dengan para pengawal tedan orang-orang yang tinggal di dalam barak
itu berusaha sekuat-kuatnya untuk segera menyelesaikan perkelahian itu.
Meskipun jumlah para penyerang
itu agak lebih banyak, namun sebagian terbesar dari mereka berkerumun di
sekitar Agung Sedayu dan Swandaru. Namun demikian, mereka sama sekali tidak
berhasil mendesaknya. Bahkan, cambuk kedua anak-anak muda itu kadang-kadang
telah membuat mereka kebingungan dan saling membentur di antara mereka sendiri.
Namun demikian korban-korban
di kedua belah pihak tidak dapat dihindarkan lagi. Demikian juga pada lingkaran
perkelahian di belakang barak itu. Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru sama
sekali tidak didorong oleh nafsu untuk membunuh, namun mereka tidak dapat
menilik dengan saksama akibat dari ujung cambuk masing-masing, sehingga ada
juga di antara mereka yang terlempar dan terbanting di atas tanah, namun tidak
akan dapat bangkit kembali.
Di bagian depan dari barak
itu, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Berbeda dengan pertempuran di
bagian belakang, di bagian depan jumlah para penyerang tidak lebih banyak dari
mereka yang mempertahankan barak itu. Tetapi nilai mereka seorang demi seorang
agak jauh berbeda. Di dalam perkelahian yang lebih besar, ternyata orang-orang
yang menghuni barak itu masih juga kebingungan. Meskipun pemimpin-pemimpin
kelompok mereka, sempat memberikan aba-aba, namun kadang-kadang mereka tidak
dapat berbuat apa pun juga, selain kebingungan.
Dengan demikian, maka pasukan
penyerang itu pun segera dapat mendesak orang-orang yang mencoba mempertahankan
baraknya. Meskipun para pengawal sudah berjuang sekuat tenaga mereka, tetapi
tenaga mereka pun sangat terbatas.
Sutawijaya yang melihat hal
itu, menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan demikian ia tidak akan dapat
tinggal diam menunggu. Dengan tombak yang bergetar di tangannya, ia berkata
kepada Kiai Gringsing dan Sumangkar, “Aku akan mulai Kiai. Keadaan menjadi semakin
buruk.”
“Marilah, kita akan mulai
bersama-sama,” desis Kiai Gringsing.
“Kiai harus mengamati, apakah
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak juga sudah mulai. Mereka adalah orang-orang
yang berbahaya, yang harus mendapat perhatian khusus.”
“Aku akan mencari, Ngger.
Tetapi sambil mencari, aku dapat berbuat sesuatu untuk mengurangi perlawanan
musuh.”
Sutawijaya tidak menyahut.
Dengan tombak yang merunduk ia maju mendekati arena yang menjadi semakin sibuk.
Sejenak kemudian Sutawijaya
telah terjun di dalam pertempuran. Pertempuran yang seru, namun dipenuhi oleh
keragu-raguan. Di dalam gelapnya malam tidak mudah untuk segera membedakan,
manakah kawan dan manakah lawan. Namun apabila keduanya sudah bertemu, maka
mereka pun akan berkelahi mati-matian.
Agaknya Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak mengetahui akan hal itu. Karena itu, maka mereka pun berusaha,
agar tidak terjadi terlampau banyak kesalahan dan keragu-raguan. Supaya anak
buahnya tidak lagi harus membuang banyak waktu sebelum menghunjamkan pedangnya karena
kebimbangan.
Orang-orang yang tinggal di
dalam barak, dan yang ternyata ikut melakukan perlawanan, adalah lawan-lawan
yang sangat lunak. Hanya karena kegelapan dan keragu-raguan sajalah, mereka
masih sempat hidup terus.
Dengan demikian, maka Kiai Damar
pun segera memerintahkan beberapa orangnya yang memang sudah ditentukannya,
untuk segera menyalakan obor. Selain itu, panah-panah api pun diterbangkannya
ke udara, sehingga medan itu bagaikan hujan api yang berjatuhan dari langit.
Sejenak kemudian medan yang
ribut itu menjadi semakin terang. Beberapa orang maju ke medan dengan obor di
tangan kiri dan pedang di tangan kanan, atau menancapkan obor-obor mereka di
tanah dan menyelipkannya di cabang-cabang batang perdu.
Ternyata bahwa obor-obor itu
sangat berguna bagi mereka. Di dalam keremangan cahayanya yang kemerah-merahan,
mereka segera mengenal, yang manakah lawan-lawan mereka, bahkan mereka dapat
mengenal pula, yang manakah pengawal yang memang cakap mempergunakan senjata,
dan yang manakah orang-orang yang dapat dengan mudah mereka sergap dan mereka
jadikan korban.
Tetapi sejenak kemudian dada
mereka menjadi berdebar-debar, ketika justru cahaya obor itu telah memberikan
banyak petunjuk pula bagi Sutawijaya. Itulah sebabnya, maka di medan
pertempuran yang menjadi terang itu, tiba-tiba telah timbul kebingungan.
Seorang anak muda dengan tombak di tangan, telah meloncat dengan lincahnya
menyelusupi medan sambil memutar tombaknya itu.
“Anak setan!” salah seorang
lawannya menggeram. Hampir saja hidungnya tersentuh ujung tombak itu. Namun ia
tidak sempat berbuat banyak ketika tiba-tiba saja pundaknyalah yang telah
tergores oleh ujung tombak yang terbang bagaikan sikatan menyambar bilalang.
Demikianlah kehadiran
Sutawijaya di medan peperangan, itu memberikan banyak pengaruh bagi
orang-orangnya. Para pengawal yang harus berjuang mati-matian, bukan saja
mempertahankan dirinya sendiri, tetapi kadang-kadang harus juga melindungi anak
buahnya itu, menjadi sedikit lapang. Lawan-lawannya menjadi agak bingung dan memecah
perhatian di antara mereka.
Tetapi Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak pun tidak tinggal diam di tempatnya. Mereka pun melihat bayangan
yang bagaikan berterbangan kian kemari, menyambar-nyambar dengan dahsyatnya.
“Itulah Sutawijaya,” desis
Kiai Telapak Jalak.
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Katanya, “Bagaimana maksudmu dengan anak itu?”
“Kita binasakan.”
“Baik, lalu?”
“Kau menghadangnya di ujung
sebelah, aku di ujung yang lain. Jangan ragu-ragu, kita akan membunuhnya.”
Kiai Damar mengangguk-angguk,
tetapi ia tidak segera beranjak dari tempatnya. Sikapnya menunjukkan
keragu-raguan yang mengganggu hatinya.
“Kenapa kau masih diam saja?”
“Tetapi, bukankah Raden
Sutawijaya itu putra Ki Gede Pemanahan dan putera angkat Sultan Pajang.”
“Semua orang sudah tahu.
Jangan ragu-ragu. Tidak ada hukuman yang dapat diperhitungkan jika kita
membunuh lawan di peperangan. Sultan Pajang pun tidak akan marah.” Kiai Telapak
Jalak berhenti sejenak, lalu, “Jika Pema-nahan marah karena ia kehilangan
anaknya, itu adalah salahnya sendiri.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian ia berkata, “Berhati-hatilah
terhadap orang bercambuk atau orang yang berada di pihaknya, bersenjata jenis
lentur pula, bahkan rantai.”
Kiai Telapak Jalak menggeram,
“Seperti anak-anak yang pergi mencari kayu di hutan. Pesan ayah bundanya
berkepanjangan.”
“Aku hanya memperingatkanmu.
Aku sudah mengalaminya.”
“Terima kasih. Sekarang, kau
pergi ke ujung sebelah. Aku di ujung yang lain. Sutawijaya berada di antara
kedua ujung itu sambil membuat lawan-lawannya menjadi bingung.”
“Kita akan menghentikannya.”
Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak pun segera berpisah. Mereka pergi ke kedua ujung yang berlawanan. Namun
mereka tidak sekedar pergi ke ujung. Di sepanjang langkahnya, mereka pun
mencoba untuk menggetarkan dada pasukan lawannya.
Namun Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tidak lengah. Mereka pun segera melihat keadaan medan yang
seakan-akan terguncang. Sejenak mereka melihat pengaruh Sutawijaya, namun
sejenak kemudian seperti didorong oleh gelombang pasang, pasukan yang
mempertahankan barak itu terdesak.
“Nah, itulah dia,” desis Kiai
Gringsing ketika ia melihat Kiai Damar, “agaknya orang itu mencarimu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Tetapi ia hanya seorang diri. Seharusnya ia berada
bersama orang yang disebut bernama Kiai Telapak Jalak. Kita belum mengenal
orang yang bernama Kiai Telapak Jalak dengan baik. Mungkin ia berada di
sekitarnya.”
“Mungkin di tempat lain,”
sahut Kiai Gringsing. “Jagalah Kiai Damar. Jangan beri ia kesempatan. Aku akan
mencari orang yang bernama Kiai Telapak Jalak. Mungkin ia berada di ujung yang
lain. Atau bahkan mungkin ia sedang berusaha mengalahkan Raden Sutawijaya.”
“Baiklah. Aku akan menemui
Kiai Damar. Meskipun barangkali tidak berkenan di hatinya, apa boleh buat,”
berkata Sumangkar.
“Ya. Kali ini kita tidak boleh
gagal lagi. Persoalan tanah ini harus segera menjadi jernih. Apalagi
persoalannya kemudian beralih menjadi persoalan dengan Pajang, itu bukan soal
kita lagi. Tetapi kita sudah membantu membebaskan mereka yang sedang berusaha
membuka hutan ini dari gangguan hantu-hantu kerdil ini.”
“Ya. Dan aku akan segera dapat
membantu Agung Sedayu dan Swandaru ke Sangkal Putung. Kalau aku juga tidak
segera kembali, hati Ki Demang berdua, bahkan Sekar Mirah akan menjadi semakin
cemas.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Lihat, Kiai Damar tidak
pandang lawan. Orang-orang yang tidak mampu berbuat banyak itu telah
diserangnya. Cepat, lindungilah mereka.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian meloncat menyongsong Kiai Damar yang
seolah-olah sedang mengamuk.
Meskipun Kiai Damar sadar,
bahwa di antara mereka yang tinggal di dalam barak itu ada orang-orang yang
harus mendapat perhatiannya, namun kehadiran Sumangkar yang tiba-tiba itu
mengejutkannya juga. Bahkan dengan tanpa sesadarnya ia berkata, “Kau lagi?”
“Ya. Aku lagi,” jawab
Sumangkar. “Selama kau masih datang kembali, aku pun akan datang lagi
menjemputmu.”
“Persetan. Sekarang aku tidak
akan membiarkan kau hidup. Sekarang kau akan mati.”
Sumangkar tidak merasa perlu
untuk menjawab. Ia langsung mengambil alih Kiai Damar dari lawan-lawannya yang
kebingungan. Sehingga dengan demikian, maka mereka pun segera terlibat dalam
perkelahian yang seru.
Di tempat lain, Sutawijaya
masih sibuk menghalau lawan-lawannya yang masih selalu mendesak terus. Para
pengawal menjadi agak kecut juga melihat orang-orang yang bertempur bersama
mereka menjadi bingung. Ternyata penghuni barak yang tidak pernah mengalami
peperangan dan hanya mendapat petunjuk sekedarnya itu, masih belum mampu
menyesuaikan diri dengan peperangan yang sengit. Perang yang seakan-akan tidak
teratur lagi. Perang brubuh.
Apalagi apabila sekali-sekali
mereka mendengar seorang di antara mereka berteriak kesakitan, karena tubuh
mereka tersentuh senjata, sehingga kadang-kadang para pengawal tidak lagi
sempat bertempur dengan mantap.
Kehadiran Sutawijaya di medan
ternyata telah memberikan nafas baru kepada mereka, Sutawijaya yang bagaikan
burung sikatan itu, terbang dari satu lingkaran peperangan ke lingkaran yang
lain, sehingga hati para pengawal menjadi agak lapang. Mereka mendapat
kesempatan untuk mengerahkan kemampuan mereka terhadap lawan-lawannya sendiri,
karena lawan-lawannya yang lain menjadi kisruh oleh kehadiran Sutawijaya.
Tetapi tiba-tiba langkah
Sutawijaya terhenti. Seseorang telah berada di hadapannya sambil bertolak
pinggang. Dengan sorot mata yang tajam, orang itu berkata, “Raden, hentikan
cara itu. Korban akan terlampau banyak karena pokalmu.”
Sutawijaya tertegun sejenak.
Diamatinya orang yang berdiri bertolak pinggang di hadapannya itu. Dan sebelum
ia bertanya, maka orang itu telah mendahuluinya, “Akulah yang disebut Kiai
Telapak Jalak.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya sejenak orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak
itu. Agaknya orang itu terlampau yakin akan dirinya.
“Sayang, bahwa kita bertemu
dalam keadaan seperti ini,” berkata Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, sayang sekali. Tetapi apakah
sebenarnya yang kalian kehendaki, sehingga kalian terpaksa melakukan
tindakan-tindakan yang kasar ini?”
“Pertanyaanmu terlampau
sederhana. Sebagai seorang yang bercita-cita membuka sebuah hutan sebesar hutan
Mentaok, kau seharusnya sudah dapat menjawab pertayaanmu sendiri.”
“O, begitu? Sayang, aku tidak
dapat menjawab pertanyaan itu. Mungkin otakku memang tumpul atau barangkali aku
tidak cukup mempelajari persoalan ini. Tetapi aku akan bertanya sekali lagi
kepadamu, apa pun yang kau katakan tentang diriku.”
“Ini adalah suatu ciri bagi
Raden Sutawijaya,” berkata Kiai Telapak Jalak. Lalu, “Kau adalah gambaran dari
anak-anak muda yang keras kepala.”
“Ya. Itu benar. Lalu?”
“Dan aku masih harus menjawab
pertanyaanmu?”
“Ya, aku masih mengharap
jawaban itu.”
“Baiklah.” Kiai Telapak Jalak
berhenti sejenak, lalu, “Kami tidak menghendaki kalian membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa?”
“Ada bermacam-macam alasan. Di
antaranya, aku tidak senang melihat kau dan ayahmu Pemanahan berkuasa di sini.”
“Itukah alasanmu yang paling
penting.”
“Sekali lagi kau menunjukkan
kebodohanmu sebagai seorang putra Pemanahan dan apalagi putra angkat Sultan
Pajang.”
“O, mungkin nanti kau akan
menjumpainya kebodohan berikutnya. Tetapi apa jawabmu?”
“Aku kira aku lebih baik tidak
menjawab. Sekarang, jangan menyesal bahwa kau akan mati di tanganku. Sudah lama
aku berniat untuk melakukannya, tetapi agaknya baru sekarang aku mendapat
kesempatan.”
“Kiai Telapak Jalak,” berkata
Sutawijaya, “sebenarnya usahaku untuk membuka Hutan Mentaok sudah pasti tidak
akan merugikan siapa pun juga. Tanah ini akan menjadi tanah garapan yang subur.
Yang akan bermanfaat bagi daerah di sekitarnya. Jalur perdagangan akan menjadi
semakin banyak dan ramai. Demikian juga bagi Pajang. Jadi apakah salahnya aku
melakukannya?”
“Tidak selamanya
menguntungkan,” jawab Kiai Telapak Jalak. “Tetapi biarlah aku tidak perlu
menggurui kau, karena itu bersedialah untuk menutup segala rencanamu dengan
mengakhiri hidupmu. Sebenarnya aku tidak akan sampai hati melihat Putra Sultan
Pajang yang terkenal sakti tanpa tanding itu mati di pinggir Alas Mentaok,
seperti matinya para pendatang yang sekedar ingin memiliki secuwil tanah
garapan.”
“Jangan mengigau. Tetapi kalau
kau tidak mau mengatakan alasanmu, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Tetapi
orang yang menyebut dirinya Kiai Telapak Jalak, Kiai Damar, dan orang-orang
yang berdiri di belakangnya pasti mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat
sesuatu. Bukan sekedar digerakkan oleh perasaan iri yang berlebih-lebihan.
Tidak sekedar digerakkan oleh perasaan tidak senang melihat tanah ini terbuka
dan berkembang di samping daerah-daerah yang telah terbuka lebih dahulu di
sekitarnya.”
“Cukup!” potong Kiai Telapak
Jalak. “Itu dugaan yang sangat kerdil dari seorang Putra Sultan Pajang.”
“Salahmu sendiri, karena kau
tidak mengatakan alasan yang sebenarnya.”
“Persetan. Jangan membuang
waktu. Semua orang sudah berkeringat dan bahkan menitikkan darah. Sekarang kau
harus mati.”
Sutawijaya melihat mata Kiai
Telapak Jalak yang berkilat-kilat kena cahaya obor yang kemerah-merahan. Karena
itu, ia pun segera bersiap. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Kiai Telapak Jalak
adalah seorang yang pilih tanding. Karena itu, sepercik pertanyaan telah
menyentuh hatinya, “Apakah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar tidak menemukannya?”
Tetapi sebagai seorang
prajurit Sutawijaya tidak akan lari dari gelanggang. Karena itu, apa pun yang
akan terjadi, ia sudah siap menghadapinya.
“Kau masih ada kesempatan
sejenak untuk menyebut nama ayahmu. Sejenak lagi kau akan mati terkapar di
tanah,” berkata Kiai Telapak Jalak. “Aku tidak memerlukan waktu lebih dari tiga
tarikan nafas untuk membunuhmu. Kalau ayahmu datang kemari, barulah aku
mendapat lawan. Tetapi kematianmu pasti akan membangunkannya.”
“Jangan omong kosong. Kalau
kau mampu melakukan, lakukanlah. Tetapi selama ini kau tidak berani menampakkan
dirimu. Apalagi menghadapi Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Telapak Jalak tidak
menjawab lagi. Perlahan-lahan ia maju mendekati Sutawijaya dengan mata yang
menyala-nyala. Ia merasa bahwa tugas ini adalah sebagian dari satu-satunya cara
yang dapat ditempuh untuk membatasi kegagalan Kiai Damar di daerah ini.
Sutawijaya pun telah siap pula
menghadapi setiap kemungkinan. Tombaknya segera merunduk. Dengan kokohnya ia
berdiri di atas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya.
Sementara itu, di sekitarnya,
pertempuran masih berlangsung dengan dahsyatnya. Para pengawalnya telah
berjuang mati-matian untuk tetap dapat bertahan.
Sejenak Kiai Telapak Jalak
memandang arena yang remang-remang. Kemudian ditatapnya wajah Sutawijaya yang
menegang. Namun kemudian ia pun telah siap untuk menerkam lawannya.
“Raden,” berkata Kiai Telapak
Jalak, “kalau aku tidak berhasil membunuh Raden Sutawijaya dalam tiga tarikan
nafas, maka aku akan berlutut dan menyembah di bawah kakimu. Aku akan
menyerahkan leherku untuk dipancung atau digantung sama sekali.”
Sutawijaya tidak menyahut.
Betapa pun tabah hatinya, namun terasa dadanya tergetar juga mendengar ancaman
itu. Kiai Telapak Jalak pasti tidak sekedar menakut-nakutinya. Tetapi ia pasti
merasa mampu untuk melakukannya.
“Tetapi aku bukan cacing,”
geram Sutawijaya di dalam hatinya, sehingga dalam pada itu ia pun yakin bahwa
ia akan dapat menghindar dari ancaman itu. Ia pasti akan dapat bertahan lebih
dari tiga tarikan nafas.
“Nah, Raden,” berkata Kiai
Telapak Jalak, “aku akan segera mulai. Hitungan akan dimulai sejak aku
melontarkan seranganku yang pertama, yang aku yakin, bahwa, kau tidak akan
dapat menghindarkan diri, sehingga aku tidak akan memerlukan waktu lebih
panjang lagi.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Tetapi tombaknya kini telah bergetar di tangannya, siap menerima serangan Kiai
Telapak Jalak.
“Ha, kau sudah gemetar,” desis
Kiai Telapak Jalak.
Sutawijaya masih tetap berdiam
diri.
“Seandainya tidak ada sinar
obor yang kemerah-merahan, maka wajahnya akan tampak lebih putih dari kapas.”
Tiba-tiba Sutawijaya
menggeram, “Cepat. Lakukan kalau kau mampu. Atau kau hanya sekedar berbicara
saja? Atau kau ingin mempengaruhi perasaanku dengan ancaman dan pengaruh
ketidak-sabaranku?
“Ah, kau pandai juga menebak.
Sebagian benar. Tetapi jangan menyangka, bahwa aku tidak akan dapat melakukan
apa yang sudah aku katakan.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Tetapi ia tidak lengah. Dan ia berusaha untuk tetap menjaga perasaannya, agar
tidak menjadi kehilangan keseimbangan.
Tetapi agaknya sudah sampai
saatnya Kiai Telapak Jalak melakukan rencananya. Karena itu, maka suasana
menjadi kian menegang.
Namun dalam pada itu, sepasang
mata selalu mengikuti pembicaraan itu dengan saksama. Perlahan-lahan orang yang
memiliki sepasang mata yang tajam itu bergeser semakin mendekat, sehingga
akhirnya ia berdiri di balik gerumbul beberapa langkah saja di belakang
Sutawijaya. Orang itu adalah Kiai Gringsing.
Dalam penilaian Kiai
Gringsing, Kiai Telapak Jalak memang seorang yang memiliki kelebihan dari
orang-orang kebanyakan. Bahkan Kiai Gringsing menganggap bahwa Kiai Telapak
Jalak memang tidak sekedar membual. Mungkin ia benar-benar dapat melakukan seperti
apa yang dikatakannya.
Dengan demikian maka Kiai
Gringsing tidak akan dapat membiarkan hal itu terjadi. Kalau serangan pertama
berarti maut bagi Sutawijaya, maka ia tidak akan dapat kesempatan lagi untuk
menyelamatkannya.
Karena itu, Kiai Gringsing harus
bertindak sesuatu sebelum serangan yang pertama itu.
Maka ketika ia melihat Kiai
Telapak Jalak benar-benar telah mempersiapkan serangannya dengan masak,
tiba-tiba saja terdengar Kiai Gringsing berkata, “He, Kiai, apakah kau akan
melawan Raden Sutawijaya?”
Kiai Telapak Jalak
terperanjat. Sejenak ia mencari, namun segera diketemukannya Kiai Gringsing
yang melangkah dari balik gerumbul mendekati Sutawijaya.
“Minggir kau,” bentak Kiai
Telapak Jalak, “aku tidak sedang bermain-main.”
“Aku tahu. Tetapi aku minta
waktu sedikit. Aku akan berbicara dengan Raden Sutawijaya.”
“Apa yang akan kau katakan?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Tanpa melepaskan kewaspadaan ia berkata, “Raden, pasukan yang
mempertahankan barak ini agak terdesak. Setiap orang menunggu pertolongan
Raden. Karena itu, aku ingin mempersilahkan Raden menolong mereka, agar mereka
agak mendapat kesempatan untuk bernafas.”
“Siapa kau?” bentak Kiai
Telapak Jalak. Tetapi Kiai Gringsing tidak menghiraukannya. Katanya, “Silahkan.
Keadaan menjadi semakin genting. Beberapa orang telah terluka. Raden tidak
dapat menunggu lebih lama lagi. Aku sudah tidak mampu lagi menolong keadaan.
Yang dapat menahan arus serangan lawan tidak ada orang lain kecuali Raden
sendiri.”
“Gila kau,” bentak Kiai Telapak
Jalak, sedang Sutawijaya agak termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia sadar,
apa yang dimaksudkan oleh Kiai Gringsing dengan bahasa yang sering dipergunakan
oleh orang tua itu. Agaknya Kiai Gringsing mengharap ia meninggalkan lawannya
yang berbahaya dan siap untuk mengambil alih persoalan.
“Cepatlah, Raden. Keadaan
sudah sangat mendesak,” sejenak Kiai Gringsing terdiam. Sambil memandang Kiai
Telapak Jalak, Kiai Gringsing berkata, “Biarlah aku mengurusi yang seorang ini.
Tetapi yang banyak orang itu aku serahkan kepada Raden.”
Sutawijaya menarik nafas.
Dengan gaya Kiai Gringsing ia menjawab, “Baiklah, Kiai. Sayang, aku harus
meninggalkan lawanku yang seorang ini.”
“Persetan, jangan lari.”
“Aku mempunyai tugas yang
lebih penting. Biarlah pemomongku ini sajalah yang melayanimu.”
“Tunggu,” ternyata Kiai
Telapak Jalak tidak ingin melepaskan Sutawijaya yang seakan-akan telah berada
di dalam telapak tangannya.
Tetapi Sutawijaya tidak
menghiraukannya. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan Kiai Telapak Jalak.
Seakan-akan ia tidak mengacuhkannya lagi, meskipun sebenarnya ia masih sempat
melihat kesiap-siagaan Kiai Gringsing, karena ia menduga pula, bahwa Kiai
Telapak Jalak tidak akan begitu saja menerima keadaan itu.
Ternyata dugaan itu pun segera
terjadi. Selagi Sutawijaya melangkah pergi, Kiai Telapak Jalak sekali lagi
menghentikannya, “Berhenti. Aku akan menyerangmu. Melawan atau tidak melawan.”
Meskipun dada Sutawijaya
berdesir, tetapi ia percaya bahwa Kiai Gringsing tidak akan tinggal diam,
sehingga ia telah menyerahkan nasibnya bulat-bulat kepada Kiai Gringsing itu.
Kemarahan yang menghentak dada
Kiai Telapak Jalak tidak dapat ditahan lagi. Meskipun Sutawijaya
membelakanginya, namun Kiai Telapak Jalak segera menyerangnya sambil berteriak
nyaring, “Salahmu sendiri kalau punggungmulah yang terbakar karena sentuhan
tanganku.”
Kiai Telapak Jalak sama sekali
tidak menunggu jawaban, sedangkan Sutawijaya pun sama sekali tidak berpaling,
meskipun terasa juga punggungnya meremang.
Sekejap kemudian. Kiai Telapak
Jalak telah meloncat memukul punggung Sutawijaya dengan sisi telapak tangannya.
Kiai Telapak Jalak yang merasa terhina oleh sikap Sutawijaya itu telah berniat
untuk membunuhnya dengan pukulannya yang pertama itu.
Tetapi Kiai Telapak Jalak
terkejut bukan buatan, ia tidak menyangka sama sekali bahwa serangannya itu
akan membentur kekuatan yang tidak pernah diperhitungkannya sama sekali,
sehingga karena itu, justru Kiai Telapak Jalak-lah yang terlempar beberapa
langkah dan terbanting jatuh di tanah.
Sutawijaya yang mendengar
benturan itu berpaling sejenak. Ia masih melihat Kiai Telapak Jalak meloncat
berdiri dengan sigapnya. Namun demikian, karena ia tidak bersedia sama sekali
menghadapi hal itu, maka terasa juga dadanya menjadi sesak.
“Berhati-hatilah sedikit, Kiai
Telapak Jalak,” Sutawijaya masih sempat berkata. “Jangan tergelincir lagi untuk
kedua kalinya.”
“Persetan,” geram Kiai Telapak
Jalak, “jangan licik. Hadapi aku.”
Sutawijaya tidak menjawab. Ia
langsung meninggalkan tempat itu. Ia sadar, bahwa pertempuran yang berkobar
semakin seru itu sama sekali tidak menguntungkan pihaknya. Karena itu, setelah
mempercayakan perlawanan atas Kiai Telapak Jalak kepada Kiai Gringsing, maka
Sutawijaya mulai dengan penjelajahannya kembali. Ia bertempur dari ujung sampai
ke ujung yang lain.
Dalam pada itu, Kiai Telapak
Jalak hampir tidak dapat menahan kemarahan yang meledak di dadanya. Namun
demikian, ia sadar bahwa kini ia bertemu dengan lawan yang sebenarnya, meskipun
bukan Ki Gede Pemanahan. Dan ia pun kini harus mengakui, bahwa selama ini
bukanlah Kiai Damar yang salah menilai kemampuan lawannya. Tetapi bahwa di
dalam barak itu ada orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya, kini
telah dilihatnya sendiri sebagai suatu kenyataan.
Tetapi Kiai Telapak Jalak pun
sadar bahwa ia masih belum mempergunakan seluruh kemampuannya. Ia masih belum
mengukur kekuatan lawannya dengan sewajarnya. Kekuatan yang dilepaskan itu,
menurut penilaiannya, sudah cukup kuat untuk mematahkan tulang belakang
Sutawijaya betapa pun anak muda itu telah menempa dirinya.
Karena itu, dengan wajah yang
merah padam ia berdiri tegak menghadap Kiai Gringsing sambil berkata, “Siapakah
sebenarnya kau?”
Kiai Gringsing maju pula
selangkah. Dengan nada yang rendah ia berkata, “Namaku Truna Podang.”
“Persetan. Iblis seperti kau
pasti mempunyai seribu nama. Kau sangka aku percaya?”
“Tidak. Aku memang sudah
menduga bahwa kau tidak akan percaya bahwa namaku Truna Podang, seperti aku
juga tidak percaya bahwa namamu Telapak Jalak. Tetapi adalah kebetulan sekali
bahwa kita sama-sama meminjam nama jenis burung yang hampir sama. Podang dan
Jalak. Keduanya sejenis burung oceh-ocehan. Burung yang setiap matahari terbit,
mulai berkicau tanpa ujung dan pangkal. Begitu?”
Kiai Telapak Jalak
menggeretakkan giginya
“Tetapi jenis podang memiliki
bulu yang warnanya lebih cantik dari seekor burung jalak.”
“Cukup, Cukup. Agaknya di
dalam barak ini terdapat juga orang gila seperti kau.”
“Mungkin. Tetapi aku
sebenarnya adalah pemomong Raden Sutawijaya.”
“Tentu kau yang menyebut
dirimu Dandang Wesi.”
“Kenapa aku?”
“Kau dan Dandang Wesi
sama-sama mengaku menjadi pemomong Sutawijaya. Tidak mungkin hal itu suatu
kebetulan.”
“O, kau keliru. Aku mengenal
Kiai Dandang Wesi. Ia adalah pemomong Sutawijaya di masa kecilnya. Tetapi ia
sudah meninggal. Akulah yang kemudian menggantinya.”
“Jangan kau bohongi aku
seperti kau membohongi anak-anak.”
“Terserahlah kepadamu. Mungkin
aku memang memperlakukan kau seperti kanak-kanak.”
“Diam, diam kau,” Kiai Telapak
Jalak membentak-bentak. Tetapi suaranya seakan-akan tenggelam dalam hiruk-pikuk
peperangan yang semakin ribut. Di sana-sini terdengar teriakan kemarahan, namun
juga jerit kesakitan dan keluhan yang tertahan-tahan.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata
Kiai Gringsing kemudian, “sebenarnya aku ingin berbicara sebagai orang tua
kepada orang tua. Apakah kau bersedia?”
Kiai Telapak Jalak menjadi
termangu-mangu sejenak. Ia merasakan, suatu perbawa yang telah mempengaruhi
perasaannya. Sehingga di luar kesadarannya sendiri ia menganggukkan kepalanya,
“Berbicaralah.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dengan sudut matanya ia memandang hiruk-pikuk peperangan. Ia
mengharap bahwa kehadiran Raden Sutawijaya mempunyai banyak pengaruh di medan,
sehingga semakin lama ia berbicara dengan Kiai Telapak Jalak, maka kesempatan
Raden Sutawijaya menjadi semakin besar. Kemudian pertempurannya dengan orang
ini tidak akan terlampau banyak berpengaruh. Sedangkan Kiai Damar, sudah pasti
tidak akan dapat mengatasi Sumangkar seperti yang pernah terjadi.
“Kiai Telapak Jalak,” berkata
Kiai Gringsing, “sedikit atau banyak, kami telah mengetahui niatmu menggagalkan
usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok. Kalian tidak senang melihat daerah
baru yang akan segera berkembang ini. Kenapa? Apakah kau hanya sekedar iri atau
kau memang mempunyai suatu rencana lain tentang daerah ini? Kenapa kau tidak
berterus terang membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan? Kalau rencanamu itu
baik, maka Ki Gede Pemanahan pasti tidak akan menolaknya. Kenapa kau mengambil
jalan yang panjang seandainya tujuanmu tidak terlampau jauh.”
Kiai Telapak Jalak memandang
Kiai Gringsing dengan sorot mata yang seakan-akan menyala. Dengan suara yang
parau ia menjawab, “Truna Podang. Siapakah kau sebenarnya dan apakah
keuntunganmu mencampuri urusanku? Apakah Pemanahan merasa dirinya tidak mampu
lagi mengatasi persoalan ini, sehingga ia memerlukan orang-orang seperti kau?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tentu tidak. Aku kira Pemanahan tidak tahu apa yang sebenarnya
telah terjadi di sini sekarang. Kalau ia tahu, bahwa di sini ada Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak bersama-sama, maka ia tidak akan membiarkan anak
laki-lakinya yang hanya satu-satunya itu datang kemari. Ia pasti akan pergi
sendiri dan tidak hanya membawa beberapa orang pengawal. Tetapi segelar
sepapan. Dan kalian akan ditumpasnya tanpa ampun.”
“Persetan!”
“Bukankah kau sengaja
menghancurkan usahanya dengan cara yang lain dari cara seorang laki-laki
jantan? Kau telah membuat hantu-hantuan untuk menakut-nakuti orang-orang yang
sedang membuka hutan. Kau berharap bahwa mereka meninggalkan tempat ini dan
mengurungkan niatnya, setelah kau ambil keuntungannya. Setelah beberapa dari
mereka berhasil menebang kayu-kayu raksasa di pinggiran Alas Mentaok. Kelak,
apabila kau berhasil mengusir dengan caramu, maka akan datang orang-orang lain
yang mengaku telah membuka hutan ini tanpa menitikkan keringat sama sekali.”
“Cukup!” teriak Kiai Telapak
Jalak. “Kau orang-orang kerdil yang tidak dapat menjangkau cara berpikir
seseorang yang bercita-cita. Kau tentu tidak mengerti apa yang kami inginkan.
Dan kau hanya akan sampai pada suatu ke-simpulan iri hati dan ketamakan
melulu.”
“Apakah kau dapat mengatakan
yang lain?”
Kiai Telapak Jalak menelan
ludahnya. Ada semacam tuntutan untuk mengatakan alasan yang lebih bernilai dari
yang dikatakan oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka Kiai Telapak Jalak yang
tidak dapat menahan gelora di dadanya itu berkata, “Orang-orang kerdil macam
kalian memang tidak dapat berpikir panjang. Mungkin kau memiliki kemampuan olah
kanuragan. Tetapi kau benar seorang yang tidak lebih baik dari seekor kerbau
yang kuat, tetapi terlampau dungu untuk bersikap.” Kiai Telapak Jalak berhenti
sejenak. Tiba-tiba saja ia merasa sesuatu telah terjadi di dalam pertempuran
yang sengit itu. Namun ia mempercayakannya kepada Kiai Damar bahwa pada suatu
saat Kiai Damar akan bertemu dengan Raden Sutawijaya dan membunuhnya. Ia tidak
menyangka bahwa orang-orang yang berilmu melampaui orang-orang kebanyakan di
dalam peperangan ini berjumlah tidak hanya seorang saja. Seorang yang sedang
dihadapinya. Sedang yang lain, meskipun mempunyai kelebihan-kelebihan tertentu,
tetapi tidak akan dapat melampaui Kiai Damar dan pasukannya. Orang-orang
bercambuk yang pernah didengarnya, tentu tidak akan dapat melawan lima atau
enam orang-orang pilihannya sekaligus seperti Sutawijaya sendiri. Tetapi Kiai
Telapak Jalak tidak menyangka, bahwa Sutawijaya tidak berkelahi di satu tempat,
tetapi ia bagaikan terbang dari ujung sampai ke ujung, sedang anak-anak muda yang
bercambuk itu berada di belakang barak.
“Sebentar lagi,” berkata Kiai
Telapak Jalak di dalam hatinya, “orang-orang yang sedang berkelahi ini akan
berteriak ketakutan diterkam oleh kengerian yang amat sangat. Mereka akan
melihat orang-orangku yang akan melemparkan mayat anak, isteri, dan orang tua
mereka yang tinggal di dalam barak itu. Orang-orangku yang memasuki barak lewat
belakang itu, akan membuat barak seisinya menjadi neraka yang paling jahanam.”
Tanpa disadarinya Kiai Telapak
Jalak memandang ke arah barak yang diliputi oleh kegelapan. Tetapi ia berkata
pula di dalam hati, “Sebentar lagi barak itu akan menyala, dan semuanya akan
segera selesai. Semua orang akan menyesal. Sutawijaya pun akan menyesal melihat
mayat yang bergelimpangan. Mayat perempuan dan anak-anak. kemudian disusul
mayat laki-laki yang berkelahi ini dan para pengawal. Yang terakhir Sutawijaya
akan menyesali kematiannya sendiri.”
Karena Kiai Telapak Jalak
tidak segera meneruskan kata-katanya, maka Kiai Gringsing pun menyahut, “He,
kenapa kau merenung sebelum kau selesai. Kau baru mengatakan aku sedungu
kerbau. Tetapi kau belum mengatakan, kenapa aku kau anggap orang yang dungu?”
“Kau hanya berpikir pendek.
Iri, tamak, bengis, dan sebagainya. Tetapi apakah kau mengerti, bahwa yang dilakukan
oleh Pemanahan ini tidak berkenan di hati Sultan Pajang?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Memang ia sudah menduga, bahwa orang-orang itu akan mencoba menarik
keuntungan dari hubungan yang seakan-akan mulai retak setelah Pemanahan
meninggalkan Pajang karena janji Sultan Pajang itu tidak segera dipenuhi.
Tetapi sampai berapa jauh mereka mempergunakan dalih itu masih ingin diketahui
oleh Kiai Gringsing.
Karena itu maka Kiai Gringsing
pun bertanya, “Apakah kau yakin pada apa yang kau katakan? Bukankah Raden
Sutawijaya putra angkat Sultan Pajang?”
“Ya. Itulah kekerdilan jiwa
Pemanahan. Kalau ia tidak usah menuntut tanah ini, maka persoalannya akan tetap
jernih. Sebagai putra Sultan Pajang, maka Sutawijaya akan mendapat tidak hanya
sekedar Alas Mentaok, tetapi jauh lebih banyak dari itu. Jauh lebih luas dari
Tanah yang kalian sebut Mataram Baru ini.
“Apakah kau lupa, bahwa di
Pajang ada Pangeran Benawa?”
“Pangeran Benawa akan mewarisi
tahta Pajang. Sutawijaya setidak-tidaknya akan menjadi seorang Adipati. Adipati
yang besar dan tidak perlu berdiri di balik pintu yang tertutup seperti
sekarang ini.”
“Ah, kau memang aneh. Kau
agaknya banyak mengetahui tentang hubungan itu. Hubungan antara Pemanahan dan
Sultan Pajang. Tetapi semuanya itu kau nilai berdasarkan atas pertimbanganmu
sendiri. Apakah hubunganmu dengan persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan
Sultan Pajang dengan Pemanahan. Bukan persoalanmu dan bukan persoalanku. Kalau
Sultan Pajang berkeputusan mengusirnya, biarlah ia mengusirnya. Kalau kemudian
ternyata Sultan Pajang, entah karena segan atau karena Sutawijaya itu anak
angkatnya, dan mengesahkan pembukaan hutan ini dan ingat Telapak Jalak, bahwa
hal itu sudah dilakukan, itu pun urusannya mereka pula.”
“Itu tidak adil. Sultan Pajang
tidak melalaikan apa yang lurus bagi pemerintahannya. Ia membenarkan sikap
memberontak dari Pemanahan. Menurut pendapatku, Pemanahan justru harus dihukum.
Tidak justru mendapat pengesahan atas pemberontakan yang dilakukan.”
“Kiai Telapak Jalak. Kenapa
kau mempergunakan istilah-istilah yang mendebarkan jantung. Apakah dapat
dibenarkan bahwa kau menganggap Pemanahan telah memberontak. Dan bahkan Sultan
Pajang sendiri telah membersihkan pemberontak itu? Kau terlampau mengada-ada.”
“Truna Podang. Apakah yang kau
ketahui tentang persoalan ini? Kau mungkin pernah berguru pada seorang guru
sakti. Tetapi gurumu tinggal di ujung pegunungan kapur yang tandus, sehingga
tidak sepantasnya kau berbicara tentang Sultan Pajang.”
“O, begitu?” sahut Kiai
Gringsing. “Karena itu sebaiknya kita tidak mempersoalkannya. Aku kira kau pun
sebaiknya tidak membuang-buang waktu untuk itu. Serahkanlah semuanya kepada
kebijaksanaan Sultan Pajang. Seandainya Sultan Pajang membenarkan pemberontakan
itu sekalipun, apakah hakmu untuk ikut mencampurinya, apalagi dengan caramu?”
Wajah Kiai Telapak Jalak
menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang tersangkut di semak-semak.
“Persetan!” katanya. “Aku
adalah salah satu dari sekelompok orang-orang yang menghendaki tegaknya
keadilan di Pajang dan seluruh daerahnya, termasuk Alas Mentaok. Cara-cara yang
ditempuh oleh Pemanahan adalah cara-cara yang kotor dan tidak dapat dibiarkan.”
“Kalau kemudian Sultan Pajang
membenarkannya, bukankah itu berarti bahwa kau juga telah memberontak kepada
rajamu.”
“Demi kebenaran.”
“Itu juga yang pernah
diucapkan oleh Pemanahan ketika ia memutuskan untuk membuka hutan ini. Demi
kebenaran dan keadilan. Pati sudah diserahkan. Mentaok pun harus segera
diserahkan. Nah, kau melihat persamaannya?”
Darah Kiai Telapak Jalak
serasa telah mendidih. Ternyata orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu
bukan orang yang sama sekali tidak mengerti persoalan Tanah Mentaok ini.
Sehingga dengan demikian, maka semakin besarlah tanda tanya di dalam hati Kiai
Telapak Jalak, siapakah sebenarnya orang yang sedang dihadapinya ini. Namun
agaknya orang itu sama sekali tidak berniat untuk mengatakan tentang dirinya.
“Apa peduliku,” geram Kiai
Telapak Jalak di dalam hatinya, “kalau aku membinasakannya maka tidak akan ada
persoalan apa pun lagi.”
Karena itu, maka dengan suara
bergetar ia berkata, “Kita tidak usah mempersoalkannya. Bukankah kita sudah
bertemu di medan?”
“Tetapi belum terlambat, Kiai
Telapak Jalak. Kalau kau bersedia menarik orang-orangmu, maka aku kira,
persoalan ini pun akan segera selesai. Aku menjamin bahwa Raden Sutawijaya
tidak akan menuntut kau dan orang-orangmu apabila kau dan orang-orangmu
benar-benar dengan ikhlas menghentikan semua kegiatan yang tidak berarti ini.
Kau harus meninggalkan Alas Mentaok dan menghentikan segala macam kegiatanmu,
membuat hantu-hantuan dan menakut-nakuti orang-orang yang sedang bekerja.”
Tetapi Kiai Telapak Jalak
menggeram, “Gila. Kau sangka dirimu begitu pentingnya sehingga kau dapat
mengambil sikap seakan-akan kaulah yang menentukan segala sesuatunya?”
“Bukan aku, tetapi kau.”
“Tidak. Aku sudah berkeputusan
untuk membinasakan semua orang yang ada di sini, agar berita tentang badarnya
beberapa jenis hantu yang dibuat oleh Kiai Damar tidak tersebar di mana-mana.
Dan bahkan akan tersebar berita, bahwa di sini telah berjangkit wabah yang maha
dahsyat, karena orang-orang di sini tidak lagi menghormati penghuni Alas
Mentaok yang sebenarnya. Kau mengerti?”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini sudah pasti baginya, bahwa ia tidak akan
dapat menyelesaikan masalah ini seperti yang dicobanya itu. Tetapi ia
benar-benar harus mempergunakan kekerasan yang pasti tidak hanya akan berhenti
sampai di sini. Karena di dalam perkembangan persoalan yang didengarnya dari
berbagai pihak pasti ada hubungan yang rapat antara orang-orang itu dengan
beberapa orang yang ada di dalam istana Pajang.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai
Gringsing, “kau terlampau sadar akan kelebihanmu. Dan kau terlampau sadar bahwa
di belakangmu berdiri dukungan yang kuat, entah dari orang-orang di istana atau
orang-orang yang erat hubungannya dengan orang-orang istana.”
“Bohong!”
“Kau selalu menyebut hubungan
antara tanah ini dengan Sultan Pajang, karena persoalan itulah yang selalu kau
dengar dari orang-orang yang berdiri di belakangmu.”
“Berangan-anganlah dan
mengigaulah sekehendak hatimu. Sebentar lagi mulutmu akan terkatup untuk
selama-lamanya.”
Kiai Gringsing tidak menjawab
lagi. Ia kini mempersiapkan dirinya untuk menghadapi perkelahian yang
sebenarnya. Kiai Telapak Jalak adalah orang yang memiliki ilmu yang lebih
tinggi dari Kiai Damar dan memiliki keyakinan yang teguh akan dirinya sendiri.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Telapak Jalak yang kecewa karena lepasnya Sutawijaya itu pun telah menumpahkan
kemarahannya kepada Kiai Gringsing. Dengan gigi gemeretak, ia pun mendekat
selangkah demi selangkah. Kemudian, dengan garangnya ia menyerang sambil
berkata, “Aku percaya bahwa aku tidak akan dapat membunuhmu pada serangan
pertama seperti kalau yang berdiri di sini Raden Sutawijaya. Tetapi cepat atau
lambat, kau pun akan mati pula di sini. Kemudian seisi barak ini akan menjadi
mayat-mayat berserakan di sepanjang jalan-jalan kecil di hutan ini. Merekalah
yang kelak akan benar-benar menjadi hantu yang berkeliaran siang dan malam di
Alas Mentaok ini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia sudah benar-benar siap menghadapi serangan itu. Dengan sigapnya ia
menghindarkan dirinya dan bahkan dengan serta-merta ia telah menyerangnya pula.
Namun Kiai Telapak Jalak pun
cukup tangkas untuk menghindar sehingga serangan Kiai Gringsing pun tidak
mengenai sasarannya.
Demikianlah maka keduanya
segera terlibat di dalam perkelahian yang sengit. Dengan cepatnya mereka saling
menyerang silih berganti. Tangan-tangan mereka terayun-ayun seperti sayap-sayap
burung yang sambar-menyambar.
Dalam pada itu, selagi mereka
bertempur dengan sengitnya, Kiai Telapak Jalak masih menunggu hasil serangan
orang-orangnya dari arah belakang barak. Mereka harus berbuat sesuatu untuk
mempengaruhi jalannya pertempuran. Mereka harus membuat perempuan dan anak-anak
berteriak ketakutan, membunuh mereka dan melemparkan mayat mereka di
tengah-tengah pertempuran ini. Dengan demikian maka perlawanan orang-orang dari
barak ini dan para pengawal pasti akan segera dapat dipatahkan.
Tetapi hal itu tidak juga
segera terjadi. Tidak ada jerit di kejauhan, dan tidak ada sesosok mayat pun
yang terlempar ke tengah-tengah medan. Bahkan yang terdengar di kejauhan adalah
ledakan cambuk yang sahut-menyahut.
Ternyata suara cambuk itu
telah menggelisahkannya. Ia pernah mendengar dari Kiai Damar, orang-orang
bercambuk yang pernah dihadapinya.
“Agaknya ada sesuatu yang
tidak berjalan seperti yang aku rencanakan,” berkata Kiai Telapak Jalak di
dalam hati.
Dengan demikian, maka ia berniat
untuk segera meninggalkan mayat lawannya, apabila ia segera dapat membunuhnya.
Kemudian membunuh setiap orang yang ada di dalam pertempuran itu.
Karena itu, maka Kiai Telapak
Jalak pun segera berusaha menyelesaikan peperangan itu. Dikerahkannya segala
kemampuan untuk mengalahkan Kiai Gringsing.
Namun ternyata ia menghadapi
lawan yang jauh lebih berat dari yang diduganya semula. Ternyata bahwa orang
yang menyebut dirinya Truna Podang itu tidak sekedar dapat menyamai Kiai Damar.
Tetapi orang tua ini ternyata memiliki banyak kelebihan yang menggetarkan
jantungnya.
Karena itu, maka Kiai Telapak
Jalak pun tidak ingin memperpanjang pertempuran. Dengan serta-merta dari balik
bajunya, ia mencabut sebilah cundrik. Cundrik yang berwarna kehitam-hitaman.
Dada Kiai Gringsing berdesir
melihat senjata itu. Senjata yang memang telah diduga ada pada orang yang
bernama Kiai Telapak Jalak, dan pasti juga pada Kiai Damar. Racun. Senjata itu
pasti menyimpan racun yang sangat tajam.
Didasari dengan kecepatan
tangan Kiai Telapak Jalak, maka cundrik itu pasti akan sangat berbahaya. Bahkan
seandainya Kiai Telapak Jalak itu menjadi liar, dan berlari-lari di sepanjang
medan sambil mengayun-ayunkan cundriknya maka sebelum fajar, semua orang pasti
akan sudah mati.
“Kalian memang suka
bermain-main dengan racun,” desis Kiai Gringsing kemudian.
“He, kau mengenal juga bahwa
senjataku beracun.”
Kiai Gringsing tidak dapat
lengah barang sekejap pun. Kalau senjata itu tidak berada di tangan Kiai
Telapak Jalak, maka pasti tidak akan terlampau berbahaya. Tetapi kini senjata
itu ada di tangan Kiai Telapak Jalak, sehingga bahayanya akan menjadi berlipat
ganda.
Karena itu, sebelum bahaya
yang sebenarnya menerkamnya, maka Kiai Gringsing pun meloncat surut untuk
mendapatkan kesempatan, mengambil sebutir obat dari bumbung di kantong ikat
pinggangnya. Sebelum serangan berikutnya datang, obat itu sudah ditelannya.
Kiai Telapak Jalak justru
tertegun sejenak. Ia melihat Kiai Gringsing mengambil sesuatu dari ikat
pinggangnya. Yang mula-mula terlintas di kepalanya adalah jenis senjata yang
belum dikenalnya. Karena itu Kiai Telapak Jalak segera mempersiapkan dirinya
menghadapi jenis senjata itu.
Namun ternyata Kiai Gringsing
sekedar mengambil sebutir reramuan obat dari kantong ikat pinggangnya itu. “Apa
yang kau telan?” bertanya Kiai Telapak Jalak.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia telah mencoba membentengi dirinya dengan berjenis-jenis obat.
Menurut perhitungannya, racun yang berada pada senjata Kiai Telapak Jalak pasti
termasuk racun yang terbaik.
Namun demikian, terkilas juga
di angan-angan Kiai Gringsing, Ki Sumangkar dan kedua muridnya. Mereka pun
sudah membawa bekal obat untuk mengurangi kerja racun yang paling tajam sekali
pun. Tetapi menurut perhitungannya, yang ada di tangan Kiai Telapak Jalak
itulah yang pasti paling berbahaya.
“He, apa yang kau telan?
Apakah kau mau membunuh diri?” Kiai Telapak Jalak mendesak. “Kalau kau ingin
membunuh diri, kau tidak usah menelan racun itu, karena aku akan menolongmu.”
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Terasa tubuhnya menjadi panas. Adalah kebetulan sekali bahwa Kiai
Telapak Jalak tidak segera menyerangnya.
Tetapi ternyata Kiai Telapak
Jalak tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian menyadari, bahwa Kiai
Gringsing pasti sudah menelan obat yang dapat mengurangi ketajaman racun
senjatanya. Namun demikian Kiai Telapak Jalak masih berkata, “Kau akan
menyesal. Kau sangka ada obat yang dapat menawarkan jenis racunku? Seandainya
reramuanmu mandi, namun pasti ada akibat yang tinggal pada tubuhmu. Mungkin
kelumpuhan sebagian atau bahkan kelumpuhan mutlak.”
Kiai Gringsing sengaja tidak
menjawab kata-kata Kiai Telapak Jalak itu, karena Kiai Telapak Jalak pasti akan
segera mengetahui bahwa suaranya bergetar.
Namun Kiai Gringsing tidak dapat
menunda perkelahian lebih lama lagi karena Kiai Telapak Jalak pun segera
menyerangnya pula.
Untuk mengatasi kesulitan di
saat-saat obat yang ditelannya sedang bekerja di dalam dirinya. Kiai Gringsing
sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ia hanya sekedar menghindar dan
meloncat surut. Tubuhnya rasa-rasanya masih belum cukup kuat untuk bertempur
langsung melawan serangan-serangan Kiai Telapak Jalak.
Sejenak Kiai Telapak Jalak
menjadi heran. Tetapi kewaspadaannya justru menahannya untuk melakukan tekanan
yang lebih besar lagi. Bahkan ia menduga, bahwa Kiai Gringsing yang menyebut
dirinya Truna Podang itu sedang mempersiapkan suatu cara yang tidak
disangka-sangkanya untuk menjebaknya. Di saat-saat mereka mulai bertempur,
Truna Podang mampu melawannya dengan gigihnya, namun tiba-tiba kini ia
bertempur dengan cara yang lain.
“Apakah orang ini termasuk
orang yang licik?” bertanya Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Setelah ia
melihat senjataku ini, ia kehilangan keberanian untuk melawan?”
Tetapi keragu-raguan Kiai
Telapak Jalak yang menahannya untuk tidak segera menyerang itu memberi peluang
kepada Kiai Gringsing untuk mempersiapkan dirinya.
Perlahan-lahan terasa obat
yang ditelannya telah menjalari seluruh tubuhnya. Setelah seluruh kulitnya
basah karena keringat, maka terasalah udara malam yang sejuk mulai menyelusuri
kulitnya. Sejalan dengan perasaan itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia sudah
siap menghadapi setiap kemungkinan. Bahkan seandainya di dalam perkelahian itu
ia akan tergores oleh ujung keris Kiai Telapak Jalak.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing kini tidak lagi berloncatan surut. Kini ia berdiri tegak menghadapi
lawannya yang menggenggam sebuah keris yang berwarna kehitam-hitaman.
Namun Kiai Gringsing tidak
ingin melawan keris itu dengan tangannya, sehingga dengan demikian, Kiai
Gringsing pun segera mengurai senjatanya, sehelai cambuk yang berjuntai
panjang.
Kiai Telapak Jalak mengerutkan
keningnya. Ketika tampak olehnya cambuk itu, maka ia bergumam kepada diri
sendiri, “Inilah agaknya orang bercambuk itu. Sudah tentu ia adalah orang
pilihan. Kalau orang-orang bercambuk yang masih muda itu mampu menggetarkan
orang-orang Kiai Damar, maka yang tua ini pun pasti dapat berbuat jauh lebih
banyak lagi.” Dan sadar pulalah Kiai Telapak Jalak, bahwa selama ini pastilah
lawannya sedang mencernakan obatnya di dalam tubuhnya.
Dengan demikian, maka Kiai
Telapak Jalak pun tidak akan lengah lagi. Ia harus bertempur mati-matian. Untuk
melawan cambuk itu, ia tidak dapat mempergunakan senjata berjarak pendek
sependek kerisnya. Mungkin untuk melawan orang lain yang bersenjata apa pun
juga, ia tidak memerlukan senjata yang lain, tetapi melawan orang bercambuk
ini, Kiai Telapak Jalak memerlukan senjata yang lain untuk merangkapi keris
pusakanya.
Ketika cambuk Kiai Gringsing
mulai meledak, maka Kiai Telapak Jalak pun melepas rantai yang membelit
lambungnya. Dengan rantai di tangan kanan dan kerisnya di tangan kiri, ia pun
telah siap melawan Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk itu.
Pertempuran itu pun kemudian
menjadi semakin dahsyat. Kedua jenis senjata serupa itu berdesingan di antara
dentang senjata yang beradu di medan. Sambar-menyambar dan desak-mendesak.
Setiap kali kedua jenis senjata itu saling membelit, namun kemudian dengan
kekuatan raksasa yang tarik-menarik, belitan itu pun segera terlepas dan
perkelahian pun berlangsung pula lebih dahsyat lagi.
Demikian pula pertempuran yang
berlangsung di seluruh arena. Sutawijaya yang bagaikan elang berterbangan itu
membuat lawan-lawannya menjadi ngeri dan bertanya-tanya di dalam hati, “Apakah
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak segera dapat menyelesaikan
lawan-lawannya dan membiarkan burung elang ini berterbangan menyambar-nyambar?”
Tetapi Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak ternyata tidak muncul juga di arena yang panjang itu. Hanya
orang-orang yang bertempur di sekitarnya sajalah yang melihat kedua orang
kebanggaan mereka itu bertempur dengan sengitnya. Namun mereka pun segera
melihat juga, bahwa keduanya sama sekali tidak akan segera dapat mengatasi
lawan-lawannya. Apalagi Kiai Damar, yang selalu terdesak mundur betapa pun ia
berusaha menahan arus serangan Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak pun
segera merasa, bahwa orang yang menyebut dirinya Truna Podang itu pun memiliki
ilmu yang tinggi. Di dalam pertempuran itu, Kiai Telapak Jalak merasakan bahwa
Truna Podang benar-benar telah menguasai ilmunya dalam ungkapan yang matang.
Cambuk yang berputar-putar
seperti baling-baling. Lecutan yang tiba-tiba dan ayunan mendatar yang
menyambar lambung membuat Kiai Telapak Jalak harus berpikir beberapa kali
tentang lawannya.
Truna Podang pasti bukan
seorang yang sekedar pernah mendapat tempaan oleh seorang guru padesan yang
tinggal di padukuhan kecil dan sedikit mempelajari olah kanuragan yang kasar,
dan membentuknya sendiri setelah menyadap beberapa tata gerak alam yang
dikenalnya sehari-hari. Tetapi orang yang menamakan diri Truna Podang itu pasti
seorang yang mempelajari ilmunya berdasarkan atas pengamatan dan pengolahan
yang matang, sehingga seakan-akan Kiai Telapak Jalak merasa telah berhadapan
dengan Ki Gede Pemanahan sendiri.
Dengan demikian maka
perlahan-lahan telah tumbuh kecemasan di hati Kiai Telapak Jalak. Apakah ia
benar-benar telah terjebak bersama Kiai Damar ke dalam jarring-jaring yang
memang sudah dipersiapkan.
“Persetan,” Kiai Telapak Jalak
menggeram.
Namun bagaimana pun juga ia
tetap tidak dapat mendesak lawannya. Rantainya yang berdesing-desing dan
kerisnya yang buram namun memancarkan pantulan cahaya maut, sama sekali tidak
berhasil mendesak Kiai Gringsing. Betapa pun Kiai Telapak Jalak mengerahkan
segenap kemampuannya. Bahkan setapak demi setapak ia harus melangkah surut.
Apalagi setelah beberapa lama
orang-orang yang ditugaskannya untuk menghancurkan barak tidak segera
menunjukkan hasilnya. Dengan demikian usahanya untuk menghancurkan ketahanan
dan ketabahan hati orang-orang dari barak itu beserta para pengawal tidak dapat
berlangsung. Ledakan-ledakan cambuk di kejauhan telah membuat hati Kiai Telapak
Jalak menjadi semakin cemas.
Tetapi Kiai Telapak Jalak
adalah orang yang matang di dalam sikap dan tandang. Itulah sebabnya, ia masih
tetap bertempur sekuat tenaganya. Kelebihan Truna Podang dari padanya, bukanlah
kelebihan yang menentukan. Kalau Truna Podang berbuat sedikit kesalahan, maka
ia masih mempunyai harapan untuk membunuhnya. Dengan racun di kerisnya, atau
langsung menusuk pusat jantungnya. Sehingga karena itulah maka ia pun masih
juga bertempur sekuat tenaga.
Di medan yang lain, di
belakang barak, Agung Sedayu, Swandaru, serta kawan-kawannya benar-benar telah
berhasil menguasai medan. Lawan-lawan mereka sama sekali sudah tidak berdaya.
Beberapa orang terbaring di tanah dengan luka-luka di tubuhnya, sedang beberapa
orang yang lain, tidak lagi dapat menghindarkan diri dari kematian, karena kelengahan
mereka atau karena kemarahan orang dari barak itu atau para pengawal. Tetapi
kematian memang tidak dapat dihindarkan dari peperangan, karena kematian adalah
bunga dari peperangan.
Apalagi karena di antara
orang-orang penghuni barak itu pun ada juga yang menjadi korban. Kematian
kawan-kawan mereka itulah yang telah membakar hati setiap orang, sehingga
apabila Agung Sedayu tidak berusaha mencegahnya kematian masih akan
bertambah-tambah.
“Mereka tidak dapat menahan
perasaan,” desis Swandaru.
“Itulah yang harus kita jaga.
Kalau keseimbangan perasaan itu tidak dapat dijaga, akibatnya akan menjadi
semakin parah.”
“Bukan salah mereka. Mereka
melihat kawan-kawan mereka terluka, apalagi ada pula yang terbunuh.”
“Memang, bukan salah mereka.
Pergolakan perasaan yang terjadi di medan adalah wajar. Tetapi alangkah baiknya
kalau kita dapat mengendalikan diri. Tanpa menambah kematian, tugas-tugas kita
dapat kita selesaikan.”
“Memang bagus sekali. Tetapi
di seluruh Pajang dan Mataram, agaknya hanya ada seorang saja yang mampu
berbuat seperti kau, Kakang.”
“Guru mengajarku.”
“O,” Swandaru
mengangguk-angguk, “dua. Yang seorang adalah guru sendiri.”
“Raden Sutawijaya juga tidak
membunuh lawan-lawannya yang sudah menyerah. Apalagi yang sudah tidak berdaya.”
“Tiga. Tiga dengan Raden
Sutawijaya.”
“Sudah tentu Raden Sutawijaya
tidak berbuat demikian tanpa tuntunan.”
“Ki Gede Pemanahan. Bukankah
kau akan mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan juga pasti berbuat demikian.
Baiklah. Ternyata ada empat orang. Begitu? Apakah kau masih akan menambah
lagi.”
“Ya.”
“Siapa?”
“Swandaru Geni. Bukankah
begitu?”
“Macam kau,” desis Swandaru,
namun kemudian ia menjawab, “Ya, Swandaru memang seorang pengampun.”
Agung Sedayu memandang wajah
Swandaru sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum.
“Baiklah. Marilah kita berbuat
sesuatu. Lawan-lawan kita sudah tidak berdaya. Yang lain melarikan diri.”
“Apakah kau yakin bahwa mereka
memang melarikan diri?”
“Aku yakin.”
Swandaru mengangguk-angguk,
lalu katanya, “Biarlah mereka yang terluka dirawat sebaik-baiknya. Kita melihat
medan di depan barak. Apakah mereka masih memerlukan tenaga?”
Agung Sedayu merenung sejenak.
Pertempuran di belakang barak itu sudah dapat dikatakan selesai. Tidak ada lagi
perlawanan yang berarti. Satu dua orang mencoba untuk melepaskan diri. Tetapi
mereka tidak dapat lagi menghindar karena luka-luka mereka.
Karena itu, maka Agung Sedayu
pun berkata kepada seorang pengawal, “Terserah kepada Ki Sanak. Biarlah yang
luka-luka mendapat perawatan. Kami berdua akan pergi ke medan di depan barak.”
“Baiklah. Aku akan
menyelenggarakan penyelesaian sebaik-baiknya,” jawab pengawal itu.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian pergi ke bagian depan barak yang masih dihangatkan oleh perkelahian
yang sengit. Obor-obor yang dinyalakan oleh orang-orang Kiai Damar dan Kiai
Telapak Jalak memberi banyak petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Mereka memerlukan obor-obor
itu,” bisik Swandaru.
“Kiai Damar yakin akan
memenangkan perkelahian ini, sehingga untuk mempercepat penyelesaian, mereka
perlu dapat membedakan dengan segera, yang mana kawan dan yang mana lawan-lawan
yang harus dihancurkannya.”
“Tetapi agaknya mereka tidak
akan segera berhasil.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Dengan hati-hati mereka mendekati medan. Namun dengan demikian segera dapat
mereka lihat apa yang sebenarnya telah terjadi.
Pertempuran yang sengit itu
hampir dapat dikatakan seimbang. Namun Sutawijaya yang menjelajahi medan memang
membuat lawan mereka menjadi bingung. Tombaknya yang berputar-putar bagaikan
baling-baling membuat orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak berloncatan
menjauh, sementara di beberapa tempat pengawal-pengawal Sutawijaya dapat
mempergunakan setiap kesempatan itu sebaik-baiknya. Bahkan orang-orang yang
tinggal di barak itu, yang semula mulai menjadi kecut, perlahan-lahan telah
tergugah lagi keberanian mereka. Meskipun mereka tidak setangkas lawan, tetapi
petunjuk-petunjuk yang mereka dapat untuk bertempur berpasangan, ternyata
sangat berguna bagi mereka, meskipun petunjuk-petunjuk itu terlampau singkat.
“Apakah kita akan ikut?”
bertanya Swandaru.
“Kita belum melihat, di mana
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak,” sahut Agung Sedayu.
“Itu urusan guru dan Ki
Sumangkar.”
“Ya. Tetapi kita harus yakin,
bahwa keduanya sudah menemukan lawan masing-masing.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Mereka tidak segera melibatkan diri dalam perkelahian itu. Sejenak
merasa masih sempat menyelusuri medan dan melihat sengitnya pertempuran.
Keduanya mengangguk-anggukkan
kepalanya ketika mereka melihat, bagaimana Kiai Damar berjuang mati-matian
untuk mengelakkan serangan Sumangkar yang melandanya bagaikan angin taufan.
“Dukun sakti yang bergelimang
racun itu tidak akan dapat bertahan terlampau lama,” desis Agung Sedayu.
“Ya. Ki Sumangkar akan segera
menyelesaikan.”
“Sekarang Kita lihat, guru
pasti sedang bertempur melawan Kiai Telapak Jalak.”
Dan keduanya pun bergeser
selangkah demi selangkah. Akhirnya mereka pun menemukan arena perkelahian yang
dahsyat antara Kiai Gringsing melawan Kiai Telapak Jalak. Ternyata keduanya
adalah orang-orang yang pilih tanding. Meskipun Kiai Gringsing berhasil
mendesaknya, namun belum merupakan suatu keyakinan bahwa ia akan berhasil
mengalahkan lawannya.
“Kita tidak akan dapat
mencampurinya,” desis Agung Sedayu.
“Lalu?” bertanya Swandaru.
“Kita terjun ke medan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekilas ia melihat bayangan seseorang yang melintas di medan dengan
tombak yang berputar-putar.
“Itulah Raden Sutawijaya,”
berkata Agung Sedayu.
“Kita mengikutinya.”
“Tidak perlu. Kita membuat
arena sendiri.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Keduanya pun kemudian mendekati medan yang masih riuh.
“Kami akan ikut serta di medan
ini,” berkata Agung Sedayu kepada Raden Sutawijaya.
Sutawijaya mundur selangkah.
Jawabnya, “Apakah tugasmu sudah selesai?”
“Ya. Kami sudah selesai.”
“Baiklah. Kita tidak boleh
gagal kali ini. Kita harus menyelesaikannya dengan tuntas. Kesempatan seperti
kali ini belum tentu akan terulang kembali.”
“Kami akan berbuat sebaik-baiknya.”
“Kita membagi medan. Kalian di
sini. Aku di ujung yang lain.”
“Ya. Kami akan bertempur di
sini.”
Sutawijaya pun kemudian
meloncat kembali menerjunkan diri ke medan. Tombaknya berputar semakin cepat.
Perlahan ia bergeser ke ujung pertempuran yang lain, sedang Agung Sedayu dan
Swandaru kini menghadapi tugas yang baru di medan yang riuh itu.
Sejenak keduanya saling
berpandangan. Kemudian terdengar Swandaru berdesis, “Kita akan mulai?”
“Ya. Marilah.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Dan mereka berdua pun kemudian mulai mengayun-ayunkan cambuk mereka.
Sejenak kemudian Agung Sedayu
dan Swandaru pun telah berada di tengah-tengah dentang senjata. Sejenak mereka
mengamati medan, dan sejenak kemudian Swandaru-lah yang pertama-tama meledakkan
cambuknya memekakkan telinga.
Suara cambuk itu ternyata
telah mendebarkan setiap jantung. Beberapa orang yang bertempur tidak jauh dari
Kiai Telapak Jalak telah dibisingkan oleh ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing
yang berhasil melawan Kiai Telapak Jalak. Kini di bagian lain dari medan itu
telah digetarkan oleh suara cambuk yang lain pula.
Kehadiran Swandaru dan Agung
Sedayu ternyata benar-benar telah merubah keseimbangan medan. Meskipun
tampaknya mereka hanya berdua di antara pertempuran yang ramai, namun yang dua
orang itu mempunyai arti yang luas. Agung Sedayu dan Swandaru yang telah
melakukan latihan-latihan khusus untuk waktu yang lama, mempunyai pengaruh yang
besar bagi lawan-lawannya. Mereka berdua tidak sekedar mengikat dua orang
lawan, tetapi masing-masing telah bertempur melawan beberapa orang sekaligus.
Seperti Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru bergerak meskipun tidak begitu
luas di sepanjang separo lingkaran medan. Sedang Sutawijaya bergerak di bagian
yang lain.
Demikianlah, maka satu demi
satu lawan-lawan kedua anak-anak muda itu dilumpuhkan. Ujung cambuk mereka yang
meledak-ledak, mampu menyobek kulit dan meninggalkan goresan-goresan yang merah
biru di tubuh lawan.
Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak tidak dapat mengingkari lagi kenyataan yang terjadi di medan. Apalagi
Kiai Telapak Jalak yang menganggap selama ini Kiai Damar tidak mampu melakukan
tugasnya karena gangguan-gangguan kecil. Tetapi ternyata bahwa orang-orang yang
ada di dalam barak itu bukan sekedar gangguan-gangguan kecil seperti yang disangkanya.
Kini ia harus mengalami
sendiri, betapa beratnya bertempur melawan mereka. Selain orang-orang yang
aneh, yang tidak sewajarnya berada di antara orang-orang yang sedang membuka
hutan, ternyata penghuni barak itu pun sudah tidak dapat lagi ditakut-takuti
dengan gemerincingnya kaki-kaki kuda sembrani, dengan tengkorak yang bercahaya
karena dilekati kunang-kunang setelah dioles dengan getah yang lekat.
Orang-orang yang tinggal di
barak itu ternyata justru telah berani mengangkat senjata untuk melawan mereka
di medan pertempuran bersama-sama para pengawal yang jumlahnya tidak begitu
banyak.
“Kalau saja keadaan di barak
ini wajar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya, “mereka pasti sudah
hancur. Mereka pasti sudah binasa sampai keakar-akarnya. Perempuan dan
anak-anak, dan bahkan Sutawijaya pun akan binasa pula di sini.”
Tetapi kenyataan yang dihadapi
benar-benar di luar perhitungan mereka. Dua orang di antara mereka berhasil
menghadapi Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Bukan saja menahan keduanya,
tetapi bahkan mendesaknya.
Demikianlah maka lambat laun
akhir dari pertempuran itu menjadi semakin jelas. Betapa pun juga orang-orang
Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak bertempur dengan cara mereka, namun mereka
tidak berhasil mendesak lawannya.
Mereka tidak lagi dapat
menakut-nakuti lawannya. Karena dengan cara itu justru telah membuat Swandaru
tertawa terbahak-bahak. Ketika ada seorang yang menyerangnya sambil berteriak,
maka dengan tangkasnya Swandaru bergeser sambil meledakkan cambuknya untuk
membuat lawannya itu terdiam. Bahkan menitikkan darah.
Kiai Damar pun semakin lama
menjadi semakin parah. Betapa pun ia berusaha, namun ia tidak akan dapat
mengalahkan Sumangkar yang selalu mendesaknya.
Yang paling menyakitkan hati
Kiai Damar ialah usaha Sumangkar untuk mengalahkannya dengan memaksanya memeras
tenaga sehingga ia akan menjadi lelah dan tidak mampu melawan lagi. Meskipun
kadang-kadang Sumangkar mendapat kesempatan untuk mendesaknya dan bahkan
membinasakannya, namun Sumangkar agaknya masih juga merasa segan.
Sebenarnyalah Sumangkar
mengetahui kepentingan Sutawijaya dengan lawannya. Kalau salah seorang dari
pemimpin mereka itu dapat ditangkap hidup-hidup, maka Sutawijaya akan mendapat
kesempatan untuk menyadap keterangan dari padanya. Dan Kiai Damar adalah salah
seorang dari pemimpin-pemimpin itu. Menurut perhitungan Sumangkar, lebih mudah
menangkap Kiai Damar dari pada Kiai Telapak Jalak, karena menurut penilaian
Sumangkar, Kiai Telapak Jalak agaknya memiliki kemampuan yang lebih besar dari Kiai
Damar.
Demikianlah, Sumangkar
berusaha untuk membuat Kiai Damar tidak berdaya dan kehilangan kemampuan
perlawanannya. Dengan menekan Kiai Damar terus-menurus, tanpa memberinya
kesempatan bernafas, Sumangkar mengharap orang itu kehabisan tenaga.
Tetapi agaknya Kiai Damar
menyadarinya, sehingga karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk melepaskan
dirinya. Ia tidak bernafsu lagi membunuh lawannya dengan senjata-senjata
beracun, karena ia yakin bahwa di antara orang-orang aneh yang tinggal di barak
itu pasti ada yang memiliki kemampuan yang besar untuk melawan racun, sehingga
racun tidak akan lagi mempunyai banyak arti. Sebagai seorang yang mengerti
tentang racun, Kiai Damar pun mengerti, bahwa seseorang dapat membekali dirinya
dengan obat-obat untuk menawarkan diri, setidak-tidaknya untuk mengurangi
kekuatan racun yang menyerang urat darahnya.
Dalam menghadapi Sumangkar,
Kiai Damar ingin mempergunakan cara yang lain. Seperti cara yang sering
dipergunakan, maka ia tidak segan mengorbankan anak buahnya untuk
kepentingannya.
Ketika ia mengalami kesulitan
yang memuncak, maka terdengarlah suara isyarat dari mulutnya. Mula-mula
Sumangkar tertegun sejenak mendengar isyarat itu. Namun ia segera menyadari,
bahwa Kiai Damar telah berusaha untuk merubah keseimbangan perkelahian itu.
Ternyata setelah isyarat itu
bergema di medan pertempuran yang bergeser semakin jauh dari barak itu, empat
orang pengawal pilihan Kiai Damar telah berloncatan mendekatinya. Seperti yang
dipesankan oleh Kiai Damar, apabila diperlukan, mereka harus datang dan
membantunya menghadapi musuh-musuhnya.
Meskipun dengan demikian,
orang-orangnya yang lain mengalami banyak kesulitan, namun Kiai Damar tidak
mempedulikan. Kepada mereka Kiai Damar selalu memberikan alasan yang tampaknya
masuk akal.
Dalam keadaan yang demikian,
maka alasan yang paling baik yang dipergunakan oleh Kiai Damar adalah, bahwa
lawannya yang paling berat itu harus segera dibinasakan. Dengan demikian maka
ia akan segera dapat membantu kesulitan-kesulitan yang lain di dalam pasukannya.
Demikianlah maka sesaat
kemudian Sumangkar harus menghadapi lima orang sekaligus. Kiai Damar dan empat
orang kepercayaannya.
Meskipun Ki Sumangkar
mempunyai kelebihan dari Kiai Damar, tetapi untuk melawan lima orang sekaligus,
terasa juga betapa beratnya.
Kiai Damar yang merupakan
pusat dari perlawanan, menghadapi Ki Sumangkar dari depan. Sedang empat orang
yang lain menyerangnya dari segenap arah.
Dengan memeras kemampuannya,
Sumangkar masih tetap dapat mempertahankan dirinya. Betapa dahsyatnya
serangan-serangan lawannya, namun Sumangkar masih selalu mendapat kesempatan
untuk menghindar. Bahkan sekali-sekali ia masih juga mampu menyerang.
Namun lambat laun, karena
Sumangkar telah mengerahkan segenap kemampuannya, tenaganya terasa menjadi
semakin susut.
Dengan demikian, Sumangkar
terpaksa menempuh usaha yang lain. Ia tidak dapat memaksa dirinya untuk
berkelahi tanpa melukai lawannya Bahkan seandainya lawannya terbunuh juga, maka
itu di luar kemampuannya, meskipun ia masih tetap berusaha menangkapnya
hidup-hidup. Tetapi sudah tentu bahwa Sumangkar sendiri tidak ingin dirinya
sendirilah yang justru menjadi korban.
Karena itu, kemudian Sumangkar
bukan saja memeras segenap kemampuannya, tetapi juga tidak lagi sangat
berhati-hati agar tidak menimbulkan kematian pada lawannya, terutama Kiai
Damar.
“Kalau aku masih tetap
bertempur dengan cara ini, maka pada akhirnya, akulah yang akan menjadi mayat
di medan ini,” katanya di dalam hati.
Dengan demikian, maka tandang
Sumangkar pun segera berubah. Senjatanya semakin cepat berputar. Kini
pengerahan tenaganya tidak saja ditujukan kepada keempat kawan Kiai Damar, dan
sebagian yang lain untuk menghindarkan diri dari ujung senjata lawannya, namun
kini justru ia memusatkan serangannya kepada Kiai Damar.
Kiai Damar dan kawan-kawannya
pun kemudian mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Kalau mereka segera
berhasil membinasakan Sumangkar, maka mereka akan segera dapat membantu
kawan-kawannya di dalam pertempuran yang berlangsung itu.
Karena itulah maka pertempuran
itu menjadi semakin ribut dan sengit. Senjata masing-masing berputaran dan
menyambar-nyambar. Semakin lama mereka semakin dalam terbenam dalam perkelahian
yang seru.
Betapa pun juga Kiai Damar
berusaha, tetapi bersama kawan-kawannya ia tidak dapat segera mengalahkan
Sumangkar. Apalagi ketika Sumangkar tidak lagi mengekang diri, sehingga justru
senjatanyalah yang telah menguasai arena perkelahian itu.
Namun Sumangkar terlonjak dan
terkejut bukan buatan, ketika terasa ujung senjata telah menyengat lengannya.
Tanpa sesadarnya tangan kirinya telah merabanya, dan terasa titik darah yang
hangat memerah di telapak tangannya itu.
Dengan geramnya Sumangkar
menggeretakkan giginya Ternyata ialah yang telah terluka lebih dahulu. Ujung
tombak salah seorang lawannya telah menyentuh lengannya dan melukainya.
“Persetan,” ia pun kemudian
menggeram.
Luka itulah yang telah
membakar jantungnya. Ditatapnya lawannya berganti-ganti. Sorot matanya yang
memancarkan kemarahan, menjadi merah di dalam cahaya obor yang bergetar ditiup
angin malam.
“Aku akan membunuh kalian,”
desisnya.
Lawan-lawannya bergetar
mendengar suara Sumangkar yang berat itu. Namun darah yang menitik dan luka
Sumangkar, membuat lawan-lawannya itu agak berbesar hati. Ternyata Sumangkar
dapat juga dilukai dan menitikkan darah. Dengan demikian, maka mereka harus
berusaha terus-menerus untuk menambah luka di tubuh orang itu.
Tetapi Sumangkar menyadari
keadaannya. Karena itu, ia pun kemudian bertempur seperti angin pusaran.
Berputaran menggulung lawannya dalam suatu putaran yang membingungkan.
Senjatanya terjulur semakin dalam dan berputar di atas kepalanya. Tetapi
ujung-ujung trisulanya menyambar menebarkan udara maut.
Sejenak kemudian di dalam
lingkaran perkelahian itu terdengar keluhan tertahan. Ternyata bahwa ujung
senjata Sumangkar telah berhasil menyambar punggung seorang lawannya yang
sedang berusaha menjauhinya. Tetapi terlambat. Punggung itu bagaikan sobek
melintang, mengucurkan darah.
Namun bersamaan dengan itu,
lawannya yang lain telah berhasil menyentuh tubuh Sumangkar pula. Kali ini
mengenai pahanya dan membuat luka pula, meskipun hanya segores kecil.
Kemarahan Sumangkar pun
menjadi semakin memuncak. Dan tiba-tiba saja serangannya menjadi semakin cepat
seperti badai. Kini sasaran utamanya justru Kiai Damar sendiri, karena orang
itulah orang yang paling kuat dan paling banyak menghisap tenaganya namun
memberikan kesempatan kepada kawan-kawannya untuk melukainya sedikit demi
sedikit.
“Persetan,” Sumangkar
menggeram, “aku akan membunuhmu. Bukan salahku.”
Dan tekanan yang dahsyat pun
kemudian melanda Kiai Damar. Dengan susah payah ia mengerahkan tenaganya untuk
menghindarkan diri dari amukan badai yang melanda dirinya. Bahkan
kawan-kawannya pun telah membantunya melawan amukan Sumangkar. Namun usaha
mereka itu rasa-rasanya sia-sia. Sumangkar benar-benar telah sampai ke puncak
kemampuannya, sehingga akhir dari pertempuran itu pun sudah menjadi semakin
jelas membayang. Seolah-olah setiap orang sudah dapat meramalkannya, apa yang
akan terjadi.
Agaknya luka-luka di tubuh
Sumangkar telah membuatnya marah tiada taranya, sehingga dengan demikian ia
sudah kehilangan segala macam pertimbangan untuk menangkap lawannya
hidup-hidup.
Ketika perasaan yang pedih
menyengat tubuhnya karena luka-lukanya, maka dengan segenap kemampuan yang ada
ia menghentakkan senjatanya. Memutarnya dan tiba-tiba ia merubah arah
putarannya. Dengan dahsyatnya ujung senjata yang berantai itu mematuk ke dada
Kiai Damar.
Serangan itu benar-benar
mengejutkan. Tetapi Kiai Damar masih sempat mengelakkan dirinya. Dengan
sigapnya ia meloncat surut. Sambil berputar kiai Damar memiringkan tubuhnya,
sehingga senjata lawan itu lewat di sisi tubuhnya.
Tetapi Sumangkar tidak
melepaskannya. Sekali diputarnya senjatanya di atas kepalanya untuk mencegah
serangan-serangan yang datang dari kawan-kawan Kiai Damar, kemudian sebuah
serangan sendal pancing sekali lagi mengejar Kiai Damar.
Kiai Damar yang sedang mencoba
memperbaiki keadaannya sekali lagi terkejut. Sekali lagi ia melangkah surut.
Namun kali ini Sumangkar tidak mau melepaskannya lagi. Titik darah dari luka di
tubuhnya telah membuatnya sam-pai ke puncak kemarahan.
Tiba-tiba saja Sumangkar itu
merendah pada lututnya sambil melemparkan senjatanya. Kemudian memutarnya
rendah setinggi lambung.
Kali ini Kiai Damar tidak
sempat mengelak lagi. Dengan segenap kemampuannya ia mencoba memukul senjata
Sumangkar itu dengan senjatanya. Namun Sumangkar benar-benar menguasai jenis
senjatanya yang baru itu, sehingga dengan menghentakkan rantai ditangannya,
Kiai Damar tidak berhasil menyentuh senjata lawannya. Bahkan begitu senjatanya
terayun, ujung senjata Sumangkar mematuk dengan cepatnya.
Tidak ada kesempatan buat
menghindar dan menangkis. Senjata Sumangkar itu meluncur bagaikan kilat di
langit. Begitu cepat dan deras, sehingga meskipun Kiai Damar masih mencoba
memiringkan tubuhnya, namun senjata itu berhasil mengenai dadanya.
Terdengar, pekik yang
terputus. Kiai Damar terdorong beberapa langkah surut. Namun ketika Sumangkar
menarik senjatanya, Kiai Damar tersentak selangkah maju, kemudian jatuh
tertelungkup.
Kiai Damar tidak sempat
bangkit kembali. Ia hanya dapat bergerak setapak maju dan memutar tubuhnya
menelentang. Namun kemudian tangannya terkulai di sisi tubuhnya.
Orang yang selama ini membuat
seisi barak itu ketakutan, dan membuat Alas Mentaok di ujung ini menjadi penuh
rahasia dan teka-teki, kini sudah tidak ada lagi. Kemarahan Sumangkar yang
terluka dan menghadapi beberapa orang lawan sekaligus telah mengakhiri hidupnya
dengan luka yang menganga di dadanya.
Kematian Kiai Damar telah
menggemparkan anak buahnya. Orang-orang yang bertempur bersamanya melawan
Sumangkar tiba-tiba berloncatan menjauh. Bagi mereka, Kiai Damar adalah seorang
yang pilih tanding. Namun orang itu kini tergolek tidak bernyawa.
Sejenak Sumangkar berdiri
mematung memandangi mayat Kiai Damar. Barulah ia menemukan kesadarannya kembali
tentang pentingnya orang yang bernama Kiai Damar itu apabila ia dapat
menangkapnya hidup-hidup. Tetapi kesadarannya itu telah terlambat, karena Kiai
Damar telah terbunuh oleh kemarahannya.
“Seandainya orang itu masih
hidup,” desis Sumangkar di dalam hatinya. Kini seolah-olah ia melihat di dalam
dada Kiai Damar yang terbelah itu tersimpan berbagai macam keterangan tentang
rahasia yang selama ini menyelubungi Alas Mentaok. Namun bersama dengan
kematiannya, maka rahasia itu masih belum dapat terungkap seluruhnya.
“Mudah-mudahan Kiai Gringsing
mampu menahan perasaannya. Mudah-mudahan ia tidak diamuk oleh kemarahan,
sehingga ia berhasil menangkap lawannya hidup-hidup,” berkata Ki Sumangkar di
dalam hatinya.
Namun tiba-tiba terbersit
suatu ingatan, seandainya Kiai Telapak Jalak masih bertempur melawan Kiai
Gringsing, maka ia akan dapat membantunya, menangkap orang itu hidup-hidup.
Oleh pikiran itu, Ki Sumangkar
pun segera meninggalkan tempatnya. Ternyata lawan-lawannya tidak seorang pun
yang berani menghalanginya. Dibiarkannya Sumangkar pergi ke mana pun yang
dikehendaki.
Sambil berjalan Sumangkar
menilai luka-luka di tubuhnya. Ternyata luka itu sama sekali tidak berbahaya.
Namun demikian, ia pun terpaksa berhenti sejenak, menaburkan serbuk obat yang
dapat memampatkan darah.
Ketika baru saja ia melangkah,
maka ia pun tertegun pula. Dilihatnya seseorang bertempur dengan dahsyatnya.
Menyambar-nyambar dengan tombak di tangan.
“Hem,” Sumangkar menarik
nafas, “Raden Sutawijaya.”
Maka ditinggalkannya
Sutawijaya yang sedang bertempur itu. Ia bergeser semakin jauh mencari Kiai
Telapak Jalak yang pasti sudah bertempur melawan Kiai Gringsing.
Namun sekali lagi ia tertegun.
Suara cambuk meledak-ledak memekakkan telinga. Sekilas Sumangkar melihat Agung
Sedayu dan Swandaru mendesak lawannya tanpa tertahankan lagi.
“Sebenarnya pertempuran ini
sudah akan berakhir,” gumamnya. “Di semua bagian dari medan, mereka terdesak
terus. Kunci dari persoalan ini terletak pada Kiai Telapak Jalak. Mudah-mudahan
aku tidak terlambat.”
Sumangkar pun kemudian
mempercepat langkahnya. Kalau mungkin Kiai Telapak Jalak harus tertangkap
hidup-hidup untuk mendapatkan beberapa keterangan tentang perbuatan mereka
selama ini. Untuk mendapatkan keterangan siapakah yang ada di antara mereka dan
yang penting, siapakah penggerak yang sebenarnya. Kiai Telapak Jalak sendiri
atau masih ada orang lain lagi di sampingnya.
Sejenak kemudian Ki Sumangkar
itu pun telah menjadi semakin dekat dengan arena perkelahian antara Kiai
Gringsing dan Telapak Jalak. Sumangkar sudah mendengar lecutan cambuk yang
meledak-ledak, melampaui getar ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru.
“Agaknya perkelahian itu
sangat sengit,” berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata seperti yang
diduganya. Ketika ia menjadi semakin dekat, maka dilihatnya perkelahian yang
semakin dahsyat. Baik Kiai Telapak Jalak, maupun Kiai Gringsing telah berada di
dalam puncak kemampuannya. Dan agaknya Kiai Telapak Jalak pun termasuk seorang
yang pilih tanding.
Meskipun dengan pasti Kiai
Gringsing dapat mendesak lawannya, namun masih diperlukan waktu yang lama untuk
dapat menguasai Kiai Telapak Jalak sepenuhnya. Apalagi Sumangkar pun melihat,
bahwa di tangan Kiai Telapak Jalak tergenggam senjata yang beracun, sedang di
tangan yang lain seutas rantai yang diputarnya seperti baling-baling.
“Hem,” desis Sumangkar, “racun
itu memang berbahaya.”
Karena itu maka Sumangkar pun
menjadi berhati-hati. Ia sadar, bahwa racun itu dapat mengantar seseorang ke
lubang kubur.
Tetapi ia pernah mendapat
sejenis obat yang diberikan oleh Kiai Griugsing untuk mengurangi ketajaman
racun yang mengenainya.
Untuk mengurangi
kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas dirinya, maka Sumangkar
pun kemudian mengambil obat itu dan ditelannya pula. Dengan demikian, maka
kemungkinan yang berbahaya atas dirinya, dapat dikurangi sekecil-kecilnya.
Sejenak tubuh Ki Sumangkar pun
terasa menjadi panas. Bahkan ia merasa dadanya bergetar. Obat itu agaknya telah
mulai menjalar ke seluruh tubuhnya. Sehingga dengan demikian untuk beberapa
saat, ia akan menjadi orang yang agak kebal terhadap racun, selama daya
kekuatan obat itu masih bekerja di tubuhnya.
Setelah tubuhnya tidak lagi
merasa gemetar, maka Ki Sumangkar pun melangkah semakin cepat ke arena
perkelahian yang sangat dahsyat itu.
Kehadirannya telah mengejutkan
Kiai Telapak Jalak. Ia masih belum mengerti, sampai berapa jauh kemampuan Ki
Sumangkar. Tetapi menilik sikap dan tatapan matanya, orang ini pasti bukan
penghuni kebanyakan dari barak itu. Orang ini pasti salah seorang dari
penghuni-penghuni aneh dari barak yang akan dihancurkannya.
“Betapa tangkasnya orang yang
agaknya bernama Kiai Telapak Jalak,” terdengar suara Sumangkar.
“Ya. Seorang yang pilih
tanding,” sahut Kiai Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dipandanginya perkelahian yang semakin dahsyat karena keduanya
benar-benar telah mengerahkan puncak kemampuan mereka.
“Bagaimana dengan kau?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Aku sudah selesai. Tetapi
sayang sekali, aku tidak berhasil menangkapnya hidup-hidup.”
“Jadi?”
Sumangkar tidak segera
menjawab. Ia melihat serangan Telapak Jalak yang tiba-tiba saja hampir mengenai
tangan Kiai Gringsing. Untunglah ia dengan cepat dan tepat pada waktunya
menarik tangannya, sehingga keris Kiai Telapak Jalak tidak menyentuhnya sama
sekali.
“Aku terpaksa membunuhnya.
Kiai Damar bertempur bersama-sama dengan empat orang pengawalnya, sehingga aku
terluka,” berkata Sumangkar sambil melihat perkelahian itu. “Luka itulah yang
membuat aku kehilangan kesempatan untuk menangkapnya hidup-hidup. Apalagi di
antara lima orang lawan.”
“Jadi Kiai Damar terbunuh?”
Kiai Gringsing menegaskan.
“Ya.”
“Bohong!” tiba-tiba Kiai
Telapak Jalak memotong. “Kalian berbohong. Kalian sengaja membuat cerita itu
untuk mempengaruhi gairah perlawananku. Kalian telah mempergunakan cara yang
paling licik di dalam pertempuran ini.”
“Apakah gunanya aku
berbohong,” desis Sumangkar, “bukan saja Kiai Damar, tetapi orang-orangmu yang
lain pun telah menjadi pecah berserakan. Mereka tidak akan mampu melawan Raden
Sutawijaya dan kedua anak-anak muda yang bersenjata cambuk itu pula. Apalagi
sepeninggal Kiai Damar.”
“Bohong, aku tidak percaya.”
“Baiklah. Terserah kepadamu,
apakah kau akan mempercayainya atau tidak. Tetapi kedatanganku kemari adalah
karena aku sudah tidak mempunyai tugas lagi di ujung lain dari pertempuran ini.
Aku mengharap bahwa di sini aku akan dapat bekerja bersama lawanmu itu untuk
menangkapmu hidup-hidup.”
“Gila. Kau menghina aku.”
“Aku berniat demikian.
Terserah, apakah Ki Truna Podang setuju.”
Kiai Gringsing menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi ia percaya bahwa Kiai Damar memang sudah terbunuh.
Karena itu, maka ia pun mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk menangkap Kiai
Telapak Jalak hidup-hidup.
Sejenak Kiai Gringsing tidak
menyahut. Tetapi serangan Kiai Telapak Jalak justru menjadi semakin dahsyat.
Seakan-akan Kiai Telapak Jalak ingin menunjukkan bahwa ia tidak akan dapat
dengan mudah dikalahkan.
Namun kehadiran Sumangkar itu
benar-benar telah merupakan sebuah persoalan baginya. Kalau benar orang itu
berusaha bersama Truna Podang untuk menangkapnya hidup-hidup, apakah ia akan
dapat melepaskan diri, apalagi mengalahkan keduanya?
Kiai Telapak Jalak tidak dapat
mengingkari, bahwa untuk melawan Truna Podang seorang diri, ia sudah mengalami
kesulitan, apalagi melawan dua orang yang agaknya mempunyai ilmu yang
setingkat, atau setidak-tidaknya tidak banyak berselisih.
Tetapi Kiai Telapak Jalak
tidak segera silau terhadap angan-angannya itu. Ia masih ingin membuktikan,
apakah benar-benar ia tidak dapat melawan keduanya atau melepaskan diri dari
keduanya.
Demikianlah maka Kiai Telapak
Jalak masih juga bertempur. Tetapi ketika Sumangkar benar-benar telah mulai,
meskipun baru beberapa saat, telah terasa padanya, bahwa kekuatan kedua orang
itu merupakan kekuatan yang tidak akan dapat terlawan.
Karena itu, maka ia pun
kemudian berkata, “O, inikah cara kalian bertempur? Kalau kalian tidak mampu
bertempur sendiri, maka kalian mulai bertempur berpasangan?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia menjawab, “Agaknya memang demikian cara kita
bertempur di peperangan. Memang agak lain dengan apabila kita sudah berjanji untuk
melakukan perang tanding. Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak tidak menghiraukan
berapa orang yang bertempur dalam perang brubuh itu. Mungkin berpasangan,
mungkin justru sekelompok lawan sekelompak yang jumlahnya tidak perlu diatur
sama.”
“Tetapi mereka adalah
orang-orang yang tidak berarti. Mereka bukan pimpinan pasukan apalagi
senapati.”
“Tidak ada bedanya di
peperangan. Aku juga bukan pemimpin pasukan, dan juga bukan senapati.”
“Pengecut. Tetapi kau pasti
orang penting di sini.”
“Kiai Damar berkelahi bersama
empat orang kawannya,” sahut Sumangkar, “sehingga aku harus bertempur melawan
lima orang sekaligus termasuk Kiai Damar.”
“Omong kosong!”
“Terserah kepadamu. Tetapi aku
tidak melihat keberatan apa pun untuk berperang dalam pasangan,” berkata
Sumangkar pula.
“Tetapi aku dapat menantang
kalian untuk berperang tanding seorang lawan seorang.”
“Terlambat. Kalau kau ajukan
tantangan itu sejak kau datang, maka salah seorang dari kami pasti akan
melayaninya. Tetapi kali ini tidak. Kami akan tetap bertempur berpasangan.
Sebenarnya aku yakin bahwa aku akan dapat menyelesaikan pertempuran ini kalau
aku hanya sekedar ingin membunuhmu. Tetapi sekarang aku ingin menangkapmu.
Menangkapmu hidup-hidup, sehingga untuk itu justru akan jauh lebih sukar.”
“Persetan!” Kiai Telapak Jalak
menggeram. Ia merasa benar-benar terhina. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan. Agaknya ia telah terjebak memasuki sarang harimau lapar bersama Kiai
Damar. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa di dalam barak ini ada orang-orang
yang memiliki kemampuan begitu tinggi.
“Aku terlampau meremehkan
laporan Kiai Damar,” berkata Kiai Telapak Jalak di dalam hatinya. “Aku sangka
Kiai Damar sekedar menyembunyikan kelemahan. Tetapi ternyata kini aku
benar-benar terperangkap.”
Meskipun demikian, Kiai
Telapak Jalak masih berusaha terus. Ia kini tidak lagi berjuang untuk
mengalahkan lawannya, tetapi sekedar untuk melepaskan dirinya. Kalau ia
tertangkap hidup-hidup, maka ia pasti akan diperas untuk memberikan
keterangan-tentang semua perbuatannya bersama Kiai Damar. Ia harus
mempertanggung jawabkannya dan menyebut beberapa nama yang berhubungan dengan
itu.
“Tidak, itu tidak mungkin,”
berkata Kiai Telapak Jalak, “salah seorang dari kami harus tetap hidup. Kalau
aku mati biarlah aku mati, tetapi adikku itu harus tetap hidup untuk menyambung
nama keluarga kami. Sokurlah bahwa pada suatu saat ia berhasil dengan usahanya,
dan membalaskan dendam sakit hatiku. Tetapi mulutku tidak boleh menyebut
namanya dalam keadaan apa pun juga. Ia harus tetap berada di istana Pajang dan
berbuat sesuai dengan keadaan yang akan berkembang kemudian.”
Karena itulah maka tidak ada
tanda-tanda sama sekali bahwa Kiai Telapak Jalak akan menyerah. Bagaimana pun
juga, ia masih tetap bertempur dengan gigihnya. Bahkan orang itu sama sekali
sudah tidak mengenal takut lagi.
Memang tidak mudah menangkap
orang seperti Kiai Telapak Jalak, karena ia telah berbuat atas dasar suatu
keyakinan. Salah atau benar, maka orang seperti Kiai Telapak Jalak sangat sulit
untuk ditundukkan. Mungkin jasmaniahnya dapat dihancurkan, tetapi ia pasti akan
mati bersama keyakinannya.
“Apa boleh buat,” berkata Kiai
Gringsing di dalam hatinya, “aku terpaksa melukainya. Mungkin membuatnya
pingsan. Kalau tidak, mustahil aku berhasil menangkapnya. Apalagi keris beracun
itu masih tetap di tangannya meskipun sudah menelan penawarnya.”
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun mempertajam serangannya. Ia tidak menghindarkan kemungkinan
melukai lawannya, sehingga dengan demikian, maka ledakan cambuknya menjadi kian
dahsyat pula.
Sumangkar agaknya mengerti
pula keputusan sikap yang diambil oleh Kiai Gringsing, sehingga ia pun perlu
mengimbanginya. Trisula keduanya pun berputaran semakin cepat
menyambar-nyambar, kemudian mematuk dengan dahsyatnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak
Jalak mengumpat. Serangan-serangan itu benar-benar telah membingungkannya. Ia
tidak dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang datangnya seperti
banjir yang melandanya dari segenap arah, meskipun ia sudah berloncatan
bagaikan berdiri di atas seonggok bara.
Maka, ketika serangan kedua
orang-orang tua yang memiliki ilmu yang melampaui manusia kebanyakan itu datang
semakin cepat, maka sampailah saatnya Kiai Telapak Jalak tidak dapat
meningkatkan lagi kemampuannya. Kemampuan manusia yang terbatas pula. Ternyata
bahwa batas itu pada suatu saat tidak lagi dapat dilampauinya betapa pun ia
berusaha.
Demikianlah, maka ketika Kiai
Telapak Jalak menghindari patukan ujung-ujung trisula Sumangkar, ia tidak mampu
lagi berbuat apa pun juga ketika ujung cambuk Kiai Gringsing mengenainya.
Yang terdengar di antara
ledakan cambuk itu adalah desis yang tertahan. Bahkan kemudian Kiai Telapak
Jalak mengumpat sambil berusaha meloncat sejauh-jauh dapat dilakukan. Namun,
demikian ia menjejakkan kakinya di atas tanah, serangan Sumangkar telah
mengejarnya.
“Setan alas!” Kiai Telapak
Jalak mengumpat-umpat. Sebuah goresan yang merah biru telah melingkar di
lengannya, di bawah bajunya yang tersayat.
“Menyerahlah, Kiai Telapak
Jalak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada jalan lagi bagimu untuk
meninggalkan arena ini.”
Kiai Telapak Jalak tidak
menyahut. Tetapi ia justru menjadi semakin garang. Sekali-sekali ia masih
mencoba menyerang juga, kemudian berusaha menembus dua lingkaran senjata, Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Telapak Jalak
tidak berhasil. Kedua lawannya mempergunakan pula senjata sejenis dengan
senjatanya sendiri. Senjata lentur.
“Menyerahlah,” sekali lagi
terdengar suara Kiai Gringsing.
“Persetan!” geram Kiai Telapak
Jalak.
“Jadi kau benar-benar tidak
mau menyerah?”
“Aku menyerah setelah, aku
terbujur menjadi mayat.”
“Kau memang jantan, Kiai
Telapak Jalak,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku akan berusaha agar tidak
terjadi demikian.”
Wajah Kiai Telapak Jalak
menjadi semakin merah di bawah cahaya obor yang sudah mulai redup.
“Lihat, pasukanmu telah jauh
didorong oleh para pengawal, orang-orang dari barak ini yang selama beberapa
waktu menjadi bulan-bulanan orang-orangmu dan orang-orang Kiai Damar. Mereka
hidup dalam ketakutan dan himpitan perasaan. Tetapi sekarang perasaan yang
tidak tertahankan lagi itu telah meledak. Apalagi di antara mereka terdapat
Raden Sutawijaya sendiri dan dua orang anak-anakku yang bersenjata cambuk.”
“Persetan, persetan! Aku bukan
tikus yang takut melihat kucing. Batas ketakutan adalah mati. Dan aku tidak
takut mati.”
“Tidak,” sahut Kiai Gringsing,
“masih ada yang lebih kau takuti daripada mati.”
“Tidak ada.”
“Ada. Kau tidak berani
menyerah.”
“Gila. Aku belum gila seperti
yang kau sangka. Aku masih tetap menyadari keadaanku. Dan aku akan memilih mati
sebagai laki-laki daripada aku harus menyerah kepada kalian berdua.”
Kiai Gringsing tidak menjawab
lagi. Memang tidak ada harapan untuk menunggu Kiai Telapak Jalak menyerah.
Karena itu Kiai Telapak Jalak harus dipaksa untuk menyerah sebelum ia menjadi
mayat. Satu-satunya jalan adalah membuatnya pingsan. Sudah tentu terpaksa
sekali melukainya. Namun Kiai Gringsing berharap untuk dapat mengobatinya
apabila luka itu tidak terlampau parah.
Dengan demikian, maka tidak
ada gunanya lagi menakut-nakuti, mengancam dan membujuknya. Yang dilakukan
kemudian adalah tekanan-tekanan yang lebih berat terhadap Kiai Telapak Jalak.
Apalagi Sumangkar mengerti sepenuhnya sikap Kiai Gringsing itu, sehingga ia pun
menyerangnya semakin dahsyat pula.
Kiai Telapak Jalak pun menjadi
semakin bingung. Seakan-akan sudah tidak ada tempat lagi baginya untuk
berpijak. Kemana pun ia berloncatan, kedua ujung senjata lawannya itu selalu
mengejarnya.
Tetapi ia tetap pada
pendiriannya. Lebih baik dadanya pecah karena senjata daripada ia harus
menyerah kepada kedua lawannya itu. Karena itulah maka ia masih tetap bertempur
dengan gigihnya.
Tetapi tenaganya yang semakin
surut itu membuat geraknya semakin lamban. Sedangkan senjata Kiai Gringsing dan
Sumangkar justru menjadi semakin cepat.
Sebuah ledakan cambuk Kiai
Gringsing telah mendorongnya ke samping. Tetapi Kiai Telapak Jalak terkejut
bukan buatan, ketika terasa ujung trisula yang tajam telah menusuk pundaknya.