Buku 078
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Ia memang sudah menduga sebelumnya. Meskipun demikian,
pengakuan Raden Sutawijaya itu telah menggetarkan dadanya. Hubungan antara
Raden Sutawijaya dengan seorang gadis yang dikehendaki oleh Sultan Pajang,
tentu akan menimbulkan persoalan yang sangat rumit, justru pada saat Mataram
sedang tumbuh dan berkembang menjadi suatu negeri yang ramai.
“Paman,” berkata Sutawijaya
kemudian, “aku mengerti bahwa keteranganku ini mengguncangkan kepercayaan Paman
kepadaku. Baik sebagai seorang anak muda yang selama ini dianggap sebagai
seorang pemimpin oleh orang-orang Mataram maupun sebagai putra angkat Ayahanda
Sultan Pajang sendiri.”
Ki Lurah Branjangan tidak
segera menanggapinya. Terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Memang ada
semacam tuntutan terhadap tingkah laku Raden Sutawijaya itu. Karena dengan
demikian, maka semua perjuangan bagi berkembangnya Mataram selama ini menjadi
pudar. Kemarahan Sultan Pajang dalam saat semacam ini henar-henar tidak menguntungkan.
Di saat Mataram sedang menghadapi kesulitan yang berturut-turut telah
menghambat perkembangannya.
“Ki Lurah, Ki Lurah,” desis
Raden Sutawijaya, “kenapa kau diam saja? Apakah kau lebih dahulu telah
menjatuhkan hukuman atasku dengan sikap diammu itu? Dan dengan demikian kau
ingin menunjukkan bahwa kau telah membenciku, menganggap aku seorang anak muda
yang liar dan tidak berkesopanan sama sekali? Jika demikian, sebaiknya Paman
mengatakannya. Aku tidak akan marah. Aku akan menerima semua caci dan maki dari
siapa pun juga.” Raden Sutawijaya terdiam sejenak, lalu, “Tetapi apakah yang
dapat aku katakan kepada Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Tiba-tiba saja Ki Lurah
Branjangan menjadi iba kepada anak muda yang sedang menyesali kesalahannya itu.
Sejenak Ki Lurah Branjangan memalingkan wajahnya ke sekitarnya. Ketika ternyata
bahwa tidak ada seorang pun yang duduk di dekat mereka, maka ia pun berkata,
“Raden, semuanya telah terjadi. Apa pun alasannya, namun hal itu sudah
terjadi.”
“Ya, Paman, dan aku mengetahui
bahwa aku tidak akan dapat mencari alasan apa pun untuk mengurangi
kesalahanku.”
“Begitulah. Tetapi agaknya
jalan yang paling baik bagi Raden sekarang adalah berterus terang. Berterus
terang kepada Ki Gede Pemanahan. Apa pun yang akan terjadi kemudian, memang
tidak akan dapat dihindari dan apalagi dengan sengaja mengelakkan diri dari
pertanggungan jawab.”
“Apa yang Paman maksud dengan
pertanggungan jawab? Apakah aku harus menghadap Ayahanda Sultan dan mohon untuk
memperistri gadis itu? Apakah dengan demikian aku tidak akan segera ditangkap
dan dipenggal leherku?”
“Bukan begitu maksudku, Raden.
Bertanggung jawab terhadap persoalan ini berarti, Raden harus bersedia
melakukan perintah apa pun juga dari ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
“Jika Ayahanda memerintahkan
aku menghadap Ayahanda Sultan?”
“Apa boleh buat.”
“Tidak, Paman. Aku tidak dapat
menghadap Ayahanda Sultan saat ini. Bukan karena aku takut menghadapi hukuman
apa pun yang akan dijatuhkan atasku karena aku sudah menodai gadis yang akan
diambilnya menjadi istrinya. Tetapi aku merasa bahwa belum saatnya aku
menghadap. Mataram masih belum berbentuk. Aku sudah berprasetia, bahwa aku
tidak akan menghadap Ayahanda Sultan sebelum aku berhasil menjadikan Alas
Mentaok menjadi sebuah negeri. Pada saat itu, para pemimpin di Pajang
seakan-akan telah menghinakan aku dan Ayahanda Ki Gede Pemanahan, bahwa kami
tidak akan berhasil membuka Alas Mentaok dan membuat suatu negeri yang ramai.
Karena itu maka aku tidak akan menghadap dan bertemu muka dengan para pemimpin
pajang sebelum aku dapat menengadahkan dadaku dan berkata, ‘Bahwa Alas Mentaok
telah menjadi sebuah negeri yang patut dihitung di dalam percaturan
pemerintahan di Pajang’.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Itulah sulitnya, Raden. Sebenarnya
aku sependapat, bahwa sebaiknya Raden tidak usah datang ke Pajang apa pun
alasannya. Tetapi persoalan yang satu ini agaknya telah menambah segala macam
sikap dan tekad kita.”
Raden Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Aku
telah mengkhianati perjuanganku sendiri. Kini aku berdiri di atas kesulitan
yang hampir tidak terpecahkan.”
“Sudahlah, Raden,” berkata Ki
Lurah Branjangan kemudian, “sebaiknya Raden tidak hanyut dalam persoalan yang satu
itu saja. Masih banyak persoalan yang harus dihadapi. Karena itu, sebaiknya
Raden menabahkan hati. Raden harus menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan
secepatnya. Kemudian Raden akan mendengarkan keputusan yang akan diambil oleh
ayahanda. Apa pun sumpah dan prasetia yang sudah Raden ucapkan, namun
kadang-kadang kita harus menelan ludah sendiri untuk tujuan yang lebih besar.”
“Tetapi itu bukan sifat
ksatria Ki Lurah. Aku tidak mau. Yang sudah aku ucapkan adalah ucapan ksatria.
Aku tidak akan menelan ludah sendiri apa pun akibatnya.”
“Raden benar. Tetapi Raden
sendiri sudah melangkahkan kaki Raden melintasi pagar ayu yang dihormati oleh
para ksatria. Sehingga akibatnya menuntut agar Raden melepaskan sikap kesatria
yang lain lagi.”
“O,” Raden Sutawijaya menutup
wajahnya dengan kedua belah tangannya. Namun yang terdengar kemudian adalah
gemeretak gigi.
Ki Lurah Branjangan dapat
mengerti, betapa hati Raden Sutawijaya diombang-ambingkan oleh kebimbangan yang
dahsyat. Tetapi bagi Ki Lurah Branjangan, tidak ada jalan lain daripada segera
menyelesaikan masalah yang satu itu.
“Raden Sutawijaya sudah
bertekad untuk menjadikan Mataram sebuah negeri,” berkata Ki Lurah Branjangan
di dalam hatinya, “tetapi jika tidak diketemukan penyelesaian yang baik maka
Mataram yang sedang berkembang ini akan segera pecah berserakan.” KI Lurah
Branjangan menarik nafas dalam-dalam sambil memandang Raden Sutawijaya yang
kini memandang ke kejauhan menembus gelapnya malam. Dan Ki Lurah itu pun
berkata kepada diri sendiri lebih lanjut, “Ki Gede Pemanahan harus berusaha
menemukan jalan itu. Ia adalah orang yang disegani oleh Sultan Pajang, sehingga
kemungkinan yang paling besar untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik
adalah Ki Gede Pemanahan. Mungkin Ki Gede Pemanahan dapat mencarikan gantinya
atau syarat-syarat lain yang dikehendaki oleh Sultan Pajang.”
Tetapi Ki Lurah Branjangan
tidak sampai hati mengatakannya kepada Raden Sutawijaya. Jika kelak ia sampai
di Mataram dan menghadap Ki Gede Pemanahan, maka ia akan menyampaikannya langsung
kepadanya.
Dalam pada itu maka Raden
Sutawijaya pun kemudian berdiri dan berjalan hilir-mudik. Kegelisahan yang
sangat nampak pada sikapnya. Sekali-sekali ia berhenti, seakan-akan ingin
mengatakan sesuatu. Namun kata-kata itu ditelannya kembali di kerongkongannya.
“Sebaiknya Raden
beristirahat,” berkata Ki Lurah Branjangan, “bahkan jika mungkin Raden tidur
sekejap untuk menyegarkan tubuh Raden. Biarlah para petugas berjaga-jaga
mengawasi keadaan. Aku kira, Alas Mentaok menjadi semakin aman setelah Panembahan
Agung tidak ada lagi. Jika anak buahnya yang masih berserakan masih saja
melakukan kegiatan, semata-mata terdorong oleh dendam atau barangkali sekedar
mencari makan. Tetapi mereka tidak lagi mempunyai pegangan yang terarah bagi
kegiatannya itu.”
Raden Sutawijaya yang gelisah
itu mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan mencoba, Paman. Jika Paman ingin
beristirahat, silahkanlah.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya, lalu katanya, “Baiklah, Raden. Aku akan mencoba untuk
tidur barang sejenak. Besok pagi kita memasuki kota Mataram yang sedang kita
bangun itu dengan tubuh yang segar.”
Tanpa menunggu jawaban
Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan pun kemudaan mencari tempat yang mapan untuk
membaringkan dirinya. Tanpa alas selain rerumputan yang kering.
Sutawijaya sendiri pun
kemudian duduk bersandar sebatang pohon. Meskipun sambil bersandar, namun ia
mencoba memejamkan matanya juga untuk melupakan kegelisahannya barang sejenak.
Tetapi rasa-rasanya terbayang
wajah gadis Kalinyamat yang muram dan basah oleh air mata, wajah Ayahanda Ki
Gede Pemanahan yang penuh penyesalan dan wajah Ayahanda Sultan Pajang yang
merah darah karena marah.
Sekali-sekali terdengar Raden
Sutawijaya berdesah. Ayahanda Sultan Pajang adalah orang yang tidak terlawan.
Di dalam dirinya terkumpul beberapa puluh macam aji yang menurut orang-orang
yang mengenal dari dekat sejak masa mudanya memiliki kelebihannya
masing-masing. Bahkan beberapa orang berpendapat bahwa di seluruh Pajang tidak
ada orang yang menyimpan ilmu dan aji sebanyak yang dimiliki oleh Sultan
Pajang. Sejak ia masih kanak-kanak, ia sudah mengelilingi seluruh pulau Jawa
dan berguru hampir kepada setiap orang yang sakti, sehingga ia berhasil
mempelajari dan kemudian menguasai aji Lebur Seketi, Welut Putih, Tameng Waja,
Sepi Angin, Lembu Sekilan, dan masih banyak lagi. Itulah sebabnya maka ketika
Arya Penangsang ingin menyingkirkan saudara-saudara sepupunya untuk menguasai
tahta Demak, termasuk Adipati Pajang pada waktu itu, meskipun utusannya
berhasil memasuki bilik tidur Adipati Pajang, namun senjatanya sama sekali
tidak melukainya. Berkali-kali orang-orang yang sudah berada di dalam biliknya
selagi Adipati Pajang masih tertidur nyenyak itu berusaha membunuhnya. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika Adipati Pajang itu
menyingkapkan selimutnya dan menyentuh utusan itu, maka utusan-utusan itu pun
menjadi pingsan karenanya, sehingga keduanya dengan mudahnya dapat ditangkap,
dan kemudian disadap keterangannya.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Memang terlintas di dalam kepalanya, jika hal itu akan menjadi
dinding pemisah antara Pajang dan Mataram, maka apa boleh buat. Namun setiap
kali ia sadar bahwa Ayahanda Adipati Pajang yang kemudian mengangkat dirinya
menjadi Sultan Pajang itu adalah orang yang tidak terlawan, maka hatinya
menjadi berdebar-debar. Bukan karena dirinya sendiri, tetapi karena ia tentu
akan gagal membangun Mataram menjadi sebuah negeri. Dan kegagalannya itu akan
memberikan kepuasan kepada beberapa orang yang sejak semula tidak percaya bahwa
ia akan dapat membuka Alas Mentaok dan membuatnya menjadi suatu negeri.
“Tentu orang-orang itu pulalah
yang telah mengirimkan Daksina kepada Panembahan Agung untuk bergabung dengan
orang yang luar biasa itu,” berkata Sutawijaya di dalam dirinya sendiri.
Dan tiba-tiba saja hampir di
luar sadarnya ia memperbandingkan Sultan Pajang dengan Panembahan Agung.
“Ayahanda Sultan memiliki ilmu
yang lengkap. Yang kasat mata dan yang tidak kasat mata. Aku kira Ayahanda
Sultan Pajang masih berada di atas Panembahan Agung meskipun hanya selapis
tipis. Dan dengan demikian, apakah yang dapat aku lakukan jika Ayahanda Sultan
benar-benar akan mengambil tindakan.”
Sutawijaya justru semakin
bingung. Apalagi ia tahu pasti bahwa perempuan merupakan bagian dari nafas
kehidupan Sultan Pajang.
Rasa-rasanya pikiran Raden
Sutawijaya pun menjadi buntu. Ia tidak lagi mengetahui apa yang sebaiknya
dilakukan.
“Tetapi semuanya sudah
terlanjur,” tiba-tiba ia menggertakkan gigi. “Semisal orang yang menyeberangi
sungai, aku sudah terlanjur basah, sehingga aku tidak akan dapat ingkar lagi.”
Sutawijaya itu menjadi tegang
sejenak, lalu, “Aku harus segera menghadap Ayahanda Pemanahan. Apa pun yang
harus aku lakukan, kecuali menghadap Ayahanda Sultan. Aku baru akan menghadap
jika Mataram sudah menjadi sebuah negeri yang ramai dan dapat aku banggakan,
sehingga tidak akan ada orang yang menghinaku lagi.”
Tiba-tiba saja Raden
Sutawijaya yang sedang bingung itu berdiri tegak sambil menengadahkan dadanya.
Dengan lantang ia berteriak, “Kita berangkat sekarang. Kita lanjutkan
perjalanan. Kita akan memasuki gerbang kota.”
Suara Raden Sutawijaya itu
benar-benar mengejutkan setiap orang di dalam pasukannya. Bahkan Ki Lurah
Branjangan pun terbangun dengan dada yang berdebar-debar.
Sekali lagi mereka mendengar
Sutawijaya berkata, “Kita berkemas sekarang. Kita segera melanjutkan
perjalanan. Cepat. Siapa yang lambat, akan aku tinggalkan di sini.”
Perintah yang tidak
terduga-duga itu membuat para pengawal sejenak kebingungan. Tetapi mereka pun
segera bangkit berdiri dan dengan tergesa-gesa mengemasi diri mereka dan
kuda-kuda mereka.
Sutawijaya benar-benar
bersikap aneh malam itu. Dengan tergesa-gesa ia pun membenahi dirinya. Kemudian
berteriak, “Bawa kudaku kemari. Sekarang.”
“Raden,” Ki Lurah Branjangan
mendekatinya dan berkata dengan sareh, “apakah sebenarnya yang telah terjadi?”
“Tidak ada apa-apa. Tetapi
kita akan berjalan terus. Kita sudah berada dekat dengan gerbang kota. Apa
gunanya kita beristirahat di sini?”
“Bukankah pertanyaan yang nadanya
serupa itu sudah aku katakan sebelum Raden mengambil keputusan untuk berhenti
di sini.”
“Bohong. Kalian menghendaki
kita berhenti. Dan aku terpaksa memenuhi permintaan kalian. Ternyata sikap itu
adalah sikap yang bodoh.”
“Raden,” berkata Ki Lurah
Branjangan pula, “sebagai orang yang lebih tua, aku mengerti bahwa yang
sebenarnya bergejolak adalah dada Raden sendiri. Dan itu pun adalah persoalan
yang wajar sekali. Karena itu, cobalah Raden tenang sedikit. Aku tidak
berkeberatan seandainya kita melanjutkan perjalanan sekarang. Tetapi tentu
tidak tergesa-gesa. Biarlah para prajurit menyiapkan kuda mereka dan membenahi
pakaian dan peralatan yang kita bawa. Jika kita tergesa-gesa mungkin ada
beberapa macam barang yang tertinggal dan barangkali beberapa orang tawanan
akan kurang mendapat pengawasan.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Sikap Ki Lurah Branjangan yang tenang dan sareh, membuat hatinya
yang melonjak-lonjak itu menjadi agak tenang pula. Karena itu maka katanya,
“Baiklah, aku menunggu sejenak. Tetapi jangan menjadi malas dan berlama-lama
mengemasi diri.”
Ki Lurah Branjangar menarik
nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian mengemasi pakaian dan beberapa macam alat
yang dibawanya. Terutama senjata-senjatanya.
Beberapa saat kemudian, maka
para pengawal pun sudah siap. Para tawanan sudah dihitung dan dipersiapkan pula
untuk segera berangkat.
“Aku akan menghadap Ayahanda
Pemanahan malam ini,” gumam Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan tidak
menjawab. Sekilas dipandanginya wajah Raden Sutawijaya yang tegang. Namun ia
tahu pasti apakah sebenarnya yang bergejolak di dalam dadanya itu.
Sejenak kemudian maka
iring-iringan itu pun segera berangkat. Raden Sutawijaya memerintahkan beberapa
orang membawa obor dan berada di paling depan, di tengah-tengah iring-iringan
dan di belakang.
Di perjalanan tidak banyak
pengawal yang berbincang. Mereka masih terkantuk-kantuk di punggung kuda. Hanya
sekali-sekali mereka terkejut jika kuda yang ditumpanginya meloncati lubang dan
batu-batu padas di perjalanan.
“Apakah yang sebenarnya
terjadi?” bertanya utusan yang memanggil Sutawijaya itu kepada Ki Lurah
Branjangan yang berkuda beberapa langkah di belakang Raden Sutawijaya
Ki Lurah Branjangan memandangi
utusan itu sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil berdesis,
“Aku tidak mengerti.”
“Agaknya ada sesuatu yang
penting. Agaknya benar-benar berhubungan dengan desas-desus itu.”
“Desas-desus yang mana?”
“Setiap orang aku kira sudah
mendengar bahwa Raden Sutawijaya telah melakukan hubungan terlarang dengan seorang
putri istana yang berasal dari Kalinyamat.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Berita semacam itu memang mudah sekali tersebar. Apalagi
menyangkut seorang pemimpin yang disegani seperti Raden Sutawijaya itu.
“Apa kata Ki Gede Pemanahan?”
bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Aku tidak tahu, tetapi Ki
Gede Pemanahan agaknya sedang menekan perasaannya. Jika hal itu benar, mungkin
Ki Gede akan mengalami kejutan. Meskipun ia seorang Senapati yang pilih tanding
di medan perang, tetapi amat sulitlah bagi seseorang untuk memerangi perasaan
sendiri.”
Ki Lurah Branjangan hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi
tentang Raden Sutawijaya.
Demikianlah iring-iringan itu
maju terus meskipun tidak begitu cepat. Tetapi jarak yang mereka tempuh memang
sudah tidak begitu jauh lagi. Sebentar kemudian mereka pun sudah mendekati
gerbang kota yang baru dibangun itu.
Para penjaga gerbang melihat
obor yang semakin lama menjadi semakin dekat. Mereka tidak segera mengetahui siapakah
yang datang beriringan. Yang mereka ketahui adalah, bahwa ada utusan yang
menjemput Raden Sutawijaya ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun demikian, belum
pasti bahwa yang datang itu adalah Raden Sutawijaya dengan pasukannya.
Karena itu, maka pemimpin
peronda di pintu gerbang itu pun segera memerintahkan para pengawal yang
bertugas untuk bersiap. Yang sedang tidur pun dibangunkannya.
“Jika mereka itu hantu-hantu
di Alas Mentaok, atau penyamun dari Tambak Baya, maka kita harus menghalaunya,”
berkata pemimpin peronda itu.
“Mudah-mudahan bukan mereka,”
desis seorang pengawal yang masih terkantuk-kantuk.
“Justru karena sarangnya
mungkin telah diduduki oleh Raden Sutawijaya, maka mereka pun berkeliaran
sampai ke tempat ini,” gumam pengawal yang lain.
Para pengawal itu pun kemudian
mempersiapkan diri. Seorang di antara mereka telah berdiri di sisi kentongan
yang jika terpaksa dapat dipergunakannya untuk mengirimkan isyarat pada para
peronda di dalam kota Mataram yang sedang dibangun itu.
Obor itu merayap semakin
dekat. Namun para peronda masih belum dapat mengetahui siapakah mereka itu.
Namun ketika mereka melihat
sepasukan berkuda mendekati gerbang, maka mereka pun mulai yakin, bahwa yang
datang itu adalah benar-benar Raden Sutawijaya.
Demikianlah, maka para penjaga
pintu gerbang itu pun segera menyibak. Mereka benar-benar melihat seorang anak
muda yang menggenggam sebatang tombak pendek.
Namun agaknya wajah anak muda
itu tidak secerah biasanya. Di depan pintu gerbang ia sama sekali tidak
berpaling, dan tidak memberikan salam kepada para penjaga, selain sebuah
anggukan kecil yang kosong.
“Apakah yang sudah terjadi?”
para peronda itu bertanya-tanya di dalam hati.
Namun di dalam iring-iringan
itu mereka melihat beberapa orang yang tidak mereka kenal, dan bahkan para
penjaga itu melihat ciri-ciri mereka sebagai tawanan.
Ketika iring-iringan itu sudah
memasuki gerbang, maka para penjaga itu pun menjadi sibuk berbincang. Seorang
pengawal yang kurus seolah-olah melihat sendiri apa yang terjadi, dan berkata
lantang, “Raden Sutawijaya sudah menguasai lawannya. Yang ada di antara para
pengawal itu adalah para tawanan. Mereka adalah sisa-sisa dari pasukan lawan
yang terbunuh di peperangan dan menyerah.”
“Dari mana kau tahu?” bertanya
kawannya.
Pengawal yang kurus itu
termangu-mangu sejenak, lalu, “Tentu demikian yang sudah terjadi.”
“Kira-kira,” kawannya yang
lain memotong.
Pengawal yang kurus itu
memandangi kawannya sejenak. Namun kemudian ia tidak berkata apa pun lagi.
Dalam pada itu iring-iringan
itu pun langsung menuju ke jantung kota. Namun ketika mereka sampai di
alun-alun, maka sekali lagi Raden Sutawijaya dilanda oleh keragu-raguan. Di
seberang alun-alun itu adalah sebuah bangunan yang besar tempat tinggal
Ayahanda Ki Gede pemanahan yang kemudian juga sering disebut Ki Gede Mataram
setelah Mataram nampak akan menjadi sebuah negeri yang ramai.
“Apakah Raden akan langsung
menghadap?” bertanya Ki Lurah Branjangan kepada Sutawijaya.
“Yang manakah yang baik
menurut pertimbangan Paman?”
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu sejenak. Lalu katanya kemudian, “Menurut pertimbanganku
sebaiknya Raden menunggu sampai besok.”
“Tetapi kenapa para pengawal
agaknya mengeluh ketika kita berhenti di luar pintu gerbang?”
“Raden,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “jika kita sejak semula langsung masuk ke pintu gerbang, kita
sampai di alun-alun ini sebelum jauh malam seperti sekarang, bahkan menjelang
fajar. Kita masih sempat menghadap, dan membagi pekerjaan bagi para pengawal.
Yang lain dapat beristirahat di barak-barak dan bergantian menjaga tawanan.
Tidak di pinggir hutan.”
“Kita adalah pengawal Tanah
Mataram, yang tidak ubahnya seperti prajurit-prajurit Pajang. Apa salahnya kita
berada di pinggir hutan di malam hari?”
“Tentu, Raden. Kita dapat
berada di segala tempat. Tetapi jika tidak ada kemungkinan lain,” berkata Ki
Lurah Branjangan kemudian. “Tetapi baiklah aku tidak menyalahkan siapa pun
juga. Tetapi aku mengerti kegelisahan hati Raden. Sebaiknya Raden tidak membawa
pasukan seluruhnya untuk menghadap. Raden dapat menyerahkan kepada para
pimpinan untuk mengatur anak buahnya dan para tawanan itu. Sedang Raden sendiri
dapat beristirahat sejenak sambil menunggu fajar di tempat yang lebih baik dari
rerumputan kering itu. Terserahlah kepada Raden siapakah yang harus menyertai
Raden menghadap ayahanda besok. Mungkin aku, mungkin beberapa orang lain lagi.”
Raden Sutawijaya terdiam
sejenak. Rasa-rasanya hatinya masih saja mendidih karenanya. Namun kemudian ia
berkata, “Paman, suruhlah para pengawal beristirahat. Jagalah tawanan itu
sebaik-baiknya. Aku akan menghadap ayahanda besok. Sendiri.”
“Sendiri?”
“Ya. Sendiri.”
Ki Lurah Branjangan menjadi
termangu-mangu, Sutawijaya adalah seorang anak muda. Darahnya masih terlampau
cepat menjadi panas. Karena itu, jika ia berhadapan sendiri dengan ayahnya
dalam keadaan seperti itu, mungkin akan dapat timbul salah paham padanya.
Karena itu maka Ki Lurah itu pun berkata, “Raden, apakah Raden tidak memerlukan
seorang saksi yang dapat ikut serta melaporkan peristiwa-peristiwa yang mengerikan
di dalam perjalanan Raden. Dengan demikian maka kesaksian itu akan dapat
mengurangi beban Raden.”
“Jadi maksud Paman, kemenangan
kita bersama para pengawal dari Menoreh itu akan aku pergunakan untuk
memperkecil kesalahanku dalam persoalan gadis Kalinyamat itu?” bertanya
Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan menjadi
ragu-ragu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk lemah sambil menjawab,
“Demikianlah apabila mungkin, Raden.”
“Tidak. Aku tidak akan
melakukan tukar tambah seperti itu. Biarlah aku menerima hukumanku lebih dahulu
sebelum aku melaporkan tentang hasil perburuan kita bersama pengawal dari
Menoreh.”
Ki Lurah Branjangan tidak
dapat berbuat lain. Namun dengan demikian ia menjadi semakin cemas. Agaknya
Sutawijaya akan mengakui segala kesalahannya dengan dada tengadah. Ia akan
menghadapi segala akibat dari tindakannya itu. Tetapi ia tidak akan bersedia
datang menghadap Sultan Pajang. Bukan karena ia tidak berani
mempertanggung-jawabkan perbuatannya dan menerima hukumannya, tetapi justru ia
tidak mau menjadi bahan tertawaan para Senapati di Pajang yang sejak semula
sudah tidak percaya bahwa Alas Mentaok akan dapat dibuka oleh Ki Gede Pemanahan
yang juga disebut Ki Gede Mataram bersama anaknya Raden Sutawijaya.
Sekilas terbayang di
angan-angan Ki Lurah Branjangan, seorang senapati muda yang berada di antara
Pajang dan Mataram. Senapati yang namanya tidak dapat dikesampingkan. Jika
jatuh perintah dari Sultan Pajang untuk menggempur Mataram, maka Untara tentu
tidak akan menunggu bantuan kekuatan dari para adipati di pesisir mana pun
juga. Kekuatan Untara sendiri dengan prajurit yang berada di Pajang, di bawah
pimpinan para senapati yang membenci Raden Sutawijaya beserta ayahandanya Ki
Gede Pemanahan, yang iri hati dan yang mempunyai keinginan untuk memiliki
sendiri Tanah yang sudah ternyata akan menjadi sebuah negeri yang subur ini,
sudah terlalu besar bagi Mataram.
Dengan demikian, maka yang
akan disebut oleh Raden Sutawijaya mempertanggung-jawabkan segala kesalahannya
itu adalah ambaguguk-akuta-waton. Ia akan bersikap dan menghadapi akibat dari
sikapnya itu. Kasar atau halus.
Sebagai orang yang telah
mempunyai pengalaman yang luas dan umur yang sudah cukup panjang, maka Ki Lurah
Branjangan kemudian memberanikan diri untuk berpesan, “Raden, sebaiknya Raden
bersikap dewasa menghadapi persoalan orang-orang dewasa. Raden tidak boleh
dibayangi oleh sikap seorang anak muda menghadapi tantangan. Raden akan
menghadap ayahanda sendiri. Dan karena itu, Raden harus menyiapkan bekal
secukupnya agar Raden dapat disebut sebagai seorang anak yang baik di dalam
segala persoalan. Anak yang baik adalah anak yang menghormati orang tuanya di
dalam segala bentuk.”
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Dalam sekali. Di luar sadarnya anak muda itu mengusap dadanya
sambil berkata, “Baiklah, Paman. Aku akan mendengarkan pesan Paman semuanya.
Aku akan menghadap sebagai seorang anak menghadap ayahandanya.”
“Apakah Raden dapat bersikap
demikian pula kepada Ayahanda Sultan Pajang?”
Raden Sutawijaya memandang Ki
Lurah Branjangan dengan tajamnya. Namun kemudian ia menundukkan kepalanya tanpa
menjawab sepatah kata pun.
Ki Lurah Branjangan pun tidak
mendesaknya. Ia sadar bahwa Raden Sutawijaya memang tidak dapat menjawab saat
itu. Nalarnya dan perasaannya masih belum dapat sejalan. Sehingga dengan
demikian maka Ki Lurah Branjangan pun terdiam untuk beberapa saat.
Ki Lurah Branjangan itu
mengangkat wajahnya ketika terdengar perintah Raden Sutawijaya perlahan-lahan,
“Paman, biarlah para pemimpin kelompok mengurus kelompoknya masing-masing. Dan
serahkan para tawanan kepada yang bertugas. Beri kesempatan mereka
beristirahat. Aku besok akan menghadap sendiri. Tetapi para prajurit harus
bersiap di alun-alun agar pada saatnya aku dapat melaporkan perjalanan kita
bersama mereka semuanya.”
“Baiklah, Raden.”
“Sekarang, aku pun akan
beristirahat.”
“Kemana Raden akan
beristirahat? Apakah Raden akan kembali kepada ayahanda malam ini?”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak, lalu, “Tidak. Di mana pun aku dapat beristirahat.
Tinggalkan aku di sini sendiri.”
“Sendiri?”
“Ya. Sendiri.”
“Itu tidak mungkin, Raden.
Raden harus disertai beberapa orang pengawal yang akan mengawasi keadaan.”
“Tinggalkan aku sendiri.”
Ki Lurah Branjangan menjadi
bingung. Namun sebelum ia dapat berbuat sesuatu, justru Raden Sutawijaya sudah
memacu kudanya menembus gelapnya malam ke arah yang tidak diketahui.
Ki Lurah Branjangan pun dengan
sigapnya melecut kudanya. Tetapi ternyata kelambatan beberapa kejap itu sudah
sangat membingungkan. Justru karena jalan yang bercabang-cabang di dalam kota.
Hanya dalam beberapa saat yang
pendek, Ki Lurah Branjangan telah kehilangan Raden Sutawijaya. Jika ia berada
di bulak yang panjang, mungkin ia sempat menyusul, atau setidak-tidaknya dapat
mengikutinya. Tetapi jalan di sekitar alun-alun ini benar-benar membuatnya
bingung dan kehilangan jejak. Apalagi di malam hari.
Karena itu, maka Ki Lurah
Branjangan pun segera kembali kepasukannya dengan wajah yang tegang. Ketika
beberapa orang pemimpin kelompok mendapatkannya dan bertanya tentang Raden
Sutawijaya, muka Ki Lurah Branjangan itu hanya menggeleng sambil menjawab, “Aku
tidak tahu, apakah yang merisaukannya.”
Namun ternyata bahwa cerita
tentang gadis Kalinyamat itu telah merambat ke setiap telinga. Dan setiap
pengawal pun berpendapat, bahwa Raden Sutawijaya telah dirisaukan oleh keadaan
gadis itu. Apalagi gadis itu adalah gadis simpanan Ayahanda Sultan Pajang.
Dalam kegelisahan itu, maka Ki
Lurah Branjangan pun memerintahkan agar pasukan itu beristirahat ke barak
mereka. Para tawanan harus mendapat pengawalan dan pengamatan secukupnya.
“Lalu bagaimana dengan Raden
Sutawijaya?” bertanya utusan Ki Gede Pemanahan yang memanggil Raden Sutawijaya
itu.
“Biar sajalah ia melepaskan
kerisauan hatinya. Tetapi aku yakin bahwa ia akan datang besok pagi menghadap
Ayahanda Ki Gede Pemanahan tanpa diketahui orang lain. Bagi Raden Sutawijaya
persoalan yang akan dibicarakan dengan ayahandanya adalah persoalan yang sangat
penting.”
Utusan itu tidak mempersoalkan
lagi. Meskipun ia menjadi cemas bahwa Raden Sutawijaya tidak akan memenuhi
panggilan Ki Gede dan karena kegelisahan dan perasaan bersalah ia pergi tanpa
tujuan. Namun agaknya Raden Sutawijaya yang jantan itu tidak akan lari dari
pertanggungan jawab bagaimana pun bentuknya.
Demikianlah maka para pengawal
yang letih itu pun segera pergi beristirahat selain mereka yang bertugas,
betapa pun risaunya hati mereka melihat sikap Raden Sutawijaya. Tetapi sebagian
besar dari mereka dapat mengerti, bahwa anak muda yang sedang kalut itu mencari
ketenangan di sepinya malam tanpa orang lain, meskipun kecemasan masih saja
membayangi perasaan mereka, jika saja Raden Sutawijaya tidak sempat berpikir
jauh.
Dalam pada itu Sutawijaya yang
sedang berpacu itu pun tidak menghiraukan apa pun lagi. Dilecutnya kudanya
sehingga berlari semakin cepat, berderap di atas jalan berbatu-batu. Ia sadar
ketika ia melihat pintu gerbang kota sudah ada di hadapannya. Tetapi ia tidak
berhenti. Ketika beberapa orang penjaga mencoba menghentikannya, kudanya yang
bagaikan gila itu berlari terus sehingga para penjaga itu pun berloncatan
menepi.
“Siapa orang gila itu,” desis
seseorang.
Pemimpin penjaga itu pun
kemudian berdesis, “Aku tidak akan mengejarnya. Bukankah ia Raden Sutawijaya?”
Yang lain berpikir sejenak,
lalu, “Ya. Raden Sutawijaya.”
“Kenapa ia memacu kudanya?”
“Aku tidak tahu. Tetapi ia
adalah pemimpin yang terpercaya sehingga kita tidak perlu mencurigainya sama
sekali.”
Para pengawal itu pun
mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja dicengkam oleh perasaan heran bahwa
Raden Sutawijaya memacu kudanya secepat angin keluar kota di saat yang aneh
pula.
“He, bukankah Raden Sutawijaya
pergi ke Menoreh?” tiba-tiba seorang penjaga bertanya.
“Baru saja pasukannya memasuki
kota lewat gerbang utara. Seorang penghubung telah memberitahukan hal itu
kepadaku,” sahut pemimpin penjaga. “Tetapi bahwa ia berlari lewat pintu gerbang
ini ke luar kota, aku tidak tahu apakah maksudnya.”
Para penjaga itu pun terdiam.
Mereka merenungi sikap yang aneh dari Raden Sutawijaya. Tetapi akhirnya mereka
menjadi jemu, dan membiarkan saja apa yang akan terjadi, karena mereka tidak
akan dapat menebaknya dengan tepat.
Dalam pada itu kuda Raden
Sutawijaya pun berpacu di tengah-tengah bulak yang panjang, menembus gelapnya
sisa malam. Nafasnya terasa mengalir berdesakan seperti gejolak perasaannya
yang bagaikan merekahkan dadanya.
Namun akhirnya Raden
Sutawijaya itu menarik kekang kudanya. Perlahan-lahan kudanya itu pun
memperlambat derap kakinya, sehingga akhirnya berhenti sama sekali di
tengah-tengah bulak yang kelam.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menghirup udara yang segar sebanyak-banyaknya
setelah ia berpacu di atas punggung kudanya.
Sejenak Raden Sutawijaya duduk
diam di atas punggung kuda. Dipandanginya keredip kunang-kunang yang hinggap
bertaburan di daun padi, seperti mutiara yang di sebar di atas rerumputan
hijau.
Namun kemudian terasa dadanya
menjadi sesak. Persoalan yang dihadapinya seakan-akan tidak akan dapat terpecahkan.
Ia berdiri pada dua ujung yang bertentangan. Sebagai seorang ksatria ia harus
mengakui dan bertanggung jawab atas gadis Kalinyamat yang sudah membuat
hubungan gelap dengan dirinya. Jika ia harus digantung, maka ia tidak boleh
ingkar. Tetapi sebagai ksatria pula ia sudah bersumpah, bahwa ia akan membuat
Mataram menjadi sebuah negeri yang ramai. Ia tidak akan menginjak tangga Istana
Pajang sebelum ia dapat menengadahkan dadanya dan berkata, bahwa Mataram
sekarang sudah menjadi sebuah negeri seramai Pati.
Raden Sutawijaya berdesah
pendek sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Angin malam yang lembab
bertiup perlahan-lahan. Namun hati Raden Sutawijaya yang gemuruh bagaikan
prahara yang menyapu belukar.
Perlahan-lahan Raden
Sutawijaya turun dari kudanya. Sejenak ia berdiri termangu-mangu. Namun
jantungnya terasa semakin cepat berdetak.
Dengan lemahnya Raden
Sutawijaya duduk di atas sebuah batu di pinggir parit yang mengalir gemericik.
Diamatinya arus air bening yang hanya setinggi mata kaki itu.
Namun justru terbayang di
dunia angan-angannya, seraut wajah seakan-akan bercermin di dalam air yang
jernih itu. Wajah seorang gadis yang sebenarnya sudah bukan gadis lagi. Apalagi
ia sudah mulai mengandung.
Sutawijaya mulai membayangkan
bagaimana hal itu telah terjadi. Ketika ayahanda angkatnya, Sultan di Pajang
menghadap kakandanya Ratu Kalinyamat, maka jatuhlah janji, jika seseorang dapat
membunuh Arya Penangsang yang telah membunuh suami Ratu Kalinyamat itu, maka ia
akan mendapatkan dua orang gadis cantik.
“Tentu Ratu Kalinyamat tahu
benar sifat Ayahanda Sultan Pajang,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya.
Dan yang sebenarnya membunuh
Arya Penangsang adalah dirinya. Raden Sutawijaya. Tetapi kepada Sultan Pajang
dikatakan bahwa pembunuhnya adalah Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, agar janji
Sultan Pajang atas mereka yang berhasil membunuh Arya Penangsang, hadiah tanah
Pati dan Alas Mentaok diserahkan.
“Kedua gadis cantik itu tidak
pernah disebut sama sekali oleh Ayahanda Sultan Pajang,” berkata Raden
Sutawijaya di dalam dirinya pula.
Dan terbayang pula, betapa
akhirnya justru Ki Penjawi dahululah yang menerima Tanah Pati sebagai hadiah.
Sedang ayahandanya sendiri, Ki Gede Pemanahan tidak segera menerima bagiannya
yang masih berupa hutan belukar.
“Aku yang membunuh Pamanda
Arya Penangsang. Tetapi hadiah yang diterima Ayahanda Ki Gede Pemanahan adalah
yang paling jelek dan lambat, yang harus didesak dengan sikap yang agak keras,”
desis Sutawijaya lambat. “Jadi apakah aku terlalu bersalah jika aku mengambil
hadiah yang sebenarnya dijanjikan oleh Ratu Kalinyamat? Salah seorang dari
kedua gadis itu?”
Tetapi kepala Raden Sulawijaya
pun tertunduk lesu. Memang ia telah melakukan kesalahan. Kedua gadis itu sudah
diambil oleh ayahandanya Sultan Pajang. Dan sebagai gantinya Sultan Pajang
telah menghadiahkan Tanah Pati dan Alas Mentaok.
Sekali lagi membayang di
angan-angannya, bagaimana ayahandanya melakukan suatu cara untuk menangani
usaha membinasakan Arya Penangsang itu.
“Tentu Adipati Pajang akan
turun ke medan,” berkata Ki Juru Martani pada waktu itu, “ia adalah orang yang
sakti tanpa tanding. Mungkin ia akan berhasil mengalahkan Arya Penangsang di
medan. Tetapi usahakan bahwa ada orang lain yang diperintahkannya dengan hadiah
tanah yang cukup baik.”
Ternyata Ki Pemanahan berhasil
menahan Adipati Pajang agar ia tidak turun sendiri ke gelanggang.
“Ampun, Tuanku,” sembah Ki
Gede Pemanahan, “jika para panglima sudah tidak sanggup lagi melakukan, barulah
Tuanku melakukannya sendiri. Tetapi sepanjang masih ada orang lain yang
sanggup, biarlah orang itu melakukannya.”
Sultan Pajang yang pada waktu
itu masih seorang adipati menyetujuinya. Bahkan katanya, “Jika ada yang sanggup
membunuhnya, maka aku akan memberikan hadiah tanah Pati dan Alas Mentaok.
Tetapi jika tidak ada yang sanggup melakukannya, maka aku sendiri akan turun ke
medan.”
Seperti yang dikehendaki oleh
Ki Juru Martani, maka ayahandanya Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi
menyanggupinya di paseban.
“Ternyata perhitungan Ki Juru
Martani itu benar,” gumam Raden Sutawijaya. “Ki Juru Martani mengharap aku
ingin ikut ke medan bersama ayahanda. Dan aku pun telah memaksa untuk pergi.
Dan seperti yang diharapkan oleh Ki Juru Martani pula, maka Ayahanda Sultan
tidak sampai hati melepaskan aku, anak angkatnya yang dikasihinya tanpa
memberikan sipat kandel. Dan ternyata bahwa Ayahanda Sultan Pajang memberikan
Kiai Pleret, tombak pusaka yang tiada duanya itu kepadaku.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Memang tombak Kiai Pleret itulah yang diharapkan oleh Ki Juru
Martani. Dan ternyata dengan tombak itu pulalah ia berhasil melukai Arya
Penangsang karena kuda Arya Penangsang tiba-tiba menjadi binal tanpa dapat
dikendalikan lagi.
Raden Sutawijaya yang sedang
diamuk oleh lamunan itu pun terkejut ketika ia mendengar ayam jantan berkokok
di kejauhan. Ketika ia mengangkat wajahnya, dilihatnya cahaya merah sudah
nampak di langit. Fajar.
Sekilas terbayang darah yang
memancar dari lambung Arya Penangsang. Darah yang merah melampaui merahnya
fajar di langit. Ususnya yang mencuat ke luar, ditahannya dengan tangannya,
kemudian disangkutkannya di keris pusakanya. Tetapi malang, justru ketika Arya
Penangsang itu menarik keris pusakanya yang sakti tiada tandingnya itu, ususnya
sendiri terpotong, dan Arya Penangsang itu pun tewas seketika.
“Bukan saja karena keris itu,”
desis Sutawijaya, “tetapi luka di lambung oleh pusaka Kiai Pleret itu pun
merupakan luka yang tidak dapat disembuhkan lagi. Kiai Pleret adalah pusaka
yang tiada bandingnya, ditambah pula oleh luka karena keris pusakanya sendiri,
Setan Kober.”
Tetapi sekali lagi Sutawijaya
terbanting pada kegelisahan yang tidak ada bandingnya pula. Bagaimanakah
keputusan ayahandanya Ki Gede Pemanahan tentang gadis Kalinyamat itu.
Raden Sutawijaya menggeram
sambil menggeretakkan giginya. Cahaya merah di langit bagaikan warna wajah
Ayahanda Ki Gede Pemanahan yang menjadi sangat marah.
“Apa boleh buat. Aku harus
menghadap. Apa pun yang akan terjadi.”
Untuk beberapa lamanya Raden
Sutawijaya masih berada di tempatnya. Sekali-sekali kepalanya ditengadahkan
memandang warna langit yang seakan-akan menjadi semakin tajam.
Namun dalam pada itu, Raden
Sutawijaya terkejut ketika terdengar derap kuda menuju ke arahnya. Dengan gerak
naluriah ia pun meloncat berdiri. Di kejauhan dilihatnya bayangan di dalam
samarnya sinar fajar, seekor kuda mendekatinya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak
segera dapat mengetahui siapakah penunggangnya.
Baru ketika kuda itu menjadi
semakin dekat, Raden Sutawijaya mengenalnya. Ki Lurah Branjangan.
“Darimana Ki Lurah mengetahui
bahwa aku ada di sini?” bertanya Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian meloncat turun. Perlahan-lahan ia melangkah mendekati Raden Sutawijaya
sambil berkata, “Raden. Penjaga gerbang itu menjadi bingung. Salah seorang dari
mereka memerlukan datang kepada induk pasukan yang memasuki kota ini dari
gerbang utara.”
“Apa katanya?” bertanya Raden
Sutawijaya.
“Para penjaga itu menjadi
bingung. Baru saja mereka mendengar bahwa pasukan ini memasuki kota lewat
gerbang utara. Namun mereka pun segera melihat Raden keluar lagi lewat gerbang
ini. Karena itu mereka memerlukan mengirimkan seorang pengawal untuk menanyakan
kepada kami, karena mereka selalu dikejar oleh teka-teki tentang Raden.”
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Dengan demikian Paman menemukan jejakku dan menyusulku
kemari?”
“Begitulah,” Ki Lurah
Branjangan berhenti sejenak, lalu, “sebaiknya Raden kembali masuk ke kota dan
bergabung dengan induk pasukan yang kini sedang beristirahat.”
Raden Sutawijaya tidak segera
menyahut. Tetapi ditatapnya warna merah di langit.
“Fajar telah mewarnai langit,”
berkata Ki Lurah Branjangan, “apakah Raden tidak segera kembali sebelum langit
menjadi terang dan jalan-jalan penuh dengan orang-orang yang akan pergi ke
pasar untuk menjual hasil bumi mereka? Jika kita kembali saat ini pun, di
perjalanan kita akan bertemu dengan para pedagang dan orang-orang yang akan
pergi ke pasar itu.”
Raden Sutawijaya merenung
sejenak.
“Silahkan, Raden.”
“Baiklah, Paman,” desis Raden
Sutawijaya kemudian, “aku akan kembali.”
“Marilah. Mumpung masih
gelap.”
Raden Sutawijaya masih saja
ragu-ragu. Namun ia pun kemudian pergi juga ke kudanya.
Keduanya pun kemudian berkuda
menuju kembali ke kota. Tetapi Raden Sutawijaya tidak lagi berpacu seperti
dikejar hantu.
Seperti yang dikatakan oleh Ki
Lurah Branjangan, maka di perjalanan mereka telah bertemu dengan orang-orang
yang pergi ke pasar. Beberapa orang perempuan masih membawa obor di tangan
sedang di beberapa tikungan, orang-orang mulai berkerumun memperjual-belikan
dagangan mereka.
Sekali-sekali mereka bertemu
dengan pedati yang penuh dengan muatan menuju ke kota. Muatan yang akan dibawa
ke pasar.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam di dalam sejuknya udara pagi. Ia sempat melihat sendiri bahwa
sebenarnya Mataram memang sudah mulai menjadi ramai.
“Tetapi masih belum menjadi
sebuah negeri yang dapat dibanggakan di paseban Pajang. Beberapa orang pemimpin
dan senapati tentu masih mencibirkan bibirnya dan mengejek bahwa aku telah menelan
ludah kembali,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hati.
Tetapi Raden Sutawijaya pun
sadar sepenuhnya bahwa tidak ada jalan lain kecuali menghadap Ayahanda Ki Gede
Pemanahan.
Meskipun demikian Sutawijaya
tidak segera pergi menghadap. Ia masih harus menunggu matahari terbit dan
langit menjadi terang. Karena itu, maka ia pun pergi bersama Ki Lurah
Branjangan ke tempat para pengawalnya beristirahat.
Kedatangan Raden Sutawijaya di
antara para pengawalnya justru menumbuhkan ketegangan. Tidak ada seorang pun
yang berani memandangnya, apalagi menegurnya. Mereka yang melihat Raden
Sutawijaya mendekatinya, segera menundukkan kepalanya.
Raden Sutawijaya sendiri tidak
berkata sepatah kata pun kepada siapa pun juga. Ia hanya duduk saja menyendiri
menunggu cahaya matahari yang semakin terang di langit.
Rasa-rasanya hari lambat
sekali terbit. Dalam keadaan yang gelisah, ia mengharap agar ia segera dapat
bertemu dengan ayahanda, apa pun yang akan terjadi atasnya.
Akhirnya saat yang ditunggunya
itu pun datang. Matahari sudah memanjat semakin tinggi, sehingga datanglah saat
baginya untuk menghadap ayahanda.
Betapa pun hatinya berdebaran,
tetapi Sutawijaya mempersiapkan diri untuk menghadap. Dibenahinya pakaiannya,
agar ia cukup pantas menghadap ayahandanya meskipun ia baru saja pulang dari
peperangan.
Keberangkatan Raden Sutawijaya
menghadap ayahandanya di ikuti oleh pandangan mata yang penuh dengan getaran
pertanyaan di dalam dada Ki Lurah Branjangan. Apakah yang kira-kira akan
terjadi dengan anak yang masih muda itu.
Tetapi seperti yang diharapkan
oleh Raden Sutawijaya bahwa ia akan menghadap ayahanda seorang diri. Tanpa
seorang pun yang boleh mengikutinya.
“Mungkin Raden Sutawijaya
merasa malu persoalannya itu didengar oleh orang lain,” berkata Ki Lurah
Branjangan kepada diri sendiri.
Dalam pada itu dengan dada
yang berdebar-debar Raden Sutawijaya menyusuri jalan kota yang mulai ramai itu
menuju ke rumahnya. Rumah yang dibangun oleh ayahandanya dalam kedudukannya
sebagai seorang cikal bakal dari Tanah Mataram yang besar, yang diharapkannya
dapat menjadi negeri yang ramai.
Ada sesuatu yang serasa
menahan Raden Sutawijaya untuk memasuki halaman rumahnya yang luas lewat regol
depan. Dengan hati yang berdebar-debar ia memasuki regol samping dan langsung
menuju ke butulan.
Ketika seorang pengawal
melihatnya, maka dengan hati-hati ia mendekatinya sambil membungkuk-bungkukkan
punggungnya. Agaknya telah terasa oleh pengawal itu suasana yang lain dari
biasanya.
“Ayahanda Raden sudah menunggu
di pringgitan,” desis pengawal itu.
Raden Sutawijaya memandanginya
sejenak. Lalu, “Dari mana kau tahu?”
“Aku baru saja dari halaman
depan. Para pengawal di regol depan siap menunggu kedatangan Raden. Mereka
semuanya mengetahui bahwa Ki Gede Mataram berada di pringgitan sejak pagi-pagi
benar. Bahkan semalam sampai jauh malam ayahanda menunggu Raden di pringgitan
itu juga.”
Terasa sesuatu berdesir di
dada Raden Sutawijaya. Agaknya persoalannya itu benar-benar telah membuat
ayahandanya sangat berprihatin. Dengan demikian maka dadanya pun menjadi
semakin berdebar-debar.
“Silahkan Raden segera
menghadap. Bukankah pasukan yang Raden bawa telah memasuki regol utara tadi
malam.”
“Dari mana kau tahu?”
“Laporan itu sampai kepada
kami di sini. Bahkan semua penjaga gerbang yang ada di kota ini.”
Dada Sutawijaya menjadi
semakin berdebaran. Kemudian diserahkannya kudanya kepada pengawal itu sambil
berkata, “Aku akan segera menghadap.”
Raden Sutawijaya mengatur
dirinya sejenak. Kemudian ia pun memaksa kakinya untuk melangkah lewat
longkangan samping menuju ke pendapa.
Dengan dada yang serasa
berdentangan Raden Sutawijaya naik ke pendapa. Ayahandanya, Ki Gede Pemanahan
seperti yang dikatakan oleh pengawal itu, memang berada di pringgitan. Duduk di
atas tikar pandan yang putih menghadap semangkuk minuman.
Rasa-rasanya dada Raden
Sutawijaya akan meledak melihat wajah ayahanda yang muram. Jauh berbeda dengan
wajah ayahanda ketika melepaskannya pergi mencari orang-orang bersenjata yang
mengganggu perkembangan wilayahnya itu.
Beberapa orang pengawal di
regol depan melihat Raden Sutawijaya yang justru datang lewat longkangan
samping. Tetapi mereka tidak berbuat apa-apa. Mereka justru memandang saja dari
kejauhan.
Ketika Raden Sutawijaya berada
di atas tangga, ayahandanya sudah melihatnya. Tetapi ia masih tetap berdiam
diri menunggu Sutawijaya mendekatinya.
Dengan ragu-ragu Sutawijaya
mendekat. Kemudian duduk di hadapan ayahandanya yang memandanginya dengan
tatapan mata sayu.
“Kau sudah datang semalam
Sutawijaya?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Ayahanda,” jawab Raden
Sutawijaya dengan dada yang bergejolak semakin cepat.
“Kau tidak langsung pulang.”
“Sudah terlampau malam,
Ayahanda. Aku takut mengejutkan Ayahanda.”
“Ketika aku mendengar laporan
itu, aku menunggu kau di sini. Tetapi kemudian aku mendengar laporan berikutnya
bahwa kau keluar lagi lewat gerbang yang lain.”
Raden Sutawijaya menjadi
semakin bingung. Justru karena itu ia tidak menjawab.
“Aku akan berbicara dengan kau
tentang masalah yang penting. Tetapi tentu tidak sekarang. Kau tentu masih
lelah. Nanti setelah kau membersihkan diri, makan dan minum, beristirahat
sebentar, kita akan berbicara dengan tenang.”
Sesuatu melonjak di dada Raden
Sutawijaya. Ia ingin mendengar keputusan ayahandanya segera. Tetapi ia tidak
berani mendesaknya.
“Aku ingin mendengar ceritamu
tentang tugas yang kau lakukan. Apakah kau berhasil?”
Raden Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Kami berhasil, Ayah.”
“Kau mendapat bantuan dari Ki
Gede Menoreh?”
“Ya, Ayah. Dan bantuan dari
seorang yang menyebut dirinya Ki Waskita, yang juga ternama Jaka Raras. Bantuan
yang menentukan.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Apakah kau temukan pula orang
bercambuk itu?”
“Ya, Ayah. Mereka berada pula
di Menoreh.”
Ki Gede masih mengangguk-angguk.
Lalu, “Sekarang pergilah membersihkan dirimu. Aku juga belum makan. Kita akan
makan bersama-sama di ruang dalam. Kemudian kita akan berbincang sedikit.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak memandang ayahnya. Wajahnya tiba-tiba saja tampak
terlampau tua. Baru beberapa hari ia meninggalkannya. Namun di dalam beberapa
hari itu rasa-rasanya ayahnya sudah berubah menjadi bertahun-tahun lebih tua.
“Pergilah ke belakang,”
berkata Ki Gede Pemanahan. Meskipun suaranya terdengar sareh, tetapi terasa
bahwa di dalam dada orang tua itu bergejolak perasaan yang tertahan.
Sutawijaya pun kemudian
bergeser surut. Perlahan-lahan ia pergi meninggalkan ayahandanya duduk seorang
diri seperti sebelum ia datang.
Ketika ia turun di halaman,
sekali lagi ia memandang ayahandanya yang duduk sambil menundukkan kepalanya.
Terasa sesuatu bergetar di dadanya. Ayahnya telah benar-benar berubah.
Seakan-akan ayahnya bukan lagi seorang prajurit yang bahkan seorang panglima di
peperangan. Yang duduk di pendapa sambil menundukkan kepalanya itu seolah olah
seorang tua yang putus asa menghadapi penghidupan yang sulit. Yang tidak dapat
lagi berusaha mencari makan buat anak dan isterinya.
Sutawijaya termangu-mangu
sejenak. Namun ayahandanya sama sekali tidak berpaling ke arahnya.
Beberapa orang pengawal di
regol memandang Raden Sutawijaya dengan heran. Ki Gede Pemanahan menunggu
semalam di pendapa. Pagi-pagi benar Ki Gede sudah bangun dan duduk di pendapa
itu pula. Kini Raden Sutawijaya sudah datang. Tetapi baru beberapa saat sudah
disuruhnya meninggalkannya.
Para pengawal itu tidak
mendengar apa yang sudah dikatakan oleh Ki Gede Pemanahan dan apa yang akan
dilakukannya.
Sementara itu Sutawijaya pun
pergi ke belakang. Sambil termangu-mangu ia kemudian masuk lagi lewat pintu butulan
dan langsung ke biliknya mengambil ganti pakaian dan kemudian pergi ke pakiwan.
Baru setelah ia selesai
mengemasi dirinya, ia kembali menemui ayahnya yang masih duduk di pendapa.
Masih seperti tadi. Kepalanya tertunduk lesu, seakan-akan ayahandanya itu tidak
bergerak sama sekali.
Ketika Ki Gede Pemanahan
melihat Sutawrjaya naik lagi ke pendapa, maka katanya, “Nah kau sudah selesai.
Marilah kita makan bersama di ruang dalam.”
Sutawijaya tidak menjawab. Ia
mengikuti saja ketika ayahnya kemudian bangkit dan melangkah masuk ke ruang
dalam.
Ternyata makan mereka sudah
disediakan. Seorang pelayan yang menunggui makanan itu pun kemudian pergi ke
belakang setelah Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya duduk menghadapi
hidangan itu.
“Marilah kita makan
Sutawijaya,” ajak ayahnya.
Sutawijaya merasa semakin
asing di rumah dan di hadapan ayahnya sendiri. Biasanya ayahnya tidak begitu
kaku menghadapinya. Bahkan kadang-kadang ayahnya tidak begitu menghiraukan,
apakah ia sudah makan atau belum setelah ia sering bertugas keluar.
Seperti melayani seorang tamu,
Ki Gede Pemanahan mempersilahkan anaknya untuk menyenduk nasi dari ceting lebih
dahulu, kemudian mengambil lauk pauknya sebelum ia sendiri mengambilnya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “tidak banyak orang makan sambil berbicara. Tetapi jika dengan irama
yang baik aku kira tidak akan mengganggu. Karena itu, sambil makan, aku akan
bertanya tentang perjalananmu.”
Leher Sutawijaya terasa
menjadi semakin sempit sehingga ia agak susah menelan nasi yang sudah
dikunyahnya lumat-lumat. Namun ia mengangguk sambil menjawab, “Silahkan, Ayah.”
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak
segera bertanya. Ia menyuapi mulutnya kemudian mengunyahnya dan menelannya.
Sutawijaya termangu-mangu
beberapa saat. Namun ia pun kemudian makan sambil menundukkan kepalanya.
“Bagaimana dengan perjalananmu
itu,” tiba-tiba saja Ki Gede Pemanahan bertanya.
Sutawijaya mengangkat
wajahnya. Ia sudah menelan suap nasi yang terakhir. Jawabnya kemudian, “Kami
berhasil dengan baik, Ayah.”
“Nah, sekarang ceritakanlah.
Dari permulaan sampai kau datang lagi menghadap aku sekarang ini.”
Raden Sutawijaya menarik
nafas. Kemudian ia pun mulai menceritakan pengalamannya menusuk langsung ke
sarang orang-orang yang selama ini dianggapnya mengganggu perkembangan Mataram.
Dikatakannya pula tentang pasukan pengawal Tanah Perdkan Menoreh yang
membantunya karena kebetulan seorang tamu Menoreh telah hilang pula, Sutawijaya
juga menceriterakan tentang Daksina dan Ki Waskita yang memiliki ilmu yang
aneh.
Ki Gede Pemanahan yang sudah
selesai makan itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mendengarkan cerita
Raden Sutawijaya dengan asyiknya.
“Menarik sekali,” berkata Ki
Gede kemudian, “untunglah bahwa kau mendapat kawan orang-orang tua yang
berpengalaman. Jika kau tidak berhasil menghindarkan diri dari reruntuhan
kayu-kayuan dan bebatuan di tebing itu, tentu kau akan kehilangan
segala-galanya. Mataram pun kehilangan orang-orangnya yang terbaik, dan
gangguan berikutnya tentu akan memunahkan segala keberanian dan hasrat untuk
tetap membangun Tanah Mataram. Kemudian orang yang memiliki ilmu yang aneh itu
pun sangat berjasa kepada kita di Tanah yang sedang tumbuh ini. Mudah-mudahan
aku mendapat kesempatan bertemu dengan mereka. Dengan Ki Gede Menoreh, dengan
orang-orang bercambuk itu dan dengan Ki Waskita. Aku akan mengucapkan terima
kasih kepada mereka, karena langsung atau tidak langsung mereka telah ikut
menegakkan Mataram yang goyah ini. Dengan demikian jika kemudian ternyata ada
orang yang mengganggu perkembangan Mataram dengan alasan apa pun, maka orang
itu telah menyia-nyiakan segala pengorbanan dan bantuan yang pernah diterima
oleh Mataram.”
Dada Sutawijaya rasa-rasanya
menjadi sesak karenanya. Meskipun ayahnya tidak langsung menyebut namanya,
tetapi rasa-rasanya kata-kata ayahnya itu memang tertuju kepadanya.
Dengan demikian maka Raden
Sutawijaya pun hanya dapat menundukkan kepalanya saja.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “kau pun tidak boleh melupakan semuanya itu. Kau sendiri
mengalami dan melihat, bagaimana tebing jurang seperti yang kau ceriterakan itu
runtuh. Dan kau tahu sendiri, betapa orang yang bernama Panembahan Agung itu
dapat mempermainkan kalian, jika tidak ada orang yang bernama Ki Waskita itu.”
“Ya, Ayah. Aku tidak akan
melupakannya.”
“Bagus,” Ki Gede Pemanahan
mengangguk-angguk, “sekarang, jika kau sudah selesai makan, beristirahatlah.
Aku ingin berbicara sedikit tentang dirimu.”
Dada Raden Sutawijaya
berdebar-debar semakin cepat.
“Kau dapat mempergunakan
waktumu sekehendakmu. Jika kau lelah dan kantuk karena semalaman kau tidak
tidur, sekarang tidurlah. Aku harap setelah tidur sejenak, kau akan menjadi
segar, dan pembicaraan kita akan lancar.”
“Aku sama sekali tidak lelah,
Ayah. Jika Ayah ingin mengatakan sesuatu, aku sudah siap”
“Tidak, Sutawijaya,” berkata
Ki Gede Pemanahan, “kau perlu beristirahat agar hatimu menjadi bening dan kau
dapat mendengarkan penjelasanku sebaik-baiknya.”
“Aku tidak sedang bingung,
Ayah.”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Sebaiknya kau memang tidur. Menilik ceritamu, selama kau
berada di Menoreh, kau hampir tidak pernah tidur untuk beberapa malam. Semalam
kau tentu juga tidak tidur sama sekali. Karena itu, sekarang pergilah ke
bilikmu. Kau perlu tidur meskipun hanya sekejap.”
Sutawijaya tidak dapat
membantah lagi. Ia pun kemudian meninggalkan ayahnya dan pergi ke dalam
biliknya. Namun kegelisahan di hatinya rasa-rasa menyentak-nyentak dadanya,
sehingga ia sama sekali tidak dapat tidur. Jangankan tidur, berbaring pun
Sutawijaya tidak betah.
Dengan gelisah Sutawijaya
duduk di bibir pembaringannya. Sekali-sekali ia bergeser setapak. Kemudian
berdiri dan melangkah hilir mudik.
Ternyata ayahandanya
membiarkannya dalam kegelisahan itu. Rasa-rasanya sudah berhari-hari Sutawijaya
berada di dalam biliknya, namun ayahandanya masih belum juga memanggilnya dan
membawanya berbicara.
Namun Sutawijaya itu terkejut,
ketika pintu biliknya berderit. Dilihatnya Ki Gede Pemanahan sudah berdiri di
depan pintu yang kemudian terbuka.
“O,” desis Sutawijaya, “apakah
Ayahanda memanggil aku sekarang?”
Ki Gede Pemanahan tidak
menyahut. Tetapi ia melangkah saja masuk dan duduk di tepi pembaringan
Sutawijaya.
Sutawijaya termangu-mangu
sejenak. Sehingga ayahnya berkata, “Duduklah. Agaknya lebih baik berbicara di
sini daripada di ruang dalam.”
Rasa-rasanya dada Raden
Sutawijaya menjadi sesak. Jantungnya berhenti berdetak. Tetapi ia pun kemudian
duduk pula di sebelah ayahandanya.
Sejenak keduanya saling
berdiam diri, sehingga ruangan itu pun menjadi hening.
Yang terdengar kemudian adalah
tarikan nafas yang panjang dari Ki Gede Pemanahan. Agaknya ia pun merasa sulit
untuk memulai pembicaraannya dengan anak laki-lakinya.
Namun kemudian akhirnya
terucapkan juga pertanyaan, “Sutawijaya, apakah kau telah mendengar desas-desus
yang keras tentang dirimu sendiri?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Darahnya bagaikan benar-benar berhenti mengalir.
“Desas-desus yang semakin lama
menjadi semakin merata di seluruh Mataram?”
Sutawijaya tidak segera
menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru ia pun bertanya, “Dalam hubungannya
dengan apa, Ayah?”
Ki Gede Pemanahan memandang
wajah anaknya sejenak. Namun kemudian dilontarkannya tatapan matanya ke luar
pintu sambil berkata, “Aku kira kau tentu sudah mendengarnya. Hampir setiap
orang memperkatakannya.”
Sutawijaya menjadi semakin
gelisah.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “apa boleh buat. Aku memang harus mengatakannya kepadamu,
bahwa orang-orang Mataram selalu membicarakan tentang hubungan yang menurut
desas-desus itu terjadi antara kau dengan salah seorang gadis dari Kalinyamat
yang diperuntukkan bagi Kanjeng Sultan Pajang.”
Meskipun Raden Sutawijaya
sudah menduga bahwa persoalan itulah yang akan dibicarakan oleh ayahandanya,
namun pertanyaan itu rasa-rasanya telah meretakkan dadanya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
kemudian dengan nada yang dalam, “aku hanya sekedar bertanya. Jika memang tidak
terjadi hal itu, kau dapat menjawabnya bahwa hal itu tidak benar.”
Sutawijaya berusaha
menenangkan hatinya. Rasa-rasanya jika mungkin ia ingin menekan jantungnya yang
berdentangan semakin cepat dan keras.
“Aku ingin mendengar jawabanmu
Sutawijaya. Katakan dengan jujur apa yang sebenarnya telah terjadi. Jika kau
berkata sebenarnya, maka kita akan dapat bersama-sama mencari jalan yang paling
baik dan benar untuk mengatasi persoalan yang agaknya akan menjadi rumit.”
Sutawijaya masih berdiam diri.
Terasa dadanya bergolak semakin dahsyat. Meskipun sudah semalam suntuk ia
menganyam perasaan, namun ketika pertanyaan itu benar-benar dilontarkan, maka
ia pun masih juga menjadi sangat bingung.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “kau sudah bukan anak-anak lagi. Jika pada saat kau baru saja
kembali dari peperangan dan membawa hasil yang harus dihargai oleh Mataram,
namun kemudian kau sudah dihadapkan pada persoalan pribadimu, sama sekali bukan
maksudku untuk memperkecil perjuanganmu bagi Mataram. Tetapi semata-mata karena
persoalan yang sudah terjadi itu tidak akan dapat dibiarkannya tanpa
penyelesaian.”
Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.
“Sutawijaya,” Ki Gede
meneruskan, “kau bukan kanak-kanak yang hanya pandai memecahkan belanga, namun
kemudian kau tinggalkan bersembunyi.”
Sutawijaya bergeser setapak.
Katanya kemudian dengan nafas yang tertahan-tahan, “Maafkah aku, Ayahanda.
Sebenarnyalah bahwa hal itu sudah terjadi.”
Ki Gede Pemanahan memejamkan
matanya sesaat. Jawaban itu pun sudah diduganya. Namun seperti Sutawijaya, ia
pun sejenak menjadi bingung mendengarnya.
Namun kemudian Ki Gede
Pemanahan, orang tua yang penuh dengan pengalaman dan pengenalan atas hidup dan
kehidupan itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berhasil
mengendalikan perasaannya yang bergelora.
Meskipun demikian masih juga
tampak ketegangan yang memancar di sorot matanya.
Sutawijaya menundukkan
kepalanya dalam-dalam. Dan dengan dada yang berdentangan ia mendengar
ayahandanya berkata, “Sutawijaya. Setelah kau berhasil menaburi tanah ini
dengan bunga yang semerbak dengan usahamu menumpas laskar Panembahan Agung,
maka kini kau melumuri Tanah Mataram yang mulai berkembang ini dengan lumpur.
Sutawijaya, apakah kau tahu arti seorang gadis bagi Sultan Pajang?”
Raden Sutawijaya tidak
menjawab, tetapi kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Anakku,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “ketika aku meninggalkan Pajang dan kembali ke Sela untuk memaksa
Sultan Pajang mengingat kembali janjinya untuk menyerahkan Alas Mentaok, aku
masih mempunyai keyakinan bahwa ia akan melakukannya. Bahkan sekarang pun jika
kau memaksakan kehendakmu untuk mendapatkan suatu daerah yang sudah ramai
sekali pun mungkin Sultan Pajang akan memberikannya. Apalagi setiap orang tahu,
bahwa sebenarnya kau adalah anak angkatnya yang dikasihinya seperti anaknya
sendiri.” Ki Gede terdiam sejenak untuk mengatur pernafasannya, lalu, “Tetapi
jika kau mengambil seorang gadis dari padanya, akibatnya tentu akan lain.”
Sutawijaya menjadi semakin
tunduk. Ia menyadari sepenuhnya kata-kata ayahandanya. Dan ia pun mengerti akan
hal itu. Tetapi ketika semuanya itu terjadi, hatinya serasa gelap dan ia sama
sekali tidak ingat apa pun juga, termasuk kemungkinan semacam itu.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “kau masih belum menjawab seluruhnya. Kenapa hal itu terjadi dan
akibat yang timbul kemudian dari peristiwa yang pahit itu?”
Sutawijaya tidak dapat ingkar
lagi. Maka ia pun kemudian menceriterakan, bahwa sama sekali di luar
kesengajaannya bahwa ia bertemu dengan gadis di dalam pingitan itu, dan apalagi
kemudian terjadi hubungan yang telah menodainya.
“Ayahanda, gadis itu ternyata
kini telah mengandung.”
“O,” Ki Gede Pemanahan
mengusap dahinya yang berkeringat, “bagaimana mungkin semuanya ini terjadi.
Tetapi yang hampir tidak masuk akal itu ternyata telah terjadi.”
Sutawijaya tidak menyahut.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “tidak ada jalan lain bagimu kecuali menghadap ayahandamu Sultan
Pajang. Mungkin ayahandamu sudah mendengar. Tetapi mungkin juga karena
ketakutan yang sangat dari gadis itu, serta belas kasihan orang-orang di
sekitarnya, hal itu masih belum sampai kepada Sultan meskipun setiap orang
sudah mengetahuinya. Tetapi kemungkinan itu adalah kemungkinan yang sangat
kecil. Karena itu lebih baik kau datang menghadapnya lebih dahulu dan pasrah
diri atas segala kelancanganmu daripada Sultan harus mengambil sikap lebih dahulu.”
Terasa kepala Sutawijaya
menjadi pening. Peristiwa demi peristiwa yang membayang di angan-angannya
berputar seperti kepalanyalah yang berputar. Lambat, namun kadang-kadang cepat
seperti baling-baling ditiup angin yang kencang.
“Tidak ada jalan lain Sutawijaya,”
terdengar suara Ki Gede Pemanahan.
Kepala Sutawijaya menjadi
semakin pening. Terngiang di kepalanya sumpahnya sendiri yang pernah diucapkan,
bahwa ia tidak akan menginjakan kakinya di tangga Istana Pajang sebelum ia
menjadikan Mataram sebuah negeri yang ramai. Namun kemudian suara ayahandanya
bagaikan meledak di telinganya, “Tidak ada jalan lain Sutawijaya, kau harus
menghadap.”
Karena itu, Sutawijaya justru
terdiam beberapa saat tanpa dapat berkata apa pun juga. Wajahnya menjadi tegang
kemerah-merahan. Sedang denyut jantungnya serasa semakin cepat berdetak.
Tetapi, sekali lagi suara
ayahandanya itu seolas-olah menjerit di telinganya, “Kau harus menghadap dan
pasrah diri atas segala kesalahan yang kau lakukan.”
Maka terasa sesuatu bergejolak
di dalam dada Raden Sutawijaya. Benturan perasaan yang rasa-rasanya akan
memecahkan jantungnya.
Namun justru karena itu, maka
Raden Sutawijaya itu pun seakan-akan terbungkam karenanya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “apakah kau mempunyai pertimbangan lain?”
Untuk beberapa saat Sutawijaya
masih tetap berdiam diri. Kepalanya tertunduk dalam-dalam, sedang nafasnya
bagaikan saling memburu di lubang hidungnya.
“Kau harus cepat memutuskan
Sutawijaya. Kau harus melakukannya sebelum ayahandamu Sultan Pajang berbuat
sesuatu.”
Dengan susah payah Sutawijaya
berusaha untuk mengendapkan perasaannya. Sekali-sekali ia menark nafas
dalam-dalam.
“Aku ingin mendengar sikapmu
Sutawijaya.”
Sutawijaya masih saja
termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat terus menerus berdiam diri. Karena
itu maka katanya kemudian, “Ayahanda. Aku mohon beribu-ribu maaf. Sebenarnya
aku sama sekali tidak menghendaki hal ini terjadi. Tetapi apa boleh buat, bahwa
yang telah terjadi tidak akan dapat diingkari lagi. Namun demikian, Ayahanda,
apakah tidak ada jalan lain yang dapat aku tempuh selain datang menghadap
Ayahanda Sultan?”
Wajah Ki Gede Pemanahan
memerah sejenak. Lalu, “Maksudmu Sutawijaya.”
Dada Sutawijaya menjadi
semakin berdebar-debar. Suaranya menjadi semakin dalam dan lamban, “Ayahanda,
apakah ada cara lain yang dapat aku tempuh selain menghadap Ayahanda Sultan
Pajang. Aku sudah berjanji, bahwa sebelum Mataram menjadi ramai, aku tidak akan
menginjakkan kakiku di atas tangga Istana Pajang.”
Ki Gede Pemanahan memandang
putranya dengan tajamnya. Lalu katanya, “Apakah kau tidak berani
mempertanggungjawabkan perbuatanmu?”
“Bukan maksudku, Ayahanda.
Tetapi hanya karena aku sudah bersumpah,” Sutawijaya tergagap. “Aku tidak mau
menjadi sasaran ejekan para pemimpin pemerintahan dan prajurit di Pajang yang
sejak semula sudah menganggap bahwa usahaku akan sia-sia.”
“Kenapa kau lebih
memperhatikan para pemimpin prajurit dan pemimpin pemerintahan di Pajang
daripada ayahandamu Sultan sendiri?”
Kepala Sutawijaya semakin
tertunduk. Lambat ia menyahut, “Aku sudah terlanjur bersumpah.”
“Tetapi apakah hal itu bukan
sekedar kau buat menjadi alasan, agar kau tidak harus datang ke Pajang?”
“Tidak, Ayahanda. Sama sekali
tidak. Itu adalah sumpah yang sebenarnya sudah aku ucapkan. Ketika para pemimpin
di Pajang seakan-akan mencibirkan bibirnya mendengar tekad kita untuk membuka
Alas Mentaok, aku tidak dapat menahan perasaan lagi. Aku telah mengucapkan
sumpah itu.”
“Kenapa para pemimpin di
Pajang itu tidak yakin bahwa kita akan berhasil?”
“Aku tidak tahu pasti, Ayah.
Tetapi hal itu ada hubungannya dengan perkembangan keadaan kita sejak Mentaok
benar-benar diserahkan kepada Ayahanda. Pada saat Ayahanda meninggalkan Pajang
dan kembali ke Sela, maka perhatian seluruh pemimpin di Pajang tertuju kepada
Ayahanda. Itulah permulaan dari sikap mereka yang menyakitkan hati. Mereka
menganggap seolah-olah kita telah memaksakan kehendak kita kepada Ayahanda
Sultan. Justru ketika akhirnya Sultan benar-benar menyerahkan Alas Mentaok
kepada kita, maka para pemimpin itu mulai melontarkan sikap yang menggelitik
hati itu, sehingga akhirnya aku tidak dapat menahan perasaan dan aku telah
mengucapkan sumpahku saat itu bahwa aku akan menjadikan Mentaok sebuah negeri
yang ramai.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Ternyata Sutawijaya telah menyentuhnya pula. Dan Ki Gede
Pemanahan pun merasa bahwa ia telah melakukan suatu tindakan yang terdorong
oleh perasaan semata-mata. Ia telah mengajari Sutawijaya menentang ayahandanya
Sultan Pajang. Ia telah bersikap kasar untuk memaksa Sultan Pajang memenuhi
janjinya menyerahkan Alas Mentaok sebagai hadiah.
Tetapi semuanya itu sudah
terlanjur. Dan kini ternyata bahwa Sutawijaya pun bersikap keras menghadapi
para pemimpin di Pajang yang disangkanya pernah menghinanya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian dengan nada yang datar, “jadi kau menyandarkan sikapmu itu
kepada sikap ayahandamu waktu itu? Aku mengakui Sutawijaya, bahwa saat itu aku
telah didorong oleh perasaan yang kurang mendapat pengekangan, sehingga terjadilah
apa yang telah terjadi itu. Tetapi aku berharap bahwa kau akan bersikap lain,
Sutawijaya. Kau adalah anak angkat terkasih dari ayahandamu Sultan Pajang.
Karena itu, kau pun harus menanggapinya. Kau harus mengakui kesalahan yang
pernah kau lakukan itu langsung kepada ayahandamu Sultan Pajang, apa pun yang
akan diperbuatnya atasmu. Aku tidak berkeberatan untuk mengantarkanmu ke Pajang
secepat-cepatnya.”
Dada Sutawijaya rasa-rasanya
akan retak karenanya. Tetapi sangat berat baginya untuk memenuhi perintah
ayahandanya itu untuk datang ke Pajang selagi Mataram baru mulai berkembang.
Tetapi ia sadar, bahwa persoalan gadis Kalinyamat itu harus segera
diselesaikan.
Karena itu, kembali Sutawijaya
diam mematung. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Sekilas ada niatnya untuk
berbicara. Tetapi kemudian mulutnya terkatup lagi rapat-rapat.
Ki Gede Pemanahan menunggu
jawaban Sutawijaya dengan dada yang berdebar-debar. Sepercik penyesalan telah
membakar hatinya. Jika ia tidak bertindak kasar dan merajuk, sehingga memaksa
Sultan Pajang segera menyerahkan Alas Mentaok, maka yang terjadi tentu akan
berbeda.
“Kenapa aku pada waktu itu
anggege-mangsa? Kenapa aku berusaha mempercepat saat penyerahan Alas Mentaok?
Jika pada waktu itu aku tetap berdiam diri saja, mungkin Kanjeng Sultan akan
mengambil sikap yang lebih baik akibatnya daripada sekarang ini,” berkata Ki
Pemanahan di dalam hatinya. Dan terngiang di telinganya pendapat bahwa
sebenarnya Sultan Pajang sama sekali tidak akan ingkar janji. Tetapi karena
akhirnya Alas Mentaok akan jatuh ke tangan Sutawijaya, putra angkatnya yang
sangat dikasihinya, maka Sultan Pajang tidak tergesa-gesa menyerahkannya.
“Apakah justru Sultan akan
membuka Alas Mentaok menjadi sebuah negeri yang ramai lebih dahulu baru
memberikan kepadaku dan Sutawijaya?” bertanya Ki Gede Pemanahan di dalam
hatinya.
Tetapi semuanya sudah terjadi.
Anaknya pun ternyata telah dijalari oleh sikapnya pada waktu itu. Keras hati
dan gejolak perasaan yang membara di hati, Alas Mentaok harus menjadi sebuah
negeri yang besar. Setidak-tidaknya sebesar Pati.
Karena Sutawijaya masih saja
tetap berdiam diri maka Ki Gede Pemanahan pun bertanya sekali lagi,
“Sutawijaya, kau masih belum memberikan jawaban.”
Sutawijaya masih tetap
menundukkan kepalanya. Namun kemudian dengan suara tertahan-tahan ia berkata,
“Ampun, Ayahanda. Sebenarnya aku tidak akan ingkar sama sekali akan kesalahan
yang telah aku lakukan. Tetapi bagaimana aku akan dapat mengakui kesalahan itu
di hadapan Ayahanda Sultan karena aku sudah bersumpah tidak akan datang ke
Istana Pajang.”
Terasa sesuatu melonjak di
hati Ki Gede Pemanahan. Tetapi ia masih tetap berkata sareh, “Sutawijaya. Kau
selama ini tidak pernah membantah. Kau adalah anak yang baik, penurut dan
bertanggung jawab.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, lalu, “Ingatlah
Sutawijaya, betapa besar kasih Sultan Pajang kepadamu. Ketika kau memaksa untuk
ikut ke medan melawan Adipati Jipang, ayahandamu angkat itu melarang kau dan
menahanmu sedapat-dapat dilakukan. Tetapi kau keras kepala dan memaksa. Dan
karena kau tidak dapat ditahan lagi, maka Sultan memberikan pusaka terbesar
dari Pajang kepadamu demi keselamatanmu. Bahkan Sultan Pajang berpesan
kepadaku, kepada pamanmu Penjawi, jika sampai sobek pakaianmu, dan apalagi luka
kulitmu di peperangan, maka aku dan pamanmu Penjawi akan digantung di alun-alun
Pajang, karena aku tidak dapat melindungi keselamatan putra Sultan. Kau ingat
Sutawijaya?”
Kepala Sutawijaya menjadi
semakin tertunduk. Ia ingat jelas, bagaimana ayahanda angkatnya itu menahannya
agar ia tidak turun ke medan ketika terjadi perang antara Pajang dan Jipang. Ia
merasa betapa besar kasih sayang Sultan Pajang kepadanya.
Namun demikian, terbayang pula
wajah-wajah para pemimpin yang dengki dan iri di paseban istana Pajang saat
itu, sehingga ia telah melontarkan sumpahnya di hadapan para pemimpin itu. Dan
sumpahnya itulah yang sangat memberati hatinya untuk memenuhi perintah
ayahandanya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “kau harus segera mengambil keputusan.”
Sutawijaya adalah seorang anak
muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda kebanyakan. Ialah yang dengan
ujung tombak pusaka Pajang melukai lambung Arya Penangsang yang sakti tiada
bandingnya, meskipun dengan siasat yang cerdik dari Ki Juru Martani, sehingga
kuda Arya Perangsang menjadi binal.
Namun menghadapi persoalan
yang hampir tidak terpecahkan itu, terasa betapa hatinya bagaikan disayat.
“Sutawijaya,” suara
ayahandanya menjadi semakin berat, “kenapa kau diam saja?”
“Ayahanda,” terasa sesuatu
menyumbat kerongkongannya, sehingga Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “berat
sekali perasaanku untuk melanggar sumpahku, Ayahanda.”
“Jadi kau lebih memberatkan
sumpahmu di hadapan para pemimpin yang iri itu daripada ayahandamu Sultan
Pajang?”
“Bukan berarti demikian,
Ayahanda. Tetapi yang aku cari adalah penyelesaian lain. Aku tidak akan
berkeberatan menghadap Ayahanda Sultan. Tetapi sudah barang tentu tidak
menghadapnya di Istana Pajang.”
“Kau gila,” tiba-tiba Ki Gede
Pemanahan tidak dapat menahan hatinya lagi. “Jadi kau mengharap bahwa Sultan
Pajang yang datang menghadap kau di Mataram ini dan justru bukan kau yang
datang di Pajang?”
“Tidak, Ayah. Tidak,”
cepat-cepat Sutawijaya memotong, “bukan maksudku, Ayah. Tetapi seandainya
Sultan sedang berburu atau sedang pergi mengunjungi daerah pesisir dan
kadipaten di Bang Wetan atau Bang Kulon, aku tidak berkeberatan untuk
menghadap.”
“Pikiranmu memang sudah tidak
waras lagi, Sutawijaya,” geram ayahandanya. “Itu sama sekali tidak sopan. Jika
Sultan Pajang pergi berburu, maka maksudnya tentu untuk melupakan kesibukannya
sehari-hari. Tetapi kau akan datang mengganggunya sehingga menimbulkan
persoalan baru baginya. Kecuali itu, kapan hal itu akan terjadi? Kapan?
Setahun, dua tahun lagi atau barangkali setelah bayi yang dikandung itu sempat
ikut menghadap Sultan?”
Dada Sutawijaya tergetar
karenanya. Ia jarang sekali melihat dan mendengar ayahandanya marah kepadanya.
Sejak ia diangkat oleh Sultan Pajang menjadi anaknya, maka sikap Ki Gede
Pemanahan kepadanya benar-benar seperti sikap seorang panglima perang di Pajang
kepada putra sultan yang sebenarnya. Sedang ketika kemudian ia memutuskan untuk
ikut serta dengan Ki Gede Pemanahan membuka Alas Mentaok, maka ayahandanya itu
benar-benar menaruh hormat kepadanya, karena ia tidak silau dengan kemukten
yang didapatnya di istana Pajang, dan mengikuti ayahandanya berprihatin.
Tetapi justru setelah Alas
Mentaok sedang tumbuh dan mekar, ia telah melakukan suatu kesalahan yang
membuat ayahandanya itu marah.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan itu pula karena Sutawijaya masih tetap berdiam diri, “kau harus cepat
mengambil keputusan.”
Sutawijaya menjadi semakin
bimbang. Namun seperti ayahandanya, maka Sutawijaya adalah seorang anak muda
yang keras hati. Ia mempunyai pegangan atas nilai-nilai yang diyakininya.
Karena itulah maka ia merasa bahwa apabila ia pergi juga ke Pajang, maka ia
adalah seorang ksatria yang tidak berharga di mata para pemimpin dan Senapati
Pajang yang pernah mendengar sumpahnya. Mereka akan mengejek dan
mentertawakannya. Dan bahkan mungkin di antara mereka terdapat orang-orang yang
mempunyai hubungan dengan Daksina. Orang-orang itu tentu akan memanfaatkan
keadaan dan menekannya sehingga ia menjadi sasaran ejekan dan hinaan, meskipun
seandainya tidak terucapkan. Namun tatapan mata dan senyum yang masam, akan
menjadi duri yang mematuk dinding jantung.
Karena itu, maka hati
Sutawijaya pun telah mengeras. Ia tidak ingin datang menghadap ayahanda di
Istana Pajang.
“Sutawijaya. Kenapa kau
berdiam diri?” desak ayahandanya.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian dengan suara bergetar oleh debar jantungnya,
“Ayahanda. Tentu Daksina yang telah terbunuh itu tidak berdiri sendiri di
lingkungan keprajuritan Pajang. Para senapati yang berpihak kepadanya atau
justru yang mengendalikannya, akan menarik keuntungan dengan kehadiranku di
Istana Pajang sebagai seorang ksatria yang tidak teguh memegang janji kepada
diri sendiri. Tetapi secara terbuka mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka
tidak akan dapat menuntut aku di hadapan Ayahanda Sultan, karena Ayahanda
Sultan tidak akan berpegang pada sumpahku itu sebagai sumber keadilan untuk
menghukum aku. Namun demikian, aku akan tetap merasa, bahwa di dalam hati
mereka sudah membuat penilaian atas diriku, bahwa aku adalah laki-laki yang
tidak teguh, dan luluh karena langsung atau tidak langsung, oleh sentuhan
halusnya kulit seorang perempuan.”
Ki Gede Pemanahan memandang
wajah Sutawijaya sejenak, lalu katanya, “Tetapi bukankah hal itu memang sudah
terjadi? Dan kau telah melumuri namamu sendiri dengan lumpur?” Ki Gede
Pemanahan berhenti sejenak, lalu, “Sutawijaya, aku hanya ingin mendengar
jawabmu. Kau bersedia datang ke Pajang atau tidak. Dengan atau tidak dengan
aku.”
Dada Sutawijaya menjadi sesak.
Tetapi kekerasan hatinya telah melonjak sampai ke tenggorokannya, sehingga
jawabnya kemudian dengan kepala tunduk, “Ayahanda, aku mohon maaf. Aku tidak
dapat menghadap Ayahanda Sultan di Istana Pajang. Tetapi aku akan menghadap
Ayahanda di mana pun jika Ayahanda Sultan sudi menerima aku.”
“Cukup Sutawijaya,” berkata Ki
Gede Pemanahan, “kau tidak usah bercerita panjang lebar. Tetapi jawabmu sudah
jelas bagiku. Kau tidak mau menghadap, apa pun alasanmu.”
“Bukan maksudku, Ayahanda …”
Tetapi kata-kata Sutawijaya
terpotong oleh kata-kata ayahandanya, “Cukup. Aku sudah cukup, kau tidak usah
mengatakan apa-apa lagi.”
“Tetapi Ayah salah mengerti.”
“Salah atau tidak salah, aku
mempunyai arti sendiri bagi sikapmu itu.” Ki Gede berhenti sejenak, lalu, “Jika
demikian biarlah aku menghadap sendiri.”
“Ayahanda,” potong Sutawijaya,
“tentu Ayahanda juga tidak akan menghadap.”
“Aku tidak terikat oleh janji
apa pun juga, dan aku tidak mau membiarkan pengkhianatan ini terjadi.”
“Ayahanda. Kenapa Ayahanda
menyebut hal ini sebagai pengkhianatan?”
“Pengkhianatan seorang anak
kepada ayahandanya, meskipun ia sekedar ayahanda angkat. Seperti sudah aku
katakan, bagi Sultan Pajang, nilai seorang gadis akan sama nilainya dengan
tanah wewengkonnya. Kau sudah melanggar pagar ayu, terlebih-lebih lagi karena gadis
itu adalah pilihan Sultan Pajang.”
“Tidak, Ayahanda. Aku tidak
melanggar pagar ayu. Gadis itu belum resmi menjadi istri Ayahanda Sultan. Ia
masih dipersiapkan untuk menjadi istrinya.”
“Tidak akan banyak bedanya.
Sudahlah, jangan mencari alasan untuk memperingan kesalahanmu. Aku akan
menghadap Sultan Pajang. Biarlah aku dihinakan orang, biarlah aku direndahkan
oleh mereka yang membenci aku, karena aku datang menghadap setelah aku
seolah-olah lari dari Pajang untuk memaksa agar Sultan bersedia menyerahkan
Alas Mentaok. Tetapi bagiku persoalanmu harus segera mendapat penyelesaian.
Jika akulah yang harus digantung karena aku gagal mengendalikan anak
laki-lakiku, dan bahkan putra angkat Sultan sendiri, aku akan menjalaninya
dengan senang hati.”
“Ayahanda,” desis Sutawijaya.
Ki Gede Pemanahan tidak
menghiraukan suara Sutawijaya lagi. Perlahan-lahan ia terdiri sambil berkata,
“Sudahlah, Sutawijaya. Kau tidak perlu mencari alasan apa pun lagi. Tunggulah
Tanah Mataram yang sedang berkembang. Aku besok akan pergi. Jika matahari besok
terbit di timur, maka aku akan berangkat menuju ke Pajang.”
“Ayahanda,” Sutawijaya berkata
dengan suara yang gemetar, “bukan maksudku bahwa Ayah harus pergi ke Pajang.
Biarlah Ayah tinggal saja di Mataram. Aku akan mencari jalan untuk
menyelesaikan persoalanku sendiri.”
“O,” desis Ki Gede Pemanahan,
“jadi kau benar-benar merasa dirimu sudah dewasa, sehingga kau akan mencari
jalan untuk menyelesaikan persoalanmu sendiri. Tidak, Sutawijaya. Kau adalah
anakku. Kesalahan yang kau buat bukan sekedar tanggung jawabmu. Tetapi juga
tanggung jawabku. Karena itu, jika kau memang tidak mau menginjakkan kakimu di
tangga Istana Pajang, maka biarlah aku yang pergi.”
“Ayahanda. Sebaiknya Ayahanda
jangan pergi.”
“Dan kau akan pergi?”
Sutawijaya terdiam. Namun
kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku juga tidak dapat pergi.”
“Cukup. Kau jangan
mempermainkan orang tuamu lagi Sutawijaya. Kau sudah cukup membuat aku pening.
Sekarang kau masih juga ingin menambah beban perasaanku.”
“Maafkan aku, Ayahanda. Sama
sekali bukan maksudku. Aku ingin Ayahanda tidak bersusah payah berbuat sesuatu
karena kesalahanku. Tetapi aku pun tidak dapat pergi ke Pajang sekarang ini.”
“Kau memang keras kepala dan
keras hati. Cukup. Semua persoalan sudah selesai. Aku sudah mengambil
keputusan.”
“Ayahanda,” Sutawtjaya
berjongkok dihadapan ayahandanya. Tetapi Ki Gede Pemanahan sama sekali tidak
menghiraukannya. Ia pun kemudian berdiri dan meninggalkan anaknya dengan hati
yang tegang.
Sutawijaya pun menyadari, jika
ayahandanya sudah berkata demikian, tidak akan ada gunanya lagi ia menahannya,
apalagi merengek seperti anak-anak. Jika ayahanda sudah mengambil keputusan,
maka keputusan itu tentu akan dilaksanakannya. Dan kini ayahandanya sudah
menentukan sikap.
Sepeninggal ayahnya,
Sutawijaya diamuk oleh gemuruh di dalam hatinya. Keragu-raguan yang dahsyat
telah mengguncangnya. Kadang-kadang timbul pula niatnya untuk pergi menghadap
ayahandanya, namun jika terbayang wajah-wajah yang penuh dengan hinaan dan
ejekan, maka niat itu pun bagaikan disapu angin yang kencang. Hanyut tanpa
bekas.
“Aku tetap pada pendirianku.
Aku tidak akan pergi.”
Dan keputusan itu pun kemudian
tidak berubah lagi seperti juga keputusan ayahandanya untuk pergi ke Pajang.
Sementara itu, maka Ki Gede Pemanahan
telah memerintahkan kenada abdi terdekatnya untuk menyiapkan kudanya. Besok Ki
Gede akan pergi bersama dua orang pengawalnya ke Pajang. Apa pun yang akan
dihadapinya di Pajang, Ki Gede sudah memutuskan tidak akan ingkar lagi, karena
ia merasa bahwa Sutawijaya memang sudah melakukan kesalahan yang besar.
Demikianlah, waktu yang
mendebarkan itu akhirnya datang pula. Gelap yang kemudian menyelubungi Mataram
telah didorong perlahan-lahan oleh cahaya pagi di ujung timur.
Malam yang gelisah telah lampau.
Malam yang rasa-rasanya terlampau panjang, karena hampir semalam suntuk, baik
Ki Gede Pemanahan, maupun Raden Sutawijaya, tidak dapat memejamkan matanya sama
sekali.
Kabar keberangkatan Ki Gede
Pemanahan ke Pajang untuk menghadap Sultan, telah tersebar di seluruh kota.
Tidak banyak yang mengetahui alasan yang sebenarnya. Namun setiap orang telah
menghubungkan keberangkatan Ki Gede itu dengan desas-desus yang tersiar, bahwa
Raden Sutawijaya telah melakukan kesalahan yang besar terhadap Sultan Pajang. Ketegangan
antara Pajang dan Mataram menjadi semakin tajam.
Beberapa orang menjadi kecewa
oleh keputusan Ki Gede Pemanahan. Mereka sebenarnya ingin memaksa orang-orang
Pajang mengakui terlebih dahulu, bahwa Mataram benar-benar sudah menjadi sebuah
negeri yang ramai. Sesudah itu, barulah salah seorang pemimpin Mataram akan
menghadap ke Pajang dengan bangga, bahwa mereka telah berhasil membuat Alas
Mentaok yang besar dan lebat tiada bandingnya itu menjadi sebuah negeri.
Namun setiap orang pun
kemudian melontarkan kekecewaannya kepada Raden Sutawijaya. Jika Raden
Sutawijaya tidak melakukan kesalahan itu, maka keadaan tidak berkembang
demikian cepatnya, justru menuju ke arah yang tidak diinginkan.
Ki Lurah Branjangan hanya
dapat menekan dadanya, ketika ia melihat seekor kuda yang tegar sudah siap di
depan pendapa rumah Ki Gede Pemanahan. Dua orang pengawal telah bersiap pula di
sisi regol.
“Alangkah beratnya tanggung
jawab seorang ayah menghadapi anak yang keras hati,” berkata Ki Lurah
Branjangan di dalam hati. “Aku kagum kepada kejantanan Raden Sutawijaya. Dan
aku kagum pula dengan kekerasan hatinya. Tetapi aku tidak mengerti, bagaimana
aku harus menanggapinya melihat sikapnya yang satu ini, sehingga ayahandanyalah
yang terpaksa pergi ke Pajang.”
Di pendapa Ki Gede Pemanahan
masih sempat memberikan beberapa pesan kepada para pemimpin di Mataram termasuk
Sutawijaya sendiri yang tetap berkeras hati untuk tidak mau pergi menghadap
ayahanda Sultan.
“Aku tidak akan membawa
pengawal lebih dari dua orang,” berkata Ki Gede Pemanahan, “karena aku tidak
akan pergi berperang melawan Pajang.”
Ki Lurah Branjangan yang juga
hadir saat Ki Gede Pemanahan memberikan pesan-pesan sebelum berangkat,
merasakan betapa tekanan perasaan menghimpit jantung Ki Gede Pemanahan. Tetapi
ia tidak dapat berbuat apa-apa. Persoalan yang dihadapi oleh Ki Gede Pemanahan
kali ini bukan persoalan pertahanan dan pengamanan Alas Mentaok yang masih
sedang berkembang, tetapi persoalan yang lebih berat pada persoalan keluarga
meskipun akibatnya akan dapat menyangkut Tanah Mataram seluruhnya.
Dalam pada itu, Ki Lurah
Branjangan tidak dapat menahan hati untuk bertanya kepada Ki Gede Pemanahan,
“Ki Gede, memang tidak baik untuk membawa sepasukan pengawal ke Pajang pada
saat seperti ini. Tetapi di sepanjang jalan Ki Gede memerlukan kekuatan yang
memadai. Mataram masih dikelilingi oleh bahaya yang tersembunyi meskipun
Panembahan Agung sudah tidak ada lagi. Tetapi justru karena Daksina terbunuh
pula di dalam pertempuran itu, maka tentu ada pihak yang merasa dirugikan dan
ingin membalas dendam.”
Tetapi Ki Gede Pemanahan
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Dua orang sudah cukup. Aku tidak membawa
persoalan lain kecuali persoalan Sutawijaya. Karena itu, aku tidak akan
menghadapi kekerasan yang mana pun juga selain menghadapi hukuman yang akan
dijatuhkan oleh Sultan. Dan aku tidak akan ingkar jika aku harus menjalaninya.
Dengan demikian maka pengawal-pengawal itu tidak perlu sama sekali bagiku.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Ki Gede Pemanahan adalah seorang perasa. Ia meninggalkan
Pajang karena Sultan Pajang dianggap tidak memenuhi janjinya menyerahkan Alas
Mentaok. Dan kini ia pergi tanpa pengawal karena anak laki-lakinya telah
membuatnya sangat kecewa.
Demikianlah maka akhirnya Ki
Gede Pemanahan pun segera berangkat disertai dua orang pengawalnya yang
terpercaya. Dua orang lurah yang dibawanya dari kampung halamannya, Sela.
“Mudah-mudahan kita dapat
melihat Tanah Mataram ini kembali,” desis Ki Gede Pemanahan.
Semua orang yang melihat
keberangkatan Ki Gede Pemanahan menahan perasaan ibanya. Ki Gede Pemanahan
adalah seorang Panglima di Pajang, kemudian bergelar Ki Gede Mataram setelah
Mataram mulai berkembang. Kini ia terpaksa pergi ke Pajang karena anak
laki-lakinya telah melakukan kesalahan yang besar dan tidak bersedia
mempertanggung-jawabkannya sendiri.
Ketika Ki Gede Pemanahan
hilang dari tatapan mata mereka yang melepaskannya di regol halaman, maka
sebagian besar dari mereka telah berpaling kepada Sutawijaya. Dilihatnya anak
muda itu berdiri tegang. Tetapi tidak seorang pun yang mengetahui apakah yang
sebenarnya bergejolak di dalam hatinya.
Sutawijaya sendiri kemudian
dengan tergesa-gesa naik ke pendapa dan hilang masuk ke ruang dalam. Ia tidak
menghiraukan para pemimpin dan orang-orang tua yang masih ada di pendapa.
Dengan hati yang bagaikan tersayat ia masuk ke dalam biliknya.
Sutawijaya adalah seorang anak
jantan sejak masih terlampau muda. Ia dengan hati jantan memaksa untuk ikut
berperang melawan Adipati Jipang. Ia dengan tabah menghadapi Adipati Jipang
dengan tombak Kiai Pleret, selagi para panglima ragu-ragu, apakah ada di antara
mereka yang dapat mengalahkan Arya Penangsang, seorang yang sakti tiada
bandingnya
Namun dalam keadaan serupa
itu, Sutawijaya hanya dapat duduk sambil bertopang dagu. Matanya menjadi panas
dan tenggorokannya serasa tersumbat.
“Kenapa aku harus mengalami
persoalan ini?” ia bergumam di dalam hati.
Sementara itu para pemimpin
dan orang-orang tua di pendapa masih berbincang beberapa saat lamanya. Tidak
seorang pun yang dapat menilai dengan tepat, apakah tindakan Raden Sutawijaya
itu dapat dibenarkan. Demikian pula tindakan tergesa-gesa dari Ki Gede
Pemanahan, yang dalam keadaan yang tidak pasti ini pergi ke Pajang hanya dengan
dua orang pengawal.
“Ki Gede Pemanahan didorong
oleh kemarahan yang tertahan di dalam dadanya,” berkata salah seorang dari
mereka.
Ki Lurah Branjangan yang ada
di antara mereka sama sekali tidak mengatakan sesuatu. Hatinya merasa pedih.
Baru saja ia menyaksikan bagaimana musuh terbesar Mataram dihancurkan.
Bagaimana pasukan pengawal Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki
Waskita berhasil membinasakan Panembahan Agung dan pengikut-pengikutnya. Dan
kini di Menoreh orang tua bercambuk itu agaknya masih berbaring karena
luka-lukanya. Juga Ki Sumangkar masih terluka meskipun tidak separah Kiai
Gringsing.
Dalam pada itu, di Mataram
telah terjadi ketegangan yang lain. Ketegangan yang terjadi antara Raden
Sutawijaya dan ayahandanya Ki Gede Pemanahan. Raden Sutawijaya tidak bersedia
memenuhi perintah ayahandanya pergi ke Pajang, sedang ayahandanya Ki Gede
Pemanahan tidak mau mendengarkan permintaan anaknya agar ayahanda tidak pergi
untuk mewakilinya.
“Mudah-mudahan semuanya akan
dapat selesai dengan baik,” berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hatinya. Hati
yang rasa-rasanya menjadi pepat.
Dalam keadaan yang demikian
itu, tiba-tiba saja telah timbul suatu keinginan di dalam dadanya untuk pergi
ke Menoreh. Jika ia dapat bertemu dengan Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh, Ki
Waskita, dan Ki Sumangkar, maka beban di hatinya itu akan dapat dikuranginya.
Karena itu, di luar
pengetahuan Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan mempersiapkan dirinya untuk
pergi ke Menoreh. Tidak ada kepentingan yang lain kecuali sekedar mengurangi
beban di dalam hatinya. Di Mataram, semua-orang dibebani oleh perasaan yang
sama, sehingga seakan-akan tidak ada tempat baginya untuk membagi perasaan itu.
Setelah minta diri kepada
orang-orang tua maka Ki Lurah Branjangan pun segera meninggalkan Mataram. Ia
hanya berpesan, jika Raden Sutawijaya mencarinya, mereka dapat mengatakan bahwa
Ki Lurah Branjangan sedang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun baru
beberapa hari ia kembali dari Menoreh, namun rasa-rasanya ada yang mendorongnya
untuk bertemu dengan orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh.
Bersama dengan dua orang
pengawalnya, Ki Lurah Branjangan pun berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.
Jarak antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh sebenarnya tidak terlampau
jauh. Tetapi selain jalan yang masih cukup berat, kedua daerah itu dibatasi
oleh sebuah sungai yang cukup besar.
Tetapi di antara dua tepian
sungai itu, dihubungkan dengan beberapa perahu getek yang hilir mudik di
tempat-tempat tertentu. Sehingga karena itu, maka Ki Lurah Branjangan pun tidak
menemui banyak kesulitan untuk menyeberang Apalagi di musim kering. Sedang di
musim hujan pun banyak getek yang berani menyeberang meskipun banjir. Hanya
apabila banjir itu terlampau besar, maka getek-getek pun tertambat erat-erat di
tepian.
Ketika kemudian Raden Sutawijaya
mengetahui bahwa Ki Lurah Branjangan pergi ke Menoreh, rasa-rasanya ia ingin
pergi menyusulnya. Tetapi Raden Sutawijaya masih dicegah oleh perasaan tanggung
jawabnya atas Tanah Mataram, justru karena ayahandanya tidak ada.
Karena itu, maka yang dapat
dilakukan oleh Raden Sutawijaya hanyalah dengan gelisah mondar-mandir di dalam
biliknya, kemudian di ruang dalam dan kadang-kadang ia pergi juga ke pendapa.
Kedatangan Ki Lurah Branjangan
di Tanah Perdikan Menoreh benar-benar mengejutkan. Para pengawal yang nganglang
di sepanjang perbatasan menerima dengan heran. Baru saja Ki Lurah Branjangan
bersama pasukan Mataram meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian kini Ki
Lurah Branjangan datang lagi hanya dengan dikawal oleh dua orang.
“Mungkin ada yang penting,”
desis salah seorang pengawal. “Pasukan pengawal Mataram tergesa-gesa kembali ke
Mataram karena ada utusan yang sudah menunggu sejak Raden Sutawijaya belum
kembali dari peperangan itu.”
“Dan kini ada utusan yang
dengan tergesa-gesa pergi ke Menoreh,” sahut kawannya.
Mereka menghubungkan
kedatangan Ki Lurah Branjangan dengan kepergian Raden Sutawijaya dengan
tergesa-gesa meninggalkan Menoreh. Namun demikian, mereka tidak berani meyakini
apa yang sebenarnya telah terjadi.
Diantar oleh beberapa orang
pengawal, maka Ki Lurah Branjangan pun langsung pergi ke induk Tanah Perdikan
meskipun hari telah menjadi malam. Di dalam kegelapan mereka menyusuri bulak
yang panjang di antara tanah persawahan.
Tetapi para pengawal yang
mengantarkannya sama sekali tidak berani menanyakan kepada Ki Lurah Branjangan,
apakah kepentingannya datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
Kedatangan Ki Lurah Branjangan
di halaman rumah Ki Gede Menoreh telah mengejutkan seisi rumah itu pula. Tanpa
memberikan kabar lebih dahulu, tiba-tiba saja Ki Lurah Branjangan telah berada
kembali di Tanah Perdikan Menoreh.
Namun kedatangan Ki Lurah
Branjangan ke Tanah Perdikan Menoreh agaknya memang suatu kebetulan yang baik
baginya. Meskipun hari telah malam, namun orang-orang tua di rumah itu masih
duduk di pendapa sambil bercakap-cakap. Mereka melingkari hidangan yang masih
berserakan. Beberapa mangkuk minuman dan beberapa potong makanan masih tersedia
di hadapan mereka.
Ketika kedatangan Ki Lurah
Branjangan itu diberitahukan kepada Ki Argapati, maka dengan tergesa-gesa Ki
Argapati pun segera menyongsongnya, diiringi oleh beberapa tamunya yang sedang
berada di pendapa itu pula.
“Kedatangan Ki Lurah
mengejutkan kami,” berkata Ki Argapati. “Marilah, silahkan naik ke pendapa.”
Ki Lurah tersenyum. Setelah
menyerahkan kudanya, maka Ki Lurah dan kedua pengawalnya pun segera naik ke
pendapa.
Setelah Ki Argapati menanyakan
keselamatan tamunya dan perjalanannya yang cukup panjang itu, maka ia pun
kemudian bertanya, “Ki Lurah, kedatangan Ki Lurah mendebarkan jantung kami,
justru karena Ki Lurah baru saja kembali ke Mataram dari Tanah ini. Apakah ada
sesuatu yang penting, atau yang tertinggal di sini atau persoalan-persoalan
yang lain?”
Ki Lurah Branjangan mencoba
tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Argapati. Tidak ada persoalan apa pun yang
penting yang harus aku sampaikan kepada Ki Argapati. Kedatanganku kemari
sekedar didorong oleh kepepatan hati menghadapi persoalan yang sedang
berkembang di Mataram.”
“Persoalan apa Ki Lurah?”
“Sebenarnya tidak menyangkut
Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, supaya kalian tidak terganggu karenanya,
silahkan meneruskan pembicaraan jika ada pembicaraan yang penting. Aku akan
menyampaikannya nanti jika pembicaraan Ki Gede dan para tamu sudah selesai.”
“Ah,” desis Ki Gede sambil
berkisar, “tidak ada persoalan yang penting di sini. Kami sedang berbicara
tentang hari depan anak-anak muda. Di sini duduk Ki Demang Sangkal Putung. Aku
sedang berbicara tentang anaknya.”
“O,” Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ditatapnya wajah-wajah yang ada di
pendapa itu. Wajah orang-orang tua yang sedang membicarakan hari depan
anak-anak mereka.
Ki Lurah Branjangan memang
pernah mendengar bahwa memang ada hubungan antara putra Ki Demang Sangkal
Putung itu dengan anak Ki Argapati. Karena itu, maka sambil tersenyum ia pun
berkata selanjutnya, “Sebaiknya aku tidak memberikan warna yang lain dari
suasana yang cerah ini. Silahkan. Setelah Menoreh berhasil menyingkirkan
orang-orang yang mungkin akan dapat mengganggu ketenteraman dan hubungan baik
dengan Mataram, kini Menoreh menghadapi hari-hari yang cerah.”
“Ah,” Ki Argapati tersenyum,
“demikianlah agaknya. Sebenarnya kedatangan Ki Demang Sangkal Putung bersama
Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar adalah untuk membicarakan hubungan yang sudah
lama terjalin antara putra Ki Demang dengan anakku. Tetapi kedatangannya itu
terganggu oleh keadaan yang berkembang di Tanah Perdikan Menoreh ini.”
“Tetapi semuanya sudah
lampau.”
“Ya, ya, Ki Lurah. Semuanya
sudah lampau.”
“Karena itu, silahkanlah. Jika
Ki Gede tidak berkeberatan aku ikut mendengarkannya, maka biarlah aku ikut
mendengar. Baru nanti atau besok aku akan menceriterakan apa yang terjadi di
Mataram.”
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan telah menahan hati untuk tidak mengatakan apakah yang telah
mendorongnya pergi ke Menoreh. Ia tidak sampai hati merusakkan suasana yang
cerah itu, karena mau tidak mau ceritanya pasti akan menarik banyak perhatian
dan membuat setiap wajah menjadi buram.
“Maaf, Ki Lurah. Kami akan
melanjutkan pembicaraan kami yang sudah hampir selesai,” berkata Ki Gede
Argapati.
“Silahkan, silahkanlah,” sahut
Ki Lurah sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam kepada orang-orang yang ada
di pendapa itu.
“Kami sedang menentukan saat
yang baik,” berkata Ki Demang Sangkal Putung.
“Sayang, Kiai Gringsing belum
dapat ikut duduk bersama di pendapa ini,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Ya, Kiai Gringsing masih
harus banyak berbaring ditunggui oleh kedua muridnya. Ki Sumangkar juga. Tetapi
keadaannya sudah bertambah baik, dan setiap kali pembicaraan kami juga
berdasarkan pesan-pesan kedua orang-orang tua itu,” sahut Ki Demang Sangkal
Putung.
“Jika demikian,” berkata Ki
Lurah Branjangan, “apakah aku diperkenankan menengoknya sebentar, sementara Ki
Gede dan Ki Demang bersama orang-orang tua melanjutkan pembicaraan?”
“Baiklah, Ki Lurah,” sahut Ki
Argapati, “biarlah Ki Lurah diantar saja ke gandok sebelah.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian diantar oleh seorang bebahu Tanah Perdikan Menoreh pergi ke gandok
dengan kedua pengawalnya menengok Kiai Gringsing yang sedang sakit bersama Ki
Sumangkar.
Kedatangannya telah membuat
orang-orang yang ada di gandok itu menjadi terkejut pula. Namun senyum Ki Lurah
Branjangan membuat mereka menjadi agak tenang.
“Tidak ada yang penting,”
berkata Ki Lurah Branjangan.
Kiai Gringsing yang masih
berbaring di pembaringannya, mempersilahkan Ki Lurah Branjangan duduk di amben
bambu. Sedang Ki Sumangkar sudah dapat menemuinya dan duduk bersamanya.
“Sebenarnya aku sudah sembuh,”
berkata Ki Sumangkar, “tetapi untuk duduk berlama-lama, badanku masih kurang
baik.”
“Sebaiknya Ki Sumangkar masih
harus banyak beristirahat,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Keadaanku menjadi semakin
baik.”
Dalam pada itu Agung Sedayu
dan Swandaru pun kemudian duduk pula bersama mereka. Yang pertama-tama mereka
tanyakan adalah keadaan Raden Sutawijaya.
“Tidak ada apa-apa,” berkata
Ki Lurah Branjangan, “hanya ada sedikit kesulitan.”
Kedua anak-anak muda itu
menjadi semakin tertarik untuk mendengar berita tentang Raden Sutawijaya yang
kembali dengan tergesa-gesa karena ayahandanya memanggil tanpa dapat ditunda
barang sehari dua hari dari Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku tidak mau mengganggu
pembicaraan yang sedang berlangsung di pendapa,” berkata Ki Lurah Branjangan
sambil tersenyum kepada Swandaru, sedang anak yang gemuk itu pun menundukkan
kepalanya dengan wajah yang kemerah-merahan, “mudah-mudahan semuanya segera
berlangsung dengan baik. Semakin cepat memang semakin baik. Hubungan yang
terlampau lama banyak sekali bahayanya. Tetapi jika keduanya menyadari diri
masing-masing maka semuanya akan berlangsung dengan selamat.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Agung Sedayu pun mencoba mencari arti dari kata-kata Ki Lurah
Branjangan. Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu pun menghubungkan kata-kata Ki
Lurah itu dengan kabar tentang Sutawijaya, sehingga dengan demikian anak muda
itu semakin ingin segera mendengar berita tentang pemimpin Mataram yang masih
muda itu.
Hati Kiai Gringsing pun
agaknya tersentuh juga. Tetapi ia tidak sekedar menyimpan pertanyaan di
dadanya. Karena itu maka ia pun kemudian bertanya, “Apakah yang telah terjadi
di Mataram atau atas Raden Sutawijaya?”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah Kiai pernah mendengar sesuatu tentang Raden
Sutawijaya?”
“Utusan yang memanggilnya
pulang itu agak menarik perhatianku.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Katanya, “Itu akibat dari hubungan yang tidak disertai
kesadaran diri. Agaknya Sutawijaya telah dicengkam oleh nafsu yang tidak
terkendali. Memang hanya sesaat. Tetapi akibatnya ternyata sangat parah.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Lurah Branjangan sejenak, kemudian kedua muridnya yang agaknya sangat tertarik
kepada cerita Ki Lurah Branjangan itu.
“Apakah benar-benar telah
terjadi sesuatu yang akibatnya terasa di seluruh Mataram?” bertanya Kiai
Gringsing kemudian.
“Ya, Kiai. Ternyata telah
terjadi sesuatu yang mencemaskan seluruh Mataram.”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Dan Ki Lurah Branjangan pun berkata selanjutnya, “Jika keadaan tidak
dapat ditolong lagi dengan kehadiran Ki Gede Pemanahan di Pajang, maka menurut
perhitunganku, Mataram akan mengalami guncangan yang dahsyat sekali. Mungkin
Mataram masih akan tetap ada, tetapi bukan kelanjutan Mataram yang sekarang.”
“Apakah sebenarnya yang telah
terjadi?” bertanya Sumangkar.
“Ah,” Ki Lurah Branjangan
tiba-tiba saja tersenyum, “betapa pahitnya aku rasa, lebih baik kita berbicara
tentang yang lain. Mungkin tentang Swandaru, atau tentang pembicaraan yang
dilakukan oleh Ki Demang dan orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh di
pendapa, atau tentang yang lain. Besok sajalah aku akan berceritera tentang
Raden Sutawijaya, agar nafasku sudah menjadi semakin teratur, dan sudah barang
tentu tidak merusak suasana malam ini di Tanah Perdikan Menoreh.”
Yang mendengarnya menjadi
kecewa. Terutama Agung Sedayu dan Swandaru.
Namun Kiai Gringsing pun
kemudian berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Ki Lurah tentu masih lelah. Sebaiknya Ki
Lurah pergi ke pakiwan membersihkan diri. Tetapi sudah barang tentu kami tidak
akan bersabar menunggu sampai besok. Aku kira pembicaraan di pendapa itu akan
sampai lewat tengah malam, karena sebenarnya mereka sudah tidak mempunyai
persoalan lagi. Yang mereka lakukan adalah berbicara sambil berkelakar ke sana
ke mari sambil mengawani orang-orang yang sedang ronda di gardu.”
“Baiklah, Kiai. Aku akan mandi
dahulu. Nanti aku akan bercerita.”
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan pun segera membersihkan diri, sementara beberapa orang pelayan telah
menghidangkan suguhan langsung ke gandok.
“Minumlah, Ki Lurah,” Kiai
Gringsing pun mempersilahkannya setelah Ki Lurah dan para pengawalnya
membersihkan diri. “Kemudian berceritalah. Sebentar lagi Ki Lurah tentu akan
dipersilahkan naik ke pendapa untuk makan bersama. Aku kira Ki Argapati masih
belum menjamu makan tamu-tamunya, orang-orang tua yang dibawanya berbicara
tentang saat-saat perkawinan Swandaru itu.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian meneguk air panas dari dalam mangkuknya. Terasa tubuhnya menjadi segar
kembali setelah menempuh perjalanan yang meskipun tidak begitu jauh tetapi
cukup melelahkan.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan kemudian, “yang terjadi memang bukanlah yang kita harapkan.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mendengarkannya dengan saksama. Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru.
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian menceritakan apa yang diketahuinya tentang Raden Sutawijaya dan
seluruh persoalannya dengan gadis Kalinyamat itu.
“Jadi Raden Sutawijaya tetap
tidak mau menghadap?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya. Raden Sutawijaya tidak
mau menghadap ayahanda Sultan dengan alasannya sendiri,” sahut Ki Lurah
Branjangan.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam.
“Ki Gede Pemanahan yang
kemudian pergi menghadap sendiri,” Ki Lurah Branjangan melanjutkannya.
“Memang di luar dugaan,”
berkata Kiai Gringsing kemudian. “Adalah sewajarnya jika Ki Gede Pemanahan
menjadi sangat kecewa atas putra satu-satunya itu. Putra yang diharapkan akan
dapat menyambung namanya.”
“Tetapi alasannya dapat kita
mengerti,” Swandaru menyela. “Harga diri Raden Sutawijaya memang terlampau
besar. Sebenarnya ia tidak ingin mengingkari hubungannya dengan gadis itu.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Bukankah begitu, Ki Lurah?”
“Ya. Harga diri seorang anak
muda. Namun bagaimana pun juga ia telah membuat ayahandanya menjadi sangat
kecewa.”
“Dan Ki Gede Pemanahan itu
pergi menghadap sendiri dengan dua orang pengawalnya,” sambung Ki Sumangkar.
Swandaru tidak menyahut lagi.
Memang terasa betapa pedihnya hati Ki Gede Pemanahan. Namun agaknya Ki Gede
juga dapat mengerti alasan Raden Sutawijaya, terbukti bahwa ia tidak memaksa
anaknya untuk berangkat ke Pajang. Jika Ki Gede Pemanahan tidak mau mendengar
sama sekali alasan Sutawijaya, maka ia tentu akan memaksanya. Mau atau tidak
mau.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
mulai merenungi dirinya sendiri. Selama ini ia menghindari sedapat mungkin
hubungan langsung dengan Ki Gede Pemanahan. Bukan karena alasan yang terlampau
dalam. Tetapi sekedar karena ia merasa saat untuk itu belum datang. Kiai
Gringsing sendiri kecewa melihat perkembangan Demak yang beralih ke Pajang.
Semula ia memang ingin melihat, apa yang dapat dilakukan oleh Mas Karebet yang
juga disebut Jaka dari Tingkir, putra Ki Kebo Kenanga itu. Namun akhirnya
Pajang tidak menjadi lebih baik dari Demak. Justru Pajang seakan-akan telah
berhenti.
Ketika ia melihat Raden
Sutawijaya, keberanian dan kejantanannya, apalagi ia adalah putra Ki Gede
Pemanahan dari Sela timbullah harapannya, bahwa ia akan dapat mengembangkan
Pajang. Namun persoalan itu kini harus dihadapinya. Anak muda itu tergelincir
ke dalam tindakan yang sangat berbahaya bagi Mataram.
Kiai Gringsing mengerti,
seperti juga setiap orang yang mengenal Sultan Pajang mengerti, bahwa baginya
seorang gadis mempunyai harga yang khusus di dalam hatinya.
“Mudah-mudahan Ki Gede
Pemanahan mendapatkan jalan yang baik untuk melepaskan Mataram dari bencana,”
berkata Kiai Gringsing seakan-akan kepada diri sendiri.
Ki Lurah Branjangan hanya
dapat mengangguk-angguk saja sambil menyahut, “Mudah-mudahan.”
Dalam pada itu, di pendapa pembicaraan
sudah berjalan semakin jauh. Semua yang harus dibicarakan sudah dibicarakan.
Ancar-ancar perkawinan Swandaru pun sudah ditentukan pula meskipun tidak dalam
waktu yang terlampau singkat. Saatnya pun segera akan diperhitungkan pula.
Rasa-rasanya semua orang yang
duduk di pendapa berwajah cerah. Semua mengharap bahwa perkawinan yang bakal
berlangsung antara Swandaru dan Pandan Wangi dapat menghubungkan bagian-bagian
yang terpisah dari daerah selatan ini. Jika Menoreh berada di sebelah barat
Alas Mentaok yang akan berkembang menjadi sebuah negeri yang besar, maka
Sangkal Putung berada di sebelah timur.
Namun berbeda dengan
orang-orang tua yang lain, meskipun nampaknya ia tersenyum-senyum juga, tetapi
di dalam hatinya terasa sentuhan yang mencemaskan. Orang itu adalah Ki Waskita.
Meskipun demikian ia mencoba melenyapkan kecemasan itu dari wajahnya yang
buram.
Bahkan kemudian ketika
orang-orang yang berada di pendapa itu dipersilahkan makan dan minum, Ki
Waskita pun berbuat seperti orang-orang lain tanpa menimbulkan kecurigaan.
Apalagi setelah Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnya dipersilahkan naik ke
pendapa pula, dan makan bersama dengan mereka.
Ketika semua persoalan
dianggap selesai, dan para tamu, orang-orang tua di Tanah Perdikan Menoreh sudah
makan dan minum di pendapa, pertemuan itu pun mendekati akhirnya. Para tamu,
orang-orang tua di Menoreh itu pun seorang demi seorang minta diri dan pulang
ke rumah masing-masing. Sedang mereka yang bermalam di rumah itu pun segera
pergi ke gandok sebelah-menyebelah.
Seperti mereka yang lain, Ki
Waskita pun kembali ke gandok, penginapan yang disediakan baginya. Tetapi
wajahnya tidak lagi nampak cerah. Justru karena Ki Waskita melihat sesuatu yang
lain dari yang diharapkannya.
Sejak ia melihat Swandaru dalam
hubungannya dengan Pandan Wangi, Ki Waskita telah melihat semacam kabut yang
membayanginya. Meskipun langit nampaknya cerah, tetapi selembar mendung yang
kelam nampak lewat melintas.
“Mudah-mudahan aku salah.
Mudah-mudahan aku tidak melihat isyarat yang sebenarnya,” katanya di dalam
hati. Namun Ki Waskita tidak dapat ingkar, bahwa biasanya ia melihat isyarat
seperti yang sebenarnya akan terjadi sesuai dengan uraiannya.
Ki Waskita menghentikan
penglihatannya atas isyarat itu ketika Rudita memasuki ruangan. Sambil
tersenyum anak muda itu kemudian bertanya, “Ayah, apakah semua pembicaraan
tentang Swandaru itu sudah selesai?”
Ki Waskita pun mencoba
tersenyum pula. Katanya, “Sudah, Rudita. Semua persoalan sudah dibicarakan.
Sampai pada persoalan yang paling kecil sekalipun. Ternyata Ki Demang Sangkal
Putung adalah orang yang mudah menyesuaikan diri. Ia tidak berpegang pada
pendiriannya saja.”
“Syukurlah. Mudah-mudahan
segera berlangsung dengan baik.”
Ayahnya mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Aku kira tidak akan ada kesulitan lagi. Baik yang datang
dari Sangkal Putung maupun dari Menoreh. Jika ada persoalan yang timbul
kemudian adalah persoalan tentang jarak. Jarak antara Menoreh dan Sangkal
Putung yang di antarai oleh Tanah Mataram yang sedang tumbuh.”
“Tetapi itu bukannya kesulitan
pokok di dalam persoalan ini, Ayah. Jika ada kesulitan perjalanan, aku kira
mereka akan dapat mengatasinya. Apalagi Swandaru adalah seorang anak muda yang
sudah terbiasa bertualang bersama gurunya dan Agung Sedayu.”
“Mudah-mudahan. Apalagi
Mataram sekarang seharusnya sudah menjadi semakin baik.”
Namun tiba-tiba kening Ki
Waskita itu berkerut karenanya. Ia melihat kehadiran Ki Luiah Branjangan di
pendapa. Tentu bukan sekedar sebuah kunjungan. Meskipun Ki Lurah Branjangan tidak
segera mau mengatakan kepentingannya, namun rasa-rasanya memang ada sesuatu
yang penting yang akan diceritakannya kepada Ki Argapati.
“Besok aku akan mendengarnya
juga,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya, lalu, “apakah kehadirannya itu ada
hubungannya dengan selembar mendung yang lewat itu?”
Tetapi Ki Waskita menggeleng
lemah. Katanya pula di dalam hatinya, “Tentu tidak. Isyarat itu memberitahukan
bahwa mendung itu tidak ada di ujung perjalanan Swandaru. Tetapi kelak, setelah
semuanya berlangsung dengan selamat.”
Sekali lagi kecemasan telah
mencengkam dada Ki Waskita. Meskipun kedua anak-anak muda yang akan
melangsungkan perkawinannya itu bukan anaknya, tetapi rasa-rasanya keduanya
sudah terlalu dekat dengan dirinya. Selain Pandan Wangi memang masih ada
sangkut paut dalam hubungan keluarga, Swandaru bagi Ki Waskita, yang telah
berkumpul beberapa lamanya di Menoreh dan berada di medan yang sama pun
mempunyai arti tersendiri.
Rudita yang melihat wajah
ayahnya telah berubah itu pun menjadi heran. Tentu ada sesuatu yang telah
dilihatnya di dalam isyarat. Sesuatu yang kurang menggembirakan.
Tetapi Rudita tidak mau
bertanya jika ayahnya tidak dengan kehendaknya sendiri memberitahukan
kepadanya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata
pun Rudita duduk di sebelah ayahnya yang masih tepekur. Namun hatinya telah
dirambati pula oleh kecemasan tentang masa depan Swandaru.
Ki Waskita yang kemudian
berpaling memandang anaknya itu pun berkata, “Rudita, bagaimana pendapatmu
tentang Swandaru?”
Rudita yang telah dihentak oleh
pengalamannya yang sangat pahit itu, kini menjadi jauh lebih masak dari Rudita
beberapa saat yang lalu. Seakan-akan di dalam waktu yang dekat, perkembangan
jiwanya telah meloncat jauh meningkat. Ia tidak lagi dikejar oleh perasaannya
yang tidak dikendalikan sama sekali oleh nalar. Demikian juga sikapnya terhadap
Pandan Wangi. Meskipun ia tetap menganggap bahwa Pandan Wangi adalah seorang
gadis yang paling cantik yang pernah dijumpainya, tetapi ia tidak lagi menaruh
harapan membabi buta kepadanya, justru karena kini pertimbangan nalarnya mulai
mengekangnya, sehingga ia menyadari bahwa gadis itu adalah bakal istri
Swandaru, anak muda dari Sangkal Putung.
“Rudita,” desak ayahnya,
“bukankah kau mengenal Swandaru agak baik?”
“Ya, Ayah,” jawab Rudita, “menurut
pengenalanku, Swandaru adalah anak yang baik. Ia berterus terang dan gembira.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang dikatakan oleh Rudita itu sesuai dengan
isyarat yang dilihatnya. Namun kemudian ia melihat getaran-getaran yang mendebarkan
jantung di perjalanan hidup Swandaru yang terasa melonjak-lonjak tidak menentu.
“Apa yang sebenarnya akan
terjadi?” bertanya Ki Waskita kepada diri sendiri, karena ia hanya dapat
melihat isyarat dan tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi dengan tepat.
Jika sekiranya orang lain yang bertanya kepadanya dalam isyarat yang demikian,
maka ia akan menjawab, “Kau akan mengalami peristiwa yang sangat pahit dan
mendebarkan hati. Hubungan-hubungan yang baik dan nampaknya kokoh akan
tergoyahkan dan kau akan dilemparkan ke dalam suatu keadaan yang gelap.”
Tetapi Ki Waskita mencoba
mengingkari penglihatannya sendiri justru karena yang dilihat di dalam isyarat
itu adalah Swandaru dan Pandan Wangi yang masih ada hubungan keluarga dengan
dirinya.
“Tentu aku telah salah
mengurai isyarat itu,” desisnya, “atau barangkali keduanya akan menemukan
penawar dari kejadian yang tidak dikehendaki itu.”
Namun Ki Waskita telah
melupakan bahwa yang dilihatnya adalah yang akan terjadi, bukan
penglihatannyalah yang menyebabkan hal itu terjadi.
Rudita masih duduk termenung
memandang kegelisahan dan kecemasan ayahnya. Tetapi ia tidak menanyakan
kepadanya, apa yang sedang dipikirkannya, meskipun Rudita dapat meraba bahwa
sesuatu yang gelap telah dilihatnya dalam jalur kehidupan Swandaru.
Selagi keduanya duduk sambil
berdiam diri, maka Nyai Waskita pun dengan wajah yang buram memasuki ruangan
itu. Langsung ia duduk di sisi suaminya sambil berkata seakan-akan kepada diri
sendiri, “Agaknya kita sama sekali tidak menghiraukan nasib anak kita sendiri.”
Ki Waskita mengangkat
wajahnya. Dipandanginya isterinya sejenak, lalu ia pun bertanya, “Apa maksudmu,
Nyai?”
“Kakang, kau lihat bahwa
pembicaraan tentang Pandan Wangi itu sudah selesai?”
“Ya. Bukankah aku ikut duduk
di pendapa ketika pembicaraan itu berlangsung dihadiri oleh orang-orang tua di
Tanah Perdikan Menoreh dan Ki Demang Sangkal Putung?”
“Bagaimana pendapatmu tentang
perkawinan itu?”
“Kedua anak-anak itu sudah
setuju. Orang tua mereka pun sependapat. Biarlah perkawinan itu berlangsung.”
“Kau tidak pernah memikirkan
anakmu sendiri.”
“Maksudmu dengan Rudita?”
Isterinya mengangguk.
“Bagaimana dengan Rudita?”
Isterinya memandang Rudita
sejenak. Dan agaknya anak muda itu pun menjadi heran mendengar kata-kata
ibunya.
“Kakang. Rudita pun sudah
meningkat menjadi dewasa. Ia sudah mengatakan bahwa Pandan Wangi adalah gadis
yang cantik, dan satu-satunya yang pernah menyentuh hatinya. Kenapa kau tidak
berbuat sesuatu agar Pandan Wangi itu memalingkan niatnya untuk kawin dengan
Swandaru dan memilih anakmu?”
“Ah,” Rudita-lah yang
menyahut, “Ibu. Aku memang tertarik kepada Pandan Wangi. Tetapi sudah barang
tentu tidak sampai sejauh itu. Biarlah perkawinan itu berlangsung dan biarlah
keduanya mendapatkan kebahagiaannya.”
“Kau memang sudah berubah
Rudita. Kau sekarang menjadi ragu-ragu dan kehilangan kepercayaan kepada diri
sendiri.”
“Kau keliru, Nyai,” sahut Ki
Waskita, “justru yang terjadi adalah sebaliknya. Rudita sekarang sudah
menemukan kepribadiannya. Ia dengan sadar mengambil sikap. Tidak seperti yang
pernah terjadi. Rudita seolah-olah tidak mempunyai kekang sama sekali atas
dirinya sendiri. Dan hal itu sama sekali bukan karena ia percaya kepada diri
sendiri. Tetapi ia tidak memiliki kesadaran tentang dirinya.”
“Ah. Kau selalu menyalahkan
anakmu. Lihatlah Rudita sekarang. Aku menjadi iba. Ia tidak berani mengambil
keputusan karena setiap keputusan yang diambilnya dengan jujur dan kepercayaan
kepada diri sendiri itu selalu kau tentang dan kau anggap tidak baik.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Biasanya ia tidak suka berbantah dengan isterinya Tetapi kali ini
ia ingin memberikan penjelasan lebih banyak lagi, sehingga karena itu katanya,
“Nyai. Kadang-kadang seseorang cepat tertarik kepada sesuatu sebelum ia sempat
berpikir. Agaknya demikian pula dengan Rudita. Tetapi setelah ia mendapat waktu
untuk merenungi dirinya sendiri, barulah ia sadar, bahwa ia telah salah
langkah.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Agaknya demikianlah yang terjadi atas
Rudita kini.”
“Tentu tidak. Ia melangkah
surut karena sikap ayahnya. Ayahnya tidak pernah memberikan dorongan apa pun
kepadanya.”
Ki Waskita menjadi
termangu-mangu. Ia merasa sulit untuk menjelaskannya kepada istrinya, sehingga
akhirnya ia berkata, “Rudita, apakah kau dapat menjelaskan sikapmu kepada
ibumu?”
Rudita memandang ibunya
sejenak. Namun sebelum ia berkata sesuatu ibunya telah melangkah pergi sambil
bergumam, “Anakmu tidak mempunyai keberanian lagi untuk mengatakan isi hatinya.
Yang dikatakannya adalah sekedar bayangan kecemasan dan kebimbangan hati.”
Rudita mengangkat pundaknya.
Ia tidak jadi mengatakan sepatah kata pun. Ditatapnya saja wajah ayahnya yang
menjadi semakin buram.
“Ibumu salah mengerti,
Rudita,” berkata ayahnya.
“Aku sudah terlampau lama
berjalan di atas jalan yang salah, sehingga ibu sudah terbiasa melihat sikapku.
Tetapi kini ibu melihatku sebagai orang lain yang justru tidak sesuai dengan
kebiasaan yang dikehendakinya.”
“Sudahlah, Rudita. Pada
saatnya ibumu akan mengerti. Jika kau pada suatu ketika menyebut nama gadis
yang lain, maka persoalan ini akan dilupakannya.”
Rudita tersenyum. Katanya,
“Setelah aku mengalami peristiwa yang sangat pahit itu, Ayah, maka perjalananku
nampaknya akan menjadi sangat panjang menuju saat-saat yang demikian.”
“Tetapi ibumu memerlukannya,
Rudita.”
Rudita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku akan mencoba, Ayah.”
Ayahnya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Rudita pun kemudian berkata, “Aku sudah mengantuk. Aku akan
tidur.”
Ki Waskita melihat anaknya
hilang di balik pintu. Tanpa disadarinya orang tua itu pun meraba dadanya.
Bagaimana pun juga Ki Waskita dapat merasakan getar di dada anaknya, bahwa
sebenarnya Rudita memang menaruh perhatian kepada Pandan Wangi. Tetapi kini
nalarnya telah mampu mengendalikan perasaannya, sehingga sikap Rudita itu pun
menjadi jauh berbeda.
Namun setiap kali Ki Waskita
masih saja disentuh oleh penglihatannya tentang masa depan yang buram di
sepanjang jalan hidup Swandaru. Tetapi ia tidak sampai hati untuk menerimanya
sebagai suatu penglihatan yang benar.
Berbeda dengan Ki Waskita,
maka di gandok yang lain, setiap kali terdengar suara tertawa yang cerah.
Bahkan untuk beberapa saat, orang-orang yang ada di gandok itu telah melupakan
persoalan yang baru saja diceritakan oleh Ki Lurah Branjangan tentang Raden
Sutawijaya. Yang mereka bicarakan kemudian adalah hari-hari yang sudah cukup
lama ditunggu oleh Swandaru dan keluarga Ki Demang Sangkal Putung.
Bahkan Ki Lurah Branjangan
yang merasa dadanya pepat sebelum ia tiba di Menoreh, merasa bebannya menjadi
semakin berkurang. Bukan saja karena ia telah menceritakan persoalan yang
memberati hatinya, namun karena mereka sedang sibuk membicarakan masa-masa yang
bakal ditempuh oleh Swandaru. Bahkan Prastawa pun kemudian masuk pula ke
ruangan itu dan dengan jenaka menyindir Swandaru yang hanya tersenyum-senyum
saja.
Tetapi ketika kemudian mereka
sudah menjadi tenang kembali karena malam menjadi semakin malam, dan apalagi
setelah masing-masing berada di pembaringan, maka mulailah angan-angan mereka
menyelusuri seluruh peristiwa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi.
Ki Lurah Branjangan ternyata
masih juga tidak dapat segera tertidur. Ia kadang-kadang tersenyum membayangkan
Swandaru yang gemuk itu duduk bersanding dengan Pandan Wangi dalam pakaian
pengantin. Namun kemudian wajahnya menjadi suram jika ia mengenangkan apa yang
kini terjadi atas Ki Gede Pemanahan yang pergi ke Pajang hanya dengan dua orang
pengawalnya.
“He,” tiba-tiba saja Ki Lurah
Branjangan bangkit, “kenapa aku justru berada di sini.”
Tetapi ketika tatapan matanya
menyentuh dua orang pengawalnya yang ada di dalam satu bilik, dan kemudian
lewat pintu yang tidak tertutup rapat dilihatnya di amben yang besar, Agung
Sedayu dan Swandaru terbaring diam, Ki Lurah Branjangan menekan dadanya. Ia
berada di Tanah Perdikan Menoreh untuk sekedar mengurangi beban yang serasa
pepat di dadanya.
“Jika terjadi sesuatu di
Mataram, aku tidak menyaksikannya,” geramnya.
Tetapi ia tidak dapat berbuat
lain. Ia harus menunggu sampai pagi. Baru ia dapat kembali ke Mataram.
“Kedatanganku tentu
meninggalkan kesan yang aneh,” gumamnya.
Ketika Ki Lurah Branjangan
berbaring lagi, didengarnya ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
“Hampir pagi,” Ki Lurah
Branjangan bergumam.
Sebenarnyalah bahwa sebentar
kemudian Ki Lurah Branjangan telah mendengar suara sapu lidi di halaman.
Kemudian suara senggot timba berderit di belakang.
Ki Lurah Branjangan yang sama
sekali tidak sempat tidur itu pun kemudian bangkit dan duduk bersandar tiang.
Kadang-kadang matanya memang terpejam oleh penat dan lelah. Tetapi ia tidak
dapat tertidur nyenyak.
Demikianlah ketika di luar
cahaya pagi menjadi semakin terang, Ki Lurah Branjangan menjadi gelisah. Kini
ia gelisah karena ia telah digelitik oleh kecemasan bahwa sesuatu telah terjadi
di Mataram.
Karena itu, maka setelah ia
membersihkan dirinya, ia pun segera menyatakan maksudnya untuk minta diri dan
kembali ke Mataram kepada Kiai Gringsing.
“He,” Kiai Gringsing terkejut,
“kau aneh sekali, Ki Lurah. Kau datang menjelang malam hari. Dan kini pagi-pagi
kau sudah ingin kembali ke Mataram. Apakah kepergianmu kemari sekedar mengungsi
karena di Mataram tidak ada pembaringan lagi bagimu?”
Ki Lurah Branjangan
menjawabnya dengan jujur, bahwa ia memang sedang dalam kebingungan, sehingga
kadang-kadang yang dilakukan kurang mendapat pertimbangannya.
“Jika aku menyadari keadaanku
sepenuhnya, barangkali aku tidak berada di sini sekarang ini Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan perasaan yang dialami Ki Lurah Branjangan
sebagai seorang yang termasuk dekat dengan Raden Sutawijaya dan ayahandanya Ki
Gede Pemanahan.
Karena itu, Kiai Gringsing
tidak dapat menahannya lebih lama lagi. Namun demikian katanya, “Ki Lurah, agar
kedatanganmu tidak menimbulkan persoalan di dalam hati Ki Gede Menoreh, maka
sebaiknya kau mengatakannya dengan jujur, apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Ki Gede Menoreh tentu akan dapat mengerti.”
“Baiklah, Kiai,” jawab Ki
Lurah Branjangan, “aku akan mengatakan seperti yang sebenarnya bergolak di
dalam hatiku. Namun satu hal yang aku dapatkan di sini. Aku sudah mendengar apa
yang akan berlangsung atas Swandaru dan Pandan Wangi.”
Orang-orang yang mendengarnya
tersenyum karenanya. Namun Swandaru masih juga menjawab, “Mudah-mudahan tidak
ada seorang pun yang berlaku seperti Raden Sutawijaya di sini.”
“Ah, kau,” desis Kiai
Gringsing bersamaan dengan tangan Agung Sedayu yang menggamitnya.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menyadari bahwa ia sudah terdorong kata. Dan sudah
barang tentu ia tidak akan dapat menelannya kembali.
Dalam pada itu, maka Ki Lurah
Branjangan pun segera minta diri kepada Ki Argapati. Benar-benar seperti
sekedar sebuah mimpi bahwa malam itu ia berada di Tanah Perdikan Menoreh.
Ternyata Ki Argapati pun dapat
mengerti. Bahkan rasa-rasanya seluruh Mataram sedang dalam kecemasan.
“Hari ini Ki Gede Pemananan
ada di Pajang,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku kira secepat-cepatnya hari
ini Ki Gede Mataram itu baru dapat menghadap jika tidak ada apa-apa
diperjalanan, karena saat ini yang tidak terduga itu dapat terjadi.”
Demikianlah Ki Lurah
Branjangan itu pun bersama kedua pengawalnya segera mohon diri dan berpacu
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh setelah semalam tanpa disengaja menyaksikan
pembicaraan antara Ki Demang Sangkal Putung dengan Ki Gede Menoreh yang akan
mengikat perkawinan anak-anak mereka.
Dalam pada itu, selagi Ki
Lurah Branjangan berpacu kembali ke Mataram, Sutawijaya yang masih saja
dicengkam oleh kebingungan, hilir-mudik saja di biliknya. Tidak ada kerja yang
dapat dilakukan dengan pasti. Setiap kali hatinya selalu dibayangi oleh
kebimbangan dan keragu-raguan sehingga ia akhirnya tidak melakukan sesuatu
selain berjalan saja kian-kemari dalam biliknya.
Namun setiap kali ia mengenang
perjalanan ayahnya, maka hatinya selalu bergejolak dengan dahsyatnya. Berbagai
bayangan hilir-mudik di dalam angan-angannya. Kadang-kadang ia hampir tidak
dapat menahan hati lagi. Rasa-rasanya ia ingin terbang menyusul ayahnya ke
Pajang. Namun setiap kali niatnya itu pun diurungkannya, karena ia benar-benar
tidak ingin menginjakkan kakinya di Pajang sebelum Mataram menjadi negeri yang
ramai.
“Tetapi bagaimana dengan
ayahanda,” ia selalu berbantah dengan dirinya sendiri
“Tetapi jalan ini sudah
terbuka. Tentu tidak akan ada lagi orang yang berani mengganggu perjalanan
ayahanda. Tidak akan ada lagi orang yang menamakan dirinya Panembahan Tidak
Bernama, atau menyebut dirinya Hantu dari Alas Mentaok, atau sebutan yang lain.
Perampok-perampok kecil tidak akan dapat mengganggu ayahanda karena ayahanda
memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya,” Raden Sutawijaya menenangkan
hatinya sendiri.
Meskipun demikian rasa-rasanya
ada saja dorongan yang memaksanya untuk pergi. Setiap kali ia selalu menimbang
berkali-kali, manakah yang sebaiknya dilakukan.
Tiba-tiba Sutawijaya sampai
pada puncak kebingungannya sehingga dengan lantang ia memanggil pengawal di
luar yang sedang bertugas di regol dalam.
“Ya, Raden,” pengawal itu
datang berlari-lari mendekatinya.
“Panggil Ki Lurah Branjangan,”
perintah Raden Sutawijaya.
Pengawal itu termangu-mangu
sejenak. Namun karena ia mengetahui bahwa Ki Lurah Branjangan sedang pergi,
maka ia pun kemudian berkata, “Ampun, Raden. Ki Lurah Branjangan sedang pergi
ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“He,” Sutawijaya terkejut,
“kenapa ia pergi ke Menoreh?”
Pengawal itu menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku tidak tahu, Raden. Ki Lurah Branjangan kemarin pergi
dengan dua orang pengawal.”
Raden Sutawijaya menjadi
semakin pepat. Dan tiba-tiba saja ia berteriak, “Pergi, kau juga pergi kembali
ke tugasmu.”
Pengawal itu termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian pergi meninggalkan Raden Sutawijaya yang sedang
kebingungan itu.
“Ia tidak pernah berbuat
sekasar itu,” berkata pengawal itu di dalam hatinya, “betapa pun marahnya,
tetapi Raden Sutawijaya tidak pernah berteriak-teriak seperti orang kesurupan.”
Dalam pada itu Raden
Sutawijaya menjadi bertambah bingung. Disangkanya Ki Lurah Branjangan dengan
sengaja meninggalkannya karena ia tidak mau pergi bersama ayahandanya Ki Gede
Pemanahan ke Pajang.
Sejenak Raden Sutawijaya masih
menghentakkan kakinya di lantai, namun sejenak kemudian maka ia pun duduk
dengan lemahnya di pembaringannya. Kepalanya tertunduk lesu tertampang pada
kedua tangannya yang bertelekan pada lututnya.
“Apakah orang-orang sudah
mulai meninggalkan aku?” ia bertanya kepada diri sendiri. “Apakah aku telah
berbuat suatu kesalahan karena aku berpegang pada sumpahku?” Namun kemudian
sekilas tampak bayangan wajah gadis Kalinyamat itu, sehingga dengan suara datar
Raden Sutawijaya berdesis, “Aku telah tergelincir ke dalam keadaan yang sangat
sulit.”
Dengan demikian maka Raden
Sutawijaya semakin membenamkan diri di dalam biliknya. Ia sama sekali tidak
menghiraukan waktu dan apa pun yang terjadi di luar biliknya dan apalagi di
luar rumahnya.
Namun ia pun kemudian terkejut
ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk orang.
“Siapa?” bertanya Raden
Sutawijaya.
“Aku Raden. Lurah Branjangan.”
Di luar sadarnya tiba-tiba
Raden Sutawijaya meloncat berdiri dan membuka pintu biliknya, dan dilihatnya Ki
Lurah Branjangan benar-benar berada di muka pintu.
“Kau sudah kembali?” bertanya
Raden Sutawijaya.
“Ya, Raden.”
“Kau benar-benar pergi ke
Menoreh?”
“Ya, Raden. Aku baru saja
kembali dari Menoreh. Seorang pengawal mengatakan bahwa Raden mencari aku.”
“Ya. Aku memang mencarimu
sejak pagi, Ki Lurah. Marilah, masuklah.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian masuk ke dalam bilik Raden Sutawijaya dan duduk di atas sebuah
dingklik kayu persegi panjang.
“Ki Lurah. Hatiku setiap saat
menjadi bertambah gelisah sepeninggal ayahanda,” berkata Raden Sutawijaya.
Ki Lurah mengerutkan
keningnya. Dan ia pun bertanya, “Lalu, maksud Raden? Apakah Raden akan menyusul
ke Pajang?”
“Tidak. Aku tidak akan pergi
ke Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri yang ramai.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia bertanya pula, “Jadi, apakah maksud
Raden?”
“Ki Lurah,” berkata Raden
Sutawijaya kemudian, “aku memang akan pergi, tetapi tidak sampai ke Pajang.”
“Jadi kemana Raden akan
pergi?”
“Aku akan menjemput ayahanda.
Ada dorongan yang tidak dapat aku elakkan, seakan-akan aku melepaskan ayah
berjalan di tengah-tengah kawanan perampok yang paling jahat,” jawab Raden
Sutawijaya, “meskipun aku yakin akan kemampuan Ayahanda. Namun kali ini aku
tidak dapat mengingkari perasaanku yang tidak aku ketahui sebabnya, bahwa aku
harus menjemput ayahanda, setidak-tidaknya sampai ke seberang Alas Tambak Baya,
atau bahkan sampai ke Prambanan.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kenapa Raden tidak pergi saja sama sekali ke
Pajang?”
“Tidak, Paman. Aku tetap pada
pendirianku.”
Ki Lurah Branjangan tidak
dapat memaksanya lagi.
“Aku hanya akan menjemput ayah
di perjalanannya kembali,” berkata Raden Sutawijaya kemudian. “Aku tidak tahu,
kenapa perasaanku menjadi cemas sekali.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu katanya, “Jika demikian, barangkali ada
juga baiknya, Raden. Jika Raden memerintahkan, aku akan pergi bersama Raden.”
“Baiklah, Paman. Sebaiknya
Paman menyiapkan sepasukan kecil pengawal. Kita besok pergi menjemput ayahanda.
Aku kira hari ini ayahanda baru dapat menghadap. Dan besok pagi ayahanda baru
akan kembali.”
“Tetapi, Raden, jika Raden
membawa sepasukan pengawal dan berada di daerah Prambanan, apakah pasukan
pengawal itu tidak akan dicurigai oleh prajurit Pajang yang berada di daerah
selatan ini? Kita tahu bahwa senapati pasukan Pajang di daerah selatan ini
adalah Untara yang berada di Jati Anom. Jika ia mengetahui pasukan pengawal
Mataram lewat daerahnya, maka kita mungkin akan terpaksa berurusan dengan
Untara.”
Raden Sutawijaya menjadi
termangu-mangu sejenak. Ia kenal Untara dengan baik, Untara adalah seorang
prajurit. Tidak lebih dan tidak kurang. Dan ia tahu sikap Untara menghadapi
persoalan yang menyangkut tugasnya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun harus
mempertimbangkannya sebaik-baiknya.
Tetapi dorongan kecemasannya
tidak dapat dielakkannya lagi sehingga katanya, “Baiklah, Ki Lurah. Kita tidak
akan lewat Prambanan dan menyusuri daerah selatan ini dalam satu barisan. Kita
akan lewat dalam kelompok-kelompok kecil seperti kelompok-kelompok pedagang
yang menyeberangi Alas Tambak Baya. Tiga atau empat orang berurutan. Tetapi di
dalam saat yang diperlukan, kita dapat berkumpul bersama. Lima belas atau dua
puluh orang pengawal.”
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu sejenak. Ia menjadi agak bingung menanggapi orang yang begitu
banyak diperlukan oleh Raden Sutawijaya.
Namun akhirnya Ki Lurah
Branjangan pun menyadari, bahwa Raden Sutawijaya memperhitungkan segenap
kemungkinan yang dapat terjadi atas ayahandanya di daerah yang tidak menentu
bagi Mataram. Baik sikap maupun tanggapan dari orang-orang yang berada di
sepanjang jalan antara Mataram dan Pajang.
“Bukankah cara itu menurut
Paman dapat juga ditempuh?” bertanya Raden Sutawijaya kemudian.
“Ya, ya, Raden. Memang cara
itu dapat ditempuh,” sahut Ki Lurah Branjangan.
“Nah, jika demikian,
siapkanlah orang yang akan berangkat bersama kita besok menjemput ayahanda di
perjalanannya kembali dari Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk
dalam-dalam. Kemudian ia pun minta diri untuk menghubungi pengawal-pengawal
terpilih dari Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu.
Dalam pada itu, sebenarnyalah
bahwa Ki Gede Pemanahan sudah berada di Pajang. Perjalanannya tidak mengalami
rintangan apa pun, dan ia dapat sampai dengan selamat. Bahkan ia tidak
mengalami kesulitan apa pun untuk memasuki istana Pajang, meskipun ia masih
harus menyampaikan pesan kepada Sultan Pajang lewat para abdi bahwa ia akan
menghadap.
Meskipun demikian, meskipun
kedatangannya tidak mengalami rintangan apa pun, namun Ki Gede Pemanahan
merasa, betapa tatapan mata yang tajam selalu mengikutinya ke mana ia pergi.
Para pemimpin pemerintahan dan para senapati menyapanya dengan hampa dan
ragu-ragu. Bahkan ada di antara mereka, yang dengan acuh tak acuh melihat
kedatangannya.
Tetapi di samping mereka yang
bersikap asing, ada juga antara para senapati yang dengan tergopoh-gopoh
mempersilahkannya dan dengan gairah menyambut tangannya. Bagi para senapati, Ki
Gede Pemanahan adalah bekas panglimanya.
Namun agaknya sebagian dari
mereka telah dijalari oleh perasaan tidak senang melihat perkembangan Mataram
dan seperti yang diduga oleh Ki Gede Pemanahan, para pemimpin di Pajang itu
sudah mengetahui apa yang terjadi atas salah seorang dari gadis Kalinyamat itu.
Seperti yang diperhitungkan
oleh Raden Sutawijaya, maka baru setelah Ki Gede Pemanahan bermalam semalam di
Pajang, barulah ia mendapat kesempatan untuk menghadap Sultan untuk
menyampaikan persoalannya.
Di luar paseban dada Ki Gede
Pemanahan bagaikan terhimpit oleh kepenatan perasaannya. Apakah yang akan
dikatakan oleh Sultan Hadiwijaya kepadanya, dan hukuman apakah yang akan
dilimpahkan kepada anaknya dan kepada dirinya sendiri.
“Sultan tentu sudah mengetahui
apa yang terjadi atas Sutawijaya dengan gadis Kalinyamat itu,” berkata Ki Gede
Pemanahan di dalam hatinya.
Ketika saat menghadap itu
tiba, terasa darah Ki Gede Pemanahan bagaikan semakin cepat mengalir. Sebagai
seorang prajurit, Ki Gede Pemanahan tidak pernah dibayangi oleh ketakutan
mengenai dirinya sendiri apa pun yang akan terjadi di peperangan. Tetapi kini,
menghadap Sultan membawa pengakuan atas kesalahan putranya, rasa-rasanya ia
berjalan di atas seonggok bara.
Ketika seorang pengawal
mempersilahkannya masuk, hatinya menjadi semakin gelisah dan cemas.
Rasa-rasanya ia sendirilah yang kini memasuki sebuah ruang untuk menjalani
hukuman yang sangat berat.
Tetapi ia tidak dapat ingkar.
Ia harus masuk ke dalam, apa pun yang akan terjadi atasnya.
Dengan langkah yang berat Ki
Gede Pemanahan melangkah memasuki pintu ruang paseban dalam.
Ketika ia berada di depan
pintu, terasa dadanya terguncang. Ruang yang luas itu ternyata kosong sama
sekali. Tidak ada seorang pun di dalamnya kecuali Sultan Hadiwijaya sendiri.
Sejenak Ki Gede Pemanahan diam mematung. Ia belum pernah melihat suasana
paseban seperti itu. Ia belum pernah melihat Sultan Hadiwijaya duduk sendiri di
ruangan yang luas itu, tanpa dihadap oleh para panglima dan bahkan Ki Patih.
Ki Gede Pemanahan terkejut
ketika kemudian mendengar Sultan Hadiwijaya menyapanya dengan ramah, “Marilah,
Kakang Pemanahan, silahkan. Kenapa kau nampak ragu-ragu?”
Ki Gede Pemanahan menundukkan
kepalanya. Sambil berjongkok ia maju mendekat.
Ki Gede Pemanahan pun kemudian
duduk dengan kepala tertunduk beberapa langkah di hadapan Sultan Hadiwijaya.
Sikap Sultan yang ramah dan paseban dalam yang sepi telah menumbuhkan persoalan
tersendiri dalam hatinya. Bahkan kemudian timbullah kecurigaannya atas keadaan
itu. Rasa-rasanya di balik dinding paseban itu telah siap sepasukan prajurit
yang tinggal menunggu perintah untuk menangkapnya.
Sekali lagi Ki Gede Pemanahan
terkejut ketika Sultan menyapanya pula, “Kemarilah, mendekatlah, Kakang.”
Ki Gede Pemanahan bergeser
maju sambil menyembah dan menyampaikan salam baktinya.
Sultan Hadiwijaya tersenyum.
Senyumnya masih seperti dahulu, ketika Ki Gede Pemanahan belum meninggalkan
Pajang.
“Kakang Pemanahan,” berkata
Sultan itu kemudian, “Kedatanganmu mengejutkan aku, tapi juga menggembirakan.
Sudah lama kita tidak bertemu. Aku sudah rindu kepadamu dan anakku Sutawijaya.
Tapi agaknya kali ini ia tidak ikut bersamamu. Bagaimana keadaannya, dan apakah
ia baik-baik saja?”
“Hamba mohon ampun, bahwa kali
ini hamba tidak menghadap bersama putranda. Tapi keadaannya baik-baik saja. Dan
hamba berharap bahwa dalam waktu yang dekat, putranda akan datang menghadap,”
jawab Ki Gede dengan kepada yang semakin menunduk.
Sultan Hadiwijaya masih saja
tersenyum. Di wajahnya tidak ada kesan bahwa ia sudah mengetahui apa yang
terjadi atas gadis Kalinyamat yang disimpannya itu.
“Tentu Sutawijaya sedang
sibuk,” berkata Sultan itu kemudian. “Aku tahu Sutawijaya adalah seorang anak
yang rajin dan suka bekerja keras. Aku sudah mendengar bahwa Mataram sudah
menjadi semakin ramai. Aku gembira bahwa perkembangan Mataram akan menjadi
pesat meskipun aku juga mendengar banyak rintangan yang harus diatasi.”
“Sebenarnyalah Kanjeng Sultan,
Danang Sutawijaya adalah anak yang rajin dan suka bekerja keras. Bahkan bukan
saja bekerja membuka hutan, tetapi juga mengamankannya dari gangguan yang
bermacam macam.”
“Ya, aku dengar banyak
binatang buas yang kadang-kadang mengganggu orang-orang yang sedang membuka
hutan.”
“Bukan hanya binatang buas
yang selama ini mengganggu pekerjaan hamba dan Danang Sutawijaya.”
“O, apa saja yang telah
mengganggu kalian?”
Ki Gede Pemanahan
termangu-mangu sejenak. Pertanyaan Sultan Pajang itu tidak menyakinkannya.
Apakah benar Sultan Hadiwijaya belum pernah mendengar apa yang terjadi di Alas
Mentaok? Bukankah para prajuritnya tersebar sampai di perbatasan?
Tetapi Ki Gede Pemanahan harus
menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka katanya, “Ampun Kanjeng Sultan. Selain
binatang luas agaknya ada juga orang-orang yang tidak senang melihat Alas
Mentaok dibuka menjadi sebuah negeri.”
“O,” Sultan Hadiwijaya
mengerutkan keningnya, “tetapi itu pun tidak mengherankan. Semua usaha tentu
akan mengalami rintangannya. Tetapi usaha yang demikian akan memberikan kepuasan
jika kelak berhasil. Danang Sutawijaya akan berbangga bahwa ia telah membuka
hutan yang lebat dan menjadikannya sebuah negeri yang ramai. Berbeda dengan
mereka yang tanpa berbuat apa-apa sudah dengan sendirinya menerima kedudukan
dan kekuasaan yang berlimpah-limpah. Bukankah demikian, Kakang Pemanahan?”
“Ya, ya, Kanjeng Sultan,”
Pemanahan tergagap. Ia masih belum dapat menjajagi kata-kata dan sikap Sultan
Hadiwijaya. Apakah sikapnya itu sekedar lamis, atau benar-benar melontar dari
lubuk hatinya.
Namun ternyata dengan demikian
Ki Gede Pemanahan menjadi semakin berdebar-debar. Seakan-akan ia berhadapan
dengan seseorang yang tidak dapat dimengerti. Seseorang yang dibayangi oleh
rahasia yang tidak terungkapkan. Rasa-rasanya di balik senyum dan sapa yang
ramah itu, Sultan Hadiwijaya sengaja menyimpan keputusan hukum pancung yang
akan dijatuhkan kepadanya jika saatnya telah tiba.
Tetapi dalam pada itu, Ki Gede
Pemanahan masih juga diganggu oleh keragu-raguan, apakah Sultan Hadiwijaya
benar-benar belum mengetahui apa yang telah terjadi dengan gadis Kalinyamat
itu?”
“Tetapi, Kakang,” berkata
Sultan Hadiwijaya selanjutnya, “di dalam saat-saat seperti ini, dengan tanpa
memberitahukan lebih dahulu, Kakang Pemanahan tiba-tiba saja sudah berada di
Istana Pajang, telah membuat aku bertanya-tanya.” Sultan Hadiwijaya berhenti
sejenak, lalu, “Apakah di dalam usaha Kakang Pemanahan dan Sutawijaya membuka
Alas Mentaok menemui kesulitan? Bukankah sejak Kakang meninggalkan Pajang dan
kemudian dengan resmi aku menyerahkan Alas Mentaok, aku sudah mengatakan bahwa
apabila Kakang Pemanahan dan Danang menemui kesulitan, katakanlah terus terang.
Tentu aku tidak akan sampai hati melepaskan kalian bekerja sendiri. Aku tahu
betapa liarnya Alas Mentaok karena pada masa mudaku aku sering berkeliaran
sampai ke jantung hutan itu.”
Pertanyaan itu membuat hati Ki
Gede Pemanahan menjadi semakin berdebar-debar. Ia semakin tidak mengerti sikap
sebenarnya dari Sultan Pajang.
Akhirnya Ki Gede Pemanahan
tidak lagi dapat menahan hatinya. Daripada ia selalu diombang-ambingkan oleh
keragu-raguan, kegelisahan dan tanggapan yang tidak menentu tentang sikap
Sultan Hadiwijaya, maka ia pun kemudian mengambil keputusan untuk mengatakan
saja kepentingannya datang ke Pajang.
Sekali lagi Ki Gede Pemanahan
memandang berkeliling paseban dalam yang sepi. Dan sekali lagi ia mencoba
menerka, apakah yang ada di balik dinding paseban dalam itu.
Ternyata Sultan Pajang
mengetahui keragu-raguan di hati Ki Gede Pemanahan, sehingga karena itu maka ia
pun kemudian berkata, “Kakang Pemanahan. Agaknya kau heran melihat ruangan yang
sepi ini. Memang tidak pernah terjadi, bahwa aku berada di paseban tanpa
pengawal, tanpa dihadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para senapati.
Tetapi Kakang, kali ini aku menerimamu bukan dalam sikap resmi sebagai seorang
Sultan di Pajang. Aku lebih senang menerimamu sebagai saudara yang di saat-saat
Pajang mulai tumbuh, kita telah bersama-sama membangunkannya dan kemudian
memeliharanya. Itulah sebabnya aku lebih senang menerimamu seorang diri.
Apalagi apabila kemudian di antara kita ada persoalan-persoalan yang bersifat
pribadi.”
Dada Ki Gede Pemanahan
berdesir karenanya. Entah disengaja atau tidak, Sultan Pajang sudah mulai
menyinggung persoalan pribadi seperti yang hendak dikatakannya.
“Ampun, Kanjeng Sultan,”
berkata Ki Gede Pemanahan itu kemudian, “sebenarnyalah hamba menjadi heran
bahwa hamba telah berada di dalam ruang paseban dalam yang sepi dan tidak
seperti kebiasaan yang berlaku. Namun agaknya Kanjeng Sultan telah mempersiapkan
pertemuan ini sebagai pertemuan yang akan membicarakan masalah-masalah
pribadi.”
“Bukan demikian, Kakang,”
sahut Sultan Hadiwijaya, “aku tidak mempersiapkannya demikian meskipun agaknya
memang akan terjadi.”