Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 098

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 098
Buku 098
Dalam pada itu, Gandu Demung pun telah bersiap pula menghadapi cambuk Swandaru. Seolah-olah ia ingin melihat setiap wajah yang berada di sekitar arena itu.

“Bagus,” berkata Gandu Demung kepada orang-orang yang berkerumun itu, “aku sadar bahwa aku akan mati. Tetapi sebelumnya kalian akan menyaksikan bagaimana aku mencincang pengantin baru ini sebelum kalian beramai-ramai menguliti tubuhku.”

“Persetan,” geram Swandaru, “jangan mengigau. Bersiaplah.”

Gandu Demung pun segera bersiap. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang sedang dibakar oleh kemarahan. Sehingga karena itulah maka ia harus berhati-hati dan tidak kehilangan akal pula.

Kiai Gringsing yang juga berdiri di lingkaran itu hanya dapat mengikuti perkembangan keadaan dengan tegang. Agaknya Swandaru sudah tidak dapat dicegah lagi.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah berdoa, agar Swandaru dapat menyelesaikan perang tanding itu dengan selamat.

Sejenak kemudian kedua orang itu sudah siap untuk bertempur. Sekilas, di sela-sela orang-orang yang berdiri melingkarinya, Gandu Demung masih sempat melihat beberapa orang anggota gerombolannya yang menyerah dan dijaga oleh beberapa orang pengawal.


“Pengecut,” ia menggeram. Dan Gandu Demung benar-benar tidak ingin menyerah.

Sejenak kemudian, terdengar suara cambuk yang meledak. Swandaru nampaknya sudah tidak sabar lagi. Terdengar suaranya yang bergetar, “Cepatlah, supaya kau cepat pula dimasukkan ke dalam kubur.”

Wajah Gandu Demung pun telah membara. Ia bukan orang yang sabar menghadapi celaan. Karena itulah maka ia pun segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.

Dengan tegang Swandaru bergeser selangkah ke samping. Tangannya sudah siap mengayunkan cambuknya yang berjuntai panjang dengan karah besi baja di beberapa tempat.

Namun Swandaru terkejut karena dengan tidak diduga-duga, saat kakinya sedang melangkah untuk kedua kalinya, tiba-tiba saja Gandu Demung meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan senjatanya.

Swandaru tidak bersiaga menghadapi serangan itu, sehingga dengan demikian, maka yang dapat dilakukannya adalah meloncat menghindar selangkah surut.

Tetapi Gandu Demung mempergunakan setiap saat sebaik-baiknya. Ia tidak menarik serangannya, tetapi mengayunkan senjatanya mendatar mengarah ke lambung Swandaru.

Kaki Swandaru masih terbuka. Karena itu, ia tidak sempat mengelak lagi dengan langkah surut karena berat tubuhnya. Tetapi ia pun tidak sempat menangkis serangan itu dengan cambuknya, sehingga karena itu ia harus cepat menentukan sikap untuk menghindarkan diri dari senjata lawannya yang akan dapat menyobek lambungnya.

Dalam kesulitan itu, Swandaru tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mau tersayat oleh senjata lawannya, maka ia pun harus melakukannya.

Dengan cepat pula Swandaru menjatuhkan diri. Kemudian berguling melingkar mundur.

Namun lawannya benar-benar ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Jika ia tidak berhasil mempergunakan saat yang baik itu, maka ia akan menjumpai kesulitan di dalam berikutnya. Sehingga dengan demikian, maka Gandu Demung pun segera meloncat memburu. Dengan perhitungan yang cermat ia mengayunkan senjatanya menebas tepat saat Swandaru melenting berdiri.

Semua orang yang berada di seputar arena itu berdiri mematung. Mereka telah dicengkam kecemasan melihat perkelahian itu. Mereka melihat Swandaru berada dalam kedudukan yang lemah, apalagi di dalam saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya menebas Swandaru yang menurut perhitungannya akan melenting berdiri.

Pandan Wangi yang berdiri tegak menjadi pucat. Sepasang senjatanya telah bergetar. Namun ia tidak berani meloncat memasuki arena karena ia sadar, bahwa dengan demikian ia akan melukai hati Swandaru. Demikian pula agaknya Sekar Mirah dan orang-orang lain yang melihat keadaan itu.

Tetapi ternyata bahwa Swandaru yang gemuk dan sedang dibakar oleh kemarahan itu pun sempat membuat perhitungan yang cermat. Sesaat ia siap untuk melenting berdiri ia sempat melihat kaki lawannya yang bergerak setengah langkah maju, dengan mencondongkan tubuhnya ke depan.

Karena itulah, maka sekilas ia mencoba melihat gerak tangan lawannya. Dengan ketajaman tanggapan, Swandaru segera dapat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Sehingga karena itulah maka ia mengurungkan niatnya untuk melenting, tetapi sekali lagi ia berguling ke samping dan berkisar dengan poros lambungnya.

Ternyata bahwa Swandaru berhasil. Pada saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya untuk menebas tubuh Swandaru yang diperhitungkan akan melenting berdiri, Swandaru telah membuat gerakan yang lain sekali sehingga Gandu Demung terkejut karenanya. Dengan serta-merta ia pun telah merubah serangannya, dengan menahan ayunan senjatanya yang mendatar. Ia harus mengangkat senjatanya itu, dan dengan ujungnya ia menukikkan senjata itu langsung ke dada Swandaru yang sedang berkisar.

Hampir saja Pandan Wangi dan Sekar Mirah terpekik berbareng. Untunglah keduanya masih dapat menahan diri betapa dadanya telah terguncang, dan rasa-rasanya jantungnya akan pecah. Ujung senjata Gandu Demung itu bagaikan petir yang menyambar dari langit langsung mengarah ke pusat jantung

Tetapi Swandaru tidak membiarkan ujung senjata itu membunuhnya. Ia pun melakukan gerakan itu dengan perhitungan. Karena itulah, maka tepat ketika ujung senjata itu mematuknya, dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan kedua kakinya bersilang.

Gerak kaki Swandaru bagaikan kekuatan yang melemparkan Gandu Demung dengan lontaran yang tidak tertahan. Kedua kakinya yang memotong dengan arah yang berlawanan, telah merampas keseimbangan Gandu Demung. Dengan serta-merta ia pun terlempar jatuh dan berguling beberapa kali di atas tanah yang keras.

Tetapi Gandu Demung benar-benar lincah. Sesaat kemudian, maka ia pun segera meloncat berdiri, mendahului semua kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh Swandaru.

Namun Gandu Demung menggeram. Ketika ia tegak berdiri dengan kaki renggang, ia pun melihat bahwa Swandaru pun telah berdiri tegak pula dengan cambuknya di dalam genggaman. Wajahnya yang kotor oleh keringat dan debu, membuat wajahnya tampak menjadi semakin menyeramkan.

Gandu Demung tidak berkata sepatah pun. Ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk Swandaru yang tentu akan dapat menyayat kulitnya, jika tidak sempat menghindar.

Dengan hati-hati, Swandaru melangkah maju. Ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itulah, maka setiap saat tangannya akan dengan cepat terayun ke tubuh lawannya.

Untuk beberapa saat keduanya mencoba untuk mengetahui apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi lawan yang tangguh itu. Bahkan mereka seakan-akan saling menyegani dan menunggu.

Namun sejenak kemudian, terdengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Swandaru telah terayun menyambar tubuh lawannya.

Tetapi Gandu Demung yang melihat arah ayunan itu sempat mengelak dengan loncatan panjang. Ia pun harus segera membungkuk dalam-dalam ketika cambuk itu kemudian melayang menyambar lehernya.

Gandu Demung dengan tepat dapat memperhitungkan, bahwa sekali lagi Swandaru akan mengayunkan cambuk itu sendal pancing, sehingga ia masih sempat meloncat ke samping. Bukan saja sekedar meloncat, tetapi Gandu Demung langsung menggerakkan senjatanya. Dengan tangan terjulur lurus senjatanya telah mematuk lawannya. Tetapi Swandaru pun sempat mengelak, bahkan menyerang dengan cambuknya pula.

Dengan lincahnya Gandu Demung berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Dengan kecepatan geraknya, ia berhasil masuk ke dalam jarak yang sulit disentuh oleh ujung cambuk Swandaru justru karena terlampau dekat.

Sekali lagi Gandu Demang merasa, bahwa ia telah menemukan kelemahan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia mempergunakan kesempatan itu dengan mengayunkan senjatanya mendatar, dan kemudian menusuk lurus ke arah dada.

Swandaru menggeram dengan marahnya. Ia sadar, bahwa lawannya yang cerdik telah memotong jarak sehingga ujung cambuknya sulit dipergunakannya. Setiap kali ia berusaha meloncat menjauh, maka Gandu Demung selalu mengejarnya untuk mempertahankan jarak yang pendek yang telah dapat dicapainya.

Orang-orang yang berada di dalam lingkaran yang memutari pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Tidak seorang pun dari mereka yang tidak menjadi cemas melihat cara yang ditempuh oleh Gandu Demung yang cerdik. Kecepatannya bergerak dan kecerdikannya, telah membuat Swandaru merasa terdesak.

Tetapi ternyata Swandaru bukan seorang anak muda yang cepat kehilangan pegangan. Ia pun memiliki pengalaman yang luas menghadapi berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya, maka ia pun masih sempat mempergunakan akalnya di antara kemarahan yang rasa-rasanya akan meledakkan dadanya.

Sambil menghindari setiap serangan lawannya, Swandaru berusaha menemukan cara untuk mengatasi jarak yang dipertahankan mati-matian oleh Gandu Demung. Setiap kali cambuknya meledak, maka lawannya selalu sempat berlindung justru pada tangkainya, bahkan sekaligus telah menyerang pula.

Karena itulah, maka kemudian Gandu Demung merasa, bahwa betapapun lambatnya, namun ia akan berhasil menguasai lawannya dan bahkan sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Swandaru, akan mengantarnya ke daerah maut.

Dalam kesulitan itulah Swandaru mengerahkan segenap kemampuannya. Beberapa kali ia mencoba meledakkan cambuknya sendal pancing, meskipun hasilnya kurang meyakinkan. Kemudian dengan putaran-putaran yang kuat mendatar. Namun nampaknya ujung cambuknya justru akan membelit lawannya tidak pada tempat yang dikehendaki, dan memberi kesempatan lawannya menahan ujung cambuknya sambil menyerang dengan senjatanya.

Sementara itu, Gandu Demung menyerang terus. Semakin lama semakin cepat, sehingga Swandaru pun menjadi semakin terdesak karenanya.

Dalam pada itu, di arena itu tiba-tiba telah meledak suara tertawa Gandu Demung sehingga setiap orang terkejut karenanya. Apa lagi ketika mereka melihat warna merah yang meleleh di pundak Swandaru.

“Luka,” desis Sekar Mirah dengan tangan gemetar. Tongkat bajanya tiba-tiba saja telah digenggamnya erat-erat, seolah-olah telah siap untuk diayunkannya. Sementara Pandan Wangi bergeser selangkah dengan sepasang pedang di tangannya.

Swandaru menggeram disengat oleh perasaan pedih di lukanya itu. Apalagi nampaknya Gandu Demung mempergunakan setiap kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Luka di pundak Swandaru merupakan pertanda baginya, bahwa ia akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Dengan cermat Gandu Demung mendesak lawannya. Setiap kali ia berhasil meloncati ujung-ujung cambuk Swandaru yang berusaha membelit kakinya, sehingga ia tidak terjerat karenanya.

Dalam kekalutan itu, Gandu Demung berhasil mendesak Swandaru yang nampaknya kehilangan semua kesempatan untuk mempergunakan senjatanya. Sebuah ayunan yang keras menyambar kening. Meskipun Gandu Demung yakin bahwa Swandaru masih akan sempat membungkukkan badannya untuk menghindar, tetapi serangan berikutnya tentu akan mengakhiri perkelahian. Saat itu Swandaru tidak akan dapat menghindari serangan justru tidak dengan senjatanya, tetapi dengan kakinya. Kaki Gandu Demung akan menghantam wajah Swandaru yang membungkuk itu. Ketika ia mengangkat wajah itu, maka berakhirlah semuanya. Senjatanya akan memecahkan dada anak muda yang gemuk itu.

Tetapi Swandaru mempunyai perhitungannya sendiri. Ia memang tidak dapat berbuat lain, ketika senjata lawannya menyambar kening. Namun dalam pada itu, Swandaru tidak sekedar membungkukkan kepalanya dan membiarkan kaki lawannya terangkat di wajahnya. Ia sadar bahwa dalam keadaan yang demikian ia tidak akan menyerang dengan ujung cambuknya. Dan ternyata nalarnya masih tetap bening. Pada saat ia membungkukkan wajahnya, ia melihat kaki Gandu Demung mulai bergerak. Namun pada saat itulah ia menyerang lawannya, tetapi tidak dengan ujung cambuknya.

Ternyata Swandaru telah mempergunakan senjatanya tidak seperti kebiasaannya. Jarak yang pendek tidak menguntungkannya untuk mempergunakan ujung cambuknya. Karena itulah, maka ketika sebelah kaki Gandu Demung mulai bergerak, Swandaru telah mengayunkan cambuknya, memukul kaki lawannya yang tegak di atas tanah, tidak dengan ujungnya, tetapi justru dengan tangkainya. Swandaru telah memegang cambuknya terbalik, meskipun tidak sepanjang juntainya. Ia menggenggam cambuknya pada pangkal juntainya yang dengan sekuat tenaganya diayunkannya mengenai lutut lawannya.

Serangan itu sama sekali tidak diduga oleh lawannya, seperti saat kaki Swandaru memotong dengan gerakan silang dan melemparkannya jatuh berguling di tanah. Ternyata serangan yang tiba-tiba itu telah terulang lagi. Dan sekali lagi Gandu Demung terguncang dan jatuh.

Gandu Demung melihat bagaimana Swandaru berguling menjauhinya dan meloncat berdiri secepat Gandu Demung sendiri melenting meskipun lututnya masih terasa sakit dan kaki itu masih gemetar. Bukan saja karena hantaman tangkai cambuk yang rasa-rasanya telah meretakkan tulangnya, tetapi juga karena kejutan yang telah mengguncangkan isi dadanya, sehingga seolah-olah retak karenanya, karena pada saat satu kakinya mulai terangkat, maka kaki yang lain telah mengalami serangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya.

Tetapi ternyata bahwa Swandaru-lah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya didorong oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Dengan serta-merta maka ia pun segera meloncat menyerang sesaat setelah Gandu Demung mulai tegak di atas kakinya yang masih pedih.

Sebuah ledakan cambuk telah menggelepar dengan dahsyatnya. Swandaru Ternyata telah memegang tangkai cambuknya kembali dan mengayunkannya sekuat-kuat tenaganya mengenai tubuh Gandu Demung.

Terdengar sebuah keluhan tertahan. Ujung cambuk itu tidak membelit tubuh Gandu Demung, tetapi hentakan yang kuat seolah-olah telah membelah kulit seperti sentuhan sembilu.

Agaknya, luka di pundak Swandaru telah membuat anak muda yang gemuk itu kehilangan pengekangan diri. Selagi Gandu Demung masih berusaha menemukan keseimbangannya dan menahan perasaan pedih, tiba-tiba terdengar sekali lagi cambuk Swandaru meledak.

Gandu Demung terkejut melihat gerakan yang begitu cepat. Ia melihat ujung cambuk itu terayun ke lehernya, sehingga karena itu, maka ia pun segera membungkukkan kepalanya.

Tetapi Swandaru telah mempersiapkan serangan berikutnya. Ia memutar cambuk itu sekali di udara, kemudian sambil merendahkan diri ia bergeser maju. Cambuknya dengan cepat terayun mendatar setinggi lutut lawannya.

Gandu Demung benar-benar tidak sempat mengelak, Meskipun ia berusaha untuk meloncat, namun ujung cambuk itu ternyata masih sempat membelit pergelangan kakinya.

Dengan serta-merta Swandaru menarik cambuknya. Dan hentakan yang kuat itu telah melemparkan Gandu Demung dan membantingnya jatuh di atas tanah sekali lagi.

Kesalahan itu ternyata tidak terampuni lagi. Kemarahan Swandaru benar-benar sudah sampai ke puncaknya. Ketika kemudian Gandu Demung berusaha untuk bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah menyambarnya. Demikian dahsyatnya, sehingga yang terdengar di antara ledakan cambuk itu adalah teriakan Gandu Demung yang kesakitan. Ia tidak sempat tegak berdiri karena ia pun kemudian terdorong sekali lagi dan jatuh terjerembab.

Pada saat yang sama Swandaru telah meloncat maju. Tangannya bergerak dengan kekuatan penuh. Dan ketika cambuknya terayun sekali lagi mengenai tubuh Gandu Demung, maka orang itu hanya sempat menggeliat sambil mengeluh.

Tetapi nampaknya Swandaru telah benar-benar dicengkam oleh kemarahan yang tidak terkendali. Tanpa ragu-ragu maka sekali lagi cambuknya terangkat dan hentakan yang keras telah membuat jalur luka melintang di punggung lawannya. Sekali, dua kali, dan berulang kali.

Gandu Demung sama sekali sudah tidak bergerak lagi. Tetapi Swandaru nampaknya tidak puas dengan ledakan cambuknya yang susul-menyusul itu. Sebagai orang yang kehilangan akal, maka ia pun berusaha untuk menghancurkan tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.

Orang yang berdiri di sekeliling arena itu terkejut melihat tingkah laku Swandaru. Mereka mengerti, bahwa luka di pundak Swandaru telah membuatnya kehilangan pengamatan diri. Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa Swandaru benar-benar dapat melakukan seperti yang mereka saksikan itu betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya.

Dalam pada itu, selagi orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu membeku di tempatnya, terdengar suara Kiai Gringsing memecah di antara ledakan-ledakan cambuk Swandaru, “Cukup, cukup! Berhentilah!”

Tetapi Swandaru tidak berhenti. Bahkan ia menjawab, “Kawan-kawanku telah jatuh menjadi korban. Ia harus dicincang sampai lumat.”

“Itu sudah cukup,” terdengar suara Ki Sumangkar dan Ki Demang hampir berbareng.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Ia hanya berhenti sejenak dan berpaling dengan tatapan mata yang membara. Bahkan perintahnya, “Bunuh semua tawanan.”

“Anakmas Swandaru,” desis Ki Waskita.

Tetapi sekali lagi Swandaru berteriak, “Bunuh semua tawanan. Setiap kematian harus ditebus dengan sepuluh orang lawan.”

“Swandaru,” Ki Demang hampir berteriak.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukannya. Bahkan kemudian sekali lagi ditatapnya tubuh Gandu Demung yang sudah menjadi merah oleh darah. Agaknya ia masih belum puas melihat korbannya yang sudah tidak mampu berbuat apa pun juga itu.

Tetapi yang terjadi telah menghentikan denyut setiap jantung. Pada saat Swandaru mengangkat tangannya, tiba-tiba saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya. Dengan gerak naluriah karena penguasaan ilmu kanuragan, maka Pandan Wangi berhasil menyusup di antara tangan Swandaru. Sambil berlari, maka ia pun kemudian memeluk Swandaru yang sedang dibakar oleh kemarahan itu,

“Kakang,” terdengar suaranya tersendat, “cukup. Yang Kakang lakukan telah lebih dari cukup.”

Tangan Pandan Wangi yang melingkari tubuhnya dan kemudian titik-titik hangat air matanya, ternyata masih mampu melunakkan hatinya. Sejenak ia berdiri membeku sambil menggenggam tangkai cambuknya. Sementara titik-titik air mata Pandan Wangi semakin deras membasahi tubuhnya yang memang sudah basah oleh keringat.

“Sudahlah, Kakang. Jangan kau biarkan perasaanmu berbicara di luar penguasaan nalar,” desis Pandan Wangi.

Untuk beberapa saat Swandaru terdiam. Namun terasa tangannya masih bergetar. Jantungnya masih berdegup keras, seolah-olah akan memecahkan dinding dadanya.

Pandan Wangi masih memeluk Swandaru. Meskipun ia masih saja menggenggam pedang yang basah oleh darah, tetapi kelembutannya sebagai seorang perempuan telah berhasil menyabarkan suaminya.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Seharusnya kau tidak menahan aku. Semua orang yang dapat kita tangkap harus dibunuh, karena korban di antara kita pun sudah terlampau banyak.”

“Mereka sudah menyerah, Kakang,” desis Pandan Wangi.

Swandaru menggeretakkan giginya. Katanya, “Penyerahan mereka tidak akan dapat membangkitkan lagi kawan-kawan kita yang sudah menjadi korban atau dengan serta-merta menyembuhkan luka-luka mereka.”

“Tetapi mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah menyerah. Adalah suatu adat di dalam peperangan, bahwa siapa yang sudah menyerah, tidak seharusnya dibinasakan.”

Alahgkah terkejut Pandan Wangi ketika ia mendengar Sekar Mirah berdesah, “Kita bukan malaikat yang turun dari langit. Bagiku, setiap kematian harus ditebus dengan kematian.”

“Sekar Mirah,” desis Ki Sumangkar, “apakah aku pernah mengajarkan demikian?”

Sekar Mirah berpaling. Ditatapnya wajah gurunya. Namun karena wajah itu menjadi tegang, maka ia pun segera menundukkan kepalanya.

Ki Sumangkar pun mendekatinya sambil berbisik, “Ingatlah. Tongkat itu adalah pertanda bahwa tidak setiap kematian harus ditebus dengan kematian. Jika demikian halnya, maka aku pun telah menjadi bangkai saat sisa-sisa pasukan Jipang menyerah. Ternyata bahwa Angger Untara tidak berusaha menghitung berapakah korban yang jatuh dari orang-orang Pajang dan menuntut jumlah yang sama apalagi berlipat.”

Sekar Mirah tidak menyahut. Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.

Dalam pada itu, Pandan Wangi pun telah melepaskan suaminya yang menjadi semakin tenang. Dipungutnya sepasang pedangnya yang basah oleh darah dan disarungkannya ke dalam wrangkanya.

Swandaru masih berdiri termangu-mangu. Dipandanginya mayat yang terbujur di tanah dengan warna darah. Ketika Pandan Wangi melihat wajah suaminya, di luar sadarnya ia pun mengikuti arah pandangan matanya. Namun tiba-tiba saja ia berpaling sambil memejamkan matanya.

Yang dilihatnya sangat mengerikan baginya. Tubuh yang seolah-olah bagaikan dikuliti oleh luka cambuk Swandaru.

Dalam ketegangan itu, Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah, Swandaru. Marilah. Perjalanan kita belum selesai. Saat ini kau adalah seorang mempelai yang sedang diiringi oleh anak-anak muda dan orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya, dilihatnya ayahnya, gurunya, Ki Waskita, Ki Sumangkar, orang-orang tua dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengiring lainnya sedang berdiri termangu-mangu. Bahkan mereka yang sedang menjaga tawanan yang duduk di tanah, memandanginya dengan tanpa berkedip.

“Semua orang memperhatikan aku,” katanya di dalam hati.

“Marilah, Swandaru,” berkata gurunya, “kita akan meneruskan perjalanan kita. Ada beberapa ekor kuda yang dapat dipakai. Yang lain akan berjalan kaki. Sedang sebagian lagi akan mencari pedati untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka parah.”

“Bukan saja terluka parah, Guru,” sahut Swandaru, “tetapi tentu ada satu dua yang menjadi korban.”

“Itu memang mungkin sekali. Karena itu, teruskan perjalananmu. Aku akan tinggal di sini, mungkin ada satu dua orang yang memerlukan pertolonganku sebagai seorang dukun.”

Swandaru memandang ayahnya sejenak. Lalu katanya sambil menengadahkan wajahnya, “Ayah. Aku tidak mau menerima penghinaan saat aku berada di pintu gerbang pemerintahan atas Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum pada saatnya aku menggantikan kedudukan para pemimpin yang sekarang, aku harus membuktikan, bahwa tidak seorang penjahat pun yang boleh menjamah kedua daerah ini dan keluar hidup-hidup. Seorang penjahat yang memasuki Sangkal Putung atau Tanah Perdikan Menoreh, akan meninggalkan daerah-daerah itu hanya tinggal namanya saja.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Jika sekarang aku membiarkan para tawanan itu hidup, maka itu adalah karena kemurahan hati orang-orang tua yang ada di sini sekarang. Tetapi hal itu tidak akan terulang lagi.”

Agung Sedayu yang berdiri beberapa langkah dari Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia mengurut juntai cambuknya.

“Mereka berdiri pada dua ujung yang bertentangan,” katanya di dalam hati, “Swandaru di ujung ini dan Rudita di ujung yang lain. Sementara itu aku berdiri di tengah-tengah dengan penuh keragu-raguan.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun membimbing Swandaru mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah sambil berkata, “Silahkan,” lalu kepada Ki Demang, “sebaiknya perjalanan ini segera dilanjutkan. Jaraknya tidak terlalu jauh lagi.”

Ki Demang pun kemudian mendekati anak-anaknya dan menantunya sambil mengajak mereka, “Sebaiknya memang kita melanjutkan perjalanan. Kita berterima kasih, bahwa Kiai Gringsing bersedia tinggal untuk merawat mereka yang terluka.”

Swandaru memandang arena itu sekali lagi. Kemudian gumamnya, “Ternyata kekuatan Untara pun tidak mampu mencegah kejahatan yang terjadi di sini. Bukankah daerah ini seharusnya mendapat perlindungan dari Pajang yang di daerah ini kuasa keprajuritannya ada di tangan Untara dan senopati-senopati bawahannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian desisnya, “Daerahnya terlampau luas untuk dapat diamatinya setiap saat.”

Swandaru memandang gurunya dengan tegang. Nampaknya ia masih berusaha untuk menahan kata-katanya. Namun desakan perasaannya telah mendesaknya untuk berkata, “Guru. Jika demikian, apakah tidak sebaiknya daerah pengawasan prajurit-prajurit Pajang itu dipersempit saja?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Persoalannya bukanlah begitu sederhana, Swandaru. Sekarang, biarlah kita tidak membicarakan persoalan-persoalan yang rumit. Jarak yang pendek ini masih harus kita selesaikan sebelum matahari terbenam.”

Swandaru memandang orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Gurunya, ayahnya, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan kemudian matanya tersangkut pada juntai cambuk di tangan saudara seperguruannya yang berdiri tegak dengan kaki renggang, Agung Sedayu.

Sejenak Swandaru masih termenung. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan meneruskan perjalanan ini.”

Para pengawal yang datang berkuda, segera menyerahkan kuda mereka untuk dipergunakan oleh Swandaru dan beberapa orang yang akan mengiringinya sampai ke kademangan.

“Pergilah, Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing, “mungkin di perjalanan yang pendek itu masih diperlukan orang-orang tua macam kita.”

Ki Waskita mengangguk. Ketika dipandanginya Ki Sumangkar, Kiai Gringsing pun berdesis, “Biarlah Ki Sumangkar ikut serta pula. Aku akan tinggal dengan beberapa orang anak-anak muda yang akan menyelesaikan para pengiring yang terluka dan yang telah menjadi korban.”

Swandaru tidak membantah lagi. Ia pun kemudian menerima sepasang kuda yang akan dipergunakan dengan Pandan Wangi. Yang lain pun segera mendapatkan kuda pula, terutama orang-orang tua. Sedangkan orang-orang yang mengiringi pengantin itu dari Tanah Perdikan masih sempat mempergunakan kuda mereka masing-masing yang terikat pada batang-batang perdu.

“Guru akan tinggal di sini?” bertanya Swandaru.

“Ya. Tetapi aku akan segera menyusul jika tugasku di sini sudah selesai.”

Swandaru pun kemudian meloncat ke punggung kuda diikuti oleh Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan orang-orang lain yang akan mengiringinya ke Sangkal Putung. Tetapi terbatas pada jumlah kuda yang ada, sedangkan yang lain harus mengikutinya sambil berjalan kaki meskipun dari jarak yang semakin jauh, sedangkan yang lain lagi akan tinggal membantu Kiai Gringsing dan menyelenggarakan para korban yang terbunuh di peperangan, sedang sebagian dari mereka akan mengurus para tawanan.

Sejenak kemudian maka beberapa ekor kuda pun segera meninggalkan tempat itu. Satu-satu sambil melepaskan debu yang putih dalam bayangan warna yang sudah menjadi semakin merah di langit.

Ternyata bahwa perkelahian di pinggir hutan itu sudah berlangsung cukup lama, sehingga matahari sebentar lagi akan turun dan tenggelam dibawa cakrawala.

Ketika kuda yang terakhir telah meninggalkan tempat itu, Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sambil memandang muridnya yang seorang, yang masih berdiri tegak sambil memegang tangkai cambuknya.

“Kau tidak pergi bersama Swandaru, Agung Sedayu?” bertanya gurunya.

“Aku tinggal di sini, Kiai. Mungkin aku dapat membantu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejak semula ia memang melihat perbedaan sifat dan watak pada kedua muridnya ini. Tetapi untuk beberapa lama ia berhasil memperkecil perbedaan itu. Namun tiba-tiba saja ia melihat sifat dan watak masing-masing itu menjadi jelas dalam keadaan yang sulit dikendalikannya.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “kau dapat membantu aku di sini.”

Agung Sedayu pun kemudian membelitkan cambuknya di lambungnya dan menyingsingkan lengan bajunya membantu pekerjaan Kiai Gringsing yang cukup berat.

Namun ketika terpandang olehnya mayat Gandu Demung, terasa tengkuknya meremang.

“Mengerikan,” katanya di dalam hati. Sejalan dengan itu, keheranannya mengenai Swandaru pun menjadi semakin mekar. Meskipun demikian ia masih menyimpannya saja di dalam hati.

Dalam pada itu, di kejauhan dua orang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sejak kedatangan beberapa ekor kuda yang susul-menyusul mereka sudah menduga bahwa keadaan akan segera berubah.

Seperti yang kemudian terjadi, maka pasukan Gandu Demung pun telah pecah dan berlarian masuk hutan,

“Bagaimana dengan Gandu Demung sendiri,” desis salah seorang dari mereka.

“Aku tidak mempunyai harapan lagi,” sahut yang lain, “agaknya Gandu Demung tidak dapat keluar dari kesulitan.”

“Apakah ia tidak ikut lari ke hutan?”

“Bukankah kita masih melihat ia bertempur dengan anak muda yang gemuk itu.”

“Tetapi kemudian pandangan kita terhalang oleh lingkaran orang-orang yang mengelilingi pertempuran itu.”

“Gandu Demung tidak keluar dari arena. Ia tentu sudah terbunuh dalam perkelalahian yang kemudian telah menjadi perang tanding.”

“Agaknya memang demikian. Tetapi kita memerlukan waktu untuk memastikannya. Jika benar-benar Gandu Demung mati, itu akan lebih baik daripada jika ia tertangkap atau menyerah.”

“Agaknya memang bukan wataknya. Jika ia harus menyerah, maka aku kira ia akan memilih mati. Kecuali jika nampak ada kesempatan untuk melarikan diri.”

“Mudah-mudahan ia mati terbunuh di arena, atau lari sama sekali.”

Keduanya terdiam. Tetapi keduanya masih belum berani mendekati arena, karena mereka masih melihat beberapa orang berkeliaran.

Mereka adalah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang anak muda yang lain, sementara Swandaru bersama beberapa orang pengiringnya telah mendekati padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Iring-iringan pengantin itu tiba-tiba saja telah berubah menjadi iring-iringan duka seperti mengantar mayat ke kubur. Swandaru kini berada di paling depan. Ia seolah-olah tidak teringat lagi bahwa ia sedang diarak sebagai seorang pengantin laki-laki di samping pengantin perempuan. Sikapnya benar-benar seperti seorang panglima di medan perang yang terasa terlampau berat.

Di belakangnya Pandan Wangi mengikutinya di samping Ki Waskita, Kerti, dan Ki Demang Sangkal Putung yang pucat. Sementara di belakang mereka adalah Sekar Mirah yang berkuda di sebelah Prastawa.

Baru di belakang mereka para pengiring yang berwajah tegang. Orang-orang tua dan anak-anak muda dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.

Di sepanjang jalan iring-iringan itu masih bertemu dengan dua tiga orang berkuda yang ingin menyusul ke medan setelah mereka mendengar tentang pertempuran yang terjadi di ujung hutan.

“Teruslah,” berkata Swandaru, “mungkin kawan-kawan kita yang tertinggal memerlukan kawan untuk menyelesaikan tugas mereka.”

Para pengawal itu pun berpacu terus ke pinggir hutan bekas arena perkelahian yang basah oleh darah.

Dalam pada itu, mereka yang berada di dalam iring-iringan itu seolah-olah telah dicengkam oleh ketegangan jiwa sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang bercakap-cakap. Setiap orang di dalam iring-iringan itu menundukkan kepalanya sambil memandangi tanah berdebu di bawah kaki kuda-kuda mereka.

Baru ketika mereka sudah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, Prastawa berdesis, “Sekar Mirah, kenapa Kakang Agung Sedayu tidak turut kembali ke kademangan?”

Sekar Mirah menarik nafas. Katanya, “Ia lebih senang tinggal bersama gurunya merawat orang-orang yang terluka.”

“Ia memang memiliki perasaan belas kasihan kepada sesama,” sahut Prastawa.

“Ya. Karena itulah maka ia tidak berani berbuat apa-apa selain menunggu. Jika sesuatu mulai menyentuhnya, barulah ia berbuat sesuatu.”

Prastawa memandang Sekar Mirah sekilas, yang wajahnya menjadi semakin tegang oleh kekecewaan karena sikap beberapa orang di dalam iring-iringan itu.

“Aku sependapat dengan Kakang Swandaru,” berkata Sekar Mirah kemudian, “setiap jiwa harus ditebus dengan jiwa. Karena kematian yang terjadi itu sama sekali bukan karena kesalahan kami, maka tuntutan kami pun seharusnya berlipat ganda seperti yang dikatakan oleh Kakang Swandaru.”

“Apakah itu menjadi kebiasaan kalian?”

Pertanyaan itu memang mengejutkan. Tetapi kemudian Sekar Mirah menjawab, “Aku tidak pernah mempertimbangkan kebiasaan. Yang aku katakan adalah yang tersirat di dalam perasaanku sekarang.”

Prastawa mengangguk-angguk. Ia menjadi semakin kenal watak dan tabiat Sekar Mirah yang keras. Namun sejalan dengan itu kekagumannya terhadap gadis itu pun bertambah-tambah pula. Di dalam pertempuran itu ia telah menyaksikan, bahwa Sekar Mirah jauh lebih tangkas dari laki-laki kebanyakan meskipun ia seorang perempuan.

Hampir di luar sadarnya, tiba-tiba saja Prastawa berguman seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri, “Kau benar, Mirah.”

Sekar Mirah berpaling. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah yang benar?”

“Sikapmu, bahwa kau sependapat dengan Kakang Swandaru.”

Sekar Mirah memandang Prastawa sejenak. Namun kemudian tatapan matanya pun mengarah lurus ke depan. Suaranya menjadi dalam, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang laki-laki yang lemah. Bukan jasmaniahnya. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Ia sudah menguasai gerak-gerak dasar dari perguruannya dan memahaminya. Bahkan ia sudah mengenal penggunaan tenaga cadangan dan ungkapan kekuatan dalam hubungannya dengan kekuatan alam di sekitarnya, dan bahkan mampu menyerapnya dalam jalur ilmunya dan luluh dengan kekuatan di dalam dirinya. Tetapi ia adalah orang yang lemah jiwanya. Ia tidak berani mengambil sikap, seolah-olah ia dikejar oleh pertanggungan jawab yang tiada dapat disentuh oleh indra.”

“Ia memang selalu ragu-ragu,” sahut Prastawa. “Mungkin pada suatu saat ia akan berubah.”

“Jika ia dapat berubah, maka perubanan itu tentu sudah nampak sejak sekarang. Tetapi agaknya perkembangannya mengarah kepada sikap yang semakin lemah.”

Prastawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk kecil. Terbayang di angan-angannya Agung Sedayu yang berwajah tenang dan dingin. Sedangkah wajah Sekar Mirah bagaikan memancarkan panasnya bara api yang menyala di dalam dadanya.

Tiba-tiba saja Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Di luar pengetahuan Sekar Mirah yang memandang lurus ke depan, Prastawa setiap kali memandang wajah gadis itu. Rasa-rasanya Sekar Mirah yang kotor oleh keringat yang dilekati debu itu menjadi bertambah cantik.

Namun kemudian sekilas terbayang wajah Agung Sedayu. Wajah yang tenang dan bersungguh-sungguh, tetapi diwarnai oleh keragu-raguan dan ketidakpastian.

Sementara itu, Agung Sedayu memang sedang dicengkam oleh kegelisahan. Setiap kali melonjak di dalam hatinya, kecemasan atas masa depannya sendiri. Jika perkawinan harus ditebus sedemikian mahal, maka ia menghadapi gambaran yang semakin buram tentang dirinya sendiri.

Namun ia tidak sempat berangan-angan terlalu lama. Ia pun kemudian tenggelam dalam kesibukan menolong gurunya yang merawat beberapa orang yang terluka, sementara beberapa orang yang lain telah mengumpulkan korban yang sudah tidak tertolong lagi jiwanya. Di antara mereka terdapat lawan, tetapi juga kawan.

Memang sepercik dendam melonjak di hati Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain. Namun setiap kali ia masih mempertimbangkannya baik-baik.

Karena inilah, maka Agung Sedayu tidak melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tugas gurunya. Ia tidak terbakar oleh dendam dan kemudian dengan cambuknya membunuh setiap orang yang terluka meskipun mereka itu adalah lawan.

Namun para pengawal yang lain tidak mempunyai pertimbangan seperti Agung Sedayu, sehingga setiap kali Kiai Grirtgsing harus memberikan peringatan agar mereka tidak melakukan hal-hal yang dapat melanggar ketentuan yang berlaku.

“Kita adalah orang-orang yang selama ini memegang teguh sopan santun dan unggah-ungguh. Juga di dalam peperangan seperti sekarang ini,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal yang membantunya.

Para pengawal itu tidak menyahut. Tetapi sebenarnya di dalam hati mereka, masih tetap menyala dendam yang setiap saat dapat meledak.

Dalam pada itu, ketika tugas mereka sudah hampir selesai, maka langit pun mulai tampak kemerah-merahan. Beberapa orang yang lewat sejenak tertegun. Namun Agung Sedayu selalu mendekati mereka sambil berkata, “Silahkanlah lewat, Ki Sanak.”

“Apakah yang terjadi?”

“Sekedar salah paham.”

“Dan salah paham yang terjadi antara dua kelompok yang cukup besar. Dan inilah akibatnya. Kedua belah pihak tidak mau mempergunakan nalarnya. Sehingga akhirnya mereka bertempur.”

“Dan Ki Sanak? Apakah Ki Sanak bukan orang dari salah satu pihak?”

“Bukan. Kami adalah orang-orang Sangkal Putung yang melerai perkelahian ini.”

Orang-orang itu pun kemudian melanjutkan perjalanannya. Tetapi mereka tetap berteka-teki tentang peristiwa di ujung hutan itu.

“Apakah telah terjadi kejahatan lagi di daerah ini?” desis salah seorang dari mereka.

“Tentu tidak,” jawab yang lain, “jika terjadi kejahatan tentu tidak di daerah ini, tetapi di ujung Alas Tambak Baya atau di sisa Alas Mentaok yang masih belum ditebang.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Dan mereka pun ternyata sepakat, bahwa yang terjadi hanyalah salah paham saja.

Namun di antara orang-orang yang lewat itu ternyata terdapat dua orang yang agak lain dari orang-orang yang lewat sebelumnya. Kedua orang itu menaruh perhatian yang lebih besar, sehingga ketika mereka lewat, maka mereka pun telah berhenti dan turun dari kuda mereka.

Seperti yang sudah terjadi, maka Agung Sedayu pun segera mendekati mereka. Seperti kepada yang lain pula, maka ia pun bertanya, “Apakah ada yang menarik perhatian Ki Sanak?”

“Ya, ya, Anak Muda,” jawab salah seorang dari keduanya, “aku melihat bahwa sesuatu telah terjadi di sini.”

“Ya, salah paham.”

“Salah paham?” yang lain bertanya.

Dan Agung Sedayu memberikan keterangan seperti yang pernah diberikannya kepada orang-orang lain.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Salah paham ini dapat menumbuhkan korban sekian banyaknya. Apakah Ki Sanak mengetahui apakah yang telah menyebabkan terjadi salah paham itu?”

“Anak-anak muda,” jawab Agung Sedayu, “mereka saling merasa dirinya mempunyai kelebihan. Di antaranya adalah anak-anak muda yang baru turun dari perguruan. Mereka merasa dirinya tidak terkalahkan, sehingga mereka memang memerlukan lawan untuk mencoba ilmunya tanpa memikirkan akibatnya.”

“Ah,” kedua orang itu menjadi heran.

“Apakah Ki Sanak tidak percaya?” bertanya Agung Sedayu.

“Percaya. Aku percaya sepenuhnya. Tetapi berapa orang yang telah terlibat dalam salah paham ini? Apakah ada sekelompok besar anak-anak muda yang bertemu dengan kelompok yang lain dalam jumlah yang sama besar.”

“Tidak. Persoalan yang menumbuhkan salah paham itu telah terjadi dua tiga hari lampau. Bahkan mereka yang langsung menjadi sebab telah menyatakan untuk tidak meneruskan persoalan mereka di hadapan Ki Demang. Tetapi ternyata mereka telah berjanji untuk bertemu di tempat ini dalam jumlah yang sama-sama besar.”

“O, mereka telah berjanji di hadapan Ki Demang?”

“Ki Demang dari kademangan yang mana.”

“Sangkal Putung. Tentu Sangkal Putung.”

Tetapi salah seorang dari kedua orang itu telah bertanya, “Tetapi bukankah Ki Demang Sangkal Putung tidak ada di tempat dalam dua atau tiga hari ini?”

Agung Sedayu terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika orang itu meneruskan, “Menurut pendengaranku, Ki Demang Sangkal Putung berada di Tanah Perdikan Menoreh lebih dari sepasar. Dan menurut pendengaranku hari ini Ki Demang baru kembali. Dan apakah iring-iringan pengantin itu sudah lewat? Jika belum, alangkah baiknya jika daerah ini segera dibersihkan, agar pengantin itu tidak melihat beberapa sosok mayat yang terbaring di sini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku keliru, Ki Sanak. Maksudku mereka sudah berdamai tidak di hadapan Ki Demang, tetapi di hadapan Ki Jagabaya.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi selebihnya iring-iringan itu sudah lewat beberapa saat.”

“Dan Ki Sanak sendiri?”

“Aku datang melerai perkelahian yang telah menumbuhkan sebelum peristiwa ini terjadi.”

“Beberapa orang korban.”

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Lalu salah seorang bertanya, “Apakah aku boleh mengenali setiap korban?”

“Apakah gunanya?”

Orang itu menarik nafas. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya. Namun kemudian katanya, “Anakku adalah anak yang nakal sekali. Ia sering berkelahi di mana pun juga.”

“Dari manakah Ki Sanak datang, dan di manakah Ki Sanak tinggal?”

“Aku orang dari Prambanan. Aku sekedar lewat, karena aku akan pergi menengok keluargaku yang tinggal di Karang Elo.”

“Ah, tentu bukan anak-anak muda dari Prambanan. Aku tahu pasti,” jawab Agung Sedayu.

“Ah, siapa tahu. Sudah tiga hari anakku tidak pulang. Dan menurut pendengaranku, anakku sering pergi dari satu kademangan ke kademangan yang lain. Berkelahi berkelompok dan bahkan kadang-kadang sering menumbuhkan kematian seperti sekarang ini.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Karena itulah maka ia pun menjawab, “Aku akan bertanya dahulu kepada orang tuaku.”

“Silahkan, anak muda. Aku menunggu.”

Agung Sedayu pun kemudian mendapatkan Kiai Gringsing yang sedang sibuk. Sejenak ia menjelaskan apa yang sudah dilakukan dan permintaan kedua orang berkuda itu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Biarlah. Ia tidak akan mengenali orang-orang yang telah mati terbunuh itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu ia pun mendapatkan kedua orang itu pula sambil mengatakan pesan Kiai Gringsing, bahwa orang tua itu tidak keberatan jika kedua orang itu ingin melihat beberapa orang korban yang luka dan terbunuh.

Sejenak kedua orang itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian mulai mengamati beberapa orang yang terbaring di tanah. Yang sudah memejamkan matanya sama sekali, dan mereka yang masih mampu berkedip.

Mereka saling berbisik di antara mereka, seolah-olah mereka sedang mencoba mengenal setiap orang.

Selangkah demi selangkah mereka maju. Orang-orang yang terluka telah diusung dan dibaringkan di tempat yang dialasi dengan rumput-rumput kering. Sedangkan mereka yang terbunuh telah diletakkan berjajar di tempat yang lain.

Langkah kedua orang itu tertegun ketika mereka melihat sesosok mayat yang hampir tidak dapat dikenalinya lagi. Namun demikian, mayat itu ternyata telah menarik perhatiannya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Namun kemudian yang seorang berdesis, “Aku tidak salah lagi. Tentu orang inilah Gandu Demung itu.”

“Ternyata ia telah terperosok dalam lingkaran perkelahian melawan orang bercambuk itu, sehingga ia mengalami luka-luka yang mengerikan sebelum kematiannya.”

Agung Sedayu tidak mendengar percakapan itu. Namun kemudian ia pun mendekati keduanya sambil berkata, “Menurut perhitungan kami, orang itu termasuk salah seorang pemimpinnya.”

“Pemimpin siapa, Ki Sanak?” bertanya salah seorang dari kedua orang itu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Pemimpin salah satu dari kelompok-kelompok yang berbenturan itu.”

Kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Dan Agung Sedayu pun kemudian bertanya, “Apakah kau dapat menemukan orang yang kau cari?”

Keduanya menggeleng. Salah seorang dari keduanya menyahut, “Tidak, Ki Sanak. Tetapi kematian salah seorang dari mereka yang menjadi korban itu nampaknya mengerikan sekali.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Bekas-bekas lukanya bukannya bekas luka senjata tajam. Bukan pula bekas luka bindi atau tongkat besi sekalipun.”

“Menurut dugaanmu, luka itu bekas sentuhan senjata jenis yang mana?” bertanya Agung Sedayu.

“Cambuk. Aku menduga bahwa orang itu telah mengalami nasib yang malang, karena ia telah bertengkar dengan orang bercambuk atau salah seorang muridnya.”

Dada Agung Sedayu berdesir. Ia tidak mempunyai alasan untuk mengelakkan dugaan itu. Karena itu, ia pun justru mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Anak muda itu terkejut ketika salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta diri. Aku akan melanjutkan perjalananku. Mudah-mudahan aku dapat menemukan anakku dengan selamat.”

“Mudah-mudahan.”

“Aku minta diri. Katakan kepada orang tua itu, bahwa aku akan melanjutkan perjalanan.”

Demikianlah keduanya pun segera meninggalkan tempat itu. Langit yang merah menjadi semakin merah dan cahaya matahari yang turun ke barat menjadi semakin pudar.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun segera memacu kudanya. Di sepanjang jalan mereka dicengkam olah pembicaraan tentang nasib Gandu Demung yang malang.

“Aku yakin, bahwa Gundu Demung tidak dapat meloloskan diri.”

“Jika saja ia tidak bertemu dengan orang bercambuk.”

“Yang manakah menurut dugaanmu orang bercambuk itu?”

“Aku tidak tahu. Mungkin orang itu sudah pergi bersama pengantin itu. Mungkin orang tua yang sedang sibuk menyelenggarakan para korban itu.”

“Tentu sudah pergi bersama pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu merupakan orang terhormat. Orang yang mendapat tempat di sisi sepasang pengantin itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka sudah mendapat bahan yang lengkap untuk menyampaikan laporan tentang usaha Gandu Demung. Usaha yang ternyata telah gagal sama sekali.

“Bagaimanakah jika Empu tidak percaya?” desis salah seorang dari mereka.

“Mudah-mudahan ia mempercayai kita. Dan jika ia tidak percaya dan mengirimkan orang lain untuk menyelidiki kebenaran laporan kita, maka kita tidak akan cemas, bahwa laporan kita dianggap salah. Bukankah kita sudah melihat bahwa Gandu Demung benar-benar telah mati?”

Kawannya mengangguk-angguk. Ia pun sependapat bahwa Gandu Demung memang sudah mati. Jika ada orang lain yang harus menilai kebenaran laporannya, maka mereka berdua tidak usah menjadi cemas, karena sebenarnya bahwa hal itu memang sudah terjadi.

Dalam pada itu Agung Sedayu yang masih sibuk membantu Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang memang mendapat tugas untuk melihat apakah Gandu Demung berhasil atau justru jatuh ke tangan orang-orang Sangkal Putung.

Tetapi yang terjadi adalah Gandu Demung telah mati.

“Kita kehilangan,” desis salah seorang dari kedua orang berkuda itu. “Jarang orang yang memiliki kemampuan seperti Gandu Demung.”

“Masih ada beberapa orang yang dapat mendampingi pemimpin kita itu.”

“Ya. Tetapi itu bukan berarti bahwa hilangnya Gandu Demung bukannya tidak berpengaruh sama sekali.”

“Pengaruhnya tidak akan begitu besar.”

“Tetapi ada.”

Kawannya tidak menjawab. Bahkan kemudian ia pun memacu kudanya semakin cepat sambil berkata, “Malam mulai pekat. Kita akan bermalam di mana?”

“Pertanyaanmu aneh. Di manakah kita bermalam selama ini?”

Kawannya mengangguk-angguk. Tetapi ia masih berkata, “Kita akan mencari jalan melingkar. Mungkin kita akan melalui jalan-jalan kecil agar kita tidak menjadi semakin jauh dari Gunung Tidar.”

“Aku belum mengenal daerah ini sebaik-baiknya.”

“Aku sudah pernah melalui daerah ini meskipun sudah agak lama. Kita akan berbelok sebelum kita sampai ke Sangkal Putung. Melingkar sedikit dan kemudian kita akan turun ke jalan ini pula, dan kembali melalui jalan yang kita lewati saat kita mengikuti iring-iringan pengantin itu.”

Kawannya tidak menjawab. Mereka pun berpacu semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang dari mereka, maka keduanya pun kemudian berbelok melalui jalan yang lebih kecil. Mereka harus melingkari hutan kecil yang menjadi arena pertempuran yang sengit itu, untuk selanjutnya berpacu ke Gunung Tidar.

Dalam pada itu, di bekas arena pertempuran itu pun telah dipasang beberapa buah obor. Beberapa buah pedati telah siap pula untuk mengusung mereka yang telah menjadi korban dan dibawa ke banjar padukuhan terdekat. Hanya mereka yang masih hidup meskipun terluka parah, akan dibawa ke banjar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

Ketika Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal sedang sibuk merawat para korban, maka iring-iringan pengantin yang sudah berubah bentuknya itu pun memasuki halaman kademangan. Ternyata berita tentang perkelahian itu telah mendahului iring-iringan sampai ke telinga penghuni padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung meskipun belum jelas.

Karena itulah, maka ketika iring-iringan itu memasuki regol, Nyai Demang segera berlari-lari menyambut dengan mata yang basah.

Sekar Mirah, meskipun ia telah menjadi seorang gadis dewasa dan sanggup memutar tongkat baja berkepala tengkorak yang berwarna kekuning-kunfingan, namun ketika dilihatnya ibunya yang gelisah, ia pun segera berlari mendapatkannya.

Sambil memeluk anak gadisnya, Nyai Demang tidak berhasil menahan air matanya yang menitik di pundak Sekar Mirah.

Kemudian setelah Sekar Mirah melepaskan pelukannya, Nyai Demang pun segera diperkenalkan dengan menantunya oleh Sekar Mirah. Dengan senyum yang masih dibasahi oleh air mata, maka ia pun kemudian membimbing menantunya naik ke pendapa dan langsung melalui pringgitan masuk ke ruang dalam, sementara Swandaru pun mengikutinya pula, setelah mereka mencuci kaki di depan tangga.

Meskipun upacara yang sebenarnya belum dilakukan, namun ternyata kademangan itu telah penuh dengan orang-orang tua dan sanak kadang. Di ruang dalam ternyata telah penuh pula dengan perempuan yang menunggu kedatangan pengantin itu dengan berdebar-debar. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa telah terjadi sesuatu di ujung hutan.

Ki Demang yang kemudian duduk di pendapa bersama Swandaru dan para pengiring segera dihujani dengan berbagai macam pertanyaan, sehingga akhirnya Ki Demang justru mengadakan sesorah singkat tentang pengalaman perjalanannya.

“Nah, silahkan kalian mendengarkan,” berkata Ki Demang, “aku menceritakan apa yang terjadi, karena dengan demikian aku tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berulang kali yang harus aku jawab dengan jawaban yang sama. Yang barang kali dialami pula oleh orang-orang lain dalam iring-iringan ini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Ki Sumangkar dan Ki Waskita sempat tersenyum.

Demikianlah Ki Demang menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi di ujung hutan kecil itu. Beberapa orang korban telah jatuh. Karena itulah maka ia mengharap agar rakyat Sangkal Putung justru menjadi lebih berhati-hati menanggapi perkembangan keadaan.

“Di mana Ki Jagabaya,” tiba-tiba saja Ki Demang bertanya.

Seorang pengawal yang ada di pendapa itu segera menyahut, “Ki Jagabaya pergi ke ujung hutan itu Ki Demang.”

“Tetapi kami tidak bertemu di perjalanan.”

“Mungkin Ki Jagabaya mengambil jalan memintas. Agaknya kami di sini menerima berita itu terlampau lambat sehingga kami tidak segera dapat mengambil bagian dalam pertempuran itu.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih berada di tempat itu, jika Ki Jagabaya datang, tentu ia akan bertemu dengan beberapa orang yang masih sibuk sekarang ini.”

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun kemudian saling bergeramang di antara mereka. Yang mereka bicarakan sudah barang tentu peristiwa yang baru saja terjadi.

Namun ada juga di antara anak-anak muda yang berdesis, “Kenapa Agung Sedayu tinggal?”

Tetapi anak-anak muda itu sebagian sudah dapat menebak jawabnya. Justru karena gurunya tinggal, maka Agung Sedayu pun tinggal pula mengawani gurunya itu.

“Ya, tetapi kenapa Kiai Gringsing tidak datang bersama dengan Ki Demang dan orang-orang lain dalam iring-iringan ini? Bukankah Ki Demang dapat menyerahkan penyelesaian para korban itu kepada para pengawal?” bertanya seorang lain.

“Ia bukan saja seorang guru dalam olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang yang memiliki kemampuan dalam bidang pengobatan. Tentu ia merasa berkewajiban untuk mengurus orang-orang yang terutama masih memungkinkan untuk ditolong. Bukankah hampir di dalam setiap benturan kekerasan ia berbuat demikian?”

Kawannya mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, setelah Ki Demang selesai dengan ceritanya tentang perjalanan, maka mulailah orang-orang tua dan keluarga Ki Demang berbincang tentang akibat yang timbul dari benturan itu.

“Tetapi Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan para pengawal sudah mengurusnya,” potong Swandaru kemudian.

Kata-kata Swandaru itu ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang hadir di pendapa itu. Mereka merasakan sesuatu yang berbeda pada tekanan suaranya. Namun mereka tidak segera menemukan perbedaan itu.

Tetapi bagi Ki Sumangkar dan Ki Waskita, kata-kata itu seolah-olah telah memberikan isyarat, bahwa memang suatu perubahan telah terjadi pada Swandaru. Namun demikian, agaknya mereka masih belum yakin, bahwa tangkapan mereka itu benar.

Meskipun demikian, Ki Waskita tidak dapat menghindarkan diri dari kegelisahannya. Ia mulai menghubungkan semuanya yang telah terjadi dengan isyarat yang nampak di dalam jangkauan penglihatan batinnya tentang masa yang akan dilalui oleh Swandaru.

“Bayangan itu nampaknya semakin buram,” desis Ki Waskita di dalam hatinya.

Semula ia ingin memaksa dirinya untuk menganggap bahwa yang dilihat di dalam isyarat itu sudah terjadi. Peristiwa yang terjadi di ujung hutan kecil itu merupakan noda-noda yang buram di dalam kehidupan Swandaru pada saat-saat ia melampaui hari-hari perkawinannya.

Namun ternyata ia tidak dapat ingkar bahwa sebenarnya ia mengetahui. Peristiwa di hutan kecil itu adalah peristiwa lahiriah yang tidak banyak berarti bagi masa depan anak muda yang gemuk itu. Tetapi peristiwa yang sebenarnya masih akan terjadi, langsung menyangkut bukan saja kehidupan jasmaniahnya, tetapi juga kehidupan-kehidupan batinnya.

“Alangkah bodohnya aku,” desis Ki Waskita di dalam hatinya, “yang aku lihat hanyalah saat-saat buram yang bakal datang. Tetapi kenapa aku tidak dapat mengetahui apakah yang sebenarnya akan terjadi.”

Tetapi Ki Waskita tidak dapat memaksa dirinya untuk menjadi lebih banyak mengetahui. Setiap kali ia selalu terkenang kepada kasih yang telah melimpah kepadanya. Anugrah yang telah dimilikinya itu merupakan kemurahan yang tidak diterima oleh setiap orang.

“Alangkah tamaknya aku ini,” desisnya, “yang aku terima sudah terlampau banyak. Dan aku masih saja merasa diriku terlampau bodoh dan ingin mendapat lebih banyak lagi.”

Meskipun demikian, sesuatu selalu membayanginya bahwa warna-warna yang buram itu pada suatu saat akan nampak dalam kehidupan Swandaru.

Sejenak pembicaraan di pendapa itu berkisar kepada usaha Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih tinggal di ujung hutan itu, dan yang kemudian disusul oleh Ki Jagabaya dengan beberapa orang pengawalnya.

“Mereka akan segera datang,” berkata Ki Demang kemudian. “Sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak akan menungguinya sampai semuanya diselesaikan. Jika ia menganggap cukup merawat orang-orang yang terluka, tentu ia akan segera kembali.”

Orang-orang yang semula mempersoalkannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang, bahwa sebentar lagi Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun tentu akan datang. Sehingga karena itulah maka mereka pun tidak membicarakannya.

Pembicaraan mereka mulai berkisar ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang yang ikut hadir pada upacara perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh mulai bercerita tentang kemeriahan saat-saat perkawinan itu.

Hanya Ki Waskita dan Ki Sumangkar sajalah yang ternyata berbicara tentang soal yang lain sama sekali. Adalah di luar sadar, jika mereka pun mulai berbicara tentang upacara perkawinan yang akan diselenggarakan di Kademangaa Sangkal Putung. Apalagi ketika pembicaraan mereka kemudian telah menyentuh Swandaru dan Agung Sedayu.

“Kiai Gringsing sudah berusaha,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi kedua anak-anak muda itu telah membawa peta hidup mereka masing-masing yang sudah terbentuk di masa-masa mereka masih kanak-kanak. Untuk beberapa saat nampaknya Kiai Gringsing berhasil mendekatkan tabiat dan sifat keduanya. Namun dalam keadaan tertentu watak masing-masing itu akan melonjak dan mengatasi kekang sifat mereka yang dipasang oleh Kiai Gringsing.”

Ki Waskita mengangguk-angguk.

Agaknya saat-saat perkawinan Swandaru ini benar-benar merupakan saat yang penting sekali di dalam perjalanan hidupnya. Saat-saat perkawinannya telah merupakan saat yang memutar arah hidup yang telah diusahakan oleh Kiai Gringsing yang semula nampaknya akan berhasil. Tetapi ternyata bahwa hal itu masih diragukan.

“Perkawinan ini seharusnya dilangsungkan di saat lain, apabila Kiai Gringsing sudah benar-benar berhasil menekan watak Swandaru sampai ke dasarnya, sehingga pada suatu saat tidak akan dapat tumbuh lagi dalam bentuk yang seperti ini.”

“Tetapi sudah terlanjur. Yang akan terjadi itu sudah terjadi,” desis Ki Waskita.

Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita telah melihat sesuatu di masa mendatang yang tidak sesuai dengan keinginannya, keinginan Kiai Gringsing, dan keinginan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun tidak terperinci, namun Ki Waskita pernah mengatakan bahwa ia cemas akan penglihatannya pada isyarat tentang masa depan Swandaru itu.

“Tetapi tidak ada tangan yang dapat mencegahnya,” desis Ki Sumangkar di dalam hatinya, “karena apa yang dilihatnya adalah apa yang akan terjadi. Kecuali jika datang keajaiban. Dan itu hanya dapat terjadi jika penglihatan Ki Waskita itu salah.”

Kecemasan yang serupa telah mengusik Ki Waskita pula. Ia melihat goncangan perasaan pada Swandaru. Bukan saja karena pertempuran di ujung hutan itu. Tetapi sejak anak muda itu berada di Menoreh, sudah nampak tanda-tanda bahwa kebanggaan Swandaru atas dirinya sendiri telah mengangkat wataknya yang sebenarnya, yang selama di dalam asuhan Kiai Gringsing agaknya telah berhasil didesak jauh di sudut hatinya yang paling dalam.

Dalam keadaan yang demikian maka perbedaan watak antara Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas, meskipun keduanya pernah berguru kepada orang yang sama.

Dalam pada itu, Agung Sedayu sedang sibuk mengangkat orang-orang yang terluka ke atas pedati bersama dengan beberapa orang, ketika Ki Jagabaya yang marah langsung memintas dan sampai di ujung hutan. Namun pertempuran yang sebenarnya sudah selesai. Yang dijumpai tinggallah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal mengumpulkan para korban dan menyiapkan untuk membawanya dengan pedati.

“Yang terutama harus mendapat perhatian adalah mereka yang masih hidup. Mereka harus dibawa ke banjar di padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Jagabaya.

Ketika para pengawal sedang sibuk mengangkat para korban dengan hati-hati, maka Ki Jagabaya masih sempat bertanya, apakah yang sebenarnya telah terjadi.

“Agaknya sekelompok perampok yang besar telah menunggu kami,” sahut Kiai Gringsing.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Bekas yang dijumpainya memang mengatakan demikian.

Dengan singkat Kiai Gringsing menceritakan, apakah yang sudah terjadi di ujung hutan itu, sehingga beberapa orang korban telah jatuh.

“Gila,” geram Ki Jagabaya. Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang perampokan itu. Jika perampok itu secara kebetulan saja menjumpai iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung itu, maka jumlah mereka tentu tidak akan sebesar itu.

Maka kesimpulan yang untuk sementara disepakati antara Ki Jagabaya dan Kiai Gringsing adalah, bahwa orang-orang yang merampok itu tentu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang pernah menetap untuk beberapa hari di Padepokan Tambak Wedi.

“Itulah yang membingungkan kami,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “jika pada suatu saat mereka turun lagi dengan kekuatan yang lebih besar dan melakukan kejahatan yang tanpa pertimbangan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Besok Angger Untara akan datang. Bukankah Ki Jagabaya telah mengundangnya?”

“Ya. Angger Untara sudah menyatakan kesanggupannya untuk datang saat pahargyan sepasaran pengantin Swandaru dan Pandan Wangi.”

“Nah, kita mempergunakan waktu sedikit untuk berbincang tentang peristiwa yang baru saja terjadi itu. Mungkin Untara perlu menentukan sikap. Meskipun nampaknya Tambak Wedi sudah kosong, tetapi ternyata bahwa pada suatu saat mereka berada di tempat itu dengan kekuatan yang cukup besar.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Lalu katanya kemudian, “Kiai, nampaknya untuk sementara tugas Kiai di sini sudah selesai. Sebaiknya Kiai dan Agung Sedayu segera pergi ke kademangan. Mungkin ada pembicaraan yang penting atau sikap yang dapat diambil.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya beberapa buah pedati yang sudah siap. Sebagian telah terisi oleh orang-orang yang terluka dan akan dibawa ke banjar padukuhan induk. Sedang yang lain berisi korban yang sudah tidak tertolong lagi, yang akan dibawa ke banjar padukuhan terdekat.

“Tetapi korban di antara kita justru harus dibawa ke kademangan,” berkata Ki Jagabaya.

Kiai Gringsing menarik nafas. Katanya, “Ki Jagabaya benar. Tetapi dalam keadaan biasa. Bukan dalam keadaan seperti ini.”

“Kenapa?”

“Di kademangan akan berlangsung kegembiraan karena perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Jika para korban, meskipun hanya para pengiring dari Sangkal Putung itu juga dibawa ke pendapa kademangan, apakah tidak akan mempengaruhi kegembiraan yang akan berlangsung?”

Ki Jagabaya menarik nafas. Namun ia berdesis, “Tetapi para korban ini berhak mendapatkan kehormatan tertinggi dari Sangkal Putung. Mereka bukan terbunuh dalam arena tayub di dalam perelatan gila-gilaan. Mereka tidak berkelahi karena mereka mabuk tuak dan kehilangan akal. Tetapi mereka bertempur melawan kejahatan yang akan menerkam iring-iringan pengantin. Seandainya bukan pengantin pun para pengawal memang berkewajiban untuk melakukannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Tetapi semuanya itu terserah kepada Ki Jagabaya yang barangkali perlu berbicara dengan Ki Demang. Tetapi bagiku, banjar di padukuhan induk itu pun merupakan tempat yang paling terhormat untuk menempatkan beberapa orang korban yang sudah tidak dapat tertolong lagi, selain mereka yang masih memerlukan perawatan.”

Ki Jagabaya merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah pedati itu pergi ke tempat yang untuk sementara sudah ditentukan bagi masing-masing. Kita masih mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Ki Demang dan orang tua-tua.”

Ki Jagabaya pun kemudian mempersilahkan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu untuk pergi ke kademangan. Agaknya Ki Jagabaya merasa bahwa tugas selanjutnya adalah tugasnya.

“Baiklah, Ki Jagabaya. Aku akan pergi ke kademangan. Selanjutnya terserah kepada Ki Jagabaya,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya. Aku akan menyelesaikannya. Pedati-pedati itu sudah siap untuk berangkat.”

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun kemudian mendahului meninggalkan tempat itu. Baru sejenak kemudian pedati yang memuat para korban, itu pun segera menuju ke tempat yang sudah ditentukan, dikawal oleh beberapa orang anak muda bersenjata, yang diatur oleh Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya.

Dalam pada itu, ketika pedati-pedati itu sampai di banjar padukuhan induk, maka padukuhan itu pun menjadi ramai. Ramai oleh geram, gemeretak gigi, tetapi juga tangis para keluarga korban. Yang masih sempat menemui salah seorang keluarganya tetap hidup meskipun terluka, hatinya masih juga terhibur betapa pun cemasnya. Tetapi mereka yang menjumpai sanak keluarganya telah korban maka yang terdengar adalah tangis yang mengharukan. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir perjalanan itu akan demikian pahitnya, karena ketika ia berangkat, yang nampak adalah senyum gembira dari anak-anak muda yang mengantarkan seorang calon pengantin.

Untunglah, bahwa Ki Jagabaya yang datang kemudian berhasil menahan dendam yang melonjak di antara mereka, sehingga merekat tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri terhadap beberapa orang yang dapat ditawan, dan lawan yang dirawat karena luka-lukanya di padukuhan terdekat dari arena pertempuran.

Ketika Kiai Gringsing dan Agung Sedayu sampai di kademangan, mereka masih melihat beberapa orang yang berkumpul di pendapa untuk mendengarkan keterangan Ki Demang lebih lanjut tentang perjalanan mereka.

Dengan demikian, setelah membersihkan diri dan berganti pakaian karena pakaiannya telah dikotori oleh darah dan reramuan obat-obatan saat mereka merawat orang-orang yang terluka, maka mereka pun kemudian naik pula ke pendapa. Sementara itu, orang-orang lain yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh, justru belum berganti pakaian meskipun mereka telah mencuci kaki dan tangan, karena mereka segera terlibat dalam pembicaraan yang ramai.

Kiai Gringsing pun kemudian duduk di sebelah Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Untuk beberapa saat Kiai Gringsing harus menjawab beberapa pertanyaan tentang para korban. Memang nampak betapa kemarahan dan dendam membakar setiap hati. Namun Kiai Gringsing masih sempat berusaha menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung itu.

“Guru memang seorang pemaaf,” berkata Swandaru tiba-tiba memotong keterangan Kiai Gringsing, “tetapi kitalah yang kehilangan sanak kadang dan kawan bermain.”

Sekali lagi Swandaru telah mengejutkan Ki Sumangkar dan Ki Waskita, selain Kiai Gringsing sendiri. Bahkan Ki Demang pun terpaksa memotong kata-kata, “Tetapi kita pun bukan pendendam. Kita akan dapat menahan diri, mengikuti unggah-ungguh yang berlaku di setiap medan. Kita pernah menghadapi keadaan yang lebih parah dari keadaan sekarang ini di saat Macan Kepatihan masih berkeliaran. Tetapi kita pun dapat menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang menjunjung tinggi peradaban yang berlaku.”

Swandaru mengangkat wajahnya. Dipandanginya ayahnya sejenak. Namun kemudian ia pun berdesah, “Pada suatu saat akan datang waktunya kita tidak memanjakan lagi kejahatan yang terjadi di daerah Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, karena pada suatu saat akan datang kekuasaan yang memegang teguh keadilan.”

Kata-kata Swandaru itu disambut dengan geraman dan bahkan seolah-olah janji dari anak-anak muda Sangkal Putung dan bahkan nampak juga jelas di wajah Prastawa dan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa mereka sependapat dan pancaran kesediaan untuk mendukungnya.

Orang-orang tua yang mendengarnya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak berusaha untuk membantah lagi, karena setiap kata yang dianggap mengecilkan arti janji itu, akan dianggap sebagai hambatan yang harus disingkirkan.

Namun dalam pada itu, terasa di hati Ki Waskita sepercik petunjuk, bahwa warna-warna buram yang selalu dilihatnya di dalam isyarat kini sudah mulai nampak di dalam kenyataan hidup Swandaru. Namun demikian rasa-rasanya perasaan Ki Waskita masih juga melonjak untuk mengingkarinya.

“Mudah-mudahan ada usaha untuk memberikan jalan kepadanya,” desisnya di dalam hati. Bahkan kemudian seolah-olah ia telah melawan penglihatannya sendiri, “Tidak. Itu hanyalah sekedar kejutan perasaan setelah ia mengalami gangguan di perjalanan. Tetapi besok atau lusa, anak itu tentu sudah melupakannya.”

Karena itulah, maka Ki Waskita masih mencoba memerangi penglihatannya dengan harapan-harapan yang dibuatnya sendiri sesuai dengan keinginannya. Seolah-olah ia melupakan bahwa keinginan seseorang tidak lebih dari suatu keinginan yang dapat meningkat menjadi harapan dan permohonan. Sedangkan ketentuan terakhir adalah tetap di tangan Yang Maha Kuasa pula adanya.

Bagi Kiai Gringsing, Swandaru akan merupakan persoalan yang sangat rumit. Di samping muridnya, maka ia adalah orang yang telah dicadangkan untuk menerima kekuasaan pada kedua daerah yang terpisah. Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung yang kedua-duanya memiliki naluri pengawalan yang kuat atas daerah masing-masing. Kedua daerah itu memiliki pasukan pengawal yang terlatih, terdiri dari anak-anak muda yang dengan sadar menyerahkan dirinya bagi ketenangan kampung halaman. Bahkan untuk menjadi seorang pengawal, di kedua daerah itu mempunyai kebiasaan yang mirip pula, yaitu melalui pendadaran yang cukup berat.

Lebih daripada itu, mereka adalah anak-anak muda yang masih mudah disentuh oleh panasnya api yang dapat membakar jantung mereka.

Agak berbeda dengan mereka adalah Agung Sedayu. Ia pun masih muda seperti Swandaru dan para pengawal dari kedua daerah itu. Namun ia memiliki sifat yang agak berbeda, yang dibawanya sejak kanak-kanak. Perubahan sifat yang terjadi menjelang dewasa, telah memecahkan kungkungan ketakutan yang luar biasa yang selalu membayanginya setiap saat. Namun demikian, masih ada sifat-sifatnya yang nampak sampai saat terakhir.

Sikap Swandaru telah membuatnya menjadi prihatin. Sebagai saudara seperguruan, ia memang merasakan ada sesuatu yang kurang sesuai padanya. Tetapi ia tidak pernah dapat menyebutnya.

Sekilas terbayang saat-saat ia menginjakkan kakinya di Kademangan Sangkal Putung. Bagaimana Swandaru telah membuatnya hampir beku ketakutan ketika anak muda yang gemuk itu berlari-lari memberitahukan kepada Sidanti bahwa Agung Sedayu-lah yang berhak disebut pembidik terbaik.

“Sejak saat itulah aku harus bermusuhan dengan Sidanti,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun sejak saat itu pula terjadi perubahan di dalam dirinya. Ia bukan lagi seorang anak muda yang ditelikung oleh perasaan takut. Lukanya saat ia berperang tanding dengan Sidanti bersenjata panah, telah memecahkan sifat-sifatnya itu.

Meskipun demikian, Agung Sedayu masih tetap dibayangi oleh pertimbangan-pertimangan yang lebih dewasa, meskipun nampaknya juga keragu-raguan dan ketidak-pastian yang terasa sangat lamban bagi anak-anak muda sebayanya.

Agung Sedayu menarik nafas. Ia menyadari sifat-sifatnya. Dan ia pun menyadari bahwa sifat-sifatnya itu sama sekali tidak menguntungkannya. Ia berada di antara dua alas yang berbeda, tetapi tidak mempunyai keberanian untuk memilihnya. Satu kakinya berada di lingkungan kerasnya permainan senjata, sedang satu kakinya berdiri pada alas yang sama sekali berbeda karena dibayangi oleh perasaan kasih sayang yang dalam. Sehingga yang nampak pada anak muda itu justru keragu-raguan dan kadang-kadang salah pilih di antara kedua alas kakinya yang seakan-akan berlawan itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mulai membayangkan dua orang anak muda yang justru telah berhasil memilih dunianya masing-masing. Swandaru dan Rudita. Meskipun tempat mereka berdiri adalah hampir di kedua ujung sifat-sifat manusiawi, namun nampaknya mereka tidak lagi dibayangi oleh keragu-raguan atas pilihannya.

Meskipun demikian, kesadaran itu tidak dapat mendorong Agung Sedayu untuk memilih tempat. Untuk waktu yang lama ia masih akan tetap terombang-ambing tidak menentu.

“Aku tidak tahu, apakah dengan segala keragu-raguan itu aku dapat dianggap justru lebih baik dari sifat-sifat Swandaru,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya sambil berdesah, “tetapi yang pasti, aku tidak dapat menerima sikapnya yang nampak mulai tumbuh di dalam hatinya.”

Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu itu tersentak. Selagi ia masih menimbang dirinya sendiri, terdengar Swandaru ternyata masih melanjutkan kata-katanya, “Ternyata bahwa kita tidak dapat menggantungkan diri kepada siapa pun juga. Sangkal Putung harus mempunyai kekuatan yang cukup untuk melindungi kepentingan Sangkal Putung sendiri. Demikian juga dengan Tanah Perdikan Menoreh. Hal itu ternyata seperti apa yang telah terjadi. Kita semua berhasil melepaskan diri dari tangan para penjahat, bukan karena perlindungan siapa pun juga.”

“Swandaru,” potong Ki Demang, “sudahlah. Kita sedang menerima beberapa orang yang mengucapkan selamat datang kepadamu dan kepada istrimu. Sebaiknya kau membatasi diri dengan keadaan sekarang ini. Bukan waktunya untuk membicarakan masalah yang luas dan apalagi menyangkut hubungan Sangkal Putung dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya.”

“Tentu tidak dapat dipisahkan, Ayah,” berkata Swandaru kemudian. “Mumpung kita menghadapi contoh yang jelas dan baru saja terjadi. Sebenarnya aku hanya ingin bertanya, apakah Pajang masih tetap merasa dirinya berkuasa sekarang ini, dan mempunyai kewajiban untuk melindungi rakyatnya? Apakah Ayah melihat, bahwa Pajang telah melindungi kita semuanya? Jika kita tidak mampu melepaskan diri kita sendiri dari tangan para penjahat itu, maka kita tidak akan dapat bertemu di sini. Sedangkan pasukan Pajang baru akan datang besok atau lusa. Tidak untuk melepaskan kita dari kesulitan, tetapi sekedar ikut berduka cita atas jatuhnya beberapa orang korban.”

“Swandaru,” suara ayahnya menjadi semakin keras, “aku adalah seorang Demang yang mengakui kekuasaan yang lebih tinggi sampai kepada kekuasaan yang tertinggi. Sebaiknya kau mempertimbangkan sikapmu sebaik-baiknya. Kau bukan kanak-kanak lagi. Apalagi sejak beberapa hari yang lalu, kau sudah berada di dalam hidup kekeluargaan. Dan itu merupakan salah satu pertanda lahiriah yang akan diikuti oleh perubahan rohaniah tentang sikap dan pandanganmu terhadap hidup dan kehidupan.”

“Ayah,” Swandaru masih menjawab, “justru sikapku yang aku nyatakan itu adalah hasil kematangan jiwa yang tumbuh dari perubahan badani dan jiwani yang aku alami. Aku harus berani menentukan sikap seperti seorang yang memang meningkat dewasa.”

Ki Demang masih akan menjawab. Tetapi Kiai Gringsing mendahuluinya dengan suara sareh, “Agaknya kau benar, Swandaru. Suatu perubahan memang telah terjadi. Bahkan begitu cepatnya. Beberapa hari yang lalu kau sudah mulai meningkat dalam jenjang kehidupan yang baru. Dan dalam beberapa hari itu kau sudah mulai menunjukkan sikapmu sebagai orang dewasa sepenuhnya. Namun ada sesuatu yang masih perlu kau sempurnakan, Swandaru. Kesadaran tentang perubahan yang terjadi itu sendiri. Jika kau menyadari bahwa sedang terjadi perubahan bukan saja badani tetapi juga jiwani padamu dan istrimu, maka kau harus menilai setiap perubahan itu apakah perubahan itu sudah seimbang antara yang lahiriah dan yang rohaniah. Dengan demikian, maka kau akan tetap dapat mengendalikan di dalam sikap dan perbuatan.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Tetapi perasaan segan terhadap gurunya telah memaksanya untuk merenung.

Ki Sumangkar dan Ki Waskita melihat perkembangan itu dengan jantung yang berdebar.

Sejenak pendapa itu dicekam oleh kesenyapan yang mendebarkan. Beberapa orang anak-anak muda menjadi termangu-mangu karena mereka kurang memahami pembicaraan antara guru dan murid itu.

Bahkan Prastawa pun masih harus meraba-raba, apakah sebenarnya Kiai Gringsing itu sedang berusaha mendorong atau bahkan menghalang-halangi sikap muridnya.

Yang memahami persoalan yang sedang diperbincangkan itu, selain orang-orang tua adalah Agung Sedayu. Ia mengerti benar maksud gurunya yang mulai cemas melihat perkembangan jiwa Swandaru.

Penghormatan yang besar di dalam ia menjalani masa perkawinannya, membuatnya seolah-olah terlepas dari alas perjuangan yang ditempuh selama ini. Agaknya Swandaru merasa bahwa ia sudah mulai menginjakkan kakinya pada tangga kekuasaan yang akan diterimanya nanti dari ayahnya Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh dari Tanah Perdikan di Menoreh.

Ki Demang yang menanggapi pula persoalan itu, tiba-tiba saja telah berusaha mengalihkan pembicaraan itu. Dengan serta-merta maka ia pun berkata lantang, “Nah, sudahlah. Kita akan berbicara kelak. Sekarang aku mempersilahkan semuanya untuk menikmati hidangan yang sudah tersedia.”

Sejenak kemudian suasana di pendapa itu mulai berubah. Meskipun kadang-kadang masih terselip penyesalan atas jatuhnya beberapa orang korban, namun mereka mulai menggeser pembicaraan mereka pada upacara perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh.

Di ruang dalam, beberapa orang perempuan mendengarkan cerita Sekar Mirah dengan hati yang berdebar. Seperti Swandaru, maka Sekar Mirah pun merasa, betapa lunaknya sikap Sangkal Putung terhadap kejahatan. Seperti Swandaru pula, maka Sekar Mirah pun mengharapkan bahwa pada suatu saat, Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh akan bertindak lebih meyakinkan lagi untuk memberantas kejahatan.

Perempuan-perempuan yang mendengarkan cerita Sekar Mirah tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya dikehendakinya. Tetapi mereka sedikit mendapatkan gambaran apa yang sudah terjadi di ujung hutan kecil itu. Dan mereka pun mengetahui pula bahwa beberapa orang korban telah jatuh. Luka dan bahkan ada yang tidak lagi dapat diselamatkan jiwanya.

Pandan Wangi sendiri tidak banyak menyambung cerite Sekar Mirah. Ia pun terhitung seorang perempuan yang lain dengan kebanyakan perempuan. Namun ia tidak mempunyai sikap dan pendirian yang sama dengan Sekar Mirah yang garang. Selama ia mengikuti cara ayahnya memerintah Tanah Perdikan Menoreh, maka nampaknya Tanah Perdikan Menoreh berangsur menjadi semakin baik tanpa tindakan-tindakan kekerasan yang berat seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu. Meskipun itu bukan berarti bahwa ayahnya tidak pernah menjatuhkan hukuman terhadap kesalahan dan apalagi kejahatan. Tetapi hukuman pada dasarnya bukannya dendam yang dilindungi oleh ketentuan yang berlaku, tetapi hukuman adalah satu ujud kasih sayang untuk merubah kelakuan seseorang agar ia tidak lagi melakukan kesalahan yang dapat menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan lahir dan batin, dan terlebih-lebih lagi dapat menimbulkan kesulitan pada orang lain.

Tetapi Pandan Wangi masih menyimpannya saja di dalam hati. Karena ia tidak mendengarkan pembicaraan di pendapa, maka ia masih berharap bahwa sikap Sekar Mirah itu sekedar luapan kemarahannya karena hambatan yang parah di perjalanan. Dan ia masih berharap bahwa sikap itu akan berbeda dengan sikap Swandaru apabila ia dapat mempertimbangkan segala persoalan dengan tenang di dalam lain.

Sementara itu, selagi di pendapa dan di ruang dalam sedang berlangsung pembicaraan yang ramai, tetapi kadang-kadang masih juga diselingi dengan gemeretak gigi, maka di bagian belakang kademangan itu perempuan-perempuan sibuk menyiapkan hidangan selanjutnya. Dapur kademangan itu menjadi ribut. Meskipun dapur itu sudah diperluas dengan teratak, karena di dalam saat keramaian berlangsung, dapur yang ada tentu jauh dari mencukupi, namun nampaknya masih juga terlampau sempit.

Kesibukan orang-orang di dapur itu bukan saja diperuntukkan bagi mereka yang ada di kademangan. Tetapi mereka yang ada di banjar pun harus mendapat perhatian. Mereka yang terluka dan mereka yang sedang merawatnya. Juga harus diperhatikan tawanan-tawanan yang dikawal oleh beberapa orang anak muda, karena mereka pun memerlukan makan pula.

Namun dalam pada itu, Ki Jagabaya yang mengurus mereka yang terluka dan para tawanan, ternyata sudah mengambil kebijaksanaan, bahwa di hari berikutnya, harus dibuat dapur tersendiri, agar tidak mengganggu setiap upacara yang akan dilangsungkan di kademangan.

Demikianlah, Kademangan Sangkal Putung seolah-olah telah menjadi semakin sibuk, karena yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Bukan saja kesibukan di kademangan yang mempersiapkan hidangan dan keramaian di hari-hari berikutnya, tetapi Ki Jagabaya pun sibuk mempersiapkan para pengawal, karena masih akan dapat terjadi kemungkinan yang lain yang dapat ditimbulkan oleh para penjahat yang berhasil melarikan diri itu.

Dalam pada itu, selagi Sangkal Putung membetengi diri dengan kesiagaan para pengawal, maka para penjahat yang melarikan diri tercerai-berai itu pun sedang berusaha untuk berkumpul kembali dalam kelompok-kelompok masing-masing. Para pemimpin mereka benar-benar telah dibakar oleh kemarahan dendam dan penyesalan.

“Kita telah dijerumuskan ke dalam kesulitan yang paling parah,” geram Ki Bajang Garing.

Seorang anak buahnya memotong dengan nada geram, “Gandu Demung pantas dicincang sekarang.”

Tetapi ternyata bahwa salah seorang saudara Gandu Demung mendengarnya, sehingga dengan wajah yang merah membara ia berkata lantang, “Siapakah yang paling bersalah dalam hal ini? Gandu Demung hanyalah mengemukakan suatu persoalan. Bukankah kita bersama-sama telah melakukan persiapan, penyelidikan dan kemudian bersama-sama memutuskan? Jika terjadi kegagalan yang sempurna sekarang ini, maka kesalahannya tentu terletak pada kita semuanya.”

Ki Bajang Garing menggeram. Tetapi ia tidak mau berselisih saat ia sedang berusaha mengumpulkan anak buahnya. Sehingga karena itulah maka ia pun berdesis, “Persetan dengan Gandu Demung. Tetapi pada suatu saat aku ingin bertemu lagi dengan orang itu.”

Saudara Gandu Demung pun menganggap bahwa perselisihan dalam keadaan yang demikian tidak menguntungkan. Meskipun ia sadar, bahwa permusuhan di antara mereka akan semakin membara.

Tetapi mereka tidak sempat lagi untuk memikirkan persoalan yang masih akan datang itu. Yang mereka hadapi adalah kesulitan mereka saat itu. Mereka berada di ujung hutan perdu di bagian lain dari hutan kecil yang telah menjerat mereka ke dalam kesulitan.

“Kita beristirahat sebentar,” berkata salah seorang saudara Gandu Demung kepada anak buahnya yang masih dapat dijumpainya, “orang-orang Sangkal Putung tidak akan mengejar kita sampai ke tempat ini. Kita harus meyakinkan diri, apakah yang telah terjadi dengan Gandu Demung.”

“Bagaimana kita akan dapat mengetahui nasibnya?” bertanya salah seorang anak buahnya.

“Salah seorang dari kita akan mencarinya sampai ke bekas arena perkelahian.”

“Berbahaya sekali.”

“Malam cukup gelap.”

Namun nampaknya keragu-raguan pada orang ini. Meskipun malam gelap, tetapi nampaknya tidak mudah untuk mencari keterangan tentang Gandu Demung.

Meskipun demikian, saudara Gandu Demung tidak akan sampai hati pergi begitu saja tanpa mengetahui nasib saudaranya itu. Karena itu, maka salah seorang saudaranya pun berkata, “Tunggulah di sini. Aku akan segera kembali.”

“Marilah kita pergi berdua,” sahut yang lain.

Keduanya pun kemudian meninggalkan beberapa orang anak buahnya yang berkumpul di ujung hutan yang lain itu. Mereka tidak memintas lewat pusat hutan yang meskipun tidak terlalu lebat, tetapi untuk menjelajahinya di malam hari, rasa-rasanya akan memerlukan waktu yang terlalu lama.

Namun ternyata bahwa keduanya tidak menemukan apa-apa lagi di bekas arena perkelahian itu. Semua korban telah diangkut dengan pedati ke padukuhan terdekat. Bahkan yang lain ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.

“Kita tidak akan segera mengetahuinya,” bisik salah seorang dari kedua saudara Gandu Demung itu.

“Besok kita baru akan mendengarnya. Kita harus menyamar sebagai orang kebanyakan yang berjalan melewati Kademangan Sangkal Putung, dan mendengar berita tentang perkelahian itu.”

“Bagaimanakah jika kita bertemu dengan pengawal yang kebetulan mengenal kita di arena perkelahian itu?”

Yang lain menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit. Tetapi kita harus mencari jalan untuk mengetahui, apakah Gandu Demung masih hidup atau sudah mati.”

“Jika demikian maka kita akan tinggal di sekitar daerah ini untuk beberapa lama.”

“Salah seorang dari kita. Yang lain akan membawa beberapa orang yang tersisa itu kembali kepada Ayah.”

“Dan menerima umpatan dan cela cerca yang tidak berkeputusan.”

“Mungkin Ayah akan melakukan sesuatu. Ayah masih tetap seorang pendendam.”

“Aku pun mendendam.”

“Tetapi ingat, bahwa mungkin pihak-pihak lain dari orang di sekitar Gunung Tidar akan tetap menganggap Gandu Demung bersalah dan mengambil tindakan langsung terhadap kelompok kita. Sampaikan kepada Ayah, bahwa meskipun keadaan kita parah, tetapi Ayah harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan itu. Biarlah aku tinggal sampai aku mendapat keterangan tentang Gandu Demung.”

Demikianlah maka keduanya pun kemudian berpisah. Ternyata mereka masih sempat menemukan kuda mereka yang mereka sembunyikan di dalam hutan yang tidak terlalu lebat itu. Bahkan karena jumlah yang sudah jauh berkurang, maka kuda-kuda itu pun menjadi terlalu banyak.

“Aku mencemaskan nasib Gandu Demung,” berkata saudaranya yang akan mencarinya, “kudanya masih ada di sini. Jika ia selamat, tentu akan datang mengambil kudanya seperti orang-orang lain yang selamat.”

Karena itulah, maka salah seorang saudaranya itu akan tetap tinggal di sekitar Sangkal Putung bersama seorang pengawalnya. Sementara yang tersisa harus segera kembali ke sebelah Gunung Tidar untuk memberikan laporan.

“Jangan timbulkan perselisihan jika kalian sejalan dengan orang-orang Bajang Garing dan orang-orang dari Alas Pengarang. Kecuali jika mereka menyerang. Tetapi agaknya karena kita sama-sama parah, mereka pun tidak akan berbuat apa-apa.”

Demikianlah, maka saudara Gandu Demung itu pun segera membawa sisa orangnya menuju ke Gunung Tidar untuk memberikan laporan tentang kegagalan yang dialaminya di daerah Sangkal Putung, meskipun sebenarnya perhitungan Gandu Demung cukup cermat. Namun agaknya masih ada yang dilupakan. Justru karena tempat itu berada di ujung kademangan, maka kuda-kuda yang terlepas merupakan isyarat yang sangat baik bagi orang-orang Sangkal Putung itu.

Bahkan di sepanjang perjalanan kembali itu, salah seorang dari anak buah saudara Gandu Demung itu bertanya, “Kenapa hal ini kita lakukan di depan hidung Kademangan Sangkal Putung?”

“Perhitungan itu sebenarnya tepat,” jawab saudara Gandu Demung.

“Apakah salahnya jika kita lakukan di Alas Tambak Baya atau tempat lain yang masih jauh dari Sangkal Putung.”

“Kelengahan mereka merupakan keuntungan yang besar bagi kita.”

“Tetapi itu pun tidak terjadi? Iring-iringan itu berhenti sebelum mereka memasuki batas jebakan kita.”

“Ya. Hampir secara kebetulan mereka melihat pohon yang sudah dikerat itu.”

“Tidak secara kebetulan. Itu adalah karena kemampuan yang tinggi dari salah seorang yang berada di dalam iring-iringan itu. He, apakah kau tidak melihat, bagaimana orang-orang bercambuk itu melawan beberapa orang di antara kita? Kau lihat seorang yang bersenjata trisula? Itu adalah kelebihan yang harus diakui. Meskipun jumlah kita berlipat, tetapi kita tidak dapat berbuat apa-apa. Jika kemudian datang pengawal-pengawal kademangan itu adalah seolah-olah hanya mempercepat penyelesaian saja, karena kita agaknya memang tidak akan dapat mengalahkan iring-iringan itu seperti yang kita harapkan.”

“Hanya soal waktu.”

“Waktu sangat menentukan akhir dari pertempuran seperti itu.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka berpacu terus melintasi bulak panjang. Mereka mencoba tidak berkuda bersama-sama agar tidak menimbulkan kecurigaan.

Namun dalam pada itu, yang tidak terduga pun telah terjadi. Ketika mereka melintasi sebuah bulak, setelah mereka meninggalkan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka seakan-akan merasa telah dibayangi oleh sebuah kekuatan yang lain. Benar-benar sekedar firasat petualangan mereka. Bahkan salah seorang saudara Gandu Demung yang ada di dalam iring-iringan itu berkata, “Aku merasakan sesuatu akan terjadi.”

“Ya. Aku melihat seekor kuda melintas di depan jalan kita.”

“Itulah sebabnya aku merasakan sesuatu.”

“Dan kita tidak akan dapat mengejarnya karena beberapa pertimbangan.”

Saudara Gandu Demang itu pun kemudian memerintahkan agar iring-iringan itu memperlambat perjalanan. Sejenak ia mencoba untuk melihat, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Namun seekor kuda yang rasa-rasanya mereka lihat itu sama sekali tidak nampak lagi. Suara derap kakinya pun tenggelam dalam derap kaki kuda mereka sendiri.

Yang nampak adalah tabir malam yang hitam kelam.

“Apakah dalam iring-iringan ini tidak ada orang lain?” bertanya saudara Gandu Demung itu.

“Tidak. Ki Bajang Garing membawa orang-orangnya melalui jalan lain. Demikian pula kelompok dari Alas Pengarang,” jawab salah seorang anak buahnya.

“Apakah mungkin yang kita lihat salah seorang dari kedua kelompok itu?”

“Memang mungkin.”

“Apakah mereka akan mencegat kita?”

“Jika demikian, apa boleh buat.”

Mereka pun tidak bercakap-cakap lagi. Tetapi saudara Gandu Demang yang memimpin sisa kelompoknya yang parah itu pun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka menyadari bahwa tersimpan dendam pada orang-orang yang merasa terjebak di Sangkal Putung meskipun sebelumnya mereka telah ikut serta menentukan.

“Mereka menumpukan kegagalan ini pada kesalahan Gandu Demung,” desis saudara Gandu Demung itu.

Anak buahnya yang berkuda di sebelahnya mengangguk-angguk. Desisnya kemudian, “Itu tidak adil.”

“Karena itu jika mereka memaksa kita mengakui kesalahan maka kita akan bertempur sampai orang yang terakhir. Dan aku yakin, bahwa kita masih akan tetap dapat mempertahankan diri.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi tegang.

Dalam pada itu yang terjadi di bagian lain dari lereng Gunung Merapi di sisi selatan itu, hampir serupa pula. Ki Bajang Garing yang membawa anak buahnya berpacu meninggalkan Sangkal Putung sambil mengumpat-umpat telah merasakan sesuatu yang mendebarkan jantung.

“Aku melihat beberapa orang di gardu perondan itu,” desisnya.

“Mereka sama sekali tidak menghentikan kita,” jawab kawannya.

“Tentu tidak berani. Mereka mengetahui, bahwa yang lewat bukan hanya satu atau dua orang berkuda.”

Kawannya mengangguk-angguk. Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat sebatang panah api meloncat ke udara.

“Gila. Apakah artinya itu,” geram Bajang Garing.

“Kecurigaan,” desis salah seorang anak buahnya.

“Tentu peronda-peronda itu memberikan isyarat kepada padukuhan di hadapan kita.”

“Kita dapat berbelok di tengah-tengah bulak itu. Kita akan melalui jalan lain.”

“Ya. Kita akan berbelok di simpang jalan yang pertama kita temui.”

“Jika tidak ada jalan simpang?”

Ki Bajang Garing termangu-mangu. Ia tidak begitu mengenal daerah itu. Yang diketahuinya adalah bahwa ia berada di lereng selatan Gunung Merapi, karena meskipun di malam hari, puncak Gunung Merapi nampak menjulang di langit yang bersih.

“Kita akan berbelok ke kiri. Pada suatu saat kita tentu akan sampai ke jalan yang menuju ke Mataram. Meskipun kita juga tidak akan melintasi Mataram, namun di bagian lain dari Alas Mentaok kita akan dapat mengenali jalan yang menuju ke Gunung Tidar.”

“Kenapa kita harus melingkar dan melalui jalar menuju ke Mataram.”

“Memang lebih jauh. Tetapi kita tidak akan tersesat. Sebelum fajar, kita tentu sudah menemukan jalan yang kita kenal dengan baik di sekitar Mataram. Kita akan menerobos bagian yang masih berujud Hutan Mentaok dan akan muncul di sebelah utara. Kita masih harus memperhitungkan waktu berikutnya untuk mencapai Gunung Tidar.”

Kawannya tidak menjawab. Mereka berpacu semakin cepat di gelapnya malam. Namun mereka tidak segera menemukan jalan simpang yang mereka cari.

“Tentu di mulut lorong di padukuhan sebelah, para peronda sudah siap menghentikan kita,” berkata Kiai Bajang Garing kemudian.

“Kita tidak akan berhenti. Aku akan menyibukkan mereka dengan ujung senjata,” sahut salah seorang anak buahnya.

Ki Bajang Garing tidak menjawab. Namun yang terdengar adalah gemeretak giginya.

Tetapi dalam kegelisahan itu, tiba-tiba saja ia memberikan isyarat kepada anak buahnya yang tersisa. Ternyata bahwa di hadapan mereka terdapat sebuah jalan simpang yang berbelok justru ke kiri seperti yang mereka harapkan.

Dengan serta-merta iring-iringan itu pun berhenti. Beberapa ekor kuda yang terkejut, bahkan melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakang. Tetapi mereka pun segera menarik nafas ketika mereka menyadari, bahwa mereka akan dapat menempuh jalan simpang yang membelah bulak panjang itu ke arah selatan.

Tetapi sekali lagi yang tidak terduga itu pun terjadi. Tiba-tiba saja dari balik gerumbul batang jarak di tepi jalan, muncul seseorang yang hanya nampak kehitam-hitaman di dalam bayangan kegelapan.

Ki Bajang Garing yang jantungnya masih membara karena kegagalan yang dialaminya segera membentak, “He, siapakah kau?”

“Sabarlah, Ki Sanak,” jawab bayangan hitam itu.

“Cepat menepi atau kau akan terkapar di pinggir jalan ini dengan luka di dadamu?”

Tetapi orang itu sama sekali tidak menepi. Ia masih tetap berdiri di tempatnya. Bahkan ia justru bergeser setapak ke tengah sambil berkata, “Jangan terlampau garang. Sabarlah, dan kita akan berbicara serba sedikit.”

“Aku tidak mempunyai waktu. Jika kau berbicara, berbicaralah. Dan sebutlah, siapakah kau.”

Orang yang berdiri di tengah jalan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Turunlah. Kita akan berbicara.”

“Tidak!” teriak Ki Bajang Garing. “Cepat minggir, atau aku benar-benar akan membunuhmu.”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menyebut siapakah aku.”

“Aku tidak peduli,” Bajang Garing semakin marah.

“Dengarlah. Aku adalah seorang prajurit dari Pajang.”

“Prajurit?” suara Ki Bajang Garing justru meninggi.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun memberikan isyarat dengan tepuk tangan tiga kali.

Beberapa orang segera muncul dari balik gerumbul dan berloncatan ke jalan, justru di segala arah, sehingga Ki Bajang Garing benar-benar telah terkepung oleh bebarapa orang yang tidak begitu jelas di dalam gelapnya malam. Namun dalam keremangan itu, Ki Bajang Garing dan anak buahnya mencoba mengenalinya, bahwa pakaian yang mereka pakai benar-benar pakaian prajurit Pajang.

Tetapi Kiai Bajang Garing tidak segera mempercayainya. Dengan nada yang geram ia berkata, “Kau jangan menakut-nakuti kami seperti menakut-nakuti anak-anak. Cepat pergi dari tempat ini, atau kalian terpaksa mengalami tindakan kekerasan sehingga kalian akan menyesal.”

“Dengarlah,” berkata orang itu, “kami benar-benar prajurit Pajang yang mendapat perintah dari Senapati Agung di daerah ini, Untara yang berkedudukan di Jati Anom. Kami harus menangkap setiap orang yang kami curigai untuk mendapat keterangan daripadanya. Kami mendapat wewenang untuk melepaskan atau menahan orang-orang yang kami curigai itu sesuai dengan keadaan mereka. Demikian juga berlaku bagi kalian.”

“Persetan! Tidak ada orang yang dapat menahan kami,” Kiai Bajang Garing berteriak semakin keras. Kemarahan yang membakar jantungnya bagaikan disiram dengan minyak, “Menepilah. Cepat!”

Namun orang itu tiba-tiba saja telah menggenggam pedang yang tergantung di lambungnya sambil berkata, “Aku sedang menjalankan tugas. Semua perintahku adalah perintah atas wewenang yang melimpah dari Sultan Pajang mengalir sampai ke pundakku. Setiap orang harus mentaatinya. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian akan segera kami lepaskan.”

“Aku tidak peduli,” teriak Kiai Bajang Garing

“Jika demikian, maka kami pun akan mempergunakan kekerasan. Karena kami mendapat wewenang pula untuk melakukannya terhadap setiap orang yang tidak mau mengikuti perintah kami.”

Yang terdengar adalah gemeretak gigi Kiai Bajang Garing. Dengan nada yang marah, maka ia pun berkata, “Singkirkan orang-orang ini.”

Anak buahnya pun segera mempersiapkan diri. Tetapi ternyata bahwa prajurit-prajurit Pajang itu pun bertindak cepat. Merekalah yang justru menyerang lebih dahulu, sehingga orang-orang berkuda itu terkejut. Beberapa orang tidak dapat berbuat lain kecuali meloncat turun dari kuda-kuda mereka.

Demikian juga Kiai Bajang Garing. Orang yang menghentikannya itu dengan serta-merta telah menyerangnya pula, sehingga ia pun terpaksa meloncat turun pula karena tidak ada kesempatan baginya untuk menggerakkan kendali kudanya.

Sejenak kemudian, pertempuran telah terjadi lagi. Kali ini sisa-sisa orang Kiai Bajang Garing yang parah itu harus melawan sekelompok prajurit yang ternyata jumlahnya lebih banyak dari orang-orang Kiai Bajang Garing itu.

Tetapi Kiai Bajang Garing memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Kemarahan yang meluap di dadanya, telah membuatnya menjadi seorang yang garang dan bertempur dengan kasarnya, bahkan semakin lama ia pun menjadi semakin buas.

Tetapi prajurit-prajurit itu nampaknya telah berpengalaman pula. Pimpinannya dengan segera memberikan beberapa macam aba-aba, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu cepat dapat menguasai keadaan, apalagi jumlah mereka memang lebih banyak.

“Menyerah!” perintah pimpinan prajurit Pajang itu. “Kami mendapat wewenang sepenuhnya. Tetapi kami pun mendapat pesan, bahwa tugas kami adalah tugas keprajuritan, sehingga kami bukanlah pembunuh-pembunuh yang mata gelap. Jika kalian menyerah, maka kami akan memperlakukan kalian sesuai dengan ketentuan. Tetapi jika kalian berkeras kepala, apalagi sampai menitikkan darah dari tubuh kami, maka kami pun manusia biasa yang masih juga dikuasai oleh perasaan di samping kewajiban kami sebagai seorang prajurit.”

Kiai Bajang Garing tidak menjawab. Tetapi ia melihat kepungan itu menjadi semakin rapat. Kepungan prajurit dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah orang-orangnya.

“Menyerahlah,” terdengar perintah itu sekali lagi. Bukan saja perintah dengan lesan. Tetapi serangan prajurit-prajurit itu pun terasa semakin menekan.

Tetapi Kiai Bajang Garing masih berusaha untuk melawan. Bahkan dengan suara parau ia berteriak, “Kalian bukan prajurit Pajang. Kalian adalah perampok-perampok yang ingin merampok kami.”

“Atas nama Senapati Agung di daerah selatan. Menyerahlah,” perintah itu terdengar semakin keras, “kami dapat melakukan apa saja atas kalian. Itu adalah wewenang yang memang ada pada kami.”

Kiai Bajang Garing tidak segera menyerah. Bahkan ia bertempur semakin seru sambil bertanya, “Jika kalian prajurit Pajang, kenapa kalian berada di tempat ini pada saat ini?”

“Kami mempunyai beberapa alasan. Tetapi kami tidak sempat menceriterakan sekarang. Jika kalian menyerah dan mau mendengarkan pembicaraan kami, maka kami akan mengatakan alasan kami kenapa kami mencurigai kalian sekarang ini.”

“Persetan!” geram Kiai Bajang Garing. Sambil berteriak nyaring, maka ia pun bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya diikuti oleh sisa-sisa anak buahnya. Bahkan ada di antara mereka yang telah terluka dan tidak mampu berbuat banyak.

Sejenak kemudian pertempuran di jalan simpang itu pun menjadi semakin sengit. Bahkan mau tidak mau beberapa orang terpaksa terjun ke dalam sawah, menginjak-injak tanaman jagung muda yang sedang tumbuh dengan suburnya.

“Kasihan pemilik sawah ini,” desis seorang prajurit, “kau adalah sumber kegagalan panenan mendatang.”

“Bukan kami,” teriak seorang anak buah Ki Bajang Garing, “jika kalian tidak menghentikan perjalanan kami, maka perkelahian ini tidak terjadi.”

“Jika kalian menurut perintah kami, maka tidak akan terjadi keributan ini. Sedangkan kami adalah prajurit-prajurit yang sedang menjalankan kuwajiban.”

Anak buah Ki Bajang Garing itu tidak menjawab. Namun ia menyerang semakin dahsyat. Tetapi dengan demikian, perlawanan prajurit-prajurit Pajang itu pun menjadi semakin seru pula.

Pemimpin prajurit yang bertempur melawan Ki Bajang Garing mulai merasa tekanan yang semakin berat. Semula ia tidak menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan orang yang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Menurut pengamatannya, penjahat-penjahat kecil yang sering melakukan perampokan, kadang-kadang hanyalah orang-orang yang sekedar mempunyai keberanian. Tetapi lawannya yang bertubuh pendek itu ternyata memang memiliki kemampuan bertempur yang cukup.

Karena itulah, maka senapati itu pun kemudian tidak menjadi lengah. Bahkan kemudian ia pun mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk mengalahkan lawannya. Tetapi ternyata bahwa lawannya cukup lincah dan kuat.

Tetapi di bagian lain, anak buah Bajang Garing yang sudah semakin parah, tidak dapat menahan sergapan para prajurit yang jumlahnya lebih banyak itu. Satu-satu mereka dapat dilumpuhkan dan bahkan terpaksa meletakkan senjata mereka, karena tidak ada kesempatan lagi untuk melawan. Jika tiba-tiba saja ujung pedang telah menekan punggung, selagi ia sedang menghadapi seorang lawan lainnya yang berdiri di depannya, maka tidak akan jalan lain kecuali melepaskan senjatanya dan membiarkan kedua tangannya diikat.

Kiai Bajang Garing mengumpat tidak habis-habisnya melihat satu-satu anak buahnya dapat dikuasai oleh orang-orang yang mengaku prajurit Pajang itu. Bahkan kemudian tiba-tiba saja senapati yang melawannya itu berkata, “Menyerahlah. Aku akan memerintahkan beberapa anak buahku untuk mengurungmu.”

“Licik.”

“Kenapa licik.”

“Kita perang tanding.”

“Aku adalah prajurit yang mengemban tugas. Aku tidak mempunyai persoalan pribadi dengan kau. Karena itu, maka aku akan menangkapmu. Tidak melakukan perang tanding. Hanya jika di antara kita telah bersinggungan harga diri dan apalagi pandangan hidup, maka barulah kita pantas melakukan perang tanding.”

“Pengecut! Aku menantang kau perang tanding. Aku akan menghinamu sebagai tikus yang paling pengecut. Aku akan menyinggung harga dirimu yang paling rendah. Kau adalah pengecut yang mengaku sebagai seorang prajurit. Tetapi kau sama sekali tidak berani bersikap jantan dan melawan aku dalam perang tanding.”

Tetapi prajurit itu tersenyum. Katanya dengan sareh, “Jangan sekarat. Menyerahlah.”

“Persetan, persetan!” Kiai Bajang Garing berteriak untuk melepaskan kemarahan yang serasa memerahkan dadanya.

Namun ternyata senapati itu sama sekali tidak terpengaruh. Ia masih sempat mengatur beberapa orang prajuritnya untuk mengepung Kiai Bajang Garing.

Betapa pun juga kemampuan yang ada pada orang bertubuh pendek itu, tetapi ia segera mengalami kesulitan melawan beberapa orang prajurit yang nampaknya memang terlatih baik untuk bertempur berpasangan.

“Curang, licik, pengecut, penakut!” teriak Kiai Bajang Garing. Bahkan masih banyak lagi umpatan-umpatan kotor yang meloncat dari mulutnya.

“Kau tidak usah mengingkari kenyataan yang kau hadapi, Ki Sanak. Menyerahlah. Aku tidak akan memperlakukan kau dengan sewenang-wenang karena kami prajurit-prajurit Pajang, terikat pada ketentuan yang dilandasi atas sumpah. Itulah sebabnya, jika kau menyerah maka kau dan orang-orangmu akan mengalami nasib yang baik.”

Tetapi Kiai Bajang Garing sama sekali tidak mau mendengarnya. Ia masih bertempur dengan gigihnya melawan beberapa orang sekaligus, sementara anak buahnya telah tidak ada lagi yang mengangkat senjatanya.

“Semua orang-orangmu telah menyerah,” berkata Senapati Pajang itu, “jika sampai ada salah seorang prajuritku yang luka kulitnya karena senjatamu, mungkin aku akan mengambil keputusan lain, karena aku juga manusia yang masih digenggam oleh kisaran perasaan. Ki Sanak, jika seorang kawanku terluka, maka aku akan membuat sepuluh luka di kulitmu. Aku dapat mencari param di padukuhan. Dan kau akan mengerti, apakah maksudku selanjutnya.”

“Gila. Itukah tingkah laku prajurit Pajang.”

“Bukan tingkah laku prajurit Pajang. Tetapi aku bermaksud menakut-nakutimu. Karena barangkali memang ada satu-satu prajurit yang tersentuh oleh kemarahan yang tidak terkendali.”

Bajang Garing tidak menjawab. Tetapi ia masih bertempur melawan orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Pajang itu. Sekali-sekali ia berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan yang rapat dengan memecah dinding, namun kadang-kadang dengan membabi buta ia menyerang berputaran. Selapis perasaan putus asa telah mulai menyentuh dasar hatinya. Tetapi ia masih belum mau melihat kenyataan. Ia masih ingin mempertahankan diri dan harga dirinya sebagai orang yang memiliki nama di daerah Gunung Tidar.

Namun, perjuangan Bajang Garing terasa semakin berat. Ia mulai kebingungan menangkis serangan dari beberapa arah, yang bahkan hampir bersamaan.

Meskipun demikian, Bajang Garing masih juga dapat berbangga, bahwa senjata lawannya sama sekali belum ada yang menyentuh apalagi kulitnya, bahkan pakaianya pun tidak.

Tetapi ternyata bahwa pakaiannya itu telah basah kuyup oleh keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya.

Prajurit-prajurit Pajang yang bertempur melawan Bajang Garing itu semakin merapatkan kepungannya. Senapati yang memimpin mereka setiap kali masih saja mencoba memaksa Bajang Garing untuk melihat kenyataan. Tetapi nampaknya Bajang Garing tetap berkeras kepala. Ia masih bertempur terus dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

“Apakah kau benar-benar tidak dapat diajak berbicara,” geram senapati itu kemudian.

“Aku menantang kau perang tanding jika kau memang jantan,” jawab Bajang Garing.

“Aku sedang menangkapmu, bukan menyelesaikan persoalan di antara kita. Dengar, dan sekali lagi dengar,” senapati itu semakin marah.

Tetapi Bajang Garing seolah-olah tidak mendengarnya. Ia masih saja bertempur membabi buta.

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia memberikan isyarat kepada seorang prajuritnya untuk mendekat.

“Berikan tombakmu.”

Prajurit itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak sempat memikirkan akibat dari tombak itu, karena tiba-tiba saja tombak itu sudah dihentakkan dari tangannya.

Sejenak mereka masih bertempur. Beberapa orang prajurit Pajang masih melingkari Bajang Garing yang bagaikan mengamuk.

Namun tiba-tiba para prajurit Pajang itu menyadari, bahwa senapatinya berhasrat segera mengakhiri pertempuran itu. Sadar bahwa Bajang Garing adalah orang yang cukup kuat dan memiliki ilmu yang tinggi, maka senapati itu tidak dapat berbuat tergesa-gesa.

Tetapi kesempatan yang ditunggunya itu pun akhirnya datang. Ketika Bajang Garing sibuk menangkis serangan dari sebelah-menyebelah, maka tiba-tiba saja senapati itu mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.

Dengan kemampuan tangannya menggerakkan tangkai tombak, maka ia meloncat maju dengan cepatnya. Tangannya terjulur lurus ke depan, sedangkan tangannya yang lain dengan tangkasnya menggerakkan tangkai tombak yang bertumpu pada tangannya yang terjulur itu.

Dalam kebingungan, Bajang Garing tidak sempat berbuat apa-apa. Senjatanya sedang berputar di sisi tubuhnya menangkis serangan dari samping yang mengarah ke dada. Karena itulah, maka ia sama sekali tidak berdaya ketika tombak itu terjulur ke lambung.

Meskipun ia mencoba menggeliat, namun ujung tombak itu bagaikan mempunyai mata. Dengan gerakan kecil, tangan Senapati yang terjulur itu ternyata telah mampu merubah arah tombaknya.

Tetapi senapati itu tidak menusuk dengan ujung tajam tombaknya. Ia hanya ingin melumpuhkan Bajang Garing. Karena itulah maka ia pun telah menyerang dengan pangkalnya menghantam lambung.

Terdengar keluhan tertahan. Bajang Garing memang memiliki daya tahan yang kuat. Namun demikian, hentakan pangkal tangkai tombak di lambungnya itu terasa sakit bukan buatan sehingga terdengar ia berdesah.

Serangan itu telah membuka serangan-serangan berikutnya meskipun tidak semuanya berhasil menyentuh lawan.

Para prajurit itu pun menyadari maksud serangan pemimpinnya yang tidak mempergunakan tajam tombaknya. Jika demikian, maka tajam tombak itu tentu sudah menyobek kulit orang yang keras kepala itu. Sehingga karena itu pula, maka para prajurit yang mengepungnya itu pun menyerang dengan cara yang sama pula.

Seorang yang bersenjata pedang, telah memukul punggung Bajang Garing tidak dengan tajam pedangnya, tetapi justru dengan punggungnya meskipun pukulan itu tidak segera dapat menjatuhkan lawannya.

Namun serangan, yang datang berurutan itu telah membuat Bajang Garing kebingungan. Ia tidak lagi dapat memusatkan perhatiannya. Setiap kali terasa tubuhnya disengat oleh perasaan sakit, dan kadang-kadang terasa tulang-tulangnya menjadi retak.

Ketika sebuah pukulan tangkai tombak yang keras mengenai tengkuknya, terasa kepala Bajang Garing menjadi pening. Bintang-bintang yang bertaburan di langit bagaikan berputaran mengelilingi ubun-ubunnya. Bahkan orang-orang yang mengelilingi itu pun bagaikan berlari-lari berputaran sambil mengacungkan senjata kewajahnya.

Perlahan-lahan kesadaran Bajang Garing pun mulai kabur, sehingga akhirnya ia pun jatuh tertelungkup. Pingsan.

Sesaat kemudian orang-orang yang mengerumuninya itu pun saling berpandangan. Kemudian terdengar sebuah perintah, “Ikat orang itu, dan kita bawa bersama anak buahnya yang menyerah. Mereka akan berguna bagi kita.”

Orang-orang yang mengerumuninya dan menyebut dirinya prajurit-prajurit Pajang itu pun kemudian berlutut di seputar tubuh Bajang Garing. Salah seorang dari mereka segera mengikat tangan Bajang Garing itu dengan tali yang kuat.

“Orang itu cukup berbahaya. Jika ia sadar di perjalanan, maka ia akan meronta.”

“Tali itu cukup kuat, Ki Lurah,” jawab salah seorang.

Pemimpinnya mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah, kita bawa mereka sekarang.”

Sejenak kemudian, orang-orang itu pun telah membenahi diri. Para tawanan diperintahkan untuk naik ke kuda masing-masing Sedangkan senjata mereka telah diikat menjadi satu. Ada pun Bajang Garing yang pingsan dinaikkan pula ke punggung kuda dijaga oleh seorang sambil memeganginya agar ia tidak terjatuh.

“Kita tidak perlu tergesa-gesa,” berkata pemimpinnya, “kasihan kuda yang harus dibebani oleh dua orang itu.”

Sejenak kemudian, maka perlahan-lahan iring-iringan berkuda itu mulai bergerak meninggalkan bulak yang telah menjadi arena perkelahian itu. Beberapa orang yang tertawan masih saja bertanya-tanya di dalam hati, kemanakah mereka itu dibawa, dan berada di tangan siapakah mereka itu sebenarnya.

Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya mencoba untuk mendengarkan setiap percakapan agar mereka dapat mengambil kesimpulan.

Tetapi pembicaraan mereka yang telah membawa para perampok itu tidak begitu jelas. Mereka menyebut-nyebut bermacam-macam persoalan yang tidak diketahui. Namun setiap kali terdengar mereka menyebut diri mereka sebagai prajurit-prajurit.

“Mungkin mereka benar-kenar prajurit Pajang,” desis salah seorang perampok yang tertawan. “Jika mereka termasuk kelompok yang lain lagi, atau mungkin kawan-kawan Gandu Demung dari Gunung Tidar, atau salah satu kelompok di bawah kekuasaan orang yang kadang-kadang disebut Kalasa Sawit, atau orang-orang semacamnya, maka agaknya nasib kami akan berkepanjangan.”

Ketika salah seorang yang menawan itu menyebut nama Untara, maka para lawanan itu mencoba memperhatikan, apakah ada hubungannya dengan keadaan mereka. Namun mereka menjadi kecewa, karena orang itu hanya mengatakan, bahwa Untara tentu akan datang ke Sangkal Putung untuk ikut merayakan perkawinan Swandaru.

“Persetan dengan pengantin itu,” salah seorang dari mereka yang tertawan itu mengumpat di dalam hati.

Demikianlah iring-iringan itu maju perlahan-lahan menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Setiap kali mereka melalui jalan simpang, mereka memilih untuk berbelok daripada melalui padukuhan-padukuhan yang tersebar di lereng Gunung Merapi. Bahkan kemudian mereka telah berjalan menyusur jalan kecil di sebelah hutan yang panjang, meskipun bukan hutan yang lebat.

Yang diketahui oleh para tawanan, bahwa jalan sudah mulai mendaki kaki Gunung Merapi. Beberapa kali terasa mereka mengikuti sebuah jalur jalan yang naik meskipun belum terlampau tinggi.

Ternyata Bajang Garing masih belum sadar. Ia tidak mengetahui jalan yang ditempuhnya. Ia tidak sadar, apakah yang telah terjadi selama ia pingsan.

Tetapi pada saatnya, maka Bajang Garing itu pun mulai menjadi sadar. Perlahan-lahan ia mulai merasa sentuhan tali yang membelit di tangannya.

Ketika Bajang Garing membuka matanya, ia melihat bayangan-bayangan kabur di hadapannya. Semakin lama semakin jelas. Sehingga akhirnya ia sadar sepenuhnya, bahwa ia sudah berada di sebuah pendapa yang tidak dikenalnya, dikelilingi beberapa orang dalam terangnya lampu minyak.

Tetapi serasa ia terlonjak ketika terlihat olehnya, saudara Gandu Demung dan orang-orang dari Hutan Pengarang ada di pendapa itu pula, dan seperti dirinya sendiri, mereka pun terikat tangannya pula serta dijaga oleh beberapa orang di sebelah-menyebelah.

“Orang itu mulai sadar,” terdengar seseorang berkata sambil memandang kepada Bajang Garing.

Dengan demikian maka setiap mata pun mulai memandang, sehingga Bajang Garing yang terikat itu merasa wajahnya serasa tersentuh bara.

“Persetan,” geramnya di dalam hati. Giginya terasa gemertak menahan kemarahan yang serasa menghentak-hentak dada.

Namun ia tidak dapat ingkar atas kenyataan yang dialaminya. Ia terikat di sebuah pendapa yang tidak dikenalnya.

Ketika Bajang Baring kemudian mengangkat wajahnya ia melihat beberapa orang memandanginya tanpa berkedip, seolah-olah orang-orang itu sedang memperhatikan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya dan yang belum pernah dilihatnya.

Sekali lagi ia menggeram. Namun ia tidak berhasil merubah suasana di pendapa itu.

Sejenak kemudian, setiap orang mulai bergeser ketika terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki halaman. Salah seorang dari orang-orang yang berada di pendapa itu berdesis, “Ia telah datang.”

Bajang Garing dan orang-orang yang tertawan dengan tangan terikat itu pun ikut berpaling. Tetapi mereka hanya melihat beberapa bayangan hitam di halaman tanpa dapat mengenal mereka seorang demi seorang.

Baru sejenak kemudian, mereka melihat seorang anak muda yang naik ke pendapa diikuti oleh beberapa orang pengawal.

Dalam keragu-raguan, Bajang Garing dan kawannya mendengar orang-orang di sekitarnya dengan sengaja memberitahukan mereka, “Itu adalah Senapati Agung di daerah selatan. Untara.”

Nama itu rasa-rasanya telah menghentakkan jantung mereka sehingga rasa-rasanya dada mereka berdentangan semakin keras. Ternyata mereka benar-benar berada di pendapa yang penuh dengan prajurit-prajurit Pajang. Dan dengan demikian maka mereka pun mulai yakin, sebenarnyalah mereka telah ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang.

Sejenak kemudian mereka melihat Untara duduk di depan pringgitan di antara beberapa orang perwira pembatunya. Matanya yang tajam memandang seorang demi seorang dari mereka yang terikat.

“Apakah mereka pemimpin-pemimpinnya,” terdengar suara anak muda itu berat dan mantap.

“Ya,” jawab seorang perwira yang sudah lebih tua dari Untara, “mereka telah ditangkap oleh prajurit-prajurit yang memang dikerahkan ke daerah yang dicurigai.”

“Dan mereka benar-benar melalui daerah itu,” geram Untara.

“Ya.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada orang-orang yang terikat itu, “Kalian tahu, kenapa kalian kami tangkap?”

Tidak seorang pun yang menjawab.

“He, apakah kalian tidak mendengar pertanyaanku.”

Masih belum ada jawaban. Namun dada orang-orang yang terikat itu tergetar ketika tiba-tiba saja mereka melihat Untara itu meloncat berdiri, “He,” suaranya menjadi keras, “Apakah kalian tahu? Jawab pertanyaanku, atau kepala kalian akan terlepas dari leher kalian. Apakah kalian menyadari, kenapa kalian ditangkap?”

Yang ada di pendapa dengan tangan terikat itu adalah para pemimpin penjahat yang memiliki ketahanan badani dan jiwani yang besar. Namun melihat sikap Untara rasa-rasanya mereka telah didorong oleh suatu keharusan untuk menjawab, “Ya. Kami mengerti.”

Untara mengatupkan giginya rapat-rapat. Kemudian perlahan-lahan ia duduk sambil berguman, “Kalian berhadapan dengan prajurit Pajang. Jangan mencoba untuk menyombongkan diri di pendapa ini.”

Terasa hati para pemimpin penjahat itu menjadi kecut. Agaknya Untara tidak senang bermain-main. Hampir setiap orang telah pernah mendengar tentang senapati muda yang bernama Untara itu.

“Ki Sanak,” suara Untara merendah, “aku sudah tahu apa yang telah terjadi di ujung Kademangan Sangkal Putung meskipun terlambat, sehingga kami tidak dapat mengambil langkah-langkah menyelamatkan sepasang pengantin itu. Untunglah, bahwa Sangkal Putung berhasil melindungi pengantinnya, sehingga kalian telah mengalami kegagalan.”

Orang-orang yang terikat tangannya itu menundukkan kepalanya.

“Laporan-laporan tentang kalian sudah kami terima sejak kalian mendekati hutan itu di malam sebelum pertempuran itu terjadi. Tetapi kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi. Beberapa pengawas kami telah melihat iring-iringan dalam kelompok kecil yang mencurigakan karena jumlahnya yang terlampau banyak. Mungkin orang-orang kebanyakan tidak banyak memperhatikan kelompok-kelompok kecil yang lewat. Tetapi peronda-peronda kami agaknya telah melihat suatu kelainan.”

Orang-orang itu masih saja terdiam.

“Tetapi kami terlambat mendapat laporan tentang pertempuran yang terjadi, sehingga kehadiran kami sudah tidak berarti lagi. Apalagi para pengawas kami melihat kepastian bahwa Sangkal Putung akan berhasil memenangkan pertempuran itu.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Dan seperti yang kami perhitungkan, bahwa kami akan melakukan penyergapan di saat-saat kalian meninggalkan daerah Sangkal Putung. Prajurit kami tersebar di setiap jalur jalan di sekitar daerah Sangkal Putung. Penangkapan ini akan sangat berarti bagi ketenangan Sangkal Putung dalam saat-saat perayaan perkawinan itu berlangsung.”

Meskipun para pemimpin penjahat itu tidak menjawab sepatah kata pun, namun mereka mengumpat-umpat di dalam hati. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi prajurit-prajurit Pajang dalam kesempatan-kesempatan berikutnya.

“Ini adalah akibat kegilaan Gandu Demung,” geram Bajang Garing di dalam hatinya. “Jika ia tidak bermimpi demikian gilanya, maka kami bersama-sama tidak akan mengalami nasib buruk, setelah beberapa orang kawan kami menjadi korban.”

Tetapi Bajang Garing hanya dapat menyimpan kegeramannya itu di dalam hati. Ketika ia mencoba mengangkat wajahnya memandang berkeliling, maka terdengar giginya gemeretak ketika terpandang olehnya saudara Gandu Demung yang ternyata juga telah tertangkap oleh prajurit Pajang.

“Di manakah orang-orang itu,” bertanya Bajang Garing di dalam hatinya ketika ia tidak melihat anak buahnya di pendapa itu. Namun agaknya ia telah mencoba menjawabnya, “Mereka tentu berada di dalam bilik yang gelap dan pepat, dijaga oleh para prajurit dengan tombak telanjang.”

Tetapi Bajang Garing tidak sempat berangan-angan, karena sejenak kemudian Untara berkata, “Kami ingin mendapat keterangan kalian lebih banyak lagi. Pada kesempatan lain aku sendiri akan berbicara dengan kalian seorang demi seorang.”

Setiap orang menjadi berdebar-debar. Mereka sadar sepenuhnya, dengani siapa mereka berhadapan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka telah terikat di pendapa Jati Anom.

Dalam pada itu, Untara pun kemudian memerintahkan untuk menyingkirkan orang-orang itu. Di keesokan harinya ia akan mulai memanggil orang-orang itu seorang demi seorang.

“Besok malam aku akan hadir di Sangkal Putung memenuhi undangan Ki Demang menyambut pengantin,” katanya kepada para perwira, “sehingga karena itu, maka besok aku harus sudah mempunyai bekal. Meskipun resminya aku pergi ke Sangkal Putung untuk menghadiri perayaan perkawinan itu, tetapi salah seorang dari orang-orang Sangkal Putung itu mungkin akan bertanya tentang para perampok. Mungkin ada pihak-pihak yang mempunyai tafsiran yang salah tentang peristiwa itu. Sehingga aku perlu meletakkan persoalannya pada keadaan yang seharusnya.”

Para perwira itu mengangguk-angguk,

“Besok pagi-pagi para tawanan itu harus sudah disiapkan. Tentu tidak mudah memancing jawaban dari mereka.”

“Tetapi agaknya mereka telah kehilangan pribadi,” jawab seorang perwira, “mungkin karena kecewa, tetapi mungkin karena kejutan yang sama sekali tidak mereka perhitungkan sebelumnya.”

“Hanya kejutan. Tetapi besok mereka akan kembali kepada kepribadian mereka masing-masing.”

Para perwira itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun sudah membayangkan, bahwa Untara tentu akan mengetahui sesuatu tentang diri para tawanan itu sebelum ia pergi ke Sangkal Putung.

Dalam pada itu, sebenarnyalah telah tumbuh kekecewaan di hati Swandaru karena peristiwa yang telah terjadi di ujung kademangannya itu. Ia tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang bersalah. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari kejengkelannya telah terlempar kepada prajurit-prajurit Pajang.

“Jika kami tidak dapat mempertahankan diri, maka kami telah hancur,” katanya di dalam hati. “Prajurit Pajang tidak berbuat apa-apa sama sekali.”

Tetapi ternyata bahwa Untara tidak tinggal diam. Ia telah memerintahkan tiga orang prajurit untuk dengan resmi datang ke Sangkal Putung, memberitahukan kepada Ki Demang segala sesuatu yang telah dilakukan.

Kedatangan utusan Untara itu memang mengejutkan Sangkal Putung. Namun sebagian dari mereka kemudian mengangguk-angguk sambil berdesis, “Jadi prajurit-prajurit Pajang itu tidak berdiam diri. Sayang, mereka terlambat sehingga korban sudah banyak yang jatuh. Tetapi yang dilakukan masih jauh lebih baik dari tidak berbuat apa-apa, karena ternyata para perampok yang berhasil lolos itu telah dapat dijaring oleh prajurit-prajurit Pajang yang dengan cepat digerakkan.”

Namun demikian, masih terasa kekecewaan yang tersisa di hati Swandaru terhadap Untara.

Dalam pada itu, peristiwa yang telah mendahului perayaan pengantin di Sangkal Putung itu mempunyai pengaruh yang cukup besar. Orang-orang Sangkal Putung rasa-rasanya menjadi sangat berhati-hati. Mereka membayangkan, bahwa perampok yang banyak jumlahnya itu masih mempunyai kawan yang setiap saat dapat menerkam Sangkal Putung.

Karena itu, maka mereka tidak mau melepaskan anak-anak mereka, terlebih-lebih yang masih kecil-kecil untuk pergi bermain terlalu jauh dari rumah. Bahkan perempuan-perempuan selalu diganggu oleh kecemasan. Mereka segera menutup pintu rapat-rapat jika suami mereka pergi meninggalkan rumah.

Namun hati rakyat Sangkal Putung itu serasa menjadi tenang jika mereka melihat sekelompok anak-anak muda yang meronda dengan senjata di tangan. Juga perempuan-perempuan yang berada di kademangan, setiap kali mereka memerlukan melihat, apakah peronda di gardu masih lengkap.

Meskipun kecemasan melanda seluruh kademangan, namun dapur kademangan masih tetap mengepulkan asap. Perempuan-perempuan masih tetap sibuk menyiapkan hidangan dan selamatan. Selain pertunjukan yang akan tetap berlangsung, maka di pendapa akan diadakan kenduri yang juga sebagai ucapan syukur bahwa sepasang pengantin itu telah selamat juga sampai ke kademangan dengan tidak melupakan pengorbanan mereka yang terpaksa menjadi bebanten.

Dalam suasana yang khusus itu, Kademangan Sangkal Putung merayakan perkawinan Swandaru. Antara gembira dan duka. Antara gelak tertawa dan gemeretak gigi.

Jika di pendapa beberapa orang duduk sambil menghadapi hidangan menjelang upacara yang akan diadakan lepas senja, maka di jalan-jalan di seluruh kademangan nampak anak-anak muda hilir-mudik dalam kesiagaan tertinggi.

Namun hati mereka menjadi tenang, ketika para peronda di ujung kademangan menerima kedatangan empat orang berkuda yang memang khusus menjumpai mereka.

“Apakah Tuan akan menjumpai Ki Jagabaya?” bertanya salah seorang peronda.

“Apakah Ki Jagabaya ada dirumahnya?”

“Tidak. Tentu tidak ada di rumahnya.”

“Di kademangan?”

“Tentu juga tidak. Ki Jagabaya berada di banjar bersama beberapa orang pengawal terpercaya yang siap digerakkan setiap saat.”

“Baiklah. Aku akan menjumpai Ki Jagabaya.”

Para peronda pun segera membawa keempat orang berkuda itu ke banjar untuk menjumpai Ki Jagabaya yang ternyata memang berada di antara para pengawal.

Dengan wajah yang tegang Ki Jagabaya menerima keempat orang itu di pendapa banjar kademangan.

“Apakah yang Tuan kehendaki?”

Salah seorang dari keempat orang itu menjawab, “Ki Jagabaya. Kami hanya sekedar ingin membantu agar ketenangan di kademangan ini dapat lebih terjamin selama perayaan berlangsung beberapa hari seperti yang telah direncanakan.”

Ki Jagabaya mengangguk-angguk.

“Kami tidak akan langsung berada di dalam lingkungan pengamatan para pengawal Kademangan Sangkal Putung agar dengan demikian justru tidak menumbuhkan kesibukan-kesibukan baru bagi kademangan yang sedang sibuk ini. Kami akan berada di luar kademangan, dan setiap kali melakukan hubungan-hubungan yang perlu. Dengan demikian kami tidak akan menambah beban bagi kademangan ini, karena kami akan menyiapkan segala kebutuhan kami sendiri.”

Ki Jagabaya menarik nafas. Jawabnya, “Sebenarnya itu bukan merupakan persoalan bagi kami. Justru karena kami sedang sibuk, maka jika kesibukan itu ditambah sedikit, tidak akan terasa bagi kami.”

“Terima kasih,” jawab salah seorang dari keempat orang berkuda itu, “kami akan melakukan di luar kademangan, pada jalur-jalur jalan dan di bulak-bulak panjang.”

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Aku akan melaporkannya kepada Ki Demang, yang tentu akan sangat berterima kasih pula.”

“Kami menempatkan sepasukan berkuda di daerah Benda dan sepasukan yang lain di Turi Pitu. Jika keadaan memaksa, maka kedua pasukan kecil itu dapat kita gerakkan dengan segera.”

“Kenapa tidak di padukuhan yang mana pun dalam Kademangan Sangkal Putung?”

Salah seorang dari keempat orang itu menjawab sambil tersenyum, “Silahkan merayakan perkawinan Swandaru dengan tenang tanpa memikirkan apa pun juga. Tanpa memikirkan keadaam kami dan keperluan kami.”

Ki Jagabaya pun tersenyum. Sekali lagi ia berkata, “Terima kasih. Kami menyadari, bahwa sikap prajurit Pajang di Jati Anom itu akan sangat membantu.”

“Setidak-tidaknya memberikan ketenangan batin. Seandainya tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh kelompok-kelompok penjahat yang agaknya telah tidak berdaya sama sekali itu, namun kecemasan orang-orang Sangkal Putung akan sangat berpengaruh terhadap suasana lepas senja nanti. Jika mereka mengetahui bahwa prajurit Pajang ada di sekitar kademangan mereka, maka mereka akan menjadi tenang.”

“Ya. Ya. Kami mengerti. Kami akan mengumumkan bahwa prajurit Pajang ada di Benda dan Turi Pitu selain mereka yang meronda di jalan-jalan yang menuju ke Sangkal Putung untuk mengawasi orang-orang yang lalu-lalang. Karena orang-orang dari sekitar Sangkal Putung akan berdatangan memenuhi undangan Ki Demang.”

Keempat orang itu pun kemudian minta diri. Mereka akan kembali ke induk pasukan mereka untuk mengatur pengawasan di sekitar Sangkal Putung.

Ki Jagabaya pun segera menemui Ki Demang. Berita tentang kesiagaan prajurit-prajurit Pajang itu pun segera tersebar. Juga di seluruh Kademangan Sangkal Putung.

“Mereka tentu lebih mementingkan keselamatan Untara yang akan datang pula daripada keselamatan Sangkal Putung,” gumam Swandaru setelah ia mendengar laporan Ki Jagabaya.

Sekali lagi Swandaru mengejutkan beberapa orang tua yang mendengarnya. Meskipun bagi beberapa orang yang lain hal itu tidak banyak menarik perhatian, seolah-olah begitu saja diucapkan oleh Swandaru tanpa maksud yang lebih dalam, namun bagi Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, bahkan Agung Sedayu mempunyai arti yang mendebarkan.

“Nampaknya kepercayaan Swandaru kepada Pajang benar-benar sudah larut,” berkata orang-orang tua itu di dalam hatinya.

Meskipun demikian, namun mereka sama sekali tidak saling mempersoalkan, seolah-olah mereka pun sama sekali tidak memper-hatikan kata-kata Swandaru.

Dalam pada itu, Ki Demang yang mendengar laporan Ki Jagabaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan dengan serta-merta ia berkata, “Kita tentu sangat berterima kasih, Ki Jagabaya. Untuk apa pun dan untuk siapa pun Pajang meningkatkan kesiagaannya, bagi kita akibatnya hampir sama. Kita dapat menjadi lebih tenang, karena di samping para pengawal kita sendiri, kita dikelilingi oleh prajurit-prajurit Pajang meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Apalagi menurut pendengaran kita, sisa-sisa perampok yang berhasil lolos telah dapat dijaring oleh pasukan Pajang yang dapat digerakkan dengan cepat.”

“Ya, Ki Demang,” sahut Ki Jagabaya, “kita akan menyebarkan berita itu seluas-luasnya agar rakyat Sangkal Putung tidak merasa selalu dibayangi oleh ketakutan justru pada saat mereka harus bergembira sekarang ini.”

“Baiklah,” jawab Ki Demang, “sebanyak-banyak orang yang pantas mengetahui kesiagaan prajurit Pajang itu.”

Dengan demikian maka ketenangan pun mulai menjalar di seluruh kademangan. Orang-orang yang semula menutup pintu rumahnya, kemudian telah merencanakan untuk melihat keramaian di pendapa kademangan meskipun padukuhannya terpisah oleh bulak kecil dengan padukuhan induk. Namun mereka percaya bahwa di bulak-bulak itu akan berkeliaran para pengawal dan bahkan para prajurit Pajang.

Menjelang sore, pendapa kademangan sudah dibersihkan. Semua persiapan sudah diatur serapi-rapinya. Kedua orang pengantin akan mengalami rias serupa saat mereka dipertemukan di Tanah Perdikan Menoreh.

Padukuhan yang semula sepi seolah-olah telah menjadi hidup kembali. Lampu-lampu telah disiapkan di gerbang-gerbang. Jika gelap malam turun, maka lampu minyak itu pun akan segera dinyalakan.

Namun demikian, dalam kegembiraan yang mulai hidup lagi di Sangkal Putung, Agung Sedayu merasa dirinya menjadi semakin kecil, jika ia melihat tikar yang sudah terbentang di pendapa, maka ia pun mulai membayangkan bahwa perkawinan Swandaru ternyata mendapat perhatian dari orang-orang terbesar di sekitarnya. Senapati besar di daerah kekuasaan Pajang di bagian selatan Lereng Merapi akan hadir malam nanti. Demikian pula penguasa yang akan mewakili Senapati Ing Ngalaga dari Mataram pun akan datang.

“Ternyata aku adalah orang yang paling kecil di dalam lingkunganku,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Jika sekilas dilihatnya tikar yang terbentang di pendapa, maka ia sudah mulai membayangkan orang-orang yang dihormati akan duduk di sekeliling Swandaru dan Pandan Wangi yang bersanding.

“Peristiwa ini tentu akan selalu diingat oleh Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Dan karena itulah, maka Agung Sedayu selalu dibayangi oleh kecemasan menjelang hari perkawinannya sendiri, jika saatnya akan tiba.

“Kapan?” tiba-tiba ia bertanya kepada diri sendiri.

Dalam pada itu, matahari pun kemudian bagaikan meluncur dengan cepatnya menuruni langit di ujung Barat. Pendapa Sangkal Putung telah dirias pula dengan segarnya. Warna-warna kuning seperti yang nampak di Tanah Perdikan Menoreh, telah memenuhi pendapa dan halaman kademangan.

Orang-orang tua dan mereka yang diserahi untuk menerima tamu-tamu yang bakal datang pun telah siap di pintu regol dan di tangga pendapa. Sebentar lagi, para tamu pun tentu akan berdatangan. Terutama para tamu yang datang dari jauh.

Sementara itu, peristiwa yang terjadi di Sangkal Putung, ternyata telah didengar pula oleh para pemimpin di Mataram. Para petugas yang mengamati keadaan ternyata cukup cepat menanggapi berita yang datang dari daerah di sebelah timur Alas Mentaok, sehingga sebelum mereka yang akan pergi menghadiri upacara perkawinan Swandaru di Sangkal Putung berangkat, berita tentang peristiwa di ujung hutan itu telah didengar oleh Ki Lurah Branjangan.

“Untunglah bahwa sepasang pengantin itu selamat,” desisnya.

“Tetapi korban telah ada yang jatuh.”

Ki Lurah memang harus mempertimbangkan peristiwa yang telah terjadi itu. Karena ia masih belum mendapat gambaran yang jelas, maka ia pun telah mengirimkan beberapa orang petugas untuk mendahului perjalanannya. Bahkan, jumlah pengawal yang dibawanya pun menjadi semakin banyak pula karenanya.

Tetapi yang tidak terduga-duga telah terjadi. Para petugas yang mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan ke Sangkal Putung, ternyata telah berpapasan dengan beberapa orang peronda dari Pajang.

“Kalian mencurigakan sekali,” berkata salah seorang prajurit Pajang.

“Kami adalah para pengawal dari Mataram. Kami mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan yang akan pergi ke Sangkal Putung.”

Pengakuan itu sebenarnya telah dapat meredakan ketegangan yang timbul. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Beberapa orang prajurit yang di dalam dirinya telah tersimpan benih-benih ketidak-senangan terhadap orang-orang Mataram yang dianggapnya telah menyaingi kekuasaan Pajang, setidak-tidaknya di sekitar Alas Mentaok itu, seolah-olah mendapat kesempatan untuk menumpahkan perasaannya. Itulah sebabnya maka salah seorang prajurit muda menyahut dengan lantang, “Kami akan menggeledah setiap orang yang kami curigai. Kami berhak merampas senjata dan apa pun yang kami pandang perlu.”

Wajah para pengawal dari Mataram itu menjadi merah. Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah pengawal Senapati Ing Ngalaga.”

Sejenak ketegangan terasa semakin memuncak. Bahkan seorang prajurit muda yang lain berkata, “Kami adalah prajurit Pajang. Kami berhak melakukan apa saja yang menurut pertimbangan kami akan bermanfaat bagi keamanan Pajang dan seluruh daerah kuasanya, termasuk Alas Mentaok.”

Para pengawal dari Mataram merasakan sindiran yang tajam itu. Seorang pengawal yang juga masih muda nampaknya sulit untuk menahan hati. Jawabnya, “Senapati Ing Ngalaga di Mataram telah mendapat limpahan kekuasaan pula dari Pajang. Kanjeng Kiai Pleret adalah perlambang dari kekuasaan itu. Karena itu, prajurit-prajurit seperti kalian tidak berwenang menyentuh kekuasaan Senapati Ing Ngalaga atau yang mendapat limpahan dari padanya. Dan kami adalah pengawal yang dipercaya. Nilai kami tidak lebih rendah dari seorang prajurit Pajang dalam kedudukan kami di hadapan Kanjeng Sultan.”

Jawaban itu membuat suasana menjadi semakin panas. Prajurit-prajurit muda dan para pengawal yang masih muda pula, rasa-rasanya sulit untuk mengendalikan diri. Namun pemimpin prajurit dari Pajang itu pun kemudian mencoba untuk meredakan suasana, “Jangan dihiraukan lagi. Ia berhak datang ke Sangkal Putung, jika Ki Demang memang mengundangnya.”

Prajurit muda yang lain nampaknya tidak puas dengan keputusan pemimpinnya. Tetapi pemimpin itu berkata pula, “Kita akan mengikuti mereka sampai ke perbatasan Kademangan Sangkal Putung. Setelah mereka berada dalam pengawasan para pengawal, kita akan melepaskannya.”

Para pengawal dari Mataram itu tetap merasa tersinggung. Tetapi mereka pun menyadari, bahwa pertengkaran yang terjadi di hadapan Kademangan Sangkal Putung yang sedang bersiap-siap merayakan perkawinan anak laki-laki Ki Demang itu tentu akan terganggu. Karena itu, maka orang tertua dari mereka menjawab, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi sudah aku katakan, bahwa aku mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan yang akan hadir pula pada perayaan perkawinan anak Ki Demang Sangkal Putung itu.”

“Dan kau akan kembali lagi mengabarkan kehadiranmu kepada Ki Lurah Branjangan?”

“Tidak. Jika kami tidak menemui kesulitan apa pun di perjalanan berhubung dengan peristiwa yang telah terjadi atas iring-iringan pengantin itu, berarti bahwa Ki Lurah Branjangan dapat berjalan terus.”

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar