Buku 098
Dalam pada itu, Gandu Demung
pun telah bersiap pula menghadapi cambuk Swandaru. Seolah-olah ia ingin melihat
setiap wajah yang berada di sekitar arena itu.
“Bagus,” berkata Gandu Demung
kepada orang-orang yang berkerumun itu, “aku sadar bahwa aku akan mati. Tetapi
sebelumnya kalian akan menyaksikan bagaimana aku mencincang pengantin baru ini
sebelum kalian beramai-ramai menguliti tubuhku.”
“Persetan,” geram Swandaru,
“jangan mengigau. Bersiaplah.”
Gandu Demung pun segera
bersiap. Ia sadar sepenuhnya bahwa lawannya adalah seorang anak muda yang
sedang dibakar oleh kemarahan. Sehingga karena itulah maka ia harus
berhati-hati dan tidak kehilangan akal pula.
Kiai Gringsing yang juga
berdiri di lingkaran itu hanya dapat mengikuti perkembangan keadaan dengan
tegang. Agaknya Swandaru sudah tidak dapat dicegah lagi.
Karena itu, maka yang dapat
dilakukan oleh Kiai Gringsing kemudian adalah berdoa, agar Swandaru dapat
menyelesaikan perang tanding itu dengan selamat.
Sejenak kemudian kedua orang
itu sudah siap untuk bertempur. Sekilas, di sela-sela orang-orang yang berdiri
melingkarinya, Gandu Demung masih sempat melihat beberapa orang anggota
gerombolannya yang menyerah dan dijaga oleh beberapa orang pengawal.
“Pengecut,” ia menggeram. Dan
Gandu Demung benar-benar tidak ingin menyerah.
Sejenak kemudian, terdengar
suara cambuk yang meledak. Swandaru nampaknya sudah tidak sabar lagi. Terdengar
suaranya yang bergetar, “Cepatlah, supaya kau cepat pula dimasukkan ke dalam
kubur.”
Wajah Gandu Demung pun telah
membara. Ia bukan orang yang sabar menghadapi celaan. Karena itulah maka ia pun
segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan.
Dengan tegang Swandaru
bergeser selangkah ke samping. Tangannya sudah siap mengayunkan cambuknya yang
berjuntai panjang dengan karah besi baja di beberapa tempat.
Namun Swandaru terkejut karena
dengan tidak diduga-duga, saat kakinya sedang melangkah untuk kedua kalinya,
tiba-tiba saja Gandu Demung meloncat dengan cepatnya sambil menjulurkan
senjatanya.
Swandaru tidak bersiaga
menghadapi serangan itu, sehingga dengan demikian, maka yang dapat dilakukannya
adalah meloncat menghindar selangkah surut.
Tetapi Gandu Demung
mempergunakan setiap saat sebaik-baiknya. Ia tidak menarik serangannya, tetapi
mengayunkan senjatanya mendatar mengarah ke lambung Swandaru.
Kaki Swandaru masih terbuka.
Karena itu, ia tidak sempat mengelak lagi dengan langkah surut karena berat
tubuhnya. Tetapi ia pun tidak sempat menangkis serangan itu dengan cambuknya,
sehingga karena itu ia harus cepat menentukan sikap untuk menghindarkan diri
dari senjata lawannya yang akan dapat menyobek lambungnya.
Dalam kesulitan itu, Swandaru
tidak mempunyai pilihan lain. Jika ia tidak mau tersayat oleh senjata lawannya,
maka ia pun harus melakukannya.
Dengan cepat pula Swandaru
menjatuhkan diri. Kemudian berguling melingkar mundur.
Namun lawannya benar-benar
ingin mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya. Jika ia tidak berhasil
mempergunakan saat yang baik itu, maka ia akan menjumpai kesulitan di dalam
berikutnya. Sehingga dengan demikian, maka Gandu Demung pun segera meloncat
memburu. Dengan perhitungan yang cermat ia mengayunkan senjatanya menebas tepat
saat Swandaru melenting berdiri.
Semua orang yang berada di
seputar arena itu berdiri mematung. Mereka telah dicengkam kecemasan melihat
perkelahian itu. Mereka melihat Swandaru berada dalam kedudukan yang lemah,
apalagi di dalam saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya menebas Swandaru yang
menurut perhitungannya akan melenting berdiri.
Pandan Wangi yang berdiri tegak
menjadi pucat. Sepasang senjatanya telah bergetar. Namun ia tidak berani
meloncat memasuki arena karena ia sadar, bahwa dengan demikian ia akan melukai
hati Swandaru. Demikian pula agaknya Sekar Mirah dan orang-orang lain yang
melihat keadaan itu.
Tetapi ternyata bahwa Swandaru
yang gemuk dan sedang dibakar oleh kemarahan itu pun sempat membuat perhitungan
yang cermat. Sesaat ia siap untuk melenting berdiri ia sempat melihat kaki
lawannya yang bergerak setengah langkah maju, dengan mencondongkan tubuhnya ke
depan.
Karena itulah, maka sekilas ia
mencoba melihat gerak tangan lawannya. Dengan ketajaman tanggapan, Swandaru
segera dapat mengerti apa yang sedang dilakukan oleh lawannya. Sehingga karena
itulah maka ia mengurungkan niatnya untuk melenting, tetapi sekali lagi ia
berguling ke samping dan berkisar dengan poros lambungnya.
Ternyata bahwa Swandaru
berhasil. Pada saat Gandu Demung mengayunkan senjatanya untuk menebas tubuh
Swandaru yang diperhitungkan akan melenting berdiri, Swandaru telah membuat gerakan
yang lain sekali sehingga Gandu Demung terkejut karenanya. Dengan serta-merta
ia pun telah merubah serangannya, dengan menahan ayunan senjatanya yang
mendatar. Ia harus mengangkat senjatanya itu, dan dengan ujungnya ia menukikkan
senjata itu langsung ke dada Swandaru yang sedang berkisar.
Hampir saja Pandan Wangi dan
Sekar Mirah terpekik berbareng. Untunglah keduanya masih dapat menahan diri
betapa dadanya telah terguncang, dan rasa-rasanya jantungnya akan pecah. Ujung
senjata Gandu Demung itu bagaikan petir yang menyambar dari langit langsung
mengarah ke pusat jantung
Tetapi Swandaru tidak
membiarkan ujung senjata itu membunuhnya. Ia pun melakukan gerakan itu dengan
perhitungan. Karena itulah, maka tepat ketika ujung senjata itu mematuknya,
dengan sekuat tenaganya ia mengayunkan kedua kakinya bersilang.
Gerak kaki Swandaru bagaikan
kekuatan yang melemparkan Gandu Demung dengan lontaran yang tidak tertahan.
Kedua kakinya yang memotong dengan arah yang berlawanan, telah merampas
keseimbangan Gandu Demung. Dengan serta-merta ia pun terlempar jatuh dan
berguling beberapa kali di atas tanah yang keras.
Tetapi Gandu Demung
benar-benar lincah. Sesaat kemudian, maka ia pun segera meloncat berdiri,
mendahului semua kemungkinan yang dapat dipergunakan oleh Swandaru.
Namun Gandu Demung menggeram.
Ketika ia tegak berdiri dengan kaki renggang, ia pun melihat bahwa Swandaru pun
telah berdiri tegak pula dengan cambuknya di dalam genggaman. Wajahnya yang
kotor oleh keringat dan debu, membuat wajahnya tampak menjadi semakin
menyeramkan.
Gandu Demung tidak berkata
sepatah pun. Ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk Swandaru
yang tentu akan dapat menyayat kulitnya, jika tidak sempat menghindar.
Dengan hati-hati, Swandaru
melangkah maju. Ia tidak mau mengulangi kesalahannya. Karena itulah, maka
setiap saat tangannya akan dengan cepat terayun ke tubuh lawannya.
Untuk beberapa saat keduanya
mencoba untuk mengetahui apakah yang sebaiknya dilakukan menghadapi lawan yang
tangguh itu. Bahkan mereka seakan-akan saling menyegani dan menunggu.
Namun sejenak kemudian,
terdengar sebuah ledakan yang memekakkan telinga. Cambuk Swandaru telah terayun
menyambar tubuh lawannya.
Tetapi Gandu Demung yang
melihat arah ayunan itu sempat mengelak dengan loncatan panjang. Ia pun harus
segera membungkuk dalam-dalam ketika cambuk itu kemudian melayang menyambar
lehernya.
Gandu Demung dengan tepat
dapat memperhitungkan, bahwa sekali lagi Swandaru akan mengayunkan cambuk itu
sendal pancing, sehingga ia masih sempat meloncat ke samping. Bukan saja
sekedar meloncat, tetapi Gandu Demung langsung menggerakkan senjatanya. Dengan
tangan terjulur lurus senjatanya telah mematuk lawannya. Tetapi Swandaru pun
sempat mengelak, bahkan menyerang dengan cambuknya pula.
Dengan lincahnya Gandu Demung
berusaha untuk bertempur pada jarak yang pendek. Dengan kecepatan geraknya, ia
berhasil masuk ke dalam jarak yang sulit disentuh oleh ujung cambuk Swandaru
justru karena terlampau dekat.
Sekali lagi Gandu Demang
merasa, bahwa ia telah menemukan kelemahan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia
mempergunakan kesempatan itu dengan mengayunkan senjatanya mendatar, dan
kemudian menusuk lurus ke arah dada.
Swandaru menggeram dengan
marahnya. Ia sadar, bahwa lawannya yang cerdik telah memotong jarak sehingga
ujung cambuknya sulit dipergunakannya. Setiap kali ia berusaha meloncat
menjauh, maka Gandu Demung selalu mengejarnya untuk mempertahankan jarak yang
pendek yang telah dapat dicapainya.
Orang-orang yang berada di
dalam lingkaran yang memutari pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Tidak
seorang pun dari mereka yang tidak menjadi cemas melihat cara yang ditempuh
oleh Gandu Demung yang cerdik. Kecepatannya bergerak dan kecerdikannya, telah
membuat Swandaru merasa terdesak.
Tetapi ternyata Swandaru bukan
seorang anak muda yang cepat kehilangan pegangan. Ia pun memiliki pengalaman
yang luas menghadapi berbagai macam ilmu. Itulah sebabnya, maka ia pun masih
sempat mempergunakan akalnya di antara kemarahan yang rasa-rasanya akan
meledakkan dadanya.
Sambil menghindari setiap
serangan lawannya, Swandaru berusaha menemukan cara untuk mengatasi jarak yang
dipertahankan mati-matian oleh Gandu Demung. Setiap kali cambuknya meledak,
maka lawannya selalu sempat berlindung justru pada tangkainya, bahkan sekaligus
telah menyerang pula.
Karena itulah, maka kemudian
Gandu Demung merasa, bahwa betapapun lambatnya, namun ia akan berhasil
menguasai lawannya dan bahkan sedikit kesalahan yang dilakukan oleh Swandaru,
akan mengantarnya ke daerah maut.
Dalam kesulitan itulah
Swandaru mengerahkan segenap kemampuannya. Beberapa kali ia mencoba meledakkan
cambuknya sendal pancing, meskipun hasilnya kurang meyakinkan. Kemudian dengan
putaran-putaran yang kuat mendatar. Namun nampaknya ujung cambuknya justru akan
membelit lawannya tidak pada tempat yang dikehendaki, dan memberi kesempatan
lawannya menahan ujung cambuknya sambil menyerang dengan senjatanya.
Sementara itu, Gandu Demung
menyerang terus. Semakin lama semakin cepat, sehingga Swandaru pun menjadi
semakin terdesak karenanya.
Dalam pada itu, di arena itu
tiba-tiba telah meledak suara tertawa Gandu Demung sehingga setiap orang
terkejut karenanya. Apa lagi ketika mereka melihat warna merah yang meleleh di
pundak Swandaru.
“Luka,” desis Sekar Mirah
dengan tangan gemetar. Tongkat bajanya tiba-tiba saja telah digenggamnya
erat-erat, seolah-olah telah siap untuk diayunkannya. Sementara Pandan Wangi
bergeser selangkah dengan sepasang pedang di tangannya.
Swandaru menggeram disengat
oleh perasaan pedih di lukanya itu. Apalagi nampaknya Gandu Demung
mempergunakan setiap kesempatan untuk memenangkan pertempuran itu. Luka di
pundak Swandaru merupakan pertanda baginya, bahwa ia akan dapat memenangkan
pertempuran itu.
Dengan cermat Gandu Demung
mendesak lawannya. Setiap kali ia berhasil meloncati ujung-ujung cambuk
Swandaru yang berusaha membelit kakinya, sehingga ia tidak terjerat karenanya.
Dalam kekalutan itu, Gandu
Demung berhasil mendesak Swandaru yang nampaknya kehilangan semua kesempatan
untuk mempergunakan senjatanya. Sebuah ayunan yang keras menyambar kening.
Meskipun Gandu Demung yakin bahwa Swandaru masih akan sempat membungkukkan
badannya untuk menghindar, tetapi serangan berikutnya tentu akan mengakhiri
perkelahian. Saat itu Swandaru tidak akan dapat menghindari serangan justru
tidak dengan senjatanya, tetapi dengan kakinya. Kaki Gandu Demung akan
menghantam wajah Swandaru yang membungkuk itu. Ketika ia mengangkat wajah itu,
maka berakhirlah semuanya. Senjatanya akan memecahkan dada anak muda yang gemuk
itu.
Tetapi Swandaru mempunyai
perhitungannya sendiri. Ia memang tidak dapat berbuat lain, ketika senjata
lawannya menyambar kening. Namun dalam pada itu, Swandaru tidak sekedar
membungkukkan kepalanya dan membiarkan kaki lawannya terangkat di wajahnya. Ia
sadar bahwa dalam keadaan yang demikian ia tidak akan menyerang dengan ujung
cambuknya. Dan ternyata nalarnya masih tetap bening. Pada saat ia membungkukkan
wajahnya, ia melihat kaki Gandu Demung mulai bergerak. Namun pada saat itulah
ia menyerang lawannya, tetapi tidak dengan ujung cambuknya.
Ternyata Swandaru telah
mempergunakan senjatanya tidak seperti kebiasaannya. Jarak yang pendek tidak
menguntungkannya untuk mempergunakan ujung cambuknya. Karena itulah, maka
ketika sebelah kaki Gandu Demung mulai bergerak, Swandaru telah mengayunkan
cambuknya, memukul kaki lawannya yang tegak di atas tanah, tidak dengan
ujungnya, tetapi justru dengan tangkainya. Swandaru telah memegang cambuknya
terbalik, meskipun tidak sepanjang juntainya. Ia menggenggam cambuknya pada
pangkal juntainya yang dengan sekuat tenaganya diayunkannya mengenai lutut
lawannya.
Serangan itu sama sekali tidak
diduga oleh lawannya, seperti saat kaki Swandaru memotong dengan gerakan silang
dan melemparkannya jatuh berguling di tanah. Ternyata serangan yang tiba-tiba
itu telah terulang lagi. Dan sekali lagi Gandu Demung terguncang dan jatuh.
Gandu Demung melihat bagaimana
Swandaru berguling menjauhinya dan meloncat berdiri secepat Gandu Demung
sendiri melenting meskipun lututnya masih terasa sakit dan kaki itu masih
gemetar. Bukan saja karena hantaman tangkai cambuk yang rasa-rasanya telah
meretakkan tulangnya, tetapi juga karena kejutan yang telah mengguncangkan isi
dadanya, sehingga seolah-olah retak karenanya, karena pada saat satu kakinya mulai
terangkat, maka kaki yang lain telah mengalami serangan yang tidak
diperhitungkan sebelumnya.
Tetapi ternyata bahwa
Swandaru-lah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya didorong
oleh kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya. Dengan serta-merta maka ia
pun segera meloncat menyerang sesaat setelah Gandu Demung mulai tegak di atas
kakinya yang masih pedih.
Sebuah ledakan cambuk telah
menggelepar dengan dahsyatnya. Swandaru Ternyata telah memegang tangkai
cambuknya kembali dan mengayunkannya sekuat-kuat tenaganya mengenai tubuh Gandu
Demung.
Terdengar sebuah keluhan
tertahan. Ujung cambuk itu tidak membelit tubuh Gandu Demung, tetapi hentakan
yang kuat seolah-olah telah membelah kulit seperti sentuhan sembilu.
Agaknya, luka di pundak Swandaru
telah membuat anak muda yang gemuk itu kehilangan pengekangan diri. Selagi
Gandu Demung masih berusaha menemukan keseimbangannya dan menahan perasaan
pedih, tiba-tiba terdengar sekali lagi cambuk Swandaru meledak.
Gandu Demung terkejut melihat
gerakan yang begitu cepat. Ia melihat ujung cambuk itu terayun ke lehernya,
sehingga karena itu, maka ia pun segera membungkukkan kepalanya.
Tetapi Swandaru telah
mempersiapkan serangan berikutnya. Ia memutar cambuk itu sekali di udara,
kemudian sambil merendahkan diri ia bergeser maju. Cambuknya dengan cepat
terayun mendatar setinggi lutut lawannya.
Gandu Demung benar-benar tidak
sempat mengelak, Meskipun ia berusaha untuk meloncat, namun ujung cambuk itu
ternyata masih sempat membelit pergelangan kakinya.
Dengan serta-merta Swandaru
menarik cambuknya. Dan hentakan yang kuat itu telah melemparkan Gandu Demung
dan membantingnya jatuh di atas tanah sekali lagi.
Kesalahan itu ternyata tidak
terampuni lagi. Kemarahan Swandaru benar-benar sudah sampai ke puncaknya.
Ketika kemudian Gandu Demung berusaha untuk bangkit, maka ujung cambuk Swandaru
telah menyambarnya. Demikian dahsyatnya, sehingga yang terdengar di antara
ledakan cambuk itu adalah teriakan Gandu Demung yang kesakitan. Ia tidak sempat
tegak berdiri karena ia pun kemudian terdorong sekali lagi dan jatuh
terjerembab.
Pada saat yang sama Swandaru
telah meloncat maju. Tangannya bergerak dengan kekuatan penuh. Dan ketika
cambuknya terayun sekali lagi mengenai tubuh Gandu Demung, maka orang itu hanya
sempat menggeliat sambil mengeluh.
Tetapi nampaknya Swandaru
telah benar-benar dicengkam oleh kemarahan yang tidak terkendali. Tanpa
ragu-ragu maka sekali lagi cambuknya terangkat dan hentakan yang keras telah
membuat jalur luka melintang di punggung lawannya. Sekali, dua kali, dan
berulang kali.
Gandu Demung sama sekali sudah
tidak bergerak lagi. Tetapi Swandaru nampaknya tidak puas dengan ledakan
cambuknya yang susul-menyusul itu. Sebagai orang yang kehilangan akal, maka ia
pun berusaha untuk menghancurkan tubuh lawannya yang sudah tidak berdaya lagi.
Orang yang berdiri di
sekeliling arena itu terkejut melihat tingkah laku Swandaru. Mereka mengerti,
bahwa luka di pundak Swandaru telah membuatnya kehilangan pengamatan diri.
Tetapi mereka sama sekali tidak menduga bahwa Swandaru benar-benar dapat
melakukan seperti yang mereka saksikan itu betapapun kemarahan
menghentak-hentak di dadanya.
Dalam pada itu, selagi
orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu membeku di tempatnya, terdengar
suara Kiai Gringsing memecah di antara ledakan-ledakan cambuk Swandaru, “Cukup,
cukup! Berhentilah!”
Tetapi Swandaru tidak
berhenti. Bahkan ia menjawab, “Kawan-kawanku telah jatuh menjadi korban. Ia
harus dicincang sampai lumat.”
“Itu sudah cukup,” terdengar
suara Ki Sumangkar dan Ki Demang hampir berbareng.
Tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya. Ia hanya berhenti sejenak dan berpaling dengan tatapan mata
yang membara. Bahkan perintahnya, “Bunuh semua tawanan.”
“Anakmas Swandaru,” desis Ki
Waskita.
Tetapi sekali lagi Swandaru berteriak,
“Bunuh semua tawanan. Setiap kematian harus ditebus dengan sepuluh orang
lawan.”
“Swandaru,” Ki Demang hampir
berteriak.
Tetapi Swandaru tidak
menghiraukannya. Bahkan kemudian sekali lagi ditatapnya tubuh Gandu Demung yang
sudah menjadi merah oleh darah. Agaknya ia masih belum puas melihat korbannya
yang sudah tidak mampu berbuat apa pun juga itu.
Tetapi yang terjadi telah
menghentikan denyut setiap jantung. Pada saat Swandaru mengangkat tangannya,
tiba-tiba saja Pandan Wangi melepaskan pedangnya. Dengan gerak naluriah karena
penguasaan ilmu kanuragan, maka Pandan Wangi berhasil menyusup di antara tangan
Swandaru. Sambil berlari, maka ia pun kemudian memeluk Swandaru yang sedang
dibakar oleh kemarahan itu,
“Kakang,” terdengar suaranya
tersendat, “cukup. Yang Kakang lakukan telah lebih dari cukup.”
Tangan Pandan Wangi yang
melingkari tubuhnya dan kemudian titik-titik hangat air matanya, ternyata masih
mampu melunakkan hatinya. Sejenak ia berdiri membeku sambil menggenggam tangkai
cambuknya. Sementara titik-titik air mata Pandan Wangi semakin deras membasahi
tubuhnya yang memang sudah basah oleh keringat.
“Sudahlah, Kakang. Jangan kau
biarkan perasaanmu berbicara di luar penguasaan nalar,” desis Pandan Wangi.
Untuk beberapa saat Swandaru
terdiam. Namun terasa tangannya masih bergetar. Jantungnya masih berdegup
keras, seolah-olah akan memecahkan dinding dadanya.
Pandan Wangi masih memeluk
Swandaru. Meskipun ia masih saja menggenggam pedang yang basah oleh darah,
tetapi kelembutannya sebagai seorang perempuan telah berhasil menyabarkan
suaminya.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Dengan suara yang gemetar ia berkata, “Seharusnya kau tidak
menahan aku. Semua orang yang dapat kita tangkap harus dibunuh, karena korban
di antara kita pun sudah terlampau banyak.”
“Mereka sudah menyerah,
Kakang,” desis Pandan Wangi.
Swandaru menggeretakkan
giginya. Katanya, “Penyerahan mereka tidak akan dapat membangkitkan lagi
kawan-kawan kita yang sudah menjadi korban atau dengan serta-merta menyembuhkan
luka-luka mereka.”
“Tetapi mereka tidak akan
berbuat apa-apa lagi. Mereka sudah menyerah. Adalah suatu adat di dalam
peperangan, bahwa siapa yang sudah menyerah, tidak seharusnya dibinasakan.”
Alahgkah terkejut Pandan Wangi
ketika ia mendengar Sekar Mirah berdesah, “Kita bukan malaikat yang turun dari
langit. Bagiku, setiap kematian harus ditebus dengan kematian.”
“Sekar Mirah,” desis Ki
Sumangkar, “apakah aku pernah mengajarkan demikian?”
Sekar Mirah berpaling.
Ditatapnya wajah gurunya. Namun karena wajah itu menjadi tegang, maka ia pun
segera menundukkan kepalanya.
Ki Sumangkar pun mendekatinya
sambil berbisik, “Ingatlah. Tongkat itu adalah pertanda bahwa tidak setiap
kematian harus ditebus dengan kematian. Jika demikian halnya, maka aku pun
telah menjadi bangkai saat sisa-sisa pasukan Jipang menyerah. Ternyata bahwa
Angger Untara tidak berusaha menghitung berapakah korban yang jatuh dari
orang-orang Pajang dan menuntut jumlah yang sama apalagi berlipat.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Kepalanya yang tunduk menjadi semakin tunduk.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
pun telah melepaskan suaminya yang menjadi semakin tenang. Dipungutnya sepasang
pedangnya yang basah oleh darah dan disarungkannya ke dalam wrangkanya.
Swandaru masih berdiri
termangu-mangu. Dipandanginya mayat yang terbujur di tanah dengan warna darah.
Ketika Pandan Wangi melihat wajah suaminya, di luar sadarnya ia pun mengikuti
arah pandangan matanya. Namun tiba-tiba saja ia berpaling sambil memejamkan
matanya.
Yang dilihatnya sangat
mengerikan baginya. Tubuh yang seolah-olah bagaikan dikuliti oleh luka cambuk
Swandaru.
Dalam ketegangan itu, Kiai
Gringsing pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Sudahlah, Swandaru.
Marilah. Perjalanan kita belum selesai. Saat ini kau adalah seorang mempelai
yang sedang diiringi oleh anak-anak muda dan orang-orang tua dari Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab. Ketika ia mengedarkan tatapan matanya,
dilihatnya ayahnya, gurunya, Ki Waskita, Ki Sumangkar, orang-orang tua dari
Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengiring lainnya sedang
berdiri termangu-mangu. Bahkan mereka yang sedang menjaga tawanan yang duduk di
tanah, memandanginya dengan tanpa berkedip.
“Semua orang memperhatikan
aku,” katanya di dalam hati.
“Marilah, Swandaru,” berkata
gurunya, “kita akan meneruskan perjalanan kita. Ada beberapa ekor kuda yang
dapat dipakai. Yang lain akan berjalan kaki. Sedang sebagian lagi akan mencari
pedati untuk membawa kawan-kawan kita yang terluka parah.”
“Bukan saja terluka parah,
Guru,” sahut Swandaru, “tetapi tentu ada satu dua yang menjadi korban.”
“Itu memang mungkin sekali.
Karena itu, teruskan perjalananmu. Aku akan tinggal di sini, mungkin ada satu
dua orang yang memerlukan pertolonganku sebagai seorang dukun.”
Swandaru memandang ayahnya
sejenak. Lalu katanya sambil menengadahkan wajahnya, “Ayah. Aku tidak mau
menerima penghinaan saat aku berada di pintu gerbang pemerintahan atas
Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum pada saatnya aku
menggantikan kedudukan para pemimpin yang sekarang, aku harus membuktikan,
bahwa tidak seorang penjahat pun yang boleh menjamah kedua daerah ini dan
keluar hidup-hidup. Seorang penjahat yang memasuki Sangkal Putung atau Tanah
Perdikan Menoreh, akan meninggalkan daerah-daerah itu hanya tinggal namanya
saja.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Jika sekarang aku membiarkan para tawanan
itu hidup, maka itu adalah karena kemurahan hati orang-orang tua yang ada di
sini sekarang. Tetapi hal itu tidak akan terulang lagi.”
Agung Sedayu yang berdiri
beberapa langkah dari Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia
mengurut juntai cambuknya.
“Mereka berdiri pada dua ujung
yang bertentangan,” katanya di dalam hati, “Swandaru di ujung ini dan Rudita di
ujung yang lain. Sementara itu aku berdiri di tengah-tengah dengan penuh
keragu-raguan.”
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun membimbing Swandaru mendekati Pandan Wangi dan Sekar Mirah sambil berkata,
“Silahkan,” lalu kepada Ki Demang, “sebaiknya perjalanan ini segera
dilanjutkan. Jaraknya tidak terlalu jauh lagi.”
Ki Demang pun kemudian
mendekati anak-anaknya dan menantunya sambil mengajak mereka, “Sebaiknya memang
kita melanjutkan perjalanan. Kita berterima kasih, bahwa Kiai Gringsing
bersedia tinggal untuk merawat mereka yang terluka.”
Swandaru memandang arena itu
sekali lagi. Kemudian gumamnya, “Ternyata kekuatan Untara pun tidak mampu
mencegah kejahatan yang terjadi di sini. Bukankah daerah ini seharusnya
mendapat perlindungan dari Pajang yang di daerah ini kuasa keprajuritannya ada
di tangan Untara dan senopati-senopati bawahannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian desisnya, “Daerahnya terlampau luas untuk dapat
diamatinya setiap saat.”
Swandaru memandang gurunya
dengan tegang. Nampaknya ia masih berusaha untuk menahan kata-katanya. Namun
desakan perasaannya telah mendesaknya untuk berkata, “Guru. Jika demikian,
apakah tidak sebaiknya daerah pengawasan prajurit-prajurit Pajang itu
dipersempit saja?”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Katanya kemudian, “Persoalannya bukanlah begitu sederhana, Swandaru.
Sekarang, biarlah kita tidak membicarakan persoalan-persoalan yang rumit. Jarak
yang pendek ini masih harus kita selesaikan sebelum matahari terbenam.”
Swandaru memandang orang-orang
yang berdiri di sekitarnya. Gurunya, ayahnya, Ki Sumangkar, Ki Waskita, Pandan
Wangi, Sekar Mirah dan kemudian matanya tersangkut pada juntai cambuk di tangan
saudara seperguruannya yang berdiri tegak dengan kaki renggang, Agung Sedayu.
Sejenak Swandaru masih
termenung. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan meneruskan perjalanan
ini.”
Para pengawal yang datang
berkuda, segera menyerahkan kuda mereka untuk dipergunakan oleh Swandaru dan
beberapa orang yang akan mengiringinya sampai ke kademangan.
“Pergilah, Ki Waskita,”
berkata Kiai Gringsing, “mungkin di perjalanan yang pendek itu masih diperlukan
orang-orang tua macam kita.”
Ki Waskita mengangguk. Ketika
dipandanginya Ki Sumangkar, Kiai Gringsing pun berdesis, “Biarlah Ki Sumangkar
ikut serta pula. Aku akan tinggal dengan beberapa orang anak-anak muda yang
akan menyelesaikan para pengiring yang terluka dan yang telah menjadi korban.”
Swandaru tidak membantah lagi.
Ia pun kemudian menerima sepasang kuda yang akan dipergunakan dengan Pandan
Wangi. Yang lain pun segera mendapatkan kuda pula, terutama orang-orang tua.
Sedangkan orang-orang yang mengiringi pengantin itu dari Tanah Perdikan masih
sempat mempergunakan kuda mereka masing-masing yang terikat pada batang-batang
perdu.
“Guru akan tinggal di sini?”
bertanya Swandaru.
“Ya. Tetapi aku akan segera
menyusul jika tugasku di sini sudah selesai.”
Swandaru pun kemudian meloncat
ke punggung kuda diikuti oleh Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan orang-orang lain
yang akan mengiringinya ke Sangkal Putung. Tetapi terbatas pada jumlah kuda
yang ada, sedangkan yang lain harus mengikutinya sambil berjalan kaki meskipun
dari jarak yang semakin jauh, sedangkan yang lain lagi akan tinggal membantu
Kiai Gringsing dan menyelenggarakan para korban yang terbunuh di peperangan,
sedang sebagian dari mereka akan mengurus para tawanan.
Sejenak kemudian maka beberapa
ekor kuda pun segera meninggalkan tempat itu. Satu-satu sambil melepaskan debu
yang putih dalam bayangan warna yang sudah menjadi semakin merah di langit.
Ternyata bahwa perkelahian di
pinggir hutan itu sudah berlangsung cukup lama, sehingga matahari sebentar lagi
akan turun dan tenggelam dibawa cakrawala.
Ketika kuda yang terakhir
telah meninggalkan tempat itu, Kiai Gringsing mengerutkan keningnya sambil
memandang muridnya yang seorang, yang masih berdiri tegak sambil memegang
tangkai cambuknya.
“Kau tidak pergi bersama
Swandaru, Agung Sedayu?” bertanya gurunya.
“Aku tinggal di sini, Kiai.
Mungkin aku dapat membantu.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sejak semula ia memang melihat perbedaan sifat dan watak pada
kedua muridnya ini. Tetapi untuk beberapa lama ia berhasil memperkecil
perbedaan itu. Namun tiba-tiba saja ia melihat sifat dan watak masing-masing
itu menjadi jelas dalam keadaan yang sulit dikendalikannya.
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing, “kau dapat membantu aku di sini.”
Agung Sedayu pun kemudian
membelitkan cambuknya di lambungnya dan menyingsingkan lengan bajunya membantu
pekerjaan Kiai Gringsing yang cukup berat.
Namun ketika terpandang
olehnya mayat Gandu Demung, terasa tengkuknya meremang.
“Mengerikan,” katanya di dalam
hati. Sejalan dengan itu, keheranannya mengenai Swandaru pun menjadi semakin
mekar. Meskipun demikian ia masih menyimpannya saja di dalam hati.
Dalam pada itu, di kejauhan
dua orang memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Sejak kedatangan
beberapa ekor kuda yang susul-menyusul mereka sudah menduga bahwa keadaan akan
segera berubah.
Seperti yang kemudian terjadi,
maka pasukan Gandu Demung pun telah pecah dan berlarian masuk hutan,
“Bagaimana dengan Gandu Demung
sendiri,” desis salah seorang dari mereka.
“Aku tidak mempunyai harapan
lagi,” sahut yang lain, “agaknya Gandu Demung tidak dapat keluar dari
kesulitan.”
“Apakah ia tidak ikut lari ke
hutan?”
“Bukankah kita masih melihat
ia bertempur dengan anak muda yang gemuk itu.”
“Tetapi kemudian pandangan
kita terhalang oleh lingkaran orang-orang yang mengelilingi pertempuran itu.”
“Gandu Demung tidak keluar
dari arena. Ia tentu sudah terbunuh dalam perkelalahian yang kemudian telah
menjadi perang tanding.”
“Agaknya memang demikian.
Tetapi kita memerlukan waktu untuk memastikannya. Jika benar-benar Gandu Demung
mati, itu akan lebih baik daripada jika ia tertangkap atau menyerah.”
“Agaknya memang bukan
wataknya. Jika ia harus menyerah, maka aku kira ia akan memilih mati. Kecuali
jika nampak ada kesempatan untuk melarikan diri.”
“Mudah-mudahan ia mati
terbunuh di arena, atau lari sama sekali.”
Keduanya terdiam. Tetapi
keduanya masih belum berani mendekati arena, karena mereka masih melihat
beberapa orang berkeliaran.
Mereka adalah Kiai Gringsing,
Agung Sedayu, dan beberapa orang anak muda yang lain, sementara Swandaru
bersama beberapa orang pengiringnya telah mendekati padukuhan induk Kademangan
Sangkal Putung.
Iring-iringan pengantin itu
tiba-tiba saja telah berubah menjadi iring-iringan duka seperti mengantar mayat
ke kubur. Swandaru kini berada di paling depan. Ia seolah-olah tidak teringat
lagi bahwa ia sedang diarak sebagai seorang pengantin laki-laki di samping
pengantin perempuan. Sikapnya benar-benar seperti seorang panglima di medan
perang yang terasa terlampau berat.
Di belakangnya Pandan Wangi
mengikutinya di samping Ki Waskita, Kerti, dan Ki Demang Sangkal Putung yang
pucat. Sementara di belakang mereka adalah Sekar Mirah yang berkuda di sebelah
Prastawa.
Baru di belakang mereka para
pengiring yang berwajah tegang. Orang-orang tua dan anak-anak muda dari Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Di sepanjang jalan
iring-iringan itu masih bertemu dengan dua tiga orang berkuda yang ingin
menyusul ke medan setelah mereka mendengar tentang pertempuran yang terjadi di
ujung hutan.
“Teruslah,” berkata Swandaru,
“mungkin kawan-kawan kita yang tertinggal memerlukan kawan untuk menyelesaikan
tugas mereka.”
Para pengawal itu pun berpacu
terus ke pinggir hutan bekas arena perkelahian yang basah oleh darah.
Dalam pada itu, mereka yang
berada di dalam iring-iringan itu seolah-olah telah dicengkam oleh ketegangan
jiwa sehingga hampir tidak ada di antara mereka yang bercakap-cakap. Setiap
orang di dalam iring-iringan itu menundukkan kepalanya sambil memandangi tanah
berdebu di bawah kaki kuda-kuda mereka.
Baru ketika mereka sudah
memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung, Prastawa berdesis, “Sekar
Mirah, kenapa Kakang Agung Sedayu tidak turut kembali ke kademangan?”
Sekar Mirah menarik nafas.
Katanya, “Ia lebih senang tinggal bersama gurunya merawat orang-orang yang
terluka.”
“Ia memang memiliki perasaan
belas kasihan kepada sesama,” sahut Prastawa.
“Ya. Karena itulah maka ia
tidak berani berbuat apa-apa selain menunggu. Jika sesuatu mulai menyentuhnya,
barulah ia berbuat sesuatu.”
Prastawa memandang Sekar Mirah
sekilas, yang wajahnya menjadi semakin tegang oleh kekecewaan karena sikap
beberapa orang di dalam iring-iringan itu.
“Aku sependapat dengan Kakang
Swandaru,” berkata Sekar Mirah kemudian, “setiap jiwa harus ditebus dengan
jiwa. Karena kematian yang terjadi itu sama sekali bukan karena kesalahan kami,
maka tuntutan kami pun seharusnya berlipat ganda seperti yang dikatakan oleh
Kakang Swandaru.”
“Apakah itu menjadi kebiasaan
kalian?”
Pertanyaan itu memang
mengejutkan. Tetapi kemudian Sekar Mirah menjawab, “Aku tidak pernah
mempertimbangkan kebiasaan. Yang aku katakan adalah yang tersirat di dalam
perasaanku sekarang.”
Prastawa mengangguk-angguk. Ia
menjadi semakin kenal watak dan tabiat Sekar Mirah yang keras. Namun sejalan
dengan itu kekagumannya terhadap gadis itu pun bertambah-tambah pula. Di dalam pertempuran
itu ia telah menyaksikan, bahwa Sekar Mirah jauh lebih tangkas dari laki-laki
kebanyakan meskipun ia seorang perempuan.
Hampir di luar sadarnya,
tiba-tiba saja Prastawa berguman seolah-olah ditujukan kepada dirinya sendiri,
“Kau benar, Mirah.”
Sekar Mirah berpaling. Sambil
mengerutkan keningnya ia bertanya, “Apakah yang benar?”
“Sikapmu, bahwa kau sependapat
dengan Kakang Swandaru.”
Sekar Mirah memandang Prastawa
sejenak. Namun kemudian tatapan matanya pun mengarah lurus ke depan. Suaranya menjadi
dalam, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang laki-laki yang lemah. Bukan
jasmaniahnya. Ia memiliki ilmu yang tinggi. Ia sudah menguasai gerak-gerak
dasar dari perguruannya dan memahaminya. Bahkan ia sudah mengenal penggunaan
tenaga cadangan dan ungkapan kekuatan dalam hubungannya dengan kekuatan alam di
sekitarnya, dan bahkan mampu menyerapnya dalam jalur ilmunya dan luluh dengan
kekuatan di dalam dirinya. Tetapi ia adalah orang yang lemah jiwanya. Ia tidak
berani mengambil sikap, seolah-olah ia dikejar oleh pertanggungan jawab yang
tiada dapat disentuh oleh indra.”
“Ia memang selalu ragu-ragu,”
sahut Prastawa. “Mungkin pada suatu saat ia akan berubah.”
“Jika ia dapat berubah, maka
perubanan itu tentu sudah nampak sejak sekarang. Tetapi agaknya perkembangannya
mengarah kepada sikap yang semakin lemah.”
Prastawa tidak menjawab.
Tetapi kepalanya sajalah yang terangguk kecil. Terbayang di angan-angannya
Agung Sedayu yang berwajah tenang dan dingin. Sedangkah wajah Sekar Mirah
bagaikan memancarkan panasnya bara api yang menyala di dalam dadanya.
Tiba-tiba saja Prastawa
menarik nafas dalam-dalam. Di luar pengetahuan Sekar Mirah yang memandang lurus
ke depan, Prastawa setiap kali memandang wajah gadis itu. Rasa-rasanya Sekar
Mirah yang kotor oleh keringat yang dilekati debu itu menjadi bertambah cantik.
Namun kemudian sekilas
terbayang wajah Agung Sedayu. Wajah yang tenang dan bersungguh-sungguh, tetapi
diwarnai oleh keragu-raguan dan ketidakpastian.
Sementara itu, Agung Sedayu
memang sedang dicengkam oleh kegelisahan. Setiap kali melonjak di dalam
hatinya, kecemasan atas masa depannya sendiri. Jika perkawinan harus ditebus
sedemikian mahal, maka ia menghadapi gambaran yang semakin buram tentang
dirinya sendiri.
Namun ia tidak sempat
berangan-angan terlalu lama. Ia pun kemudian tenggelam dalam kesibukan menolong
gurunya yang merawat beberapa orang yang terluka, sementara beberapa orang yang
lain telah mengumpulkan korban yang sudah tidak tertolong lagi jiwanya. Di
antara mereka terdapat lawan, tetapi juga kawan.
Memang sepercik dendam
melonjak di hati Agung Sedayu seperti juga orang-orang lain. Namun setiap kali
ia masih mempertimbangkannya baik-baik.
Karena inilah, maka Agung
Sedayu tidak melakukan sesuatu yang dapat mempengaruhi tugas gurunya. Ia tidak
terbakar oleh dendam dan kemudian dengan cambuknya membunuh setiap orang yang
terluka meskipun mereka itu adalah lawan.
Namun para pengawal yang lain
tidak mempunyai pertimbangan seperti Agung Sedayu, sehingga setiap kali Kiai
Grirtgsing harus memberikan peringatan agar mereka tidak melakukan hal-hal yang
dapat melanggar ketentuan yang berlaku.
“Kita adalah orang-orang yang
selama ini memegang teguh sopan santun dan unggah-ungguh. Juga di dalam
peperangan seperti sekarang ini,” berkata Kiai Gringsing kepada para pengawal
yang membantunya.
Para pengawal itu tidak
menyahut. Tetapi sebenarnya di dalam hati mereka, masih tetap menyala dendam
yang setiap saat dapat meledak.
Dalam pada itu, ketika tugas
mereka sudah hampir selesai, maka langit pun mulai tampak kemerah-merahan.
Beberapa orang yang lewat sejenak tertegun. Namun Agung Sedayu selalu mendekati
mereka sambil berkata, “Silahkanlah lewat, Ki Sanak.”
“Apakah yang terjadi?”
“Sekedar salah paham.”
“Dan salah paham yang terjadi
antara dua kelompok yang cukup besar. Dan inilah akibatnya. Kedua belah pihak
tidak mau mempergunakan nalarnya. Sehingga akhirnya mereka bertempur.”
“Dan Ki Sanak? Apakah Ki Sanak
bukan orang dari salah satu pihak?”
“Bukan. Kami adalah
orang-orang Sangkal Putung yang melerai perkelahian ini.”
Orang-orang itu pun kemudian
melanjutkan perjalanannya. Tetapi mereka tetap berteka-teki tentang peristiwa
di ujung hutan itu.
“Apakah telah terjadi
kejahatan lagi di daerah ini?” desis salah seorang dari mereka.
“Tentu tidak,” jawab yang
lain, “jika terjadi kejahatan tentu tidak di daerah ini, tetapi di ujung Alas
Tambak Baya atau di sisa Alas Mentaok yang masih belum ditebang.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Dan mereka pun ternyata sepakat, bahwa yang terjadi hanyalah
salah paham saja.
Namun di antara orang-orang
yang lewat itu ternyata terdapat dua orang yang agak lain dari orang-orang yang
lewat sebelumnya. Kedua orang itu menaruh perhatian yang lebih besar, sehingga
ketika mereka lewat, maka mereka pun telah berhenti dan turun dari kuda mereka.
Seperti yang sudah terjadi,
maka Agung Sedayu pun segera mendekati mereka. Seperti kepada yang lain pula,
maka ia pun bertanya, “Apakah ada yang menarik perhatian Ki Sanak?”
“Ya, ya, Anak Muda,” jawab
salah seorang dari keduanya, “aku melihat bahwa sesuatu telah terjadi di sini.”
“Ya, salah paham.”
“Salah paham?” yang lain
bertanya.
Dan Agung Sedayu memberikan
keterangan seperti yang pernah diberikannya kepada orang-orang lain.
Kedua orang itu saling
berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang dari mereka bertanya, “Salah
paham ini dapat menumbuhkan korban sekian banyaknya. Apakah Ki Sanak mengetahui
apakah yang telah menyebabkan terjadi salah paham itu?”
“Anak-anak muda,” jawab Agung
Sedayu, “mereka saling merasa dirinya mempunyai kelebihan. Di antaranya adalah
anak-anak muda yang baru turun dari perguruan. Mereka merasa dirinya tidak
terkalahkan, sehingga mereka memang memerlukan lawan untuk mencoba ilmunya
tanpa memikirkan akibatnya.”
“Ah,” kedua orang itu menjadi
heran.
“Apakah Ki Sanak tidak
percaya?” bertanya Agung Sedayu.
“Percaya. Aku percaya
sepenuhnya. Tetapi berapa orang yang telah terlibat dalam salah paham ini?
Apakah ada sekelompok besar anak-anak muda yang bertemu dengan kelompok yang
lain dalam jumlah yang sama besar.”
“Tidak. Persoalan yang
menumbuhkan salah paham itu telah terjadi dua tiga hari lampau. Bahkan mereka
yang langsung menjadi sebab telah menyatakan untuk tidak meneruskan persoalan
mereka di hadapan Ki Demang. Tetapi ternyata mereka telah berjanji untuk
bertemu di tempat ini dalam jumlah yang sama-sama besar.”
“O, mereka telah berjanji di
hadapan Ki Demang?”
“Ki Demang dari kademangan
yang mana.”
“Sangkal Putung. Tentu Sangkal
Putung.”
Tetapi salah seorang dari
kedua orang itu telah bertanya, “Tetapi bukankah Ki Demang Sangkal Putung tidak
ada di tempat dalam dua atau tiga hari ini?”
Agung Sedayu terkejut
mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika orang itu meneruskan, “Menurut
pendengaranku, Ki Demang Sangkal Putung berada di Tanah Perdikan Menoreh lebih
dari sepasar. Dan menurut pendengaranku hari ini Ki Demang baru kembali. Dan
apakah iring-iringan pengantin itu sudah lewat? Jika belum, alangkah baiknya
jika daerah ini segera dibersihkan, agar pengantin itu tidak melihat beberapa
sosok mayat yang terbaring di sini.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Lalu katanya, “Aku keliru, Ki Sanak. Maksudku mereka sudah berdamai
tidak di hadapan Ki Demang, tetapi di hadapan Ki Jagabaya.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi selebihnya iring-iringan itu sudah lewat beberapa saat.”
“Dan Ki Sanak sendiri?”
“Aku datang melerai
perkelahian yang telah menumbuhkan sebelum peristiwa ini terjadi.”
“Beberapa orang korban.”
Sejenak kedua orang itu
termangu-mangu. Lalu salah seorang bertanya, “Apakah aku boleh mengenali setiap
korban?”
“Apakah gunanya?”
Orang itu menarik nafas.
Nampak sepercik ketegangan di wajahnya. Namun kemudian katanya, “Anakku adalah
anak yang nakal sekali. Ia sering berkelahi di mana pun juga.”
“Dari manakah Ki Sanak datang,
dan di manakah Ki Sanak tinggal?”
“Aku orang dari Prambanan. Aku
sekedar lewat, karena aku akan pergi menengok keluargaku yang tinggal di Karang
Elo.”
“Ah, tentu bukan anak-anak
muda dari Prambanan. Aku tahu pasti,” jawab Agung Sedayu.
“Ah, siapa tahu. Sudah tiga
hari anakku tidak pulang. Dan menurut pendengaranku, anakku sering pergi dari
satu kademangan ke kademangan yang lain. Berkelahi berkelompok dan bahkan
kadang-kadang sering menumbuhkan kematian seperti sekarang ini.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Karena itulah maka ia pun menjawab, “Aku akan bertanya dahulu kepada orang
tuaku.”
“Silahkan, anak muda. Aku
menunggu.”
Agung Sedayu pun kemudian
mendapatkan Kiai Gringsing yang sedang sibuk. Sejenak ia menjelaskan apa yang
sudah dilakukan dan permintaan kedua orang berkuda itu.
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Lalu katanya, “Biarlah. Ia tidak akan mengenali orang-orang yang telah
mati terbunuh itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Lalu ia pun mendapatkan kedua orang itu pula sambil
mengatakan pesan Kiai Gringsing, bahwa orang tua itu tidak keberatan jika kedua
orang itu ingin melihat beberapa orang korban yang luka dan terbunuh.
Sejenak kedua orang itu
termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian mulai mengamati beberapa orang yang
terbaring di tanah. Yang sudah memejamkan matanya sama sekali, dan mereka yang
masih mampu berkedip.
Mereka saling berbisik di
antara mereka, seolah-olah mereka sedang mencoba mengenal setiap orang.
Selangkah demi selangkah
mereka maju. Orang-orang yang terluka telah diusung dan dibaringkan di tempat
yang dialasi dengan rumput-rumput kering. Sedangkan mereka yang terbunuh telah
diletakkan berjajar di tempat yang lain.
Langkah kedua orang itu
tertegun ketika mereka melihat sesosok mayat yang hampir tidak dapat
dikenalinya lagi. Namun demikian, mayat itu ternyata telah menarik
perhatiannya. Sejenak mereka berdiri termangu-mangu. Namun kemudian yang
seorang berdesis, “Aku tidak salah lagi. Tentu orang inilah Gandu Demung itu.”
“Ternyata ia telah terperosok
dalam lingkaran perkelahian melawan orang bercambuk itu, sehingga ia mengalami
luka-luka yang mengerikan sebelum kematiannya.”
Agung Sedayu tidak mendengar
percakapan itu. Namun kemudian ia pun mendekati keduanya sambil berkata,
“Menurut perhitungan kami, orang itu termasuk salah seorang pemimpinnya.”
“Pemimpin siapa, Ki Sanak?”
bertanya salah seorang dari kedua orang itu.
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun katanya kemudian, “Pemimpin salah satu dari kelompok-kelompok
yang berbenturan itu.”
Kedua orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Dan Agung Sedayu pun kemudian bertanya, “Apakah kau dapat
menemukan orang yang kau cari?”
Keduanya menggeleng. Salah
seorang dari keduanya menyahut, “Tidak, Ki Sanak. Tetapi kematian salah seorang
dari mereka yang menjadi korban itu nampaknya mengerikan sekali.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Bekas-bekas lukanya bukannya
bekas luka senjata tajam. Bukan pula bekas luka bindi atau tongkat besi
sekalipun.”
“Menurut dugaanmu, luka itu
bekas sentuhan senjata jenis yang mana?” bertanya Agung Sedayu.
“Cambuk. Aku menduga bahwa
orang itu telah mengalami nasib yang malang, karena ia telah bertengkar dengan
orang bercambuk atau salah seorang muridnya.”
Dada Agung Sedayu berdesir. Ia
tidak mempunyai alasan untuk mengelakkan dugaan itu. Karena itu, ia pun justru
mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Anak muda itu terkejut ketika
salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Sudahlah, Ki Sanak. Aku minta
diri. Aku akan melanjutkan perjalananku. Mudah-mudahan aku dapat menemukan
anakku dengan selamat.”
“Mudah-mudahan.”
“Aku minta diri. Katakan
kepada orang tua itu, bahwa aku akan melanjutkan perjalanan.”
Demikianlah keduanya pun
segera meninggalkan tempat itu. Langit yang merah menjadi semakin merah dan
cahaya matahari yang turun ke barat menjadi semakin pudar.
Dalam pada itu, kedua orang
itu pun segera memacu kudanya. Di sepanjang jalan mereka dicengkam olah
pembicaraan tentang nasib Gandu Demung yang malang.
“Aku yakin, bahwa Gundu Demung
tidak dapat meloloskan diri.”
“Jika saja ia tidak bertemu
dengan orang bercambuk.”
“Yang manakah menurut dugaanmu
orang bercambuk itu?”
“Aku tidak tahu. Mungkin orang
itu sudah pergi bersama pengantin itu. Mungkin orang tua yang sedang sibuk
menyelenggarakan para korban itu.”
“Tentu sudah pergi bersama
pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh. Ia tentu merupakan orang terhormat.
Orang yang mendapat tempat di sisi sepasang pengantin itu.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Namun mereka sudah mendapat bahan yang lengkap untuk menyampaikan laporan
tentang usaha Gandu Demung. Usaha yang ternyata telah gagal sama sekali.
“Bagaimanakah jika Empu tidak
percaya?” desis salah seorang dari mereka.
“Mudah-mudahan ia mempercayai
kita. Dan jika ia tidak percaya dan mengirimkan orang lain untuk menyelidiki
kebenaran laporan kita, maka kita tidak akan cemas, bahwa laporan kita dianggap
salah. Bukankah kita sudah melihat bahwa Gandu Demung benar-benar telah mati?”
Kawannya mengangguk-angguk. Ia
pun sependapat bahwa Gandu Demung memang sudah mati. Jika ada orang lain yang
harus menilai kebenaran laporannya, maka mereka berdua tidak usah menjadi
cemas, karena sebenarnya bahwa hal itu memang sudah terjadi.
Dalam pada itu Agung Sedayu
yang masih sibuk membantu Kiai Gringsing sama sekali tidak menduga, bahwa kedua
orang itu adalah orang-orang yang memang mendapat tugas untuk melihat apakah
Gandu Demung berhasil atau justru jatuh ke tangan orang-orang Sangkal Putung.
Tetapi yang terjadi adalah
Gandu Demung telah mati.
“Kita kehilangan,” desis salah
seorang dari kedua orang berkuda itu. “Jarang orang yang memiliki kemampuan
seperti Gandu Demung.”
“Masih ada beberapa orang yang
dapat mendampingi pemimpin kita itu.”
“Ya. Tetapi itu bukan berarti
bahwa hilangnya Gandu Demung bukannya tidak berpengaruh sama sekali.”
“Pengaruhnya tidak akan begitu
besar.”
“Tetapi ada.”
Kawannya tidak menjawab.
Bahkan kemudian ia pun memacu kudanya semakin cepat sambil berkata, “Malam
mulai pekat. Kita akan bermalam di mana?”
“Pertanyaanmu aneh. Di manakah
kita bermalam selama ini?”
Kawannya mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih berkata, “Kita akan mencari jalan melingkar. Mungkin kita akan
melalui jalan-jalan kecil agar kita tidak menjadi semakin jauh dari Gunung
Tidar.”
“Aku belum mengenal daerah ini
sebaik-baiknya.”
“Aku sudah pernah melalui
daerah ini meskipun sudah agak lama. Kita akan berbelok sebelum kita sampai ke
Sangkal Putung. Melingkar sedikit dan kemudian kita akan turun ke jalan ini
pula, dan kembali melalui jalan yang kita lewati saat kita mengikuti
iring-iringan pengantin itu.”
Kawannya tidak menjawab.
Mereka pun berpacu semakin cepat. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang
dari mereka, maka keduanya pun kemudian berbelok melalui jalan yang lebih
kecil. Mereka harus melingkari hutan kecil yang menjadi arena pertempuran yang
sengit itu, untuk selanjutnya berpacu ke Gunung Tidar.
Dalam pada itu, di bekas arena
pertempuran itu pun telah dipasang beberapa buah obor. Beberapa buah pedati
telah siap pula untuk mengusung mereka yang telah menjadi korban dan dibawa ke
banjar padukuhan terdekat. Hanya mereka yang masih hidup meskipun terluka
parah, akan dibawa ke banjar padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Ketika Kiai Gringsing, Agung
Sedayu, dan beberapa orang pengawal sedang sibuk merawat para korban, maka
iring-iringan pengantin yang sudah berubah bentuknya itu pun memasuki halaman
kademangan. Ternyata berita tentang perkelahian itu telah mendahului
iring-iringan sampai ke telinga penghuni padukuhan induk Kademangan Sangkal
Putung meskipun belum jelas.
Karena itulah, maka ketika
iring-iringan itu memasuki regol, Nyai Demang segera berlari-lari menyambut
dengan mata yang basah.
Sekar Mirah, meskipun ia telah
menjadi seorang gadis dewasa dan sanggup memutar tongkat baja berkepala tengkorak
yang berwarna kekuning-kunfingan, namun ketika dilihatnya ibunya yang gelisah,
ia pun segera berlari mendapatkannya.
Sambil memeluk anak gadisnya,
Nyai Demang tidak berhasil menahan air matanya yang menitik di pundak Sekar
Mirah.
Kemudian setelah Sekar Mirah
melepaskan pelukannya, Nyai Demang pun segera diperkenalkan dengan menantunya
oleh Sekar Mirah. Dengan senyum yang masih dibasahi oleh air mata, maka ia pun
kemudian membimbing menantunya naik ke pendapa dan langsung melalui pringgitan
masuk ke ruang dalam, sementara Swandaru pun mengikutinya pula, setelah mereka
mencuci kaki di depan tangga.
Meskipun upacara yang
sebenarnya belum dilakukan, namun ternyata kademangan itu telah penuh dengan
orang-orang tua dan sanak kadang. Di ruang dalam ternyata telah penuh pula
dengan perempuan yang menunggu kedatangan pengantin itu dengan berdebar-debar.
Apalagi setelah mereka mendengar bahwa telah terjadi sesuatu di ujung hutan.
Ki Demang yang kemudian duduk
di pendapa bersama Swandaru dan para pengiring segera dihujani dengan berbagai
macam pertanyaan, sehingga akhirnya Ki Demang justru mengadakan sesorah singkat
tentang pengalaman perjalanannya.
“Nah, silahkan kalian
mendengarkan,” berkata Ki Demang, “aku menceritakan apa yang terjadi, karena
dengan demikian aku tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berulang
kali yang harus aku jawab dengan jawaban yang sama. Yang barang kali dialami
pula oleh orang-orang lain dalam iring-iringan ini.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita sempat tersenyum.
Demikianlah Ki Demang
menceritakan dengan singkat apa yang telah terjadi di ujung hutan kecil itu.
Beberapa orang korban telah jatuh. Karena itulah maka ia mengharap agar rakyat
Sangkal Putung justru menjadi lebih berhati-hati menanggapi perkembangan
keadaan.
“Di mana Ki Jagabaya,”
tiba-tiba saja Ki Demang bertanya.
Seorang pengawal yang ada di
pendapa itu segera menyahut, “Ki Jagabaya pergi ke ujung hutan itu Ki Demang.”
“Tetapi kami tidak bertemu di
perjalanan.”
“Mungkin Ki Jagabaya mengambil
jalan memintas. Agaknya kami di sini menerima berita itu terlampau lambat
sehingga kami tidak segera dapat mengambil bagian dalam pertempuran itu.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Lalu katanya, “Baiklah. Kiai Gringsing dan Agung Sedayu masih berada di tempat
itu, jika Ki Jagabaya datang, tentu ia akan bertemu dengan beberapa orang yang
masih sibuk sekarang ini.”
Orang-orang yang berada di
pendapa itu pun kemudian saling bergeramang di antara mereka. Yang mereka
bicarakan sudah barang tentu peristiwa yang baru saja terjadi.
Namun ada juga di antara
anak-anak muda yang berdesis, “Kenapa Agung Sedayu tinggal?”
Tetapi anak-anak muda itu
sebagian sudah dapat menebak jawabnya. Justru karena gurunya tinggal, maka
Agung Sedayu pun tinggal pula mengawani gurunya itu.
“Ya, tetapi kenapa Kiai
Gringsing tidak datang bersama dengan Ki Demang dan orang-orang lain dalam
iring-iringan ini? Bukankah Ki Demang dapat menyerahkan penyelesaian para
korban itu kepada para pengawal?” bertanya seorang lain.
“Ia bukan saja seorang guru
dalam olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang yang memiliki kemampuan dalam
bidang pengobatan. Tentu ia merasa berkewajiban untuk mengurus orang-orang yang
terutama masih memungkinkan untuk ditolong. Bukankah hampir di dalam setiap
benturan kekerasan ia berbuat demikian?”
Kawannya mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, setelah Ki
Demang selesai dengan ceritanya tentang perjalanan, maka mulailah orang-orang
tua dan keluarga Ki Demang berbincang tentang akibat yang timbul dari benturan
itu.
“Tetapi Kiai Gringsing, Agung
Sedayu, dan para pengawal sudah mengurusnya,” potong Swandaru kemudian.
Kata-kata Swandaru itu
ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang hadir di pendapa itu. Mereka
merasakan sesuatu yang berbeda pada tekanan suaranya. Namun mereka tidak segera
menemukan perbedaan itu.
Tetapi bagi Ki Sumangkar dan
Ki Waskita, kata-kata itu seolah-olah telah memberikan isyarat, bahwa memang
suatu perubahan telah terjadi pada Swandaru. Namun demikian, agaknya mereka
masih belum yakin, bahwa tangkapan mereka itu benar.
Meskipun demikian, Ki Waskita
tidak dapat menghindarkan diri dari kegelisahannya. Ia mulai menghubungkan
semuanya yang telah terjadi dengan isyarat yang nampak di dalam jangkauan
penglihatan batinnya tentang masa yang akan dilalui oleh Swandaru.
“Bayangan itu nampaknya
semakin buram,” desis Ki Waskita di dalam hatinya.
Semula ia ingin memaksa
dirinya untuk menganggap bahwa yang dilihat di dalam isyarat itu sudah terjadi.
Peristiwa yang terjadi di ujung hutan kecil itu merupakan noda-noda yang buram
di dalam kehidupan Swandaru pada saat-saat ia melampaui hari-hari
perkawinannya.
Namun ternyata ia tidak dapat
ingkar bahwa sebenarnya ia mengetahui. Peristiwa di hutan kecil itu adalah
peristiwa lahiriah yang tidak banyak berarti bagi masa depan anak muda yang
gemuk itu. Tetapi peristiwa yang sebenarnya masih akan terjadi, langsung
menyangkut bukan saja kehidupan jasmaniahnya, tetapi juga kehidupan-kehidupan
batinnya.
“Alangkah bodohnya aku,” desis
Ki Waskita di dalam hatinya, “yang aku lihat hanyalah saat-saat buram yang
bakal datang. Tetapi kenapa aku tidak dapat mengetahui apakah yang sebenarnya
akan terjadi.”
Tetapi Ki Waskita tidak dapat
memaksa dirinya untuk menjadi lebih banyak mengetahui. Setiap kali ia selalu
terkenang kepada kasih yang telah melimpah kepadanya. Anugrah yang telah
dimilikinya itu merupakan kemurahan yang tidak diterima oleh setiap orang.
“Alangkah tamaknya aku ini,”
desisnya, “yang aku terima sudah terlampau banyak. Dan aku masih saja merasa
diriku terlampau bodoh dan ingin mendapat lebih banyak lagi.”
Meskipun demikian, sesuatu
selalu membayanginya bahwa warna-warna yang buram itu pada suatu saat akan
nampak dalam kehidupan Swandaru.
Sejenak pembicaraan di pendapa
itu berkisar kepada usaha Kiai Gringsing dan Agung Sedayu yang masih tinggal di
ujung hutan itu, dan yang kemudian disusul oleh Ki Jagabaya dengan beberapa
orang pengawalnya.
“Mereka akan segera datang,”
berkata Ki Demang kemudian. “Sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak akan
menungguinya sampai semuanya diselesaikan. Jika ia menganggap cukup merawat
orang-orang yang terluka, tentu ia akan segera kembali.”
Orang-orang yang semula
mempersoalkannya itu pun mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan Ki Demang,
bahwa sebentar lagi Kiai Gringsing dan Agung Sedayu pun tentu akan datang.
Sehingga karena itulah maka mereka pun tidak membicarakannya.
Pembicaraan mereka mulai
berkisar ke Tanah Perdikan Menoreh. Beberapa orang yang ikut hadir pada upacara
perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh mulai bercerita tentang kemeriahan
saat-saat perkawinan itu.
Hanya Ki Waskita dan Ki
Sumangkar sajalah yang ternyata berbicara tentang soal yang lain sama sekali.
Adalah di luar sadar, jika mereka pun mulai berbicara tentang upacara
perkawinan yang akan diselenggarakan di Kademangaa Sangkal Putung. Apalagi
ketika pembicaraan mereka kemudian telah menyentuh Swandaru dan Agung Sedayu.
“Kiai Gringsing sudah
berusaha,” berkata Ki Sumangkar, “tetapi kedua anak-anak muda itu telah membawa
peta hidup mereka masing-masing yang sudah terbentuk di masa-masa mereka masih
kanak-kanak. Untuk beberapa saat nampaknya Kiai Gringsing berhasil mendekatkan
tabiat dan sifat keduanya. Namun dalam keadaan tertentu watak masing-masing itu
akan melonjak dan mengatasi kekang sifat mereka yang dipasang oleh Kiai
Gringsing.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Agaknya saat-saat perkawinan
Swandaru ini benar-benar merupakan saat yang penting sekali di dalam perjalanan
hidupnya. Saat-saat perkawinannya telah merupakan saat yang memutar arah hidup
yang telah diusahakan oleh Kiai Gringsing yang semula nampaknya akan berhasil.
Tetapi ternyata bahwa hal itu masih diragukan.
“Perkawinan ini seharusnya
dilangsungkan di saat lain, apabila Kiai Gringsing sudah benar-benar berhasil
menekan watak Swandaru sampai ke dasarnya, sehingga pada suatu saat tidak akan
dapat tumbuh lagi dalam bentuk yang seperti ini.”
“Tetapi sudah terlanjur. Yang
akan terjadi itu sudah terjadi,” desis Ki Waskita.
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa Ki Waskita telah melihat sesuatu di masa
mendatang yang tidak sesuai dengan keinginannya, keinginan Kiai Gringsing, dan
keinginan Ki Demang Sangkal Putung. Meskipun tidak terperinci, namun Ki Waskita
pernah mengatakan bahwa ia cemas akan penglihatannya pada isyarat tentang masa
depan Swandaru itu.
“Tetapi tidak ada tangan yang
dapat mencegahnya,” desis Ki Sumangkar di dalam hatinya, “karena apa yang
dilihatnya adalah apa yang akan terjadi. Kecuali jika datang keajaiban. Dan itu
hanya dapat terjadi jika penglihatan Ki Waskita itu salah.”
Kecemasan yang serupa telah
mengusik Ki Waskita pula. Ia melihat goncangan perasaan pada Swandaru. Bukan
saja karena pertempuran di ujung hutan itu. Tetapi sejak anak muda itu berada
di Menoreh, sudah nampak tanda-tanda bahwa kebanggaan Swandaru atas dirinya
sendiri telah mengangkat wataknya yang sebenarnya, yang selama di dalam asuhan
Kiai Gringsing agaknya telah berhasil didesak jauh di sudut hatinya yang paling
dalam.
Dalam keadaan yang demikian
maka perbedaan watak antara Swandaru dan Agung Sedayu menjadi semakin jelas,
meskipun keduanya pernah berguru kepada orang yang sama.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
sedang sibuk mengangkat orang-orang yang terluka ke atas pedati bersama dengan
beberapa orang, ketika Ki Jagabaya yang marah langsung memintas dan sampai di
ujung hutan. Namun pertempuran yang sebenarnya sudah selesai. Yang dijumpai
tinggallah Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan beberapa orang pengawal
mengumpulkan para korban dan menyiapkan untuk membawanya dengan pedati.
“Yang terutama harus mendapat
perhatian adalah mereka yang masih hidup. Mereka harus dibawa ke banjar di
padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Jagabaya.
Ketika para pengawal sedang
sibuk mengangkat para korban dengan hati-hati, maka Ki Jagabaya masih sempat
bertanya, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
“Agaknya sekelompok perampok
yang besar telah menunggu kami,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Bekas yang dijumpainya memang mengatakan demikian.
Dengan singkat Kiai Gringsing
menceritakan, apakah yang sudah terjadi di ujung hutan itu, sehingga beberapa
orang korban telah jatuh.
“Gila,” geram Ki Jagabaya.
Namun ia tidak dapat mengatakan sesuatu tentang perampokan itu. Jika perampok
itu secara kebetulan saja menjumpai iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung
itu, maka jumlah mereka tentu tidak akan sebesar itu.
Maka kesimpulan yang untuk
sementara disepakati antara Ki Jagabaya dan Kiai Gringsing adalah, bahwa
orang-orang yang merampok itu tentu mempunyai hubungan dengan orang-orang yang
pernah menetap untuk beberapa hari di Padepokan Tambak Wedi.
“Itulah yang membingungkan
kami,” berkata Ki Jagabaya kemudian, “jika pada suatu saat mereka turun lagi
dengan kekuatan yang lebih besar dan melakukan kejahatan yang tanpa pertimbangan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Besok Angger Untara akan datang. Bukankah
Ki Jagabaya telah mengundangnya?”
“Ya. Angger Untara sudah
menyatakan kesanggupannya untuk datang saat pahargyan sepasaran pengantin
Swandaru dan Pandan Wangi.”
“Nah, kita mempergunakan waktu
sedikit untuk berbincang tentang peristiwa yang baru saja terjadi itu. Mungkin
Untara perlu menentukan sikap. Meskipun nampaknya Tambak Wedi sudah kosong,
tetapi ternyata bahwa pada suatu saat mereka berada di tempat itu dengan
kekuatan yang cukup besar.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Lalu katanya kemudian, “Kiai, nampaknya untuk sementara tugas Kiai di sini
sudah selesai. Sebaiknya Kiai dan Agung Sedayu segera pergi ke kademangan.
Mungkin ada pembicaraan yang penting atau sikap yang dapat diambil.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sejenak dipandanginya beberapa buah pedati yang sudah siap.
Sebagian telah terisi oleh orang-orang yang terluka dan akan dibawa ke banjar
padukuhan induk. Sedang yang lain berisi korban yang sudah tidak tertolong
lagi, yang akan dibawa ke banjar padukuhan terdekat.
“Tetapi korban di antara kita
justru harus dibawa ke kademangan,” berkata Ki Jagabaya.
Kiai Gringsing menarik nafas.
Katanya, “Ki Jagabaya benar. Tetapi dalam keadaan biasa. Bukan dalam keadaan
seperti ini.”
“Kenapa?”
“Di kademangan akan
berlangsung kegembiraan karena perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi. Jika para
korban, meskipun hanya para pengiring dari Sangkal Putung itu juga dibawa ke
pendapa kademangan, apakah tidak akan mempengaruhi kegembiraan yang akan
berlangsung?”
Ki Jagabaya menarik nafas.
Namun ia berdesis, “Tetapi para korban ini berhak mendapatkan kehormatan
tertinggi dari Sangkal Putung. Mereka bukan terbunuh dalam arena tayub di dalam
perelatan gila-gilaan. Mereka tidak berkelahi karena mereka mabuk tuak dan
kehilangan akal. Tetapi mereka bertempur melawan kejahatan yang akan menerkam
iring-iringan pengantin. Seandainya bukan pengantin pun para pengawal memang
berkewajiban untuk melakukannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Namun katanya, “Tetapi semuanya itu terserah kepada Ki Jagabaya
yang barangkali perlu berbicara dengan Ki Demang. Tetapi bagiku, banjar di
padukuhan induk itu pun merupakan tempat yang paling terhormat untuk menempatkan
beberapa orang korban yang sudah tidak dapat tertolong lagi, selain mereka yang
masih memerlukan perawatan.”
Ki Jagabaya merenung sejenak.
Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah pedati itu pergi ke tempat yang untuk
sementara sudah ditentukan bagi masing-masing. Kita masih mempunyai kesempatan
untuk berbicara dengan Ki Demang dan orang tua-tua.”
Ki Jagabaya pun kemudian
mempersilahkan Kiai Gringsing dan Agung Sedayu untuk pergi ke kademangan.
Agaknya Ki Jagabaya merasa bahwa tugas selanjutnya adalah tugasnya.
“Baiklah, Ki Jagabaya. Aku
akan pergi ke kademangan. Selanjutnya terserah kepada Ki Jagabaya,” berkata
Kiai Gringsing.
“Ya. Aku akan
menyelesaikannya. Pedati-pedati itu sudah siap untuk berangkat.”
Kiai Gringsing dan Agung
Sedayu pun kemudian mendahului meninggalkan tempat itu. Baru sejenak kemudian
pedati yang memuat para korban, itu pun segera menuju ke tempat yang sudah
ditentukan, dikawal oleh beberapa orang anak muda bersenjata, yang diatur oleh
Ki Jagabaya dan pembantu-pembantunya.
Dalam pada itu, ketika
pedati-pedati itu sampai di banjar padukuhan induk, maka padukuhan itu pun
menjadi ramai. Ramai oleh geram, gemeretak gigi, tetapi juga tangis para
keluarga korban. Yang masih sempat menemui salah seorang keluarganya tetap
hidup meskipun terluka, hatinya masih juga terhibur betapa pun cemasnya. Tetapi
mereka yang menjumpai sanak keluarganya telah korban maka yang terdengar adalah
tangis yang mengharukan. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir
perjalanan itu akan demikian pahitnya, karena ketika ia berangkat, yang nampak
adalah senyum gembira dari anak-anak muda yang mengantarkan seorang calon
pengantin.
Untunglah, bahwa Ki Jagabaya
yang datang kemudian berhasil menahan dendam yang melonjak di antara mereka,
sehingga merekat tidak mengambil tindakan sendiri-sendiri terhadap beberapa
orang yang dapat ditawan, dan lawan yang dirawat karena luka-lukanya di
padukuhan terdekat dari arena pertempuran.
Ketika Kiai Gringsing dan
Agung Sedayu sampai di kademangan, mereka masih melihat beberapa orang yang
berkumpul di pendapa untuk mendengarkan keterangan Ki Demang lebih lanjut
tentang perjalanan mereka.
Dengan demikian, setelah
membersihkan diri dan berganti pakaian karena pakaiannya telah dikotori oleh
darah dan reramuan obat-obatan saat mereka merawat orang-orang yang terluka,
maka mereka pun kemudian naik pula ke pendapa. Sementara itu, orang-orang lain
yang baru datang dari Tanah Perdikan Menoreh, justru belum berganti pakaian
meskipun mereka telah mencuci kaki dan tangan, karena mereka segera terlibat
dalam pembicaraan yang ramai.
Kiai Gringsing pun kemudian
duduk di sebelah Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Untuk beberapa saat Kiai
Gringsing harus menjawab beberapa pertanyaan tentang para korban. Memang nampak
betapa kemarahan dan dendam membakar setiap hati. Namun Kiai Gringsing masih
sempat berusaha menenangkan hati orang-orang Sangkal Putung itu.
“Guru memang seorang pemaaf,”
berkata Swandaru tiba-tiba memotong keterangan Kiai Gringsing, “tetapi kitalah
yang kehilangan sanak kadang dan kawan bermain.”
Sekali lagi Swandaru telah
mengejutkan Ki Sumangkar dan Ki Waskita, selain Kiai Gringsing sendiri. Bahkan
Ki Demang pun terpaksa memotong kata-kata, “Tetapi kita pun bukan pendendam.
Kita akan dapat menahan diri, mengikuti unggah-ungguh yang berlaku di setiap
medan. Kita pernah menghadapi keadaan yang lebih parah dari keadaan sekarang
ini di saat Macan Kepatihan masih berkeliaran. Tetapi kita pun dapat
menunjukkan bahwa kita adalah orang-orang yang menjunjung tinggi peradaban yang
berlaku.”
Swandaru mengangkat wajahnya.
Dipandanginya ayahnya sejenak. Namun kemudian ia pun berdesah, “Pada suatu saat
akan datang waktunya kita tidak memanjakan lagi kejahatan yang terjadi di
daerah Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, karena pada suatu
saat akan datang kekuasaan yang memegang teguh keadilan.”
Kata-kata Swandaru itu
disambut dengan geraman dan bahkan seolah-olah janji dari anak-anak muda
Sangkal Putung dan bahkan nampak juga jelas di wajah Prastawa dan anak-anak
muda dari Tanah Perdikan Menoreh, bahwa mereka sependapat dan pancaran
kesediaan untuk mendukungnya.
Orang-orang tua yang
mendengarnya hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Mereka tidak berusaha untuk
membantah lagi, karena setiap kata yang dianggap mengecilkan arti janji itu,
akan dianggap sebagai hambatan yang harus disingkirkan.
Namun dalam pada itu, terasa
di hati Ki Waskita sepercik petunjuk, bahwa warna-warna buram yang selalu
dilihatnya di dalam isyarat kini sudah mulai nampak di dalam kenyataan hidup
Swandaru. Namun demikian rasa-rasanya perasaan Ki Waskita masih juga melonjak
untuk mengingkarinya.
“Mudah-mudahan ada usaha untuk
memberikan jalan kepadanya,” desisnya di dalam hati. Bahkan kemudian
seolah-olah ia telah melawan penglihatannya sendiri, “Tidak. Itu hanyalah
sekedar kejutan perasaan setelah ia mengalami gangguan di perjalanan. Tetapi
besok atau lusa, anak itu tentu sudah melupakannya.”
Karena itulah, maka Ki Waskita
masih mencoba memerangi penglihatannya dengan harapan-harapan yang dibuatnya
sendiri sesuai dengan keinginannya. Seolah-olah ia melupakan bahwa keinginan
seseorang tidak lebih dari suatu keinginan yang dapat meningkat menjadi harapan
dan permohonan. Sedangkan ketentuan terakhir adalah tetap di tangan Yang Maha
Kuasa pula adanya.
Bagi Kiai Gringsing, Swandaru
akan merupakan persoalan yang sangat rumit. Di samping muridnya, maka ia adalah
orang yang telah dicadangkan untuk menerima kekuasaan pada kedua daerah yang
terpisah. Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung yang kedua-duanya
memiliki naluri pengawalan yang kuat atas daerah masing-masing. Kedua daerah
itu memiliki pasukan pengawal yang terlatih, terdiri dari anak-anak muda yang
dengan sadar menyerahkan dirinya bagi ketenangan kampung halaman. Bahkan untuk
menjadi seorang pengawal, di kedua daerah itu mempunyai kebiasaan yang mirip
pula, yaitu melalui pendadaran yang cukup berat.
Lebih daripada itu, mereka
adalah anak-anak muda yang masih mudah disentuh oleh panasnya api yang dapat
membakar jantung mereka.
Agak berbeda dengan mereka
adalah Agung Sedayu. Ia pun masih muda seperti Swandaru dan para pengawal dari
kedua daerah itu. Namun ia memiliki sifat yang agak berbeda, yang dibawanya
sejak kanak-kanak. Perubahan sifat yang terjadi menjelang dewasa, telah
memecahkan kungkungan ketakutan yang luar biasa yang selalu membayanginya
setiap saat. Namun demikian, masih ada sifat-sifatnya yang nampak sampai saat
terakhir.
Sikap Swandaru telah
membuatnya menjadi prihatin. Sebagai saudara seperguruan, ia memang merasakan
ada sesuatu yang kurang sesuai padanya. Tetapi ia tidak pernah dapat
menyebutnya.
Sekilas terbayang saat-saat ia
menginjakkan kakinya di Kademangan Sangkal Putung. Bagaimana Swandaru telah
membuatnya hampir beku ketakutan ketika anak muda yang gemuk itu berlari-lari memberitahukan
kepada Sidanti bahwa Agung Sedayu-lah yang berhak disebut pembidik terbaik.
“Sejak saat itulah aku harus
bermusuhan dengan Sidanti,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya.
Namun sejak saat itu pula
terjadi perubahan di dalam dirinya. Ia bukan lagi seorang anak muda yang
ditelikung oleh perasaan takut. Lukanya saat ia berperang tanding dengan
Sidanti bersenjata panah, telah memecahkan sifat-sifatnya itu.
Meskipun demikian, Agung
Sedayu masih tetap dibayangi oleh pertimbangan-pertimangan yang lebih dewasa,
meskipun nampaknya juga keragu-raguan dan ketidak-pastian yang terasa sangat
lamban bagi anak-anak muda sebayanya.
Agung Sedayu menarik nafas. Ia
menyadari sifat-sifatnya. Dan ia pun menyadari bahwa sifat-sifatnya itu sama
sekali tidak menguntungkannya. Ia berada di antara dua alas yang berbeda,
tetapi tidak mempunyai keberanian untuk memilihnya. Satu kakinya berada di
lingkungan kerasnya permainan senjata, sedang satu kakinya berdiri pada alas
yang sama sekali berbeda karena dibayangi oleh perasaan kasih sayang yang
dalam. Sehingga yang nampak pada anak muda itu justru keragu-raguan dan
kadang-kadang salah pilih di antara kedua alas kakinya yang seakan-akan
berlawan itu.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia mulai membayangkan dua orang anak muda yang justru telah
berhasil memilih dunianya masing-masing. Swandaru dan Rudita. Meskipun tempat
mereka berdiri adalah hampir di kedua ujung sifat-sifat manusiawi, namun
nampaknya mereka tidak lagi dibayangi oleh keragu-raguan atas pilihannya.
Meskipun demikian, kesadaran
itu tidak dapat mendorong Agung Sedayu untuk memilih tempat. Untuk waktu yang
lama ia masih akan tetap terombang-ambing tidak menentu.
“Aku tidak tahu, apakah dengan
segala keragu-raguan itu aku dapat dianggap justru lebih baik dari sifat-sifat
Swandaru,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya sambil berdesah, “tetapi yang
pasti, aku tidak dapat menerima sikapnya yang nampak mulai tumbuh di dalam
hatinya.”
Namun tiba-tiba saja Agung
Sedayu itu tersentak. Selagi ia masih menimbang dirinya sendiri, terdengar
Swandaru ternyata masih melanjutkan kata-katanya, “Ternyata bahwa kita tidak
dapat menggantungkan diri kepada siapa pun juga. Sangkal Putung harus mempunyai
kekuatan yang cukup untuk melindungi kepentingan Sangkal Putung sendiri.
Demikian juga dengan Tanah Perdikan Menoreh. Hal itu ternyata seperti apa yang
telah terjadi. Kita semua berhasil melepaskan diri dari tangan para penjahat,
bukan karena perlindungan siapa pun juga.”
“Swandaru,” potong Ki Demang,
“sudahlah. Kita sedang menerima beberapa orang yang mengucapkan selamat datang
kepadamu dan kepada istrimu. Sebaiknya kau membatasi diri dengan keadaan
sekarang ini. Bukan waktunya untuk membicarakan masalah yang luas dan apalagi
menyangkut hubungan Sangkal Putung dengan kekuasaan yang ada di sekitarnya.”
“Tentu tidak dapat dipisahkan,
Ayah,” berkata Swandaru kemudian. “Mumpung kita menghadapi contoh yang jelas
dan baru saja terjadi. Sebenarnya aku hanya ingin bertanya, apakah Pajang masih
tetap merasa dirinya berkuasa sekarang ini, dan mempunyai kewajiban untuk
melindungi rakyatnya? Apakah Ayah melihat, bahwa Pajang telah melindungi kita
semuanya? Jika kita tidak mampu melepaskan diri kita sendiri dari tangan para
penjahat itu, maka kita tidak akan dapat bertemu di sini. Sedangkan pasukan
Pajang baru akan datang besok atau lusa. Tidak untuk melepaskan kita dari
kesulitan, tetapi sekedar ikut berduka cita atas jatuhnya beberapa orang
korban.”
“Swandaru,” suara ayahnya
menjadi semakin keras, “aku adalah seorang Demang yang mengakui kekuasaan yang
lebih tinggi sampai kepada kekuasaan yang tertinggi. Sebaiknya kau
mempertimbangkan sikapmu sebaik-baiknya. Kau bukan kanak-kanak lagi. Apalagi
sejak beberapa hari yang lalu, kau sudah berada di dalam hidup kekeluargaan.
Dan itu merupakan salah satu pertanda lahiriah yang akan diikuti oleh perubahan
rohaniah tentang sikap dan pandanganmu terhadap hidup dan kehidupan.”
“Ayah,” Swandaru masih
menjawab, “justru sikapku yang aku nyatakan itu adalah hasil kematangan jiwa
yang tumbuh dari perubahan badani dan jiwani yang aku alami. Aku harus berani
menentukan sikap seperti seorang yang memang meningkat dewasa.”
Ki Demang masih akan menjawab.
Tetapi Kiai Gringsing mendahuluinya dengan suara sareh, “Agaknya kau benar,
Swandaru. Suatu perubahan memang telah terjadi. Bahkan begitu cepatnya.
Beberapa hari yang lalu kau sudah mulai meningkat dalam jenjang kehidupan yang
baru. Dan dalam beberapa hari itu kau sudah mulai menunjukkan sikapmu sebagai
orang dewasa sepenuhnya. Namun ada sesuatu yang masih perlu kau sempurnakan,
Swandaru. Kesadaran tentang perubahan yang terjadi itu sendiri. Jika kau
menyadari bahwa sedang terjadi perubahan bukan saja badani tetapi juga jiwani
padamu dan istrimu, maka kau harus menilai setiap perubahan itu apakah perubahan
itu sudah seimbang antara yang lahiriah dan yang rohaniah. Dengan demikian,
maka kau akan tetap dapat mengendalikan di dalam sikap dan perbuatan.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi perasaan segan terhadap gurunya telah memaksanya untuk
merenung.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
melihat perkembangan itu dengan jantung yang berdebar.
Sejenak pendapa itu dicekam
oleh kesenyapan yang mendebarkan. Beberapa orang anak-anak muda menjadi
termangu-mangu karena mereka kurang memahami pembicaraan antara guru dan murid
itu.
Bahkan Prastawa pun masih
harus meraba-raba, apakah sebenarnya Kiai Gringsing itu sedang berusaha
mendorong atau bahkan menghalang-halangi sikap muridnya.
Yang memahami persoalan yang
sedang diperbincangkan itu, selain orang-orang tua adalah Agung Sedayu. Ia
mengerti benar maksud gurunya yang mulai cemas melihat perkembangan jiwa
Swandaru.
Penghormatan yang besar di
dalam ia menjalani masa perkawinannya, membuatnya seolah-olah terlepas dari
alas perjuangan yang ditempuh selama ini. Agaknya Swandaru merasa bahwa ia
sudah mulai menginjakkan kakinya pada tangga kekuasaan yang akan diterimanya
nanti dari ayahnya Ki Demang Sangkal Putung dan Ki Gede Menoreh dari Tanah
Perdikan di Menoreh.
Ki Demang yang menanggapi pula
persoalan itu, tiba-tiba saja telah berusaha mengalihkan pembicaraan itu.
Dengan serta-merta maka ia pun berkata lantang, “Nah, sudahlah. Kita akan
berbicara kelak. Sekarang aku mempersilahkan semuanya untuk menikmati hidangan
yang sudah tersedia.”
Sejenak kemudian suasana di
pendapa itu mulai berubah. Meskipun kadang-kadang masih terselip penyesalan
atas jatuhnya beberapa orang korban, namun mereka mulai menggeser pembicaraan
mereka pada upacara perkawinan di Tanah Perdikan Menoreh.
Di ruang dalam, beberapa orang
perempuan mendengarkan cerita Sekar Mirah dengan hati yang berdebar. Seperti
Swandaru, maka Sekar Mirah pun merasa, betapa lunaknya sikap Sangkal Putung
terhadap kejahatan. Seperti Swandaru pula, maka Sekar Mirah pun mengharapkan
bahwa pada suatu saat, Kademangan Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh
akan bertindak lebih meyakinkan lagi untuk memberantas kejahatan.
Perempuan-perempuan yang
mendengarkan cerita Sekar Mirah tidak dapat membayangkan apa yang sebenarnya
dikehendakinya. Tetapi mereka sedikit mendapatkan gambaran apa yang sudah
terjadi di ujung hutan kecil itu. Dan mereka pun mengetahui pula bahwa beberapa
orang korban telah jatuh. Luka dan bahkan ada yang tidak lagi dapat
diselamatkan jiwanya.
Pandan Wangi sendiri tidak
banyak menyambung cerite Sekar Mirah. Ia pun terhitung seorang perempuan yang
lain dengan kebanyakan perempuan. Namun ia tidak mempunyai sikap dan pendirian
yang sama dengan Sekar Mirah yang garang. Selama ia mengikuti cara ayahnya
memerintah Tanah Perdikan Menoreh, maka nampaknya Tanah Perdikan Menoreh
berangsur menjadi semakin baik tanpa tindakan-tindakan kekerasan yang berat
seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah itu. Meskipun itu bukan berarti bahwa
ayahnya tidak pernah menjatuhkan hukuman terhadap kesalahan dan apalagi
kejahatan. Tetapi hukuman pada dasarnya bukannya dendam yang dilindungi oleh
ketentuan yang berlaku, tetapi hukuman adalah satu ujud kasih sayang untuk
merubah kelakuan seseorang agar ia tidak lagi melakukan kesalahan yang dapat
menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam kesulitan lahir dan batin, dan
terlebih-lebih lagi dapat menimbulkan kesulitan pada orang lain.
Tetapi Pandan Wangi masih
menyimpannya saja di dalam hati. Karena ia tidak mendengarkan pembicaraan di
pendapa, maka ia masih berharap bahwa sikap Sekar Mirah itu sekedar luapan
kemarahannya karena hambatan yang parah di perjalanan. Dan ia masih berharap
bahwa sikap itu akan berbeda dengan sikap Swandaru apabila ia dapat
mempertimbangkan segala persoalan dengan tenang di dalam lain.
Sementara itu, selagi di
pendapa dan di ruang dalam sedang berlangsung pembicaraan yang ramai, tetapi
kadang-kadang masih juga diselingi dengan gemeretak gigi, maka di bagian
belakang kademangan itu perempuan-perempuan sibuk menyiapkan hidangan
selanjutnya. Dapur kademangan itu menjadi ribut. Meskipun dapur itu sudah
diperluas dengan teratak, karena di dalam saat keramaian berlangsung, dapur
yang ada tentu jauh dari mencukupi, namun nampaknya masih juga terlampau
sempit.
Kesibukan orang-orang di dapur
itu bukan saja diperuntukkan bagi mereka yang ada di kademangan. Tetapi mereka
yang ada di banjar pun harus mendapat perhatian. Mereka yang terluka dan mereka
yang sedang merawatnya. Juga harus diperhatikan tawanan-tawanan yang dikawal
oleh beberapa orang anak muda, karena mereka pun memerlukan makan pula.
Namun dalam pada itu, Ki
Jagabaya yang mengurus mereka yang terluka dan para tawanan, ternyata sudah
mengambil kebijaksanaan, bahwa di hari berikutnya, harus dibuat dapur
tersendiri, agar tidak mengganggu setiap upacara yang akan dilangsungkan di
kademangan.
Demikianlah, Kademangan
Sangkal Putung seolah-olah telah menjadi semakin sibuk, karena yang terjadi
benar-benar di luar dugaan. Bukan saja kesibukan di kademangan yang
mempersiapkan hidangan dan keramaian di hari-hari berikutnya, tetapi Ki
Jagabaya pun sibuk mempersiapkan para pengawal, karena masih akan dapat terjadi
kemungkinan yang lain yang dapat ditimbulkan oleh para penjahat yang berhasil
melarikan diri itu.
Dalam pada itu, selagi Sangkal
Putung membetengi diri dengan kesiagaan para pengawal, maka para penjahat yang
melarikan diri tercerai-berai itu pun sedang berusaha untuk berkumpul kembali
dalam kelompok-kelompok masing-masing. Para pemimpin mereka benar-benar telah
dibakar oleh kemarahan dendam dan penyesalan.
“Kita telah dijerumuskan ke
dalam kesulitan yang paling parah,” geram Ki Bajang Garing.
Seorang anak buahnya memotong
dengan nada geram, “Gandu Demung pantas dicincang sekarang.”
Tetapi ternyata bahwa salah
seorang saudara Gandu Demung mendengarnya, sehingga dengan wajah yang merah
membara ia berkata lantang, “Siapakah yang paling bersalah dalam hal ini? Gandu
Demung hanyalah mengemukakan suatu persoalan. Bukankah kita bersama-sama telah
melakukan persiapan, penyelidikan dan kemudian bersama-sama memutuskan? Jika
terjadi kegagalan yang sempurna sekarang ini, maka kesalahannya tentu terletak
pada kita semuanya.”
Ki Bajang Garing menggeram.
Tetapi ia tidak mau berselisih saat ia sedang berusaha mengumpulkan anak
buahnya. Sehingga karena itulah maka ia pun berdesis, “Persetan dengan Gandu
Demung. Tetapi pada suatu saat aku ingin bertemu lagi dengan orang itu.”
Saudara Gandu Demung pun
menganggap bahwa perselisihan dalam keadaan yang demikian tidak menguntungkan.
Meskipun ia sadar, bahwa permusuhan di antara mereka akan semakin membara.
Tetapi mereka tidak sempat
lagi untuk memikirkan persoalan yang masih akan datang itu. Yang mereka hadapi
adalah kesulitan mereka saat itu. Mereka berada di ujung hutan perdu di bagian
lain dari hutan kecil yang telah menjerat mereka ke dalam kesulitan.
“Kita beristirahat sebentar,”
berkata salah seorang saudara Gandu Demung kepada anak buahnya yang masih dapat
dijumpainya, “orang-orang Sangkal Putung tidak akan mengejar kita sampai ke
tempat ini. Kita harus meyakinkan diri, apakah yang telah terjadi dengan Gandu
Demung.”
“Bagaimana kita akan dapat
mengetahui nasibnya?” bertanya salah seorang anak buahnya.
“Salah seorang dari kita akan
mencarinya sampai ke bekas arena perkelahian.”
“Berbahaya sekali.”
“Malam cukup gelap.”
Namun nampaknya keragu-raguan
pada orang ini. Meskipun malam gelap, tetapi nampaknya tidak mudah untuk
mencari keterangan tentang Gandu Demung.
Meskipun demikian, saudara
Gandu Demung tidak akan sampai hati pergi begitu saja tanpa mengetahui nasib
saudaranya itu. Karena itu, maka salah seorang saudaranya pun berkata,
“Tunggulah di sini. Aku akan segera kembali.”
“Marilah kita pergi berdua,”
sahut yang lain.
Keduanya pun kemudian
meninggalkan beberapa orang anak buahnya yang berkumpul di ujung hutan yang
lain itu. Mereka tidak memintas lewat pusat hutan yang meskipun tidak terlalu
lebat, tetapi untuk menjelajahinya di malam hari, rasa-rasanya akan memerlukan
waktu yang terlalu lama.
Namun ternyata bahwa keduanya
tidak menemukan apa-apa lagi di bekas arena perkelahian itu. Semua korban telah
diangkut dengan pedati ke padukuhan terdekat. Bahkan yang lain ke padukuhan
induk Kademangan Sangkal Putung.
“Kita tidak akan segera
mengetahuinya,” bisik salah seorang dari kedua saudara Gandu Demung itu.
“Besok kita baru akan mendengarnya.
Kita harus menyamar sebagai orang kebanyakan yang berjalan melewati Kademangan
Sangkal Putung, dan mendengar berita tentang perkelahian itu.”
“Bagaimanakah jika kita
bertemu dengan pengawal yang kebetulan mengenal kita di arena perkelahian itu?”
Yang lain menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Memang sulit. Tetapi kita harus mencari jalan untuk
mengetahui, apakah Gandu Demung masih hidup atau sudah mati.”
“Jika demikian maka kita akan
tinggal di sekitar daerah ini untuk beberapa lama.”
“Salah seorang dari kita. Yang
lain akan membawa beberapa orang yang tersisa itu kembali kepada Ayah.”
“Dan menerima umpatan dan cela
cerca yang tidak berkeputusan.”
“Mungkin Ayah akan melakukan
sesuatu. Ayah masih tetap seorang pendendam.”
“Aku pun mendendam.”
“Tetapi ingat, bahwa mungkin
pihak-pihak lain dari orang di sekitar Gunung Tidar akan tetap menganggap Gandu
Demung bersalah dan mengambil tindakan langsung terhadap kelompok kita.
Sampaikan kepada Ayah, bahwa meskipun keadaan kita parah, tetapi Ayah harus mempersiapkan
diri menghadapi kemungkinan itu. Biarlah aku tinggal sampai aku mendapat
keterangan tentang Gandu Demung.”
Demikianlah maka keduanya pun
kemudian berpisah. Ternyata mereka masih sempat menemukan kuda mereka yang
mereka sembunyikan di dalam hutan yang tidak terlalu lebat itu. Bahkan karena
jumlah yang sudah jauh berkurang, maka kuda-kuda itu pun menjadi terlalu
banyak.
“Aku mencemaskan nasib Gandu
Demung,” berkata saudaranya yang akan mencarinya, “kudanya masih ada di sini.
Jika ia selamat, tentu akan datang mengambil kudanya seperti orang-orang lain
yang selamat.”
Karena itulah, maka salah
seorang saudaranya itu akan tetap tinggal di sekitar Sangkal Putung bersama
seorang pengawalnya. Sementara yang tersisa harus segera kembali ke sebelah Gunung
Tidar untuk memberikan laporan.
“Jangan timbulkan perselisihan
jika kalian sejalan dengan orang-orang Bajang Garing dan orang-orang dari Alas
Pengarang. Kecuali jika mereka menyerang. Tetapi agaknya karena kita sama-sama
parah, mereka pun tidak akan berbuat apa-apa.”
Demikianlah, maka saudara
Gandu Demung itu pun segera membawa sisa orangnya menuju ke Gunung Tidar untuk
memberikan laporan tentang kegagalan yang dialaminya di daerah Sangkal Putung,
meskipun sebenarnya perhitungan Gandu Demung cukup cermat. Namun agaknya masih
ada yang dilupakan. Justru karena tempat itu berada di ujung kademangan, maka
kuda-kuda yang terlepas merupakan isyarat yang sangat baik bagi orang-orang
Sangkal Putung itu.
Bahkan di sepanjang perjalanan
kembali itu, salah seorang dari anak buah saudara Gandu Demung itu bertanya,
“Kenapa hal ini kita lakukan di depan hidung Kademangan Sangkal Putung?”
“Perhitungan itu sebenarnya
tepat,” jawab saudara Gandu Demung.
“Apakah salahnya jika kita
lakukan di Alas Tambak Baya atau tempat lain yang masih jauh dari Sangkal
Putung.”
“Kelengahan mereka merupakan
keuntungan yang besar bagi kita.”
“Tetapi itu pun tidak terjadi?
Iring-iringan itu berhenti sebelum mereka memasuki batas jebakan kita.”
“Ya. Hampir secara kebetulan
mereka melihat pohon yang sudah dikerat itu.”
“Tidak secara kebetulan. Itu
adalah karena kemampuan yang tinggi dari salah seorang yang berada di dalam
iring-iringan itu. He, apakah kau tidak melihat, bagaimana orang-orang
bercambuk itu melawan beberapa orang di antara kita? Kau lihat seorang yang
bersenjata trisula? Itu adalah kelebihan yang harus diakui. Meskipun jumlah
kita berlipat, tetapi kita tidak dapat berbuat apa-apa. Jika kemudian datang
pengawal-pengawal kademangan itu adalah seolah-olah hanya mempercepat penyelesaian
saja, karena kita agaknya memang tidak akan dapat mengalahkan iring-iringan itu
seperti yang kita harapkan.”
“Hanya soal waktu.”
“Waktu sangat menentukan akhir
dari pertempuran seperti itu.”
Keduanya pun kemudian terdiam.
Mereka berpacu terus melintasi bulak panjang. Mereka mencoba tidak berkuda
bersama-sama agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Namun dalam pada itu, yang
tidak terduga pun telah terjadi. Ketika mereka melintasi sebuah bulak, setelah
mereka meninggalkan Kademangan Sangkal Putung, maka mereka seakan-akan merasa
telah dibayangi oleh sebuah kekuatan yang lain. Benar-benar sekedar firasat
petualangan mereka. Bahkan salah seorang saudara Gandu Demung yang ada di dalam
iring-iringan itu berkata, “Aku merasakan sesuatu akan terjadi.”
“Ya. Aku melihat seekor kuda
melintas di depan jalan kita.”
“Itulah sebabnya aku merasakan
sesuatu.”
“Dan kita tidak akan dapat
mengejarnya karena beberapa pertimbangan.”
Saudara Gandu Demang itu pun
kemudian memerintahkan agar iring-iringan itu memperlambat perjalanan. Sejenak
ia mencoba untuk melihat, apakah yang sebenarnya mereka hadapi. Namun seekor
kuda yang rasa-rasanya mereka lihat itu sama sekali tidak nampak lagi. Suara
derap kakinya pun tenggelam dalam derap kaki kuda mereka sendiri.
Yang nampak adalah tabir malam
yang hitam kelam.
“Apakah dalam iring-iringan
ini tidak ada orang lain?” bertanya saudara Gandu Demung itu.
“Tidak. Ki Bajang Garing
membawa orang-orangnya melalui jalan lain. Demikian pula kelompok dari Alas
Pengarang,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Apakah mungkin yang kita
lihat salah seorang dari kedua kelompok itu?”
“Memang mungkin.”
“Apakah mereka akan mencegat
kita?”
“Jika demikian, apa boleh
buat.”
Mereka pun tidak
bercakap-cakap lagi. Tetapi saudara Gandu Demang yang memimpin sisa kelompoknya
yang parah itu pun kemudian memerintahkan orang-orangnya untuk mempersiapkan
diri menghadapi segala kemungkinan. Mereka menyadari bahwa tersimpan dendam
pada orang-orang yang merasa terjebak di Sangkal Putung meskipun sebelumnya
mereka telah ikut serta menentukan.
“Mereka menumpukan kegagalan
ini pada kesalahan Gandu Demung,” desis saudara Gandu Demung itu.
Anak buahnya yang berkuda di
sebelahnya mengangguk-angguk. Desisnya kemudian, “Itu tidak adil.”
“Karena itu jika mereka
memaksa kita mengakui kesalahan maka kita akan bertempur sampai orang yang
terakhir. Dan aku yakin, bahwa kita masih akan tetap dapat mempertahankan
diri.”
Kawannya tidak menjawab.
Tetapi wajahnya menjadi tegang.
Dalam pada itu yang terjadi di
bagian lain dari lereng Gunung Merapi di sisi selatan itu, hampir serupa pula.
Ki Bajang Garing yang membawa anak buahnya berpacu meninggalkan Sangkal Putung
sambil mengumpat-umpat telah merasakan sesuatu yang mendebarkan jantung.
“Aku melihat beberapa orang di
gardu perondan itu,” desisnya.
“Mereka sama sekali tidak
menghentikan kita,” jawab kawannya.
“Tentu tidak berani. Mereka
mengetahui, bahwa yang lewat bukan hanya satu atau dua orang berkuda.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka melihat sebatang panah api
meloncat ke udara.
“Gila. Apakah artinya itu,”
geram Bajang Garing.
“Kecurigaan,” desis salah
seorang anak buahnya.
“Tentu peronda-peronda itu
memberikan isyarat kepada padukuhan di hadapan kita.”
“Kita dapat berbelok di
tengah-tengah bulak itu. Kita akan melalui jalan lain.”
“Ya. Kita akan berbelok di
simpang jalan yang pertama kita temui.”
“Jika tidak ada jalan
simpang?”
Ki Bajang Garing
termangu-mangu. Ia tidak begitu mengenal daerah itu. Yang diketahuinya adalah
bahwa ia berada di lereng selatan Gunung Merapi, karena meskipun di malam hari,
puncak Gunung Merapi nampak menjulang di langit yang bersih.
“Kita akan berbelok ke kiri.
Pada suatu saat kita tentu akan sampai ke jalan yang menuju ke Mataram.
Meskipun kita juga tidak akan melintasi Mataram, namun di bagian lain dari Alas
Mentaok kita akan dapat mengenali jalan yang menuju ke Gunung Tidar.”
“Kenapa kita harus melingkar
dan melalui jalar menuju ke Mataram.”
“Memang lebih jauh. Tetapi
kita tidak akan tersesat. Sebelum fajar, kita tentu sudah menemukan jalan yang
kita kenal dengan baik di sekitar Mataram. Kita akan menerobos bagian yang
masih berujud Hutan Mentaok dan akan muncul di sebelah utara. Kita masih harus
memperhitungkan waktu berikutnya untuk mencapai Gunung Tidar.”
Kawannya tidak menjawab.
Mereka berpacu semakin cepat di gelapnya malam. Namun mereka tidak segera
menemukan jalan simpang yang mereka cari.
“Tentu di mulut lorong di
padukuhan sebelah, para peronda sudah siap menghentikan kita,” berkata Kiai
Bajang Garing kemudian.
“Kita tidak akan berhenti. Aku
akan menyibukkan mereka dengan ujung senjata,” sahut salah seorang anak
buahnya.
Ki Bajang Garing tidak
menjawab. Namun yang terdengar adalah gemeretak giginya.
Tetapi dalam kegelisahan itu,
tiba-tiba saja ia memberikan isyarat kepada anak buahnya yang tersisa. Ternyata
bahwa di hadapan mereka terdapat sebuah jalan simpang yang berbelok justru ke
kiri seperti yang mereka harapkan.
Dengan serta-merta
iring-iringan itu pun berhenti. Beberapa ekor kuda yang terkejut, bahkan
melonjak dan berdiri dengan kedua kaki belakang. Tetapi mereka pun segera
menarik nafas ketika mereka menyadari, bahwa mereka akan dapat menempuh jalan
simpang yang membelah bulak panjang itu ke arah selatan.
Tetapi sekali lagi yang tidak
terduga itu pun terjadi. Tiba-tiba saja dari balik gerumbul batang jarak di
tepi jalan, muncul seseorang yang hanya nampak kehitam-hitaman di dalam
bayangan kegelapan.
Ki Bajang Garing yang jantungnya
masih membara karena kegagalan yang dialaminya segera membentak, “He, siapakah
kau?”
“Sabarlah, Ki Sanak,” jawab
bayangan hitam itu.
“Cepat menepi atau kau akan
terkapar di pinggir jalan ini dengan luka di dadamu?”
Tetapi orang itu sama sekali tidak
menepi. Ia masih tetap berdiri di tempatnya. Bahkan ia justru bergeser setapak
ke tengah sambil berkata, “Jangan terlampau garang. Sabarlah, dan kita akan
berbicara serba sedikit.”
“Aku tidak mempunyai waktu.
Jika kau berbicara, berbicaralah. Dan sebutlah, siapakah kau.”
Orang yang berdiri di tengah
jalan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Turunlah.
Kita akan berbicara.”
“Tidak!” teriak Ki Bajang
Garing. “Cepat minggir, atau aku benar-benar akan membunuhmu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan menyebut siapakah aku.”
“Aku tidak peduli,” Bajang
Garing semakin marah.
“Dengarlah. Aku adalah seorang
prajurit dari Pajang.”
“Prajurit?” suara Ki Bajang
Garing justru meninggi.
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun memberikan isyarat dengan tepuk tangan tiga
kali.
Beberapa orang segera muncul
dari balik gerumbul dan berloncatan ke jalan, justru di segala arah, sehingga
Ki Bajang Garing benar-benar telah terkepung oleh bebarapa orang yang tidak
begitu jelas di dalam gelapnya malam. Namun dalam keremangan itu, Ki Bajang
Garing dan anak buahnya mencoba mengenalinya, bahwa pakaian yang mereka pakai
benar-benar pakaian prajurit Pajang.
Tetapi Kiai Bajang Garing
tidak segera mempercayainya. Dengan nada yang geram ia berkata, “Kau jangan
menakut-nakuti kami seperti menakut-nakuti anak-anak. Cepat pergi dari tempat
ini, atau kalian terpaksa mengalami tindakan kekerasan sehingga kalian akan
menyesal.”
“Dengarlah,” berkata orang
itu, “kami benar-benar prajurit Pajang yang mendapat perintah dari Senapati
Agung di daerah ini, Untara yang berkedudukan di Jati Anom. Kami harus
menangkap setiap orang yang kami curigai untuk mendapat keterangan daripadanya.
Kami mendapat wewenang untuk melepaskan atau menahan orang-orang yang kami
curigai itu sesuai dengan keadaan mereka. Demikian juga berlaku bagi kalian.”
“Persetan! Tidak ada orang
yang dapat menahan kami,” Kiai Bajang Garing berteriak semakin keras. Kemarahan
yang membakar jantungnya bagaikan disiram dengan minyak, “Menepilah. Cepat!”
Namun orang itu tiba-tiba saja
telah menggenggam pedang yang tergantung di lambungnya sambil berkata, “Aku
sedang menjalankan tugas. Semua perintahku adalah perintah atas wewenang yang
melimpah dari Sultan Pajang mengalir sampai ke pundakku. Setiap orang harus
mentaatinya. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian akan segera kami
lepaskan.”
“Aku tidak peduli,” teriak
Kiai Bajang Garing
“Jika demikian, maka kami pun
akan mempergunakan kekerasan. Karena kami mendapat wewenang pula untuk
melakukannya terhadap setiap orang yang tidak mau mengikuti perintah kami.”
Yang terdengar adalah
gemeretak gigi Kiai Bajang Garing. Dengan nada yang marah, maka ia pun berkata,
“Singkirkan orang-orang ini.”
Anak buahnya pun segera
mempersiapkan diri. Tetapi ternyata bahwa prajurit-prajurit Pajang itu pun
bertindak cepat. Merekalah yang justru menyerang lebih dahulu, sehingga
orang-orang berkuda itu terkejut. Beberapa orang tidak dapat berbuat lain
kecuali meloncat turun dari kuda-kuda mereka.
Demikian juga Kiai Bajang
Garing. Orang yang menghentikannya itu dengan serta-merta telah menyerangnya
pula, sehingga ia pun terpaksa meloncat turun pula karena tidak ada kesempatan
baginya untuk menggerakkan kendali kudanya.
Sejenak kemudian, pertempuran
telah terjadi lagi. Kali ini sisa-sisa orang Kiai Bajang Garing yang parah itu
harus melawan sekelompok prajurit yang ternyata jumlahnya lebih banyak dari
orang-orang Kiai Bajang Garing itu.
Tetapi Kiai Bajang Garing
memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Kemarahan yang meluap di
dadanya, telah membuatnya menjadi seorang yang garang dan bertempur dengan
kasarnya, bahkan semakin lama ia pun menjadi semakin buas.
Tetapi prajurit-prajurit itu
nampaknya telah berpengalaman pula. Pimpinannya dengan segera memberikan
beberapa macam aba-aba, sehingga prajurit-prajurit Pajang itu cepat dapat
menguasai keadaan, apalagi jumlah mereka memang lebih banyak.
“Menyerah!” perintah pimpinan
prajurit Pajang itu. “Kami mendapat wewenang sepenuhnya. Tetapi kami pun
mendapat pesan, bahwa tugas kami adalah tugas keprajuritan, sehingga kami
bukanlah pembunuh-pembunuh yang mata gelap. Jika kalian menyerah, maka kami
akan memperlakukan kalian sesuai dengan ketentuan. Tetapi jika kalian berkeras
kepala, apalagi sampai menitikkan darah dari tubuh kami, maka kami pun manusia
biasa yang masih juga dikuasai oleh perasaan di samping kewajiban kami sebagai
seorang prajurit.”
Kiai Bajang Garing tidak
menjawab. Tetapi ia melihat kepungan itu menjadi semakin rapat. Kepungan
prajurit dalam jumlah yang lebih banyak dari jumlah orang-orangnya.
“Menyerahlah,” terdengar
perintah itu sekali lagi. Bukan saja perintah dengan lesan. Tetapi serangan
prajurit-prajurit itu pun terasa semakin menekan.
Tetapi Kiai Bajang Garing
masih berusaha untuk melawan. Bahkan dengan suara parau ia berteriak, “Kalian
bukan prajurit Pajang. Kalian adalah perampok-perampok yang ingin merampok
kami.”
“Atas nama Senapati Agung di
daerah selatan. Menyerahlah,” perintah itu terdengar semakin keras, “kami dapat
melakukan apa saja atas kalian. Itu adalah wewenang yang memang ada pada kami.”
Kiai Bajang Garing tidak
segera menyerah. Bahkan ia bertempur semakin seru sambil bertanya, “Jika kalian
prajurit Pajang, kenapa kalian berada di tempat ini pada saat ini?”
“Kami mempunyai beberapa
alasan. Tetapi kami tidak sempat menceriterakan sekarang. Jika kalian menyerah
dan mau mendengarkan pembicaraan kami, maka kami akan mengatakan alasan kami
kenapa kami mencurigai kalian sekarang ini.”
“Persetan!” geram Kiai Bajang
Garing. Sambil berteriak nyaring, maka ia pun bertempur dengan segenap
kemampuan yang ada padanya diikuti oleh sisa-sisa anak buahnya. Bahkan ada di
antara mereka yang telah terluka dan tidak mampu berbuat banyak.
Sejenak kemudian pertempuran
di jalan simpang itu pun menjadi semakin sengit. Bahkan mau tidak mau beberapa
orang terpaksa terjun ke dalam sawah, menginjak-injak tanaman jagung muda yang
sedang tumbuh dengan suburnya.
“Kasihan pemilik sawah ini,”
desis seorang prajurit, “kau adalah sumber kegagalan panenan mendatang.”
“Bukan kami,” teriak seorang
anak buah Ki Bajang Garing, “jika kalian tidak menghentikan perjalanan kami,
maka perkelahian ini tidak terjadi.”
“Jika kalian menurut perintah
kami, maka tidak akan terjadi keributan ini. Sedangkan kami adalah
prajurit-prajurit yang sedang menjalankan kuwajiban.”
Anak buah Ki Bajang Garing itu
tidak menjawab. Namun ia menyerang semakin dahsyat. Tetapi dengan demikian,
perlawanan prajurit-prajurit Pajang itu pun menjadi semakin seru pula.
Pemimpin prajurit yang
bertempur melawan Ki Bajang Garing mulai merasa tekanan yang semakin berat.
Semula ia tidak menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan orang yang memiliki
kemampuan yang cukup tinggi. Menurut pengamatannya, penjahat-penjahat kecil
yang sering melakukan perampokan, kadang-kadang hanyalah orang-orang yang
sekedar mempunyai keberanian. Tetapi lawannya yang bertubuh pendek itu ternyata
memang memiliki kemampuan bertempur yang cukup.
Karena itulah, maka senapati
itu pun kemudian tidak menjadi lengah. Bahkan kemudian ia pun mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya untuk mengalahkan lawannya. Tetapi ternyata
bahwa lawannya cukup lincah dan kuat.
Tetapi di bagian lain, anak
buah Bajang Garing yang sudah semakin parah, tidak dapat menahan sergapan para
prajurit yang jumlahnya lebih banyak itu. Satu-satu mereka dapat dilumpuhkan
dan bahkan terpaksa meletakkan senjata mereka, karena tidak ada kesempatan lagi
untuk melawan. Jika tiba-tiba saja ujung pedang telah menekan punggung, selagi
ia sedang menghadapi seorang lawan lainnya yang berdiri di depannya, maka tidak
akan jalan lain kecuali melepaskan senjatanya dan membiarkan kedua tangannya
diikat.
Kiai Bajang Garing mengumpat
tidak habis-habisnya melihat satu-satu anak buahnya dapat dikuasai oleh
orang-orang yang mengaku prajurit Pajang itu. Bahkan kemudian tiba-tiba saja
senapati yang melawannya itu berkata, “Menyerahlah. Aku akan memerintahkan
beberapa anak buahku untuk mengurungmu.”
“Licik.”
“Kenapa licik.”
“Kita perang tanding.”
“Aku adalah prajurit yang
mengemban tugas. Aku tidak mempunyai persoalan pribadi dengan kau. Karena itu,
maka aku akan menangkapmu. Tidak melakukan perang tanding. Hanya jika di antara
kita telah bersinggungan harga diri dan apalagi pandangan hidup, maka barulah
kita pantas melakukan perang tanding.”
“Pengecut! Aku menantang kau
perang tanding. Aku akan menghinamu sebagai tikus yang paling pengecut. Aku
akan menyinggung harga dirimu yang paling rendah. Kau adalah pengecut yang
mengaku sebagai seorang prajurit. Tetapi kau sama sekali tidak berani bersikap
jantan dan melawan aku dalam perang tanding.”
Tetapi prajurit itu tersenyum.
Katanya dengan sareh, “Jangan sekarat. Menyerahlah.”
“Persetan, persetan!” Kiai
Bajang Garing berteriak untuk melepaskan kemarahan yang serasa memerahkan
dadanya.
Namun ternyata senapati itu
sama sekali tidak terpengaruh. Ia masih sempat mengatur beberapa orang
prajuritnya untuk mengepung Kiai Bajang Garing.
Betapa pun juga kemampuan yang
ada pada orang bertubuh pendek itu, tetapi ia segera mengalami kesulitan
melawan beberapa orang prajurit yang nampaknya memang terlatih baik untuk
bertempur berpasangan.
“Curang, licik, pengecut,
penakut!” teriak Kiai Bajang Garing. Bahkan masih banyak lagi umpatan-umpatan
kotor yang meloncat dari mulutnya.
“Kau tidak usah mengingkari
kenyataan yang kau hadapi, Ki Sanak. Menyerahlah. Aku tidak akan memperlakukan
kau dengan sewenang-wenang karena kami prajurit-prajurit Pajang, terikat pada
ketentuan yang dilandasi atas sumpah. Itulah sebabnya, jika kau menyerah maka
kau dan orang-orangmu akan mengalami nasib yang baik.”
Tetapi Kiai Bajang Garing sama
sekali tidak mau mendengarnya. Ia masih bertempur dengan gigihnya melawan
beberapa orang sekaligus, sementara anak buahnya telah tidak ada lagi yang
mengangkat senjatanya.
“Semua orang-orangmu telah
menyerah,” berkata Senapati Pajang itu, “jika sampai ada salah seorang
prajuritku yang luka kulitnya karena senjatamu, mungkin aku akan mengambil
keputusan lain, karena aku juga manusia yang masih digenggam oleh kisaran
perasaan. Ki Sanak, jika seorang kawanku terluka, maka aku akan membuat sepuluh
luka di kulitmu. Aku dapat mencari param di padukuhan. Dan kau akan mengerti,
apakah maksudku selanjutnya.”
“Gila. Itukah tingkah laku
prajurit Pajang.”
“Bukan tingkah laku prajurit
Pajang. Tetapi aku bermaksud menakut-nakutimu. Karena barangkali memang ada
satu-satu prajurit yang tersentuh oleh kemarahan yang tidak terkendali.”
Bajang Garing tidak menjawab.
Tetapi ia masih bertempur melawan orang-orang yang menyebut dirinya prajurit
Pajang itu. Sekali-sekali ia berusaha untuk melepaskan diri dari kepungan yang
rapat dengan memecah dinding, namun kadang-kadang dengan membabi buta ia
menyerang berputaran. Selapis perasaan putus asa telah mulai menyentuh dasar
hatinya. Tetapi ia masih belum mau melihat kenyataan. Ia masih ingin
mempertahankan diri dan harga dirinya sebagai orang yang memiliki nama di
daerah Gunung Tidar.
Namun, perjuangan Bajang
Garing terasa semakin berat. Ia mulai kebingungan menangkis serangan dari
beberapa arah, yang bahkan hampir bersamaan.
Meskipun demikian, Bajang
Garing masih juga dapat berbangga, bahwa senjata lawannya sama sekali belum ada
yang menyentuh apalagi kulitnya, bahkan pakaianya pun tidak.
Tetapi ternyata bahwa pakaiannya
itu telah basah kuyup oleh keringat yang bagaikan diperas dari tubuhnya.
Prajurit-prajurit Pajang yang
bertempur melawan Bajang Garing itu semakin merapatkan kepungannya. Senapati
yang memimpin mereka setiap kali masih saja mencoba memaksa Bajang Garing untuk
melihat kenyataan. Tetapi nampaknya Bajang Garing tetap berkeras kepala. Ia
masih bertempur terus dengan segenap kemampuan yang ada padanya.
“Apakah kau benar-benar tidak
dapat diajak berbicara,” geram senapati itu kemudian.
“Aku menantang kau perang
tanding jika kau memang jantan,” jawab Bajang Garing.
“Aku sedang menangkapmu, bukan
menyelesaikan persoalan di antara kita. Dengar, dan sekali lagi dengar,”
senapati itu semakin marah.
Tetapi Bajang Garing
seolah-olah tidak mendengarnya. Ia masih saja bertempur membabi buta.
Senapati itu menarik nafas
dalam-dalam. Akhirnya ia memberikan isyarat kepada seorang prajuritnya untuk
mendekat.
“Berikan tombakmu.”
Prajurit itu termangu-mangu.
Tetapi ia tidak sempat memikirkan akibat dari tombak itu, karena tiba-tiba saja
tombak itu sudah dihentakkan dari tangannya.
Sejenak mereka masih
bertempur. Beberapa orang prajurit Pajang masih melingkari Bajang Garing yang
bagaikan mengamuk.
Namun tiba-tiba para prajurit
Pajang itu menyadari, bahwa senapatinya berhasrat segera mengakhiri pertempuran
itu. Sadar bahwa Bajang Garing adalah orang yang cukup kuat dan memiliki ilmu
yang tinggi, maka senapati itu tidak dapat berbuat tergesa-gesa.
Tetapi kesempatan yang
ditunggunya itu pun akhirnya datang. Ketika Bajang Garing sibuk menangkis
serangan dari sebelah-menyebelah, maka tiba-tiba saja senapati itu
mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya.
Dengan kemampuan tangannya
menggerakkan tangkai tombak, maka ia meloncat maju dengan cepatnya. Tangannya
terjulur lurus ke depan, sedangkan tangannya yang lain dengan tangkasnya
menggerakkan tangkai tombak yang bertumpu pada tangannya yang terjulur itu.
Dalam kebingungan, Bajang
Garing tidak sempat berbuat apa-apa. Senjatanya sedang berputar di sisi
tubuhnya menangkis serangan dari samping yang mengarah ke dada. Karena itulah,
maka ia sama sekali tidak berdaya ketika tombak itu terjulur ke lambung.
Meskipun ia mencoba
menggeliat, namun ujung tombak itu bagaikan mempunyai mata. Dengan gerakan
kecil, tangan Senapati yang terjulur itu ternyata telah mampu merubah arah
tombaknya.
Tetapi senapati itu tidak
menusuk dengan ujung tajam tombaknya. Ia hanya ingin melumpuhkan Bajang Garing.
Karena itulah maka ia pun telah menyerang dengan pangkalnya menghantam lambung.
Terdengar keluhan tertahan.
Bajang Garing memang memiliki daya tahan yang kuat. Namun demikian, hentakan
pangkal tangkai tombak di lambungnya itu terasa sakit bukan buatan sehingga
terdengar ia berdesah.
Serangan itu telah membuka
serangan-serangan berikutnya meskipun tidak semuanya berhasil menyentuh lawan.
Para prajurit itu pun
menyadari maksud serangan pemimpinnya yang tidak mempergunakan tajam tombaknya.
Jika demikian, maka tajam tombak itu tentu sudah menyobek kulit orang yang
keras kepala itu. Sehingga karena itu pula, maka para prajurit yang
mengepungnya itu pun menyerang dengan cara yang sama pula.
Seorang yang bersenjata
pedang, telah memukul punggung Bajang Garing tidak dengan tajam pedangnya,
tetapi justru dengan punggungnya meskipun pukulan itu tidak segera dapat
menjatuhkan lawannya.
Namun serangan, yang datang
berurutan itu telah membuat Bajang Garing kebingungan. Ia tidak lagi dapat
memusatkan perhatiannya. Setiap kali terasa tubuhnya disengat oleh perasaan
sakit, dan kadang-kadang terasa tulang-tulangnya menjadi retak.
Ketika sebuah pukulan tangkai
tombak yang keras mengenai tengkuknya, terasa kepala Bajang Garing menjadi
pening. Bintang-bintang yang bertaburan di langit bagaikan berputaran
mengelilingi ubun-ubunnya. Bahkan orang-orang yang mengelilingi itu pun
bagaikan berlari-lari berputaran sambil mengacungkan senjata kewajahnya.
Perlahan-lahan kesadaran
Bajang Garing pun mulai kabur, sehingga akhirnya ia pun jatuh tertelungkup.
Pingsan.
Sesaat kemudian orang-orang
yang mengerumuninya itu pun saling berpandangan. Kemudian terdengar sebuah
perintah, “Ikat orang itu, dan kita bawa bersama anak buahnya yang menyerah.
Mereka akan berguna bagi kita.”
Orang-orang yang
mengerumuninya dan menyebut dirinya prajurit-prajurit Pajang itu pun kemudian
berlutut di seputar tubuh Bajang Garing. Salah seorang dari mereka segera
mengikat tangan Bajang Garing itu dengan tali yang kuat.
“Orang itu cukup berbahaya.
Jika ia sadar di perjalanan, maka ia akan meronta.”
“Tali itu cukup kuat, Ki
Lurah,” jawab salah seorang.
Pemimpinnya mengangguk-angguk.
Katanya, “Marilah, kita bawa mereka sekarang.”
Sejenak kemudian, orang-orang
itu pun telah membenahi diri. Para tawanan diperintahkan untuk naik ke kuda
masing-masing Sedangkan senjata mereka telah diikat menjadi satu. Ada pun
Bajang Garing yang pingsan dinaikkan pula ke punggung kuda dijaga oleh seorang
sambil memeganginya agar ia tidak terjatuh.
“Kita tidak perlu
tergesa-gesa,” berkata pemimpinnya, “kasihan kuda yang harus dibebani oleh dua
orang itu.”
Sejenak kemudian, maka
perlahan-lahan iring-iringan berkuda itu mulai bergerak meninggalkan bulak yang
telah menjadi arena perkelahian itu. Beberapa orang yang tertawan masih saja
bertanya-tanya di dalam hati, kemanakah mereka itu dibawa, dan berada di tangan
siapakah mereka itu sebenarnya.
Tetapi tidak seorang pun yang
berani bertanya. Mereka hanya mencoba untuk mendengarkan setiap percakapan agar
mereka dapat mengambil kesimpulan.
Tetapi pembicaraan mereka yang
telah membawa para perampok itu tidak begitu jelas. Mereka menyebut-nyebut
bermacam-macam persoalan yang tidak diketahui. Namun setiap kali terdengar
mereka menyebut diri mereka sebagai prajurit-prajurit.
“Mungkin mereka benar-kenar
prajurit Pajang,” desis salah seorang perampok yang tertawan. “Jika mereka
termasuk kelompok yang lain lagi, atau mungkin kawan-kawan Gandu Demung dari
Gunung Tidar, atau salah satu kelompok di bawah kekuasaan orang yang
kadang-kadang disebut Kalasa Sawit, atau orang-orang semacamnya, maka agaknya
nasib kami akan berkepanjangan.”
Ketika salah seorang yang
menawan itu menyebut nama Untara, maka para lawanan itu mencoba memperhatikan,
apakah ada hubungannya dengan keadaan mereka. Namun mereka menjadi kecewa,
karena orang itu hanya mengatakan, bahwa Untara tentu akan datang ke Sangkal
Putung untuk ikut merayakan perkawinan Swandaru.
“Persetan dengan pengantin
itu,” salah seorang dari mereka yang tertawan itu mengumpat di dalam hati.
Demikianlah iring-iringan itu
maju perlahan-lahan menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Setiap kali
mereka melalui jalan simpang, mereka memilih untuk berbelok daripada melalui
padukuhan-padukuhan yang tersebar di lereng Gunung Merapi. Bahkan kemudian
mereka telah berjalan menyusur jalan kecil di sebelah hutan yang panjang,
meskipun bukan hutan yang lebat.
Yang diketahui oleh para
tawanan, bahwa jalan sudah mulai mendaki kaki Gunung Merapi. Beberapa kali
terasa mereka mengikuti sebuah jalur jalan yang naik meskipun belum terlampau
tinggi.
Ternyata Bajang Garing masih
belum sadar. Ia tidak mengetahui jalan yang ditempuhnya. Ia tidak sadar, apakah
yang telah terjadi selama ia pingsan.
Tetapi pada saatnya, maka
Bajang Garing itu pun mulai menjadi sadar. Perlahan-lahan ia mulai merasa
sentuhan tali yang membelit di tangannya.
Ketika Bajang Garing membuka
matanya, ia melihat bayangan-bayangan kabur di hadapannya. Semakin lama semakin
jelas. Sehingga akhirnya ia sadar sepenuhnya, bahwa ia sudah berada di sebuah
pendapa yang tidak dikenalnya, dikelilingi beberapa orang dalam terangnya lampu
minyak.
Tetapi serasa ia terlonjak
ketika terlihat olehnya, saudara Gandu Demung dan orang-orang dari Hutan
Pengarang ada di pendapa itu pula, dan seperti dirinya sendiri, mereka pun
terikat tangannya pula serta dijaga oleh beberapa orang di sebelah-menyebelah.
“Orang itu mulai sadar,”
terdengar seseorang berkata sambil memandang kepada Bajang Garing.
Dengan demikian maka setiap
mata pun mulai memandang, sehingga Bajang Garing yang terikat itu merasa
wajahnya serasa tersentuh bara.
“Persetan,” geramnya di dalam hati.
Giginya terasa gemertak menahan kemarahan yang serasa menghentak-hentak dada.
Namun ia tidak dapat ingkar
atas kenyataan yang dialaminya. Ia terikat di sebuah pendapa yang tidak
dikenalnya.
Ketika Bajang Baring kemudian
mengangkat wajahnya ia melihat beberapa orang memandanginya tanpa berkedip,
seolah-olah orang-orang itu sedang memperhatikan sesuatu yang sangat menarik
perhatiannya dan yang belum pernah dilihatnya.
Sekali lagi ia menggeram.
Namun ia tidak berhasil merubah suasana di pendapa itu.
Sejenak kemudian, setiap orang
mulai bergeser ketika terdengar derap beberapa ekor kuda memasuki halaman.
Salah seorang dari orang-orang yang berada di pendapa itu berdesis, “Ia telah
datang.”
Bajang Garing dan orang-orang
yang tertawan dengan tangan terikat itu pun ikut berpaling. Tetapi mereka hanya
melihat beberapa bayangan hitam di halaman tanpa dapat mengenal mereka seorang
demi seorang.
Baru sejenak kemudian, mereka
melihat seorang anak muda yang naik ke pendapa diikuti oleh beberapa orang
pengawal.
Dalam keragu-raguan, Bajang
Garing dan kawannya mendengar orang-orang di sekitarnya dengan sengaja
memberitahukan mereka, “Itu adalah Senapati Agung di daerah selatan. Untara.”
Nama itu rasa-rasanya telah
menghentakkan jantung mereka sehingga rasa-rasanya dada mereka berdentangan
semakin keras. Ternyata mereka benar-benar berada di pendapa yang penuh dengan
prajurit-prajurit Pajang. Dan dengan demikian maka mereka pun mulai yakin,
sebenarnyalah mereka telah ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang.
Sejenak kemudian mereka
melihat Untara duduk di depan pringgitan di antara beberapa orang perwira
pembatunya. Matanya yang tajam memandang seorang demi seorang dari mereka yang
terikat.
“Apakah mereka
pemimpin-pemimpinnya,” terdengar suara anak muda itu berat dan mantap.
“Ya,” jawab seorang perwira
yang sudah lebih tua dari Untara, “mereka telah ditangkap oleh
prajurit-prajurit yang memang dikerahkan ke daerah yang dicurigai.”
“Dan mereka benar-benar
melalui daerah itu,” geram Untara.
“Ya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya kepada orang-orang yang terikat itu, “Kalian
tahu, kenapa kalian kami tangkap?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“He, apakah kalian tidak
mendengar pertanyaanku.”
Masih belum ada jawaban. Namun
dada orang-orang yang terikat itu tergetar ketika tiba-tiba saja mereka melihat
Untara itu meloncat berdiri, “He,” suaranya menjadi keras, “Apakah kalian tahu?
Jawab pertanyaanku, atau kepala kalian akan terlepas dari leher kalian. Apakah
kalian menyadari, kenapa kalian ditangkap?”
Yang ada di pendapa dengan
tangan terikat itu adalah para pemimpin penjahat yang memiliki ketahanan badani
dan jiwani yang besar. Namun melihat sikap Untara rasa-rasanya mereka telah
didorong oleh suatu keharusan untuk menjawab, “Ya. Kami mengerti.”
Untara mengatupkan giginya
rapat-rapat. Kemudian perlahan-lahan ia duduk sambil berguman, “Kalian
berhadapan dengan prajurit Pajang. Jangan mencoba untuk menyombongkan diri di
pendapa ini.”
Terasa hati para pemimpin
penjahat itu menjadi kecut. Agaknya Untara tidak senang bermain-main. Hampir
setiap orang telah pernah mendengar tentang senapati muda yang bernama Untara
itu.
“Ki Sanak,” suara Untara
merendah, “aku sudah tahu apa yang telah terjadi di ujung Kademangan Sangkal
Putung meskipun terlambat, sehingga kami tidak dapat mengambil langkah-langkah
menyelamatkan sepasang pengantin itu. Untunglah, bahwa Sangkal Putung berhasil
melindungi pengantinnya, sehingga kalian telah mengalami kegagalan.”
Orang-orang yang terikat
tangannya itu menundukkan kepalanya.
“Laporan-laporan tentang
kalian sudah kami terima sejak kalian mendekati hutan itu di malam sebelum
pertempuran itu terjadi. Tetapi kami tidak tahu pasti apa yang akan terjadi.
Beberapa pengawas kami telah melihat iring-iringan dalam kelompok kecil yang
mencurigakan karena jumlahnya yang terlampau banyak. Mungkin orang-orang
kebanyakan tidak banyak memperhatikan kelompok-kelompok kecil yang lewat.
Tetapi peronda-peronda kami agaknya telah melihat suatu kelainan.”
Orang-orang itu masih saja
terdiam.
“Tetapi kami terlambat
mendapat laporan tentang pertempuran yang terjadi, sehingga kehadiran kami
sudah tidak berarti lagi. Apalagi para pengawas kami melihat kepastian bahwa
Sangkal Putung akan berhasil memenangkan pertempuran itu.” Untara berhenti
sejenak, lalu, “Dan seperti yang kami perhitungkan, bahwa kami akan melakukan
penyergapan di saat-saat kalian meninggalkan daerah Sangkal Putung. Prajurit
kami tersebar di setiap jalur jalan di sekitar daerah Sangkal Putung.
Penangkapan ini akan sangat berarti bagi ketenangan Sangkal Putung dalam
saat-saat perayaan perkawinan itu berlangsung.”
Meskipun para pemimpin
penjahat itu tidak menjawab sepatah kata pun, namun mereka mengumpat-umpat di
dalam hati. Mereka tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi prajurit-prajurit
Pajang dalam kesempatan-kesempatan berikutnya.
“Ini adalah akibat kegilaan
Gandu Demung,” geram Bajang Garing di dalam hatinya. “Jika ia tidak bermimpi
demikian gilanya, maka kami bersama-sama tidak akan mengalami nasib buruk,
setelah beberapa orang kawan kami menjadi korban.”
Tetapi Bajang Garing hanya
dapat menyimpan kegeramannya itu di dalam hati. Ketika ia mencoba mengangkat
wajahnya memandang berkeliling, maka terdengar giginya gemeretak ketika
terpandang olehnya saudara Gandu Demung yang ternyata juga telah tertangkap
oleh prajurit Pajang.
“Di manakah orang-orang itu,”
bertanya Bajang Garing di dalam hatinya ketika ia tidak melihat anak buahnya di
pendapa itu. Namun agaknya ia telah mencoba menjawabnya, “Mereka tentu berada
di dalam bilik yang gelap dan pepat, dijaga oleh para prajurit dengan tombak
telanjang.”
Tetapi Bajang Garing tidak
sempat berangan-angan, karena sejenak kemudian Untara berkata, “Kami ingin
mendapat keterangan kalian lebih banyak lagi. Pada kesempatan lain aku sendiri
akan berbicara dengan kalian seorang demi seorang.”
Setiap orang menjadi
berdebar-debar. Mereka sadar sepenuhnya, dengani siapa mereka berhadapan.
Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa, karena mereka telah terikat di
pendapa Jati Anom.
Dalam pada itu, Untara pun
kemudian memerintahkan untuk menyingkirkan orang-orang itu. Di keesokan harinya
ia akan mulai memanggil orang-orang itu seorang demi seorang.
“Besok malam aku akan hadir di
Sangkal Putung memenuhi undangan Ki Demang menyambut pengantin,” katanya kepada
para perwira, “sehingga karena itu, maka besok aku harus sudah mempunyai bekal.
Meskipun resminya aku pergi ke Sangkal Putung untuk menghadiri perayaan
perkawinan itu, tetapi salah seorang dari orang-orang Sangkal Putung itu
mungkin akan bertanya tentang para perampok. Mungkin ada pihak-pihak yang
mempunyai tafsiran yang salah tentang peristiwa itu. Sehingga aku perlu
meletakkan persoalannya pada keadaan yang seharusnya.”
Para perwira itu
mengangguk-angguk,
“Besok pagi-pagi para tawanan
itu harus sudah disiapkan. Tentu tidak mudah memancing jawaban dari mereka.”
“Tetapi agaknya mereka telah
kehilangan pribadi,” jawab seorang perwira, “mungkin karena kecewa, tetapi
mungkin karena kejutan yang sama sekali tidak mereka perhitungkan sebelumnya.”
“Hanya kejutan. Tetapi besok
mereka akan kembali kepada kepribadian mereka masing-masing.”
Para perwira itu tidak
menjawab. Tetapi mereka pun sudah membayangkan, bahwa Untara tentu akan
mengetahui sesuatu tentang diri para tawanan itu sebelum ia pergi ke Sangkal
Putung.
Dalam pada itu, sebenarnyalah
telah tumbuh kekecewaan di hati Swandaru karena peristiwa yang telah terjadi di
ujung kademangannya itu. Ia tidak tahu pasti, siapakah sebenarnya yang
bersalah. Tetapi ternyata bahwa sebagian dari kejengkelannya telah terlempar
kepada prajurit-prajurit Pajang.
“Jika kami tidak dapat
mempertahankan diri, maka kami telah hancur,” katanya di dalam hati. “Prajurit
Pajang tidak berbuat apa-apa sama sekali.”
Tetapi ternyata bahwa Untara
tidak tinggal diam. Ia telah memerintahkan tiga orang prajurit untuk dengan
resmi datang ke Sangkal Putung, memberitahukan kepada Ki Demang segala sesuatu
yang telah dilakukan.
Kedatangan utusan Untara itu
memang mengejutkan Sangkal Putung. Namun sebagian dari mereka kemudian mengangguk-angguk
sambil berdesis, “Jadi prajurit-prajurit Pajang itu tidak berdiam diri. Sayang,
mereka terlambat sehingga korban sudah banyak yang jatuh. Tetapi yang dilakukan
masih jauh lebih baik dari tidak berbuat apa-apa, karena ternyata para perampok
yang berhasil lolos itu telah dapat dijaring oleh prajurit-prajurit Pajang yang
dengan cepat digerakkan.”
Namun demikian, masih terasa
kekecewaan yang tersisa di hati Swandaru terhadap Untara.
Dalam pada itu, peristiwa yang
telah mendahului perayaan pengantin di Sangkal Putung itu mempunyai pengaruh
yang cukup besar. Orang-orang Sangkal Putung rasa-rasanya menjadi sangat
berhati-hati. Mereka membayangkan, bahwa perampok yang banyak jumlahnya itu
masih mempunyai kawan yang setiap saat dapat menerkam Sangkal Putung.
Karena itu, maka mereka tidak
mau melepaskan anak-anak mereka, terlebih-lebih yang masih kecil-kecil untuk
pergi bermain terlalu jauh dari rumah. Bahkan perempuan-perempuan selalu
diganggu oleh kecemasan. Mereka segera menutup pintu rapat-rapat jika suami
mereka pergi meninggalkan rumah.
Namun hati rakyat Sangkal
Putung itu serasa menjadi tenang jika mereka melihat sekelompok anak-anak muda
yang meronda dengan senjata di tangan. Juga perempuan-perempuan yang berada di
kademangan, setiap kali mereka memerlukan melihat, apakah peronda di gardu
masih lengkap.
Meskipun kecemasan melanda
seluruh kademangan, namun dapur kademangan masih tetap mengepulkan asap.
Perempuan-perempuan masih tetap sibuk menyiapkan hidangan dan selamatan. Selain
pertunjukan yang akan tetap berlangsung, maka di pendapa akan diadakan kenduri
yang juga sebagai ucapan syukur bahwa sepasang pengantin itu telah selamat juga
sampai ke kademangan dengan tidak melupakan pengorbanan mereka yang terpaksa
menjadi bebanten.
Dalam suasana yang khusus itu,
Kademangan Sangkal Putung merayakan perkawinan Swandaru. Antara gembira dan
duka. Antara gelak tertawa dan gemeretak gigi.
Jika di pendapa beberapa orang
duduk sambil menghadapi hidangan menjelang upacara yang akan diadakan lepas
senja, maka di jalan-jalan di seluruh kademangan nampak anak-anak muda
hilir-mudik dalam kesiagaan tertinggi.
Namun hati mereka menjadi
tenang, ketika para peronda di ujung kademangan menerima kedatangan empat orang
berkuda yang memang khusus menjumpai mereka.
“Apakah Tuan akan menjumpai Ki
Jagabaya?” bertanya salah seorang peronda.
“Apakah Ki Jagabaya ada
dirumahnya?”
“Tidak. Tentu tidak ada di
rumahnya.”
“Di kademangan?”
“Tentu juga tidak. Ki Jagabaya
berada di banjar bersama beberapa orang pengawal terpercaya yang siap
digerakkan setiap saat.”
“Baiklah. Aku akan menjumpai
Ki Jagabaya.”
Para peronda pun segera
membawa keempat orang berkuda itu ke banjar untuk menjumpai Ki Jagabaya yang
ternyata memang berada di antara para pengawal.
Dengan wajah yang tegang Ki
Jagabaya menerima keempat orang itu di pendapa banjar kademangan.
“Apakah yang Tuan kehendaki?”
Salah seorang dari keempat
orang itu menjawab, “Ki Jagabaya. Kami hanya sekedar ingin membantu agar
ketenangan di kademangan ini dapat lebih terjamin selama perayaan berlangsung
beberapa hari seperti yang telah direncanakan.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
“Kami tidak akan langsung
berada di dalam lingkungan pengamatan para pengawal Kademangan Sangkal Putung
agar dengan demikian justru tidak menumbuhkan kesibukan-kesibukan baru bagi
kademangan yang sedang sibuk ini. Kami akan berada di luar kademangan, dan
setiap kali melakukan hubungan-hubungan yang perlu. Dengan demikian kami tidak
akan menambah beban bagi kademangan ini, karena kami akan menyiapkan segala
kebutuhan kami sendiri.”
Ki Jagabaya menarik nafas.
Jawabnya, “Sebenarnya itu bukan merupakan persoalan bagi kami. Justru karena
kami sedang sibuk, maka jika kesibukan itu ditambah sedikit, tidak akan terasa
bagi kami.”
“Terima kasih,” jawab salah
seorang dari keempat orang berkuda itu, “kami akan melakukan di luar
kademangan, pada jalur-jalur jalan dan di bulak-bulak panjang.”
“Kami mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya. Aku akan melaporkannya kepada Ki Demang, yang tentu akan
sangat berterima kasih pula.”
“Kami menempatkan sepasukan
berkuda di daerah Benda dan sepasukan yang lain di Turi Pitu. Jika keadaan
memaksa, maka kedua pasukan kecil itu dapat kita gerakkan dengan segera.”
“Kenapa tidak di padukuhan
yang mana pun dalam Kademangan Sangkal Putung?”
Salah seorang dari keempat
orang itu menjawab sambil tersenyum, “Silahkan merayakan perkawinan Swandaru
dengan tenang tanpa memikirkan apa pun juga. Tanpa memikirkan keadaam kami dan
keperluan kami.”
Ki Jagabaya pun tersenyum.
Sekali lagi ia berkata, “Terima kasih. Kami menyadari, bahwa sikap prajurit
Pajang di Jati Anom itu akan sangat membantu.”
“Setidak-tidaknya memberikan
ketenangan batin. Seandainya tidak ada lagi yang dapat dilakukan oleh
kelompok-kelompok penjahat yang agaknya telah tidak berdaya sama sekali itu,
namun kecemasan orang-orang Sangkal Putung akan sangat berpengaruh terhadap
suasana lepas senja nanti. Jika mereka mengetahui bahwa prajurit Pajang ada di
sekitar kademangan mereka, maka mereka akan menjadi tenang.”
“Ya. Ya. Kami mengerti. Kami
akan mengumumkan bahwa prajurit Pajang ada di Benda dan Turi Pitu selain mereka
yang meronda di jalan-jalan yang menuju ke Sangkal Putung untuk mengawasi
orang-orang yang lalu-lalang. Karena orang-orang dari sekitar Sangkal Putung
akan berdatangan memenuhi undangan Ki Demang.”
Keempat orang itu pun kemudian
minta diri. Mereka akan kembali ke induk pasukan mereka untuk mengatur
pengawasan di sekitar Sangkal Putung.
Ki Jagabaya pun segera menemui
Ki Demang. Berita tentang kesiagaan prajurit-prajurit Pajang itu pun segera
tersebar. Juga di seluruh Kademangan Sangkal Putung.
“Mereka tentu lebih
mementingkan keselamatan Untara yang akan datang pula daripada keselamatan
Sangkal Putung,” gumam Swandaru setelah ia mendengar laporan Ki Jagabaya.
Sekali lagi Swandaru
mengejutkan beberapa orang tua yang mendengarnya. Meskipun bagi beberapa orang
yang lain hal itu tidak banyak menarik perhatian, seolah-olah begitu saja
diucapkan oleh Swandaru tanpa maksud yang lebih dalam, namun bagi Kiai Gringsing,
Ki Sumangkar, Ki Waskita, bahkan Agung Sedayu mempunyai arti yang mendebarkan.
“Nampaknya kepercayaan
Swandaru kepada Pajang benar-benar sudah larut,” berkata orang-orang tua itu di
dalam hatinya.
Meskipun demikian, namun
mereka sama sekali tidak saling mempersoalkan, seolah-olah mereka pun sama
sekali tidak memper-hatikan kata-kata Swandaru.
Dalam pada itu, Ki Demang yang
mendengar laporan Ki Jagabaya itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Bahkan dengan
serta-merta ia berkata, “Kita tentu sangat berterima kasih, Ki Jagabaya. Untuk
apa pun dan untuk siapa pun Pajang meningkatkan kesiagaannya, bagi kita
akibatnya hampir sama. Kita dapat menjadi lebih tenang, karena di samping para
pengawal kita sendiri, kita dikelilingi oleh prajurit-prajurit Pajang meskipun
jumlahnya tidak terlalu banyak. Apalagi menurut pendengaran kita, sisa-sisa
perampok yang berhasil lolos telah dapat dijaring oleh pasukan Pajang yang
dapat digerakkan dengan cepat.”
“Ya, Ki Demang,” sahut Ki
Jagabaya, “kita akan menyebarkan berita itu seluas-luasnya agar rakyat Sangkal
Putung tidak merasa selalu dibayangi oleh ketakutan justru pada saat mereka
harus bergembira sekarang ini.”
“Baiklah,” jawab Ki Demang,
“sebanyak-banyak orang yang pantas mengetahui kesiagaan prajurit Pajang itu.”
Dengan demikian maka
ketenangan pun mulai menjalar di seluruh kademangan. Orang-orang yang semula
menutup pintu rumahnya, kemudian telah merencanakan untuk melihat keramaian di
pendapa kademangan meskipun padukuhannya terpisah oleh bulak kecil dengan
padukuhan induk. Namun mereka percaya bahwa di bulak-bulak itu akan berkeliaran
para pengawal dan bahkan para prajurit Pajang.
Menjelang sore, pendapa
kademangan sudah dibersihkan. Semua persiapan sudah diatur serapi-rapinya.
Kedua orang pengantin akan mengalami rias serupa saat mereka dipertemukan di
Tanah Perdikan Menoreh.
Padukuhan yang semula sepi
seolah-olah telah menjadi hidup kembali. Lampu-lampu telah disiapkan di
gerbang-gerbang. Jika gelap malam turun, maka lampu minyak itu pun akan segera
dinyalakan.
Namun demikian, dalam
kegembiraan yang mulai hidup lagi di Sangkal Putung, Agung Sedayu merasa
dirinya menjadi semakin kecil, jika ia melihat tikar yang sudah terbentang di
pendapa, maka ia pun mulai membayangkan bahwa perkawinan Swandaru ternyata
mendapat perhatian dari orang-orang terbesar di sekitarnya. Senapati besar di
daerah kekuasaan Pajang di bagian selatan Lereng Merapi akan hadir malam nanti.
Demikian pula penguasa yang akan mewakili Senapati Ing Ngalaga dari Mataram pun
akan datang.
“Ternyata aku adalah orang
yang paling kecil di dalam lingkunganku,” berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya. Jika sekilas dilihatnya tikar yang terbentang di pendapa, maka ia
sudah mulai membayangkan orang-orang yang dihormati akan duduk di sekeliling
Swandaru dan Pandan Wangi yang bersanding.
“Peristiwa ini tentu akan
selalu diingat oleh Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Dan
karena itulah, maka Agung Sedayu selalu dibayangi oleh kecemasan menjelang hari
perkawinannya sendiri, jika saatnya akan tiba.
“Kapan?” tiba-tiba ia bertanya
kepada diri sendiri.
Dalam pada itu, matahari pun
kemudian bagaikan meluncur dengan cepatnya menuruni langit di ujung Barat.
Pendapa Sangkal Putung telah dirias pula dengan segarnya. Warna-warna kuning
seperti yang nampak di Tanah Perdikan Menoreh, telah memenuhi pendapa dan
halaman kademangan.
Orang-orang tua dan mereka
yang diserahi untuk menerima tamu-tamu yang bakal datang pun telah siap di
pintu regol dan di tangga pendapa. Sebentar lagi, para tamu pun tentu akan berdatangan.
Terutama para tamu yang datang dari jauh.
Sementara itu, peristiwa yang
terjadi di Sangkal Putung, ternyata telah didengar pula oleh para pemimpin di
Mataram. Para petugas yang mengamati keadaan ternyata cukup cepat menanggapi
berita yang datang dari daerah di sebelah timur Alas Mentaok, sehingga sebelum
mereka yang akan pergi menghadiri upacara perkawinan Swandaru di Sangkal Putung
berangkat, berita tentang peristiwa di ujung hutan itu telah didengar oleh Ki
Lurah Branjangan.
“Untunglah bahwa sepasang
pengantin itu selamat,” desisnya.
“Tetapi korban telah ada yang
jatuh.”
Ki Lurah memang harus
mempertimbangkan peristiwa yang telah terjadi itu. Karena ia masih belum
mendapat gambaran yang jelas, maka ia pun telah mengirimkan beberapa orang
petugas untuk mendahului perjalanannya. Bahkan, jumlah pengawal yang dibawanya
pun menjadi semakin banyak pula karenanya.
Tetapi yang tidak terduga-duga
telah terjadi. Para petugas yang mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan ke
Sangkal Putung, ternyata telah berpapasan dengan beberapa orang peronda dari
Pajang.
“Kalian mencurigakan sekali,”
berkata salah seorang prajurit Pajang.
“Kami adalah para pengawal
dari Mataram. Kami mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan yang akan pergi ke
Sangkal Putung.”
Pengakuan itu sebenarnya telah
dapat meredakan ketegangan yang timbul. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya.
Beberapa orang prajurit yang di dalam dirinya telah tersimpan benih-benih
ketidak-senangan terhadap orang-orang Mataram yang dianggapnya telah menyaingi
kekuasaan Pajang, setidak-tidaknya di sekitar Alas Mentaok itu, seolah-olah
mendapat kesempatan untuk menumpahkan perasaannya. Itulah sebabnya maka salah
seorang prajurit muda menyahut dengan lantang, “Kami akan menggeledah setiap
orang yang kami curigai. Kami berhak merampas senjata dan apa pun yang kami
pandang perlu.”
Wajah para pengawal dari
Mataram itu menjadi merah. Salah seorang dari mereka menjawab, “Kami adalah
pengawal Senapati Ing Ngalaga.”
Sejenak ketegangan terasa
semakin memuncak. Bahkan seorang prajurit muda yang lain berkata, “Kami adalah
prajurit Pajang. Kami berhak melakukan apa saja yang menurut pertimbangan kami
akan bermanfaat bagi keamanan Pajang dan seluruh daerah kuasanya, termasuk Alas
Mentaok.”
Para pengawal dari Mataram merasakan
sindiran yang tajam itu. Seorang pengawal yang juga masih muda nampaknya sulit
untuk menahan hati. Jawabnya, “Senapati Ing Ngalaga di Mataram telah mendapat
limpahan kekuasaan pula dari Pajang. Kanjeng Kiai Pleret adalah perlambang dari
kekuasaan itu. Karena itu, prajurit-prajurit seperti kalian tidak berwenang
menyentuh kekuasaan Senapati Ing Ngalaga atau yang mendapat limpahan dari
padanya. Dan kami adalah pengawal yang dipercaya. Nilai kami tidak lebih rendah
dari seorang prajurit Pajang dalam kedudukan kami di hadapan Kanjeng Sultan.”
Jawaban itu membuat suasana
menjadi semakin panas. Prajurit-prajurit muda dan para pengawal yang masih muda
pula, rasa-rasanya sulit untuk mengendalikan diri. Namun pemimpin prajurit dari
Pajang itu pun kemudian mencoba untuk meredakan suasana, “Jangan dihiraukan
lagi. Ia berhak datang ke Sangkal Putung, jika Ki Demang memang mengundangnya.”
Prajurit muda yang lain
nampaknya tidak puas dengan keputusan pemimpinnya. Tetapi pemimpin itu berkata
pula, “Kita akan mengikuti mereka sampai ke perbatasan Kademangan Sangkal
Putung. Setelah mereka berada dalam pengawasan para pengawal, kita akan
melepaskannya.”
Para pengawal dari Mataram itu
tetap merasa tersinggung. Tetapi mereka pun menyadari, bahwa pertengkaran yang
terjadi di hadapan Kademangan Sangkal Putung yang sedang bersiap-siap merayakan
perkawinan anak laki-laki Ki Demang itu tentu akan terganggu. Karena itu, maka
orang tertua dari mereka menjawab, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi sudah aku
katakan, bahwa aku mendahului perjalanan Ki Lurah Branjangan yang akan hadir
pula pada perayaan perkawinan anak Ki Demang Sangkal Putung itu.”
“Dan kau akan kembali lagi
mengabarkan kehadiranmu kepada Ki Lurah Branjangan?”
“Tidak. Jika kami tidak
menemui kesulitan apa pun di perjalanan berhubung dengan peristiwa yang telah
terjadi atas iring-iringan pengantin itu, berarti bahwa Ki Lurah Branjangan
dapat berjalan terus.”