Buku 047
“Aku akan menunggu sebentar.
Kalau tidak segera ada pemberitahuan dari induk pasukanmu yang sedang bertempur
itu, aku akan menyusul mereka. Mungkin mereka memerlukan bantuan.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian dipersilahkannya anak muda itu singgah
sebentar di padukuhan itu sambil menunggu berita dari padukuhan induk tentang
pertempuran untuk merebut kembali daerah yang telah dirampas oleh Sidanti.
Tetapi akhirnya anak muda itu
tidak telaten. Setelah ia duduk termenung sejenak, maka ia pun kemudian berdiri
dan mencari pemimpin pengawal yang sedang sibuk dengan para korban.
“Aku akan pergi ke padukuhan
induk,” berkata anak muda itu.
“Baiklah,” pemimpin pengawal
itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Tetapi kehadiran orang yang tidak dikenal
di medan pertempuran mudah menumbuhkan salah sangka.”
“Aku sudah memperhitungkannya
seperti pada saat aku datang kemari.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Apakah kau memerlukan seekor kuda?”
“Ya, aku memerlukannya. Jangan
takut, aku akan mengembalikan kuda itu pada saatnya.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Kalau kau tidak membantu kami, maka
kami tidak akan memberikan kuda itu.”
Anak muda itu tersenyum.
Kemudian diterimanya seekor kuda dari salah seorang pengawal. Sambil meloncat
ke punggung kuda itu ia berkata, “Hati-hatilah. Mungkin masih ada orang-orang
yang berkeliaran di daerah ini.”
“Terima kasih,” jawab pengawal
itu.
Anak muda yang bersenjata
tombak pendek itu pun segera memacu kudanya meninggalkan padukuhan kecil.
Sejenak para pengawal
memandangi debu putih yang terlontar dari kaki-kaki kuda itu, namun kemudian
kuda itu pun seakan-akan hilang ditelan ujung rerumputan dan gerumbul-gerumbul
perdu.
Kehadiran anak muda di atas
punggung kuda itu di daerah peperangan agaknya telah mengejutkan para pengawal
yang sedang menjaga daerah yang baru saja mereka kuasai. Karena itu, beberapa
orang dari mereka segera berloncatan ke tengah jalan dengan senjata-senjata telanjang
di tangan masing-masing.
Salah seorang dari mereka
mengangkat senjatanya sambil berteriak, “Berhenti!”
Anak muda di atas punggung
kuda itu pun menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu berhenti beberapa
langkah dari pengawal yang menghentikannya.
“Siapa kau?” bertanya pemimpin
pengawal itu.
Anak muda itu tersenyum. Ia
tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi katanya kemudian, “Aku akan bertemu
dengan Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya, “Apakah keperluanmu?”
“Aku mempunyai keperluan yang
tidak boleh diketahui oleh orang lain, selain Ki Argapati, gembala tua beserta
kedua anaknya yang bernama Gupita dan Gupala, serta dua orang prajurit yang
telah membantu kalian dalam pertempuran ini, Hanggapati dan Dipasanga.”
Pengawal itu termangu-mangu
sejenak, sementara anak muda itu menilai bekas-bekas pertempuran yang baru saja
berlangsung. Katanya di dalam hati, “Agaknya pasukan Ki Argapati sudah berhasil
memasuki padukuhan induk.”
Anak muda di atas punggung
kuda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali-sekali ia menatap wajah-wajah
para pengawal yang masih termangu-mangu. Sejenak beberapa orang di antara
mereka saling memandang, tetapi wajah-wajah itu masih saja memancarkan
keragu-raguan,
“Mudah-mudahan mereka adalah
para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” desis anak muda itu. “Kalau penilaianku
keliru, dan orang-orang ini adalah anak buah Sidanti, maka aku terpaksa lari
terbirit-birit.”
Baru sejenak kemudian salah
seorang pengawal berkata, “Hanya orang-orang yang sudah kami kenal sajalah yang
boleh memasuki daerah ini.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Ia sama sekali tidak terkejut, dan bahkan sudah diduganya lebih
dahulu. Namun ia harus dapat meyakinkan pengawal-pengawal itu, bahwa ia tidak
bermaksud jahat. Karena itu maka katanya, “Ki Sanak, aku mempunyai keperluan
yang khusus. Karena itu, aku minta ijin untuk menemuinya.”
“Ki Argapati masih dalam
keadaan sakit,” jawab pengawal itu.
“Kalau begitu, aku akan
bertemu dengan ayah Gupita, atau anak itu sendiri.”
“Siapa kau?”
“Bawa aku kepadanya. Aku juga
seorang gembala.”
Tetapi pengawal itu
mengerutkan keningnya “Pakaianmu bukan pakaian seorang gembala.”
Anak muda itu memandangi
pakaiannya sejenak. Pakaian itu sudah lusuh dan kotor. Tetapi memang pakaian itu
bukan pakaian seorang gembala, sehingga anak muda itu justru tersenyum sendiri.
“Tolonglah,” katanya “aku
ingin bertamu dengan salah seorang dari mereka.”
“Kami mencurigai setiap orang
yang tidak kami kenal.”
“Tetapi ada yang sudah
mengenal kami,” sahut anak muda itu. “Bawa kami kepadanya.”
“Serahkan senjatamu.”
“Ah,” desahnya, “jangan
berlebih-lebihan. Aku hanya seorang diri. Meskipun aku bersenjata apa pun,
tetapi aku tidak akan dapat berbuat apa-apa di dalam lingkunganmu yang padat
dengan ujung-ujung tombak dan pedang. Aku hanya sekedar ingin bertemu dengan
salah seorang dari anak-anak muda atau kedua prajurit itu.”
Dan tiba-tiba salah seorang
pengawal bertanya “Apakah kau juga seorang prajurit Pajang?”
Anak muda itu tersenyum,
tetapi ia tidak menyahut.
Para pengawal itu pun kemudan
berunding sejenak. Sekali-sekali ditatapnya wajah anak muda yang jernih itu.
Salah seorang dari mereka berdesis “Wajahnya bersih. Aku tidak mencurigainya.”
“Jangan mudah terkecoh.
Marilah, kita antar saja ia menghadap salah seorang pemimpin kita, atau
anak-anak muda yang mereka sebut namanya itu.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya, sehingga mereka pun bersepakat untuk mengantar anak muda itu,
langsung kepada orang-orang yang dicarinya.
“Baiklah,” berkata salah
seorang pengawal kemudian. “Tetapi kau harus mengikuti ketentuan kami.”
“Apakah ketentuan itu?
Menyerahkan senjataku?”
“Yang pertama, turunlah dari
kudamu. Kemudian berjalan bersama kami.”
Anak muda itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia berdesis, “Maaf. Aku agak tergesa-gesa sehingga aku lupa
turun dari punggung kuda.” Ia berhenti sebentar, lalu, “Apakah kalian tidak
mengenal kuda ini?”
Para pengawal itu terdiam
sejenak. Ketika anak muda itu kemudian meloncat turun, maka mereka pun melihat
kuda itu seutuhnya. Tetapi mereka menggelengkan kepala sambil berguman, “Aku
belum pernah melihatnya.”
“Baklah,” berkata anak muda
itu, “mungkin kalian bukan pasukan berkuda, atau tidak tertarik kepada kuda.”
“Kami memang bukan pasukan
berkuda,” jawab salah seorang pengawal.
Kemudian anak muda itu pun
harus berjalan mengikuti seorang pengawal yang berjalan di depan. Di
belakangnya dua orang pengawal mengikutinya dengan senjata telanjang.
“Mereka cukup berhati-hati,”
berkata anak muda itu di dalam hatinya. “Apalagi di sepanjang jalan, para
pengawal yang sedang berjaga-jaga selalu siap menghadapi kemungkinan.”
Dan anak muda yang menuntun
seekor kuda itu sendiri memang sangat menarik perhatian. Beberapa orang
bertanya-tanya di dalam hati, dan bahkan ada yang saling berbisik di antara
mereka.
Ketika mereka sampai di regol
halaman banjar yang agak luas, maka disuruhnya ia menunggu. Seseorang pergi
mendahului untuk memberitahukan, bahwa seseorang sedang mencari Ki Argapati,
atau salah seorang dan tamu-tamunya yang telah membantu melepaskan padukuhan
induk ini dari tangan Ki Tambak Wedi.
“Siapakah namanya,” bertanya
gembala tua yang menerima pemberitahuan tentang kehadiran anak muda itu.
“Anak itu tidak menyebut
namanya. Tetapi ia membawa sebatang tombak pendek.”
“O, anak itu. Baiklah, bawalah
ia kemari.”
Dengan demikian, maka anak
muda bersenjata tombak pendek itu pun kemudian dibawa oleh para pengawal ke
rumah Kepala Tanah Perdikan yang baru saja direbutnya.
“Aku terlalu lama tersiksa di
gubug itu,” desis anak muda itu ketika ia bertemu dengan gembala tua itu.
“Duduklah,” desis gembala itu
sambil tersenyum.
“Aku sudah menghabiskan
seluruh ketela puhung dan tiga ekor kambingnya.”
“Tiga ekor?” gembala itu
terbelalak.
Anak muda itu mengangguk
sambil tersenyum.
“Dan perut Anakmas tidak
menjadi sakit karenanya?”
Anak muda itu menggelengkan
kepalanya. “Aku pilih yang masih muda-muda.”
Orang tua itu menggelengkan
kepalanya. Sekali-sekali ia mengangguk-angguk, sehingga anak muda itu tersenyum
sambil meraba-raba perutnya.
“Lalu sekarang di manakah sisa
kambing itu?” bertanya gembala itu.
“Aku simpan di dalam kandang.”
“Tanpa rumput?”
“Terpaksa aku menyabit rumput
dahulu sebelum aku datang kemari.”
Gembala itu tersenyum dan
mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih. Jadi Angger mengetahui
bahwa pertahanan Ki Tambak Wedi sudah pecah.”
“Tidak. Aku pagi tadi datang
ke pengungsian.”
“O,” desis gembala itu, “dan
para pengawal memberitahukan kepada Anakmas?”
“Mereka belum tahu, bahwa
pertempuran sudah selesai.”
“Mungkin. Baru saja kami
mengirimkan utusan, seorang penghubung.”
“Tetapi ternyata kalian
lengah,” berkata anak muda itu kemudian.
“Kenapa?”
Dan anak muda itu pun kemudian
menceriterakan apa yang dilihatnya di tempat pengungsian itu.
“O,” gembala itu mengerutkan
keningnya, “memang. Kami telah membuat kesalahan yang besar. Mereka pasti
orang-orang yang lari dari peperangan ini.”
Anak muda itu tidak menjawab.
Hanya kepalanya saja yang terangguk-angguk.
Sejenak kemudian mereka saling
berdiam diri. Diam-diam anak muda itu mencari-cari. Tetapi yang dicarinya tidak
seorang pun yang tampak. Gupita, Gupala, maupun Hanggapati atau Dipasanga.
Sehingga akhirnya ia terpaksa bertanya “Kemanakah anak-anak Kiai itu?”
“O,” gembala itu mengangkat
wajahnya, “mereka sedang bertugas. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga pun sedang
bertugas pula.”
“Maksud Kiai?”
“Tidak ada orang-orang yang
dapat dipercaya untuk mengawasi Sidanti dan Argajaya kecuali keempat orang
itu.”
“Maksud Kiai, Sidanti dan
Argajaya tertangkap hidup?”
Orang tua itu mengangguk.
“Mengherankan,” desis anak
muda itu.
“Kenapa mengherankan?”
“Apakah mereka menyerah?”
“Tidak. Kami harus berjuang
mati-matian untuk menangkap mereka hidup-hidup. Dan kami berhasil setelah
membuat mereka pingsan.”
Anak muda itu
mengangguk-angguk. Kemudian ia bertanya, “Di manakah mereka sekarang disimpan?”
“Di ruang belakang rumah ini.
Sidanti ditunggui oleh Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga bersama beberapa orang
pengawal, sedang Argajaya dijaga oleh Gupita dan Gupala.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian, “Lalu, bagaimana dengan Ki Argapati?”
“Lukanya agak parah. Ia masih
harus banyak beristirahat. Untunglah bahwa ia dapat tidur sekarang, sehingga
penderitaannya agak berkurang.”
“Tetapi bukankah Kiai sudah
mengobatinya?”
“Ya.”
Anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Sebenarnya aku ingin bertemu dengan Ki
Hanggapati dan Dipasanga. Aku sudah terlampau lama pergi. Ayahanda pasti sudah
menunggu.”
“Maksud Angger, Ayahanda
Pemanahan atau Ayahanda Adiwijaya dari Pajang?”
“Ayah Pemanahan. Kami tidak
dapat menunggu lebih lama lagi penyerahan resmi Tanah Mentaok. Aku kira Ayah
sudah mulai membuka hutan itu.”
“Apakah dengan demikian tidak
dicemaskan timbulnya perasoalan antara Pajang dan Ki Gede Pemanahan?”
Anak muda itu mengangkat
pundaknya, dan gembala itu pun meneruskan, “Persoalan dengan Pajang bukan
persoalan anak-anak, Ngger.”
“Ayah sudah memperhitungkan.”
“Jadi, Ki Gede Pemanahan sudah
memperhitungkan segala akibatnya?”
“Jangan meninjau persoalan ini
terlampau jauh, Kiai.”
Orang tua itu
mengangguk-angguk pula. “Tentu sudah sejauh itu, bukan? Sebab, kalau tidak,
kenapa Angger datang ke Menoreh?”
“Penglihatan Kiai memang tajam
sekali,” anak muda itu tersenyum. “Apa boleh buat.”
“Sama sekali bukan
penglihatanku yang tajam. Secara tidak langsung Angger sendiri yang
memberitahukannya kepadaku, sejak kita bertemu di Tanah Perdikan.”
“Mungkin. Dan Ayahanda
Pemanahan tidak akan dapat melangkah surut. Kami tidak mau ketinggalan terlampau
jauh dari Pati.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu, mungkin aku tidak
akan dapat terlalu lama menunggu.”
“Tunggulah sehari dua hari.
Mungkin Angger berkesempatan berbicara dengan Ki Argapati.” Orang tua itu
berhenti sejenak, kemudian, “Apakah Angger akan bertemu dengan Sidanti atau
Argajaya?”
“Tidak. Tidak ada gunanya. Hal
itu akan membangkitkan sakit hati saja pada mereka.”
“Kalau begitu tinggallah di
sini. Aku dapat mengatur penjagaan agar Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga dapat
menemui Angger sekarang.”
“Tidak perlu sekarang. Tetapi
hari ini.”
“Baiklah, Angger tinggal di
sini.”
Orang tua itu pun kemudan
meninggalkan anak muda bertombak pendek itu seorang diri, setelah
diberitahukannya kepada para pengawal di halaman itu, bahwa anak muda itu
adalah tamunya.
Sementara orang tua itu pergi,
Samekta dan Kerti sempat menemui anak muda itu sejenak. Tetapi seperti kepada
para pengawal yang lain, anak muda itu tidak pernah menyebat nama yang
sebenamya. Ia hanya mengatakan, bahwa ia adalah kawan Gupita dan Gupala yang
datang ke atas Tanah Perdikan ini bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga.
Dalam pada itu Sidanti duduk
di dalam ruang yang sempit sambil menghentak-hentakkan kakinya. Berkali-kali ia
berjalan hilir-mudik. Kadang-kadang ia mencoba melihat ke luar dari sela-sela
dinding. Tetapi ia tidak dapat melihat apa pun, selain bintik-bintik cahaya
matahari.
Anak muda itu sadar, bahwa di
luar biliknya, beberapa orang sedang berjaga-jaga.
Namun tiba-tiba langkahnya
terhenti. Dirabanya dinding biliknya, justru di sebelah dalam. Ia kenal benar
ruangan demi ruangan di rumah itu, sehingga ia pun tahu benar, bahwa di sebelah
dinding itu adalah ruang belakang dari rumah yang didiaminya semasa kecil ini.
Kemudian sebuah longkangan kecil. Dan di sebelah longkangan kecil yang dibatasi
oleh gandok-gandok sebelah-menyebelah itu, adalah bilik ayah dan ibunya, bilik
yang paling kanan dari tiga buah bilik yang berjajar. Ia sendiri kadang-kadang
tidur di sentong tengah, tetapi kadang-kadang di amben besar yang terhampar di
ruang tengah rumahnya. Bahkan kadang-kadang bersama pamannya, Argajaya yang
tidak diketahui lagi nasibnya kini.
“Aku tidak akan dapat lari ke
luar, ke halaman belakang,” berkata anak muda itu di dalam hatinya. “Tetapi
bagaimana kalau aku justru memecah dinding ini.”
Sidanti mencoba
menimbang-nimbang. Tetapi karena tidak dilandasi oleh ketenangan pikiran yang
wajar, maka ia pun segera dicengkam oleh nafsunya untuk memberontak terhadap
keadaan. Ia sama sekali sudah tidak memperhitungkan lagi kemungkinan yang
paling jelek yang dapat terjadi atasnya. Mati bukanlah sesuatu yang wajib
dipertimbangkan, karena mati adalah jalan yang lebih baik baginya untuk
mengakhiri persoalannya.
Sidanti menarik nafas
dalam-dalam. Diraba-rabanya dinding itu berulang kali. Dan dicobanya untuk
mendengarkan desis orang-orang yang berada di ruang dalam.
“Penjagaan yang kuat pasti
berada di luar,” desisnya. “Aku tidak mendengar geremang orang di ruang tengah.
Ini suatu kelengahan.”
Sejenak kemudian Sidanti
mencoba mengorek sela-sela anyaman dinding bambu yang kasar berlapis kepang.
Ternyata dugaannya benar. Ia hanya melihat dua orang yang duduk
terkantuk-kantuk sambil memeluk senjatanya.
Tiba-tiba darah Sidanti yang
menggelegak sama sekali tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan hati-hati ia
pergi ke sudut bilik itu. Dengan tangannya yang kuat ia mencoba memutuskan
tali-tali pengikat dinding.
Akhirnya satu demi satu tali
itu terputus. Perlahan-lahan ia berhasil membuka sudut biliknya, justru ke
ruang belakang yang menghadap ke longkangan dalam.
“Mudah-mudahan tidak banyak
orang, selain kedua penjaga itu,” desisnya di dalam hati.
Ketika dinding itu sudah
terbuka agak lebar, ia dapat melihat batas-batas gandok dan dapur. Ternyata
tidak seorang pun berada di longkangan. Dan dapur pun agaknya masih sepi.
Sedang kedua pengawal yang duduk memeluk senjata-senjata mereka itu pun masih
duduk di tempatnya. Oleh kelelahan yang sangat, mereka menjadi lengah. Semalam
suntuk mereka tidak tidur, bahkan telah memeras tenaga, bertempur melawan
orang-orang Ki Tambak Wedi.
Sejenak Sidanti menilai
keadaan. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya berkata, “Aku tidak dapat
menerobos gandok, baik gandok kanan mau pun gandok kiri. Para pengawal yang
sedang beristirahat pasti berada di sana selain berada di banjar.”
Kemudan dilayangkannya
pandangan matanya ke pintu yang justru masuk ke ruang tengah. Perlahan-lahan ia
bergumam, “Aku kira ruangan itu pun kosong. Mudah-mudahan setan tua dengan
kedua anak-anaknya itu tidak berada di dalam.”
Akhirnya Sidanti mengambil
kesimpulan, justru ia akan lari lewat ruang dalam. kemudaan menerobos
pringgitan dan lari melintas pendapa, meloncat dinding justru di depan rumah
ini.
Menurut perhitungan Sidanti,
karena ia ditempatkan di ruang belakang, maka justru bagian belakanglah yang
diperkuat dengan orang-orang yang penting untuk mengawasinya. Adalah sedikit
sekali kemungkinan seorang tawanan justru lari lewat ruang dalam dan pendapa.
“Kalau tidak ada iblis-iblis
pendatang itu, aku pasti dapat keluar dari halaman ini. Aku kira mereka justru
berada di belakang rumah kecuali dukun tua itu. Aku harap ia berada di bilik
Argapati yang terluka bersama Pandan Wangi.”
Setelah perhitungannya
dianggap masak, meskipun dalam kegelisahan dan kekisruhan, Sidanti tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan sekuat-kuat tenaganya dia menyibakkan dinding
bambu biliknya. Kemudian perlahan-lahan ia merangkak ke luar justru masuk ke
ruang belakang.
Ketika kedua penjaga itu
mendengar suara gemerisik, mereka pun berpaling. Tetapi terlambat. Sisi telapak
tangan Sidanti telah menyentuh tengkuk mereka sehingga merekapun terpelanting.
Meskipun demikian, salah seorang dari mereka masih sempat berteriak “Sidanti
………” tetapi suaranya terputus karena kaki Sidanti telah memginjak lehemya.
Di halaman belakang, Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga duduk di atas sehelai tikar, menghadapi mangkuk air
panas, gula kelapa dan beberapa potong pondoh beras. Ternyata mereka mendengar
teriakan penjaga di ruang belakang yang terputus itu. Serentak mereka terloncat
berdiri. Dengan serta-merta mereka mendorong pintu bilik itu. Tetapi mereka
tidak menjumpai seorang pun. Yang mereka temukan adalah dinding yang terbuka di
pojok bilik.
“Sidanti lari,” desis
Hanggapati.
“Justru ia masuk ke ruang
belakang,” sahut Dipasanga.
Sejenak mereka saling
berpandangan. Namun sejenak kemudian mereka menyadari, bahwa Sidanti adalah
anak muda yang berbahaya. Karena itu, maka mereka tidak menunggu lagi. Mereka
tidak sempat berlari lewat pintu dan melingkari rumah belakang itu untuk masuk
ke longkangan. Karena itu, dinding yang memang sudah terbuka itu pun
dihentakkannya dengan kaki sehingga dinding itu berderak dan terbuka semakin
lebar.
Ketika mereka memasuki ruang
belakang, beberapa orang berloncatan pula dari gandok sebelah-menyebelah masuk
ke longkangan. Tetapi mereka tidak menjumpai apa pun lagi. Sidanti telah
meninggalkan longkangan itu justru masuk ke ruang dalam.
Ruang itu memang kosong. Tidak
seorang pun berada di ruang dalam. Sekilas Sidanti melihat pintu bilik kanan
terbuka. Ia yakin bahwa Ki Argapati sudah dibawa masuk ke dalam bilik itu.
Tetapi menurut dugaannya, gembala tua itu berada di sana pula. Karena itu, maka
tidak ada niatnya sama sekali untuk menjenguk bilik itu.
Dengan cepatnya Sidanti
berlari ke pringgitan. Pringgitan yang kotor itu pun masih kosong pula. Bahkan
di sana-sini masih berhamburan sampah yang dilontarkan oleh orang-orangnya
semalam. Agaknya para pengawal masih segan untuk berada di dalam ruangan yang
kotor. Agaknya masih belum semua ruangan sempat dibersihkan, sebersih bilik Ki
Argapati.
Sidanti menahan dirinya
sejenak. Sekilas ia memperhitungkan keadaan. Kalau ia melangkahi pintu
pringgitan, ia akan sampai ke pendapa. Jika di pendapa itu ada beberapa orang
pengawal itu tidak akan banyak berarti. Tetapi kalau di pendapa ada anak-anak
muda yang bersenjata cambuk, maka ia harus bertempur.
“Lebih baik mati daripada
menjadi pangewan-ewan,” katanya di dalam hati.
Karena itu, maka ia pun sudah
berketetapan untuk berlari ke luar. Dengan tergesa-gesa tangannya mendorong
pintu pringgitan, sehingga sekaligus pintu itu terbuka lebar.
Dalam sekilas pula, ia tidak
melihat seorang pengawal pun yang berada di pendapa. Beberapa orang pengawal
berkeliaran di halaman dan di regol.
“Tetapi aku tidak akan lewat
regol itu,” geramnya, “aku akan meloncati dinding dan lari kemana pun sebelum
aku sempat kembali untuk melepaskan dendam di hati ini.”
Ketika Sidanti mendengar
keributan di ruang dalam, maka ia menyadari bahwa para pengawal mulai
mengejarnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke luar pintu.
Namun langkahnya tiba-tiba
tertegun, ketika seseorang yang duduk seorang diri di pojok pendapa menghadapi
hidangan yang masih hangat, memanggilnya, “Sidanti?”
Hanya sekejap Sidanti
kehilangan waktu pada saat ia berpaling dan tertegun. Namun anak muda yang
memanggilnya itu ternyata cekatan sekali. Dalam sekejap itu ia telah berhasil
melompat dan berdiri di hadapannya dengan tombak pendeknya.
“Apakah kau akan melarikan
diri, Sidanti?” anak muda itu bertanya.
Sebuah getaran yang dahsyat
mengetuk dada Sidanti. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa anak muda itu ada
di rumah itu pula. Bahkan ia tidak menyangka, bahwa anak muda itu ada di Tanah
Perdikan Menoreh.
Tetapi Sidanti tidak sempat
bertanya. Ia sadar, bahwa sebentar lagi para pengawal akan segera mengepungnya
kalau ia masih berada di halaman itu. Kalau kemudian datang para pemimpinnya
pula, maka ia akan kehilangan setiap kesempatan. Karena itu, maka sebelum ia
menjawab, tangannya telah lebih dahulu mengayunkan setjata yang dirampasnya
dari penjaga di ruang belakang.
Serangan Sidanti benar-benar
tidak diduga. Cepat, dan langsung mengarah ke tempat yang berbahaya.
Terapi lawannya ternyata
seorang yang lincah pula. Secepat ayunan senjatanya, anak muda itu berhasil
menghindar. Bahkan kemudian tombak pendeknya segera mematuk membalas serangan
Sidanti yang sudah kehilangan akal.
Perkelahian pun segera terjadi
di atas pendapa. Keduanya adalah anak-anak muda yang tangkas dan cekatan.
Keduanya mempunyai beberapa kelebihan. Namun Sidanti kali ini hampir tidak
dapat mempergunakan otaknya sama sekali, sedang lawannya adalah seorang anak
muda yang mempunyai kecerdasan berpikir yang luar biasa, selain tempaan
jasmaniah yang matang.
Dalam kegelapan hati, Sidanti
menyerang sejadi-jadinya. Namun dengan demikian, lawannya yang mempunyai
perhitungan yang tajam itu segera mengetahui kelemahannya. Apalagi ketika
beberapa orang pengawal mulai berdatangan mengelilingi keributan itu.
Ternyata perkelahian itu tidak
terjadi terlampau lama. Dengan perhitungan yang masak, anak muda itu berhasil
mengungkit senjata Sidanti, sehingga terlepas dari tangannya. Kemudian sebuah
ayunan tangkai tombak pendeknya berhasil mengenai kaki Sidanti, sehingga
Sidanti terdorong beberapa langkah kemudian jatuh berguling di lantai.
Ketika Sidanti siap untuk
meloncat, ternyata ujung tombak pendek lawannya telah melekat di dadanya.
Dengan gerak naluriah Sidanti menahan drinya dan membeku untuk sesaat.
Semua mata kemudian berpaling
ketika mereka mendengar seseorang berteriak, “Jangan! Jangan kau bunuh.”
Anak muda yang bersenjata
tombak itu pun berpaling. Matanya meredup ketika ia melihat seorang gadis
berdiri termangu-mangu dengan sepasang pedang di lambungnya.
Sesaat mereka saling berdiam
diri. Namun sesaat kemudian gadis itu melangkah maju sambil berkata kepada
Sidanti, “Kenapa kau berada di sini, Kakang?”
Sidanti tidak menjawab.
“Jangan berusaha untuk
melakukan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atasmu. Aku menjadi jaminan.”
Sidanti yang masih terbaring
itu memandangi adiknya yang melangkah semakin mendekat. Ia melihat kepahitan
yang membayang di wajah gadis itu.
Pandan Wangi pun kemudian
berhenti beberapa langkah dari kakaknya. Ditatapnya wajah anak muda yang
memegang tombak pendek itu berganti-ganti dengan wajah Sidanti yang tegang.
“Apakah kau melukainya?”
bertanya Pandan Wangi.
“Ia berusaha untuk melarikan
diri,” jawab anak muda itu.
“Siapakah kau?” bertanya
Pandan Wangi pula. “Apakah kau berhak untuk ikut campur dalam persoalan kami?”
Anak muda itu menjadi heran.
Dan tiba-tiba saja ia bertanya kepada gadis itu, “Siapa kau?”
“Aku adalah putri dari Kepala
Tanah Perdikan Menoreh. Kakang Sidanti adalah kakakku.”
Anak muda itu menjadi bingung
sejenak. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Ia merasa bahwa ia mencoba
untuk membantu mencegah larinya Sidanti. Tetapi tiba-tiba, gadis putri kepala
Tanah Perdikan ini marah-marah kepadanya.
“Gadis ini adik Sidanti,”
katanya di dalam hati. “Keduanya adalah putra dan putri Ki Argapati.”
“Serahkan persoalan Kakang
Silanti kepada kami,” berkata Pandan Wangi selanjutnya.
Awak muda yang masih
mengacungkan senjatanya itu mundur setapak. Kemudian katanya, “Baik. Aku tidak
akan mencampuri persoalan kalian. Aku minta maaf.”
Jawaban itu pun tidak diduga-duga
sama sekali oleh Pandan Wangi. Dengan serta-merta anak muda itu telah minta
maaf kepadanya. Karena itu, Pandan Wangi justru termenung sejenak.
Dengan demikian maka ruangan
itu seolah-olah jadi membeku. Setiap orang berdiri tegak seperti tiang-tiang di
pendapa. Hanya nafas mereka sajalah yang terdengar bersahut-sahutan
Kebekuan itu ternyata telah
merangsang hati Sidanti. Ketika ia melihat ujung tambak anak muda itu berkisar
dari dadanya, maka tiba-tiba saja ia meloncat berdiri. Dengan satu hentakkan
sekuat-kuat tenaganya, ia berhasil merebut tombak pendek itu dari tangan
pemiliknya.
Perbuatan Sidanti itu
benar-benar telah mengguncang setiap jantung. Dengan demikian maka sejenak
setiap orang justru membeku di tempatnya, oleh pesona yang tidak disangka-sangka.
Dengan tangkasnya Sidanti
meloncat surut, kemudian mengangkat ujung tombak itu setinggi dada, siap
mematuk anak muda yang memilikinya.
Tetapi adalah di luar dugaan
pula, bahwa anak muda itu memang tangkas dan berhati dingin. Ia tidak menjadi
gugup dan kehilangan akal. Secepat kilat ia meloncat merebut sebilah pedang
seorang pengawal yang berdiri beberapa langkah dari padanya.
Ternyata anak muda itu tidak
terlambat. Sekejap kemudian Sidanti telah meloncat sambil menjulurkan tombak
pendek itu langsung ke arah jantung. Namun anak muda itu sudah menggenggam
pedang di tangannya, sehingga dengan tangkasnya ia berhasil memukul ujung
tombak itu ke samping, sehingga sama sekali tidak menyentuhnya.
Tetapi anak muda itu tidak
sempat membalas serangan Sidanti. Ketika ia sudah siap untuk mengayunkan
pedangnya, maka sepasang tangan telah merenggut Sidanti. Suatu hentakkan kecil
telah membuat tangan Sidanti tidak berhasil mempertahankan tombak pendek itu.
Kemudian disusul oleh sentuhan jari-jari di tengkuknya.
Sidanti merasa bahwa seluruh
tulang-tulangnya terlepas dari tubuhnya, seperti pada saat ia berada di
peperangan. Pandangannya menjadi kabur. Dan sejenak kemudian Sidanti telah
terbaring diam di tengah-tengah pendapa dikelilingi oleh para pengawal.
“Kiai, kau telah membunuhnya?”
Pandan Wangi hampir berteriak.
“Tidak, Ngger,” jawab gembala
tua yang kini berjongkok di sisi tubuh Sidanti. “Aku membuatnya sekedar
beristirahat, agar perasaannya tidak selalu dikejar-kejar oleh nafsu yang tidak
juga dapat mengendap.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Perlahan-lahan ia maju mendekati kakaknya dan berjongkok pula di sisinya.
“Tidak seorang pun boleh
menyakitinya, meskipun ia seorang tawanan,” berkata Pandan Wangi dengan
lantang.
Gembala tua itu menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Tidak seorang pun yang berhak berbuat sesuatu atasnya.”
“Tetapi anak muda itu telah
melakukannya. Kalau aku tidak mencegahnya, ia telah membunuh Kakang Sidanti.”
“Aku sama sekali tidak
berhasrat untuk membunuhnya,” sahut anak muda tang kini telah memungut
tombaknya kembali.
“Kalau begitu kau hanya
sekedar menunjukkan kemampuanmu yang melebihi Kakang Sidanti?”
“Aku tidak ingin berbuat apa
pun. Seperti yang aku katakan, aku hanya sekedar ingin mencegah Sidanti
melarikan diri.”
“Kau tidak berhak,” Pandan
Wangi menyahut. Kemudian, “Kenapa kau berada di sini?”
“Anak muda itu tamuku, Ngger,”
sahut gembala tua itu. “Ia mencari aku, anak-anakku, Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sedang anak muda itu pun terdiam sejenak. Dibiarkannya orang tua itu
memberikan penjelasan. Betapapun hatinya bergejolak, tetapi ia tidak ingin
membuat persoalan dengan orang-orang Menoreh, apalagi orang-orang penting
seperti Pandan Wangi, karena perhitungan kemungkinan di masa mendatang bagi
Alas Mentaok.
“Tetapi ia sudah langsung
mencampuri persoalan yang berkembang di atas Tanah Perdikan ini.”
“Tentu bukan maksudnya. Ia
sebenanya ingin menjemput kami apabila kami memang sudah tidak diperlukan
lagi.”
Terasa sesuatu berdesir di dada
Pandan Wangi. Dpandanginya orang tua itu sejenak. Namun kepalanya pun kemudian
tertunduk dalam-dalam.
“Ia memerlukan kami, Ngger,
karena anak muda ini pun sedang mencoba memperjuangkan haknya atas Alas
Mentaok.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia mengerutkan wajahnya, namun wajah itu pun segera
tertunduk kembali.
Sejenak pendapa itu dicengkam
oleh kediaman yang tegang. Masing-masing berdiri kaku di tempatnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi berdiri dan melangkah menjauh. Ketika ia melihat
Samekta berdiri membeku di tempatnya, dadanya berdesir. Apalagi ketika tatapan
matanya menyentuh wajah Kerti yang tegang.
Tiba-tiba Pandan Wangi berlari
kepada orang tua itu. Seperti anak-anak, ia menyembunyikan wajahnya di dada
pemomongnya. Betapa pun ia bertahan, tetapi ia tidak dapat membendung air
matanya yang meleleh ke pipinya.
Di antara isaknya yang
tersendat-sendat terdengar suaranya, “Paman, apakah yang sebaiknya aku
lakukan?”
Kerti menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengenal gadis itu sejak bertahun-tahun yang lalu. Sejak gadis
itu masih kanak-kanak. Karena itu, Pandan Wangi sudah tidak ubahnya seperti
anaknya sendiri. Apalagi tugasnya kemudian adalah menjadi pemomongnya. Setiap
gadis itu pergi berburu, pergi melihat-lihat bukit-bukit padas dan goa-goa di
lereng-lereng Bukit Menoreh, dan hampir kemana pun perginya, ia selalu
menyertainya.
Gembala tua yang masih
berjongkok di samping tubuh Sidanti yang terbaring diam itu pun kemudian
berdiri. Perlahan-lahan ia berkata, “Maafkan aku, Ngger. Bukan maksudku
menyinggung perasaan Angger.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Sedang dada gembala tua itu diamuk oleh penyesalan atas keterlanjurannya. Ia
sadar, bahwa kata-katanya memang terlampau tajam bagi seorang gadis.
“Maksudku,” ia mencoba unuk
menenteramkan hati gadis itu, “maksudku, tamuku ini akan segera menemui Ki
Argapati apabila keadaan memungkinkan. Artinya, apabila kesehatannya sudah
menjadi baik. Dan anak muda ini memang akan berbicara tentang Alas Mentaok.
Hanya itu.”
Pandan Wangi mengangkat wajahnya
perlahan-lahan. Tetapi ia masih menahan isaknya yang menyesak dada.
Persoalan yang kini membelit
di hatinya bukan sekedar persoalan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi yang sekarang
menjadi tawanan ayahnya itu adalah kakaknya sendiri. Kakaknya yang baik sekali
kepadanya sejak kanak-kanak, dan bahkan setelah Sidanti menyatakan drinya
berdiri berseberangan dengan ayahnya, Sidanti telah membebaskannya dari bencana
yang paling dahsyat dalam hidupnya sebagai seorang gadis.
Kini semua orang merusuhinya.
Semua orang memandang Sidanti yang baik baginya itu sebagai seorang
pengkhianat. Bahkan orang asing yang tidak dikenal pun telah ikut campur pula.
Dalam kerisauan itu, tiba-tiba
ia berpaling. Sambil menunjuk kepada anak muda yang bersenjata tombak pendek
itu ia bertanya kepada gembala tua, “Siapakah tamumu ini, Kiai?”
Gembala tua itu menjadi
ragu-ragu sejenak. Tetapi sebaiknya ia memang berterus terang supaya
persoalannya tidak semakin berlarut-larut. Kalau orang-orang Menoreh tidak
mengenal anak muda itu, maka salah paham akan mungkin menjadi semakin meluas.
Karena itu, maka tanpa minta
pertimbangan yang berkepentingan, orang tua itu menjawab, “Memang sebaiknya
Angger Pandan Wangi mengetahui, sapakah anak muda itu. Ia adalah, kawan Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga. Kalau Angger ingin lebih mengenalnya lagi, anak
muda itu adalah putra Ki Gede Pemanahan yang bernama Raden Sutawijaya bergelar
Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Kiai,” anak muda bertombak
pendek itu memotong. Tetapi namanya sudah terucapkan, dan bahkan orang tua itu
berkata seterusnya, “Ia adalah Putra angkat dari Adipati di Pajang, yang kini
bergelar Sultan setelah Demak tidak mungkin bangkit lagi, dan adipati-adipati
putra dan menantu yang lain tidak ada yang dapat mewarisi takhta.”
Jawaban itu benar-benar
mengejutkan, seperti meledaknya guruh di atas pendapa itu. Sejenak para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh seakan-akan membeku di tempatnya. Dan bahkan
Pandan Wangi merasa seakan-akan darahnya berhenti mengalir.
Namun orang tua itu berkata
selanjutnya, “Tetapi jangan hiraukan itu. Meskipun ia adalah Raden Sutawijaya
yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, tetapi ia tidak akan berbuat apa-apa.
Ia adalah seorang anak muda yang baik. Ia dapat mengerti apa yang telah dan
baru saja terjadi.” Orang tua itu berhenti sejenak, kemudian kepada Pandan
Wangi ia berkata, “Angger Pandan Wangi. Hal ini jangan menambah kerisauan
hatimu. Kami semua tahu, apa yang telah mengguncangkan perasaanmu. Mungkin
sepatah dua patah kataku memang terdorong agak jauh. Tetapi pada dasarnya, kami
mengetahui, bahwa kau tidak sekedar menghadapi lawan seperti orang-orang lain.
Kau mempunyai persoalan pribadi yang rumit, seperti juga Ki Argapati. Ia
menghadapi lawan yang sekaligus anak dan adiknya, seperti kau menghadapi kakak
dan pamanmu. Tetapi kami sudah bertekad untuk menyerahkan persoalan ini kepada
kalian. Kepada yang berhak di atas Tanah Perdikan ini. Ki Argapati. Karena
itulah maka kami berusaha untuk menangkap Angger Sidanti dan Argajaya
hidup-hidup.”
Ketika orang tua itu terdiam,
maka suasana menjadi hening. Namun di sana-sini masih juga terdengar gemerisik
para pengawal saling berbisik. Mereka menatap wajah anak muda yang bersenjata
tombak pendek itu dengan tajamnya, seolah-olah ingin mengenal setiap lekuk dan
garis-garis.
Pandan Wangi sendiri masih
juga berdiri di tempatnya. Kejutan perasaannya serasa masih belum mengendap. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah putra
Panglima Wira Tamtama di Pajang yang pernah didengar namanya.
Tetapi sejenak kemudian justru
Pandan Wangi berhasil menguasai dirinya. Ia berbasil mengatur perasaannya,
tidak saja sebagai seorang gadis, tetapi juga sebagai seorang putri Kepala
Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, dengan nada yang berbeda ia
kemudian berkata setelah air matanya kering, “Aku minta maaf, Tuan, karena
sambutanku yang mungkin tidak menyenangkan. Tetapi hal itu terjadi karena aku
belum mengenal Tuan sama sekali.”
Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar itu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya wajah
gembala tua yang masih termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Tidak ada
yang bersalah apa pun kali ini. Karena itu jangan minta maaf. Karena hal ini
memang sudah aku sengaja. Sebenarnya aku lebih senang tidak disebut namaku.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab,
maka terdengar suara Samekta dalam, “Jika demikian, sebaiknya kami persilahkan
Anakmas masuk ke ruang dalam. Meskipun ruangan itu masih terlalu kotor, namun
akan lebih baik daripada Anakmas berada di pendapa.”
“Terima kasih. Aku akan tetap
di sini.”
“Anakmas, kami mengharap,
bahwa Anakmas tidak menolak.”
Sutawijaya tidak dapat berbuat
lain daripada menerimanya. Karena itu, maka ia pun kemudian dibawa oleh Kerti
dan Pandan Wangi masuk melewati pringgitan langsung ke ruang dalam.
“Marilah, Kiai,” Samekta
merapersilahkan gembala tua itu pula.
“Silahkan lebih dahulu. Aku
akan menempatkan Angger Sidanti.”
Samekta mengerutkan
keninginya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah.
Marilah, kita usahakan tempat yang sebaik-baiknya.”
“Apakah tidak sebaiknya justru
kita tempatkan di salah satu dari ketiga bilik di dalam?” berkata gembala tua
itu. “Dengan demikian maka kita telah menempatkannya di tempat yang baik,
sesuai dengan keinginan Angger Pandan Wangi, namun kita maih memerlukan
persetujuannya.”
Samekta berpikir sejenak.
Kemudian, kepalanya pun terangguk-angguk. Perlahan-lahan ia bergumam seperti
kepada diri sendiri, “Agaknya pengawasannya pun menjadi lebih baik.”
“Jadi, apakah hal ini dapat
disetujui?”
“Aku setuju, tetapi baiklah
hal ini aku beritahukan Angger Pandan Wangi lebih dahuilu.”
Samekia pun kemudian masuk
sejenak ke ruang tengah, untuk menemui Pandan Wangi yang sedang mempersilahkan
Sutawijaya duduk.
“Terserahlah kepada Paman,”
jawab Pandan Wangi.
“Tetapi bagaimana pendapat
Angger.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku sependapat.”
“Gembala tua itu dapat
langsung mengawasinya sambil duduk di ruang ini.”
Sekali lagi Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak kemudian maka Sidanti
yang masih belum sadar sepenuhnya itu langsung dibawa masuk ke ruang dalam.
Setelah dibersihkan, maka ia pun ditempatkan di bilik sebelah kiri. Bilik yang
tidak begitu luas, tetapi agak lebih baik dari bilik yang telah ditinggalkannya
di bagian belakang rumah itu. Namun dengan demikian kesempatan untuk lolos pun
menjadi semakin sempit pula.
Dengan tertib Samekta mengatur
pengawasan longkangan belakang. Pengalaman yang baru saja terjadi merupakan
pelajaran yang sangat berharga bagi para pengawal, sehingga meteka pasti tidak
akan lengah lagi. Betapa pun lelah mencengkam tubuh masing-masing, tetapi
mereka tidak mau bernasib seperti kedua kawannya yang sama sekali tidak sempat
melawan ketika Sidanti tiba-tiba saja telah menyerang mereka.
Ketika semuamya sudah dianggap
cukup, barulah Samekta dan gembala tua itu turut duduk pula di ruang tengah
bersama Sutawijaya.
Namun selama ini agaknya
Sutawijaya sama sekali tidak membicarakan apa pun tentang Alas Mentaok dengan
segala kemungkinannya. Agaknya ia hanya sekedar bercerita, kenapa ia berada di
Tanah Perdikan ini. Dan ceritanya itu pun sama sekali tidak lengkap seperti apa
yang sebenarnya terjadi.
“Aku hanya sekedar ingin
melihat Tanah ini,” katanya, “dan lebih-lebih lagi, aku ingin mencari kawan-kawanku
yang menurut pendengaranku sudah lebih dahulu berada di sini.”
Tidak seorang pun yang tidak
mempercayainya. Pandan Wangi, Kerti, dan kemudian juga Samekta hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Tetapi bagaimana, dengan
Mentaok seperti yang dikatakan oleh gembala tua ini?” bertanya Samekta
kemudian.
“Ah, itu bukan persoalan
lagi.” Sutawijaya berhenti sejenak. “Aku hanya ingin berbicara sedikit dengan
Ki Argapati sendiri apabila kesehatannya sudah memungkinkan.”
Semuanya mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Hal itu adalah wajar sekali, karena Kepala Tanah Perdikan ini
adalah Ki Argapati.
“Tetapi bagaimana kalau
pembicaraan itu tidak memungkinkan karena Ki Argapati tidak segera dapat
melayani Anakmas,” bertanya Samekta.
“Aku tidak tergesa-gesa dan
pembicaraan itu pun tidak begitu penting.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya pula.
Ternyata pembicaraan mengenai
Ki Argapati itu, telah memperingatkan Pandan Wangi kepada ayahnya yang sedang
sakit. Karena itu maka katanya kemudian, “Tuan kami persilahkan duduk bersama
Paman Samekta dan Paman Kerti. Aku akan menunggui Ayah yang masih terbaring di
biliknya.”
“O, silahkan,” jawab
Sutawijaya.
Dan sejenak kemudian Pandan
Wangi pun telah memasuki bilik di ujung kanan yang dipergunakan oleh Ki Argapati.
Sepeninggal Pandan Wangi, maka
Sutawijaya pun memanggil Hanggapati dan Dipasanga mendekat. Perlahan-lahan ia
bertanya,
“Bagaimana dengan kalian?”
“Baik, Kami tidak mengalami
kesulitan apa pun.”
Sutawijaya menganggukkan
kepalanya, kemudian katanya kepada Samekta dan Kerti, “Kedua prajurit ini
adalah orang-orang yang menjadi kepercayaanku.”
Kedua orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. “Kami sudah menduga bahwa keduanya adalah
prajurit-prajurit dari Pajang.”
“Bukan dari Pajang,” Sutawijaya
memotong.
Samekta dan Kerti mengerutkan
kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan, dan sejenak kemudian mereka
memandang wajah Sutawijaya dengan sorot mata yang bertanya-tanya, meskipun
tidak terucapkan.
“Memang, mereka bukan
prajurit-prajurit Pajang,” Sutawijaya menegaskan, seakan-akan ia dapat membaca
isi hati kedua orang-orang tua itu.
“Jadi, prajurit manakah
keduanya?”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia tersenyum. “Baiklah, sebut saja ia memang bekas
prajurit Pajang.”
“Dan sekarang tidak lagi?”
Sutawijaya menggeleng.
“Keduanya sedang melakukan tugas yang tidak kalah pentingnya dengan tugas
keprajuritan Pajang.”
Kedua orang-orang tua itu
menjadi semakin bingung. Namun mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka tanpa
mengerti maksud pembicaraan Sutawijaya.
“Mungkin banyak hal-hal yang
tidak jelas bagi kalian,” Sutawijaya itu berkata. “Memang mungkin harus demikan
untuk saat ini.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Begitulah.”
Samekta masih
mengangguk-angguk dan Kerti menggaruk-garuk keningnya.
“Tetapi kenapa kita berbicara
tentang hal-hal yang sulit,” potong gembala tua itu, “kenapa kita tidak
berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan. Katakanlah, bahwa kita telah
menyelesaikan sebagian besar dari tugas kita. Bukankah begitu?”
Samekta dan Kerti
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, seharusnya kita mulai
membicarakan, kapan kita merayakan kemenangan ini.”
“Ah,” jawab Kerti “kita masih
belum tahu, kapan Ki Argapati sembuh.”
“O, ya,” gembala itu
mengangguk-angguk. “Nah, kalau begitu, kita berbicara tentang Tanah ini. Apakah
kekalahan pasukan Sidanti di padukuhan induk ini sudah berarti kekuatan mereka
patah sama sekali?”
“Tidak, Kiai,” Samekta
menggeleng, “mungkin masih ada sisa-sisa pengikutnya yang membuat kubu-kubu
kecil untuk mempertahankan diri karena mereka masih mempunyai pengharapan atas
mimpi mereka yang dibiuskan oleh Sdanti dan Ki Tambak Wedi, atau justru karena
putus asa.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia pun banyak bertanya tentang
padukuhan-padukuhan kecil yang mungkin dipergunakan oleh sisa-sisa pasukan
Sidanti.
Sementara itu, Guipita dan
Gupala duduk termenung di ruang ujung belakang gandok kanan. Di dalam ruangan
itu tersimpan Ki Argajaya yang duduk merenungi nasibnya.
Sekali-sekali Gupala berdiri
dan berjalan mondar-mandir dengan gelisahnya.
Katanya kemudian, “Pekerjaan
ini adalah pekerjaan yang paling menjemukan. Aku kira lebih baik tinggal di
dalam ruangan itu daripada berjaga-jaga di sini.”
“Hus,” desis Gupita, “apakah
kau lebih baik ditahan daripada menjaga tahanan ini.”
“Tentu,” jawab Gupala, “kalau
aku yang ditahan, maka apa pun dapat aku lakukan di dalam ruangan itu. Tetapi
kita tidak. Kita tidak dapat tidur betapa kantuknya. Sedang Argajaya dapat saja
tidur kapan saja ia kehendaki tanpa menghiraukan kita? Tetapi kita tidak dapat.
Kita harus menjaga jangan sampai ia lari. Namun Ki Argajaya tidak peduli apakah
kita akan melarikan diri ke mana pun.”
“Tetapi dari segi lain.”
“Apa misalnya.”
“Kita dapat melihat udara di
luar bilik itu.”
“Hanya sekedar melihat. Tetapi
kita terikat juga pada bilik itu.”
“Ah, jangan mengigau. Apa pun
yang kau katakan, tetapi kau tidak akan mau bertukar keadaan dengan Ki Argajaya
sekarang.”
Kemudian mereka terdiam untuk
sejenak. Mereka juga mendengarkan hiruk-pikuk yang terjadi di pendapa rumah
itu. Tetapi mereka tidak berani meninggalkan tugas mereka.
Mereka mengetahui apa yang
terjadi dari beberapa orang pengawal yang membantu mereka menjaga Ki Argajaya
di luar sudut-sudut bilik itu. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat berbuat
apa-apa. Mereka berdua tidak dapat meninggalkan tanggung jawab mereka. Meskipun
ada beberapa orang prajurit yang ikut dalam penjagaan itu, tetapi keduanya
tidak dapat mempercayakan penjagaan atas Argajaya itu kepada pengawal yang
kemampuannya jauh ketinggalan dari Ki Argajaya. Apalagi setelah mereka
mendengar, bahwa Sidanti telah berusaha untuk melarikan diri.
“Anak itu memang keras
kepala,” desis Gupita.
“Untunglah bahwa niat itu
urung karena di pendapa ada seorang anak muda yang bersenjata tombak pendek.”
“Ia tidak sabar lagi menunggu
kita.”
Gupala tertawa. Katanya,
“Menunggu adalah pekerjaan yang paling menjemukan.”
Keduanya pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Seperti tugas yang kini sedang mereka
lakukan.. Menunggu. Sampai kapan?
Sementara itu Argajaya sendiri
duduk termenung di dalam bilik yang pengap. Tanpa sesadarnya ia telah melihat
semua peristiwa yang telah terjadi atas dirinya. Berurutan seperti gambar-gambar
yang tersusun rapi. Sejak ia meninggalkan Menoreh menuju ke Padepokan Tambak
Wedi.
Bukan, bukan hanya sejak
keberangkatannya. Tetapi justru jauh sebelum itu. Sejak ia masih kanak-kanak.
Kanak-kanak yang manja, dengan seorang kakaknya yang tekun.
“Kakang Argapati adalah
seorang kakak yang baik,” anggapan itu tumbuh sejak ia menyadari, apa yang
telah dilakukan oleh Arya Teja atasnya.
Terbayang kemudian saat-saat
terakhir ia berada di atas Tanah ini sebelum ia pergi menengok Sidanti.
Kakaknya masih tetap bersikap baik kepadanya.
Argajaya menarik nafas dalam.
Perlahan-lahan ia dapat melihat apa yang terjadi itu dengan hati yang tenang.
Memang kadang-kadang harga dirinya masih melonjak mengatasi kesadarannya yang
mulai timbul. Tetapi karena suasana ruangan yang sepi, kesendirian yang
mencengkam, maka perasaan segera dapat diendapkannya kembali.
Sekali-sekali Argajaya itu
berdesah. Bahkan kemudian ia dapat menemukan bintik-bintik terang di dalam
hatinya.
Seperti seseorang yang
terbangun dari tidurnya dengan sebuah mimpi yang dahsyat, Argajaya mengusap
dadanya. Apa yang telah terjadi atas dirinya ternyata adalah noda-noda yang
paling hitam bagi Tanah Perdikan Menoreh.
Baru sekarang ia bertanya,
“Kenapa selama ini aku berada di pihak Sidanti?”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak dapat ingkar kepada dirinya sendiri. Ia tidak dapat
menyembunyikan diri dari pengakuan, bahwa ternyata ia telah didorong
pamrih-pamrih pribadi yang tidak terkendali.
Argajaya yang tunduk itu
menjadi semakin tunduk. Meskipun di dalam ruangan itu tidak ada seorang pun
selain dirinya sendiri, namun justru penglihatan dari dalam dirinya itu telah
membuatnya menyesal sampai ke dasar hatinya.
Penyesalan itulah yang
kemudian telah membuat dirinya pasrah. Ia sama sekali sudah tidak mempunyai
niat apa pun lagi. Ia akan menerima nasib apa pun yang akan ditentukan oleh
kakaknya atas dirinya.
Perlahan-lahan Argajaya
menengadahkan wajahnya. Kini seleret kecerahan membayang di matanya. Ia telah
berhasil menyingkirkan kegelisahannya menghadapi masa-masa mendatang. Sehingga
dengan demikian, Argajaya yang tidak mengenal menyerah itu kini sama sekali
tidak berusaha untuk berbuat apa pun. Kali ini ia telah pasrah. Betapapun keras
hatinya, namun penglihatannya yang bening atas semua peristiwa yang dialaminya,
telah membuatnya luluh.
Berbeda sekali dengan Sidanti.
Ia sama sekali tidak melihat kesalahan yang melekat pada dirinya. Kesadarannya
tentang dirinya, bahwa ia bukan anak Argapati, telah membuatnya menjadi tidak
terkekang.
Meskipun ia telah gagal untuk
melarikan dirinya, namun ia sama sekali tidak mau melihat kenyataan itu.
Ketika perlahan-lahan
kekuatannya telah pulih kembali, maka ia pun mulai menilai ruangan yang
melingkunginya. Diraba-rabanya dinding yang membatasi ruangan itu. Dari satu
sudut ke sudut lain. Dicobanya untuk melihat kelemahan-kelemahannya yang
mungkin dapat dipergunakannya untuk melepaskan diri.
“Mati dirampok orang dalam
perlawanan adalah lebih baik daripada digantung dengan tangan terikat,” katanya
di dalam hati. Dengan demikian, maka bagi Sidanti, melarikan diri adalah jalan
yang paling baik untuk mati.
Meskipun demikian, ia masih
mencoba membuat perhitungan. Ia tidak mau mengalami nasib yang lebih jelek
daripada digantung.
Kalau ia melarikan diri dan
jatuh di tangan para prajurit kebanyakan, maka ia memang dapat mengalami nasib
yang jelek. Mungkin ia tidak akan mati terbunuh, tetapi justru menjadi
pengewan-ewan.
Dengan demikian, Sidanti masih
juga mempergunakan sedikit perhitungan dengan pikirannya yang sudah kisruh.
Di ruang dalam, Sutawijaya
kini duduk dikawani oleh gembala tua itu di samping Dipasanga dan Hanggapati.
Samekta dan Kerti telah minta diri untuk melakukan tugas-tugas mereka.
Dengan demikian, maka
pembicaraan Sutawijaya kini telah berkisar pada kepentingannya sendiri.
“Kita sudah terlalu lama
meninggalkan Ayah Ki Gede Pemanahan di Hutan Mentaok,” berkata Sutawijaya.
Hanggapati dan Dipasanga
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Karena itu kita harus segera
kembali.”
“Ya,” jawab Hanggapati. “Mungkin
Ki Gede Pemanahan memang memerlukan Anakmas.”
“Meskipun demikian, mumpung
aku sudah berada di atas Tanah Perdikan ini, aku ingin berbcara dengan Ki
Argapati.” Kemudian kepada gembala tua itu ia bertanya, “Apakah mungkin hari
ini aku berbicara dengan Ki Gede Menoreh?”
“Aku belum yakin,” jawab orang
tua itu, “tetapi baiklah aku akan mengusahakannya.”
“Terima kasih,” berkata
Sutawijaya. “Tetapi sebelum aku mengatakannya kepada Ki Argapati, aku memang
akan menemui Kiai sendiri. Aku kira sudah sampai waktunya aku mengutarakannya
sekarang.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Kini tampaklah kesungguhan membayang di wajahnya.
“Aku memang sudah menduga
Anakmas, bahwa pada suatu ketika aku dan kedua anak-anakku itu pasti akan
terlibat dalam persoalan Anakmas.”
“Apaboleh buat, Kiai. Aku
memerlukannya.”
“Bukankah Angger telah
mempunyai beberapa orang senapati yang mumpuni?”
“Ayah Pemanahan?”
“Ya, dan selain itu Ada angger
sendiri dan Pamanda Mandaraka yang bijaksana itu?”
“Ya, Kiai. Tetapi aku
memerlukan orang yang langsung cakap menangani prajurit di peperangan. Paman
Mandaraka adalah orang yang mempunyai pandangan yang tajam sekali. Tetapi
apabila terjadi sesuatu dengan Pajang, dalam kenyataan tempur, aku kira Paman
Mandaraka tidak akan dapat turun langsung ke medan. Aku juga tidak yakin bahwa
Ayahanda Pemanahan dapat melakukannya sendiri.”
“Dengan demikian akulah yang
harus jadi banten. Aku harus melakukan tugas yang tidak dapat dilakukan oleh Ki
Juru Mertani dan Ki Gede Pemanahan itu. Mereka tidak akan sampai hati melawan
langsung berhadapan di medan perang dengan para senapati Pajang, tetapi aku
harus menyingkirkan perasaan itu?”
Sutawijaya terkejut mendengar
jawaban itu. Ia kemudian merasa bahwa ia telah terdorong kata sehingga agaknya
telah menyinggung perasaan orang tua itu.
Namun anak muda yang cerdas
itu kemudian tersenyum. Katanya, “Maafkan, Kiai. Aku sama sekali tidak
bermaksud demikian. Tetapi aku agaknya telah keliru, sehingga menimbulkan kesan
seakan-akan aku berhasrat menempatkan Kiai pada tempat yang sulit, yang tidak
dapat dilakukan oleh orang lain.” Sutawijaya berhenti sejenak. Kemudikan
dilanjutkannya, “Tetapi baiklah aku tidak mengatakannya dengan
kalimat-kalimatku sendiri supaya aku tidak keliru lagi. Sebenarnya Ayahlah yang
berpesan kepadaku. Kalau aku bertemu dengan seorang tua yang bersenjata cambuk,
serta mempunyai kecakapan dalam hal obat-obatan, maka aku harus mengatakannya,
bahwa Ayah memerlukan.”
“Apakah hanya ada seorang, aku
saja, yang menguasai ilmu obat-obatan.”
“Tidak hanya ilmu obat-obatan
Kiai, tetapi yang mempunyai ciri senjata cambuk.”
“Itu pun tidak hanya seorang.”
“Mungkin kalau aku ketemukan
yang lain, aku pun akan mengatakannya demikian kepadanya. Tetapi seluruh Pajang
pernah aku jelajahi. Yang aku ketemukan adalah Kiai seorang saja.”
Gembala itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Siapakah nama orang itu?
Apakah Ayahanda Ki Gede Pemanahan tidak menyebut namanya?”
“Ya, Ayah memang menyebut
namanya.”
“Nah, apakah nama itu namaku?”
“Siapakah mama Kiai
sebenarnya?”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun kemudian tersenyum. “Hem,” desahnya, “Anakmas memang
seorang yang mapan berbicara.”
Sutawijaya pun tersenyum pula.
Katanya kemudian, “Ayah memang menyebut nama itu. Sorotomo, Danumurti,
Ragapati, dan masih ada dua nama lagi yang aku terlupa.”
Orang tua itu mengangkat
wajahnya. “Nama-nama yang menarik.”
Sutawijaya memperhatikan kesan
yang tersirat di wajah orang tua itu dengan seksama. Namun kemudian ia menarik
nafas dalam-dalam. Orang tua itu benar-benar seorang yang mampu menguasai
perasaannya, sehingga sama sekali tidak ada kesan apa pun yang tersirat di
wajah yang telah berkerut-merut itu.
“Nama-nama yang baik,”
desisnya. “Tetapi Anakmas mengatakan bahwa laki-laki tua yang bersenjata cambuk
itu hanya seorang. Sedang Angger menyebut beberapa nama sekaligus.”
“Itulah yang aneh, Kiai,”
jawab Sutawijaya. “Karena itu, apakah artinya sebuah nama bagi seseorang
seperti laki-laki bersenjata cambuk itu? Ia dapat menyebut dirinya dengan
seribu nama. Sorotomo ataukah Danumurti atau Ragapati atau Kiai Gringsing atau
Ki Tamu Metir atau seorang gembala tidak bernama atau ………….”
“Kenapa Angger sampai ke
nama-nama itu,” potong gembala tua itu.
“Misalnya, Kiai. Hanya sekedar
missal,” sahut anak muda itu. “Aku tidak mengatakan bahwa Sorotomo itu juga
bernama Kiai Gringsing atau Ki Tanu Metir atau yang lain.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam.
Anak muda itu kemudian
melanjutkan “Aku belum selesai, Kiai. Ayah berpesan agar aku menyampaikan pula,
bahwa Ayah minta pertolongan Kiai untuk membantu menegakkan sebuah daerah baru.
Alas Mentaok harus menjadi sebuah negeri.”
“Kenapa aku harus ikut?”
“Menurut Ayah, Mentaok akan
sangat memerlukannya. Eh, maksudku memerlukan Kiai. Apalagi salah seorang
muridnya adalah putra Demang Sangkal Putung.”
Orang tua itu tersenyum,
Jawabnya, “Itulah yang penting. Letak Sangkal Putung sangat menguntungkan bagi
daerah baru itu untuk menghadapi Pajang. Garis yang menjelujur dari Alas
Mentaok, Prambanan, kemudian Sangkal Putung adalah lapis-lapis pertahanan yang
pasti tidak tertembus.”
“Ah,” anak muda itu
mengerutkan keningnya, “adakah seorang gembala di seluruh Pajang yang begitu
cepat menanggapi keadaan medan seperti Kiai.”
“Hem,” gembala itu berdesah.
“Itulah agaknya maka Ayahanda
telah meminta Kiai untuk datang ke Alas Mentaok.”
Gembala itu tidak segera
menjawab.
“Ayah sangat mengharap
kedatangan Kiai. Apakah ternyata kemudian Ayah keliru, atau akulah yang keliru,
terserahlah. Atau barangkali Kiai telah keliru atau lupa menyebut nama
sendiri,” anak muda itu pun tertawa.
“Ah, kau ini, Ngger.”
Dan anak muda itu berkata
seterusnya, “Tetapi Ayah juga berpesan, bahwa apa yang dilakukan Ayah sekarang
ini tidak sekedar terdorong oleh suara yang pernah didengar dari puncak
sebatang pohon kelapa yang hanya berbuah sebutir oleh Ki Ageng Giring. Apakah
Kiai sudah mendengar dongeng itu?”
“Belum, Ngger,” namun orang
tua itu tertawa sehingga Sutawijaya menyahut, “Ah, Kiai mencoba untuk
menyembunyikan diri.”
“Kenapa?” gembala itu
mengerutkan keningnya.
“Kiai pasti sudah mendengarnya
karena Kiai tertawa.” Kemudian dengan bersungguh-sungguh Sutawijaiya bertanya,
“Apakah Kiai percaya bahwa siapa yang minum air kelapa itu dan menghabiskannya
sekaligus akan menurunkan raja?”
“Sebaiknya kita percaya,”
jawab gembala itu sambil tersenyum. “Jika kemudian ternyata demikian, maka
keturunan Ki Pemanahan itu akan menjadi raja.”
“Ah,” Sutawijaya berdesah,
“bukan itu soalnya.”
Tetapi gembala tua itu
tertawa. Katanya, “Angger memang seorang pemikir yang cemerlang. Sebelum Alas
Mentaok itu benar-benar menjadi sebuah negeri, Angger sudah membentengi dengan
ketat. Sangkal Pulung, Jati Anom, dan Menoreh adalah suatu lingkaran yang
rapat. Sudah tentu Angger akan menghubungi Mangir dan sekitarnya.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Tetapi tiba-tiba matanya menjadi redup. Sejenak ditatapnya Hanggapati dan
Dipasanga yang terkantuk-kantuk. Mereka merasa lelah sekali, karena semalaman
mereka tidak beristirahat sama sekali, dan bahkan telah memeras tenaga di dalam
peperangan.
“Kalian lelah sekali,” desis
Sutawijaya.
Keduanya tersenyum. “Ya.
Tetapi biarlah kami duduk di sini.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya kepada gembala tua itu hampir
berbisik, “Tetapi Kiai, jalan ke Selatan itu tidak begitu menggembirakan.
Kepala Tanah Perdikan Mangir agaknya mempunyai sikap sendiri.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. “Apa katanya?”
“Mereka merasa, bahwa mereka
lebih tua dari Tanah Mentaok yang sedang dibuka itu. Bagi mereka, Mentaok dapat
menjadi perintang atas perkembangan Tanah Perdikan itu.”
“Kalau begitu, mereka akan
berusaha merintangi perkembangan Alas Mentaok. Bahkan mungkin bekerja bersama
dengan Pajang.”
“Dengan Pajang tentu tidak.
Tetapi hasrat untuk besar dan berdiri sendiri itulah yang akan dapat menjadi
perintang.”
“Apakah hal itu merupakan
persoalan yang dapat dianggap bersungguh-sungguh bagi Mentaok?”
“Tetapi sampai saat ini kami
masih berusaha untuk membatasi persoalannya, Kiai. Kami seolah-olah tidak mempedulikannya
lagi. Mudah-mudahan untuk selanjutnya Mangir tidak mengganggu kami.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gambaran masa depan yang suram bagi Pajang.
Meskipun ia tidak mendasarkan penglihatannya atas perkembangan pusat pemerintahan
itu pada peristiwa-peristiwa ajaib, seperti kelapa, yang dipetik oleh Ki Ageng
Giring, yang tanpa disengaja airnya telah terminum oleh Ki Gede Pemanahan
karena ia kehausan itulah, namun ia memang melihat, bahwa kekuasaan Pajang
tidak akan mampu bertahan terlampau lama. Pimpinan pemerintahan di Pajang, yang
menggemparkan di masa mudanya itu kemudian tenggelam di dalam kesenangan
pribadi yang berlebih-lebihan. Sejak muda Mas Karebet telah menyimpan cacat
pada pribadinya, di samping kecemerlangannya yang tidak ada duanya. Di samping
kemampuannya sebagai seorang Wira Tamtama, penjelajahannya yang sulit dilakukan
oleh orang lain sampai ke tempat-tempat yang terpencil, dan kemudian mencapai
puncak kedahsyatannya dengan mengalahkan Kebo Danu dari Banyu Biru, meskipun
hal itu telah diatur lebih dahulu. Karebet memberi harapan bagi Pajang yang
diambilnya dari Demak. Tetapi cacat yang dibawanya sejak muda, kegemarannya
melibatkan diri dengan perempuan justru menonjol ketika ia menjadi Adipati di
Pajang. Ratu Kalinyamat telah berhasil memancingnya ke dalam suatu bentrokan
yang tidak terhindar lagi melawan Jipang, dengan menjanjikan dua orang gadis
cantik kepadanya.
“Sekali tepuk dua lalat
terbunuh,” berkata orang tua itu di dalam hatinya. “Sepeninggal Arya Penangsang,
takhta tersedia buat Adipati Pajang, sekaligus ia mendapat hadiah dari Ratu
Kalinyamat itu.”
Tetapi yang akan disesali oleh
Sultan Pajang itu adalah kelalaiannya memberikan Tanah yang sudah
disanggupkannya kepada Ki Gede Pemanahan.
Karena ia dibayangi oleh
hadiah dua orang gadis cantik itulah, maka tanpa berpikir panjang ia bersedia
menyerahkan tanah Pati dan Mentaok kepada mereka yang berhasil membunuh
langsung Arya Penangsang dari Jipang.
Kini semuanya itu sudah
terlanjur. Hubungan antara Sultan dan Ki Gede Pemanahan yang selama ini menjadi
Panglimanya, bagaikan telur yang retak kulitnya. Tidak akan dapat dipulihkannya
kembali. Apalagi Ki Gede Pemanahan sudah mulai membuka Alas Mentaok meskipun
mungkin hal itu tidak dikehendaki oleh Sultan Pajang.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Memang persoalan-persoalan selama kita
masih hidup ini tidak akan ada selesainya. Persoalan Menoreh agaknya sudah
semakin terang. Yang tinggal adalah masalah Sidanti dan Argajaya, meskipun persoalan
itu akan merupakan persoalan yang sangat rumit bagi Ki Argapati. Apalagi
menurut pendengaranku yang belum jelas, baik diucapkan oleh Ki Tambak Wedi
maupun Sidanti sendiri, anak itu bukan putra Ki Airgapati.”
Orang tua itu
mengangguk-angguk sendri, kemudian ia masih berkata kepada diri sendiri, “Dan,
sekarang, telah terbuka lagi masalah-masalah baru yang harus dihadapi. Alas
Mentaok. Meskipun sebenamya aku masih dapat menghindarkan diri. Tetapi
persoalan ini akan langsung bersangkutan dengan Kademangan Sangkal Putung,
Prambanan, dan Tanah Perdikan ini.”
Namun lebih daripada itu,
agaktnya Ki Gede Pemanahan mempunyai perhitungan tersendiri, kenapa ia dengan
sengaja berusaha melibatkan gembala tua itu dalam persoalannya.
“Aku harap Kiai memikirkannya
sebaik-baiknya,” tiba-tiba gembala tua itu dikejutkan oleh kata-kata
Sutawijaya.
“Aku akan berpikir, Anakmas.”
“Memang barangkali Kiai sama
sekali sudah tidak mempunyai pamrih apa pun. Tetapi murid-murid Kiai itu adalah
anak-anak muda yang masih menginginkan masa depan yang panjang.”
Orang itua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Adalah lebih baik, kalau Kiai
dapat pergi bersamaku ke Mentaok.”
“O, tentu tidak, Ngger.
Kecuali kalau Angger tidak tergesa-gesa kembali.”
“Aku harus segera berada di
Mentaok, Kiai.”
“Kalau begitu Angger dapat
pergi lebih dahulu,” berkata gembala tua itu. “Tetapi bukankah Angger akan
bertemu dengan Ki Argapati?”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun dalam pada itu terkilas
suatu persoalan yang pasti akan menjadi sangat rumit baginya, apalagi bagi
murid-muridnya. Kalau benar-benar terjadi persoalan antara Pajang dan Alas
Mentaok, kemudian ia berpihak kepada Sutawijaya bersama kedua murid-muridnya,
maka ada kemungkinan mereka akan berhadapan dengan Senapati Pajang di sisi
Selatan, Untara.
Orang tua itu menggelengkan
kepalanya. Seolah-olah ia ingin mengusir persoalan yang melintas dengan
tiba-tiba dikepalanya itu. Namun yang terbayang justru Untara sendiri berdiri
tegak degan pedang di tangan.
“Hem,” orang tua itu berdesah.
Namun ia terkejut ketika ia mendengar Sutawijaya bertanya, “Kenapa Kiai?”
Gembala itu tergagap. Namun
kemudian ia melihat sesuatu telah melonjak di dada orang tua itu. Tetapi
meskipun demikian Sutawijaya itu tidak bertanya lagi.
“Anakmas,” berkata orang tua
itu kemudian, “sebaiknya Anakmas memberi kesempatan kepada Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga untuk beristirahat. Bahkan Angger sendiri dapat beristirahat pula di
gandok belakang. Atau di ruang yang baru saja ditinggalkan oleh Sidanti.
Biarlah aku yang menunggui Anakmas Sidanti di sini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Hanggapati dan Dipasanga berganti-ganti.
“Aku dapat beristirahat di
mana-mana, Kiai. Kalau memang tidak ada persoalan lagi, biarlah aku berada di
longkangan di belakang bilik ini. Aku kira di sana ada beberapa helai tikar.
Aku dapat beristirahat di antara beberapa orang prajurit yeng bertugas,
sekaligus mengawasi bilik Sidanti dari belakang,” sahut Hanggapati.
“Dan Angger Sutawijaya?”
“Aku di sini saja, Kiai.”
“Baiklah. Silahkan Ki
Hanggapati dan Ki Dipasanga ke longkangan. Di sana kalian berdua mungkin masih
dapat tidur meskipun hanya sekejap.”
Keduanya pun kemudian
meninggalkan ruangan dalam pergi ke longkangan di belakang bilik tempat
menyimpan Sidanti. Keduanya pun kemudian berada di antara para pengawal yang
terpilih untuk mengawasi Sidanti.
“Kita dapat beristirahat
bergantian,” berkata Ki Hanggapati. “Dengan demikian kita dapat beristirahat
dengan tidak digelisahkan oleh apa pun.”
“Baiklah,” jawab Dipasanga,
“tetapi siapa yang dahulu? Kita tidak tahu, berapa lama kita dapat beristirahat
di sini. Mungkin ada sesuatu yang memaksa kita untuk segera berbuat sesuatu.”
“Kau dulu sajalah. Aku masih
ingin minum wedang serbat dahulu.”
Ki Dipasanga tersenyum. Ia masih
melihat, seorang pengawal yang tergopoh-gopoh menyorongkan mangkuk kepada Ki
Hanggapati sambil berkata, “Silahkan. Silahkan.”
Ki Hanggapati tersenyum,
sedang Ki Dipasanga pun kemudian pergi menepi. Kemudian berbaring di sebelah
tiang bambu yang dilekati oleh sarang laba-laba yang sudah kehitam-hitaman.
Di ruang tengah Sutawijaya
duduk bersama gembala tua. Namun kemudian gembala itu masuk ke dalam bilik Ki
Argapati untuk melihat perkembangan kesehatannya.
“Kau sudah terlanjur berada di
sini, Ngger,” berkata gembala tua itu. “Aku titip, kalau-kalau Angger Sidanti
polah lagi. Jangan biarkan ia pergi, tetapi jangan lukai anak itu.”
“Aku sudah kapok Kiai,” jawab
Sutawijaya, “nanti aku pula yang disalahkannya.”
“Biar sajalah. Anggap saja itu
lagu yang paling merdu seorang gadis dari Bukit Menoreh.”
“Tetapi, Kai sendiri
tersinggung karenanya.”
“Aku memang sudah pikun. Aku
menyesal sekali.” Orang tua itu berhenti sebentar. “Tetapi aku titip pintu
itu.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tetapi ia hanya tersenyum saja.
Gembala itu pun kemudian masuk
ke dalam bilik Ki Argapati.
Pandan Wangi berpaling ketika
ia mendengar derit pintu terbuka. “Marilah Kiai,” desis Pandan Wangi. “Ayah
sudah agak tenang.
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Syukurlah,” jawabnya
“mudah-mudahan segera menjadi baik.”
“Tetapi, bagaimana dengan
Raden Sutawijaya itu?”
“Ia masih duduk di ruang
tengah.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun tanpa disangka-sangkanya, terdengar suara
Argapati berat perlahan-lahan, “Kau sebut nama Raden Sutawijaya, Wangi.”
Pandan Wangi menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ya, Ayah.”
“Kenapa dengan Raden
Sutawijaya?”
“Ia berada di ruang tengah.”
Jawaban itu agaknya telah
mengejutkan Ki Argapati sehingga perlahan-lahan matanya yang selalu terpejam
itu terbuka. “Ia berada di sini?”
“Ya, Ki Gede,” gembala tua
itulah yang menyahut. “Tetapi jangan hiraukan kehadirannya. Anak nakal itu
hanya sekedar ingin tahu. Seperti ayah angkatnya Sultan Pajang yang sekarang,
Angger Sutawijaya senang menjelajahi sudut-sudut kerajaan ini.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. “Dan Raden Sutawijaya itu sudi singgah di rumah ini?”
“Beristirahatlah, Ki Gede.
Anakmas Sutawijaya akan bermalam di rumah ini. Besok atau kapan saja Ki Gede
masih sempat menemuinya apabila keadaan Ki Gede sudah menjadi semakin baik.”
“Raden Sutawijaya akan
bermalam di sini?” suaranya agak meninggi.
“Ya.”
“O, di mana kami akan
mempersilahkannya. Di sini tidak ada perlengkapan apa pun yang dapat kita
pergunakan dengan pantas untuk menerimanya.”
“Jangan hiraukan,” berkata
gembala tua itu. “Di Sangkal Putung Anakmas Sutawijaya tidur di gubug, di
tengah sawah. Ketika ia memasuki Alas Mentaok untuk melihat-lihat, ia tidur di
atas cabang sebatang pohon. Bagi seorang perantau, rumah ini sudah cukup
memberikan tempat yang baik,” jawab gembala itu pula.
Ki Argapati tidak segera
menjawab. Tetapi tampaklah kekecewaan membayang di wajahnya yang pucat. Apalagi
ia sendiri masih belum dapat bangkit dan menerima Raden Sutawijaya yang
bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, Putra angkat Sultan Pajang itu.
“Janganlah Ki Gede terlampau
memikirkan tamu kecil itu. Serahkan ia kepadaku,” berkata gembala itu.
Ki Argapati mengangguk lemah.
“Baiklah, Kiai. Mudah-mudahan Anakmas Sutawijaya tidak kecewa melihat keadaan
ini.”
“Tentu tidak. Sekarang Ki Gede
sebaiknya beristirahat dan berusaha untuk menenteramkan hati.”
“Ya,” desisnya.
“Tidurlah sebanyak-banyaknya.”
“Ya.”
Orang tua itu pun
mengangguk-angguk. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati yang sudah mulai
hangat, kemudaan tengkuknya dan keningnya.
“Mudah-mudahan Ki Gede segera
menjadi baik kembali, meskipun agaknya Ki Gede memerlukan waktu untuk
memulihkan kekuatan.”
“Ya,” jawabnya, “mudah-mudahan.”
Gembala tua itu pun kemudian
duduk di atas dingklik kayu di sudut bilik itu, sedang Pandan Wangi duduk di
amben pembaringan Ki Argapati di bagian bawah.
Sementara itu, Samekta dan
Kerti telah memasuki ruangan dalam kembali. Ketika mereka berdua telah duduk
bersama Sutawijaya, maka anak muda yang sudah jemu duduk berdiam diri itu
segera berkata, “Aku menjadi lelah duduk di sini saja.”
“Apakah Anakmas akan
berbaring? Mungkin memerlukan ruangan tersendiri?”
“Tidak.” Sutawijaya termenung
sejenak. Kemudian ia bertanya, “Di mana Gupita dan Gupala?”
“Di belakang. Mereka mengawasi
Ki Argajaya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kemudian karena ia sadar bahwa kedua
anak-anak muda itu tidak datang menemuinya karena tugasnya, maka ia pun kemudian
berkata, “Aku akan menemui mereka.”
“O, silahkan. Silahkan.”
“Tetapi di sini aku sedang
menerima titipan?”
“Apa?” Samekta dan Kerti
menjadi heran.
“Pintu itu.”
“Kenapa dengan pitu itu?”
“Bukankah di dalamnya ada
Sidanti? Gembala itu menitipkan kepadaku untuk mengawasi kalau-kalau Sidanti
kambuh lagi. Nah, sekarang pintu itu aku titipkan kepada kalian berdua. Awasi.
Kalau kalian memerlukan sesuatu, Kiai Gringsing berada di ruang itu.”
“Kiai Gringsing?” Samekta
bertanya dan Kerti terheran-heran.
“Eh, maksudku gembala tua itu.
Ia ada di dalam bilik Ki Argapati untuk melihat luka-lukanya. Kalau ia kembali
dan bertanya tentang aku, katakan, aku sedang menemui Gupita dan Gupala.”
“Baiklah. Kami berdua akan
mengawasi pintu itu.”
Sutawijaya pun kemudian
meninggalkan ruangan itu. Seperti petunjuk Samekta, maka ia pun pergi ke bilik
tempat Argajaya ditahan untuk menemui Gupita dan Gupala.
Pembicaraan mereka kemudian
adalah pembicaraan anak-anak muda. Sutawijaya segera beiceritera tentang Alas
Mentaok. Usahanya untuk membuatnya menjadi sebuah negeri.
“Tetapi dengan demikian Sultan
Pajang akan tersinggung karenanya.”
“Mudah-mudahan tidak. Apa
salahnya kalau daerah itu nanti akan berkembang? Kami tidak akan mengganggu
Pajang. Kecuali kalau perkembangan keadaan jadi lain, dan hal-hal yang tidak
kita harapkan itu harus terjadi.”
Gupita dan Gupala
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sudah tentu, bahwa seandainya
Ayahanda Sultan Pajang tidak senang melihat perkembangan Alas Mentaok, kami
terpaksa tidak dapat mematuhinya. Kami sudah bertekad. Mentaok tidak boleh
kalah dari Pati yang sudah lebih dahulu terbuka.”
“Jadi bukankah sekarang Ki
Gede Pemanahan sudah membuka hutan itu?”
“Tentu sudah.” Kemudian
suaranya jadi menurun, “Jangan kau katakan kepada gurumu, Mentaok sudah menjadi
suatu desa yang ramai. Banyak orang-orang di padukuhan di sekitarnya kini telah
membuka hubungan dengan daerah baru itu.”
Gupita dan Gupala mengerutkan
keningnya.
“Kami telah mengumpulkan
anak-anak muda yang akan kami persiapkan untuk menjadi pengawal daerah kami
yang baru itu. Latihan-latihan yang teratur telah kami adakan hampir di setiap
hari.”
“Siapakah yang melatih
mereka?”
“Beberapa orang prajurit dari
Pajang telah membantu kami membuka hutan itu.”
Gupita dan Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Jika demikian, langkah Ki
Gede Pemanahan sudah terlalu jauh,” desis Gupita.
Sutawijaya tertawa. Katanya,
“Ayah harus mengejar ketinggalannya dari Pati.”
“Kenapa mesti
berkejar-kejaran?” bertanya Gupala.
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Pertanyaan itu memang tidak disangka-sangkanya. Namun akhirnya ia menjawab,
“Bukan maksudnya. Tetapi usaha membangun daerah itu adalah usaha yang baik.
Sebenarnya Pajang justru harus membantu.”
“Apakah Pajang
menghalang-halangi sampai sekarang?” bertanya Gupita.
Sekali lagi Sutawijaya
dihadapkan pada pertanyaan yang tidak segera dapat dijawab.
Namun hal itu bagi Gupita
adalah pertanda bahwa sebenarnya pihak Ki Gede Pemanahan sendiri diam-diam
sudah menyusun kekuatan. Mungkin karena prasangka yang berlebih-lebihan,
orang-orang Alas Mentaok itu merasa bahwa Pajang akan segera memusuhinya.
Namun tanpa menjawab
pertanyaan Gupita, Sutawijaya berkata, “Aku memerlukan beberapa orang senapati
yang mumpuni. Nah, kalian pasti bersedia membantu aku seandaimya terjadi
sesuatu kelak.”
Gupita dan Gupala saling
berpandangan sejenak. Tampak sesuatu memancar di sorot mata masing-masing.
Tetapi ternyata tanggapan mereka justru berbeda.
Sejenak kemudian Sutawijaya
mendesak, “Bagamana?
Gupala mengerutkan keningnya.
Meskipun ragu-ragu namun ia menjawab, “Apa salahnya?”
“Bagus,” desis Sutawijaya
“kalian pasti akan membantu kami. Aku memang sudah menyangka.”
Namun Gupita masih tetap
berdiam diri.
“Nah,” berkata Sutawijaya
“bagaimana dengan kau Gupita. Aku tahu, bahwa kau selalu dibayangi oleh
keragu-raguan. Tetapi kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau sudah mampu
melakukan banyak tindakan di dalam peperangan. Bukankah kau pada suatu ketika,
seperti yang terjadi di peperangan, harus mengambil keputusan dengan cepat?
Nah, kau harus mengambil pengalaman. Kau dapat melakukan kalau kau mau.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku, harus mengatakannya kepada Guru.”
“Aku tahu bahwa kau akan
bersikap demikian. Tetapi agaknya gurumu pun akan ikut serta bersama kami. Ayah
Ki Gede Pemanahan sendiri telah berpesan untuk memintanya datang ke Alas
Mentaok.”
“Apakah Ki Gede Pemanahan
mengenal Guru?”
Sutawijaya tertawa. “Tidak
seorang pun yang mengenal gurumu dengan pasti. Ayah pun tidak. Ki Argapati
agaknya juga tidak yakin atau bahkan tidak tahu dengan siapa ia berhadapan. Ki
Tambak Wedi dan semua orang yang berhubungan dengan gurumu menganggapnya ia
orang yang lain dari nama-nama yang pernah didengar sebelumnya. Satu-satunya
ciri yang dapat dipakai sebagai pancadan untuk menduga-duga adalah cambuknya
itu. Meskipun gurumu sendiri berkata bahwa banyak sekali orang bersenjata
cambuk.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak segera menyahut.
“Sekarang, ciri itu tambah
lagi. Bersenjata cambuk dan mempunyai dua orang murid. Yang seorang bulat
seperti kelapa, dan yang lain bertubuh sedang.”
Gupita menarik nafas
dalam-dalam, sedang Gupala tersenyum sambil meraba-raba perutnya.
“Kalau memang Guru sudah
setuju, aku pun tidak berkeberatan,” berkata Gupita kemudian. “Tetapi untuk
mengambil keputusan serupa itu, sebagai seorang murid yang masih berada
langsung di bawah pengawasan gurunya, aku tidak dapat bertindak sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, begitulah sebaiknya,” desisnya. Tetapi
Sutawijaya sendiri adalah anak yang nakal. Kadang-kadang ia melanggar peraturan
ayahnya sekaligus gurunya, atau melakukan sesuatu tanpa setahu ayahnya itu.
“Dan selanjutnya keputusan
terakhir ada pada Guru,” sambung Gupita.
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, “Meskipun sebagian
Senapati Pajang ikut dengan Ayah, tetapi yang sebagian itu terlampau kecil
dibanding dengan kekuatan Pajang seluruhnya. Mudah-mudahan kami akan segera
meningkatkan kekuatan para pengawal daerah baru itu.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Hampir tanpa sesadarnya ia berkata, “Itu sudah merupakan persiapan perang.”
Sutawijaya terkejut mendengar
tanggapan Gupita. Dengan serta-merta ia berkata, “Tidak, sama sekali tidak. Bukan
maksud kami mengadakan persiapan perang.”
Gupita menggigit bibirnya.
“Kami hanya sekedar mengadakan
persiapan untuk menjaga diri apabila sesuatu terjadi atas daerah kami yang baru
bangkit itu.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara Gupala masih meraba-raba perutnya. Namun tiba-tiba ia
berkata, “Memang setiap orang perlu menjaga diri. Juga daerah-daerah baru yang
baru lahir seperti Alas Mentaok yang akan menjadi sebuah negeri. Seandainya
Pajang tidak berbuat apa-apa, mungkin justru daerah di sekitamya merasa iri.
Mungkin Tanah Perdikan Mangir, mungkin Menoreh, atau daerah-daerah lain.”
“Bagaimana dengan Sangkal
Putung?” tiba-tiba Sutawijaya bertanya.
“Sangkal Putung tidak
terlampau dekat. Tetapi Sangkal Putung tidak akan berkeberatan apa pun atas
perkembangan Alas Mentaok. Kalau Alas Mentaok menjadi ramai, perdagangan antara
Pajang dan daerah baru itu berkembang, maka Sangkal Putung akan menjadi jalur
yang menentukan. Itu akan bermanfaat bagi Sangkal Putung.”
Sutawijaya memandang Gupala dengan
sorot mata yang aneh. Sesaat kemudian ia berkata, “Hem, kau memandang persoalan
ini dari sudut yang luas. Meskipun tampaknya kau hanya dapat berkelahi dan
tertawa-tawa tanpa arti, ternyata pandanganmu cukup tajam.”
Gupala hanya tertawa saja.
“Tetapi bagaimana kalau
terjadi sebaliknya?”
“Apa?” anak yang gemuk itu
bertanya.
“Kalau yang lewat itu bukan
serombongan pedagang, tetapi sepasukan prajurit dari Pajang menuju ke Alas
Mentaok.”
Gupala berpikir sejenak. Dan
jawabnya sama sekali tidak disangka-sangka oleh Sutawijaya maupun oleh Gupita.
Katanya, “Kalau yang lewat sepasukan prajurit, aku harus bersembunyi atau
mengungsi.”
Ketiganya tidak dapat menahan
hati. Sutawijaya tertawa meledak, meskipun segera menutup mulutnya dengan kedua
tangannya, sedang Gupita tersenyum kecut.
“Sudahlah,” berkata Sutawijaya
kemudian, “aku akan pergi ke ruang tengah. Kalau gurumu sudah selesai dengan Ki
Argapati, ia akan mencari aku. Aku masih harus menemui Ki Argapati dalam
kesempatan ini.”
“Juga mempersoalkan dibukanya
Alas Mentaok?” bertanya Gupala.
“Ya.”
“Mudah-mudahan tidak ada
kesulitan dari mana pun,” berkata Gupita perlahan-lahan.
“Tentu. Kami mengharap
demikian. Tetapi seandainya ada banjir, kami sudah membuat tanggul.”
Gupita mengangguk-anggukkan kepalanya.
Tetapi ia merasa bahwa soalnya bukan sekedar membuat tanggul. Namun demikian ia
tidak berkata sesuatu lagi. Ia menyerahkan persoalannya kepada gurunya. Apa pun
yang harus dilakukannya, ia tidak akan menolak.
Ketika kemudian Sutawijaya
masuk kembali ke ruang tengah, yang ditemuinya adalah Samekta dan Kerti yang
masih duduk di tempatnya, sehingga anak muda itu bertanya, “Apakah gembala itu
masih berada di dalam bilik Ki Argapati?”
Samekta menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Baru saja ia pergi ke luar.”
“Aku berada di luar.”
“Tetapi ia pergi ke luar lewat
pintu butulan. Agaknya Anakmas diharap duduk di sini sebentar.”
Sutawijaya mengangguk-angguk
pula. “Baiklah, aku akan menunggunya di sini.”
Sementara itu gembala tua itu
pergi kepada kedua muridnya. Ditemuinya Gupala sedang berbaring di atas anyaman
daun kelapa, sedang Gupita duduk memeluk lututnya. Beberapa langkah dari
mereka, seorang penjaga berjalan hilir-mudik dengan tombak di tangan.
“Apakah kalian lelah?”
bertanya gurunya.
Gupala segera bangkit. Dengan
serta-merta ia bertanya, “Apa kami sudah boleh tidur?”
“Kenapa tidak?”
Gupala menjadi bingung. “Lalu
bagaimana dengan tawanan yang berada di dalam bilik itu.”
“Biar saja ia di situ. Kalian
berdua dapat tidur berganti-ganti. Tetapi aku kira kalian yang masih muda-muda
ini akan dapat bertahan tiga hari tiga malam.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Menurut pendengaranku, waktu
Mahapatih Gajah Mada menyelamatkan rajanya, tujuh hari tujuh malam ia sama
sekali tidak beristirahat. Apalagi tidur,” desis gembala itu. “Baru setelah ia
mendapat jalan untuk membawa raja itu kembali ke kota, Gajah Mada mau
beristirahat.”
Gupita tersenyum, sedang
Gupala bersungut-sungut. Katanya, “Kelak, apabila aku menjadi Maha Patih, aku
pun akan berjaga-jaga tujuh hari tujuh malam.”
Gupita tidak dapat menahan
tertawanya. Katanya “Apa yang akan kau lakukan selama tujuh hari tujuh malam
itu?”
“Makan.”
Ketiganya tertawa. Namun
Gupala pun segera merebahkan dirinya lagi di atas anyaman daun kelapa itu
sambil berdesis, “Memang suatu cara yang baik. Bergantian tidur. Kenapa baru
sekarang kita ingat akan hal itu? Sekarang aku tidur, kau bangun Kakang Gupita.
Nanti, pada saatnya kau bangun, aku tidur.”
“Bagus. Tetapi kalau nasi
masak, aku tidak mau membangunkan kau.”
Gupala tidak menjawab. Tetapi
sambil menggaruk-garuk perutnya ia berkata, “Kalau begitu aku pun tidak akan
dapat tidur.”
Gurunya tersenyum. Namun
kemudian ia berkata, “Aku harus segera kembali ke ruang tengah menunggui
Sidanti. Sebentar lagi, apabila semua persiapan sudah selesai, para pemimpin
Menoreh akan melepaskan jenazah mereka yang gugur di peperangan ini. Kalau
Angger Sutawijaya bersedia tetap berada di ruang tengah, aku akan dapat ikut
bersama Samekta dan Kerti.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu “Apakah kalian
sudah bertemu dengan Raden Sutawijaya?”
“Sudah, Guru,” jawab Gupita,
“baru saja ia datang kemari.”
“Apa katanya?”
“Tentang Alas mentaok itu
lagi,” jawab Gupita.
“Kami diminta untuk
membantunya,” sahut Gupala. “Agaknya Raden Suitawijaya memerlukan beberapa
orang uutuk itu.”
“Beberapa orang yang bersedia
untuk berkelahi,” gumam gurunya. “Tetapi apa katamu berdua?”
“Aku bersedia,” jawab Gupala
dengan serta-merta. “Aku tidak dapat berdiri tidak berpihak, sementara kedua
pasukan Mentaok dan Pajang akan saling berhadapan.”
Gurunya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengarti pendirian Gupala. Sangkal Putung seolah-olah
terletak di garis yang menghubungkan kedua daerah itu. Kalau anak yang gemuk
itu sama sekali tidak menentukan sikap, maka mungkin sekali daerahnya akan
tergilas oeh kedua belah pihak.
“Apakah kau sudah menjawab?”
bertanya gurunya.
“Sudah guru,” jawab Gupala.
“Dan kau?” bertanya gurunya
kepada Gupita.
“Aku menyerahkan persoalannya
kepada Guru,” jawab Gupita. “Menurut Raden Sutawijaya Guru sudah bersedia.”
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Persoalan yang dihadapi oleh Gupala memang tidak terlampau rumit.
Ia harus berpihak. Berpihak kepada yang memberinya harapan. Apalagi Sutawijaya
telah dikenalnya baik-baik sejak lama.
Tetapi soalnya akan berbeda
bagi Gupita. Sekali lagi terlintas di dalam angan-angannya, Senapati Pajang di
bagian Selatan yang bernama Untara itulah nanti yang akan memegang peranan. Ki
Gede Pemanahan sendiri sudah tidak ada di Pajang. Ki Penjawi sudah berada di
Pati pula. Maka selain Ki Patih dan Sultan Pajang sendiri, maka Senapati Pajang
tidak ada lagi yang mumpuni.
“Apakah mungkin bahwa Angger
Agung Sedayu akan berhadapan dengan Angger Untara?” pertanyaan itu selalu
mengganggunya. Tetapi ia masih tetap menyimpan pertanyaan itu di dalam hati.
Agaknya Gupita sama sekali masih belum teringat untuk memperhitungkannya hal
itu.
“Apakah Guru benar-benar telah
menyetujuinya?” tiba-tiba Gupita bertanya.
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku memang sedang mempertimbangkan. Apakah yang
sebaiknya aku lakukan. Sutawijaya memang sudah menyampaikan pesan Ki Pemanahan
kepadaku.”
“Aku kira kita tidak akan
keberatan,” sahut Gupala. “Dengan demikian kita telah membantu bangkitnya suatu
daerah baru. Sudah tentu, kita mengharap bahwa tidak akan terjadi apa pun di
antara semua pihak. Alas Mentaok, Pajang, Mangir, dan Menoreh. Apalagi
Prambanan dan Sangkal Putung.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tatapan matanya melontar ke titik-titik
yang sangat jauh.
Wajah orang tua itu tampak
menjadi murung. Hampir tidak pernah kedua muridnya melihat gurunya begitu dalam
merenungi sesuatu. Sehingga dengan demikian kedua murid-muridnya itu pun untuk
sejenak berdiam diri.
Sebenarnyalah berbagai persoalan
telah berkecamuk di dalam dada orang tua itu. Masalah Tanah Perdikan Menoreh
memang sudah hampir selesai, tetapi masalah-masalah lain telah menunggunya.
Tanpa sesadarnya orang tua itu mengamati lukisan di pergelangan tangannya.
Sebuah cambuk yang di ujungnya tersangkut selingkar cakra bergerigi sembilan.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Terngiang pertanyaan Ki Argapati tentang lukisan di pergelangan
tangannya itu “Kiai, gambar itu adalah ciri dari perguruan Empu Windujati.”
Tiba-tiba gembala tua itu
menggelengkan kepalanya. Namun suara Ki Argapati masih terdengar di telinganya
“Aku mengenal seorang yang luar biasa. Seorang yang bersenjata cambuk dan yang
senang sekali berteka-teki tentang dirinya. Tetapi sudah tentu bukan kau,
karena pada saat itu pun umurnya sudah setua kita sekarang.”
Sekali lagi gembala tua itu
menarik nafas dalam-dalam.
Namun tiba-tiba ia tersadar
bahwa kedua murid-muridnya sedang memandangnya dengan heran. Sehingga kemudian
ia pun berdesis, “Ternyata aku pun lelah sekali. Tempat ini memberikan
kesejukan, sehingga aku pun menjadi kantuk karenanya.”
Gupala menarik nafas pula.
Sekilas dipandanginya wajah Gupita yang bertanya-tanya.
“Baiklah,” berkata gembala tua
itu, “aku akan ke ruang tengah sejenak. Kalau Angger Sutawijaya bersedia,
menunggui Sidanti sebentar bersama Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga yang berada
di longkangan belakang, aku akan ikut melihat upacara pemakaman.”
“Apakah kami dapat ikut?”
bertanya Gupala.
“Tidak usah. Kau punya tugas
sendiri.”
Gupala mengerutkan keningnya.
“Tetapi itu pun aku masih
belum tahu, kapan persiapan pemakaman itu selesai. Bahkan mungkin malam nanti.
Kini baru dipersiapkan lubang-lubang yang cukup banyak.”
“Dari manakah jenazah-jenazah
itu diberangkatkan?”
“Sudah jelas tidak dari rumah
ini.”
”Dari banjar?”
“Ya, dari Banjar.”
Gupala mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi matanya sudah menjadi semakin redup oleh kantuk yang
seakan-akan semakin mencengkamnya. Apalagi karena silirnya angin dan bunyi
burung tekukur di kejauhan.
“Nah, tinggallah kalian di
sini. Hati-hatilah supaya bantuan yang sudah kita berikan selama ini kepada
Tanah ini tetap berkesan baik sampai rampung.”
Kedua muridnya menganggukkan
kepala mereka sambil menjawab “Baik, Guru.”
Di sepanjang langkahnya, gembala
tua itu menundukkan kepalanya sambil merenung dirinya sendiri. Kalau pada suatu
saat ia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, maka pertanyaan Ki Gede Menoreh itu
pun pasti akan diulang lagi meskipun dengan nada yang berbeda.
Gembala tua itu tanpa disengaja
telah mengangguk-anggukkan kepalanya. Berbagai persoalan hilir-mudik di
kepalanya.
“Seharusnya masa-masa itu
sudah dilupakan orang,” katanya di dalam hati. “Aku pun ingin melupakannya.”
Orang tua itu tertegun
sejenak. Ia melihat beberapa orang pengawal memasuki halaman. Sejenak mereka
bercakap-cakap dengan pengawal yang sedang bertugas. Kemudian seorang pengawal
dengan tergesa-gesa memasuki pendapa langsung ke ruang tengah.
Gembala itu pun kemudian pergi
ke pendapa. Ia melihat Samekta dan Kerti keluar melintasi pendapa itu turun ke
halaman. Ketika mereka melihat orang tua itu, mereka pun berhenti.
“Kiai,” berkata Samekta,
“persiapan itu sudah hampir selesai. Kalau Kiai ingin menghadirinya, sebentar
lagi Kiai supaya pergi ke Banjar bersama Pandan Wangi. Ia ingin melihat juga
upacara itu.”
Orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah. Aku akan pergi.”
Ketika Samekta dan Kerti
kemudian pergi bersama pengawal itu, ia pun segera masuk ke dalam. Ditemuinya
Sutawijaya duduk sendiri sambil mengunyah pondoh beras.
“Ha, aku akan minta tolong kau
lagi, Anakmas,” berkata gembala tua itu.
“Apa lagi Kiai?”
“Aku akan melihat upacara
pemakaman korban peperangan ini. Aku minta Anakmas sementara tetap tinggal di
sini menunggui pintu itu. Di belakang sudah ada Ki Hanggapati dan Ki
Dipasanga.”
“Sendiri?” bertanya
Sutawijaya.
“Apakah Angger takut?”
“Soalnya bukan takut. Tetapi
bagaimana kalau tiba-tiba aku ingin pergi ke sungai?”
Orang tua itu menarik nafas.
Tetapi ia kemudian mengangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata orang tua
itu, “aku akan minta seorang dua orang pengawal untuk menemani Anakmas di
sini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia berbisik, “He, siapakah sebenarnya pimpinan tertinggi
yang mewakili Ki Argapati di bidang keprajuritan?”
“Kenapa?”
“Apakah Kiai barangkali?”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tersenyum. “Aku sudah terlanjur terlibat Anakmas.
Memang tidak pantas aku mengatur dan menangani persoalan di Tanah ini terlampau
banyak. Tetapi tanpa Ki Argapati mereka masih memerlukan banyak sekali
bimbingan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Pada suatu saat,
Mentaok memerlukan pula, Kiai.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia pun tersenyum. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya ia berkata, “Laris juga tenaga tua ini agaknya.”
Sutawijaya tertawa pendek.
Katanya, “Suatu kehormatan bagi Kiai.”
Orang tua itu pun menyahut,
“Sebenarnya Mentaok tidak memerlukan siapa pun lagi. Mentaok sudah cukup
memiliki senapati-senapati yang mumpuni. Ki Gede Pemanahan sendiri adalah
seorang panglima yang tidak ada tandingnya. Kenapa orang tua-tua yang tidak
berarti seperti aku ini akan dibawanya pula?”
Sutawijaya masih tertawa.
Katanya, “Tentu ada sebabnya. Dan Kiai pun aku kira sudah mengetahui pula.”
“Belum,” berkata orang tua
itu.
“Apa saja dapat Kiai katakan
kepadaku, karena aku memang baru mengenal Kiai sejak di Sangkal Putung. Tetapi
mungkin Ayah akan berkata lain.”
Gembala itu mengangkat alisnya.
“Ayah memang selalu bertanya
tentang Kiai. Tentang seorang yang bersenjata cambuk.”
“Baik, baik,” sahut gembala
tua itu, “sekarang aku akan pergi sejenak bersama Angger Pandan Wangi.”
Sutawijaya masih saja
tersenyum. Dipandanginya saja orang tua yang masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Kemudian sejenak ia tinggal di dalam sebelum orang tua itu keluar lagi dari
bilik itu bersama Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak
berkeberatan, apabila Pandan Wangi pergi sejenak atas namanya menghadiri
pemakaman korban-korban peperangan yang telah berjatuhan.
“Dua orang prajurit akan
mengawani Angger di sini,” berkata gembala itu kepada Sutawijaya.
Sebenarnyalah bahwa kemudian
dua orang prajurit datang dan duduk bersama anak muda itu, sedang dua orang
yang lain langsung masuk ke dalam bilik Ki Argapati.
Di sepanjang jalan menuju ke
banjar, baik Pandan Wangi maupun gembala tua itu tidak terlampau banyak
berbicara. Dalam angan-angan masing-masing bergejolak masalah-masalah yang
berbeda-beda. Pandan Wangi masih merenungi abu Tanah Perdikannya yang telah
dibakar oleh api peperangan di antara keluarga sendiri, yang digelitik oleh
ketamakan Ki Tambak Wedi. Sedangkan gembala itu sedang merenungkan sikap
Sutawijaya. Mungkin ayahnya, Ki Gede Pemanahan memang selalu bertanya tentang
seorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi apakah pesan Ki Pemanahan ini
benar-benar sampai pada suatu kepastian, ia memerlukannya, atau hanya sekedar
karena akal Sutawijaya itu sendiri.
Menilik ceritera Sutawijaya
sendiri, ayahnya masih meragukannya. Apakah dalam keragu-raguan itu, Ki Gede
Pemanahan sudah dapat mengambil suatu sikap.
“Tetapi aku sendiri memang
perlu menemuinya,” desis orang tua itu di dalam hatinya.
Dalam pada itu, mereka pun
segera sampai ke banjar pula. Sejenak kemudian maka jenazah-jenazah yang berada
di banjar itu pun segera diberangkatkan ke pekuburan.
Beberapa orang keluarga mereka
yang berhasil dihubungi, telah menitikkan air matanya. Seperti darah yang
tertumpah, maka air mata mereka itu pun telah membasahi Tanah Kelahiran mereka.
Sebuah barisan yang panjang
telah mengiringi korban-korban peperangan itu. Pandan Wangi, Samekta, Kerti,
dan beberapa pemimpin yang lain berjalan di paling depan. Di belakang mereka,
gembala tua yang telah ikut menentukan akhir dari peperangan itu pun berjalan
sambil menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa ia telah turut mengambil bagian
dari peperangan yang telah membunuh sekian banyak kawan dan lawan.
Namun terbayang pertentangan
yang pasti akan lebih dahsyat berkecamuk apabila Mentaok dan Pajang tidak dapat
mengendalikan diri masing-masing. Di dalamnya tidak hanya terdapat seorang
Sidanti dan seorang Argajaya. Tetapi di dalamnya terdapat berpuluh-puluh
Sidanti dan berpuluh-puluh Argajaya.
Senapati-senapati perang yang
pilih tanding akan turun ke medan. Prajurit-prajurit yang tangguh dan
panglima-panglimanya yang tidak ada taranya.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Yang terutama menjadi pusat kecemasannya adalah Untara. Senapati
muda yang memiliki kemampuan yang besar, yang justru diserahi daerah di sisi
Selatan. Apalagi kalau Widura masih juga berada di Sangkal Putung bersama
beberapa bagian dari pasukan Pajang.
Orang itu menggeleng-gelengkan
kepalanya.
Kalau pertentangan jasmaniah
harus terjadi, maka masalahnya akan sangat rumit bagi murid-muridnya, terutama
Gupita.
Oleh angan-angannya itu, maka
gembala tua itu hampir tidak memperhatikan lagi, ketika satu demi satu
jenazah-jenazah itu diturun kan ke lubang pembaringannya untuk yang terakhir
kali.
Namun salah seorang dari
mereka memang telah menarik perhatiannya. Pandan Wangi yang menyandang sepasang
pedang di lambungnya itu maju mendekati pekuburaa yang bau saja ditimbun dengan
tanah yang merah.
Perlahan-lahan ia berdesis,
“Jasamu tidak akan terlupakan, Wrahasta.”
Sejenak kemudian tangannya
yang halus meraih segenggam bunga tabur. Ketika bunga itu berjatuhan di atas
gundukan tanah yang masih basah itu, air matanya pun menitik. Dikenangnya anak
muda yang bertubuh raksasa itu. Dikenangnya betapa anak muda itu mencoba
meayentuh perasaannya yang kosong pada waktu itu.
Kepala Pandan Wangi pun
menunduk dalam-dalam. Beberapa lama ia berdiri di samping makam Wrahasta.
Sekilas terbayang pula pada saat-saat terakhir dari hidupnya. Masih juga anak
muda itu bertanya kepadanya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Ikhlas atau tidak ikhlas ia pernah menganggukkan kepalanya,
mengiakan permintaan Wrahasta untuk memperisterikannya. Sekejap sebelum ia
melepaskan nafasnya yang terakhir.
Dan kini Wrahasta itu telah
dikuburkan di antara para pengawal yang telah gugur dalam menunaikan tugas
mereka untuk Tanah Kelahiran.
Satelah semuanya selesai, maka
orang-orang yang mengantar jenazah-jenazah itu pun satu-satu meninggalkan
pekuburan. Dengan hati yang berat mereka melangkah semakin jauh, meninggalkan orang-orang
yang pernah ada di antara mereka. Pernah bergurau dan bertengkar dalam satu
lingkungan.
Di jalan kembali Pandan Wangi
menjadi semakin diam. Gembala tua yang berjalan di sampingnya sama sekali tidak
diacuhkannya. Sekali-sekali ia masih mengusap matanya yang basah.
Ketika Pandan Wangi masuk ke
halaman rumahnya, ia tertegun sejenak. Di antara para pengawal yang
berjaga-jaga di depan regol dilihatnya seorang anak muda yang gemuk berdiri
sambil menyilangkan tangannya.
“Apakah semuanya sudah selesai,”
Gupala bertanya sambil melangkah maju.
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. “Ya, semuanya sudah selesai.”
Gupala kemudian berjalan di
samping gadis itu, sebelah-menyebelah dengan gurunya.
“Di mana Gupita” gurumya
bertanya, “dan kenapa kau berada di situ?”
“Kakang Gupita masih menunggui
Ki Argajaya. Aku tidak tahan untuk duduk saja di bawah pohon keluwih itu.”
“Kau tinggalkan Gupita
sendiri?”
“Tidak sendiri. Ada beberapa
orang pengawal yang menemaninya.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Gupala yang masih ingin
berbicara menjadi kecewa. Pandan Wangi terlampau murung dan hampir tidak
memperhatikan orang-orang lain sama sekali. Tanpa berkata sepatah kata pun lagi
gadis itu langsung naik ke pendapa dan masuk ke dalam rumahnya yang kotor.
Gupala berhenti di bawah
tangga pendapa. Ditatapnya saja langkah Pandan Wangi sampai hilang di balik
pintu pringgitan.
“Kembalilah ke tempatmu,”
gurunya berdesis.
“O,” Gupala tergagap,
“baiklah. Aku akan kembali ke bawah pohon keluwih. Mudah-mudahan tidak ada
sebuah pun yang akan menjatuhi kepalaku yang lagi pening ini.”
Gurunya tidak menjawab. Dengan
langkah yang gontai Gupala berjalan ke tempatnya kembali. Namun masih terdengar
ia bergumam, “Apakah aku harus menungguinya sampai tua?”
Ternyata hari itu baik Gupita
dan Gupala, maupun Ki Hanggapati dan Dipasanga, masih harus tetap berada di
tempat masing-masing. Ki Argapati masih belum dapat berbuat sesuatu karena
luka-lukanya, sehingga masih belum dapat mengambil suatu sikap bagi Sidanti dan
Argajaya. Bahkan Ki Argapati masih juga belum dapat menerima Sutawijaya yang
akan menemuinya.
“Kiai,” berkata Sutawjaya,
“kalau besok Ki Argapati masih belum dapat menerima seseorang, maka aku kira
lebih baik aku kembali ke Mentaok. Ayah pasti sudah terlampau lama menunggu.
Bahkan mungkin perkembangan terakhir Mentaok sudah menjadi semakin sibuk,
sehingga tenagaku sudah sangat diperlukannya.”
“Lalu, apakah Angger tidak
ingin berbicara dengan Ki Argapati?”
“Aku tidak dapat menunggu tanpa
batas. Sebaiknya aku berpesan saja kepada Kiai.”
“Tunggulah sampai besok.”
Sutawijaya merenung sejenak.
Katanya, “Ya, aku memang akan menunggu sampai besok.”
Malam itu gembala tua itu pun
berusaha dengan segenap kepandaian yang ada padanya untuk memperingan
penderitaan Ki Argapati. Semalam suntuk gembala tua itu tidak tidur. Juga
Pandan Wangi yang menunggui ayahnya hampir tidak dapat memejamkan matanya sama
sekali. Hanya kadang-kadang sambil bersandar dinding Pandan Wangi terlena
sejenak. Namun kemudian ia segera terbangun kembali.
Di malam hari luka-luka Ki
Gede yang parah itu terasa betapa pedihnya, sehingga meskipun ia memiliki daya
tahan yang luar biasa kuatnya, namun terdengar sekali-sekali ia berdesis
tertahan. Apalagi karena obat-obat yang dipergunakan oleh gembala itu pun
menambah nyeri pada luka-luka itu.
Semalaman gembala tua itu
duduk dengan tegangnya. Tidak kalah tegang dari pertempuran yang dialaminya
semalam. Sekali-sekali ia harus berusaha untuk menahan panas tubuh Ki Argapati
yang menanjak, dengan minuman reramuan obat yang dibuatnya.
Ketika ayam jantan berkokok
untuk yang terakhir kalinya, barulah gembala tua itu menarik nafas dalam-dalam.
Ki Argayati dapat tertidur sejenak. Namun tidur yang sejenak itu akan sangat
membantunya.
“Tidurlah, Ngger,” berkata
gembala tua itu kepada Pandan Wangi, “mumpung Ki Argapati juga lagi tidur.”
Pandan Wangi mengangguk.
Tetapi ia tidak mengambil tikar dan berbaring di lantai. Ia masih saja duduk
sambil bersandar dinding. “Aku tidur di sini saja Kiai.”
“Nanti kau terjerembab.”
Pandan Wangi menggeleng.
“Tidak.”
Gembala tua itu pun kemudian
keluar dari bilik Ki Argapati. Dilihatnya Sutawijaya tidak ada di ruang tengah.
Yang ada adalah dua orang pengawal yang menunggui pintu bilik Sidanti.
“Di mana Anakmas Sutawijaya?”
bertanya gembala tua itu.
“Ia akan tidur bersama Gupita
dan Gupala.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang pintu bilik Sidanti. Pintu
itu masih tertutup rapat. Selaraknya pun masih terpancang kuat-kuat.
“Anak itu akan tetap merupakan
masalah bagi Tanah Perdikan ini,” katanya di dalam bati. “Aku tidak dapat
membayangkan bagaimana Ki Argapati akan menyelesaikannya.
Sambil mengangguk-angguk di
luar sadarnya gembala tua itu pun kemudian duduk di samping kedua pengawal yang
sedang bertugas menunggui pintu bilik Sidanti itu.
Sejenak kemudian maka cahaya
yang merah telah membayang di halaman. Semakin lama semakin terang. Para
pengawal yang berkesempaan tidur di gandok kanan dan kiri, di ruang-ruang
belakang, di pendapa dan di banjar, satu demi satu telah terbangun.
Gembala tua yang belum
mendapat kesempatan untuk tidur itu pun telah bangkit pula. Perlahan-lahan ia
masuk ke dalam bilik Ki Argapati. Ketika dilihatnya Ki Argapati masih tidur,
maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Agaknya aku berhasil
mengobatinya,” desisnya di dalam hati.
Gembala tua itu tersenyum pula
ketika melihat Pandan Wangi pun masih tidur bersandar dinding. Rambutnya yang
panjang terurai ke bahunya, sedang kedua tangannya bersilang di dada. Gadis itu
sama sekali tidak berkesempatan untuk mengurus dirinya sendiri seperti
kebanyakan gadis-gadis di masa usia remaja. Pandan Wangi selama ini hanya
bergulat dengan pedang dan dengan ayahnya yang terluka.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kedatangan kakaknya di atas Tanah Perdikan ini justru membuat
hatinya pedih. Gadis yang seharusnya sedang dibuai oleh usianya itu, kini
seakan-akan telah meloncati satu lapisan dalam urut-urutan hidupnya.
“Mudah-mudahan selanjutnya
Tanah ini menjadi tenang,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya.
Demikianlah, maka gembala tua
itu berpengharapan, bahwa hari itu Ki Argapati sudah menjadi jauh lebih baik
dari keadaan sehari sebelumnya, sehingga ia dapat menerima Sutawijaya.
Sutawijaya sendiri, setelah
membersihkan dirinya, segera masuk ke ruang tengah. Ditemuinya gembala itu
duduk di antara dua orang pengawal yang ditinggalkannya semalam.
“Bagaimana Kiai, apakah hari
ini aku dapat bertemu dengan Ki Argapati?”
“Mungkin, Ngger. Agaknya Ki
Argapati sudah menjadi semakin baik. Tetapi sudah tentu tidak sepagi ini. Siang
nanti, aku harap Ki Argapati sudah berkesempatan untuk berbicara.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku menunggu hari ini.”
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede
Pemanahan telah menunggu dengan cemas kedatangan putranya yang sedang pergi ke
Tanah Perdikan Menoreh tanpa mengetahui dengan pasti, apa yang telah terjadi di
sana.
Dan Sutawijaya masih harus
menunggu satu hari lagi.
Ketika Ki Argapati kemudian
terbangun dari tidurmya, ia merasakan bahwa keadaan badannya telah menjadi jauh
lebih baik. Lukanya sudah tidak terlampau pedih, dan kepalanya sudah tidak lagi
memberati. Meskipun ia masih pening dan terlalu lemah, namun kesadarannya telah
sepenuhnya dikuasainya.
Saat itulah yang ditunggu-tunggu
oleh gembala tua itu. Ketika Ki Argapati telah dibersihkannya, maka katanya,
“Angger Sutawijaya ingin bertemu dengan Ki Gede hari ini. Tetapi lebih baik
setelah tengah hari. Keadaan Ki Gede akan menjadi semakin baik.”
“Apakah ada keperluan yang
penting?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. “Sebenarnya tidak begitu penting Ki Gede. Tetapi karena ia sudah
berada di atas Tanah ini, maka ia memerlukan untuk menemui Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Badannya yang terasa semakin segar membuat pikirannya menjadi segar
pula.
Ternyata hari itu Ki Gede
sudah dapat menelan makanan sedikit-sedikit, sehingga badannya tidak terasa
sangat lesu. Dengan telaten Pandan Wangi membantu ayahnya menyuapkan
makanannya.
Agaknya Pandan Wangi pun
menjadi sangat bersyukur bahwa ayahnya sudah menjadi semakin baik.
Pada siang harinya, Sutawijaya
benar-benar mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Ki Gede, meskipun Ki Gede
masih berada di pembaringannya. Tetapi sebelum Sutawijaya memasuki bilik Ki
Argapati gembala tua itu sudah berpesan, “Katakan yang paling penting saja
Anakmas. Jangan terlampau berkepanjangan, karena Ki Argapati masih belum
seharusnya memikirkan masalah-masalah yang berat.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Kemudian desisnya, “Kalau begitu, kenapa aku harus menunggu sampai
hari ini? Bukankah aku dapat meninggalkan pesan saja.”
“Kau masih terlampau muda
untuk mengerti perasaan orang tua-tua. Meskipun akhirnya kau meninggalkan
masalah itu kepada orang lain, tetapi bahwa kau sendiri sudah memerlukan datang
menemuinya, bagi orang tua, itu akan banyak memberikan arti. Kau sudah
menyatakan kesungguhan hatimu, dengan datang menemuinya sendiri.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” katanya.
Kemudian dengan diantar oleh
gembala tua itu, Sutawijaya memasuki bilik Ki Argapati.
“Maafkan, Anakmas,” berkata Ki
Argapati ketika ia melihat Sutawijaya, “aku tidak dapat menemui Anakmas
sebagaimana seharusnya aku menerima.”
Sutawijaya tersenyum. Sekilas
dipandanginya wajah Pandan Wangi yang buram oleh kelelahan yang sangat.
Kemudian jawabnya, “Aku tahu apa yang sedang terjadi Ki Gede. Karena itu,
silahkan. Ki Gede sedang terluka.”
Sutawijaya dan gembala tua itu
pun kemudian duduk di sebuah dingklik kayu di samping pembaringan.
Sementara itu Pandan Wangi
duduk di sudut ruangan. Seolah-olah ia selalu ingin menunggui dan mengawasi
ayahnya yang baru sakit itu.
Sejenak kemudian maka
Sutawijaya pun mulai mengatakan maksudnya dengan hati-hati. Ternyata Sutawjaya
adalah anak muda yang memang cerdas. Sebelum ia sampai pada persoalannya, maka
katanya, “Ki Argapati, yang pertama-tama, aku ingin menyampaikan salam dari
Ayah Ki Gede Pemanahan untuk Ki Argapati.”
Ki Argapati tersenyum. Sambil
mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Terima kasih. Terima kasih, Anakmas. Nanti
apabila Anakmas kembali, aku pun menyampaikan salam kepada Ki Gede Pemanahan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Baiklah Ki Gede. Aku akan
menyampaikannya kepada ayah.”
Ki Argapati yang menemui
Sutawijaya sambil berbaring di pembaringannya itu pun kemudian berkata,
“Sayang, Anakmas, aku tidak dapat menerima Anakmas sewajarnya. Keadaanku dan
keadaan rumah ini sama sekali tidak pantas bagi Anakmas.”
“O,” Sutawijaya menyahut, “aku
menyadari keadaan ini Ki Gede. Ki Gede tidak usah menganggap kedatanganku ini
sebagai suatu kunjungan yang penting.”
“Bagaimana pun juga, Anakmas
adalah orang penting bagi Pajang.”
Sutawijaya tersenyum, dan
sebelum ia menjawab Ki Argapati berkata, “Selain salam buat Ayahanda Ki Gede
Pemanahan, aku juga menyampaikan baktiku kepada Ayahanda Sultan Pajang.”
Sutawijaya kini mengerutkan
keningnya. Senyumnya tiba-tiba seperti tersapu dari bibirnya. Namun sejenak
kemudian ia memperbaiki kesan di wajahnya sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya, ya Ki Gede, apabila aku menghadap Ayahanda Sultan, maka aku
akan menyampaikannya.” Sutawijaya terdiam sejenak. Namun hal itu justru dapat
dijadikannya pancadan untuk menyampaikan maksudnya.
Maka anak muda itu pun
kemudian berkata, “Tetapi Ki Gede, kesempatanku untuk bertemu dengan Ayahanda
Sultan kini terlampau jarang.”
Argapati terperanjat.
“Kenapa?” ia bertanya.
“Aku sekarang berada di
Mentaok.”
“Alas Mentaok?”
“Ya, Ki Gede. Kami telah
membukanya. Desa di pinggir Alas Mentaok sampai ke Pliridan telah kami jadikan
modal. Dan kini daerah tersebut menjadi semakin ramai.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam.
Sutawijaya pun berkata
selanjutnya, “Kini untuk sementara aku berada bersama Ayahanda Pemanahan.”
Ki Argapati tidak segera
menyahut. Tetapi tampaklah sesuatu sedang bergetar di dalam hatinya.
“Ki Gede,” berkata Sutawijaya
kemudian, “karena itu pulalah aku datang kemari atas nama Ayah Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Argapati yang mempunyai
tangkapan yang tajam itu pun segera mengerti, meskipun Sutawijaya baru mulai
menyebut tentang tanah yang baru dibukanya itu. Meskipun demkian Ki Argapati
masih tetap berdiam diri dan memberi kesempatan kepada Sutawijaya untuk
mengatakannya.
Demikianlah Sutawjaya pun
kemudian berceritera tentang Alas Mentaok. Tentang janji Sultan Hadiwjaya atas
Tanah Mentaok dan Pati. Tentang Ki Gede Pemanahan yang menganggap bahwa Sultan
Pajang telah berkisar dari sifat-sifatnya semula.
Meskipun Sutawjaya selalu
mengingat pesan gembala tua untuk tidak mengatakan semua persoalannya, namun
ternyata Ki Argapati sendiri langsung dapat menangkap maksud Sutawijaya
seluruhnya.
Tetapi Sutawijaya memang
seorang anak muda yang bijaksana. Ketika ia hampir mengakhiri keterangannya
mengenai Alas Mentaok ia pun berkata, “Tetapi Ki Gede jangan dicengkam oleh
masalah yang sebenamya tidak begitu penting ini. Sebaiknya Ki Gede memusatkan
perhatian Ki Gede pada Tanah Perdikan yang kini sedang luka parah seperti Ki
Gede sendiri yang terluka.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Sekilas ia melihat Pandan Wangi yang duduk di sudut ruangan itu dengan wajah
yang tegang. Agaknya gadis itu pun mengikuti pembicaraan ayahnya dengan
saksama.
Dalam pada itu Sutawijaya
berkata pula, “Anggaplah bahwa kedatanganku ini hanya sekedar memberitahukan,
bahwa aku akan segera menjadi tetangga Tanah Perdikan ini. Ki Gede dan aku
nanti akan dapat membuat jembatan yang melangkahi Sungai Praga, sehingga
hubungan kami akan menjadi semakin baik.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia masih terlalu lemah, tetapi
nalarnya telah mampu mengungkap semua pembicaraan Sutawijaya, sehingga kemudian
Ki Argapati itu berkata dalam nada yang datar, “Maaf, Anakmas Sutawijaya.
Mungkin aku mendahului Anakmas. Tetapi sebaiknya aku memang mengatakannya
supaya tidak menjadi teka-teki yang tidak terjawab nanti, apabila Angger telah
meninggalkan Tanah Perdikan ini.”
Ketika Ki Argapati berhenti
sejenak, Sutawijaya menjadi berdebar-debar.
“Anakmas, kalau aku tidak
salah menanggapi pembicaraan Anakmas, maka di seberang Kali Praga akan segera
tumbuh suatu padukuhan baru. Padukuhan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan dan
putranya, pasti bukan sekedar padukuhan yang kecil. Tetapi aku yakin bahwa
padukuhan itu akan segera berkembang.”
Ki Argapati berhenti sejenak,
namun kemudian dilanjutkannya setelah menarik nafas panjang-panjang, “Bagiku
Anakmas, perkembangan daerah baru itu akan memberikan banyak keuntungan.
Setidak-tidaknya kami akan dapat membuka hubungan yang saling menguntungkan.
Apa yang tidak kami punyai di sini, sedangkan yang tidak kami punyai itu ada
berlebih-lebihan di tempat Anakmas, maka pasti bahwa Anakmas tidak berkeberatan
untuk memberikannya kepada kami, dan sebaliknya. Tetapi yang menjadi pertanyaan
kami, apakah Ki Gede Pemanahan sudah mendapat ijin, maksudku ijin yang
sebenarnya ijin, dari Ayahanda Sultan Hadiwijaya?”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Dibiarkannya Ki Argapati untuk berkata selanjutnya, “Menilik ceritera
Anakmas, agaknya Ki Gede Pemanahan telah menyatakan sikapnya tanpa menghiraukan
Sultan Pajang lagi. Apakah dengan demikian masalahnya tidak akan
berkepanjangan?”
Namun tiba-tiba Sutawijaya
tersenyum. Katanya, “Banyak masalah yang dapat kami persoalkan Ki Gede. Tetapi
aku tidak ingin mengganggu Ki Gede saat ini. Biarlah apa yang aku katakan
sekedar merupakan bahan pembicaraan Ki Gede beserta para pemimpin Tanah
Perdikan ini.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam pula. Sambil menganggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah, Anakmas.
Kami memang tidak akan mampu berbuat banyak saat ini, selagi masalah kami
sendiri masih belum selesai. Aku sudah mendapat laporan, bahwa Sidanti dan
Argajaya menunggu penyelesaian. Para pengungsi yang harus kembali ke tempatnya
masing-masing, dan masih banyak lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa untuk sementara persoalan yang
dikemukakan kepada Ki Argapati yang terluka itu sudah cukup. Meskipun masih ada
masalah yang penting biarlah disampaikan oleh gembala tua itu. Karena itu maka
ia pun berkata, “Ki Gede, meskipun belum semua masalah dapat aku katakan, namun
aku merasa beruntung sekali mendapat kesempatan bertemu dengan Ki Gede. Apa
yang sudah aku katakan akan menjadi bahan pertimbangan Ki Gede.”
Ki Gede mengangguk-angguk
pula. “Baiklah anakmas.” Ki Gede berhenti sejenak. Namun tiba-tiba dipandanginya
gembala tua yang duduk terangguk-angguk sambil berkata, “Anakmas, apakah Ki
Gede Pemanahan tidak pernah menyebut perguruan Windu Jati dalam hubungannya
dengan usahanya membuka alas Mentaok.”
Pertanyaan itu telah
mengejutkan gembala tua itu. Namun kesan itu hanya melintas sekejap di
wajahnya.
Sutawijaya sendiri hanya
termangu-mangu saja. Ia tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ki Argapati. Ki
Argapati yang terluka itu sempat tersenyum, katanya, “Mungkin Anakmas belum
pernah mengenal Padepokan Windu Jati. Padepokan yang selalu diliputi oleh
teka-teki.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, Ki Gede, aku memang belum
mengenal Padepokan Windu Jati.”
“Sudahlah, Anakmas,” berkata
Ki Argapati kemudian, “jangan hiraukan padepokan itu. Mungkin Ayahanda Ki Gede
Pemanahan sudah memperhitungkannya.”
“Kini,” berkata Sutawijaya
kemudian “aku minta diri.”
Meskipun Ki Argapati mencoba
menahanmya untuk satu dua hari, namun Sutawijaya berkeras untuk meninggalkan
Tanah Perdikan Menoreh, sehingga akhirnya Ki Argapati harus melepaskannya.
Pada hari itu juga Sutawijaya
benar-benar meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh, setelah ia minta diri pula
kepada Gupita dan Gupala. Sekali lagi Sutawijaya memperingatkan bahwa sebentar
lagi alas Mentaok akan menjadi sebuah negeri yang tidak akan kalah ramainya
dari Pati.
Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga
pun ikut bersama Sutawijaya kembali ke Alas Mentaok. Dengan demikian pengawasan
terhadap Sidanti kini dilakukan oleh sekelompok pengawal pilihan, langsung di
bawah pengamatan gembala tua itu.
Sementara itu Gupala yang
duduk bersandar tiang di ujung belakang gandok bersungut-sungut, Ki Hanggapati
dan Ki Dipasanga telah bebas dari pekerjaan yang menjemukan ini. “Seandainya
diperkenankan oleh guru aku akan mengikutinya sekarang. Aku sudah jemu sekali
disiksa oleh tugas ini.”
Gupita berpaling.
Dipandanginya wajah adik seperguruannya itu. Kemudian katanya, “Apakah kau
sudah mencoba mengatakannya kepada Guru?”
“Aku yakin, bahwa kita pasti
masih harus berada di tempat ini sampai waktu yang tidak terbatas.”
Gupita mengerutkan keningnya
sejenak. Kemudian katanya, “Apakah kau sudah benar-benar ingin mennggalkan
tempat ini? Kalau kau memang sudah tidak kerasan di sini, biarlah aku yang
minta ijin kepada Guru. Aku masih mengharap bahwa kita akan diijinkannnya
mengusul Sutawijaya.”
Gupala tidak segera menyahut.
“Biarlah Guru tinggal di sini
sementara.”
Gupala masih berdiam diri.
“Bagaimana? Bagiku tidak ada
yang mengikat di atas Tanah ini. Kau juga agaknya tidak ada sesuatu yang dapat
menarik perhatianmu.”
Gupala yang bersungut-sungut
itu menjadi semakin muram. Namun tiba-tiba ia tersenyum, “Ah, kau.”
“Jadi bagaimana?”
“Biarlah aku di sini untuk
sementara.”
Gupita pun tertawa pula. Ia
tahu apa yang tergetar di dalam hati Gupala meskipun ia tidak dapat
menyembunyikan kepada diri sendiri, getaran-getaran yang serupa. Namun Gupita
adalah seseorang yang sudah biasa mengendalikan dirinya. Bahkan agak
berlebih-lebihan.
Sementara itu, Alas Mentaok
memang sudah menjadi semakin ramai. Hubungan dengan padukuhan-padukuhan di
sekitarnya menjadi semakin luas. Namun perkembangan Alas Mentaok itu tidak
lepas dari pengamatan Pajang. Meskipun daerah itu akhirnya diserahkan dengan
resmi kepada Ki Gede Pemanahan, namun persoalan pada tingkat pertama dalam
hubungannya dengan tanah itu, sama sekali kurang menguntungkan, sehingga
seakan-akan ada sepucuk duri yang tajam membatasi antara Pajang dan Alas
Mentaok.
Seperti yang dicemaskan oleh
guru Gupita dan Gupala, maka sebenarnyalah pimpinan prajurit di Pajang telah
memerintahkan seorang senapati yang bernama Untara untuk mengamati perkembangan
daerah baru itu.
Dalam pada itu terbersit pula
kecemasan di dada senapati muda itu. Adiknya, Agung Sedayu yang pergi ke daerah
barat melintasi hutan Mentaok dan menyeberangi sungai Praga bersama Swandaru
dan gurunya, Kiai Gringsing, masih belum kembali. Apabila dalam perjalanan
mereka kembali, mereka menemukan Alas Mentaok sudah menjadi kota yang ramai,
mereka pasti akan tertahan di sana. Tetapi Untara tidak berbuat sesuatu. Ia
hanya dapat menunggu dalam kecemasan.
Sementara itu, para pengawal
di tanah Perdikan Menoreh masih sibuk membersihkan dirinya. Di sana-sini
kadang-kadang masih terjadi benturan-benturan kecil. Tapi pada umumnya mereka
yang selama ini telah tersesat mempercayai seruan pengampunan Ki Gede Menoreh.
Argajaya yang dikenal berhati
sekeras batu-batu padas, ternyata mulai memandang ke dalam dirinya sendiri.
Tanah Perdikan Menoreh kini seakan-akan telah menjadi abu, dibakar oleh api
pertentangan di antara keluarga sendiri, sehingga untuk membangun Menoreh,
diperlukan semua kemampuan, yang ada di atas Tanah Perdikan itu. Harta, benda,
tenaga maupun pikiran.
Gembala tua yang masih berada
di Tanah Perdikan Menoreh itu pun menjadi heran ketika ia melihat perubahan
sikap Argajaya. Pada suatu kesempatan, atas permintaan Ki Argapati, gembala tua
itu menemui Ki Argajaya.
Meskipun perasaan tinggi hati
masih juga nampak pada sikapnya, namun Argajaya sudah mulai bersikap lain.
“Ki Argapati masih terluka,”
berkata gembala tua itu, “sehingga ia masih belum sempat mengunjungimu.”
“Aku tidak mengharap kunjungan
siapa pun,” berkata Argajaya.
“Aku tahu,” berkata gembala
tua itu, “tetapi adalah wajar sekali, bahwa Ki Argapati selalu memperhatikan kau.
Kau adalah saudara muda daripadanya.”
Argajaya tidak menyahut.
Kepalanya menjadi tertunduk dalam-dalam.
“Aku memang mendapat pesan
dari Ki Argapati untuk menemui dan menyampaikan kepadamu akan hal itu.”
Ki Argajaya masih berdiam
diri. Tetapi dari sikapnya, gembala tua itu dapat meraba, bahwa Argajaya yang
keras hati itu sudah mulai melihat kesalahan sendiri.
Ketika Ki Argajaya kemudian
mengangkat wajahnya, gembala tua itu menunggu, apakah yang akan dikatakannya.
“Kiai,” berkata Ki Argajaya
itu kemudian, “apakah yang dikatakan oleh Kakang Argapati?”
“Ki Argapati pernah berkata
kepadaku bahwa semua tenaga dan kekuatan oang yang masih ada harus dikerahkan
untuk membangun kembali Tanah Perdikan ini.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mungkin Kakang Argapati benar-benar berkata
demikian. Tetapi itu tidak ditujukan kepadaku. Kakang Argapati pasti lebih
menghargai Kiai dan murid-murid Kiai itu, meskipun mereka orang asing bagi kami
di sini.”
“Tidak. Bukan begitu. Semua
tenaga yang masih mungkin dipergunakan harus dipergunakan. Apalagi tenaga
putra-putra Menoreh sendiri.”
Ki Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Katanya lebih ditujukan kepada diri sendiri, “Tetapi tidak untuk
aku.”
“Kenapa?” bertanya gembala tua
itu. “Kalau kau sudah melihat kesalahan sendiri, kemudian bersedia untuk
memperbaiki, apakah salahnya?”
“Apakah aku pernah bersalah?”
“Kepada Tanah Perdikan ini dan
kepada Ki Argapati?”
Sekali lagi Argajaya
menundukkan kepalanya. Kemudian terdengar ia berdesis, “Ya. Aku ikut membakar
Tanah ini. Itu semata-mata karena kebodohanku dan keragu-raguan Kakang Argapati
sendiri. Kalau ia tidak membiarkan kami dicengkam oleh kegelisahan karena
permusuhan dengan orang-orang Pajang, maka kami tidak akan berbuat begitu
bodoh.”
“Tetapi perhitungan siapakah
yang benar? Orang-orang Pajang pun tidak akan begitu bodoh menyeberangi sungai
Praga tanpa memperhitungkan bahaya yang mengancam di seberang. Apalagi Pajang
yang belum sempat tegak benar itu sudah mulai goyah kembali.”
Ki Argajaya tidak segera
menjawab.
“Ternyata Ki Argapati adalah
seorang yang berpandangan sangat tajam. Dan kau harus berbangga karenanya,
bahwa kau mempunyai seorang kakak seperti itu.”
Ki Argajaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Aku tahu, Kakang Argapati adalah
seorang yang berpijak pada ketentuan yang sudah digariskannya. Dan itu akan
berlaku bagi siapa pun, meskipun bagi adiknya sendiri. Siapa yang bersalah akan
menerima hukuman. Aku pun pasti akan dihukumnya.” Argajaya berhenti sejenak,
kemudian, “Tetapi aku tidak akan ingkar. Aku akan menjalaninya dengan dada
tengadah. Itu sudah menjadi akibat yang aku perhitungkan.”
Gembala tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Teringat olehnya sikap Argajaya di ujung Gunung
Baka, di tepian Kali Opak. Ia sama sekali tidak gentar menghadapi ujung tombak
Sutawijaya, meskipun tombaknya sendiri sudah terlepas dari tangannya. Ia masih
berani menantang agar anak muda itu membunuhnya. Baginya memang lebih baik mati
daripada mengaku kalah.
Sikap itu kini masih juga
terasa, meskipun nadanya sudah lain. Kini ia melihat kesalahan itu ada di dalam
dirinya. Tetapi dengan jantan ia bertanggung jawab atas kesalahannya.
“Ki Argajaya,” berkata gembala
itu “pada suatu saat Ki Argapati akan memanggilmu. Ia ingin berbicara langsung
dengan kau sendiri.”
“Ia akan memberitahukan
hukuman apakah yang dipilihnya untukku.” Ki Argajaya berhenti sejenak. Setelah
menelan ludahnya ia meneruskan, “Kiai, akulah yang telah melakukan kesalahan
ini. Karena itu, aku minta tolong kepadamu apabila Kiai masih sempat untuk
menemukan anakku. Ia masih terlampau muda. Mungkin Kakang Argapati mau
memaafkannya. Ia hanya sekedar hanyut saja ke dalam arus yang tidak
dimengertinya.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Baik. Baiklah. Aku akan mencarinya. Mungkin
orang-orang lain akan berusaha pula. Aku sendiri akan mengatakannya kepada Ki
Argapati permintaan itu, agar anak itu tidak dipersalahkannya pula. Aku yakin
bahwa Ki Argapati tidak akan berkeberatan. Bahkan secara umum Ki Argapati sudah
menyerukan pengampunan bagi mereka yang menyerah. Tetapi bagi mereka yang
melanjutkan perlawanan karena sikap putus asa, mereka akan benar-benar
dihancurkan.”
Argajaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi dengan nada yang dalam ia bertanya, “Kakang Argapati menyerukan
pengampunan umum bagi mereka yang melawannya selama ini?”
“Ya.”
Argajaya menarik nafas
dalam-dalam.
“Ki Argapati tidak akan dapat
membuat beratus-ratus tiang gantungan di alun-alun,” berkata gembala itu.
“Tetapi ada nilai yang lebih tinggi dari kesulitan tiang gantungan itu. Ki
Argapati memang memiliki jiwa besar. Ia melihat masa depan Tanah ini sebagai
suatu kenyataan. Tetapi ia pun dapat bertindak tegas terhadap mereka yang
mencoba merintangi usahanya.”
Argajaya masih tetap berdiam
diri. Pandangan matanya jauh menyusup pintu yang tidak tertutup rapat. Sudah
agak lama ia tersekap di dalam bilik yang sempit. Sepi dan sendiri. Sudah agak
lama ia mendapat kesempatan mempertimbangkan keadaannya, apa yang sudah,
sedang, dan akan dilakukan.
Dan karena Argajaya tidak
segera menjawab, maka gembala itu pun berkata selanjutnya, “Ki Argajaya,
sebenarnyalah bahwa Ki Argapati ingin mengetahui sikapmu sekarang, setelah kau
merenung beberapa saat lamanya.”
Bagaimana pun juga, ternyata
Ki Argajaya tetap seorang yang tinggi hati. Meskipun ia mengakui di dalam
hatinya sampai ke segenap relung, namun ia menjawab, “Aku akan mengatakannya
kepada Ki Argapati. Baik ia sebagai kakakku mau pun ia sebagai Kepala Tanah
Perdikan yang telah mampu mempertahankan diri dari sebuah guncangan yang
dahsyat. Aku akan mengatakan sikapku kepadanya. Tidak kepada siapa pun. Tidak
kepadamu, Kiai. Karena kau bukan apa-apa di sini. Kau bukan pemimpin dan bukan
tetua Tanah ini.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya.
“Jangan kau kira,” berkata
Argajaya, “bahwa, tanpa kau, persoalan Tanah ini tidak akan dapat selesai. Kau
sama sekali tidak kami perlukan di sini.”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian tersenyum. “Ya. Ya. Kau memang tidak memerlukan aku,
kecuali untuk sekedar mencari anakmu yang hilang. Tetapi aku tidak akan ingkar
atas tugas kemanusiaan itu. Kalau aku dapat menemukannya, aku akan berusaha
menolongnya. Menariknya dari arus yang telah kau sediakan sendiri untuk
menyeret anakmu yang tidak bersalah itu.”
Wajah Argajaya menegang
sejenak. Tiba-tiba tubuhnya serasa menjadi lemah. Kepalanya perlahan-lahan
menunduk. Tetapi ia tidak mengatakan sepatah kata pun.
“Baiklah, Ki Argajaya,”
berkata gembala itu, “aku akan menyampaikan semua pesanmu, semua jawabanmu dan
semua yang aku ketahui kepada Ki Argapati.”
Argaayaya masih tetap berdiam
diri.
“Apakah kau masih mempunyai
pesan?”
Argajaya seakan-akan acuh
tidak acuh saja, meskipun tampak di wajahnya kekecewaan dan kegelisahan.
“Jadi, bagaimana?” bertanya
gembala itu.
Ki Argajaya tetap tidak
menjawab.
“Baiklah. Baiklah. Aku minta
diri.”
Argajaya sama sekali tidak
bergerak. Kepalanya pun tidak. Dibiarkannya saja gembala tua itu berjalan ke
pintu yang tidak tertutup rapat.
Namun ketika tangan orang tua
itu telah meraih daun pintu lereg, terdengar ia berkata, “Kiai. Aku tidak akan
minta apa pun kepadamu, selain pesan tentang anakku.”
Gembala itu berbalik. Sebuah
senyum membayang di wajahnya. “Aku akan berusaha.”
“Leherku sudah aku siapkan
buat umpan tiang gantungan. Tetapi aku harap anak laki-laki itu tidak.”
“Aku akan berusaha.”
“Hem,” Argajaya menarik nafas
dalam-dalam. Terdengar ia menggeram, “Kau terlampau berkuasa di sini Kiai.
Sebenarnya kau harus menyingkir. Kau terlampau banyak ikut campur dalam
persoalan kami.”
“Bukan maksudku, Ki Argajaya,”
jawab orang tua itu, “tetapi aku justru telah mengorbankan diriku untuk menjadi
pesuruh lengkap dari Ki Argapati. Dari mengobati lukanya sampai masalah-masalah
keluarga seperti ini.”
“Bohong! Apakah yang telah kau
tuntut daripadanya? Separo dari Tanah Perdikan ini? Sepertiga atau kau ingin
salah seorang muridmu menjadi menantunya yang dengan demikian akan menjadi
pewaris Tanah ini?”
“He?” gembala tua itu justru
berdiri tegak dengan penuh keheranan. Sama sekali tidak terlintas di kepalanya
tuntutan serupa itu. Separo Tanah ini atau menantu? Sambil menggelengkan
kepalanya ia menjawab, “Pertanyaanmu aneh. Kau pasti pernah mendengar, apa yang
aku dapatkan dari Pajang setelah aku dan murid-muridku membantu memecahkan padepokan
Tambak Wedi? Kami mempertaruhkan nyawa kami tanpa pamrih.”
“Bohong!” Argajaya hampir
berteriak. “Kau anggap kau berkelahi tanpa pamrih? Jangan kau kira aku tidak
tahu Kiai. Kau ingin menyelamatkan Kademangan Sangkal Putung, kademangan ayah
dari salah seorang muridmu. Kau ingin menyingkirkan Angger Sidanti dari Sekar
Mirah, seorang gadis yang diinginkan oleh muridmu yang lain. Tanah dan
perempuan adalah lambang perjuangan laki-laki jantan. Katakan sekarang bahwa
kau tidak mempunyai pamrih apa pun. Juga atas Tanah Perdikan ini? Aku yakin kau
mempunyai pamrih serupa.”
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Kepalanya digeleng- gelengkannya, seolah-olah ia ingin meyakinkan
dirinya sendiri atas kata-kata Argajaya itu.
“Eh, begitu bodoh aku ini,”
katanya. “Sebagian memang benar. Tetapi terlampau murah untuk menilai seluruh
perjuangan kami atas dasar itu, tanpa menilai sikap orang-orang yang
bersembunyi di balik dinding padepokan Tambak Wedi.” Orang tua itu berhenti
sejenak, lalu, “Apakah kau dapat menyebut pembebasan Sangkal Putung dan Sekar
Mirah itu suatu pamrih?”
Argajaya terdiam. Ia tidak
dapat menjawab pertanyaan gembala itu. Apakah perjuangan untuk membebaskan
Sangkal Putung dari ancaman Tambak Wedi dan pembebasan Sekar Mirah itu pamrih
atau memang tujuan perjuangan mereka.
“Aku pun menjadi sangat
bodoh,” desisnya di dalam hati.
“Sudahlah, sebaiknya kita
tidak berbantah tentang lelucon-lelucon yang tidak kita pahami. Sekarang, aku
akan menghadap Ki Argapati untuk melihat lukanya dan menyampaikan laporan.”
“Kiai,” tiba-tiba suara
Argajaya merendah, “bagaimana dengan keadaan Sidanti sekarang?”
Gembala tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Dalam keadaannya itu Argajaya masih juga sempat bertanya tentang
keadaan Sidanti. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya gembala itu menjawab,
“Bak. Keadaannya cukup baik, meskipun ia harus tetap berada di tempatnya.”
Argajaya menundukkan wajahnya.
Tetapi ia tidak bertanya apa pun lagi.
“Apakah Ki Argajaya masih
mempunyai pesan tentang apa pun?”
Ki Argajaya menggeleng, tetapi
tidak sepatah kata pun terlontar dari bibirnya.
“Baiklah. Aku akan minta diri.
Kalau Ki Argajaya memerlukan sesuatu, di luar ada beberapa orang yang dapat kau
panggil.”
“Aku sudah tahu,” tiba-tiba
Argajaya menjawab lantang, “aku sudah tahu kalau seseorang yang ditahan pasti
dijaga oleh beberapa orang. Mereka sama sekali tidak berada di situ,
menyediakan diri melayani aku apabila aku memerlukan mereka. Tetapi mereka
mengawasi kalau-kalau aku akan lari.”
Gembala itu menarik nafas.
Katanya “Ya, begitulah kira-kira.”
“Kalau Kiai mau meninggalkan
ruangan ini silahkanlah. Jangan mengatakan lelucon-lelucon yang tidak perlu
lagi bagiku.”
Gembala itu mengangguk-angguk.
“Baik. Baik. Aku memang terlampau banyak berbicara.”
Maka gembala itu pun kemudian
meninggalkan ruangan yang suram itu. Ketika pintu kemudian ditutup dan
diselarak, sekali lagi gembala itu menarik nafas dalam-dalam. Yang berada di
dalam ruangan itu adalah adik Kepala Tanah Perdikan ini sendiri.
“Tetapi apa boleh buat.
Semakin tinggi kedudukan seseorang, apabila ia berniat jahat, ia menjadi
semakin berbahaya,” berkata gembala itu di dalam hatinya.
Ketika kemudian gembala itu
menemui Argapati, selain untuk mengobati luka-lukanya, maka dikatakannya pula
apa yang telah dibicarakannya dengan Argajaya. Seperti yang dipesankan
Argajaya, gembala tua itu menyinggung pula tentang anak laki-laki yang mohon
diampunkan segala kesalahannya.
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia selama ini tidak pernah membeda-bedakan
sikap kepada siapa pun yang bersalah, tetapi ketika yang bersalah itu adalah
adiknya sendiri, maka dadanya pun serasa diguncang-guncang. Apalagi dada itu
masih terasa pedih karena luka yang masih cukup parah.
“Baiklah, Kiai,” berkata Ki
Argapati, “betapa pun beratnya, adalah kewajibanku untuk menyelesaikannya.”
“Kemudian juga masalah
Sidanti, Ki Gede,” berkata gembala itu.
Ki Argapati terdiam sejenak.
Tatapan matanya yang lurus ke atas, serasa akan menembus langit-langit yang
terbentang di atas pembaringannya.
“Temuilah anak itu, Kiai,”
berkata Ki Argapati tiba-tiba. “Aku minta tolong. Tidak ada orang lain yang
dapat aku percaya.”
Belum lagi gembala itu
menjawab, terdengar Pandan Wangi menyahut, “Aku dapat melakukannya, Ayah.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kau memang dapat melakukannya, Pandan
Wangi. Tetapi kita belum dapat menjajagi perasaan Sidanti sekarang.”
“Biarlah aku menemuinya.”
“Kau dapat menemuinya
kemudian.”
“Biarlah aku yang pertama-tama
menemuinya, Ayah. Sebelum orang lain. Aku berharap bahwa Kakang Sidanti dapat
mengatakan isi hatinya kepadaku. Karena aku adalah adiknya.”
Sesuatu terassa berdesir di
dada orang tua itu. Pandan Wangi, satu-satunya anak yang diharapkan mewarisi
Tanah Perdikan ini memang adik Sidanti. Tetapi, setelah Sidanti membakar Tanah
Perdikan ini menjadi abu, semakin terasa olehnya, jarak yang terbentang di
antara mereka.”
“Bagainyana, Ayah? Apakah Ayah
lebih percaya kepada orang lain daripada kepadaku?”
Ki Argapati tidak mencegahnya
lagi. Meskipun demikian ia berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Kau dapat
mengunjunginya. Tetapi untuk kebaikanmu sendiri, biarlah gembala itu
mengikutimu.”
“Apakah gunanya?”
“Tidak apa-apa. Itu hanya
sekedar sikap hati-hati.”
“Kakang Sidanti tidak akan
berbuat apa-apa kepadaku. Aku yakin.”
“Tetapi apakah salahnya orang
itu menyaksikan pertemuanmu dengan Sidanti.”
Pandan Wangi merenung sejenak.
Kemudian ia menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Apa boleh buat, apabila Ayah
menghendaki.”
Pandan Wangi pun kemudian
minta diri kepada ayahnya sejenak untuk menemui kakaknya, Sidanti, yang berada
di ujung lain dari ruangan tengah itu.
“Tolong, Kiai, amatilah
anak-anak itu.”
Gembala itu mengangguk,
“Baiklah, Ki Gede. Aku akan mengamati mereka. Mudah-mudahan tidak terjadi
sesuatu, karena tampaknya mereka sangat baik.”
Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Itulah yang membuat kepalaku
selama ini menjadi semakin pening.”
Gembala tua itu pun kemudian
meninggalkan bilik Ki Argapati pula mengikuti Pandan Wangi. Ia masih melihat
Pandan Wangi berbicara dengan para pengawal yang bertugas menjaga Sidanti.
“Apakah Ki Argapati sudah
mengijinkan?” salah seorang dari mereka bertanya.
“Tentu. Aku mendapat perintah
dari Ayah untuk menemuinya.”
Pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Silahkan.”
“Aku juga,” sela gembala tua
yang sudah berdiri di belakang para pengawal itu.
Pandan Wangi pun kemudian
membuka selarak pintu bilik itu. Tetapi tanpa disangka-sangka, pintu itu
tiba-tiba telah terbuka. Sidanti sudah siap menyerang siapa saja yang berada di
muka pintu. Seperti seekor harimau lapar ia meloncat menerkam Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak menyangka,
bahwa Sidanti akan berbuat demikian, sehingga karena itu, ia sama sekali tidak
bersiap menghadapinya.
Meskipun demikian Pandan Wangi
telah terlatih lahir dan batinnya menghadapi setiap persoalan. Meskipun ia
tidak bersiap sama sekali, namun gerak naluriahnya telah melemparkannya
selangkah ke samping secepat terkaman Sidanti. Namun demikian, tangan Sidanti
masih berhasil mengenai pundaknya, sehingga gadis itu terdorong beberapa
langkah surut. Dengan susah payah ia berusaha, untuk tetap tegak dan menguasai
keseimbangannya.
Para pengawal yang melihat
peristiwa itu pun segera berloncatan memencar dengan senjata masing-masing.
Mereka sadar bahwa Sidanti adalah seorang yang berilmu tinggi. Apalagi dalam
keadaan serupa itu.
Namun ternyata Sidanti tidak
dapat berbuat terlampau banyak. Ketika ia akan menyerang para pengawal, maka
terasa sebuah telapak tangan melekat di tengkuknya. Dengan tangkasnya ia
merendahkan dirinya, berputar pada lututnya sambil memukul tangan yang sudah
mencengkam tengkuknya itu. Namun ia tidak berhasil. Tiba-tiba saja terasa
seakan-akan seluruh sendi-sendinya terlepas, dan Sidanti itu pun kehilangan tenaganya.
“Jangan terlampau bernafsu,
Ngger,” desis gembala tua itu.
Sidanti masih mencoba untuk
tetap berdiri di atas kedua kakinya. Dengan suara gemetar ia menjawab, “Apakah
kau masih tidak puas dengan segala campur tanganmu di mana pun, he tua bangka?”
Gembala tua itu tidak
menjawab. Dibimbingnya Sidanti untuk kembali ke dalam biliknya. Kemudian
diletakkannya ia di pembaringannya.
“Pergi, pergi kau!” anak muda
itu membentak.
Tetapi gembala tua itu masih
tetap berdiri di tempatnya.
“Pergi kataku!” Sidanti
berteriak.
“Tenanglah, Ngger. Sebaiknya
Angger mencoba menenangkan diri sejenak. Adikmu, Angger Pandan Wangi ingin
bertemu.”
Sdanti mengerutkan keningnya.
Ketika ia memandangi pintu, ia melihat Pandan Wangi berdiri tegak dengan kaki
renggang dan sepasang pedang di lambungnya.
“Kau akan membunuh aku?”
bertanya Sidanti dengan kasar.
Tampaklah wajah gadis itu
menjadi terlampau muram. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa demikianlah
sambutan kakaknya atas kedatangannya.
Perlahan-lahan ia menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak, Kakang. Aku sekedar ingin melihat keadaan Kakang di
sini.”
“Sambil menengadahkan dada
menyorakkan kemenanganmu?”
“Sama sekali tidak, Kakang.
Sama sekali tidak. Tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah di antara
kita berdua. Bagaimana pun akhirnya, kita tinggal menemukan Tanah Perdikan ini
yang telah menjadi abu.”
“Dan kau akan menyalahkan aku?
Kau akan menuduh akulah yang menyebabkan Tanah Perdikan ini kini menjadi
hancur? Kau akan menunjuk hidungku sambil berkata, bahwa aku adalah seorang
pengkhianat.”
Pandan Wangi menggeleng.
Tetapi tampak keragu-raguan membayang di wajahnya, meskipun mulutnya berkata,
“Tidak, Kakang.”
“Bohong! Jangan mencoba menipu
aku. Meskipun kau menggeleng dan mulutmu berkata ‘tidak,’ tetapi sorot matamu
tidak dapat kau pungkiri.”
Pandan Wangi menjadi bingung.
Bagaimana ia menghadapi kakaknya yang kini seakan-akan menjadi sangat asing,
baginya.
“Kakang,” Pandan Wangi mencoba
membujuknya, “marilah kita melupakan apa yang sudah terjadi. Aku akan minta
agar Ayah pun mau melupakannya. Marilah kita menghadapi masa depan dengan tekad
baru. Reruntuhan ini seharusnya kita tegakkan kembali.”
“Huh,” Sidanti mencibirkar
bibirnya, “aku bukan anak-anak yang dapat kau bujuk dengan sepotong gula
kelapa.” Tiba-tiba Sidanti berteriak, “Ayo, katakan kepada Argapati, kepada
ayahmu itu. Kalau ia akan membunuh aku, cepatlah dikerjakan. Aku sudah siap.”
“Jangan berpikir begitu,
Kakang. Ayah tidak akan melakukannya.”
“Omong kosong! Ayah itu adalah
ayahmu. Bukan ayahku. Ia tidak akan memperlakukan kau seperti memperlakukan
aku. Lihat, aku sudah dikurungnya seperti kambing di dalam kandang yang kotor
pengap ini.”
“Tetapi bukan maksudnya.
Ruangan rumah ini tidak ada yang tidak kotor, Kakang. Semua bilik-biliknya seperti
bilik hantu.”
“Dan akulah yang mengotorinya,
setelah rumah ini aku duduki beberapa lama. Begitu maksudmu?”
Pandan Wangi menarik nafas. Ia
sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan berhadapan dengan Sidanti yang lain
sama sekali dari Sidanti yang dikenalnya.
“Benar juga kata Ayah,”
berkata gadis itu di dalam hatinya, “dan benar juga gembala tua itu. Kalau ia
tidak mengawani aku, mungkin Kakang Sidanti telah berbuat sesuatu di luar
dugaan. Setidak-tidaknya ia akan berusaha melarikan dirinya kembali.”
Pandan Wangi terperanjat
ketika tiba-tiba Sidanti berkata lantang, “Tinggalkan aku sendiri.”
“Kakang,” berkata Pandan
Wangi. Ia masih berusaha untuk yang terakhir kalinya, “Orang lain pun akan
diampuni. Apalagi kau. Tanah ini memerlukan apa saja yang dapat membantu
menegakkannya kembali. Apalagi tenagamu, Kakang.”
“Diam! Diam kau perempuan
celaka. Kau selalu berbicara tentang ayahmu. Kau sangka aku tidak tahu, bahwa
kami, yang kalian anggap tawanan itu akan kalian pekerjakan seperti sapi dan
lembu? Aku tidak mau. Lebih baik aku dibunuh daripada aku harus merangkak
menarik bajak.”
“Kau keliru, Kakang.”
“Pergi! Pergi kau dari sini!
Pergi! Kau juga tua bangka. Aku tidak memerlukan kalian sama sekali.” Tiba-tiba
Sidanti berusaha untuk bangkit, sambil mengepalkan tinjunya. Tetapi ia terduduk
kembali. Ternyata kekuatannya masih belum pulih sama sekali, sehingga hanya
matanya sajalah yang seakan-akan menyala membakar seluruh ruangan.
Pandan Wangi dan gembala tua
itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Kini mereka benar-benar
dihadapkan pada kekerasan hati Sidanti. Ia sama sekali tidak mau melihat
kenyataan yang dihadapinya, yang justru semuanya itu telah membuat hatinya
menjadi semakin gelap.
Bayangan-bayangan yang hitam
selalu merupakan kabut yang menghantuinya. Ia sama sekali tidak dapat melihat,
apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang. Karena itulah maka Sidanti itu
berbuat berlebih-lebihan di dalam kelam.
Pandan Wangi akhirnya merasa,
bahwa saatnya masih tidak tepat untuk dapat berbicara dengan baik. Hati Sidanti
sama sekali masih belum terbuka. Karena itu, ketika Sidanti sekali lagi
berteriak mengusirnya, ia berkata, “Baik, Kakang. Aku akan pergi.”
Bersama gembala tua itu,
akhirnya Pandan Wangi meninggalkan bilik Sidanti. Sementara kemudian Sidanti
mendengar slarak pintu bergerit di luar.
Suara itu tiba-tiba saja telah
membangkitkan kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia
meloncat tertatih-tatih ke arah pintu yang tertutup rapat. Dengan sisa-sisa
tenaganya ia memukul pintu itu sekuat-kuatnya. Tetapi kekuatannya memang belum
pulih kembali. Karena itu luapan perasaan yang tidak terkendali itu telah
membuatnya seakan-akan kehilangan kesadaran.
Ketika ia menghentakkan
dirinya, menghantam pintu itu sekali lagi, maka seluruh sisa-sisa kekuatannya
yang memang belum pulih itu seakan-akan telah terkuras habis, sehingga
perlahan-lahan Sidanti terjatuh di muka pintu. Meskipun tangannya mencoba
meraih dan berpegangan uger-uger, tetapi akhirnya dengan lemahnya ia terduduk
bersandar dinding.
“Dukun gila. Ia telah menyihir
aku, sehingga aku kehilangan sebagian dari kekuatanku,” ia menggeram.
Dalam pada itu, gembala tua
itu masih berdiri di luar pintu. Dengan dada yang berdebar-debar ia mendengar
usaha Sidanti untuk memecah pintu. Bahkan para pengawal pun telah siap dengan
senjata masing-masing, sedang Pandan Wangi berdiri dengan penuh kebimbangan
beberapa langkah dari pintu yang berderak-derak itu. Namun setiap kali perasaan
seorang gadis telah menyentuh-nyentuh jantungnya. Yang berada di dalam bilik
yang kotor pengap itu adalah kakaknya. Kakak yang baik baginya sejak
kanak-kanak. Tetapi keadaan dan jalan yang bersimpangan telah membuat mereka
berhadapan.
Ketika bilik itu seakan-akan
sudah menjadi tenang, maka gembala tua itu pun berdesis, “Sudahlah, Ngger,
tinggalkan bilik ini. Kembalilah kepada Ki Argapati. Mungkin Ki Argapati
memerlukan minum atau pelayanan apa pun.”
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. “Baik, Kiai.”
“Biarlah aku untuk sementara
tinggal di sini,” berkata gembala tua itu.
Pandan Wangi pun kemudian
meninggalkan pintu bilik itu dengan kepala tunduk. Perlahan-lahan ia berjalan
di ruang tengah, menuju ke bilik ayahnya. Kini ia melihat, bahwa ayahnya memang
bersikap hati-hati. Bukan sekedar didorong oleh kemarahanaya kepada Sidanti
sajalah ia membatasi dan mengawasi anak itu dengan sangat ketat. Tetapi Sidanti
memang berbahaya.
Demikian ia memasuki bilik
ayahnya, terdengar ayahnya bertanya, “Kau tidak apa-apa, Pandan Wangi?”
Pandan Wangi menjadi heran
mendengar pertanyaan itu, seolah-olah ayahnya melihat apa yang baru saja
terjadi.
Karena Pandan Wangi tidak
segera menyahut, maka Ki Argapati melanjutkannya, “Aku mendengar lamat-lamat
suara Sidanti berteriak-teriak. Apakah ia marah karena kunjunganmu yang
dianggapnya menghina?”
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya. Kini ia semakin yakin, bahwa ayahnya mengenal Sidanti lebih baik
daripadanya.
Perlahan-lahan maka ia pun
menjawab, “Ya, Ayah.”
“Aku sudah menduga. Itulah
sebabnya, aku semula mencegahmu untuk menemuinya.”
Kepala Pandan Wangi pun
menjadi semakin menunduk.
“Anak yang keras dan tinggi
hati itu tidak akan dapat mengerti perasaanmu. Kau pasti disangkanya datang
untuk mengatakan bahwa kau telah menang, dan Sidanti telah kalah. Atau bahkan
lebih daripada itu, kau dianggapnya akan berbuat sewenang-wenang saja atasnya.”
“Ya, Ayah,” desis Pandan Wangi
hampir tidak terdengar.
Ayahnya yang sedang sakit itu
ternyata dapat membaca perasaan kedua kakak-beradik itu meskipun tidak tepat
benar.
“Pandan Wangi,” berkata Ki Argapati
kemudian, “kalian berdua memang terlampau dilibat oleh perasaan kalian,
sehingga suasana yang terjadi justru sebaliknya dari yang kalian harapkan. Kau
selalu dicengkam oleh perasaan seorang adik yang baik, yang merasa berhutang
budi dan barangkali kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah seorang adik.
Sementara itu Sidanti dibayangi oleh kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
Kematian orang-orang terdekat dan justru perasaan bersalah di dasar hatinya.
Tetapi ia ingin meniadakan perasaan-perasaan itu, sehingga ledakan-ledakan yang
demikian akan terjadi.”
Pandan Wangi mengangguk-angguk
kecil.
“Kalau aku sudah berangsur
baik, Wangi,” berkata Ki Argapati, “aku akan memanggil pamanmu Argajaya dan
Sidanti berganti-ganti. Aku ingin berbicara langsung dengan mereka
satu-persatu. Apakah aku masih dapat mengharapkan mereka, atau tidak sama
sekali. Kalau aku masih dapat berharap tentang mereka, biarlah mereka mendapat
kesempatan untuk ikut membangun kembali reruntuhan Tanah Perdikan yang parah
ini. Tetapi kalau tidak, apa boleh buat. Mereka tidak boleh justru menjadi
penghalang yang selalu mengganggu kerja kami saja.”
“Jika demikian, apakah yang
akan Ayah lakukan atas mereka? Apakah mereka akan dihukum mati?”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya “Aku belum memikirkannya sampai begitu jauh. Tetapi
setidak-tidaknya mereka harus dikurung dalam sangkar yang kuat untuk waktu yang
tidak terbatas. Sebab kami yakin, bahwa kami tidak akan dapat mempergunakan
tenaga Gupala dan Gupita terus-menerus. Pada suatu saat mereka pasti akan
meninggalkan Tanah Perdikan ini.”