Demikianlah, maka sejenak
kemudian mereka berdua telah terlibat dalam sebuah pekelahian yang semakin
sengit. Pedang Sidanti berputar dengan cepatnya sedang senjata khususnya di
tangan kiri dipergunakannya sebagai perisai, namun kadang-kadang senjata itulah
yang mematuk dengan sangat berbahaya. Sebuah sentuhan dan goresan pada kulit
lawan, maka akibatnya akan dapat berarti maut.
Tetapi lawan Sidanti itu dapat
mempergunakan senjatanya dengan sangat cekatan pula. Sepasang kakinya ternyata
terlampau lincah. Loncatan-loncatan yang panjang telah membingungkan lawannya.
Ujung tombaknya yang bernama Kiai Pasir Sewukir ternyata dapat menusuk lawannya
dari segala arah. Ujung yang satu itu seolah-olah kini berubah menjadi berpuluh-puluh
mata tombak yang mematuk dari segenap penjuru.
Sementara itu pertempuran
semakin lama menjadi semakin seru. Orang-orang Jipang yang berjumlah lebih dari
dua kali lipat itu terpaksa menahan nafsu mereka untuk segera dapat
membinasakan lawan mereka. Para prajurit Pajang ternyata mampu menguasai medan
dengan derap kuda mereka. Bahkan kini orang-orang Jipang sama sekali sudah
tidak mampu untuk mengepung para prajurit Pajang yang dapat bergerak lebih
cepat dari mereka.
Tetapi orang-orang Jipang yang
seakan-akan mendapat kesempatan untuk meluapkan dendam mereka itu, bertempur
dengan nafsu yang menyala-nyala. Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya adalah
penyebab langsung dari kematian Adipati Jipang. Karena itu, maka apabila
orang-orang Jipang itu dapat membinasakan keduanya, maka seolah-olah sebagian
dari dendam mereka sudah dapat mereka lepaskan. Apalagi jumlah mereka yang jauh
lebih banyak dari pada lawan-lawan mereka.
Dalam kekalutan peperangan,
maka satu demi satu para prajurit Pajang terpaksa berloncatan turun dari
kuda-kuda mereka. Orang-orang Jipang yang menemui beberapa kesulitan atas
kuda-kuda lawan mereka, ternyata telah berusaha untuk pertama-tama melumpuhkan
kuda-kuda itu. Dengan demikian, maka para penunggangnya akan terpaksa turun dan
bertempur di atas tanah.
Para prajurit Pajang pun
menyadari pula cara itu. Sebagian dari mereka yang masih berada di
punggung-punggung kuda mereka, kini menyerang orang-orang Jipang dengan cara
yang lain. Mereka menyambar-nyambar seperti elang. Menukik, kemudian membubung
tinggi. Pedang-pedang mereka yang tajam berkilat-kilat seakan-akan memancarkan
sinar yang melontar dari daerah maut.
Namun bagaimanapun juga,
jumlah yang jauh lebih banyak itupun banyak mempengaruhi keadaan. Apalagi yang
berjumlah dua kali lipat itupun terdiri dari prajurit-prajurit yang cukup
terlatih dan berpengalaman pula dalam berbagai bentuk pertempuran.
Ki Gede Pemanahan melihat
keadaan itu dengan hati yang berdebar-debar, tetapi ia tidak dapat melepaskan
Ki Tambak Wedi. Bahkan ia harus tetap berusaha mengikat orang tua itu dalam
pertempuran melawannya. Meskipun demikian Ki Gede Pemanahan berusaha supaya ia
tetap berada di atas punggung kudanya.
Meskipun demikian, keadaan
yang menguntungkan itu masih belum memuaskan Ki Tambak Wedi. Ia ingin pekerjaan
itu cepat selesai. Orang-orang Pajang itu segera dapat dibinasakan, untuk
kemudian mereka akan segera menghilang. Setelah mereka berhasil meninggalkan
bencana yang akan membakar tidak saja para prajurit Pajang di sangkal Putung,
tetapi segenap prajurit Pajang yang tersebar di pasisir Kidul sampai ke pasisir
Lor. Meskipun Ki Tambak Wedi menyadari akibatnya kemudian, namun ia telah
menyiapkan dirinya untuk menghadapi kemungkinan itu. Ia akan dapat menghimpun
kekuatan dengan segera di lereng Merapi ini. Kemudian memanfaatkan kekuatan
yang tersimpan di seberang hutan Mentaok, di sepanjang pegunungan Menoreh,
daerah yang dikuasai oleh ayah Sidanti. Seorang kepala daerah perdikan yang
perkasa. Seorang sahabat yang mempercayakan anaknya kepada Ki Tambak Wedi bukan
karena ia sendiri tidak mampu untuk menempa anaknya, tetapi karena pekerjaannya
yang hampir merampas seluruh waktunya, maka dipercayakannya anaknya, harapan
bagi masa depannya itu kepada seorang sahabatnya, Ki Tambak Wedi.
Karena itu, maka dalam
pertempuran itu Ki Tambak Wedi sendiri telah memeras segenap kemampuannya.
Namun yang dihadapi adalah Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan. Orang yang
kadang-kadang disebut-sebut telah mewarisi kesaktian leluhurnya, mampu
menguasai petir. Tetapi yang tampak pada Ki Gede Pemanahan adalah kedahsyatan
tangannya. Telapak tangannya benar-benar seperti menyimpan tenaga petir.
Apabila tubuh lawannya tersentuh oleh tangan itu, maka akibatnya akan melampaui
sebuah pukulan senjata yang betapapun kerasnya. Melampaui hantaman bindi atau
bahkan tidak kalah dengan tongkat baja putih Macan Kepatihan.
Sedang anaknya, Sutawijaya,
yang bertempur melawan Sidanti itupun ternyata memiliki kelincahan yang
mengagumkan. Selincah petir yang menari-nari di langit.
Sidanti, murid Ki Tambak Wedi
yang perkasa itu, terpaksa memeras keringatnya menghadapi ujung tombak
Sutawijaya. Berkali-kali Sidanti terpaksa meloncat surut. Berkali-kali Sidanti
terpaksa mengumpat tak habis-habisnya. Ujung tombak Sutawijaya seakan-akan
memiliki biji-biji mata. Kemana ia menghindar, ujung tombak itu selalu
mengejarnya.
Kini Sidanti terpaksa mengakui
di dalam hatinya, bahwa Sutawijaya tidak hanya dapat bercerita tentang kematian
Arya Penangsang yang perkasa. Kini Sidanti terpaksa mengalami kegelisahan
karena anak muda itu. Sepasang kakinya seolah-olah tidak lagi terjejak di atas
tanah. Berloncatan dari satu sisi ke sisi lawannya yang lain.
Meskipun sebenarnya kemampuan
Sutawijaya belum mengimbangi kesaktian Arya Penangsang yang sewajarnya, namun
Sidanti tidak akan dapat bertahan untuk menghadapinya. Keringatnya mengalir
dari segenap lubang-lubang kulitnya, dan bahkan dari telapak tangannya,
sehingga gagang pedangnya serasa menjadi licin.
“Gila” Sidanti menggeram di
dalam hati. Ia tidak menyangka bahwa suatu ketika ia akan berhadapan dengan
anak muda selincah itu. Ia pernah berkelahi melawan Agung Sedayu. Pernah pula
berkelahi melawan Untara dan Macan Kepatihan. Namun terasa bahwa mereka belum
dapat menyamai anak muda yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar ini.
Ki Tambak Wedi yang bertempur
melawan Ki Gede Pemanahan melihat kesulitan muridnya. Ia melihat Sidanti
terus-menerus terdesak mundur. Sidanti kini seakan-akan hanya tinggal mampu
mencoba menyelamatkan dirinya.
Orang tua itupun mengumpat
pula di dalam hatinya. la tidak rela apabila muridnya yang selalu dimanjakannya
itu mendapat bencana. Karena itu, maka ia mencoba mencari jalan lain untuk
menolong Sidanti. la sendiri tidak dapat meninggalkan Ki Gede Pemanahan yang
pasti akan sangat berbahaya bagi orang-orangnya yang lain.
Di sudut lain Ki Tambak Wedi
melihat Sanakeling bertempur dengan seorang perwira Wira Tamtama. Keduanya
memiliki kemampuan yang seimbang, sehingga keduanya tidak segera dapat
menguasai lawannya. Tetapi di sisi yang lain lagi Ki Tambak Wedi melihat
Alap-Alap Jalatunda bertempur dalam kerumuman yang ribut. Beberapa orang
bertempur melawan dua orang perwira Wira Tamtama yang lain. Kedua Wira Tamtama
itu ternyata mengalami banyak kesulitan, namun kawan-kawan mereka yang masih
berada di atas punggung kuda selalu membantu mereka. Kuda-kuda mereka
menyambar-nyambar dengan garangnya, menyerang orang-orang Jipang yang sedang
bertempur itu.
Ki tambak Wedi menggeram
keras. Dengan serta-merta, tanpa malu-malu ia berteriak, “Alap-Alap Jalatunda.
Supaya lekas selesai pakerjaan Sidanti, cepat, bantulah ia mengikat kaki dan
tangan anak Pemanahan itu. Anak muda itu akan kita bawa ke lereng Merapi,
supaya menjadi tontonan, betapa anak muda, yang diceritakan mampu membunuh Arya
Penangsang itu, tidak dapat melepaskan diri dari tangan kalian.”
Alap-Alap Jalatunda mendengar
perintah itu. Segera ia meloncat mundur, melepaskan lawannya kepada
kawan-kawannya yang lain. Ketika ia melihat berkeliling, ia melihat Sidanti
dalam kesulitan. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat, menerobos
perkelahian yang hiruk-pikuk itu, mendekati lingkaran perkelahian Sidanti.
Sutawijaya yang melihat
kehadiran lawannya yang lain mengerutkan keningnya. Lawannya yang baru inipun
masih muda pula. Matanya memancar seperti mata burung alap-alap yang berputaran
di udara mencari mangsa. Dengan demikian putera Ki Gede Pemanahan itu
menyadari, bahwa pekerjaannya akan menjadi semakin berat. Demikian Alap-Alap
Jalatunda menerjunkan dirinya dalam perkelahian itu, segera terasa, bahwa
ketrampilannya sangat mambantu ketangkasan Sidanti. Gabungan dari kecakapan
mereka masing-masing terasa benar oleh Sutawijaya. Karena itu, terdengar anak
muda itu menggeretakkan giginya. Ujung tombaknyapun menjadi semakin cepat
berputar dan mematuk-matuk semakin dahsyat.
Sementara itu, di jalan yang
menuju langsung ke Banjar Desa Sangkal Putung, Sonya masih berpacu di atas
punggung kudanya. Darah yang merah segar mengalir tak henti-hentinya dari luka
di kakinya, sedang bahunya serasa akan patah. Nafasnya yang sesak, satu-satu
berdesakan di lubang hidungnya.
Tetapi Sonya masih tetap sadar
akan kewajibannya. Ia dapat membayangkan apa yang kira-kira terjadi atas
sepasukan kecil prajurit Wira Tamtama yang justru di antaranya adalah
panglimanya sendiri.
Dengan menahan segala macam
perasaan sakit, Sonya manghentak-hentakkan kendali kudanya, supaya berjalan
lebih cepat.
Ketika ia memasuki desa kecil
yang pertama, di hadapan gardu peronda ia memperlambat kudanya. Ketika ia
melihat beberapa orang turun dari gardu dan berdiri di sisi-sisi jalan
seberang-menyeberang, Sonya segera berhenti.
“Kakang Sonya” sapa salah
seorang dari mereka dengan sangat terkejut. “Kenapa lukamu itu?”
“Berapa orang di sini?”
bertanya Sonya tanpa menghiraukan pertanyaan orang itu.
“Yang bertugas lima orang,
tetapi di sini ada sepuluh orang.”
“Kenapa sepuluh?”
“Lima orang baru saja datang
untuk menggantikan kami yang bertugas malam.”
“Bagus,” desis Sonya. “Yang
delapan pergi cepat ke bulak sebelah. Di sebelah timur simpang empat telah
terjadi pertempuran. Orang-orang Jipang mencegat perjalanan para prajurit yang
datang dari Pajang. Di antaranya Ki Gede Pemanahan.”
“He?” serentak kesepuluh orang
itu menjadi kian terkejut. Hampir bersamaan pula mereka mengulang, “Ki Gede
Pemanahan?”
“Ya,” sahut Sonya, “jumlah
orang Jipang itu jauh lebih banyak. Dipimpin oleh Ki Tambak Wedi. Kalian,
delapan orang akan dapat membantu untuk sementara. Aku akan melaporkannya
kepada Kakang Widura.”
“Baik” sahut para prajurit
Pajang itu.
Kembali Sonya memacu kudanya.
Kembali ia bergulat dengan waktu dan perasaan sakitnya. Tetapi ia harus
menyeIesaikan perjalanannya itu. Ia harus sampai ke banjar desa Sangkal Putung.
Sepeninggal Sonya, maka
delapan orang dari kesepuluh orang di gardu itu segera membenahi diriya. Mereka
tidak mengenakan sepenuhnya kelengkapan untuk bertempur. Tetapi sebagai seorang
prajurit, maka mereka harus dapat berbuat secepatnya. Dengan tergesa-gesa,
bahkan berlari-lari kecil mereka menuju ke tempat yang ditunjuk oleh Sonya.
Sebelah timur simpang empat di tengah-tengah bulak di hadapan mereka.
Dari kejauhan mereka segera
melihat debu yang mengepul tinggi. Karena itu, maka segera mereka mempercepat
perjalanan mereka, mendekati pertempuran itu.
Kedatangan kedelapan orang itu
segera diketahui oleh kedua belah pihak. Ki Gede Pemanahan pun melihat
kedatangan mereka. Karena itu maka segera ia bertanya lantang, “Siapakah yang
datang?”
Pertanyaan itu sebenarya tidak
penting baginya. Ia tahu bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang. Namun
jawabnya dapat mempengaruhi lawan-lawannya. Meskipun orang-orang Jipang itupun
sudah tahu pula bahwa orang-orang itu adalah prajurit Pajang di Sangkal Putung,
namun hati mereka berdesir juga ketika mereka mendengar jawaban, “Kami prajurit
Pajang di Sangkal Putung, Ki Gede.”
“Kenapa hanya beberapa orang
saja?” bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menghindari serangan Ki Tambak Wedi.
“Kami adalah peronda di gardu
dari desa sebelah. Kakang Sonya sedang meyampaikan berita ini langsung ke pusat
kademangan Ki Gede.”
“Bagus. Ayo, mulailah. Aku
ingin melihat, apakah selama kalian berada di Sangkal Putung kalian masih dapat
berkelahi dengan baik.”
Ki Tambak Wedi menggeram keras
sekali. Ia tahu benar, betapa Ki Gede Pemanahan mempergunakan percakapan itu
untuk mempengaruhi perasaan orang-orang Jipang. Karena itu maka segera ia
berteriak, “He orang-orang Pajang yang malang. Mari, marilah kalian datang agak
terlambat. Setelah lebih dari separo kawan-kawanmu yang datang dari Pajang
binasa, baru kalian datang membantu. Akibatnya, kalianpun akan tenggelam dalam
arus kemarahan orang-orang Jipang. Alangkah bodohnya pimpinan-pimpinanmu di
Sangkal Putung yang percaya kepada cara kami membuat Sangkal Putung hancur
lebur. Kalian menyangka bahwa kami akan benar-benar menyerah. Tak ada seorang
prajurit Jipang pun yang bersedia menyerah. Sebentar lagi dari arah yang lain
akan datang induk pasukan di bawah pimpinan Sumangkar sendiri.”
Tetapi Ki Gede Pemanahan pun
segera meyahut, “Kalau benar demikian, alangkah marahnya kami. Karena itu, ayo
binasakan orang-orang Jipang yang curang.”
Ki Tambak Wedi tidak sempat
untuk menyahut. Kedelapan orang Pajang itu kini telah terjun ke medan
pertempuran yang kalut itu. Meskipun demikian, tenaga mereka yang segar itu
ternyata berpengaruh juga. Orang-orang Pajang kini mendapat kesempatan untuk
sedikit bernafas, meskipun jumlah mereka sama sekali masih belum seimbang,
tetapi kedelapan orang itu sudah tentu akan dapat menambah daya perlawann
mereka, setidak-tidaknya memperpanjang waktu.
Dalam pada itu ternyata Sonya
telah menggemparkan halaman banjar desa Sangkal Putung. Dengan wajah yang
tegang Untara dan Widura meyambut kedatangan Sonya yang hampir kehabisan
tenaga. Demikian Sonya berhenti di muka pendapa banjar desa demikian ia disambut
oleh Widura, dan dibantunya turun dari kudanya, tetapi Sonya telah begitu lemah
karena terlampau banyak darah yang mengalir dari lukanya. Ki Tanu Metir yang
melihatnya dengan tergopoh-gopoh segera mengambil reramuan obat-obatan untuk
menghentikan arus darah yang masih saja mengalir dari luka yang menganga di
kaki Sonya itu, setelah Sonya dibawanya naik ke pendapa.
Tetapi Sonya merasa perlu
untuk segera meyampaikan berita tentang peristiwa yang dilihatnya.
Karena itu, betapa perasaan
sakit serasa menghunjam sampai ke pusat jantungya, namun dengan penuh kesadaran
atas kewajibannya ia berkata terbata-bata di sela nafasnya yang terengah-engah.
“Aku telah bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.”
“Ya,” sahut Untara, “tetapi
kenapa kau terluka?”
“Aku membawa rombongan
prajurit yang datang itu memasuki Kademangan Sangkal Putung.”
“Ya.”
“Semua berjumlah duapuluh
orang.”
Untara terkejut. “Jumlah itu
terlampau sedikit. Apalagi di antaranya terdapat Panglima Wira Tamtama
sendiri.”
“Dengan jumlah yang sedikit
itu Ki Gede Pemanahan ingin membuat kesan bahwa Sangkal Putung telah
benar-benar menjadi aman seperti laporan yang diterimanya,” berkata Sonya
seterusnya.
Dada Untara berdesir. Ia
sendiri yang membuat Iaporan itu. Menurut tanggapannya, Sangkal Putung pasti
akan segera menjadi aman. Apabila kelak terjadi benturan-benturan berikutnya,
maka pusat kegiatan orang-orang Jipang dan Sidanti pasti akan berpindah ke
lereng Merapi. Sebab menurut Kiai Gringsing, Sanakeling dan orang-orangnya
telah pergi mengikuti Ki Tambak Wedi ke padepokannya.
Tetapi menilik keadaan, pasti
terjadi sesuatu dengan Ki Gede Pemanahan dengan rombongannya.
Dalam pada itu Sonya berkata
dengan terputus-putus. Badannya menjadi bertambah lemah. Namun kata-katanya
masih terdengar jelas, “Rombongan kami ternyata dicegat oleh orang-orang
Jipang. Kali ini dipimpin oleh Ki Tambak Wedi, Sanakeling, Sidanti dan aku
tidak tahu siapa lagi. Aku hanya melihat mereka sepintas lalu memotong jalanku.
Untunglah aku dapat melepaskan diri dari mereka meskipun aku terluka. Luka
pedang ini tidak begitu sakit selain darah yang terlampau banyak megalir,
tetapi bahuku serasa remuk oleh gelang-gelang besi Ki Tambak Wedi.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Kalau demikian, maka ia harus segera merawat luka dalam yang dialami
oleh Sonya di bahunya. Tetapi dibiarkannya Sonya berkata terus. “Seterusnya aku
barpacu kemari. Jumlah orang Jipang itu agaknya terlampau banyak.”
Dada Untara serasa akan pecah.
Dengan wajah tegang ia memandang Kiai Gringsing yang keningnya semakin
berkerut-kerut. Seolah-olah Untara ingin menuntut suatu pertanggungan jawab
dari orang tua itu. Kenapa orang-orang Jipang itu tiba-tiba saja berada di
perjalanan Ki Gede Pemanahan, sedang menurut keterangan Kiai Gringsing dan
kemudian diperkuat oleh Sumangkar, orang-orang Jipang itu telah berada di
padepokan Ki Tambak Wedi.
Pancaran mata Untara itu
benar-benar terasa menusuk dada Kiai Gringsing. Ia segera merasa, bahwa
pertanggungan jawab atas peristiwa ini seolah-olah ada padanya, meskipun Untara
telah dipertemukannya sendiri dengan Sumangkar.
Tetapi perasaan Kiai Gringsing
telah cukup mengendap karena perbendaharaan pengalamannya, sehingga dengan
segera ia dapat mengurai keadaan. Ketajaman pandangan dan kecepatan menemukan
hubungan antara persoalan-persoalan yang diamatinya, telah membawa Kiai
Gringsing ke dalam persoalan yang sewajarnya.
Orang tua itupun kemudian
mengangguk-anggukan kepalanya. Dengan tenang ia berkata, “Ini adalah pokal Ki
Tambak Wedi. Aku tidak tahu, apakah ia dengan sengaja dan sadar mencegat
perjalanan Ki Gede Pemanahan, atau suatu kebetulan. Tetapi adalah maksud Ki
Tambak Wedi datang ke Sangkal Putung tepat pada hari yang dijanjikan oleh
Sumangkar, untuk mengacau keadaan. Kegagalan yang terjadi akan memberinya peluang
untuk bertindak. Ia mengharap, baik orang-orang Jipang yang tidak sependirian
dengan mereka, maupun orang Pajang akan terlibat dalam pertentangan perasaan
yang akan dapat meledak. Ki Tambak Wedi kini sedang meletakkan api pada minyak
yang sedang tergenang. Kalau kita kurang berhati-hati, maka kita akan dapat
terbakar karenanya.”
Untara menggeretakkan giginya.
Sebagian besar dari keterangan itu dapat dimengerti, tetapi kemarahanya telah
membakar ubun-ubunnya.
Apalagi ketika kemudian Sonya
berkata, “Ki Gede Pemanahan dan para pengawalnya kini pasti telah terlibat
dalam pertempuran.”
Wajah Untara segera menjadi
merah membara. Dengan serta-merta ia berteriak nyaring kepada seorang
penghubung yang berdiri di ujung pendapa, “Cepat siapkan kudaku!”
Orang itu terkejut. Tetapi ia
tidak bertanya lagi. Segera ia berlari untuk mempersiapkan kudanya.
“Apakah kau akan pergi seorang
diri Untara?” bertanya pamannya.
Untara menggigit bibirnya.
Kemudian ia bertanya, “Berapakah jumlah orang-orang Jipang?”
Sonya yang sedang meyeringai
menahan sakit berdesah, “Aku tidak tahu pasti, tetapi mereka tidak akan lebih
dari tujuh puluh orang.”
Darah Untara tersirap
mendengar jumlah itu. Ki Gede Pemanahan hanya membawa duapuluh orang ditambah
dengan penghubungnya yang hanya tinggal empat orang. Karena itu, maka dengan
degup jantung yang semakin cepat ia berkata kepada Widura, sebagai seorang
senapati kepada bawahannya, “Paman Widura, siapkan dua puIuh lima orang
prajurit berkuda.” Meskipun demikian pertanggungan jawabnya sebagai seorang
pemimpin masih memberinya kesadaran untuk berkata, “Biarlah Hudaya pergi
bersama aku. Paman tinggal di sini supaya orang-orang Jipang yang terluka di
dalam banjar ini tidak menjadi korban kemarahan para prajurit yang kemudian
pasti mendengar apa yang telah terjiadi atas Sonya dan Panglima Wira Tamtama.
Tetapi apabila kemudian benar-benar orang-orang Jipang itu berbuat curang, maka
aku sendiri yang akan memenggal leher mereka di alun-alun di depan banjar ini.”
Widura tidak menjawab.
Diserahkannya Sonya yang luka itu kepada Kiai Gringsing dan beberapa orang yang
sedang bertugas di halaman itu, yang berdatangan kemudian setelah mereka
melihat Sonya terluka. Namun Untara sempat berkata, “Sonya, cobalah merahasiakan
apa yang telah terjadi atasmu untuk menjaga ketenangan keadaan.”
Sonya mengangguk lemah. Tetapi
ia tidak dapat mengerti kenapa hal itu mesti harus dirahasiakan.
Beberapa orang yang berada di
alun-alun melihat Sonya berpacu seperti dikejar hantu. Tetapi karena jarak yang
tidak terlampau dekat, serta banyak peristiwa-peristiwa yang tak dapat mereka
mengerti yang terjadi pagi itu maka orang-orang di alun-alunpun tidak bayak
memperhatikanya lagi.
Sementara itu, orang-orang
yang bertugas di halaman dan mengerumuni Sonya, telah memapah Sonya ke gandok
wetan. Dibaringkannya Sonya di sudut gandok itu untuk segera mendapat
pengobatan dari Kiai Gringsing. Namun segera setelah Kiai Gringsing memberikan
pertolongan pertama, ditinggalkannya Sonya dan dengan tergesa-gesa orang tua
itu kembali mendekat Untara yang dengan gelisah menunggu kudanya.
Tetapi sudah tentu Widura
tidak segera dapat mengumpulkan dua puluh lima ekor kuda di banjar desa itu. Ia
harus mengumpulkan segenap kuda prajurit Pajang yang tersebar di seluruh
kademangan, pada gardu-gardu peronda yang penting.
Di dalam banjar desa itu, yang
segera dapat dikumpulkan adalah baru sepuluh ekor kuda, tetapi segera Untara
berkata, “Biarlah kami bersepuluh berangkat dahulu. Yang lain segera meyusul.
Dua tiga, empat atau lima. Tidak perlu menunggu sampai limabelas sekaligus
sepeninggalku.”
Widura pun segera menjadi
sibuk. Beberapa orang yang melihatnya menjadi heran. Apakah yang sebenarnya
telah terjadi. Hanya orang-orang di dalam halaman sajalah yang melihat, bahwa
sebenarnya Sonya telah terluka dan Widura menjadi sedemikian sibuknya
mengumpulkan beberapa ekor kuda.
Para petugas yang harus
meyediakan kuda-kuda itupun menjadi sibuk pula. Dengan tergesa-gesa mereka
menyiapkan kuda-kuda itu di muka pendapa.
Setelah kuda yang sepuluh itu
siap, maka segera Widura memerintahkan memanggil Hudaya dan beberapa orang
untuk ikut serta bersama Untara ke tempat pertempuran itu terjadi.
Agung Sedayu yang datang
kemudianpun menjadi terheran-heran. Ia melihat betapa wajah kakaknya menjadi
tegang dan sepuluh ekor kuda telah siap di halaman. Dengan hati-hati ia
kemudian bertanya kepada gurunya, “Apakah yang telah terjadi Kiai?”
Dengan singkat Kiai Gringsing
mencoba menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dan apa yang didengarnya
itu telah menggetarkan dadanya pula. Karena itu ketika tiba-tiba ia mendengar
suara kakaknya memanggil, dengan tergopoh-gopoh ia mendekatinya.
“Kau ikut bersamaku” perintah
kakaknya.
“Baik Kakang” sahut Agung
Sedayu. Karena Agung Sedayu telah mendengar apa yang terjadi maka segera iapun
menyiapkan pedangnya dan membenahi pakaiannya.
Sesaat kemudian berkumpulah
sepuluh orang di halaman. Wajah mereka memancarkan berbagai pertanyaan yang
tersimpan di dalam hati mereka. Di antara mereka itu adalah Hudaya yang
dipanggil dari alun-alun di muka banjar desa itu.
Dengan singkat dan
tergesa-gesa Untara berkata kepada mereka, “Kalian ikut dengan aku. Bawa
senjatamu. Mungkin kita akan berhadapan dengan bahaya.”
Hudaya mengerutkan keningnya.
Tetapi sebelum ia sempat bertanya, Untara berkata pula, “Tak ada kesempatan
untuk membicarakan masalah ini. Siap di atas punggung kuda. Kita berangkat.
Hanya ada sepuluh ekor kuda. Dua di antaranya untuk aku dan Agung Sedayu.”
Para prajurit Pajang itu
benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk bertanya. Untara segera meloncat ke
atas punggung kudanya diikuti oleh Agung Sedayu. Meskipun berbagai pertanyaan
bergelut di dalam hati masing-masing, namun kedelapan ekor kuda yang lainpun
segera berpenumpang di punggungnya.
“Aku akan berangkat sekarang
Paman. Aku serahkan segala kebijaksanaan di sini kepada Paman dan Kiai
Gringsing” berkata Untara. “Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi tak akan dapat
melampaui kesaktian Ki Gede. Kalau demikian, mungkin salah seorang dari kami
akan datang kembali menjemput Kiai.”
“Baik” jawab Widura singkat.
Untara tidak berkata apapun
lagi. Segera ia menggerakkan kendali kudanya, dan kuda itupun segera meloncat
diikuti oleh kuda-kuda yang lain. Meskipun demikian, perkataan Untara yang
terakhir itupun menambah pertanyaan yang meIingkar-lingkar di dalam hati para
prajurit Pajang yang lain.
Kesepuluh ekor kuda itupun
kemudian berpacu seperti angin meninggalkan halaman banjar desa,
menghambur-hamburkan debu yang putih mengepul tinggi ke udara.
Kembali para prajurit Pajang
dan anak-anak muda Sangkal Putung bertambah heran. Bahkan Ki Demang dan
Swandaru yang kemudian berada di antara anak-anak muda Sangkal Putung di
lapangan di muka banjar desa itupun melihat kuda yang berpacu itu sambil
bersungut-sungut. Tetapi mereka tidak ingin menanyakannya kepada Widura. Sebab
terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan. Sehingga apa yang terjadi
itupun mereka sangka, adalah rangkaian dari persoalan-persoalan yang memang
dirahasiakan dan telah direncanakan.
Tetapi Untara sendiri berpacu
dengan hati yang gelisah. Kudanya serasa berlari terlampau lamban. Kalau ia
terlambat sampai di tempat pertempuran itu, dan para prajurit Wira Tamtama yang
dipimpin sendiri oleh Gede Pemanahan mengalami bencana, maka lehernya akan
menjadi taruhan, bukan soal yang menyedihkannya, tetapi seluruh Wira Tamtama
akan kehilangan panglimanya karena kesalahannya. Memang dalam laporan yang
disampaikan ke Pajang, seakan-akan Sangkal Putung telah menjadi aman. Ternyata
yang terjadi adalah benar-benar memalukannya. Karena itu, maka dipacunya
kudanya secepat-cepatnya, supaya ia dan kawan-kawannya tidak terlampau lambat
sampai.
Hudaya dan kawan-kawannya
berpacu sambil saling berpandangan. Namun firasat keprajuritan mereka telah
mengatakan, bahwa mereka sedang berhadapan dengan bahaya.
Ternyata Untara tidak
membiarkan mereka berteka-teki sepanjang jalan. Ketika kuda-kuda itu telah
meninggalkan induk kademangan, maka berkatalah Untara tanpa berpaling, “Kita
akan bertempur melawan pecahan orang Jipang yang hari ini tidak ingin melihat
kawan-kawannya kami terima dengan baik.”
Hudaya mengerutkan keningnya.
Tetapi ia bertanya, “Kenapa kita hanya bersepuluh?”
“Orang-orang Jipang itu tidak
terlampau banyak. Mereka telah terlibat dalam pertempuran melawan
prajurit-prajurit Pajang yang hari ini datang ke Sangkal Putung untuk mengawal
Ki Gede Pemanahan.”
“Ki Gede Pemanahan?” Hudaya
mengulangi.
“Ya.”
Hati para prajurit itu
berdesir. Ki Gede Pemanahan adalah panglima mereka, meskipun satu dua di antara
mereka ada yang belum pernah melihatnya. Namun namanya telah menjadi buah bibir
segenap prajurit Wira Tamtama.
Kuda mereka berpacu terus.
Sementara itu Hudaya berkata, “Aku sudah menyangka, orang orang Jipang tidak
dapat dipercaya. Mereka membiarkan sebagian dari mereka untuk berpura-pura
menyerah. Kemudian mereka menyerang pada hari yang sebenarnya ditentukan untuk
menerima mereka. Namun orang-orang Jipang yang lain akan berdatangan pula,
tidak untuk menyerah, tetapi untuk menjadikan Sangkal Putung ini karang abang.”
“Marilah kita lihat apa yang
sebenarnya terjadi” berkata Untara kemudian. “Tetapi jangan terlampau terburu
nafsu.”
Hudaya tidak menjawab. Tetapi
kebenciannya kepada orang-orang Jipang semakin melonjak. Karena itulah maka
tiba-tiba ia menggeretakkan giginya. Dan tanpa sadarnya tangan kirinya membelai
hulu pedangnya.
Kini mereka menyusup ke dalam
sebuah desa kecil. Mereka melihat sebuah gardu di pinggir jalan. Beberapa orang
penjaganya telah turun dan berdiri di sisi jalan. Namun Untara tidak
memperlambat kudanya. Tetapi sekali ia berteriak lantang, “Hati-hati, awasi
keadaan baik-baik.”
Para penjaga di gardu itu
melihat kuda-kuda itu berpacu dengan mulut ternganga. Belum lama berselang ia
melihat Sonya yang luka berpacu ke arah yang berlawanan. Sebelumnya, di pagi
pagi buta Sonya menempuh jalan ini pula berlima. Para penjaga itu merasa bahwa
ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.
Ketika mereka memandangi
kuda-kuda yang berpacu maka yang tampak kemudian adalah debu yang putih
mengepul tinggi ke udara. Kuda-kuda itu masih harus berlari melampaui sebuah
desa lagi, barulah kemudian mereka sampai ke bulak yang agak panjang. Di bulak
itulah pertempuran antara orang-orang Jipang dan para prajurit Pajang terjadi.
Di ujung desa itupun ada
sebuah gardu pula. Tetapi yang berada di dalamnya tinggal dua orang. Yang lain
telah mendahului membantu para prajurit Pajang yang bertempur di tengah-tengah
bulak itu.
Berkali-kali Untara mencoba
mempercepat lari kudanya, yang seakan-akan terlampau malas. Di belakangnya
berurutan sembilan orang yang lain. Di antaranya Agung Sedayu. Dengan dahi yang
berkerut-kerut Agung Sedayu sekali-sekali mengusap debu yang melekat di
wajahnya yang berkeringat, meskipun matahari belum terlampau tinggi.
Di tengah-tengah bulak itu
pertempuran kian lama menjadi kian seru. Kedua belah pihak telah mengerahkan
tenaga sejauh-jauh mungkin. Pakaian mereka telah basah oleh keringat, dan
wajah-wajah mereka telah menjadi merah hitam. Di antara mereka, para prajurit
Pajang dan orang-orang Jipang itu telah menjadi waringuten. Tetapi karena
jumlah orang-orang Jipang itu terlampau banyak bagi para prajurit Pajang, maka
betapapun juga, ternyata para prajurit Pajang mengalami beberapa kesulitan.
Mas Ngabehi Loring Pasar, yang
harus bertempur melawan Sidanti berdua dengan Alap-Alap Jalatunda ternyata
mampu mengimbanginya. Meskipun anak yang masih sangat muda itu sekali-sekali
mengalami kesulitan, tetapi kelincahannya telah melepaskannya dari setiap usaha
lawannya untuk membinasakannya. Namun dengan demikian berkali-kali Sutawijaya
harus bergeser mundur. Berkali-kali ia harus meloncat menghindar jauh-jauh
untuk mendapat jarak yang wajar dari kedua lawannya. Meskipun Alap-Alap
Jalatunda tidak dapat berbuat selincah Sidanti, tetapi beberapa kali Alap-Alap
yang muda itu berhasil menjebaknya untuk memberi kesempatan pada Sidanti
menyerangnya dengan serangan-serangan maut.
Anak muda yang mengagumkan
itupun telah bermandi keringat. Berkali-kali terdengar ia menggeram. Betapa
kemarahannya membakar darahnya, tetapi ia masih bertempur dengan segenap
perhitungan. Apalagi menghadapi sepasang anak-anak muda yang cukup memiliki
bekal untuk melawannya.
Sementara itu Ki Gede
Pemanahan pun kini telah bertempur dengan sengitnya melawan Ki Tambak Wedi.
Kalau semula Ki Gede Pemanahan masih mencoba bertahan sambil memperhatikan
setiap prajuritnya, maka kini ia berpendirian lain. Ia harus segera mengalahkan
lawannya. Kemudian ia akan banyak mendapat kesempatan, meskipun ia tidak akan
melepaskan sama sekali perhatiannya terhadap pertempuran itu dalam
keseluruhannya. Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya, antara ki
Gede Pemanahan dan Ki Tambak Wedi menjadi semakin seru. Masing-masing adalah
orang-orang sakti pilih tanding.
Namun, bagaimanapun juga Ki
Gede Pemanahan tidak dapat melepaskan pengaruh keadaan di sekitarnya. Untunglah
bahwa ia masih tetap di atas punggung kudanya, sehingga kesempatan masih lebih
banyak baginya daripada lawannya.
Demikianlah peperangan itu
menjadi bertambah seru. Namun ternyata bahwa para prajurit Pajang kini telah
benar-benar terdesak. Beberapa kali mereka terpaksa berkisar mendekati Sangkal
Putung, sedang kawan-kawan mereka yang masih berada di atas punggung kuda
mencoba melindungi mereka. Sekali-sekali kuda-kuda yang menyambar-nyambar
itupun masih juga mampu untuk membuat orang-orang Jipang menjadi bingung.
Ki Gede Pemanahan dan Ki
Tambak Wedi menyadari keadaan itu. Karena itu Ki Tambak Wedi sempat tertawa
sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Gede Pemanahan, perwira tertinggi Wira
Tamtama. Aku sudah kehilangan kesabaran, sehingga kesempatan yang aku berikan
telah aku cabut kembali. Yang akan terjadi adalah, Untara akan datang dan akan menemukan
mayatmu dan mayat orang-orangmu. Sedang anakmu akan aku bawa ke padepokanku
akan aku jadikan tontonan bagi para prajurit Jipang. Inilah orangnya yang
langsung menghujamkan tombak ke lambung Arya Penangsang dengan akal yang sangat
curang.”
Tetapi alangkah kecewanya Ki
Tambak Wedi. Ia mengharap Ki Gede Pamanahan menjadi tegang dan mengumpat-umpat.
Tetapi ternyata Ki Gede Pemanahan itu tersenyum sambil menjawab, “Aku akan
mengucapkan selamat Ki Tambak Wedi seandainya kau mampu berbuat begitu.”
“Kau masih mencoba mengingkari
kenyataan ini?” Ki Tambak Wedilah yang membentak-bentak. Sementara itu kuda Ki
Gede Pemanahan menyambarnya. Ujung Keris Kiai Naga Kemala hampir-hampir saja
menyentuh tengkuknya.
“Setan!” teriaknya.
Ki Gede Pemanahan tertawa.
Katanya, “Kenapa kau mengumpat Ki Tambak Wedi. Apakah anak buahmu hampir
binasa?”
Ki Tambak Wedi meloncat maju
menyerang Ki Gede Pemanahan. Tetapi Ki Gede Pemanahan benar-benar tangkas,
sehingga usahanya sia-sia. Ki Tambak Wedi benar-benar menjadi sangat marah
menghadapi Panglima Wira Tamtama ini. Ia benar-benar hampir tak berdaya.
Apalagi Ki Gede Pemanahan masih saja berada di punggung kudanya, sehingga
tiba-tiba hantu lereng Merapi itu berteriak, “Ayo, kalau kau jantan, turun dari
kudamu!”
“Ki Tambak Wedi,” sahut
Pemanahan, “apakah kau juga akan bersikap jantan?”
“Tentu!” teriak Ki Tambak
Wedi.
“Apakah kau bersedia menjadi
penentu dari pertempuran ini bersama aku. Ayo, aku akan turun dari kuda, dan
aku akan tetap mempergunakan kerisku ini untuk melawanmu. Tetapi akibat dari
perkelahian itu akan menentukan keadaan kita semuanya. Meskipun kemudian Untara
datang, tetapi keadaan tidak akan berubah, kau dan aku, pertempuran itu akan
barlangsung sampai tuntas. Salah seorang dari kita akan mati, atau menyerah. Kau
setuju?”
“Kau benar-benar licik seperti
anak demit. Ketika kau melihat anak buahmu akan binasa, kau mengajukan syarat
itu,” sahut Ki Tambak Wedi, “kita bertemu dalam keadaan ini. Aku dengan
orang-orangku dan kau dengan orang-orangmu. Biarlah kita semuanya yang menentukan
keadaan ini.”
“Bagus. Kita bertemu dalam
keadaan ini. Kau di atas kedua kakimu, aku di atas punggung kuda. Biarlah
keadaan ini menentukan akhir dari pertempuran.”
Ki Tambak Wedi menggeram
sambil mengumpat habis-habisan. Namun betapa ia mengerahkan tenaganya, tetapi
Ki Gede Pemanahan, Panglima Wira Tamtama itu, bukanlah Widura, Untara, atau
Agung Sedayu yang dapat dipijitnya semudah memijit ranti. Bahkan terasa bahwa
semakin lama tandang Ki Gede Pemanahan itupun menjadi semakin garang.
Namun keseluruhan dari
pertempuran itu benar-benar tidak menguntungkannya. Berkali-kali anak panglima
itu, Sutawijaja, terpaksa berloncatan surut. Orang-orang Jipang yang datang
seakan-akan sengaja mengurungnya dan menahan setiap prajurit Pajang yang datang
di atas punggung kuda. Tetapi Mas Ngabehi Loring Pasar, betapa kemarahan
mencengkam dirinya, ia masih tetap mempergunakan perhitungan yang baik dalam
melawan sepasang musuhnya itu.
Namun keadaan para prajurit
yang lain ternyata agak lebih sulit. Mereka bertempur dalam kelompok-kelompok
untuk menghindarkan diri dari sergapan dari arah yang tak dikehendaki. Namun
lawan mereka telah mencoba menekan mereka sekuat-kuatnya. Kedua pihak adalah
prajurit-prajurit pilihan dari dua kadipaten yang saling bermusuhan, sehingga dendam
dan kebencian ikut pula berbicara dalam pertempuran itu.
Matahari di langit merayap
semakin tinggi. Sinarnya yang cerah memancar berserakan di atas wajah bumi. Di
atas dedaunan dan batang-batang jagung muda. Namun di sekitar pertempuran itu
batang jagung telah rusak ditebas oleh kaki-kaki kuda dan kaki-kaki para
prajurit yang sedang bertempur. Semakin lama semakin luas, berkisar dari satu
titik ke titik yang lain. Sedang kuda-kuda para prajurit Pajang kadang-kadang
berlari-lari melingkari daerah yang lebih luas lagi untuk mengambil
ancang-ancang. Kuda-kuda itu seolah-olah burung rajawali yang melayang di
udara, yang kemudian menukik dengan garangnya menyambar mangsanya. Tetapi
orang-orang Jipang menyongsongnya dengan pedang di tangan.
Dalam pertempuran yang
hiruk-pikuk itu, Ki Tambak Wedi telah mencoba untuk mempercepat penyelesaian.
Berkali-kali ia berteriak memberikan aba-aba kepada Sanakeling dan orang-orang
lain supaya mempercepat pekerjaan mereka. Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan
yang dapat ditentukan oleh sepihak, sehingga Ki Tambak Wedi itu seolah-olah
tidak lagi dapat bersabar menunggu. Namun demikian pekerjaannya sendiri tidak
dapat juga segera dapat diselesaikan.
Demikianlah, pertempuran itu
berjalan terus. Bagaimanapun juga Ki Gede Pamanahan tidak dapat mengingkari
kenyataan. Keadaan anak buahnya memang terlampau sulit. Bahkan ada di antaranya
yang telah terluka dan jatuh menjadi korban.
Dalam keadaan yang demikian
itulah Untara memacu kudanya bersama beberapa orang prajurit Pajang yang berada
di Sangkal Putung. Setiap kali Untara selalu melecut kudanya, supaya berlari
lebih cepat. Kini ia telah memasuki bulak jagung. Sebentar lagi ia akan sampai
di tempat yang ditunjuk oleh Sonya. Tetapi kudanya serasa berlari terlampau
lamban, seolah-olah sengaja memperlambat agar ia tidak datang tepat pada
waktunya. Karena itu kegelisahan di dada Untara semakin lama menjadi semakin
menyala.
Seolah-olah ia ingin meloncat
mendahului derap kaki kudanya. Tetapi hal itu sudah tentu tidak dapat
dilakukannya. Ia harus bersabar dan tetap di atas punggung kuda yang dirasanya
sangat malas itu.
Meskipun demikian, meskipun
kudanya dirasanya terlampau lamban, namun akhirnya Untara itu melihat debu yang
berhamburan di balik pohon-pohon jagung muda. Ketika jalan yang ditempuhnya
sedikit menanjak, maka dadanya seolah-olah berdentangan.
Kini ia melihat, meskipun
tidak seluruhnya karena tertutup oleh batang-batang jagung, betapa riuhnya
pertempuran yang telah terjadi antara para prajurit Pajang yang dipimpin
sendiri oleh Ki Gede Pemanahan dan orang-orang Jipang yang dipimpin oleh ki
Tambak Wedi.
Tanpa sesadarnya, Untara
mencambuk kudanya sejadi-jadinya. Kuda itupun terkejut dan meloncat sambil
meringkik kecil. Larinya menjadi semakin bertambah cepat sehingga Untara meninggalkan
kawan-kawannya beberapa langkah di belakang.
Agung Sedayu pun mencambuk
kudanya pula. Demikian juga kawan-kawannya. Mereka seolah-olah menjadi tidak
bersabar lagi menunggu langkah kaki-kaki kuda itu. Demikian bernafsunya Untara
sehingga sebelum mencapai tempat pertempuran itu, tangannya telah menggenggam
pedang. Diacung-acungkannya pedangnya seperti sedang menghalau burung di sawah.
Ki Tambak Wadi yang bertempur
dengan serunya melawan Ki Gede Pemanahan terkejut melihat kilatan pedang di
kejauhan. Kemudian tampak sebuah kepala muncul di atas batang-batang jagung.
Disusul oleh yang lain, yang lain lagi seperti berkejar kejaran.
Dada orang tua itu berdesir.
Orang yang datang itu tidak terlampau banyak. Tetapi yang tidak terlampau
banyak itu pasti segera akan merubah keseimbangan. Karena itu tiba-tiba ia
menggeram. Betapa kemarahan membakar dadanya. Orang-orang Jipang benar-benar tidak
memberinya kepuasan. Mereka bertempur seperti mengejar-ngejar tupai saja, tidak
cekatan dan tidak bertenaga. Ketika musuh-musuh mereka masih terlampau lemah
mereka tidak segera dapat mengalahkan dan membinasakan. Apalagi kini datang
lagi beberapa orang berkuda. Maka keadaan orang-orang Jipang pasti tidak akan
sebaik semula.
Kemarahan Ki Tambak Wedi itu
semakin memuncak ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan tertawa sambil berkata,
“Kau sedang menghitung pedang yang datang itu, bukan, Ki Tambak Wedi?”
“Persetan!” geram Ki Tambak
Wedi. “Kalau aku menjadi Hadiwijaya dari Pajang, aku malu mempunyai Panglima
semacam kau ini. Panglima yang hanya dapat mengharap orang lain datang memberi
bantuan. Kenapa kau tidak berusaha memenangkan pertempuran dengan kekuatan yang
ada padamu? Kenapa kau menggantungkan dirimu dari bantuan yang bakal datang
dengan memperpanjang waktu?”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Ia benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu, sehingga sekali
lagi ia mengulangi tantangannya, “Ki Tambak Wadi, kalau kau tidak mau melihat
prajurit-prajurit Pajang yang jumlahnya jauh lebih kecil dari orang-orangmu ini
mendapatkan kemenangan, maka marilah, kita berhadapan langsung di dalam arena.
Biarlah aku layani seandainya kau ingin melihat Pemanahan lepas dari
kedudukannya, yang dapat memanggil tidak saja prajurit-prajurit Pajang di
Sangkal Putung, tetapi seluruh Prajurit di segenap sudut Pajang untuk menangkap
dan menggantungmu di alun-alun Pajang. Kalau kau ingin melihat Pemanahan
sendiri yang terpisah dari prajurit-prajuritnya, marilah, biarlah para prajurit
dari kedua belah pihak melihat, siapa di antara kita orang tua-tua ini yang
masih cukup mampu bermain loncat-loncatan.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
menggeram, tantangan itu benar-benar menusuk pusat jantungnya. Betapa ia ingin
melayaninya seandainya ia tidak sedang dalam keadaan yang sulit. Ia harus cepat
melihat keadaan dalam keseluruhannya. Karena itu maka, tiba-tiba ia bersuit
panjang. Sebelum Untara sampai ke tempat pertempuran itu, anak buahnya harus
sudah mengundurkan diri dan mencoba menghilang di antara tanaman-tanaman jagung
muda. Seterusnya mereka akan menyusup ke dalam sebuah tegalan dan segera mereka
akan sampai ke rumpun-rumpun bambu liar.
Ki Gede Pemanahan, meskipun
tidak tahu arti daripada siutan itu menurut persetujuan orang-orang Jipang,
tetapi ia sudah dapat menduga. Ada dua kemungkiman yang bakal terjadi. Ki
Tambak Wedi memanggil pasukan cadangannya, atau orang-orangnya yang telah
bertempur di arena itu harus mengundurkan diri.
Namun dalam pada itu terdengar
Ki Tambak Wedi berkata lantang, “Tunggu sampai matahari mencapai puncaknya,
Sangkal Putung akan dilanda arus induk pasukan Jipang yang akan datang dari
barat. Mereka akan dipimpin oleh Adi Sumangkar, saudara muda seperguruan Patih
Mantahun. Bukankah kau telah mengenalnya pula Pemanahan? Aku akan datang
kembali bersama-sama dengan mereka.”
Belum lagi kata-kata itu habis
diucapkannya, maka Ki Gede Pemanahan telah melihat orang-orang Jipang itu
berkisar surut begitu cepat, sehingga ia tidak mendapat kesempatan untuk
memberikan perintah lain. Orang-orang Jipang itu bertempur sambil mengambil
ancang-ancang. Namun dalam pada itu, seperti jengkerik yang lenyap ke dalam
liangnya, mereka menyusup satu-satu ke dalam lindungan batang-batang jagung.
Orang-orang Pajang yang telah melihat kehadiran sepasukan kecil dari Sangkal
Putung menjadi berbesar hati, sehingga dengan demikian mencoba mengejar
orang-orang Jipang itu.
Namun orang-orang Jipang
berlari berpencaran. Kadang-kadang satu dua di antara mereka masih juga
menyergap dengan tiba-tiba di dalam rimbunnya daun jagung yang hijau, namun
kemudian mereka kembali menghilang. Sehingga dengan demikian amat sulitlah
untuk dapat mengejar mereka dengan sebaik-baiknya. Sehingga karena itu, maka
akhirnya mereka terpaksa melepaskan orang-orang Jipang itu menghilang.
Untara datang terlambat.
Pertempuran di bulak jagung itu telah selesai. Yang dilihatnya tinggalah
bekas-bekasnya. Darah dan beberapa sosok mayat dari kedua belah pihak.
Darah Untara serasa membeku
ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan duduk di atas punggung kudanya. Tangannya
masih menggenggam keris Kiai Naga Kemala, sedang peluhnya seperti terperas dari
tubuh membasahi segenap pakaiannya. Apalagi ketika kemudian dilihat oleh Untara,
seorang anak muda yang menggenggam tombak di tangannya. Tombak yang sama sekali
masih belum membekas darah, tetapi pakaian anak muda itu sendiri telah diwarnai
oleh darahnya sendiri.
Ternyata lengan Sutawijaya
telah terluka justru oleh Alap-Alap Jalatunda, bukan oleh Sidanti. Pedang
Alap-Alap muda itu berhasil menyentuh lengan Mas Ngabehi Loring Pasar. Agaknya
perhatian Sutawijaya lebih banyak ditujukan kepada Sidanti, sehingga Alap-Alap
Jalatunda mendapat kesempatan lebih banyak.
Tetapi anak muda itu tersenyum
dan menyapa, “Kau baru datang Kakang Untara, kami baru saja bujana andrawina.
Sayang, kau tidak dapat ikut serta.”
Untara tidak menjawab, tetapi
segera ia meloncat dari kudanya dan menghadap Ki Gede Pemanahan sambil
membungkuk dalam-dalam. “Aku mohon maaf Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Senyum yang kecut sekali. Dilihatnya kawan-kawan Untara yang kemudian
berloncatan pula dari punggung kudanya dan yang kemudian menyarungkan pedang
masing-masing, tetapi Untara sendiri baru menyarungkan pedang ketika ia
dikejutkan oleh suara Ki Gede Pemanahan, “Sarungkan pedangmu Untara. Tak ada
lagi yang akan kau ajak bermain pedang.”
Untara menggigit bibirnya.
Sambil menundukkan kepalanya ia menyarungkan pedangnya. Tetapi ketika ia sempat
memandang tangan Ki Gede Pemanahan dengan sudut matanya, maka dilihatnya Ki
Gede pun telah menyarungkan kerisnya Kiai Naga Kemala.
“Sambutan yang cukup hangat
Untara,” desis Ki Gede Pemanahan. “Selama aku menjadi Panglima Wira Tamtama
ternyata sambutan Sangkal Putung atas kedatangan peninjauanku adalah yang
paling hangat yang pernah aku alami.”
Kepala Untara menjadi semakin
tunduk. Hudaya, Agung Sedayu dan kawan-kawannyapun menundukkan wajah-wajah
mereka pula. Namun di dalam hati, Hudaya mengumpati orang-orang Jipang itu
tidak habis-habisnya. Kalau ia mendapat kesempatan, maka ia pasti akan
menumpahkan segenap kemarahan, kebencian dan dendam kepada mereka. “Aku sudah
menyangka bahwa mereka pasti, akan berbuat curang” katanya di dalam hati.
“Penyerahan itu hanyalah sekedar cara untuk membuat kita menjadi lengah.”
“Aku mohon maaf Ki Gede” desis
Untara kemudian. “Mungkin ada sesuatu yang tidak berkenan di hati Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Senyumnya masih sebuah senyuman yang kecut. Jawabnya, “Untunglah aku masih
hidup sehingga aku masih mendapat kesempatan untuk memberi maaf kepadamu. Kalau
aku sudah dipenggal kepalaku oleh Ki Tambak Wedi, mungkin kau akan menyesal.
Bukan karena kematianku, tetapi karena aku tidak dapat memberi maaf lagi
kepadamu.”
Untara tidak menjawab. Terasa
tubuhnya bergetar. la merasa memanggul kesalahan di atas pundaknya. Dan Ki Gede
Pemanahan telah langsung menunjuk kesalahan itu.
Ki Gede itu kemudian berkata
pula, “Berapa orang yang kau bawa itu?”
“Sepuluh orang Ki Gede, selain
yang delapan orang telah mendahului,” jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan kemudian
memandangi kesepuluh orang itu satu persatu, tetapi ia tidak melihat Widura.
Beberapa orang di antaranya sama sekali belum dikenalnya.
Dalam pada itu, kembali mereka
mendengar suara kaki kuda berderap. Dari kejauhan mereka melihat bermunculan
beberapa buah kepala di atas batang-batang jagung muda. Dan sejenak kemudian
tujuh orang yang sedang berpacu sampai pula di antara mereka. Ketujuh orang
itupuh dengan serta merta menghentikan kuda-kuda mereka dan segera berloncatan
turun.
“Berapa orang yang akan datang
lagi?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Semuanya paling sedikit
duapuluh lima orang ki Gede” jawab Untara.
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukan kepalanya. Jumlah yang disebutkan Untara itu telah
mengurangi kekecewaannya. Ternyata perhitungan Untara cukup baik. Ia tidak
mempercayakan diri dengan jumlah yang hanya sepuluh orang itu. Dengan duapuluh
lima orang Untara dapat menarik suatu kepastian, bukan sekedar untung-untungan.
Dalam peperangan maka diperlukan suatu perhitungan yang mantap meskipun
kadang-kadang keadaan yang khusus dan tiba-tiba dapat merubah keadaan yang
telah diperhitungkan itu, namun itu adalah akibat dari kekhususannya.
Ternyata apa yang dikatakan
Untara bukanlah sekedar untuk mengurangi kesalahannya. Kembali dari arah yang
sama datang orang-orang berkuda. Kali ini serombongan kecil sebanyak lima
orang. Meskipun jumlah mereka seluruhnya belum mencapai duapuluh lima orang,
namun jumlah itu telah mendekati, dan bahkan melampaui apabila yang delapan
orang diperhitungkan pula.
“Jumlah orang-orangmu cukup
untuk menyambut kedatanganku Untara” berkata Ki Gede Pemanahan. “Ternyata kau
cukup berprihatin mendengar laporan Sonya. Bukan begitu?”
Untara mengangguk. “Ya Ki
Gede.”
“Kenapa hal ini dapat
terjadi?”
Untara menunduk semakin dalam.
Ki Gede Pemanahan agaknya benar-benar menjadi kecewa atas kejadian ini. Dan
Untara tidak akan mengingkari, bahwa di pundaknyalah terletak segala kesalahan.
“Aku percaya pada setiap
laporanmu. Aku percaya sebab menurut penglihatanku, pada saat-saat lampau kau
hampir tidak pernah berbuat kesalahan. Apalagi kesalahan sebodoh kali ini. Namun
ternyata kau hampir-hampir saja menyeret aku ke dalam suatu kesulitan.”
Untara tidak menjawab. la
berdiri tegak seperti patung dengan kepala menunduk.
Bukan saja Untara yang merasa
hatinya bergetar, tetapi semua prajurit Pajang yang berada di tempat itu.
Mereka mengenal Untara sebagai seorang senapati yang baik. Tetapi betapapun
baiknya, seseorang suatu ketika memang dapat membuat kesalahan.
Sesaat kemudian berkata Ki
Gede Pemanahan itu pula, “Untara. Aku datang kemari karena aku memenuhi
undanganmu. Aku sependapat dengan semua usulmu. Sekarang, terserah kepadamu,
apa yang harus aku lakukan.”
Dada Untara menjadi semakin
berdebar-debar. Apa yang harus dilakukan dalam keadaan seperti sekarang ini?
Apalagi ketika Ki Gede
Pemanahan kemudian berkata, “Menurut Ki Tambak Wedi, segera akan datang induk
pasukan dari arah barat yang dipimpin oleh Sumangkar. Tetapi sesuai dengan
laporanmu, bahwa Sanakeling dan Sumangkar berbeda pendirian, maka ada beberapa
kemungkinan yang bakal terjadi. Kalau Sumangkar barhasil mengelabui kau Untara,
maka perbedaan pendirian itu adalah semata-mata suatu cara untuk menjebakmu.
Tetapi kalau Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka Ki Tambak Wedilah yang
licin seperti belut. Darimana Ki Tambak Wedi tahu bahwa aku akan datang?”
Dengan hati-hati Untara
menjawab, “Tak seorangpun yang tahu, bahwa Ki Gede akan datang kecuali beberapa
orang penghubung, beberapa orang pemimpin kelompok dan Paman Widura sendiri.
Sebagian besar dari orang-orang yang datang inipun baru tahu bahwa Ki Gede
berada dalam perjalanan, setelah kami berangkat dari halaman banjar desa
Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi pikirannya masih juga meraba-raba,
apakah sebenarnya yang akan dihadapi oleh Sangkal Putung.
Sejenak suasana menjadi sunyi.
Masing-masing mencoba untuk mencari jalan yang sebaik-baiknya menghadapi
keadaan yang sulit itu.
Dalam pada itu tiba-tiba
terdengar Mas Ngabehi Loring Pasar berkata, “Mari kita teruskan perjalanan ini
Ayah. Aku ingin melihat Sangkal Putung.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Ia melihat darah yang membasahi pakaian anaknya. Tetapi anaknya
seolah-olah tidak merasakan sesuatu pada lengannya yang terluka itu.
“Coba, tahanlah darah yang
mengalir itu dengan sepotong kain, Jebeng” perintah ayahnya.
Sutawijaya berpaling.
Dipandanginya kudanya. Namun ia berkata, “Tidak apa-apa Ayah.”
“Tetapi jangan terlampau
banyak darah mengalir.”
Sutawijaya menarik lengan
bajunya dan mencoba mengusap lukanya dengan lengan baju itu. Tetapi darahnya
masih juga menetes satu-satu. Karena itu, maka terpaksa ia memegangi lukanya
dengan tangan kanannya, sedang tangan yang luka itu menggenggam landean tombaknya.
Tetapi luka itu seolah-olah memang tidak terasa. Bahkan ia berkata, “Kakang
Untara, besok aku akan meneruskan perjalanan ke barat. Aku ingin melihat hutan
Mentaok yang menurut Ayah, apabila Ramanda Hadiwijaya berkenan, akan dirampas
menjadi sebuah perkampungan.”
“Ah,” potong ayahnya,
“sekarang kita sedang berbicara tentang Sangkal Putung dan orang-orang Jipang.
Kau berbicara menurut seleramu sendiri.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Bukankah yang lain-lain dapat juga dibicarakan di Sangkal Putung? Tidak di
tengah-tengah bulak ini. Dengan demikian, orang-orang yang terlukapun segera
dapat ditolong dengan cara yang lebih baik.”
Ki Gede Pemanahan
menganggukkan kepalanya. Jawabnya, “Pendapatmu baik.”
Kepada Untara Ki Gede
Pemanahan berkata, “Untara. Aku akan berjalan terus ke Sangkal Putung. Kalau
benar ada orang-orang Jipang yang berada di banjar desa, maka sebaiknya apa
yang terjadi ini sementara dirahasiakan supaya keadaan banjar desa Sangkal Putung
tidak menjadi tegang karena prajurit-prajurit Pajang yang terbakar perasaannya
karena peristiwa ini.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia menyahut, “Ya Ki Gede, ada beberapa orang-orang
Jipang yang luka-luka di sana.”
“Apakah persiapanmu untuk
menyambut orang-orang Jipang cukup baik? Menyerah atau seandainya mereka
menyerang?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Menurut perhitungan kami di
Sangkal Putung, persiapan itu cukup baik Ki Gede.”
“Aku masih cukup percaya
kepadamu. Peristiwa yang terjadi ini mungkin sama sekali di luar dugaanmu.”
Untara tidak menjawab. Tetapi
ia hanya menundukkan kepalanya.
“Suruh orang-orangmu melayani
orang-orang yang terluka dan membawa para korban. Bagaimana menurut
pertimbanganmu supaya para korban dan mereka yang terluka tidak menggemparkan
banjar desa?”
Untara berpikir sejenak,
kemudian jawabnya, “Mereka akan kami tinggalkan di pedukuhan sebelah Ki Gede.
Beberapa orang akan mengawalnya. Apabila terjadi sesuatu, mereka harus
membunyikan tanda bahaya.”
Pemanahan mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baik. Kita akan berangkat.”
Ki Gede Pemanahanpun kemudian
meneruskan perjalanannya. Kuda-kuda yang masih berkeliaran segera ditangkap
kembali. Dan mereka yang sudah kehilangan kudanya segera naik bersama-sama dua
orang di atas satu punggung kuda. Sedang para peronda yang datang berjalan kaki
harus kembali ke gardunya sambil membawa orang-orang yang terluka dan beberapa
mayat korban pertempuran itu, dibantu oleh beberapa orang prajurit berkuda yang
datang dari Sangkal Putung.
Di sepanjang perjalanan yang
sudah tidak terlampau jauh itu, hampir-hampir tidak ada yang mengucapkan
sepatah katapun. Semuanya terdiam oleh angan-angan mereka yang berputaran.
Baru ketika mereka hampir
memasuki induk kademangan, Untara berkata “Apakah beberapa orang dari kami
diperkenankan mendahului, Ki Gede. Kami ingin membuat beberapa persiapan.”
Ki Gede menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Pergilah.”
Kemudian kepada seorang
perwira pengiringnya Ki Gede berkata, “Kibarkan panji-panji. Pakailah tombak
sebagai tunggulnya.”
Sebelum Untara mendahului
rombongan itu bersama beberapa orang untuk mengatur penyambutan, maka ia masih
sempat melihat panji-panji Wira Tamtama berkibar pada sebuah landean tombak.
Panji-panji Wira Tamtama yang mengatakan bahwa dalam rombongan itu ada seorang
perwira tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama.
Kepada Untara dan
orang-orangnya sekali lagi Ki Gede Pemanahan berpesan, “Untara, kalau kau masih
mengharap bahwa Sumangkar benar-benar akan menyerah, maka sekali lagi aku
pesankan rahasiakan dahulu apa yang telah terjadi.”
Untara mengangguk sambil
menjawab, “Ya Ki Gede. Akan kami lakukan.”
Untara itupun kemudian
mendorong kudanya berjalan lebih cepat untuk mendahului rombongan Ki Gede
Pemanahan. Baberapa saat kemudian mereka berpacu memasuki lorong-lorong di
dalam induk Kademangan Sangkal Putung menuju ke banjar desa.
Beberapa orang melihat Untara
dengan berbagai pertanyaan di dalam hati. Para prajurit yang berada di
alun-alun, beserta anak-anak muda Sangkal Putung, memalingkan kepala mereka
sejenak. Tetapi ketika yang mereka lihat Untara sedang berpacu, maka kembali
mereka bercakap-cakap di antara mereka. Orang-orang yang berada di alun-alun
itu sama sekali tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Mereka menyangka
bahwa Untara memang sedang bermain-main sendiri. Permainan yang masih
dirahasiakan bagi mereka.
Melihat kedatangan Untara
tanpa Ki Gede Pemanahan hati Widura berdesir. Apakah Untara telah terlambat
sehingga Ki Gede Pemanahan menemui bencana?
Dengan tergesa-gesa ia segera
menyongsong kedatangan Untara. Demikian Untara meloncat dari punggung kudanya
di muka pendapa banjar desa, terdengar Widura bertanya perlahan-lahan, “Apakah
kau terlambat Untara?”
Untara mengerutkan keningnya.
Jawabnya dengan nada rendah, “Ya Paman.”
“He?” darah Widura serasa
membeku, “lalu bagaimana dengan Ki Gede Pemanahan?”
“Sebentar lagi Ki Gede akan
datang.”
“Oh” Widura menghela nafas.
“Jadi Ki Gede Pemanahan tidak apa-apa?”
Baru Untara kini menyadari,
bahwa jawabannya telah mengejutkan Widura. Maka katanya, “Tidak Paman, Ki Gede
Pemanahan tidak mengalami cidera. Tetapi aku sebenarnya datang terlambat.
Orang-orang Jipang telah terusir.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa dadanya menjadi lapang. Dengan mengelus dada ia berkata,
“Dadaku selama ini serasa akan meledak. Sukurlah kalau Ki Gede Pemanahan tidak
mendapat cidera apapun. Apakah Ki Gede akan segera memasuki banjar desa?”
“Ya. Ki Gede akan memasuki
banjar desa. Ki Gede menghendaki apa yang terjadi tetap dirahasiakan,” sahut
Untara sambil memandang berkeliling kepada para petugas yang berdiri agak jauh
dari padanya yang memancarkan pertanyaan lewat sorot mata mereka. Tetapi mereka
tidak mendengar percakapan itu.
Akhirnya Untara itupun
berkata, “Kita sekarang harus segera menyiapkan penyambutan Paman.”
Widura menyadari bahwa waktu
telah menjadi sangat sempit. Karena itu, maka kemudian ia memanggil salah
seorang dari para petugas yang berdiri di muka pendapa itu. Ketika orang itu
telah menghadap di depannya maka katanya, “Bunyikan tanda bagi para prajurit di
alun-alun.”
Orang itu memandang Widura
dengan herannya. Tanda apakah yang harus dibunyikan? Karena itu maka ia
bertanya, “Ki Wídura, tanda apakah yang harus aku bunyikan. Tanda untuk
berperang? Atau tanda untuk bubar dan kembali ke pondok masing-masing.”
Widura mengerutkan keningnya.
Kemudian baru disadarinya bahwa perintahnya kurang lengkap. “Tanda bahwa akan
datang tamu agung di banjar desa ini.”
“Tamu agung?”
“Ya.”
“Siapa?”
“Cepat, kau akan melihat
nanti.”
Orang itu tidak bertanya lagi.
Segera ia berlari-lari kecil ke sisi halaman di samping gandok. Dengan serta
merta diraihnya pemukul kentongan sebesar lengannya. Dan dengan sekuat-kuat
tenaganya dipukulnya kentongan itu dalam irama tiga-dua.
Para prajurit yang berada di
alun-alun beserta para anak-anak muda Sangkal Putung dan setiap orang yang
berdiri mengitari alun-alun itu terkejut. Mereka telah mengenal tanda itu.
Tanda bahwa akan ada tamu yang datang di kademangan mereka. Sesaat mereka
saling berpandangan. Kemudian terdengar bisik di antara mereka, “Siapakah yang
bakal datang?”
Semua orang saling
menggelengkan kepala mereka. Mereka sama sekali belum mendengar siapa yang
bakal datang ke kademangan itu. Hanya satu dua orang kepala kelompok yang sudah
mendengar berita kedatangan Ki Pemanahan, namun mereka pun berpura-pura
menggelengkan kepala mereka pula.
Namun tanda itu masih bergema
terus. Karena itu, maka segera para prajurit dan anak-anak muda Sangkal Putung
mengatur diri dalam barisan yang teratur menurut susunan masing-masing, sedang
orang-orang yang berdiri menonton di sekitar alun-alun itupun segera mendesak
maju.
Untara dan Widura beserta
beberapa orang pun kini telah berada di regol halaman. Mereka menanti
kedatangan Ki Gede Pemanahan beserta rombongannya dengan berdebar-debar.
Apalagi Untara, yang mengetahui bahwa rombongan yang datang dari Pajang itu
telah tidak utuh seperti semula. Ada di antara mereka yang kini terpaksa
ditinggalkan karena luka-luka mereka, bahkan ada di antara mereka yang
terbunuh.
Bukan hanya itu yang
menggelisahkan Untara. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya
matahari telah terlampau tinggi. Kalau matahari itu mencapai puncaknya, maka
Sumangkar dan sebagian orang-orang Jipang harus diterimanya.
Tetapi sudah tentu Untara
tidak dapat meninggalkan halaman itu sebelum Ki Gede Pemanahan datang. Ia hanya
dapat mengharap mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan segera datang dan orang-orang
Jipang tidak mendahului waktu yang telah ditentukan. Apalagi kalau orang-orang
Jipang itu curang dan seperti apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi, mereka
datang untuk menghancurkan Sangkal Putung, tidak untuk menyerah. Orang-orang di
gardu-gardu akan dapat dikelabuinya. Mereka datang untuk berpura-pura menyerah
sebelum mereka mencekik leher para peronda, sehingga mereka tidak sempat
memukul tanda bahaya.
Untara itu seakan-akan berdiri
di atas bara api. Sekali ia melangkah ke tengah-tengah jalan melihat apakah Ki
Gede Pemanahan telah tampak, sekali ia melangkah ke regol halaman sambil
berkomat-kamit. Ia beserta pasukannya harus segera ke Benda. Melihat kehadiran
orang-orang Jipang dengan senjata di tangan. Menyaksikan mereka mengumpulkan
senjata-senjata mereka dan kemudian menerima mereka secara resmi yang
seharusnya disaksikan oleh Ki Gede Pemanahan. Kemudian orang-orang Pajang harus
menyingkirkan senjata-senjata itu. Selanjutnya orang-orang Jipang itu besuk
atau lusa harus pergi ke Pajang dengan sebuah pengawalan yang kuat bersama-sama
Ki Gede Pemanahan. Tetapi melihat perkembangan terakhir, maka rencana itupun
harus mendapat perubahan. Ternyata Ki Tambak Wedi sudah mulai bergerak
terlampau cepat dari dugaan Untara, sehingga pada saat-saat orang Jipang nanti
selama dalam perjalanan ke Demak pun harus diperhitungkan setiap kemungkinan
yang dapat dilakukan oleh Ki Tambak Wedi.
Waktu yang pendek itu terasa
betapa panjangnya. Untara hampir-hampir menjadi tidak bersabar lagi dan
hampir-hampir ia memerintahkan menyediakan kudanya untuk kembali menyongsong Ki
Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, para prajurit
Pajang dan orang-orang Sangkal Putung yang berada di alun-alun kecil di muka
banjar desa itupun mulai menebak-nebak. Siapakah tamu agung yang bakal datang?
Dalam keragu-raguan itu terdengar seseorang berbisik, “Apakah orang-orang
Jipang yang menyerah itu kita terima sebagai tamu agung?”
Kawannya berbicara mengerinyitkan
alisnya. Gumamnya, “Tentu tidak.”
“Siapa tahu. Anak-anak yang
selama ini menjadi liar dan gila itu, kini mendapatkan perlakuan yang
berlebih-lebihan, mereka dimanjakan dan dihormati seperti tamu agung.”
“Kalau demikian, aku akan
memaki mereka di depan orang banyak ini” sahut orang yang diajak berbicara.
“Tidak hanya memaki” sela yang
lain, yang mendengar pembicaraan itu. “Aku akan melempar mereka dengan tombakku
ini.”
Pembicaraan itu segera
terhenti, ketika mereka mendengar sebuah teriakan melengking dari salah seorang
pemimpin penghubung, “Tamu kita telah datang.”
“Setan” desis salah seorang
prajurit.
“Apakah benar mereka
orang-orang Jipang.”
“Tetapi mereka datang dari
arah yang lain. Lihat, para pemimpin kita menyongsong para tamu yang datang
dari arah timur.”
Merekapun kemudian terdiam.
Tetapi beberapa orang yang sudah melihat kedatangan serombongan prajurit Pajang
dengan sebuah panji-panji yang telah mereka kenal menjadi terkejut bukan
kepalang. Rombongan yang semakin lama menjadi semakin dekat itu ternyata
membawa panji-panji kehormatan Wira Tamtama, bukan sekedar panji-panji pasukan
Wira Tamtama. Panji-panji yang mengabarkan bahwa di dalam rombongan itu ikut
serta Panglima Wira Tamtama, Ki Gede Pemanahan.
Tiba-tiba dengan serta-merta
mereka pun bersorak. Semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang
berdiri di belakang yang tidak dapat melihat arah kedatangan para tamu, karena
terhalang pepohonan di samping lapangan itu, semakin ingin tahu, siapakah
sebenarnya yang datang.
Orang-orang yang berdiri di
muka, yang dapat melihat agak jauh sepanjang jalan, di muka banjar desa itupun
berteriak, “Ki Gede Pemanahan, Ki Gede Pemanahan.”
“Kau dengar kata-kata itu?”
bertanya salah seorang prajurit yang berdiri di belakang. “Apakah betul mereka
menyebut nama Ki Gede Pemanahan?”
Mereka pun terdiam. Kembali
mereka mendengar sorak itu, sehingga akhirnya orang-orang yang berdiri di
belakang tidak dapat mengendalikan diri lagi. Segera mereka mendesak maju,
sementara rombongan dari Pajang pun sudah semakin dekat. Yang pertama-tama
mereka lihat adalah panji-panji itu. Dan dengan serta-merta pula mulut mereka
berdesis, “Panji-panji itu adalah panji-panji kehormatan, bukan panji-panji
pasukan Wira Tamtama. Yang datang bukanlah sepasukan prajurit dalam siaga
tempur, yang datang adalah Panglima Wira Tamtama.”
Sejenak para prajurit itu
terpesona. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa panglima mereka yang
namanya selalu tergores di dalam dada mereka, setiap prajurit Wira Tamtama,
datang mengunjungi desa terpencil ini. Karena itu, maka hati mereka pun menjadi
menggelegak oleh suatu kebanggaan.
“Tetapi kenapa kedatangan Ki
Gede Pemanahan tidak dalam suatu sikap kebesaran? Dengan pengawal segelar
sepapan dan segala macam tanda-tanda yang lain?”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ketika Ki Gede Pemanahan sudah semakin dekat, tanpa
mereka sengaja, mulut-mulut mereka itu pun telah berteriak, “Ki Gede
Pemanahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum di
atas punggung kudanya. Ditatapnya gairah yang menyala dalam penyambutan yang
sederhana itu. Justru karena kedatangannya tidak diduga-duga, maka sambutan
para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal Putung meledak seperti ledakan
gunung berapi. Mereka berteriak-teriak mbata rubuh. Mereka melambaikan
tangan-tangan mereka, bahkan senjata-senjata mereka.
Ki Demang Sangkal Putung
bahkan menjadi seolah-olah membeku. Kedatangan Panglima Wira Tamtama di Sangkal
Putung, adalah suatu kehormatan yang tidak terkira.
Karena itu, karena kebanggaan
orang-orang Sangkal Putung dan para prajurit Pajang atas kunjungan Ki Gede
Pemanahan, Panglima Wira Tamtama, maka sambutan mereka pun meledak tanpa
terkendali. Sorak yang gemuruh, pekik yang seolah-olah memecahkan selaput
kuping.
Sejenak kemudian maka banjar
desa itu pun segera menjadi ribut. Para petugas menjadi terlampau sulit untuk
menahan arus orang-orang Sangkal Putung yang akan menerobos masuk ke halaman.
Bahkan kemudian para prajurit Pajang terpaksa berdiri berjajar rapat di pintu
regol untuk mencegah orang-orang yang tanpa terkendali memasuki halaman yang
tidak terlampau luas.
Tetapi dalam pada itu, Ki
Demang Sangkal Putung mempunyai kesibukan yang lain. Ia belum siap sama sekali,
bagaimana ia nanti akan memberikan hidangan yang pantas kepada Panglima Wira
Tamtama itu, sehingga dengan agak kisruh ia dengan tergesa-gesa bertanya kepada
Widura, “Adi Widura, apakah yang harus kami hidangkan nanti kepada tamu agung
kita?”
Widura mengerutkan keningnya,
kemudian jawabnya, “Ki Gede Pemanahan adalah orang yang tidak banyak
memperhatikan masalah-masalah yang demikian. Hidangkan saja apa yang akan
Kakang Demang hidangkan kepada kita hari ini. Nasi seperti biasa kita makan,
dan minum seperti yang biasa kita minum.”
“Ah,” desah Ki demang, “itu
terlampau sederhana bagi seseorang Panglima Wira Tamtama.”
“Ki Gede Pemanahan adalah
seorang prajurit” sahut Widura. “Ia bukan prajurit di dalam bilik perang di
Pajang untuk mengatur gerak prajuritnya sambil duduk memintal kumis. Ki Gede
Pemanahan adalah seorang prajurit medan. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan
tidak akan pernah menilai hidangan yang dihidangkan kepadanya.”
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun demikian, namun keningnya kemudian
dibasahi oleh keringat dingin yang mengalir tak henti-hentinja. Dengan serta
merta dipanggilnya Swandaru sambil berkata, “Swandaru, pulanglah ke kademangan
sejenak. Berkatalah kepada ibumu dan adikmu Sekar Mirah. Buatlah hidangan yang
agak pantas untuk Ki Gede Pemanahan dengan rombongan dari Pajang.”
“Hidangan apa Ayah?”
“Makanan, makan siang dan
minuman.”
“Rujak degan.”
“Jangan mengigau. Itu hanya
kesukaanmu sendiri.”
Ki Demang terkejut bukan
buatan ketika seorang anak muda yang ternyata memisahkan diri dari rombongannya
dan berjalan di halaman itu menyahut, “Ayah senang sekali rujak degan.”
Ki Demang memandangi anak muda
itu dengan mata hampir tak berkedip. Ia melihat lengan baju anak muda itu
membekas darah dan bahkan kainnya pun terkena percikannya pula. Tetapi wajahnya
masih juga memancarkan sebuah senyuman yang segar.
Ketika dengan ragu-ragu Ki
Demang ingin menanyakan siapakah anak muda itu, maka terdengar pula suara yang
lain di belakangnya.
“Ki Demang, anak muda inilah
yang bernama Sutawijaya dan bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
“Oh” Ki Demang itu berdiri
sejenak dengan mulut ternganga. Inilah anak muda yang telah herhasil menyobek
perut Pengeran Arya Penangsang, Adipati Jipang.
Swandaru yang mendengar nama
itu, dadanya bergetar. Tiba-tiba ia meloncat maju sambil menganggukkan
kepalanya dalam-dalam. Dengan hormatnya ia berkata, “Aku mengagumi Tuan
melampaui segala-galanya.”
“Ah” anak muda itu berdesah.
Katanya kemudian, “Bagaimana dengan rujak degan itu?”
Swandaru menjadi tersipu-sipu.
Tetapi ternyata Sutawijaya mendesaknya, “Kami terlampau haus. Apakah di sini ada
kelapa muda? Aku juga bisa memanjat untuk memetiknya.”
“Jangan, jangan” cegah
Swandaru. “Aku anak kademangan ini. Aku sudah terlalu biasa memanjat batang
kelapa.”
Swandaru tidak berkata-kata
lagi. Segera ia berlari-lari ke halaman belakang banjar desa. Kepada beberapa
orang dimintanya untuk segera menurunkan beberapa kelapa muda seperti yang
diminta oleh Sutawijaya.
Dalam pada itu, Sutawijaya
yang masih berada di halaman, memandangi anak muda yang telah memperkenalkannya
kepada Ki Demang Sangkal Putung. Anak muda itu dilihatnya datang bersama-sama
dengan Untara ke bulak tempat mereka bertempur melawan orang-orang Jipang.
Tetapi anak muda itu belum dikenalnya, dan anak muda itu tidak berpakaian atau
bertanda apapun sebagai seorang prajurit. Karena itu, maka dengan serta-merta
ia bertanya, “Bukankah kau yang datang bersama Kakang Untara?”
Anak muda itu menganggukkan
kepalanya. “Ya, Tuan.”
“Siapakah namamu?”
“Agung Sedayu.”
“Apakah kau bukan seorang
prajurit meskipun di lambungmu tergantung sehelai pedang?”
“Ya, Tuan. Aku bukan seorang
prajurit Wira Tamtama.”
“Apakah kau termasuk laskar
Sangkal Putung?”
“Ya, Tuan, meskipun aku bukan
anak Sangkal Putung.”
Sutawijaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian kembali ia bertanya, “Dari manakah kau?”
“Jati Anom.”
“Oh, jadi apakah kau mempunyai
hubungan khusus dengan Kakang Untara?”
“Aku adiknya.”
Sutawijaya tertawa. “Pantas”
katanya.
Tetapi ia tidak meneruskannya.
Ternyata Agung Sedayu menarik perhatiannya. Kecuali umurnya yang sebaya, juga
ketangkasannya. Sutawijaya melihat anak muda itu meloncat dari punggung
kudanya, langkahnya dan pedang di lambungnya.
Tetapi anak muda ini tampaknya
agak berbeda dengan orang-orang yang berada di halaman itu. Bahkan dengan
Untara dan Widura sekali pun. Agung Sedayu bersikap lain dari pada para
prajurit. Anak muda itu tidak sekeras kakaknya. Sikapnya agak lebih lunak
meskipun dari sepasang matanya memancar pula sifat-sifat yang membayangkan
betapa anak muda itu memandang hari depan dengan penuh gairah.
“Apakah kau sudah lama berada
di tempat ini?” bertanya Sutawijaya.
“Belum, Tuan.”
“Sejak Paman Widura di sini?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Belum lama. Aku datang bersama-sama dengan Kakang Untara.”
“Oh” Sutawijaya mengerutkan
keningnya. “Ya!” serunya. Tiba-tiba putera Panglima Wira Tamtama itu teringat
sesuatu. Katanya, “Aku pernah mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang
penghubung tentang dirimu. Tentang Agung Sedayu. Bukankah kau yang menyampaikan
berita pertama kali ke Sangkal Putung tentang gerakan Tohpati?”
Wajah Agung Sedayu menjadi
tertunduk karenanya.
“Bukankah begitu?”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Yang menjawab kemudian adalah pamannya yang masih berdiri di
sampingnya, “Ya, Angger Agung Sedayulah yang telah membawa berita itu. Berita
yang seolah-olah telah melepaskan kami dari bencana.”
“Luar biasa. Kau benar-benar
mengagumkan.”
Tetapi Agung Sedayu menjadi
semakin rikuh. Terasa wajahnya menjadi tebal, seakan-akan kulit di mukanya
menjadi bengkak. Yang mengucapkan pujian itu adalah anak muda sebayanya yang
pernah bertempur melawan Arya Penangsang, apa lagi kalau dikenangnya apa yang
sebenarnya terjadi pada waktu itu.
Tetapi pembicaraan itupun
segera terhenti. Widura dengan tergesa-gesa harus naik ke pendapa. Para tamu
dan para pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung telah duduk di pendapa
banjar desa. Ki Demang pun segera dipanggil pula duduk di antara mereka.
Alangkah tegang sikap Demang
Sangkal Putung itu. Menghadap seorang Panglima Wira Tamtama adalah kesempatan
yang baru pertama kali ini didapatnya. Dahulu, seorang tumenggung dari Demak
pernah datang pula ke kademangan ini. Pada saat itu, ia dan para pamong
kademangan harus duduk beberapa langkah dari para tamu itu sambil menundukkan
wajah mereka dalam-dalam. Dengan sikap yang garang tumenggung itu memberikan
beberapa perintah dan petuah. Tetapi hampir tak seorangpun yang mendapat
kesempatan untuk mengucapkan sepatah pertanyaan pun, dan bahkan hampir tak ada
kesempatan untuk menatap wajah tumenggung yang dikawal oleh beberapa orang
prajurit dengan segala macam tanda-tanda kebesaran.
Tetapi kini, yang datang
adalah orang tertinggi dari kesatuan Wira Tamtama, justru begitu sederhana dan
ramah. Semua orang mendapat kesempatan duduk dalam lingkaran bersama-sama,
berbicara dengan ramah dan berbincang dengan terbuka. Namun dengan demikian,
maka Ki Demang itu menjadi semakin hormat kepada Panglima yang sederhana ini.
Namun dalam pada itu,
Untaralah yang seolah-olah dibakar oleh kegelisahannya. Meskipun Ki Gede
Pemanahan selalu mendengarkan pendapat orang lain, namun ia tidak berani
mengemukakan persoalan orang-orang Jipang itu terlampau segera. Ki Gede
Pemanahan baru saja duduk di pendapa itu. Belum lagi minuman dihidangkan,
setelah Ki Gede dan para prajurit yang mengawalnya bertempur dengan orang-orang
Jipang yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi.
Sekali-kali Untara itu
memandangi Ki Demang Sangkal Putung dan Widura berganti-ganti. Seakan-akan
terpancarlah pertanyaan dari sorot matanya, “Apakah tidak segera dihidangkan
minumam untuk para tamu yang pasti kehausan setelah bertempur ini?”
Tetapi pertanyaan itu
dijawabnya sendiri, “Salahmu. Kau tidak memberitahukan bahwa akan datang tamu
agung dari Pajang dan tidak kau katakan bahwa mereka habis bertempur di ladang
jagung.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam.
Tetapi ia terkejut ketika
kemudian beberapa orang naik ke pendapa untuk menghidangkan minuman yang tidak
disangka-sangkanya. Rujak degan.
Untara mengerutkan keningnya.
Tetapi ia menarik nafas dalam ketika Widura berkata, “Ki Gede, Puteranda
mengatakan bahwa Ki Gede sangat gemar minum rujak degan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia menjawab, “Sutawijaya berkata
sebenarnya.”
Maka beredarlah
mangkuk-mangkuk berisi rujak degan yang digulai dengan cairan legen mentah.
Alangkah segarnya.
Namun Untara sama sekali tidak
merasakan kasegaran itu. Sekali-kali ia memandang bayangan matahari yang
memanjat semakin tinggi. Apakah jadinya kalau orang-orang Jipang itu datang
dengan tiba-tiba menyergap beberapa gardu perondan. Meskipun ia yakin bahwa
penjagaan induk kademangan Sangkal Putung ini tidak akan dapat dengan mudah
ditembus. Namun kesempatan mereka mendekati induk kademangan adalah kesempatan
yang amat merugikan bagi Sangkal Putung. Sifat dan sikap Sanakeling agak
berbeda dengan Macan Kepatihan. Apalagi kini di antara mereka ada orang-orang
seperti Tambak Wedi dan Sidanti yang tamak.
Dalam pada itu, Sutawijaya
masih saja berada di halaman. Sehingga karena itu Agung Sedayu bertanya,
“Apakah Tuan tidak duduk di antara para tamu dan pemimpin-pemimpin Sangkal
Putung?”
“Terlampau panas. Lebih sejuk
di halaman ini” sahut Sutawijaya. “Kenapa kau juga tidak naik?”
Agung Sedayu tersenyum,
katanya, “Aku bukan salah seorang dari para pemimpin.”
Sutawijaya tertawa mendengar
jawaban itu. Bahkan segera ia berkata, “Apakah bedanya, pemimpin dan bukan
pemimpin?”
Agung Sedayu tidak dapat
segera menjawab pertanyaan itu. Tetapi justru karena itu, maka ia pun tertawa
pula.
Beberapa orang yang mendengar
mereka tertawa, mengernyitkan alisnya. Tetapi mereka kemudian bertanya-tanya di
dalam hati kenapa putera Ki Gede Pemanahan itu tidak duduk di antara para tamu
yang datang dari Pajang.
Dalam pada itu, agaknya Agung
Sedayu telah menemukan jawaban atas pertanyaan Sutawijaya. Katanya, “Tuan
apabila pemimpin dan bukan pemimpin tidak dibedakan, maka pendapa itu pasti
tidak akan muat.”
“Ya, bedanya apa?” desak
Sutawijaya.
“Bedanya, pemimpin boleh
memilih. Duduk di atas atau berjalan di halaman. Sedang yang bukan pemimpin
hanya ada satu pilihan. Tidak ada pilihan ke dua. Karena itu, aku tetap di
sini.”
Sekali lagi Sutawijaya
tertawa. Bahkan kali ini lebih keras, sehingga orang-orang yang berada di
pendapa pun berpaling kepadanya.
Tetapi suara tertawa itu telah
memberikan isyarat tanpa disengaja kepada Ki Gede Pemanahan. Tiba-tiba Panglima
Wira Tamtama itu melihat bahwa bayangan matahari telah hampir tegak di bawah
kaki. Karena itu, maka Ki Gede Pemanahan itu pun segera berpaling kepada
Untara.
Panglima Wira Tamtama itu
menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dahi Untara telah dibasahi oleh keringat
dinginnya. Dari wajahnya membayang kegelisahan yang amat sangat.
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Ia menangkap apa yang bergolak di dalam dada anak muda itu. Katanya, “Apakah
kau gelisah karena matahari telah cukup tinggi?”
Untara membungkukkan badannya
dalam-dalam. “Ya, Ki Gede.”
Namun pertanyaan itu terasa
seperti embun yang menetes di jantungnya yang seakan-akan terbakar.
“Maaf Untara” berkata Ki Gede
Pemanahan itu pula. “Mungkin aku datang terlampau siang. Aku terlambat dari
waktu yang telah aku tetapkan sendiri.”
Jantung Untara terasa
berdentang keras sekali. Sekali lagi ia merasa betapa ia telah berbuat bodoh
sekali. Laporannya ternyata jauh meleset dari apa yang terjadi. Sangkal Putung
sama sekali belum menjadi aman seperti yang disampaikannya kepada Panglima Wira
Tamtama itu.
Sejenak Untara terbungkam. Ia
tidak dapat menjawab sama sekali, selain hanya menundukkan kepalanya saja.
Karena Untara tidak menjawab
maka Ki Gede Pemanahan berkata pula, “Untara, kalau kau masih mempunyai
kewajiban yang lain lakukanlah. Kalau aku akan kau bawa pula, marilah aku sudah
bersedia.”
Untara mengigit bibirnya. Tapi
ia tidak dapat menjawab lain dari pada, “Ya Ki Gede. Saat penyerahan hampir
tiba.”
“Baik. Siapkan orang-orangmu.
Aku akan pergi bersamamu.”
Untara pun kemudian berdiri
dan turun dari pendapa. Diberikanya beberapa perintah kepada Widura menyiapkan
pasukan yang segera akan pergi ke Benda. Beberapa orang berkuda akan lebih
dahulu pergi. Melihat apa yang terjadi di desa kecil itu. Mereka harus membawa
alat-alat tanda bahaya apabila keadaan memaksa.
Namun dalam pada itu, Untara
menjadi heran sejak ia kembali dari bulak tegalan jagung, ia belum melihat Ki
Tanu Metir. Sehingga karena itu maka ia bertanya kepada Widura, “Paman, di
manakah Kiai Gringsing ?”
Widura mengerutkan keningnya.
Demikian sibuknya ia mengurusi berbagai soal sehingga tidak diingatnya Kiai
Gringsing itu lagi. Karena itu maka jawabnya, “Aku tidak melihatnya Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kiai Gringsing adalah orang yang aneh. Orang yang hanya menuruti
kehendak sendiri, meskipun kadang-kadang bahkan sering menguntungkannya. Karena
itu Untara tidak lagi mencarinya.
Widura yang kemudian pergi ke
lapangan di muka banjar desa itu pun segera mempersiapkan orang-orangnya.
Kepada beberapa orang pemimpin kelompok diperintahkannya menyiapkan para
prajurit Panjang dan anak-anak muda Sangkal Putung dalam kesiagaan penuh.
Mereka akan menerima orang-orang Jipang yang akan menyerah. Namun segala
kemungkinan dapat terjadi.
“Kami tidak percaya kepada
mereka” tiba-tiba terdengar Hudaya yang sudah berdiri di belakangnya berkata.
Widura berpaling. Ditatapnya
wajah Hudaya yang tegang. “Jangan merusak rencana, Hudaya. Rencana ini sudah
menjadi masak.”
“Apakah yang terjadi di bulak
tegalan jagung itu tidak mendapat pertimbangan? Aku mendengar dari para tamu,
apa yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi.”
“Kau harus tahu, bahwa Ki
Tambak Wedi dan Sumangkar tidak sependapat.”
“Bukankah mereka dapat
berpura-pura berbuat begitu?”
“Karena itu marilah kita
berada dalam kesiapsiagaan yang penuh.”
“Belum cukup. Kalau kita
biarkan mereka mendekati barisan kita, sedang kita hanya menunggu saja di
Padukuhan Benda, maka kita akan kehilangan kesempatan. Harus kita perhitungkan
pula orang-orang Tambak Wedi yang dapat saja datang dari jurusan yang
berbeda-beda. Kalau kita sedang terlibat dalam bentrokan yang kacau, kemudian
kita dengar tanda bahaya dari sudut lain, maka kita akan kehilangan waktu dan
perhitungan.”
“Jangan terlampau
berprasangka. Marilah kita lakukan perintah yang telah disetujui oleh Panglima
Wira Tamtama dengan tidak meninggalkan kewaspadaan.”
Hudaya tidak dapat membantah
lagi. Perintah ini, harus dijalankan, apalagi telah disetujui oleh Panglima
Wira Tamtama.
Tetapi tiba-tiba kembali
mereka menjadi tegang ketika seorang kepala kelompok yang lain bertanya,
“Apakah yang kau katakan itu ada hubungannya dengan luka Kakang Sonya yang baru
saja mengigau tentang orang-orang Jipang di bulak jagung?”
Dada Widura berdesir mendengar
pertanyaan itu, sehingga iapun bertanya pula, “Apa kata Sonya?”
“Pertempuran di tegal jagung.
Menurut Sonya, orang-orang Jipang telah mencegat Ki Gede Pemanahan beserta
rombongannya” sahut orang itu.
Kini dada Widura benar-benar
menjadi berdebar-debar. Ia telah minta agar Sonya merahasiakan peristiwa itu
untuk menjaga ketenteraman hati para prajurit Pajang dan orang-orang Sangkal
Putung. Tetapi agaknya seseorang, bahkan lebih, telah mendengar peristiwa itu.
“Apakah Sonya telah
menceritakan kepadamu apa yang terjadi?” bertanya Widura.
Orang itu menjadi ragu-ragu.
Ditatapnya wajah Hudaya seakan-akan ia ingin mendapat penjelasan, apa yang
sedang dipercakapkannya dengan Widura. Tetapi karena Hudaya seolah-olah
membisu, maka iapun menjawab, “Sonya telah terluka. Mula-mula ia tidak mau mengatakan
apa sebabnya ia terluka. Bahkan orang yang memapahnya dari pendapa ke gandok
pun tidak diberitakukannya. Tetapi tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat panas,
sehingga ia mengigau. Dalam igauannya itulah ia mengatakan bahwa ia telah
bertemu dengan orang-orang Jipang. Bahkan sekali-sekali ia berteriak-teriak
memanggil nama Untara.”
Widura mengerutkan keningnya.
la tidak mendapat laporan tentang keadaan Sonya itu. Bahkan oleh beberapa
kesibukan yang lain, ia tidak sempat menunggui orang yang terluka itu.
“Apakah Ki Tanu Metir tidak
memberinya obat?”
“Ya,” sahut orang itu, “tetapi
kemudian orang tua itu pergi sampai sekarang tidak kembali lagi.”
Debar di dada Widura menjadi
semakin keras. Sekali-sekali ditatapnya wajah Hudaya yang seolah-olah
memancarkan tuntutan kepadanya.
Namun Widura itu kemudian
menjawab, “Sonya hanya mengigau. Mungkin telah terjadi sesuatu dengan
perjalanannya, tetapi sebaiknya kita mendengarkan laporannya besok apabila ia
sudah tidak mengigau lagi, sehingga kata-katanya dapat dipertanggung-jawabkan.”
Pemimpin kelompok itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia menjadi curiga ketika ia melihat
Hudaya tersenyum. Senyum yang aneh. Dan senyum itu sama sekali tidak
menyenangkan hati Widura. Katanya kemudian, “Sekarang, lakukan perintah yang
diberikan oleh Untara dan telah disetujui oleh Ki Gede Pemanahan. Bersiaplah.
Sebentar lagi kita akan pergi ke Padukuhan Benda. Mudah-mudahan kita datang
lebih dahulu daripada orang-orang Jipang, sehingga kita dapat membangun
pertahanan-pertahanan yang perlu apabila keadaan berkembang tidak seperti yang
diharapkan.”
Hudaya menggeleng lemah.
Desisnya, “Aku tidak dapat mengerti apa yang harus aku lakukan. Tetapi perintah
ini akan aku jalankan. Mudah-mudahan kita tidak masuk ke dalam api neraka.”
Widura memandang Hudaya dengan
penuh curiga. Tetapi dibiarkannya Hudaya berjalan ke kelompoknya. Di
belakangnya berjalan para pemimpin kelompok yang lain.
Tetapi Hudaya itu tertegun dan
berpaling ketika ia mendengar Widura memanggilnya, “Hudaya. Aku minta bantuanmu.”
Hudaya mengerti sepenuhnya
arti kata-kata itu. Widura minta kepadanya supaya ia tetap merahasiakan apa
yang diketahuinya di tegal jagung. Tetapi apabila kemudian berita tentang tegal
jagung itu tersebar, adalah bukan salahnya. Ia patuh pada perintah itu, betapa
hatinya sendiri meronta.
Maka jawabnya, “Aku telah
mencoba. Tetapi aku tidak dapat mencegah Sonya mengigau terus.”
Widura menarik nafas panjang.
Ia pun tahu sepenuhnya bahwa bukan Hudaya sumber dari cerita tentang tegal
jagung itu seandainya cerita itu menjalar. Karena Sonya telah mengigau, maka
peristiwa itu tentu akan menjadi bahan pembicaraan. Sebagian dari prajurit
Pajang pasti percaya pada igauan itu. Bahkan mungkin telah membakar hati mereka
pula. Apalagi apabila laskar Sangkal Putung sampai mendengarnya.
Tetapi Widura tidak dapat
berbuat apa-apa. Satu dua orang telah terlanjur mendengar Sonya mengigau.
Agaknya satu dua orang itu telah bercerita kepada orang-orang lain lagi,
sehingga dalam saat yang pendek, cerita itu pasti sudah akan tersebar di
seluruh Sangkal Putung.
Sudah tentu cerita itu
menggelisahkan para pemimpin Sangkal Putung. Ketika Widura melaporkan kesiagaan
para prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung, maka kemudian cerita tentang
Sonya itu dibisikkannya kepada Untara.
“Celaka,” Untara berdesis,
“bagaimana dugaan Paman?”
“Mereka dibakar oleh dendam
yang meluap-luap. Cerita itu seperti minyak yang disiramkan ke dalam api.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kepalanya benar-benar menjadi pening. Kalau benar orang-orang
Jipang itu curang, maka sekali lagi ia akan dibebani oleh sebuah kesalahan yang
besar setelah kebodohannya yang hampir-hampir menyiderai Ki Gede Pemanahan.
Tetapi apabila laskar Sangkal Putung dan para prajurit Pajang yang mendahului
menyergap orang-orang Jipang yang datang untuk menyerah, maka iapun akan
membuat kesalahan yang lain. Ternyata prajurit Pajang di Sangkal Putung telah
kehilangan ikatan kepemimpinan sehingga mereka dapat berbuat sesuka hatinya.
Tetapi Untara belum mendapat
kesempatan untuk memecahkan persoalan yang telah membuat kepalanya seperti
berputar-putar. Kini ia terpaksa mendampingi Ki Gede Pemanahan turun dari
pendapa dan berjalan ke halaman. Namun ia sempat berbisik kepada pamannya,
“Paman, kita harus berusaha sebaik-baiknya.”
Pamannya mengangguk. la
terpaksa memisahkan diri untuk mengawasi langsung keadaan para prajurit dan
laskar Sangkal Putung.
Sementara itu, Sutawijaya yang
masih saja duduk bersama Agung Sedayu berkata, “Aku akan ikut ayah melihat
orang-orang Jipang yang menyerah. Apakah kau tidak akan ikut?”
“Ya. Aku akan ikut pula” sahut
Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum. Ia
senang pergi bersama-sama dengan kawan yang sebaya umurnya. Apalagi kemudian
Swandaru datang kepada mereka. Dan menyatakan keinginannya untuk pergi bersama
pula.
“Bagaimana dengan anak-anak
muda Sangkal Putung?” bertanya Agung Sedayu.
“Ayah akan memimpin mereka”
sahut Swandaru.
“Marilah kita pergi
bersama-sama” ajak Sutawijaya.
Tetapi Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Apakah kakaknya akan mengijinkannya, bahkan seandainya ia harus
pergi sekalipun, mungkin telah disediakan tugas khusus kepadanya. Tetapi
Sutawijaya itu berkata, “Biarlah aku mintakan ijinmu kepada Kakang Untara.”
Agung Sedayu membiarkannya
pergi kepada Untara sambil berkata, “Kakang Untara, apakah adikmu Agung Sedayu
akan kau bawa?”
“Tidak, Tuan” jawab Untara.
“Kenapa?”
“Aku dan Paman Widura harus
pergi ke Padukuhan Benda. Agung Sedayu biarlah tinggal di banjar desa ini untuk
mengawasi orang-orang yang terluka, terutama orang-orang Jipang supaya tidak
terjadi sesuatu pada mereka.”
“Serahkan pekerjaan itu kepada
seorang prajurit Pajang, bukankah Agung Sedayu bukan seorang prajurit?”
Untara menjadi ragu-ragu. Ia
tidak tahu maksud Sutawijaya. Bahkan Ki Gede Pemanahan bertanya, “Apakah
maksudmu Sutawijaya? Meskipun Agung Sedayu bukan seorang prajurit, tetapi kalau
Untara telah memberinya kepercayaan?”
“Agung Sedayu dan Swandaru
akan aku ajak pergi bersama-sama melihat orang-orang Jipang itu Ayah.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Kau hanya memikirkan kesenanganmu
sendiri. Agung Sedayu mempunyai tugas di sini, tidak ada kesempatan bagi setiap
orang di Sangkal Putung yang jumlahnya sedikit untuk melihat-lihat seperti
kau.”
“Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru akan aku bawa serta.”
Ki Gede pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dipandanginya wajah Untara yang dipenuhi oleh
kebimbangan. Ia tidak tahu, apakah sebaiknya adiknya diijinkannya seperti yang
dikehendaki oleh Sutawijaya atau justru harus tetap diberinya tugas seperti
yang disebut-sebut oleh Ki Gede Pemanahan.
Agung Sedayu sendiri menjadi
sangat kecewa mendengar tugas yang akan diserahkan kepadanya. Menunggui orang
sakit dan mungkin harus bertengkar dengan orang-orang Pajang atau Sangkal
Putung sendiri, karena mereka akan berbuat sesuatu atas orang-orang Jipang itu.
Tetapi ia menjadi senang sekali ketika ia mendengar Ki Gede Pemanahan berkata,
“Biarlah Agung Sedayu dan kawannya itu pergi pula. Serahkan pekerjaan itu
kepada orang lain.”
Untara menganggukkan kepalanya
sambil berkata, “Baik Ki Gede.”
Demikianlah akhirnya Agung
Sedayu dan Swandaru ikut pula pergi ke Benda, untuk menerima orang-orang Jipang
yang akan menyerah.
“Kita pergi berkuda” ajak
Sutawijaya.
“Tetapi yang lain berjalan
kaki” sahut Agung Sedayu.
“Biar sajalah, kita pergi
berkuda.”
Agung Sedayu tidak membantah.
Tetapi sekali lagi ia menjadi ragu-ragu, apakah kakaknya akan mengijinkannya?
Katanya, “Aku akan minta ijin Kakang Untara.”
“O” desah Sutawijaya, “kau
selalu saja ragu-ragu. Biar sajalah. Kakang Untara tidak akan marah.”
“Ayolah” desak Swandaru pula.
Anak itupun sama sekali tidak membuat pertimbangan lagi. Bahkan ia menjadi
sangat bergembira pergi bersama dengan Sutawijaya, apalagi berkuda.
Agung Sedayu masih saja
ragu-ragu. Sehingga Sutawijaya itu berkata, “Baiklah, mintalah ijin Kakang
Untara.”
Sekali lagi Agung Sedayu
menemui Untara untuk minta ijin kepadanya, bahwa ia akan pergi bersama
Sutawijaya berkuda.
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat melarang adiknya. Meskipun demikian ia
berpesan, “Agung Sedayu. Seandainya kau pergi dahulu, jangan berbuat sesuatu
yang dapat merusak rencana kita. Meskipun Adi Sutawijaya sekalipun yang akan
berbuat, tetapi kalau menurut pertimbanganmu akan dapat merusak suasana, maka
kaupun wajib memperingatkannya.”
“Baik, Kakang” sahut Agung
Sedayu, yang kemudian menyiapkan kudanya untuk pergi bersama dengan Sutawijaya
dan Swandaru Geni.
Sementara itu, pasukan yang
berada di alun-alun pun telah siap sepenuhnya. Setelah Ki Gede Pemanahan dan
Untara selesai dengan semua persiapan, maka merekapun segera keluar dari
halaman dan sekali lagi sambutan yang gemuruh telah menyongsongnya.
Ki Gede Pemanahan melambaikan
tangannya kepada para prajurit Pajang, orang-orang Sangkal Putung yang berada
dalam barisan dan kepada rakyat yang berada di sekitarnya. Kepada Untara, Ki
Gede Pemanahan minta agar para pemimpin kelompok dikumpulkannya. Ki Gede
Pemanahan sendiri ingin bercakap-cakap langsung dengan mereka.
“Baik Ki Gede” sahut Untara.
Namun keringat dinginnya masih saja mengalir. Sekali-sekali ia menengadahkan
wajahnya memandang matahari yang seolah-olah terlampau cepat menanjak ke puncak
langit.
“Hanya sebentar” desis Ki Gede
Pemanahan.
Untara menggigit bibirnya.
Ternyata Ki Gede Pemamahan dapat membaca hatinya.
Setelah para pemimpin kelompok
dari seluruh pasukan berkumpul maka Ki Gede Pemanahan pun memberi mereka
beberapa petuah dan petunjuk. Kepada mereka akhirnya Ki Gede Pemanahan berkata,
“Kalian tidak berbuat untuk kepentingan kalian masing-masing sesuai dengan
kesenangan kalian. Tetapi kalian berbuat untuk Pajang dalam satu rangkuman
dengan segenap perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang lain untuk kepentingan
yang serupa.”
Kata-kata Ki Gede Pemanahan
itu meresap satu-satu, seakan-akan langsung menghunjam ke pusat jantung. Para pemimpin
kelompok itu menyadari, apakah yang telah dikatakan oleh Panglimanya itu dengan
sebaik-baiknya. Hubungan langsung dengan berhadapan wajah dengan wajah telah
menumbuhkan kecintaan dan keseganan yang bertambah-tambah atas panglimanya.
“Nah,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “sekarang kita berangkat. Kita harus merasa bahwa Wira Tamtama
seluruhnya seakan-akan memiliki satu otak, sehingga apa yang kita lakukan akan
merupakan sebagian dari anggota badan. Seperti juga kaki dan tangan. Meskipun melakukan
gerak yang berbeda-beda tetapi keduanya dalam satu pusat kehendak. Bukan
sebaliknya apabila kaki kita berlari menjauhi sesuatu tetapi tangan kita
berpegang sesuatu yang hendak kita jauhi.”
Sekali lagi para pemimpin
kelompok itu menganggukkan kepala mereka. Kesadaran kesatuan di antara mereka
meresap semakin dalam.
Sejenak kemudian, maka segala
sesuatu telah diserahkan kembali oleh Ki Gede Pemanahan kepada Untara sambil
berkata, “Untara, sebelum dadamu meledak karena kegelisahan, maka aku serahkan kembali
pimpinan ini. Marilah kita berangkat.”
Untara menganggukkan
kepalanya. Ia masih melihat Ki Gede menahan tersenyum.
Sesaat kemudian, maka seluruh
pasukan yang berada di halaman dan di lapangan kecil di muka banjar desa itupun
telah bergerak menuju ke Desa Benda. Dengan hati yang berdebar-debar Untara
memimpin pasukannya menyongsong laskar Jipang yang akan menyerah. Namun betapa
para pemimpin kelompok menyadari, bahwa mereka tidak sewajarnya melakukan
perbuatan menurut kehendak sendiri, tetapi mereka akan berhasil mengendalikan
kemarahan yang tersimpan di dalam hati para prajuritnya dan laskar Sangkal
Putung. Laskar Sangkal Putunglah yang justru akan lebih sulit dikendalikan.
“Mudah-mudahan kehadiran Ki
Gede Pemanahan mempunyai banyak pengaruh atas mereka.”
Namun sekali lagi Widura
mendengar percakapan di antara prajurit Pajang, tentang Sonya yang terluka.
Igauan Sonya ternyata telah menjalar dari mulut ke mulut, sehingga seluruh
pasukan telah mendengarnya. Baik para prajurit Pajang maupun laskar Sangkal
Putung.
“Kenapa kita masih juga
percaya kepada orang-orang Jipang itu?” desis salah seorang prajurit Pajang.
Pemimpin kelompoknya yang
mendengar segera berkata, “Jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri tentang
peristiwa yang telah dan bakal terjadi. Ki Gede Pemanahan akan menentukan
segala macam sikap yang harus dilakukan oleh semua prajurit Wira Tamtama.”
“Tetapi Ki Gede tidak
menghadapinya sehari-hari. Mungkin pengetahuannya tentang orang-orang Jipang
tidak terlampau banyak. Ternyata orang-orang Jipang berhasil mencegatnya di
tegal jagung pagi tadi.”
“Ki Gede Pemanahan bukannya
seorang malaekat yang tahu apa yang akan terjadi. Juga kita semua. Karena itu,
kita jangan membuat tafsiran sendiri-sendiri. Kita lihat apa yang akan terjadi.
Kemudian kita serahkan semuanya pada kebijaksanaan pimpinan kita. Apalagi
pimpinan tertinggi kita ada di sini.”
Prajurit itu terdiam. Tetapi
pemimpin kelompoknya tahu benar bahwa kediaman itu, bukanlah suatu pernyataan
bahwa apa yang dilakukan itu benar-benar diyakininya.
Widura yang mendengar
percakapan itu tanpa diketahui oleh prajurit yang berkepentingan, menarik nafas
dalam-dalam. Bukan hanya satu dua orang prajurit yang berpendapat seperti itu,
seolah-olah apa yang dilakukan kini adalah perbuatan yang sangat bodoh, setelah
mereka mendengar cerita tentang Sonya. Luka-luka Sonya yang berat, seakan-akan
meyakinkan mereka, betapa orang-orang Jipang benar-benar telah berusaha
membunuhnya.
Ketika kemudian Widura
membisikkan apa yang didengarnya itu kepada Untara, maka Untara pun mengerutkan
keningnya. Di wajahnya telah membayang kecemasan hatinya.
“Kalau mereka melihat
orang-orang Jipang datang dengan senjata masih di tangan mereka maka perasaan
orang-orang kita pun akan menjadi sangat sulit dikendalikan. Satu langkah saja
di antara kita, apakah orang-orang Pajang, apakah orang-orang Jipang, berbuat
hal-hal di luar dugaan dan mencurigakan, maka akibatnya akan dapat menyulitkan
sekali” sahut Untara.
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Bagaimana pertimbanganmu Untara.”
“Padahal, menurut pembicaraan
kita, orang-orang Jipang itu akan datang dengan senjata masing-masing, kemudian
baru setelah mereka sampai di Benda, mereka akan mengumpulkan senjata-senjata
mereka untuk diserahkan. Sudah tentu mereka harus merasa diri mereka aman.
Mereka setidak-tidaknya harus melihat kita berada di antara pasukan Pajang dan
laskar Sangkal Putung dengan penuh pertanggungan jawab.”
Saat yang paling berbahaya
adalah saat dimana orang-orang Jipang itu memasuki daerah pedesaan Benda. Pada
saat-saat kedua pasukan berhadapan hampir tanpa jarak. Padahal di tangan
masing-masing masih tergenggam senjata-senjata mereka. Sedang di dalam dada
masing-masing berkobar dendam dan kebencian.
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia harus benar-benar dapat menguasai keadaan. Karena itu maka
katanya, “Kami harus berada di tempat yang terpisah-pisah sehingga kami dapat
menguasai seluruh keadaan.”
“Kita hanya berdua” desah
Widura.
Untara menarik nafas. Agung
Sedayu dilihatnya duduk di atas punggung kuda, jauh di belakang pasukan yang
berjalan seperti ular menyusur jalan ke Benda.
“Hem,” Untara menarik nafas,
“biarlah kita coba. Kalau perlu kita akan bersikap keras terhadap orang-orang
kita sendiri. Kami akan mengharap pengaruh Ki Gede Pemanahan pula apabila
terpaksa.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia masih belum yakin bahwa pasukannya akan dapat
dikendalikan. Meskipun demikian ia harus berusaha.
Dengan dahi yang
berkerut-kerut ia berkata, “Untara. Peristiwa Sidanti, merupakan arang yang
tercoreng di wajahku. Ternyata aku tidak dapat menguasai anak itu sebagai anak
buahku. Bahkan ia telah mencoba membunuhmu. Aku menyadari, bahwa seandainya
senapati Pajang yang ditempatkan di lereng Merapi ini bukan kemenakanku, apakah
kira-kira laporan yang telah dikirim kepada Ki Gede Pemanahan tentang aku dan
wibawaku di daerah kekuasaanku? Meskipun kau telah mencoba menyembunyikan
beberapa hal mengenai Sidanti, namun terasa juga terutama pada diriku sendiri,
kekurangan yang telah terjadi pada pimpinan di Sangkal Putung ini. Sekarang aku
dihadapkan lagi pada suatu keadaan yang mendebarkan. Kalau kali ini aku gagal
menguasai anak buahku, maka adalah tidak wajar aku tetap dalam kedudukanku
sakarang.”
“Tetapi rencana dari pada
peristiwa ini akulah yang menyusunnya Paman. Setiap kesalahan tidak akan dapat
dibebankan pada Paman sendiri.”
“Aku adalah pimpinan langsung
bagi pasukan di Sangkal Putung. Adalah kebetulan bahwa kau kemenakanku yang
tidak dapat melepaskan hubungan keluarga di antara kita, sehingga banyak hal
yang seharusnya tidak kau tangani sendiri terpaksa kau kerjakan. Pekerjaan yang
seharusnya tinggal kau ucapkan dan akulah yang harus melakukannya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak ingin melihat pamannya menjadi cemas. Pamannya yang
tetap tenang menghadapi laskar Jipang yang betapapun kuatnya melanda Sangkal
Putung, namun dicemaskan oleh goyahnya keteguhan ikatan anak buahnya sendiri
karena dendam, benci dan segala macam perasaan yang bercampur baur.
“Paman jangan terlalu cemas.
Para pemimpin kelompok telah menyadari apa yang sedang mereka hadapi.
Mudah-mudahan mereka tidak mudah menjadi goyah. Dengan demikian kita berdua
tidak berdiri sendiri.”
“Mudah-mudahan” sahut Widura
kosong.
Dalam pada itu iring-iringan
itu berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin jauh dari induk kademangan,
dan semakin dekat dengan desa yang seolah-olah agak terpencil di ujung
kademangan itu. Pedesaan Benda yang sepi, penduduknya telah diungsikan ke desa yang
lain, untuk memberi kesempatan nanti malam kepada orang-orang Jipang untuk
bermalam, sebelum mereka dibawa ke Pajang menerima keputusan tentang diri
mereka.
Setiap kali Untara selalu
menengadahkan wajahnya menatap langit. Setiap kali hatinya menjadi berdebar-debar.
Matahari merayap terlampau cepat.
Tetapi ketika pedesaan Benda
lamat-lamat tampak di hadapan wajahnya ia bergumam, “Mudah-mudahan kita tidak
terlambat. Mudah-mudahan di desa itu tidak bersembunyi orang-orang Jipang yang
telah siap menyergap kita apabila kita memasukinya.”
Widura mendengar gumam itu,
tetapi tidak jelas, sehingga terpaksa ia bertanya, “Apa yang kau katakan?”
Untara menggeleng, “Tidak
apa-apa Paman. Aku hanya menyebut nama desa itu. Bukankah desa seberang bulak
itu Desa Benda?”
“Ya” Widura mengangguk.
Kemudian merekapun terdiam.
Namun hati mereka menjadi berdebar-debar. Dihadapan mereka berjalan Ki Gede
Pemanahan dengan beberapa orang pengawalnya. Tetapi ketika mereka menjadi
semakin dekat, maka Untara dan Widura pun berjalan pula disisi mereka. Tanpa
mereka kehendaki. Tangan-tangan mereka telah meraba-raba hulu pedang mereka,
apabila setiap saat diperlukan.
“Desa itukah yang kau maksud
dengan Desa Benda?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
“Ya, Ki Gede” jawab Untara
singkat.
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tiba-tiba ia berpaling memandangi barisan yang berjalan di
belakangnya. Menjalar sepanjang jalan, seperti seekor ular raksasa yang
merayap-rayap.
Terasa oleh Untara dan Widura,
bahwa sikap itupun adalah suatu sikap berhati-hati setelah hampir saja Ki Gede
Pemanahan dijebak oleh orang-orang Jipang. Namun Ki Gede itu berjalan terus.
Wajahnya masih saja tenang, seakan-akan tidak ada suatupun yang mencemaskannya.
Tetapi Untaralah yang kemudian
menjadi cemas. Ia harus yakin, bahwa kedatangan Ki Gede di Benda tidak akan
mendapat bencana. Karena itu, sebelum mereka memasuki desa maka dua orang
penghubung harus mendahului dan melihat keadaan.
Namun hati Untara itupun
kemudian berdesir ketika ia melihat Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru
mempercepat derap kudanya mendahului pasukan yang berjalan di sepanjang jalan
persawahan.
Demikian kuda-kuda itu sampai
di sisinya terdengar Sutawijaya berkata, “Kakang Untara, kami bertiga akan
mendahului kalian melihat-lihat desa di hadapan kita.”
Dada Untara sekali lagi
berdesir. Segera ia menyahut, “Jangan. Biarlah dua atau tiga orang penghubung
melihat pedesaan itu dahulu sebelum kita memasukinya.”
Sutawijaya tertawa, katanya,
“Apakah Kakang Untara mencemaskan kami? Percayalah bahwa Tambak Wedi hanya
membual. Seandainya benar orang-orang Jipang merencanakan penyerangan, maka
kegagalan Tambak Wedi pasti akan membawa perubahan. Mereka tidak akan berani
menjebak kami di desa itu.”
“Belum tentu Adi,” sanggah
Untara, “segala kemungkinan akan dapat terjadi.”
Tetapi Sutawijaya tertawa
terus. Katanya, “Bukankah orang-orang Jipang itu sekedar akan menyerahkan
diri?”
Untara tersentak mendengar
pertanyaan itu. Sejenak ia terbungkam. Setelah menarik nafas dalam-dalam ia
menjawab, “Ya. Mereka hanya sekedar akan menyerah.”
“Karena itu, Kakang Untara
tidak perlu mencemaskan aku, Agung sedayu dan Swandaru.”
Sekali lagi Untara tidak dapat
mengatasinya. Tetapi batinnya masih tetap dikuasai oleh kegelisahan dan
kecemasan. Sehingga tanpa disadarinya Untara itu memandangi Ki Gede Pemanahan,
seolah-olah minta kepadanya, supaya ia melarang anaknya pergi mendahului
barisan.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tidak
menangkap maksudnya, bahkan ia sama sekali tidak memperhatikan percakapan itu.
Panglima Wira Tamtama itu berjalan dengan tenangnya di antara beberapa orang
perwira pengawalnya.
Akhirnya Untara tidak kuasa
lagi mencegah Sutawijaya ketika sambil mempercepat jalan kudanya anak muda itu
berkata, “Kami akan berhati-hati Kakang.” Kemudian kepada ayahnya ia berkata,
“Ayah, aku ingin mendahului untuk melihat-lihat daerah Sangkal Putung yang
subur ini.”
Sekali lagi Untara menarik
nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan menganggukkan kepalanya
sambil menjawab, “Hati-hatilah Sutawijaya. Kau tidak sedang bertamasya sekarang
ini.”
Sekejap kemudian mereka
melihat kuda anak muda itu berpacu disusul oleh kuda Swandaru. Namun Agung
Sedayu masih sekali lagi berkata kepada kakaknya, “Aku mendahului Kakang.”
“Hati-hatilah” sahut Untara.
Ia pun tidak dapat mencegah adiknya itu, karena Sutawijaya dan Swandaru telah
mendahuluinya.
Agung Sedayu pun kemudian
memacu kudanya. Ia membungkukkan badannya dalam-dalam hampir melekat punggung
kuda ketika ia mendahului Ki Gede Pemanahan yang berjalan hampir di ujung
barisan, di belakang tiga orang prajurit yang membawa panji-panji kebesaran,
melekat pada landean tombak larakan yang panjang, beserta pengawalnya.
Yang tampak kemudian hanyalah
kepulan-kepulan debu yang putih, yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang
berpacu seperti angin. Sutawijaya yang membawa sebatang tombak pendek bernama
Kiai Pasir Sewukir menjadi gembira sekali. Kudanya berlari dengan tegarnya,
berderap di atas tanah berdebu.
Di belakang berpacu Swandaru
Geni yang gemuk. Ketika tampak olehnya juntai yang kuning berkilauan pada
tombak Sutawijaya, maka tanpa disengajanya ia meraba hulu pedangnya. Dalam hati
ia berkata, “Besok aku akan mencari tampar yang kuning emas seperti juntai pada
tombak itu. Pedangku akan menjadi bertambah bagus. Hulunya terbuat dari gading
gajah dengan juntai yang berwarna kuning emas. Alangkah bagusnya.”
Swandaru itupun tersenyum
sendiri. Namun ketika sebutir debu masuk ke matanya, ia mengumpat-umpat.
Ketika ia berpaling,
dilihatnya kuda Agung Sedayu agak jauh di belakang. Tetapi kuda itu meluncur
seperti anak panah. Sehingga jarak di antara mereka menjadi bertambah pendek.
Swandaru itu melambaikan
tangannya. Ia menjadi gembira sekali seperti juga Sutawijaya. Seolah-olah
mereka mendapat kesempatan untuk berpacu kuda. Sehingga dengan demikian, ketika
kuda Agung Sedayu menjadi semakin dekat, Swandaru melecut kudanya. Ia tidak mau
jarak itu menjadi bertambah pendek bahkan kalau mungkin menjadi semakin jauh.
Tetapi Swandaru tidak dapat mendahului Sutawijaya. Anak muda itu ternyata tidak
mempercepat kudanya bahkan ketika sekali ia berpaling maka agaknya ia menunggu
kedua kawan-kawannya itu.
Sesaat kemudian ketiga ekor
kuda itu telah berlari berbareng. Tiga orang anak-anak muda yang sebaya. Yang
seorang menggenggam tombak di tangan. Sedang di lambung kedua orang yang lain
tergantung pedang.
Bulak itu memang merupakan
bulak yang agak panjang. Tetapi karena ketiga anak-anak muda itu berkuda, maka
segera mereka menjadi semakin dekat. Beberapa saat lagi, mereka telah melihat
mulut lorong yang dilaluinya itu memasuki Desa Benda.
Ternyata sutawijaya yang jauh
lebih berpengalaman dari kedua kawan-kawannya yang lain, melihat mulut lorong
itu dengan sikap yang cukup masak. Dengan isyarat ia minta kedua kawan-kawannya
memperlambat kuda-kuda mereka.
Demikianlah semakin dekat
mereka dengan desa Benda, semakin lambat pula lari kuda-kuda mereka. Bahkan
kuda-kuda itu kemudian berjalan tidak lebih cepat dari langkah kaki.
“Mulut lorong itu seperti
mulut ular yang menganga menanti kita masuk ke dalamnya” gurau Sutawijaya.
Agung Sedayu dan Swandaru
tersenyum. “Tetapi ular itu, ular mati” sahut Swandaru.
Sutawijaya pun tertawa. Tetapi
kemudian ia bertanya, “Apakah tidak ada penjagaan di desa ini?”
“Ada,” sahut Swandaru, “di
ujung lorong yang lain menghadap ke bulak sebelah.”
“Di ujung ini?”
Swandaru menggeleng, “Tidak”
jawabnya.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. “Aneh,” katanya, “seharusnya ada gardu peronda di kedua sisi. Apa
kalian menyangka bahwa apabila musuh datang tidak dapat mengambil jalan ini?
Mereka hanya cukup menambah beberapa langkah dengan melingkar desa ini, kemudian
masuk melalui mulut lorong tanpa diketahui oleh para penjaga. Bukankah dengan
damikian hampir tak ada gunanya di ujung lain diberi gardu peronda?”
“Desa ini adalah desa yang
hampir tak berpenghuni. Desa ini memang sengaja dilepaskan. Justru karena itu
maka orang-orang Jipang sering mendatangi desa ini. Mereka kadang-kadang
mengambil beberapa macam perbekalan sebelum mereka menghilang. Namun dengan demikian,
banyak keterangan yang kita dapatkan dari penghuni-penghuninya.
Penghuni-penghuni asli dan penghuni-penghuni yang sengaja kita tanam di sini”
sahut Agung Sedayu.
Sutawijaya tersenyum sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Agung Sedayu mengenai desa
itu. Ia senang mendengar sikap Untara dan Widura yang cerdik.
Namun kemudian ia bertanya,
“Tetapi dengan demikian, bagaimana dengan para penjaga itu? Apakah mereka tidak
sekedar menjadi umpan hidup bagi orang-orang Jipang itu?”
“Penjagaan itu baru diadakan
sejak pagi ini menjelang saat-saat penyerahan orang-orang Jipang. Mereka harus
mengawasi gerak-gerik orang-orang Jipang itu.”
Kembali Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Mari, kita temui para
penjaga itu.”
“Marilah” sahut Agung Sedayu.
Kini mereka bertiga telah
sampai di mulut lorong yang memasuki desa Benda. Desa itu tampak terlampau
sepi, seperti sebuah kuburan yang besar. Hampir tidak terasa bahwa desa itu
adalah desa yang hidup dan berpenghuni. Sebelah-menyebelah lorong adalah sebuah
pagar batu yang agak tinggi. Regol-regol yang sempit dan kurang terpelihara.
Halaman-halaman yang tidak terlampau bersih dan di sana-sini masih terdapat
tumbuh-tumbuhan yang liar di antara rumpun-rumpun bambu yang lebat.
“Desa ini memang sepi,” gumam
Sutawijaya, “apakah dalam kehidupan sehari-hari desa ini juga sesepi ini?”
“Tidak jauh berbeda,” sahut
Agung Sedayu, “hanya kadang-kadang kita mendengar suara derit senggot apabila
seseorang mengambil air, atau suara pekik anak-anak yang sedang bermain-main.
Tetapi suara itu terlampau jarang. Anak-anak lebih senang tinggal di dalam
rumah masing-masing.”
“Kehidupan yang tertekan”
gumam Sutawijaya.
“Bukan hanya desa ini. Bukan
saja Benda, tetapi banyak desa lain, yang tersebar berserak-serak antara
kademangan ini dengan kademangan-kademangan di sekitarnya. Tetapi agaknya
Sangkal Putunglah yang paling menarik perhatian bagi orang-orang Jipang.”
“Kenapa Sangkal Putung?”
“Sangkal Putung adalah
kademangan yang kaya raya sejak lama. Bukankah begitu Adi Swandaru? Putera Ki
Demang ini tahu benar kekayaan yang tersimpan di dalam kademangannya.
Penduduknya yang rajin dan tahu menghargai kerja, maka mereka telah berhasil
membangun kademangannya menjadi kademangan yang banyak menyimpan kekayaan di
dalamnya. Contohnya, pedang Adi Swandaru itu. Hulunya terbuat dari gading yang
mahal.”
Sutawijaya tersenyum tetapi ia
berpaling juga melihat hulu pedang Swandaru yang benar-benar terbuat daripada
gading.
“Ya,” desis Sutawijaya, “bagus
benar hulu pedang itu.”
“Lebih bagus lagi apabila pada
hulu ini diberi juntai tampar yang berwarna kuning emas seperti pada tombak
Tuan.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Kau senang pada tali ini?”
“Ya, Tuan.”
Kembali Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Hati Swandaru berdebar-debar ketika ia melihat Sutawijaya mengurai
tali kuningnya, “Kau ingin ini?” ia bertanya.
Mata Swandaru menjadi
berkilat-kilat. Sambil tersenyum ia menjawab agak segan-segan, “Ya Tuan.”
“Pakailah. Aku masih mempunyai
tali semacam ini banyak sekali di rumah.”
Swandaru menjadi gembira
sekali menerima tali yang berwarna kuning emas itu. Tali yang akan menjadikan
pedangnya bertambah cantik.
Tetapi wajahnya yang gembira
itu tiba-tiba menjadi tegang ketika ia melihat asap yang mengepul. Semakin lama
semakin besar. Asap itu menjilat ke udara dari balik rumpun bambu agak jauh
dari lorong itu.
Sutawijaya dan Agung Sedayu
melihat asap itu pula, sehingga wajah mereka menjadi tegang pula.
“Asap apakah itu?” desis
Sutawjaya.
Agung Sedayu menggeleng,
“Entahlah.”
“Marilah kita menemui para
penjaga. Mungkin mereka tahu asap apakah yang mengepul semakin besar itu?”
“Marilah” sahut Agung Sedayu
dan Swandaru hampir berbareng.
Sesaat kemudian mereka telah
mempercepat kuda-kuda mereka menuju ke gardu penjagaan di ujung lorong.
Para penjaga di gardu itu
terkejut ketika mereka mendengar derap kuda mendekati. Tetapi mereka menyangka,
bahwa yang datang itu adalah para penghubung. Karena itu, maka mereka tidak
segera menyongsongnya.
Tetapi ternyata yang datang
adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan seorang anak muda yang belum mereka kenal.
Pemimpin penjaga di gardu itu
tersenyum sambil menyambut kedatangan mereka. “Marilah anak-anak muda. Aku kira
beberapa penghubung datang untuk menanyakan keadaan di sini. Ternyata kalian
bertiga. Apakah ada persoalan yang kalian bawa?”
“Tidak, Paman” sahut Agung
Sedayu.
Orang itu mengerutkan
keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Jadi kenapa Angger kemari mendahului
barisan?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ia sendiri tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Yang menjawab
kemudian adalah Sutawijaya. “Kami hanya bermain-main Paman.”
Orang itu menjadi heran.
Jawaban itu hampir tak masuk di akalnya. Bermain-main di daerah yang demikian
gawatnya. Sehingga karena itu maka wajah orang itu menjadi semakin
berkerut-kerut. Agaknya jawaban itu tidak menyenangkan hatinya.
Agung Sedayu melihat kesan
yang tergores pada kerut-merut wajah pemimpin gardu itu. Karena itu maka segera
ia ingin memperbaiki suasana dengan serta-merta ia berkata, “Paman, mungkin
Paman belum mengenal anak muda ini. Ia adalah putera Ki Gede Pemanahan yang
bernama Sutawijaya bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”
Wajah yang berkerut-kerut itu
tiba-tiba menjadi tegang. Pemimpin penjaga itu benar-benar terkejut mendengar
nama itu. Nama yang selama ini menjadi kebanggaan prajurit Pajang. Nama yang
ternyata telah berhasil mengalahkan Pangeran Arya Penangsang.
Bukan saja pemimpin penjaga
itu yang menjadi tegang. Para prajurit yang lainpun tidak kalah terkejutnya.
Hampir bersamaan mereka membungkukkan badan mereka dalam-dalam sambil berkata,
“Maafkan kami Tuan. Kami ternyata terlampau bodoh sehingga kami tidak mengenal
Tuan.”
Sutawijaya tertawa. Tetapi ia
berkata, “Jangan membongkok-bongkok. Nanti kau tidak melihat asap yang mengepul
itu.”
“Asap?” desis penjaga itu.
“Jadi kalian belum melihat
asap itu?” berkata Sutawijaya sambil menunjuk ke arah asap yang kini menjadi semakin
besar.
“He?” teriak kepala penjaga
itu. Ia menjadi sangat terkejut. “Asap apakah itu?”
Para penjaga yang lain menjadi
terkejut pula. Sejenak mereka saling berpandangan, tetapi tak seorangpun dari
mereka yang tahu apa yang telah terjadi.
“Lihat, asap apakah itu”
perintah kepala penjaga.
Ketika seseorang telah siap
untuk meloncat berlari ke arah asap itu, maka Sutawijaya yang cerdas dalam
menanggapi setiap persoalan itu mencegahnya, “Jangan.”
“Kenapa Tuan?”
“Mungkin Bahu Reksa Benda
sedang marah, atau ada hantu yang buas berkeliaran di desa ini. Tinggallah di
sini biarlah kami yang melihatnya.”
“Kenapa Tuan?” bertanya
penjaga itu.
Sutawijaya tidak menjawab.
Segera ia meloncat dari punggung kudanya diikuti oleh Swandaru dan Agung
Sedayu.
“Apakah kalian menyediakan
kuda pula?”
“Ada dua ekor kuda di sini.
Apabila keadaan memaksa, dua dari kami harus segera melapor.”
“Kentongan raksasa itu?”
“Kalau perlu kami harus
memukul tanda-tanda.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlengkapan gardu itu cukup baik. Sambil
menyerahkan kendali kudanya ia berkata, “Biarlah kuda-kuda ini kami tinggalkan
di sini. Kami akan melihat apa yang terjadi.”
“Baik Tuan” sahut para penjaga
sambil menerima kuda-kuda itu.
Sesaat kemudian Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru telah melangkah meninggalkan gardu itu. Asap yang
mengepul kehitam-hitaman itupun menjadi semakin besar. Bahkan kemudian mereka
melihat lidah api menjilat ke udara.
“Api” desis Sutawijaya. Anak
muda itu kini tidak tersenyum lagi. “Kita ambil jalan memintas,” katanya sambil
meloncati dinding halaman di hadapannya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera
mengikutinya pula meloncati dinding halaman.
Tetapi sebelum mereka berlari
melintasi halaman itu menuju ke arah asap yang semakin tinggi, tiba-tiba
Sutawijaya teringat sesuatu. Sekali ia menjengukkan kepalanya sambil berkata,
“Jangan berbuat apapun lebih dahulu sebelum aku tahu pasti apa yang terjadi.”
Para penjaga masih berada di
tempatnya. Pemimpin penjaga itu membungkukkan kepalanya sambil menyahut, “Ya
Tuan.”
Namun Sutawijaya itupun
kemudian tertegun ketika mendengar di kejauhan suara tertawa terbahak-bahak.
Bahkan kemudian terdengar sapa di antara derai tertawa itu, “He, siapa yang berada
di gardu peronda?”
Para penjaga itu tidak segera
menjawab. Merekapun terkejut bukan kepalang. Ketika mereka berpaling ke arah
suara itu, mereka melihat tiga orang muncul dari tikungan.
“Siapakah itu?” desis
Swandaru.
Sutawijaya kini telah merendahkan
dirinya dan menempelkan tubuhnya pada dinding halaman bagian dalam. Sambil
meletakkan jari telunjuknya pada bibirnya ia berdesis.
Swandaru dan Agung Sedayupun
terdiam. Kini merekapun berbuat seperti Sutawijaya pula. Dengan hati-hati
mereka menunggu apa yang akan terjadi, dan mencoba mengetahui suara siapakah
yang menggeletar di desa Benda yang kecil ini.
Sekali lagi mereka mendengar
sebuah pertanyaan, “Siapakah yang berada di gardu ronda?”
Sesaat tidak terdengar
jawaban. Namun wajah para penjaga itupun menjadi tegang ketika mereka mengenal
orang-orang yang mendekati mereka dengan senjata telanjang di tangan mereka.
“Bukankah kau Wira Lele?”
terdengar kembali suara itu.
Swandaru hampir tidak sabar
lagi. Tetapi sekali lagi Sutawijaya memberinya isyarat.
Tetapi mereka bertiga yang
berada di dalam halaman itupun terkejut pula ketika mereka mendengar kepala
penjaga itu berdesis, “Kau, Sidanti?”
“Ya, aku sudah rindu untuk
menemuimu, Wira Lele. Aku rindu melihat kumismu benar-benar seperti kumis
seekor lele kurus.”
Wira Lele, kepala penjaga itu
menggeram. Tiba-tiba terdengar gemerincing pedang. Ternyata Wira Lele dan
kawan-kawannya telah menghunus pedang-pedang mereka pula.
“Ha, kau mau bergurau?”
bertanya Sidanti. “Berapa orang semuanya?”
Wira Lele tidak menjawab.
Yang terdengar adalah suara
Sidanti semakin dekat. “Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima orang. Masih ada
yang di dalam gardu? Takaran kami bertiga adalah tiga puluh orang sejenis kalian
ini.”
Wira Lele membelalakkan
matanya yang memancarkan kemarahan. Tanpa dikehendakinya ia berpaling
memandangi kentongannya. Tetapi kembali terdengar suara Sidanti, “Jangan
mencoba menyentuh kentongan itu.”
Dada Wira Lele menjadi
berdebar-debar. Nafasnya serasa semakin cepat mengalir. Betapa kemarahan
membakar jantungnya, tetapi ia menyadari siapakah yang berdiri di hadapannya.
Ia menyadari kekuatan Sidanti.
Apalagi ketika kemudian
Sidanti itu berkata, “Wira Lele, mungkin kau pernah melihat sahabatku ini.
Kalau belum, namanya pasti pernah kau dengar. Yang satu, yang kuning langsat
ini adalah Alap-Alap Jalatunda, sedang yang lain, yang seperti arang ini adalah
Sanakeling.”
Jantung Wira Lele seakan-akan
menjadi berhenti berdenyut. Yang datang ternyata benar-benar orang-orang
seperti kata Sidanti, mempunyai takaran masing-masing sepuluh.
Namun terdengar Sanakeling
menggeram, “Jangan menghina Sidanti. Meskipun kulitku hitam, tetapi lebih dari
dua puluh lima gadis tergila-gila kepadaku. Nah, bagaimama dengan kau?
Bagaimana dengan gadis anak Ki Demang Sangkal Putung itu?”
Sidanti tertawa, tetapi ia
tidak menaruh perhatian akan dua puluh lima gadis yang jatuh cinta kepada
Sanakeling. Yang terdengar adalah suaranya yang menggelegar, “He, Wira Lele.
Sebenarnya pekerjaanku sudah selesai. Membakar rumah-rumah itu. Kau tahu maksudnya?
Kalau tidak, baiklah aku beritahukan. Aku sedang memberi aba-aba kepada induk
pasukan Jipang untuk menyergap. Dari jurusan induk Kademangan Sangkal Putung,
telah terlihat barisan orang-orang Pajang dan orang-orang Sangkal Putung. Tanda
itu adalah sebuah perintah. Nah, apa katamu?”
Sekali lagi terdengar Wira
Lele menggeram. Tanpa disengaja maka iapun beringsut mendekati kentongannya.
Namun sekali lagi terdengar Sidanti tertawa sambli berkata, “Kentongan itu tak
akan berarti. Tangan kami lebih cepat dari langan-lengan kalian yang akan
memukul kentongan itu.” Sidanti berhenti sebentar, kemudian katanya lebih
lanjut, “Nah, aku ternyata memerlukan singgah di gardumu, untuk memberitahukan
kepadamu apakah yang akan terjadi di Benda ini. Kau sangka orang-orang Jipang
itu akan menyerah? Tidak, mereka akan menyergap kalian, orang-orang Pajang dan
Sangkal Putung. Kalian boleh saja mendengar rencana ini, sebab sebentar lagi
kalian akan mati. Begitu?”
Wira Lele tidak menjawab.
Mulutnya serasa menjadi bisu. Ia berdiri saja seperti tonggak kayu.
“Kenapa kau berdiam diri?”
bertanya Sidanti. “Kau harus marah. Mengambil sikap dan marilah kita bertempur.
Waktuku hanya sedikit. Sebentar lagi orang-orang Pajang telah memasuki
pedukuhan ini.”
Tetapi Wira Lele tidak bergerak.
“Bunuh saja mereka” terdengar
desis Sanakeling dalam nada yang berat. “Buat apa mereka dibiarkan hldup?
Orang-orang Pajang telah membunuh orang-orang Jipang yang dijumpainya. Adalah
omong kosong kalau orang-orang Pajang akan bersedia menerima kami menyerah. Dan
ternyata kami bukan orang-orang bodoh yang dapat mereka bujuk dengan akal yang
licik seperti demit.”
Wira Lele masih membeku. Namun
digenggamnya hulu pedangnya erat-erat. Sementara itu Sanakeling berkata lagi,
“Aku menyesal lewat di jalan ini. Aku terpaksa mengotori pedangku dengan darah
kelinci.”
“Aku tidak sabar menunggu
kalian berbicara berkepanjangan. Sementara itu orang-orang Pajang menjadi
semakin deka,” sela Alap-Alap Jalatunda.
“Pengecut” desis Sanakeling.
“Kenapa?”
“Kau takut kalau orang-orang
Pajang itu akan melihat hidungmu.”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Mungkin. Mungkin demikian, mungkin aku akan
menjadi ketakutan. Apakah kalian tidak akan lari terbirit-birit apabila Ki Gede
Pemanahan dan anaknya itu datang kemari?”
“Persetan!” desis Sanakeling.
“Nah, karena itu marilah kita
selesaikan pekerjaan kita. Pekerjaan ini adalah pekerjaan tambahan yang hanya
akan mengotori tangan-tangan kita.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menunnggu Sanakeling atau Sidanti menyahut. Segera ia melangkah maju sambil
mengayun-ayunkan pedangnya, “Ayo, siapa yang terdahulu? Kalau masih ada orang
di dalam gardu itu, marilah, kita bermain bersama-sama.”
Tetapi di dalam gardu sudah
tidak ada orang lagi. Yang mereka hadapi hanyalah lima orang itu. karena itu
maka Alap-Alap Jalatunda berkata, “Serahkan kelima-limanya ini kepadaku.”
“Jangan sombong” potong
Sanakeling. “Ambilah tiga. Beri kami masing-masing seorang sekedar supaya
pedang-pedang kami tidak berkarat.”
Yang terdengar adalah geram
Wira Lele. Kini ia sudah siaga menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi ia
menyesal, bahwa ia tidak dapat memberi tanda kepada para prajurit Pajang. Bukan
untuk mendapatkan pertolongan, tetapi supaya mereka menjadi lebih berhati-hati.
Tetapi ketika Alap-alap
Jalatanda maju semakin dekat, maka tiba-tiba langkahnya tertegun. Dari balik
dinding batu di tepi jalan itu ia mendengar suara. “Siapa lagi yang masih
berada di dalam gardu?”
Bukan saja Alap-Alap
Jalatunda, tetapi Sanakeling dan Sidanti pun terkejut. Mereka mendengar suara
itu sedemikian jelasnya. Karena itu, telinga Sidanti yang tajam segera
mengetahui bahwa suara itu berasal dari balik dinding batu di samping jalan itu.
“Hem” Sidanti menggeram.
“Ternyata yang lain tidak berada di dalam gardu, tetapi mereka bersembunyi di
balik dinding halaman.”
Terdengar suara dari balik
dinding itu menyahut, “Ya, kami bersembunyi di sini. Tiga puluh orang semuanya,
sebagai takaran yang pantas untuk melawan kalian bertiga. Alap-alap cengeng,
perwira Jipang yang hitam kelam, dan anak muda yang gagal dalam bercinta
menurut istilah Sanakeling.”
Suara dari balik dinding itu
ternyata telah menggetarkan jantung Sidanti dan kedua kawannya. Bahkan para
penjaga gardu itupun terkejut pula. Orang yang berada di balik dinding itu
menganggap Sidanti, Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda sebagai orang-orang
yang sama sekali tidak berarti. Bahkan mereka dengan sengaja telah menghinanya
pula.
Sidanti menggeram seperti
seekor harimau kelaparan. Wajahnya tiba-tiba menjadi merah membara. Sedang
Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda untuk sesaat justru berdiri saja seperti
patung. Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa ada orang yang berani
menghinanya sedemikian menyakitkan hati.
Tiba-tiba terdengar Sidanti
membentak, “He, siapa kau?”
“Kami adalah satu di antara
kelinci-kelinci penjaga gardu” jawab suara itu pula.
“Gila!” teriak Sidanti.
“Jangan bersembunyi. Ayo keluar kalau kau benar-benar jantan.”
Kini yang terdengar adalah
suara tertawa. Di antara derai tertawa itu terdengar kata-kata, “Jangan marah.
Siapakah yang marah itu? Apakah kau yang bernama Sanakeling, Sidanti, atau
Alap-Alap Jalatunda?”
“Persetan!” teriak Sidanti.
“Keluar dari persembunyian itu.”
“Tidak sekarang.”
“Kapan?”
“Nanti, kalau para prajurit
Pajang sudah datang. Sekarang mereka pasti sudah hampir sampai ujung bulak.
Sesaat lagi mereka akan memasuki Sangkal Putung. Bukankah kalian tadi yang
mencegat mereka di bulak jagung?”
“He?” pertanyaan itu
benar-benar mengejutkan Sidanti. Orang yang bersembunyi di belakang dinding itu
mengetahuinya apa yang telah dikerjakannya pagi tadi. Karena itu, Sidanti tidak
sabar lagi. Tetapi ketika ia hampir meloncat, terdengar Sanakeling yang lebih
tua daripadanya mencegah, “Jangan Sidanti. Mungkin di balik dinding itu,
ujung-ujung tombak siap menyobek perutmu, seperti pada saat Pengeran Arya
Penangsang menyeberangi sungai. Bukankah saat itu Arya Penangsang dibakar oleh
kemarahan dan kehilangan kewaspadaan?”
“Hem” kembali Sidanti
menggeram. “Tetapi mereka tidak mau keluar dari persembunyiannya.”
“Marilah kita tunggu.”
“Sehari, sebulan atau sampai
orang-orang Pajang datang?”
Tiba-tiba Sanakeling berkata,
“Biarkan mereka. Marilah para penjaga ini kita bunuh satu persatu. Kemudian
kita akan mendapat beberapa ekor kuda. Kau setuju?”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kau cerdik Sanakeling. Mari, kalau
orang-orang di balik dinding itu tidak mau keluar juga dari persembunyiannya
kita cincang saja para penjaga ini.”
Tiba-tiba terdengar suara dari
balik dinding, “Hem, kalian memang cerdik. Agaknya kalian cukup berpengalaman
mencari cengkerik. Kalau kau tak berhasil menggalinya, maka cukup kau siram
dengan air, maka cengkerik itu akan keluar sendiri dari lubangnya.”
Kemarahan telah
menghentak-hentak dada Sidanti dan kawan-kawannya. Dengan tegang mereka
menunggu, siapakah yang akan keluar dari persembunyiannya itu. Tetapi setelah
sejenak mereka menunggu, orang-orang dari balik dinding itu sama sekali belum
menampakkan dirinya.
“Hem,” kini Alap-Alap
Jalatundalah yang menggeram. “Mereka sengaja mempermainkan kita Kakang. Mungkin
benar juga kata mereka, supaya para prajurit Pajang itu datang sebelum kita
meninggalkan tempat ini karena terikat oleh permainan yang gila ini.”
Sanakeling tidak menjawab.
Tetapi matanya benar-benar memancarkan kemarahan yang meluap-luap. Namun ia
cukup hati-hati. Ia tidak mau meloncati pagar itu dan diterima oleh ujung
tombak atau pedang pada lambung atau perutnya. Maka cara yang paling baik
adalah cara yang telah dikatakannya, sehingga sekali lagi ia berteriak, “Jangan
hiraukan orang-orang gila di belakang dinding itu. Bunuh para penjaga ini lebih
dahulu.”
Tetapi tanpa disangka-sangka,
mereka kini dikejutkan oleh suara lantang, “Aku akan keluar dari
persembunyian,” disusul oleh sesosok tubuh yang dengan lincahnya melayang
melangkahi dinding halaman itu. Namun demikian tubuh itu tegak di atas tanah,
maka tiba-tiba orang itu menggeliat sambil menguap. “Hem. Aku menunggu kalian
terlampau lama sehingga aku menjadi terkantuk-kantuk karenanya.”
Mata Sidanti, Sanakeling, dan
Alap-Alap Jalatunda terbelalak melihat orang itu. Seorang anak muda dengan
sebatang tombak di tangannya. Apalagi kemudian mereka melihat seorang anak muda
yang lain yang telah mereka kenal pula. Agung Sedayu meloncat dinding itu pula,
disusul oleh seorang lagi, seorang anak muda yang gemuk, sedang memanjat
dinding. Kemudian tubuhnya yang bulat itupun terjun pula dari atas dinding
halaman.
“Agak hati-hati sedikit
Swandaru” berkata Sutawijaya. “Tubuhmu akan dapat menimbulkan gempa.”
Swandaru tersenyum. Tetapi ia
tidak menjawab kata-kata Sutawijaya. Dengan lucu dipandanginya Sidanti yang
memandangnya pula dengan sinar kemarahan.
“Jangan kau tampar aku kali
ini Sidanti” desis Swandaru.
Sidanti menggeram. Kalau tidak
ada Sutawijaya di hadapannya ia pasti sudah meloncat dan menampar mulut yang
gembung itu.
“Kau sudah mengenalnya?”
bertanya Sutawijaya kepada Swandaru.
“Aku sudah kenal terlampau
rapat Tuan” jawab Swandaru.
“Kalau demikian, siapakah yang
disebut Sanakeling, gadis anak Demang Sangkal Putung? Bukankah kau anak Demang
Sangkal Putung itu?”
Wajah Swandaru menjadi
kemerah-merahan. Tetapi tidak semerah wajah Sidanti yang benar-benar menjadi
semerah darah.
Bukan saja mereka, bahkan
Agung Sedayu pun merasa wajahnya menjadi panas. Tetapi ia tidak berkata sepatah
kata pun. Ketika kemudian Swandaru berpaling kepadanya sambil tersenyum, maka
Agung Sedayu itupun segera menundukkan wajahnya.
Mendengar senda gurau itu
darah Sidanti benar-benar telah mendidih. la merasa bahwa seakan-akan anak-anak
muda itu sengaja mempermainkannya. Apalagi Sanakeling yang garang. Betapa
kemarahannya telah merayap sampai ke ubun-ubun. Dengan kasarnya berteriak, “He
kau anak-anak gila. Jangan bertingkah. Apakah kalian tidak menyadari dengan
siapa kalian berhadapan?”
Tetapi tiba-tiba
Sanakeling-lah yang menyadari dirinya sendiri dari kata-katanya. Anak muda itu
adalah anak muda yang dilihatnya tadi datang bersama-sama dengan Ki Gede
Pemanahan. Anak itu adalah anak Panglima Wira Tamtama Pajang.
Yang menjawab pertanyaan itu
adalah Sutawijaya, “Tentu Sanakeling. Aku menyadari sepenuhnya, dengan siapa
aku berhadapan. Yang kuning langsat ini adalah Alap-Alap Jalatunda, yang hitam
seperti arang adalah Sanakeling dan yang jatuh cinta kepada adik atau kakak perempuanmu,
he Swandaru?” berkata Sutawijaya sambil berpaling ke arah Swandaru, “adalah
anak muda murid Ki Tambak Wedi yang garang itu.”
Karena kemarahan yang telah
memuncak, maka mulut Sidanti, seakan-akan justru terkunci. la berdiri saja
mematung dengan kaki bergetar. Yang terdengar hanyalah gemeretak giginya
beradu.
Sutawijaya masih saja
tersenyum. Setelah ia melihat siapakah yang membuat keonaran, membakar
rumah-rumah di desa Benda, maka justru hatinya menjadi tenang. Sidanti,
Sanakeling, dan Alap-Alap Jalatunda pasti tidak puas dengan pertempuran yang
terjadi di bulak jagung pagi tadi. Mereka masih selalu berusaha memancing
kekeruhan, sehingga karena itu, maka apa yang terjadi kini sama sekali bukanlah
suatu perkembangan baru dari peristiwa orang-orang Jipang yang akan menyerah,
tetapi. peristiwa ini adalah kelanjutan saja dari peristiwa pagi tadi.
Karena.itu, tanpa menghiraukan Sidanti, Sanakeling, dan Alap-alap Jalatunda,
Sutawijaya berkata, “Paman Wira Lele, bukankah Sidanti menyebutmu Wira Lele?”
bertanya Sutawijaya.
Tanpa sesadarnya Wira Lele
mengangguk, “Ya Tuan.”
“Nah, ambilah kudamu. Pergilah
menemui barisan yang mendatang. Mereka sekarang pasti hampir memasuki desa ini.
Tetapi mereka pasti terhenti di bulak sebelah karena mereka melihat asap dan
api.” Sutawijaya berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan, “Kau harus menemui
Kakang Untara. Beritahukan kepadanya bahwa di desa ini tidak terjadi apa-apa.
Katakan bahwa karena Sutawijaya bermain-main api, maka apinya telah menjilat
gardu sehingga gardumu dan setumpuk alang-alang terbakar. Mereka harus berjalan
terus, supaya orang-orang Jipang yang sungguh-sungguh berhasrat kembali, tidak
mendahului mereka dan terjadi persoalan-persoalan di luar kehendak kedua belah
pihak karena pokal Sidanti.”
Kata-kata itu bagi Sidanti dan
kawan-kawannya terdengar seperti gunung Merapi meledak dan runtuh menimpa dada
mereka. Sidanti yang terbungkam, menjadi semakin tegang. Namun gemeretak
giginya menjadi semakin keras. Yang terdengar kemudian adalah geram Sanakeling,
“Wira Lele, kalau kau bergeser setapak saja dari tempatmu, maka saat itu adalah
saat kematianmu.”
Wira Lele tidak beranjak.
Namun ia menjadi ragu-ragu. Ia ingin melakukan perintah Sutawijaya, tetapi
ancaman Sanakeling telah mencegahnya.
“Jangan takut Wira Lele”
berkata Sutawijaya. “Serahkan ketiganya ini kepadaku.” Kemudian kepada
Sanakeling ia berkata, “Sanakeling, jangan terlampau sombong. Hitunglah
orang-orang yang berada di sini. Dari pihakmu hanya ada tiga orang, sedang dari
pihak paman Wira Lele ada sedikitnya delapan orang. Dan sebentar lagi pasukan
Pajang yang lain akan segera datang pula.”
Kata-kata itu, meskipun
diucapkan dengan serta-merta, seakan-akan sama sekali tidak dipertimbangkan
sebelumnya, namun pengaruhnya sangat dalam menghunjam ke pusat jantung Sidanti
dan kawan-kawannya. Meskipun Sutawijaya menyebut jumlah dari kedua belah pihak,
seolah-olah ia memerlukan kedelapan orang itu untuk melawan sidanti bertiga,
namun kata-kata itu adalah peringatan yang tajam bagi mereka. Lebih tajam dari
sebuah tantangan untuk bertempur dalam perang tanding. Sebab Sidanti harus
mengakui, bahwa berdua dengan Alap-alap Jalatunda ia tidak segera dapat
mengalahkan Sutawijaya. Apalagi kini Sutawijaya itu berkawan tujuh orang,
sedang dirinya sendiri hanya berkawan dua orang.
Dalam keragu-raguan itu
terdengar Sutawijaya berkata pula, “Cepat paman Wira Lele, sebelum Kakang
Untara mengambil sikap yang dapat merusak rencana penerimaan orang-orang Jipang
yang menyadari kedudukannya.”
“Baik Tuan” jawab Wira Lele.
Tetapi matanya memandangi Sanakeling yang membelakanginya.
“Jangan mengganggu,
Sanakeling” desis Sutawijaya sambil melangkah maju mendekati Wira Lele.
Kemudian tanpa berkata apapun dibimbingnya orang itu ke sisi jalan di samping
gardu. Di situlah kuda-kuda mereka diikat. Sedang kuda Swandaru masih belum
sempat diikat di sisi gardu itu. Seseorang masih tetap memegangi kendalinya.
“Pakai kudaku” teriak Swandaru
dari sisi yang lain.
Sutawijaya berpaling, kemudian
katanya, “Ya, pakai kuda itu supaya lebih cepat.”
Wira Lele pun kemudian
menerima kendali kuda Swandaru. Ketika ia meloncat naik, kembali terdengar
Sanakeling menggeram, “Jangan kau teruskan rencanamu. Kau akan bertemu dengan
orang-orang Jipang di ujung lorong ini. Orang-orang Jipang yang telah siap
menerkam pasukan Pajang yang mendatang.”
Kembali Wira Lele menjadi ragu-ragu.
Ditatapnya wajah Sutawijaya, seolah-olah ia ingin mendapat ketegasan daripada
anak muda itu.
Sutawijaya menjadi jengkel
melihat kebimbangan yang mencengkam hati Wira Lele. Namun ia masih tersenyum
sambil berkata, “Jangan mau diperbodoh oleh Sanakeling itu Paman. Kalau benar
orang-orang Jipang akan menjebak prajurit Pajang di desa ini, maka mereka pasti
tidak akan sebodoh Sanakeling. Mereka tidak perlu membakar satu atau dua rumah.
Sebab dengan demikian para prajurit Pajang pasti segera akan bersiaga. Karena
itu, cepat, pergilah. Sampaikan kepada Kakang Untara seperti pesanku.”
Wira Lele yang ragu-ragu itu
tidak segera menggerakkan kudanya, sehingga Sutawijaya yang menjadi semakin
jengkel tiba-tiba memukul lambung kuda itu. Kuda itupun terkejut dan meloncat
berlari. Wira Lele yang berada di punggungnyapun terkejut pula. Hampir saja ia
terjatuh. Untunglah bahwa segera ia mendapatkan keseimbangannya.
“Hati-hati Paman” teriak
Sutawijaya. “Berpeganglah kuat-kuat. Kuda itu cukup jinak.”
Kuda itu berlari terus. Derap
kakinya menghentak-hentak tanah berbatu-batu seperti derap di dalam dada Wira
Lele yang menderu karena kejutan loncatan kudanya. Tetapi ketika kuda itu
menjadi semakin jauh, maka iapun menjadi semakin tenang.
“Anak-anak itu bukan main”
desisnya. “Mereka menghadapi keadaan yang demikian gawatnya seperti sedang
bermain-main saja. Tetapi untunglah mereka datang. Kalau tidak, maka leherku
pasti sudah dipenggal oleh Sidanti yang gila itu.”
Sambil berkumat-kamit mengucap
sukur atas keselamatannya, Wira Lele memacu kudanya. Ia harus segera
menyampaikan berita itu kepada Untara, meskipun semula ia ragu-ragu. Berita
apakah yang harus dikatakannya? Apakah ia harus berkata sebenarnya, apakah ia
harus berkata menurut pesan Sutawijaya?
“Aku harus berkata sebenarnya”
desisnya kemudian. “Supaya Angger Untara dapat mengambil tindakan yang tepat
sesuai dengan keadaan.”
Dalam pada itu, Sanakeitng
yang berdiri terpaku di tempatnya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ingin
ia meloncat menghalang-halangi Wira Lele, tetapi dilihatnya ujung tombak
Sutawijaya yang tergetar seolah-olah menunjuk ke jantungnya. Karena itu, maka
sagenap perhatiannya ditumpahkannya kepada ujung tumbak anak muda itu.
“Nah, apa katamu sekarang?”
tiba-tiba terdengar Sutawijaya itu bertanya.
Sanakeling menggeram. Tetapi
ia tidak tahu, jawaban apakah yang sebaiknya diucapkan.
Sejenak mereka terpukau dalam
kesenyapan. Meskipun demikian masing-masing telah berada dalam puncak
kesiagaan. Sidanti, Alap-Alap Jalatunda dan Sanakeling benar-benar telah
dibakar oleh kemarahan dan kegelisahan, bahwa orang-orang Pajang akan segera
datang. Mereka bertiga adalah orang-orang yang cukup berpengalaman dalam
medan-medan peperangan maupun perang tanding, sehingga betapapun kemarahan
membakar dada mereka, namun di dalam kepala mereka telah merayap segala macam
kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Secara naluriah mereka telah
membuat perhitungan-perhitungan, bahwa tidak seharusnya mereka membiarkan diri
mereka terjebak dan terkurung oleh prajurit-prajurit Pajang. Anak-anak muda
yang mereka hadapi, yang seolah-olah baru mengenal bermain kucing-kucingan itu
adalah anak-anak muda yang tidak dapat mereka rendahkan, bahkan Sidanti telah
mengenal mereka dengan baik. Ia yakin, bahwa Agung Sedayu kini pasti akan dapat
menghadapinya seorang lawan seorang. Tidak seperti pada saat mereka berkelahi
di samping kandang kuda di kademangan, di mana ia mendapat kesempatan memungut
sepotong kayu. Kini di tangan mereka sama-sama tergenggam senjata. Sedang
seorang lagi, lebih-lebih membuat hatinya kecut. Sutawijaya mempunyai takaran
mereka berdua, Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda.
Selagi mereka diam
menimbang-nimbang terdengarkah Sutawijaya berkata, “Nah, sekarang apa lagi yang
akan kalian lakukan?”
Sidanti tidak segera menjawab.
Juga Sanakeling terbungkam. Sedang Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin gelisah,
karena menurut perhitungannya para prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat.
“Sekarang, anggaplah keempat
penjaga gardu itu tidak ada” berkata Sutawijaya sambil tersenyum-senyum. “Kita
berhadapan tanpa kita sengaja, dalam jumlah yang sama. Tiga lawan tiga.”
Kemudian kepada para penjaga gardu itu Sutawijaya berkata, “Jangan ganggu kami.
Kami akan mencoba bermain-main tanpa orang lain turut campur di dalamnya.
Bahkan seandainya kepalaku terpenggal, jangan kalian ributkan. Seandainya
kemudian orang-orang Jipang dan murid Tambak Wedi ini akan mencincang Agung
Sedayu atau Swandaru, jangan kalian mencoba mencegahnya.”
Para penjaga gardu itu terpaku
diam. Mereka tidak tahu bagaimana menanggapi perintah itu, sehingga mereka
berdiri saja dengan mulut ternganga.
“Ayo, berbuatlah sesuatu”
berkata Sutawijaya. “Jangan kalian biarkan aku berbicara terus sampai mulutku
meniren. Ayo, Agung Sedayu dan Swandaru. Kalian boleh memilih, manakah yang
paling kalian sukai di antara mereka. Mungkin Swandaru memilih yang kuning langsat,
dan Agung Sedayu memilih yang hitam gelap, begitu?”
Yang terdengar adalah
gemeretak gigi Sanakeling. Bagaimana ia mampu membiarkan penghinaan itu. Karena
itu tiba-tiba ia berteriak, “Ayo, siapkan pedangmu, Kita segera akan mulai.”
Agung Sedayu pun kemudian
bergeser mendekatinya, sementara Swandaru menarik pedangnya yang berhulu
gading. “Inikah Alap-Alap Jalatunda itu?” desisnya sambil menunjuk Alap-alap
itu dengan ujung pedangnya. Hati Alap-Alap muda itu menjadi sangat panas,
sehingga dengan serta-merta ia memukul pedang Swandaru dengan pedangnya.
Ketika kedua pedang itu
berdentang, alangkah terkejut mereka masing-masing. Terasa pada tangan-tangan
mereka, tenaga yang kuat beradu pada tajam kedua pedang itu.
Dentang kedua pedang itupun
seakan-akan merupakan pertanda bahwa perkelahian segera akan mulai.
Sejenak Sutawijaya dan Agung
Sedayu sempat menyaksikan Swandaru memutar pedangnya. Dengan langkah yang
tangguh ia menggeser tubuhnya semakin dekat. Ayunan pedangnya terasa
menyalurkan kekuatan yang dahsyat. Namun Alap-Alap Jalatunda adalah anak muda
yang cukup lincah. Sekali ia meloncat surut, tetapi kemudian pedangnya terjulur
lurus-lurus mematuk dada Swandaru. Dengan tangkasnya, murid Kiai Gringsing itu
menggerakkan pedangnya. Sekali lagi kedua pedang itu beradu. Tetapi kini pedang
Swandarulah yang terayun memukul pedang Alap-Alap Jalatunda. Dalam dentang
kedua pedang itu, Alap-Alap Jalatunda merasakan kedahsyatan kekuatan Swandaru,
sehingga Alap-Alap yang lincah itu berkata di dalam hatinya, “Hem gajah kerdil
ini memang benar-benar memiliki kekuatan luar biasa.”
Kini Alap-Alap Jalatunda
mengetahui bahwa tangan Swandaru yang bulat pendek itu melampaui kekuatan
tangannya. Ia tidak boleh setiap kali beradu kekuatan. Ia harus memanfaatkan
kelincahannya untuk melawan gajah kecil yang gemuk ini.
Demikianlah perkelahaian
mereka menjadi bertambah seru. Bukan saja Alap-Alap Jalatunda yang menyadari
kekuatan dan kelemahan diri, namun Swandaru pun mengetahui pula, bahwa anak
muda lawannya itu dapat bergerak selincah burung alap-alap di udara. Sekali
menukik menyambar, namun kemudian terbang melesat menjauhinya. Karena itu, maka
Swandaru harus menghemat tenaganya. Ia tidak pernah dengan tergesa-gesa
mengejar lawannya apabila Alap-alap itu meloncat beberapa langkah ke samping
atau sengaja surut ke belakang. Ia tahu Alap-alap Jalatunda memancingnya dalam
perkelahian yang kisruh. Tetapi Swandaru cukup waspada. Dibiarkannya lawannya
berloncat-loncatan. Bahkan wajahnya yang lucu masih sempat tersenyum. Kalau
Alap-alap itu melontar agak jauh, maka satu tangannya yang menggenggam pedang
bersilang di hadapan perutnya yang besar, sedang tangannya yang lain bertolak
pinggang.
Alap-alap Jalatunda menggeram
melihat sikap Swandaru yang tenang. Ia tahu, bahwa lawannya yang gemuk itupun
menyadari dirinya, sehingga mempunyai caranya sendiri untuk menghadapinya.
Sidanti dan Sanakeling masih
sempat menilai lawannya. Mereka menganggap bahwa melawan Agung Sedayu masih
lebih baik daripada melawan Sutawijaya. Tetapi mereka malu untuk berebut musuh.
Bukan memilih yang paling kuat, tetapi memilih yang lebih ringan. Karena itu,
betapapun juga, Sidanti masih sempat mencoba menyelubungi kekecilan hatinya,
“Ayo, siapakah lawanku? Yang membawa tombak atau kawan lamaku yang bernama
Agung Sedayu?”
Tetapi Agung Sedayu telah
berdiri hampir berhadapan dengan Sanakeling, sehingga Sutawijaya berkata,
“Biarlah ia melawan kawanmu yang hitam-hitam manis itu, dan kau tetap di situ
untuk melawan aku. Meskipun yang menggores tanganku tadi pagi adalah pedang
Alap-Alap yang jinak itu, tetapi kaulah yang sebenarnya telah melukai aku.
Sekarang aku ingin menebus kekalahan itu. Sedikit-dikitnya aku harus mampu
melukai tanganmu atau kakimu. Aku akan mencoba untuk tidak menyentuh wajahmu
yang tampan itu dengan ujung tombakku.”
Kata-kata itu terasa sepanas
api yang menyentuh jantung. Sidanti kemudian tidak menunggu lebih lama lagi.
Pedang di tangan kanan dan nenggalanya di tangan kiri. Sekali ia meloncat maju
sambil mengajunkan pedangnya. Ketika ia melihat Iawannya menghindarinya sambil
merendahkan diri, secepat ilu pula ujung nenggalanya menyambar seperti tatit.
Dalam satu putaran, kedua ujung senjata itu seperti bergulung-gulung melanda
Sutawijaya.
Terdengar Sutawijaya memekik
kecil. la benar-benar terkejut melihat cara Sidanti mempergunakan senjatanya.
Sidanti yang mengerahkan segenap kemampuannya pada saat-saat permulaan dari
perkelahiannya.
Sutawijaya terpaksa meloncat
beberapa langkah surut. Sambil tersenyum ia berkata, “Dahsyat. Alangkah
dahsyatnya murid Ki Tambak Wedi yang menurut cerita mampu menangkap angin. Mari
anak muda yang perkasa, marilah kita mulai permainan kita yang menarik ini.”
Sidanti tidak membiarkan
lawannya. Begitu ia melihat lawannya meloncat mundur, maka dengan serta merta
ia mengejarnya. Namun kini Sidantilah yang terkejut, ketika tiba-tiba saja
ujung tombak Sutawijaya terjulur hampir menyentuh hidungnya.
“Gila!” teriaknya. Pedangnya
dengan tangkas menyambar tombak itu. Tetapi tombak itu telah meluncur surut,
sehingga pedang Sidanti tidak sempat menyentuhnya.
Perkelahian antara Sidanti dan
Sutawijaya itupun segera menjadi bertambah sengit. Sidanti dengan darah yang
mendidih dibakar oleh kemarahannya, telah mencoba bertempur sebaik-baiknya
meskipun ia berhadapan dengan Sutawijaya yang telah dianggap mampu melawan Arya
Penangsang dengan cara yang khusus. Namun sejenak kemudian ia terpaksa
mengakui, bahwa Sutawijaja, meskipun umurnya masih lebih muda daripada dirinya,
tetapi kecepatannya bergerak dan kemahirannya mempergunakan senjata telah
benar-benar menggetarkan hati murid Ki Tambak Wedi itu.
Sanakeling yang melihat kedua
kawannya telah terlibat dalam perkelahian, sudah tentu tidak akan tinggal
menonton seperti nonton adu cengkerik. Ketika ia melihat Agung Sedayu telah
menggenggam pedang, maka segera iapun meloncat maju sambil berkata, “Kita
bertemu kembali dalam kesempatan yang luas. Kita masing-masing tidak akan
terganggu lagi oleh hiruk-pikuk perkelahian tikus-tikus di sekitar kita. Kini
kita harus menentukan diri sendiri dalam takaran yang wajar.”
Agung Sedayu tersenyum.
Ternyata Sanakeling yang dijumpainya dalam peperangan yang terakhir, saat
Tohpati terbunuh, kini menghadapinya dengan dendam di hatinya.
Hati Sanakeling itu menjadi
membara melihat senyum Agung Sedayu. Seolah-olah anak itu sama sekali tidak
menghargai kemampuannya. Karena itu, maka tiba-tiba ia meloncat sambil memekik
tinggi.
Agung Sedayu terkejut, bukan
karena kecepatan gerak Sanakeling, tetapi justru karena pekiknya yang keras
itu.
“Hem” desisnya. “Suaramu mirip
gemuruhnya petir di langit.”
Sanakeling tidak menyahut.
Geraknya menjadi semakin garang. Serangannya datang membadai. Tak
henti-hentinya. Namun Agung Sedayu telah bersiap sepenuhnya. Karena itu ia sama
sekali tidak menjadi bingung. Dengan lincahnya ia menghindari setiap serangan.
Bahkan kemudian hampir setiap serangan Sanakeling telah dibalas dengan serangan
pula oleh Agung Sedayu.
Demikianlah maka ketiga
anak-anak muda itu masing-masing telah menemukan lawannya. Swandaru Geni
melawan Alap-Alap Jalatunda, Agung Sedayu melawan Sanakeling dan Sutawijaya
berhadapan dengan Sidanti.
Betapa murid Tambak Wedi itu
berjuang, namun lawannya benar-benar gesit seperti burung sriti. Tombaknya
mematuk-matuk dari segenap arah. Sekali-sekali tombak itu menyentuh pedang dan
nenggala Sidanti, dan dalam setiap sentuhan itu terasa, betapa tenaga anak muda
itu telah menggetarkan tangan murid dari lereng Merapi yang selama ini
menghantui anak-anak muda sebayanya.
Hati Sidanti benar-benar
menjadi panas, ketika dalam perkelahian yang semakin seru itu masih saja
dilihatnya Sutawijaya selalu tersenyum-senyum. Bahkan kemudian terdengar ia
berkata, “Sidanti, aku sudah berjanji untuk menagih hutangmu. Kau telah
meneteskan darah dari tubuhku, maka akupun harus berbuat serupa. Meskipun
sementara ini aku belum mempunyai keinginan untuk membunuhmu. Entah nanti,
apabila keringatku telah membasahi landean tombakku dan kau masih saja berkeras
kepala mungkin aku mengambil keputusan lain.”
Yang terdengar adalah geram
Sidanti. Telinganya seperti disentuh api mendengar kata-kata Sutawijaya yang
menganggapnya terlampau remeh. Dengan sepenuh tenaga ia menyerang dengan
pedangnya, terayun ke lambung lawan. Namun Sutawijaya selalu mampu
menghindarinya. Bahkan Sutawijaya itupun kemudian benar-benar ingin melakukan
apa yang dikatakannya, sehingga serangan-serangannyapun semakin lama menjadi
semakin cepat dan membingungkan.
Sidanti yang pernah bertempur
melawan Tohpati dan tidak dapat mengalahkan Macan yang garang itu, merasa bahwa
sebenarnya Sutawijaya masih berada selapis di atas Tohpati. Karena itu, maka
terbersit pula di dalam hatinya, pengakuan bahwa tidaklah mungkin baginya untuk
mengalahkan Sutawijaya. Sedang kedua kawannya yang lainpun ternyata telah
menemukan lawan yang seimbang. Betapa banyak pengalaman Sanakeling dalam
petualangannya, namun menghadapi Agung Sedayu yang masih muda itu, ternyata
masih harus memeras segenap kemampuannya untuk tetap dapat bertahan menghadapi
serangan-serangan anak muda itu.
Sedang di sisi yang lain,
Swandaru bertempur dengan serunya pula melawan Alap-alap Jalatunda. Murid Kiai
Gringsing itu ternyata telah mendapat kemajuan yang jauh sekali, dibandingkan
dengan apa yang pernah dimilikinya pada saat pertama kali ia menerima
pelajarannya di pinggir kali. Betapa saat itu ia mengumpat-umpat karena ia
merasa bahwa waktunya hanya terbuang sia-sia. Apalagi ketika ia mendengar Kiai
Gringsing mengajaknya bermain loncat-loncatan di atas batu.
Kini Swandaru telah cukup
lincah memainkan pedangnya. Meskipun tubuhnya gemuk, namun ia mampu menghadapi
kelincahan Alap-alap Jalatunda dengan gerakan-gerakan yang mantap. Meskipun
Swandaru yang gemuk itu selalu menghemat tenaganya, namun kemana Alap-Alap Jalatunda
meloncat, maka Swandaru telah menghadapinya dengan pedang terjulur.
Dalam pada itu, di luar desa
Benda yang kecil, Ki Tambak Wedi menunggu muridnya dengan hati berdebar-debar.
Ia telah melihat asap mengepul dan kemudian disusul dengan api yang menjilat
tinggi seolah-olah akan menggapai awan yang terbang rendah dihanyutkan angin
dari Selatan. Tetapi Sidanti sama sekali tidak segera dilihatnya.
Dengan gelisah Ki Tambak Wedi
itu duduk di pematang. Matanya seakan-akan tergantung di pagar batu desa Benda
yang tidak seberapa jauh.
“Setan kecil itu apa lagi yang
dilakukannya” gumamnya. “Mungkin anak itu sempat mengambil beberapa macam
barang atau barangkali ditemuinya seorang gadis.”
Namun Ki Tambak Wedi tidak
dapat menyembunyikan kegelisahannya dengan berbagai-bagai dugaan.
Sekali ia berdiri, berjalan
mondar-mandir dan kemudian berjongkok lagi. Ia menyesal menyuruh muridnya pergi
ke desa itu. “Lebih baik aku kerjakan sendiri” gerutunya. Ia menyuruh muridnya
membakar beberapa rumah dengan pertimbangan, bahwa di desa itu pasti tidak akan
ditemuinya prajurit yang mampu melawan muridnya itu bersama-sama kedua
kawannya, sedang dirinya sendiri cukup mengawasi mereka dari kejauhan sambil
mengawasi para prajurit Pajang yang pasti segera akan datang.
Tambak Wedi itupun menggeram.
la telah menyuruh orang-orangnya yang lain menyingkir. Juga penghubungnya yang
terakhir, yang dari kejauhan mengintai prajurit Pajang yang telah meninggalkan
induk kademangan. Berlari-lari penghubung itu memberitahukan kepadanya, sehingga
dengan tergesa-gesa disuruhnya Sidanti melakukan pekerjaan itu. Tetapi agaknya
Sidanti terlalu lama berada di Desa Benda yang kecil.
“Anak gila” geram Tambak Wedi.
Menurut perhitungannya, maka prajurit Pajang sudah menjadi semakin dekat.
Sebentar lagi prajurit-prajurit itu pasti sudah akan tampak di tengah-tengah
bulak yang agak panjang itu.