Buku 058
Agung Sedayu dan Sumangkar
mengerutkan keningnya. Dan mereka segera dapat menebak, “suara itu suara
Swandaru.”
“Anak itu senang sekali
bermain-main dengan cara ini,” desis Agung Sedayu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan mereka pun mendengar suara melengking tinggi, “Kalian
benar-benar telah menjadi pikun. He, apakah hantu-hantu di Alas Mentaok itu
sudah pada pikun? Atau memang kalian adalah jadi-jadian dari orang-orang yang
sudah pikun dan kehilangan akal? Aku di sini. Akulah Kiai Dandang Wesi yang
kalian cari” suara itu terputus sejenak oleh batuk-batuk kecil. Tetapi agaknya
Swandaru memang anak bengal, katanya, “Maaf, aku sedang terbatuk-batuk. Di
Gunung Merapi memang sedang berjangkit penyakit batuk khusus bagi hantu-hantu.”
“Gila,” desis Agung Sedayu,
“Swandaru tidak dapat bermain dengan baik.”
Ternyata kata-kata itu
benar-benar telah mengguncangkan hati orang-orang yang sedang berusaha
mengepung Kiai Dandang Wesi. Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu
Alas Mentaok. Karena itu salah seorang dari mereka segera berteriak, “Omong
kosong! Kalian mencoba mengelabuhi kami. Aku tahu, kalian bukan terdiri dari
seseorang. Ternyata kalian berada di beberapa tempat dan bermain
hantu-hantuan.”
Swandaru masih juga menjawab,
“Bodoh sekali. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Apakah kau tidak percaya.”
Dalam pada itu, Agung Sedayu
pun berkata kepada Sumangkar, “Paman, Swandaru dan Guru telah memencar.
Sebaiknya aku pun akan memisahkan diri. Kita sudah berada di dalam keadaan yang
cukup jelas. Kita akan ber-tempur. Tetapi sebaiknya kita mencoba untuk
menurunkan gelora keberanian mereka. Kalau mereka menjadi agak bingung maka
jantung mereka pun akan susut.”
Sumangkar menganggukkan
kepalanya. “Hati-hatilah,” desisnya.
Agung Sedayu pun kemudian
merayap menjauhkan diri dari Sumangkar. Permainan mereka akan segera sampai ke
puncaknya, dan mereka pun akan segera berbuat sesuatu.
Sementara itu, keadaan di
belakang barak itu masih saja hening dan tegang. Orang-orang yang menyebut
dirinya hantu-hantu Alas Mentaok itu masih diliputi oleh keragu-raguan.
Sementara Swandaru pun tidak lagi berteriak-teriak karena lehernya sudah mulai
terasa serak.
Selagi orang-orang yang
berusaha mengepung yang menyebut darinya Kiai Dandang Wesi itu masih diliputi
oleh keragu-raguan, maka terdengar suara melengking di tempat yang lain pula.
Suara Agung Sedayu, “Ayo, tangkaplah aku. Aku sudah berpindah tempat, sedang
kalian masih saja membeku. Apakah dengan demikian kalian akan mampu menangkap
kami?”
Tidak terdengar jawaban.
Tetapi Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak-gerak di dalam gelapnya
malam. Sejenak kemudian dari dalam rimbunnya dedaunan Agung Sedayu, Swandaru,
Kiai Gringsing, dan Sumangkar yang memencar itu melihat sesuatu yang
berkilat-kilat tersembul dari dalam gerumbul. Bahkan kemudian tampak benda itu
seakan-akan bercahaya di dalam gelapnya malam.
“Permainan apa lagi yang
sedang mereka lakukan?” bertanya Kiai Gringsing dan murid-muridnya di dalam
hati.
Ketika cahaya itu kemudian
hilang, maka mereka pun melihat bayangan yang lain bergerak-gerak mendekati.
Seperti yang diduga oleh Sumangkar. Kira-kira sepuluh orang. Agaknya benda yang
bercahaya itu merupakan tanda untuk mengumpulkan orang-orang mereka.
Agung Sedayu menjadi semakin
ingin tahu, apakah yang akan mereka percakapkan. Karena itu, ia pun kemudian
merayap mendekati kelompok yang telah terkumpul itu.
Namun ternyata, bukan saja
Agung Sedayu, tetapi juga gurunya, Swandaru dan Sumangkar ingin tahu apa yang
akan mereka perbincangkan.
Namun mereka terkejut ketika
tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari orang-orang itu berkata, “Nah,
kita sudah berhasil. Agaknya bukan kita sajalah yang tertarik oleh tanda itu.
Agaknya hantu dari Gunung Merapi itu sudah mendekat pula.”
Dada Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Pasti ada seorang yang berilmu cukup tinggi di antara mereka.
Seorang atau bahkan lebih, karena mereka segera menangkap desah nafas orang
yang sedang merayap mendekati.
Tetapi sekali lagi Agung
Sedayu mengumpat. Ternyata Swandaru yang serak itu tidak berhasil menahan
gatal-gatal di lehernya. Ialah agaknya yang telah memungkinkan orang-orang itu
mendengar kehadirannya, karena Agung Sedayu pun kemudian berhasil menangkap
desah nafasnya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa adik
seperguruannya itu juga sudah ada di dekatnya.
Dengan hati-hati ia bergeser,
mendekati. Tetapi ia tidak berani menyentuhnya. Kalau Swandaru itu terkejut,
maka ia pasti akan segera berbuat sesuatu dan kehadiran mereka akan segera
diketahui lebih pasti lagi.
“Ayo, jangan hanya mengintip
di dalam gelap. Kemarilah. Kita akan bersama-sama melepaskan kedok kita,”
berkata salah seorang dari mereka.
Tetapi tidak ada seorang pun
yang menyahut. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar yang sudah ada
di sekitar tempat itu masih tetap berada di dalam persembunyian mereka, di
balik dedaunan yang rimbun.
“Baiklah,” berkata suara itu,
“kamilah yang akan mulai. Kami akan berbuat sesuatu. Kalau kalian masih tetap
bersembunyi, maka kami akan membakar barak itu. Itu adalah usaha kami yang
terakhir untuk memancing kalian keluar dari persembunyian.”
Tetapi masih belum ada
jawaban. Kiai Gringsing masih juga berdiam diri di tempatnya.
“Tidak ada waktu lagi. Kita
harus segera melakukannya,” desis salah seorang dari mereka.
Sejenak kemudian orang-orang
itu pun berdiri dari persembunyiannya. Namun tanpa disangka-sangka salah
seorang dari mereka dengan cepatnya telah meloncat ke arah persembunyian
Swandaru. Agaknya suara desah nafasnyalah yang telah didengar oleh orang-orang
itu, karena lehernya yang gatal setelah ia berteriak-teriak.
Untunglah bahwa Swandaru telah
bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi orang yang menyerangnya itu
masih belum tahu pasti di mana ia bersembunyi. Dengan demikian, maka Swandaru
masih mendapat kesempatan untuk berguling menjauh dan mengurai senjata yang
membelit lambungnya.
Tetapi yang terdengar lebih
dahulu adalah ledakan cambuk di arah yang lain. Ternyata Kiai Gringsing
berusaha menarik perhatian orang-orang itu, supaya mereka tidak memusatkan
serangan mereka kepada Swandaru.
Usaha Kiai Gringsing itu pun
berhasil. Beberapa orang segera berloncatan menyerangnya. Namun di saat yang
hampir bersamaan, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak pula, hampir berbareng
dengan cambuk Swandaru sendiri.
Orang-orang yang menyebut diri
mereka hantu-hantu Alas Mentaok itu kini merasa bahwa lawan mereka telah genap
tiga orang. Tiga orang yang agaknya telah dituntutnya dari orang-orang di dalam
barak itu. Tiga orang yang bersenjata cambuk.
“Tangkap mereka hidup-hidup,”
terdengar perintah dari salah seorang lawan-lawan Kiai Gringsing itu, “kita
memerlukan keterangannya. Siapakah yang telah menempatkannya di dalam barak
ini.”
Tidak terdengar jawaban.
Tetapi pertempuran telah terjadi di tiga lingkaran. Agung Sedayu melawan
beberapa orang, Swandaru juga dan demikian pula Kiai Gringsing.
Sumangkar masih tetap diam di
tempatnya. Sejenak ia mengamati perkelahian itu. Apakah di dalam kelompok lawan
Kiai Gringsing itu terdapat orang yang harus mendapat perhatian.
Sejenak kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada empat orang yang tampaknya memimpin
kawan-kawannya di dalam olah kanuragan. Satu di antara mereka adalah orang yang
terkuat, yang justru menyerang Swandaru yang pertama kali.
Sumangkar menjadi
berdebar-debar. Orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Apalagi orang
yang kini sedang berusaha untuk segera berhasil menguasai Swandaru yang tampak
mengalami kesulitan.
“Siapakah orang ini?”
pertanyaan itu mengetuk jantung Sumangkar.
“Tangkap mereka hidup-hidup,”
terdengar orang itu memberikan perintah, “atau setidak-tidaknya mereka bertiga
jangan sampai terbunuh seandainya kalian harus melukainya.”
Tidak ada jawaban. Tetapi
serangan mereka menjadi semakin garang. Mereka tampaknya berusaha
sungguh-sungguh untuk dapat menguasai Kiai Gringsing beserta anak-anaknya
dengan segera.
Meskipun salah seorang dari
orang-orang terkuat ikut serta bertempur melawan Agung Sedayu namun Agung
Sedayu tidak mengalami kesulitan seperti Swandaru. Agung Sedayu yang melawan
tiga orang sekaligus, masih sempat meloncat surut, mencari tempat yang agak
lapang, sehingga ia dapat mempergunakan senjatanya dengan leluasa. Ujung
senjatanya tidak tersangkut ranting-ranting atau pohon-pohon perdu, meskipun
ranting-ranting itu pun kemudian seakan-akan ditebas dengan pedang, namun
kadang-kadang terasa geraknya terganggu juga.
Kiai Gringsing yang bertempur
di lingkaran yang lain, harus melawan lima orang sekaligus. Adalah kebetulan
sekali bahwa bukan orang-orang terkuat yang menghadapinya. Sementara Swandaru
dengan susah payah mencoba mempertahankan diri dari sergapan empat orang yang
bertempur dengan garangnya.
“Swandarulah yang berada di
dalam bahaya yang sebenarnya,” berkata Sumangkar di dalam hatinya.
Dan tiba-tiba hatinya dijalari
oleh keinginannya untuk menyesuaikan diri dengan cara yang telah dilakukan oleh
Kiai Gringsing. Tanpa setahu lawan-lawannya, ia berhasil mengambil kerudung
hitam yang justru semula dipergunakan oleh hantu-hantu Alas Mentaok itu.
Kemudian dipungutnya pula tengkorak yang sudah mereka tanggalkan dari
tangkainya.
Sumangkar pun kemudian
mempergunakan kerudung itu. Dengan hati-hati ia mendekati Swandaru yang selalu
terdesak surut.
Kiai Gringsing pun menjadi
cemas melihat keadaan muridnya yang muda itu. Karena itu maka ia pun segera
mengerahkan kemampuannya untuk menerobos kepungan kelima lawan-lawannya yang
tidak begitu berat baginya. Meskipun demikian, ia masih memerlukan waktu
beberapa saat untuk dapat menembus kepungan mereka. Sedang waktu yang beberapa
saat itu ternyata sangat gawat bagi Swandaru. Orang terkuat dari lawan-lawan
mereka benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Swandaru. Serangannya
bagaikan angin ribut yang menghantam dari segala arah.
Sejenak kemudian Swandaru
telah menjadi pening. Ia kehilangan keseimbangannya untuk melawan
serangan-serangan yang membadai dari segala arah itu. Bahkan kemudian
senjatanya seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk menahan mereka. Apalagi
salah seorang dari mereka adalah orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi
dari Swandaru sendiri.
Kecemasan yang tajam telah
menyengat hati Kiai Gringsing ketika ia melihat Swandaru terdorong jauh ke
belakang, sehingga ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia
mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi ia masih juga
terhuyung-huyung. Dengan demikian maka ketika datang serangan berikutnya,
Swandaru sama sekali tidak berhasil bertahan. Ketika ia melihat pedang yang
terjulur lurus ke dadanya, ia masih sempat melecutkan cambuknya. Tetapi
sentuhan kaki di lambungnya, telah membuat Swandaru terlempar ke samping dan
jatuh terbanting melanggar sebatang pohon perdu, sehingga pohon itu ikut roboh
pula.
Pada saat itulah orang yang
memiliki kemampuan yang luar biasa itu meloncat mendekati Swandaru. Ia sudah
siap menerkam anak itu dan membuatnya tidak berdaya. Dengan demikian, ia akan
segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain.
Namun disaat yang gawat itu,
Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari lawan-lawannya. Dengan
sigapnya ia meloncat sambil meledakkan cambuknya tepat di belakang orang yang
sedang berusaha menerkam Swandaru yang masih terbaring di tanah.
Ternyata suara cambuk itu
telah membuatnya terkejut. Sejenak ia berpaling, dan dilihatnya Kiai Gringsing
telah menyerangnya dengan garangnya.
Namun dalam pada itu,
lawan-lawan Kiai Gringsing sendiri telah memburunya. Lawan-lawan Swandaru pun
ikut mengepungnya pula, termasuk orang yang terkuat di antara mereka.
Kiai Gringsing terkejut ketika
ia melihat wajah orang itu. Orang yang dengan mudahnya dapat menguasai
Swandaru. Orang itu adalah Kiai Damar.
“Kau Kiai Damar,” desis Kiai
Gringsing.
“Huh, aku sudah mengira bahwa
kau sama sekali bukan seorang gembala yang dungu. Tetapi umurmu tidak akan
dapat diperpanjang lagi. Kau akan jatuh ke tangan kami. Kami akan memeras
keteranganmu sebelum kalian mati di bawah kaki-kaki kuda kami.” Kiai Damar
berhenti sejenak, lalu, “Beberapa orangku terbunuh siang ini. Kami datang
menuntut balas. Pengawas-pengawasmu yang gila itu akan kami musnahkan bersamamu
dan anak-anakmu itu.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Tetapi ia harus menghadapi tugas yang cukup berat. Ia mengharap bahwa Swandaru
akan dapat mempergunakan kesempatan itu, melepaskan diri dan kembali turun di
peperangan.
Namun dalam pada itu, di dalam
ketegangan yang memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tengkorak
yang terlontar diudara dan jatuh tepat di antara mereka yang telah siap untuk
mempertaruhkan jiwanya. Apalagi sejenak kemudian disusul oleh suara yang
melengking tinggi, “Jangan takut. Kiai Dandang Wesi tidak akan mengingkari
janjinya. Aku akan melindungi kalian dari setiap bencana. Inilah aku, Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”
Ternyata suara yang melengking
tinggi itu telah memberikan pengaruh yang luar biasa. Beberapa di antara mereka
yang berkelahi melawan Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya itu menjadi
bingung sesaat.
Agung Sedayu, Swandaru, dan
Kiai Gringsing sendiri segera dapat mengetahui, bahwa yang kini sedang bermain
hantu-hantuan itu adalah Sumangkar. Bahkan Swandaru yang telah meloncat bangun
itu masih sempat tersenyum. Agaknya Ki Sumangkar pun telah dijangkiti kebiasaan
gurunya yang kadang-kadang aneh.
Selagi keadaan diliputi oleh
keragu-raguan dan kebimbangan itulah maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya
seakan-akan mendapat kesempatan. Dengan lantang maka Kiai Gringsing pun
berkata, “Nah menyerahlah. Kalau tidak, maka Kiai Dandang Wesi akan menggilas
kalian dengan kekerasan.”
Namun Kiai Damar dan anak
buahnya itu justru seperti terbangun dari mimpinya. Apalagi ketika Kiai Damar
berteriak, “Persetan dengan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kami sudah
terlanjur mulai. Apa pun yang akan terjadi, akan kami hadapi.”
“Jangan sombong,” sahut Kiai
Gringsing, lalu, “kau harus merasa bahwa kau tidak akan berdaya menghadapi
hantu yang sebenarnya, bukan sekedar hantu-hantuan seperti orang-orangmu.
Tengkorak yang dipasang di atas tongkat dan dilekati dengan kunang-kunang itu
sama sekali tidak menakutkan. Kerudung hitam dan kuda-kuda yang bersayap itu
seperti mainan kanak-anak yang jemu bermain kuda-kudaan dari pelepah pisang.”
“Diam!” teriak Kiai Damar.
“Kau akan segera binasa. Kami akan melanjutkan usaha kami menakut-nakuti
orang-orang di dalam barak itu dan kemudian menguasainya setelah kalian bertiga
mati.”
“Kau lupa Kiai Dandang Wesi.”
“Persetan, ia tidak mampu
melawan kami.”
Belum lagi mulutnya terkatup,
maka sesosok tubuh yang berkerudung hitam telah tampil di dalam pertempuran
itu. Seperti yang pernah diceriterakan oleh Agung Sedayu, pengalamannya dengan
Kiai Dandang Wesi, maka Sumangkar yang berkerudung hitam itu pun mencoba
menyesuaikan diri. Mula-mula ia melingkar di tanah, seperti seonggok batu yang
hitam kemudian melenting tinggi. Lalu dengan, tiba-tiba pula menyerang
orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu dari Alas Mentaok itu.
Gerak dan tingkah laku
Sumangkar benar-benar telah mengejutkan mereka. Mereka tidak mengira bahwa akan
hadir di tengah peperangan itu, suatu bentuk yang sangat mendebarkan jantung
mereka. Apalagi bentuk yang aneh itu ternyata sangat berbahaya.
Demikianlah maka mereka pun
segera terlibat di dalam perkelahian melawan Kiai Gringsing, kedua anak-anaknya
dan sesosok tubuh yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi.
Kiai Damar yang memimpin
kawannya, merasa wajib untuk melawan musuh yang mereka anggap paling kuat,
yaitu hantu dari Gunung Merapi itu. Namun sebenarnyalah bahwa hantu itu adalah
hantu yang benar-benar lincah dan berbahaya.
Demikianlah di belakang barak
itu telah terjadi perkelahian yang semakin lama semakin sengit. Beberapa orang
terkuat dari rombongan Kiai Damar itu telah dibagi. Masing-masing dikawani oleh
orang-orang lain, berusaha untuk dapat menangkap lawan mereka hidup-hidup.
Bahkan Kiai Damar pun telah mencoba pula, apabila mungkin menangkap hantu-hantu
dari Gunung Merapi itu.
Namun kekuatan lawan mereka
benar-benar tidak mereka duga sebelumnya. Mereka hanya mengira bahwa kekuatan
lawannya itu sedikit melampaui orang-orang mereka yang telah terbunuh. Tetapi
ternyata bahwa mereka menjumpai kekuatan yang luar biasa. Menurut perhitungan
mereka, mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu telah cukup kuat
untuk menangkap tiga orang yang mereka anggap telah menghalang-halangi usaha
mereka itu. Bahkan mereka menyangka bahwa orang-orang di dalam barak itu akan
dapat mereka pengaruhi ikut serta, bahkan mengeroyok beramai-ramai ketiga orang
tersebut. Namun perhitungan mereka ternyata telah meleset. Tiga orang itu
ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa, ditambah dengan hadirnya sesosok
tubuh yang sama sekali berada di luar dugaan, yaitu sesosok tubuh dengan
pakaian hitam dan menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.
Demikianlah, maka
masing-masing telah bertempur melawan tiga orang sekaligus. Juga Kiai Dandang
Wesi telah berkelahi melawan tiga orang, dan di antara ketiga orang itu ialah
Kiai Damar sendiri.
Dalam pada itu, orang-orang di
dalam barak itu pun seakan-akan telah benar-benar membeku. Mereka hanya
mendengar suara cambuk meledak-ledak, kemudian beberapa kalimat-kalimat yang
merontokkan isi dada mereka.
Mereka sama sekali tidak dapat
membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya di belakang barak mereka. Namun
terbayang di kepala mereka, seakan-akan hantu-hantu sedang berkelahi
mati-matian. Mereka berterbangan dan sambar-menyambar. Sesosok hilang dan yang
lain telah membakar dirinya dan berusaha menyentuh lawannya dengan nyala yang
berkobar. Tetapi kemudian telah memancar air dari tubuh sesosok hantu yang
menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi memandamkan api itu. Tetapi api itu kemudian
menjelma seekor naga raksasa yang siap menelan lawannya. Namun sudah tentu
hantu dari Gunung Merapi dan pasukannya akan tidak membiarkan dirinya ditelan
oleh ular naga. Mereka segera berubah menjadi seekor harimau sebesar gunung
anakan. Sedang di pihak lain, tengkorak-tengkorak berkeliaran melawan
hantu-hantu bermata bara.
Tetapi di antara mereka
terdapat tiga orang manusia yang bersenjata cambuk itu. Cambuknya terdengar
meledak-ledak memekakkan telinga.
“Apakah mereka dapat
mengimbangi kemarahan hantu-hantu itu?” pertanyaan itu setiap kali telah
melonjak di dalam setiap dada. Namun ada di antara mereka yang berkata di dalam
hati, “Ketiga orang itu pasti orang-orang yang sebenarnya dapat melihat hantu
dan cambuk mereka itu mempunyai kekuatan yang dahsyat.”
Meskipun demikian kecemasan
yang memuncak telah mencengkam hati mereka. Bahkan ada di antara mereka yang
sama sekali tidak dapat membayangkan apa pun juga dan meskipun mereka tidak
pingsan, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan segenap kesadaran.
Pemimpin pengawas yang terluka
itu pun menjadi cemas pula. Sejenak terbayang perkelahian yang dahsyat antara
orang tua yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu dengan beberapa orang
dari gerombolan yang tidak dikenal. Namun ia pun membayangkan juga betapa
dahsyatnya hantu-hantu yang sedang bertempur. Di dalam kepalanya terbayang
campur baur yang buram. Dan pemimpin pengawas itu tidak berani membuat gambaran
yang tegas, apakah yang sebenarnya berkelahi itu adalah manusia-manusia seperti
Truna Podang atau hantu-hantu dari Alas Mentaok melawan hantu-hantu dari Gunung
Merapi. Bahkan akhirnya pemimpin pengawas itu bertanya kepada diri sendiri,
“Apakah Truna Podang itulah yaug menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi?”
Tetapi pemimpin pengawas itu
ternyata telah membuat kesimpulan yang terbalik. Katanya, “Kalau begitu Truna
Podang itu bukan manusia sewajarnya. Ia tentu hantu dari Gunung Merapi yang
membuat dirinya seperti manusia untuk menolong kami. Juga kedua anak-anaknya
itu pasti anak-anak jin atau perayangan.”
Dalam pada itu perkelahian di
belakang barak itu masih berlangsung terus. Agung Sedayu bertempur dengan
gigihnya melawan lawan-lawannya bersenjata pedang. Setiap kali cambuknya
meledak dan menyentuh tubuh lawannya terdengar keluhan tertahan. Ujung cambuk
Agung Sedayu, seperti juga ujung cambuk Swandaru dan gurunya, di beberapa
bagian terikat oleh karah-karah besi baja yang dapat menyobek tubuh.
Di bagian lain Swandaru yang
sudah mulai dapat bernafas karena kekuatan lawannya telah menjadi jauh
berkurang, bertempur sambil berputar-putar. Ia masih juga sempat melihat
bagaimana gurunya, mendesak terus lawan-lawannya, betapa pun lawan-lawannya
berjuang dengan gigihnya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing berhasil menguasai
mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak berdaya sama sekali.
Di bagian lain, Kiai Dandang
Wesi yang berkerudung hitam masih juga bertempur melawan Kiai Damar beserta
kedua kawan-kawannya. Ternyata permainannya itu terasa agak mengganggunya
sehingga Sumangkar tidak dapat bertempur sewajarnya. Ia hanya dapat melenting-lenting
dan meloncat-loncat. Sekali-sekali melempar lawan-lawannya dengan batu,
kemudian menghindar jauh-jauh.
Akhirnya Sumangkar tidak
telaten lagi mempergunakan kerudung hitam itu. Kerudung itu pun kemudian
disingsingkannya dan disangkutkan di pundaknya. Katanya, “Kalau hantu-hantu di
Alas Mentaok bertempur dengan mengambil bentuk sebagai seorang manusia, apa
salahnya aku menyesuaikan diriku. Aku akan mengambil bentukku sebelum aku
menjadi perayangan. Inilah Kiai Dandang Wesi, Abdi Dalem Pajang pemomong Raden
Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar di masa kanak-kanaknya.”
Kiai Damar yang bertempur
melawan Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi itu tidak menyahut.
Tetapi sejenak ia terpengaruh juga melihat bentuk Ki Sumangkar, yang tampaknya
memang sudah cukup tua. Janggutnya telah memutih dan di wajahnya telah tampak
kerut-merut ketuaannya.
Dalam kesuraman malam, Kiai
Damar tidak dapat melihat bentuk wajah itu sejelas-jelasnya, namun, ternyata
bahwa tandang Sumangkar kemudian benar-benar di luar dugaan Kiai Damar. Bahkan
di dalam hatinya ia justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar orang itu adalah
perayangan yang telah musna dengan raganya? Hanya di dalam saat-saat tertentu
saja muncul kembali dalam bentuknya dan wadagnya itu?
Keragu-raguan Kiai Damar itu
ternyata di dalam tata geraknya. Senjatanya tidak menjadi semakin garang lagi,
bahkan kadang-kadang terasa agak menurun.
Sumangkar yang mengetahui
keragu-raguan itu berusaha menekannya semakin dalam. Katanya, “Inilah ujudku
yang sebenarnya. Kalau pada sekitar dua puluh tahun yang lampau kau pernah
menjelajahi daerah Demak lama kemudian Pajang dan sekitarnya, maka kau pasti
pernah bertemu dengan seorang yang bernama Kiai Dandang Wesi. Itu adalah aku.
Dua puluhan tahun atau lebih sedikit, aku juga sudah setua ini. Dalam bentuk
perayangan aku tidak bertambah tua sampai akhir dari bumi ini. Seratus tahun,
dua ratus tahun mendatang, aku akan tetap setua ini.”
Dada Kiai Damar menjadi
semakin berdebar-debar. Tetapi ternyata ia tidak mau surut. Ia mencoba
berkelahi terus bersama kawan-kawannya. Bahkan untuk mengusir keragu-raguannya
sendiri ia berkata, “Jangan dengarkan igauannya. Marilah kita tangkap ia
hidup-hidup. Ia akan menjadi saksi yang paling menarik bagi kita semuanya.”
Dengan demikian, maka Kiai
Damar pun berusaha untuk semakin menekan lawannya yang kini sudah berbentuk,
yaitu Sumangkar, yang masih saja nekat menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.
Demikianlah maka perkelahian
itu menjadi semakin sengit. Sumangkar yang sudah tidak memiliki tongkatnya
lagi, karena telah diberikannya kepada Sekar Mirah, kini ternyata telah
mempergunakan jenis senjata yang lain. Sepasang trisula bertangkai pendek.
Senjata jenis itu adalah senjata kecil berujung tiga. Panjangnya tidak lebih
dari dua jengkal. Tetapi di tangan seorang yang hampir mumpuni seperti
Sumangkar, senjata di antara sepasang trisula itu, ternyata terikat pada seutas
rantai baja yang kuat, sehingga trisula itu dapat dilontarkannya dan kemudian
ditarik kembali, seperti jenis senjata bulatan-bulatan besi yang berduri.
“Eh,” berkata Swandaru di
dalam hatinya, “orang tua itu sempat juga membuat mainan aneh itu.”
Dan ternyata bahwa senjata itu
segera dapat mempengaruhi perkelahian. Lawannya yang belum menjajagi betapa
dahsyatnya senjata itu, segera terlihat dalam kesulitan. Seorang kawan Kiai
Damar yang menyerang sekuat-kuatnya, telah kehilangan pedangnya yang terjepit
pada trisula yang diputar dengan cepatnya.
Tangan orang itu tidak cukup
kuat menahan putaran pedangnya sendiri, sehingga pedang yang terlepas itu
terlempar beberapa langkah daripadanya.
Kiai Damar yang melihat hal
itu menggeram sambil meloncat maju. Senjatanya terjulur lurus-lurus ke depan.
Namun ketika senjatanya itu tersentuh trisula Ki Sumangkar, maka Kiai Damar pun
segera menariknya kembali sebelum Sumangkar sempat memutarnya di sela
ujung-ujung trisulanya.
Namun demikian tekanan Kiai
Damar berhasil memberi kesempatan kepada kawannya untuk memungut pedangnya yang
terjatuh. Bahkan kemudian mereka bertiga telah berhasil kembali mengepung Ki
Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi itu.
Namun, ketika tekanan ketiga
orang itu datang bersama-sama dari tiga arah, Ki Sumangkar segera memutar
trisulanya pada rantainya. Demikian cepatnya sehingga melontarlah bunyi desing
yang mengerikan.
“Setan alas,” Kiai Damar
mengumpat. Dan Sumangkar yang sudah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu
menyahut, “Kaulah setan alas, aku hantu dari Gunung.”
“Tutup mulutmu,” Kiai Damar
menjadi semakin marah. Namun ia tidak segera berhasil menembus putaran trisula
Ki Sumangkar yang justru menjadi semakin cepat.
Yang paling parah adalah
orang-orang yang mengeroyok Kiai Gringsing. Mereka sama sekali tidak dapat
berbuat sesuatu. Cambuk orang tua itu meledak-ledak tidak henti-hentinya,
membuat telinga mereka seakan-akan tidak dapat bertahan dan bahkan kepala
mereka menjadi pening. Belum lagi sentuhan-sentuhan ujung juntai cambuk itu,
yang telah melukai kulit mereka dan membuat jalur-jalur merah silang menyilang.
Agaknya Kiai Gringsing memang
tidak ingin membinasakan mereka. Seperti yang diinginkan, ia hendak menangkap
mereka hidup-hidup supaya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat dibayangkan,
apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dengan mengganggu para pekerja yang
sedang membuka hutan ini.
Dalam pada itu Agung Sedayu
dengan mengerahkan tenaganya berhasil mengimbangi lawannya. Bahkan karena
orang-orang yang terkuat dari lawan-lawannya telah berkumpul melawan Sumangkar
dan Kiai Gringsing, maka lambat laun ia berhasil menguasai lawannya meskipun
tidak akan segera dapat mengalahkan mereka. Sedangkan Swandaru masih harus
berjuang mati-matian untuk mendesak lawan-lawannya. Namun kadang-kadang ia
berhasil mengenai salah seorang dari mereka dan masih juga berkesempatan
melihat, betapa dahsyatnya trisula Ki Sumangkar.
“Bukan main,” desisnya,
“setelah ia kehilangan tongkatnya yang mengerikan, kini ia membuat senjata yang
tidak kalah garangnya. Bahkan sepasang. Sebentar lagi, Sekar Mirah pun pasti
akan mampu juga bermain-main dengan baling-baling maut itu.”
Dan senjata itu ternyata telah
menggelisahkan Kiai Damar. Meskipun Ki Sumangkar tidak segera dapat menguasai
Kiai Damar beserta kawan-kawannya, namun karena Kiai Damar sendiri tidak juga
segera dapat memenangkan perkelahian itu, ia menjadi cemas. Kiai Damar yang
merasa dirinya orang terkuat, bersama dua orang kawannya sama sekali tidak
segera dapat menang atas lawannya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Dan
ternyata pula ketika ia sempat melihat, betapa Kiai Gringsing dengan mudahnya
menggiring ketiga lawannya. Kiai Gringsing bermaksud menekan mereka ke dinding
barak. Kemudian membuat mereka tidak berdaya.
Kiai Damar menggeram di dalam
hatinya. Ia sadar bahwa sebentar lagi, ketiga orang yang melawan gembala tua
itu pasti akan segera dikuasainya. Orang tua itu pasti akan dapat membantu
lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu.
Karena itu, Kiai Damar telah
berjuang sekuat-kuatnya. Meskipun dengan susah payah, ketiga orang terkuat itu
perlahan-lahan sekarang berhasil mendesak Sumangkar yang bersenjata dahsyat
itu. Untunglah, bahwa Sumangkar dapat mempertahankan jarak jangkau
lawan-lawannya dengan trisulanya yang diputarnya pada rantainya.
Meskipun perlahan-lahan
Sumangkar sendiri terdesak, tetapi ia sama sekali tidak cemas. Ia pasti akan
dapat bertahan untuk waktu yang lama. Kekuatan nafasnya akan membantunya
mengatasi kesulitannya. Pada suatu saat, ketiga lawannya pasti akan susut
kekuatannya. Sedang Sumangkar yang tua itu berusaha untuk tetap menyimpan
tenaga cadangan, sehingga pada suatu saat, ia akan menguasai medan itu setelah
lawannya menjadi lelah. Apalagi setelah ia melihat bahwa Agung Sedayu, Swandaru
dan apalagi Kiai Gringsing tidak memerlukan bantuannya sama sekali. Dengan
demikian ia dapat berkelahi sesuai dengan kemampuan dan perhitungannya. Ia
merasa tidak akan dapat memaksa lawan-lawannya tunduk kepadanya, karena ilmu
mereka cukup tinggi. Tetapi ia dapat memaksa lawannya mengarahkan segenap
kekuatan dan kemampuan mereka, sehingga mereka kehilangan pengamatan dan
penghematan tenaga itu. Perhitungan yang matang itulah yang telah membuatnya
semakin tenang menghadapi lawan-lawannya yang tangguh.
Tetapi Kiai Damar benar-benar
tidak dapat menolong kawan-kawannya yang semakin lama menjadi semakin tersudut
di dinding barak. Cambuk Kiai Gringsing kali ini tidak menggiring
kambing-kambing di lapangan rumput. Tetapi kali ini ia menggiring tiga orang
yang menyebut dirinya hantu Alas Mentaok.
“Besok aku akan dapat
memperlihatkan hantu-hantu ini kepada penghuni barak,” katanya, “dan kalian
tidak usah takut, bahwa penghuni-penghuni barak akan berbuat sesuatu atas
kalian. Mungkin ada juga di antara mereka yang ingin melihat kalian melenyapkan
diri seperti asap, atau ingin melihat kalian berkepala tengkorak naik kuda
sembrani dan sebagainya seperti yang pernah kalian perlihatkan kepada mereka di
malam hari.”
Kata-kata Kiai Gringsing itu
benar-benar membuat Kiai Damar dan kawan-kawannya menjadi sakit hati. Tetapi
mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih harus menghadapi lawan
masing-masing. Apalagi Kiai Damar yang merasa orang terkuat di antara mereka,
bersama dua orang kawannya, tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang
menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.
Dalam pada itu Agung Sedayu,
Swandaru, dan Kiai Gringsing melihat juga, betapa Sumangkar berusaha dengan
cermat untuk dapat mengimbangi lawan-lawannya. Ternyata Kiai Damar cukup
memiliki bekal untuk bertempur melawan Sumangkar, dibantu oleh dua orang
terkuat pula di antara mereka.
“Aku harus segera
menyelesaikannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati.
Demikianlah maka perkelahian
itu menjadi semakin seru. Kiai Damar berusaha semakin keras untuk dapat segera
mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat, ketiga kawannya yang bertempur
melawan Kiai Gringsing menjadi terdesak karenanya.
Karena usaha Kiai Damar tidak
segera dapat berhasil, maka ia pun kemudian mengambil jalan yang terakhir yang
dapat dilakukan. Dalam perkelahian yang sengit, tiba-tiba tangan kirinya telah
menggenggam sebilah keris pusakanya.
Sumangkar adalah orang yang
cukup berpengalaman. Karena itu ketika ia melihat keris Kiai Damar, maka ia pun
menjadi berdebar-debar karenanya. Keris yang berwarna kehitam-hitaman tanpa
memantulkan cahaya sama sekali itu tampaknya bagaikan wajah yang buram penuh
dengan kemurkaan dan dendam.
“Warangan keris itu pasti
mengandung racun yang kuat,” desis Sumangkar di dalam hatinya.
Dalam pada itu, sekilas
Sumangkar teringat kepada senjatanya yang dahsyat. Tongkat berkepala tengkorak
kecil yang berwarna kekuning-kuningan.
Namun yang ada padanya kini
adalah sepasang trisula itu. Apa pun yang dihadapinya, maka ia hanya dapat
mempergunakan sepasang trisula itu.
Ternyata, bukan saja Sumangkar
yang menjadi berdebar-debar melihat senjata itu. Kiai Gringsing yang juga
melihatnya, menjadi berdebar-debar juga. Seperti Sumangkar, ia pun segera
mengetahui bahaya senjata Kiai Damar itu pasti mengandung warangan yang sangat
tajam.
“Senjata itu sangat
berbahaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Apalagi Ki Sumangkar
harus menghadapi tiga orang lawan yang cukup tangguh.”
Karena itu, Kiai Gringsing
tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Tiba-tiba cambuknya menggelepar dan
sekaligus dua orang lawannya memekik kesakitan. Ketika cambuknya sekali lagi
meledak seorang di antara lawan-lawannya itu terlempar dan jatuh pingsan. Kedua
lawannya yang lain menjadi terkejut melihat akibat senjata yang dahsyat itu.
Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Selagi mereka termangu-mangu, maka
cambuk itu telah menghantam punggung keduanya hampir bersamaan. Sekali lagi
keduanya terdorong ke samping. Dengan susah payah mereka berusaha
mempertahankan keseimbangan mereka. Namun semua usaha itu sama sekali tidak
berarti. Dengan dahsyatnya Kiai Gringsing menekan lawannya tanpa memberi
kesempatan apa pun. Cambuknya terdengar meledak kembali, dan kedua orang
lawannya itu pun terlempar jatuh, dan keduanya menjadi pingsan pula.
Kini Kiai Gringsing telah
berdiri bebas. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam sambil melihat, bagaimana
Sumangkar dengan susah payah berusaha mempertahankan diri.
Melawan keris beracun itu
Sumangkar tidak dapat sekedar memperpanjang waktu dan menunggu lawan-lawannya
menjadi lelah. Untuk mengurangi tekanan lawan, maka ia pun kemudian harus
mengambil sikap yang dapat mempengaruhi jalan pertempuran itu.
Dengan sepasang trisula
kecilnya Sumangkar berusaha menyerang lawan-lawannya. Yang sebuah diputarnya di
atas kepalanya untuk mempertahankan jarak dari lawannya. Namun apabila
sekali-sekali senjata lawannya berhasil menyusup, maka dengan trisulanya yang
lain ia berusaha melindungi dirinya, terutama dari sentuhan ujung keris Kiai
Damar.
Sejenak, Sumangkar berhasil
merubah keadaan. Ia tidak lagi membiarkan dirinya terdesak, agar ia tidak
selalu dikejar oleh senjata beracun itu. Tetapi ialah yang kemudian memegang
peran di dalam gerak perkelahian itu, justru karena ia melihat bahaya yang
mengancamnya.
Namun demikian, keris Kiai
Damar benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap kali, hanya dengan susah
payah Sumangkar berhasil menghindar, menangkis dan kadang-kadang mendesak Kiai
Damar untuk meloncat surut. Tetapi di saat lain, bahaya yang sebenarnya
hampir-hampir saja menyentuhnya.
Kiai Gringsing tidak dapat
tinggal diam. Ia pun kemudian mendekati arena perkelahian Sumangkar sambil
berkata, “Kiai Dandang Wesi. Kenapa kau bertempur dengan ragu-ragu. Jangan
disesali seandainya terpaksa kau membunuh mereka. Mereka adalah orang-orang,
eh, hantu-hantu yang tidak menurut perintah rajanya di Alas Mentaok ini.”
Tidak terdengar jawaban sama
sekali. Tetapi semuanya menjadi jelas. Kiai Damar harus melepaskan dua orang
kawannya untuk melawan Truna Podang. Ia sendiri masih tetap bertempur
menghadapi Sumangkar dengan senjata pusakanya.
“Jangankan manusia, jin, peri
atau perayangan,” berkata Kiai Damar, “bahkan gunung akan runtuh dan lautan
akan kering tersentuh oleh pusakaku ini.”
Sumangkar tidak menjawab. Ia
sadar, betapa dahsyatnya kemampuan keris itu.
Namun yang menjawab adalah
Kiai Gringsing, “Gunung dan lautan tidak dapat berusaha menghindar atau
menangkis. Tetapi beda dengan Kiai Dandang Wesi. Itulah sebabnya, maka kau
dapat meruntuhkan perlawanannya dan mengeringkan darahnya.”
Demikianlah akhir dari
perkelahian itu segera menjadi jelas. Kiai Damar tidak sempat menjawab
kata-kata Kiai Gringsing, karena Sumangkar segera menyerangnya.
Tanpa dua orang kawan yang
membantunya, ternyata bahwa Kiai Damar tidak dapat mengimbangi kemampuan
Sumangkar, meskipun Kiai Damar mempergunakan pusakanya yang beracun itu. Ternyata
senjata Sumangkar di tangan orang yang cakap menggerakkannya, terlampau sulit
untuk ditembus.
Sejenak kemudian, segera
tampak bahwa Kiai Damar terdesak karenanya. Betapa pun orang itu berusaha,
namun Sumangkar adalah seorang tua yang cukup berpengalaman. Ia adalah seorang
yang disegani di Jipang hampir seperti Patih Mantahun sendiri.
Persoalan yang dihadapi ini
benar-benar tidak masuk perhitungan Kiai Damar. Dengan kawan-kawannya yang
lebih dari sepuluh orang itu ia merasa bahwa ia pasti akan segera dapat
menyelesaikan tugasnya. Ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menangkap Truna
Podang bersama dua anaknya.
Tetapi yang dihadapinya
ternyata jauh berbeda dari rencananya itu. Truna Podang ternyata memiliki
kemampuan yang luar biasa. Bahkan kedua anaknya tidak juga dapat dikalahkan
oleh masing-masing tiga orang kawan-kawannya yang terpilih.
“Siapakah mereka itu?”
pertanyaan itu telah mengganggu pikiran Kiai Damar.
Tetapi Kiai Damar sadar, ia
tidak boleh hanya sekedar berteka-teki. Ia harus membuat perhitungan yang
semasak-masaknya menghadapi keadaan ini. Dan Kiai Damar pun menyadari, bahwa ia
tidak boleh mengorbankan semua kawan-kawannya itu untuk suatu tugas yang
sia-sia. Tetapi Kiai Damar tidak juga dapat meninggalkan mereka hidup-hidup,
terutama orang-orang terpenting, karena mereka akan dapat memberikan keterangan
tentang keadaan mereka sendiri, meskipun Kiai Damar sendiri sadar, bahwa
orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak yang diketahui. Mereka hanya
tahu bahwa Kiai Damar adalah seorang dukun. Mereka tunduk pada perintahnya, dan
barangkali satu dua di antara mereka tahu, bahwa masih ada orang lain di
belakang Kiai Damar, namun mereka pasti tidak dapat mengatakan tentang orang
lain itu.
Kiai Damar menyadari
keadaannya itu sepenuhnya. Apalagi ketika ia mendengar sebuah keluhan yang
panjang. Seorang lagi kawannya yang melawan Kiai Gringsing terlempar ke
samping, kemudian jatuh berguling.
“Gila,” desis Kiai Damar. Dan
tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun segera mengambil keputusan. Mumpung
malam masih panjang. Ia masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu
menjelang pagi hari.
“Besok pagi kami akan
bertambah sulit. Para pengawas yang berhasil menerobos pengawasan dan sampai ke
pusat Tanah Mataram itu pasti akan kembali sambil membawa orang-orang baru.
Bersama tiga orang gila dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang
Wesi, maka sulitlah kiranya, untuk berbuat sesuatu di sini.”
Tetapi Kiai Damar tidak dapat
berbuat banyak. Rencananya untuk membinasakan tiga orang ini lebih dahulu, dan
kemudian orang-orang baru yang datang besok, ternyata tidak berhasil. Bahkan
beberapa orang-orangnya telah dilumpuhkan.
Maka sejenak kemudian
terjadilah sesuatu yang tidak terduga-duga itu. Kiai Damar yang tidak mau
bertempur lebih lama, tiba-tiba meloncat sambil bersuit nyaring. Tanpa menunggu
lagi, ditinggalkannya Ki Sumangkar.
Tetapi Kiai Damar tidak segera
meninggalkan arena. Ia sadar, bahwa kawan-kawannya pun tidak akan dengan mudah
melepaskan diri. Juga orang-orang yang melawan Kiai Gringsing, yang kini
tinggal seorang, dan yang sebenarnya sudah tidak berdaya sama sekali. Dua orang
yang mula-mula bersamanya melawan Sumangkar adalah orang-orang yang termasuk
penting di dalam lingkungannya. Kedua orang itu mengerti serba sedikit hubungan
yang lebih jauh di belakang Kiai Damar di dalam usahanya menguasai daerah yang
sedang dibuka. Tetapi agaknya usahanya masih jauh dari sasaran. Bahkan untuk
menyingkirkan tiga orang itu pun ia tidak berhasil.
Adalah mengejutkan sekali,
bahwa justru pada saat Kiai Damar meninggalkan arena, ia masih sempat meloncat
mendekati kedua kawannya di tanah, dan yang seorang yang melangkah surut
didesak oleh Kiai Gringsing.
Hampir tidak masuk akal, bahwa
Kiai Damar itu berlari sambil menggoreskan ujung kerisnya kepada kedua orang
itu. Yang mula-mula dilukainya adalah orang yang terbaring di tanah sambil
mengerang, kemudian sebuah goresan mengenai tangan kawannya yang justru sedang
bertempur melawan Kiai Gringsing.
Sementara itu, kawan-kawannya
yang lain pun, telah mencoba meninggalkan gelanggang. Tetapi kebanyakan dari
mereka tidak sempat melakukannya. Apalagi tiga orang yang melawan Swandaru.
Disaat terakhir, Swandaru telah mengerahkan segenap kemampuannya, ketika ia
mendengar Kiai Damar bersuit nyaring. Ia tahu benar maksudnya. Karena itu, maka
dengan sepenuh kemampuannya ia telah melumpuhkan tiga orang lawannya tanpa
ampun. Ledakan cambuknya telah mengenai leher, wajah dan yang seorang yang
sudah sempat melangkah lari, telah dijerat kakinya dengan ujung cambuk itu,
sehingga ia jatuh terjerembab. Sebelum ia sempat bangkit, maka ujung cambuk
Swandaru telah membuatnya pingsan.
Hanya seorang saja lawan Agung
Sedayu yang berhasil lolos. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu ketika ia mendengar
orang itu seakan-akan merintih mohon ampun. Kalau saja Agung Sedayu tidak
dibayangi oleh keragu-raguannya, ia sempat meraih sebutir batu dan melempar
punggung orang yang kemudian seakan-akan tenggelam di balik dedaunan. Tetapi,
tangannya serasa menjadi sangat berat, ketika ia mendengar orang itu
seakan-akan menangis.
Tetapi dua orang lawannya yang
lain telah terbaring di tanah. Yang seorang pingsan sedang yang lain merintih,
kesakitan karena lambungnya sobek oleh karah-karah besi cambuk Agung Sedayu.
Arena pertempuran itu menjadi
hening sejenak. Kiai Gringsing masih dicengkam oleh keheranan dan bahkan
terkejut melihat Kiai Damar, yang dengan keris pusakanya, telah melukai
kawan-kawannya sendiri, yang dua orang itu.
“Yang dua orang ini pasti
orang-orang penting,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Karena itu, sejenak kemudian
Kiai Gringsing menyadari, betapa pentingnya keterangan dari kedua orang itu,
kalau ia berhasil menyelamatkannya.
Tetapi kedua orang yang telah
dilukai oleh Kiai Damar itu bagaikan orang gila. Keduanya sama sekali tidak
menyangka, bahwa justru Kiai Damar sendirilah yang telah berusaha membunuhnya.
Karena itu, terbayang di wajah keduanya, perasaan marah, kecewa, penyesalan dan
dendam yang bercampur baur, sehingga mereka berteriak-teriak sambil
berguling-guling tidak menentu. Meskipun tubuh mereka menjadi lemah dengan
cepatnya, namun seakan-akan mereka tidak mau menerima kenyataan itu.
“Kiai Damar, tunggu, tunggu
aku,” teriak salah seorang dari mereka sambil meronta-ronta. Sebenarnya ia
masih dapat berlari meninggalkan arena kalau mendapat kesempatan. Tetapi
menurut perhitungan Kiai Damar, ia pasti tidak akan dapat lepas dari tangan
Kiai Gringsing yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Karena itu,
sambil berlari meninggalkan arena, ia masih sempat menggoreskan pusakanya. Bagi
Kiai Damar, kedua orang yang mengerti tentang keadaannya, dan beberapa macam
persoalan yang menyangkut tentang dirinya, lebih baik dimusnahkan, apabila
memang tidak ada harapan untuk diselamatkan. Sedang orang-orang lain adalah pengikut-pengikut
kecil yang hampir tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya di dalam
lingkungan mereka. Seandainya ada juga yang mengerti, maka keterangan mereka
tidak akan cukup banyak.
Kiai Gringsing, Sumangkar,
Agung Sedayu, dan Swandaru memandang kedua orang yang sedang diraba oleh maut
itu dengan hati yang berdebar-debar.
Mereka melihat suatu
pergulatan yang dahsyat antara kenyataan dan pemberontakan di dalam diri
mereka.
“Marilah, kita mencoba
menolong mereka,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan
kepalanya.
“Cobalah, tahan tubuhnya, agar
ia tidak meronta-ronta. Aku akan berusaha mengobatinya.”
Sumangkar pun kemudian
melangkah mendekati salah seorang dari mereka. Yang seorang itu agaknya masih
cukup mempunyai kekuatan untuk bertahan seandainya ia sempat ditolong. Tetapi
karena ia selalu meronta-ronta maka racun warangan keris itu seakan-akan telah
dipercepat menjalari seluruh tubuhnya.
Dengan hati-hati Sumangkar
mendekatinya. Kemudian dengan cepatnya ia menerkam kedua tangannya dan memeganginya
erat-erat.
“Inilah lukanya,” berkata
Sumangkar sambil menahan tubuh orang itu.
Tetapi ia masih tetap
meronta-ronta. Sambil berteriak ia berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi
tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Keringat dingin mengalir seperti terperas
dari tubuh itu.
Dengan tergesa-gesa Kiai
Gringsing mengambil serbuk obat dari bumbung kecilnya. Dengan susah payah
ditaburkan serbuk itu di atas luka di tangannya. Namun demikian, Kiai Gringsing
sudah tidak berpengharapan lagi. Luka itu cukup dalam, sehingga racun yang
menyusup ke dalam darah pun dengan cepatnya menjalar ke seluruh tubuh, dan
mencengkam jantung.
Kiai Gringsing masih mendengar
orang itu berteriak mengumpat. Tetapi suaranya yang parau seakan-akan hilang di
tenggorokan. Namun semua orang masih sempat mendengar orang itu mencaci maki
Kiai Damar yang telah membunuhnya.
Sejenak kemudian ia pun
terdiam. Obat Kiai Gringsing yang sudah mulai bekerja tidak berhasil
menolongnya. Sejenak kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ketika tiba-tiba ia teringat pada orang yang satu lagi, ia pun
segera bangkit pula. Tetapi keadaan orang itu agaknya lebih buruk lagi dari
kawannya. Sebelum Kiai Gringsing berbuat sesuatu, ia pun telah meninggal pula.
Tubuhnya yang memang sudah terlampau lemah, sama sekali tidak mempunyai daya
tahan yang cukup untuk menahan arus racun dari lukanya keseluruh tubuhnya dan
menghentikan detak jantungnya.
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi ngeri melihat peristiwa itu. Alangkah kejamnya. Mereka dengan hati yang
dingin membunuh kawan-kawan sendiri apabila sudah tidak diperlukan lagi, atau
dianggap berbahaya bagi mereka.
Sumangkar pun
menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Mengerikan
sekali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia melangkah mendekati
orang-orang lain yang masih terbaring di tanah. Beberapa orang sudah mulai
sadar, akan tetapi tubuh mereka terasa sama sekali tidak bertenaga.
Dari dua belas orang yang
datang ke barak itu, dua di antara mereka sempat melarikan dirinya, yang dua
terbunuh oleh kawannya sendiri, sedang yang lain sudah tidak mempunyai
kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Seorang lawan Swandaru ternyata luka
sangat berat dan mengancam jiwanya. Demikian juga seorang lawan Agung Sedayu
yang luka di lambung meskipun ia tidak pingsan. Sedang lawan-lawan Kiai
Gringsing yang pingsan justru tidak berbahaya bagi jiwa mereka.
“Marilah, kita bawa mereka ke
barak,” berkata Kiai Gringsing.
Sumangkar menganggukkan
kepalanya.
Kemudian bertiga bersama Agung
Sedayu dan Swandaru, Sumangkar mengusung orang-orang yang terluka. Sedang Kiai
Gringsing tetap mengawasi keadaan, apabila ada perkembangan baru yang
mencemaskan.
Satu demi satu mereka
diletakkan di serambi. Sedang orang-orang yang ada di serambi itu menjadi
ketakutan dan menyibak karenanya.
“Jangan takut,” berkata Agung
Sedayu, “mereka tidak akan berbuat apa-apa.”
Tidak ada seorang pun yang
menyahut. Tetapi tatapan mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang
tiada taranya.
Akhirnya, semuanya telah
terbaring di serambi barak. Kiai Gringsing pun telah berada di serambi itu
pula. Satu demi satu luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang luka
parah.
Orang-orang di serambi barak
yang melihat orang-orang itu terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani
juga mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang berjongkok di belakang
Agung Sedayu bertanya lirih, “Siapakah mereka itu?”
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
Swandaru telah mendahului menyahut, “Coba katakan, siapakah mereka menurut
dugaanmu.”
Orang itu tidak segera
menyahut. Dipandanginya Swandaru yang berwajah bulat itu meskipun kini agak
susut.
“Tebaklah.”
Orang itu ragu-ragu. Namun
kemudian ia menjawab, “Orang itu adalah korban dari hantu-hantu yang marah
itu.”
“He, bukankah ia marah kepada
kita di sini?”
“Tetapi orang-orang itu
dibawanya dari barak-barak yang lain di tempat yang lain.”
“Coba terka, ke mana mereka,
maksudku hantu-hantu itu sekarang pergi.”
Orang itu tidak dapat
menjawab. Sementara orang-orang lain yang mendengar pembicaraan itu semuanya
memandang Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.
“Ke mana? Coba terka ke mana
perginya hantu-hantu itu?”
Tidak ada seorang pun yang
menjawab.
Akhirnya Swandaru itu berkata,
“Inilah hantu-hantu itu. Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka
pulalah yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak yang dilekati
kunang-kunang atau kuda yang diberi kerincing dikakinya dan dilekati
kunang-kunang pula di bagian-bagian tubuhnya.”
Sejenak orang-orang di serambi
barak itu terpaku diam. Namun kemudian salah seorang berkata, “Tetapi, ada di
antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu.”
Swandaru mengerutkan keningnya
sejenak. Tiba-tiba ia berlari menghambur ke belakang barak itu. Sejenak
kemudian ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di ujung tongkat itu
ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di belakang barak itu.
“Inilah hantu itu. Apakah
kalian percaya?” bertanya Swandaru kepada mereka. “Lihatlah, betapa menakutkan
hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat, kain yang tersangkut
di leher Ki Sumangkar itu. Itu-lah kerudung hantu-hantu itu. Kami telah
terlibat dalam perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas Mentaok.
Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba menakut-nakuti
kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantu-hantu itu benar-benar menakutkan?
Hantu-hantu itu sekarang sudah tidak berdaya sama sekali.”
Beberapa orang saling
berpandangan sejenak.
“Cobalah. Sentuhlah kakinya
atau tangannya. Kalian akan merasa bahwa kalian sama sekali tidak bersentuhan
dengan hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan kulitnya dan denyut
nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan karena itu tubuhnya sama sekali tidak
mempunyai panas sama sekali.”
Beberapa orang masih tetap
ragu-ragu. Tetapi seorang yang masih muda merayap maju. Meskipun ragu-ragu juga
tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan.
Tetapi ketika orang yang
terbaring dihadapannya itu menggeliat, ia meloncat mundur.
“Jangan takut.”
Orang-orang yang terbaring
karena luka-lukanya itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka merasa bahwa
berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan tajamnya, penuh kebencian
dan penuh dendam. Apabila mereka sadar, bahwa yang dihadapinya itu adalah
orang-orang yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan dapat
membahayakan.
“Sentuhlah,” desis Swandaru.
Sekali lagi orang itu
mengulurkan tangannya. Kali ini ia memaksa dirinya sehingga akhirnya ia
menyentuh tangan orang yang sedang terbaring karena lukanya.
“Nah, apa katamu.”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Kemudian sekali lagi ia menyentuhnya. Bahkan kemudian tiba-tiba ia mencengkam
tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya sambil menggeram, “Jadi
kau yang menjadi hantu jadi-jadian itu, he.”
Hampir saja orang itu meremas
wajah orang yang sedang terluka itu. Namun Swandaru yang berdiri di sampingnya
dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata, “Hantu-hantu itu sudah
menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan dia. Biarlah ia menikmati luka-lukanya.
Kalau luka-luka itu sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya. Mungkin kita
memerlukannya.”
Orang yang hampir saja
mencengkam wajah orang yang terluka itu terpaksa melepaskannya. Tetapi
tiba-tiba ia berkata, “He, orang-orang yang tinggal di barak ini, yang selama
ini telah dibayangi oleh ketakutan terhadap hantu-hantu. Sekarang kita sudah
berhadapan dengan mereka, sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan
terhadap mereka.”
“Itu pasti akan mereka akui.
Baiklah mereka akan kita serahkan saja kepada para petugas yang besok akan
datang.”
“Tidak. Mereka tidak akan kita
serahkan kepada orang lain. Mereka akan kami adili di sini. Kamilah yang akan
menjatuhkan hukuman kepada mereka.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Ia melihat beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan orang-orang
yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di muka pintu.”
“Ya, serahkan kepada kami.
Serahkan kepada kami.”
Sejenak kemudian suasana
menjadi semakin tegang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Kiai Gringsing dan
Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan Kiai Gringsing berbisik
ditelinga muridnya, “Pertahankan. Pertahankan orang-orang itu.”
Agung Sedayu menjadi semakin
mantap. Namun sebelum ia berkata lagi, terdengar suara di ambang pintu, “Kalian
tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin pengawas di sini.
Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku akan menyerahkan mereka kepada
atasanku.”
Kini semua orang memandang
kepada pemimpin pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri bersandar tiang
pintu.
Sejenak orang-orang itu
terdiam. Mereka memandang pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu
agaknya sulit mengendalikan diri. Salah seorang dari mereka berteriak, “Kami
tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami akan mengadilinya sendiri.”
“Itu tidak mungkin.
Orang-orang itu akan dibawa ke Mataram. Kita semuanya sangat memerlukan mereka.
Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya.”
“Aku tidak peduli.”
“Ya, kami tidak peduli,” sahut
yang lain. Dan yang lain berteriak, “Bunuh saja. Mereka membuat kita malu dan
muak.”
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu, ia tidak melihat
Swandaru.
“Kemanakah anak ini pergi?” ia
bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Sumangkar pun
bertanya-tanya pula di dalam hati.
“Tidak apa,” terdengar suara
Agung Sedayu, “kalian tidak akan berbuat apa-apa.”
“Tetapi mereka telah
menakut-nakuti kami untuk waktu yang cukup lama sehingga kami telah kehilangan
banyak sekali kawan dan kehilangan banyak waktu.”
“Tetapi kalian tidak akan
berbuat apa-apa.”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan orang yang terbaring itu
berganti-ganti.
Namun dalam pada itu terkilas
dikepalanya, ketakutan yang selama ini telah merusak semua usaha orang-orang di
dalam barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat mencari tempat baru
karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat mereka yang lama. Kemudian
beberapa orang yang lain tidak lagi berani keluar dari baraknya sehingga lebih
baik bekerja saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan yang telah mengungkat
kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau dikenangnya, bagaimana ia
bersembunyi di balik selimut apabila terdengar suara gemerincing dan derap
kaki-kaki kuda.
Karena itu, dengan wajah yang
kemudian menjadi merah padam ia berkata, “Orang-orang ini telah membuat kami di
sini mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu, serahkanlah mereka kepada
kami. Kami akan mengadili mereka dengan cara kami.”
Permintaan itu telah
mengguncangkan jantung orang-orang yang sedang terbaring diam karena luka-luka
mereka. Tetapi yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba
mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak menyenangkan sekali jatuh
ditangan orang-orang yang sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama
ditekan.
Beberapa orang merasa, lebih
baik lari atau melawan dan kemudian mati di dalam perlawanan itu apabila tidak
berhasil lolos sama sekali, daripada menjadi permainan.
Tetapi Agung Sedayulah yang
menjawab, “Sebaiknya kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya.
Mereka sudah tidak akan dapat menakut-nakuti kalian lagi.”
“Tetapi mereka pernah
melakukannya. Mereka pernah membuat hati kita kecut sehingga kami kehilangan
gairah untuk berbuat sesuatu.”
Namun mereka tidak sempat
mencari anak yang gemuk itu. Mereka kini benar-benar dicengkam oleh kecemasan,
bahwa orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.
“Kalian jangan melindungi
mereka,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak. Seorang yang bertubuh
besar meskipun agak pendek berdiri di sudut serambi. “Akulah yang akan
membunuhnya. Aku telah banyak sekali dikecewakan oleh orang-orang gila itu. Aku
sudah meninggalkan gubug yang sudah aku bangun itu untuk beberapa saat dan
tidur berjejal-jejal di sini.”
“Kenapa kau berbuat begitu?”
bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.
“Orang-orang itulah yang telah
menakut-nakuti kami.”
“Salahmu sendiri bahwa kau
menjadi takut.”
“Kalau aku tidak takut, mereka
akan membunuh aku.”
“Dan kau, kau, kau dan yang
lain lagi, sama sekali tidak berani melawan, kalian hanya berani bersembunyi.
Bahkan menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha membongkar kejahatan
ini. Sekarang, kalian akan memaksa kami menyerahkan mereka kepada kalian,”
jawab Agung Sedayu, “tentu kami tidak mau. Misalnya orang berburu, kamilah yang
mendapat binatang buruan. Terserah kepada kami, apa yang akan kami lakukan.”
“Tepat,” sahut pemimpin
pengawas.
Keadaan menjadi hening
sejenak, meskipun wajah-wajah menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian
meledaklah perasaan yang selama ini tertekan, “Kami tidak peduli. Kami
memerlukan mereka. Kami akan mencincang mereka di halaman. Siapa yang
melindungi, akan kami sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara mereka di
halaman.”
“Ya, ambil saja dengan paksa.”
“Bunuh saja.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Orang-orang itu bagaikan orang yang kehilangan kesadaran. Kalau satu dua orang
di antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka keadaan akan menjadi
kacau. Mereka tidak ubahnya dengan orang-orang yang sakit ingatan, yang sama
sekali tidak dapat mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, di
dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat kehilangan dirinya sendiri.
Seseorang akan dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada
disekitarnya tanpa memikirkan akibatnya.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
pun menjadi berdebar-debar pula. Seperti Agung Sedayu, mereka tidak segera
mengerti, apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang pemimpin pengawas yang
berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung pula. Apalagi pemimpin pengawas itu
menyadari, betapa pentingnya keterangan-keterangan yang dapat didengar dari
hantu-hantu yang kini sudah tidak berdaya itu.
“He, kenapa kita menunggu?”
bertanya orang yang bertubuh besar dan pendek.
“Ya, apa yang kita tunggu.
Ambil saja mereka semuanya, Kita cincang bersama-sama.”
“Kalian tidak akan dapat
mengambil mereka,” berkata Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya. “Aku sudah
bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok ini. Sebagian dari
mereka lari, dan sebagian dapat kami tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak
dapat mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara kalian yang
jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan mencincang mereka dan orang yang
melindunginya sama sekali. Akulah yang melindungi mereka.”
Sejenak orang-orang itu
terbungkam. Tetapi suasana yang panas itu menjadi semakin panas ketika
seseorang berkata, “Jumlah kita lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka
tidak akan dapat menahan arus kemarahan kita.”
“Kita paksa anak itu.”
“Kami bersenjata,” geram Agung
Sedayu.
Sekali lagi orang-orang itu
terdiam. Namun kemudian seseorang berkata, “Tidak peduli. Tangkap mereka.”
Ketika Agung Sedayu melihat
sorot mata mereka yang marah, harapannya untuk dapat menahan arus kemarahan
mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya bersama guru dan Sumangkar,
untuk melayani orang-orang yang tidak bersenjata itu. Orang-orang bingung yang
tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia bersama gurunya dan
Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya akan sangat parah bagi orang-orang
itu. Tetapi kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka hantu-hantu Alas Mentaok itu
akan menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber keterangan meskipun
sedikit.
Sebelum Agung Sedayu berbuat
sesuatu, maka ia sudah melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi
semakin berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri serentak.
“Bagaimana, Guru,” desis Agung
Sedayu.
Kiai Gringsing tidak juga
segera menjawab. Seperti Sumangkar ia pun menjadi kebingungan. Apakah yang
sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan kekerasan, maka akibatnya
sama sekali tidak dikehendakinya. Selama ini ia berbuat sesuatu, yang dapat
membahayakan jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi kini
orang-orang itu justru marah kepadanya.
Sebelum Kiai Gringsing
menemukan cara yang sebaik-baiknya, maka meledaklah kemarahan orang-orang di
dalam barak itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil berteriak,
“Ambil, ambil saja.”
“Tidak,” tiba-tiba Agung
Sedayu berteriak untuk mengatasi suara riuh mereka. Dan hampir berbareng dengan
itu, orang-orang yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba pula telah
mencoba bangkit pula perlahan-lahan.
Ternyata beberapa orang yang
bergerak-gerak, dan kemudian duduk di serambi sambil menyeringai itu
berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri dengan
terhuyung-huyung.
Agung Sedayu melihat gelagat
itu. Karena itu, maka ia berkata, “Mereka tidak rela menyerahkan diri mereka
kepada kalian. Ternyata salah seorang dari mereka telah bangkit berdiri.
Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak tahu apa yang akan mereka
lakukan.”
Serambi itu menjadi hening.
Agung Sedayu melihat sorot
mata keragu-raguan di setiap wajah. Orang-orang di barak itu sejenak memandang
Agung Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu sesosok tubuh yang
kemudian berdiri meskipun pakaiannya telah bernoda darah.
Tetapi selagi mereka
ragu-ragu, salah seorang berkata lantang, “Kenapa kita ragu-ragu, kenapa?
Mereka sudah tidak berdaya. Orang-orang yang melindungi mereka itu pun juga
tidak berdaya.”
“Ya, mereka sudah tidak
berdaya.”
“Mereka sudah tidak akan dapat
melawan. Cepat, cincang saja…”
Sekali lagi orang-orang di
dalam barak itu mulai bergerak. Agung Sedayu yang kebingungan, tiba-tiba saja
telah menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang memekakkan telinga
telah menyobek malam yang panas.
Kejutan suara cambuk Agung
Sedayu memang membuat mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut.
Mereka masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih sangat lemah itu.
Agung Sedayu benar-benar telah
kehabisan akal. Gurunya dan Sumangkar pun masih belum menemukan jalan sama
sekali.
Namun selagi suasana memanjat
menjadi semakin panas, tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba
mereka mendengar suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat. Suara
gemerincing seperti yang selalu mereka dengar selama ini. Suara hantu-hantu
dari Alas Mentaok.
Tiba-tiba terasa bulu kuduk
orang-orang yang sedang marah itu meremang. Semakin keras suara itu, mereka pun
menjadi semakin berkerut.
“Hantu-hantu yang lain telah
datang lagi,” desis Agung Sedayu.
Serambi barak yang hampir saja
direnggut oleh udara maut itu tiba-tiba menjadi hening. Namun terasa setiap
dada menjadi tegang.
Beberapa orang yang semula
berdiri dengan garangnya, tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut
berdesakan. Beberapa orang segera membaringkan dirinya dan berselimut kain
sampai ke ujung kepalanya. Sedang beberapa orang yang lain membeku di
tempatnya.
“Hantu-hantu itu datang lagi,”
sekali lagi Agung Sedayu berdesis, “kali ini pasti lebih banyak. Mereka pasti
akan mengambil kawan-kawannya yang sudah kamanungsan, dan membuat mereka
menjadi hantu kembali.”
Orang-orang yang mendengar
kata-kata Agung Sedayu menjadi semakin kecut. Kini mereka telah kehilangan
segala kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan kesadaran.
Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir mereka bergetar.
“Nah, siapakah yang masih akan
mencincang hantu-hantu ini,” bertanya Agung Sedayu. “Tetapi jelas bukan aku,
bukan ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo, siapa?”
Tidak ada seorang pun yang
berani menyahut.
“Tetapi hantu-hantu yang
kamanungsan itu pasti dapat bercerita, siapakah yang akan mencincang mereka apabila
kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang barangkali tidak akan terlawan
lagi oleh kami.”
Setiap dada serasa hampir
retak oleh ketakutan yang bergejolak. Apalagi ketika suara gemerincing itu
menjadi semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.
“He, kenapa kalian bersembunyi
di balik selimut?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah kalian sudah kehilangan
kegarangan kalian? Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk mereka yang akan
melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan itu. Sekarang kawan-kawan mereka
pasti akan melindungi dan membuat mereka kembali ke dalam dunia mereka. Dunia
hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju kalian dan mencincang
hantu-hantu yang lain itu.”
Sama sekali tidak ada jawaban.
Tetapi serasa darah orang-orang di serambi itu sudah tidak mengalir lagi.
Tiba-tiba mereka mendengar
Agung Sedayu menahan suara tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat,
sehingga tiba-tiba meledaklah suara tertawanya berkepanjangan.
Tetapi bagi orang-orang yang
ketakutan itu, suara tertawa Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah
berpuluh-puluh hantu telah tertawa bersama-sama melihat bakal korban mereka
telah meringkuk di bawah kain panjang masing-masing.
“He, lihat. Lihatlah, siapa
aku,” teriak Swandaru yang membawa sebatang tongkat yang digantungi beberapa
kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas tanah, maka terdengar
suara gemerincing dari beberapa buah kerincing yang bergantungan pada tongkat
itu.
Tetapi tidak seorang pun yang
berani membuka kerudung kain panjang mereka yang menutupi kepala. Baik mereka
yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja mereka sempat, atau
mereka yang masih tidak sempat berbaring dan duduk memeluk lututnya,
membenamkan kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain panjang.
“Lihat aku,” teriak Swandaru
sambil mengguncang guncang tongkatnya. Bahkan kemudian tongkatnya telah
dihentak-hentakkan di atas beberapa kepala yang tersembunyi.
“Buka selimutmu, lihat aku.”
Tetapi tidak ada seorang pun
yang berani. Bahkan ketika ujung tongkat itu menyentuh seseorang, maka orang
itu pun segera jatuh pingsan. Orang itu merasa, seolah-olah ujung jari mautlah
yang telah merabanya.
Swandaru akhirnya menjadi
jengkel. Karena tidak ada seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya
terjulur dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang menyelimuti
orang-orang yang ketakutan.
Satu dua di antara mereka
masih tetap menyembunyikan wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling
dan pingsan pula.
Namun demikian ada juga satu
dua orang yang dengan terpaksa sekali melihat tongkat yang diacu-acukan
Swandaru. Sesaat ia tidak percaya kepada penglihatannya. Namun sambil
menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu berusaha melihat dari sela-sela
lingkaran tangan mereka.
Dan yang mereka lihat memang
Swandaru mengguncang-guncang sebatang tongkat yang digayuti oleh beberapa buah
kerincing.
Dengan ragu-ragu satu dua
orang mengangkat wajah mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah.
Anak Truna Podang yang gemuk itulah yang bermain-main dengan kerincing.
Tiba-tiba seseorang di antara
mereka bertanya, “Apakah kau anak Truna Podang?”
“Siapa, siapa aku. Coba tebak?
Apakah kau sangka aku sesosok hantu yang membentuk diriku seperti anak Truna
Podang?”
“Tetapi?” orang itu ragu-ragu.
“Akulah yang sejak tadi
bermain dengan kerincing-kerincing ini. Apakah kalian tahu maksudku?”
Tidak ada yang menjawab.
Meskipun demikian satu dua orang kini telah membuka kerudung mereka meskipun
dengan ragu-ragu.
“Aku ingin melihat, apakah
benar-benar kalian orang-orang jantan. Kalian berniat ingin mengadili
orang-orang yang terluka itu. Tetapi apakah kalian benar-benar berhak?”
Sejenak suasana menjadi sepi.
Beberapa orang yang telah berani membuka kerudung mereka saling berpandangan.
Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah bangkit dan duduk
termangu-mangu.
Mula-mula mereka sama sekali
tidak tahu, bagaimana menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja
Swandaru yang berdiri sambil memegangi tongkat yang digantungi
kerincing-kerincing itu.
Namun sejenak kemudian orang
yang besar agak pendek itulah yang berteriak untuk pertama kali, “He anak gila.
Kau telah mempermainkan aku, mempermainkan kami.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Sebelum ia menyahut orang yang lain telah berteriak pula, “Ya. Kau
mempermainkan kami.”
“Apa maksudmu mempermainkan
kami?” bertanya yang lain.
Dan tiba-tiba orang yang
pendek itu berkata, “Kalian memang orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi
kami, bahwa kami selama ini telah dipermainkan orang. Bahkan selagi kami
dicengkam oleh ketegangan kali ini pun ada juga orang yang mempermainkan kami.
Sekarang kami akan menuntut balas. Kami akan memuaskan hati kami yang selama
ini tertekan.”
Suasana di serambi barak itu
menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba semua orang telah dikejutkan oleh suara
tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada orang yang pendek itu ia
berkata, “He, kenapa kau dapat dipermainkan orang? Kenapa? Apalagi untuk waktu
yang lama?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahului, “Karena kau penakut.
Semua orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih menghormati
seorang penakut yang merasa dirinya penakut. Tetapi kau tidak. Kau adalah
seorang penakut, tetapi juga pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau
sembunyi di bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi
orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang seperti seorang
pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu? Kejantanan bukan berarti berani membunuh
orang-orang tidak berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik
lawan-lawan yang memang sudah hampir mati.”
Dan Agung Sedayu pun
menyambung, “Bukan pula semata-mata karena kita berani bertempur dan berani
mati. Tetapi kejantanan juga mengandung segi-segi perikemanusiaan dan pengakuan
terhadap kenyataan. Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan
semata-mata yang menyandang pedang di peperangan, yang membunuh musuh dengan
ujung senjata dan membelah dada lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat
kesatria adalah ngabehi. Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria
jantan bukan saja berjiwa seluas lautan yang mampu menampung semua persoalan
dan selapang langit yang menyerap semua masalah dengan kesabaran.”
Sejenak serambi itu menjadi
sepi. Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menundukkan
kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang mendengarkannya dengan
sentuhan-sentuhan di dalam hati. Bahkan Swandaru pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata Agung Sedayu itu
dengan kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia bahkan ikut mencoba memahami
kata-kata Agung Sedayu itu.
Tanpa sesadarnya Swandaru
berpaling, memandang wajah gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya.
Orang tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan membenarkan
kata-kata Agung Sedayu itu.
“Untunglah, aku belum
mengatakannya,” desis Swandaru di dalam hati. Hampir saja ia mengatakan, “Bahwa
seseorang yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan dadanya. Yang
berani bertempur seorang lawan seorang dalam keadaan yang seimbang. Bukan
melawan orang-orang sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh musuhnya
berhadapan.”
“Itu hanya sebagian saja,”
Swandaru mengangguk-angguk sendiri oleh kata-katanya di dalam hatinya itu.
“Agaknya apa yang akan aku katakan memang kurang lengkap.”
Orang-orang di serambi barak
itu mematung sejenak. Kata-kata Agung Sedayu agaknya benar-benar telah menusuk
langsung ke pusat jantung.
“Nah,” berkata Agung Sedayu
kemudian, “sekarang cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan
apa yang sekarang kalian hadapi. Kalau memang menurut pertimbangan kalian,
orang-orang jantan yang bersifat kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya
ini harus dibunuh atau dicincang, demikian pula orang-orang yang kalian anggap
melindungi mereka, maka aku akan mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama
ini telah mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti kelinci
mendengar gonggong anjing liar di hutan-hutan.”
Tidak ada seorang pun yang
menyahut.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
yang berdiri di sebelah Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya
muridnya yang tua ini memiliki ketajaman sikap menghadapi ketegangan yang sudah
memuncak, meskipun agaknya Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya
sendiri. Tetapi Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat dari keduanya.
Keduanya mempunyai kelebihan masing-masing tetapi juga kekurangan
masing-masing.
Karena tidak seorang pun yang
berkata sepatah kata pun, maka Agung Sedayu meneruskan, “Sekarang, bagaimana?
Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian.”
Tidak ada seorang pun yang
menjawab.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada yang rendah, “Baiklah. Terserahlah
kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya, silahkan, sekarang juga.
Kalau tidak, aku silahkan kalian kembali ke tempat kalian masing-masing.
Sebentar lagi fajar akan datang. Kalau masalah ini tidak segera kita
selesaikan, maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi matahari
telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para pengawas dari pusat Tanah
Mataram. Apabila utusan kita sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali besok
pagi.”
Sejenak Agung Sedayu menunggu,
karena tidak ada yang bergerak sekali lagi ia berkata, “Apa pun yang akan
terjadi, lakukanlah sekarang. Cepat.”
Tetapi tidak seorang pun yang
segera beranjak dari tempatnya. Apakah mereka akan meninggalkan tempat itu dan
kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan melakukan niatnya, membalas
sakit hati setelah sekian lama mereka merasa dipermainkan.
Karena itu sekali lagi Agung
Sedayu berkata agak keras, “He, kenapa kalian hanya berdiam diri dengan mulut
ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya kami dapat mengambil sikap. Apa yang akan
kalian lakukan, lakukanlah. Sesegera, sebelum kami membuat keputusan baru.
Bergeraklah. Membalas dendam atau kembali ke tempat masing-masing.”
Ketika Agung Sedayu melihat
beberapa orang yang kemudian bergerak, ia pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak
tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan.
Tetapi ketika orang-orang itu
mulai berdiri dengan kepala tunduk, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.
Agaknya orang-orang itu menyadari diri mereka, dan perlahan-lahan mereka
berjalan ke tempat masing-masing.
Kiai Gringsing, Sumangkar, dan
Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Sejenak mereka
saling berpandangan.
Swandaru yang masih memegang
tongkat berkerincing itu kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orang-orang
bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan. Kemudian sambil menarik
nafas dalam-dalam ia berdesis, “Benda-benda macam inilah yang telah membuat
kalian selama ini kehilangan kepribadian, kehilangan kesempatan dan bahkan
seakan-akan telah kehilangan harapan. Sebenarnya benda ini adalah benda yang
sederhana sekali. Tongkat yang digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah
tengkorak dan kerudung hitam. Mungkin juga seekor atau dua ekor kuda.
Selebihnya, yang paling menakutkan adalah hati kalian sendiri. Kalian
sendirilah yang membuat benda-benda sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas
Mentaok.”
Tidak ada yang menyahut.
Tetapi kata-kata yang dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu ternyata mampu
juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu. Sebenarnyalah bahwa
yang paling menakutkan bagi mereka adalah hati mereka sendiri.
Bayangan-bayangan yang mengerikan yang mereka buat sendiri.
Sejenak kemudian, orang-orang
di serambi itu telah duduk di tempat masing-masing. Orang-orang yang berdesakan
di pintu pun telah duduk pula di dalam sambil menekurkan kepala mereka.
Pengawas yang masih bersandar
pintu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berjalan
berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian ditepuknya bahunya sambil
berkata, “Kau berhasil, Anak Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila
orang-orang yang bodoh ini berkeras kepala, dan kalian bertahan untuk
mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian kepada para pengawas apabila mereka
datang. Aku sudah membayangkan, apabila terjadi benturan yang tidak dapat
dihindarkan, korban pasti akan bertambah. Ujung cambuk kalian yang seperti
mempunyai mata itu, benar-benar sangat berbahaya.”
Agung Sedayu tersenyum sambil
menyahut, “Terima kasih. Pujian itu terlampau berlebih-lebihan.”
“Aku berkata sebenarnya.”
Agung Sedayu tidak menyahut
lagi. Ia memandang orang yang terakhir duduk di tempatnya. Kemudian menundukkan
kepalanya.
“Mereka telah kembali ke
tempat masing-masing,” berkata pemimpin pengawas itu.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada orang itu, “Terima
kasih. Kalian ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di dalam
barak ini. Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka ini dapat beristirahat
dengan tenang, tugas kami di sini tinggal mengawasi. Kami minta bantuan kalian,
agar kalian ikut serta menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang
dapat lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para pengawas yang akan
datang dari pusat pemerintahan Mataram.”
Orang-orang itu masih
menundukkan kepala mereka.
“Nah, baiklah. Kita anggap
semua persoalan kini sudah selesai. Persoalan berikutnya adalah persoalan para
petugas dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini.”
Orang-orang itu masih
menundukkan kepalanya,
“Sekarang, apabila masih
sempat, silahkan beristirahat. Kalian dapat tidur nyenyak menghabiskan malam
yang tinggal sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami akan minta bantuan
kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di belakang barak ini.”
“Mayat?” orang-orang itu
bertanya di dalam hatinya.
Meskipun pertanyaan itu tidak
diucapkan, Agung Sedayu menangkap sorot mata mereka, katanya, “Ya, dua sosok
mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan dengan demikian akan
semakin jelas bagi kalian, bahwa sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri
dari daging dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas Mentaok
seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku berkerudung sambil membawa
tengkorak yang dilekati dengan kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan
ketakutan, karena seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang
dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan pasti, sehingga
kalian tidak akan takut lagi mendengar suara gemerincing, suara derap kaki kuda,
dari melihat di dalam gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala tengkorak.
Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di hadapan kalian karena
luka-luka mereka.”
Orang-orang di dalam barak itu
merasa diri mereka semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah mengucapkan
janji, bahwa mereka tidak akan terperosok untuk kedua kalinya ke dalam keadaan
yang memalukan itu. Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan siapa pun
juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan itu seakan-akan telah
terbit kembali.
“Sudahlah, tidurlah,” berkata
Agung Sedayu kemudian.
Bersama dengan Swandaru, Kiai
Gringsing, Sumangkar, dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi dan duduk
bersandar dinding.
Tetapi ternyata mereka tidak
mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat. Langit di sebelah timur pun mulai
menjadi kemerah-merahah.
“Hampir pagi,” desis Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tidurlah kalau kau lelah. Masih ada
waktu sedikit sebelum matahari terbit.”
“Apakah Guru tidak
beristirahat?”
“Tidurlah kau berdua. Aku dan
pamanmu Sumangkar akan duduk di sini. Waktu yang sedikit ini menyimpan
bermacam-macam kemungkinan bagi barak ini.” Kiai Gringsing berhenti sejenak.
Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang berkerut-merut. Kemudian wajah Agung
Sedayu dan Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan, “Pagi ini akan dapat
menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saat-saat ini adalah saat-saat yang
mendebarkan. Kalau Kiai Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari
Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan mereka mempergunakan waktu
yang pendek ini sebaik-baiknya.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengerutkan keningnya, sedang pemimpin pengawas itu beringsut mendekat,
“Benarkah begitu?”
“Ini hanya suatu kemungkinan.
Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa mereka belum siap melakukan hal itu
dan menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita perhitungkan. Jika demikian
kita akan dapat beristirahat untuk beberapa hari. Mereka pasti memerlukan waktu
untuk mengetahui kekuatan para pengawas di daerah ini.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengharap bahwa setelah sembuh
aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini, meskipun karena selama ini
aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi tetua para pengawas. Aku puas apabila
aku dapat melihat akhir dari permainan yang gila itu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kau akan
tetap berada di sini. Kau adalah salah seorang yang telah mengenal daerah ini
sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan dan masa-masa yang paling pahit
di daerah ini.”
“Tetapi aku gagal mengatasi
kesulitan. Usaha perluasan tanah garapan di sini menjadi sangat mundur. Bahkan
aku pun telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan sekali. Aku sama
sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu itu, meskipun ternyata mereka sama
sekali tidak berbeda dengan kita yang berkulit dan daging.”
“Meskipun kau tahu akan hal
itu, tetapi memang sulit untuk melawan mereka. Ternyata jumlah mereka cukup
banyak. Hari ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira, di tempat
persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih banyak lagi.”
“Kita dapat bertanya kepada
orang-orang yang terluka itu.”
“Ya. Kita akan mendapatkan
beberapa keterangan dari mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau luka-luka
mereka telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat mendengarnya.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik, “Guru, apakah
tidak mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan di dapur itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, lalu, “Mungkin. Memang mungkin sekali.”
“Apakah yang dilakukan?”
bertanya Sumangkar.
“Mereka membunuh kawan mereka
sendiri sebelum melarikan diri. Maksudnya sudah jelas, agar kawannya tidak
dapat memberikan penjelasan.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya, dan Kiai Gringsing pun berkata, “Karena itu, kita akan mengawasi
mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu benar-benar datang, kita
akan mendapat banyak kawan untuk melakukannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya mudah-mudahan mereka benar-benar datang
besok.”
“Bagaimana kalau tidak?” desis
Swandaru,
“Kau yang akan menjaga mereka
sepanjang hari.”
“Kau?”
“Aku akan tidur.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun kemudian di sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil
memejamkan matanya, “Aku yang akan tidur lebih dahulu.”
Agung Sedayu memandanginya
sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Matahari
sudah akan terbit.”
Dalam pada itu, perlahan-lahan
langit menjadi semakin merah. Ternyata sampai saatnya pagi mulai memancar,
tidak terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya telah dapat
diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di siang hari pun ada, apalagi
setelah mereka tidak berhasil menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantu Alas
Mentaok. Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada menyatakan diri mereka
sewajarnya.
Meskipun demikian, suasana pagi
yang cerah telah membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi agak
mereda. Beberapa orang telah berani keluar dari dalam barak, mengambil air di
sumur. Apalagi karena Kiai Gringsing berkata kepada mereka, “Sekarang kalian
tahu, kalau kalian menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa seperti
kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita seorang penakut atau
bukan.”
Demikianlah perlahan-lahan
barak itu seakan-akan terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera
pergi ke barak yang lain untuk menenangkan ketegangan yang ada di dalam barak
itu. Meskipun tidak pasti bagi mereka, apakah yang terjadi, tetapi hati mereka
telah dicengkam olen kecemasan sepanjang malam.
Sumangkar dan Kiai Gringsing
bergantian pergi mengambil air untuk membersihkan diri. Mereka masih harus
mengawasi orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara mereka yang sudah
dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun lemah.
Ketika hari menjadi semakin
terang, orang-orang di dalam barak itu dengan diam-diam, memerlukan
memperhatikan orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka
hantu-hantu.
Ternyata mereka adalah
orang-orang biasa. Orang-orang yang mempunyai wadag seperti mereka sendiri.
Tangan, kaki, kepala, dan anggauta-anggauta badan yang lain.
Kadang-kadang terasa juga hati
mereka melonjak. Darah mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa
saja yang pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi mereka tidak berani
melanggar pesan Agung Sedayu, dan agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga
diri, untuk tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak
berdaya.
Ketika matahari sudah menjadi
semakin tinggi. Kiai Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru,
“Kedua mayat yang masih ada di belakang barak itu harus dikuburkan.”
“Adi Sumangkar,” berkata Kiai
Gringsing, “tunggulah di sini. Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku
akan mengubur kedua orang di belakang barak itu.”
Ki Sumangkar mengangguk sambil
menjawab, “Silahkan. Mudah-mudahan aku tidak tertidur.”
Mereka pun kemudian mengajak
beberapa orang untuk pergi ke belakang barak. Orang-orang yang ikut dengan Kiai
Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi
berdasarkan pendengaran mereka semalam dan bekas-bekas yang mereka jumpai kini,
terasa dada mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya perkelahian itu. Pohon-pohon
perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya bagaikan dibajak. Bahkan rerumputan
pun telah terungkat beserta akar-akarnya.
“Mengerikan sekali,” seorang
berdesis perlahan-lahan.
“Apa?” bertanya yang lain.
“Kau tidak melihat bekas
perkelahian ini?”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terasa juga bulu-bulu tengkuknya meremang.
Sejenak kemudian mereka pun
telah menemukan dua sosok mayat yang terbaring tidak berjauhan.
“Inilah mereka,” berkata
Swandaru. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh mayat itu menjadi
kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang menahan kesakitan yang amat
sangat. Kedua belah matanya terbuka dan jari-jarinya seolah-olah sedang
mencengkeram.
“Mengerikan sekali,” desis
Swandaru. “Tampaknya mereka telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak
terhingga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebenarnya, meskipun perasaan
sakit itu juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut, namun yang lebih
parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya menjelang tangan maut mencengkam
mereka. Mereka menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan sakit, karena
sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang penghabisan, mereka menyadari, bahwa
ternyata kawan mereka sendirilah yang telah membunuh mereka dengan semena-mena.
Itulah yang membuat mereka dihantui oleh sentuhan maut itu.”
Swandaru dan Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang pernah
menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini mereka masih juga
merasa ngeri. Terbayang dimata mereka, penderitaan yang tidak terhingga
menyertai kematian mereka.
“Racun itu bekerja dengan
sempurna,” desis Kiai Gringsing.
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri
pula. Penderitaan itu terlampau berat.
Demikianlah mereka kemudian
menyelenggarakan penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun juga mereka harus
memperlakukan mereka sebagai sesamanya.
Ketika semuanya sudah selesai,
maka orang-orang itu pun kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk di tangga
serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang kini masih berada di
serambi itu. Sebagian masih terbaring diam, sedang yang lain duduk bersandar
dinding sambil menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan setiap mata
memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan dan umpatan membayang di wajah-wajah
orang yang berada di sekitarnya.
Kiai Gringsing, Agung Sedayu,
dan Swandaru pun kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar dan
pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar dari lukanya itu.
Sementara itu sepasukan kecil
pengawal berkuda sedang berpacu melewati jalan-jalan kecil menuju ke hutan yang
sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu. Sebenarnya hampir di
semua daerah, tetapi yang didiami oleh Ki Truna Pedang itulah yang seakan-akan
merupakan letusan yang paling keras, sehingga perhatian Mataram langsung
tertuju ke daerah itu.
Di daerah lain, hantu-hantu
masih tetap berkuasa karena tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan,
bahwa mereka sebenarnya bukan hantu.
Ki Gede Pemanahan dan
putranya, Sutawijaya, agaknya terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara
terus-menerus mengawasi suatu daerah tertentu.
Tetapi kini mereka terpaksa
mengkhususkan persoalan yang mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus
pula.
Sekelompok pengawal berkuda
itu langsung dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya digenggamnya
tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai Naga Kumala.
Sambil memandang lurus ke
depan, Raden Sutawijaya berkuda di belakang pengawas yang datang memberitahukan
apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti yang sebenarnya masih
belum sehat benar, tidak mau tinggal di Mataram. Bagaimana pun juga ia
menyatakan ke-inginannya untuk ikut serta kembali ke tempat tugasnya.
“Aku ingin melihat akhir
ceritera yang mendebarkan itu?” katanya di dalam hati.
Berdasarkan pengalaman para
pengawas yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan itu, maka mereka
harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar dari hanya tiga
orang, namun kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi.
Raden Sutawijaya yang diiringi
oleh sepuluh orang pengawas itu telah mulai menyusup hutan-hutan rindang. Kuda
mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat. Jalan yang sempit itu
kadang-kadang tertutup oleh sampah dan ranting-ranting pepohonan yang patah.
Sulur-sulur kayu yang bergayutan pada dahan-dahan pepohonan telah mengganggu
perjalanan itu pula.
Tetapi lebih daripada itu,
setiap saat mereka dapat saja dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang
tidak dikenal dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan. Mereka
sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang gerombolan orang-orang yang
bersembunyi di dalam hutan yang lebat itu.
Kadang-kadang dada mereka
menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi
seandainya tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok orang-orang yang ganas
itu sebanyak lima puluh orang, apakah mereka akan dapat melawan.
Tetapi hati mereka menjadi
teguh apabila mereka melihat Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka,
selalu menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan.
Dalam pada itu, selagi pasukan
itu beriringan di dalam hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang mata
mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang
lebat mengatupkan giginya rapat-rapat. Perlahan-lahan ia berdesis kepada orang
yang berdiri di sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar, “Sayang, kita
tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka.”
“Hati-hatilah,” berkata Kiai
Damar, “ternyata daerah Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita
ketahui. Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya, namun
ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam aku telah gagal lagi.
Ternyata orang-orang tua yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang
kebanyakan. Kau harus membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di
sini.”
“Aku akan menghadap Guru,”
berkata orang berjambang itu.
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Katanya, “Itu akan lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku
tidak dapat mengimbangi salah seorang dari dua orang tua-tua yang ada di barak
itu. Dan barangkali kau masih harus menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan
anak-anaknya.”
Orang itu menggeram. Katanya,
“Karena itu aku akan menghadap Guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan
dapat melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan sendiri akan turun ke
gelanggang, maka itu akan berarti rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak
akan berhasil menyelesaikan kerja ini.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan orang tua itu tidak berkeberatan.”
“Tentu tidak? Bukankah Guru
juga yang menganjurkan kita melakukan ini semua? Dan Paman menyetujuinya?”
“Ya,” Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya, “tetapi menghancurkan mereka bukan penyelesaian
yang tuntas. Seandainya Ki Gede Pemanahan terusir dari Mentaok sekali pun,
bahkan terbunuh, maka kau masih akan menghadapi soal-soal lain.”
“Itu sudah aku perhitungkan,
Paman. Maksud Paman, bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap mencakup hutan
Mentaok.”
“Ya.”
“Sultan Pajang akan berterima
kasih kalau usaha Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati Sultan Pajang
menyerahkan Mataram kepada Pemanahan? Kalau Sultan tidak mengingat putra
angkatnya itu anak Pemanahan, maka aku kira Pemanahan justru sudah digantungnya
di alun-alun.”
“Mungkin begitulah kalau kau
yang kebetulan menjadi Sultan Pajang. Seorang Raja tidak akan berbuat demikian.
Ia telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas Mentaok kepada mereka yang
dapat membunuh Arya Penangsang. Penjawi sudah mendapatkan Pati, dan wajar
sekali kalau Pemanahan menuntut Bumi Mentaok.”
“Tetapi Sultan juga tahu,
bahwa yang membunuh sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi putra
angkatnya itu.”
“Tentu. Tetapi laporan yang
diterimanya menyebut bahwa yang melakukan adalah Penjawi dan Pemanahan. Ia
tidak akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang melakukannya, tetapi
keduanya yang menyatakan dirinya tanpa ada orang lain yang mengemukakan
keberatannya.”
“Nah, karena itulah maka
kegagalan Pemanahan akan menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan Mataram
tidak dengan ikhlas hati.”
“Lalu bagaimana dengan Pati?”
Orang berjambang itu
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.
“Sultan Pajang tidak pernah
mempersoalkan Pati. Kenapa ia berkeberatan atas Mentaok?” bertanya Kiai Damar.
“Mentaok terlampau dekat
dengan pusat pemerintahan Pajang.”
“Bukan itu. Tetapi bagi Sultan
Pajang, menyerahkan Mentaok secara resmi tidak ada gunanya, karena akhirnya ia
akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan. Buat apa Pemanahan harus
menuntut haknya apabila kelak akan temurun juga kepada Sutawijaya. Tentu Sultan
Pajang menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak akan berkeberatan apabila
pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai. Bukankah kelak Sutawijaya juga
yang akan menjadi penguasa daerah ini? Apakah kelak ia akan menguasai Mataram
sebagai seorang putra raja yang mewakili kekuasaan ayahnya, atau sebagai
seorang adipati, seperti Sultan Pajang dahulu atau sebagai kepala suatu daerah
yang mendapat hak sebagai tanah perdikan, itu masih belum jelas.”
“Tetapi seperti yang Paman
katakan sendiri, Sultan agaknya memang mencurigai niat Pemanahan. Inilah yang
harus dimanfaatkan.”
Kiai Damar merenung sejenak.
Keningnya masih juga berkerut-merut. Tetapi kini iring-iringan yang dipimpin
Raden Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan hilang di balik rimbunnya
dedaunan.
“Bagaimana kau dapat
memanfaatkan kecurigaan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau justru
kepada putra angkatnya itu?”
“Serahkan kepadaku. Sultan
pasti akan segera menggerakkan senapati muda yang dikuasakan di daerah selatan
ini. Apakah kau kenal dengan Untara?”
“Orangnya belum. Tetapi
namanya sudah. Hampir setiap orang di daerah selatan mengenalnya. Menurut
pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang
kehilangan pegangan sesudah Arya Penangsang gugur.”
“Ya. Ia telah berhasil
membunuh Tohpati, Macan Kepatihan.”
“Apakah yang dapat dilakukan
oleh Untara?”
“Untara adalah seorang
senapati. Ia akan menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sultan Pajang. Ia
adalah seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan Untara benar-benar
seorang senapati yang baik.”
“Tentu.”
“Tetapi,” berkata Kiai Damar,
“apa hubungannya dengan usaha kita sekarang?”
“Kita akan mendesak
Sutawijaya. Kita akan melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan kita
berharap bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing Untara
mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka ini, sehingga Sutawijaya
akan menghadapi kesulitan. Ia harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini,
yang meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal karena kehadiran
orang-orang gila yang menyebut dirinya gembala itu, tetapi kita akan mencari
cara lain, bahkan kalau perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada.
Kita menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri. Selain itu,
Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi pasukan Untara yang mendekati
pusat pemerintahan tanah Mataram.”
Kiai Damar mengerutkan
keningnya. Ia berpikir sejenak untuk mencoba mencernakan kata-kata orang
berkumis itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku kurang mengerti jalan
pikiranmu.”
“Paman,” berkata orang itu,
“katakanlah bahwa Sultan Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah
Mataram. Ia sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kecurigaan itu,
kecurigaan atas Ki Gede Pemanahan, sehingga ia berada di simpang jalan. Ia
melepaskan Mataram dengan harapan agar putera angkatnya dapat mempergunakannya
sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga kalau Mataram kelak justru menjadi besar
di bawah Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berkata, “Ada beberapa
perbedaan tangkapan. Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku.
Aku juga mengerti jalan pikiranmu. Kau akan menempuh dua jalan apa pun yang ada
di dalam hati Sultan Pajang. Kita harus dapat meraba-raba. Tetapi kalau kau
berhasil, mungkin kau akan mendapat tempat yang baik. Aku setuju. Tetapi kau
harus berhati-hati agar kau tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat
membawamu ke tiang gantungan.”
Orang berjambang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan selalu minta nasehat guru.”
“Aku tahu, gurumu jugalah yang
mempunyai pikiran itu.”
“Ya.”
“Ia adalah orang yang paling
benci terhadap Pemanahan justru karena Pemanahan membuka hutan ini.
Mudah-mudahan orang Mangir dapat bekerja bersama dengan kita di sini.”
Orang berjambang itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Damar berkata, “Tetapi apakah kau akan
segera pergi ke Pajang?”
“Aku akan menunggu sejenak.
Kemudian aku akan pergi ke Pajang lewat Jati Anom. Kalau mungkin aku akan
melihat kesiagaan Untara meskipun aku tidak akan menemuinya. Kalau pada suatu
saat aku datang ke Jati Anom, aku akan membawa perintah dari Pajang kepada,
Untara untuk memagari Mataram dengan pasukan.”
Kiai Damar
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya.
Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu setiap saat ada perubahan tanggapan atas
sikap dan pendapat Sultan Pajang.”
Orang itu mengangguk.
“Marilah, kita kembali. Kita
melakukan persiapan baru menghadapi perkembangan keadaan. Kita menyusun rencana
dari dalam hutan ini, sebelum kau berhasil menggiring Untara datang ke pinggir
Alas Mentaok.”
Orang-orang itu pun kemudian
meninggalkan tempat persembunyiannya. Kuda-kuda yang mereka intip pun sudah
menjadi sangat jauh.
Dalam pada itu Sutawijaya dan
pasukannya yang kecil itu maju terus mendekati barak yang telah menarik
perhatian itu. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka tidak menemui
kesulitan apa pun di perjalanan mereka yang melelahkan.
Derap kaki-kaki kuda yang
mendekati barak itu pun segera didengar oleh orang-orang yang sedang
duduk-duduk di sekitar barak mereka. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera
bangkit dan turun ke halaman. Banyak kemungkinan dapat terjadi dengan derap
kaki-kaki kuda itu. Karena itu, ia pun harus berhati-hati.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
pun telah berdiri pula di tangga serambi, sedang beberapa orang yang terluka
itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka tahu benar bahwa dua orang kawannya
yang terbunuh itu justru mati oleh ka-wan mereka sendiri. Itulah sebabnya
mereka menjadi sangat cemas, siapa pun yang datang. Ia cemas kalau yang datang
itu para pengawal dari Mataram, karena mereka akan segera diserahkan untuk
mendapatkan hukuman. Tetapi mereka juga cemas apabila yang datang itu
kawan-kawan mereka sendiri.
Sejenak kemudian kuda-kuda itu
telah memasuki halaman barak di pinggir hutan. Dibayangi oleh sebuah senyum di
bibirnya, Sutawijaya memandang Agung Sedayu dan Swandaru yang datang
menyongsongnya.
“Aku sudah menduga,” kata-kata
itulah yang pertama-tama diucapkan oleh Sutawijaya.
Tetapi anak muda yang masih di
atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan
Swandaru membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Kami di sini
semuanya mengucapkan selamat datang. Meskipun kami belum mengetahui siapakah
Tuan, tetapi kami pasti, bahwa Tuan adalah salah seorang pemimpin dari Tanah
Mataram yang sedang dibuka ini.”
Pengawal yang berkuda di
paling depan sudah meloncat dari kudanya. Ia tidak sempat memikirkan, kenapa
Sutawijaya berkata, bahwa ia ‘sudah menduga’.
“Yang datang adalah putra Ki
Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,”
berkata pengawas itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Hormat kami berdua bagi Raden
Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Di dalam hati ia menggerutu, “Anak-anak ini sudah kejangkitan
penyakit gurunya.”
Tetapi Sutawijaya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan tiba-tiba ia bertanya, “Di mana
ayahmu?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun ia tersenyum kecil. Ternyata Sutawijaya mengerti bahwa ia
tidak ingin segera menyebut nama Agung Sedayu.
“Itulah, Tuan,” jawab Agung
Sedayu sambil menunjuk kepada seorang tua yang berdiri di tangga, di samping
Sumangkar.
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba pula ia berdesis, “Paman Sumangkar ada di sini pula?”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Tetapi Sutawijaya pun kemudian
tersenyum. Sambil turun dari kudanya ia berkata, “Kaliankah yang disebut
orang-orang yang bersenjata cambuk?”
Agung Sedayu mengangguk,
“Memang kami adalah keturunan gembala yang selalu membawa cambuk.”
Sutawijaya menepuk bahu Agung
Sedayu sambil berbisik, “Macam kau. Kenapa kau masih saja suka bermain-main.”
“Kami menghadapi hantu-hantu,”
desis Agung Sedayu.
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam.
Para pengiringnya pun kemudian
telah turun pula dari kuda mereka, dan menambatkannya di halaman.
Perlahan-lahan mereka melangkah maju mendekati barak. Pemimpin pengawas yang
terluka dengan susah payah, dibimbing oleh Kiai Gringsing berusaha untuk
menyongsong kedatangan Sutawijaya.
“Kaukah yang terluka?”
“Ya, Tuan,” jawab pemimpin
pengawas itu.
“Dan kau gembala tua yang
bersenjata cambuk dan berkain Gringsing itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, “Sampai begitu
teliti laporan itu sampai kepada Tuan. Apakah pengawas itu menyebut bahwa
berkain gringsing yang sudah lusuh?”
Sutawijaya tertawa. Tetapi
pengawas yang berdiri di belakangnya, yang membawa laporan kepada putra
Pemanahan itu menjadi terheran-heran. Ia sama sekali tidak menyebutkan pakaian
orang tua itu, apalagi menyebutkan berkain gringsing. Ia hanya mengatakan bahwa
gembala itu bersama dua anaknya bersenjata cambuk.
“Inilah tempat yang ada,”
berkata pemimpin pengawas yang terluka itu. “Kami tidak dapat mempersilahkan
pada tempat yang lebih baik.”
Sutawijaya memandang pemimpin
pengawas itu sejenak, lalu, “Agaknya lukamu cukup parah. Beristirahatlah.
Jangan kau risaukan tempat untuk rombongan kami. Kami adalah sama-sama prajurit
dan pengawal Tanah yang baru dibuka ini. Kami harus menyesuaikan diri di dalam
segala keadaan.”
Pemimpin pengawas itu
menganggukkan kepalanya
“Aku ingin mendengar berita
tentang daerah ini. Biarlah kawanmu yang kemarin datang ke Mataram bercerita
tentang perjalanannya yang sangat berat, sehingga salah seorang dari mereka
telah menjadi korban.”
“He?” pemimpin pengawas itu
terkejut. Sutawijaya berpaling kepada pengawas yang datang kepadanya sambil
berkata, “Nanti kau ceriterakan perjalananmu dan Wanakerti kepadanya. Sekarang
aku ingin mendengar laporannya tentang daerah ini.”
Pemimpin pengawas itu
termangu-mangu sejenak. Lalu, “Tetapi kami ingin mempersilahkan Tuan duduk
sejenak.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjalan ke serambi barak
bersama pemimpin pengawas itu, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru, dan
Sumangkar.
“Apakah kau juga seorang
gembala?” bertanya Sutawijaya kepada Sumangkar sambil tertawa. “Jika kau juga
seorang gembala tunjukkan cambukmu kepadaku.”
Sumangkar tersenyum. Sambil
membungkukkan badannya ia berkata, “Yang aku gembalakan bukan domba, Tuan.
Tetapi diriku sendiri.”
Sutawijaya pun tertawa pula.
Ternyata sikap Sutawijaya
kepada keempat orang itu membuat pemimpin pengawas dan para pengawas yang lain
menjadi heran. Bahkan orang-orang yang kemudian berkerumun di bawah tangga
serambi pun menjadi heran pula. Tetapi mereka tidak bertanya apa pun tentang
mereka.
Tetapi ketika mata Sutawijaya
menyentuh orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu pun ia mengerutkan
keningnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, pemimpin pengawas itu sudah
mendahuluinya, “Itulah yang akan aku laporkan kepada Tuan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian duduk di serambi itu di atas
tikar yang sudah kumal, sedang para pengiringnya tetap berada di halaman.
Sejenak Sutawijaya masih
memandangi orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu. Sedang orang-orang
yang terluka itu pun menjadi semakin cemas karenanya. Yang datang ternyata
adalah pemimpin tertinggi dari Mataram. Beberapa di antara mereka yang sudah
dapat duduk bersandar dinding, tiba-tiba telah membaringkan dirinya pula di
samping kawan-kawannya.
“Itulah hantu-hantu Alas
Mentaok yang kamanungsan,” berkata Kiai Gringsing.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hantu-hantu yang malang. Apakah
mereka kehilangan kesaktian mereka untuk melenyapkan diri?”
“Hantu-hantu yang sudah
terlanjur tersentuh tangan manusia tidak akan dapat melenyapkan dirinya lagi.
Itulah sebabnya aku katakan kepada Tuan, mereka adalah hantu yang kamanungsan.
Apalagi sesudah matahari terbit, me-reka tidak akan berdaya sama sekali.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah mereka sudah dapat
diajak berbicara dengan bahasa manusia.”
“Tentu, Tuan, tetapi luka-luka
mereka kadang-kadang masih mengganggu. Mungkin Tuan harus menunggu beberapa
saat. Kalau keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan segera dapat menjawab
pertanyaan yang diberikan kepada mereka.”
Sutawijaya masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia bertanya, “Darimana kalian dapat
menangkap hantu-hantu itu?”
“Mereka datang sendiri kemari.
Semalam,” jawab Kiai Gringsing.
“Menyenangkan sekali,” desis
Sutawijaya. Orang-orang yang terluka itu mendengarkan percakapan Sutawijaya dan
gembala tua yang bersenjata cambuk itu dengan hati yang terasa menjadi semakin
panas. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang, di hadapan
pemimpin tertinggi Mataram yang membawa beberapa orang pengawal.
Kiai Gringsing pun kemudian
berkata kepada pemimpin pengawas itu, “Kaulah yang berkewajiban untuk
menyampaikan laporan tentang keadaan di daerah ini.”
“Ya. Akulah yang
berkewajiban,” tetapi ia kemudian berkata kepada Sutawijaya, “Tetapi maaf Tuan.
Ternyata Ki Truna Podang lebih banyak mengetahui keadaan di daerah ini daripada
aku. Apalagi setelah aku terluka. Karena itu, apabila Tuan tidak berkeberatan,
biarlah Ki Truna Podang sajalah yang memberikan laporan tentang daerah ini atas
namaku.”
“O, jadi orang inilah yang
bernama Truna Podang.”
Pemimpin pengawas itu justru
menjadi termangu-mangu, sedang pengawas yang membawa laporan ke Mataram pun,
yang mendengar juga dari bawah tangga, menjadi heran. Ia memang menyebut nama
orang tua itu Truna Podang, gembala yang bersenjata cambuk.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Mungkin aku dianggap orang yang banyak
berbicara, sehingga akulah yang paling pantas untuk menyampaikan laporan ini.”
“Ah,” pemimpin pengawas itu
berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menyatakan keheranannya,
bahwa di hadapan Raden Sutawijaya, gembala tua itu seakan-akan berbicara sesuka
hatinya. Dan agaknya Sutawijaya sendiri bersikap aneh pula terhadap gembala itu
beserta anak-anak dan tamunya.
Kiai Gringsing pun kemudian
menceriterakan kepada Sutawijaya apa yang sudah terjadi di sekitar barak itu.
Diberinya sedikit pengantar tentang apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya.
Pertentangan-pertentangan yang timbul, sikap yang kasar dan mencurigakan.
Kemudian perselisihan di antara mereka sendiri. Akhirnya terjadilah peristiwa
semalam. Dan Kiai Gringsing tidak lupa pula mengatakan, bahwa mereka telah
membunuh kawan-kawan mereka yang tidak mereka perlukan lagi.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang
sudah terjadi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Apakah jadinya kalau Kiai
Gringsing tidak datang ke tempat ini.”
Namun dengan demikian
Sutawijaya segera dapat mengambil kesimpulan pula, bahwa di tempat-tempat lain
yang selalu diganggu oleh hantu-hantu itu pun pasti terjadi persoalan yang
serupa. Yang mengganggu itu pasti sama sekali bukan hantu, seperti yang terjadi
di tempat ini.
“Jika demikian, mereka pasti
mempunyai kekuatan yang cukup dan jumlah orang yang memadai. Mereka ternyata
menguasai daerah yang luas di sekitar Alas Mentaok. Hampir setiap daerah
pembukaan hutan, hantu-hantu itu selalu mengganggu mereka dan berusaha mendesak
mereka keluar dari tlatah hutan Mentaok.”
“Kita sudah dapat menduga,
apakah maksud mereka. Tetapi maksud yang lebih dalam lagi, kita masih harus
meraba-raba.”
“Ya. Mula-mula mereka akan
menggagalkan pembukaan hutan ini. Selanjutnya, kita belum tahu.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita mempunyai beberapa
orang tawanan. Kita akan segera dapat bertanya kepada mereka apabila keadaan
mereka berangsur baik.”
“Ya. Tetapi apakah peristiwa
ini tidak akan mempengaruhi sikap mereka di daerah-daerah yang lain?”
“Memang mungkin. Tetapi aku
kira mereka sedang memusatkan perhatian mereka di tempat ini. Di tempat yang mereka
anggap tidak menguntungkan dan berbahaya.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Sebagai seorang pemimpin ia tidak membatasi sudut pandangannya
sekedar daerah yang sedang dihadapinya. Tetapi Sutawijaya mulai membuat
gambaran apa yang dapat terjadi di daerah-daerah lain. Mungkin pembalasan
dendam, mungkin pelepasan sakit hati atau semacam itu. Bahkan di beberapa
tempat yang masih belum mendengar peristiwa ini, pasti masih selalu dibayangi
oleh ketakutan karena hantu-hantu Alas Mentaok.
Tetapi agaknya hantu-hantu itu
kini memang justru sedang menyoroti daerah yang mereka anggap sebagai pintu
gerbang dari kegagalan mereka. Meskipun mereka dapat berbuat banyak di daerah
lain, namun dari daerah ini pasti akan tersebar berita tentang peristiwa yang
telah terjadi di sini.
Sementara itu Sutawijaya masih
merenungi daerah yang sedang dibinanya. Mataram. Daerah yang sedang
dikembangkannya menjadi suatu negeri yang ramai. Namun kini ia harus menghadapi
rintangan yang cukup berat baginya.
Sejenak kemudian maka Sutawijaya
itu pun berkata, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa mereka, maksudku orang-orang
yang tidak kita kenal itu, pasti sedang menyiapkan orang-orangnya yang
terpencar. Mereka pasti menyiapkan diri untuk suatu tindakan yang cermat atas
daerah ini. Mereka harus dapat menyembunyikan kekalahan mereka
serapat-rapatnya, supaya mereka masih mempunyai lapangan yang luas untuk
membuat rencana-rencana baru bagi daerah-daerah yang lain.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” jawab orang tua itu, “Beberapa dari
orang-orang mereka itu tertawan di sini. Mereka pasti mempunyai rencana untuk
itu. Mengambil mereka, atau membinasakan mereka sama sekali.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak, lalu, “Bahkan mungkin ia akan berbuat lebih jauh lagi di
sini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya halaman yang terhampar di depan barak itu. Kemudian
pepohonan yang jarang, dikelilingi oleh pagar yang lemah. Di muka barak itu
sebuah jalan menghubungkan regol halaman ini dengan gardu pengawas yang kosong.
Sedang ujung lain adalah barak yang sebuah lagi.
“Untuk sementara kita hanya
dapat bertahan,” berkata Sutawijaya. “Aku tidak memperhitungkan sampai sejauh
ini ketika aku belum melihat keadaan terakhir. Sedang para pengawas yang datang
ke Mataram itu pun masih belum dapat mengatakannya, karena hal itu terjadi
setelah mereka meninggalkan tempat ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ada di antara mereka
yang sudah dapat diajak berbicara?” bertanya Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengangguk.
“Ada dua atau tiga orang yang meskipun tidak terlalu banyak, dapat dimintakan
keterangan kepada mereka.
“Aku ingin berbicara dengan
mereka. Sedikit saja.”
“Silahkan.”
Sementara orang-orang di dalam
barak itu menyediakan minuman panas untuk Sutawijaya dan pengiringnya,
Sutawijaya sendiri bangkit berdiri diikuti oleh Kiai Gringsing mendekati
orang-orang yang terluka.
“Orang yang berdahi lebar
itulah yang agaknya dapat dibawa berbicara meskipun tidak terlampau banyak.
Lukanya tidak begitu parah. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dinding.”
Sutawijaya memandang orang
yang berdahi lebar itu. Katanya kemudian, “Apanya yang terluka?”
“Pundak dan lambungnya.
Darahnya kadang-kadang masih mengalir apabila ia terlalu banyak bergerak. Orang
ini agak keras kepala. Kadang-kadang ia menggeliat atau bangkit dengan
tiba-tiba.”
“Tetapi masih ada tempat untuk
mencekiknya atau menikam dengan keris pusaka ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya mendengar jawaban Sutawijaya itu. Apalagi ketika Sutawijaya kemudian
berdiri setapak di samping orang itu.
“Siapa namamu?” bertanya
Sutawijaya.
Orang itu tidak menyahut.
“Siapa namamu?”
Orang itu masih diam saja.
“Kau tidak mau menjawab?
Baiklah. Sekarang aku bertanya tentang yang lain. Siapakah pemimpin yang
tertinggi yang kau kenal di dalam gerombolanmu. Katakanlah, hantu yang paling
tinggi derajatnya. Apakah kau kenal?”
Orang itu tidak menyahut.
“Dan berapa orang yang ada di
dalam lingkunganmu seluruhnya yang tersebar di hutan ini?”
Orang itu sama sekali tidak menjawab.
Tetapi orang yang berdahi
lebar itu, bahkan kawannya yang berbaring di sekitarnya, terkejut ketika
tiba-tiba saja Sutawijaya tertawa, “Bagus. Memang seharusnya kau tidak
menjawab. Kau adalah laki-laki yang sudah berjanji untuk terjun ke dalam dunia
yang hitam. Karena itu, kau harus tetap bertekad di dalam keadaan apa pun juga
untuk bersatu di dalam ikatan batin dengan kawan-kawanmu, meskipun
kadang-kadang pemimpinmu sendiri kurang mempercayaimu. Terbukti ada di antara
kawan-kawanmu yang mati terbunuh oleh pemimpin-pemimpinmu sendiri,
pemimpin-pemimpin kecil.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, sebelum kau
dibunuh oleh kawan-kawanmu sendiri, kau harus menunjukkan bahwa kau adalah
seorang laki-laki. Ketahuilah, bahwa pada suatu saat, kalian akan kami
tempatkan di halaman ini sambil mengikat kalian pada tiang-tiang. Kalian akan
menjadi sasaran latihan memanah yang baik sekali bagi kawan-kawan kalian yang
bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar banjar ini. Kalau mereka
tidak pandai memanah, maka mereka akan merayap dengan diam-diam mendekati
kalian di malam hari, dan menikam dada kalian dengan keris, atau dengan tombak.
Apakah kalian mengerti?”
Orang itu masih membeku.
Tetapi wajahnya menjadi tegang. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang terluka
parah pun menjadi semakin kecut.
“Tetapi sebelum itu, kami akan
berusaha memeras keterangan dari kalian dengan segala cara. Kami tahu, bahwa
kalian adalah orang-orang jantan, yang tidak akan membuka mulut kalian. Karena
itulah maka kami akan memperlakukan kalian sebagai laki-laki jantan. Kami akan
menyiksa kalian dengan cara yang paling kejam yang pernah disebut oleh manusia
beradab.”
Kata-kata Sutawijaya itu
benar-benar telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bukan saja
orang-orang yang sedang terluka, yang terbaring sebagai tawanan, tetapi juga
orang-orang di barak itu. Bahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta
Sumangkar pun menjadi heran pula.
“Apakah kemarahan Raden
Sutawijaya benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga ia akan
memperlakukan orang-orang yang sudah tidak berdaya itu sedemikian kejamnya,”
pertanyaan itu timbul di setiap dada.
Namun demikian, ada juga
orang-orang yang berkata di dalam hati. “Nah, ternyata putra Ki Gede Pemanahan
pun memperlakukan demikian. Kenapa orang tua dan kedua anak-anaknya itu telah
mencegah kami? Seandainya Raden Sutawijaya itu ada di sini, aku kira kita akan
dapat melakukannya, meskipun harus membiarkan dua atau tiga di antaranya tetap
hidup untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan.”
Tetapi kini tawanan-tawanan
itu sudah berada di tangan Sutawijaya. Orang-orang yang masih dibakar oleh
dendam itu hanya dapat menunggu. Mungkin mereka akan mendapat giliran pula
untuk melepaskan sakit hati mereka
“Bersiaplah,” berkata
Sutawijaya, “kau, orang yang berdahi lebar yang tidak mau menyebut namanya dan
tidak mau menjawab semua pertandaanku itulah yang harus mengalaminya
pertama-tama. Kau tidak berkeberatan?”
Wajah orang itu menjadi pucat
“He, kenapa kau menjadi pucat
seperti orang yang ketakutan? Bukankah kau seorang laki yang sudah menentukan
sikap? Jangan menjadi pengecut. Jangan membuat lingkungan yang kau pilih
menjadi malu. Kau harus mene-ngadahkan wajah dan dadamu sambil berkata, “Inilah
aku. Salah seorang dari segerombolan orang-orang yang telah menghimpun diri
dengan rahasia. Kami terdiri dari laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi
setiap kemungkinan” Bukankah begitu? Dengan demikian kau masih dapat berbangga
di saat-saat terakhir.”
Orang berdahi lebar itu tidak
menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin pucat.
“Bawalah orang ini,” perintah
Sutawijaya sambil berpaling kepada pengiringnya, “bawalah orang ini ke belakang
barak ini. Aku ingin melihat, sampai di mana ia mempertahankan kejantanannya.
Sediakan sepotong dahan cangkring yang berduri rapat dan semangkuk air garam.”
“Jangan, jangan,” tiba-tiba
orang berdahi lebar itu berteriak.
“Kenapa kau berteriak seperti
seorang pengecut? Kau adalah seorang laki-laki. Sebelum dadamu remuk dan
kulitmu terluka arang kranjang, kau tidak boleh menjawab setiap pertanyaanku.
Dengan demikian kau akan menodai kejantanan kalian.” Lalu sekali lagi
Sutawijaya memerintahkan kepada pengiringnya, “Bawa orang ini ke belakang
barak.”
Ketika beberapa orang naik ke
serambi, orang itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sisa tenaganya ia ingin
meloncat dan berlari. Tetapi ternyata Sutawijaya benar-benar tangkas. Dengan
cepatnya ia menangkap lengan orang itu dan menariknya, “Kau mau lari?”
“Ampun,” teriaknya. Lukanya
tiba-tiba terasa menjadi demikian sakitnya disertai dengan perasaan takut yang
luar biasa.
“Jangan meronta-ronta seperti
kanak-kanak,” berkata Sutawijaya, “lukamu akan berdarah lagi.”
“Jangan, jangan,” orang itu
masih tetap meronta ketika dua orang pengawal memegang lengannya dan membawanya
turun dari serambi.
“Jagalah luka-lukamu. Kenapa
kau tiba-tiba saja menjadi seorang pengecut.”
Orang itu tidak sempat
menjawab. Ia masih saja berteriak dan meronta-ronta. Tetapi kedua pengawal itu
membawanya langsung ke belakang serambi.
“Seorang pun tidak boleh
melihat caraku memeriksa orang itu,” berkata Sutawijaya sambil mengedarkan
pandangan matanya. “Para pengawalku akan menjaga. Siapa yang memaksa ingin
melihat, akan mengalami nasib yang serupa dengan orang itu. Aku tidak ingin
kalian tidak dapat tidur sepanjang hidup kalian karena kalian melihat,
bagaimana aku menyiksa orang yang tidak mau menjawab pertanyaanku. Hanya
orang-orang yang aku tunjuk sajalah yang boleh mengikuti aku.”
Tidak ada seorang pun yang
menjawab.
“Aku minta perintah ini
ditaati,” berkata Sutawijaya kemudian. Dan diperintahkannya para pengawalnya
untuk mengawasi orang-orang di barak itu. Katanya kemudian, “Para tawanan ini
pun harus diawasi baik-baik. Siapa yang mencoba melarikan diri, ia pasti akan
menyesal, karena ia akan mengalami perlakuan yang lebih mengerikan.”
Barak itu telah dicengkam oleh
kengerian yang memuncak. Dada mereka menjadi tegang dan darah mereka serasa
menjadi semakin lambat mengalir.
Sutawijaya kemudian
meninggalkan serambi itu, pergi ke belakang barak. Yang dibawanya adalah Truna
Podang beserta kedua anaknya dan Sumangkar. Seorang pengawal dan pemimpin
pengawas yang terluka itu.
“Kalau kau ingin membalas, kau
akan mendapat kesempatan,” berkata Sutawijaya. Tetapi pemimpin pengawas itu
tidak menjawab. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa demikianlah yang akan
dijumpainya, justru setelah Sutawijaya sendiri datang.
Orang yang berdahi lebar itu
masih saja meronta-ronta. Apalagi ketika ia melihat kehadiran Sutawijaya.
Tiba-tiba saja ia berteriak, “Jangan, jangan, jangan Tuan. Aku minta ampun. Aku
minta ampun.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dilihatnya orang itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya menjadi
seputih kapas dan matanya meratap minta belas kasihan.
Kiai Gringsing, Sumangkar,
Agung Sedayu, dan Swandaru serta pemimpin pengawas yang terluka itu masih
berdiri termangu-mangu. Namun terasa dada mereka terguncang-guncang oleh
keheranan akan sikap Sutawijaya. Apalagi pemimpin pengawas yang terluka itu,
yang masih belum dapat berdiri tegak sendiri, sehingga ia masih memerlukan
pertolongan Agung Sedayu.
Tetapi orang-orang itu menjadi
semakin heran, bahwa Sutawijaya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih
berdiri saja sambil memandang orang yang berteriak-teriak itu, “Ampun, aku minta
ampun.”
Ketika Sutawijaya
perlahan-lahan melangkah maju, maka nyawa orang itu serasa sudah melekat di
ubun-ubun. Karena itu ia berteriak semakin keras.
Kawan-kawannya yang masih ada
di serambi, mendengar teriakan itu meskipun tidak begitu jelas. Namun setiap
kali dada mereka berdesir. Terbayang di rongga mata mereka, kawannya yang
berdahi lebar itu sedang mengalami siksaan yang tiada taranya, sehingga orang
itu berteriak-teriak tidak menentu.
“Jangan, jangan,” teriak orang
berdahi lebar itu.
Sutawijaya masih berdiri
memandanginya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tangannya. Dengan
ujung jarinya ia menyentuh lambung orang yang berdahi lebar itu.
Oleh ketakutan yang dahsyat,
maka sentuhan itu terasa bagaikan duri-duri cangkring yang tajam tergores
dikulitnya. Karena itu ia berteriak semakin keras.
“He,”desis Sutawijaya, “kenapa
kau berteriak-teriak? Apakah aku sudah berbuat sesuatu?”
Pertanyaan itu telah
menghentikan teriakan-akan yang seakan-akan mengumandang memenuhi pinggir hutan
yang sedang dibuka itu.
“Kenapa kau berteriak-teriak?”
ulang Sutawijaya, “Coba katakan, apakah aku sudah berbuat sesuatu? Aku memang
akan menyiksamu dengan cara yang paling kejam seperti sudah aku katakan. Aku
ingin memeras semua keteranganmu tentang dirimu sendiri dan tentang
gerombolanmu yang selama ini berkedok sebagai hantu-hantu di Alas Mentaok.
Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku akan mempergunakan segala macam cara
tanpa menghiraukan perikemanusiaan. Tanpa menghiraukan belas kasihan dan
peradaban manusia.”
“Jangan, jangan,” orang itu
memohon. Suaranya merintih seperti ujung nyawanya sudah mulai lepas dari
tubuhnya.
“Kenapa kau melarang? Itu
terserah kepadaku. Selain Ayahanda Pemanahan, tidak ada orang yang lebih
berkuasa dari aku di sini. Aku dapat berbuat apa saja. Aku dapat membunuh siapa
saja tanpa dapat dituntut oleh seorang pun. Aku tidak takut oleh dendam siapa
pun juga.”
Tubuh orang itu kini menggigil
seperti sedang kedinginan.
“Lepaskan,” perintah
Sutawijaya kepada kedua pengawalnya yang memegangi orang itu.
Pengawalnya menjadi ragu-ragu
sejenak. Tetapi Sutawijaya mengulangi, “Lepaskan. Sediakan saja tali yang cukup
panjang. Apabila ia mencoba lari, ikatlah kedua tangannya dengan tali yang
direntang pada dua batang pohon. Setiap orang akan lewat di sampingnya dan
melakukan hukuman picis.”
“Tidak. Tidak,” orang itu
berteriak lagi.
Perlahan-lahan kedua pengawal
itu melepaskan pegangannya. Namun orang yang ketakutan itu hampir tidak dapat
berdiri sendiri. Bukan saja karena lukanya, tetapi karena ia benar-benar
dicengkam oleh kengerian mendengar ancaman-ancaman Sutawijaya.
Tetapi, Sutawijaya kemudian
justru tersenyum. Dengan terus terang ia berkata, “Aku kecewa melihat sikapmu.
Kau pasti bukan orang yang dapat dibanggakan oleh gerombolanmu. Sebelum kau
tersentuh apa pun, kau sudah ketakutan setengah mati. Ayo, bersiaplah menerima
siksaan yang paling berat.”
“Jangan, jangan, Tuan.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia membentak, “Siapa namamu?”
“Sura Mudal,” orang itu membentak
pula diluar sadarnya.
“Kau menbentak aku he?”
“Tidak, tidak, Tuan. Aku tidak
sengaja.”
“Nah, sekarang kau dapat
memilih. Kau menjawab setiap pertanyaanku, atau aku benar-benar harus melakukan
seperti yang aku katakan?”
Kiai Gringsing, Sumangkar,
Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin pengawas yang terluka itu menarik nafas
dalam-dalam. Kini mereka sadar bahwa Sutawijaya telah melakukan suatu permainan
yang berhasil. Bahkan Kiai Gringsing mengusap keningnya yang basah sambil
berkata kepada diri sendiri, “Ternyata putra Pemanahan ini pandai juga
berkelakar, meskipun orang lain hampir menjadi pingsan karenanya.”
“Apakah kau dapat memilih?”
bertanya Sutawijaya.
“Ya, ya. Aku dapat memilih.”
“Yang manakah yang kau pilih?
Tubuhmu dilecut dengan ranting pohon cangkring yang berduri rapat kemudian
disiram dengan air garam?”
“Tidak, tidak, Tuan. Jangan
itu.”
“Jadi?”
“Aku, aku akan menjawab
pertanyaan Tuan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ternyata kau cukup bijaksana. Karena
itu, duduklah. Kita berbicara dengan baik.”
Orang itu menjadi bingung
melihat sikap Sutawijaya. Kini Sutawijaya tiba-tiba menjadi ramah dan baik.
“Duduklah,” berkata
Sutawijaya. Ia sendiri mendahului duduk di bebatur barak bersandar dinding,
diikuti oleh orang-orang lain yang menunggui pemeriksaan itu.
Tetapi orang yang menyebut
dirinya Sura Mudal itu masih berdiri dengan gemetar. Ia tidak mengerti apa yang
harus dilakukan karena kecemasan dan ketakutan yang mencengkam jantung.
“Duduklah,” sekali lagi
Sutawijaya mempersilahkannnya dengan ramah, “jangan takut. Kalau kau dapat
menempuh kebijaksanaan ini aku sangat hormat kepadamu. Sebenarnya memang tidak
ada gunanya menyakiti diri sendiri. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan
kepadamu, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Kau akan mengalami penderitaan.
Sedang yang kau simpan itu pun akhirnya akan terloncat pula dari bibirmu karena
segala macam cara. Mungkin cara yang belum pernah kau bayangkan.”
Orang itu masih berdiri
kebingungan.
“Nah, kau sudah menjawab siapa
namamu,” berkata Sutawijaya, “sekarang duduklah di sini. Di sampingku.”
Dengan ragu-ragu orang itu
melangkah maju. Sekali-sekali ia masih menyeringai karena luka-lukanya yang
terasa sakit.
“Kau bernama Sura Mudal
bukan?” berkata Sutawijaya kemudian. “Nah, sekarang katakan, siapakah
pemimpinmu?”
“Kiai Damar,” jawab orang itu.
“Apakah Kiai Damar itu
pemimpin tertinggi di dalam lingkunganmu?”
“Tidak. Masih ada orang lain
yang tidak aku ketahui.”
“Darimana kau tahu bahwa masih
ada orang lain.”
“Aku sering melihat seseorang
yang datang ke gubug Kiai Damar. Orang yang tinggi dan berjambang lebat.”
“Siapakah namanya?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya.
“Siapa namanya?” desak
Sutawijaya.
“Benar, aku tidak tahu, Tuan.
Aku tidak tahu.”
Sutawijaya mengangguk-angguk.
Ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahuinya.
“Coba sebutkan, berapa orang
jumlah kawan-kawanmu seluruhnya?”
“Aku tidak tahu, Tuan.”
“He, kau tidak tahu? Kau tidak
tahu jumlah orang-orang di dalam gerombolanmu.”
“Ya, ya, Tuan. Eh, maksudku
aku tidak tahu. Tetapi yang ada bersama-sama dengan Kiai Damar, aku dapat
mengetahuinya.”
“Berapa orang yang diserahkan
kepada Kiai Damar?”
“Lima belas orang, ditambah
dua orang penghubung.”
“Dua orang penghubung? Di mana
yang dua orang itu?”
“Yang seorang tidak bersama
kami sekarang. Yang seorang semalam ikut di dalam serangan ini. Tetapi mungkin
ia mati terbunuh.”
“Salah seorang dari dua orang
yang mati itu?”
“Agaknya benar, Tuan. Sebab ia
tidak ada di antara kami yang tertangkap.”
“Ada dua orang yang mati.
Tetapi dibunuh oleh Kiai Damar sendiri. Seorang dapat melarikan diri bersama
Kiai Damar dan sisanya adalah kalian.”
Orang berdahi lebar itu
mengangguk-angguk.
“Nah, yang manakah yang kau
maksud dengan penghubung itu? Yang terbunuh atau yang melarikan diri?”
Orang itu menggeleng.
Jawabnya, “Aku tidak melihat keduanya. Juga yang melarikan diri aku tidak tahu
pasti. Tetapi satu di antara tiga orang yang tidak ada di antara kami itulah
penghubung itu.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Penghubung itu pasti mengetahui agak banyak
tentang kelompok rahasia yang selama ini mengganggu usahanya membuka Alas
Mentaok.
“Sekarang, ceriterakan, apa
saja yang pernah kau lakukan selama kau berperan sebagai hantu-hantu kecil di
Alas Mentaok ini,” berkata Sutawijaya kemudian.
Orang itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun ketika Sutawijaya meraba lengannya, ia berkata, “Ya, ya. Aku
akan berceritera tentang Alas Mentaok.”
“Bukan tentang Alas Mentaok.
Tetapi tentang dirimu sendiri. Apakah kau tahu maksudku?”
“Ya, ya. Aku tahu.”
“Nah, apa saja yang sudah kau
lakukan sebagai hantu Alas Mentaok.”
Orang itu masih dicengkam oleh
keragu-raguan. Namun sekali lagi Sutawijaya meraba tangannya sambil berkata,
“Kulitmu memang liat sekali.”
“Tidak. Tidak.” Dan orang itu
pun mulai berceritera. Hampir tidak ada yang dilampauinya, apa yang
diketahuinya diceriterakannya kepada Sutawijaya.
Kiai Gringsing, Agung Sedayu,
dan Swandaru yang mendengar ceritera itu pula, mengangguk-anggukkan kepala
mereka. Kini menjadi semakin jelas, apa saja yang selama ini mereka hadapi.
Kini ternyata pula orang yang pernah dengan ketakutan mendekap Swandaru di
tempat kerjanya, adalah orang-orang Kiai Damar pula. Kemudian ular dan bahkan
api itu.
“Jadi, kau hanya mengenal Kiai
Damar sebagai pemimpinmu?”
“Ya, Tuan, Kiai Damar yang
sekarang.”
“Yang sekarang? Apakah ada
Kiai Damar yang dahulu.”
Orang itu tidak segera
menjawab.
“Katakanlah,” Sutawijaya
bergeser setapak mendekati orang itu.
“Ya, ya. Kiai Damar memang
pernah berganti. Tetapi kedua orang itu memang mirip sekali.”
“Ah, apakah kau sedang
bermimpi? Mungkin orangnya memang sama. Tetapi supaya menimbulkan kesan yang
lain, dibuatnya cerita yang aneh-aneh itu.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Lalu, “Bukan, memang bukan orang lain. Tetapi Kiai Damar yang dahulu
sudah mati. Tetapi ia hidup lagi. Orang itu adalah Kiai Damar yang sekarang.
Tetapi ada beberapa hal yang dahulu sudah tidak diingatnya lagi.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang Kiai Gringsing
yang termangu-mangu.
Untuk beberapa lama
orang-orang yang duduk di belakang barak itu saling berdiam diri. Mereka sedang
merenungi angan-angan masing-masing yang mengambang dari waktu ke waktu. Mereka
seakan-akan melihat apa yang telah terjadi selama ini di daerah yang sedang dibuka
itu. Semula orang-orang itu datang dengan membawa harapan untuk mendapat tanah
yang lebih baik dari daerah yang mereka tinggalkan. Mereka membawa harapan
untuk hidup di dalam suatu negeri yang makmur, adil, dan harapan untuk mendapat
kesempatan yang baik karena mereka termasuk orang-orang yang membuka tanah.
Mereka termasuk perintis-perintis jalan untuk masuk ke Alas Mentaok lebih dalam
lagi. Namun kemudian mereka telah dicengkam oleh ketakutan. Beberapa orang
menjadi putus asa dan meninggalkan daerah yang sudah mulai mereka buka.
Sebagian masih bertahan karena mereka sudah tidak mempunyai tempat untuk
kembali. Namun setiap hari mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan
kecemasan. Hari depan mereka menjadi suram, dan harapan-harapan yang sudah mereka
susun pada saat mereka berangkat itu satu-satu menjadi pecah berserakan seperti
kepingan mangkuk yang jatuh di atas batu hitam. Apalagi di saat-saat terakhir.
Mereka hampir menjadi gila karenanya. Mereka kehilangan segala macam harapan
dan gairah bagi masa depan mereka. Mereka bahkan merasa bahwa maut setiap saat
telah membelai kepala mereka.
Tetapi mereka tiba-tiba saja
telah dikejutkan oleh peristiwa semalam. Orang yang menyebut dirinya Truna
Podang, dan yang selama ini mereka anggap sebagai seorang yang aneh, sombong
dan tidak mengenal takut itu, bersama anak-anaknya telah berhasil menangkap
hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti mereka.
Peristiwa ini adalah merupakan
suatu tingkatan baru di dalam perjalanan hidup mereka. Harapan yang telah
musnah itu, selapis demi selapis telah mereka susun kembali di dalam hati.
Tetapi semuanya masih belum
mantap. Persoalan hantu-hantu itu masih belum selesai Mungkin masih akan ada
akibat-akibat yang menimpa orang-orang yang diombang-ambingkan oleh keadaan
itu.
Orang-orang yang terluka, yang
terbaring di serambi depan menjadi semakin cemas dan berdebar-debar. Kawannya
yang dibawa ke belakang barak itu sudah tidak terdengar suaranya lagi. Mereka
menyangka bahwa orang berdahi lebar itu, telah terbaring di tanah tanpa dapat
berbuat sesuatu. Mungkin tubuhnya telah hancur disayat oleh duri-duri cangkring
yang tajam. Darah bercampur keringat telah membasahi seburuh tubuhnya yang
tidak berbentuk lagi.