Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 058

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 058
Buku 058
Agung Sedayu dan Sumangkar mengerutkan keningnya. Dan mereka segera dapat menebak, “suara itu suara Swandaru.”

“Anak itu senang sekali bermain-main dengan cara ini,” desis Agung Sedayu.

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan mereka pun mendengar suara melengking tinggi, “Kalian benar-benar telah menjadi pikun. He, apakah hantu-hantu di Alas Mentaok itu sudah pada pikun? Atau memang kalian adalah jadi-jadian dari orang-orang yang sudah pikun dan kehilangan akal? Aku di sini. Akulah Kiai Dandang Wesi yang kalian cari” suara itu terputus sejenak oleh batuk-batuk kecil. Tetapi agaknya Swandaru memang anak bengal, katanya, “Maaf, aku sedang terbatuk-batuk. Di Gunung Merapi memang sedang berjangkit penyakit batuk khusus bagi hantu-hantu.”

“Gila,” desis Agung Sedayu, “Swandaru tidak dapat bermain dengan baik.”

Ternyata kata-kata itu benar-benar telah mengguncangkan hati orang-orang yang sedang berusaha mengepung Kiai Dandang Wesi. Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok. Karena itu salah seorang dari mereka segera berteriak, “Omong kosong! Kalian mencoba mengelabuhi kami. Aku tahu, kalian bukan terdiri dari seseorang. Ternyata kalian berada di beberapa tempat dan bermain hantu-hantuan.”

Swandaru masih juga menjawab, “Bodoh sekali. Aku adalah Kiai Dandang Wesi. Apakah kau tidak percaya.”


Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata kepada Sumangkar, “Paman, Swandaru dan Guru telah memencar. Sebaiknya aku pun akan memisahkan diri. Kita sudah berada di dalam keadaan yang cukup jelas. Kita akan ber-tempur. Tetapi sebaiknya kita mencoba untuk menurunkan gelora keberanian mereka. Kalau mereka menjadi agak bingung maka jantung mereka pun akan susut.”

Sumangkar menganggukkan kepalanya. “Hati-hatilah,” desisnya.

Agung Sedayu pun kemudian merayap menjauhkan diri dari Sumangkar. Permainan mereka akan segera sampai ke puncaknya, dan mereka pun akan segera berbuat sesuatu.

Sementara itu, keadaan di belakang barak itu masih saja hening dan tegang. Orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu Alas Mentaok itu masih diliputi oleh keragu-raguan. Sementara Swandaru pun tidak lagi berteriak-teriak karena lehernya sudah mulai terasa serak.

Selagi orang-orang yang berusaha mengepung yang menyebut darinya Kiai Dandang Wesi itu masih diliputi oleh keragu-raguan, maka terdengar suara melengking di tempat yang lain pula. Suara Agung Sedayu, “Ayo, tangkaplah aku. Aku sudah berpindah tempat, sedang kalian masih saja membeku. Apakah dengan demikian kalian akan mampu menangkap kami?”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi Agung Sedayu melihat bayangan yang bergerak-gerak di dalam gelapnya malam. Sejenak kemudian dari dalam rimbunnya dedaunan Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Sumangkar yang memencar itu melihat sesuatu yang berkilat-kilat tersembul dari dalam gerumbul. Bahkan kemudian tampak benda itu seakan-akan bercahaya di dalam gelapnya malam.

“Permainan apa lagi yang sedang mereka lakukan?” bertanya Kiai Gringsing dan murid-muridnya di dalam hati.

Ketika cahaya itu kemudian hilang, maka mereka pun melihat bayangan yang lain bergerak-gerak mendekati. Seperti yang diduga oleh Sumangkar. Kira-kira sepuluh orang. Agaknya benda yang bercahaya itu merupakan tanda untuk mengumpulkan orang-orang mereka.

Agung Sedayu menjadi semakin ingin tahu, apakah yang akan mereka percakapkan. Karena itu, ia pun kemudian merayap mendekati kelompok yang telah terkumpul itu.

Namun ternyata, bukan saja Agung Sedayu, tetapi juga gurunya, Swandaru dan Sumangkar ingin tahu apa yang akan mereka perbincangkan.

Namun mereka terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar salah seorang dari orang-orang itu berkata, “Nah, kita sudah berhasil. Agaknya bukan kita sajalah yang tertarik oleh tanda itu. Agaknya hantu dari Gunung Merapi itu sudah mendekat pula.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Pasti ada seorang yang berilmu cukup tinggi di antara mereka. Seorang atau bahkan lebih, karena mereka segera menangkap desah nafas orang yang sedang merayap mendekati.

Tetapi sekali lagi Agung Sedayu mengumpat. Ternyata Swandaru yang serak itu tidak berhasil menahan gatal-gatal di lehernya. Ialah agaknya yang telah memungkinkan orang-orang itu mendengar kehadirannya, karena Agung Sedayu pun kemudian berhasil menangkap desah nafasnya. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa adik seperguruannya itu juga sudah ada di dekatnya.

Dengan hati-hati ia bergeser, mendekati. Tetapi ia tidak berani menyentuhnya. Kalau Swandaru itu terkejut, maka ia pasti akan segera berbuat sesuatu dan kehadiran mereka akan segera diketahui lebih pasti lagi.

“Ayo, jangan hanya mengintip di dalam gelap. Kemarilah. Kita akan bersama-sama melepaskan kedok kita,” berkata salah seorang dari mereka.

Tetapi tidak ada seorang pun yang menyahut. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar yang sudah ada di sekitar tempat itu masih tetap berada di dalam persembunyian mereka, di balik dedaunan yang rimbun.

“Baiklah,” berkata suara itu, “kamilah yang akan mulai. Kami akan berbuat sesuatu. Kalau kalian masih tetap bersembunyi, maka kami akan membakar barak itu. Itu adalah usaha kami yang terakhir untuk memancing kalian keluar dari persembunyian.”

Tetapi masih belum ada jawaban. Kiai Gringsing masih juga berdiam diri di tempatnya.

“Tidak ada waktu lagi. Kita harus segera melakukannya,” desis salah seorang dari mereka.

Sejenak kemudian orang-orang itu pun berdiri dari persembunyiannya. Namun tanpa disangka-sangka salah seorang dari mereka dengan cepatnya telah meloncat ke arah persembunyian Swandaru. Agaknya suara desah nafasnyalah yang telah didengar oleh orang-orang itu, karena lehernya yang gatal setelah ia berteriak-teriak.

Untunglah bahwa Swandaru telah bersiaga menghadapi setiap kemungkinan. Apalagi orang yang menyerangnya itu masih belum tahu pasti di mana ia bersembunyi. Dengan demikian, maka Swandaru masih mendapat kesempatan untuk berguling menjauh dan mengurai senjata yang membelit lambungnya.

Tetapi yang terdengar lebih dahulu adalah ledakan cambuk di arah yang lain. Ternyata Kiai Gringsing berusaha menarik perhatian orang-orang itu, supaya mereka tidak memusatkan serangan mereka kepada Swandaru.

Usaha Kiai Gringsing itu pun berhasil. Beberapa orang segera berloncatan menyerangnya. Namun di saat yang hampir bersamaan, cambuk Agung Sedayu pun telah meledak pula, hampir berbareng dengan cambuk Swandaru sendiri.

Orang-orang yang menyebut diri mereka hantu-hantu Alas Mentaok itu kini merasa bahwa lawan mereka telah genap tiga orang. Tiga orang yang agaknya telah dituntutnya dari orang-orang di dalam barak itu. Tiga orang yang bersenjata cambuk.

“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar perintah dari salah seorang lawan-lawan Kiai Gringsing itu, “kita memerlukan keterangannya. Siapakah yang telah menempatkannya di dalam barak ini.”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi pertempuran telah terjadi di tiga lingkaran. Agung Sedayu melawan beberapa orang, Swandaru juga dan demikian pula Kiai Gringsing.

Sumangkar masih tetap diam di tempatnya. Sejenak ia mengamati perkelahian itu. Apakah di dalam kelompok lawan Kiai Gringsing itu terdapat orang yang harus mendapat perhatian.

Sejenak kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Ada empat orang yang tampaknya memimpin kawan-kawannya di dalam olah kanuragan. Satu di antara mereka adalah orang yang terkuat, yang justru menyerang Swandaru yang pertama kali.

Sumangkar menjadi berdebar-debar. Orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Apalagi orang yang kini sedang berusaha untuk segera berhasil menguasai Swandaru yang tampak mengalami kesulitan.

“Siapakah orang ini?” pertanyaan itu mengetuk jantung Sumangkar.

“Tangkap mereka hidup-hidup,” terdengar orang itu memberikan perintah, “atau setidak-tidaknya mereka bertiga jangan sampai terbunuh seandainya kalian harus melukainya.”

Tidak ada jawaban. Tetapi serangan mereka menjadi semakin garang. Mereka tampaknya berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menguasai Kiai Gringsing beserta anak-anaknya dengan segera.

Meskipun salah seorang dari orang-orang terkuat ikut serta bertempur melawan Agung Sedayu namun Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan seperti Swandaru. Agung Sedayu yang melawan tiga orang sekaligus, masih sempat meloncat surut, mencari tempat yang agak lapang, sehingga ia dapat mempergunakan senjatanya dengan leluasa. Ujung senjatanya tidak tersangkut ranting-ranting atau pohon-pohon perdu, meskipun ranting-ranting itu pun kemudian seakan-akan ditebas dengan pedang, namun kadang-kadang terasa geraknya terganggu juga.

Kiai Gringsing yang bertempur di lingkaran yang lain, harus melawan lima orang sekaligus. Adalah kebetulan sekali bahwa bukan orang-orang terkuat yang menghadapinya. Sementara Swandaru dengan susah payah mencoba mempertahankan diri dari sergapan empat orang yang bertempur dengan garangnya.

“Swandarulah yang berada di dalam bahaya yang sebenarnya,” berkata Sumangkar di dalam hatinya.

Dan tiba-tiba hatinya dijalari oleh keinginannya untuk menyesuaikan diri dengan cara yang telah dilakukan oleh Kiai Gringsing. Tanpa setahu lawan-lawannya, ia berhasil mengambil kerudung hitam yang justru semula dipergunakan oleh hantu-hantu Alas Mentaok itu. Kemudian dipungutnya pula tengkorak yang sudah mereka tanggalkan dari tangkainya.

Sumangkar pun kemudian mempergunakan kerudung itu. Dengan hati-hati ia mendekati Swandaru yang selalu terdesak surut.

Kiai Gringsing pun menjadi cemas melihat keadaan muridnya yang muda itu. Karena itu maka ia pun segera mengerahkan kemampuannya untuk menerobos kepungan kelima lawan-lawannya yang tidak begitu berat baginya. Meskipun demikian, ia masih memerlukan waktu beberapa saat untuk dapat menembus kepungan mereka. Sedang waktu yang beberapa saat itu ternyata sangat gawat bagi Swandaru. Orang terkuat dari lawan-lawan mereka benar-benar berusaha untuk dapat menangkap Swandaru. Serangannya bagaikan angin ribut yang menghantam dari segala arah.

Sejenak kemudian Swandaru telah menjadi pening. Ia kehilangan keseimbangannya untuk melawan serangan-serangan yang membadai dari segala arah itu. Bahkan kemudian senjatanya seakan-akan sudah tidak berdaya lagi untuk menahan mereka. Apalagi salah seorang dari mereka adalah orang yang mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Swandaru sendiri.

Kecemasan yang tajam telah menyengat hati Kiai Gringsing ketika ia melihat Swandaru terdorong jauh ke belakang, sehingga ia hampir kehilangan keseimbangannya. Dengan susah payah ia mencoba berdiri tegak di atas kedua kakinya. Tetapi ia masih juga terhuyung-huyung. Dengan demikian maka ketika datang serangan berikutnya, Swandaru sama sekali tidak berhasil bertahan. Ketika ia melihat pedang yang terjulur lurus ke dadanya, ia masih sempat melecutkan cambuknya. Tetapi sentuhan kaki di lambungnya, telah membuat Swandaru terlempar ke samping dan jatuh terbanting melanggar sebatang pohon perdu, sehingga pohon itu ikut roboh pula.

Pada saat itulah orang yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu meloncat mendekati Swandaru. Ia sudah siap menerkam anak itu dan membuatnya tidak berdaya. Dengan demikian, ia akan segera dapat membantu kawan-kawannya yang lain.

Namun disaat yang gawat itu, Kiai Gringsing telah berhasil melepaskan diri dari lawan-lawannya. Dengan sigapnya ia meloncat sambil meledakkan cambuknya tepat di belakang orang yang sedang berusaha menerkam Swandaru yang masih terbaring di tanah.

Ternyata suara cambuk itu telah membuatnya terkejut. Sejenak ia berpaling, dan dilihatnya Kiai Gringsing telah menyerangnya dengan garangnya.

Namun dalam pada itu, lawan-lawan Kiai Gringsing sendiri telah memburunya. Lawan-lawan Swandaru pun ikut mengepungnya pula, termasuk orang yang terkuat di antara mereka.

Kiai Gringsing terkejut ketika ia melihat wajah orang itu. Orang yang dengan mudahnya dapat menguasai Swandaru. Orang itu adalah Kiai Damar.

“Kau Kiai Damar,” desis Kiai Gringsing.

“Huh, aku sudah mengira bahwa kau sama sekali bukan seorang gembala yang dungu. Tetapi umurmu tidak akan dapat diperpanjang lagi. Kau akan jatuh ke tangan kami. Kami akan memeras keteranganmu sebelum kalian mati di bawah kaki-kaki kuda kami.” Kiai Damar berhenti sejenak, lalu, “Beberapa orangku terbunuh siang ini. Kami datang menuntut balas. Pengawas-pengawasmu yang gila itu akan kami musnahkan bersamamu dan anak-anakmu itu.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia harus menghadapi tugas yang cukup berat. Ia mengharap bahwa Swandaru akan dapat mempergunakan kesempatan itu, melepaskan diri dan kembali turun di peperangan.

Namun dalam pada itu, di dalam ketegangan yang memuncak, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah tengkorak yang terlontar diudara dan jatuh tepat di antara mereka yang telah siap untuk mempertaruhkan jiwanya. Apalagi sejenak kemudian disusul oleh suara yang melengking tinggi, “Jangan takut. Kiai Dandang Wesi tidak akan mengingkari janjinya. Aku akan melindungi kalian dari setiap bencana. Inilah aku, Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi.”

Ternyata suara yang melengking tinggi itu telah memberikan pengaruh yang luar biasa. Beberapa di antara mereka yang berkelahi melawan Kiai Gringsing dan kedua anak-anaknya itu menjadi bingung sesaat.

Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing sendiri segera dapat mengetahui, bahwa yang kini sedang bermain hantu-hantuan itu adalah Sumangkar. Bahkan Swandaru yang telah meloncat bangun itu masih sempat tersenyum. Agaknya Ki Sumangkar pun telah dijangkiti kebiasaan gurunya yang kadang-kadang aneh.

Selagi keadaan diliputi oleh keragu-raguan dan kebimbangan itulah maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya seakan-akan mendapat kesempatan. Dengan lantang maka Kiai Gringsing pun berkata, “Nah menyerahlah. Kalau tidak, maka Kiai Dandang Wesi akan menggilas kalian dengan kekerasan.”

Namun Kiai Damar dan anak buahnya itu justru seperti terbangun dari mimpinya. Apalagi ketika Kiai Damar berteriak, “Persetan dengan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Kami sudah terlanjur mulai. Apa pun yang akan terjadi, akan kami hadapi.”

“Jangan sombong,” sahut Kiai Gringsing, lalu, “kau harus merasa bahwa kau tidak akan berdaya menghadapi hantu yang sebenarnya, bukan sekedar hantu-hantuan seperti orang-orangmu. Tengkorak yang dipasang di atas tongkat dan dilekati dengan kunang-kunang itu sama sekali tidak menakutkan. Kerudung hitam dan kuda-kuda yang bersayap itu seperti mainan kanak-anak yang jemu bermain kuda-kudaan dari pelepah pisang.”

“Diam!” teriak Kiai Damar. “Kau akan segera binasa. Kami akan melanjutkan usaha kami menakut-nakuti orang-orang di dalam barak itu dan kemudian menguasainya setelah kalian bertiga mati.”

“Kau lupa Kiai Dandang Wesi.”

“Persetan, ia tidak mampu melawan kami.”

Belum lagi mulutnya terkatup, maka sesosok tubuh yang berkerudung hitam telah tampil di dalam pertempuran itu. Seperti yang pernah diceriterakan oleh Agung Sedayu, pengalamannya dengan Kiai Dandang Wesi, maka Sumangkar yang berkerudung hitam itu pun mencoba menyesuaikan diri. Mula-mula ia melingkar di tanah, seperti seonggok batu yang hitam kemudian melenting tinggi. Lalu dengan, tiba-tiba pula menyerang orang-orang yang menyebut dirinya hantu-hantu dari Alas Mentaok itu.

Gerak dan tingkah laku Sumangkar benar-benar telah mengejutkan mereka. Mereka tidak mengira bahwa akan hadir di tengah peperangan itu, suatu bentuk yang sangat mendebarkan jantung mereka. Apalagi bentuk yang aneh itu ternyata sangat berbahaya.

Demikianlah maka mereka pun segera terlibat di dalam perkelahian melawan Kiai Gringsing, kedua anak-anaknya dan sesosok tubuh yang menyebut dirinya hantu dari Gunung Merapi.

Kiai Damar yang memimpin kawannya, merasa wajib untuk melawan musuh yang mereka anggap paling kuat, yaitu hantu dari Gunung Merapi itu. Namun sebenarnyalah bahwa hantu itu adalah hantu yang benar-benar lincah dan berbahaya.

Demikianlah di belakang barak itu telah terjadi perkelahian yang semakin lama semakin sengit. Beberapa orang terkuat dari rombongan Kiai Damar itu telah dibagi. Masing-masing dikawani oleh orang-orang lain, berusaha untuk dapat menangkap lawan mereka hidup-hidup. Bahkan Kiai Damar pun telah mencoba pula, apabila mungkin menangkap hantu-hantu dari Gunung Merapi itu.

Namun kekuatan lawan mereka benar-benar tidak mereka duga sebelumnya. Mereka hanya mengira bahwa kekuatan lawannya itu sedikit melampaui orang-orang mereka yang telah terbunuh. Tetapi ternyata bahwa mereka menjumpai kekuatan yang luar biasa. Menurut perhitungan mereka, mereka yang berjumlah lebih dari sepuluh orang itu telah cukup kuat untuk menangkap tiga orang yang mereka anggap telah menghalang-halangi usaha mereka itu. Bahkan mereka menyangka bahwa orang-orang di dalam barak itu akan dapat mereka pengaruhi ikut serta, bahkan mengeroyok beramai-ramai ketiga orang tersebut. Namun perhitungan mereka ternyata telah meleset. Tiga orang itu ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa, ditambah dengan hadirnya sesosok tubuh yang sama sekali berada di luar dugaan, yaitu sesosok tubuh dengan pakaian hitam dan menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.

Demikianlah, maka masing-masing telah bertempur melawan tiga orang sekaligus. Juga Kiai Dandang Wesi telah berkelahi melawan tiga orang, dan di antara ketiga orang itu ialah Kiai Damar sendiri.

Dalam pada itu, orang-orang di dalam barak itu pun seakan-akan telah benar-benar membeku. Mereka hanya mendengar suara cambuk meledak-ledak, kemudian beberapa kalimat-kalimat yang merontokkan isi dada mereka.

Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan apa yang telah terjadi sebenarnya di belakang barak mereka. Namun terbayang di kepala mereka, seakan-akan hantu-hantu sedang berkelahi mati-matian. Mereka berterbangan dan sambar-menyambar. Sesosok hilang dan yang lain telah membakar dirinya dan berusaha menyentuh lawannya dengan nyala yang berkobar. Tetapi kemudian telah memancar air dari tubuh sesosok hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi memandamkan api itu. Tetapi api itu kemudian menjelma seekor naga raksasa yang siap menelan lawannya. Namun sudah tentu hantu dari Gunung Merapi dan pasukannya akan tidak membiarkan dirinya ditelan oleh ular naga. Mereka segera berubah menjadi seekor harimau sebesar gunung anakan. Sedang di pihak lain, tengkorak-tengkorak berkeliaran melawan hantu-hantu bermata bara.

Tetapi di antara mereka terdapat tiga orang manusia yang bersenjata cambuk itu. Cambuknya terdengar meledak-ledak memekakkan telinga.

“Apakah mereka dapat mengimbangi kemarahan hantu-hantu itu?” pertanyaan itu setiap kali telah melonjak di dalam setiap dada. Namun ada di antara mereka yang berkata di dalam hati, “Ketiga orang itu pasti orang-orang yang sebenarnya dapat melihat hantu dan cambuk mereka itu mempunyai kekuatan yang dahsyat.”

Meskipun demikian kecemasan yang memuncak telah mencengkam hati mereka. Bahkan ada di antara mereka yang sama sekali tidak dapat membayangkan apa pun juga dan meskipun mereka tidak pingsan, tetapi mereka seakan-akan telah kehilangan segenap kesadaran.

Pemimpin pengawas yang terluka itu pun menjadi cemas pula. Sejenak terbayang perkelahian yang dahsyat antara orang tua yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu dengan beberapa orang dari gerombolan yang tidak dikenal. Namun ia pun membayangkan juga betapa dahsyatnya hantu-hantu yang sedang bertempur. Di dalam kepalanya terbayang campur baur yang buram. Dan pemimpin pengawas itu tidak berani membuat gambaran yang tegas, apakah yang sebenarnya berkelahi itu adalah manusia-manusia seperti Truna Podang atau hantu-hantu dari Alas Mentaok melawan hantu-hantu dari Gunung Merapi. Bahkan akhirnya pemimpin pengawas itu bertanya kepada diri sendiri, “Apakah Truna Podang itulah yaug menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi?”

Tetapi pemimpin pengawas itu ternyata telah membuat kesimpulan yang terbalik. Katanya, “Kalau begitu Truna Podang itu bukan manusia sewajarnya. Ia tentu hantu dari Gunung Merapi yang membuat dirinya seperti manusia untuk menolong kami. Juga kedua anak-anaknya itu pasti anak-anak jin atau perayangan.”

Dalam pada itu perkelahian di belakang barak itu masih berlangsung terus. Agung Sedayu bertempur dengan gigihnya melawan lawan-lawannya bersenjata pedang. Setiap kali cambuknya meledak dan menyentuh tubuh lawannya terdengar keluhan tertahan. Ujung cambuk Agung Sedayu, seperti juga ujung cambuk Swandaru dan gurunya, di beberapa bagian terikat oleh karah-karah besi baja yang dapat menyobek tubuh.

Di bagian lain Swandaru yang sudah mulai dapat bernafas karena kekuatan lawannya telah menjadi jauh berkurang, bertempur sambil berputar-putar. Ia masih juga sempat melihat bagaimana gurunya, mendesak terus lawan-lawannya, betapa pun lawan-lawannya berjuang dengan gigihnya. Bahkan kemudian Kiai Gringsing berhasil menguasai mereka, sehingga mereka seakan-akan tidak berdaya sama sekali.

Di bagian lain, Kiai Dandang Wesi yang berkerudung hitam masih juga bertempur melawan Kiai Damar beserta kedua kawan-kawannya. Ternyata permainannya itu terasa agak mengganggunya sehingga Sumangkar tidak dapat bertempur sewajarnya. Ia hanya dapat melenting-lenting dan meloncat-loncat. Sekali-sekali melempar lawan-lawannya dengan batu, kemudian menghindar jauh-jauh.

Akhirnya Sumangkar tidak telaten lagi mempergunakan kerudung hitam itu. Kerudung itu pun kemudian disingsingkannya dan disangkutkan di pundaknya. Katanya, “Kalau hantu-hantu di Alas Mentaok bertempur dengan mengambil bentuk sebagai seorang manusia, apa salahnya aku menyesuaikan diriku. Aku akan mengambil bentukku sebelum aku menjadi perayangan. Inilah Kiai Dandang Wesi, Abdi Dalem Pajang pemomong Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar di masa kanak-kanaknya.”

Kiai Damar yang bertempur melawan Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi itu tidak menyahut. Tetapi sejenak ia terpengaruh juga melihat bentuk Ki Sumangkar, yang tampaknya memang sudah cukup tua. Janggutnya telah memutih dan di wajahnya telah tampak kerut-merut ketuaannya.

Dalam kesuraman malam, Kiai Damar tidak dapat melihat bentuk wajah itu sejelas-jelasnya, namun, ternyata bahwa tandang Sumangkar kemudian benar-benar di luar dugaan Kiai Damar. Bahkan di dalam hatinya ia justru menjadi ragu-ragu. Apakah benar orang itu adalah perayangan yang telah musna dengan raganya? Hanya di dalam saat-saat tertentu saja muncul kembali dalam bentuknya dan wadagnya itu?

Keragu-raguan Kiai Damar itu ternyata di dalam tata geraknya. Senjatanya tidak menjadi semakin garang lagi, bahkan kadang-kadang terasa agak menurun.

Sumangkar yang mengetahui keragu-raguan itu berusaha menekannya semakin dalam. Katanya, “Inilah ujudku yang sebenarnya. Kalau pada sekitar dua puluh tahun yang lampau kau pernah menjelajahi daerah Demak lama kemudian Pajang dan sekitarnya, maka kau pasti pernah bertemu dengan seorang yang bernama Kiai Dandang Wesi. Itu adalah aku. Dua puluhan tahun atau lebih sedikit, aku juga sudah setua ini. Dalam bentuk perayangan aku tidak bertambah tua sampai akhir dari bumi ini. Seratus tahun, dua ratus tahun mendatang, aku akan tetap setua ini.”

Dada Kiai Damar menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ternyata ia tidak mau surut. Ia mencoba berkelahi terus bersama kawan-kawannya. Bahkan untuk mengusir keragu-raguannya sendiri ia berkata, “Jangan dengarkan igauannya. Marilah kita tangkap ia hidup-hidup. Ia akan menjadi saksi yang paling menarik bagi kita semuanya.”

Dengan demikian, maka Kiai Damar pun berusaha untuk semakin menekan lawannya yang kini sudah berbentuk, yaitu Sumangkar, yang masih saja nekat menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin sengit. Sumangkar yang sudah tidak memiliki tongkatnya lagi, karena telah diberikannya kepada Sekar Mirah, kini ternyata telah mempergunakan jenis senjata yang lain. Sepasang trisula bertangkai pendek. Senjata jenis itu adalah senjata kecil berujung tiga. Panjangnya tidak lebih dari dua jengkal. Tetapi di tangan seorang yang hampir mumpuni seperti Sumangkar, senjata di antara sepasang trisula itu, ternyata terikat pada seutas rantai baja yang kuat, sehingga trisula itu dapat dilontarkannya dan kemudian ditarik kembali, seperti jenis senjata bulatan-bulatan besi yang berduri.

“Eh,” berkata Swandaru di dalam hatinya, “orang tua itu sempat juga membuat mainan aneh itu.”

Dan ternyata bahwa senjata itu segera dapat mempengaruhi perkelahian. Lawannya yang belum menjajagi betapa dahsyatnya senjata itu, segera terlihat dalam kesulitan. Seorang kawan Kiai Damar yang menyerang sekuat-kuatnya, telah kehilangan pedangnya yang terjepit pada trisula yang diputar dengan cepatnya.

Tangan orang itu tidak cukup kuat menahan putaran pedangnya sendiri, sehingga pedang yang terlepas itu terlempar beberapa langkah daripadanya.

Kiai Damar yang melihat hal itu menggeram sambil meloncat maju. Senjatanya terjulur lurus-lurus ke depan. Namun ketika senjatanya itu tersentuh trisula Ki Sumangkar, maka Kiai Damar pun segera menariknya kembali sebelum Sumangkar sempat memutarnya di sela ujung-ujung trisulanya.

Namun demikian tekanan Kiai Damar berhasil memberi kesempatan kepada kawannya untuk memungut pedangnya yang terjatuh. Bahkan kemudian mereka bertiga telah berhasil kembali mengepung Ki Sumangkar yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi dari Gunung Merapi itu.

Namun, ketika tekanan ketiga orang itu datang bersama-sama dari tiga arah, Ki Sumangkar segera memutar trisulanya pada rantainya. Demikian cepatnya sehingga melontarlah bunyi desing yang mengerikan.

“Setan alas,” Kiai Damar mengumpat. Dan Sumangkar yang sudah kejangkitan penyakit Kiai Gringsing itu menyahut, “Kaulah setan alas, aku hantu dari Gunung.”

“Tutup mulutmu,” Kiai Damar menjadi semakin marah. Namun ia tidak segera berhasil menembus putaran trisula Ki Sumangkar yang justru menjadi semakin cepat.

Yang paling parah adalah orang-orang yang mengeroyok Kiai Gringsing. Mereka sama sekali tidak dapat berbuat sesuatu. Cambuk orang tua itu meledak-ledak tidak henti-hentinya, membuat telinga mereka seakan-akan tidak dapat bertahan dan bahkan kepala mereka menjadi pening. Belum lagi sentuhan-sentuhan ujung juntai cambuk itu, yang telah melukai kulit mereka dan membuat jalur-jalur merah silang menyilang.

Agaknya Kiai Gringsing memang tidak ingin membinasakan mereka. Seperti yang diinginkan, ia hendak menangkap mereka hidup-hidup supaya dapat diketahui, setidak-tidaknya dapat dibayangkan, apakah sebenarnya yang mereka kehendaki dengan mengganggu para pekerja yang sedang membuka hutan ini.

Dalam pada itu Agung Sedayu dengan mengerahkan tenaganya berhasil mengimbangi lawannya. Bahkan karena orang-orang yang terkuat dari lawan-lawannya telah berkumpul melawan Sumangkar dan Kiai Gringsing, maka lambat laun ia berhasil menguasai lawannya meskipun tidak akan segera dapat mengalahkan mereka. Sedangkan Swandaru masih harus berjuang mati-matian untuk mendesak lawan-lawannya. Namun kadang-kadang ia berhasil mengenai salah seorang dari mereka dan masih juga berkesempatan melihat, betapa dahsyatnya trisula Ki Sumangkar.

“Bukan main,” desisnya, “setelah ia kehilangan tongkatnya yang mengerikan, kini ia membuat senjata yang tidak kalah garangnya. Bahkan sepasang. Sebentar lagi, Sekar Mirah pun pasti akan mampu juga bermain-main dengan baling-baling maut itu.”

Dan senjata itu ternyata telah menggelisahkan Kiai Damar. Meskipun Ki Sumangkar tidak segera dapat menguasai Kiai Damar beserta kawan-kawannya, namun karena Kiai Damar sendiri tidak juga segera dapat memenangkan perkelahian itu, ia menjadi cemas. Kiai Damar yang merasa dirinya orang terkuat, bersama dua orang kawannya sama sekali tidak segera dapat menang atas lawannya. Apalagi kawan-kawannya yang lain. Dan ternyata pula ketika ia sempat melihat, betapa Kiai Gringsing dengan mudahnya menggiring ketiga lawannya. Kiai Gringsing bermaksud menekan mereka ke dinding barak. Kemudian membuat mereka tidak berdaya.

Kiai Damar menggeram di dalam hatinya. Ia sadar bahwa sebentar lagi, ketiga orang yang melawan gembala tua itu pasti akan segera dikuasainya. Orang tua itu pasti akan dapat membantu lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi itu.

Karena itu, Kiai Damar telah berjuang sekuat-kuatnya. Meskipun dengan susah payah, ketiga orang terkuat itu perlahan-lahan sekarang berhasil mendesak Sumangkar yang bersenjata dahsyat itu. Untunglah, bahwa Sumangkar dapat mempertahankan jarak jangkau lawan-lawannya dengan trisulanya yang diputarnya pada rantainya.

Meskipun perlahan-lahan Sumangkar sendiri terdesak, tetapi ia sama sekali tidak cemas. Ia pasti akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Kekuatan nafasnya akan membantunya mengatasi kesulitannya. Pada suatu saat, ketiga lawannya pasti akan susut kekuatannya. Sedang Sumangkar yang tua itu berusaha untuk tetap menyimpan tenaga cadangan, sehingga pada suatu saat, ia akan menguasai medan itu setelah lawannya menjadi lelah. Apalagi setelah ia melihat bahwa Agung Sedayu, Swandaru dan apalagi Kiai Gringsing tidak memerlukan bantuannya sama sekali. Dengan demikian ia dapat berkelahi sesuai dengan kemampuan dan perhitungannya. Ia merasa tidak akan dapat memaksa lawan-lawannya tunduk kepadanya, karena ilmu mereka cukup tinggi. Tetapi ia dapat memaksa lawannya mengarahkan segenap kekuatan dan kemampuan mereka, sehingga mereka kehilangan pengamatan dan penghematan tenaga itu. Perhitungan yang matang itulah yang telah membuatnya semakin tenang menghadapi lawan-lawannya yang tangguh.

Tetapi Kiai Damar benar-benar tidak dapat menolong kawan-kawannya yang semakin lama menjadi semakin tersudut di dinding barak. Cambuk Kiai Gringsing kali ini tidak menggiring kambing-kambing di lapangan rumput. Tetapi kali ini ia menggiring tiga orang yang menyebut dirinya hantu Alas Mentaok.

“Besok aku akan dapat memperlihatkan hantu-hantu ini kepada penghuni barak,” katanya, “dan kalian tidak usah takut, bahwa penghuni-penghuni barak akan berbuat sesuatu atas kalian. Mungkin ada juga di antara mereka yang ingin melihat kalian melenyapkan diri seperti asap, atau ingin melihat kalian berkepala tengkorak naik kuda sembrani dan sebagainya seperti yang pernah kalian perlihatkan kepada mereka di malam hari.”

Kata-kata Kiai Gringsing itu benar-benar membuat Kiai Damar dan kawan-kawannya menjadi sakit hati. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Mereka masih harus menghadapi lawan masing-masing. Apalagi Kiai Damar yang merasa orang terkuat di antara mereka, bersama dua orang kawannya, tidak segera dapat mengalahkan lawannya yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.

Dalam pada itu Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing melihat juga, betapa Sumangkar berusaha dengan cermat untuk dapat mengimbangi lawan-lawannya. Ternyata Kiai Damar cukup memiliki bekal untuk bertempur melawan Sumangkar, dibantu oleh dua orang terkuat pula di antara mereka.

“Aku harus segera menyelesaikannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hati.

Demikianlah maka perkelahian itu menjadi semakin seru. Kiai Damar berusaha semakin keras untuk dapat segera mengalahkan lawannya. Apalagi ketika ia melihat, ketiga kawannya yang bertempur melawan Kiai Gringsing menjadi terdesak karenanya.

Karena usaha Kiai Damar tidak segera dapat berhasil, maka ia pun kemudian mengambil jalan yang terakhir yang dapat dilakukan. Dalam perkelahian yang sengit, tiba-tiba tangan kirinya telah menggenggam sebilah keris pusakanya.

Sumangkar adalah orang yang cukup berpengalaman. Karena itu ketika ia melihat keris Kiai Damar, maka ia pun menjadi berdebar-debar karenanya. Keris yang berwarna kehitam-hitaman tanpa memantulkan cahaya sama sekali itu tampaknya bagaikan wajah yang buram penuh dengan kemurkaan dan dendam.

“Warangan keris itu pasti mengandung racun yang kuat,” desis Sumangkar di dalam hatinya.

Dalam pada itu, sekilas Sumangkar teringat kepada senjatanya yang dahsyat. Tongkat berkepala tengkorak kecil yang berwarna kekuning-kuningan.

Namun yang ada padanya kini adalah sepasang trisula itu. Apa pun yang dihadapinya, maka ia hanya dapat mempergunakan sepasang trisula itu.

Ternyata, bukan saja Sumangkar yang menjadi berdebar-debar melihat senjata itu. Kiai Gringsing yang juga melihatnya, menjadi berdebar-debar juga. Seperti Sumangkar, ia pun segera mengetahui bahaya senjata Kiai Damar itu pasti mengandung warangan yang sangat tajam.

“Senjata itu sangat berbahaya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Apalagi Ki Sumangkar harus menghadapi tiga orang lawan yang cukup tangguh.”

Karena itu, Kiai Gringsing tidak dapat memperpanjang waktu lagi. Tiba-tiba cambuknya menggelepar dan sekaligus dua orang lawannya memekik kesakitan. Ketika cambuknya sekali lagi meledak seorang di antara lawan-lawannya itu terlempar dan jatuh pingsan. Kedua lawannya yang lain menjadi terkejut melihat akibat senjata yang dahsyat itu. Tetapi mereka tidak mendapat kesempatan. Selagi mereka termangu-mangu, maka cambuk itu telah menghantam punggung keduanya hampir bersamaan. Sekali lagi keduanya terdorong ke samping. Dengan susah payah mereka berusaha mempertahankan keseimbangan mereka. Namun semua usaha itu sama sekali tidak berarti. Dengan dahsyatnya Kiai Gringsing menekan lawannya tanpa memberi kesempatan apa pun. Cambuknya terdengar meledak kembali, dan kedua orang lawannya itu pun terlempar jatuh, dan keduanya menjadi pingsan pula.

Kini Kiai Gringsing telah berdiri bebas. Sejenak ia menarik nafas dalam-dalam sambil melihat, bagaimana Sumangkar dengan susah payah berusaha mempertahankan diri.

Melawan keris beracun itu Sumangkar tidak dapat sekedar memperpanjang waktu dan menunggu lawan-lawannya menjadi lelah. Untuk mengurangi tekanan lawan, maka ia pun kemudian harus mengambil sikap yang dapat mempengaruhi jalan pertempuran itu.

Dengan sepasang trisula kecilnya Sumangkar berusaha menyerang lawan-lawannya. Yang sebuah diputarnya di atas kepalanya untuk mempertahankan jarak dari lawannya. Namun apabila sekali-sekali senjata lawannya berhasil menyusup, maka dengan trisulanya yang lain ia berusaha melindungi dirinya, terutama dari sentuhan ujung keris Kiai Damar.

Sejenak, Sumangkar berhasil merubah keadaan. Ia tidak lagi membiarkan dirinya terdesak, agar ia tidak selalu dikejar oleh senjata beracun itu. Tetapi ialah yang kemudian memegang peran di dalam gerak perkelahian itu, justru karena ia melihat bahaya yang mengancamnya.

Namun demikian, keris Kiai Damar benar-benar merupakan senjata yang berbahaya. Setiap kali, hanya dengan susah payah Sumangkar berhasil menghindar, menangkis dan kadang-kadang mendesak Kiai Damar untuk meloncat surut. Tetapi di saat lain, bahaya yang sebenarnya hampir-hampir saja menyentuhnya.

Kiai Gringsing tidak dapat tinggal diam. Ia pun kemudian mendekati arena perkelahian Sumangkar sambil berkata, “Kiai Dandang Wesi. Kenapa kau bertempur dengan ragu-ragu. Jangan disesali seandainya terpaksa kau membunuh mereka. Mereka adalah orang-orang, eh, hantu-hantu yang tidak menurut perintah rajanya di Alas Mentaok ini.”

Tidak terdengar jawaban sama sekali. Tetapi semuanya menjadi jelas. Kiai Damar harus melepaskan dua orang kawannya untuk melawan Truna Podang. Ia sendiri masih tetap bertempur menghadapi Sumangkar dengan senjata pusakanya.

“Jangankan manusia, jin, peri atau perayangan,” berkata Kiai Damar, “bahkan gunung akan runtuh dan lautan akan kering tersentuh oleh pusakaku ini.”

Sumangkar tidak menjawab. Ia sadar, betapa dahsyatnya kemampuan keris itu.

Namun yang menjawab adalah Kiai Gringsing, “Gunung dan lautan tidak dapat berusaha menghindar atau menangkis. Tetapi beda dengan Kiai Dandang Wesi. Itulah sebabnya, maka kau dapat meruntuhkan perlawanannya dan mengeringkan darahnya.”

Demikianlah akhir dari perkelahian itu segera menjadi jelas. Kiai Damar tidak sempat menjawab kata-kata Kiai Gringsing, karena Sumangkar segera menyerangnya.

Tanpa dua orang kawan yang membantunya, ternyata bahwa Kiai Damar tidak dapat mengimbangi kemampuan Sumangkar, meskipun Kiai Damar mempergunakan pusakanya yang beracun itu. Ternyata senjata Sumangkar di tangan orang yang cakap menggerakkannya, terlampau sulit untuk ditembus.

Sejenak kemudian, segera tampak bahwa Kiai Damar terdesak karenanya. Betapa pun orang itu berusaha, namun Sumangkar adalah seorang tua yang cukup berpengalaman. Ia adalah seorang yang disegani di Jipang hampir seperti Patih Mantahun sendiri.

Persoalan yang dihadapi ini benar-benar tidak masuk perhitungan Kiai Damar. Dengan kawan-kawannya yang lebih dari sepuluh orang itu ia merasa bahwa ia pasti akan segera dapat menyelesaikan tugasnya. Ia merasa pasti bahwa ia akan dapat menangkap Truna Podang bersama dua anaknya.

Tetapi yang dihadapinya ternyata jauh berbeda dari rencananya itu. Truna Podang ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan kedua anaknya tidak juga dapat dikalahkan oleh masing-masing tiga orang kawan-kawannya yang terpilih.

“Siapakah mereka itu?” pertanyaan itu telah mengganggu pikiran Kiai Damar.

Tetapi Kiai Damar sadar, ia tidak boleh hanya sekedar berteka-teki. Ia harus membuat perhitungan yang semasak-masaknya menghadapi keadaan ini. Dan Kiai Damar pun menyadari, bahwa ia tidak boleh mengorbankan semua kawan-kawannya itu untuk suatu tugas yang sia-sia. Tetapi Kiai Damar tidak juga dapat meninggalkan mereka hidup-hidup, terutama orang-orang terpenting, karena mereka akan dapat memberikan keterangan tentang keadaan mereka sendiri, meskipun Kiai Damar sendiri sadar, bahwa orang-orang itu sebenarnya tidak terlampau banyak yang diketahui. Mereka hanya tahu bahwa Kiai Damar adalah seorang dukun. Mereka tunduk pada perintahnya, dan barangkali satu dua di antara mereka tahu, bahwa masih ada orang lain di belakang Kiai Damar, namun mereka pasti tidak dapat mengatakan tentang orang lain itu.

Kiai Damar menyadari keadaannya itu sepenuhnya. Apalagi ketika ia mendengar sebuah keluhan yang panjang. Seorang lagi kawannya yang melawan Kiai Gringsing terlempar ke samping, kemudian jatuh berguling.

“Gila,” desis Kiai Damar. Dan tidak menunggu lebih lama lagi, ia pun segera mengambil keputusan. Mumpung malam masih panjang. Ia masih mempunyai kesempatan untuk berbuat sesuatu menjelang pagi hari.

“Besok pagi kami akan bertambah sulit. Para pengawas yang berhasil menerobos pengawasan dan sampai ke pusat Tanah Mataram itu pasti akan kembali sambil membawa orang-orang baru. Bersama tiga orang gila dan seorang yang menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi, maka sulitlah kiranya, untuk berbuat sesuatu di sini.”

Tetapi Kiai Damar tidak dapat berbuat banyak. Rencananya untuk membinasakan tiga orang ini lebih dahulu, dan kemudian orang-orang baru yang datang besok, ternyata tidak berhasil. Bahkan beberapa orang-orangnya telah dilumpuhkan.

Maka sejenak kemudian terjadilah sesuatu yang tidak terduga-duga itu. Kiai Damar yang tidak mau bertempur lebih lama, tiba-tiba meloncat sambil bersuit nyaring. Tanpa menunggu lagi, ditinggalkannya Ki Sumangkar.

Tetapi Kiai Damar tidak segera meninggalkan arena. Ia sadar, bahwa kawan-kawannya pun tidak akan dengan mudah melepaskan diri. Juga orang-orang yang melawan Kiai Gringsing, yang kini tinggal seorang, dan yang sebenarnya sudah tidak berdaya sama sekali. Dua orang yang mula-mula bersamanya melawan Sumangkar adalah orang-orang yang termasuk penting di dalam lingkungannya. Kedua orang itu mengerti serba sedikit hubungan yang lebih jauh di belakang Kiai Damar di dalam usahanya menguasai daerah yang sedang dibuka. Tetapi agaknya usahanya masih jauh dari sasaran. Bahkan untuk menyingkirkan tiga orang itu pun ia tidak berhasil.

Adalah mengejutkan sekali, bahwa justru pada saat Kiai Damar meninggalkan arena, ia masih sempat meloncat mendekati kedua kawannya di tanah, dan yang seorang yang melangkah surut didesak oleh Kiai Gringsing.

Hampir tidak masuk akal, bahwa Kiai Damar itu berlari sambil menggoreskan ujung kerisnya kepada kedua orang itu. Yang mula-mula dilukainya adalah orang yang terbaring di tanah sambil mengerang, kemudian sebuah goresan mengenai tangan kawannya yang justru sedang bertempur melawan Kiai Gringsing.

Sementara itu, kawan-kawannya yang lain pun, telah mencoba meninggalkan gelanggang. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak sempat melakukannya. Apalagi tiga orang yang melawan Swandaru. Disaat terakhir, Swandaru telah mengerahkan segenap kemampuannya, ketika ia mendengar Kiai Damar bersuit nyaring. Ia tahu benar maksudnya. Karena itu, maka dengan sepenuh kemampuannya ia telah melumpuhkan tiga orang lawannya tanpa ampun. Ledakan cambuknya telah mengenai leher, wajah dan yang seorang yang sudah sempat melangkah lari, telah dijerat kakinya dengan ujung cambuk itu, sehingga ia jatuh terjerembab. Sebelum ia sempat bangkit, maka ujung cambuk Swandaru telah membuatnya pingsan.

Hanya seorang saja lawan Agung Sedayu yang berhasil lolos. Agung Sedayu menjadi ragu-ragu ketika ia mendengar orang itu seakan-akan merintih mohon ampun. Kalau saja Agung Sedayu tidak dibayangi oleh keragu-raguannya, ia sempat meraih sebutir batu dan melempar punggung orang yang kemudian seakan-akan tenggelam di balik dedaunan. Tetapi, tangannya serasa menjadi sangat berat, ketika ia mendengar orang itu seakan-akan menangis.

Tetapi dua orang lawannya yang lain telah terbaring di tanah. Yang seorang pingsan sedang yang lain merintih, kesakitan karena lambungnya sobek oleh karah-karah besi cambuk Agung Sedayu.

Arena pertempuran itu menjadi hening sejenak. Kiai Gringsing masih dicengkam oleh keheranan dan bahkan terkejut melihat Kiai Damar, yang dengan keris pusakanya, telah melukai kawan-kawannya sendiri, yang dua orang itu.

“Yang dua orang ini pasti orang-orang penting,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Karena itu, sejenak kemudian Kiai Gringsing menyadari, betapa pentingnya keterangan dari kedua orang itu, kalau ia berhasil menyelamatkannya.

Tetapi kedua orang yang telah dilukai oleh Kiai Damar itu bagaikan orang gila. Keduanya sama sekali tidak menyangka, bahwa justru Kiai Damar sendirilah yang telah berusaha membunuhnya. Karena itu, terbayang di wajah keduanya, perasaan marah, kecewa, penyesalan dan dendam yang bercampur baur, sehingga mereka berteriak-teriak sambil berguling-guling tidak menentu. Meskipun tubuh mereka menjadi lemah dengan cepatnya, namun seakan-akan mereka tidak mau menerima kenyataan itu.

“Kiai Damar, tunggu, tunggu aku,” teriak salah seorang dari mereka sambil meronta-ronta. Sebenarnya ia masih dapat berlari meninggalkan arena kalau mendapat kesempatan. Tetapi menurut perhitungan Kiai Damar, ia pasti tidak akan dapat lepas dari tangan Kiai Gringsing yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu. Karena itu, sambil berlari meninggalkan arena, ia masih sempat menggoreskan pusakanya. Bagi Kiai Damar, kedua orang yang mengerti tentang keadaannya, dan beberapa macam persoalan yang menyangkut tentang dirinya, lebih baik dimusnahkan, apabila memang tidak ada harapan untuk diselamatkan. Sedang orang-orang lain adalah pengikut-pengikut kecil yang hampir tidak mengetahui persoalan yang sebenarnya di dalam lingkungan mereka. Seandainya ada juga yang mengerti, maka keterangan mereka tidak akan cukup banyak.

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru memandang kedua orang yang sedang diraba oleh maut itu dengan hati yang berdebar-debar.

Mereka melihat suatu pergulatan yang dahsyat antara kenyataan dan pemberontakan di dalam diri mereka.

“Marilah, kita mencoba menolong mereka,” berkata Kiai Gringsing.

Sumangkar menganggukkan kepalanya.

“Cobalah, tahan tubuhnya, agar ia tidak meronta-ronta. Aku akan berusaha mengobatinya.”

Sumangkar pun kemudian melangkah mendekati salah seorang dari mereka. Yang seorang itu agaknya masih cukup mempunyai kekuatan untuk bertahan seandainya ia sempat ditolong. Tetapi karena ia selalu meronta-ronta maka racun warangan keris itu seakan-akan telah dipercepat menjalari seluruh tubuhnya.

Dengan hati-hati Sumangkar mendekatinya. Kemudian dengan cepatnya ia menerkam kedua tangannya dan memeganginya erat-erat.

“Inilah lukanya,” berkata Sumangkar sambil menahan tubuh orang itu.

Tetapi ia masih tetap meronta-ronta. Sambil berteriak ia berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi tubuhnya sudah menjadi sangat lemah. Keringat dingin mengalir seperti terperas dari tubuh itu.

Dengan tergesa-gesa Kiai Gringsing mengambil serbuk obat dari bumbung kecilnya. Dengan susah payah ditaburkan serbuk itu di atas luka di tangannya. Namun demikian, Kiai Gringsing sudah tidak berpengharapan lagi. Luka itu cukup dalam, sehingga racun yang menyusup ke dalam darah pun dengan cepatnya menjalar ke seluruh tubuh, dan mencengkam jantung.

Kiai Gringsing masih mendengar orang itu berteriak mengumpat. Tetapi suaranya yang parau seakan-akan hilang di tenggorokan. Namun semua orang masih sempat mendengar orang itu mencaci maki Kiai Damar yang telah membunuhnya.

Sejenak kemudian ia pun terdiam. Obat Kiai Gringsing yang sudah mulai bekerja tidak berhasil menolongnya. Sejenak kemudian ia pun menghembuskan nafasnya yang penghabisan.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika tiba-tiba ia teringat pada orang yang satu lagi, ia pun segera bangkit pula. Tetapi keadaan orang itu agaknya lebih buruk lagi dari kawannya. Sebelum Kiai Gringsing berbuat sesuatu, ia pun telah meninggal pula. Tubuhnya yang memang sudah terlampau lemah, sama sekali tidak mempunyai daya tahan yang cukup untuk menahan arus racun dari lukanya keseluruh tubuhnya dan menghentikan detak jantungnya.

Agung Sedayu dan Swandaru menjadi ngeri melihat peristiwa itu. Alangkah kejamnya. Mereka dengan hati yang dingin membunuh kawan-kawan sendiri apabila sudah tidak diperlukan lagi, atau dianggap berbahaya bagi mereka.

Sumangkar pun menggeleng-gelengkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Mengerikan sekali.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Tanpa disadarinya ia melangkah mendekati orang-orang lain yang masih terbaring di tanah. Beberapa orang sudah mulai sadar, akan tetapi tubuh mereka terasa sama sekali tidak bertenaga.

Dari dua belas orang yang datang ke barak itu, dua di antara mereka sempat melarikan dirinya, yang dua terbunuh oleh kawannya sendiri, sedang yang lain sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk berbuat sesuatu. Seorang lawan Swandaru ternyata luka sangat berat dan mengancam jiwanya. Demikian juga seorang lawan Agung Sedayu yang luka di lambung meskipun ia tidak pingsan. Sedang lawan-lawan Kiai Gringsing yang pingsan justru tidak berbahaya bagi jiwa mereka.

“Marilah, kita bawa mereka ke barak,” berkata Kiai Gringsing.

Sumangkar menganggukkan kepalanya.

Kemudian bertiga bersama Agung Sedayu dan Swandaru, Sumangkar mengusung orang-orang yang terluka. Sedang Kiai Gringsing tetap mengawasi keadaan, apabila ada perkembangan baru yang mencemaskan.

Satu demi satu mereka diletakkan di serambi. Sedang orang-orang yang ada di serambi itu menjadi ketakutan dan menyibak karenanya.

“Jangan takut,” berkata Agung Sedayu, “mereka tidak akan berbuat apa-apa.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut. Tetapi tatapan mata mereka yang suram, membayangkan kecemasan yang tiada taranya.

Akhirnya, semuanya telah terbaring di serambi barak. Kiai Gringsing pun telah berada di serambi itu pula. Satu demi satu luka mereka mendapat pengobatan. Terutama mereka yang luka parah.

Orang-orang di serambi barak yang melihat orang-orang itu terbaring diam, perlahan-lahan menjadi agak berani juga mendekat. Bahkan salah seorang dari mereka yang berjongkok di belakang Agung Sedayu bertanya lirih, “Siapakah mereka itu?”

Sebelum Agung Sedayu menjawab, Swandaru telah mendahului menyahut, “Coba katakan, siapakah mereka menurut dugaanmu.”

Orang itu tidak segera menyahut. Dipandanginya Swandaru yang berwajah bulat itu meskipun kini agak susut.

“Tebaklah.”

Orang itu ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab, “Orang itu adalah korban dari hantu-hantu yang marah itu.”

“He, bukankah ia marah kepada kita di sini?”

“Tetapi orang-orang itu dibawanya dari barak-barak yang lain di tempat yang lain.”

“Coba terka, ke mana mereka, maksudku hantu-hantu itu sekarang pergi.”

Orang itu tidak dapat menjawab. Sementara orang-orang lain yang mendengar pembicaraan itu semuanya memandang Swandaru dengan wajah yang bertanya-tanya.

“Ke mana? Coba terka ke mana perginya hantu-hantu itu?”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

Akhirnya Swandaru itu berkata, “Inilah hantu-hantu itu. Merekalah yang menyebut dirinya hantu-hantu. Mereka pulalah yang sering menakut-nakuti kalian dengan tengkorak yang dilekati kunang-kunang atau kuda yang diberi kerincing dikakinya dan dilekati kunang-kunang pula di bagian-bagian tubuhnya.”

Sejenak orang-orang di serambi barak itu terpaku diam. Namun kemudian salah seorang berkata, “Tetapi, ada di antara kita yang pernah melihat hantu-hantu itu.”

Swandaru mengerutkan keningnya sejenak. Tiba-tiba ia berlari menghambur ke belakang barak itu. Sejenak kemudian ia kembali sambil membawa sebatang tongkat, dan di ujung tongkat itu ditaruhnya tengkorak yang ditemukannya di belakang barak itu.

“Inilah hantu itu. Apakah kalian percaya?” bertanya Swandaru kepada mereka. “Lihatlah, betapa menakutkan hantu-hantu ini. Kemudian mereka berkerudung hitam. Lihat, kain yang tersangkut di leher Ki Sumangkar itu. Itu-lah kerudung hantu-hantu itu. Kami telah terlibat dalam perkelahian melawan hantu-hantu kecil dari Alas Mentaok. Ternyata hantu-hantu tidak lebih dari orang gila yang mencoba menakut-nakuti kita. Sekarang kalian melihat, apakah hantu-hantu itu benar-benar menakutkan? Hantu-hantu itu sekarang sudah tidak berdaya sama sekali.”

Beberapa orang saling berpandangan sejenak.

“Cobalah. Sentuhlah kakinya atau tangannya. Kalian akan merasa bahwa kalian sama sekali tidak bersentuhan dengan hantu-hantu. Tetapi kalian akan merasakan kehangatan kulitnya dan denyut nadinya. Hantu-hantu tidak berdarah, dan karena itu tubuhnya sama sekali tidak mempunyai panas sama sekali.”

Beberapa orang masih tetap ragu-ragu. Tetapi seorang yang masih muda merayap maju. Meskipun ragu-ragu juga tetapi tangannya kemudian dijulurkannya perlahan-lahan.

Tetapi ketika orang yang terbaring dihadapannya itu menggeliat, ia meloncat mundur.

“Jangan takut.”

Orang-orang yang terbaring karena luka-lukanya itu pun menjadi berdebar-debar pula. Mereka merasa bahwa berpuluh-puluh pasang mata memandangi mereka dengan tajamnya, penuh kebencian dan penuh dendam. Apabila mereka sadar, bahwa yang dihadapinya itu adalah orang-orang yang sudah tidak berdaya, maka sikap mereka akan dapat membahayakan.

“Sentuhlah,” desis Swandaru.

Sekali lagi orang itu mengulurkan tangannya. Kali ini ia memaksa dirinya sehingga akhirnya ia menyentuh tangan orang yang sedang terbaring karena lukanya.

“Nah, apa katamu.”

Orang itu ragu-ragu sejenak. Kemudian sekali lagi ia menyentuhnya. Bahkan kemudian tiba-tiba ia mencengkam tangan itu. Dengan serta-merta tangan itu ditariknya sambil menggeram, “Jadi kau yang menjadi hantu jadi-jadian itu, he.”

Hampir saja orang itu meremas wajah orang yang sedang terluka itu. Namun Swandaru yang berdiri di sampingnya dengan cepatnya menangkap tangannya sambil berkata, “Hantu-hantu itu sudah menjadi jinak. Jangan kau apa-apakan dia. Biarlah ia menikmati luka-lukanya. Kalau luka-luka itu sudah sembuh, maka kita akan memeliharanya. Mungkin kita memerlukannya.”

Orang yang hampir saja mencengkam wajah orang yang terluka itu terpaksa melepaskannya. Tetapi tiba-tiba ia berkata, “He, orang-orang yang tinggal di barak ini, yang selama ini telah dibayangi oleh ketakutan terhadap hantu-hantu. Sekarang kita sudah berhadapan dengan mereka, sehingga karena itu, apakah yang akan kita lakukan terhadap mereka.”

“Itu pasti akan mereka akui. Baiklah mereka akan kita serahkan saja kepada para petugas yang besok akan datang.”

“Tidak. Mereka tidak akan kita serahkan kepada orang lain. Mereka akan kami adili di sini. Kamilah yang akan menjatuhkan hukuman kepada mereka.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia melihat beberapa orang telah bergerak mendekat. Bahkan orang-orang yang berada di dalam barak pun telah berdesakan di muka pintu.”

“Ya, serahkan kepada kami. Serahkan kepada kami.”

Sejenak kemudian suasana menjadi semakin tegang. Agung Sedayu berdiri termangu-mangu. Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah bergeser mendekatinya pula. Bahkan Kiai Gringsing berbisik ditelinga muridnya, “Pertahankan. Pertahankan orang-orang itu.”

Agung Sedayu menjadi semakin mantap. Namun sebelum ia berkata lagi, terdengar suara di ambang pintu, “Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka. Akulah pemimpin pengawas di sini. Mereka akan diserahkan kepadaku dan aku akan menyerahkan mereka kepada atasanku.”

Kini semua orang memandang kepada pemimpin pengawas yang memaksa dirinya untuk berdiri bersandar tiang pintu.

Sejenak orang-orang itu terdiam. Mereka memandang pengawas itu sejenak. Namun orang yang marah itu agaknya sulit mengendalikan diri. Salah seorang dari mereka berteriak, “Kami tidak akan menyerahkan kepada siapa pun juga. Kami akan mengadilinya sendiri.”

“Itu tidak mungkin. Orang-orang itu akan dibawa ke Mataram. Kita semuanya sangat memerlukan mereka. Keterangan mereka akan dapat membantu kita seterusnya.”

“Aku tidak peduli.”

“Ya, kami tidak peduli,” sahut yang lain. Dan yang lain berteriak, “Bunuh saja. Mereka membuat kita malu dan muak.”

Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja di dalam ketegangan itu, ia tidak melihat Swandaru.

“Kemanakah anak ini pergi?” ia bertanya kepada diri sendiri. Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Sumangkar pun bertanya-tanya pula di dalam hati.

“Tidak apa,” terdengar suara Agung Sedayu, “kalian tidak akan berbuat apa-apa.”

“Tetapi mereka telah menakut-nakuti kami untuk waktu yang cukup lama sehingga kami telah kehilangan banyak sekali kawan dan kehilangan banyak waktu.”

“Tetapi kalian tidak akan berbuat apa-apa.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Dipandanginya wajah Agung Sedayu dan orang yang terbaring itu berganti-ganti.

Namun dalam pada itu terkilas dikepalanya, ketakutan yang selama ini telah merusak semua usaha orang-orang di dalam barak ini. Beberapa orang telah meninggalkan tempat mencari tempat baru karena mereka tidak dapat lagi kembali ke tempat mereka yang lama. Kemudian beberapa orang yang lain tidak lagi berani keluar dari baraknya sehingga lebih baik bekerja saja di dapur. Dan banyak lagi persoalan yang telah mengungkat kemarahannya. Orang itu menjadi malu kalau dikenangnya, bagaimana ia bersembunyi di balik selimut apabila terdengar suara gemerincing dan derap kaki-kaki kuda.

Karena itu, dengan wajah yang kemudian menjadi merah padam ia berkata, “Orang-orang ini telah membuat kami di sini mengalami banyak sekali gangguan. Karena itu, serahkanlah mereka kepada kami. Kami akan mengadili mereka dengan cara kami.”

Permintaan itu telah mengguncangkan jantung orang-orang yang sedang terbaring diam karena luka-luka mereka. Tetapi yang lukanya tidak begitu parah perlahan-lahan mencoba mengumpulkan kekuatan yang masih ada. Tentu tidak menyenangkan sekali jatuh ditangan orang-orang yang sedang marah karena ledakan perasaan yang sudah lama ditekan.

Beberapa orang merasa, lebih baik lari atau melawan dan kemudian mati di dalam perlawanan itu apabila tidak berhasil lolos sama sekali, daripada menjadi permainan.

Tetapi Agung Sedayulah yang menjawab, “Sebaiknya kalian tidak berbuat apa-apa. Mereka sudah tidak berdaya. Mereka sudah tidak akan dapat menakut-nakuti kalian lagi.”

“Tetapi mereka pernah melakukannya. Mereka pernah membuat hati kita kecut sehingga kami kehilangan gairah untuk berbuat sesuatu.”

Namun mereka tidak sempat mencari anak yang gemuk itu. Mereka kini benar-benar dicengkam oleh kecemasan, bahwa orang-orang di barak itu tidak dapat dikendalikan lagi.

“Kalian jangan melindungi mereka,” tiba-tiba salah seorang dari mereka berteriak. Seorang yang bertubuh besar meskipun agak pendek berdiri di sudut serambi. “Akulah yang akan membunuhnya. Aku telah banyak sekali dikecewakan oleh orang-orang gila itu. Aku sudah meninggalkan gubug yang sudah aku bangun itu untuk beberapa saat dan tidur berjejal-jejal di sini.”

“Kenapa kau berbuat begitu?” bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba.

“Orang-orang itulah yang telah menakut-nakuti kami.”

“Salahmu sendiri bahwa kau menjadi takut.”

“Kalau aku tidak takut, mereka akan membunuh aku.”

“Dan kau, kau, kau dan yang lain lagi, sama sekali tidak berani melawan, kalian hanya berani bersembunyi. Bahkan menyalahkan kami yang dengan susah payah berusaha membongkar kejahatan ini. Sekarang, kalian akan memaksa kami menyerahkan mereka kepada kalian,” jawab Agung Sedayu, “tentu kami tidak mau. Misalnya orang berburu, kamilah yang mendapat binatang buruan. Terserah kepada kami, apa yang akan kami lakukan.”

“Tepat,” sahut pemimpin pengawas.

Keadaan menjadi hening sejenak, meskipun wajah-wajah menjadi semakin tegang. Namun sejenak kemudian meledaklah perasaan yang selama ini tertekan, “Kami tidak peduli. Kami memerlukan mereka. Kami akan mencincang mereka di halaman. Siapa yang melindungi, akan kami sertakan pula. Akan kami cincang pula di antara mereka di halaman.”

“Ya, ambil saja dengan paksa.”

“Bunuh saja.”

Agung Sedayu menjadi bingung. Orang-orang itu bagaikan orang yang kehilangan kesadaran. Kalau satu dua orang di antara mereka kemudian berdiri dan maju selangkah, maka keadaan akan menjadi kacau. Mereka tidak ubahnya dengan orang-orang yang sakit ingatan, yang sama sekali tidak dapat mengekang dirinya sendiri. Dalam keadaan yang demikian, di dalam lingkungan orang banyak, seseorang akan dapat kehilangan dirinya sendiri. Seseorang akan dapat berbuat seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang ada disekitarnya tanpa memikirkan akibatnya.

Kiai Gringsing dan Sumangkar pun menjadi berdebar-debar pula. Seperti Agung Sedayu, mereka tidak segera mengerti, apa yang sebaik-baiknya dikerjakan. Sedang pemimpin pengawas yang berdiri bersandar pintu pun menjadi bingung pula. Apalagi pemimpin pengawas itu menyadari, betapa pentingnya keterangan-keterangan yang dapat didengar dari hantu-hantu yang kini sudah tidak berdaya itu.

“He, kenapa kita menunggu?” bertanya orang yang bertubuh besar dan pendek.

“Ya, apa yang kita tunggu. Ambil saja mereka semuanya, Kita cincang bersama-sama.”

“Kalian tidak akan dapat mengambil mereka,” berkata Agung Sedayu sambil mengurai cambuknya. “Aku sudah bertempur mati-matian melawan hantu-hantu Alas Mentaok ini. Sebagian dari mereka lari, dan sebagian dapat kami tangkap. Hantu-hantu itu sama sekali tidak dapat mengalahkan kami. Apalagi kalian. Ayo, siapakah di antara kalian yang jantan. Majulah lebih dahulu. Siapa yang akan mencincang mereka dan orang yang melindunginya sama sekali. Akulah yang melindungi mereka.”

Sejenak orang-orang itu terbungkam. Tetapi suasana yang panas itu menjadi semakin panas ketika seseorang berkata, “Jumlah kita lipat sepuluh lebih dari jumlah mereka. Mereka tidak akan dapat menahan arus kemarahan kita.”

“Kita paksa anak itu.”

“Kami bersenjata,” geram Agung Sedayu.

Sekali lagi orang-orang itu terdiam. Namun kemudian seseorang berkata, “Tidak peduli. Tangkap mereka.”

Ketika Agung Sedayu melihat sorot mata mereka yang marah, harapannya untuk dapat menahan arus kemarahan mereka menjadi pudar. Adalah tidak mungkin baginya bersama guru dan Sumangkar, untuk melayani orang-orang yang tidak bersenjata itu. Orang-orang bingung yang tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Kalau ia bersama gurunya dan Sumangkar berbuat sesuatu, maka akibatnya akan sangat parah bagi orang-orang itu. Tetapi kalau ia tidak berbuat sesuatu, maka hantu-hantu Alas Mentaok itu akan menjadi korban dan mereka akan kehilangan sumber keterangan meskipun sedikit.

Sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka ia sudah melihat satu dua orang mulai bergerak. Dan ia menjadi semakin berdebar-debar ketika beberapa orang telah berdiri serentak.

“Bagaimana, Guru,” desis Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tidak juga segera menjawab. Seperti Sumangkar ia pun menjadi kebingungan. Apakah yang sebaiknya dilakukan. Kalau ia terpaksa mempergunakan kekerasan, maka akibatnya sama sekali tidak dikehendakinya. Selama ini ia berbuat sesuatu, yang dapat membahayakan jiwanya, justru untuk kepentingan orang-orang itu. Tetapi kini orang-orang itu justru marah kepadanya.

Sebelum Kiai Gringsing menemukan cara yang sebaik-baiknya, maka meledaklah kemarahan orang-orang di dalam barak itu. Beberapa orang hampir berbareng berdiri sambil berteriak, “Ambil, ambil saja.”

“Tidak,” tiba-tiba Agung Sedayu berteriak untuk mengatasi suara riuh mereka. Dan hampir berbareng dengan itu, orang-orang yang merasa dirinya masih mampu bangkit, tiba-tiba pula telah mencoba bangkit pula perlahan-lahan.

Ternyata beberapa orang yang bergerak-gerak, dan kemudian duduk di serambi sambil menyeringai itu berpengaruh. Apalagi ketika salah seorang dari mereka berdiri dengan terhuyung-huyung.

Agung Sedayu melihat gelagat itu. Karena itu, maka ia berkata, “Mereka tidak rela menyerahkan diri mereka kepada kalian. Ternyata salah seorang dari mereka telah bangkit berdiri. Sebentar lagi semuanya akan berdiri dan aku tidak tahu apa yang akan mereka lakukan.”

Serambi itu menjadi hening.

Agung Sedayu melihat sorot mata keragu-raguan di setiap wajah. Orang-orang di barak itu sejenak memandang Agung Sedayu, sejenak kemudian gurunya dan Sumangkar, lalu sesosok tubuh yang kemudian berdiri meskipun pakaiannya telah bernoda darah.

Tetapi selagi mereka ragu-ragu, salah seorang berkata lantang, “Kenapa kita ragu-ragu, kenapa? Mereka sudah tidak berdaya. Orang-orang yang melindungi mereka itu pun juga tidak berdaya.”

“Ya, mereka sudah tidak berdaya.”

“Mereka sudah tidak akan dapat melawan. Cepat, cincang saja…”

Sekali lagi orang-orang di dalam barak itu mulai bergerak. Agung Sedayu yang kebingungan, tiba-tiba saja telah menggerakkan cambuknya, sehingga suara ledakan yang memekakkan telinga telah menyobek malam yang panas.

Kejutan suara cambuk Agung Sedayu memang membuat mereka tertegun. Tetapi tidak membuat mereka surut. Mereka masih bergerak pula mendekati orang-orang yang masih sangat lemah itu.

Agung Sedayu benar-benar telah kehabisan akal. Gurunya dan Sumangkar pun masih belum menemukan jalan sama sekali.

Namun selagi suasana memanjat menjadi semakin panas, tiba-tiba setiap telinga tergerak ketika tiba-tiba mereka mendengar suara gemerincing. Semakin lama semakin dekat. Suara gemerincing seperti yang selalu mereka dengar selama ini. Suara hantu-hantu dari Alas Mentaok.

Tiba-tiba terasa bulu kuduk orang-orang yang sedang marah itu meremang. Semakin keras suara itu, mereka pun menjadi semakin berkerut.

“Hantu-hantu yang lain telah datang lagi,” desis Agung Sedayu.

Serambi barak yang hampir saja direnggut oleh udara maut itu tiba-tiba menjadi hening. Namun terasa setiap dada menjadi tegang.

Beberapa orang yang semula berdiri dengan garangnya, tiba-tiba melangkah surut dan perlahan-lahan berkerut berdesakan. Beberapa orang segera membaringkan dirinya dan berselimut kain sampai ke ujung kepalanya. Sedang beberapa orang yang lain membeku di tempatnya.

“Hantu-hantu itu datang lagi,” sekali lagi Agung Sedayu berdesis, “kali ini pasti lebih banyak. Mereka pasti akan mengambil kawan-kawannya yang sudah kamanungsan, dan membuat mereka menjadi hantu kembali.”

Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu menjadi semakin kecut. Kini mereka telah kehilangan segala kemauan dan bahkan seolah-olah mereka telah kehilangan kesadaran. Wajah-wajah mereka menjadi pucat dan bibir mereka bergetar.

“Nah, siapakah yang masih akan mencincang hantu-hantu ini,” bertanya Agung Sedayu. “Tetapi jelas bukan aku, bukan ayah dan bukan pamanku yang baru sore ini datang. Ayo, siapa?”

Tidak ada seorang pun yang berani menyahut.

“Tetapi hantu-hantu yang kamanungsan itu pasti dapat bercerita, siapakah yang akan mencincang mereka apabila kawan-kawannya yang lebih kuat akan datang, yang barangkali tidak akan terlawan lagi oleh kami.”

Setiap dada serasa hampir retak oleh ketakutan yang bergejolak. Apalagi ketika suara gemerincing itu menjadi semakin dekat. Dekat sekali di samping barak.

“He, kenapa kalian bersembunyi di balik selimut?” bertanya Agung Sedayu. “Apakah kalian sudah kehilangan kegarangan kalian? Kalian akan mencincang siapa saja, termasuk mereka yang akan melindungi hantu-hantu yang sudah kamanungsan itu. Sekarang kawan-kawan mereka pasti akan melindungi dan membuat mereka kembali ke dalam dunia mereka. Dunia hantu. Kenapa kalian tidak menyingsingkan lengan baju kalian dan mencincang hantu-hantu yang lain itu.”

Sama sekali tidak ada jawaban. Tetapi serasa darah orang-orang di serambi itu sudah tidak mengalir lagi.

Tiba-tiba mereka mendengar Agung Sedayu menahan suara tertawanya. Tetapi agaknya Swandaru tidak dapat, sehingga tiba-tiba meledaklah suara tertawanya berkepanjangan.

Tetapi bagi orang-orang yang ketakutan itu, suara tertawa Swandaru terdengar sangat mengerikan. Seolah-olah berpuluh-puluh hantu telah tertawa bersama-sama melihat bakal korban mereka telah meringkuk di bawah kain panjang masing-masing.

“He, lihat. Lihatlah, siapa aku,” teriak Swandaru yang membawa sebatang tongkat yang digantungi beberapa kerincing. Setiap kali tongkat itu dihentakkan di atas tanah, maka terdengar suara gemerincing dari beberapa buah kerincing yang bergantungan pada tongkat itu.

Tetapi tidak seorang pun yang berani membuka kerudung kain panjang mereka yang menutupi kepala. Baik mereka yang sudah melingkar berbaring di lantai atau di mana saja mereka sempat, atau mereka yang masih tidak sempat berbaring dan duduk memeluk lututnya, membenamkan kepalanya di bawah tangannya sambil berselubung kain panjang.

“Lihat aku,” teriak Swandaru sambil mengguncang guncang tongkatnya. Bahkan kemudian tongkatnya telah dihentak-hentakkan di atas beberapa kepala yang tersembunyi.

“Buka selimutmu, lihat aku.”

Tetapi tidak ada seorang pun yang berani. Bahkan ketika ujung tongkat itu menyentuh seseorang, maka orang itu pun segera jatuh pingsan. Orang itu merasa, seolah-olah ujung jari mautlah yang telah merabanya.

Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Karena tidak ada seorang pun yang mau melihatnya, tiba-tiba tangannya terjulur dan menarik dengan paksa beberapa lembar selimut yang menyelimuti orang-orang yang ketakutan.

Satu dua di antara mereka masih tetap menyembunyikan wajahnya. Tetapi yang lain kemudian jatuh terguling dan pingsan pula.

Namun demikian ada juga satu dua orang yang dengan terpaksa sekali melihat tongkat yang diacu-acukan Swandaru. Sesaat ia tidak percaya kepada penglihatannya. Namun sambil menyembunyikan wajah mereka, beberapa orang itu berusaha melihat dari sela-sela lingkaran tangan mereka.

Dan yang mereka lihat memang Swandaru mengguncang-guncang sebatang tongkat yang digayuti oleh beberapa buah kerincing.

Dengan ragu-ragu satu dua orang mengangkat wajah mereka. Yang mereka lihat sama sekali tidak berubah. Anak Truna Podang yang gemuk itulah yang bermain-main dengan kerincing.

Tiba-tiba seseorang di antara mereka bertanya, “Apakah kau anak Truna Podang?”

“Siapa, siapa aku. Coba tebak? Apakah kau sangka aku sesosok hantu yang membentuk diriku seperti anak Truna Podang?”

“Tetapi?” orang itu ragu-ragu.

“Akulah yang sejak tadi bermain dengan kerincing-kerincing ini. Apakah kalian tahu maksudku?”

Tidak ada yang menjawab. Meskipun demikian satu dua orang kini telah membuka kerudung mereka meskipun dengan ragu-ragu.

“Aku ingin melihat, apakah benar-benar kalian orang-orang jantan. Kalian berniat ingin mengadili orang-orang yang terluka itu. Tetapi apakah kalian benar-benar berhak?”

Sejenak suasana menjadi sepi. Beberapa orang yang telah berani membuka kerudung mereka saling berpandangan. Bahkan beberapa orang yang berbaring melingkar, telah bangkit dan duduk termangu-mangu.

Mula-mula mereka sama sekali tidak tahu, bagaimana menanggapi keadaan itu. Mereka hanya memandang saja Swandaru yang berdiri sambil memegangi tongkat yang digantungi kerincing-kerincing itu.

Namun sejenak kemudian orang yang besar agak pendek itulah yang berteriak untuk pertama kali, “He anak gila. Kau telah mempermainkan aku, mempermainkan kami.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sebelum ia menyahut orang yang lain telah berteriak pula, “Ya. Kau mempermainkan kami.”

“Apa maksudmu mempermainkan kami?” bertanya yang lain.

Dan tiba-tiba orang yang pendek itu berkata, “Kalian memang orang-orang gila. Sekarang sudah jelas bagi kami, bahwa kami selama ini telah dipermainkan orang. Bahkan selagi kami dicengkam oleh ketegangan kali ini pun ada juga orang yang mempermainkan kami. Sekarang kami akan menuntut balas. Kami akan memuaskan hati kami yang selama ini tertekan.”

Suasana di serambi barak itu menjadi semakin tegang. Namun tiba-tiba semua orang telah dikejutkan oleh suara tertawa Swandaru yang meledak. Sambil menunjuk kepada orang yang pendek itu ia berkata, “He, kenapa kau dapat dipermainkan orang? Kenapa? Apalagi untuk waktu yang lama?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sebelum ia menjawab, Swandaru telah mendahului, “Karena kau penakut. Semua orang yang ada di barak ini penakut dan pengecut. Aku masih menghormati seorang penakut yang merasa dirinya penakut. Tetapi kau tidak. Kau adalah seorang penakut, tetapi juga pengecut. Di dalam keadaan yang gawat, kau sembunyi di bawah selimutmu rapat-rapat. Tetapi kalau kau menghadapi orang-orang sakit yang hampir mati, kau bertolak pinggang seperti seorang pahlawan. Ayo, di mana kejantananmu? Kejantanan bukan berarti berani membunuh orang-orang tidak berdaya. Atau bahkan yang dengan penuh dendam mencekik lawan-lawan yang memang sudah hampir mati.”

Dan Agung Sedayu pun menyambung, “Bukan pula semata-mata karena kita berani bertempur dan berani mati. Tetapi kejantanan juga mengandung segi-segi perikemanusiaan dan pengakuan terhadap kenyataan. Seorang kesatria sebagai lambang kejantanan bukan semata-mata yang menyandang pedang di peperangan, yang membunuh musuh dengan ujung senjata dan membelah dada lawan tanpa berpaling. Tetapi sifat-sifat kesatria adalah ngabehi. Meliputi sifat-sifat baik yang menyeluruh. Kesatria jantan bukan saja berjiwa seluas lautan yang mampu menampung semua persoalan dan selapang langit yang menyerap semua masalah dengan kesabaran.”

Sejenak serambi itu menjadi sepi. Orang-orang yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menundukkan kepalanya. Tetapi bukan saja orang-orang itu yang mendengarkannya dengan sentuhan-sentuhan di dalam hati. Bahkan Swandaru pun mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ada beberapa perbedaan dari kata-kata Agung Sedayu itu dengan kata-kata yang akan diucapkannya. Namun ia bahkan ikut mencoba memahami kata-kata Agung Sedayu itu.

Tanpa sesadarnya Swandaru berpaling, memandang wajah gurunya. Tetapi gurunya tidak sedang memandanginya. Orang tua itu sedang mengangguk-anggukkan kepalanya, seakan-akan membenarkan kata-kata Agung Sedayu itu.

“Untunglah, aku belum mengatakannya,” desis Swandaru di dalam hati. Hampir saja ia mengatakan, “Bahwa seseorang yang jantan, adalah seseorang yang berani menengadahkan dadanya. Yang berani bertempur seorang lawan seorang dalam keadaan yang seimbang. Bukan melawan orang-orang sakit dan hampir mati. Yang dengan jujur membunuh musuhnya berhadapan.”

“Itu hanya sebagian saja,” Swandaru mengangguk-angguk sendiri oleh kata-katanya di dalam hatinya itu. “Agaknya apa yang akan aku katakan memang kurang lengkap.”

Orang-orang di serambi barak itu mematung sejenak. Kata-kata Agung Sedayu agaknya benar-benar telah menusuk langsung ke pusat jantung.

“Nah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sekarang cobalah lihat. Apakah yang sudah terjadi atas kalian dan apa yang sekarang kalian hadapi. Kalau memang menurut pertimbangan kalian, orang-orang jantan yang bersifat kesatria, orang-orang yang sudah tidak berdaya ini harus dibunuh atau dicincang, demikian pula orang-orang yang kalian anggap melindungi mereka, maka aku akan mempersilahkan. Cincanglah mereka yang selama ini telah mengganggu kalian dan membuat kalian ketakutan seperti kelinci mendengar gonggong anjing liar di hutan-hutan.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut.

Kiai Gringsing dan Sumangkar yang berdiri di sebelah Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya muridnya yang tua ini memiliki ketajaman sikap menghadapi ketegangan yang sudah memuncak, meskipun agaknya Swandaru pun akan dapat mengatasinya dengan caranya sendiri. Tetapi Kiai Gringsing semakin melihat perbedaan sifat dari keduanya. Keduanya mempunyai kelebihan masing-masing tetapi juga kekurangan masing-masing.

Karena tidak seorang pun yang berkata sepatah kata pun, maka Agung Sedayu meneruskan, “Sekarang, bagaimana? Apakah kalian akan melangsungkan niat kalian.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan nada yang rendah, “Baiklah. Terserahlah kepada kalian. Kalau kalian masih ingin melakukannya, silahkan, sekarang juga. Kalau tidak, aku silahkan kalian kembali ke tempat kalian masing-masing. Sebentar lagi fajar akan datang. Kalau masalah ini tidak segera kita selesaikan, maka kita akan menghadapi persoalan yang lain. Apalagi matahari telah terbit, kita akan menunggu kedatangan para pengawas dari pusat Tanah Mataram. Apabila utusan kita sampai ke tujuan, mereka pasti akan kembali besok pagi.”

Sejenak Agung Sedayu menunggu, karena tidak ada yang bergerak sekali lagi ia berkata, “Apa pun yang akan terjadi, lakukanlah sekarang. Cepat.”

Tetapi tidak seorang pun yang segera beranjak dari tempatnya. Apakah mereka akan meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat masing-masing, atau mereka akan melakukan niatnya, membalas sakit hati setelah sekian lama mereka merasa dipermainkan.

Karena itu sekali lagi Agung Sedayu berkata agak keras, “He, kenapa kalian hanya berdiam diri dengan mulut ternganga. Berbuatlah sesuatu supaya kami dapat mengambil sikap. Apa yang akan kalian lakukan, lakukanlah. Sesegera, sebelum kami membuat keputusan baru. Bergeraklah. Membalas dendam atau kembali ke tempat masing-masing.”

Ketika Agung Sedayu melihat beberapa orang yang kemudian bergerak, ia pun menjadi berdebar-debar. Ia tidak tahu pasti, apakah yang akan mereka lakukan.

Tetapi ketika orang-orang itu mulai berdiri dengan kepala tunduk, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang-orang itu menyadari diri mereka, dan perlahan-lahan mereka berjalan ke tempat masing-masing.

Kiai Gringsing, Sumangkar, dan Swandaru pun kemudian mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Sejenak mereka saling berpandangan.

Swandaru yang masih memegang tongkat berkerincing itu kemudian mengangguk-angguk sambil memandangi orang-orang bergeser dari tempat masing-masing perlahan-lahan. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Benda-benda macam inilah yang telah membuat kalian selama ini kehilangan kepribadian, kehilangan kesempatan dan bahkan seakan-akan telah kehilangan harapan. Sebenarnya benda ini adalah benda yang sederhana sekali. Tongkat yang digantungi dengan kerincing-kerincing. Sebuah tengkorak dan kerudung hitam. Mungkin juga seekor atau dua ekor kuda. Selebihnya, yang paling menakutkan adalah hati kalian sendiri. Kalian sendirilah yang membuat benda-benda sederhana ini menjadi hantu-hantu Alas Mentaok.”

Tidak ada yang menyahut. Tetapi kata-kata yang dilontarkan sambil tersenyum-senyum itu ternyata mampu juga menyentuh perasaan orang-orang di dalam barak itu. Sebenarnyalah bahwa yang paling menakutkan bagi mereka adalah hati mereka sendiri. Bayangan-bayangan yang mengerikan yang mereka buat sendiri.

Sejenak kemudian, orang-orang di serambi itu telah duduk di tempat masing-masing. Orang-orang yang berdesakan di pintu pun telah duduk pula di dalam sambil menekurkan kepala mereka.

Pengawas yang masih bersandar pintu itu pun menarik nafas dalam-dalam. Dengan susah payah ia berjalan berpegangan dinding, mendekati Agung Sedayu. Kemudian ditepuknya bahunya sambil berkata, “Kau berhasil, Anak Muda. Aku sudah kehabisan akal. Aku cemas, apabila orang-orang yang bodoh ini berkeras kepala, dan kalian bertahan untuk mempertanggung-jawabkan perbuatan kalian kepada para pengawas apabila mereka datang. Aku sudah membayangkan, apabila terjadi benturan yang tidak dapat dihindarkan, korban pasti akan bertambah. Ujung cambuk kalian yang seperti mempunyai mata itu, benar-benar sangat berbahaya.”

Agung Sedayu tersenyum sambil menyahut, “Terima kasih. Pujian itu terlampau berlebih-lebihan.”

“Aku berkata sebenarnya.”

Agung Sedayu tidak menyahut lagi. Ia memandang orang yang terakhir duduk di tempatnya. Kemudian menundukkan kepalanya.

“Mereka telah kembali ke tempat masing-masing,” berkata pemimpin pengawas itu.

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian kepada orang itu, “Terima kasih. Kalian ternyata telah membantu kami, memelihara ketenangan di dalam barak ini. Sekarang, biarlah orang-orang yang terluka ini dapat beristirahat dengan tenang, tugas kami di sini tinggal mengawasi. Kami minta bantuan kalian, agar kalian ikut serta menjaga orang-orang ini, agar tidak seorang pun yang dapat lolos. Kita besok akan menyerahkan mereka kepada para pengawas yang akan datang dari pusat pemerintahan Mataram.”

Orang-orang itu masih menundukkan kepala mereka.

“Nah, baiklah. Kita anggap semua persoalan kini sudah selesai. Persoalan berikutnya adalah persoalan para petugas dari Mataram dan pemimpin pengawas di sini.”

Orang-orang itu masih menundukkan kepalanya,

“Sekarang, apabila masih sempat, silahkan beristirahat. Kalian dapat tidur nyenyak menghabiskan malam yang tinggal sedikit. Kami pun akan tidur pula. Besok kami akan minta bantuan kalian, mengubur mayat yang kini masih ada di belakang barak ini.”

“Mayat?” orang-orang itu bertanya di dalam hatinya.

Meskipun pertanyaan itu tidak diucapkan, Agung Sedayu menangkap sorot mata mereka, katanya, “Ya, dua sosok mayat. Di antara hantu-hantu itu ada yang terbunuh. Dan dengan demikian akan semakin jelas bagi kalian, bahwa sebenarnya mereka adalah manusia yang terdiri dari daging dan tulang seperti kita. Sama sekali bukan hantu dari Alas Mentaok seperti yang kalian percaya saat ini. Kalau aku berkerudung sambil membawa tengkorak yang dilekati dengan kunang-kunang itu, kalian pasti tidak akan ketakutan, karena seperti yang dikatakan oleh adikku itu, ketakutan itu datang dari diri kita sendiri. Sekarang, kalian pun sudah tahu dengan pasti, sehingga kalian tidak akan takut lagi mendengar suara gemerincing, suara derap kaki kuda, dari melihat di dalam gelapnya malam, sesosok hantu hitam berkepala tengkorak. Karena mereka adalah orang-orang yang kini terbaring di hadapan kalian karena luka-luka mereka.”

Orang-orang di dalam barak itu merasa diri mereka semakin kecil. Namun seolah-olah mereka telah mengucapkan janji, bahwa mereka tidak akan terperosok untuk kedua kalinya ke dalam keadaan yang memalukan itu. Mereka tidak akan mau lagi menjadi permainan siapa pun juga. Mereka datang untuk membuka hutan. Dan kini harapan itu seakan-akan telah terbit kembali.

“Sudahlah, tidurlah,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Bersama dengan Swandaru, Kiai Gringsing, Sumangkar, dan pemimpin pengawas itu, mereka menepi dan duduk bersandar dinding.

Tetapi ternyata mereka tidak mendapat kesempatan cukup untuk beristirahat. Langit di sebelah timur pun mulai menjadi kemerah-merahah.

“Hampir pagi,” desis Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tidurlah kalau kau lelah. Masih ada waktu sedikit sebelum matahari terbit.”

“Apakah Guru tidak beristirahat?”

“Tidurlah kau berdua. Aku dan pamanmu Sumangkar akan duduk di sini. Waktu yang sedikit ini menyimpan bermacam-macam kemungkinan bagi barak ini.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Dipandanginya wajah pemimpin pengawas yang berkerut-merut. Kemudian wajah Agung Sedayu dan Sumangkar. Lalu perlahan-lahan ia meneruskan, “Pagi ini akan dapat menjadi pagi yang cerah dan tenang. Tetapi saat-saat ini adalah saat-saat yang mendebarkan. Kalau Kiai Damar menyadari bahwa kehadiran para pengawas dari Mataram menjadi semakin dekat, maka ada kemungkinan mereka mempergunakan waktu yang pendek ini sebaik-baiknya.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sedang pemimpin pengawas itu beringsut mendekat, “Benarkah begitu?”

“Ini hanya suatu kemungkinan. Tetapi kemungkinan yang lain adalah, bahwa mereka belum siap melakukan hal itu dan menundanya sampai waktu yang tidak dapat kita perhitungkan. Jika demikian kita akan dapat beristirahat untuk beberapa hari. Mereka pasti memerlukan waktu untuk mengetahui kekuatan para pengawas di daerah ini.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku mengharap bahwa setelah sembuh aku akan tetap diperkenankan tinggal di daerah ini, meskipun karena selama ini aku sudah gagal, aku tidak lagi menjadi tetua para pengawas. Aku puas apabila aku dapat melihat akhir dari permainan yang gila itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan kau akan tetap berada di sini. Kau adalah salah seorang yang telah mengenal daerah ini sebaik-baiknya. Mengenal perkembangan keadaan dan masa-masa yang paling pahit di daerah ini.”

“Tetapi aku gagal mengatasi kesulitan. Usaha perluasan tanah garapan di sini menjadi sangat mundur. Bahkan aku pun telah terseret ke dalam suatu keadaan yang memalukan sekali. Aku sama sekali tidak berdaya melawan hantu-hantu itu, meskipun ternyata mereka sama sekali tidak berbeda dengan kita yang berkulit dan daging.”

“Meskipun kau tahu akan hal itu, tetapi memang sulit untuk melawan mereka. Ternyata jumlah mereka cukup banyak. Hari ini lebih dari sepuluh orang telah datang. Aku kira, di tempat persembunyian mereka, masih ada orang-orang yang lebih banyak lagi.”

“Kita dapat bertanya kepada orang-orang yang terluka itu.”

“Ya. Kita akan mendapatkan beberapa keterangan dari mereka meskipun tidak banyak. Besok kalau luka-luka mereka telah tidak membahayakan jiwanya, kita akan dapat mendengarnya.”

Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Agung Sedayu berbisik, “Guru, apakah tidak mungkin mereka akan berbuat seperti orang yang kita simpan di dapur itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, lalu, “Mungkin. Memang mungkin sekali.”

“Apakah yang dilakukan?” bertanya Sumangkar.

“Mereka membunuh kawan mereka sendiri sebelum melarikan diri. Maksudnya sudah jelas, agar kawannya tidak dapat memberikan penjelasan.”

Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Kiai Gringsing pun berkata, “Karena itu, kita akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Apabila besok para pengawal itu benar-benar datang, kita akan mendapat banyak kawan untuk melakukannya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya mudah-mudahan mereka benar-benar datang besok.”

“Bagaimana kalau tidak?” desis Swandaru,

“Kau yang akan menjaga mereka sepanjang hari.”

“Kau?”

“Aku akan tidur.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian di sandarkannya tubuhnya pada dinding barak sambil memejamkan matanya, “Aku yang akan tidur lebih dahulu.”

Agung Sedayu memandanginya sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Matahari sudah akan terbit.”

Dalam pada itu, perlahan-lahan langit menjadi semakin merah. Ternyata sampai saatnya pagi mulai memancar, tidak terjadi sesuatu, meskipun itu bukan berarti bahwa bahaya telah dapat diabaikan. Kemungkinan orang-orang itu datang di siang hari pun ada, apalagi setelah mereka tidak berhasil menakut-nakuti dengan kedok hantu-hantu Alas Mentaok. Mereka tidak dapat memilih jalan lain daripada menyatakan diri mereka sewajarnya.

Meskipun demikian, suasana pagi yang cerah telah membuat ketegangan-ketegangan di dalam barak itu menjadi agak mereda. Beberapa orang telah berani keluar dari dalam barak, mengambil air di sumur. Apalagi karena Kiai Gringsing berkata kepada mereka, “Sekarang kalian tahu, kalau kalian menjumpai apa pun, itu adalah manusia-manusia biasa seperti kita. Tinggal tergantung kepada kita sendiri. Apakah kita seorang penakut atau bukan.”

Demikianlah perlahan-lahan barak itu seakan-akan terbangun dari tidurnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera pergi ke barak yang lain untuk menenangkan ketegangan yang ada di dalam barak itu. Meskipun tidak pasti bagi mereka, apakah yang terjadi, tetapi hati mereka telah dicengkam olen kecemasan sepanjang malam.

Sumangkar dan Kiai Gringsing bergantian pergi mengambil air untuk membersihkan diri. Mereka masih harus mengawasi orang yang meskipun terluka, tetapi ada di antara mereka yang sudah dapat bangkit berdiri dan berjalan meskipun lemah.

Ketika hari menjadi semakin terang, orang-orang di dalam barak itu dengan diam-diam, memerlukan memperhatikan orang-orang yang terluka yang selama itu mereka sangka hantu-hantu.

Ternyata mereka adalah orang-orang biasa. Orang-orang yang mempunyai wadag seperti mereka sendiri. Tangan, kaki, kepala, dan anggauta-anggauta badan yang lain.

Kadang-kadang terasa juga hati mereka melonjak. Darah mereka merasa panas apabila mereka mengenangkan, apa saja yang pernah mereka alami di dalam barak itu. Tetapi mereka tidak berani melanggar pesan Agung Sedayu, dan agaknya mereka pun masih juga mempunyai harga diri, untuk tidak bertindak kasar terhadap orang-orang yang sudah tidak berdaya.

Ketika matahari sudah menjadi semakin tinggi. Kiai Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru, “Kedua mayat yang masih ada di belakang barak itu harus dikuburkan.”

“Adi Sumangkar,” berkata Kiai Gringsing, “tunggulah di sini. Orang-orang itu masih memerlukan pengawasan. Aku akan mengubur kedua orang di belakang barak itu.”

Ki Sumangkar mengangguk sambil menjawab, “Silahkan. Mudah-mudahan aku tidak tertidur.”

Mereka pun kemudian mengajak beberapa orang untuk pergi ke belakang barak. Orang-orang yang ikut dengan Kiai Gringsing itu menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi berdasarkan pendengaran mereka semalam dan bekas-bekas yang mereka jumpai kini, terasa dada mereka tergetar. Alangkah dahsyatnya perkelahian itu. Pohon-pohon perdu bertebaran seperti ditebas. Tanahnya bagaikan dibajak. Bahkan rerumputan pun telah terungkat beserta akar-akarnya.

“Mengerikan sekali,” seorang berdesis perlahan-lahan.

“Apa?” bertanya yang lain.

“Kau tidak melihat bekas perkelahian ini?”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Terasa juga bulu-bulu tengkuknya meremang.

Sejenak kemudian mereka pun telah menemukan dua sosok mayat yang terbaring tidak berjauhan.

“Inilah mereka,” berkata Swandaru. Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya. Tubuh mayat itu menjadi kebiru-biruan. Wajahnya tegang, seolah-olah sedang menahan kesakitan yang amat sangat. Kedua belah matanya terbuka dan jari-jarinya seolah-olah sedang mencengkeram.

“Mengerikan sekali,” desis Swandaru. “Tampaknya mereka telah dicengkam oleh perasaan sakit yang tidak terhingga.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Sebenarnya, meskipun perasaan sakit itu juga menjadi sebab ketakutannya menghadapi maut, namun yang lebih parah dari itu adalah ketidak-ikhlasannya menjelang tangan maut mencengkam mereka. Mereka menyesal, kecewa, dan segala macam perasaan sakit, karena sebelum mereka menghembuskan nafasnya yang penghabisan, mereka menyadari, bahwa ternyata kawan mereka sendirilah yang telah membunuh mereka dengan semena-mena. Itulah yang membuat mereka dihantui oleh sentuhan maut itu.”

Swandaru dan Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka adalah anak-anak muda yang pernah menyaksikan kematian-kematian di peperangan. Tetapi kali ini mereka masih juga merasa ngeri. Terbayang dimata mereka, penderitaan yang tidak terhingga menyertai kematian mereka.

“Racun itu bekerja dengan sempurna,” desis Kiai Gringsing.

Kedua muridnya mengangguk-anggukkan kepalanya. Orang-orang yang menyaksikan pun menjadi ngeri pula. Penderitaan itu terlampau berat.

Demikianlah mereka kemudian menyelenggarakan penguburan mayat itu secukupnya. Bagaimana pun juga mereka harus memperlakukan mereka sebagai sesamanya.

Ketika semuanya sudah selesai, maka orang-orang itu pun kembali ke barak mereka. Mereka duduk-duduk di tangga serambi. Yang mereka bicarakan adalah orang-orang yang kini masih berada di serambi itu. Sebagian masih terbaring diam, sedang yang lain duduk bersandar dinding sambil menundukkan kepala mereka. Mereka merasa seakan-akan setiap mata memandang mereka dengan tajamnya. Ejekan dan umpatan membayang di wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru pun kemudian duduk pula diserambi itu bersama Ki Sumangkar dan pemimpin pengawas yang masih belum sembuh benar dari lukanya itu.

Sementara itu sepasukan kecil pengawal berkuda sedang berpacu melewati jalan-jalan kecil menuju ke hutan yang sedang dibuka dan yang selalu diganggu oleh hantu-hantu. Sebenarnya hampir di semua daerah, tetapi yang didiami oleh Ki Truna Pedang itulah yang seakan-akan merupakan letusan yang paling keras, sehingga perhatian Mataram langsung tertuju ke daerah itu.

Di daerah lain, hantu-hantu masih tetap berkuasa karena tidak ada orang yang berusaha untuk meyakinkan, bahwa mereka sebenarnya bukan hantu.

Ki Gede Pemanahan dan putranya, Sutawijaya, agaknya terlampau sibuk, sehingga mereka tidak sempat secara terus-menerus mengawasi suatu daerah tertentu.

Tetapi kini mereka terpaksa mengkhususkan persoalan yang mereka hadapi karena ada perkembangan yang khusus pula.

Sekelompok pengawal berkuda itu langsung dipimpin oleh Raden Sutawijaya sendiri. Di tangannya digenggamnya tombak pusakanya, sedang di lambungnya terselip keris Kiai Naga Kumala.

Sambil memandang lurus ke depan, Raden Sutawijaya berkuda di belakang pengawas yang datang memberitahukan apa yang sudah terjadi, sedang di belakangnya Wanakerti yang sebenarnya masih belum sehat benar, tidak mau tinggal di Mataram. Bagaimana pun juga ia menyatakan ke-inginannya untuk ikut serta kembali ke tempat tugasnya.

“Aku ingin melihat akhir ceritera yang mendebarkan itu?” katanya di dalam hati.

Berdasarkan pengalaman para pengawas yang pergi ke Mataram untuk menyampaikan laporan itu, maka mereka harus berhati-hati. Meskipun kelompok itu agak lebih besar dari hanya tiga orang, namun kemungkinan yang tidak terduga-duga dapat saja terjadi.

Raden Sutawijaya yang diiringi oleh sepuluh orang pengawas itu telah mulai menyusup hutan-hutan rindang. Kuda mereka kini tidak dapat berlari terlampau cepat. Jalan yang sempit itu kadang-kadang tertutup oleh sampah dan ranting-ranting pepohonan yang patah. Sulur-sulur kayu yang bergayutan pada dahan-dahan pepohonan telah mengganggu perjalanan itu pula.

Tetapi lebih daripada itu, setiap saat mereka dapat saja dengan tiba-tiba diserang oleh orang-orang yang tidak dikenal dan jumlahnya sama sekali tidak dapat mereka bayangkan. Mereka sama sekali tidak mempunyai gambaran tentang gerombolan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang lebat itu.

Kadang-kadang dada mereka menjadi berdebar-debar. Meskipun mereka menyandang pusaka rangkap, tetapi seandainya tiba-tiba mereka dihadapkan pada sekelompok orang-orang yang ganas itu sebanyak lima puluh orang, apakah mereka akan dapat melawan.

Tetapi hati mereka menjadi teguh apabila mereka melihat Raden Sutawijaya yang berkuda di depan mereka, selalu menengadahkan wajahnya memandang lurus ke depan.

Dalam pada itu, selagi pasukan itu beriringan di dalam hutan yang tidak begitu lebat, beberapa pasang mata mengikutinya dengan saksama. Seorang yang bertubuh tinggi kekar dan berjambang lebat mengatupkan giginya rapat-rapat. Perlahan-lahan ia berdesis kepada orang yang berdiri di sampingnya. Dan orang itu adalah Kiai Damar, “Sayang, kita tidak membawa orang cukup untuk menghancurkan mereka.”

“Hati-hatilah,” berkata Kiai Damar, “ternyata daerah Mataram menyimpan banyak rahasia yang tidak kita ketahui. Kita yang merasa telah mengenal hutan ini sebaik-baiknya, namun ternyata perhitungan kita masih keliru juga. Semalam aku telah gagal lagi. Ternyata orang-orang tua yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang kebanyakan. Kau harus membuat perhitungan yang cermat untuk menentukan sikap di sini.”

“Aku akan menghadap Guru,” berkata orang berjambang itu.

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Katanya, “Itu akan lebih baik daripada kita bertindak sendiri. Aku tidak dapat mengimbangi salah seorang dari dua orang tua-tua yang ada di barak itu. Dan barangkali kau masih harus menyediakan tenaga sepenuhnya untuk melawan anak-anaknya.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Karena itu aku akan menghadap Guru. Tidak ada seorang manusia pun yang akan dapat melawannya. Bahkan seandainya Ki Gede Pemanahan sendiri akan turun ke gelanggang, maka itu akan berarti rencananya semakin cepat musnah. Ia tidak akan berhasil menyelesaikan kerja ini.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan orang tua itu tidak berkeberatan.”

“Tentu tidak? Bukankah Guru juga yang menganjurkan kita melakukan ini semua? Dan Paman menyetujuinya?”

“Ya,” Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya, “tetapi menghancurkan mereka bukan penyelesaian yang tuntas. Seandainya Ki Gede Pemanahan terusir dari Mentaok sekali pun, bahkan terbunuh, maka kau masih akan menghadapi soal-soal lain.”

“Itu sudah aku perhitungkan, Paman. Maksud Paman, bahwa kekuasaan Sultan Pajang masih tetap mencakup hutan Mentaok.”

“Ya.”

“Sultan Pajang akan berterima kasih kalau usaha Pemanahan gagal. Bukankah dengan berat hati Sultan Pajang menyerahkan Mataram kepada Pemanahan? Kalau Sultan tidak mengingat putra angkatnya itu anak Pemanahan, maka aku kira Pemanahan justru sudah digantungnya di alun-alun.”

“Mungkin begitulah kalau kau yang kebetulan menjadi Sultan Pajang. Seorang Raja tidak akan berbuat demikian. Ia telah berjanji untuk menyerahkan Pati dan Alas Mentaok kepada mereka yang dapat membunuh Arya Penangsang. Penjawi sudah mendapatkan Pati, dan wajar sekali kalau Pemanahan menuntut Bumi Mentaok.”

“Tetapi Sultan juga tahu, bahwa yang membunuh sebenarnya bukan Pemanahan dan Penjawi, tetapi putra angkatnya itu.”

“Tentu. Tetapi laporan yang diterimanya menyebut bahwa yang melakukan adalah Penjawi dan Pemanahan. Ia tidak akan dapat ingkar akan janjinya. Siapa pun yang melakukannya, tetapi keduanya yang menyatakan dirinya tanpa ada orang lain yang mengemukakan keberatannya.”

“Nah, karena itulah maka kegagalan Pemanahan akan menyenangkan hatinya. Karena ia memberikan Mataram tidak dengan ikhlas hati.”

“Lalu bagaimana dengan Pati?”

Orang berjambang itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.

“Sultan Pajang tidak pernah mempersoalkan Pati. Kenapa ia berkeberatan atas Mentaok?” bertanya Kiai Damar.

“Mentaok terlampau dekat dengan pusat pemerintahan Pajang.”

“Bukan itu. Tetapi bagi Sultan Pajang, menyerahkan Mentaok secara resmi tidak ada gunanya, karena akhirnya ia akan memberikan juga kedudukan kepada anak Pemanahan. Buat apa Pemanahan harus menuntut haknya apabila kelak akan temurun juga kepada Sutawijaya. Tentu Sultan Pajang menilai juga hal itu. Tetapi ia pasti tidak akan berkeberatan apabila pada suatu saat Mentaok dapat menjadi ramai. Bukankah kelak Sutawijaya juga yang akan menjadi penguasa daerah ini? Apakah kelak ia akan menguasai Mataram sebagai seorang putra raja yang mewakili kekuasaan ayahnya, atau sebagai seorang adipati, seperti Sultan Pajang dahulu atau sebagai kepala suatu daerah yang mendapat hak sebagai tanah perdikan, itu masih belum jelas.”

“Tetapi seperti yang Paman katakan sendiri, Sultan agaknya memang mencurigai niat Pemanahan. Inilah yang harus dimanfaatkan.”

Kiai Damar merenung sejenak. Keningnya masih juga berkerut-merut. Tetapi kini iring-iringan yang dipimpin Raden Sutawijaya sudah menjadi semakin jauh dan hilang di balik rimbunnya dedaunan.

“Bagaimana kau dapat memanfaatkan kecurigaan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan atau justru kepada putra angkatnya itu?”

“Serahkan kepadaku. Sultan pasti akan segera menggerakkan senapati muda yang dikuasakan di daerah selatan ini. Apakah kau kenal dengan Untara?”

“Orangnya belum. Tetapi namanya sudah. Hampir setiap orang di daerah selatan mengenalnya. Menurut pendengaranku, Untara-lah yang menyelesaikan masalah orang-orang Jipang yang kehilangan pegangan sesudah Arya Penangsang gugur.”

“Ya. Ia telah berhasil membunuh Tohpati, Macan Kepatihan.”

“Apakah yang dapat dilakukan oleh Untara?”

“Untara adalah seorang senapati. Ia akan menjalankan tugas yang diperintahkan oleh Sultan Pajang. Ia adalah seorang yang setia. Ia ikut berjuang menegakkan Pajang.

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Mudah-mudahan Untara benar-benar seorang senapati yang baik.”

“Tentu.”

“Tetapi,” berkata Kiai Damar, “apa hubungannya dengan usaha kita sekarang?”

“Kita akan mendesak Sutawijaya. Kita akan melontarkannya ke luar dari dalam hutan. Dan kita berharap bahwa kita dapat berbuat sesuatu di istana untuk memancing Untara mendekati pusat pemerintahan tanah yang baru dibuka ini, sehingga Sutawijaya akan menghadapi kesulitan. Ia harus mengatasi perlawanan dari dalam hutan ini, yang meskipun agaknya cara kita yang pertama sudah gagal karena kehadiran orang-orang gila yang menyebut dirinya gembala itu, tetapi kita akan mencari cara lain, bahkan kalau perlu seperti yang sudah kita lakukan. Beradu dada. Kita menyerang di setiap saat, kemudian kita akan menarik diri. Selain itu, Sutawijaya harus selalu berhati-hati menghadapi pasukan Untara yang mendekati pusat pemerintahan tanah Mataram.”

Kiai Damar mengerutkan keningnya. Ia berpikir sejenak untuk mencoba mencernakan kata-kata orang berkumis itu. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku kurang mengerti jalan pikiranmu.”

“Paman,” berkata orang itu, “katakanlah bahwa Sultan Pajang tidak banyak mempunyai tuntutan atas tanah Mataram. Ia sudah memberikan. Tetapi ia tidak dapat melepaskan kecurigaan itu, kecurigaan atas Ki Gede Pemanahan, sehingga ia berada di simpang jalan. Ia melepaskan Mataram dengan harapan agar putera angkatnya dapat mempergunakannya sebaik-baiknya, tetapi juga ia curiga kalau Mataram kelak justru menjadi besar di bawah Ki Gede Pemanahan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih juga berkata, “Ada beberapa perbedaan tangkapan. Tetapi pada dasarnya kau telah mencoba mengerti pikiranku. Aku juga mengerti jalan pikiranmu. Kau akan menempuh dua jalan apa pun yang ada di dalam hati Sultan Pajang. Kita harus dapat meraba-raba. Tetapi kalau kau berhasil, mungkin kau akan mendapat tempat yang baik. Aku setuju. Tetapi kau harus berhati-hati agar kau tidak terjerumus ke dalam kesalahan yang dapat membawamu ke tiang gantungan.”

Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan selalu minta nasehat guru.”

“Aku tahu, gurumu jugalah yang mempunyai pikiran itu.”

“Ya.”

“Ia adalah orang yang paling benci terhadap Pemanahan justru karena Pemanahan membuka hutan ini. Mudah-mudahan orang Mangir dapat bekerja bersama dengan kita di sini.”

Orang berjambang itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Kiai Damar berkata, “Tetapi apakah kau akan segera pergi ke Pajang?”

“Aku akan menunggu sejenak. Kemudian aku akan pergi ke Pajang lewat Jati Anom. Kalau mungkin aku akan melihat kesiagaan Untara meskipun aku tidak akan menemuinya. Kalau pada suatu saat aku datang ke Jati Anom, aku akan membawa perintah dari Pajang kepada, Untara untuk memagari Mataram dengan pasukan.”

Kiai Damar mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya. Tetapi kau harus menyesuaikan dirimu setiap saat ada perubahan tanggapan atas sikap dan pendapat Sultan Pajang.”

Orang itu mengangguk.

“Marilah, kita kembali. Kita melakukan persiapan baru menghadapi perkembangan keadaan. Kita menyusun rencana dari dalam hutan ini, sebelum kau berhasil menggiring Untara datang ke pinggir Alas Mentaok.”

Orang-orang itu pun kemudian meninggalkan tempat persembunyiannya. Kuda-kuda yang mereka intip pun sudah menjadi sangat jauh.

Dalam pada itu Sutawijaya dan pasukannya yang kecil itu maju terus mendekati barak yang telah menarik perhatian itu. Semakin lama semakin dekat. Ternyata mereka tidak menemui kesulitan apa pun di perjalanan mereka yang melelahkan.

Derap kaki-kaki kuda yang mendekati barak itu pun segera didengar oleh orang-orang yang sedang duduk-duduk di sekitar barak mereka. Agung Sedayu dan Swandaru pun segera bangkit dan turun ke halaman. Banyak kemungkinan dapat terjadi dengan derap kaki-kaki kuda itu. Karena itu, ia pun harus berhati-hati.

Kiai Gringsing dan Sumangkar pun telah berdiri pula di tangga serambi, sedang beberapa orang yang terluka itu menjadi berdebar-debar pula. Mereka tahu benar bahwa dua orang kawannya yang terbunuh itu justru mati oleh ka-wan mereka sendiri. Itulah sebabnya mereka menjadi sangat cemas, siapa pun yang datang. Ia cemas kalau yang datang itu para pengawal dari Mataram, karena mereka akan segera diserahkan untuk mendapatkan hukuman. Tetapi mereka juga cemas apabila yang datang itu kawan-kawan mereka sendiri.

Sejenak kemudian kuda-kuda itu telah memasuki halaman barak di pinggir hutan. Dibayangi oleh sebuah senyum di bibirnya, Sutawijaya memandang Agung Sedayu dan Swandaru yang datang menyongsongnya.

“Aku sudah menduga,” kata-kata itulah yang pertama-tama diucapkan oleh Sutawijaya.

Tetapi anak muda yang masih di atas punggung kuda itu mengerutkan keningnya ketika ia melihat Agung Sedayu dan Swandaru membungkukkan badannya dalam-dalam sambil berkata, “Kami di sini semuanya mengucapkan selamat datang. Meskipun kami belum mengetahui siapakah Tuan, tetapi kami pasti, bahwa Tuan adalah salah seorang pemimpin dari Tanah Mataram yang sedang dibuka ini.”

Pengawal yang berkuda di paling depan sudah meloncat dari kudanya. Ia tidak sempat memikirkan, kenapa Sutawijaya berkata, bahwa ia ‘sudah menduga’.

“Yang datang adalah putra Ki Gede Pemanahan, Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,” berkata pengawas itu kepada Agung Sedayu dan Swandaru.

“Hormat kami berdua bagi Raden Sutawijaya,” berkata Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Di dalam hati ia menggerutu, “Anak-anak ini sudah kejangkitan penyakit gurunya.”

Tetapi Sutawijaya hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Bahkan tiba-tiba ia bertanya, “Di mana ayahmu?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia tersenyum kecil. Ternyata Sutawijaya mengerti bahwa ia tidak ingin segera menyebut nama Agung Sedayu.

“Itulah, Tuan,” jawab Agung Sedayu sambil menunjuk kepada seorang tua yang berdiri di tangga, di samping Sumangkar.

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba pula ia berdesis, “Paman Sumangkar ada di sini pula?”

Agung Sedayu tidak menyahut.

Tetapi Sutawijaya pun kemudian tersenyum. Sambil turun dari kudanya ia berkata, “Kaliankah yang disebut orang-orang yang bersenjata cambuk?”

Agung Sedayu mengangguk, “Memang kami adalah keturunan gembala yang selalu membawa cambuk.”

Sutawijaya menepuk bahu Agung Sedayu sambil berbisik, “Macam kau. Kenapa kau masih saja suka bermain-main.”

“Kami menghadapi hantu-hantu,” desis Agung Sedayu.

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam.

Para pengiringnya pun kemudian telah turun pula dari kuda mereka, dan menambatkannya di halaman. Perlahan-lahan mereka melangkah maju mendekati barak. Pemimpin pengawas yang terluka dengan susah payah, dibimbing oleh Kiai Gringsing berusaha untuk menyongsong kedatangan Sutawijaya.

“Kaukah yang terluka?”

“Ya, Tuan,” jawab pemimpin pengawas itu.

“Dan kau gembala tua yang bersenjata cambuk dan berkain Gringsing itu?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, “Sampai begitu teliti laporan itu sampai kepada Tuan. Apakah pengawas itu menyebut bahwa berkain gringsing yang sudah lusuh?”

Sutawijaya tertawa. Tetapi pengawas yang berdiri di belakangnya, yang membawa laporan kepada putra Pemanahan itu menjadi terheran-heran. Ia sama sekali tidak menyebutkan pakaian orang tua itu, apalagi menyebutkan berkain gringsing. Ia hanya mengatakan bahwa gembala itu bersama dua anaknya bersenjata cambuk.

“Inilah tempat yang ada,” berkata pemimpin pengawas yang terluka itu. “Kami tidak dapat mempersilahkan pada tempat yang lebih baik.”

Sutawijaya memandang pemimpin pengawas itu sejenak, lalu, “Agaknya lukamu cukup parah. Beristirahatlah. Jangan kau risaukan tempat untuk rombongan kami. Kami adalah sama-sama prajurit dan pengawal Tanah yang baru dibuka ini. Kami harus menyesuaikan diri di dalam segala keadaan.”

Pemimpin pengawas itu menganggukkan kepalanya

“Aku ingin mendengar berita tentang daerah ini. Biarlah kawanmu yang kemarin datang ke Mataram bercerita tentang perjalanannya yang sangat berat, sehingga salah seorang dari mereka telah menjadi korban.”

“He?” pemimpin pengawas itu terkejut. Sutawijaya berpaling kepada pengawas yang datang kepadanya sambil berkata, “Nanti kau ceriterakan perjalananmu dan Wanakerti kepadanya. Sekarang aku ingin mendengar laporannya tentang daerah ini.”

Pemimpin pengawas itu termangu-mangu sejenak. Lalu, “Tetapi kami ingin mempersilahkan Tuan duduk sejenak.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian berjalan ke serambi barak bersama pemimpin pengawas itu, Kiai Gringsing, Agung Sedayu, Swandaru, dan Sumangkar.

“Apakah kau juga seorang gembala?” bertanya Sutawijaya kepada Sumangkar sambil tertawa. “Jika kau juga seorang gembala tunjukkan cambukmu kepadaku.”

Sumangkar tersenyum. Sambil membungkukkan badannya ia berkata, “Yang aku gembalakan bukan domba, Tuan. Tetapi diriku sendiri.”

Sutawijaya pun tertawa pula.

Ternyata sikap Sutawijaya kepada keempat orang itu membuat pemimpin pengawas dan para pengawas yang lain menjadi heran. Bahkan orang-orang yang kemudian berkerumun di bawah tangga serambi pun menjadi heran pula. Tetapi mereka tidak bertanya apa pun tentang mereka.

Tetapi ketika mata Sutawijaya menyentuh orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu pun ia mengerutkan keningnya. Dan sebelum ia berkata sesuatu, pemimpin pengawas itu sudah mendahuluinya, “Itulah yang akan aku laporkan kepada Tuan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pun kemudian duduk di serambi itu di atas tikar yang sudah kumal, sedang para pengiringnya tetap berada di halaman.

Sejenak Sutawijaya masih memandangi orang-orang yang terbaring di ujung serambi itu. Sedang orang-orang yang terluka itu pun menjadi semakin cemas karenanya. Yang datang ternyata adalah pemimpin tertinggi dari Mataram. Beberapa di antara mereka yang sudah dapat duduk bersandar dinding, tiba-tiba telah membaringkan dirinya pula di samping kawan-kawannya.

“Itulah hantu-hantu Alas Mentaok yang kamanungsan,” berkata Kiai Gringsing.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hantu-hantu yang malang. Apakah mereka kehilangan kesaktian mereka untuk melenyapkan diri?”

“Hantu-hantu yang sudah terlanjur tersentuh tangan manusia tidak akan dapat melenyapkan dirinya lagi. Itulah sebabnya aku katakan kepada Tuan, mereka adalah hantu yang kamanungsan. Apalagi sesudah matahari terbit, me-reka tidak akan berdaya sama sekali.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah mereka sudah dapat diajak berbicara dengan bahasa manusia.”

“Tentu, Tuan, tetapi luka-luka mereka kadang-kadang masih mengganggu. Mungkin Tuan harus menunggu beberapa saat. Kalau keadaan mereka menjadi baik, maka mereka akan segera dapat menjawab pertanyaan yang diberikan kepada mereka.”

Sutawijaya masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia bertanya, “Darimana kalian dapat menangkap hantu-hantu itu?”

“Mereka datang sendiri kemari. Semalam,” jawab Kiai Gringsing.

“Menyenangkan sekali,” desis Sutawijaya. Orang-orang yang terluka itu mendengarkan percakapan Sutawijaya dan gembala tua yang bersenjata cambuk itu dengan hati yang terasa menjadi semakin panas. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Apalagi sekarang, di hadapan pemimpin tertinggi Mataram yang membawa beberapa orang pengawal.

Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada pemimpin pengawas itu, “Kaulah yang berkewajiban untuk menyampaikan laporan tentang keadaan di daerah ini.”

“Ya. Akulah yang berkewajiban,” tetapi ia kemudian berkata kepada Sutawijaya, “Tetapi maaf Tuan. Ternyata Ki Truna Podang lebih banyak mengetahui keadaan di daerah ini daripada aku. Apalagi setelah aku terluka. Karena itu, apabila Tuan tidak berkeberatan, biarlah Ki Truna Podang sajalah yang memberikan laporan tentang daerah ini atas namaku.”

“O, jadi orang inilah yang bernama Truna Podang.”

Pemimpin pengawas itu justru menjadi termangu-mangu, sedang pengawas yang membawa laporan ke Mataram pun, yang mendengar juga dari bawah tangga, menjadi heran. Ia memang menyebut nama orang tua itu Truna Podang, gembala yang bersenjata cambuk.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Mungkin aku dianggap orang yang banyak berbicara, sehingga akulah yang paling pantas untuk menyampaikan laporan ini.”

“Ah,” pemimpin pengawas itu berdesah. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak menyatakan keheranannya, bahwa di hadapan Raden Sutawijaya, gembala tua itu seakan-akan berbicara sesuka hatinya. Dan agaknya Sutawijaya sendiri bersikap aneh pula terhadap gembala itu beserta anak-anak dan tamunya.

Kiai Gringsing pun kemudian menceriterakan kepada Sutawijaya apa yang sudah terjadi di sekitar barak itu. Diberinya sedikit pengantar tentang apa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Pertentangan-pertentangan yang timbul, sikap yang kasar dan mencurigakan. Kemudian perselisihan di antara mereka sendiri. Akhirnya terjadilah peristiwa semalam. Dan Kiai Gringsing tidak lupa pula mengatakan, bahwa mereka telah membunuh kawan-kawan mereka yang tidak mereka perlukan lagi.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Samar-samar ia dapat membayangkan apa yang sudah terjadi. Bahkan ia berkata di dalam hatinya, “Apakah jadinya kalau Kiai Gringsing tidak datang ke tempat ini.”

Namun dengan demikian Sutawijaya segera dapat mengambil kesimpulan pula, bahwa di tempat-tempat lain yang selalu diganggu oleh hantu-hantu itu pun pasti terjadi persoalan yang serupa. Yang mengganggu itu pasti sama sekali bukan hantu, seperti yang terjadi di tempat ini.

“Jika demikian, mereka pasti mempunyai kekuatan yang cukup dan jumlah orang yang memadai. Mereka ternyata menguasai daerah yang luas di sekitar Alas Mentaok. Hampir setiap daerah pembukaan hutan, hantu-hantu itu selalu mengganggu mereka dan berusaha mendesak mereka keluar dari tlatah hutan Mentaok.”

“Kita sudah dapat menduga, apakah maksud mereka. Tetapi maksud yang lebih dalam lagi, kita masih harus meraba-raba.”

“Ya. Mula-mula mereka akan menggagalkan pembukaan hutan ini. Selanjutnya, kita belum tahu.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita mempunyai beberapa orang tawanan. Kita akan segera dapat bertanya kepada mereka apabila keadaan mereka berangsur baik.”

“Ya. Tetapi apakah peristiwa ini tidak akan mempengaruhi sikap mereka di daerah-daerah yang lain?”

“Memang mungkin. Tetapi aku kira mereka sedang memusatkan perhatian mereka di tempat ini. Di tempat yang mereka anggap tidak menguntungkan dan berbahaya.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Sebagai seorang pemimpin ia tidak membatasi sudut pandangannya sekedar daerah yang sedang dihadapinya. Tetapi Sutawijaya mulai membuat gambaran apa yang dapat terjadi di daerah-daerah lain. Mungkin pembalasan dendam, mungkin pelepasan sakit hati atau semacam itu. Bahkan di beberapa tempat yang masih belum mendengar peristiwa ini, pasti masih selalu dibayangi oleh ketakutan karena hantu-hantu Alas Mentaok.

Tetapi agaknya hantu-hantu itu kini memang justru sedang menyoroti daerah yang mereka anggap sebagai pintu gerbang dari kegagalan mereka. Meskipun mereka dapat berbuat banyak di daerah lain, namun dari daerah ini pasti akan tersebar berita tentang peristiwa yang telah terjadi di sini.

Sementara itu Sutawijaya masih merenungi daerah yang sedang dibinanya. Mataram. Daerah yang sedang dikembangkannya menjadi suatu negeri yang ramai. Namun kini ia harus menghadapi rintangan yang cukup berat baginya.

Sejenak kemudian maka Sutawijaya itu pun berkata, “Aku mempunyai perhitungan, bahwa mereka, maksudku orang-orang yang tidak kita kenal itu, pasti sedang menyiapkan orang-orangnya yang terpencar. Mereka pasti menyiapkan diri untuk suatu tindakan yang cermat atas daerah ini. Mereka harus dapat menyembunyikan kekalahan mereka serapat-rapatnya, supaya mereka masih mempunyai lapangan yang luas untuk membuat rencana-rencana baru bagi daerah-daerah yang lain.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya,” jawab orang tua itu, “Beberapa dari orang-orang mereka itu tertawan di sini. Mereka pasti mempunyai rencana untuk itu. Mengambil mereka, atau membinasakan mereka sama sekali.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Bahkan mungkin ia akan berbuat lebih jauh lagi di sini.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya halaman yang terhampar di depan barak itu. Kemudian pepohonan yang jarang, dikelilingi oleh pagar yang lemah. Di muka barak itu sebuah jalan menghubungkan regol halaman ini dengan gardu pengawas yang kosong. Sedang ujung lain adalah barak yang sebuah lagi.

“Untuk sementara kita hanya dapat bertahan,” berkata Sutawijaya. “Aku tidak memperhitungkan sampai sejauh ini ketika aku belum melihat keadaan terakhir. Sedang para pengawas yang datang ke Mataram itu pun masih belum dapat mengatakannya, karena hal itu terjadi setelah mereka meninggalkan tempat ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Apakah ada di antara mereka yang sudah dapat diajak berbicara?” bertanya Sutawijaya.

Kiai Gringsing mengangguk. “Ada dua atau tiga orang yang meskipun tidak terlalu banyak, dapat dimintakan keterangan kepada mereka.

“Aku ingin berbicara dengan mereka. Sedikit saja.”

“Silahkan.”

Sementara orang-orang di dalam barak itu menyediakan minuman panas untuk Sutawijaya dan pengiringnya, Sutawijaya sendiri bangkit berdiri diikuti oleh Kiai Gringsing mendekati orang-orang yang terluka.

“Orang yang berdahi lebar itulah yang agaknya dapat dibawa berbicara meskipun tidak terlampau banyak. Lukanya tidak begitu parah. Bahkan ia sudah dapat duduk bersandar dinding.”

Sutawijaya memandang orang yang berdahi lebar itu. Katanya kemudian, “Apanya yang terluka?”

“Pundak dan lambungnya. Darahnya kadang-kadang masih mengalir apabila ia terlalu banyak bergerak. Orang ini agak keras kepala. Kadang-kadang ia menggeliat atau bangkit dengan tiba-tiba.”

“Tetapi masih ada tempat untuk mencekiknya atau menikam dengan keris pusaka ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya mendengar jawaban Sutawijaya itu. Apalagi ketika Sutawijaya kemudian berdiri setapak di samping orang itu.

“Siapa namamu?” bertanya Sutawijaya.

Orang itu tidak menyahut.

“Siapa namamu?”

Orang itu masih diam saja.

“Kau tidak mau menjawab? Baiklah. Sekarang aku bertanya tentang yang lain. Siapakah pemimpin yang tertinggi yang kau kenal di dalam gerombolanmu. Katakanlah, hantu yang paling tinggi derajatnya. Apakah kau kenal?”

Orang itu tidak menyahut.

“Dan berapa orang yang ada di dalam lingkunganmu seluruhnya yang tersebar di hutan ini?”

Orang itu sama sekali tidak menjawab.

Tetapi orang yang berdahi lebar itu, bahkan kawannya yang berbaring di sekitarnya, terkejut ketika tiba-tiba saja Sutawijaya tertawa, “Bagus. Memang seharusnya kau tidak menjawab. Kau adalah laki-laki yang sudah berjanji untuk terjun ke dalam dunia yang hitam. Karena itu, kau harus tetap bertekad di dalam keadaan apa pun juga untuk bersatu di dalam ikatan batin dengan kawan-kawanmu, meskipun kadang-kadang pemimpinmu sendiri kurang mempercayaimu. Terbukti ada di antara kawan-kawanmu yang mati terbunuh oleh pemimpin-pemimpinmu sendiri, pemimpin-pemimpin kecil.” Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, sebelum kau dibunuh oleh kawan-kawanmu sendiri, kau harus menunjukkan bahwa kau adalah seorang laki-laki. Ketahuilah, bahwa pada suatu saat, kalian akan kami tempatkan di halaman ini sambil mengikat kalian pada tiang-tiang. Kalian akan menjadi sasaran latihan memanah yang baik sekali bagi kawan-kawan kalian yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar di sekitar banjar ini. Kalau mereka tidak pandai memanah, maka mereka akan merayap dengan diam-diam mendekati kalian di malam hari, dan menikam dada kalian dengan keris, atau dengan tombak. Apakah kalian mengerti?”

Orang itu masih membeku. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Bahkan kawan-kawannya yang lain, yang terluka parah pun menjadi semakin kecut.

“Tetapi sebelum itu, kami akan berusaha memeras keterangan dari kalian dengan segala cara. Kami tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan, yang tidak akan membuka mulut kalian. Karena itulah maka kami akan memperlakukan kalian sebagai laki-laki jantan. Kami akan menyiksa kalian dengan cara yang paling kejam yang pernah disebut oleh manusia beradab.”

Kata-kata Sutawijaya itu benar-benar telah mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bukan saja orang-orang yang sedang terluka, yang terbaring sebagai tawanan, tetapi juga orang-orang di barak itu. Bahkan Kiai Gringsing dan kedua muridnya serta Sumangkar pun menjadi heran pula.

“Apakah kemarahan Raden Sutawijaya benar-benar telah sampai ke puncak ubun-ubunnya, sehingga ia akan memperlakukan orang-orang yang sudah tidak berdaya itu sedemikian kejamnya,” pertanyaan itu timbul di setiap dada.

Namun demikian, ada juga orang-orang yang berkata di dalam hati. “Nah, ternyata putra Ki Gede Pemanahan pun memperlakukan demikian. Kenapa orang tua dan kedua anak-anaknya itu telah mencegah kami? Seandainya Raden Sutawijaya itu ada di sini, aku kira kita akan dapat melakukannya, meskipun harus membiarkan dua atau tiga di antaranya tetap hidup untuk memberikan keterangan-keterangan yang diperlukan.”

Tetapi kini tawanan-tawanan itu sudah berada di tangan Sutawijaya. Orang-orang yang masih dibakar oleh dendam itu hanya dapat menunggu. Mungkin mereka akan mendapat giliran pula untuk melepaskan sakit hati mereka

“Bersiaplah,” berkata Sutawijaya, “kau, orang yang berdahi lebar yang tidak mau menyebut namanya dan tidak mau menjawab semua pertandaanku itulah yang harus mengalaminya pertama-tama. Kau tidak berkeberatan?”

Wajah orang itu menjadi pucat

“He, kenapa kau menjadi pucat seperti orang yang ketakutan? Bukankah kau seorang laki yang sudah menentukan sikap? Jangan menjadi pengecut. Jangan membuat lingkungan yang kau pilih menjadi malu. Kau harus mene-ngadahkan wajah dan dadamu sambil berkata, “Inilah aku. Salah seorang dari segerombolan orang-orang yang telah menghimpun diri dengan rahasia. Kami terdiri dari laki-laki jantan yang tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan” Bukankah begitu? Dengan demikian kau masih dapat berbangga di saat-saat terakhir.”

Orang berdahi lebar itu tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin pucat.

“Bawalah orang ini,” perintah Sutawijaya sambil berpaling kepada pengiringnya, “bawalah orang ini ke belakang barak ini. Aku ingin melihat, sampai di mana ia mempertahankan kejantanannya. Sediakan sepotong dahan cangkring yang berduri rapat dan semangkuk air garam.”

“Jangan, jangan,” tiba-tiba orang berdahi lebar itu berteriak.

“Kenapa kau berteriak seperti seorang pengecut? Kau adalah seorang laki-laki. Sebelum dadamu remuk dan kulitmu terluka arang kranjang, kau tidak boleh menjawab setiap pertanyaanku. Dengan demikian kau akan menodai kejantanan kalian.” Lalu sekali lagi Sutawijaya memerintahkan kepada pengiringnya, “Bawa orang ini ke belakang barak.”

Ketika beberapa orang naik ke serambi, orang itu tiba-tiba bangkit berdiri. Dengan sisa tenaganya ia ingin meloncat dan berlari. Tetapi ternyata Sutawijaya benar-benar tangkas. Dengan cepatnya ia menangkap lengan orang itu dan menariknya, “Kau mau lari?”

“Ampun,” teriaknya. Lukanya tiba-tiba terasa menjadi demikian sakitnya disertai dengan perasaan takut yang luar biasa.

“Jangan meronta-ronta seperti kanak-kanak,” berkata Sutawijaya, “lukamu akan berdarah lagi.”

“Jangan, jangan,” orang itu masih tetap meronta ketika dua orang pengawal memegang lengannya dan membawanya turun dari serambi.

“Jagalah luka-lukamu. Kenapa kau tiba-tiba saja menjadi seorang pengecut.”

Orang itu tidak sempat menjawab. Ia masih saja berteriak dan meronta-ronta. Tetapi kedua pengawal itu membawanya langsung ke belakang serambi.

“Seorang pun tidak boleh melihat caraku memeriksa orang itu,” berkata Sutawijaya sambil mengedarkan pandangan matanya. “Para pengawalku akan menjaga. Siapa yang memaksa ingin melihat, akan mengalami nasib yang serupa dengan orang itu. Aku tidak ingin kalian tidak dapat tidur sepanjang hidup kalian karena kalian melihat, bagaimana aku menyiksa orang yang tidak mau menjawab pertanyaanku. Hanya orang-orang yang aku tunjuk sajalah yang boleh mengikuti aku.”

Tidak ada seorang pun yang menjawab.

“Aku minta perintah ini ditaati,” berkata Sutawijaya kemudian. Dan diperintahkannya para pengawalnya untuk mengawasi orang-orang di barak itu. Katanya kemudian, “Para tawanan ini pun harus diawasi baik-baik. Siapa yang mencoba melarikan diri, ia pasti akan menyesal, karena ia akan mengalami perlakuan yang lebih mengerikan.”

Barak itu telah dicengkam oleh kengerian yang memuncak. Dada mereka menjadi tegang dan darah mereka serasa menjadi semakin lambat mengalir.

Sutawijaya kemudian meninggalkan serambi itu, pergi ke belakang barak. Yang dibawanya adalah Truna Podang beserta kedua anaknya dan Sumangkar. Seorang pengawal dan pemimpin pengawas yang terluka itu.

“Kalau kau ingin membalas, kau akan mendapat kesempatan,” berkata Sutawijaya. Tetapi pemimpin pengawas itu tidak menjawab. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa demikianlah yang akan dijumpainya, justru setelah Sutawijaya sendiri datang.

Orang yang berdahi lebar itu masih saja meronta-ronta. Apalagi ketika ia melihat kehadiran Sutawijaya. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Jangan, jangan, jangan Tuan. Aku minta ampun. Aku minta ampun.”

Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dilihatnya orang itu menjadi sangat ketakutan. Wajahnya menjadi seputih kapas dan matanya meratap minta belas kasihan.

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru serta pemimpin pengawas yang terluka itu masih berdiri termangu-mangu. Namun terasa dada mereka terguncang-guncang oleh keheranan akan sikap Sutawijaya. Apalagi pemimpin pengawas yang terluka itu, yang masih belum dapat berdiri tegak sendiri, sehingga ia masih memerlukan pertolongan Agung Sedayu.

Tetapi orang-orang itu menjadi semakin heran, bahwa Sutawijaya sama sekali tidak berbuat sesuatu. Ia masih berdiri saja sambil memandang orang yang berteriak-teriak itu, “Ampun, aku minta ampun.”

Ketika Sutawijaya perlahan-lahan melangkah maju, maka nyawa orang itu serasa sudah melekat di ubun-ubun. Karena itu ia berteriak semakin keras.

Kawan-kawannya yang masih ada di serambi, mendengar teriakan itu meskipun tidak begitu jelas. Namun setiap kali dada mereka berdesir. Terbayang di rongga mata mereka, kawannya yang berdahi lebar itu sedang mengalami siksaan yang tiada taranya, sehingga orang itu berteriak-teriak tidak menentu.

“Jangan, jangan,” teriak orang berdahi lebar itu.

Sutawijaya masih berdiri memandanginya dengan tajamnya. Perlahan-lahan ia mengangkat tangannya. Dengan ujung jarinya ia menyentuh lambung orang yang berdahi lebar itu.

Oleh ketakutan yang dahsyat, maka sentuhan itu terasa bagaikan duri-duri cangkring yang tajam tergores dikulitnya. Karena itu ia berteriak semakin keras.

“He,”desis Sutawijaya, “kenapa kau berteriak-teriak? Apakah aku sudah berbuat sesuatu?”

Pertanyaan itu telah menghentikan teriakan-akan yang seakan-akan mengumandang memenuhi pinggir hutan yang sedang dibuka itu.

“Kenapa kau berteriak-teriak?” ulang Sutawijaya, “Coba katakan, apakah aku sudah berbuat sesuatu? Aku memang akan menyiksamu dengan cara yang paling kejam seperti sudah aku katakan. Aku ingin memeras semua keteranganmu tentang dirimu sendiri dan tentang gerombolanmu yang selama ini berkedok sebagai hantu-hantu di Alas Mentaok. Kalau kau tidak mau berbicara, maka aku akan mempergunakan segala macam cara tanpa menghiraukan perikemanusiaan. Tanpa menghiraukan belas kasihan dan peradaban manusia.”

“Jangan, jangan,” orang itu memohon. Suaranya merintih seperti ujung nyawanya sudah mulai lepas dari tubuhnya.

“Kenapa kau melarang? Itu terserah kepadaku. Selain Ayahanda Pemanahan, tidak ada orang yang lebih berkuasa dari aku di sini. Aku dapat berbuat apa saja. Aku dapat membunuh siapa saja tanpa dapat dituntut oleh seorang pun. Aku tidak takut oleh dendam siapa pun juga.”

Tubuh orang itu kini menggigil seperti sedang kedinginan.

“Lepaskan,” perintah Sutawijaya kepada kedua pengawalnya yang memegangi orang itu.

Pengawalnya menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi Sutawijaya mengulangi, “Lepaskan. Sediakan saja tali yang cukup panjang. Apabila ia mencoba lari, ikatlah kedua tangannya dengan tali yang direntang pada dua batang pohon. Setiap orang akan lewat di sampingnya dan melakukan hukuman picis.”

“Tidak. Tidak,” orang itu berteriak lagi.

Perlahan-lahan kedua pengawal itu melepaskan pegangannya. Namun orang yang ketakutan itu hampir tidak dapat berdiri sendiri. Bukan saja karena lukanya, tetapi karena ia benar-benar dicengkam oleh kengerian mendengar ancaman-ancaman Sutawijaya.

Tetapi, Sutawijaya kemudian justru tersenyum. Dengan terus terang ia berkata, “Aku kecewa melihat sikapmu. Kau pasti bukan orang yang dapat dibanggakan oleh gerombolanmu. Sebelum kau tersentuh apa pun, kau sudah ketakutan setengah mati. Ayo, bersiaplah menerima siksaan yang paling berat.”

“Jangan, jangan, Tuan.”

Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia membentak, “Siapa namamu?”

“Sura Mudal,” orang itu membentak pula diluar sadarnya.

“Kau menbentak aku he?”

“Tidak, tidak, Tuan. Aku tidak sengaja.”

“Nah, sekarang kau dapat memilih. Kau menjawab setiap pertanyaanku, atau aku benar-benar harus melakukan seperti yang aku katakan?”

Kiai Gringsing, Sumangkar, Agung Sedayu, Swandaru, dan pemimpin pengawas yang terluka itu menarik nafas dalam-dalam. Kini mereka sadar bahwa Sutawijaya telah melakukan suatu permainan yang berhasil. Bahkan Kiai Gringsing mengusap keningnya yang basah sambil berkata kepada diri sendiri, “Ternyata putra Pemanahan ini pandai juga berkelakar, meskipun orang lain hampir menjadi pingsan karenanya.”

“Apakah kau dapat memilih?” bertanya Sutawijaya.

“Ya, ya. Aku dapat memilih.”

“Yang manakah yang kau pilih? Tubuhmu dilecut dengan ranting pohon cangkring yang berduri rapat kemudian disiram dengan air garam?”

“Tidak, tidak, Tuan. Jangan itu.”

“Jadi?”

“Aku, aku akan menjawab pertanyaan Tuan.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ternyata kau cukup bijaksana. Karena itu, duduklah. Kita berbicara dengan baik.”

Orang itu menjadi bingung melihat sikap Sutawijaya. Kini Sutawijaya tiba-tiba menjadi ramah dan baik.

“Duduklah,” berkata Sutawijaya. Ia sendiri mendahului duduk di bebatur barak bersandar dinding, diikuti oleh orang-orang lain yang menunggui pemeriksaan itu.

Tetapi orang yang menyebut dirinya Sura Mudal itu masih berdiri dengan gemetar. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan karena kecemasan dan ketakutan yang mencengkam jantung.

“Duduklah,” sekali lagi Sutawijaya mempersilahkannnya dengan ramah, “jangan takut. Kalau kau dapat menempuh kebijaksanaan ini aku sangat hormat kepadamu. Sebenarnya memang tidak ada gunanya menyakiti diri sendiri. Tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadamu, adalah suatu perbuatan yang sia-sia. Kau akan mengalami penderitaan. Sedang yang kau simpan itu pun akhirnya akan terloncat pula dari bibirmu karena segala macam cara. Mungkin cara yang belum pernah kau bayangkan.”

Orang itu masih berdiri kebingungan.

“Nah, kau sudah menjawab siapa namamu,” berkata Sutawijaya, “sekarang duduklah di sini. Di sampingku.”

Dengan ragu-ragu orang itu melangkah maju. Sekali-sekali ia masih menyeringai karena luka-lukanya yang terasa sakit.

“Kau bernama Sura Mudal bukan?” berkata Sutawijaya kemudian. “Nah, sekarang katakan, siapakah pemimpinmu?”

“Kiai Damar,” jawab orang itu.

“Apakah Kiai Damar itu pemimpin tertinggi di dalam lingkunganmu?”

“Tidak. Masih ada orang lain yang tidak aku ketahui.”

“Darimana kau tahu bahwa masih ada orang lain.”

“Aku sering melihat seseorang yang datang ke gubug Kiai Damar. Orang yang tinggi dan berjambang lebat.”

“Siapakah namanya?”

Orang itu menggelengkan kepalanya.

“Siapa namanya?” desak Sutawijaya.

“Benar, aku tidak tahu, Tuan. Aku tidak tahu.”

Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa orang itu tidak mengetahuinya.

“Coba sebutkan, berapa orang jumlah kawan-kawanmu seluruhnya?”

“Aku tidak tahu, Tuan.”

“He, kau tidak tahu? Kau tidak tahu jumlah orang-orang di dalam gerombolanmu.”

“Ya, ya, Tuan. Eh, maksudku aku tidak tahu. Tetapi yang ada bersama-sama dengan Kiai Damar, aku dapat mengetahuinya.”

“Berapa orang yang diserahkan kepada Kiai Damar?”

“Lima belas orang, ditambah dua orang penghubung.”

“Dua orang penghubung? Di mana yang dua orang itu?”

“Yang seorang tidak bersama kami sekarang. Yang seorang semalam ikut di dalam serangan ini. Tetapi mungkin ia mati terbunuh.”

“Salah seorang dari dua orang yang mati itu?”

“Agaknya benar, Tuan. Sebab ia tidak ada di antara kami yang tertangkap.”

“Ada dua orang yang mati. Tetapi dibunuh oleh Kiai Damar sendiri. Seorang dapat melarikan diri bersama Kiai Damar dan sisanya adalah kalian.”

Orang berdahi lebar itu mengangguk-angguk.

“Nah, yang manakah yang kau maksud dengan penghubung itu? Yang terbunuh atau yang melarikan diri?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak melihat keduanya. Juga yang melarikan diri aku tidak tahu pasti. Tetapi satu di antara tiga orang yang tidak ada di antara kami itulah penghubung itu.

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Penghubung itu pasti mengetahui agak banyak tentang kelompok rahasia yang selama ini mengganggu usahanya membuka Alas Mentaok.

“Sekarang, ceriterakan, apa saja yang pernah kau lakukan selama kau berperan sebagai hantu-hantu kecil di Alas Mentaok ini,” berkata Sutawijaya kemudian.

Orang itu menjadi ragu-ragu sejenak. Namun ketika Sutawijaya meraba lengannya, ia berkata, “Ya, ya. Aku akan berceritera tentang Alas Mentaok.”

“Bukan tentang Alas Mentaok. Tetapi tentang dirimu sendiri. Apakah kau tahu maksudku?”

“Ya, ya. Aku tahu.”

“Nah, apa saja yang sudah kau lakukan sebagai hantu Alas Mentaok.”

Orang itu masih dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekali lagi Sutawijaya meraba tangannya sambil berkata, “Kulitmu memang liat sekali.”

“Tidak. Tidak.” Dan orang itu pun mulai berceritera. Hampir tidak ada yang dilampauinya, apa yang diketahuinya diceriterakannya kepada Sutawijaya.

Kiai Gringsing, Agung Sedayu, dan Swandaru yang mendengar ceritera itu pula, mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kini menjadi semakin jelas, apa saja yang selama ini mereka hadapi. Kini ternyata pula orang yang pernah dengan ketakutan mendekap Swandaru di tempat kerjanya, adalah orang-orang Kiai Damar pula. Kemudian ular dan bahkan api itu.

“Jadi, kau hanya mengenal Kiai Damar sebagai pemimpinmu?”

“Ya, Tuan, Kiai Damar yang sekarang.”

“Yang sekarang? Apakah ada Kiai Damar yang dahulu.”

Orang itu tidak segera menjawab.

“Katakanlah,” Sutawijaya bergeser setapak mendekati orang itu.

“Ya, ya. Kiai Damar memang pernah berganti. Tetapi kedua orang itu memang mirip sekali.”

“Ah, apakah kau sedang bermimpi? Mungkin orangnya memang sama. Tetapi supaya menimbulkan kesan yang lain, dibuatnya cerita yang aneh-aneh itu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu, “Bukan, memang bukan orang lain. Tetapi Kiai Damar yang dahulu sudah mati. Tetapi ia hidup lagi. Orang itu adalah Kiai Damar yang sekarang. Tetapi ada beberapa hal yang dahulu sudah tidak diingatnya lagi.”

Sutawijaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling memandang Kiai Gringsing yang termangu-mangu.

Untuk beberapa lama orang-orang yang duduk di belakang barak itu saling berdiam diri. Mereka sedang merenungi angan-angan masing-masing yang mengambang dari waktu ke waktu. Mereka seakan-akan melihat apa yang telah terjadi selama ini di daerah yang sedang dibuka itu. Semula orang-orang itu datang dengan membawa harapan untuk mendapat tanah yang lebih baik dari daerah yang mereka tinggalkan. Mereka membawa harapan untuk hidup di dalam suatu negeri yang makmur, adil, dan harapan untuk mendapat kesempatan yang baik karena mereka termasuk orang-orang yang membuka tanah. Mereka termasuk perintis-perintis jalan untuk masuk ke Alas Mentaok lebih dalam lagi. Namun kemudian mereka telah dicengkam oleh ketakutan. Beberapa orang menjadi putus asa dan meninggalkan daerah yang sudah mulai mereka buka. Sebagian masih bertahan karena mereka sudah tidak mempunyai tempat untuk kembali. Namun setiap hari mereka selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan. Hari depan mereka menjadi suram, dan harapan-harapan yang sudah mereka susun pada saat mereka berangkat itu satu-satu menjadi pecah berserakan seperti kepingan mangkuk yang jatuh di atas batu hitam. Apalagi di saat-saat terakhir. Mereka hampir menjadi gila karenanya. Mereka kehilangan segala macam harapan dan gairah bagi masa depan mereka. Mereka bahkan merasa bahwa maut setiap saat telah membelai kepala mereka.

Tetapi mereka tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh peristiwa semalam. Orang yang menyebut dirinya Truna Podang, dan yang selama ini mereka anggap sebagai seorang yang aneh, sombong dan tidak mengenal takut itu, bersama anak-anaknya telah berhasil menangkap hantu-hantu yang selama ini menakut-nakuti mereka.

Peristiwa ini adalah merupakan suatu tingkatan baru di dalam perjalanan hidup mereka. Harapan yang telah musnah itu, selapis demi selapis telah mereka susun kembali di dalam hati.

Tetapi semuanya masih belum mantap. Persoalan hantu-hantu itu masih belum selesai Mungkin masih akan ada akibat-akibat yang menimpa orang-orang yang diombang-ambingkan oleh keadaan itu.

Orang-orang yang terluka, yang terbaring di serambi depan menjadi semakin cemas dan berdebar-debar. Kawannya yang dibawa ke belakang barak itu sudah tidak terdengar suaranya lagi. Mereka menyangka bahwa orang berdahi lebar itu, telah terbaring di tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Mungkin tubuhnya telah hancur disayat oleh duri-duri cangkring yang tajam. Darah bercampur keringat telah membasahi seburuh tubuhnya yang tidak berbentuk lagi.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar