Buku 055
Agung Sedayu yang sedang
memperhatikan kedatangan pengawas yang berkumis itu terkejut, ketika Swandaru
berteriak, “Awas, Kakang!”
Agung Sedayu sadar, bahwa
orang yang jatuh itu masih mungkin berbuat sesuatu. Karena itu ia pun segera
berpaling ke arahnya. Tepat pada saatnya, Agung Sedayu melihat orang itu
berusaha bangkit dan melemparkan lagi sebuah pisau kecil ke arahnya.
Untunglah, bahwa Agung Sedayu
tidak terlambat. Ia masih sempat mengelak, sekaligus memungut sebuah batu dan
melontarkannya ke arah orang yang kini sudah duduk itu.
Ternyata lemparan Agung Sedayu
kali ini, dari jarak yang lebih dekat, disertai kemarahan yang melonjak di
dadanya, telah menumbuhkan akibat yang parah. Lemparannya kali ini mengenai
dada orang itu. Sejenak serasa nafasnya terhenti mengalir. Kemudian, semuanya
menjadi gelap. Dan orang itu pun menjadi pingsan.
Tetapi kini Agung Sedayu masih
harus menghadapi pengawas yang berkumis itu. Dengan wajah yang merah padam ia
mendekati Agung Sedayu sambil berkata, “Kau memang anak gila. Apakah kau
sadari, apa yang telah kau lakukan?”
Agung Sedayu berdiri tegak di
atas kedua kakinya yang merenggang. Semuanya sudah terlanjur menjadi kisruh.
Karena itu, maka ia harus menghadapi lawannya itu. Kalau tidak, maka agaknya ia
sendirilah yang akan menjadi korban.
Sementara itu, selagi semua
perhatian tertuju kepada Agung Sedayu dan pengawas yang berkumis itu, Kiai
Gringsing mendapat kesempatan untuk merawat pemimpin pengawas yang terluka
punggungnya. Dengan hati-hati Kiai Gringsing mencabut pisau itu. Sejenak ia
tertegun. Pisau itu pun agaknya beracun pula.
Untunglah bahwa di dalam
keadaan yang gawat, di antara orang-orang yang selalu bermain-main dengan
racun, ia sudah menyiapkan beberapa jenis obat-obatan. Tanpa menarik perhatian
orang lain. Kiai Gringsing segera menaburkan serbuk obat ke atas luka itu.
Kemudian dimasukkannya sebutir obat yang lain ke dalam mulutnya. Desisnya,
“Telanlah. Kau akan sembuh.”
Di antara sadar dan tidak,
pemimpin pengawas itu berusaha menelan obat yang diberikan oleh Kiai Gringsing,
sementara lukanya terasa menjadi sangat panas.
“Jangan terkejut. Lukamu
memang terasa sakit, tapi kau akan sembuh. Percayalah dan berdoalah agar Tuhan
menolongmu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun terpaksa menyeringai menahan sakit yang menggigit
punggungnya.
Dalam pada itu, pengawas yang
berkumis itu pun telah berdiri berhadapan dengan Agung Sedayu. Beberapa orang
perlahan-lahan bergeser mendekatinya. Wanakerti pun telah berada di dekat
keduanya yang sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
“Kau sadar apa yang telah kau
lakukan?” bertanya petugas yang berkumis itu.
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang berkumis itu dan Wanakerti
berganti-ganti. Bahkan kadang-kadang ia masih sempat berpaling ke arah orang
yang kini terbaring pingsan di samping gundukan padas
Dalam pada itu, Swandaru yang
sudah mendapat kesempatan beristirahat sejenak, telah berdiri pula.
Tertatih-tatih ia berjalan mendekati kakak seperguruannya. Kini ia sudah
berhasil menarik cambuknya yang melilit kaki orang yang kekurus-kurusan yang
ternyata sedang pingsan pula.
“Aku jadi sangat bingung,”
berkata Swandaru kemudian tanpa menghiraukan apa pun. “Orang-orang di sini
adalah orang-orang yang sangat aneh bagiku. Aku sama sekali tidak mengerti akan
tingkah laku mereka.”
“Diam!” bentak orang berkumis
itu. “Atau kau akan aku bunuh sama sekali dengan saudaramu ini.”
“Jangan. Aku memang masih
ingin hidup.”
Orang berkumis itu menggeram,
sementara Agung Sedayu berkata, “Kenapa kita tidak mencoba berbicara dengan
baik. Mungkin kita hanya sekedar salah paham. Dengan berbicara berterus terang,
semua persoalan akan dapat diselesaikan.”
“Tidak ada gunanya!” teriak
pengawas berkumis itu.
“Anak itu benar,” berkata
Wanakerti, “kita masih mempunyai banyak kemungkinan selain kekerasan.”
“Aku melihat perkembangan
keadaan dari ketiga orang ini. Kedua orang yang sudah dikalahkan oleh anak yang
gemuk ini sudah berusaha untuk berbicara, jauh sebelum peristiwa ini terjadi.”
“Bukan pembicaraan,” sahut
Agung Sedayu, “tetapi pengusiran. Setiap kali kita berbicara, maka yang
disebut-sebutnya hanyalah, agar kami meninggalkan tanah garapan ini tanpa
alasan yang masuk akal. Mereka menghendaki kami pergi. Hanya itu. Sudah tentu
kami berkeberatan, karena para petugas pun tidak menginginkan demikian.”
“Ya,” berkata Wanakerti, “kami
memang tidak berkeberatan. Hanya, keonaran memang harus diusut sebaik-baiknya.”
“Jangan ikut campur,” bentak
prajurit berkumis itu, “apakah kau ingin mengalami nasib seperti pemimpin kita
itu?”
“Tidak akan mungkin lagi.
Lihat, pelempar pisau itu sedang pingsan.”
“Orang itu memang sedang
pingsan. Tetapi ia tidak mengalami gangguan yang berarti. Ia sekedar tidak
menyadari keadaan dirinya. Namun lemparanmu memang dahsyat sekali. Bukankah kau
telah melemparnya dengan batu?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Itu adalah kesalahan yang
besar. Kau sudah berani melawan pengawas. Pengawas daerah yang sedang dibuka
ini. Kau sudah mencederai orang lain.”
“Sekali lagi bukan maksudku.
Kalau kau perkenankan, biarlah aku menolong orangmu itu. Dan orang itu sama
sekali bukan petugas di sini. Seterusnya kita akan berbicara dengan mulut,
bukan dengan ujung senjata macam apa pun juga.”
“Jangan mencoba menghindari
tanggung jawab. Sekarang serahkan kedua tanganmu. Kau memang harus diikat.”
“Jangan bertindak sendiri,”
berkata Wanakerti. “Aku juga seorang petugas seperti kau. Kau bukan pimpinan di
sini. Kau dan aku tidak akan berbeda. Hakmu sama dengan hakku dan wewenangmu
sama dengan wewenangku.”
“Tetapi ada yang lain,”
petugas itu menggeram, “kemampuanmu sama sekali tidak akan dapat menyamai
kemampuanku. Kau tidak lebih baik dari orang yang tinggi kekar, yang sama
sekali tidak berdaya melawan anak yang gemuk itu. Dan kau tidak akan dapat
melawan aku.”
“Aku tidak sendiri,” suara
Wanakerti menjadi berat. Meskipun ia sadar, bahwa petugas yang berkumis itu
pasti mempunyai kelebihan dari para petugas yang lain. Tetapi Wanakerti pun
sadar bahwa petugas yang seorang ini pasti mempunyai latar belakang tersendiri
pula, sehingga ia bertindak sebelum membicarakannya dengan kawan-kawannya.
Dalam pada itu, para petugas
yang lain pun telah berada di sekitar Wanakerti. Wajah mereka menjadi tegang.
Betapapun juga, setelah Wanakerti menyatakan perasaannya, para pengawas yang
lain pun ikut pula menyadari, apakah yang sebenarnya mereka hadapi.
Pengawas yang berkumis itu pun
menjadi bertambah tegang. Sekali-sekali dipalingkannya wajahnya kepada orang
yang pingsan di samping seonggok batu padas. Dengan demikian, maka segalanya
telah berubah. Orang yang pingsan itu sama sekali tidak lagi dapat membantunya.
Meskipun demikian pengawas
yang gemuk itu sama sekali tidak menyerah. Tiba-tiba saja ia mencabut pedangnya
sambil berkata lantang, “Aku telah bertindak tepat menurut pendapatku. Siapa
pun yang akan menghalangi, harus aku singkirkan. Aku tidak peduli apakah mereka
itu para petugas sendiri.”
Wanakerti maju selangkah.
Katanya, “Pemimpin kita telah cedera. Kita bukan orang yang terlampau dungu
untuk menilai keadaan. Setiap orang akan dapat menghubungkan, orang yang tinggi
kekar, orang yang kekurus-kurusan, kau, dan orang yang pingsan itu. Aku tidak
tahu, hubungan apakah yang sudah kalian jalin selama ini. Tetapi sudah tentu,
maksud kalian sama sekali tidak akan kami benarkan. Kami, para petugas terpaksa
harus menangkap kau dan orang-orang lain itu.”
“Persetan!” geram orang
berkumis itu, “Ayo, siapa dahulu yang akan mati.”
Agung Sedayu menjadi bingung.
Tetapi ketika ia maju selangkah, Wanakerti berkata, “Serahkan kepada kami.
Kamilah yang akan menyelesaikannya.”
Orang berkumis itu menggeram.
Dengan mata yang kemerah-merahan dilihatnya tiga orang pengawas telah
mengepungnya.
“Menyerahlah. Kami yang
seharusnya berlima, kini tinggal bertiga, setelah pemimpin kami terluka dan kau
berada di luar lingkungan kami. Tetapi kami masih tetap akan menjalankan tugas
kami sebaik-baiknya.”
Pengawas yang berkumis itu
memandang ketiga kawannya berganti-ganti. Wajah yang tegang menjadi semakin
tegang. Namun tiba-tiba saja ia tertawa berkepanjangan.
“Aku mengenal kalian bertiga
dengan baik,” berkata orang berkumis itu di antara derai tertawanya. “Kalian
sama sekali tidak akan mampu berbuat apa-apa. Aku tahu pasti, bahwa kalian
adalah pengecut-pengecut yang hanya mampu menyembunyikan diri. Coba katakan
kepadaku, kenapa kalian semalam tidak berani keluar dari gardu pengawas itu
meskipun kalian tahu, bahwa rumah ini terbakar? Kalian adalah petugas yang
harus menjaga keten-teraman daerah dari apa pun juga. Juga seandainya di daerah
ini ada hantu-hantu. Tetapi kalian tidak mampu. Kalian tidak dapat mengatasi
kesulitan hubungan antara para pembuka hutan dengan hantu-hantu sehingga korban
masih saja berjatuhan. Yang terakhir, suatu isyarat yang sangat berat. Api.
Sedang ketiga orang ini masih saja berkeras kepala.”
“Kami akui,” jawab Wanakerti,
“kami tidak dapat melakukan tugas kami dengan baik. Ternyata usahamu selama ini
telah berhasil. Kau berhasil menakut-nakuti kami apabila kami akan melakukan
suatu tindakan.”
“Itu adalah kebodohan kalian.
Kebodohan orang yang kalian sebut pemimpin kalian itu.”
“Jangan banyak bicara,”
berkata Wanakerti kemudian, “menyerahlah.”
“Kau gila. Pemimpinmu sudah
mati. Sebentar lagi kau dan semua orang yang tidak tunduk kepada perintahku.”
“Kau sudah memberontak kepada
Ki Gede Pemanahan.”
“Kau. Kaulah yang sama sekali
tidak mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepada kalian. Termasuk pemimpin
yang dungu itu. Nah, apa katamu?”
Wanakerti tidak menyahut. Ia
maju selangkah, diikuti oleh kawan-kawannya dari arah yang lain.
“Jadi kita akan bertempur?”
bertanya orang berkumis itu.
Wanakerti masih tetap diam.
Tetapi setapak demi setapak ia maju terus.
Orang berkumis itu pun
kemudian segera menyiapkan dirinya. Agaknya ia tidak akan dapat menghindar
lagi. Ia harus melawan ketiga kawan-kawannya.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
sudah berhasil mengatasi saat-saat yang paling berbahaya dari pemimpin pengawas
yang terluka. Perlahan-lahan pemimpin pengawas itu merasa tubuhnya bertambah
baik, meskipun ia menjadi sangat lemah karena racun-racun yang bertambah tajam.
Kalau saja tidak ada orang tua itu, maka ia pasti sudah mati di dalam beberapa
kejapan mata saja.
Kiai Gringsing pun merasa
bahwa usahanya berhasil. Karena itu, kini ia dapat memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang tinggi kekar itu sedang menunggui
kawannya yang masih pingsan.
“Apakah kawanmu itu akan kau
biarkan saja?” bertanya Gringsing.
Orang yang tinggi kekar itu
menjadi bingung.
“Kemarilah,” berkata Kiai Gringsing.
Orang itu masih saja
ragu-ragu.
“Kemarilah. Aku tidak
menggigit.”
Dengan bimbang orang yang
tinggi kekar itu melangkah mendekati Kiai Gringsing. Kegarangannya selama ini
sama sekali sudah lenyap. Bahkan wajahnya tampak menjadi pucat dan suram.
“Kau harus mencari air,”
berkata Kiai Gringsing setelah orang yang tinggi kekar itu mendekat.
“Teteskanlah ke dalam mulutnya. Setitik demi setitik. Jangan terlampau banyak
supaya kau tidak membunuhnya, karena titik air itu justru akan menyumbat
kerongkongannya. Bawalah orang itu ke barak. Bukankah kau bertubuh raksasa. Kau
pasti kuat membawanya. Nanti aku akan datang menolongnya. Luka-luka itu tidak
berbahaya meskipun terasa sakit sekali. Bersihkan darahnya dan usahakan menahan
apabila masih ada yang mengalir dari luka-luka itu. Tetapi luka-luka itu adalah
luka-luka yang dangkal saja.”
Orang yang tinggi kekar itu
seakan-akan sudah tidak mampu berpikir sama sekali. Di antara sadar dan tidak,
ia kemudian kembali kepada kawannya yang pingsan. Diangkatnya kawannya itu
dengan kedua tangannya, kemudian dibawanya meninggalkan arena yang masih
diliputi oleh ketegangan.
Karena kini semua perhatian
tertuju kepada para pengawas yang sudah siap untuk bertempur, tidak seorang pun
yang menghiraukan orang yang kekar itu, selain Swandaru. Tetapi Swandaru pun
kemudian membiarkannya ketika ia mendapat isyarat dari gurunya.
“Kenapa orang itu kau biarkan
pergi?” bertanya pemimpin pengawal yang masih terlampau lemah itu.
“Mereka tidak akan pergi.
Orang yang tinggi kekar itu sudah kehabisan nalar. Ia akan menurut apa yang
akan aku katakan. Apalagi keduanya itu pun sama sekali tidak penting. Aku
menganggap bahwa bawahanmu yang berkumis itulah yang termasuk orang penting
dari lingkungan yang belum kita kenal ini. Juga orang yang pingsan, yang
melemparkan pisau ke punggungmu.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Siapakah sebenarnya kau dan
anak-anakmu?”
“Aku dan anak-anakku. Itu
sudah betul.”
“Ya, namamu dan kedudukanmu.”
“Sudah aku katakan. Kami ingin
ikut membuka hutan ini karena kami tidak lagi mempunyai harapan apa-apa di
daerah kami yang lama.”
“Kau sangka aku percaya?”
“Sekarang tentu tidak. Tetapi
biarlah untuk sementara itulah aku. Percaya atau tidak percaya.”
Pemimpin pengawas itu menarik
nafas dalam-dalam.
“Kau dapat duduk sendiri?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Baiklah. Aku akan mengambil
orang yang pingsan itu sebentar. Sudah tentu aku tidak akan melepaskannya
seperti orang yang kekurus-kurusan itu.”
Pemimpin pengawas itu merenung
sejenak. Dipandanginya orang-orang yang sedang mengerumuni para pengawas yang
justru telah berselisih di antara mereka, sehingga pemimpin pengawas itu tidak
dapat melihat, apa yang sedang terjadi di arena.
“Tunggulah, aku tidak akan
lama,” desis Kiai Gringsing.
Pengawas itu menganggukkan
kepalanya.
Kiai Gringsing pun kemudian
berjalan dengan tergesa-gesa ke tempat orang yang sedang pingsan karena
hentakkan batu yang telah dilemparkan oleh Agung Sedayu. Karena pengawas yang
berkumis itu sedang memusatkan perhatiannya kepada tiga orang lawannya yang
mengepungnya, maka ia sama sekali tidak sempat melihat, bahwa seseorang telah
mengambil orang yang pingsan itu.
Pada saat Kiat Gringsing
mendekatinya, ternyata orang itu sudah mulai membuka matanya. Ia mencoba
mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mulai sadar, maka
dengan susah payah ia pun mencoba untuk bangkit. Tetapi pada saat itu sepasang
tangan yang kuat telah mencengkam pundaknya. Sejenak ia menyeringai, namun tiba-tiba
ia telah kehilangan kesadarannya kembali.
Dengan tergesa-gesa Kiai
Gringsing pun kemudian membawanya kepada pemimpin pengawas yang terluka.
Diletakkannya orang yang pingsan itu di sampingnya sambil berkata, “Ia masih
pingsan. Sebentar lagi ia akan sadar.”
“Bagaimana kalau ia lari? Aku
sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk berbuat sesuatu.”
“Sebaiknya tangan dan kakinya
diikat saja.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan kain panjangnya sendiri, orang itu pun
telah diikat tangan dan kakinya, sehingga apabila ia sadar kelak ia tidak akan
dapat lari dan berbuat apapun.
“Kau sekarang dapat
menungguinya,” desis Kiai Gringsing.
“Kau?”
“Aku akan melihat apa yang
terjadi. Agaknya anak buahmu telah berselisih pendapat.”
“Ya. Tetapi ternyata orang
yang berkumis itu cukup berbahaya. Ia pasti mempunyai bekal untuk menyombongkan
dirinya seperti itu.”
“Aku akan melihat. Jagalah
orang yang terikat ini baik-baik. Keadaanmu pun pasti akan segera berangsur
baik.”
Pengawas itu menganggukkan
kepalanya. Dengan susah payah, dicabutnya pedangnya sambil berkata, “Kalau ia
memberontak aku tinggal menghunjamkan pedangku saja.”
“Jangan kau bunuh. Kita
memerlukannya.”
“Aku tahu. Tetapi ujung
pedangku akan dapat menakut-nakutinya, meskipun aku tidak mampu mengangkatnya
sama sekali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Namun sejenak kemudian, ia pun pergi
meninggalkan pemimpin pengawas yang masih sangat lemah itu untuk melihat apa
yang telah terjadi di dalam lingkaran orang-orang yang sedang tegang.
Ternyata bahwa suasana telah
memuncak. Hampir bersamaan ketiga pengawas itu telah menyerang.
Tetapi ternyata orang berkumis
itu benar-benar tangkas, dengan lincahnya ia berloncatan menghindari serangan
yang datang dari tiga arah itu. Bahkan ia masih juga sempat menggeliat, sambil
mengayunkan tangan kirinya.
Meskipun tidak terlalu keras,
tetapi sisi telapak tangan itu masih juga sempat mengenai pundak salah seorang
lawannya, sehingga orang itu menyeringai menahan sakit.
Namun dalam pada itu, para
pengawas itu pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka menyerang pula berurutan
dari arah yang berlainan.
Meskipun demikian, ternyata
orang yang berkumis itu masih mampu untuk menempatkan dirinya. Ia sama sekali
tidak gentar melawan ketiga kawan-kawannya, meskipun dalam penilaian wajar,
ketiga pengawas itu cukup mempunyai kemampuan. Bahkan kemampuan seorang
prajurit. Tetapi lawannya yang seorang itu memang seorang yang memiliki ilmu
yang cukup tinggi.
Sejenak mereka bertempur
melingkar-lingkar. Semakin lama semakin seru. Tetapi juga ternyata bahwa ketiga
orang itu tidak akan segera dapat menguasai keadaan.
Agaknya kelima pengawas itu
merasa, bahwa dengan begitu saja mereka tidak akan dapat menangkap orang yang
berkumis itu. Karena itu maka tiba-tiba salah seorang dari ketiganya telah
mencabut pedangnya sambil berkata, “Aku terpaksa memaksamu untuk menyerah
sekarang.”
Tetapi orang yang berkumis itu
justru tertawa. Katanya, “Apakah kita akan mempergunakan senjata?”
“Ya,” jawab pengawas yang telah
mencabut pedangnya.
Orang yang berkumis itu
memandanginya sejenak. Kemudian dipandanginya pula kedua orang lawannya yang
lain. Mereka pun agaknya telah siap pula mencabut senjata mereka.
Yang berdebar-debar kemudian
adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai Gringsing, yang telah ikut menyaksikan
perkelahian itu pula. Agaknya senjata-senjata itu justru akan berbahaya bagi
Wanakerti sendiri bersama kedua kawannya. Menilik sikap dan geraknya, orang
yang berkumis itu memang bukan orang kebanyakan. Ia bukan tataran seorang
pengawas bawahan.
“Siapakah yang menempatkannya
di dalam lingkungan pengawas itu?” bertanya Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Tanpa sesadarnya ia berpaling. Di sela-sela orang yang berkerumun, ia melihat
tawanannya masih terbaring ditunggui oleh pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Kalianlah yang telah mulai
dengan senjata,” berkata orang yang berkumis itu. “Kalau terjadi sesuatu atas
kalian, bukan salahku. Sebenarnya aku hanya ingin membawa kalian menghadap Ki
Gede Pemanahan atau Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi dengan senjata-senjata
itu, mungkin keadaan akan berbeda. Mungkin ujung senjata kita akan mengambil
keputusan lain. Kalian mengerti?”
Ketiga pengawas yang lain
tidak menyahut.
“Nah, bersiaplah,” desis orang
berkumis itu. Ketiga pengawas yang lain itu pun masih tetap berdiam diri.
Wanakerti memandang orang berkumis itu dengan dada yang berdebar-debar. Ia
menyadari, bahwa orang yang berkumis itu memiliki beberapa kelebihan. Tetapi
tanggung jawabnya kini justru serasa tergugah.
Orang berkumis itu bergeser
beberapa langkah. Ditatapnya ketiga ujung pedang lawannya berganti-ganti.
Tetapi tampaknya ia sama sekali tidak gentar menghadapi mereka.
Di luar lingkaran orang-orang
yang dengan tegang menyaksikan perkelahian itu, perlahan-lahan orang yang
melemparkan pisau belati beracun ke arah punggung pemimpin pengawas itu mulai
sadar. Perlahan-lahan ia membuka matanya. Namun kemudian disadarinya bahwa
tangan dan kakinya telah terikat.
“Setan alas!” ia menggeram.
“Apa kabar, Ki Sanak?” sapa pemimpin
pengawas yang ada di belakang orang yang terikat itu.
Dengan susah payah orang itu
berpaling. Ia terperanjat melihat pemimpin pengawas itu duduk sambil
menggenggam pedang yang teracu kepadanya, “Aku dapat juga membunuhmu. Meskipun
pedangku tidak beracun seperti pisaumu,” pemimpin pengawas itu mengerutkan
keningnya, “He, agaknya kita pernah bertemu.”
Orang itu berusaha sama sekali
untuk melepaskan tangannya. Tetapi ia tidak berhasil.
“Ha,” berkata pemimpin
pengawas itu, “aku ingat, bukankah kau dukun yang tinggal di gubug sebelah dari
gubug yang roboh oleh angin dua hari yang lalu? He, bukankah kau dukun itu?”
Orang yang terikat itu sama
sekali tidak menjawab.
“Kenapa kau lakukan hal itu
atasku, he? Apakah kau termasuk orang-orang yang bergabung dalam suatu
gerombolan dengan maksud-maksud tertentu?”
Orang itu sama sekali tidak
menjawab. Tetapi kadang-kadang ia masih menyeringai menahan sakit di dadanya
yang terkena lemparan batu Agung Sedayu.
“Kenapa, he? Selama ini kau
dihormati karena kau dapat menolong sesamamu di sini. Hanya orang-orang yang
mengalami gangguan hantu-hantu saja yang tidak dapat kau obati, itu pun kau
dapat menunjukkan agar kami berhubungan dengan dukun yang tinggal terpencil
itu. Ternyata di dalam keadaan ini kau telah memusuhi kami, para petugas.”
Orang itu masih tetap berdiam
diri. Kini ia berbaring diam membelakangi pemimpin pengawas itu.
“Dengar,” desis pemimpin
pengawas itu, “meskipun aku terluka, aku masih dapat membunuhmu.”
Dukun itu mengerutkan
keningnya ketika terasa ujung pedang pemimpin pengawas itu menyentuh
punggungnya.
“Di bagian inilah kira-kira
pisaumu menancap di punggungku. Aku pun dapat melubangi punggungmu di bagian
ini pula. Tetapi sayang bahwa pedangku tidak beracun,” namun tiba-tiba pemimpin
pengawas itu berkata. “He, inilah pisaumu yang dicabut dari punggungku.
Meskipun sudah merasuk ke tubuhku, namun agaknya masih ada juga sisa racun yang
dapat membumbui darahmu.”
Orang itu terkejut sehingga ia
tersentak. Tetapi karena kaki dan tangannya terikat, ia hanya dapat berguling.
Dengan wajah yang tegang ia melihat pemimpin pengawas itu menggenggam sebilah
pisau yang dikenalnya baik-baik. Pisaunya sendiri.
“Kau kenal pisau ini?”
“Jangan. Jangan. Pisau itu
sangat beracun.”
“Pisau, ini telah tertancap di
punggungku. Sampai saat ini aku masih terlampau lemah karena racun ini. Aku
masih belum mampu berdiri tegak. Tetapi aku masih mampu bergeser mendekati kau,
kemudian menggoreskan pisau ini memotong urat nadimu di pergelangan tangan.”
“Jangan. Jangan.”
“Kalau kau mempunyai obat
pemunah racun di dalam tubuhmu, kau pun akan mati juga, karena darahmu akan
mengalir lewat nadimu yang terputus sampai jantungmu kering.”
“Jangan berbuat begitu.”
“Kenapa? Kau sudah berbuat
atasku. Kenapa aku tidak boleh berbuat atasmu?”
“Tetapi, tetapi aku tidak
ingin membunuhmu.”
Meskipun punggungnya masih
terasa pedih, pemimpin pengawas itu masih juga dapat tertawa. Katanya, “Kau
tidak bermaksud membunuhku?”
Orang itu terdiam.
“Baiklah, aku tidak akan
membunuhmu sekarang. Kau sangat diperlukan bersama seorang pengawasku yang
telah memberontak.”
Orang itu kian menjadi tegang.
Ia sama sekali tidak menduga bahwa pemimpin pengawas itu masih sempat hidup,
dan masih juga ada orang yang berani melawan kehendak pengawas yang berkumis itu.
Bahkan ternyata orang yang tinggi kekar dan yang kekurus-kurusan itu sudah
tidak berdaya.
“Apa yang kau renungkan?”
bertanya pemimpin pengawas itu.
“Bukan apa-apa,” jawab dukun
yang terikat itu.
“Bukan apa-apa? Tentu kau
sedang merenungkan sesuatu. Apa kau tidak mau menjawab?”
Orang itu terdiam. Tetapi
ujung pedang pengawas itu menyentuh tubuhnya, “Katakan, apa yang sedang kau
renungkan.”
“Bukan apa-apa,” orang itu
tergagap.
“Bohong!” pemimpin pengawas
itu menekankan ujung pedangnya. “Atau dengan pisau beracun ini.”
“Jangan, jangan. Aku sedang
berpikir, kenapa aku telah terlibat di dalam persoalan yang tidak aku ketahui
ini.”
“Nah. Kau sebaiknya memang
harus menjawab, meskipun aku tahu bahwa kau berbohong. Kau dapat mengatakan apa
saja, karena aku tidak dapat melihat gambaran dari angan-anganmu itu. Tetapi
aku bukan orang yang terlampau bodoh untuk sama sekali tidak dapat mereka-reka,
yang sedang kau pikirkan.”
Orang itu masih tetap berdiam
diri.
“Baiklah aku memang belum
mempunyai kekuatan untuk memaksamu berbicara. Kini aku sedang menunggu akhir
dari perkelahian itu.”
Tanpa sesadarnya orang itu pun
mencoba memandang ke arah orang-orang yang melingkari para pengawas yang sedang
berselisih itu. Tetapi ia tidak berhasil melihat, selain punggung-punggung
orang-orang yang berdiri dengan tegangnya.
“Kawanmu itu sedang mencoba
membela dirinya. Para pengawas yang lain sudah siap menangkapnya. Dengan
demikian akan mendapat gambaran yang jelas, apakah sebenarnya yang telah
terjadi di daerah ini.”
“Kalian tidak akan mendapatkan
apa-apa.”
“Setidak-tidaknya kami dapat
menangkap beberapa orang yang dapat membahayakan daerah ini.”
“Itulah kebodohanmu.”
“Apa?” pemimpin pengawal itu
membentak. “Kau menganggap aku bodoh?”
Dukun yang terikat itu merasa
ujung pedang pemimpin pengawas itu semakin menekan tubuhnya. “Coba ulangi lagi,
apakah aku memang terlampau bodoh?”
“Tidak. Bukan maksudku,” sahut
orang itu dengan serta merta.
“Nah, sebenarnya itulah
gambaran angan-anganmu yang sebenarnya tentang aku. Tetapi biarlah. Aku memang
tidak ingin membunuhmu sekarang.”
Orang itu tidak menyahut.
Tetapi ia merasa aneh dan heran, bahwa pemimpin pengawas itu masih saja tetap
hidup. Tidak ada orang yang dapat menyelamatkan diri dari bisa yang diulaskan
pada pisaunya. Tetapi ternyata pemimpin pengawas itu masih tetap hidup.
Dalam pada itu, ketiga
pengawas yang sedang berhadapan dengan orang berkumis itu, telah mulai
menyerang berganti-ganti, sehingga perkelahian pun telah mulai berlangsung.
Semakin lama menjadi semakin seru dan mendebarkan jantung.
Meskipun pengawas yang
berkumis itu hanya seorang diri dan harus menghadapi tiga orang kawannya, namun
ternyata ia memang memiliki bekal yang cukup baik, sehingga ia masih tetap
mampu bertahan.
Bahkan kadang-kadang ia masih
juga sempat menyerang dengan dahsyatnya, sehingga ketiga lawan-lawannya
terkejut karenanya.
Demikianlah, maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin seru. Namun dengan demikian justru menjadi
semakin nyata, bahwa ketiga pengawas termasuk Wanakerti sama sekali tidak mampu
mengimbangi orang berkumis itu.
Semakin lama, orang itu justru
menjadi semakin lincah. Pedangnya menyambar-nyambar seperti seekor burung
sikatan. Cepat dan langsung mengarah ke bagian-bagian yang berbahaya.
Mereka yang menyaksikan perkelahian
itu terperanjat ketika tiba-tiba saja mereka mendengar keluhan tertahan, dan
seleret warna merah membekas di lengan salah seorang pengawas yang bertempur
bertiga bersama-sama. Ke-mudian setitik demi setitik darah mulai mengucur dari
luka itu, menodai bajunya.
Sejenak kemudian terdengar
suara pengawas yang berkumis itu tertawa sambil berkata, “Nah. Darah mulai
menitik dari lukamu. Jangan salahkan aku kalau kalian nanti tidak akan dapat
keluar lagi dari lingkaran perkelahian ini.”
Demikian lantangnya suara
orang berkumis itu sehingga tanpa sesadarnya dukun yang terluka itu berkata,
“Nah. kau dengar? Apakah kau sangka kawan-kawanmu itu akan berhasil
menangkapnya?”
Pemimpin pengawas itu merenung
sejenak. Kemudian ia mendengar lagi orang berkumis itu berkata keras-keras,
“Jangan menyesal. Semuanya sudah terlanjur. Kita harus mengakhiri persoalan ini
dengan pedang yang sudah di-cabut dari sarungnya.”
Tidak terdengar jawaban sama
sekali. Tetapi ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menekan tubuh orang
yang terikat itu, “Kau pun akan mati.”
“Kenapa aku?”
“Kalau orang berkumis itu
menang, ia pun akan membunuh aku pula. Karena itu, sebelum aku mati, kau harus
mati lebih dahulu.”
“Kenapa aku?”
“Jangan berpura-pura. Kenapa
kau melempar aku dengan pisau ketika aku berselisih dengan orang itu?”
“Tetapi, tetapi ……,” orang itu
menjadi tergagap.
“Nah, jangan banyak bicara
lagi. Kita tunggu. Kalau lingkaran orang-orang itu menyibak, dan yang keluar
dari lingkaran itu pengawas yang berkumis, maka aku akan segera menghunjamkan
pedangku kepadamu dan menyembunyikan pisau itu di tanganku. Begitu ia mendekat,
mengayunkan pedangnya keleherku, aku masih sempat melemparkanya dengan pisau
beracun ini dan melukainya meskipun hanya sebaris kecil, seperti goresan ujung
duri.”
“Tetapi, apakah kau tidak
berpikir, bahwa dengan menghidupi aku, kau akan tetap hidup pula?”
“Aku tidak berpengharapan
lagi. Kalau aku membiarkan kau hidup, aku memang teramat bodoh.”
Wajah dukun itu menegang
sejenak. Ia berusaha untuk menemukan akal, agar orang berkumis itu
berkesempatan menolongnya.
“Orang ini masih sangat
lemah,” desisnya di dalam hati, “kalau aku berguling-guling agak cepat, ia
tidak akan mampu mengejarku. Pada saat aku yakin akan kemenangan pengawas itu,
aku harus cepat-cepat berguling menjauh sambil berteriak-teriak.”
Demikianlah, maka dukun yang
terikat itu menunggu kesempatan untuk mendapatkan pertolongan. Karena itu, maka
ia selalu saja mengawasi, kalau-kalau orang-orang yang melingkari arena itu
mulai menyibak.
Tetapi agaknya perkelahian itu
masih berlangsung terus. Meskipun seorang dari ketiga pengawas yang bertempur
bersama itu sudah terluka, namun mereka masih tetap bertempur mati-matian.
Namun keadaan selanjutnya
telah membuat beberapa orang menjadi kian menegang. Agaknya ketiga orang itu
sama sekali tidak akan mampu mengimbangi lawannya yang hanya seorang itu.
Ternyata bahwa seorang yang lain telah tergores pula oleh senjata orang
berkumis itu, bahkan juga Wanakerti sendiri.
Swandaru yang berdiri di
belakang Agung Sedayu, menyaksikan perkelahian itu dengan dada berdebar-debar.
Bahkan kemudian ia melangkah maju sambil meremas ujung cambuknya.
Agung Sedayu menahan nafasnya.
Sekali-sekali ia berpaling kepada gurunya yang telah menjadi cemas pula. Tetapi
Kiai Gringsing masih tetap berdiri diam di tempatnya.
Demikianlah, perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin jelas, bahwa ketiga pengawas yang berkelahi
bersama-sama itu berada di dalam bahaya. Orang berkumis itu dengan lincahnya
berloncatan dengan senjata yang menyambar-nyambar. Meskipun demikian, Wanakerti
dan kedua kawannya telah mencoba berbuat sebaik-baiknya yang dapat
dilakukannya. Mereka mengadakan perlawanan mati-matian, meskipun mereka
menyadari bahwa mereka berada di dalam bahaya yang dapat merampas nyawanya.
Swandaru yang tidak dapat
menahan diri melihat perkelahian itu, berbisik kepada Agung Sedayu, “Apakah
kita akan membiarkan ketiganya mati? Atau seandainya kita akan berbuat sesuatu,
kita menunggu korban itu berjatuhan lebih dahulu, atau kita tidak akan berbuat
apa-apa sama sekali.”
“Kita akan berbuat sesuatu,”
bisik Agung Sedayu. “Berbuat atau tidak berbuat kita pasti akan tersudut,
karena orang berkumis itu memang berminat membunuh kita. Ketiga pengawas itu
hanya sekedar mencoba mencegahnya.”
“Karena itu kita tidak boleh
membiarkan mereka menjadi korban,” Swandaru berdesis pula. “Tetapi apakah
pedang itu beracun juga?”
“Tampaknya tidak. Pedang itu
adalah pedang pengawas. Orang itu yakin akan dapat mengalahkan lawannya. Tetapi
tidak mustahil bahwa ia membawa senjata beracun pula, seperti yang lain.”
Swandaru mengangguk-anggukan
kepalanya. Lalu, “Aku akan mencegah mereka terbunuh.”
“Jangan kau. Kau masih lelah.
Nafasmu belum pulih.”
“Jadi.”
“Aku akan minta ijin pada
guru.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Katanya, “Cepatlah, sebelum salah seorang dari mereka menjadi korban. Apalagi
ketiga-tiganya.”
Agung Sedayu pun kemudian
bergeser mendekati gurunya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, agaknya
gurunya telah mengetahuinya, sehingga ia mendahuluinya berkata lambat,
“Hati-hatilah. Pedang itu pasti bukan senjata satu-satunya. Tetapi ingat,
jangan bunuh orang itu. Kami memerlukannya.”
Agung Sedayu mengangguk. Namun
di dalam hati ia berkata, “Mudah-mudahan aku tidak kehilangan kesempatan untuk
menangkapnya hidup-hidup. Atau justru akulah yang ditangkapnya.”
Demikianlah, sejenak kemudian
salah seorang pengawas yang berkelahi itu terloncat surut. Sebuah luka yang
agak dalam telah menyobek bahunya, sehingga ia menjadi semakin lemah karenanya.
Dengan demikian, maka kedu-dukan ketiga pengawas itu menjadi semakin sulit.
Orang berkumis itu tertegun
sejenak. Ketika ia melihat ketiga lawannya termangu-mangu, ia pun tertawa
berkepanjangan sambil berkata, “Nah, apakah kalian menyesal?”
Ketiga lawannya sama sekali
tidak menyahut.
“Sayang, kalian tidak akan
mendapat kesempatan lagi.”
Wanakerti menggeretakkan
giginya. Suara tertawa itu memang sangat menyakitkan hati.
“Aku sama sekali tidak ingin
mendapat belas kasihanmu,” geram Wanakerti, “karena kami merasa sanggup
melakukan tugas kami sebaik-baiknya. Kau mengerti?”
“Maksudmu kau akan bertempur
sampai mati?”
“Maksudku, aku akan
membunuhmu.”
Orang berkumis itu tertawa
semakin keras. Namun tiba-tiba suara tertawanya berhenti ketika Wanakerti
berkata, “Sebenarnya kami tidak memerlukan kau lagi. Seandainya kau tidak dapat
kami tangkap, dan bahkan seandainya kamu akan mati sekalipun, kami tidak akan
berkeberatan. Kawanmu yang pingsan itu agaknya telah diambil oleh para petugas
yang lain. Ia akan dapat banyak memberikan keterangan.”
“He,” orang itu terkejut.
Tetapi ketika ia berpaling yang dilihatnya adalah orang-orang yang berkerumun.
“Minggir,” ia berteriak.
Ternyata beberapa orang
menjadi ketakutan dan segera menyibak. Di sela-sela orang-orang yang telah menyibak
itu, orang berkumis itu hanya dapat melihat seonggok batu padas. Kawannya
memang sudah tidak berada di tempatnya.
“Aku melihat seseorang
mengambilnya,” berkata Wanakerti, “dan aku sengaja memancing perhatianmu. Kini,
apa yang hendak kau katakan kepada Ki Gede Pemanahan seandainya ia datang
kemari?”
Orang berkumis itu menjadi
tegang sejenak. Namun kemudian ia menggeram, “Licik. Licik sekali.”
Wanakerti tidak menjawab.
Meskipun lukanya terasa pedih, tetapi ia mencoba untuk tertawa, “Kami tidak berkeberatan
untuk mati. Tetapi segala usahamu di sini akan gagal.”
Dalam pada itu, orang yang
terikat itu pun dapat mendengar serba sedikit pembicaraan mereka yang berada di
arena. Apalagi suara orang berkumis yang keras dan lantang itu. Sejenak
meloncat di hatinya keinginannya untuk berteriak, memberitahukan kepada orang
berkumis itu, bahwa ia masih berada di tempat itu, meskipun terikat.
Tetapi ketika mulutnya hampir
saja bergerak, ujung pedang pemimpin pengawas itu telah menyentuh bukan saja
punggung atau lambungnya, tetapi mulutnya.
“Aku tahu, kau akan berteriak
memanggilnya,” desis pemimpin pengawas itu.
Orang yang terikat itu
mengumpat di dalam hati. Tetapi ia memang tidak mendapat kesempatan untuk
berteriak. Karena itu, ia tidak berhasil memberikan isyarat apa pun kepada
orang berkumis yang berada di arena.
Orang berkumis yang telah
berhasil melukai ketiga lawannya itu menjadi termangu-mangu. Ia sudah berusaha
mencegah anak gembala tua yang melempar dukun yang pingsan itu dengan batu.
Tetapi kini ternyata ada orang lain yang melakukannya.
“Siapakah yang telah berani
mengambilnya?” ia menggeram.
Wanakerti berdesis menahan
sakit. Namun kemudian ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi menurut sikap dan
pakaiannya, ia adalah utusan atau setidak-tidaknya pengawas yang sedang
bertugas melihat-lihat perkembangan daerah ini.”
“Bohong, kau bohong. Aku tidak
mendengar suara kuda. Kalau benar mereka yang kau maksudkan, mereka pasti
datang berkuda. Mereka tidak akan langsung mengetahui apa yang telah terjadi di
sini.”
Wanakerti mengerutkan
keningnya. Ia tidak segera dapat menjawab. Tetapi kemudian ia berkata, “Aku
tidak tahu pasti siapakah yang telah mengambilnya. Tetapi pasti bukan dari
golonganmu.”
Orang berkumis itu menggeram.
Katanya, “Orang itu pasti belum terlampau jauh. Aku harus menemukannya.”
Tiba-tiba saja orang itu ingin
segera menyelesaikan pekerjaannya di arena ini. Karena itu, maka wajahnya
menjadi merah dan tatapan matanya menjadi liar.
“Kalian harus segera mati,
supaya aku segera dapat menangkap orang yang telah mencuri orang yang pingsan
itu.”
Wanakerti tidak menyahut.
Bersama kedua kawan-kawannya yang telah terluka ia pun segera bersiap. Tetapi
kini ia sudah berhasil mempengaruhi perasaan orang itu, sehingga ia akan selalu
diganggu oleh kegelisahannya.
Ternyata bahwa kedua kawan
Wanakerti yang telah terluka itu pun mengerti maksudnya. Mereka harus bertahan
sejauh-jauh dapat dilakukan. Semakin lama orang berkumis itu akan menjadi
semakin gelisah, sehingga pengamatannya atas dirinya sendiri pasti akan
berkurang.
Sejenak kemudian maka
perkelahian itu pun terulang lagi. Tetapi meskipun orang berkumis itu menjadi
gelisah namun ia masih tetap garang. Bahkan sikap dan geraknya menjadi semakin
kasar, meskipun kadang-kadang tergesa-gesa dan kurang cermat.
Wanakerti tidak lagi berusaha
menyerang. Ia hanya sekedar bertahan dan mengganggu orang berkumis itu apabila
ia sedang menyerang kawannya yang paling lemah, yang pundak, tangan dan bahunya
sudah terluka.
Meskipun demikian, namun
Wanakerti dan kedua kawannya benar-benar berada di dalam kesulitan. Mereka
semakin terdesak dan kehilangan kesempatan, sehingga pada suatu saat, orang
berkumis itu berteriak, “Aku sudah tidak sabar lagi. Kalian memang harus mati
sekarang, di sini.”
Pedang orang berkumis itu pun
kemudian berputar semakin cepat menyambar-nyambar ke segala arah.
Namun ia terkejut ketika
tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata kepadanya, “He, jangan cemas. Dukun yang
pingsan itu kini sedang diobati. Seseorang telah membawanya ke tempat Kiai
Damar. Karena di sini tidak ada dukun yang lain selain dirinya sendiri, maka
hanya Kiai Damar-lah yang akan dapat menolongnya.”
Ternyata kata-kata Agung
Sedayu telah menarik perhatian orang berkumis itu, sehingga ia tertegun
sejenak. Ditatapnya wajah Agung Sedayu yang telah maju beberapa langkah
mendekatinya.
“Darimana kau tahu?” bertanya
orang berkumis itu.
“Seseorang telah mengambilnya.
Aku kira ia akan dibawa kepada Kiai Damar.”
“Ya, darimana kau tahu?”
Pertanyaan itu ternyata telah
membingungkan Agung Sedayu, sehingga sekenanya saja ia menjawab, “Aku hanya
menduga. Tetapi, kenapa kau begitu bernafsu untuk mempertahankan orang yang
pingsan itu? Seharusnya kau relakan saja orang itu. Karena ia telah melukai
pemimpinmu.”
“Tidak sekedar melukai. Luka
yang sekecil ujung jarum pun akan berarti kematian.”
“Tetapi pemimpinmu masih belum
mati.”
“Bohong!”
Agung Sedayu menjadi ragu-ragu
sejenak. Tanpa sesadarnya ia berpaling kepada gurunya. Ketika gurunya
menganggukkan kepalanya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Baiklah,” katanya kemudian
kepada orang berkumis itu, “kau akan dapat melihatnya sendiri.”
“Bohong. Kau akan menjebak
aku?”
“Tidak,” jawab Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, pemimpin
pengawas itu pun menjadi berdebar-debar. Ia sama sekali tidak mengerti maksud
Agung Sedayu. Tetapi percakapan yang sebagian didengarnya itu telah mendebarkan
jantungnya.
Karena itu, maka ia pun
menekankan pedangnya kini di leher tawanannya sambil menyembunyikan pisau di
bawah rerumputan. Setiap saat ia siap menghunjamkan pedangnya ke leher
tawanannya dan kemudian menggoreskan pisau, itu apabila orang berkumis itu
mendekatinya. Betapa lemah tubuhnya, tetapi ia pasti masih sanggup melemparkan
pisau pada jarak yang sangat dekat dan melukainya.
Sejenak kemudian pemimpin
pengawas itu malahan mendengar Agung Sedayu berkata lantang, “Menyibaklah.
Biarlah orang ini melihat, bahwa pemimpinnya masih dan akan tetap hidup.”
Beberapa orang yang
mengerumuni arena itu pun segera menyibak. Dan apa yang dilihat oleh orang berkumis
itu memang telah mengejutkannya. Pemimpin pengawas itu duduk di rerumputan
sambil mengacukan pedang ke leher dukun yang pingsan itu.
“Setan alas, siapakah yang
telah berkhianat?” ia berteriak. Tetapi ketika ia melangkah mendekati mereka
Agung Sedayu berkata, “Jangan pergi ke sana. Perkelahian ini masih belum
selesai.”
Langkah orang berkumis itu
terhenti. Sejenak ia memandang Agung Sedayu dengan sorot mata yang aneh.
Sekali-sekali ia masih juga memandang Wanakerti dan kedua kawannya
berganti-ganti.
Dengan nada yang dalam ia
menggeram, “Jadi maksudmu, agar aku membunuh ketiga orang ini dahulu?”
“Bukan begitu,” jawab Agung
Sedayu, “sebaiknya kau tidak usah mengurus orang itu. Pemimpin pengawas itu
telah berhasil menangkap orang yang melempar punggungnya dengan pisau, dan
bahwa orang itu telah terikat di sana. Biarlah nanti Ki Gede Pemanahan atau
putranya yang akan mengadili.”
Orang berkumis itu menjadi
termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung menghadapi keadaan yang tidak
disangka-sangkanya. Banyak hal yang tiba-tiba saja harus dihadapinya. Hadirnya
tiga orang ayah beranak itu sejak semula memang telah menimbulkan kecurigaan,
sehingga dengan segala macam usaha, bersama-sama dengan kawan-kawannya ia telah
berusaha mengusirnya. Tetapi kini justru ia dihadapkan pada keadaan yang tidak
dimengertinya. Kenapa pemimpin pengawas itu dapat bertahan dari bisa racun yang
sangat tajam. Dan alangkah menjengkelkan sekali bahwa anak yang gemuk itu dapat
mengalahkan kedua kawannya yang terdahulu, sehingga ia harus ikut bertindak
hari ini bersama dukun yang justru telah tertangkap itu.
Semuanya sama sekali tidak
seperti yang direncanakan, karena perhitungannya tentang ayah dan kedua
anak-anaknya itu meleset. Dan kini ia harus berhadapan dengan mereka seorang
diri.
“Persetan,” orang itu
menggeram di dalam hatinya, “ketiga pengawas itu sudah tidak berdaya. Anak ini
kalau perlu harus dibinasakan lebih dahulu.”
Karena itu, maka orang
berkumis itu kemudian berkata, “Siapa yang akan menghalangi aku? Aku akan
mengambil orang yang terikat itu. Aku memerlukannya.”
“Apakah yang akan kau
lakukan?”
“Itu urusanku.”
“Tetapi ia telah membuat suatu
kesalahan yang besar. Dan adalah wajar sekali kalau dia diikat dan kemudian
diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan.”
Orang berkumis itu berpikir
sejenak. Siapakah yang telah mengikat orang itu? Sudah pasti ada orang yang
telah melakukannya. Apalagi pemimpin pengawas itu masih juga belum mati
meskipun punggungnya telah terkena racun.
Dalam kebingungan itu
terdengar suara Agung Sedayu, “Sudahlah. Jangan berbuat sesuatu yang dapat
menjeratmu sendiri. Lebih baik kau menyerah. Kami tidak akan membunuhmu seperti
apabila kau yang menguasai kami. Kami adalah orang-orang yang mengerti tentang
keharusan mempergunakan saluran-saluran tertentu untuk menjatuhkan hukuman,
meskipun kami dapat menguasai kau. Meskipun dengan sewenang-wenang kami dapat
memperlakukan apa saja atasmu. Tetapi kami pun sadar, bahwa itu tidak akan
dibenarkan oleh Ki Gede Pemanahan dan putranya, Raden Sutawijaya, sehingga kami
harus membawamu menghadap sesuai dengan keharusan yang berlaku.” Sambil
terpaling kepada para pengawas yang sudah terluka ia bertanya, “Bukankah
begitu?”
“Kalau ia menyerah,” sahut
Wanakerti. “Tetapi ia sudah melakukan perlawanan dan melukai kami.”
“Meskipun demikian, kalau ia
menyerah, ia akan mendapat kesempatan.”
“Tetapi kalau ia melawan, kami
akan membunuhnya berramai-ramai. Bahkan kami akan mempergunakan tenaga
orang-orang yang ada di sini untuk menangkapnya atau membunuhnya seperti
rampogan macan di alun-alun.”
Orang berkumis itu menjadi
tegang.
“Karena itu, menyerahlah
selagi masih ada kesempatan. Kau tidak mempunyai kawan lagi yang dapat
membantumu, sedang kami ini mempunyai banyak sekali tenaga yang dapat berbuat
sesuatu atasmu.”
Sejenak orang itu masih
berdiam diri. Namun tiba-tiba ia menggeram, “Ayo, siapa yang akan menangkap
aku?” Bahkan kemudian ia berteriak, “Siapa? Siapa yang akan ikut campur di
dalam perkelahian ini? Mari, mari.” Sejenak kemudian orang berkumis itu
mengacukan pedangnya kepada orang-orang yang mengerumuni arena itu, “Mari,
mari, siapa yang akan ikut mati di sini?”
Tetapi orang-orang yang
berdiri di sekitarnya itu pun berdesakan mundur. Mereka adalah petani-petani
miskin yang mempertaruhkan waktunya dengan suatu harapan, membuka tanah baru
untuk keluarga mereka. Mereka sama sekali tidak ingin melakukan apa pun yang
bersifat kekerasan, apalagi mempergunakan senjata. Mereka bukan orang-orang
yang biasa berkelahi. Mereka hanya sekedar ingin membuka tanah pertanian baru.
“Ayo siapa?”
Tidak seorang pun yang berani
tetap berdiri di tempatnya.
“Nah, lihat. Mereka adalah
kelinci-kelinci yang ketakutan melihat taring serigala. Ayo, jangan terlampau
lama. Kita selesaikan persoalan kita, kemudian aku akan menyelesaikan pemimpin
pengawas yang dungu itu.”
Orang berkumis itu telah
menjadi liar. Matanya menjadi merah dan nafasnya tersengal-sengal. Selangkah ia
maju mendekati Wanakerti sambil berdesis, “Kaulah yang harus mati lebih
dahulu.”
Agung Sedayu melihat suasana
yang semakin berat bagi Wanakerti dan kawan-kawannya. Mereka pasti tidak akan
dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka mereka pun perlu mendapat perawatan
agar mereka tidak menjadi kehabisan darah.
“Kalau sudah terlampau lemah
karena luka-luka itu,” berkata Agung Sedayu kepada Wanakerti, “beristirahatlah.
Rawatlah luka-lukamu agar darahnya berhenti mengalir.”
Wanakerti mengerutkan
keningnya. Tetapi ia harus mengakui bahwa tangannya memang sudah hampir tidak
dapat bergerak lagi. Apalagi kawannya yang mengalami tekanan yang lebih berat,
serta luka-lukanya pun lebih parah.
Tetapi apakah ia dapat
melepaskan tugasnya begitu saja? Padahal ia tahu pasti bahwa orang itu cukup
berbahaya, bahkan agaknya ia memang telah bersepakat untuk membunuh
pemimpinnya.
“Aku harus menangkapnya,”
Wanakerti menggeram, “atau aku harus beristirahat dan membiarkan ia membunuh
aku, kawan-kawanku, serta pemimpin kami itu?”
“Aku akan mencoba
mencegahnya,” desis Agung Sedayu.
Wanakerti memandang Agung
Sedayu sejenak. Anak itu tampaknya memang tidak bergurau. Tetapi apakah ia
mampu melawan orang berkumis itu seorang diri?
“He,” teriak orang berkumis,
“jadi kaulah yang akan menggantikan ketiga pengawas ini, he? Kau memang
terlampau sombong. Tiga orang bersenjata pedang tidak berhasil mengalahkan aku.
Apa kau sangka karena adikmu yang gemuk itu mampu mengalahkan kedua cucurut
itu, lalu kau pun dapat mengalahkan aku?”
“Soalnya bukan kalah atau
menang. Tetapi kami yakin, bahwa kami akan dapat menghentikan segala macam
perbuatanmu yang telah menggoncangkan daerah ini.”
“Persetan!” ia menggeram.
“Kalian memang ingin mati.”
“Tentu tidak. Kami akan dapat
berbuat banyak. Kalau aku tidak dapat menangkap kau sendiri, maka ketiga
pengawas ini setelah beristirahat akan dapat membantuku. Juga adikku yang gemuk
itu, dan mungkin satu dua orang di antara para penonton ini pun bersedia
membantu meskipun hanya melempari kau dengan batu dari kejauhan.”
“Gila, gila! Ayo cepat mulai.
Jangan banyak bicara lagi.”
Orang berkumis itu pun segera
maju mendekati Agung Sedayu. Pedangnya yang tajam terayun-ayun mengerikan.
Sedang matanya yang merah menjadi semakin merah.
“Kau harus mati. Mati!”
Agung Sedayu memang merasa
bahwa ia harus berhati-hati. Ia tidak dapat bergurau melawan orang ini. Kecuali
ia memang mempunyai ilmu yang cukup, orang itu pun telah dilambari dengan
kemarahan yang memuncak. Sehingga dengan demikian, maka ia harus benar-benar
berhati-hati menghadapinya.
Ketika orang itu melangkah
semakin dekat. Agung Sedayu pun segera bersiaga. Orang-orang yang berdiri mengelilingi
arena itu menjadi semakin tegang. Bahkan ada di antara mereka yang menjadi
pening, hampir pingsan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa.
Namun dengan demikian, mereka
hari ini telah melupakan kerja mereka melanjutkan pembukaan hutan ini. Tetapi
agaknya penyelesaian dari persoalan di arena ini akan menjadi landasan keadaan
daerah ini untuk selanjutnya.
Orang-orang itu mengerutkan
keningnya ketika mereka melihat, seperti Swandaru, Agung Sedayu pun telah
mengurai sesuatu di lambungnya. Sebuah cambuk panjang, seperti senjata anak
yang gemuk itu.
“Setiap gembala memang
menyimpan cambuk,” desis Agung Sedayu. Lalu, “Memang cambuk ini mempunyai
bermacam-macam guna.”
Orang berkumis itu tidak
menyahut. Tetapi ia melangkah semakin dekat dan pedangnya kemudian mulai
bergetar.
Agung Sedayu sadar, bahwa
orang itu agaknya benar-benar sudah akan mulai. Karena itu, maka ia pun harus
segera bersiap.
Sejenak kemudian, maka orang
itu pun telah meloncat dengan pedang terjulur menyerang Agung Sedayu. Tetapi
Agung Sedayu telah bersiap menghindarinya. Ia meloncat ke samping sambil
mengibaskan cambuknya sendal pancing.
Terdengar cambuk itu meledak
memekakkan telinga. Namun orang berkumis itu pun cukup tangkas. Ia berhasil
menghindari dengan suatu loncatan yang cepat dan panjang.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ia semakin menyadari, bahwa lawannya memang seorang yang memiliki
ilmu yang cukup. Dengan demikian maka ia tidak boleh lengah. Ia belum tahu
pasti, sampai berapa jauh lawannya memiliki kemampuan.
Sejenak Agung Sedayu memandang
wajah gurunya. Dan wajah itu pun tampaknya menjadi tegang pula karenanya.
Orang berkumis itu pun
kemudian telah bersiap pula untuk menyerang. Tetapi seperti Agung Sedayu, ia
menyadari bahwa lawannya kali ini meskipun hanya seorang, tetapi lebih
berbahaya dari ketiga pengawas yang hampir saja dikalahkannya itu. Apalagi
senjatanya yang lentur itu tampaknya memang sangat berbahaya baginya. Dengan
senjata semacam itu pula, anak muda yang gemuk itu berhasil merebut senjata
lawannya.
Sejenak kemudian maka keduanya
pun segera terlibat dalam perkelahian yang semakin lama semakin seru. Setiap
kali terdengar ledakan cambuk Agung Sedayu di antara kilatan daun pedang
lawannya yang memantulkan cahaya matahari, yang semakin terik pula.
Orang yang menyaksikan
perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Mereka seakan-akan telah membeku di
tempatnya. Mata mereka hampir tidak berkedip sama sekali. Kedua orang yang
berkelahi itu mempunyai kemampuan yang luar biasa. Masing-masing menguasai senjata
yang ada di tangannya.
Pedang orang berkumis itu
berputaran seperti baling-baling melindungi dirinya. Sekali-sekali pedang itu
mematuk seperti seekor ular menyelinap di antara ujung cambuk lawannya. Sejenak
kemudian pedang itu menyambar dengan derasnya, mendatar setinggi bahu.
Orang berkumis itu memang
benar-benar cekatan. Apalagi dilandasi oleh kemarahan yang memuncak, sehingga
seolah-olah ia mendapat tambahan kekuatan untuk mengayunkan pedangnya.
Namun cambuk Agung Sedayu
mampu mengimbangi kelincahan ujung pedang itu. Cambuknya berputaran
meledak-ledak. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu berhasil menyentuh lawannya
meskipun tidak meninggalkan bekas. Namun sentuhan-sentuhan itu semakin lama
menjadi semakin sering. Bahkan semakin keras. Apalagi setelah Agung Sedayu
berhasil menyesuaikan dirinya dengan tata gerak lawannya.
Maka sejenak kemudian
perkelahian itu pun menjadi semakin cepat. Orang berkumis itu segera menyadari,
bahwa lawannya bukanlah seorang anak gembala yang sekedar mampu menyombongkan
diri.
Tetapi lebih daripada itu,
maka orang berkumis itu pun menyadari pula, bahwa kedatangan ayah dan kedua
anaknya itu bukanlah sekedar tanpa maksud. Kalau mereka benar-benar sekedar
ingin membuka tanah garapan yang baru, maka mereka tidak akan berbuat sampai
sedemikian jauh.
Namun pendapat itu ternyata
justru telah membuatnya semakin gelisah. Sehingga akhirnya tidak ada kesimpulan
lain kecuali membinasakan semuanya, selagi hal ini masih belum didengar oleh
lingkungan yang lebih tinggi lagi. Ia akan dapat membuat cerita apa pun untuk
mengelabuhi atasannya. Sedangkan orang-orang lain yang menyaksikan perkelahian
itu, akan dapat dibungkamnya dengan menakut-nakuti dan mengancam mereka. Mereka
pasti akan menjadi semakin ketakutan apabila kepada mereka diyakinkan bahwa apa
yang telah terjadi, telah membuat hantu-hantu Alas Mentaok menjadi semakin
marah. Mereka masih belum kehilangan kepercayaan mereka terhadap hantu.
Dengan demikian maka orang
berkumis itu pun kemudian berkelahi semakin garang. Pedangnya berputar-putar
dan menyambar-nyambar dengan cepatnya.
Namun lawannya pun dapat
berbuat lebih cepat pula. Pedang itu sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh
Agung Sedayu sama sekali.
Swandaru menyaksikan
perkelahian itu dengan tegangnya. Namun Kiai Gringsing kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Ia yakin bahwa Agung Sedayu akan dapat menpertahankan dirinya
kalau ia tidak membuat kesalahan.
Sementara itu, pemimpin
pengawas yang terluka di punggungnya masih juga meletakkan ujung pedangnya di
tubuh tawanannya. Bahkan kemudian seperti acuh tak acuh dibiarkan ujung pedang
itu menyentuh-nyentuh lehernya.
Dukun yang terikat itu
mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi ketika ia melihat pemimpin pengawas itu
kini sama sekali tidak memegangi hulu pedangnya. Diletakkannya saja hulu pedang
itu dipangkuannya, sedang ujungnya terasa menyentuh-nyentuh kulit lehernya.
Tetapi akhirnya orang yang
terikat itu tidak dapat membiarkan ujung pedang itu semakin menekan lehernya
sehingga sambil beringsut ia berkata, “Ujung pedang itu menyakiti leherku.
Kalau kau bergerak tanpa kau sadari, ujungnya dapat menembus tenggorokan.”
“O, maaf. Tetapi aku tidak
sempat memegangi tangkainya. Tanganku masih terlampau lemah karena luka di
punggung. Agaknya luka di leher memang lebih berbahaya dari luka di punggung.
Tetapi apa boleh buat. Kalau kau tidak melukai punggungku, maka aku akan dapat
menggenggam tangkai pedangku itu. Tetapi sekarang aku merasa sangat malas.
Kalau terpaksa ujungnya perlahan-lahan masuk ke lehermu, itu namanya suatu
kecelakaan. Maaf.”
“Anak setan!” orang itu
mengumpat. Tetapi mulutnya segera terkatup ketika pemimpin pengawas itu justru
menekankan ujung pedangnya sambil bertanya, “Apa? Apa katamu?”
Tawanannya hanya diam saja.
“Ayo, ulangi.”
Dukun yang terikat itu
menggeleng sambil menyeringai.
“Kalau sekali lagi kau
mengumpat, aku gores lehermu dengan ujung pedang ini.”
Sekali lagi dukun itu
menggelengkan kepalanya.
Dalam pada itu perkelahian di
arena menjadi semakin sengit. Namun ternyata, ujung cambuk Agung Sedayu semakin
banyak membuat jalur-jalur mereka di kulit lawannya, sehingga pada suatu saat,
darah telah menitik dari luka-lukanya.
Orang berkumis itu menggeram.
Ia tidak akan dapat membiarkan dirinya menjadi tawanan. Ia tidak mau di tangkap
oleh siapa pun juga. Kini ia harus menghadapi suatu kenyataan, bahwa ia tidak
akan dapat mengalahkan anak muda itu. Apalagi apabila adiknya yang gemuk, yang
sudah mendapat kesempatan beristirahat, bersama-sama dengan para pengawas yang
lain akan bertindak.
Tetapi ia tidak mendapatkan
cara untuk melepaskan diri. Ketika ia mencoba memandang orang-orang yang
berdiri di paling depan dari lingkaran perkelahian itu, hatinya menjadi semakin
berdebar-debar. Ia melihat anak muda yang gemuk itu masih menggenggam
cambuknya, kemudian ketiga pengawas yang berpencar. Agaknya mereka telah
berhasil memampatkan darah dari luka-luka mereka. Dan orang berkumis itu sama
sekali tidak mengetahuinya, bahwa gembala tua itulah yang telah membagikan obat
untuk mereka.
Orang berkumis itu kini
benar-benar merasa terkepung. Meskipun ia tidak dapat dikalahkan oleh ketiga
pengawas itu, namun di pinggir arena itu berdiri ketiganya dan anak yang gemuk
itu, ditambah lawannya yang masih segar di arena dengan cambuk di tangan.
Tetapi ia tidak boleh
menyerah. Apa pun yang akan terjadi atasnya, bahkan mati pun akan lebih baik
daripada ia dapat ditangkap dan diperas segala macam keterangan yang
diketahuinya.
“Persetan dukun itu!” ia
menggeram di dalam hatinya. “Ia tidak akan membuka mulutnya kalau ia
benar-benar seorang jantan. Ia harus mati pula seandainya aku mati di arena
ini.”
Namun orang berkumis itu masih
mempunyai harapan betapapun tipisnya. Seperti dugaan Kiai Gringsing, pedang itu
memang bukan satu-satunya senjatanya.
Kiai Gringsing yang ada di
pinggir arena itu pun menjadi semakin waspada. Semakin terdesak lawan Agung
Sedayu, Kiai Gringsing pun semakin tajam mengamati gerak orang berkumis itu.
Dalam keadaan yang terjepit dan putus asa ia akan dapat melakukan sesuatu yang
sangat berbahaya bagi Agung Sedayu.
Demikiankah, maka kemudian
ternyata dugaan Kiai Gringsing itu tidak salah. Setelah orang berkumis itu
benar-benar merasa tidak dapat bertahan lagi, maka sampailah ia kepada puncak
kemampuan yang ada padanya. Oleh keputus-asaan yang tidak terhindarkan lagi,
maka ia bertekad untuk berbuat apa saja yang dapat dilakukan.
“Aku tidak mau mati sendiri.
Biarlah kita mati bersama,” katanya di dalam hati. “Apabila di dalam puncak
perkelahian ini beberapa orang di luar arena menjadi korban, itu sama sekali
bukan salahku.”
Sesaat kemudian terasa oleh
Agung Sedayu, orang berkumis itu mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya. Dengan sisa tenaganya, ia menyerang Agung Sedayu dengan garangnya.
Namun seperti serangan-serangannya yang lampau, maka ia sama sekali tidak
berhasil mengenai lawan-nya, meskipun di dalam keadaan terakhir Agung Sedayu
pun telah menjadi basah oleh keringatnya. Bahkan nafasnya pun menjadi semakin
cepat mengalir. Ia telah memeras tenaganya untuk selalu menghindari
serangan-serangan lawannya yang berbahaya dan menahan serangan-serangan itu
dengan lecutan-lecutan cambuk yang memekakkan telinga. Namun dengan demikian,
ia sudah mengerahkan sebagian besar tenaganya.
Dalam keadaan yang demikian
itulah, ia harus semakin berhati-hati, karena seperti peringatan yang diberikan
oleh gurunya, bahwa pedang itu bukan satu-satunya senjata lawannya.
Kiai Gringsing pun tanpa
sesadarnya melangkah maju. Ia melihat pandangan yang aneh memancar di mata
orang berkumis itu.
Sejenak kemudian, sekali lagi
orang itu menyerang Agung Sedayu dengan sisa tenaganya. Namun ketika cambuk
Agung Sedayu meledak dan mengenai pundaknya ia terloncat mundur.
Tetapi pada saat ia berputar
menjauhi lawannya, Kiai Gringsing melihat bagaimana ia menarik sebuah bumbung
kecil dari kantong ikat pinggangnya. Kemudian dicabutnya tutup bumbung kecil
itu. Ketika ia menghadap Agung Sedayu, maka dengan tangan kiri ia sudah siap
menyerang Agung Sedayu dengan bumbung itu.
Agung Sedayu melihat juga
bumbung kecil itu. Tetapi ia tidak segera mengerti, bagaimanakah cara lawannya
menyerang dengan senjatanya yang aneh. Semula ia mengira bahwa bumbung itu akan
dilemparkannya dengan kekuatan yang melampaui kekuatan manusia sewajarnya,
didukung oleh tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya. Karena itu, ia pun
segera bersiap untuk menghindarinya. Karena ia tidak dapat menduga betapa besar
tenaga itu, maka yang paling baik adalah menghindari benturan dengan cara apa
pun, karena ia sendiri masih belum berhasil sepenuhnya mengungkat tenaga
cadangan yang ada di dalam dirinya untuk dibangunkan setiap saat, dan dalam
waktu yang hanya sekejap.
Sejenak kemudian ia melihat
mata orang berkumis itu menjadi liar. Diedarkannya tatapan matanya ke
sekelilingnya. Namun kemudian ia menggeram, “Kalian semua akan mati. Kalian
semua yang berdiri di hadapanku. Kemudian akan datang giliran orang-orang lain
yang ada di seputar arena ini.”
Kata-kata dalam nada yang
dalam itu telah mendirikan segenap bulu-bulu di tubuh orang-orang yang
mendengarnya. Apalagi apabila terlihat oleh mereka, mata orang berkumis yang
menjadi merah dan liar itu.
Sejenak ia masih
mengacu-acukan bumbung itu. Katanya, “Jangan menyesal. Serbuk beracun ini akan
membunuh kalian. Aku akan menaburkannya. Setiap butir, akan membunuh seorang
dari antara kalian.”
Ancaman itu benar-benar sangat
mengerikan. Bahkan Agung Sedayu pun tertegun sejenak. Tetapi akhirnya ia sadar,
bahwa orang itu tidak hanya sekedar menakut-nakuti, karena orang-orang di dalam
lingkungan mereka adalah orang-orang yang selalu bermain-main dengan racun.
Karena itu ia pun segera mengerti, bahwa bumbung itu memang berisi serbuk racun
yang keras sekali.
Sebentar lagi orang itu pasti
akan mengibaskan bumbung itu, sehingga isinya akan menghambur keluar, berpencar
mengenai orang-orang yang ada di bagian depannya. Agaknya ia masih belum akan
puas. Ia akan berputar dengan bumbung yang lain dan mengibaskannya pula,
sehingga orang-orang yang terkena kemudian akan mati.
“Gila,” desis Agung Sedayu,
“jangan bermain-main dengan racun.”
Orang itu menatap Agung Sedayu
sejenak, namun kemudian ia tertawa terbahak-bahak, “Nah, ternyata kau pun
menjadi ketakutan mendengar ancaman ini. Tetapi apa boleh buat. Kau memang
harus mati. Kalau ada orang lain yang akan mati pula, itu adalah nasib mereka.
Nasib mereka lah yang memang kurang baik pada hari ini.”
Agung Sedayu memandang bumbung
itu dengan wajah yang tegang. Jarak yang memisahkan mereka cukup panjang,
karena orang berkumis itu meloncat beberapa langkah surut.
“Kalau kau mendekat, maka itu
akan berarti mempercepat kematianmu bersama dengan orang-orang di sekitarmu,”
berkata orang itu lantang.
“Itu tidak adil,” sahut Agung
Sedayu, “hanya akulah yang bertempur melawan kau. Kau tidak seharusnya membunuh
orang lain kecuali aku.”
“Aku sudah bertempur melawan
tiga cucurut itu. Mereka pun harus mati. Kemudian anak muda yang gemuk itu,
kau, ayahmu, pemimpin pengawas yang dungu itu dan orang-orang yang berdiri di
sekitar arena ini, yang melihat kecurangan dan pengkhianatan kalian tetapi
tidak mau berbuat apa-apa. Itu pun merupakan suatu kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Dipandanginya saja bumbung di tangan kiri orang berkumis itu, sedang di tangan
kanan masih tetap tergenggam pedangnya.
“Isi bumbung itulah agaknya
yang berbahaya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi ia masih belum
dapat menebak dengan pasti, apakah isi itu. Namun yang pasti, senjata itu
mengandung racun. Serbuk racun apa pun wujudnya. Serbuk besi, baja, batu atau
tulang?
Karena itu, maka ia harus
berhati-hati. Ia sudah menerima obat pemunah racun dari gurunya. Tetapi kalau
serbuk racun itu mengenai seluruh atau sebagian besar tubuhnya, apakah ia
sempat melumurkan obat itu? Dan apakah obat yang ditelannya sudah cukup kuat
untuk menahan racun yang keras dan tajam, yang tersimpan di dalam serbuk itu?
Bahkan seandainya mungkin, untuk beberapa saat ia akan kehilangan kesempatan
untuk melawan. Demikian juga orang-orang lain.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Ujung cambuknya tidak dapat mencapai jarak antara dirinya dan
orang berkumis itu.
Dalam ketegangan itu ia
mendengar orang berkumis itu tertawa, “Jangan menjadi pucat. Apakah kau
ketakutan?”
Agung Sedaya menggeram. Ketika
ia memandang gurunya dan Swandaru, mereka pun berdiri pada jarak yang tidak
tercapai oleh juntai cambuk mereka.
“Ha, kau akan minta tolong
kepada adikmu yang gemuk itu?” desis orang berkumis itu, “Jangan coba-coba.
Setiap gerak dari siapa pun juga akan berakibat gawat. Aku masih memberi kau
kesempatan mengucapkan pesan terakhir sebelum aku mengibaskan bumbung ini.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak dilihatnya bumbung di tangan kiri orang berkumis itu.
“Cepat!” bentaknya, “Kalau kau
tidak mau berbicara, aku akan segera membunuhmu.”
Perlahan-lahan orang berkumis
itu mengangkat bumbungnya tinggi-tinggi.
Dada Agung Sedayu menjadi
semakin berdebar-debar. Tiba-tiba saja ia menjadi gelisah. Sekali-sekali
ditatapnya wajah gurunya, kemudian wajah adiknya yang gemuk. Diremasnya tangkai
dan ujung cambuknya dan bahkan kemudian diacukannya cambuknya itu sambil
berkata, “Tunggu. Tunggu sebentar.”
“Apa yang harus aku tunggu?”
bertanya orang berkumis itu.
“Jangan kau taburkan serbukmu
itu dengan cara yang sama sekali tidak berperikemanusiaan,” berkata Agung
Sedayu. “Kau akan membunuh banyak orang di belakangku.”
“Sudah aku katakan. Nasib
merekalah yang jelek.”
“Kalau kau tidak menghendaki
aku pergi, biarlah mereka yang pergi.”
“Jangan banyak bicara. Aku
sudah cukup memberi kesempatan kepadamu. Sekarang katakan pesanmu.”
“Tunggu, tunggu,” Agung Sedayu
tiba-tiba saja menjadi tergagap. Sambil mengacu-acukan cambuknya ia berkata,
“aku masih akan berbicara. Tidak tentang diriku sendiri. Tetapi tentang
orang-orang ini.”
“Bicaralah tentang dirimu
sendiri.”
“Tunggu,” tangan Agung Sedayu
menjadi gemetar, dan tiba-tiba saja cambuknya terjatuh. Dengan serta-merta ia
memungut cambuknya sambil berkata tergagap, “aku minta waktu sebentar.”
Orang berkumis itu tiba-tiba
tertawa menyentak. Ia senang sekali melihat Agung Sedayu yang kebingungan,
namun kemudian ia berkata, “Sudah cukup. Aku sudah muak melihat kau, meskipun
sebenarnya aku senang sekali melihat kau ketakutan.”
“Belum, belum cukup. Kau harus
memberi kesempatan orang-orang lain ini pergi. Taburan serbukmu akan membunuh
orang-orang yang tidak bersalah. Apakah kau tidak dapat mengambil cara lain,
misalnya dengan mengumpulkan kami, orang-orang yang akan kau bunuh dan mengusir
orang-orang yang tidak berkepentingan?”
Orang berkumis itu berpikir
sejenak. Ketika seseorang di pinggir arena bergerak, ia membentak, “Diam di
tempatmu! Atau kau dahulu yang mati.”
“Tetapi, tetapi ……..,” minta
orang itu, “kami tidak ikut apa-apa di dalam persoalan ini. Kami hanya sekedar
melihat.”
“Ya, kami tidak bersalah,”
teriak yang lain.
“Biarkan kami pergi. Kami
tidak akan mencampuri persoalan kalian.”
“Ya, kami tidak. Kami tidak.”
Dan tiba-tiba orang berkumis
itu membentak, “Diam. Diam! Kalian sama sekali tidak membantuku selagi aku
dalam kesulitan. Sekarang kalian mengemis belas kasianku. Gila! Itu adalah pikiran
gila. Matilah kalian bersama anak muda yang sombong ini, yang merasa dirinya
tidak terkalahkan. Sambil menunggu saat matimu, berdoalah agar kau tidak
terjerumus ke dalam neraka.”
“Ampunkan kami, ampunkan
kami,” minta orang-orang yang berada di pinggir arena. Tanpa mereka sadari
mereka pun mulai berdesak-desakan mencari perlindungan yang satu pada yang
lain, sehingga mereka pun justru dorong-mendorong di antara mereka.
“Menyenangkan sekali.
Pemandangan yang paling menarik yang pernah aku lihat. Seorang anak muda
perkasa yang ketakutan menghadapi maut, dan sekelompok tikus-tikus yang
ketakutan pula, saling berdesakan.”
Namun kini Agung Sedayu sudah
tidak menjadi gelisah lagi. Bahkan kemudian ia maju selangkah sambil berkata,
“Baiklah. Kalau kau sudah tidak mau mendengarkan aku lagi.”
Orang berkumis itu mengerutkan
keningnya. Sejenak kemudian ia membentak, “Gila! Kau menantang?”
“Bukan maksudku, tetapi kau
sudah tidak mau mendengar lagi. Apa boleh buat.”
Orang itu menjadi tegang.
Dipandanginya Agung Sedayu sejenak. Kemudian ia menggeram, “Bagus! Aku memang
harus cepat-cepat membunuhmu.”
Orang itu pun maju selangkah
pula. Ia mengangkat tabung serbuknya semakin tinggi, sedang matanya menjadi
semakin merah dan liar oleh nafsunya yang membakar dadanya. Nafsu membunuh dan
membinasakan lawannya.
Orang-orang yang berdiri di
belakang Agung Sedayu tidak menghiraukan apa pun lagi. Tiba-tiba mereka
berlarian tidak menentu, saling melanggar dan berdesakan menjauhi arena.
Beberapa orang terjatuh dan terinjak oleh kawan-kawan mereka.
Pada saat itulah orang yang
berkumis itu siap untuk mengibaskan tabung serbuknya. Ia mengangkat bumbungnya
semakin tinggi dan siap mengayunkannya ke arah Agung Sedayu.
Ternyata bukan saja
orang-orang yang berada di belakang Agung Sedayu, tetapi hampir semua orang di
sekeliling arena itu menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa orang berkumis itu
akan membunuh mereka semua dengan serbuk mautnya. Karena itu, hampir semua
orang berlari-larian berpencaran tanpa tujuan, asal menjauhi lingkaran yang
mengerikan itu.
Orang-orang yang hatinya
sekecil menir, bahkan tidak sempat lagi melarikan diri. Mereka terduduk di
tanah dengan tubuh gemetar.
Yang masih tetap berdiri tegak
di tempatnya adalah Agung Sedayu, Swandaru dan Kiai Gringsing. Selain mereka
adalah ketiga pengawas yang terluka yang berdiri berpencaran.
Sejenak kemudian, di dalam
kekacauan yang kisruh, orang-orang yang berlari-larian itu masih mendengar
suara jerit melengking tinggi. Beberapa orang mencoba menutup telinga mereka,
sambil berlari semakin kencang. Mereka membayangkan bahwa anak muda yang
bersenjata cambuk itu pun kemudian tergolek di tanah dengan tubuh yang hangus
kebiru-biruan.
Ketiga pengawas yang berdiri
tegang di pinggir lingkaran perkelahian itu pun terkejut bukan kepalang.
Ternyata mereka masih sempat melihat orang berkumis itu siap mengayunkan
bumbungnya. Namun tiba-tiba sesuatu telah membentur bumbung itu, sehingga
justru serbuk yang ada di dalamnya tertumpah mengenai tubuhnya sendiri.
Suara jerit yang melengking
itu adalah suara orang berkumis itu sendiri.
Agung Sedayu masih tetap
berdiri di tempatnya. Namun wajahnya menjadi tegang dan bahkan seolah-olah ia
membeku di tempatnya.
“Kau berhasil, Agung Sedayu,”
desis Kiai Gringsing yang masih menggenggam sebuah bumbung kecil pula meskipun
bumbung ini berisi obat-obat yang berharga, “hampir saja aku melemparkannya
untuk membentur bumbung orang berkumis itu. Tetapi agaknya kau sendiri telah
dapat mengenainya.”
Swandaru pun mendekatinya
sambil berkata, “Aku akan melemparkan cambukku. Aku tidak dapat berpikir lagi.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Dari mana kau mendapat batu
yang kau lontarkan tepat mengenai bumbung itu?” bertanya Swandaru.
Agung Sedayu masih mencoba
menenangkan jantungnya yang bergolak.
Ketiga pengawas yang masih
berdiri di seputar arena maut itu pun mendekati Agung Sedayu pula. Seperti
Swandaru, mereka pun bertanya, “Darimana kau mendapatkan batu itu?”
“Cambukku telah terjatuh,”
jawab Agung Sedayu, “ketika aku memungutnya, aku menggenggam sebutir batu.”
“Tetapi kau luar biasa. Kau
dapat membidik dengan tepat bumbung di tangan orang berkumis itu.”
“Ya,” Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jangankan bumbung sebesar
itu,” sahut Swandaru dengan bangga, seolah ia sendirilah yang telah berhasil,
“sedang telur burung pipit di pucuk pohon cemara pun dapat dikenainya.”
Ketiga pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Luar biasa,” desis Wanakerti,
“kami sudah menyangka, bahwa kita akan mati bersama-sama.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Perlahan-lahan ia maju mendekati orang berkumis yang terbaring di tanah.
Tubuhnya menjadi merah biru seperti terbakar.
“Apakah Guru tidak dapat
berbuat apa-apa atasnya?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing mendekati orang
itu. Tetapi ia berusaha untuk tidak menyentuh racun yang justru berhamburan di
sekitar tubuh itu.
“Racun itu keras sekali.
Karena itu jangan terlampau dekat,” berkata Kiai Gringsing. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia berkata, “Agaknya aku tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi atasnya. Racun itu sudah mengenai mata dan masuk ke dalam
jalur pernafasan, karena serbuk itu menghambur mengenai wajahnya.”
“Jadi kita biarkan orang itu
mati?”
“Orang itu sudah mati,” jawab
Kiai Gringsing.
“O,” Agung Sedayu menundukkan
kepalanya, “mengerikan sekali.”
“Ya,” berkata gurunya. “Kalau
serbuk itu mengenaimu dan orang-orang lain, akibatnya akan seperti itu juga.
Kau tidak akan sempat menahan racun itu dengan obat pemunah macam apa pun.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Racun yang berhamburan di
sekitar orang itu pun cukup berbahaya. Karena itu, harus diusahakan untuk
menguranginya.”
“Apa yang akan Guru lakukan?”
“Aku akan mancoba mencairkan
racun pemunahnya, meskipun hanya sekedar mengurangi ketajaman racun ini. Racun
pemunah itu kita cairkan, kemudian kita siramkan ke sekeliling tempat itu. Kita
akan menunggu sampai besok. Kalau pemunah itu berhasil, kita akan dapat
mengambil mayat itu dan menguburkannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia benar-benar telah berhadapan dengan sejenis
racun yang tajam sekali. Apalagi apabila racun itu langsung masuk ke dalam
jalur pernafasan.
“Untunglah, bahwa aku masih
mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa,” berkata Agung Sedayu di dalam
hatinya. “Tiba-tiba saja terbersit akal untuk memungut batu. Kalau tidak, maka
aku akan hangus seperti orang itu pula.”
“Sudahlah,” berkata Kiai
Gringsing, “kita masih harus mencoba membersihkan tempat ini dari racun itu.”
Lalu katanya kepada para pengawas, “Kalau kalian masih mempunyai kekuatan,
silahkan kembali ke gardu pengawas. Nanti aku akan mengobati luka-luka itu. Aku
dan anak-anakku akan mengurusi tempat ini supaya tidak berbahaya bagi orang
lewat.”
Ketiga pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi Wanakerti berkata, “Tetapi bagaimana
dengan pemimpin kami itu?”
Kiai Gringsing pun kemudian
berpaling. Dilihatnya pemimpin pengawas itu masih duduk saja di tempatnya.
Meskipun demikian pemimpin
pengawas itu menjadi tegang pula. Ia tidak segera tahu apa yang terjadi di arena.
Namun ketika ia melihat orang tua dan kedua anaknya, ketiga pengawas bawahannya
masih berdiri tegak, ia pun menarik nafas dalam-dalam.
“Kita harus membawanya ke
gardu pengawas,” berkata Wanakerti.
“Ya. Tetapi bagaimana? Kita
sendiri hampir tidak dapat membawa tubuh kita masing-masing. Apalagi membawa
seseorang,” jawab kawannya.
Mereka saling berpandangan
sejenak. Tetapi mereka tidak segera menemukan jawaban.
“Bagaimana dengan tawanan yang
terikat itu?” bertanya Swandaru. “Apakah mungkin ia menolong?”
“Tetapi ia terikat,” sahut
Wanakerti.
“Lepaskan ikatannya sementara
ia harus membantu pemimpin pengawas itu berjalan. Kalian bertiga dapat
mengawasi di belakangnya. Supaya ia tidak mungkin lari lagi, siapkan pedang
kalian di punggungnya. Meskipun kalian sudah lemah, tetapi kalian pasti masih
dapat menguasainya. Apalagi kalian bertiga.”
Ketiga pengawas itu saling
berpandangan sejenak. Akhirnya mereka mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah kita coba,” berkata
Wanakerti, “mungkin kita masih dapat menguasainya. Nanti, di gardu pengawas
orang itu akan segera kita ikat lagi.”
Demikianlah, maka ketiga
pengawas itu diikuti oleh Kiai Gringsing bersama kedua muridnya mendekati
pemimpin pengawas yang terluka. Mereka memberitahukan maksud mereka kepada
keduanya, kepada pemimpin pengawas itu dan kepada tawanan mereka.
“Aku tidak mau,” geram tawanan
itu.
“Coba ucapkan sekali lagi,”
desis Swandaru sambil mengangkat cambuknya. “Ayo ulangi.”
Tawanan itu memandang Swandaru
dengan sorot mata yang memancarkan kemarahan. Tetapi ia tidak mengulanginya, ia
sadar bahwa ujung cambuk itu akan dapat menyobek bukan saja pakaiannya, tetapi
juga kulitnya.
“Nah, lepaskan talinya,”
berkata Swandaru kemudian kepada ketiga pengawas yang sudah berjongkok di
samping pemimpinnya.
“Kalian terluka?” bertanya
pemimpin itu.
“Ya,” sahut Wanakerti, “ia
jauh lebih parah daripadaku. Untunglah bahwa Ki Sanak itu dapat memberi obat
pemampat darah, sehingga kami tidak kehabisan tenaga karenanya.”
“Omong kosong,” tawanan itulah
yang menyahut, “tidak ada orang yang dapat memampatkan darah dan mengobati
luka-luka selain aku. Apalagi luka-luka beracun.”
“Jangan mengigau,” jawab
pemimpin pengawas itu, “kau lihat bahwa aku tidak mati karena racunmu, meskipun
aku menjadi sangat lemah saat ini?”
Dukun yang telah menjadi
tawanan itu mengerutkan keningnya. Ia memang menjadi heran, kenapa pemimpin
pengawas itu tidak mati.
“Nah, apa katamu sekarang?
Apakah kau masih tetap tidak mau mematuhi perintahku?” bertanya pemimpin
pengawas itu.
“Katakanlah, apakah kau tidak
mau menolongnya?” bertanya Agung Sedayu pula.
Orang itu menjadi
termangu-mangu. Tetapi setiap kali ia melihat ujung cambuk yang berjuntai
menyentuh kakinya, kemudian ujung-ujung pedang yang berkilat-kilat, hatinya
menjadi susut.
“Jawablah,” desak Swandaru.
“Tetapi ……..”
“Jawablah,” sekali lagi
Swandaru mendesaknya sambil memutar cambuknya.
“Ya, ya. Aku akan
menolongnya.”
“Terima kasih,” berkata Kiai
Gringsing kemudian. “Lepaskan talinya.”
“Tetapi hati-hatilah,” berkata
Swandaru, “jangan biarkan orang itu lari. Ia sangat penting bagi kita.”
“Ya. Kami akan menjaganya
sebaik-baiknya. Meskipun aku terluka, tetapi tenagaku serasa masih cukup kuat
untuk menghunjamkan ujung pedang.”
Demikianlah, maka dukun itu
pun kemudian dibebaskan dari ikatannya. Setelah ia berdiri tegak, maka di bawah
ancaman pedang, ia menolong pemimpin pengawas yang terluka itu.
“Bawa pedangku,” berkata
pemimpin pengawas itu kepada Wanakerti.
Wanakerti menerima pedang itu
sambil bertanya, “Kenapa tidak disarungkan saja?”
“Berbahaya. Orang ini dapat
menyalahgunakan senjata itu,” jawabnya. Namun tidak setahu siapa pun, ia
membawa pisau beracun yang diambilnya di medan dan diselusupkannya di dalam
sarung pedangnya. Meskipun sarung itu terlampau longgar, namun tangkai pisau
belati itu tidak dapat masuk seluruhnya ke dalam.
Tertatih-tatih mereka pun
kemudian berjalan menuju ke gardu pengawas. Tawanan itu telah memapah pemimpin
pengawas yang masih lemah. Sedang ketiga pengawas yang lain, betapapun lemahnya
namun mereka masih harus mengikuti dukun yang memapah pemimpin mereka dan
langsung mengawasi dengan saksama.
Sementara itu Kiai Gringsing
bersama kedua anaknya telah sibuk mencari upih atau dedaunan yang cukup lebar
untuk menampung air. Mereka harus mencairkan sejenis racun yang ada pada Kiai
Gringsing untuk memunahkan racun yang tersebar di sekitar mayat orang berkumis
itu.
Akhirnya mereka mendapatkan
daun lumbu yang besar, yang dapat mereka pergunakan seperlunya.
Dalam daun lumbu itulah mereka
mencairkan racun pemunah itu. Kedua murid Kiai Gringsing itu masing-masing
memegang selembar daun lumbu yang besar. Kemudian setelah ditaburi racun yang
dilarutkan ke dalam air, maka cairan itu pun dipercikkan kepada mayat orang
berkumis itu dan sekitarnya.
“Jangan mendekat,” Kiai
Gringsing memperingatkan kedua muridnya.
Sejenak, kemudian ketiganya
berdiri saja mengawasi apa yang terjadi. Mereka tidak melihat apa pun juga
selain gelembung-gelembung kecil di kulit orang berkumis yang sudah tidak
bernyawa lagi itu. Gelembung-gelembung yang hanya sesaat, kemudian pecah dan
mengeluarkan asap yang tipis.
Agung Sedayu dan Swandaru
berdiri membeku di tempatnya. Meskipun mereka belum memahami betapa kerja
berjenis-jenis racun, tetapi yang mereka lihat itu telah mendirikan bulu roma
mereka.
Bukan saja di tubuh orang
berkumis itu, tetapi juga di atas pasir dan tanah di sekitarnya. Tetapi tidak
sejelas yang mereka lihat pada tubuh mayat yang masih terbujur itu.
“Tidak ada kesempatan untuk
menolong orang yang terkena serbuk racun itu. Apalagi apabila sudah masuk ke
dalam arus pernafasan. Racun itu adalah reramuan dari jenis racun ular dan
racun tumbuh-tumbuhan yang dapat melukai kulit,” berkata Kiai Gringsing.
“Tetapi bagaimana dengan obat
pemunah itu?” bertanya Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak dapat banyak menolong
seandainya racun itu belum membunuhnya sekalipun. Aku hanya dapat memperlunak
dan mempercepat hilangnya daya perusak dari racun itu atas jaringan-jaringan
tubuh manusia, bahkan binatang yang kebal akan racun ular sekalipun.”
Kedua muridnya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita tidak dapat berbuat
apa-apa atas mayat itu hari ini. Kita terpaksa meninggalkannya di sini.”
“Bagaimana dengan binatang
buas, Guru?” bertanya Swandaru.
Gurunya menarik nafas
dalam-dalam. Terdengar ia kemudian menjawab, “Binatang buas yang berani
menjamah mayat itu akan terkena racun pula. Harimau adalah binatang yang
termasuk tahan terhadap racun. Tetapi kalau ia menjilatnya hari ini, ia pasti
akan mati.”
“Hanya hari ini?”
“Mudah-mudahan racun itu akan
segera menjadi lemah dan kehilangan kemampuannya yang mengerikan.”
“Jadi, apakah kita tidak dapat
berbuat apa-apa?” bertanya Agung Sedayu.
Gurunya menggelengkan
kepalanya, “Apa boleh buat. Kita tidak dapat mengatasi persoalannya.”
Kedua muridnya itu pun
mengangguk-anggukkan kepala mereka pula. Tetapi mereka hanya dapat berdiri
tegak memandangi mayat yang terbujur di tanah. Kulitnya benar-benar menjadi
seperti hangus. Apalagi di tempat-tempat yang langsung tersentuh oleh serbuk
racun yang dahsyat itu.
“Kenapa ia sendiri tidak
mempergunakan pemunah atau obat yang membuat mereka sendiri kebal akan racun?”
bertanya Swandaru tiba-tiba.
“Memang seseorang dapat
membekali dirinya dengan semacam obat yang dapat membuatnya kebal terhadap
racun. Tetapi itu pun sangat terbatas. Hanya orang-orang yang benar-benar ahli
dan menguasai persoalan segala jenis racun sajalah yang dapat melakukannya.
Seseorang yang berusaha untuk mengebalkan dirinya terhadap racun-racun
tertentu, harus meracuni dirinya lebih dahulu. Itulah yang sulit. Kalau
takarannya tidak tepat, maka orang itu telah membunuh dirinya sendiri. Tetapi
kalau ia berhasil, maka ia akan dapat menjadi kebal untuk bertahun-tahun
lamanya.
Kedua muridnya hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku pernah mempelajarinya,”
berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi belum sempurna sekali, sehingga aku
masih ragu-ragu untuk mencobanya. Kalau aku pada suatu saat tidak lagi
melakukan pengembaraan dan petualangan serupa ini, mungkin aku akan berhasil
setelah melakukan percobaan-percobaan atas berjenis-jenis binatang termasuk
ular, dan tumbuh-tumbuhan.”
“Kapan hal itu akan Guru
lakukan?” bertanya Swandaru.
“Pertanyaan aneh,” sahut
gurunya, “aku tidak tahu.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dan gurunya masih berkata terus, “Tergantung kepada keadaanku,
keadaan di sekitarku dan keadaan kalian berdua.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya anak
muda itu justru menundukkan kepalanya.
Swandaru pun tidak bertanya
lagi. Kini ia kembali merenungi mayat yang hangus itu.
Sementara itu, para pengawas
berjalan tertatih-tatih menuju ke gardu mereka. Dukun yang menjadi tawanan
mereka itu pun dengan tanpa dapat berbuat apa-apa, harus memapah pemimpin
pengawas yang telah dilukainya sendiri, sedang di punggungnya, tiga ujung
pedang telah siap untuk melubangi tubuhnya apabila ia berbuat sesuatu.
Tetapi ternyata dukun itu
bukan seseorang yang mudah berputus asa. Ia masih juga mencari akal, bagaimana
ia dapat melepaskan dirinya. Ia sadar, bahwa orang berkumis itu telah mati.
Dengan demikian, maka ia merupakan tawanan tunggal yang pasti akan dihadapkan
kepada para pemimpin di Mataram. Ia akan menjadi sumber keterangan tentang
keadaan di daerah yang kisruh ini.
“Kalau aku mencoba menutup
mulut, aku pasti, aku akan diperasnya sampai darahku kering,” desisnya.
Meskipun ia baru berangan-angan, tetapi terasa bulu-bulu tengkuknya telah
berdiri. Orang-orang Mataram akan dapat banyak berbuat hal itu.
Dadanya berdesir apabila
terbayang ujung-ujung pisau yang akan menyentuhnya apabila ia kelak dihukum
picis. Hukuman yang paling terkutuk buat seorang pengkhianat.
“Aku pasti dianggapnya seorang
pengkhianat,” katanya di dalam hati. “Ki Gede Pemanahan dan putranya dapat saja
memutuskan untuk menghukum aku dengan cara demikian. Hukum picis yang
mengerikan itu.”
Dengan demikian, maka dukun
yang menjadi tawanan itu masih tetap berusaha, bagaimana ia dapat lolos dari
semua kemungkinan yang mengerikan itu.
Sekali-sekali ia mencoba
memandang pemimpin pengawas yang terluka itu dengan sudut matanya. Tetapi ia
tidak dapat menangkap kesan apa pun, karena pemimpin pengawas itu sekali-sekali
masih saja menyeringai menahan sakit.
Ketika ia mencoba berpaling,
terasa hampir bersamaan ketiga ujung pedang para pengawas yang terluka itu
menyentuh tubuhnya.
“Kau akan berbuat sesuatu yang
dapat mencelakakan dirimu sendiri?” bentak Wanakerti.
Tawanan itu menarik nafas.
Memang ketiga pengawas itu selalu bersiaga dengan ujung pedangnya, sehingga
setiap usaha untuk melarikan diri, agaknya memang sulit dilakukan. Namun
demikian, apakah itu berarti bahwa ia harus menyerah untuk dihukum picis?
“Aku harus menemukan cara,” ia
berdesis di dalam dadanya.
Dalam pada itu, mereka pun
setapak demi setapak maju. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan gardu
pengawas. Apabila ia kemudian meletakkan pemimpin pengawas itu di gardu, maka
ketiga pengawas yang lain itu akan segera mengikatnya kembali dan besok atau
lusa menyerahkannya kepada Ki Gede Pemanahan.
Ketika dukun itu kemudian
memandang ke depan, hatinya berdesir. Gardu pengawas itu sudah tidak begitu
jauh lagi di hadapannya. Sebelum sampai ke gardu itu ia harus mendapat akal.
Harus.
Selangkah demi selangkah ia
maju. Dalam pada itu dadanya pun menjadi semakin berdebar-debar.
Namun yang dilakukan kemudian
adalah menundukkan kepalanya. Dipapahnya pemimpin yang terluka itu
sebaik-baiknya. Bahkan seperti memapah anak sendiri yang sedang sakit.
Dengan demikian ia berharap,
bahwa pengawas yang lain menjadi lengah. Ia ingin mendapat waktu sekejap saja,
untuk dapat melarikan diri seperti yang diinginkannya.
“Para pengawas itu terluka.
Mereka agaknya sudah sangat lemah. Kalau aku dapat meloncat selangkah menjauh,
maka mereka pasti tidak akan dapat mengejar aku. Agaknya aku masih cukup kuat
untuk berlari dan bersembunyi di dalam hutan itu.”
Akhirnya dukun yang tertawan
itu memutuskan, bahwa ia akan melakukannya. Lari.
Semakin dekat mereka dengan
gardu pengawas, hati dukun itu menjadi kian berdebar-debar. Ia memerlukan waktu
hanya selangkah maju.
Kini mereka sudah siap
memasuki halaman sempit di depan gardu pengawas. Dengan demikian maka dukun itu
pun segera mulai mempersiapkan dirinya. Ia tidak berbuat sesuatu ketika mereka
memasuki halaman yang ber-pagar kayu itu. Pagar itu sama sekali tidak berarti
apa-apa baginya. Ia akan dengan mudahnya meloncati pagar yang tidak begitu
tinggi itu.
Yang diperlukannya kemudian
adalah kesempatan itu. Kesempatan yang hanya sekejap saja.
Ketika mereka sudah sampai di
depan gardu pengawas, maka dukun itu merasa, waktunya memang sudah tiba. Ia
tidak dapat menunggu lagi, karena apabila sudah terlanjur masuk, maka ia tidak
akan dapat keluar lagi tanpa terikat kaki dan tangannya.
Demikianlah, maka ketika ia
benar-benar sudah hampir melangkah memasuki ruangan gardu pengawas, maka
tiba-tiba saja ia bertindak. Dengan kecepatan yang tinggi, ia memutar pemimpin
pengawas itu, kemudian didorongnya ke arah ketiga pengawas yang mengikutinya.
Semua itu terjadi di dalam
sekejap mata. Apalagi ketiga pengawas itu tidak menduga sama sekali. Dukun itu
tampaknya sudah menjadi sangat jinak, bahkan berpaling pun tidak berani lagi.
Namun tiba-tiba mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu seakan-akan
terlempar ke arah mereka.
Yang dapat mereka lakukan
adalah menyingkirkan ujung pedang-pedang mereka agar tidak justru mengenai
pemimpin mereka yang terlempar itu. Namun sejenak kemudian mereka harus
berusaha menahan pemimpin mereka yang terlempar itu agar ia tidak jatuh.
Tetapi ternyata para pengawas
itu sudah begitu lemahnya. Ketika mereka menahan pemimpin mereka, maka justru
mereka pun telah terdorong selangkah surut, kemudian tanpa dapat mempertahankan
keseimbangan me-reka lagi, mereka pun berjatuhan saling menimpa, sehingga
ketiganya tidak dapat bertahan sama sekali, jatuh tindih menindih.
Sejenak dukun itu menikmati
kemenangannya. Ia melihat para pengawas itu tidak berdaya lagi. Mereka tidak
akan dapat segera bangkit dan mengejarnya. Seandainya salah seorang dari mereka
dapat segera bangun kembali, ia tidak akan dapat berbuat banyak. Bahkan,
seandainya mereka bertiga sekalipun, dukun itu tidak akan gentar lagi
menghadapinya.
Karena itu, dukun itu
seolah-olah tidak menghiraukan para pengawas itu lagi. Sejenak ia masih melihat
mereka menggeliat dan mencoba berkisar dari tempat mereka, dan tertatih-tatih
mereka mencoba untuk bangkit.
Dukun itu tertawa
berkepanjangan. Ia berdiri beberapa langkah sambil bertolak pinggang.
“Kenapa aku harus lari?” ia
berkata. “Kenapa aku tidak membunuh kalian saja?”
Ternyata ketiga pengawas yang
mengawal pemimpin mereka yang terluka itu tidak segera dapat bangkit dan
berdiri tegak. Namun demikian dukun itu berkata, “Tetapi kalau kalian
benar-benar mengerahkan sisa-sisa tenaga kalian, agaknya cukup berbahaya juga
bagiku. Aku memang tidak setangkas kawanku yang kalian bunuh itu. Namun
demikian, aku yakin kalian tidak akan dapat menangkap aku.”
“Gila. Jangan mencoba
berlari,” desis Wanakerti.
Tetapi orang itu tertawa, “Kau
akan mengejar aku? Silahkan. Aku akan melihat apakah kalian masih mampu
melangkahkan kaki?”
Wanakerti dan kedua kawannya
yang sudah berhasil berdiri menggeretakkan giginya. Mereka sadar, bahwa mereka
sudah tidak akan dapat lagi berlari seperti apabila mereka tidak sedang
terluka. Namun demikian, Wanakerti masih mencoba berkata, “Jangan merasa bahwa
kau menang kali ini. Kau pun pasti tidak akan dapat lari secepat yang kau
inginkan karena kau pun baru saja sadar dari pingsan yang panjang.”
“Tetapi, aku sudah merasa
segar sekarang,” jawab orang itu, “jauh lebih segar dari kalian yang sudah
tidak mampu lagi berdiri tegak.”
“Persetan,” Wanakerti maju
selangkah.
Orang itu mundur selangkah
sambil berkata, “Ha, kau akan mencoba mendekat? Sia-sia. Kau harus merelakan
aku pergi sekarang ke mana aku suka. Di sekitar tempat ini tidak ada orang yang
dapat membantumu. Orang-orang yang tinggal di barak sudah lari bercerai-berai.
Mungkin mereka kembali ke barak atau bersembunyi di mana saja. Sedang ketiga
orang, ayah dan anaknya itu, masih sibuk mengurusi mayat orang berkumis itu.
Yang ada sekarang adalah kalian dan aku. Pemimpin kalian itu sama sekali sudah
tidak dapat bangkit, dan kalian bertiga hanya mampu berjalan tertatih-tatih
meskipun kalian berpedang.”
“Tetapi kami tidak akan
membiarkan kau lari,” geram salah seorang kawan Wanakerti. Betapapun lemahnya,
namun ia melangkah maju juga berpencaran, seolah-olah mereka akan mengepung
orang berkumis itu.
Tetapi sikap para pengawas itu
tampak sangat lucu di mata dukun yang telah berhasil melepaskan diri itu.
Sambil tertawa ia berkata, “Aku seakan-akan melihat tiga ekor siput
merayap-rayap. Apakah kalian ingin berlomba lari? Aku memang tidak dapat lari
setangkas kijang. Tetapi sudah pasti, jauh lebih cepat dari tiga ekor siput.
Asal aku tidak dapat kalian tipu, maka aku pasti akan dapat menyelamatkan
diri.”
Ketiga pengawas itu masih juga
mencoba maju.
“Cukup,” berkata orang yang
sudah berhasil melepaskan dirinya itu, “kalian tidak usah merayap-rayap lagi. Aku
sekarang akan lari. Lari jauh sekali melintasi hutan dan pegunungan. Tetapi itu
akan jauh lebih baik daripada aku kalian serahkan kepada Ki Gede Pemanahan atau
putranya, Raden Sutawijaya.”
“Jangan lari. Mari kita
berhadapan secara jantan.”
“Kali ini aku sama sekali
tidak memerlukan sikap jantan itu. Aku lebih baik lari saja, meskipun kalian
menganggap aku bersikap licik, betina atau segala macam istilah yang paling
jelek dan menyakitkan hati. Tetapi aku tidak akan menjadi sakit hati kemudian
karena harga diri aku berbuat bodoh melawan kalian. Sekarang, yang paling baik
bagiku memang lari. Lari sejauh-jauhnya.”
Wanakerti menggeretakkan
giginya. Tetapi ia memang tidak akan dapat mengejar orang itu. Apa pun yang
dilakukan, maka ia sudah tidak berpengharapan lagi untuk menangkapnya. Karena
itu ia hanya dapat mengumpat-umpat meskipun ia masih juga berusaha mendekati
lawannya.
Tetapi yang terdengar kemudian
adalah suara tertawa. Katanya, “Lepaskan niatmu yang gila itu. Kalian tidak
akan mampu menangkap aku kecuali ketiga orang yang menyusup di dalam lingkungan
orang-orang yang membuka hutan itu datang kemari. Mereka adalah orang-orang
gila yang berpura-pura,” orang itu berhenti sejenak. Lalu, “Selamat tinggal.
Mudah-mudahan kalian diterkam harimau lapar yang tersesat sampai kemari.”
“Gila! Anak setan!” Wanakerti
yang menjadi marah bukan kepalang hanya dapat mengumpat-umpat saja. Tetapi ia
tidak dapat berbuat apa-apa ketika orang itu kemudian memutar dirinya dan siap
untuk berlari meninggal-kan mereka.
Tetapi Wanakerti dan kedua
kawannya tiba-tiba saja terkejut bukan buatan. Ketika orang itu meloncat maju
selangkah, tiba-tiba ia tertegun. Sejenak ia terhuyung-huyung, kemudian dengan
wajah yang pucat pasi ia berpaling.
“Siapa, siapa yang telah
melakukannya?”
Orang itu masih berdiri
sejenak, namun kemudian tubuhnya mulai gemetar, akhirnya ia pun terjatuh di
tanah.
Wanakerti dan kedua kawannya
menyaksikan hal itu dengan pandangan yang tidak berkedip. Sejenak kemudian ia
sadar, apa yang telah terjadi.
Ternyata pemimpin pengawas
yang sangat lemah itu masih berhasil mengerahkan sisa-sisa tenaganya untuk
melemparkan sebilah pisau kepada orang yang akan melarikan diri itu, tepat
mengenai punggungnya meskipun tidak menghunjam terlampau dalam, karena
tenaganya sudah tidak memungkinkan. Tetapi sentuhan yang panas seperti bara,
kemudian perasaan sakit yang segera menjalar ke segenap tubuh disertai
kekejangan yang perlahan-lahan mencengkamnya, dukun itu sadar, bahwa ia telah
terkena racun yang kuat sekali.
Itulah sebabnya ia menjadi
bingung dan tidak tahu apa yang dilakukan, sedangkan racun itu terlampau cepat
mengalir di dalam arus darah, beredar ke segenap tubuhnya.
Ketika Wanakerti berpaling,
memandang pemimpinnya, ternyata pemimpinnya itu sudah berbaring di tanah. Nafasnya
terengah-engah dan matanya sudah separo terpejam.
“Kenapa kau?” bertanya
Wanakerti sambil melangkah mendekatinya. Ia pun kemudian bersama kawan-kawannya
berjongkok di sampingnya.
“Aku telah mencoba melepaskan
seluruh sisa tenaga yang ada,” suara pemimpin pengawas itu menjadi serak. “Aku
melemparkan pisau itu kepadanya. Terpaksa sekali, karena tidak ada jalan lain
untuk menangkapnya, meskipun kita sangat memerlukannya.”
“Ya, pisau itu mengenainya,”
sahut salah seorang pengawas.
“Ia akan mati karena racun
yang kuat. Tunggu dulu. Jangan kau sentuh orang itu. Tunggulah gembala tua
beserta kedua anaknya itu. Mungkin mereka dapat memberikan nasehat kepada
kalian.”
Wanakerti dan kawannya
mengangguk. Namun ia tidak sempat bertanya lagi karena pemimpin pengawas itu
kemudian jatuh pingsan.
Sejenak kemudian ketiga
pengawas yang telah menjadi sangat letih itu, kebingungan. Mereka tidak tahu
apa yang harus mereka lakukan. Mereka sama sekali tidak mengerti, bagaimana
mereka harus menolong pemimpin mereka yang pingsan karena kehabisan tenaga itu.
Sedang mereka sendiri pun rasa-rasanya hampir menjadi pingsan pula.
Wanakerti yang masih merasa
paling baik di antara kawan-kawannya berkata, “Tidak ada jalan lain. Aku akan
memanggil gembala tua beserta kedua anak-anaknya itu. Aku mengharap bahwa
mereka akan dapat membantu kita.”
“Ya, ternyata mereka pun
memahami ilmu obat-obatan. Bahkan mungkin lebih baik dari dukun yang terbunuh
itu,” sahut kawannya.
“Tunggulah kalian berdua di
sini.”
Kedua kawannya itu pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun terasa tubuh mereka sendiri sudah tidak wajar lagi.
Kadang-kadang mata mereka menjadi berkunang-kunang dan seolah-olah di
telinganya terngiang suara berdesing yang berputaran tidak henti-hentinya.
Demikianlah, maka Wanakerti
pun segera berjalan tertatih-tatih mencari Kiai Gringsing beserta kedua
muridnya, yang untunglah bahwa mereka masih berdiri tegak, menunggui mayat
orang berkumis yang menjadi ajang pertarungan dua jenis racun.
“Mudah-mudahan aku berhasil,”
berkata Kiai Gringsing, “sehingga besok mayat itu dapat dikuburkan dengan
baik.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah, kita tinggalkan saja
mayat itu. Sudah tentu kita tidak akan menungguinya sampai besok.”
“Lalu, kemana kita sekarang?”
bertanya Swandaru.
“Kita pulang ke barak untuk
sementara.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempat
mereka, mereka melihat Wanakerti yang lemah berjalan tertatih-tatih mendekati
mereka.
“Guru,” desis Agung Sedayu,
“kenapa Ki Wanakerti datang pula kemari?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya, “Marilah, kita pergi mendapatkannya.”
Ketiganya pun kemudian
berjalan dengan tergesa-gesa menyongsong Wanakerti yang sudah menjadi semakin
lemah. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya kian menjadi pucat.
“Kenapa Tuan kemari?” bertanya
Kiai Gringsing.
Wanakerti menarik nafas
dalam-dalam. Sekali, dua kali, seakan-akan ingin mengendapkan nafasnya yang
melonjak-lonjak.
“Panggil namaku, Wanakerti,”
desisnya. “Ternyata kalian adalah orang-orang aneh di sini.”
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Dibiarkannya Wanakerti berkata selanjutnya, “Aku minta kalian datang ke gardu
pengawas.”
“Kenapa?”
“Pemimpin kami pingsan.”
“O, kenapa?”
Dengan singkat Wanakerti
menceriterakan apa yang sudah terjadi atas pemimpinnya dan atas dukun yang
menjadi tawanannya itu.
“Jadi dukun itu terbunuh?”
bertanya Kiai Gringsing.
“Ya.”
“Tidak ada harapan untuk
diobati?”
“Aku kira ia sudah mati. Aku
tidak berani merabanya, mungkin racun itu akan berpengaruh atas aku yang sudah
terlampau lemah ini.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Satu-satunya orang yang akan dapat memberikan keterangan mengenai
teki-teki di daerah ini justru sudah terbunuh. Dengan demikian maka mereka
telah kehilangan satu-satunya sumber keterangan mengenai rahasia yang selama
ini menyelubungi daerah ini.
“Kami tidak sengaja
membunuhnya,” berkata Wanakerti, “tetapi agaknya memang lebih baik begitu
daripada ia berhasil melarikan diri dan memberikan keterangan-keterangan kepada
kawan-kawannya. Sebab aku yakin bahwa mereka tidak berdiri sendiri. Orang
berkumis, kawan kami itu, agaknya orang yang bertanggung jawab di daerah ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Kita masih mempunyai dua
orang. Tetapi mereka tidak akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang
penting. Mereka hanya tenaga yang diumpankan.”
“Siapa?”
“Orang yang tinggi kekar dan
yang kekurus-kurusan itu.”
Wanakerti mengangguk-angguk
pula. Tetapi ia pun sependapat bahwa keduanya pasti tidak akan banyak
mengetahui tentang gerakan mereka sendiri.
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing. “Kemudian bagaimana dengan pemimpinmu itu?”
“Ia jatuh pingsan setelah
melontarkan pisau ke punggung orang yang berusaha melarikan diri itu.”
“Marilah kita lihat.”
Mereka pun kemudian berjalan
perlahan-lahan ke gardu pengawas karena Wanakerti sudah menjadi kian letih dan
lemah. Swandaru yang tidak telaten kemudian mendekatinya sambil berkata,
“Marilah, aku bantu kau berjalan.”
Wanakerti pun kemudian
bergantung pada pundak Swandaru. Dengan demikian maka mereka pun dapat berjalan
lebih cepat.
“Mereka yang pingsan segera
memerlukan bantuan,” berkata Swandaru kemudian.
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Terima kasih,” katanya.
Sejenak kemudian mereka pun
telah sampai ke halaman gardu pengawas. Kiai Gringsing mengerutkan keningnya
ketika dilihatnya, bukan saja pemimpin pengawas itu yang pingsan, tetapi salah
seorang dari kedua pengawas yang tinggal, telah menjadi pingsan pula, sedang yang
seorang lagi telah menjadi sangat lemah dan duduk di samping kawannya yang
pingsan itu.
Wanakerti pun menjadi cemas.
Meskipun tubuhnya sendiri serasa tidak bertulang lagi, namun ia berusaha
secepat-cepatnya menghampiri kawan-kawannya yang pingsan.
“Kenapa mereka, Ki Sanak?”
Wanakerti bertanya kepada Kiai Gringsing yang sudah berjongkok pula di samping
mereka yang sedang pingsan.
Kiai Gringsing tidak segera
menjawab. Ditatapnya wajah pengawas yang masih tetap sadar, meskipun menjadi
lemah sekali.
Pengawas itu seakan-akan dapat
mengerti pertanyaan yang terbayang di mata Kiai Gringsing, sehingga ia
menjawab, “Aku tidak tahu kenapa tiba-tiba ia pingsan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam, “Kalian terlampau lelah.”
“Jadi, maksud Ki Sanak, mereka
tidak terkena racun?” bertanya Wanakerti.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya.
“Tidak,” jawabnya, “mereka
tidak terkena racun yang lain. Pemimpinmu ini memang terkena racun, tetapi
kekuatan racun itu sudah teratasi.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kecemasan masih saja membayang di wajahnya. Dan ia pun
bertanya pula, “Tetapi apakah keadaan mereka tidak berbahaya?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. “Tidak. Mereka hanya kehabisan tenaga.”
Kemudian Kiai Gringsing pun
mulai meraba-raba tubuh para pengawas yang pingsan itu. Dikendorkannya ikat
pinggang mereka, kemudian perlahan-lahan Kiai Gringsing menggerak-gerakkan
tangan pemimpin pengawas itu, sedang Agung Sedayu melakukan hal yang sama pada
pengawas yang lain.
“Swandaru,” berkata Kiai
Gringsing, “ambillah air dingin.”
Swandaru pun kemudian
mengambil air kendi di dalam gardu pengawas. Oleh Kiai Gringsing, bibir mereka
yang pingsan itu dibasahinya dengan titik-titik air yang dingin. Setitik demi
setitik.
Ternyata bahwa kesejukan air
itu telah menyejukkan tubuh-tubuh yang lemah itu. Perlahan-lahan mereka mulai
bergerak-gerak. Yang pertama-tama mereka lakukan adalah membuka mata mereka dan
mencoba mengenali keadaan di sekelilingnya. Kemudian mereka mencoba mengingat-ingat
apakah yang telah terjadi atas diri mereka masing-masing.
Wanakerti menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kedua kawannya yang pingsan itu sudah mulai menyadari
dirinya. Bahkan pengawas yang seorang, telah berusaha untuk bangkit
perlahan-lahan.
Sambil menggosok matanya ia
memandang tubuh yang terbujur berapa langkah daripadanya, “Ya, orang itu sudah
mati.”
“Aku menyesal,” berkata Kiai
Gringsing.
“Aku tidak melihat jalan
lain,” pemimpin pengawas itulah yang menjawab.
“Ya. Agaknya keadaanlah yang
sudah menentukan. Tetapi dengan demikian kita kehilangan sumber keterangan, dan
kita masih tetap menghadapi suatu rahasia yang gelap.”
Pemimpin pengawas yang terluka
itu pun kemudian mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, dan berusaha untuk
bangkit. Agung Sedayu yang melihatnya, segera menolongnya sehingga pemimpin
pengawas itu pun kemudian duduk bersandar pada tangannya. Sambil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, “Badanku menjadi lemah sekali.”
“Beristirahatlah.”
Pemimpin pengawas itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Kami semua, para pengawas sama sekali sudah tidak berdaya
lagi apabila ada sesuatu yang terjadi di sini saat ini. Aku sendiri
rasa-rasanya sudah hampir mati, ketiga sisa orang-orangku pun agaknya sudah
menjadi sangat letih.”
“Untuk sementara tidak akan
ada apa-apa lagi. Untuk sementara,” sahut Kiai Gringsing.
“Belum tentu. Berita kematian
kedua orang itu akan segera didengar oleh kawan-kawan mereka. Dan mereka akan
segera mengambil tindakan.”
“Mungkin,” Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya, “tetapi kematian mereka telah menutup segala kemungkinan kita di
sini untuk menyelusur suatu kumpulan yang bagi kita sekarang masih merupakan
suatu rahasia.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-angguk pula.
“Karena itu,” sambung Kiai
Gringsing, “justru keduanya terbunuh, maka kawan-kawan mereka akan berbuat
dengan lebih berhati-hati. Seandainya salah seorang dari mereka masih hidup,
mungkin ada usaha-usaha yang segera mereka lakukan untuk mengambil orangnya
atau membinasakan sama sekali.”
Pemimpin pengawal itu masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Sekarang,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “marilah kita masuk ke dalam gardu pengawas. Agaknya gardu
itu sepi.”
“Ya. Beberapa orang pembantu
kami agaknya menjadi ketakutan dan bersembunyi. Aku kira mereka semua berkumpul
di dalam barak.”
“Mereka harus ditenangkan.”
“Ya. Tetapi kami tidak dapat
berbuat banyak saat ini.”
“Nantilah kita pikirkan.
Marilah, kita masuk ke dalam.”
Swandaru dan Agung Sedayu pun
kemudian ikut pula menolong, membimbing pengawas-pengawas yang masih sangat
lemah itu, sedang Kiai Gringsing menolong pemimpin pengawas yang agak parah
itu.
Setelah mereka duduk di sebuah
amben di dalam gardu, maka pemimpin pengawas itu berkata, “Ki Sanak. Meskipun
aku belum tahu siapakah kau sebenarnya, tetapi aku telah mempercayaimu. Karena
itu selama kami tidak dapat menjalankan tugas, maka terserahlah kepada kalian,
apa yang sebaiknya kalian lakukan di sini.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya, “Bukan begitu. Kau tetap memegang tugasmu. Kami akan
membantu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak lalu, “Tetapi apakah tidak ada
penghubung yang selalu datang kemari?”
Pemimpin pengawas itu
termangu-mangu sebentar. Kemudian ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya, “Ya. Setiap kali memang ada pengawas yang datang kemari dari pusat
tanah yang baru dibuka ini. Tetapi baru dua hari yang lalu penghubung yang
terakhir datang kemari, sehingga mungkin masih tiga empat hari lagi penghubung
berikutnya akan datang.”
“Kitalah yang akan memberikan
laporan,” sahut Wanakerti.
“Apakah kau mampu?” bertanya
pemimpin pengawas itu.
“Aku mampu. Mungkin besok
badanku akan terasa bertambah baik. Dengan seekor kuda, aku kira aku akan
sampai.”
“Sendiri? Di dalam keadaan
seperti ini, kau tidak boleh menganggap perjalanan ke pusat kota Mataram ini
seperti sebuah tamasya yang menyenangkan.”
“Berdua atau bertiga.”
“Apakah kawan-kawanmu sudah
siap untuk pergi? Mereka terlampau lemah.”
“Besok atau selambat-lambatnya
lusa, kami sudah siap apabila penghubung dari pusat tanah Mataram belum juga
datang,” sahut seorang pengawas.
“Atau,” sambung Wanakerti,
“barangkali kita dapat minta tolong kepada salah seorang dari Ki Sanak ini
untuk menemani aku pergi ke Mataram.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya sejenak. Namun kemudian ia tersenyum sambil menyahut, “Jangan di
antara kami. Kami adalah orang-orang padesan yang sama sekali tidak mengerti
unggah-ungguh.”
“Ah, kalian masih saja
berpura-pura,” berkata pemimpin pengawas itu. “Tetapi seandainya demikian itu
pun sama sekali tidak akan mengganggu, salah seorang dari kalian hanya
mengawasi selama perjalanan. Biarlah Wana-kerti nanti yang menghadap pada
pimpinan pengawal tanah ini.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya, “Maaf. Kami akan membantu kalian apa saja yang dapat
kami lakukan. Tetapi di sini. Tidak ke pusat pemerintahan dari tanah yang baru
ini.”
“ Kenapa?”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Namun katanya kemudian, “Kami benar-benar tidak pantas. Kami adalah
orang-orang yang tidak tahu diri. Berilah kami pekerjaan di sini. Kami akan
dengan senang hati melakukannya.”
Pemimpin pengawas itu merasa
heran, kenapa gembala itu berkeberatan apabila salah seorang dari mereka itu
mengawasi salah seorang pengawas pergi ke Mataram. Banyak sekali dugaan yang
melintas di kepalanya. Apakah benar mereka merasa tidak pantas menghadap
pimpinan Pemerintahan Mataram, sehingga dengan demikian mereka merasa rendah
diri? Atau mereka malas untuk melibatkan diri secara langsung di dalam
persoalan ini, atau menurut pertimbangan mereka, jalan ke Mataram sama sekali
tidak aman? Tetapi mustahil kalau mereka takut untuk menempuh perjalanan itu.
Pasti mereka mempunyai alasan lain. Mungkin mereka memang merasa rendah diri,
tetapi mungkin juga mereka segan untuk melibatkan diri langsung di dalam
persoalan-persolan pengamanan daerah yang baru dibuka ini.
Karena itu maka peimimpin
pengawas itu tidak mau memaksanya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, “Baiklah. Kalian akan mendapat tugas kalian di sini. Yang sebenarnya
lebih tepat, kami akan minta tolong kepada kalian untuk membantu kami di sini.”
“Kami tidak akan
berkeberatan,” jawab Kiai Gringsing.
“Selama ini kalian kami minta
tinggal di gardu ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Baiklah. Tetapi aku kira saat ini orang-orang
di barak itu menjadi tegang. Mereka harus ditenangkan.”
“Ya. Kami masih akan minta
kepada kalian untuk menenangkan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Baiklah,” katanya, “aku akan pergi ke barak
itu. Biarlah anak-anakku di sini. Aku akan membawa dua tiga orang untuk
menguburkan mayat itu.”
“Apakah mayat itu tidak
berbahaya?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Racun yang menyerangnya langsung masuk ke dalam saluran darahnya.
Berbeda dengan serbuk racun seperti yang membunuh pengawas yang berkumis itu.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, aku minta diri untuk
pergi ke barak. Biarlah anak-anakku menyelesaikan pekerjaan kalian di sini
apabila memang diperlukan.”
“Ya. Aku berterima kasih.”
“Kalian berdua tinggal di
sini. Aku kira untuk sementara tidak akan ada apa-apa lagi. Meskipun demikian,
kau berdua jangan lengah,” berkata Kiai Gringsing kepada kedua muridnya.
“Baiklah,” jawab Agung Sedayu.
Namun Swandaru kemudian
berkata, “Apakah hari ini tidak ada rangsum?”
“Ah,” desah Agung Sedayu,
“tidak ada orang yang sempat masak pagi ini.”
“Mereka pasti sudah masak
ketika keributan ini terjadi. Mungkin mereka belum sempat membungkusnya. Adalah
kebetulan sekali apabila aku boleh membungkus sendiri.”
“Hati-hatilah, Swandaru,”
berkata Kiai Gringsing, “bersihkan tanganmu. Meskipun hanya sedikit sekali, kau
pasti sudah bersentuhan dengan racun. Kalau begitu saja kau menyuap mulutmu
dengan tanganmu, mungkin di dalam makanan itu akan ikut tertelan racun di
tanganmu itu. Walaupun tidak membahayakan jiwa, tetapi pasti dapat menumbuhkan
gangguan pada pernafasan dan syaraf. Nah, sebelum rangsum itu datang, bersihkan
tangan dan tubuhmu.”
“Kapan rangsum itu akan datang?”
“Mungkin sore nanti,” Agung
Sedayu-lah yang menyahut.
Swandaru berpaling. Namun
kemudian ia bergumam di dalam mulutnya sehingga tidak seorang pun yang
mendengar.
Sejenak kemudian, maka Kiai
Gringsing pun meninggalkan gardu itu, pergi ke barak untuk menenteramkan hati
orang-orang yang ada di sana.
Ternyata memang seperti yang
diduganya, orang-orang di dalam barak itu pun telah dilanda oleh kebingungan,
kecemasan dan ketakutan yang amat sangat. Bahkan ada di antara mereka yang lari
dari pinggir arena perkelahian antara pengawas berkumis dengan Agung Sedayu,
masih tetap bersembunyi. Mereka tidak berani menampakkan mereka karena mereka
menyangka, bahwa orang berkumis itu benar-benar akan mengamuk dan membunuh
setiap orang yang dijumpainya.
Ketika Kiai Gringsing sampai
ke barak, dilihatnya berapa orang yang ada di barak itu memandanginya seperti
orang asing. Mereka duduk di sudut-sudut sambil mengerutkan leher mereka,
bahkan ada di antara mereka yang telah membungkus semua milik mereka.
Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar karenanya. Ia tidak boleh salah langkah supaya orang-orang di
dalam barak itu tidak menjadi semakin ketakutan.
Karena itu, ketika ia memasuki
barak itu, dicobanya untuk tersenyum. Namun senyumnya justru membuat
orang-orang yang ada di dalam barak itu bertanya-tanya.
Meskipun demikian ada sedikit
kelegaan di hati orang-orang yang ada di dalam barak itu. Ternyata orang tua
itu masih hidup. Dan ia datang ke barak itu dengan tenang. Hampir bersamaan
tumbuhlah pertanyaan di setiap dada. “Lalu kemanakah perginya orang berkumis
itu?”
Kiai Gringsing agaknya
mengetahui apa yang tersimpan di dalam hati orang-orang itu. Ia pun sadar,
untuk menenangkan mereka, mereka harus tahu bahwa orang yang mereka takuti itu
sudah tidak ada lagi. Karena itu, maka katanya, “Sekarang kalian tidak perlu
takut lagi. Aku yang hampir mati ketakutan, sekarang sudah dapat mengangkat
kepala sambil tertawa.”
Beberapa orang saling
berpandangan sejenak.
“Bukankah kalian takut kepada
orang yang mengamuk dan mengancam akan membunuh kita semua itu?” bertanya Kiai
Gringsing.
Tanpa disadarinya, beberapa
orang menganggukkan kepalanya.
“Orang itu sudah tidak ada
lagi.”
Orang-orang di dalam barak itu
mengerutkan keningnya. Salah seorang yang duduk di sudut memberanikan diri
untuk bertanya, “Ke mana pengawas itu sekarang?”
“Ia sudah terbunuh.”
Sejenak ruangan itu menjadi
sepi. Tetapi Kiai Gringsing sadar, bahwa sebagian dari mereka hampir tidak
dapat mempercayainya.
“Orang itu terbunuh oleh
racunnya sendiri. Ketika ia mengangkat bumbung racun itu tinggi-tinggi,
ternyata racun itu sudah tumpah dan mengenai hidungnya, sehingga masuk ke jalur
pernafasannya. Akhirnya justru ia mati oleh senjatanya sendiri.”
Kiai Gringsing melihat
wajah-wajah yang menegang. Mereka saling berpandangan. Tetapi agaknya mereka
tidak meyakini.
“Apakah kalian ingin
melihatnya?”
Tidak seorang pun yang
menjawabnya.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya ketakutan yang amat sangat memang telah melanda seisi
barak itu.
“He,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “di manakah kawan-kawan yang lain? Apakah mereka pergi bekerja?”
Tidak ada jawaban. Dan Kiai
Gringsing hanya menarik nafas dan menarik nafas. Sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya ia pergi ke tempatnya. Kemudian duduk sambil menggeliat, “Aku akan
tidur di sini. Ternyata lebih aman daripada di tempat-tempat lain. Semalam aku
hampir terbakar hidup-hidup.”
Beberapa orang di sekitarnya
masih saja mematung.
Namun Kiai Giingsing tidak
menghiraukan mereka lagi. Apakah mereka mendengarkan atau tidak. Kiai Gringsing
langsung saja berbicara, “Memang mengerikan sekali. Orang berkumis itu harus
mati oleh senjatanya sendiri. Kini kita pasti akan merasa aman dan tidak akan
terganggu lagi. Setidak-tidaknya untuk sementara.”
Beberapa orang yang ada di
dalam barak itu mendengarkan kata-kata itu. Tetapi mereka masih juga berdiam
diri.
Dan tiba-tiba saja Kiai
Gringsing bertanya, “He, apakah kalian sudah makan? Anak-anakku sudah lapar
sejak perkelahian itu. Mereka telah memeras tenaga. Tetapi mereka masih belum
makan.”
Masih belum ada jawaban,
tetapi beberapa orang sudah mulai menyadari bahwa keadaan memang sudah mulai
tenang.
Dan seseorang yang tadi
bertanya, bertanya lagi, “Jadi, pengawas berkumis itu benar-benar sudah tidak
ada lagi?”
“Percayalah. Ia sudah
meninggal. Kau dapat melihat mayatnya yang masih terbaring di tempatnya, karena
racun yang keras, sehingga masih terlampau berbahaya apabila disentuh tangan.”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. “Jadi, sekarang kita telah bebas daripadanya?”
“Ya. Kita sudah bebas.”
“Kau berkata sebenarnya?”
“Percayalah. Aku tidak akan
berbohong. Buat apa aku berbohong kepada kalian?”
“Di mana anak-anakmu sekarang?
Apakah mereka masih hidup?”
“Tentu. Mereka berada di gardu
pengawas. Mereka sedang merawat pemimpin pengawas yang terluka itu.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan seorang yang lain berkata, “Apakah tidak akan mungkin lagi kami
dibunuh bersama-sama?”
“Siapakah sekarang yang akan
membunuh kita? Kita memang sudah bebas. Kita dapat bekerja dengan tenang.” Kiai
Gringsing berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi, apakah rangsum sudah datang?”
“Tidak ada yang sempat
membuatnya. Di dapur pasti tidak ada orang. Mereka bersembunyi seperti sebagian
besar dari orang-orang di sini.”
“Kenapa mereka bersembunyi?”
“Mereka tidak mau mati.”
“Dan kenapa kalian tidak?”
Orang-orang itu tidak segera
menyahut. Sejenak mereka saling berpandangan, seolah-olah mereka pun bertanya
pula satu kepada yang lain, seperti pertanyaan yang diucapkan oleh Kiai
Gringsing.
Namun sejenak kemudian salah
seorang dari mereka menjawab, “Kami pun sudah siap untuk lari, Ki Sanak.
Beberapa orang yang ada di serambi itu akan memberitahukan kepada kita apabila
mereka melihat orang itu datang. Dan kita sudah siap untuk lari menanggalkan
barak ini. Tetapi kami memang mengharap bahwa orang itu tidak akan datang
kemari. Karena kami baginya adalah orang-orang yang tidak berarti sama sekali.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja ia bertanya, “Di mana orang
yang bertubuh tinggi kekar dan orang yang kekurus-kurusan itu?”
Orang-orang di dalam barak itu
mengerutkan keningnya, “Mereka tidak datang kemari. Mungkin mereka ada di
dapur.”
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Keduanya yang sudah sangat lemah itu pasti tidak akan dapat pergi
terlampau jauh. Apalagi orang yang kekurus-kurusan itu. Tenaganya seakan-akan
sudah habis diperas di perkelahian melawan Swandaru.
“Aku akan pergi ke dapur,”
desis Kiai Gringsing, “aku sudah sangat lapar. Apalagi anak-anakku.”
“Di manakah mereka sekarang?”
bertanya seseorang.
“Di gardu pengawas.”
Orang-orang itu pun kemudian
terdiam. Meskipun pada sorot mata mereka memancar berbagai pertanyaan, namun
mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun lagi.
Kiai Gringsing pun kemudian
meninggalkan barak itu dan pergi ke barak yang lain, yang dipergunakan sebagai
dapur dan penampungan perempuan dan anak-anak.
Kiai Gringsing terkejut ketika
ia memasuki barak itu. Suasananya benar-benar seperti suasana kuburan. Meskipun
perempuan dan anak-anak tidak melihat apa yang terjadi, tetapi agaknya mereka
memang sudah mendengar, bahwa telah terjadi sesuatu yang dapat mengancam
ketenangan mereka.
Di barak itu, Kiai Gringsing
melihat beberapa orang perempuan memeluk anak-anaknya sambil menyediakan
barangnya, pakaiannya dan semua miliknya yang telah terbungkus dengan kain di
sisinya. Agaknya ia merasa, bahwa apabila ia harus lari meninggalkan barak itu
semuanya sudah dipersiapkannya.
Ternyata kedatangan Kiai
Gringsing telah mengejutkan mereka. Mereka yang ketakutan menjadi semakin
ketakutan. Anak-anak sudah tidak berani menangis lagi. Mereka menahan isak
mereka di dalam dada, sehingga dada mereka justru menjadi terlampau sakit.
Kiai Gringsing menyadari
keadaan itu. Karena itu, maka untuk mengurangi ketegangan, ia bertanya kepada
siapa pun yang ada di dalam barak, “He, apakah kalian sudah menanak nasi?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Bukankah biasanya kalian
membantu menanak nasi dan menyiapkan makan orang-orang yang akan bekerja di
hutan?”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Tetapi beberapa orang menganggukkan kepalanya.
“Agaknya kalian telah
terpengaruh oleh keributan itu. Kenapa kalian menjadi ketakutan? Semuanya
sekarang sudah diselesaikan. Kalian harus percaya kepada para pengawas.
Ternyata para pengawas sudah berhasil mengatasi keadaan yang sebenarnya memang
tidak berarti apa-apa. Hanya keributan kecil yang segera dapat dikuasai.”
Beberapa orang saling
berpandangan sejenak. Tetapi tampak wajah-wajah mereka dibayangi oleh
kebimbangan.
“Apakah kalian ragu-ragu?”
Tidak ada yang menjawab. Namun
hampir bersamaan beberapa orang memandang ke pintu butulan yang menuju ke
dapur.
Kiai Gringsing adalah orang
tua yang berpengalaman. Pandangan beberapa orang itu agaknya telah menarik
perhatiannya. Karena itu, maka ia pun maju selangkah sambil berkata, “Aku akan
melihat, apakah kalian sudah mulai masak.”
Beberapa wajah menegang
karenanya. Tetapi Kiai Gringsing pura-pura tidak mengetahuinya. Ia maju
selangkah lagi sambi1 berkata, “Kalau sudah ada nasi saja yang masak, maka
cukuplah kiranya. Nasi dan garam.”
Perempuan-perempuan itu
menjadi semakin tegang. Tetapi tidak seorang pun yang mencegah Kiai Gringsing.
Namun semua memandanginya dengan mata yang hampir tidak berkedip.
Kiai Gringsing menyadari
keadaan itu. Karena itu, ia pun menjadi semakin berhati-hati. Dengan penuh
kewaspadaan ia mendekati pintu butulan. Kemudian dengan kesiagaan sepenuhnya ia
melangkah masuk ke dapur.
Tetapi ia tidak segera melihat
seseorang. Namun Kiai Gringsing yang mempunyai pendengaran yang tajam, segera
mendengar arus nafas di sekitar ruangan itu.
Ketika Kiai Gringsing
memandang berkeliling ruangan yang belum pernah dimasukinya sebelumnya itu,
dilihatnya sebuah pintu butulan pula. Dan Kiai Gringsing yakin, suara tarikan
nafas itu berasal dari luar pintu.
Sejenak Kiai Gringsing berdiri
di tempatnya. Dipandanginya keadaan di sekelilingnya. Ruang itu memang sepi.
Tidak ada seorang pun di dalamnya. Beberapa peralatan dapur masih berserakan di
sana-sini. Kelapa yang baru se-paro selesai diparut. Nasi yang sudah masak,
tetapi masih belum sempat disenduk dari kukusan, sementara api di perapian
sudah padam.
“Dapur ini agaknya telah
ditinggalkan dengan tergesa-gesa,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
“Ternyata di sini tidak ada seorang laki-laki pun. Semua orang laki-laki
melarikan diri, bersembunyi atau pergi ke barak sebelah mencari kawan. Di sini
tinggal beberapa orang perempuan dan anak-anak yang sudah siap pula untuk
lari.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar suara nafas itu lagi. Lebih jelas lagi. Apalagi
kalau ia sendiri menahan nafasnya. Maka tarikan nafas yang didengarnya itu
seperti hembusan angin di lubang-lubang dinding dapur itu.
Perlahan-lahan, Kiai Gringsing
maju mendekati pintu butulan. Ia sendiri berusaha untuk mengatur pernafasannya
supaya orang di balik pintu itu tidak mendengarnya.
Kiai Gringsing berhenti
beberapa langkah di depan pintu. Sejenak ia berdiri tegang. Namun kemudian ia
meneruskan langkahnya. Dari tarikan nafas orang itu Kiai Gringsing segera
mengetahui, bahwa orang itu tidak terlampau berbahaya baginya, atau orang itu
sengaja memancingnya.
Namun Kiai Gringsing kemudian
menyadarinya bahwa suara tarikan nafas itu bukan sekedar tarikan nafas
seseorang. Tetapi, pasti dua orang.
Sejenak kemudian Kiai
Gringsing telah melekat pintu leregan itu. Dengan hati-hati ia menempelkan
telinganya. “Tidak salah lagi. Dua orang.”
Tiba-tiba tangannya
menghentakkan daun pintu butulan itu. Ketika pintu itu terbuka dilihatnya
sebuah ruang kecil. Serambi yang diberi dinding.
Ketika ia melangkah masuk, di
dalam ruang yang agak kegelapan karena tidak ada seberkas sinar pun yang masuk,
Kiai Gringsing melihat dua orang yang terbaring di lantai. Salah seorang dari
mereka mencoba untuk berdiri. Tetapi ia sudah tidak dapat tegak dengan segera.
Sambil berpegangan tiang akhirnya ia berhasil berdiri juga. Orang itu adalah
orang yang bertubuh kekar, yang sudah dikalahkan oleh Swandaru.
“Kau,” desis orang itu.
“Ya.”
“Apa maksudmu datang kemari?”
“Tidak apa-apa. Aku hanya
ingin melihat, apakah kau dapat lari jauh dari tempat ini.”
“Aku hampir mati kehabisan
tenaga. Kawanku ini juga. Karena itu aku beristirahat di sini.”
“Sebelum melarikan diri?”
“Kami tidak akan melarikan
diri.”
“Selagi kalian masih belum sehat
benar. Tetapi pada saatnya kalian akan lari juga.”
Orang itu menggeleng, “Aku
tidak akan lari.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi. Dilihatnya orang yang kekurus-kurusan yang tubuhnya penuh dengan
jalur-jalur bekas ujung senjata Swandaru itu pun mencoba untuk bangkit dan
duduk. Namun ia masih selalu menyeringai menahan sakit.
“Berbaringlah,” berkata Kiai
Gringsing. Tetapi orang itu agaknya tidak menghiraukannya. Dengan susah payah
akhirnya ia berhasil duduk bersandar kedua tangannya.
“Seluruh tubuhku terasa sakit
dan pedih seperti berbaring di atas bara,” desisnya.
“Tetapi itu akan lebih baik
daripada kau mencoba berbuat sesuatu. Luka-lukamu akan berdarah lebih banyak
lagi. Kekuatanmu akan menjadi semakin susut. Dan barangkali kau akan pingsan
sekali lagi untuk waktu yang lebih lama. Bahkan kalau kau tidak menjaga dirimu
baik-baik, kau akan pingsan selama-lamanya.”
“Kau menakut-nakuti aku.”
“Tidak. Aku berkata
sebenarnya. Dan kau sekarang memang tidak perlu takut lagi kepadaku. Apalagi
kepada hantu-hantu yang akan marah karena aku dan anak-anakku.”
Wajah keduanya menjadi tegang.
“Sudah aku katakan. Jangan
terlampau menghiraukan aku dan anak-anakku. Biarlah kami ditelan hantu-hantu
itu. Sekarang akibatnya kau sendirilah yang menanggung,” berkata Kiai
Gringsing. “Karena kau ingin menyelamatkan orang-orang di barak itu, maka kau
telah menumbuhkan keonaran.”
“Kami tidak bermaksud membuat
keonaran,” berkata orang yang kekurus-kurusan itu. “Kami tetap pada pendirian
kami, hantu-hantu itu akan dapat marah kepada kami semuanya. Kepada kita.”
“Sekali lagi aku katakan.
Jangan hiraukan kami.”
“Tidak mungkin.”
“Dengar. Apakah wajar kalau
kalian mencoba mencegah kemungkinan malapetaka melanda seisi barak karena
hantu-hantu itu marah, tetapi pengawas berkumis yang garang itu akan membunuh
orang-orang itu.”
“O, benarkah begitu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Orang berkumis itu sudah mati. Dukun itu pun
sudah mati pula. Yang tinggal adalah kalian berdua.”
“Kenapa dengan kami berdua?”
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya, “Tidak apa-apa. Tetapi kenapa kalian berada di sini? Tidak di
barak?”
“Aku merasa lebih tenang di
sini. Sakit kami tidak terganggu dan kami dapat beristirahat.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi. Tetapi ia masih berdiri di tempatnya. Sejenak ia merenungi keduanya. Ia
menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan segera mengobati keduanya atau tidak.
Tetapi justru karena luka-luka
keduanya tidak berbahaya bagi jiwa mereka, maka Kiai Gringsing mengambil
keputusan untuk membiarkan saja mereka dahulu, agar mereka tidak dapat pergi
meninggalkan tempat itu.
“Bagaimanapun juga, keduanya
masih diperlukan,” katanya di dalam hati, “meskipun pengetahuannya tentang
lingkungannya terlampau sedikit, tetapi mungkin ia dapat menunjukkan jalur yang
dapat ditelusur lebih jauh, sehingga akhirnya dapat diketemukan pusat dari
usaha yang masih belum dapat diketahui dengan pasti itu.”
“Sudahlah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “aku juga tidak akan mengganggu kalian. Beristirahatlah.”
Kedua orang itu tidak
menjawab. Mereka memandang saja wajah Kiai Gringsing dengan sorot mata yang
membayangkan keheranan. Mereka sama sekali tidak berbuat apa pun ketika Kiai
Gringsing kemudian melangkah meninggalkan ruangan itu.
Dimuka pintu ia berpaling
sambil berkata, “Kalian memang harus beristirahat. Tidurlah supaya keadaan
tubuh kalian segera menjadi baik.”
Kedua orang itu sama sekali
tidak menjawab, selain memandang dengan mata mereka yang hampir tidak berkedip.
Tetapi keduanya terkejut
ketika Kiai Gringsing kemudian tidak saja menutup pintu. Tetapi pintu itu di
selaraknya dari luar.
“He, Ki Sanak,” orang yang
kekar itu berteriak, “apa artinya ini?”
“Tidak apa-apa,” jawab Kiai
Gringsing dari luar, “supaya kalian dapat beristirahat dengan tenang. Jangan
cemas, aku tidak akan pergi jauh. Aku selalu ada di sekitar tempat ini,
sehingga apabila kalian memerlukan aku, kalian dapat berteriak memanggil.”
“Tetapi kenapa pintu itu
diselarak?”
“Tidak apa-apa. Sudah aku
katakan, tidak apa-apa.”
“Buka sajalah. Buka sajalah.
Kalau aku memerlukan keluar dari tempat ini, aku tidak usah berteriak memanggil
siapa pun.”
“Jangan,” sahut Kiai
Gringsing, “nanti kau akan terganggu oleh orang-orang yang keluar masuk ruangan
ini.”
“Tidak, tidak,” dan tiba-tiba
saja tertatih-tatih orang yang tinggi kekar itu melangkah ke pintu. Sambil
memukul-mukul daun pintu leregan ia berkata, “Buka, buka pintu ini.”
“Tentu, nanti aku akan
membukanya. Sekarang biarlah saja dahulu. Jangan hiraukan pintu itu. Sudah aku
katakan, kau akan dapat beristirahat dengan tenang.”
Kiai Gringsing pun kemudian
tidak menghiraukan orang itu lagi, meskipun ia masih memukul-mukul pintu.
Meskipun demikian, orang tua itu masih juga ragu-ragu meninggalkan tempat itu.
Perlahan-lahan saja ia melangkah memasuki ruang yang lain.
Dilihatnya beberapa orang
perempuan dan anak-anak menjadi semakin cemas. Tetapi tidak seorang pun dari
mereka yang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi.
“Jangan takut,” berkata Kiai
Gringsing, karena ia yakin, perempuan-perempuan itu telah mendengar suara orang
yang tinggi kekar itu berteriak-teriak. Katanya kemudian, “Orang itu tidak akan
terbuat apa-apa. Ia marah kepadaku. Tidak kepada kalian. Aku sengaja menutup
dan menyelarak pintu itu dari luar. Jangan dibuka, supaya ia tidak pergi.”
Perempuan dan anak-anak itu
memandanginya seperti memandang sebuah tontonan yang paling mencemaskan,
seperti mereka melihat seorang penari yang kehilangan kesadaran oleh irama
gamelan yang cepat dan menikam dirinya sendiri meskipun tidak terluka.
Kiai Gringsing sadar
sepenuhnya akan hal itu. Perempuan dan anak-anak itu memang telah dicengkam
oleh kecemasan. Tetapi mereka tidak berani mengatakannya.
“Mereka memerlukan
perlindungan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Sayang, bahwa laki-laki
yang ada di barak itu telah terpengaruh oleh lingkungan yang dibangkitkan oleh
orang-orang itu, sehingga selalu diliputi oleh ketakutan. Bahkan para pengawas
pun telah terpengaruh pula, justru karena di dalam lingkungan mereka pun
terdapat seorang yang ikut serta di dalam usaha menakut-nakuti para pekerja.”
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Kiai Gringsing teringat kepada kedua muridnya. Mungkin ia dapat membagi tugas.
Salah seorang tetap di gardu pengawas, yang lain menunggui kedua orang ini.
Kiai Gringsing tiba-tiba
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kepada perempuan dan anak-anak yang
ketakutan itu, “Tunggulah sebentar. Aku akan mencari kawan untuk kalian.”
Kiai Gringsing pun kemudian
segera pergi dengan tergesa-gesa kembali ke barak. Ia mengajak beberapa orang
yang masih mempunyai sedikit keberanian untuk mengubur mayat dukun yang
terbunuh oleh pisau belati beracun, pisaunya sendiri yang dilemparkannya kepada
pemimpin pengawas, tetapi yang kemudian justru kembali menikam punggungnya.
Kepada beberapa orang yang
lain ia berpesan, bahwa sebentar lagi anaknya akan datang dan memerlukan
beberapa kawan sekedar untuk menghilangkan kejemuan, menunggui kedua orang yang
sedang beristirahat di sebelah dapur.
Agung Sedayu-lah yang kemudian
mendapat tugas untuk menunggui kedua orang yang berada di serambi dapur itu.
Bersama dua orang yang diajaknya dari barak, ia pergi ke tempat kedua orang itu
terkurung.
“Apakah mereka tidak melarikan
diri?” bertanya salah seorang dari dua orang yang diajaknya itu.
“Menurut ayahku, pintunya
telah diselarak dari luar.”
“Tetapi mereka pasti dapat
membuka dinding yang tidak terlampau kuat. Melepas tali-talinya kemudian
menyuruk keluar.”
“Keduanya sangat lemah,” jawab
Agung Sedayu. “Menurut Ayah keduanya tidak akan mampu berbuat banyak.”