Buku 057
Ketiga orang lawannya yang
mengetahui bahwa tenaga kedua pengawas itu sudah semakin susut, justru berusaha
untuk segera dapat membinasakan mereka. Mereka menjadi semakin garang dan
serangannyapun menjadi semakin cepat.
Dalam pada itu, seorang pengawas
yang memisahkan diri masih juga berpacu di atas punggung kudanya. Ia mencoba
untuk meninggalkan pengejarnya. Menurut perhitungannya, apabila para
pengejarnya mengetahui bahwa buruannya berkurang seorang, sebagian dari mereka
pasti akan kembali dan mencarinya.
Seperti yang dikatakan oleh
pengejarnya, bahwa pengawas itu memang menuju ke daerah rawa-rawa. Tetapi
pengawas itu telah mengenal daerah itu dengan baik pula, karena ia memang
pernah mengelilinginya. Ia pernah meronda mengitari hutan dan belukar, bahkan
sebelum mereka mulai membuka hutan. Ia pernah mengawal Raden Sutawijaya mencari
tempat yang paling baik untuk dijadikan padukuhan dan tanah persawahan.
Dan kini ia melewati daerah
itu lagi.
Justru di daerah yang
berawa-rawa itulah ia ingin menghilangkan jejaknya. Di atas tanah yang basah
dan digenangi air setinggi mata kaki, pengawal itu ingin menghilangkan jejak
kaki kudanya.
Tetapi lebih daripada itu, ia
tahu pasti, bahwa di ujung rawa-rawa inipun ada pula sebuah gardu peronda.
“Mudah-mudahan gardu itu tidak
kosong seperti gardu di ujung padang ilalang itu.” desisnya.
Karena itu, maka ia mencoba
berpacu lebih cepat lagi. Setelah melalui daerah yang berair beberapa lama,
maka iapun segera berbelok dan mencari daerah yang sama sekali tidak berlumpur.
Kalau ia sampai ke daerah yang lebih gembur lagi di daerah rawa-rawa itu, maka
ia justru akan menemui kesulitan. Kaki-kaki kudanya akan dapat terperosok ke
dalam lumpur dan tidak akan dapat berlari cepat lagi, bahkan mungkin ia akan
terjerumus ke dalam daerah yang seakan-akan dapat menghisapnya masuk terbenam
ke dalam lumpur.
Tetapi ternyata usahanya itu
sia-sia. Para pengejarnya masih dapat menemukan jejaknya di dalam air yang
sangat dangkal.
“Gila” desis salah seorang
pengejamya “apakah ia akan membunuh diri dengan membenamkan dirinya ke dalam
rawa-rawa?”
“Mungkin sekali ia sudah
menjadi berputus asa.”
Keduanya tersenyum. Senyumnya
benar-benar mengerikan sekali.
“Aku mempunyai seutas tali.
Kita benar-benar akan mengikat sebuah batu di kakinya.”
Yang lain tidak menjawab.
Namun tiba-tiba saja ia berkata. “Ia mulai menjauhi rawa-rawa. Kalau begitu ia
mencoba untuk melenyapkan jejaknya. Kasihan. Kita masih akan tetap
mengikutinya. Sebentar lagi kita akan menemukannya.”
Keduanyapun kemudian memacu
kudanya pula. Semakin cepat.
Pengawas yang bermata tajam
itupun masih juga tetap berpacu. Ia mengharapkan, bahwa ia akan dapat
menunaikan tugas yang dibebankan kepadanya.
Ternyata bahwa usaha yang
dilakukannya itu kini tidak sia-sia. Ketika ia melampaui tanah yang basah, ia
segera sampai ke padang rumput yang sempit. Di hadapannya adalah sebuah hutan
rindang di sisi sebelah timur. Di pinggir hutan itu ada pula sebuah gardu
pengawas.
Tetapi menilik tempat yang
menjadi sepi itu, agaknya seperti di ujung lorong yang dilampauinya, gardu itu
kosong pula. Gardu itu sudah tidak ditunggui seorang pengawaspun.
Namun demikian ia masih tidak
menjadi gelisah. Ia masih belum melihat seorangpun yang mengejar di
belakangnya.
Tetapi hatinya tiba-tiba
melonjak ketika tiba-tiba saja ia melihat seseorang berdiri di depan gardu,
sedang gardu itu sudah sangat dekat. Dengan demikian maka iapun segera menarik
kendali kudanya sehingga kuda itu berdiri sambil meringkik keras-keras.
“Siapa kau?” sapa orang yang
berdiri di depan gardu itu.
Pengawas itu tidak segera
menyahut. Dicobanya untuk menguasai kudanya. Ketika kuda itu sudah tenang,
barulah ia berkata. “Apakah kalian tidak mengenal aku?”
Seorang yang masih berada di
dalam gardu segera meloncat keluar. Hampir berteriak ia berkata “Kau? Bukankah
kau bertugas mengawasi daerah yang sedang dibuka itu?”
“Ya. Aku akan segera menghadap
Raden Sutawijaya atau siapapun pemimpin tertinggi Tanah Mataram.”
“Kenapa ?”
“Ada sesuatu yang akan aku
sampaikan”
“Kenapa kau menempuh jalan
ini? Bukankah ada jalan yang lebih dekat dan lebih baik?”
Pengawas itu menarik natas
dalam-dalam untuk menenangkan debar jantungnya. Kemudian diceriterakannya apa
yang telah terjadi atasnya.
“Jadi bagaimana dengan
Wanakerti?”
Pengawas itu menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak tahu. Bahkan, aku kira, ada satu dua orang yang akan
mencoba mengikuti jejakku.”
Para pengawas di gardu itupun
saling berpandangan sejenak.
“Berapa orang kalian disini?”
“Kami semua sepuluh orang di
sini. Tetapi yang tiga orang sedang menghadap ke Mataram. Setiap hari tiga di
antara kami menghubungkan gardu ini dengan gardu induk”
Pengawas itu berpikir sejenak.
Kemudian katanya. “Aku menyerahkan persoalan ini kepada kalian. Apakah aku
harus menunggu orang-orang yang mengejarku disini atau aku harus segera
melanjutkan perjalanan.”
“Teruskan! Serahkan
orang-orang yang mengejarmu itu kepadaku apabila ia sampai ke tempat ini pula.”
“Baiklah. Aku akan terus.”
“Jangan pergi sendiri. Dua
orang akan mengawanimu. Kami masih cukup banyak orang di sini.”
Maka pengawas yang bermata
tajam itupun segera melanjutkan perjalanannya menghadap para pemimpin Tanah
Mataram. Dua orang dari gardu yang baru saja dilaluinya itupun mengawaninya.
“Kenapa begitu banyak orang di
gardu itu?” bertanya pengawas bermata tajam itu kepada kedua kawannya.
“Daerah ini masih merupakan
daerah yang sedang direncanakan untuk dibuka. Daerah ini masih sangat sepi,
sehingga akan menjemukan sekali apabila kami bertugas, di sini hanya berdua
atau paling banyak lima orang. Semakin banyak kawan, semakin hilanglah kejemuan
di sini.” jawab salah seorang.
“Apakah hanya itu alasannya?”
“Ya.”
“Tidak ada alasan lain?”
“Tidak. Mungkin tidak sampai
sepuluh orang yang bertugas bersamamu. Tetapi kau mempunyai banyak sekali
kawan, sehingga daerahmu tidak lagi merupakan daerah yang sangat menjemukan,
meskipun kini kau menghadapi persoalan lain.”
“Apakah di daerah ini kalian
tidak memperhitungkan hantu misalnya?”
Keduanya sama sekali tidak
menyahut. Sejenak mereka hanya saling berpandangan saja, sementara kaki kuda
mereka berderap semakin cepat.
Pengawas yang bermata tajam
itupun sama sekali tidak bertanya lagi. Dicambuknya kudanya supaya menjadi
semakin cepat berlari.
Dalam pada itu, para pengawas
yang masih tinggal di gardu menunggu orang-orang yang mengejar pengawas bermata
tajam itu. Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat seorangpun lewat
sehingga mereka justru menjadi gelisah.
“Apakah mereka mengetahui
bahwa di sini ada gardu peronda?” bertanya salah seorang dari mereka.
“Mungkin sekali” jawab yang
lain.
“Berapa orang menurut
perhitunganmu, seandainya benar-benar ada orang yang mengejarnya.”
“Paling banyak tiga orang.
Bukankah mereka hanya berlima atau enam? Sedang Wanakerti masih berpacu bersama
seorang kawan yaag lain.”
“Ya, agaknya demikianlah
perbandingan menurut perhitungan kita,” orang itu berhenti sejenak, lalu “aku
ingin menyongsong mereka. Marilah, kita bertiga. yang dua orang tinggal di
gardu. Kita akan membawa alat yang dapat memberikan isyarat apabila salah satu
pinak di antara kita mengalami kesulitan. Biarlah kentongan yang besar itu
menjadi alat untuk memberikan isyarat, di antara kita akan membawa kentongan
yang kecil.”
Beberapa orang saling
berpandangan. Namun kemudian seorang kawannya berkata, “Itu akan lebih baik.
Kita akan segera mendapatkan kepastian.”
Demikianlah kemudian tiga
orang pengawas telah siap di atas punggung kuda dengan senjata masing-masing.
Mereka akan menyongsong orang-orang yang di duga sedang mengejar pengawas yang
bermata tajam itu, sedang dua orang yang lain tetap menunggui gardu pengawas
itu.
“Tetapi kalian tidak boleh
kehilangan perhitungan” pesan pemimpin pengawas di gardu itu “kalian tidak
boleh terpancing sehingga kalian meninggalkan tempat ini terlampau jauh. Kalau
kami tidak dapat mendengar isyarat yang kalian berikan, maka kami tidak akan
berbuat apa-apa, seandainya kalian memerlukan.”
“Baiklah. Kami akan segera
kemball apabila kami tidak menjumpainya.”
Demikianlah, maka ketiga orang
itupun menyelusur jejak kuda pengawas yang bermata tajam itu, Justru ke arah
yang berlawanan. Mereka mengharap bahwa mereka akan segera dapat menemui
orang-orang yang mengejar pengawas itu.
Tetapi setelah sejenak mereka
menyelusuri jejak itu mereka sama sekali tidak menjumpai apapun. Di padang
rumput yang sempit di hadapan merekapun, sama sekali tidak mereka lihat
orang-orang berkuda.
“Tidak ada seorangpun yang
mengejarnya” desis salah seorang dari mereka.
Yang lain mengangguk-angukkan
kepalanya. Namun ia berkata “Kita maju beberapa langkah lagi.”
Ketiga pengawas itupun maju
lagi beberapa puluh langkah sambil mengamat-amati jejak kuda di atas
rerumputan.
Tiba-tiba saja mereka terkejut
ketika mereka melihat beberapa buah jejak yang lain dari jejak kaki kuda
pengawas bermata tajam itu. Dengan serta-merta salah seorang dari mereka
meloncat turun sambil berkata “Jejak ini berbelok.”
Yang lain mengerutkan
keningnya. Salah seorang dari keduanya berkata, “Kalau begitu pengawas itu
terjebak. Pengejarnya menyadari bahwa di hadapan ini ada gardu. Mereka nasti
melingkar dan memotong jalan.”
“Cepat, kita kembali. Mungkin
mereka mengalami kesulitan.”
“Tetapi bekas ini hanya bekas
dua ekor kuda.”
“Meskipun demiklan kita tidak
tahu, betapa tinggi kemampuan mereka. Apakah ketiga orang pengawas itu akan
mampu melawan mereka berdua.”
“Setidaknya mereka akan mampu
bertahan.”
Demikianlah maka ketiga
pengawas itupun segera berpacu meninggalkan tempat itu. Sampai di depan gardu
pengawas mereka berhenti sejenak untuk menyampaikan pengamatan mereka.
“Baiklah, lihatlah apakah
dugaan kalian itu benar.”
Ketiganyapun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka, menyusul para pengawas yang telah mendahului.
Dalam pada itu, ketiga
pengawas yang lebih dahulu sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja
mereka telah diberhentikan oleh dua orarig yang berwajah garang, bersenjata
telanjang dan bermata liar.
“Nah, apakah kalian menyangka,
aku terlampau bodoh mengejarmu lewat gardu peronda itu?” berkata salah seorang
dari mereka.
Ternyata kehadiran kedua orang
yang tidak disangka-sangka itu telah mengejutkan ketiga pengawas yang sedang
berpacu untuk menghadap para pemimpin Tanah Mataram. Karena itu, merekapun
dengan serta-merta telah menarik kekang kuda mereka.
“Kalian tidak akan dapat
lari,” berkata salah seorang dari kedua orang yang mencegat itu, ”meskipun kini
kalian bertiga, tetapi kalian tidak akan dapat melawan kami berdua.”
Para pengawas itu terdiam
sejenak. Namun kemudian salah seorang dan mereka berkata “Kalian belum mengenal
kami. Apakah kalian yakin akan hal itu?”
“Kami tahu pasti, sampai
berapa jauh kemampuan para pengawas. Seorang dari kami akan cukup kuat untuk
melawan kalian bertiga. Apalagi kami berdua.”
“Darimana kalian mendapat
nilai imbangan itu?”
“Kami meyakininya.”
“Kalau begitu, sebaiknya
memang kita buktikan.”
Kedua orang yang mengejar
pengawas bermata tajam itu mengerutkan keningnya. Namun keduanyapun kemudian
tertawa. Salah seorang berkata, “Kalian memang keras kepala.”
Para pengawas itu tidak
menjawab. Tetapi mereka telah mempersiapkan diri untuk menghadapi setiap
kemungkinan.
Sejenak kemudian maka kedua
belah pihakpun telah meniadi semakin tegang. Kuda-kuda mereka selangkah demi
selangkah maju saling mendekati.
Dalam kesempatan itu salah
seorang pengawas dari gardu yang baru saja dilewati itu berkata kepada kawannya
yang bermata tajam “Kalau kita sudah mulai bertempur, kau harus segera
meneruskan perjalananmu. Jaraknya sudah tidak begitu jauh lagi.”
“Tetapi bagaimana dengan
kalian disini?”
“Serahkan kepada kami. Jumlah
merekapun hanya dua orang dan kami juga berdua.”
“Tetapi begaimana dengan
kemampuan mereka.”
“Jangan hiraukan. Itu adalah
cara yang lama untuk menurunkan keberanian lawan. Kami sudah biasa menghadapi
cara-cara yang licik itu.”
Pengawas bermata tajam itu
tidak segera menjawab. Dipandangnya kedua lawannya yang sudah menjadi semakin
dekat. Menilik wajah mereka yang kasar dan bengis, maka mereka pasti dapat
berbuat apa saja untuk mengalahkan, lawannya. meskipun dengan curang jika
perlu.
“Jangan pikirkan kami,” desis
kawannya, “berita yang kau bawa harus segera sampai. Ditambah lagi dengan
pengejaran yang mereka lakukan ini.”
Pengawas bermata tajam itu
tidak sempat menjawab. Kedua kawannya tiba-tiba sudah menyambar dengan pedang
yang berputar seperti baling-baling.
Tetapi para pengawas itupun
sudah bersiaga, sehingga mereka masih sempat menghindari serangan yang pertama
itu.
Dengan demikian maka
perkelahian diantara merekapun segera mulai membakar jalan sepi di hutan yang
rindang itu. Mereka bertempur berputar-putar di antara pepohonan dan rimbunnya
batang-batang perdu.
Ternyata kedua orang yang
berwajah kasar itu bukan orang yang luar biasa seperti yang mereka katakan.
Mereka tidak segera berhasil mengatasi kemampuan ketiga pengawas yang bertempur
berpasangan.
Namun sejenak kemudian salah
seorang dari para pengawas itupun memberikari isyarat, agar pengawas bermata
tajam itu segera meninggalkan perkelahian.
Pengawas bermata tajam itu
ragu-ragu sejenak. Namun dengan hati yang berat, ia ternaksa meninggalkan
medan. Ia sadar bahwa berita yang dibawanya adalah berita yang cukup penting
yang harus disampaikan kepada para pemimpin tertinggi di Mataram.
Dengan demikian, maka sejenak
kemudian iapun segera meningkatkan arena, dan berpacu menuju ke pusat Tanah
Mataram.
Kedua pengejarnya terkejut
melihat pengawas itu meninggalkan arena. Tetapi mereka tidak dapat mengejarnya,
karena dua orang pengawas yang lain, selalu membayanginya, bahkan menyerang
mereka dengan garangnya, tanpa memberi kesempatan sama sekali untuk beringsut
dari medan.
“Biarlah ia pergi” desis salah
seorang pengawas.
“Licik” sahut salah seorang
lawannya.
“Siapa yang licik?”
“Yang lari itu.”
“Tidak. Ia ingin memberi
kesempatan agar kami bersikap jantan. Kami ingin bertempur seorang melawan
seorang.”
“Persetan!” geram salah
seorang dari kedua lawannya, “Kalian memang ingin membunuh diri.”
PerKelahian itu semakin lama
menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak berusaha dengan segenap kemampuanya
untuk segera dapat menguasai lawan masing-masing.
Namun kemudian ternyata bahwa
kedua orang yang meneeiar pengawas bermata tajam itu mempunyai kelebihan dari
kedua pengawas itu. Mereka adalah orang-orang yang kasar yang tidak merasa
terikat oleh peraturan apapun, sehingga mereka dapat berbuat. apa saja sesuka
hati, asal dapat menguntungkan mereka di dalam perkelahian itu.
Dengan demikian maka kedua
pengawas itupun akhirnya merasa terdesak. Mereka tidak tahan melawan kekasaran
dan kekuatan kedua lawannya. Namun demikian mereka bertempur terus, apapun yang
bakal dan mungkin teriadi atas mereka berdua.
Dalam pada itu, pengawas
bermata tajam itu berpacu terus menuju ke pusat Tanah Mataram. Ia sudah
mengorbankan kawan-kawannya untuk menahan pengejar-pengejarnya. Wanakerti dan
seorang kawannya terpaksa berusaha memancing lawan mereka, agar ia mendapat
kesempatan. Kini kedua pengawas itupun berbuat serupa.
Perkelahian diantara kedua
pengawas itupun semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Kedua orang
lawannya benar-benar orang yang kasar dan dapat berbuat apa saja, tanpa
menghiraukan tata perkelahian yang sewajarnya.
Karena itu, maka kedua
pengawas itupun kemudian hanya sekedar menahan mereka, kadang-kadang mereka
menghindar, mwlingkar-lingkar diantara pepohonan. Tetapi kadang-kadang mereka
menyerang dengan garangnya.
“Sudah aku duga,” geram salah
seorang dari kedua orang-orang yang tidak dikenal itu, “para pengawal Tanah
Mataram adalah orang-orang yang licik.”
Kedua pengawas itu tidak
menjawab. Mereka bertempur terus dengan cara mereka. Yang penting bagi mereka,
pengawas bermata tajam itu sampai ke pusat Tanah Mataram.
Namun kedua lawannya sama
sekali tidak puas dengan perkelahian yang seakan-akan hanya sekedar
berkejar-kejaran itu. Merekapun kemudian menjadi semakin garang. Serangan
mereka datang bertubi-tubi seperti badai di musim kesanga.
Kedua pengawal itupun menjadi
semakin terdesak. Mereka menjadi semakin kehilangan kesempatan untuk melawan.
Bahkan mereka hampir tidak dapat berbuat apa-apa selain menghindar.
Tetapi dalam pada itu, salah
seorang dari kedua orang yang tidak dikenal itu berkata “Kalian telah
mengganggu usahaku menangkap seorang kawanmu itu. Kalianlah yang akan menjadi
gantinya. Kalian akan aku bunuh dengan cara yang pasti tidak akan kalian
senangi.”
“Persetan” desis salah seorang
dari kedua pengawas itu.
“Kami sudah jemu bertempur
dengan cara ini. Kalian harus segera mati, dan kami masih akan mengejar orang
yang lari itu.”
“Kita akan berbuat seperti
mereka,” berkata kawannya, “aku akan mengejar yang lari itu. Kau sendiri dapat
menyelesaikan pengawas-pengawas yang licik ini.”
Kawannya berpikir sejenak.
Kemudian ia mengangguk. “Pikiran yang bagus. Kenapa baru sekarang kau katakan.
Cepat, kejarlah orang itu.”
Yang lain segera bersiap untuk
mengejar pengawas bermata tajam itu. Namun setiap kali pengawas yang lain telah
mengganggunya, menyerang dengan tiba-tiba kemudian menghindar jauh-jauh.
Akhirnya orang itu tidak
menghiraukannya lagi. Ia harus segera mengejar pengawas bermata tajam itu.
Mungkin masih ada kesempatan baginya.
Tanpa menghiraukan
serangan-serangan yang datang kemudian, orang itupun segera memacu kudanya.
Tetapi seorang dari kedua pengawas itu tidak mau melepaskannya. Iapun segera
mengejarnya pula. Menurut perhitungannya, apabila orang itu berhasil mengeiar
pengawas bermata tajam. ia akan dapat membantu melawannya. Sedang seorang
kawannya yang ditinggalkannya biarlah mencari kesempatan untuk mempertahankan
hidupnya. Tetapi karena pengawas bermata tajam Itulah yang membawa pesan bagi
para para pemimpin di pusat Tanah Mataram, maka orang itulah yang wajib
mendapat perlindungan lebih dahulu.
“Ia akan dapat bertahan atau
menyingkir kalau keadaan memaksa” katanya di dalam hati.
Ternyata penyawas yang
ditinggalkan seorang diri itupun menyadari keadaannya. Sikap yang diambil oleh
kawannya itu dapat dibenarkannya. Karena itu, maka untuk selanjutnya, ia harus
menghadapi lawannya, benar-benar seorang melawan seorang.
“Para pengawas pada umumnya
memang bodoh,” geram lawannya yang seorang itu, “sekarang aku mendapat kesempatan
untuk berbuat sesuka hatlku atasmu. Kau tidak akan dapat bertahan sepenginang
lagi. Atau barangkali kau akan menyerah?”
Pengawas yang seorang itu
tidak menyahut. Ia sudah bertekad untuk bertempur mati-matian.
“Katakan, cara yang manakah
yang paling menarik bagimu untuk mati. Kalau kau menyerah, maka permintaannmu
itu akau aku penuhi. Dipancung atau digantung pada cabang pepohonan atau cara
yang Iain?”
Pengawas itu sama sekali tidak
menjawab. Justru ia telah menyerang semakin garang. Meskipun demikian,
kemampuan orang yang tidak dikenal itu memang lebih tinggi daripadanya. Sejenak
kemudian maka iapun rnenjadi semakin sulit untuk dapat tetap bertahan.
Ketika keadaan hampir tidak
dapat dikuasainya lagi, dan selagi pengawas itu sedang mempertimbangkan dua
pilihan mati atau menarik diri dari perkelahian dan kembali kegardu, tiba-tiba
tiga ekor kuda berderap mendekati tempat itu. Mereka adalah para pengawas yang
sedang menyelusuri telapak kaki-kkai kuda yang mereka ketemukan melingkari
gardu.
“Nah, akhirnya kita ketemukan
mereka disini” berkatalah seorang dari mereka.
“Ya, inilah orang itu”
pengawas yang hampir saja kehilangan kesempatan itu berteriak, sedang lawannya
menjadi berdebar-debar menghadapi keadaan yang tidak terduga-duga.
“Apakah kalian bertiga?”
bertanya pengawas yang sedang bertempur itu.
“Ya.”
“Susullah orang yang lain.
Orang yang tidak dikenal itu datang berdua. Yang seorang sedang menyusul
pengawas yang membawa pesan itu.”
“Berapa orang?”
“Seorang.”
“Dimana kawanmu.”
“Ia sudah mendahului, mengejar
orang itu.”
Ketiga orang itu berpikir
sejenak. Lalu “Berapa orang kau perlukan kawan disini untuk menangkap orang
ini?”
“Satu orang. Berdua dengan
aku. Aku sendiri tidak dapat mengalahkannya, tetapi kalau berdua, kemungkinan
untuk menangkapnya menjadi semakin besar.”
Ketiga orang pengawas yang
baru datang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian salah seorang dari mereka
maju mendekati kawannya yang sedang bertempur sambil berkata “Aku akan
menangkapnya.”
“Baiklah, kami akan mengejar
yang seorang lagi.”
“Huh” geram orang yang tidak
dikenal itu “kalian sangka kami seekor kambing yang jinak. Ayo, kalian berempat
sekaligus tidak akan dapat menangkap aku.”
“Jangan hiraukan,” sahut yang
sedang berkelahi melawannya, “kejarlah yang lain. Ia hanya memancing agar
kalian tetap disini.”
“Persetan. Kalau kalian ingin
membunuh diri, cobalah.”
Kedua pengawas itu tidak
menghiraukannya lagi. Mereka segera berpacu menyusul yang seorang lagi, yang
sedang mencoba menangkap pengawas yang bermata tajam, yang berusaha untuk
menyampaikan pesan kepusat Tanah Mataram.
Demikianlah maka dua orang
pengawas yang tinggal itu kini bertempur melawan seorang dari kedua orang yang
tidak dikenal itu. Ternyata bahwa perhitungan pengawas yang pertama tidak jauh
meleset. Mereka berdua dalam pasangan yang baik segera dapat mengatasi keadaan.
Dengan demikian maka
keduanyapun bertempur lebih mantap lagi. Mereka ingin menangkap orang yang
tidak dikenal itu hidup-hidup sebagai bahan untuk mencari latar belakang dari
persoalan yang masih gelap itu.
Tetapi orang itupun tidak
mudah menyerah. Ia berkelahi dengan garangnya. Kudanya adalah kuda yang cukup
lincah. Apalagi penunggangnya adalah penunggang yang benar-benar menguasainya.
Demikianlah perkelahian yang
terjadi itu semakin lama menjadi semakin seru. Tetapi meskipun kedua pengawal
Tanah Mataram itu berhasil mendesak lawannya, namun untuk menangkapnya agaknya
terlampau sulit. Bahkan untuk mengalahkannyapun tidak akan segera dapat
dilakukan.
Sementara itu, pengawas bermata
tajam yang membawa pesan untuk para pemimpin Tanah Mataram itu masih saja
berpacu dengan cepatnya. Ia sadar, bahwa jalan yang ditempuh ternyata menyimpan
banyak bahaya yang kadang-kadang tidak diduga-duganya. Karena itu, semakin
cepat ia sampai, akan semakin baik baginya dan bagi Mataram.
Hatinya menjadi berdebar-debar
ketika gerbang pusat Tanah Mataram yang masih bersifat sementara sudah
dilihatnya. Justru ia merasa bahwa kudanya menjadi semakin lamban. Beberapa
ratus langkah lagi ia akan memasuki gerbang dan dengan demikian kemungkinan
bahaya yang akan mengganggunya akan menjadi semakin berkurang. Di pintu gerbang
itu pasti terdapat beberapa orang pengawal yang dapat melindunginya apabila ia
masih juga dikejar oleh bahaya.
Sesekali pengawas yang berpacu
itu masih juga berpaling. Dan bahkan tiba-tiba dadanya berdesir ketika
dikejauhan ia melihat debu yang mengepul tinggi.
“Masih juga ada yang mengejar
aku” desisnya. Dan debu itupun semakin lama menjadi semakin dekat. Namun
demikian pengawal itu tidak cemas lagi meskipun ia harus berhadapan dengan
siapapun. Sebelum kuda yang berpacu dibelakang itu menyusulnya, ia pasti sudah
sampai diregol pusat Tanah Mataram.
“Orang itu benar-benar tidak
mempergunakan otaknya,” gumam pengawas itu kepada diri sendiri, “semula aku
menyangka bahwa mereka. adalah orang-orang yang cerdik meskipun licik. Mereka
telah melingkari gardu dan memotong jalan. Tetapi kini mereka begitu bernafsu
mengejar aku.”
Namun demikian ia menjadi
berdebar-debar “Lalu bagaimana dengan kedua pengawas yang bertempur melawannya?
Apakah keduanya tidak berhasil menahan mereka, atau justru mereka telah dapat
dikalahkan?”
Dan tiba-tiba saja ia menjadi
cemas memikirkan nasib kedua pengawas yang mencoba menahan kedua orang yang
mengejarnya itu.
Sejenak kemudian maka
kudanyapun menjjadi semakin dekat dengan regol pusat Tanah Mataram, sedang debu
yang mengepul dibelakangnyapun menjadi sema dekat pula.
Tiba-tiba pengawas itu ingin
menunggu. Apalagi setelah yakin bahwa yang mengejarnya hanya seorang saja.
Karena itu, beberapa puluh
langkah di depan regol ia berhenti. Beberapa ujung senjata telah dilihatnya
mencuat dari mulut gardu diregol itu. Bahkan ia sudah melihat seorang penjaga
berjalan ke tengah-tengah gerbang.
“Aku akan menunggunya, Aku
ingin tahu nasib kedua pengawas itu.”
Sejenak kemudian kuda yang
mengejarnya rnenjadi semakin dekat. Dan tiba-tiba saja pengawas yang menunggu
itu mengerutkan keningnya. Yang mengejarnya sama sekali bukan salah seorang
dari kedua orang yang tidak dikenal itu, tetapi Justru salah seorang dari kedua
pengawas yang mencoba menahan kedua orang itu.
“He,” orang itu berteriak,
“apakah kau disusul oleh salah seorang pengejarmu?”
Pengawas itu menggeleng
“Tidak. Bukankah ia bertempur dengan kau dan kawanmu?”
“Tetapi ia melepaskan diri dan
mengejarmu. Aku mengejar di belakangnya. Namun tiba-tiba di antara semak-semak
yang rimbun di hutan rindang sebelah, orang Itu telah hilang.”
“He?”
‘“Kalau begitu aku harus
segera kembali. Ia pasti melingkar dan kembali ke medan semula,”
Pengawas bermata tajam itu
tidak sempat menyahut. Tetapi ia kini sadar, bahwa kedua orang yang mengejarnya
itu sama, sekali bukan orang-orang dungu seperti yang disangkanya. Tetapi
mereka benar-benar orang yang cerdik dan licik.
Pengawas itu hanya dapat
termangu-mangu sejenak melihat kawannya berpacu kembali berbalik arah.
Tetapi iapun segera terkejut
ketika ia mendengar derap kuda dari regol sebelah, regol pusat Tanah Mataram.
Ketika ia berpaling dilihatnya
dua orang berpacu kearahnya dengan membawa senjata telanjang. Agaknya mereka
adalah para petugas yang curiga melihatnya, karena mereka masih belum tahu apa
yang sudah dilakukan.
Ketika kedua penunggang kuda
itu telah berada beberapa langkah dihadapannya, maka iapun segera mengenal
bahwa salah seorang dari keduanya telah dikenalnya dengan baik.
“He kau” teriak orang itu
“Kenapa kau berada disini?”
“Aku akan menghadap Ki Gede
atau Raden Sutawijaya” jawab pengawas bermata tajam itu.
Kini kedua ekor kuda itu telah
berhenti. Dan pengawas dari gerbang itu bertanya pula “Ada sesuatu yang akan
kau sampaikan?”
“Ya. Sesuatu yang penting
sekali.”
“Siapa yang berkuda itu”
bertanya pengawas gerbang itu sambil memandang debu yang mengepul.
“Aku mempunyai cerita yang
sangat panjang dan berbelit-belit. Tetapi apakah aku dapat menghadap.”
“Marilah. Kita akan
menghubungi para pemimpin pengawal yang barangkali dapat membawa kau menghadap.
Tetapi siapa orang itu?”
“Marilah. Aku akan bercerita
sambil berjalan.”
Ketiganyapun kemudian menuju
ke gerbang. Pengawas bermata tajam itu sempat bercerita tentang pokok-pokok
persoalan yang dihadapinya.
“Kalau begitu kau memang harus
segera menghadap.”
Maka pengawas bermata tajam
itupun segera dihadapkan kepada pemimpin penjaga gerbang yang kemudian
membawanya menghadap para pemimpin Tanah Mataram yang baru dibuka itu.
Dalam pada itu, pengawas yang
berpacu kembali itu pun segera bertemu dengan dua orang kawannya yang
menyusulnya. Dengan heran kedua kawannya itu bertanya “Kenapa kau kembali?
Dimana orang itu?”
“Kita kembali. Mereka adalah
orang-orang yang licik.”
“Ya, tetapi di mana buruanmu?”
“Ia menghilang, ia pasti
kembali ke medan semula lewat di antara pepohonan. Ia agaknya benar-benar
menguasai
daerah ini”
Ketiganyapun segera berpacu
kembali kemedan yang baru saja mereka tinggalkan.
Perhitungan mereka itupun
ternyata benar. Orang yang mereka cari memang melingkar dan bersembunyi di
balik gerumbul untuk mendapat kesempatan kembali ke medan dan membinasakan
pengawas yang seorang lagi. Tetapi ketika ia sampai di medan, dilihatnya dua
orang pengawas sedang bertempur melawan seorang kawannya.
‘“He, kau melawan dua orang
kelinci itu” ia berkata lantang.
“Ya. Dimana buruanmu?”
bertanya kawannya sambil bertempur melawan dua orang pengawas.
“Telah menjadi lumpur. Aku
sudah membunuhnya.”
Kedua pengawas itu terkejut.
Dan mereka mendengar orang itu tertawa. “Jangan terkejut. Sebentar lagi kalian
akan menjadi makanan burung gagak pula.”
“Persetan,” salah seorang dari
kedua pengawas itu menggeram, “kau berdua harus menebus dengan penuh
penyesalan.”
Tetapi kedua orang itu tertawa
hampir berbareng “Bagaimana mungkin kalian dapat melakukannya? Kalian akan
segera mati pula.”
Kedua pengawas itu tidak
menyahut, tetapi mereka bertempur lebih dahsyat lagi.
Sejenak kemudian merekapun segera
mendengar suara derap kaki-kaki kuda. Wajah dari orang-orang tak dikenal itu
menjadi liar. Dan tiba-tiba saja salah seorang dari mereka memberikan isyarat.
Sebelum para pengawas menyadari keadaan mereka, maka tiba-tiba saja kedua orang
itu telah meloncat meninggalkan gelangang.
“Jangan lari” teriak para
pengawas.
Namun mereka tidak
menghiraukannya. Kuda-kuda merekapun segera menyusup ke dalam gerumbul-gerumbil
liar dan berlari seperti dikejar hantu.
Para pengawas mencoba
mengejarnya. Tetapi mereka tidak dapat rnengikuti pada jarak yang mantap.
Sejenak kemudian kedua orang itu, seakan-akan telah hilang ditelan oleh
gerumbul-gerumbul liar.
“Kita ikuti jejaknya” desis
yang seorang.
“Mereka akan menjadi semakin
jauh. Kita tidak akan dapat mengejar mereka, dan kita tidak tahu, jalan yang
mereka tempuh akan sampai kemana?”
Para pengawas yang lainpun
segera sampai ketempat itu pula. Salah seorang yang paling tua segera berkata
“Berbahaya sekali untuk mengikuti jejak mereka. Seperti yang sering kita dengar,
hutan ini memang menyimpan banyak sekali rahasia, terutama di daerah utara.
Kini kita melihat sendiri sebagian. dari isi hutan ini selain hantu2 yang
berkeliaran di malam hari.”
Para pengawas itu hanya dapat
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Di mana pengawas yang membawa
pesan itu? Apakah benar ia sudah terbunuh?”
“Tidak. Sama sekali tidak. Ia
sudah sampai di gerbang. Kini ia pasti sudah menghadap para pemimpin di pusat
Tanah Mataram itu.”
Para pengawas itu
mengangguk-anggukan kepala mereka. Salah seorang dari mereka berdesis
”Perkembangan dari tanah ini memang harus menghadapi masalah-masalah yang cukup
berat. Kita masih belum berbicara tentang Tanah disekitar hutan Mentaok. Mangir
misalnya. Menoreh dan daerah sebelah timur yang subur. Apalagi kalau kita
berbicara tentang Pajang.”
Yang lain hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi tidak seorangpun yang menjawab.
“Kita kembali ke gardu” desis
salah seorang kemudian.
Para pengawas itupun kemudian
segera kembali ke gardu mereka. Peristiwa yang baru saja terjadi itu telah
berkesan dihati mereka. Bahkan mereka menjadi berdebar-debar, apakah tidak ada
sesuatu yang telah terjadi di gardu yang sedang mereka tinggalkan itu?
Mereka menarik natas
dalam-dalam ketika mereka melihat gardu masih tetap utuh dengan pengawas yang
tinggal di dalamnya.
Dalam pada itu, dipusat tanah
Mataram, pengawas yang membawa pesan dari Kiai Gringsing itupun telah dibawa
menghadap beberapa orang pemimpin. Adalah kebetulan sekali bahwa di antara
mereka terdapat Raden Sutawijaya sendiri.
“Apa yang telah terjadi?
Hantu-hantu yang mengamuk?” bertanya Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar.
Pengawas bermata tajam itu
menggelengkan kepalanya. “Kali ini bukan hantu, Tuan.”
“Apakah hantu-hantu itu sudah
tidak pernah mengganggu daerahmu lagi?”
“Masih. Bahkan yang terakhir
menjadi semakin sering meskipun kami terpaksa membuat pertimbangan-pertimbangan
baru tentang hantu-hantu itu.”
“Apa katamu?”
“Tetapi sebelum semuanya aku
sampaikan, apakah aku boleh mohon sesuatu?”
“Apa?”
“Di perjalanan kami, Kakang
Wanakerti telah menahan beberapa orang yang mengejar kami. Aku cemas akan
nasibnya.”
“He, dimana?”
“Di jalan lurus yang menuju
kemari dari daerah pengawasan kami. Aku telah mengambil jalan simpang untuk
menghindari mereka.”
“Sudah lama itu terjadi?”
“Mungkin mereka sedang
bertempur sekarang. Aku berbelok ketika tiga orang mengejar kakang Wanakerti
dengan seorang kawan yang lain.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya.
“Aku juga mengalami gangguan
di perjalanan. Menurut perkiraan waktu, aku mulai bertempur pada saat Kakang
Wanakerti dapat terkejar oleh orang-orang itu. Mudah-mudahan mereka berdua
dapat bertahan.”
“Apakah kau sudah lama
berkelahi?”
“Aku tidak pernah berkelahi
bersungguh-sungguh. Aku hanya sekedar berlari-larianan, karena kawan-kawan yang
lainlah yang selalu menahan pengejar-pengejarku.”
“Kalau begitu pasti belum
terlampau lama.” Sutawijaya itupun kemudian berpaling kepada seorang pemimpin
pengawal. “Bawa lima orang kawan-kawanmu. Lihat, apa yang terjadi dengan
Wanakeri itu.”
Pengawal itu mengangguk
dalam-dalam. Iapun kemudian meninggalkan pertemuan itu Bersama lima orang
pengawal yang lain, merekapun kemudian berpacu menyusur jalan menuju ke daerah
pengawasan Wanakerti. Jalan yang hanya satu jalur. Kalau benar keterangan
pengawas yang datang itu, maka mereka pasti akan menjumpai Wanakerti dan
kawannya di perjalanan itu.
“Nah, sekarang katakan apa
yang sudah terjadi didaerahmu.”
Pengawas bermata tajam itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia mengatur pernefasannya. Kemudian
iapun mulai menceriterakan apa yang sudah terjadi di daerah pengawasannya sejak
beberapa hari yang lalu. Keributan yang timbul dan beberapa kematian yang sudah
terjadi. Senjata beracun dan mayat yang hilang. Kemudian suara gemerincing
dimalam hari dan perkelahian-perkelahian yang seru.
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun pengawas yang lelah itu tidak dapat
menceriterakan dengan teratur, namun Sutawijaya dan para pemimpin Tanah Mataram
sudah dapat membayangkan apa yang sudah terjadi.
“Siapakah ketiga orang yang
kau katakan telah mengambil peranan di dalam daerahmu itu?”
“Kami mengenalnya bernama
Truna Podang Tuan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Nama itu beum pernah didengamya.
“Bagaimana dengan kedua
anak-anaknya? Bukankah kau mengatakan Truna Podang mempunyai dua orang anak
laki-laki?”
“Ya, tuan. Yang seorang gemuk
dan yang seorang sedang.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Kemudian, “Senjatanya?”
“Mereka bersenjata cambuk, Ya,
mereka menyebut diri mereka sebagai gembala yang hendak mendapatkan daerah baru
karena di daerah mereka yang lama, mereka sama sekali tidak dapat hidup dengan
wajar.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Desisnya “Anaknya yang seorang gemuk dan yang
seorang sedang. Mereka bersenjata cambuk. Begitu?”
“Ya.”
Orang-orang yang ada ditempat
itu menjadi heran ketika mereka melihat Sutawijaya tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baiklah. Biarlah orang yang
menyebut dirinya Truna Podang itu membantu kalian. Untuk sementara kami tidak
berkeberatan. Para pemimpin Tanah yang sedang kita buka ini mengucapkan terima
kasih kepada mereka.”
Pengawas bermata tajam itu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula, meskipun ia masih juga merasa heran.
Seolah-olah Sutawijaya itu pemah melihat, setidaknya pernah mendengar serba
sedikit tentang Truna Podang itu.
“Jadi, bagaimanakah dengan
kami?” bertanya pengawas bermata tajam.
“Aku sendiri akan datang,”
berkata Sutawijaya, “daerah pengawasanmu memang gawat. Tetapi seperti sudah aku
katakan, ketiga orang itu memang dapat membantu.”
Pengawas bermata tajam itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih tetap heran. Ia merasa bahwa
keterangannya mengenai ketiga orang itu belum cukup banyak. Tetapi Raden
Sutawijaya langsung mempercayai mereka.
“Sebelum aku sempat datang,”
berkata Sutawijaya selanjutnya, “aku akan mengirimkan beberapa orang untuk
membantu mengawasi daerah itu.”
Pengawas bermata tajam itu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kita menunggu para pengawal
yang menjemput Wanakerti” berkata Sutawijaya selanjutnya.
Dalam pada itu keadaan
Wanakerti benar-benar sudah parah. Hanya karena ia merasa bertanggungjawab agar
pesan yang dibawa oleh seorang kawannya sampai, ia bertempur sampai apapun yang
akan terjadi atasnya. Apalagi menilik pengenalan ketiga lawannya atas daerah
itu, maka melarikan diripun bukan jalan yang dapat ditempuh.
Di saat-saat terakhir
Wanakerti benar-benar sudah hampir tidak dapat melakukan perlawanan sama
sekali. Luka-luka di tubuhnya sudah silang menyilang di dada dan di punggung.
Meskipun demikian bersama kawannya, Wanakerti masih tetap menggenggam senjata
di tangan.
Namun demikian ia di paksa
untuk mendengar lawanya berkata sambil tertawa “Jangan menyesal. Aku sedang menunggu
kedua kawanku yang mengejar seorang pengawas yang licik. Tetapi iapun tidak
akan luput dari tangannya. Kalau kedua kawan-kawanku itu sudah datang, maka
kami berlima akan membunuh kalian. Aku tidak mau mengecewakan kedua kawanku,
karena mereka tidak mendapat bagian melihat suatu pertunjukan yang sangat
menyenangkan ini.”
Wanakerti tidak menjawab. Ia
merasa sebagai barang mainan yang nasibnya seolah-olah sama sekali tergantung
kepada ketiga orang lawannya. Demikian juga agaknya pengawas yang lain, meskipun
ia masih juga tetap memegang senjatanya.
Tenaga kedua. pengawas itu
sudah hampir lenyap sama sekali karena darah yang meleleh dari luka. Seandainya
ketiga orang itu ingin segera membunuhnya, maka mereka tidak akan mendapat
kesukaran lagi. Tetapi agaknya mereka memang ingin membiarkan kedua pengawas
itu mengalami penderitaan sebelum hidup mereka diakhiri.
“Kami harus mendapat
keyakinan, apakah yang terjadi dengan kedua kawan-kawanku,” berkata salah
seorang dari mereka, “kalau mereka berhasil, maka kalian akan mendapat jalan
kematian yang lebih baik. Tetapi kalau mereka gagal, maka kemarahan kami akan
tertumpah kepada kalian berdua. Kami akan mengikat kalian pada sebelah kaki dan
akan menyeret kalian di belakang kuda kami melintasi semak-semak berduri. Nah,
apakah kalian menyadari nasib kalian?”
Wanakerti menggeram. Betapapun
lemahnya, ia masih tetap duduk di atas punggung kuda sambil membawa senjata.
Memang dicobanya untuk mencari jalan, melepaskan diri. Sesekali dipandanginya
jalur jalan yang menuju ke pusat Tanah Mataram. Namun kedua pengawas itu tidak
akan dapat dengan mudah melepaskan diri dari arena perkelahian yang semakin
tidak seimbang itu.
Bahkan sebelum kedua pengawas
itu mencoba untuk menghindarkan diri, salah seorang dari ketiga orang yang tidak
dikenal itu sudah mentertawakannya sambil berkata “Jangan mencoba untuk berlari
lagi. Selagi kau masih utuh, kau tidak dapat melepaskan dirimu. Apalagi
sekarang, di saat nyawamu sudah berada diujung ubun-ubunmu.”
Wanakerti menggeram. Tetapi ia
memang sudah tidak berdaya.
Dalam pada itu, salah seorang
dari ketiga lawannya tiba-tiba bertanya, “Apakah kita akan menunggu?”
Dan salah seorang di antara
mereka menjawab, “Ya. Kita akan menunggu sebentar. Kalau ia dapat membawa yang
seorang itu, maka permainan kita akan lengkap.”
“Kita akan membunuh mereka?”
“Apakah tidak sebaiknya kita
akan membawa mereka hidup-hidup. Kita memerlukan mereka bertiga meskipun kelak
kita akan membunuhnya pula dengan cara yang dapat dipikirkan kemudian. Bukankah
Itu lebih baik.”
“Aku kira, kita tidak
memerlukannya lagi. Keduanya lebih baik diselesaikan saja sekarang. Mereka akan
menjadi beban pengawasan” teriak yang lain.
“Kita memerlukan keterangan.”
“Kita akan mengambilnya di
gardu pengawas. Di sana masih ada beberapa orang yang pantas untuk memberikan
keterangan. Bahkan pemimpin pengawas yang luka itu.” berkata orang itu dengan
garangnya. “Aku sudah muak melihat kedua kelinci ini.”
Kedua kawannya mengerutkan
keningnya. Dan orang yang garang itu berkata selanjutnya “Sudah aku katakan,
aku akan mengikat sebelah kakinya di belakang kuda. Kita tidak perlu menunggu
lebih lama lagi. Pekerjaan kita masih cukup banyak.”
“Yang seorang lagi?” bertanya
yang lain.
“Biarlah kedua anak-anak itu
yang rnengurusnya.”
Sejenak mereka terdiam. Tetapi
ketiga pasang mata yang menyala itu memandangj Wanakerti dengan seorang
kawannya, seolah-olah akan membakarnya hidup-hidup.
“Sekarang. Tangkap mereka
hidup-hidup. Kemudian sebelah kakinya. Sebelah saja.”
Kedua kawannya saling
berpandangan. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Ketiga orang itupun kemudian
memencar mengepung Wanakerti dan kawannya, Semakin lama ketiganya menjadi
semakin rapat. Di tengah-tengah Wanakerti dan kawannya menjadi semakin tegang
pula Namun kemudian Wanakerti menggeram, “Kalian hanya akan dapat menyentuh
mayat kami. Kami masih bersenjata, dan kami masih bertenaga untuk melawan
kalian.”
Ketiga lawan para pengawas
itupun tertegun sejenak. Memang sulit bagi mereka untuk menangkap keduanya
hidup-hidup. Mereka pasti akan melawan dengan segenap sisa kemampuan mereka.
Bagi keduanya memang lebih baik mati oleh senjata yang membelah dadanya
daripada mati bagai permainan.
“Sulit juga untuk menangkap
kedua tikus kecil,” desis salah seorang dari mereka yang mengepung kedua
pengawas itu. “Kedua tikus yang sudah berputus asa akan dapat membunuh dirinya
dengan cara apapun.”
“Aku tidak peduli,” desis yang
lain, “seandainya keduanya akan membunuh dirinya, apaboleh buat. Kita sudah
terlalu lama menungguinya. Aku sudah jemu. Aku sudah puas melihat betapa
wajahnya dibayangi oleh ketakutan yang tidak terkirakan.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sejenak kemudian kuda-kuda itupun sudah bergerak lagi. Semakin
la ma menjadi semakin dekat.
Namun sekali lagi mereka
tertegun ketika mereka mendengar derap kaki-kaki kuda mendekat. Dua ekor kuda
yang semakin lama menjadi semakin dekat.
“Itulah kawan-kawan kita”
desis salah seorang dari mereka.
Ketiganyapun menjadi
termangu-mangu. Dengan ragu-ragu mereka menunggu.
“Bagaimana kalau orang lain?”
desis salah seorang dari mereka.
“Kita bunuh sama sekali.”
Namun sejenak kemudian
muncullah dua ekor kuda. Di atas punggungnya dua orang duduk dengan nafas
terengah-engah.
“He bagaimana dengan kalian?”
bertanya salah seorang dari ketiganya setelah mereka melihat bahwa yang datang
memang kawan-kawan mereka.
“Tugas kami sudah selesai”
jawab mereka hampir berbareng.
“Bagaimana dengan pengawas
yang lari itu?”
“Aku sudah membunuhnya. Aku
ikat sebongkah batu padas di kakinya. Kemudian kami lemparkan orang itu
hidup-hidup ke dalam rawa-rawa.”
“Bagus. Sekarang tinggal kedua
orang ini. Apakah akan kita ikat dan kita tarik di belakang kaki kuda?”
“Tetapi kita harus berbuat
cepat,” berkata salah seorang dari kedua orang yang baru datang itu, “mungkin
ada beberapa orang yang menyelusuri jejak kami. Tetapi mereka memerlukan waktu
untuk sampai ke tempat ini. Meskipun demikian kita tidak boleh lengah. Kita
harus segera menyelesaikan, apapun cara yang kita kehendaki.”
Sejenak orang-orang yang tidak
dikenal itu berdiam diri. Dengan tatapan mata yang liar dipandanginya Wanakerti
dan kawannya yang masih duduk sambil menggenggam senjata mereka meskipun hampir
di seluruh tubuh mereka telah tergores luka.
“Apakah mereka akan datang?”
tiba-tiba salah seorang bertanya,
“Mungkin sekali.”
“Kalau begitu kita harus
segera membunuhnya” orang itu menggeram.
Namun belum lagi mereka
berbuat sesuatu, terdengarlah pula derap kaki-kaki kuda yang menggetarkan hutan
yang rindang itu. Semakin lama semakin dekat.
“Siapakah mereka itu?” desis
salah seorang dari kelima orang itu.
“Tetapi tidak secepat itu.
Para pengawal itu memerlukan waktu yang cukup lama.” yang lain menyahut,
kemudian “Arahnya tidak sejalan dengan arah yang aku lalui. Mereka pasti bukan
orang-orang yang mengejar aku.”
“Lalu siapa?”
Kedua orang yang datang
kemudian itu menggelengkan kepalanya. Namun sekilas terlintas didalam
angan-angannya, pengawas bermata tajam itu pasti sudah sampai di pusat Tanah
Mataram. Ia pasti sudah melaporkan apa yang terjadi. Karena itu, mungkin sekali
iring-iringan ini adalah para pengawal yang mendapat laporan dari pengawas yang
dikejarnya.
Tetapi ia sudah terlanjur
mengatakan bahwa pengawas itu sudah dibunuhnya, meskipun maksudnya sama sekali
bukan untuk mengelabui kawan-kawannya, tetapi sekedar untuk membuat Wanakerti
semakin berkecil hati.
Sejenak mereka dicengkam oleh
keragu-raguan. Dan waktu yang sejenak itu telah dipergunakan oleh Wanakerti
sebaik-baiknya. Ketika ia melihat kebimbangan melanda jantung orang-orang yang
mengejarnya itu, maka dengan tangannya ia memberi isyarat kepada kawannya.
Karena itu, sejenak kemudian maka dengan tiba-tiba mereka telah melecut
kuda-kuda mereka dengan ujung kendali yang segera meloncat dan berlari
sekencang-kencangnya.
“Gila!” teriak salah seorang
dari mereka. “Kau tidak akan lepas dari tangan kami.”
Memang orang-orang itupun
dengan tangkasnya segera menyusul. Jarak di antara mereka memang tidak begitu
jauh. Beberapa saat kemudian, Wanakerti pasti tidak akan dapat melepaskan diri
lagi.
Tetapi yang membuat kelima
orang itu menjadi bimbang adalah derap kuda yang semakin dekat. Dan mereka
tidak dapat menebak siapakah yang bakal datang itu.
Meskipun Wanakerti juga tidak
mengetahui siapa yang datang, namun ia telah berbuat untung-untungan. Kalau
yang datang itu lawan, biarlah ia mati semakin cepat. Tetapi kalau yang datang
itu kawan, ia akan mendapatkan harapan untuk hidup.
Kuda-kuda para pengejarnya
kini tinggal beberapa langkah lagi. Sejenak kemudian maka ujung pedang mereka
akan dapat menghunjam di punggungnya.
Tetapi keduanya tidak
menyerah. Sekali mereka berpaling, dan mereka melihat ujung pedang yang sudah
teracu. Namun keduanyapun masih menggenggam pedang pula ditangan.
Tetapi, dalam pada itu, derap
kaki-kaki kuda di hadapan merekapun telah menjadi semakin dekat pula.
Ketika tiba-tiba kemudian
muncul beberapa orang penunggang kuda dari balik tikungan, hati Wanakerti
serasa tersentuh embun. Jelas baginya bahwa mereka adalah para pengawal. Karena
itu, maka terasa harapan di dadanya menjalar kesegenap tubuhnya. Bukan saja ia
ingin untuk tetap hidup, tetapi apabila seorang kawannya yang telah mengambil
jalan simpang itu benar-benar terbunuh, maka ia masih mempunyai kesempatan
untuk menyampaikan pesan pemimpirmya dan orang yang menyebut dirinya bernama
Truna Podang itu.
Berbeda dengan Wanakerti, maka
orang-orang yang mengejarnya terperanjat ketika mereka melihat para pengawal
itu. Bahkan kedua orang yang mengejar pengawas bermata tajam itupun tidak
menduga bahwa mereka datang begitu cepatnya.
Tetapi kini mereka telah
benar-benar berhadapan. Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi mereka
daripada bertempur. Apalagi ketika mereka melihat bahwa yang datang itu tidak
lebih dari enam orang saja, sedang Wanakerti dan kawannya sudah tidak berdaya
sama sekali.
Meskipun demikian, orang yang
mengejar di paling depan, masih juga ingin melepaskan sakit hatinya. Karena
tangannya masih belum sempat menjangkau kawan Wanakerti yang berkuda di
belakang, maka tiba-tiba saja ia telah melemparkan pedangnya ke punggung
pengawas itu.
Para pengawal yang sudah
semakin dekat melihat orang itu mengayunkan tangannya, sehingga salah seorang
dari mereka telah, berteriak, “Awas punggungmu.”
Pengawas yang berkuda di
belakang itu berpaling. Ia melihat pedang meluncur ke punggungnya. Dengan
sisa-sisa tenaganya ia mencoba menangkis serangan itu, tetapi ia tidak berhasil
seluruhnya. Ujung pedang itu sudah terlampau dekat, sehingga ia hanya sempat
merubah arahnya. Tetapi pedang itu masih juga menghunjam di pundaknya.
Perasaan sakit yang tajam
serasa telah menghentakkan sisa tenaganya. Tanpa sesadarnya tangannya telah
menarik kendali kudanya sehingga kudanya berbelok masuk ke dalam semak-semak di
pinggir jalur jalan setapak itu. Tetapi sentuhan ranting-ranting pepohonan pada
tubuhnya sama sekali tidak tertahan lagi. Sejenak kemudian pengawas itu pun
terpelanting dan jatuh di atas dedaunan kering.
Tetapi ia sudah tidak dapat
merasakan apapun lagi. Semuanya terasa menjadi gelap. Dan sejenak kemudian iapun
menjadi pingsan karenanya,
Wanakerti yang kemudian
berpaling, melihat hal itu pula. Karena itu, tiba-tiba timbullah kemarahan yang
meluap-luap di dadanya. Tanpa menghiraukan keadaan dirinya sendiri, ia menarik
kekang kudanya sehingga kudanya telah berputar menghadap pengejarnya.
Untunglah bahwa pada saat itu,
para pengawal telah sampai di tempatnya pula, sehingga ketika para pengejarnya
menyerang Wanakerti yang lemah, beberapa orang pengawal yang lain sekaligus
telah melindunginya. Kuda-kuda mereka menyambar dengan dahsyatnya, dan tenaga
mereka yang segar telah berhasil menyelamatkan Wanakerti dari sambaran pedang
orang-orang yang sedang rnarah itu.
Seorang pengawal yang lain,
langsung memburu ketika ia melihat seorang diantara orang-orang tidak dikenal
Itu langsung meloncat turun dari kudanya. Ia adalah orang yang telah
melemparkan pedangnya. Agaknya ia sedang berusaha mengambil pedangnya yang
masih tertancap di pundak salah seorang pengawas yang pingsan itu.
Agaknya ia tidak puas setelah
ia berhasil menarik pedangnya. Dengan geramnya ia mengayunkan pedang itu ke
leher Iawannya yang sedang pingsan.
Tetapi ia terkejut ketika
sebuah pedang yang lain telah menyambar pedangnya itu, sehingga hampir saja
pedang itu terloncat dari tangannya.
“Persetan” ia menggeram.
Ketika ia memutar tubuhnya, seorang pengawal telah menyerangnya sambil duduk di
atas punggung kuda.
Dengan demikian orang itu
terpaksa melayani Iawannya. Apalagi Iawannya ternyata seorang pengawal yang
tangkas. Kudanyapun kuda yang lincah pula, sehingga setiap kali kaki-kaki kuda
itu hampir menginjaknya.
Sejenak kemudian orang itu
berusaha membebaskan dirinya. Kemudian ia berlari ke kudanya sendiri yang masih
berdiri termangu-mangu.
Tetapi pengawai yang marah,
yang melihat seorang kawannya terbaring di tanah, tidak membiarkannya. Ia
menyangka bahwa kawannya itu telah terbunuh. Karena itu, maka darahnyapun telah
mendidih sampai ke kepala.
Dengan demikian, selagi
lawannya meloncat ke punggung kuda, iapun telah menyambarnya dengan ujung
senjatanya, sehingga lawannya menjadi bingung sejenak. Dengan demikian maka
tangannya tidak dapat menguasai kendali kudanya dengan baik, sehingga
kudanyapun kemudian berputar sambil meringkik.
Saat-saat yang lemah itu
ternyata telah mengakhiri semua petualangan yang pernah dilakukannya. Dengan
dahsyatnya lawannya menyerangnya, dilambari oleh kemarahan yang meluap-luap.
Apalagi pengawal yang datang ini adalah pengawal pilihan yang mampu
mempergunakan senjatanya sebaik-baiknya.
Maka sebelum ia berhasil
menempatkan dirinya di atas punggung kuda, sebuah tusukan yang kuat telah
membelah punggungnya. Sekali terdengar ia mengeluh tertahan, kemudian dengan
sisa tenaganya ia masih mencoba berpegangan pada suri kudanya. Tetapi sejenak
kemudian kedua tangannyapun terlepas, dan orang itu terjatuh di tanah.
Darah yang merah membasahi
rerumputan di sekitarnya. Ia masih sempat mencoba meraih pedangnya yang
terjatuh, tetapi sejenak kemudian iapun menutup matanya untuk selama-lamanya.
Kematian salah seorang dari
antara kelima orang yang tidak dikenal itu telah menumbuhkan kemarahan yang
meluap-luap pada keempat kawan-kawannya. Hampir berbareng mereka menggeram dan
menyerang lawan-lawan mereka dengan garangnya. Senjata mereka berputaran dengan
dahsyatnya.
Sejenak kemudian arena pertempuran
itupun menjadi semakin dahsyat. Tetapi kini jumlah para pengawai menjadi lebih
banyak. Apalagi mereka adalah pengawal-pengawal pilihan yang masih segar,
sehingga karena itu, maka merekapun segera berhasil menguasai keadaan. Keempat
orang itulah yang kini dalam keadaan terdesak bagaimanapun juga mereka
berusaha.
Tetapi ternyata bahwa ikatan
di antara mereka agak berbeda dari ikatan kesatuan para pengawal. Orang-orang
Itu lebih mementingkan keselamatan diri mereka sendiri dari pada
kesetiakawanan. Dengan demikian, ketika mereka merasa bahwa mereka sudah tidak
akan dapat bertahan lagi, maka mulailah mereka berpikir untuk menyelamatkan
diri.
Namun demikian, mereka sama
sekali tidak saling menghiraukan yang satu dari yang lain. Di dalam keadaan
yang sulit, mereka harus dapat berusaha menyelamatkan diri masing-masing.
Bahkan kalau perlu, salah seorang dari mereka dapat dikorbankan oleh
kawan-kawan mereka sendiri.
Sejenak kemudian, maka usaha
untuk menyelamatkan diri itupun sudah mulai mereka lakukan. Salah seorang dari
keempat orang yang sedang bertempur itu, dengan serta merta telah memacu
kudanya menembus semak-semak dan hilang di dalam rimbunnya dedaunan.
Hal serupa itu sama sekali
memang tidak terduga-duga. Karena itu, pengawal yang sedang menghadapinya
justru tertegun sejenak. Namun mereka tidak ingin kehilangan orang itu,
sehingga ketika mereka menyadari keadaan maka dua orang dari para pengawai itu
telah berusaha mengejarnya.
Yang lain, yang masih
bertempur di arena itupun ternyata berusaha juga untuk dapat menyelamatkan
diri. Namun ketika salah seorang dari mereka sudah mendahului, para pengawal
itupun menjadi semakin hati-hati.
Malanglah nasib salah seorang
dari orang-orang yang tidak dikenal itu. Ketika ia mencoba melarikan dirinya,
maka sebuah ujung pedang telah menggores lehernya. Meskipun demikian, ia masih
tetap bertahan di atas punggung kudanya untuk beberapa saat. Tetapi akhirnya
iapun terlempar dari punggung kudanya yang berlari seperti angin.
Yang tinggal kemudian adalah
dua orang dari antara mereka. Keduanya masih berkelahi mati-matian. Tetapi
merekapun sedang berusaha mendapat kesempatan untuk lari. Namun kesempatan itu
benar-benar telah menjadi semakin sempit, karena para pengawal sudah
mengetahui, bahwa tiba-tiba saja mereka dapat meninggalkan gelanggang.
Namun ternyata kedua orang
inipun sama sekali tidak ingin menyerah.- Mereka telah berjuang dengan segenap
tenaga yang ada padanya. Bahkan ketika hampir seluruh tubuh mereka telah
dibasahi oleh keringat dan darah, mereka masih juga belum menyerah.
Wanakerti yang lemah, sama
sekali tidak dapat lagi ikut didalam pertempuran itu. Kudanya berdiri menepi,
sedang Wanakerti dengan susah payah mencoba untuk meloncat turun.
Perlahan-lahan ia melangkahkan kakinya yang serasa menjadi terlampau berat
mendekati seorang kawan nya yang masih terbaring ditanah. Darah masih saja
mengalir dari luka-lukanya, terutama luka di pundaknya. Dengan kain pengawas
itu sendiri yang disobeknya, maka Wanakerti berusaha untuk menyumbat arus darah
kawannya itu. Meskipun tidak sempurna, namun usahanya agaknya dapat menolong
juga.
Wanakerti terkejut ketika ia
mendengar jerit yang melengking dari arena. Ia masih melihat salah seorang dari
kedua lawan para pengawal itu menggeliat di atas punggung kudanya. kemudian
terlempar jatuh pula di atas tanah. Tanpa dikehendaki, seekor kuda dari para
pengawal yang berlari-larian itu telah menginjak dadanya, sehingga kemudian
orang itu tidak bergerak lagi untuk selama-lamanya. Sebuah luka telah menganga
pula di lambungnya.
Namun pekik kesakitan itu
telah dapat dimanfaatkan oleh kawannya yang tinggal seorang. Dengan sigapnya ia
memacu kudanya menembus di antara dua orang lawannya yang sedang berpaling
karena mendengar teriakan itu. Kuda itu langsung menyusup masuk ke dalam
lebatnya batang-batang perdu di sebelah jalur jalan setapak.
“Tangkap hidup-hidup” teriak
pemimpin pengawal itu.
Beberapa orang segera
mengejarnya menyusup pula diantara semak-semak yang rimbun. Namun agaknya orang
itu benar-benar telah menguasai medan. Ia lebih mengenal daerah yang
dilaluinya, sehingga dengan cepatnya,. orang itu telah meninggalkan
pengejar-pengejarnya semakin jauh.
Para pengawal masih berusaha
mengikuti jejak kuda itu. Tetapi semakin lama menjadi semakin sulit. Daun-daun
yang kuning, yang tertimbun diantara batang-batang ilalang dan
gerumbul-gerumbul perdu agak mempersulit pengenalan mereka atas jejak kaki kuda
yang diikutinya.
Ketika mereka sampai pada
semak-semak berduri dan batang-batang menjalar yang berjuntaian dari pepohonan
yang besar, maka jejak yang diikutinya seakan-akan telah hilang begitu saja.
Sejenak para pengawal itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ketika mereka menengadahkan kepala mereka,
dilihatnya dedaunan yang menjadi semakin lebat. Kalau mereka maju terus, mereka
akan memasuki daerah hutan yang semakin rapat.
“Apakah kita akan maju terus?”
bertanya salah seorang dari mereka.
Yang Iain tidak segera
menjawab. Di belakang mereka adalah hutan perdu dan batang-batang ilalang yang
liar. Tetapi di hadapan mereka adalah hutan kayu yang mulai rapat.
Para pengawal itu mulai
ragu-ragu, apakah mereka akan berhasil mengejar orang yang lari itu. Jejak yang
mereka selusuripun menjadi semakin samar-samar karena dedaunan yang tebal di
sekitar mereka.
“Sukar sekali untuk menemukan
mereka di hutan yang mulai rapat itu” desis pemimpin pengawal.
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepala mereka. Sekilas mereka memandang pada sulur-sulur kayu yang berjuntai
dari pepohonan, bergulat dengan batang-batang yang merambat.
“Memang sulit” desis seorang pengawal.
“Kita terpaksa melepaskannya,”
berkata pemimpin pengawal itu, “tetapi ada juga baiknya. Ia akan dapat
mengatakan kepada kawan-kawannya yang belum kita ketahui, bahwa pengawal Tanah
Mataram sudah siap menghadapi
mereka.”
Para pengawal mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun dengan demikian mereka sadar bahwa mereka berhadapan dengan
suatu kekuatan yang belum dapat mereka perhitungkan.
“Kita akan menghadap Raden
Sutawijaya” berkata pemimpin pengawal itu.
“Kita menunggu kawan-kawan
kita yang mengejar orang yang pertama kali meninggalkan gelanggang” sahut yang
lain.
“Ya, kita akan kembali.
Wanakerti menunggu.”
Para pengawal itupun kemudian
kembali ke bekas arena perkelahian yang menjadi bosah-baseh. Batang-batang
ilalang seolah-olah telah digilas oleh roda-roda bergigi silang menyilang.
Ketika para pengawal itu
sampai, mereka melihat kawan-kawannyapun telah berada ditempat itu pula
menunggu Wanakerti yang meskipun sudah sangat lemah, tetapi masih juga berusaha
menolong kawannya yang sedang pingsan.
“Ia masih belum sadar” desis
Wanakerti.
Para pengawal itupun segera
berjongkok di sampingnya. Mereka dengan berdebar memandang wajah pengawas yang
pucat dan mata yang terpejam.
Tiba-tiba pemimpin pengawal
itu bergeser maju. Dirabanya dada pengawas itu, dan bahkan kemudian
dilekatkannya telinganya. Dengan wajah yang tegang, tangannya meraba mata
pengawas itu dan dibukanya sedikit.
“Kenapa?” bertanya Wanakerti.
Pemimpin pengawas itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian dengan suara yang berat ia berkata, “Ia sudah
meninggal.”
‘“He?” Wanakerti mengerutkan
keningnya, “ia sudah meninggal?”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk.
Kepala Ki Wanakertipun segera
tertunduk dalam-dalam merenungi wajah kawannya itu. Terasa tenggorokannya
seakan-akan telah tersumbat. Ia telah berjuang bersamanya selama perjalanan
yang meskipun tidak terlampau jauh, tetapi cukup berat itu.
“Ia sudah mendahului kita
didalam tugasnya.”
“Ya. Ia sudah gugur di dalam
perjuangan menegakkan Tanah Mataram yang sedang tumbuh ini.”
Para pengawal yang lain pun
telah menundukkan kepala mereka pula. Salah seorang kawan mereka telah gugur
menghadapi rahasia yang masih samar-samar yang tersembunyi di belakang Alas
Mentaok. Rahasia tentang hantu-hantu itu masih belum terpecahkan, dan kini
mereka menghadapi rahasia baru yang tidak kalah rumitnya. Namun setiap pengawal
itu mulai menghubung-hubungkan di dalam hatinya, apakah tidak ada sangkut
pautnya kedua rahasia yang besar yang tersimpan di dalam lebatnya hutan Mentaok
itu.
Sejenak kemudian maka pemimpin
pengawal itupun berkata “Marilah, kita bawa tubuhnya ke pusat Tanah Mataram.”
“Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya.”
“Tetapi sebelumnya kita akan
mengubur dulu mayat-mayat itu.” pemimpin pengawal itu melanjutkan.
Maka merekapun kemudian
mengubur mayat-mayat yang terbunuh di dalam peperangan. Karena mereka tidak
dapat menggali tanah cukup dalam, maka diatas kuburan itu telah ditimbun
batu-batu besar, agar tidak diganggu oleh binatang buas yang berkeliaran
terutama di malam hari.
Demikianlah maka para pengawal
itupun kemudian kembali ke pusat Tanah Mataram. Mereka hanya dapat
menyelamatkan Wanakerti, sedang kawannya tidak lagi dapat menghindarkan diri,
berkorban untuk daerah yang baru dibuka itu.
“Aku kehilangan kedua kawanku”
desis Wanakerti disepanjang jalan.
“Siapa?”
“Yang seorang lagi, yang
bermata tajam, yang seharusnya menyampaikan berita tentang daerah kami itu.
Kami sudah berusaha memancing para pengejamya Tetapi merekapun telah membagi
diri. Ketika mereka kembali mereka mengatakan bahwa kawanku itupun sudah
terbunuh.”
Pemimpin pengawal itu
mengerutkan keningnya. Katanya “Tidak. Kawanmu sama sekali tidak terbunuh.
Orang itulah yang memberitahukan kepada kami, bahwa kau telah terjepit di
perjalanan karena kau memancing orang-orang yang mengejarmu, dan memberi
kesempatan kepada kawanmu itu untuk berpacu terus.”
“Jadi orang itu masih hidup?”’
“Ya, dan ia sudah menyampaikan
pesan yang dibawanya kepada Raden Sutawijaya, karena ia dapat langsung
menghadapnya.”
Wanakerti menarik nafas
dalam-dalam.”Syukurlah. Tuhan telah melindungi perjalanannya. Kalau ia gagal,
aku kira, akupun telah mati terbunuh pula di dalam perkelahian ini. Tetapi,
meskipun aku selamat, seorang kawanku telah meninggal.”
Tidak seorangpun yang
menyahut. Namun kuda mereka masih berlari di jalan setapak, kembali ke pusat
Tanah Mataram.
Dalam pada itu, Raden
Sutawijaya sudah menghadap ayahanda Ki Gede Pemanahan, dan menyampaikan segala
sesuatu yang didengarnya dari pengawas bermata tajam itu.
Ki Gede Pemanahan mendengarkan
keterangan putranya dengan saksama. Sesekali wajahnya menegang dan sesekali
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi siapakah menurut
pendapatmu orang bercambuk itu?” bertanya Ki Gede Pemanahan.
Sutawijaya tersenyum sambil
menjawab “Tidak ada duanya di dunia. Orang itu pasti Kiai Gringsing dan
murid-muridnya.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Pasti orang Itu. Apakah kau ingin
menemuinya?”
“Bagaimana dengan Ayahanda?”
“Sebenarnya aku juga ingin
bertemu dengan orang yang menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing itu. Tetapi
ketika aku datang ke Sangkal Putung di saat-saat pasukan terakhir dari Tohpati
menyerah, agaknya orang itu sengaja menghindarkan dirinya, meskipun ia tidak
menghindar darimu. Aku tidak tahu, kenapa ia berbuat begitu. Karena itu,
sekarang sebaiknya kau sajalah yang datang ke tempat itu. Lihatlah, apakah
dugaanmu benar bahwa orang itu adalah Kiai Gringsing bersama kedua muridnya.
Dan sekaligus kau akan mendapat gambaran dari keadaan yang sebenarnya di daerah
itu. Apa yang terjadi akan dapat menjadi bahan pertimbangan yang dapat
ditrapkan di daerah-daerah lain yang mengalami gangguan yang serupa. Agaknya
hampir di segala sudut Tanah ini telah dicengkam oleh ketakutan. Mereka
menganggap bahwa hantu-hantu di Alas Mentaok telah keluar seluruhnya, bersama
seluruh pasukan yang ada untuk mengganggu manusia yang dianggap merebut
kerajaannya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Nah, kau akan mendapat
kesempatan untuk mempelajari keadaan itu. Aku yakin bahwa yang terjadi di sana
adalah sebagian dari seluruh rencana yang besar dari pihak yang belum kita
ketahui maksudnya. Namun ternyata mereka telah mempergunakan kekerasan sehingga
jatuh korban manusia.”
“Apakah Ayahanda berpendapat
bahwa hantu-hantu itu merupakan sebagian dari rencana itu?”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Aku menganggap demikian.”
Sutawijaya masih
mengangguk-angguk. Akhirnya ia berkata “Baiklah Ayah. Aku akan pergi
secepatnya. Besok aku akan membawa sepasukan kecil pengawal. Mudah-mudahan aku
berhasil.”
“Baiklah. Bawalah pengawal
yang datang menghadapmu.”
“Baik Ayah. Aku akan tinggal
di daerah itu untuk beberapa saat.”
“Tetapi kau harus bertindak
cepat. Kau jangan terlampau lama terikat pada suatu daerah. Tanah Mataram yang
semakin luas ini memerlukan perhatianmu. Bukan saja segi ketenteraman, tetapi
juga perkembangan tata perdagangan dan perniagaan, hubungan dengan
daerah-daerah di sekitar Tanah Mataram dan bermacam-macam masalah lainnya.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sadar sepenuhnya, bahwa tugas yang
dihadapinya adalah berat sekali. Tetapi itu sudah disadarinya sejak ia
berkeputusan untuk membuka Alas Mentaok menjadi suatu daerah yang akan
dijadikannya sebuah negeri yang ramai.
“Alas Mentaok harus dapat
menyusul daerah lain yang lebih dahulu telah dibuka” berkata Sutawijaya di
dalam hatinya yang keras seperti batu hitam, “tidak saja dapat mengimbangi
daerah di sekitarnya, Tanah-Tanah Perdikan, tetapi harus dapat mengimbangi
daerah Kadipaten yang telah jauh mendahului.”
Tanpa disadarinya, Sutawijaya
sebenamya telah berpacu di dalam hatinya dengan seorang perwira pasukan Pajang,
kawan ayahnya yang telah lebih dahulu menerima daerah Pati yang sudah menjadi
ramai.
“Kenapa Ayahanda Sultan Pajang
sama sekali tidak berkeberatan melihat perkembangan daerah-daerah lain, tetapi
tiba-tiba saja telah mencurigai aku dan Ayahanda Pemanahan?”
Pertanyaan Itu selalu
mengganggunya. Namun Sutawijaya menyadari, karena Ayahanda Ki Gede Pemanahan
telah meninggalkan Istana Pajang sebelum Tanah ini dengan resmi diserahkan.
Di sore harinya Sutawijaya
telah menyiapkan sebuah pasukan kecil yang akan pergi ke bagian utara dari
Tanah Mataram yang sedang dibuka ini. Ia berkenan juga mengunjungi Wanakerti
yang masih sangat lemah karena luka-lukanya.
“Kau tinggal saja di sini Ki
Wanakerti,” berkata Sutawijaya, “biarlah seorang kawanmu itulah yang akan
mengantarkan kami.”
“Tidak Tuan. Aku mohon agar
aku diperkenankan untuk ikut serta kembali ke daerah itu. Besok aku pasti sudah
sehat kembali. Aku sudah mendapat obat yang baik di sini bagi luka-lukaku.”
“Tetapi kau masih sangat
lemah.”
“Aku sudah sehat. Apabila Tuan
memperkenankan, aku mohon agar aku diperbolehkan ikut serta. Bukankah kita
hanya akan sekedar duduk di atas punggung kuda?”
“Kau telah mengalami sendiri.
Bagaimana kalau terjadi sesuatu di perjalanan?”
“Aku akan menyingkir. Aku
merasa bahwa aku memang belum cukup kuat untuk bertempur. Tetapi aku juga tidak
akan mengganggu. Aku akan mencoba menjaga diriku sendiri.”
Sutawijaya tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bailklah. Jika kau berkeras hati
untuk pergi bersama kami besok. Tetapi sekarang berusahalah beristirahat
sebaik-baiknya, supaya besok kau menjadi semakin segar.”
“Terima kasih Tuan. Aku merasa
bahwa luka-lukaku kini sudah sembuh sama sekali.”
“Jangan terseret oleh arus
perasaan. Lihatlah kenyataanmu sekarang. Kau masih memerlukan perawatan. Karena
itu beristirahatlah.”
“Ya Tuan. Aku akan
beristirahat sebaik-baiknya.”
Dalam pada itu, sebuah kelompok
kecil para pengawas telah disiapkan. Besok pagi-pagi benar mereka akan
berangkat dipimpin langsung oleh Raden Sutawijaya. Dan agaknya Raden
Sutawijayapun telah mengambil keputusan bahwa kedua pengawas yang datang itu
besok akan pergi bersama-sama dengan mereka, meskipun Wanakerti masih sangat
lemah. Namun mereka terpaksa melepaskan seorang kawan mereka yang ternyata
telah gugur di perjalanan.
Sementara itu, di pinggir
hutan yang sedang dibuka, Kiai Gringsing dan kedua muridnya telah kembali pula
sampai ke barak. Mereka melihat pemimpin pengawas yang terluka itu telah duduk
di serambi barak, bersandar dinding bersama beberapa orang laki-laki. Agaknya
mereka sedang memperbincangkan keadaan mereka dan usaha mereka untuk membuka
hutan yang penuh dengan rahasia itu.
Ketika pemimpin pengawas itu
melihat Kiai Gringsing beserta kedua muridnya, iapun menarik nafas dalam-dalam.
Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berdesis, ”Ternyata mereka selamat.”
“Kenapa?” bertanya salah
seorang yang duduk di sampingnya.
Pemimpin pengawas itu
memandanginya dengan heran. Bahkan kemudian iapun bertanya “Kenapa kau bertanya
begitu? Apakah kau tidak mengetahui keadaan terakhir dari daerah ini.”
Laki-laki itu
mengangguk-anggukkan kepalanya “Ya. Aku mengerti. Tetapi bukankah orang-orang
itu termasuk orang-orang yang aneh? Bukan saja keberaniannya, tetapi ternyata
mereka dapat mengatasi kesulitan yang timbul karena sikap-sikap yang keras dan
bahkan senjata-senjata racun yang mengerikan itu.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-angguk pula. “Ya,” katanya, “sebenarnya kita tidak perlu
mencemaskannya. Namun demikian, kita tidak tahu pasti dan sama sekali tidak
mempunyai gambaran, siapa dan berapa jumlah kekuatan yang tersembunyi di balik
rimbunnya dedaunan Hutan Mentaok. Itulah yang membuat kita menjadi ragu-ragu.”
Setiap laki-laki yang
mendengar keterangan itu mengangguk-anggukkan kepala mereka, sementara Kiai
Gringsing telah berdiri di tangga barak.
“Apakah keadaanmu sudah baik?”
bertanya Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Ya, keadaanku sudah berangsur
baik.”
“Syukurlah” katanya kemudian
sambil naik ke serambi, sementara kedua anaknya pergi membersihkan diri ke
perigi.
“Apakah kau tidak menjumpai
sesuatu?” bertanya pemimpin pengawas itu.
Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya
“Tidak. Tidak ada apa-apa. Kami bekerja penuh seperti biasa.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-angguk. “Syukurlah” katanya kemudian.
Kiai Gringsingpun kemudian
berdiri pula menyusul kedua muridnya membersihkan dirinya, sementara senja yang
merah telah menyelubungi daerah yang masih saja dibayangi oleh kecemasan karena
rahasia yang tersimpan di Alas Mentaok masih belum terpecahkan.
Setelah ketiganya selesai.
maka merekapun segera kembali ke barak. Mereka menunggu pemimpin pengawas itu
terpisah dari orang-orang lain, supaya laporannya tentang suara burung kedasih
tidak menambah kegelisahan mereka.
“Jadi kalian mendengar suara
burung itu terus-menerus?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Ya” jawab Kiai Gringsing.
“Apakah menurut dugaanmu suara
itu sama sekali bukan suara burung yang sebenamya?”
Kiai Gringsing menganggukkan
kepalanya. “Memang bukan. Aku yakin bahwa suara itu adalah suatu isyarat saja.”
Pemimpin pengawas itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kalau begitu kalian memang harus sangat
berhati-hati. Kita memang menghadapi suatu keadaan yang sulit. Kita disini
mengharap bahwa para pengawas berhasil mencapai pusat Tanah Mataram sehingga
mereka dapat menyampaikan laporan itu kepada para pemimpin tertinggi di
Mataram.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia juga merasa cemas. Di perjalanan
banyak hal yang dapat terjadi. Tetapi apabila mereka selamat, mereka pasti
sudah sampai di Mataram dan laporan itu pasti sudah didengar oleh Ki Gede
Pemanahan atau putranya Sutawijaya.
“Kita harus menunggu sampai
besok,” berkata pemimpin pengawas itu, ”kalau mereka sampai pada alamatnya,
besok pasti akan datang beberapa orang baru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun di dalam kepalanya herkecamuk berbagai
masalah yang dapat terjadi malam nanti. Meskipun mereka hanya harus menunggu
semalam, tetapi yang semalam itu akan dapat terjadi banyak persoalan. Apalagi
apabila para pengawas itu tidak berhasil mencapai Mataram. Maka keadaan pasti
akan menjadi lebih sulit lagi.
Demikianlah ketika malam
turun, Kiai Gringsing mulai membagi tugas dengan murid-muridnya. Kedua muridnya
harus pergi ke barak yang lain untuk memberikan sedikit ketenangan kepada
orang-orang yang tinggal disana. Sementara Kiai Gringsing bersama pemimpin pengawas
yang terluka itu tinggal di barak itu.
“Kalau terjadi sesuatu yang
tidak dapat kalian atasi sendiri, kalian harus memberikan tanda,” berkata
gurunya, “disana ada sebuah kentongan kecil. Pergunakanlah apabila perlu.
Akupun akan berbuat serupa. Apabila perlu, aku akan memanggil kalian pula
kemari.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Keduanyapun kemudian turun kehalaman yang sudah
disaput oleh kehitaman malam.
Namun langkah mereka tertegun
ketika mereka melihat sebuah bayangan yang berjalan perlahan-lahan menuju
kepada keduanya. Begitu langsung dan tanpa ragu-ragu sama sekali.
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi berdebar-debar. Tanpa mereka sadari, maka merekapun kemudian bersiap
menghadapi segala kemungkinan.
Kiai Gringsingpun kemudian melihat
bayangan yang mendatang itu pula. Selangkah ia maju sampai ke bibir tangga.
Dengan tajamnya ia memandang bayangan yang semakin lama menjadi semakin dekat.
Sejenak mereka menjadi curiga.
Tidak ada seorangpun di antara orang-orang yang tinggal di barak itu yang
berani berjalan setenang itu di dalam malam yang sudah mulai gelap selain Kiai
Gringsing dan kedua muridnya. Tetapi bayangan itu agaknya sama sekali tidak
terpengaruh oleh keadaan di sekitarnya.
Semakin dekat, Kiai Gringsing
menjadi semakin jelas. siapakah yang datang itu. Bahkan kemudian iapun turun ke
halaman sambil berdesis kepada kedua muridnya, “Adi Sumangkar.”
“Paman Sumangkar?” hampir
berbareng kedua muridnya mengulang.
“Ya.”
Ketika cahaya lampu di serambi
barak menyambar wajah bayangan itu, maka semakin jelaslah, bahwa orang itu
memang benar Sumangkar.
Sambil tersenyum ia melangkah
semakin dekat. Tetapi sebelum ia menyapa Kiai Gringsing, Kiai Gringsing sudah
menyongsongnya sambil berbisik “Namaku Truna Podang.”
“O” desis Sumangkar sambil
mengguncang lengan Kiai Gringsing “apakah Kakang selamat selama ini?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya “Seperti yang kau lihat. Kedua anak-anakkupun selamat pula semuanya.
Kau?”
Sumangkar tertawa. Ia segera
menangkap, bahwa kali ini Kiai Gringsing berperan sebagai seorang yang bernama
Truna Podang. Sedang kedua murid-muridnya adalah anak-anak Truna Podang.
Sumangkarpun kemudian
diajaknya ke barak. Agung Sedayu dan Swandaru bergantian menyampaikan salam
keselamatan.
“Tetapi,” berkata Kiai Gringsing,
“kedatanganmu membuat aku berdebar-debar.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku memang sudah menyangka, bahwa kedatanganku akan
membuat kalian di sini berdebar-debar. Tetapi aku tidak membawa kabar apa-apa
yang mendebarkan itu.”
Kiai Gringsingpun
mengangguk-angguk pula. Kemudian diperkenalkannya Sumangkar kepada pemimpin
pengawas yang terluka itu. sehingga Sumangkar menjadi heran karenanya. Tanpa
sesadarnya ia bertanya, “Kenapa luka itu?”
“Kita akan saling bercerita
nanti. Sekarang, apakah kau akan mandi dahulu dan makan?”
Sumangkar mengangguk sambil
menjawab “Baiklah. Dimanakah letak perigi?”
“Tunjukkanlah pamanmu, Sedayu”
berkata Kiai Gringsing.
Sumangkarpun kemudian diantar
oleh Agung Sedayu pergi ke sumur untuk membersihkan dirinya setelah menempuh
perjalanan yang jauh.
Setelah makan secukupnya, maka
mulailah mereka bercerita tentang keadaan masing-masing. Tetapi karena
Sumangkar tidak tahu benar keadaan Kiai Gringsing saat itu, maka ia hampir
tidak pernah menyebutkan kepentingannya datang ke tempat itu. Yang paling
banyak bercerita adalah justru Kiai Gringsing sendiri.
“Luka-luka pada punggung
pemimpin pengawas itu cukup berat,” berkata Kiai Gringsing, “untunglah bahwa
pada pengawas yang lain cukup cepat mengatasi persoalannya.”
“Bukan para pengawas,” sahut
pemimpin pengawas itu, “tetapi Ki Truna Podang dan kedua anak-anaknyalah yang
mengatasi kesulitan saat itu.”
Sumangkar hanya sekedar
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Nah,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “barangkali kau masih terlampau lelah. Kau memerlukan istirahat.”
“Ya, aku lelah sekali.”
“Tetapi beruntunglah bahwa kau
dapat sampai ke tempat ini tanpa gangguan apapun di perjalananmu.”
“Aku kira memang begitu. Aku
sama sekali tidak menjumpai gangguan apapun juga.”
Kiai Gringsingpun kemudian
mempersilahkan Sumangkar untuk beristirahat. Karena kehadiran Sumangkar, maka
Kiai Gringsing terpaksa merubah pembagian kerjanya. Ki Sumangkar di persilahkan
tidur di barak yang lain bersama Agung Sedayu, sedang Swandaru tinggal bersama
gurunya, meskipun sebenarnya ia ingin tidur bersama Agung Sedayu.
“Kau dapat mengatakan keadaan
tempat ini kepada pamanmu,” bisik Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, “barang
kali kau akan mendapat kesempatan. Dan kau dapat bertanya kepadanya, kenapa ia
datang ke tempat ini.”
“Baik Guru” sahut Agung Sedayu
perlahan-lahan.
Keduanyapun kemudian pergi ke
barak yang lain, yang dihuni oleh perempuan-perempuan dan laki-laki yang
bertugas di dapur yang pada umumnya adalah laki-laki tua dan anak-anak.
Di sepanjang jalur jalan
setapak yang menghubungkan kedua barak itu, Agung Sedayu sudah mulai
menceriterakan keadaan daerah yang baru dibuka itu. Kemudian diceriterakannya
pula, kematian-kematian yang terjadi, bahkan mayat-mayat yang telah hilang.
“Untunglah gurumu seorang
dukun yang luar biasa” desis Sumangkar.
“Ya, untung sajalah.”
“Dan apakah bahaya itu sampai
saat ini masih mengancam?”
“Justru kita berada di dalam
keadaan yang menegangkan. Kami berbesar hati bahwa tiba-tiba saja Paman datang,
seakan-akan Paman sudah mengetahui kesulitan kami.”
“Aku sama sekali tidak tahu
kesulitan itu. Aku justru datang atas permintaan Ki Demang Sangkal Putung untuk
menjemput anaknya dan kau sama sekali. Terutama Nyai Demang di Sangkal Putung
sudah sangat rindu kepada anaknya yang gemuk itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Swandaru telah meninggalkan ibunya untuk
waktu yang terlampau lama. Sebagai satu-satunya anak laki-laki, maka sudah
sewajarnya kalau ibunya terlampau merindukannya, apalagi selama itu ia tidak
tahu dengan pasti kabar beritanya.
“Dan Paman dapat langsung
menemukan kami di barak itu?” bertanya.Agung Sedayu kemudian.
“Tidak. Aku menjelajahi
beberapa bagian dan hutan yang sedang dibuka itu. Aku sudah sampai di gardu
pengawas yang kosong. Kemudian menyusur sepanjang jalan yang agaknya setiap
hari dilalui oleh para pekerja yang sedang membuka hutan ini Maka akupun sampai
pula di barak ini Adalah kebetulan sekali, aku menjumpai kalian. Kalau tidak,
aku pasti akan bertanya tentang seorang tua yang bernama Kiai Gringsing. dan
kedua muridnya yang bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni.”
Agung Sedayu tersenyum. Sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Guru memang mempergunakan nama
lain. Tetapi itu sudah hampir tidak berarti lagi, karena kami di sini sudah
melibatkan diri dalam pergulatan yang semakin lama agaknya akan menjadi semakin
seru.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya “Apakah tidak ada petugas-petugas keamanan yang melindungi
daerah ini?”
“Ada, bukankah Paman sudah
bertemu dengan pemimpin pengawas yang terluka itu?”
“Ya, tetapi di mana para
pengawas yang lain sekarang?”
“Mereka pergi ke pusat
pemerintahan di Mataram.”
“Yang lain?”
“Semuanya. Mereka hanya tiga
orang. Perjalanan ke pusat pemerintahan Tanah Mataram yang baru dibuka itupun
agaknya cukup berbahaya.”
Sumangkar mengangguk-angguk
pula. Tetapi ia sudah tidak bertanya lagi. Dilihatnya cahaya lampu di serambi
barak yang satu lagi. Barak yang sebagian dipergunakan sebagai dapur untuk
menyiapkan rangsum orang-orang yang sedang membuka hutan itu.
Ketika mereka memasuki barak
itu, beberapa orang menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Yang seorang telah
mereka kenal, anak orang tua yang bernama Truna Podang itu Tetapi yang seorang
agaknya orang baru di daerah itu.
Agung Sedayu yang melihat
pertanyaan membayang disetiap wajah tanpa diminta telah menjelaskan “Orang ini
adalah pamanku. Paman Sumangkar. Paman datang untuk menjemput kami karena ibu
kami sudah terlampau merindukan anak-anaknya.”
Orang-orang yang mendengar
keterangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ada diantara mereka,
seorang laki-laki yang rambutnya sudah berwarna dua bertanya, “Lalu bagaimana
dengan kami disini? Apakah kami dilepaskan tanpa perlindungan sama sekali.”
“Para pengawas yang pergi ke
Mataram itu akan segera datang membawa sepasukan pengawal.”
“Tetapi apakah mereka dapat
melawan hantu-hantu?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Mereka masih saja selalu dibayangi oleh hantu-hantu yang
mengerikan.
“Jangan takut,” sahut Agung
Sedayu kemudian, “para pengawal itu pasti akan membawa satu dua orang yang
dapat berhubungan langsung dengan hantu-hantu. Apakah kalian menyangsikan,
bahwa di Mataram tersimpan pusaka-pusaka yang dapat menguasai hantu-hantu.”
“Kalau memang demikian,” jawab
orang itu, “kenapa orang-orang yang berkuasa di Mataram tidak berbuat apa-apa
sebelumnya?”
“Ah, tentu mereka sudah banyak
berbuat. Mereka selalu merondai daerah hutan-hutan yang wingit. Tetapi mereka
tidak pernah menjumpai hantu-hantu itu sehingga mereka menyangka, bahwa
hantu-hantu itu sudah tidak mengganggu lagi.”
“Tetapi apa yang terjadi
disini? Hantu-hantu itu masih tetap menguasai kami.”
“Itulah yang dilaporkan oleh
para pengawas di antaranya, selain orang-orang yang telah mengganggu
ketenteraman kami disini.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Tetapi nampaknya la masih belum puas. Meskipun demikian ia sudah
tidak bertanya lagi.
Agung Sedayu dan Sumangkarpun
kemudian duduk di serambi barak itu, di bawah cahaya lampu yang bergoyang
disentuh angin malam. Di luar suara cengkerik bersahut-sahutan dibarengi suara
ilalang.
Bukan hanya sekedar suara
binatang-binatang kecil di sela-sela rerumputan. Namun kemudian lama-lama
mereka mendengar suara harimau yang mengaum di tengah-tengah hutan yang lebat.
Tetapi suara harimau sama sekali tidak menarik perhatian lagi bagi orang-orang
di dalam barak. Mereka sama sekali tidak takut melawan harimau. Mereka
beramai-ramai akan dapat membunuhnya dengan tombak-tombak panjang.
Tetapi ketika mereka mendengar
suara burung kedasih yang memelas, maka orang-orang di dalam barak itu mulai
mengerutkan lehernya ke bawah selimut-selimut mereka.
Seorang perempuan dengan hati
yang berdebar-debar masih mendengar Agung Sedayu dan Sumangkar bercakap-cakap
di serambi. Tetapi perempuan itu sama sekali tidak berani berbuat apa-apa.
Apalagi karena suara burung kedasih itu rasa-rasanya menjadi semakin dekat.
Agung Sedayupim kemudian
mengerutkan keningnya. Suara burung itu dikenalnya sejak lama. Karena itu, maka
iapun berbisik “Paman, agaknya malam inipun kita akan mendapat tamu selain
Paman.”
“Siapa?”
“Hantu-hantu itu. Barangkali
paman ingin mendengar suaranya?”
“Ya.”
“Marilah kita masuk. Kalau
mereka melihat kita tetap disini, mungkin mereka akan merubah niatnya. Kita
akan berbaring di antara mereka.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Aku memang ingin melihat hantu itu.”
“Untuk sementara kita hanya
dapat mendengar.”
Sumangkar mengerutkan
keningnya. Ia tidak begitu mengerti jawaban Agung Sedayu itu.
Agaknya Agung Sedayu dapat
menangkap perasaan Ki Sumangkar, sehingga karena itu ia berkata “Hantu-hantu
itu tidak mendekati barak-barak ini. Mereka hanya lewat sambil memperdengarkan
bunyi-bunyi yang aneh.”
“Kitalah yang mendekat.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia berpaling memandangi orang-orang lain
yang ada didalam barak itu. Katanya “Mereka menjadi sangat ketakutan. Apabila
terjadi sesuatu, mereka akan langsung menyalahkan kita. Sementara ini kita
sedang berusaha mengambil hati mereka, terutama di barak yang satu itu. Kalau
kita berhasil membuka hati mereka meskipun perlahan-lahan, pekerjaan kita akan
lebih mudah lagi Para pengawas agaknya sudah mulai terbuka hati dan
tanggapannya terhadap hantu-hantu itu. Tetapi para penghuni yang lain agaknya
belum.”
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya pula. Perlahan-lahan ia bergumam seperti ditujukan kepada diri
sendiri. “Lalu kapan tugas ini selesai? Semuanya harus dikerjakan lambat laun
dan telaten. Padahal Ki Demang Sangkal Putung suami isteri sudah begitu
rindunya kepada Swandaru dan betapa rindunya pula kepada suatu peristiwa yang
akan menyangkut hidup keluarga mereka.”
“Apa itu paman?” bertanya
Agung Sedayu.
“Kalau aku boleh berterus
terang, Ki Demang suami isteri sudah sangat ingin menimang seorang cucu.”
“Ah” Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Sedang wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan.
“Ki Demang sudah mendengar
berita yang aku sampaikan kepadanya, bahwa anak laki-lakinya sudah mengikat
diri dengan seorang gadis Menoreh, Pandan Wangi. Sedang masalahmu Ngger, Ki
Demang suami isteri sudah mengetahui jauh sebelumnya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Kalau masalah pinggiran hutan
ini mengikat kalian di sini, lalu kapan kalian akan kembali ke Sangkal Putung?
Apakah kalian juga akan menunggu daerah ini menjadi kota dari berkembang
menjadi suatu negeri?”
Agung Sedayu menggelengkan
kepalanya. Katanya “Aku tidak tahu Paman. Terserah kepada Guru kelak. Apakah
kita akan segera kembali, atau masih ada masalah yang kita tunggu di sini.”
“Sebenarnya aku ingin
berbicara dengan Kiai Gringsing. Tetapi malam ini aku ditaruhnya disini,
sehingga aku tidak dapat berbincang. Agaknya aku tahu maksudnya. Ia sedang
memusatkan perhatiannya kepada daerah ini, sehingga ia tidak mau terganggu.”
Agung Sedayu tidak menyahut.
Namun tanpa sesadarnya kepalanya masih juga terangguk-angguk.
Sejenak keduanyapun kemudian
saling berdiam diri. Angin malam yang sejuk mengusap kening mereka. Namun Agung
Sedayu kemudian mengangkat kepalanya ketika ia raendengar suara gemerincing
dikejauhan.
“Nah, mereka datang” desis
Agung Sedayu. “Marilah kita masuk dan berbaring didalam.”
Sumangkar mengerutkan
Keningnya. Katanya ”Kalau begitu caramu, sampai kapan kau akan menemukannya?”
“Guru telah membuat rencana.
Guru tidak ingin menangkap hantu-hantu kecil itu. Guru ingin mengetahui sampai
dimanakah permainan mereka itu akan berlangsung dan siapakah sebenarnya yang
berdiri di paling belakang.”
Sumangkar mengangguk-angguk.
Iapun kemudian dengan tergesa-gesa masuk kedalam barak. Seperti biasanya, pintu
barak itu tidak pernah tertutup rapat. Tetapi keduanya tidak akan dapat
mengintainya dari balik pintu, karena justru diluar malam menjadi semakin
gelap.
Suara gemerincing itu semakin
lama menjadi semakin dekat. Kemudian beberapa kali mengelilingi barak itu.
Namun suara gemerincing Itu tidak juga. segera pergi seperti biasanya. Bahkan
semakin lama menjadi semakin dekat.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Kali ini hantu-hantu itu agak menyimpang dari kebiasaannya.
Namun demikian beberapa saat kemudian hantu-hantu itupun segera menjauh dan
suaranya semakin hilang kearah barak yang sebuah lagi.
Tiba-tiba saja timbullah niat
Agung Sedayu untuk mengikutinya. Ia tidak ingin mengganggu hantu-hantu itu sebelum
mendapat perintah gurunya. Ia hanya ingin melihat dan mengikuti, apa saja yang
telah mereka lakukan malam ini.
Ketika ia mengatakan niatnya
kepada Ki Sumangkar, orang tua itupun menyetujuinya. Katanya “Aku juga ingin
melihat, barangkali akan sangat menarik bagiku dan barangkali akan dapat
menjadi oleh-oleh nanti kalau kita kembali ke Sangkal Putung.”
Keduanyapun kemudian beringsut
dari tempatnya, Orang-orang di dalam barak itu masih tetap berkerudung
selimut-selimut mereka, sehingga dengan demikian mereka tidak menghiraukan lagi
kedua orang itu. Mereka tidak melihat keduanya beringsut dan keluar dari barak.
Ketika mereka mendengar derit pintu. tidak seorangpun yang berani mengangkat
kepalanya, melihat siapakah yang sudah menggerakkan daun pintu itu.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun
kemudian berlari sambil merunduk melintasi halaman yang tidak seluas halaman
barak yang satu. Sambil berlindung di balik semak-semak merekapun berusaha
untuk mengikuti suara gemerincing yang semakin lama menjadi semakin jauh.
“Mereka menuju ke barak yang
lain” desis Agung Sedayu.
Sumangkar tidak menyahut. Ia
hanya menganggukkan kepalanya saja.
Semakin lama merakapun menjadi
semakin dekat dengan suara gemerincing itu. Tetapi mereka masih belum dapat
melihat bentuknya sama sekali.
Karena itu merekapun menjadi
semakin maju, sehingga mereka menjadi semakin mendekati barak yang ditunggui
oleh Kiai Gringsing dan swandaru.
Dalam pada itu, orang-orang di
barak itupun telah menjadi ketakutan. Meskipun mereka mencoba untuk menguasai
nalar mereka, tetapi mereka benar-benar telah diterkam oleh ketakutan. Mereka
tidak dapat melepaskan tekanan perasaan yang selama ini telah mencengkam
jantung mereka, sehingga bagaimanapun juga. suara gemerincing itu masih membuat
mereka gemetar. Bahkan pemimpin pengawas yang terluka itu masih juga menjadi
berdebar-debar. Ia sudah tidak akan takut menghadapi apapun yang dapat
dilihatnya. Mati bukan lagi suatu yang menghantuinya dan bahkan ia sudah mulai
menilai hantu-hantu itu dengan pertimbangan yang lain. Meskipun demikian,
ketakutan dan kecemasan yang menerkamnya untuk waktu yang lama masih juga tetap
membekas. Betapapun juga ia menimbang dengan akal, namun suara gemerincing itu
masih tetap mendebarkan jantungnya.
“Mereka sudah datang Guru”
desis Swandaru.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya “Kita tidak memerlukan hantu-hantu
kecil seperti itu. Mungkin jerangkong, tetekan, tuyul dan sebangsanya. Mereka
tidak lebih dari orang-orang yang tinggi kekar, yang terbunuh di dapur itu atau
setinggi-tingginya orang yang kekurus-kurusan itu.
“Apakah kita tidak memerlukan
mereka? Mereka pasti akan dapat memberikan beberapa keterangan tentang gerakan
yang telah mereka lakukan selama ini.”
“Tidak banyak yang mereka
ketahui.”
“Tetapi itu akan lebih baik
daripada kita tidak mendapat keterangan apapun juga Guru.”
“Swandaru,” berkata gurunya,
“mungkin kita mendapat beberapa penjelasan dari mereka. Tetapi akibatnya,
tingkat yang lebih tinggi dari mereka akan segera mempersiapkan diri. Mungkin
mereka dapat menghapus hal-hal yang diketahul oleh hantu-hantu kecil itu karena
memang tidak terlampau banyak.”
“Jadi bagaimana maksud Guru?”
“Aku ingin mengalami, bahwa
beberapa orang dari mereka, termasuk orang-orang pentingnya datang mengunjungi
kita di tempat kerja kita itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sementara suara gemerincing itupun menjadi semakin dekat. Namun
karena itu, orang-orang di sekitar Swandaru dan gurunya itupun, sudah
menyelimuti diri mereka rapat-rapat. Bahkan pemimpin pengawas yang duduk di
sudut ruangan menjadi pucat pula, meskipun ia masih tetap bertahan di
tempatnya.
Kiai Gringsing dan Swandarupun
kemudian saling berdiam diri. Mereka memperhatikan suara yang semakin lama
menjadi semakin dekat itu. Dan kemudian seperti biasanya, pada jarak tertentu
suara itu mengitari barak beberapa kali.
Namun kali ini, suara
gemerincing itu tidak juga segera pergi menjauh. Suara itu justru menjadi
.semakin mendekat.
Swandaru memandang wajah Kiai
Gringsing yang menegang. Tetapi Kiai Gringsing masih tetap duduk di tempatnya.
“Aneh Guru” desis swandaru
“agak lain dari kebiasaan mereka.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Namun kelainan itu agaknya
telah menambah ketakutan di setiap dada. Orang-orang di dalam barak itu menjadi
semakin kecil melingkarkan dirinya. Selimut mereka menjadi semakin rapat
menutup seluruh tubuh.
Orang yang berbaring di
samping. Swandaru, dan masih juga mendengar Swandaru berdesis, mengumpat di
dalam hatinya, “O, anak gila. Apa saja yang mereka percakapkan. Benar juga
pendapat orang yang kekurus-kurusan itu. Kekerasan hatinya dapat menumbuhkan
bencana.”
Tetapi Swandaru masih juga
berdesis, dan orang-orang yang berbaring tidak jauh daripadanya masih
mendengar, meskipun mereka tidak mengerti isinya. Dan Swandaru memang masih
berkata “Mereka justru mendekat Guru.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Iapun kemudian berkata “Kita menghadapi
persoalan yang khusus. Karena itu bersiaplah.! Mungkin kita memerlukan
penyelesaian yang khusus kali ini.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun tiba-tiba ia tersenyum sambil meraba seniatanya.
“Aku ingin menangkap tuyul
Guru.”
“Ssst” gurunya berdesis.
Keduanya menjadi tegang.
Apalagi pengawas yang masih duduk ditempatnya. Lukanya rasa-rasanya menjadi semakin
parah dan wajahnyapun bertambah pucat. Apalagi orang-orang yang sudah menjadi
semakin ketakutan. yang berbaring semakin rapat bersembunyi di bawah selimut.
Dengan demikian maka suasana
di dalam barak itu benar-benar dibayangi oleh ketakutan yang luar biasa.
Nafas-nafas menjadi sesak, dan darah serasa berhenti di urat nadi, karena
jantung telah berhenti berdenyut.
Sejenak kemudian suara
gemerincing itu menjadi semakin dekat. Agaknya beberapa langkah saja dari
dinding barak. Tetapi justru dinding belakang. Dan akhirnya suara gemerincing
itu tidak beringsut lagi. Meskipun suaranya menurun, tetapi setiap orang
didalam barak itu sadar, bahwa hantu-hantu itu masih tetap berada di belakang
barak mereka.
Sejenak kemudian, jantung
mereka serasa terlepas dari tangkainya ketika dari belakang barak itu terdengar
suara tertawa terkekeh-kekeh, seperti suara seorang kakek yang sedang
kegirangan. Atau di dalam pendengaran orang-orang yang ketakutan itu, seperti
suara hantu yang mendapat sesosok mayat baru. Mengerikan sekali. Dan suara itu
ternyata terdengar berkepanjangan tidak henti-hentinya.
Tidak ada seorangpun yang
berani bergerak. Bahkan rasa-rasanya untuk menarik nafaspun tidak ada lagi
kesempatan. Udara di dalam barak itu menjadi terasa aneh, seperti udara tanah
pekuburan.
Pemimpin pengawas yang terluka
itu masih duduk di tempatnya. Namun seakan-akan ia sudah membeku oleh suara
yang mengerikan itu. Beberapa kali ia mencoba menghalaukan cengkaman perasaan
itu dengan nalar dan pertimbangan-pertimbangan sehatnya. Namun setiap kali ia
gagal. Dan tubuhnyapun menjadi gemetar pula karenanya.
Kiai Gringsing menjadi tegang
sejenak. Hantu-hantu itu dengan sengaja mendekati dan mengganggu barak itu.
Bagi Kiai Gringsing itu adalah suatu pertanda, bahwa yang datang bukanlah
hantu-hantu kecil seperti yang dikatakannya.
Mereka pasti sudah mengetahui
apa yang terjadi sebelumnya. Hantu-hantu itu pasti sudah tahu bahwa di barak
itu ada Agung Sedayu dan Swandaru yang telah berhasil mengalahkan beberapa
orang dari antara mereka yang diliputi oleh rahasia itu. Karena itu, apabila
mereka dengan sengaja datang kebarak ini, mereka pasti sudah
memperhitungkannya.
“Mereka ternyata mendatangi
barak ini” desis Kiai Gringsing.
Swandaru menganggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
“Hati-hatilah,” desis gurunya,
“kalau mereka berani berbuat demikian, mereka pasti sudah membuat
perhitungan-perhitungan tertentu. Bahkan mungkin berdasarkan atas perhitungan
mereka karena para pengawas telah menghubungi pusat Tanah Mataram.”
Swandaru masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyadari kata-kata gurunya. Hantu-hantu itu
pasti sudah membuat perhitungan-perhitungan tertentu. Karena itu, ia memang
harus berhati-hati.
“Kau sudah menelan sebutir
obat siang tadi. Obat itu pasti masih berpengaruh atasmu. Apabila kau tersentuh
racun dari hantu-hantu yang barangkali karena putus-asa atau kehabisan akal
akan menyerang kita, kau masih dapat bertahan, Demikian juga Agung Sedayu. Kita
disini tidak tahu apa saja yang dikerjakannya sekarang.”
Swandaru memandang gurunya
sejenak, lalu, “Apakah kita akan menunggu mereka, atau kita akan keluar dari
barak ini?”
“Kita akan melihat
perkembangan keadaan.”
Belum lagi Kiai Gringsing diam
sama sekali, terdengar suara tertawa itu meninggi. Kemudian melengking mengerikan.
Dari sela-sela suara yang masih berkepanjangan itu terdengar suara yang lain,
“He penghuni barak yang bodoh.”
Ternyata suara itu benar-benar
telah mengguncang setiap hati, sehingga beberapa orang hampir menjadi pingsan
karenanya. Mereka menjadi semakin ketakutan mendengar suara yang bercampur baur
di belakang barak mereka itu.
“Ada kesalahan yang besar yang
telah kalian lakukan” suara itu masih menggetar di antara suara tertawa yang
tidak terputus.
“Aneh Guru” Swandaru tiba-tiba
berdesis.
“Apa yang aneh?” bertanya
gurunya.
“Suara itu, Bagaimana mungkin
seseorang dapat berbicara sambil tertawa dengan suara yang melengking-lengking
itu?”
“Kau yang aneh”
“Kenapa aku?”
“Seharusnya kau tidak bertanya
demikian. Apakah ada ketentuan dari manapun, bahwa hantu-hantu tidak boleh
datang berdua, bertiga atau barangkali berpuluh-puluh yang telah mengepung
barak ini?”
“O” Swandaru
mengangguk-anggukan kepalanya pula. “Ya, mereka pasti datang dalam jumlah yang
cukup.”
Dalam pada itu suara dari
belakang barak itu berkata terus “Karena itu, kami menuntut agar kalian
menyesali kesalahan itu.”
Suara itu seakan-akan bergema
diseluruh ruangan barak yang membujur panjang itu, dan singgah di setiap
telinga sehingga orang-orang yang ada di dalamnya menjadi semakin ketakutan.
Seandainya tubuh mereka disayat pisaupun agaknya tidak akan dapat menitikkan
setetes darah yang masih merah.
“Kalian telah membuat beberapa
kematian justru orang-orang yang dapat mengerti tentang kami. Justru
orang-orang yang paling baik di antara kalian, dan yang bersedia bersama dengan
kami. Orang-orang itulah yang selama ini menjadi jembatan di antara kita.
Tetapi orang-orang itu justru sudah kalian bunuh.”
Suara itu berhenti sejenak.
Dan yang terdengar kemudian bagaikan seekor harimau yang menggeram. Lalu “Sudah
tentu kami akan menuntut balas. Mereka adalah orang-orang yang baik, sehingga
karena itu nilai mereka bagi kami berbanding satu dengan sepuluh. Seorang dari
orang-orang yang baik itu, akan kami tuntut ganti sepuluh orang dari antara
kalian.”
Tubuh-tubuh yang terbaring di
dalam barak itu menjadi semakin gemetar. Tidak seorangpun yang berani bergerak
sama sekali. Apalagi setelah mereka mendengar tuntutan hantu-hantu itu. Maka
rasa-rasanya nyawa mereka telah berada di ubun-ubun. Seorang yang tidak tahan
lagi mendengar suara-suara itu ternyata telah jatuh pingsan tanpa ada yang
mengetahuinya, karena selimut yang menutup seluruh tubuhnya.
“Ayo,” berkata hattu itu,
“siapakah yang akan mati lebih dahulu saat ini?”
Suara itu berhenti sejenak
seakan-akan memberi kesempatan kepada orang-orang di dalam barak itu untuk
berpikir. Tetapi kemudian suara itu berkata “Namun demikian, kami masih memberi
kesempatan kepada kalian untuk minta maaf kepada kami dengan satu syarat.
Menyerahkan orang-orang gila yang ada di dalam barak kalian itu kepada kami.
Tiga orang ayah beranak itu harus menjadi tumbal apabila kalian menghendaki
keselamatan.”
Barak itu menjadi hening.
Ketakutan yang sangat telah mencengkam mereka, seperti kesepian yang dipenuhi
oleh suasana maut yang telah membayangi setiap perasaan.
Kiai Gringsing dan Swandaru
menjadi semakin tegang. Sejenak mereka saling berpandangan. Tanpa berjanji
mereka hampir berbareng berpaling kepada pemimpin pengawas yang bersandar
disudut.
Orang-orang di dalam barak itu
kemudian mendengar hantu diluar berteriak dengan suara yang mengguncang
jantung. “Ayo. Kalau kalian tidak bersedia menyerahkan tiga orang itu, kalian
akan mengalami nasib yang jelek. Sedikitnya duapuluh orang akan mati dengan
cara yang sangat mengerikan buat manusia, tetapi menyenangkan buat
hantu-hantu.”
Tidak ada seorangpun yang
berani memberikan tanggapan.
“Kenapa kalian diam saja?”
teriak hantu-hantu itu, “Apakah kalian tidak rela? Kalau begitu, bersiaplah.
Dua puluh orang akan mati. O tidak, duapuluh lima. Aku memerlukan duapuluh lima
orang. Mereka akan menjadi budak-budak di dunia kami. Dunia halus dengan
wadag-wadag mereka supaya kami dapat menyakiti setiap saat.”
Mengerikan sekali. Mengerikan
sekali. Dan hantu-hantu itu berkata selanjutnya “Aku memberi waktu kalian untuk
berpikir sejenak.”
Suasana yang aneh telah
mencekam barak itu. Beberapa orang tiba-tiba beringsut di tempatnya.
Perlahan-lahan mereka menarik selimut mereka, dan dari sela-sela jari tangan,
mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan anak-anaknya. Yang mereka lihat
kemudian adalah Truna Podang itu duduk hanya dengan satu anaknya karena anaknya
yang lain pergi kebarak sebelah bersama seorang tamunya.
Dalam ketegangan itu ternyata
telah terjadi pergolakan di setiap dada. Ketakutan yang dahsyat telah mendorong
mereka untuk berpikir, apakah mereka akan menyerahkan orang tua bersama kedua
anak-anaknya itu.
Tanpa dikehendaki, dua orang
yang menjengukkan kepalanya saling berpandangan sejenak. Namun mereka tidak
segera berbuat apa-apa.
Sementara itu, pemimpin
pengawas yang terluka masih juga bersandar dinding. Ia mencoba dengan segenap
kemampuan akalnya untuk menentang permintaan hantu-hantu itu. Perlahan-lahan ia
berhasil menguasai perasaannya, sehingga akhirnya ia berketetapan bahwa
permintaan itu adalah permintaan yang sangat gila. Hantu yang manapun tidak
akan sempat memberikan pilihan semacam itu. Seandainya mereka mempunyai
kekuasaan, maka mereka akan dapat berbuat sekehendak hati mereka tanpa
pertimbangan-pertimbangan yang sangat memuakkan itu.
Meskipun demikian, bayangan
keragu-raguan masih mengabut dikepalanya, sehingga pemimpin pengawas itu masih
belum berbuat apa-apa.
Ketegangan yang memuncak
itupun akhirnya telah mengusik setiap orang yang berbaring di dalam barak itu.
Setiap orang menginginkan agar dirinya sendiri diselamatkan, meskipun karena
itu, orang lain harus dikorbankan. Di dalam pilihan yang demikian seseorang
akan berpijak pada sifat manusiawi. Bertahan diri dengan cara apapun juga.
Hanya orang-orang yang merniliki kelebihan hakiki sajalah yang sanggup
menyingkirkan sifat itu, dan bersedia berkorban untuk kepentingan orang lain.
Perasaan yang demikian, adalah perasaan kasih yang tertinggi yang dimiliki oleh
seseorang untuk sesamanya, meskipun kadang-kadang seseorang tidak tepat
meletakkan dasar pertimbangan, sehingga dengan pahit terjadi pengorbanan tulus
yang sia-sia.
Demikianlah yang sedang
bergolak di setiap hati orang-orang di dalam barak itu. Mereka lebih senang
mengorbankan tiga orang seperti yang diminta oleh hantu-hantu itu. Bukan karena
mereka memperhitungkan bahwa tiga itu jauh lebih sedikit dari duapuluh apalagi
duapuluh lima, tetapi karena yang tiga orang itu bukanlah diri mereka sendiri.
Yang tiga itu adalah orang-orang yang sudah ditunjuk oleh hantu-hantu. Bahkan
seandainya korban akan dituntut jauh lebih banyak dari itu, jauh lebih banyak
dari duapuluh lima, tetapi yang lebih dari duapuluh lima itu bukan diri mereka
sendiri, merekapun pasti akan memilih jumlah itu.
Namun suasana di dalam barak
itu masih tetap sepi meskipun terasa dibakar oleh ketegangan yang memuncak.
Semua orang telah memandang Kiai Gringsing yang masih tetap duduk ditempatnya
dari sela-sela selimut yang mereka singkapkan.
Tiba-tiba mereka terkejut
karena suara di luar menyentak “He, apakah kalian sudah mendapat pilihan?”
Tidak ada jawaban sama sekali.
“Aku masih memberi kesempatan
kepada kalian. Yang harus kalian lakukan di dalam pilihan ini adalah, apabila
kalian memilih mengorbankan tiga orang itu, segera lakukanlah. Bunuhlah mereka.
atau setidak-tidaknya usirlah mereka keluar. Kami akan menangkap dan membantu
kalian membunuh mereka di dalam kegelapan. Kami tidak senang berada di dalam
cahaya lampu yang silau, meskipun apabila perlu kami dapat memadamkannya.
Tetapi kalau kalian tidak melakukannya, maka kalian yang akan menjadi korban.”
“Duapuluh lima orang! Mungkin
kau, mungkin kau, kau, kau, kau atau anak-anakmu atau saudara-saudaramu atau
kalian semuanya sekeluarga.”
Dada orang-orang di dalam
barak itu mulai bergolak. Perasaan mereka yang kabur menjadi semakin gelap,
sehingga tiba-tiba salah seorang yang ketakutan tanpa dapat dikekang berteriak
“Kita bunuh mereka. Kita bunuh mereka.”
Kiai Gringsing menjadi
berdebar-debar. Tidak mungkin melawan orang-orang bodoh yang tidak berdaya itu.
Meskipun ia dapat berbuat apa saja, tetapi ia tidak akan dapat mengorbankan
mereka di dalam kebodohannya itu. Sehingga dengan demikian, Kiai Gringsing
justru menjadi bimbang sejenak.
Namun dalam pada itu, selagi
Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu dicengkam oleh
keragu-raguan, terdengarlah di luar suara lain yang besar berkumandang di
udara, “He hantu-hantu kerdil, apakah kerja kalian di situ? Kalian hanya dapat
menakut-nakuti tikus-tikus kecil itu. Ketahuilah, aku adalah Kiai Dandang Wesi
dari Gunung Merapi,”
Suara itu ternyata telah
menggetarkan hati setiap orang yang mendengarnya. Bahkan Kiai Gringsing dan
Swandarupun menjadi tegang sejenak. Ketika mereka berpaling kepada pengawas
yang duduk dengan lemahnya, mereka melihat pemimpin pengawas itn beringsut dari
tempatnya.
Belum lagi seseorang sempat
berbuat apapun, suara itu terdengar lagi. “He hantu-hantu yang tidak tahu adat.
Aku sudah mengadakan pembicaraan dengan rajamu. Sekarang kalian berbuat menurut
kehendakmu sendiri.”
Malam serasa menjadi bertambah
sepi dan tegang. Dan suara itu masih berkata “Adalah perbuatan yang terkutuk
sekali apabila kau menuntut ganti orang-orang yang berpihak kepadamu itu
sejumlah duapuluh lima orang, atau tiga orang ayah beranak itu. Aku adalah Kiai
Dadang Wesi. Aku sudah berjanji untuk melindungi mereka dari ancaman siapapun
juga. Termasuk ancaman orang-orang, eh, hantu-hantu gila seperti kalian. Sebab
dengan perbuatan kalian itu, kalian telah menodai nama dan kuasa hantu-hantu
yang sebenarnya. Sebagai utusan dari Gunung Merapi, aku memperingatkan, agar
kalian melepaskan tuntutan kalian itu.”
Orang-orang di dalam barak
itupun menjadi kian membeku. Orang yang sudah terlanjur berteriak untuk
membunuh ketiga ayah beranak itupun seakan-akan telah mematung di tempatnya.
Hatinya benar-benar telah terguncang. Sama sekali tidak disangkanya, bahwa di
luar baraknya ada jenis hantu yang lain, yang juga pernah didengarnya. Kiai
Dandang Wesi dari Gunung Merapi
“Apakah kalian tidak ingin
mengurungkan tuntutan kalian itu?” masih terdengar suara dari hantu yang
menyebut dirinya bernama Kiai Dandang Wesi.
Namun tidak ada jawaban sama
sekali. Suara tertawa yang melengking-lengking itupun telah lenyap seperti
disapu angin malam yang bertiup dari selatan.
Orang-orang di dalam barak itu
bagaikan sabut yang diguncang ombak di lautan yang luas. Perasaan mereka
benar-benar telah terombang-ambing tanpa dapat mereka kendalikan lagi. Beberapa
orang diantara mereka sudah tidak dapat mempergunakan nalar, sehingga meskipun
mereka masih tetap sadar, tetapi mereka tidak lebih dari sesosok tubuh yang
kosong sama sekali.
Mereka yang masih sadar,
tiba-tiba saja mendengar desis dan bisik yang lembut di belakang gardu. Tetapi
mereka tidak dapat menangkap sama sekali apa yang sedang diperbincangkan.
Tetapi terbayang di dalam angan-angan mereka, beberapa sosok hantu sedang
berdiri termangu-mangu, menghadapi jenis hantu yang lain, yang mempunyai kuasa
yang sama dengan mereka.
Perlahan-lahan pemimpin
pengawas yang terluka itu beringsut mendekati Kiai Gringsing yang duduk tegang
di samping Swandaru. Tetapi ketika ia sudah berada beberapa jengkal dari orang
tua itu, pemimpin pengawas itu masih juga tetap terdiam.
Sejenak kemudian malam kembali
disayat oleh suara yang dalam dan berat, “Apa katamu he hantu-hantu kecil
Jerangkong, tetekan, tuyul, culi dan wedon-wedon cengeng. Ayo, aku memberi
kalian waktu sejenak. Kalau kalian tidak pergi dari tempat itu, aku Kiai
Dandang Wesi akan bertindak. Aku tahu, bahwa pemimpin-pemimpinmu tidak akan
senang atas tindakanku ini, tetapi pemimpin-pemimpinmu yang tertinggi pasti
akan berterima kasih kepadaku.”
“Persetan” tiba-tiba terdengar
suara dari belakang barak.
Tetapi sebelum dilanjutkannya,
dikejauhan terdengar suara menyahut “Ya. kalian memang setan-setan.”
“Diam!” suara di belakang
gardu itu berteriak, “kami bukan saja terdiri dari hantu-hantu kecil.”
“Ya, aku memang melihat
diantara kalian ada genderuwo. Tetapi sudah tentu genderuwo yang bengal. Yang
tidak tunduk kepada atasannya. Sudahlah, jangan banyak bicara. Tinggalkan
tempat itu, atau aku akan membakar kalian dengan api neraka yang paling panas.
Kalian tahu, bahwa aku dapat menceburkan kau ke kawah Gunung Merapi?”
“Jangan membual. Aku tetap
pada pendirianku. Aku akan membunuh tidak saja duapuluh lima orang. tetapi
semua orang di dalam barak ini.”
“Kau mengundang bencana bagi
seluruh Alas Mentaok. Itu berarti perang dengan Gunung Merapi dan pegunungan di
sekitarnya, Merbabu dan pegunungan Somawana, Gajah Mungkur sampai ke Hutan
Kedung Pati. Dan ini sama sekali tidak dikehendaki oleh raja kalian.”
Sejenak tidak ada jawaban.
Kembali terdengar suara berbisik di belakang gardu. Seakan-akan hantu-hantu itu
sedang merundingkan apa yang sebaiknya dilakukannya.
“Ingat,” teriak suara dikejauhan,
“kalian berdiri sendiri. Alas Tambak Baya, Ereng-ereng Kali Praga dan Daerah
Gunung Sepikul pun tidak sependapat dengan cara kalian. Meskipun jumlah mereka
tidak begitu banyak; namun bersama-sama dengan kami mereka akan merupakan lawan
yang berat bagi Alas Mentaok. Apalagi dendam yang membara di hati mereka tidak
akan dapat dipadamkan untuk waktu yang berabad-abad karena tindakan kalian
selama ini. Mereka selalu terdesak dan kalian hinakan sebagai hantu-hantu yang
tidak mempunyai kekuasaan halus seperti kalian.”
Ketegangan rasa-rasanya telah
menghanguskan setiap jantung dari orang-orang yang tinggal di dalam barak itu.
Mereka tidak tahu, apakah mereka berpengharapan atau menjadi semakin ketakutan
mendengar percakapan hantu-hantu itu. Hanya Kiai Gringsing dan Swandaru sajalah
yang semakin lama justru menjadi semakin tenang. Bahkan Swandaru menjadi
tersenyum ketika ia mendengar suara hantu di kejauhan menjadi serak, bahkan
kemudian terbatuk-batuk.
“Agaknya kita sudah harus
mulai” desis Kiai Gringsing.
“Apakah sebenarnya yang telah
terjadi?” bertanya pemimpin pengawas itu.
“Kalau hantu-hantu itu
benar-benar akan bertempur, kita tidak akan dapat tetap tinggal diam di sini.”
Pemimpin pengawas itu
memandang Kiai Gringsing dengan heran. Ia tidak segera mengerti maksud orang
yang menyebut dirinya bernama Truna Podang itu.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing itu kemudian, “agaknya hantu-hantu itu sudah sampai pada puncak
kesabarannya. Mereka memerlukan aku dan kedua anak-anakku. Tetapi seperti yang
dijanjikan maka Kiai Dandang Wesi benar-benar akan melindungi kita di sini. Dan
aku percaya bahwa kuasa Kiai Dandang Wesi itu tidak kalah dari hantu-hantu
kerdil itu.”
Pemimpin pengawas itu
mengerutkan keningnya. Sedang Kiai Gringsing berkata terus, kini kepada seisi
barak “Nah, sekarang siapakah di antara kalian yang masih ingin membunuh aku?”
Suaranya justru menjadi lantang dan keras, seakan-akan dengan sengaja
diperdengarkan kepada hantu-hantu itu. “Di sini selain hantu-hantu kerdil itu
ada juga hantu-hantu lain yang lebih dekat dari manusia, yaitu Kiai Dandang
Wesi. Bukan sekedar wedon cengeng atau jerangkong kurus, tetapi Kiai Dandang
Wesi adalah perayangan. Jenis hantu tertinggi yang menguasai daerah Gunung
Merapi.”
“Omong kosong” tiba-tiba
terdengar suara di belakang barak. Ternyata hantu-hantu yang mendengar suara
Kiai Gringsing itu telah membantah langsung pernyataan orang tua itu. “Aku
tetap pada pendirianku. Membunuh kalian atau tiga orang ayah beranak.”
“Bagus,” berkata Kiai
Gringsing, “aku serahkan kepada isi barak Ini. Membunuh aku atau kalian
terbunuh. Tetapi siapa yang membunuh aku, maka Kiai Dandang Wesi akan membalas
sampai tujuh keturunan. Kalian akan di tumpas kelor dengan bayi-bayi kalian.”
Swandaru yang berada di
samping Kiai Gringsing hampir tidak dapat menahan tertawanya, ia merasa
seakan-akan melihat suatu pertunjukan lelucon yang sangat menarik, sehingga
gurunya tidak lagi sempat meneliti kata-katanya. Bagaimana mungkin orang dapat
menumpas sampai tujuh turunan. Kalau satu turunan sudah ditumpas, maka tidak
akan ada keturunan kedua apalagi sampai ketujuh. Namun demikian Swandaru masih
tetap berusaha untuk tidak merusak suasana. Ia tidak mau dengan tiba-tiba saja
menghentakkan ketegangan yang masih mencengkam, supaya perasaan orang-orang di
dalam barak itu tidak tersentak-sentak.
Tetapi Swandaru tahu benar,
apa yang sedang terjadi di luar barak. Ia tidak dapat dikelabuhi, bahwa suara
di kejauhan yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi adalah suara Agung Sedayu.
Agaknya Agung Sedayu yang pernah mendengar nama Kiai Dandang Wesi dari gurunya
dan mendengar ceritanya, segera mengambil alih persoalan. Agung Sedayu sadar,
bahwa karena gurunya berada di dalam barak itu, maka ia tidak akan dapat
berbuat apa-apa untuk menghadapi hantu-hantu itu dengan cara yang serupa.
“Aku tidak tahu apa yang kau
lakukan” bisik Sumangkar yang berjongkok di samping Agung Sedayu di balik
rimbunnya dedaunan.
Agung Sedayu meraba Iehernya
yang sakit karena ia harus berteriak-teriak dengan nada suara yang rendah dan dalam.
Sambll menelan ludahnya ia memandang Sumangkar yang keheran-heranan.
“Kita sedang bermain
hantu-hantuan” desis Agung Sedayu kemudian ”agaknya Guru sudah dapat menangkap
apa yang aku lakukan.”
“Tetapi bagaimana dengan
hantu-hantu itu?”
“Seperti yang kita lihat.
Mereka adalah manusia-manusia biasa. Hanya ada dua diantara mereka yang memakal
pakaian seperti hantu. Dua orang itulah yang apabila terpaksa harus menampakkan
dirinya. Tetapi yang lain, yang bersembunyi di kegelapan itu sama sekali tidak menyerupai
hantu.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia melihat lima atau enam orang mengendap-endap di belakang barak,
di tambah dengan dua sosok hantu yang tinggi dan berkepala jerangkong.
“Permainan mereka hampir
habis” desis Agung Sedayu.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Nah, apalagi yang akan mereka
lakukan” gumam Agung Sedayu.
Agung Sedayu dan Sumangkarpun
merayap semakin dekat. Tiba-tiba saja Agung Sedayu memungut sebuah batu. Ia
melihat hantu-hantu itu mulai melempari barak dengan batu-batu pula.
“Aku akan membalas” desis
Agung Sedayu. Sebagai seorang yang memiliki kemampuan membidik yang tinggi
Agung Sedayupun kemudian dengan sekuat tenaga melempar hantu yang berkepala
tengkorak itu. Demikian kerasnya, sehingga gemeletuk batu yang mengenai
tengkorak itu telah mengejutkan sekelompok orang-orang itu. Apalagi, hantu yang
berkepala tengkorak itu menjadi sedemikian terkejutnya, sehingga tanpa
sesadarnya ia mengaduh.
“Ssst” desis kawannya. Namun
batu yang lain telah mengenai punggung salah seorang diantaranya.
“Nah” teriak Agung Sedayu
“marilah kita berperang dengan batu. Kalian jangan melempari barak itu. Akulah
Kiai Dandang Wesi.”
Suasana menjadi hening dan
kian menegang. Orang-orang di dalam barak sudah hampir menjadi pingsan seluruhnya,
kecuali Kiai Gringsing, Swandaru dan pemimpin pengawas itu, ketika beberapa
butir batu berjatuhan menembus atap daun ilalang apalagi ketika mereka
mendengar hantu-hantu itu berkata “Sebentar lagi aku akan menjatuhkan batu-batu
yang membara. Barak ini akan terbakar dan kalian akan terpanggang di dalamnya.
Tetapi tiba-tiba mereka
mendengar suara dikejauhan, suara hantu yang menyebut dirinya Kiai Dandang
Wesi. Dan suara dikejauhan itu berkumandang lagi “Kalau kalian menjatuhkan
batu-batu yang membara, aku akan melimpahkan hujan yang deras. Batu-batumu
tidak akan berguna sama sekali.”
“Aku akan mendatangkan angin
prahara. Barak ini akan hancur bersama isinya.”
“Aku akan menciptakan tirai
yang tidak kasat mata Angin prahara itu tidak akan menyentuh selembar
ilalangpun di atap barak itu.”
Suasana yang tegang menjadi
semakin tegang. Bahkan Swandaru yang ada di dalam barak itupun mulai
mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa seterusnya ia tidak akan dapat untuk
tetap berdiam diri duduk sambil mendengarkan hantu-hantu itu berbantah.
Dan dengan dada yang
bergejolak ia mendengar hantu-hantu di belakang barak itu berteriak “Omong
kosong. Kalau kau benar-benar hantu dari Gunung Merapi dan mempunyai kuasa
untuk menciptakan hujan dan angin, apalagi tirai yang tidak kasat mata, ayo,
segera tunjukkanlah kepada kami.”
“Kami hanya akan melakukan
kalau kalian mendahului. Kami bukan sejenis tuyul yang suka menyombongkan diri
tanpa alasan. Nah, mulailah dengan batu-batu yang membara. Lihat, langit sudah
mulai mendung.”
“Sst” desis Sumangkar
perlahan-lahan “bintang bertaburan di langit.”
“O” Agung Sedayu menengadahkan
kepalanya. Tetapi sejenak tidak ada suara yang menyahut.
Namun demikian Agung Sedayu
harus mulai menyiapkan dirinya menghadapi kemungkinan-kemungkinan lain.
Hantu-hantu itu agaknya sudah mulai jemu berdebat. Mereka harus berbuat
sesuatu.
“Paman Sumangkar” bisik Agung
Sedayu “maaf kalau kedatangan Paman disini akan disambut dengan permainan yang
barangkali tidak menyenangkan bagi Paman. Tetapi apaboleh buat. Agaknya kami
sudah tidak akan dapat menunda lagi. Siang tadi beberapa pengawas telah pergi
ke pusat pemerlntahan di Tanah Mataram. Agaknya hal itu sangat berpengaruh pada
mereka. Mungkin mereka menemukan bahan-bahan atau persoalan-persoalan yang memaksa
mereka untuk segera bertindak malam ini.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sebelum ia menjawab, dilihatnya bayangan hantu-hantu di dalam
keremangan malam itu mulai bergerak-gerak memencar.
“Mereka sudah mulai.” desis
Agung Sedayu. Sumangkar mengangguk-anggukkan kepalanya “Jadi apa yang akan kita
lakukan sekarang?”
“Menghadapi mereka” bisik
Agung Sedayu.
“Bertempur?”
Agung Sedayu memandang
Sumangkar sejenak. Ia sadar, bahwa orang tua itu masih lelah karena
perjalanannya. Seharusnya ia beristirahat dan tidur nyenyak. Tetapi kini ia mau
tidak mau harus melibatkan diri di dalam perkelahian yang mungkin akan terjadi.
“Maaf Paman. Apakah Paman
masih sangat lelah?” akhirnya Agung Sedayu bertanya.
“Pertanyaanmu aneh Ngger.
Tetapi baiklah aku menjawab. Aku tidak lelah.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berbisik pula “Mereka akan mengepung kami di
sini.”
“Ya. Hantu yang berkepala
tengkorak Itu sudah melepas kepalanya. Mungkin ia merasa terganggu apabila ia
harus berkelahi sambil memegang tangkai kepalanya itu.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, Kini ia benar-benar harus bersiap menghadapi
segala kemungkinan. Seperti pesan gurunya bahwa ia harus berhati-hati kalau
hantu-hantu itu datang lagi, berarti mereka sudah siap menghadapi orang-orang
di dalam barak yang sudah mereka ketahui kekuatannya. Yang telah dapat
mengalahkan orang-orangnya yang ada di antara orang-orang yang tinggal di dalam
barak itu, bahkan yang ada di antara para pengawas. Dengan demikian, mereka
pasti yakin akan dapat mengatasi kekuatan yang ada di barak ini.
Ternyata dugaan Agung Sedayu
itu benar. Hantu-hantu itu telah merayap memencar dan berusaha mengepung Agung
Sedayu yang menyebut dirinya Kiai Dandang Wesi. Dari ternyata pula bahwa jumlah
mereka lebih banyak dari yang disangka. Didalam gelapnya malam Agung Sedayu
dari Sumangkar tidak dapat menghitung dengan pasti, berapa jumlah mereka. Namun
ketika bayangan itu mulai memisah diri dan bergeser dari tempat mereka
bersembunyi, tampaklah bahwa jumlah mereka cukup banyak.
“Berapa orang Paman?” bertanya
Agung Sedayu.
Sumangkar menggelengkan
kepalanya. Tetapi ia berbisik “Lebih dari sepuluh.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Di barak ini kini ada empat orang yang akan dapat bekerja bersama,
sedang pemimpin pengawas yang terluka itu pasti masih belum dapat berbuat
banyak.
Tanpa berjanji maka Sumangkar
dan Agung Sedayupun merenggang dua langkah. Mereka menghadap ke arah yang
berlawanan untuk dapat mengawasi seluruh keadaan di sekitar mereka.
Namun malam menjadi sangat
gelap. Sejenak mereka tidak melihat sesuatu selain hitamnya malam dan bintang-
bintang di langit. Namun lambat laun mereka melihat dari dedaunan yang
bergerak-gerak beberapa langkah di hadapan mereka. Telinga mereka yang tajampun
mulai mendengar desir ranting-ranting yang tersibak.
“Mereka sudah mulai” bisik
Sumangkar yang mundur setapak mendekati Agung Sedayu “apakah yang harus aku
lakukan? Menangkap atau mengusir mereka?”
“Kita ingin menangkap hantu,
Paman. Satu atau dua diantara mereka. Kita ingin mendapat keterangan.”
“Bagaimana dengan gurumu dan
Swandaru?”
“Kalau mereka tahu apa yang
terjadi, mereka pasti tidak akan. tinggal diam.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Baiklah” desisnya.
Keduanyapun kemudian saling
berdiam diri. Tetapi medan di sekitar mereka tidak menguntungkan. Pepohonan
perdu agak terlampau rimbun, sehingga pasti akan mengganggu. Namun mereka masih
tetap menunggu di tempatnya.
Mereka mengangkat wajah ketika
mereka mendengar salah seorang dari hantu-hantu itu berkata “Menyerahlah.
Kalian tidak akan dapat lari lagi.”
Sejenak Sumangkar dan Agung
Sedayu saling berpandangan. Namun mereka tidak akan segera mengatakan sesuatu,
apalagi menjawab ancaman hantu-hantu yang agaknya telah mengepung mereka.
“Menyerahlah” terdengar lagi
suara itu.
Tetapi Agung Sedayu dan
Sumangkar masih tetap berdiam diri. Bahkan mereka mencoba menahan nafas mereka
agar tidak segera dapat dikenal tempat mereka bersembunyi.
Dalam pada itu, di dalam barak
Kiai Gringsing dan Swandaru menjadi berdebar-debar menanggapi perkembangan
keadaan. Dari kata-kata yang didengarnya, mereka dapat membayangkan, apakah
yang kini sedang berkecamuk di belakang barak itu. Agaknya hantu-hantu itu
sudah mulai mengancam dan bahkan siap untuk menyerang.
Kiai Gringsing yang tidak
mengetahui imbangan kekuatan mereka menjadi cemas. Karena itu, maka iapun
kemudian berkata “Aku akan melihat apa yang sudah terjadi.”
“Tetapi……” pengawas itu
menjadi ragu-ragu.
“Aku dan anakku ini tidak akan
dapat tinggal diam. Kalau mereka ingin menelan kami sebagai ganti isi barak
ini, kami tidak akan berkeberatan. Tetapi aku yakin, bahwa Kiai Dandang Wesi
itu benar-benar akan melindungi kami disini.”
Kiai Gringsing tidak menunggu
jawaban. Ia masih sempat melihat beberapa wajah yang tersembul dari selimut
mereka. Tetapi wajah-wajah itu adalah wajah-wajah yang pucat.
Orang-orang di dalam barak itu
sama sekali sudah tidak tahu lagi, bagaimana mereka akan menanggapi keadaan.
Namun justru karena itu maka mereka tidak dapat menilai apakah sebenarnya yang
sedang terjadi.
“Tinggallah disini” berkata
Kiai Gringsing kepada pemimpin pengawas itu.
“Apakah kalian benar-benar
akan melihat apa yang akan terjadi diluar?”
“Ya.”
“Hati-hati1ah. Kita sama
sekali tidak tabu, apakah yang sesungguhnya terjadi. Aku menjadi sangat bingung
dan tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan.”
“Tinggallah disini. Kau sedang
terluka. Aku kira, aku tidak akan mengalami apapun.”
Kiai Gringsing tidak menunggu
jawaban pemimpin pengawas itu. Iapun segera berdiri dan melangkah keluar pmtu,
diikuti oleh Swandaru.
Namun di serambi mereka
berhenti sejenak. Kiai Gringsing mencoba menebarkan pandangan matanya
kesekeliling halaman barak itu. Tetapi ia tidak melihat sesuatu Malam semakin
lama menjadi semakin gelap.
“Hati-hatilah Swandaru”
berkata Kiai Gringsing” kita akan berusaha mendekati mereka di belakang barak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Keduanyapun kemudian menuruni
tangga serambi. Orang-orang yang berada di serambi itu sama sekali tidak berani
menggerakkan tubuhnya sama sekali. Bahkan jarinyapun tidak.
Kiai Gringsing dan Swandarupun
kemudian mengendap-endap melekat dinding samping barak itu menuju ke belakang.
Di sudut mereka berhenti sejenak untuk mendengarkan suara-suara yang dapat
memberikan petunjuk kepada mereka.
Dalam pada itu mereka
mendengar suara “Jangan mencoba mengelak lagi. Nasibmu sudah kami tentukan.”
Agung Sedayu dan Sumangkar
masih tetap berdiam diri. Tetapi mereka sudah bersiaga sepenuhnya. Apabila
hantu-hantu itu mendekat, maka mereka telah siap menyerang mereka dan kemudian
bertempur melawan sejumlah hantu-hantu itu.
“Ayo” terdengar hantu-hantu
itu berteriak “kenapa kau diam saja. Apakah Kiai Dandang Wesi sudah mati, atau
sudah lari kembali ke Gunung Merapi.”
Dada Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Tetapi sebelum ia berbuat sesuatu, tiba-tiba di kejauhan, di
sudut barak yang gelap terdengar suara yang aneh. Semakin lama semakin keras.
Akhirnya meledaklah suara tertawa yang berkumandang “He hantu-hantu bodoh. Apakah
yang kau tunggui disitu? Aku sudah disini. Akulah Kiai Dandang Wesi.”
Suara itu benar-benar telah
mengejutkan hantu-hantu yang sudah mengepung Agung Sedayu dan Sumangkar. Mereka
tidak menyangka sama sekali bahwa suara itu telah berpindah ke sudut barak.
Sehingga karena itu, mereka terdiam sejenak tanpa dapat berbuat sesuatu.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun ketika Sumangkar memandanginya, ia mengangguk kecil. Agaknya
kedua orang itu segera dapat mengetahui, bahwa suara itu pasti suara Kiai Gringsing
atau Swandaru yang telah dapat rnembayangkan suasana yang telah terjadi
Suasana di belakang barak itu
menjadi hening sesaat. Yang terdengar kemudian adalah suara tertawa yang
semakin lirih di sudut barak itu.
“Apakah kalian benar-benar
berusaha melawan Kiai Dandang Wesi?” suara di sudut barak itu terdengar lagi.
Kali ini melengking-lengking.
Agung Sedayu dan Sumangkarpun
kemudian bersembunyi semakin rapat. Mereka berjongkok di dalam rimbunnya daun
perdu. Dengan susah payah mereka mencoba mengatur jalan pernafasan mereka,
supaya hantu-hantu yang mengepung mereka tidak dapat mendengarnya.
“He, apakah kalian sedang
berburu jengkerik?” suara disudut barak itu terdengar pula. ”Kalau kalian ingin
melawan Kiai Dandang Wesi, kemarilah. Mungkin satu dua di antara kalian pernah
bertemu dengan Kiai Dandang Wesi.”
Sejenak kemudian disudut
halaman itu tampaklah bayangan hitam yang tidak berbentuk, melenting-lenting
disentuh oleh cahaya obor yang menerobos sela-sela dinding barak. Tetapi
kemudian seakan-akan tenggelam kembali ke dalam kegelapan di sudut.
Suasana di belakang barak itu
terasa menjadi semakin tegang. Selain suara tertawa yang aneh dari Kiai Dandang
Wesi, tidak ada seorangpun yang berbicara.
Karena semuanya terdiam, maka
sejenak kemudian Kiai Dandang Wesi itu berkata pula” Kenapa kalian sekarang
diam? Apakah hantu-hantu Alas Mentaok sudah mati, atau sudah lari bersembunyi?”
Masih belum ada jawaban. Namun
sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sumangkar mendengar gemerisik di dekat
mereka. Agaknya beberapa orang sedang merangkak-rangkak saling mendekati.
Keduanya semakin mengerutkan
tubuh mereka. Apalagi ketika ternyata beberapa orang berhenti di dekat
keduanya. Dan Agung Sedayu serta Sumangkar itupun kemudian mendengar beberapa
orang saling berbisik “Gila. Apakah kalian percaya bahwa yang datang itu
benar-benar hantu Gunung Merapi?”
Tidak ada seorangpun yang
menyahut.
“Aku masih ingin
membuktikannya. Mungkin orang-orang gila itu telah mencoba memancing kita.
Mereka juga tidak percaya kepada hantu-hantu Alas Mentaok, sehingga mereka
mempergunakan cara yang sama untuk mengatasi ketakutan orang-orang di barak
itu.”
“Tetapi mereka baru saja
berada di tempat ini atau di sekitarnya. Tiba-tiba saja ia sudah berada di
sudut barak selagi kita sedang mengepungnya.”
Sejenak mereka terdiam Namun
kemudian seseorang di antara mereka berkata “Marilah kita buktikan. Seandainya
benar kita berhadapan dengan hantu Gunung Merapi, kitapun tidak boleh
menyerah.”
Maka Agung Sedayu dan
Sumagkarpun menjadi semakin berdebar-debar. Ia mendengar hantu-hantu yang
sedang berbincang itu bergeser dari tempatnya. Kalau saja tanpa mereka sadari
mereka melanggarnya, maka semuanyapun harus segera dimulai.
Tetapi mereka ternyata
meninggalkan tempat itu tanpa mengetahui kehadiran Agung Sedayu dan Sumangkar.
Mereka telah merayap mendekati sudut barak. Semakin lama semakin menjauhi Agung
Sedayu.
“Mereka sudah jauh Paman”
desis Agung Sedayu.
“Bagaimana dengan kita?”
“Kitapun akan bergeser. Aku
harus menyesualkan diri dengan kegemaran Guru bermain-main seperti ini. Kita
berpindah tempat.”
Keduanyapun kemudian berpindah
tempat. Dengan hati-hati mereka bergeser mendekati barak. Tetapi mereka masih
tetap berdiam diri menunggu perkembangan keadaan, sementara Kiai Dandang Wesi
pun sudah diam pula.
Sejenak kemudian maka
terdengarlah dari kegelapan suara dari salah seorang yang mengaku hantu-hantu
Alas Mentaok “Kiai Dandang Wesi. Cobalah tampilkan dirimu Kita akan saling
memperkenalkan diri.”
“Aku sudah mengenal rajamu”
sahut suara di sudut barak.
“Tetapi kita belum berkenalan.
Mau tidak mau kau harus menunjukkan kepada kami, kenyataan tentang hantu yang
bernama Kiai Dandang Wesi. Kami sudah mengepungmu. Kau tidak akan dapat lari
lagi.”
Sejenak mereka menunggu.
Tetapi mereka tidak mendengar jawaban apapun.
“He, jawablah. Apakah kau
menjadi ketakutan?”
Masih belum ada jawaban.
“Kiai Dandang Wesi” panggil
seseorang dari persembunyiannya “kenapa kau diam saja.”
Tidak terdengar suara apapun.
“He, apakah kau sudah
membeku?”
Sekali lagi hantu-hantu itu
dikejutkan oleh suara tertawa di tempat lain. Suara itu semakin lama semakin
tinggi. Namun tiba-tiba suara itu terputus. Yang terdengar kemudian adalah.
Kata-katanya “Aku disini. Aku disini. He, siapakah yang kalian cari di situ?”