S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-023
Maka katanya kemudian,
“Alap-Alap Jalatunda, aku tidak dapat mengerti maksud kata-katamu. Bukankah
dengan demikian persoalan kita akan menjadi berkepanjangan? Kau harus berbuat
sesuatu supaya kita untuk seterusnya tidak terganggu lagi. Baik oleh Sidanti maupun
oleh orang-orang lain.”
“Sekar Mirah,” jawab Alap-Alap
Jalatunda, “kalau aku dapat datang kemari tanpa diketahui oleh seorang pun,
maka pasti tak akan ada yang mengganggu kita, seperti saat ini pula. Tak akan
ada seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang akan kita lakukan.”
“Tetapi lambat laun pasti akan
ada yang mengetahuinya pula. Apabila kau sering datang kemari. Karena itu,
apakah kita tidak lebih baik menempuh suatu cara yang lain, yang tidak akan
mendapat gangguan apa pun lagi?”
“Apalagi yang harus kita
lakukan? Cara yang mana lagi yang harus kita pilih? Kalau tidak ada orang yang
mengganggu kita, maka kita tidak usah memikirkan cara yang mana pun juga.”
Akhirnya Sekar Mirah tidak
dapat lagi menahan diri. Ia ingin Alap-Alap Jalatunda mengerti maksudnya. Namun
agaknya pembicaraan itu menjadi bersimpang-siur. Karena itu maka Sekar Mirah
berkata berterus terang. “Begini maksudku Alap-Alap Jalatunda. Kita tidak akan
dapat berhubungan hanya sekedar bertemu selama kau mendatangi pondokku.
Berbicara dan menyusun harapan-harapan saja. Marilah kita hadapi masa depan
kita dengan bersungguh-sungguh. Kalau kau benar mengingini aku, maka lakukanlah
usaha yang langsung dapat membuka jalan bagi persoalan itu. Bukankah kau masih
harus datang kepada kedua ayah-bundaku untuk melamarku? Kemudian kita tentukan
hari perkawinan kita. Setelah itu, maka kita akan dapat mencari perlindungan
kepada orang-orang yang kita anggap mengerti persoalan kita. Maka semua
perbuatanmu, semua yang telah kau lakukan pasti akan dilupakan orang. Akulah
yang akan menanggung semuanya. Sehingga persoalan kita sekarang adalah,
bagaimana kita berdua dapat menghadap ayah dan ibuku di Sangkal Pulung untuk
membicarakan keputusan kita ini.”
Alap-Alap Jalatunda mendengar
kata-kata Sekar Mirah itu seperti mendengar gemelegarnya Gunung Merapi yang
akan meledak. Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat, tetapi sesaat kemudian menjadi
kemerah-merahan. Sejenak ia terbungkam, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata
pun. Diingatnya pula pertanyaan Wuranta yang serupa, bagaimana ia akan
mengawini Sekar Mirah. Tetapi hal itu sama sekali tidak ada di dalam benaknya.
“Sekar Mirah,” berkata
Alap-Alap Jalatunda kemudian dengan suara yang bergetar. Kepalanya menjadi
semakin pening. Pening karena kata-kata Sekar Mirah itu dan pening karena
pengaruh tuak yang semakin mencengkam jantungnya. “Kenapa kau mencari cara yang
terlampau sulit itu? Aku tidak akan mempedulikan apakah ayahmu sependapat atau
tidak. Marilah kita nikmati pertemuan kita ini. Dengan bersusah payah aku
berusaha memasuki pondokmu ini. Karena itu jangan pikirkan orang yang tidak
ada. Yang ada di dalam ruangan ini adalah Sekar Mirah dan Alap-Alap Jalatunda.
Kita adalah orang-orang yang kesepian, dan kini kita telah bertemu tanpa
seorang pun yang akan mengganggu kita, apa pun yang akan kita lakukan.”
Tanah tempatnya berpijak
serasa berguncang dengan dahsyatnya ketika Sekar Mirah mendengar dan menangkap
maksud Alap-Alap Jalatunda. Anak muda yang berdiri dihadapannya itu kini tampak
seperti seekor serigala buas yang siap untuk menerkamnya. Karena itu maka tubuh
Sekar Mirah menjadi semakin menggigil karenanya. Wajahnya menjadi merah padam
dan jantungnya menjadi semakin berdebar-debar.
Untunglah bahwa gadis itu
tetap menyadari dirinya. Menyadari bahwa pondoknya telah kemasukan seekor
serigala yang buas dan liar. Sedang dirinya sendiri tak ubahnya seperti seekor
anak kambing yang lemah.
“Aku harus mempergunakan
otakku” berkata Sekar Mirah di dalam batinya. Ia tidak mau menyerah dalam
keputus-asaan. Apa pun yang dapat dilakukan, akan dilakukannya untuk
menyelamatkan dirinya.
Karena Sekar Mirah tidak
segera menyahut, maka berkatalah Alap-Alap Jalatunda yang menjadi semakin buas,
“Mirah. Apa lagi yang kita tunggu?”
Alap-Alap Jalatunda itu maju
selangkah, dan dengan kaki gemetar Sekar Mirah surut selangkah.
“Kemarilah Mirah” desis
Alap-Alap Jalatunda. Tengkuk Sekar Mirah meremang mendengar panggilan itu.
Bahkan ia menjadi semakin jauh
surut. Namun Alap-Alap Jalatunda itu menjadi semakin mendekat.
“He, kenapa kau menjauh?”
bertanya Alap-Alap Jalatunda yang kepalanya menjadi semakin pening dan matanya
menjadi semakin merah dan liar. “Bukankah kau menunggu kedatanganku? Kini aku
telah datang? Aku telah datang memenuhi janji.”
Sekar Mirah menjadi semakin
ketakutan melihat wajah yang liar itu. Ia menyesal bahwa ia telah bermain-main
dengan seekor serigala. Kini serigala itu telah siap untuk menerkamnya.
Ketika Alap-Alap Jalatunda itu
melangkah semakin maju, maka Sekar Mirah itu pun menjadi semakin surut. Tetapi
akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mundur lagi ketika tubuhnya telah melekat
dinding biliknya.
Hati gadis itu telah hampir
menjadi pepat. Tetapi Sekar Mirah masih mencoba untuk bertahan dengan caranya.
“Mirah. Kenapa kau berdiri di
situ?” bertanya Álap-alap Jalatunda. “Apakah kau akan masuk ke dalam bilikmu?”
Pertanyaan itu benar-benar
hampir merontokkan segenap nalar dan perasaannya. Namun Sekar Mirah masih
berusaha untuk yang terakhir kalinya. Dengan mengumpulkan segenap kekuatannya
gadis itu tiba-tiba tersenyum dan berkata, “Alap-Alap Jalatunda. Kau memang
terlampau tergesa-gesa. Kenapa? Apakah kau sangka bahwa hari hampir kiamat?”
Alap-Alap Jalatunda terdiam.
Dipandangnya wajah Sekar Mirah yang sedang tersenyum itu. Terpancarlah
keheranan pada sorot matanya yang liar.
Dan terdengarlah suara Sekar
Mirah, “Duduklah. Bukankah kita dapat bercakap-cakap dengan baik?”
“Waktuku tidak banyak Mirah.
Aku harus segera kembali ke banjar para pemimpin padepokan ini. Aku adalah
seorang panglima sebuah pasukan yang besar. Pasukan Jipang. Sehingga karena itu
tanggung jawabku pun besar pula. Nah, jangan terlampau banyak tingkah. Kau
harus membantu aku, supaya aku tidak terlambat apabila ada
pembicaraan-pembicaraan yang penting di banjar nanti.”
Dada Sekar Mirah menjadi
semakin terguncang-guncang mendengar jawaban-jawaban Alap-Alap Jalatunda.
Tetapi ia masih mencoba terus. Sekar Mirah yakin, bahwa ia tidak akan dapat
membebaskan dirinya apabila Alap-Alap Jalatunda memilih jalan kekerasan.
Meskipun besok ia dapat mengatakan kepada Sidanti atau kepada orang lain, dan
Alap-alap itu digantungnya, tetapi apa yang hilang daripadanya tak akan
diketemukan lagi sepanjang hidupnya. Karena itu ia tidak boleh kehilangan akal.
Sehingga Sekar Mirah itu masih saja tersenyum untuk melunakkan hati Alap-Alap
Jalatunda, supaya serigala itu tidak segera menerkamnya.
Tetapi senyum Sekar Mirah itu
telah membuat Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin gila. Pengaruh tuak di
kepalanya, serta nafsunya yang hampir tak terkendali telah membuat ia menjadi
mata gelap.
“Alap-Alap Jalatunda,” berkata
Sekar Mirah, “jangan terlampau kasar, supaya Sidanti tidak mengetahui apa yang
terjadi di pondok ini. Setidak-tidaknya pengawas-pengawasnya yang sering
berkeliaran di sini. Kita harus berhati-hati dan kita harus dapat menyesuaikan
diri dengan keadaan.”
“Persetan dengan Sidanti”sahut
Alap-Alap Jalatunda. Anak muda itu sudah tidak dapat lagi mempertimbangkan apa
pun juga. Yang tampak di matanya kini adalah Sekar Mirah itu saja.
“Kita tidak dapat menempuh
jalan seperti yang kau kehendaki” sambung Sekar Mirah. “Dengan demikian kita
tidak akan mendapatkan kebahagiaan. Kita akan selalu dikejar-kejar oleh waktu
seperti sekarang ini. Tetapi apabila kita kelak menjadi suami istri, maka hidup
kita akan tenteram. Kau dapat hidup dengan tenang. Dan aku dapat melayanimu
dengan tenteram pula.”
“Persetan semuanya itu.”
Dada Sekar Mirah berdesir.
Namun Ia masih berkata lebih lanjut, “Kau hanya terburu oleh nafsu-nafsu sesat.
Tetapi kau tidak membayangkan suatu masa yang panjang. Alap-Alap Jalatunda.
Ingatlah masa depanmu. Marilah kita pergi ke orang tuaku. Kau akan mendapat
tempat yang baik di Kademangan Sangkal Putung.”
Alap-Alap Jalatunda itu
terdiam sejenak. Dipandanginya wajah Sekar Mrah dengan mata yang membara.
Tampaklah mulutnya berkomat-kamit. Sekar Mirah menunggu jawabannya dengan penuh
harap. Tetapi gadis itu hampir menjadi pingsan ketika ia mendengar Alap-alap
itu berkata, “Kau akan membujukku, memperalat aku, dan kemudian menjebakku he?
Aku bukan seorang yang gila Mirah.”
Sekar Mirah itu pun kemudian
berdiri saja seperti patung. Mulutnya serasa tersumbat dan darahnya serasa
berhenti mengalir. Ditatapnya saja wajah Alap-Alap Jalatunda seperti menatap
wajah hantu yang akan menghisap darahnya. Dan sebenarnyalah Alap-Alap Jalatunda
itu akan menghisap mahkota hidupnya. Lebih baik ia mati dihisap darahnya oleh
iblis pemakan darah daripada maksud Alap-Alap Jalatunda yang kini berdiri di
hadapannya.
Dan Alap-Alap Jalatunda itu
agaknya benar-benar telah menjadi mata gelap. Selangkah ia maju sambil
menggeram, “Sekar Mirah. Kau sangka aku tidak tahu maksudmu itu? Kau pura-pura
mengajakku menghadap kepada ayah bundamu. Tetapi belum lagi aku sampai ke
Sangkal Pulung, maka leherku pasti akan sudah dijerat. Kau pasti akan memberi
kesempatan kepada ayahmu atau kepada siapa saja. mungkin kakakmu yang gemuk
itu, untuk bersama-sama mengeroyokku seperti rampogan macan di alun-alun.”
Dada Sekar Mirah serasa akan
pecah karenanya. Ia. kini melihat Alap-Alap Jalatunda melangkah semakin dekat
dan mulutnya masih saja bergumam, “Bagiku Mirah, tak ada jalan lain daripada
mendapatkan kau sekarang. Tak pernah ada perempuan yang menolak kedatanganku
atau setidak-tidaknya menunda keinginanku. Nyai Lasem, Nyai Pinan, semuanya,
dan kini kau. Kau tidak akan dapat menghindar lagi. Perempuan-perempuan justru
mengejarku dan memegangi ujung bajuku apabila aku akan pergi. Kau pun harus
berbuat demikian.”
Wajah Sekar Mirah kini telah
menjadi pucat seperti mayat. Tetapi ia masih juga menyadari bahwa ia tidak
seharusnya menyerah dalam keputus-asaan. Dengan memeras keberaniannya ia
berkata gemetar, “Alap-Alap Jalatunda. Urungkan niatmu.”
“Tak ada yang dapat menahan
Alap-Alap Jalatunda.”
“Aku akan dapat berteriak
memanggil para pengawal. Aku tahu bahwa di halaman di depan rumah ini tinggal
para pengawas yang bertugas mengawasi aku.”
“Kalau kau mencoba berteriak,
aku cekik kau sampai pingsan. Dan kau tidak akan banyak tingkah lagi.”
“Sidanti akan mengetahui apa
yang terjadi kalau kau tidak mengurungkan niatmu. Dan kau akan digantung
besok.”
“Persetan Sidanti!”
Alap-Alap Jalatunda yang sudah
bermata gelap dan menjadi kian pening karena pengaruh tuak di kepalanya itu
sama sekali sudah tidak dapat berpikir bening. Apalagi ketika sekali lagi
ditatapnya wajah Sekar Mirah yang pucat itu tampaknya menjadi kian kuning
semburat kemerah-merahan karena cahaya pelita yang menggapai-gapai oleh
sentuhan angin. Katanya selanjutnya, “Sidanti tidak akan berani berbuat apa pun
atasku. Kini pasukan Untara sudah berada di depan hidung kita. Ia memerlukan
anak-buahku. Apakah kira-kira yang akan dilakukan atasku meskipun ia melihat
apa yang terjadi sekarang ini? Tidak. Ia tidak akan berani berbuat sesuatu. Ia
akan menyesal sepanjang hidupnya, bahwa ia berbuat sebagai seorang banci. Dan
aku tidak akan melupakan kemenanganku saat ini. Sekar Mirah. Jangan banyak
solah. Kau tidak akan dapat melawan aku dan berteriak memanggil para pengawas.
Apalagi menipu aku untuk melarikan kau dari tempat jahanam ini dan kemudian
menjerat leherku sendiri.”
Sekar Mirah kini merasa bahwa
ia telah berdiri diujung bara api yang menyala. Sebentar lagi ia akan hangus
terbakar. Tetapi ia tidak akan dapat menyerahkan diri tanpa berbuat sesuatu.
Karena itu tiba-tiba Sekar Mirah pun bergeser setapak.
Alap-Alap Jalatunda
benar-benar menjadi seolah-olah gila. Mulutnya kemudian bergerak-gerak dan
terdengarlah ia tertawa perlahan-lahan seperti iblis yang tertawa melihat
sesosok mayat terkapar di hadapannya.
“Akan lari kemana kau Sekar
Mirah?”
Sekar Mirah masih mempunyai
secercah harapan, meskipun sangat tipisnya. Ia akan dapat berteriak dan para
pengawas pun pasti akan datang menengoknya.
Tiba-tiba saja di kejauhan
terdengar kentongan berbunyi. Empat pukulan sebelum nada dara muluk diulang dua
kali.
Alap-Alap Jalatunda yang
hampir gila itu masih mendengar tanda itu. Itu adalah tanda bahwa para pemimpin
padepokan harus segera berkumpul termasuk para pemimpin laskar Jipang yang
berada di padepokan itu.
“Setan!” geramnya. “Apa lagi
yang akan diperbuat oleh iblis tua itu.”
Sekar Mirah yang mendengar
suara kentongan itu merasa bahwa serigala itu akan mengurungkan niatnya.
“Mudah-mudahan suara kentongan itu merupakan suatu pertanda yang memaksa
Alap-Alap yang liar ini pergi meninggalkan aku,” desisnya di dalam hati. Dan
dengan luka di hatinya ia berdoa, “Semoga Tuhan menyelamatkan aku dari tangan
anak muda yang gila ini.”
Tetapi kembali harapannya
seakan-akan lenyap dihembus oleh angin malam yang kencang ketika tiba-tiba
Alap-Alap Jalatunda itu berkata, “Persetan dengan segala pertemuan. Aku tidak
perlu mengunjunginya. Biarlah semuanya diselesaikan oleh Sanakeling. Aku akan
menyelesaikan urusanku sendiri.” Kemudian ia menggeram seperti seekor serigala
lapar, “Mirah. Jangan menunda-nunda lagi. Kau dengar waktuku tidak terlampau
banyak.”
Sekar Mirah itu kini
hampir-hampir menjadi putus-asa. Satu-satunya kemungkinan yang dapat dilakukan
adalah berteriak. Kini ia benar-benar kehilangan rasa takutnya seandainya ia
akan dibunuh sekalipun. Sebab mati baginya akan lebih baik dari apa yang dapat
terjadi saat itu.
Karena itu, maka dengan
segenap tenaga yang ada padanya, maka gadis itu telah mencoba untuk berteriak.
Tetapi malang baginya.
Ternyata Alap-Alap Jalatunda adalah seorang prajurit muda yang lincah. Dengan
kecepatan yang sukar dimengerti oleh Sekar Mirah, tiba-tiba saja tangan
Alap-Alap Jalatunda telah menyentuh mulutnya. Alangkah terkejutnya gadis itu,
sehingga suaranya tertahan karenanya. Bahkan demikian terkejut cemas dan takut
bercampur baur, Sekar Mirah itu seakan-akan telah kehilangan segenap tenaganya,
sehingga ia tidak mendengar bahwa di kejauhan suara kentongan masih juga
mengumandang memenuhi padepokan.
Bukan saja Sekar Mirah yang
tidak lagi mendengar suara kentongan itu, tetapi Alap-Alap Jalatunda pun kini
sudah tidak mendengar lagi. Ia sama sekali tidak menghiraukan panggilan
Sanakeling atau Sidanti lewat suara kentongan itu. Baginya lebih penting
menerkam mangsanya daripada datang memenuhi panggilan itu.
Sekar Mirah pun kemudian
benar-benar menjadi putus asa. Tak ada lagi cara yang dapat ditempuhnya untuk
membebaskan dirinya. Apabila ia akan berusaha berteriak, maka secepat itu pula
Alap-Alap Jalatunda akan berhasil membungkam mulutuya.
Tiba-tiba terbersitlah di
dalam dada Sekar Mirah itu suatu cara yang masih dapat dilakukannya. Yaitu
mati. Satu-satunya cara untuk melepaskan diri dari tangan Alap-alap itu adalah
mati.
Justru karena itu maka
timbullah kembali keberanian di dalam dada gadis itu. Keberanian di dalam
keputus-asaan. Sehingga dengan demikian tiba-tiba gadis cantik itu menggeram.
Alap-Alap Jalatunda melihat
sikap Sekar Mirah yang tiba-tiba menjadi garang. Tetapi ia adalah seorang
prajurit. Apalagi Sekar Mirah, sedang seorang laki-laki yang menggenggam
senjata di tangannya pun dapat dilumpuhkannya.
Perlahan-lahan Alap-Alap
Jalatunda itu melangkah maju. Dibiarkannya Sekar Mirah menjadi bertambah
garang. Bahkan ketika ia telah menjadi semakin dekat, maka Sekar Mirah itu
mencoba menerkam wajahnya dengan kuku-kukunya.
Alap-Alap Jalatunda tertawa
sambil menarik kepalanya.
Tangan Sekar Mirah itu terayun
tidak lebih setebal daun di hadapan wajah Alap-Alap Jalatunda yang justru
menjadi semakin liar. Dan dengan buasnya, Alap-Alap Jalatunda itu pun kemudian
menangkap tangan Sekar Mirah dan memutar gadis itu sehingga membelakanginya.
Sekar Mirah mengerahkan
segenap kekuatannya untuk melepaskan dirinya. Tetapi tangan Alap-Alap Jalatunda
benar-benar telah menjepitnya seperti sebuah kancing besi. Ketika Sekar Mirah
sekali lagi akan berteriak, maka suaranya hilang di dalam mulutnya, karena
Alap-Alap Jalatunda itu telah membungkamnya dengan telapak tangannya.
Kemudian Sekar Mirah
benar-benar tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi. Bahkan bunuh diri pun ia
sudah tidak mampu. Alap-Alap Jalatunda yang buas itu benar-benar telah dapat
menguasainya dengan kekuatan yang berlipat-lipat dari kekuatan Sekar Mirah.
Namun Alap-Alap Jalatunda itu
tidak menyadari, bahwa sepasang mata telah mengintipnya dari balik dinding di
belakang rumah itu dengan tajamnya, setajam ujung mata keris berlipat tujuh.
Dengan darah yang mendidih,
orang yang mengintip ke dalam pondok itu mengikuti saja apa yang telah terjadi.
Dibiarkannya kebuasan Alap-Alap Jalatunda itu memuncak. Dengan demikian maka
orang itu akan kehilangan segenap kewaspadaannya dan tidak akan melihatnya
apabila ia memasuki pondok itu lewat jalan yang tadi dilalui oleh Alap-Alap
Jalatunda itu sendiri.
Kini ia melihat bahwa Sekar
Mirah sudah tidak berdaya lagi. Maka ia tidak akan dapat membiarkannya. Ia
tidak ingin terlambat dan menemukan Sekar Mirah telah kehilangan. Karena itu,
maka perlahan-lahan ia merayap mendekati sudut rumah yang dindingnya sudah
terbuka. Tetapi orang itu tertegun ketika telinganya mendengar sesuatu di muka
pondok itu.
Baik orang yang mengintip di
belakang dinding itu, maupun Alap-Alap Jalatunda dan bahkan Sekar Mirah
terkejut bukan kepalang ketika tiba-tiba saja pondok itu berderak dengan
kerasnya, sehingga seluruh rumah kecil itu bergetar. Sejenak kemudian terdengar
pintu itu terbuka dan sesosok tubuh yang tegap berdiri tegak di muka pintu,
seperti sebuah tonggak yang kokoh kuat bertiang besi. Dari sepasang matanya memancar
sinar kemerahan yang seakan-akan membakar wajah Alap-Alap Jalatunda yang
berdiri kaku tegang.
Dengan suara bergetar maka
orang yaug berdiri di muka pintu menggeram, “Kau Alap-alap kerdil.”
Sejenak Alap-Alap Jalatunda
tidak menjawab. Tetapi sorot matanya pun kemudian memancarkan api kemarahan.
“Apakah kau sudah menjadi
gila?” sambung orang yang berdiri di muka pintu.
“Kenapa kau menggangguku,
Sidanti?” sahut Alap-Alap Jalatunda tidak kalah garangnya.
Dada Sidanti hampir meledak
mendengar kata-kata Alap-Alap yang lapar itu. Tetapi ia menjawab, “Perbuatanmu
adalah perbuatan yang paling biadab yang pernah kau lakukan.”
Perlahan-lahan Alap-Alap
Jalatunda melapaskan Sekar Mirah. Demikian gadis itu terlepas dari tangannya,
maka gadis itu pun segera terjatuh di tanah. Meskipun Sekar Mirah tidak
pingsan, tetapi otot bayunya seakan-akan telah dilolosi. Namun kedatangan
Sidanti itu sedikit memberinya harapan. Meskipun kalau ia kemudian lepas dari
tangan Alap-Alap itu, maka suatu ketika Sidanti sendiri akan menerkamnya pula.
Tetapi ia masih mempunyai waktu.
Kini Sidanti dan Alap-Alap
Jalatunda telah berdiri berhadapan, tetapi Alap-Alap Jalatunda menyadari bahwa
Sidanti tidak seorang diri. Tetapi Sidanti agaknya telah membawa beberapa orang
laskarnya bersamanya.
“Sidanti, aku masih ingin
memberimu peringatan. Tinggalkan tempat ini. Jangan kau ganggu aku.”
Terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Katanya, “Apakah aku harus membiarkan kebiadabanmu itu tanpa berbuat
sesuatu.”
“Jangan terkejut, bahwa Sekar
Mirah telah memilih aku dari padamu.”
“Tutup mulutmu!” teriak
Sidanti, “aku tidak percaya. Kau pasti tidak usah mempergunakan kekerasan
apabila demikian.”
“Persetan dengan mulutmu!
Seandainya demikian, maka apakah yang akan kau lakukan? Ayo, majulah bersama
semua orang-orangmu yang kau bawa sekarang. Aku tidak akan gentar. Aku tidak
akan lari. bahkan saat inilah yang aku tunggu-tunggu. Kapan aku dapat membalas
sakit hatiku, pada saat aku mendengar apa yang telah kau lakukan atas Kakang
Plasa Ireng.”
Wajah Sidanti menjadi merah
padam mendengar sindiran itu. Terdengar giginya gemeretak, tetapi justru
mulutnya serasa terkunci untuk sesaat. Sehingga Alap-Alap Jalatunda masih
berkata terus, “Kau menganggap perbuatanku ini sebagai suatu kebiadaban. Lalu
katakan, apa yang pernah kau perbuat atas Kakang Plasa Ireng. Bukankah itu juga
kebiadaban yang lebih biadab dari tindakanku kali ini. Aku hanya dapat dianggap
melanggar pagar kesusilaan. Tetapi kau telah melanggar pagar perikemanusiaan.
Menurut aku, maka kemanusiaan lebih berharga dari kesusilaan.”
“Persetan!” jawab Sidanti
berteriak keras sekali. “Pendirianmu itu benar-benar pendirian seorang yang
telah menjadi gila. Kau sangka apa yang kau lakukan ini bukan suatu pelanggaran
kemanusiaan. Kau akan merenggut sesuatu yang paling berharga dari Sekar Mirah.
Gadis itu akan menderita sepanjang hidupnya. Ia akan merasa tidak berharga
lagi. Dan bagi seorang gadis akan lebih baik mati bunuh diri daripada hidup
dalam keadaannya.”
Terdengar Alap-Alap Jalatunda
itu tertawa terbahak-bahak. Kepalanya kini benar-benar telah dicengkam oleh
pengaruh tuak. Jawabnya, “O, Sidanti. Kau merasa tanganmu bersih sebersih
tangan bayi. Siapakah yang membawa domba itu ke kandang serigala? Bukan salah
serigala kalau ada kesempatan menerkam anak domba yang manis ini.”
Kembali terdengar gigi Sidanti
gemeretak. Sejenak ia terbungkam tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Sepasang mata di balik dinding
di belakang rumah itu mengikuti semua peristiwa itu dengan saksama. Dilihatnya
raksasa-raksasa padepokan ini berkumpul di pondok yang kecil itu.
Orang itu bergumam dalam
hatinya, “Untung Sidanti itu tidak terlambat. Aku pergi lama kemudian sesudah
ia meninggalkan pondoknya. Tetapi kenapa baru sekarang ia hadir di sini? Ah,
sebagai seorang pemimpin mungkin ia memerlukan singgah di tempat-tempat
tertentu.”
Suasana rumah itu untuk sesaat
dicengkam oleh kesepian yang mengerikan. Wajah-wajah yang berada dipondok itu
menjadi semakin lama semakin tegang.
Apalagi ketika seorang yang
tegap bersenjata sebatang tombak pendek melangkah masuk sambil berkata, “Apa
yang kau tunggu Sidanti. Sebaiknya kau binasakan monyet itu.”
“Ha, kau akan ikut serta
pendatang dari Menoreh. Meskipun kau bernama Argajaya, tetapi kau sama sekali
tidak dapat menakut-nakuti anak-anak sekalipun. Soal ini adalah soal antara
Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Persoalan ini adalah persoalan seorang gadis,
kau tahu. Nah, sebaiknya kau minggir saja. Meskipun seandainya kau akan turut
serta, maka aku pun bersedia melayanimu berdua.”
“Setan alas!” teriak Argajaya
yang hampir saja meloncat sambil berteriak. “Aku sendiri mampu membunuhmu.”
Alap-Alap Jalatunda mundur
setapak. Tetapi Argajaya itu tidak jadi meloncat maju. Di antara orang-orang
yang berdiri di muka pintu datanglah seorang yang acuh tidak acuh saja melihat
semua peristiwa itu. ia berjalan sambil mulutnya mengunyah segumpal daging rusa
muda. Dengan seenaknya ia masuk ke dalam gubug itu, kemudian bersandar dinding
di dekat Alap-Alap Jalatunda berdiri.
Wajah Alap-Alap Jalatunda
menjadi semakin tegang melihat kehadirannya. Ia sama sekali tidak mengetahui,
apakah maksud kedatangannya, karena wajahnya yang hitam itu sama sekali tidak
menunjukkan kesan suatu apa.
Baru sejenak kemudian orang
itu berkata, “Kau ulangi lagi peristiwa yang serupa Alap-Alap yang malang.
Dahulu kepalamu hampir melesat dipukul oleh Tohpati ketika kau membawa Nyai
Pinan ke dalam pondokmu. Sekarang kau terpaksa berhadapan dengan Sidanti.”
Alap-Alap Jalatunda menggeram,
tetapi ia tidak segera menjawab.
“Aku tahu bahwa ilmumu maju
dengan pesat tanpa bimbingan seorang guru pun. Tetapi kau tidak akan mampu
melawan kedua orang itu bersama-sama.” Kemudian kepada Argajaya orang itu
berkata, “Kakang Argajaya. Biarkan saja persoalan anak-anak muda ini. Kita yang
sudah lebih tua sebaiknya tidak usah turut campur.”
Wajah Argajaya menjadi merah
pula. Jawabnya. “Tetapi ia telah menghina Sidanti.”
“Biarlah Sidanti yang
menyelesaikannya. Tidak baik akibatnya seandainya kita yang tua-tua ini akan
turut serta.”
“Apakah kau akan membela
orangmu yang berbuat gila itu?”
Sanakeling, orang yang sedang
mengunyah daging rusa muda itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Kalau ia harus
bertanggung jawab secara jantan, maka aku akan membiarkannya. Tetapi kau pun
jangan mencampuri urusannya. Kau adalah seorang pendatang seperti kami di
padepokan ini.”
Dada Argajaya hampir meledak
mendengar kata-kata Sanakeling itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawab
kata-kata Sanakeling. Tetapi tiba-tiba terdengar sebuah panggilan yang
mencengkam segenap jantung orang-orang yang berdiri di tempat itu, “Sidanti.”
Sidanti berpaling. Ia melihat
Ki Tambak Wedi tergesa-gesa memasuki tempat itu. Dengan wajah yang merah padam
ia bertanya, “Apakah yang telah terjadi?”
Sidanti mengatakan dengan
singkat apa yang telah dilihatnya, dan Ki Tambak Wedi pun menggeram pula.
“Perempuan ini adalah biang keladi dari kegagalan rencanaku. Supaya tidak ada
persoalan lagi di antara kita dan kita dapat meneruskan rencana penyerangan ke
Jati Anom maka sebaiknya perempuan ini dibunuh saja. Besok fajar kita datang ke
Jati Anom dan melemparkan mayatnya di hadapan pasukan Untara.”
Semua wajah yang mendengar
kata-kata itu tampak berkerut-merut. Hampir tak masuk di dalam akal mereka,
bahwa Ki Tambak Wedi telah mengucapkan kata-kata itu. Namun justru dengan
demikian maka mereka berdiri tegang tanpa dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Sedang Sekar Mirah yang masih terduduk dengan lemahnya di tanah, tiba-tiba
menengadahkan wajahnya. Dalam keputus-asaan ia bahkan mampu menyahut, “Bagus.
Itu adalah keputusan yang paling baik buat aku.”
Tetapi agaknya Sidanti
berpendirian lain. Sejak lama ia terpikat oleh gadis itu, yang kemudian dengan
susah payah diambilnya dari Sangkal Putung. Tetapi sekarang gurunya mengambil
suatu sikap yang terlampau keras. Karena itu maka katanya, “Guru. aku
memerlukan gadis itu.”
“Buat apa kau inginkan gadis
Sangkal Putung itu?” bertanya gurunya.
“Bukankah guru menyetujui pula
pada saat aku mengambilnya?”
“Aku mempunyai kepentingan
lain dengan gadis itu. Dengan gadis itu di sini, maka Untara tidak akan berani
dengan serta-merta saja menghancurkan padepokan ini, meskipun ia membawa
pasukan seluruh prajurit Pajang.”
“Kenapa ia akan dibunuh?”
bertanya Sidanti. “Apabila gadis itu sudah mati, maka Untara tidak akan
terpengaruh oleh gadis yang sudah mati itu.”
“Ternyata pasukan Untara sama
sekali tidak berarti bagi kita di sini. Kalau kalian tidak menjadi gila karena
gadis itu, maka pada saat fajar nanti menyingsing maka kalian pasti sudah akan
menghancurkan pasukan Untara di Jati Anom.”
“Guru,” berkata Sidanti
kemudian, “aku mohon gadis ini dihidupi. Aku ingin mengambilnya sebagai seorang
istri. Kalau Sidanti kelak menggantikan kedudukan ayahanda Argapati di
pegunungan Menoreh, maka ia akan menjadi seorang istri yang kajen keringan. Aku
sama sekali tidak berhasrat mempermainkannya seperti Alap-Alap yang gila ini.”
“Persetan dengan keinginanmu!”
potong Alap-Alap Jalatunda. “Aku tidak peduli apakah ia akan kau ambil sebagai
istrimu atau kau bunuh sekali. Aku hanya akan mengambilnya yang aku ingini
daripadanya.”
“Diam!” teriak Sidanti dengan
kemarahan yang meluap-luap.
“Seharusnya kau diam saja”
berkata Ki Tambak Wedi kepada Alap-Alap Jalatunda.
“Itu tidak adil” tiba-tiba
terdengar Sanakeling yang berdiri bersandar dinding sambil melipat tangan di
dadanya. “Persoalan ini adalah persoalan Sidanti dan Alap-Alap Jalatuda. Kalau
Sidanti dapat dan boleh menyatakan pendiriannya, maka Alap-Alap Jalatunda pun
harus mendapat kesempatan yang serupa.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tetapi ia adalah seorang yang cukup memiliki perhitungan. Karena
itu, betapa hatinya menjadi marah mendengar bantahan Sanakeling, tetapi ia
tidak segera berbuat sesuatu atasnya, karena di belakang Sanakeling dan
Alap-Alap Jalatunda itu berdiri sepasukan laskar yang kuat.
“Aku pun ingin bersikap adil,”
tiba-tiba Sidanti menggeram, “karena itu guru, serahkan persoalan ini kepadaku
dan kepada Alap-Alap Jalatunda.”
“Bagus!” sahut Alap-Alap
Jalatunda lantang. “Itu adalah sikap jantan. Kita melakukan perang tanding,
Kalau aku mati dalam perkelahian ini, maka aku merasa puas, karena taruhannya
cukup berharga bagiku. Bukankah taruhan dari perang tanding itu nanti adalah Sekar
Mirah? Kalau kau menang Sidanti, maka Sekar Mirah menjadi milikmu. Apakah ia
akan kau peristeri atau apa saja, sekehendak hatimu. Tetapi kalau aku menang,
maka kau tidak boleh mencampuri lagi urusanku dengan gadis itu. Apakah yang
akan aku lakukan.”
“Aku terima tantanganmu” sahut
Sidanti tidak kalah lantangnya.
Namun kemudian ruang yang
tidak terlalu luas itu digetarkan oleh teriakan Sekar Mirah, “Tidak, tidak!”
Gadis itu pun tiba-tiba
berdiri. Seperti orang gila ia berlari ke arah Ki Tambak Wedi. Dengan
serta-merta Sekar Mirah berpegang baju orang tua itu sambil berteriak-teriak,
“Kiai, Kiai. Apakah kau pemimpin orang-orang ini? Kalau demikian, tolong Kiai,
perintahkan saja mereka membunuh aku, supaya persoalan ini tidak
berlarut-larut. Aku tidak mau jatuh ke tangan kedua-duanya. Aku ingin mati saja
Kiai. Karena itu bunuh saja aku.”
Sejenak Ki Tambak Wedi diam
mematung. Namun kemudian perlahan-lahan didorongnya Sekar Mirah. Tetapi Sekar
Mirah tidak mau melepaskan baju Ki Tambak Wedi, sehingga orang tua itu berkata,
“Lepaskan bajuku. Lepaskan!”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mendengar kata-kata itu. Ia masih saja berteriak-teriak seperti orang
kesurupan.
“Lepaskan!” bentak Ki Tambak
Wedi kemudian. Sekar Mirah terkejut mendengar bentakan itu. Tiba-tiba ia
menyadari keadaannya. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi mendorongnya
perlahan-lahan, maka Sekar Mirah itu kembali terduduk di tanah.
Sejenak ruangan itu dicengkam
oleh kesenyapan. Orang yang mengintip di belakang rumah itu pun terpaksa
menahan nafasnya, supaya Ki Tambak Wedi, yang bertelinga setajam telinga
serigala itu tidak mendengarnya. Agaknya orang itu mampu menyesuaikan dirinya
dengan keadaan, meskipun ia tidak berani berbuat apa-apa. Jangankan setelah
kehadiran Ki Tambak Wedi. Terhadap Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda pun ia harus
memperhitungkan seribu satu macam pertimbangan.
Namun orang itu menyadari
pula, bahwa di depan rumah itu menjadi semakin banyak orang berkumpul. Baik
orang padepokan itu sendiri, maupun orang-orang dari laskar Sanakeling. Sehingga
di luar gubug itu pun telah dirayapi pula ketegangan seperti yang terjadi di
dalamnya.
Ki Tambak Wedi, pemimpin dari
padepokan itu menjadi pening melihat keadaan berkembang demikian buruknya.
Sedangkan di hadapan hidung mereka telah berkumpul orang-orang Pajang yang
sebentar lagi akan dimusnahkan. Tetapi kalau keadaan tidak segera dapat
diatasi, maka rencananya pasti akan tertunda.
Karena itu bagaimanapun juga,
Ki Tambak Wedi mencoba berusaha untuk meredakan keadaan. Maka katanya,
“Baiklah. Kalau kalian telah sependapat untuk melakukan perang tanding, maka
baiklah dilakukan lain kali. Sekarang, kita akan melakukan rencana yang telah
kita susun. Kita harus turun ke Jati Anom dengan segenap kekuatan. Kita
hancurkan pasukan Untara yang tidak seberapa kuat itu.”
Kesenyapan yang tegang kembali
mencengkam ruangan yang tidak terlampau luas itu. Sidanti dan Alap-Alap
Jalatunda berdiri berhadapan dengan wajah yang membara. Sedang Sanakeling masih
saja berdiri sambil melipat tangan di dadanya. Di lambung kirinya tergantung
sebilah pedang, sedang di lambung kanannya tergantung sebuah bindi. Di sisi
lain Argajaya berdiri tegak meremas-remas tangkai tombak pendeknya.
“Kenapa kalian berdiri saja
seperti patung!” bentak Tambak Wedi. “Tinggalkan tempat ini. Siapkan pasukan
kalian dan kita akan segera turun ke Jati Anom. Kita masih mempunyai waktu.
Kita akan sampai ke Jati Anom sebelum fajar. Setelah beristirahat sebentar kita
akan melanda Kademangan itu tepat pada saat matahari terbit.”
Tetapi Alap-Alap Jalatunda dan
Sidanti belum juga beranjak dari tempatnya, sehingga sekali lagi Ki Tambak Wedi
berteriak, “He apakah kalian telah menjadi tuli!”
Kedua orang yang sedang
berdiri berhadapan itu benar-benar seperti patung yang mati. Mereka tidak
beringsut sama sekali. Bahkan berkedip pun tidak.
Yang berkata kemudian adalah
Argajaya, “Urusan ini harus diselesaikan dahulu Kiai. Kalau tidak, maka
hubungan mereka di garis perang pun akan dapat mengganggu kelancaran seluruh
pasukan.”
“Tidak,” potong Ki Tambak
Wedi, “setiap prajurit pasti tahu menempatkan diri. Persoalan pribadi akan
disimpan lebih dahulu sebelum persoalan kita bersama dapat diselesaikan.
Persoalan Jati Anom bukan persoalan yang dapat diabaikan. Kalau kita kehilangan
waktu ini, maka kita akan menyesal sepanjang hidup kita. Karena itu, maka
tinggalkan urusan kalian. Kita akan segera berangkat.”
Sanakeling mengerutkan
keningnya melihat sikap Argajaya. Karena itu maka ia menyahut, “Aku sependapat,
dengan tamu kita yang terhormat itu. Pasukanku tidak akan bergerak sebelum
persoalan ini selesai.”
“Tidak, Tidak!” Ki Tambak Wedi
benar-benar menjadi marah. Tetapi Sanakeling yang masih saja berdiri dalam
sikapnya, tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi saat ini sedang memerlukannya.
Memerlukan pasukannya untuk membantu menghancurkan Jati Anom, atau kalau Untara
mengambil sikap lebih dahulu, Ki Tambak Wedi memerlukannya untuk mempertahankan
padepokan ini.
Melihat sikap Sanakeling dada
Argajaya hampir meledak karenanya, seperti juga dada Ki Tambak Wedi. Tetapi Ki
Tambak Wedi terpaksa menahan segenap kemarahan itu di dadanya sehingga dada itu
menjadi panas sepanas bara.
“Tak akan ada bedanya kalau
serangan kita atas Jati Anom itu kita tunda sehari” berkata Sanakeling.
“Kau seorang prajurit, Ngger,”
berkata Ki Tambak Wedi yang tiba-tiba menjadi lunak. “Kau pasti tahu. bahwa
satu hari dalam kesempatan seperti ini adalah penting sekali. Jangankan satu
hari, sedang sekejap pun di dalam perhitungan tata peperangan akan sangat besar
sekali artinya.”
“Kiai benar,” sahut
Sanakeling, “tetapi bagi sebuah pasukan yang utuh bulat. Sedang tak ada
tanda-tanda pada lawan kita akan mendapat perubahan yang berarti, bukankah
begitu? Bahkan seandainya besok datang sepasukan yang kuat dari Pajang, maka
kita akan dapat menyusun perhitungan baru. Tetapi menilik keadaan Pajang
sekarang, maka apa yang diberikan oleh Karebet kepada Untara itu sudah tidak
akan dapat ditambah dengan segera.”
“Kau memperingan persoalan,
Ngger,” sahut Ki Tambak Wedi. “Apa pun yang sedang dilakukan oleh Karebet dan
Pemanahan, tetapi semakin cepat pekerjaan kita selesai, maka kita pun akan
segera melakukan rencana kita berikutnya.”
“Kenapa Kiai berkeberatan
memenuhi permintaannya” potong Argajaya yang wajahnya benar-benar semerah bara.
“Beri malam ini kesempatan untuk melakukan perang tanding. Setelah itu apabila
kita masih mempunyai kesempatan, kita pergi ke Jati Anom. Kalau tidak, kita
tunda serangan kita dengan satu hari.”
Terdengar Ki Tambak Wedi
menggeram. Tetapi ia merasa bahwa betapa sulitnya mengatasi keadaan ini. Ia
menyesal bahwa ia dahulu mengijinkan Sidanti mengambil perempuan itu dari
Sangkal Putung. Ternyata perempuan itu kini telah menumbuhkan kesulitan baginya
dan bagi rencananya.
Sejenak Ki Tambak Wedi itu
terdiam. Dipandanginya Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda berganti-ganti. Orang
tua itu tahu, bahwa Alap-Alap Jalatunda selama ini telah mesu diri, melatih
berbagai macam ilmu yang telah dimilikinya dengan berbagai macam cara dan alat.
Pasir, batang-batang kayu di tepian, batu-batu, dan melatih kecepatan bergerak.
Tetapi menurut penilaian Ki Tambak Wedi, betapa kemajuan yang dicapai oleh
Alap-Alap Jalatunda, namun ia masih belum akan dapat menyusul Sidanti. Karena
itu sebenarnya Ki Tambak Wedi tidak akan mencemaskan nasib muridnya. Meskipun
demikian, ia masih juga mencemaskan sikap orang-orang Jipang yang lain.
Seandainya Alap-Alap Jalatunda itu terbunuh dalam perang tanding, apakah mereka
tidak akan membelanya? Harapan Ki Tambak Wedi hanyalah terletalak pada
Sanakeling. Menilik sikapnya maka Sanakeling dapat dipercayanya, bahwa ia akan
membiarkan perang tanding itu berlangsung dengan jujur dan dalam sikap jantan.
Karena itu, maka setelah tidak
diketemukan lagi jalan lain, serta menurut penilikannya di Jati Anom, tidak ada
tanda-tanda bahwa akan segera datang perubahan yang berarti, maka akhirnya Ki
Tambak Wedi pun dengan hati yang berat berkata, “Baiklah, kalau itu menjadi
pilihan kalian. Tetapi ketahuilah, bahwa siapa pun yang kalah dan siapa pun
yang menang, maka kita akan kehilangan satu tenaga yang sangat kita perlukan.
Karena itu, untuk menghindari hal yang demikian, maka aku menentukan ketetapan,
bahwa perang tanding itu berlangsung sampai salah seorang tidak lagi mampu
melawan. Tetapi tidak sampai mati. Aku harap kebesaran jiwa kalian dan
kejujuran kalian sebagai seorang prajurit jantan.”
Meskipun tanpa berjanji,
tetapi hampir bersamaan Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda terpaling. Wajah-wajah
mereka menyatakan, bahwa mereka tidak senang mendengar keputusan Ki Tambak Wedi
itu. Bagi mereka, perang tanding hanya dapat diakhiri dengan maut. Sehingga
tanpa sesadarnya Sidanti menyahut, “Guru, itu tidak lazim bagi sebuah perang
tanding.”
“Aku tidak peduli. Tetapi aku,
tetua padepokan ini berhak membuat ketetapan sendiri yang sesuai dengan keadaan
di padepokan ini. Satu kematian dari kau berdua, adalah pasti merugikan. Karena
itu, maka aku tidak ingin kekuatan kita berkurang dengan sebuah kematian yang
sia-sia” jawab Ki Tambak Wedi.
“Kematian ini bukan kematian
yang sia-sia” potong Alap-Alap Jalatunda. “Tetapi kematian ini adalah kematian
jantan. Karena itu biarlah kami saling membunuh dengan sikap jantan.”
“Tutup mulutmu!” Ki Tambak
Wedi membentak keras sekali sehingga semua yang mendengarnya menjadi terkejut
karenanya. Bahkan orang yang sedang bersembunyi di belakang dinding rumah itu
pun terkejut pula. “Semua harus tunduk kepadaku. Kalau tidak, aku dapat berbuat
apa saja sekehendak hatiku di sini. Tak ada orang yang dapat melawan kekuasaan
Ki Tambak Wedi. Aku dapat membunuh seratus limapuluh orang sekaligus dan
membunuh seribu orang tidak lebih dari satu malam. Ayo, kalau memang kita sudah
ingin meninggalkan tujuan kita. Kalau kita sudah tidak mempedulikan lagi kepada
pasukan Untara. Ayo, kita melakukan perang tanding, bunuh-bunuhan di antara
kita. Aku cukup seorang diri, dan kalian semuanya di satu pihak. Aku akan
berkelahi sampai aku menjadi bangkai. Tetapi di antara kalian yang hidup akan
menjadi saksi, berapa banyaknya mayat akan bertimbun di samping mayatku.”
Pengaruh kata-kata orang tua
itu ternyata tajam sekali. Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda tidak lagi berani
mengucapkan sepatah kata pun. Sedang Sanakeling, meskipun masih saja berdiri
bersandar dinding sambil melipat tangannya, namun ia pun berdiam diri menunggu
perkembangan keadaan.
Dengan demikian maka ruangan
itu kembali menjadi sunyi. Sinar pelita yang redup bergerak-gerak oleh sentuhan
angin malam dari lubang pintu yang menganga.
Karena tidak ada seorang pun
yang bersuara, maka berkata pula Ki Tambak Wedi, “Ayo, sekarang, sediakanlah
arena. Kita akan mulai dengan perang tanding. Kita akan segera melihat,
siapakah yang kalah dan siapakah yang menang. Kemudian perempuan ini tidak akan
menimbulkan keonaran lagi.”
Ki Tambak Wedi tidak lagi
menunggu sebuah jawaban. Segera ia beranjak dari tempatnya, melangkah ke arah
pintu. Tak seorang pun yang menghalanginya. Bahkan beberapa orang segera
menyibak memberinya jalan. Di muka pintu orang tua itu berhenti sejenak, sambil
berpaling ia berkata, “Arena itu berada di halaman banjar pimpinan padepokan
ini. Para pemimpin akan menjadi saksi dan semua orang harus menyaksikannya,
selain yang sedang meronda. Setelah itu, apabila masih saja timbul persoalan
maka aku sendirilah yang akan membunuhnya.”
Orang-orang di sekitarnya
kemudian melihat orang tua itu melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan
tempat itu hilang di dalam gelapnya malam.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi,
maka Sidanti pun segera pergi pula sambil berkata, “Aku tunggu kau Alap-alap
cengeng.”
“Persetan!” sahut Alap-Alap
Jalatunda.
Langkah Sidanti terhenti.
Hampir-hampir ia melangkah kembali kalau Sanakeling tidak berkata, “Bukan di
sinilah arena yang ditentukan oleh Ki Tambak Wedi.”
Sidanti menggeram mendengar
kata-kata Sanakeling itu. Dipandanginya wajahnya yang hitam-kelam. Namun
Sanakeling sendiri tampaknya seperti acuh tak acuh saja menanggapinya.
Alangkah panasnya hati
Sidanti. Namun ia tidak dapat membantah lagi, bahwa memang bukan di ruangan
itulah arena yang sudah ditentukan.
Dengan hati yang bergelora ia
meneruskan langkahnya diiringi oleh pamannya dan kemudian orang-orang di luar
pintu ruangan itu. Alap-Alap Jalatunda pun kemudian melangkah keluar bersama
Sanakeling yang bergumam, “Kau memang bodoh Alap-Alap kerdil. Kau terlampau
percaya kepada latihanmu di pinggir kali itu. Dua kali kau terlibat dalam
persoalan dengan perempuan, dalam keadaan yang serupa. Kau memang tidak dapat
menyamakannya dengan perempuan jalanan yang kau jumpai di mana-mana.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab. Tetapi ia sama sekali tidak menyesal menghadapi perang tanding ini.
Kecuali kepalanya memang telah dicengkam oleh tuak, juga karena kebenciannya
kepada Sidanti telah benar-benar memuncak.
Namun berbeda dengan Alap-Alap
Jalatunda, Sekar Mirah yang masih juga mendengar ucapan itu, hatinya menjadi
semakin pedih. Ternyata dalam tanggapan Alap-Alap Jalatunda, dirinya tidak
lebih daripada perempuan-perempuan yang dijumpai orang itu di sepanjang jalan.
Karena itu, maka tiba-tiba Sekar Murah itu jatuh tertelungkup. Wajahnya
disembunyikannya di bawah telapak tangannya. Dan tangisnya meledak tanpa dapat
dikendalikannya.
Sanakeling dan Alap-Alap
Jalatunda tertegun sejenak. Sesaat mereka berpaling, tetapi ketika Alap-Alap
Jalatunda akan berbalik, berkatalah Sanakeling, “Kau masih harus melakukan
perang tanding untuk dapat menjamahnya.”
Alap-Alap Jalatunda
mengangguk. Tetapi Sekar Mirah memekik tinggi. Dan tangisnya meledak-ledak
semakin keras.
Sanakeling dan Alap-Alap
Jalatunda itu pun kemudian meninggalkan ruangan itu pula diikuti oleh
orang-orangnya. Dan pintu depan pun kemudian tertutup. Dua orang pengawas telah
mendapat tugas untuk mengawasinya.
Ruangan itu pun kemudian
menjadi lengang. Hanya tangis Sekar Mirahlah yang masih terdengar memenuhinya.
Tetapi tangis itu pun seakan-akan hilang saja ditelan oleh gelapnya malam.
Bahkan kedua pengawas itu pun berjalan menjauh, karena mereka tidak tahan
mendengar tangis Sekar Mirah yang sama sekali tidak terkendali.
Tetapi di balik dinding
belakang rumah itu, sepasang mata masih saja mengintai dari lubang-lubang
dinding, melihat ke dalam ruangan yang lengang itu. Orang itu masih belum
beranjak dari tempatnya. Bahkan seakan-akan ia tidak sampai hati untuk
meninggalkan Sekar Mirah dalam keadaan itu.
Sekali-sekali orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba timbullah niatnya untuk mencoba
masuk dan mencoba menghibur gadis itu supaya berhenti menangis dan tidak lagi
terlampau mencemaskan dirinya.
Dengan hati-hati orang itu
berdiri. Digesernya tubuhnya ke sudut rumah itu. Tidak dengan sengaja, maka
dicobanya untuk melihat dinding di sudut rumah.
Orang itu melihat tali-tali
pengikat dinding rumah itu telah diputuskan. Sehingga segera ia tahu cara
Alap-Alap Jalatunda masuk. “Hem,” ia bergumam lirih sekali, “dari sini
Alap-Alap itu masuk.”
Kemudaan bulat pulalah
tekadnya untuk memasuki ruangan itu pula. Tak ada niat apa pun di dalam
hatinya, selain meredakan kepedihan hati Sekar Mirah. Mungkin dengan
kehadirannya, maka luka hati gadis itu dapat sedikit terobati, dan dengan
kehadirannya, maka gadis itu tidak terlampau dalam dicengkam oleh ketakutan
melihat masa-masa yang akan datang.
Perlahan-lahan dan hati-hati
sekali ia mencoba menarik dinding bambu di sudut itu. Sedikit kekuatan yang
diberikan, maka dinding itu telah menganga. Dan ia akan segera dapat masuk ke
dalamnya.
Tetapi orang itu terperanjat
bukan main, sehingga darahnya hampir berhenti mengalir. Tanpa diketahui
sangkan-paran arah datangnya, tiba-tiba ia telah melihat sesosok tubuh berdiri
di sampingnya. Karena itu, maka dengan serta-merta dilepaskannya dinding rumah
itu. Selangkah ia meloncat surut sambil menarik pedangnya. Tetapi sebelum ia
dapat berbuat sesuatu, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya.
Orang itu seolah-olah membeku
karenanya. Ia tidak dapat membayangkan, kekuatan dan ilmu apakah yang telah
menggerakkan bayangan itu demikian cepatnya, merampas pedang hanya dalam waktu
sekejap, dengan seolah-olah tanpa menggerakkan tubuhnya?
Sejenak orang itu tercenung
memandangi bayangan yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam.
Hatinya berdesir ketika
bayangan itu kemudian berkata perlahan-lahan, “Kau memang berani, terlampau
berani.”
Tanpa dikehendakinya sendiri
orang itu pun menjawab perlahan-lahan, “Apa pedulimu? Tetapi siapakah kau?”
Terdengar suara tertawa lirih.
“Siapa?” orang itu mendesak.
“Untunglah bahwa Ki Tambak
Wedi sedang ditegangkan oleh peristiwa yang dihadapinya, yang agaknya sangat
memukul hatinya,” bayangan itu berkata seakan-akan tidak menghiraukan
pertanyaan orang itu. “Kalau tidak, maka kau pasti sudah menjadi pengewan-ewan
di sini, Ngger.”
“Siapa kau?” orang itu
mendesak pula, dan ia pun seolah-olah tidak mendengar kata-kata bayangan itu.
“Inilah pedangmu,” berkata
bayangan itu sambil memberikan pedang yang dirampasnya.
Orang itu merasa aneh. Tetapi
ia merasa pula bahwa orang itu tidak bersikap bermusuhan terhadapnya. Ketika
orang itu berkata seterusnya dalam nada yang berbeda, maka orang itu pun sekali
lagi terperanjat, “Apakah kau tidak kenal aku, Ngger.”
Nada yang kini adalah nada
yang pernah didengarnya. Bahkan sering didengarnya memberinya berbagai macam
petunjuk, sehingga dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah Kiai ini Ki Tanu
Metir?”
Terdengar bayangan itu
tertawa. Suara tertawanya pun kini berbeda dari suara yang didengarnya tadi.
“Ah,” desah orang itu, “Kiai
mengganggu dan menakut-nakuti aku.”
“Tidak, Ngger” jawab bayangan
yang tidak lain adalah Ki Tanu Metir.“ Aku berkata sebenarnya. Angger terlampau
berani berbuat malam ini. Mungkin Angger kurang menyadari bahaya yang dapat
menerkam Angger setiap saat. Tetapi aku tidak sempat memperingatkan Angger.
Untunglah Ki Tambak Wedi benar-benar sedang dibingungkan oleh muridnya.”
“Bagaimana Kiai dapat masuk ke
dalam sini?” bertanya orang itu.
“Kenapa Angger Wuranta malam
ini tidak turun ke Jati Anom?” bertanya Ki Tanu Metir.
Orang itu, yang tidak lain
adalah Wuranta, menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku hampir digantung
Kiai. Kalau malam ini aku tidak dapat keluar dari padepokan ini, maka besok
pagi, sesudah perang tanding itu selesai, orang-orang padepokan ini akan
beramai-ramai memburuku dan menangkap aku seperti menangkap kelinci.”
“Kenapa?”
“Ki Tambak Wedi telah
mengetahui segalanya. Bahkan Ki Tambak Wedi telah mengetahui, bahwa Adi
Swandaru dan Agung Sedayu berada di rumahku. Tetapi Ki Tambak Wedi sama sekali tidak
menyebut Kiai berada di sana pula.”
Orang tua yang terlindung
dalam kegelapan itu tegak seperti patung. Tetapi terdengar nafasnya menjadi
semakin cepat. Terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Perlahan-lahan ia
bertanya, “Jadi Ki Tambak Wedi sendiri telah melihat Jati Anom dan rumahmu?”
“Ya. Lalu sepulang dari Jati
Anom agaknya para pemimpin padepokan ini mengambil keputusan untuk malam ini
juga menyerang Jati Anom.”
“Ya, aku sudah mendengarnya
tadi. Tetapi serangan itu tertunda karena peristiwa ini.”
“Ya, Kiai.”
“Kita berselisih jalan” gumam
Ki Tanu Metir. “Ki Tambak Wedi ke Jati Anom, dan aku datang ke mari. Mungkin Ki
Tambak Wedi menempuh jalan yang sering kau lalui pula. Aku memang mengambil
jalan lain. Hem,” Ki Tanu Metir menarik nafas dalam-dalam.
Wuranta pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tahu sekarang, kenapa ketika Ki Tambak Wedi
mengintip rumahnya, yang dijumpainya hanya Swandaru dan Agung Sedayu. Agaknya
pada saat itu Ki Tanu Metir telah meninggalkan Jati Anom pula menuju ke
padepokan ini.
Dan Wuranta itu pun kemudian
bertanya pula, “Tetapi bagaimana Kiai dapat masuk ke dalam padepokan ini?”
Ki Tanu Metir tersenyum. Ia
tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan ia bertanya kepada Wuranta,
“Angger. Apakah sebabnya Angger besok akan menjadi orang buruan di dalam
padepokan ini? Apakah Ki Tambak Wedi dapat mengetahui hubungan Angger dengan
orang-orang Jati Anom?”
“Ya, Kiai,” sahut Wuranta,
“justru karena Adi Swandaru dan Agung Sedayu yang berada di rumahku. Sebelum
itu Ki Tambak Wedi telah bertanya-tanya pula kepada Sidanti bagaimana saat-saat
ia menemukan aku di Jati Anom. Dengan demikian maka Ki Tambak Wedi
berkesimpulan bahwa aku harus digantung.”
“Tetapi kenapa Angger dapat
datang ke halaman ini?”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Dipalingkannya wajahnya ke arah rumah tempat Sekar Mirah masih
berbaring di lantai sambil menangis.
“Biarkan, Ngger. Tangis
kadang-kadang dapat menjadi kawan yang baik bagi seorang wanita. Dan kali ini
dapat menjadi kawan yang baik bagi kita, karena dengan demikian percakapan kita
tidak didengar orang.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
“Bukan maksudku membiarkannya
dalam keadaan putus asa, Ngger. Tetapi sementara ini, biarlah ia meringankan
perasaannya dengan tangisnya.”
Wuranta masih tegak seperti
patung.
“Sekarang, bagaimanakah kau
dapat datang kemari? Apakah dengan keputusan Ki Tambak Wedi tentang dirimu, kau
tidak mendapat pengawasan sama sekali?”
“Aku memang sudah ditahan
Kiai” jawab Wuranta. “Aku ditahan di dalam sebuah gubug dengan empat orang
pengawal.”
“Lalu?”
“Salah seorang daripada mereka
memberi aku kesempatan meninggalkan rumah itu.”
“He?” Ki Tanu Metir
mengerutkan keningnya.
“Orang itu adalah seorang tua
tempat aku menumpang selama aku berada di padepokan ini. Agaknya ia senang
mendengar sendau-gurauku tepat pada siang hari sebelum aku harus masuk ke dalam
rumah itu. Orang itu pulalah yang menangkap aku dan membawa aku ke dalam tahanan.
Orang itu pulalah yang sepanjang jalan berada di sisiku sambil berbisik, bahwa
aku akan dapat melepaskan diri lewat atap yang ditunjukkan kepadaku, yang
ternyata beberapa utas talinya telah diputuskannya. Dan aku diperingatkan
adanya seorang pengawas di sudut belakang halaman.”
“Kau dapat memaanfaatkannya?”
“Ya, Kiai. Aku berhasil keluar
dari atas atap itu dan diam-diam menerkam penjaga yang terkantuk-kantuk di
halaman belakang. Pedang ini adalah pedang penjaga itu.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Kau memang mempunyai bakat yang kuat
di dalam tubuhmu untuk menjadi seorang petugas sandi. Lalu bukankah dengan
demikian kau harus keluar dari padepokan ini supaya kau selamat?”
“Ya Kiai. Orang tua yang
memberi aku kesempatan itu berkata kepadaku, ‘Angger, aku hanya dapat memberi
kau petunjuk sampai pada lubang di atap ini. Seterusnya, terserah kepadamu.
Juga tentang penjaga yang berada di sudut halaman belakang, di bawah pohon
ramin itu. Sayang, aku tidak dapat memberimu petunjuk, darimana kau harus
keluar dari padepokan ini. Barangkali kau dapat melakukannya besok apabila
pasukan padepokan ini sudah berangkat ke Jati Anom. Dengan demikian aku juga
tidak berkhianat terhadap pimpinanku. Sebab apabila kau keluar dari padepokan
malam ini, maka kau pasti akan menyampaikan kabar ini kepada orang-orang di
Jati Anom.’”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya mendengar ceritera Wuranta. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, “Angger, kau memang harus segera turun ke Jati Anom sebelum orang-orang
itu mencarimu. Kau akan membawa pesan yang harus kau sampaikan kepada Untara.
Agung Sedayu dan Swandaru akan mempertemukan kau meskipun kesan tentang dirimu
bagi beberapa orang Jati Anom kurang menyenangkan.”
“Tetapi bagaimana aku harus
keluar, Kiai?”
Ki Tanu Metir terdiam sesaat.
Tiba-tiba ia bertanya, “He, apakah sebabnya orang itu memberimu kesempatan?
Apakah bukan sekedar suatu pancingan saja bagimu?”
“Aku rasa tidak, Kiai. Kemarin
siang aku berbincang dengan orang itu tentang kesempatan untuk menikmati sinar
matahari pagi. Ia berkata kepadaku sebelum aku dilepaskannya. ‘Aku sependapat
dengan kau ngger. Aku memang tidak mendapat kesempatan menikmati cerahnya
matahari hampir di sepanjang hidupku. Apalagi menikmati keagungan Penciptanya.
Sampai setua ini aku adalah budak dari kerja duniawi melulu.’”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Hem, agaknya kau mampu juga menyentuh
perasaannya yang paling dalam. Nah, Ngger. Sekarang dengarlah. Sebaiknya kau
turun ke Jati Anom. Cepat, secepat-cepatnya. Pasukan Untara harus berada di
ambang pintu padepokan ini sebelum fajar.”
“He,” Wuranta terkejut,
“bagaimana mungkin, Kiai?”
“Keluarlah dari padepokan ini.
Aku membawa kuda. Kau pergunakan kudaku. Demikian kau sampai di Jati Anom, maka
Agung Sedayu dan Swandaru harus masuk kepadepokan ini secepat-cepatnya. Pasukan
Untara yang sempat mendapatkan kuda, kuda yang dibawanya dari Pajang atau kuda
yang dapat diambil di Jati Anom harus mendahului yang lain, sedang yang lain
secepatnya pula harus menyusul. Aku akan memberi tanda dengan panah sendaren.
Ingat, Agung Sedayu harus membawa panah sendaren. Aku atau anak itu harus
menunggu di sini.”
“Lalu bagaimana dengan pesan
selanjutnya buat Kakang Untara?”
“Ia harus sudah siap
secepatnya. Aku mengharap keadaan akan berkembang dengan cepat tanpa dapat
terkendali lagi. Aku akan memberikan tanda-tanda untuk setiap gerakan
berikutnya.”
Tetapi Wuranta tidak segera
beranjak dari tempatnya. Ia masih saja berdiri memandangi wajah Ki Tanu Metir
dengan sorot mata bertanya-tanya.
“Apakah masih ada yang ingin
Angger tanyakan?”
“Ya, Kiai” sahut Wuranta.
“Tentang apa?”
“Tentang pesan itu.”
“Pesan itu?” Ki Tanu Metirlah
yang menjadi heran, tetapi kemudian ia menyadari bahwa pesannya terlampau
singkat buat Wuranta, sehingga, ia masih perlu banyak penjelasan.
Demikianlah Ki Tanu Metir
memberinya beberapa penjelasan tentang pesannya. Untara harus membawa seluruh
pasukannya ke ambang pintu padepokan Tambak Wedi. Tetapi supaya sebagian dari
mereka segera siap dipergunakan apabila perlu, maka mereka yang mendapatkan
kuda harus berangkat lebih dahulu. Sedang yang lain harus segera menyusul.
“Kalau aku melepaskan tiga
panah sendaren berturut-turut, ingat Ngger, tiga,” berkata Ki Tanu Metir
seterusnya, “maka pasukan Untara harus bergerak memasuki padepokan ini. Tetapi
kalau aku melepaskan dua panah sendaren berturut-turut beberapa kali, maka
mereka harus mengurungkan niatnya dan kembali ke Jati Anom. Sedang apabila aku
melepaskan lima panah sendaren berturut-turut beberapa kali, maka aku memberi
tahukan bahwa keadaan Jati Anom gawat. Mereka harus bersiap sedia menyingkiri
sergapan Ki Tambak Wedi dan menghindari benturan pasukan.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan Ki Tanu Metir berkata selanjutnya, “Nah, cepat ke Jati Anom,
pakai kudaku.”
“Di mana kuda Kiai, dan dari
mana aku akan keluar?”
Ki Tanu Metir tersenyum.
Jawabnya, “Bukankah kau pernah berceritera tentang urung-urung sungai. Nah, aku
masuk lewat urung-urung itu, Ngger. Aku menyelam sejenak, lalu muncul lagi di
balik dinding padepokan ini.”
“Oh” Wuranta berdesah.
“Apakah kau tidak dapat
berenang?”
“Dapat, Kiai.”
“Dan apakah kau kira-kira
dapat menyelam lewat urung-urung yang pendek itu?”
“Ya, Kiai.”
“Nah, ambillah kudaku. Kudaku
ada di bagian selatan dari padepokan ini. Kau berjalan saja sepanjang pinggiran
sungai. Kau akan menemukan kudaku terikat pada sebatang pohon turi.”
“Apakah Kiai masuk dari
sebelah selatan?”
“Tidak, sangat sulit untuk
menentang arus sungai. Aku masuk lewat urung-urung utara mengikuti arus.”
“Tetapi kenapa kuda Kiai
berada di selatan?”
“Aku siapkan kuda itu lebih
dahulu, apabila setiap saat aku harus menghindarkan diri dari padepokan ini.
Aku telah meneliti seluruh keadaan di sekitar padepokan ini.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Begitu hati-hati orang tua ini, sehingga semuanya telah diperhitungkannya
dengan rapi. Dan kini ia harus pergi ke Jati Anom dengan kuda Ki Tanu Metir itu
untuk menyampaikan pesannya kepada Untara.
Sebelum Wuranta berangkat, Ki
Tanu Metir masih berpesan, “Kau, dan juga Agung Sedayu dan Swandaru harus
berbuat serupa itu pula, Ngger. Kalian nanti harus mengikat kuda-kuda kalian di
bagian selatan meskipun kalian, akan masuk lewat bagian utara.”
“Baik, Kiai.”
“Nah, yang paling cepat harus
sampai di sini adalah Agung Sedayu, Swandaru, dan kau, Ngger. Kalau aku tidak
ada karena aku sedang melihat keadaan, maka kalian harus menunggu aku di sini.”
“Baik, Kiai.”
“Kalau keadaan berbahaya bagi
kalian aku akan menunggu di bawah pohon turi itu. Kecuali kalau aku ditangkap
oleh Ki Tambak Wedi.”
Wuranta tersenyum. Jawabnya,
“Aku akan segera pergi Kiai, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas ini.”
“Jangan kau pacu kudamu
sebelum kau yakin bahwa derap kudamu tidak akan didengar oleh setiap orang di
padepokan ini. Demikian pula apabila kau nanti kembali beserta pasukan berkuda
Angger Untara. Apabila mereka menyadari bahwa kau lolos maka keadaan akan dapat
berubah dan berkembang ke arah yang tidak kita kehendaki.”
“Baik, Kiai.”
Wuranta itu pun kemudian
meninggalkan Ki Tanu Metir. Orang tua itu masih memberinya beberapa petunjuk
dan pesan, kemudian sekali ia berkata, “Jangan kau cemaskan nasib gadis ini.
Aku akan mencoba mempertanggungjawabkannya.”
Wuranta mengangguk. Lalu
melangkahkan kakinya hilang di dalam gelap. Namun Wuranta itu harus berhati-hati.
Ditempuhnya jalan-jalan yang sepi, yang tidak sering dilalui orang. Namun
terasa padepokan itu amat sunyinya. Ketika ia memberanikan diri mendekati
simpang-simpang empat di dalam padepokan itu ternyata tak seorang pun yang
mengawalnya. Agaknya mereka sedang berkumpul di halaman banjar yang luar untuk
dapat menyaksikan apa yang sedang terjadi di sana.
Ketika Wuranta sampai ke
pinggir sungai, ia menjadi ragu-ragu sejenak. Tetapi ia adalah perenang yang
baik sejak kanak-anak. Karena itu, maka disangkutkannya kainnya tinggi-tinggi
dan betapapun dingin malam menggigit tubuhnya, namun Wuranta itu pun kemudian
terjun juga menyelam. Sambil meraba-raba dinding padepokan menyelusur mengikuti
arus sungai. Ternyata dinding itu tidak begitu tebal, dan sejenak kemudian ia
telah rnuncul pula di seberang dinding di luar padepokan.
“Hem” Wuranta itu menjadi
basah kuyup. Terdengar giginya gemeretak karena dingin. “Segar juga mandi di
malam buta.”
Sejenak kemudian Wuranta itu
telah menemukan kuda Ki Tanu Metir di pinggir kali di belakang sebuah gerumbul
terikat pada sebatang pohon turi yang tinggi. Hati-hati dipakainya kuda itu
menuju ke Jati Anom. Tetapi selalu diingatnya pesan Ki Tanu Metir. Dihindarinya
jalan yang lazim. Ia melingkar lewat sebuah lapangan perdu yang agak rimbun.
Meskipun jalan tidak datar, tetapi Wuranta berhasil memotong arah dan agak jauh
dari padepokan ia berhasil menemukan jalan yang harus dilalui. Ketika ia yakin
bahwa ia sudah cukup jauh dari padepokan, maka segera ia berpacu seperti angin,
meskipun jalan yang ditempuhnya kadang-kadang terjal, tetapi ia ingin segera
sampai di Jati Anom untuk menyampaikan pesan Ki Tanu Metir kepada Untara.
Sepeninggal Wuranta, Ki Tanu
Metir berdiri diam untuk sesaat. Dicobanya untuk mendengar tangis Sekar Mirah.
Ternyata tangis itu masih saja berkepanjangan.
Sejenak orang tua itu menjadi
ragu-ragu. Tetapi kemudian diputuskannya untuk membiarkan saja Sekar Mirah itu
dalam keadannnya, supaya tidak menimbulkan kecurigaan pada para pengawasnya.
Bahkan Ki Tanu Metir itu pun segera meninggalkan tempat itu dengan hati-hati
untuk melihat apa yang sedang terjadi di padepokan ini.
Orang tua itu sama sekali
belum pernah menginjakkan kakinya di dalam padepokan ini. Tetapi ia telah
mengenal beberapa arah menurut petunjuk dan ceritera Wuranta. Sebagai seorang
yang telah kenyang minum air di perantauan, maka Kiai Gringsing pun segera
mampu menyesuaikan dirinya. Tetapi orang tua itu menyadari sepenuhnya, bahwa di
dalam padepokan itu ada seorang yang sebaya dengan dirinya. Bukan saja sebaya
umurnya, tetapi hampir segala-galanya. Itulah sebabnya maka ia harus berada di
puncak kewaspadaan.
Perlahan-lahan orang itu
menyusuri halaman demi halaman. Mengingati setiap pengamatannya atas sesuatu.
Pohon-pohon yang cukup besar, rumah-rumah dan pagar-pagar. Dikenalinya setiap
regol yang dijumpainya dan arah yang dapat ditempuhnya apabila ia menjumpai
bahaya.
Akhirnya dari kejauhan Ki Tanu
Metir itu melihat berpuluh-puluh obor yang ditancapkan di halaman. Itu adalah
halaman banjar para pemimpin padepokan Tambak Wedi. Ternyata Sidanti dan
Alap-Alap Jalatunda tidak dapat menunda persoalannya sampai besok apabila matahari
telah menyingsing. Mereka benar-benar ingin menyelesaikan persoalannya malam
ini. Bahkan sekarang.
Dari kejauhan Kiai Gringsing
melihat bahwa laskar padepokan itu benar-benar telah terbagi. Sebagian di
sebelah sisi adalah laskar Tambak Wedi, sedang di sisi yang lain, yang
tampaknya lebih sigap, adalah para prajurit Jipang. Tetapi kelebihan pada
orang-orang Tambak Wedi adalah para pemimpinnya. Ki Tambak Wedi, Sidanti,
Argajaya dan beberapa orang lagi. Mereka adalah orang-orang pilihan, yang mempunyai
takaran yang cukup banyak bagi prajurit-prajurit biasa. Apalagi Ki Tambak Wedi
sendiri.
Kiai Gringsing masih melihat
beberapa orang mempersiapkan arena. Beberapa orang yang lain memasang obor-obor
di tempat-tempat yang telah ditentukan. Perang tanding kali ini adalah
benar-benar sebuah perang tanding yang sangat menarik.
Sambil melihat persiapan itu
Kiai Gringsing masih saja selalu menghitung waktu. Wuranta itu benar-benar
diharapkannya dapat menyampaikan pesannya. Kalau tidak, maka Untara akan banyak
kehilangan kesempatan. Dan orang tua itu mengharap bahwa Wuranta akan jauh
lebih cepat mencapai Jati Anom dengan kudanya. Menurut perhitungannya, maka
pasukan Untara yang mendapatkan kuda akan segera datang pula. Sedang mereka
yang berjalan akan menyusul. Mereka akan sampai di ambang pintu padepokan ini
selambat-lambatnya pada saat fajar menyingsing. Sehingga sesaat sebelum fajar,
ia sudah dapat mengharap pasukan berkuda Untara bergerak apabila diperlukan,
sementara menunggu pasukannya yang lain.
“Mudah-mudahan aku tidak salah
hitung,” gumam Kiai Gringsing di dalam hatinya, “dan mudah-mudahan perkelahian
itu tidak segera selesai. Apabila demikian, maka aku akan mendapat kesulitan.
Yang paling mungkin aku lakukan adalah melarikan Sekar Mirah, membenamkannya di
bawah urung-urung kemudian membawanya bersembunyi di balik belukar. Hem.” Orang
tua itu menarik nafas. Tampaklah ia tersenyum, tetapi sejenak kemudian wajahnya
telah menjadi tegang kembali. Sebenarnyalah bahwa hatinya selalu gelisah dan
berdebar-debar. Tanpa disadari ia telah menggerakkan sepasukan prajurit Pajang
di bawah pimpinan senapati muda yang berkuasa di daerah sekitar Gunung Merapi.
“Kalau aku gagal, dan
laporannya nanti didengar oleh Ki Gede Pemanahan, maka aku akan digantungnya”
desisnya kepada diri sendiri.
Kini Kiai Gringsing melihat
persiapan hampir selesai. Obor-obor telah terpasang berkeliling. Dan sebagian
dari laskar kedua pihak telah berada di sekitar arena itu pula.
Sementara itu Wuranta berpacu
tanpa mengingat jalan yang dilaluinya. Sekali-sekali kudanya meloncati
tempat-tempat yang terjal, dan sekali-sekali terpaksa mendaki sedikit untuk
seterusnya berlari lagi menuruni tebing. Yang terpahat di dalam dadanya adalah,
secepatnya menemui Agung Sedayu dan Swandaru untuk mempertemukannya dengan
Untara.
Waktu yang diperlukan oleh
Wuranta ternyata terlampau pendek. Kecepatan kudanya benar-benar mengagumkan
dan Wuranta sendiri ternyata mampu menguasai kuda yang sedang berlari dalam
kecepatan yang sangat tinggi. Dipilihnya jalan-jalan sempit dan memintas untuk
menghindarkan diri dari para peronda dan memilih jarak terdekat.
Tanpa turun dari kudanya
Wuranta memasuki halaman rumahnya, sehingga Agung Sedayu dan Swandaru menjadi
sangat terkejut karenanya. Berloncatan mereka turun dari pembaringannya dan
dengan tergesa-gesa pula berlari ke arah pintu dengan pedang masing-masing di
tangan, meskipun belum mereka tarik dari sarungnya.
“Adi Agung Sedayu dan
Swandaru,” berkata Wuranta dengan nafas terengah-engah, “marilah, ikut aku.
Pertemukan aku dengan Kakang Untara.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tidak segera menjawab. Suara itu adalah suara Wuranta. Perlahan-lahan Swandaru
membuka pintu.
Sejenak mereka menatap wajah
Wuranta yang tegang. Kemudian terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah yang
terjadi Kakang Wuranta?”
“Aku harus segera bertemu
dengan Kakang Untara.”
“Adakah sesuatu yang penting?”
“Ya. Penting dan
tergesa-gesa.”
Sejenak Agung Sedayu dan
Swandaru saling berpandangan. Kemudian bertanyalah Swandaru, “Apakah yang
penting itu?”
“Nanti, nanti kau akan
mendengarnya juga. Aku harus menghadap Kakang Untara, tetapi aku tidak berani
seorang diri. Sebab ada kesan yang kurang baik tentang diriku.”
Belum lagi Swandaru menjawab,
maka mereka pun segera dikejutkan oleh derap dua ekor kuda yang seolah-olah
saja langsung meloncat di jalan di muka halaman itu. Ketika kuda-kuda itu telah
berada tepat di muka regol, maka mereka pun berhenti. Salah seorang daripada
mereka masuk dengan hati-hati ke halaman sambil berkata, “Siapa di situ? Aku
melihat seekor kuda memasuki halaman ini. Tetapi terlampau cepat bagi kami yang
hanya melihat dari kejauhan. Tetapi agaknya kuda dan penunggangnya masih berada
di halaman.”
“Ya,” Agung Sedayulah yang
menjawab, “yang datang adalah Kakang Wuranta.”
“He, Wuranta anak Jati Anom?”
“Ya.”
“O, kalau begitu aku
berkepentingan dengan anak itu. Bukankah anak itu yang dikatakan selama ini
berpihak kepada orang-orang di lereng Merapi, dari padepokan Ki Tambak Wedi.”
Dada Wuranta berdesir
mendengar kata-kata itu. Hampir-hampir ia berteriak menjawabnya, tetapi segera
disadarinya kedudukannya dan dipercayakannya dirinya kepada Agung Sedayu dan
Swandaru.
“Akulah yang bertanggung jawab
atasnya saat ini” jawab Agung Sedayu.
“Kami adalah petugas ronda
malam ini. Kamilah yang bertanggung jawab atas keamanan Jati Anom dan
sekitarnya.”
“Tetapi aku mempunyai wewenang
khusus dari Kakang Untara, senapati di daerah ini, meskipun aku bukan seorang
prajurit.”
Kedua prajurit berkuda itu
terdiam. Tetapi belum lagi mereka puas dengan jawaban itu, maka kemudian
menyusul empat orang peronda datang berjalan kaki masuk kedalam regol halaman
setelah sejenak bercakap-cakap dengan prajurit berkuda yang seorang di luar
halaman.
“Aku juga melihat kuda itu.
Aku ikuti arahnya. Ternyata ia telah berada di sini.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia pun tahu, betapa ketatnya penjagaan Kademangan Jati Anom
yang tampaknya begitu lengang. Tetapi agaknya setiap jengkal tanah selalu
mendapat pengawasan yang teliti.
Dalam pada itu pun Agung
Sedayu berkata, “Berdasarkan wewenang khusus yang aku miliki, biarlah aku
membawa Kakang Wuranta menghadap Kakang Untara.”
Para prajurit yang berada di
regol halaman, itu sejenak saling berpandangan. Tetapi mereka harus mempercayai
Agung Sedayu. Mereka mengenal anak itu sebagai adik Untara. Dan mereka pun
telah mendengar apa yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu tidak
ada alasan bagi mereka untuk mencurigainya.
Meskipun demikian para
prajurit itu sejenak masih diselubungi oleh keragu-raguan, sehingga Agung
Sedayu berkata, “Berikan kuda kalian. Aku dan Adi Swandaru akan mengantarkan
Kakang Wuranta sekarang juga. Ada hal yang penting harus segera diketahui oleh
Kakang Untara.”
Kedua prajurit berkuda itu
tidak menjawab. Sesaat mereka saling berpandangan. Sementara itu Agung Sedayu
telah melangkah di halaman mendekati kedua prajurit berkuda itu diikuti oleh
Swandaru.
“Maaf, aku memerlukan kuda
kalian untuk kepentingan Jati Anom dan Pajang.”
Kedua prajurit itu menjadi seperti
orang yang sedang kebingungan. Prajurit itu tidak berbuat apa-apa ketika Agung
Sedayu menarik kendali kudanya, dan bahkan prajurit itu pun meloncat turun
tanpa disadarinya. Demikian prajurit yang seorang lagi. Dengan kepala kosong
diserahkannya kudanya kepada Swandaru.
“Aku akan pergi ke
kademangan,” berkata Agung Sedayu kepada prajurit-prajurit yang berdiri tegak
mematung di halaman itu, “susullah kami ke sana. Mungkin kalian pun akan
mendengar sesuatu yang penting itu.”
Agung Sedayu tidak menunggu prajurit
itu menjawab. Segera ia berkata kepada Wuranta, “Mari Kakang, aku antarkan kau
kepada Kakang Untara.”
Sejenak kemudian ketiga ekor
kuda itu telah berlari dengan cepatnya menuju ke kademangan. Para prajurit yang
melihatnya seolah-olah terpaku beku di tempatnya. Mereka memandangi kepulan
debu yang putih yang sesaat kemudian telah lenyap dalam kegelapan malam.
Ketika kuda-kuda itu telah
hilang dari pandangan mata mereka maka seolah-olah mereka pun baru menyadari
keadaan mereka sehingga salah seorang berkata, “He, kenapa kita berdiri saja di
sini. Mari kita lihat, apakah mereka benar-benar pergi ke kademangan.”
Seperti berloncatan berebut
dahulu mereka pun segera melangkah pergi, meninggalkan halaman rumah Wuranta,
pergi menyusul ketiga ekor kuda itu ke kademangan seperti yang dikatakan oleh
Agung Sedayu.
Demikian Wuranta memasuki
jalan induk kademangan bersama Agung Sedayu dan Swandaru, segera ia melihat,
bahwa penjagaan di Jati Anom pun kini tidak kalah rapatnya dibanding dengan
Padepokan Tambak Wedi. Bahkan ia sama sekali tidak dapat menilai, manakah yang
lebih kuat di antara kedua pasukan itu. Namun agaknya mata Ki Tambak Wedi
mempunyai ketajaman penglihatan yang jauh melampaui penglihatannya.
Karena Wuranta berjalan
beriring dengan Agung Sedayu dan Swandaru maka ia tidak banyak mendapat
pertanyaan. Bahkan untuk menghindari hal-hal yang dapat memperlambat perjalanan
itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru sama sekali tidak menyebut-nyebut nama
Wuranta. Sebab nama itu mempunyai kesan yang tidak menyenangkan bagi
orang-orang Jati Anom, terutama anak-anak mudanya dan bagi orang-orang Pajang
yang telah mendengarnya. Wuranta adalah salah seorang yang mereka anggap telah
hilang dari lingkungan mereka dan berada di dalam lingkungan lawan.
Tetapi ketika Wuranta memasuki
halaman kademangan, maka suasana tiba-tiba menjadi tegang. Di halaman
kademangan, Agung Sedayu dan Swandaru tidak lagi berhasil menyembunyikan anak
muda itu dari pengamatan anak-anak muda Jati Anom yang berada di halaman
kademangannya. Bahkan beberapa orang datang berlari-lari sambil bertanya,
“Agung Sedayu, apakah kau telah berhasil menangkapnya?”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi wajah Wurantalah yang menjadi merah padam. Ketika kuda-kuda mereka
berhenti, maka segera mereka dikerumuni oleh beberapa anak muda dan prajurit
Pajang. Wajah-wajah mereka menunjukkan pancaran kebencian bercampur-baur dengan
teka-teki tentang kedatangan anak muda itu.
“Kita menghadap Kakang Untara”
desis Agung Sedayu. Wuranta tidak menyahut. Setelah mengikatkan kudanya pada
tiang di halaman, maka ia pun segera berjalan rapat di belakang Agung Sedayu
untuk menghindari hal-hal yang tidak dikehendaki. Namun demikian, Wuranta itu
mengeluh di dalam hati sampai demikian dalam pengorbanan yang harus diberikan
kepada kampung halamannya. Seandainya tak seorang pun sempat menerangkan apa
yang senenarnya dilakukan, maka seandainya ia mati dibunuh anak muda
sepadukuhannya, maka mayatnya pasti akan dilempar saja ke kali sebagai seorang
pengkhianat. Tetapi kali ini ia masih menggantungkan diri kepada Agung Sedayu.
Bukan soal hidup atau mati, tetapi soal kebersihan namanya itulah yang lebih
penting baginya.
“Akan kau bawa ke mana anak itu?”
tiba-tiba terdengar suara di antara mereka yang berdiri di seputar ketiga anak
muda itu.
Agung Sedayu berpaling.
Dilihatnya seorang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan, “Oh, kau Kakang
Jawawi.”
“Ya, tetapi akan kau bawa ke
mana anak itu?” Wuranta mengerutkan keningnya. Jawawi adalah salah seorang anak
muda yang banyak mendapat kepercayaan di Jati Anom seperti dirinya. Dan ia
sadar sesadar-sadarnya bahwa Jawawi pun telah menjadi salah paham memandang
persoalannya.
“Akan aku bawa menghadap
Kakang Untara.”
“Jangan” berkata Jawawi.
Matanya menjadi semakin tajam memancarkan kebencian, “Wuranta adalah anak Jati
Anom. Persoalannya adalah persoalan kami. Bukan persoalan prajurit Pajang.”
Dada Agung Sedayu dan Swandaru
berdesir. Apalagi Wuranta. Tetapi dalam keadaan ini, Wuranta mengambil sikap
yang baginya paling menguntungkan. Diam.
Karena Agung Sedayu tidak
segera menjawab, maka Jawawi berkata terus sambil melangkah maju, “Adi Sedayu.
Serahkan anak itu kepadaku, kepada anak-anak muda Jati Anom.”
“Jangan, Kakang” sahut Agung
Sedayu. “Yang mempunyai kekuasaan tertinggi di daerah ini sekarang adalah
Kakang Untara. Kakang Untara adalah senapati yang mendapat kekuasaan dari
Panglima Wira Tamtama.”
“Sekali lagi aku peringatkan,”
potong Jawawi, “persoalan ini bukan persoalan prajurit Pajang. Persoalan ini
adalah persoalan anak-anak muda Jati Anom.”
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Tetapi sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menyerahkan
Wuranta kepada Jawawi. Maka jawabnya, “Kakang, biarlah Kakang Untara. mengambil
sikap. Kecuali Kakang Untara sedang mengemban tugas sebagai seorang senapati,
ia pun seorang anak Jati Anom pula. Aku pulalah yang menemukan Kakang Wuranta.
Aku pun anak Jati Anom. Nah, percayakanlah Kakang Wuranta kepadaku dan Kakang Untara.
Kami akan memenuhi keinginanmu, karena kami pun anak-anak muda Jati Anom pula.”
Agung Sedayu tidak ingin
persoalan ini menjadi berkepanjangan. Segera Ia berjalan maju menyibakkan
orang-orang yang mengelilinginya. Wuranta pun mengikutinya, dekat-dekat di
belakangnya. Sedang di belakang Wuranta berjalan Swandaru yang gemuk.
Beberapa orang tanpa
menyadari, segera menyibak memberi mereka jalan. Tetapi agaknya Jawawi masih
belum puas dengan keadaan itu, sehingga segera ia melangkah pula mengikuti
Agung Sedayu sambil berkata, “Adi Agung Sedayu. Jangan membuat kami kecewa.
Supaya kami tidak berbuat hal-hal yang tidak kalian inginkan.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun tetap pada pendiriannya. Jawabnya, “Jangan memaksa,
Kakang Jawawi. Supaya keadaan Jati Anom tidak menjadi bertambah kisruh hanya
karena kau menuruti perasaanmu saja.”
Wajah Jawawi menjadi merah
mendengar jawaban Agung Sedayu. Hampir-hampir ia membentaknya dan mencoba
menahannya, seandainya pintu kademangan itu tiba-tiba tidak terbuka. Ketika
mereka berpaling, mereka melihat di muka pintu itu berdiri Untara dan Ki Demang
Jati Anom.
“Apa yang kalian ributkan?”
Sebelum Agung Sedayu menjawab,
terdengar Jawawi mendahului, “Kami hanya ingin Wuranta diserahkan kepada kami.
Tetapi Adi Agung Sedayu berkeberatan, sehingga kami terpaksa memaksanya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ketika dilihat olehnya dalam keremangan malam, orang-orang berkerumun di
halaman demikian tegangnya.
“Bawa anak itu kemari”
tiba-tiba terdengar suara Untara. Suara yang penuh memancarkan kewibawaan
seorang pemimpin prajurit yang bertanggung jawab. “Aku mempunyai kekuasaan
tidak terbatas di sini sebagai pengemban perintah dari Pajang.”
Tak ada seorang pun yang
berani menentang kata-kata itu. Kecuali kata-kata itu mengandung ancaman,
tetapi wibawanya seolah-olah memukau setiap hati orang yang mendengarnya.
Karena itu ketika kemudian Agung Sedayu membawa Wuranta meninggalkan halaman
dan menaiki pendapa kademangan langsung masuk ke pringgitan, orang-orang yang
berada di halaman itu hanya memandangi mereka saja. Namun demikian, setelah
Wuranta itu hilang di balik pintu pringgitan, terbersitlah kata-kata di antara
mereka, bahwa mereka akan menunggu di halaman sampai Wuranta diserahkan kepada
mereka. “Hanya kamilah yang berhak menghukumnya” gumam mereka.
Di dalam pringgitan, Ki Demang
Jati Anom memandangi Wuranta dengan hampir tak berkedip, seakan-akan baru
pertama kali ini ia melihat. Sedang Wuranta yang merasakan tatapan mata itu,
hanya menundukkan kepalanya saja. Ia masih tetap berpendirian, bahwa segala
sesuatunya akan sangat tergantung kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
“Duduklah Wuranta” Untara
mempersilahkan. Wuranta terperanjat mendengar suara Untara. Suara itu telah
dikenalnya sejak beberapa puluh tahun yang lampau, selagi mereka masih
kanak-anak. Wuranta telah mengenal Untara dalam permainan, dalam pergaulan yang
lebih dewasa, sampai suatu ketika Untara itu meninggalkan Jati Anom mengabdikan
diri kepada Adipati Pajang. Tetapi nada suara itu agak berbeda dengan nada
suara Untara di masa-masa mudanya. Kini terasa bahwa kata-kata itu diucapkan
bukan oleh seorang anak muda padesan seperti dirinya, tetapi nadanya adalah
nada seorang pimpinan prajurit.
Wuranta itu pun kemudian duduk
diapit-apit oleh Agung Sedayu dan Swandaru. Sekali-sekali anak muda Jati Anom
itu mengangkat wajahnya pula, namun kemudian wajah itu pun tertunduk lagi.
“Kau baru datang dari
padepokan Tambak Wedi, Wuranta?”
Wuranta mengangkat wajahnya.
Perlahan-lahan ia menjawab, “Ya, Untara, eh, Tuan, eh.”
“Panggil namaku” potong
Untara.
“Ya, Kakang Untara.”
“Hem” tiba-tiba terdengar Ki
Demang Jati Anom menggeram. Ketika Wuranta beserta orang lain yang berada di
dalam pringgitan itu berpaling kearahnya, maka tampaklah wajah itu menjadi
tegang. Dengan kata-kata yang bergetar Ki Demang berkata, “Wuranta, ternyata
kau sangat mengecewakan kami, orang-orang Jati Anom. Apakah sebabnya maka
tiba-tiba saja kau telah berada di padepokan setan lereng Merapi itu? Apakah
tanah ini, kampung halaman ini, kurang memberimu kepuasan? Kurang memberimu
sandang pangan dan perlindungan?”
“Nanti dulu, Ki Demang,” potong
Untara, “jangan tergesa-gesa menyatakan sikap. Aku ingin tahu, kenapa tiba-tiba
saja ia menemui Agung Sedayu dan Swandaru.”
Ki Demang menelan ludahnya.
Tetapi dadanya serasa menghentaki karena kecewa. Kecewa terhadap anak muda yang
pernah dipercayainya.
“Wuranta,” berkata Untara
kemudian, “apakah, kau membawa sesuatu berita atau pesan atau apa pun yang
penting untukku dan untuk seluruh Jati Anom?”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Ketika ia mengangkat wajahnya, maka terpandang olehnya wajah Ki Demang menjadi
semakin tegang. Dengan serta-merta Demang Jati Anom itu bertanya, “Apakah
artinya ini?”
Untara tidak menjawab. Tetapi
tatapan matanya telah memaksa Wuranta berkata, “Ya, Kakang. Aku membawa pesan
Ki Tanu Metir untuk Kakang.”
Wajah Ki Demang Jati Anom
menjadi semakin tegang karenanya. Dari sepasang matanya memancar sorot yang
mengandung beribu macam pertanyaan.
Untara agaknya dapat menangkap
pertanyaan-pertanyaan yang bergumul lewat pancaran mata Demang Jati Anom. Maka
supaya pembicaraan seterusnya menjadi lancar maka ia berkata, “Wuranta, apakah
pekerjaanmu dapat berjalan dengan baik?”
“Ya, Kakang Untara. Tetapi
malam ini adalah malam terakhir bagi Wuranta di lereng Merapi, di padepokan
Tambak Wedi. Seharusnya pagi ini aku sudah digantung di muka regol padepokan
itu, karena ternyata Ki Tambak Wedi dapat mengetahui perananku.”
“Tetapi kau berhasil
melepaskan dirimu.”
“Aku bertemu dengan Ki Tanu
Metir.”
“Apakah Ki Tanu Metir ada di
dalam padepokan itu?”
“Ya. Ki Tanu Metir telah
berhasil masuk ke dalam padepokan setelah Ki Tanu Metir mendapat gambaran
tentang daerah itu.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan singkat dikatakannya beberapa hal tentang anak
muda yang bernama Wuranta itu. Akhirnya Untara berkata, “Ki Demang, sekarang
ternyata peranan Wuranta telah berakhir. Ia tidak akan menjadi orang padepokan
Tambak Wedi lagi. Beruntunglah ia berhasil melepaskan diri dan kembali ke Jati
Anom. Kalau tidak, maka ia akan menjadi banten sedang mayatnya akan
bergantungan di regol padepokan Ki Tambak Wedi.”
Sejenak Ki Demang Jati Anom
itu tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Dengan ternganga-nganga
dipandanginya wajah Wuranta yang tunduk berganti-ganti dengan wajah Untara yang
tersenyum.
“Ki Demang, kau akan berbangga
mempunyai seorang anak muda seperti Wuranta. Maafkanlah bahwa segalanya telah
dirahasiakan, oleh Ki Tanu Metir, karena Ki Tanu Metir belum banyak mengenal
orang-orang Jati Anom sendiri. Anggaplah itu sebagai suatu sikap berhati-hati
daripadanya.”
“Oh,” Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam, setelah getar di dadanya mereda, gumamnya, “maafkan aku Wuranta.
O, sungguh aku tidak menyangka bahwa demikianlah keadaan yang sebenarnya. Hem,
ternyata telah kau pertaruhkan apa saja yang kau miliki untuk pekerjaanmu.
Nyawa dan nama, sokurlah bahwa kau masih tetap hidup.”
“Tuhan melindunginya” desis
Agung Sedayu.
“Ya. ya, Tuhan telah
melindunginya” sahut Ki Demang. “Dan sekarang, apakah pesan yang kau bawa itu?”
“Kakang Untara,” berkata
Wuranta kemudian, “pesan ini penting dan tergesa-gesa. Kalau mungkin maka
sebelum fajar pasukan Kakang Untara harus sudah berada di ambang pintu
padepokan Ki Tambak Wedi.”
“He,” Untara mengerutkan
keningnya, “bagaimana mungkin?”
“Keadaan di padepokan Tambak
Wedi berkembang terlampau cepat. Meskipun perhitungan Ki Tanu Metir mendasarkan
pada persoalan di dalam padepokan itu sendiri, tetapi agaknya Ki Tanu Metir
yakin bahwa kali ini Kakang akan dapat berhasil.”
Dahi Untara tampak
berkerut-merut, sedang Ki Demang masih belum terlepas sama sekali dari debar
jantungnya pada saat ia mengetahui kedudukan Wuranta sebenarnya. Ia masih saja
serasa bermimpi melihat anak muda itu duduk di hadapannya sambil memberikan
beberapa keterangan dan pesan dari orang yang bernama Ki Tanu Metir.
“Sebenarnya aku mempunyai
kepercayaan yang kuat terhadap Ki Tanu Metir,” gumam Untara.
“Aku melihat hal-hal yang
tidak masuk di dalam nalarku” sahut Wuranta.
“Meskipun demikian, tetapi
menggerakkan pasukan demikian tergesa-gesa hampir tidak mungkin aku lakukan.”
“Menurut Ki Tanu Metir, maka
pasukan berkudalah yang diperlukannya dahulu. Sedang pasukan yang lain dapat
menyusul kemudian.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Senapati yang masih muda itu berpikir dan mencoba membayangkan apa
yang sedang terjadi di padepokan Tambak Wedi.
“Apakah perang tanding itu
akan sedemikian menarik bagi orang-orang Tambak Wedi dan orang Jipang?”
bertanya Untara kemudian.
“Ya, Kakang” jawab Wuranta.
“Sehingga mereka akan lengah
dan tidak menyadari bahwa kita menyerang mereka dengan tiba-tiba? Seandainya
demikian, maka apakah mereka tidak akan segera dapat menyusun diri dan
melakukan perlawanan? Sedang kekuatan mereka berada di atas kekuatan kita,
apalagi hanya sekedar prajurit-prajurit berkuda sebelum prajurit yang lain datang.”
Wuranta tidak segera menjawab.
Agaknya ia menjadi ragu-ragu mendengar pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia
berkata, “Aku kurang tahu Kakang. Ki Tanu Metir-lah yang membuat perhitungan
berdasarkan pengamatannya dan laporan-laporan yang aku berikan setiap saat aku
bertemu.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia berkata, “Baiklah, aku akan menyiapkan prajurit-prajurit
berkuda. Mereka akan dapat mencapai padepokan Tambak Wedi sebelum fajar. Tetapi
pasukan yang lain masih memerlukan waktu, sehingga kemungkinan, yang terbesar,
mereka akan sampai sesudah matahari terbit.”
“Terserahlah kepadamu, Kakang.
Aku hanya sekedar menyampaikan pesan itu. Kemudian aku harus segera kembali
bersama Adi Agung Sedayu dan Swandaru. Kami harus memasuki padepokan dan berada
di sekitar pondok tempat Sekar Mirah disembunyikan. Kami harus membawa panah
sendaren sebagai tanda yang dimaksud oleh Ki Tanu Metir, yang akan dilepaskan
pada saatnya menurut pesannya.”
“Apakah perjalanan itu tidak
terlampau berbahaya bagimu serta Agung Sedayu dan Adi Swandaru?”
“Tetapi kami harus kembali
segera sebelum semuanya terjadi. Panah-panah itulah yang akan dipakai oleh Ki
Tanu Metir untuk memberikan tanda kepada Kakang Untara.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kerut-merut di dahinya menyatakan betapa ia mencoba memecahkan
persoalan yang sedang dihadapi.
Akhirnya pemimpin prajurit
Pajang di Jati Anom itu berkata, “Baik. Aku akan memenuhi pesan Ki Tanu Metir.
Aku akan segera mengumpulkan semua prajurit berkuda. Aku akan minta Ki Demang
Sangkal Putung untuk meminjamkan kepada kami, berapa saja kuda yang ada di
kademangan ini.”
“Nah. Begitulah Kakang.
Mudah-mudahan semua dapat berjalan lancar. Mudah-mudahan rencana Ki Tanu Metir
dapat terjadi. Aku hanya dapat membantu menurut kemampuan yang ada padaku.
Tetapi apabila kali ini Kakang Untara berhasil, maka aku akan turut berhingga
karenanya.”
“Baiklah Wuranta. Sekarang
bagaimana dengan kau?”
“Aku akan mendahului bersama
adi Agung Sedayu dan adi Swandaru.”
“Pergilah. Hati-hatilah dengan
perjalanan yang berbahaya itu. Kalau kalian gagal memasuki padepokan itu dan
menyerahkan anak-anak panah sendaren itu kepada Ki Tanu Metir, maka segalanya
akan menjadi gagal pula.”
“Baiklah, Kakang. Aku akan
berusaha untuk melakukan tugasku sebaik-baiknya”
“Aku mempunyai gambaran yang
agak terang tentang peristiwa yang akan terjadi di padepokan itu. Aku dapat
mengerti jalan pikiran Ki Tanu Metir. Dan aku sependapat pula. Karena itu,
pergilah, dan lakukan tugasmu baik-baik.”
“Baiklah, Kakang” sahut
Wuranta. Kemudian kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia berkata, “Marilah kita
berangkat. Kita harus mendahului Kakang Untara seperti yang dimaksud oleh Ki
Tanu Metir.”
Sebenamya Agung Sedayu dan
Swandaru sudah tidak sabar lagi menunggu Wuranta dan Untara berbincang
berkepanjangan. Karena itu ketika Wuranta mengajak mereka pergi, maka seperti
berjanji mereka menyahut, “Marilah, aku sudah siap.”
Wuranta, Agung Sedayu, dan
Swandaru itu pun segera minta diri kepada Untara dan Ki Demang Jati Anom, yang
melepaskan mereka dengan hati yang berdebar-debar. Namun ketika mereka sudah
sampai di ambang pintu, maka kembali mereka diganggu oleh kecemasan mereka
menghadapi anak-anak muda Jati Anom. Karenanya maka langkah mereka pun tertegun
sejenak.
“Kenapa?” bertanya Untara.
“Bagaimana dengan Jawawi? Ia
salah terima melihat sikapku selama ini, Ki Demang” berkata Wuranta kepada Ki
Demang.
“Bukan hanya Jawawi, aku pun
salah mengerti. Tetapi marilah, aku antar kalian keluar halaman. Sesudah itu,
selamat jalan melakukan tugas kalian.”
Ki Demanglah yang kemudian
mendahului keluar dari pringgitan menemui anak-anak muda Jati Anom yang masih
saja menunggu di halaman.
Ketika Ki Demang turun ke
halaman, diikuti oleh Wuranta, Agung Sedayu, dan Swandaru kemudian Untara, maka
yang pertama sekali menyambut adalah Jawawi. Katanya, “Nah, Ki Demang. Akhirnya
anak itu jatuh juga ke tangan kita. Setelah beberapa hari ia menghantui kita
dengan tingkah laku dan perbuatannya, maka sekarang ia tidak akan dapat lagi
meninggalkan halaman kademangan ini.”
“Ya, ya Jawawi,” sahut Ki
Demang, “demikianlah kiranya apabila dugaan kita atas anak ini benar.”
Jawawi mengerutkan keningnya.
Dadanya menjadi berdebar-debar ketika ia masih melihat pedang tergantung di
lambung Wuranta. Apakah ia masih berhak membawa pedang itu?
“Tetapi,” berkata Ki Demang
seterusnya, “ternyata pimpinan prajurit Pajang masih memerlukannya. Untuk suatu
keperluan maka kita belum dapat berbuat apa-apa atas anak muda ini. Biarlah ia
kami serahkan saja kepada pimpinan prajurit Pajang di Jati Anom.”
Jawawi benar-benar tidak dapat
mengerti pernyataan Ki Demang itu, sehingga beberapa langkah ia maju, “Ki
Demang, kami tidak dapat mengerti penjelasan itu.”
“Jelasnya,” berkata Ki Demang,
“kita belum dapat berbuat apa-apa atas Wuranta saat ini. Ia masih diperlukan
oleh pimpinan prajurit Pajang. Ia harus pergi bersama Angger Agung Sedayu dan
Angger Swandaru untuk suatu tugas. Nah, relakanlah, ia pergi. Sebenarnyalah
Wuranta adalah seorang anak muda yang tidak seperti kalian sangka. Tetapi kali
ini aku kekurangan waktu untuk memberi penjelasan yang berkepanjangan. Untuk
kepentingan Jati Anom dan Pajang, biarlah Wuranta pergi. Nanti atau besok
kalian akan mendengar, apakah, sebabnya maka kami tidak dapat berbuat apa-apa
atasnya.”
“Ki Demang. Apakah sebenarnya
yang akan dilakukannya? Kami menjadi bingung. Apakah kami harus mempergunakan
kekerasan untuk menangkapnya?”
“Tidak perlu,” sahut Ki
Demang, “kita tidak memerlukan kekerasan. Aku akan menjadi tanggungan apabila
ia lari. Akulah yang akan kalian tangkap, dan akulah yang akan menggantikannya
menerima tuduhan apa pun juga.”
Anak-anak muda Jati Anom
saling berpandangan sejenak. Mata mereka memancarkan ketidak-relaan hati mereka
menghadapi sikap Ki Demang. Tetapi mereka tidak dapat berbuat banyak. Karena
itu mereka hanya berdiri saja seperti patung ketika Ki Demang kemudian
mempersilahkan Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta untuk segera pergi.
“Silahkan. Silahkan melakukan tugas itu.”
“Baiklah Ki Demang” sahut
Agung Sedayu.
Mereka pun kemudian mengemasi
kuda-kuda mereka. Dari seorang prajurit Agung Sedayu telah menerima seendong
panah-panah sendaren yang akan dipergunakannya nanti untuk memberi tanda.
Setelah menyilangkan busur dipunggungnya, maka mereka pun segera meloncat ke
atas punggung kuda masing-masing dan kuda itu pun segera berlari secepat angin.
Di perjalanan mereka tidak
menjumpai sandungan apa pun. Tak seorang pun peronda dari Tambak Wedi yang
mereka jumpai. Agaknya mereka lebih senang atau mungkin lebih tegang menyaksikan
arena yang berada di banjar pimpinan daripada melakukan tugas masing-masing.
Seperti pesan Ki Tanu Metir,
maka mereka pun tidak menyembunyikan kuda-kuda mereka di arah utara, darimana
mereka masuk, tetapi kuda-kuda itu disembunyikan di arah selatan, dari mana
mereka nanti akan keluar.
Setelah mengikat kuda-kuda
mereka di tempat yang rimbun, namun banyak ditumbuhi oleh rerumputan yang
hijau, maka segera mereka berjalan tergesa-gesa, mengelilingi pagar tembok dari
jarak yang cukup. Seperti pada saat Wuranta keluar dari padepokan itu, maka
mereka pun kemudian akan memasuki padepokan itu dengan cara yang sama.
“Kita meloncat turun?”
bertanya Swandaru perlahan-lahan.
“Ya” sahut Wuranta.
“Berenang di bawah permukaan
air?” Swandaru mendesak.
“Tidak hanya di bawah
permukaan air, tetapi di bawah urung-urung dinding padepokan ini. Apakah kau
dapat mengerti Adi?”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi kemudian ia berdesis, “Dinginnya bukan main. Bagaimanakah
kalau aku membeku di dalam urung-urung itu?”
Agung Sedayu tersenyum,
katanya, “Aku akan menyeretmu.” Swandaru tertawa perlahan-lahan. Kemudian
dicancutkannya kain panjangnya dan dilepasnya bajunya, diikatkan pada
lambungnya.
“Marilah,” ajak Wuranta,
“lihat aku.”
“Gelapnya bukan main” desis
Swandaru.
Sejenak kemudian Wuranta pun
segera meloncat diikuti oleh Agung Sedayu. Sedang sejenak Swandaru masih
ragu-ragu. Giginya beradu kedinginan. Tetapi ia tidak dapat berdiam diri saja
di situ, sehingga sejenak kemudian ia pun meloncat pula, terjun ke dalam air.
Ketika Wuranta dan Agung
Sedayu telah berada di tepian, maka Swandaru pun masih juga belum nampak. Kedua
anak muda itu menjadi berdebar-debar dan cemas. Namun sejenak kemudian mereka
melihat sebuah kepala tersembul agak jauh dari tepian.
“Uah,” Swandaru mengeluh
begitu ia berdiri di pinggir kali, “kepalaku bengkak.”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Terbentur urung-urung itu.
Bukan main. Aku kira aku sudah berada di dalam. Ketika aku ingin mumbul ke
permukaan air, tiba-tiba kepalaku membentur batu.”
“Latihan yang baik. Latihan
apabila kepala itu nanti terbentur tangkai pedang prajurit-prajurit Tambak
Wedi.”
Swandaru tertawa, sehingga
Agung Sedayu terpaksa mencegahnya, “Hus. Jangan terlampau keras. Kita tidak
berada di Kademangan Sangkal Putung atau Jati Anom. Tetapi kita berada di
Padepokan Tambak Wedi.”
Swandaru menutup mulutnya
dengan kedua tangannya. Tetapi kemudian ia berkata, “Kita tetap dalam pakaian
basah kuyup.”
Agung Sedayu dan Wuranta
tertawa. Mereka melihat Swandaru menggigil dan giginya beradu.
“Dinginnya bukan main”
keluhnya.
“Mungkin Ki Tambak Wedi
menyediakan ganti pakaian untukmu” berkata Agung Sedayu.
Swandaru Geni itu pun
tersenyum pula. Diraba-rabanya kepalanya yang terbentur urung-urung. Katanya,
“Untung aku tidak pingsan di dalam air. Kalau aku pingsan, maka kalian tidak
akan menemuiku lagi.”
“Tetapi kita tidak boleh
menyia-nyiakan waktu” berkata Agung Sedayu kemudian. “Nah, tunjukkanlah, di
mana tempat kita berjanji dengan Ki Tanu Metir.”
“Marilah” sahut Wuranta.
Mereka pun segera melangkahkan
kaki mereka. Dengan hati-hati mereka menyusuri tepian sungai, menuju ke tempat
Sekar Mirah ditempatkan.
Tetapi tiba-tiba Agung Sedayu
menggamit kedua kawannya sambil berdesis perlahan-lahan, “Aku mendengar orang
bercakap-cakap.”
“Ya” sahut Swandaru berbisik.
Dan Wuranta pun menyahut pula, “Ya, aku juga mendengar.”
“Kita bersembunyi,” ajak Agung
Sedayu, “supaya kita tidak terlampau sibuk nanti.”
Ketiganya pun kemudian segera
bersembunyi. Sejenak kemudian suara orang bercakap-cakap itu pun menjadi
semakin dekat.
“Marilah, agak cepat sedikit,”
ajak salah seorang dari orang-orang yang bercakap-cakap itu, “aku ingin melihat
akhir dari perang tanding yang dahsyat itu.”
“Bukan main,” sahut yang lain,
“keduanya memang tanggon.”
“Sehari semalam perkelahian
itu tidak akan selesai” potong yang lain.
“Tidak,” berkata yang pertama,
“aku masih melihat beberapa kelebihan dari Angger Sidanti. Mungkin Alap-Alap
yang gila itu tidak akan dapat bertahan sampai fajar.”
“Kau dapat memperhitungkan
perkelahian itu? Aku tidak percaya,” sahut yang lain.
“Tetapi aku mendengar orang
dari Menoreh itu bercakap-cakap.”
“Jadi bukan taksiranmu
sendiri.”
Tak ada jawaban. Mereka pun
semakin lama menjadi semakin jauh. Akhirnya percakapan mereka sudah tidak dapat
ditangkap lagi oleh Agung Sedayu yang sedang bersembunyi.
Ketika prajurit-prajurit itu
sudah menjadi semakin jauh, maka ketiga anak-anak muda itu pun meneruskan
perjalanan mereka sambil bercakap berbisik-bisik.
“Agaknya perkelahian itu
dahsyat sekali,” desis Swandaru.
“Aneh. Apakah Alap-Alap
Jalatunda menjadi jauh meloncat maju? Aku sangka jarak antara Alap-Alap
Jalatunda dan Sidanti agak terlampau jauh, sehingga perang tanding antara
keduanya tidak akan makan waktu terlampau lama.”
“Menurut Alap-Alap Jalatunda
sendiri,” jawab Wuranta, “ia selalu melatih diri di tepian dengan pasir,
batu-batu dau kayu-kayuan.”
“Betapapun tekunnya, tetapi
berlatih seorang diri tidak akan dapat mendatangkan kemajuan yang sepesat itu”
sahut Swandaru.
“Hal itu mungkin saja terjadi,
Adi” berkata Agung Sedayu. Ia sendiri pernah mengalami. Bukan saja berlatih di
tepian, tetapi berlatih di atas rontal. Membuat gambar gerakan-gerakan yang
kemudian dicobanya. Dan Agung Sedayu itu meneruskan, “Mungkin gurunya telah
memberinya bekal bermacam-macam unsur gerak yang dapat dihubungkan yang satu
dengan yang lain dalam satu susunan yang serasi, serta latihan-latihan
jasmaniah untuk memperbesar kekuatan tenaga dan ketrampilan bergerak.”
Swandaru dan Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun mereka tidak mengerti seluruhnya,
tetapi keterangan Agung Sedayu itu dapat masuk di dalam akal mereka.
Sejenak kemudian mereka telah
menyelusur halaman menuju ke pondok Sekar Mirah. Mereka harus sangat hati-hati.
Wuranta menyadari bahwa Sidanti meletakkan beberapa orang pengawas di sekitar
rumah itu.
Mereka terpaksa melingkar dan
masuk ke halaman pondok Sekar Mirah lewat belakang. Sejenak mereka berdiam
diri, memperhatikan suasana di sekitarnya.
Malam dengan tenangnya merayap
ke ujungnya. Tetapi gelapnya masih saja sedemikian pekatnya, sehingga mereka
hampir-hampir tidak dapat melihat apa pun di halaman itu selain
bayangan-bayangan tetumbuhan yang hitam kelam.
“Marilah kita mendekat. Aku
berjanji dengan Ki Tanu Metir tepat di belakang rumah, di sudut kiri.”
“Marilah” desis Agung Sedayu.
Mereka pun kemudian merayap mendekati pondok itu. Semakin lama semakin dekat,
Tiba-tiba Swandaru mengangkat
wajahnya sambil berdesis. “Anak itu masih menangis. Apakah semalaman ia
menangis saja?”
Wuranta tidak menyahut. Tetapi
mereka kini menjadi semakin dekat dengan sudut rumah itu.
Ketika mereka sampai di balik
gerumbul-gerumbul yang rimbun dekat di belakang rumah itu, maka mereka pun
berhenti. Mereka harus menanti Ki Tanu Metir di tempat itu.
Tetapi Swandaru dan Agung
Sedayu hampir-hampir tidak dapat menahan diri ketika mereka masih saja
mendengar Sekar Mirah menangis terisak-isak. Dengan terbata-bata Swandaru
berbisik, “Aku akan masuk. Aku tidak dapat membiarkan Sekar Mirah selalu
kecemasan dan ketakutan.”
“Tetapi Ki Tanu Metir berpesan
supaya kita menunggu.”
“Kenapa kita harus menunggu?
Aku akan membawanya ke luar” sahut Swandaru.
“Lewat urung-urung?” bertanya
Wuranta.
“Apakah tidak ada jalan lain?”
“Ada. Di sana ada sebuah regol
yang cukup besar. Tetapi di regol itu, orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang
Jipang menyambut setiap orang yang akan lewat.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Sadarlah ia kini, bahwa ia berada di suatu tempat yang tertutup
rapat. Tidak mudah baginya untuk menerobos masuk dan keluar dari lingkungan
itu. Meskipun barangkali dengan sedikit kesulitan, dinding padepokan yang
tinggi itu dapat juga dipanjatnya, tetapi para peronda yang hilir mudik mungkin
akan melihatnya.
Untuk sesaat mereka pun saling
berdiam diri. Isak tangis Sekar Mirah masih juga mereka dengar. Semakin lama
terasa semakin pedih di hati Swandaru dan Agung Sedayu. Ingin mereka segera
meloncat masuk menolongnya dan membawanya lari. Tetapi hal itu ternyata berada
di luar kemampuan mereka.
Belum lagi mereka dapat
menenangkan diri mereka, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh kehadiran sesosok
tubuh dekat di belakang mereka. Namun segera mereka dapat mengenalnya. Orang
itu adalah Ki Tanu Metir.
“Ha, aku memang mengira kalau
kalian telah menunggu aku di sini” desisnya perlahan-lahan.
“Ya, Kiai” sahut Wuranta.
“Bagus. Apakah kalian tidak
lupa membawa panah sendaren?”
“Tidak, Kiai” jawab Agung
Sedayu.
Ki Tanu Metir tersenyum
melihat seendong panah dan busur yang menyilang di punggung Agung Sedayu.
“Di sini banyak dapat
diketemukan busur,” berkata Ki Tanu Metir, “tetapi baik juga kau membawanya.”
Agung Sedayu tidak tahu maksud
kata-kata Ki Tanu Metir itu, tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
“Sekarang, marilah kita
melihat perang tanding yang berlangsung di banjar para pemimpin padepokan ini.
Perang tanding antara Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Perang tanding yang
benar-benar tanding. Aku sama sekali tidak menyangka bahwa Alap-Alap Jalatunda
mampu mengimbangi kekuatan Sidanti.”
“Apakah mereka benar-benar
seimbang menurut penilaian Kiai?” bertanya Agung Sedayu.
“Ya,” sahut Ki Tanu Metir,
“tetapi memang Sidanti mempunyai beberapa kelebihan. Meskipun perkelahian itu
dapat berlangsung lama, namun kalau Sidanti tidak membuat kesalahan-kesalahan
yang berarti, maka Alap-Alap Jalatunda tidak akan dapat memenangkan perkelahian
itu. Tetapi kelengahan Sidanti itu masih mungkin saja terjadi, sebab Sidanti
masih juga merasa mempunyai banyak kelebihan dari lawannya, sehingga beberapa
kali hampir-hampir saja ia tergilas oleh amukan Alap-Alap Jalatunda yang
benar-benar seperti orang gila.”
“Menarik sekali,” desis
Swandaru, “marilah kita melihat. Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah itu?
Apakah tidak sebaiknya kita lepaskan dahulu dan kita bawa keluar dari padepokan
ini?”
“Jalan masih belum terbuka.
Aku kira sulit untuk membawanya lewat urung-urung seperti yang baru saja kau
lalui.”
“Bagaimana jalan itu dapat
terbuka?”
“Marilah kita mengharap
bersama-sama. Tetapi apabila terpaksa dan jalan itu tidak juga terbuka, kita
akan menempuh jalan yang paling berbahaya, keluar lewat urung-urung.”
“Tetapi bagaimana sekarang?”
“Biarlah kita tinggalkan saja
gadis itu untuk sementara.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tidak menyahut. Sebenamya mereka tidak sampai hati melihat gadis itu menangis
terisak-isak dengan penuh ketakutan dan kecemasan akan nasibnya.
“Apakah setidak-tidaknya kita
tidak memberitahukan kehadiran kita kepadanya?” bertanya Agung Sedayu kemudian.
“Itu akan mempengaruhi
sikapnya. Mungkin ia akan kehilangan segala akal dan nalarnya, sehingga justru
akan menyulitkan. Mungkin gadis itu tidak lagi dapat mengekang perasaannya. Ia
akan dapat berteriak-teriak minta supaya ia dilarikan atau untuk kepentingan
yang lain. Tetapi dengan demikian maka tugas kita akan gagal.”
Agung Sedayu dan Swandaru
dapat mengerti sepenuhnya keterangan gurunya. Karena itu mereka tidak
mendesaknya.
“Marilah, kita lihat
perkelahian itu” gumam Ki Tanu Metir kemudian.
“Marilah” jawab ketiga
anak-anak muda itu hampir bersamaan.
Ketiganya pun kemudian dengan
sangat hati-hati berjalan mengikuti Ki Tanu Metir menyusup diantara
tanaman-tanaman di kebun dan halaman-halaman. Menyelinap di balik
gerumbul-gerumbul liar dan rumpun-rumpun bambu yang rimbun. Sekali-sekali
mereka harus meloncati dinding halaman yang tidak terlampau tinggi, tidak
setinggi dinding padepokan ini.
Tak sepatah kata pun
terucapkan dalam perjalanan yang pendek itu. Mereka saling berdiam diri dan
berangan-angan. Tetapi mereka pun ingin segera sampai ke banjar para pemimpin
padepokan untuk segera melihat apa yang terjadi di arena perang tanding antara
Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda.
“Angger Agung Sedayu,”
berbisik Ki Tanu Metir, “kalau apa yang aku harapkan tidak terjadi, maka aku
akan memberimu isyarat. Kau harus segera kembali ke tempat Sekar Mirah dan
mencoba melarikannya lewat urung-urung itu. Memang pekerjaan ini berbahaya
bagimu dan bagi Sekar Mirah, tetapi apabila tidak ada jalan lain maka hal ini
harus dilakukan. Aku bersama Angger Swandaru dan Angger Wuranta akan mencoba
melindungi, sampai kita akan mencapai kuda-kuda kita. Bukankah kalian membawa
empat ekor-kuda?”
“Oh” anak-anak muda itu saling
berpandangan. Ternyata mereka lupa membawa seekor kuda kosong untuk Ki Tanu
Metir.
“Apakah kalian lupa membawa
seekor kuda untukku?”
“Ya, Kiai.”
Ki Tanu Metir tersenyum,
“Tidak apa,” katanya, “aku akan ikut di atas kuda Angger Swandaru. Tetapi aku
mengharap bahwa kita tidak akan memerlukannya, sebab kita akan melalui jalan
yang lapang dan aman tanpa gangguan suatu apa pun.”
Setelah mereka melampaui
beberapa halaman, memintasi jalan-jalan sempit dan gelap, meloncati
dinding-dinding dan menyusup lewat rumpun-rumpun bambu yang lebat, maka
akhirnya mereka melihat cahaya obor yang bersinar terang-benderang tidak
terlampau jauh dari mereka.
Ki Tanu Metir yang berjalan
paling depan pun berhenti sejenak. Perlahan-lahan ia berbisik, “Nah, itulah,
Ngger. Itulah arena perang tanding yang agaknya masih cukup ramai.”
“Marilah kita melihat, Kiai”
ajak Swandaru.
“Hem, kita bukan orang padepokan
Tambak Wedi. Apabila salah seorang dari mereka melihat kehadiran kita, maka
perang tanding itu akan terhenti sejenak, dan mereka akan beramai-ramai
mengejar kita seperti anak-anak sedang mengejar tupai. Karena itu, kita harus
cukup berhati-hati.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya, katanya, “Ya. Aku mengerti.”
“Kita hanya dapat melihat dari
kejauhan. Beruntunglah bahwa perhatian Ki Tambak Wedi seluruhnya telah dirampas
oleh perkelahian yang agaknya tidak diduganya. Ki Tambak Wedi benar-benar terkejut
melihat tandang Alap-Alap Jalatunda. Orang tua itu agaknya masih terlampau
percaya kepada Sidanti. Dan kepercayaannya itu yang telah membuatnya lengah.
Kini ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa Alap-Alap Jalatunda itu mampu
menandingi muridnya. Kalau kepandaian mereka terpaut, maka perbedaan itu sama
sekali tidak banyak dan tidak menentukan.”
Ketiga anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Betapa mereka ingin melihat perang tanding itu,
namun mereka tidak dapat berbuat sekehendak hati. Sebab nasib mereka pun kini
sedang berada di ujung duri.
Ki Tanu Metir itu kemudian
berbisik lagi, “Kita akan mencoba untuk mendekat. Tetapi tidak terlampau dekat.
Supaya kita dapat melihat dengan jelas, maka kita akan memanjat.”
Ketiganya bersama Ki Tanu
Metir pun lalu mencoba merayap semakin dekat. Tetapi mereka selalu berusaha
untuk tetap berada di balik bayangan dedaunan yang rimbun. Ketika mereka
kemudian tidak mungkin lagi untuk berada di tempat yang lebih dekat, mereka
lalu mencari pohon-pohon yang daunnya akan cukup memberi mereka perlindungan.
Dari tempat itulah mereka melihat perang tanding yang sedang berlangsung.
Meskipun mereka tidak
terlampau dekat, tetapi mereka dapat melihat cukup jelas. Mereka dapat melihat
hampir setiap bagian dari unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh kedua belah
pihak. Unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Alap-Alap Jalatunda,
unsur-unsur gerak yang dipergunakan oleh Sidanti. Mereka pun dapat melihat
beberapa kelebihan Sidanti atas lawannya, tetapi kelebihan itu hampir tidak
banyak berarti dibanding dengan tekad yang menyala-nyala di dalam dada
Alap-Alap Jalatunda. Nafsu yang menggila itu agaknya telah banyak merubah
dirinya menjadi orang yang perkasa. Satu hal yang sangat menyulitkan adalah
bahwa meskipun Alap-Alap Jalatunda itu hampir-hampir menjadi benar-benar gila,
tetapi otaknya agaknya masih tetap terang menghadapi senjata lawan.
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Wuranta melihat perkelahian itu dengan tegangnya. Seolah-olah
mereka sendirilah yang terlibat dalam sebuah perang tanding. Meskipun mereka
tidak dapat memihak salah satu di antara mereka, tetapi kadang-kadang mereka,
harus menahan nafas melihat gerak senjata kedua belah pihak.
“Kenapa Sidanti tidak
mempergunakan senjata khususnya. Akhir-akhir ini Sidanti sering mempergunakan
senjata rangkap. Pedang dan senjatanya yang mengerikan itu” bertanya Agung
Sedayu.
Ki Tahu Melir menggelengkan
kepalanya, “Entahlah, tetapi agaknya Ki Tambak Wedi telah menentukan bahwa
senjata mereka harus sejenis.”
Agung Sedayu tidak bertanya
lagi. Perhatian mereka benar-benar dicengkam oleh perkelahian yang semakin lama
menjadi semakin seru. Alap-Alap Jalatunda ternyata menjadi semakin lincah.
Selama ia berada di Tambak Wedi, agaknya ia telah mempergunakan waktunya yang
terluang sebaik-baiknya. Sedang Sidanti hampir tidak mendapat perubahan
apa-apa. Tingkatan ilmunya pun masih juga seperti yang pernah dilihatnya. Hanya
beberapa unsur gerak yang kini menjadi luluh dengan serasi seolah-olah
menjadikannya semakin kaya dan cekatan.
Tetapi lebih daripada itu,
nafsu dan tekad yang menyala-nyala di dalam dada Alap-Alap Jalatunda agaknya
telah menjadikannya seorang yang aneh. Kekuatannya seolah-olah menjadi berlipat
ganda. Kecepatannya bergerak kadang-kadang ada di luar dugaan, bahwa Alap-Alap
Jalatunda mampu melakukannya. Pengaruh tuak di kepalanya pun agaknya telah
membuatnya seperti orang kesurupan.
Meskipun demikian, matanya
masih juga melihat dengan jelas ujung senjata lawan. Alap-Alap Jalatunda itu
masih juga tidak kehilangan akal menghadapi saat-saat yang sulit karena
serangan-serangan Sidanti.
Namun demikian, semakin lama
perkelahian itu berlangsung, maka semakin jelaslah bagi mereka yang memiliki
ilmu yang cukup, bahwa betapa Alap-Alap Jalatunda itu maju pesat sekali, dan
betapa ia berkelahi dengan penuh nafsu kemarahan serta pengaruh tuak di
kepalanya, tetapi ia masih belum berhasil menyejajarkan diri dengan Sidanti.
Meskipun perkelahian itu
agaknya masih tampak seimbang, tetapi Sidanti masih cukup cerdik untuk
menyimpan tenaga yang pada saatnya akan dapat mengakhiri perkelahian itu. Dan
inilah yang sama sekali tidak diperhitungkan oleh Alap-Alap Jalatunda.
Ia menganggap bahwa apa yang
terjadi itu adalah puncak dari kekuatan, ilmu, kelincahan dan segala macam
unsur dalam tata perkelahian. Tetapi ia tidak memperhitungkan, bahwa waktu pun
akan turut menentukan akhir dari perkelahian itu.
Namun demikian, saat yang
menegangkan itu sangat berbahaya pula bagi Sidanti. Kesalahan dan kelengahan
akan segera mengakhiri perkelahian.
Sekejap demi sekejap
perkelahian itu menjadi semakin dahsyat. Bahkan kini tubuh-tubuh mereka telah
mulai dialiri oleh titik darah dari goresan-goresan ujung pedang pada tubuh
mereka. Tetapi darah yang bercampur dengan keringat ternyata telah menjadikan
mereka semakin buas.
Dengan demikian maka mereka,
yang menyaksikan perkelahian itu pun menjadi semakin tegang. Wajah-wajah mereka
menjadi keras dan mata mereka seakan-akan tidak berkedip lagi. Bahkan Ki Tambak
Wedi pun kini menjadi semakin tegang pula. Mau tidak mau ia terpengaruh oleh
keadaan kedua anak muda yang sedang berkelahi itu. Ia tidak dapat melepaskan
diri dari hubungan pribadi antara dirinya dengan Sidanti, sebagai guru dan
murid. Sehingga mau tidak mau, betapapun ia mencoba untuk berdiri di
tengah-tengah, melepaskan diri dari persoalan yang sedang berlangsung itu,
namun orang tua itu di dalam hatinya sudah berpihak kepada muridnya. Ia
mengharap Sidanti memenangkan perkelahian itu, tetapi ia juga mengharap agar
Alap-Alap Jalatunda dan orang-orang Jipang tidak menjadi sakit hati.
Demikian asyik ia melihat
perkelahian itu, sehingga Ki Tambak Wedi tidak melihat apa yang terjadi di
sekitarnya, apalagi melihat orang-orang Sangkal Putung dan Jati Anom, sedang
wajah-wajah orang yang berada di sekitarnya pun tidak dilihatnya. Wajah-wajah
yang memancarkan suatu sikap dalam menghadapi perang tanding itu. Orang-orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi sendiri ternyata berbagi sikap. Mau tidak
mau mereka memihak kepada kawan terdekat.
Sanakeling yang hitam itu pun
kini tidak lagi acuh tak acuh melihat perkelahian itu. Wajahnya kini tampak
menjadi bersungguh-sungguh. Dahinya berkerut-merut dan matanya bersinar,
memancarkan kemarahan dan kejengkelan. Betapa ia menyesali tindakan Alap-Alap
Jalatunda, tetapi ia tidak rela apabila ia harus menyaksikan Alap-Alap
Jalatunda menjadi korban dalam perang tanding itu. Alap-Alap Jalatunda adalah
kawan yang telah lama berada dalam satu lingkaran pahit manisnya peperangan
melawan Pajang. Meskipun untuk sementara mereka tidak berkumpul di dalam satu
lingkungan karena Sanakeling berada di daerah utara, namun akhirnya mereka
bersama-sama mengalami masa yang paling pahit dalam perjuangan mereka.
Perjuangan yang tidak berujung pangkal. Yaitu pada saat-saat matinya Tohpati
yang bergelar Macan Kepatihan. Kemudian keinginan Sumangkar untuk menyerahkan
diri kepada Senapati Pajang yang masih muda, yang bernama Untara, yang kini
berada di ujung hidung mereka lagi. Hubungan yang telah terjalin selama ini,
hidup dalam satu lingkungan yang dibumbui oleh asin asamnya peperangan, telah
menumbuhkan rasa setia-kawan yang dalam.
Tetapi ternyata sikap itu
bukan sekedar sikap Sanakeling. Hampir setiap prajurit Jipang merasa,
seolah-olah mereka sendirilah yang berada di dalam arena melawan Sidanti. Tanpa
mereka sadari maka perkelahian itu telah mengingatkan mereka pada
peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Terbunuhnya Plasa Ireng. Bukan saja
terbunuh oleh ujung senjata di dadanya. Tetapi mayatnya pun kemudian mengalami
perlakuan yang mengerikan. Dan itu dilakukan oleh Sidanti, yang kini berkelahi
melawan Alap-Alap Jalatunda.
Kenangan itu ternyata telah
membuat orang-orang Jipang semakin benci dan muak melihat Sidanti yang lincah
cekatan itu bertempur di dalam arena. Bahkan satu dua di antara mereka ada yang
hampir-hampir tidak tahan lagi. Hampir-hampir mereka meloncat masuk ke dalam
arena untuk bersama-sama melawan Sidanti yang bagi mereka sangat memuakkan
karena sikapnya yang sombong. Sidanti merasa, bahwa ia adalah anak murid Ki
Tambak Wedi yang menguasai padepokan ini. Sehingga seolah-olah semua orang di
padepokan ini harus tunduk kepadanya. Kekuasaannya justru menjadi terlampau
besar, melampaui kekuasaan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
Sementara orang-orang Jipang
dan Tambak Wedi merasa berada di satu pihak dalam kepentingan yang sama, mereka
dapat melupakan kebencian itu. Tetapi kini, kebencian, muak dan kejemuan
seolah-olah telah mencengkam dada setiap orang Jipang.
Demikianlah perkelahian itu
berlangsung terus. Tubuh Alap-Alap Jalatunda kini telah menjadi basah kuyup.
Basah oleh keringat dan titik darah dari luka-lukanya. Namun tubuh Sidanti pun
tidak juga dapat menghindari sentuhan-sentuhan senjata lawannya, sehingga
goresan-goresan pedang Alap-Alap Jalatunda pun telah meneteskan darah anak
Tambak Wedi itu pula.
Titik-titik keringat itu pun
mengalir dari dahi Ki Tambak Wedi yang tua. Wajahnya sejenak menegang, tetapi
kemudian semakin lama menjadi semakin kendor ketika ia melihat bahwa keadaan
Sidanti menjadi semakin baik. Kini Sidanti mendapat waktu untuk mengatur
pernafasannya. Meskipun ia masih harus berjuang sekuat-kuat tenaganya, tetapi
orang tua yang bermata tajam setajam mata burung hantu itu mampu melihat, bahwa
keadaan Sidanti sudah tidak berbahaya lagi.
Namun tidak demikian halnya
deugan orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Mereka masih juga
dicengkam oleh ketegangan yang justru menjadi semakin memuncak. Betapapun juga,
akhimya mereka dapat melihat, bahwa kedudukan Sidanti masih lebih baik dari
kedudukan Alap-Alap Jalatunda.
Meskipun kerut-merut di wajah
Ki Tambak Wedi sudah tidak sedalam semula, tetapi perhatiannya masih juga
tersangkut seluruhnya pada perkelahian itu. Perkelahian itu menjadi begitu
mengasyikkan baginya, seolah-olah ia mendapat kesempatan melihat muridnya
berlatih dengan memeras segenap kemampuan yang ada padanya. Dalam perkelahian
itu ia sempat melihat kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh Sidanti.
Kemungkinan-kemungkinan yang baik yang dilepaskannya tanpa menyadari akibatnya.
Dan unsur-unsur gerak yang masih belum matang dan serasi dalam hubungan
keseluruhan.
Ki Tanu Metir, Agung Sedayu,
Swandaru, dan Wuranta pun masih juga dicengkam oleh ketegangan. Meskipun Ki
Tanu Metir pun kemudian melihat kelebihan Sidanti atas Alap-Alap Jalatunda,
namun ketegangan yang mencengkamnya mempunyai bentuk yang berbeda dengan apa
yang terjadi atas Ki Tambak Wedi. Kini Ki Tanu Metir ditegangkan, bukan saja
oleh perkelahian itu, tetapi terutama oleh rencananya. Perkelahian itu agaknya
telah mendekati akhirnya. Apakah saat itu pasukan Untara, setidak-tidaknya
mereka yang berkuda telah berada di luar padepokan ini? Seandainya mereka telah
datang, mudah-mudahan para penjaga dan peronda tidak melihatmya. Dalam hal ini
ia percaya kepada Untara, seorang pemimpin prajurit yang telah cukup
berpengalaman.
Namun sebenarnya Ki Tanu Metir
tidak perlu mencemaskan Untara kalau ia akan dapat dilihat oleh para peronda
dan para penjaga. Sebab pada saat itu hampir, setiap orang di padepokan Tambak
Wedi telah berada dan berkerumun di sekitar banjar para pemimpin padepokan itu.
Sebagian besar berada pada lingkaran yang mengelilingi arena, namun sebagian
yang lain berada di atas dinding-dinding halaman. Mereka melihat perkelahian
itu dari atas dinding, dari pepohonan dan bahkan dari atap-atap rumah. Sedang
mereka yang tidak mendapat kesempatan untuk melihat, berkumpul di jalan-jalan
di muka banjar itu. Seolah-olah mereka berada pada suatu puncak ketegangan,
pada saat-saat mereka berada dalam gelar perang yang telah berhadapan wajah
dengan gelar lawan.
Perkelahian itu sendiri kini
benar-benar telah mencapai puncaknya pula. Alap-Alap Jalatunda telah memeras
segenap kemampuan dan tenaga yang ada padanya. Sedang pada saat itu Sidanti
jusrtru telah menemukan suatu kepastian, bahwa ia akan segera memenangkan
perang tanding itu. Terasa bahwa Alap-Alap Jalatunda telah menumpahkan segenap
kemungkinan yang ada padanya. Dan karena itu maka ia telah kehilangan
perhitungan tentang waktu. Tentang daya tahannya menghadapi waktu yang sengaja
diperpanjang oleh Sidanti supaya murid Tambak Wedi itu mendapat suatu keyakinan
bahwa saatnya telah datang untuk mengakhiri perkelahian tanpa kesulitan. Dan
waktu itu kini telah menjadi semakin dekat.
Dalam ketegangan itu Ki Tanu
Metir berbisik, “Angger, lihatlah, langit telah memerah di timur.”
“Hampir fajar, Kiai” desis
Agung Sedayu.
“Apakah kira-kira Angger
Untara telah datang?”
“Aku rasa sudah, Kiai.
Kedatangan Kakang Untara tidak akan terpaut lama dengan kedatanganku.”
“Baiklah. Berikanlah panah itu
kepadaku. Kita akan sampai pada saat yang menentukan. Kalau aku salah hitung,
maka sebaiknya Angger Untara kembali ke Jati Anom. Dan kalian harus segera
pergi mengambil Sekar Mirah. Setelah memberi tanda-tanda kepada Angger Untara,
aku akan segera melindungi kalian apabila ada bahaya yang mengancam.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan
Wuranta merasakan ketegangan dalam pesan Ki Tanu Metir. Ternyata orang tua itu
benar-benar sedang menghadapi saat yang menentukan, apakah rencananya dapat
berjalan atau gagal sama sekali. Tetapi setidak-tidaknya usaha menyelamatkan
Sekar Mirah akan dijalankan, betapapun besar bahayanya.
Panah sendaren dan busurnya
segera diberikan oleh Agung Sedayu kepada Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metirlah yang
nanti akan memberikan tanda-tanda itu kepada Agung Sedayu.
Ketika mereka melihat arena
perkelahian, maka jelaslah kini bahwa Alap-Alap Jalatunda telah menjadi semakin
terdesak. Meskipun dari jarak yang agak jauh, tetapi kemampuan mereka mengenal
tata perkelahian cukup memberi mereka pengertian apa yang sebenarnya telah
terjadi.
“Sesaat lagi ngger. Sesaat
lagi kita akan melihat apa yang akan terjadi. Dan sesaat kemudian akan kita
lihat, apakah aku tidak akan mendapat marah dari Angger Untara.”
Dalam saat-saat terakhir itu,
maka Ki Tambak Wedi tampak menjadi tegang lagi. Kini ia tidak saja berdiri
memperhatikan setiap gerak kedua anak muda di dalam arena itu, tetapi kini ia
bergeser semakin dekat.
Ketika cahaya merah di timur
menjadi semakin jelas, maka Alap-Alap Jalatunda pun menjadi semakin payah.
Ternyata dalam perkelahian yang terjadi itu, ia telah memeras segenap kemampuan
yang ada padanya, sehingga dalam waktu yang singkat ia seakan-akan telah
kehabisan tenaga. Pada saat itu keadaan Sidanti masih cukup baik. Tenaganya
masih segar dan perhitungannya atas kelemahan Alap-Alap Jalatunda menjadi
semakin masak.
Sanakeling pun ternyata
melihat keadaan itu. Wajahnya yang hitam menjadi semakin tegang. Kini ia
berdiri terbungkuk-bungkuk di dalam lingkaran orang-orang yang melihat
perkelahian itu seperti Ki Tambak Wedi. Seakan-akan apa yang dilihatnya itu
tidak begitu jelas di matanya. Namun sebenarnya, dadanya telah dipenuhi oleh
kecemasan yang memuncak. Kalau Sidanti tidak dapat mengendalikan dirinya, maka
Alap-Alap Jalatunda itu akan mengalami nasib yang sangat jelek.
Maka setiap wajah orang-orang
yang melihat perkelahian itu kini menjadi kian tegang. Mereka menyadari bahwa
perkelahian itu sudah akan sampai pada akhirnya. Meskipun Alap-Alap Jalatunda
masih tetap dalam perlawanan yang cukup, tetapi setiap kali ia selalu terdesak.
Luka-luka di tubuhnya pun menjadi kian banyak. Goresan-goresan pedang Sidanti
telah membuat tubuhnya berwarna darah. Tetapi tubuh Sidanti sendiri juga telah
diwarnai oleh darahnya yang menetes dari luka-lukanya. Dan darah itu telah
membuat Sidanti menjadi buas dan liar, seperti Alap-Alap Jalatunda itu pula.
Dan itulah yang dicemaskan
oleh Ki Tambak Wedi. Betapapun ia memihak muridnya di dalam hati, tetapi orang
tua itu masih selalu mengingat kepentingan yang jauh lebih besar daripada
seorang Sekar Mirah. Kepentingan yang selama ini selalu diperhitungkan dan
diotak-atik. Karena itulah maka ia menjadi cemas melihat perkembangan keadaan.
Melihat mata muridnya yang menjadi semerah darah yang menetes dari
luka-lukanya. Agaknya Sidanti itu telah melupakan pesan-pesannya, bahwa perang
tanding itu diakhiri apabila salah seorang telah terluka dan telah jelas tidak
dapat memberikan perlawanan, sehingga kemenangan telah dapat ditentukan pada
pihak yang lain.
Tetapi dalam keadaan serupa
itu, apakah mereka yang berkelahi masih dapat mengingat peraturan yang
dibuatnya itu?
Semakin jelas cahaya fajar
memancar dari balik dedaunan di timur, maka Sidanti pun menjadi semakin
bernafsu. Kini ia telah sampai pada suatu saat, untuk memenangkan perang
tanding itu. Karena itulah maka ia pun menjadi semakin garang. Sedang Alap-Alap
Jalatunda pun agaknya merasa, bahwa kesempatan baginya menjadi semakin tipis.
Namun dengan demikian, maka hatinya menjadi bulat untuk mempertahankan dirinya
tanpa mengenal surut sebelum nyawanya loncat dari tubuhnya.
Karena itu, pada saat-saat
terakhir, seolah-olah kekuatan Alap-Alap Jalatunda yang telah surut itu tumbuh
kembali. Tandangnya benar-benar mengejutkan. Sidanti sama sekali tidak menduga,
bahwa ketika perkelahian itu justru hampir berakhir karena Alap-Alap Jalatunda
sudah kehabisan tenaga, maka anak muda itu tiba-tiba melenting secepat bilalang
menyerangnya. Begitu cepat dan begitu garang. Pedangnya menebas dengan
kecepatan yang hampir tidak dapat dimengerti, bahwa seseorang mampu berbuat
demikian. Serangan yang tidak disangka-sangka itu telah membuat Sidanti menjadi
bingung. Agaknya Alap-Alap Jalatunda mengerahkan segenap sisa-sisa tenaganya
dalam keputus-asaan. Dan bentuk daripadanya sungguh-sungguh di luar dugaan.
Bukan saja Sidanti yang
terkejut melihat serangan itu. Ki Tambak Wedi yang berada di belakang Sidanti
pun menjadi terkejut pula. Tak masuk di akalnya bahwa Alap-Alap Jalatunda telah
berbuat sedemikian cepat dan mengejutkan.
Ki Tanu Metir dan ketiga
anak-anak muda yang melihat perkelahian itu pun menahan nafasnya. Bahkan
terdengar Ki Tanu Metir berdesis karena gejolak perasaannya. Serangan Alap-Alap
Jalatunda itu benar-benar mengejutkan dan di luar perhitungan.
Akibat dari serangan itu bagi
Sidanti pun tidak terduga pula. Dalam kebingungan Sidanti hanya mampu berusaha
menangkis kilatan pedang yang menyambarnya. Tetapi ia tidak menyangka bahwa
kekuatan yang terlontar pada sambaran pedang itu pun luar biasa pula. Karena
itulah, maka tangkisan Sidanti terdorong oleh kekuatan tenaga Alap-Alap
Jalatunda. Dan Sidanti tidak mampu untuk menghindar lagi. Pedang Alap-Alap
Jalatunda itu menyambar pundaknya.
Terdengar Sidanti mengeluh
pendek. Setiap mulut di arena itu pun berdesis melihat kejadian yang sama
sekali tidak terduga-duga itu. Mereka tidak lagi berkedip ketika mereka melihat
darah mengalir dari pundak yang menganga karena luka.
Betapa cemas hati Ki Tambak
Wedi melihat muridnya terluka. Kalau Sidanti kemudian tidak dapat memperbaiki
keadaannya, dan pedang Alap-Alap Jalatunda itu sekali lagi mengenainya, maka
kemungkinan terbesar bagi muridnya adalah, kalah di dalam perang tanding itu.
Dan akibat dari kekalahan ini akan panjang sekali. Akibat dari kekalahan yang
dirasakan sebagai suatu penghinaan ini pasti akan membekas di hati Sidanti
sepanjang hidupnya. Mungkin Sidanti akan kehilangan segala gairah hidup di masa
mendatang karena Sekar Mirah juga akan lepas dari tangannya. Namun berlawanan
daripada itu, maka Sidanti akan dapat menjadi seorang iblis yang kehilangan
bentuk-bentuk kemanusiaannya sama sekali. Ia akan menjadi seorang yang paling
berbahaya. Seorang yang kehilangan tujuan hidupnya selain dendam. Dan dendam
itu akan dibawanya kemana ia pergi dan ditumpahkannya kepada siapa saja yang
dijumpainya.
Karena itu maka wajah Ki
Tambak Wedi pun menjadi semakin tegang. Otot-otot di wajahnya seakan-akan
mencuat ke luar dari keningnya.
Apalagi ketika sekali lagi ia
melihat Alap-Alap Jalatunda mengayunkan pedangnya. Anak muda itu agaknya tidak
mau melepaskan kesempatan yang ada pada saat itu. Dalam keputus-asaan ia
melihat lawannya terluka. Dalam saat-saat yang tidak disangka-sangkanya ia
melihat darah Sidanti meleleh dari luka yang menganga di pundaknya. Dengan
demikian maka nafsunya menjadi melonjak kembali. Kesempatan terakhir itu akan
dipergunakannya sebaik-baiknya. Mengakhiri perkelahian dengan mengakhiri hidup
Sidanti yang memuakkan baginya itu.
Tetapi ternyata membunuh
Sidanti tidak semudah yang disangkanya. Tidak seperti yang dibayangkan oleh
Alap-Alap Jalatunda dalam saat-saat ia berputus-asa, dalam saat-saat otaknya
sudah mulai kabur.
Ketika pedangnya terayun
sederas ayunannya yang pertama, maka Sidanti sudah menyadari kesalahannya,
bahwa ia menganggap Alap-Alap Jalatunda sudah tidak berdaya sama sekali. Karena
itu, sebelum ia siap benar menghadapinya, maka tiba-tiba ia melontar mundur sejauh-jauhnya.
Itulah yang segera dapat dilakukan menghadapi Alap-Alap Jalatunda yang
seakan-akan menjadi gila. Ketika Ki Tambak Wedi melihat sikap dan geraknya itu,
maka perlahan-lahan ia berdesis, “Bagus, Sidanti.”
Ternyata Alap-Alap Jalatunda
sudah tidak mampu lagi membuat perhitungan yang baik. Kali ini ayunannya sama
sekali tidak menyentuh apa pun juga, sedang tenaga yang dilontarkan lewat
ayunan itu adalah segenap tenaga yang masih tersisa padanya. Sehingga ketika
ayunan itu tidak mengenai lawannya, Alap-Alap Jalatunda terseret oleh kekuatan
tenagannya sendiri. Sejenak ia terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia mencoba
mempertahankan keseimbangan badannya. Tetapi ternyata tenaganya telah terkuras
habis dalam gerak-geraknya yang terakhir. Karena itulah maka kemudian anak muda
yang sedang dilanda oleh nafsu yang tidak terkendali itu tidak lagi mampu
bertahan dalam keseimbangan. Sesaat kemudian orang-orang yang mengerumuni arena
itu melihat Alap-Alap Jalatunda itu terdorong ke samping lalu terjerembab jatuh
di tanah.
Sidanti yang telah berhasil
membuat jarak beberapa langkah dari Alap-Alap Jalatunda menggeram. Ia melihat
Alap-Alap Jalatunda itu terjatuh. Ketika terasa pundaknya menjadi pedih, maka
hatinya pun menjadi terbakar karenanya. Kemarahannya yang telah memuncak, bukan
saja karena pundaknya terluka, tetapi juga karena Alap-Alap Jalatunda telah
mencoba untuk merampas Sekar Mirah dari tangannya, maka kini seakan-akan
meledak dengan dahsyatnya.
Gelora di dalam dada Sidanti
sudah tidak tertahan lagi. Giginya terdengar gemeretak. Matanya menjadi semerah
darah yang memercik dari lukanya. Tangannya yang menggenggam pedang itu pun
kemudian menjadi gemetar.
Ketika sekali lagi ia melihat
Alap-Alap Jalatunda yang sedang tertatih-tatih mencoba untuk berdiri itu, nyala
yang membakar dadanya telah berkobar menghanguskan perasaannya. Yang terdengar
kemudian adalah Sidanti itu berteriak nyaring. Seperti seekor harimau lapar, ia
menerkam lawannya dengan ujung pedangnya.
Setiap dada mereka yang
melihat gerak Sidanti itu terasa berdesir. Kemudian jantung mereka seolah-olah
berhenti mengalir. Mereka terpukau oleh suatu kejadian yang begitu dahsyat dan
mengerikan.
Mereka tersadar ketika mereka
mendengar Ki Tambak Wedi berteriak nyaring, “Sidanti, hentikan. Hentikan!”
Tetapi suara itu seolah-olah
tidak didengar oleh anak muda yang sedang mengamuk itu. Luka di pundaknya
ternyata telah menjadikannya bermata gelap, ia lupa segala-galanya. Lupa kepada
peraturan yang dibuat oleh gurunya. Lupa akan kepentingan-kepentingan lain yang
lebih besar daripada yang kini sedang dipertengkarkan. Lupa kepada semua usaha
yang telah dirintis oleh gurunya selama ini.
Alap-Alap Jalatunda bagi
Sidanti saat itu adalah iblis yang harus dilenyapkan. Iblis yang telah melukai
tangannya cukup parah. Bahkan hampir-hampir merenggut jiwanya pula. Apalagi
iblis itu telah mencoba merampas Sekar Mirah dengan kekerasan. Karena itu, maka
tidak ada yang lebih baik baginya daripada membinasakannya.
Betapa gurunya berteriak
mencegahnya, namun semuanya sudah terjadi. Sidanti yang sedang dibakar oleh
kemarahan itu pun mampu bergerak secepat Alap-Alap Jalatunda. Bahkan ternyata
sisa-sisa kekuatan Sidanti masih cukup banyak, sehingga tumpahan sisa-sisa
tenaga itu pun lebih dahsyat pula.
Sekali lagi mereka mendengar
Ki Tambak Wedi berteriak, “Sidanti, apakah kau gila?”
Sidanti tidak juga mendengar.
Bahkan dalam kegelapan pikiran karena kemarahan yang memuncak, maka kebuasan
anak muda itu tumbuh kembali. Seperti pada saat ia berhasil membunuh Plasa
Ireng, maka kini diulanginya perbuatannya itu. Alap-Alap Jalatunda sama sekali
tidak berdaya ketika Sidanti menerkamnya. Ujung pedangnya yang tajam
berkilat-kilat langsung menghunjam ke dadanya. Alap-Alap Jalatunda yang sedang
tertatih-tatih berdiri itu mengaduh pendek. Beberapa langkah ia terdorong oleh
kekuatan Sidanti yang ditumpahkannya di ujung pedangnya. Kemudian anak muda itu
pun terbanting jatuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari luka di dadanya
itu. Namun sekejap matanya masih memancarkan dendam tiada terhingga. Sekali
tubuh itu menggeliat lalu kemudian diam untuk selamanya.
Tetapi agaknya Sidanti tidak
puas dengan tusukan yang langsung menghunjam jantung lawannya. Sekali lagi
pedang itu ditariknya, dan sekali lagi pedang itu menghunjam ke tubuh lawannya.
Ketika untuk ketiga kalinya ia ingin menusuk tubuh yang tidak berdaya itu,
terasa badannya terdorong ke samping oleh suatu kekuatan yang luar biasa,
sehingga hampir-hampir ia jatuh terjerambab. Sambil berteriak tinggi ia
memperbaiki keseimbangannya. Hampir-hampir ia meloncat menyerang. Tetapi
niatnya itu diurungkannya. Betapapun hatinya menjadi gelap pekat, tetapi ketika
ia melihat gurunya berdiri di hadapannya, maka Sidanti itu pun tegak seperti
patung di tempatnya.
“Ternyata kau benar-benar
gila, Sidanti” teriak Ki Tambak Wedi.
Tetapi sebelum Sidanti
menjawab, maka terdengar orang lain berteriak nyaring, “Omong kosong! Kalian,
guru dan murid, ternyata telah merencanakan hal ini. Kalian telah dengan
sengaja melakukan pembunuhan yang direncanakan.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar
mendengar teriakan itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah yang hitam itu
seolah-olah membara memancarkan kemarahan tiada taranya. Sambil menuding Ki
Tambak Wedi dengan pedangnya ia berkata, “Satu-satu kau akan menghilangkan
pemimpin-pemimpin prajurit Jipang. Kali ini Alap-Alap Jalatunda. Tetapi lain
kali aku, supaya kau dapat berbuat menurut kehendakmu atas pasukanku. Tidak.
Aku bukan budak kalian. Kami prajurit Jipang bukan budak-budak orang Tambak
Wedi. Kalian jangan mimpi memperalat kami untuk tujuan-tujuan kalian yang
memuakkan itu.”
Betapa kemarahan melanda dada
Ki Tambak Wedi yang tua itu, tetapi sekali lagi ia masih mencoba menyabarkan
diri. Ia tidak dapat melupakan bahwa Untara telah berada di Jati Anom.
“Sanakeling,” katanya, “aku
minta maaf atas kesalahan Sidanti. Aku berjanji untuk membuat perhitungan atas
perbuatannya ini.”
“Tidak ada lain kecuali
Sidanti harus dibunuh seperti Alap-Alap Jalatunda. Dibunuh tanpa mengenal
perikemanusiaan. Ia pula yang telah membunuh Plasa Ireng dan menggores-gores
punggungnya dengan senjatanya silang-menyilang selagi orang itu telah mati.
Kini Alap-Alap Jalatunda yang tidak berdaya dan telah ditusuk oleh pedangnya
tepat di dada, masih juga tidak memberinya kepuasan. Lihat, Ki Tambak Wedi.
Lihat luka di tubuh Alap-Alap Jalatunda itu. Betapapun gila anak muda itu,
tetapi Alap-Alap Jalatunda adalah kawan seperjuanganku sejak masa Adipati
Jipang, Aria Penangsang. Sekarang anak itu dibunuhnya dengan semena-mena.”
“Sanakeling,” berkata Ki
Tambak Wedi, “peristiwa ini tidak berlangsung begitu saja. Peristwa ini terjadi
karena suatu sebab. Menilik dari sebab itu, maka Alap-Alap Jalatunda pun
mempunyai kesalahan pula sehingga perang tanding ini pun tidak dapat
dihindari.”
“Tetapi kau telah membuat
peraturan untuk perang tanding ini, Kiai. Ternyata kau curang dengan
peraturanmu. Kalau Alap-Alap Jalatunda menang, kau masih sempat menyelamatkan
muridmu, tetapi kalau muridmu menang, maka akibatnya adalah seperti yang kita
lihat sekarang. Kalau kau benar-benar ingin mencegah, Kiai, maka kau pasti
dapat menggagalkan pembunuhan ini.”
“Jangan berprasangka begitu
jelek Sanakeling,” jawab Ki tambak Wedi, “kau tahu, aku berdiri pada jarak yang
cukup jauh dari Sidanti. Aku juga sudah berusaha, tetapi …”
“Aku bukan anak-anak yang
dapat kau tipu dengan jawaban itu” jawab Sanakeling.
Gelora di dalam dada Ki Tambak
Wedi menjadi semakin keras, tetapi dengan sekuat tenaga ia masih berusaha
menyabarkan diri. Ia masih selalu mengingat kepentingan yang selama ini telah
diperhitungkannya baik-baik.
Tetapi tiba-tiba terdengar
dari belakangnya, Sidanti berteriak, “Guru, jangan dibiarkan orang itu mengigau
sesuka hatinya. Serahkan orang itu kepadaku pula.”
Mendengar teriakan Sidanti
itu, maka wajah Senakeling yang telah menjadi kemerah-merahan itu semakin
menegang. Sejenak dipandanginya anak muda yang bernama Sidanti dengan penuh
kebencian. Dan tiba-tiba Sanakeling itu tanpa diduga-duga melenting ke arah
Sidanti dengan pedang terjulur lurus.
(dalam cetakan buku asli
terdapat bagian yang hilang di sini)
samping oleh kekuatan yang tak
dapat dilawannya. Dalam pada itu Ki Tambak Wedi pun telah berdiri di
hadapannya.
“Tunggu dulu” katanya.
“Setan itu harus dibinasakan!”
teriak Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara Sidanti. “Ia menjadi semakin
memuakkan bagiku.”
“Ayo, lakukanlah kalau kau
mampu,” jawab Sidanti lantang, “aku tidak akan lari dari arena.”
“Tutup mulutmu!” kini Ki
Tambak Wedilah yang berteriak sambil berpaling ke arah Sidanti. “Kau telah
menghancurkan segala rencana yang telah aku susun berminggu-minggu. Kau
menganggap bahwa perempuan keparat itu lebih penting dari segala-galanya.”
“Minggir kau tua bangka” yang
berteriak adalah Sanakeling tidak kalah kerasnya dari suara teriakan Tambak
Wedi. Ternyata orang itu pun telah kehilangan nalar jernihnya. Kemarahan yang
telah membakar jantungnya, ternyata tidak dapat diredakannya.
“Sanakeling,” wajah Ki Tambak
Wedi pun telah mulai berkerut-merut, “aku sudah menahan diri sekian lama supaya
aku tidak terseret dalam arus kemarahan yang tidak bermanfaat sama sekali ini
selain akan menghancurkan diri kita sendiri. Tetapi kau pun harus menyadari
bahwa ketelanjuran ini jangan menjadi sebab bagi kita untuk menikam dada
sendiri.”
“Ternyata kau masih juga ingin
melindungi muridmu itu?” bentak Sanakeling tanpa mengenal takut.
“Sanakeling” suara Ki Tambak
Wedi menjadi semakin keras dan bergetar. Betapa ia masih mencoba menahan
dirinya sekuat-kuat tenaganya. “Aku peringatkan sekali lagi. Hentikan tuduhan
itu. Kita bicara dengan baik, supaya kita dapat memecahkan persoalan dengan
baik pula.”
“Tak ada yang dibicarakan.
Hanya ada satu pilihan bagimu, Ki Tambak Wedi. Serahkan Sidanti kepadaku. Aku
akan membunuhnya dan membelah dadanya. Aku ingin melihat jantung dan hati yang
tersimpan di dalam dada itu. Jantung dan hati anak itu pasti ditumbuhi
bulu-bulu seperti jantung dan hati iblis.”
Betapapun kesabaran yang
dipaksakan di dalam dada Ki Tambak Wedi, namun akhirnya wajahnya menjadi merah
pula seperti warna langit di ujung timur menjelang fajar. Warna merah di langit
menjadi semakin nyata, dan warna merah wajah Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin
menyala.
“Minggir!” teriak Sanakeling
kemudian dengan penuh nafsu.
“Aku tidak akan minggir,”
jawab Ki Tambak Wedi, “aku akan tetap menghalangi setiap tindakan lebih
lanjut.”
Sejenak Sanakeling terdiam.
Dipandanginya wajah Ki Tambak Wedi dengan tajamnya. Tiba-tiba ia menyadari
dengan siapa yang sedang berbicara. Orang tua itu, Ki Tambak Wedi, memang tidak
akan dapat digertaknya, apalagi ditakut-takutinya. Meskipun demikian hasratnya
untuk membunuh Sidanti tidak juga dapat disingkirkanhya dari hatinya.
Dalam pada itu terdengar
Sidanti berkata, “Guru, kenapa guru menghalanginya. Biarlah Sanakeling mencoba,
apakah Sidanti mampu melawannya atau tidak.”
“Diam!” teriak Ki Tambak Wedi
keras sekali. “Diam, diam kau!”
Namun nyala di dada Sanakeling
telah menjadi semakin dahsyat membakar hangus jantungnya dan mendidihkan
darahnya. Ia tidak lagi mau mundur. Sidanti harus mati.
“Kiai,” berkata Sanakeling,
“aku pun tidak akan minggir. Aku pun tidak akan mengurungkan niatku. Aku tetap
dalam pendirianku untuk membunuh Sidanti. Nyawa Plasa Ireng dan Alap-Alap
Jalatunda akan selalu menuntut kepadaku, seandainya aku tidak berhasil
membunuhnya dengan tanganku.”
Tubuh Sidanti menjadi gemetar
karenanya. Tetapi ia tidak berani berteriak lagi. Namun demikian ia melangkah
beberapa langkah maju dengan pedang yang berwarna darah di dalam genggamannya.
Ki Tambak Wedi hampir-hampir
tidak dapat menahan tangannya lagi. Hampir-hampir mulut Sanakeling ditamparnya.
Tetapi niat itu diurungkan. Namun orang tua itu menggeram, “Lalu apa maumu? Aku
akan tetap berdiri di sini. Apakah kau akan menyerang aku?”
Sekali lagi Sanakeling terdiam
untuk sejenak. Tanpa sesadarnya ia memandang berkeliling. Hati Sanakeling itu
pun bergelora ketika ia melihat orangnya, prajurit-prajurit Jipang berdiri
tegak di satu sisi di luar arena. Tangan-tangan mereka telah melekat di hulu
pedang masing-masing. Ketika Sanakeling melihat wajah-wajah itu di bawah cahaya
obor dan cahaya fajar, maka wajah-wajah itu tampak seperti wajah-wajah yang
berlumuran darah merah.
Hati Sanakeling pun menjadi
semakin dahsyat diamuk oleh dendam dan kebencian. Kini ia berdiri di antara
anak buahnya yang ternyata setia kepadanya. Anak buah yang telah dipisahkannya
dari Sumangkar yang lemah dan menyerah. Anak buahnya yang ada padanya adalah
anak buahnya yang dapat dianggapnya prajurit-prajurit pilihan. Kehadirannya di
Tambak Wedi bukanlah untuk menghambakan diri dan menjadikan diri mereka alat
untuk kepentingan Sidanti. Tidak. Sanakeling merasa bahwa ia masih tetap
senapati, pengganti Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
Dengan demikian maka ia tidak
lagi berhasil membendung gelora di dalam dadanya. Ketika, terpandang olehnya
sekali lagi wajah Ki Tambak Wedi yang berkerut-merut, bermata tajam setajam
mata burung hantu dan berhidung seperti paruh itu, serta kemudian dilihatnya
wajah Sidanti yang licik dan bengis, maka Sanakeling itu pun melangkah beberapa
langkah mundur. Namun tiba-tiba pedangnya bergetar, dan terdengar suitan
nyaring melontar dari mulutnya. Suitan aba-aba yang diberikan oleh seorang
senapati, kepada prajuritnya yang telah bersiap menunggu perintahnya.
Orang Jipang yang berdiri
mengitari arena, yang selama itu terpaku di tempatnya, seperti wajah lautan
yang tenang dengan tiba-tiba telah bergejolak seperti tersentuh badai. Dengan
tangkasnya mereka berloncatan dengan senjata terhunus.
Mereka itu adalah
prajurit-prajurit yang telah cukup berpengalaman. Dengan demikian maka segera
mereka dapat menyesuaikan diri dengan kehendak pimpinannya. Dalam waktu yang
singkat mereka telah menemukan bentuk kelompok-kelompok masing-masing. Dan
sesuai dengan bunyi aba-aba yang diberikan oleh Sanakeling, maka mereka pun
segera bergerak.
Tetapi Sidanti pun adalah
bekas seorang prajurit yang mengenal tata gelar olah peperangan dalam kelompok
yang besar. Ia tidak saja mampu berkelahi perseorangan, tetapi ia pun mampu
menguasai orang-orangnya. Karena itu ketika ia mendengar Sanakeling memberikan
aba-abanya kepada orang-orangnya, maka Sidanti pun segera berteriak nyaring
menyiapkan orang-orangnya untuk menanggapi keadaan.
Ternyata orang-orang Tambak
Wedi pun tanggap akan segala sasmita dan perintah yang diberikan Sidanti.
Mereka pun segera bergerak dan bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan.
Ki Tambak Wedi melihat
peristiwa itu dengan hati yang bergelora. Keadaan telah menjadi semakin buruk,
dan kedua belah pihak pun telah terbagi dalam lingkungan masing-masing,
bertebaran di halaman sampai ke jalan-jalan di sepanjang pedukuhan itu. Kalau
benar-benar terjadi benturan antara mereka, maka perkelahian akan berlangsung
di mana-mana. Di halaman banjar ini, di halaman di sekitarnya, di sepanjang
jalan dan di mana saja kedua pihak itu akan bertemu. Dengan demikian maka
korban akan tidak terhitung lagi jumlahnya. Dan yang paling menyedihkan bagi Ki
Tambak Wedi adalah, rencana yang telah disusunnya selama ini ternyata akan
gagal.
Karena itu maka seperti orang
kesurupan ia berdiri di antara kedua belah pihak yang telah siap untuk
bertempur. Dengan mengangkat tangannya tinggi-tinggi ia berteriak, “Hentikan,
hentikan!”
Tetapi Sanakeling dan Sidanti
sudah tidak mendengar lagi teriakan itu. Sejenak kemudian terdengar Sanakeling
memekikkan perintah untuk maju, dan sekejap kemudian yang terdengar adalah
teriakan Sidanti.
“Hentikan! Hentikan!” teriak
Ki Tambak Wedi. “Sanakeling, tarik orang-orangmu. Kau sadar bahwa aku dapat
membunuhmu dalam sekejap?”
Tetapi Sanakeling kini sudah
tidak berdiri sendiri. Beberapa orang berdiri di sekitarnya dalam suatu
kelompok yang rapi. Susunan yang teratur dari suatu sikap perang
prajurit-prajurit yang berpengalaman. Dari kelompoknya Sanakeling berteriak,
“Jangan menakut-nakuti, Tambak Wedi. Ayo, cobalah sekarang membunuh Sanakeling.
Senapati Jipang yang berkuasa sejak meninggalnya Kakang Raden Tohpati yang
bergelar Macan Kepatuhan.”
Dada Ki Tambak Wedi bergetar
dahsyat sekali mendengar jawaban itu. Di belakangnya ia melihat Sidanti pun
telah bersiap pula dengan seluruh kekuatan Tambak Wedi.
Namun Ki Tambak Wedi
menyadari, bahwa orang-orang Jipang mempunyai pengalaman yang lebih baik.
Mereka adalah bekas-bekas prajurit Wira Tamtama yang terlatih dan berpengalaman
dalam perang-perang yang besar dan bahkan mereka telah membiasakan diri pula
perang dalam keadaan yang paling dahsyat sekalipun. Selama mereka berkeliaran
sepeninggal Arya Jipang, maka keadaan mereka telah menjadi semakin parah, dan
mereka pun menjadi semakin garang menghadapi lawan-lawannya. Tetapi meskipun
demikian mereka hanya mempunyai seorang pemimpin yang cukup tangguh,
Sanakeling. Sedang di pihaknya ada beberapa orang yang dapat dipercaya.
Sidanti, Argajaya dan apabila tidak terelakkan lagi, adalah Ki Tambak Wedi
sendiri.
Ketika sekali lagi Ki Tambak
Wedi mendengar Sanakeling berteriak, maka habislah harapannya untuk melerai
pertengkaran itu, dan habis pulalah kesabarannya. Perkelahian antara mereka
sudah tidak terelakkan lagi. Meskipun Ki Tambak Wedi itu menyesali perbuatan
Sidanti bukan alang-kepalang, namun setelah keadaan menjadi sedemikian, ia
tidak dapat mengingkarinya. Ia harus melibatkan diri dan ikut dalam perkelahian
itu.
Demikianlah maka sesaat lagi
ketika sinar fajar telah menjadi kekuning-kuningan, maka kedua pihak itu pun
kehilangan segala macam pertimbangan. Kedua belah pihak telah masak untuk
bertempur karena keadaan mereka sehari-hari. Setiap kali mereka merasa saling
iri hati, saling mengejek, dan saling menyindir. Kini mereka tidak lagi perlu
mengejek dan menyindir, tetapi pedang-pedang mereka segera dapat berbicara.
Pertempuran pun segera
berkobar di dalam halaman banjar desa yang tidak begitu luas itu. Sebagian lagi
berkelahi di halaman di sekitar banjar itu. Bahkan di jalan-jalan dan di mana
saja kedua belah pihak dapat bertemu. Ternyata menghadapi keadaan yang
demikian, prajurit-prajurit Jipang segera dapat menyusun diri dalam lingkungan
masing-masing. Mereka mampu membuat semacam gelar-gelar kecil meskipun tidak
sempurna. Sergapan-sergapan yang tiba-tiba dari arah yang tidak diduga-duga
membuat orang-orang Tambak Wedi agak menjadi bingung.
Namun sejenak kemudian Ki
Tambak Wedi sendiri terjun ke dalam pertempuran itu sambil berteriak,
“Sanakeling. Menyerahlah sebelum orang-orangmu habis binasa di padepokan ini.”
Sanakeling melihat Tambak Wedi
itu langsung menyerangnya. Tetapi ia telah cukup mempersiapkan diri menyambut
serangan itu. Tidak seorang diri, tetapi sekelompok prajurit-prajurit pilihan.
Sepuluh orang bersama-sama dalam satu lingkaran menyongsong hadirnya hantu dari
lereng Merapi itu. Sepuluh ujung pedang terjulur lurus ke arah Ki Tambak Wedi
yang meloncat menyerang Sanakeling, sehingga serangan itu pun terpaksa
diurungkannya.
Dalam pada itu Sidanti pun
segera melihat keadaan. Ia tidak perlu berada di dekat gurunya. Ia harus
mempengaruhi daerah pertempuran yang lain, seperti juga Argajaya segera
meloncat menjauhi Ki Tambak Wedi.
Pada sebatang pohon di luar
halaman banjar itu, Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, Swandaru, dan Wuranta
mengamati keadaan dengan hati yang berdebar-debar. Mereka kini melihat
orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan Tambak Wedi telah bergumul dalam
pertempuran-pertempuran yang seru. Sidanti dan Argajaya telah mengambil
tempatnya masing-masing, sedang Ki Tambak Wedi masih saja tetap berada di
halaman banjar berhadapan dengan Sanakeling. Tetapi lingkaran perkelahian itu
menjadi semakin ribut ketika beberapa orang telah berada di sekitar Sanakeling
pula untuk bersama-sama melawan Ki Tambak Wedi.
Sejenak orang-orang yang
berada di atas pohon itu melihat perkembangan keadaan. Namun kemudian Ki Tanu
Metir itu pun berkata, “Marilah kita turun. Perkelahian itu sebentar lagi akan
menebar sampai kemari. Apabila kita masih tetap berada di sini, maka kita tidak
akan sempat turun.”
Mereka berempat pun segera
turun dengan hati-hati. Apalagi cahaya merah fajar telah menjadi kuning
keputih-putihan. Sejenak lagi matahari pasti sudah akan menjenguk di atas
ujung-ujung pepohonan.
Demikian sibuk orang-orang
Jipang dan padepokan Tambak Wedi berkelahi, sehingga mereka tidak melihat
orang-orang yang meloncat turun dari pohon itu. Mereka masing-masing hanya
melihat ujung pedang lawan yang terarah ke dada masing-masing.
“Perkelahian ini benar-benar
seimbang. Orang-orang Jipang mempunyai beberapa kelebihan, tetapi orang-orang
Tambak Wedi pun mempunyai kelebihannya sendiri. Mungkin perkelahian ini akan
memakan waktu yang lama, namun korban pun akan berhamburan seperti babatan
alang-alang.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengerutkan keningnya, sedang tengkuk Wuranta terasa meremang. Ia belum pernah
menyaksikan sendiri perkelahian yang hiruk-pikuk seperti yang terjadi saat itu.
Dalam pada itu Agung Sedayupun
bertanya, “Lalu apa yang harus kita lakukan, Kiai?”
“Kalian bertiga pergi ke
tempat Sekar Mirah. Aku akan tetap di sini melihat keadaan. Apabila keadaan
telah memungkinkan, aku akan memberi tanda kepada Angger Untara. Aku harap
mereka telah siap di mulut padepokan ini. Dan mudah-mudahan sebentar lagi
pasukannya yang berjalan kaki telah sampai pula di sini.”
Agung Sedayu, Swandaru, dan
Wuranta mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini mereka baru jelas akan perhitungan
Ki Tanu Metir. Ternyata perhitungannya kini telah mendekati kebenaran.
Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi saling bertempur sendiri. Ketiga
anak muda itu dapat membayangkan, bagaimanakah akhir dari peristiwa ini. Untara
akan hadir sebagai pihak ketiga. Dan pertempuran akan menjadi semakin kisruh.
Hanya prajurit-prajurit Pajang cukup berpengalaman sajalah yang akan dapat
menyesuaikan dirinya dalam keadaan yang demikian.
“Apakah Kiai akan segera
memberikan tanda itu?”
“O, jangan tergesa-gesa,
Ngger. Kita menunggu kekuatan yang ada di padepokan ini berkurang. Sebentar
lagi maka orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan ini akan sudah menjadi
jauh susut. Dalam pertempuran serupa ini, maka korban akan cepat sekali
berjatuhan,”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Yang menyahut kemudian adalah Swandaru, “Biarlah, kita biarkan saja mereka
menumpas diri mereka sendiri.”
“Hal itu memang mungkin sekali
terjadi, Ngger. Orang yang terakhir akan berdiri di atas timbunan bangkai kawan
dan lawan. Tetapi jangan dibiarkan hal itu terjadi. Apabila menurut perhitungan
Angger Untara sudah mampu mengatasi keadaan, maka biarlah ia menghentikan
pertempuran ini. Biarlah mereka tidak berlarut-larut saling membantai dengan
luapan dendam tiada taranya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dipandanginya gurunya dengan pertanyaan yang memancar dari matanya.
“Kalau kita biarkan hal ini
terjadi, Ngger, itu adalah karena terpaksa harus kita lakukan. Sebenarnya kita
sama sekali tidak menghendaki. Tetapi, jalan lain tidak kita ketemukan untuk
segera dapat menyelesaikan persoalan ini, sehingga mereka yang terlampau bernafsu
dalam kepentingan sendiri, terpaksa kita korbankan. Tetapi pembunuhan yang
mengerikan seterusnya sedapat mungkin harus dicegah.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan gurunya, sedang Wuranta
menekurkan wajahnya. Tetapi Swandaru masih saja belum mengerti. Dalam persoalan
seperti ini, maka apabila terjadi pembunuhan, bukankah itu salah mereka yang
saling berbunuhan itu sendiri? Namun Swandaru itu tidak bertanya lagi.
Disadarinya bahwa waktu sudah menjadi kian sempit.
“Nah, sekarang pergilah kalian
ke tempat Sekar Mirah. Aku tetap di sini untuk pada waktunya memanggil Angger
Untara.”
“Baiklah, Kiai” sahut ketiga
anak-anak muda itu bersamaan.
Dan mereka pun kemudian
meninggalkan halaman itu dengan hati-hati. Mereka berjalan di sepanjang
halaman, meloncati dinding-dinding batu dan berlindung di balik rimbunnya
rumpun-rumpun bambu liar. Tetapi cahaya pagi semakin lama menjadi semakin
terang.
Sekali-sekali mereka mendengar
derap orang berlari-lari, sehingga mereka terpaksa mengendapkan diri mereka.
Orang-orang itu adalah orang-orang padepokan Tambak Wedi yang terlambat datang
ke banjar desa karena tugas-tugas mereka. Ketika mereka mengetahui bahwa
perkelahian telah berkobar dari kawan-kawan mereka yang sengaja berkeliling padepokan
untuk memberitahukan tentang hal itu, maka mereka pun meninggalkan tugas-tugas
mereka dan berlari-lari pergi ke banjar desa untuk segera melibatkan diri dalam
perkelahian yang semakin lama menjadi semakin hiruk-pikuk.
Ketika ketiga anak-anak muda
itu meloncat masuk ke halaman belakang rumah yang diperuntukkan bagi Sekar
Mirah, maka hati mereka menjadi berdebar-debar. Sesaat mereka tertegun. Dengan
berbisik Swandaru bertanya, “Lalu, apakah yang akan kita lakukan atas Sekar
Mirah. Apakah anak itu kita ambil dan kita bawa ke luar?”
“Jangan,” sahut Agung Sedayu,
“kita menunggu Ki Tanu Metir. Selama ini kita awasi saja rumah itu, untuk
menjaga keselamatannya.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia agaknya masih ragu-ragu. Apakah dengan menunggu Ki Tanu
Metir, mereka tidak akan terlambat. Bagaimanakah seandainya kemudian Sidanti
memerintahkan atau ia sendiri datang bersama orang-orangnya untuk mengambil
gadis itu.
Agung Sedayu agaknya melihat
keragu-raguan itu. Maka katanya pula, “Kita tidak tahu pasti maksud Ki Tanu
Metir. Bukankah Ki Tanu Metir berkata, bahwa kita akan membawa Sekar Mirah
lewat jalan yang aman dan lapang, hanya apabila terpaksa kita akan mencobanya
lewat urung-urung itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia masih juga ragu-ragu tetapi ia tidak memaksanya, tetapi
ia kemudian berkata, “Kalau demikian, marilah kita mendekat, supaya kita
melihat apa yang terjadi di dalam gubug kecil itu.”
Agung Sedayu tidak
berkeberatan dengan pendapat Swandaru itu. Sebenarnya ia pun terlampau
mencemaskan nasib gadis itu. Maka jawabnya, “Marilah. Kita menungguinya di
belakang rumah. Bukankah begitu, Kakang Wuranta?”
“Marilah” sahut Wuranta sambil
menganggukkan kepalanya.
Ketiganya pun kemudian merayap
semakin dekat. Mereka kemudian duduk di belakang serumpun perdu. Tetapi hati
mereka sama sekali tidak tenteram ketika mereka masih juga mendengar gadis itu
menangis.
“Semalam suntuk ia menangis”
desis Wuranta.
“Kasihan,” sahut Swandaru,
“anak itu anak bengal. Setiap kali aku selalu bertengkar dan berkelahi di
rumah. Tetapi aku menjadi sangat beriba hati melihatnya kini.”
“Apakah salahnya kalau kita
masuk?” tiba-tiba Agung Sedayu berbisik. “Kita berada di dalam. Kita sudah
terlanjur berada di sarang lawan. Apa pun yang terjadi harus kita tanggungkan.”
Sejenak Swandaru memandangi
wajah Agung Sedayu. Dan sesaat kemudian ia berkata, “Itu adalah pendapat yang
paling baik. Mari kita masuk.”
“Aku sudah mempunyai jalan
yang paling baik untuk memasuki rumah itu,” berkata Wuranta. “Jangan lewat
pintu depan. Sidanti pasti masih menempatkan satu dua pengawas di sekitar
tempat ini. Biasanya di rumah di muka rumah ini,” berkata Wuranta.
Agung Sedayu dan Swandaru
memandanginya sejenak, “Jalan manakah yang kau maksud?”
“Aku kira jalan yang telah
dipergunakan oleh Alap-Alap Jalatunda” jawab Wuranta. “Lihatlah sudut rumah
itu.”
Karena cahaya pagi telah
memercik ke atas padepokan Tambak Wedi itu pula, maka segera mereka melihat
bahwa sudut rumah itu telah terbuka.
“Hem” Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Tiba-tiba ia menjadi tergesa-gesa untuk segera menemui adiknya.
Maka katanya, “Marilah. Apalagi yang kita tunggu? Kalau sebentar lagi Sidanti
datang kemari, biarlah aku menyambutnya.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi kalimat itu telah menumbuhkan kekaguman di hati Wuranta. Katanya di
dalam hati, “Anak muda putera Ki Demang Sangkal Putung ini agaknya seorang anak
muda yang pilih tanding. Kebenciannya kepada Sidanti sampai ke ujung ubun-ubun.
Dan agaknya ia mampu mengimbanginya.” Tetapi Wuranta itu tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Mereka bertiga pun kemudian
pergi ke sudut rumah. Perlahan-lahan Swandaru merenggangkan dinding.
“Dinding ini memang sudah
terbuka” bisiknya perlahan-lahan.
“Masuklah” sahut Agung Sedayu.
Dengan hati-hati Swandaru yang
gemuk itu pun merangkak masuk. Tetapi agaknya jalan itu terlalu sempit baginya,
sehingga anak yang gemuk itu mendapatkan sedikit kesulitan.
“Tolong, tariklah dinding ini.
Bajuku terkait,” desis Swandaru.
Tetapi ternyata kata-katanya
itu telah mengejutkan Sekar Mirah yang sedang terisak-isak. Ketika ia bangkit
dan memandangi sudut rumah itu, dilihatnya sesosok bayangan merangkak masuk.
Maka tanpa sesadarnya gadis itu pun menjerit sekuat-kuat tenaganya. Ia menjadi
sangat ketakutan dan ngeri. Terasa seakan-akan Alap-Alap Jalatunda atau
Sidantilah yang datang itu.
“He,” Swandaru pun terkejut
sehingga ia pun berkata lantang, “kenapa kau berteriak Mirah?”
Bukan kepalang terkejut gadis
itu mendengar suara yang sudah dikenalnya baik-baik. Suara yang selalu
mengganggunya di Kademangan Sangkal Putung. Suara yang selalu mengejeknya dan
memarahinya setiap saat. Tetapi dalam keadaan serupa itu, maka suara itu
seakan-akan suara panggilan dari dunia yang lepas bebas, panggilan dari kampung
halaman.
Begitu besar pengaruh suara
itu, sehingga justru sekali lagi Sekar Mirah berteriak, “Kakang, Kakang
Swandaru.”
“Hus, anak bodoh,” bentak
Swandaru, “jangan berteriak-teriak.”
Tetapi Sekar Mirah tidak
mendengarnya. Dengan penuh luapan perasaan ia berkata, “Kau datang Kakang.
Bukankah kau akan mengambil aku dan membawa aku kepada ayah dan ibu kembali?”
“Ya, ya,” potong Swandaru,
“tetapi jangan berteriak-teriak.” Kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata,
“Kakang, tolong, bajuku terkait. Anak gila itu malahan berteriak-teriak saja.
Kalau aku dekat, aku bungkam mulutnya.”
Dengan tergesa-gesa dan tangan
gemetar Agung Sedayu menarik dinding bambu di sudut rumah itu. Dengan demikian
maka kini Swandaru dapat merangkak masuk. Ketika ia berdiri dan berjalan
mendekati Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun segera mengenalnya pula. Anak yang
gemuk bulat itu. Maka dengan serta-merta Sekar Mirah pun berlari, menubruk dan
memeluknya seperti kanak-anak yang manja. Sambil menangis sejadi-jadinya ia
berkata, “Kakang, Kakang, bawa aku kembali. Bawa aku kembali kepada ayah dan
ibu.”
Sesaat Swandaru tidak dapat
mengucapkan kata-kata. Dibiarkannya Sekar Mirah menangis di dadanya. Bahkan
terasa matanya pun menjadi pedih.
Sejenak kedua kakak beradik
itu tenggelam dalam keadaan yang demikian. Mereka sama sekali tidak mengucapkan
kata-kata, tetapi isak Sekar Mirah melontarkan harapan untuk dapat menikmati
masa depannya yang masih panjang. Masa depan yang cerah. Gadis itu merasa bahwa
seolah-olah mereka telah berada kembali di Kademangan Sangkal Putung, di rumah
ayah dan ibunya.
Tetapi gadis itu terkejut
ketika ia mendengar dinding di sudut rumah itu berderik. Ketika ia berpaling,
ia melihat sesosok bayangan yang lain sedang memasuki rumah itu.
“Kakang,” katanya, “siapakah
orang itu?”
Tetapi Swandaru tidak perlu
menjawab. Orang yang merangkak itu kini telah berdiri. Dalam keremangan pagi
dalam gubug yang tertutup itu, Sekar Mirah melihat seorang anak muda berdiri di
hadapannya. Sekali lagi anak itu terkejut seperti pada saat ia melihat kakaknya
masuk.
“Jadi, kau tidak sendiri
kakang?”
Swandaru menggeleng.
“Bukankah itu Kakang Agung Sedayu?”
Swandaru mengangguk. “Ya”
gumamnya.
“Oh” tiba-tiba Sekar Mirah itu
melepaskan kakaknya. Ia ingin meloncat untuk mendapatkan Agung Sedayu. Tetapi
langkahnya tertegun karena tangannya ditahan oleh Swandaru. Sekar Mirah mencoba
untuk menarik tangannya, tetapi pegangan Swandaru cukup kuat, sehingga tangan
itu tidak terlepas dari pegangannya.
Baru sesaat kemudian Sekar
Mirah menyadari kegadisannya. Wajahnya tiba-tiba menjadi kemerah-merahan.
Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Dan kembali ia menyembunyikan wajahnya di
dada kakaknya. Ia merasa bersyukur bahwa kakaknya telah menahannya, sehingga ia
tidak merasa malu untuk seterusnya, apabila ia bertemu dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu sendiri
menundukkan wajahnya pula. Anak muda itu benar-benar telah membeku. Ia tidak
tahu apa yang sebaiknya dilakukan dan apa yang harus dikatakan. Karena itu ia
berdiri saja seperti patung.
Di belakang Agung Sedayu,
Wuranta telah berdiri pula di dalam rumah itu. Terasa sesuatu berdesir di dalam
dadanya. Ia merasa aneh untuk mengenali dirinya sendiri. Ketika ia melihat
sikap Sekar Mirah terhadap Agung Sedayu, meskipun Swandaru tidak melepaskannya,
namun ia menangkap hubungan yang lain antara keduanya. Hubungan bukan saja
hubungan karena keadaan yang menyentak seperti saat itu. Tetapi hubungan yang
telah cukup lama dan bukan hanya sekedar sentuhan yang baru-baru saja pada
permukaan pandangan. Tetapi hubungan itu adalah hubungan yang telah menghunjam
dalam-dalam di dalam dada masing-masing.