S.H Mintardja
-------------------------------
----------------------------
Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-022
“Aku tidak pernah mempunyai
keberanian yang cukup untuk menegurnya, meskipun aku sering berpapasan dengan
gadis itu.”
Wuranta tertawa, ditatapnya
wajah Alap-Alap yang keras dan bermata seperti mata burung alap-alap itu.
Katanya, “Tuan adalah seorang anak muda yang perkasa. Semuda umur Tuan, Tuan
telah memiliki banyak kelebihan dari anak-anak muda sebaya Tuan, bahkan yang
lebih tua dari Tuan. Tetapi kenapa Tuan tidak memiliki keberanian untuk menegur
seorang gadis yang justru telah berada di dalam lingkungan Tuan sendiri?”
Alap-Alap Jalatunda
menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, “Aku tidak tahu.”
“Baiklah,” gumam Wuranta,
“akulah yang nanti akan menegurnya apabila kita berpapasan.”
“Gila,” tiba-tiba mata
Alap-Alap Jalatunda menjadi merah, “meskipun kau kini membawa pedang di
lambungmu, ayo, kita lihat siapakah yang lebih berhak disebut jantan.”
Wuranta tertegun sejenak,
tetapi kemudian ia tersenyum, “Apakah Tuan salah sangka? Maksudku, aku akan
menegur untuk kemudian memberi jalan kepada Tuan supaya Tuan dapat berbicara
lebih lancar.”
“He,” mata Alap-Alap Jalatunda
yang menyala itu pun sedikit demi sedikit menjadi suram kembali.
“Apakah Tuan sependapat?”
Alap-Alap Jalatunda tidak
segera menjawab.
“Tetapi kalau Tuan tidak
sependapat, baiklah. Aku akan menutup mulut.”
“Tetapi,” desis Alap-Alap
Jalatunda, “kalau kau ingin membantu aku, aku kira aku tidak akan
berkeberatan.”
“Begitu?”
Alap-Alap Jalatunda menganggukkan
kepalanya, tetapi ia tidak menyahut.
Keduanya pun kemudian berjalan
kembali menyusul Sekar Mirah lewat lorong kecil yang telah dilalui oleh gadis
itu.
“Apakah kita menyusul di
belakangnya?” bertanya Wuranta.
“Ya, kenapa?”
“Kita laki-laki muda mengikuti
seorang gadis?”
“Jadi bagaimana?” bertanya
Alap-Alap Jalatunda dengan herannya.
“Kita mencari jalan lain yang
akan sampai ke sungai itu pula. Seolah-olah kita tidak sengaja mengikutinya.
Kita selusuri sungai ini. Kalau perlu dari salah salah ujung. Bukankah kita
sedang nganglang dan tidak sengaja menjumpainya di sungai?”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan dahinya. Sejenak ia berdiam diri. Mulutnya berkumat-kamit, tetapi
sama sekali tidak terdengar kata-katanya.
“Tuan,” berkata Wuranta
kemudian, “ada beberapa alasan yang harus Tuan pertimbangkan. Selain supaya
gadis itu tidak menjadi takut dan kemudian menghindar, maka tidaklah pantas
anak-anak muda mengikuti seorang gadis yang akan pergi ke sungai. Seandainya ia
tidak menghindar, maka gadis itu pasti akan mengurungkan niatnya. Untuk mandi
misalnya, atau mencuci pakaian. Tetapi yang lebih penting bagi Tuan, maka apa
yang Tuan lakukan tidak akan menimbulkan kecurigaan bagi para pengawas.”
“He, kenapa para pengawas?
Seandainya mereka berkeberatan, maka leher mereka akan aku penggal di hadapan
gadis itu.”
“Bukan begitu Tuan,” Wuranta
diam sejenak, kemudian diteruskannya, “siapakah yang harus mengawasi gadis itu?
Orang-orang Jipang atau orang-orang padepokan ini?”
“Bergantian. Semua orang yang
telah memiliki senjata di tangannya tidak terkecuali. Gadis itu termasuk salah
satu hal yang harus mendapat pengawasan seperti jalan masuk, dinding-dinding
padepokan, rumah-rumah penting dan lain-lain.”
“Nah, bukankah kadang-kadang
Tuan akan menemui seseorang yang tidak senang terhadap Tuan.”
“Aku tidak perduli. Orang itu
akan dapat aku bunuh seketika.”
“Tetapi ingat. Sidanti
mempunyai kepentingan pula atas gadis itu. Bukan aku menganggap Tuan tidak
berani, tetapi dalam keadaan seperti sekarang, jangan dulu timbul
curiga-mencurigai di kalangan sendiri.”
Wajah Alap-Alap Jalatunda
menjadi tegang. Wuranta yang dianggapnya terlampau bodoh itu dapat memberinya
petunjuk yang dapat dimengertinya. Karena itu, maka tiba-tiba ia mengangguk-angguk
sambil tersenyum, “Baik, aku menuruti nasehatmu. Jadi bagaimana dengan kita?
Gadis itu telah hilang di balik tikungan. Kalau kita terlambat, ia pasti sudah
selesai mandi atau mencuci. Dengan demikian, maka kau tidak akan mendapat
kesempatan melihatnya.”
“Bukankah kesempatan itu tidak
hanya sehari ini? Seandainya sekarang aku terlambat, besok masih juga ada
hari.”
Alap-Alap Jalatunda tersenyum.
Sekali lagi ia mengangguk-angguk sambil berkata, “Bagus, bagus. Kau benar.
Agaknya akulah yang takut terlambat.”
Keduanya kemudian memutar
langkahnya. Mereka tidak menempuh jalan yang telah dilalui Sekar Mirah.
“Kemana kita?” bertanya
Alap-Alap Jalatunda.
“Aku tidak tahu. Tuanlah yang
lebih tahu dari aku. Atau barangkali Tuan akan menyelusuri sungai ini dari
ujung sampai ke ujung yang lain? Bukankah dengan demikian tak seorangpun akan
mencurigai Tuan.”
“Baiklah,” sahut Alap-Alap
Jalalunda, “marilah kita pergi ke ujung sungai ini memasuki padepokan. Kita
berjalan menyelusur tepian sampai ke ujung yang lain.”
“Marilah, Tuan. Sikap
berhati-hati adalah sikap yang paling baik dalam segala hal.”
Keduanya pun kemudian berjalan
dengan tergesa-gesa. Setelah beberapa kali mereka membelok, akhirnya mereka
sampai pada dinding padepokan yang cukup tinggi. Dinding batu yang agaknya
umurnya sudah cukup tua.
“Beberapa puluh langkah lagi
kita akan sampai ke sungai” gumam Alap-Alap Jalatunda.
Wuranta tidak menyahut. Ia
berjalan saja di samping Alap-Alap Jalatunda. Dan benarlah katanya, segera
mereka sampai ke sebuah lereng yang dangkal. Ketika mereka menuruni lereng itu,
maka oleh Wuranta tampak seakan-akan sebuah mata air yang besar tersumbul dari
dalam tanah.
“Hem,” katanya di dalam hati,
“inilah agaknya sebuah urung-urung air yang cukup besar.”
Dalam pada itu terdengar
AIap-Alap Jalatunda berkata, “Inilah ujung sungai itu. Air memasuki daerah
padepokan lewat di bawah dinding yang rendah.”
“Bukan main,” sahut Wuranta,
“bagaimana urung-urung itu dapat dibuat?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
urung-urung itu terbuat dari batu pula, bagian atasnya lengkung supaya
urung-urung ini tahan desakan air, meski banjir sekali pun.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa disadarinya ia mengamat-amati urung-urung itu. “Tidak
terlampau tebal” desisnya di dalam hati.
“Kau menaruh perhatian?”
bertanya Alap-alap Jalatunda.
“Aku mengagumi pembuatnya,”
desisnya, “urung-urung ini agaknya tidak terlampau tebal.”
“Memang tidak. Dua atau tiga
kali lipat dari tebal dinding itu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Hatinya menjadi puas melihat urung-urung air itu. Urung-urung itu
akan sangat berguna baginya. Tetapi ia berkata dengan tiba-tiba, “Mari kita
berjalan. Kita akan terlambat.”
Alap-Alap Jalatunda tersenyum.
Jawabnya, “Bukankah besok masih juga ada hari?”
Wuranta tersenyum pula, tetapi
ia mulai melangkahkan kakinya menyelusuri tepian.
“Apakah tempat untuk mandi dan
mencuci itu jauh dari ujung ini?”
“O, tidak. Bukankah kita juga
tidak terlampau jauh berjalan. Di belakang tikungan itu ada sebuah belik. Di
situlah ia biasa mandi. Beberapa orang perempuan padepokan ini pun mandi dan
mencuci di situ pula.”
“Tuan agaknya mengetahui
terlalu banyak tentang gadis itu.”
“Hus” desis Alap-Alap
Jalatunda.
Mereka pun terdiam sejenak.
Hanya langkah mereka di atas pasir tepian terdengar gemerisik lembut.
Di samping mereka, air sungai
yang jernih mengalir segar. Sepercik-sepercik buih berloncatan, apabila
sepotong dahan yang kering jatuh ke dalamnya.
Di kejauhan burung-burung
bertengger di atas cabang-cabang pepohonan meneriakkan dendang yang riang.
Mereka sama sekali tidak menyadari apa artinya pedang di lambung orang-orang
yang berjalan di lorong-lorong padukuhan itu. Tidak banyak terjadi permusuhan
di antara mereka. Tidak banyak timbul persoalan selain berebut makan.
Tidak seperti manusia yang
mempunyai nalar dan budi yang menyadari seribu satu macam kepentingan. Dan
setiap sentuhan kepentingan, dapat saja berakhir di ujung pedang. Mereka lebih
banyak berbicara dengan bahasa pedang daripada bahasa cinta kasih di antara
mereka.
Wuranta terkejut ketika
tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda menepuk bahunya. Terdengar ia berbisik lirih,
“Wuranta, lihatlah. Gadis itu lagi mencuci bajunya.”
“He” Wuranta menarik
keningnya, seakan-akan ingin membuat matanya menjadi lebih lebar. “Di mana?” ia
bertanya.
“Di belik itu.”
“O” Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Dilihatnya Sekar Mirah sedang berjongkok membelakangi mereka di
tepi belik. Agaknya ia memang sedang mencuci bajunya.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Wuranta berkata, “Marilah kita berjalan. Kenapa berhenti?”
Alap-Alap Jalatunda
menggeleng, “Tidak. Aku di sini saja.”
“Lalu bagaimana dengan aku?”
“Kau juga di sini saja.”
“Kenapa?”
“Jangan banyak bertanya.”
“Adakah setiap kali Tuan
berbuat demikian. Memandang keindahan gadis itu dari kejauhan?”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab.
Tetapi Wuranta menjadi
berdebar-debar karenanya. Perbuatan Alap-Alap Jalatunda itu justru berbahaya
bagi Sekar Mirah. Anak muda itu akan selalu berangan-angan. Karena ia tidak
berani berkenalan dengan gadis-gadis, maka angan-angannya akan dapat menjadi terlampau
liar dan buas. Karena itu, maka Wuranta itu pun berkata, “Marilah Tuan. Lewat
di sampingnya bersama aku. Mungkin Tuan sekali dua kali akan dapat
bercakap-cakap dengannya. Kecuali kalau Tuan berkeberatan karena
memperhitungkan pengawasan orang-orang Sidanti.”
“Setan. Jangan kau sebut lagi
monyet-monyet itu. Aku tidak takut. Dan mereka tidak akan menyangka, bahwa aku
sengaja mengikuti gadis itu seperti katamu tadi. Sebab aku datang dari arah
yang sangat berbeda.”
“Karena itu marilah.”
Alap-Alap Jalatunda ragu-ragu
sejenak. Tetapi Wuranta menarik tangannya sambil berkata, “Marilah. Gadis itu
tidak akan menggigit.”
Alap-Alap Jalatunda masih
ragu-ragu. Tetapi kemudian ia pun melangkah kakinya.
Dengan kepala tunduk Alap-Alap
Jalatunda berjalan, di tepian, di atas tanggul bersama Wuranta. Sekali-sekali
ia hanya berani melemparkan sudut pandangannya.
Sekar Mirah yang sedang
mencuci bajunya terkejut mendengar langkah di atas tanggul sungai. Cepat-cepat
ia meletakkan cuciannya dan membetulkan kain pinjungnya. Ketika ia berpaling,
dilihatnya dua orang berjalan dengan pedang di lambung masing-masing.
Tanpa diduganya, maka Wuranta
menganggukkan kepalanya sambi berkata, “Maaf. Kami tidak tahu bahwa Nini sedang
mencuci pakaian. Karena itu kami tidak sengaja telah lewat di tanggul ini.”
Wuranta melihat kerut-merut di
kening Sekar Mirah. Tetapi tiba-tiba dadanya berdesir. Ia melihat Sekar Mirah
tersenyum. Dengan manisnya ia menjawab, “Oh, tidak apa Tuan. Tanggul ini memang
sering dilalui orang. Akulah yang bersalah, mencuci pakaian di belik di bawah
tanggul ini.”
Sejenak Wuranta justru
terbungkam. Ia tidak menyangka bahwa Sekar Mirah akan menjawabnya sambil
tersenyum. Bahkan kemudian Sekar Mirah itu berkata, “Bahkan aku menjadi sangat
senang, bahwa seseorang sudi menegur aku. Selama ini orang-orang di padepokan ini
acuh tak acuh saja kepadaku, justru karena aku bukan orang padepokan ini.”
Wuranta masih saja terbungkam.
Apalagi Alap-Alap Jalatunda. Tetapi Wuranta menjadi berdebar-debar bukan karena
senyum Sekar Mirah yang telah menggoncangkan hatinya. Sama sekali tidak. Ia
tetap menyadari dirinya. Ia sedang bermain-main dengan Alap-Alap Jalatunda.
Tetapi ia tidak menyangka, bahwa Sekar Mirah akan semudah itu tersenyum kepada
laki-laki yang belum dikenalnya.
“Apakah benar gadis ini Sekar
Mirah yang dikatakan oleh Agung Sedayu?” Wuranta justru menjadi ragu-ragu.
Alangkah murahnya senyum gadis itu.
Tetapi tiba-tiba ia terhenyak
dalam suatu sikap seperti ia sendiri. Ia tidak tahu apakah sebenarnya yang
tersimpan di dalam hati Sekar Mirah. Kenapa dirinya sendiri bersikap baik juga
terhadap Alap-Alap Jalatunda? Apakah demikian juga agaknya Sekar Mirah yang
sedang berusaha untuk menemukan jalan keluar dan kesulitannya.
Wuranta seakan-akan terbangun
ketika ia mendengar Sekar Mirah berkata, “Kenapa Tuan menjadi bingung? Apakah
Tuan juga akan mandi?”
“O, tidak, tidak” Wuranta
tergagap. “Kami hanya kebetulan saja lewat.”
“Apakah Tuan seorang
prajurit?” bertanya Sekar Mirah.
“Aku bukan,” sahut Wuranta,
“tetapi Tuan ini adalah seorang pemimpin prajurit Jipang. Ia bernama Alap-Alap
Jalatunda.”
Dada Sekar Mirah berdesir
mendengar nama itu. Nama yang pernah didengarnya sejak di Sangkal Putung
dahulu. Dan kini ia melihat seorang anak muda yang berwajah keras dan bermata
tajam, setajam mata burung alap-alap.
Sejenak Sekar Mirah terpaku
diam. Dipandanginya Alap-Alap Jalatunda dengan tajamnya seperti hendak
dilihatnya sesuatu di dalam dada anak muda itu. Dengan demikian, maka Alap-Alap
Jalatunda itu pun menjadi semakin tunduk. Ia tidak dapat menentang mata Sekar
Mirah yang seperti api menjilat wajahnya.
Wuranta bukan seorang anak
muda pemalu. Ia dapat bergaul dengan gadis-gadis di padukuhannya, meskipun ia
tahu batas-batas yang tak dapat di lewatinya. Namun di hadapan Sekar Mirah,
Wuranta merasa dadanya seperti berdentang terlampau cepat.
Dalam pada itu terdengar suara
Sekar Mirah, “Aku tidak menyangka bahwa suatu kali aku akan dapat bertemu
dengan seorang anak muda yang namanya jauh menjangkau di luar lingkungannya.
Aku pernah mendengar nama Alap-Alap Jalatunda. Hampir setiap prajurit Pajang
membicarakannya.”
Wuranta yang berdiri di
samping Alap-Alap Jalatunda semakin lama menjadi semakin dapat menguasai
dirinya kembali. Ia kini telah menjadi agak tenang, sehingga ia sempat
menjawab, “Apakah yang mereka katakan tentang dirinya?”
“Ia adalah salah seorang yang
paling disegani dari pihak Jipang, di samping nama-nama Sanakeling dan
Sidanti.”
“Sidanti bukan seorang
prajurit Jipang,” tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda bergumam perlahan, seolah-olah
hanya ditujukan kepada dirinya sendiri.
“Apa yang Tuan katakan?” Sekar
Mirah bertanya.
Alap-Alap Jalatunda menjadi
semakin tunduk. Mulutnya bagaikan terkunci, sehingga ia tidak dapat menjawab
pertanyaan Sekar Mirah itu.
“Tuan,” Wurantalah yang
kemudian bertanya, “Nini Sekar Mirah ingin Tuan mengulangi kata-kata Tuan yang
tidak begitu jelas baginya.”
Wajah Alap-Alap Jalatunda
menjadi merah, seperti seorang jejaka kecil bertemu dengar seorang gadis yang
memikat hatinya.
“Apakah Tuan mengatakan bahwa
Sidanti bukan salah seorang prajurit Jipang?”
Alap-Alap Jalatunda
menganggukkan kepalanya.
“Demikianlah Nini, Sidanti
bukan seorang prajurit Jipang.”
“O,” Sekar Mirah menyahut,
“ya, aku tahu. Justru Sidanti pernah berada di Sangkal Putung. Ia adalah bekas
seorang prajurit Pajang.” Sekar Mirah berhenti sebentar, lalu diteruskannya,
“Apakah Tuan sekarang berada di padepokan ini juga?”
Alap-Alap Jalatunda tidak
segera menjawab. Sehingga Wuranta terpaksa mendesaknya.
“Tuan, Tuan harus menjawab
pertanyaan itu.”
Perlahan-lahan Alap-Alap
Jalatunda mengangkat wajahnya. Hatinya seakan-akan pecah seperti belanga yang
terbanting di atas batu hitam ketika ia sepintas memandang Sekar Mirah yang
hanya berkain pinjung yang telah basah, berdiri menatapnya. Tatapan mata gadis
itu seperti tusukan anak panah yang langsung melubangi dinding jantungnya.
Sekali lagi wajah Alap-Alap
Jalatunda terbanting di atas pasir tepian yang basah. Tanpa dikehendakinya
sendiri, tangannya bergerak-gerak meraba bulu pedangnya. Dengan gelisah ia
berdiri saja membisu.
“Bagaimana jawab Tuan?”
bertanya Wuranta.
“Tuan tidak sudi berbicara
dengan aku?” suara Sekar Mirah seperti meremas hatinya menjadi lebur.
“Tidak, bukan begitu” jawab
Wuranta. “Ia terlampau sopan. Itulah sebabnya, maka setiap kata-katanya pasti
diatur sebaik-baiknya supaya tidak menimbulkan salah sangka. Agak berbeda
dengan aku yang kasar ini.”
“Apakah Tuan bukan seorang
prajurit?” bertanya Sekar Mirah kepada Wuranta.
“Bukan. Aku hanya sekedar
seorang gembala yang kebetulan mendapat pinjaman sehelai pedang.”
Kening Sekar Mirah tampak
berkerut-merut. Ia melihat pancaran mata yang jauh lebih tajam dari seorang
gembala biasa. Karena itu, maka ia mendesaknya, “Aku tidak percaya bahwa Tuan
hanya sekedar seorang gembala. Wajah Tuan tidak meyakinkan kata-kata Tuan.”
Hati Wuranta menjadi
berdebar-debar. Jangan-jangan pujian itu dapat menumbuhkan kemarahan Alap-Alap
Jalatunda. Karena itu, maka dengan serta-merta ia menjawab, “Nini salah lihat.
Tetapi sebaiknya Nini mendengarkan jawabannya.” Kemudian kepada Alap-Alap
Jalatunda ia berbisik, “Berkatalah Tuan.”
Alap-Alap Jalatunda mencoba
memaksa dirinya sendiri untuk mengucapkan kata-kata. Maka dengan terbata-bata
ia berkata, “Ya, aku sekarang berada di padepokan ini.”
“Bersama Sidanti?” bertanya
Sekar Mirah pula.
“Ya, bersama Sidanti,” jawab
Alap-Alap Jalatunda.
Sekar Mirah tiba-tiba
mencibirkan bibirnya. Tetapi sejenak kemudian ia tersenyum, “Dari manakah Tuan
berdua ini?”
Alap-Alap Jalatunda menjadi
kebingungan. Sekenanya saja ia menjawab, “Berjalan-jalan.”
“Berjalan-jalan. Dalam keadaan
serupa ini Tuan masih sempat berjalan-jalan.”
“Berjalan-jalan menurut
pengertian seorang prajurit” Wurantalah yang menyahut. “Aku kira Nini tahu pula
maksudnya, seperti barangkali prajurit-prajurit Pajang pernah berkata demikian
pula.”
“Apakah artinya?”
“Nganglang, melihat keadaan.
Supaya tak ada bahaya yang dapat dengan diam-diam melanda padepokan ini.”
“Dan supaya aku tidak dapat
melarikan diri, begitu?” potong Sekar Mirah.
“Apakah Nini akan berbuat
begitu seandainya mungkin?”
“Aku pernah berangan-angan
untuk melepaskan diri dari neraka ini. Tetapi ternyata aku akan mengurungkan
niatku setelah aku melihat bahwa di dalam neraka pun aku bertemu dengan
anak-anak muda yang lain daripada Sidanti.”
Wajah Alap-Alap Jalatunda
menjadi semakin merah. Kini mulutnya benar-benar menjadi terbungkam. Bahkan
terasa seakan-akan dentang jantungnya akan memecahkan dadanya.
Tetapi Wuranta menjadi semakin
tenang. Sambil tersenyum ia menjawab, “Tetapi neraka ini adalah milik Sidanti,
Semua isinya adalah miliknya pula.”
“Bohong” tiba-tiba Alap-Alap
Jalatunda memotong.
“Aku sependapat dengan anak
muda yang bergelar Alap-Alap Jalatunda itu” sahut Sekar Mirah. Dan kata-katanya
itu membuat dada Alap-Alap Jalatunda menjadi semakin bergelora.
“O, jadi demikian?” berkala
Wuranta. “Kalau begitu aku salah menilai keadaan di padepokan ini.”
“Kau orang kemarin sore di
padepokan ini” geram Alap-Alap Jalatunda.
“Mudah-mudahan kalian benar”
gumam Wuranta seperti kepada diri sendiri.
“Nah, apakah Tuan juga akan
mencuci pakaian seperti aku?” bertanya Sekar Mirah sambil tersenyum.
“Tidak, “ sahut Wuranta, “kami
sedang nganglang.”
Kemudian kepada Alap-Alap
Jalatunda ia berkata, “Bagaimana Tuan? Apakah kita akan meneruskan perjalanan?”
Alap-Alap Jalatunda mengangguk,
“Marilah.”
“Kenapa Tuan begitu
tergesa-gesa?” bertanya Sekar Mirah.
“Kami tidak sedang
berjalan-jalan di bawah terangnya bulan purnama” jawab Wuranta. “Mudah-mudahan
kesempatan itu suatu ketika datang padaku. Berjalan-jalan sambil berdendang
lagu Asmaradana.”
“Aku akan berdoa untukmu”
sahut Sekar Mirah.
Wuranta tidak sempat menjawab,
ketika Alap-Alap Jalatunda menggamitnya sambil berkata, “Ayolah. Kau masih saja
berbicara.”
“O,” desis Wuranta, “marilah.”
“Kalian benar-benar tidak mau
tinggal lebih lama lagi?”
“Bukan aku yang menentukan”
sahut Wuranta.
“Aku bertanya kepada yang
berhak menentukan.”
“Jawablah Tuan” berkata
Wuranta.
“Ah” Alap-Alap Jalatunda
berdesah. Namun ia berkata, “Lain kali aku akan datang.”
“Aku menunggu kedatangan Tuan”
jawab Sekar Mirah.
Alap-Alap Jalatunda hampir
tidak dapat menahan gelora di dalam dadanya. Karena itu maka dengan
tergesa-gesa ia melangkah pergi meninggalkan tepian itu. Wuranta pun kemudian
terloncat-loncat mengikutinya. Sekali ia berpaling dan dilihatnya. Sekar Mirah
melambaikan tangannya. Betapa beratnya, namun Wuranta terpaksa mengangkat
tangannya pula.
Sementara itu di kepalanya
berkecamuk berbagai pertanyaan tentang gadis itu. Gambarannya tentang Sekar
Mirah sebelum ia melihatnya, adalah jauh berbeda dari kenyataan yang
dihadapinya.
Meskipun sikap itu agak mirip
dengan sikap Swandaru Geni, namun apa yang dilihatnya telah membuatnya
termenung untuk beberapa lama.
Wuranta itu terkejut ketika,
ia mendengar Alap-Alap Jalatunda mengumpat, “Setan kau Wuranta. Kau berbicara
tak ada habis-habisanya.”
Wuranta tertawa, jawabnya, “Jangan
marah, Tuan. Aku memberi kesempatan kepada Tuan, tetapi Tuan hanya berdiam diri
saja.”
“Aku tidak biasa bergurau
dengan wanita.”
“Sekali-sekali Tuan perlu
berbuat demikian, supaya kita tidak menjadi lekas tua.”
Alap-Alap Jalatunda terdiam.
Ia berjalan semakin cepat seperti takut terlambat. Sehingga Wuranta perlu
memperingatkannya, “Kenapa Tuan berjalan semakin lama semakin cepat. Gadis itu
tidak akan mengejar Tuan.”
“O” Alap-Alap Jalatunda
seakan-akan tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Ia memperlambat
jalannya. Kemudian ditunggunya Wuranta berjalan di sampingnya. Katanya, “Gadis
itu agaknya tertarik kepadamu. Tetapi awas, lehermu akan dapat terpenggal
sebelum kau menjadi Demang Jati Anom.”
“Aku tidak berminat, Tuan”
jawab Wuranta.
“Kenapa?”
“Bukan karena gadis itu kurang
cantik. Tetapi aku tidak pantas untuk menempatkan diri dalam sayembara pilih
maupun sayembara tanding di samping Tuan dan Sidanti.”
“Jangan kau sebut lagi iblis
itu!” tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda membentak. Matanya menjadi merah seperti
bara.
Wuranta menjadi
berdebar-debar. Tetapi kemudian ia tersenyum. Ia tidak mau kehilangan akal
menghadapi Alap-Alap yang buas ini. Katanya, “Kenapa Tuan marah? Apakah aku
kurang memberi kesempatan kepada Tuan?”
“Kalau sekali lagi kau
sebut-sebut nama Sidanti dalam hubungannya dengan gadis itu, aku sobek mulutmu.
Kau tadi sudah menyebut namanya di hadapan Sekar Mirah, seakan-akan Sidantilah
yang paling berkuasa di sini.”
“Maaf,” jawab Wuranta, “ternyata
aku keliru.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
berkata-kata lagi. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan cepat-cepat kembali
ke pondoknya. Tetapi ia tertegun ketika Wuranta berkata, “Apakah kita akan
berpacu lagi?”
“O” Alap-Alap Jalatunda
memperlambat langkahnya.
“Tuan,” berkata Wuranta
kemudian, “aku sudah melihat gadis itu, tetapi di manakah ia tinggal?”
“Kau akan mencurinya?”
“Tidak Tuan,” Wuranta tampak
bersungguh-sungguh, “percayalah. Aku hanya ingin tahu. Aku sendiri sama sekali
tidak berpikir lagi tentang gadis itu.”
“Kenapa kau tanyakan
pondoknya?”
“Ah, Aku kira bukan terdorong
oleh suatu keinginan apapun. Adalah suatu kelajiman saja bagiku mengetahui
rumah orang-orang yang sudah aku kenal.”
“Tetapi jangan berbuat gila,
supaya kau tidak mati muda.”
Senyum Wuranta di mulutnya
menjadi semakin lebar. Dengan lucu ia mengangguk dan menjawab, “Tuan, aku lebih
baik memilih menjadi Demang Jati Anom tanpa gadis itu daripada mendapat gadis
itu tetapi harus hidup tanpa kepala.”
“Persetan,” geram Alap-Alap
Jalatunda, “kau memang lahir hanya untuk menjadi seorang badut yang tidak
berarti.”
“O, Tuan salah” jawab Wuranta.
“Orang yang banyak tertawa umurnya akan menjadi lebih panjang.”
Alap-Alap Jalatunda tidak
menjawab, tetapi tanpa sesadarnya ia berjalan lewat rumah tempat tinggal Sekar
Mirah.
Dengan berbagai macam akal,
bahkan dengan akal seorang badut sekalipun akhirnya Wuranta berhasil mengetahui
tempat tinggal Sekar Mirah dan ujung sungai yang berupa urung-urung. Kedua
penemuan itu baginya sangat berarti. Itulah sebabnya, maka setelah ia berhasil,
maka ia tidak lagi banyak bertingkah. Bahkan ia menjadi semakin hati-hati,
meskipun ia tidak ingin merubah kesan Alap-Alap Jalatunda terhadapnya. Seorang
badut yang tidak berarti. Tetapi yang dibicarakannya kemudian hanyalah
soaI-soal yang benar-benar tidak berarti dan tidak ada hubungannya dengan
padepokan Tambak Wedi, Sidanti dan Sekar Mirah.
Siang itu Wuranta dapat
beristirahat sepuas-puasnya. Ia ingin tidur sepanjang siang hari. Tetapi bahkan
kepalanya menjadi pening karena selama ia berbaring, matanya tidak juga mau
dipejamkannya. Berbagai persoalan hilir mudik di kepalanya. Sekar Mirah,
urung-urung sungai dan rumah tempat gadis itu tinggal.
Tetapi tidak kalah
menggelisahkan adalah sikap Alap-Alap Jalatunda terhadap Sekar Mirah. Sinar
matanya yang buas dan liar telah mencemaskannya. Namun yang mengherankannya
adalah sikap Sekar Mirah sendiri. Apakah gadis itu tidak melihat sorot mata
Alap-Alap Jalatunda yang seakan-akan akan membakar gadis itu, meskipun hanya
sekilas. Bagi Wuranta, sikap Sekar Mirah sendiri adalah sikap yang sangat
berbahaya.
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendapat perintah sekali lagi, malam itu ia harus turun
ke Jati Anom. Ia harus melihat perkembangan keadaan. Ia harus melihat, apakah
yang terjadi kemudian di Jati Anom?
Senja itu Wuranta berangkat
dengan dada yang berdebar-debar. Apakah ada seseorang lagi yang akan
mengintainya? Apakah Alap-Alap Jalatunda masih juga mengikutinya? Tetapi
Wuranta tidak lagi menjadi cemas. Ia akan pulang saja ke rumahnya. Kalau Agung
Sedayu atau salah seorang dari ketiganya tidak ada di rumahnya, ia dapat
meninggalkan pesan supaya pagi harinya disampaikan ke rumah Agung Sedayu oleh
salah seorang keluarganya.
Akhirnya malam yang kelampun
turun menyelimuti lereng Merapi. Perjalanan Wuranta menjadi semakin lama
semakin dekat dengan Kademangan Jati Anom. Dua hari ia telah berada di
padepokan Tambak Wedi, tetapi ia sendiri belum berkesempatan untuk melihat
seluruh bagian dari tempat itu.
Meskipun demikian
bagian-bagian terpenting telah dilihatnya. Seandainya keadaan memaksa, maka ia
telah dapat memberi beberapa petunjuk kepada Agung Sedayu dan Swandaru.
Dengan hati yang
berdebar-debar Wuranta melangkah terus. Sekali dua kali ia berpaling, tetapi ia
tidak melihat seorangpun. Ia masih belum tahu benar, apakah perjalanannya itu
diikuti oleh seseorang atau tidak. Tetapi agaknya Sidanti masih belum juga
mempercayainya bulat-bulat.
Ketika ia memasuki halaman
rumahnya, maka ia tidak segera melintasi halaman masuk ke dalam rumahnya.
Sejenak ia berdiri di balik regol halaman di dalam tempat yang terlindung. Ia
mencoba memperhatikan, kalau-kalau seseorang mengikutinya. Tetapi beberapa lama
ia berdiri, ia tidak mendengar sesuatu. Karena itu maka ia pun segera masuk ke
dalam rumahnya lewat pintu butulan di belakang.
Ketika pintu terbuka, ia
mendengar suara Agung Sedayu dan Swandaru berdesis, “Hampir aku tidak sabar
menunggumu.”
“Hem” Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata kedua anak muda itu telah menunggunya.
Ketika kedua kakinya telah
melampaui tlundak pintu, maka segera pintu itu akan ditutupnya. Tetapi Wuranta
terkejut ketika ia mendengar suara lirih di belakangnya, “Jangan ditutup
dahulu.”
Wuranta mencoba memandangi
arah suara itu di dalam gelap. la sudah berusaha untuk melihat dan mendengar
seluruh isi halamannya. Tetapi ia tidak dapat melihat orang itu.
“Aku, Ngger” berkata suara
itu.
“Ki Tanu Metir?” bertanya
Wuranta.
“Ya,” jawab orang yang
ternyata Ki Tanu Metir, “aku menunggu Angger di ujung kademangan ini. Seperti
Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru, aku pun hampir tidak sabar. Alangkah
banyaknya nyamuk di kademangan ini. Ketika aku hampir kehabisan kesabaran,
barulah aku melihatmu berjalan tertatih-tatih di dalam malam yang semakin
gelap.”
“Oh” Wuranta tersenyum. Baru
kemudian ia melihat Ki Tanu Metir berdiri di bawah sebatang pohon kemuning yang
rimbun. Keduanya pun kemudian masuk dan menutup pintu rumah itu rapat-rapat.
“Aneh” desis Wuranta.
“Apa yang aneh?” bertanya
Agung Sedayu.
“Ternyata Ki Tanu Metir
mengikuti aku sejak dari ujung kademangan ini. Ketika aku memasuki regol
halaman, aku telah berlindung sejenak, menunggu apabila seseorang mengikuti
aku. Tetapi aku tidak melihat seorang pun. Namun ternyata orang yang mengikuti
aku berhasil masuk tidak setahuku.”
“O,” sahut Ki Tanu Metir, “itu
mudah sekali dilakukan.”
“Bagaimana?”
“Aku mendahului Angger masuk
ke dalam halaman ini. Sebab aku tahu pasti bahwa Angger akan memasuki halaman
rumah ini.”
“O,” Wuranta tersenyum.
Tampaknya sederhana sekali. Tetapi anak muda itu menjadi semakin mengagumi
orang tua yang bernama Ki Tanu Metir itu.
Sejenak mereka terdiam,
seakan-akan sesuatu telah membungkam mereka. Hanya wajah-wajah merekalah yang
membersitkan berbagai macam perasaan yang bergolak di dalam hati.
Di kejauhan terdengar angkup
nangka seakan-akan sedang mengeluh. Seperti anak-anak yang rindu menunggu
ibunya ngrena di tempat yang sangat jauh.
Dalam keheningan itu terdengar
suara Ki Tanu Metir perlahan, “Kami sudah menyangka, bahwa kau malam ini akan
turun lagi, Ngger.”
Wuranta mengangguk, “Ya, Kiai,
aku mendapat tugas untuk melihat perkembangan tiga orang prajurlt berkuda yang
kemarin aku beritahukan kepada Sidanti.”
Ki Tanu Metir mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Perkembangannya berlangsung terlampau cepat. Hari ini
pasukan Untara telah berada di Jati Anom.”
“He?” Wuranta mengerutkan
alisnya, “sudah datang?” seakan-akan ia tidak percaya.
“Ya, pasukan itu sudah datang
meskipun tidak sekuat pasukan Widura di Sangkal Putung.”
Wuranta tidak tahu kekuatan
Widura di Sangkal Putung, sehingga karena itu ia berkata, “Bagaimanakah
imbangan kekuatan itu menurut perhitungan Kiai.”
“Aku ingin mendengar
keteranganmu. Selain orang-orang Jipang, apakah Sidanti mempunyai pasukan
tersendiri di padepokannya?”
“Ya. Menurut penglihatanku dan
menurut keterangan yang tidak jelas dari Alap-Alap Jalatunda, di padepokan itu
ada dua jenis pasukan. Pasukan Sidanti dan pasukan Alap-Alap Jalatunda.”
“Pemimpin dari orang-orang
Jipang adalah Sanakeling.”
“He?” Wuranta menarik
keningnya.”Jadi bukan Alap-Alap Jalatunda?”
“Bukan. Apakah kau belum
melihat Sanakeling?”
“Aku melihatnya, tetapi aku
tidak banyak berbicara dengan orang yang mengerikan itu.”
Ki Tanu Metir tersenyum. Lalu
sambungnya, “Apakah kau dapat memberikan gambaran tentang imbangan kekuatan
mereka, antara orang-orang Sidanti dan orang-orang Sanakeling?”
“Apakah mereka tidak sejalan?”
“Bukan begitu. Maksudku,
dengan demikian akan dapat digambarkan kekuatan seluruhnya dari padepokan
Sidanti itu. Kami ingin memperbandingkan dengan kekuatan Tohpati di Sangkal
Putung.”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
orang-orang yang agaknya bukan orang-orang Jipang itu pun cukup banyak. Setiap
laki-laki di padepokan Tambak Wedi menyandang senjata. Setiap penghuni dan
setiap cantrik.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.”Angger Untara harus segera mendengar. Agaknya
kekuatan di padepokan itu agak lebih besar dari kekuatannya. Bahkan mungkin
lebih besar dari kekuatan Tohpati. Sedang pasukan Pajang di Jati Anom tidak
sekuat pasukan Angger Widura, apalagi tanpa anak-anak muda Sangkal Putung.”
Wuranta ikut
mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi ia tidak menyahut. Yang terdengar adalah
suara Ki Tanu Metir itu masih saja bergumam seperti kepada diri sendiri, “Aku
kira kemungkinan yang dapat dilakukan oleh Angger Untara adalah menarik
sebagian pasukan Angger Widura. Baginya tidak ada kesempatan untuk menyusun
kekuatan anak-anak muda Jati Anom seperti Sangkal Putung dalam menghadapi
orang-orang Jipang. Tetapi apabila ada gerakan Sidanti ke Sangkal Putung,
Angger Wuranta harus segera menyampaikan kabar itu kemari.”
Wuranta masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba terkejut ketika Swandaru
memotong, “Kiai, Kiai hanya mengatakan tentang pasukan Jipang dan pasukan
Pajang. Tetapi Kiai tidak minta keterangan tentang Sekar Mirah. Bukankah
kedatangan kami sebenarnya berkepentingan dengan Sekar Mirah?”
“Oh” Ki Tanu Metir berpaling
memandangi muridnya yang gemuk itu. Katanya, “Ya, ya. Kau benar. Kita
berkepentingan dengan Sekar Mirah. Tetapi kita berkepentingan pula dengan
pasukan Pajang itu.”
“Itu adalah persoalan kedua
bagi kita Kiai” Agung Sedayu menyahut. “Sekarang bagaimana kita menyelamatkan
Sekar Mirah?”
“Hem,” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam, “baiklah. Aku akan berbicara tentang Sekar Mirah. Tetapi
ingat, kita tidak dapat berbicara tentang Sekar Mirah tanpa berbicara tentang
Sidanti. Dan kita tidak dapat berbicara tentang Sidanti tanpa berbicara tentang
Untara.”
“Tak ada gunanya kita
mendahului pasukan kakang Untara kalau kita masih harus menunggu mereka.
Menunggu prajurit-prajurit Pajang itu siap menghadapi Sidanti.”
“Kedua persoalan itu tidak
dapat dipisahkan.”
“Keduanya mempunyai sifat yang
berbeda,” sahut Swandaru, “Sekar Mirah tidak dapat dibiarkan seperti daerah
Tambak Wedi itu sendiri. Seribu tahun lagi Sidanti berada di Tambak Wedi, maka
Tambak Wedi tidak akan mengalami noda apapun seperti Tambak Wedi yang sudah
berbentuk seperti sekarang ini.Tetapi Sekar Mirah tidak. Setiap satu hari
bertambah panjang, maka noda itu pun menjadi semakin dekat padanya. Dan apabila
noda itu sudah melekat padanya, maka seumur hidupnya ia akan tersiksa.”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Ditatapnya wajah muridnya itu. Ia tahu benar, dorongan apakah yang
telah membuat Swandaru menjadi terlampau keras. Tetapi ia tidak ingin terlampau
memanjakan murid-muridnya, sehingga karena itu ia menjawab. “Jadi bagaimana
Anakmas Swandaru. Apakah kau telah cukup menyusun rencana yang harus aku
kerjakan? Kalau demikian, marilah. Aku akan melakukan segala ketentuan yang
telah kau buat.”
Jawaban itu telah membentur
dada Swandaru seperti tujuh kali sekeras bunyi cambuk Kiai Gringsing itu.
Karena itu maka wajahnya pun menjadi tertunduk lemah. Perlahan-lahan terdengar
ia berdesah, “Maaf Kiai. Aku terlampau bingung.”
Ki Tanu Metir menjadi beriba
hati setelah ia melihat muridnya menjadi menyesal. Tetapi wajahnya
hampir-hampir tidak menunjukkan perasaannya itu.
Sedang Wuranta yang melihat
mereka menjadi heran. Begitu besar pengaruh Ki Tanu Metir atas Swandaru. Maka
besarlah dugaannya bahwa Ki Tanu Metir adalah guru kedua anak muda itu.
Setelah mereka sejenak berdiam
diri maka berkatalah Ki Tanu Metir, “Anakmas Wuranta. Sekarang aku ingin tahu,
bagaimanakah dengan seorang gadis yang bernama Sekar Mirah? Apakah kau telah
melihatnya?”
“Ya Kiai, aku telah bertemu
dengan Sekar Mirah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tersentak mendengar jawaban itu sehingga tanpa mereka sadari mereka bergeser
maju. Tetapi mereka tidak segera berani bertanya.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya Kemudian dilanjutkannnya pertanyaannya.
“Bagaimanakah dengan Sekar Mirah. Apakah ia selamat?”
“Menurut pengamatanku, ia
baik-baik saja, Kiai.”
“Tidak ada sesuatu apapun
dengan dia?”
Kening Wuranta menjadi
berkerut-merut. Ia tahu maksud pertanyaan itu. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu.
Dan pertanyaan itu bergema kembali di dalam hatinya, “Tidak ada sesuatu apapun
dengan dia?”
Karena Wuranta tidak segera
menjawab maka Agung Sedayu yang didorong oleh berbagai macam perasaan di dalam
dadanya mendesaknya, “Bagaimana kakang Wuranta? Apakah tidak ada sesuatu yang
terjadi?”
Dalam keragu-raguan Wuranta
menjawab, “Tidak. Aku kira tidak.” Tetapi Wuranta sendiri tidak dapat meyakini
kebenaran jawabannya. Namun menilik kata-kata Alap-Alap Jalatunda yang menyebut
Sidanti sebagai seorang pengecut terhadap wanita, maka Sekar Mirah masih belum
disentuhnya.
Agung Sadayu itu pun menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi gelora di dalam dadanya seakan-akan hendak meledakkan
dadanya. la ingin segera berangkat ke lereng Merapi, ke padepokan Tambak Wedi.
Ia ingin segera melihat apa yang sebenarnya terjadi atas Sekar Mirah.
Dalam pada itu terdengar Ki
Tanu Metir bertanya pula, “Di manakah kau jumpai gadis itu?”
“Di sungai, Kiai.”
“He?” ketiga orang yang
mendengar jawaban itu terkejut. “Di sungai?” hampir berbareng mereka mengulang.
“Ya.”
Ki Tanu Metir beringsut maju.
Sambil mengerutkan dahinya ia berkata, “Angger Wuranta. Keteranganmu mengenai
Sekar Mirah sangat menarik perhatian. Apakah benar kau jumpai Sekar Mirah itu
sedang berada di sungai?”
“Ya Kiai. Gadis itu sedang
mencuci.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian Katanya, “Anakmas, cobalah ceriterakan
apakah yang Angger ketahui tentang Sekar Mirah dan tentang padepokan itu?”
Wuranta pun kemudian dengan
singkat menceriterakan apa yang telah dilihatnya, dan apakah yang telah
didengarnya. Dikatakannya tentang Sekar Mirah yang sedang mencuci pakaiannya,
tentang urung-urung dan tentang dinding yang mengelilingi padepokan itu.
Tentang sikap Alap-Alap Jalatunda dan sikap orang-orang yang dijumpainya.
Tetapi ada satu yang tidak diceriterakannya, adalah sikap Sekar Mirah kepadanya
dan kepada Alap-Alap Jalatunda. Wuranta masih ingin mengetahui latar belakang
daripada sikap itu. Sebab ia yakin bahwa Sekar Mirah tidak akan berbuat
demikian tanpa sesuatu maksud tertentu.
Belum lagi Wuranta selesai
berceritera, telah terdengar gemeretak gigi Swandaru Geni. Dengan gemetar ia
berdesis, “Kalau aku tidak dapat mengambil kembali Sekar Mirah, maka lebih baik
aku tidak kembali ke Sangkal Putung. Adalah aib yang tidak dapat dihapuskan
dari keningku, dari kening Kademangan Sangkal Putung, bahwa Padepokan Tambak
Wedi berhasil mencuri Sekar Mirah dari lingkungannya.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam mendengar kata-kata Swandaru. Tetapi kali ini dibiarkan anak itu
melontarkan kemarahan yang bergolak di dalam dadanya.
Namun Agung Sedayu berkata
pula, “Kalau terjadi sesuatu dengan Sekar Mirah, maka padepokan itu harus
dijadikan karang abang.”
“Bagus,” tiba-tiba Swandaru
menyahut, “ternyata itu lebih baik. Setiap anak muda Sangkal Putung pun akan
sependapat. Pasukan Paman Widura, pasukan Kakang Untara dan anak-anak muda Jati
Anom akan menghancur-lumatkan setiap hidup di atas padepokan Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir masih saja
berdiam diri. Dibiarkannya anak-anak muda itu melepaskan perasaannya.
Dibiarkannya mereka mengurangi nyeri-nyeri yang seakan-akan meremas-remas
jantung.
Baru ketika kedua anak-anak
muda itu menjadi agak tenang, maka Ki Tanu Metir mulai berbicara lagi,
“Bagaimanakah dengan dinding padepokan itu?”
“Dinding itu cukup tinggi
Kiai. Bahkan hampir merupakan sebuah benteng. Di dalam maupun di luar dinding
itu cukup banyak orang-orang Sidanti maupun orang-orang Jipang yang berkeliaran
siang dan malam.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tampaklah kerut-merut di dahinya menjadi
semakin dalam. Orang tua itu pun kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil
berkata, “Angger Wuranta, bukankah malam ini Angger kembali ke padepokan Tambak
Wedi? Meskipun sebenarnya ada juga dua orang yang mencoba mengawasi Angger
malam ini, tetapi mereka hampir tidak berarti. Jarak itu terlampau jauh, dan
mereka segera kembali setelah Angger mendekati rumah ini. Dua orang itu sama
sekali tidak usah diperhitungkan. Laporkan kepada Sidanti, bahwa Angger Untara
sudah berada di Jati Anom. Pasukannya segelar sepapan lengkap dengan pasukan
berkuda.”
Ketiga anak-anak muda yang
mendengar penjelasan Ki Tanu Metir itu menjadi heran. Agung Sedayu mengangkat
wajahnya seakan-akan ia hendak berbicara, tetapi mulutnya tidak mengucapkan
sesuatu.
“Angger Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian, “tugas Angger pun akan segera sampai kepada puncak yang
berbahaya. Tetapi agaknya Angger mampu bermain sebaik-baiknya sehingga aku sama
sekali tidak mengkhawatirkan Angger.”
“Mudah-mudahan, Kiai” Wuranta
bergumam seperti kepada diri sendiri. “Tetapi bagaimana dengan keterangan
tentang pasukan segelar sepapan. Apakah hal itu tidak seharusnya malah
dirahasiakan sama sekali?”
“Tidak ada gunanya, Angger.
Orang-orang Sidanti pasti akan segera mengetahui pula. Kalau mereka mengetahui
hal itu sebelum Angger melaporkannya, maka kepercayaan mereka akan turun.
Sedang kehadiran Angger di lereng Merapi, di padepokan Tambak Wedi, sangat
diperlukan.”
“Baiklah, Kiai” sahut Wuranta.
Dan tiba-tiba Agung Sedayu
memotong pembicaraan itu, “Lalu bagaimana dengan Sekar Mirah, Kiai?”
“Kita akan membicarakannya.
Segera kita harus mengambil sikap. Tetapi sikap itu harus tepat. Kita tidak
dapat berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa, sebab akibat dari perbuatan itu
justru sebaliknya dari yang kita harapkan.”
Agung Sedayu terdiam. Meskipun
gelora di dalam dadanya belum juga surut.
Sesaat kemudian, setelah minum
dan makan beberapa potong makanan yang disediakan oleh keluarga Wuranta, maka
Wuranta itu pun meninggalkan Kademangan Jati Anom kembali ke padepokan Tambak
Wedi, sementara itu Ki Tanu Metir dan kedua muridnya pergi menemui Untara.
Untara dan sebagian dari
pasukannya berada di rumahnya sendiri dan sebagian lagi berada di kademangan.
Ki Demang Jati Anom yang selama ini menyingkir untuk menghindari orang-orang
dari padepokan Tambak Wedi, kini telah berada di rumahnya. Sebenarnya ia bukan
seorang penakut, tetapi ia sama sekali belum siap untuk berbuat sesuatu.
Apalagi diketahuinya, bahwa kekuatan Sidanti dan Sanakeling benar-benar berada
di luar kemampuannya untuk menahannya.
Malam itu Untara masih duduk
dengan beberapa orang pemimpin pasukannya bersama Ki Demang Jati Anom. Mereka
sedang berbincang mengenai beberapa persoalan. Ketika mereka melihat Ki Tanu
Metir bersama kedua muridnya, maka mereka bertiga segera dipersilahkannya
masuk.
Belum lagi Untara bertanya
sesuatu, maka Agung Sedayulah yang pertama-tama berkata, “Kami belum dapat
berbuat sesuatu, Kakang.”
“Duduklah” Untara
mempersilahkan. “Marilah, Kiai.”
Ki Tanu Metir menganggukkan
kepalanya. Ditatapnya wajah Untara sejenak tetapi Ki Tanu Metir itu tidak
segera berkata sesuatu.
Mereka pun kemudian duduk di
antara para pemimpin pasukan Pajang dan Ki Demang Jati Anom. Mereka pun
kemudian ikut pula mendengarkan pembicaraan mereka. Tetapi Untara sendiri tidak
segera bertanya tentang kepentingan Agung Sedayu dan Swandaru. Untara tidak
segera bertanya bagaimanakah nasib gadis itu, dan bagaimanakah cara untuk
membebaskannya. Untara itu hanya berbicara tentang letak, kekuatan dan
persoalan-persoalan keprajuritan yang lain sehingga Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi gelisah. Mereka merasa bahwa kepentingan mereka sama sekali tidak
mendapat perhatian dari Untara.
Ki Tanu Metir agaknya dapat
menangkap perasaan kedua anak-anak muda itu. Orang tua itu melihat betapa wajah
keduanya dibasahi oleh keringat yang dingin. Bagaimana mereka duduk dengan
gelisah. Tetapi mereka tidak segera dapat mengemukakan perasaan mereka.
Namun Ki Tanu Metir pun dapat
mengerti, bahwa perhitungan Untara harus bertaut pada setiap persoalan. Ia
memandang keseluruhan persoalan yang dihadapinya, bukan sepotong-potong seperti
yang selalu digelisahkan oleh Agung Sedayu dan Swandaru Geni.
Tetapi tiba-tiba mereka
terkejut ketika mereka mendengar Ki Demang Jati Anom berkata, “Tetapi sayang,
Anakmas Untara, sekian banyak anak-anak muda di Jati Anom yang aku percaya,
justru yang paling banyak memberikan harapan kepadaku sebelumnya, bahwa ia akan
mampu membimbing kawan-kawannya, setidak-tidaknya membantu Angger, ternyata
kini telah berkhianat.”
“Siapa?” bertanya Untara. “Aku
mengenal setiap pemuda di Jati Anom.”
“Tentu. Angger tentu
mengenalnya. Namanya dikenal oleh setiap orang. Bahkan setiap anak-anak muda di
Jati Anom menaruh harap kepadanya. Tetapi suatu hari beberapa orang melihatnya
berjalan bersama-sama dengan orang-orang Jipang dan orang-orang padepokan
Tambak Wedi. Bukan sebagai seorang tawanan, tetapi sebagai seorang yang bebas.
Bahkan orang itu menduga bahwa anak itu telah membantu orang-orang dari lereng
Merapi itu.”
“Ya, tetapi siapakah namanya?”
“Wuranta.”
“He,” betapa terkejutnya
Untara mendengar nama itu. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Wuranta kini
berbalik berada di pihak orang-orang Ki Tambak Wedi.
Tetapi tidak kalah terkejut
pula Agung Sedayu dan Swandaru. Mereka tahu benar bahwa Wuranta sama sekali
tidak berkhianat. Tanpa mereka sadari, bersama-sama mereka berpaling memandangi
wajah Ki Tanu Metir yang berkerut merut. Kalau ada salah paham di antara
orang-orang Jati Anom sendiri, itu adalah tanggung jawab Ki Tanu Metir. Bahkan
hal ini telah pernah dikemukakan oleh Wuranta sendiri. Dan kini ternyata hal
itu benar-benar terjadi. Demang Jati Anom yang pasti mendengar dari beberapa
orang yang melihat peristiwa beberapa hari yang lalu, ketika Wuranta
berpura-pura dikejar-kejar oleh Agung Sedayu lalu menemui Sidanti dan
kawan-kawannya.
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi gelisah ketika Ki Tanu Metir tidak segera mengatakan keadaan Wuranta
yang sebenarnya. Malahan orang tua itu berkata, “Adalah wajar sekali Ki Demang.
Telur sepetarangan, ada yang menetas hitam dan ada yang menetas putih.”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak berkata sepatah katapun
meskipun di dalam dada mereka berdesakan pertanyaan tentang kata-kata gurunya
itu.
Dalam pada itu Ki Damangpun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan menyesal ia berkata pula, “Wuranta
adalah anak yang paling memberi kebanggaan kepadaku beberapa saat yang lampau.
Aku tidak tahu, apa yang telah menyeretnya masuk ke dalam perangkap hantu-hantu
dari lereng Merapi.”
Orang-orang yang berada di
dalam ruangan itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sejenak mereka berdiam
diri, sehingga ruangan itu pun menjadi sepi.
Di luar beberapa orang
prajurit berjalan hilir mudik. Ada yang sedang bertugas, tetapi ada juga yang
duduk sambil minum air hangat. Ada pula yang berjalan-jalan saja tanpa tujuan
di sekitar halaman. Mencoba mengenali beberapa macam bentuk pepohonan dan
rumah-rumah penduduk.
Ketika malam telah jauh
melampaui pertengahannya, maka pertemuan itu pun berakhir. Mereka masing-masing
segera pergi beristirahat di tempat yang baru hari ini mereka tempati. Ki
Demang pun kemudian kembali ke kademangan dengan hati yang tenang. Sebab di
rumahnya kini berada sebagian dari prajurit-prajurit Untara.
Ruangan pertemuan itu kini
menjadi semakin sepi. Yang berada di dalamnya hanyalah Untara, Agung Sedayu,
Swandaru dan Ki Tanu Metir.
Agung Sedayu yang sejak tadi
selalu menahan pertanyaannya di dalam hati, kini anak muda itu tidak dapat lagi
menyimpannya, sehingga terloncatlah pertanyaannya, “Kiai, bagaimana dengan
Wuranta?”
Dengan serta-merta Untara
menyahut, “Ya, aku menyesal sekali mendengar keterangan Ki Demang, bahwa
Wuranta kini telah berkhianat.”
Ketika Ki Tanu Metir tidak
segera menyahut, maka kegelisahan Agung Sedayu dan Swandarupun menjadi semakin
memuncak. Hampir-hampir saja mereka tidak dapat menahan dirinya lagi, dan
langsung mamberi penjelasan tentang anak muda itu.
Tetapi sebelum mereka
mengatakannya, maka berkatalah Kiai Gringsing, “Angger Untara, agaknya Angger
tidak mengetahui keadaan Wuranta sebaik-baiknya. Tetapi itu bukan salah Angger.
Bukankah Ki Demang yang mengatakan hal itu kepadamu?”
Untara mengerutkan keningnya.
Kemudian ia bertanya, “Bagaimana maksud Kiai sebenarnya?”
“Aku ingin menjelaskan tentang
Wuranta.”
“Apakah Kiai mengenalnya?”
“Aku mengenalnya” jawab Kiai
Gringsing. “Tetapi Ngger, apakah Angger tidak pernah menerima laporan dari tiga
orang prajurit yang mendahului Angger datang kemari?”
“Ya, ya. Mereka telah mendahului
aku. Perintahku kepada mereka mengatakan bahwa mereka harus melihat keadaan
Jati Anom. Kalau tempat itu berbahaya mereka harus memberi keterangan kepadaku.
Kalau tidak, maka mereka pun harus menyatakan, bahwa mereka telah kembali dan
tidak terdapat hal-hal yang menghalangi keberangkatan kami. Dan mereka kemudian
telah kembali. Malahan mereka bertemu dengan Agung Sedayu, Swandaru, dan Kiai
di sini.”
“Tidak di rumah ini.”
“O,” Untara mengerutkan
keningnya, “laporan itu tidak terperinci.”
“Apakah mereka tidak
mengatakan tentang seorang anak muda yang lain, yang malam itu pergi ke lereng
Merapi?”
“Ya, ya.” Wajah Untara menjadi
agak tegang. “Aku mendengarnya. Aku memang sudah merencanakan untuk menanyakan
hal itu kepada Kiai langsung. Keterangan orang-orangku tentang anak muda itu
tidak begitu jelas. Aku ingin tahu, apakah menurut pertimbangan Kiai anak itu
tidak berbahaya bagi kita di sini?”
“Anak itu banyak membantu
kami. Akulah yang menempatkannya sehingga anak itu mendapat kepercayaan dari
Sidanti.”
“Dari Sidanti? Bagaimanakah
sebenarnya persoalan yang Kiai katakan itu?”
“Ah. Tidak aneh. Angger juga
mempunyai suatu kelompok prajurit sandi.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Anak itu agaknya berhasil
masuk ke dalam lingkungan mereka untuk kepentingan kita.”
Untara kini
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil meraba-raba janggutnya yang tumbuh tidak
teratur ia bertanya, “Apakah Kiai meyakininya?”
“Aku melihat sejak ia mulai“
sahut Kiai Gringsing. Lalu diceriterakannya serba sedikit tentang keadaan
Wuranta.
Sehingga justru dari anak muda
itu ia mendapat banyak keterangan mengenai padepokan Tambak Wadi dan mengenai
Sekar Mirah.
“O,” Untara menarik nafas
dalam-dalam, “begitulah ceritanya. Jadi anak muda itu adalah Wuranta.”
“Ya, Wuranta. Aku kira ketiga
orang-orangmu mendengar juga nama itu.”
“Aku belum sempat mendengar
laporannya dengan lengkap. Mereka datang ketika pasukan sudah siap untuk
berangkat,” Untara berhenti sejenak, lalu katanya, “tetapi kenapa Kiai tidak
mengatakannya kepada Ki Demang Jati Anom supaya mereka tidak mencurigai anak
muda itu?”
“Ki Tambak Wedi mempunyai
seribu pasang telinga. Telinga-telinga itu berada di pepohonan, di
dinding-dinding halaman, di regol-regol dan tersebar di mana saja. Sedang kita
di sini masing-masing mempunyai seribu mulut yang akan mengatakan setiap
rahasia dari mulut yang satu ke mulut yang lain. Aku belum tahu benar tentang
diri Ki Demang Jati Anom.”
Untara mengerutkan keningnya.
Sejenak wajahnya menjadi berkerut-merut, namun sejenak kemudian ia pun
tersenyum. Katanya, “Kiai cukup hati-hati. Seharusnya aku sudah mengerti akan
hal itu. Terima kasih Kiai. Mungkin aku terpengaruh oleh pengertian yang lebih
banyak tentang Ki Demang itu. Sudah lama aku mengenalnya. Dan aku percaya
kepadanya.”
“Ya, mungkin demikian bagi
Angger Untara, tetapi aku tidak. Aku baru saja melihat dan mengenalnya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Baik Kiai. Sikap Kiai akan membantu sekali. Mudah-mudahan Wuranta
dapat melakukan tugasnya dengan baik. Dan mudah-mudahan sesudah ia
menyelesaikannya, namanya tidak akan tetap dibenci oleh orang-orang Jati Anom.
Tetapi justru sebaliknya.”
“Itu adalah tanggung jawab
kita bersama, Ngger. Kita harus menyelamatkannya dan menyelamatkan namanya.”
“Ya, ya Kiai. Dan kita tidak
akan mengingkarinya.”
“Anak muda itu bukan saja
dapat memberikan banyak keterangan mengenai padepokan Tambak Wedi karena ia
berhasil masuk ke dalamnya, tetapi juga tentang Sekar Mirah.”
“Oh,” Untara mengerutkan
keningnya, “ya, tentang Sekar Mirah. Bagaimana dengan gadis itu?”
“Seorang pejabat saja tidak
akan dapat mengetahui tempat dan kebiasaan gadis itu apabila ia berada di luar
padepokan. Tetapi Wuranta berhasil menemukannya, bahkan anak muda itu telah
berhasil bercakap-cakap dengan Sekar Mirah.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah Kiai telah menemukan hubungan tindakan
yang sebaik baiknya untuk segala kepentingan?”
“Itu adalah keputusan yang
harus Angger ambil.”
“Tetapi aku memerlukan
pertimbangan dan pendapat Kiai”
Ki Tanu Metir
mengangguk-angguk pula. Kemudian diceriterakannya apa yang didengar dan dilihat
oleh Wuranta. Hubungan antara Sidanti dan Sanakeling. Dinding-dinding batu yang
tinggi. Ujung-ujung senjata di balik batu-batu besar di lereng Merapi, dan
kesulitan-kesulitan yang lain yang harus mendapat banyak perhatian. Akhirnya orang
tua itu berkata, “Kekuatan mereka tidak kurang dari kekuatan Tohpati selagi
masih utuh.”
Untara mengerutkan keningnya.
Wajahnya yang tegang terhunjam pada nyala api dlupak yang terletak di
tengah-tengah lingkaran duduk mereka. Kemudian perlahan-lahan ia berkata,
“Begitukah keadaan yang sebenarnya?”
“Menurut Wuranta.”
“Kiai percaya kepada laporan
itu?”
“Aku percaya.”
“Kalau demikian, laporan itu
akan menjadi dasar perhitunganku. Aku membawa pasukan tidak sekuat paman Widura
di Sangkal Putung. Aku sangka kekuatan padepokan Tambak Wedi tidak sebesar
pasukan Jipang yang menyerah.”
“Kau harus berusaha memperkuat
pasukanmu, Ngger. Sebelum orang-orang Tambak Wedi mengetahui. Kalau mereka
mengambil sikap, mendahului menyerang Jati Anom sebelum Angger bersiap, maka
keadaan Angger akan menjadi sulit.”
“Ya, Kiai. Yang mula-mula akan
membantu aku adalah anak-anak muda Jati Anom. Mereka adalah kawan-kawan bermain
di masa kanak-kanak. Tetapi kekuatan itu tidak seberapa.”
“Orang-orang yang tinggal di
padepokan Tambak Wedi serupa benar dengan orang-orang Sangkal Putung. Setiap
lelaki adalah seorang prajurit.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia harus mempertimbangkan keadaan itu sebaik-baiknya. Kalau Tambak
Wedi mendahului memukul Jati Anom, maka ia pasti benar-benar berada dalam
kesulitan. Mungkin pasukannya akan mampu mengundurkan diri dengan korban yang
sekecil-kecilnya, tetapi bagaimana dengan kademangan Jati Anom ini sendiri?
Mungkin orang-orang Tambak Wedi akan menetap di kademangan ini atau
menghancurkan isi dan bentuknya. Yang kedua itulah yang paling mungkin
dilakukan. Sebab bagi orang-orang Tambak Wedi dan sisa-sisa pengikut Tohpati
itu lebih merasa aman bertahan di padepokan Tambak Wedi.
“Aku harus mengambil sikap
segera,” desis Untara, “satu-satunya jalan yang segera dapat aku lakukan adalah
menarik sebagian pasukan Pajang di Sangkal Putung. Tetapi itu pasti mengandung
bahaya, seandainya orang-orang Sanakeling dan Sidanti langsung menyerang
Sangkal Putung. Mungkin aku dapat menempatkan beberapa orang pengawas, tetapi
kemungkinan yang paling pahit harus menjadi pertimbanganku.”
Ki Tanu Metir tidak menjawab.
Pikirannyapun berkata demikian dan ia pun menjadi cemas seperti Untara, apabila
Tambak Wedi langsung menusuk ke Sangkal Patung.
Sejenak mereka terdiam. Untara
sibuk berpikir tentang masalah yang sedang dihadapinya. Masalah yang segera
harus mendapat pemecahan. Dan ia berterima kasih kepada Kiai Gringsing dan
kepada Wuranta yang telah memungkinkan ia melihat perimbangan kekuatan antara
pasukannya dan pasukan lawannya.
Namun dalam pada itu Agung
Sedayu dan Swandaru masih saja dirisaukan oleh sikap Untara. Meskipun guru
mereka telah menyinggung-nyinggung tentang Sekar Mirah, tetapi Untara
seakan-akan menanggapinya dengan acuh tidak acuh. Sehingga karena dadanya yang
pepat, maka diberanikannya dirinya bertanya, “Kakang, lalu bagaimana dengan
Sekar Mirah?”
Untara mengangkat wajahnya.
Perlahan-lahan ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada Kiai
Gringsing, “Bagaimanakah dengan gadis itu Kiai? Apakah yang telah Kiai lakukan
dengan mendahului keberangkatan kami?”
“Yang baru kami lakukan adalah
menemukan Angger Wuranta” sahut Kiai Gringsing.
“Kalau kita dapat
menyelesaikan persoalan Ki Tambak Wedi, merebut kedudukan mereka, bukankah
persoalan Sekar Mirah itu akan selesai dengan sendirinya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tersentak di tempatnya. Bahkan setapak mereka bergeser maju. Wajah-wajah mereka
menjadi tegang dan bahkan terdengar Swandaru berdesis dalam nada yang tinggi,
“Tidak. Tidak semudah itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ditatapnya wajah Swandaru yang gemuk bulat itu, tetapi Swandaru pun menatap
wajah Untara dengan tajamnya.
“Setiap hari aku berkelahi
dengan gadis itu, tetapi ia adalah adikku. Aku adalah saudaranya laki-laki.
Karena itu keselamatannya adalah menjadi tanggung jawabku.”
Wajah Untara pun kemudian
menjadi tegang. “Bagaimanakah maksudmu?” ia bertanya.
“Sekar Mirah harus mendapat
perhatian yang khusus. Ia harus mendapat penyelesaian lebih dahulu justru
sebelum pasukan Pajang menyerang padepokan Tambak Wedi. Sebab apabila demikian,
maka Sekar Mirah akan menjadi banten. Ia akan menjadi tempat untuk melepaskan
kemarahan orang-orang Tambak Wedi. Seperti seekor kambing di antara kawanan
serigala yang lapar dan buas.”
Dahi Untara pun kemudian
menjadi berkerut-merut, “Lalu apa yang harus aku kerjakan?”
Swandaru terdiam, namun sorot
matanya masih memancarkan suatu tuntutan perasaannya yang tidak terucapkan.
Yang menjawab pertanyaan Untara itu adalah Agung Sedayu, “Kakang, setiap
tindakan atas padepokan itu harus dipertimbangkan pula keselamatan Sekar Mirah.
Kakang tidak akan dapat bertindak hanya berdasarkan kepentingan pasukan saja.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya, jawabnya, “Ya, aku memang memperhatikan keduanya. Aku
mempertimbangkan untung rugi setiap tindakan. Itulah sebabnya aku tidak dapat
dengan tergesa-gesa mengambil sikap apapun tentang Sekar Mirah. Sejak aku masih
berada di Sangkal Putung, bukankah pendirian itu sudah kau mengerti? Tanggung
jawabku adalah tanggung jawab keperajuritan. Aku bertanggung jawab terbadap
Panglima Wira Tamtama. Tidak kepada orang lain. Karena itu maka setiap
tindakanku pun berdasarkan atas pertanggungan jawab itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru sama
sekali tidak puas mendengar jawaban itu. Hampir saja mereka berbareng
menyatakan perasaannya. Tetapi Kiai Gringsing, orang tua yang telah kenyang
makan pahit manis kehidupan, segera memotongnya, “Nah, apalagi yang masih akan
dipersoalkan? Semuanya sudah jelas. Semuanya berpijak pada pendirian yang
serupa. Mungkin ada perbedaan landasan untuk berbuat, tetapi unsur-unsur yang
harus dipertimbangkan tidak berbeda. Adalah wajar bahwa sudut pandangan Angger
Swandaru dan Agung Sedayu berbeda dengan Angger Untara. Tetapi kalian
masing-masing tidak akan dapat berbuat sendiri-sendiri. Apalagi dalam keadaan sekarang,
di mana Angger Untara masih harus memikirkan jumlah dan kekuatannya. Bukankah
begitu Angger?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya, tetapi kalimat Ki Tanu
Metir yang terakhir merupakan tekanan yang tidak dapat dihindarinya. Ia
dihadapkan pada kenyataan, bahwa pasukan Pajang tidak akan dapat berdiri
sendiri tanpa orang-orang itu. Meskipun Untara tidak lagi secara langsung
memerlukan anak-anak muda Sangkal Putung, tetapi hal itu tidak akan dapat
dihindarinya. Setiap ia menginginkan sebagian dari pasukan Widura, maka setiap
kali ia harus mempertimbangkan anak-anak muda kademangan itu. Dan Swandaru
adalah pemimpin langsung dari anak-anak muda Sangkal Putung.
Apalagi kalau diingatnya,
bahwa Ki Tanu Metirlah yang mengatakan pertimbangan itu. Tak ada orang lain
yang dapat mengimbangi kekuatan dan kemampuan Ki Tambak Wedi selain Ki Tanu
Metir. Pertimbangan-pertimbangan itulah yang membuat Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil bergumam dalam nada yang datar, “Ya, Kiai
benar. Aku tidak dapat berbuat lain lepas dari pertimbangan itu. Aku tahu benar
maksud Kiai. Dan aku tidak dapat melangkahinya.”
“Jangan begitu, Ngger” berkata
Kiai Gringsing. “Aku sama sekali tidak meletakkan pepalang di hadapan Angger
sebagai pertanda, kapan dan bagaimana Angger harus berbuat. Bukankah kenyataan
yang Angger hadapipun memaksa Angger untuk diam di kademangan ini untuk
sementara dan merahasiakan kekuatan Angger yang sebenarnya? Bukankah Angger
Untara tidak akan dapat segera memukul padepokan Tambak Wedi karena jumlah
pasukan Angger kurang mencukupi?”
Untara menarik nafas
dalam-dalam, “Ya, Kiai benar.” Namun terasa sesuatu seakan-akan menyentuh
jantungnya.
“Angger Untara,” berkata Ki
Tanu Metir, “ketahuilah, bahwa Angger Wuranta malam ini datang ke kademangan
ini.”
Untara mengangkat wajahnya
sambil bertanya, “Dimana ia sekarang?”
“Ia telah kembali.”
“Aku ingin bertemu.”
“Jangan sekarang, Ngger. Masih
ada satu dua orang yang bertugas mengawasinya. Karena itu ia harus dijaga
benar-benar agar tidak dicurigai oleh orang-orang lereng Merapi itu. Malam ini
Angger Wuranta membawa berita bahwa siang tadi Angger Untara telah datang di
Jati Anom.”
“Kenapa berita itu justru
dibawa oleh Wuranta?”
“Adalah lebih baik demikian,
sebab mereka pasti akan segera tahu pula. Bahkan apabila Angger Wuranta belum
memberitahukan kepada mereka, maka kepercayaan mereka kepada Angger Wuranta
akan surut. Setidak-tidaknya mereka menganggap bahwa Angger Wuranta kurang
cakap melakukan tugasnya. Tetapi yang perlu Angger ketahui adalah, bahwa Angger
Wuranta akan melaporkan kepada Sidanti, bahwa Angger datang segelar sepapan
lengkap dengan prajurit-prajurit berkuda.”
“Kenapa demikian?”
“Sidanti akan ragu-ragu untuk
mendahului menyerang Angger. Karena itu Angger pun harus pasang gelar sandi.
Setiap hari Angger harus membuat kesan seakan-akan Kademangan penuh dengan
prajurit. Setiap hari semua prajurit harus keluar, berjalan dalam
kelompok-kelompok dan meronda berkeliling. Beberapa orang berkuda harus selalu
hilir mudik pula di segenap sudut kademangan.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sebagai seorang Senapati segera ia menangkap maksud Kiai Gringsing.
Ia harus berusaha mengelabuhi petugas-petugas sandi dari Tambak Wedi yang pasti
akan dipasang oleh Sidanti. Bahkan mungkin di antara petugas-petugas sandi itu
nanti adalah Wuranta sendiri.
Meskipun Untara merasa
singgungan-singgungan langsung pada perasaannya, oleh kata-kata Kiai Gringsing,
apalagi kedua muridnya, yang seakan-akan kepentingan mereka harus mendapat
perhatian terlampau banyak dari kepentingan-kepentingan yang lain, namun ia
mengucapkan terima kasih pula di dalam hatinya kepada orang tua yang aneh ini.
Orang itu telah mendahuluinya berbuat sesuatu. Dan apa yang dilakukannya
ternyata sangat berguna, tidak saja bagi orang tua itu serta murid-muridnya
sendiri, tetapi sangat berguna pula bagi seluruh pasukan Pajang di Jati Anom.
Untara seakan-akan tersedar
ketika ia mendengar Kiai Gringsing bertanya, “Bagaimana pertimbangan Angger?”
“Ya, ya Kiai,” sahut Untara
terbata-bata, “aku sependapat dengan Kiai. Mulai besok aku akan pasang gelar
sandi untuk mengelabuhi perhitungan lawan, supaya mereka tidak mengambil
keuntungan dari keadaan ini dengan mendahului menyerang Jati Anom.”
“Bagus” desis Kiai Gringsing.
“Sementara itu, aku akan dapat
mengumpulkan anak-anak muda Jati Anom, teman-temanku bermain, di masa
kanak-kanak. Meskipun jumlah mereka dan ketrampilan mereka belum seperti
anak-anak muda Sangkal Putung, namun aku mengharap mereka akan membantu.”
“Tentu.”
“Kalau demikian, maka malam
ini aku akan memberikan beberapa perintah kepada para pemimpin prajurit Pajang
di sini,” berkata Untara, “supaya sejak pagi, mereka telah melakukan gelar
sandi yang kita maksudkan.”
“Baiklah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “kami pun akan segera beristirahat. Mungkin kami masih akan
banyak berbuat di samping Angger Untara. Meskipun demikian, sebelumnya kami
minta maaf seandainya kami tidak berada dan berbuat di dalam lingkungan Angger,
sebab kami bukan prajurit Pajang. Meskipun demikian kami berjanji, bahwa kami
tidak akan mengganggu setiap rencana Angger. Kami akan selalu bertanya apa yang
akan Angger lakukan dan kami selalu akan melaporkan apa yang akan kami perbuat,
supaya kami tidak menjadi saling tunjang.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Seandainya yang berbicara itu bukan seorang Kiai Gringsing, maka
ia akan menyawab, “Dalam keadaan serupa ini, maka perintah seorang Senapati
perang berlaku bagi setiap orang di dalam wilayah kekuasaannya untuk
kepentingan gerakan pasukan.” Tetapi Untara tidak dapat berkata demikian
terhadap orang tua itu. Ia merasa ada sesuatu perbawa yang tidak mampu
dilampauinya. Ia tahu bahwa ia hanya bertanggung jawab terhadap Ki Gede
Pemanahan. Namun orang tua ini pun sangat mempengaruhi sikap dan jalan
pikirannya. Kadang-kadang ia merasa, sebagai seorang Senapati, ia adalah orang
yang harus mengambil sikap dan keputusan. Tetapi ia tidak dapat mengingkari
kenyataan tentang orang tua yang bernama Ki Tanu Metir dan sering menyebut
dirinya dengan sebutan Kiai Gringsing itu.
“Nah, selamat malam, Ngger,”
desis Kiai Gringsing itu kemudian, “kami, aku dan anak-anak ini akan
beristirahat. Mudah-mudahan usaha Angger berhasil dan usaha kamipun akan
berhasil.”
“Baik, Kiai,” sahut Untara,
“terima kasih.” Namun hatinya sekali lagi merasakan sebuah sentuhan kata-kata
orang tua itu yang telah membuat garis pemisah atas kerja yang akan mereka
lakukan masing-masing. Tetapi Untara tidak ingin bertanya.
Kiai Gringsing dan kedua
muridnya pun segera meninggalkan rumah itu. Mereka pergi ke rumah Wuranta.
Menurut pendapat Kiai Gringsing, kedua muridnya dan dirinya sendiri lebih baik
berada di tempai itu. Setiap saat mereka dapat bertemu dengan Wuranta apabila
anak itu pulang, tanpa dicurigai oleh orang-orang yang mungkin masih saja
mengawasinya.
Dalam pada itu, Wuranta telah
menjadi semakin dekat dengan padepokan Tambak Wedi. Kali ini ia tidak
kesiangan. Bahkan sebelum bayangan fajar mewarnai langit di ujung Timur,
Wuranta telah memasuki daerah padepokan Tambak Wedi.
Justru dengan demikian ia
merasakan betapa ketatnya penjagaan. Tanpa disadarinya, tiba tiba dua ujung
tombak telah mengarah ke lambungnya. Terdengar suara berdesis, “Siapa?”
Wuranta berpaling. Dilihatnya
dari sisi sebuah batu besar dua orang pengawal telah mengancamnya dengan
tombak, sedang dua orang lain berdiri beberapa langkah dengan pedang di tangan.
“Mereka sangat berhati-hati”
desisnya di dalam hati.
“Siapa?” terdengar pertanyaan
itu diulang.
“Wuranta” jawab Wuranta
pendek.
Para penjaga itu terdiam sejenak.
Tampaknya mereka sedang berpikir.
“Dari mana?” salah seorang
dari mereka bertanya pula.
“Jati Anom.”
Kedua ujung tombak itu pun
kemudian terangkat kembali. Tanpa mengucapkan kata-kata mereka melepaskan
Wuranta begitu saja. Bahkan keempat orang itu pun segera meninggalkannya.
Wuranta menjadi agak heran
melihat sikap itu, tetapi ia tidak bertanya. Ia langsung melangkahkan kakinya,
meneruskan perjalanannya. Tetapi tiba-tiba ia tertegun ketika lamat-lamat ia
mendengar suara berdesis, “Ia datang ke mari dibawa oleh Ki Lurah Sidanti.
Tetapi ia sekarang menjadi sahabat Alap-Alap kerdil itu.”
Terasa dada Wuranta berdesir.
Kenapa orang-orang di padepokan ini berkata demikian? Agaknya mereka telah
membedakan antara Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda.
Sambil merenung Wuranta
berjalan terus. Berkali-kali ia membelok menyusup antara batu-batu besar. Dan
ia tahu, bahwa di setiap sisi batu-batu itu, tidak mustahil akan terjulur
ujung-ujung pedang yang akan menghentikan langkahnya.
Tetapi beberapa orang penjaga
yang telah mengenalnya, membiarkannya lewat tanpa menyapa sepatah kata pun.
Bahkan ada yang dengan malas memalingkan mukanya. Tetapi ada pula yang
mendebarkan dada Wuranta. Lamat-lamat ia mendengar sekelompok penjaga
menyapanya, “He, apakah Tuanku baru datang dari bertamasya?”
Wuranta tidak tahu maksud
pertanyaan itu. Karena itu ia tidak segera menjawab.
“Tentu Tuanku belum mengenal
kami” sambung yang lain.
Wuranta masih berdiam diri.
“Kenapa Tuanku menjadi
terheran-heran seperti seekor kera kena sumpit?”
Wajah Wuranta menjadi merah.
Kini ia tahu benar, bahwa sekelompok penjaga itu sedang mempermainkannya.
“Apakah maksud kalian dengan
pertanyaan itu?” desis Wuranta.
“Jangan marah Tuan. Semalam
kami berburu kelinci, tetapi tak satu pun yang aku dapatkan. Jangan Tuan
membiarkan diri Tuan menjadi kelinci buruan kami. Tuan akan kami kuliti dan
kami bakar seperti kami membakar kelinci.”
Alangkah marahnya anak muda
Jati Anom itu. Tetapi ia masih mencoba menahan dirinya. Ia tidak tahu ujung
pangkal dari persoalannya. Karena itu, ia masih belum menanggapinya.
“Pergilah. Laporlah kepada
Yang Dipertuan Sidanti. Katakanlah, bahwa kami prajurit-prajurit dari kadipaten
Jipang, pengikut setia Senapati Agung kami Arya Penangsang dan Senapati muda
Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan telah menghinamu…”
Belum lagi suara itu berhenti,
terdengar mereka tertawa bersama. Meledak seolah-olah tawa itu telah
tertahan-tahan bertahun-tahun di dalam dada mereka.
“Kenapa terjadi demikian?”
gumam Wuranta di dalam hatinya.
Kini ia mendapat kesimpulan,
bahwa kedua golongan di dalam padepokan itu agaknya tidak dapat luluh menjadi
satu keluarga. Agaknya mereka masing-masing merasa, bahwa hubungan yang terjadi
itu hanyalah bersifat sementara.
Kini tahulah Wuranta, kenapa
beberapa orang yang ditemuinya baru-baru saja bersikap aneh terhadapnya.
Tahulah ia kenapa orang-orang itu berkata, bahwa kedatangannya kemari karena ia
dibawa oleh Sidanti, tetapi ia kini telah menjadi sahabat Alap-alap yang
kerdil.
Wuranta menarik nafas. Ia
tidak ingin menanggapi orang-orang itu. Dengan demikian ia akan hanyut dalam
pertentangan orang-orang padepokan itu sendiri tanpa dapat menyelesaikan
pekerjaan yang dibebankan kepadanya.
Tetapi sebelum ia melangkahkan
kakinya, dadanya berdesir sekali lagi. Tiba-tiba ia melihat bayangan seseorang
berdiri di atas sebuah batu yang besar sambil bertolak pinggang. Terdengarlah
suaranya lantang, “Ayo, siapa yang ingin bertemu dengan Sidanti. Inilah
Sidanti. Jangan hanya berteriak-teriak di belakang punggung.”
Tiba-tiba setiap suara dan
orang-orang yang menyebut dirinya prajurit Jipang itu terdiam. Tak seorang pun
yang berani bergerak dari tempatnya. Mulut mereka pun seoIah-olah terkunci.
Bahkan beberapa orang menjadi saling berpandangan.
Dalam keadaan yang demikian,
terasa betapa besar perbawa Sidanti. Prajurit-prajurit Jipang itu pun dapat
dipengaruhinya seperti kena sihir. Laki-laki yang tegap dan kokoh, dengan
berbagai macam senjata di tangan mereka, berdiri diam seperti patung oleh
kehadiran Sidanti itu.
“Ayo,” berkata Sidanti, “siapa
yang ingin mencoba, bagaimana Sidanti berbuat terhadap orang-orang yang ingin
menghinanya. Padepokan ini adalah padepokan guruku. Kalian berada di tempat ini
karena belas kasihan guruku, Ki Tambak Wedi. Kalau kalian merasa bahwa kalian
tidak kerasan di sini, kenapa kalian tidak pergi saja?”
Tak seorang pun yang berani
menjawab.
“Siapa?” sekali lagi Sidanti
bertanya, “kalau aku tidak mengingat kepentingan yang sama di antara kita, maka
kalian akan menjadi bangkai malam ini juga. Sidanti bukan hanya pandai
berbicara, tetapi pedangnya mampu juga memenggal lehermu.”
Belum lagi debar jantung
Wuranta berhenti, sekali lagi dadanya digetarkan oleh peristiwa yang menyusul.
Dari dalam kegelapan terdengar sebuah suara nyaring menjawab kata-kata Sidanti,
“Ah, jangan terlampau sombong Sidanti. Kalau kita sudah meletakkan dasar kerja
sama yang baik, maka setiap persoalan harus diselesaikan dengan baik pula.
Tidak dengan caramu itu. Kau dapat menghubungi aku, dan aku lah yang akan
bertindak atas anak-anakku yang kau anggap kurang sopan. Tidak dengan
menjajakan keberanian dan kesaktian,”
“Orang-orang Jipang itulah
yang keterlaluan,” bantah Sidanti, “mereka sengaja menghinaku.”
“Tetapi caramu tidak
menyenangkan aku.”
“Aku tidak perduli, apakah kau
senang atau tidak senang.”
“Kalau demikian, apa maumu?”
Dari dalam kegelapan, Wuranta
melihat sebuah bayangan meluncur langsung bertengger di atas sebuah batu yang
lain tepat di hadapan Sidanti. Orang itu adalah Sanakeling.
Kini keduanya telah berhadapan
dengan wajah-wajah yang tegang. Meskipun mereka belum mencabut pedang
masing-masing, tetapi di tangan kiri mereka telah tergenggam senjata-senjata
rangkapan, justru senjata-senjata mereka yang berbahaya. Tangan kiri Sidanti
menggenggam nanggalanya yang runcing di kedua ujungnya, sedang tangan kiri
Sanakeling menggenggam sebuah bindi.
Dalam ketegangan itu,
tiba-tiba mereka telah dikejutkan oleh sebuah ledakan di samping mereka. Sebuah
batu yang besar terpukul sehingga percikan pecahannya berserakan ke segala
penjuru. Kemudian berdentang sebuah gelang-gelang besi di bawah batu-batu
tempat Sidanti dan Sanakeling berdiri.
Sidanti dan Sanakeling
menyeringai berama sama. Bahkan orang-orang Jipang pun terdengar mengaduh.
Ternyata pecahan-pecahan batu itu telah melukai tubuh-tubuh mereda sehingga
berdarah.
Yang dapat berbuat sedahsyat
itu, dengan senjata semacam itu tidak ada duanya. Pasti Ki Tambak Wedi.
Dan sejenak kemudian KiTambak
Wedi telah berdiri di antara mereka. Di antara Sidanti dan Sanakeling. Dengan
wajah yang merah padam, maka ditunjuknya hidung Sanakeling dan Sidanti
berganti-ganti. ”Gila. Kalian anak-anak gila. Apakah kalian sadari apa yang
kalian lakukan itu? Alangkah bodohnya. Alangkah gobloknya. Kalian akan
menghancurkan diri sendiri di hadapan hidung orang-orang Pajang. Apakah kalian
buta dan tuli? Lihat dan dengar. Sekarang pasukan Pajang telah berada di Jati
Anom.”
Sidanti, Sanakeling, dan
orang-orang Jipang yang lain terkejut untuk kedua kalinya. Kini jantung mereka
bergetar dan seakan-akan mereka disentakkan pada sebuah mimpi yang mengerikan.
Bahwa orang Pajang akan datang ke Jati Anom adalah suatu hal yang telah mereka
duga, tetapi demikian cepatnya itu di luar perhitungan mereka.
Karena itu dengan serta-merta
Sidanti bertanya, “Apakah mereka orang-orang Pajang yang berada di Sangkal
Putung?”
“Aku tidak tahu” sahut Ki
Tambak Wedi. Kemudian ia melanjutkan.”Dari Sangkal Putung atau bukan, tetapi
kalau kalian berkelahi sesama kalian, maka membunuh kalian akan sama mudahnya
mencekik katak kekeringan.”
Sanakeling dan Sidanti
terdiam. Keduanya menundukkan kepala masing-masing. Namun mereka merasa
beruntung, bahwa belum terjadi sesuatu di antara mereka. Kalau mereka
bertempur, maka anak buah mereka pun pasti tidak akan tinggal diam. Dan kini
mereka tidak akan dapat lagi saling menyembunyikan diri, bahwa sebenarnya di
dalam padepokan itu telah terjadi keretakan yang semakin lama menjadi semakin
parah. Hanya karena Ki Tambak Wedilah maka mereka tetap berada di pihak
masing-masing sambil mengendalikan diri sekuat-kuat hati. Namun Ki Tambak Wedi
pun yang tampaknya berdiri di tengah-tengah itu, sebenarnya tidak berpijak di
tempatnya dengan jujur. Ia tetap memelihara ikatan di antara mereka, karena
mereka mempunyai kepentingan yang bersamaan. Tetapi apabila kepentingan bersama
itu telah lampau, maka dengan hati dan darah yang dingin, Ki Tambak Wedi akan
dengan mudah membinasakan orang-orang Jipang yang kini berada di pihaknya.
Kesepian itu tiba-tiba pecah,
ketika dengan serta-merta pula Sidanti berkata, “He Wuranta. Bukankah kau datang
dari Jati Anom?”
Wuranta tersentak. Dengan
terbata-bata ia menjawab, “Ya Tuan.” Tetapi hatinya menjadi kecut ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi telah mengatakannya lebih dahulu, bahwa orang-orang
Pajang telah berada di Jati Anom.
“Guru telah mengatakan bahwa
orang-orang Pajang sudah berada di Jati Anom. Lalu apa kerjamu sehingga kau
belum mengetahuinya?”
“Aku sudah mengetahuinya,
Tuan.”
“Tetapi kau tidak mengatakan.
Dari mana aku tahu, bahwa kau telah mengetahuinya.”
Dada Wuranta berdebar-debar
mendengar pertanyaan itu. Dicobanya untuk tetap tenang dan menjawabnya, “Tuan.
Bukankah aku baru saja datang? Aku melihat Tuan berdiri di atas batu itu dengan
wajah merah padam. Bagaimana aku berani berbuat sesuatu?”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Apakah baru sekarang kau ketahui?”
“Pasukan Untara datang siang
kemarin. Baru sore tadi aku berangkat.”
Sekali lagi Sidanti
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Sekarang katakan, apa yang kau lihat?”
“Pasukan Untara segelar
sepapan telah berada di Jati Anom. Lengkap dengan pasukan berkuda.” Meskipun
kata-katanya lancar, tetapi terasa juga sebuah getaran yang meragukan. Kini ia
berhadapan dengan orang yang bernama Ki Tambak Wedi yang telah mengetahui pula,
bahwa pasukan Untara berada di Jati Anom. Apakah Ki Tambak Wedi itu tahu pula
tentang dirinya? Kalau demikian, maka akan selesailah tugasnya oleh sebuah tali
gantungan.
“Siapakah anak itu?” terdengar
Ki Tambak Wedi menggeram.
“Aku ketemukan anak ini di
Jati Anom, Guru.”
“Apakah ia dapat kau percaya?”
“Sampai saat ini, Guru” jawab
Sidanti ragu-ragu. Sebenarnya ia tidak ingin menunjukkan kepercayaan itu
langsung di muka Wuranta. Dan Sidanti itu menjadi semakin sulit ketika gurunya
bertanya, “Apakah dua orang yang aku jumpai malam tadi mengikutinya dan
mengawasinya?”
Sidanti menggigit bibirnya.
Tetapi ia menjawab, “Aku masih perlu meyakinkannya, Guru.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedang Wuranta menundukkan wajahnya, untuk
menyembunyikan berbagai kesan yang bergolak di dalam dirinya. Ia senang
mendengar kepercayaan Sidanti, dan ia tersenyum di dalam hati mendengar
pertanyaan Ki Tambak Wedi yang terlampau berterus terang itu. Tetapi tiba-tiba
lehernya berkerut merut, “Apakah Ki Tambak Wedi sedang mencoba menilai
tanggapan Sidanti tentang diriku yang salah, yang justru sebenarnya telah
diketahui oleh Ki Tambak Wedi?”
Tetapi ternyata tidak
demikian. Tiba-tiba Ki Tambak Wedi itu pun meloncat pergi sambil bergumam,
“Kalau kalian masih juga bertengkar, maka kalian berdua akan aku bunuh
bersama-sama. Tak ada gunanya kalian berdua di padepokan ini. Kau jangan
merasa, bahwa justru kau muridku Sidanti. Tetapi kebodohanmu hampir tak dapat
dimaafkan.”
Sidanti tidak menjawab.
Kepalanya tiba-tiba menunduk. Dan tanpa bertanya sepatah pun dibiarkannya
gurunya pergi.
Sepeninggal Ki Tambak Wedi,
maka Sidanti pun segera meloncat turun mendapatkan Wuranta. Dilanjutkannya
pertanyaannya, “Jadi pasukan Pajang telah berada di Jati Anom?”
“Ya, seperti yang telah
dikatakan oleh Ki Tambak Wedi. Dari manakah diketahuinya tentang hal ini?”
“Guru adalah orang aneh.
Tetapi bagaimana dengan pasukan Untara itu?”
Wuranta tidak segera menjawab.
Sekali lagi ia mengatur perasaannya yang sebenarnya bergejolak. Sekali ia
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi tiba-tiba Sidanti mendesaknya, “Bagaimana?
Kenapa dengan pasukan itu?
“Pasukan Untara datang segelar
sepapan, Tuan”
“Bagaimana dengan pasukan
Untara itu dibandingkan dengan pasukan Widura?”
Hampir saja terloncat jawaban
dari mulutnya, tetapi untunglah ia menjadi sadar, bahwa ia belum pernah melihat
pasukan Widura. Maka jawabnya, “Pasukan Widura yang manakah yang Tuan maksud?”
“Oh ,” Sidanti menelan
ludahnya, “kau belum pernah melihatnya. Pasukan itu berada di Sangkal Putung.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Untunglah ia tidak terlanjur menjawab karena terlampau bernafsu.
“Tetapi bagaimana aku mendapat
gambaran tentang kekuatan pasukan Untara itu?”
“Sulit Tuan. Adalah sulit
bagiku untuk mengatakan seberapa banyak orang di dalam pasukan itu.”
“Baik, Baik. Guru pasti akan
melihatnya sendiri. Kalau tidak, aku akan mengirim seseorang yang cukup
berpengalaman melihat kekuatan pasukan.”
“Silahkanlah Tuan,” gumam
Wuranta, “aku tidak banyak mengetahui keadaan dan susunan keprajuritan.”
“Kau perlu pengetahuan
mengenai hal itu Wuranta, apabila kau akan menjadi seorang prajurit yang baik
kelak.”
“Aku tidak begitu bernafsu
untuk menjadi seorang prajurit, Tuan. Aku ingin menjadi seorang Demang.”
Sidanti tersenyum. Katanya,
“Baik. Kau akan menjadi Demang Jati Anom. Aku akan membunuh Demang yang
sekarang ini berkuasa. Bukankah begitu maksudmu?”
Tiba-tiba dada Wuranta
berdesir. Telinganya masih terasa ngeri mendengar kata-kata Sidanti itu. Ia
sama sekali tidak ingin melihat demangnya terbunuh. Tetapi ia tidak menjawab
lain daripada mengangguk dan berkata, “Demikianlah Tuan.”
“Jangan takut.” Tetapi hati
Sidanti mengumpat habis-habisan. Katanya di dalam hatinya, “Persetan kau. Baru
saja kau mulai, kau sudah membayangkan pangkat yang menyenangkan itu. Aku yang
sudah lama berada di dalam perjuangan ini sama sekali belum mendapat apa-apa.
Membayangkan saja aku belum sempat. Sepantasnya kau aku cekik sampai mati,
begitu kami berhasil menduduki Jati Anom dan mengusir pasukan Pajang itu.
Dengan demikian, maka pemberontakan Tambak Wedi akan menjadi jelas. Dan Pajang
yang baru akan tegak berdiri dan sedang menghadapi Adipati-adipati di pesisir
Lor dan Bang Wetan itu akan menjadi semakin sulit kedudukannya. Sementara itu
Ki Tambak Wedi akan terus menghimpun kekuatan ke selatan dan timur Gunung
Merapi.”
Keduanya kemudian terdiam.
Langkah mereka seakan-akan menjadi semakin cepat. Dan agak jauh di belakang
mereka, berjalan Sanakeling menjinjing bindinya.
Para pemimpin padepokan Tambak
Wedi dan orang-orang Jipang yang berada di padepokan itu pun segera mengadakan
pertemuan. Kali ini dipimpin sendiri oleh Ki Tambak Wedi. Agaknya kehadiran
Untara di Jati Amom telah menumbuhkan persoalan yang harus mendapat perhatian yang
cukup.
Tetapi sayang, bahwa Wuranta
tidak diperkenankan ikut serta di dalam pembicaraan itu. Hanya orang-orang
penting dan mendapat kepercayaan sajalah yang boleh ikut di dalam pembicaraan
itu.
“Beristirahatlah,” berkata
Sidanti kepada Wuranta, “mungkin kau akan mendapat pekerjaan baru yang lebih
penting dari kerjamu yang dahulu.”
“Baik, Tuan” sahut Wuranta.
Tetapi ketika ia melangkah
keluar dari ruangan itu, ia tertegun. Alap-Alap Jalatunda menggamitnya sambil
berbisik, “Jangan kau ganggu gadis itu.”
“Ah,” Wuranta tersenyum,
“apakah aku tidak boleh melihatnya?”
“Aku cekik kau sampai mati.
Sekarang kau jangan lagi bersandar kepada kekuatan Sidanti. Nama itu semakin
lama menjadi semakin jelek di mata prajurit-prajurit Jipang. Salah sendiri.
Sikapnya terlampau sombong. Ia bukan Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan.
Tetapi ia bersikap seolah-olah berkuasa melampaui Tohpati itu.”
“Ki Sanakeling hampir
berkelahi melawan anak muda itu.”
“He? Begitu?”
“Ya.”
“Aku belum sempat menemuinya.
Aku harap demikian. Kalau tidak, maka akulah yang akan berkelahi kelak.”
“Perkara gadis itu?”
“Mungkin. Mungkin juga karena
kesombongannya. Aku tidak dapat lagi diperintahnya seperti hari-hari yang
lampau.”
“Tetapi pasukan Untara telah
datang. Apakah kalian akan sibuk dengan pertentangan pribadi?”
Alap-Alap Jalatunda terdiam.
Tetapi kerut-merut di keningnya tampak semakin dalam. “Kau dapat bertemu dengan
gadis itu?” tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda bertanya.
“Kenapa?”
“Tetapi apakah kau berpihak
kepada Sidanti?”
“Aku selalu mementingkan
kepentingan bersama.”
“Persetan. Kau mau apa tidak
membawa pesanku kepada gadis itu?”
“Baiklah. Itu tidak ada
sangkut pautnya dengan pasukan Untara.”
“Katakan aku menginginkannya.
Kalau ia bersedia, maka aku akan mengorbankan segala-galanya untuknya.”
“Baik, Tuan. Pesan itu akan
sampai segera. Siang ini.”
Wuranta pun kemudian
meninggalkan rumah itu. Ketika ia berpaling, ia melihat para pemimpin agaknya
telah semakin banyak hadir. Bahkan ia melihat beberapa orang penjaga telah siap
pula di muka rumah itu. Menilik perbedaan sikap dan pakaian maka yang
berjaga-jaga di luar itu datang dari kedua belah pihak.
Dan kini Wuranta telah
mendapatkan suatu kepastian, bahwa di dalam padepokan itu pun telah terjadi
keretakan yang gawat. Suatu hal yang menguntungkan bagi pasukan Untara. Tetapi
bagaimana dapat memanfaatkan keretakan itulah yang harus dicari saat dan
kesempatan yang tepat.
Meskipun Wuranta merasa juga
agak lelah dan kantuk, namun ia tidak ingin tidur. Ia ingin tetap bangun dan
berjaga-jaga. Kalau-kalau ada sesuatu keputusan mengenai dirinya, maka ia tidak
akan diseret selagi ia sedang tidur.
Tetapi tiba-tiba Wuranta
teringat akan pesan Alap-Alap Jalatunda untuk menemui Sekar Mirah dan
menyampaikan pesannya. Pesan yang gila.
“Hem,” Wuranta menarik nafas
dalam-dalam, “apakah aku akan menyampaikan pesan itu?”
Sementara itu matahari yang
telah mulai memanjat langit di ujung timur, telah memancarkan sinarnya yang
kekuning-kuningan. Dedaunan menjadi cerah dan segar. Tetes-tetes embun yang
masih menyangkut di rerumputan memantulkan kilatan cahaya matahari yang binar.
Wuranta masih saja duduk di
muka pondokan yang diperuntukkannya. Pondokan pada sebuah rumah yang didiami
oleh seorang laki-laki dan perempuan tua. Suami isteri yang agaknya telah
terlampau lama menghuni padepokan ini.
“Apakah Angger tidak ingin
tidur?” bertanya kakek penghuni rumah itu, “ke manakah Angger semalam tadi
pergi?”
“Jalan-jalan saja, Kek” sahut
Wuranta.
“Huh, tak ada seorang anak
muda dari padepokan ini yang sempat berjalan-jalan. Tetapi agaknya Angger bukan
anak muda dari padepokan ini.”
“Aku anak Jati Anom.”
“O, pantas, pantas. Aku baru
melihat Angger setelah Angger ditempatkan di rumah ini.”
“Ya, Kek.”
“Bagus. Angger telah memilih
pihak yang benar. Ki Tambak Wedi adalah seorang yang tidak dapat ditakar
kemampuannya, ia mampu menangkap angin taufan, seperti Ki Ageng Sela mampu
menangkap petir. Meskipun aku sudah tua, tetapi aku masih bersedia mengangkat
senjata seperti anak-anak muda apabila orang-orang Pajang benar-benar akan
menahancurkan padepokan ini. Bukankah orang-orang Pajang telah merencanakannya
demikian hanya karena Adipati Pajang menjadi iri hati atas kesaktian Ki Tambak
Wedi.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi ia tidak menjawab.
“Ah, agaknya Angger mengantuk
dan payah. Silahkanlah beristirahat. Di amben dalam telah disediakan oleh
nenek, ubi rebus. Tidak sekedar ubi rebus, tetapi ubi yang direbus dengan
legen. Manis, Ngger.”
“Terima kasih, Kek” Wuranta
pun segera bangkit. Perutnya memang merasa lapar. Dan ubi badek adalah makanan
yang sangat digemarinya. Namun meskipun kemudian mulutnya mengunyah ubi,
pikirannya masih juga dikalutkan oleh berbagai macam persoalan. Pesan AJap-Alap
Jalatunda, pembicaraan para pemimpin padepokan ini dan orang-orang Jipang dan
berbagai macam yang lain. Disadarinya, bahwa keadaan akan dapat berkembang
dengan cepatnya.
Setelah kenyang, maka Wuranta
segera bangkit. Perlahan-lahan ia pergi ke biliknya, berbaring-baring untuk
melepaskan waktu. Namun ia tidak melepaskan pedang dari lambungnya.
“Baiklah, aku penuhi pesan
Alap-Alap Jalatunda” desisnya. “Aku mengharap bahwa perkembangan daripadanya
tidak akan berbahaya bagi Sekar Mirah, tetapi dapat mempertajam keretakan
antara Sidanti dan Alap-Alap yang buas itu.”
Akhirnya Wuranta pun
berketetapan hati untuk menemui gadis itu di pinggir sungai, menyampaikan pesan
Alap-Alap Jalatunda dan melihat kemungkinan yang dapat terjadi. Kini ia akan
berjalan seorang diri. Tidak dalam pengawasan Alap-Alap Jalatunda, karena anak
muda itu sedang mengadakan pembicaraan dengan pimpinan-pimpinan yang lain.
Wuranta itu kemudian menjadi
gelisah, ia tidak lagi dapat berbaring di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia
bangkit dan melangkah ke luar. Di halaman dilihatnya kakek penghuni rumah itu
sedang menyiangi tanamannya.
“Kau tidak tidur, Ngger?”
“Tidak, Kek.”
“Dua malam Angger berada di
sini. Dua malam Angger tidak tidur di pondokan.”
Wuranta tersenyum. Tetapi ia
merasa aneh dengan badannya sendiri. Ia tidak merasa terlampau lelah dan
terlampau kantuk.
“Aku akan berjalan-jalan, Kek.
Aku akan menikmati cerahnya pagi di padepokan ini.”
“Heh,” kakek itu tersenyum,
“silahkan. Seumurku ini pun agaknya aku tidak sempat menikmati cerahnya pagi.”
“Kalau begitu, Kakek banyak
kehilangan pada usia-usia muda Kakek.”
“Mungkin. Mungkin aku banyak
kehilangan. Tetapi aku banyak pula menemukan. Aku kehilangan cerahnya pagi,
tetapi aku dapat menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya. Ilmu
kasampurnan lahir dan batin.”
“Ilmu macam apakah itu?”
“Ilmu kasunyatan. Persoalan
kita adalah persoalan yang nyata. Kita manfaatkan apa yang dapat kita lihat dan
kita raba dan kita rasakan.”
“Maknanya?” bertanya Wuranta.
“Kemampuan berpikir menguasai
alam. Memecahkan teka-teki yang memenuhi keadaan di sekitar kita. Dengan
demikian maka kita akan menjadi rajin bekerja dan mencari. Menguasai dan
memanfaatkan alam. Menghisap sari-patinya.”
“Itu saja?”
“Apa lagi?”
“Itulah sebabnya Kakek banyak
kehilangan. Kakek tidak dapat menikmati cerahnya pagi. Apalagi menikmati kurnia
Pencipta pagi yang cerah. Yang memiliki rahasia yang tak akan terpecahkan,
sehingga sia-sialah Kakek menghabiskan umur.”
Laki-laki itu terkejut
mendengar jawaban Wuranta, sehingga ia terhenyak beberapa saat. Ditatapnya
wajah anak muda yang tersenyum-senyum itu.
Tiba-tiba orang tua itu
berkata, “Agaknya Angger mempunyai pengetahuan yang berbeda?”
“O, aku sama sekali tidak
berpengetahuan, Kakek. Apalagi berilmu. Tetapi aku hanya sekedar mencoba
mengerti tentang diri sendiri. Siapa dan apakah aku ini?”
“Kasihan,” orang tua itu
seakan-akan mengeluh, “kasihan benar kau, Ngger. Lihat, betapa Ki Tambak Wedi
mampu menjadikan dirinya seorang yang maha sakti karena ia mampu memecahkan
teka-teki alam di sekitarnya.”
“Dari manakah Ki Tambak Wedi
menemukan kekuatannya dan kemampuannya yang luar biasa itu?”
“Justru ia menguasai dan
memanfaatkan kekuatan alam di sekitarnya.”
Wuranta tersenyum. Ia tidak
akan dapat berbantah dengan orang tua itu. Bertahun-tahun orang tua itu
mengunyah dan menelan saja pandangan hidup yang didengarnya dari Ki Tambak
Wedi. Meskipun demikian, Wuranta itu bertanya, “Dan apakah yang sudah Kakek
dapatkan setelah Kakek menyadap ilmu Ki Tambak Wedi sebanyak-banyaknya? Ilmu
yang dapat Kakek pergunakan menangkap taufan atau menangkap asap atau menangkap
petir seperti Ki Ageng Sela?”
Orang tua itu terkejut
mendengar pertanyaan Wuranta. Tiba-tiba ia terdiam. Sejenak ia menjadi bingung.
Wuranta masih saja tersenyum.
Tiba-tiba ia berkata, “Sudahlah Kakek, bekerjalah. Aku akan berjalan-jalan. Aku
tidak pernah berusaha menghisap kekuatan yang diberikan oleh alam seperti cara
yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Tetapi aku ingin menikmati cerahnya pagi. Mengucap
syukur kepada Pencipta pagi yang cerah dan memohon kekuatan kepada-Nya untuk
menghadapi tiap kesulitan.”
“Kepada siapa?” orang tua itu
bertanya.
“Tidak kepada benda-benda yang
memiliki segala macam kekuatan, tidak berusaha mencari dan memanfaatkan dan
menguasai rahasia kekuatan dari pepohonan dan sudut-sudut yang gelap, tetapi
kepada Pencipta setiap benda, setiap pepohonan dan setiap sudut-sudut yang
gelap dan terang.”
Orang tua itu masih saja
menjadi bingung. Bahkan wajahnya kini menjadi berkerut-merut. Tetapi Wuranta
sudah melangkahkan kakinya sambil berkata, “Lain kali kita bercakap-cakap,
Kakek. Sekarang aku akan berjalan-jalan.”
“Silahkan, Ngger, silahkan”
jawab orang tua itu. Namun kepalanya masih dilingkari oleh kata-kata Wuranta
yang terdengar aneh di telinganya.
Dalam pada itu Wuranta telah
meninggalkan halaman rumah kakek tua itu. Namun tiba-tiba ia menjadi cemas.
Kalau orang tua itu mengatakan pendiriannya kepada kawan-kawannya, maka
setidak-tidaknya ia akan mendapat perhatian khusus. Tetapi Wuranta akhirnya
dapat melupakan pembicaraan itu. Kakek tua itu pasti tidak akan
mempersoalkannya, karena orang tua itu tidak segera memahami kata-katanya dan
kata-katanya sendiri.
Langkah Wuranta itu kemudian
membawanya ke jalan padepokan yang kemarin dilewatinya bersama Alap-Alap
Jalatunda. Menyelusuri tebing sungai. Sepanjang jalan Wuranta selalu
mereka-reka, bagaimana ia akan menyampaikan pesan Alap-Alap Jalatunda kepada
Sekar Mirah.
“Mudah-mudahan ia tidak salah
mengerti” desis Wuranta seorang diri. “Mudah-mudahan ia sadar akan persoalan
yang dihadapinya dan dapat memanfaatkannya.”
Tetapi alangkah kecewa Wuranta
ketika ia sampai kebelik sungai itu. Ia tidak melihat Sekar Mirah mencuci
pakaiannya seperti kemarin.
“Hem,” desahnya, “agaknya
tidak setiap hari ia pergi ke sungai mencuci pakaian. Mungkin hari ini
pakaiannya tidak ada lagi yang dicucinya. Bagaimana aku dapat menemuinya?”
Wuranta itu menjadi agak
bimbang. Apakah ia dapat menemui gadis itu di pemondokannya? Wuranta tidak
berani menerima akibat dari perbuatannya itu. Kalau para penjaga dan pengawas
melihatnya, maka akibatnya adalah kegagalan seluruh tugasnya.
“Apa yang harus aku lakukan?”
gumamnya.
Tetapi tanpa disadarinya
langkahnya telah menyelusuri jalan menuju ke pondokan Sekar Mirah. Sekali dua
kali di jumpainya juga beberapa orang laskar yang sedang meronda. Tetapi para
peronda itu seakan-akan tidak menghiraukannya. Mereka telah mengenal Wuranta,
karena Wuranta sering berjalan bersama Sidanti, Alap-Alap Jalatunda, dan
pemimpin yang lain.
Tetapi tanpa diduga-duganya
langkahnya terhenti. Di lorong sempit yang menuju ke sungai ia melihat Sekar
Mirah berjalan di depannya dalam arah yang berlawanan. Tiba-tiba saja hatinya
menjadi berdebar-debar. Dan tiba-tiba saja keringatnya mengalir membasahi
punggungnya.
“Aku hanya sekedar membawa
pesan” desisnya di dalam hati untuk menenangkan perasaannya sendiri.
“Mudah-mudahan ia tidak salah terima.”
Dadanya menjadi semakin tegang
ketika di kejauhan ia melihat Sekar Mirah itu tersenyum kepadanya. Senyum yang
cerah, secerah sinar pagi yang mengusap ujung pepohonan.
Langkah mereka, semakin lama
menjadi semakin dekat. Dan jantung Wuranta seakan-akan berhenti berdenyut
ketika ia mendengar gadis itu menyapanya, “Selamat pagi, Tuan.”
“Selamat pagi” jawab Wuranta
tergagap. Sikapnya tiba-tiba berubah. Tidak selincah sikapnya kemarin.
“Dari mana Tuan sepagi ini?”
“E…” Wuranta agak kebingungan
mencari jawab. Akhirnya sekenanya ia berkata, “Jalan-jalan, Nini.”
“Sepagi ini?”
“Justru sepagi ini, Nini. Pagi
yang cerah,” Wuranta telah menjadi agak tenang sehingga kata-katanya telah
mulai meluncur agak lancar.
Tetapi meskipun demikian
hatinya masih saja diliputi oleh kebimbangan tentang pesan Alap-Alap Jalatunda
yang harus disampaikannya.
Dalam pada itu terdengar Sekar
Mirah bertanya pula, “Kenapa Tuan hanya seorang diri? Di manakah kawan Tuan
yang seorang kemarin?”
“Ia adalah orang yang penting
di dalam kedudukannya, Nini. Pagi ini orang-orang penting sedang mengadakan
pertemuan. Sedang aku adalah seorang yang hampir tak berarti di sini.”
Sekar Mirah tersenyum.
Katanya, “Tuan terlampau merendahkan diri.”
“Aku berkata sebenarnya.”
“Tetapi bagaimanakah kedudukan
kawan Tuan kemarin di samping kedudukan Sidanti?”
“Ada bedanya Nini, Sidanti
adalah pemimpin padepokan ini, sedang Alap-Alap Jalatunda adalah pemimpin
Laskar Jipang.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia menyangka bahwa Wuranta adalah anak muda
dari padepokan ini. Kalau Wuranta itu salah seorang laskar Jipang. maka
setidak-tidaknya ia pernah mendengar nama Sekar Mirah sebagai seorang puteri
Demang Sangkal Putung yang akan dapat membedakan kedudukan Sidanti dan
Alap-Alap Jalatunda. Sebab keduanya pernah berada di sekitar Sangkal Putung,
bahkan Sidanti sendiri pernah berada di kademangan itu.
Tetapi hal itu tidak penting
bagi Sekar Mirah. Ia tidak pula bertanya kenapa justru anak itu menjadi sahabat
Alap-Alap Jalatunda, meskipun Sekar Mirah tidak tahu, bahwa persahabatan itu
adalah persahabatan yang semu, yang didorong pula oleh keharusan Alap-Alap
Jalatunda mengawasi Wuranta.
Dengan sadar Sekar Mirah
menghadapi keduanya. Sidanti dan Alap-Alap Jalatunda. Itulah sebabnya ia
bertanya, “Jadi Alap-Alap Jalatunda itu benar-benar seorang pemimpin Laskar
Jipang?”
“Ya.”
“Alangkah menarik. Usianya
agaknya masih cukup muda. Tetapi ia telah memangku kedudukan yang cukup berat.”
“Ya.”
“Sayang ia tidak berjalan
bersama Tuan pagi ini.”
Kening Wuranta berkerut. Debar
dadanya menjadi semakin deras. Ia merasa bahwa ia telah mendapatkan kesempatan.
Tetapi ia masih saja ragu-ragu.
“Apakah sepagi ini para
pemimpin padepokan ini sudah mulai mengadakan pembicaraan?”
“Dalam keadaan khusus, Nini.”
“Kenapa?”
“Pasukan Untara telah berada
di Jati Anom.”
“He?” tiba-tiba wajah Sekar
Mirah itu berubah. Tetapi hanya sejenak. Gadis itu berusaha untuk menguasai
perasaannya sekuat-kuatnya. Tetapi sejenak kemudian, ia melangkah sambil
bergumam, “Aku melihat dua orang prajurit berjalan kejurusan ini. Aku tidak mau
mereka mencurigai aku atau Tuan.”
“Oh” dada Wuranta menjadi
berdebar-debar. Ketika ia berpaling, ia memang melihat dua orang prajurit
berjalan di kejauhan. Tetapi ia telah menyatakan kesanggupannya menyampaikan
pesan Alap-Alap Jalatunda. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berkata, “Nini,
sebenarnya aku membawa pesan dari Alap-Alap Jalatunda. Pesan itu mengatakan,
bahwa Alap-Alap Jalatunda menginginkan Nini untuknya. Ia sanggup mengorbankan
apa saja untuk kepentingan itu.”
Wuranta melihat wajah Sekar
Mirah menjadi kemerah-merahan. Tetapi yang sama sekali tidak diduganya gadis
itu tersenyum sambil menyahut dengan serta-merta, “Aku menunggunya.”
“Gila. Gila” desis Wuranta di
dalam hati. Bagaimana mungkin jawaban itu begitu cepatnya tanpa dipikirkannya?
Apakah gadis itu telah mempunyai perhitungannya tersendiri atau memang semuanya
ini telah masuk di dalam rencananya.
Tetapi sebelum Wuranta sempat
berkata lagi, Sekar Mirah telah meneruskan perjalanannya. Kedua orang peronda
berjalan ke arahnya. Perlahan-lahan Wuranta melangkahkan kakinya pula, namun
dadanya masih dipenuhi berbagai macam persoalan antara Alap-Alap Jalatunda dan
gadis itu.
Kedua peronda itu kemudian
berjalan di sisinya melampauinya. Keduanya berpaling dan salah seorang
daripadanya bertanya, “Kau sudah kenal gadis itu?”
Wuranta menggeleng sambil
tersenyum, “Belum. Apakah ia adikmu?”
“Pantas kau berani mengganggunya.”
“Aku tidak mengganggu. Aku
hanya mengucapkan selamat pagi. Sebab aku heran, bahwa padepokan ini telah
melahirkan gadis secerah matahari pagi.”
“Dengar,” berkata yang seorang
lagi, “ingat-ngatlah kata-kataku ini. Supaya lehermu tidak dipancung oleh
Sidanti, jangan mencoba-coba mengganggunya.”
“He,” Wunanta pura-pura
terkejut, “apakah ia adik Sidanti?”
“Setan belang itu tidak
bersanak keluarga di sini, selain gurunya yang hidungnya mancung seperti paruh
burung hantu, dan baru-baru ini datang pamannya yang bernama Argajaya. Gadis
itu adalah gadis simpanannya yang dicurinya duri Sangkal Putung.”
“O,” Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya, “maaf. Aku tidak tahu.”
“Untunglah bahwa kami yang
melihat perbuatanmu. Kalau orang-orang padepokan ini, mungkin kau segera akan
digantung.”
“Maafkan aku” desis Wuranta
pula.
Kedua orang itu pun segera
berlalu. Wuranta sama sekali sudah tidak memperhatikannya lagi. Tetapi yang
mencemaskannya adalah bagaimanakah jadinya apabila Alap-Alap Jalatunda ingin
melaksanakan maksudnya? “Itu adalah tanggung jawabnya,” desisnya, “tetapi
apakah anak yang liar itu tidak berbahaya bagi Sekar Mirah?”
Wuranta kemudian berjalan
kembali ke pondoknya dengan penuh kebimbangan dan kecemasan. Tetapi ia harus
menyampaikan jawaban Sekar Mirah, “Aku menunggunya.”
“Kalau saja jawaban itu
dilandasi oleh kesadaran dan perhitungan yang cermat,” desisnya di dalam hati.
“Tetapi Alap-Alap itu bukan seorang anak muda yang dungu.”
Ketika Wuranta sampai di
halaman pondokannya, ia melihat kakek yang menghuni rumah itu masih bekerja di
halamannya.
Ketika kakek tua itu melihat
Wuranta maka segera disapanya, “Cepat sekali Angger menikmati pagi? Apakah
Angger sudah puas?”
Wuranta tersenyum, jawabnya,
“Sudah, Kakek. Aku sudah puas.”
Kakek tua itu pun tersenyum
pula. Katanya kemudian, “Angger mendapat kepuasan dengan kesejukan dan
kesegaran pagi. Aku mendapat kepuasan dengan kerja ini. Tetapi kerjaku
menghasilkan, sedang selain kepuasan apakah yang Angger dapat dengan
berjalan-jalan itu?”
Wuranta mengerutkan alisnya.
Tetapi kemudian ia tersenyum kembali, jawabnya, “Kau mendapatkan sesuatu yang
langsung dapat kau rasakan, bahkan kau raba, Kek.”
“Lalu, apakah ada hal-hal lain
daripada ini?”
“Tentu. Berapa umurmu, Kek?”
“Limapuluh tahun.”
“He?” Wuranta terkejut
mendengar jawaban itu.
“Kenapa kau terkejut, Ngger?
“Kakek terlampau banyak
bekerja. Kakek kurang sekali menikmati keindahan pagi. Itulah sebabnya dalam
usia Kakek yang baru setengah abad itu, Kakek tampaknya telah terlampau tua.
Ayahku adalah seorang petani yang bekerja setiap hari hampir sehari penuh.
Tetapi setiap kali ayahku menengadahkan wajahnya ke langit. Melihat matahari
yang baru terbit di pagi hari atau melihat bintang gemintang yang bergayutan di
langit di malam hari. Setiap kali ayahku menyebut nama Penciptanya. Maka
hatinya menjadi tenteram dan damai. Kedamaian hati dan kerja yang tekun itulah
agaknya yang menjadikan ayahku masih kelihatan terlampau muda meskipun umurnya
sudah tujuhpuluh lima tahun.”
Kakek tua itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Benarkah itu?”
“Ya, Kek. Aku tidak berbohong.
Kerja keras, tetapi kita gembira karena kita menyadari arti dari hidup kita.
Aku melihat Kakek terlampau tekun bekerja, tetapi kerja itu menjadi tujuan
hidup Kakek.”
“Kalau aku tidak bekerja
begini keras, aku akan mati kelaparan, Ngger.”
“Kerjalah, Kek. Kerja keras.
Tetapi hidup bukan sekedar bekerja.”
“Kalau aku seorang yang kaya
raya, Ngger, maka aku tidak perlu bekerja begini berat.”
Wuranta kini tertawa. Ia
mengerti jalan pikiran kakek tua itu. Sedang kakek tua itu menangkap
kata-katanya begitu wantah, seperti kata-kata yang terucapkan. Tetapi kakek itu
tidak dapat menangkap maksud yang seharusnya diungkapkan dari balik
kata-katanya. Karena itu maka Wuranta berkata, “Maaf, Kakek. Aku terlampau
lelah, aku ingin beristirahat.”
“Silahkan, Ngger. Silahkan
beristirahat. Angger juga terlampau keras bekerja, supaya Angger tidak menjadi
lekas tua.”
Wuranta tertawa semakin keras.
Jawabnya, “Ya, ya Kek. Tetapi aku menyadari arti dari kerja yang aku lakukan.
Bukan karena sekedar takut kelaparan.”
“Ah” orang tua itu mengerutkan
keningnya, tetapi ia pun kemudian tertawa. Namun suara tertawanya sama sekali
tidak mengungkapkan pengertiannya atas kata-kata Wuranta.
Tetapi Wuranta tidak
menghiraukannya lagi. Ia ingin beristirahat, menganyam persoalan yang baru saja
dihadapi dan masih harus dipecahkannya.
Tanpa menanggalkan pakaian,
dan pedangnya, Wuranta merebahkan dirinya di sebuah amben bambu di dalam bilik
yang diperuntukkan baginya. Terdengar amben itu berderit, dan berderit pulalah
hati anak muda itu.
“Hem,” desisnya, “ternyata
pekerjaan ini tidak semudah yang aku sangka. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Wuranta yang lelah itu
akhirnya sekali dua kali menguap, dan sejenak kemudian maka ia pun telah
tertidur.
Tetapi agaknya anak muda itu
tidak cukup lama beristirahat. Tiba-tiba ia terkejut ketika ia mendengar pintu
berderak. Cepat ia meloncat bangun dan dilihatnya Alap-Alap Jalatunda berdiri
di hadapannya, memandanginya seperti seekor harimau lapar melihat seekor rusa
yang masih muda.
“He Wuranta,” desisnya, “kau
mampu bangun dari tidur secepat itu, dan secepat itu siap pula berdiri tegak,
menghadapi setiap kemungkinan?”
Wuranta tidak tahu arah pertanyaan
itu, karena itu ia tidak menjawab.
“Hem,” desis Alap-Alap
Jalatunda, “ternyata kau bukan anak muda sebodoh yang aku sangka. Sejak aku
melihat kau berkelahi di perjalanan ke Jati Anom, aku sudah menyangka, bahwa
kau memiliki bekal cukup untuk bermain-main dengan pedang.”
“Apakah yang sebenarnya Tuan
maksud?”
“Kau sudah mengganggu Sekar
Mirah. Dua orang melihat dan memberitahukan kepadaku. Ingat, dengan sedikit
ramuan kata-kata, aku dapat menggerakkan Sidanti untuk memancungmu di
perapatan.”
“Apakah katanya?”
“Hem, kau agaknya membanggakan
kepandaianmu yang sama sekali tidak berarti itu?”
“Kapankah Tuan lihat aku
berkelahi dengan seorang laki-laki di perjalanan ke Jati Anom?”
Tiba-tiba Alap-Alap Jalatunda
terbungkam. Tanpa disadari ia telah terlanjur mengatakan apa yang sudah
dilihatnya ketika ia dengan diam-diam mengikuti Wuranta. Sebenarnya Wuranta
sama sekali tidak terkejut mendengarnya, tetapi ia harus berpura-pura tidak
tahu.
“Tuan, aku tidak tahu
kata-kata Tuan semuanya. Aku sama sekali tidak mengganggu Sekar Mirah. Aku sama
sekali tidak berkelahi dengan siapa pun juga. Memang aku bertemu, dan ditegur
oleh dua orang laskar Tuan. Tetapi apakah aku harus menjawab bahwa aku sedang
menyampaikan pesan Alap-Alap Jalatunda kepada Sekar Mirah? Bukankah lebih baik
bagi Tuan jika aku mengiakan dan pura-pura saja tidak tahu siapakah gadis itu?”
Alap-Alap Jalatunda
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar jawaban Wuranta. Bahkan kemudian ia
tertawa sambil berkata, “Ternyata kau memang tidak terlampau bodoh, Wuranta.
Terima kasih. Agaknya kau berbuat sesuatu yang menyenangkan.”
“Apakah yang menyenangkan?”
Wuranta masih pura-pura bertanya.
“Kau, kau telah berbuat
sesuatu yang menyenangkan aku. Kau telah menghindarkan aku dari kecurigaan
kedua orang prajurit itu, meskipun ia adalah prajuritku sendiri, tetapi
seandainya kau tidak menerima teguran itu dan mengatakan bahwa akulah yang
menyuruhmu, maka orang itu pasti akan mengatakannya kepada kawan-kawannya,
meskipun tidak bermaksud jahat. Tetapi hal yang demikian itu berbahaya, sebab
mungkin orang-orang Sidanti akan mendengarnya pula.”
“Bagaimana kalau Sidanti
mendengarnya?”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi semburat merah dan giginya
gemeretak, “Persetan, dengan orang itu! Aku kini tidak takut lagi. Tetapi untuk
berhadapan dengan Sidanti aku harus tahu benar, bahwa aku tidak sedang berebut
tulang kering. Bagaimana pesan itu?”
“Sudah aku katakan, Tuan.”
“Bagaimanakah jawabnya?”
Wuranta menjadi ragu-ragu.
“Jangan membisu. Kau tinggal
menirukan jawabannya. Menirukan saja. Bukan kau yang harus menjawab.”
Wuranta menarik nafas panjang.
Kemudian ia menjawab, “Ia menanti Tuan.”
“He,” mata Alap-Alap itu
terbelalak, “ia menanti aku?”
“Demikianlah jawabnya.”
“Hanya itu?”
“Ya, hanya itu. Sebab kedua
laskar Tuan yang keparat itu segera datang dan Sekar Mirah pun meninggalkan
aku.”
“O, setan betul kedua prajurit
itu. Tetapi, tetapi Sekar Mirah berkata demikian?”
“Ya, Tuan. Tuan dapat percaya
atau tidak. Tetapi demikianlah pendengaran telingaku.”
“Baik. Baik. Aku percaya
kepadamu. Nanti malam aku akan datang kepadanya.”
“He,” kini Wurantalah yang
terkejut, “nanti malam Tuan akan datang?”
“Ya, bagaimana?”
“Bagaimana Tuan akan datang
kepada Sekar Mirah di dalam padepokan ini? Apakah dengan demikian Tuan tidak
akan langsung berhadapan dengan Sidanti?”
“Bodoh kau. Aku akan datang
dengan diam-diam. Kalau Sekar Mirah memang menerima aku, maka aku tidak akan
menemui kesulitan apa-apa.”
“Apakah Sekar Mirah akan Tuan
bawa pergi?”
“Kemana aku harus pergi? Oh,
kau ternyata terlampau bodoh. Apakah perlunya aku pergi. Aku dapat datang ke
pondoknya setiap saat dengan diam-diam. Kenapa harus pergi?”
“Bagaimana mungkin Tuan?
Bagaimana mungkin Tuan berbuat demikian?
“Itu urusanku. Jangan ributkan
lagi hubungan kami seterusnya. Aku akan datang setiap saat aku anggap aman. Tak
akan ada kesulitan apa-apa. Orang-orangku akan dapat membantu aku mengawasi
keadaan selagi aku berada di rumah itu.”
“Tuan,” nafas Wuranta menjadi
tersengal-sengal, “apakah Tuan tidak bermaksud membawanya pergi dan kemudian
kawin?”
“Kawin?” sahut Alap-Alap
Jalatunda hampir berteriak karena terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi
kemudian suara tertawanyapun meledak. Demikian kerasnya sampai tubuhnya
berguncang-guncang. Jawabnya, “Oh anak yang malang. Kenapa kau berpikir bahwa
aku akan kawin? Apakah saat seperti ini adalah saat yang baik untuk kawin.
Tidak Wuranta. Aku tidak mau kawin sebelum aku memenangkan peperangan ini. Aku
cemas kalau malam ini aku kawin, besok aku ditangkap Untara.”
“Lalu apa yang akan Tuan
lakukan?”
“Tidak apa-apa. Hubungan kami
tidak perlu diikat dengan perkawinan atau ikatan macam apapun. Sekar Mirah akan
dapat kawin dengan siapa saja kelak. Dengan Sidanti atau dengan orang lain.”
“Oh” keringat dingin kini
memenuhi tubuh Wuranta. Ini adalah perbuatan yang liar dan bahkan biadab.
Seandainya Sekar Mirah menyadari perbuatannya sebagai suatu usaha untuk
melepaskan diri dari lingkungan padepokan ini, maka ia akan kecewa. Bahkan
mungkin ia akan kecewa sepanjang hidupnya menghadapi Alap-Alap yang buas ini.
“Kenapa kau menjadi bingung?”
bertanya Alap-Alap Jalatunda.
“Tidak. Aku tidak bingung. Aku
hanya sedikit kurang mengerti. Kenapa Tuan tidak saja mengambilnya sebagai
isteri. Bukankah dengan demikian hubungan Tuan dengan gadis itu tidak akan
pernah merasa tenteram? Bukankah Tuan telah mengatakan akan mengorbankan apa
saja untuk kepentingan itu. Aku kira juga kedudukan Tuan dan cita-cita Tuan.
Tuan akan dapat meninggalkan padepokan ini dan hidup di tempat yang jauh
bersama gadis itu setelah Tuan melamarnya kepada ayahnya.”
Sekali lagi Alap-Alap
Jalatunda itu tertawa terbahak-bahak. “Tidak, tidak demikian Wuranta. Tetapi
kau jangan menghiraukan persoalan ini. Kau sudah cukup berjasa bagiku. Kau
telah mengikat hubungan yang tak berhasil aku sambung sendiri. Aku dapat
berhubungan dengan perempuan-perempuan yang cukup dewasa menghadapi keadaan,
tetapi menghadapi gadis-gadis yang masih terlampau hijau aku menjadi canggung.
Dan bahkan aku menjadi bingung.”
“Itu adalah pertanda bahwa
sebenarnya Tuan merasa bahwa, tubuh Tuan tidak lagi sesuai untuk gadis-gadis
seperti Sekar Mirah.”
“Apa?” tiba-tiba wajah
Alap-Alap Jalatunda menyadi merah. “Kau maksudkan bahwa aku tidak pantas
berhubungan dengan Sekar Mirah?”
Wuranta terkejut melihat sikap
Alap-Alap Jalatunda itu. Agaknya kata-katanya terdorong terlampau tajam,
sehingga Alap-Alap itu menjadi marah kepadanya.
Karena itu, maka seterusnya ia
mencoba mengendalikan dirinya dan mencoba mempergunakan pikirannya untuk
menguasai perasaannya. Ketika kemudian dilihatnya Alap-Alap Jalatunda
benar-benar marah, maka Wuranta menahan dirinya sekuatnya untuk tidak berkata
terlampau lancang.
“Wuranta,” geram Alap-Alap
Jalatunda dengan mata yang menjadi kemerah-merahan, “ternyata kau benar-benar
gila dan ingin mati di padepokan ini. Kau mencoba mencampuri persoalanku dengan
Sekar Mirah. Kau mencoba mempengaruhi perasaanku supaya aku menjauhkan diri
dari gadis yang menurut katamu justru telah bersedia menungguku.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Katanya dengan sangat hati-hati, “Tuan agaknya salah paham.”
Alap-Alap Jalatunda
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menyawab.
“Aku berkata bahwa Tuan merasa
tubuh Tuan tidak sesuai lagi untuk gadis-gadis seperti Sekar Mirah. Aku tidak
mengatakan bahwa sebenarnya demikian. Tuan, kata-kataku belum selesai.
Lanjutannya adalah, seharusnya Tuan jangan merasa demikian. Supaya Tuan tidak
menjadi canggung apalagi bingung.”
Alap-Alap Jalatunda menggigit
bibirnya. Tetapi ia menggeram, “Wuranta, aku tahu bahwa kau mencoba
mempermainkan kata-kata. Tetapi aku tahu benar maksud kata-katamu. Aku bukan
anak-anak yang dapat kau kelabui dengan kalimat-kalimat yang kau susun jungkir
balik. Kau memang berkata seperti yang ingin kau katakan. Aku tidak salah
paham. Tetapi yang tidak jelas bagiku adalah maksud kata-katamu itu. Apakah kau
sebenarnya ingin mempengaruhi aku agar menjauhkan diri dari Sekar Mirah dan
memberi kesempatan kepadamu, ataukah karena kau sekedar terdorong oleh
perasaanmu sehingga kau mengucapkan kata-kata itu.”
Wajah Wuranta segera menadi
semburat merah. Alap-Alap Jalatunda sebenarnya memang bukan anak-anak. Ternyata
ia menangkap usahanya untuk memperbaiki kesalahannya. Tetapi hatinya menjadi
lega ketika Alap-Alap itu berkata, “Wuranta, kali ini kau aku maafkan, sebab
aku mengira bahwa kau hanya terlanjur saja menuruti perasaan. Ternyata kau
menyampaikan pesan itu kepada Sekar Mirah. Malam nanti aku akan datang
kepadanya. Kalau kau tidak sebenarnya menyampaikan pesan itu, maka kau akan aku
gantung di prapatan di muka regol padepokan dengan seribu macam alasan yang
pasti akan diterima oleh setiap orang yang tinggal di padepokan ini. Apalagi
keadaan kini menjadi semakin tegang karena kedatangan Untara. Ki Tambak Wedi
sendiri akan melihat, apakah benar pasukan Untara itu segelar sepapan seperti
yang kau katakan. Agaknya Ki Tambak Wedi kurang percaya dan ia mempunyai
perhitungan tersendiri. Justru karena itu aku harus segera mendapatkan Sekar
Mirah sebelum besok atau lusa aku harus bertempur melawan orang-orang Pajang di
Jati Anom. Mungkin Ki Tambak Wedi tidak akan menunggu mereka kemari, tetapi
kitalah yang akan datang ke sana.”
Dada Wuranta menjadi
berdebar-debar mendengar kata-kata Alap-Alap Jalatunda itu. Bukan saja karena
Alap-Alap Jalatunda itu tahu tepat perasaannya mengenai Sekar Mirah, tetapi
juga tentang sikap Ki Tambak Wedi. Ternyata Ki Tambak Wedi benar-benar seorang
yang mempunyal pandangan yang cermat nenghadapi pasukan Pajang. Ia tidak lekas
percaya dan mempunyai daya pengamatan yang jauh.
Dalam pada itu Alap-Alap
Jalatunda berkata seterusnya, “Nah, sekarang beristirahatlah. Jangan mencoba
mengkhianati aku dengan segala macam fitnah yang dapat kau sampaikan kepada
Sidanti, supaya kau selamat di padepokan ini. Jangan kau sangka bahwa Sidanti
mempercayaimu sepenuhnya, apalagi Ki Tambak Wedi. Hari ini Ki Tambak Wedi akan
ke Jati Anom, sedang kau harus tinggal di padepokan ini sampai besok. Ki Tambak
Wedi akan berbuat menurut pertimbangannya. Baik atas orang-orang Pajang di Jati
Anom, maupun terhadapmu.”
Dada Wuranta menjadi semakin
berdebar-debar. Terasa sikap Ki Tambak Wedi itu berbahaya baginya. Dalam
keadaan yang demikian maka Wuranta itu pun teringatlah kepada Ki Tanu Metir.
Menghadapi Ki Tambak Wedi, Ki Tanu Metir mendapat sikap yang seimbang. Karena
itu, maka keadaannya akan banyak tergantung pada permainan antara kedua orang
tua-tua itu.
“Tetapi hari ini aku harus
tetap berada di padepokan ini” katanya di dalam hati.
Tetapi Wuranta itu terkejut
ketika ia mendengar Alap-Alap Jalatunda berkata, “Beristirahatlah. Tidak hanya
hari ini, tetapi kau dapat beristirahat sampai besok. Sampai Ki Tambak Wedi
menentukan sikap. Aku mengucapkan terima kasih bahwa kau telah membantuku
apabila katamu benar, bahwa kau telah menyampaikan pesan itu kepada Sekar
Mirah.”
Wuranta tidak segera menjawab.
Ia masih dikuasai oleh kegelisahan. Dan ia mendengar Alap-Alap Jalatunda itu
berkata, “Aku akan pergi. Maaf bahwa aku tidak dapat berbuat sesuatu untuk
mengusir prajurit-prajurit yang kini di tempatkan di sekitar rumah ini. Itu
bukan atas kehendakku. Bukan pula kehendak Sidanti. Sidanti hanya bercerita
tentang kau, bagaimana kau diketemukan dan bagaimana kau mendapat kepercayaan
daripadanya. Ki Tambak Wedi ternyata mempunyai sikap tersendiri kepadamu. Kau
harus tetap tinggal di sini sampai jatuh keputusan lain dari orang tua itu.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia berusaha untuk menguasai dirinya dengan baik. Perlahan-lahan ia
bergumam, “Baik. Aku akan tetap tinggal di sini menunggu keputusan itu.
Mudah-mudahan Ki Tambak Wedi berhasil melihat keadaan sesungguhnya di Jati
Anom, sehingga kecurigaan yang ada itu segera hilang.”
Wuranta menjadi curiga ketika
ia melihat Alap-Alap Jalatunda tersenyum. Senyum itu terlampau aneh baginya.
Tetapi ia tidak berbicara lagi. Dibiarkannya Alap-Alap Jalatunda itu
meninggalkannya. Ia merasa bahwa Alap-Alap itu pun sudah tidak memerlukannya
lagi. Ketika ia mengantarkannya sampai ke muka pintu, maka dilihatnya beberapa
orang prajurit berjalan hilir mudik di luar regol halaman.
Wurantapun segera menyadari
keadaannya. Orang-orang yang berjaga-jaga itu pasti mendapat perintah untuk
mengawasinya. Terasa juga bahwa dadanya menjadi berdebar-debar.
“Hem,” gumamnya di dalam hati,
“pekerjaan ini memang penuh dengan bermacam-macam bahaya.”
Tetapi semisal seseorang yang
menyeberangi sungai, Wuranta telah berada di tengah-tengah. Maju atau mundur,
ia sudah terIanjur menjadi basah. Maka harapannya kemudian adalah mudah-mudahan
Ki Tanu Metir dapat mengimbangi permainan Ki Tambak Wedi, sehingga nyawanya
tidak segera berada di ujung tali gantungan.
Wuranta masih melihat orang
tua yang menghuni rumah itu bekerja dengan tekun di halamannya tanpa
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Seakan-akan kerja yang dilakukan itu
adalah pusar dari segenap hidupnya, dan orang tua itu sendiri telah menjadi
budak daripadanya. “Sayang” desisnya di dalam hati. “Seandainya orang tua itu
mendengar kata-kata Alap-Alap Jalatunda maka Sidanti pun mungkin akan mendengar
laporannya. Ternyata ia masih saja sibuk dengan kerjanya.”
Perlahan-lahan Wuranta
melangkah ke halaman. Ia merasa bahwa beberapa pasang mata sedang mengamatinya.
Tetapi Wuranta pura-pura tidak mengetahuinya. Ketika ia mengamati pagar dinding
halaman itu, maka ia melihat bahwa pagar itu tidak terlampau tinggi. Tetapi
sudah barang tentu ia tidak dapat berusaha melarikan diri dan melampaui dinding
padepokan Tambak Wedi meskipun ia akan dengan mudah keluar dari halaman itu.
“Apakah Angger sudah cukup
beristirahat?” terdengar orang tua yang sedang bekerja di halamannya itu
bertanya.
“Sudah, Kek,” sahut Wuranta,
“sudah terlampau cukup.”
“Apakah Angger akan
berjalan-jalan lagi untuk menikmati siang yang cerah ini?”
“Di halaman ini pun aku dapat
menikmatinya.”
Orang tua itu berhenti
bekerja. Dipandanginya wajah Wuranta sambil berkata, “Kenapa di halaman ini?
Apakah Angger tidak dapat menikmati pagi di halaman ini pula?”
Wuranta tersenyum. Katanya,
“Teruskan kerjamu, Kek. Aku tidak akan mengganggu dengan bermacam-macam
percakapan yang tidak akan berarti apa-apa buat kau.”
Kakek itu pun tersenyum pula.
Dan diteruskannya kerja. Sejenak kemudian ia berhenti pula sambil memandangi
berkeliling. Ia melihat pula kehadiran dan kepergian Alap-Alap Jalatunda.
Kemudian beberapa orang laskar di sekitar halamannya. Perlahan-lahan ia berkata
kepada Wuranta yang berdiri dekat padanya, “Kalau aku tidak bekerja keras, dan
penghasilanku tidak memenuhi ketentuan yang diberikan oleh pimpinan padepokan,
maka aku bukanlah penghuni padepokan yang baik. Aku akan dapat bermacam-macam peringatan
dan bahkan apabila hal tersebut berjalan beberapa kali, aku akan dapat menerima
hukuman denda atas hasil dari seluruh halaman, kebun, sawah dan ladangku yang
tidak seberapa luas. Dengan demikian, maka makan kami sekeluarga akan menjadi
sangat kurang.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia sudah menduga bahwa ada suatu tekanan yang memaksa orang-orang
padepokan ini diperbudak oleh kerja.
Tetapi ia tidak akan sempat
lagi memikirkannya. Memikirkan kakek yang tua itu dan persoalan-persoalan lain
yang tidak banyak diketahuinya. Ia kini harus memikirkan dirinya sendiri.
Bagaimanakah keadaan yang akan dihadapi selanjutnya.
“Aku hanya dapat menunggu,”
katanya di dalam hati, “aku tidak dapat berbuat sesuatu.”
Dengan demikian, maka Wuranta
itu pun kembali masuk ke dalam biliknya dan dengan hati yang kosong merebahkan
dirinya di atas amben pembaringannya. Kepalanya kini menjadi semakin pening
memikirkan dirinya sendiri dan Sekar Mirah. Bagaimanakah sikap gadis itu nanti
apabila Alap-Alap Jalatunda datang kepadanya.
“Aku tidak sempat memberi
peringatan kepada gadis itu,” gumamnya kepada diri sendiri, “mudah-mudahan ia
dapat membawa dirinya.”
Semakin jauh matahari bergeser
di garis edarnya, hati Wuranta menjadi semakin tidak tenang. Ketika matahari
telah menjadi condong ke barat, maka dadanya terasa menjadi pepat. Makan siang
yang dihidangkan oleh nenek penghuni rumah itu tak dapat ditelannya seperti
biasanya. Hanya satu dua suap saja yang dapat dimakannya, sehingga suami isteri
itu menjadi sangat heran.
“Apakah kau sakit, Ngger?”
bertanya laki-laki tua yang makan bersamanya.
“Tidak, Kek“ sahut Wuranta.
“Angger makan terlampau
sedikit.”
“Aku tidak apa-apa, Kek.”
Laki-laki tua itu tidak
bertanya lagi. Tetapi sebagai orang Tambak Wedi ia dapat mengerti. Laskar yang
hilir-mudik di luar halamannya itu pasti berhubungan dengan adanya anak muda
Jati Anom itu di rumahnya.
Demikianlah, maka akhirnya
matahari pun menjadi semakin rendah menggantung di langit sebelah barat.
Sejenak kemudian, maka ujung Gunung Merapi yang menjulang tinggi itu pun
menjadi kemerah-merahan seperti seonggok bara raksasa yang memanasi langit yang
kemerah-merahan pula.
Ketika terdengar suara burung
yang ribut berebut sarang, maka hati Wuranta pun menjadi semakin kisruh. Kisruh
tentang dirinya sendiri dan tentang nasib Sekar Mirah, adik Swandaru yang
selalu dihantui oleh kegelisahan.
Tetapi Wuranta tidak dapat
berbuat apapun, ketika perlahan-lahan malam turun menyelimuti lereng Gunung
Merapi. Semakin lama semakin samar dan gelap. Lampu-lampu minyak pun segera
dinyalakan berkeredipan seperti mata anak-anak yang cemas ketakutan. Apabila
angin yang silir menyentuhnya, maka lampu-lampu itu pun seakan-akan terpejam
untuk sesaat.
Hati Wuranta pun menjadi
semakin tidak tenang. Ia tidak dapat mengetahui apakah yang sudah terjadi di
luar pagar batu halaman rumah itu. Ia tidak tahu apakah yang sedang dilakukan
oleh Ki Tambak Wedi kini. Apakah orang tua itu sedang berada di Jati Anom,
apakah ia sedang merencanakan untuk memancungnya. Tetapi bayangan yang terkuat
mempengaruhinya adalah bayangan Alap-Alap Jalatunda yang sedang merayap-rayap
mendekati pondok Sekar Mirah.
Dengan demikian maka hati
Wuranta menjadi semakin cemas. Kalau Alap-Alap Jalatunda itu berhasil dan Ki
Tambak Wedi mengetahui peranan yang sedang dilakukan, maka semua usahanya itu
akan sia-sia. Ia tidak berhasil memberikan bantuan apa-apa kepada Agung Sedayu,
Swandaru, dan Ki Tanu Metir. Apalagi kepada pasukan Pajang. Bahkan mungkin
namanya pun untuk seterusnya tidak akan dapat diperbaikinya, sebab orang-orang
Jati Anom yang melihatnya berjalan bersama-sama dengan orang-orang lereng
Merapi pasti sudah menyangkanya bahwa ia berpihak kepada Jipang.
Kematiannya akan tidak berarti
sama sekali. Ia akan merupakan korban yang sia-sia. Namun meskipun demikian, ia
masih juga dapat menghibur dirinya, bahwa usaha itu dilakukan dengan maksud
yang baik, dengan tekad yang dapat dibanggakan. Adalah wajar, bahwa sesuatu
usaha itu dapat berhasil dan dapat juga gagal.
Akhirnya Wuranta itu pun
menjadi agak tenang. Ia pasrah diri kepada Kekuasaan Tertinggi. Kekuasaan yang
jauh lebih tinggi, dan bahkan sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan
kekuasaan Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Alap-Alap Jalatunda. Hanya di dalam
tangan-Nya terletak kepastian tentang dirinya.
Meskipun demikian, Wuranta
sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Ia ingin tidur dan melupakan
segala-galanya. Seandainya sesuatu terjadi, tetapi ia tidak dapat berbuat
apapun, maka hatinya pasti akan bertambah pedih. Karena itu, ia ingin saja
tidur. Tidur. Namun meskipun ia ingin tidur, ia sama sekali tidak menanggalkan
pedangnya, dan slarak kancing pintu biliknya pun dipasangnya.
Wuranta mengangkat kepalanya
sesaat ketika ia mendengar langkah kaki di muka biliknya. Ia berdesah di dalam
hati, ketika kemudian ia mendengar suara batuk-batuk kakek tua penghuni rumah
itu.
Tetapi agaknya kakek tua itu
berhenti di muka pintu biliknya dan perlahan-lahan berkata, “Angger, apakah
Angger sedang sakit?”
“Oh, tidak Kek” jawab Wuranta
sambil barbaring.
“Apakah Angger tidak makan
lebih dahulu? Bukankah ini masih terlampau sore untuk pergi tidur, Ngger?”
“Aku terlampau lelah, Kek. Dua
malam aku hampir tidak tidur sama sekali. Sekarang aku ingin tidur
sepuas-puasnya.”
“Tetapi makanlah dahulu.”
“Terima kasih, Kek.”
“Heh,” Wuranta mendengar orang
tua itu berdesah, lalu terdengar langkahnya menjauh. Wuranta memang tidak
mempunyai nafsu sama sekali untuk makan. Perutnya sama sekali tidak terasa
lapar meskipun siang tadi ia pun hanya makan terlalu sedikit.
Rumah itu pun kemudian menjadi
sunyi. Sekali-sekali terdengar suara batuk-batuk kakek tua penghuni rumah itu,
tetapi sebentar kemudian sunyi kembali. Wuranta terkejut ketika ia mendengar
suara cicak dekat sekali di atas kepalanya, sehingga ia mengumpat di dalam
hatinya.
Sementara itu, malam pun
menjadi semakin malam. Di kejauhan terdengar suara burung hantu seperti suara
jejaka yang sedang mengeluh meratapi nasibnya yang malang.
Wuranta masih berbaring di
pembaringannya. Terasa olehnya betapa waktu berjalan terlampau lamban. Serasa
sudah hampir semalam suntuk ia berbaring, tetapi kemudian ia mendengar suara
kentong di kejauhan. Dara muluk.
“He,” Wuranta terkejut
mendengar suara kentongan itu, “baru tengah malam.” Dan anak muda itu merasa
tersiksa di pembaringannya.
Tetapi sekali lagi Wuranta
mengangkat kepalanya. Kemudian ia berusaha untuk mengatur nafasnya, supaya
orang di luar biliknya menyangkanya bahwa ia sudah tidur, karena ia mendengar
desah langkah mendekati biliknya. Namun yang didengarnya itu bukan hanya
langkah seseorang.
“Siapakah mereka?” pertanyaan
itu berputus di dalam dadanya.
Sejenak kemudian Wuranta
mendengar pintu lereg biliknya diketuk orang perlahan-lahan. Dan Wuranta itu
pun kemudian mendengar suara di luar, “Angger, Angger Wuranta. Apakah Angger
sudah tidur?”
Wuranta mempertajam
pendengarannya. Memang tidak hanya satu orang yang berdiri di luar pintu
biliknya. Dan tanpa disengaja tangannya meraba hulu pedangnya.
“Hem, apa lagi yang akan
terjadi? Apakah Ki Tambak Wedi sudah mendapat kesimpulan tentang diriku?”
“Angger Wuranta,” ia mendengar
suara itu lagi.
“Kakek tua itu” desis Wuranta
di dalam hatinya. Tetapi Wuranta tidak segera menjawab.
Sakali lagi terdengar ketokan
di pintunya dan suara orang tua itu terdengar lagi, “Angger, bangunlah. Ada
sesuatu yang barangkali penting bagi Angger?”
Wuranta menggeliat di
pembaringannya. Perlahan-lahan ia menyahut dengan nada yang datar, “Apa Kek?”
“Bangunlah, Ngger. Ada yang
penting bagi Angger.”
“Apakah yang penting itu?”
“Silahkan Angger keluar
sebentar, hanya sebentar.”
Hati Wuranta berdesir.
Perasaannya seakan-akan memberitahukan kepadanya, bahwa akan terjadi sesuatu
yang berbahaya baginya. Tetapi ia tidak akan dapat menghindar. Dan terdengar
sekali lagi suara kakek tua itu, “Keluarlah sebentar, Ngger.”
Wuranta itu pun bangkit dari
pembaringannya. Dibenahinya pakaiannya dan dirabanya hulu pedangnya. Sejenak ia
berdiri termangu-mangu. Tetapi kemudian disadarinya, bahwa ia tidak akan dapat
menghindari apapun yang akan terjadi. Dengan demikian maka tekadnya menjadi
bulat. Dan ia berkata kepada diri sendiri di dalam hatinya, “Aku bukan cacing
yang menyerahkan dirinya untuk diinjak-injak. Aku harus berbuat sesuatu
meskipun akibatnya sama. Tetapi lebih baik mati dengan pedang di tangan
daripada mati di tiang gantungan.”
Dengan demikian maka Wuranta
itu tidak menjadi ragu-ragu lagi. Perlahan-lahan dan hati-hati ia mendekati
pintu biliknya. Perlahan-lahan dan hati-hati pula ia membukanya. Ketika pintu
itu terbuka, alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia melihat kakek tua penghuni
rumah itu berdiri tegap di muka pintunya dengan sehelai pedang di lambungnya.
Wuranta tegak sebagai patung
melihat orang tua itu tersenyum. Sejenak mulutnya seakan-akan terbungkam, namun
dadanya bergelora demikian kerasnya.
“Selamat malam, Ngger,” orang
tua penghuni rumah itu menyapanya. Senyum yang masih saja membayang di
wajahnya, terasa oleh Wuranta sebagai suatu ejekan yang menusuk perasaannya.
“Apakah Angger heran melihat
aku? Bukankah aku sudah Angger kenal sejak tiga hari yang lalu?”
“Oh,” Wuranta mengumpat di
dalam hati, “setan tua itu sempat juga membuat hatiku menjadi samakin parah.”
“Adakah yang aneh padaku,
Ngger?”
Dengan nada yang datar Wuranta
menjawab, “Tidak ada, Kek. Tidak ada yang aneh.”
“Tetapi tatapan mata Angger
Wuranta terasa agak lain dari biasanya. Apakah dengan bekerja sehari ini aku
sudah bertambah tua lagi?”
Dada Wuranta berdesir. Tetapi
ia menjawab, “Tidak Kek. Kakek tampaknya bertambah muda. Agaknya kakek
menyadari kebenaran kata-kataku. Dan agaknya kakek telah mencoba menikmati
keindahan malam. Nah, apakah Kakek ingin mengajakku melihat bintang yang
bergayutan di langit? Bukankah dengan demikian Kakek dapat melupakan sejenak
kesulitan dan penderitaan Kakek selama Kakek diperbudak oleh kerja yang
membosankan itu?”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya, tetapi ia kemudian tersenyum. Ketika ia berpaling, dilihatnya
laki-laki yang datang bersamanya memandanginya dengan penuh pertanyaan.
“Kau belum mengenalnya”
berkata kakek itu kepada kawannya.
“Sudah, Paman” jawab laki-laki
yang masih agak muda itu.
“Kau baru mengenal orangnya.
Bentuknya dan wajahnya. Tetapi kau belum mengenal tabiat dan sifat-sifatnya.
Anak muda ini adalah anak muda yang mempunyai perasaan lembut seperti
helai-helai benang kepompong sutra.”
“Ah” Wuranta berdesah.
Tiba-tiba ia melihat sinar yang aneh memancar dari sepasang mata orang tua itu,
selain senyumnya yang menyentuh perasaan. Wuranta merasakan bahwa orang tua itu
sengaja menyindirnya dan membuatnya sakit hati. Apalagi ketika ia melihat laki-laki,
kawan orang tua itu tertawa pendek.
“Sekarang, apakah maksud
Kakek, dan siapakah Kakek ini sebenarnya?”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Petanyaanmu aneh anak muda. Bukankah Angger telah
mengenal aku selama beberapa hari?”
“Aku mengenal Kakek kemarin
berbeda dengan aku melihat Kakek saat ini. Aku telah mengenal Kakek dengan
cangkul di tangan, tetapi Kakek sekarang membawa pedang di lambung.”
“Oh, itukah yang Angger
tanyakan? Aku yang kemarin adalah aku yang sekarang. Setiap laki-laki di
padepokan berhak mengenakan pedang di lambungnya dan berkewajiban
mempertahankan padepokan ini dengan seluruh kemampuan yang ada. Kini keadaan
meningkat dengan cepatnya. Pasukan Untara telah berada di Jati Anom. Itulah
sebabnya aku mengenakan pedangku.”
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Nah, sekarang katakan maksudmu. Katakanlah
kepentingan yang kau sebut-sebut itu?”
Dada Wuranta menjadi bertambah
pepat ketika ia masih saja melihat kakek tua itu tersenyum.
“Katakanlah” desak Wuranta
tanpa sesadarnya.
“Sabarlah, Ngger,” sahut orang
tua itu, “aku akan mengatakannya perlahan-lahan, supaya aku tidak salah ucap.
Dengarlah baik-baik. Angger Wuranta, aku mendapat perintah dari Angger Sidanti
untuk membawa Angger menghadap.”
“Tengah malam begini?”
“He,” orang tua itu menjadi
heran mendengar jawaban Wuranta, “apa bedanya tengah malam dan tengah hari?
Bukankah bagi seorang prajurit, apalagi dalam keadaan yang penting semacam ini,
tidak ada perbedaan waktu? Sekarang Angger harus menghadap. Besok pagi Angger
Sidanti sudah akan mulai dengan sebuah gerakan yang menentukan. Kau tahu, bahwa
apa yang kau katakan kepada Angger Sidanti ternyata tidak benar? Mungkin kau
tidak sengaja berbohong, tetapi kalau kesalahan tidak dibetulkan, maka
akibatnya akan jauh sekali. Ternyata menurut Ki Tambak Wedi yang baru saja
datang dari Jati Anom, Untara sama sekali tidak datang dengan pasukan segelar
sepapan. Memang ia membuat gelar sandi dengan menggerakkan orang-orangnya yang
dibawanya. Peronda yang hilir-mudik dan penghubung-penghubung berkuda. Tetapi
Ki Tambak Wedi tak dapat dikelabuhi. Itulah sebabnya Ki Tambak Wedi memutuskan,
sebentar lagi kita berangkat ke Jati Anom. Begitu matahari memanjat langit,
begitu kita hancurkan pasukan Pajang. Nah, kau dengar. Itulah sebabnya semua
persoalan harus diselesaikan sekarang. Termasuk persoalanmu.”
“Apakah ada persoalan dengan
aku?” bertanya Wuranta.
Orang tua itu tertawa. Ketika
ia berpaling, maka laki-laki yang berdiri di sampingnya itu pun tertawa pula.
“Aku tidak tahu pasti, Ngger.
Apakah persoalanmu itu. Tetapi yang aku tangkap, ternyata Ki Tambak Wedi
mencurigaimu. Apalagi ketika Ki Tambak Wedi itu mendengar percakapan di dalam
rumahmu. Percakapan yang mencurigakan. Bukankah di dalam rumahmu itu
bersembunyi anak-anak muda yang bernama Swandaru dan Agung Sedayu? Apakah
dengan demikian tidak sewajarnya bahwa Ki Tambak Wedi menjadi curiga. Bukankah
dengan demikian dapat timbul dugaan, bahwa kedua anak muda itu merupakan
penghubung antara Angger Wuranta dan Untara tanpa mencurigakan? Tetapi aku
tidak banyak mengetahui, Ngger. Aku adalah orang kecil. Tugasku sekarang
membawa Angger menghadap Angger Sidanti. Marilah.”
Wuranta memandang wajah orang
tua itu dengan pandangan mata yang berapi-api. Kini jelas baginya, bahwa
nyawanya telah berada di ujung nenggala Sidanti yang mengerikan itu. Tetapi
apakah ia akan dengan suka-rela dituntun oleh kakek-kakek tua itu menghadap pada
Sidanti untuk menyerahkan lehernya?
Berbagai persoalan telah
merangsang jantung Wuranta. Sesaat ia berdiri saja seperti tonggak. Namun
gemuruh di dalam dadanya serasa gemuruhnya perut Gunung Merapi.
Yang juga menumbuhkan
pertanyaan di dalam hatinya adalah orang tua yang bernama Ki Tanu Metir. Kalau
Ki Tambak Wedi mendengar suara Agung Sedayu dan Swandaru di dalam rumahnya,
lalu apakah Ki Tambak Wedi tidak mengetahui bahwa Ki Tanu Metir ada di dalamnya
pula?
Wuranta itu tersadar ketika
orang tua yang berdiri di mukanya itu berkata, “Sudahkah Angger siap menghadap
Angger Sidanti?”
Wuranta memandang wajah orang
tua itu dengan tajamnya. Sekilas ia melihat pedang di lambung kakek tua itu dan
di lambung laki-laki yang datang bersamanya, seolah-olah ia ingin mengetahui,
apakah kedua pedang itu akan mampu mematahkan pedangnya. Tetapi kemudian
disadarinya, bahwa di luar rumah itu pun agaknya berkeliaran orang-orang
Sidanti. Karena itu, maka ia harus berhati-hati.
Meskipun demikian, apakah ia
akan menurut saja dijerat lehernya seperti seekor kambing yang akan disembelih.
“Aku adalah laki-laki,”
katanya di dalam hati, “aku sudah menyanggupi melakukan pekerjaan seperti ini
yang oleh Ki Tanu Metir sudah disebut-sebut pula kemungkinan-kemungkinannya.
Karena itu aku tidak boleh menghindar. Lebih baik bagiku mati di sini,
dikeroyok orang-orang itu daripada aku harus menjawab beribu macam pertanyaan
yang pasti akan diberikan oleh Sidanti, Ki Tambak Wedi, dan mungkin juga Sanakeling
dan Alap-Alap Jalatunda.”
Karena itu maka tiba-tiba
Wuranta itu mundur selangkah sambil meraba hulu pedangnya, katanya, “Kakek,
siapakah yang memerlukan, aku atau Sidanti. Kalau Sidanti yang memerlukan aku,
biarlah ia datang kemari. Kalau aku yang memerlukannya, maka aku akan datang
kepadanya.”
Kakek tua itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ditatapnya wajah Wuranta dengan tajamnya. Namun sesaat
kemudian ia tersenyum, “Jangan begitu, Ngger. Sebaiknya Angger datang
kepadanya, apapun yang akan terjadi. Kami hanyalah utusan-utusan yang tidak
banyak mengerti persoalannya. Tetapi aku menyesal bahwa aku telah mengatakan
sebagian dari persoalan yang aku ketahui.”
“Tidak, Kakek. Aku tetap di
sini.”
“Ah,” orang tua itu berdesah,
“jangan memperberat pekerjaan kami.”
Wuranta melihat cahaya mata
orang tua itu. Tetapi ia sudah membulatkan tekadnya. Hanya tiba-tiba saja
terasa hatinya berdesir tajam ketika teringat olehnya akan nasib Sekar Mirah.
Apakah yang akan terjadi dengan gadis itu? Apakah saat ini Alap-Alap Jalatunda
telah memasuki pondok gadis itu?
Adalah bertepatan sekali,
ketika Wuranta sedang mencemaskan Sekar Mirah, maka Alap-Alap Jalatunda
benar-benar sedang merayap-rayap mendekati pondoknya.
Sehabis mendengarkan beberapa
penjelasan dari Ki Tambak Wedi tentang Jati Anom yang baru saja dilihat oleh
orang tua itu, maka dengan tergesa-gesa Alap-Alap Jalatunda berusaha untuk
memenuhi pesannya lewat Wuranta meskipun ia tahu bahwa Wuranta pasti akan
dipanggil oleh Sidanti. Tetapi ia mengharap Wuranta tidak mengatakan tentang
dirinya. Ia mengharap Wuranta memerlukannya untuk mengurangi kesalahannya atau
mungkin menolongnya. Seandainya Wuranta akan mengatakan juga tentang dirinya,
maka ia akan dengan mudahnya menjawab, bahwa semuanya itu hanyalah fitnah saja.
Wuranta itu dapat dituduh sedang mencari kawan menjelang tiang gantungan.
Apabila kemudian Sidanti bertanya kepada Sekar Mirah, maka gadis yang telah
bersedia menunggunya itu pasti tidak akan mengatakan apa yang telah terjadi.
Namun pertimbangan-pertimbangan
Alap-Alap Jalatunda ternyata sudah tidak jernih lagi, karena keinginannya yang
meluap-luap untuk segera mendapatkan Sekar Mirah. Otaknya seakan-akan sudah
tidak dapat lagi dipakainya untuk membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat.
Itulah sebabnya, maka ia tidak dapat memperhitungkan, bahwa Sidanti akan segera
saat itu juga memanggil Wuranta. Pada sangkanya, maka hal itu akan dilakukannya
nanti atau besok atau kapan saja, bahkan mungkin setelah Jati Anom jatuh. Sebab
menurut perhitungan Ki Tambak Wedi, Jati Anom pasti tidak akan mampu bertahan
terhadap sergapan yang akan dilakukan dengan tiba-tiba.
Sayang, bahwa Alap-Alap
Jalatunda tergesa-gesa meninggakan pertemuan setelah penjelasan Ki Tambak Wedi
selesai. Hanya Sanakeling-lah yang kemudian ikut memutuskan, bahwa malam itu
juga pasukan Jipang dan Tambak Wedi akan turun ke Jati Anom. Keputusan itu
kemudian dibicarakan lagi dalam pertemuan yang lebih lengkap. Tetapi mereka
tidak menemukan Alap-Alap Jalatunda di dalam pertemuan itu. Seorang yang bertugas
di regol banjar pertemuan itu berkata, bahwa ia bertemu dengan Alap-Alap
Jalatunda yang sedang pergi nganglang.
Tetapi karena Sanakeling
bersedia mempertanggungjawabkan keputusan itu bersama beberapa orang pemimpin
laskarnya yang lain, maka keputusan itu jatuhlah atas semua kekuatan di Tambak
Wedi.
“Aku akan mencari Alap-Alap
Jalatunda,” berkata Sanakeling, “kalau aku tidak menemuinya karena ia pergi
nganglang ke luar padepokan, maka biarlah aku memanggilnya dengan tanda.”
“Baik,” sahut Sidanti, “sementara
ini aku memanggil Wuranta. Anak gila itu lebih baik diselesaikan sekarang
daripada menjadi duri di dalam padepokan ini.”
Tetapi baik Sidanti maupun
Sanakeling tidak menyangka sama sekali, bahwa Alap-Alap Jalatunda itu sedang
dituntun oleh nafsunya menuju ke gubug Sekar Mirah.
“Persetan dengan sesorah demit
tua itu,” Alap-Alap Jalatunda menggerutu di dalam hatinya, “aku sudah terlanjur
mengikat janji. Aku harus datang. Kalau ada sesuatu yang penting, biarlah
Kakang Sanakeling mendengarnya. Ia pasti akan menyampaikan kepadaku nanti.
Tetapi malam ini aku harus bertemu dengan gadis itu supaya kelak semua
pesan-pesanku tidak dianggapnya sebagai pesan yang kosong, bahkan berbohong.
Kalau mereka memerlukan aku segera maka Kakang Sanakeling pasti akan
membunyikan tanda.”
Demikianlah, maka dengan
hati-hati Alap-Alap Jalatunda melangkah semakin dekat dengan pondok gadis yang
sedang menunggunya itu.
Malam pun semakin lama menjadi
semakin dalam. Di kejauhan masih saja terdengar burung hantu mengeluh
berkepanjangan. Embun yang sejuk setetes-setetes jatuh di antara rerumputan
yang hijau kekuning-kuningan.
Desah kaki Alap-Alap Jalatunda
hampir tidak terdengar. Perlahan-lahan sekali ia mendekat pondok Sekar Mirah.
Ia tidak berani mengambil jalan dari depan, sebab ia tahu benar, bahwa Sidanti
meletakkan beberapa orang pengawas di sekitar pondok itu. Meskipun Alap-Alap
Jalatunda tahu juga, bahwa pengawasan itu tidak begitu ketat. Karena Sidanti
menganggap bahwa Sekar Mirah tidak akan mungkin dapat lari meninggalkan
padepokannya.
Tetapi kali ini Alap-Alap
Jalatunda cukup berhati-hati. Keinginannya untuk bertemu dengan Sekar Mirah
telah mendorongnya untuk berbuat apa saja, asal maksudnya itu tercapai.
Dengan sangat hati-hati anak
muda itu merayap-rayap dari satu halaman ke halaman berikutnya. Dengan
hati-hati anak muda itu meloncati dinding batu yang satu kemudian dinding batu
berikutnya. Ia harus mendekati pondok itu dari belakang, supaya tak seorangpun
yang melihatnya.
Pengenalannya tentang
padepokan itu sudah cukup baik, sehingga dengan tidak banyak kesulitan, maka
Alap-Alap Jalatunda itu pun menjadi semakin dekat. Ketika ia tinggal terpisah
oleh selapis dinding batu, maka Alap-Alap itu berhenti sejenak. Dicobanya
mengatur detak jantung, serta pernafasannya.
“Tengah malam,” desisnya,
“mudah-mudahan aku tidak dianggapnya berbohong.”
Namun demikian, dadanya kini
menjadi berdebar-debar. Timbullah kebimbangan di dalam hatinya. Bagaimanapun
juga ia harus memperhitungkan, apakah yang akan dilakukannya, apabila seseorang
melihatnya masuk ke dalam pondok itu.
“Hem,” Alap-Alap itu
menggeram, “tak akan ada seorang pun yang melihat. Kalau aku berhasil masuk,
maka aku akan mendapat sambutan yang tak akan dapat aku lupakan seumur hidupku.
Sambutan itu pasti akan sangat berbeda dengan sambutan yang pernah aku terima
dari perempuan yang manapun. Nyai Sari, Nyai Lames, dan bahkan Nyai Pinan, yang
menyebabkan aku hampir saja menjadi lumat karena kemarahan Tohpati.”
Alap-Alap Jalatunda itu
menyadari, bahwa Sekar Mirah adalah seorang gadis yang jauh berbeda dengan
perempuan-perempuan yang pernah dikenalnya. Perempuan-perempuan yang tidak lagi
membedakan, apakah yang datang itu Alap-Alap Jalatunda, apakah laki-laki yang
manapun juga. Tetapi Sekar Mirah itu telah menunggunya. Alap-Alap Jalatunda.
Bukan laki-laki yang lain. Bukan pula Sidanti atau Wuranta sendiri.
Angan-angan itu telah
mendorong Alap-Alap Jalatunda ke dalam suatu tindakan yang lebih berani. Kini
pagar yang tinggal selembar itu telah diloncatinya. Dan kini ia telah berada di
halaman belakang pondok yang dipakai untuk menyimpan Sekar Mirah oleh Sidanti.
Sebuah pondok kecil yang didiami oleh Sekar Mirah seorang diri. Hanya
kadang-kadang saja, setiap hari satu dua kali, seorang perempuan tua yang
memasak untuknya, datang mengantarkan makanannya dan meminjaminya satu dua
lembar pakaian.
Di halaman belakang itu
Alap-Alap Jalatunda bersembunyi. Sejenak ia berdiam diri melihat keadaan di
sekitarnya. Dipasangnya telinga dan matanya sebaik-baiknya. Ia tidak ingin
gagal untuk mendapatkan Sekar Mirah malam itu juga.
Ketika tidak seorang pun yang
dilihatnya, dan tidak didengarnya gemerisik apapun, perlahan-lahan ia merayap
mendekati pondok itu. Ia berlindung dari satu gerumbul ke gerumbul yang lain.
Sangat berhati-hati, seperti seseorang yang sedang mengintai lawannya yang
sangat disegani.
Akhirnya Alap-Alap Jalatunda
itu sampai juga beberapa langkah dari dinding pondok Sekar Mirah. Sekali lagi
ia menjadi ragu-ragu. Di dalam pondok itu terasa sangat sepinya. Tetapi
Alap-Alap Jalatunda melihat sinar pelita yang berkeredipan, berloncatan dari lubang-lubang
dinding bambu rumah itu.
Terasa suatu pergolakan yang
dahsyat di dalam dada anak muda itu. Kadang-kadang tumbuh juga keinginannya
untuk membatalkan saja niatnya dan menunggu sampai kesempatan lain yang lebih
baik. Tetapi ketika teringat olehnya, bahwa pasukan Untara sudah berada di
hadapan hidungnya, maka nafsunya menjadi berkembang kembali.
“Mungkin besok atau lusa aku
harus sudah meninggalkan padepokan ini. Mungkin Ki Tambak Wedi akan mengambil
keputusan untuk menduduki Jati Anom. Kalau aku harus berangkat besok malam,
maka aku tidak akan pernah mendapat kesempatan sama sekali.”
Dengan demikian, maka
Alap-Alap Jalatunda itu menjadi semakin bernafsu. Kini ia maju beberapa langkah
lagi. Dengan sangat hati-hati ia melekatkan tubuhnya pada dinding rumah itu.
Beberapa kali ia bergeser, sehingga suatu ketika ia berhenti sambil menarik
nafas dalam-dalam.
“Di sini gadis itu tidur,”
desisnya. Telinganya yang tajam ternyata berhasil mendengar desah nafas Sekar
Mirah di dalam pondok itu.
Perlahan-lahan, sangat
perlahan-lahan ia mengetuk dinding. Dan sangat perlahan-lahan pula ia menyebut
nama Sekar Mirah.
Ternyata ia berhasil
membangunkan gadis itu. Ia mendengar pembaringan Sekar Mirah berderit.
“Mirah” desis Alap-Alap
Jalatunda.
“Siapa?” bertanya Sekar Mirah.
Suaranya hampir tidak terdengar. Dengan demikian maka Alap-Alap Jalatunda
menjadi sangat gembira. Sekar Mirah benar-benar akan menyambutnya seperti yang
diharapkannya.
“Aku, Mirah.”
“Alap-Alap Jalatunda?”
Alangkah gembiranya hati anak
muda itu. Tanpa sesadarnya terloncat pertanyaannya, “Darimana kau tahu, bahwa
aku yang datang?”
“Sidanti tidak akan datang
lewat belakang rumah. Apalagi kawanmu telah menyampaikan pesan itu kepadaku
siang tadi.”
Alap-Alap Jalatunda
hampir-hampir menjadi pingsan karena gembira mendengar jawaban itu. Ternyata
Wuranta benar-benar telah menepati kesanggupannya, dan Sekar Mirah benar-benar
telah menunggunya. Karena itu maka ia berdesis di dalam hatinya, “Terima kasih
Wuranta. Kau telah berjasa kepadaku. Tetapi maaf, bahwa aku tidak sempat
menolongmu. Mudah-mudahan kau besok atau lusa segera naik ke tiang gantungan,
atau mudah-mudahan aku mendapat tugas untuk memenggal lehermu. Aku sekarang
sama sekali tidak memerlukanmu lagi.”
Ketika angin malam berdesah di
dedaunan membawa udara yang sejuk dingin, maka terdengar Alap-Alap Jalatunda
berbisik di balik dinding, “Sekar Mirah, apakah benar kau telah menungguku
seperti yang dikatakan oleh Wuranta?”
Sekar Mirah terdiam sejenak.
Wajahnya menjadi kemerah-merahan. Meskipun demikian Alap-Alap Jalatunda
mendengar suara Sekar Mirah sendat, “Ya, ya, aku menunggumu.”
Alap-Alap Jalatunda menarik
nafas dalam-dalam. Kini ia benar-benar telah mendengar sendiri apa yang
dikatakan oleh Sekar Mirah. Maka ia tidak akan menjumpai kesulitan lagi masuk
ke dalam gubug itu, dan kemudian meninggalkannya.
“O, alangkah bodohnya
Sidanti,” desahnya di dalam hati, “ia tinggal akan menemukan Sekar Mirah yang
sama sekali tidak seperti yang diharapkannya. Anak itu yang bersusah payah
mengambilnya ke Sangkal Putung, maka aku lah yang akan mendapatkannya. Agaknya
aku tidak hanya mendapat kesempatan satu kali dua kali datang ke rumah ini,
asal aku tidak terbunuh saja besok atau lusa di medan Jati Anom. Seandainya terbunuh
sekalipun, maka aku sudah tidak akan menyesal lagi.”
Alap-Alap Jalatunda itu pun
kemudian bergeser beberapa langkah maju sambil berbisik, “Sekar Mirah, aku akan
masuk.”
“Masuklah, pintu tidak
terkancing. Aku tidak memasang slarak di dalam.”
“Aku tidak dapat masuk lewat
pintu, Mirah. Aku tidak ingin kedatanganku dilihat oleh para pengawas.”
“Kau akan masuk dari mana?”
“Maaf Mirah. Aku akan membuka
dinding bambu yang ringkih di sudut rumah ini. Tolong, singkirkanlah pelita,
sehingga sinarnya tidak jatuh ke sudut di sebelah kanan ini.”
“Oh. Apakah kau tidak akan
mendapat kesulitan?”
“Tidak Mirah. Pekerjaan itu
terlampau mudah aku kerjakan.”
“Baiklah. Aku akan memindahkan
pelita itu ke sisi sebelah kiri.”
Sesaat kemudian terdengarlah
gemerisik kaki Sekar Mirah pada lantai pondoknya, Perlahan-lahan gadis itu
berjalan memindahkan pelita minyak tanah ke sisi yang lain.
Alap-Alap Jalatunda
hampir-hampir tidak dapat bersabar lagi menunggunya. Begitu sinar pelita
bergerak, maka anak muda itu segera menarik pedangnya, dan memutuskan beberapa
utas tali pengikat dinding pada tiang di sudut rumah. Dinding itu memang tidak
begitu kuat, sehingga dalam waktu yang pendek, Alap-Alap Jalatunda telah
berhasil masuk ke dalamnya.
Ketika Sekar Mirah melihat
anak muda itu telah berada di dalam pondoknya, maka tiba-tiba tubuhnya
menggigil karenanya. Tiba-tiba ia menyesal bahwa ia telah membuat suatu
permainan yang berbahaya. Tetapi meskipun demikian, ia masih tetap menyadari
apa yang sedang dihadapinya.
Karena itu, maka sesaat Sekar
Mirah itu berdiri saja mematung. Ditatapnya Alap-Alap Jalatunda dengan
tajamnya. Dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk tetap tenang, dan sadar
mempergunakan nalarnya.
Alap-Alap Jalatunda yang telah
berada di dalam rumah itu pun sejenak berdiri tegak seperti tiang-tiang bambu
yang berjajar di dalam rumah itu. Sejenak ia kehilangan akal. Dan sejenak ia
tidak tahu apa yang akan dilakukannya.
Ternyata Sekar Mirah itu sama
sekali tidak seperti yang dibayangkannya. Tidak seperti Nyai Sari, Nyai Lames,
dan lebih-lebih Nyai Pinan. Seandainya yang berdiri di hadapannya itu Nyai
Pinan, maka perempuan itu pasti akan segera lari menubruknya, menyeretnya duduk
di atas ambennya. Tetapi Sekar Mirah tidak berbuat demikian. Tidak menyambutnya
seperti yang dibayangkannya. Justru karena itu maka ia menjadi bingung.
Alap-Alap Jalatunda mengharap
Sekar Mirah itu berlari dan kemudian memeluknya, sambil membisikkan
kata-kata-yang mesra. Tetapi yang dijumpainya adalah Sekar Mirah itu berdiri
beberapa langkah daripadanya sambil memandanginya seperti memandangi hantu.
Namun Alap-Alap Jalatunda itu
pun segera menyadari keadaannya. Waktunya tidak terlampau banyak. Ia harus
segera menemui Sanakeling dan mungkin Ki Tambak Wedi masih akan mengadakan
beberapa pembicaraan lagi. Karena itu, maka ia harus segera meninggalkan tempat
itu.
Karena Sekar Mirah masih saja
berdiri mematung, maka dengan sepenuh keberaniannya, Alap-Alap Jalatunda
berkata, “Bukankah kau menungguku Sekar Mirah?”
Sekar Mirah tergagap mendengar
pertanyaan itu. Tetapi ia menjawab, “Ya, aku menunggumu.”
“Waktuku tidak banyak Sekar
Mirah. Aku harus segera kembali ke tempat pertemuan.”
Sekar Mirah menjadi merah
padam mendengar kata-kata itu. Tetapi ia tidak mengetahui maksud sebenarnya
dari Alap-Alap Jalatunda. Karena itu maka ia menjawab, “Aku hanya ingin tahu
maksudmu.”
“He?” kata-kata itu
benar-benar mengejutkan Alap-Alap Jalatunda. Bagaimana mungkin Sekar Mirah itu
masih bertanya apakah maksudnya. Tetapi Alap-Alap Jalatunda itu terdesak oleh
kesempatan yang sangat sempit. Maka sifat-sifatnya segera nampak pada sikapnya.
Dengan kasar ia berkata, “Mirah. Aku menginginimu. Bukankah Wuranta telah
mengatakan?”
Sekali lagi wajah Sekar Mirah
menjadi merah. Tetapi kini ia hampir berhasil menguasai dirinya. Dengan agak
tenang ia menjawab, “Ya, Wuranta telah mengatakannya. Karena itu, aku ingin
membicarakannya dengan kau langsung.”
Sesaat Alap-Alap Jalatunda
berdiri termangu-mangu. Ia sama sekali tidak mengerti maksud Sekar Mirah.
Apakah yang masih harus dibicarakan?
Dalam keragu-raguan itu ia
melihat Sekar Mirah membetulkan letak sanggulnya yang kurang rapi karena ia
baru saja terbangun dari tidur. Namun dalam keadaannya itu, Alap-Alap Jalatunda
melihat wajah Sekar Mirah menjadi bertambah cantik. Matanya yang redup dan
beberapa helai rambutnya yang jatuh terkulai di sisi telinganya, membuat wajah
itu seolah-olah menjadi semakin berseri.
Dengan penuh keragu-raguan,
Alap-Alap Jalatunda itu kemudian bertanya, “Sekar Mirah, apakah masih ada yang
harus dibicarakan lagi?”
Sekar Mirah pun menjadi tidak
mengerti pula jalan pikiran Alap-Alap Jalatunda. Bukankah menurut pesannya dan
seperti yang dikatakannya sendiri, Alap-Alap Jalatunda itu menginginkannya.
Karena itu, maka jawabnya,
“Alap-Alap Jalatunda. Bukankah kau telah menyampaikan pesan lewat Wuranta dan
kemudian telah kau ulangi sendiri pula? Bukankah dengan demikian di antara kita
lalu timbul persoalan? Alap-Alap Jalatunda, apabila benar demikian maka kita
harus membicarakan, apakah yang akan kita lakukan?”
Alap-Alap Jalatunda
menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai terasa pening. Tidak saja karena tuak
yang diminumnya ketika ia berada di dalam banjar para pemimpin padepokan tetapi
juga karena kata-kata Sekar Mirah itu.
Dalam pada itu Sekar Mirah
berkata pula, “Alap-Alap Jalatunda. Kita harus tahu benar bahwa apa yang ingin
kita lakukan bersama itu berhasil tanpa diketahui oleh Sidanti.”
“Tak seorang pun yang tahu.
Aku yakin, bahwa tak seorang pun yang melihat aku masuk kemari.”
“Mungkin Alap-Alap Jalatunda,
tetapi persoalan kita tidak hanya sekedar persoalan hari ini. Persoalan kita
adalah persoalan yang cukup panjang.”
“Sekar Mirah,” sahut Alap-Alap
Jalatunda, “aku tidak berkeberatan kalau persoalan kita menjadi persoalan yang
panjang, tidak hanya berhenti saat ini. Tetapi itu tidak perlu dibicarakan. Aku
akan selalu kembali apabila ada kesempatan. Mungkin besok atau lusa aku harus
turun ke Jati Anom karena pasukan Untara kini telah berada di depan hidung
kita. Apabila aku kemudian kembali ke padepokan ini, aku akan selalu datang
kepadamu pula.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Berita kedatangan pasukan Untara mendekati padepokan itu telah
membuatnya agak berpengharapan. Tetapi kemudian ia menjadi cemas. Apabila
Sidanti menjadi mata gelap, bukankah kedatangan Untara mendekati padepokan itu
hanya mempercepat kehancurannya.
Tetapi kini yang berdiri di
hadapannya bukanlah Sidanti, tetapi Alap-Alap Jalatunda. Dan jawaban Alap-Alap
Jalatunda tidak dapat dimengertinya.