Buku 094
Setiap kali mereka melihat
gardu parondan, Ki Waskita mengangguk-angguk sambil bergumam, “Bukan main. Ini
adalah gambaran dari kekuatan Tanah Perdikan Menoreh yang sebenarnya. Apalagi
agaknya mereka bukan saja anak-anak muda yang hanya pandai menggenggam cangkul
dan bajak. Tetapi juga anak-anak muda yang pandai memegang pedang.”
Ki Argapati mengangguk-angguk
pula. Jawabnya, “Peristiwa-peristiwa yang terjadi di atas Tanah Perdikan ini
telah menempa anak-anak mudanya untuk menyiapkan diri menghadapi segala macam
kemungkinan. Mereka ikut serta mengalami pahit getir selama api-api
pertentangan berkobar membakar Tanah Perdikan ini. Terutama di saat-saat
terakhir.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Ternyata bukan saja anak-anak muda Ki Gede. Setiap kali kita
menjumpai beberapa orang laki-laki yang sudah tidak dapat disebut anak-anak
muda lagi, duduk dalam lingkaran di simpang-simpang tiga atau empat di dalam
padukuhan mereka di malam hari, di bawah lampu obor yang kemerah-merahan. Tentu
mereka bukan hanya sekedar ingin duduk dan bercakap-cakap di antara mereka.”
“Mereka memberikan sentuhan
kepada anak-anak mudanya, agar mereka berbuat lebih banyak dari yang tua-tua,”
jawab Ki Argapati, “tetapi selebihnya, mereka pun merasa wajib pula untuk mengamati
keadaan padukuhan masing-masing.”
“Dalam keadaan yang gawat,
mereka tidak dapat diabaikan,” berkata Ki Waskita. “Justru mereka telah
memiliki pengalaman yang lebih banyak dari anak-anak mudanya.”
Ki Gede Menoreh hanya
mengangguk-angguk saja. Terbayang kembali pertentangan yang telah menyala di
antara keluarga sendiri di atas Tanah Perdikah Menoreh, sehingga hampir saja
membakar Tanah Perdikan ini menjadi hangus. Untunglah, bahwa akhirnya api itu
dapat dipadamkan, meskipun harus ada korban-korban yang sangat berharga bagi
Tanah Perdikan ini.
Demikianlah dalam keseluruhan,
Tanah Perdikan Menoreh sudah siap menghadapi segala kemungkinan, sehingga tidak
ada lagi yang perlu dicemaskan. Pandan Wangi yang menjelang hari-hari
perkawinannya sama sekali tidak dapat ikut serta dalam kesiagaan itu, namun
dari ayahnya dan dari para pemimpin pengawal ia mendengar, bahwa Tanah Perdikan
Menoreh bagaikan menyiapkan diri untuk menghadapi peperangan yang gawat.
Dalam pada itu, selagi Menoreh
mempersiapkan dirinya, di kaki bukit kecil, sekelompok orang-orang yang tegang
sedang memperbincangkan hasil yang telah mereka peroleh di dalam tugas mereka.
Pemimpin kelompok itu seorang yang berkumis lebat dan berambut terurai di bawah
ikat kepala yang tidak dilingkarkan di kepalanya, tetapi hanya disangkutkannya
saja melingkari tengkuknya, berjalan hilir-mudik dengan gelisahnya.
“Besok pagi-pagi, sebelum
matahari sepenggalah, kami harus sudah berada di kaki Gunung Tidar. Di sana
kami harus menghadap Empu Pinang Aring.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Apa
katanya jika ia mengetahui bahwa beberapa orang kawan kita sudah mati terbunuh
di Tanah Perdikan Menoreh?”
Seorang di antara mereka
bergeser setapak, lalu katanya, “Tetapi itu adalah hal yang sangat wajar. Aku
pun hampir mati pula di padukuhan induk.”
“Dan kau tinggalkan dua sosok
mayat kawanmu di sana.”
Orang itu pun termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian dengan nada yang tinggi ia berkata, “Tidak ada
kesempatan untuk membawa mereka. He, apakah mungkin aku melakukannya dalam keadaan
seperti itu? Juga aku tidak menemukan mayat kawan-kawan kita yang terdahulu
mati.”
Pemimpin kelompok yang
rambutnya terurai itu menggeram. Lalu katanya, “Kelompok ini adalah kelompok
yang paling sial. Yang kita dapatkan tidak seberapa banyak, tetapi kita harus
mengorbankan lima orang kawan. Itu sudah keterlaluan.”
“Kita belum bertemu dengan
kelompok-kelompok lain. Kita tidak dapat mengatakan, bahwa hasil kitalah yang
paling sedikit. Juga kita belum tahu, mungkin ada korban yang lebih banyak
lagi.”
“Mudah-mudahan tidak.
Mudah-mudahan kitalah yang telah membayar paling mahal. Jika ada lagi kelompok
yang harus mengalami bencana seperti kelompok kita, maka kita akan menjadi
lemah. Dan itu berarti kedudukan kita di dalam pembicaraan di lembah antara Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu itu pun akan lemah pula. Jika kekuatan kita tidak
memadai, juga dana perjuangan yang kita dapatkan tidak cukup, maka kita akan
dikesampingkan dari pembicaraan. Setidak-tidaknya suara kita sama sekali tidak
akan berarti apa-apa.”
“Kedudukan pertemuan itu sudah
berubah. Kematian Kiai Jalawaja akan mempengaruhi keadaan.”
“Mungkin ada orang lain yang
menggantikannya,” jawab yang lain, “atau seandainya tidak ada orang sekuat
Jalawaja, namun kelompoknya tentu akan tetap diperhitungkan, karena kelompok
yang dipimpin oleh Kiai Jalawaja itu cukup kuat, di samping kelompok Kiai
Kalasa Sawit.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Terbayang di dalam angan-angan mereka, pertemuan yang tegang di lembah antara
Gunung Merbabu dan Merapi.
“Bukan pertemuan seperti yang
akan berlangsung di Tanah Perdikan Manoreh,” gumam orang yang rambutnya
terurai. “Dan kau hampir saja membuat Tanah Perdikan Menoreh berkabung, bersama
Pandan Wangi itu, gadis yang akan kawin beberapa hari mendatang. Jika demikian
maka Menoreh benar-benar akan kehilangan kegembiraannya. Tetapi dendamnya akan
menyala sampai ke ujung bumi. Dan Ki Gede Menoreh bukan orang yang tidak
diperhitungkan sekarang ini. Jika ia ikut campur bersama pasukan pengawalnya,
maka kita akan semakin kehilangan kesempatan.”
“Untunglah bahwa gadis itu
sempat mengelak.”
“Bukan hanya sempat mengelak.
Jika dilepaskan di arena, maka kau berdua tidak akan dapat mengalahkannya.”
“He?”
“Kau memang dungu. Kau tidak
mengetahui apa yang seharusnya kau ketahui. Gadis Menoreh itu lebih dahsyat
dari seekor macan betina yang kelaparan. Aku lupa memberitahukan hal itu
kepadamu, saat kau berdua mencari kawan-kawanmu yang hilang.”
“Tetapi ia tidak berbuat
apa-apa kecuali mengelak.”
“Ia sudah siap untuk duduk
bersanding sebagai pengantin. Karena itu ia tidak menerkammu.”
Orang yang berhasil melarikan
diri dari pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata pemimpin
kelompok yang rambutnya terurai itu, “kita akan menghadap ke Gunung Tidar
dengan keadaan seperti yang kita alami sekarang ini. Tidak lebih dan tidak
kurang. Mudah-mudahan kita kemudian datang ke lembah antara Gunung Merapi dan
Merbabu itu dengan kekuatan dan dana yang cukup, sehingga kita tidak akan
sekedar tersisih. Empu Pinang Aring yang telah ikut serta mengambil bagian
dalam perjuangan sekarang ini, harus diperhitungkan oleh orang-orang yang
memakai ciri kelelawar itu. Mereka tidak akan cukup kuat untuk berdiri sendiri
tanpa kekuatan-kekuatan yang lain.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk.
“Bersiaplah. Kita akan
berangkat menjelang senja. Kita akan berada di perjalanan sepanjang malam hari.
Mungkin waktu itulah yang terbaik bagi kita.”
“Terbaik dan teraman,” sahut
yang lain, “meskipun kita akan menguap sepanjang jalan.”
Demikianlah maka sekelompok
orang-orang itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka telah membenahi semua
barang-barang dan uang yang mereka dapatkan selama mereka menjelajahi Tanah
Perdikan Menoreh dan sekitarnya, meskipun mereka harus melepaskan beberapa
orang kawan mereka.
Menjelang senja, maka kelompok
kecil itu pun telah bersiap. Mereka akan menempuh perjalanan semalam suntuk dan
di pagi hari menjelang matahari naik sepenggalah.
“Apakah kita sudah tidak mempunyai
waktu lagi menjelang pertemuan di lembah antara kedua gunung itu?” bertanya
seseorang dari antara mereka.
“Kita tidak tahu pasti, kapan
pertemuan itu diadakan. Tetapi Empu Pinang Aring memberi batas waktu kepada
kita sampai besok menjelang matahari naik sepenggalah. Mungkin pertemuan itu
masih akan berlangsung beberapa hari lagi. Sementara Empu Pinang Aring masih
sempat berbuat sesuatu jika ada kekurangan pada persiapan kita menjelang
saat-saat pertemuan itu,” jawab orang yang rambutnya terurai, “karena dalam
pertemuan itulah, akan diatur imbangan kekuatan dan tentu juga imbangan
kekuasaan yang akan diperoleh kelak, selama perjuangan selanjutnya dan bahkan
apabila kekuasaan Pajang benar-benar sudah kembali kepada garis keturunan
Majapahit.”
“Dan orang berciri kelelawar
itulah yang merasa dirinya keturunan langsung dari Majapahit.”
“Bukan hanya Kiai Kalasa
Sawit. Juga Empu Pinang Aring adalah keturunan langsung dari Prabu Brawijaya
Pamungkas. Dan bahkan masih banyak orang terlibat di dalamnya dan merasa
dirinya keturunan langsung dari Majapahit. Dan patut kalian ketahui, orang
pertama dari ciri kelelawar itu bukan Kiai Kalasa Sawit. Ia adalah orang yang
berada pada tataran yang sama dengan Kiai Jalawaja, Empu Pinang Aring, dan
beberapa orang yang lain.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Mereka pun pernah mendengar tentang orang-orang yang tidak
mereka kenal, namun yang memiliki kekuasaan lebih banyak dari pemimpm-pemimpin
kelompok yang langsung terjun ke dalam gelanggang.
Namun mereka tidak terlalu banyak
memikirkan orang-orang yang tidak mereka kenal itu. Itu adalah tugas
pemimpin-pemimpin mereka. Yang penting mereka dapat menjalankan tugas yang
dibebankan kepada mereka sebaik-baiknya, sehingga jika kelak perjuangan itu
berhasil, mereka akan mendapat kedudukan yang baik. Sawah pelungguh yang luas
dan kedudukan yang memadai di padukuhannya. Mungkin seorang demang atau bebahu
yang lain. Jika ia terjun ke dalam lingkungan keprajuritan maka kelak akan
mendapat kedudukan sebagai seorang lurah dengan seratus orang anak buah.
Ketika mereka meninggalkan
bukit kecil, langit sudah mulai disentuh oleh warna senja. Bibir mega yang
putih, nampak kemerah-merahan oleh sinar matahari yang sudah hampir terbenam.
“Kita tidak memintas lewat
tengah-tengah hutan,” berkata pemimpin kelompok yang rambutnya terurai itu.
“Bukankah jalan itu lebih
dekat?” bertanya seseorang di antara mereka.
“Tetapi kita akan justru lebih
lama sampai, karena di malam hari jalan itu sulit ditembus. Kita akan menyusur
di sepanjang jalan sempit di pinggir hutan dan sekali-sekali menembus
padukuhaan-padukuhan itu tidak akan dapat menghambat perjalanan kami.”
“Tetapi Menoreh telah
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan,” memotong seorang yang bertubuh
kecil.
“Kita berada di luar Tanah Perdikan
Menoreh. Kademangan kecil di sebelah Tanah Perdikan itu tidak akan dapat banyak
berbuat apa pun juga terhadap kita. Tetapi kita pun tidak akan mendapat apa pun
juga di daerah yang gersang itu.”
“Daerah itu justru banyak
tergantung kepada Tanah Perdikan Menoreh, terutama di musim paceklik.”
“Jika demikian, kita tidak
perlu cemas.”
Meskipun demikian
iring-iringan kecil itu tidak dapat meninggalkan kewaspadaan. Mereka sadar,
bahwa orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh yang meronda akan sampai ke daerah
itu juga meskipun jarang sekali. Daerah perbatasan ternyata telah mendapat
perhatian yang meningkat setelah peristiwa yang mengguncang ketenangan Tanah
Perdikan itu terjadi, justru menghadapi hari-hari perkawinan anak perempuan Ki
Gede Menoreh sendiri.
Semakin jauh iring-iringan itu
dari perbatasan Menoreh, maka mereka pun merasa semakin aman.
Padukuhan-padukuhan kecil yang akan mereka lalui tidak akan dapat mengganggu
perjalanan mereka menuju ke kaki Gunung Tidar. Apalagi di malam hari yang
gelap. Maka tidak akan ada seorang pun yang akan dapat menghentikan mereka.
Seperti yang mereka
perhitungkan, maka perjalanan itu sama sekali tidak mengalami gangguan. Setelah
mereka meninggalkan daerah yang berhutan lebat, maka mereka pun sekali-sekali
memasuki bulak-bulak persawahan yang gersang, meskipun nampak tanaman palawija
yang berwarna kekuning-kuningan.
Berbeda dengan Tanah Perdikan
Menoreh, meskipun daerah itu hanya dibatasi oleh ujung hutan dan bukit-bukit
kecil, namun tata kehidupan di kademangan itu sudah jauh berbeda. Bukan saja
karena kegairahan hidup yang berbeda, tetapi tanah dan alam di kademangan itu
agak berbeda pula dengan Tanah Perdikan Menoreh, yang dipimpin oleh seseorang
yang selalu berusaha menaklukkan dan memanfaatkan alam bagi kesejahteraan
kampung halaman.
Kademangan kecil itu telah
terlibat dalam sebuah putaran yang tidak berujung pangkal. Rakyatnya yang
miskin tidak sempat untuk memikirkan usaha-usaha lain kecuali mencukupi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Namun dengan demikian, tanah yang
rasa-rasanya menjadi semakin kering itu tidak dapat memberikan apa-apa kepada
mereka. Dengan demikian hidup mereka menjadi semakin miskin, sehingga mereka
semakin tidak sempat lagi untuk berbuat sesuatu.
Tidak ada orang yang berani
mematahkan dinding lingkaran itu. Pernah Ki Gede Menoreh mencoba juga untuk
memberikan beberapa petunjuk terhadap tetangganya itu. Tetapi tidak seorang pun
yang berani mencobanya.
Demikianlah iring-iringan itu
pun melalui padukuhan-padukuhan yang gelap dan seolah-olah tidak bernafas lagi.
Lampu-lampu minyak hanya nampak dibeberapa rumah yang agak lebih baik dari
rumah-rumah disekitarnya.
Namun dengan demikian,
perjalanan mereka sama sekali tidak terganggu karenanya.
Sementara itu, di Tanah
Perdikan Menoreh, anak-anak muda semakin banyak berada di gardu-gardu. Bahkan
untuk mengisi waktu-waktu yang luang di ujung malam, beberapa orang dari mereka
telah pergi keluar padukuhan dengan beberapa orang pengawal. Mereka
mempergunakan kesempatan untuk melatih diri mempergunakan senjata
sebaik-baiknya, agar jika terjadi sesuatu, mereka tidak menjadi bingung dan
kehilangan akal.
“Mungkin, pada suatu saat,
kita harus mempergunakannya,” berkata seorang pengawal yang masih muda.
Dan dengan penuh gairah
anak-anak muda itu pun telah melatih dirinya dalam olah kanuragan.
Namun dalam pada itu, Ki Gede
Menoreh masih juga memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi, apabila
iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung itu berada di perjalanan. Dalam
iring-iringan itu tentu akan terdapat beberapa macam barang berharga. Sebagian
besar dari mereka, tentu akan membawa pakaian dan kelengkapan yang pantas untuk
menghadiri saat-saat perkawinan, meskipun belum mereka pakai di sepanjang
jalan.
“Jika keberangkatan mereka itu
tercium oleh orang-orang yang berdalih mengumpulkan dana itu, maka akan dapat
terjadi kemungkinan yang kurang menguntungkan,” berkata Ki Argapati ketika ia
duduk bersama Ki Waskita di pendapa.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Orang-orang yang disebut mencari dana perjuangan itu pada hakekatnya
adalah penyamun-penyamun dan perampok-perampok. Tetapi mereka memiliki kekuatan
yang tidak dapat diduga.”
Ki Argapati pun
mengangguk-angguk pula. Ia sependapat dengan Ki Waskita, bahwa yang mereka
hadapi sekarang bukanlah perampok-perampok dan penyamun-penyamun yang
sewajarnya. Tetapi mereka adalah sekelompok orang-orang yang memiliki kekuatan
yang bahkan merasa mampu untuk pada suatu saat bersiap melawan Pajang dan
Mataram.
“Menurut mereka,” berkata Ki
Waskita, “kekuatan mereka berakar sampai ke kadipaten-kadipaten di Pesisir Lor
dan Bang Wetan. Dan itu sangat mencemaskan.”
Ki Argapati merenung sejenak.
Seolah-olah ia sedang mempertimbangkan kebenaran keterangan itu. Namun kemudian
ia menggeleng, “Aku kira tidak seperti yang dikatakannya itu. Mungkin benar,
bahwa kekuatan mereka menjangkau daerah kadipaten di Pasisir Lor dan Bang
Wetan, tetapi kekuatan itu tentu sekedar merupakan kekuatan tersembunyi seperti
kekuatan mereka di daerah ini. Jika mungkin ada satu dua orang adipati yang
mempunyai pikiran sejalan dengan mereka, maka mereka tentu tidak akan
menempatkan dirinya di bawah perintah pemimpin gerombolan semacam itu.”
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Katanya, “Masih harus dipertimbangkan masak-masak, Ki Gede. Pemimpin
gerombolan itu mempunyai kedudukan yang khusus. Ia dianggap memiliki hak atas
tahta di atas Pulau Jawa karena ia dianggap keturunan yang sah dari Maharaja di
Majapahit. Sedangkan Sultan Pajang adalah anak dari Pengging yang kemudian
hidup di Tingkir.”
“Tetapi jika ditelusur dengan
teliti, maka ia pun dapat menyebut dirinya berhak atas tahta di Pajang sekarang
ini.”
“Itulah agaknya yang tidak
diakui, Ki Gede. Karena itu, maka memang mungkin ada satu dua orang adipati
yang meskipun tidak berterus terang, tetapi membantu usaha untuk menggulingkan
pemerintahan Pajang.”
“Sekaligus merencanakan
memusnahkan orang-orang yang berada di dalam gerombolan yang mengaku keturunan
Majapahit itu, setelah mereka tidak diperlukan lagi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi tidak dapat disangkal lagi,
bahwa Pajang memang sudah goyah.”
“Apakah tidak ada tangan yang
mampu menegakkan Pajang kembali seperti pada saat berdirinya, apalagi
mengembangkan kekuatannya seperti masa-masa lampau?” bertanya Ki Argapati.
“Satu-satunya harapan adalah
Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Tetapi desisnya, “Sayang, bahwa Raden Sutawijaya memilih jalan sendiri.
Seakan-akan dengan hati yang terluka meninggalkan Istana Pajang. Bahkan
seolah-olah luka itu tidak tersembuhkan sampai saatnya ayahandanya meninggal.
Dan bahkan sampai sekarang, setelah menerima pusaka-pusaka yang tidak ternilai
apalagi dipandang dari segi limpahan kekuasaan. Seolah-olah sudah ada
perlambang, bahwa Sultan Hadiwijaya condong untuk menyerahkan tahta kepada
Raden Sutawijaya daripada kepada puteranya sendiri, Pangeran Benawa.”
“Jarak antara Mataram dan
Pajang masih belum dapat dirapatkan. Betapa pun Sultan di Pajang mencobanya,” berkata
Ki Waskita. “Karena itu pulalah, betapa pedih hati Ki Gede Pemanahan. Ia merasa
seolah-olah ialah yang bersalah membawa Sutawijaya meninggalkan istana dengan
hati yang luka, sehingga beberapa orang telah mentertawakannya, bahwa Alas
Mentaok yang lebat dan wingit itu akan dapat dijadikan sebuah negeri yang
ramai. Darah muda Raden Sutawijaya telah menggelepar oleh cemoohan itu, dan di
luar sadarnya ia bersumpah tidak akan menyentuh paseban di Istana Pajang,
sebelum ia dapat menjadikan Alas Mentaok sebuah negeri yang ramai dan besar.”
“Dan sumpah itu seolah-olah
telah mencengkamnya sampai sekarang. Meskipun Ki Gede Pemanahan telah tidak
ada.”
“Ya.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Telah beberapa kali hal itu dibicarakan dengan bersungguh-sungguh atau sekedar
sebagai bahan percakapan. Tetapi rasa-rasanya tidak ada habis-habisnya
persoalan hubungan antara Pajang dan Mataram itu untuk dibicarakan
Namun dalam pada itu,
pembicaraan mereka pun segera berkisar kembali kepada persoalan yang akan
mereka hadapi. Jalur jalan antara Sangkal Putung, Mataram, dan Tanah Perdikan
Menoreh.
“Apakah Ki Demang di Sangkal
Putung perlu diberitahu, bahwa mereka harus berhati-hati di perjalanan
mengingat perkembangan keadaan di Menoreh?” bertanya Ki Waskita.
Ki Gede termenung sejenak.
Lalu, “Tetapi Ki Waskita tidak usah pergi ke Sangkal Putung. Mungkin ada
perkembangan keadaan yang perlu dan gawat di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun
pemberitahuan semacam itu penting juga untuk dilakukan.”
“Jadi?”
“Biarlah dua atau tiga orang
pergi ke Sangkal Putung membawa pesanku.”
“Bagaimana jika mereka
mengalami bencana di perjalanan?”
“Aku akan mengirimkan mereka
segera. Jika dalam waktu sepasar mereka tidak kembali, tentu ada persoalan yang
gawat yang mereka hadapi di perjalanan. Dan itu berarti bahwa kita harus
mengambil tindakan khusus, justru karena waktu menjadi semakin pendek.”
Ki Waskita merenung sejenak.
Namun kemudian ia pun mengangguk sambil berkata, “Aku kira rencana itu baik
juga, Ki Gede. Aku mengerti, bahwa keadaan dapat berkembang ke arah yang gawat
di Tanah Perdikan ini. Meskipun tidak banyak artinya, aku pun merasa perlu
untuk tetap berada di sini.”
Ki Gede tersenyum. Lalu, “Kita
akan mempersiapkan pasukan untuk menjemput pengantin sampai ke tepi Sungai
Praga. Siapa tahu, ada tukang-tukang satang seperti yang pernah terjadi atas Ki
Waskita bertiga bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.”
“O. Jadi akan ada pacak baris
di tepian Kali Praga?”
“Tidak, Ki Waskita. Kami akan
menyusun baris pendem. Pasukan kami tidak akan nampak, karena mereka akan
tersebar di padukuhan-padukuhan dan di tengah-tengah bulak. Di gubug-gubuk
tempat anak-anak mengusir burung, dan di tempat-tempat yang lain. Namun mereka
siap untuk melakukan sesuatu di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh Swandaru
dan pengiringnya.”
Ki Waskita merenungi kata-kata
Ki Gede itu sejenak. Agaknya memang lebih baik demikian. Pasukan pengawal yang
menyongsong Swandaru di seberang Kali Praga itu tidak semata-mata nampak
sebagai suatu barisan yang akan mengawal iring-iringan pengantin meskipun belum
dalam pakaian kebesaran.
Demikianlah, maka Ki Gede pun
kemudian mempersiapkan rencana pengawalan yang sebaik-baiknya dilakukan, tanpa
mengganggu upacara yang akan berlangsung, agar dengan demikian tidak mengurangi
kemeriahan suasana perkawinan anak perempuannya.
Di malam harinya Ki Gede
memanggil tiga orang pengawal terpilih. Mereka harus pergi ke Sangkal Putung
untuk menyampaikan pesan khusus dari Ki Gede mengenai keadaan di Tanah Perdikan
Menoreh di saat-saat terakhir.
“Jalan yang selama ini aman,
ternyata telah mulai dijamah oleh tangan-tangan yang bernoda darah. Mereka
dapat berbuat apa saja dengan dalih apa pun juga. Karena itu, hati-hatilah di
perjalanan. Jika terpaksa sekali, hindarkan diri dari kesulitan,” pesan Ki
Argapati kemudian.
“Kami mengerti, Ki Gede,”
jawab salah seorang dari mereka.
“Menurut Ki Waskita, yang
berada di jalan-jalan dari antara para penyamun itu bukanlah orang-orang
terpenting yang harus disegani. Tetapi kadang-kadang mereka berjumlah banyak,
sehingga kalian harus memperhitungkan keadaan sebaik-baiknya jika kalian
bertemu dengan mereka.”
Ketiga orang itu
mengangguk-angguk. Mereka sadar, bahwa perjalanan mereka bukannya perjalanan
menjemput pengantin, tetapi perjalanan mereka adalah perjalanan yang berbahaya.
Sama berbahaya dengan seorang prajurit yang berangkat ke medan perang.
“Bawalah senjata kepercayaan
kalian. Sebaiknya kalian memilih jalan yang paling aman, melalui Mataram yang
sudah menjadi ramai. Tentu kalian sudah mengenal orang-orang Mataram, terutama
Ki Lurah Branjangan.”
“Kami mengenalnya, Ki Gede.”
“Jika kalian harus menjawab
seribu satu macam pertanyaan di Mataram, kalian dapat langsung minta
dipertemukan dengan Ki Lurah Branjangan atau orang-orang lain yang kau kenal.”
“Ya, Ki Gede.”
“Dan kalian pun telah mengenal
pula Ki Demang Sangkal Putung yang pernah datang kemari.”
“Ya, Ki Gede.”
“Nah, besok kalian berangkat.
Aku beri kalian waktu sepekan. Jika dalam waktu sepekan kalian tidak kembali,
kami akan mengirimkan kekuatan yang lebih besar. Mungkin aku sendiri atau Ki
Waskita akan pergi menyusul.”
“Baiklah, Ki Gede. Kami akan
mencoba menepati waktu yang telah ditentukan. Jika tidak ada kesulitan di
perjalanan, maka waktu itu sudah cukup panjang. Kami tidak perlu bermalam di
Mataram. Jika kami berangkat besok pagi-pagi benar, kami akan dapat mencapai
Sangkal Putung meskipun mungkin malam hari. Di Sangkal Putung kami tidak akan
mengalami kesulitan jika kepada para peronda kami menyatakan maksud kami untuk
bertemu degan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Katanya, “Tetapi itu akan merupakan perjalanan yang melelahkan.”
“Mungkin melelahkan, Ki Gede,
tetapi kami akan segera dapat beristirahat.”
Ki Gede mengangguk-angguk.
Katanya, “Terserahlah kepadamu. Mudah-mudahan perjalananmu tidak terganggu sama
sekali, sehingga kalian dapat kembali pada waktu yang diharapkan.”
“Kami mohon doa restu Ki Gede
dan Ki Waskita.”
“Sekarang beristirahatlah.
Besok kalian akan berangkat dini hari. Siapkanlah bekal dan sudah barang tentu
senjata.”
Ketiga orang itu pun kemudian
minta diri. Sekali lagi Ki Gede berpesan agar mereka berhati-hati di
perjalanan.
“Besok kalian dapat berangkat
langsung tanpa menunggu aku lagi,” berkata Ki Gede kemudian.
Sepeninggal ketiga orang itu,
Ki Gede masih berbicara dengan beberapa orang pemimpin pengawal. Mereka mulai
membicarakan persiapan pengawalan sandi pada saat Swandaru nanti memasuki Tanah
Perdikan Menoreh.
“Pengawalan diberatkan pada
kesiagaan di padukuhan-padukuhan yang akan dilalui oleh iring-iringan dari
Kademangan Sangkal Putung,” berkata Ki Gede.
Para pemimpin pengawal
mendengarkan semua penjelasan Ki Gede dengan saksama, sehingga mereka pun
kemudian mempunyai gambaran yang jelas dari apa yang harus mereka kerjakan.
Ternyata Ki Gede condong
menempatkan anak-anak muda yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal di
padukuhan masing-masing untuk memimpin anak-anak muda di padukuhan itu. Bahkan
di setiap padukuhan yang akan dilalui oleh iring-iringan dari Sangkal Putung
itu akan diperkuat oleh beberapa orang pasukan pengawal yang akan dicairkan
dalam kehidupan sehari-hari.
“Bukan maksud kami menjebak
segerombolan penyamum tetapi pada suatu saat tindakan serupa itu memang perlu.
Kami tidak akan dapat membiarkan mereka berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh,
meskipun kami tahu bahwa mereka memiliki kekuatan yang besar. Namun Menoreh pun
percaya kepada kemampuan diri sendiri untuk mengamankan kampung halaman,”
berkata Ki Gede kepada para pemimpin pengawal.
Para pemimpin pengawal itu
masih saja mendengarkan dengan saksama. Mereka pun mulai membayangkan, bahwa
kesibukan yang terselubung di setiap padukuhan. Yang penting dari usaha
menyamarkan kesiagaan kekuatan itu adalah karena Menoreh akan tetap mengadakan
perelatan perkawinan tanpa kecemasan.
“Jangan mengeruhkan suasana,”
pesan Ki Gede, “jika kalian mengadakan kegiatan pengawalan dan latihan-latihan,
usahakan seolah-olah hal itu berlangsung begitu saja tanpa kecemasan dan
apalagi gambaran tentang peperangan dan kekacauan.”
“Kami mengerti, Ki Gede,”
jawab salah seorang dari mereka.
“Aku percaya bahwa kalian akan
dapat melakukan tugas yang sulit itu. Berjaga tetapi dengan kesan tenang dan
damai. Bahkan kegembiraan yang tidak bercela di hari perkawinan anakku itu.”
Para pemimpin pengawal itu
meninggalkan pendapa rumah Ki Gede dengan kerut di kening. Tugas itu memang
sulit. Tetapi mereka harus dapat melaksanakan dengan tertib.
Dalam pada itu, ketiga orang
yang pada pagi harinya harus berangkat ke Sangkal Putung tengah sibuk membenahi
bekal yang akan mereka bawa. Sekedar makanan dan yang penting adalah senjata.
Mereka dapat mengalami perlakuan yang berbahaya dari orang-orang yang mulai
berkeliaran di tlatah Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan mungkin mereka harus
bertempur mati-matian dan bahkan benar-benar mati. Namun mereka tidak akan
ingkar terhadap tugas yang dibebankan kepada mereka.
Menjelang dini hari, mereka
bertiga telah berkumpul. Meskipun mereka tidak perlu lagi minta diri kepada Ki
Gede, namun mereka bersepakat untuk berkumpul dan berangkat dari rumah Ki Gede.
Para peronda yang melihat
kehadiran mereka bertiga menyongsong sambil berkata, “Apakah kalian akan
berangkat sekarang? Agaknya Ki Gede masih belum bangun.”
“Aku tidak usah minta diri.
Aku hanya sekedar singgah, mungkin ada hal-hal yang perlu disampaikan
kepadaku.”
“Rasa-rasanya tidak ada pesan
apa pun juga,” sahut seorang peronda.
“Baiklah. Nanti sampaikan
kepada Ki Gede, bahwa aku bertiga sudah berangkat ke Sangkal Putung.”
Para peronda itu
mengangguk-angguk. Salah seorang menyahut, “Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian
tidak mengalami bencana apa pun juga di perjalanan yang panjang itu.”
Demikianlah ketiganya segera
memacu kudanya, meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Langit masih nampak hitam
pekat. Bintang gemintang masih nampak menyala. Namun cahaya kemerah-merahan
sudah mulai membayang di ujung langit sebelah Timur.
“Sebentar lagi fajar akan
menyingsing,” desis salah seorang dari ketiganya.
Kawan-kawannya menengadahkan
wajahnya ke langit. Dan bersamaan mereka pun mengangguk-angguk sambil berdesis,
“Ya.”
Namun kuda-kuda mereka berpacu
terus. Angin pagi yang dingin rasa-rasanya menembus sampai ke tulang. Embun
pagi telah membasahi tubuh dan pakaian mereka sehingga udara pagi terasa
menjadi semakin sejuk.
Tetapi perjalanan di dini hari
rasa-rasanya justru telah menyegarkan badan mereka. Dengan cepatnya kuda-kuda
mereka menusuk kegelapan menyeberangi bulak-bulak panjang. Satu demi satu
padukuhan-padukuhan telah mereka lalui, sehingga mereka pun menjadi semakin
jauh dari padukuhan induk, dan menuju langsung ke tempat penyeberangan di Kali
Praga.
Ketika kemudian langit
dikuakkan oleh cahaya pagi yang kekuning-kuningan, kuda ketiga pengawal itu pun
masih berpacu terus. Mereka menjadi semakin dekat dengan Kali Praga. Di
perjalanan itu, mereka harus berhenti beberapa kali sebelum mereka sampai ke
pinggir Kali Praga, karena sekelompok peronda telah menghentikan mereka. Tetapi
mereka tidak perlu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkepanjangan, karena mereka
telah mengenal kelompok-kelompok peronda yang bertugas nganglang di tlatah
Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan peronda-peronda di gardu-gardu yang penuh berisi
anak-anak muda pun sama sekali tidak menghambat perjalanan mereka.
Ketiga orang itu menyebrangi Kali
Praga setelah matahari naik ke punggung bukit dan panasnya mulai terasa gatal
di kulit. Kemudian mereka memacu kudanya langsung menuju ke Tanah Mataram yang
menjadi semakin ramai.
Dalam pada itu, selagi ketiga
orang itu berpacu terus, di Tanah Perdikan Menoreh yang sudah menjadi ramai,
para pemimpin pengawal mulai merencanakan bagaimana mereka akan melakukan tugas
mereka. Para pemimpin pengawal itu mulai membuat gambaran tentang
padukuhan-padukuhan yang mungkin akan dilalui oleh Swandaru dan iring-iringannya.
Mereka pun mulai memperhitungkan kemungkinan yang ada di padukuhan-padukuhan
itu, kekuatan anak-anak mudanya dan pengawal-pengawal yang berasal dari
padukuhan-padukuhan itu.
“Kita harus mulai menghubungi
anak-anak muda itu,” berkata salah seorang dari para pemimpin pengawal itu.
“Ya. Tetapi mereka pun harus
mengetahui, bahwa yang harus mereka lakukan, jangan sampai menimbulkan
gangguan, khususnya gangguan batin bagi rakyat di sekitarnya.”
Dengan demikian, mereka pun
segera membagi tugas. Mereka membagi diri dalam batas lingkungan masing-masing,
sehingga mereka akan dapat menyelesaikan tugas mereka dengan cepat.
Ternyata bahwa mereka tidak
mengalami kesulitan apa pun dalam tugas mereka. Anak-anak muda menyambut
petunjuk-petunjuk mereka dengan senang hati. Bahkan sebagian dari mereka telah
mulai melakukannya. Namun agaknya para pemimpin pengawal itu memberikan tekanan
kesiagaan pada padukuhan-padukuhan yang ditembus jalan yang langsung menuju ke
Tanah Mataram, selanjutnya ke Sangkal Putung.
Meskipun demikian tidak
berarti bahwa padukuhan-padukuhan lain telah mengabaikan kesiagaan mereka,
karena peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh dan menumbuhkan
korban itu, agaknya telah membangunkan mereka yang sedang tertidur dalam buaian
ketenangan di Tanah Perdikan Menoreh.
Dalam pada itu, Ki Waskita
masih saja selalu termangu-mangu dibayangi oleh isyarat yang buram. Bahkan
setiap kali timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah semuanya ini merupakan
arti dari isyarat itu? Bahwa dengan demikian perkawinan Swandaru akan mengalami
gangguan yang dapat menyuramkan masa depannya?”
Ki Waskita menjadi ragu-ragu.
Menurut uraiannya pada isyarat yang nampak, keburaman masa hidup Swandaru
bukanlah pada saat perkawinannya, tetapi justru setelah perkawinan itu
berlangsung.
“Mungkin aku telah kehilangan
kemampuan pengamatan atas isyarat itu. Mungkin kesulitan yang terjadi di saat
perkawinan ini akan memburamkan masa depannya yang panjang, bukan sebaliknya
terjadi setelah masa perkawinannya berlalu,” berkata Ki Waskita kepada diri
sendiri.
Keragu-raguan semacam itu
hampir tidak pernah terjadi padanya selama ia mendapatkan kurnia ketajaman
pandangan bagi masa depan. Tetapi justru hal itu terjadi atas Swandaru, dan
karena hal itu tidak sejalan dengan keinginannya, maka isyarat itu telah
membingungkannya. Dalam keadaan serupa itu, penglihatannya justru telah
dikaburkan oleh keinginannya yang sama sekali berbeda.
“Aku menjadi bingung,”
desisnya, “dan ini adalah kelemahan yang jarang terjadi padaku. Mudah-mudahan
aku mendapat petunjuk, sehingga aku dapat membedakan antara isyarat yang aku
lihat, dan keinginanku sendiri.”
Namun Ki Waskita tidak dapat
mengatakannya kepada siapa pun. Ia mencoba mengendapkan persoalan itu di dalam
dirinya meskipun rasa-rasanya akan menjadi beban yang cukup berat baginya.
Selain kegelisahan tentang
isyarat itu, maka baik Ki Waskita maupun Ki Gede Menoreh masih juga
digelisahkan oleh perjalanan ketiga orang pengawal yang pergi ke Kademangan
Sangkal Putung. Meskipun tidak terucapkan, namun keduanya, bahkan beberapa
orang pemimpin yang mengetahui perjalanan itu, selalu berdoa, mudah-mudahan
perjalanan ketiga orang pengawal itu tidak mengalami gangguan apa pun juga di
perjalanan.
Bahkan Pandan Wangi yang juga
mengetahui keberangkatan ketiga pengawal itu tidak dapat menghindarkan diri
dari kecemasan yang membuatnya selalu termangu-mangu.
“Kau cemaskan ketiga orang
utusan itu, Wangi?” bertanya ayahnya.
Pandan Wangi mengangguk.
“Percayalah, bahwa mereka akan
dapat menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya. Selebihnya, serahkanlah semuanya
kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Mereka tidak sedang dalam perjalanan dengan
maksud buruk. Karena itu, maka perjalanan mereka tentu akan mendapat
perlindungan.”
Pandan Wangi mengangguk lemah,
meskipun masih tetap nampak kegelisahan di wajahnya.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah bahwa ketiga orang yang pergi ke Sangkal Putung itu sama sekali
tidak mengalami gangguan apa pun juga. Mereka melintasi Tanah Mataram tanpa
singgah, karena mereka tidak mengalami kesulitan apa pun juga. Apalagi mereka
berminat untuk segera mencapai Sangkal Putung dan kembali sebelum batas waktu
yang ditetapkan.
Tetapi ternyata kedatangan
mereka telah mengejutkan orang-orang Sangkal Putung. Apalagi Ki Demang. Ia
menyangka bahwa sesuatu telah terjadi sehingga dapat menghambat hari-hari
perkawinan anaknya.
Meskipun demikian, ia masih
dapat mengendalikan dirinya, sehingga ia tidak tergesa-gesa bertanya tentang
keperluan ketiga pengawal itu. Ki Demang masih dengan sabar mempersilahkan
mereka duduk, bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka dan mereka yang
ditinggalkan di Tanah Pcrdikan Menoreh. Ia masih menunggu Sekar Mirah
menghidangkan minuman hangat dan sekedar makanan.
Barulah kemudian ia berkata,
“Maaf, Ki Sanak. Setelah Ki Sanak beristirahat sejenak, rasa-rasanya aku tidak
sabar lagi untuk mendengar pesan yang barangkali kalian bawa dari Tanah
Perdikan Menoreh. Biarlah kami mendengarnya.”
Ketiga orang itu
mengangguk-angguk. Sejenak mereka memandang orang-orang yang duduk menemuinya
di pendapa. Selain Ki Demang, nampak juga Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Bahkan Swandaru dan Agung Sedayu pun duduk bersama mereka pula.
Kemudian orang yang tertua di
antara ketiga orang pengawal itu pun menyahut, “Ki Demang, mungkin kedatangan
kami agak mengejutkan. Tetapi sebenarnya kami tidak membawa pesan yang
mencemaskan.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian ia mendesaknya, “Syukurlah, Ki Sanak. Namun
rasa-rasanya kami ingin segera mengetahuinya.”
Orang yang tertua itu
tersenyum. Tetapi ia tidak ingin membuat suasana kian menegang. Karena itu,
maka ia pun segera menceritakan apa yang mereka ketahui tentang Tanah Perdikan
Menoreh, seperti yang dipesankan oleh Ki Argapati. Bahkan, juga yang
diketahuinya tentang para penyamun yang telah dibunuh oleh Ki Waskita di
perjalanan, seperti yang juga didengarnya dari Ki Argapati.
“Kami mendapat tugas khusus
untuk memberitahukan hal itu, Ki Demang,” berkata orang itu, “agar Ki Demang
dan para sesepuh di Sangkal Putung mengetahuinya. Hal itu agaknya dianggap
penting oleh Ki Gede, karena beberapa hari lagi, iring-iringan pengantin
laki-laki akan segera memasuki tlatah Menoreh. Jika Ki Demang tidak mengetahui
perkembangan terakhir yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, maka
mungkin sekali akan terjadi hal-hal yang tidak dikehendaki.”
Ki Demang menjadi tegang
sesaat. Tanpa disadarinya ditatapnya wajah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar
berganti-ganti. Pada wajah-wajah itu pun nampaklah ketegangan yang mencengkam.
Apalagi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Ki Sanak,” berkata Ki Demang
kemudian, “jika demikian, apakah itu berarti bahwa pengantin yang akan memasuki
tlatah Menoreh itu harus diiringi pengawal segelar sepapan?”
Pengawal itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Ki Gede Menoreh sudah mempersiapkan segala sesuatunya
untuk mengatasi apa saja yang mungkin akan dapat terjadi. Namun demikian, itu
bukan berarti bahwa iring-iringan pengantin itu dapat mengabaikan kewaspadaan.”
“Apakah yang sudah dilakukan
oleh Ki Gede khususnya karena perkembangan keadaan itu?” bertanya Ki Demang.
“Ki Gede sudah meningkatkan
kesiagaan. Terutama pada padukuhan di sepanjang jalan yang akan dilalui oleh
pengantin laki-laki saat mereka memasuki Tanah Perdikan Menoreh sampai ke
padukuhan induk. Meskipun sesuai dengan pesan Ki Gede, kesiagaan itu jangan
sampai nampak terlampau nyata, sehingga dapat menimbulkan kegelisahan dan
mengurangi kegembiraan rakyat Menoreh di saat perkawinan itu berlangsung.”
“Apakah mereka sama sekali
tidak mengerti, bahwa peristiwa itu telah terjadi? Maksudku peristiwa
perampokan dan kematian para perampok itu?”
“Mereka mengetahuinya, karena
berita itu segera tersebar di seluruh Tanah Perdikan. Namun kegelisahan yang
nampak di kalangan para pengawal akan menambah kegelisahan rakyat Menoreh.
Pengawalan yang akan dilakukan, adalah pengawalan yang tersamar. Tetapi justru
di tempat peristiwa perampokan itu terjadi, di ujung yang berlawanan dengan
arah yang akan dilalui pengantin dari Sangkal Putung, pengawalan dilakukan
sebaik-baiknya oleh para pengawal yang berasal dari padukuhan itu sendiri tanpa
penyamaran. Tetapi padukuhan itu sama sekali tidak akan dilalui oleh
iring-iringan dari Sangkal Putung. Namun justru pengawalan yang demikiainlah
yang akan memberikan ketenangan kepada penduduknya yang mungkin merasa terancam
oleh dendam para perampok yang terbunuh di padukuhan mereka. Sehingga bagi
mereka keselamatan padukuhan mereka harus mendapat perhatian lebih besar dari
kegembiraan di hari-hari perkawinan anak perempuan Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.”
Ki Demang Sangkal Putung dan
mereka yang mendengar penjelasan itu mengangguk-angguk. Mereka menyadari betapa
gawatnya perjalanan ke tlatah Menoreh jika para perampok itu kemudian berusaha
melepaskan dendam mereka kepada calon pengantin kedua-duanya. Apalagi mereka
tentu beranggapan bahwa pengantin yang akan dipertemukan itu tentu telah
dilengkapi dengan perhiasan yang mahal dan berharga.
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Di luar sadarnya ia berkata, “Kenapa semuanya itu terjadi justru
pada saat Swandaru akan kawin?”
Namun Kiai Gringsing kemudian
menyahut, “Bukan karena Swandaru akan kawin, Ki Demang. Tetapi agaknya
pemerintahan Pajang memang benar-benar telah goyah. Di mana-mana telah timbul
kerusuhan. Semuanya ini adalah akibat dari perkembangan di masa lalu.
Sepeninggal Sultan Trenggana, maka timbullah berbagai persoalan yang telah
menimbulkan perbedaan sikap dan pandangan terhadap kelangsungan tahta Demak.
Permusuhan di antara saudara dan keluarga sendiri menjadi-jadi.” Kiai Gringsing
berhenti sejenak, lalu, “Ternyata bahwa pertentangan itu masih belum berakhir.
Seperti yang telah terjadi di sekitar kademangan ini, di saat Angger Macan
Kepatihan masih mempunyai cukup kekuatan. Agaknya kekisruhan di daerah Pajang
ini belum dapat dianggap selesai dengan tuntas. Dan sekarang,
persoalan-persoalan itu telah tumbuh lagi dan bahkan berkembang dengan
suburnya, seperti gerumbul-gerumbul perdu yang justru beronak dan duri.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian, “Tetapi bagaimana pun juga perjalanan ke Menoreh itu
harus diperlengkapi dengan kekuatan untuk menghadapi setiap kemungkinan.”
“Ya, Ki Demang. Aku
sependapat. Tetapi tidak berlebih-lebihan,” sahut Ki Sumangkar.
“Tetapi Ki Sumangkar jangan
lupa. Kekuatan perampok yang ada di sekitar tlatah Menoreh itu tidak kalah
dahsyatnya dengan kekuatan yang ada di Tambak Wedi. Bukankah prajurit Pajang
segelar sepapan mengalami kesulitan melawan mereka? Nah, apakah yang akan
terjadi jika ternyata iring-iringan pengantin dari kademangan ini bertemu
dengan pasukan perampok yang berkekuatan seperti kekuatan mereka yang ada di
Tambak Wedi?”
Kecemasan Ki Demang memang
dapat dimengerti. Namun dalam pada itu salah seorang pengawal itu pun menjawab,
“Seperti yang sudah kami katakan, bahwa pengawal Tanah Perdikan Menoreh akan
mengadakan baris pendem di padukuhan-padukuhan sebelah Kali Praga. Dengan satu
isyarat, mereka akan segera dapat berkumpul dan melakukan tugas yang betapa pun
beratnya.”
“Tetapi Ki Sanak tidak
mengalami pertempuran yang dahsyat di lereng Gunung Merapi.”
“Ki Waskita yang kini berada
di Tanah Perdikan Menoreh pernah menceritakannya. Dan agaknya Ki Waskita pun
mengalaminya, sehingga ia akan dapat memberikan beberapa pertimbangan kepada Ki
Gede Menoreh.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Teringat sekilas saat perkawinan Untara yang tegang. Agaknya akan terjadi juga
pada saat-saat perkawinan Swandaru, apalagi agaknya perlindungan bagi keduanya
berbeda, karena Untara adalah justru seorang senapati perang.
Namun dalam pada itu Kiai Gringsing
berkata, “Kita dapat memberitahukan persoalannya kepada Mataram. Agaknya
Mataram juga berkepentingan dengan mereka, karena hubungan mereka dengan pusaka
yang hilang itu agak lebih jelas dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi
berurutan.”
“Jika Mataram harus ikut
menjadi sibuk hanya karena Swandaru anak seorang Demang di Sangkal Putung, akan
melangsungkan perkawinan. Apalagi jika terjadi sesuatu, maka Mataram harus
mempertaruhkan nyawa para pengawalnya.”
“Ki Demang,” berkata Kiai
Gringsing, “persoalannya tidak terbatas pada perkawinan Swandaru. Tetapi bahwa
telah terjadi banyak peristiwa yang gawat di Pajang, Mataram, dan sekitarnya
adalah karena persoalan Pajang dan juga Mataram itu sendiri. Karena itulah maka
Mataram pun tentu tidak akan ingkar jika mereka diminta untuk bersiaga.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Sedang Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Namun bagaimana pun
juga, perkawinan itu harus berlangsung.”
Swandaru yang menjadi pusat
persoalan sama sekali tidak menyambung pembicaraan itu, meskipun dadanya
bagaikan bergetar oleh kegelisahan dan bahkan kemarahan yang meluap-luap. Ia
merasa terganggu oleh tingkah laku para perampok itu, justru menjelang
hari-hari perkawinannya.
Pembicaraan itu masih
berlangsung beberapa lama. Namun akhirnya Ki Demang tidak dapat menolak, bahwa
pcrsoalan itu akan diceritakan kepada Ki Lurah Branjangan di Mataram pada saat
mereka singgah seperti yang sudah direncanakan dan menyampaikan kepada para
pemimpin di Mataram.
Dalam pada itu, ketika Swandaru
dan Agung Sedayu telah berada di halaman, mereka mulai membicarakan persoalan
yang dihadapi di saat yang sangat penting bagi Swandaru itu. Namun sikap yang
nampak pada Swandaru adalah sikap seorang anak muda yang darahnya masih mudah
meluap.
“Kenapa Ayah nampaknya menjadi
gentar,” desisnya. “Aku tidak akan takut menghadapi apapun juga. Adalah wajar
seandainya aku harus mempertaruhkan nyawa.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi katanya dengan nada yang datar, “Tetapi sebaiknya
perjalanan itu memang disiapkan sebaik-baiknya. Agaknya memang akan menjadi
sebuah perjalanan yang gawat.”
Swandaru memandang Agung
Sedayu sekilas. Lalu katanya, “Tidak usah dirisaukan lagi. Jika kita selalu
ragu-ragu, maka perkawinan itu akan tertunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Dan aku akan menjadi semakin tua karenanya.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi kata-kata Swandaru itu justru membuatnya merenungi diri sendiri.
Sekali-sekali terngiang di telinganya kata-kata Swandaru, “Aku akan menjadi
semakin tua.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Pandangannya kini justru tertuju kepada diri sendiri yang seperti
juga yang dicemaskan oleh Swandaru itu, menjadi semakin tua. Dan dalam usianya
yang merambat terus itu, ia masih tetap seorang petualang yang tidak mempunyai
pegangan bagi masa depannya.
“Sekar Mirah adalah seorang
perempuan yang memiliki ilmu kanuragan,” katanya di dalam hati, “apa salahnya
jika kita berdua justru menjadi sepasang pengembara yang menjelajahi padukuhan
di seluruh Pajang?” Namun kemudian, “Tetapi keluarga yang demikian bukanlah
keluarga yang manis. Apalagi jika kemudian lahir anak-anak yang mungil.”
Agung Sedayu justru menjadi
gelisah karena persoalannya sendiri.
Namun demikian, ia tidak ingin
menambah suasana menjadi sulit. Diendapkannya persoalan dirinya sendiri itu di
dalam hati. Ia tidak ingin membawa orang lain ikut dalam kegelisahan itu,
meskipun ia gurunya, karena gurunya pun tentu sedang disibukkan oleh persoalan
saudara seperguruannya, Swandaru.
Para pengawal dari Tanah
Perdikan Menoreh masih mempunyai waktu yang lapang untuk beristirahat. Mereka
akan tinggal satu hari di Sangkal Putung. Dengan demikian setelah bermalam dua
malam, mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Bukankah kalian masih
mempunyai cukup waktu seandainya kalian tinggal di sini semalam lagi?” bertanya
Ki Demang.
“Sepasar adalah batas waktu.
Lebih cepat agaknya akan menjadi lebih baik, karena dengan demikian aku akan
mengurangi ketegangan perasaan Ki Gede dan Ki Waskita di Menoreh.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Ia tidak dapat menahan lagi ketiga orang itu minta diri di keesokan harinya.
Menjelang fajar mereka akan meninggalkan Sangkal Putung, agar mereka tidak
terlalu malam sampai di Tanah Perdikan Menoreh yang ternyata di saat terakhir
agak dirisaukan oleh kerusuhan yang datang dari luar Tanah Perdikan.
Demikianlah, menjelang fajar
di pagi hari berikutnya para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu pun
benar-benar meninggalkan Sangkal Putung. Jika di perjalanan kembali mereka
tidak mengalami gangguan apa pun juga, maka tugas mereka dapat mereka
selesaikan dengan baik sehingga dengan demikian telah mengurangi kemungkinan
buruk bagi iring-iringan pengantin dari Sangkal Putung beberapa saat mendatang.
Sepeninggal para pengawal dari
Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing, dan Ki
Sumangkar pun segera mengadakan pembicaraan khusus. Namun tidak ada yang dapat
mereka sepakati selain memperkuat pengawalan.
“Memang hanya itu,” berkata
Kiai Gringsing, “tidak ada cara lain. Tetapi apa salahnya jika kita
menyampaikan persoalan ini juga kepada Ki Lurah Branjangan meskipun tidak
semata-mata untuk minta bantuan pengawalan selama kita berada di tlatah Mataram
menjelang daerah penyeberangan di Kali Praga karena di sebelah penyeberangan
itu, para pengawal Menoreh sudah siap dalam baris pendem.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Memang menegangkan sekali. Seolah-olah mereka sedang mempersiapkan sebuah
perjalanan perang yang gawat, menyusup ke daerah musuh.
Karena itulah, maka Ki Demang
pun segera mulai membicarakan dengan para pemimpin kademangan, siapakah yang
akan mereka bawa ke Tanah Perdikan Menoreh dalam keadaan yang gawat itu.
“Kau tinggal menunggu
kademangan, Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang kepada Ki Jagabaya, “karena ketenangan
kademangan ini tidak kalah pentingnya dengan pengamanan perjalanan Swandaru.
Pada saat Swandaru kembali sambil membawa isterinya, kademangan ini harus dapat
menerimanya sebaik-baiknya. Jika kademangan ini ternyata menjadi tidak tenang
karena gangguan yang sama seperti yang telah terjadi di Menoreh, maka usaha Ki
Gede untuk tetap memelihara suasana yang gembira akan sia-sia.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Ia mengerti, bahwa kerusuhan yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh ternyata
mempunyai jalur hubungan dengan kerusuhan di lereng Gunung Merapi.
“Jika mereka kecewa di Tanah
Perdikan Menoreh karena mereka gagal merampok iring-iringan pengantin, maka
mereka akan dapat mengirimkan orang-orangnya kemari dan melepaskan dendamnya di
sini karena setiap orang mengetahui bahwa pengantin laki-laki di Tanah Perdikan
Menoreh itu berasal dari Sangkal Putung,” berkata Ki Demang kemudian.
“Kami mengerti, Ki Demang,”
sahut Ki Jagabaya, “dengan demikian kita harus membagi kekuatan. Tetapi mereka
yang menempuh perjalananlah yang agaknya lebih penting. Jumlah mereka tentu
lebih terbatas, sedang di kademangan ini, aku dapat mengerahkan para pengawal
dan semua anak-anak muda. Bahkan semua laki-laki.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku sependapat, Ki Jagabaya. Tetapi meskipun demikian, kita semuanya
harus selalu berhati-hati. Terserahlah kepada Ki Jagabaya, siapakah yang akan
pergi bersamaku ke Tanah Perdikan Menoreh.”
Ki Jagabaya mengangguk-angguk.
Waktu yang pendek itu harus dipergunakan sebaik-baiknya. Karena itulah, maka Ki
Jagabaya bermaksud untuk menyiapkan sekelompok pengawal yang paling dapat
dipercaya. Bahkan mereka masih memerlukan latihan-latihan khusus untuk
mengatasi setiap kesulitan di perjalanan. Mereka harus mampu mempergunakan kuda
sebaik-baiknya dan mereka harus mampu bertempur di atas punggung kuda.
Dalam pada itu, selagi Sangkal
Putung dan Menoreh sibuk dengan persiapan masing-masing, dan selagi para
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh berpacu kembali, maka di kaki Gunung
Tidar, beberapa orang sedang berkumpul untuk membicarakan rencana mereka yang
paling menarik.
“Kita akan menghadapi
serombongan pengiring pengantin,” berkata salah seorang dari mereka, “tentu
Empu akan menyetujui rencana kita.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Salah seorang berkata, “Kita harus dapat memberikan keterangan sejelas-jelasnya
secara terperinci. Kita harus tahu pasti jalan yang kira-kira akan dilaluinya,
sehingga kita dapat menempatkan diri sebaik-baiknya.”
“Kau sajalah yang menyampaikan
kepadanya.”
“Kita bersama-sama,” jawab
yang lain.
Sejenak mereka berdiam diri.
Namun mereka tengah sibuk dengan angan-angan mereka. Iring-iringan pengantin
itu tentu membawa banyak harta dan benda. Bukan saja sebagai barang-barang yang
akan dipergunakan dalam upacara serah terima, tetapi juga perhiasan mereka yang
tentu akan mereka pergunakan pada saat perkawinan itu berlangsung, juga para
pengiringnya.
“Tetapi mereka tentu membawa
pengawal yang kuat,” berkata salah seorang dari mereka.
“Sebut, berapa orang. Sepuluh,
dua puluh?”
“Seandainya sekian.”
“Kami dapat mempersiapkan
orang sejumlah itu. Bahkan lipat dua. Mereka adalah orang-orang kademangan yang
tidak banyak berarti. Kecuali jika mereka dikawal oleh sepasukan prajurit
Mataram.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Lalu, “Sebentar lagi kita mendapat kesempatan untuk
menghadap. Kita akan menyampaikannya. Setelah kesempatan ini tertunda dua
hari.”
Yang lain masih saja
mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu
kesempatan untuk menghadap Empu Pinang Aring yang memerintahkan kepada mereka
untuk datang ke Gunung Tidar, justru saat yang ditentukan telah lewat.
Dalam kegelisahan itu, mereka
berkali-kali telah mendesak kepada pengawal terdekat untuk segera mendapat
kesempatan melaporkan apa yang telah mereka lakukan di Tanah Perdikan Menoreh.
“Empu Pinang Aring sedang
terganggu kesehatannya,” berkata pengawal terdekatnya.
“Kenapa?” bertanya salah
seorang dari mereka yang ingin menghadap itu.
“Tentu aku tidak tahu kenapa
Empu Pinang Aring menjadi sakit, bahkan Empu Pinang Aring sendiri pun tidak
tahu pula sebabnya. Mungkin kita dapat menduga, bahwa Empu Pinang Aring terlalu
letih, karena perjalanannya yang tergesa-gesa ke lembah Gunung Merapi. Karena
itulah maka kesempatanmu menghadap menjadi tertunda. Tetapi itu pun tidak dapat
kita anggap dugaan yang tepat, karena Empu Pinang Aring tidak pernah mengenal
lelah. Tiga hari tiga malam ia bertempur tanpa berhenti sama sekali, tidak
mempengaruhi kesehatannya, tanpa makan tanpa minum. Apalagi sekedar perjalanan
betapa pun tergesa-gesanya. Karena itu, mungkin pula ada sebab lain yang tidak
kita mengerti.”
“Apakah sekarang masih juga
belum dapat menerima kami?”
“Aku tidak tahu. Tetapi hanya
orang-orang terpenting sajalah yang dapat menemuinya. Laporanmu mungkin akan
diterima bukan oleh Empu Pinang Aring sendiri. Mungkin Kakang Rimbag Wara atau
mungkin Kakang Panganti. Tetapi laporanmu akan diterima hari ini siapa pun yang
akan mewakili Empu Pinang Aring.”
“Tetapi laporanku penting
sekali.”
“Katakan kepada siapa pun yang
akan berkewajiban menerimanya.”
Orang-orang yang sudah
menunggu terlampau lama itu menjadi kecewa. Tetapi sudah barang tentu mereka
tidak akan memaksa seandainya Empu Pinang Aring sendiri tidak dapat menerima
mereka.
“Aneh,” mereka masih saja
menjadi heran, “mana mungkin Empu Pinang Aring menjadi sakit. Aku tidak pernah
mendengar sebelumnya. Dan aku tidak dapat membayangkan bahwa hal itu telah
terjadi.”
Tetapi nampaknya Empu Pinang
Aring benar-benar telah menutup diri bagi mereka yang tidak termasuk
orang-orang yang paling dipercaya.
Seperti yang dikatakan oleh
pengawal itu, maka ternyata beberapa orang yang telah pergi ke Menoreh itu pun
telah dipanggil untuk memasuki sebuah rumah induk dari perkemahan mereka.
Tetapi yang menerima mereka memang bukan Empu Pinang Aring sendiri meskipun
agaknya Empu Pinang Aring juga berada di rumah itu.
“Seorang pengawal telah
mendesak agar kalian dapat diterima hari ini,” berkata seorang yang bertubuh
kecil, berkulit kuning dengan kumis yang kecil menyilang di atas bibirnya.
“Ya, Kakang Panganti,” jawab
salah seorang yang tertua dari mereka, “sudah terlalu lama kami menunggu.”
“Apa salahnya? Kalian tidak
akan mendapat tugas baru lagi untuk beberapa lama sampai saat terpenting itu
tiba.”
“Apa bekal kita sudah cukup?”
“Empu Pinang Aring tidak
peduli lagi. Ada sesuatu yang lebih penting dari semuanya itu. Dan kini yang
jauh lebih berharga itu telah ada di sini.”
“Apakah yang jauh lebih
berharga itu?”
“Kelak kalian akan
mengetahuinya. Sekarang jika kalian memang ingin segera menyampaikan pesan atau
laporan tentang tugas-tugasmu, katakanlah. Pada saatnya aku akan menyampaikan
kepada Empu Pinang Aring.”
“Apakah saat-saat ini sama
sekali tidak ada kesempatan untuk menghadap Empu betapa pun pentingnya.”
“Tidak pada waktu dekat ini.”
“Apakah sakitnya cukup parah?”
Panganti termangu-mangu
sejenak. Lalu katanya, “Empu sebenarnya tidak sakit. Tetapi ia hanya sekedar
ingin beristirahat tanpa diganggu oleh siapa pun untuk kira-kira sepekan. Ada
sesuatu yang sedang dipikirkannya. Jauh lebih penting dari tugas kalian selama
ini.”
“Tetapi ada bahan yang
barangkali dapat dipertimbangkan.”
“Katakanlah. Tetapi jika hal
itu hanyalah sekedar masalah pengumpulan dana dan barangkali sumber-sumber yang
kalian anggap baik, sebaiknya lupakan saja dalam saat-saat seperti ini.”
Orang-orang itu mengerutkan
keningnya. Salah seorang dari mereka bertanya, “Kenapa?”
“Sudah aku katakan. Masalahnya
ada yang lebih penting daripada itu. Pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu itu memerlukan perhatian sepenuhnya.”
“Apakah ada sesuatu yang
kurang wajar telah terjadi?”
“Kematian Kiai Jalawaja
memerlukan perhatian.”
Orang-orang itu
mengangguk-angguk. Lalu salah seorang bertanya, “Kapankah hal itu sebenarnya
akan terjadi?”
“Hanya Empu Pinang Aring
sajalah yang mengetahuinya. Kita tidak perlu. Kapan pun hal itu terjadi sama
saja akibatnya bagi kita. Bersiaga, menghadapi setiap kemungkinan.”
Orang-orang itu termangu-mangu
sejenak. Lalu yang tertua di antara mereka berkata, “Baiklah. Aku akan
mengatakannya apa pun tanggapan atas laporanku itu.”
“Katakanlah.”
Orang itu pun segera
melaporkan apa yang telah terjadi. Beberapa kelompok-kelompok kecil orangnya
berhasil mendapatkan dana meskipun tidak banyak. Korban telah jatuh. Dan mereka
mendapat keterangan, bahwa Ki Gede Menoreh akan mengadakan perelatan perkawinan
putera putri satu-satunya.
Panganti mengangguk-angguk
kosong. Seperti ia mendengarkan laporan yang lain. Tanpa perhatian, apalagi
tertarik atas sesuatu yang telah terjadi.
“Ya,” sahutnya kemudian,
“terima kasih. Yang telah menjadi korban, sudahlah. Itu adalah peristiwa yang
wajar bagi suatu perjuangan.”
“Tetapi, apakah perkawinan itu
tidak menarik perhatian?”
“Di daerah manakah selama ini
kau melakukan kegiatan?”
“He?” orang itu menarik nafas.
Ia sadar, bahwa laporannya hanyalah sekedar didengar tanpa perhatian sama
sekali.
Panganti mengerutkan
keningnya. Dipandanginya orang yang telah memberikan laporan kepadanya itu.
Dengan heran ia bertanya pula, “Di manakah selama ini kau melakukan kegiatan?
Apakah pertanyaan ini mengherankan kalian?”
“Aku sudah melaporkan semuanya
dengan teliti. Tiba-tiba saja aku ditanya, di manakah aku melakukan kegiatan.”
“O,” Panganti tersenyum, “kau
kecewa mendengar pertanyaanku? Baiklah. Aku minta maaf. Tetapi cobalah ulangi,
di manakah kau melakukan kegiatan?”
“Seandainya aku belum
melaporkannya, tentu sudah diketahui, di manakah aku ditugaskan.”
Panganti masih tersenyum.
Katanya, “Jangan merajuk. Kau tahu, bahwa bukan akulah yang mengatur tugas
setiap anggota kita di sini. Kali ini aku diwajibkan menerima laporanmu, karena
Empu Pinang Aring berhalangan. Aku kira kau cukup tua untuk mengerti.”
Orang itu menelan ludahnya. Ia
tidak berani merajuk lagi, karenanya ia tiba-tiba saja sadar, dengan siapa ia
berhadapan. Panganti adalah seorang yang mudah tersenyum dan tertawa. Sikapnya
baik dan kadang-kadang lemah lembut. Kata-katanya sedap dan menyenangkan.
Namun dengan sikap yang sama,
dengan senyum dan tertawa, dengan lemah lembut dan kata-kata yang sedap dan
menyenangkan, ia membunuh orang-orang yang tidak disukainya. Dengan seakan-akan
bergurau saja ia menukikkan keris ke jantung seseorang yang dikehendaki. Bahkan
sambil menganggukkan kepalanya dalam-dalam ia tiba-tiba saja menghantam wajah
seseorang sehingga giginya rontok dan bahkan kadang-kadang mematikan. Dengan
tersenyum pula ia kemudian berkata, “Maaf, aku tidak sengaja membunuhnya.”
Orang tertua dari kelompok
yang bertugas di Menoreh itu pun kemudian berkata, “Ki Panganti. Kami bertugas
di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya.”
“O, di daerah hantu itu,”
desis Panganti.
Orang itu mengerutkan
keningnya. Di luar sadarnya ia berta-nya, “Kenapa daerah hantu?”
“Ki Argapati adalah seorang
yang teguh timbul. Orang yang jarang ada bandingannya di muka bumi ini.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Apakah yang kau maksudkan adalah perkawinan anak
gadisnya itu?”
“Ya. Pandan Wangi akan kawin
dengan Swandaru. Anak seorang Demang dari tlatah Sangkal Pulung. Kademangan
yang subur dan kaya raya.”
Panganti mengangguk-angguk.
Katanya, “Memang menarik sekali. Tetapi apakah kau ingin mengusulkan agar kami
membunuh diri di induk Tanah Perdikan di saat hari perkawinan itu?”
Orang yang tertua dari
kelompok yang bertugas di Menoreh itu menggelengkan kepalanya, “Tidak. Bukan
begitu. Aku sudah mendapat keterangan yang lebih jelas dari orang-orang
Menoreh. Di saat-saat kami menyamar dan berada di pasar, kami mendengar, kapan
pengantin laki-laki bakal tiba dari Sangkal Putung, dan kapan akan kembali ke
Sangkal Putung membawa pengantin perempuan.”
“Memang ceritamu mulai
menarik. Dan kau berhasil mengetahui hari dan waktunya?”
“Kami mendengarnya dari
orang-orang Menoreh. Mereka tahu pasti kapan mereka harus merayakan hari-hari
perkawinan itu. Pandan Wangi adalah anak satu-satunya dari Kepala Tanah
Perdikan Menoreh.”
Panganti mengangguk-angguk.
Lalu katanya, “Kau membayangkan bahwa pengantin laki-laki itu pun tentu membawa
perhiasan yang cukup banyak. Perhiasan pengantin laki-laki itu sendiri dan perhiasan
para pengiringnya. Bahkan mungkin harta kekayaan bagi calon istrinya. Begitu?”
“Ya.”
“Dan kau membayangkan, bahwa
jika kami bergerak untuk mendapatkan dana dari mereka itu, kita akan
melakukannya di luar tlatah Menoreh, karena Menoreh tentu sudah mempersiapkan
diri karena peristiwa yang terjadi di ujung Tanah Perdikan dan bahkan di
halaman belakang rumah Kepala Tanah Perdikannya itu.”
“Ya.”
“Baiklah. Keterangan ini akan
aku sampaikan kepada Empu Pinang Aring. Mungkin dapat menarik perhatiannya.
Meskipun ia sama sekali tidak berminat lagi mencari sumber dana yang baru,
namun agaknya pengantin ini sangat menarik sekali. Meskipun kalian harus tahu,
bahwa Sangkal Putung adalah kademangan yang kuat. Tentu Sangkal Putung
mempunyai pengawal-pengawal yang kuat pula. Barangkali Empu Pinang Aring telah
mendapat bahan yang cukup selama ia berada di lembah Gunung Merapi menjelang
pertemuan puncak antara beberapa pemimpin kelompok yang mendukung perjuangan
tegaknya kembali kekuasaan Majapahit di Pulau Jawa.”
Pemimpin kelompok yang
bertugas di Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah
kepada Ki Panganti. Kami sekedar memberikan bahan pertimbangan. Pengantin itu
tentu akan melalui jalan yang paling baik menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Dan
jalan yang paling baik itu adalah jalan terbaru yang dibuka oleh Mataram.
Tetapi menjelang tepian Kali Praga, mereka akan melalui sebuah lapangan perdu
dan rawa-rawa meskipun tidak begitu luas. Apakah yang dapat kita lakukan di
tempat itu, tentu akan menguntungkan sekali. Kita dapat bergerak cepat dan
kemudian menghilang sebelum yang kita lakukan itu didengar oleh para pengawal
Tanah Mataram yang kuat, atau mungkin di tempat lain yang lebih baik.”
Panganti tertawa. Katanya,
“Pengetahuanmu tentang daerah ini memang picik sekali. Kau kira orang-orang
Sangkal Putung itu akan kebingungan dan tidak dapat berbuat apa-apa? Tetapi
baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Empu Pinang Aring. Jika tebusannya
sepadan menurut perhitungan, maka agaknya Empu Pinang Aring sendiri tidak akan
keberatan untuk hadir. Tetapi setidak-tidaknya ia akan memerintahkan orang yang
dapat dipercaya untuk melakukannya.”
Pemimpin kelompok itu
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia menjadi kecewa ketika Panganti menepuk
bahunya sambil berdiri, “Aku terima laporanmu. Sangat menarik.”
Ketika pemimpin kelompok itu
tertegun, Panganti tertawa. Sambil melangkah pergi ia berdesis, “Tunggulah.
Mungkin ada kabar baik.”
Beberapa orang yang baru
datang dari tlatah Perdikan Menoreh itu pun termangu-mangu. Ternyata Panganti
sama sekali tidak memperhatikan laporan mereka. Panganti tidak bertanya apa pun
yang cukup penting, baik mengenai laporannya maupun mengenai keterangannya
tentang perkawinan itu.
“Ia tidak bertanya, apakah
yang dapat kita lakukan, perincian dari usaha kita dan yang lain-lain, terutama
mengenai pengantin itu.”
Seorang yang berwajah keras
seperti padas menarik nafas sambil mengumpat, “Apakah kerja itu sama sekali
tidak berarti?”
“Jangan berputus asa,” sahut
pemimpin kelompok itu, “mungkin para pemimpin memang sedang sibuk. Kematian
Kiai Jalawaja agaknya memang mempunyai pengaruh yang luas.”
“Mungkin ada
pertimbangan-pertimbangan lain,” sahut kawannya yang bertubuh tinggi. “Agaknya
Ki Panganti banyak mengetahui mengenai Sangkal Putung dan sekitarnya. Karena
itu, mungkin ada pertimbangan-pertimbangan lain yang belum kita ketahui.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Namun mereka sama sekali tidak puas atas penerimaan para pemimpin mereka,
setelah mereka menjalankan tugas di daerah Tanah Perdikan Menoreh dan
sekitarnya. Bahkan dengan mengorbankan beberapa orang kawan mereka. Tetapi
mereka tidak dapat menuntut perhatian lebih banyak lagi meskipun dengan
berdebar-debar mereka telah menunggu untuk waktu yang cukup lama.
Namun dalam pada itu, sebenarnyalah
para pemimpin kelompok yang berada di kaki Gunung Tidar itu sedang membuat
pertimbangan-pertimbangan tertentu menghadapi perkembangan keadaan. Seperti
orang-orang yang berada di Tambak Wedi, maka Empu Pinang Aring juga hanya untuk
sementara saja berada di kaki Gunung Tidar. Namun agaknya kehadiran kelompok
yang cukup besar itu telah menyingkirkan beberapa kelompok kecil penyamun dan
perampok yang sebelumnya telah berada di sekitar Gunung Tidar.
Ternyata bahwa kematian Kiai
Jalawaja telah merubah keseimbangan kekuatan di dalam kelompok-kelompok yang
merasa dirinya berkepentingan untuk memulihkan kembali kekuasaan Majapahit.
Kelompok-kelompok yang dipimpin oleh orang-orang yang merasa dirinya keturunan
langsung dari kekuasaan yang berhak untuk berkelanjutan.
Agaknya hal itu telah
mencengkam para pemimpin kelompok yang sebelumnya memang sengaja berpencaran,
untuk mengaburkan jejak hilangnya pusaka-pusaka dari Mataram.
Di kaki Gunung Tidar itulah
Empu Pinang Aring sedang berbincang dengan mendalam mengenai kemungkinan yang
sedang dihadapinya menjelang pertemuan di lembah antara Gunung Merbabu dan
Gunung Merapi itu.
“Apakah artinya kekuatan
Kalasa Sawit sekarang ini tanpa dukungan Kiai Jalawaja atau sebaliknya,”
berkata Empu Pinang Aring dalam ruangan tertutup yang hanya dihadiri oleh empat
orang kepercayaannya termasuk Ki Panganti.
“Tetapi pengaruh Kiai Kalasa
Sawit cukup besar bagi para pemimpin yang ada di dalam lingkungan pemerintah
dan keprajuritan di Pajang. Suaranya banyak didengar dan rencananya hampir
seluruhnya disetujui,” desis seorang yang bertubuh besar, berkumis lebat, dan
bermata tajam. Di keningnya terdapat segores bekas luka yang menyilang.
“Kau benar Rimbag Wara,” jawab
Empu Pinang Aring, “tetapi itu adalah karena pengaruh hadirnya kekuatan Kiai
Jalawaja dan pengiringnya.”
“Tetapi kenapa bukan Kiai
Jalawaja sendiri yang mempunyai pengaruh langsung kepada para pemimpin di
Pajang itu, Empu?” bertanya Ki Panganti.
“Kiai Kalasa Sawit mempunyai
suatu kelebihan. Ia dapat membuktikan bahwa saluran keturunannya jauh lebih
dekat dari Kiai Jalawaja. Selebihnya Kiai Kalasa Sawit masih mempunyai hubungan
langsung dengan pemimpin tertinggi yang ada di dalam tubuh keprajuritan Pajang.
Karena itu, maka pengaruh Kiai Jalawaja atas Pajang harus disalurkannya lewat
Kiai Kalasa Sawit.”
Ki Panganti mengangguk-angguk.
Namun katanya kemudian, “Apakah Empu Pinang Aring tidak membuktikan bahwa
keturunan Empu lebih dekat jika ditelusur lewat Prabu Brawijaya Pamungkas?”
“Aku sedang berusaha
mendapatkan bukti-bukti yang meyakinkan tentang diriku. Tetapi itu memerlukan
waktu yang lama. Sementara ini semua rencana yang sudah disusun bersama harus
dapat dilaksanakan sebaik-baiknya.”
“Tetapi apakah dalam pertemuan
di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu sudah akan mempersatukan kedua
pusaka yang kita ambil dari Mataram?”
“Seharusnya memang demikian.
Tetapi aku akan mencegahnya. Songsong itu tidak akan aku bawa ke lembah antara
Gunung Merapi dan Merbabu itu dengan alasan apa pun juga.”
“Apakah hal itu tidak akan
menimbulkan pertentangan?”
“Betapa pun juga, tetapi tidak
akan ada sekelompok pun yang berani memaksakan perselisihan sebelum kedua
pusaka itu bergabung. Bahkan tentu ada usaha untuk tetap memelihara kerja sama
dengan membagi kekuasaan dan daerah pengaruh atas seluruh wilayah Pajang.” Empu
Pinang Aring berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya aku lebih senang menempatkan
pusaka-pusaka itu sejauh-jauhnya dari Pajang dan Mataram. Mungkin di Pesisir
Utara, mungkin di daerah Bang Wetan. Dengan demikian tidak akan ada kecemasan
bahwa kekuasaan Mataram atau Pajang akan dapat menjangkau kita.”
“Belum tentu, Empu,” sahut
seorang yang bertubuh gemuk. “Para Adipati masih mengakui kekuasaan Pajang.
Mereka akan dapat digerakkan setiap saat di bawah pimpinan Senapati Pajang yang
ditugaskan. Karena itu, tidak akan banyak bedanya dengan daerah yang dekat
dengan pusat pemerintahan Pajang dan Mataram. Selebihnya, kita tidak akan dapat
berhubungan langsung dengan para pemimpin dan prajurit Pajang, sekaligus di Pajang
kita akan dapat menghubungi orang-orang yang tengah menyiapkan benturan antara
Pajang dan Mataram.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia mulai membayangkan beberapa orang
adipati yang akan dapat dipengaruhinya sebagai pewaris kekuasaan Majapahit.
Apalagi oleh ketidak puasan mereka terhadap pimpinan Pajang yang sedang
kehilangan nafas gerak kepemimpinannya.
Namun dalam pada itu sejenak
kemudian Empu Pinang Aring itu pun berkata, “Baiklah. Aku akan menunggu.
Mungkin pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu akan
dapat menentukan, apakah yang sebaiknya aku lakukan.”
“Mungkin suatu gerak maju yang
serasi antara kekuatan-kekuatan yang ada di pihak kita sekarang,” berkata
Panganti, “tetapi tidak mustahil bahwa yang terjadi adalah sebaliknya. Jika
pimpinan yang selama ini kita anggap sebagai orang yang paling berpengaruh, dan
memiliki kekuasaan resmi di dalam pemerintahan Pajang yang sekarang kurang
berhasil mengendalikan keadaan, maka yang terjadi justru perselisihan dan
benturan antara kekuatan yang selama ini merasa diikat oleh kepentingan yang
sama.”
“Karena itu kita tidak boleh
lengah. Sepeninggal Kiai Jalawaja tentu telah timbul perubahan di dalam tubuh
pasukan yang dipimpin oleh Kiai Kalasa Sawit. Mungkin sebagian besar pasukan
Kiai Jalawaja akan bergabung dengan kekuatan Ki Kalasa Sawit.”
“Tetapi tergantung kepada
pimpinan tertinggi. Mungkin ia masih akan tetap berpegang pada keseimbangan
yang benar. Namun perkembangan terakhir dari setiap kelompok yang ada tentu
akan mempengaruhinya pula. Karena itulah, maka semua kekuatan yang ada,
menjelang hari pertemuan itu harus sudah berada di kaki Gunung Tidar ini. Kita
akan memasuki lembah itu dengan kekuatan sepenuhnya. Kekuatan senjata dan
kemungkinan untuk bertahan di dalam segala pengaruh keadaan, termasuk dana yang
ada pada kita.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja Panganti berdesis, “Empu. Ada sesuatu yang barangkali
dapat dipertimbangkan sehubungan dengan dana yang dapat kita bawa dalam
pertemuan yang akan diadakan di lembah itu.”
“Sudah aku katakan,” berkata
Empu Pinang Aring, “meskipun hal itu ikut menentukan seperti yang kau katakan,
tetapi yang terpenting bagi kita adalah pengumpulan kekuatan. Kita tidak akan
dapat membiarkan orang-orang kita menjadi korban usaha pengumpulan dana itu
lagi. Kita akan lebih menghargai tenaga manusia daripada jumlah uang yang lebih
banyak lagi. Pengumpulan harta benda aku anggap sudah cukup banyak.”
“Tetapi Empu,” desak Panganti,
“ada suatu cara yang mudah sekali untuk menambah jumlah itu.”
Empu Pinang Aring mengerutkan
keningnya.
“Beberapa saat lagi, sebuah
iring-iringan pengantin akau menempuh perjalanan yang jauh. Mereka akan
menempuh perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan Menoreh dan
sebaliknya.”
Namun agaknya Empu Pinang
Aring tidak tertarik lagi. Bahkan katanya, “Dalam benturan yang demikian, maka
tentu akan jatuh korban dari kedua belah pihak. Iring-iringan itu tentu bukan
hanya satu atau dua orang saja. Setiap kematian di antara kawan-kawan kita
tentu akan mengurangi kekuatan yang telah ada.”
“Tetapi apakah dalam hal ini
tidak dapat diperhitungkan dengan kemungkinan yang akan kita dapatkan dari
mereka? Pengantin dari dua keluarga yang cukup kaya tentu memiliki perhiasan
yang cukup. Dipakai atau tidak dipakai di saat mereka menempuh perjalanan.
Tetapi perhiasan itu tentu ada pada mereka. Terlebih-lebih lagi, iring-iringan
sepasang pengantin itu pada saat mereka dibawa ke Sangkal Putung di hari yang
kelima.”
Empu Pinang Aring
termangu-mangu.
“Kita dapat memperhitungkan,
Empu,” berkata Panganti, “berapa orang yang ada di dalam iring-iringan itu.
Tentu tidak semua orang laki-laki dari Sangkal Putung akan ikut bersama
mereka.”
“Bagaimana kita mengetahui
jumlah mereka?” bertanya Empu Pinang Aring.
“Kita memasang orang yang
harus mengawasi jalan yang menghubungkan kedua daerah itu. Perjalanan dari
Tanah Perdikan Menoreh ke Sangkal Putung tentu lebih menguntungkan, karena di
antara mereka terdapat pengantin perempuan.”
Empu Pinang Aring ternangu-mangu.
Katanya kemudian, “Aku tidak mengenal daerah ini dengan baik meskipun aku sudah
berada di sekitar tempat ini untuk waktu yang agak lama. Tetapi kalian bersama
tentu sudah mengenalnya karena kalian berada di tempat ini lebih lama. Dan apalagi
ada di antara kalian yang memang berasal dari daerah ini.”
“Untuk melakukan rencana itu
harus dipertimbangkan berulang kali,” sahut Rimbag Wara. Lalu, “Apalagi
menyangkut tlatah Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung. Dua daerah yang
memiliki nama tersendiri selama geseran antara Pajang dan Jipang terjadi,
sehingga akhirnya kekuasaan Demak seolah-olah dengan mutlak berpindah ke
Pajang.”
“Pertimbangan itu perlu,”
berkata Empu Pinang Aring, “bukankah dengan demikian berarti bahwa
iring-iringan itu akan terdiri dari orang-orang pilihan dari Sangkal Putung dan
Tanah Perdikan Menoreh?”
Panganti mengangguk-angguk.
“Perhitungkan masak-masak.”
“Aku mengerti, Empu,” jawab
Panganti, “tetapi bagaimana jika kita masih akan mencobanya dengan tenaga yang
mungkin tidak banyak berarti dalam pasukan kita?”
“Itu akan membuang tenaga dan
jiwa dengan sia-sia,” desis Rimbag Wara, “karena sebenarnyalah kekuatan kedua
lingkungan yang terletak agak berjauhan itu perlu diperhitungkan. Panganti, kau
tentu tidak dapat menutup mata tentang peristiwa Panembahan Agung. Kau tahu
betapa besar kekuatannya. Tetapi ia akhirnya binasa.”
“Tentu karena kekuatan Mataram
ada di dalam pasukan yang datang ke padepokannya,” sahut Panganti.
“Tetapi di antara mereka
terdapat kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.”
Panganti mengangguk-angguk. Ia
tidak dapat ingkar, bahwa kekuatan Menoreh ikut menentukan di dalam pertempuran
melawan Panembahan Agung. Bahkan menurut pendengaran Panganti dan beberapa
orang kawannya, orang yang langsung menghadapi Panembahan Agung bukanlah
senapati dari Mataram. Bukan Raden Sutawijaya dan bukan pula Ki Gede Pemanahan.
Demikian pula yang telah membunuh Panembahan Alit. Bukan senapati dari Mataram
pula. Tetapi orang yang terkenal dengan sebutan orang bercambuk.
Sejenak ruangan itu dicengkam
oleh kesepian. Baru sejenak kemudian, setelah melihat gelagat dan hasil
pembicaraan itu, Empu Pinang Aring berkata, “Sudahlah. Kita lepaskan saja
keinginan kita untuk mendapatkan barang-barang yang mungkin memang sangat
berharga dari sepasang pengantin itu. Kita memerlukan orang-orang terkuat kita
menghadapi masa yang mungkin menentukan. Siapakah yang akan mendapat
kepercayaan dari pimpinan tertinggi, orang yang memegang keseluruhan perintah
ini, yang selanjutnya akan ikut menentukan ujud dari kebangkitan kembali
kekuasaan Majapahit itu.”
Panganti mengangguk-angguk.
Dengan penuh pengertian ia berkata, “Baiklah, Empu. Yang kami katakan hanyalah
bahan untuk dipertimbangkan. Jika pertimbangan ini menganggap hal itu tidak
perlu dilakukan, maka sebaiknya memang tidak usah diingat lagi.”
Namun dalam pada itu, seorang
yang masih muda bertubuh gemuk tetapi agak pendek bergeser setapak sambil
berkata meskipun dengan ragu-ragu, “Empu, aku mohon maaf, bahwa barangkali aku
mempunyai pendapat yang agak berbeda.”
Empu Pinang Aring mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Marilah kita membicarakan masalah-masalah yang barangkali
lebih penting dari sekedar menyamun atau merampok perjalanan.”
“Baiklah. Baiklah, Empu.
Tetapi ada sedikit pendapat yang barangkali dapat dipertimbangkan pula.”
Empu Pinang Aring menarik
nafas dalam-dalam. Lalu, “Katakanlah. Tetapi kau sudah mendengar sendiri semua
pertimbangan, bahwa melakukan perampokan atas orang-orang Menoreh dan Sangkal
Putung yang bergabung itu tidak menguntungkan.”
“Jika kita sendiri yang
melakukan, memang tidak menguntungkan. Tetapi sebagaimana Empu mengetahuinya,
aku adalah orang Gunung Tidar sejak kecil. Karena itu, aku mengetahui seluk
beluk daerah ini dan sekitarnya.”
“Maksudmu?”
“Sebelum Empu singgah di
daerah ini untuk beberapa lama menjelang pertemuan di lembah antara Gunung
Merapi dan Merbabu itu, daerah ini adalah daerah rimba raya bagi dunia yang
gelap itu. Di sini dan sekitarnya terdapat beberapa kelompok penyamun dan
perampok yang ditakuti oleh orang-orang di sekitar daerah ini, bahkan sampai ke
tempat yang jauh.”
“Ya, aku mengerti. Lalu apakah
yang akan kita perbuat dengan mereka? Apakah kita harus menghimpun mereka dalam
perjuangan ini?”
“O, tidak. Tidak Empu.”
“Mereka adalah orang-orang
yang tidak aku kenal watak dan tabiatnya. Jika mereka ada di dalam tubuh kita,
maka kemungkinan yang paling kuat terjadi adalah justru mereka akan mempersulit
kedudukan kita. Pada akhirnya mereka hanya akan mementingkan diri mereka
masing-masing.”
“Ya, ya Empu. Tetapi sementara
ini mereka dapat kita pergunakan untuk kepentingan yang lain.”
“Maksudmu?”
“Sudah lama mereka tidak
mendapat kesempatan untuk melakukan perampokan dan perampasan karena daerah
jelajah mereka telah kita kuasai. Karena itu, maka biarlah kali ini kita
memberi kesempatan kepada mereka untuk melakukannya.”
“Ah, aku tidak peduli. Jika
mereka akan melakukan, biarlah mereka melakukan tanpa menyinggung tubuh kita.
Apalagi mempergunakan nama kita.”
“Tetapi dengan demikian kita
tidak akan mendapatkan keuntungan apa pun juga.”
“Jadi?”
“Jika Empu percaya kepadaku,
biarlah aku sendiri melakukannya. Mungkin tenagaku diperlukan di sini, tetapi
tugas ini pun aku kira cukup sepadan aku lakukan.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud orang bertubuh gemuk itu. Ia akan
melakukan perampokan itu dengan mempergunakan beberapa kelompok yang semula
memang sudah ada di sekitar Gunung Tidar ini. Namun demikian ia berkata,
“Pikirkanlah baik-baik. Apakah dengan demikian kau tidak hanya sekedar
mempertaruhkan diri tanpa mendapat keuntungan apa pun juga? Bahkan mungkin pada
saatnya kau justru akan dibantai oleh orang-orang dalam kelompok-kelompok
penyamun itu sendiri setelah kau berhasil?”
Orang itu menggeleng. Katanya,
“Tidak, Empu. Mereka tahu siapa aku. Mereka tidak akan berani melakukannya.
Apalagi aku memang berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring.”
“Bagaimanakah anggapan mereka
terhadapmu?”
“Ayahku memang salah seorang
pimpinan kelompok yang semula tidak menguasai daerah perburuan yang luas,
karena ayahku memang bukan orang yang pertama. Ada beberapa orang yang memiliki
kemampuan seperti ayahku dan bahkan memiliki pengikut lebih bahyak. Tetapi
setelah aku dewasa, dan aku datang ke dalam lingkungan ayahku dengan ilmu yang ada
padaku, maka keadaan segera berubah. Dan Empu mengetahuinya, bahwa di daerah
ini aku mendapat gelar Harimau Hitam Berkuku Pedang. Bukankah gelar itu telah
menunjukkan kedudukan dan tempat yang khusus bagiku? Apalagi setelah aku
meninggalkan tempat ini dan berada dalam lingkungan yang lebih baik seperti
sekarang ini. Mereka tentu tidak akan berani berbuat sesuatu atasku. Mungkin
bukan karena aku sendiri, tetapi justru karena kekuasaan Empu Pinang Aring di
sini bersama pasukannya.”
Empu Pinang Aring merenungi
keterangan orang yang bergelar Harimau Hitam Berkuku Pedang itu.
Sementara itu beberapa orang
yang lain pun mulai mempertimbangkan pendapat orang yang bergelar Harimau Hitam
Berkuku Pedang itu. Nampaknya keterangannya itu dapat dilaksanakannya tanpa
mengorbankan kekuatan Empu Pinang Aring selain orang itu sendiri.
Tetapi ternyata bahwa Empu
Pinang Aring masih ragu-ragu. Dengan nada yang datar ia bertanya, “Apakah kau
merasa bahwa kau cukup mempunyai pengaruh untuk menghimpun kekuatan yang
berpencaran dan bahkan kadang-kadang saling bertentangan itu?”
“Aku akan mencoba Empu. Dengan
landasan gelarku dan kedudukanku di sini, di dalam lingkungan pasukan Empu
Pinang Aring.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin. Aku juga pernah mendengar, bahwa
kau mempunyai gelar yang menggetarkan jantung itu, meskipun namamu sendiri
terlalu sederhana. He, bukankah sebelum kau bergelar Harimau Hitam kau dikenal
dengan namamu sendiri di lingkungan ini? Gandu? Bukankah Gandu itu memang
namamu?”
“Ya, Empu. Tetapi di daerah
ini di masa mudaku, aku lebih dikenal dengan nama panggilanku. Demung.
Lengkapnya Gandu Demung.”
“Dan sekarang, Gandu Demung
yang bergelar Harimau Hitam Berkuku Pedang,” Panganti berdesis sambil tertawa.
Gandu Demung memandangnya
dengan sudut matanya. Sikap Panganti itu ternyata telah menyinggung perasaannya
meskipun ia sama sekali tidak menunjukkan sikap apa pun. Apalagi ia sadar,
bahwa Panganti mempunyai kedudukan yang lebih baik daripadanya di hadapan Empu
Pinang Aring, karena ia memang lebih lama berada di dalam lingkungan itu.
Sejenak Empu Pinang Aring
merenungi pendapat Gandu Demung itu. Agaknya memang menarik sekali. Meskipun
mempunyai satu kemungkinan, seorang kepercayaannya tidak akan kembali lagi
kepadanya.
“Gandu Demung,” berkata Empu
Pinang Aring, “mungkin ada pertimbangan tersendiri. Agaknya aku menghargai
kesediaanmu untuk mendapatkan bekal yang cukup banyak tanpa mengurangi kekuatan
kita selain satu kemungkinan, pengorbananmu sendiri. Tetapi yang kami cemaskan adalah
rahasia yang selama ini sudah kau ketahui. Kau tahu bahwa kami, mungkin satu
atau dua orang akan memasuki bilik pembicaraan di lembah antara Gunung Merapi
dan Gunung Merbabu, sementara seluruh kekuatan yang ada di segala pihak akan
bersiaga sepenuhnya.”
“Maksud Empu, seandainya aku
dapat ditangkap hidup-hidup oleh orang Menoreh atau orang Sangkal Putung.”
“Ya.”
Gandu Demung yang bergelar
Harimau Hitam itu tertawa. Katanya, “Aku ingin menangkap pengantin perempuan
itu hidup-hidup, selain perhiasannya. Aku akan membunuh setiap orang di dalam
iring-iringan itu.”
“Bagaimana dengan Ki
Argapati?” bertanya Rimbag Wara.
Gandu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian jawabnya, “Tentu Ki Argapati tidak akan berada di dalam
iring-iringan itu. Ia adalah ayah pengantin perempuan.”
“Tetapi kemungkinan itu tentu
ada. Setelah beberapa kematian menggoncangkan Tanah Perdikan Menoreh. Dan
bagaimana pula orang yang selama ini menjadi pembicaraan yang kadang-kadang
mendirikan bulu roma? Orang yang telah membunuh Panembahan Agung, Panembahan
Alit dan orang-orang Mataram?”
Gandu Demung tertawa. Katanya,
“Pengantin ini adalah anak seorang Demang dan seorang Kepala Tanah Perdikan.
Sama sekali bukan seorang panglima atau senapati. Aku juga sudah mendengar
kegagalan sekelompok orang yang langsung digerakkan oleh para prajurit Pajang,
saat Senapati Untara kawin. Mereka tidak berhasil membenturkan Mataram dan
Pajang, justru karena orang bercambuk dan bahkan orang-orang Mataram sendiri
ada di Jati Anom. Tetapi saat itu yang kawin adalah seorang senapati besar yang
bernama Untara.”
“Dan kau tahu kebesaran nama
Ki Argapati?”
Gandu masih tertawa. Katanya,
“Aku akan mencoba. Sampai saat perkawinan itu berlangsung, aku sendiri akan
mengawasi keamanan di Tanah Perdikan Menoreh, agar tidak terjadi sesuatu.
Dengan demikian, maka pengamanan daerah itu akan mengendor. Di hari perkawinan
itu pun tidak akan ada gangguan apa-apa, karena aku akan mengambil kesempatan
saat kedua pengantin itu kembali ke Sangkal Putung.”
Empu Pinang Aring mengangguk-angguk.
Lalu katanya, “Hati-hatilah. Kau harus melihat semua kemungkinan. Jika ada
kekuatan yang tidak terlawan, kau jangan menjadi gila.”
“Baik, Empu. Aku berharap
bahwa keputusan terakhir dari saat pertemuan itu benar-benar dapat dilakukan
setelah hari-hari perkawinan anak Demang Sangkal Putung itu, sehingga persiapan
kita menjadi semakin kuat menjelang hari yang penting itu.”
“Tetapi ingat. Jika rahasia
yang kau ketahui itu merembes dari mulutmu, maka akibatnya akan parah sekali.”
“Aku akan memilih mati
daripada mengkhianati perjuangan yang besar ini.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Lalu, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku tidak dapat
memberikan orang-orangku seorang pun untuk membantumu karena aku tidak mau
kehilangan lagi.”
“Baik, Empu. Aku akan menemui
saudara-saudaraku yang masih ada di dalam lingkungan itu. Mereka tentu akan
senang melakukannya dengan janji membagi setiap barang yang dapat kita rampas.”
Tetapi Gandu Demung tertawa.
Katanya, “Mereka dapat dibungkam buat selama-lamanya setelah aku berhasil.
Jangan sampai menimbulkan perselisihan yang dapat membahayakan rahasia kita.”
“He?” Empu Pinang Aring
terkejut.
“Jika perlu. Biarlah kelompok
yang dipimpin Ayah dan saudara-saudaraku sajalah yang tetap ada. Yang lain
dapat dibinasakan. Dengan cara apa pun juga, sehingga barang-barang itu tidak
perlu dibagi, kecuali sekedar buat saudara-saudaraku saja. Tetapi itu tidak
akan banyak.”
Empu Pinang Aring menarik
nafas dalam-dalam. Lalu, “Terserahlah kepadamu. Kau adalah orang yahg dilahirkan
di daerah ini. Kau tahu akibat dari semua perbuatanmu.”
Gandu Demung termenung
sejenak. Ia ingin menemukan arti yang sebenarnya dari kata-kata Empu Pinang
Aring itu. Namun kemudian ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah, Empu. Aku akan
memperhitungkan sebaik-baiknya. Aku tahu bahwa hasil dari usahaku ini
diragukan. Dan aku tidak berkeberatan, karena aku pun tidak akan dapat
mengatakan, bahwa aku akan berhasil. Tetapi aku akan mencoba.”
“Lakukanlah. Sekali lagi aku
peringatkan, tidak seorang pun dari antara kita di sini yang akan pergi
bersamamu.”
“Aku mengerti. Sekaligus aku
minta diri. Jika aku gagal, maka yang akan menjadi korban, bukanlah tubuh
kita.”
Empu Pinang Aring
mengangguk-angguk. Katanya, “Seterusnya terserah kepadamu. Dan untuk seterusnya
aku tidak akan membicarakannya lagi. Kau boleh datang kepadaku dengan hasil
yang kau peroleh. Tetapi tidak dengan pembicaraan apa pun lagi.”
“Baiklah, Empu. Aku mengerti.
Aku langsung akan mohon diri. Waktuku tinggal beberapa hari menjelang hari
perkawinan itu. Aku akan mengambil hari yang kelima, saat pengantin itu kembali
ke Sangkal Putung. Jika selama saat-saat perkawinan mereka sama sekali tidak
terjadi kerusuhan apa pun, maka mereka tentu akan lengah.”
“Sudah. Sudahlah. Aku tidak
mau membicarakannya lagi. Kau tinggal datang kepadaku pada saatnya dengan
membawa hasil rampasanmu.”
“Baiklah. Baiklah, Empu.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi apakah aku dapat dibebaskan dari tugas-tugasku
yang lain.”
“Ya. Kau akan dibebaskan dari
tugasmu yang lain. Pergilah. Tetapi jika pertemuan di lembah Gunung Merapi dan
Gunung Merbabu itu akan berlangsung setelah hari-hari yang kau pilih itu lewat,
maka kau pun tentu akan kembali kepada tugasmu. Kau akan pergi bersama kami ke
lembah itu.”
“Aku mengerti, Empu.”
“Kau boleh pergi sekarang. Aku
percaya kepadamu.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Sejenak ia memandang beberapa orang kawannya yang ada di
sekitarnya. Tatapan matanya berhenti sejenak, ketika ia melihat sebuah senyum
di bibir Panganti.
“Uh, ia menjadi iri hati,”
desis Gandu Demung di dalam hatinya, “aku mendapat kepercayaan untuk
melakukannya. Sebenarnya ia sendirilah yang ingin mendapat perintah serupa,
sebab dengan demikian, ia akan mendapat kesempatan untuk menyembunyikan
sebagian dari hasil rampasannya itu.”
Tetapi Gandu Demung tidak
mengatakan apa pun juga. Panganti pun sama sekali tidak berbicara apa pun juga
selain sebuah senyum yang tidak dapat dimengerti apakah artinya.
Gandu Demung pun kemudian
meninggalkan pertemuan khusus itu. Beberapa orang pengawal terpercaya yang ada
di luar pintu menjadi heran melihat seorang yang mendahului meninggalkan
pertemuan, namun menilik wajahnya yang justru nampak cerah, maka para pengawal
itu pun mengetahui, bahwa tidak terjadi perselisihan apa pun di dalam ruang
yang tertutup itu.
“Kenapa Ki Gandu Demung
mendahului?” bertanya seorang pengawal.
Gandu Demung tersenyum.
Katanya, “Aku mendapat tugas khusus kali ini. Tidak ada orang lain yang boleh
pergi bersamaku.”
Pengawal itu termangu-mangu.
Namun mereka mengerti, bahwa orang bernama Gandu Demung yang bergelar Harimau
Hitam Berkuku Pedang itu memiliki ilmu yang dapat memberikan bekal kepadanya
untuk melakukan tugas khususnya.
Tetapi kepergian Gandu Demung
dengan tugas yang tidak dimengerti oleh siapa pun juga itu memang menimbulkan
berbagai pertanyaan di dalam lingkungan mereka. Beberapa orang yang telah
melakukan tugasnya di Tanah Perdikan Menoreh pun bertanya-tanya di dalam hati,
apakah persoalan yang dikemukakannya itu mendapat tanggapan sewajarnya dan ada
sangkut pautnya dengan tugas Ki Gandu Demung?
Namun ternyata Ki Gandu Demung
pun kemudian menemui mereka untuk mendapatkan bahan-bahan yang lebih banyak
lagi.
“Apakah Ki Gandu Demung
mendapat tugas itu?”
Gandu Demung menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak peduli ceritera tentang pengantin itu. Aku
mendapat tugas khusus. Dan aku akan menjalankan tugasku sebaik-baiknya.”
“Tetapi kenapa Ki Gandu Demung
memerlukan keterangan tentang hari-hari perkawinan anak Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu?”
Gandu Demung tertawa. Katanya,
“Tugasmu adalah menjalankan perintah. Tanpa perintah apa pun juga, kau boleh
tidur berhari-hari. Nah, sekarang tidur sajalah.”
Orang tertua di antara mereka
mengerutkan keningnya. Dengan wajah yang tegang ia berbisik ke telinga kawannya,
“Agaknya orang lainlah yang akan mendapat tugas itu.”
“Mungkin Ki Gandu Demung akan
mengambil tenaga yang dianggapnya lebih baik.”
“Kau gila. Apakah ada orang
yang lebih baik dari aku?”
Kawannya justru tertawa.
Jawabnya, “Setidak-tidaknya lebih baik daripadaku.”
Orang tertua itu mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Kita tunggu saja. Siapakah yang akan pergi.
Tetapi Ki Gandu Demung tidak akan mengambil kita. Mungkin ia mempunyai beberapa
orang kepercayaan yang dapat diajaknya berlaku curang, sehingga kehadiran kita
akan mengganggu rencananya itu.”
“Sst, jangan berkata begitu.
Kau kenal Ki Gandu Demung, seperti kau mengenal Ki Panganti dari Ki Rimbag
Wara. Apakah kau kira mereka mengerti, betapa mahalnya nyawa orang lain bagi
orang itu?”
“Uh, bukankah aku tidak
berkata apa-apa? Aku hanya mengatakan, bahwa Ki Gandu Demung adalah orang yang
jauh lebih tepat daripada orang lain. Ia mengenali daerah ini, karena ia memang
dilahirkan di sini. Di antara gerombolan-gerombolan liar di sekitar Gunung Tidar,
ia mendapat gelar Harimau Hitam Berkuku Pedang.”
“Kukunya memang
panjang-panjang,” desis seorang yang masih muda.
“Kau juga,” desis kawannya
yang lain.
“He, aku tidak berkata
apa-apa. Tetapi ia memang seorang yang matang dan memiliki banyak kelebihan
dari orang lain.”
Orang-orang itu pun kemudian
termangu-mangu sejenak. Mereka mengerti, bahwa agaknya Gandu Demung telah
mendapat tugas khusus. Tetapi mereka tidak mengerti, kenapa nampaknya Ki Gandu
Demung masih belum menunjuk siapa pun juga, terutama mereka yang pernah
bertugas di Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi mereka memang hanya
dapat menunggu. Karena justru ketika malam turun, mereka sudah tidak melihat Ki
Gandu Demung di antara mereka.
“Ki Gandu Demung telah pergi,”
desis salah seorang dari mereka yang ikut bertugas di Menoreh.
“Apakah ia sama sekali tidak
memerlukan seorang penunjuk jalan untuk tugas yang barangkali ada hubungannya
dengan pengantin itu?” gumam kawannya.
Tiba-tiba saja orang yang
menyaksikan kematian kawannya di halaman belakang rumah Ki Gede berkata, “Aku
adalah orang yang paling mengetahui tentang Tanah Perdikan Menoreh. Aku telah
mendekati langsung ke rumah Kepala Tanah Perdikannya. Dan aku tahu betul apa
yang ada di rumah itu.”
Seorang yang lebih tua
daripadanya tertawa. Katanya, “Kau baru melihat permukaannya saja.”
“Itu lebih baik daripada tidak
sama sekali.”
“Ki Gandu Demung pernah
menyelam sampai ke dasarnya.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun sama sekali tidak menjawab lagi.
Dalam pada itu, Gandu Demung
memang sudah meninggalkan perkemahan pasukan Empu Pinang Aring. Ia sudah
bertekad untuk menunjukkan jasa yang tentu akan berbalas kepada pimpinannya
yang dianggapnya akan ikut memegang peran terpenting jika perjuangan mereka
berhasil. Bahkan Gandu Demung yakin, bahwa kekuatan mereka yang menolak
kekuasaan Pajang dan berkeinginan memulihkan kewibawaan trah Majapahit pasti
akan berhasil, karena Empu Pinang Aring mempunyai landasan kekuatan di daerah
Pesisir Utara.
“Jika kekuatan yang akan
mengadakan pembicaraan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu itu
dapat mencapai kesepakatan, maka kekuatan yang akan tergabung itu tentu tidak
akan dapat terbendung, baik oleh Pajang apalagi oleh Mataram, karena sebagian
dari kekuatan pokok ada di dalam Istana Pajang itu sendiri, selain kekuatan
dari Pesisir Utara dan daerah Timur yang kecewa,” berkata Gandu Demung kepada
diri sendiri.
Demikianlah ia menyusuri
daerah yang gelap dan sepi di tepi hutan yang melingkar di sebelah Gunung
Tidar. Ia ingin mencoba menemui saudara-saudaranya yang berada di dalam
lingkungan para perampok dan penyamun. Bahkan ayahnya yang menjadi semakin tua
itu pun tentu masih mempunyai pengaruh yang kuat di antara mereka.
“Jika aku berhasil, maka aku
adalah seorang pahlawan yang harus mendapat panghargaan,” gumam Gandu Demung
kepada diri sendiri. “Ayah dan saudara-saudaraku pun tentu akan mendapat
bagiannya. Mungkin Ayah akan mendapatkan Tanah Perdikan Menoreh, atau menjadi
seorang demang di daerah yang subur di sekitar Gunung Merapi atau Gunung
Merbabu. Terlebih-lebih lagi apabila Tanah Perdikan Banyu Biru termasuk
Pamingit diserahkan kepadaku kelak.”
Gandu Demung tertawa serdiri.
Sementara itu kakinya masih tetap melangkah di kegelapan. Meskipun ia tidak
tahu pasti, di manakah ayahnya berada, tetapi ia dapat menduga tempat
persembunyiannya. Tentu masih yang dahulu.
Ketika di kejauhan terdengar
aum harimau lapar, Gandu Demung meraba hulu pedangnya. Sejenak ia menahan
nafas, namun kemudian ia bergumam, “Jauh sekali. Arah angin pun tidak menuju ke
suara itu.”
Tetapi seandainya tiba-tiba
saja seekor harimau telah berdiri di tengah jalan sempit yang sedang dilaluinya
Gandu Demung pun tidak akan berhenti, apalagi berbalik.
Setelah berjalan beberapa
lama, maka Gandu Demung telah meninggalkan jalan yang menyusuri pinggir hutan.
Ia mulai berjalan di jalan yang lebih lebar di sebuah padang ilalang. Dan ia
pun mengenal dengan baik, bahwa jalan itu akan segera sampai ke daerah yang
berpenghuni.
Tetapi ia tidak akan pergi ke
padukuhan itu. Ia akan berbelok menghindar dan akan langsung pergi ke tempat
yang jarang dikunjungi orang. Sebuah padesan kecil yang terpencil di
celah-celah bukit-bukit kecil.
“Mudah-mulahan aku dapat
bertemu dengan siapa pun di tempat itu,” desisnya.
Namun dalam pada itu,
langkahnya tiba-tiba terhenti. Telinganya yang tajam telah mendengar desir di
balik batang ilalang di sebelah. Bukan desir langkah seekor binatang. Tetapi
langkah itu demikian lembutnya, sehingga Ki Gandu Demung yakin, bahwa beberapa
orang telah mengintai perjalanannya.
“Asal mereka masih mempunyai
mulut dan telinga,” berkata Gandu Demung di dalam hatinya, “tentu mereka masih
dapat diajak bicara. Apalagi jika mereka mengenal siapa aku dan siapakah Empu
Pinang Aring, tentu mereka tidak akan mengganggu.”
Meskipun Gandu Demung telah
menyadari bahwa beberapa orang sedang mengikutinya, namun ia pun terkejut
ketika tiba-tiba ia mendengar salah seorang dari mereka membentaknya, “He,
berhenti.”
Dalam kegelapan ia melihat
tiga orang yang muncul dari balik batang ilalang dengan senjata terhunus. Salah
seorang dari mereka melangkah maju sambil mengacungkan pedangnya.
“Siapakah kau?” bertanya orang
itu.
Gandu Demung menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun kemudian berhenti di tempat yang cukup lapang.
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Ia mencoba mengenali wajah orang itu, barangkali ia pernah melihat
sebelumnya. Tetapi di dalam keremangan malam ia sama sekali tidak dapat melihat
wajah itu dengan jelas.
“Jawab. Siapakah kau dan
apakah maksudmu lewat jalan ini?”
Gandu Demung masih tetap
tenang. Apalagi setelah ia mengetahui bahwa yang berdiri di hadapannya hanyalah
tiga orang saja.
Namun demikian Gandu Demung
tidak segera menjawab. Ia ingin orang-orang itu menjadi lebih dekat lagi.
“He, apakah kau bisu atau
tuli,” salah seorang dari ketiga orang itu membentak. Tetapi seperti yang
diharapkan oleh Gandu Demung, maka mereka pun melangkah semakin dekat.
Meskipun demikian, Gandu
Demung tetap tidak dapat mengenali mereka, sehingga karena itu, maka ia pun
bertanya di luar sadarnya, “Siapakah kalian, he?”
“Gila,” salah seorang dari
ketiga orang itu menggeram, “kau belum menjawab pertanyaanku. Siapa kau?”
“O,” Gandu Demung sadar akan
ketelanjurannya, “baiklah. Namaku Gandu Demung. Apakah kau pernah mendengar?”
Sejenak ketiga orang itu
termangu-mangu. Namun kemudian salah seorang dari ketiganya berdesis, “Aku
tidak pernah mendengar nama itu.”
“Mungkin kau belum pernah
mendengarnya. Agaknya kalian orang baru di sini. Orang baru yang harus sudah
menyingkir karena kehadiran Empu Pinang Aring.”
“Persetan dengan iblis itu.”
“He,” Gandu Demung terkejut,
“kau berani mengucapkan kata-kata itu?”
Ternyata orang itu pun menjadi
ragu-ragu. Namun kemudian ia membentak untuk menyembunyikan keragu-raguannya,
“Siapa kau, he? Siapa?”
“Sudah aku sebut namaku.”
“Nama yang tidak berarti sama
sekali bagiku. Tetapi siapa kau dan dalam hubungan apakah kau berada di sini
sekarang ini.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Agaknya kalian benar-benar orang baru di
sini. Aku tidak tahu dari gerombolan yang manakah kalian sebenarnya. Tetapi
barangkali kawan-kawanmu pernah menyebut sebuah gelar, Harimau Hitam Berkuku
Pedang.”
“He,” ketiga orang itu
terkejut. Beberapa saat mereka termangu-mangu. Baru kemudian salah seorang dari
mereka menggeram, “Kau ingin menakut-nakuti kami?”
“Sama sekali tidak. Gelar itu
memang gelar yang diberikan kepadaku oleh orang-orang yang justru tidak aku
mengerti. Bahkan arti dari gelar itu pun tidak aku mengerti pula. Apakah yang
sama dengan harimau hitam. Apalagi berkuku pedang, sedang aku hanya mempunyai
sebilah pedang saja.”
“Persetan. Tetapi aku memang
pernah mendengar gelar itu. Gelar dari seorang yang ditakuti di daerah ini.
Tetapi sejak kehadiran Empu Pinang Aring, Harimau Hitam itu tidak pernah
terdengar lagi. Ternyata ia pun tidak lebih dari seorang pengecut.”
“Kau salah, Ki Sanak. Harimau
Hitam itu tidak hilang pada saat Empu Pinang Aring datang kemari. Tetapi jauh
sebelum itu, karena Harimau Hitam itu memang berada di dalam lingkungan pasukan
Empu Pinang Aring sejak lama. Dan sekarang, kebetulan sekali Empu Pinang Aring
dan orang-orangnya yang terpercaya berada di daerah ini termasuk aku, Harimau
Hitam Berkuku Pedang.”
Ketiga orang itu
termangu-mangu sejenak. Baru sejenak kemudian salah seorang dari mereka
menggeram, “Meskipun kau benar-benar Harimau Hitam Berkuku Pedang seperti yang
pernah aku dengar namanya, dan bahkan kau adalah salah seorang dari pasukan
Empu Pinang Aring, namun aku ingin meyakinkan, bahwa kekuatan gerombolan Candramawa
belum lenyap dari daerah ini. Bahkan semakin lama justru menjadi semakin kuat.
Jika Empu Pinang Aring mengabaikan kekuatan gerombolan Candramawa, maka ia akan
menyesal.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Dengan suara yang dalam ia mengulang, “Candramawa. Aku pernah
mendengar nama gerombolan Candramawa yang dipimpin oleh Ki Bajang Garing. He,
apakah kau anak buah Ki Bajang Garing?”
Ketiga orang itu terkejut.
Salah seorang dari mereka bertanya, “Kau kenal nama Ki Bajang Garing? Tetapi
itu pun tidak mustahil karena nama Ki Bajang Garing di daerah ini tidak kurang
dari nama Empu Pinang Aring.”
Gandu Demung tertawa. Katanya,
“Kau benar-benar anak yang dungu. Kau sama sekali tidak mempunyai gambaran,
betapa perbandingan yang sama sekali tidak seimbang antara gerombolan yang kau
sebut Candramawa pimpinan Ki Bajang Garing itu.”
“Persetan. Sekarang sebut, apa
maumu sebenarnya?”
“Ki Sanak,” berkata Gandu
Demung, “sebenarnya aku tidak akan mencari persoalan. Aku datang dengan maksud
baik. Aku ingin membuat hubungan dengan gerombolan-gerombolan yang semula ada
di daerah sekitar Gunung Tidar ini, namun yang kemudian tercerai berai karena
kehadiran Empu Pinang Aring.”
“Kami tidak tercerai berai.”
“Baiklah. Tetapi ketahuilah
bahwa aku adalah Gandu Demung yang bergelar Harimau Hitam Berkuku Pedang. Jika
kau masih belum jelas, maka kau tentu pernah mendengar nama orang tua yang
tentu dikenal dengan baik oleh Ki Bajang Garing.”
“Siapakah orang tua itu?”
“Ki Carangsoka.”
“Persetan dengan Carangsoka.
Tentu orang-orang dari gerombolan Candramawa mengenal orang yang bernama Ki
Carangsoka. Ia adalah musuh bebuyutan Ki Bajang Garing. Jika kau termasuk salah
seorang anak buah Ki Carangsoka, maka kau memang pantas dibinasakan sebelum kau
berhasil berbuat sesuatu yang dapat mencelakakan gerombolan Candramawa.”
“Kenapa mencelakakan?”
“Kau tentu akan dapat
bercerita bahwa kami bertiga berada di daerah ini. Orang-orang dari Carangsoka
tentu akan menelusuri daerah ini pula untuk membuat perkara dengan orang-orang
dari gerombolan kami.”
“Kalian agaknya terlampau
berprasangka. Sebenarnya kami ingin membuat hubungan menjadi lebih segar
daripada permusuhan yang tidak ada artinya. Ketahuilah, aku bukan saja orang
dari gerombolan Carangsoka, tetapi aku adalah anaknya laki-laki.”
Ketiga orang itu
termangu-mangu. Namun salah seorang dari mereka segera menggeram, “Jika kau
anak Ki Carangsoka, maka kau memang pantas dilumatkan di sini.”
Gandu Demung tersenyum.
Jawabnya, “Kalian memang orang-orang baru di lingkungan gerombolan Candramawa.
Tentu sesudah aku meninggalkan lingkungan ayah dan saudara-saudaraku, sehingga
karena itu kalian belum mengenal aku. Tetapi sebaiknya aku memperingatkan
sekali lagi, jangan kau ganggu aku. Aku justru ingin membuat hubungan yang
lebih baik dari setiap lingkungan yang tersisih dari daerah ini karena
kehadiran Empu Pinang Aring.”
“Memang,” sahut salah seorang
dari mereka, “aku belum mengenalmu, meskipun namamu pernah aku dengar. Tetapi
kau pun belum pernah mengenal kami. Kami hadir ke dalam lingkungan tikus-tikus
kecil yang menyebut dirinya gerombolan Candramawa. Hanya ada seorang yang
pantas disebut laki-laki. Yaitu Ki Bajang Garing. Baru kemudian setelah kami
ada di dalam lingkungan mereka, setiap gerombolan mengakui, bahwa gerombolan
Candramawa pantas mendapat tempat tertinggi. Dan orang yang bernama Carangsoka
itu tidak akan berani menyentuh bayi sekali pun yang berada di dalam
perlindungan kami.”
Wajah Gandu Demung menjadi
tegang. Dengan suara yang datar ia berkata, “Jangan berkata begitu. Jangan membuat
hatiku yang semula cair menjadi beku dan kehilangan sikap bersahabat.”
“Persetan. Kau akan mati, dan
tidak seorang pun yang mengetahui di mana mayatmu. Empu Pinang Aring sebenarnya
tidak menakutkan sama sekali. Tetapi karena jumlah anak buahnya yang tidak
terhitung sajalah yang memaksa kami menyingkir untuk sementara.”
Gandu Demung mencoba menahan
perasaannya. Namun terloncat juga dari mulutnya, “Kau jangan membuat aku
semakin marah. Aku masih mencoba untuk mengekang diri karena aku mempunyai
kepentingan yang perlu kalian dengar. Jika kalian dapat sedikit menahan hati
dan mendengarkan keteranganku, mungkin kita tidak akan mudah terlibat dalam
perselisihan.”
“Nah,” desis yang bertubuh
jangkung, “kau sudah mulai gelisah dan mencari dalih untuk menyelamatkan diri.”
“Persetan,” Gandu Demung
menggeram, “kau masih dapat berlagak. Baiklah. Jika kalian memang memaksakan
perselisihan, aku tidak berkeberatan sama sekali. Tetapi jika salah seorang
dari kalian terbunuh, itu bukan salahku.”
“Dan jika kau hilang tanpa
diketahui ke manakah bujur lintangnya, maka nyawamu tidak usah menyesal. Empu
Pinang Aring yang mempunyai pasukan sebanyak semut di ladang ini pun tidak akan
dapat berbuat apa-apa karena ia tidak akan pernah mengetahui, ke mana kau
pergi.”
Gandu Demung benar-benar
menjadi marah. Karena itu maka ia pun kemudian berkata lantang, “Baiklah. Kita
akan melihat, siapakah di antara kita yang hanya pandai membual. Meskipun
kalian bertiga, tetapi anak Carangsoka tidak akan mengecewakan, apalagi ia
adalah Harimau Hitam Berkuku Pedang yang mendapat kepercayaan khusus dari Empu
Pinang Aring.”
Orang yang bertubuh jangkung
itu tertawa, katanya, “Aku pun dapat menyebut diriku dengan gelar yang lebih
menakutkan dari sekedar Harimau Berkuku Pedang. Mungkin aku dapat memberi gelar
baru diriku sendiri Gajah Putih Berbelalai Pelangi, atau Serigala Bergigi
Guntur.”
“Cukup,” bentak Gandu Demung,
“sudah tiba waktunya untuk membungkam mulutmu selama-lamanya.”
Orang bertubuh jangkung itu
masih akan tertawa. Tetapi tiba-tiba saja suaranya terputus, karena Gandu
Demung meloncat selangkah maju dan siap untuk menyerang.
Ketiga orang itu pun kemudian
berpencar. Mereka pun segera mempersiapkan diri. Ketiganya mengambil tempat
yang berlawanan dan dengan serta-merta mengacukan senjata masing-masing.
“Hem,” Gandu Demung menggeram,
“cukup cepat juga tata gerak kalian. Tetapi tentu kalian berkelahi seperti
anak-anak yang baru mulai mempelajari ilmu kanuragan.”
Orang bertubuh jangkung itulah
yang kemudian mulai menggerakkan senjatanya. Sejenak kemudian serangannya yang
cepat pun segera mengarah ke tubuh Gandu Demung.
Gandu Demung tahu pasti,
serangan itu bukannya serangan yang sungguh-sungguh. Karena itu, maka ia pun
tidak perlu meloncat menghindarinya. Gandu Demung yang memiliki pengalaman yang
luas itu cukup mencondongan tubuhnya saja, sehingga serangan orang bertubuh
jangkung itu tidak mengenainya.
Namun setelah itu, serangan
yang lain pun segera menyusul. Bukan sekedar menggertak, tetapi langsung untuk
membunuhnya dengan menikam jantung.
Gandu Demung yang bergelar
Macan Hitam Berkuku Pedang itu pun mulai berloncatan. Semakin lama semakin
cepat. Untuk melawan senjata ketiga orang yang mengepungnya itu pun, Gandu
Demung telah menarik pedangnya.
Sejenak kemudian ternyata
gelar yang dipergunakannya bukan sekedar gelar yang hampa. Pedang di tangan
Gandu Demung itu pun tiba-tiba telah berputaran. Sejenak kemudian mematuk dan
seolah-olah menerkam lawannya seperti kuku seekor harimau yang lapar.
Dalam benturan-benturan di
permulaan perkelahian itu segera ternyata, bahwa kekuatan dan kemampuan Gandu
Demung pantas disegani.
Tetapi lawannya merasa, bahwa
mereka tidak bertempur seorang diri. Bertiga mereka menghadapi seorang saja
yang bagaimana pun juga tangguhnya, namun mereka bertiga pun merasa memiliki
bekal untuk melawannya.
Perkelahian di dalam gelapnya
malam itu pun meniadi semakin sengit. Meskipun kadang-kadang mereka menjadi
bingung, karena serangan yang gagal dan bahkan kemudian seolah-olah mereka
telah bercampur baur sehingga sulit untuk membedakan lawan.
Tetapi justru Gandu Demung
tidak pernah mengalami kebingungan serupa itu, karena ia justru seorang diri.
Siapa pun yang bukan dirinya sendiri, tentulah salah seorang dari lawannya.
Dengan demikian, maka
perkelahian itu pun menjadi semakin sengit. Ketiga lawan Gandu Demung mencoba
untuk mengambil jarak yang seorang dengan yang lain. Serangan mereka tidak lagi
membuat mereka sendiri bingung, tetapi beruntun seperti ombak di pantai.
Gandu Demung terpaksa
mengerahkan ilmunya untuk melawan ketiga lawannya yang menyerang berurutan,
apalagi dari arah yang berbeda-beda. Senjata mereka satu demi satu menyambar
dengan dahsyatnya.
Gandu Demung yang betapa pun
dicengkam oleh kemarahan, namun ia tidak melupakan niatnya untuk membuat
hubungan dengan gerombolan-gerombolan yang tersebar di sekitar Gunung Tidar,
meskipun gerombolan yang satu ini adalah musuh bebuyutan dari gerombolannya
sendiri, sebelum ia berhasil meningkatkan diri ke dalam gerombolan yang besar,
yang dipimpin oleh seorang yang pilih tanding bernama Empu Pinang Aring.
Karena itu, maka sekali-sekali
ia masih mencoba untuk menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud bermusuhan.
Namun dengan demikian,
akibatnya adalah sangat berbahaya bagi dirinya. Lawannya yang tidak mengerti keragu-raguan
di hatinya merasa bahwa Gandu Demung tidak mampu melakukan perlawanan lebih
dari mempertahankan diri.
Gandu Demung merasa tekanan
lawannya semakin lama menjadi semakin berat. Namun ia masih mencoba
memperingatkan. Katanya, “Apakah kalian sudah merasa cukup dan puas setelah
kalian bertempur tanpa berhasil berbuat lebih dari berputar-putar?”
Tetapi jawaban yang didengar
oleh Gandu Demung benar-benar di luar dugaannya. Salah seorang dari ketiga
lawannya dari gerombolan Candramawa itu menggeram, “Kami merasa cukup dan puas
setelah kami melompati mayatnya.”
“Jangan membuat aku kehilangan
pengamatan diri,” desis Gandu Demung.
“Aku tidak peduli.”
“Aku dapat berbuat lebih
banyak dari yang sudah aku lakukan.”
“Persetan,” yang jangkung
menggeram, “jika kau dapat melakukan tentu sudah kau lakukan.”
Gandu Demung menggeretakkan
giginya. Namun ia masih berkata, “Aku datang tidak dengan niat bermusuhan.
Cobalah mengerti. Atau jika kalian bersedia membawa aku kepada pimpinanmu, Ki
Bajang Garing.”
“Tutup mulutmu,” bentak yang
jangkung sambil menyerang dengan dahsyatnya.
“Uh,” Gandu Demung meloncat
surut sambil menarik kepalanya. Hampir saja senjata lawannya menyambar
mulutnya.
Dengan demikian Gandu Demung
merasa bahwa tidak ada gunanya lagi meyakinkan mereka. Tetapi sudah tentu
dengan membunuh mereka bertiga, maka usahanya untuk menghubungi
gerombolan-gerombolan di sekitar Gunung Tidar akan terganggu. Setidak-tidaknya
gerombolan Candramawa dan sahabat-sahabatnya.
Tetapi selagi Gandu Demung itu
diganggu oleh berbagai macam gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan hubungan
yang sedang dirintisnya, lawannya justru menyerang semakin sengit, sehingga
tiba-tiba saja terasa pundaknya telah disengat oleh perasaan pedih.
Gandu Demung meloncat surut
beberapa langkah. Tangan kirinya telah bergerak di luar sadarnya, meraba pundak
kanannya. Terasa cairan yang basah telah mengalir dari sebuah luka yang
meskipun hanya segores kecil, namun cukup membakar jantung.
“Gila,” geram Gandu Demung,
“kalian melukai aku. Melukai pundak kananku.”
Tetapi yang didengar adalah
suara tertawa nyaring. Orang yang bertubuh jangkung menyahut di sela-sela suara
tertawanya, “Kesalahanmu, Ki Sanak, kau menganggap bahwa daerah ini adalah
daerah mati. Setelah kau pergi, kau mengira bahwa daerah ini tidak tumbuh
dengan suburnya. Dan kini kau harus melihat, kekuatan-kekuatan baru yang tumbuh
di tempat asalmu yang telah melampaui perkembangan ilmumu meskipun kau berada
di lingkungan yang lebih memungkinkan.”
Kata-kata itu semakin membakar
isi dadanya. Darahnya yang bagaikan mendidih telah bergolak sampai ke ujung
ubun-ubun. Dengan suara yang datar Gandu Demung berkata, “Kalian memang
orang-orang yang tidak dapat diajak berbicara. Kalian benar-benar tidak
mempunyai otak, selain sedikit tenaga yang liar. Baiklah. Jika kalian
benar-benar tidak mau mengerti dan melihat kenyataan yang kalian hadapi.”
Gandu Demung tidak dapat
melanjutkan kata-katanya. Lawannya telah menyerangnya bagaikan badai yang
menghantam berurutan dari segenap arah.
Sekali lagi Gandu Demung
terpaksa meloncat mundur. Tetapi kali ini Gandu Demung benar-benar telah
mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan gigi gemeretak ia kemudian berkata,
“Aku akan membunuh salah seorang dari kalian, kemudian mencoba untuk berbicara
lagi.”
Namun Gandu Demung harus
meloncat surut sekali lagi. Serangan lawannya menghantamnya sekali lagi dengan
dahsyatnya.
“Memang tidak ada pilihan
lain,” katanya di dalam hati. “Ketiga orang ini terlalu sombong.”
Kemarahan yang sudah tidak
terkendalikan lagi, ternyata telah mencengkam jantung Gandu Demung. Itulah
sebabnya maka kemudian ia telah mengerahkan kemampuannya untuk melawan ketiga
orang yang sama sekali tidak menyadari apa yang sebenarnya sedang dihadapi.
Apalagi luka di pundak Gandu Demung, sama sekali tidak menguntungkan mereka,
meskipun mereka merasa, bahwa luka itu adalah pertanda bahwa mereka bertiga
akan segera dapat menguasai keadaan.
Tetapi yang terjadi adalah
sebaliknya. Gandu Demung telah mengerahkan ilmunya. Meskipun ia harus melawan
tiga orang sekaligus, ternyata bahwa ia mampu mendesaknya, bahkan kemudian
seolah-olah ketiga lawannya tidak lagi mendapat kesempatan sama sekali untuk
mempertahankan dirinya.
“Gila,” teriak yang bertubuh
jangkung yang mendapat tekanan terberat dari Gandu Demung, “panggillah kawan
terdekat dengan isyarat. Orang ini agaknya telah menjadi gila.”
Ternyata perintah itu telah
mendebarkan jantung Gandu Demung. Jika demikian, tentu berarti ia akan mendapat
lawan semakin banyak.
Gandu Demung masih sempat
melihat salah seorang dari ketiga lawannya mengambil sesuatu dari kantongnya.
Sepotong carang pering apus, yang kemudian dilekatkan di mulutnya.
Gandu Demung mengerti bahwa
sepotong carang itu tentu sebuah sempritan yang mampu berteriak nyaring,
apalagi di malam hari yang sepi. Dengan suara sempritan itu menurut dugaannya,
akan berdatangan beberapa orang yang akan mengepungnya.
Gandu Demung tidak mau
mengalami kesulitan yang lebih parah lagi. Apalagi sebelum ia bertemu dengan
sanak saudaranya dan mengutarakan maksudnya.
Karena itu, maka ketika orang
yang meletakkan sempritan itu dimulutnya siap untuk ditiup, maka Gandu Demung
telah mengerahkan segenap kemampuannya dan menyerang seperti badai sehingga
karena itu maka orang yang membawa sempritan itu untuk selamanya tidak pernah
sempat membunyikannya.
Yang terdengar justru sebuah
keluhan yang tertahan ketika ujung pedang Gandu Demung sempat merobek dada
orang itu dan mendorongnya jatuh terlentang.
“Gila, anak setan,” teriak
orang bertubuh jangkung itu dengan kasarnya.
Tetapi Gandu Demung menjawab
dengan suara yang geram, “Bukan salahku. Aku sudah berusaha mengajak kalian
berbicara.”
“Kau akan dicincang sampai
lumat oleh Ki Bajang Garing.”
“Jika ia ada, mungkin aku
justru dapat berbicara dengan baik. Karena aku yakin, bahwa Ki Bajang Garing
bukan orang sedungu kau.”
Lawannya yang semakin terdesak
tidak sempat menjawab karena serangan Gandu Demung yang semakin dahsyat.
Namun dalam pada itu, mereka
yang sedang bertempur itu terkejut ketika mereka mendengar suara tertawa yang
berat. Suara yang telah menghentikan perkelahian itu untuk beberapa saat. Namun
sementara itu Gandu Demung meloncat surut ke belakang dan bersiap menghadapi
kemungkinan yang barangkali menjadi lebih buruk lagi baginya.
Dari dalam kegelapan Gandu Demung
melihat sesosok tubuh yang pendek, lebih pendek dari dirinya sendiri, muncul
diiringi olek seorang yang bertubuh kekar dan kuat.
“Kau luar biasa, Ki Sanak,”
desis orang bertubuh pendek itu.
“Siapa kau?” bertanya Gandu
Demung. Tetapi menilik ujudnya yang pernah dilihatnya sebelum ia meninggalkan
tempat itu dan bergabung pada Empu Pinang Aring, maka ia yakin, bahwa orang
bertubuh pendek itu adalah Ki Bajang Garing.
“Aku datang pada saat-saat
terakhir dari perkelahian yang menarik ini. Namun aku masih mendengar kau
berkata, bahwa jika kau bertemu dengan Ki Bajang Garing, maka kau akan mendapat
kesempatan untuk berbicara.”
“Ya,” jawab Gandu Demung,
“ketiga orang-orangmu yang dungu itu agaknya lebih senang mati daripada
mendengarkan pendapatku.”
Ki Bajang Garing tertawa.
Kemudian ia pun memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk mundur dan
menghentikan perkelahian.
“Baiklah, Ki Sanak. Supaya aku
tidak juga kau sebut dungu, maka aku akan mendengarkan bicaramu. Mungkin kau
punya usul atau punya pendapat yang baik dan menguntungkan meskipun kau sudah
membunuh seorang anak buahku.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Sikap Ki Bajang Garing ternyata membuatnya justru lebih
berhati-hati, karena nampaknya Ki Bajang Garing memiliki kepercayaan kepada
diri sendiri yang besar.
“Tetapi aku ingin tahu,
siapakah kau, Ki Sanak?”
“Aku sudah memperkenalkan
diriku kepada orang-orangmu.”
“Sudah aku katakan, bahwa aku
datang di saat-saat terakhir. Saat kau dengan kemampuan yang tinggi membunuh
anak buahku.”
Gandu Demung termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian berdesis, “Aku adalah Gandu Demung, anak
Carangsoka.”
“He,” wajah Ki Bajang Garing
menjadi tegang. Namun hanya sesaat karena kemudian ia pun tersenyum, “aku sudah
mengenalmu. Anak muda yang pendek hampir seperti aku. Tetapi orang tua mudah
lupa. Bukankah kau anak muda yang pernah menggemparkan daerah ini sebelum kau
pergi untuk waktu yang lama?”
“Aku berada di lingkungan Empu
Pinang Aring yang sekarang berada di kaki Gunung Tidar.”
“O, bukan main. Kau memang
pantas berada di lingkungan yang lebih besar daripada sekumpulan tikus-tikus
kecil yang dipimpin oleh ayahmu itu.”
“Ya. Aku menyadari. Karena itu
aku pergi,” ia berhenti sejenak, lalu, “tetapi pada saat yang penting ini aku
telah bertemu bukan saja tikus-tikus kecil, tetapi cecurut yang dungu. Nah, apa
katamu tentang orangmu yang mati?”
“Tidak apa-apa. Bahkan aku
mengagumimu. Apalagi kau sekarang berada di bawah perlindungan Empu Pinang
Aring yang tentu mempunyai pengaruh pula. Untunglah bahwa kau belum menjadi
cidera. Karena dengan demikian Empu Pinang Aring akan dapat terseret dalam
tindakan yang keras dan kasar di daerah ini.”
“Bukan sekedar basa-basi. Hal
itu memang dapat terjadi. Dan kau harus mengerti, bahwa bagi Empu Pinang Aring,
maka hampir tidak pernah ada kesempatan hidup bagi lawan-lawanya meskipun ia
menyerah.”
“Aku sudah mendengar. Ia
adalah di seorang pembunuh yang baik. Tetapi tentu saja hanya orang-orang yang
dapat diketemukannyalah yang akan dapat dibunuhnya. Orang yang sempat mengelak
Empu Pinang Aring tidak akan dapat membunuhnya.”
“Aku tahu, bahwa itu adalah
senjatamu satu-satunya, dan menjauhinya tanpa diketahui di mana ia
bersembunyi,” sahut Gandu Demung. “Karena bagimu dan kelompokmu, tidak ada
kesempatan lain daripada berbuat demikian. Seperti yang dilalukan oleh ayahku
sendiri.”
Ki Bajang Garing mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan.
Orang-orang yang mendengar
suara tertawanya menjadi berdebar-debar. Agaknya ada sesuatu yang ditekan di
dalam hati Ki Bajang Garing. Agaknya kenyataan hadirnya Empu Pinang Aring
sangat menyakitkan hatinya. Tetapi ia ternyata tidak dapat berbuat apa-apa.
“Ki Bajang Garing,” berkata
Gandu Demung, “kau memang harus menyadari keadaan itu. Ayahku pun menyadari dan
pemimpin-pemimpin kelompok jadi semakin terbatas.”
“Baiklah, aku akan melihat
kenyataan itu. Tetapi cepat katakan, apa yang penting aku ketahui sekarang?”
“Ki Bajang Garing,” berkata
Gandu Demung kemudian, “aku telah mendapat kepercayaan khusus dari Empu Pinang
Aring kali ini. Empu Pinang Aring yang sedang sibuk itu, ternyata tidak
mempunyai waktu lagi untuk melakukan sesuatu yang sebenamya sangat bermanfaat
bagi lingkungannya. Itulah sebabnya Empu Pinang Aring memerintahkan aku untuk
melakukan menurut kebijaksanaan yang mana pun yang akan aku tempuh. Tegasnya,
aku mendapat kekuasaan sepenuhnya untuk melakukannya.”
“Apakah yang akan kau
lakukan?”
Gandu Demung pun kemudian
menceritakan tentang hari-hari perkawinan anak Demang dari Sangkal Putung dan
anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hanya pokok masalahnya. Ia tidak
memberitahukan perkawinan itu secara terperinci.
Ki Bajang Garing tertawa
kecil. Dengan nada suara yang datar ia bertanya, “Apakah kau mengetahui hal itu
sebaik-baiknya?”
“Tentu, aku mempunyai
bahan-bahannya.”
Tetapi Ki Bajang Garing
berdesis, “Aku yakin, bahwa yang kau ketahui tidak selengkap yang aku ketahui.
Aku tahu pasti hari-hari perkawinan itu. Dan aku tahu pasti kapan mereka akan
diunduh ke Sangkal Putung.”
“Itu bukan hal yang mustahil.
Aku tahu semuanya,” jawab Gandu Demung yang sebenarnya agak kecewa bahwa Ki
Bajang Garing justru sudah mengetahui dengan lengkap.
“Lalu apa yang akan kau
lakukan,” bertanya Ki Bajang Garing.
“Empu Pinang Aring tidak
sempat menanganinya sendiri.”
“Sudah kau katakan.”
“Aku mendapat kekuasaan
sepenuhnya. Dan aku mendapat hak untuk memilih, siapakah yang akan pergi
bersamaku dari antara gerombolan-gerombolan yang ada di sekitar Gunung Tidar.”
“Gila,” geram Ki Bajang
Garing, “hak apakah yang dapat diberikan oleh Empu Pinang Aring? Kami adalah
orang-orang bebas yang tidak terikat perjanjian apa pun dengan Empu Pinang
Aring. Hak semacam itu tidak dapat diberikan oleh siapa pun kepada siapa pun,
seolah-olah kami berada di bawah pengaruhnya.”
“Apakah kau sudah
mempertimbangkan jawaban itu masak-masak?”
Tiba-tiba saja Ki Bajang
Garing menjadi ragu-ragu. Ia sadar sepenuhnya siapakah yang sedang dihadapinya.
Namun ia tidak segera menjawab pertanyaan Gandu Demung itu.
Gandu Demung melihat
keragu-raguan itu. Meskipun hanya samar-samar di dalam gelapnya malam. Justru
karena itu maka ia pun mempergunakan kesempatan itu. Katanya, “Ki Bajang
Garing. Jika Ki Bajang Garing memang menyakini kata-kata itu, ucapkanlah sekali
lagi.”
“Kau jangan menantang, Gandu
Demung. Ingat, kau seorang diri di sini. Sementara itu, dengan satu isyarat
saja, maka beberapa orang anak buahku akan datang.”
Gandu Demung yang mengerti
bahwa Ki Bajang Garing sedang mencari tumpuan kekuatan justru mengatakan, “Aku
sadar, Ki Bajang Garing. Tetapi aku juga sadar, bahwa aku akan dapat melepaskan
diri dari tanganmu. Setidak-tidaknya aku akan dapat lari, dan selamat kembali
ke dalam lingkungan Empu Pinang Aring dengan sebuah cerita yang menarik tentang
gerombolanmu.”
Ki Bajang Garing menjadi
tegang. Namun kemudian katanya, “Cepat katakan. Tawaran apakah yang sebenarnya
kau bawa, apa pun istilah yang kau pergunakan tentang dirimu sendiri.”
“Baiklah,” berkata Gandu
Demung, “gerombolanmu terpilih menjadi salah satu kelompok yang diperkenankan
pergi bersamaku untuk mencegat iring-iringan itu.”
“Persetan.”
“Kita akan bersama-sama dengan
beberapa kelompok yang lain. Apa yang kita dapatkan akan menjadi milik kita
bersama. Separo akan menjadi dana perjuangan yang sedang ditempuh sekarang oleh
Empu Pinang Aring, sedang yang separo akan dibagikan kepada tiga kelompok yang
akan pergi bersamaku.”
Yang terdengar adalah geram Ki
Bajang Garing yang marah. Tetapi ia harus menahan kemarahannya di dalam hati.
“Di antara yang akan pergi
adalah kelompok Carangsoka.”
Ki Bajang Garing menggigit
bibirnya menahan gejolak di dadanya. Jika tidak ada Empu Pinang Aring maka
kesempatan itu akan terbuka bagi kelompoknya tanpa diganggu oleh
kelompok-kelompak lain. Atau bahkan ia harus menghancurkan dahulu Carangsoka dan
kelompok-kelompok lain yang ingin melakukannya. Tetapi sekarang Gandu Demung
itu akan membawa tiga kelompok bersama-sama, dan yang akan didapatkannya
hanyalah separo. Dan yang separo itu masih harus dibagi tiga.
Tiba-tiba Ki Bajang Garing
berdesah, “Itu tidak akan menghasilkan apa-apa. Kenapa harus tiga kelompok yang
pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”
“Kita akan menghadapi kekuatan
yang besar. Sudah tentu sepasang pengantin itu akan membawa kekayaan yang tidak
sedikit. Terlebih-lebih saat mereka dalam perjalanan ke Sangkal Putung sesudah
sepasar. Karena itu, maka mereka akan membawa pengawal yang cukup kuat.”
“Aku tidak tahu, bagaimana
cara Empu Pinang Aring berpikir. Jika demikian, kenapa ia tidak mengerahkan
saja pasukannya untuk melakukannya, sehingga dengan demikian ia akan
mendapatkan seluruh kekayaan yang ada? Kekuatan Empu Pinang Aring aku kira
lebih dari jumlah kekuatan tiga kelompok yang akan kau hubungi itu.”
“Tentu. Tetapi tugas besar
sedang dihadapinya, sehingga ia tidak sempat melakukannya. Bukankah aku sudah
mengatakannya?”
Ki Bajang Garing menarik nafas
dalam-dalam. Dengan demikian maka ia justru berdiri di tempat yang sulit, jika
ia menolak maka kesulitannya akan bertambah-tambah. Tentu Empu Pinang Aring
merasa sikapnya itu sebagai suatu tentangan, sehingga hubungan untuk
selanjutnya akan bertambah buruk. Tetapi jika ia pergi juga memenuhinya, maka
apakah yang didapatnya akan seimbang dengan tenaga yang akan diberikan untuk
itu.
Sejenak Ki Bajang Garing
merenungi tawaran itu. Ia pun mempertimbangkan, kenapa Empu Pinang Aring
sendiri tidak mau melakukannya dengan kekuatan sendiri. Meskipun seandainya
Empu Pinang Aring sendiri sedang sibuk, maka pimpinannya dapat saja
diserahkannya kepada Gandu Demung atau orang lain yang dipercayanya.
Namun Ki Bajang Garing tidak
sempat untuk berpikir terlalu lama. Gandu Demung segera mendesaknya, “Ki Bajang
Garing, cobalah kau menjawab. Jika kau mempunyai pertimbangan-pertimbangan
tertentu, katakanlah. Mungkin justru akan berguna bagi pekerjaan yang berbahaya
yang akan aku lakukan itu.”
“Gandu Demung,” berkata Ki
Bajang Garing, “yang aku ketahui dari Tanah Perdikan Menoreh adalah kekuatan
pengawalnya yang mirip dengan susunan keprajuritan. Kemampuan mereka seorang
demi seorang pun tidak terpaut banyak dari kemampuan prajurit-prajurit Pajang.
Itulah sebabnya maka untuk melakukan sesuatu atas orang-orang dari Tanah
Perdikan Menoreh memang memerlukan perhitungan yang masak. Aku kira ayahmu pun
mengetahuinya.”
Gandu Demung
mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menemui ayah dan bertanya
tentang kemungkinan-kemungkinan selanjutnya. Hubungan kita masih akan
berkelanjutan, Ki Bajang Garing. Maaf bahwa aku terpaksa membunuh salah seorang
anak buahmu karena ia tidak mau mendengarkan kata-kataku. Ia lebih senang
berbicara dengan pedang daripada berbicara dengan mulut.”
Ki Bajang Garing menggeram.
Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Justru karena ia mengetahui kemampuan Gandu
Demung dan mengetahui kekuatan yang ada di belakangnya, Empu Pinang Aring.
Betapa hatinya menjadi sakit namun dibiarkannya saja Gandu Demung kemudian
melangkah meninggalkannya sambil minta diri, “Aku akan meneruskan perjalananku.
Kita akan segera bertemu kembali. Aku akan kembali ke daerah ini bersama ayahku
dengan maksud baik. Tanpa permusuhan. Justru untuk mulai dengan kehidupan baru
di daerah ini. Hubungan yang baik yang satu dengan yang lain.”
Ki Bajang Garing tidak
menjawab. Dibiarkannya Gandu Demung melangkah semakin lama semakin jauh.
Sementara itu, dua orang yang
baru saja bertempur melawan Gandu Demung merenungi seorang kawannya yang
terbunuh dengan tatapan mata yang tegang. Ketika Ki Bajang Garing berpaling
kepadanya, salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Kita tidak menuntut apa
pun juga dari kematiannya?”
“Kenapa tidak kau lakukan
sebelum aku mulai berbicara dengan Gandu Demung?”
Jawaban itu benar-benar
sebagai suatu tamparan yang pedih. Dengan demikian Ki Bajang Garing seolah-olah
telah menunjukkan ketidakmampuannya berbuat apa-apa, setelah seorang kawannya
terbunuh. Karena sebelumnya, selagi mereka masih bertiga, mereka tidak dapat
mengalahkan Gandu Demung.
Namun kemudian Ki Bajang
Garing berkata, “Jangan berkecil hati jika kau bertiga dapat dikalahkannya.
Gandu Demung memang memiliki ilmu yang tiada taranya. Aku kira kebanyakan dari
kalian tidak akan dapat mengalahkannya sampai batas lima orang.”
Kedua orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan demikian berarti bahwa Ki Bajang Garing telah memaafkan
mereka dan menganggap bahwa yang sudah terjadi itu tidak dapat mereka hindari
lagi.
Dengan demikian, maka yang
dapat mereka lakukan kemudian adalah merawat mayat itu sebaik-baiknya dan
membawanya kembali ke dalam sarang mereka untuk besok dikuburkan.
Namun tawaran Gandu Demung itu
merupakan sesuatu yang sangat membingungkan Ki Bajang Garing. Tetapi menilik
kesungguhan Gandu Demung maka Ki Bajang Garing pun memperhitungkan, bahwa
jumlah yang dihadapi memang cukup besar.
Beberapa orang yang
dianggapnya mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang baik segera dipanggilnya
untuk membicarakan persoalan yang dihadapinya itu.
“Kita tidak tahu imbangan
kekuatan dari kita, tiga kelompok itu dengan para pengawal yang akan mengawal
pengantin itu dari Tanah Perdikan Menoreh ke Sangkal Putung.”
“Ya. Dan kita pun masih belum
tahu imbangan kekuatan dari setiap kelompok yang akan ikut serta,” sahut Ki
Bajang Garing.
“Itu pun penting untuk
diketahui. Jika tidak, maka kita akan dapat ditelan oleh kelompok yang lebih
besar jika barang-barang rampasan itu sudah berada di tangan kita. Maksudku, di
tangan ketiga kelompok yang akan dibawa oleh Gandu Demung itu,” desis yang
lain.
“Kita akan membebankan
tanggung jawab kepada Gandu Demung. Tetapi hal itu patut untuk diperhatikan
pula. Kita memang hidup dalam dunia yang selalu diselimuti oleh kecurigaan dan
kecemasan,” desis Ki Bajang Garing. “Tetapi hal ini dapat kita bicarakan
sebelumnya dengan Gandu Demung. Sekali-sekali kita harus berbuat jujur. Juga
dalam imbangan kekuatan yang akan kita pergunakan untuk mencegat pengantin dari
Tanah Perdikan Menoreh itu.”
“Kita dapat bersikap jujur.
Tetapi apakah orang lain juga bersikap demikian?”
“Terserah kepada pengamatan
Gandu Demung. Tetapi tampaknya Gandu Demung sendiri dapat dipercaya. Jika
kemudian ia sendiri berbuat curang dan mengerahkan kekuatan yang ada pada Empu
Pinang Aring, maka itu adalah suatu kecelakaan yang tidak dapat kita hindari.
Namun bahwa kita akan melawan sampai kesempatan terakhir tidak akan dapat
diragukan lagi. Dan itu akan berarti jatuhnya korban pula di pihak mereka
meskipun mereka berhasil menumpas kita.”
Beberapa orang yang mendengar
penjelasan Ki Bajang Garing itu mengangguk-angguk. Mereka dapat mengerti maksud
Ki Bajang Garing, dan nampaknya jalan pikirannya itu cukup hati-hati dan masuk
akal.
“Daripada melawan tiga
kelompok dari Gunung Tidar, tentu Empu Pinang Aring lebih baik melakukan
perampokan itu sendiri,” berkata Ki Bajang Garing kemudian.
“Menurut perhitungan nalar
agaknya memang demikian,” sahut seorang yang bertubuh tinggi.
Demikianlah, nampaknya Ki
Bajang Garing terpaksa dapat menerima ajakan itu meskipun agak segan juga,
karena keragu-raguan, apakah hasil yang akan diperoleh imbang dengan korban
yang bakal jatuh. Namun karena sudah cukup lama ia tidak mendapat kesempatan,
dan barang-barang simpanannya sudah menjadi semakin tipis, dan bahkan hampir
habis jika tidak segera mendapatkan tambahan, maka ia pun berkata, “Jika benar
sepasang pengantin itu membawa perhiasan, maka aku kira meskipun sedikit akan
dapat memperpanjang persediaan kita sebelum kita menemukan daerah perburuan
yang mantap meskipun mungkin agak jauh dari tempat ini.”
“Tanah Perdikan Menoreh itu
sendiri,” berkata salah seorang anak buahnya.
“Tanah Perdikan Menoreh adalah
daerah yang terlalu berat. Tetapi daerah pinggiran Tanah Perdikan itu dan kademangan
di sekitarnya memang mungkin dapat dipertimbangkan,” jawab Ki Bajang Garing.
Sementara itu, perjalanan
Gandu Demung menjadi semakin jauh. Ia pun yakin bahwa Ki Bajang Garing akan
menerima tawarannya, seperti juga ayahnya dan sebuah kelompok lagi yang akan
dihubunginya setelah ia bertemu dengan ayahnya.
“Tiga kelompok yang terbesar
di daerah ini tentu sudah cukup kuat. Apalagi jika orang-orang Menoreh merasa
daerahnya lebih aman kembali, dan menganggap apa yang telah terjadi itu
bukannya kejahatan biasa, tetapi ada sangkut pautnya dendam perseorangan,”
berkata Gandu Demung di dalam hatinya. Karena itulah maka ia pun akan berusaha
mempertahankan keamanan Tanah Perdikan Menoreh sampai saatnya ia akan bertindak
bersama ketiga kelompok itu.
“Jika barang-barang itu cukup
banyak, maka aku tidak perlu mengkhianati ketiga kelompok itu. Tetapi jika yang
kami peroleh terlalu sedikit, biarlah dengan terpaksa aku akan mengambil
semuanya kecuali sekedarnya untuk ayah dan kelompoknya,” berkata Gandu Demung di
dalam hatinya.
Pertemuan antara Gandu Demung
dan ayah serta saudara-saudaranya merupakan pertemuan yang menggembirakan.
Setelah beberapa saat lamanya ayahnya mengalami masa yang suram karena
kehadiran Empu Pinang Aring, maka kehadiran anaknya yang diketahuinya berada di
antara kelompok besar Empu Pinang Aring itu merupakan suatu harapan baginya.
Keterangan yang kemudian
diberikan oleh Gandu Demung di-tanggapinya dengan ragu-ragu. Demikian
saudara-saudara Gandu Demung yang menjadi sangat berhati-hati menghadapi
perkembangan keadaan.
“Jangan ragu-ragu,” berkata
Gandu Demung, “aku berada di dalam lingkungan Empu Pinang Aring. Dalam hal ini,
akulah yang mendapat kekuasaan khusus untuk melakukannya. Tetapi karena semua
kekuatan yang ada sedang dikerahkan bagi tujuan yang jauh lebih berharga dari
pengambilan dana dari Tanah Perdikan Menoreh itu, maka ia telah menyerahkan
kepadaku menurut cara dan pertimbanganku.”
“Kau jangan salah menilai
Tanah Perdikan Menoreh,” desis saudaranya yang tertua.
“Aku mengerti. Dan aku pun
telah menghubungi Ki Bajang Garing,” berkata Gandu Demung.
“He,” ayahnya terperanjat, “di
mana kau dapat menemuinya, dan kenapa kau berhubungan dengan orang gila itu?”
“Dalam hal ini, kita harus
mengkesampingkan kepentingan pribadi. Aku mengerti, Ayah tidak sejalan dengan
Ki Bajang Garing, tetapi jika kita dapat bekerja bersama, setidak-tidaknya kali
ini di bawah pengaruh kekuasaan Empu Pinang Aring, maka aku kira kita akan
berhasil, karena kelompok kita dan kelompok Ki Bajang Garing termasuk kelompok
yang terkuat yang ada di sekitar Guhung Tidar ini. Ditambah satu kelompok lagi
yang akan kita tentukan kemudian, maka aku kira kita sudah cukup kuat untuk
mencegat dan mengambil semua barang-barang sepasang pengantin itu.”
Ayah dan saudara-saudara Gandu
Demung mengangguk-angguk. Tetapi mereka masih saja ragu-ragu. Bahkan salah
seorang saudaranya berkata, “Bajang Garing tidak akan dapat diajak bekerja
bersama. Ia akan berkhianat dan bahkan akan menjerumuskan kita ke dalam
kesulitan.”
“Aku sudah mempergunakan
pengaruh kekuasaan Empu Pinang Aring, karena sebenarnya aku memang mendapat
kekuasaan khusus untuk melakukannya kali ini.”
Saudara-saudaranya
mengangguk-angguk, sementara Gandu Demung mulai menceritakan rencananya yang
akan dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh, sejak ia akan memelihara keamanan
daerah itu sampai saatnya hari perkawinan itu tiba. Kemudian memilih hari yang
kelima saat pengantin itu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
“Kita akan membicarakan, di
mana sebaik-baiknya kita melakukannya,” berkata Gandu Demung kemudian, “di
Tanah Perdikan Menoreh sendiri, di penyeberangan Kali Praga atau di tlatah
Mataram yang masih jarang sekali dirambah oleh pengawal Tanah yang baru
berkembang itu?” berkata Gandu Demung kemudian.
“Kita masih harus memikirkannya,”
berkata ayahnya.
“Waktunya tinggal sedikit,
Ayah,” jawab Gandu Demung, “namun demikian, aku tidak dapat memaksa Ayah
mengambil kepastian sekarang. Sementara Ayah berpikir, aku akan beristirahat di
sini. Mungkin kita akan menentukan suatu hari untuk melihat-lihat Tanah
Perdikan Menoreh dan tempat yang paling baik untuk melakukannya. Mungkin pula
kita harus mengetahui kira-kira berapa orang yang akan berada di dalam
iring-iringan itu dengan melihat kedatangan pengantin laki-laki dari Sangkal Putung.
Bahkan mungkin orang-orang tertentu dari kademangan yang pantas diperhitungkan
itu.”
Dengan sungguh-sungguh Gandu
Demung berusaha untuk meyakinkan, bahwa kesempatan yang didapatnya kali ini
akan sangat besar artinya. Ia yakin bahwa yang akan mereka dapatkan dari
sepasang pengantin itu tentu memadai dengan kerja yang mereka lakukan.
“Anak perempuan satu-satunya
dari seorang Kepala Tanah Perdikan yang kaya seperti Tanah Perdikan Menoreh itu
tentu dibekali dengan perhiasan yang cukup. Sementara itu, perhiasan yang
dibawa oleh pengantin laki-laki pun tentu banyak pula. Dalam perelatan
perkawinan itu, pengantin laki-laki tentu mempergunakan perhiasan yang paling
berharga, bukan saja yang dipunyainya, mungkin bahkan meminjam dari sanak
kadangnya. Demang Sangkal Putung tidak akan membiarkan anaknya menjadi suram di
dalam hari perkawinan itu. Anak Demang Sangkal Putung itu tentu memakai ikat
pinggang dengan kamus berlimang emas dan bermata berlian. Pendok emas dan sudah
tentu cincin perhiasan-perhiasan lain. Terlebih-lebih lagi pengantin
perempuannya.”
“Tetapi ingat. Tanah Perdikan
Menoreh adalah Tanah Perdikan yang kuat,” sahut ayahnya.
“Apakah Ayah kira seluruh
pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh akan ikut mengawalnya sampai ke tlatah
Mataram? Bahkan jika dipandang perlu, kita akan mencegat mereka di tempat yang
sama sekali tidak mereka duga.”
“Maksudmu?”
“Justru di ujung Kademangan
Sangkal Putung sendiri, setelah mereka menyeberang Hutan Tambak Baya. Mereka
tentu tidak akan mengira bahwa mereka akan mengalami serangan dengan tiba-tiba.
Sedangkan yang kita lakukan itu tentu tidak akan menyinggung Tanah Perdikan
Menoreh dan Mataram.”
“Betapa bodohnya kau,” jawab
ayahnya, “kenapa kau tidak juga menjadi bertambah pandai? Jika kita mencelakai
anak perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, apakah kita dapat menyebut diri
kita tidak menyinggung Tanah Perdikan Menoreh?”
“Maksudku, jika ada pengawal
yang dikirim oleh Ki Gede Menoreh sampai keterbatasan, maka mereka tentu sudah
kembali. Bahkan seandainya Mataram mencoba melindungi mereka, maka pasukan
pengawal Mataram tidak akan sampai memasuki Kademangan Sangkal Putung. Karena
mereka tentu menganggap bahwa keadaan sudah aman.”
“Ah, itu adalah masalah
pelaksanaan. Kita dapat membicarakan lebih mendalam. Tetapi yang penting bagi
kita, apakah kita dapat mempercayai Empu Pinang Aring.”
“Empu Pinang Aring mempunyai
cita-cita yang besar bagi negeri ini. Karena itu, ia tentu tidak akan melukai
hati orang-orang yang akan dapat menjadi penduduknya. Terlebih-lebih aku sendiri
yang sudah ada di dalamnya. Karena itu, dalam hal ini Empu Pinang Aring tentu
dapat dipercaya.”
Ayah dan saudara-saudara Gandu
Demung mengangguk-angguk. Untuk beberapa lama mereka masih memperbincangkan
persoalan yang sedang mereka hadapi. Dengan sungguh-sungguh Gandu Demung
berusaha untuk membersihkan gambaran tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat
terjadi. Yang manis tetapi juga yang pahit.
“Sudahlah,” berkata ayahnya,
“jika kau mau beristirahat di sini barang satu dua hari beristirahatlah. Bukankah
kau katakan, bahwa aku tidak perlu mengambil kepastian sekarang.”