Buku 099
Para prajurit dari Pajang itu
masih tetap tegang. Namun pemimpinnya kemudian berkata, “Marilah, kami akan
mengawasi perjalanan kalian karena kalian berada di dalam wilayah kekuasaan
Pajang.”
Terdengar seorang pengawal
menggeretakkan giginya. Tetapi tidak seorang pun yang menjawab.
Para pengawal itu pun kemudian
meneruskan perjalanan mereka. Di belakang mereka sekelompok prajurit Pajang
mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Namun ketika para pengawal itu
sudah memasuki Sangkal Putung, maka para prajurit itu pun segera meninggalkan
mereka.
“Sebentar lagi iring-iringan
Lurah Branjangan dari Mataram itu pun akan datang pula,” desis pemimpin
prajurit Pajang.
“Apakah kita akan
menghentikannya?” bertanya salah seorang prajurit.
Tetapi pemimpinnya
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kita tidak mendapat perintah untuk
melakukannya. Sampai sekarang hubungan antara Pajang dan Mataram masih belum
jelas. Karena itu, jika yang lewat itu benar-benar orang Mataram, biar sajalah
mereka datang Ke Sangkal Putung untuk menghadiri perayaan perkawinan itu.”
“Orang-orang Mataram menjadi
semakin sombong. Apalagi setelah Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi
Loring Pasar itu mendapatkan gelarnya yang baru, Senapati Ing Ngalaga yang
berkedudukan di Mataram. Ia merasa seolah-olah Sultan sudah melimpahkan
kekuasaan Pajang atasnya, sehingga Mataram telah berbuat apa saja menurut
seleranya sendiri.”
“Mungkin tidak seburuk itu.
Selama ini Senapati Untara tidak mengambil sikap yang jelas.”
“Ki Untara terlalu baik hati.
Seharusnya kekuasaan Pajang di jalur lurus di bagian selatan ini harus sudah
bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Ketidak-sediaan Sutawijaya untuk
menghadap ke Pajang merupakan pertanda pasti, bahwa Mataram merasa dirinya
sejajar dengan Pajang.”
“Tentang ketidak-sediaannya
menghadap ada alasannya tersendiri yang justru dapat dimengerti oleh Sultan.”
“Ah, omong kosong.”
“Jangan membantah
keteranganku,” berkata pemimpin prajurit itu kemudian, “aku hanya mendengar
dari Ki Untara. Dan kita semuanya di sini menjalankan perintahnya. Kita memang
tidak boleh bertindak tergesa-gesa. Saat perkawinan Senapati Untara itu
sendiri, hampir saja kita sama terpancing dalam benturan kekuatan antara Pajang
dan Mataram. Untunglah semuanya itu dapat dicegah, dan justru Ki Lurah
Branjangan sendiri ada di Jati Anom saat itu.”
Prajurit itu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat menyingkirkan sikapnya yang buram terhadap
Mataram.
Namun dalam pada itu, para
pengawal dari Mataram itu pun mempunyai sikap serupa. Seorang yang bertubuh
tinggi berdesis, “Jika kami tidak menghadapi saat-saat khusus di Sangkal
Putung.”
“Apa yang akan kau lakukan,”
bertanya orang tertua di antara mereka.
“Aku gilas orang-orang Pajang
yang sombong itu.”
“Mereka prajurit-prajurit yang
menjalankan tugas. Jika terjadi pertengkaran antara para pengawal dan prajurit
Pajang, maka masalahnya akan dapat merayap semakin luas. Masing-masing akan
mendapat dukungan dari kawan-kawannya dan barangkali juga para pemimpinnya. Nah
bayangkan, jika terjadi perselisihan antara Untara dan Ki Lurah Branjangan pada
saat seperti ini. Apalagi kemudian perselisihan itu menjalar semakin luas dan
didengar oleh Raden Sutawijaya yang sedang mesu raga di sepanjang Pegunungan
Sewu.”
Pengawal yang bertubuh tinggi
itu tidak menjawab.
Bahkan orang tertua itu
melanjutkan, “Jika seandainya harus terjadi sesuatu, janganlah kita yang
menjadi sebabnya.”
Kawan-kawannya tidak menjawab.
Mereka berjalan terus dengan angan-angan yang terasa selalu menggelitik hati
tentang hubungan antara Pajang dan Mataram. Bukan saja dalam tata pemerintahan,
tetapi para petugas di bidang keprajuritan pun rasa-rasanya seolah-olah telah
bersaing dan saling mencurigai.
Beberapa orang pengawal yang
telah memasuki daerah Sangkal Putung itu pun kemudian diterima dengan baik oleh
para pengawal kademangan. Mereka sama sekali tidak mencurigai setelah mereka
mendengar alasan kedatangan mereka. Bahkan para pengawal itu merasa Kademangan
Sangkal Putung menjadi semakin aman dengan hadirnya beberapa orang pengawal
dari Mataram.
Malam itu pendapa Kademangan
Sangkal Putung menjadi sangat ramai. Sama sekali tidak ada kesan, bahwa
kecemasan sedang mencengkam. Orang-orang yang ada di pendapa dan di halaman
menyaksikan upacara ngunduh pengantin yang melalui upacara sepenuhnya seperti
saat kedua pengantin itu dipertemukan di Tanah Perdikan Menoreh sebelum
kemudian memasuki keramaian yang meriah.
Beberapa orang tamu yang
mendapat penghormatan khusus menyaksikan urut-urutan upacara itu dengan
saksama. Ki Lurah Branjangan telah duduk pula di pendapa itu disamping Untara.
Sekali-sekali keduanya berbicara sambil tersenyum mengenai upacara yang sedang
berlangsung itu. Namun kadang-kadang keduanya nampak merenung dalam-dalam.
Sebenarnyalah bahwa Ki Lurah
Branjangan hatinya digelitik oleh upacara yang menarik itu. Raden Sutawijaya
yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu tidak sempat merayakan hari-hari
perkawinannya karena keadaan yang tidak dapat terbatasi. Perkawinannya dengan
Semangkin berlangsung begitu saja tanpa banyak orang yang mengetahui.
“Raden Sutawijaya adalah putra
Sultan Hadiwijaya meskipun bukan putra kandung. Tetapi kedudukan Raden
Sutawijaya tidak ubahnya dengan putranya sendiri,” berkata Ki Lurah di dalam
hatinya. “Seandainya semuanya itu berlangsung dengan wajar, maka keramaian
perkawinan Raden Sutawijaya tentu akan melampaui keramaian perkawinan Swandaru
dan juga perkawinan anak-anak muda yang lain.”
Dalam pada itu, Untara
menganggap keramaian perkawinan Swandaru itu agak berlebih-lebihan. Meskipun
Swandaru adalah seorang anak laki-laki satu-satunya dari seorang Demang di
tanah yang subur seperti Sangkal Putung itu, namun keramaian yang direncanakan
berlangsung beberapa hari itu sama sekali tidak menguntungkan suasana. Apalagi
dalam keadaan terakhir.
“Anak itu memang terlalu
manja,” berkata Untara di dalam hatinya.
Namun ketika terpandang
olehnya Agung Sedayu, maka di luar sadarnya Untara mengatupkan bibirnya
rapat-rapat.
“Gadis yang telah mengikat
Agung Sedayu untuk menghambakan diri di kademangan ini pun tentu seorang gadis
yang manja. Yang tidak tahu sama sekali segi-segi kehidupan selain di seputar
dirinya sendiri,” geram Untara di dalam hatinya.
Dengan kening yang
berkerut-merut Untara memandang adiknya yang berdiri di halaman. Kadang-kadang
nampak bahwa Agung Sedayu ikut sibuk melayani sesuatu dalam upacara itu. Karena
ia seolah-olah merupakan keluarga sendiri di Kademangan Sangkal Putung, maka ia
pun ikut serta melakukan beberapa macam pekerjaan yang kadang-kadang dengan
tergesa-gesa.
“Gila,” geram Untara di dalam
hatinya ketika ia melihat Sekar Mirah sendiri justru berdiri di serambi gandok
tanpa berbuat apa-apa. Dengan asyiknya ia berbicara dengan seorang anak muda
dalam pakaian yang lengkap dengan perhiasan yang mahal.
Hampir di luar sadarnya Untara
bertanya kepada Ki Lurah Branjangan, “Apakah anak muda itu salah seorang
pengawal dari Mataram?”
Ki Lurah mengerutkan
keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Anak muda yang mana?”
Unttara tidak mau menunjuk
dengan jarinya. Tetapi katanya, “Yang berdiri di serambi gandok, berbicara
dengan Sekar Mirah.”
Ki Lurah mengedarkan pandangan
matanya. Ketika terpandang olehnya Sekar Mirah, maka ia pun menggeleng, “Bukan.
Bukan anak muda dari Mataram.”
Adalah di luar dugaaan Untara
ketika orang tua yang duduk di sampingnya yang ternyata datang dari Tanah
Perdikan Menoreh menjawab, “Anak muda itu bernama Prastawa. Ia adalah anak Ki
Argajaya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Dipandanginya orang tua itu. Kemudian dengan ragu-ragu pula ia bertanya, “Ki
Argajaya adik Ki Argapati?”
“Ya. Jadi anak itu adalah
kemanakan Ki Argapati.”
Untara mengangguk-angguk.
Namun sekali lagi keningnya berkerut ketika ia melihat Agung Sedayu melintas di
hadapan Sekar Mirah dengan tergesa-gesa sambil menjinjing nampan.
“Hem,” Untara menggeram di
dalam hati, “ia sudah mengorbankan martabatnya. Di sini ia tidak lebih dari
seorang pelayan. Meskipun Ayah bukan seorang Demang, tetapi Ki Sadewa adalah
orang yang dihormati di Jati Anom. Dan aku adalah seorang senapati di daerah
ini. Sementara itu Agung Sedayu telah merendahkan dirinya karena ia harus
mencium telapak kaki seorang perempuan padukuhan yang sombong dan manja.”
Tetapi Untara tidak dapat
berbuat apa-apa. Setiap kali ia melihat Agung Sedayu yang sibuk, terasa giginya
seolah-olah gemeretak.
Upacara pengantin itu telah
berlangsung semakin jauh. Ketika upacara yang pokok telah selesai, maka
mulailah para tamu berkisar di seputar pendapa. Bahkan ada di antara anak-anak
muda yang turun dan berdiri di halaman.
Sejenak kemudian, maka gamelan
pun mulai berbunyi. Keramaian yang diselenggarakan di malam pertama itu justru
adalah tayub. Keramaian yang merupakan kebiasaan bagi kademangan bukan saja di
Sangkal Putung, tetapi juga di sekitarnya.
Semakin malam suasana menjadi
semakin meriah. Satu-satu para tamu yang mendapatkan giliran, yang diisyaratkan
dengan selendang, berdiri dan menari bersama penari-penari perempuan di
pendapa.
Hampir semua bebahu kademangan
hadir di pendapa bersama orang-orang tua dan para tamu yang bukan saja dari
Kademangan Sangkal Putung. Wajah-wajah nampak menjadi gembira dan setiap bibir
dihiasi dengan senyum yang cerah.
Untara dan Ki Lurah Branjangan
pun mulai tersenyum-senyum ketika mereka melihat orang-orang tua yang menerima
selendang harus berdiri, dan menari bersama penari-penari perempuan di
tengah-tengah pendapa. Apalagi ketika terdengar oleh mereka suara tertawa yang
tertahan-tahan dari ruang dalam. Ternyata perempuan-perempuan yang duduk, di
ruang dalam pun sedang memperhatikan tari tayub itu lewat pintu pringgitan.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
yang tidak ikut duduk di pendapa melihat tari tayub itu dari kejauhan.
Sekali-sekali ia mengerutkan keningnya jika ia melihat orang-orang di pendapa
itu mulai mencicipi tuak yang dihidangkan.
“Keramaian semacam ini tidak
dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh,” desis Agung Sedayu.
Namun agaknya orang-orang
Sangkal Putung masih tetap menyadari, bahwa tuak itu dapat membuat mereka
menjadi mabuk dan kehilangan kesadaran, sehingga karena itu maka tuak yang
dihidangkan di pendapa pun tidak terlalu banyak.
Sekilas Agung Sedayu melihat
Sekar Mirah masih saja berdiri di serambi gandok. Dengan tanpa menghiraukan
orang-orang di sekitarnya ia masih saja dengan asyiknya berbicara dengan
Prastawa. Bahkan sekali-sekali mereka berdua tertawa dengan cerahnya. Tetapi
sekali-sekali pembicaraan mereka nampak bersungguh-sungguh.
Agung Sedayu tidak
mendekatinya. Ia pun kemudian berjalan lewat samping gandok di dalam gelapnya
bayangan, sehingga Untara yang sedang tersenyum-senyum melihat orang-orang yang
sedang menari tayub tidak melihatnya.
“Silahkan duduk di pendapa,
Ngger,” seorang yang sudah separo baya mempersilahkan, “nanti kau menjadi sakit
di sini.”
Agung Sedayu tersenyum. Orang
itu adalah orang yang diserahi membuat dan menyediakan segala macam minuman
bagi para tamu yang ada di pendapa. Minuman panas juga dari tuak legen kelapa.
“Kau tidak ikut menari tayub?”
“Hampir semuanya orang-orang
tua.”
“Nanti, setelah hampir pagi.
Jika orang-orang tua sudah lelah dan mulai kantuk, maka anak-anak muda akan
naik ke pendapa. Lewat tengah malam para tamu tentu akan meninggalkan pendapa.
Yang bermalam akan segera pergi ke pondokan, sedang yang akan pulang akan
mencari kudanya. Nah, bersedialah di pendapa supaya kau mendapat sampur untuk
yang pertama kali. dan mendapat kesempatan menari sepuas-puasnya. Sementara
wedak pupur para penarinya masih utuh setelah mereka merias dirinya kembali
untuk menari di babak berikutnya.”
Agung Sedayu tertawa. Beberapa
orang yang mendengar kata-kata orang separo baya itu pun tertawa pula.
“Aku lebih senang di sini,”
jawab Agung Sedayu.
Namun pembicaraan mereka itu
pun terputus ketika mereka melihat Ki Jagabaya mendekati mereka. Hampir
berbisik ia berkata kepada Agung Sedayu, “Aku akan mendahului.”
Agung Sedayu berdiri sambil
bertanya, “Kenapa?”
“Aku akan pergi ke banjar.
Mungkin anak-anak yang berada di banjar menjumpai persoalan yang perlu
dipecahkan. Nanti aku akan segera kembali.”
“Kenapa lewat pintu butulan?”
orang separo baya itu bertanya pula.
“Supaya kepergianku tidak
mempengaruhi para tamu. Jika mereka melihat aku pergi, maka mereka yang sudah
merasa lelah akan segera pamit pula meninggalkan pertemuan yang meriah ini.”
“Aku ikut Ki Jagabaya,”
tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.
Ki Jagabaya berpikir sejenak.
Namun kemudian ia menggeleng, “Kau di sini saja, Ngger. Mungkin Anakmas Untara
memerlukan kau atau saat ia pulang, ia akan minta diri kepadamu.”
Agung Sedayu mengangguk kecil.
Namun sekilas terbersit kegelisahan di wajahnya. Seolah-olah ia melihat wajah
kakaknya yang suram memandanginya dengan tajamnya.
Agung Sedayu terkejut ketika
Ki Jagabaya menepuk bahunya sambil berkata, “Sudahlah, aku akan pergi. Pergilah
ke pendapa. Gending-gendingnya mulai menjadi hangat.”
“Ya, ya, Ki Jagabaya,” Agung
Sedayu tergagap.
Ia melihat Ki Jagabaya
tersenyum. Namun hanya sekilas, karena Ki Jagabaya pun kemudian meninggalkan
halaman kademangan lewat pintu butulan. Ia tidak dapat menenggelamkan diri
dalam kegembiraan sepenuhnya sementara para pengawal tengah berjaga-jaga di
banjar dan di gardu-gardu.
“Mudah-mudahan mereka tidak
terlupakan oleh para petugas di dapur,” gumam Ki Jagabaya di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
telah mulai merenungi dirinya sendiri kembali meskipun di sekitarnya beberapa
orang sedang sibuk menyediakan minuman. Setiap kali satu dua orang telah
membawa minuman ke pendapa untuk menambah mangkuk-mangkuk yang mulai menjadi
kosong.
Gamelan di pendapa terdengar
semakin lama menjadi semakin hangat. Iramanya menjadi semakin cepat membawakan
gending yang memang mulai menggelitik hati. Satu-satu orang yang duduk di
pendapa bergantian menari. Tidak henti-hentinya.
Pandan Wangi, setelah upacara
yang pokok selesai, telah berada di ruang dalam bersama perempuan-perempuan. Ia
merasa letih sekali duduk bersila tanpa bergerak sama sekali. Ia lebih senang
berloncatan dengan sepasang pedang di tangan. Untuk waktu yang sama, ia tentu
tidak akan merasa seletih saat itu. Duduk dengan kaku dan dicengkam oleh
perasaan segan.
Namun akhirnya suara gamelan
di pendapa pun mulai menurun. Ketika tengah malam telah lewat, mulailah para
tamu menjadi letih. Apalagi para tamu yang datang dari tempat yang jauh.
“Kami tidak dapat menunggu
sampai fajar,” desis Ki Lurah Branjangan di telinga Untara, “karena itu, kami
terpaksa minta diri. Di pagi hari kami baru sampai di Mataram.”
Untara pun menegakkan
punggungnya yang terasa mulai pegal. Ia pun kemudian menjawab, “Aku juga harus
minta diri.”
Karena itulah, maka ketika
orang-orang terpenting yang ada di pendapa itu minta diri, maka gamelan pun
kemudian terdiam.
“Masih sore,” berkata Ki
Demang ketika Untara dan Ki Lurah Branjangan minta diri.
“Kami tidak dapat meninggalkan
tugas kami,” jawab Untara, “terima kasih atas kesempatan ini. Kami terpaksa
minta diri.”
“Kami, keluarga di Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya atas kehadiran Anakmas Untara dan Ki Lurah Branjangan.”
Keduanya tersenyum. Jawab Ki
Lurah, “Lain kali kami di Mataram mengharap kunjungan sepasang pengantin itu.”
Ki Demang tersenyum. Swandaru
dan Pandan Wangi yang kemudian dipanggil itu pun tersenyum pula.
Namun dalam pada itu, wajah
Untara segera berubah ketika ia melihat Agung Sedayu mendekatinya dan berdiri
di bawah tangga pendapa. Ia pun kemudian beringsut pula, dan bersama-sama
dengan Ki Lurah Branjangan, diikuti oleh Ki Demang, sepasang pengantin dan
orang-orang tua, maka mereka pun turun pula ke halaman.
Ketika ia berdiri di hadapan
Agung Sedayu, maka ia pun berdesis perlahan-lahan, “Apakah kau masih tetap akan
menghambakan diri di sini.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Dan Untara pun tidak bertanya lebih lanjut ketika ia melihat Sekar Mirah dan
Prastawa datang pula mendekat.
Sekali lagi Untara dan Ki
Lurah Branjangan minta diri. Para pengawal segera menyiapkan kuda mereka dan
kemudian mengiringi para pemimpin dari Mataram dan Pajang itu meninggalkan
halaman.
Di regol halaman Untara sekali
lagi sempat berbisik di telinga Apung Sedayu, “Sedayu, aku tidak mengira bahwa
akhirnya kau hanyalah seorang budak yang tidak mempunyai gairah hidup sama
sekali selain menghambakan diri karena cengkaman kecantikan wajah seorang
perempuan.”
Dada Agung Sedayu berdesir.
Tetapi ia tidak menjawab. Bahkan terasa lehernya bagaikan tersumbat.
Ia masih melihat Untara
tersenyum sambil mengangguk sekali lagi. Kemudian senapati muda itu pun dengan
sigapnya meloncat ke punggung kudanya diiringi oleh para pengawalnya.
Ki Lurah Branjangan pun
berkuda di sampingnya. Para pengawal dari Mataram segera menempatkan diri di
belakang beberapa orang pengawal yang mengiringi Untara.
Terasa ada batas yang
melintang antara para pengawal dari Mataram dan para prajurit Pajang. Mereka
sama sekali tidak menegur sapa. Bahkan antara kedua kelompok itu telah tanpa sengaja
dibatasi jarak beberapa langkah.
Meskipun demikian, untuk
beberapa lama Ki Lurah Bianjangan dan Untara bercakap-cakap dengan asyiknya.
Bahkan sekali-kali terdengar keduanya tertawa. Agaknya keduanya membicarakan
keramaian yang baru saja dikunjunginya di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, gejolak
perasaan Untara yang muda tidak dapat ditenangkannya ketika kemudian Ki Lurah
Branjangan menyebut nama Agung Sedayu.
“Anak yang tidak tahu diri,”
geram Untara.
Ki Lurah Branjangan menjadi
heran. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Kenapa?”
“Apakah yang ditungguinya di
Sangkal Putung. Ia mempunyai rumah meskipun barangkali tidak begitu baik di
Jati Anom. Ia mempunyai saudara tua, mempunyai paman di Banyu Asri yang dapat
menjadi tempat menumpang. Bukan saja lahirnya, tetapi juga untuk mendapatkan
tuntunan batin.” Ia terhenti sejenak, lalu, “Tetapi ia memilih berada di
Sangkal Putung. Di tempat orang lain yang sama sekali tidak mempunyai sangkut
paut. Jika ia terikat oleh seorang gadis yang bernama Sekar Mirah, seharusnya
ia dengan dada tengadah melamarnya. Mungkin aku, mungkin Paman Widura, mungkin
pula gurunya Kiai Gringsing. Tetapi dari Jati Anom. Sekelompok orang-orang tua
datang ke Sangkal Putung dengan membawa kelengkapan upacara.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas. Katanya kemudian, “Mungkin karena gurunya juga berada di Sangkal
Putung.”
“Gurunya memang orang aneh.
Aku sudah menawarkan untuk membangun sebuah padepokan. Jika Swandaru ingin
berguru kepadanya, biarlah ia datang dan menghambakan diri di padepokan itu.”
“Memang aneh,” tiba-tiba saja
Ki Lurah bergumam.
“Agung Sedayu seharusnya mulai
memikirkan hari depannya. Ia seorang laki-laki yang pantas untuk menjadi
seorang senapati, karena ia mempunyai ilmu yang cukup, meskipun sudah barang
tentu ia harus mulai dari tataran yang memungkinkan. Sudah barang tentu ia
tidak akan langsung menjadi seorang panglima di suatu daerah yang luas atau
menjadi seorang perwira yang berkedudukan tinggi. Namun ia harus mulai. Jika ia
tidak mulai sekarang, maka ia akan terlambat. Dan ia akan tetap menjadi budak
istrinya kelak.”
Ki Lurah Branjangan masih saja
mengangguk-angguk. Namun baginya, Agung Sedayu memang agak aneh.
Tetapi Ki Lurah mengerutkan
keningnya ketika ia mendengar Untara berkata, “Agung Sedayu harus menjadi
seorang prajurit. Aku akan membawanya ke Pajang yang mungkin akan
mengirimkannya ke tlatah yang agak jauh. Mungkin ke Pesisir Utara, mungkin ke
Bang Wetan.”
Ada sesuatu yang terasa
menyentuh perasaan Ki Lurah Branjangan. Mula-mula ia berusaha untuk menekan
perasaan itu. Agaknya ia merasa segan untuk melepaskan anak muda yang bernama
Agung Sedayu itu pergi ke daerah yang jauh dan sulit untuk dapat bertemu lagi.
Tetapi ternyata bahwa Ki Lurah
pun kemudian menyadari, bahwa yang telah bergejolak di hatinya bukan sekedar
perasaan segan untuk berpisah. Sebenarnyalah telah timbul suatu harapan di
hatinya, bahwa Agung Sedayu, Swandaru, dan terutama gurunya akan dapat mengerti
perjuangan yang sedang ditempuh oleh Mataram, sehingga mereka akan tetap berada
di dalam lingkungan perjuangan tegaknya Mataram.
Namun Ki Lurah tidak dapat
mengucapkannya selain kepada dirinya sendiri, sehingga karena itu maka ia pun
hanya sekedar mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
Tetapi agaknya Untara masih
berbicara berkepanjangan tentang Agung Sedayu. Rasa-rasanya pepat di dadanya
ingin ditumpahkannya.
Sebagian dari kegelisahan
Untara sebagai seorang kakak yang melihat adiknya meningkat dewasa dapat
dimengerti sepenuhnya oleh Ki Lurah Branjangan. Namun ternyata bahwa Ki Lurah
Branjangan tidak dapat mengelakkan kepentingan Mataram di dalam persoalan Agung
Sedayu yang pasti akan menyangkut juga Swandaru dan gurunya.
“Swandaru akan memerintah di
dua tlatah yang letaknya berseberangan di sebelah-menyebelah Mataram.
Kedudukannya akan mempunyai arti yang penting kelak. Sangkal Putung yang subur
dan termasuk kademangan yang besar di sebelah timur Mataram, dan Tanah Perdikan
Menoreh yang kuat di sebelah barat,” katanya di dalam hati.
Namun pembicaraan mereka tidak
dapat berlangsung lebih lama lagi ketika kemudian Untara berkata, “Maaf, Ki
Lurah. Aku tidak dapat berjalan terus. Aku harus berbelok ke kanan.”
“O,” Ki Lurah tersenyum,
“kenapa tidak sekali-sekali menempuh jalan lurus.”
“Ke Mentaok?” Untara tertawa.
Ki Lurah pun tertawa.
“Seharusnya Ki Lurah-lah yang
singgah barang sejenak ke Jati Anom. Aku akan menjamu Ki Lurah dengan tuak
legen batang aren.”
Ki Lurah mengangguk
dalam-dalam sambil menjawab, “Terima kasih. Terima kasih, Anakmas. Lain kali
aku akan singgah di Jati Anom.”
Akhirnya keduanya berpisah.
Ketika Untara berbelok ke kanan, maka pengawal-pengawalnya pun mengikutinya
pula. Sementara itu para pengawal Ki Lurah segera mengambil alih tempat para
pengawal dan mendekat beberapa langkah di belakang Ki Lurah Branjangan.
Ki Lurah Branjangan cukup
bijaksana menanggapi keadaan, sehingga karena itu maka ia tidak menanyakan apa
pun juga tentang sikap para pengawal. Apalagi di Sangkal Putung ia sudah
mendengar laporan meskipun serba singkat tentang para peronda dari Jati Anom yang
telah menghentikan beberapa orang pengawal Mataram yang diperintahnya
mendahului.
Yang menjadi pikiran Ki Lurah
Branjangan adalah justru tentang Agung Sedayu. Namun Ki Lurah pun menyadari
sepenuhnya, bahwa Untara memang berhak untuk berusaha menarik adiknya ke luar
dari lingkungan Sangkal Putung. Apalagi Ki Lurah tahu bahwa alasan Untara sama
sekali bukanlah karena Agung Sedayu akan berkaitan dengan Swandaru yang akan
memerintah Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, juga tidak karena
kebetulan guru Agung Sedayu adalah Kiai Gringsing yang disebut orang bercambuk.
Alasan Untara untuk menarik adiknya dari Sangkal Putung semata-mata adalah
karena alasan keluarga.
Perjalanan Ki Lurah di
gelapnya malam sama sekali tidak menjumpai rintangan apa pun juga. Hutan Tambak
Baya dan Hutan Mentaok yang masih tersisa ternyata tidak lagi dihuni oleh para
penjahat. Juga tidak menjadi tempat bersembunyi sisa-sisa penjahat yang
dihancurkan oleh para pengawal dari Sangkal Putung.
Ketika pagi mulai cerah,
iring-iringan yang berjalan tidak terlalu cepat, bahkan sekali mereka harus
berhenti memberikan kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk beristirahat,
barulah memasuki kota Mataram yang semakin ramai. Tetapi para pengawal pintu
gerbang kota dan juga para pegawai regol halaman rumah Sutawijaya sama sekali
tidak terkejut, karena Ki Lurah Branjangan memang sudah mengatakan, bahwa
mereka akan pulang dan akan sampai di Mataram pada pagi hari.
“Kami tidak akan bermalam
karena keadaan yang gawat, apalagi karena Raden Sutawijaya tidak ada di
tempat,” berkata Ki Lurah ketika ia berangkat.
Dalam pada itu, ternyata bahwa
Untara yang tidak terlampau jauh berkuda di malam itu, lebih dahulu telah
berada di Jati Anom. Namun kejengkelannya terhadap Agung Sedayu agaknya
benar-benar telah mencengkam hatinya. Pagi-pagi, ketika matahari mulai naik dan
di Mataram saat Ki Lurah Branjangan memasuki biliknya setelah mencuci tangan
dan kakinya, serta seorang pengawal belum lagi selesai menyelarak pintu kandang
kuda di belakang gandok kanan, Untara telah berkuda ke Banyu Asri. Rasa-rasanya
ia tidak tahan lagi menyimpan gejolak perasaannya tentang Agung Sedayu.
“Paman,” berkata Untara kepada
Widura, “kita harus berbuat sesuatu.”
“Apa yang harus kita lakukan?”
“Kita harus memanggilnya dan
bertanya, apakah ia sudah ingin segera kawin. Jika ia ingin kawin, ia harus
memenuhi syarat-syarat sebagai seorang laki-laki yang akan kawin.”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Untara. Tetapi terhadap Agung Sedayu kita tidak boleh
tergesa-gesa. Aku akan mencoba menghubunginya dan bertanya kepadanya apakah
sebenarnya yang dikehendakinya.”
“Ia tidak boleh membiarkan
dirinya diperbudak oleh perempuan itu, betapa pun cantik wajahnya.”
Widura mengangguk-angguk. Ia
mengenal kedua kemanakannya itu dengan baik. Ia mengenal Untara, selain sebagai
kemanakannya, juga sebagai seorang perwira atasannya sebelum ia mengundurkan
diri dari keprajuritan. Dan ia pun mengenal Agung Sedayu sejak anak itu belum
mengalami perubahan badani dan jiwani.
“Untara,” berkata Widura,
“baiklah aku akan menemuinya di Sangkal Putung, sekaligus aku akan bertemu
dengan Ki Demang. Aku tidak datang di hari perkawinan anaknya. Karena itu aku
akan maaf. Dengan demikian maka kedatanganku ke Sangkal Putung bukanlah
semata-mata untuk menemui Agung Sedayu.”
“Jika seandainya Paman pergi
semata-mata untuk menemui Agung Sedayu, apa salahnya?” sahut Untara. “Paman
adalah paman Agung Sedayu. Paman adalah pengganti orang tuanya seperti juga
aku.”
“Tentu tidak ada salahnya.
Tetapi jika aku datang dengan tidak semata-mata menemui Agung Sedayu pun tidak
ada salahnya. Jika aku harus memilih di antara dua kemungkinan yang sama-sama
tidak ada salahnya, maka aku akan memilih yang kedua.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terserahlah kepada Paman. Tetapi bagiku,
Agung Sedayu harus menyatakan dirinya dengan tegas, karena ia adalah seorang
laki-laki.”
Widura mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Aku mengerti, Untara. Dan aku akan mencoba berbuat sesuatu bagi
Agung Sedayu.”
“Ia sudah berhasil memecahkan
dinding ketakutan yang selalu mengungkungnya. Tetapi kini ia jatuh dalam suatu
kungkungan yang lebih buruk dari ketakutan. Lebih baik ia menjadi seorang
penakut seperti dahulu dan tinggal di rumah atau di rumah Paman dengan
ketakutan tanpa berani beranjak sama sekali, daripada ia menjadi seorang yang
memiliki ilmu kanuragan, bahkan disebut sebagai murid orang bercambuk yang
mempunyai kekuatan tiada taranya, tetapi terikat dalam perbudakan di bawah
kuasa seorang gadis Sangkal Putung.”
“Ya, ya aku mengerti, Untara,”
Widura mengangguk-angguk, “berilah aku waktu. Aku akan mencobanya. Pada
dasarnya Agung Sedayu adalah seorang laki-laki. Mungkin belum terbuka jalan
baginya sehingga ia masih saja seperti sekarang ini.”
Untara menarik nafas dalam-dalam,
seolah-olah ingin mengendapkan isi dadanya yang bergejolak.
Beberapa saat lamanya Untara
berada di rumah pamannya karena ia ingin menumpahkan pepat hatinya memikirkan
adiknya. Agaknya bagi Untara, Agung Sedayu merupakah masalah yang lebih rumit
daripada tugas-tugas keprajuritannya.
Setelah tuntas, barulah Untara
minta diri kembali ke rumahnya yang masih saja dipergunakan untuk kepentingan
keprajuritan Pajang yang berada di Jati Anom.
Sepeninggal Untara, Widura-lah
yang kemudian merasa dibebani oleh suatu kewajiban yang cukup rumit. Jika ia
mempersoalkan Agung Sedayu itu berarti bahwa ia akan berhubungan dengan
Swandaru, saudara seperguruannya, dan Sekar Mirah, gadis yang telah mengikat
hati Agung Sedayu. Tetapi dengan demikian berarti juga ia harus berhubungan
dengan Ki Demang Sangkal Putung. Dan terlebih-lebih lagi adalah Kiai Gringsing
yang telah mengolah Agung Sedayu sampai tingkatnya yang sekarang.
Tetapi Widura tidak boleh
ingkar. Ia adalah paman Agung Sedayu yang memang mempunyai kewajiban untuk
berbuat sesuatu bagi Agung Sedayu.
Demikianlah, maka Widura pun
telah menentukan sikapnya. Ia harus pergi ke Sangkal Putung. Berbicara langsung
dengan Agung Sedayu tanpa ada yang disembunyikannya. Ia harus mendapatkan
kesempatan itu.
Tetapi Widura masih harus
menunggu satu dua hari setelah keramaian di Sangkal Putung menjelang hari-hari
terakhir. Dengan demikian ia tidak akan menumbuhkan gangguan, setidak-tidaknya
gangguan perasaan bagi Agung Sedayu dan mungkin beberapa orang lain di Sangkal
Putung.
Sementara itu keramaian di
Sangkal Putung berjalan terus. Di malam berikutnya, beberapa jenis pertunjukan
akan dipergelarkan. Tetapi Sangkal Putung tidak juga lengah. Para pengawal
tetap meronda setiap saat. Jalan-jalan kecil tidak terlampaui oleh para pengawal
berkuda yang mengelilingi Sangkal Putung benar-benar nampak hidup. Anak-anak
muda merasa mendapat kegembiraan yang meriah. Bahkan bukan saja pertunjukan
yang ramai dan menggembirakan, tetapi juga makanan yang melimpah ruah.
Agung Sedayu sendiri rasa-rasanya
benar-benar telah tenggelam dalam upacara perkawinan dengan segala keramaiannya
itu. Ia merasa dirinya berkewajiban untuk membantu sejauh dapat dilakukan.
Apalagi karena ia merasa bahwa dirinya akan menjadi bagian dari keluarga
Kademangan Sangkal Putung itu.
Sementara itu, Sekar Mirah
sendiri sibuk berangan-angan. Bahkan kadang-kadang ia tenggelam di dalam dunia
khayalannya menjelang hari-hari perkawinannya sendiri.
Tetapi bagi Sekar Mirah, Agung
Sedayu rasa-rasanya sangat menjengkelkan. Pada anak muda itu tidak terasa
adanya api kegairahan yang dapat membakar ikatan cinta mereka. Agung Sedayu
adalah seorang anak muda yang diam dan banyak melakukan kerja yang sama sekali
tidak berarti. Jika Agung Sedayu merasa dirinya telah melakukan sesuatu sebagai
seorang anggauta keluarga di Sangkal Putung, dan kadang-kadang terdengar
gemeremang orang-orang yang memuji kerajinannya dalam kerja itu, maka setiap
kali Sekar Mirah selalu memalingkan wajahnya jika ia melihat anak muda itu ikut
membawa nampan berisi makanan dan minuman.
“Ia lebih senang dengan kerja
seorang bukan pemimpin di dalam lingkungan ini,” desah Sekar Mirah di dalam
hatinya.
Dan agaknya sifat yang tidak
ada pada Agung Sedayu itu ditemuinya pada Prastawa. Dengan dada tengadah maka
setiap kali Prastawa memanggil seorang pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan
memberikan beberapa perintah kepadanya. Bahkan, kadang-kadang dengan lantang ia
berkata kepada pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh itu, “Aku haus. Pergilah ke
belakang. Ambil semangkuk minum buatku.”
Diam-diam Sekar Mirah memuji
sikap itu. Bahkan di dalam hatinya ia berkata, “Agaknya anak muda ini mempunyai
sifat seorang pemimpin. Agak berbeda dengan Kakang Agung Sedayu yang lebih
senang merendahkan dirinya dan bertingkah laku sebagai seorang pelayan.”
Tetapi Agung Sedayu sama
sekali tidak menyadarinya. Ia adalah seorang anak muda yang rendah hati, yang
tidak menolak kerja apa saja yang harus dilakukannya. Namun justru karena itu,
maka Sekar Mirah menjadi kecewa karenanya.
Dalam pada itu, setelah
keramaian di Sangkal Putung mulai mereda meskipun masih juga terdapat beberapa
pertunjukan di pendapa kademangan, Widura dengan hati yang berdebar-debar pergi
ke Sangkal Putung. Atas permintaan Untara, maka Widura membawa dua orang
pengawal yang akan dapat membantunya jika di perjalanan mereka menjumpai
sesuatu yang tidak dikehendaki.
Tetapi jalan ke Sangkal Putung
dari Jati Anom nampaknya memang sudah benar-benar aman. Mereka tidak menjumpai
gangguan apa pun juga. Bahkan mereka melihat orang-orang yang sibuk bekerja di
sawah yang digenangi air.
Kedatangan Widura di
Kademangan Sangkal Putung ternyata diterima Ki Demang yang memang mengharapkan,
bahwa masih akan hadir seorang tamu dari Jati Anom.
Sejenak mereka saling
menanyakan keselamatan masing-masing karena sudah agak lama mereka tidak
bertemu.
“Maaf Ki Demang,” berkata
Widura kemudian, “aku berhalangan datang saat kedua pengantin dipertemukan
dalam upacara ngunduh beberapa hari yang lalu.”
Ki Demang tersenyum. Jawabnya,
“Doa keluarga di Banyu Asri telah melimpah bagi keluarga di Sangkal Putung.
Semuanya sudah berjalan dengan selamat sesuai dengan rencana.”
Widura mengangguk-angguk.
Untuk beberapa saat mereka masih berbicara tentang sepasang pengantin yang
nampaknya dapat saling menyesuaikan diri.
“Pandan Wangi agaknya menjadi
kerasan di sini,” berkata Ki Demang.
“Syukurlah. Mudah-mudahan
untuk seterusnya kedua pengantin itu akan menemukan kebahagiaan.”
Dalam saat-saat mereka
berbicara dengan asyiknya, Sekar Mirah telah menghidangkan minuman panas dan
makanan bagi tamunya. Sementara Ki Demang pun segera mempersilahkannya.
Sekilas Widura memandang Sekar
Mirah yang beringsut surut setelah meletakkan hidangan. Sambil tersenyum Widura
berkata, “Berapa lama aku tidak melihat Sekar Mirah. Kini kau sudah benar-benar
seorang gadis dewasa.”
Sekar Mirah menjadi
tersipu-sipu. Kepalanya tunduk dalam-dalam. Sepercik warna merah telah mewarnai
pipinya yang terasa panas.
“Ya,” Ki Demang-lah yang
menjawab, “ia memang sudah merasa seorang gadis dewasa.”
“Ah,” Sekar Mirah berdesah
sambil dengan tergesa-gesa meninggalkan pendapa.
Ki Widura tertawa. Sekilas
dipandanginya wajah kemanakannya yang ikut duduk di pendapa itu bersama
Swandaru, Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar.
Sejenak kemudian pembicaraan
pun menjadi semakin ramai. Sekali-sekali pembicaraan itu menyentuh keadaan di
Kademangan Sangkal Putung pada saat terakhir. Namun kemudian pembicaraan itu
pun kembali lagi kepada pengantin yang masih dalam suasana keramaian itu.
Meskipun nampaknya sekali-sekali
ikut pula tertawa, namun terasa keringat dingin mengalir di punggung Agung
Sedayu. Agaknya ia mempunyai tanggapan yang tepat tentang kehadiran pamannya.
Justru beberapa hari setelah kakaknya menunjukkan sikap yang kurang senang
terhadapnya.
Karena itulah, maka di antara
senyum dan tertawa di bibirnya. Agung Sedayu pun merasa dadanya semakin lama
menjadi semakin pepat.
Sekar Mirah yang kemudian
berlari ke ruang dalam sempat berhenti sejenak mencubit lengan Pandan Wangi
yang duduk di antara beberapa orang perempuan yang masih sibuk. Namun, ia tidak
mengatakan apa-apa. Gadis itu langsung turun ke halaman belakang dan pergi ke
longkangan.
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya ketika ia melihat Prastawa yang memasuki longkangan itu pula dari
halaman samping.
“Siapakah tamu itu?” bertanya
Prastawa.
“Paman Widura,” jawab Sekar
Mirah.
“Ya, tetapi siapa? Seorang
senapati? Seorang demang?”
“Jelas bukan seorang senapati.
Ia tidak berpakaian seorang prajurit.”
“Mungkin ia seorang perwira
prajurit. Tetapi karena ia datang ke tempat keramaian pengantin, maka ia tidak
mengenakan pakaian seorang perwira.”
Tetapi Sekar Mirah menggeleng.
Katanya, “Ia memang bekas seorang perwira. Tetapi sekarang ia bukan lagi
seorang prajurit.”
Prastawa mengangguk-angguk. Lalu,
“Apakah keperluannya datang kemari? Apakah sekedar menengok Swandaru atau ada
keperluan lain?”
“Ia paman Kakang Agung
Sedayu,” jawab Sekar Mirah.
Prastawa mengerutkan
keningnya. Dengan serta-merta ia bertanya, “Kenapa ia kemari?”
Sekar Mirah heran mendengar
pertanyaan itu. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian ialah yang bertanya,
“Kenapa kau bertanya begitu? Bukankah Kakang Swandaru masih dalam suasana
upacara ngunduh pengantin?”
Prastawa termangu-mangu. Lalu
katanya, “Tetapi kenapa ia baru datang sekarang, setelah keramaian hampir
selesai seluruhnya.”
“Tentu aku tidak tahu
sebabnya. Mungkin Paman Widura berhalangan hadir sampai saat ini. Mungkin ada
persoalan-persoalan lain yang aku tidak mengetahui.”
Prastawa memandang wajah Sekar
Mirah dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian berkata, “Aku akan ikut menemuinya
di pendapa.”
“He? Kenapa kau akan ikut
menemuinya? Kau belum pernah mengenalnya.”
“Apa salahnya? Aku akan
memperkenalkan diriku.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Sejenak ia terkenang apa yang pernah terjadi di daerah yang luas di
sekitar Gunung Merapi. Pertempuran yang pernah membakar daerah di sekitar
Sangkal Putung, namun yang kemudian menjalar sampai ke Tambak Wedi. Saat
Sidanti masih dengan garangnya menggenggam senjata bersama gurunya sebelum ia
terdesak dan bergeser keseberang Kali Praga, mencari kekuatan di kampung
halamannya. Di antara pendukungnya adalah pamannya, Ki Argajaya, ayah Prastawa.
“Apakah Prastawa akan menyebut
dirinya anak Ki Argajaya?” bertanya Sekar Mirah di dalam hatinya. “Lalu
bagaimanakah tanggapan mereka tentang anak Ki Argajaya.”
Justru karena Sekar Mirah
nampak merenung, Prastawa masih tetap berada di tempatnya. Dengan heran ia
kemudian bertanya, “Apakah yang sedang kau pikirkan?”
Sekar Mirah termangu-mangu.
Namun katanya kemudian, “Apakah kau merasa perlu untuk menemui mereka yang
berada di pendapa itu?”
Prastawa tiba-tiba saja
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Agaknya kau berpikir tentang aku.
Tentang ayahku yang pernah berada di daerah ini, terutama di Padepokan Tambak
Wedi. Apa salahnya aku menyebut kenyataan tentang diriku. Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, Ki Waskita, dan bahkan Ki Demang sudah mengetahui siapa aku.”
“Tetapi Ki Widura dan Untara
belum.”
“Aku tidak peduli, apakah
mereka akan menganggap aku seperti juga ayahnya. Tetapi aku tidak dapat ingkar,
bahwa aku adalah anak Argajaya.”
Sekar Mirah terdiam sejenak.
Baginya sikap itu menunjukkan sikap yang jantan. Namun ia masih memikirkan
akibatnya jika ada orang yang tidak dapat mengendalikan perasaannya.
Karena Sekar Mirah masih tetap
ragu-ragu, maka Prastawa pun kemudian berkata, “Baiklah, Mirah. Aku tidak akan
ikut menemui Ki Widura itu di pendapa. Mudah-mudahan benar yang kau katakan,
bahwa kedatangannya adalah sekedar menengok Swandaru dan Pandan Wangi karena ia
tidak sempat datang pada hari yang pertama.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Lalu tiba-tiba saja ia tertawa sambil bertanya, “He, kau kira ia mau
apa?”
Prastawa memandang Sekar Mirah
dengan tatapan mata yang aneh. Namun kemudian wajahnya tertunduk dalam-dalam.
Perlahan-lahan ia bergeser sambil bergumam seolah-olah ditujukan kepada diri
sendiri, “Aku akan ke gandok.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Dipandanginya saja Prastawa yang melangkah meninggalkannya. Anak muda itu menundukkan
kepalanya dan tanpa berpaling ia hilang di balik pintu longkangan.
Sekar Mirah masih berdiri
termangu-mangu. Sesuatu terasa bergejolak di dalam hatinya. Tetapi Sekar Mirah
tidak mau memikirkannya lebih panjang. Karena itulah maka ia pun segera masuk
kembali ke dapur dan menenggelamkan diri dengan kerja bersama
perempuan-perempuan yang sibuk membantu ibunya.
Di pendapa, orang-orang tua
itu masih saja berbincang tentang berbagai macam persoalan. Namun nampaknya
pembicaraan mereka benar-benar pembicaraan orang-orang tua sehingga persoalan
yang mereka percakapkan pun adalah persoalan yang banyak menyangkut masalah
orang-orang tua.
Namun demikian setiap kali
Widura memandang Agung Sedayu yang menjadi semakin gelisah. Keringatnya semakin
banyak mengalir membasahi pakaiannya.
Apalagi ketika Widura kemudian
berkata kepadanya, “Agung Sedayu. Nampaknya kau ikut sibuk pula selama
hari-hari perkawinan saudara seperguruanmu.”
Agung Sedayu mencoba
tersenyum. Tetapi terasa suaranya tersangkut di kerongkongan.
“Saudaramu di Jati Anom sudah
merasa rindu kepadamu. Apakah kau tidak ingin sekali-kali menengok Jati Anom?
Jalan-jalan yang di sebelah-menyebelah ditumbuhi pohon turi itu kini sedang
kembang. Setiap hari banyak sekali anak-anak yang mencari bunganya yang lebat.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“He, Agung Sedayu. Bukankah
kau sekali-sekali ingin juga melihat kampung halamanmu itu?”
Agung Sedayu mengangguk.
Ketika sekilas ia memandang wajah gurunya, dilihatnya gurunya itu tersenyum.
“Jika kau ingin pergi juga
barang satu dua hari ke Jati Anom atau ke Banyu Asri, marilah, nanti kita pergi
bersama-sama,” sambung Widura.
Nampak keragu-raguan yang
sangat membayang di wajah Agung Sedayu. Namun sebelum ia menjawab, Ki Demang
sudah mendahuluinya, “Tetapi keramaian hari perkawinan Swandaru belum selesai.
Kita masih akan merayakannya malam nanti.”
Ki Widura tertawa. Katanya,
“Bukankah Agung Sedayu sudah cukup mengikuti keramaian di Tanah Perdikan
Menoreh dan di Kademangan Sangkal Putung? Meskipun demikian terserah kepada
Agung Sedayu sendiri. Aku hanya menyampaikan pesan kawan-kawan bermain,
saudara-saudaranya dan keluargaku sendiri di Banyu Asri.”
Ki Demang memandang Agung
Sedayu sejenak. Nampak kegelisahan yang sangat sedang mencengkam perasaan Agung
Sedayu. Berbagai macam persoalan telah menggelepar di dalam dadanya.
“Tentu kau tidak akan
tergesar-gesa,” berkata Ki Demang.
Agung Sedayu tidak segera
dapat menjawab. Setiap kali ia memandang wajah pamannya dan berpindah ke wajah
Ki Demang, hatinya serasa terguncang.
Dalam kegelisahan itu,
seolah-olah Agung Sedayu ingin melarikan dirinya. Itulah sebabnya maka kemudian
dipandanginya wajah gurunya, wajah Ki Sumangkar, dan Ki Waskita.
Namun dalam pada itu, yang
terdengar adalah suara Swandaru, “Paman, agaknya Agung Sedayu masih tetap ingin
tinggal beberapa lama lagi di Sangkal Putung.”
Ki Widura mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum sambil bertanya kepada Agung Sedayu,
“Apakah demikian Agung Sedayu?”
Ternyata Agung Sedayu menjadi
semakin bingung. Tetapi sekali lagi Swandaru berkata, “Kau tetap di sini,
Kakang. Aku memerlukanmu.”
Jawaban itu benar-benar telah
menggetarkan hati Ki Widura. Hanya karena umurnya yang sudah cukup masak
seperti juga sikapnya, maka di wajahnya sama sekali tidak nampak perubahan
kesan perasaannya.
Rasa-rasanya Agung Sedayu
seperti duduk di atas bara. Sekali lagi ia memandang wajah gurunya, seolah-olah
minta agar gurunya memberikan jawaban yang dapat sekedar memberinya kesempatan
untuk bernafas.
“Ki Widura,” berkata Kiai
Gringsing kemudian yang agaknya mengerti perasaan muridnya, “sebenarnyalah
bahwa keluarga di Jati Anom tentu sudah rindu kepada Agung Sedayu. Namun apakah
Ki Widura sendiri tidak akan tinggal satu atau dua malam di Kademangan ini?”
“O,” Widura tertawa, “tentu
tidak, Kiai. Aku harus segera kembali.”
“Sebenarnya Agung Sedayu juga
sudah sering berkata kepadaku, bahwa ia sekali-sekali ingin menengok kampung
halamannya. Tetapi rupa-rupanya ia selalu disibukkan oleh persoalan-persoalan
yang setiap saat timbul di kademangan ini. Apalagi kini. Karena itu, apakah Ki
Widura berkeberatan jika Agung Sedayu menunggu sampai keramaian ini selesai?”
Widura mengangguk-angguk.
Tetapi sekali lagi ia mengembalikan persoalannya kepada Agung Sedayu,
“Terserahlah kepadamu, Agung Sedayu.”
Namun ketegangan di hati
Widura terasa semakin memuncak ketika Swandaru menjawab, “Paman. Sebaiknya
Paman tidak usah memaksa atau menyudutkan Kakang Agung Sedayu ke dalam
kesulitan. Seandainya Kakang Agung Sedayu ingin pergi sekalipun, aku akan
berkeberatan, karena aku justru saat ini sangat memerlukannya.”
“Apakah yang dapat dilakukan
Agung Sedayu di sini?” bertanya Widura. Nada suaranya sama sekali tidak berubah
dan senyumnya masih juga menghiasi bibirnya.
“Banyak sekali yang dapat
dilakukannya. Agaknya jika Kakang Agung Sedayu tidak ada di Kademangan Sangkal
Putung saat keramaian ini, banyak pekerjaan yang terbengkelai.”
“Apakah begitu?” bertanya
Widura.
“Ya, Paman. Kakang Agung
Sedayu ternyata mampu membagi kerja di antara anak-anak muda Sangkal Putung.”
Ki Widura mengangguk-angguk.
Sambil memandang Agung Sedayu ia bertanya, “Apakah benar begitu, Agung Sedayu?
Jika benar, maka aku ternyata beruntung sekali. Jika kelak aku mempunyai
keperluan apa pun juga, aku sudah mempunyai seorang tenaga yang akan mampu
mengendalikan perelatan itu.”
“Ah,” desis Agung Sedayu.
“Maksudku, Kakang Agung Sedayu
mempunyai kesigapan berpikir,” potong Swandaru, “bukan berarti Kakang Agung
Sedayu harus melaksanakannya sendiri.”
“Tetapi agaknya Agung Sedayu
juga mampu melakukannya,” sahut Widura.
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun Ki Demang-lah yang kemudian menjawab, “Bagi Swandaru, Agung
Sedayu adalah orang yang paling akrab karena ia adalah seperguruan.”
Widura mengangguk-angguk pula.
Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bagiku semuanya tergantung sekali kepada Agung
Sedayu. Meskipun Anakmas Swandaru memerlukannya, tetapi Agung Sedayu ingin
kembali ke Jati Anom, mungkin sehari dua hari, atau bahkan seterusnya pun tentu
tidak akan dapat menahannya.”
Wajah Swandaru tiba-tiba saja
menjadi merah. Ia merasa tersinggung oleh jawaban Widura. Tetapi ia pun
mengakui bahwa yang dikatakan oleh Widura itu adalah benar.
Kiai Gringsing-lah yang
kemudian dengan tergesa-gesa menjawab, “Agaknya memang demikian. Semuanya
terserah kepada Agung Sedayu. Tetapi aku dan orang-orang tua yang selalu
berhubungan dengan Agung Sedayu bukan saja lahiriah, tetapi juga batin, tentu
saja dapat ikut memberikan pendapat barang sedikit kepadanya.”
“Tentu, Kiai,” jawab Widura,
“semua pendapat dan barang kali permintaan akan menjadi bahan pertimbangan
Agung Sedayu. Tetapi tidak seorang pun yang dapat menahannya jika ia memang
menghendaki. Kecuali jika Kiai Gringsing ingin mempergunakan wewenang Kiai
sebagai seorang guru yang harus dipatuhi oleh muridnya. Jika demikian maka Kiai
memang dapat memaksakan kehendak Kiai kepada anak muridnya.”
“Ah,” desah Kiai Gringsing,
“tentu bukan maksudku. Sebenarnyalah bagi aku semuanya kembalikan saja kepada
Agung Sedayu. Sebenarnya aku juga menganjurkannya untuk barang sehari dua hari
menengok kampung halaman meskipun tidak terlalu sering.”
“Nah, itulah Kiai.”
“Tetapi jika kunjungan itu
ditunda barang sehari dua hari dari kini, apakah ada keberatannya?”
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Ternyata bahkan pembicaraan itu sudah merambat semakin jauh. Ia
tidak sekedar datang mencari kesempatan untuk berbicara dengan Agung Sedayu
sendiri. Tetapi ia telah terdorong dalam suatu pembicaraan yang terbuka tentang
Agung Sedayu, seolah-olah Agung Sedayu merupakan seseorang yang sedang dalam
kedudukan yang harus ditentukan oleh orang lain.
Namun dalam pada itu,
sebenarnyalah Agung Sedayu menjadi bingung. Ia kini merasa, betapa kecilnya
dirinya di antara orang-orang yang sedang berbicara tentang dirinya. Mereka adalah
orang-orang yang dapat menentukan sikap setidak-tidaknya tentang diri mereka
sendiri.
“Tetapi aku?” pertanyaan itu
melonjak di hati Agung Sedayu.
Dalam keadaan seperti yang
sedang mencengkamnya Agung Sedayu merasa, bahwa sifat-sifatnya tidak menentu
ternyata telah membuatnya bagaikan kapuk yang pecah dari kulitnya ditiup angin
yang kencang.
Jantungnya terasa bagaikan
disengat ketika ia mendengar pamannya berkata, “Semuanya tergantung kepada
keputusanmu, Agung Sedayu, tidak kepada orang lain. Gurumu, satu-satunya orang
yang berhak menentukan sesuatu tentang dirimu, karena kau adalah muridnya,
sudah berkata kepadaku, bahwa segala sesuatunya tergantung kepadamu.”
Terasa beban di hatinya
menjadi semakin berat, sehingga seolah-olah Agung Sedayu tidak kuat lagi
membawanya. Keringat dingin bagaikan terperas di punggungnya.
“Katakanlah.”
Agung Sedayu beringsut
setapak. Baru kemudian dengan suara yang sendat ia berkata, “Maaf, Paman. Aku
memang akan kembali ke Jati Anom. Tetapi mungkin aku terpaksa menunggu sampai
keramaian di kademangan ini selesai.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Demikian juga Ki Demang dan beberapa orang lain. Namun Ki
Sumangkar dan Ki Waskita, bahkan Kiai Gringsing sendiri harus melihat, bahwa
sebenarnyalah Agung Sedayu masih juga dicengkam oleh sifat-sifatnya semasa
kanak-kanak, seperti juga Swandaru dalam ujudnya yang lain.
Ternyata bahwa Agung Sedayu
merasa sangat sulit untuk menentukan sikap. Ia merasa sangat berat menjatuhkan
pilihan karena pertimbangan yang berbelit-belit. Ia tidak dapat dengan tegas
mengatakan “ya” atau sambil menggeleng menjawab “maaf, Paman. Aku tidak dapat.”
Tetapi ternyata jawaban Agung
Sedayu penuh keragu-raguan yang tidak menentu.
Widura sendiri juga menarik
nafas. Ia menyadari kesulitan perasaan yang dialami Agung Sedayu. Namun seperti
orang-orang lain, ia melihat kelemahan yang ada di dalam pribadi kemanakannya
itu.
Ternyata Widura adalah seorang
yang berhati lapang. Ia mencoba untuk memahami keadaan, sehingga karena itu,
maka sambil tersenyum ia berkata, “Kau sudah mengambil keputusan, Agung Sedayu.
Terserahlah kepadamu. Sudah tentu aku tidak akan dapat memaksamu, seperti
orang-orang lain tidak akan dapat memaksamu pula seandainya akan mengambil
keputusan lain, karena kau adalah orang yang paling menentukan bagi dirimu
sendiri.”
Nampak wajah Agung Sedayu
menegang sejenak. Namun kemudian wajah itu pun segera menunduk dalam-dalam.
Sekilas terbayang wajah Rudita
yang jernih seperti air di sumbernya yang bening. Tetapi ia sudah mengambil
keputusan yang bulat. Tidak seorang pun yang dapat menggoyahkannya lagi
Dalam pada itu, orang-orang
tua yang ada di pendapa menilai betapa lapang hati Widura. Ia sama sekali tidak
menunjukkan kekecewaannya atas keputusan Agung Sedayu. Bahkan ia masih saja
tersenyum dan menanggapinya dengan sikap yang tidak berubah.
Sejenak orang-orang tua di
pendapa itu masih berbincang, tetapi bagi Agnng Sedayu, rasa-rasanya ia telah
duduk berhari-hari sehingga tubuhnya menjadi sangat penat, meskipun ia sadar,
bahwa hatinyalah yang sebenarnya merasa sangat letih.
Ternyata bahwa Widura tidak
terlalu lama berada di Sangkal Putung. Beberapa saat kemudian ia pun minta
diri. Ia masih sempat berkata kepada Agung Sedayu, “Kami menunggu kedatanganmu,
Sedayu.”
Agung Sedayu mengangguk kecil.
Ia mencoba untuk menjawab, tetapi rasa-rasanya suaranya tersumbat di
kerongkongan.
Namun demikian ketika Widura
turun ke halaman, diikuti oleh beberapa orang, Agung Sedayu sempat mendekati
pamannya dan berkata perlahan-lahan, “Maafkan aku, Paman.”
Widura melangkah lebih cepat
menuju ke kudanya untuk mengambil jarak dari orang-orang yang mengikutinya
meskipun ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan yang kurang pada tempatnya
sambil berkata, “Tetapi kakakmu benar-benar memerlukan kau.”
Agung Sedayu mengangguk.
Ketika pamannya berhenti, ia pun berhenti pula.
“Pikirkan, Agung Sedayu. Kau
adalah seorang anak muda yang meningkat dewasa. Sebentar lagi kau akan menjadi
lanjaran sebuah keluarga baru. Apakah yang dapat kau berikan kepada keluargamu
jika kau masih tetap seorang anak muda yang hanya dapat bertualang meskipun
dengan tujuan yang baik?”
Agung Sedayu tidak menjawab,
sedangkan pamannya pun tidak melanjutkannya, karena beberapa orang telah
menyusulnya.
“Ah,” desis Widura, “aku
memberikan sedikit pesan kepada Agung Sedayu agar ia segera menengok kami
sekeluarga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku akan memperingatkannya agar ia melakukannya
segera setelah semuanya selesai di sini.”
Widura mengangguk-angguk.
Hampir saja ia berdesis, kenapa semuanya masih harus tergantung keadaan di
Sangkal Putung. Tetapi niat itu pun diurungkannya. Bahkan sambil tersenyum ia
pun kemudian sekali lagi minta diri.
Sejenak kemudian Widura telah
berada di perjalanan kembali ke Jati Anom. Wajahnya nampak tegang oleh
angan-angan yang bergelut di dalam hati. Bahkan ia pun menjadi sangat cemas
seperti Untara, bahwa Agung Sedayu akan menjumpai kesulitan dalam perjalanan
hidupnya. Bukan saja karena Agung Sedayu masih belum mempunyai tempat untuk
hinggap, tetapi juga karena Widura menyadari bahwa Sekar Mirah adalah seorang
gadis yang tinggi hati dan digeluti oleh angan-angan yang membubung tinggi,
setinggi awan yang berserakan di langit.
“Tetapi tidak sebaiknya Untara
bertindak dengan kemarahan yang tidak terkendali menghadapi adiknya yang
mempunyai sifat dan cita-cita yang lain dari dirinya itu,” berkata Widura di
dalam hati.
Dengan para pengawalnya Widura
tidak banyak berbicara. Hanya sepatah-sepatah saja apabila Widura menjumpai
sesuatu yang sangat menarik perhatiannya.
Ketika Widura kemudian sampai
di Jati Anom, maka dengan hati-hati sekali ia menyampaikan segala sesuatu
mengenai perjalanannya ke Sangkal Putung.
Nampak kekecewaan yang sangat
membayang di wajah Untara. Namun ternyata bahwa Widura masih berhasil meredakan
hati senapati muda itu dan berkata, “Kita menunggu barang satu dua hari.
Sebagai umumnya anak muda, ia tentu masih terikat kepada keramaian yang
diadakan di Sangkal Putung. Bukan semata-mata karena Agung Sedayu merasa
dirinya terikat oleh Sekar Mirah atau Swandaru. Tetapi keramaian dan segala
macam rangkaiannya itulah yang agaknya telah menahannya barang satu dua hari.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia merasa bahwa lebih baik Agung Sedayu tertahan, karena
keinginannya melihat keramaian di Sangkal Putung daripada karena ia harus
melakukan banyak pekerjaan selama keramaian itu berlangsung.
“Aku akan menunggu barang satu
dua hari, Paman,” berkata Untara, “namun setelah satu dua hari itu lewat, kita
tidak akan dapat terus-menerus menunggu saja. Kita tidak dapat menyerahkan
segala sesuatunya kepada Agung Sedayu sendiri meskipun ia sudah dewasa. Pada
suatu saat kita harus meyakinkannya, bahwa dengan menghambakan diri di
Kademangan Sangkal Putung ia tidak akan mendapatkah apa pun juga di masa
depannya.”
Widura mengangguk-angguk.
Tetapi ia benar-benar menjadi cemas, bahwa pada suatu saat kedua kakak beradik
itu akan saling mempertahankan sikap dan pendirian masing-masing sehingga akan
timbul keretakan pada keduanya. Pada kedua anak laki-laki Ki Sadewa.
“Mudah-mudahan tidak terjadi,”
desis Ki Widura. “Jika terjadi demikian, maka nama Ki Sadewa akan pudar pada
keturunannya yang pertama. Bukan karena kedua anak laki-lakinya tidak memiliki
ilmu yang memadai seperti ayahnya, tetapi justru karena kedua anak laki-lakinya
telah saling bertengkar sehingga mereka kehilangan kesempatan untuk menjunjung
nama baik ayahnya.”
Dalam pada itu, sepeninggal
Widura, Agung Sedayu benar-benar menjadi bingung. Tetapi ia berusaha untuk
menutupi segala macam kerisauannya agar tidak menimbulkan kesan yang semakin
meragukan tentang dirinya.
Namun demikian, Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita tidak dapat dikelabuinya, sehingga
orang-orang tua itu seolah-olah ikut serta dalam kegelisahan hati anak muda
itu.
Dalam kegelisahan yang
mencengkam, di luar sadarnya, Agung Sedayu telah melangkahkan kakinya seorang
diri menyusuri jalan kademangan. Tidak seorang pun yang mengetahui, bahwa ia
telah meninggalkan halaman karena hampir setiap orang di kademangan itu pun kemudian
mempunyai kesibukannya masing-masing, sedang orang-orang tua pun telah
dipersilahkan beristirahat di gandok.
Setiap kali seorang anak muda
menegurnya, Agung Sedayu terkejut dan sambil tergagap ia menjawab apa saja yang
terlontar dari mulutnya.
“Aku hanya ingin
berjalan-jalan,” jawabnya ketika seorang pengawal bertanya kepadanya.
Tetapi di saat lain, ketika
seorang laki-laki bertanya, kemana ia akan pergi, maka jawabnya, “Aku akan
pergi ke sawah, Paman.”
“He? Untuk apa?”
Barulah Agung Sedayu menyadari
bahwa jawabnya memang agak mengherankan. Namun sambil tersenyum Agung Sedayu
berusaha memperbaiki kesalahannya, “Maksudku aku akan berjalan-jalan ke bulak
sebelah, Paman. Aku merasa sangat letih oleh keramaian yang masih belum
selesai.”
Laki-laki itu
mengangguk-angguk. Meskipun ada sedikit keragu-raguan atas jawaban itu, namun
ia tidak bertanya lebih banyak lagi.
Sementara ketika orang lain
lagi bertanya, Agung Sedayu menjawab, “Aku akan menengok para pengawal dan
mereka yang terluka di banjar kademangan.”
Yang bertanya pun menjadi
heran. Apalagi langkah Agung Sedayu nampaknya memang tidak menentu. Tetapi ia
tidak bertanya lebih lanjut.
Namun sebenarnyalah bahwa
Agung Sedayu pun kemudian sampai ke bulak di sebelah padukuhan induk Kademangan
Sangkal Putung. Ia melangkah perlahan-lahan sambil memandangi tanah yang basah
dengan tanaman yang hijau segar. Ketika angin bertiup perlahan-lahan, maka
seolah-olah seluruh bulak itu bergerak-gerak bagaikan ombak lautan yang lembut
mengalir dari ujung sampai ke ujung.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Terasa udara yang sejuk mengusap tubuhnya. Namun udara yang sejuk
itu tidak mampu mempengaruhi hatinya yang gelisah. Ia masih saja merasa dikejar
oleh persoalan yang tidak berkeputusan.
“Aku tidak mau menjadi
prajurit Pajang,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu ia pun tidak tahu
apa yang harus dikerjakannya, karena ia harus menyadari sepenuhnya, jika saat
perkawinannya tiba, ia harus bukan lagi anak muda yang hanya bertualang tanpa
ujung dan pangkal.
Kegelisahan yang sangat telah
mencengkam jantungnya. Seolah-olah ia dihadapkan pada suatu jalan simpang yang
tidak dikenalnya, sehingga amat sulitlah baginya untuk memilih arah.
Agung Sedayu masih berjalan
terus. Sekali-sekali ia terkejut jika ada satu dua orang yang menegurnya.
Seperti yang sudah dilakukannya, maka seolah-olah ia menjawab apa saja yang
terlontar dari mulutnya.
Agung Sedayu terhenti ketika
seseorang memanggilnya dari sebelah pematang. Ketika ia berpaling dilihatnya
dua orang duduk di atas sebuah batu padas.
“Ke mana Agung Sedayu?” salah
seorang dari kedua orang itu bertanya.
Seperti yang sudah
dilakukannya maka ia menjawab sambil mengangguk kecil, “Ke banjar.”
“Ke banjar yang mana? Ke
banjar padukuhan induk atau ke banjar padukuhan sebelah.”
Seperti tanpa berpikir lagi
Agung Sedayu menjawab, “Ke banjar padukuhan sebelah. Aku ingin melihat para
tawanan yang sedang disiapkan untuk diserahkan kepada prajurit Pajang.”
Salah seorang dari kedua orang
itu bertanya pula, “Sendiri?”
“Ya sendiri,” Agung Sedayu
berjalan terus. Ia tidak begitu tertarik kepada setiap orang yang bertanya
kepadanya.
Namun satu dua langkah
kemudian ia berhenti. Ada sesuatu yang seakan-akan telah mengejutkannya
sehingga tiba-tiba saja ia berhenti dan sekali lagi berpaling kepada kedua
orang itu.
Jantung Agung Sedayu bagaikan
berhenti berdegup. Sejenak ia memandang kedua orang itu berganti-ganti. Seorang
dari kedua orang itu masih muda, sedang yang lain sudah setua gurunya.
“Tuan,” desisnya.
Agung Sedayu pun dengan
tergesa-gesa melangkah kembali. Dengan serta-merta ia menyambut tangan anak
muda yang diulurkannya itu kepadanya. Kemudian tangan orang tua yang duduk di
sebelahnya itu.
“Tuan. Jadi Tuan berada di
sini?”
Anak muda itu tersenyum.
Katanya, “Duduklah. Aku tidak mengira bahwa aku dapat bertemu denganmu
sekarang.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian duduk di hadapan anak muda itu.
“Bagaimana keadaanmu anak
muda?” bertanya orang tua itu.
“Baik, baik Kiai. Aku selamat.
Bagaimana dengan Kiai?”
“Sebagaimana kau lihat. Kami
berdua dalam keadaan baik. Dan bagaimana dengan gurumu dan saudaramu
seperguruan?”
“Semuanya baik, Kiai. Swandaru
baru dalam suasana keramaian hari perkawinannya.”
“Aku melihat,” jawab anak muda
itu, “semalam aku melihat keramaian di pendapa kademangan.”
“O.”
“Sangat menarik. Perelatan
perkawinan Swandaru diselenggarakan dengan segala macam keramaian dan
kegembiraan meskipun harus jatuh beberapa korban.”
“Ya,” jawab Agung Sedayu,
“kedatangan Swandaru ke kademangannya telah disambut dengan ujung senjata.”
“Lalu bagaimana dengan kau?”
bertanya anak muda itu.
Agung Sedayu menarik nafas.
Namun kemudian ia pun menghindar sambil berkata, “Marilah. Marilah Raden aku
persilahkan pergi ke kademangan bersama Kiai. Ki Demang, Guru, dan orang-orang
tua tentu akan senang sekali menerima kedatangan Raden dan Kiai berdua.”
Tetapi anak muda itu tersenyum
sambil menggelengkan kepalanya, “Maaf, Agung Sedayu. Bukannya aku menolak
undangan ini, aku masih dalam perjalanan pengembaraanku. Aku masih merasa bahwa
belum saatnya bagiku untuk menerima undangan seperti ini. Tetapi pada saatnya
nanti aku tentu akan berkunjung ke Sangkal Putung.”
“Tetapi Raden hanya singgah.
Bukan menghentikan pengembaraan yang memang sedang Raden lakukan sebagai suatu
cara yang barangkali akan membajakan kemampuan Raden lahir dan batin.”
Anak muda itu tersenyum.
Katanya, “Terima kasih. Tetapi belum sekarang. Aku harap kau dapat mengerti.”
Ia berhenti sejenak lalu, “Untuk menghindarkan salah paham, maka sebaiknya kau
tidak usah mengatakan kepada Swandaru dan Ki Demang bahwa aku berada di sini
sekarang.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak akan
singgah.”
“Jadi?”
“Kau tidak usah mengatakan
apa-apa tentang aku.”
“Kepada Guru?”
“Jika kau anggap perlu,
katakanlah kepada gurumu. Tetapi hanya kepada gurumu. Dan kau pun harus
berpesan kepadanya, bahwa sebaiknya ia tidak mengatakan kepada siapa pun juga.”
“Tetapi di manakah Raden
bermalam di daerah ini?”
Anak muda itu tertawa.
Katanya, “Kau aneh, Agung Sedayu, langit begitu luas. Kenapa aku bingung
menempatkan diriku yang kecil ini? Aku dan Paman dapat tinggal di mana saja.
Sudah terbiasa bagi kami untuk tidur berselimutkan mega beratapkan langit.”
“Ah,” Agung Sedayu berdesah.
Tetapi anak muda itu masih
tertawa. Katanya, “Aku berkata sebenarnya. Dalam pengembaraan ini, aku memang
tidak boleh berada di bawah atap kandang sekalipun. Dan aku sudah berhasil
melakukan untuk waktu yang lama, sehingga yang tersisa harus aku selesaikan.
Mudah-mudahan pengembaraan ini merupakan tempaan bagiku lahir dan batin,
sehingga akan merupakan bekal yang berharga buat masa depanku.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Namun sekali lagi ia terlempar pada keburaman masa depannya
sendiri meskipun ia berusaha untuk menyembunyikannya.
Untuk beberapa saat Agung
Sedayu diam tertunduk karena kilasan angan-angan tentang masa depannya. Ia
menengadahkan kepalanya ketika ia mendengar anak muda yang duduk di pematang
itu berkata, “Agung Sedayu. Sekarang Sangkal Putung sedang meramaikan hari
perkawinan Swandaru. Bukankah begitu?”
“Ya,” jawab Agung Sedayu
kosong.
“Bukankah itu berarti bahwa
sebentar lagi Sangkal Putung akan mengadakan keramaian lagi dalam hari-hari
perkawinanmu?”
“Ah,” desah Agung Sedayu, “aku
belum memikirkannya, tetapi secepat-cepatnya tentu setelah hari perkawinan ini
lewat setahun.”
“Kenapa lewat setahun?”
bertanya anak muda itu.
“Pantang bagi seseorang yang
mengadakan perelatan perkawinan anaknya setahun sampai dua kali.”
Anak muda itu tertawa.
Jawabnya, “Bukan pantang mengadakan perelatan perkawinan setahun dua kali.
Tetapi jika demikian akan berarti kesulitan untuk mengumpulkan biayanya.
Kecuali orang yang memang kaya sekali. Itu pun merupakan pekerjaan yang berat
jika perelatan itu diselenggarakan seperti yang diselenggarakan di Sangkal
Putung sekarang ini.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam.
“Katakanlah, dengan demikian
setahun lagi kau akan mengalami masa seperti yang ditempuh Swandaru sekarang.”
Tetapi Agung Sedayu
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Masih banyak sekali yang harus aku
pertimbangkan. Aku adalah seorang petualang yang belum mempunyai pegangan bagi
masa depanku. Jika aku kawin, itu berarti aku akan merendahkan diriku karena
aku akan menjadi beban bagi istriku atau mertuaku.”
Anak muda itu tertawa, sedang
yang tua menyahut, “Ternyata kau bijaksana. Itu adalah pikiran seorang
laki-laki. Dan kau harus berusaha agar kau tidak jatuh ke dalam keadaan seperti
itu.”
“Itulah yang membuat aku
kadang-kadang kebingungan, Kiai,” jawab Agung Sedayu.
“Kakakmu seorang Senapati
Agung.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Namun jawabnya kemudian, “Aku tidak ingin menjadi seorang prajurit di Pajang.”
“Kenapa?”
Agung Sedayu termenung
sejenak. Ia sendiri tidak begitu mengerti kenapa ia tdak ingin menjadi seorang
prajurit. Apalagi di Pajang. Agaknya setiap kali gurunya berbicara tentang
Pajang dan kekurangannya, hatinya sudah terpengaruh meskipun ia tidak mutlak
menolak kehadiran Pajang untuk selanjutnya.
Namun ternyata ada juga
terselip keragu-raguannya bahwa jika kelak ia berhasil mendapatkan tempat yang
baik di dalam lingkungan keprajuritan, maka setiap orang akan mengatakan, bahwa
ia berhasil bukan karena kemampuan dirinya sendiri, tetapi semata-mata karena
pertolongan dan pengaruh kekuasaan Untara yang besar dalam susunan keprajuritan
Pajang.
Tetapi Agung Sedayu terkejut
ketika justru anak muda yang duduk di hadapannya itulah yang menjelaskannya,
“Agung Sedayu. Kau memang bukan seorang prajurit. Kau tidak akan dapat menjadi
prajurit yang baik. Keragu-raguanmu mengambil keputusan,
pertimbangan-pertimbangan yang berkepanjangan, dan sikapmu yang terlalu rendah
hati, bukanlah sifat yang baik bagi seorang prajurit, meskipun bukan berarti
bahwa setiap prajurit harus meninggalkan perhitungan. Kau tahu, contoh seorang
prajurit yang baik adalah Untara. Aku juga seorang prajurit, bahkan sekarang
aku mempunyai kedudukan yang khusus. Karena itu aku dapat menilai keadaanmu.”
Agung Sedayu memandang anak
muda itu sesaat. Sebuah senyum yang mengandung seribu macam arti tersirat
dibibir anak muda itu, yang berkata seterusnya, “Agung Sedayu. Kau tidak dapat
memaksa diri merubah sifat-sifatmu. Karena itu, kau memang tidak tepat untuk
menjadi seorang prajurit di mana pun juga.”
Hampir di luar sadarnya Agung
Sedayu mengangguk-angguk.
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa kau tidak dapat berbuat apa-apa bagi kebesaran Pajang. Aku juga sedang
bekerja keras untuk kebesaran Pajang yang telah memberikan kedudukan yang
khusus bagiku.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Memang sebaiknya kau
mempertimbangkannya. Tetapi jika ada sedikit niatmu untuk berbuat sesuatu, maka
dengan senang hati aku akan menerimamu di Mataram dalam satu lingkungan dengan
aku. Kita akan bersama-sama mencari bentuk yang paling baik buat hari depan
Pajang, agar kemuraman yang ada sekarang tidak akan semakin berlarut-larut.
Sultan Pajang yang dikitari oleh orang-orang yang terlampau mementingkan diri
sendiri agaknya perlu mendapat perhatian.”
“Ah,” terdengar orang tua yang
duduk di sebelah anak muda itu berdesah, “Kau terlalu dipengaruhi oleh
perasaanmu. Agung Sedayu masih mempunyai kesempatan untuk membuat
pertimbangan-pertimbangan dengan gurunya.”
“O, begitulah Paman,” sahut
anak muda itu. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Pertimbangkan, Agung Sedayu.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
“Baiklah. Kau sudah terlalu
lama duduk di sini. Jika kau akan pergi ke banjar padukuhan sebelah melihat
tawanan yang akan diserahkan kepada prajurit Pajang itu, silahkan.”
Agung Sedayu menggeleng.
Jawabnya, “Aku tidak ingin pergi ke padukuhan sebelah.”
“Jadi?”
Agung Sedayu menjadi bingung.
“Jika demikian, mungkin
orang-orang di kademangan sedang mencarimu. Aku juga akan meneruskan
perjalanan. Jika aku sudah sampai ke ujung, maka aku harus kembali lagi ke
punggung Pegunungan Sewu. Ada sesuatu yang mengikat aku di sana, selain
tirakatku yang panjang ini.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ditatapnya wajah anak muda itu sesaat.
Tetapi ketika hampir saja
bibirnya bergerak menanyakan sesuatu, anak muda itu sudah mendahuluinya,
“Jangan bertanya tentang diriku. Mungkin kau sudah mendengar bahwa aku singgah
di rumah Kiai Ageng Giring.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
“Sudahlah, Agung Sedayu,”
berkata anak muda itu. “Jangan kau katakan kepada siapa pun juga kecuali
gurumu, bahwa kau telah bertemu dengan aku di sini. Kini aku sedang melengkapi
pengembaraanku sekaligus mencari kemungkinan untuk mengetahui serba sedikit
tentang pusaka-pusaka yang hilang itu.”
“Guru mempunyai beberapa
keterangan tentang pusaka yang hilang itu.”
“Pada suatu saat aku akan
menemuinya. Tetapi dalam beberapa hal aku sudah mendengar apa yarg kalian
ketahui. Aku juga sudah mendengar rencana beberapa kelompok gerombolan untuk
mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk
meskipun ada juga sepercik keheranan di hatinya.
“Ki Lurah Branjangan setiap
kali pergi menghadap,” katanya di dalam hati, “tentu ia sudah menceritakan
beberapa hal tentang pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Dalam pada itu, maka anak muda
itu pun segera minta diri diiringi oleh orang yang sudah menginjak masa tuanya.
Mereka melangkah perlahan-lahan melalui bulak di antara padukuhan-padukuhan di
Kademangan Sangkal Putung.
Tidak seorang pun yang
mengetahui bahkan menduga, bahwa yang berjalan berdua sebagai dua orang
perantau itu adalah orang-orang terpenting di Mataram. Seorang anak muda yang
telah mendapat anugerah gelar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di
Mataram, beserta penasehatnya terpercaya, Ki Juru Martani.
Agung Sedayu memandang kedua
orang itu dengan hati yang berdebar-debar. Anak muda itu mempunyai kemungkinan
yang besar di masa mendatang. Ia adalah seseorang yang telah mendapat anugrah
tertinggi dari Sultan Pajang di dalam tingkat dan hubungan keprajuritan, karena
ia adalah anak angkat yang disayangi seperti anak sendiri.
“Aku,” sekali lagi Agung
Sedayu terlempar kepada diri sendiri, “bagaimana dengan aku dan hari depanku?”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya, seolah-olah ia sedang menghindarkan diri dari tatapan mata batinnya
sendiri, bahwa ia adalah seorang anak muda yang hanya dapat bertualang tanpa
pegangan.
“Aku tidak pantas menjadi
seorang prajurit. Juga tidak menjadi seorang bebahu kademangan. Bukan pula
petani atau pedagang,” Agung Sedayu menggeretakkan giginya. “Lalu apa? Apa?”
Setiap kali Agung Sedayu hanya
dapat mengusap dadanya. Tetapi persoalan itu bagi dirinya semakin lama terasa
semakin menekan jantung, karena sudah barang tentu bahwa hari-hari
perkawinannya pun akan menjadi semakin dekat.
Ketika Raden Sutawijaya dan Ki
Juru Martani sudah tidak kelihatan lagi di balik tikungan jalan, maka Agung
Sedayu pun melangkah kembali ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.
Rasa-rasanya kakinya menjadi bertambah berat. Setiap kali terngiang di
telinganya kata-kata pamannya, bahwa kakaknya dan keluarga di Jati Anom
menunggunya. Namun kemudian wajahnya menjadi merah ketika teringat olehnya
bagaimana Swandaru berkata dengan lantang “Aku memerlukannya.”
“Apakah artinya diriku bagi
Swandaru dan keluarga di Kademangan Sangkal Putung?” ia bertanya kepada diri
sendiri.
Dan jawabnya adalah perasaan
kecil dan rendah diri.
“Persetan,” Agung Sedayu
mencoba untuk menekan perasaannya, “aku dapat berbuat lebih banyak dari
sekarang. Bukan hanya membawa nampan berisi makanan dan menghidangkannya kepada
para tamu. Tetapi aku sudah bertempur melawan para perampok yang mencegat
perjalanan sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu.”
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
menengadahkan dadanya. Langkahnya menjadi semakin cepat. Seolah-olah ia ingin
memasuki adukuhan induk Kademangan Sangkal Putung dengan dada tengadah.
Namun kepalanya tertunduk
kembali ketika ia menyadari, bahwa ia tidak dapat ingkar dari kenyataan. Adalah
memang aneh sekali bahwa selama itu ia berada di Kademangan Sangkal Putung. Di
tempat Ki Demang yang bukan sanak bukan kadangnya. Jika ada sehelai pengikat,
maka itu adalah karena hampir setiap orang sudah mengetahui, bahwa ada hubungan
yang lebih akrab dari hubungan sesama antara dirinya dengan Sekar Mirah. Namun
hal itu pun belum dikuatkan dengan ikatan yang resmi. Belum ada salah seorang
keluarganya yang datang dan dengan resmi minta agar Sekar Mirah kelak menjadi
isterinya.
Tiba-tiba saja Agung Sedayu
mulai membayangkan gadis yang bernama Sekar Mirah. Gadis cantik dan memiliki
gairah hidup yang besar. Tetapi yang bagi Agung Sedayu justru akan dapat
menimbulkan kesulitan.
Perasaan yang tidak sejalan
antara gadis itu dengan dirinya. Sikapnya yang tinggi hati agak tidak
disukainya, karena bertentangan dengan sifat Agung Sedayu yang sebenarnya.
Terkilas pula di
angan-angannya perempuan yang kemudian menjadi istri Swandaru. Perempuan dari
Tanah Perdikan Menoreh itu adalah perempuan yang juga cantik, luruh dan rendah
hati. Perempuan itu tidak selalu dibakar oleh kegairahan yang menyala-nyala dan
penilaian yang berlebihan terhadap dirinya sendiri.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Langkahnya justru menjadi semakin perlahah-lahan karena
angan-angannya yang semakin membubung ke langit yang biru.
Agung Sedayu terkejut ketika
dua orang pengawal menegurnya. Dengan tergagap Agung Sedayu menjawab, “O, aku
pergi ke sawah.”
Kedua pengawal itu heran.
Salah seorang bertanya, “Sawah yang mana?”
“O, maksudku, aku ke sawah
sekedar berjalan-jalan untuk melepaskan lelah.”
Kedua pengawal itu
mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka bertanya, “Sendirian?”
“Ya, sendirian.”
Keduanya mengerutkan
keningnya. Tetapi keduanya tidak bertanya lebih lanjut. Mereka pun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka. Sedangkan Agung Sedayu melangkah terus menuju ke
kademangan. Namun setiap kali angan-angannya selalu kembali kepada anak-anak
muda yang mempunyai masa depan yang jelas seperti Raden Sutawijaya dan dalam
kedudukan yang lebih kecil, Swandaru Geni.
Ketika ia sampai ke halaman
kademangan, ia masih melihat orang-orang yang sedang sibuk mempersiapkan
keramaian yang akan diselenggarakan menjelang malam. Sedangkan
perempuan-perempuan hilir-mudik di halaman belakang dan di longkangan.
Agung Sedayu mengerutkan keningnya
ketika ia melihat Sekar Mirah sedang tertawa berkepanjangan. Di sampingnya
duduk Prastawa yang agaknya sedang bercerita dengan jenaka.
“He,” panggil Prastawa,
“kemarilah. Barangkali kau ingin juga mendengar cerita jenaka tentang kancil
dan siput.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah mendekati keduanya.
“Duduklah,” Prastawa
mempersilahkan, “dengarlah. Aku masih banyak mempunyai cerita yang menarik.”
Agung Sedayu masih ragu-ragu.
Tetapi ia pun kemudian duduk dan mendengarkan Prastawa bercerita.
Dalam pada itu di Jati Anom,
Untara masih selalu dicengkam oleh kejengkelan memikirkan adiknya yang
mempunyai sifat yang baginya sangat aneh. Bahkan Untara condong menganggap
Agung Sedayu terlalu malas untuk memikirkan hari depannya.
“Pemalas itu lebih senang
bekerja apa saja di rumah Demang Sangkal Putung tanpa memikirkan pertanggungan
jawab, daripada bekerja sebagai seorang prajurit atau pekerja-pekerja lain yang
menuntut kesungguhan.”
Namun dalam pada itu, ia masih
menyabarkan diri. Widura menasehatkan kepadanya, agar ia masih bersedia
menunggu. Untuk mendorong Agung Sedayu ke dalam suatu tugas tertentu,
diperlukan waktu dan kesabaran.
“Ia bukan anak-anak lagi,”
berkata Untara ketika pamannya memberikan beberapa nasehat kepadanya tentang
Agung Sedayu.
“Memang ia bukan anak-anak
lagi,” jawab Widura, “tetapi itu bukan berarti bahwa kita dapat berbuat menurut
selera kita sendiri.”
Untara masih mencoba bersabar
tentang adiknya yang menurut pendapatnya mempunyai sifat dan tabiat yang aneh.
“Gurunya juga orang aneh.
Tetapi ia sudah tua. Ia tidak lagi mempunyai kepentingan duniawi. Tidak lagi
mempunyai kepentingan keluarganya dan sanak kadang,” berkata Untara. Namun
kemudian, “Tetapi apakah Kiai Gringsing tidak mempunyai anak atau saudara.”
Widura tidak dapat mengatakan
sesuatu tentang orang tua yang dikenalnya dengan baik, tetapi tidak
diketahuinya lebih banyak tentang diri orang tua itu sendiri.
Dalam pada itu, Untara masih
juga sibuk dengan orang-orang yang ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang
setelah mereka gagal menyamun sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh.
Untara berusaha untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang mereka.
Tetapi sebagian dari mereka
hanya dapat mengatakan tentang diri mereka sendiri dan gerombolan
masing-masing.
Ketika Untara berhadapan
dengan Kiai Bajang Garing, Untara yakin bahwa sebenarnyalah orang-orang yang
ditangkapnya itu tidak banyak mengetahui kelompok-kelompok lain yang ada di
dalam pasukan mereka sendiri.
“Kami sebenarnya lebih banyak
bersaing dan bermusuhan,” berkata Kiai Bajang Garing.
“Tetapi kenapa kau bersedia
bekerja bersama dengan kelompok-kelompok yang lain?” bertanya Untara.
“Gandu Demung memberikan
harapan yang seakan-akan pasti dapat digapai dengan mudah dan menghasilkan
harta yang banyak sekali.”
“Apakah hubunganmu dengan
Gandu Demung?” bertanya Untara.
Ki Bajang Garing sama sekali
tidak bernafsu untuk berbohong lagi. Ia mengatakan apa saja yang diketahuinya
tentang Gandu Demung. Dan ia pun menduga bahwa Gandu Demung terbunuh di
peperangan.
“Apakah kau mengetahui serba
sedikit tentang gerombolan di Gunung Tidar yang dipimpin oleh Empu Pinang Aring
itu?”
Tetapi seperti orang-orang
lain yang dipanggil seorang demi seorang oleh Untara dan bahkan berulang kali dilakukan
dengan cara yang bermacam-macam, ternyata bahwa mereka sama sekali tidak
mengetahui apa pun juga tentang Empu Pinang Aring. Mereka hanya dapat menyebut
namanya dalam hubungannya dengan Gandu Demung. Namun selebihnya mereka tidak
mengerti apa-apa.
“Yang kami ketahui,” berkata
Kiai Bajang Garing, “kelompok yang dipimpin oleh Empu Pinang Aring itu adalah
kelompok yang sangat kuat dibandingkan dengan kelompok-kelompok yang sudah ada
di sekitar Gunung Tidar sebelum orang yang disebut Empu Pinang Aring itu hadir
di daerah kami.”
“Apakah kau pernah bertemu
dengan orang yang disebut Empu Pinang Aring?”
Kiai Bajang Garing menggeleng,
“Belum. Aku belum mengenalnya.”
Untara mengerutkan keningnya.
Sejenak ia merenungi wajah Kiai Bajang Garing. Ia sadar bahwa ia berhadapan
orang licik dan tidak dapat dipercaya. Tetapi yang dikatakannya tentang Empu
Pinang Aring agaknya benar, bahwa ia sama sekali tidak tahu menahu.
Dari beberapa pihak Untara
sudah mendengar keterangan yang hampir sama, bahwa mereka diminta oleh Gandu
Demung untuk bersama-sama menyamun iring-iringan pengantin dari Tanah Perdikan
Menoreh.
Karena itulah maka Untara
tidak berhasil mendapat keterangan apa pun juga tentang Empu Pinang Aring dan
gerombolannya yang berada di Gunung Tidar. Tidak seorang pun yang dapat
mengatakan bahwa mereka akan mengadakan pertemuan di lembah antara Gunung
Merapi dan Gunung Merbabu. Bahkan keterangan yang didapatkannya adalah jauh
lebih tidak berarti daripada keterangan yang didengarnya dari orang-orang yang
berhasil ditangkap saat prajurit Pajang menyerang padepokan Tambak Wedi.
“Mereka tidak banyak berarti
di sini,” berkata Untara, “biarlah mereka dibawa ke Pajang dan mendapat
penyelesaian semestinya. Mungkin mereka akan menerima hukuman yang segera dapat
membebaskan mereka. Tetapi mungkin mereka harus berada di dalam hukuman untuk
waktu yang lama dan di tempat yang jauh, karena menurut keterangan mereka
sendiri, mereka adalah orang-orang yang berbahaya di daerah mereka, di sekitar
Gunung Tidar. Bahkan mereka dapat melakukan kejahatan jauh dari tempat mereka
tinggal.”
Namun dalam pada itu, prajurit
Pajang di Jati Anom tidak kehilangan kewaspadaan. Mereka tetap menganggap bahwa
keadaan bukan menjadi semakin baik. Dengan ketajaman pengamatan seorang
senapati, Untara mulai menghubungkan orang-orang yang berada di Tambak Wedi dan
orang-orang yang dipimpin oleh Empu Pinang Aring.
“Adalah suatu perhitungan yang
teliti, bahwa orang yang disebut-sebut bernama Gandu Demung tidak membawa
orang-orang Empu Pinang Aring sendiri. Ia lebih senang membawa kekuatan di luar
gerombolan yang tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan tersendiri selain
sekedar merampok dan menyamun,” berkata Untara kemudian kepada para perwira.
Selanjutnya, “Laporan tentang orang-orang yang menyamun dengan dalih perjuangan
bagi tegaknya kembali Majapahit bukan isapan jempol yang dapat diabaikan,”
senapati muda itu memperingatkan.
Para perwira yang memang
pernah mendengar laporan tentang beberapa orang yang menyebut keturunan
Majapahit itu memang sangat menarik perhatian.
Namun dalam pada itu, hati
Untara masih saja selalu digelisahkan oleh keadaan Agung Sedayu. Rasa-rasanya
ia tidak sabar lagi menunggu kehadiran adiknya itu di Jati Anom. Sudah dua tiga
kali ia datang ke rumah pamannya untuk menanyakan apakah Agung Sedayu sudah
datang.
“Bersabarlah sedikit Untara.
Aku sudah mendapat kesanggupan dari Kiai Gringsing bahwa ia akan membantu
mendorong Agung Sedayu untuk datang ke Jati Anom.”
“Orang tua itulah yang
mengajari Agung Sedayu berbuat aneh. Aku tidak tahu, kenapa Kiai Gringsing
tidak lebih senang membuka sebuah padepokan kecil. Aku lebih senang melihat
Agung Sedayu bekerja keras di padepokan kecil itu, bertani, membelah kayu atau
pekerjaan laki-laki yang lain daripada sibuk di dapur Kademangan Sangkal Putung
dalam penghambaannya.”
Widura menarik nafas. Namun
katanya kemudian, “Untara, jika ia tidak segera datang, biarlah aku akan
menyusulnya sekali lagi. Biarlah aku yang sudah tidak lagi memiliki sesuatu
kedudukan. Sebab jika terjadi salah paham, biarlah antara Widura dan barangkali
Ki Demang sekeluarga. Tetapi jika terjadi salah paham dengan kau, maka kau
adalah seorang senapati besar yang membawahi prajurit dalam tebaran daerah yang
luas, sedangkan Sangkal Putung pun mempunyai sepasukan pengawal yang kuat.”
“Maksud Paman, jika Sangkal
Putung ingin melawan kekuasaanku di sini?”
“Bukan maksudku. Tetapi
seandainya terjadi salah paham.”
“Paman, Sangkal Putung tidak
mempunyai kedudukan khusus di daerah selatan. Bagiku Sangkal Putung tidak ada
bedanya dengan kademangan-kademangan lain. Memang aku pernah mendapatkan
dukungan yang kuat saat Tohpati masih berkeliaran di daerah selatan ini. Tetapi
itu adalah bentuk suatu kerja sama yang juga menguntungkan Sangkal Putung.
Justru saat itu Pajang melindungi kademangan itu meskipun juga dengan
pertimbangan keuntungan Pajang.”
“Aku mengerti Untara. Tetapi
bagiku lebih baik akulah yang datang tanpa menyangkut-pautkan kedudukan apa
pun.”
Untara mengangguk-angguk. Ia
dapat mengerti keterangan pamanya. Hanya karena pengaruh nalarnya yang kuat
sajalah maka Untara dapat menahan perasaannya.
“Aku percayakan persoalan
Agung Sedayu kepada Paman. Tetapi aku harap Paman dapat segera menanganinya.
Jika kita menunggu dan menunggu, maka aku cemas, bahwa otak Agung Sedayu sudah
terlanjur membeku. Jika sekiranya ia benar-benar ingin menjadi petualang,
biarlah ia bertualang di sepanjang tlatah Demak dari ujung sampai ke ujung
seperti masa muda Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet dan disebut Jaka
Tingkir. Tetapi tidak mendekam dalam lingkungan dinding rumah Kademangan
Sangkal Putung.”
Widura mengangguk-angguk.
Terbayang saat-saat Agung Sedayu untuk pertama kalinya menginjakkan kakinya di
kademangan itu. Dengan ketakutan yang amat sangat ia menempuh perjalanan dari
Dukuh Pakuwon ke Kademangan Sangkal Putung di malam hari.
Ternyata bahwa kemudian
seolah-olah ia telah terikat oleh kademangan itu. Kademangan yang memiliki
seorang gadis yang keras hati.
Namun bagi Widura, sikap
Untara itu merupakan beban baginya. Meskipun demikian, ia merasa berkewajiban
untuk melakukannya karena Agung Sedayu adalah kemenakannya.
Dalam pada itu di Sangkal
Putung, Agung Sedayu pun selalu dicengkam oleh kegelisahan. Seolah-olah ia
selalu dikejar-kejar oleh Untara yang akan memaksanya memasuki lingkungan
keprajuritan Pajang.
Ketika perayaan di malam
terakhir selesai, kegelisahan di hati Agung Sedayu itu rasa-rasanya menjadi
semakin menghentak-hentak di dadanya. Ia tidak mempunyai alasan lagi untuk
menghindarkan diri dari keharusan menghadap kakaknya di Jati Anom.
Tetapi kesibukan di Sangkal
Putung itu sudah lampau. Orang-orang mulai melepas segala macam tarub dan
hiasan di pendapa kademangan. Bahkan dihari berikutnya semua teratak pun
dilepaskannya pula.
Dalam pada itu, orang-orang
yang mengantar pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh pun mulai bersiap-siap
untuk kembali. Untunglah bahwa tidak seorang pun dari mereka yang menjadi
korban saat iring-iringan pengantin itu memasuki Sangkal Putung. Ada dua orang
yang terluka cukup parah. Tetapi mereka sudah terobati oleh Kiai Gringsing dan
meskipun belum sembuh sama sekali, tetapi keduanya sudah dapat berkuda
bersama-sama dengan kawan-kawannya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan
jika terjadi sesuatu di perjalanan, mereka sudah sanggup memutar pedangnya
menghadapi lawan.
Apalagi mereka yang terluka
hanya segores-segores di dada dan di lengan. Luka-luka itu sudah sembuh sama
sekali, sehingga tidak berbekas lagi.
Yang paling gelisah di antara
mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh adalah Prastawa. Rasa-rasanya
ada sesuatu yang menahannya di Sangkal Putung, sehingga ketika saatnya kembali
tiba, maka hatinya serasa menjadi sangat kecewa.
“Sebenarnya aku ingin tinggal
lebih lama lagi di sini,” desisnya kepada Sekar Mirah.
“Kenapa?” bertanya Sekar
Mirah.
Prastawa menjadi bingung.
Dipandanginya wajah Sekar Mirah sejenak. Seolah-olah ia ingin menikmati wajah
itu sepuas-puasnya untuk yang terakhir kalinya.
“Kami mengharap bahwa pada
suatu saat kau akan datang lagi kemari,” berkata Sekar Mirah sambil tersenyum.
“Kapan?”
Sekar Mirah menggeleng.
Katanya, “Aku tidak tahu. Mungkin setelah lewat setahun lagi. Bukankah pada
suatu saat akan datang waktunya aku harus mengalami peristiwa seperti Kakang
Swandaru?”
Rasa-rasanya isi dada Prastawa
terguncang oleh suatu kesadaran bahwa Sekar Mirah pada suatu saat akan kawin
dengan Agung Sedayu.
Sejenak Prastawa
termangu-mangu. Namun kemudian terdengar giginya terkatup rapat-rapat.
Dengan nada datar ia pun
kemudian berkata, “Sekarang, aku minta diri, Sekar Mirah.”
Sekar Mirah tersenyum. Sebagai
seorang gadis yang dewasa Sekar Mirah dapat mengerti perasaan apakah sebenarnya
yang mulai tumbuh di hati Prastawa. Sebenarnya bagi Sekar Mirah, jika ia
sekedar mengikuti perasaannya, ada beberapa hal yang lebih menarik pada anak
yang masih sangat muda ini daripada Agung Sedayu.
Tetapi sudah barang tentu
bahwa Sekar Mirah pun memiliki pertimbangan nalar yang dapat menahannya untuk
sekedar memanjakan perasaannya tanpa menghiraukan tata kehidupan dan unggah-ungguh.
“Hanya sekedar karena aku
ingin disebut seorang gadis yang setia,” pertanyaan itu melonjak di hati Sekar
Mirah.
Namun ia pun menggeretakkan
giginya sambil berkata kepada diri sendiri, “Aku bukan gadis yang tidak
mengenal ikatan kesetiaan yang murni. Sejak semula aku mencintai Agung Sedayu.
Aku tidak boleh goyah sekedar diguncang oleh persesuaian semu. Aku belum
mengenal anak muda ini sejauh-jauhnya.”
Itulah sebabnya, maka Sekar
Mirah pun kemudian seolah-olah tidak dibebani perasaan apa pun ketika Prastawa
minta diri kepadanya.
“Datanglah lain kali,” Sekar
Mirah justru mengundangnya. “Sangkal Putung masih akan mengadakan perelatan
perkawinan yang akan lebih meriah.”
Wajah Prastawa menjadi
semburat merah. Tetapi kenyataan itu tidak akan dapat dihindarnya. Justru ia
sudah tahu sebelumnya bahwa Sekar Mirah akan kawin dengan Agung Sedayu.
Agung Sedayu nampaknya tidak
banyak memperhatikan sikap Prastawa yang kadang-kadang memang telah
menyinggungnya. Namun Agung Sedayu tidak ingin disebut anak muda yang pendek
akalnya, sehingga pergaulan yang tidak menyangkut sentuhan pada hubungannya
dengan Sekar Mirah itu telah dipersoalkannya.
Karena itu, Agung Sedayu sama
sekali tidak menghiraukan apa saja yang telah dilakukan oleh anak muda dari
Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah, maka ketika semua
rencana keramaian telah dilaksanakan, maka para pengantar dari Tanah Perdikan
Menoreh itu pun segera minta diri. Mereka akan kembali ke Tanah Perdikan
Menoreh, dan melaporkan kepada Ki Gede, bahwa semua upacara pengantin telah
berlangsung seperti yang direncanakan meskipun ada sedikit gangguan di
perjalanan.
Ketika kuda-kuda mereka mulai
berderap, terasa hati Prastawa bagaikan dibebani oleh kegelisahan. Namun ia pun
bukannya tidak dapat mempertimbangkan keadaan dengan nalarnya. Itulah sebabnya
maka semua sikap dan perasaannya pun telah dicoba untuk dikendalikan dengan
nalarnya agar ia tidak terlepas dari sikap dan perbuatan seorang yang memiliki
tata kesopanan dalam lingkungan peradaban.
Dengan hati yang berat Prastawa
meninggalkan Sangkal Putung. Dicobanya untuk menghilangkan semua kesan
kekecewaannya dengan menenggelamkan diri ke dalam suasana perjalanannya kembali
ke Tanah Perdikannya.
Sekar Mirah memandang
iring-iringan yang kemudian hilang di tikungan itu pun dengan perasaan yang
aneh. Perasaan yang terasa asing.
Dalam pada itu, terasa
Kademangan Sangkal Putung menjadi semakin sepi. Bukan saja tamu-tamu dari Tanah
Perdikan Menoreh yang telah meninggalkan Sangkal Putung, tetapi satu-satu sanak
kadang Ki Demang pun minta diri dan kembali ke rumah masing-masing yang sudah
beberapa hari mereka tinggalkan untuk membantu kesibukan di Sangkal Putung.
“Kalian akan segera mempunyai
momongan,” desis seorang perempuan tua sambil menepuk bahu Pandan Wangi.
Pandan Wangi menundukkan
kepalanya.
“Jagalah suamimu baik-baik,”
pesan seorang kakek tua, “jangan biarkan ia terlepas ke dalam kebengalannya
lagi.”
Laki-laki tua itu tersenyum.
Pandan Wangi dan Swandaru pun tersenyum pula.
Namun dalam pada itu,
terngiang kembali di telinga Pandan Wangi pesan pemomongnya yang tua dari Tanah
Perdikan Menoreh saat ia akan meninggalkan Sangkal Putung, “Jagalah suamimu
baik-baik. Nampaknya ia seorang laki-laki yang memiliki gairah hidup yang
menyala-nyala di dalam dadanya. Sifat yang memang harus dimiliki oleh seorang
laki-laki.” Ia berhenti sejenak, namun, “Tetapi Pandan Wangi, kau harus selalu
memperingatkan, bahwa tidak ada seekor burungpun yang akan mampu terbang sampai
ke Matahari. Burung Garuda yang paling besar pun tidak.”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang kakek tua.
Sepeninggal para tamu dan
sanak kadang, rasa-rasanya Sangkal Putung telah kehilangan kegembiraan.
Masing-masing mulai sibuk memperbaiki rumah yang dibongkar saat keramaian
diselenggarakan. Memperbaiki pagar di dalam lingkungan dinding halaman yang
rusak terinjak-injak.
Seperti kebiasaannya, dalam
hal yang demikian Agung Sedayu tidak dapat tinggal diam. Dengan rajin ia
membantu anak-anak muda yang sibuk dengan kerja masing-masing di halaman
Kademangan Sangkal Putung. Bahkan bukan saja Agung Sedayu tetapi juga
orang-orang tua pun ikut pula membantu meskipun tidak seperti yang dilakukan
oleh anak-anak muda.
Ki Waskita yang tidak ikut
kembali ke Tanah Perdikan Menoreh bersama para pengiring, ikut pula membuka
janur-janur kuning yang sudah mulai mengering tersangkut di serambi pendapa.
Meskipun setiap kali Ki Demang melarangnya, namun orang-orang tua itu pun
bukannya orang-orang yang senang duduk bertopang dagu.
“Sudahlah, Kiai,” Swandaru pun
mencoba mencegahnya, “silahkan Kiai duduk di pendapa. Guru, Ki Sumangkar, dan
Ki Waskita tidak perlu membantu kerja anak-anak itu. Biarlah mereka
menyelesaikannya.”
Tetapi sambil tersenyum Ki
Waskitalah yang menjawab, “Kadang-kadang tangan dan kaki ini rasanya menjadi
pegal. Biarlah kami mencari keringat barang sejenak. Nanti jika kami merasa
lelah, kami akan berhenti.”
“Kiai tidak akan merasa lelah
meskipun melakukannya tujuh hari tujuh malam.”
Kiai Gringsing tertawa. Katanya,
“Sudahlah, Swandaru, kau tidak usah merasa segan. Biarlah kami berbuat sesuatu
agar kami tidak merasa jemu duduk bertopang dagu.”
“Tetapi Kiai dapat melakukan
apa saja.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Nanti kami akan duduk dan melakukan
pekerjaan yang lain. Sekarang, biarlah kami sedikit bergerak untuk mengobati
tubuh kami yang merasa kaku dan tegang karena keramaian yang berlangsung
berturut-turut itu.”
Swandaru tidak dapat
mencegahnya lagi. Namun dengan demikian ia terpaksa ikut pula berbuat sesuatu,
karena rasa-rasanya segan juga untuk berdiam diri, sementara orang-orang tua
termasuk gurunya berbuat sesuatu untuk mengatur kembali rumahnya yang untuk
beberapa hari mengalami banyak perubahan.
Agung Sedayu yang dengan
gelisah masih tetap berada di Sangkal Putung mencoba melupakan kegelisahannya
dalam kerja. Namun rasa-rasanya hatinya selalu dikejar oleh kakaknya yang keras
dan marah.
Akhirnya Agung Sedayu tidak
tahan lagi. Ia merasa dirinya selalu gelisah dan bingung. Bukan saja saat-saat
ia duduk termenung, namun di dalam tidur pun ia selalu bermimpi seolah-olah
Untara mengejarnya dengan pedang terhunus. Bahkan pamannya Widura pun
seakan-akan ikut pula mengacu-acukan tombak yang runcing.
Dalam kesempatan yang
terulang, selagi mereka beristirahat dan duduk di serambi gandok, Agung Sedayu
mengatakan niatnya untuk pergi ke Jati Anom.
“Kau akan pergi ke Jati Anom?”
bertanya gurunya.
“Ya, Guru. Aku tidak dapat
selalu digelisahkan oleh angan-angan bahwa Kakang Untara menungguku dengan
marah dan geram. Aku merasa bahwa sebaiknya aku datang menemuinya, apa pun yang
akan dikatakannya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sekilas terbayang sebuah senyum yang lembut di bibirnya.
Katanya. “Kau memang sudah waktunya pergi ke Jati Anom.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Pergilah. Mintalah ijin
kepada Ki Demang dan Sekar Mirah.”
Agung Sedayu mengangguk-angguk
pula. Ada niatnya pula untuk mengatakan sesuatu tentang Raden Sutawijaya.
Tetapi karena Raden Sutawijaya berpesan agar tidak ada orang lain yang
mendengarnya, maka niatnya pun diurungkannya, meskipun yang ada hanyalah Ki
Waskita dan Ki Sumangkar. Namun, dengan demikian ia sudah melanggar pesan Raden
Sutawijaya apabila ia menyampaikannya saat itu.
“Nanti, jika aku bertemu
sendiri dengan Guru,” katanya di dalam hati.
Seperti yang dikehendaki Kiai
Gringsing, maka Agung Sedayu pun mendapatkan Sekar Mirah dan mengatakan
maksudnya untuk pergi ke Jati Anom barang satu dua hari.
“Kenapa kau akan pergi ke Jati
Anom?” bertanya Sekar Mirah.
Pertanyaan itu terdengar aneh
bagi Agung Sedayu. Di luar sadarnya ia bertanya kepada diri sendiri apakah ia
sudah seharusnya berada di Sangkal Putung.
Sejenak Agung Sedayu
termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Sekar Mirah. Aku memang berasal dari
Jati Anom. Kakakku sekarang secara kebetulan juga ditempatkan di Jati Anom.
Pamanku, dan keluargaku yang lain banyak yang sampai saat ini masih berada di
Jati Anom. Aku pada suatu saat merasa dipanggil pulang. Bukan saja karena
Kakang Untara dan Paman Widura telah datang dan mengharap kedatanganku, tetapi
ada sesuatu yang lebih dalam menyentuh perasaanku sehingga aku merasa ingin
sekali pergi.”
Swandaru yang mendengar
percakapan itu pun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Kau masih selalu
dibayangi oleh masa kanak-kanakmu. Kau sekarang sudah dewasa sepenuhnya. Kau
dapat menentukan jalan hidupmu sendiri.”
“Aku mengerti, Swandaru.
Tetapi apakah salahnya jika aku menengok barang sehari dua hari.”
“Tentu tidak ada keberatannya,
Kakang Agung Sedayu. Tetapi cara Untara dan Ki Widura memanggilmu, seolah-olah
kau masih seorang anak-anak yang bermain di pinggir jurang. Dengan cemas mereka
memaksamu pulang. Apakah Untara atau Paman Widura menganggap bahwa tempat ini
berbahaya bagimu?”
“Tentu tidak, Swandaru. Tetapi
kerinduan seorang tua memang kadang-kadang mempunyai bentuk yang tersendiri.”
“Terserahlah kepada Kakang
Agung Sedayu,” berkata Sekar Mirah, “seperti yang dikatakan oleh Paman Widura.
Kau berhak menentukan sikapmu sendiri. Kenapa aku mencegahmu? Aku hanya
bermaksud memperingatkanmu agar kau tidak lagi diperlakukan seperti
kanak-kanak. Kakang Swandaru benar, bahwa kau sudah berhak menentukan jalan
hidupmu sendiri. Apakah kau ingin berada di sini, di Jati Anom atau bertualang
sepanjang jalan.”
Agung Sedayu mengangguk. Ia
dapat mengerti sikap Sekar Mirah yang sudah sewajarnya mengharap agar ia selalu
berada di Sangkal Putung. Tetapi itu bukan berarti bahwa ia tidak akan dapat
meninggalkannya barang satu dua hari.
“Aku akan segera kembali,”
berkata Agung Sedayu.
“Mudah-mudahan kau cepat
kembali. Tetapi sekali lagi aku memperingatkanmu, seandainya kau merasa tidak
perlu pergi ke Jati Anom, atau katakanlah kau ingin menunda kepergianmu itu
barang tiga empat hari tidak seorang pun yang menegurmu.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Namun yang terdengar adalah jawaban dari arah pintu yang terbuka,
“Biarlah ia pergi segera, Sekar Mirah.”
Ketika orang-orang yang berada
di dalam bilik itu berpaling, maka mereka melihat Ki Sumangkar berdiri
memandangi mereka bertiga berganti-ganti.
“Apakah maksud Guru?” bertanya
Sekar Mirah.
“Sudah waktunya ia pergi ke
Jati Anom. Kakaknya, pamannya yang pernah datang kemari telah menyatakan
kerinduan keluarga di Jati Anom kepadanya. Sudah sepantasnya ia pergi.”
Sekar Mirah memandang Agung
Sedayu sejenak. Lalu katanya, “Kerinduan yang memang pantas diperhatikan.
Tetapi kerinduan bukannya dalih yang dapat dipergunakan untuk memancingnya
datang ke Jati Anom yang apalagi dengan maksud-maksud tertentu.”
Ki Sumangkar tertawa. Katanya,
“Kita tidak berhadapan dengan sebuah gerombolan yang licik, yang mempunyai niat
buruk terhadap seseorang. Orang-orang Jati Anom adalah sanak dan kadang Agung
Sedayu. Kenapa mereka sekedar mempergunakan kerinduan mereka sebagai dalih yang
lain yang tidak dikatakannya kepada Agung Sedayu?”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Kepalanya tertunduk dalam-dalam.
Sejenak ruangan itu menjadi
senyap. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan-angannya sendiri.
Baru sejenak kemudian kesepian
itu pecah ketika Ki Sumangkar berkata, “Nah, jangan dipersoalkan lagi. Kiai
Gringsing juga sudah setuju bahwa Agung Sedayu akan pergi ke Jati Anom segera.”
Sekar Mirah masih tetap
berdiam diri, sementara Swandaru memandang Ki Sumangkar dan Sekar Mirah
berganti-ganti. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
“Kau masih harus minta ijin
kepada Ki Demang,” berkata Ki Sumangkar kemudian.
“Ya, ya, Kiai. Aku akan
menghadap Ki Demang.”
Meskipun agak keberatan,
tetapi Ki Demang tidak dapat menahan keinginan Agung Sedayu untuk pergi ke Jati
Anom. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Hati-hatilah di perjalanan
Agung Sedayu. Segeralah kembali.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali timbul pertanyaan di dalam dirinya,
“Apakah sudah sewajarnya bahwa ia harus kembali. Dan justru kembali ke Sangkal
Putung?”
Namun demikian Agung Sedayu
menjawab, “Baiklah, Ki Demang. Aku akan segera kembali.”
“Jika kau memerlukan beberapa
orang kawan di perjalanan, biarlah beberapa orang pengawal ikut bersamamu ke
Jati Anom. Siapa tahu, bahwa kau akan bertemu dengan orang-orang yang tidak kau
kehendaki di perjalanan.”
“Tidak, Ki Demang. Aku kira
aku tidak memerlukan kawan. Aku kira keadaan sudah berangsur baik. Bukankah
sisa-sisa dari para perampok di ujung kademangan yang hampir saja mencelakakan
Swandaru dan Pandan Wangi itu dapat dijaring oleh para prajurit Pajang?”
“Tetapi siapa tahu, bahwa
masih ada satu dua orang di antara mereka yang tersisa.”
“Mereka tentu sudah ketakutan
dan meninggalkan daerah ini.”
Ki Demang mengangguk-angguk,
Namun pesannya, “Tetapi kau harus berhati-hati. Kemungkinan buruk masih dapat
terjadi.”
“Ya, Ki. Tetapi perjalanan ke
Jati Anom bukannya perjalanan yang terlalu jauh.”
Sejenak Ki Demang
mengangguk-angguk. Memang perjalanan ke Jati Anom bukan perjalanan yang terlalu
jauh. Tetapi pada jarak yang terbentang antara Sangkal Putung dan Jati Anom
dapat saja terjadi sesuatu yang tidak diharapkan. Mungkin di pinggir hutan,
mungkin di tikungan yang pernah dikenal Agung Sedayu sebagai tempat yang paling
menakutkan dekat Macanan. Mungkin di bawah randu Alas yang pernah disangka ada
genderuwo bermata satu atau harimau putih, di Lemah Cengkar. Tetapi yang jelas,
bahwa segerombolan perampok yang kuat baru saja mencegat dengan beraninya
iring-iringan pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh.
Tetapi menurut pertimbangan
Agung Sedayu, justru perampokan yang baru saja terjadi dan usaha prajurit
Pajang untuk menangkap mereka yang berusaha melarikan diri, maka daerah antara
kedua kademangan itu tentu sudah bersih dari kejahatan.
Itulah sebabnya Agung Sedayu
memutuskan untuk pergi seorang diri. Bahkan ia sama sekali tidak menginginkan
gurunya ikut pergi bersamanya.
“Jika Guru pergi juga ke Jati
Anom,” berkata Agung Sedayu kepada gurunya ketika gurunya menawarkan
kesediaannya untuk pergi bersamanya, “mungkin Kakang Untara tidak akan dapat
mengatakan maksudnya yang sebenarnya karena segan. Biarlah aku menemui Kakang
Untara seorang diri. Biarlah Kakang Untara mengatakan seluruh isi hatinya
kepadaku. Demikian juga agaknya Paman Widura dan sanak kadang lainnya.”
Kiai Gringsing pun tidak dapat
memaksanya. Ia tahu, kegelisahan yang luar biasa telah mencengkam Agung Sedayu
sehingga ia ingin terlepas sama sekali daripadanya. Itulah sebabnya ia ingin
mendengar pendapat kakaknya sampai tuntas.
Di pagi harinya, Agung Sedayu
pun bersiap-siap meninggalkan Sangkal Putung. Dengan hati yang berdebar-debar
ia mengemasi beberapa lembar pakaian sambil menganyam jawaban yang mungkin
harus diucapkan atas pertanyaan sanak kadangnya di Jati Anom.
“Hati-hatilah Agung Sedayu,”
berkata gurunya ketika Agung Sedayu minta diri kepada orang-orang tua di
Sangkal Putung.
“Sekarang kau harus pergi
sendiri, Kakang,” berkata Swandaru, “aku tidak dapat lagi mengawasimu seperti
saat-saat sebelumnya.”
Agung Sedayu tersenyum. Tetapi
terasa betapa pahit perasaanya.
“Itu sudah sewajarnya,
Swandaru,” jawab Agung Sedayu.
“Pada suatu saat, kau pun akan
terikat oleh hubungan keluarga seperti yang aku alami sekarang,” sambung
Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk.
Jawabnya, “Ya. Aku menyadari.”
Sekar Mirah yang berada pula
di dekatnya tidak mengatakan sesuatu. Namun wajahnya yang suram telah
mengucapkan rangkaian kalimat yang cukup panjang, menyatakan
ketidak-setujuannya membiarkan Agtrng Sedayu pergi. Namun, ia tidak dapat mencegahnya.
Dalam pada itu, Ki Waskita
yang berada di antara mereka yang melepas Agung Sedayu pergi, nampak menjadi
tegang oleh penglihatan batinnya seperti yang setiap kali dilihatnya. Namun
seperti biasanya ia selalu mencoba mengingkarinya dengan menempatkan bayangan
keinginannya pada isyarat yang dilihatnya atas anak-anak muda murid Kiai
Gringsing itu.
“Mereka masih terlalu muda,”
berkata Ki Waskita di dalam hatinya, “mereka tentu akan menemukan
kebahagiaannya kelak.”
Namun penglihatannya selalu
saja tidak berubah. Tidak seperti yang dikehendakinya sendiri.
Akhirnya Agung Sedayu pun
meninggalkan Sangkal Putung. Seleret ia melihat tatapan mata Pandan Wangi yang
redup.
“Ia tentu lelah sekali,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Beberapa hari di Tanah Perdikan Menoreh
dan beberapa hari di Sangkal Putung. Jika ia bukan Pandan Wangi yang memiliki
ketahanan jasmaniah yang kuat, tentu ia sudah tidak dapat bangkit lagi dari
pembaringannya.”
Sejenak kemudian Agung Sedayu
pun telah memacu kudanya menyusur jalan Kademangan Sangkal Putung ke luar dari
padukuhan induk. Ketika ia keluar dari mulut lorong, dan berada di bulak yang
panjang, ia pun menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ingin menghirup udara
sebanyak-banyaknya setelah terhimpit oleh kepepatan dan kegelisahan.
Tetapi tiba-tiba saja
keningnya berkerut ketika ia mulai membayangkan kembali pertempuran yang telah
terjadi saat iring-iringan pengantin memasuki ujung Kademangan Sangkal Putung.
“Bukan main,” desisnya,
“hampir saja kedua orang itu tidak dapat menikmati hari-hari perkawinannya.”
Tiba-tiba saja di luar
sadarnya Agung Sedayu telah membiarkan kudanya berjalan terus. Ia tidak segera
berbelok ke kanan menuju ke Jati Anom. Tetapi ia menempuh jalan lurus. Baru
setelah ia meninggalkan kademangan ia akan berbelok menyusur hutan menuju ke
Jati Anom.
Namun dalam pada itu, di luar
pengetahuan Agung Sedayu, seseorang yang hampir gila berada di hutan itu.
Dengan tekun orang-orang itu mencari keterangan tentang Gandu Demung. Ketika
kemudian ia mendengar berita bahwa Gandu Demung telah terbunuh, maka kemarahan
yang luar biasa telah mencengkam dadanya. Seperti orang yang kehilangan akal ia
kembali ke arena pertempuran. Tetapi ia tidak menemukan apa-apa lagi kecuali
beberapa potong senjata yang tidak terpungut.
“Gila,” geramnya, “orang-orang
Sangkal Putung memang harus mengalami kehancuran mutlak karena mereka berani
membunuh Gandu Demung dan beberapa orang kawanku.”
Ia menjadi seperti gila ketika
ia pun mendengar bahwa sisa-sisa pasukannya telah tertangkap oleh prajurit
Pajang dan dibawa ke Jati Anom.
“Aku harus berbuat sesuatu,”
katanya dengan geram.
Sementara itu, saudara Gandu
Demung itu pun menunggu kesempatan di dalam hutan sampai saat ia dapat
melepaskan dendamnya.
Tetapi saudara laki-laki Gandu
Demung itu seakan-akan tidak berani melihat kesibukan di luar hutan. Ada
niatnya untuk membunuh siapa saja. Tetapi seolah-olah ia selalu dibayangi oleh
kecemasan, bahwa prajurit Pajang masih juga berada di sekitar hutan itu dan
menangkapnya sama sekali.
Selama di dalam
persembunyiannya, maka saudara laki-laki Gandu Demung yang memisahkan diri dari
gerombolannya, dan yang justru karena itu terlepas dari jaring prajurit Pajang
itu, hidup dengan hasil buruan. Apa pun yang dapat ditangkapnya, dipanggangnya
di atas perapian yang redup di tengah hutan agar tidak dilihat oleh siapa pun.
Kadang-kadang ia tidak dapat
menahan desakan dendam yang membara di hatinya sehingga dengan hati-hati ia
merayap minggir. Tetapi setiap kali ia telah didera oleh ketakutan yang amat
sangat jika ia mendengar derap kaki kuda.
Dengan demikian, maka
syarafnya yang terombang-ambing antara dendam dan ketakutan itu, benar-benar
telah terganggu.
Agung Sedayu yang berkuda
tidak terlalu cepat, semakin lama menjadi semakin dekat dengan hutan itu. Di
luar sadarnya pandangan matanya menyapu ke sekitarnya. Ujung bulak yang tidak
terlampau lebat itu.
Sekilas terbayang pertempuran
yang telah terjadi di ujung hutan yang terletak di mulut Kademangan Sangkal
Putung itu. Pertempuran yang cukup sengit sehingga telah menelan beberapa
korban di kedua belah pihak.
“Hampir saja malapetaka yang
tidak terhingga telah terjadi di tempat ini,” desisnya, “untunglah bahwa
semuanya telah teratasi.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia bersyukur bahwa ia melihat sebatang pohon yang bergetar di
ujung hutan. Jika saja ia tidak mendapatkan petunjuk itu, maka keadaan
iring-iringan pengantin itu tentu akan lebih parah. Jika iring-iringan itu
terjebak di sisi hutan di antara batang-batang yang dirobohkan, diikuti oleh
serangan yang tiba-tiba, maka iring-iringan pengantin itu tentu akan menjadi
semakin menyedihkan.
Sejenak Agung Sedayu memandang
pepohonan yang menjulang di antara pohon-pohon yang lain. Daunnya yang ditiup
oleh angin yang lembut, nampak mengangguk-angguk seperti menghormati kehadiran
Agung Sedayu mendekati hutan itu.
Namun tiba-tiba saja Agung
Sedayu menarik kekang kudanya. Ia melihat sesuatu yang asing di hutan itu. Asap
yang mengepul meskipun tidak terlalu banyak.
“Siapakah yang. membuat api di
dalam hutan itu di siang hari,” Agung Sedayu bertanya kepada diri sendiri.
Asap yang mengepul dari hutan
itu jarang sekali dilihatnya. Jika seseorang sedang berburu, maka ia tidak akan
membuat api karena hasil buruan itu akan mereka bawa kembali ke rumah. Dan
adalah jarang sekali seseorang, terutama dari Sangkal Putung untuk melakukan
perburuan tanpa alasan. Mungkin karena sekelompok anak-anak muda sedang melatih
diri untuk meningkatkan ketangkasan mereka sebelum mengikuti pendadaran saat
mereka menyatakan keinginan mereka memasuki kelompok pengawal Kademangan
Sangkal Putung. Mungkin karena tiba-tiba saja sekelompok anak muda ingin
mengadakan semacam makan bersama dengan menangkap seekor rusa atau binatang
buruan yang lain. Atau mungkin karena salah seorang istri mereka nyidam seekor
binatang buruan.
Tetapi adalah pasti bahwa
mereka tidak akan membuat perapian di dalam hutan itu.
Jika sebelumnya pernah juga
ada orang yang melihat asap yang mengepul, agaknya mereka sama sekali tidak
menghiraukannya dan memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang kurang baik.
Apalagi asap itu hanya nampak sesaat, kemudian hilang dihembus angin.
Namun agaknya asap itu
mempunyai arti yang lain bagi Agung Sedayu. Juga karena hatinya yang bagaikan
terombang-ambing oleh kegelisahan, maka asap itu agaknya merupakan sesuatu
untuk mengurangi kejemuan dan kegelisahan di hatinya.
Agung Sedayu tiba-tiba saja
telah tertarik untuk memasuki hutan yang tidak begitu lebat itu untuk melihat,
siapakah yang telah bermain-main dengan api di dalam hutan itu. Jika api itu
kurang mendapat pengawalan, maka api itu akan dapat menjilat dedaunan kering
dan bahkan dapat menimbulkan kebakaran.
Perlahan-lahan Agung Sedayu
mendekati hutan itu. Diseberanginya lapangan perdu yang jarang, kemudian
dimasukinya hutan itu dengan hati-hati.
Tetapi firasatnya yang tajam,
tiba-tiba saja telah memperingatkannya bahwa di hadapannya terdapat bahaya yang
dapat mengancam keselamatannya.
“Siapakah yang membuat
perapian itu?” pertanyaan itu selalu bergetar di dalam hatinya. Namun ia tidak
mau lengah dan mengalami kesulitan sehingga ia pun mencoba untuk memperhatikan
firasat yang seakan-akan telah menggamitnya.
Ketika Agung Sedayu sudah
berada di dalam hutan itu, maka ia pun segera turun dari kudanya. Justru
kudanyalah yang kemudian dituntunnya menyusup di antara pepohonan.
Semakin dekat dengan sumber
asap yang mengepul itu, Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Apalagi
ketika kemudian hidungnya mulai mencium bau perapian dan daging yang dipanggang
di atasnya
“Sangat mencurigakan,”
desisnya, “apakah ada sekelompok orang asing yang berada di sekitar Sangkal
Putung?”
Namun dengan demikian Agung
Sedayu menjadi bertambah hati-hati. Diikatnya kudanya pada sebatang pohon, dan
ia pun kemudian merayap mendekatinya dengan penuh kewaspadaan.
Selangkah demi selangkah ia
maju. Ia sudah mulai mendengar suara seseorang yang mendehem.
Namun justru karena itu, maka
Agung Sedayu telah terhenti. Ia mulai dijalari oleh perasaan ragu-ragu.
“Apakah untungnya aku
mengintai orang yang sedang berburu dan menikmati hasil buruannya,” berkata
Agung Sedayu di dalam hatinya.
Sejenak ia termangu-mangu.
Bahkan kemudian timbul niatnya untuk mengurungkan usahanya melihat siapakah
yang sedang duduk di perapian di dalam hutan itu.
Namun tiba-tiba saja ia
melihat dedaunan kering yang berhamburan disentuh oleh angin. Di luar sadarnya
Agung Sedayu menengadahkan wajahnya ke langit yang bersih.
“Jika api itu dihembus oleh
angin dan menyentuh dedaunan kering, maka pasti akan merupakan bahaya yang akan
dapat membakar hutan ini seluruhnya,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Karena itu, maka ia pun
memutuskan untuk meneruskan maksudnya melihat orang yang sedang membuat
perapian di dalam hutan itu, setidak-tidaknya untuk memperingatkan bahwa apinya
dapat berbahaya bagi hutan itu seluruhnya, sehingga ia harus berhati-hati dan
segera memadamkannya apabila sudah tidak diperlukan lagi. Jika api itu
ditinggal begitu saja, tentu akan dapat menjadi sumber bencana, disadari atau
tidak disadari.
Selangkah lagi Agung Sedayu
maju dengan ragu-ragu. Ia mendengar lagi orang itu mendeham. Kemudian sebuah
hentakan yang keras pada batang kayu. Agaknya orang itu telah melemparkan
sepotong tulang yang besar mengenai pepohonan.
Ketika Agung Sedayu maju lagi,
maka langkahnya segera tertegun, Betapa ia terkejut ketika ia melihat orang
yang sedang duduk di dekat perapian itu. Orang yang dengan pakaian yang kusut
dan kotor. Rambut yang terurai dan sama sekali tidak terpelihara.
“Siapakah orang itu?” ia
bertanya kepada diri sendiri.
Sejenak ia termangu-mangu.
Ujud orang itu telah menimbulkan teka-teki padanya. Namun justru karena itu,
maka ia pun semakin terdorong untuk menemuinya, meskipun ia sadar bahwa ia
harus berhati-hati.
Ketika selangkah lagi Agung
Sedayu maju, ternyata telinga orang itu cukup tajam menangkap desir kaki di
dedaunan kering. Dengan serta-merta orang itu meloncat bangkit dan memutar diri
menghadap kepada Agung Sedayu yang berdiri tegak memandanginya.
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar ketika ia melihat wajah orang itu dan terlebih-lebih lagi sorot
matanya yang liar penuh dendam dan kebencian. Dengan serta-merta Agung Sedayu
surut selangkah ketika orang itu melangkah maju sambil menarik senjatanya dan
menggeram, dengan kasar, “He, siapakah kau? Iblis, genderuwo atau prajurit
Pajang?”
Agung Sedayu termangu-mangu.
Sejenak ia terdiam memandang orang yang nampak buas dan liar itu.
“Siapa kau, he?” orang itu
berteriak. “Sebut dirirnu sebelum kau menjadi bangkai.”
Agung Sedayu termangu-mangu.
“Siapa, siapa?” orang itu
berteriak semakin keras.
Agung Sedayu termenung
sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Namaku Agung Sedayu.”
“Agung Sedayu,” orang itu
berguman, “kenapa kau berada di sini?”
“Aku sedang dalam perjalanan
ke Jati Anom ketika aku melihat asap perapianmu,” jawab Agung Sedayu.
“Kau datang dari mana.”
“Dari Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung,” tiba-tiba
wajah orang itu menjadi semakin liar. Selangkah ia maju dan bertanya, “Kau
orang Sangkal Putung, he?”
Agung Sedayu menjadi semakin
berdebar-debar. Jawabnya, “Aku bukan orang Sangkal Putung, tetapi aku memang
tinggal di Sangkal Putung.”
“Kau kenal dengan Ki Demang
Sangkal Putung dan anaknya yang baru saja kawin dengan gadis Menoreh?”
“Ya, aku kenal,” jawab Agung
Sedayu dengan jujur.
“Kau ikut menjadi pengiring
ketika pengantin pulang dari Menoreh?” bertanya orang itu di luar sadarnya.
Namun jawabnya telah
membuatnya menjadi buas. Dengan wajah yang tegang ia mendengar Agung Sedayu
menjawab, “Ya. Aku ikut dalam iring-iringan itu. Kenapa, Ki Sanak?”
Sejenak orang tu justru
terdiam. Tetapi giginya gemeretak dan sorot matanya bagaikan memancarkan api
dendam yang menyala di hatinya.
Selangkah orang itu maju
sambil mengacungkan senjatanya. Dengan suara gemetar ia berkata, “Jadi kau ikut
serta membunuh saudaraku, he? Bahkan mungkin kaulah pembunuhnya.”
“Siapakah saudaramu itu, Ki
Sanak. Aku belum mengenalmu dan barangkali aku juga belum mengenal saudaramu
itu.”
“Setiap orang mengenal
saudaraku. Ia adalah orang yang paling tangguh di seluruh daerah Pajang.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Tetapi kenapa ia terbunuh?”
“Orang-orang Sangkal Putung
yang licik. Mereka telah mengeroyok saudaraku dengan licik.”
“Siapakah saudaramu itu?”
“Gandu Demung.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dari beberapa orang yang tertawan ia mendengar bahwa pimpinan
segerombolan orang-orang yang mencegat pengantin dari Menoreh itu bernama Gandu
Demung. Di antara para pemimpin yang lain terdapat saudara-saudaranya yang tangguh
pula seperti Gandu Demung.
“Para tawanan itu tidak tahu
lebih banyak lagi tentang Gandu Demung,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
“He, kenapa kau diam?” orang
itu berteriak pula lebih keras.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Lalu ia pun bertanya, “Jadi kau adalah salah seorang saudara Gandu
Demung itu?”
Orang itu memandang Agung
Sedayu dengan tajamnya, seolah-olah ingin menelannya bulat-bulat. Dengan wajah
yang liar ia maju selangkah sambil mengacungkan senjatanya, “Jangan menyesal
bahwa kau tersesat sampai di sini.” Namun tiba-tiba, “He, kenapa kau sampai ke
tempat ini, he? Apakah kau petugas sandi prajurit Pajang?”
Agung Sedayu menggeleng.
Jawabnya, “Bukan. Sudah aku katakan bahwa aku adalah orang Sangkal Putung.”
Dengan tatapan mata yang aneh
orang itu mencoba memandang ke sekitarnya, seakan-akan ingin mengetahui apakah
di balik pepohonan ada orang lain yang sedang mengintainya.
Agung Sedayu yang dapat
mengerti perasaan orang itu pun ber-kata, “Sudah aku katakan, aku bukan petugas
sandi. Dan aku dalang ke tempat ini benar-benar seorang diri.”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun tiba-tiba saja terdengar suara tertawanya yang buas, “Nasibmu
memang buruk. Tetapi katakan, apakah maksudmu datang kemari?”
“Aku melihat asap mengepul
dari luar hutan ini. Dan aku ingin tahu siapakah yang membuat perapian di siang
hari karena hal itu jarang sekali terjadi. Api yang tidak dipadamkan dengan
baik di dalam hutan yang kering dapat menimbulkan kebakaran yalrg berakibat
sangat buruk.”
Suara tertawa orang itu justru
semakin meninggi, “Kau memang orang yang cerdas. Tetapi ternyata kecerdasanmu
itu telah menjerumuskan kau ke dalam kesulitan. Nah, sekarang ternyata bahwa
kau telah terperosok ke dalam lingkungan yang tidak kau kehendaki dan yang tidak
akan membiarkan kesempatan kepadamu untuk keluar lagi.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Namun ia merasa bahwa ia harus mempersiapkan diri menghadapi bahaya
yang dapat mencelakainya.
“Ki Sanak,” berkata Agung
Sedayu, “jika benar kau saudara Gandu Demung yang telah terbunuh dalam
pertempuran itu, serta sisa-sisa pasukannya yang sudah terjaring oleh prajurit
Pajang, kenapa kau tidak mengambil sikap yang bijaksana. Seharusnya kau
menghentikan kegiatanmu yang dapat menimbulkan benturan kekerasan ini. Mungkin
kau memilih jalan untuk menyerah saja kepada prajurit Pajang atau kembali ke
padepokanmu.”
“Tidak. Kedua-duanya tidak.
Aku tidak akan menyerah. Tetapi aku pun tidak mau kembali selama prajurit
Pajang masih berkeliaran di luar hutan ini.”
Sejenak Agung Sedayu merenungi
wajah yang buas dan liar itu. Namun baginya wajah itu dibayangi oleh kecemasan,
kekecewaan, dan ketakutan. Tetapi dengan demikian, maka dalam keputusasaan,
orang itu akan menjadi orang liar yang berbahaya.
“Nah,” berkata orang itu
sambil mengacukan senjatanya ia berkata selanjutnya, “Kau adalah sasaran
melepaskan dendam yang paling menyenangkan. Setidak-tidaknya aku sudah berhasil
membunuh seorang yang ikut bertanggung jawab atas kematian Gandu Demung.”
“Kau salah, Ki Sanak. Di dalam
peperangan, apalagi karena Gandu Demung sengaja mulai dengan tindak kekerasan,
tanggung jawab adalah pada kesatuan masing-masing. Tidak pada seorang demi
seorang.”
“Ya, aku tahu. Dan di dalam
kesatuan para pengawal dari Sangkal Putung itu terdapat kau. Karena itu, maka
kau tentu ikut mendukung tanggung jawab itu.”
Agung Sedayu masih akan
menjawab, tetapi orang itu mendahuluinya, “Jangan ingkar. Dalam keadaan seperti
sekarang, tidak ada pilihan lain kecuali mati.”
Sejenak suasana menjadi sepi
tegang. Agung Sedayu tidak melihat kemungkinan lain kecuali harus
mempertahankan diri.
“Orang ini adalah saudara
Gandu Demung,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Dan ia pun sudah
mengetahui, bahwa Gandu Demung adalah orang yang bertempur melawan Swandaru dan
yang kemudian terbunuh oleh ujung cambuknya dengan luka yang silang melintang
di seluruh tubuhnya.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Baginya saudara Gandu Demung tentu orang yang cukup berbahaya juga
seperti Gandu Demung sendiri.
Dalam pada itu, agaknya
saudara Gandu Demung sudah tidak dapat menahan diri lagi. Dendam dan kebencian
yang menyala di dadanya telah mendorongnya untuk segera melakukan kekerasan.
Tidak ada pertimbangan lain baginya kecuali membunuh Agung Sedayu.
Agung Sedayu melangkah surut
ketika ia melihat orang itu memutar senjata sambil melangkah maju setapak.
Dengan nada yang datar orang itu berkata, “Bersiaplah untuk mati.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun terasa bulu-bulunya bergetar ketika orang itu tertawa
berkepanjangan. Seakan-akan sebuah kidung yang diteriakkan dari dunia kelam,
mendambakan maut yang sudah siap untuk mencekam.
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat membiarkan dirinya dibelah oleh pedang lawannya. Itulah sebabnya maka
ketika orang itu meloncat menyerang. Agung Sedayu telah meloncat pula untuk
menghindar.
“Kau sudah gila,” geram Agung
Sedayu.
Tetapi suaranya seolah-olah
tidak terdengar sama sekali. Orang itu menyerang sekali lagi dengan sengitnya.
Ujung senjatanya menyambar mendatar mengarah ke lambung lawan.
Agung Sedayu harus meloncat
mundur. Namun demikian kakinya menjejak tanah, serangan berikutnya telah
mengejarnya. Dengan tangan yang terjulur lurus, ujung pedang itu mengarah ke
dadanya mematuk arah jantung.
Sekali lagi Agung Sedayu harus
menghindar. Dan ia pun telah memperhitungkan bahwa serangan berikutnya tentu
akan mengejarnya pula. Sehingga karena itulah, maka tatapan matanya tidak
terlepas dari ujung pedang lawannya.
Tetapi perhitungan Agung
Sedayu itu ternyata salah. Orang itu tidak mengejarnya dan menyerang membabi
buta. Ketika serangannya gagal, maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk
bertempur bukan saja karena didorong oleh kegilaannya.
“Ternyata ia tetap sadar,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun justru karena itu, maka Agung Sedayu
pun harus menjadi semakin berhati-hati. Lawannya yang nampaknya hanya
dipengaruhi oleh dendam dan kebencian itu, masih mempunyai pertimbangan yang
utuh menghadapi perkelahian yang bakal terjadi.
“Ia masih mampu menguasai
akalnya meskipun di dalam tingkah laku nampaknya sudah mulai kabur,” berkata
Agung Sedayu kepada diri sendiri. “Dengan demikian terbukti bahwa ia memang
seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang harus diperhitungkan.”
Agung Sedayu segera
mempersiapkan diri untuk menghadapi kemungkinan yang lebih berat. Ia mundur
selangkah dan memandangi lawannya dengan saksama, dari ujung rambut sampai ke
ujung kakinya, seakan-akan ingin menilai kemampuannya dari bentuk dan sikapnya.
Ketika orang itu menyerang
lagi, maka Agung Sedayu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya dengan
perhitungan yang lebih baik dari sekedar menganggap lawannya seorang yang
kurang utuh nalarnya.
Ternyata dalam pertempuran
yang kemudian terjadi, Agung Sedayu merasakan bahwa kemampuan orang itu
bukannya sekedar didorong oleh keberanian tanpa perhitungan.
Sejenak kemudian, perkelahian
yang semakin seru telah terjadi. Agung Sedayu tidak berhasil menguasai lawannya
hanya dengan tangannya karena ternyata pedang lawannya itu pun kemudian
berputaran seperti baling-baling.
Serangan pedang itu semakin
lama rasa-rasanya semakin merapat ke tubuhnya. Setiap kali sudah terasa desing
yang terbang hanya sejengkal dari tubuhnya.
“Aku harus menghentikan
kegilaan itu,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Ketika senjata lawannya
semakin menekan maka Agung Sedayu pun segera mengurai senjatanya yang khusus,
meskipun ia sama sekali tidak berniat membunuh lawannya, karena ia beranggapan,
dengan menangkap orang ini hidup-hidup, maka akan didapatnya keterangan tentang
Gandu Demung yang lebih banyak daripada sekedar dari orang-orangnya.
“Jika ia benar saudara Gandu
Demung, maka ia akan dapat mengatakan, hubungan apakah yang pernah dilakukan
oleh saudaranya itu dengan orang yang disebut-sebut bernama Empu Pinang Aring,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.
Itulah sebabnya, maka dalam
perkelahian berikutnya Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh telah berusaha
merampas pedang orang itu dari tangannya.
Namun orang itu bukannya
dengan mudah dapat dikuasainya. Ia mempunyai kemampuan yang cukup untuk
menghindari serangan cambuk Agung Sedayu yang mengarah ke tangannya.
Dalam pada itu, seorang yang
asing bagi Sangkal Putung sedang duduk dengan gelisah di ujung itu. Menurut
beberapa petunjuk ia dapat memastikan bahwa tempat itu adalah tempat yang telah
digunakan sebagai arena pertempuran antara orang-orang Sangkal Putung dan para
penyamun dari daerah di sekitar Gunung Tidar.
“Kedua orang itu mengatakan
bahwa Gandu Demung terbunuh di sini,” geramnya sambil menggerakkan giginya,
“kegagalan itu merupakan malapetaka yang pantas disesali.”
Tetapi yang kemudian
dilihatnya adalah bentangan lapangan perdu yang lebat di pinggir hutan yang
memanjang.
Selagi ia merenungi keadaan
yang sepi di sekitarnya, tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar suara
ledakan cambuk lamat-lamat dari dalam hutan. Sekali, dua kali, dan suara itu
meledak-ledak beberapa kali berturut-turut.
“Orang bercambuk,” ia
berdesis.
Namun kemudian terdengar ia
menggeram. Dengan serta-merta ia pun kemudian membawa kudanya langsung menusup
di antara pepohonan menuju ke arah suara itu
Beberapa puluh langkah dari
suara cambuk yang meledak-ledak itu, ia pun mengikat kudanya. Kemudian
perlahan-lahan ia melangkah maju mendekat
Dari sela-sela pepohonan ia
pun segara melihat perkelahian itu. Setiap kali ia melihat ujung cambuk yang
bergetar disusul oleh ledakan yang memekakkan telinga.
Sementara itu Agung Sedayu
masih bertempur terus. Namun kemudian segera ternyata bahwa ia akan segera
berhasil menguasai lawannya. Cambuknya yang meledak-ledak telah mendesak
saudara Gandu Demung itu ke dalam kesulitan. Semakin lama ruang gerak saudara
Gandu Demung itu seolah-olah menjadi semakin sempit dibatasi oleh
ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu yang semakin lama menjadi semakin sering.
“Gila, gila!” teriak saudara
Gandu Demung yang menjadi semakin liar. Namun bagaimana pun juga terasa
seolah-olah ujung cambuk Agung Sedayu telah melingkarinya dengan
ledakan-ledakan yang memekakkan ke tulang.
Semakin lama keadaan saudara
Gandu Demung itu menjadi semakin sulit. Bahkan kemudian seakan-akan ia sudah
tidak mendapat kesempatan lagi untuk bergerak, dikurung oleh ujung cambuk Agung
Sedayu yang menjadi semakin mapan.
“Menyerahlah,” berkata Agung
Sedayu, “kau kami perlukan, sehingga kerena itu, maka kedudukanmu tidak akan
membahayakanmu.”
Orang itu tidak menyahut.
Tetapi ia pun menggeretakkan giginya sambil memutar pedangnya semakin cepat.
“Menyerahlah,” sekali lagi
Agung Sedayu mengulang. Namun orang itu justru menjadi semakin liar.
Sementara itu, seseorang telah
berada beberapa langkah dari arena perkelahian itu. Dengan wajah yang tegang ia
melihat dari kejauhan, pertempuran yang semakin berat sebelah.
Setiap kali terdengar suara
cambuk meledak, maka lawan Agung Sedayu itu seolah-olah menjadi semakin
terdesak, sehingga akhirnya ia telah tersudut sehingga kesempatannya pun
menjadi semakin sempit.
“Nah,” berkata Agung Sedayu,
“apakah kau masih akan melawan?”
Orang itu memandang Agung
Sedayu dengan tajamnya. Pedangnya masih bergetar di tangannya.
“Menyerahlah. Letakkan
senjatamu dan ikutlah aku ke Jati Anom.”
Orang itu masih berdiri
termangu-mangu.
“Cepat. Letakkan senjatamu,”
desak Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu,
tiba-tiba saja terdengar desir langkah seseorang mendekati arena itu, sehingga
telinga Agung Sedayu yang tajam dapat menangkapnya.
Dengan hati-hati ia bergeser
dan berpaling memandang orang yang mendekati arena perkelahian itu.
“Jangan menyerah,” berkata
orang yang datang itu.
Dada Agung Sedayu berdesir.
Dilihatnya seseorang yang sudah memegang senjata di tangannya maju selangkah
demi selangkah.
“Ayah,” tiba-tiba saja
terdengar lawan Agung Sedayu itu berdesis.
“Ya. Aku datang tepat pada
waktunya.”
“Siapa kau?” bertanya Agung
Sedayu dengan nada datar.
“Aku adalah ayahnya. Ayah Gandu
Demung yang mati di daerah Sangkal Putung.”
“Dari mana kau mendengar,
Ayah?” bertanya saudara Gandu Demung itu.
“Dua orang kawannya ternyata
telah mengikuti seluruh perjalanan sepasang pengantin itu. Ia ditugaskan oleh
Empu Pinang Aring untuk mengetahui apa yang terjadi di perjalanannya. Ternyata
ia terbunuh oleh orang-orang Sangkal Putung.”
“Ayah benar. Gandu Demung
telah terbunuh. Dan orang ini adalah salah satu daripada pembunuh-pembunuh
itu.”
Ayah Gandu Demung memandang
Agung Sedayu dengan tajamnya. Lalu ia pun bertanya, “Apakah kau akan membunuh
anakku yang satu itu pula?”
“Tidak, Ki Sanak,” berkata
Agung Sedayu, “aku berusaha untuk memaksanya menyerah dan membawanya ke Sangkal
Putung.”
“Itu tidak mungkin. Aku tidak
mau kehilangan lagi. Karena itu maka aku akan membantunya melepaskannya dari
tanganmu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Bahkan sebaiknya aku menuntut kematian
anakku itu dengan kematian pula.”
“Kita harus membunuhnya,
Ayah,” berkata saudara Gandu Demung itu.
“Ya. membunuhnya dan
meletakkannya di pintu gerbang Kademangan Sangkal Putung.”
Agung Sedayu memandang ayah
Gandu Demung itu dengan hati yang berdebar-debar. Orang itu pun tentu memiliki
kemampuan olah kanuragan seperti anak-anaknya.
“Jangan menyesal,” geram ayah
Gandu Demung itu, “aku sudah kehilangan anak-anakku. Gandu Demung terbunuh dan
menurut pendengaranku saudaranya yang masih hidup telah tertangkap oleh
prajurit Pajang bersama dengan kawan-kawannya. Sekarang, datang gilirannya,
bahwa kaulah yang akan mati dan mayatmu akan aku cincang sebelum aku lemparkan
ke padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung.”
“Kalian rupa-rupanya telah
menjadi gila dan kehilangan nalar. Apakah kalian sangka bahwa kalian akan
berhasil?” bertanya Agung Sedayu.
“Bukan hanya kau seorang diri.
Setelah kau, maka akan datang giliran anak-anak muda yang lain akan menjadi
sasaran dendam. Satu demi satu anak-anak muda Sangkal Putung akan mati
tercincang dan mayatnya akan tergolek di mulut pintu gerbang.”
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Pada sorot matanya nampak betapa dendam dan kebencian menyala di hati
orang tua itu. Sehingga dengan demikian Agung Sedayu menyadari bahwa ia harus
benar-benar mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang dapat
terjadi. Dua orang itu tentu akan menjadi buas dan liar sehingga untuk melawan
keduanya diperlukan segenap kemampuan yang ada padanya.
Agung Sedayu bergeser setapak
ketika ia melihat orang itu melangkah maju. Senjatanya mulai teracu ke arah
anak muda itu. Sementara anaknya pun telah mulai mempersiapkan dirinya pula
untuk kemudian bersama-sama dengan ayahnya melawan Agung Sedayu.
“Kaulah yang harus meletakkan
senjatamu,” geram orang tua itu. Senjatanya, sebuah parang yang besar mulai
bergerak-gerak. Katanya kemudian, “Senjataku pernah aku basahi dengan darah
berpuluh-puluh korban. Tetapi tentu tidak akan sepuas sekarang, karena sekedar
untuk merampas harta benda korbanku. Darahmu akan membuat senjataku semakin
garang dan mantap.”
“Sebenarnya kalian tidak perlu
menjadi kehilangan akal. Jika kalian mau menyadari kedudukan kalian, maka
keadaan kalian akan semakin baik,” berkata Agung Sedayu kemudian.
“Kau mulai ketakutan
sekarang,” berkata orang tua itu, “jika kau menyerah, maka aku berjanji akan
membunuhmu tanpa menyakitimu. Aku akan mencincang tubuhmu tanpa kau ketahui
setelah kematianmu. Tetapi jika kau melawan yang terjadi adalah sebaliknya. Kau
akan aku cincang sebelum kau mati, sehingga kau dapat merasakan akibat dari
dendam kami yang tidak ada taranya selama petualangan kami.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Dengan suara yang berat ia berkata, “Jangan berangan-angan, Ki
Sanak, mungkin kalian dapat membunuhku, tetapi tentu tidak akan semudah seperti
yang kau katakan, karena aku akan mengadakan perlawanan sejauh dapat aku
lakukan.”
“Sia-sia. Tetapi terserahlah.
Membunuhmu setelah kau kehilangan kesempatan agaknya memang lebih menyenangkan
daripada membunuhmu saat kau menguncupkan tangan dan membungkukkan kepalamu
dalam-dalam,” geram ayah Gandu Demung itu.
Agung Sedayu termangu-mangu
sejenak. Ia melihat dendam yang menyala di sorot mata kedua orang itu, sehingga
agaknya mereka tidak akan dapat diajaknya berbicara lagi
“Tidak ada jalan lain,” desis
Agung Sedayu sambil menggerakkan cambuknya, “aku harus menundukkan keduanya
dengan kekerasan.”
Namun kemudian terbersit pula
pertimbangan-pertimbangannya yang lain. Untuk melawan keduanya, tentu bukanlah
tugas yang ringan. Bahkan mungkin ia akan terlibat dalam kesulitan, karena
keduanya tentu akan dapat bertempur berpasangan dengan serasi.
Tetapi Agung Sedayu tidak
mendapat kesempatan untuk menimbang-nimbang lebih lama lagi. Sejenak kemudian
terdengar orang tua itu berteriak nyaring. Sebuah loncatan panjang dibarengi
uluran parang yang besar itu langsung mengarah ke dada Agung Sedayu telah memaksanya
untuk meloncat menghindar. Namun demikian kakinya menjejak tanah, serangan
berikutnya dari lawannya yang lain telah datang pula dengan cepatnya. Pedang
saudara Gandu Demung itu menebas mendatar setinggi lambung.
Agung Sedayu harus meloncat
sekali lagi untuk menghindari tajam pedang itu. Namun sekali lagi serangan itu
datang. Ayahnya tidak melepaskan kesempatan itu. Parangnya yang besar segera
terayun menusuk dada. Bahkan sekilas Agung Sedayu pun telah melihat perubahan
gerak pedang lawannya yang muda, sehingga akan terjadi serangan rangkap yang
sangat berbahaya baginya.
Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Tetapi ia harus cepat mengambil sikap. Ia tidak dapat
membiarkan kedua serangan itu memotong setiap usahanya untuk menghindarkan
diri.
Karena itu, maka ketika
ujung-ujung senjata itu mematuknya, Agung Sedayu segera menjatuhkan dirinya dan
berguling beberapa kali. Kemudian dengan cepatnya ia melenting berdiri sebelum
kedua lawannya meloncat mendekatinya.
Yang diperhitungkan Agung
Sedayu pun kemudian ternyata dilakukan oleh lawannya. Keduanya serentak memburu
dari arah yang berbeda. Dan berusaha untuk menyerang bersama-sama.