“Bagaimana dengan Ki Tambak
Wedi?” bertanya salah seorang dari mereka. “Bukankah Kiai bertempur melawannya
di sini?”
“Lari” jawab Ki Tanu Metir
pendek.
“Orang itu benar-benar licin
seperti hantu. Ia berhasil menghilang dari kepungan kami, dan kini berhasil
meloloskan diri dari tangan Kiai. Bagaimana dengan Sidanti dan yang seorang
lagi?”
“Ketiganya dapat melepaskan
diri.”
“Sayang,” desis para prajurit
Pajang,” mereka akan menjadi bibit persoalan di waktu-waktu mendatang.”
“Ya. Bibit itu akan cepat
tumbuh dan berkembang. Mereka mempunyai tanah yang subur bagi pertumbuhan bibit
itu.”
“Di mana, Kiai?”
“Menoreh.”
Para prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Namun segera mereka memalingkan kepala
mereka ketika mereka mendengar Swandaru menyela, “Bagaimana dengan Sekar
Mirah?”
Swandaru tidak menunggu
jawaban. Segera ia melangkah dan keluar dari kerumunan para prajurit itu.
Dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke arah pintu yang masih saja miring.
Agung Sedayu ketika melihat
Swandaru pergi, segera menyusulnya di belakang.
Ki Tanu Metir masih belum
beranjak dari tempatnya. Dibiarkannya kedua muridnya itu pergi menemui Sekar
Mirah, sedang Ki Tanu Metir sendiri kemudian kembali sibuk menjawab pertanyaan
para prajurit yang mengerumuninya.
Ketika Swandaru masuk ke dalam
rumah bersama Agung Sedayu, maka mereka melihat Sekar Mirah telah berdiri di
sudut ruangan. Di atas bale-bale bambu kini terbaring sesosok tubuh. Ia, adalah
prajurit yang telah dikenai gelang-gelang-gelang besi oleh Ki Tambak Wedi.
Sedang di sudut yang lain kedua orang Tambak Wedi yang terikat masih juga
terikat.
Demikian Sekar Mirah melihat Swandaru
masuk, maka sekali lagi ia berlari mendapatkannya sambil menangis. Tetapi kini
ia sudah tidak menjerit-jerit lagi.
“Kakang, aku takut” katanya di
antara isak tangisnya.
“Jangan takut, Mirah. Kau
sekarang sudah bebas” jawab Swandaru.
Sekar Mirah mengangkat
wajahnya. Pandangannya masih mengandung kecemasan, “Apakah aku sekarang sudah
bebas?”
“Sudah, Mirah.”
“Tetapi kita masih berada di
sini. Kita masih berada di Tambak Wedi.”
“Ya, tetapi semuanya sudah
selesai. Padepokan ini sudah dikuasai oleh Kakang Untara.”
“Lalu bagaimana dengan Sidanti
dan orang-orang lain yang menakutkan itu?”
“Sidanti telah pergi. Ia telah
melarikan diri dari padepokannya bersama guru dan pamannya.”
“Lari?”
“Ya. Sayang kami tidak dapat
menangkapnya hidup atau mati. Ia berhasil meloncat dinding lewat sebatang pohon
preh.”
Sekar Mirah memandang wajah
kakaknya dengan penuh pertanyaan. Katanya, “Apakah kalian tidak dapat
mengejarnya lewat pohon preh itu pula?”
Swandaru menggeleng, “Tidak,
Mirah. Kami tidak dapat mengejarnya. Ternyata pohon preh itu memang sudah
dipersiapkannya menjadi sebuah pintu rahasia.”
Sekar Mirah terdiam. Namun
tampaklah bahwa ia menjadi sangat kecewa. Sidanti baginya akan tetap menjadi hantu
sebelum terbunuh. Setiap kali ia akan muncul dan menakut-nakutinya.
“Jangan takut,” berkata
Swandaru kemudian yang seakan-akan dapat mengerti perasaan adiknya, “kini
Sidanti sama sekali sudah tidak berdaya menghadapi Kakang Agung Sedayu. Sidanti
bukan lagi menjadi hantu bagi kami. Untuk waktu yang lama aku kira ia tidak
akan menampakkan dirinya lagi.”
“Kemanakah orang itu
bersembunyi?”
“Mungkin ia akan kembali ke
kampung halamannya, Menoreh.”
Sekar Mirah terdiam. Tanpa
sesadarnya ia berpaling. Ketika pandangan matanya bertemu dengan sorot mata
Agung Sedayu, maka cepat-cepat gadis itu menundukkan kepalanya.
Dada Agung Sedayu pun
berdesir. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar rumah lewat lubang
pintu. Dilihatnya di luar beberapa orang berdiri mengerumuni Kiai Gringsing.
Sejenak mereka dicengkam oleh
keheningan. Sekar Mirah kini sudah tidak menangis lagi. Tetapi ia masih juga
selalu dibayangi oleh ketakutan. Jangan-jangan Sidanti dan gurunya akan muncul
dengan tiba-tiba.
Namun kehadiran beberapa orang
prajurit Pajang telah menambah ketenteraman hatinya. Ia percaya bahwa Untara
telah menduduki padepokan Tambak Wedi.
Sejenak kemudian Ki Tanu Metir
telah masuk ke dalam rumah itu pula diiringi oleh beberapa orang prajurit.
Ketika ia melangkahkan kakinya masuk, maka segera ia berdesis, “Nini Sekar
Mirah, sekarang kau tidak perlu takut lagi. Kau akan segera dapat kembali
kepada ayah dan ibu di Sangkal Putung. Semuanya sudah selesai di sini.”
Hati Sekar Mirah yang sudah
agak tenteram itu pun telah dapat diaturnya, sehingga ia mampu menjawab,
“Terima kasih, Kiai. Aku sudah sangat rindu kepada ayah dan ibu.”
“Setiap saat yang kau
kehendaki kau akan kami antar ke Sangkal Putung” sahut Ki Tanu Metir.
Sekali lagi Sekar Mirah
menjawab, “Terima kasih, Kiai.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
memandangi prajurit yang terbaring diam. Tampaklah wajahnya berkerut.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekatinya. Ketika ia meraba tangan prajurit itu
maka terdengar ia berdesah, “Hem, aku terlambat. Aku kira aku masih dapat
berbuat sesuatu atasnya.”
Kawannya, yang merawatnya pada
saat ia terpelanting dari kudanya berdiri di belakang Ki Tanu Metir. Katanya,
“Sejak ia pingsan, ia tidak sempat bangun kembali, Kiai.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam, desahnya, “Yang aku kejar pun tidak aku dapat, sedang prajurit ini
tidak tertolong lagi.”
Tak seorang pun yang menyahut.
“Ini adalah keharusan di luar
kemungkinan tangan manusia” gumam Ki Tanu Metir pula.
Ketika orang tua itu meraba
pundak prajurit yang telah gugur itu, maka terasa olehnya bahwa tulang prajurit
itu pecah oleh gelang-gelang Ki Tambak Wedi. Apalagi kemudian ia terpelanting
jatuh dari punggung kuda yang berlari kencang.
Namun tiba-tiba Ki Tanu Metir
itu mengangkat wajahnya, memandang berkeliling sambil berkata perlahan-lahan
seperti kepada diri sendiri, “He, di manakah Angger Wuranta? Sejak aku datang
aku belum melihatnya. Bukankah ia tinggal di sini?”
Semua kepala yang ada di dalam
rumah itu terangkat. Mereka saling memandang dan bertanya-tanya di dalam hati.
Apalagi Agung Sedayu dan Swandaru. Selama ini mereka telah melupakan anak muda
itu. Dan tiba-tiba saja mereka tersentak dalam satu ingatan atasnya. Mereka
mencoba mencari Wuranta di sekitarnya, di dalam rumah itu. Tetapi mereka tidak
melihatnya.
“Bukankah ia berada di rumah
ini ketika kita pergi?” desis Swandaru.
Agung Sedayu mengangguk.
Tampaklah perasaan aneh membayang di wajahnya. Ia melihat sikap yang tak
dimengertinya pada anak muda itu. Pada saat-saat ia mencoba menyelamatkannya,
Wuranta menjadi salah paham dan bahkan marah kepadanya. Sekarang anak muda itu
pergi tanpa menunggunya.
Dalam kebingungan itu ia
mendengar Ki Tanu Metir bertanya kepada prajurit yang merawat kawannya yang
terluka, “Apakah kau melihat Angger Wuranta di sini?”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Aku terlampau sibuk sehingga aku tidak begitu
memperhatikan keadaan di rumah ini. Aku kira, aku hanya melihat gadis yang
menangis itu dan dua orang yang terikat.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Prajurit ini bukan prajurit yang pernah berada
di Sangkal Putung. Prajurit ini adalah prajurit yang baru datang dari Pajang ke
Sangkal Putung dekat sebelum berangkat ke Jati Anom, sehingga ia belum begitu
mengenal Sekar Mirah, meskipun persoalannya telah pernah didengarnya.
“Gadis itulah yang bernama
Sekar Mirah” berkata Ki Tanu Metir.
“Aku sudah menyangka,” sahut
prajurit itu, “tetapi aku belum bertanya sesuatu kepadanya.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berpaling kepada Sekar Mirah dan
bertanya, “Apakah Angger Wuranta berkata kepadamu, bahwa ia akan pergi?”
Sekar Mirah menggelengkan
kepalanya, jawabnya, “Tidak, Kiai. Ia tidak berkata apa-apa.”
“Apakah kau melihat ia pergi,
Nini?”
“Aku melihat ia keluar dari
rumah ini, Kiai. Hampir bersamaan dengan saat Kiai mengejar Ki Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-angguk pula. Kemudian katanya, “Mungkin berada di luar rumah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
segera melangkah ke luar. Beberapa orang prajurit pun pergi pula bersamanya.
Meskipun mereka tidak begitu mengerti soalnya, namun mereka ingin juga membantu
mencarinya.
“Bukankah Wuranta anak Jati
Anom itu yang kalian cari” bertanya salah seorang dari prajurit-prajurit itu.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Sejenak kemudian di halaman
rumah itu berkeliaran beberapa orang yang berusaha untuk menemukan Wuranta.
Tetapi agaknya Wuranta sudah tidak berada di halaman itu.
Ketika Agung Sedayu dan
Swandaru kemudian masuk ke dalam rumah itu lagi, maka mereka menggelengkan
kepala mereka. Terdengar Agung Sedayu berdesis, “Tidak ada, Kiai.”
“Aneh, ke mana Angger Wuranta
itu pergi?”
Tak seorang pun yang menjawab.
Agung Sedayu dan Swandaru hanya saling berpandangan saja.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kita harus menemukannya. Apakah
Angger Untara akan datang ke mari juga?” bertanya orang tua itu kemudian kepada
para prajurit Pajang.
Salah seorang dari mereka
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak tahu, tetapi aku kira Ki
Untara terlampau sibuk. Ia berada di halaman banjar.”
“Apakah tidak ada waktu
baginya untuk melihat keadaan ini,” bertanya Agung Sedayu, “di sini baru saja
terjadi pertempuran antara Ki Tanu Metir dan Ki Tambak Wedi.”
Sekali lagi prajurit itu
menggelengkan kepalanya.
“Dan di sini pula Sekar Mirah
diketemukan” sambung Swandaru.
Prajurit itu masih juga
menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu,” katanya.
Namun yang menjawab kemudian
adalah Ki Tanu Metir. “Persoalan Angger Untara cukup banyak. Ia adalah seorang
senapati perang. Perhatiannya terutama ada pada keadaan peperangan seluruhnya.
Maaf Angger Swandaru, bahwa soal Angger Sekar Mirah adalah hanya sebagian dari
seluruh persoalan yang digarap oleh Angger Untara. Karena itu ia kini berada di
pusat pimpinan dari padepokan ini, itu bukan berarti Angger Untara tidak
menaruh perhatian atas peristiwa yang terjadi di sini. Bukankah ia telah
mengirimkan beberapa orang prajurit ke mari?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Sedang Agung Sedayu pun hanya
menundukkan kepalanya saja. Mereka dapat mengerti alasan yang diberikan oleh Ki
Tanu Metir meskipun tidak sepenuhnya.
Namun tangkapan Sekar Mirah
agak berbeda. Keterangan itu terasa agak menusuk perasaannya. Ia merasa bahwa
persoalannya dianggap kecil saja oleh Untara dan Ki Tanu Metir. Pengaruh
keadaannya selama di kademangan, sebagai gadis yang paling dihargai di seluruh
Sangkal Putung, Sekar Mirah merasa dirinya cukup penting untuk menjadi pusat
persoalan. Ia merasa bahwa persoalan yang terjadi adalah persoalan tentang
dirinya. Tentang hilangnya Sekat Mirah dari Sangkal Pulung. Bukan persoalan
antara Pajang dengan Jipang dan padepokan Tambak Wedi. Itulah sebabnya maka
perasaan gadis itu tersinggung. Namun demikian Sekar Mirah tidak mengucapkan
sepatah kata pun.
Yang berbicara kemudian adalah
Ki Tanu Metir pula, “Marilah kita pergi ke banjar. Kita menemui Angger Untara,
sambil mencari Angger Wuranta. Mungkin ia berada di sana pula. Kita harus
menemukannya. Apalagi anak muda itu sedang terluka.”
Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru tidak menyahut. Mereka masih berdiri saja di tempatnya ketika Ki Tanu
Metir melangkahkan kakinya. Dengan demikian, maka Ki Tanu Metir itu pun
tertegun sejenak sambil bertanya, “Kenapa kalian masih diam saja?”
Agung Sedayu berpaling ke arah
kedua orang yang terikat itu. Katanya, “Bagaimana dengan kedua orang itu?”
“O” Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian kepada salah seorang prajurit ia
berkata, “Keduanya adalah orang-orang Tambak Wedi yang bertugas mengawasi
Angger Sekar Mirah. Terserahlah kepada kalian. Tetapi keduanya menyerah.
Perlakukan mereka sebagai orang-orang yang tidak melakukan perlawanan.”
Prajurit itu mengangguk,
jawabnya, “Baik, Kiai.”
“Nah, sekarang marilah kita
pergi” ajak Ki Tanu Metir. Agung Sedayu pun kemudian melangkahkan kakinya pula.
Tetapi sekali lagi mereka
tertegun ketika mereka mendengar Swandaru berkata kepada adiknya, “Marilah,
Sekar Mirah. Kita pergi ke banjar untuk menemui Kakang Untara.”
“Apakah kita perlu pergi ke
banjar?” bertanya Sekar Mirah.
Pertanyaan itu benar-benar mengejutkan.
Ki Tanu Metir pun mengerutkan keningnya.
“Tentu,” jawab Swandaru, “kita
menemui Kakang Untara.”
“Apakah ada gunanya?” sahut
Sekar Mirah. Kata-kata itu ternyata telah menarik perhatian setiap orang yang
berada di dalam rumah itu. Beberapa orang prajurit saling berpandangan.
“Tentu” jawab Swandaru pula.
“Bukankah kita sama sekali
tidak penting bagi Kakang Untara, Senapati Pajang yang perkasa itu? Kita adalah
anak-anak padesan yang tidak berarti. Apakah gunanya kita menemuinya? Mungkin
ia sama sekali tidak sempat menyisihkan waktu buat melihat kedatangan kita.”
“Ah,” potong Agung Sedayu,
“jangan begitu, Mirah. Jangan terlampau perasa. Aku tahu apa yang mengganggu
perasaanmu. Tetapi sebaiknya kau mencoba memahami apa yang terjadi.”
Sekar Mirah memandang wajah
Agung Sedayu dengan sorot mata yang tajam. Dengan tajam pula ia berkata, “Kau
adalah adik dari senapati besar itu. Tentu bagimu selalu tersedia waktu. Tetapi
bagi kami. Aku dan Kakang Swandaru? Kami adalah anak-anak padukuhan Sangkal
Putung yang tidak berarti.”
“Kau salah terima, Nini,”
potong Ki Tanu Metir, “aku kira kita masing-masing terlibat dalam persoalan
kita sendiri. Marilah kita coba melihat persoalan ini secara keseluruhan, tanpa
melihat kepentingan sendiri. Mungkin kata-katakulah yang salah kau artikan.
Sebab akulah yang menyatakan alasan-alasan kenapa Angger Untara tidak datang
kemari, bukan Angger Untara sendiri. Mungkin Angger Untara mempunyai alasan
lain. Bahkan mungkin Angger Untara sendiri yang bertempur melawan Senapati Jipang.
Sanakeling?” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Diamatinya wajah Sekar Mirah yang
suram. Kemudian dilanjutkannya, “Karena itu, Nini, marilah kita melihat apakah
yang sudah terjadi di banjar.”
Sejenak Sekar Mirah tidak
menyahut. Ia mencoba mengerti apa yang sebenarnya terjadi di padepoken ini.
Namun kembali ia terlempar pada kesimpulan, bahwa peperangan yang terjadi
adalah karena Sidanti mengambilnya dari Sangkal Putung. Padepokan ini diduduki
oleh sepasukan prajurit, Ki Tanu Metir, Swandaru, dan Agung Sedayu, karena
mereka berusaha membebaskan dirinya. Namun ternyata setelah hal itu terjadi,
Untara agaknya acuh tak acuh saja terhadapnya. Ia sama sekali tidak meneriakkan
kemenangan atas kebebasannya, dan bahkan menjengukpun ia sama sekali tidak
sempat.
Meskipun Sekar Mirah
mengetahui, bahwa Pajang dan Jipang memang sedang dalam perselisihan, kemudian
Sidanti telah menempatkan diri sebagai lawan Pajang pula, namun semua itu tidak
akan terjadi secepat ini, seandainya ia tidak hilang dari Sangkal Putung.
Tetapi bagaimana juga ia kini
berhadapan dengan Ki Tanu Metir, orang yang telah langsung menyelamatkannya.
Tanpa orang tua itu maka Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan berarti apa-apa
buat Ki Tambak Wedi, apalagi bersama Sidanti dan Argajaya. Karena itu, maka ia
masih juga mempunyai rasa segan kepada orang tua itu.
Ketika Ki Tanu Metir
mengajaknya sekali lagi, maka Sekar Mirah tidak dapat menolak.
Maka pergilah kemudian mereka
berempat, bersama beberapa orang prajurit ke banjar Padepokan Tambak Wedi.
Beberapa orang prajurit yang lain tetap berada di rumah itu mengurus kedua
tawanan yang masih terikat.
Di sepanjang jalan mereka
berusaha untuk menemukan Wuranta. Anak muda itu terluka di dadanya. Meskipun
luka itu telah diobati namun obat itu masih perlu disempurnakan, supaya luka
itu lekas menjadi sembuh. Namun di sepanjang jalan mereka sama sekali tidak melihatnya.
Semakin dekat dengan banjar,
maka terasa tengkuk Sekar Mirah menjadi semakin meremang. Ketika ia
menengadahkan kepalanya, maka dilihatnya beberapa ekor burung gagak terbang
melingkar-lingkar. Suaranya menggeletar dalam nada yang berat seperti teriakan
hantu yang penuh dendam dan kebencian, bersahut-sahutan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
sekali-sekali menengadahkan kepalanya. Burung-burung gagak itu benar-benar
mempunyai alat pecium yang tajam. Begitu di padepokan itu darah tertumpah, maka
segera mereka berdatangan seperti tamu-tamu dalam perhelatan yang meriah.
Tiba-tiba mereka terkejut
ketika mereka mendengar Sekar Mirah memekik tinggi. Dengan serta-merta ia
memeluk kakaknya erat-erat sambil berteriak, “Kita kembali, Kakang. Kita
kembali. Aku takut. Aku tidak mau berjalan terus ke banjar padepokan ini. Mari,
antarkan aku kembali.”
Rombongan kecil itu pun segera
terhenti. Ketika mereka memandang ke depan, maka mengertilah mereka, kenapa
Sekar Mirah tidak mau maju lagi. Dari tempat itu mereka telah melihat beberapa
orang prajurit Pajang sudah mulai mengangkat mayat yang membujur-lintang di
jalan di muka banjar.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Kalau mereka berjalan terus, maka di halaman di sekitar banjar itu
pasti juga akan berserakan mayat orang-orang Jipang, orang-orang Tambak Wedi
dan para prajurit Pajang.
Dan Ki Tanu Metir itu masih
mendengar Sekar Mirah berkata, “Mari, Kakang, kita kembali. Kita jauhi tempat
yang mengerikan itu.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi ragu-ragu. Karena itu maka anak itu berdiri saja
termangu-mangu di tempatnya. Hanya sorot matanya sajalah yang seolah-olah
bertanya kepada gurunya, apakah yang sebaiknya dilakukan.
Ki Tanu Metir tanggap akan
pertanyaan yang memancar dari mata Swandaru, maka katanya, “Kita sudah dekat
sekali, Nini. Beberapa langkah lagi kita akan sampai ke banjar padepokan Tambak
Wedi.”
“Tidak, aku tidak mau. Aku
takut.”
“Tidak ada yang menakutkan.
Mungkin ada beberapa orang terluka yang tergolek di pinggir jalan. Tetapi mereka
akan segera mendapat perawatan.”
“Mereka bukan orang-orang yang
sekedar terluka. Mereka adalah orang-orang yang terbunuh di dalam peperangan.”
“Memang mungkin sekali hal itu
terjadi,” sahut Ki Tanu Metir, “tetapi Angger dapat memejamkan mata apabila
Angger lewat di dekat tempat bekas perkelahian itu.”
“Aku tidak mau. Lebih baik aku
kembali.”
“Nini,” berkata Ki Tanu Metir
pula, “jalan ini adalah jalan satu-satunya. Jalan ini pulalah jalan yang menuju
ke satu-satunya regol padepokan ini. Tak ada jalan lain. Nah, Ngger, sebaiknya
Nini lewat sekarang daripada menunggu sampai nanti atau besok. Sekarang Nini
masih mendapat kawan-kawan yang dapat membayangi Nini dari pemandangan yang
mengerikan. Orang-orang yang sibuk di sekitar banjar akan mengurangi kengerian
itu.”
“Aku tidak percaya, kalau
jalan ini adalah jalan satu-atunya. Dekat di pinggir-pinggir padepokan ini ada
jalan pula yang mengelilingi padepokan seperti dinding batu itu. Kita dapat
mencari jalan itu Dan kita akan sampai di seberang banjar padepokan.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Memang benar seperti yang dikatakan Sekar Mirah. Di sekitar
padepokan ini masih di dalam lingkungan dinding batu memang ada jalan yang
mengelilingi padepokan ini. Meskipun demikian ia berkata, “Tetapi kita akan
mampir ke banjar itu, Nini. Kita akan mencari Angger Wuranta dan menemui Angger
Untara.”
“Aku tidak perlu kedua-duanya.
Aku tidak memerlukan Wuranta dan Untara.”
“Ah,” Ki Tanu Metir menarik
nafas sekali lagi, “Angger, keduanya adalah orang-orang yang paling berjasa
dalam usaha melepaskan Angger dari padepokan ini.”
“Tetapi keduanya sama sekali
tidak mengacuhkan aku lagi. Keduanya menganggap aku tidak berarti bagi mereka.
Mungkin bagi mereka aku hanyalah kebetulan saja berada di sini. Sebab aku
hanyalah seorang gadis Sangkal Putung.”
“Angger terlampau perasa.”
“Tidak, Kiai. Ternyata Wuranta
pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun kepadaku yang berdiri hanya beberapa
langkah daripadanya. Sedang Untara adalah seorang besar yang mempunyai seribu
macam persoalan, sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mempersoalkan aku
lagi.”
“Nini,” berkata Ki Tanu Metir
sareh, “seandainya demikian. Seandainya mereka tidak memerlukan kita lagi,
sebab seperti juga Nini Sekar Mirah, aku bukan orang yang penting bagi Angger
Untara, maka marilah kita mencoba menemuinya untuk mengucapkan terima kasih
kepadanya. Apabila usaha kita untuk menemuinya gagal, maka bukan salah kita
apabila kita tidak berkesempatan untuk menyatakan terima kasih kita itu,”
Sekar Mirah terdiam sejenak.
Tetapi ia masih menyembunyikan wajahnya di dada kakaknya. Gumamnya, “Kiai,
tidak saja karena aku merasa tidak mendapat tempat di hadapan senapati besar
yang perkasa itu, tetapi aku takut, Kiai. Aku tidak berani lewat jalan yang
penuh dengan genangan darah.”
“Angger adalah seorang gadis
yang berani dan tabah. Di Sangkal Putung Angger dengan tanpa perasaan takut
telah meringankan para prajurit Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung yang
terluka. Nini telah membantu melakukan pengobatan dan melayani mereka makan dan
minum.”
“Tetapi tidak seperti itu, Kiai.
Di hadapan kita mayat bertimbun-timbun seperti tebangan batang pisang.”
“Tidak, Ngger. Tidak. Angger
hanya salah lihat. Tetapi sebaiknya Angger tidak usah melihatnya untuk yang
kedua kali, Angger akan berjalan di antara kami dan para prajurit yang berjalan
bersama kami. Angger sebaiknya memejamkan mata atau memandang ke udara.”
Sejenak Sekar Mirah tidak
menjawab. Dicobanya untuk memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya.
Dilihatnya anak muda itu berdiri saja termangu-mangu, sedang para prajurit
berdiri tegak kaku seperti tiang-tiang di pendapa rumahnya di Sangkal Putung.
“Bagaimana, Mirah?” terdengar
kakaknya berdesis. “Sebaiknya kita mengucapkan terima kasih kepada Kakang
Untara dan Kakang Wuranta. Bukankah mereka telah menentukan suatu keadaan di
mana kita mungkin dapat keluar dari padepokan ini?”
Sekar Mirah tidak membantah.
Dianggukkannya kepalanya perlahan-lahan. Namun ia bergumam, “Tetapi aku takut,
Kakang.”
“Jangan melihat keadaan di
sekitarmu. Lihatlah burung yang berputaran di udara, atau pejamkan saja matamu
supaya kau tidak melihat sesuatu.”
Sekali lagi Sekat Mirah
menganggukkan kepalanya. Maka dengan dibimbing oleh Swandaru mereka berjalan
lagi menuju ke banjar padepokan. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak berani
melihat keadaan di sekitarnya. Ditengadahkan saja wajahnya melihat burung yang
berterbangan di langit, awan yang sehelai-sehelai mengalir dihanyutkan oleh
angin yang silir.
Dilihatnya kebiruan langit
yang sudah mulai dibayangi oleh warna yang kemerah-merahan. Matahari semakin
lama menjadi makin rendah di barat. Sebentar lagi matahari yang terapung di langit
itu sudah akan menyentuh punggung Gunung Merapi.
Ketika mereka memasuki halaman
banjar, mereka melihat beberapa orang sedang sibuk membersihkan halaman.
Merawat mereka yang terluka atau menyingkirkan mayat yang berserak yang segera
akan diselenggarakan pemakamannya. Di pendapa banjar itu juga terbujur beberapa
sosok jenazah dari para jurit Pajang yang gugur dalam tugasnya.
Di muka banjar itu Ki Tanu
Metir berhenti sejenak. Di lihatnya beberapa orang prajurit sedang berkerumun.
Ternyata di antara mereka terdapat Untara dan beberapa orang perwira
bawahannya. Ketika Senapati Pajang itu melihat Ki Tanu Metir maka segera ia
mendapatkannya sambil berkata, “Silahkan Kiai, silahkanlah masuk dan duduk di
pringgitan. Aku mengucapkan terima kasih atas segala bantuan yang Kiai berikan
sehingga semuanya dapat berlangsung dengan baik. Marilah, silahkanlah semuanya
masuk. Aku masih sibuk dengan beberapa macam pekerjaan, sehingga sayang, aku
tidak dapat meninggalkannya.”
“Silahkan, Ngger, silahkan
menyelesaikan pekerjaan Angger. Biarlah kami menunggu di pringgitan sampai
Angger selesai.”
“Terima kasih. Nah,
silahkanlah.” Untara berhenti sejenak. Kemudian dipandanginya Sekar Mirah yang
masih berpegangan kakaknya. Untara mengerti bahwa gadis itu tidak berani
melihat keadaan di sekitar halaman dan pendapa banjar. Maka katanya, “Silahkan
Adi Swandaru segera membawa Sekar Mirah masuk ke pringgitan rumah yang
dipergunakan menjadi banjar oleh Ki Tambak Wedi ini, supaya tidak melihat
hal-hal yang mengerikan bagi seorang gadis.”
“Terima kasih, Kakang Untara”
sahut Swandaru.
Ki Tanu Metir, Swandaru, dan
Sekar Mirah pun segera naik ke atas pendapa. Sekar Mirah masih belum berani
melihat keadaan di sekitamya. Ketika ia mencoba mengerling, maka segera ia
memejamkan matanya, karena terlihat olehnya beberapa sosok mayat tergolek di
pendapa banjar itu. Alangkah mengerikan. Rumah ini seolah-olah menjadi rumah
hantu penyimpan mayat.
Di pendapa mereka masih
mendengar, Agung Sedayu bertanya kepada kakaknya, “Bagaimana dengan Sanakeling,
Kakang?”
“Ia sudah terbunuh” jawab
Untara. Tetapi kemudian terdengar senapati itu bertanya, “Di mana kau selama
ini? Apakah kau tidak tahu bahwa di halaman ini telah terjadi pertempuran yang
sengit?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Tetapi pandangan matanya hinggap pada gurunya yang tertegun di
pendapa.
Untara pun kemudian berpaling.
Ia melihat Ki Tanu Metir masih berdiri di pendapa bersama dengan Swandaru dan
Sekar Mirah.
“Silahkanlah, Kiai” katanya.
“Terima kasih Ngger,” jawab Ki
Tanu Metir, namun dalam dada, orang tua itu telah tumbuh pertanyaan tentang
sikap Untara. Namun orang tua yang penuh dengan pengalaman tentang sikap dan
perasaan seseorang itu, segera dapat memahami pertanyaan Untara kepada Agung
Sedayu.
Tetapi bagi Swandaru dan Sekar
Mirah, pertanyaan Untara kepada Agung Sedayu itu telah menumbuhkan berbagai
macam tafsiran. Apalagi Sekar Mirah yang sudah menyimpan bibit-bibit
kejengkelan atas sikap Untara yang seolah-olah acuh tak acuh kepadanya.
Meskipun demikian Ki Tanu
Metir dan kedua kakak beradik itu melanjutkan langkahnya masuk ke dalam
pringgitan, dan duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Di dalam pringgitan
tidak tampak seorang pun. Sepi, sehingga kulit Sekar Mirah menjadi semakin
merinding.
“Bukankah benar kataku” gumam
Sekar Mirah. “Kakang Untara tak ada waktu untuk menerima kedatangan kita.”
“Ia terlampau sibuk, Nini”
sahut Ki Tanu Metir. “Tetapi ia akan segera menemui apabila pekerjaannya telah
selesai.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Namun terasa rumah ini seperti rumah yang penuh menyimpan rahasia. Udara yang
lembab terasa menekan dadanya sehingga nafasnya menjadi sesak. Gadis itu tahu
benar, bahwa di luar pringgitan ini, di seberang dinding bambu ini, beberapa
sosok tubuh terbujur berselimutkan panjang.
Sementara itu, di luar, di
halaman, Agung Sedayu masih berdiri di hadapan kakaknya. Ia masih belum
menjawab pertanyaan Untara. Ketika Ki Tanu Metir telah hilang di balik pintu,
maka pertanyaan itu diulanginya, “Agung Sedayu, kemana kau selama ini?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ditenangkannya hatinya. Jawabnya, “Aku berada di rumah yang
dipergunakan oleh Sidanti untuk menyimpan Sekar Mirah.”
“Aku sudah menyangka” sahut
kakaknya. “Apa kerjamu di sana?”
Dada Agung Sedayu menjadi
berdebar-debar. Jawabnya, “Ternyata perhitungan Ki Tanu Metir tepat, Kakang. Ki
Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya datang kerumah itu. Seandainya kami tidak
ada di sana, maka Sekar Mirah itu pasti akan terbawa, sehingga usaha kita untuk
membebaskannya menjadi tambah sulit.”
Untara mengerutkan keningnya.
Katanya, “Seharusnya kau berada di bawah perintahku. Kalau aku bertemu kau
sebelumnya setelah aku melihat medan, maka perintahku akan berbunyi lain. Kau
tetap bersama para prajurit Pajang. Juga Ki Tanu Metir dan Swandaru. Kalau
kalian berbuat demikian, maka Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya mesti
tertangkap. Aku menyesal bahwa kalian berbuat menurut kehendak kalian sendiri.
Dalam setiap peperangan harus ada satu perintah bagi keseluruhan, sehingga
setiap tindakan bersumber pada satu perhitungan.”
Mendengar kata-kata kakaknya
itu, Agung Sedayu seakan-akan menjadi beku di tempatnya. Darahnya serasa
berhenti mengalir. Namun dengan demikian maka mulutnya justru seakan-akan
terbungkam. Dan ia mendengar kakaknya berkata seterusnya, “Sekarang kesempatan
untuk menangkap mereka bertiga munjadi semakin sulit. Apakah kau tidak
merasakan itu?”
Nafas Agung Sedayu menjadi
semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak segera dapat menjawab pertanyaan
kakaknya.
“Tetapi kau tidak berbuat
demikian,” sambung Untara, “kau tidak menemui aku dan menunggu perintahku.”
Baru sejenak kemudian Agung
Sedayu dapat mengatur getar di dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab,
“Kakang, aku hanya menurut perintah guruku. Bukankah kedatanggan Wuranta ke
Jati Anom juga membawa pesan Ki Tanu Metir? Aku sangka, bahwa petunjuk-petunjuk
Ki Tanu Metir itu berlaku seluruhnya, sehinggga aku tidak perlu menunggu
perintah Kakang Untara. Aku menyangka bahwa Kakang Untara saja bersedia
melakukan petunjuknya. Apalagi aku.”
“Bagus” sahut kakaknya. “Itu
adalah petunjuk dalam garis besar yang memang aku perlukan. Aku berterima kasih
kepada Kiai Gringsing dan kepada Wuranta, yang telah memungkinkan aku memasuki
padepokan ini. Namun seterusnya yang memegang kebijaksanaan atas segala
pimpinan di sini adalah aku. Aku yang memperhitungkan setiap kemungkinan.”
Dada Agung Sedayu masih merasa
pepat karena jawaban-jawaban yang belum sempat diucapkan. Banyak sekali
keterangan yang dapat diberikan. Namun ia tidak dapat mengatakannya. Mulutnya
serasa tersumbat oleh nafasnya yang terengah-engah.
“Nah, bukankah kini kau
lihat,” berkata kakaknya itu, “bahwa Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya
dapat melarikan dirinya? Aku tidak menyangka bahwa kalian bertiga mampu
bertempur berhadapan dengan Ki Tambak Wedi bertiga pula. Tetapi kalian tidak
mempunyai kekuatan untuk menangkap mereka hidup atau mati, sebab kekuatan
kalian berimbang.”
“Kakang,” akhirnya terloncat
juga jawaban dari mulut Agung Sedayu, “tetapi seandainya kami tidak berada di
sana, apakah Sekar Mirah dapat dibebaskan? Mungkin Ki Tambak Wedi kini telah
membawanya pergi, sehingga pekerjaan kitapun akan menjadi semakin sulit.”
“Itulah kesalahanmu, Sedayu”
sahut kakaknya. “Pikiranmu hanya terpusat kepada gadis itu. Kau tidak melihat
pertempuran dalam keseluruhan.”
Terasa wajah Agung Sedayu
menjadi tegang. Sepercik warna merah membayang di wajahnya yang basah oleh
keringat.
“Agung Sedayu. Seandainya kau
bertempur dalam pasukanku bersama Ki Tanu Metir dan Swandaru, maka Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya tidak akan dapat lolos lagi. Nah, apakah dengan
demikian mereka sempat mendatangi gubug Sekar Mirah itu? Seandainya ada satu
dua prajurit yang diperintahkannya ke sana, maka aku pun telah mengirimkan
beberapa orang prajurit pula untuk membebaskannya. Dapatkah kau mengerti?”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat mengerti keterangan kakaknya. Tetapi bagaimanakah caranya
untuk memerintahkan hal itu kepada Ki Tanu Metir, kepada gurunya seandainya ia
tahu maksud Untara sebelumnya?
Sambil menundukkan kepalanya
Agung Sedalu menjawab “Aku mengerti Kakang. Tetapi aku tidak dapat menolak
petunjuk guruku. Aku mempercayai perhitungannya seperti Kakang juga
mempercayainya. Sehingga dengan demikian aku melakukan apa saja yang
diberitahukannya kepadaku.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kepalanya yang masih diliputi oleh ketegangan peperangan itu terasa
masih memberati lehernya.
“Meskipun seandainya kau tidak
bersama-sama dengan gurumu berada dalam pasukanku Sedayu, kau akan dapat
mengurangi korban yang jatuh di antara kita” Untara berhenti sejenak. “Tetapi
kau tidak dapat bertempur sendiri tanpa guru dan saudara seperguruanmu.”
“Aku tidak berani berbuat lain
dari petunjuk guru” wajah Agung Sedayu semakin tunduk. Terasa betapa sulit
berada di bawah dua kekuasaan. Gurunya dan kakaknya, yang kadang-kadang-kadang
mempunyai pendirian yang berlainan.
Tetapi Untara yang melihat
kepala adiknya tertunduk dalam-dalam itu, tiba-tiba menjadi lilih. Teringatlah
masa kanak-kanak yang suram bagi adiknya. Adiknya yang hanya berani
bermain-main di belakang selendang ibunya itu, yang kini telah berani bertempur
melawan Sidanti, murid Ki Tambak Wedi.
Seharusnya ia mengucapkan
terima kasih. Seandainya adiknya tidak menjadi anak yang berani, maka ia masih
harus selalu melindunginya. Anak itu akan selalu mengganggu pikirannya apa pun
yang sedang dilakukan. Apalagi pada saat-saat Jati Anom diambil oleh Sidanti
dan orang-orang Jipang. Maka adiknya pasti akan ketakutan apabila ia tidak
berhasil menyingkirkannya. Tetapi sekarang adiknya telah berani menggenggam
pedang dan melindunginya sendiri.
“Sudahlah, Sedayu” desis
kakaknya. “Bukan maksudku menyalahkan kau dan gurumu. Aku hanya ingin
mengatakan, jika terjadi demikian, keadaan kita akan bertambah baik. Tetapi
sudahlah, semuanya telah selesai. Meskipun kita tidak dapat menangkap Ki Tambak
Wedi sekarang, tetapi kita tetap mengharap bahwa di waktu-waktu yang pendek,
kita akan dapat melakukannya. Sekarang beristirahatlah di dalam bersama gurumu
dan Adi Swandaru. Kau tidak usah mempersoalkannya dengan gurumu.” Untara
berhenti sejenak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, ia menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian dengan nada datar ia meneruskan, “Mungkin aku sedang
diganggu oleh ketegangan saraf, sehingga aku menegurmu. Tetapi lupakan itu.
Mudah-mudahan lain kali kau dapat mengerti apa yang kau lakukan apabila kau
berbuat sesuatu bersama aku, bersama pasukanku.”
“Ya, Kakang” jawab Agung
Sedayu dengan nada yang dalam.
“Baik,” sahut kakaknya,
“masuklah. Aku masih akan mengatur prajuritku. Bagaimanapun juga Sanakeling dan
Alap-Alap Jalatunda harus mendapat perlakuan semestinya bersama mayat-mayat
yang lain.”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ia merasa bahwa kakaknya agak menyesal atas sikapnya yang keras
kepadanya. Namun dengan demikian ia menjadi semakin segan dan hormat kepadanya.
Ketika Agung Sedayu kemudian menebarkan pandangannya ke sekeliling halaman, maka
ia melihat beberapa orang masih juga sibuk menyingkirkan mayat yang terbujur
lintang. Di sebelah lain ia melihat sisa-sisa pasukan Jipang dan Tambak Wedi
yang menyerah sebelum terbunuh. Ternyata mereka tidak benar-benar bertempur
sampai orang yang terakhir. Oleh beberapa prajurit Pajang mereka ditempatkan di
beberapa rumah di sekitar banjar, dengan pengawasan yang kuat. Beberapa orang
dari mereka yang tidak terlalu berbahaya masih harus membantu para prajurit
Pajang, mengangkat mayat-mayat kawan-kawannya dan menyingkirkannya dari
halaman.
“Masuklah” desis Untara.
Agung Sedayu seakan-akan
tersadar dari mimpinya yang mengerikan. Tergagap ia menjawab, “Baik, baik
Kakang.”
“Gurumu dan kedua kakak
beradik dari Sangkal Putung itu menunggumu.”
“Ya, Kakang” jawab Agung
Sedayu.
“Aku masih harus menyelesaikan
pekerjaanku. Apabila sudah selesai, maka aku akan datang kepada kalian.”
“Baik, Kakang.”
Untara pun kemudian melangkah
meninggalkan Agung Sedayu yang berdiri termangu-mangu di bawah tangga pendapa.
Diikutinya langkah kakaknya dengan pandangan matanya, ke arah beberapa orang
perwira Pajang yang lain. Agaknya masih ada persoalan yang mereka percakapkan.
Sejenak kemudian Agung Sedayu
melihat beberapa orang prajurit mengawal beberapa orang perempuan masuk ke
halaman banjar. Perempuan-perempuan yang tinggal di padepokan itu. Maka
terdengarlah tangis mereka mengoyak suasana yang lengang. Mereka ternyata adalah
ibu, isteri, adik atau kakak perempuan dari korban yang berjatuhan. Anak-anak
muda dan laki-laki dari padepokan Tambak Wedi. Seperti orang yang mencari
anak-anaknya di antara puluhan anak-anak yang lain, yang tidur berjajar di
lantai, mereka mencari keluarga mereka. Bahkan beberapa di antara mereka telah
jatuh pingsan sebelum mereka menemukan yang mereka cari.
Seorang gadis yang kematian
kekasihnya tiba-tiba berteriak sambil menunjuk seorang prajurit Pajang yang
berdiri di dekatnya, “Kau, kau pembunuh yang biadab. Kau bunuh laki-laki yang
akan menjadi suamiku.”
Seorang perempuan tua, ibu
gadis itu, dengan tergesa-gesa memeluknya dengan tubuh gemetar. Perempuan tua
itu menjadi ketakutan. Prajurit Pajang yang berdiri dengan garangnya, dan
membawa pedang di lambungnya itu akan dapat berbuat apa saja atas gadis yang
mengumpatinya. Apalagi terhadap gadis-gadis, sedangkan laki-laki yang kuat dan
bersenjata pun dapat terbunuh.
“Sudahlah, Ngger, sudahlah.
Nasib kita yang terlampau jelek. Jangan menyalahkan orang lain.”
“Tidak biyung. Orang-orang
itulah orang-orang yang paling biadab yang pernah datang ke padepokan ini.
Orang itu telah membunuh setiap laki-laki.”
“Sudahlah, Ngger, sudahlah.”
Tetapi gadis itu meronta-ronta
sehingga pelukan ibunya menjadi lepas.
“Kau, kau pembunuh,” teriak
gadis itu sambil menuding-nuding wajah prajurit Pajang yang berdiri tegang,
bahkan hampir menyentuh hidungnya.
Tetapi prajurit itu sama
sekali tidak bergerak. Ia berdiri saja di tempatnya seperti sebatang tonggak.
Sepatah kata pun ia tidak menjawab. Dibiarkannya gadis yang kehilangan
kekasihnya itu melimpahkan kemarahan, kekecewaan dan kebencian kepadanya.
Bagaimanapun juga ia mencoba menjelaskan, maka gadis yang sedang dicengkam oleh
kegelapan pikiran itu, pasti tidak akan dapat mendengarnya. Ia tidak akan dapat
mendengar seandainya prajurit itu memberitahukan, bahwa sebelum berkobar
pertempuran antara orang-orang padepokan Tambak Wedi dan Pajang, maka
orang-orang Tambak Wedi telah bertempur lebih dahulu dengan orang-orang Jipang,
sehingga kekasih gadis itu belum pasti terbunuh oleh ujung senjata prajurit
Pajang.
Tetapi prajurit itu tidak
mengatakannya. Ia berdiri saja dengan tegangnya. Bahkan sekali-sekali-sekali ia
terpaksa memalingkan wajahnya.
Akhirnya gadis itu lelah sendiri.
Suara menjadi semakin parau. Tiba-tiba ia berteriak tinggi, lalu
terhuyung-huyung jatuh. Untunglah prajurit yang dituding-tudingnya itu cepat
menangkapnya dan meletakkannya di pangkuan ibunya yang menangisinya. Gadis itu
menjadi pingsan.
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat salah satu sudut yang kecil saja dari akibat
peperangan. Alangkah dahsyat akibat seluruhnya dari peperangan. Gadis-gadis
kehilangan kekasih, ibu-ibu kehilangan anak-anaknya yang dicintainya, dan
isteri-isteri kehilangan suami terkasih.
Meskipun demikian peperangan
itu terjadi hampir di segala jaman dan di segala abad. Berbagai-bagai macam
nafsu yang mendorong manusia melibatkan diri dalam peperangan. Nafsu yang telah
menabiri perasaan cinta kasih di antara sesama, serta perasaan bakti yang utuh
kepada Tuhannya. Nafsu untuk berkuasa, nafsu untuk memiliki segala isi dunia,
nafsu keinginan, nafsu keangkara-murkaan, nafsu yang semuanya itu berpusar
kepada nafsu duniawi. Tetapi yang kemudian telah mendorong pihak lain untuk
mempertahankan diri, melindungi sesama atas dasar kewajiban dan belas-kasian,
tetapi kadang-kadang juga karena pamrih yang lain. Apabila pertentangan nafsu
itu kemudian mencapai puncaknya, maka tidak ada jalan lain daripada kekerasan.
Manusia membunuh sesamanya. Kadang-kadang dengan cara yang sama sekali tidak
berpijak pada kediriannya, kemanusiaannya. Bahkan melampaui pekerti binatang
yang paling buas sekalipun, karena tidak ada binatang yang dengan sengaja
menyakiti dan menyiksa korbannya sebelum dibunuhnya.
Ketika seorang prajurit lewat
dekat di belakangnya, Agung Sedayu berpaling. Tetapi prajurit itu berjalan
terus. Namun demikian Agung Sedayu menjadi tersadar akan keadaannya. Dengan
langkah yang berat ia naik ke atas pendapa. Dipandanginya beberapa sosok
jenazah yang terbaring di sebelah-menyebelah. Ketika ia sempat memandang ke
gandok kiri, ia melihat beberapa orang yang terluka dibawa masuk ke dalamnya.
Mereka yang terluka dirawat di
gandok kiri” desisnya di dalam hati.
Dengan dada yang
berdebar-debar Agung Sedayu melangkah terus, berjalan di antara tubuh-tubuh
yang diam membeku. Kadang-kadang Agung Sedayu masih melihat darah yang meleleh
dari tubuh-tubuh yang diam itu.
Tiba-tiba terasa bulu-bulu
tengkuknya meremang. Ia kini bukan Agung Sedayu yang dahulu, yang menjadi
pingsan melihat darah. Tetapi meskipun demikian, ia masih juga menjadi ngeri
melihat mayat yang berjajar-jajar.
Demikian ia membuka pintu
pendapa, maka dilihatnya Ki Tanu Metir dan Swandaru berpaling, bahkan Sekar
Mirah menjadi terkejut karenanya.
“Marilah” Ki Tanu Metir
mempersilahkan.
Selangkah Agung Sedayu
memasuki pringgitan. Terasa kesepian seolah-olah mencekiknya sehingga ia
menjadi susah untuk bernafas. Dengan sorot mata yang aneh ia memandangi seluruh
sudut pringgitan itu. Tetapi yang dilihatnya tidak ada lain kecuali Ki Tanu
Metir, Swandaru dan Sekar Mirah.
Hati anak muda itu berdesir
ketika ia memandangi dinding disisisi barat dari pringgitan itu. Warna merah
menyala seperti akan membakar rumah itu. Ternyata matahari telah menjadi
semakin rendah, dan bahkan telah menyinggung punggung gunung.
Dengan demikian pringgitan itu
telah menjadi agak suram. Warna-warna dindingnya yang kelabu menjadi semakin
gelap. Sedang di luar pintu mayat berjajar sebelah-menyebelah.
“Duduklah, Ngger” suara Ki
Tanu Metir itu tidak terlampau keras, tetapi Agung Sedayu terperanjat
karenanya.
“Ya, ya Kiai” jawabnya
patah-patah.
Agung Sedayu itu pun kemudian
duduk pula di antara mereka. Meskipun demikian ia masih saja memandangi
berkeliling. Sarang laba-laba melekat di hampir setiap sudut. Debu pada dinding
dan lumut yang hijau bertebaran di lantai, menjadi pertanda bahwa banjar ini
kurang mendapat perawatan.
“Apakah yang ditanyakan Angger
Untara kepadamu?” pertanyaan Ki Tanu Metir itu sekali lagi mengejutkan Agung
Sedayu.
“Oh,” anak muda itu berdesah,
“tidak apa-apa. Kakang Untara hanya menanyakan kemana aku selama ini.”
“Kau katakan apa yang
terjadi?” bertanya gurunya lanjut.
“Ya.”
“Apa katanya?”
“Tidak apa-apa, Kiai” jawab
Agung Sedayu.
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah ia akan menemui kita”
bertanya Swandaru kemudian.
“Ya, setelah pekerjaannya
selesai.”
Swandaru terdiam. Kembali
ruangan itu menjadi sunyi. Sekali-sekali terdengar beberapa orang lewat di
sebelah pringgitan di sisi gandok. Terasa bahwa di halaman banjar itu terjadi
kesibukan yang luar biasa.
“Angger berdua,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian, “bukankah kita ingin mencari Angger Wuranta di halaman
banjar ini? Apabila kita tetap berada di sini, maka kita tidak akan dapat
menemukannya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Sebaiknya kita mencarinya
guru, tetapi aku merasa sikap Kakang Wuranta menjadi aneh. Aku tidak mengerti.”
Sekar Mirah yang mendengar
kata-kata itu segera menunduk wajahnya. Pada wajah itu terbersit sicercah warna
merah. Tetapi tak seorang pun yang dapat melihatnya.
“Marilah kita cari,” berkata
Ki Tanu Metir kemudian, “mumpung belum gelap.”
“Marilah” jawab Agung Sedayu.
Kepada Sekar Mirah Ki Tanu
Metir berkata, “Kau tinggal di sini sebentar, Nini. Kami akan mencari Angger
Wuranta yang terluka itu.”
Tiba-tiba Sekar Mirah meraih
tangan kakaknya sambil berkata, “Kakang Swandaru tetap di sini. Aku takut.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ia ingin ikut serta mencari Wuranta di antara para prajurit
Pajang, Tetapi ia tidak sanpai hati meninggalkan Sekar Mirah sendiri dalam
ketakutan. Apalagi kemudian pringgitan itu menjadi kian suram.
“Kalau begitu,” desis Ki Tanu
Metir, “biarlah kalian tetap di sini mengawani Sekar Mirah. Aku akan mencari
sendiri. Mungkin aku akan dapat minta tolong kepada para prajurit Pajang.”
Agung Sedayu menjadi
ragu-ragu. Namun Ki Tanu Metir menyambung, “Tinggallah di sini. Mungkin ada
sesuatu yang kalian dapat melakukannya. Sebab Nini Sekar Mirah tidak berani
tinggal sendiri di tempat yang lembab dan asing ini.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu
menjawab, “Silahkan, Kiai.”
“Nah tinggallah di sini sampai
aku kembali. Jangan pergi ke mana pun juga supaya aku tidak harus bergantian
mencari kalian sesudah aku menemukan Angger Wuranta.”
“Baik, Kiai” jawab mereka
hampir bersamaan.
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
pergi meninggalkan pringgitan itu. Di luar ia bertemu dengan Untara, dan
mengatakan maksudnya.
“Wuranta tidak ada di antara
kalian?” bertanya anak muda itu.
“Tidak, Ngger” sahut Ki Tanu
Metir.
Mendengar jawaban Ki Tanu
Metir Untara mengerutkan keningnya. Ia memang belum melihat Wuranta sejak ia
memasuki padepokan ini. Ternyata kini Ki Tanu Metir pun sedang mencarinya.
Sekilas terbersit kecemasan di dalam hatinya sehingga senapati itu berdesis,
“Apakah Wuranta menemui bencana di dalam perang campuh ini?”
“Aku kira tidak, Ngger. Ia
bersamaku pada saat aku harus bertempur melawan Ki Tambak Wedi, tetapi anak
muda itu terluka di dadanya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Lalu ke manakah ia pergi?”
“Tak kami ketahui. Ia tidak
berkata kepada siapa pun juga, kemana dan kenapa ia begitu saja pergi
meninggalkan Sekar Mirah di dalam gubug itu, sedang kami, aku, Angger Agung
Sedayu, dan Angger Swandaru sedang mengejar Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan
Argajaya.”
“Aneh,” desis Untara, “apakah
ada sesuatu yang menarik hatinya sehingga ia terpaksa pergi meninggalkan Kiai?”
“Aku tidak tahu” jawab Kiai
Gringsing. “Karena itu sekarang aku akan mencarinya. Syukurlah apabila tidak
terjadi sesuatu. Aku mencemaskannya karena dadanya terluka. Mungkin juga ada
hal-hal yang tidak kita kehendaki yang terjadi atasnya. Mungkin ia bertemu
dengan prajurit Pajang yang belum mengealnya dan tiba-tiba mencurigainya.”
“Ia akan dapat memberikan
penjelasan.”
“Kalau ia sempat memberikan penjelasan
itu. Dalam keadaan yang kisruh, kesalah-pahaman dapat saja terjadi di
mana-mana. Kadang-kadang seseorang sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
mengatakan tentang diri sendiri. Bahkan seseorang harus menyatakan dirinya
seperti orang lain menghendakinya. Seorang yang belum mengenal Wuranta akan
dapat memaksanya dengan kekerasan supaya Wuranta menyatakan dirinya sebagai
seorang dari padepokan Tambak Wedi. Kemudian pengakuan yang dipaksakan akan
menjadi alasan untuk berbuat lebih jauh lagi.”
“Ah,” Untara berdesis,
“prajurit Pajang tidak akan berbuat demikian.”
“Para Senapati dan para
perwira yang bertanggung jawab mungkin tidak menghendakinya. Tetapi orang-orang
yang sedang terlibat dalam pertentangan dan ketegangan, mungkin dapat berbuat
meskipun ia seorang yang cukup matang. Di dalam pertempuran serupa ini, Ngger,
salah paham, kecurigaan dan kebencian menguasai setiap hati. Dari prajurit yang
paling rendah sampai tingkat yang tertinggi. Mungkin Angger sendiri. Meskipun
demikian, masih juga tergantung pada nilai batin seseorang. Bekal rokhaniah di
samping bekal jasmaniah, sangat berpengaruh di medan-medan perang.”
“Hem” Untara menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia mengangguk, “Ya, Kiai benar. Aku tidak akan selak.”
“Ah, jangan begitu, Ngger. Aku
tidak bermaksud menuduh. Aku hanya mengatakan keadaan umum yang terjadi di
medan perang.”
Untara masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Aku mengerti maksud Kiai. Aku ingin menjaga
agar prajurit-prajuritku tidak melakukannya, atau setidak-tidaknya mengurangi
kemungkinan itu sejauh-jauhnya.”
“Baiklah, Ngger. Bagiku,
sepanjang pengalamanku, prajurit Pajang di bawah pimpinan Angger Untara
ternyata mempunyai nilai rokhaniah yang tinggi di samping kenyataan lahiriah
yang mengagumkan.”
“Kiai memuji.”
“Tidak, Ngger. Aku berkata
sebenarnya meskipun tidak dapat diingkari bahwa prajurit Pajang pun terdiri
dari manusia-manusia yang masih dapat berbuat salah. Karena itulah aku akan
mencari Angger Wuranta.”
“Baiklah, Kiai.”
“Apakah Angger tidak akan
bertemu dengan adikmu itu?”
“Ya, ya Kiai. Nanti sesudah
pekerjaanku selesai. Sebentar lagi kami juga akan beristirahat. Kami harus
makan. Nah, Kiai jangan terlampau lama, supaya pada saatnya Kiai dapat makan
bersama kami di pringgitan.”
“Baik, Ngger, baik” sahut Ki Tanu
Metir sambil menganggukkan kepalanya. “Sekarang perkenankanlah aku pergi.”
“Silahkan, Kiai.”
Maka sejenak kemudian Ki Tanu
Metir itu melangkah perlahan-lahan meninggalkan Untara yang segera melanjutkan
pekerjaannya.
Sementara itu, Wuranta yang
sedang dicari oleh Ki Tanu Metir, berjalan dengan langkah yang lemah di
sepanjang pagar halaman. Kadang-kadang dilompatinya pagar yang satu dan
dimasuki halaman sebelah. Lalu ditelusurinya pagar yang lain-lain lagi. Ia
tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tetapi yang ada di dalam kepalanya
adalah meninggalkan rumah tempat tinggal Sekar Mirah itu.
Ia sudah tidak betah lagi
melihat semua yang terjadi. Baginya, apa yang dilihatnya itu seolah-olah
merupakan cermin yang menunjukkan segala macam kekurangannya, kekerdilannya,
dan segala macam kelemahannya, dihadapkan pada keadaan seperti yang sedang terjadi.
Keadaan yang dikuasai oleh kekerasan dan senjata. Sedang ia sama sekali tidak
mampu berbuat sesuatu. Apalagi apabila ia melihat betapa Agung Sedayu dengan
lincahnya mampu berhadapan dengan Sidanti, maka terasa kekecilan diri menjadi
semakin tajam.
Maka ketika terpandang olehnya
wajah Sekar Mirah yang tunduk, hatinya seakan-akan meledak, pecah berserakan.
Itulah sebabnya maka tanpa setahu seorang pun, ia melangkah meninggalkan sumah
itu. Meninggalkan Sekar Mirah, meninggalkan Agung Sedayu yang sedang bertempur
dan meninggalkan orang-orang lain di rumah itu yang seolah-olah memandangnya
dengan penuh penghinaan.
Dan kini ia berjalan tanpa
tujuan, asal saja menjauhi rumah yang telah menyiksanya itu.
Tetapi tanpa dikehendakinya
sendiri, langkah Wuranta itu pun menjadi semakin dekat dengan banjar padepokan
Tambak Wedi. Beberapa halaman lagi ia akan sampai ke daerah yang penuh dengan
noda-noda darah.
Ia terhenti ketika ia melihat
tidak terlampau jauh lagi, para prajurit Pajang sibuk menyingkirkan mayat-mayat
yang bergelimpangan dan mengusung orang-orang yang terluka.
Dada Wuranta menjadi
berdebar-debar karenanya. Namun ada sesuatu yang mendorongnya untuk berjalan
lebih dekat. Ia tidak mengerti kenapa ia ingin melihat apa yang telah terjadi
di halaman di sekitar banjar. Agaknya kesibukan di sekitar banjar itulah yang
telah menariknya melangkah semakin dekat.
Ketika beberapa orang prajurit
Pajang melihatnya, maka mereka segera mendekatinya. Salah seorang dari mereka
segera bertanya kepadanya tentang dirinya. Katanya, “Siapakah kau, dan apakah
keperluanmu?”
Dada Wuranta berdesir
mendengar pertanyaan itu. Dipandanginya prajurit Pajang itu dengan tajamnya.
Luka di dadanya kini seolah-olah sudah tidak terasa lagi, tetapi luka di
hatinya masih juga terasa alangkah pedihnya. Pertanyaan itu telah mengungkat
kembali perasaan yang baru saja telah menyiksanya. Kekerdilan diri, seolah-olah
ia sama sekali tidak mempunyai arti apa pun di hadapan orang-orang Pajang itu.
Padahal, ia telah cukup memberikan sumbangan, sehingga kemenangan Untara ini
mungkin terjadi.
Karena Wuranta tidak menjawab,
maka prajurit itu mengulangi pertanyaannya, “Siapakah kau? Agaknya kau terluka
di dadamu. Di lambungmu tergantung wrangka pedang, meskipun tidak dengan
pedangnya. Apakah kau orang Tambak Wedi?”
Hati Wuranta menjadi semakin
sakit. Karena itu maka tiba-tiba ia ingin melepaskan himpitan perasaannya.
Jawabnya, “Apakah kalian belum pernah mengenal aku?”
“Siapa?”
“Aku Wuranta, anak Jati Anom.”
Para prajurit itu mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Kami tidak membawa
laskar Jati Anom. Yang datang ke Tambak Wedi adalah seluruhnya pasukan dari
Pajang.”
Wuranta kini tidak dapat
menahan dirinya lagi. Perasaan yang bergelut di dadanya tiba-tiba saja ingin
meledak. Perasaan rendah diri yang mencengkamnya, telah memaksanya untuk
berbuat hal-hal yang berlebih-lebihan seperti pada saat ia menyerang Sidanti.
Dengan dada tengadah ia berkata, “Apakah kalian belum tahu bahwa akulah yang
memungkinkan kalian memasuki padepokan ini? Tanpa aku, kalian telah dihancurkan
oleh pasukan Tambak Wedi sebelum kalian sempat mendekati regol padepokan ini.”
Beberapa orang prajurit Pajang
itu saling berpandangan. Namun jawaban itu tidak menyenangkan hati mereka.
Prajurit tertua di antara mereka segera melangkah maju dan bertanya, “He
Wuranta. Bukankah namamu Wuranta, menurut pengakuanmu? Apakah yang telah kau lakukan
sehingga kau dapat mengatakan kepada kami bahwa kau telah memungkinkan kami
memasuki padepokan ini?”
“Hanya para pemimpinmu yang
tahu siapakah Wuranta.”
Sekali lagi para prajurit itu
saling berpandangan. Dan prajurit yang tertua itu bertanya sekali lagi,
“Siapakah para pemimpin yang kau maksud?”
Sejenak Wuranta terdiam. Ia
belum banyak mengenal nama-nama para pemimpin prajurit Pajang. Tetapi satu,
justru yang tertinggi telah dikenalnya. Karena itu maka kemudian ia menjawab,
“Untara. Untara. Untara mengenal aku dengan baik.”
Dada para prajurit itu
berdesir. Tetapi tidaklah mustahil bahwa orang ini langsung berhubungan dengan
Untara. Hal itu memang pernah juga dilakukan oleh Untara. Mempergunakan
orang-orang dalam tugas-tugas sandi. Dan orang-orang itu yang mengenal hanyalah
Untara sendiri.
Tetapi para prajurit Pajang
itu tidak akan dapat melepaskan kecurigaannya, sehingga prajurit yang tertua
itu berkata, “Baiklah, Ki Sanak. Seandainya kau benar petugas sandi yang hanya
dikenal oleh Ki Untara, maka marilah Ki Sanak aku bawa langsung menghadap Ki
Untara.”
Hati Wuranta yang sedang
melonjak-lonjak karena tekanan-tekanan perasaan itu kini menjadi kian bergolak.
Ia merasa sama sekali tidak mendapat kepercayaan para prajurit itu. Dengan
wajah tegang ia berkata, “Aku akan dapat menghadapnya sendiri. Apakah ini
berarti bahwa kalian akan menangkap aku?”
Prajurit itu menggeleng,
“Tidak, Ki Sanak. Tetapi dalam peperangan kita harus berhati-hati.”
“Tidak,” jawab Wuranta “aku
akan menghadap sendiri. Aku orang bebas. Bahkan akulah yang telah memungkinkan
kalian memasuki padepokan ini. Sekarang kalian akan menangkap aku.”
“Kami tidak dapat melihat
suatu bukti apa pun tentang kata-katamu, Ki Sanak. Karena itu, maka
satu-satunya cara yang dapat kami tempuh adalah membawa Ki Sanak menghadap Ki
Untara. Nah, Ki Untara akan dapat berkata sesuatu kepada kami tentang Ki Sanak.
Sebab seperti yang Ki Sanak katakan, salah seorang dari para pemimpin Pajang
yang telah mengenal Ki Sanak dengan baik adalah Ki Untara.”
Wajah Wuranta menjadi merah.
Ia merasa alasan-alasannya tidak didengar sama sekali oleh prajurit-prajurit
Pajang itu. Karena itu maka katanya, “Biarkanlah aku berbuat menurut
kehendakku. Nanti aku akan datang kepadanya, atau Kakang Untara akan mencari
aku untuk mengucapkan terima kasih kepadaku. Sekarang kalau kalian tidak
percaya kepadaku, nah pergilah, bertanyalah kepada Ki Untara, siapakah anak
muda Jati Anom yang bernama Wuranta.”
Prajurit-prajurit itulah yang
kini tersinggung mendengar jawaban Wuranta yang aneh itu. Justru dengan
demikian maka nafsu mereka untuk membawa Wuranta menjadi semakin besar. Bukan
karena kecurigaan mereka, tetapi karena mereka merasa kewajiban mereka
seolah-olah dianggap kurang berarti. Bahkan pemimpin mereka, senapati mereka
pun telah diremehkan oleh anak muda yang menyebut dirinya bernama Wuranta itu.
Dengan demikian maka wajah
para prajurit itu menjadi semakin tegang. Hati mereka yang panas terbakar oleh
pertempuran yang baru saja terjadi masih juga belum padam. Karena itu maka sikap
Wuranta agaknya telah menyalakan api yang masih tersimpan di dalam hati mereka.
Maka sejenak kemudian prajurit
yang tertua di antara mereka itu berkata, “Kalau demikian Ki Sanak, maka kami
akan memaksamu. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang yang berada di dalam
lingkungan lawan. Karena itu setiap orang yang bukan berasal dari kami harus
kami curigai. Termasuk kau.”
Wajah Wuranta yang merah
menjadi semakin menyala. Kemarahannya kini telah memuncak. Ia merasa
seolah-olah orang Pajang itu sama sekali tidak mengenal terima kasih. Seperti
juga Agung Sedayu.
Sebelum semuanya ini terjadi,
ia adalah umpan yang pertama kali dilontarkan ke dalam sarang serigala ini. Ia
adalah orang yang pertama kali harus berhadapan dengan Sidanti bahkan Ki Tambak
Wedi. Hampir saja lehernya dijerat di tiang gantungan. Tetapi kini, setelah
semuanya selesai, maka ia seolah-olah tidak dibutuhkan.
Setelah Sekar Mirah bertemu
dengan Agung Sedayu, maka kehadirannya sama sekali tidak dihiraukannya. Bahkan
yang pertama-tama dilontarkan kepadanya adalah penghinaan. Kemudian dengan
sombongnya Agung Sedayu memamerkan kelebihan-kelebihannya padanya.
Dan kini, prajurit-prajurit
Pajang itu juga ingin menangkapnya. Membawanya kepada Untara sebagai seorang
tawanan.
Tiba-tiba Wuranta tidak dapat
menahan desakan di dalam rongga dadanya. Dengan lantang ia berteriak, “He
orang-orang Pajang. Jangan terlampau sombong. Tak seorang pun di antara kalian
yang berani memasuki padepokan ini selagi Tambak Wedi, Sidanti, beserta
Sanakeling masih mampu menggenggam senjata mereka. Tak seorang pun dari kalian,
termasuk Agung Sedayu adik Untara itu, yang berani menghadapi Sidanti dan
Sanakeling pada saat-saat mereka masih bersatu tujuan. Kini aku berhasil
memisahkan mereka karena permainanku. Dengan mengumpankan Alap-Alap Jalatunda
aku berhasil mengadu dua kekuatan yang ada di Padepokan ini. Kekuatan Jipang
dan kekuatan Tambak Wedi. Baru setelah keduanya hancur kalian berani masuk.
Sekarang kalian menyombongkan diri akan menangkap Wuranta. Nah, lakukanlah.
Lakukanlah setelah Wuranta menjadi mayat. Apa yang aku lakukan sebelum ini
memang sudah harus bertaruh nyawa. Pagi ini seharusnya aku sudah mati di tiang
gantungan apabila aku tidak berhasil melarikan diri. Umurku ini adalah umur
yang berlebihan. Karena itu, ayo, bunuhlah aku. Aku tidak akan melawan. Tetapi
jangan mimpi membawa Wuranta hidup-hidup kepada Untara.”
Darah para prajurit-prajurit
Pajang itu segera mendidih. Mereka tidak tahu apa yang telah dilakukan oleh
Wuranta. Karena itu maka yang termuda di antara mereka segera melangkah maju.
Untunglah bahwa yang tertua masih juga dapat menahan diri. Digamitnya prajurit
yang masih muda itu sambil berkata, “Biarlah aku yang menyelesaikannya.”
“Bagus, ayo, selesaikan
bersama-sama. Aku tidak akan lari. Aku sudah bersedia untuk mati. Aku sudah
hidup lebih lama sesiang ini.”
Ketika prajurit yang tertua
itu melangkah maju, ia melihat Wuranta berdiri tegak sambil menengadahkan dada.
Tetapi tidak lampak tanda-tanda bahwa anak muda itu akan melawannya.
“Apakah kau memerlukan
pedang?” bertanya prajurit tertua itu. “Bukankah kau ingin melawan?”
Wuranta menggeleng. “Aku tidak
perlu melawan kalian. Tak ada artinya”
Prajurit-prajurit Pajang
mengerutkan kening mereka. Ada di antara mereka yang mengartikan kata-kata
Wuranta itu sebagai suatu penghinaan, seolah-olah para prajurit Pajang itu
tidak berarti buat dilawannya, tetapi ada pula yang melihat keanehan sikap
Wuranta itu. Ternyata ia benar-benar tidak bersiap untuk melawan.
Prajurit yang tertua di antara
mereka itu menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya ia berkata, “Kau membingungkan
kami.”
“Bukan maksudku,” jawab
Wuranta “kau sendirilah yang membuat dirimu bingung.”
“Apakah kau termasuk salah
seorang prajurit Tambak Wedi yang berusaha membunuh diri dengan cara itu.”
Pertanyaan itu telah
menggoncangkan dada Wuranta. kemarahannya yang sudah memuncak seolah-olah kini
meluap lewat ubun-ubunnya. Namun dengan demikian maka anak muda itu justru
terdiam. Tetapi tubuh dan bibirnya menjadi bergetar secepat getar jantungnya.
Sejenak mereka yang sedang
dicengkam oleh ketegangan itu saling berdiam diri, tetapi mata mereka
menyorotkan kemarahan yang hampir-hampir tidak terkendali.
Namun tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara seseorang di belakang pagar dinding batu, di antara dedaunan
yang rimbun. “Kalian ternyata telah menjadi salah paham.”
Dengan serta-merta maka mereka
segera berpaling. Dari antara dedaunan yang rimbun itu, maka meloncatlah
seorang tua dengan cekatan. Orang itu adalah Ki Tanu Metir.
Siapakah Ki Sanak?” bertanya
salah seorang dari para prajurit itu. Ternyata prajurit itu juga belum mengenal
Ki Tanu Metir.
Ki Tanu Metir tersenyum,
tetapi hatinya menjadi cemas juga. Apabila para prajurit itu belum mengenalnya,
maka keadaannya tidak akan berbeda. Seperti juga Wuranta, maka para prajurit
itu pasti ingin membawanya kepada Umara.
“Apakah kalian belum mengenal
aku?” bertanya Ki Tanu Metir itu.
Prajurit yang bertanya
kepadanya itu menjawab, “Aku tidak mengenalmu.”
Ki Tamu Metir mengerutkan
keningnya. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Diamatinya prajurit yang menjawab
pertanyaannya itu. Seorang prajurit muda yang gagah, bertubuh tinggi dan
berdada bidang. Di lambungnya tergantung sehelai pedang yang panjang.
Tetapi Ki Tanu Metir semakin
dicemaskan oleh sikap para prajurit itu. Apakah yang harus dilakukan seandainya
mereka bersikap keras kepadanya seperti kepada Wuranta.
“Aku tidak boleh melawan”
katanya di dalam hati “Mereka melakukan kewajiban. Tetapi bagaimana dengan
Angger Wuranta itu seandainya ia pun berkeras hati untuk tidak mau tunduk
kepada para prajurit itu?”
Dalam kecemasan itu tiba-tiba
ia mendengar salah seorang dari para prajurit itu berkata, “He, bukankah orang
tua itu yang tadi berjalan bersama dua orang anak muda dan seorang gadis yang
diantar oleh beberapa orang prajurit?”
Kawan-kawannya berpaling ke arahnya.
Lalu seorang yang lain berkata, “Ya, aku pernah melihat orang tua itu. Apakah
Kiai yang bernama Ki Tanu Metir?”
Dada Ki Tanu Metir menjadi
lega. Ternyata ada di antara mereka yang sudah mengenalnya. Dengan demikian
maka pekerjaannya menjadi bertambah ringan.
“Ya, ya, Ki Sanak, akulah yang
bernama Ki Tanu Metir. Dari siapa Angger mengetahuinya?”
“Aku pernah melihat Kiai
sekali di Jati Anom, ketika Kiai bersama adik Ki Untara dan anak muda yang
gemuk itu, yang tadi juga berjalan bersama Kiai menemui Ki Untara.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tertawa pendek, “Ya, itulah aku.”
“Kenapa tiba-tiba saja Kiai
sudah berada di sini pula?”
“Tidak, Ki Sanak, tidak dengan
tiba-tiba. Aku telah datang lebih dahulu dari pasukan Pajang. Aku datang
bersama Angger Wuranta ini,” jawab Ki Tanu Metir sambil menunjuk Wuranta yang
masih berdiri tegak di tempatnya.
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Beberapa orang yang lain saling berpandangan. Akhirnya hampir
serempak mereka memandang Wuranta.
“Ya. Angger Wuranta telah
datang lebih dahulu bersama aku, Angger Agung Sedayu, adik Ki Untara, dan
Angger Swandaru Geni, anak muda yang gemuk itu.”
“Apakah yang telah kalian
lakukan?”
Ki Tanu Metir tersenyum,
“Tidak terlampau penting Ki Sanak. Hanya sekedar melepaskan anak-anak panah
sendaren. Bukankah Angger juga mendengarnya? Pasukan berkudalah yang
mendengarnya dengan jelas. Apakah Angger dari pasukan berkuda?”
Prajurit itu menggeleng.
Tetapi meskipun mereka bukan anggota pasukan berkuda, namun mereka tahu benar,
bahwa tanda-tanda yang memungkinkan mereka memasuki padepokan ini adalah panah
sendaren. Tetapi mereka tidak tahu, siapakah yang telah melepaskan panah itu.
Dalam pada itu Ki Tanu Metir
berkata pula, “Nah, itulah, Ki Sanak. Kenapa kami berada di padepokan ini.”
Prajurit yang tertua di antara
mereka mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mempercayai keterangan Ki Tanu
Metir, sebab beberapa orang kawan-kawannya telah melihat orang itu menghadap
Untara. Karena itu mereka kini mengerti pula bahwa Wuranta memang pernah
melakukan seperti apa yang dikatakannya. Tetapi meskipun demikian, sikap anak
muda Jati Anom itu telah terlanjur membuatnya kurang senang. Namun prajurit
yang tertua itu berusaha menahan dirinya. Sebab kedua orang itu adalah orang-orang
kepercayaan Untara.
Tetapi yang aneh bagi mereka,
betapa Wuranta berani mengatakan, bahwa Untaralah yang harus datang kepadanya.
Sejenak para prajurit itu
saling berdiam diri. Ki Tanu metir pun berdiri saja sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengharap bahwa keadaan akan menjadi berangsur baik setelah
mereka, para prajurit itu mengetahui dan mengenal Wuranta.
Hati Ki Tanu Metir pun menjadi
lega ketika prajurit yang tertua itu berkata, “Baiklah, Kiai, apabila demikian,
maka kami tidak akan keberatan membiarkan kalian berada di padepokan ini
menurut kehendak kalian. Tetapi ingat, bahwa ada di antara kami yang belum
mengenal kalian sama sekali. Karena itu, sebaiknya kalian tidak berada di
tempat yang terlampau jauh dari banjar. Setiap saat kalian akan mendapat
pertanyaan-pertanyaan yang serupa, dan mungkin ada di antara kami,
prajurit-prajurit Pajang yang sama sekali tidak mengenal kalian, sehingga
sikapnya pasti tidak akan menyenangkan, seperti sikap kami juga.”
“Oh, tidak apa, Ki Sanak.
Kalian sedang melakukan kewajiban. Karena, itu maka sikap kalian dapat kita
mengerti.”
Prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya “Terima kasih atas pengertian kalian. Sekarang,
kami akan meneruskan kewajiban kami. Aku nasehatkan pergilah ke banjar, supaya
kalian tidak menjumpai persoalan yang serupa.”
“Terima kasih, Ki Sanak” jawab
Ki Tanu Metir. Para prajurit itu pun kemudian meninggalkan Ki Tanu Metir dan
Wuranta berdua. Mereka berjalan menyelusuri jalan-jalan padepokan untuk
melakukan pengawasan. Mungkin masih ada laskar Tambak Wedi yang tersembunyi,
atau mungkin orang-orang Jipang. Sepeninggal para prajurit itu, maka berkatalah
Ki Tanu Metir kepada Wuranta, “Marilah, Ngger, kita pergi ke banjar padepokan
ini. Di sana Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah sudah menunggumu.”
Wuranta mengerutkan keningnya.
Kemudian terdengar suaranya bernada rendah, “Untuk apa mereka menunggu aku?”
Ki Tanu Metir adalah seorang
yang telah cukup umur. Pengenalannya atas perangai anak-anak muda cukup tajam.
Ia mencoba untuk mengerti, apakah sebabnya maka tiba-tiba Wuranta bersikap
aneh. Sejak di dalam gubug Sekar Mirah, kemudian hilang tanpa pesan apa pun.
Namun Ki Tanu Metir tidak
segera dapat mengerti dengan pasti, apakah sebabnya. Ia hanya dapat meraba-raba
dan menerka. Tetapi dugaan Ki Tanu Metir atas persoalan yang sebenarnya masih
sangat kabur.
Sekali lagi Tanu Metir itu
mengajak, “Angger Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar. Kita harus menunjukkan
diri kepada Angger Untara. Agung Sedayu dan Swandaru sudah lama menunggu Angger
di sana. Aku sudah mencari Angger di mana-mana. Baru sekarang aku menemukan
Angger. Kemana Angger selama ini dan kenapa Angger pergi tanpa pesan apa pun?
Dada Angger sedang terluka meskipun untuk sementara telah tidak mengalirkan
darah lagi.”
“Hem,” Wuranta menarik nafas
dalam-dalam, “tugasku yang berbahaya, yang harus aku pertaruhkan dengan nyawa
telah selesai. Buat apa orang-orang Pajang dan Kiai memerlukan aku lagi?”
“Ah, jangan begitu, Ngger.
Semua orang menunggu Angger.”
Wuranta menggeleng, “Tidak.
Mereka hanya memerlukan aku selagi mereka tidak dapat melakukan sesuatu
pekerjaan. Aku bukan seorang prajurit dan bukan murid Kiai. Itulah sebabnya
Kiai menunjuk aku untuk masuk ke dalam api di Tambak Wedi ini. Seandainya aku
tertangkap dan mati, maka baik Untara maupun Kiai tidak kehilangan. Untara
tidak kehilangan prajuritnya dan Kiai tidak kehilangan seorang murid. Bukankah
begitu?”
“Jangan beranggapan begitu,
Ngger. Sama sekali tidak terlintas di dalam kepalaku perhitungan yang demikian.
Secara kebetulan dan tiba-tiba aku menjumpai Angger di Jati Anom. Aku telah
mencoba memperhitungkan semua rencana sebaik-baiknya. Aku sama sekali tidak
berbuat dengan untung-untungan.”
“Tetapi apa yang terjadi?
Apakah Kiai mengetahui aku telah ditahan oleh Ki Tambak Wedi? Bahkan telah
disediakan tiang gantungan di regol padepokan ini? Apa yang dapat Kiai lakukan
dan apa yang dapat dilakukan oleh orang-orang Pajang?”
“Mereka telah datang, Ngger.
Mereka telah masuk ke padepokan ini. Dan Angger ternyata tidak naik ke tiang
gantungan itu.”
“Tetapi sama sekali bukan
karena orang-orang Pajang dan bukan pula karena Kiai dan murid-murid Kiai. Aku
dapat melarikan diriku dari tempat aku ditawan karena kekuatanku sendiri,
karena kesempatan yang aku dapatkan, bukan dari kalian. Nah, seandainya aku
saat itu tidak dapat melarikan diri, seandainya aku mati, maka tidak ada
kemungkinan kalian dapat berbuat sesuatu.”
“Angger Wuranta, sejak malam
tadi aku sudah di padepokan ini. Aku akan mengetahuinya seandainya hukuman mati
itu dilaksanakan.”
“Apa yang akan dapat Kiai
lakukan seorang diri di sini? Apa? Apakah Kiai juga akan membela kematianku
dengan membunuh diri, melawan Ki Tambak Wedi? Kiai mampu melawan seorang lawan
seorang, tetapi melawan Ki Tambak Wedi dengan seluruh pengikutnya?”
“Ternyata mereka berbentrokan
sendiri, Ngger.”
“Kenapa mereka berbentrokan
sendiri Kiai? Kenapa? Apakah hal itu dapat terjadi begitu saja tanpa sebab?”
“Hal itu akan mungkin sekali,
Ngger. Dua kekuatan yang dasarnya telah berbeda. Berbeda sumbernya dan berbeda
tujuannya. Kalau di antara mereka terjadi persetujuan, maka itu hanyalah untuk
sementara.”
“Omong kosong!”
Ki Tanu Metir terperanjat
mendengar jawaban Wuranta. Kini ia menjadi semakin tidak mengerti, apakah
sebenarnya yang telah mengganggu anak muda itu? Dugaannya tentang sebab-sebab
dari tindakan-tindakan yang aneh itu justru menjadi kabur.
“Jadi bagaimanakah, Ngger?”
bertanya Ki Tanu Metir dengan dada berdebar-debar.
“Pertempuran di antara mereka
itu telah dibakar oleh suatu sebab. Sebab yang berhasil aku tumbuhkan.
Seandainya Alap-Alap Jalatunda tidak menjadi gila, apakah pertempuran itu dapat
terjadi?”
Ki Tamu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku berhasil menumbuhkan
pertentangan itu. Aku mengumpankan Alap-Alap Jalatunda yang menjadi gila karena
Sekar Mirah. Kegilaannya itulah yang telah membakar padepokan ini. Baru setelah
padepokan ini hangus, pasukan Untara itu datang. Itu pun karena aku pula. Karena
aku datang ke Jati Anom. Memberitahukan keadaan padepokan ini. Kemudian membawa
Agung Sedayu dan Swandaru masuk. Nah, siapakah yang sebenarnya berhasil
melakukan tugasnya? Aku, Untara, Agung Sedayu dan Swandaru atau Kiai? Sekarang,
setelah semuanya selesai? Tak seorang pun lagi menghiraukan aku. Semuanya tidak
memerlukan aku lagi. Mereka memamerkan kepandaian mereka bermain pedang. Kiai,
aku memang bukan seorang prajurit. Aku memang tidak secakap Agung Sedayu dan
tidak secepat para prajurit Pajang memainkan senjata. Tetapi aku juga mempunyai
harga diri, Kiai. Setelah Agung Sedayu dapat bertemu dengan Sekar Mirah, maka
keduanya sama sekali tidak menghiraukan aku lagi. Sekar Mirah yang sebelumnya
hampir mati ketakutan itu, kemudian sama sekali tidak mau melihat aku, meskipun
hanya dengan sebelah matanya. Mereka telah menemukan yang mereka cari.
Kedatangan Agung Sedayu telah membuat gadis itu menjadi tamak dan besar kepala,
seolah-olah semua orang lain di dunia ini tidak berharga.”
Ki Tanu Metir mengerutkan keningnya.
Ia mencoba menangkap maksud yang sedalam-dalamnya dari kata-kata Wuranta.
Dugaannya yang semula menjadi kabur kini menjadi semakin jelas kembali.
“Coba, coba Kiai, sebutkan.
Siapakah yang sebenarnya dapat mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan
membebaskan Sekar Mirah? Siapa?”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab.
“Kini semua orang di padepokan
ini menghina Wuranta. Para prajurit itu, Sekar Mirah, Agung Sedayu, dan
semuanya.”
Wuranta berhenti sejenak.
Nafasnya menjadi terengah-engah dan wajahnya menjadi merah. Terasa betapa
dadanya dihentak-hentak oleh dentang jantungnya yang semakin cepat.
Ki Tanu Metir masih berdiam
diri. Kini ia dapat meraba, apakah yang telah mendorong Wuranta berbuat
demikian. Hampir pasti. Meskipun demikian Ki Tanu Metir masih cukup
berhati-hati untuk berbuat dan berkata sesuatu. Ternyata perasaan Wuranta
terlampau peka, dan terlampau mudah tersentuh.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendengar Wuranta itu mengulangi pertanyaannya, “Siapa
Kiai? Seharusnya Kiai dapat menyebutkan, siapa yang sebenarnya berhasil di
dalam tugasnya, sebab Kiai mengetahuinya sejak permulaan. Tidak seperti
prajurit-prajurit Pajang itu. Begitu mereka datang, mereka menganggap
dirinyalah yang paling berjasa. Seperti juga Agung Sedayu yang merasa,
seolah-olah ialah yang telah membebaskan Sekar Mirah. Siapa? Coba sebutkan,
apakah Kiai berani menyebutkannya karena Kiai guru Agung Sedayu barangkali?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya dengan nada yang berat tenang, “Ya,
Ngger. Aku mengakui karena penglihatanku sendiri, bahwa Angger Wurantalah yang
telah membawa kita semuanya di sini kepada kemenangan yang mutlak. Semua rencana
dapat berlangsung sebaik-baiknya berkat keberanian dan ketrampilanmu, Ngger.
Aku mengakui. Dan mudah-mudahan Untara pun akan mengakui.”
“Tidak. Ia pasti tidak akan
mengakui. Ia Senapati besar di sini. Ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang
paling penting. Dan ia merasa bahwa dirinyalah yang telah menyebabkan
kemenangan ini. Apalagi Agung Sedayu adalah adiknya. Pasti ia akan membenarkan
sikapnya dan menyalahkan aku.”
“Kenapa? Kenapa Untara akan
membenarkan sikap Agung Sedayu dan menyalahkan Angger? Dalam hal apa? Apakah
ada sesuatu persoalan di antara kalian berdua?”
Pertanyaan itu mengejutkan
sekali bagi Wuranta. Sejenak ia terdiam.
“Angger Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir “seandainya ada sesuatu persoalan yang mengecewakan Angger Wuranta,
katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi yang akan mengatakan kepada siapa pun juga,
yang tidak mengakui Angger sebagai seorang perintis yang telah membawa kita
masuk ke padepokan ini! Apakah Agung Sedayu merasa dirinya yang paling berjasa
dalam hal ini? Atau Angger Untara sendiri? Katakanlah, Ngger. Aku adalah saksi
yang masih hidup, bahwa pahlawan dari kemenangan ini adalah Angger Wuranta.
Semua orang harus mendengar dan mengakui, bahwa karena jasa-jasa Angger
Wuranta, padepokan Tambak Wedi yang diperkuat oleh orang-orang Jipang di bawah
pimpinan Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda ini dapat direbut dengan mudah.
Sebab pasukan Pajang datang pada saat-saat orang-orang Tambak Wedi dan
orang-orang Jipang sudah tidak kuasa untuk melawannya, setelah mereka bertempur
satu dengan yang lain. Bukankah begitu?”
Ki Tanu Metir berhenti sesaat.
Dipandanginya wajah Wuranta yang menjadi semakin lama semakin tegang. Mulutnya
mengatup rapat-rapat dan giginya menggeretak.
“Angger Wuranta, katakanlah,
Ngger. Apakah Agung Sedayu telah berbuat suatu kesalahan? Meskipun ia muridku,
tetapi apabila ia berbuat salah, maka aku wajib memberitahukan kesalahan itu
kepadanya. Seandainya ia tidak menyadarinya, maka aku akan mencubitnya, supaya
ia mengerti akan dirinya.”
Kini Wurantalah yang terdiam.
“Katakanlah, Ngger. Tidak ada
orang lain yang dapat membanggakan dirinya di sini, selain Angger Wuranta.
Tidak ada orang lain yang dapat merasa dirinya berjasa, selain Angger Wuranta.
Kalau ada orang lain, maka orang lain itu harus mendapat pengertian, bahwa
pahlawan kemenangan ini adalah Wuranta, anak Jati Anom.”
“Cukup, cukup,” Wuranta
memotong kata-kata Ki Tanu Metir dan dengan terbata-bata ia meneruskan, “bukan
maksudku. Bukan maksudku.”
Terdengar suara Ki Tanu Metir
sareh, “Mungkin Angger tidak bermaksud demikian, tetapi apakah kita semuanya
akan mengingkari kenyataan?”
Wuranta menggigit bibirnya.
Tiba-tiba dadanya serasa akan meledak mendengar kata-kata Ki Tanu Metir.
Seperti terlempar ke dalam suatu kesadaran tentang dirinya, Wuranta merasakan
tusukan yang tajam dari kata-kata Ki Tanu Metir itu. Terasa seolah-olah
selembar tabir yang hitam pekat di dalam hatinya kini tersingkap. Dan
dilihatnya dirinya sendiri dengan jelas. Dirinya sendiri yang kecil, yang kini
berada di antara raksasa-raksasa yang mengerikan. Raksasa-raksasa Pajang telah
berhasil memecahkan pertahanan padepokan Tambak Wedi. Kembali terbayang di
matanya, betapa Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Tanu Metir bergulat melawan
hantu lereng Merapi yang mengerikan, Ki Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya.
Terbayang betapa Untara berserta pasukannya bertempur menghadapi sisa-sisa
pasukan Tambak Wedi yang pada saat-saat terakhir masih sempat bergabung dengan
sisa-sisa orang Jipang. Betapa Untara masih harus mengatur orang-orangnya, dan
dirinya sendiri yang masih harus berhadapan melawan Sanakeling.
Alangkah malunya. Alangkah
malunya seandainya ia berkata tentang dirinya sendiri. Apakah semuanya ini
dapat terjadi seandainya Untara tidak berhasil mengalahkan sisa-sisa pasukan
Tambak Wedi dan Jipang? Apakah Sekar Mirah dapat bebas seperti yang terjadi
seandainya Ki Tanu Metir, Agung Sedayu, dan Swandaru tidak dapat bertahan
melawan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya?
Ketika teringat oleh Wuranta
akan kata-katanya sendiri “Coba. Coba Kiai, sebutkan, siapakah yang sebenarnya
dapat mengalahkan padepokan Tambak Wedi dan membebaskan Sekar Mirah. Siapa?”
tiba-tiba Wuranta menutup wajahnya dengan kedua telapak taagannya. Alangkah
malunya.
Ki Tanu Metir masih berdiri
tegak di hadapannya. Dibiarkannya Wuranta menyadari dirinya. Dibiarkannya anak
itu dihanyutkan oleh perasaannya yang tiba-tiba saja seolah-olah terbuka.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Awan di langit yang kemerah-merahan mengalir ke Utara dihembus oleh angin
lereng lembab. Matahari telah menjadi semakin rendah, dan sebentar lagi hilang
di balik dedaunan di sebelah Barat. Sinarnya yang membara tersangkut di
punggung gunung dan di ujung-ujung awan yang bertebaran di langit.
Di halaman banjar padepokan
Tambak Wedi dan sekitarnya para prajurit Pajang dan sebagian orang-orang Tambak
Wedi sendiri yang masih hidup dan tidak berbahaya masih sibuk menyingkirkan
mereka yang terluka dan mengumpulkan mayat-mayat yang berserakan.
Ki Tanu Metirlah yang kemudian
memecahkan kesenyapan itu. “Angger Wuranta. Marilah kita pergi ke banjar.”
“Tidak. Tidak Kiai. Tidak ada
gunanya.”
“Tak akan ada orang yang tidak
mengakui hasil jerih payahmu, Ngger.”
“Bukan itu. Bukan itu, Kiai.
Justru aku menjadi malu sekali. Ternyata Kiai telah menunjukkan kekeliruanku.
Kiai menghadapkan sebuah cermin di muka wajahku. Aku sangka bahwa aku adalah
orang yang paling berjasa di peperangan ini. Ternyata aku tidak lebih dari
sehelai debu yang tidak berarti, aku sadari sekarang, Kiai.”
“Jangan begitu, Ngger. Aku
memang sudah menyangka bahwa kau sedang dihanyutkan oleh sebuah angan-angan
yang aku masih belum tahu pasti. Tetapi seharusnya Angger segera menemukan
keseimbangan perasaan.”
“Kiai, aku semula merasa
sebagai orang yang paling berjasa, tetapi dilupakan karena pekerjaan telah selesai.”
“Tidak, Ngger. Angger sama
sekali tidak diabaikan.”
“Ah, jangan menyenangkan
hatiku, Kiai” sahut Wuranta. “Sebenarnyalah aku diabaikan.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Ia menjadi heran mendengar jawaban Wuranta yang menurut perasaannya
agak bersimpang siur.
“Bagaimanakah sebenamya
menurut tanggapanmu, Ngger. Aku menjadi agak bingung karenanya.”
“Kiai, semula aku merasa sakit
hati, bahwa aku diabaikan orang. Padahal aku merasa bahwa akulah yang paling
berjasa di antara semua orang di sini. Tetapi ternyata Kiai telah membuka
hatiku. Aku sama sekali bukan seorang pahlawan. Karena itu, tidak sewajarnyalah
bahwa aku menjadi sakit hati. Aku memang tidak berarti apa-apa di sini. Aku
hanya seorang pelaku yang tidak mempunyai bagian sama sekali dalam kemenangan
ini. Bukankah begitu Kiai?”
Ki Tanu Metirlah kini yang
meraba dadanya. Ternyata perasaan Wuranta, yang selama ini mencoba menutup-nutupi
kekurangannya dan kekecewaan dengan tingkah laku yang aneh-aneh itu terbanting
terlampau dalam. Kini tampaklah perasaan yang sebenarnya bergelut di dalam dada
anak itu. Rendah diri, di samping segala macam kekecewaan. Apalagi ketika ia
melihat kenyataan bahwa Agung Sedayu yang dikenalnya sebagai seorang penakut
dan pengecut di masa kanak-kanaknya, kini ternyata terlampau jauh di atas
jangkauannya. Maka hatinya menjadi terpecah-pecah tidak keruan. Agung Sedayu
bagi Wuranta, menjadi sebab dari segala macam kepahitan yang kini dialaminya.
Ki Tanu Metir kini sudah
hampir pasti, bahwa soalnya berkisar di sekitar Sekar Mirah.
Orang tua itu menarik nafas
dalam-dalam. Seorang perempuan memang kadang-kadang dapat menyebabkan lautan
menjadi kering, dan gunung menjadi runtuh. Menurut dongeng, Candi Prambanan
tercipta dalam satu malam karena seorang gadis, Rara Jonggrang. Bendungan yang
melintasi lautan, mencapai Alengka, dibuat karena seorang wanita. Dewi Sinta.
Keris mPu Gandring yang bertuah, yang kemudian menghisap darah beberapa orang,
bahkan pembuatnya dan kemudian pemesannya sendiri, adalah karena seorang
wanita, Ken Dedes yang ingin direnggutkan dari suaminya, Tunggul Ametung, oleh
Ken Arok yang memesan keris itu kepada mPu Gandring.
“O, tidak terlampau jauh”
berkata Ki Tinu Metir di dalam hatinya. “Alap-alap Jalatunda mati karena Sekar
Mirah, dan bahkan orang-orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang bertempur satu
sama lain karena Sekar Mirah ini pula. Dan kini apakah gadis itu masih akan
menulis ceritera baru tentang dirinya dan tentang anak-anak muda yang
mengenalnya.”
Ketika cahaya yang
kemerah-merahan di langit menjadi semakin pudar, maka Ki Tanu Metir pun
berkata, “Marilah, Ngger. Jangan terlampau membiarkan diri hanyut dalam arus
perasaan, Seharusnya Angger mencoba mempergunakan pikiran untuk membuat
keseimbangan. Nalar.”
Wuranta menggeleng, “Sudahlah
Kiai. Kiai tidak usah memikirkan aku. Aku akan kembali ke Jati Anom. Aku sudah
puas dapat melakukan petunjuk-petunjuk Kiai. Aku sudah puas dengan keadaan
sekarang ini.”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Dipandanginya wajah Wuranta dengan tajamnya sehingga anak muda itu
melontarkan pandangan matanya jauh-jauh ke punggung Gunung Merapi yang masih
diwarnai oleh sisa-sisa sinar matahari yang kemerah-merahan.
“Ikutlah aku. Angger harus
berjiwa besar menghadapi setiap persoalan. Angger bukan anak kecil lagi.”
Wuranta terdiam.
“Angger adalah satu-satunya
dari antara anak-anak muda Jati Anom yang telah berhasil mendahului pasukan
Pajang ke dalam sarang yang berbahaya ini. Tengadahkan kepalamu. Pandanglah
seluruh persoalan dengan dada terbuka. Sebagian anggapan Angger tentang diri
Angger benar. Angger adalah orang yang telah ikut berjasa dalam hal ini.”
Tetapi Ki Tanu Metir terpaksa
menahan hatinya ketika ia melihat Wuranta menggelengkan kepalanya. Dengan nada
yang dalam anak muda itu berkata, “Terima kasih, Kiai. Aku tidak usah pergi ke
banjar. Pergilah Kiai sendiri menemui murid-murid dan Kakang Untara. Aku akan
kembali ke Jati Anom sekarang.”
“Ah,” Ki Tanu Metir berdesah,
“lihat, matahari telah turun ke balik gunung. Sebentar lagi hari akan gelap.”
“Aku kemarin mondar-mandir antara
Jati Anom dan Tambak Wedi ini di dalam gelap juga.”
“Tetapi justru kali ini aku
menjadi cemas, karena Tambak Wedi, Sidanti, dan Argajaya terlepas dari tangan
kita.”
“Kiai cemas seandainya aku
berjumpa dengan mereka?”
“Ya, Ngger.”
“Kiai tidak perlu cemas. Aku
sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Tetapi seandainya aku akan
mati juga, itu pun sudah menjadi garis hidupku.”
“Jangan, Ngger. Untara
menunggumu. Ia ingin bertemu dengan Angger.”
“Kalau ia ingin menemui aku,
aku persilahkan datang ke Jati Anom.”
“Hem” Ki Tanu Metir menarik
nafas dalam-dalam. Wuranta telah kehilangan keseimbangannya lagi.
“Silahkan Kiai kembali ke
banjar. Katakanlah kepada Kakang Untara bahwa aku telah kembali ke Jati Anom.
Aku tidak berguna apa pun juga di sini.”
“Apakah maksud itu tidak dapat
di ubah.”
“Maaf, Kiai.”
Sekali lagi Ki Tanu Metir
menarik nafas panjang. Ia tidak, berhasil mengajak Wuranta pergi ke banjar
padepokan Tambak Wedi untuk bertemu dengan Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru.
Tetapi orang tua itu dapat mengerti juga perasaan yang golak di dalam dada
Wuranta. Ia tidak ingin lagi bertemu dengan Sekar Mirah dan Agung Sedayu. Ia
tidak mau menambah pedih luka di hatinya.
“Jadi bagaimana, Ngger?”
“Silahkan Kiai kembali ke
banjar. Aku akan terus ke Jati Anom.”
“Beberapa puluh langkah lagi
Angger sampai ke banjar itu.”
“Aku akan berbelok.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu tiba-tiba ia berkata, “Lukamu, Ngger.”
“Sudah sembuh, Kiai.”
“Belum,” Ki Tanu Metir
menggeleng, “besok aku akan memberimu obat lagi di Jati Anom. Obat itu baru
sekedar memampat darah. Tetapi daya sembuhnya terlampau sedikit.”
“Terima kasih, Kiai.
Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.”
“Ah, tentu. Kenapa tidak? Aku
pun akan segera pergi ke Jati Anom. Aku pun tidak akan terlampau lama di sini.”
“Silahkanlah, Kiai.” Wuranta
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Sekarang, apakah Kiai masih akan pergi ke
banjar?”
“Ya. aku akan pergi ke
banjar.”
Dengan menyesal Kiai Gringsing
kemudian meninggalkan Wuranta seorang diri. Menurut pertimbangannya, maka
biarlah Wuranta menuruti kehendakanya sendiri lebih dahulu, selagi ia belum
dapat berpikir dengan tenang. Karena itu, maka Ki Tanu Metir tidak ingin
memaksa-maksanya lagi. Ia mengharap bahwa besok atau lusa Wuranta akan
benar-benar dapat menemukan keseimbangannya.
Sepeninggal Ki Tanu Metir,
Wuranta masih sejenak berdiri di tempatnya. Dilayangkannya pandangan matanya
berkeliling. Dalam cahaya yang menjadi semakin merah, ia melihat beberapa orang
masih saja sibuk di halaman banjar dan sekitarnya. Mereka masih menyingkirkan
mayat dan orang-orang yang terluka. Satu-satu, dikumpulkan menurut keadaannya.
Wuranta mengangguk-anggukkan
kepalanya tanpa dikehendakinya. Baru kali ini ia melihat pepati sebanyak itu.
Sejenak ia melupakan kepahitan hatinya sendiri.
Perlahan-lahan ia mengayunkan
kakinya. Tetapi ia tidak berjalan ke halaman banjar. Ia membelok sepanjang
dinding halaman yang agak rendah. Ketika ia meloncati dinding itu, maka ia
berada di belakang banjar, berantara dua halaman. Namun di tempat itu ternyata
orang pun sibuk pula mengumpulkan orang-orang yang terluka dan mayat yang
bergelimpangan.
Ketika seorang prajurit hendak
menegurnya maka prajurit yang lain berkata, “Bukankah ia anak Jati Anom?”
“Kau sudah mengenalnya?”
“Aku sudah mengenalnya. Kemarin
malam ia berada Kademangan Jati Anom. Bukankah anak itu pula yang membawa kabar
tentang keadaan di padepokan ini sehingga Ki Untara dapat membuat perhitungan
yang tepat?”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya sehingga maksudnya untuk menegur Wuranta diurungkan. Dibiarkannya
anak muda itu berjalan dengan hati yang kosong di antara para prajurit Pajang
yang sibuk.
Namun tanpa dikehendakinya
pula, kadang-kadang Wuranta itu terhenti di antara orang-orang yang terluka. Ia
masih mendengar beberapa orang merintih meskipun tubuhnya telah terbujur diam,
tidak berbeda dengan mayat-mayat yang terbujur di sampingnya.
Ketika ia melihat seorang tua
yang dengan lemahnya terbaring di bawah sebatang pohon kelor, hati Wuranta
berdesir. Tubuh itu masih belum sempat di angkat dibawa ke banjar bersama
orang-orang lain yang terluka. Tetapi Wuranta yakin bahwa orang itu masih
hidup.
Perlahan-lahan ia
mendekatinya. Dalam kesuraman cahaya matahari yang semakin redup ia melihat
orang tua itu menyeringai menahan sakit.
Sejenak kemudian Wuranta telah
berlutut di sampingnya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Kek, Kakek. Kau terluka?”
Orang tua yang terbaring itu
lamat-lamat mendengar suara orang memanggilnya. Perlahan-lahan ia membuka
matanya. Betapa perasaan sakit menghentak-hentaknya, namun ia masih sempat
melihat remang-remang seseorang berjongkok di sampingnya.
Kepala orang tua itu dijalari
oleh sebuah perasaan yang aneh. Di dalam keadaan yang demikian, seseorang telah
berjongkok di sampingnya sambil menegumya ramah sekali.
“Siapakah engkau?” desis orang
tua itu.
“Aku, Kek, Wuranta.”
“O, kau, Ngger?” seleret warna
merah membayang di wajah yang pucat itu. “Benarkah kau Angger Wuranta?”
“Ya, Kek.”
“Oh” orang tua itu terdiam.
Matanya yang terbuka, itu terpejam. Tampak betapa wajah yang tua itu menahan
penderitaan yang sangat berat.
Wuranta masih melihat darah
yang meleleh dari luka di lambung orang tua itu. Luka yang parah.
“Kau terluka, Kakek?” bertanya
Wuranta.
“Hem” orang tua itu menarik
nafas. Tetapi sejenak kemudian wajahnya menyeringai menahankan perasaan sakit.
“Ya, Ngger aku terluka. Terlampau parah.”
“Prajurit-prajurit Pajang
melukaimu?”
Orang tua itu mencoba
menggeleng. “Tidak, Ngger. Aku tidak sempat berkelahi melawan orang-orang
Pajang. Aku telah terluka karena ujung pedang orang-orang Jipang.”
“Oh” Wuranta terhenyak di
tempatnya. Alangkah sedihnya. Ujung pedang kawan sendiri yang tinggal
bersama-sama di dalam satu lingkungan.
“Aku sudah kehabisan tenaga,
Ngger.”
“Sebentar lagi orang-orang
Pajang itu akan mencoba menolongmu, Kek.”
“He?” orang tua itu terkejut.
“Tidak ngger. Mereka akan datang dan mencekik aku sama sekali. Bukankah
sebagian dari kita mati karena ujung senjata orang-orang Pajang?”
“Tetapi aku melihat mereka
menolong orang-orang yang terluka dari segala pihak. Termasuk orang-orang dari
padepokan Tambak Wedi, bahkan orang-orang Jipang.”
Perlahan-lahan orang tua itu
menggeleng. “Mereka tidak menolong, Ngger, mereka sekedar mengumpulkan
orang-orang yang terluka dan yang mati. Besok kita bersama-sama akan dimasukkan
dalam sebuah lubang yang besar, dan ditimbun dengan sampah dan tanah. Kita yang
belum mati sekalipun akan dikubur pula bersama mayat-mayat itu.” Orang tua itu
berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin lambat, “Lebih baik mati bersama
mereka, Ngger.”
“Tidak, Kek. Kakek akan
sembuh. Dan hal yang demikian, tidak akan dilakukan oleh prajurit Pajang.”
Kakek yang terbaring itu
terdiam. Sekali-sekali dibukanya matanya dan dilihatnya Wuranta duduk di
sampingnya. “Angger Wuranta, bukankah Angger termasuk pihak Pajang itu pula?
Nah, kalau demikian tolong, Ngger, bunuhlah aku sekali supaya aku tidak terkubur
hidup-hidup besok apabila malam nanti aku tidak mati.”
“Ah, jangan begitu, Kek. Kakek
akan sembuh. Luka Kakek akan mendapat perawatan.”
“Seandainya demikian, apabila
aku sudah sembuh, maka aku akan digantung di alun-alun Pajang. Apalagi aku
sudah menangkapmu, Ngger. Menangkap seorang petugas sandi dari Pajang.”
Wuranta menggelengkan
kepalanya. “Tidak, Kek. Apa yang Kakek lakukan adalah tugas Kakek. Tetapi Kakek
telah memberikan tempat tinggal lepas dari tangan Sidanti. Bukankah itu sebuah
pertolongan yang paling berarti selagi aku melakukan tugasku? Kek, seandainya
aku tidak dapat keluar dari rumah tahanan itu, maka akhir dari peristiwa ini
pun akan berbeda.”
“Ah,” orang tua itu mengeluh,
“bunuh sajalah aku, Ngger.”
“Tidak, Kek.”
“Tolong, supaya aku tidak
terkubur hidup-hidup. Tetapi, sebelum itu, apakah kau mau menolong aku, Ngger?”
“Apa, Kek?”
“Apakah kau mau menyampaikan
pesanku kepada nenekmu yang tua dan sakit-sakitan itu?”
“O, tentu, tentu.”
“Bawalah orang tua itu kemari,
Ngger. Aku ingin bertemu untuk yang terakhir kalinya. Nenekmu sudah terlalu tua
dan sakit-sakitan saja. Kasihan perempuan itu.”
“Jadi, apakah aku harus
memanggilnya kemari?”
“Ya,” desis orang tua itu
“tetapi kalau para prajurit Pajang itu mengijinkannya.”
“Aku akan minta ijin itu untuk
Kakek.”
“Terima kasih, Ngger” orang
tua itu menyeringai. sekali lagi. “Lukaku parah. Umurku sudah tidak akan
mencapai semalam ini. Tolong Ngger, panggillah nenekmu. Dan…” orang tua itu
terhenti. Perlaban-lahan ia melanjutkan, “Dan tolong, Ngger apabila mungkin, janganlah
aku dibiarkan mati di sini lebih dahulu. Apakah aku dapat Angger sisihkan, ke
emper rumah sebelah?”
“Tentu, Kek, tentu.”
“Tetapi apabila para prajurit
Pajang mengijinkan, Ngger.”
Wuranta tidak menjawab. Dengan
sigapnya ia berdiri. Lukanya sendiri sudah benar-benar tidak terasa olehnya.
Tergesa-gesa ia mendekati seorang prajurit yang sedang mengawal kawan-kawannya
dan orang-orang Tambak Wedi yang sedang sibuk mengangkat orang-orang yang
terluka ke rumah di halaman itu, dan sebagian langsung dibawa ke banjar
Padepokan.
“Apa Ki Sanak?” bertanya
prajurit itu.
“Aku titip kakekku yang
terluka itu.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. “Kakekmu?”
“Ya.”
Prajurit itu menjadi heran. Ia
mengenal Wuranta sebagai anak Jati Anom, dan orang yang terluka itu adalah
seorang dari padepokan Tambak Wedi yang masih belum sempat disisihkan. Sejenak
prajurit itu berdiri kebingungan. Dipandanginya Wuranta dan kakek yang
terbaring itu berganti-ganti.
“Benarkah ia kakekmu?”
prajurit itu ingin menegaskan.
“Ya ia kakekku. Karena itu,
tolong aku titipkan ia padamu. Biarlah kakek aku bawa ke emper rumah itu. Aku
akan memanggil nenek sebentar.”
Prajurit itu masih berdiri
kebingungan ketika Wuranta kemudian melangkah mengambil kakek tua itu dan
mendukungnya ke emper rumah di halaman.
Tanpa minta ijin lagi, Wuranta
pun kemudian meninggalkannya untuk menyusul nenek seperti pesan kakek tua yang
terluka. Meskipun demikian, ketika ia lewat di muka prajurit itu ia masih
berpesan “Tolong awasilah kakek itu.”
Prajurit itu menarik nafas
dalam-dalam. Itu sama sekali bukan pekerjaannya. Meskipun demikian ia terpaksa
mengawasinya juga. Ketika ada prajurit yang lain, yang akan membawa kakek tua
itu ke dalam rumah, maka prajurit itu berkata, “Biarkan orang tua itu di sana.”
“Kenapa?”
“Wuranta, anak Jati Anom itu
berpesan kepadaku, supaya orang tua yang katanya adalah kakeknya itu tetap di
sana.”
“Tetapi semua orang yang
terluka harus dikumpulkan supaya mereka segera mendapat pertolongan. Luka kakek
tua itu agak parah.”
Prajurit yang sedang
berjaga-jaga itu ragu-ragu sejenak. Tetapi kemudian ia berkata, “Biarkan ia di
situ. Kita tunggu saja Wuranta. Barangkali ia ingin berbuat sesuatu dengan
kakeknya itu.”
Maka kakek tua itu pun
ditinggalkannya. Beberapa orang yang lain pun kemudian diangkut pula masuk ke
dalam rumah, sedang yang telah meninggal dikumpulkan pula menjadi satu di
halaman untuk dikuburkan besok pagi.
Langit pun semakin lama
menjadi semakin suram. Cahaya kemerah-merahan menjadi semakin redup dan
kehitam-hitaman. Perlahan-lahan senja turun ke atas permukaan bumi.
Sesaat kemudian Wuranta itu
datang kembali sambil memapah seorang perempuan tua. Hampir setua kakek yang
sedang terluka di lambungnya.
“Dimanakah kakekmu itu,
Ngger?” desis nenek itu.
“Di sana, Nek, di emper rumah
itu.”
Tertatih-tatih di dalam
papahan Wuranta nenek itu berjalan mendekati emper tempat kakek tua itu
berbaring.
Hati Wuranta menjadi lega
ketika ia masih melihat dalam keremangan senja kakek tua ini masih terbaring di
emper. Namun kemudian hatinya berdesir ketika ia melihat kakek tua itu sama
sekali diam, seolah-olah orang tua itu sudah tidak bernafas lagi.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat, maka hati Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Perlahan-lahan
dipapahhya perempuan tua itu semakin mendekat.
Perempuan tua itu pun kemudian
berlutut di samping suaminya. Terdengar ia bergumam, tetapi tidak jelas, apa
yang dikatakannya. Namun tiba-tiba terdengar ia memanggil, “Kek, Kakek.”
Laki-laki tua yang terbaring
itu ternyata masih hidup. Ia masih mendengar suara isterinya. Betapa lemah
tubuhnya, namun ia paksakan dirinya membuka mata. Lambat sekali ia menjawab,
“Nenek, kaukah itu?”
“O” nenek tua itu tidak dapat
lagi menahan dirinya. Ditelungkupkannya kepalanya di atas tubuh suaminya yang
telah menjadi semakin lemah.
“Lukaku parah, Nenek.”
“Akan aku obati, Kek.”
Perlahan-lahan laki-laki tua
itu menggelengkan kepalanya. “Tidak perlu. Tak ada obat yang dapat menyembuhkan
lukaku. Darah sudah terlampau banyak mengalir, meskipun aku sendiri sudah
mencoba menahan dengan sobekan kainku.”
“Tidak, Kakek, aku akan
mengobatinya. Kau harus sembuh.”
Wuranta masih berdiri tegak
seperti patung. Tiba-tiba ia teringat obat yang diberikan Ki Tanu Metir
kepadanya. Obat itu dapat membantu sementara untuk menghentikan darah yang
meleleh dari luka. Dan luka kakek itu masih saja meneteskan darah. Agaknya
karena terlampau banyak darah yang keluar itulah maka kakek itu menjadi
terlampau lemah. Ia sudah terluka sejak orang-orang Pajang memasuki padepokan
ini. Hampir sehari ia terbaring dalam lukanya tanpa pertolongan kecuali atas
usahanya sendiri. Meskipun, seandainya luka itu sendiri tidak terlampau parah,
namun terlampau banyak darah yang mengalir pun akan dapat menyebabkan kematian.
Karena itu, maka segera dicarinya bumbung kecil sisa obat yang dilumurkan luka
di dadanya sendiri. Ketika ia menemukan obat itu, maka hatinya melonjak
kegirangan.
“Kakek,” katanya terbata-bata,
“aku mempunyai obat. Obat yang dapat menolong sementara memampatkan luka.”
Kakek yang terluka itu tidak
segera menyahut, tetapi isterinyalah yang menjawab, “Benar, Ngger? Benarkah kau
mempunyai obat itu.”
Tetapi alangkah kecewanya
Wuranta ketika ternyata obat itu tinggal sedikit. Terlampau sedikit untuk
mengobati luka lambung laki-laki tua itu. Meskipun demikian, obat yang sedikit
itu dapat mengurangi penderitaannya dan dapat mengurangi darah yang menetes
dari lukanya.
“Aku sudah cukup tua, Ngger.
Luka-luka di tubuhku betapapun kecilnya agaknya terlampau sukar untuk diobati.
Lukaku kali ini pun terlampau sukar untuk diharapkan akan dapat sembuh.”
“Tidak, Kek, kau akan sembuh”
desis isterinya.
“Adalah suatu kebahagiaan
bagiku, bahwa aku masih cukup kuat menahan diri sampai sehari ini. Dengan
demikian aku masih dapat bertemu dengan kau, Nek” katanya semakin lambat.
Nenek tua, isteri laki-laki
yang terluka itu merapatkan kepalanya di dada suaminya. Meskipun ia berusaha
sekuat-kuat tenaganya, namun terasa air matanya meleleh membasahi dada yang
bidang, namun sudah mulai berkeriput karena garis-garis ketuaan yang semakin
banyak.
“Jangan menangis, Nek” desis
laki-laki itu.
“Tidak,” jawab isterinya “aku
tidak menangis.”
Sekali lagi keduanya terdiam.
Wuranta yang berjongkok di sampingnya setelah mencoba mengobati luka orang tua
itu pun terdiam pula. Namun demikian perasaan iba dan haru menyentak-nyentak
dadanya. Ia tidak dapat berbuat sesuatu meskipun ia melihat seorang laki-laki
tua telah berada di ambang maut, di dalam pelukan isterinya yang telah tua
pula.
“Apakah mereka tidak mempunyai
anak?” bertanya Wuranta di dalam hatinya.
Wuranta mendekat ketika
lamat-lamat ia mendengar, “Angger Wuranta.”
“Ya, Kakek” jawab Wuranta.
“Apakah Hari memang sudah
mulai gelap?”
“Ya, Kek. Senja telah hampir
lampau.”
“O,” desisnya, “pandanganku
telah menjadi gelap benar. Aku sudah tidak dapat melihat apa pun.”
Dada Wuranta menjadi
berdebar-debar.
“Tidak, Kek,” tangis perempuan
tua, isterinya, yang sudah tidak terbendung lagi, “kau akan sembuh. Aku tidak
berani kau tinggalkan. Aku tidak mau hidup seorang diri.”
“Kau tidak akan hidup seorang
diri, Nek” jawabnya laki-laki itu perlahan sekali. “Angger Wuranta akan
menemanimu. Bukankah begitu, Ngger?”
“Ya, ya Kek” sahut Wuranta
dengan serta-merta.
“Hem” laki-laki tua itu
mencoba menghela nafas dalam-dalam. “Ngger” desisnya lambat sekali.
Wuranta berkisar semakin
dekat. Dan dilihatnya lamat-lamat dalam keremangan senja laki-laki itu bergerak
sedikit.
“Pagi tadi, Ngger,” katanya,
”justru ketika aku sudah terbaring karena luka, aku dapat mengenali apa yang
kau katakan, Ngger. Aku sudah merasakan betapa nikmatnya.”
“Apa, Kek?” bertanya Wuranta
tergagap.
“Tadi pagi, ketika aku masih
sanggup menahan tubuhku dengan tanganku, aku sudah dapat menikmati betapa
cerahnya pagi. Saat-saat yang tidak pernah aku nikmati sebelumnya. Aku melihat
betapa cahaya yang kehitam-hitaman berubah menjadi merah, kemudian kekuning-kuningan
dan yang terakhir, ketika matahari muncul dari balik dedaunan, memancarlah
cahaya yang putih cerah.”
“Ya, ya Kek. Pagi memang
cerah.”
“Aku tidak pernah
menikmatinya. Aku tidak pernah mendapat kesempatan itu. Tetapi kesempatan itu
datang pagi ini. Pada hariku yang terakhir. “
“Bukan yang terakhir” potong
Wuranta.
Dada Wuranta berdesir ketika
ia melihat laki-laki tua yang luka parah di lambungnya itu tersenyum. “Jangan
menutup mata melihat kenyataan ini, Ngger. Tetapi kini, sejak aku melihat cerahnya
pagi, aku merasa terlampau dekat dengan Nafas dari seluruh kehidupan. Aku
merasa bahwa aku mendapatkan sesuatu, Ngger. Dan aku merasa menjadi semakin
dekat.”
“Ya, Kek. Kau akan menjadi
semakin dekat dengan Nafas segala kehidupan. Dan kau akan sembuh.”
“Bagiku sudah tidak ada
bedanya, Ngger. Dan aku merasa bahwa hidupku di dunia ini sudah akan berakhir,
berakhir hari ini. Tetapi aku sudah tidak perlu takut lagi. Aku sekarang sudah
tahu ke mana aku harus pergi.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi
hatinya menjadi semakin berdebar-debar. Apakah laki-laki tua itu benar-benar
akan mati? Alangkah sedih hati isterinya. Ternyata mereka hanya hidup berdua
saja selama ini. Agaknya mereka benar-benar tidak mempunyai seorang anak pun.
Tiba-tiba Wuranta teringat kepada
Ki Tanu Metir. Ki Tanu Metir seorang dukun yang baik. Seorang dukun yang
berpengalaman mengobati segala macam penderitaan. Karena itu maka tiba-tiba ia
berkata, “Kek, tahankanlah sebentar. Aku akan memanggil seorang dukun yang
baik, yang akan bersedia menolongmu.”
“Siapa?”
“Ki Tanu Metir.”
“Orang manakah dukun itu?”
“Menurut pendengaran ia
berasal dari Dukuh Pakuwon. Ia adalah seorang dukun kepercayaan Kakang Untara.”
“Untara Senapati Pajang?”
“Ya, Kek.”
“Tak ada gunanya. Ia tidak
akan bersedia mengobati aku.”
“Ia pasti bersedia. Baginya
akan terbuka kemungkinan yang sama bagi semua penderita. Ia tidak
memperhitungkan siapakah penderita itu. Tetapi setiap penderitaan harus
mendapat pertolongan.”
“Sudah aku katakan, Ngger,
apabila aku sembuh pun, aku pasti hanya akan naik ke tiang gantungan.”
“Tidak, tidak Kek. Aku akan
menjadi tanggungan, sebab kakek telah menolong aku, melepaskan aku dari tangan
Sidanti.”
Wuranta tidak menunggu jawaban
orang tua itu. Segera ia berdiri dan berkata kepada isteri laki-laki yang
terluka itu, “Aku akan memanggilnya. Tunggulah disini, Nek. Berilah kakek
harapan supaya ia dapat menahankan diri, sementara aku memanggil Ki Tanu
Metir.”
Perempuan tua itu mengangguk
lemah. Dari matanya masih saja meleleh butiran-butiran air mata yang bening.
Wuranta itu pun kemudian
melangkah dengan tergesa-gesa. Ketika terlihat olehnya prajurit pengawal, maka
ia berkata, “Jangan kau ganggu mereka.”
“Mereka harus segera
dikumpulkan di antara orang-orang yeng terluka.” jawab prajurit itu.
Wuranta mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling dilihatnya nenek tua itu masih memeluk suaminya sambil
menangis. Karena itu maka ia pun kamudian menjawab, “Jangan. Laki-laki itu
jangan disentuh.”
“Kami mendapat perintah” jawab
prajurit itu.
“Khusus bagi laki-laki tua
itu. Ia adalah kakekku. Aku sendirilah yang akan mengobatinya. Kemudian
terserah kepadamu, apakah yang seharusnya kau lakukan terhadapnya.”
Prajurit itu terdiam sejenak.
Kawan-kawannya yang mengumpulkan orang-orang yang terluka serta mengumpulkan
mayat-mayat telah hampir selesai. Sebagian dari mereka kini sudah mulai
memilih, memisahkan mayat-mayat orang Tambak Wedi dan orang-orang Jipang dari
prajurit-prajurit Pajang. Mayat prajurit-prajurit Pajang yang gugur mereka
kumpulkan semuanya di halaman banjar padepokan Tambak Wedi.
“Nah, tolong,” berkata Wuranta
kemudian, “awasi kedua orang tua itu. Jangan diganggu dan jangan dipindahkan
dahulu. Aku akan memanggil Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu tidak sempat
menjawab. Wuranta segera melangkahkan kakinya menuju ke banjar padepokan.
Namun sejenak langkahnya
menjadi ragu-ragu. Ia tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.
Ia sudah menolak ajakan Ki Tanu Metir untuk pergi ke banjar.
“Hem” Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Kini ia berdiri selangkah dari dinding belakang banjar padepokan.
Sekali lagi ia dicengkam oleh keragu-raguan.
“Tidak,” desisnya, “aku tidak
akan pergi ke banjar itu. Aku tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan Sekar
Mirah. Aku tidak ingin datang kepada Untara. Biarlah ia yang dahulu mencari
aku. Tidak.”
Wuranta melangkah selangkah
surut. Ketika ia memutar tubuhnya, maka terbayang kembali di ruang matanya,
seorang laki-laki tua yang terbaring di emper rumah di halaman sebelah.
Terbayang pula seorang perempuan tua yang menangisinya. Perempuan yang tidak
saja bersedih karena suaminya berada di ambang pintu maut, tetapi perempuan itu
juga dicengkam oleh ketakutan pada hari-harinya sendiri. Hari-harinya yang
mendatang.
Kini Wuranta itu berdiri
seperti sebatang tonggak mati. Ia benar-benar berada di dalam keragu-raguan
yang sangat. Apakah ia harus menemui Ki Tanu Metir di banjar untuk memintanya
mengobati kakek tua yang terluka itu, atau tidak. Kalau tidak, maka laki-laki
itu pasti akan mati, tetapi kalau ia melangkah terus ke banjar padepokan, maka
hatinya pasti akan menjadi semakin pedih.
Dalam kebimbangan itu
tiba-tiba Wuranta mendengar tangis seorang perempuan. Ia terkejut. Namun
kemudian disadarinya bahwa tangis itu bukan tangis perempuan tua yang menangisi
suaminya. Tangis itu datang dari banjar padepokan. Namun tangis itu telah
mempertebal ingatannya tentang perempuan tua yang duduk bersimpuh di samping
suaminya yang telah berada di ujung maut.
Dengan demikian maka
pergolakan perasaan di dada Wuranta menjadi semakin dahsyat, dibakar oleh
kebimbangan. Sekali-sekali ia menggeram. Dan kemudian berdiri lesu dengan
kepala tertunduk dalam-dalam.
Senja semakin lama menjadi
semakin kelam. Perlahan-lahan angin lereng yang silir bertiup mengusap
tubuhnya.
Tiba-tiba Wuranta itu
menggeretakkan giginya. Sambil mengepalkan tangannya ia menggeram, “Aku akan
menemui Ki Tanu Metir. Persetan dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah, dan Untara.
Aku akan berusaha menyelesaikan kedua orang tua itu.”
Wuranta itu kemudian telah
membulatkan hatinya. Ia berhasil melepaskan tekanan perasaan tentang diri
sendiri. Ia tidak dapat mengelakkan perasaannya tentang kedua suami isteri tua
yang kini sedang disentuh oleh ketakutan dan kecemasan, apalagi atas tekanan
jari-jari maut.
Dengan mengatupkan giginya
rapat-rapat, Wuranta meloncati dinding halaman belakang banjar padepokan Tambak
Wedi. Kemudian dengan tergesa-gesa ia melangkah menuju ke banjar. Ketika
seseorang prajurit menegurnya, Wuranta sama sekali tidak mau berhenti.
“He tunggu” berkata prajurit
itu.
Wuranta mempercepat
langkahnya. Sinar pelita dari pendapa banjar telah dilihatnya.
“Berhenti!” tegur prajurit
itu.
Wuranta berjalan terus.
Beberapa langkah lagi ia akan sampai ke sisi banjar. Tetapi tiba-tiba
langkahnya terhenti ketika prajurit yang lain tiba-tiba saja seolah-olah jatuh
dari langit, telah berdiri di hadapannya. Dengan pedang telanjang prajurit itu
berkata, “Kau tidak menurut perintah prajurit yang sedang berjaga-jaga di halaman
belakang. Siapakah kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, ia
sempat melihat prajurit yang menegumya telah berdiri di sampingnya. Dengan muka
merah prajurit itu membentak, “Apakah aku perlu menghentikanmu dengan kekerasan
he?”
“Kalau itu yang kau anggap
baik, maka lakukanlah” sahut Wuranta.
Terdengar gigi prajurit itu
beradu. “Siapa kau?” bentaknya.
Hati Wuranta yang sedang kalut
itu menjadi terbakar kembali oleh perasaannya yang sudah hampir padam. Perasaan
kecewa, marah, rendah diri dan bermacam-macam lagi, yang tersalur dalam ujud
yang lain. Justru karena itu maka ia menjawab sambil menengadahkan wajahnya,
“Bertanyalah kepada Untara, siapakah aku.”
Sejenak kedua prajurit yang
menghentikannya itu saling berpandangan. Jawaban itu ternyata telah
mempengaruhi perasaan mereka. Namun demikian mereka sedang berada di dalam
kewajiban, sehingga salah seorang dari mereka berkata, “Aku bertanya kepadamu.
Tidak kepada Ki Untara. Siapakah kau?”
Dada Wuranta menjadi pepat.
Serasa dada itu akan meledak. Ia tidak dapat berbuat lain dari menyebut
namanya. “Aku Wuranta, anak Jati Anom, Nah, kau dengar?”
Prajurit-prajurit Pajang itu
mengerutkan kening mereka. Sejenak mereka saling berpandangan. Ternyata
meskipun mereka termasuk di antara prajurit-prajurit Pajang yang belum pernah
melihat Wuranta, namun mereka telah mendengar nama itu. Nama yang saat itu
sering disebut-sebut oleh prajurit Pajang. Mereka mengenal Wuranta sebagai
seorang anak Jati Anom yang dengan suka-rela membantu mereka, mengetahui
keadaan padepokan Tambak Wedi.
Meskipun demikian sikap anak
muda itu sama sekali tidak menyenangkan kedua prajurit itu. Bagaimanapun juga
pentingnya kedudukan seseorang, namun mereka harus menyatakan diri
sejelas-jelasnya kepada setiap petugas. Sehingga sikap Wuranta itu telah
menimbulkan kebimbangan para prajurit itu.
“Nah, apakah kalian telah
mendengar namaku?” tiba-tiba Wuranta berkata, “Sekarang aku akan bertemu
Untara.”
“Ah,” salah seorang prajurit
itu hampir-hampir tidak dapat mengendalikan dirinya, dan yang seorang
menyambung, “Ki Sanak, siapa pun juga kau, bahkan Ki Untara sendiri, harus
berhenti apabila seorang petugas menghentikannya di tempat semacam ini. Bahkan
seandainya yang lewat ini Panglima Wira Tamtama sekalipun. Aku yakin bahwa mereka
mengerti apa yang sedang kami lakukan dan apa yang harus mereka lakukan. Tetapi
jangan menganggap kami tidak berarti. Kami tahu, bahwa kami tidak sepantasnya
menyejajarkan diri dengan kau, Ki Sanak. Kami telah mendengar nama Wuranta dari
Jati Anom, meskipun baru sekarang kami melihat wajah Ki Sanak. Namun sikap Ki
Sanak dapat menumbuhkan kekecewaan di hati kami.”
“Terserahlah kepada kalian.
Pandangan kalian terhadap aku sama sekali tidak merubah sikapku, sifatku dan
watakku. Inilah Wuranta. Baik atau jelek, inilah keadaannya.”
Kedua prajurit itu sekali lagi
saling berpandangan. Seandainya yang berdiri di depan mereka itu bukan Wuranta,
anak Jati Anom yang mereka anggap telah membantu mereka menyelesaikan pekerjaan
yang berat ini, maka sikap mereka akan lain. Mereka menyesal bahwa mereka telah
lebih dahulu mendengar tentang Wuranta. Seandainya belum, maka tindakan yang
mereka lakukan atas anak yang mereka anggap sombong itu tidak akan dapat
disalahkan oleh siapa pun. Bahkan kedua prajurit itu mengharap, mudah-mudahan
Wuranta bertemu dengan orang-orang yang belum mengenalinya dan belum mendengar
namanya.
Kedua prajurit itu sama sekali
tidak menegurnya lagi. Bahkan ketika Wuranta berkata kepada mereka, “Aku akan
berjalan terus. Tak ada kepentinganku dengan kalian,”
Kedua prajurit itu bersikap
acuh tak acuh saja. Mereka memalingkan wajah-wajah mereka dan berjalan
menjauhinya tanpa menjawab sepatah kata pun.
Melihat sikap keduanya justru
Wurantalah yang tertegun sejenak. Tetapi ketika teringat olehnya laki-laki tua
dan isterinya yang menunggunya, maka kemarahannya ditahankannya. Namun di dalam
hati ia berkata, “Oh, kedua prajurit itu belum mengenal Wuranta. Tanpa Wuranta
mereka tidak berarti apa-apa lagi.”
Kemudian dengan tergesa-gesa
Wuranta meninggalkan kedua prajurit itu dengan wajah bersungut-sungut. “Aku
tidak memerlukan kalian. Aku memerlukan Ki Tanu Metir.”
Tetapi ketika hatinya berdesis
tentang orang tua itu, tentang dukun yang baik itu, maka kesadarannya kembali
merayapi dadanya. Kesadaran tentang diri sendiri dan kesadaran tentang keadaan
seluruhnya di dalam padepokan ini.
“Oh” desahnya. Tanpa
dikehendakinya ia berpaling ke arah kedua prajurit itu. Di dalam dadanya
menjalarlah perasaan sesal dan bahkan malu atas sikapnya sendiri. Namun kedua
prajurit itu sudah tidak dilihatnya. Mereka telah hilang di dalam gelap.
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Terasa kepedihan yang sangat menyentuh dadanya.
Ketika ia menjadi semakin
dekat dengan pendapa banjar padepokan maka hatinya menjadi kian berdebar-debar.
Kini ia merasakan sekali lagi pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan
berjalan terus, atau mengurungkan niatnya. Betapa ia mencoba mempergunakan nalarnya,
tetapi ia berniat untuk sama sekali tidak ingin bertemu dengan Agung Sedayu dan
Sekar Mirah.
“O,” Wuranta mengeluh
“alangkah kacaunya perasaanku. Aku akan dapat menjadi gila karenanya.”
Meskipun demikian ia melangkah
maju. Kalau-kalau ia melihat seseorang. Kalau-kalau ia melihat Ki Tanu Metir.
Di muka pendapa banjar itu
beberapa orang prajurit dan perwira Pajang masih sibuk dengan tugas
masing-masing. Beberapa orang berjalan hilir-mudik. Yang lain berdiri berbicara
di antara mereka.
Sedang di muka regol Wuranta
melihat prajurit-prajurit yang sedang berjaga-jaga. Kalau mereka melihatnya,
maka mereka pasti akan menanyakan kepadanya tentang dirinya seperti prajurit
yang lain. “Aku harus bersikap baik,” desisnya. “Prajurit-prajurit itu tidak
tahu-menahu tentang aku dan kesulitanku.”
Beberapa saat Wuranta masih
berdiri di kegelapan. Ketika ia melihat orang yang sibuk memisahkan orang-orang
yang terluka berat dan yang agak ringan digandok sebelah pendapa itu, maka
dilihatnya orang tua yang dicarinya. Ternyata Ki Tanu Metir sebagai seorang
dukun tidak dapat duduk diam di dalam pringgitan. Sebagai seorang dukun ia
terdorong oleh panggilan hatinya untuk ikut serta meringankan penderitaan
orang-orang yang terluka.
Demikian melihat Ki Tanu
Metir, maka hati Wuranta sudah tidak tertahankan lagi. Dengan serta-merta ia
berjalan mendekatinya. Beberapa orang prajurit dan perwira yang melihatnya
sejenak tertegun diam. Namun kemudian seorang daripadanya bergerak untuk
menyusulnya. Tetapi seorang perwira berkata, “Biarkan. Itu adalah Wuranta, anak
Jati Anom.”
Prajurit itu berhenti, dan
dibiarkannya Wuranta mendekati Ki Tanu Metir yang sedang sibuk.
Ki Tanu Metir berpaling ketika
ia merasa pundaknya digamit oleh seseorang. Ternyata yang berdiri di
belakangnya adalah Wuranta, sehingga dengan serta-merta orang tua itu berkata,
“He, kaukah itu, Ngger? Aku senang sekali melihat kau merubah pendirianmu.
Ternyata kau mau datang ke banjar ini. Marilah, Swandaru dan Agung Sedayu
berada di dalam banjar.”
“Maaf, Kiai,” sahut Wuranta,
“aku tidak akan menemui siapa pun di sini kecuali Kiai.”
“Aku?”
“Ya.”
Ki Tanu Metir mengerutkan
keningnya. Wajahnya memancarkan pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya.
“Aku memerlukan Kiai.”
“O, barangkali Angger ingin
mendapatkan obat bagi luka Angger itu? Apakah luka itu berdarah lagi?”
“Lukaku sudah sembuh, Kiai.
Aku sudah tidak merasakan sakit sama sekali. Tetapi aku memerlukan Kiai untuk
seorang kakek yang terluka.”
“Siapakah orang itu?”
“Seorang laki-laki tua dari
Tambak Wedi ini.”
“Kenapa?”
“Orang itu terluka di
lambungnya, Kiai. Lukanya cukup berat. Aku ingin minta Kiai mengobatinya.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Aku juga sedang
mengobati luka-luka, Ngger. Orang Pajang, orang Jipang, dan orang Tambak Wedi.”
“Luka itu terlampau berat
Kiai. Luka itu sangat membabayakan jiwanya. Jiwa orang tua itu.”
“Ya,” Ki Tanu Metir berdesah,
“di sini pun orang-orang yang terluka itu segera memerlukan pertolongan. Jiwa
mereka juga terancam. Karena itu, Ngger, mari silahkan duduk di dalam. Angger
Untara aku kira sudah berada di dalam pula bersama Swandaru dan Agung Sedayu.
Nanti sesudah aku menolong orang-orang di sini bersama beberapa orang yang
bertugas, aku akan pergi bersama Angger.”
“Tidak, Kiai. Aku harap Kiai
pergi sekarang. Di sini telah banyak orang yang merawat orang-orang yang
terluka. Apabila Kiai telah meninggalkan obat bagi mereka, maka Kiai akan dapat
meninggalkan mereka.”
“Aku belum memberikan obat
apa-apa, Ngger. Aku masih belum sempat membuat. Yang ada adalah obat persediaan
dari pasukan Pajang sendiri. Yang dibuat oleh para dukun di Pajang itulah yang
kami pergunakan sekarang. Di tempat-tempat lain, obat-obat semacam ini pula
yang dipergunakan, sehingga laki-laki tua yang Angger maksud itu pasti akan
mendapat perawatan yang serupa oleh petugas-petugas di tempat itu, meskipun ia
seorang dari Tambak Wedi.”
“Tidak, Kiai. Ia sama sekali
belum mendapat perawatan. Lukanya parah. Mungkin orang itu kehabisan darah. Aku
telah mencoba mengobati lukanya dengan sisa obat yang Kiai berikan kepadaku.
Tetapi obat itu tinggal sedikit, sehingga tidak begitu bermanfaat lagi bagi
lukanya.”
“Maaf, Ngger, nanti aku akan
datang. Di sini orang-orang yang terluka parah, dan segera harus mendapat
pertolongan terlampau banyak. Aku akan menolong mereka, dan kemudian aku akan
pergi kepada laki-laki tua yang Angger maksud.”
“Kiai,” Wuranta mulai menjadi
cemas, “kalau Kiai tidak segera datang, laki-laki tua itu pasti akan mati.
Laki-laki itu adalah laki-laki yang telah menolongku. Sebenarnya aku sama
sekali tidak ingin menginjakkan kakiku di banjar ini, bertemu dengan para
prajurit yang selalu marah-marah dan merendahkan aku. Aku tidak ingin bercermin
atas kekerdilanku. Tetapi aku terpaksa, Kiai, karena aku memikirkan orang itu.
Aku korbankan perasaan tentang diriku sendiri, karena aku tidak sampai hati
melihat orang tua itu menderita. Kiai, apabila laki-laki itu tidak memberi
kesempatan aku lari dari tahanan Sidanti, maka akhir dari peperangan ini pun
akan berbeda, sebab aku tidak akan sempat memberitahukan kepada Kiai apa yang
telah terjadi. Dan aku tidak akan dapat memenuhi perintah Kiai untuk pergi ke
Jati Anom. Mungkin aku pernah menceriterakannya kepada Kiai, bahwa seorang
kakek yang pernah memberikan tempat kepadaku tinggal di padepokan ini, dan
kemudian mendapat perintah untuk menangkap aku, tetapi kemudian memberi jalan
kepadaku untuk melarikan diri.”
“Ya, ya Ngger, kau pernah
mengatakannya.”
“Nah laki-laki tua itulah yang
kini terluka. Bahkan keadaannya telah menjadi terlampau gawat. Aku mencegah
ketika beberapa orang akan mengambilnya dan mengumpulkannya dengan orang-orang
yang lain, sebab aku berpengharapan bahwa aku akan dapat berusaha untuk
setidak-tidaknya membalas budi, memanggil Kiai kepadanya. Sebab aku sendiri
memang terlampau dungu untuk berbuat sesuatu.”
Ki Tanu Metir menarik nafas.
Alisnya yang telah satu-dua ditumbuhi rambut-rambut yang berwarna putih tampak
bergerak-gerak. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia kemudian berkata,
“Apakah Angger ingin aku datang kepadanya sekarang?”
“Ya.”
Ki Tanu Melir terdiam sesaat.
Ia dapat membayangkan perasaan Wuranta. Anak muda itu sama sekali sudah tidak
ingin datang ke banjar ini karena perasaannya yang tidak menemukan
keseimbangan. Sikapnya sebagai seorang anak muda yang masih terlampau banyak
dipengaruhi oleh darah mudanya. Tetapi perasaan itu telah dikorbankan karena
seorang laki-laki tua yang terluka.
Namun orang tua yang terluka
itu ternyata telah menolong jiwa Wuranta, dan memungkinkan Wuranta melakukan
tugas-tugas terakhirnya menjelang benturan antara orang-orang Jipang dan
orang-orang Tambak Wedi.
Karena itu, maka Ki Tanu Metir
itu kemudian menjawab, “Baiklah, Ngger, aku pergi bersamamu. Tetapi apakah
angger, tidak ingin singgah sebentar di banjar ini untuk bertemu dengan Angger
Untara, Swandaru, dan Agung Sedayu? Mungkin ada sesuatu yang ingin mereka
katakan kepadamu?”
Tetapi Wuranta itu menggeleng
sambil berkata, “Tidak, Kiai. Orang yang luka itu segera memerlukan
pertolongan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian diselesaikannya pekerjaannya atas
seorang yang terluka, yang sudah terlanjur dimulainya. Kemudian kepada salah
seorang prajurit Pajang yang bertugas menolong para korban itu Ki Tanu Metir
berkata, “Angger, aku akan pergi sebentar. Ada orang terluka yang sangat
memerlukan aku.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Di sekitarnya terbaring banyak sekali orang-orang yang terluka.
Tetapi seseorang yang terluka telah menunggu orang tua itu.
Agaknya Ki Tanu Metir dapat
meraba apa yang tersirat di dalam hati prajurit itu. Maka ia menjelaskannya,
“Angger, agaknya orang-orang yang terbaring di sini akan segera mendapat
perawatan dari para prajurit yang bertugas untuk itu, sedang orang yang
dikatakan oleh Angger Wuranta ini adalah seorang yang terbaring di halaman,
yang tidak akan segera ditolong oleh para petugas. Maka aku akan mencoba
menolongnya apabila mungkin.”
“Kenapa orang itu tidak dibawa
kemari, atau dikumpulkan di tempat terdekat? Dengan demikian maka ia pun akan
mendapat pertolongan serupa dengan yang lain.”
Sebelum Ki Tanu Metir
menjawab, maka Wuranta telah mendahului, “Apa pedulimu? Orang yang terluka itu
sama sekali bukan urusanmu. Sedang pekerjaan ini adalah pekerjaanmu, bukan
pekerjaan Ki Tanu Metir.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Dengan dada yang bergelora ia
berkata, “Siapa kau?”
Sebelum Wuranta menjawab, Ki Tanu
Metir telah mendahului, “Angger Wuranta. Namanya Angger Wuranta. Bukankah
begitu?”
Ketika Wuranta memandangi
wajah Ki Tanu Metir yang dalam namun penuh dengan ketenangan yang serasa
menghunjam jantungnya, tiba-tiba Wuranta menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan
ia berkata, “Maaf, maaf.”
Prajurit itu mendengar suara
Wuranta yang lambat itu. Tumbuhlah keheranan di dadanya. Apakah gerangan yang
telah terjadi atas anak muda yang bernama Wuranta itu? Tetapi prajurit yang
sehari-hari memang bertugas mengurusi orang-orang yang terluka itu mencoba
untuk memahami sikap, sifat, dan keadaan orang-orang di dalam peperangan.
Mereka kadang-kadang menjadi seorang yang aneh. Pemarah, kasar, dan
kadang-kadang tidak dapat dipahami.
“Nah,” berkata Ki Tanu Metir
kemudian, “maaf, Ngger. Aku akan pergi bersama Angger Wuranta sejenak. Aku akan
segera kembali dan membantu Angger menolong orang-orang yang terluka. Apabila
aku tidak segera datang, maka aku telah melakukannya pula di tempat yang lain.
Bagiku sama saja, di sini, di rumah sebelah, di halaman dan di mana saja aku
menjumpai orang-orang yang terluka.”
“Baiklah, Kiai” sahut prajurit
itu. Tetapi sekali lagi ia mencoba memandangi wajah Wuranta yang tunduk. Wajah
itu membawa seribu macam kesan yang campur-baur. Dan prajurit yang bertugas
menolong orang-orang yang terluka itu tidak dapat menebak, apakah yang sedang
bergulat di dalam dada Wuranta sebenarnya.
Sesaat kemudian Ki Tanu Metir
itu pun telah mengikuti Wuranta turun ke halaman. Para prajurit dan perwira
yang masih berada di halaman dan yang berjalan hilir mudik di pendapa, melihat
mereka berdua berjalan melintasi halaman banjar. “Mereka sama sekali tidak
singgah untuk menemui Untara atau Swandaru atau Agung Sedayu. Bahkan mereka
berjalan tergesa-gesa seperti takut kemalaman.”
Wuranta membawa Ki Tanu Metir
berjalan lewat jalan yang dilalumya. Melintasi kebun dan halaman-halaman di
belakang. Sekali mereka berpapasan dengan prajurit yang menghentikan Wuranta
ketika ia pergi kebanjar. Prajurit itu segera memalingkan wajahnya dan berjalan
menjauh. Tampaklah dalam sikapnya, betapa ia merasa tersinggung atas kata-kata
Wuranta.
Semakin dekat dengan tempat
kakek yang terbaring luka, Wuranta menjadi semakin berdebar-debar. Senja kini
telah menjadi semakin malam. Di sana-sini tampak sinar obor yang dipasang oleh
para prajurit Pajang. Tidak saja di rumah-rumah yang dipergunakan, tetapi juga
di halaman-halaman.
Di dalam keremangan cahaya
obor, Wuranta tidak dapat segera melihat, apakah laki-laki tua yang
ditinggalkannya masih terbaring di tempatnya.
Ketika ditemui prajurit yang
berjalan hilir-mudik mengawal halaman itu, terbata-bata Wuranta bertanya,
“Apakah kakek masih di tempatnya?”
“Masih. Tetapi tidak seorang
pun yang merawatnya, sebab ia tidak berada di tempat yang telah disediakan. Aku
mencegah para petugas yang akan mengambil mereka seperti yang kau pesankan.”
“Terima kasih” desis Wuranta
sambil meloncat ke emper tempat laki-laki tua itu terbaring. Ketika ia berdiri
beberapa langkah lagi, maka ia masih melihat bayangan kehitam-hitaman di dalam
cahaya yang terlampau lemah dari obor di kejauhan.
“Kakek” Wuranta tidak sabar
sampai ia berdiri di dekat orang yang terbaring itu.
“Kakek” Wuranta mengulang,
tetapi tidak ada jawaban.
Akhirnya Wuranta berdua
bersama Ki Tanu Metir telah berdiri di samping kedua tubuh itu. Wuranta masih
melihat nenek itu memeluk suaminya dan meletakkan kepalanya di dada laki-laki
yang terbaring itu.
“Kakek” panggil Wuranta
perlahan-lahan. Tak ada jawaban.
“Nenek” panggilnya pula. Tidak
juga ada jawaban. Hati Wuranta menjadi berdebar-debar. Sejenak ia berpaling
kepada Ki Tanu Metir yang berdiri di sampingnya.
“Inilah, Kiai, suami isteri
yang aku katakan. Kakek terluka di lambungnya.”
Perlahan-lahan Ki Tanu Metir
berjongkok di samping kedua orang itu. Orang yang telah cukup berpengalaman itu
sama sekali tidak menyentuhnya. Perlahan-lahan ia menggelengkan kepalanya
sambil berdesis dalam sekali, “Kita telah terlambat, Ngger.”
Kata-kata Ki Tanu Metir itu
terdengar seperti ledakan petir yang menyambar tengkuk Wuranta. Sejenak ia
berdiri mematung, sedang mulutnya terkatup rapat-rapat. Tanpa berkedip ia
memandang Ki Tanu Metir dengan sorot mata yang aneh.
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. “Keduanya telah meninggal, Ngger.”
“Kiai” hanya itu yang
terlontar dari mulut Wuranta.
“Ya” Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sejenak Wuranta masih
mematung. Namun tiba-tiba ia berjongkok di samping mayat kedua suami isteri
itu. Seperti orang yang kehilangan akal Wuranta. Menggoncang-goncangnya dan
memanggil-manggilnya, “Kakek, Kakek.”
Tetapi kakek tua itu sama
sekali tidak menjawab. Bahkan bergerak pun tidak.
Wuranta masih juga tidak
percaya pada penglihatannya. Kini ia menggoncang nenek tua yang seolah-olah
sedang menangisi suaminya dengan meletakkan kepalanya di dada laki-laki itu.
“Nenek, Nenek” panggil
Wuranta. Nenek tua itu pun tidak menjawab.
Terasa dada Wurantu
seakan-akan menjadi pecah karenanya. Nafasnya terengah-engah dan urat-urat di
keningnya menegang.
“Kiai, apakah mereka berdua
telah benar-benar meninggal?”
“Ya, Ngger, keduanya telah
meninggal.”
“Oh, apakah Kiai tidak dapat
berbuat apa-apa. Kenapa Kiai hanya diam saja?”
“Apakah yang harus aku
lakukan? Terhadap mereka aku tidak kuasa berbuat apa-apa.”
“Tidak, Kiai. Mereka belum
meninggal. Aku meninggalkan mereka di sini belum begitu lama. Mereka berdua
masih hidup dan mereka masih bercakap-cakap.”
“Mungkin, Ngger, tetapi
sekarang mereka telah meninggal.”
“Berbuatlah sesuatu, Kiai,
berbuatlah sesuatu.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Dengan nada yang berat ia menjawab, “Sayang, tidak ada seorang
manusia pun yang mampu berbuat sesuatu atas mereka.”
“Oh, bohong, bohong. Kiai
tidak mau menolongnya karena ia bukan prajurit Pajang, bukan orang Sangkal
Putung dan bukan pula pembantu Untara. Orang itu adalah orang Tambak Wedi.”
“Anakmas Wuranta,” desis Ki
Tanu Metir “aku tidak pernah membedakan orang mana pun juga dan dalam keadaan
apa pun juga. Apabila orang itu terluka, apalagi dalam keadaan parah, maka aku
wajib menolongnya. Tetapi aku, dan siapa pun juga, tidak akan dapat berbuat
sesuatu atas orang ini. Mereka telah meninggal dunia.”
“Oh” kata-kata Wuranta
terputus. Dan tanpa disangka-sangka oleh Ki Tanu Metir maka Wuranta itu pun
terisak. Anak muda itu menangis. Ia merasa kehilangan seorang yang telah
menolongnya. Seorang yang baik, yang paling baik yang pernah dikenalnya. Yang
tidak merendahkannya, baik dengan kata-kata mau pun dengan perbuatan. Wuranta
yang merasa dirinya tidak berharga di mata orang-orang Pajang setelah
pertempuran berakhir, sama sekali merasa tidak mempunyai seorang kawan pun di
padepokan Tambak Wedi. Kakek tua itu pasti akan menjadi orang yang baik untuk
mengawaninya. Terhadap kakek tua dari Tambak Wedi yang telah dikalahkan itu,
Wuranta sama sekali tidak merasa dirinya terlampau rendah.
Tetapi kakek tua itu kini
telah mati.
Ki Tanu Metir kini berdiri
termangu-mangu melihat sikap Wuranta. Ia menangisi laki-laki tua dari Tambak Wedi
itu. Ki Tanu Metir pun merasa iba dan terharu melihat suami isteri yang
meninggal bersama-sama. Ia dapat menduga, bahwa isterinya menjadi sangat
terkejut melihat suaminya meninggal, kemudian karena kejutan perasaan itu,
kejutan yang tidak tertahankan oleh jantungnya yang lemah, maka ia pun
meninggal juga.
Tetapi bahwa Wuranta sampai
menangis, ternyata benar-benar telah menyentuh perasaannya.
“Mungkin Angger Wuranta merasa
berhutang budi kepadanya” berkata Ki Tanu Metir di dalam hatinya. “Laki-laki tua
itu adalah orang yang telah menolongnya, membebaskannya dari tangan Sidanti.
Mungkin, ya mungkin. Anakmas Wuranta belum sempat membalas budi itu, dan
laki-laki itu telah meninggal bersama isterinya.”
Ki Tanu Metir itu terperanjat
ketika ia melihat tiba-tiba Wuranta berdiri. Dengan gigi gemeretak ia
menggeram, “Kiai, lihat. Inilah salah satu wajah dari tindakan prajurit Pajang
atas Tambak Wedi. Suami isteri yang telah lanjut, mati bersama-sama. Alangkah
mengerikan.”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Hanya keningnya sajalah yang berkerut.
“Apakah Kiai tidak terharu
melihatnya? Mungkin Kiai telah terlalu sering melihat kematian. Justru Kiai
adalah seorang dukun. Seperti seorang pande besi menghadapi sepotong besi merah
saja agaknya. Kiai menghadapi orang-orang sakit. Kalau Kiai berhasil
demikianlah yang Kiai kehendaki, seperti pande sedang membuat pedang. Kalau
pedang itu gagal, maka Kiai tidak begitu menyesal karenanya. Bagi Kiai
kegagalan itu adalah suatu keadaan yang wajar dan terlampau biasa. Tetapi sepotong
besi akan dapat dibakar untuk kedua kalinya, meskipun untuk alat-alat yang
lain. Sedang kematian adalah jauh berbeda daripadanya. Kiai harus menyesal
sekali, Kiai harus terharu dan berduka cita. Apakah hati Kiai telah membeku
karena terlampau sering melihat kematian? Dan kegagalan yang demikian adalah
suatu peristiwa yang wajar tanpa suatu kesan apa pun di hati Kiai?”
Ki Tanu Metir tidak segera
menjawab. Dibiarkannya saja anggapan anak muda itu atas dirinya. Kalau ia
membantah, maka hati anak muda itu akan menjadi semakin terbakar. Meskipun
demikian ia terpaksa bertanya kepada Wuranta, “Apakah prajurit Pajang yang telah
membunuhnya?”
Pertanyaan itu membuat Wuranta
terdiam sesaat. Dahinya yang mengkilat oleh keringat tampak berkerut-merut.
Ditatapnya wajah Ki Tanu Metir dengan tajamnya. Namun ketika pandangan mata
mereka bertemu, cepat-cepat Wuranta berpaling.
Tetapi untuk menutupi
kekecilan diri segera ia berkata lantang, “Apakah bedanya? Siapapun yang telah
membunuh kakek tua ini, namun ini adalah akibat dari peperangan.”
“Ya, peperangan memang selalu
berakibat buruk. Tetapi siapakah yang telah membunuhnya? Prajurit Pajang?”
Akhirnya Wuranta terpaksa
menggeleng lemah, “Tidak, Kiai. Kakek dibunuh oleh orang-orang Jipang dalam
perselisihan yang terjadi sebelum prajurit Pajang datang.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi yang membunuh laki-laki tua itu sama
sekali bukan prajurit Pajang?”
“Apa bedanya?” tiba-tiba nada
suara Wuranta meninggi. “Apa bedanya Kiai? Di halaman ini, di halaman banjar
dan sekitarnya, bertebaran mayat orang-orang Tambak Wedi. Mereka sebagian mati
karena ujung senjata orang-orang Pajang. Meskipun orang-orang Pajang tidak
membunuh kakek tua ini, tetapi orang-orang lain dibunuhnya. Orang-orang lain
yang beranak dan beristeri pula. Mereka mati meninggalkan anak dan isterinya
dalam penderitaan dan kesedihan.” Wuranta berhenti sejenak. Wajahnya tampak
semerah tembaga dalam keremangan cahaya obor di kejauhan. “Kiai, aku menyesali
bahwa aku telah melakukan pekerjaan yang Kiai rencanakan. Pekerjaan itu hampir
membunuhku. Ketika aku terlepas dari maut maka akibat dari pekerjaaaku adalah
ini,” Wuranta menunjuk laki-laki tua itu beserta isterinya. “Bukan saja
sepasang suami isteri, tetapi berpuluh-puluh. Sebaiknya aku tidak melakukannya,
dan pepati ini pasti akan terhindar. Aku tidak usah turut campur segala macam
persoalan di dalam padepokan ini. Seandainya aku diam saja, tidak
memberitahukan kepada orang-orang Sidanti, bahwa Alap-Alap Jalatunda memasuki
rumah tempat Sidanti menyimpan Sekar Mirah, maka orang-orang Jipang tidak akan
saling membunuh dengan orang-orang Tambak Wedi.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam, “Lalu Angger akan membiarkan saja tingkah laku Alap-Alap Jalatunda
itu?”
“Apa peduliku. Korban dari
peristiwa itu hanyalah seorang gadis saja. Sekar Mirah. Tetapi sekarang? Korban
berjatuhan tidak terbilang.”
“Tidak akan jauh berbeda,
Ngger. Sekar Mirah akan mengatakan kepada Sidanti apa yang terjadi. Dan
pertempuran antara mereka tidak akan terhindar.”
“Belum pasti. Kalau Alap-Alap
Jalatunda membunuh Sekar Mirah, maka rahasia itu akan tetap tidak terbuka.”
Dada Ki Tanu Metir berdesir
mendengar kata-kata Wuranta, bahkan seluruh bulu-bulunya meremang. Sejenak
orang tua itu terdiam. Sesuatu bergelora di dalam hatinya. Dahsyat sekali.
Tetapi wajah orang tua itu sama sekali tidak membayangkan perasaannya. Dengan
susah payah, Ki Tanu Metir mencoba untuk menyembunyikan getar jantungnya.
Apalagi ketika Wuranta berkata, “Kiai, ternyata apa yang telah aku lakukan
dengan hampir saja mengorbankan nyawaku, dan sekarang ternyata lelah menelan
berpuluh jiwa di dalam peperangan ini hanyalah sekedar menyenangkan hati Agung
Sedayu.”
“Ah” terloncat suatu desah
yang serta-merta dari mulut Ki Tanu Metir. Tetapi orang itu kemudian mencoba
untuk diam.
“Lalu, apakah yang sebenarnya
terjadi?” bertanya Wuranta. “Apakah Kiai dapat mengatakan lain daripada itu?”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Ya, ya Ngger. Angger benar. Peperangan ini
telah membunuh berpuluh-puluh korban dari segala pihak. Terutama orang-orang
Jipang dan orang-orang Tambak Wedi. Ya, seandainya Sekar Mirah dikorbankan, maka
keadaannya akan lain sekali, Ngger. Orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak
Wedi tidak akan mengalami nasib sepahit ini.”
“Nah, bukankah Kiai mengakui?”
“Ya, ya Ngger. Aku
sependapat,” Ki Tanu Metir terdiam sejenak, lalu ia meneruskan, “Tetapi,
bagaimanakah kalau yang menjadi korban itu orang-orang Jati Anom? Apakah
kira-kira akan menjadi lebih baik?”
Wuranta terkejut mendengar
pertanyaan itu sehingga hampir-hampir ia terlonjak. Dengan sorot mata yang aneh
ditatapnya wajah Ki Tanu Metir. Namun sekali lagi Wuranta melontarkan pandangan
matanya jauh-jauh ketika pandangan mata mereka beradu.
“Angger Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir, “peristiwa seperti yang dialami oleh Sekar Mirah akan dapat saja
terjadi atas gadis-gadis Jati Anom. Seandainya benar terjadi demikian, dan
gadis itu adalah adik Angger Wuranta, maka Angger pasti akan berpendapat lain.
Tetapi adalah kebetulan sekali bahwa Angger Wuranta, anak Jati Anom, dapat
membantu kami. Persoalannya tidak hanya sekedar Sekar Mirah, tetapi,
bagaimanakah kalau kemudian orang-orang Jipang dan Tambak Wedi menjadi semakin
kuat, dan dengan serta-merta sebagian dari mereka menduduki Jati Anom? Selama
ini mereka hanya sekedar mendatangi kademangan itu, karena mereka tidak cukup
kuat untuk mendudukinya dengan membagi pasukan. Tetapi suatu ketika maka
sebadian dari mereka akan mengalir ke timur, seperti bendungan yang penuh dan
melimpah, menggenangi kademangan Jati Anom. Apabila anak-anak muda dan setiap
laki-laki Jati Anom kemudian melakukan perlawanan setelah menghimpun diri, maka
apa yang kita lihat sekarang adalah gambaran dari apa yang terjadi. Tetapi yang
bergelimpangan di halaman, di jalan-jalan dan bahkan kakek-kakek tua dan
nenek-nenek tua yang menjadi korban, adalah orang-orang Jati Anom. Orang-orang
Tambak Wedi dan orang Jipang akan berada di pendapa kademangan, bertolak
pinggang sambil memanggil setiap perempuan dan gadis-gadis cantik untuk
memenuhi panggilan nafsu mereka beserta pasukan mereka. Begitu? Semua itu akan
dapat terjadi. Dan aku sengaja tidak menyebut-nyebut nama Untara, Senapati
Pajang yang mencoba dengan caranya membebaskan Sangkal Pulung dan kini Jati
Anom dari bahaya orang-orang Jipang dan orang-orang Tambak Wedi yang tamak.”
Wuranta berdiri tegak seperti
patung batu. Setiap kata yang diucapkan oleh Ki Tanu Metir terasa bagaikan
jarum yang langsung menusuk jantungnya. Pedih, namun Wuranta tidak dapa
menghindarkan diri dari pengakuan atas kebenaran dari kata-kata itu. Bahkan
sekali lagi hatinya yang gelap dan kehilangan keseimbangan itu dapat terbuka.
Ia melihat di dalam angan-angannya, peristiwa yang mengerikan itu terjadi atas
Jati Anom.
Kepala Wuranta itu pun
kemudian tertunduk dalam-dalam. Pedih hatinya menjadi semakin pedih. Tetapi ia
merasakan kebenaran dari kata-kata itu. Wuranta melihat betapa besar kesalahan
yang telah dilakukan. Namun yang tidak diharapkan oleh Ki Tanu Metir, Wuranta
yang kecil itu ternyata merasa semakin kecil.
Dengan kata-kata yang hampir
tidak sempat meloncat dari mulutnya Wuranta berkata, “Ya, Kiai. Aku merasakan
kebenaran kata-kata Kiai. Kini semakin nyata bagiku, alangkah cupet budiku.
Alangkah kerdilnya jiwaku. Aku tidak pantas berada di antara murid-murid Kiai,
di antara orang-orang Pajang, bahkan di antara anak-anak muda Jati Anom
sendiri. Meskipun baru terbatas pada angan-angan, namun aku telah berkhianat
kepada murid-murid Kiai, kepada para prajurit Pajang dan kepada kampung
halaman. Karena itu, maka aku tidak pantas lagi berada di antara mereka.”
“Angger Wuranta,” Ki Tanu
Metir memotong kata-kata itu, “apakah maksud Angger?”
“Kesalahanku tidak dapat
dimaafkan Kiai. Karena itu lebih baik bagiku untuk meninggalkan mereka yang
telah aku khianati di dalam angan-angan. Kalau angan-angan itu terwujud dalam
tindakan, alangkah mudahnya. Aku dapat segera dihukum mati. Tetapi
pengkhianatan yang aku lakukan, baru aku sendirilah yang melihatnya, sehingga
aku sajalah yang dapat menghukumnya.”
“Apakah yang akan Angger
lakukan?”
“Pergi, Kiai. Kesalahanku
telah bertimbun-timbun. Bahkan aku pula yang telah menyebabkan kematian kakek
tua ini. Seandainya aku tidak menahannya karena aku ingin memanggil Kiai dan
berbuat jasa kepada orang tua itu, maka aku kira pertolongan baginya tidak akan
begitu lambat.”
“Ah” Ki Tanu Metir berdesah.
“Angger terlampau perasa. “Suatu goncangan telah mengejutkan perasaan Angger,
sehingga Angger kehilangan keseimbangan. Dengarlah, Ngger, beberapa kali aku
katakan, Angger kehilangan keseimbangan. Dalam keadaan demikian, janganlah
Angger mencoba mengambil keputusan mengenai masalah yang penting.”
“Tidak, Kiai, aku tidak
kehilangan keseimbangan. Mungkin sebelum aku mendengar keterangan Kiai tentang
persoalan yang sedang aku hadapi. Tetapi sekarang aku telah mendapat keyakinan
tentang diriku. Supaya aku tidak kehilangan keseimbangan lagi di antara
orang-orang Sangkal Putung, para prajurit Pajang dan bahkan orang-orang Jati
Anom sendiri, maka sebaiknya aku meninggalkan mereka.”
“Hem” Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi semakin mengenal anak muda yang sedang dihadapinya.
Anak muda yang sedang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri. Anak muda
yang sedang mengalami goncangan jiwa yang dahsyat.
“Anakmas Wuranta,” berkata Ki
Tanu Metir mencoba untuk menggugah kebanggaan atas diri sendiri, “memang kita
harus menghargai setiap sumbangan bagi terbebasnya padepokan ini dari tangan
orang-orang Jipang dan Ki Tambak Wedi, Sidanti dan Argajaya. Tetapi dari sekian
banyak kebanggaan ini, maka Angger Wurantalah yang seharusnya paling berbangga
atas segala hasil usaha dan perjuangannya.”
“Kiai mengulangi lagi hal itu?
Kiai, hatiku telah berkeriput menjadi semenir. Apakah aku harus berkata dalam
kegilaan seperti yang pernah aku ucapkan bahwa tanpa Wuranta padepokan ini
tidak akan dapat dilepaskan dari tangan mereka.”
“Tidak, Ngger, juga bukan itu
maksudku. Sekarang aku akan berkata wajar, seperti juga Angger sekarang
memerlukan kewajaran. Memang Angger bukan satu-satunya pahlawan yang dapat
merebut padepokan. Semuanya mempunyai sumbangan yang serupa, dan semuanya telah
mempertaruhkan nyawa masing-masing. Bukankah begitu? Tetapi Angger masih
mempunyai kebanggaan yang tidak dipunyai oleh orang lain, atau setidak-tidaknya
lebih besar dari orang lain. Agung Sedayu mempertaruhkan nyawanya karena ia
mempunyai pamrih yang jelas. Ia akan mendapatkan sesuatu setelah padepokan ini
bedah. Seperti juga Swandaru berbuat demikian, karena ia ingin membebaskan
adiknya. Sedang Angger Untara membawa pasukannya, bahkan para prajurit Pajang,
bertempur dan mempertaruhkan nyawa mereka karena kewajiban. Kewajiban seorang
satria. Nah, di sinilah kelebihan Angger. Angger dengan sukarela melakukan
perjuangan ini. Angger tidak berkepentingan langsung dengan orang-seorang di
dalam padepokan ini. Angger tidak mempunyai seorang adik atau saudara yang lain
di dalam padepokan ini. Dan Angger bukan seorang prajurit. Inilah kelebihan
Angger. Dan Angger harus berbangga karenanya. Angger tidak perlu merasa diri
Angger terlampau kecil. Dalam bidang yang Angger lakukan, maka Angger adalah
seorang yang besar, seperti Untara di dalam bidangnya. Ternyata tidak seorang
pun dari pasukan sandi yang berhasil masuk. Pasukan sandi yang disusun oleh
Untara, dan terlatih pula. Mereka hanya berbasil mendekati dan melihat
padepokan ini dari luar. Tetapi Angger dapat masuk ke dalamnya, meskipun harus
bertaruh nyawa. Nah, Angger harus melihat semuanya ini dengan wajar. Angger
tidak boleh berkecil hati. Dan Angger tidak perlu merasa diri Angger terlampau
kecil. Apalagi apabila Angger mengambil keputusan untuk meninggalkan Jati
Anom.” Ki Tanu Metir berhenti sejenak. Dibiarkannya kata-katanya mengendap di
dalam hati anak muda itu.
Karena Wuranta tidak segera
menjawab, maka Ki Tanu Metir meneruskan, “Nah, lihatlah ke depan, ke hari depan
yang terang bagimu dan bagi Jati Anom.”
Wuranta tidak menjawab. Tetapi
terasa sesuatu bergetar di dalam dadanya. Masa depannya dan masa depan Jati
Anom memang masih cukup panjang Selama ini ia sudah mulai menginjakkan kakinya
bagi pembinaan masa depan itu. Masa depannya dan masa depan Jati Anom. Bahkan
sebelum padepokan Tambak Wedi menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan Pajang,
maka Wuranta telah mencbba untuk membentuk Jati Anom siap menyongsong masa
depannya.
Tetapi yang terjadi terlampau
cepat. Sebelum Jati Anom sempat berbuat sesuatu mereka telah dihadapkan pada
suatu keadaan yang tidak mungkin ditanggulangi. Sidanti, Sanakeling, Alap-alap
Jalatunda, bahkan kemudian Argajaya dan Ki Tambak Wedi sendiri, selalu
menakut-nakuti kademangan yang belum berhasil menyusun diri itu, sehingga
sebagian dari mereka terpaksa menyingkir dan menghimpun kekuatan di luar
kademangan mereka. Anak muda Jati Anom yang dapat dibanggakan, Untara, ternyata
memikul tugas terlampau berat untuk dapat membagi dirinya. Namun kini Untara
itu berada di dalam lingkungannya kembali. Jati Anom dan anak-anak muda kawan
bermain semasa kanak-anak. Tetapi kedudukan Untara telah membuat jarak antara
anak-anak mada kawannya bermain semasa kanak-anak dengan dirinya. Jarak yang
sebenamya tidak dikehendakinya sendiri.
Namun kesadaran, itu telah
berhasil mencegah Wuranta semakin dalam terseret arus perasaannya. Terbayang
kembali segalanya yang pernah dilakukannya. Terbayang kembali bagaimana Ki Tanu
Metir mendorongnya untuk masuk ke dalam padepokan ini.
Anak muda itu menarik nafas
dalam-dalam. Namun terbersit kata-kata di dalam hatinya, “Melarikan diri
temyata memang bukan suatu penyelesaian. Apakah yang akan aku lakukan di pelarian
itu? Tetapi untuk terus-menerus menyiksa diri adalah terlampau sakit.”
Angin malam berhembus menyapu
lereng Merapi. Terasa digin mulai menyusup tulang. Di kejauhan terdengar
anjing-anjing liar menggonggong bersahut-sahutan. Seolah-olah mereka telah mencium
bau darah yang sedang mengalir di padepokan Tambak Wedi.
Lamat-lamat suara burung hantu
mengetuk hati. Sayu, seperti rintihan mereka yang sedang terluka.
Dalam kesepian itu Wuranta
mampu melihat ke dalam dirinya sendiri. Meskipun ia menjadi ngeri melihat
kenyataan itu, tetapi yang tampak padanya adalah terlampau jelas. Adalah
terlalu dibuat-buat apabila ia merasa seolah-olah orang-orang Pajang kini
mengesampingkannya bahkan merendahkan dan mengabaikannya setelah semuanya
rampung dengan baik. Adalah terlalu dicari-cari apabila ia mengatakan bahwa
Umara kini merasa dirinya terlampau besar sehingga tidak sempat lagi
menemuinya.
Wuranta memejamkan matanya
ketika mau tidak mau ia harus menghadapi pengakuan diri, bahwa alasan
sebenarnya adalah hatinya yang pecah karena hubungan yang dilihatnya telah
terjalin antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah, hatinya yang semakin parah ketika
ia melihat kenyataan betapa jauhnya jarak antara dirinya dengan Agung Sedayu.
Ia tidak akan dapat menyamainya dalam pacuan di segenap bidang. Berpacu merebut
hati Sekar Mirah dan berpacu sebagai anak muda Jati Anom dihadapkan pada
lawan-lawannya, meskipun ia tidak pernah berhasil melupakan, bahwa di masa
kanak-kanak mereka, Agung Sedayu adalah seorang penakut yang cengeng.
Wuranta terkejut ketika
tiba-tiba ia mendengar Ki Tanu Metir berkata, “Bagaimana, Ngger? Kenapa Angger
diam saja?”
“Oh” Wuranta kini mengangkat
wajahnya. Dalam keremangan cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah
Ki Tanu Metir yang sareh lunak. Betapa dalam dan lapangnya hati orang tua itu.
Kesabarannya hampir tidak terbatas, seperti luasnya lautan tanpa tepi. Justru
karena itu, maka kembali wajah Wuranta tertunduk. Tetapi kini ia menjawab, “Aku
dapat mengerti, Kiai. Sekali lagi aku merasakan kekerdilan diri.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini ia mendengar kata-kata tiu diucapkan
dengan wajar. Meskipun kata-kata itu searti, tetapi tidak senada.
“Jadi, apakah Angger tetap
pada keputusan Angger itu?”
Wuranta ragu-ragu sejenak.
Tetapi kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Tidak Kiai. Aku tidak akan
melarikan diri dari kepahitan ini.”
“Bagus” dengan serta-merta Ki
Tanu Metir menyahut sambil menepuk bahu anak muda itu. “Ternyata Angger Wuranta
benar-benar berhati jantan.”
“Jangan memuji, Kiai. Hatiku
telah luluh menjadi debu.”
“Tetapi aku masih melihat bara
yang menyala di dalam dada Angger Wuranta, bukan sekedar debu. Nah, karena itu,
marilah kita pergi ke banjar padepokan. Di sana Angger akan bertemu dengan
Untara, Agung Sedayu, dan Swandaru dalam keadaan yang wajar.”
“Terima kasih, Kiai. Aku tidak
akan lari, tetapi aku tidak akan pergi ke banjar.”
Sekali lagi dahi Ki Tanu Metir
berkerut-merut. Tetapi ia merasakan perbedaan arti yaag tersirat dalam kalimat
itu. Karena itu maka ia segera mengerti, betapapun juga Wuranta masih belum
dapat melepaskan perasaannya. Tetapi itu pun masih dapat dianggapnya wajar.
“Kiai,” berkata Wuranta
seterusnya, “aku masih harus menunggu jenazah kedua suami isteri ini.”
“Oh,” sahut KiTanu Metir,
“bukankah jenazah ini dapat diserahkan kepada mereka yang berkewajiban.”
Ki Tanu Metir terkejut ketika
wajah Wuranta itu tiba-tiba saja menegang. Namun hanya sebentar. Kali ini anak
muda itu berhasil menguasai dirinya dan tidak lagi terseret oleh perasaannya
tanpa pertimbangan. Katanya, “Kiai, aku tidak dapat menganggap suami isteri ini
seperti orang-orang lain di padepokan ini. Pada laki-laki tua ini terdapat
kekhususan. Setidak-tidaknya ia tidak dapat dianggap bersalah sebesar orang-orang
Tambak Wedi yang lain. Tanpa orang tua ini, maka segalanya akan menjadi
berbeda.”
“O, baik, baiklah” Ki Tanu
Metir cepat-cepat memotongnya. “Aku minta maaf atas kealpaan ini. Aku kira
Untara pun tidak akan berkeberatan sama sekali.”
Wuranta menarik nafas
dalam-dalam. Ia sadar, bahwa segala sesuatu yang dilakukan di sini harus
mendapat ijin dahulu dari Untara atau orang yang dikuasakannya. Dalam hal
laki-laki tua itu pun, ia tidak akan dapat berbuat sekehendak hatinya.
Pengkhususan pemakaman orang itu pun harus mendapat ijin dahulu.
Tetapi hatinya pasti tidak
akan rela, apabila laki-laki tua itu akan dianggap sama saja dengan orang-orang
Tambak Wedi yang lain. Orang tua itu setidak-tidaknya harus mendapat kehormatan
seperti para prajurit Pajang yang gugur di peperangan ini.
Karena itu maka Wuranta itu
pun kemudian berkata, “Kiai, aku harap Kiai akan menyampaikan kepada Kakang
Untara, bahwa aku minta laki-laki tua ini mendapat perhatian khusus, sesuai
dengan jasa semasa hidupnya atas Pajang, meskipun seandainya ia tidak sengaja
berbuat demikian.”
“Kita dapat pergi bersama,
Ngger” jawab Kiai Gringsing. “Angger Untara akan menjadi lebih banyak
memperhatikan pendapat Angger sendiri daripada pendapatku.”
“Terima kasih, Kiai” sahut
Wuranta. “Malam ini aku akan menunggui mayat suami isteri ini di sini.”
“Bukankah sudah ada orang yang
berkewajiban.”
“Biarlah, Kiai, aku akan
menemaninya.”
Ki Tanu Metir tidak akan dapat
memaksanya. Namun terasa bahwa Wuranta telah mulai menemukan kesadaran tentang
dirinya, meskipun ia masih tetap merasa rendah diri. Tetapi ia tidak menjadi
liar dan meledak-ledak mencari saluran untuk menyembunyikan kekecilannya.
“Jadi Angger akan tetap di
sini?”
“Ya, Kiai, aku akan berkata kepada
prajurit yang bertugas itu, bahwa aku akan menunggui mayat ini sampai besok.
Sampai dikuburkan.”
Ki Tanu Metir
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak mencemaskan Wuranta lagi,
kalau-kalau ia akan pergi tanpa pamit. Ia merasa menipunyai kewajiban atas
laki-laki tua itu suami isteri. Dan kewajiban itu pasti akan mengikatnya.
“Baiklah, Anakmas,” berkata Ki
Tanu Metir kemudian, “aku akan mencoba menyampaikannya kepada Angger Untara.
Mudah-mudahan Angger Untara dapat mengerti.”
“Terima kasih, Kiai.”
Ki Tanu Metir itu pun kemudian
meninggalkan Wuranta seorang diri menunggui mayat suami isteri itu. Anak muda
itu tidak sampai hati untuk mengangkat nenek tua yang masih saja membeku di
dada suaminya. Ketika terlihat oleh Wuranta prajurit yang mengawal tempat itu
lewat beberapa langkah dari regol halaman, maka Wuranta pun mendekatinya.
“Bagaimana?” bertanya prajurit
itu “Apakah dukun itu dapat mengobatinya?”
“Terlambat. Keduanya sudah
meninggal.”
“Keduanya?” prajurit itu
terkejut.
“Ya keduanya,” sahut Wuranta.
“Kenapa perempuan itu mati
juga?”
“Aku tidak tahu. Mungkin ia
terkejut atau terlalu sedih ketika ia melihat suaminya menghembuskan nafasnya
yang terakhir. Tetapi perempuan itu memang sudah sakit-sakitan saja. Dadanya
sering menjadi berdebar-debar dan tubuhnya seolah-olah menjadi lumpuh. Agaknya
kejutan yang dialaminya kali ini tidak tertahankan lagi. Dan ia meninggal pula
bersama suaminya.”
Prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berdesah, “Aku tidak mendekatinya.
Kau melarang setiap orang untuk berbuat sesuatu. Seandainya kau biarkan saja
kakek tua itu, maka ia pasti sudah mendapat pertolongan sementara. Mungkin ia
akan mati juga, tetapi usaha untuk menolongnya sempat dilakukan. Tidak
terlambat. Agaknya kau tidak percaya kepada para prajurit yang bertugas untuk
itu, atau mungkin kau menyangka bahwa karena laki-laki itu orang dari padepokan
Tambak Wedi, maka prajurit Pajang akan mencekiknya.”
Belum lagi Wuranta menjawab,
maka datanglah dua orang prajurit yang sedang bertugas berkeliling. Ternyata
kedua prajurit itu adalah prajurit yang telah bertengkar dengan Wuranta. Dengan
nada yang tinggi salah seorang dari mereka bertanya, “Ada apa dengan anak Jati
Anom itu? Apakah kau sedang diperintahkannya memanggil Untara?”
Prajurit yang sedang mengawal
tempat itu menjawab, “Tidak. Tetapi ia tidak percaya kepada para prajurit
Pajang. Laki-laki yang terluka itu dibiarkannya tanpa pertolongan apa pun
sampai ia mati.”
“Kenapa?”
“Anak muda ini ingin memanggil
dukun pribadinya.”
Kedua prajurit yang baru
datang itu tertawa dengan pandangan yang menyakitkan hati. Mereka menatap wajah
Wuranta yang kemerah-merahan oleh sinar obor di kejauhan.
Terasa dada Wuranta itu
bergolak. Hampir-hampir saja ia menjadi kambuh dan mengangkat wajahnya sambil
menepuk dada, “Inilah pahlawan yang telah memecah pertahanan Tambak Wedi.”
Tetapi kali ini tidak, Wuranta tidak berteriak menyebut namanya. Namun
perlahan-lahan ia berkata, “Maafkan aku Ki Sanak. Aku telah kehilangan
keseimbangan. Mungkin aku telah menyakitkan hati kalian. Mungkin ada
kata-kataku atau sikapku yang kasar.”
Prajurit-prajurit itu justru
terkejut mendengar pengakuan itu. Terasa keikhlasan memancar dalam kata-kata
anak muda itu. Terasa bahwa penyesalan itu mendalam sampai ke tulang
sungsumnya.
Sejenak para prajurit itu
terdiam. Ketika sekali lagi mereka mencoba menatap wajah Wuranta, maka anak
muda itu telah menundukkan wajahnya.
Keempat orang itu kemudian
berdiri saja seperti patung. Mereka merasakan kebekuan sikap di antara mereka.
Tidak seorang pun yang segera dapat mulai berbuat sesuatu.