Buku 080
“Nah, jika kau meragukan
kebenarannya, kau dapat menemui utusan itu. Ia masih hidup sampai sekarang.
Orang itu tentu akan dapat mengatakan bahwa ia ditugaskan langsung oleh Kanjeng
Sultan atas dasar laporan petugas sandi. Jika kau masih belum yakin, ajaklah
orang itu menghadap Kanjeng Sultan, agar kau tahu pasti bahwa perintah itu
datang dari Kanjeng Sultan.”
Perwira itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian,
“Jadi apakah maksud cerita yang menyimpang dari peristiwa yang sebenarnya itu,
Kakang?”
“Kau tentu tahu, bahwa ada
orang-orang yang dengan tajam menentang berdirinya Mataram. Aku tahu, bahwa
mereka selalu berusaha untuk membakar permusuhan antara Pajang dan Mataram.
Setiap persoalan yang dapat dipergunakan sebagai alasan, tentu akan
dipergunakannya. Dan kini, aku pula yang disangkutkannya.” Untara berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi bantulah aku. Ceritakan yang sebenarnya terjadi. Jika
cerita yang tidak benar itu sudah terlampau jauh beredar, biarlah aku sendiri
akan memberikan keterangan kepada para perwira dan prajurit, setidak-tidaknya
yang ada di bawah kekuasaanku.”
Perwira itu mengangguk. Namun
masih juga nampak kebimbangan di sorot matanya. Tetapi agaknya ia dapat
mengerti keterangan yang diberikan oleh Untara itu.
“Aku sendiri adalah seorang
prajurit,” berkata Untara, “secara pribadi aku tidak mempunyai persoalan dengan
berdirinya Mataram. Tetapi jika aku mendapat perintah untuk berbuat sesuatu
atas Mataram, maka sebagai prajurit aku akan melaksanakannya.”
Perwira itu mengangguk sekali
lagi.
“Nah, lupakan cerita itu. Aku
tahu pasti, bahwa hal itu tidak benar. Ki Gede Pemanahan sendiri justru terluka
karenanya. Jika kedatangan Raden Sutawijaya dihubungkan dengan rencana itu,
maka sudah barang tentu, rencana itu akan dapat dilaksanakan dengan sempurna,
karena aku tidak akan dapat melawan mereka meskipun prajurit-prajurit dari
Prambanan itu datang. Tetapi aku masih tetap hidup, dan, seperti yang aku
ceritakan, justru Ki Gede-lah yang menolong jiwaku di saat yang paling
berbahaya.”
“Baiklah, Kakang,” berkata
perwira itu, “aku akan berusaha untuk menceritakan yang sebenarnya. Tetapi
sikap dan tanggapan yang buruk atas Mataram rasa-rasanya semakin berkembang.
Apalagi sejak gadis itu diketahui dengan pasti telah mengandung.”
“Itu adalah persoalan Kanjeng
Sultan. Agaknya kedatangan Ki Gede ke Pajang ada pula sangkut pautnya dengan
gadis itu. Jika Kanjeng Sultan tidak mengambil tindakan apa pun, bagaimana
mungkin justru kita yang akan menjatuhkan hukuman. Meskipun hanya sekedar
kebencian?”
Perwira bawahan Untara itu
mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keterangan Untara. Dan sebenarnya ia
memang lebih condong mempercayai Untara dari cerita ngayawara tentang usaha
Mataram untuk menjebak Untara, tetapi ternyata Untara masih tetap hidup.
Tetapi kebencian orang-orang
Pajang terhadap Raden Sutawijaya memang semakin berkembang. Orang-orang mulai
ragu-ragu dengan keperwiraan Ki Gede Pemanahan karena tingkah laku anaknya.
Gadis yang mengandung itu adalah kemenakan Ratu Kalinyamat sendiri. Gadis itu
adalah putra Sunan Prawata suami istri yang telah mendahului Sunan Hadiri dan
Kanjeng Ratu Kalinyamat karena dibunuh pula oleh utusan Arya Penangsang.
“Gadis itu adalah tetesan
darah Sultan Demak, orang-orang yang dengan sengaja membakar kebencian terhadap
Raden Sutawijaya menyebarkan setiap cerita yang dapat menumbuhkan jarak antara
Mataram dari Pajang. Tingkah laku Raden Sutawijaya itu telah mencemarkan nama
baik keturunan Demak sendiri.”
Ketika perwira bawahan Untara
itu mengemukakannya kepada Untara, maka jawab Untara, “Coba pikirkan, manakah
yang lebih baik bagimu. Apakah gadis itu menjadi istri Raden Sutawijaya, atau
menjadi istri Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Ingat, gadis itu adalah kemenakan
langsung Permaisuri Pajang sekarang. Bukankah itu berarti bahwa gadis itu
kemenakan Sultan pula.”
Perwira itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Untara pun berkata, “Sudahlah. Jangan
persoalkan lagi. Kau harus dapat membantu menjernihkan keadaan. Aku berpendapat
bahwa persoalan gadis itu harus ditutup sampai sekian.” Tetapi suara Untara
kemudian menurun, “Sekali lagi aku katakan, aku adalah seorang Senapati. Aku
akan melakukan segala perintah Sultan Hadiwijaya. Apakah persoalannya
menyangkut gadis itu atau tidak.”
Perwira pembantunya tidak
bertanya lagi. Ia menyadari bahwa Untara memang seorang prajurit. Tidak lebih
dan tidak kurang. Karena itu ia pun harus bersikap serupa.
“Tetapi ada prajurit di Pajang
yang tidak bersikap sebagai prajurit,” berkata perwira itu di dalam hati. Dan
ia melihat meskipun samar-samar bahwa prajurit-prajurit Pajang sudah mulai
menempatkan dirinya dalam percaturan seluk-beluk pemerintahan yang semakin
rumit dalam hubungan antara Mataram dan Pajang, justru mereka ingin mengail di
air keruh.
Demikianlah ternyata di Pajang
telah terjadi benturan-benturan sikap dari para pemimpinnya menghadapi Mataram.
Ada di antara mereka yang acuh tidak acuh. Ada yang bersikap sebagai sikap
seorang prajurit sejati, tetapi di antara mereka ada yang dengan sengaja
mempertajam kebencian yang ada di antara dua daerah itu.
Sementara itu, Raden
Sutawijaya mencoba melemparkan dirinya ke dalam kerja. Meskipun kadang-kadang
terasa hatinya masih juga berdesir mengenang semua yang telah terjadi, namun ia
berusaha melupakannya.
“Tetapi aku tidak boleh
melupakan gadis dan anak di dalam kandungan itu,” berkata Sutawijaya di dalam
hatinya.
Dan seperti dikatakan oleh
ayahandanya Ki Gede Pemanahan, maka Sultan Hadiwijaya mengharap agar ia
bersikap baik dan bertanggung jawab atas gadis itu.
“Aku tidak akan ingkar,”
katanya di dalam hati. Namun dalam pada itu, Sutawijaya selalu tenggelam dalam
usahanya untuk membuat Mataram menjadi sebuah negeri. Semua persoalan
pribadinya dan masalah-masalah yang menyangkut keluarganya seakan-akan tidak
pernah dihiraukannya lagi sebelum usahanya itu berhasil. Demikian pula dengan
gadis yang sudah mengandung itu.
“Aku akan menjemputnya kelak,
jika Mataram telah menjadi sebuah negeri. Aku akan menghadap Ayahanda Sultan
Pajang dan akan menyembahnya di paseban sambil mempersembahkan usahaku. Mataram
yang telah menjadi sebuah negeri. Selebihnya aku akan mengambil Semangkin dan
anak di dalam kandungannya itu.”
Karena itu, tidak ada
persoalan apa pun yang dapat menahan Raden Sutawijaya. Ayahandanya pun
jarang-jarang dapat menemuinya. Anaknya telah benar-benar tenggelam di dalam
kerja.
Namun ternyata Sutawijaja
tidak hanya melulu bekerja untuk membangun Mataram menjadi sebuah negeri.
Kadang-kadang untuk beberapa hari ia tidak dapat dijumpai. Orang-orangnya di
bagian selatan menyangkanya ada di bagian utara. Orang-orangnya di bagian utara
menyangkanya sedang memimpin pembukaan Hutan di bagian barat. Sedang
orang-orang yang ada di bagian barat menduga bahwa Sutawijaya sedang ada di
bagian timur. Tetapi orang-orang di bagian timur tidak melihat Sutawijaya untuk
beberapa hari, dan menduga bahwa Sutawijaya sedang beristirahat.
Jika demikian maka Sutawijaya
sedang berada di tengah-tengah hutan yang masih belum disentuh tangan. Mesu
diri dalam olah kanuragan dan kajiwan. Sebagai seorang laki-laki yang memiliki
kemampuan melampaui kebanyakan orang, maka Sutawijaya telah mengembangkan diri
tanpa tuntunan seorang guru. Dengan dasar ilmu yang ada padanya, yang
diwarisinya dari ayahandanya, ia telah menemukan pancadan untuk bertambah maju.
Namun kadang-kadang Sutawijaya
tidak berbuat apa-apa sama sekali di dalam sepinya hutan yang lebat. Dengan
duduk di atas cabang sebatang pohon, ia memperhatikan alam di sekelingnya. Alam
yang nampaknya diam tetapi penuh dengan ketegangan perjuangan antara hidup dan
mati dari penghuni-penghuninya.
Dan Sutawijaya mengambil sari
dari kehidupan yang tersembunyi itu bagi bekal hidupnya sendiri. Kehidupan yang
semata-mata alami dan dikendalikan oleh naluri itu, sebagai bekal dalam
kehidupan akal yang ada di dalam dirinya.
Kadang-kadang Sutawijaya
menemukan nilai-nilai yang pantas diserapnya di dalam hidupnya. Kadang-kadang
Sutawijaya melihat betapa kejamnya kehidupan alami yang dikuasai oleh naluri
semata-mata.
Raden Sutawijaya yang memiliki
daya tangkap yang tajam itu berhasil menemukan bekal yang sangat berguna. Bukan
saja di dalam kehidupannya, tetapi juga di dalam olah kanuragan. Derap kaki
kijang, tangkapan tangan beberapa ekor kera yang bekejaran. Bahkan usaha seekor
kancil melepaskan diri dari kuku harimau, sangat menarik perhatiannya dan
memberikan kekayaan bagi unsur gerak di dalam olah kanuragan yang sedang
disempurnakannya.
Meskipun demikian Raden
Sutawijaya tidak melupakan tugasnya sebagai seorang pemimpin dari tanah yang
sedang tumbuh dan berkembang. Setiap kali Sutawijaya sendiri memimpin
penggalian susukan dan parit-parit yang membelah tanah yang akan dijadikan
tanah persawahan. Sutawijaya sendiri memimpin pembuatan jalur-jalur jalan yang
menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain.
Dengan demikian, maka beberapa
kekecewaan atas kekerasan hati Raden Sutawijaya kadang-kadang dapat dihapus
oleh kekerasan hatinya pula di dalam kerja.
Namun dalam pada itu, berbeda
dengan Raden Sutawijaya yang menenggelamkan diri di dalam kerja, maka Ki Gede
Pemanahan rasa-rasanya menjadi semakin lemah. Luka-lukanya memang menjadi
berkurang. Tetapi rasa-rasanya perkembangan keadaannya itu sangat lambat.
Bahkan kadang-kadang tanpa sebab apa pun juga, Ki Gede Pemanahan seakan-akan
menjadi sangat sulit untuk bernafas. Dadanya menjadi sesak, dan kemudian
terbatuk-batuk semalam suntuk.
Ki Gede Pemanahan adalah
seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Seorang Panglima yang disegani lawan di
peperangan. Namun ia tidak dapat melawan dirinya sendiri yang dicengkam oleh
kekecewaan, penyesalan, dan kecemasan.
Sekali-sekali terbayang juga
di rongga matanya, wajah seorang gadis yang bersih dan bening. Dua orang gadis
di kaki bukit Danaraja. Semangkin dan Prihatin. Keduanya adalah anak Sunan
Prawata yang telah terbunuh, dan yang kemudian disusul oleh pamannya Sunan
Hadiri.
Di kaki bukit Danaraja kedua
gadis yang kemudian diberinya nama Pamikatsih dan Pamilutsih itu, dengan setia
menunggui bibinya, Kanjeng Ratu Kalinyamat yang bertapa sebagai pernyataan
tuntutan nuraninya atas kematian saudaranya suami istri dan suaminya sendiri,
tanpa mengenakan pakaian selembar pun, selain menutup tubuhnya dengan rambutnya
yang terurai.
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Masih pula terbayang, bagaimana Kanjeng Ratu Kalinyamat itu
memanggilnya mendekat pada saat ia mengunjungi pertapaan itu.
“Maaf, Kanjeng Ratu. Hamba
tidak dapat mendekat Kanjeng Ratu dalam keadaan seperti itu.”
“Kemarilah, Kakang Pemanahan.
Aku akan memberikan sesuatu kepadamu.”
Ki Gede masih tetap ragu-ragu.
Dan Kanjeng Ratu itu pun berkata pula, “Kakang, kau selama ini tidak pernah
menolak permintaanku. Mendekatlah. Sekarang, kau pun tidak akan menolaknya.”
Dengan ragu-ragu Ki Gede pun
kemudian berjalan mundur mendekati Kanjeng Ratu Kalinyamat yang sedang bertapa.
Ternyata dari Kanjeng Ratu
Kalinyamat, Ki Gede Pemanahan mendapat sebentuk cincin. Cincin, yang memiliki
perlambang bahwa siapa yang mengenakannya, akan menurunkan orang-orang besar di
Pulau Jawa.
Ki Gede yang sedang berbaring
di pembaringannya itu menarik nafas. Kenangan itu rasa-rasanya baru saja
kemarin terjadi. Kini ia bersama anaknya sudah membuka daerah baru. Daerah yang
diharapkannya akan tumbuh dan berkembang.
“Apakah Sutawijaya akan
menjadi orang besar kelak?” Ki Gede bertanya kepada diri sendiri. Yang kemudian
diteruskannya, “Mudah-mudahan. Mudah-mudahan Mataram dapat berdiri tegak dan
anakku akan melanjutkan usahaku membuat Mataram besar. Dan agaknya ia sudah
mulai sejak sekarang.”
Ki Gede mengusap wajahnya yang
basah oleh keringat. Terbayang pula Semangkin yang sudah mengandung. Perempuan
itu akan melahirkan anak Raden Sutawijaya. Cucunya dan juga cucu Kanjeng Sunan
Prawata.
Namun dalam pada itu, hampir
setiap saat Ki Gede Pemanahan telah hanyut dalam dunia angan-angannya. Karena
itulah maka keadaannya justru menjadi semakin buram.
Ki Lurah Branjangan yang
setiap saat merawatnya menjadi gelisah. Sehingga pada suatu saat ia tidak dapat
menahan kecemasannya dan memerintahkan seorang pengawal mencari Raden
Sutawijaya.
“Carilah di seluruh sudut
Tanah Mataram. Katakanlah bahwa aku memohon Raden Sutawijaya kembali barang
sehari. Rasa-rasanya ayahandanya memerlukannya meskipun hanya sesaat.”
Pengawal itu pun kemudian
dengan tergesa-gesa meninggalkan pusat pemerintahan Tanah yang baru tumbuh itu
mencari Raden Sutawijaya. Pengawal itu sadar, bahwa kadang-kadang Raden
Sutawijaya mudah sekali dijumpai. Tetapi kadang-kadang harus dicarinya barang
dua tiga hari.
Dari beberapa orang pengawal
ia mendapat petunjuk bahwa Raden Sutawijaya berada di bagian barat Alas Mentaok
yang sedang dibuka itu. Namun ketika pengawal itu memacu kudanya menuju ke arah
Barat, maka pengawal yang lain berkata, “Aku baru saja bertemu Raden Sutawijaya
di bagian selatan.”
“Tentu tidak mungkin,” sahut
pengawal yang mencarinya, “orang yang memberi petunjuk kepadaku itu pun
mengatakan bahwa Raden Sutawijaya berada di bagian barat. Baru saja ia
bertemu.”
Pengawal yang merasa dirinya
baru saja bertemu dengan Raden Sutawijaya itu merenung sejenak. Namun kemudian
ia bergumam, “Mungkin. Memang mungkin Raden Sutawijaya yang baru aku lihat di
bagian Selatan itu telah berpindah kebagian barat.”
“Ya. Menjelang tengah hari,”
sahut yang mencarinya.
“He,” namun tiba-tiba pengawal
yang menjumpai Raden Sutawijaya itu mengerutkan keningnya, “tentu tidak
menjelang tengah hari. Tentu sesudah tengah hari.”
“Kenapa? Yang menjumpai di
sebelah barat itu bukan kau. Tetapi pengawal itu. Dan ia tentu lebih tahu
daripada kau.”
“Nanti dulu,” pengawal itu
nampak berpikir dengan sungguh-sungguh. Kemudian katanya, “Aku menjumpai Raden
Sutawijaya di bagian selatan juga menjelang tengah hari.”
“He? Kau tentu sedang bermimpi
di tengah hari.”
“Tidak. Aku tidak pernah
bermimpi tanpa tidur. Aku yakin bahwa menjelang tengah hari aku bertemu dengan
Raden Sutawijaya di atas seekor kuda berwarna hitam. Bahkan kemudian Raden
Sutawijaya turun dari kudanya, berjalan menyusuri parit yang sedang digali.
Dengan cemeti kecil ia menunjuk beberapa bagian yang harus disempurnakan. Dan
dengan cemeti kecil itu pula Raden Sutawijaya menggores tanah membuat
garis-garis batas dari parit itu di tikungan.”
Pengawal yang sedang mencari
itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Pengawal yang baru saja datang dari bagian
Barat itu melihat Raden Sutawijaya ikut membuat jalan yang membelah sebuah
padukuhan kecil yang sedang berkembang karena beberapa orang penghuni baru
telah berdatangan.”
“Tidak,” sahut lawannya
berbicara.
Hampir saja keduanya
bersitegang. Namun kemudian seorang pengawal yang lebih tua dari mereka datang
menengahi sambil tersenyum, “Kalian memang bodoh.”
“Kenapa?” bertanya kedua
pengawal itu.
“Kenapa kalian bertengkar
tentang Raden Sutawijaya?”
“Aku melihatnya. Dan aku
membertahukan kepadanya. Tetapi ia tidak percaya.”
“Tentu. Orang lain mengatakan
bahwa ia bertemu dengan Raden Sutawijaya di bagian barat.”
“Keduanya benar,” sahut
pengawal yang lebih tua itu.
“He,” kedua pengawal itu
terkejut.
“Ya. Memang Raden Sutawijaya
dapat saja berada di bagian selatan dan di bagian barat sekaligus.”
“Aku tidak mengerti,” desis
pengawal itu.
“Raden Sutawijaya dapat berada
di beberapa tempat dalam waktu yang sama.”
“Ah.”
“Itu adalah pertanda bahwa
anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi. Kau tentu ingat, bahwa Ki Gede
Pemanahan pun telah menggemparkan musuh-musuhnya ketika terjadi benturan
bersenjata antara Pajang dan Jipang. Sebelum sampai pada saat terakhir sebagai
puncak pertempuran di pinggir Bengawan Sore, maka pertentangan di beberapa
tempat telah melibatkan Ki Gede Pemanahan dalam pertempuran-pertempuran itu. Ia
ada di beberapa tempat dalam waktu yang sama, sehingga kadang-kadang prajurit
Jipang saling berbantah sendiri, bahwa mereka telah bertempur melawan
sekelompok prajurit di bawah pimpinan Ki Gede Pemanahan langsung.”
Para pengawal yang
mendengarkan pembicaraan itu berdiri dengan wajah yang tegang. Namun satu dua
di antara mereka memang pernah mendengar cerita semacam itu tentang Ki Gede
Pemanahan. Dan kini mereka mendengar pula tentang Raden Sutawijaya.
Karena itu maka pengawal yang
sedang mencari Raden Sutawijaya itu pun bertanya, “Jadi, jika demikian, kemana
aku harus mencarinya. Apakah aku harus pergi ke barat atau ke selatan. Jika
Raden Sutawijaya memang berada di kedua tempat itu, kepada Raden Sutawijaya
yang manakah aku harus berhubungan. Karena tentu hanya ada satu saja di antara
mereka yang tetap berpribadi.”
“Ya. Satu di antara merekalah
yang tetap berpribadi. Tetapi kepribadian itu pun memancar kepada yang lain.”
“Sumbernya.”
“Itulah yang sulit. Tetapi
rasa-rasanya bahwa mereka adalah satu. Kau dapat berhubungan dengan Raden
Sutawijaya, yang mana pun juga.”
Pengawal itu menjadi agak
bingung. Namun, kemudian katanya, “Aku akan pergi ke barat.”
“Pergilah, Mudah-mudahan kau
akan segera bertemu. Seperti kalian mengetahui, Raden Sutawijaya dapat berada
di beberapa tempat pada suatu waktu, tetapi Raden Sutawijaya pun dapat tidak
berada di mana pun dalam suatu waktu.”
Pengawal itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, “Aku menjadi bingung. Tetapi biarlah
aku mencarinya.”
Sejenak kemudian maka pengawal
itu pun telah berpacu pula. Tetapi karena jalan yang dilaluinya kemudian masih
terlampau buruk, maka perjalanannya pun menjadi tidak begitu cepat lagi.
Beberapa batang kayu masih melintang dijalan. Bahkan kadang-kadang kudanya
harus berbelok lewat gerumbul-gerumbul liar disebelah jalan yang belum siap
benar itu.
Di sepanjang perjalanannya,
pengawal itu selalu dirisaukan oleh cerita kawannya yang lebih tua. Ia tidak
dapat mengerti bahwa Raden Sutawijaya dalam suatu waktu dapat berada di
beberapa tempat. Tetapi dalam waktu yang lain sama sekali tidak ada di mana pun
juga.
“Berbelit-belit,” katanya di
dalam hati, “pokoknya aku akan mencarinya. Menyampaikan pesan Ki Lurah
Branjangan, mohon agar ia kembali barang sehari dua hari.”
Pengawal itu melanjutkan
perjalanan dengan hati yang berdebar-debar. Dipandanginya daerah yang masih
sedang dikerjakan di bagian barat dari Alas Mentaok yang sedang dibuka itu.
Beberapa bagian telah menjadi padukuhan yang mulai berpenghuni.
“Tentu di sekitar padukuhan
itu,” berkata pengawal itu kepada diri sendiri.
Dalam setiap kesempatan
pengawal itu mencoba untuk mempercepat perjalanannya. Kadang-kadang ia dapat
berpacu agak cepat. Namun kemudian harus dengan sabar membiarkan kudanya
berjalan perlahan-lahan.
“Di musim basah, daerah ini
akan menjadi rawa-rawa,” berkata pengawal itu di dalam hatinya. Namun ketika
kemudian dilihatnya susunan parit yang mulai teratur, maka ia pun berkata pula
kepada dirinya sendiri, “Tetapi agaknya daerah ini sudah dihubungkan dengan
daerah-daerah yang lebih rendah dengan parit-parit, untuk membuang air yang
tergenang di musim basah. Sedang dimusim kering, air dapat diangkat dari
sungai-sungai kecil untuk mengaliri daerah yang sedang dibuka ini.”
Pengawal itu pun langsung
menuju ke tempat orang-orang yang sedang bekerja, membuat jalan yang
menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, membedah sebuah
padukuhan kecil lainnya di antara kedua padukuhan itu.
Pengawal berkuda itu ternyata
telah menarik perhatian para pekerja yang sedang giat membangun daerahnya itu.
Salah seorang yang sudah setengah umur kemudian mendekatinya dan bertanya, “Ki
Sanak, apakah ada sesuatu yang penting yang harus kau sampaikan kepada kami?”
“Aku mendapat perintah untuk
menemui Raden Sutawijaya,” jawab pengawal itu.
“O,” orang setengah umur itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia berpaling. Katanya kepada seorang
kawannya, “Pengawal ini ingin bertemu dengan Raden Sutawijaya.”
“Bukankah Raden Sutawijaya
baru saja pergi ke daerah selatan?”
Orang setengah umur itu
mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Oh, ya. Hampir aku lupa. Baru saja Raden
Sutawijaya pergi ke daerah selatan.”
Pengawal itu menggigit
bibirnya. Lalu katanya, “Orang-orang yang haru saja datang dari daerah selatan
memang mengatakan Raden Sutawijaya ada di sana. Tetapi bukan baru saja. Tetapi
sudah sejak tadi.”
“Ah,” orang setengah umur itu
berdesah, “mana mungkin. Baru saja Raden Sutawijaya ada di sini. Makan siang di
sini, bersama dengan kami. Nasi jagung dengan jangan lembayung yang tadi pagi
dipetik dari batang kacang panjang yang merambat di pagar sepanjang beberapa
ratus patok mengelilingi daerah ini.”
Pengawal itu mengerutkan
keningnya.
Karena pengawal itu tidak
segera menjawab, orang setengah umur itu melanjutkan, “Ketika
perempuan-perempuan memetik lembayung itu, ternyata mereka mendapatkan tiga
bakul penuh.”
Pengawal itu pun kemudian
memotong, “Ya. Ya. Tetapi aku harus bertemu dengan Raden Sutawijaya.”
“Pergilah ke daerah selatan.
Mereka di sana sedang membuat sebuah parit induk. Tentu Raden Sutawijaya
menunggui pembuatan parit induk itu.”
“Apakah tidak mungkin pergi ke
daerah utara?”
“Raden Sutawijaya tidak
mengatakan demikian. Dan barangkali pekerjaan di daerah utara sudah lebih
lancar. Jalan menuju ke padukuhan yang paling ujung sudah dapat dilalui. Dan
parit-parit sudah mulai mengalir. Jika Raden Sutawijaya pergi ke utara,
hanyalah tinggal memberikan petunjuk untuk mengembangkan padukuhan-padukuhan
itu. Memelihara yang sudah ada, dan hanya jika perlu saja melengkapinya dengan
jalan-jalan dan parit yang baru. Tetapi pekerjaan di sana sudah tidak begitu
banyak seperti di sini.”
“Tetapi bagaimana dengan
perluasan tanah persawahan? Apakah tidak ada pembukaan hutan baru di daerah
utara?”
“Untuk sementara sudah
dihentikan. Daerah yang sudah terbuka ini masih harus digarap terus-menerus.”
Pengawal itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah, aku akan mencari Raden Sutawijaya ke
selatan.”
Pengawal itu pun kemudian
meloncat kepunggung kudanya dan memacunya meninggalkan daerah yang sedang
dikerjakan itu. Tetapi setiap kali derap kaki kudanya terganggu, sehingga
kadang-kadang kuda itu harus berjalan perlahan-lahan. Menyimpang dan meloncati
batang-batang yang melintang.
“Bodoh sekali,” geram pengawal
itu, “seharusnya mereka membersihkan jalan-jalan ini lebih dahulu sebelum
membuat perpanjangan dari jalur jalan ini.”
Baru ketika pengawal itu
sampai ke jalan yang sudah agak baik, maka kudanya pun berpacu lagi dengan
kecepatan yang lebih tinggi.
Namun pengawal itu masih saja
dipengaruhi oleh cerita tentang Raden Sutawijaya yang dapat berada di beberapa
tempat dalam waktu yang sama, tetapi juga dapat tidak ada di mana pun juga pada
suatu waktu.
“Mudah-mudahan aku tidak
mendapatkan Raden Sutawijaya sedang tidak ada di mana pun juga sekarang ini,”
katanya kepada diri sendiri.
Kudanya pun kemudian dipacu
semakin cepat. Ia segera ingin mengetahui, apakah benar Raden Sutawijaya dapat
lenyap untuk suatu saat.
Ketika di kejauhan dilihatnya
sekelompok orang bekerja di tengah-tengah bulak, ia menjadi berdebar-debar.
Orang-orang itu nampaknya masih terlampau kecil. Seperti lebah yang berkerumun
di sarangnya.
Dengan demikian pengawal itu
justru menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui dengan segera, apakah Raden
Sutawijaya ada di antara orang-orang itu atau tidak. Karena itulah maka kudanya
pun dipacunya semakin cepat.
Beberapa langkah dari
orang-orang yang sedang sibuk itu, kudanya dihentikannya. Dengan tergesa-gesa
ia meloncat turun, sehingga hampir saja ia jatuh tertelungkup.
Orang-orang yang sedang
bekerja itu pun terkejut melihat kehadirannya yang tergesa-gesa itu. Salah
seorang dari mereka mendekatinya sambil bertanya, “Apakah ada sesuatu yang
penting?”
Dengan berdebar-debar pengawal
itu ganti bertanya, “Apakah Raden Sutawijaya ada di sini?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Lalu jawabnya, “Baru saja Raden Sutawijaya meninggalkan tempat ini.”
“O,” sepercik kekecewaan
membayang di wajah pengawal itu. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Tetapi, apakah Raden Sutawijaya sudah lama berada di tempat ini?”
Orang itu termangu-mangu.
Jawabnya, “Sudah cukup lama, Raden Sutawijaya telah cukup lama menunggui kerja
kami menyelesaikan parit ini.”
Pengawal itu menggigit
bibirnya. Dipandanginya orang itu dengan wajah yang terheran-heran.
“Kenapa?” bertanya orang itu.
Pengawal itu masih bimbang.
Lalu jawabnya kemudian, “Raden Sutawijaya baru saja meninggalkan lapangan kerja
bagian barat. Aku baru saja datang dari sana.”
“Tentu bukan baru saja, Raden
Sutawijaya sudah agak lama berada di sini.”
Pengawal itu tidak ingin
mempersoalkannya lagi. Lalu ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau tahu, kemana
perginya Raden Sutawijaya?”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak tahu. Raden Sutawijaya tidak mengatakan ke mana
ia akan pergi.”
“Di bagian barat Raden
Sutawijaya mengatakan, bahwa ia akan pergi ke selatan.”
“Kami tidak diberitahukannya.
Yang kami dengar Raden Sutawijaya tidak akan bermalam di sini.”
“Raden Sutawijaya ingin
melihat purnama terbit malam nanti,” tiba-tiba seseorang yang berambut putih
memotong pembicaraan itu.
“O,” sahut pengawal yang
sedang mencarinya, “di mana?”
“Aku tidak tahu.”
Pengawal itu menjadi bingung.
Kemana ia harus mencari Raden Sutawijaya yang akan melihat bulan purnama yang
terbit malam nanti.
Karena itu, maka pengawal itu
pun kemudian minta diri. Ia harus menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan,
bahwa ia belum berhasil menemukan Raden Sutawijaya. Jika Ki Lurah Branjangan
mengetahui kemanakah Raden Sutawijaya pergi untuk melihat purnama terbit, maka
ia akan mencarinya menjelang malam.
Dengan demikian maka pengawal
itu pun kemudian meninggalkan orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan
saluran air itu, dan kembali ke pusat kota untuk menghadap Ki Lurah Branjangan.
“Aku tidak dapat menemukannya
Ki Lurah,” berkata pengawal itu.
“Kenapa?”
“Aku sudah datang ke bagian
barat, karena menurut beberapa keterangan Raden Sutawijaya ada di bagian barat.
Ternyata Raden Sutawijaya sudah pergi ke selatan. Ketika aku pergi ke selatan,
Raden Sutawijaya sudah tidak ada lagi. Menurut keterangan orang-orang di bagian
selatan itu, Raden Sutawijaya ingin melihat purnama terbit malam nanti.”
“Purnama terbit?” Ki Lurah
menjadi heran.
“Ya. Purnama terbit.”
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu. Ia menjadi heran, bahwa Raden Sutawijaya sempat memikirkan
untuk melihat purnama terbit.
“Apakah ada sesuatu yang
dirindukannya sehingga anak muda itu tiba-tiba menjadi seorang yang agak
cengeng,” desisnya.
“He,” pengawal itu memotong,
“kenapa cengeng? Purnama terbit memang memberikan kesan tersendiri. Coba Ki
Lurah melihatnya sendiri. Ki Lurah akan menjadi muda kembali.”
“Ah.”
“Di dalam terangnya purnama,
gadis-gadis padukuhan memukul lesungnya dalam irama yang ngelangut. Seakan-akan
mereka mendendangkan debar kerinduan hati mereka kepada kekasihnya.”
“O,” desah Ki Lurah
Branjangan, “kau pun menjadi cengeng.”
“Tidak, Ki Lurah. Memang
kadang-kadang kita tergerak untuk melihat bulan terbit. Apalagi saat purnama.
Tetapi agaknya Ki Lurah pun betul, Raden Sutawijaya sedang diganggu olen
perasaan rindu. Karena itu, maka ia ingin melepaskan kerinduannya dengan
melihat purnama terbit malam nanti.”
“Tetapi malam nanti. Kenapa
sekarang Raden Sutawijaya telah pergi?”
“Tentu aku tidak tahu.”
“Baiklah. Aku akan mencarinya
sendiri. Ia harus segera menengok ayahandanya. Ki Gede Pemanahan menjadi
semakin pucat dan lemah. Barangkali Raden Sutawijaya dapat berbuat sesuatu.
Raden Sutawijaya mempunyai sahabat seorang dukun yang baik. Yang sekarang
berada di Menoreh. Meskipun dukun itu sendiri sedang menyembuhkan luka-lukanya,
namun ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menolong Ki Gede Pemanahan.”
“Dukun?” bertanya pengawal
itu.
“Ya. Dan sekarang, aku akan
minta diri kepada Ki Gede untuk mencari putranya.”
Pengawal itu hanya dapat
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi malam masih cukup jauh. Jika Raden
Sutawijaya ingin melihat purnama terbit, maka ia tentu akan menunggu lewat
senja.
Sementara itu, Ki Lurah
Branjangan pun pergi menghadap Ki Gede Pemanahan di pembaringan. Setelah
menanyakan apakah yang diperlukan, maka Ki Lurah pun kemudian berkata, “Ki
Gede. Aku ingin minta diri barang semalam untuk mencari Raden Sutawijaya.”
“Kenapa kau harus mencarinya?”
“Ki Gede nampaknya menjadi semakin
lemah. Aku menjadi teringat kepada dukun yang sekarang ada di Menoreh.
Barangkali ia dapat menyembuhkan, atau setidak-tidaknya mengurangi sakit Ki
Gede Pemanahan.”
“Aku tidak sakit, Branjangan,”
jawab Ki Gede, “sebagaimana kau lihat, luka-lukaku sudah jauh berkurang. Bahkan
sudah hampir sembuh sama sekali.”
“Tetapi Ki Gede nampaknya
semakin pucat.”
“Apakah nampaknya demikian?”
“Ya, Ki Gede.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Katanya kemudian, “Aku tidak merasa apa-apa. Badanku menjadi semakin sehat dan
segar. Luka-lukaku pun akan segera sembuh.”
“Tetapi jika dukun itu dapat
mempercepat kesembuhan Ki Gede itu tentu akan lebih baik.”
Ki Gede tidak segera menyahut.
Tetapi tiba-tiba saja ia didorong oleh suatu keinginan untuk bertemu dengan
orang yang menyebut dirinya bernada Kiai Gringsing, dan yang pernah juga
disebut Ki Tanu Metir. Ada sesuatu yang menarik pada orang itu.
“Apakah Ki Gede Pemanahan
belum mengenal dukun itu?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas terkenang olehnya, betapa Kiai Gringsing itu selalu
menghindari pertemuan dengannya. Sejak di Sangkal Putung, dan saat-saat
kemudian Kiai Gringsing tidak pernah berhasil dijumpainya. Hanya anaknya
sajalah yang selalu bertemu dan bahkan bekerja bersamanya.
“Ada sesuatu yang menarik pada
dukun itu,” berkata Ki Gede Pemanahan, “karena itu, jika aku mengundangnya,
bukan semata-mata karena aku mencemaskan sakitku. Aku memang ingin bertemu
dengan orang yang menyebut dirinya Kiai Gringsing. Orang yang memiliki kemampuan
menyembuhkan orang sakit dan sekaligus kemampuan bermain-main dengan cambuk.”
Ki Lurah Branjangan merenung
sejenak. Lalu katanya, “Jadi apakah Ki Gede sependapat, bahwa aku akan
membicarakannya dengan Raden Sutawijaya?”
Ki Gede tidak segera menyahut.
Bahkan ia pun kemudian bertanya, “Apakah kau tahu di mana Sutawijaya sekarang?”
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu sejenak, namun kemudian katanya, “Seorang pengawal sudah
berusaha menjumpainya. Tetapi Raden Sutawijaya tidak ada di beberapa tempat.
Terakhir para pekerja yang sedang menyelesaikan sebuah parit di sebelah selatan
mengatakan, bahwa Raden Sutawijaya sedang pergi sebentar untuk melihat bulan
purnama terbit.”
“He,” Ki Gede Pemanahan
mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Katanya, “Apakah kau
akan mencarinya ke tempat purnama itu terbit di cakrawala?”
Ki Lurah Branjangan pun
tersenyum. Jawabnya, “Aku memang akan mencarinya, Ki Gede. Tetapi saat purnama
terbit masih terlampau lama. Karena itu, biarlah aku mencarinya ke daerah sebelah
timur. Mungkin Raden Sutawijaya ada di ujung bagian timur, di hadapan daerah
terbuka yang menghadap Alas Tambak Baya. Dari sana bulan yang sedang terbit
akan nampak bagaikan timbul dari balik cakrawala.”
Ki Gede Pemanahan yang pucat
itu tertawa. Katanya, “Pergilah. Aku tidak berkeberatan. Bahkan kau dapat
mengatakan kepadanya bahwa aku memang ingin dapat bertemu dengan orang yang
menyebut dirinya Kiai Gringsing itu.”
Ki Lurah Branjangan mengangguk
kecil. Katanya, “Baiklah, Ki Gede. Aku minta diri di luar ada seorang pelayan
yang dapat melayani Ki Gede jika Ki Gede perlukan.”
“Aku dapat bangkit, berdiri
dan berjalan ke mana-mana.”
“Tetapi Ki Gede harus
beristirahat cukup banyak, sehingga agaknya lebih baik jika Ki Gede tidak
bangkit dan berjalan ke luar lebih dahulu.”
Ki Gede Pemanahan
menganggukkan kepalanya. Katanya, “Aku akan menjaga diriku sendiri.”
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan pun meninggalkan Ki Gede Pemanahan, ia segera menyuruh seorang
pengawal menyiapkan kudanya. Ia sendiri ingin mencari Raden Sutawijaya sampai
ketemu, dan kemudian bersama-sama pergi ke Menoreh untuk minta Kiai Gringsing
datang berkunjung ke Mataram.
“Mudah-mudahan orang itu belum
meninggalkan Menoreh,” katanya, “jika sudah, maka aku harus mencarinya ke
Sangkal Putung.”
Namun demikian terbersit suatu
pertanyaan pula di dalam hatinya. Ki Gede Pemanahan menaruh minat atas
kehadiran Kiai Gringsing bukan untuk mengobatinya. Namun agaknya ada sesuatu
yang memang menarik perhatiannya pada Kiai Gringang itu sendiri.
“Apakah memang ada rahasia
yang tersembunyi pada orang tua yang perkasa itu,” bertanya Ki Lurah Branjangan
kepada diri sendiri. “Hampir setiap saat Kiai Gringsing berbuat sesuatu untuk
menolong Mataram. Sebelumnya Kiai Gringsing sudah banyak berbuat untuk Pajang.
Pada saat pergolakan berkisar di Sangkal Putung, Kiai Gringsing sudah mulai
ikut mengambil bagian. Dan Untara harus mengakui bahwa dukun tua itu sudah
menyelamatkan jiwanya. Bahkan kemudian membentuk adiknya menjadi seorang anak
muda yang perkasa.”
Setelah siap, maka Ki Lurah
Branjangan pun kemudian dengan dikawal oleh dua orang pengawal pergi mencari
Raden Sutawijaya. Salah seorang dari kedua pengawal itu adalah pengawal yang
sudah mencari Raden Sutawijaya sebelumnya.
“Kita akan pergi ke timur,” berkata
Ki Lurah Branjangan.
“Ke ujung Alas Mentaok?”
bertanya salah seorang pengawal.
“Ya. Mungkin Raden Sutawijaya
ada di ujung Alas Mentaok dan menunggu purnama naik. Sebuah tempat terbuka yang
memisahkan Alas Mentaok dan Tambak Baya merupakan tempat yang baik untuk
menunggu purnama naik.”
“Bagaimana jika Raden
Sutawijaya berada di ujung Alas Tambak Baya?”
Ki Lurah Branjangan hanya
menarik nafas. Namun sebenarnyalah bahwa Ki Lurah Branjangan sudah mempunyai
perhitungan tersendiri dengan kepergian Raden Sutawijaya. Meskipun demikian ia
masih belum mengatakan kepada siapa pun karena ia masih belum yakin bahwa
perhitungannya itu benar. Namun demikian, ia pun pergi juga ke arah timur Alas
Mentaok.
Ki Lurah Branjangan sama
sekali tidak tergesa-gesa. Hari masih terlampau siang untuk menunggu bulan
purnama terbit. Meskipun demikian keduanya berjalan juga langsung menuju ke
ujung timur Alas Mentaok.
Ketiganya berkuda menyelusuri
daerah yang sudah dibuka. Kadang-kadang mereka melewati padukuhan-padukuhan kecil
yang sudah dihuni oleh beberapa orang. Bahkan ada pula sebuah padukuhan yang
sudah nampak berkembang dan menjadi ramai.
Ketika Ki Lurah Branjangan
sampai di depan sebuah gardu peronda yang kebetulan berisi tiga orang, maka ia
pun segera berhenti dan bertanya, “Ki Sanak, apakah kalian melihat seseorang
lewat?”
Ketiga orang itu pun kemudian
keluar dari gardu dan merenung sejenak. Sementara itu Ki Lurah Branjangan
mengulangi pertanyaannya, “Apakah ada seseorang yang lewat?”
Salah seorang dari mereka menjawab,
“Ada beberapa orang yang lewat di jalan ini.”
“Yang berkuda?”
Orang-orang itu mengerutkan
beningnya. Salah seorang menjawab, “Selama kami ada di gardu ini, kami tidak
melihatnya.”
“Apakah kalian bertugas
meronda di siang hari begini?”
“Tidak. Kami melepaskan lelah
dan duduk-duduk saja di gardu.”
“Sudah lama?”
“Belum begitu lama.”
“Apakah kalian sudah mengenal
Raden Sutawijaya?”
“O, tentu.”
“Raden Sutawijaya yang aku
maksud lewat melalui jalan ini. Apakah kalian melihatnya?”
Mereka saling berpandangan
sejenak. Kemudian hampir bersamaan mereka menggeleng, “Tidak. Kami tidak
melihat.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Terima kasih. Aku akan melanjutkan
perjalananku.”
“Ki Lurah akan kemana?”
bertanya salah seorang dari mereka.
“Mencari Raden Sutawijaya.”
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan dan kedua pengawalnya pun segera meneruskan perjalanan. Mereka
percaya kepada keterangan para penjaga gardu itu. Apalagi mereka memang tidak
melihat jejak kaki kuda yang masih baru.
Ketika mereka sudah melampaui
padukuhan itu, Ki Lurah Branjangan berkata, “Raden Sutawijaya tentu tidak
melalui jalan yang sudah terbuka ini.”
“Apakah ada jalan lain?”
bertanya pengawal itu.
“Jalan yang sudah terbuka
memang tidak ada. Tetapi sejak belum ada jalan sama sekali, Raden Sutawijaya
memang sudah hilir-mudik ke Alas Mentaok.”
“Maksud Ki Lurah, hilir-mudik
antara Mentaok dan Pajang, begitu?”
Ki Lurah termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia mengangguk sambil menjawab, “Ya. Maksudku memang
demikian.”
Ketiganya pun kemudian berdiam
diri. Mereka memandang jalur jalan di hadapan mereka. Meskipun jalan itu masih
belum baik namun jalan itu sudah cukup banyak memberikan manfaat kepada Mataram
dan daerah di sekitarnya. Di beberapa bagian Ki Lurah justru melihat
orang-orang yang sedang beramai-ramai bekerja menyempurnakan jalan itu. Sedang
yang lain masih juga sibuk memperluas tanah garapan mereka dengan menebang
hutan. Di beberapa gardu tampak orang-orang yang sedang beristirahat sambil
mengunyah makanan, setelah mereka memeras keringat menyempurnakan padukuhan
masing-masing.
Tetapi tidak seorang pun yang
melihat Raden Sutawijaya lewat.
“Kita harus mempercepat jalan
kuda-kuda kita,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Masih terlampau siang,” sahut
salah seorang pengawalnya.
“Mungkin kita akan pergi ke
Tambak Baya.”
Tidak ada yang menjawab.
“Tetapi Tambak Baya sekarang
sudah aman. Jika ada perampok kecil karena orang-orang malas yang kelaparan,
akan dapat kita selesaikan.”
Kedua pengawalnya hanya
mengangguk-angguk saja. Demikianlah kuda-kuda itu berlari semakin cepat. Mereka
melintasi jalan yang sudah agak baik. Namun semakin lama jalan itu menjadi
semakin buruk. Dan bahkan pada suatu saat seakan-akan ujung jalan itu menusuk
masuk ke dalam hutan yang masih lebat. Ujung sebelah timur dari Alas Mentaok
yang memang belum digarap seluruhnya.
Dengan demikian maka
perjalanan mereka pun mulai terganggu. Mereka hanya dapat maju dengan
perlahan-lahan. Namun mereka sama sekali tidak tergesa-gesa, karena senja masih
cukup jauh.
“Meskipun jalan ini
seolah-olah terputus sampai di sini, tetapi jalur ini adalah jalur satu-satunya
yang paling baik untuk menuju ke timur,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Jalan ini adalah jalan raya
menuju ke Pajang,” sahut seorang pengawalnya.
Ki Lurah Branjangan tidak
menyahut. Jalan itu memang jalan satu-satunya. Di luar Alas Mentaok jalan itu
menjadi agak rata. Apalagi setelah melampaui Alas Tambak Baya. Jalan itu
benar-benar merupakan jalan raya.
Ketiganya pun kemudian maju
sambil berdiam diri. Meskipun tidak begitu cepat, namun mereka pun kemudian
sampai juga ke mulut lorong yang bagaikan pintu goa keluar dari Alas Mentaok.
“Raden Sutawijaya tidak ada di
sini,” berkata salah seorang pengawalnya.
“Ya. Kita tidak menemukannya. Menurut
dugaanku, tidak ada tempat yang lebih baik dari tempat ini untuk menunggu bulan
purnama naik. Purnama itu nampaknya tentu seperti lingkaran emas raksasa yang
memanjat di atas hitamnya hutan Tambak Baya yang membujur, seperti garis tebal
yang tergores di langit,” sahut yang lain.
“Ah, kau sudah
berangan-angan,” potong Ki Lurah Branjangan.
Pengawal itu tertawa. Katanya,
“Hampir sepanjang hidupku aku tidak pernah memikirkan purnama naik. Di masa
kanak-kanak kadang aku kegirangan jika bulan terang. Aku dapat bermain sampai
jauh malam. Kadang-kadang malam menjadi terang seperti siang. Tetapi belum
pernah terlintas dikepalaku untuk menunggu dan melihat saat purnama naik di
atas cakrawala.”
Kawannya pun tertawa. Ki Lurah
Branjangan yang mula-mula mengerutkan keningnya pun tertawa pula.
“Kita akan berjalan terus,”
berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.
“Kemana?” bertanya pengawal
itu dengan herannya.
“Melintasi Alas Tambak Baya.
Di ujung Alas Tambak Baya kita tentu akan dapat melihat bulan yang sedang
terbit itu tanpa dihalangi oleh seleret garis hitam yang tebal. Kita akan
langsung dapat melihat, begitu bulan mulai tersembul di cakrawala.”
Kedua pengawal itu terdiam
sejenak. Namun hampir berbareng keduanya tertawa. Salah seorang dari mereka
berkata, “Aneh. Tiba-tiba saja kita sudah terlibat dalam persoalan bulan yang
akan terbit malam ini.”
Kedua orang yang lain pun
tertawa pula berkepanjangan.
Namun demikian Ki Lurah
Branjangan berkata, “Marilah. Kita akan tetap berjalan terus.”
Kedua pengawalnya tidak
menyahut. Mereka mengikuti saja di belakang Ki Lurah Branjangan yang sudah,
mendahului. Dan bahkan berkata, “Kita harus berjalan lebih cepat agar kita
tidak kemalaman justru di dalam hutan Tambak Baya.”
Sejenak kemudian kuda-kuda itu
pun segera berlari. Jalan di luar Alas Mentaok nampaknya agak lebih baik
sehingga kuda mereka dapat berlari agak kencang. Namun ketika mereka mulai
memasuki Alas Tambak Baya, maka kuda-kuda itu pun berjalan agak lambat.
“Jalan ini sudah menjadi jauh
lebih baik, sejak tidak banyak lagi gangguan,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Di
waktu-waktu terakhir sudah banyak para pedagang yang hilir-mudik lewat jalan
ini. Karena itu, perbaikan jalan di ujung Alas Mentaok itu harus dipercepat,
agar arus perdagangan menjadi lebih lancar.”
“Jalan itu sudah jauh lebih
baik dari beberapa pekan yang lampau,” berkata seorang pengawalnya.
“Tetapi masih dapat menjadi
lebih baik lagi.”
Ketiganya tidak berbicara
terlampau banyak lagi. Jalan di hutan Tambak Baya itu pun masih perlu mendapat
perhatian. Orang-orang Mataram-lah yang paling berkepentingan untuk membuat
jalan itu benar-benar menjadi jalan yang dapat dilalui dengan baik.
“Kita akan terlambat sampai di
ujung hutan ini,” berkata salah seorang pengawal tiba-tiba.
“Ya. Kita akan keluar dari
hutan ini setelah purnama terbit,” sahut pengawal yang lain.
“Itu tidak penting. Raden
Sutawijaya akan tetap berada di sana jika ia memang pergi ke sana.”
“Jika ia sudah kembali?”
“Jalan ini adalah jalan yang
akan dilaluinya.”
“Jika Raden Sutawijaya memilih
jalan lain? Melintas hutan yang pepat seperti yang sering dilakukan?”
“Kita tidak akan berjumpa di
jalan ini.”
Kedua pengawal Ki Lurah
Branjangan tidak menjawab. Tetapi ada semacam keseganan di dalam hati mereka
untuk manyelusuri jalan itu mencari Raden Sutawijaya. Apalagi dalam
ketidak-pastian seperti itu. Seakan-akan mereka sedang melakukan pekerjaan yang
tidak berguna sama sekali. Apalagi jalan yang mereka lalui meskipun sudah
tenang, namun mereka masih harus berwaspada. Terlebih-lebih lagi, warna kelabu
mulai membayang di langit yang kemerah-merahan.
Mereka bertiga menyadari,
bahwa mereka akan terlambat keluar dari hutan itu. Namun demikian mereka masih
saja berjalan terus menuju ke mulut lorong di hutan Tambat Baya itu.
Perlahan-lahan warna yang
kelam mulai turun menyelubungi hutan Tambak Baya. Matahari yang telah merayap
semakin dekat dengan cakrawala.
Ketiga orang Mataram itu
berjalan terus sambil berdiam diri. Sekali-sekali mereka menengadahkan, wajah
ke langit, dan di lihatnya senja menjadi semakin buram.
Ki Lurah Branjangan mencoba
mempercepat lari kudanya. Ia berharap bahwa ia masih akan dapat mencapai mulut
lorong sebelum gelap menjadi semakin pekat, menjelang purnama yang akan segera
terbit. Tetapi cahaya bulan itu tidak akan terlampau banyak menyusup di
sela-sela dedaunan hutan yang lebat seperti Alas Tambak Baya.
Tetapi Ki Lurah Branjangan
dengan kedua pengiringnya tidak dapat memaksa kudanya berlari lebih cepat lagi.
Sebelum mereka sampai ke batas hutan, maka matahari pun segera tenggelam, dan
hutan pun menjadi hitam.
“Jika kita berada di tengah
sawah, maka agaknya masih akan nampak cahaya merah di langit dan rasa-rasanya
kita masih akan dapat melihat jalan yang menjelujur di hadapan kita,” berkata
salah seorang pengawal itu di dalam hatinya. Namun karena mereka berada di
bawah rimbunnya dedaunan, maka senja itu benar-benar telah menjadi gelap.
Tetapi mereka menyadari, bahwa
sesaat lagi udara akan segera menjadi cerah. Bulan purnama akan segera terbit
dan menerangi langit.
“Namun hutan ini akan tetap
gelap,” gumam pengawal itu pula di dalam hati.
Meskipun demikian mereka
berjalan terus.
Ternyata mereka tidak
terlambat terlampau banyak. Meskipun mereka tidak dapat melihat saat purnama
pecah di atas cakrawala, tetapi mereka pun segera keluar dari hutan itu
sebelum, bulan memanjat terlampau tinggi.
Tetapi demikian mereka melihat
cahaya bulan yang cerah, demikian mereka bertanya-tanya di dalam diri, “Di
manakah Raden Sutawijaya.”
Ki Lurah Branjangan yang
berkuda di paling depan segera berhenti ketika mereka berada di tempat terbuka.
Sejenak ia memandang berkeliling untuk mencari Raden Sutawijaya, jika ia memang
berada di pinggir Hutan Tambak Baya itu.
Kedua pengawalnya pun
termangu-mangu di belakangnya. Salah seorang yang tidak dapat menahan hati
segera bergumam, “Kita tidak menemukannya juga di sini.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas. Katanya, “Kita akan menunggu di sini.”
“Menunggu siapa?” bertanya
pengawalnya yang lain
“Raden Sutawijaya.”
“Di sini? Kenapa di sini?”
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu sejenak. Tetapi ia hanya menjawab, “Kita menunggu saja di sini.”
Kedua pengawalnya menjadi
heran. Apalagi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan turun dari kudanya.
Ditambatkannya kudanya pada sebatang pohon perdu di atas rerumputan yang hijau.
Kedua pengawalnya berpandangan
sejenak. Namun keduanya pun berbuat serupa itu juga.
“Kita duduk di sini,” berkata
Ki Lurah.
Kedua pengawalnya bagaikan
terpukau oleh perintah itu dan mereka pun duduk dengan tidak banyak pertanyaan.
“Kita menunggu Raden
Sutawijaya.”
“Aku tidak mengerti,” seorang
pengawalnya berdesis.
“Mudah-mudahan kali ini kita
akan mendapatkannya.”
Sambil menggelengkan kepalanya
pengawal yang sudah mencari Raden Sutawijaya lebih dahulu itu bergumam, “Benar-benar
membingungkan. Apakah sekarang ini Raden Sutawijaya sedang tidak berada di
mana-mana seperti yang dikatakan orang?”
Ki Lurah Branjangan memandang
pengawal itu sejenak, lalu, “Mudah-mudahan ia akan berada di tempat ini. Kita
menunggu semalam ini.”
“Semalam suntuk?” bertanya
pengawal yang lain.
“Ya. Sampai Raden Sutawijaya
datang.”
Pengawal itu mengeluh.
Katanya, “Dingin, dan sejak siang tadi aku belum makan.”
Ki Lurah tersenyum. Jawabnya,
“Kau adalah seorang pengawal. Dan kau mempunyai kedudukan seperti seorang
prajurit. Jangankan sejak siang tadi, bahkan sejak kemarin pun kau tidak boleh
mengeluh.”
“Jika aku berada di
peperangan, aku tidak akan mengeluh. Tetapi melihat bulan purnama dengan perut
lapar, aku mempunyai pertimbangan tersendiri,” jawab pengawal itu.
Ki Lurah tertawa. Katanya,
“Sekali ini. Kita akan tetap menunggu.”
Terdengar pengawal itu
berdesah. Dan Ki Lurah berkata, “Kita akan berjaga-jaga bergantian. Kita bagi
malam ini menjadi tiga bagian. Yang berjaga-jaga yang pertama kali mendapat
giliran sampai bulan itu tepat di tengah. Kemudian yang kedua sampai menjelang
dini hari. Dan yang ketiga, sampai matahari terbit besok pagi.”
“Siapa yang pertama?” bertanya
pengawal yang seorang.
“Terserah.”
“Aku yang pertama.”
Demikianlah mereka telah
membagi diri. Meskipun demikian kedua orang yang tidak sedang bertugas pun
tidak segera dapat tidur karena malam masih terlampau dangkal. Mereka masih
dengan ragu-ragu menunggu kedatangan Raden Sutawijaya dari tempat yang tidak diketahui
oleh kedua pengawal itu.
Sekali-sekali ketiganya
mengangkat kepalanya, jika mereka mendengar aum harimau di kejauhan.
Apalagi apabila kuda mereka
menjadi gelisah dan meringkik.
Tetapi jika kuda-kuda itu
menjadi tenang kembali, maka ketiga orang pengawal dari Mataram itu sempat
melihat dedaunan yang kekuning-kuningan diwarnai oleh cahaya bulan yang terang
mengapung di langit.
Namun demikian sebenarnyalah
mereka tidak begitu tertarik kepada cahaya bulan di dedaunan dan kepada bulan
itu sendiri. Mereka menjadi benar-benar merasa jemu. Meskipun demikian mereka
telah memaksa diri untuk menunggu di tempat itu semalam suntuk seperti yang
dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
Tetapi Ki Lurah Branjangan
sendiri tidak yakin, bahwa yang ditunggunya akan datang. Bahkan kemudian ia pun
telah dilanda pula oleh kejemuan. Namun Ki Lurah Branjangan tetap berniat untuk
menunggu. Meskipun ragu-ragu namun ia masih mengharap bahwa perhitungannya
benar.
Ketika bulan merayap semakin
tinggi, maka mulailah para pengawal yang duduk di pinggir Alas Tambak Baya itu
di ganggu oleh perasaan kantuk. Mereka menyelimuti diri mereka dengan kain
panjang untuk melindungi gigitan nyamuk yang tiada henti-hentinya mengganggu
mereka. Kemudian dua orang yang tidak sedang bertugas berjaga-jaga segera
mencari sandaran. Dan sejenak kemudian meka mereka pun segera tertidur meskipun
setiap kali mereka terbangun oleh kegelisahan dan gigitan nyamuk Alas Tambak
Baya.
Di belahan malam pertama,
mereka tidak menjumpai persoalan apa pun juga. Suara harimau terdengar jauh
sekali meskipun cukup menggelisahkan kuda-kuda yang tertambat. Tetapi harimau
sama sekali tidak mengecutkan hati para pengawal itu, karena mereka bertiga
yakin akan dapat melawannya jika seekor harimau datang menyerang.
Ketika bulan sampai di puncak
langit, maka para pengawal itu pun berganti tugas. Yang sudah lebih dahulu
tidur, segera menggantikan kawannya yang sudah terlalu lelah menahan kantuk.
Tetapi sampai menjelang dini
hari, orang itu pun hanya duduk terkantuk-kantuk, tanpa ada peristiwa apa pun
juga.
Yang bertugas terakhir adalah
justru Ki Lurah Branjangan sendiri, di saat-saat yang paling malas. Di dini
hari rasa-rasanya nikmat sekali tidur bersandar sebatang pohon dan berselimut
kain panjang sampai ke kepala. Namun pada saat yang demikian Ki Lurah
Branjangan harus duduk berjaga-jaga.
Untuk menghilangkan kantuk dan
kejemuan, Ki Lurah Branjangan mengambil sebuah batu sebesar kepalan tangan.
Dilemparkannya batu itu ke dalam rimbunnya batang alang-alang. Kemudian
dicarinya batu itu sampai dapat diketemukan. Dengan demikian maka Ki Lurah
Branjangan berhasil menahan kantuknya. Tetapi ia tidak mudah melawan
kejemuannya untuk tetap menunggu.
Meskipun demikian, ia harus
memaksa diri untuk tetap berada di tempat itu. Selain karena kedua pengawalnya
sedang tidur lelap, ia memang masih saja mempunyai harapan betapa pun tipisnya.
Bulan di langit yang merayap
semakin ke Barat, semakin lama menjadi semakin rendah. Bahkan kemudian hilang
di balik dedaunan pepohonan liar di Alas Tambak Baya, sementara wajah langit di
ujung Timur menjadi semburat merah.
“Hampir fajar,” desis Ki Lurah
Branjangan kepada diri sendiri, “dan kami dengan sia-sia telah berada di sini
semalam suntuk.”
Dengan lesu Ki Lurah kemudian
duduk bersandar sebatang pohon di sebelah kawan-kawannya.
Namun dalam, pada itu,
tiba-tiba saja telinganya yang tajam mendengar derap seekor kuda. Semakin lama
menjadi semakin jelas.
Dengan ragu-ragu Ki Lurah
Branjangan berdiri. Ketika ia yakin bahwa ia memang mendengar derap kaki kuda,
maka ia pun segera berjalan menyongsongnya.
“Mudah-mudahan bukan orang
lain.”
Dalam keremangan Ki Lurah
Branjangan melihat penunggang kuda mendekatinya. Namun agaknya penunggang kuda
itu pun sudah melihatnya, karena Ki Lurah memang berdiri di tengah-tengah
jalan.
Karena itu maka derap kuda itu
pun menjadi semakin lambat, sehingga akhirnya berhenti beberapa langkah di
hadapan Ki Lurah Branjangan.
“Raden Sutawijaya,” sapa Ki
Lurah Branjangan.
Ki Lurah Branjangan yang maju
semakin dekat melihat dengan jelas, bahwa penunggang kuda itu memang Raden
Sutawijaya.
Raden Sutawijaya yang melihat
Ki Lurah Branjangan itu pun dengan tergesa-gesa meloncat turun. Dengan gelisah
ia bertanya, “Apa yang telah terjadi, Paman?”
Ki Lurah Branjangan tersenyum.
Ia tidak mau mengejutkan Raden Sutawijaya. Katanya, “Tidak ada apa-apa, Raden.”
“Tetapi kenapa Paman ada di
sini sendiri?”
“Aku membawa dua orang
pengawal,” jawab Ki Lurah sambil berpaling. Ternyata kedua pengawal itu sudah
terbangun pula dan menggeliat berdiri.
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak, lalu, “Tentu ada persoalan yang penting. Bagaimana
dengan Ayahanda?”
“Tidak apa-apa. Memang kami
sedang mencari Raden Sulawijaya, tetapi tidak oleh persoalan yang terlampau
mendesak.”
“Kenapa Paman tidak menunggu saja
aku kembali?”
“Raden,” Ki Lurah menyahut
dalam nada datar, “aku ingin Raden segera menghadap ayahanda, meskipun tidak
dalam keadaan yang mendesak. Seorang pekerja mengatakan bahwa Raden sedang
menunggu purnama terbit malam ini. Itulah yang mendorong kami menunggu Raden di
sini.”
Raden Sutawijaya menegang
sejenak. Dipandanginya Ki Lurah Branjangan dan kedua pengawalnya
berganti-ganti. Terasa sesuatu telah menyentuh perasaannya.
“Raden,” Ki Lurah meneruskan,
“ketika aku sampai di tempat ini dan ternyata Raden Sutawijaya tidak ada, maka
aku pun bertekad untuk menunggu Raden di sini.”
“Persetan dengan pekerja itu,”
geram Raden Sutawijaya.
“Tetapi aku kira orang itu
tidak berbohong. Ia berkata sebenarnya. Tentu ia tidak akan dapat mengarang
sebuah cerita tentang bulan purnama.”
“Sekarang, apakah yang Paman
perlukan,” potong Raden Sutawijaya, “apakah aku harus menghadap Ayahanda? Jika
demikian, marilah kita segera pulang. Apa pun alasan Paman berada di sini.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah, Raden. Sehari penuh kemarin kami
mencari Raden. Sekarang barulah kami menemukannya.”
“Apakah aku sudah terlambat?”
“Tentu tidak, Raden. Tentu
tidak.”
“Kita akan segera pulang.”
Ki Lurah Branjangan
menganggukkan kepalanya. Tetapi rasa-rasanya ia masih ingin bertanya sesuatu.
Tetapi ternyata Raden Sutawijaya yang seolah-olah mengetahui perasaan yang
tersimpan di dalam hatinya mendahuluinya, “Kau tidak usah bertanya tentang apa
pun Ki Lurah. Kita kembali. Cepat.”
Ki Lurah Branjangan menelan
pertanyaannya yang sudah hampir meloncat dari bibirnya Bahkan kemudian katanya,
“Marilah, Raden. Aku akan mengambil kudaku.”
Ki Lurah Branjangan dan kedua
pengawalnya pun kemudian mengambil kudanya yang tertambat. Namun dalam pada
itu, agaknya Raden Sutawijaya sudah tidak telaten lagi menunggu mereka. Maka
Raden Sutawijaya pun kemudian mendahuluinya memasuki hutan Tambak Baya.
Sementara itu langit di timur
menjadi semakin terang. Bulan yang turun di ujung barat telah tidak nampak lagi
di langit.
Ternyata hutan Tambak Baya
masih cukup gelap. Untunglah bahwa mereka adalah pengawal-pengawal yang
berpengalaman, sehingga meskipun tidak dapat maju dengan cepat, namun mereka
dapat berjalan terus.
“Ki Lurah,” salah seorang
pengawalnya berbisik, “sebenarnya permainan apakah yang sedang kita lakukan
ini?”
“Permainan yang mana
maksudmu?”
“Raden Sutawijaya pergi dengan
diam-diam, kemudian setelah kita tunggu di sini semalam suntuk, tiba-tiba saja
kita ketemukan Raden Sutawijaya agaknya baru kembali dari bepergian. Apakah Ki
Lurah mengetahuinya dari manakah kira-kira Raden Sutawijaya itu?”
Ki Lurah Branjangan tersenyum.
Sesaat dipandanginya bayangan di dalam keremangan pagi di hadapan mereka. Raden
Sutawijaya agaknya tidak menghiraukan lagi, apakah Ki Lurah Branjangan berada
dalam jarak yang jauh atau dekat di belakangnya.
“Bagaimana Ki Lurah?” desak
pengawal itu. “Raden Sutawijaya tidak akan mendengarnya.”
“Kau memang selalu ingin tahu
saja,” gumam Ki Lurah Branjangan,
“Semalam suntuk kita menjadi
makanan nyamuk. Sebaiknya Ki Lurah memang mengatakannya,” yang lain mendesak
juga.
Ki Lurah Branjangan tertawa
perlahan. Katanya, “Bukankah sudah kalian ketahui bahwa Raden Sutawijaya pergi
untuk melihat bulan purnama.”
“Ah,” desah pengawal itu, “Ki
Lurah berolok-olok.”
“Siapa yang mengatakan bahwa
Raden Sutawijaya pergi melihat bulan? Bukankah kau sendiri?”
“Tetapi apa yang dilakukan
sebenarnya?”
Sekari lagi Ki Lurah tertawa.
Dan kedua pengawalnya menjadi tidak sabar. Katanya, “Ki Lurah jangan berolok-olok
saja.”
Ki Lurah masih tertawa.
Katanya kemudian, “Sebenarnyalah Raden Sutawijaya sedang melihat bulan. Tetapi
bukan bulan yang terapung di langit. Aku sudah menduga, bahwa Raden Sutawijaya
sedang didesak oleh kerinduan. Karena itu maka agaknya Raden Sutawijaya telah
pergi ke Pajang. Sejak kalian mencarinya, Raden Sutawijaya tentu sudah
berangkat.”
“Ah, kenapa ia pergi ke
Pajang? Dengan keras hati Raden Sutawijaya menolak ajakan Ki Gede Pemanahan.
Tetapi kenapa tiba-tiba saja ia pergi?”
“Sebenarnya Raden Sutawijaya
tidak pantang pergi ke Pajang. Tetapi ia sudah terlanjur berkata, bahwa ia
tidak akan menginjak lantai Istana Pajang sebelum Mataram menjadi sebuah negeri
yang ramai. Jadi hanya Istana Pajang.”
“Dan apakah yang dilakukannya
sekarang di Pajang?”
“Kalian memang bodoh. Bukankah
perempuan yang sedang mengandung itu berada di Pajang?”
“Semangkin, putri Kanjeng
Sunan Prawata yang diangkat anak oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat?”
“Ya, yang seharusnya
diserahkan kepada Sultan Hadiwijaya itu.”
“O,” keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Salah seorang dari mereka berkata, “Kenapa Ki
Lurah tidak mengatakannya sejak kemarin. Jika kami mengetahuinya, maka tugas
kami semalam suntuk ini tidak akan terasa terlampau berat dan menjemukan.
Hampir saja aku tidak tahan lagi dan memaksa untuk kembali.”
“Aku pun belum yakin. Tetapi
bagaimana pun juga, kalian tidak akan dapat ingkar atas tugasmu.”
Kedua pengawal itu saling
berpandangan sejenak. Namun salah seorang dari mereka pun kemudian berkata, “Ki
Lurah benar. Senang atau tidak senang, jemu atau tidak jemu, kami memang harus
menjalankan tugas kami dengan baik. Tetapi jika tugas itu terasa ringan, maka
sudah barang tentu akan dapat kami lakukan lebih baik lagi.”
“Sudah terlanjur. Apakah aku
harus mengulangi sekali lagi?”
“Ah.”
Ketiganya pun terdiam. Ketika
mereka menengadahkan wajah mereka ke langit, nampak cahaya pagi mulai
membayang. Beberapa langkah di hadapan mereka, Raden Sutawijaya nampaknya
menjadi semakin kecil karena jarak yang semakin jauh.
“Cepat. Kita susul Raden
Sutawijaya,” berkata Ki Lurah Branjangan.
Kedua pengawalnya tidak
menjawab. Tetapi kuda-kuda mereka sajalah yang berlari lebih cepat.
Namun di dalam perjalanan itu,
para pengawal tidak henti-hentinya menilai tindakan Raden Sutawijaya. Tetapi
mereka mengerti, bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda yang keras
hati. Kemudaannyalah yang telah membawanya pergi ke Pajang, mengunjungi putri
Kalinyamat itu. Apalagi gadis itu memang sudah bukan gadis lagi karena ia sudah
mengandung.
Dalam pada itu, selagi Ki Gede
Pemanahan berbaring sendiri di dalam biliknya, telah datang mengunjunginya
seorang yang dikenalnya dengan akrab, bahkan seperti saudara sekandungnya, Ki
Juru Martani.
Ki Juru Martani terkejut
ketika ia melihat Ki Gede Pemanahan berbaring dengan wajah pucat. Karena itu
maka dengan tegang Ki Juru Martani itu pun duduk di pembaringan sambil meraba
tubuh Ki Gede yang lemah.
“Kenapa kau, Adi Pemanahan?”
bertanya Ki Juru.
Tetapi Ki Gede Pemanahan tetap
tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa, Kakang. Barangkali aku terlalu letih.
Karena itu aku perlu beristirahat.”
“Tetapi luka-luka itu?”
“Luka-luka itu sudah hampir
sembuh.”
“Mungkin luka-lukamu sudah
hampir sembuh. Tetapi nampaknya ada luka di dalam hatimu. Itulah agaknya yang
parah.”
Tetapi Ki Gede Pemanahan
tertawa. Katanya, “Kau masih saja senang menebak. Tetapi kali ini kau keliru,
Kakang. Aku tidak apa-apa.”
Tetapi Ki Juru beringsut
sambil berkata, “Jangan membohongi saudara tua. Nah, katakan, apa yang sedang
kau pikirkan. Sekali lagi aku akan menebak. Dan sekali lagi aku tidak akan
salah pula. Kau tentu memikirkan anakmu.”
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian dalam nada yang datar, “Kau memang pandai menebak,
Kakang. Tetapi apakah kau dapat menebak, apakah yang telah dilakukan oleh
Sutawijaya?”
Ki Juru tersenyum. Katanya,
“Tentu, Adi Pemanahan. Aku tentu dapat menebak dengan tepat pula.”
Wajah Ki Gede berkerut. Namun
ia masih mencoba tersenyum dan bertanya, “Nah. apakah Kakang Juru dapat menyebutnya?”
Ki Juru Martani masih
tersenyum. Katanya, “Tentu karena anakmu tidak pernah ada di rumah. Tetapi itu
suatu pertanda baik. Anakmu tentu keluar masuk hutan dan barangkali goa-goa dan
bukit-bukit yang sepi. Di sana anakmu akan mendapatkan kesejukan rohani dan
akan lebih menguntungkan bagimu dan bagi Mataram, jika Raden Sutawijaya dengan
demikian akan menjadi seorang ksatria yang linuwih.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Juru Martani berkata selanjutnya, “Adi.
Setiap orang sudah mengetahui bahwa putramu itu gemar mesu diri dan olah
kanuragan serta kajiwan. Kau tidak perlu memikirkannya. Apalagi dengan cemas
dan ketakutan. Serahkan segalanya kepada Yang Maha Pencipta.”
Namun justru kata-kata Ki Juru
Martani itu rasa-rasanya membuat luka di hati Ki Gede menjadi semakin parah.
Meskipun ia masih tetap berusaha tersenyum, namun ternyata bahwa senyumnya
menjadi hambar.
Betapa pun Ki Gede mencoba
menyembunyikannya, tetapi Ki Juru berhasil menangkap kepahitan yang tersirat dari
tatapan wajah Ki Gede Pemanahan, sehingga karena itu maka dengan ragu-ragu ia
bertanya, “Apakah sebenarnya yang telah terjadi, Adi Pemanahan? Berapa bulan
aku tidak berkunjung kemari. Agaknya sesuatu memang telah terjadi. Dan bukankah
kau belum mengatakan, siapakah yang telah melukaimu?”
Ki Gede termenung sejenak.
Namun ia pun kemudian berkata, “Sebenarnyalah bahwa tidak ada rahasia lagi di
antara kita, Kakang. Karena itu, apakah buruknya jika aku menceriterakan apa
yang telah terjadi atas diriku, atas Mataram dan atas Sutawijaya.”
Ki Juru Martani bergeser
sejengkal. Katanya, “Agaknya ceriteramu akan menjadi sangat menarik.”
“Mungkin, Kakang. Tetapi
mungkin juga sangat memuakkan.”
“Ah,” desah Ki Juru, “katakan
jika kau memang tidak berkeberatan.”
Ki Gede termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian diceritakannya apa yang terjadi. Sebagian Ki Juru sudah
mengetahui tentang gangguan yang selama itu memperlambat perkembangan Mataram.
Kemudian kepergian Sutawijaya ke Menoreh. Dan yang terakhir adalah kepergian Ki
Gede Pemanahan sendiri ke Pajang dengan segala kepentingannya.
“Di perjalanan kembali itulah
aku terluka,” Ki Gede menutup ceritanya dengan menguraikan kejadian yang
dialaminya di pinggir Kali Opak.
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi wajahnya sama sekali tidak menunjukkan
kesan bahwa Ki Juru Martani terkejut mendengar cerita itu, terutama tentang
Raden Sutawijaya yang telah melakukan suatu perbuatan yang tercela.
“Kakang,” desis Ki Gede
Pemanahan, “bagaimanakah pendapat Kakang tentang hal itu? Agaknya Kakang acuh
tidak acuh saja mendengarnya.”
“Jangan salah mengerti, Adi
Pemanahan. Sebenarnyalah bahwa aku sudah mendengar apa yang telah terjadi
dengan putramu itu.”
“O,” wajah Ki Gede Pemanahan
menjadi tegang sejenak. Namun ia pun kemudian menjadi lesu dan berdesah, “Jadi
Kakang sudah mengetahuinya.”
Ki Juru Martani mengangguk,
“Maaf, Adi. Bukan maksudku untuk menambah Adi Pemanahan menjadi semakin
berkecil hati. Berita tentang yang telah terjadi itu sudah banyak didengar
orang. Apalagi mereka yang tidak senang kepada Jebeng Sutawijaya. Mereka telah
menyiarkan berita itu, seakan-akan Sutawijaya telah melakukan perbuatan yang
paling terkutuk di muka bumi.”
“Kakang, tetapi apakah tidak
sebenarnya memang demikian?”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Katanya, “Memang demikian, Adi. Tetapi jika hal itu telah
terjadi, maka yang perlu dipikirkannya adalah penyelesaiannya.”
“Seperti aku katakan, aku
sudah menghadap Sultan Pajang. Tetapi Sutawijaya tidak percaya bahwa Sultan
Pajang telah benar-benar mengampuninya. Bahkan timbullah prasangka buruknya
atas Untara dan prajurit-prajurit Pajang yang justru telah menolong aku di
pinggir Kali Opak itu.”
Tetapi di luar dugaannya,
ternyata Ki Juru Martani itu justru tersenyum. Katanya, “Itulah sifat anak-anak
muda. Curiga dan kadang-kadang tanpa dipikirkannya masak-masak.”
“Kakang,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “apakah Kakang dapat menunggunya barang sehari ini? Ki
Lurah Branjangan sedang mencarinya. Mungkin ia akan segera pulang. Jika Kakang
percaya bahwa Sultan Pajang berbuat dengan hati tulus, maka Kakang tentu akan
bersedia menolong aku memberitahukan hal itu kepada Sutawijaya.”
Ki Juru merenung sejenak.
Namun kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menunggu Raden Sutawijaya.”
Demikianlah maka Ki Juru
Martani pun tetap tinggal bersama Ki Gede Pemanahan sambil menunggu kedatangan
Raden Sutawijaya. Pembicaraan mereka pun kemudian berkisar mengenai
perkembangan Tanah Mataram yang nampaknya sangat pesat dan menggembirakan.
Menjelang matahari mencapai
ujung pepohonan, Ki Lurah Branjangan mengiringi Raden Sutawijaya memasuki
halaman rumahnya. Sutawijaya yang gelisah, segera menyerahkan kudanya kepada
seorang pelayan, dan ia sendiri langsung memasuki ruang dalam.
Ketika ia sampai ke pintu bilik
ayahandanya, ia pun tertegun. Dilihatnya di dalam bilik itu Ki Juru Martani
duduk di pembaringan ayahnya.
“O,” Raden Sutawijaya
menundukkan kepalanya, “Pamanda Ki Juru Martani.”
Ki Juru Martani tertawa.
Katanya, “Kemarilah, Sutawijaya. Sudah lama uwakmu tidak bertemu. Aku menjadi
sangat rindu kepadamu. Ketika aku datang dan aku tidak menemukan kau di dalam
rumah ini, aku menjadi kecewa. Tetapi menurut ayahandamu, kau tentu akan segera
kembali.”
Raden Sutawijaya tidak
menyahut. Ia duduk dengan kepala tunduk di atas sebuah dingklik kayu di sisi
pembaringan ayahandanya.
“Ternyata kau telah
benar-benar datang,” Ki Juru melanjutkan.
Raden Sutawijaya mencoba
tersenyum. Tetapi senyumnya terasa sangat hambar.
Beberapa saat lamanya Ki Juru
Martani bertanya-tanya tentang Tanah Mataram yang sedang dibuka. Kemajuan yang
telah dicapai, dan rencana yang telah disusun.
Semula Sutawijaya merasa
canggung menanggapi pertanyaan-pertanyaan Ki Juru Martani. Ia merasa bahwa
akhirnya pembicaraan itu tentu akan sampai kepada persoalannya. Persoalan yang
di luar sadarnya telah melihatkan banyak pihak di dalamnya.
Tetapi ternyata Ki Juru
Martani sama sekali tidak menyinggung mengenai persoalannya dengan gadis
Kalinyamat itu, sehingga lambat laun pembicaraannya menjadi lancar.
Tanpa disadarinya, maka Ki
Juru Martani telah membuka hati Raden Sutawijaya. Itulah sebabnya, ketika
mereka kemudian duduk berdua setelah mereka makan siang, barulah Sutawijaya
menyadari bahwa ia telah terlibat dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh
dengan Ki Juru Martani.
Tetapi ternyata bahwa Ki Juru
Martani mempunyai sikap yang agak berbeda dengan Ki Gede Pemanahan. Justru
karena Ki Juru Martani tidak langsung mengalami persoalan itu pada putranya
sendiri. Karena itulah, maka Ki Juru Martani dapat melihat peristiwa itu dengan
lebih jernih.
Namun ternyata pandangan mata
hati Ki Juru Martani tidak terhenti pada bentuk wadag antara Raden Sutawijaya
dan gadis Kalinyamat itu. Dengan suara yang dalam orang tua itu berkata,
“Sutawijaya. Sebenarnya bukannya secara kebetulan aku datang kemari. Aku sudah
mendengar semua yang terjadi atasmu, bukan baru saja aku dengar dari
ayahandamu. Dan aku sudah mengatakan pula kepada ayahandamu tentang hal itu.
Tetapi yang belum aku katakan kepadanya, dan barangkali nanti atau dalam
kesempatan lain, bahwa rasa-rasanya ada semacam firasat tentang bayi yang akan
lahir itu.”
Sutawijaya termenung sejenak.
Tetapi karena Ki Juru Martani tidak semata-mata marah kepadanya tentang
peristiwa yang telah terjadi, maka ia memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah
maksud Paman Juru Martani tentang firasat itu?”
Ki Juru Martani termenung
sejenak, lalu, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu kepadamu sekarang, Raden.
Tetapi kau harus menyambut kedatangan anak itu sebaik-baiknya. Kau harus
menerima kehadirannya dengan wajar, dan kau sama sekali tidak boleh
menyia-nyiakan ibunya.”
“Tidak, Paman. Aku tidak akan
menyia-nyiakan.”
“Kau baru saja mengunjunginya
malam ini?”
Sutawijaya tertunduk. Wajahnya
menjadi kemerah-merahan.
“Kau tahu, bagaimana tanggapan
ayahandamu Sultan Pajang mengenai peristiwa ini?”
“Aku mendengar dari Ayahanda
Ki Gede Pemanahan.”
“Kau harus berterima kasih,
bahwa hal ini tidak menjadi alasan ayahandamu untuk marah kepadamu. Ayahandamu
Sultan Pajang benar-benar mengampunimu.”
Sutawijaya memandang Ki Juru
sekilas. Namun Ki Juru sudah menangkap perasaan yang memercik dari tatapan mata
yang hanya sekilas itu.
“Kau tidak percaya?”
Sutawijaya tidak menjawab.
Ki Juru Martani yang mendapat
pesan dari Ki Gede Pemanahan untuk mencoba melunakkan hati Sutawijaya itu pun
kemudian berkata, “Raden Sutawijaya, kau sebaiknya mencoba mengendapkan
persoalan ini di dalam hatimu. Cobalah mengenang sifat ayahandamu Sultan
Pajang. Apakah ada sesuatu yang tidak memungkinkan menurut pendapatmu, bahwa
ayahandamu itu memaafkan kau?”
Sutawijaya sama sekali tidak
menjawab. Sementara Ki Juru Martani mencoba untuk meyakinkannya dengan sikap
kebapakan.
Tetapi Ki Juru Martani tidak
terlampau panjang berbincang dengan Sutawijaya. Ia tidak ingin membuat anak itu
jemu terhadapnya. Karena itu, maka ia pun kemudian mengalihkan pembicaraan pada
luka-luka ayahnya yang didapatkannya di tepi Kali Opak.
“Kau kenal dukun dari Dukuh
Pakuwon itu?” bertanya Ki Juru Martani.
“Maksud Paman?”
“Kiai Gringsing.”
“O,” Sutawijaya menengadahkan
wajahnya. Karena pembicaraan itu agaknya sudah bergeser, maka sikapnya pun
segera berubah, “aku mengenalnya dengan baik, Paman,”
“Apakah menurut pendapatmu ia
memang seorang dukun dari padukuhan kecil di dekat Jati Anom itu?”
“Maksud Paman?”
“Apakah kau tidak meiihat
sesuatu yang dapat menumbuhkan persoalan di dalam hatimu tentang orang tua
itu?”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Aku kurang mengerti maksud Paman. Jika
yang dimaksud kemampuan olah kanuragan, sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing
memiliki kemampuan yang luar biasa.”
“Itu sudah dapat menumbuhkan
persoalan.”
Sutawijaya pun kemudian
menceritakan pertempuran yang luar biasa yang telah terjadi antara Kiai
Gringsing dan Panembahan Alit. Pertempuran yang jarang sekali terjadi.
Pertempuran antara dua orang yang memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan.”
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Bagaimana kalau Kiai Gringsing
itu diminta untuk mencoba mengobati ayahandamu?”
“Seperti yang dimaksud Ki
Lurah Branjangan?”
“Banyak hal yang akan timbul.
Orang tua itu tentu mempunyai pandangan yang jauh mengenai Mataram dan Pajang.
Apakah ia pernah menyinggungnya?”
“Sekali-sekali, Paman.
Kadang-kadang Kiai Gringsing senang juga berbicara tentang Mataram dan Pajang.”
“Demak?”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Memang ada sesuatu yang tersembunyi
pada orang itu. Sejak aku menjumpainya di Sangkal Putung, sebenarnya aku telah
diganggu oleh beberapa macam pertanyaan tentang dirinya.”
“Sutawijaya,” berkata Ki Juru
Martani kemudian, “jika demikian, selagi Mataram menghadapi banyak persoalan
sekarang ini, aku sependapat jika kau pergi saja ke Menoreh untuk menjemput
Kiai Gringsing. Ia tentu tidak berkeberatan mengobati ayahandamu yang sedang
sakit. Sakit ayahandamu bukan sekedar timbul karena ia terluka. Tetapi ada
penyakit lain yang harus segera mendapat pengobatan.”
“Maksud Paman?”
Ki Juru Martani tersenyum.
Katanya, “Panggil sajalah Kiai Gringsing. Kau tidak usah mengatakan persoalan
apa pun juga, selain persoalan luka-luka dan sakit ayahandamu. Kau jangan
mencoba mencari-cari sebab penyakit itu sendiri. Katakan apa yang nampak oleh
penglihatanmu. Itu saja.”
Sutawijaya mengerutkan keningnya.
Tetapi ia tidak bertanya sesuatu karena ia yakin, bahwa Ki Juru Martani tentu
tidak akan mengatakan lebih jauh daripada itu.
“Nah, marilah kita kembali ke
dalam bilik ayahandamu. Kita akan berbicara tentang Kiai Gringsing. Kapan kau
dan Ki Lurah Branjangan atau salah seorang dari kalian akan berangkat ke
Menoreh.”
“Tetapi Kiai Gringsing sendiri
waktu itu sedang terluka, Paman,” sahut Sutawijaya.
“Tentu saja jika ia sudah
sembuh atau oleh kemauannya sendiri ia bersedia berangkat segera.”
Raden Sutawijaya merenung
sejenak. Luka-luka Kiai Gringsing agaknya memang parah. Tetapi sebagai seorang
dukun yang pandai dalam hal obat-obatan Sutawijaya berharap bahwa keadaan Kiai
Gringsing telah menjadi baik dan memungkinkan untuk pergi ke Mataram.
“Mudah-mudahan orang itu belum
pergi ke Sangkal Putung,” berkata Sutawijaya kemudian, “karena ia berada di
Menoreh sebenarnya sekedar mengantarkan Ki Demang Sangkal Putung melamar anak
perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
“O, begitu jauh? Apakah
keduanya masih ada hubungan keluarga sehingga mereka ingin mempererat hubungan
itu dengan perkawinan anak-anak mereka?”
“Sepanjang pendengaranku
mereka tidak pernah menyebut demikian.”
“Jadi bagaimana mereka dapat
menempuh jarak sejauh itu tanpa ada hubungan apa pun?”
“Hubungan itu telah dijalin
oleh anak-anak mereka sendiri, sedang orang tua mereka tidak berkeberatan.”
Ki Juru Martani
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jika memang jodoh itu datang, jarak agaknya
tidak menjadi soal. Demikian juga agaknya yang terjadi atas anak Ki Demang
Sangkal Putung dan anak perempuan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu.
Demikianlah maka keduanya pun
kemudian memasuki kembali bilik Ki Gede Pemanahan. Mereka duduk di sebelah
pembaringan dan mulai lagi berbincang mengenai beberapa hal. Namun mereka
kemudian mengambil kesimpulan, bahwa Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan akan
pergi ke Menoreh, untuk minta Kiai Gringsing datang ke Mataram.
“Besok pagi-pagi benar aku
akan berangkat,” berkata Sutawijaya.
“Hati-hatilah di perjalanan,”
pesan Ki Juru Martani, “meskipun menurut perhitunganmu jalan ke Menoreh
seakan-akan sudah bersih, seperti juga jalan ke arah timur setelah Panembahan
Agung dapat kalian kalahkan, namun kadang-kadang kita menjumpai persoalan yang
sama sekali tidak terduga.”
“Baik, Paman,” jawab
Sutawijaya, “aku akan membawa beberapa orang serta bersama kami.”
“Itu lebih baik. Tetapi jangan
mengejutkan orang-orang Menoreh dengan sikap dan tingkah laku kalian.”
Malam yang kemudian turun
menjelang keberangkatan Sutawijaya, Ki Gede Pemanahan masih memberikan beberapa
pesan. Pesan buat Kiai Gringsing dan buat Ki Argapati. Tetapi ia pun berkata,
“Jika tidak berkeberatan, persilahkan Ki Demang Sangkal Putung itu singgah pula
untuk beberapa hari. Bukankah Mataram ada dilalui jalan mereka jika mereka
kembali ke kademangannya?”
“Aku akan menyampaikannya,
Ayahanda,” jawab Sutawijaya.
“Selain daripada itu, aku
menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga. Meskipun mereka nampaknya
melakukan pembersihan atas daerah mereka sendiri, tetapi sebenarnya bahwa Ki
Argapati telah membantu tegaknya Mataram yang sedang tumbuh dan berkembang
ini.”
“Dan juga kepada Ki Waskita,
Ayahanda.”
“Tentu. Kepada semuanya yang
telah berjuang dengan berani. Kita harus mengakui, bahwa tanpa mereka Mataram
tidak akan dapat berbuat apa-apa. Apalagi apabila orang-orang yang tidak mau
melihat Mataram tumbuh itu sempat membuat rencana yang masak dengan orang-orang
mereka yang kini berada di Pajang. Dan tentu tidak akan salah jika aku menduga
bahwa orang-orang penting di Pajang pun sebagian telah terlibat dalam
perencanaan itu.”
“Itulah yang masih selalu
membuat kalian harus berprihatin,” potong Ki Juru Martani.
Ki Gede Pemanahan hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam.
Seperti yang telah
direncanakan, maka Raden Sutawijaya pun kemudian berkemas bersama Ki Lurah
Branjangan. Mereka besok pada dini hari akan berangkat ke Menoreh bersama
dengan beberapa orang pengawal. Mereka mengharap sebelum tengah hari mereka
sudah akan berada di induk Tanah Perdikan Menoreh dan bertemu dengan Ki
Argapati.
“Mudah-mudahan mereka masih
ada di sana.”
Ketika ayam jantan berkokok
menjelang fajar, Raden Sutawijaya, Ki Lurah Branjangan, dan empat orang
pengawalnya telah siap di halaman rumah. Sutawijaya masih memasuki bilik
ayahandanya dan mohon diri. Sedang Ki Juru Martani mengantar kepergian mereka
sampai di regol halaman.
“Hati-hatilah,” berkata Ki
Juru Martani, “bukan saja di perjalanan. Tetapi juga caramu mengatakannya
kepada Kiai Gringsing. Kau jangan menyebut apa saja. Kau tidak boleh menunjukkan
prasangka apa pun. Kau undang orang tua itu semata-mata karena ia seorang yang
selama ini kau kenal sebagai orang yang pandai mengobati segala macam penyakit.
Selebihnya, memang bukan persoalanmu, tetapi persoalan orang tua-tua.”
Sutawijaya pun kemudian
berangkat dengan membawa segala macam pesan itu di dalam dadanya. Pesan Ki Juru
Martani justru membuatnya semakin bertanya-tanya tentang orang tua itu.
Ketika mereka sudah lewat
sebuah alun-alun yang mulai dibangun di hadapan rumah Ki Gede Pemanahan dengan
sepasang pohon beringin yang mulai nampak subur. Sutawijaya dan
pengawal-pengawalnya mulai berpacu lebih cepat. Langit yang menjadi semakin
terang melepaskan warna-warna merah kekuning-kuningan, membayang di dedaunan
yang basah oleh embun.
Rasa-rasanya angin yang mulai
bertiup telah membangunkan seluruh Mataram. Dedaunan mulai bergerak-gerak dan
disetiap halaman terdengar derik sapu lidi.
Raden Sutawijaya menarik nafas
panjang. Udara pagi terasa menyegarkan rongga dadanya. Menjelang pagi hari Raden
Sutawijaya melihat Mataram yang bangkit dan mulai dengan kerja keras seperti
yang dilakukan sehari-hari sebelumnya.
Di sepanjang jalan Sutawijaya
ternyata tidak dapat berlalu begitu saja tanpa singgah untuk melihat setiap
kelompok pekerja yang sedang mempersiapkan diri dengan tugas masing-masing.
Untuk beberapa saat lamanya, Raden Sutawijaya memerlukan berbicara dengan
mereka. Bertanya-tanya tentang tugas mereka dan hasil yang pernah mereka capai
sampai saat terakhir.
Kedatangan Raden Sutawijaya
selalu disambut dengan penuh kegembiraan. Namun kedatangannya tidak pernah
mengejutkan, karena sudah terlampau sering dilakukannya.
Yang membuat para pekerja itu
heran adalah karena saat itu Raden Sutawijaya pergi bersama Ki Lurah Branjangan
dengan diiringi oleh beberapa orang pengawal. Pakaian yang dikenakannya pun
bukan pakaiannya sehari-hari jika Raden Sutawijaya pergi berkeliling
melihat-lihat orang-orang yang sedang giat bekerja tanpa henti-hentinya.
“Apakah Raden akan bepergian?”
bertanya seseorang pekerja.
“Ya. Aku akan pergi ke Menoreh
bersama Paman Branjangan dan pengawal-pengawalku ini.”
“Apakah masih ada sesuatu yang
belum terselesaikan?” bertanya pekerja yang lain.
“Jika yang kau maksud adalah
persoalan Panembahan Agung, maka semuanya sudah selesai. Aku sekarang pergi ke
Menoreh dalam persoalan lain. Persoalan pengobatan Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Para pekerja itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka semuanya sudah mendengar bahwa Ki Gede
Pemanahan berada dalam keadaan sakit. Bukan saja oleh luka-luka senjata, tetapi
sebenarnya ia sedang sakit.
Kepergian Raden Sutawijaya ke
Menoreh menumbuhkan harapan bagi para pekerja yang menganggap Ki Gede Pemanahan
adalah pemimpin mereka. Bukan saja pemimpin, tetapi seakan-akan telah menjadi
orang tua mereka. Para pekerja itu pun sudah pernah mendengar bahwa dukun yang
pandai yang bernama Kiai Gringsing itu ada di Menoreh.
Demikiankah maka Raden
Sutawijaya pun segera melanjutkan perjalanannya. Di beberapa bagian ia melihat
para pekerja sudah mulai dengan kerja mereka. Beberapa orang masih saja
berusaha memperluas tanah garapan dengan menebang hutan-hutan yang masih pekat.
Para pekerja itu tidak perlu takut lagi mendengar bunyi burung kedasih, derap
kaki kuda di malam hari dan tengkorak-tengkorak yang menari-nari di atas
punggung kuda yang gemerlapan. Mereka tidak pernah lagi menyebut hantu-hantu
Alas Mentaok.
Dengan demikian, maka tugas
mereka pun menjadi semakin lancar.
Raden Sutawijaya meninggalkan
setiap kelompok pekerja dengan memberikan pesan-pesan. Bagaimanapun juga mereka
harus tetap berhati-hati, meskipun sekedar melawan binatang-binatang buas dan
ular-ular berbisa yang berkeliaran di beberapa bagian dari hutan itu.
Akhirnya, beberapa lama
kemudian, Raden Sutawijaya bersama para pengawalnya sampai pada ujung jalan
yang sedang diselesaikan, sehingga mereka pun kemudian harus melintasi jalan
setapak di dalam hutan yang masih lebat.
Dengan demikian maka
penjalanan mereka pun menjadi agak sendat. Namun kuda-kuda mereka dapat maju
betapa pun lambatnya.
Baru setelah mereka melampaui
hutan yang lebat dan sampai pada sebuah padang perdu dan ilalang, kuda-kuda
mereka pun dapat bergerak lebih leluasa sehingga perjalanan mereka menjadi
semakin cepat.
Tetapi ternyata bahwa rencana
Raden Sutawijaya untuk mencapai pedukuhan induk Menoreh menjelang tengah hari,
sama sekali tidak dapat dilaksanakannya. Rombongan kecil itu terlampau banyak
berhenti di setiap kelompok kerja. Berbicara untuk beberapa waktu. Memberikan
pesan-pesan den kadang-kadang melihat-lihat hasil pekerjaan mereka.
Karena itulah maka pada saat
matahari sampai di puncak langit kuda-kuda mereka pun sedang dituntun naik ke
atas rakit untuk menyeberangi Sungai Praga yang arusnya agak besar karena hujan
di bagian ujung sungai itu agaknya sudah mulai deras.
Baru ketika mereka sudah ada
di seberang Sungai Praga, kuda-kuda itu dapat berlari lebih cepat lagi. Namun
Raden Sutawijaya tidak memacu kudanya terlampau cepat, agar tidak menimbulkan
kesan yang mengejutkan di tlatah Tanah Perdikan Menoreh.
Namun demikian, ternyata tiga
ekor kuda yang tegar telah berpacu mengejar mereka. Kaki-kaki kuda itu berderap
sambil melemparkan debu yang putih.
“Siapakah mereka?” bertanya
Raden Sutawijaya.
Ki Lurah Branjangan
termangu-mangu. Namun bagaimana pun juga yang mengejar itu hanya tiga orang di
atas punggung, tiga ekor kuda. Ketiganya tentu bukan orang-orang yang pantas
menimbulkan bencana atas mereka. Jika mereka orang-orang Menoreh, maka mereka
tentu tidak akan berbuat apa-apa, sebab mereka sudah mengetahui siapakah Raden
Sutawijaya. Apalagi para pengawal Tanah Perdikan yang telah ikut memburu
orang-orang di padepokan Panembahan Agung. Sedangkan apabila mereka adalah
orang-orang jahat, maka jumlah mereka terlampau sedikit untuk dapat berhasil
merampas apa pun dari Raden Sutawijaya dan pengawal-pengawalnya.
Meskipun demikian, hati Raden
Sutawijaya menjadi berdebar. Semakin dekat tiga orang berkuda itu, jantung
Raden Mas Sutawijaya menjadi semakin cepat berdetak. Bukan karena ia takut
menghadapi bahaya apa pun juga, tetapi jika timbul salah paham maka ia akan
berada dalam kedudukan yang sulit.
“Tetapi jika mereka justru
orang-orang berniat jahat, dan sama sekali bukan orang Menoreh, maka aku tidak
terlalu banyak harus mengendalikan perasaan. Aku akan segera dapat mengambil
sikap yang tegas terhadap mereka,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.
Ketika ketiga orang berkuda
itu menjadi semakin dekat, maka Raden Sutawijaya pun kemudian menghentikan
kudanya. Dan para pengawalnya pun berbuat serupa.
Sejenak kemudian ketiga orang
berkuda itu sudah berhenti beberapa langkah dari mereka. Namun seperti yang di
duga oleh Ki Lurah Branjangan, ternyata mereka adalah para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang sudah mengenal Raden Sutawijaya dengan baik.
“Selamat datang di Tanah
Perdikan Menoreh,” salah seorang dari mereka itu pun segera menyapa.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia berharap bahwa sikap itu mencerminkan pengertian orang-orang
Menoreh atas kedatangannya. Karena itu maka dengan tersenyum ia menjawab,
“Terima kasih, Ki Sanak. Kami tiba-tiba saja merasa rindu kepada Tanah Perdikan
ini, sehingga kami memerlukan datang untuk menengoknya dan menengok Ki Gede
Menoreh beserta keluarganya.”
“Silahkan, Raden. Ki Gede
tentu akan menerima dengan senang hati,” jawab salah seorang dari pengawal
pengawal itu. “Selebihnya tamu-tamu Ki Gede pun tentu akan senang sekali jika
Raden datang mengunjungi mereka pula”
“Siapa?”
“Masih yang dahulu, Raden.
Kiai Gringsing dan Ki Demang Sangkal Putung serta kawan-kawannya.”
“Apakah Kiai Gringsing masih
belum sembuh? Dan bagaimana dengan Ki Sumangkar?”
“Keduanya sudah baik, Ki
Sumangkar sudah hampir sembuh sama sekali, sedang Kiai Gringsing masih harus
memulihkan tubuhnya Tetapi luka-lukanya agaknya juga sudah baik.”
“Kebetulan sekali,” desis
Raden Sutawijaya hampir di luar sadarnya.
“Kenapa kebetulan?” bertanya
pengawal itu.
“O,” Raden Sutawijaya
tergagap, “maksudku, aku masih sempat bertemu dengan mereka nanti.”
“Tentu, marilah. Aku akan
mengantar Raden beserta Ki Lurah sampai ke padukuhan induk di Tanah Perdikan
Menoreh.”
Demikianlah maka iring-iringan
itu pun melanjutkan perjalanan mereka langsung menuju ke padukuhan Induk. Di
perjalanan para pengawal yang dijumpainya masih selalu ingat kepada anak muda
yang berani itu. Sambil tersenyum mereka menunduk hormat. Apalagi mereka
mengetahui bahwa Raden Sutawijaya mempunyai pengaruh yang kuat di Mataram dan
Pajang. Senang atau tidak senang, orang-orang Pajang harus memperhitungkannya,
sehingga ada di antara mereka yang terpaksa bekerja bersama dengan Panembahan
Agung untuk membatasi perkembangan Mataram, dan jika mungkin memadamkan sama
sekali daerah yang sedang tumbuh itu.
Dan Daksina adalah salah
seorang dari mereka yang telah terjerumus ke dalam bencana karena pokal mereka
sendiri.
Ketika iring-iringan itu
kemudian memasuki padukuhan induk di Tanah Perdikan Menoreh, maka memang terasa
kerinduan yang sebenarnya bergejolak di hati Raden Sutawijaya. Rasa-rasanya ia
memang ingin bertemu dengan anak-anak muda, murid Kiai Gringsing yang hampir
sebaya dengan umurnya. Bahkan rasa-rasanya ia ingin juga bertemu dengan Rudita
yang di saat terakhir nampak memiliki kelainan dari saat-saat sebelumnya.
Tetapi Raden Sutawijaya yang
tergesa-gesa meninggalkan Menoreh saat itu tidak dapat melihat perkembangan
jiwa anak muda itu.
Ketika iring-iringan itu
menjadi semakin dekat, maka seorang pengawal dari Menoreh itu pun segera
mendahului untuk memberitahukan bahwa akan datang beberapa orang tamu dari
Tanah Mataram.
Kedatangan Raden Sutawijaya
pun kemudian telah mendapat sambutan yang ramah, namun dibayangi oleh berbagai
macam pertanyaan. Meskipun demikian Ki Gede Menoreh menahan diri untuk tidak
bertanya sesuatu lebih dahulu sebelum Raden Sutawijaya mengatakannya. Ia hanya
sekedar mempersilahkan tamu-tamunya naik ke pendapa, menyapanya dengan adat
kebiasaan mereka tentang keadaan dan kesehatan masing-masing.
Sesaat kemudian maka tamu-tamu
Ki Gede pun segera ikut duduk melingkar di atas tikar yang terbentang di
pendapa. Ki Demang Sangkal Putung, Kiai Gringsing yang sudah berangsur baik dan
kedua muridnya, serta Ki Sumangkar. Sementara Prastawa dan Pandan Wangi
kemudian sibuk menyiapkan jamuan bagi tamu-tamunya.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak
melihat Rudita di antara mereka. Juga ayahnya sama sekali tidak menyertai Ki
Gede Menoreh menemuinya di pendapa.
Demikian besar keinginannya
untuk mengetahui tentang keadaan anak yang manja itu sehingga ia tidak dapat
menahan diri untuk bertanya, “Apakah Ki Waskita masih berada di sini?”
Ki Argapati tersenyum.
Jawabnya, “Mereka sudah kembali, Raden. Agaknya kedua orang tua Rudita belum
sependapat melihat perkembangan jiwa anaknya.”
“Apa yang terjadi?”
“Rudita menjadi bertambah
dewasa.”
“Mengagumkan. Ia akan menjadi
seorang yang disegani.
“Tidak dalam hal olah
kanuragan, Raden,” jawab Ki Argapati. “Ayahnya berniat untuk tidak mewariskan
ilmunya kepada anaknya. Menurut pertimbangan Ki Waskita, jiwa Rudita kurang
mantap untuk memiliki ilmu yang dahsyat itu. Jika jiwa itu kemudian goyah oleh
pengaruh kemanjaan di masa kanak-kanak yang terangkat lagi, maka akibatnya akan
menjadi kurang baik.” Ki Argapati berhenti sejenak, “Apalagi perkembangan jiwa
Rudita agaknya mengarah kepada kebesaran yang sejati. Kedamaian dan kasih.
Ayahnya sedang berusaha memantapkan pilihan itu. Sebenarnyalah menurut Ki
Waskita, kedamaian dalam kasih adalah kebesaran jiwa yang sebenarnya. Bagi
orang yang berhasil maka olah kanuragan tidak lebih dari kekuasaan yang semu
semata-mata, seperti bentuk-bentuk yang dapat diujudkan dalam angan-angan itu.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti maksud Ki Waskita seperti yang dikatakan
oleh Ki Argapati itu. Meskipun demikian ia masih berkata, “Tetapi Ki Gede,
dalam saat terakhir Ki Waskita masih juga mempergunakan ilmunya. Dapat
dibayangkan, apakah yang akan terjadi jika Ki Waskita tetap pada pendiriannya
untuk tidak berbuat apa pun dengan kemampuannya yang tinggi itu.”
“Ki Waskita mengetahui betapa
dahsyat ilmunya itu, Raden. Sehingga ia pun dapat membayangkan, jika ilmu serupa
itu jatuh ke tangan yang sesat seperti Panembahan Agung, apakah akibatnya. Jika
ia kemudian terpaksa mempergunakan ilmunya, maka hal itu adalah karena
pertimbangan yang tidak dapat dielakkannya lagi. Seperti yang Raden katakan,
berapa korban yang akan jatuh karenanya.”
“Jika Ki Waskita tidak
memiliki ilmu itu karena pendiriannya, maka akibatnya pun akan seperti itu
pula.”
“Tetapi itu masih lebih baik
daripada ada dua orang Panembahan Agung.”
“Maksud Ki Gede?”
“Masih lebih baik Ki Waskita
tidak memiliki ilmu apa pun daripada jika orang yang memiliki kemampuan seperti
Ki Waskita itu namun karena kelemahan jiwanya justru berpihak kepada Panembahan
Agung.”
Raden Sutawijaya pun
mengangguk-angguk pula. Kini ia mengerti sepenuhnya. Dan ia pun menyadari
betapa seseorang selalu dibayangi oleh prasangka-prasangka buruk terhadap
sesama, sehingga seseorang merasa perlu membentengi dirinya dengan berbagai
macam ilmu.
Namun hal itu tidak terjadi
secara tiba-tiba. Adalah merupakan pengalaman, bahwa sepanjang masa yang
panjang, ternyata telah dibayangi oleh pertentangan-pertentangan dan sifat
kekerasan antara sesama.
Dan hal itu terjadi sejak
manusia dijauhkan dari Penciptanya oleh dosa. Dan sejak itu pula manusia hanya
dapat merenungi ketenangan dan kedamaian dengan penuh kerinduan. Namun yang
selalu mempersiapkan dirinya untuk melakukan kekerasan dan pertengkaran.
Untuk beberapa saat Raden
Sutawijaya berdiam diri merenungi kata-kata Ki Gede Menoreh. Bahkan bukan saja
Sutawijaya, tetapi juga Agung Sedayu dan Swandaru.
Tetapi mereka tidak
memperbincangkannya lagi. Ketika kemudian Pandan Wangi menghidangkan jamuan,
maka Ki Argapati pun mempersilahkan tamunya untuk meneguk air panas dan
menikmati beberapa potong makanan.
Baru setelah itu, Sutawijaya
menyampaikan keinginannya, kenapa ia datang ke Tanah Perdikan Menoreh.
“Ayahanda dalam keadaan
sakit,” katanya kemudian, “karena itu, kami sekeluarga, dan bahkan seluruh
Tanah Mataram mengharap kesediaan Kiai Gringsing untuk singgah barang sejenak.”
Kiai Gringsing memandang Ki
Argapati sekilas. Agaknya Ki Argapati pun sedang memandanginya, seolah-olah
berkata, “Silahkan mengambil keputusan Kiai.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
Kemudian katanya, “Apakah yang dapat diharapkan oleh Ki Gede Pemanahan dan
apalagi oleh seluruh Tanah Mataram dari padaku, Raden?”
“Kiai adalah seorang dukun
yang baik. Mudah-mudahan Kiai dapat menyembuhkan Ayahanda sehingga Ayahanda
dapat memerintah Tanah yang sedang tumbuh ini sebaik-baiknya.”
“Raden,” berkata Kiai
Gringsing, “yang aku lakukan adalah sekedar berusaha. Tetapi kesembuhan yang
sebenarnya berasal dari Yang Maha Pengasih pula adanya. Karena itu, aku selalu
mengingat keterbatasan kemampuan seseorang, sehingga aku tidak akan dapat
mengatakan, bahwa aku akan dapat menyembuhkan penyakit Ki Gede Pemanahan itu.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai benar. Tetapi sampai saat ini Kiai adalah
lantaran yang baik bagi kesembuhan itu. Seperti Ki Waskita merupakan lantaran
yang baik untuk menyebut isyarat bagi masa mendatang. Dan yang seperti Kiai
katakan, juga Ki Waskita pernah mengatakan, itu adalah kurnia. Dan kurnia itu
tidak setiap orang menerimanya langsung. Karena itu Kiai, selagi Kiai masih
menjadi lantaran kesembuhan, perkenankanlah Ayahanda mengharap Kiai Gringsing bersedia
singgah barang sekejap, mungkin dalam perjalanan kembali ke Sangkal Putung,
apabila persoalan Kiai di sini sudah selesai.”
Kiai Gringsing kemudian
berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung. Katanya, “Aku hanya sekedar
mengantarkan Ki Demang. Aku tidak tahu pasti, apakah persoalannya sudah selesai
atau belum.”
Ki Demang Sangkal Putung
tersenyum. Katanya kemudian sambil berpaling kepada Ki Gede Menoreh, “Sulit
untuk menjawab pertanyaan itu. Tetapi agaknya untuk sementara persoalanku
memang sudah selesai. Bukankah kita tinggal menunggu kesehatan Kiai Gringsing
pulih kembali?”
Kiai Gringsing pun tersenyum
pula, desahnya, “Inilah kelemahan seseorang. Jika aku kadang-kadang mengobati
orang lain, maka aku tidak dapat memaksa diriku sendiri cepat-cepat menjadi
sembuh sama sekali. Tetapi rasa-rasanya, aku sudah pulih kembali. Jika masih
ada sedikit goresan luka, sebenarnya sudah tidak berpengaruh lagi.”
“Apalagi Kiai datang ke
Mataram tidak untuk bertempur,” sahut Ki Lurah Branjangan, “bukankah begitu, Kiai?”
Yang mendengar kata-kata Ki
Lurah itu pun tertawa. Kiai Gringsing yang juga tertawa mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Nah, bukankah Ki Gede
sependapat, bahwa sebaiknya Kiai Gringsing akan singgah sejenak di Mataram?”
bertanya Sutawijaya kemudian.
“Tetapi bagaimana jika Kiai
Gringsing kerasan di sini dan tidak akan kembali ke Sangkal Putung?”
Raden Sutawijaya tertawa. Yang
lain pun tertawa pula. Namun dengan demikian Raden Sutawijaya menduga bahwa
Kiai Gringsing tentu tidak akan berkeberatan untuk singgah, meskipun selama ini
rasa-rasanya Kiai Gringsing selalu menghindarkan diri untuk bertemu dengan Ki
Gede Pemanahan.
Tetapi tiba-tiba saja tanpa
diduga-duga Kiai Gringsing bertanya, “Raden Sutawijaya, siapakah sekarang yang
menunggui Ayahanda Raden itu?”
“Pamanda Ki Juru Martani,
Kiai,” jawab Raden Sutawijaya.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Kemudian mengulangnya perlahan-lahan, “Ki Juru Martani.”
“Apakah Kiai sudah
mengenalnya?”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya, “Aku belum mengenalnya. Aku belum
pernah mengenal pemimpin-pemimpin pemerintahan. Baik pada masa Demak, Pajang,
mau pun kemudian Mataram selain Raden Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan.”
Raden Sutawijaya memandanginya
sejenak. Tetapi ia tidak menyahut.
Yang ternyata tertarik akan
kata-kata itu adalah Ki Argapati. Sebagai seorang yang cukup berpengalaman, ia
tidak dapat menerima kenyataan Kiai Gringsing sebagai seorang dukun padesan
yang tidak memiliki hubungan apa pun dengan pemimpin-pemimpin pemerintahan pada
masa mana pun juga. Bagi Ki Argapati, dukun itu tentu bukan seseorang yang
benar-benar berasal dari Dukuh Pakuwon yang terletak antara Jati Anom dan
Sangkal Putung.
Ki Argapati justru merenung
ketika teringat olehnya tanda-tanda sandi yang pernah dilihatnya saat Kiai
Gringsing mengobatinya. Tanda-tanda itu mengingatkannya kepada seseorang yang
pernah dikagumi. Dan sudah barang tentu bahwa kekagumannya atas Kiai Gringsing
akan dapat dihubungkannya dengan tanda-tanda yang pernah dilihatnya itu.
Dalam pada itu, maka tiba-tiba
saja Ki Argapati berpendapat, bahwa sebaiknya Kiai Gringsing dapat bertemu
dengan Ki Gede Pemanahan. Jika kemudian ternyata bahwa Ki Gede Pemanahan pernah
mengenalnya, maka teka-teki yang selama ini gelap baginya, akan dapat
diketahuinya.
Namun Ki Argapati kemudian
masih meragukannya. Pada masa mudanya, justru Ki Gede Pemanahan-lah yang lebih
banyak tinggal di padukuhannya, Sela. Sebelum Pajang, Ki Gede Pemanahan tidak
banyak disebut orang.
“Tetapi mungkin dalam petualangan
dan dalam mesu diri keduanya memang pernah bertemu.”
Karena itu, maka Ki Argapati
pun kemudian berkata Raden Sutawijaya, “Sebenarnyalah bahwa persoalan yang
sesungguhnya di Tanah Perdikan Menoreh ini memang sudah selesai. Pembicaraan
kami sudah sampai pada keputusan yang mantap. Namun demikian, agaknya Kiai
Gringsing masih memerlukan waktu sejenak untuk beristirahat. Setelah itu, maka
Kiai Gringsing tentu tidak akan berkeberatan untuk singgah di Mataram barang
sehari dua hari.”
Raden Sutawijaya menganggukkan
kepalanya. Namun sebelum ia menyahut, tiba-tiba saja Ki Demang Sangkal Putung
berkata, “Raden. Sebenarnya aku pun ingin singgah di Mataram dan bertemu dengan
Ki Gede Pemanahan yang pernah memerlukan datang ke Sangkal Putung pada saat
pasukan Jipang yang tersisa menyerah. Tetapi sebaiknya Raden mengetahui, bahwa
kepergianku ke Menoreh telah jauh melampaui waktu yang ditentukan. Dengan
demikian maka keluarga yang kami tinggalkan di Sangkal Putung tentu sudah
menunggu. Benar, Ki Argapati telah mengutus empat orang pengawal untuk
menyampaikan berita keselamatan kami ke Sangkal Putung. Tetapi jika kami
terlampau lama di perjalanan, maka mereka tentu akan menjadi gelisah.”
Raden Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Dipandanginya Ki Demang Sangkal Putung. Kemudian Kiai Gringsing dan
Ki Argapati.
Sebenarnya bagi Raden
Sutawijaya, yang penting adalah semata-mata Kiai Gringsing, sehingga apabila Ki
Demang Sangkal Putung ingin mendahului, agaknya ia tidak berkeberatan setelah
singgah barang sejenak di Mataram. Sedangkan apabila perlu Raden Sutawijaya
tentu akan dapat menyediakan pengawalan yang cukup karena Kiai Gringsing tidak
dapat berjalan seiring.
Tetapi Raden Sutawijaya
ragu-ragu untuk mengucapkannya, ia tidak ingin menyinggung perasaan Ki Demang
Sangkal Putung.
Karena itu maka katanya, “Ki
Demang. Kami hanya mengharap Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang
singgah sebentar saja. Dalam waktu singkat itu tentu Kiai Gringsing sudah dapat
memberikan petunjuk-petunjuk secukupnya. Kemudian terserahlah kepada Kiai
Gringsing sekelompok kecil ini termasuk Agung Sedayu dan Swandaru. Apakah akan
singgah lebih lama lagi, atau terpaksa meneruskan perjalanan.”
Ki Demang merenung sejenak.
Tetapi ia pun kemudian menyerahkan persoalannya kepada Kiai Gringsing sendiri
Kiai Gringsing tidak dapat
segera memutuskan. Bukan karena keadaan dirinya yang masih agak lemah. Tetapi
ada sesuatu yang rasa-rasanya menghalanginya. Rasa-rasanya ia tidak ingin
bertemu dengan Ki Gede Pemanahan. Yang karena itulah maka ia sampai saat terakhir
masih berusaha menghindari.
Tetapi Ki Gede Pemanahan itu
kini sedang terluka. Menurut keterangan Raden Sutawijaya, luka Ki Gede itu
tidak begitu berbahaya. Tetapi nampaknya Ki Gede mengalami persoalan yang
mengguncangkan perasaannya, sehingga sakitnya menjadi terpengaruh olehnya.
Tentu bukan hanya karena luka itu saja maka Ki Gede masih saja harus berbaring
di pembaringan. Yang kadang-kadang badannya menjadi panas, dan kadang-kadang
sama sekali tidak mau berbicara dengan siapa pun juga.
Dalam kebimbangan itu, maka
Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Raden. Tentu Raden akan bermalam di
Menoreh meskipun hanya semalam. Nah, besok aku akan memberikan keputusanku.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Sebenarnya ia ingin segera kembali dan menunggui
ayahandanya yang sedang sakit. Tetapi karena Kiai Gringsing itu pun
diperlukannya untuk kepentingan ayahandanya itu pula, maka akhirnya Raden
Sutawijaya itu pun berkata, “Baiklah, Kiai. Aku akan bermalam di Menoreh jika
Ki Gede Menoreh tidak berkeberatan.”
“Ah,” desah Ki Gede Menoreh,
“kami merasa senang sekali bahwa Raden sudi bermalam di Menoreh dalam keadaan
yang tenang seperti ini.”
Wajah Raden Sutawijaya menjadi
merah, katanya, “Aku menjadi sangat malu. Biasanya aku bermalam hanya apabila
aku memerlukan pertolongan.”
“O,” cepat-cepat Ki Gede
Menoreh menyahut, “bukan maksudku. Tetapi dalam keadaan tenang seperti
sekarang, kita dapat berbincang tentang apa saja. Kita tidak tergesa-gesa harus
pergi dengan senjata telanjang di tangan.”
“Ya, Ki Gede,” Raden
Sutawijaya mengangguk-angguk. Demikianlah maka Raden Sutawijaya yang memutuskan
untuk bermalam itu pun kemudian ditempatkan di gandok bersama para pengawalnya.
Namun sebagian besar waktunya dipergunakannya untuk duduk bersama Agung Sedayu
dan Swandaru. Mereka membicarakan berbagai masalah. Dari peperangan yang baru
saja mereka lakukan, sampai hari-hari perkawinan Swandaru yang masih harus
diperhitungkan.
“Manakah yang lebih baik,”
berkata Swandaru, “aku lebih dahulu atau Kakang Agung Sedayu lebih dahulu?
“Tentu kakaknya lebih dahulu,”
sahut Raden Sutawijaya, “maksudku, yang tua lebih dahulu.”
“Nah, apa kataku,” desis
Swandaru, “tentu Kakang Agung Sedayu lebih dahulu.”
“Bukan itu maksudku,” potong
Sutawijaya.
“Jadi?”
“Yang tua lebih dahulu. Bukankah
kau kakak kandung Sekar Mirah.”
“Ah,” Swandaru mengerutkan
keningnya, “tentu bukan begitu. Aku adalah saudara muda seperguruan Kakang
Agung Sedayu. Adalah salahnya sendiri, kenapa aku harus memanggilnya Kakang.”
“Tetapi dalam hubungan
keluarga, kaulah yang lebih tua.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Tetapi Raden-lah yang harus lebih
dahulu dari kami. Siapa pun yang dahulu di antara kami.”
Wajah Sutawijaya berkerut.
Namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Itu sudah meloncat ke luar pematang.
Yang kita bicarakan adalah kau dan Agung Sedayu.”
“Aku menambah satu bahan lagi.
Raden Sutawijaya.”
Sutawijaya tertawa. Ia sudah
mengenal sifat Swandaru. Sehingga tidak tersirat sama sekali niat lain kecuali
bergurau semata-mata. Meskipun demikian, sesuatu terasa bergetar di dalam
hatinya. Persoalannya dengan gadis Kalinyamat itu setiap kali masih saja
membuatnya gelisah.
Pada malam hari, Raden
Sutawijaya tidak terlalu lama duduk di pendapa bersama orang-orang tua. Tetapi
ia pun kemudian berjalan-jalan dengan Agung Sedayu dan Swandaru melihat-lihat
Tanah Perdikan Menoreh di waktu malam hari. Mereka berhenti sejenak di tikungan
ketika mereka mendengar tembang yang terlontar dari sebuah rumah beratap
ilalang. Dari celah-celah dinding rumah itu sinar pelita memercik keluar.
“Padukuhan ini terasa hidup di
malam hari,” berkata Raden Sutawijaya.
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“suara tembang itu memberikan kesan tersendiri.”
“Dan itulah, nafas malam hari
di Tanah Perdikan ini.”
Ketiganya pun kemudian
meneruskan langkah mereka menyusuri gelapnya malam. Kadang-kadang mereka
melihat sebuah obor yang dipasang di simpang empat yang gelap. Dan di kejauhan
mereka melihat sinar lampu di gardu perondan.
Di malam-malam itu Pandan
Wangi hampir tidak pernah keluar dari biliknya. Ia sadar, bahwa perhatian
setiap orang di rumahnya setelah persoalan Panembahan Agung selesai, tertuju
semata-mata kepadanya. Setiap orang sudah mengetahui bahwa kedatangan Ki Demang
Sangkal Putung di Menoreh adalah untuk membicarakan hubungannya dengan
Swandaru. Karena itu, maka Pandan Wangi telah dikungkung oleh perasaan
kegadisannya meskipun pada saat Panembahan Agung masih mengganggu Tanah
Perdikan Menoreh dan Tanah Mataram yang sedang tumbuh itu, ia ikut mengenakan sepasang
pedang di lambungnya.
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar masih juga berbicara di dalam biliknya. Ki Demang
yang tidak begitu mengerti persoalan pemerintahan di Pajang maupun sebelumnya,
tidak begitu banyak dapat ikut berbicara di antara mereka.
“Kiai,” berkata Ki Sumangkar,
“sebenarnya sudah cukup lama Kiai menunggu saat-saat seperti ini.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam.
“Tentu setiap orang yang
mengenal Kiai dari dekat, dibebani oleh teka-teki tentang Kiai. Selama ini aku
pun selalu meraba-raba.”
“Ah, barangkali kalian
dibayangi oleh angan-angan kalian sendiri. Sebenarnya tidak ada yang aneh
padaku.”
“Baiklah. Jika demikian, Ki
Gede Pemanahan benar-benar memerlukan Kiai. Sebaiknya Kiai memenuhinya dan
mencoba mengobatinya. Tentu saja semuanya tergantung kepada belas kasihan Tuhan
Yang Maha Pengasih. Namun Kiai dapat berusaha.”
“Dan kau akan ikut?”
“Aku berhutang budi kepada Ki
Gede Pemanahan selagi ia masih menjadi panglima. Ia tidak menghukum aku bersama
pasukan Jipang yang lain.”
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Ia pun tahu betapa Ki Gede Pemanahan memberikan pengampunan pada
pasukan Jipang yang menyerah. Di antara mereka yang mendapat pengampunan,
bahkan sama sekali tidak dikenakan tuntutan apa pun adalah Sumangkar, karena
Sumangkar sebenarnya memang tidak banyak terlibat di dalam perlawanan, apalagi
setelah Arya Penangsang gugur.
“Kiai,” berkata Sumangkar
kemudian, “jika Kiai bertemu dengan Ki Gede Pemanahan, kecuali Kiai dapat
memberikan petunjuk-petunjuk yang mungkin dapat memperingan sakitnya, Kiai
tentu akan dapat berbicara serba sedikit tentang pertumbuhan Mataram. Suramnya
Pajang dan jalur yang kini sedang mekar dari kekuasaan atas tanah ini”
Kiai Gringsing memandang
Sumangkar sejenak. Bagaimana pun juga Sumangkar adalah seorang yang pernah
tinggal di Kepatihan Jipang, sehingga masalah-masalah yang pernah dibicarakan
oleh Patih Mantahun tentu menimbulkan kesan pula baginya.
“Apakah tidak ada orang lain
yang dapat mengobati Ki Gede Pemanahan?” tiba-tiba saja Kiai Gringsing
berdesis.
“Ada atau tidak ada, tetapi
sebaiknya Kiai singgah barang sebentar,” sahut Sumangkar.
Kiai Gringsing memandang Ki
Demang Sangkal Putung sejenak. Lalu katanya, “Tetapi tentu Ki Demang Sangkal
Putung harus segera kembali. Keluarganya akan menunggunya.”
Ki Demang yang hampir selalu
berdiam diri itu pun tiba-tiba menyahut, “Silahkan, Kiai. Aku akan dapat
mendahului. Aku kira jalan ke Sangkal Putung sudah aman. Mungkin aku memerlukan
beberapa orang kawan. Jika tidak berkeberatan, para pengawal dari Mataram akan
bersedia mengawani aku di perjalanan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya memang tidak ada keberatan apa pun lagi
selain perasaannya sendiri. Ia tinggal bertanya kepada dirinya sendiri. Apakah
ia sudah bersedia bertemu dengan Ki Gede Pemanahan.
“Tetapi Ki Gede Pemanahan
sedang sakit,” katanya di dalam hati. Sebagai seorang dukun, ia tidak akan
dapat membiarkan seorang yang sakit yang menunggu pertolongannya dibiarkannya
begitu saja.
Karena itu, maka tidak ada
pilihan lain. Agaknya besok Kiai Gringsing memang harus pergi ke Mataram.
Demikianlah maka orang-orang
tua yang berada di gandok itu pun akhirnya terdiam. Masing-masing membiarkan
angan-angannya melambung tinggi menerawang di dunia lain.
Sementara itu, Agung Sedayu
dan Swandaru pun telah kembali pula. Raden Sutawijaya langsung pergi ke gandok
sebelah bersama-sama para pengawalnya.
Tidak banyak yang dibicarakan
oleh orang-orang yang berada di gandok sebelah menyebelah. Sejenak kemudian
malam terasa menjadi semakin sepi. Yang terdengar hanyalah desah angin malam
yang lembut. Tetapi di gardu perondan, di sebelah regol halaman, kadang-kadang
masih terdengar suara tertawa. Tetapi, suara yang semakin lama terdengar
semakin dalam karena kantuk yang mencengkam. Namun demikian, para peronda itu
tidak mau tidur bersama-sama. Mereka harus bergantian berjaga-jaga sampai
matahari membayang di waktu fajar besok.
Ketika ayam jantan kemudian
berkokok untuk yang terakhir kalinya, maka hampir seisi rumah sudah terbangun.
Agung Sedayu yang sudah bangun pula segera pergi ke belakang. Seperti yang
selalu dilakukannya maka ia pun segera membantu mengisi jambangan bersama
Swandaru.
Kiai Gringsing yang masih saja
disentuh oleh kebimbangan, akhirnya mencoba untuk menentukan sikap, mengatasi
gejolak perasaan sendiri.
Dengan demikian, maka ketika
para tamu di Menoreh itu, baik yang datang dari Sangkal Putung, maupun dari
Mataram duduk bersama di pendapa, maka tidak banyak lagi yang harus mereka
perbincangkan. Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Baiklah, Raden. Aku akan
singgah di Mataram. Aku akan melihat luka dan sakit Ki Gede Pemanahan.”
“Nah, jika demikian kita akan
pergi bersama-sama.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggelengkan kepalanya, katanya, “Sebaiknya Raden pergi saja dahulu. Ayahanda
tentu sangat menunggu. Aku akan segera menyusul besok. Hari ini aku akan
mencoba memulihkan kekuatanku dan berkemas barangkali ada jenis obat-obatan
yang dapat aku bawa.”
“Aku akan menunggu sampai Kiai
selesai.”
Tetapi Kiai Gringsing
menolaknya. Katanya, “Jangan, Raden. Aku minta Raden pergi saja lebih dahulu.
Kami besok akan datang bersama-sama dengan Ki Demang Sangkal Putung dan kedua
anak-anak muda itu. Di antara kami akan ikut pula Ki Sumangkar. Karena itu,
maka kami harus mengatur segala sesuatunya. Kami sudah beberapa lama tinggal di
sini, sehingga kami harus minta diri sebaik-baiknya kepada Ki Gede Menoreh.”
Ki Gede Menoreh hanya
tersenyum saja. Namun baginya semakin cepat Ki Demang Sangkal Putung kembali ke
kademangannya, agaknya memang semakin baik. Persoalan Pandan Wangi dan Swandaru
akan semakin cepat terselesaikan. Bagi Ki Argapati, orang tua dari seorang
gadis, tentu berharap bahwa selekasnya masalah anaknya akan diselesaikan.
Namun selain hal itu, ia pun
ingin ikut mendengar, apakah ada akibat dari pertemuan Ki Gede Pemanahan dengan
Kiai Gringsing.
Agaknya hari itu Raden
Sutawijaya tidak dapat memaksa Kiai Gringsing untuk pergi bersamanya. Tetapi ia
percaya bahwa di hari berikutnya, orang tua itu akan singgah di Mataram. Tentu
Kiai Gringsing tidak akan ingkar janji, kecuali ada perkembangan keadaan dengan
tiba-tiba.
Karena itulah, maka Raden
Sutawijaya pun kemudian minta diri untuk mendahului kembali ke Tanah Mataram.
Ia tidak dapat terlalu lama meninggalkan ayahandanya yang sering sakit meskipun
ketika ia pergi, ayahnya tinggal bersama dengan Ki Juru Martani.
“Kami sangat mengharap
kedatangan Kiai besok,” berkata Raden Sutawijaya ketika ia sudah berada di
regol halaman.
Kiai Gringsing mengangguk,
jawabnya, “Baik, Raden. Aku tentu akan datang.”
Sutawijaya tersenyum. Katanya,
“Terima kasih, Kiai. Mudah-mudahan kedatangan Kiai dapat mempercepat kesembuhan
Ayahanda Pemanahan.”
Kiai Gringsing mengangguk
kecil sambil berdesis, “Aku hanya sekedar berusaha, Raden.”
Demikianlah, Raden Sutawijaya
pun kemudian sekali lagi minta diri kepada Ki Gede Menoreh dan tamu-tamunya,
kepada Pandan Wangi dan Prastawa yang ada di regol pula.
Sepeninggal Raden Sutawijaya,
maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Demang Sangkal Putung pun mulai
berkemas. Demikian pula Agung Sedayu dan Swandaru, Mereka sudah cukup lama
berada di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga kerinduan mereka terhadap Sangkal
Putung, terlebih-lebih Ki Demang, mulai terasa. Bahkan Ki Demang pun mulai
cemas, bahwa yang ditinggalkan akan menjadi kebingungan karena ia terlampau
lama berada di Menoreh. Tetapi persoalan Panembahan Agung adalah persoalan yang
tidak diketahui dan diperhitungkan lebih dahulu sehingga seakan-akan telah
mengikat mereka untuk tinggal agak lama di Tanah Perdikan Menoreh.
Di malam hari menjelang
keberangkatan Kiai Gringsing, sekali lagi Ki Demang dan Ki Argapati menegaskan
pembicaraan mereka. Persoalan satu-satunya yang masih akan dibicarakan meskipun
cukup dengan saling mengirimkan utusan, adalah masalah hari. Ki Demang dan Ki
Argapati akan membicarakannya dengan orang-orang tua, hari apakah yang paling
baik dipergunakan bagi perkawinan Swandaru dan Pandan Wangi.
“Aku akan menghubungi Ki
Waskita,” berkata Ki Argapati, “mungkin ia dapat memberikan petunjuk mengenai
perkawinan ini. Pada saat ia ada di sini, aku tidak sampai hati mengganggunya.
Kecuali perasaannya tentu masih diselubungi oleh kejutan atas hilangnya Rudita,
juga agaknya ada perbedaan pendapat antara Ki dan Nyi Waskita menghadapi
perkembangan jiwa anaknya yang kemudian diketemukannya setelah mendapat
pengalaman baru.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, “Tentu aku akan sependapat sekali. Ki Waskita adalah orang yang
memiliki ketajaman indra. Tetapi barangkali Kiai Gringsing pun akan dapat membantu.”
“Ah,” Kiai Gringsing tertawa,
“aku hanya dapat membantu. Jika Ki Waskita telah menemukan hari yang paling
baik maka aku akan membantu memilih hari itu.”
“Tetapi Kiai adalah seorang
dukun.”
Yang mendengarnya tertawa. Dan
Kiai Gringsing menjawab, “Aku memang seorang dukun. Tetapi yang aku ketahui
tidak lebih dari dedaunan. Akar ketela grandel dan empon-empon. Serta
barangkali sedikit mengenai getah pepohonan, binatang melata dan serangga.
Selebihnya yang aku ketahui adalah jodang berisi makanan.”
Semuanya tertawa semakin
keras.
Namun dalam pada itu, baik Ki
Argapati, Ki Sumangkar, dan Ki Demang mau pun anak-anak muda yang ikut berada
di pendapa itu, menganggap bahwa Kiai Gringsing hanya sekedar berkelakar saja.
Menilik pertempuran yang terjadi antara Kiai Gringsing dan Panembahan Alit,
maka Kiai Gringsing pun tentu bukan sekedar hanya mengenal dedaunan dan getah
pepohonan. Ia memiliki ilmu yang agaknya masih harus ditekuni oleh kedua
muridnya. Ilmu yang baru dikenal dalam tata gerak dan segala unsur-unsurnya.
Tetapi masih belum dikenal kekuatan yang masih tersimpan di balik bentuk-bentuk
lahiriahnya. Pada saat Kiai Gringsing menghadapi Panembahan Alit, maka
nampaklah bahwa dalam puncak usahanya mempertahankan dirinya, Kiai Gringsing
telah mempergunakan yang agaknya selama ini sudah disimpannya, karena ternyata
lawannya, Panembahan Alit, memiliki ilmu kebal yang mengagumkan pula.
Setelah tidak ada yang harus
dibicarakannya lagi, maka Kiai Gringsing pun kemudian dipersilahkan
beristirahat di gandok, karena besok mereka akan menempuh perjalanan, yang
meskipun tidak terlampau berat, namun dalam keadaan yang masih belum pulih sama
sekali, Kiai Gringsing perlu menyegarkan tubuhnya.
Ketika orang-orang lain sudah
berbaring di pembaringan dan bahkan sudah tertidur nyenyak, Swandaru masih
digelitik oleh kegelisahan. Ia memang ingin segera kembali ke Sangkal Putung,
bertemu dengan ibu dan adiknya. Tetapi rasa-rasanya terlampau berat
meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Rasa-rasanya ia akan berpisah untuk waktu yang
lama dengan Pandan Wangi. Segala sifat, watak, dan tingkah laku gadis itu tidak
terlepas dari rongga matanya. Bahkan sudah mulai terbayang-bayang betapa ia
akan duduk bersanding, dihadap para tamu di bawah cahaya lampu yang terang
benderang. Meskipun tidak akan sebesar perkawinan Untara yang didampingi oleh
para senapati, namun masa-masa yang demikian adalah masa-masa yang paling
menyenangkan.
Tetapi wajahnya tiba-tiba
menjadi suram. Terbayang perselisihan yang nampaknya semakin memuncak antara
Pajang dan Mataram. Jika persoalan itu berlarut-larut, maka hari-hari yang
ditunggunya itu tentu akan ikut tergeser pula karenanya, karena Sangkal Putung
berada di jalur lurus antara Pajang dan Mataram.
Oleh kegelisahan hati, maka
rasa-rasanya gandok itu menjadi semakin lama semakin panas. Karena itulah maka
Swandaru yang tidak dapat tertidur itu pun kemudian dengan hati-hati bangkit
agar tidak mengejutkan orang lain. Perlahan-lahan ia bergeser dan membuka
pintu.
Sepercik udara yang segar
memercik di wajahnya sehingga Swandaru itu pun justru melangkah keluar dan
setelah menutup pintu gandok, ia pun melangkah ke serambi. Sambil mengibaskan
bajunya ia berdiri memandangi lampu yang suram di tengah-tengah pendapa yang
sepi. Namun ia masih mendengar suara orang-orang yang sedang meronda berbicara
perlahan-lahan di regol halaman.
Tetapi Swandaru tidak tertarik
untuk pergi ke gardu. Hampir di luar sadarnya ia melangkah menyusuri longkangan
dan justru memasuki halaman samping.
Tiba-tiba saja ia terkejut,
ketika ia melihat sekilas cahaya lampu yang meloncat keluar. Namun kemudian
cahaya itu lenyap lagi.
Baru sejenak kemudian hatinya
berdesir. Dilihatnya seseorang berdiri di luar pintu butulan yang sudah
tertutup lagi.
“Pandan Wangi,” ia berdesis.
Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya.
Seperti Swandaru, Pandan Wangi
pun terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Swandaru berada di halaman samping,
beberapa langkah saja di depan pintu butulan.
Sejenak keduanya berdiam diri.
Namun dari sorot mata mereka yang saling memandang, memancar perasaan yang
tersimpan di dalam hati.
Beberapa saat keduanya berdiri
mematung. Yang terasa adalah debar yang semakin keras di dalam dada
masing-masing.
Namun tiba-tiba saja Pandan
Wangi membuka pintu butulan itu kembali dan sekejap kemudian ia telah hilang di
balik pintu.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ada sesuatu yang rasa-rasanya terlepas. Tetapi ia tidak mendekati
pintu butulan itu. Bahkan ia pun kemudian meninggalkan halaman samping dan
kembali ke serambi gandok.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
yang dengan tergesa-gesa masuk kembali, masih berdiri bersandar pintu. Nafasnya
tiba-tiba terasa terengah-engah, seolah-olah ia baru saja saling bekejaran
dengan lawan yang sangat tangguh.
Sebenarnyalah Pandan Wangi
sedang berjuang mengatasi gejolak hatinya sendiri. Ketika ia melihat Swandaru,
rasa-rasanya ia ingin lari kepadanya, dan melepaskan perasaannya yang
tersimpan. Meskipun untuk beberapa lama Swandaru berada di Tanah Perdikan
Menoreh, tetapi ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk berbicara berdua,
melepaskan angan-angan dan bayangan tentang masa datang.
Hampir saja Pandan Wangi
kehilangan pengekangan diri dan berlari kepada Swandaru. Untunglah bahwa ia
menyadari dirinya, bahwa di dalam keadaannya, maka ia masih harus membatasi
diri sejauh-jauhnya. Setiap kali terngiang kembali cerita ayahnya tentang
ibunya yang terperosok ke dalam lumpur kehidupan, sehingga akhirnya telah
menimbulkan pertentangan di dalam diri sendiri yang tumbuh dan berkembang
menjadi belukar bagi keluarganya dan bahkan bagi Menoreh.
Pandan Wangi tidak mau
terjerumus ke dalam keadaan yang sama. Ia sadar, dalam gejolak jiwa
kedewasaannya, kadang-kadang nalarnya dapat dikalahkan oleh perasaaan. Jika ia
bersama dengan laki-laki yang dicintainya, di dalam gelapnya malam yang sepi,
maka kesulitan itu dapat saja terjadi. Dan dengan demikian, apabila saat-saat
itu telah lewat, maka laki-laki itu tentu akan mulai menilai dirinya.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan tangannya bergerak mengangkat selarak pintu.
Ketika ia sudah berada di
pembaringannya kembali, maka ia pun menarik nafas lega, seakan-akan ia sudah
terlepas dari bahaya. Seperti saat-saat pasukan Mataram terlepas dari timbunan
batu-batu di mulut lembah ketika mereka merayap mendekati sarang Panembahan
Agung.
“Meskipun tidak selalu terjadi
sesuatu, tetapi syukurlah bahwa aku telah berada di dalam bilik ini,” desisnya.
Pandan Wangi yang berbaring di
pembaringannya itu pun masih saja berbicara dengan dirinya sendiri, “Mungkin
keadaan kini sudah jauh berubah dari masa ibu menjelajahi masa remajanya.
Mungkin kungkungan yang ketat justru membuatnya seperti burung yang terlepas
dari sangkar di saat-saat tertentu. Sedang kini Ayah mempercayakan semuanya
kepadaku. Aku diperkenankan berburu bersama para pengawal. Dan aku adalah
seorang gadis. Namun bagaimana pun juga, buah yang paling manis adalah buah
yang sudah masak. Dan itulah yang harus ditunggu. Semakin lama kita menunggu,
maka pada saatnya, terasa betapa indahnya buah yang masak itu, dan betapa manisnya.”
Pandan Wangi merasa telah
memenangkannya. Ia merasa bersukur bahwa ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan
ayahnya kepadanya, justru setelah ayahnya mendapat pengalaman yang sangat pahit
yang telah terjadi atas ibunya.
Ketika terdengar angin malam
berdesir lembut, Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Terasa matanya menjadi
berat. Meskipun kepergian Swandaru besok memberati hatinya pula, namun ia
mengharap bahwa yang akan datang segeralah datang.
Dalam angan-angan yang semakin
kabur, Pandan Wangi mulai diselimuti oleh bayangan-bayangan yang indah di masa
mendatang, seperti pada umumnya gadis yang menjelang hari-hari yang paling
indah. Meskipun Pandan Wangi sering menjelajahi Tanah Perdikan Menoreh di atas
punggung kuda dengan sepasang pedang di lambung, namun ia tetap seorang gadis
yang dikuasai oleh angan-angan menjelang masa keibuannya.
Tetapi bayangan itu pun
akhirnya lenyap di dalam kelelapan tidur. Namun bibir Pandan Wangi nampak
tersenyum karena mimpinya terasa indah sekali.
Pagi-pagi benar, sebelum
bayangan matahari nampak di langit, Kiai Gririgsing sudah bangun. Dengan
hati-hati agar tidak mengejutkan orang lain, ia membuka pintu dan menghirup
udara yang sejuk. Namun betapa pun ia berusaha, namun ia tidak dapat meniadakan
suara gelak gardu perondan, sehingga Ki Sumangkar pun terbangun pula karenanya.
“Anak-anak muda yang
berjaga-jaga di gardu itu agaknya sudah diganggu oleh kantuk yang sangat,”
desis Kiai Gringsing ketika ia mengetahui bahwa Ki Sumangkar pun telah
terbangun, “sehingga mereka berusaha mengusir kantuknya dengan berkelakar
sepagi ini.”
Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
pun segera pergi ke perigi. Alangkah segarnya mandi di gelapnya malam menjelang
pagi hari. Ternyata semuanya yang ada di gandok itu telah terbangun ketika Kiai
Gringsing selesai mandi. Satu-persatu mereka pun segera membersihkan diri dan
membenahi barang masing-masing. Jika nanti matahari terbit, mereka akan mulai
dengan perjalanan mereka kembali ke Sangkal Putung dan singgah barang sehari di
Tanah Mataram.
Demikianlah, maka mereka yang
untuk beberapa lamanya berada di Tanah Perdikan Menoreh itu pun segera akan
minta diri. Tetapi bukan untuk yang terakhir kalinya mereka berada di Menoreh.
Pada suatu saat mereka tentu akan kembali dalam upacara yang lebih besar.
Menjelang matahari terbit,
ternyata Pandan Wangi yang hanya dapat tidur sejenak itu telah menyiapkan makan
dan minuman panas. Sebelum Kiai Gringsing bersama kelompok kecilnya berangkat,
mereka dipersilahkan untuk makan pagi lebih dahulu.
Dalam kesempatan itu, sekali
lagi Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang, dan kedua anak-anak muda yang
bersama mereka itu minta diri. Sebagai kelengkapannya, maka Ki Demang di
Sangkal Putung berkata, “Dalam waktu dekat, aku akan mengirimkan beberapa orang
untuk menghadap Ki Gede membicarakan secara khusus mengenai hari perkawinan
anak kita.”
Ki Argapati tersenyum.
Jawabnya, “Aku akan menerimanya setiap saat.”
Dengan demikian, maka Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya, Ki Sumangkar dan Ki Demang Sangkal Putung pun
dengan hati yang berat, meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Sekilas mereka
melihat mata Pandan Wangi berkilat oleh setitik air di pelupuk. Namun Pandan
Wangi mencoba untuk tersenyum dan mengucapkan selamat jalan kepada tamu-tamunya
yang meninggalkan regol halaman rumahnya. Sedang Prastawa melepas mereka dengan
pesan jenaka, “Swandaru, kau harus berpuasa sejak sekarang. Jika kau datang
kemari sekali lagi, kau harus sudah menjadi agak langsing, agar pakaian
pengantinmu kelak tidak terlampau kecil.”
Swandaru tersenyum, sedang
Pandan Wangi menjadi tersipu-sipu.
Sejenak kemudian maka kelompok
kecil itu pun telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka
berkuda beriringan melalui bulak yang panjang, yang di sebelah menyebelah
terbentang sawah yang luas.
Sepercik air yang bening
mengalir di parit yang menyilang jalan, menyusup di bawah jembatan kayu yang
kuat, membelah bulak yang panjang
“Seperti bulak-bulak di
Sangkal Pulung,” berkata Ki Demang Sangkal Putung, “di sini pun air sudah
mendapat perhatian yang baik.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk kecil. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari
yang ternyata telah memanjat langit semakin tinggi. Cahayanya yang gatal
memantul pada daun padi yang basah, berkilat-kilat oleh angin pagi yang lembut.
Berbeda dengan Ki Demang
Sangkal Putung yang tertarik pada bulak yang luas, air yang mengalir di parit
dan batang-batang padi yang subur, maka Kiai Gringsing mulai dibayangi oleh pertemuan
yang bakal terjadi dengan Ki Gede Pemanahan. Memang ada sesuatu yang mengganggu
hatinya. Tetapi ia berusaha untuk menyimpan persoalan itu di dalam hati. Ia
tidak ingin melibatkan orang lain dalam persoalan dirinya. Persoalan
pribadinya.
Sementara itu Ki Sumangkar pun
mulai mereka-reka, apakah yang kira-kira bakal terjadi kelak. Pajang dan
Mataram agaknya bagaikan dua buah kapal yang berbeda haluan. Semakin lama
jaraknya menjadi semakin jauh.
Orang tua itu mengeluh di
dalam hati. Ia melihat Demak pernah tegak berdiri dengan megahnya. Ia melihat
sepeninggal Sultan terakhir di Demak, maka seakan-akan keturunannya berebut
tahta. Bahkan Aria Penangsang-lah yang bagaikan api, telah membakar ketenangan.
Akhirnya berdirilah Pajang. Seperti yang pernah terjadi, kini rasa-rasanya
Pajang pun telah surut.
“Apakah yang akan terjadi
kelak?” ia bertanya kepada diri sendiri. Dan hampir di luar sadarnya ia
menyebut di dalam hati, “Majapahit yang berpindah ke Demak. Demak telah
dipindahkan pula ke Pajang. Dan kini, bagaikan tumbuh dengan suburnya Mataram
di sisi Pajang.”
Dengan demikian, maka
seolah-olah mereka yang ada di dalam iring-iringan kecil itu telah dicengkam,
oleh angan-angan sendiri, sehingga dengan demikian mereka tidak begitu banyak
berbicara yang satu dengan yang lain. Apalagi Swandaru yang berkuda di sisi
Agung Sedayu.
Meskipun demikian,
iring-iringan itu justru semakin lama menjadi semakin cepat. Hampir tanpa
disadari oleh setiap orang di dalam iring-iringan itu, bahwa mereka telah
melintasi bulak-bulak yang panjang dan di atas jalan yang baik, sehingga
kuda-kuda mereka pun rasa-rasanya ingin berjalan lebih cepat.
Tidak banyak yang mereka
jumpai di perjalanan. Sekali-sekali mereka bertemu dengan pengawal yang sedang
meronda. Mereka harus menganggukkan kepala jika para pengawal itu mengangguk
pula dan bahkan mereka selalu bertanya, kapan iring-iringan itu akan kembali
lagi ke Menoreh. Terutama Agung Sedayu dan Swandaru yang mereka kenal dengan
baik.
“Tentu tidak akan terlalu lama
lagi,” Agung Sedayu-lah yang selalu menjawab.
“Dengan upacara yang lain,”
desis salah seorang pengawal muda yang mengetahui hubungan antara Swandaru dan
Pandan Wangi.
“Ya,” sahut Agung Sedayu,
“kalian harus bersiap-siap menyambut.”
Para pengawal itu tertawa.
Tetapi Swandaru menjadi tersipu-sipu.
Demikianlah maka perjalanan
mereka pun menjadi semakin jauh dari padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan Kali Praga.
Untunglah bahwa Kali Praga
yang lebar itu tidak sedang banjir. Karena itu, maka mereka tidak banyak
menemui kesulitan. Dengan getek mereka menyeberangi sungai itu bersama-sama
dengan kuda-kuda mereka.
Sejenak setelah mereka
menyeberangi sungai yang lebar itu, maka mereka pun segera memasuki padang
ilalang dan tanah yang berawa-rawa. Namun mereka segera sampai ke tepi hutan
perdu yang tidak begitu luas. Dan di seberang hutan perdu itu adalah, sebuah
hutan yang meskipun tidak selebat Alas Mentaok, namun cukup mendebarkan.
Tetapi ketika kemudian mereka
memasuki hutan itu, perasaan mereka sudah lain sama sekali dengan beberapa
waktu yang lampau. Rasa-rasanya hutan itu menjadi sejuk dan tenang. Jalan yang
sempit di tengah-tengah hutan itu bagaikan jalan raya yang ramai dan aman.
Apalagi menilik jejak yang banyak terdapat pada jalan itu, menunjukkan bahwa
jalan sempit itu memang menjadi bertambah ramai.
Semakin lama mereka pun
menjadi semakin jauh memasuki hutan. Namun kemudian mereka membelok menyusur
jalan itu. Ternyata bahwa mereka akan segera sampai ke ujung jalan hutan dan
melintasi padang ilalang yang tidak begitu luas.
Tetapi jalan di hadapan mereka
adalah jalan yang nampak sudah dijamah oleh tangan. Jalan itu adalah jalan yang
sudah diperlebar dan diperbaiki.
Sekali-sekali iring-iringan
itu melintasi padukuhan-padukuhan kecil yang nampaknya sedang berkembang dengan
cepat. Padukuhan-padukuhan yang dihuni oleh perintis-perintis yang dengan
bekerja keras telah membangun tempat tinggal, daerah persawahan dan membentuk
suatu masyarakat yang tumbuh dan hidup.
Dengan demikian maka Alas
Mentaok yang mereka lalui kemudian, bukan lagi merupakan hutan yang lebat dan
tidak dapat disentuh. Bukan lagi daerah yang menakutkan yang digelari jalma
mara jalma mati, sato mara sato mati.
Kini Mentaok telah berubah.
Sebagian terbesar telah menjadi daerah yang ramai dan subur.
Namun di sana-sini masih
nampak orang-orang yang bekerja dengan keras membuka dan memperluas daerah
tempat tinggal dan persawahan. Yang mereka tinggalkan adalah bagian-bagian yang
mereka perlukan untuk melindungi tanah yang sangat lunak dan daerah arus
sungai-sungai kecil yang kadang-kadang banjir. Namun juga merupakan
perisai-perisai terhadap angin yang kadang-kadang bertiup kencang dari Lautan
Selatan.
Selain daripada itu,
hutan-hutan yang tinggal akan tetap menjadi daerah perburuan yang subur.
Dalam pada itu, ternyata
Mataram telah siap menyambut kedatangan tamu-tamunya, karena Sutawijaya yakin
bahwa Kiai Gringsing tidak akan ingkar janjinya. Jika ia berhalangan maka ia
tentu akan menyuruh seorang dua orang memberitahukan hal itu.
Karena itu, maka
diperintahkannya Ki Lurah Branjangan sendiri bersama beberapa orang pengawal
menjemput Kiai Gringsing di luar regol kota yang sedang mereka bangun, agar
tamu-tamu itu tidak perlu lagi mencari-cari dan bertanya-tanya kemana mereka
harus pergi untuk menemui Ki Gede Pemanahan.
Dan ternyata seperti yang
diperhitungkan oleh Sutawijaya, Kiai Gringsing dan iring-iringannya pun
benar-benar telah datang ke Mataram. Di luar regol mereka telah disambut oleh
Ki Lurah Branjangan yang kemudian membawa mereka langsung ke rumah Ki Gede
Pemanahan.
Terasa debar jantung Kiai
Gringsing menjadi semakin cepat. Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah, jika
ia berada di peperangan. Bahkan menghadapi Panembahan Agung yang memiliki
kemampuan yang aneh itu pun, rasa-rasanya Kiai Gringsing tidak menjadi
sedemikian gelisahnya.
Tetapi ia sudah ada di Tanah
Mataram. Dan ia tidak akan dapat mengurungkan niatnya untuk bertemu dengan Ki
Gede Pemanahan dan bahkan di Mataram ada pula Ki Juru Martani.
“Aku adalah seorang dukun tua
dari Dukuh Pakuwon. Seorang yang bernama Ki Tanu Metir yang juga disebut Kiai
Gringsing. Tidak lebih dan tidak kurang,” gumamnya di dalam hati.
Demikianlah dengan diantar
oleh Ki Lurah Branjangan maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Demang Sangkal
Putung, dan kedua anak-anak muda murid Kiai Gringsing itu pun memasuki
alun-alun, kemudian pintu gerbang halaman samping rumah Ki Gede Pemanahan.
Meskipun terasa di dada Kiai
Gringsing debar jantungnya yang semakin cepat, tetapi ia berjalan terus
mengikuti Ki Lurah Branjangan.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan kemudian, “marilah, silahkan masuk. Inilah rumah Ki Gede Pemanahan.”
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya termangu-mangu sejenak. Mereka pun kemudian melihat Raden Sutawijaya
dengan tergesa-gesa turun dari tangga dan menyongsongnya.
“Marilah, Kiai,” berkata Raden
Sutawijaya, “aku yakin, bahwa Kiai tentu akan datang seperti yang Kiai
janjikan. Aku sudah mengatakannya kepada Ayahanda dan Pamanda Ki Juru Martani.
Nah, silahkanlah Kiai naik.”
Kiai Gringsing termangu-mangu.
Dipandanginya pendapa rumah Ki Gede Pemanahan yang besar. Rumah yang
rasa-rasanya memang memiliki perbawa yang agung.
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya pun kemudian dibawa langsung naik ke pringgitan oleh Raden
Sutawijaya dan yang kemudian dipersilahkannya duduk di atas sehelai tikar
pandan yang dianyam halus dan diwarnai dengan manisnya dengan garis-garis yang
bersilang.
“Silahkanlah semuanya duduk
sejenak. Aku akan menyampaikannya kepada Pamanda Ki Juru Martani yang menunggui
ayah di dalam biliknya,” berkata Sutawijaya kemudian.
Ketika Sutawijaya masuk, maka
yang ada di antara mereka adalah Ki Lurah Branjangan. Agaknya Ki Lurah
Branjangan mengerti sikap tamunya yang agak gelisah karena barang-barang yang
mereka bawa dari Tanah Perdikan Menoreh masih teronggok di sisi mereka
masing-masing.
“Kiai,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “kami sudah menyediakan bilik bagi Kiai semuanya dan kedua
anak-anak muda itu. Karena itu, biarlah barang-barang yang ada dibawa masuk ke
dalam bilik itu oleh para pelayan.”
Kiai Gringsing mengangguk
sambil tersenyum. Katanya, “Baiklah, Ki Lurah. Tetapi barang-barang kami adalah
barang-barang yang tidak berharga sama sekali. Hanya beberapa lembar pakaian
tua.”
Dengan demikian, ketika Raden
Sutawijaya kemudian keluar lagi dari ruangan dalam, di antara mereka tidak
terdapat lagi onggokan barang-barang yang mereka bawa selama perjalanan.
Ternyata bahwa Ki Juru Martani
pun menerima kehadiran tamu-tamunya dengan berdebar-debar. Ia mengikuti
Sutawijaya yang memberitahukan kepadanya dan kepada Ki Gede Pemanahan bahwa
orang yang mereka tunggu telah datang.
Ketika Ki Juru Martani muncul
di pintu pringgitan, sejenak ia berdiri tegak. Ia segera mengenal Ki Sumangkar.
Tetapi yang lain ia rasa-rasanya masih belum pernah melihat.
Meskipun demikian, ketajaman
penglihatannya segera dapat membedakannya. Bahkan yang seorang adalah orang
yang dimaksud bernama Kiai Gringsing, sedang yang lain adalah Ki Demang Sangkal
Putung. Sedang kedua anak muda itu mempunyai ciri yang jelas dan mudah dapat
dibedakan. Yang gemuk itulah yang bernama Swandaru, sedang yang lain adalah
Agung Sedayu, adik Untara, seorang senapati yang terkenal dan bertanggung jawab
atas daerah sebelah Selatan ini, yang justru menguasai jalur lurus antara
Pajang dan Mataram.
Kiai Gringsing dan
kawan-kawannya yang duduk di atas tikar pandan, ketika melihat seseorang keluar
dari dalam mengikuti Raden Sutawijaya segera memberi hormat dalam-dalam. Mereka
pun segera mengetahui bahwa orang itu adalah Ki Juru Martani. Apalagi
Sumangkar, yang memang sudah mengenal sebelumnya.
Ki Juru Martani pun membalas
hormat pula dan kemudian bersama Raden Sutawijaya duduk pula di antara
tamu-tamunya.
Sejenak kemudian, Ki Juru
Martani pun mulai menyapa tamu-tamunya dan bertanya tentang keselamatan mereka
yang dijawab oleh tamu-tamunya dengan hormatnya.
“Akhirnya Kiai bersama-sama,
benar-benar telah sudi singgah di rumah ini,” berkata Ki Juru Martani, yang
kemudian memperkenalkan dirinya sendiri meskipun mereka sudah dapat saling
menduga.
“Sebenarnya Adi Pemanahan
sudah lama mengharap kehadiran kalian. Tetapi agaknya kesibukan Kiai Gringsing
dan kedua muridnya belum memungkinkannya untuk singgah barang sejenak,” berkata
Ki Juru Martani kemudian.
“Maaf, Ki Juru Martani,” sahut
Kiai Gringsing, “sebenarnyalah kami ingin sekali memenuhinya dan datang
menghadap. Tetapi agaknya memang baru sekarang kami mendapat kesempatan yang
sangat baik untuk datang.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Ditatapnya tamu-tamunya seorang demi seorang. Lalu katanya,
“Aku sudah mendengar acara kepergian Kiai ke Tanah Perdikan Menoreh. Agaknya Ki
Demang akan mempunyai kesibukan dengan putra laki-lakinya yang gemuk ini.”
Ki Demang Sangkal Putung
tersenyum. Jawabnya, “Ya, Ki Juru Martani, sudah sewajarnyalah jika anak polah,
maka ayahnyalah yang harus pradah.”
Ki Juru Martani pun tersenyum.
Dipandanginya Swandaru yang kemudian menundukkan kepalanya.
Namun dalam setiap kesempatan,
Ki Juru Martani selalu menyambar wajah Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang
tajam. Seolah-olah ada sesuatu yang dicarinya pada wajah itu. Namun agaknya
Kiai Gringsing sama sekali tidak menimbulkan kesan apa pun. Wajah itu nampaknya
benar-benar belum pernah dikenalnya.
Meskipun Ki Juru Martani
mencoba mengingat-ingat wajah-wajah yang pernah dikenalnya pada masa-masa yang
lampau, dan bahkan masa-masa yang panjang sekali, namun ia tidak dapat
mengingatnya lagi, bahwa ia pernah mengenal orang yang kemudian menyebut
dirinya bernama Kiai Gringsing itu.
Di luar sadarnya maka Ki Juru
Martani itu menarik nafas dalam-dalam. Seandainya Kiai Gringsing telah
melakukan penyamaran maka penyamaran itu adalah penyamaran yang sempurna.
“Tidak akan dapat dikenal
dalam waktu yang pendek,” berkata Ki Juru Martani kepada diri sendiri. “Mungkin
setelah ia berada di sini dua atau tiga hari. Mungkin di dalam pembicaraan atau
mungkin di dalam ciri-ciri yang tersembunyi.”
Karena itu, Ki Juru Martani
yang dikenal sebagai seorang yang memiliki ketajaman mata hati itu tidak
memaksa diri untuk segera mengetahui, siapakah Kiai Gringsing itu. Apalagi
sikap, tingkah laku dan sorot mata orang tua itu sama sekali tidak menunjukkan
tanda-tanda apa pun juga.
Dengan demikian maka mereka
pun kemudian terlibat dalam pembicaraan yang wajar. Tidak ada usaha untuk
mengorek keterangan tentang pribadi yang dianggap tersembunyi itu.
Setelah beristirahat sejenak
dan setelah minum beberapa teguk dan makan beberapa potong makanan, maka Ki
Juru Martani pun kemudian berkata, “Kiai, tentu Kiai sudah mendengar dari
Angger Sutawijaya, bahwa Ki Gede Pemanahan kini sedang dalam keadaan sakit.
Itulah sebabnya maka kami minta Kiai singgah barang sehari dua hari jika Kiai
pergi ke Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk, katanya, “Ya, Ki Juru. Menurut Raden Sutawijaya, Ki Gede
sekarang sedang menderita sakit. Sejak Ki Gede mengalami cidera dalam
pertempuran di pinggir Kali Opak, maka Ki Gede menjadi sakit seolah-olah sekian
lamanya tanpa ada tanda-tanda bahwa sakitnya akan sembuh.”
“Demikianlah, Kiai. Karena
itu, terserahlah kepada Kiai apakah yang baik bagi Adi Pemanahan. Setelah Kiai
hari ini beristirahat, maka Kiai dapat menengoknya.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Nampaknya ada sesuatu yang dipikirkannya. Tetapi ia tidak berbuat
lain kecuali mengangguk-angguk kecil.
“Tentu tidak usah
tergesa-gesa, Kiai,” berkata Ki Juru lebih lanjut. “Kiai dapat melakukannya
sore nanti, atau malam nanti. Bahkan apabila Kiai masih perlu beristirahat, dan
Kiai menganggap saatnya baik, besok pun tidak ada keberatan apa-apa.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Jawabnya, “Ki Juru. Aku akan melakukan secepat-cepatnya. Mungkin malam ini kami
dapat bermalam di sini, tetapi tidak lebih dari semalam. Kami masih harus
berbuat sesuatu bagi anak yang gemuk ini sesuai dengan pembicaraan Ki Demang
Sangkal Putung dengan Ki Argapati dari Tanah Perdikan Menoreh.”
“O,” Ki Juru Martani
mengangguk-angguk, “aku mengerti, Kiai. Tetapi yang sehari dua hari tidak akan
banyak berpengaruh terhadap persoalan yang sedang dalam pembicaraan itu. Bukankah
begitu, Swandaru? Seperti juga hambatan yang timbul karena sebab-sebab lain,
sehingga kau harus berada di Tanah Perdikan Menoreh lebih lama lagi.”
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi kepalanya semakin tunduk.
Yang ternyata kemudian
menjawab adalah Kiai Gringsing, “Tentu ada bedanya, Ki Juru. Apalagi bagi
Swandaru. Meskipun ia terhambat beberapa bulan di Tanah Perdikan Menoreh, ia
tidak akan mengeluh seperti apabila perjalanannya tertunda satu hari di tempat
lain.”
Ki Juru pun tersenyum.
Katanya, “Ya, Aku mengerti. Itulah agaknya maka Kiai akan menjadi
tergesa-gesa.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Tetapi bukankah Ki Demang
Sangkal Putung dapat mengirimkan utusan terlebih dahulu dengan segala macam
pesan ke Sangkal Putung?”
“Tidak, Ki Juru,” berkata Ki
Demang. “Jika Kiai Gringsing masih akan berada di sini untuk beberapa hari,
maka sebaiknya aku pergi mendahului. Mungkin Swandaru akan pergi bersama aku,
tetapi mungkin juga ia akan menunggu gurunya. Tetapi jika aku sudah nampak
kembali ke Sangkal Putung, maka keluarga yang sudah aku tinggalkan sekian
lamanya itu tidak menjadi gelisah.”
“Dan itulah bedanya,” berkata
Ki Juru Martani, “Ki Demang adalah seorang Demang yang tentu jarang sekali
meninggalkan kademangan seperti juga Ki Argapati. Tugas-tugasnya menuntut agar
ia selalu berada di rumah. Dengan demikian maka perpisahan dengan keluarganya
merupakan suatu beban perasaan yang berat.”
Ki Demang mengangguk.
Jawabnya, “Agaknya memang demikian Ki Juru. Keluarga dan Kademangan Sangkal
Putung rasa-rasanya tidak dapat terpisah dari padaku untuk waktu yang terlaju
lama.”
Sekilas Ki Juru memandang Kiai
Gringsing. Lalu katanya, “Agak berbeda dengan Kiai Gringsing. Sudah berapa
tahun Kiai Gringsing mengembara.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Maaf, Kiai,
agaknya tidak ada seorang pun yang menunggu kedatangan Kiai dengan
tergesa-gesa, karena sudah menjadi kebiasaan Kiai melakukan perjalanan yang
panjang. Meskipun demikian, tentu pada suatu saat Kiai berpikir pula untuk
kembali ke suatu tempat seperti juga bangau akan hinggap di pelimbahan.”
Sejenak nampak wajah Kiai
Gringsing menegang. Namun kemudian bibirnya tersenyum. Senyum seorang tua yang
nampaknya sudah meletakkan dirinya pada keadaannya dengan penuh keikhlasan.
“Ki Juru,” berkata Kiai
Gringsing, “aku adalah seorang yang hanya sebatang kara. Aku tidak akan pernah
berpikir ke mana aku akan kembali sampai pada saat-saat yang paling akhir
sekalipun, karena atap rumahku adalah langit yang luas dan alasnya adalah bumi.
Itulah sebabnya aku menganggap di mana pun juga di atas dunia ini sama saja
bagiku. Jika sampai saatnya, maka di dalam dekapan bumi di mana pun tidak akan
ada bedanya.”
Ki Juru Martani menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi dengan demikian ia merasakan betapa rapatnya Kiai Gringsing
menyelubungi dirinya. Bahkan, kadang-kadang ia tidak dapat mengingkari
penglihatannya, bahwa Kiai Gringsing adalah Kiai Gringsing seperti yang
dilihatnya saat itu.
Namun ketajaman penglihatan Ki
Juru agaknya memang menangkap sesuatu. Tetapi ia sendiri masih belum tahu
pasti, apakah yang sedang dilihatnya itu.
Karena itulah maka Ki Juru
Martani pun kemudian menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Katanya, “Kiai
benar. Seperti juga Kiai, aku pun seorang perantau yang jarang sekali
memikirkan, ke mana aku akan kembali. Karena seperti juga Kiai, dunia adalah
hamparan lantai yang luas bagi sebuah rumah yang tanpa batas besarnya.”
“Ah, tentu berbeda bagi Ki
Juru,” sahut Kiai Gringsing.
Namun secepat itu pula Ki Juru
menjawab, “Demikianlah yang sebenarnya, Kiai. Memang berbeda dengan Adi
Pemanahan yang kini sedang sakit.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Nah, barangkali memang sudah
sampai pada saatnya,” berkata Ki Juru Martani kemudian, “Kiai mencoba melihat
Adi Pemanahan yang sedang sakit. Lihatlah, apakah yang sebenarnya sedang
dideritanya.”