Buku 097
Berbagai dugaan telah timbul
di antara mereka yang berpapasan dengan iring-iringan yang cukup panjang dan
terbagi dalam kelompok-kelompok yang satu dengan lainnya terpisah meskipun
hanya beberapa langkah, tetapi di bagian belakang, jarak antara kelompok yang
satu dengan yang lain sama sekali tidak teratur. Ada yang panjang, tetapi ada
yang hampir bergabung. Tetapi, kelompok kecil itu bukannya kelompok yang
terpisah-pisah, yang secara kebetulan saja menempuh perjalanan di satu arah.
Ada di antara orang-orang yang
melihat iring-iringan itu menduga, bahwa yang lewat adalah sekelompok prajurit
dalam tugas sandi, karena pakaian mereka sama sekali tidak menunjukkan ciri
seorang prajurit. Namun ada juga yang menaruh curiga, bahwa yang lewat adalah
sekelompok penjahat yang besar sedang berpindah dari satu sarang ke sarang yang
lain.
Namun ada juga satu dua orang
yang sempat memperhatikan wajah-waiah yang cerah dari anak-anak muda yang
mengiringi Swandaru dan Pandan Wangi itu berkata di dalam hatinya, “Nampaknya
mereka sedang mengiring pengantin. Tetapi yang manakah pengantinnya?”
Demikianlah iring-iringan itu
berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat karena Agung Sedayu yang di paling
depan memang tidak ingin memacu kudanya. Apalagi ia sadar, bahwa perjalanan itu
bukan perjalanan yang tergesa-gesa.
Karena itulah, maka perjalanan
itu nampaknya tidak dikekang oleh ikatan yang terlalu rapat dari kelompok yang
satu dengan kelompok yang lainnya.
Agung Sedayu yang berada di
depan ternyata berhasil memusatkan perhatiannya kepada jalan yang dilaluinya
ketika ia mulai merasakan lembabnya udara hutan. Angin terasa bertiup
perlahan-lahan. Debu yang terlempar dari kaki-kaki kuda, nampaknya bagaikan
melayang perlahan-lahan menyingkir dari iring-iringan yang maju tidak terlampau
cepat itu.
Ternyata bahwa mereka sama
sekali tidak mengalami gangguan apa pun di Alas Mentaok yang sebagian besar
sudah terbuka itu. Namun demikian mereka tidak boleh menjadi lengah, karena di
hadapan mereka masih terdapat Alas Tambak Baya. Jika terjadi kerusuhan di hutan
itu, maka para penjahat akan dengan mudah melenyapkan dirinya di antara
pepohonan hutan yang lebat. Mereka seolah-olah sudah terbiasa dengan
jalan-jalan sempit dan tempat-tempat persembunyian yang lain jika mereka merasa
terdesak, atau jika mereka sudah menguasai sebagian besar dari milik
orang-orang yang telah mereka rampok itu.
Agung Sedayu pun tidak lagi
tenggelam dalam dunia angan-angannya. Ia memandang pohon-pohon besar di
sebelah-menyebelah jalan dengan sadar. Tetapi sebagai seorang perantau,
rasa-rasaya ia mempunyai firasat terhadap jalan yang akan dilaluinya.
Karena itu, ketika ia melihat
kera-kera yang berloncatan di dahan-dahan, burung-burung yang bersiul, serta
binatang-bmateng kecil yang kadang-kadang berlari silang-menyilang menyeberangi
jalan, maka Agung Sedayu mempunyai perhitungan yang meskipun belum meyakinkan,
tetapi mempunyai kemungkinan terbesar, bahwa jalan yang dilaluinya di
tengah-tengah Alas Tambak Baya itu pun tidak akan terganggu sama sekali.
Meskipun demikian perjalanan
itu rasa-rasanya menjadi tegang juga. Hampir setiap orang tidak lagi sempat
berbicara. Apalagi mereka yang memang belum pernah melihat Alas Tambak Baya
yang meskipun tidak terlalu besar dan luas, tetapi cukup padat dan lebat.
Namun demikian, mereka pun
melihat, bahwa jalan itu tidak terlalu sepi. Sekali-sekali mereka berpapasan
dengan sekelompok kecil para pedagang yang membawa barang-barangnya dengan
beberapa ekor kuda. Tetapi mereka pun berjumpa pula dengan dua atau tiga orang
saja yang bepergian melintasi hutan itu.
“Hutan ini sudah tidak
menakutkan lagi,” berkata Ki Demang kepada orang-orang tua dari Tanah Perdikan
Menoreh.
Orang-orang tua itu
mengangguk-angguk. Salah seorang dari mereka berkata, “Tetapi bekas-bekasnya
masih nampak, bahwa hutan ini adalah hutan yang wingit. Tentu setelah Mentaok
menjadi tanah yang ramai, maka hutan ini menjadi tidak terlalu sepi dan asing.”
“Dibukanya jalur jalan inilah
yang membuat Tambak Baya menjadi daerah yang banyak dilalui orang.”
“Kenapa orang-orang Mataram
memilih tempat ini untuk membuka jalan?” bertanya salah seorang dari Tanah
Perdikan Menoreh. “Kenapa tidak melalui tepi hutan ini di ujung selatan.
Meskipun jalan menjadi agak jauh, tetapi usaha membuka hutan ini tentu tidak akan
seberat yang dilakukannya?”
Ki Demang menggelengkan
kepala. Jawabnya, “Aku tidak mengetahui dengan pasti. Tetapi sebelum jalan ini
menjadi lebar dan rata seperti sekarang, di tempat ini pun telah ada seleret
jalan tempuh yang menghubungkan daerah-daerah di sebelah timur Alas Tambak Baya
dengan daerah-daerah yang berseberangan. Daerah Wiridan, lebih jauh lagi ke
tlatah Kademangan Mangir, dan juga ke Tanah Perdikan Menoreh, bahkan
kadang-kadang orang di daerah yang lebih jauh lagi juga, melalui jalan ini meskipun
pada saat itu jalan ini sangat berbahaya.”
Orang-orang dari Tanah
Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Mereka pun pernah mendengar, bahwa di
Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya pada saat-saat Mataram belum berdiri,
merupakan daerah gelap yang ditakuti orang.
Tetapi kali ini pun mereka
tidak boleh lengah.
Prastawa yang berada di antara
para pengiring dari Menoreh justru menjadi sangat berhati-hati. Hutan itu
nampaknya masih terlalu berbahaya meskipun ia pernah mendengar pula bahwa jalan
sudah menjadi aman. Namun setiap saat, apalagi dalam keadaan seperti itu, maka
penjahat-penjahat dapat saja memilih tempat yang justru tidak lagi dianggap
gawat.
Namun perjalanan mereka sama
sekali tidak terganggu. Beberapa saat lagi mereka akan sampai di ujung jalan
yang membelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya itu. Sudah barang tentu semakin
dekat mereka dengan daerah terbuka, maka perjalanan mereka akan menjadi semakin
aman. Di seberang Alas Tambak Baya terbentang daerah yang subur dan tenang
seperti daerah-daerah lain yang jauh dari hutan.
Para pengiring pengantin itu
menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka kemudian muncul dari jalan yang
menyusup di antara pepohonan hutan di Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya itu.
Rasa-rasanya bagaikan terlepas dari kepepatan yang menghimpit dada mereka,
karena ketegangan.
Sambil menengadahkan wajah
mereka, maka mereka pun tersenyum melihat bentangan langit yang luas karena
tatapan mata mereka tidak terhalang lagi oleh dedaunan yang rimbunnya hutan.
Agung Sedayu pun menarik nafas
dalam-dalam pula. Dengan wajah yang tenang ditatapnya daerah yang terbuka,
terbentang di hadapannya. Ia merasa seperti yang dirasakan oleh kebanyakan
orang di dalam iring-iringan itu. Karena itulah maka keterbukaan langit yang
luas itu bagaikan keterbukaan hatinya yang tegang selama perjalanan di dalam
hutan itu.
“Tugas kita sudah selesai,”
desis salah seorang pengawal dari Sangkal Putung.
Agung Sedayu mengangguk kecil.
Tetapi ia kemudian menyahut, “Belum seluruhnya. Masih ada jarak yang harus kita
lampaui sekarang ini.”
“Tetapi daerah-daerah yang
paling berbahaya sudah lampau. Dan kita sekarang adalah sekelompok orang yang
sedang pulang tamasya.”
Agung Sedayu mengangguk.
Ketika ia berpaling dilihatnya di sebuah warung beberapa orang sedang berhenti.
Agaknya mereka sedang menunggu beberapa orang kawan lagi untuk menyeberang
meskipun sebenarnya jalan telah aman.
Orang-orang di dalam warung
itu menjadi heran melihat iring-iringan yang panjang yang terpisah-pisah,
tetapi rasa-rasanya tidak ada putus-putusnya.
Di kelompok kedua, Prastawa
pun menganggap bahwa tugas sebenarnya telah selesai. Tidak ada lagi persoalan
di sisa perjalanan mereka, karena mereka akan melalui jalan-jalan yang tidak
pernah disentuh oleh kerusuhan.
“Dari mana kau mengetahuinya,
Prastawa?” bertanya kawannya.
“Sekar Mirah mengatakannya
kepadaku. Dan aku percaya kepadanya, karena jalan ini adalah jalan yang
seolah-olah setiap saat dilaluinya.”
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Dan mereka pun percaya pula seperti yang dikatakan oleh
Prastawa.
Swandaru pun merasa lega
setelah Alas Mentaok dan Alas Tambak Baya dilalui dengan selamat. Bahkan
kemudian ia berbisik kepada Pandan Wangi yang berkuda di sampingnya, “Kecemasan
orang-orang tua ternyata sama sekali tidak beralasan. Sebenarnya aku menolak
dikawal sekian banyak orang. Tetapi Ayah memaksa. Demikian juga Guru dan Ki
Sumangkar.”
“Mereka mencoba untuk
bertindak dengan hati-hati,” sahut Pandan Wangi.
“Aku mengerti. Dan orang-orang
tua nampaknya terlalu berhati-hati sehingga sulit untuk dibedakan lagi dengan
bentuk ketakutan.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk kecil.
Demikianlah maka iring-iringan
itu pun maju terus. Kelompok-kelompok kecil itu sudah tidak lagi membatasi diri
dalam jarak-jarak tertentu. Bahkan beberapa kelompok telah berbaur dan bertukar
orang. Hanya agar tidak mengganggu, orang-orang yang berpapasan sajalah maka di
bagian belakang dari iring-iringan itu masih membatasi diri untuk tidak berkuda
berbareng memenuhi jalan.
Namun dalam pada itu, dua
orang berkuda yang mengikuti iring-iringan itu dari kejauhan tersenyum di dalam
hati. Dengan tegang mereka mengikuti perkembangan sikap orang-orang Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu.
“Gandu Demung memang pandai
memilih tempat,” desis salah seorang dari keduanya, “nampaknya orang-orang
Sangkal Putung dan orang-orang Menoreh itu tidak menyangka sama sekali, bahwa
sekelompok penyamun yang kuat akan menghancurkan mereka di tempat yang tidak
mereka sangka sama sekali.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Katanya, “Aku jadi kasihan kepada sepasang pengantin muda itu. Nampaknya
perkawinan mereka hanya akan berlangsung sepasar. Gandu Demung bukannya orang
yang baik hati yang dengan belas kasihan melepaskan sepasang pengantin itu untuk
meneruskan perjalanan.”
“Mungkin ia akan membawa
pegantin perempuan itu ke sarangnya.”
Keduanya tersenyum. Lalu,
“Bagaimana jika kita melakukan tugas kita sebaik-baiknya.”
“Maksudmu?”
“Membunuh Gabdu Demung, menang
atau kalah. Tertangkap, atau tidak.”
Kawannya tertawa. Katanya,
“Kau sudah gila. Kau kira kau dapat melakukannya?”
Yang lain pun tertawa, karena
ia sendiri menyadari, bahwa yang diucapkannya itu adalah sekedar kelakar yang
pahit melihat keberhasilan kawannya yang sudah berada di depan hidung.
“Aku menjadi iri,” katanya,
“kenapa bukan aku sajalah yang melakukannya.”
“Jika kau yang melakukan,
tentu kau akan mengambil sikap lain. Kau tentu memilih tempat yang kau anggap
baik, tetapi yang sudah diperhitungkan oleh iring-iringan itu. Aku berani
bertaruh, jika kau mempunyai pengikut dua puluh kali tiga, kau tentu akan
menunggu mereka di Alas Tambak Baya.”
Kawannya tersenyum sambil
mengangguk.
“Nah, itulah kelebihan Gandu
Demung. Ia melakukannya di tempat yang tidak terduga sama sekali. Di hutan
kecil yang jarang, dan justru di ujung Kademangan Sangkal Putung. Tetapi hutan
yang kecil itu cukup memberikan perlindungan selagi mereka menunggu
iring-iringan itu lewat, karena setiap orang akan berdiri di balik sebatang
pohon dan berpencar dari ujung sampai ujung sepanjang iring-iringan itu.”
“Itulah kelebihannya. Dan aku
kagum akan kemampuan otaknya. Meskipun ia nampaknya seorang yang pendek saja,
namun ia memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.”
Keduanya mengangguk-angguk.
Pada saat terakhir mereka melihat, bahwa nampaknya Gandu Demung mempunyai
kesempatan yang luas. Dua puluh orang dari setiap kelompok itu akan merupakan
kekuatan yang meyakinkan menghadapi iring-iringan yang sudah menjadi lengah.
Sebenarnya bahwa iring-iringan
pengantin itu benar-benar sudah merasa aman. Jika mereka melintasi
padukuhan-padukuhan di sepanjang perjalanan, mereka melambaikan tangan mereka
terhadap orang-orang yang berdiri berjajar di sepanjang jalan.
Kadang-kadang, jika para
pengiring itu melihat wajah-wajah yang heran melihat iring-iringan itu,
memerlukan memberikan penjelasan, “Kami mengiringkan sepasang pengantin dari
Sangkal Putung.”
“Dari Sangkal Putung?”
seseorang bertanya.
“Ya. Pengantin laki-laki dari
Sangkal Putung, sedang pengantin perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh.”
Orang-orang yang mendengar
keterangan itu mengangguk-angguk. Mereka tahu maksudnya, bahwa sepasang
pengantin sedang dalam perjalanan dan Tanah Perdikan Menoreh, menuju ke Sangkal
Putung.
Tetapi mereka menjadi heran
ketika mereka seakan-seakan tidak melihat pengantin perempuan di antara
iring-iringan itu. Apalagi jika Pandan Wangi dan Sekar Mirah sudah lewat. Dari
belakang, keduanya sulit dibedakan dengan laki-laki yang mengiringinya.
Ketika sepasang pengantin itu
melintasi Kali Opak, maka seperti ketika mereka melintasi Kali Praga, sepasang
pengantin itu masing-masing melemparkan sebutir telur ke dalam arus sungai
sebagai syarat.
Tetapi ternyata bahwa Kali
Opak tidak seluas dan sedalam Kali Praga meskipun terhitung sungai yang besar
di daerah sebelah timur Alas Tambak Baya. Iring-iringan itu tidak perlu
menyeberang dengan getek meskipun harus berhati-hati.
Setelah mereka melewati Kali
Opak, maka hati mereka pun menjadi semakin tenang. Namun dengan demikian, maka
mereka menjadi semakin lengah. Mereka sudah merasa berada di rumah sendiri,
sehingga mereka tidak lagi membayangkan gangguan yang bakal mereka dapat di
sisa perjalanan itu.
Dengan demikian maka
iring-iringan itu menjadi semakin tidak terikat lagi oleh kelompok-kelompok yang
disusun pada saat mereka berangkat. Bahkan ada satu dua kelompok yang agak
tertinggal di belakang karena para pengawal sedang sibuk bergurau di antara
mereka sendiri.
Dalam pada itu, di ujung
sebuah hutan yang sudah semakin tipis dan jarang di ujung Kademangan Sangkal
Putung, Gandu Demung menunggu dengan tegang. Menurut perhitungan dan
pendengaran mereka dari orang-orang Sangkal Putung di saat-saat satu dua orang
dengan sandi pergi ke pasar, sepasang pengantin dari Tanah Perdikan Menoreh itu
akan datang pada hari itu.
“Mereka berangkat dari Mataram
pagi ini,” desis Gandu Demung.
“Mereka tentu merayap seperti
siput.”
“Kita harus telaten menunggu.
Jika tidak, maka kita akan gagal. Setiap orang harus tetap berada di tempat
masing-masing. Mereka harus mencari perlindungan sebaik-baiknya di dalam hutan
yang sama sekali tidak lebat ini.”
Orang-orang yang menunggu itu
hampir menjadi jemu. Mereka harus berdiri atau duduk di balik sebatang kayu.
Bahkan ada di antara mereka yang tertidur sambil bersandar.
Tetapi di ujung hutan itu, dua
orang yang bertugas mengawasi bulak panjang di hadapan mereka tidak boleh
lengah sama sekali. Jika mereka melihat iring-iringan yang muncul di bulak
panjang itu, mereka harus memberikan isyarat. Isyarat yang cepat menjalar, tetapi
tidak menimbulkan bunyi yang keras, yang dapat didengar oleh iring-iringan yang
bakal datang itu.
Salah seorang dari kedua
pengawas itu memegang dua batang kayu di tangan. Jika mereka melihat debu
mengepul, maka ia harus membenturkan kedua potong kayu itu berulang kali.
Orang yang berdiri di paling
dekat akan mendengarnya. Dan mereka harus melakukan hal yang sama. Mungkin
memukul tangkai tombaknya berkali-kali dalam irama yang telah mereka sepakati,
atau mungkin memukul perisai dengan punggung pedang. Bunyi itu akan menjalar
dan tidak terlalu keras dari ujung hutan sampai ke ujung lainnya, karena
orang-orang yang berjumlah enam puluh itu pun memencar dari ujung sampai ke
ujung hutan kecil di pinggir jalan itu. Hutan yang biasanya dipergunakan oleh
anak-anak muda untuk berlatih ketrampilan berburu, karena di hutan kecil itu
masih ada beberapa jenis binatang kecil. Bahkan dalam jumlah yang tidak banyak,
kadang-kadang dapat dijumpai harimau dari jenis yang kecil.
Ketika matahari memanjat
semakin tinggi, kejemuan telah mencengkam setiap orang yang berada di hutan
itu. Rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlalu lama. Setelah mereka bermalam
di hutan itu mereka harus duduk diam bagaikan membeku.
“Gandu Demung memang gila,”
desis salah seorang anak buah Ki Bajang Garing, “kita telah dibiarkan membeku
di sini. Mungkin orang-orang Sangkal Putung itu tidak akan kembali hari ini.
Dan kita akan duduk di sini tanpa melakukan sesuatu.”
“Aku lebih senang di rumah
bermain-main dengan anakku,” sahut yang lain. “Di sini dibiarkan aku membeku.
Namun tiba-tiba saja leherku telah disentuh pedang jika aku lengah.”
“Uh, sejak kapan kau menjadi
seorang pengecut.”
“Bukan pengecut. Tetapi aku
benar jemu. Apalagi aku kurang yakin akan keterangan yang didengar oleh Gandu
Demung bahwa hari ini pengantin itu akan lewat.”
Kejemuan telah mencengkam
lebih dalam lagi ketika matahari telah mendekati puncak langit dan
perlahan-lahan bergeser ke barat.
“Apakah mereka berangkat
tengah hari?” geram seorang yang bertubuh kasar dan berwajah keras.
“Mungkin. Tetapi mungkin juga
pengantin itu berhenti dan tidur di pinggir jalan, karena mereka tidak sempat
tidur semalam.”
Kawannya tersenyum pahit.
Tetapi ia tidak menjawab.
Ternyata bahwa kejemuan
benar-benar telah merayapi hati. Bahkan orang-orang yang bertebaran di hutan
itu mulai ragu-ragu, apakah yang akan mereka dapatkan dari iring-iringan itu
memadai. Mereka menyadari bahwa jumlah mereka adalah terlalu besar. Enam puluh
orang.
“Yang kita dapatkan tidak akan
rata dibagi di antara kita yang melakukan tugas ini,” desis seseorang.
Namun agaknya kawannya masih
sempat membuat perhitungan, “Tentu berlebihan. Kau tahu, bahwa harga sebuah
pendok emas akan sama dengan penghasilan seorang petani yang bekerja keras dua
atau tiga bulan.”
“Belum tentu ada yang membawa
pendok emas.”
“Aku yakin, semuanya akan
membawa pedok emas. Terlebih-lebih lagi perhiasan intan berlian. Kalung,
gelang, timang, dan lain-lainnya yang harganya lebih banyak dari pendok-pendok
emas itu.”
Kawannya terdiam. Tetapi wajahnya
benar-benar menunjukkan kejemuan.
Ketika matahari bergeser makin
ke barat, kedua orang yang bertugas mengawasi di ujung hutan menjadi semakin
jemu. Salah seorang dari mereka bangkit dan menggeliat. Dengan suara yang datar
ia berkata, “Aku akan pergi sebentar.”
“Kemana?”
“Ke parit itu untuk mencuci
muka. Aku kantuk sekali.”
“Jangan. Kehadiranmu dapat
menimbulkan kecurigaan jika ada satu dua orang di sawah yang melihatmu.”
“Aku tidak dapat bertahan
lagi. Jika aku tidak mencuci muka, barangkali aku akan segera tertidur.
Silirnya angin membuat badanku seperti dibuai.”
“Tetapi itu berbahaya sekali.”
Orang yang berdiri itu
mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang ujung jalan di seberang
bulak.
Namun tiba-tiba saja wajahnya
menjadi tegang. Ia melihat debu yang mengepul. Kemudian lamat-lamat ia melihat
sesuatu yang bergerak.
“Mereka datang,” tiba tiba
saja suaranya tersentak.
“He,” kawannya meloncat
berdiri. Katanya kemudian, “Ya. Mereka telah datang. Itu adalah suatu
iring-iringan yang panjang.”
“Mereka akan segera melintasi
bulak panjang ini.”
“Berilah tanda.”
Salah seorang dari mereka pun
segera mengambil dua potong kayu dan dengan irama yang sudah disepakati, ia pun
kemudian memukul kayunya untuk memberikan isyarat bahwa yang mereka tunggu
telah datang.
Suara isyarat itu tidak
terlalu keras. Tetapi cukup didengar oleh kawannya yang tidak terlalu jauh
daripadanya.
Sejenak kemudian isyarat itu
pun segera menjalar dari seorang yang lain, sehingga dalam waktu yang dekat,
setiap orang yang ada di hutan itu pun telah mendengarnya.
“Bersiaplah di tempat
masing-masing,” desis Gandu Demung.
Para pemimpin kelompok yang
ada di hutan itu segera menempatkan diri di antara anak buahnya. Di ujung
sebelah-menyebelah telah disiapkan batang-batang pohon yang sudah dikerat. Jika
pasukan yang mengiringi sepasang pengantin itu telah memasuki jalan di pinggir
hutan itu, maka beberapa orang bertugas untuk dengan segera merobohkan
batang-batang yang sudah dikerat dan diikat dengan tambang-tambang yang besar,
agar mereka tidak sempat melarikan diri di atas punggung kuda, sementara yang
lain harus langsung menyerang setiap orang dalam iring-iringan itu.
Beberapa orang yang bertugas
merobohkan batang-batang pohon itu pun segera bersiap pula. Beberapa orang
telah memanjat, sedang yang lain siap dengan kapak-kapak yang besar.
Batang-batang yang sudah dikerat itu hanya memerlukan waktu yang singkat untuk
merobohkannya.
Iring-iringan yang tampak di
ujung bulak panjang itu rasa-rasanya merayap lambat sekali. Agung Sedayu memang
tidak tergesa-gesa. Karena ia berada di ujung, maka yang lain pun mengikutinya
pula, meskipun beberapa orang pengiring rasa-rasanya ingin mendahului untuk
segera sampai di rumah.
Dalam pada itu, orang-orang
tua yang berada di belakang kelompok pengantin masih sempat bercakap-cakap
dengan tenangnya. Ki Waskita yang gelisah karena isyarat yang buram bagi hari
depan Swandaru, rasa-rasanya masih saja mempengaruhinya meskipun ia sudah
berusaha untuk meletakkan persoalannya kepada kekuasaan Yang Maha Tinggi.
Namun selagi ia merenungi
persoalan yang menyangkut sepasang pengantin bagi hari depan mereka itu,
rasa-rasanya ada satu sentuhan yang lain di hatinya. Sentuhan isyarat yang
semakin lama terasa semakin kuat.
“Apalagi yang akan nampak?” ia
bertanya kepada diri sendiri.
Tetapi karena Ki Waskita pun
menjadi gelisah karena perjalanan yang nampaknya tidak akan terganggu oleh apa
pun itu, tidak segera dapat melihat apa yang akan dihadapinya di sepanjang
jalan yang tinggal pendek itu.
Yang menyangkut di dalam
hatinya adalah kesuraman masa depan sepasang pengantin yang sedang diiringinya.
Bukan saat-saat yang pendek yang sudah berada di hadapan hidungnya.
Namun dalam pada itu, Agung
Sedayu yang berkuda di paling depan, melihat sesuatu yang kurang sewajarnya. Ia
melihat sebatang pohon bergetar. Meskipun pohon itu tidak begitu besar, namun
getar daunnya yang berbeda dengan pepohonan di sekitarnya membuatnya curiga.
“Tidak pernah seseorang yang
mencari kayu memotong dahan-dahan di ujung hutan,” berkata Agung Sedayu di
dalam hatinya. Dan hatinya yang sedang ngelangut itu rasa-rasanya terlampau
mudah disentuh sesuatu yang nampaknya mencurigakan.
“Apakah yang sebenarnya
terjadi?” bisik Agung Sedayu.
Sebenarnya Agung Sedayu pun
sama sekali tidak menduga bahwa di hutan kecil itu telah siap enam puluh orang
bersenjata yang akan menyerang iring-iringan itu. Jika ia menjadi curiga,
justru karena persoalan yang berbeda.
“Jika benar-benar ada
seseorang yang memotong dahan kayu di atas jalan itu, aku harus memberitahukan
kepadanya, agar mereka menunggu iring-iringan ini lewat,” berkata Agung Sedayu
di dalam hatinya.
Karena itulah, maka Agung
Sedayu pun agak mempercepat kudanya.
Yang terbesit di dalam hatinya
adalah jika orang yang tidak nalar menebang pohon tepat pada saat iring-iringan
itu lewat. Karena itu maka ia harus mencegah. Jika sekiranya pohon itu memang
sudah akan roboh, maka biarlah iring-iringan ini menunggu.
“Tetapi jika pohon itu sudah
terlanjur roboh melintang jalan, maka iring-iringan ini akan terhenti untuk
beberapa lama karena mereka harus menyingkirkan batang pohon itu lebih dahulu,”
berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun ia pun kemudian sambil
bersungut-sungut bergumam, “Tentu anak-anak yang sekedar ingin merusak.
Sepantasnya mereka mendapat peringatan.”
Agung Sedayu pun kemudian
mendahului iring-iringannya. Ketika seseorang bertanya, maka ia pun menjawab,
“Di pinggir hutan itu nampaknya ada seseorang yang menebang pohon kayu. Aku
ingin memberitahukan kepada mereka bahwa iring-iringan ini akan lewat. Jika
belum terlambat, biarlah mereka menunggu.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Tetapi salah seorang dari anak-anak muda di dalam kelompoknya mengikutinya,
mendahului kawan-kawannya.
Prastawa yang melihat Agung
Sedayu mendahului, menyuruh seseorang bertanya kepada kelompok di hadapannya.
Namun jawab para pengawal sama sekali tidak menarik perhatiannya, karena
Prastawa pun mengira bahwa sebenarnyalah seseorang atau sekelompok orang sedang
menebang pohon.
“Bodoh sekali,” gumam
Prastawa, “jika ia ingin menebang kayu, seharusnya ia tidak menebang yang
berada tepat di pinggir jalan.”
“Tetapi mungkin kayu yang
tidak banyak terdapat,” jawab yang lain, “mungkin kayu berlian atau kayu wregu
putih atau kayu apa pun yang tidak ada duanya.”
“Jika demikian, maka ia harus
mendapatkan ijin dari Ki Demang di Sangkal Putung, karena hutan kecil itu
berada di ujung kademangannya.”
“Ah, entahlah,” kawannya yang
malas berpikir tidak menyahut.
Demikianlah Agung Sedayu dan
seorang kawannya menjadi semakin dekat. Tetapi yang membuatnya heran, ternyata
batang kayu itu sudah tidak bergetar lagi.
“Mungkin mereka menjadi
ketakutan,” desis kawannya.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Orang yang menebang pohon itu tentu
sudah melihatnya mendekat.
Beberapa langkah sebelum
sampai ke ujung hutan itu Agung Sedayu berhenti. Ia menjadi cemas, jika
tiba-tiba saja pohon itu roboh dan kudanya yang ketakutan akan melonjak dan
tidak terkendali.
Karena itu, maka ia pun segera
meloncat turun dan mengikat kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh di pinggir
jalan diikuti oleh kawannya.
Keduanya pun kemudian
melangkah mendekati ujung hutan. Namun mereka sudah tidak melihat pohon yang
bergerak-gerak itu lagi.
“Yang manakah yang kau lihat
bergerak-gerak dan bergetar?” bertanya pengawal itu.
“Aku pasti, bahwa pohon
cangkring itulah yang bergetar-getar. Tetapi kini agaknya sudah tidak lagi.”
“Tentu hanya karena angin.”
“Jika karena angin, tentu
tidak hanya sebatang. Tetapi beberapa batang dan bahkan semuanya.”
Kawannya mengangguk-angguk.
Katanya, “Mungkin ada orang yang memerlukan batang cangkring itu.”
Ketika mereka sampai di ujung
hutan, maka mereka pun menjadi termangu-mangu. Ternyata mereka tidak melihat
seorang pun yang berada di bawah pohon cangkring itu.
“Tidak ada seseorang. Mungkin
anak-anak yang bermain-main dan bekejaran di dahan-dahan,” berkata kawan Agung
Sedayu.
“Berbahaya sekali. Apalagi
batang dan dahan cangkring ditumbuhi duri yang tajam,” jawab Agung Sedayu.
Namun tiba-tiba Agung Sedayu
melangkah mendekat. Dilihatnya pada pangkal batang cangkring itu keratan yang
dalam sehingga dengan sedikit sentuhan dari keratan pada batang itu, maka pohon
cangkring itu pun tentu roboh.
“Benar dugaanmu,” berkata
Agung Sedayu, “tentu seseorang memerlukan batang cangkring itu. Tetapi ia
menjadi takut dan pergi.”
“Untuk apa. Jarang sekali
orang yang memerlukan kayu cangkring yang tidak cukup keras.”
“Tetapi bertuah. Kau tahu,”
berkata Agung Sedayu kemudian, “bahwa pusaka Ken Arok menurut cerita yang aku
dengar dari mulut ke mulut, hulunya dibuat dari kayu cangkring? Saat ia
mengambil dari Empu Gandring yang membuat keris itu, keris itu belum siap
seluruhnya.”
“Nanti menjadi terlampau cepat
senja jika kau bercerita,” potong kawannya yang tersenyum karenanya.
Untuk beberapa saat, Agung
Sedayu berdiri di bawah batang cangkring yang sudah hampir roboh itu.
“Marilah, kita harus
memberitahukan kepada iring-iringan itu, bahwa mereka harus berhati-hati. Jika
iring-iringan itu lewat, dan batang ini roboh, maka durinya akan dapat melukai
banyak orang.”
“Aku akan menungguinya di
sini. Jika batang ini bergerak menjelang roboh, aku dapat memberi isyarat yang
berada di bawah batang ini supaya segera berlalu, sedang yang belum terlanjur,
biarlah berhenti.”
Agung Sedayu menarik nafas. Di
luar sadarnya ia menengadahkan wajahnya ketika ia mulai melangkah pergi.
Tetapi langkahnya tertegun, ia
memandang tajam-tajam ke dahan cangkring yang cukup lebat itu sementara
iring-iringannya menjadi semakin dekat. Bahkan ujungnya sudah hampir sampai ke
ujung hutan itu.
“He, kau lihat?” bertanya
Agung Sedayu.
Kawannya menengadahkan
kepalanya, lalu, “Tali. Benar-benar sekelompok kecil orang-orang yang ingin
menebang pohon itu.”
“Tetapi tidak lazim mereka
mengikat dahan-dahannya dengan batang-batang kayu yang lain.”
“Tentu demikian agar batang
itu tidak roboh tanpa dapat dikendalikan.”
Agung Sedayu justru melangkah
kembali mendekati batang cangkring itu. Dengan saksama ia memandang tali-tali
yang merentang ke sebelah-menyebelah.
“Apakah kau pernah melihat
orang menebang kayu di hutan dengan cara seperti sekarang ini?” bertanya Agung
Sedayu.
“Tentu, aku pernah
melihatnya.”
“Dan kau lihat tali yang
bersilang seperti itu?”
Kawan Agung Sedayu
termangu-mangu. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya sambil menjawab,
“Sepengetahuanku, tali-temali itu tidak sebanyak tali yang mengikat batang
cangkring ini.”
“Biasanya diikat pada batang
pohon di sebelahnya, atau bahkan tidak sama sekali.”
Sejenak keduanya termangu-mangu.
Namun Agung Sedayu harus mengambil keputusan tentang penglihatannya. Dan Agung
Sedayu menganggap bahwa yang dilihatnya itu mencurigakan.
Karena itu, pada saat
iring-iringan sampai ke ujung hutan, ia meloncat ke tengah jalan sambil
mengangkat tangannya, sehingga iring-iringan itu berhenti.
“Ha, itulah Agung Sedayu,”
desis salah seorang kawannya, “kau tinggalkan kudamu di pinggir parit itu. Kami
menjadi bertanya-tanya, kenapa kau tidak segera muncul kembali.”
“Jangan maju,” berkata Agung
Sedayu, “aku melihat hal yang aneh. Tetapi mungkin hanya karena aku terlampau
berhati-hati. Mungkin orang-orang yang tidak berpengalaman ingin menebang pohon
cangkring itu.”
“Apa yang terjadi?” bertanya
seorang kawannya.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab. Ia menunggu, mudah-mudahan salah
seorang dari orang-orang tua yang berada di belakang sepasang pengantin datang
mendekatinya.
Ternyata bahwa bukan hanya
salah seorang. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Ki Waskita, dan bahkan juga Ki Demang
datang mendekati Agung Sedayu sambil bertanya. “Apa yang kau lihat?”
“Pohon cangkring itu. Ada
sesuatu yang tidak dapat aku mengerti. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa.”
Orang-orang tua diiringi oleh
beberapa orang pengawal segera mengikuti Agung Sedayu mendekati pohon cangkring
yang sudah dikerat hampir putus itu. Hanya karena tali-tali yang
sangkut-menyangkut pada dahan-dahannya kemudian diikat pada dahan batang yang
lain, di antara rimbunnya dedaunan sajalah maka pohon cangkring itu masih belum
roboh melintang jalan.
“Kiai,” desis Ki Sumangkar,
“apakah Kiai sependapat, bahwa ada usaha untuk melindungi bekas keratan itu?”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Dilihatnya beberapa batang perdu yang disandarkan pada batang yang
sudah dikerat itu, seolah-olah memang merupakan suatu usaha untuk menutupi
keratan itu agar tidak mendapat perhatian dari orang-orang yang lewat.
“Aku kira memang demikian Adi.
Tetapi apakah pamrih mereka yang telah melakukannya?”
Ki Sumangkar mengangkat
pundaknya. Dengan nada yang datar ia menjawab, “Aku tidak tahu. Tetapi tentu
sesuatu yang kurang wajar.”
“Mungkin seseorang yang tidak
senang melihat Swandaru kawin,” berkata salah seorang pengawal. “Ia dengan
sengaja mengerat pohon itu dan membiarkannya roboh jika Swandaru lewat tepat di
bawahnya.”
Ki Waskita memandang pengawal
itu sejenak, lalu katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi bagaimanakah caranya
sehingga pohon yang diikat dengan tali temali ini akan roboh tepat pada saat
Swandaru lewat.”
“Mungkin ada satu dua orang
yang seharusnya menunggui pohon ini pada saat iring-iringan itu lewat.”
Agung Sedayu yang mendengar
pembicaraan itu pun kemudian memotong, “Mungkin sekali. Nampaknya memang ada
seseorang atau lebih yang berada di pohon ini saat aku melihat daun yang bergerak-gerak.
Mungkin orang-orang itu baru mempersiapkan tali-tali yang manakah yang harus
diputus saat pengantin lewat tepat di bawahnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sambil memandang berkeliling ia bergumam, “Tentu mereka
masih berada di hutan ini.”
Namun dalam pada itu, Ki
Waskita menggamit Kiai Gringsing sambil berkata, “Aku melihat sesuatu yang
bergerak-gerak. Tidak hanya satu atau dua, tetapi beberapa dan bahkan banyak.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak memperlihatkan kesan apa pun
juga. Demikian juga Ki Sumangkar yang mendengar pembicaraan itu.
“Marilah,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “kita kembali ke dalam iring-iringan. Mungkin kita sekedar
berangan-angan tentang batang cangkring ini. Mungkin benar bahwa seseorang yang
belum berpengalaman sedang mencoba menebang pohon ini.”
Agung Sedayu masih
termangu-mangu. Namun sekali lagi Kiai Gringsing memberi isyarat, “Cepatlah.
Kita harus segera sampai ke Sangkal Putung.”
Para pengawal itu pun kemudian
meninggalkan tempat itu menuju ke kuda masing-masing. Tetapi Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Waskita berjalan lebih lambat sambil mempersilahkan Ki
Demang, “Silahkan kembali kepada sepasang pengantin itu, Ki Demang.”
Ki Demang termangu-mangu
sejenak. Namun ia pun kemudian melangkah kembali ke dalam kelompoknya meskipun
ada sesuatu yang terasa tergetar di dalam hati.
“Agaknya kita telah lengah.
Kita sudah terlanjur berkumpul di ujung hutan. Iring-iringan kita sudah rusak
dan tidak seperti yang kita rencanakan,” desis Ki Waskita.
“Tetapi kita masih utuh.
Iring-iringan ini hanya kehilangan jarak. Tetapi nampaknya masih ada
kelompok-kelompok yang dapat didorong untuk memencar jika perlu,” jawab Kiai
Gringsing.
“Aku melihat sesuatu yang
mencurigakan.”
“Ya. Ternyata aku pun
melihat,” sahut Kiai Gringsing.
Sedangkan Ki Sumangkar pun
menyambung, “Aku juga melihat, dan aku memuji kecerdasan mereka, bahwa mereka
telah mencegat kita di sini.”
Ketiga orang-orang tua itu
mengangguk-angguk. Dengan pandangan mata mereka yang tajam, mereka melihat
orang-orang yang berlindung di balik gerumbul perdu dan pepohonan sedang
merayap semakin mendekat.
Sebenarnyalah bahwa Gandu
Demung menjadi marah bukan buatan ketika ia melihat rencananya tidak dapat
dilaksanakan seperti yang dikehendakinya. Iring-iringan itu telah berhenti,
karena ketajaman mata seseorang dari antara para pengawal dari Sangkal Putung.
Namun demikian, rencananya
belum gagal sama sekali. Iring-iringan itu berhenti di ujung hutan, sehingga
orang-orangnya akan dapat mencapainya dengan cepat.
Karena itulah maka ia pun
segera berbicara sejenak dengan para pemimpin dari ketiga kelompok yang
dibawanya. Kemudian diperintahkannya untuk membawa orang-orang mereka
masing-masing, mendekati iring-iringan yang berhenti itu.
“Jika aku membunyikan isyarat,
kalian harus menyerang dengan tiba-tiba. Langsung ke jantung iring-iringan yang
sudah tidak teratur lagi. Mereka tentu sudah lengah dan tidak menduga sama
sekali, kecuali beberapa orang yang mencurigai batang cangkring itu.”
“Tetapi kecurigaan itu akan
segera tersebar,” jawab yang lain.
“Mereka masih ragu-ragu.
Mungkin mereka mempunyai dugaan lain.”
Karena itulah ketika mereka
melihat dari celah-celah dedaunan yang rimbun, para pengawal kembali ke kuda
masing-masing dengan langkah yang seolah-olah tidak terpengaruh sama sekali
oleh keadaan yang tersembunyi di hutan itu, Gandu Demung berkata, “Mereka tidak
mengira bahwa sebentar lagi mereka akan disergap. Karena itu kita berhati-hati.
Kita harus berusaha berlindung di balik gerumbul dan pohon-pohon besar di hutan
ini.”
Pada saat Gandu Demung dan
para pengikutnya merayap semakin dekat, maka seolah-olah tidak ada sesuatu yang
terjadi. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita melangkah kembali ke
kelompoknya. Dengan demikian, maka sikapnya sama sekali tidak mempengaruhi
usaha lawannya untuk merayap ke tepi hutan sebelum menyerang dengan tiba-tiba.
Namun ketika Kiai Gringsing
berjalan di samping Agung Sedayu, ia berbisik, “Bersiaplah. Hati-hati dengan
hutan itu. Setiap gerak adalah bahaya yang dapat menerkam kalian. Apalagi
kalian berada di daerah yang paling dekat dengan hutan itu.”
Agung Sedayu menarik nafas.
Tetapi ketenangannya sama sekali tidak memberikan kesan apa pun juga. Dengan
demikian maka orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan yang berhasil
mencapai pohon yang paling tepi tanpa diketahui oleh para pengawal sempat
melihat, seolah-olah Agung Sedayu masih belum mengetahuinya.
Dalam pada itu Agung Sedayu
pun berbisik kepada kawan-kawannya, “Bersiaplah. Tetapi jangan membuat kesan
yang dapat mempercepat serangan orang-orang yang bersembunyi di dalam hutan
itu, agar kawan-kawan kita yang lain sempat bersiap.”
“Apakah mereka sudah bersiap
untuk menyerang?”
“Agaknya demikian, Guru sudah
memperingatkan.”
Belum lagi kata-kata Agung
Sedayu lenyap dihembus angin yang lamban, matanya sudah mulai menangkap
gerak-gerak yang mencurigakan di pinggiran hutan yang ditumbuhi oleh
batang-batang perdu.
“Mereka sudah bersiap. Kita
berada di paling ujung sehingga kita akan mengalaminya yang pertama. Tetapi
jangan tunjukkan sikap bahwa kalian sedang bersiap.”
“Jadi bagaimana.”
“Bersiap sajalah.”
Dalam pada itu, Ki Waskita pun
telah berada di dekat Prastawa. Seperti yang dilakukan Kiai Gringsing kepada
Agung Sedayu, maka Ki Waskita pun membisikkan di telinga anak muda itu.
“Tetapi jangan berubah sikap.
Bersiaga sajalah, agar aku sempat sampai ke kelompok sepasang pengantin itu.”
Prastawa termenung sejenak.
Namun ia pun berkata kepada para pengawal yang dibawanya dari Menoreh,
“Bersiagalah. Ternyata perjalanan kita bukan perjalanan tanpa rintangan.
Orang-orang jahat itu memilih tempat yang sama sekali tidak kita duga.”
Para pengawal pun telah
bersiaga. Jika seorang saja nampak meloncat dari dalam hutan, maka pedang
mereka sudah berada di genggaman.
Ketika Kiai Gringsing berdiri
di dekat Ki Demang yang sudah berada di antara sepasang pengantin, ia pun
berkata, “Ternyata kita akan menjumpai kesulitan di sini, Ki Demang. Justru di
ujung Kademangan Sangkal Putung sendiri.”
“Kenapa? Pohon cangkring itu?”
“Ya. Ternyata di hutan itu
telah penuh dengan orang-orang yang akan merampok kita,” jawab Kiai Gringsing.
Sambil memandang sepasang pengantin yang menjadi tegang. Kiai Gringsing
berkata, “Berhati-hatilah. Mungkin kalian berdua akan menjadi sasaran. Tetapi
aku percaya kepada kalian berdua.”
Swandaru menggeram. Sementara
itu Ki Sumangkar dan Ki Waskita telah mendahului ke kelompok berikutnya.
Sementara Kiai Gringsing berkata, “Aku berada di sini. Tetapi sebaiknya kalian
tetap berhati-hati. Kita tidak tahu, berapa orang yang berada di hutan itu.
Mereka sekarang baru berkumpul menepi sebelum mereka akan meloncat ke luar dan
menyerang kita dengan tiba-tiba.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya dengan nada penyesalan, “Kita sudah lengah. Ketika kita
merasa bahwa perjalanan selanjutnya sudah aman, kita mulai melupakan tuntunan
Tuhan, sehingga ternyata kita sudah dihadapkan pada suatu cobaan justru di
serambi rumah sendiri.”
“Bersiaplah. Aku sudah melihat
mereka berada di tepi hutan itu.”
Ki Demang dan orang-orang di
dalam iring-iringan itu pun kemudian telah melihat pula dedaunan yang
bergerak-gerak. Namun dalam pada itu, Sumangkar yang telah sampai ke kudanya,
segera meloncat naik dan bergerak dengan cepat ke kelompok berikutnya sambil
berteriak, “Memencarlah. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Cepat, jangan menjadi
bingung.”
Para pengawal mula-mula
menjadi bingung. Namun sejenak kemudian mereka telah dapat menguasai
perasaannya dengan mapan.
Tetapi dengan demikian, teriakan
Ki Sumangkar bagaikan perintah kepada Gandu Demung untuk menggerakkan
pasukannya. Karena dengan demikian orang-orang yang bersembunyi itu sadar,
bahwa iring-iringan itu sudah dapat melihat mereka, betapapun mereka berusaha
bersembunyi.
Karena itulah maka sejenak
kemudian terdengar pula teriakan di pinggir hutan itu. Ternyata Gandu Demung
pun telah menjatuhkan perintah untuk menyerang orang-orang yang termangu-mangu
di pinggir hutan itu.
Sementara orang-orang dari
dalam hutan itu berloncatan ke luar tanpa kuda masing-masing, maka Ki Sumangkar
pun meneriakkan aba-aba pula, “Memencarlah. Jangan korbankan kuda-kuda kalian.”
Para penggawal menyadari.
Kuda-kuda mereka akan dapat menjadi korban ujung tombak orang-orang yang
berlari-larian dari dalam hutan itu. Karena itulah maka mereka pun segera
berloncatan turun dan berlari-larian, menyongsong lawan mereka di tengah-tengah
padang perdu di tepi hutan itu. Mereka dengan sengaja melepaskan kuda-kuda
mereka begitu saja, karena mereka yakin, bahwa kuda-kuda mereka akan kembali ke
Sangkal Putung. Bahkan kuda-kuda itu akan dapat menjadi isyarat bahwa sesuatu
telah terjadi dengan penunggang-penunggannya.
Agung Sedayu yang berada di
ujung termangu-mangu sejenak. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat para
pengawal yang memencar di padang perdu yang tidak terlalu luas di pinggir hutan
kecil itu.
“Kita pun akan bertempur tanpa
kuda,” desisnya kemudian sambil mengawasi sekelompok lawan yang berlari-lari
mendapatkannya.
Agung Sedayu dan
kawan-kawannya pun segera meloncat turun. Setelah meluruskan arah kudanya, maka
kuda itu pun dilecutnya agar berlari mendahului ke induk kademangan.
Demikianlah kuda-kuda itu pun
berlari-larian di sepanjang jalan mendahului penunggang-penunggangnya. Hanya
kuda mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh sajalah yang tidak
dilepaskan begitu saja. Mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, masih
sempat mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon perdu di seberang
tanggul di pinggir jalan.
Swandaru yang berdiri di samping
Pandan Wangi menggeram. Sekilas dipandanginya wajah ayahnya yang tegang, di
samping adiknya, Sekar Mirah yang mengatupkan giginya rapat-rapat.
“Maaf Pandan Wangi,” terdengar
suara Swandaru, “justru di Kademangan Sangkal Putung sendiri hal ini terjadi.”
Pandan Wangi memandang
Swandaru sekilas. Namun kemudian matanya kembali memandang orang-orang yang
berlari-larian dengan senjata teracung-acung dan bahkan dengan
teriakan-teriakan nyaring.
“Kita tidak dapat menyalahkah
diri sendiri,” jawabnya, “tetapi kita harus mencoba untuk berbuat sesuatu bagi
keselamatan kita.”
Swandaru menarik nafas. Ia
merasa beruntung bahwa istrinya adalah seorang yang memiliki kemampuan menjaga
dirinya. Jika istrinya itu adalah perempuan kebanyakan, maka ia tentu sudah
pingsan dan kehilangan akal, sehingga justru mempersulit keadaan. Demikian juga
adik perempuannya yang nampaknya tidak menjadi gentar melihat orang-orang yang
berlari-larian menyerang.
Tidak ada kesempatan untuk
banyak berpikir. Sejenak kemudian tentu akan terjadi pertempuran yang seru.
Namun agaknya jumlahnya sama sekali tidak seimbang, karena yang berloncatan
keluar dari hutan ternyata sebanyak dua kali lipat.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tidak seorang pun akan menduga bahwa ada segerombolan perampok
yang dapat mengerahkan orang sebanyak itu. Tetapi yang dihadapi itu bukannya
sekedar bayangan kecemasan. Tetapi benar-benar sejumlah orang yang banyaknya
dua kali lipat.
Dalam pada itu, para pengawal
dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh telah memencar dalam kelompok
masing-masing. Tetapi mereka tidak mengambil jarak terlalu jauh, sehingga jika
diperlukan, maka kelompok-kelompok itu akan dapat saling membantu.
Agung Sedayu yang berada di
ujung telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak mau mengambil jalan
yang jauh untuk menghadapi lawannya yang jumlahnya terlampau banyak. Apalagi
yang saat itu ada di dalam iring-iringan adalah sepasang pengantin. Sehingga
dengan demikian, maka ia pun langsung mengurai senjatanya yang terpercaya. Cambuk
yang berjuntai panjang dengan karah-karah besi baja bagaikan cincin yang
berjajar-jajar di juntai cambuknya itu.
Swandaru ternyata berpikir
seperti kakak seperguruannya. Meskipun Pandan Wangi mampu menjaga dirinya
sendiri, tetapi ia tidak mau terkena akibat dari kelengahan yang sedikit saja
di antara pasukannya. Seperti Agung Sedayu, ia pun segera mengurai cambuknya.
Sementara Pandan Wangi telah siap dengan senjata yang di masa-masa lampaunya
selalu berada di lambungnya. Sepasang pedang tipis.
Sementara itu Sekar Mirah yang
berdiri di sisi ayahnya pun telah bersiap pula. Bahkan beberapa orang terpaksa
mengerutkan keningnya. Apalagi yang sama sekali belum mengenal Sekar Mirah
sebaik-baiknya. Orang-orang tua dari Tanah Perdikan Menoreh menggeleng-gelengkan
kepalanya saat mereka melihat Sekar Mirah telah mengambil senjata dari pelana
kudanya yang juga dilepaskannya. Sebatang tongkat baja dengan kepala tengkorak
yang berwarna kekuning-kuningan. Senjata yang menjadi perlambang puncak
kemampuannya yang diterimanya dari gurunya Ki Sumangkar.
Ternyata para pengawal dari
Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh telah langsung berada di puncak
kemampuan masing-masing. Hanya orang-orang tua sajalah yang masih melihat-lihat
keadaan yang bakal terjadi. Ki Sumangkar ternyata telah memilih tempat-tempat
di ujung belakang dan ikut memencar di padang perdu yang tidak terlalu luas. Ki
Waskita berdiri di kelompoknya, sedangkan Kiai Gringsing berada di dekat
sepasang pengantin yang telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Gandu Demung yang memimpin
orang-orangnya telah berlari-larian pula. Meskipun tidak dalam pakaian
pengantin, tetapi Gandu Demung langsung dapat memperhitungkan, bahwa salah
seorang dari kedua perempuan yang ada dalam iring-iringan itu adalah pengantin
perempuan.
Sebelum pasukannya membentur
para pengawal, maka Gandu Demung sempat berteriak, “Menyerah sajalah. Kami
hanya memerlukan perhiasan kalian. Jika mungkin tanpa seorang korban pun yang
akan jatuh.”
Sama sekali tidak terdengar
jawaban. Yang dilihat oleh Gandu Demung kemudian adalah senjata yang teracu.
Bahkan kemudian para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Kademangan
Sangkal Putung telah bergerak maju.
“He,” Gandu Demung berteriak
pula, “kalian tidak mendengarkan aku? Jumlah kami jauh lebih banyak. Di antara
kami terdapat orang-orang yang tidak terkalahkan selama kami menjelajahi pulau
ini.”
Masih tetap tidak terdengar
jawaban.
Namun sementara itu,
orang-orang tua pun menjadi cemas. Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita
mulai membayangkan orang-orang seperti Panembahan Alit, Panembahan Agung, orang
yang mengganggu saat Mataram mulai membuka hutan, dan orang-orang yang berada
di penyeberangan Kali Praga. Jika di antara lawan-lawannya terdapat orang-orang
semacam itu, dan diikuti oleh jumlah yang berlipat ganda, maka para pengawal
akan mengalami kesulitan.
Karena itulah, maka ketiganya
nampaknya sedang menunggu. Mereka harus berada di antara para pengawal dan
menghadapi orang yang dapat menumbuhkan kesulitan di antara mereka.
Sejenak kemudian, maka kedua
pasukan itu pun sudah mulai berbenturan. Masih terdengar suara Gandu Demung,
“Kalian orang-orang bodoh yang tidak mau mendengar peringatanku. Terserah
kepada kalian, bahwa kalian akan mati dengan sia-sia, sedangkan harta benda
yang kalian pertahankan akhirnya akan jatuh ke tangan kami juga.”
Tidak seorang pun dari para
pengawal dari Kademangan Sangkal Putung maupun dari Tanah Perdikan Menoreh yang
menjawab. Tetapi sesaat kemudian dengan wajah yang tegang mereka telah melibatkan
diri ke dalam pertempuran yang sengit.
Pada benturan pertama, para
pengawal sudah mulai terdesak karena jumlah lawan yang terlalu banyak. Mereka
masih belum mapan, karena mereka masih harus menghadapi siapa saja yang berada
di sekitarnya.
Agung Sedayu yang berada di
ujung pasukan, tidak mau membiarkan kesulitan langsung menerkam pasukannya.
Itulah sebabnya, maka tiba-tiba saja cambuknya telah meledak dengan dahsyatnya.
Gandu Demung terkejut
mendengar suara cambuk itu. Ia sudah mendengar serba sedikit tentang orang
bercambuk. Dan ternyata kini ia mendengar ledakan itu.
“Gila,” geramnya, “orang
bercambuk itu berada di dalam iring-iringan ini pula.” Namun kemudian, “Tetapi
ia tidak akan dapat melawan beberapa orang sekaligus. Aku sendiri akan menghadapinya.”
Gandu Demung termangu-mangu
sejenak. Ia mencoba melihat pertempuran itu dalam keseluruhan. Tetapi suara
cambuk di ujung pasukan itu benar-benar telah menggelisahkan.
Selagi ia termangu-mangu, maka
di ujung yang lain dari suara cambuk itu, Ki Sumangkar telah mulai menggerakkan
trisulanya. Beberapa orang datang menyerangnya bersama-sama. Dan ia pun melihat
bahwa hampir setiap pengawal harus melawan dua orang yang bertempur
berpasangan.
“Mereka akan mengalami
kesulitan,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya. Karena Ki Sumangkar
menganggap bahwa orang-orang yang mencegat itu adalah perampok-perampok yang
berpengalaman. Bahkan melihat jumlah yang besar itu, Ki Sumangkar menghubungkan
dengan kemungkinan yang serupa dengan kekuatan yang ada di Padepokan Tambak
Wedi.
Karena itulah, maka ia pun
segera turun pula di medan dengan senjatanya yang berputaran, sehingga dalam
waktu yang singkat telah menarik banyak perhatian lawan.
“Orang ini aneh,” berkata
seorang yang bertubuh pendek, “agaknya ia mempunyai kelebihan dari
kawan-kawannya.”
Ki Sumangkar pun kemudian
melihat seorang yang bertubuh pendek itu menyibak lawan-lawannya dan dengan
sengaja telah mendapatkannya.
“Orang ini tentu pemimpinnya,”
berkata Ki Sumangkar di dalam hati.
Ternyata bahwa orang bertubuh
pendek itu langsung menempatkan diri di hadapannya. Namun sambil menggerakkan
senjatanya ia masih sempat bertanya, “Kaukah pemimpin para pengawal dari
Sangkal Putung?”
Ki Sumangkar menghindar sambil
menjawab. “Bukan. Aku sekedar seorang pengikut. Pemimpinku berada di dekat
sepasang pengantin itu. He, siapakah kau?”
“Orang memanggilku Ki Bajang
Garing.”
“Bajang Garing?” Ki Sumangkar
tertawa.
Ki Bajang Garing mengerutkan
keningnya. Lalu katanya, “Kenapa kau tertawa?”
“Namamu menarik sekali.”
Ki Bajang Garing tidak
menyahut. Tetapi serangannya pun menjadi semakin deras.
Namun lawannya ternyata mampu
menghidarinya. Tidak seujung rambut pun yang dapat disentuhnya meskipun Bajang
Garing telah mengerahkan kemampuannya.
Sejenak Ki Bajang Garing terheran-heran.
Ia termasuk orang yang disegani di sekitar Gunung Tidar. Namun kini ia
menemukan seorang lawan yang aneh. Seorang lawan yang memiliki ilmu tiada
taranya, sehingga ia mampu menghindari setiap serangannya.
“Gila,” geramnya di dalam
dadanya, “tetapi aku harus dapat membunuhnya. Mungkin aku terlalu didorong oleh
nafsu, sehingga aku kurang membuat perhitungan-perhitungan yang menguntungkan.”
Karena itulah maka Ki Bajang
Garing justru meloncat surut. Ia mulai menilai lawannya dengan pertimbangan-pertimbangan
yang lebih berhati-hati. Bukan sekedar menyerang tanpa perhitungan.
“Aku salah menilai. Dan aku
harus memperbaikinya sebelum terlambat.”
Bajang Garing pun kemudian
mengerahkan segenap ilmunya dan mempersiapkan serangan yang akan dapat melumpuhkan
lawannya.
“Aku tidak boleh menganggapnya
tidak berarti meskipun nampaknya ia sudah tua. Senjatanya yang aneh itu
menunjukkan, bahwa ia memiliki kemampuan yang tentu melampaui kawan-kawannya.”
Ki Sumangkar terdesak surut
sesaat. Tetapi bukan karena ilmu Bajang Garing yang tidak terlawan. Ia hanya
sekedar ingin mendapatkan waktu untuk melihat, apa yang terjadi di sekitarnya.
Ki Sumangkar mengerutkan
keningnya, ketika ia melihat sepasang anak-anak muda yang memiliki ketangkasan
dan kecepatan bergerak yang luar biasa. Dengan berpasangan, mereka seolah-olah
telah menguasai suatu arena yang luas. Tata geraknya kadang-kadang mengejutkan,
dan agak membingungkan lawannya.
“Ternyata para perampok ini
juga memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Untunglah mereka bertemu dengan
para pengawal yang berpengalaman meskipun agak lengah sedikit pada saat-saat
yang justru gawat,” berkata Ki Sumangkar di dalam hatinya.
Dengan demikian, maka ia pun
tidak lagi sekedar termangu-mangu. Pertempuran ini adalah sebenarnya
pertempuran yang dapat berbahaya bagi orang-orang Sangkal Putung dan Tanah
Perdikan Menoreh yang mengawal sepasang pengantin itu. Sehingga karena itulah
maka ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi pertarungan ilmu yang
akan menjadi semakin dahsyat. Meskipun seorang melawan seorang Ki Sumangkar
yakin tidak akan mendapat kesulitan sama sekali, tetapi sebagai seorang
prajurit yang berpengalaman, maka ia harus memandang kemungkinan-kemungkinan
yang bakal terjadi di medan. Orang-orang terkuat di antara lawannya yang
jumlahnya berlipat itu akan dapat bergabung dan melawannya bersama-sama.
Karena itulah, maka Ki
Sumangkar pun harus bertindak cepat. Sebelum lawannya menyadari seluruh
keadaan, ia harus sudah dapat menguasai mereka dengan suatu hentakan yang
mengejutkan.
Sejenak kemudian, maka
Sumangkar-lah yang meloncat menyerang Ki Bajang Garing dengan senjatanya yang
menggetarkan. Trisulanya berputaran pada janget pengikatnya yang tidak
terlampau panjang di tangan kanan. Sedangkan di tangan kirinya, Ki Sumangkar
mempermainkan trisulanya yang lain, yang digenggamnya langsung pada hulunya.
Bajang Garing menjadi
berdebar-debar. Ia belum pernah menemukan lawan dengan sepasang senjata yang
aneh dan dengan cara yang aneh pula. Karena itulah, maka ia harus berusaha
untuk menyesuaikan diri dalam perlawanannya atas sepasang trisula yang
dipergunakan dengan cara yang berbeda itu.
Hanya sesaat kemudian,
ternyata Bajang Garing sudah merasakan kesulitan yang hampir tidak teratasi.
Itulah sebabnya, maka ia pun segera memberikan isyarat kepada kedua orang yang
digelari nama Sepasang Srigunting dari Pesisir Utara. Sepasang anak muda
kakak-beradik yang memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Orang tua ini agaknya telah
kepanjingan setan,” geram Bajang Garing.
Sepasang Serigunting itu
merasa heran mendengarnya. Ki Bajang Garing adalah orang yang tidak ada duanya
di dalam gerombolannya. Tetapi menghadapi orang bersenjata aneh itu, ia
memerlukan orang lain untuk membantunya.
Tetapi karena jumlahnya memang
cukup banyak, maka sepasang Srigunting itu pun tidak berpikir lebih lama lagi.
Mereka pun segera meloncat mendekati Ki Sumangkar yang sedang bertempur melawan
Ki Bajang Garing.
Meskipun Sumangkar sadar,
bahwa ia harus mengerahkan ilmunya untuk menghadapi ketiga orang lawannya yang
luar biasa itu, namun dengan demikian ia sudah menyerap orang-orang yang
dianggapnya sangat berbahaya bagi para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan
Kademangan Sangkal Putung.
Dengan demikian, maka Ki
Sumangkar pun segera terlibat dalam perkelahian yang sengit. Tiga orang
lawannya ternyata segera berhasil mengurungnya. Namun demikian, ternyata
senjata Sumangkar berhasil melindungi dirinya seperti sebuah perisai yang
mengelilinginya. Putaran trisulanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Bukan
saja sekedar menjauhkan lawannya pada jarak putaran, tetapi sekali-sekali
trisulanya itu telah mematuk dengan dahsyatnya, melampaui ujung lidah seekor
ular yang paling berbisa.
Ki Bajang Garing menjadi
heran. Berpasangan dengan sepasang Srigunting yang dibanggakannya, ia tidak
segera mampu menguasai lawannya yang tua itu. Bahkan kadang-kadang, putaran
trisula itu telah berhasil mendesaknya tanpa dapat berbuat sesuatu.
“Gila. Iblis manakah yang
telah merasuk ke dalam tubuh orang tua itu?” bertanya Ki Bajang Garing kepada
diri sendiri. Bahkan kemudian, “Apakah ia juga termasuk orang Sangkal Putung
atau orang dari Tanah Perdikan Menoreh? Orang terkuat di Tanah Perdikan Menoreh
adalah Ki Argapati dan kemudian Ki Argajaya yang seolah-olah telah menjadi lumpuh
hatinya. Dan orang ini sama sekali bukan keduanya.”
Namun Ki Bajang Garing masih
harus mengerahkan segenap ilmunya untuk mengatasi lawannya yang memiliki ilmu
tidak teratasi itu.
Dalam pada itu, ternyata
seorang lagi yang termangu-mangu memandang perkelahian antara Ki Sumangkar
dengan ketiga orang lawannya. Seorang yang berwajah sekasar batu padas yang di
sana-sini terdapat goresan-goresan bekas luka. Dengar kerut-merut di kening ia
menyaksikan perkelahian yang semakin dahsyat ilu.
“Gila,” geramnya, “Ki Bajang
Garing dan kedua Srigunting itu tidak segera dapat membunuh orang tua itu.
Tentu ia orang luar biasa.”
Dan orang itu pun tiba-tiba
telah meloncat mendekat pula sambil berkata lantang, “Aku akan ikut serta Ki
Bajang Garing, agar perjalanan yang menjemukan ini cepat selesai. Ternyata
kerja kita masih cukup banyak.”
Ki Bajang Garing tidak
menjawab. Tetapi ia pun tidak melarang orang berwajah sekasar batu padas itu
untuk ikut serta.
Ternyata dendam yang terpendam
di dalam jantungnya, merupakan modal yang besar bagi keganasannya. Di antara
keempat orang lawannya, Ki Sumangkar segera melihat, bahwa orang berwajah kasar
itu adalah orang yang paling liar. Tandangnya bagaikan seekor harimau kelaparan
berebut daging. Ia sama sekali tidak mengenal unggah-ungguh perkelahian
sekalipun.
Betapapun juga kemampuan dan
pengalaman yang ada pada Ki Sumangkar, namun melawan empat orang terkuat dari
pasukan Ki Bajang Garing itu ia merasa berat juga. Serangan yang datang dari
empat penjuru, kadang-kadang memaksanya untuk berloncatan surut.
Sementara itu, para pengawal
dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung telah bertempur
dengan segenap kemampuan yang ada pada mereka. Lawan mereka ternyata terlampau
banyak, sehingga hampir setiap orang dari pada pengawal itu harus bertempur
melawan lebih dari seorang lawan.
Prastawa yang masih muda
ternyata memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Didorong oleh kemarahan
yang meluap-luap, ia bertempur dengan sepenuh kemampuan yang ada padanya tanpa
ragu-ragu. Sementara di ujung, Agung Sedayu pun telah mendesak lawannya dengan
ujung cambuknya. Setiap kali ledakan ujung cambuknya telah membuat lawannya
terdesak surut.
Gandu Demung yang memimpin
pencegatan itu langsung berlari-lari kepada sepasang pengantin yang sudah
bersiap pula. Beberapa orang pengiringnya pun telah mempersiapkan senjata
masing-masing untuk menghadapi para pengawal yang berada di sekitar sepasang
pengantin itu.
Namun Gandu Demung masih
mencoba memaksa lawannya untuk menyerah tanpa perkelahian, katanya, “Lebih baik
kalian menyerah. Jumlah kalian tidak memadai sama sekali untuk melawan kami.
Apalagi seorang demi seorang, kemampuan kami tidak terkalahkan oleh apa pun
juga di dalam lingkungan kalian.”
Tetapi Gandu Demung tidak
sempat melanjutkan. Tiba-tiba saja ia terus meloncat surut ketika Swandaru
langsung menyerangnya dengan sebuah ledakan cambuk pula.
“Gila,” teriak Gandu Demung,
“kau juga bersenjata cambuk?”
Swandaru mendesak terus sambil
berkata, “Aku adalah pengantin laki-laki yang kau cari. Jika kau dapat
mengalahkan aku, maka kau akan berhasil merampas harta kekayaan kami semuanya.”
Gandu Demung mengerutkan
keningnya. Ternyata ia berhadapan dengan seorang dari orang-orang bercambuk
yang memang pernah didengarnya. Namun demikian, ia pun seorang yang merasa
dirinya memiliki kemampuan dan ilmu yang dapat dibanggakan, sehingga karena itu
ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi ujung cambuk yang dapat mengelupas
kulitnya itu.
Sementara Gandu Demung
menghadapi Swandaru yang dibakar oleh kemarahan, kedua orang saudaranya
berusaha untuk menusuk langsung pada tempat yang paling lemah. Mereka melihat
dua orang perempuan di antara lawannya. Itulah sebabnya, maka mereka segera
membagi diri dan menyerang keduanya.
Tetapi ternyata kedua perempuan
itu bukannya perempuan yang menggigil melihat ujung senjata. Pandan Wangi yang
telah bersiap dengan sepasang pedang tipisnya, segera menyongsong salah seorang
dari mereka. Sedangkan saudara Gandu Demung yang lain terperanjat melihat
senjata Sekar Mirah. Sebatang tongkat baja putih dengan tengkorak kecil yang
berwarna kekuning-kuningan.
“Aku pernah mendengar jenis
senjata seperti senjata ini,” katanya di dalam hati. Tetapi ia tidak segera
berhasil mengingat, senjata siapakah yang ujudnya telah mendebarkan jantung
itu.
Apalagi dalam benturan
pertama, saudara Gandu Demung itu telah merasa, bahwa perempuan yang membawa
senjata aneh itu memiliki kekuatan yang tidak kalah dari kekuatan seorang
laki-laki. Bukan saja seorang laki-laki kebanyakan, tetapi seorang laki-laki
yang berilmu sekalipun.
“Aneh,” desisnya kemudian,
“kau memiliki senjata yang mendebarkan. Dan ternyata kau mampu mempergunakan
sebaik-baiknya. Apakah kau pengantin perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang
menurut pendengaranku memiliki kemampuan bertempur seperti seorang laki-laki?”
Sekar Mirah tidak mau lengah
dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Ia masih tetap bertempur dengan
sengit. Namun ia memerlukan menjawab, “Aku anak Demang Sangkal Putung.”
“Kau saudara perempuan
pengantin laki-laki?”
“Ya.”
Saudara Gandu Demung
menggeram. Sekilas ia melihat saudaranya yang lain bertempur dengan seorang
perempuan yang bersenjata sepasang pedang tipis. Namun dalam kecepatan gerak
tangannya sepasang senjata itu bagaikan berubah menjadi puluhan senjata yang
mengitari lawannya.
Sekar Mirah yang melihat bahwa
lawannya sekilas memandang Pandan Wangi, berdesis, “Ia adalah pengantin
perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang kau tanyakan.”
Lawannya menarik nafas
dalam-dalam. Namun seolah-olah ia tidak lagi dapat menahan teka-teki di dalam
hatinya, maka ia pun bertanya, “Senjatamu bukan senjata kebanyakan. Aku pernah
mendengar cerita tentang senjata serupa itu, tetapi aku tidak ingat, siapakah
yang pernah memilikinya.”
“Macan Kepatihan,” desis Sekar
Mirah, “seorang senapati dari Jipang.”
“Ya,” tiba-tiba saja saudara
Gandu Demung itu teringat kepada seorang yang pernah bergelar Macan Kepatihan
di masa lampau, tetapi yang ternyata telah terbunuh di daerah selatan Gunung
Merapi.
“Jadi siapakah kau sebenarnya?”
“Aku mempunyai jalur perguruan
yang sama dengan Macan Kepatihan. Karena itu, dengan mudah aku akan dapat
membunuhmu.”
Nampak wajah saudara Gandu
Demung itu menegang. Namun kemudian sambil menyerang ia berteriak, “Persetan.
Kau jangan mimpi, iblis betina. Kau baru akan sadar dengan siapa kau
berhadapan, jika dadamu telah tembus oleh ujung pedang.”
Sekar Mirah tidak menjawab.
Tetapi ia dengan tangkasnya mengelakkan serangan lawannya. Bahkan sambil
melangkah surut, ia masih sempat menjulurkan ujung tongkatnya.
Lawannya terkejut melihat
ketrampilan gadis itu. Namun ia masih dapat menggeliat untuk menghindarkan
sentuhan ujung tongkat baja yang mendebarkan itu.
Tetapi dengan demikian saudara
Gandu Demung itu menyadari, bahwa gadis itu tidak sekedar membual tentang jalur
perguruannya, apalagi ketika kemudian ternyata bahwa Sekar Mirah benar-benar
menguasai senjata yang dipegangnya.
Kepala tengkorak yang
kekuning-kuningan itu ternyata berputar semakin cepat, seperti mengelilingi
seluruh tubuh lawannya. Tengkorak itu mematuk dari segala penjuru mengarah ke
tempat-tempat yang paling berbahaya.
“Gila,” desis saudara Gandu
Demung ini, “ternyata perempuan ini benar-benar memiliki ilmu iblis.”
Seperti saudaranya, maka
saudara Gandu Demung yang lain yang bertempur melawan Pandan Wangi pun ternyata
menjadi heran melihat ketangkasan lawannya mempergunakan sepasang pedang tipis.
“Kaukah anak Ki Argapati?”
saudara Gandu Demang itu bertanya.
Pandan. Wangi ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian sambil menjulurkan pedang di tangan kanannya ia
menyahut, “Ya. Aku anak Ki Argapati.”
“O, jadi kaukah pengantin yang
sedang diarak sekarang ini?”
Di luar dugaan lawannya,
Pandan Wangi menyahut, “Ya. Akulah pengantin perempuan itu? Apakah kau menaruh
perhatian.”
Sejenak saudara Gandu Demung
termangu-mangu. Namun ia pun kemudian tertawa. Jawabnya, “Ya. Aku menaruh
perhatian. Kau cantik sekali.”
“Aku percaya. Tetapi kau tentu
sekedar menaruh perhatian terhadap perhiasan yang aku bawa. Barangkali kau
sudah melihat saat aku dipertemukan di Tanah Perdikan Menoreh. Kau melihat aku
memakai kalung berlian, subang yang besar, cincin, gelang, dan tusuk konde yang
semuanya juga bermata berlian. Nah, apa lagi yang dapat mendorongmu untuk
melakukan kejahatan seperti ini?”
Kata-kata itu benar-benar
telah membakar jantung orang itu. Ia adalah seorang yang hidup dalam lingkungan
kejahatan sejak kanak-kanak. Itulah sebabnya maka kemarahannya pun bagaikan
menjilat langit.
Dengan garangnya, ia pun
segera mempercepat serangannya. Senjatanya berputaran bagaikan baling-baling.
Namun setiap ayunan senjata itu, rasa-rasanya telah menyentuh perisai yang
mendorong arah senjatanya ke samping dan kehilangan sasaran.
“Perempuan ini ternyata
benar-benar menguasai ilmunya,” desis saudara Gandu Demang. “Ia sadar, bahwa
kekuatannya berbeda dalam kodratnya dengan kekuatan seorang laki-laki, sehingga
ia mempunyai cara tersendiri untuk mengelakkan setiap serangan.”
Namun dengan demikian, saudara
Gandu Demung yang menyangka bahwa kekuatan Pandan Wangi tidak dapat mengimbangi
kekuatannya sehingga setiap kali Pandan Wangi hanya sekedar menyesatkan arah
serangannya, menjadi semakin berani mendesaknya. Serangan-serangannya menjadi
semakin dahsyat langsung dalam ayunan yang kuat. Bahkan kemudian saudara Gandu
Demung yang melihat kelemahan lawannya, berusaha untuk menyerang dengan
perhitungan yang matang, bahwa serangannya tidak akan dapat ditangkis dengan
cara yang selalu dilakukan oleh Pandan Wangi.
Ketika saudara Gandu Demung
itu berhasil memaksa Pandan Wangi bergeser sambil memukul senjata lawannya ke
samping, maka saudara Gandu Demung itu meloncat mendekat sambil mengangkat
tangannya. Ia tidak lagi mencoba memikirkan, bahwa yang dihadapinya adalah
seorang perempuan, apalagi seseorang yang sedang berada di dalam hari-hari yang
paling bahagia.
Dengan serta-merta ia
mengangkat senjatanya tinggi-tinggi. Kemudian mengayunkan sekuat tenaganya
mengarah langsung ke ubun-ubun Pandan Wangi dengan kekuatan sepenuhnya.
Jika Pandan Wangi memukul
serangan itu ke samping, maka perubahan arahnya tentu tidak akan banyak
berpengaruh, karena senjata itu terayun dalam pelepasan kekuatannya sepenuhnya.
Kekuatannya sebagai seorang laki-laki yang memiliki kelebihan dari kebanyakan
laki-laki yang mempunyai tenaga raksasa sekalipun.
Tetapi saudara Gandu Demung
itu telah dikejutkan oleh kenyataannya yang dihadapinya. Ia masih melihat
Pandan Wangi mengarahkan sepasang pedangnya dan menyilangkannya di atas
kepalanya. Bahkan ia masih dapat bersorak di dalam hatinya, bahwa ia akan
berhasil mematahkan kedua pedang tipis itu dan menghancurkan kekuatan
pertahanan Pandan Wangi, karena Pandan Wangi ternyata memilih menangkis
seranganannya dan bukan berusaha menghindarinya.
Namun ketika senjata saudara
Gandu Demung itu membentur pertahanan Pandan Wangi, betapa ia telah dikejutkan
oleh getaran yang tidak disangkanya. Ia merasa seolah-olah senjatanya membentur
dinding baja yang tidak dapat digoyahkannya. Bahkan kemudian ia menyadari bahwa
Pandan Wangi masih sempat mengatupkan senjatanya yang menyilang dan memutarnya
dengan sekuat tenaga.
Ternyata kekuatan Pandan Wangi
bukannya kekuatan kodrati seorang perempuan betapa pun ia melakukan latihan
jasmaniah. Perempuan itu telah berhasil membangunkan kekuatan cadangan di dalam
dirinya, sehingga kekuatannya seolah-olah menjadi berlipat ganda.
Hanya karena pengalamannya,
maka dengan gerak naluriah, saudara Gandu Demung itu meloncat searah dengan
putaran pedang tipis Pandan Wangi yang berputar, sehingga ia berhasil
menyelamatkan senjatanya. Dengan serta-merta, betapa pun pedihnya jari-jarinya,
ia berhasil merenggut senjatanya dari putaran sepasang pedang Pandan Wangi
sehingga tidak terlepas karenanya.
Namun dengan demikian, saudara
Gandu Demung itu pun telah meloncat surut sejauh-jauhnya. Ia dengan susah payah
menahan pedih di tangannya yang bahkan kemudian terasa bagaikan menjadi nyeri.
“Ilmu iblis manakah yang telah
membekali perempuan ini,” geram saudara Gandu Demung itu.
Tetapi ia pun kemudian
menggeretakkan giginya ketika ia sadar, bahwa perempuan itu adalah anak Ki Gede
Menoreh yang memiliki ilmu tiada taranya.
“Tetapi seorang perempuan,”
geram saudara Gandu Demung itu, “aku harus menemukan kelemahannya dan kemudian
membinasakan tanpa belas kasihan meskipun ia sedang diarak sebagai seorang
pengantin.”
Saudara Gandu Demung itu pun
kemudian mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk segera mengatasi
lawannya yang menurut ujud lahiriahnya hanyalah seorang perempuan. Namun
ternyata bahwa usahanya itu tidak segera dapat berhasil. Bahkan terasa semakin
lama tekanan Pandan Wangi menjadi semakin berat.
Dalam pada itu, seorang yang
bertubuh raksasa dan berwajah sekeras batu padas, memperhatikan perkelahian
antara saudara-saudara Gandu Demung yang kedua-duanya masing-masing melawan
perempuan, yang seorang dari Tanah Perdikan Menoreh dan yang seorang dari
Kademangan Sangkal Putung.
Sejenak ia menjadi heran bahwa
keduanya tidak segera dapat mengatasi lawannya, sehingga karena itulah maka ia
pun kemudian menggeram di luar sadarnya. Kemarahan dan dendam yang menyala di
dalam dadanya serasa mendapat tempat yang paling menyenangkan untuk
melimpahkannya.
“Biarlah aku membunuh kedua
perempuan itu dengan caraku yang paling menarik. Senang sekali jika aku
diperbolehkan mengambil alih perlawanan keduanya meskipun barangkali harus
seorang demi seorang,” gumam orang berwajah sekeras batu padas itu.
Sejenak kemudian, maka raksasa
itu pun mendekati saudara Gandu Demung yang sedang bertempur melawan Pandan
Wangi. Dengan suara yang dalam ia berkata, “Ki Lurah. Serahkan perempuan itu
kepadaku. Aku ingin memperlakukan sesuai dengan keinginan yang membakar dadaku,
karena dendam yang tidak tertahankan. Aku ingin membunuh dengan cara yang
paling menarik yang belum pernah aku lakukan.”
Saudara Gandu Demung itu
termangu-mangu sejenak. Ia mengetahui bahwa orang bertubuh raksasa itu memang
mempunyai kekuatan raksasa. Tetapi apakah ia dapat mengimbangi kecepatan
bergerak Pandan Wangi.
Namun dalam pada itu, saudara
Gandu Demung yang justru merasa terdesak itu kemudian merasa gembira juga bahwa
ia akan mendapat seorang kawan tanpa dimintanya.
“Lakukanlah jika kau
menghendaki. Tetapi aku akan tetap mengawasimu, karena perempuan ini mempunyai
ilmu iblis.”
“Terserahlah, karena jumlah
kami memang jauh lebih banyak dari jumlah lawan.”
Orang bertubuh raksasa itu pun
kemudian mendekati Pandan Wangi yang sudah bersiap. Sejenak nampak wajahnya
yang digoresi bekas luka-luka silang-menyilang itu berkerut. Namun kemudian
bibirnya yang tebal nampak tersenyum. Terlihat seleret giginya yang kehitam-hitaman
dan patah-patah.
“Kau perempuan manis,”
desisnya.
Saudara Gandu Demung pun
menyambung, “Perempuan ini adalah pengantin yang sekarang diarak ke Sangkal
Putung.”
“O,” suara orang bertubuh
raksasa itu meninggi, “kebetulan sekali. Aku memang memerlukan seorang
pengantin perempuan untuk mematangkan ilmuku. Dan sekarang aku sudah
mendapatkannya. Pengantin perempuan yang berusia sepasar dan dalam arak-arakan
ke rumah pengantin laki-laki.”
Pandan Wangi sama sekali tidak
menyahut. Ia sudah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia pun
sadar bahwa jumlah pengiringnya jauh lebih sedikit dari jumlah lawan, sehingga
ia tidak boleh mengharapkan bantuan dari siapa pun juga karena hampir setiap
orang di dalam iring-iringannya sudah harus berhadapanan dengan lawan yang
berpasangan.
Sejenak kemudian orang
bertubuh raksasa itu pun telah mempersiapkan senjatanya. Selangkah demi
selangkah ia maju mendekat, sementara saudara Gandu Demang justru mencoba
menghindarkan diri dari lawannya.
“Aku beri kau kesempatan,”
berkata saudara Gandu Demung.
Orang bertubuh raksasa itu
tertawa. Suara tertawanya seolah-olah menggetarkan arena pertempuran itu,
sehingga beberapa orang telah berpaling ke arahnya.
Swandaru yang bertempur dengan
cambuknya melawan Gandu Demung pun melihat, bagaimana seorang yang bertubuh
raksasa siap menghadapi istrinya, sehingga karena itulah maka hatinya pun telah
disentuh oleh kecemasan. Apalagi, ketika ia mendengar suara tertawa orang
bertubuh raksasa itu, maka rasa-rasanya ia pun ingin segera meloncat
menerkamnya. Tetapi Swandaru tidak dapat berbuat demikian karena ia masih
terikat dalam pertempuran dengan Gandu Demung yang ternyata memiliki ilmu yang
sulit untuk dilawan tanpa mengerahkan dan memusatkan segenap kemampuan yang
ada.
“Jangan menyesal bahwa istrimu
akan jatuh ke tangan raksasa itu,” desis Gandu Demung.
Swandaru tidak menjawab.
Tetapi terdengar ia menggeretakkan giginya menahan marah yang meluap-luap
sampai ke ujung ubun-ubun.
“Orang bertubuh raksasa itu
mempunyai kebiasaan yang aneh,” Gandu Demung meneruskan sambil bertempur, “ia
pernah mengalami siksaan yang luar biasa sehingga dadanya bagaikan hangus
dibakar oleh dendam dan kebencian. Bukan saja kepada orang-orang yang
menyiksanya, tetapi kepada setiap orang. Dan yang aneh, ia mempunyai dendam
yang tiada taranya kepada perempuan. Tidak ada seorang pun yang mengetahuinya
kenapa demikian. Mungkin ia mengalami siksaan justru karena persoalan
perempuan, sehingga ia selalu ingin melepaskan dendamnya kepada perempuan.
Jangan menyesal bahwa istrimu akan menjadi sasaran.”
“Gila,” teriak Swandaru.
Gandu Demung tertawa.
Sementara itu suara tertawa orang bertubuh raksasa itu masih mengumandang.
Pandan Wangi memusatkan
segenap perhatiannya kepada orang bertubuh raksasa itu. Wajahnya yang
menyeramkan membuat hatinya bergetar. Bukan karena ia menjadi kecut melihat
kemungkinan yang menakjubkan pada ilmu orang bertubuh raksasa itu. Tetapi
justru pada sikap dan wajahnya yang keras seperti batu padas, dan pada tawanya
yang aneh dan penuh dengan kebencian itu.
“Lihatlah wajah raksasa itu.
Bagaima ia memandang istrimu. Di dalam hatinya tentu berkobar berbagai macam
perasaan. Nafsu, dendam, dan kebencian bercampur baur. Dan ia akan melakukannya
sekaligus dengan tanpa kendali,” desis Gandu Demung pula.
Swandaru tidak dapat berbuat
apa-apa, selain menggeram sambil menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat
meloncat menerkam laki-laki bertubuh raksasa itu. Ia tidak dapat membagi
perhatiannya, karena ternyata serangan Gandu Demung kemudian justru membadai.
“Gila,” ia menggeram
Gandu Demung tertawa. Katanya,
“Sebentar lagi semuanya akan terjadi.”
Di antara suara tertawa Gandu
Demung yang tidak begitu keras, terdengar suara tertawa orang bertubuh raksasa
itu.
Swandaru benar-benar telah
terpengaruh oleh suara tertawa itu. Karena itulah maka pemusatan perlawanannya
menjadi terganggu pula. Beberapa kali ia terpaksa meloncar mundur dan bahkan
kadang-kadang dengan serta-merta ia meledakkan cambuknya sekedar untuk
membebaskan diri dari tekanan serangan Gandu Demung.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
pun menjadi semakin berdebar-debar. Lawannya yang semula seolah-olah dengan
senang hati menyerahkannya kepada orang bertubuh raksasa yang mempunyai sikap
yang aneh dan mendebarkan jantung itu.
Kecemasan Pandan Wangi-lah
yang kemudian mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dengan diam-diam ia
memusatkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dikerahkannya segala kemampuan
dan ilmunya, agar ia terhindar dari kemungkinan yang mengerikan, yang mulai
membayang di wajahnya.
Itulah sebabnya, Pandan Wangi
seolah-olah sedang dikejar oleh perasaannya. Tidak ada jalan lain kecuali
melenyapkan sumber kecemasan itu sendiri.
Dalam pada itu, orang bertubuh
raksasa yang terlampau yakin akan kekuatan tubuhnya itu masih tertawa. Setapak demi
setapak ia maju mendekati Pandan Wangi. Suara tertawanya benar-benar telah
menggetarkan segenap rambut perempuan yang baru saja menginjak masa yang baru
di dalam hidupnya itu.
Sementara itu, Swandaru tidak
dapat menghindarkan diri dari pengaruh kehadiran orang bertubuh raksasa itu di
arena perkelahian, justru melawan Pandan Wangi. Sementara itu, seorang lagi
masih berdiri sambil tertawa-tawa pula menyaksikan Pandan Wangi yang diancam
oleh keganasan orang bertubuh raksasa itu, sementara dirinya sendiri tidak
dapat berbuat apa-apa.
“Apakah tidak ada seorang pun
yang sempat membantunya?” bertanya Swandaru di dalam hatinya. “Mungkin Kiai
Gringsing, Ki Waskita atau Ki Sumangkar?”
Tetapi ternyata Pandan Wangi
tetap berdiri seorang diri.
Namun dalam pada itu, ketika
Swandaru sedang sibuk menghindarkan diri dari serangan Gandu Demung, tiba-tiba
saja suara tertawa orang bertubuh raksasa itu terhenti dengan serta-merta.
Sejenak terloncat kecemasan yang sangat di hatinya, sehingga karena itu maka
Swandaru pun segera meloncat menjauh.
Ketika ia mendapatkan
kesempatan meskipun hanya sekejap, ia melihat apa yang telah terjadi.
Bahkan dalam pada itu, Gandu
Demung bagaikan disentakkan oleh peristiwa yang sama sekali tidak masuk di
akalnya. Peristiwa yang baginya tidak mungkin terjadi.
Oleh desakan kengerian di
dalam hatinya, ternyata Pandan Wangi telah mengerahkan segenap kemampuan yang
ada padanya. Kecepatannya, kekuatannya, bahkan dengan tenaga cadangan yang
telah berhasil dikuasainya.
Ketika orang bertubuh raksasa
yang terlalu yakin akan kekuatannya itu melangkah selangkah lagi semakin
mendekatinya, Pandan Wangi tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja, di
luar dugaan dan perhitungan lawannya, ia meloncat langsung dengan pedang
terjulur di tangan kanan.
Orang bertubuh raksasa itu
terkejut melihat kecepatan bergerak Pandan Wangi. Tetapi ia tidak sempat
berbuat sesuatu, selain mencoba menghindari serangan itu. Namun ketika ia
memiringkan tubuhnya dan melepaskan diri dari arah tusukan ujung pedang yang
terjulur itu, di luar dugaannya, tangan Pandan Wangi yang lain dengan kecepatan
lidah api yang meloncat di langit, telah menyambar lambungnya tanpa ampun.
Yang terdengar kemudian adalah
sebuah keluhan tertahan. Orang bertubuh raksasa itu memang mempunyai kekuatan
raksasa, sehingga ia berhasil memutar Gandu Demung dan hampir saja membenturkan
kepala Gandu Demung itu ke tebing padas. Tetapi ia tidak cukup mempunyai
kecepatan bergerak mengimbangi kelincahan tangan dan kaki Pandan Wangi.
Sejenak orang yang bertubuh
raksasa itu terhuyung-huyung, matanya yang menyorotkan dendam yang tiada
taranya, rasa-rasanya bagaikan menyala. Dendam itu benar-benar telah membara di
dalam dadanya. Apalagi ketika ia kemudian sadar, bahwa ternyata ia telah
dilumpuhkan oleh seorang perempuan pada serangan yang pertama.
Pandan Wangi yang benar-benar
telah dicengkam oleh kengerian, seolah-olah telah kehilangan pengamatan diri.
Ia tidak dapat mengamati dengan saksama keadaan lawannya, karena kejaran
perasaannya. Sehingga karena itulah, maka ketika orang bertubuh raksasa itu
sambil menyeringai menahan luka di lambungnya dengan tangannya, sekali lagi
sebuan patukan pedang menembus dadanya langsung menghunjam jantung.
Raksasa itu hanya dapat
memandang Pandan Wangi dengan penuh kebencian dan dendam. Namun kemudian ia pun
segera jatuh menelungkup dengan luka di lambung dan dadanya.
Tidak ada kesempatan untuk
membantunya. Saudara Gandu Demung menyaksikan peristiwa yang terjadi hanya
beberapa kejap itu dengan mulut ternganga.
Ia sadar, ketika kemudian ia
melihat Pandan Wangi berdiri gemetar dengan sepasang pedangnya yang merah oleh
darah orang bertubuh raksasa itu.
Yang terjadi benar-benar di
luar dugaan setiap orang yang menyaksikannya. Bahkan orang-orang Sangkal Putung
dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri. Mereka mengenal kemampuan ilmu Pandan
Wangi. Namun karena nampaknya lawannya memiliki kemampuan yang sukar dinilai,
maka yang terjadi itu benar-benar diluar dugaan mereka.
Saudara Gandu Demung yang
semula memberi kesempatan kepada orang bertubuh raksasa dan berwajah sekasar
batu padas itu menggeram. Kini ia sadar sepenuhnya, bahwa kekuatan orang
bertubuh raksasa itu tidak mampu mengimbangi kecepatan bergerak Pandan Wangi.
Dengan demikian, maka saudara
Gandu Demung itu pun menjadi sangat berhati-hati menghadapi segala kemungkinan,
karena setelah orang bertubuh raksasa itu terbunuh, maka ia akan menghadapi
perempuan itu sekali lagi.
“Perempuan iblis,” desis
saudara Gandu Demung itu. “Tetapi aku tidak akan dapat kau perlakukan seperti
raksasa yang dungu yang tidak dapat memperbandingkan kekuatan raksasanya dengan
ketajaman ujung pedang selagi tubuhnya tidak dilapisi dengan ilmu kebal.”
Pandan Wangi masih berdiri di
tempatnya. Rasa-rasanya segenap rubuhnya masih bergetar.
Namun ia pun kemudian menyadari
bahwa kematian orang bertubuh raksasa itu belum merupakan pertanda akhir dari
pertempuran itu. Ternyata jumlah lawan masih terlampau banyak, sehingga ia pun
harus terbangun dari mimpi buruknya dan membantu para pengiringnya yang
mengalami kesulitan.
Dengan demikian, maka ia pun
tidak lagi termenung sambil gemetar. Dengan wajah yang tegang, diamatinya
lawannya yang berdiri di hadapannya. Kemudian ditebarkannya pandangannya yang
tajam ke segenap arena yang meluas ke pinggir hutan. Bahkan ia mulai melihat
beberapa orang pengiring yang terdesak oleh dua orang lawan dan berusaha
mempergunakan pohon-pohon yang besar sebagai perisai. Sambil berloncatan dari
sebatang pohon ke pohon yang lain, mereka memberikan perlawanan sejauh-jauh
dapat mereka lakukan.
“Mereka mengalami kesulitan,”
desis Pandan Wangi di dalam hatinya. Namun setiap kali terdengar ledakan cambuk
di ujung, rasa-rasanya hatinya menjadi tenang.
Di samping Pandan Wangi
terdengar juga suara cambuk yang meledak-ledak. Swandaru yang marah telah
bertempur dengan sekuat tenaganya. Namun karena lawannya juga memiliki
kemampuan yang cukup, maka ia benar-benar harus berjuang untuk memenangkan
perkelahian itu.
Di bagian lain dari
pertempuran itu, Ki Waskita sedang dipengaruhi oleh perasaannya sendiri. Hanya
karena ilmunya yang sulit dijangkau oleh lawan-lawannya, maka ia dapat
pertempur sambil berangan-angan. Bahkan kadang-kadang ia tersentak karena
serangan lawannya yang hampir saja menyentuh tubuhnya.
Dengan tidak mengalami banyak
kesulitan Ki Waskita bertempur melawan dua orang yang menganggapnya sebagai
orang-orang tua yang lain, yang tidak memiliki kelebihan apa-apa. Ternyata
bahwa sebagian dari perlawanannya ditandai dongan loncatan surut sehingga
lawan-lawannya benar-benar menganggapnya terlampau mudah untuk dibinasakan.
Tetapi ternyata bahwa Ki
Waskita masih tetap bertahan terus. Di luar sadarnya, ia telah mencoba melihat,
apakah yang terjadi inilah yang dilihatnya sebagai masa-masa yang buram setelah
perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi.
Namun bagaimanapun juga
perhatiannya sebagian harus diberikan kepada kedua ujung senjata lawannya. Yang
seorang bersenjata sebilah tombak pendek, sedang yang lain membawa sebilah
pedang yang besar dan panjang. Sehingga dengan demikian, maka Ki Waskita tidak
berhasil melihat sesuatu di dalam hiruk-pikuk pertempuran itu.
Ia seolah-olah sadar dari
angan-angannya yang melambung tinggi ketika terdengar olehnya sebuah ledakan.
Bukan ledakan cambuk Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah didengarnya
berkali-kali. Tetapi suara itu adalah ungkapan kemarahan hati seorang tua,
betapa pun ia menahan diri.
Dengan wajah yang tegang Ki
Waskita mencoba mencari arah suara itu. Tidak terlampau jauh, ia melihat Kiai
Gringsing bertempur melawan empat orang sekaligus.
“Keempat orang itu telah
menggelitik Kiai Gringsing sehingga ledakan cambuknya terdengar lain dari
ledakan-ledakan wajarnya,” berkata Ki Waskita di dalam hati.
Namun ternyata bahwa bukan
karena keempat orang itulah Kiai Gringsing menjadi marah. Tetapi ketika pandangan
Ki Waskita menebar semakin jauh, dilihatnya satu dua orang pengiring Swandaru
telah terluka.
“Gila,” geram Ki Waskita,
“justru mungkin telah ada yang benar-benar menjadi korban.”
Tiba-tiba saja Ki Waskita
menyadari keadaan seluruh keadaan medan. Ia sadar bahwa jumlah lawan terlalu
banyak. Ia sadar bahwa sebagian dari para pengiring Swandaru itu harus
bertempur lebih dari satu orang.
Sekilas Ki Waskita melihat Ki
Demang Sangkal Putung bertempur dengan kemarahan yang membakar jantung.
Untunglah bahwa ia hanya berhadapan dengan seorang lawan. Nampaknya Ki Demang
sudah kehilangan kesabaran dan dengan demikian maka ia telah bertempur dengan
garangnya, bahkan agak kurang mempergunakan perhitungan.
Ki Waskita pun kemudian
merubah tata geraknya. Agaknya ia ingin menyerap lawan sebanyak-banyaknya
seperti Kiai Gringsing, sehingga dengan demikian jumlah lawan seolah-olah akan
menjadi berkurang bagi kawan-kawannya yang lain.
Ki Waskita pun kemudian
bertempur semakin cepat. Sambil mengerutkan dahi ia melihat korban tusukan
pedang Pandan Wangi. Namun kemudian terasa bahwa ia harus berbuat lebih banyak
lagi dari yang sudah dilakukannya.
Ki Waskita masih selalu dapat
mengendalikan diri. Namun ia pun kemudian membuka ikat kepalanya. Bukan didesak
oleh kemarahan yang membabi buta. Tapi dengan perhitungan-perhitungan yang
menentukan.
Perubahan pada tata gerak Ki
Waskita membuat lawannya menjadi terkejut. Rasa-rasanya Ki Waskita telah
mendapat kekuatan baru. Bahkan, rasa-rasanya kemampuannya pun menjadi berlipat.
Dengan demikian maka kedua
lawannya pun segera terdesak surut. Bahkan kemudian mereka merasa bahwa mereka
tidak mampu lagi melawan kecepatan gerak lawannya. Apalagi ketika melihat,
bahwa ikat kepala yang membelit di tangan orang itu mampu menahan serangan tajam
senjata mereka.
“Apakah orang ini mempunyai
ilmu iblis?” bertanya salah seorang lawannya di dalam hatinya.
Karena desakan yang tidak
tertahankan itulah, maka terdengar sebuah isyarat dari mulut salah seorang dari
mereka. Agaknya orang itu sedang memanggil kawannya untuk membantunya
menghadapi orang yang aneh itu.
Ternyata kemudian bahwa
beberapa orang telah berloncatan, mendekati lingkaran perkelahian itu. Tiga
orang sekaligus, sehingga di sekeliling Ki Waskita kemudian berdiri lima orang
yang bersenjata telanjang.
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Namun kemudian terdengar salah seorang dari kelima orang itu
berkata, “Aku akan mencari lawan yang lain. Bunuhlah tikus tua itu. Di sini
sudah ada empat orang.”
Orang itu tidak menunggu
jawaban. Ia pun segera menghambur lagi meninggalkan Ki Waskita untuk mencari
lawan yang lain.
Meskipun demikian. Ki Waskita
masih tetap berhati-hati. Keempat orang itu adalah orang-orang yang
berpengalaman dan bahkan mungkin kasar, sehingga untuk menghadapi mereka perlu
ketahanan nalar agar tidak terseret ke dalam arus perasaan.
Namun, ketika mereka sudah
bertempur beberapa saat, ternyata bahwa keempat orang itu tidak melampaui
kemampuan Ki Waskita, meskipun ia harus bekerja lebih keras karena jumlah
lawannya bertambah.
Dalam pada itu, pertempuran di
seluruh arena pun menjadi bertambah seru. Beberapa orang harus bertempur
melawan lawan yang bertempur berpasangan, sementara yang lain bertempur seorang
melawan seorang. Sekar Mirah masih bertempur melawan saudara Gandu Demung,
sementara Pandan Wangi pun telah bertempur dengan saudara Gandu Demung yang
lain.
Di ujung arena, Agung Sedayu
semakin dipanasi oleh kemarahan, karena satu dua orang kawannya telah terluka.
Karena itulah maka ia pun
kemudian mulai mengerahkan ilmunya, sehingga karena itu. maka suara ledakan
cambuknya pun terdengar semakin keras. Seperti Swandaru, maka hentakan
tenaganya dilambari kemarahan yang semakin menyala di dada, membuat
lawan-lawannya mulai menghidar untuk menyelamatkan diri. Namun yang kemudian
menyusun kelompok-kelompok kecil yang melingkari Agung Sedayu dari segala
penjuru.
Dengan demikian, maka beberapa
orang yang memiliki ilmu yang melampaui yang lain, telah menyerap lawan lebih
banyak, sehingga para pengiring yang lain tidak harus melawan lawan yang
berpasangan, meskipun karena jumlah lawan yang jauh lebih banyak, ada juga yang
terpaksa melakukannya.
Menyadari akan keadaan yang
tidak seimbang itu, maka orang-orang merasa dirinya mempunyai bekal yang cukup,
telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawannya secepat-cepat dapat dilakukan,
meskipun mereka telah menempuh cara yang berbeda.
Sekilas terbersit pula niat Ki
Waskita untuk mengurangi jumlah korban dengan ilmunya, membuat bentuk-bentuk
semu yang dapat mengusir lawan-lawannya. Tetapi karena orang-orang Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh tidak bersiap untuk menghadapinya, maka
akibatnya dapat berlainan dengan maksudnya. Mungkin orang-orang Sangkal Putung
dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sendiri yang akan menjadi bingung dan
melakukan tindakan-tindakan yang tidak dikehendaki.
Karena itulah, maka niatnya
pun diurungkannya. Namun untuk mengimbangi jumlah lawannya yang banyak, Ki
Waskita pun telah mempergunakan kelincahannya untuk menyerap lawan
sebanyak-banyaknya. Ia pun kemudian tidak mengikatkan diri dengan lawan yang
mana pun juga, tetapi rasa-rasanya ia telah menjelajahi suatu lingkungan yang
luas dan menyerang setiap lawan yang ditemuinya, meskipun kadang-kadang membuat
orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh sendiri menjadi bingung.
Di bagian lain, seorang anak
muda telah bertempur bagaikan seekor harimau lapar. Dengan garangnya ia
menyerang setiap orang yang berada di dekatnya. Namun nampaknya
serangan-serangannya benar-benar tidak terkendali. Darahnya yang masih muda
seolah-olah telah mendidih dan menggelegak di dadanya.
Sekar Mirah yang bertempur
dengan tongkat bajanya, sekilas melihat anak muda itu memburu lawannya. Langkah
kakinya ringan seperti tidak menyentuh tanah. Tanpa ragu-ragu ia mengayunkan senjatanya,
dan pada suatu saat, tanpa memalingkan wajahnya ia menghunjamkan ujung
senjatanya ke dada lawannya. Bahkan sambil tersenyum ia memandang darah yang
memancar dari luka.
“Ia mempunyai darah seorang
pemberani,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Ia sedang melihat anak muda
yang bertempur tanpa ragu-ragu. Hampir mirip dengan kakaknya, Swandaru.
“Prastawa akan dapat menjadi
seorang yang besar,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.
Rasa-rasanya ia menemukan yang
selama ini dicarinya, dan tidak diketemukan pada Agung Sedayu. Anak muda yang
memiliki ilmu yang mapan, dan menguasai senjatanya hampir sempurna itu,
nampaknya selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan. Untuk menentukan
sikap, maka Agung Sedayu harus berpikir dua tiga kali. Di arena pertempuran ia
selalu mencoba melumpuhkan lawannya tanpa membunuhnya, sehingga dengan demikian
ia telah mempersulit dirinya sendiri. Bahkan sebagai seorang laki-laki, ia
bukanlah seorang yang pantas memangku kedudukan dalam jabatan keprajuritan, karena
nampaknya Agung Sedayu selalu menghidarkan pandangan matanya atas darah yang
memancar dari luka meskipun akibat tusukan senjatanya sendiri.
Dalam pada itu pertempuran itu
pun berjalan semakin sengit. Semakin lama, maka para perampok itu pun berhasil
menempatkan diri pada kelompok-kelompok yang memang diperlukan. Mereka
bertempur seorang lawan seorang pada tingkat ilmu yang rasa-rasanya tidak
terpaut banyak. Dan mereka pun berkelompok antara dua, tiga sampai lima orang
menghadapi orang-orang yang rasa-rasanya tidak dapat diimbangi dengan cara
lain.
Ki Sumangkar, Kiai Gringsing,
dan Ki Waskita ternyata telah dihadapi oleh kelompok-kelompok yang berhasil
mengukur kekuatannya, sehingga mereka tidak lagi sekedar mempertahankan diri.
Sedangkan Agung Sedayu dan Prastawa pun harus menghadapi lawan-lawannya.
Sementara Pandan Wangi, Sekar Mirah, dan Swandaru, masing-masing mendapat lawan
yang tangguh. Gandu Demung dengan kedua saudara-saudaranya.
Karena itulah, maka kemudian
orang-orang yang memiliki kekuatan yang melampaui kawan-kawannya, berusaha
untuk menemukan lawan yang seimbang meskipun harus mendapat dua atau tiga orang
kawan yang lain.
Sementara itu, di arena yang
rasa-rasanya menjadi semakin luas itu, telah terjadi lingkaran-lingkaran
pertempuran yang sengit. Tidak ada garis gelar yang memisahkan kedua pasukan,
karena mereka telah bercampur baur. Namun agaknya orang-orang Sangkal Putung
berusaha untuk saling menjauh, agar mereka tidak terlibat dalam jebakan yang
licik oleh lawannya yang jumlahnya memang terlalu banyak.
Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Ki Sumangkar semakin lama menjadi semakin cemas. Karena itulah, maka mereka
pun semakin lama menjadi semakin panas pula. Cambuk Kiai Gringsing meledak
semakin keras, sedangkan trisula di tangan Ki Sumangkar berputaran semakin
cepat. Ki Waskita pun bergerak semakin cepat pula dengan ikat kepalanya yang
sudah membelit tangan kirinya. Setiap serangan, seakan-akan telah membentur
perisai baja yang kuat dan tidak tergoyahkan.
Tetapi mereka ternyata telah
dihadapi oleh kelompok-kelompok kecil. Orang-orang yang memiliki kelebihan pada
setiap gerombolan yang ada di bawah pimpinan Gandu Demung itu telah menempatkan
dirinya melawan orang-orang yang mereka anggap paling berbahaya, sehingga
karena itu maka orang-orang tua yang memiliki ilmu melampaui orang kebanyakan
itu pun terpaksa bertempur dengan sungguh-sungguh untuk membebaskan
serangan-serangan lawannya.
Karena itulah, maka
pertempuran itu merupakan pertempuran yang berat bagi orang-orang Sangkal
Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Lawan mereka benar-benar terlampau banyak.
Bahkan beberapa orang lawan benar-benar telah bertempur dengan licik.
“Tidak ada jalan yang lebih
baik daripada mengurangi lawan sebanyak-banyaknya,” berkata Ki Sumangkar di
dalam hatinya, “semakin lama ternyata bahwa para pengiring menjadi semakin
terdesak.”
Karena itulah, maka Ki
Sumangkar pun kemudian terpaksa benar-benar memberikan tekanan sepenuh
tenaganya. Ia tidak ingin membiarkan korban berjatuhan semakin banyak.
Namun dalam pada itu, lawannya
pun tidak membiarkannya pula. Mereka bertempur semakin sengit dalam kelompok
yang kuat di seputarnya.
Demikian pula yang terjadi
atas Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Agaknya para perampok itu telah melepaskan
lawan-lawan mereka untuk bertempur seorang lawan seorang, sementara yang lain
telah membentuk kelompok-kelompok yang mengepung orang-orang terkuat pada
iring-iringan pengantin itu.
“Jumlah mereka terlampau
banyak,” desis Sumangkar.
Agung Sedayu akhirnya merasa
dikelilingi oleh beberapa orang lawan yang kuat. Mereka menyerang berturutan
dari segenap penjuru. Hanya karena ketangkasannya mengayunkan cambuknya sajalah
maka lawannya tidak pernah berhasil menyentuh tubuhnya dengan ujung senjata.
Swandaru pun hanya dapat
menggeram dan menahan kemarahan karena ia tidak dapat membebaskan dirinya dari
Gandu Demung. Lawannya yang meskipun hanya seorang, namun ternyata bahwa yang
seorang itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi getaran ujung cambuknya.
Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Ki Sumangkar menjadi cemas, mereka bertiga tidak dapat begitu saja
melepaskan diri dari putaran lawannya. Bahkan dengan mengerahkan segenap
kemampuan mereka sekalipun. Karena lawan bagaikan berada di segala tempat.
Sementara itu, para pengiring yang lain rasa-rasanya menjadi semakin terdesak
juga.
Satu-satu korban berjatuhan,
bahkan rasa-rasanya semakin mencemaskan.
Dalam pada itu, Prastawa telah
bertempur dengan gigihnya. Setiap kali terdengar sebuah teriakan nyaring.
Pedangnya berputaran dan mematuk dengan dahsyatnya.
Tetapi itu tidak berarti bahwa
akhir perkelahian itu mulai membayang. Kiai Gringsing dan orang-orang terkuat
di antara para pengiring menyadari bahwa jika perkelahian ini berlangsung lebih
lama lagi, meskipun mereka akan dapat menjatuhkan korban demi korban, tetapi
agaknya korban dari para pengiring yang jatuh terjadi lebih cepat, sehingga
dengan demikian, maka para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan
Menoreh itu akan susut dengan cepat sementara para perampok itu akan berkurang
dengan perlahan-lahan, betapapun orang-orang terkuat di antara mereka
mengerahkan segenap kemampuannya.
Ki Demang yang bertempur
dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mulai menyadari kelengahannya dan
para pengiringnya. Mereka telah dipengaruhi oleh ketenangan di sepanjang jalan
sehingga justru di depan hidung padukuhannya sendiri, mereka telah dihadapkan
pada kesulitan yang sukar untuk diatasi.
Tetapi sudah tentu bahwa
mereka tidak dapat membiarkan diri mereka dibantai oleh lawan. Mereka pun telah
bertempur sekuat-kuat tenaga dan kemampuan.
Satu-satu Ki Sumangkar, Kiai
Gringsing, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawannya. Tetapi setiap
kali, orang lain telah hadir pula di lingkaran pertempurannya, karena di bagian
lain, seorang pengiring telah jatuh pula terbaring di tanah dengan luka yang
parah.
“Alangkah mahalnya biaya
perkawinan Swandaru,” desis Agung Sedayu.
Namun dalam pada itu, hati
Swandaru saat itu bagaikan dibakar oleh api kemarahannya. Seolah-olah ia ingin
menepuk dada sambil berteriak bahwa dirinya adalah orang yang paling berkuasa
di kademangan itu selain ayahnya.
“Aku dapat mengerahkan semua
kekuatan yang ada di Sangkal Putung dan Menoreh,” katanya di dalam hati, “dan
aku akan memusnahkan mereka seperti aku dapat membakar batang ilalang kering di
padang ini.”
Tetapi yang terjadi bukannya
seperti yang diangan-angankan. Orang-orang itu sedang berusaha membinasakan
para pengiringnya. Dan dalam saat seperti itu, ia tidak dapat berbuat apa-apa,
selain mempergunakan kekuatan yang sudah ada.
Kenyataan itu benar-benar
sangat mendebarkan jantung. Betapapun kemarahan memuncak di hatinya, tetapi ia
harus menghadapi kenyataan, juga tentang lawannya. Meskipun Swandaru sudah
mengerahkan kemampuannya, tetapi ia tidak segera dapat mengalahkan Gandu
Demung.
Betapa pahitnya kenyataan itu
bagi Swandaru. Selagi ia merasa dirinya seorang yang memiliki kekuasaan di dua
daerah yang luas dan kuat, namun ia tidak berdaya untuk berbuat sesuatu karena
lawannya yang tidak segera dapat dikalahkan.
Para pemimpin dari Sangkal
Putung dah Tanah Perdikan Menoreh semakin menjadi cemas. Prastawa yang semula
bertempur dengan garangnya telah menjadi berdebar-debar. Setiap kali ia melihat
kawannya terluka, maka hatinya bertambah kecut. Meskipun ia tidak diganggu oleh
ketakutan tentang dirinya sendiri, tetapi ia segera dipengaruhi oleh keadaan
kawan-kawannya yang terdesak.
Namun Sekar Mirah tidak sempat
memperhatikan keadaan anak muda itu karena ia harus bertempur dengan sekuat
tenaganya. Saudara Gandu Demung yang tidak dapat segera mengalahkannya itu
ternyata telah memanggil seorang kawan untuk melawan gadis dari Sangkal Putung
itu.
Dalam pada itu, maka jumlah
yang besar dari para perampok itu agaknya ikut menentukan. Perlahan-lahan
mereka berhasil mendesak lawan mereka. Bahkan oleh pengalaman yang luas, mereka
seakan-akan telah melingkari para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah
Pcrdikan Menoreh. Mereka tidak mendesak para pengiring itu untuk memasuki hutan
kecil, namun mereka seolah-olah telah berhasil mengepung dan mendesak mereka ke
lingkaran yang semakin sempit.
“Gila,” desis Ki Demang
Sangkal Putung.
Sementara itu Agung Sedayu
telah bertempur dengan sekuat tenaganya.
Tetapi bagaimana pun juga,
para pengiring itu telah terdesak. Mereka semakin merapat dalam lingkaran yang
menyempit.
Ki Waskita setiap kali menarik
nafas melihat kemungkinan yang pahit itu, sehingga kadang-kadang ia pun telah
disentuh oleh kecemasan bahwa korban akan menjadi semakin banyak.
Sambil memandang empat orang
lawannya, ia mendesak maju. Direncanakannya tangannya ketika sebilah tombak
pendek menusuknya. Kemudian dengan tangannya yang lain, ia berhasil menangkap
ujung tangkainya. Sebuah hentakkan yang kuat telah menyeret seorang ke dalam
lingkaran perkelahian dan jatuh terjerembab.
“Salahmu,” ia menggeram.
Tetapi ketika kakinya hampir saja memecahkan kepala orang itu, ia menahan
kekuatannya sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Namun
dengan tangkas orang itu berhasil meloncat bangkit meskipun kepalanya menjadi
pening.
Ki Waskita tidak dapat
mengerahkan tenaga cadangannya untuk melakukan pembunuhan dengan semena-mena.
Tetapi jika ia masih tetap dihinggapi oleh perasaan itu, maka justru korban
akan berjatuhan dari pihaknya.
“Aku tidak peduli,” Kiai
Gringsing menggeram pula ketika cambuknya merobek paha seorang lawannya
sehingga lawannya itu terbanting jatuh. Namun ujung cambuk itu seolah-olah
telah dihentakkan sehingga tidak menyentuh wajah orang yang sudah tidak berdaya
itu.
“Kenapa aku tidak
membunuhnya,” desis Kiai Gringsing.
Sejenak kemudian terdengar
cambuknya meledak dahsyat sekali. Kemarahannya kadang-kadang tertahan-tahan,
tetapi kadang-kadang meledak-ledak hanya di ujung cambuk, karena kematian masih
mungkin dihindari.
Ki Sumangkar-lah yang kemudian
tidak lagi mengendalikan dirinya karena ia seolah-olah berada di sisi yang lain
dari perkelahian itu. Lawannya mendesaknya tanpa ampun, sehingga ia pun tidak
lagi dapat mempertimbangkan untuk mengampuni. Itulah sebabnya maka di sisi itu
rasa-rasanya orang-orang Sangkal Putung mendapat kesempatan untuk mengadakan
perlawanan sebaik-baiknya.
Lawan-lawan mereka tidak
berhasil mendesak terus. Bahkan Ki Sumangkar seakan-akan selalu berhasil
memecahkan kepungan yang menghimpitnya.
“Jika aku tidak membunuh lawan
sebanyak banyaknya maka kawan-kawankulah yang terbunuh. Bahkan mungkin
muridku.”
Meskipun beberapa orang dari
antara mereka yang dikepung oleh para perampok itu ternyata berhasil
menggoncangkan lawan-lawannya, tetapi keadaan keseluruhan medan memang agak
mengkhawatirkan.
Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Sumangkar yakin bahwa jika pertempuran itu dibiarkannya demikian
seterusnya, mereka akan dapat mengakhiri sampai orang terakhir. Tetapi
sementara itu, mungkin orang-orang terpenting di pihaknya sempat menjadi korban.
“Ada sesuatu yang harus
dilakukan,” desis Kiai Gringsing, “Ki Demang harus bertindak cepat. Beberapa
puluh tonggak lagi adalah padukuhan yang dihuni oleh beberapa orang anak-anak
muda yang di antara mereka adalah pengawal-pengawal Sangkal Putung.”
Karena itulah, maka Kiai
Gringsing kemudian berusaha untuk mendekati Ki Demang Sangkal Putung. Baginya
tidak terlalu sulit untuk bergeser di arena itu, meskipun ia dikepung oleh
beberapa orang sekaligus.
Dalam pada itu, Ki Demang
benar-benar telah menjadi cemas. Betapapun akhir dari perkelahian itu, bahkan
seandainya orang-orang terkuat di pihaknya akan dapat menumpas lawan sampai
habis sekalipun, namun jika anaknya sempat menjadi korban, maka perjalanan
mereka, bahkan hidupnya pun menjadi sia-sia.
Karena itulah, maka Ki Demang
pun kemudian berkelahi dengan membabi buta, bahkan hampir putus asa.
Dalam keadaan yang
mengkhawatirkan itulah Gandu Demung dan anak buahnya sempat berteriak-teriak
dengan kasarnya untuk mempengaruhi pertempuran. Suara mereka yang kasar dan
keras, seolah-olah membuat hati lawannya menjadi semakin gemetar.
Kesulitan demi kesulitan
terasa di antara para pengiring dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh.
Mereka terdesak dalam kepungan yang semakin sempit, sehingga sebagian dari mereka
telah merasa, bahwa mereka benar-benar akan mengalami kegagalan yang pahit.
Dalam pada itu, selagi keadaan
yang parah itu menekan orang orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh,
dibumbui oleh harapan-harapan yang semakin menyala di hati para perampok,
meskipun sebagian dari mereka merasa bahwa perjuangan mereka ternyata berat dan
sangat perlahan-lahan dibanding dengan jumlah mereka yang jauh lebih banyak
dari lawannya, maka saat itu orang-orang di Sangkal Putung sibuk mempersiapkan
penyambutan atas kedatangan sepasang pengantin yang menurut rencana akan datang
pada hari itu.
Beberapa orang pengawal telah
siap menjemput mereka di regol padukuhan yang pertama. Kemudian di sepanjang
jalan, beberapa orang sudah menunggu, karena mereka ingin melihat, sepansang
pengantin yang akan diterima di Kademangan Sangkal Putung dengan upacara yang
besar dan meriah.
“Mereka tentu maju
perlahan-lahan sekali,” berkata salah seorang pengawai kepada kawan-kawannya.
“Bukankah menurut rencana,
mereka semalam bermalam di Mataram? desis yang lain.
“Ya.”
“Tetapi kapan mereka berangkat
dari Mataram? Tentunya tidak terlampau siang, apalagi sore hari.”
“Tentu tidak.”
Yang lain terdiam. Tetapi
rasa-rasanya mereka sudah menunggu terlampau lama.
Para perampok pun merasa telah
bertempur terlampau lama. Beberapa orang pemimpin mereka menjadi tidak sabar
lagi. Tetapi mereka tidak dapat memaksakan kemenangan yang lebih cepat meskipun
sudah terasa. Rasa-rasanya beberapa orang di antara orang orang Sangkal Putung
dan Tanah perdikan Menoreh telah menghambat kemenangan mereka, sehingga
kemarahan mereka menjadi semakin memuncak.
Sementara anak-anak muda yang
menunggu kehadiran sepasang pengantin itu mengisi waktunya dengan berbagai
permainan. Macanan atau mul-mulan. Berpasangan mereka duduk di sebelah gardu di
regol padukuhan. Setiap kali mereka mengangkat kepala mereka sambil memandang
ke kejauhan. Jika selembar debu mengepul, mereka pun segera meloncat berdiri.
Namun jika debu itu lenyap tanpa meninggalkan bayangan apa pun, mereka menjadi
kecewa dan duduk lagi di belakang permainan mereka.
Tetapi akhirnya mereka pun
jemu bermain-main. Mereka mulai berkelakar sambil saling mengganggu. Suara
tertawa meledak-ledak tidak henti-hentinya.
“Tentu Swandaru terlambat
bangun, dan tidak ada yang berani mengganggunya,” desis salah seorang anak
muda.
Yang lain menyahut sambil
tertawa, “Pengantin itu tentu lebih senang bermalam semalam lagi di Mataram.
Mereka tidak akan diganggu oleh upacara yang tentu terasa sangat menjemukan.”
Suara tertawa pun meledak di
antara mereka.
Namun tiba-tiba saja mereka
terkejut ketika salah seorang berteriak, “Lihat mereka datang.”
Anak-anak muda itu pun segera
berloncatan. Berdesak-desakan mereka berdiri di luar regol. Bahkan ada di
antara mereka yang meloncat ke atas dinding.
Tetapi mereka pun
termangu-mangu. Dan bahkan salah seorang dari mereka bertanya di antara
kawan-kawannya, “Kuda. Kau lihat seekor kuda berlari-lari tanpa penunggang?”
“Dua. O, tiga. Aku melihat
tiga ekor kuda,” teriak yang berdiri di atas dinding batu.
Tiba-tiba saja suasana telah
berubah sama sekali. Mereka yang bergurau dengan gelak tertawa, tiba-tiba saja
telah dicengkam oleh suatu teka-teki yang aneh.
“Tangkaplah kuda-kuda itu.
Kita akan dapat menduga, siapakah penunggang-penunggangnya. Apakah mereka
orang-orang yang kebetulan sedang turun dari kuda-kuda mereka, tetapi karena
suatu kejutan kuda-kuda itu berlari, atau mungkin karena sesuatu hal
penunggang-penunggangnya telah terjatuh atau sebab-sebab lain.”
Beberapa orang anak muda pun
melangkah maju. Mereka telah bersiap-siap untuk menghentikan kuda-kuda yang
sedang berlari itu.
Agaknya kuda-kuda itu pun
tidak berlari-larian terus. Ketika kuda-kuda itu melihat beberapa orang yang
berdiri di jalan yang akan dilalui, nampaknya kuda-kuda itu pun telah berlari
semakin lambat, sehingga dengan demikian, maka usaha untuk menangkapnya tidak
terlampau sulit.
“Lihat, apakah yang ada di
dalam bungkusan di pelana kuda itu,” berkata salah seorang dari mereka.
Beberapa orang anak muda pun
kemudian melihat sebuah bungkusan yang tergantung di pelana kuda itu. Beberapa
lembar pakaian.
“He, bukankah ini pakaian
Damar? He, ini pakaian Damar. Aku tahu benar. Dan ini?” desis seorang sambil
mengamati kuda itu.
Anak-anak muda itu menjadi
tegang. Mereka pun kemudian mengerumuni kawannya yang sedang merentangkan
sebuah baju lurik berwarna merah soga.
“Apakah kau yakin?” bertanya
salah seorang dari mereka.
“Aku yakin. Aku juga mempunyai
baju seperti ini, karena kami berdua membeli lurik bersama-sama dan membuat
bersama-sama pula.”
“Jadi, kuda ini adalah kuda
yang dipergunakan oleh Damar?”
“Aku kira begitu.”
Anak-anak muda itu terdiam
sejenak. Tanpa mereka sadari, mereka pun kemudian mengambil bungkusan-bungkusan
kecil yang perada di pelana kuda yang lain pula.
Meskipun mereka tidak segera
dapat mengenal, namun mereka yakin bahwa pakaian kawan-kawan mereka dan
kuda-kuda para pengawal Sangkal Putung.
“Apakah yang sudah terjadi?”
desis seorang anak muda yang bertubuh tinggi.
Sejenak mereka termangu-mangu.
Namun ketika mereka melihat seekor kuda lagi berlari-lari mendekati regol,
tiba-tiba saja salah seorang berteriak, “Itu kuda Swandaru.”
“Ya. Itu kuda Swandaru.”
Dada anak-anak muda itu
rasa-rasanya berdentang terlampau cepat. Tiba-tiba saja anak muda bertubuh
tinggi itu berteriak, “Siapa ikut aku?”
Dan tanpa berpikir panjang
lagi ia pun segera meloncat naik ke atas punggung kuda dan berpacu menyusur
jalan dari arah kuda-kuda itu datang.
Demikian pula tiga orang
kawannya yang tidak mau ketinggalan, mempergunakan kuda-kuda yang ada dan
menyusul kawannya yang bertubuh tinggi itu.
“Tunggu,” teriak yang lain.
Tetapi keempat orang itu sudah menjadi semakin jauh.
“Agaknya sesuatu telah terjadi
dengan rombongan pengantin. Tidak mungkin bahwa mereka membiarkan kuda-kuda
mereka berlari mendahului dan iring-iringan itu melanjutkan perjalanan dengan
berjalan kaki,” desis salah seorang dari anak-anak muda yang masih berdiri di
regol.
“Kita mencari kuda. Cepat,”
teriak salah seorang dari mereka.
Kata-katanya itu ternyata
telah menggerakkan anak-anak muda itu. Mereka pun kemudian berlari-larian ke
rumah-rumah yang terdekat, yang diperkirakan mempunyai kuda tunggangan. Tegar
atau tidak tegar.
Dalam keadaan yang
tergesa-gesa itu akhirnya mereka berhasil mengumpulkan tujuh ekor kuda sehingga
tujuh orang dari antara mereka pun segera berpacu menyusul keempat
kawan-kawannya yang sudah mendahului mereka. Bahkan mereka masih sempat
mempersiapkan senjata yang apabila perlu dapat dipergunakan setiap saat.
Ternyata bahwa keempat orang
yang terdahulu itu masih menjumpai beberapa ekor kuda yang termangu-mangu. Ada
beberapa ekor di antaranya berhenti dengan tenangnya makan rumput di pinggir
parit.
“Lecut kuda-kuda itu,” desis
salah seorang dari keempat orang yang terdahulu, “biarlah kuda-kuda itu kembali
ke padukuhan dan dipergunakan oleh kawan-kawan kita yang lain.”
Dengan sentuhan-sentuhan kecil
maka kuda-kuda itu pun kemudian berlari menuju ke padukuhan seperti kuda-kuda
yang terdahulu. Di sepanjang jalan, anak-anak muda yang menyusul kemudian
memperlakukan kuda-kuda itu seperti kawan-kawan mereka yang berada di depan.
Dalam pada itu, keempat orang
yang berkuda di paling depan melecut kuda mereka semakin cepat. Dugaan mereka
kuat sekali, bahwa agaknya memang telah terjadi sesuatu dengan iring-iringan
pengantin itu.
“Tentu tidak terlalu jauh,”
desis orang yang bertubuh tinggi itu kepada diri sendiri, “jika peristiwa yang
terjadi itu masih cukup jauh, kuda-kuda itu tentu tidak dengan mudah menemukan
jalan kembali ke kandang mereka.”
Karena itulah maka ia pun
berpacu semakin cepat. Dan dugaan yang paling kuat adalah hutan di ujung
kademangan.
Sementara itu pertempuran di
pinggir hutan itu masih berlangsung. Meskipun para perampok itu berhasil
mendesak lawan-lawannya, tetapi mereka nampaknya merasa pekerjaan mereka
terlalu lamban. Mereka ingin segera menguasai keadaan seluruhnya dan memaksa
sisa lawannya untuk menyerahkan semua miliknya dan merampas milik orang-orang
yang terluka dan barangkali terbunuh di arena. Apalagi ketika mereka menyadari
bahwa korban di antara mereka pun masih berjatuhan terus, terutama di sekitar
orang-orang yang mempergunakan senjata-senjata yang aneh. Cambuk, trisula, ikat
kepala, dan beberapa orang lain yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.
Namun pada umumnya, para
pengawal itu benar-benar telah terdesak, semakin menyempit karena jumlah yang
tidak seimbang.
Dalam pada itu, Ki Demang
Sangkal Putung seolah-olah benar-benar telah kehilangan akal. Ia melihat
desakan yang seolah-olah tidak tertahankan, kepungan yang semakin sempit dan
satu-satu korban masih saja jatuh di tanah. Meskipun ia melihat juga, bagaimana
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berhasil mengurangi jumlah lawan,
tetapi rasa-rasanya kecemasan masih saja mencengkamnya, bahkan semakin dalam.
Ki Waskita yang bertempur
melawan beberapa orang itu masih saja dibayangi oleh keragu-raguan. Setiap kali
timbul keinginan untuk menampilkan bentuk-bentuk semu yang dapat mengganggu
pertempuran itu. Tetapi setiap kali ia justru menjadi ragu-ragu, bahwa
orang-orang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh pun akan menjadi bingung
karenanya, apalagi Ki Waskita masih belum menemukan, bentuk apakah yang paling
baik ditampilkan dalam pertempuran itu.
Namun dalam pada itu, selagi
Ki Demang dicengkam oleh kecemasan yang semakin dalam, seperti juga beberapa
orang yang lain, maka terdengarlah derap kaki kuda yang menjadi semakin dekat.
Beberapa orang yang bertempur di sepanjang jalan dapat melihat empat ekor kuda
berlari kencang menuju ke arena, sehingga debu yang putih bergulung-gulung
terlempar dari kaki kuda-kuda itu.
“Tentu bukan sekedar bentuk
semu,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Kedatangan empat orang
penunggang kuda itu benar-benar menarik perhatian. Apalagi karena nampaknya mereka
langsung menuju ke arena dengan senjata yang sudah telanjang.
Ki Demang pun kemudian melihat
keempat orang itu. Seperti juga orang-orang Sangkal Putung, mereka langsung
mengenal, bahwa keempat orang itu adalah pengawal-pengawal kademangan.
Untuk sesaat Prastawa justru
menjadi cemas, karena ia semula mengira bahwa keempat orang itu justru adalah
kawan-kawan para penjahat. Namun ketika tiba-tiba saja terdengar sorak
orang-orang Sangkal Putung yang merasa seolah-olah tidak lagi dapat melepaskan
diri dari tekanan lawannya, segera mengetahui bahwa orang-orang itu adalah
orang-orang Sangkal Putung.
“Cepatlah,” berteriak salah
seorang pengiring dari Sangkal Putung.
Kuda-kuda itu langsung
menyerbu ke arena. Baru ketika mereka tinggal beberapa langkah lagi, maka
penunggang-penunggangnya pun memperlambat lari kudanya dan meloncat turun.
Meskipun yang datang itu hanya
empat orang, tetapi rasa-rasanya pengaruhnya segera terasa. Keempat orang itu
telah berhasil menarik perhatian hampir semua orang yang berada di arena itu.
“Gila,” teriak Gandu Demung
yang masih bertempur melawan Swandaru, “musnahkan mereka segera. Kita tidak
boleh bekerja terlalu lamban seperti ini.”
Tidak ada jawaban. Tetapi
Bajang Garing mengumpat di dalam hati, “Kau sendiri tidak segera berhasil
mengalahkan lawanmu.”
Agung Sedayu yang bertempur di
ujung menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berusaha untuk menghilangkan perasaan
segannya, dan cambuknya sudah benar-benar menyambar lawannya beberapa kali.
Namun ia tidak dapat menembus beberapa orang lawan yang seolah-olah
menyerangnya berganti-ganti.
Empat orang yang baru datang
itu telah berhasil mengurangi jumlah lawan yang menekan dalam kepungan. Dengan
garangnya keempat orang yang masih segar itu menyerbu dengan senjatanya yang
berputar seperti baling-baling. Kemarahan yang tiba-tiba saja meledak di
dadanya, telah membuat mereka menjadi kehilangan pengekangan diri.
Tetapi mereka pun segera
tertahan ketika empat orang dari gerombolan penjahat itu menyongsong mereka,
sehingga perkelahian yang sengit pun segera terjadi.
Tetapi kejutan yang
mengguncangkan arena itu masih berkelanjutan. Sejenak kemudian, selagi arena
itu masih dibakar oleh pertempuran yang seru, terdengar lagi derap kaki kuda.
Lebih banyak dari yang terdahulu.
Yang datang ternyata berjumlah
tujuh orang. Seperti keempat orang pengawal yang telah datang terlebih dahulu,
maka ketujuh orang itu pun langsung menyerbu ke arena perkelahian. Mereka
meloncat turun dan langsung menarik senjata mereka dari sarungnya dan menyerbu
dengan penuh luapan kemarahan.
Swandaru yang bertempur
melawan Gandu Demung menarik nafas dalam-dalam. Kedatangan kawan-kawannya
membuatnya jadi lebih tenang. Sekilas dilihatnya Pandan Wangi yang masih
bertempur dengan gigihnya setelah ia berhasil membunuh orang bertubuh raksasa
yang dungu itu.
Dalam pada itu. Sekar Mirah
pun mulai tersenyum pula. Kehadiran ketujuh orang yang menyusul kemudian itu
benar-benar telah mempengaruhi keadaan, sehingga terasa kepungan itu pun
menjadi makin kendor.
“Terima kasih,” tiba-tiba saja
Ki Demang berkata lantang. Ia tidak dapat menahan gejolak yang menggeletar di
dalam hatinya. Namun kemudian keinginannya pun telah mendesaknya, “Dari mana
kau mengetahui keadaan ini, sehingga kau telah datang kemari?”
“Beberapa ekor kuda telah datang
ke padukuhan tanpa penunggang,” jawab salah seorang dari mereka.
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Semakin lama semakin terasa bahwa kepungan lawan menjadi semakin
longgar.
Gandu Demung yang mengetahui
keadaan itu pun menggeram. Rasa-rasanya jantungnya telah terbakar oleh
kemarahan yang meledak. Sebelum kedatangan para pengawal, ia sudah memastikan,
bahwa usahanya akan berhasil. Tentu orang-orang yang baru datang dari Tanah
Perdikan Menoreh itu membawa banyak sekali barang-barang berharga. Namun
nampaknya harapan itu kini menjadi semakin kabur.
Apalagi ketika salah seorang
dari para pengawal Sangkal Putung itu berkata nyaring, “Masih ada beberapa ekor
kuda yang berlari ke padukuhan. Sebentar lagi tentu akan datang lagi beberapa
orang pengawal menyusul kami.”
“Bohong,” tiba-tiba saja Gandu
Demung berteriak, “kau hanya ingin sekedar menakut-nakuti kami. Tetapi kami
bukan pengecut.”
“Jawabmu sudah membayangkan
ketakutan yang mencengkam jantungmu,” desis Swandaru, “hati-hatilah. Cambukku
akan segera mengakhiri perlawananmu. Aku tidak lagi diganggu oleh kecemasan
tentang kawan-kawanku yang mendapat tekanan yang berat dari orang-orangmu yang
gila itu.”
“Kawan-kawanku pun akan segera
datang membantuku,” teriak Gandu Demung.
“Tidak ada lagi orangmu yang
tersisa. Tetapi jika mereka masih ada dan ingin memasuki arena ini, itu adalah
kebetulan sekali, karena mereka pun akan segera terbujur menjadi mayat.”
Gandu Demung menjadi semakin
marah. Tetapi kemarahannya sama sekali tidak berhasil merubah kenyataan yang
harus dihadapinya. Perlahan kawan-kawannya pun menjadi semakin mengendor,
karena korban pun berjatuhan. Sebelas orang pengawal yang datang kemudian itu
benar-benar telah ikut menentukan akhir dari perkelahian yang semula jumlahnya
tidak seimbang sama sekali. Meskipun di saat terakhir jumlah mereka masih tetap
lebih banyak, tetapi selisih yang tidak terlampau jauh itu sama sekali tidak
banyak berpengaruh, karena sebagian dari mereka telah diserap di seputar
orang-orang yang mempunyai kelebihan dari kebanyakan.
Dalam pada itu, di kejauhan,
dua orang mengamati perkelahian itu dengan saksama. Mereka pun menjadi cemas
bahwa kedatangan beberapa orang berkuda itu dapat merubah keseimbangan. Apalagi
ketika kemudian ternyata bahwa hal itu benar-benar telah terjadi.
Kehadiran sebelas orang di
arena itu, telah mengaburkan harapan kedua orang yang mengawasi pertempuran
dari kejauhan itu. Mereka sebenarnya ingin melihat Gandu Demung mendapatkan
kemenangan. Kemudian di saat-saat terakhir datang kepadanya dan minta satu dua
butir perhiasan dari para korbannya.
Namun ternyata bahwa para
pengiring yang mendapat bantuan dari anak-anak muda yang datang kemudian itu,
berhasil mengendorkan kepungan yang sudah menjadi semakin rapat.
“Gila,” desis salah seorang
dari mereka.
“Yang lebih parah adalah jika
Gandu Demung tertangkap hidup,” desis yang lain, “kita kehilangan beberapa
butir berlian, ditambah lagi dengan tugas yang paling gila. Tugas yang paling
aku benci selama aku berada di lingkungan ini.”
Kawannya hanya menarik nafas.
Namun kemudian dahinya berkerut semakin dalam ketika ia melihat dua ekor kuda
sedang mendatang.
“Ditambah dengan dua orang
lagi,” desisnya kemudian.
“Seorang lagi di belakangnya.”
“Gila. Tetapi kenapa mereka
datang seorang demi seorang? Bukan sepasukan yang lengkap sekaligus?”
“Mereka tentu tidak bersiap
menghadapi peristiwa yang tidak terduga-duga itu. Karena itu, siapa yang telah
mendapatkan kuda ialah yang berangkat lebih dahulu.”
“Tiga orang ini akan sangat
penting artinya bagi pertempuran yang sudah mulai kacau. Kepungan Gandu Demung
sebentar lagi akan pecah dan usahanya yang sudah hampir berhasil itu ternyata
sia-sia. Korban yang berjatuhan tidak memberikan apa-apa kepadanya dan kepada
kelompoknya yang berjumlah sekian banyak orang itu.”
“Kasihan,” tiba-tiba kawannya
menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah sebuah keluhan yang panjang telah
terlontar dari mulutnya.
Sebenarnyalah bahwa pasukan
Gandu Demung semakin lama menjadi semakin terdesak. Jumlah orang yang masih
lebih banyak, ternyata tidak mampu menguasai arena. Satu-satu mereka terdesak
dan bahkan jatuh di tanah dengan luka di tubuhnya atau bahkan terbunuh sama
sekali.
Gandu Demung melihat keadaan
yang berubah itu dengan kemarahan yang memuncak. Ia sadar bahwa setiap orang
akan meletakkan tangung jawab dari kegagalan ini di atas pundaknya, terutama
orang-orang dari lingkungan yang berada. Anak buah Bajang Garing dan gerombolan
dari Alas Pengarang.
Karena itulah, maka
kegelisahan yang sangat telah mencengkam dadanya. Perhitungan yang sudah
dibuatnya sebaik-baiknya telah gagal karena orang-orang Sangkal Putung dengan
sengaja telah melepaskan kuda-kuda mereka.
“Suatu kelengahan,” geram
Gandu Demung, “kuda-kuda itu seharusnya dibinasakan sehingga tidak dapat
mencapai padukuhan.”
Tetapi semuanya sudah terjadi.
Bahkan ia menduga, tentu masih ada lagi anak-anak muda yang akan berdatangan
meskipun hanya satu atau dua orang, sehingga keseimbangan perkelahian ini
benar-benar akan berubah sama sekali.
Ternyata bahwa dugaan Gandu
Demung itu benar. Sejenak kemudian telah muncul lagi dua ekor kuda yang berpacu
seperti angin, langsung menyerbu ke arena perkelahian.
Dalam pada itu, Gandu Demung
benar-benar menjadi bimbang. Apakah ia akan bertahan terus sampai orang yang
terakhir. Atau ia harus mengambil sikap lain.
Sebagai seorang yang telah
mendapat kepercayaan dari Empu Pinang Aring untuk berada di dalam satu
lingkaran pembicaraan, maka Gandu Demung adalah orang yang memiliki harapan
yang baik di hari depan. Namun tiba-tiba saja ia telah terjebak dalam
kelengahan, sehingga seolah-olah ia telah terperosok ke dalarn satu kesulitan.
Untuk beberapa saat Gandu
Demung hanya dapat bertahan sambil memikirkan kemungkinan yang paling baik
dapat dilakukan.
Sementara itu, para pemimpin
dari gerombolan yang lain benar-benar menjadi gelisah. Mereka tidak tahu apa
yang akan dilakukan dan sikap apakah yang akan diambil oleh Gandu Demung. Namun
untuk bertahan seterusnya, mereka tentu tidak akan mampu lagi.
“Gila,” desis salah seorang
dari gerombolan Alas Pengarang, “apakah kita akan dibiarkan terbakar sampai
hangus di sini?”
“Tidak ada gunanya lagi kita
bertempur terus,” desis yang lain.
Sekilas mereka memandang hutan
yang meskipun tidak terlalu lebat tetapi akan dapat dipergunakan sebagai tempat
untuk menarik diri dari arena perkelahian. Hutan itu merupakan arena yang baik
untuk menghindar dan kemudian menghilang dari peperangan yang sudah dapat
diduga akhirnya.
Tetapi setiap orang masih
menunggu. Pemimpin-pemimpin mereka yang masih hidup masih bertempur terus.
Gandu Demung pun masih berusaha bertahan dari amukan cambuk Swandaru yang
meledak semakin dahsyat.
Tetapi akhirnya Gandu Demung
tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Ketika dua orang berkuda datang pula ke
arena, yakinlah ia bahwa perkelahian itu harus diakhiri, meskipun harus
mengorbankan harga diri. Namun itu agaknya lebih baik daripada semua orang di
dalam gerombolan itu harus tumpas habis.
Sejenak kemudian, maka
terdengarlah dari mulut Gandu Demung suatu isyarat. Isyarat yang tidak pernah
dibicarakannya lebih dahulu, karena setiap orang di dalam gerombolan itu yakin,
bahwa mereka akan berhasil memusnahkan lawan mereka dan merampas
barang-barangnya.
Meskipun demikian, karena di
setiap hati telah terbersit keinginan yang serupa, maka ketika isyarat itu
terdengar di arena pertempuran, maka mereka pun segera mendapatkan terjemahan
yang sama.
Lari dari arena pertempuran.
Sejenak kemudian, maka telah
terjadi hiruk-pikuk yang membingungkan. Gandu Demung telah membawa
orang-orangnya berlari meninggalkan arena, namun dengan membuat kesan yang
kalut, sehingga lawannya agak menemukan kesulitan untuk mengejar mereka seorang
demi seorang. Apalagi setelah setiap gerombolan melakukan hal yang serupa
sambil berlari memasuki hutan yang tidak terlampau lebat, namun cukup padat
untuk menarik diri dan menghilang di antara pepohonan.
Beberapa orang pengiring
benar-benar telah kehilangan lawannya. Mereka tidak sempat mengejar karena
keadaan yang membingungkan. Para perampok itu lari silang melintang, kemudian
menyusup di balik pepohonan.
Tetapi dalam pada itu,
Swandaru benar-benar tidak mau melepaskan lawannya. Dengan kemarahan yang
membara ia berhasil mengurung Gandu Demung dalam satu perkelahian, sehingga
Gandu Demung itu sendiri tidak segera dapat melarikan diri.
“Gila,” geram Gandu Demung.
Tetapi bagaimana pun juga,
Swandaru berhasil menahannya. Demikian juga beberapa orang yang lain, yang
tidak sempat menghindar dari kejaran para pengiring dari Sangkal Putung dan
Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itulah, maka Swandaru
masih tetap bertempur terus melawan Gandu Demung ketika para pengiringnya sudah
mulai berdatangan setelah kehilangan lawannya, sementara yang lain memaksa
lawan-lawannya yang tidak berdaya lagi untuk menyerah.
“Letakkan senjata kalian,”
terdengar suara Agung Sedayu di ujung hutan.
Beberapa orang yang tidak
berhasil lolos dengan cemas meletakkan senjata mereka dan digiring ke dalam
satu tempat yang dilingkari oleh beberapa orang pengiring yang bersenjata
telanjang. Mereka sama sekali tidak lagi merupakan pengiring-pengiring
pengantin yang berwajah cerah karena kegembiraan, tetapi mereka adalah
pengawal-pengawal dengan dahi yang berkerut tegang sambil menggenggam senjata.
Namun dalam pada itu, di
bagian lain dari arena, Swandaru masih tetap bertempur melawan Gandu Demung.
Suara cambuknya masih saja meledak-ledak memekakkan telinga.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
Ki Waskita, Ki Demang dan beberapa orang tua telah mendekat dan memagari
pertempuran itu dengan sebuah lingkaran, meskipun mereka tidak sengaja
mengepungnya.
“Menyerahlah,” desis Kiai
Gringsing, “tidak ada seorang pun yang masih melakukan perlawanan kecuali kau.”
Tetapi Gandu Demung
menggeretakkan giginya sambil meng-geram, “Aku bukan pengecut.”
“Aku tahu,” sahut Kiai
Gringsing, “tetapi tidak ada gunanya lagi perkelahian yang berlarut-larut. Kami
dapat beramai-ramai menangkapmu dan memperlakukan kau tidak seperti yang kau
harapkan.”
“Persetan,” Gandu Demung masih
tetap berkeras kepala.
“Tidak ada kesempatan lagi,”
berkata Ki Sumangkar.
Gandu Demung tidak menjawab.
Sekilas dipandanginya orang-orang yang berdiri mengerumuninya. Dilihatnya dua
orang perempuan dengan senjatanya masing-masing tegang di pinggir arena.
“Apakah kedua saudaraku
berhasil melarikan diri atau mati oleh iblis-iblis betina itu,” pertanyaan itu
melonjak di dalam hatinya.
“Menyerahlah,” desis Ki Demang
Sangkal Putung.
Namun yang menjawab adalah
Swandaru, “Beri kesempatan orang ini menunjukkan kemampuannya. Keberaniannya
mencegat iring-iringan ini telah menimbulkan kekaguman di dalam hatinya,
apalagi setelah aku bertempur beberapa saat lamanya tanpa dapat
mengalahkannya.”
“Tidak ada gunanya, Swandaru,”
berkata Kiai Gringsing, “kita dapat minta kepadanya agar meletakkan senjatanya.
Kita dapat menyelesaikan sisa persoalan yang ada dengan cara yang lebih baik.”
Gandu Demung termangu-mangu
sejenak. Namun ia tidak menjawab. Bahkan sikap Kiai Gringsing telah menumbuhkan
harapan di dadanya untuk berbuat sesuatu.
“Aku harus berpura-pura,”
berkata Gandu Demung, “jika mereka lengah, aku dapat meloncat masuk ke dalam
hutan itu.”
Dalam pada itu, maka Kiai
Gringsing pun meneruskan, “Berilah ia kesempatan, Swandaru.”
Wajah Swandaru masih tetap
tegang. Serangannya sama sekati tidak mengendur, sehingga pertempuran itu masih
tetap merupakan pertempuran yang seru.
“Biarlah orang itu menyerah,
Swandaru,” Ki Sumangkar pun mencoba untuk menenangkan hati anak yang gemuk itu.
Namun Swandaru kemudian
menggeram, “Orang ini tentu pemimpin dari gerombolan yang telah mencoba
merampok kita. Karena itu, aku ingin membuktikan bahwa sebenarnya ia tidak
berdaya apa-apa melawan orang-orang Sangkal Putung.”
“Maksudmu?” bertanya Ki
Demang.
“Jangan ganggu. Perkelahian
ini akan dilanjutkan dengan perang tanding sampai selesai, sampai terbukti,
apakah Swandaru dapat dikalahkannya atau mengalahkannya. Dengan demikian akan
ternyata bahwa Swandaru mempunyai kemampuan yang dapat diperbandingkan dengan
seorang pemimpin gerombolan yang cukup besar di daerah ini.”
Ki Demang memandang wajah Kiai
Gringsing sejenak. Namun tidak sepatah kata pun yang keluar dari sela-sela
bibirnya.
Kiai Gringsing agaknya dapat
mengerti kecemasan di hati Ki Demang itu, sehingga ia pun kemudian berkata,
“Swandaru, cobalah berpikir dengan tenang. Jangan terburu nafsu. Orang itu adalah
satu-satunya orang yang masih memegang senjata. Jika kita dapat mengendalikan
diri, aku berharap bahwa masalahnya dapat diselesaikan dengan cara lain, bukan
dengan perang tanding.”
“Tidak,” Swandaru menggeram,
“aku telah memutuskan untuk memberikan kesempatan kepadanya.”
“Berbahaya sekali Swandaru.
Apalagi kau sedang dalam keadaan yang khusus sekarang ini.”
“Aku akan membuktikan, bahwa
Swandaru memiliki kemampuan yang cukup untuk menindas gerombolan semacam ini.
Agar pada saatnya mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat
apa-apa di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh, karena aku berada di
kedua daerah itu.”
Jawaban itu membuat hati
setiap orang menjadi berdebar-debar. Namun orang-orang tua menganggap, bahwa
Swandaru baru dicengkam oleh kemarahan yang tidak tertahankan.
Karena itulah, maka sikapnya
telah mengejutkan orang-orang yang mengerumuninya. Seolah-olah mereka melihat
seorang anak muda yang tidak lagi dapat mengendalikan dirinya, atau bahkan
telah disentuh oleh kesombongan yang disadari atau tidak telah terlontar pada
sikapnya itu. Apalagi ketika Swandaru kemudian melepaskan lawannya sesaat
sambil menengadahkan wajahnya.
Sementara itu, Gandu Demung
berdiri tegak seperti batang. Ia benar-benar tersinggung melihat sikap Swandaru.
Tetapi ia masih tetap sadar, bahwa yang paling baik dalam keadaan seperti itu
adalah melarikan diri.
“Kau dapat memilih,” berkata
Swandaru dengan lantang, “bertempur dalam perang tanding sampai selesai,
maksudku, salah seorang dari kita harus mati atau melarikan diri. Jika kau
memang ingin melarikan diri, aku tidak berkeberatan. Pergilah. Aku menjamin
bahwa kau akan selamat.”
Hinaan itu benar-benar telah
membakar hati Gandu Demung. Bagaimana pun juga, ia masih mempunyai harga diri.
Apalagi sebagai seorang yang telah merasa dirinya memiliki kemampuan yang cukup
dan mendapat kepercayaan duduk pada sebuah pembicaraan yang penting dengan Empu
Pinang Aring.
“Cepat,” teriak Swandaru, “kau
harus segera menentukan sikap. Perang tanding atau melarikan diri.”
Gandu Demung menggeram.
Jawabnya, “Sebenarnya aku akan melarikan diri. Tetapi tidak karena belas
kasihan seperti itu. Aku akan melarikan diri dalam usahaku untuk sementara
mengurungkan niatku menghancurkan Sangkal Putung. Melarikan diri sesuai dengan kekalahan
yang aku alami. Tetapi tidak karena kau memberi kesempatan kepadaku untuk
melepaskan diri dengan cara yang paling hina itu.”
“Jika demikian, tentukan
sikapmu.”
“Kau terlampau sombong, anak
yang gemuk. Kau bukan orang yang memiliki kelebihan tanpa tanding. Ketika aku
melihat cambukmu, sebenarnya aku sudah ketakutan. Tetapi ternyata bukan kaulah
yang disebut orang bercambuk itu. Aku tidak tahu apakah ia sekarang berada di
sini. Tetapi yang terang, orang bercambuk itu mampu membunuh orang-orang penting
di dalam lingkungan yang selama ini dianggap memusuhi Pajang dan Mataram
sekaligus.”
“Kau tentu dari lingkungan
mereka juga.”
“Tidak. Aku adalah perampok.
Tidak lebih dan tidak kurang. Dan sekarang aku gagal merampok kalian. Tetapi
pada saat yang lain, seluruh Sangkal Putung akan menjadi ajang perjuangan kami
untuk mendapatkan seluruh kekayaan yang tersimpan di dalamnya.”
“Jika demikian, larilah. Aku
menunggu kedatanganmu di Sangkal Putung.”
“Tidak,” teriak Gandu Demung,
“kita akan berperang tanding. Jika kau merasa kecut, ajaklah dua atau tiga
orang kawanmu atau bahkan berapa yang kau kehendaki.”
Dada Swandaru benar-benar
telah terbakar karenanya. Dengan suara gemetar ia berteriak, “Beri kami tempat.
Kami akan bertempur.”
Orang-orang yang mengerumuninya
saling berpandangan sejenak. Terlebih-lebih lagi mereka dicengkam oleh
kecemasan ketika Swandaru melanjutkan, “Akan terjadi perang tanding sampai
mati.”
Kegelisahan yang sangat telah
membayang di wajah Pandan Wangi. Sepasang pedangnya yang masih di dalam
genggaman nampak gemetar. Seolah-olah ia ingin meloncat langsung memasuki
lingkaran yang menebar.
Swandaru berdiri tegak dengan
cambuk di tangannya. Wajahnya yang tegang bagaikan membara oleh kemarahan yang
meluap-luap.
“Marilah,” berkata Swandaru,
“aku tidak mau mulai dengan kelemahan. Atau lebih baik tidak sama sekali. Jika
aku membiarkan hal seperti ini terjadi, maka setiap orang akan menghina
perkembangan Sangkal Putung dan Menoreh sekaligus. Karena itu, maka aku yang
pada suatu saat akan memegang kekuasaan di kedua daerah itu harus dapat
menunjukkan, bahwa aku memiliki kemampuan untuk melakukannya.”
Kata-kata itu benar-benar
telah menggetarkan jantung Agung Sedayu. Ketika ia melihat wajah Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita berganti-ganti, nampak sesuatu
terbersit pada kerut merut di kening.
Tetapi Agung Sedayu tidak
dapat mengambil kesimpulan, apakah yang sedang dipikirkan oleh ketiga orang tua
itu.