Tetapi dengan berita itu, maka
Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi. Lawan mereka kini bukan saja
Tohpati dan Sumangkar yang setiap saat dapat menyusup ke dalam lingkungan
mereka, tetapi juga Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang apabila mereka kehendaki
mereka akan dapat berjalan-jalan di daerah kademangan Sangkal Putung yang
mereka kenal dengan baik. Karena itu maka mereka harus lebih berwaspada apabila
malam-malam yang akan datang salah seorang atau dua tiga orang dari mereka
nganglang kademangan.
Sehari itu, cerita tentang
Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Tohpati dan Sumangkar telah
tersebar luas di antara laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung.
Sengaja berita itu disebarkan sejauh-jauh mungkin supaya mereka menjadi semakin
berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Gardu-gardu dengan demikian menjadi
semakin cermat mengawasi keadaan. Penjaga-penjaga menjadi lebih hati-hati dan
penghubung-penghubungpun selalu berwaspada apabila tiba-tiba mereka bertemu
dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai hantu-hantu yang berkeliaran,
siang maupun malam.
Tetapi malam berikutnya, bukan
saja berita tentang Sidanti dan Tohpati yang ternyata berkeliaran, dan yang
suatu saat mereka saling bertemu dan bertempur, tetapi datang pula seorang
pengawas menghadap Untara. Seorang prajurit dalam jabatan sandi.
Untara, Widura, Kiai
Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru, dengan dada
yang berdebar-debar menerima orang itu.
“Apakah yang kau ketahui
tentang Tohpati?” bertanya Untara.
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian katanya, “Kami, para pengawas melihat kesibukan di antara
mereka. Bahkan salah seorang dari kami telah berhasil menghubungi orang-orang
kami yang dekat dengan lingkungan laskar Tohpati. mereka kini sedang menyiapkan
diri untuk menyerbu Sangkal Putung kembali.”
Mereka yang mendengar laporan
itu sama sekali tidak terkejut. Mereka selalu menunggu, siang maupun malam,
serbuan yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi adalah lebih baik apabila hal itu
telah mereka ketahui sebelumnya seperti pada saat-saat yang lewat.
“Kapan rencana itu akan mereka
lakukan?” bertanya Widura.
“Secepatnya, mungin dalam dua
tiga hari ini.”
Ki Demang Sangkal Putung
tersenyum. Katanya, “Beberapa hari yang lalu, mereka telah menyiapkan diri
pula. Bahkan sampai dua tiga kali, namun serangan itu tidak juga datang.”
“Tetapi kali ini agaknya
serangan itu tidak akan ditunda-tunda lagi” sahut pengawas itu.
“Mereka hanya ingin
menakut-nakuti kita” gumam Swandaru.
“Itu salah satu dari siasat
Tohpati yang cerdik” berkata Untara. “Beberapa kali ia menggagalkan
serangannya, supaya untuk seterusnya kita selalu menganggap bahwa
serangan-serangannya akan tertunda-tunda pula. Tetapi apabila kita telah
lengah, maka sergapan itu benar-benar datang.”
Yang mendengar penjelasan
Untara itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Untara yang berpandangan
luas itu sangat berhati-hati menanggapi setiap persoalan.
“Ya, Angger Untara benar”
sahut Ki Demang Sangkal Putung. “Ternyata aku telah termakan oleh siasat itu.”
“Belum terlambat” sahut
Widura.
“Kalau mereka tidak datang,”
sambung Swandaru, “kitalah yang datang kepada mereka.”
Serentak, mereka yang duduk di
pringgitan, berpaling kepada Swandaru. Mereka merasakan getaran kata-kata itu.
Getaran kata-kata seorang anak muda yang sedang dibakar oleh darah mudanya.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ia dapat mengerti sedalam-dalamnya perasaan yang sedang membakar
hati Swandaru Geni. Sebagai seorang anak Demang Sangkal Putung, ia merasa bahwa
tanah kelahirannya itu selalu dalam keadaan kecut dan suram. Ketakutan,
kegelisahan dan kecemasan membayangi setiap wajah. Bahkan setiap orang di
Sangkal Putung menjadi ngeri apabila senja datang, apabila matahari mendekati
punggung pegunungan di ujung barat. Namun mereka menjadi gelisah apabila mereka
mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar.
Mereka selalu diganggu oleh
bayangan-bayangan yang menakutkan. Apabila malam datang, maka seolah-olah
orang-orang Jipang merayap-rayap di halaman rumah-rumah mereka.
Merangkak-rangkat mendekati pintu dan setiap saat mereka akan dapat dikejutkan
oleh ketokan yang keras dan kasar pada pintu-pintu rumah mereka.
Tetapi apabila matahari mulai
membayang di ujung timur, mereka membayangkan sepasukan laskar Jipang dalam
gelar Sapit Urang, atau dalam gelar Wulan Punanggal, bahkan mungkin dalam gelar
Samodra Rob datang melanda kademangan itu.
Karena itulah maka setiap
laki-laki di Sangkal Putung di setiap malam selalu menggantungkan senjata di
atas pembaringan mereka, kecuali mereka yang berada di gardu-gardu. Bahkan
lebih banyak dari mereka yang tidak berada di dalam rumah mereka, tetapi di
gardu-gardu, di simpang-simpang empat dan di banjar desa, dengan pedang di
tangan, atau keris di lambung.
Namun hati mereka menjadi agak
tentram apabila mereka melihat laskar Pajang yang tampaknya selalu tenang dan
teguh hati. Mereka berbangga apabila mereka melihat pedang yang berjuntai di
ikat pinggang mereka, atau tombak di pundak mereka. Bukan saja laskar Pajang, namun
anak-anak muda mereka sendiri telah memberi kepada mereka sekedar ketentraman
dan keberanian.
Tetapi bagaimanapun juga,
Sangkal Putung selalu dibayangi oleh ancaman-ancaman yang menegangkan. Seperti
bumbung yang dipanggang di atas api. Setiap saat akan meledak dengan
dahsyatnya.
Bukan saja Kiai Gringsing,
tetapi hampir setiap orang, bahkan Agung Sedayu yang sebaya dengan Swandaru
itupun dapat melihat perasaan itu.
Namun selain perasaan itu,
Kiai Gringsing melihat perasaan yang lain yang mendorong Swandaru ke dalam
gelora yang lebih dahsyat lagi. Seperti yang pernah dilihatnya, Swandaru tidak
segera dapat mengerti, mengapa mereka harus menghindari Tohpati dan Sidanti
pada saat mereka bertemu di padang rumput malam yang lampau. Kiai Gringsing
menyadari bahwa anak muda itu sukar mengendalikan perasaannya yang sedang
berkobar. Apalagi setelah ia merasa mendapatkan bekal yang lebih banyak dari
masa-masa sebelumnya. Karena itu maka Kiai Gringsing merasa bahwa tugasnya
membentuk Swandaru jauh lebih berat daripada Agung Sedayu. Baik dalam ilmu tata
bela diri maupun dalam pembinaan watak dan sifatnya.
Dalam pada itu, maka
terdengarlah Untara menyahut sambil tersenyum, “Pendapatmu sangat baik
Swandaru. Kalau mereka tidak datang, kita akan menjemput mereka. Namun sayang,
bahwa kita masih harus melihat jalan-jalan manakah yang dapat kita lalui untuk
sampai ke pesangrahan Macan Kepatihan itu.”
“Nah, bukankah orang yang
dapat mengetahui bahwa mereka akan menyerang kita itu dapat menunjukkan di mana
tempat tinggal mereka?”
Untara masih tersenyum.
Jawabnya, “Mudah-mudahan. Tetapi orang-orang itu pasti hanya mengetahui letak
dan sekedar keadaan mereka. Namun mereka tidak akan mengenal tempat itu sebaik
Tohpati mengenal Sangkal Putung. Mereka tidak atau belum dapat mengenal bahaya
dan rintangan yang mungkin dipasang oleh orang-orang Macan Kepatihan.
Tempat-tempat yang berbahaya sebagai tempat yang sengaja dipersiapkan untuk
menyergap dan menghancurkan kita. Sebab mereka tahu pasti, bahwa daerah mereka
tidak akan dilewati orang lain selain orang-orang mereka. Dan suatu ketika
orang-orang Pajang. Berbeda dengan Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Sangkal
Putung adalah daerah terbuka.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia mengerti keterangan itu. Tetapi ia berkata didalam hatinya,
“Kenapa kita tidak menyergapnya dari arah-arah yang berbeda? Kalau dari satu
arah di pasang rintangan-rintangan maka dari arah yang lain kita akan dapat
mencapainya”. Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Ia mengerti betul bahwa di
dalam perbendaharaan pengalaman Untara, semuanya itu telah diperhitungkan
dengan seksama.
Sepeninggal orang yang
menyampaikan kabar kepada Untara tentang persiapan orang-orang Jipang itu, maka
segera Untara mempersiapkan laskarnya. Kepada petugas sandi itu Untara berpesan,
bahwa pada saatnya ia harus menerima berita kelanjutan dari berita itu.
Sedangkan kepada Swandaru dan Agung Sedayu, Untara berpesan untuk sementara
merahasiakan berita itu, supaya rakyat Sangkal Putung tidak menjadi gelisah dan
supaya Tohpati tidak menyadari bahwa rencananya sudah diketahui.
Namun yang diketahui oleh
rakyat Sangkal Putung dan bahkan laskar Pajang sendiri, mereka diwajibkan
meningkatkan kewaspadaan dan latihan-latihan mereka, supaya mereka tidak
menjadi lengah dan bahkan melupakan bahaya yang setiap saat dapat datang.
Meskipun demikian, orang-orang yang telah penuh dengan pengalaman seperti
Hudaya, Citra Gati, Sonya dan beberapa orang lain, segera dapat merasakan
kesibukan para pemimpin mereka, dan dengan tersenyum Citra Gati pada suatu senja
berbisik kepada Hudaya “Adi, apakah aku masih akan sempat mencukur rambut yang
tumbuh di wajahku ini besok?”
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan malam nanti aku
belum mati.”
Hudaya tersenyum. Katanya,
“Pasti belum malam nanti.”
Sonya yang ada di dekat mereka
menyahut, “Aku sudah menyiapkan pisau itu sekarang Kakang Citra Gati, mumpung
kau masih sempat.”
Citra Gati mengerutkan
keningnya, kemudian tangannya meraba kumisnya yang jarang. “Hem” desahnya,
“Jangan sekarang. Aku belum sempat.”
Sonyapun kemudian tersenyum.
Katanya, “Aku sudah mengasah pedang. Kapan kira-kira kita bermain-main lagi?”
Citra Gati mengerutkan
keningnya. Jawabnya, “Pasti sudah mendesak. Dua tiga hari lagi.”
“Kenapa perintah itu tidak
dijelaskan saja kepada kita? Supaya kita menjadi semakin gairah berlatih dan
memersiapkan diri.”
Citra Gati menggeleng.
“Entahlah. Pasti ada pertimbangan-pertimbangan lain. Mungkin untuk membuat
kesan seolah-olah kita belum menyadari bahaya yang akan mengancam. Dengan
demikian kewaspadaan orang-orang Jipang akan berkurang, seperti pada saat-saat
yang lampau. Terutama pada saat serangannya yang pertama.”
Sonya mengangguk-anggukkan
kepalanya, tetapi Hudaya tertawa pendek, “Sebenarnya kita sudah siap menerima
mereka, atau datang ke tempat mereka.”
“Kemana?” bertanya Citra Gati.
“Ke sarang mereka” sahut
Hudaya.
“Ya, dimana sarang itu?”
Hudaya menggeleng. “Kalau aku
tahu, aku sudah pergi ke sana.”
“Uh, jangan membual. Belum
sampai kau ke jarak seribu langkah, kepalamu telah retak oleh tongkat baja
putih itu.”
Hudaya tersenyum. Dikenangnya
pada saat ia harus membantu Sidanti bersama Citra Gati untuk melawan Tohpati.
Senjata tongkat baja putih itu terasa seperti seekor nyamuk yang beterbangan di
sekeliling telinganya. “Ngeri” gumamnya tiba-tiba.
“Apa yang ngeri?” bertanya
Citra Gati dan Sonya hampir bersamaan.
“Tongkat baja putih itu.
Ketika Tohpati datang untuk pertama kali, kepala tongkat itu hampir menyambar
kepalaku.”
“Oh,” sahut Sonya, “aku tidak
sempat ikut bertempur saat itu. Aku hanya boleh berlari. Tetapi lusa, kalau
Macan Kepatihan itu datang kembali, akulah lawannya.”
Mereka bertiga tertawa,
seakan-akan mereka mempercakapkan suatu peristiwa yang lucu. Namun percakapan
itu adalah suatu pengakuan, betapa besarnya perbawa Macan Kepatihan pada lawan-lawannya.
Mereka berhenti tertawa ketika
mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa turun ke
halaman. Mereka kemudian berjalan berdua ke halaman belakang kademangan.
“Sudah mendesak” terdengar
Agung Sedayu berbisik. Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku tidak
sabar. Apa kata orang itu tadi?”
“Laskar Tohpati kini telah
siap seluruhnya.”
“Aku berani bertaruh, serangan
itu pasti akan ditunda lagi.”
“Menurut persiapan yang
diketahui oleh prajurit sandi itu, agaknya mereka benar-benar akan segera
menyerang.”
Swandaru menggeleng lemah.
“Seperti beberapa waktu yang lalu. Persiapan itu telah sempurna, namun mereka
tidak datang. Kali inipun agaknya demikian.”
“Kita tunggu saja tengah malam
nanti. Orang itu berjanji akan datang, atau orang lain yang ditugaskannya.”
“Aku tidak sabar. Sarang Macan
Kepatihan itu pasti di sekitar tempat mereka bertempur melawan Sidanti itu.
Kita aduk saja seluruh hutan itu, maka kita pasti akan menjumpai sarangnya”
gerutu Swandaru.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Ia tahu benar tabiat saudara seperguruannya. Meskipun demikian, terasa suasana
yang berbeda pada kademangan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Tohpati
benar-benar akan datang.
Swandaru kemudian pergi
berbelok memasuki dapur. Dilihatnya ibunya dan Sekar Mirah sedang menunggui
beberapa orang yang sedang masak. Ketika Swandaru melihat gumpalan daging
rebus, maka segera disambarnya sepotong.
“He, Swandaru. Daging itu baru
direbus. Belum lagi dibumbui. Digaramipun belum.”
Swandaru tidak menjawab. Tangannya
menyambar sejumput garam. Kemudian dilumurkannya garam itu pada gumpalan
dagingnya.
“Huh” Sekar Mirah mencibirkan
bibirnya. “Anak muda ketuk.”
Swandaru berhenti. Ia
berpaling sambil bertanya, “Apa itu?”
“Anak muda yang suka masuk ke
dapur, adalah anak muda yang ketuk.”
Swandaru tertawa
terbahak-bahak. Sambil berteriak ia bertanya, “He, Kakang Agung Sedayu, kau mau
daging?”
Agung Sedayu yang berjalan ke
perigi mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia tidak menjawab. Langsung diraihnya
senggot timba, dan dengan tersenyum ia menarik senggot itu turun.
Sekar Mirah yang mendengar
gerit timba segera mengetahui bahwa Agung Sedayu berada di perigi. Tetapi
ketika ia beranjak, Swandaru membentaknya, “Mau apa kau?”
“Apa pedulimu?”
“Yang mengambil air itu bukan
Sidanti.”
Tiba-tiba Sekar Mirah itu
meloncat mengambil sepotong kayu dan dilemparkannya kepada kakaknya. Swandaru
bergeser setapak sambil tertawa, “Jangan marah, aku berkata sebenarnya.”
Ketika lemparannya tidak
mengenai sasarannya, Sekar Mirah langsung mengambil segayung air.
“Mirah” cegah ibunya. “Jangan
membuat dapur menjadi becek.”
Sekar Mirah bersungut-sungut
sambil berjalan keluar. Gerutunya, “Awas Kakang Swandaru.”
Tetapi bukan saja Swandaru
yang bermain-main mengejek adiknya, namun sebenarnya ibunyapun kadang-kadang
heran melihat sifat anak perempuannya itu. Ibunya itu tahu benar, hubungan yang
tampaknya bersungguh-sungguh antara Sekar Mirah dan Sidanti beberapa waktu yang
lampau.
Ibunya itupun mengetahui
perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Sejak Agung Sedayu datang ke
kademangan ini. Agaknya Sekar Mirah adalah seorang pengagum atas sifat-sifat
kejantanan, kepahlawanan. Dan terpengaruh oleh kedudukan ayahnya, ia adalah
seorang gadis yang selalu berangan-angan tentang kepemimpinan dan kedudukan.
Ketika setiap orang di Sangkal Putung membicarakan keberanian anak muda yang
bernama Sidanti di setiap medan pertempuran, maka Sekar Mirahpun mengaguminya
berlebih-lebihan. Di matanya pada saat itu tak ada seorang laki-laki yang
melampaui Sidanti di seluruh Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka hubungannya
dengan anak muda itu tampak bersungguh-sungguh.
Tetapi pada suatu ketika
hadirlah Agung Sedayu di antara mereka. Setiap mulut menyebut namanya sebagai
seorang anak muda yang telah membebaskan Sangkal Putung dari bencana. Seorang
anak muda yang pemalu dan pendiam, tetapi menyimpan kesaktian yang tiada
taranya. Namun Sekar Mirah kadang-kadang menjadi ragu-ragu menghadapi Agung
Sedayu. Anak itu terlalu lembut. Bahkan anak itu selalu menghindarkan diri dari
bentrokan yang akan terjadi atas dirinya dan Sidanti. Bahkan Agung Sedayu
membiarkan dirinya dihinakan dan direndahkan di muka Sekar Mirah dan Pamannya
Widura. Sekar Mirah hampir-hampir kehilangan kepercayaan tentang kesaktian
Agung Sedayu, ketika anak muda itu tidak mau mengikuti sayembara memanah
beberapa saat yang lalu.
Namun Sekar Mirah tidak dapat
mengerti, kenapa Agung Sedayu ternyata benar-benar memiliki kelebihan dari
orang lain. Kenapa Agung Sedayu menyembunyikan kelebihannya itu. Seandainya
Swandaru tidak melihatnya, maka kemampuan Agung Sedayu tetap akan terpendam
untuk seterusnya.
“Anak muda itu terlampau
rendah hati” desisnya di dalam hati ketika ia melihat kemenangan Agung Sedayu
atas Sidanti di lapangan pada saat-saat mereka sedang berlomba.
Kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu benar-benar membuat hati
Sekar Mirah meledak-ledak.
Sepeninggal Sidanti, maka
hubungannya dengan Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Sekar Mirah semakin lama
menjadi semakin mengagumi Agung Sedayu. Dari kakaknya ia mendengar bahwa Agung
Sedayu mampu mengalahkan Alap-Alap Jalatunda di garis peperangan. Tetapi Sekar
Mirah tidak dapat mengerti kenapa Alap-Alap Jalatunda itu tidak dibinasakan
seperti Sidanti membinasakan Plasa Ireng. Bukankah dengan demikian namanya akan
menjadi semakin ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan? Bukankah dengan
demikian kejantanannya akan menjadi semakin mengagumkan setiap orang di Sangkal
Putung seperti Sidanti di saat-saat yang lampau. Sidanti selalu membanggakan
diri kepadanya bahwa ia telah lebih dari sepuluh kali membinasakan
lawan-lawannya di peperangan. Kemudian angka itu dengan cepatnya naik. Duapuluh
dan yang terakhir sebelum Tohpati sendiri datang ke Sangkal Putung, Sidanti
berkata, “Nanggala ini telah menghisap darah lebih dari lima puluh orang.”
Tetapi Agung Sedayu tak pernah
berkata tentang peperangan. Agung Sedayu tidak pernah bercerita, berapa orang
telah pernah di penggal lehernya, atau berapa orang pernah di tumpahkan
darahnya.
Namun di samping kekecewaan-kekecewaan
itu, Agung Sedayu telah benar-benar memikat hati Sekar Mirah. Ada
kekuatan-kekuatan lain yang telah menariknya. Bukan karena kekaguman-kekaguman
yang berlebih-lebihan. Bukan karena Agung Sedayu banyak menceritakan
kemenangan-kemenangannya seperti Sidanti. Bukan karena sifat-sifatnya yang
keras dan tegas. Tetapi ujud wadag Agung Sedayulah yang telah mempesona Sekar
Mirah. Meskipun Sekar Mirah kadang-kadang kecewa atas sifat dan sikap Agung
Sedayu yang menurut anggapannya telalu lemah dan menyia-nyiakan
kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya, namun wajah Agung Sedayu
selalu membayang di rongga matanya.
Ketika Sekar Mirah melangkahi
pintu dapur, ia masih mendengar suara tertawa Swandaru di dalam rumahnya.
Tetapi Sekar Mirah tidak memperdulikannya. Bahkan kemudian gadis itu
melangkahkan kakinya ke perigi, menghampiri Agung Sedayu yang sedang menimba
air.
“Untuk apa Kakang menimba
air?” bertanya Sekar Mirah.
“Mandi” jawab Agung Sedayu.
Jawaban itu terlalu singkat bagi Sekar Mirah, sehingga karena itu maka sambil
mencibirkan bibirnya Sekar Mirah menirukan jawaban itu, “Mandi.”
Agung Sedayu berpaling. Ketika
dilihatnya wajah Sekar Mirah yang memberengut, Agung Sedayu tersenyum,
“Kenapa?”
“Kenapa?” kembali Sekar Mirah
menirukan.
Agung Sedayu kini tertawa.
Tangannya masih sibuk melayani senggot timba. Ketika air di dalam upih telah
dituangkannya ke dalam jambangan, maka dilepaskannya senggot timba itu.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Sekar Mirah sambil bertanya, “Apakah jawabanku
salah?”
“Tidak” sahut Sekar Mirah
pendek.
Kini suara tertawa Agung
Sedayu menjadi semakin keras. Katanya, “Ah, agaknya aku telah berbuat suatu
kesalahan di luar sadarku. Maafkan aku Mirah.”
“Tidak ada yang harus
dimaafkan” sahut Sekar Mirah sambil berjalan menjauh.
Agung Sedayu mengikuti di
belakangnya beberapa langkah. Kemudian diambilnya sebutir batu, dan
dilemparkannya ke arah sarang lebah di sebuah cabang yang tinggi.
Begitu sarang lebah itu
terkena lemparan Agung Sedayu, maka berbondong-bondong lebah-lebah itu
beterbangan.
Sekar Mirah terkejut. Ketika
dilihatnya segerombol lebah beterbangan di udara, maka ia menjadi ketakutan.
Dengan serta-merta ia berlari dan bersembunyi di belakang Agung Sedayu sambil
berkata cemas, “Kakang, lebah itu akan menyengat kit.a”
Agung Sedayu tertawa.
Jawabnya, “Biarlah kita menjadi bengkak-bengkak karenanya.”
“Kakang, aku takut.”
Agung Sedayu masih tertawa.
Dilihatnya lebah itu semakin banyak beterbangan mengitari sarangnya yang baru
saja disentuh oleh batu Agung Sedayu. Tetapi lebah itu adalah lebah gula yang
sama sekali tidak berbahaya dan tidak buas.
Tetapi Sekar Mirah menjadi
semakin ketakutan melihat lebah beterbangan mengitari sarangnya. “Kakang,”
katanya, “bagaimana kalau lebah-lebah itu menyerang kita?”
“Kulitku kebal” sahut Agung
Sedayu. “Tak ada lebah yang dapat menyengat kulitku.”
“Tetapi aku tidak” berkata
Sekar Mirah sambil mengguncang-guncang tubuh Agung Sedayu.
“Lihat” berkata Agung Sedayu.
“Lebah itu akan menurut segala perintahku. Sebentar lagi mereka pasti akan
kembali ke dalam sarang-sarang mereka setelah diketahuinya bahwa aku yang
berdiri di sini.”
Sekar Mirah tidak menjawab,
tetapi ia masih berpegangan pada lengan Agung Sedayu.
Dan sebenarnyalah lebah-lebah
yang beterbangan itu satu demi satu hinggap kembali ke dalam sarangnya.
Sehingga semakin lama gerombolan lebah yang mirip dengan gumpalan asap itu
menjadi semakin tipis.
Sekar Mirah memandangi
lebah-lebah itu dengan mulut ternganga. Namun ketika dilihatnya lebah itu
menjadi semakin berkurang, hatinyapun menjadi semakin tenang.
“Apakah mereka tidak akan
menyerang kita Kakang?” gumamnya.
“Kalau lebah-lebah itu akan
menyerangmu, biarlah aku lawan mereka. Bukankah aku wajib melindungimu?”
“Kenapa? Siapa yang mewajibkan
melindungi aku?”
“Oh, jadi bukan begitu?”
“Tidak ada kewajiban itu”
jawab Sekar Mirah sambil bersungut.
Agung Sedayu tidak menjawab.
Tetapi kembali ia meraih sebutir batu.
“Untuk apa?” bertanya Sekar
Mirah terkejut.
“Sekehendakkulah” sahut Agung
Sedayu sambil membidik sarang itu kembali. “Kali ini aku akan menjatuhkan
sarangnya. Dengan demikian lebah itu akan menjadi liar. Aku tidak takut sebab
kulitku kebal. Dan aku tidak perlu melindungi seseorang di sini.”
“Jangan. Jangan Kakang” minta
Sekar Mirah
“Sekehendakku” jawab Agung
Sedayu.
“Aku takut.”
“Sekehendakku.”
“Kakang, jangan.”
Agung Sedayu telah menarik
tangannya siap mengayunkan lemparan batunya. Tetapi Sekar Mirah memegangi
tangannya sambil meminta, “Jangan. Kalau Kakang melempar juga, aku akan berteriak-teriak.”
Agung Sedayu tertawa. Batu di
tangannya dilemparkannya dan kemudian katanya, “Kanapa kau melarang?”
“Aku takut disengat lebah.”
“Lebah itu sama sekali tidak
berbahaya. Lihatlah sarangnya yang melekat pada pohon itu. Bukankah itu sarang
lebah gula? Bahkan sebaiknya besok aku bikin gelodok. Kalau lebah itu mau
bersarang ke dalam gelodok, maka kita akan mendapatkan madu.”
Sekar Mirah menekan dadanya
sambil bersungut-sungut. “Kakang menakut-nakuti aku.”
“Seharusnya kau tidak takut
Mirah. Lebah itu sama sekali tidak berbahaya, seandainya lebah yang paling buas
sekalipun. Lebih berbahaya daripada itu adalah laskar Jipang yang dipimpin
Tohpati. Kalau Tohpati itu menyerang kita, dan berhasil memasuki kademangan
ini, nah barulah kau boleh merasa takut atau barangkali kau akan berbangga atas
kedatangannya.”
“Kenapa aku berbangga?”
“Tohpati berwajah tampan,
bertubuh tegap kekar dan seorang yang sangat sakti.”
“Huh” Sekar Mirah mencibirkan
bibirnya. Kemudian katanya, “Apakah peduliku?”
Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Tetapi apakah benar-benar Tohpati mungkin sampai ke rumah ini?”
Agung Sedayu memandangi wajah
gadis itu dengan seksama. Kemudian jawabnya, “Bagaimana kalau hal itu terjadi?”
“Jangan, jangan biarkan hal
itu terjadi Kakang” sahut Sekar Mirah.
Kali ini Agung Sedayu tidak
mengganggunya lagi ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah menjadi
bersungguh-sungguh. Seakan-akan dari matanya memancar kecemasan yang sangat.
Sekali lagi ia bertanya, “Apakah laskar Jipang itu masih cukup kuat untuk mematahkan
pertahanan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu tidak segera
menjawab. Ia takut kalau jawabannya akan menambah kegelisahan gadis itu. Dan
karena Agung Sedayu tidak menjawab, Sekar Mirah mendesaknya lagi, “Kakang,
apakah dengan kepergian Sidanti, kekuatan Sangkal Putung menjadi sangat jauh
berkurang?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sambil menarik nafas
dalam-dalam Agung Sedayu bertanya, “Siapa yang mengatakannya Mirah?”
Sekar Mirah menggeleng. “Tidak
ada. Tetapi aku menyangka demikian. Sebab Kakang Sidanti adalah seorang yang
sangat sakti. Bukankah Kakang Sidanti telah berhasil membunuh orang yang
bernama Plasa Ireng sebelum ia meninggalkan Sangkal Putung?”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mungkin Sidanti sangat sakti. Tetapi apakah tidak
ada orang lain yang menyamai kesaktiannya?”
“Ya, ya, ada” sahut Sekar
Mirah cepat-cepat. “Kau, Kakang.”
Agung Sedayu menggeleng,
“Bukan, bukan aku.”
“Ya, aku melihat sendiri kau
memenangkan perlombaan memanah pada waktu itu.”
“Bukan ukuran dalam peperangan
yang campuh” jawab Agung Sedayu.
“Tetapi unsur perseorangan
sangat berarti dalam peperangan yang betapapun juga.”
“Mungkin kau benar. Tetapi aku
mengharap bahwa ada orang lain yang akan dapat mengganti kedudukannya. Bukankah
di Sangkal Putung masih ada Kakang Untara dan Paman Widura?”
“Ya, dan kau Kakang?”
“Aku tidak terhitung dalam
tingkatan itu. Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja.”
Sekar Mirah memandang Agung
Sedayu dengan sudut matanya. Alangkah jauh berbeda. Kalau yang berdiri di
hadapannya itu Sidanti maka jawabannya pasti akan bertentangan sama sekali.
Sidanti pasti akan menjawab, “Tak ada orang lain di Sangkal Putung yang dapat
menyamai aku.”
Tetapi Agung Sedayu berkata
lain. “Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja.”
“Hem” Sekar Mirah menarik
nafas.
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
Sekar Mirah menggeleng. “Tidak
apa-apa.”
Kembali Agung Sedayu
tersenyum. Ia menyangka bahwa Sekar Mirah masih jengkel kepadanya karena lebah
gula itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam gadis itu.
Diam-diam ia selalu membandingkan Agung Sedayu dengan Sidanti.
Sidanti baginya adalah seorang
laki-laki yang dahsyat. Ia selalu berkata tentang dirinya, tentang kepercayaan
pada diri sendiri, tentang kemampuan dan tentang cita-citanya yang melambung
setinggi langit. Ia kagum kepada anak muda itu. Ia kagum akan kedahsyatannya,
akan kepercayaan kepada diri sendiri, akan kemampuan dan cita-citanya.
Tetapi ia hanya mengaguminya.
Lebih dari itu, ternyata tidak. Ia kecewa bahwa Sidanti pergi. Kecewa karena di
Sangkal Putung tidak ada seorang yang dapat dibanggakan kesaktiannya. Tidak ada
orang yang berkata kepadanya, bahwa dadanya adalah perisai dari kademangan ini.
Tidak ada orang yang berkata kepadanya seperti Sidanti pernah berkata, “Mirah,
berkatalah. Apakah aku harus membawa sepotong kepala untuk kakimu? Tunggulah,
pada saatnya, aku akan membawa kepala Tohpati. Rambutnya dapat kau pakai untuk
membersihkan alas kakimu.”
Meskipun Sekar Mirah tahu
benar justru Untara ternyata melampaui kedahsyatan Sidanti menghadapi Tohpati,
namun ia hampir tidak mengenal Untara. Orang itu terlalu angker baginya.
Seakan-akan hampir-hampir belum pernah ia bercakap-cakap dengan orang itu.
Karena itu maka tidak ada sentuhan apa-apa yang dapat memberinya kebanggaan.
Widura yang menurut
pendengaran Sekar Mirah tidak kalah saktinya dari Sidanti, itupun bagi Sekar
Mirah tidak berarti apa-apa. Dahulu ia pernah mengharap di dalam hatinya,
semoga Sidanti dapat menunjukkan kelebihannya dari Widura, sehingga Sidanti
mendapat tempat yang lebih baik daripadanya. Dengan demikian ia akan dapat
turut merasakan kedudukan anak muda itu. Sebab Sekar Mirah lebih mengenal
Sidanti dari Widura yang sama sekali hampir tidak pernah mempedulikannya.
Di antara mereka yang dapat
dibanggakan di Sangkal Putung yang dikenalnya dengan baik adalah Agung Sedayu.
Menurut penilaiannya Agung Sedayu ternyata melampaui Sidanti. Ia melihat
sendiri Agung Sedayu memenangkan perlombaan memanah beberapa saat yang lalu.
Bahkan ketika mereka berkelahi di samping kandang kuda itupun ternyata Sidanti
terpaksa mengambil sepotong kayu sebagai senjatanya. Sedang Agung Sedayu sama
sekali tidak mempergunakan senjata apapun. Tetapi kenapa Agung Sedayu tidak
pernah berkata kepadanya, “Mirah, apakah aku harus membawa kepala Tohpati untuk
alas kakimu?”
Tidak, Agung Sedayu tidak
berkata demikian kepadanya. Anak muda itu hanya akan membuat gelodok lebah gula
untuk mendapat madu.
Sebenarnya Sekar Mirah menjadi
kecewa atas sikap Agung Sedayu itu. Sikap yang baginya kurang jantan. Kurang
dahsyat dan kurang perkasa. Sangat berbeda dengan Sidanti. Tetapi meskipun
Sekar Mirah mengagumi Sidanti, namun ia mempunyai perasaan yang aneh terhadap
Agung Sedayu yang mengecewakannya itu. Perasaan yang tak dimilikinya terhadap
Sidanti.
“Alangkah mengagumkan seorang
anak muda, seandainya berwadag Agung Sedayu namun memiliki sifat-sifat
kejantanan Sidanti” gumamnya didalam hati. “Sayang Sidanti tidak terlalu
menarik, dan lebih-lebih sayang lagi, Sidanti telah mengkhianati kawan
sendiri.”
Ketika Sekar Mirah masih saja
termenung, maka berkatalah Agung Sedayu, “Kenapa kau termenung Mirah?”
“Oh” Sekar Mirah tergagap
seperti baru terbangun dari tidurnya. “Tidak apa-apa.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Ternyata Sekar Mirah tidak saja masih jengkel kepadanya hanya karena
lebah itu. Maka itu ia bertanya, “Kenapa kau termenung? Apakah kau masih marah
kepadaku tentang lebah itu, atau tentang hal yang lain?”
“Tidak Kakang” jawab Sekar
Mirah sekenanya. Bahkan kemudian diteruskannya, “Aku masih cemas tentang laskar
Tohpati itu”
Tiba-tiba Agung Sedayu
tertawa. “Jangan cemas. Tohpati tidak berbahaya bagi Sangkal Putung. Laskarnya
tidak melampaui laskar Pajang di Sangkal Putung, ditambah dengan anak-anak muda
yang berani dan bertanggung jawab.”
“Tetapi Tohpati sendiri?”
bertanya Sekar Mirah.
“Bukankah di sini ada Kakang
Untara atau Paman Widura?”
Sekar Mirah menggigit bibirnya
“Kalau Kakang Untara atau Paman Widura tidak ada?”
“Mereka akan tetap di sini
Mirah.”
“Ya. Seandainya tidak ada.
Atau ada halangan apapun?”
Agung Sedayu menarik nafas
panjang, namun ia tersenyum. “Salah seorang dari mereka pasti berada di sini.
Kalau ada keperluan yang sangat penting sekalipun, pasti mereka tidak akan
pergi berdua.”
“Seandainya mereka berdua
sakit? Sakit panas, sakit perut atau sakit apapun yang berat dan bersamaan?”
“Itu adalah suatu halangan di
luar kemampuan manusia. Namun di sini ada seorang dukun yang pandai yang akan
dapat mengobatinya.”
“Oh” Sekar Mirah menjadi tidak
sabar. Katanya hampir berteriak, “Keduanya tidak dapat maju berperang. Apapun
alasannya. Lalu bagaimana, apakah Sangkal Putung akan menyerah?”
Meskipun Agung Sedayu tidak
tahu maksud Sekar Mirah namun ia menjawab, “Tentu tidak Mirah. Disini ada Paman
Citra Gati dan Paman Hudaya. Ada juga Paman Sonya dan Kakang Sendawa. Mereka
dapat menggabungkan kekuatan mereka dalam satu lingkaran untuk melawan
Tohpati.”
Mendengar jawaban Agung Sedayu
itu Sekar Mirah terhenyak duduk di atas setumpuk kayu bakar. Ditekankan
tangannya pada dadanya yang seakan-akan menjadi sesak. Jawaban Agung Sedayu
benar-benar tidak diharapkannya. Meskipun ia terduduk di atas seonggok kayu
bakar namun hatinya berteriak, “Oh, Agung Sedayu yang bodoh, kenapa jawabanmu
demikian mengecewakan aku? Kenapa kau tidak menjawab sambil mengangkat
kepalamu, “Seandainya mereka sakit, atau berhalangan apapun Sekar Mirah, ak,u
Agung Sedayulah yang akan melawan Tohpati. Aku akan bunuh orang itu, aku
penggal kepalanya, dan aku berikan sebagai alas kakimu.”
“Oh” tiba-tiba Sekar Mirah
mengeluh.
Agung Sedayu benar-benar tidak
mengerti maksud Sekar Mirah. Ia melihat gadis itu menjadi kecewa. Tetapi ia
tidak tahu kenapa ia menjadi kecewa.
Terdorong oleh kegelisahannya
karena ia tidak tahu apa yang dikehendaki oleh Sekar Mirah, maka dengan jujur
Agung Sedayu itu bertanya, “Mirah, apakah sebenarnya yang kau kehendaki dengan
segala macam pertanyaanmu?”
“Kakang Agung Sedayu” berkata
Sekar Mirah menahan jengkel. “Apakah kau tidak akan ikut bertempur?”
“Tentu Mirah.”
“Kenapa Kakang hanya menyebut
nama-nama orang lain? Kakang tidak pernah menyebut nama Kakang sendiri. Apakah
dengan demikian berarti bahwa Kakang tidak banyak mempunyai kepentingan dengan
laskar Tohpati itu? Atau barangkali Kakang tidak mempedulikan mereka. Atau
tidak memperdulikan Sangkal Putung?”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu semakin tidak mengerti.
“Baiklah aku bertanya terus
Kakang, tetapi aku ingin segera mendengar jawabanmu yang terakhir. Aku ingin
kau menyebut namamu sendiri. Kakang, bagaimanakah seandainya tidak ada orang
lain yang dapat lagi maju melawan Tohpati? Apakah yang akan Kakang lakukan?”
Agung Sedayu tiba-tiba
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini tahulah arah pertanyaan Sekar Mirah.
Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Oh, itukah yang
ingin kau ketahui Mirah.”
“Ya, aku ingin mendengar
jawabmu. Aku ingin mendengar apakah yang dapat kau berikan kepada Sangkal
Putung. Apakah yang dapat kau sumbangkan kepada tanah kelahiranku ini? Bukan
Kakang Untara, bukan Paman Widura, bukan Paman Hudaya, Paman Citra Gati, Paman
Sonya. Bukan Kakang Swandaru, bukan Ayah, bukan orang lain. Tetapi Kakang Agung
Sedayu”
“Hem” Agung Sedayu menarik
nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sendiri? Baiklah. Aku akan menjawab
pertanyaanmu Sekar Mirah. Kalau tidak ada orang lain yang akan melawan Tohpati,
maka sudah tentu aku akan melawannya.”
“Hanya itu?” Sekar Mirah masih
kecewa.
“Lalu apa lagi?”
“Apakah kau biarkan Tohpati
mengalahkanmu? Membunuhmu?”
“Kau aneh Mirah.”
“Apa yang aneh padaku? Kaulah
yang aneh.”
“Kenapa kau bertanya
demikian?”
“Habis. Kau tidak berkata, apa
yang akan kau lakukan atas Tohpati itu.”
Perlahan-lahan Agung Sedayu
kemudian dapat meraba pertanyaan-pertanyaan Sekar Mirah yang membanjiri dirinya
itu. Sekar Mirah ingin mendengar jawaban yang dapat memberinya kepuasan. Yang
dapat menentramkan dirinya dan mungkin dapat memberinya kebanggaan. Namun tidak
terpikir oleh Agung Sedayu bahwa keinginan Sekar Mirah bukan saja jawaban-jawaban
yang dapat menentramkan hatinya, dan memberinya kebanggaan, tetapi Sekar Mirah
ingin mendapat seorang pahlawan yang dapat mengimbangi Sidanti.
Karena itu bagaimanapun juga
Agung Sedayu masih juga tidak memberinya kepuasan seperti yang dikehendakinya,
ketika ia mendengar Agung Sedayu itu menjawab, “Sekar Mirah, sudah tentu aku
akan melawan Tohpati dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada padaku. Aku
masih ingin hidup lebih lama lagi, Mirah. Karena itu maka aku tidak akan
membiarkan Tohpati berbuat sekehendak hatinya. Aku akan melawannya. Tetapi
takdir berada di tangan Tuhan. Itulah sebabnya maka aku tidak dapat berkata
lebih jauh daripada itu tentang diriku. Aku berwenang berusaha, namun akhir
daripada semua peristiwa berada di tanganNya.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sama sekali tidak puas dengan
sifat-sifat Agung Sedayu itu, namun ia tidak akan mendesaknya lagi.
Sekar Mirah semakin melihat
perbedaan-perbedaan yang ada pada Agung Sedayu dan Sidanti. Ia pernah juga
dahulu mendengar Agung Sedayu itu berkata tentang dirinya. Bahkan dahulu Agung
Sedayu lebih banyak menyebut-nyebut dirinya dan membanggakan tugas-tugas yang
telah diselesaikannya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan, Agung Sedayu
seakan-akan telah kehilangan gairah atas kemenangan-kemenangan yang pernah
dicapainya.
Tetapi bagaimanapun juga,
Agung Sedayu itu selalu membayanginya. Wajahnya hampir tidak pernah lenyap dari
matanya. Bahkan di dalam tidur sekalipun. Namun justru karena itulah maka Sekar
Mirah menjadi semakin kecewa. Ia ingin melibatkan dirinya dalam hubungan yang
semakin dalam. Namun Agung Sedayu tidak bersikap seperti yang diinginkannya.
Sekar Mirah yang duduk di atas
seonggok kayu bakar itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar langkah orang di sudut
rumahnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang prajurit berjalan ke perigi.
Di lambungnya tergantung pedang yang panjang.
“Kenapa senjata itu
disandangnya?” tiba-tiba ia bertanya.
Agung Sedayu berpaling. Ia
melihat prajurit itu. Karena itu ia menjawab, “Sangkal Putung berada dalam
kesiap-siagaan penuh. Prajurit itu aku kira baru saja nganglang kademangan.”
“Apakah Tohpati akan segera
menyerang?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
kemungkinan itu setiap saat memang dapat terjadi.”
Sekar Mirah mengerutkan keningnya.
Ia memang melihat pada saat-saat terakhir kesibukan yang meningkat. Ia melihat
ayahnya semakin jarang-jarang berada di rumah, dan kakaknya tidak pernah
berpisah dengan pedangnya.
“Apakah sudah ada berita
tentang penyerbuan yang bakal datang?”
Agung Sedayu ragu-ragu
sejenak. Ia tidak dapat berkata berterus terang. Agaknya Ki Demang dan
Swandarupun belum berkata kepada gadis itu. Karena itu jawabnya, “Meskipun
tidak ada berita apapun dan dari siapapun Mirah, memang kita wajib selalu
berwaspada. Ketegangan memang meningkat akhir-akhir ini. Tohpati mempercepat
gelombang kegiatannya pula.”
Sekar Mirah
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang-kadang ia menjadi cemas membayangkan apa
yang bakal terjadi seandainya Macan Kepatihan itu benar-benar akan menggulung
Sangkal Putung. Tetapi kadang-kadang ia mengharap serbuan itu datang. Ia
mengharap kakaknya, Swandaru berhasil membunuh orang-orang penting dari laskar
Tohpati itu. Dan ia mengharap Agung Sedayu berhasil lebih banyak lagi. Bahkan
ia mengharap bahwa Agung Sedayulah yang akan membunuh Tohpati, bukan Untara dan
bukan Widura.
Tetapi apabila ia melihat
sikap Agung Sedayu, kembali ia menjadi kecewa. “Hem” desahnya didalam hati.
“Orang ini lebih pantas menjadi seorang penulis kitab-kitab tembang daripada seorang
prajurit. Seorang yang hampir setiap hari duduk di atas tikar pandan,
menggurat-gurat rontal dengan pensilnya. Kemudian membaca kisah-kisah yang
menawan hati. Kisah kasih antara Pandu dan Kirana, atau kisah petikan-petikan
dari Mahabharata.”
Ketika Sekar Mirah sejenak
berdiam diri sambil memandangi noktah-noktah di kejauhan, maka berkatalah Agung
Sedayu, “Betapapun kuatnya laskar Macan Kepatihan, Mirah, tetapi kau jangan
cemas. Sangkal Putungpun semakin lama menjadi semakin kuat. Anak-anak muda yang
kini menjadi semakin kaya akan pengalaman dan semakin kaya akan tekad
mempertahankan tanahnya, menjadi perlambang kemenangan-kemenangan yang akan
dicapai oleh daerah ini.”
“Mudah-mudahan” gumam Sekar
Mirah. “Mudah-mudahan kademangan ini dapat diselamatkan. Tohpati dapat
terpenggal lehernya dan orang-orang Jipang itu dapat dimusnahkan.”
“Kemungkinan yang kita
harapkan akan terjadi Mirah. Jangan takut.”
Sekar Mirah itu kemudian
bangkit dan berjalan perlahan-lahan ke perigi. Katanya, “Mudah-mudahan itu akan
segera terjadi dan Kakang akan datang kepadaku sambil bercerita, bahwa pedang
kakang telah menghisap darah lebih dari seratus orang.”
Agung Sedayu tersenyum. Tetapi
ia tidak menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah untuk beberapa saat, kemudian ia
bertanya, “Apakah kau akan mengambil air?”
“Tidak.”
“Lalu mengapa?”
“Tidak apa-apa.”
Agung Sedayu tidak bertanya
lagi. Ia melihat Sekar Mirah mengambil sebuah belanga dan menjinjingnya ke
dapur.
Agung Sedayu tidak
mengikutinya terus. Ia melihat Sekar Mirah berpaling dan tersenyum kepadanya.
Senyum seorang gadis yang lincah dan manis. Namun bagaimanapun juga, Agung
Sedayu melihat sesuatu di belakang senyum yang manis itu. Sekar Mirah adalah
seorang gadis yang keras hati. Seperti kakaknya, gadis itupun ingin melihat dan
mendengar peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Seandainya sama sekali iapun
seorang pemuda seperti Swandaru, maka keduanya akan menjadi pasangan
kakak-beradik yang dahsyat pula.
Ketika Agung Sedayu kemudian
kembali ke pringgitan, dilihatnya seseorang yang datang memasuki pringgitan itu
pula besama-sama dengan kakaknya. Sesaat kemudian orang itu bersama dengan
Untara telah duduk berhadapan sambil berbicara perlahan-lahan.
“Baiklah” berkata Untara
kemudian. “Aku akan mempersilakan Paman Widura dan Bapak Demang kemari.”
Untara itupun kemudian
menyuruh seseorang memanggil Widura dan Ki Demang Sangkal Putung. Agung
Sedayupun diperkenankan pula ikut hadir did alam pertemuan kecil itu besama
dengan Swandaru Geni.
Ketika orang-orang yang
penting itu telah berkumpul, maka mulailah orang itu berkata, “Kakang Untara,
hampir pasti bahwa Tohpati akan menyerbu besok pagi-pagi. Agaknya mereka tidak
akan mengulangi serangan malamnya yang gagal. Mereka akan mencoba memecahkan
pertahanan Sangkal Putung pada siang hari. Mereka akan menempuh arah yang lurus
dari barat. Mereka kali ini akan datang dalam gelar perang yang sempurna.”
“Apakah laskar mereka
bertambah kuat sehingga Tohpati mengambil keputusan datang dengan gelar
perang?”
“Sanakeling berhasil
menghimpun tenaga cukup banyak. Meskipun ia tidak berhasil menghubungi laskar
yang tersebar di pantai utara, namun yang ada benar-benar telah cukup untuk
mengimbangi kekuatan laskar Pajang di Sangkal Putung ini.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Terbayang di pelupuk matanya sepasukan yang kuat datang dari arah
barat di pagi-pagi buta dalam gelar yang sempurna. Sembil menarik nafas
dalam-dalam ia berkata, “Tohpati telah kehabisan kesabaran.”
“Ya” jawab orang itu. “Mereka
menganggap bahwa serangan kali ini haruslah serangan yang terakhir. Mereka
sudah jemu menunggu kesempatan untuk memasuki Sangkal Putung. Beberapa bagian
laskar dari utara telah terlalu lama berada di daerah ini. Bahkan Tohpati
sendiri, sudah ingin melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Namun sesudah
Sangkal Putung jatuh. Sesudah mereka mendapat bekal yang cukup untuk perjalanan
mereka kembali ke daerah yang bertebaran.”
Yang mendengarkan keterangan
orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari apa yang sedang
mereka hadapi sekarang. Agaknya bahaya kali ini benar-benar telah
menggoncangkan dada mereka.
“Keadaan ini benar-benar
menegangkan “ desis Ki Demang Sangkal Putung.
Untara berpaling. Sambil
tersenyum senapati yang masih muda itu berkata “Tidak banyak bedanya dengan
serangan-serangannya yang lampau Ki Demang.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Sahutnya, “Ah, Angger hanya ingin membesarkan hatiku. Tetapi aku
mempunyai gambaran yang lain. Macan Kepatihan benar-benar telah mengerahkan
kekuatan yang luar biasa.”
“Tetapi kekuatannya sangat
terbatas. Laskar Pajang di mana-mana telah berusaha memotong perhubungan
mereka, sehingga yang dapat mereka kumpulkan itupun pasti belum merupakan
bahaya yang sebenarnya bagi Sangkal Putung” jawab Untara.
Ki Demang tidak segera
menjawab. Sekali disambarnya wajah Widura yang tegang. Kemudian wajah Agung
Sedayu dan akhirnya wajah anaknya sendiri. Dilihatnya Swandaru Geni tersenyum.
Wajahnya menjadi amat cerah, dan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
berkata, “Bagus, lebih besar kekuatan Tohpati, akan lebih baik bagi kita. Kita
akan dapat menimbang, seberapa sebenarnya kekuatan kita di Sangkal Putung. Ayah
sebenarnya tidak perlu cemas. Anak-anak Sangkal Putung semakin banyak yang
bersedia ikut memegang senjata. Sedang merekapun menjadi semakin banyak
memiliki pengalaman. Nah, aku mengharap Tohpati mengerahkan seluruh sisa laskar
Jipang.”
”Huh” sahut Ki Demang Sangkal
Putung. “Kau hanya pandai membual Swandaru. Kau tidak memperhitungkan kecakapan
laskar Jipang dibandingkan dengan anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Ayah memperkecil arti
anak-anak kita sendiri” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak
senang mendengar keluhan itu, sebab ia sendirilah yang memimpin anak-anak muda
Sangkal Putung.
“Swandaru benar Kakang Demang”
potong Widura. “Kakang harus mencoba membuat hati mereka menjadi besar.
Anak-anak Sangkal Putung hampir setingkat dengan laskar Pajang sendiri dan
sudah tentu laskar Jipang pula. Beberapa orang bekas prajurit yang ada di
Sangkal Putung telah menguntungkan keadaan meskipun pada umumnya usia mereka
telah cukup tinggi. Namun pengalaman mereka menggerakkan senjata dan olah
peperangan masih cukup baik.”
Ki Demang Sangkal Putung tidak
menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menenangkan
hatinya. Tetapi sebagai seorang yang bertanggung-jawab atas Sangkal Putung,
atas semua isi dan penghuninya, maka mau tidak mau Demang Sangkal Putung itu
menjadi prihatin. Bagaimana nasib orang-orangnya apabila laskar Tohpati
benar-benar dapat menembus pertahanan Untara. Bagaimana akan jadinya dengan
kademangan ini?
Tetapi apabila dipandanginya
wajah Widura, wajah Untara, Agung Sedayu dan apalagi anaknya sendiri, terasa
ketenangan merayapi dadanya. Wajah-wajah itu tampak teguh dan meyakinkan bahwa
mereka akan mencoba sekuat-kuat tenaga mereka melindungi kademangan yang subur
dan kaya ini.
“Kakang Untara” terdengar
prajurit sandi itu berkata. “Aku akan segera kembali ke tempat tugasku.
Mudah-mudahan aku akan mendapat keterangan-keterangan yang lebih jelas. Malam ini
kami akan mencoba untuk membuat hubungan terus-menerus dengan kakang di sini.”
Untara mengangguk. “Baik,
lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya. Keadaan kami di sini sebagian tergantung
kepada keterangan-keterangan yang akan kau berikan kemudian.”
“Baik kakang” sahut orang itu.
Dan sesaat kemudian orang
itupun minta diri untuk kembali ke tempatnya.
Sepeninggal orang itu, maka
Widura dan Untara segera menentukan keadaan. Apa yang harus mereka lakukan
untuk melawan kedatangan laskar Macan Kepatihan itu.
“Jangan dilupakan, bahwa kita
akan minta Kiai Gringsing untuk ikut serta” desis Widura.
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sahutnya “Baik Paman, aku akan minta kepadanya. Tetapi dimana Ki
Tanu Metir itu sekarang?”
“Berjalan-jalan” sahut Agung
Sedayu. “Namun aku sangka bahwa Guru tidak akan berkeberatan.”
Untara dan Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Merekapun yakin akan kesediaan itu. “Nanti
kalau Ki Tanu Metir kembali, sampaikan sekali lagi permohonan kami itu Sedayu”
minta Untara kepada adiknya.
“Baik kakang” jawab Agung
Sedayu.
Widurapun kemudian memanggil
beberapa orang pemimpin kelompok untuk datang ke pringgitan. Kini mereka tidak
lagi harus merahasiakan kedatangan Tohpati besok. Perlahan-lahan namun jelas,
Widura menguraikan apa yang kira-kira akan mereka hadapi.
Hudaya yang duduk disamping
Sonya tersenyum mendengar penjelasan itu. Ketika kemudian pandangan matanya
bertemu dengan pandangan mata Citra Gati, yang duduk di belakang Untara,
merekapun mengangguk-angguk sambil tersenyum pula.
“Kakang Hudaya” bisik Sonya.
“Cepat-cepatlah mencukur janggut dan kumismu malam ini.”
“Sst” desis Hudaya. “Jangan
ribut. Lihat kakang Citra Gati sedang menghitung, berapa sisa hutangnya yang
tidak perlu dibayarnya.”
Sonya menutup mulutnya dengan
kedua tangannya ketika ia hampir tidak dapat menahan tawanya. Namun ia tidak
tertawa lagi ketika kemudian ia melihat beberapa orang kawan-kawannya menjadi
tegang. Hanya Sendawa agaknya tidak banyak menaruh perhatian. Sekali-sekali ia
memandang lampu yang menggapai-gapai tiang. Dan haripun segera memasuki ujung
malam.
Malam yang pasti akan sangat
menegangkan seluruh Sangkal Putung. Sebab besok pagi-pagi mereka akan
dihadapkan pada suatu bahaya yang benar-benar tidak dapat diabaikan.
Dengan cermatnya Widura dan Untara
mulai mengatur laskar mereka. Mereka mempertimbangkan setiap kemungkinan dan
setiap keadaan dengan pemimpin-pemimpin kelompok di dalam laskar Pajang itu.
Dengan penuh kesungguhan mereka mengurai kekuatan yang ada pada mereka dan
kemungkinan-kemungkinan yang ada pada lawan mereka.
Setapak demi setapak malampun
memasuki daerah kelamnya semakin dalam. Pembicaraan di antara para pemimpin
Pajang itupun menjadi semakin meningkat. Gelar-gelar yang harus mereka
persiapkan untuk menghadapi kemungkinan dari setiap gelar yang akan
dipergunakan oleh Macan Kepatihan.
“Tohpati pasti akan berada di
pusat pimpinan gelarnya” berkata Untara. “Ia adalah seorang senapati yang
bertanggung-jawab atas tugas-tugasnya.”
“Ya” Widura menjawab. “Itu
dapat kita pastikan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka
Tohpati akan menjadi ujung belalainya.”
“Kemungkinan yang paling
banyak terjadi. Gelar Dirada Meta pasti akan sesuai dengan sifat-sifat Macan
Kepatihan itu.”
“Lalu bagaimanakah gelar kita,
dan siapakah yang akan berada di pusat pimpinan?” bertanya Swandaru.
Semua orang berpaling
kepadanya. Pertanyaan itu sebenarnya sudah mereka ketahui jawabnya. Pastilah
Untara yang akan berada di pusat pimpinan. Seandainya mereka harus melawan
dalam gelar yang lebih luas karena jumlah mereka lebih banyak, meskipun
nilainya belum pasti melampaui laskar Jipang, karena diantara mereka terdapat
anak-anak muda Sangkal Putung, misalnya gelar Garuda Nglayang, maka Untara
pasti akan menjadi ujung paruhnya.
Untara sendiri tersenyum
mendengar pertanyaan itu. Jawabnya “Siapakah menurut penilaianmu yang paling
tepat untuk melawan Tohpati itu Swandaru?”
Swandaru kemudian tersenyum
pula. Ia ingin berkata, “Swandarulah yang paling mungkin untuk melawan Macan
Kepatihan yang garang itu, seandainya diberi kesempatan”. Tetapi Swandaru
kemudian bahkan menundukkan wajahnya.
Yang terdengar kemudian adalah
suara Untara. “Biarlah aku mencoba sekali lagi melawan Macan Kepatihan itu.
Mudah-mudahan kali ini aku dapat pula mengimbanginya.”
“Siapakah senapati-senapati
pengapitnya kakang?” bertanya Swandaru pula.
Untara mengerutkan keningnya.
Ia melihat Swandaru mempunyai keinginan yang besar untuk mendapat
tanggung-jawab yang cukup dalam pertempuran itu. Tetapi pertempuran kali ini
bukanlah semacam sebuah permainan yang menggembirakan. Laskar Jipang pasti akan
menempatkan orang-orangna yang paling terpilih di antara mereka. Sedang
Swandaru masih terlalu muda dalam pengalaman dan dalam kematangan berpikir.
Untara lebih condong untuk memilih Agung Sedayu meskipun anak itu ternyata
dalam bertindak terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan. Namun bekal yang
dimiliki Agung Sedayu ternyata lebih banyak dari Swandaru.
Namun sudah tentu Untara tidak
akan mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya, “Swandaru, kita
harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati pengapit
Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka sudah
dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah seorang senapati pengapitnya.
Salah seorang yang akan ditempatkan di ujung gading gajah raksasa yang akan
mengamuk itu. Sedang di ujung yang lain, mungkin Macan Kepatihan akan
menempatkan Alap-Alap Jalatunda atau orang lain yang lebih baik daripada orang
itu.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya
di antara mereka, Widura dan Agung Sedayu di samping dirinya sendiri. Karena
itu maka katanya dalam hati, “Apakah kakang Untara tidak mau memberi aku
kesempatan?”
Dan terdengarlah Untara
berkata, “Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan
Sanakeling. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai
perhitungan, bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan,
sehingga aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal
Putung.”
“Satu-satunya kemungkinan”
desis Swandaru. “Lalu siapakah yang harus melawan Alap-Alap Jalatunda?”
Untara mengerutkan keningnya.
Apalagi ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang ke arah Agung
Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung Sedayu
itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan. Apakah ia akan
dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia menunjuk Swandaru, Agung
Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi Swandaru sama sekali kurang
pengalaman dalam perang yang memasang gelar-gelar sempurna.
Namun akhirnya, Untara
menemukan jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya
berhenti pada seseorang yang duduk agak di belakangnya. Katanya, “Di sayap yang
lain aku pasang Citra Gati.”
Swandaru sekali lagi
mengerutkan keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa
Untara akan memilih satu diantara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya
sendiri.
Namun sebelum ia menyatakan
pendiriannya, terdengar Untara memberi penjelasan. “Aku harus menempatkan
seorang prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku
dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung Sedayu atau
kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui, saluran-saluran perintah
dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena itu aku tempatkan saja Citra Gati
itu di sayap kanan. Meskipun demikian, Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan
merupakan ujung-ujung kuku dalam gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita
pergunakan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu
dan bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang.
Tetapi kemudian Widura
memotong pembicaraan itu. “Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan
menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang yang akan
segera menyerbu itu?”
Semua yang hadir dalam
pertemuan itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan
Sumangkar yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki
nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat mengimbangi
Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu.
Tidak ada di antara mereka
yang akan mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya.
Tetapi harus ada orang yang terpilih di antara mereka. Padahal mereka
masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka abaikan
pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan Sanakeling dan
Citra Gati harus melawan Alap-Alap Jalatunda. Apakah Agung Sedayu dan Swandaru
yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu?
Ketika mereka baru
berteka-teki, terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya. “Tak ada
seorangpun di antara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun
demikian, kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya,
Kiai Gringsing.”
Para pemimpin laskar Pajang
itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam di antara mereka.
Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu. Namun belum
seorangpun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai Gringsing itu. Karena itu
terdengar Sendawa meyahinkan dirinya, “Siapakah Kiai Gringsing itu?”
Untara menarik alisnya.
Agaknya orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa
orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum mengenalnya.
Tetapi kini Untara tidak
berahasia lagi. Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata, “Orang yang
kalian kenal setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir
setiap malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir
setiap hari berada di antara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu Metir.”
Kembali terdengar mereka
bergumam. Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan
tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena itu
maka Citra Gati berkata, “Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”
Untara mengangkat wajahnya.
kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Panggilah Kiai Gringsing.”
Agung Sedayu segera berdiri
dan melangkah keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing di
pendapa, namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun ke
halaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya diantara para
penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar di gardu penjagaan
bersama-sama mereka yang bertugas.
“Aku tidak melihat Ki Tanu
Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.
“Apakah Ki Tanu Metir pergi
keluar?”
“Aku tidak melihatnya” sahut
penjaga itu. “Entahlah sebelum aku bertugas di sini.”
“Siapakah yang bertugas
sebelum kalian?”
“Di antaranya kakang Santa.”
Agung Sedayupun bergegas-gegas
mencari Santa di pendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu
Metir. Katanya, “Aku tidak melihatnya.”
“Sore tadi aku duduk
bersama-sama dengan Ki Tanu Metir” berkata Agung Sedayu.
“Ya. Tetapi aku tidak
melihatnya”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada di belakang? Agung Sedayupun
kemudian mencoba mencarinya ke perigi. Tetapi di perigi itupun Ki Tanu Metir
tidak ditemukannya.
Satu-satunya kemungkinan
tinggallah di banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat di sana.
Mungkin Ki Tanu Metir ada di antara mereka.
Karena itu maka Agung Sedayu
segera pergi ke pringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan
mencoba mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.
“Aku pergi bersamamu” sela
Swandaru sebelum Untara menjawab.
Agung Sedayu mengangguk.
“Marilah” jawabnya.
Dan Untarapun kemudian
bertanya, “Apakah kau sudah mencari di seluruh halaman ini?”
“Sudah Kakang.”
“Tidak seorangpun yang
melihatnya?”
“Tidak Kakang, para penjaga
regolpun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorangpun
yang mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun.
Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu memperhatikannya.
“Sore tadi aku masih
bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.
“Kalau demikian,” berkata
Untara, “cobalah kau cari Ki Tanu Metir di banjar desa.”
Agung Sedayu dan Swandaru
segera pergi meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langitpun
tampak gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali menengadahkan
wajahnya dan dilihatnya lidah api berloncatan. Bintang-bintang jauh bersembunyi
di balik tabir yang hitam.
Agung Sedayu itupun segera
terkenang pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan
padukuhannya Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati
akan melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh bedanya,
perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada saat itu
perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia menjadi gemetar.
Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan darah, dan dirasakannya
luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang tidak dapat dihindarinya, maka
pecahlah belenggu yang mengungkungnya selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru
pada dirinya. Dan karena itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi
dicengkam oleh ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga
melekat pada dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang
terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu, meskipun
ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan kecemasan.
Agung Sedayu dan Swandaru
berjalan tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan
jatuh. Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.
“Alangkah sepi malam ini”
desis Agung Sedayu.
“Mungkin beberapa orang
mendapat firasat buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya
besok pagi akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru. “Tetapi mungkin
karena mendung yang tebal.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah
mengungsi ke kademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika
ia mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar betapa
rawannya di antara bunyi guruh yang menggelegar di langit.
“Kenapa anak itu menangis?”
desisnya.
Swandaru heran mendengar desis
itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang
memancarkan tangis bayi itu.
“Bayi-bayi menangis di malam
hari” sahut Swandaru. “Mungkin kakinya digigit nyamuk, mungkin terkejut
mendengar tikus melonjak-lonjak di atap rumahnya.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh
tangis itu. Besok pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh
ibu-ibunya. Digendongnya dan dibawanya berlari-lari ke kademangan sambil menggandeng
anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati yang
cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti kakaknya dari
Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia pernah mengalaminya.
Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di Sangkal Putung akan
mengalaminya pula, ketakutan.
Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut ketika guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh
bumi. Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian
gelap kembali.
Keduanya berjalan semakin
cepat. Banjar desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan.
Beberapa orang duduk dengan malasnya di bawah cahaya pelita. Tetapi beberapa
orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik di muka gardu itu. Ketika
mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam, segera mereka
menundukkan tombak mereka sambil bertanya, “Siapa?”
“Aku” sahut Swandaru.
“Swandaru Geni.”
“Oh” gumam penjaga itu, yang
segera mengenal suara Swandaru. “Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga
itu.
“Banjar desa” sahut Swandaru
pendek.
Penjaga itu tidak bertanya
lagi. Tetapi kemudian Agung Sedayulah yang bertanya, “Apakah kalian melihat Ki
Tanu Metir lewat jalan ini menuju ke banjar desa?”
Penjaga itu mengerutkan
keningnya. Kemudian jawabnya, “Tak seorangpun lewat sejak senja.”
“Sore tadi?” desak Sedayu.
“Agaknya juga tidak.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah aku melihatnya di banjar desa.”
“Silakan. Tetapi hati-hatilah.
Jalan tampaknya terlalu sepi.”
“Kalian terpengaruh oleh
suasana” sahut Swandaru. “Mendung yang tebal, guruh dan kilat yang memancar di
langit menjadikan malam ini sangat sepi.”
Peronda itu mengangkat
alisnya. Sekali ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya
seolah-olah kepada diri sendiri, “Ya, mungkin Swandaru benar.”
Swandaru dan Agung Sedayu
tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu
langsung menuju banjar desa Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak terlalu
jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang bersambung di langit
maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan berlari supaya mereka tidak
kehujanan.
“Perintah Paman Widura belum
sampai kepada para peronda itu bukan?” bertanya Swandaru.
“Aku kira belum” sahut Agung
Sedayu.
“Namun seakan-akan mereka
sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya.”
“Firasat seorang prajurit”
jawab Agung Sedayu.
Mereka sama sekali tidak
memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai ke regol banjar desa di
samping sebuah lapangan.
Ketika mereka dengan
tergesa-gesa menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua
ujung tombak menghalangi mereka, “Siapa?”
“Swandaru Geni” sahut
Swandaru.
“Oh” desis penjaga itu.
“Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang di malam hari begini.”
“Kau yang tidak pernah melihat
kedatangan kami” sahut Agung Sedayu. “Hampir setiap malam kami datang kemari,
meskipun hanya lewat di samping regol ini”
Penjaga itu mengerutkan
keningnya, “Aku tidak pernah melihatnya.”
Agung Sedayu tersenyum.
“Mungkin. Mungkin kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas di sini,
dan mungkin memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat
melihatnya d imalam hari.”
“Oh” kembali penjaga itu
berdesis. “Tetapi kau sekarang singgah di banjar ini. Adakah sesuatu yang
penting?”
“Tidak” jawab Agung Sedayu.
“Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir.”
“Tidak ada disini” sahut
penjaga itu.
“Jangan main-main” sela
Swandaru Geni. “Ada yang penting bagi dukun tua itu.”
“Ya, bapak dukun itu tidak ada
di sini.”
“Bukankah di sini masih ada
orang yang perlu perawatannya?”
“Siang tadi ia datang, tetapi
tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi.”
“Tadi sore aku masih
bercakap-cakap di kademangan” gumam Agung Sedayu.
Penjaga itu menggeleng.
“Entahlah”
Meskipun demikian, namun
agaknya Agung Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan
keduanya berkata, “Kami akan mencoba melihatnya.”
Penjaga itu tersenyum. “Kami
tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit di kademangan?”
“Seluruh Kademangan Sangkal
Putung sedang sakit” sahut Swandaru.
Penjaga itu tidak tahu maksud
Swandaru. Tetapi ia menjawab, “Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak melihatnya
memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aji panglimunan sehingga dapat
melenyapkan diri dari pandangan mata.”
Swandaru dan Agung Sedayu
segera melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit
yang bertempat tinggal di banjar desa itu, berbaring-baring dengan tenangnya.
Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk menghadapi pelita sambil bermain
macanan.
Ketika mereka melihat Swandaru
dan Agung Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang
sedang berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itupun berhenti.
“Siapa pemimpin kelompok
disini?” bertanya Agung Sedayu.
Orang yang sedang menghadapi
permainan macanan menjawab, “Kakang Sendawa. Kini sedang di panggil ke
kademangan.”
“Oh” desis Swandaru. “Aku
melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada di sini sekarang?”
“Tidak” jawab mereka serempak.
Agung Sedayu menarik nafas.
“Aneh” desahnya.
“Biasanya Guru selalu
mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.
Sesaat mereka berdiri saja
seperti patung di pendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat
kemanakah kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak
dapat menemukan jawabnya.
“Justru pada saat yang
penting” kembali Agung Sedayu berdesah.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Marilah kita laporkan kepada Paman Widura dan
Kakang Untara.”
Agung Sedayu mengangguk.
Kepada orang yang duduk di samping pelita, Agung Sedayu berkata, “Baiklah aku
kembali ke kademangan. Sebentar lagi Kakang Sendawa akan datang membawa berita
penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari tangan.”
Yang mendengar kata-kata Agung
Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit,
sehingga isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan
menjadi semakin berbahaya.
Meskipun demikian ada yang
bertanya, “Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”
“Tunggulah Kakang Sendawa”
jawab Agung Sedayu. “Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan
kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena itu
bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan.”
Sejenak para prajurit di
banjar desa itu saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan
Swandaru telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap
sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata, “Jadi kami harus
berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka, laskar Pajang di
banjar desa itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi
adalah pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau
tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.
“Sudahlah” Agung Sedayu
kemudian minta diri. “Kami akan mencari dukun tua itu.”
“Silakan” jawab beberapa orang
serempak.
Sepeninggal Agung Sedayu dan
Swandaru, di antara mereka terdengar salah seorang berkata, “Seperti hari-hari
yang lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka sendiri
tidur mendengkur di kandangnya.”
“Jangan kehilangan
kewaspadaan” sahut kawannya sambil berdiri. “Mungkin kali ini mereka
benar-benar datang untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan
pedangmu. Apabila Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna
bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala
tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima kasih
kalau kau sediakan pedang untuknya.”
Orang yang pertama meraba
lehernya yang pajang. Jawabnya, “Sayang sekali. Leher ini adalah leher yang
jenjang. Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika
anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi oleh
istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun.”
Kawannya tertawa. Tetapi ia
tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan ke sudut pendapa banjar itu
mengambil sebuah tombak pendek. Sambil bergumam kepada diri sendiri dibelainya
senjatanya itu, “Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama ayah.”
Kawan-kawannya memandanginya
sambil tertawa. Namun satu demi satu merekapun berdiri, berjalan ke tempat
senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi, maka
mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.
“Tidur” berkata salah seorang
dengan lantangnya. “Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita
telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu.”
“Atau bahkan sebelum kau
sempat tidur kau harus sudah bangun lagi.”
Tak ada yang menyahut. Pendapa
banjar desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah
terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka
dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang persoalannya
menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun mereka semuanya
menunggu seseorang, Sendawa.
Sementara itu Agung Sedayu dan
Swandaru telah berdiri di jalan kembali ke kademangan. Sejenak mereka
termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki Tanu
Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ketempat yang lain?
“Bagaimana?” bertanya Swandaru
Geni.
Agung Sedayu terdiam sejenak.
Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya mendung menjadi semakin tebal
dan kilat semakin banyak berkeliaran dilangit. Angin yang lembab mengalir
semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara yang
riuh.
“Kakang Untara harus cepat
mengambil kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan
diri malam ini” berkata Agung Sedayu.
“Ya, aku juga masih harus
menyiapkan anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran di
gardu-gardu. Di banjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru Geni. Namun
ia meneruskan, “Tetapi mungkin pula mereka berkumpul di rumah Tima yang sedang
memperingati selapan kelahiran anaknya yang pertama.”
“Kalau mereka berkumpul di
sana, maka tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula. “Kau akan
menemukan mereka bersama-sama sekaligus.”
“Ya,” sahut Swandaru, “tetapi
sekarang bagaimana?”
“Kita kembali” jawab Agung
Sedayu. “Nanti kalau Kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah
kita mencarinya lagi.”
Swandaru mengangguk-angguk.
Desisnya, “Marilah.”
Keduanyapun kemudian berjalan
tergesa-gesa kembali ke kademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah api
memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam kembali.
Ketika mereka sampai di muka
gardu perondan, maka berkata Agung Sedayu kepada mereka, “Tingkatkan
kesiagaan.”
Para penjaga itu mengangkat
wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya, “Apakah Kiai Dukun itu
kalian ketemukan?”
“Tidak. Kami masih harus
mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.
“Apakah ada bahaya disekitar
Sangkal Putung?”
“Kalian akan segera mendapat
perintah itu.”
“Terima kasih” sahut diantara
mereka. Dan Agung Sedayupun kemudian melihat beberapa orang yang duduk
terkantuk-kantuk di atas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata
masing-masing.
“Biarlah kita mengadakan ronda
keliling di wilayah perondaan kami.”
“Silakan” sahut Agung Sedayu.
“Kami akan segera kembali sebelum hujan.”
Agung Sedayu dan Swandaru kini
berjalan semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar di langit,
mereka merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka.
Ketika Swandaru menengadahkan
telapak tangannya terdengar di kejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi
semakin keras dan semakin dekat.
“Hujan yang lebat itu telah
datang” desis Swandaru.
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Langkah-langkah merekapun
menjadi semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh
langkah saja daripada mereka.
Ketika bunyi hujan yang lebat
itu seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk ke dalam
regol halaman kademangan. Di bawah atap regol itu Swandaru menarik nafas sambil
berdesah, “Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari langit, kita telah sampai
di sini.”
Agung Sedayupun
mengibas-ngibaskan bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia
memandang ke halaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang
benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung di tiang
regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan menembus
butir-butir air hujan yang pepat padat.
“Kita harus menyeberangi
halaman itu” desis Agung Sedayu.
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sahutnya, “Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun
jarak pendapa itu tidak lebih dari lima belas, dua puluh langkah.’
Swandaru memandang berkeliling.
Kemudian gumamnya, “Adakah di sini payung belarak?”
Salah seorang penjaga di regol
itu menggeleng. “Sayang tidak ada.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Para penjaga di regol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika
mereka mendengar petir meledak dekat sekali di atas regol halaman itu, bahkan
seakan-akan meledak di dalam kepala mereka masing-masing.
“Gila” umpat Swandaru sambil
menyumbat lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan
itu telah terlanjur masuk ke dalam lubang kupingnya.
Hujan semakin lama menjadi
semakin lebat. Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat,
sehingga bayangan yang keputih-putihan membusa di halaman kademangan iu. Sinar
lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air di
teritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang di halaman semakin lama
menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itupun merambat naik ke lantai
regol dan dengan derasnya mengalir keluar di bawah kaki-kaki mereka yang berada
di dalam regol halaman.
Beberapa orang penjaga
meloncat naik ke amben yang tinggi. Namun dua orang lain terpaksa harus tetap
berada di tempat mereka sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah
yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri di tempatnya meskipun
kaki-kaki mereka terbenam di dalam genangan air yang melimpah dari halaman
mengalir ke jalanan.
Dalam hiruk pikuk air hujan
yang jatuh dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah kalian
sudah melihat Ki Tanu Metir datang?”
Hampir serentak para penjaga
di regol itu menjawab, “Belum.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah, “Aneh.”
“Kita harus segera
memberitahukan kepada Kakang Untara” berkata Agung Sedayu.
Swandaru ragu-ragu sejenak.
Ditatapnya air hujan yang lebat di antara suara angin yang kencang. Ketika
kilat memancar sekali di langit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan
seperti menggeliat diputar angin.
“Hujan dan angin” desis salah
seorang penjaga.
Agung Sedayu berpaling.
Kemudian ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi besok pagi kita akan
mengalami prahara yang lebih berbahaya.”
“He?” bertanya penjaga itu.
Agung Sedayu menggeleng.
“Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu
Metir.”
Para penjaga itu mengerutkan
keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka bergumam, “Itukah
sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul di pringgitan?”
“Ya” sahut Agung Sedayu.
Mereka kemudian terdiam.
Meskipun mereka tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang,
namun terasa juga dada mereka berdebar-debar.
“Ah, biarlah kami berlari saja
menyeberangi halaman itu.”
“Kalian akan basah kuyup.”
“Tidak apa-apa. Hanya basah
karena air” sahut Agung Sedayu.
“Bukan basah karena darah”
sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjagapun tertawa.
Agung Sedayu dan Swandarupun
kemudian melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat
pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka berdiri di
teritisan regol halaman. Pelita di pendapa yang menyala-nyala hampir-hampir
tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
“Ayolah, hujan ini selebat
pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara.”
“Mari” sahut Swandaru.
Dan keduanyapun kemudian
terjun ke dalam air yang tergenang di halaman dan berlari menembus kepekatan
air hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak.
Demikianlah mereka naik
kependapa, maka pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda
keringpun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana
mereka.
Beberapa orang yang
duduk-duduk di pendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ke
tangga pendapa.
“Siapa?” teriak salah seorang
dari mereka.
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Namun terdengar Swandaru menyumpah, “Setan. Basah kuyup juga
pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kita.”
Karena Agung Sedayu dan
Swandaru tidak menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun
kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “He,
seperti tikus terjerumus dalam parit.”
Swandaru bersungut-sungut.
Segera ia berlari lewat pintu gandok masuk ke dalam rumah mencari ganti
pakaian. Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu di pendapa. Pakaian
yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada di pringgitan.
Tetapi terasa dingin air hujan
itu sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan
lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk ke pringgitan. Beberapa orang
yang duduk di pringgitan segera berpaling. Ketika Untara dan Widura melihatnya,
maka merekapun tertawa pula.
“Gantilah Sedayu, lalu katakan
apakah kau temukan orang yang kau cari itu.”
Agung Sedayu segera bersembunyi
di belakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.
Sesaat kemudian Agung Sedayu
dan Swandaru telah duduk kembali di dalam lingkaran para pemimpin kelompok
laskar Pajang.
“Bagaimana dengan Kiai Dukun
tua itu?” bertanya Untara.
Agung Sedayu
menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, “Tidak ketemu kakang. Aku telah
mencarinya ke banjar desa.”
“Ya, aku melihat kalian basah
kuyup.”
“Ketika hujan turun aku sudah
sampai di regol halaman ini” sahut Swandaru. “Kami basah kuyup dalam jarak yang
hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai ke pendapa.”
“Alangkah derasnya hujan”
desis Widura.
“Dan orang tua itu tidak dapat
kau ketemukan” Untara menyambung.
“Ya” jawab Agung Sedayu.
“Aneh” gumam Untara. “Dalam
keadaan yang gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak
tahu, apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah
hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang tua
itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari
tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita
bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah memberikan
setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan seandainya Ki Tanu Metir
berada di luar lingkaran pertentangan antara Jipang dan Pajang, mempertahankan
Sangkal Putung adalah tugas kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat
membayangkan, apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan
Macan Kepatihan, maka di sini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi
kemanusiaan. Perampasan hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan
mereka.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sedayu pasti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir
melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang bertempur
melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang telah memberitahukan
bahwa di dalam lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama
Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini orang tua itu tidak
menampakkan diri?
Untara menjadi cemas, apakah
Ki Tanu Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung
telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan
bertempur dalam gelar yang sempurna?
Tetapi Untara tidak boleh
tenggelam dalam teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera
menentukan sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh
mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada
laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan
menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian juga
agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi tegang. Dengan
dahi yang berkerut, ia berkata, “Untara, kita harus segera menentukan sikap.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Jawabnya, “Ya Paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang
harus kita lakukan.”
“Kita anggap bahwa Ki Tanu
Metir tidak ada di antara kita.”
Sekali lagi Untara mengangguk.
“Ya” jawabnya. “Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita.”
Semua yang duduk di pringgitan
itu tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka,
bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada para pemimpin
laskar Pajang di Sangkal Putung.
“Kita tidak sempat untuk
mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wira
Tamtama” desis Widura.
Untara menggeleng. Katanya,
“Tidak paman. Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri
langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak
mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk melawan
hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang dapat membawa
nyawa rangkapan di dalam tubuhnya? Tetapi cerita itu ternyata sama sekali tidak
benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali.”
Sesaat pringgitan itu menjadi
sepi. Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang
akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu?
Yang terdengar kemudian adalah
suara hujan yang gemerasak di atas atap rumah kademangan. Di sana-sini
tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah
mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali terdengar
daun pintu terbanting.
Di pendapa nyala pelita
terayun-ayun dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi
redup hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun,
untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam.
Tak seorangpun yang duduk di
pringgitan segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang
pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi hantu
yang menegakkan bulu tengkuk.
“Kita harus segera mengambil
keputusan“ terdengar Untara menggeram.
Hampir serentak semua orang di
pringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Marilah aku mencoba
menentukan orang itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting
telah mendapat tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itupun tidak mungkin aku
lepaskan. Sedang Paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Di sayap yang lain
Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari lawan
untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu harus kita persiapkan
beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung
Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari
kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa. Kalian harus berada di
ujung barisan, sebagai inti kekuatan yang akan menghadapi seorang yang luar
biasa itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangkat wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya
wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun di dalam dada
mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar
adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing.
Tetapi mereka tidak dapat
menolak perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri?
Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka lakukan
dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka.
Hudaya dan Sonya tidak begitu
terpengaruh oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai di mana
kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan Kepatihan
atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya
bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya.
Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru pernah melihat orang yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki
Tambak Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan
setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dalam pada itu terdengar
Untara bertanya, “Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”
Kembali Swandaru dan Agung
Sedayu saling memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala
sambil menjawab hampir bersamaan, “Kami junjung kewajiban itu.”
“Bagus” sahut Untara. “Di
samping kalian berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja
mati-matian menahan orang tua itu.”
Hudaya dan Sonyapun
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba
janggutnya yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu
tampak berkerut-kerut.
Sejenak kemudian pembicaraan
mereka telah selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar
seluruhnya. Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar
Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna.
Karena itu maka segera Untara
memutuskan apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera.
Barulah kemudian Untara berkata kepada Widura, “Nah, sekarang bagaimana dengan
rakyat Sangkal Putung Paman?”
Widura mengerutkan keningnya.
Sekali ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya, “Kakang
Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah
sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”
Ki Demang termenung sesaat.
Terbayang di wajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama
ini bekerja untuk kademangan dan rakyat di kademangan ini, maka semua bahaya
itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga Untara
dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka
setelah berpikir sejenak, maka katanya, “Perempuan dan anak-anak harus kita
singkirkan.”
Untara dan Widura
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang
ini mereka dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan
yang lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak
henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung.
Tetapi bagaimanapun juga,
mereka harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup. Setiap saat yang
diperlukan mereka harus dapat diselamatkan dari keganasan laskar Jipang.
Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang
berhasil masuk ke daerah kademangan ini maka mereka harus dijauhkan dari
orang-orang Jipang yang sedang haus itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda
berharga dan apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung.
Ki Demang itupun kemudian
berkata pula, “Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung
untuk menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari,
sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula. Melihat
kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara dapat di
persiapkan desa di ujung timur kademangan ini.”
Untara dan Widura
mengangguk-angguk. Dan terdengar Widura berkata, “Kalau demikian, maka
pembicaraan kita sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang
pengungsian perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah
mereka menikmati ketenangan di tengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur
meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam penuh
karena kegelisahan.”
Pertemuan itupun kemudian
diakhiri. Para pemimpin kelompok segera kembali ke kelompok masing-masing.
Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama
mereka tidak maju ke garis perang, maka besok mereka akan berada di dalam gelar
yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali nafas
keprajuritan mereka.
Selama ini mereka merasa tidak
lebih dari sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan
penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan dari
Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan penyelesaian,
meskipun Adipati Jipang telah terbunuh di medan peperangan.
Untunglah bahwa selama ini
laskar Pajang di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak
muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang
sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran dalam
cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum setangkas
prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah cukup mereka
pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung halaman mereka besok.
Para prajurit yang memang
belum lelap tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun di sekeliling
pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang
penting.
Beberapa orang mendapat tugas
khusus untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki
Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang kemudian
menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang di antara mereka adalah
petugas-petugas yang harus siap di atas punggung kuda masing-masing, yang
apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera mencapai tempat-tempat yang
dikehendaki.
Sendawapun segera kembali ke
banjar desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta
seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya titik-titik air
yang berjatuhan dari langit,
“Alangkah lebatnya hujan ini”
desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.
“Ya” sahut kawannya. “Hampir
aku tidak dapat bernafas.”
Dan keduanyapun berlari
semakin kencang, agar mereka tidak membeku di bawah hukan yang seakan-akan
menjadi semakin lebat.
Swandaru Geni dan Agung Sedayu
sesaat kemudian berdiri termangu-mangu di pendapa kademangan. Mereka harus
segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah sebaiknya
Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik di dalam hujan yang lebat.
Karena itu maka Swandaru kemudian berkata, “Aku akan ganti pakaian kembali”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
“Aku akan kenakan pakaianku
yang basah. Bukankah aku harus menari-nari di dalam hujan itu kembali?”
Agung Sedayu termenung
sejenak. Jawabnya, “Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini
basah pula, aku tidak lagi punya ganti besok.”
“Apakah kita besok masih perlu
berganti pakaian?”
“Kenapa?” bertanya Agung
Sedayu.
Swandaru tertawa lucu sekali.
Katanya “Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi
ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata, “Cepat, gantilah. Aku juga
mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar lagi
kita akan sampai ke tengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah banyak.
Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak.”
“Biarlah orang lain
mengurusnya” sahut Swandaru. “Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus
sudah berada dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanyapun telah berganti
pakaian dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama
sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat mereka
menuruni halaman dan berlari ke regol halaman.
Suasana para penjaga di regol
halaman telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka
lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan waktu
sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat
mereka manfaatkan.
Swandaru dan Agung Sedayu
segera berlari meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat
untuk mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang
pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk memberitahukan
kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus
menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin sebagian dari laki-laki Sangkal
Putung yang masih mungkin menggenggam senjata, melakukan pengawalan di
kademangan.
“Apakah perlu kita bunyikan
tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.
“Jangan” cegah Swandaru.
“Tidak banyak manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan.
Rakyat akan berbuat tanpa dapat dikendalikan.”
“Jadi apakah aku harus
mendatangi setiap rumah diseluruh kademangan?”
“Apakah begitu juga yang
pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.
“Tidak” sahut Jagabaya itu.
“Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri.”
“Nah, lakukanlah. Tetapi beri
mereka ketenangan, bahwa di kademangan akan ditempatkan pengawalan yang kuat.
Para peronda di segenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada di
antara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari kademangan
ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak timbul
kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan tenaga-tenaga anak-anak muda
untuk keperluan serupa, membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka
harus beristirahat menjelang fajar besok.”
Jagabaya itu
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baik. Kewajiban itu akan aku lakukan
sebaik-baiknya.”
Sesaat kemudian Agung Sedayu
dan Swandaru telah berada kembali di bawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan
rumah Ki Jagabaya yang akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki
Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam
susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.
“Kemana kita pergi sekarang?”
bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.
“Memanggil anak-anak” sahut
Swandaru.
“Ya, tetapi kemana? Di
rumahnya masing-masing atau ke gardu mana yang kita tuju pertama-tama?”
“Ke rumah Tima. Mungkin
anak-anak berada disana.”
Agung Sedayu tidak menjawab.
Segera mereka berdua berlari ke rumah Tima yang sedang merayakan selapan
bayinya.
Sampai di rumah Tima, Swandaru
langsung meloncat menyusup regol masuk ke dalam halaman. Dengan tubuh dan
pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang
karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir di setiap
tiang-tiangnya.
Beberapa orang terkejut
melihat dua orang berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun
kemudian hampir serentak setiap mulut bergumam, “Swandaru dan Agung Sedayu.”
Tima yang melihat kehadiran
mereka berdua segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta, “Oh,
marilah, marilah Tuan berdua. Ah, aku tidak sempat menyongsong ke rumah. Hujan
lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”
“Tidak” sahut Swandaru. “Aku
memiliki aji pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api.”
Namun suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.
Yang mendengar jawaban
Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu
bergetaran.
“Mari, mari silakan naik” Tima
mempersilakan.
“Sebenarnya sejak senja aku
ingin datang kemari” berkata Swandaru kemudian. “Tetapi aku belum sempat. Hujan
telah tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk mengunjungi
selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah
nikmatnya.”
“Karena itu marilah naik”
sekali lagi Tima mempersilakan.
“Tetapi sayang, kami berdua
basah kuyup.”
“Tidak apa, silakan.”
“Kami bisa membeku
kedinginan.”
Tima menjadi bingung. Apakah
maksud Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata, “Apakah kalian
memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”
“Terima kasih” sahut Swandaru.
“Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan
menjadi basah kuyup.”
Tima menjadi bingung. Namun
kemudian terdengar Swandaru berkata, “Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku
lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda
Sangkal Putung yang kebetulan berada di rumah ini.”
Tima mengerutkan keningnya.
Terasa dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan
serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.
“Duduklah” minta Swandaru.
“Aku tidak ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati
suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap.”
Tetapi anak-anak muda di
pendapa itu justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian
Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi. “Duduklah. Kalau kalian
berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak.”
Namun kali ini suara Swandaru
itupun seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan
Agung Sedayu.
Swandaru akhirnya menjadi
jengkel. Tiba-tiba ia meloncat turun ke halaman, ke dalam hujan yang masih
tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru di
sela-sela derai tertawanya, “Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku
lagi.”
Beberapa anak-anak muda
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan
pemimpin-pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada
sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka,
sehingga karena itu, maka ada diantara mereka yang benar-benar meloncat pula ke
halaman, dibawah curahan hujan yang lebat.
“He, kau gila” teriak
Swandaru. “Tunggulah, aku akan naik lagi ke pendapa.”
Namun anak-anak muda itu
tersenyum. Jawabnya, “Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku
kira Kakang Swandaru tidak akan datang ke tempat ini dengan pakaian basah kuyup
dan tanpa baju.”
“Anak setan kau” umpat
Swandaru sambil tertawa. “Baiklah, marilah, ikuti aku ke teritis gandok.”
Kemudian Swandaru dan Agung
Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju ke teritis gandok.
Ketika mereka sudah berada di
tempat yang teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang
harus mereka lakukan.
“Apakah hanya ada lima orang
pemimpin kelompok yang berada di tempat ini?”
“Ya kakang. Pemimpin kelompok
dari kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok
delapan sedang bertugas di gardu selatan.”
“Besok kalian berada langsung
di bawah pimpinan Ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama Kakang Agung
Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada di antara kalian. Ingat, bahwa satu
kelompok laskar Pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan
kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman.
Kalian berada di bawah tuntunan mereka bersama beberapa orang Sangkal Putung
sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan kalian dalam kelompok-kelompok
yang telah ditentukan.”
“Baik kakang” jawab mereka
hampir bersamaan.
Swandaru menjadi bangga akan
kesediaan anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar telah
siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya setiap hari, tanah sumber
hidupnya, kampung halaman.
“Bagus” sahut Swandaru. “Kalau
demikian, kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan
beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari
kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan kemudian
mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok orang-orang
yang sudah setengah umur. Merekapun harus membantu penyelenggaraan pengungsian
dan pengawalan atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih sanggup
ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh, kalian harus bersiap di halaman
banjar desa. Tidak akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru
kentong dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat,
dara muluk.”
Kelima anak muda itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus
mereka lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan bahkan
kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok
mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang
yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang masih sanggup
menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggungpun akan diikut-sertakan dalam
kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala di dalam dada mereka.
Ketika semuanya sudah menjadi
jelas, maka berkata Agung Sedayu. “Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur
menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan bijaksana supaya kerja
besok tidak terbengkalai.”
“Baik Kakang” jawab salah
seorang dari mereka. “Aku akan berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu,
kami akan bekerja keras.”
“Bagus, cobalah untuk
beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung Agung Sedayu.
“Baik.”
“Kalau demikian, kembalilah ke
pendapa. Pakaian kalianpun telah basah pula.”
“Tidak apa. Kami hanya tinggal
sebentar duduk di antara mereka.”
Setelah semuanya menjadi
semakin jelas, maka Swandaru dan Agung Sedayupun segera berlari kembali ke
pendapa bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu.
Di tangga pendapa Agung Sedayu
dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang berdiri dengan mulut ternganga.
Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung
Sedayu. Sehingga terloncat dari mulutnya, “Lalu apakah yang kalian kehendaki
datang dalam pakaian yang basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi sebelum aku
memberikan apa-apa?”
Swandaru tertawa. “Nanti aku
datang kembali.”
Tima tidak sempat berkata
apapun lagi. Mereka yang di pendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung
Sedayu meloncat ke dalam hujan yang lebat dan hilang ditelan oleh kegelapan.
Tima masih berdiri di atas
tangga pendapa rumahnya. Ia merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah
terasa pula didalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda yang duduk di
pendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Segera mereka
menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini.
Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.
Kini yang menjadi pusat
perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang masih berdiri di tangga
pendapa. Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih sempat naik ke
pendapa dan duduk kembali di tempat masing-masing.
Tima yang tidak sabar segera
bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apakah yang penting?”
Yang ditanya menggeleng.
“Tidak ada.”
“Kau menyimpan rahasia itu?”
bertanya anak muda yang lain.
“Tidak. Swandaru hanya datang
untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi
terlalu dingin.”
Tima segera mengerti. Kini ia
yakin, bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan
terjadi. Demikian juga orang-orang lain di pendapa itu. Sehingga karena itu
maka Tima berkata, “Baik. Aku akan percepat gelombang hidangan yang telah kami
siapkan. Bukankah kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang penting ?”
Kelima orang anak muda itu
tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas
ke belakang.
Pertemuan itu cepat selesai
jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok
segera mengakhiri pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian, beberapa anak-anak
muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk melakukan
pekerjaan masing-masing.
Sebenarnyalah Sangkal Putung
di dalam malam yang kelam, di bawah cucuran hujan yang lebat itu, telah
terbangun karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak muda
dan orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan
anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang masih
tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri mereka bersama
anak-anak mereka.
Rakyat Sangkal Putung
benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok,
dan cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka terpaksa meninggalkan
rumah-rumah mereka, membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Di bawah
payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka berbondong-bondong pergi ke
kademangan mengamankan diri dan barang-barang mereka. Tangis anak-anak kecil
telah memecahkan kesepian kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian di dalam
kelamnya malam. Namun sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang
masih saja tercurah dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.
Laskar Pajang yang berada di
kademangan telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka
bertebaran di gandok dan di setiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada
para perempuan dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.
Pendapa kademangan Sangkal
Putung itu segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak di antara tangis bayi.
Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar ketakutan. Tetapi mereka
menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki,
suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara mereka telah siap
dengan senjata di tangan mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang
prajurit Pajang yang hilir mudik di antara mereka. Seolah-olah mereka berada di
dalam pelukan tangan-tangan yang akan sanggup melindunginya.
Ternyata waktu merayap
terlampau cepat. Prajurit-prajurit Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang
besok harus maju berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk
beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil kebijaksanaan lain.
Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan terhadap laskar Jipang
langsung di garis peperangan harus meninggalkan kademangan dan pergi ke banjar
desa.
Demikianlah maka sesaat kemudian
seperti banjir yang mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat
kemudian laki-laki di halaman kademangan itu, menjadi semakin susut, tetapi
sebaliknya perempuan dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.
Yang tinggal di halaman itu, selain
para pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang
bertugas mengawal mereka. Tetapi di samping mereka, hampir setiap laki-laki
yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena umur-umur mereka yang
telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula. Meskipun mereka telah
dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat tinggal diam.
Seorang yang berambut putih
seperti kapas berkata kepada temannya yang berdiri di sampingnya, di teritisan
kademangan itu, “Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang besok
akan menyongsong lawan itu?”
Temannya yang sudah tidak
bergigi satupun menjawab, “Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila
ada bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju ke garis perang terdepan.
Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk gigiku yang telah habis ini, ‘Gigimu
telah habis Kek.’
Aku menjawab, ‘Bukankah aku
tidak akan menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan
pedang.’ Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah
kapak, aku membelah sepotong balok di halaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki
Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab, ‘Balok itu tak dapat bergerak Kek.
Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan kehabisan nafas untuk
mengejarnya’. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang
membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu membelah kepala
musuh-musuhku.”
Temannya yang berambut putih
kapas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Akupun masih dapat memanjat
pohon kelapa di halaman rumahku. Kau tahu, di rumahku ada dua puluh lima pohon
kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat.”
Temannya yang tak bergigi
mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Itulah. Mereka menyangka kita
sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang merembes sampai ke
halaman ini, akan aku buktikan kemampuanku.”
Mereka kemudian berdiam diri.
Dengan tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih
bertugas di regol halaman itu. Di teritisan yang lain mereka melihat anak-anak
muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret pedang di lambung
mereka, dan sebagian lagi memandi tombak di pundak mereka.
Kedua orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berbangga di dalam hati mereka. Tetapi
mereka lebih berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua sebaya
dengan mereka, membawa senjata-senjata pula di tangannya. Seorang yang duduk di
tepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun
tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang yang agaknya
tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru pedang-pedang yang karatan
itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang ditimbulkannya dapat menjadikan
penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang yang lain sibuk membelai cucunya
yang menangis. Ibu anak itu sedang menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi
anak yang menangis di pangkuan kakeknya itu masih sempat mempermainkan hulu
keris kakeknya.
“Jangan dicabut Ngger” desis
kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat benda itu.
“Hem” desis kakeknya.
“Mintalah yang lain.”
Cucunya terdiam ketika seorang
perempuan yang lain memberinya sepotong jenang alot kepadanya.
Pendapa, pringgitan, bahkan
ruangan dalam dan gandok kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada
setapak tempatpun yang masih kosong. Anak-anak yang malang mujur terbaring, dan
ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh di antara mereka. Mereka sama sekali tidak
memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah kuyup.
Sedang di bawah pendapa itu,
di teritisan gandok dan di belakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri
berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam kesiagaan. Hujan
yang lebat terasa menjengkelkan sekali. Tetapi mereka sama sekali tidak
kehilangan kewaspadaan. Setiap saat tangan-tangan mereka siap mengangkat
senjata mereka. Sedang di regol halaman beberapa prajurit Pajangpun selalu
berada dalam kesiagaan penuh.
Prajurit-prajurit yang lain,
laki-laki Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas
menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan ke banjar desa. Beberapa orang
di antara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung menuju ke banjar
itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka terpaksa mengantar
istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih kecil lebih dahulu ke
kademangan.
Demikianlah maka banjar desa
dan lapangan di mukanya telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan
mereka besok.
Demikianlah maka semakin jauh
malam memanjat ke puncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk.
Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi semakin
berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama kalinya mereka
akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun Widura
berkata kepada mereka, “Apa yang akan kalian alami tidak akan jauh berbeda dari
setiap pertempuran yang pernah terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama
dalam gelar yang telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian
selalu ingat kepada segala petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka
kalian tidak akan menemui kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan
menuntun kalian, apa yang harus kalian lakukan.”
Laskar Sangkal Putung itu
menjadi berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit
Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai pada
saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari terbenam. Mereka
telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan itu.
Sedangkan laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya. Peperangan
yang pernah terjadi tidak sampai melampaui tengah hari. Dan pertemuran malampun
tidak sampai separo malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk
melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus berani menghadapi
kemungkinan itu.
Untuk menghadapi keadaan ini
Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.
“Kita harus menyediakan tenaga
cadangan” berkata Untara.
“Ya” Widura membenarkan.
“Sebagian dari mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah
tengah hari akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun ke
garis perang. Bukankah begitu?”
“Ya Paman” jawab Untara. “Aku
kira jumlah kita bersama dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit
Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga cadangan di samping
mereka yang bertugas di kademangan dan di gardu-gardu. Apabila kita ternyata
terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian laskar cadangan itu dapat kita
turunkan ke medan, berangsur-angsur. Dan apabila perlu, maka sebagian peronda
di gardu-gardu dapat ditarik seluruhnya. Di gardu-gardu itu kita tempatkan dua
orang pengawas saja, yang apabila keadaan memaksa mereka hanya bertugas untuk
melaporkan keadaan.”
“Ya, semua tenaga dapat
penyaluran sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di
kademanganpun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.
Kesepakatan pendapat itulah
yang kemudian mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan
prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan sekali lagi
Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.
Setelah itu maka segala
persiapan telah selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka pergunakan untuk
beristirahat. Beberapa orang di belakang merebus air sambil menghangatkan
tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang ditempatkan di banjar
desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut serta kali ini
menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.
Ketika malam telah melampaui
pusatnya, maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para
pengawas di gardu terdepa. Namun mereka belum melihat sesuatu dan bahkan para
pengawas yang langsung berada di lingkungan lawanpun belum memberikan laporan
apa-apa.
Tetapi Untara dan Widura tidak
melemahkan kesiagaan. Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar
desa itu dapat digerakkan.
Namun demikian, masih ada yang
selalu membayangi perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal
Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak diantara mereka. Sehingga
semakin dekat fajar menyingsing, harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu
Metir menjadi semakin tipis.
Apalagi ketika kemudian telah
datang beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal
Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka tidak akan
memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.
Kepada laskarnya Widura
berkata, “Makanlah. Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian
tidak mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minumpun belum tentu.
Apabila kekuatan kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya, maka
pertempuran itu akan lekas selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi
kalau kekuatan kita seimbang, maka sebelum mengalami kekalahan salah satu pihak
harus berjuang dahulu sehari penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak di pihak
kita. Makanlah dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha
sekuat-kuat tenagamu. Tetapi kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu
tergantung kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat
menyelesaikan tugas-tugas kalian.”
Sejenak kemudian mereka telah
tenggelam dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang duduk di
dekat Sendawa bergumam, “Alangkah nikmatya makan pagi kali ini.”
“Hus” desis Sendawa. “Apakah
makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”
“Jangan berkata begitu” sahut
Citra Gati. “Tetapi masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin
juga nasi hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan
suasanan yang dingin beku ini.”
Keduanya tertawa. Dan keduanya
menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.
Tidak terlalu jauh dari
Sangkal Putung, di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk
termenung membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk pikuk
prajuritnya yang sedang menyusun diri.
Berbagai perasaan berkecamuk
di dalam kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah
terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu
diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya sendiri.
Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa
yang susul-menyusul di saat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya.
Ia mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih saja dilanjutkannya.
Mula-mula ia merasa bahwa ia harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian
lama sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih
juga mengakuinya sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan
itu dipercayakan.
Tetapi Tohpati bukanlah
seorang yang berhati batu berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah
menggelimang di ujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur
lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur di medan-medan perang,
tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang terbunuh
dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat seorang perempuan dan
bayinya masih dalam pelukan. Tetapi mayat itu sudah menjadi arang.
Macan Kepatihan itu menarik
nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar.
Bulu-bulunya tumbuh hampir sampai ke telapak tangannya.
“Hem” geram Macan yang garang
itu. Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa
tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian kerasnya
sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian didengarnya bahwa
perempuan itu mati.
Perempuan itu datang kepadanya
sambil mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan
sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.
“Tohpati” berkata perempuan
itu. “Kau bunuh suamiku itu.”
Tohpati menggeleng-gelengkan
kepala. Seakan-akan perempuan itu berdiri di mukanya kini. Suaminya, yang baru
saja mengawininya, terbunuh di medan perang. Dan perempuan itu menyalahkannya.
“Ketamakanmu atas kekuasaan
telah membunuh suamiku” berkata perempuan itu. “Kaulah yang kelak akan menjadi
Adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau korbankan.”
Pada saat itu Tohpati tidak
mau mendengar perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya,
terbakar oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya. Tetapi sama
sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.
“Perempuan itu bukan
satu-satunya” desisnya. “Ada sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang
menangisi kematian suaminya.” Tetapi perempuan-perempuan Pajang,
perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian suaminya dengan kebanggan
di dalam hati. Meskipun mereka menangis, tetapi mereka dapat berkata,
“Kematianmu adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu akan
dikenang seumur negeri ini.”
Tohpati mengangkat wajahnya
ketika ia mendengar Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian
terdengar suara Alap-Alap Jalatunda menyahut, dan kemudian yang lain-lainpun terdengar
meneruskan perintah Sanakeling itu.
Tohpati menarik nafas
dalam-dalam. Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri untuk segera
berangkat ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja terpaku di
ambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala tengkorak
kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak ia
menjadi prajurit dalam Kadipaten Jipang. Pada masa Demak masih mengumandang
namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan
Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang gugur. Dan
kini ia tinggal di dalam barak ilalang dengan orang-orang sekasar Sanakeling,
selicik Alap-Alap Jalatunda dan setamak dirinya sendiri.
Kembali Tohpati terkejut ketika
ia mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya
Sanakeling berdiri di ambang pintu dengan wajah berseri-seri.
“Semuanya sudah siap kakang
Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat.”
Tohpatipun kemudian tegak
berdiri. Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia
menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang dapat
mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang Pajang dan
Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih dahulu.
Tetapi alangkah sulitnya. Ia
tidak dapat mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya
melawan perasaanya sendiri.
Namun tiba-tiba Tohpati itu
berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut, “Siapkan mereka! Aku segera
akan datang!”
“Baik kakang!” sahut
Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.
Ketika Sanakeling kemudian
lenyap di dalam kelam di luar barak itu, maka Tohpatipun kemudian melangkah
perlahan-lahan. Sampai di ambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu kenapa
ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi ruangan itu.
Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu di sudut dan sebuah kendi
di atasnya. Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.
Baru Tohpati itu melangkah
keluar.
Hatinya berdesir ketika di
dalam cahaya obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek dan
tunggul-tunggul. Terasa sesuatu yang aneh merayap di dalam hatinya. Ia sama
sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang
itu. Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah
menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda kebesaran
Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi kumal karena tidak
terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat diselamatkan telah membesarkan
hatinya pula.
“Itu adalah jasa Paman
Sumangkar” gumamnya di dalam hati.
Sementara itu Tohpati diam
mematung. Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap menunggu
perintahnya. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskarnya itu.
Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan yang sangat,
namun di bawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan ia benar masih
seorang senapati perang yang berwibawa.
Sebenarnya bahwa Macan
Kepatihan itu masih memiliki kewibawaan di antara anak buahnya, sehingga apapun
yang diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu untuk
berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang senapati
muda bernama Untara.
Di muka pasukannya itu telah
berdiri Sanakeling. Dil ambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka
putih mengkilat, dan di lambung kanannya, pada ikat pinggangnya tergantung
sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi berjalur-jalur. Bindi itu di
tangan kiri Sanakeling kadang-kadang dipakainya sebagai perisai untuk menangkis
serangan lawan, namun apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka
akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang di tangan kanannya.
Agak jauh di belakang
dilihatnya belahan pasukannya di bawah pimpinan seorang anak muda yang bermata
tajam setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila
orang menyebutnya Alap-Alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat
bertemu lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan dapat
menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya sendiri hampir
siang dan malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.
Ketika Tohpati memandang wajah
Sanakeling yang samar-samar diterangi oleh cahaya obor yang kemerah-merahan,
dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi menunggu
perintahnya. Karena itu maka sambil menganggukkan kepalanya, Tohpati
melambaikan tongkat baja putihnya yang mengerikan itu.
Sanakeling tersenyum melihat
lambaian tongkat Macan Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik pedangnya.
Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak menusuk langit. Dan
kemudian dari sela-sela bibirnya yang tebal, terdengarlah ia meneriakkan
aba-aba.
Dalam waktu sekejap, hampir
setiap pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian
seseorang membunyikan sebuah bende. Suaranya menggema melingkar-lingkar di
dalam hutan itu.
Ketika Sanakeling mengangkat tangannya
untuk kedua kalinya, maka sekali lagi bende itu bergema, suaranya memukul-mukul
batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir setiap tubuh di dalam pasukan itu
bergerak. Tangan-tangan mereka sekali lagi meraba-raba pakaian mereka, senjata
mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka yang lain. Mereka tidak boleh
menjadi korban karena kealpaan mereka atas persiapan mereka sendiri.
Sesaat kemudian Sanakeling
mengangkat pedangnya untuk yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali,
disambut oleh bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Bunyi itu terasa
seakan-akan menyentuh sudut hati mereka yang berdiri di dalam barisan itu.
Sudah lama mereka tidak mendengar bunyi aba-aba dengan cara yang demikian.
Sudah lama mereka hanya mendengar aba-aba dari pemimpin-pemimpin mereka yang
berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa
sesuka hati yang mengucapkannya. Namun kali ini mereka mendengar aba-aba
seperti yang selalu didengarnya pada saat Jipang masih tegak. Pada saat mereka
masih bernama seorang prajurit Wira Tamtama Jipang, di bawah pimpinan Adipati
yang mereka segani, Arya Penangsang. Seorang adipati muda yang perkasa, dengan
seekor kuda bernama Gagak Rimang dan sebilah keris di tangannya. Keris yang
sakti tiada taranya, yang dinamainya Setan Kober. Sedemikian saktinya keris
itu, sehingga orang menganggapnya, bahwa karena sentuhan keris itu gunung akan
runtuh dan lautan akan menjadi kering.
Meskipun kali ini mereka tidak
bersama dengan adipati itu lagi, namun Macan Kepatihan masih tetap memberi
mereka kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada di atas punggung
kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang dinamainya Maruta. Kuda yang dapat
berlari sekencang angin. Namun meskipun demikian, ketika setiap orang dalam
pasukan itu melihat tongkat putihnya yang berkilat-kilat, maka hati mereka
menjadi bangga. Seolah-olah merekalah yang menggenggam senjata yang mengerikan
itu.
Beberapa orang dari mereka
tidak dapat melupakan kenyataan, bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau
dapat dilukai oleh senapati Pajang yang ditempatkan di Sangkal Putung, dan
bernama Untara. Tetapi mereka menganggap peristiwa itu sebagai sebuah
kecelakaan. Tohpati pasti tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin Ki Gede
Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Mertani. Tetapi tidak oleh orang lain.
Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu pasti baru melindungi seseorang atau
lebih, sehingga dirinya sendiri dikorbankannya.
Apalagi kini, di bawah
umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul kebesaran Jipang, di belakang senapati
mereka, Macan Kepatihan, maka laskar Jipang itu merasa, bahwa mereka adalah
pasukan yang paling kuat yang pernah terbentuk sejak Jipang runtuh.
Demikianlah, maka setelah
bende yang ketiga kalinya itu, pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya.
Setiap orang di dalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakan-akan mereka
telah menggengam kemenangan ditangannya.
Di bawah cahaya obor-obor yang
menyala hampir di setiap ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak.
Mereka tidak takut lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat cahaya
obor-obor itu dari kejauhan. Kini mereka datang dengan dada tengadah, tanpa
berusaha mencari kelengahan lawan. Kini mereka datang beradu muka. Mereka
datang dalam gelar yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah mendengar
perintah, apabila mereka telah sampai di daerah yang luas, maka mereka segera
akan membuat gelar yang cukup tanggon, Dirada Meta.
Laskar Jipang itu kemudian
menjalar bagaikan seekor ular raksasa yang merayap diantara pohon-pohon liar. Seekor
ular naga yang bersisik api. Obor-obor diantara mereka benar-benar seperti
sisik yang gemerlapan.
Semua orang di dalam pasukan
itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat menyambar di
udara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur menggelegar di langit. Ketika
mereka memandang ke arah timur, tampaklah langit gelap pekat.
Seorang di dalam barisan itu
bergumam lirih, “Di arah timur aku kira hujan turun dengan lebatnya.”
Kawannya yang berjalan di
sampingnya mengangguk. Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya tangannya,
katanya, “Di sinipun hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air
telah satu-satu berjatuhan.”
”Tetapi angin bertiup ke arah
timur. Awan yang basah itu akan dihalau pergi.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.
Perlahan-lahan ular raksasa
itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepi hutan. Dan
sesaat kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela belukar dan
batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan di atas padang perdu yang tidak
terlalu luas, diselingi oleh gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang semakin
jarang.
Macan Kepatihan yang berjalan
di ujung pasukan itu berdesir. Di dekat tempat inilah ia bersama Sumangkar
bertemu dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bahkan kemudian datang pula Kiai
Gringsing dan kedua orang yang mungkin sekali adalah murid-muridnya.
Macan Kepatihan itu tiba-tiba
menundukkan wajahnya. seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang
dilampaui oleh kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan
kanannya, terbuai oleh ayunan lenggangnya. Sekali-sekali tongkat itu tampak
gemerlapan karena cahaya obor yang dipantulkannya.
Agak jauh di hadapan mereka,
dua orang bersembunyi dengan rapatnya di balik dedaunan. Ketika mereka melihat
iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka
melihat umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul lengkap di bagian depan pasukan
Jipang.
“Gila” desis salah seorang
dari mereka. “Mereka benar-benar datang dalam kelengkapan yang sempurna.”
Yang lain tidak menjawab.
Ketika mulutnya hampir terbuka, tiba-tiba didengarnya lamat-lamat suara aba-aba
dari laskar Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang di dalam barisan itu
bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang sempurna. Macan Kepatihan,
senapati yang disegani itu, berdiri di ujung gelar itu. Agak jauh di sisinya,
kedua senapati pengapitnya, siap membayangi setiap perkembangan keadaan. Mereka
adalah Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda. Tepatlah tebakan Untara atas gelar
yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan itu.
Namun sebaliknya. Macan
Kepatihanpun dapat memperhitungkan dengan tepat, bahwa Pajang akan
mempergunakan gelar yang lebih luas. Sesuai dengan keadaan laskarnya yang
bercampur baur dengan laskar Sangkal Putung, maka mereka memerlukan medan yang
lebih lebar, supaya tidak terjadi desak-mendesak di antara mereka. Laskar
Sangkal Putung itu pasti belum mampu untuk menghadapi keadaan yang serba
tiba-tiba seperti lasakar Pajang sendiri.
Namun keberanian dan tekad
dari orang-orang Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati. Mereka
mengamuk seperti orang mabuk, apalagi di sampingnya selalu dibayangi oleh
kemahiran bertempur orang-orang Pajang, sehingga gabungan di antara mereka,
keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman serta kemahiran merupakan
kekuatan yang benar-benar ngedab-edabi.
Kedua orang yang bersembunyi
itu adalah orang-orang Pajang yang dipasang oleh Untara. Karena itu maka segera
mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok ke arah kuda-kuda mereka di
dalam semak-semak. Sesaat kemudian mereka itupun telah meloncat ke atas
punggung kuda masing-masing dan dengan hati-hati mereka berusaha untuk mencari
tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak jauh mereka memacu kuda-kuda
mereka dengan cepatnya menuju ke Sangkal Putung.
Tohpati dan beberapa pemimpin
pasukan Jipang melihat kedua orang berkuda itu. Namun mereka sama sekali tidak
berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini disongsong oleh laskar
Sangkal Putung dan pasukan Pajang. Pasukan Jipang yang terhimpun dari
orang-orang mereka yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup besar untuk
menggulung Kademangan Sangkal Putung.
Kedua pengawas dari Sangkal
Putung itu memacu kudanya seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal
Putung dan melaporkan apa yang mereka lihat.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat dengan Sangkal Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan
di atas tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat air yang
tergenang di sana-sini, maka gumam salah seorang dari mereka, “Agaknya hujan
lebat di daerah ini.”
Yang lain menganggukkan
kepalanya sambil berkata, “Ya, lebat sekali. Bahkan anginpun agaknya terlalu
kencang.”
Keduanya tidak berbicara lagi.
Kuda mereka berlari semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi
genangan-genangan air di jalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujanpun belum
teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka memasuki Sangkal Putung mereka telah
menjadi basah kuyup pula. Tetapi hujan sudah jauh berkurang. Air tidak lagi
seakan-akan tertumpah dari langit yang retak.
Kedua ekor kuda itu berpacu
langsung ke kademangan. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika para penjaga regol
kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat ke banjar desa.
“Hem” desah salah seorang dari
mereka. “Marilah kita lekas ke banjar desa itu.”
Dan kembali keduanya berpacu.
Derap langkah kuda-kuda mereka itu terdengar memecah kesepian jalan-jalan di
Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik membasahi kaki
penunggang-penunggang kuda itu. Mereka harus segera menemui Untara atau Widura.
Di banjar desa derap kuda itu
disambut dengan hati yang berdebar-debar. Kedua orang itu segera dibawa
menghadap Untara dan Widura untuk menyampaikan laporannya tentang laskar
Tohpati itu.
Dengan tergesa-gesa kedua
orang itu menceritakan apa yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang
datang benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang sempurna.
“Hem” Untara menarik nafas
dalam-dalam. “Mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran Kadipaten Jipang?”
“Ya tuan” jawab kedua orang
itu.
Untara terdiam sejenak.
Meskipun yang dikatakan oleh kedua pengawasnya itu adalah barang-barang mati,
umbul-umbul, rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu langsung atau tidak
langsung akan mempunyai pengaruh pada jiwa setiap orang di dalam pasukan itu.
Tanda-tanda itu akan memberi semangat dan nafsu berjuang. Tanda-tanda itu dapat
memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda itu dapat menjadi lambang
tekad dari segenap prajurit di dalam barisan itu.
Widurapun agaknya mempunyai
pendapat yang sama. Karena itu ketika ia melihat Untara termenung, maka
gumamnya, “Apa kita juga memerlukannya, Untara?”
“Ya Paman. Alangkah baiknya
kalau kita memiliki benda-benda semacam itu. Kalau tidak, maka sesaat pasukan kita
bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa seolah-olah pasukan Jipang
itu mempunyai kebesaran melampaui pasukan kita, sehingga mau tidak mau,
perasaan yang demikian akan mempengaruhi setiap prajurit di dalam pasukan kita.
Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih berbesar hati dengan
kebesarannya.”
“Lalu apakah kita akan
memasang umbul-umbul?” bertanya Widura.
“Berapa banyak umbul-umbul
yang ada disini?”
“Terlalu sedikit. Dan tidak
lebih dari tanda-tanda pasukanku. Sama sekali bukan umbul-umbul kebesaran
Pajang, apalagi Demak” sahut Widura. “Dan itupun terlalu kecil hampir tidak
akan berarti.”
Untara kembali termenung. Dan
tiba-tiba ia berkata, “Tidak apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji
kebanggaan pasukan paman Widura. Tetapi adakah Paman mempunyai panji-panji Gula
Kelapa?”
“Gula Kelapa? Mengapa?”
“Panji-panji itu adalah
lambang kebesaran Demak. Dan tentu akan merupakan lambang kebesaran Pajang
pula.”
“Tentu. Di dalam pasukanku ada
panji-panji itu.”
Untara mengangguk-angguk.
Kepada Ki Demang Sangkal Putung iapun bertanya, “Ada berapa panji-panji Gula
Kelapa di seluruh Kademangan Sangkal Putung?”
Ki Demang ragu-ragu sejenak.
Dengan ragu-ragu pula ia menjawab, “Aku tidak tahu Ngger, apakah di Sangkal
Putung ada panji-panji semacam itu.”
“Tentu Paman” jawab Untara.
“Bukankah Sangkal Putung dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui
Pajang dan bukan Jipang?”
Ki Demang itu kembali
termangu-mangu. Tiba-tiba ia tersentak, seakan-akan sebuah ingatan telah
menyentak kepalanya. Katanya, “Ya, ya. Aku ingat sekarang. Di kademangan ini
ada sebuah pepunden. Panji-panji Gula Kelapa yang besar. Panji-panji yang kita
namai Kiai Unggul. Tetapi panji-panji itu adalah pepunden kademangan ini, yang
kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali, setiap bulan pertama untuk
dibersihkan.”
Untara mengerutkan keningnya.
Kemudian katanya, “Itulah. Saat ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai
Unggul dari simpanannya.”
“Ya, bahkan ada pula
panji-panji yang lain. Milik seorang bekas prajurit Demak. Lengkap dengan
tunggulnya. Panji-panji itu didapatnya pada saat ia ikut berperang melawan
orang-orang Portugis di ujung Melayu bersama pangeran Sebrang Lor.”
“Orang itu sudah tua sekali?”
“Ya, panji-panji itu
dinamainya Kiai Jetayu.”
“Nama seekor burung Garuda”
desis Agung Sedayu.
“Ya, panji-panji itupun cukup
besar. Hampir sebesar Kiai Unggul” berkata Ki Demang.
Wajah Untara menjadi cerah.
Tiba-tiba ia berkata lantang, “Waktu sudah mendesak. Siapkan pasukan dan
siapkan Kiai Tunggul dan Kiai Jetayu.”
Kemudian kepada Ki Demang ia
berkata, “Suruhlah seseorang menjemput kedua panji-panji itu. Berkuda sekarang
juga, dan bersama dengan itu ambillah semua tanda-tanda kebesaran pasukan
Pajang di kademangan.”
Untara tidak perlu mengulangi
perintahnya. Widura segera berdiri dan berjalan ke halaman. Kepada bawahannya
segera ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedang kepada beberapa orang
lain diperintahkannya mengambil beberapa tanda kebesaran di kademangan. Di
dalam gelodog, di pringgitan. Sedang beberapa orang yang lain mendapat perintah
dari Ki Demang untuk mengambil panji-panji Kiai Unggul dan Kiai Jetayu beserta
tunggulnya masing-masing.
Sesaat kemudian di lapangan di
muka banjar desa itu, pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah
mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang menyiapkan tanda-tanda
kebesaran mereka. Beberapa buah tunggul dengan ujung berbentuk garuda dan bunga
berdaun lima. Itu adalah tanda kebesaran dari pasukan Widura di Sangkal Putung.
Panji-panji yang besar berwarna emas dengan gambar seekor Garuda yang sedang
mengembangkan sayap-sayapnya. Kemudian beberapa umbul-umbul kecil dan
rontek-rontek yang tidak semegah umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika
kemudian d ujung pasukan itu berkibar tiga buah panji-panji yang besar berwarna
Gula Kelapa, maka kebesaran pasukan Pajang bersama dengan laskar Sangkal Putung
itu menjadi bercahaya.
Ketiga panji-panji itu adalah
Kiai Unggul, Kiai Jetayu dan panji-panji pasukan Widura sendiri. Panji-panji
Gula Kelapa dari pasukan Wira Tamtama di bawah kekuasaan Pajang, di samping
panji-panji pasukannya.
Ketika pasukan Pajang beserta
laskar Sangkal Putung itu melihat ketiga panji-panji Gula Kelapa di ujung
pasukannya maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul bagi rakyat Sangkal
Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itupun telah mereka kenal pula
sebagai selembar panji-panji pusaka yang bertuah.
Dari kedua orang pengawasnya,
Untara mengetahui bahwa pasukan Jipang sudah berangkat menuju ke Sangkal
Putung. Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dipersiapkannya
seluruh pasukannya untuk segera berangkat menyongsong pasukan Jipang.
Sesaat kemudian terdengar di
pendapa banjar desa itu, kentongan dalam nada Dara muluk. Nada yang tidak biasa
diperdengarkan dalam keadaan bahaya seperti saat itu. Namun setiap orang di
Sangkal Putung kali ini mengetahui, bahwa bunyi kentong itu adalah pertanda
bahwa pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung telah siap untuk berangkat.
Beberapa orang yang karena
suatu sebab, belum berada di lapangan itu, segera berlari-lari sambil
menjinjing senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat laskar
Sangkal Putung telah bersiap segera mereka memasuki kelompok masing-masing.
Setelah para pemimpin kelompok
menghitung anak buah masing-masing serta segala persiapan telah lengkap, maka
terdengarlah suara Widura memecah gelap malam. Mengumandang memenuhi lapangan.
Aba-aba itu adalah aba-aba
yang pertama. Aba-aba yang disambut dengan debar di setiap dada. Sehingga
lapangan itu kemudian terhenyak ke dalam kesepian. Seakan-akan tak seorangpun
yang berada di sana.
Aba-aba itu disambut sesaat
kemudian, setelah Widura yakin bahwa segala sesuatunya telah siap, maka
terdengarlah aba-abanya yang terakhir. Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin
kelompok, yang mengulanginya dengan cepat seperti apa yang diucapkan oleh
Widura.
Maka mulailah pasukan itu
bergerak. Seperti pasukan Jipang, maka pasukan Widura inipun dilengkapi dengan
obor-obor, sehingga lapangan di muka banjar desa itu menjadi terang benderang.
Hujan kini sudah tidak lebat
lagi. Titik-titik air satu-satu masih berjatuhan. Namun sudah tidak mampu lagi
memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjak-lonjak kegirangan.
Untara dan Widura berjalan di
ujung pasukan itu. Kemudian Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal
Putung. Hudaya dan Sonya masih berada di dalam kelompoknya masing-masing
sebelum mereka kemudian harus mempersiapkan diri bersama-sama dengan Agung
Sedayu dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang paling berat. Melawan seorang
yang bernama Sumangkar.
Di belakang induk pasukan
berjalanlah sebagian dari laskar Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh
semangat. Mereka merasa bahwa di pundak mereka terletak tanggung-jawab atas
Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada di kademangan itu adalah sekedar
tenaga yang memberi bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus melindungi
kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur mati-matian melawan
orang-orang Jipang.
Di belakang laskar Sangkal
Putung itu Citra Gati berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya
aneh kali ini. Kepada seseorang yang berjalan dibelakangnya, Citra Gati itu
bertanya, “Kau lihat Hudaya?”
Orang yang mendapat pertanyaan
itu menjawab, “Kakang Hudaya masih berada di dalam kelompoknya”
“Panggil ia sebentar kemari”
katanya.
Orang itupun segera keluar
dari barisannya. Sesaat ia berhenti menunggu Hudaya yang berada agak jauh di
belakang mereka.
Hudaya heran mendengar bahwa
Citra Gati memanggilnya. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berjalan mendahului
berisannya ke kelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan memimpin pasukan
Pajang di sayap kanan.
Ketika Hudaya telah berjalan
didekat Citra Gati, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah ada sesuatu
yang penting ?”
Citra Gati berpaling.
Dilihatnya Hudaya memandanginya dengan tegang.
Citra Gati itu tersenyum. Ia
hanya ingin melepaskan perasaannya yang aneh. Maka katanya, “Apakah kumis dan
janggutmu sempat kau bersihkan?”
Hudaya mengerutkan keningnya.
“Belum. Kau juga belum” jawabnya. “Biarkan saja kumis dan janggut itu. Tetapi
apakah yang penting?”
Citra Gati menggeleng. “Tidak
ada” jawabnya. “Aku hanya merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri di
sayap ini.”
“Uh, bukan main” keluh Hudaya
sambil mengerutkan keningnya. “Aku sangka ada hal-hal yang sangat penting.”
Citra Gati tersenyum. Tetapi
senyumnya tampak hambar. Katanya, “Jangan marah. Rambut di wajahmu benar-benar
menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak sempat membersihkannya lagi.”
Hudayalah yang kini tersenyum.
Katanya, “Aku belum pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar. Mungkin ia
ganas, seganas Macan Kepatihan. Tetapi mungkin ia lunak, selunak jenang alot.”
“Jangan mengigau” potong Citra
Gati. “Sekarang kembalilah ke kelompokmu.”
Hudaya menarik nafas
dalam-dalam. Gumamny,a “Aku sangka kau sempat membawa jenang alot itu Kakang.
Dan kau ingin memberi aku sepotong. Kalau tahu demikian, aku tidak akan
datang.”
Citra Gati tidak menjawab.
Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang hambar.
Hudaya kembali ke kelompoknya.
Namun ia merasa aneh. Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal yang aneh di
dalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam setiap tugas
yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak mau dipengaruhi oleh keadaan
itu. Dipusatkannya perhatiannya kepada saat-saat yang akan datang.
Sesaat kemudian mereka telah
meninggalkan induk padesan Sangkal Putung. Di hadapan mereka terbentang
beberapa desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka akan sampai ke
tempat terbuka. Tanah persawahan yang menghadap langsung ke padang rumput dan
perdu di pinggir hutan.
Untara segera memerintahkan
untuk mempercepat perjalanan, supaya mereka tidak terlambat. Apabila laskar
Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka pertempuran akan menjadi
bertambah sulit. Apabila mungkin maka mereka harus sudah melampaui tanah-tanah
persawahan dan bertempur di padang rumput. Supaya tanaman mereka tidak
terinjak-injak.
Di sepanjang perjalanan itu
meskipun Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah
membulatkan hatinya untuk bertempur tanpa Kiai Gringsing, namun di sudut hati
mereka masih juga menyimpan harapan, mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba
saja muncul di antara mereka.
Tetapi semakin jauh mereka
berjalan, harapan itu semakin tipis. Semula mereka masih juga mengharap, bahwa
Kiai Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang lebat. Namun setelah
hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai Gringsing tidak juga muncul, maka
harapan merekapun menjadi semakin tipis pula.
Dengan langkah yang tetap
setiap orang di dalam pasukan itu berjalan menuju ke ujung kademangan. Satu dua
desa kecil telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka menembus jalan di
tengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan ujung jalan itu, hati
mereka menjadi semakin berdebar-debar.
Demikian mereka keluar dari
mulut lorong itu, demikian dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh di hadapan
mereka, mereka melihat seuntaian obor-obor beriringan. Terdengarlah hampir
setiap mulut bergumam, “Itulah mereka.“
Tanpa disengaja setiap tangan
segera meraba senjata masing-masing. Beberapa bagian dari mereka, yang
bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang perisai-perisai mereka
di tangan kiri. Sedang mereka yang bersenjata tombak, maka tombak-tombak itu
sudah tidak mereka panggul di atas pundak mereka. Namun tombak-tombak itu telah
merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar lagi untuk meloncat menerkam dada
lawan-lawan mereka.
Untara semakin mempercepat
perjalanan itu. Ternyata laskar Jipang telah lebih dahulu sampai di padang
rumput. Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih belum terlambat.
Mereka masih akan mencapai sisi padang itu, sebelum laskar Jipang lepas
meninggalkannya.
Kening Untara berkerut ketika
ia melihat iring-iringan laskar Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat
dengan jelas, namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman ia segera dapat
menebak, bahwa laskar Jipang telah berjalan dalam gelar.
“Mereka telah bersiap Paman”
bisiknya kepada Widura.
Widura mengangguk. “Ya”
jawabnya. “Gelar yang tidak terlalu luas.”
“Mereka terlalu percaya kepada
setiap Senapati dan setiap orang di dalam pasukan mereka.”
Widura mengangguk. Kemudian
katanya, “Apakah kau tidak akan membuka gelar sekarang?”
“Gelar apakah yang harus kita
hadapi itu? Cakra Byuha, Dirada Meta atau Gedong Minep?” gumam Untara,
“Yang ketiga tidak mungkin”
sahut Widura.
Untara mengangguk. ”Ya. Tidak
mungkin menilik sifat Macan Kepatihan. Yang paling mungkin adalah Dirada Meta.”
“Aku sependapat. Tetapi
bagaimana dengan laskarmu ini?”
Untara berpikir sejenak,
Kemudian katanya, “Kalau aku membuka gelar sekarang, maka pasukan ini akan
meluas sampai ke tengah sawah. Bagaimana dengan tanaman-tanaman itu?”
Widura mengerutkan keningnya.
Tetapi, bagaimana kalau Tohpati dengan tiba-tiba menerjang pasukannya? Karena
itu maka katanya, “Kita tidak boleh terlambat. Setiap kejap akan sangat
bermanfaat.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia menebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Sawah
yang diwarnai oleh hijau daun-daun padi yang sedang tumbuh. Tetapi ia juga
tidak boleh terlambat. Kalau pasukannya terdesak karena kelambatannya, maka
tanaman-tanaman itu pun akan hancur pula. Bahkan bukan sekedar tanaman-tanaman
itu, tetapi seluruh Sangkal putung akan hancur.
Karena itu, maka Untara itu
pun berkata kepada pamannya, “Baiklah Paman. Kita pasang gelar. Garuda
Nglayang. Kita harus mencoba menghantam mereka dari depan dan dari sayap-sayap.
Dengan gelar yang luas, maka kita akan mendapat keuntungan. Pengawasan akan
menjadi lebih mudah sebab pasukan tidak akan terlalu berjejal-jejal. Anak-anak
Sangkal Putung’ akan mendapat kesempatan yang cukup.”
Widura menanggguk. Kepada
seorang pembawa obor yang berjalan didekatnya Widura berkata, “Berikan obormu.”
Dengan obor itu, kemudian
Widura memberikan aba-aba. Diangkatnya obornya tinggi-tinggi. Kemudian
digerakkannya obor itu. Sekali berputar kemudian menyilang.
Setiap orang di dalam
pasukannya melihat obor itu. Segera mereka bersiap untuk membentuk gelar yang
dikehendaki oleh pemimpinnya. Gelar yang memang telah disebut-sebut sebelumnya.
Ketika Widura mengangkat
obornya kembali dan membuat gerakan yang sama, maka serentak pasukan itu
menebar. Dengan tangkasnya prajurit-prajurit Pajang bergerak menurut garis yang
telah ditentukan untuk membentuk gelar itu. Tetapi beberapa orang Sanqkal
Putung menjadi ragu-ragu. Batang-batang padi itu adalah batang-batang padi yang
mereka tanam, Batang-batang padi yang kini telah tumbuh subur. Kini mereka
harus meloncat-loncat menginjak-injak batang-batang padi itu. Namun mereka
terpaksa berbuat demikian. Sebab mereka pun menyadari bahwa agak jauh dihadapan
mereka, pasukan Macan Kepatihan telah siap untuk menyergap mereka.
“Lihat” bisik Widura kemudian.
“Tohpati mempercepat pasukannya.”
“Ya” sahut Untara. “Mereka
berlari-lari. Untunglah Paman mempercepat gelar ini.”
”Aku akan bersiap di sayapku,
Untara. Apakah Citra Gati telah bersiap pula?”
Keduanya berpaling. Hati
mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat Citra Gati berjalan menuju ke
sayap yang harus dipimpinnya.
Ketika Untara menengadahkan
wajahnya, dilihatnya semburat merah telah membayang di langit. Sebentar lagi
fajar akan segera pecah di Timur.
“Tohpati mulai tepat pada
waktunya Paman” desis Untara.
“Ya. Kita songsong mereka
dengan penuh gairah” sahut Widura.
“Nah, silahkan Paman. Silahkan
ke sayap sebelah kiri.”
Widura tidak menjawab. Segera
ia melangkah cepat-cepat ke sayap kiri. Pedangnya yang besar tergantung di
lambung kirinya, berjuntai hampir menyentuh tanah. Sekali ia memandang
obor-obor yang meluncur cepat di hadapan mereka, semakin lama semakin dekat.
Widura menarik nafas
dalam-dalam. Ia mengharap dapat bertemu dengan Sanakeling yang bersenjata
rangkap di sepasang tangannya. Pedang dan bindi di tangan kiri. Tetapi,
meskipun Widura hanya bersenjata tunggal, namun kecepatan geraknya dapat
menjadikan pedangnya yang hanya satu itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh.
Kini yang memegang seluruh
pimpinan pasukan gabungan Pajang dan Sangkal Putung adalah Untara. Ketika ia
melihat Widura dan Citra Gati telah berada di tempatnya, maka ia kini mencoba
mencari Agung Sedayu, Swandaru, Hudaya dan Sonya. Ketika ia berpaling
dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Swandaru
dengan wajah yang bercahaya memandangi obor di kejauhan.
“Dimanakah Hudaya dan Sonya”
bertanya Untara.
Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama berpaling pula. Dilihatnya beberapa langkah di belakang mereka
berjalan Sonya, dengan senjata berpasang, perisai dan sebuah pedang yang
berkilat-kilat. Sedang Hudaya kali ini membawa pedangnya pula, pedang yang
tidak terlalu panjang tetapi cukup besar dan tebal. Sedang di lambung kanannya
terselip sebuah pisau belati yang panjang. Dalam keadaan yang gawat Hudaya biasa
mempergunakan senjata itu berpasangan. Pedang di tangan kanan dan pisau
belatinya di tangan kiri.
Disamping mereka berjalan
seorang yang cukup tangguh pula. Yang apabila perlu dapat membantu mereka
berempat melawan Sumangkar. Orang itu adalah Patra Cilik. Seorang kidal yang
lincah dan berbahaya justru karena ia kidal. Senjatanya berada di tangan
kirinya. Geraknya benar-benar sukar dimengerti oleh orang-orang yang tidak
kidal. Senjatanya adalah sebuah kelewang yang besar dan berat. Sedang ia
memasang perisainya justru di tangan kanannya.
Untara menarik keningnya.
Mereka berlima akan mendapat pekerjaan yang cukup berat. Sumangkar bukanlah
orang sejajar dengan mereka-mereka itu. Namun Untara tidak dapat berbuat lain.
Ia sendiri harus memimpin seluruh pasukan dan melawan Macan Kepatihan. Karena
itu, betapa ia ingin membebaskan mereka dari Sumangkar, namun tak ada orang
lain yang akan dapat melakukannya.
Ketika semua sudah siap di
tempat masing-masing, maka Untara memberikan aba untuk mempercepat langkah mereka.
Sebuah gelar Garuda Nglayang yang baik, berjalan dalam tebaran yang lengkung.
Semakin dekat mereka dengan
laskar Jipang, maka hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka
menyadari sepenuhnya bahwa sebagian dari orang-orang Jipang itu adalah
orang-orang yang sudah berputus asa sehingga di dalam pertempuran itu, mereka
akan menjadi sangat berbahaya sekali. Mereka sudah tidak tahu lagi tujuan dari
peperangan itu, selain menghindarkan diri dari penangkapan. Mereka hanya
berperang untuk membunuh atau dibunuh. Tidak ada tujuan lain. Tetapi ada pula
di antara mereka yang menyadari betapa kaya rayanya Kademangan Sangkal Putung.
Orang-orang ini pun sangat berbahaya pula. Maka mereka seakan-akan telah kabur
tertutup oleh kekayaan yang tersimpan di kademangan itu. Emas, permata,
barang-barang berharga dan lumbung yang akan akan dapat menjamin hidup mereka
untuk waktu yang agak lama.
Kini jarak kedua pasukan itu
sudah semakin dekat. Mereka telah dapat .melihat lebih jelas lagi, gelar-gelar
apakah yang dipergunakan oleh lawannya. Tetapi Untara sama sekadi sudah tidak
terkejut ketika ia melihat Macan Kepatihan datang dengan Gelar Dirada Meta,
seperti Macan Kepatihan yang sama sekali juga tidah terkejut melihat Untara
memasang gelar Garuda Nglayang.
Langit diatas kepala mereka
sudah menjadi semakin terang. Awan yang kelam telah lenyap dihanyutkan oleh
angin pagi yang kencang. Satu-satu bintang bermunculan di langit, namun
kemudian kembali lenyap. Di ujung timur cahaya pagi telah mulai menyaput
langit. Remang-remang mereka telah dapat melihat tanah yang kehitam-hitaman dan
bayangan biru kemerah-merahan di atas kepala mereka.
Kini pasukan Untara tidak lagi
berjalan menginjak-injak tanaman. Setelah mereka menyeberangi sebuah parit
kecil, maka sawah-sawah di seberang parit itu sama sekali sudah tidak
terpelihara. Rumput-rumput liar tumbuh dengan suburnya di antara tanam-tanaman
liar yang lain. Namun dengan demikian, maka orang-orang Sangkal Putung tidak
lagi berjejak dengan ragu-ragu. Kaki-kaki mereka tidak lagi merasa
menginjak-injak –tanaman-tanaman mereka yang sedang tumbuh dengan suburnya.
Tanah-tanah itu sudah agak lama tidak ditanami, karena para petani takut
mendapat gangguan dari orang-orang Jipang yang berkeliaran di sana-sini.
Ketika mereka telah melampaui
parit itu, maka segera Untara memberikan perintah-perintah untuk bersiap siaga.
Laskar Macan Kepatihan itu berjalan semakin cepat bahkan berlari-lari kecil.
Mereka harus dapat memberikan tekanan pada benturan yang pertama.
Ketika udara menjadi semakin
terang, maka jelaslah dapat mereka lihat umbul-umbul dan rontek-rontek di kedua
belah pihak. Umbul-umbul Jipang tampak berkibar dengan megahnya di keremangan
pagi. Rontek dan tunggul-tunggul yang beraneka bentuk. Pasukan itu benar-benar
membayangkan kebesaran Jipang. Kebesaran Arya Penangsang yang sakti.
Dan setiap orang Jipang pun,
melihat umbul-umbul kecil dan rontek yang hampir tidak berarti didalam pasukan
Pajang. Mereka melihat panji-panji kebesaran pasukan Widura. Panji-panji kuning
keemasan dengan gambar seekor Garuda yang mengembangkan sayap-sayapnya. Tetapi
dada Tohpati berdesir dengan dahsyatnya ketika ia melihat warna2 dari
panji-panji yang berkibar di dalam pasukan Widura itu.
Umbul-umbul, rontek dan
tunggul-tunggul, bahkan panji-panji kebesaran pasukan Widura sama sekali tidak
berarti bagi Tohpati. Bahkan seandainya mereka membawa umbul-umbul yang lebih
megah sekalipun. Yang menggetarkan jantungnya adalah ketiga panji-panji yang
berkibar ditiup angin pagi. Warna panji-panji itu adalah warna yang; dikenalnya
baik-baik sejak masa kemegahan Demak. Gula Kelapa.
Tohpati menarik nafas panjang.
Panji-panji itu benar-benar mempengaruhi hatinya. Sekali ia berpaling.
Dilihatnya senapati-senapati pengapitnya seakan-akan sama sekali tidak
terpengaruh oleh warna panji-panji itu. Mereka sama sekali tidak memperhatikan
apakah panji-panji itu berwarna kuning keemasan, apakah panji-panji itu
berwarna gula kelapa, apakah warna-warna yang lain. Yang mempengaruhi mereka
adalah padesan-padesan Sangkal Putung yang semakin lama semakin jelas.
Desa-desa kecil itu hampir tak berarti bagi mereka. Tetapi induk desa Sangkal
Putung akan merupakan tempat yang menyenangkan. Harta, benda, dan bahan
makanan, ternak serta hewan lainnya. Itu saja.
Tetapi bagi Tohpati sendiri
warna itu adalah warna yang sangat berpengaruh. Seandainya ia berhasil merebut
Sangkal Putung dan dapat menjadikan Sangkal Putung bukan saja tempat sumber
bahan makanan, tetapi dapat menjadikan Sangkal Putung pancadan untuk bergerak
seterusnya dan apabila ia dapat memenangkan peperangan melawan Pajang,
bagaimanakah sikapnya terhadap warna itu. Apakah ia akan melepaskan warna Gula
Kelapa?
“Hem” Tohpati menggeram.
“Widura benar-benar gila. Kenapa dibawanya panji-panji itu?”
Nafas Tohpati semakin lama
semakin cepat mengalir lewat lubang hidungnya.. Terasa seakan-akan sesuatu
menghimpit dadanya. Kembali ia memandang berkeliling. Dilihatnya orang-orangnya
berjalan dengan cepat.
Tetapi, tiba-tiba gigi Tohpati
itu menggeretak. Diangkatnya tongkatnya tinggi-tingggi, dan tiba-tiba ia
berteriak mengumandang di antara pasukannya, “He, apakah kalian melihat
panji-panji itu?”
Semua orang berpaling
kepadanya. Dan sebagian dari mereka menjawab, “Ya, kami lihat.”
“Kau lihat warnanya?”
”Ya kami lihat, kuning
keemasan.”
“Gila,” teriak Tohpati, “bukan
itu.”
Semua terdiam. Dan tiba-tiba
terdengar Alap-Alap Jalatunda, memekik diantara mereka, “Gula kelapa.”
”Ya. Gula Kelapa. Panji-panji
itu adalah panji-panji kebesaran Demak. Orang-orang Pajang tidak berhak
mempergunakannya. Panji-panji itu bukan milik Adiwijaya. He, orang-orang
Jipang.”
Semua terdiam. Tak seorangpun
yang tahu maksud perkataan Macan Kepatihan. Tak seorang pun yang tahu, apakah
yang bergolak di dalam hatinya. Tak seorang pun yang tahu, bahwa dada Macan Kepatihan
hampir pecah karena warna itu. Warna yang dihormatinya.
Tetapi ia telah menemukan
keputusan di dalam hatimya. Ia telah membawa keputusan sejak ia meninggalkan
sarangnya. Kebulatan tekad yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Segala sesuatu
yang: akan menentukan keadaan untuk seterusnya. Apakah peperangan itu masih
akan berlarut-larut atau akan segera dapat diakhiri. Tohpati ternyata telah
mendengarkan semua keluhan-keluhan tentang peperangan yang berlangsung tanpa
ujung itu.
Karena itu, maka suaranya yang
menggelegar terdengar pula, ”Panji-panji itu bukan milik Widura, bukan milik
Untara, bukan milik laskar Sangkal Putung. Panji-panji itu adalah milik kalian.
Maka, tempuhlah pasukan itu. Rebutlah panji-panjinya. Panji-panji itu akan
menjadi panji-panji kebesaranmu.”
Mendengar perintah itu,
terdengar laskar Jipang menyambut dengan suara gemuruh. Terdengar mereka
bersorak dengan riuhnya dan bersamaan dengan itu, segera mereka berlari-lari
semakin kencang menempuh barisan orang-orang Pajang yang sudah menjadi semakin
dekat.
Untara mendengar suara gemuruh
itu. Ia melihat orang-orang Jipang seakan-akan menyala seperti api yang
tersiram minyak.
Sekali Untara itu berpaling.
Dilihatnya beberapa orang di dalam pasukannya berkerut mendengar sorak yang
riuh itu. Karena itu maka Untara merasa perlu menyentuh perasaan mereka supaya
menjadi semakin besar. Katanya tidak kalah lantangnya, “Lihatlah, pasukan
lawanmu telah datang. Jangan kau nilai mereka dengan umbul-umbul dan
rontek-rontek itu. Betapa mereka sekedar mencari sandaran kekuatan kepada benda
peninggalan Arya Penangsang yang telah mati. Nah, siapkan senjata, sambutlah
orang Jipang yang sedang berputus asa itu. Antarkan -mereka menurut
kehendaknya, sebab mereka sedang membunuh diri.”
Kini orang-orang Pajanglah
yang bersorak gemuruh bersama-sama dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka
tidak sekedar bersorak menyambut kata-kata Untara, tetapi seperti Swandaru
mereka berteriak-teriak tak menentu. Mereka meneriakkan semboyan-semboyan2 yang
dapat membakar kemarahan orang-orang Sangkal Putung.
Untara mengerutkan keningnya
mendengar anak-anak itu berteriak-teriak tak henti-hentinya. Tetapi ia berbesar
hati karenanya. Sorak sorak itu menggambarkan tekad mereka yang bulat untuk
mempertahankan kampung halaman mereka.
Dalam keriuhan itu terdengar
kembali suara Untara, “Pertahankan Sangkal Putung. Pertahankan hak milikmu dan
yang terpenting pertahankan keluhuran panji-panji yang berkibar diatas kita.
GuIa Kelapa.”
Kembali laskar Sangkal Putung
berteriak-teriak. Tingkah laku mereka benar-benar telah dijalari tingkah laku
Swandau yang aneh itu. Mereka segera mengacung-acungkan senjata mereka. Bahkan
mereka seakan-akan ingin segera meloncat menikam setiap orang di dalam barisan
lawan,.
Demikianlah, Untara kemudian
menjatuhkan perintahnya terakhir, “Siapkan senjata. Sambut mereka. Perkuat
induk pasukan untuk menahan arus Dirada Meta itu. Kemudian pengaruhi segera
dengan tekanan pada sisi gelar itu, adalah kewajiban sayap-sayap pasukan ini.
Sekarang, sudah sampai pada saatnya,. Apa yang dapat kalian sumbangkan bagi
tanahmu itu?”
Sekali lagi terdengar pasukan
Pajang bersorak, Suaranya menggelegar seperti gunung runtuh. Disusul suara
anak-anak muda Sangkal Putung meneriakkan beberapa macam kalimat yang mereka
pelajari dari Swandaru. Kalimat-kalimat yang membakar nyala tekad mereka.
Demikianlah maka kini kedua
belah pihak, maju dengan cepatnya. Keduanya berlari-lari dengan luapan
kemarahan di dalam setiap dada masing-masing. Seakan-akan mereka merasa bahwa
pasukan itu merayap terlalu lambat.
Widura tahu benar apa yang
harus dilakukan. Demikian pula Citra Gati,yang memimpin sayap kanan. Kedua
sayap itu segera berjalan mendahului induk pasukan, untuk kemudian melingkar
cepat-cepat. Ujung-ujung sayap-sayap itu seolah-olah merupakan pasukan-pasukan
tersendiri yang siap menusuk lambung pasukan lawannya.
Tohpati menggeram melihat
kesempurnaan gelar Garuda Nglayang itu. Karena itu maka sambil berlari maju ia
berteriak,”Lihat kekuatan sayap itu. Sayap itu jangan diabaikan, Mereka adalah
prajurit Pajang yang baik. Tetapi di antara mereka terdapat titik-titik
kelemahan. Sebab di antara mereka ada anak-anak Sangkal Putung. Mereka adalah
kelinci-kelinci yang bersembunyi di antara barisan serigala. Nah musnahkanlah
kelinci-kelinci itu. Jumlah serigala dari Pajang tidak begitu banyak.”
Suara Tohpati menggema
sedemikian kerasnya, bahkan sengaja diulang oleh beberapa pemimpin kelompok
laskar Jipang, sehingga setiap anak-anak Sangkal Putung mendengarnya. Terasa
sesuatu berdesir di dalam dada mereka, seakan-akan Tohpati itu melihat, betapa
lemahnya mereka di antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang.
Tetapi Untara tidak membiarkan
mereka berkecil hati. Dengan lantang ia berkata, “Tidak ada manusia yang kebal
akan senjata. Hai anak-anak Sangkal Putung. Senjatamu tidak akan kalah tajamnya
dari senjata-senjata prajurit Pajang dan Jipang. Kulit orang Jipang pun sama
sekali tidak kebal. Karena itu, meskipun mereka prajurit namun leher mereka
akan terputus pula oleh senjatamu.”
Tak ada kesempatan untuk
bersorak-sorak lagi. Senjata-senjata mereka segera berputar. Kedua pasukan itu
pun kini berbenturan. Tohpati dan Untara tidak perlu mencari-cari lawan. Mereka
berdua berada di ujung pasukan masing-masing. Karena itu, segera mereka
terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya kini telah memiliki
ketangkasan, kemampuan dan kekuatan mereka sepenuhnya. Luka-luka mereka telah
benar-benar tidak berbekas. Karena itu, maka perkelahian itu segera menjadi
sedemikian sengiitnya.
Namun mereka adalah
pemimpin-pemimpin dari seluruh pasukan. Betapa mereka sendiri tenggelam dalam
pertempuran, namun mereka masih menyediakan kesempatan untuk mengawasi pasukan
masing-masing. Untara masih sempat menyaksikan Widura dengan lincahnya membawa
laskar di sayap kiri menusuk langsung ke lambung lawan.
Adalah merupakan kelebihan
Widura, bahwa ia menyerang mendahului benturan yang terjadi antara kedua
pasukan itu. Dengan demikian, maka Widura telah mengurangi laju pasukan Jipang
dengan menarik sebagian dari perhatian mereka ke lambung. Pasukan Jipang dalam
Gelar Dirada Meta, menekankan kekuatannya pada pusatnya untuk mematahkan
pertahanan lawan, dengan mengurangi perhatian atas sayap-sayap gelar itu.
Demikian pula gelar yang dibangun Tohpati itu. Mereka ingin mematahkan induk
pasukan Untara. Kalau induk pasukan itu pecah, maka gelar Garuda Nglayang itu
pun akan bercerai berai.
Apabila pasukannya berhasil
memecah gelar itu, maka Tohpati akan memperluas gelarnya dengan mengembangkan
pasukannya. Gading-gading dari Dirada Meta yang dipimpin oleh senapati-senapati
pengapit akan dapat berkembang menghancurkan pecahan laskar lawan di
sebelah-menyebelah. Tohpati mengharap medan menjadi sempit sesempit-sempitnya.
Dalam medan yang sempit maka ketrampilan perseorangan sangat diperlukan, supaya
ia tidak saling mendesak di antara kawan sendiri.
Tetapi orang-orang Pajang
bukan orang-orang yang baru dalam bidang keprajuritan. Demikian melihat cara
bergerak Dirada Meta yang berhahaya itu, Widura segera bertindak cepat. Dengan
kekuatan pasukan sayapnya ia mendahului menyerang pada lambung pasukan Tohpati.
Hal itu benar-benar di luar perhitungan Macan Kepatihan, sehingga ia terpaksa
mengumpat-umpat di dalam hatinya. Mau tidak mau itu terpaksa melepaskan
senapati pengapit kanannya untuk melawan sayap Garuda Nglayang yang ganas, yang
dipimpin lansung oleh Widura sendiri.
Di sayap lain Untara melihat
Citra Gati telah membawa pasukannya menyergap lambung kiri lawan. Tetapi Citra
Gati ternyata tidak secepat Widura, Ia mulai mematuk lambung Dirada Meta itu
tepat pada saat benturan kedua pasukan itu terjadi. Meskipun demikian ternyata
bahwa Citra Gati itu pun tidak terlambat. Pasukan yang dipimpinnya pun kemudian
berhasil mengurangi tekanan kekuatan lawan yang benar-benar dipusatkan pada
induk pasukan. Mereka berusaha benar-benar untuk memecah tubuh Garuda Nglayang
itu dengan membelah paruhnya.
Dalam sekejap maka gemerincing
pedang beradu telah membelah kesenyapan pagi. Dalam belaian angin yang kencang,
kedua belah pihak mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka Tekanan
pada saat-saat pertama itu akan berpengaruh pada kebesaran hati masing-masing.
Sehingga untuk seterusnya, maka keadaan itu akan berpengaruh pula.
Tetapi, beruntunglah, bahwa di
dalam induk pasukan itu berkumpul Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya
dan Patra Cilik. Mereka adalah orang-orang yang dipersiapkan untuk melawan
Sumangkar yang menurut perhitungan Untara dan Widura pasti berada di induk
pasukan itu pula.
Namun meskipun kedua pasukan
itu kemudian telah terlibat dalam pertempuran, namun Untara masih belum melihat
orang yang menggentarkan itu. Karena itu, maka ia bahkan menjadi agak cemas.
Jangan-jangan Sumangkar berada di dalam lambung pasukan lawannya atau dimana
saja menurut kehendaknya. Pada saat yang demikian itulah maka Untara baru
menyadari kesalahannya. Orang semacam Sumangkar agaknya tidak akan dapat diikat
dalam gelar yang bagaimanapun baiknya.
Tetapi, ternyata bahwa
:kesalahan itu memberi keuntungan pula kepada Untara, meskipun hanya sementara.
Arus laskar Jipang dalam Gelar Dirada Meta itu benar-benar dahsyat. Seolah-olah
arus air bah yang tanpa kendali melanda: tanggul. Meskipun Widura dengan
lincahnya telah berhasil menahan arus itu serba sedikit, serta Citra Gati pun
kemudian berusaha untuk menguranginya pula, tetapi benar-benar terasa
kedahsyatan gelar Dirada Meta itu.
Agung Sedayu, Swandaru,
Hudaya, Sonya dan Patra Cilik yang tidak segera dapat menemukan lawan mereka,
tidak dapat membiarkan induk pasukan itu benar-banar terpecah. Dengan tangkasnya
mereka segera melibatkan diri dalam peperangan itu. Agung Sedayu benar-benar
seorang anak muda yang lincah. Pedangnya dapat berputar secepat baling-baling.
Kaki-kakinya dengan sigapnya membawa tubuhnya meloncat-loncat seperti seekor
burung sikatan menari di padang rumput yang hijau. Tercerminlah padanya
ketangkasan ayahnya dan kelincahan Kiai Gringsing. Namun terbawa oleh sifatnya,
hampir setiap kali Agung Sedayu menjadi ragu-ragu membenamkan pedangnya di
tubuh lawannya. Setiap kali kepalanya selalu dipenuhi oleh berbagai
pertimbangan. Kadang-kadang di saat-saat yang genting, terbayanglah wajah
ibunya. Bagaimana tangis perempuan itu, seandainya ibunya itu masih hidup,
apabila ia mendengar anaknya mati. Demikianlah kira-kira perempuan-perempuan
lain yang kehilangan anak, suami dan ayah-ayah mereka. Itulah sebabnya maka
setiap kali ia berhasil melibat lawann.ya, maka tiba-tiba lawannya berhasil
melepaskan dirinya. Tetapi lawan-lawannya sama sekali tidak mengetahui, bahwa
di dalam dada Agung Sedayu selalu tumbuh keragu-raguan dan kebimbangan. Mereka
menyangka bahwa Agung Sedayu sebenarnya masih belum cukup kuat untuk
mengalahkannya.
Hanya dalam keadaan yang
sangat terpaksa Agung Sedayu dengan hati yang berat; melumpuhkan
lawan-lawannya. Sekali-sekali ia terpaksa menyentuh tangan lawannya dengan
senjatanya dan menggugurkan pedangnya.
Agung Sedayu pun segera
meloncat mencari lawan yang lain Tetapi ia berada di tengah-tengah peperangan.
Pengaruh suasana peperangan tak memberinya kesempatan untuk terus menerus
dicengkam kebimbangan dan keragu-raguan. Bahkan karena itulah maka lehernya
sendiri hampir sobek karena tombak lawannya. Untunglah bahwa ia masih sempat
menarik kepalanya dan melindungi lehernya dengan pedangnya. Dengan demikian,
maka bagaimanapun beratnya, akhirnya Sedayu mencoba untuk melepaskan seribu
macam pertimbangan di kepalanya.
”Kalau terpaksa pedangku
membunuh seseorang, maka imbanglah hendaknya korban itu dengan hak yang harus
aku pertahankan,” desahnya di dalam hati, “aku sama sekali tidak mempunyai
persoalan dengan seorang-orang di antara mereka. Tetapi, setiap pelanggaran
atas sendi-sendi kehidupan manusia harus dicegah. Kalau dalam pencegahan itu
terpaksa jatuh korban, semata-mata adalah karena kelaliman yang berselimutkan
tubuh korban itu. Tubuh itu manusia itu bukanlah tujuanku.”
Pikiran itu telah menempatkan
Agung Sedayu pada keadaan yang lebih wajar di tengah-tengah berkecamuknya
pedang dan tombak. Ia telah berhasil mengurangi keragu-raguannya. Dengan
demikian, maka tandangnya pun segera berubah. Pedangnya menjadi semakin garanq.
Bahkan anak muda itu seakan-akan telah menggerakkan berpuluh-puluh pedang
dengan berpuluh-puluh tangan. Namun, meskipun demikian, maka setiap luka bekas
pedangnya hampir tidak pernah membahayakan nyawa musuh-musuhnya.
Jauh berbeda dengan saudara
seperguruannya, Swandaru Geni. Sekali-sekali terdengar ia berteriak nyaring.
Pedangnya yang besar, terayun-ayun dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan dengan
senjatanya itu, terasa betapa dahsyat kekuatannya. Dengan tekad yang
sebulat-bulatnya ia ingin memusnahkan setiap musuhnya. Ia menyadari sepenuhnya,
bahwa ia adalah anak Demang Sangkal Putung. Karena itu, maka ia merasa ikut
bertanggung jawab atas keselamatan kademangannya. Di peperangan ini ia mendapat
kesempatan untuk menumpahkan kemarahan, kebencian dan kemuakannya kepada
orang-orang yang ingin merebut kampung halamannya itu. Karena itu, maka
tandangnya benar-benar mengerikan.
Di antara mereka, Hudaya yang
telah menyediakan diri melawan Sumangkar, telah menggenggam kedua senjatanya.
Meskipun kemudian ternyata ia tidak segera bertemu dengan orang yang baginya
seperti tokoh dalam dongeng-dongeng itu, namun arus Dirada Meta yang melanda
induk pasukan itu terasa benar-benar menggoncangkan paruh Garuda Nglayangnya.
Karena itu, meskipun kini tidak dilawannya Sumangkar, namun kedua senjatanya
itu merupakan sepasang senjata yang akan dapat membantu menyelamatkan gelarnya.
Di sampingnya, Sonya yang bersenjata pedang dan perisai, mengamuk pula
sejadi-jadinya, dan agak jauh di sisi yang lain Patra Cilik bertempur dengan
gigih.
Di antara mereka, di dalam
induk pasukan itu Tohpati dan Untara bertempur dengan dahsyatnya. Terasa benar
usaha Tohpati untuk dapat memecah induk pasukan Untara. Pasukannya agaknya
telah mendapat perintah yang cermat. Dengan sepenuh tenaga pasukan Jipang itu
berdesakan, seolah-olah berkumpul di pusat gelarnya. Di ujung belalai gelar
Dirada Meta itu. Bertubi-tubi pasukan itu menghantam tak henti-hentinya.
Untara merasakan tekanan itu.
Namun ketika ia melihat Agung Sedayu, Swandaru dan orang-orang yang dipilihnya
untuk melawan Sumangkar berada di sekitarnya ia menjadi sedikit tenang. Ia
mengharap tenaga mereka benar-benar akan mempengraruhi pasukannya. Sehingga
setiap orang yang melihat tandang kelima orang itu, menjadi, berbesar hati dan
berjuang semakin berani.
Tetapi apa yang dicemaskan
Untara dan juga telah diperhitungkan oleh Tohpati, benar-benar terjadi. Dalam
pertempuran itu, tampak betapa anak-anak muda Sangkal Putung kurang dapat
menyesuaikan diri mereka. Dalam garis perang yang sempit karena tekanan Dirada
Meta yang berat, mereka berdesak-desakan dan bahkan hampir tak mampu
menggerakkan senjata mereka, Dengan demikian, maka setiap prajurit Pajang,
terpaksa bertempur sambil berusaha memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka.
Namun usaha itu tidak banyak berhasil.
Di induk pasukan itu, tentara
Jipang; benar-benar seperti banjir yang mengamuk melanda bendungan.
Berangsur-angsur dan terus menerus. Mereka telah benar-benar terlatih dalam
olah peperangan, di tambah lagi dengan beberapa keadaan yang menjadikan mereka
bertambah garang.. Sebagian dari mereka bertempur dalam keputus-asaan tentang
hari depan yang baik baginya, sedang sebagian lagi dengan penuh nafsu untuk
merebut Sangkal Putung dengan segala isinya.
Untara sendiri tidak lepas
dari kesibukan melawan Macan Kepatihan dan kesibukan memperhatikan induk
gasukannya ini. Sekali-sekali terdengar ia menggeram marah. Namun ia harus
mengakui bahwa kekuatan lawan benar-benar dipusatkan pada induk pasukan ini,.
Mereka mempergunakan cara mengorbankan pasukan-pasukan sayap mereka atau
gading-gading Dirada Meta itu. Tetapi mereka ingin secepat-cepatnya berhasil
memecah paruh Garuda Nglayang. Pecahnya induk pasukan itu akan sangat
berpengaruh atas kekuatan gelar Garuda Nglayang, dan terutama atas kebesaran
hati prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.
Keadaan Untara itu semakin
lama menjadi semakin sulit. Betapa Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya. Sonya
dan Patra Cilik membantunya, mengamuk sejadi-jadinya, namun kekuatan lawan itu
benar-benar tidak dapat diabaikan. Bahkan terasa mereka benar-benar telah
mendesak maju menyusup kedalam pasukan Untara.
”Bukan main” geram Untara. Ia
harus cepat mengambil sikap sebelum pasukannya pecah. Ia tidak dapat berteriak
untuk mendapatkan bantuan Widura dan Citra Gati. Sebab ia dapat melihat
kesibukan mereka. Tetapi mereka tidak mengalami tekanan seperti di induk
pasukan ini.. Bahkan dalam beberapa hal, Widura nampaknya masih agak tenang,
dan bahkan berhasil menekan lawannya.
Ketika kedudukan induk
pasukannya itu semakin sulit, maka Untara terpaksa berbuat sesuatu. Sambil
bertempur melawan Macan Kepatihan ia membuat perhitungan-perhitungan, Ia tidak
mau melihat paruh dan tubuh Garuda-nya terpecah. Ia harus berbuat. Tetapi apa yang
akan dilakukan itu mengaindung segi-segi kemungkin yang lemah. Apabila
pasukan-pasukan pengapit tidak tanggap pada sasmitanya, serta pasukan di induk
pasukan itu sendiri kurang pandai melakukan gerakannya, maka laskarnya
benar-benar akan terpecah. Tetapi, apabila ia tidak berbuat sesuatu, maka
laskarnya pun pasti terpecah pula.
Karena itulah maka Untara
berteriak sambil bertempur memanggil Hudaya. Orang ini, meskipun belum sekuat
Agung Sedayu dan Swandaru, namun ia memiliki pengalaman yang lebih banyak.
lebih matang dalam pertempuran-pertempuran gelar, dan ia adalah prajurit
Pajang.
Mendengar namanya disebut,
Hudaya berusaha untuk mendekati Untara yang bertempur mati-matian. Agung Sedayu
dan Swandaru pun berusaha untuk melindunginya.
“Perluas medan” teriak Untara.
Yang terdengar adalah suara
tertawa Tohpati, Sambil mengayunkan tongkatnya ia menjawab, “Jangan pancing
kami dengan cara apapun. Kau tidak akan berhasil. Kami sudah memperhitungkan
dengan cermat, apa yang akan terjadi. Lebih cermat dari Senapati Pajang yang
dipercaya di daerah lereng Merapi, Untara.”
Dada Untara hampir meledak
mendengar hinaan itu. Tetapi ia berusaha untuk tetap mempergunakan akalnya
daripada perasaannya yang dibakar oleh kemarahan.
”Adalah kewajibanmu Hudaya,
untuk berbuat sesuatu di induk pasukan ini” teriak Untara, “Perluas medan dan
perhatikan sisi induk pasukan ini. Tarik beberapa langkah surut.”
“Gila” teriak Tohpati. Dan ia
pun berteriak, “Pusatkan kekuatan pada paruh ini. Pecah dan hancurkan.”
Hudaya tidak menunggu perintah
berikutnya. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan, Tetapi dalam pada itu,
pasukan Jipang pun memperketat tekanannya. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak
boleh merubah tata perang yang menguntungkan itu.
Namun, peperangan itu adalah
perang terbuka dalam gelar yang terbuka. Betapapun mereka mengetahui siasat
lawan, namun ternyata bahwa ada hal-hal yang memaksa mereka untuk tidak berbuat
sekehendak sendiri,. Mereka harus menyesuaikan dengan cara lawan mereka
menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.
Hudaya yang kemudian mundur
itu, langsung berteriak kepada setiap pimpinan kelompok, “Perluas medan. Lihat
apa yang aku lakukan. Sonya, hancurkan sisi kanan induk pasukan ini, aku akan
menempuh sisi kiri. Agung Sedayu bersama aku, dan bawalah Swandaru dan Patra
Cilik. Kelompok pertama ada padaku, dan kelompok ketiga, keduanya dari laskar
Sangkal Putung ada pada Sonya.”
Beberapa pemimpin kelompok
mendengar teriakan itu. Mereka tidak segera dapat melakukan perintah Untara
lewat Hudaya itu. Tetapi beberapa pemimpin segera dapat mengerti. Gerakan itu
sangat sulit dilakukan. Namun mereka harus berusaha. Ketika kelompok-kelompok
pertama dan ketiga dari laskar Sangkal Putung berusaha memisahkan diri menurut
perintah itu, terasa tekanan laskar Jipang menjadi semakin berat.
Hudaya bersama Agung Sedayu
dan Sonya bersama Swandaru dan Patra Cilik segera menembus pertempuran itu ke
sisi induk pasukan. Beberapa orang Pajang yang berpengalaman mencoba menuntun
kedua kelompok laskar Sangkal Putung itu. Mereka tidak dapat berbuat lain
daripada mengundurkan diri lebih dahulu, kemudian dari belakang pertempuran
mereka melingkar ke sisi sebelah menyebelah.
Dengan demikian maka induk
pasukan itu untuk sesaat benar-benar terdesak mundur. Untara sendiri memang
sudah memperhitungkan keadaan itu, sehingga ia pun ikut melangkah surut. Bahkan
ia meluncur agak jauh ke belakang di antara anak buahnya yang masih belum
menemukan bentuk yang serasi.