Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-010

S.H Mintardja, Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 buku-010 Tetapi dengan berita itu, maka Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi.
Tetapi dengan berita itu, maka Sangkal Putung harus lebih berhati-hati lagi. Lawan mereka kini bukan saja Tohpati dan Sumangkar yang setiap saat dapat menyusup ke dalam lingkungan mereka, tetapi juga Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang apabila mereka kehendaki mereka akan dapat berjalan-jalan di daerah kademangan Sangkal Putung yang mereka kenal dengan baik. Karena itu maka mereka harus lebih berwaspada apabila malam-malam yang akan datang salah seorang atau dua tiga orang dari mereka nganglang kademangan.

Sehari itu, cerita tentang Sidanti dan Ki Tambak Wedi yang bertempur melawan Tohpati dan Sumangkar telah tersebar luas di antara laskar Pajang dan anak-anak muda Sangkal Putung. Sengaja berita itu disebarkan sejauh-jauh mungkin supaya mereka menjadi semakin berhati-hati menghadapi setiap kemungkinan. Gardu-gardu dengan demikian menjadi semakin cermat mengawasi keadaan. Penjaga-penjaga menjadi lebih hati-hati dan penghubung-penghubungpun selalu berwaspada apabila tiba-tiba mereka bertemu dengan orang-orang yang mereka anggap sebagai hantu-hantu yang berkeliaran, siang maupun malam.

Tetapi malam berikutnya, bukan saja berita tentang Sidanti dan Tohpati yang ternyata berkeliaran, dan yang suatu saat mereka saling bertemu dan bertempur, tetapi datang pula seorang pengawas menghadap Untara. Seorang prajurit dalam jabatan sandi.

Untara, Widura, Kiai Gringsing, Ki Demang Sangkal Putung, Agung Sedayu dan Swandaru, dengan dada yang berdebar-debar menerima orang itu.


“Apakah yang kau ketahui tentang Tohpati?” bertanya Untara.

Orang itu mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian katanya, “Kami, para pengawas melihat kesibukan di antara mereka. Bahkan salah seorang dari kami telah berhasil menghubungi orang-orang kami yang dekat dengan lingkungan laskar Tohpati. mereka kini sedang menyiapkan diri untuk menyerbu Sangkal Putung kembali.”

Mereka yang mendengar laporan itu sama sekali tidak terkejut. Mereka selalu menunggu, siang maupun malam, serbuan yang serupa itu dapat terjadi. Tetapi adalah lebih baik apabila hal itu telah mereka ketahui sebelumnya seperti pada saat-saat yang lewat.

“Kapan rencana itu akan mereka lakukan?” bertanya Widura.

“Secepatnya, mungin dalam dua tiga hari ini.”

Ki Demang Sangkal Putung tersenyum. Katanya, “Beberapa hari yang lalu, mereka telah menyiapkan diri pula. Bahkan sampai dua tiga kali, namun serangan itu tidak juga datang.”

“Tetapi kali ini agaknya serangan itu tidak akan ditunda-tunda lagi” sahut pengawas itu.

“Mereka hanya ingin menakut-nakuti kita” gumam Swandaru.

“Itu salah satu dari siasat Tohpati yang cerdik” berkata Untara. “Beberapa kali ia menggagalkan serangannya, supaya untuk seterusnya kita selalu menganggap bahwa serangan-serangannya akan tertunda-tunda pula. Tetapi apabila kita telah lengah, maka sergapan itu benar-benar datang.”

Yang mendengar penjelasan Untara itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata Untara yang berpandangan luas itu sangat berhati-hati menanggapi setiap persoalan.

“Ya, Angger Untara benar” sahut Ki Demang Sangkal Putung. “Ternyata aku telah termakan oleh siasat itu.”

“Belum terlambat” sahut Widura.

“Kalau mereka tidak datang,” sambung Swandaru, “kitalah yang datang kepada mereka.”

Serentak, mereka yang duduk di pringgitan, berpaling kepada Swandaru. Mereka merasakan getaran kata-kata itu. Getaran kata-kata seorang anak muda yang sedang dibakar oleh darah mudanya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti sedalam-dalamnya perasaan yang sedang membakar hati Swandaru Geni. Sebagai seorang anak Demang Sangkal Putung, ia merasa bahwa tanah kelahirannya itu selalu dalam keadaan kecut dan suram. Ketakutan, kegelisahan dan kecemasan membayangi setiap wajah. Bahkan setiap orang di Sangkal Putung menjadi ngeri apabila senja datang, apabila matahari mendekati punggung pegunungan di ujung barat. Namun mereka menjadi gelisah apabila mereka mendengar ayam jantan berkokok menjelang fajar.

Mereka selalu diganggu oleh bayangan-bayangan yang menakutkan. Apabila malam datang, maka seolah-olah orang-orang Jipang merayap-rayap di halaman rumah-rumah mereka. Merangkak-rangkat mendekati pintu dan setiap saat mereka akan dapat dikejutkan oleh ketokan yang keras dan kasar pada pintu-pintu rumah mereka.

Tetapi apabila matahari mulai membayang di ujung timur, mereka membayangkan sepasukan laskar Jipang dalam gelar Sapit Urang, atau dalam gelar Wulan Punanggal, bahkan mungkin dalam gelar Samodra Rob datang melanda kademangan itu.

Karena itulah maka setiap laki-laki di Sangkal Putung di setiap malam selalu menggantungkan senjata di atas pembaringan mereka, kecuali mereka yang berada di gardu-gardu. Bahkan lebih banyak dari mereka yang tidak berada di dalam rumah mereka, tetapi di gardu-gardu, di simpang-simpang empat dan di banjar desa, dengan pedang di tangan, atau keris di lambung.

Namun hati mereka menjadi agak tentram apabila mereka melihat laskar Pajang yang tampaknya selalu tenang dan teguh hati. Mereka berbangga apabila mereka melihat pedang yang berjuntai di ikat pinggang mereka, atau tombak di pundak mereka. Bukan saja laskar Pajang, namun anak-anak muda mereka sendiri telah memberi kepada mereka sekedar ketentraman dan keberanian.

Tetapi bagaimanapun juga, Sangkal Putung selalu dibayangi oleh ancaman-ancaman yang menegangkan. Seperti bumbung yang dipanggang di atas api. Setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya.

Bukan saja Kiai Gringsing, tetapi hampir setiap orang, bahkan Agung Sedayu yang sebaya dengan Swandaru itupun dapat melihat perasaan itu.

Namun selain perasaan itu, Kiai Gringsing melihat perasaan yang lain yang mendorong Swandaru ke dalam gelora yang lebih dahsyat lagi. Seperti yang pernah dilihatnya, Swandaru tidak segera dapat mengerti, mengapa mereka harus menghindari Tohpati dan Sidanti pada saat mereka bertemu di padang rumput malam yang lampau. Kiai Gringsing menyadari bahwa anak muda itu sukar mengendalikan perasaannya yang sedang berkobar. Apalagi setelah ia merasa mendapatkan bekal yang lebih banyak dari masa-masa sebelumnya. Karena itu maka Kiai Gringsing merasa bahwa tugasnya membentuk Swandaru jauh lebih berat daripada Agung Sedayu. Baik dalam ilmu tata bela diri maupun dalam pembinaan watak dan sifatnya.

Dalam pada itu, maka terdengarlah Untara menyahut sambil tersenyum, “Pendapatmu sangat baik Swandaru. Kalau mereka tidak datang, kita akan menjemput mereka. Namun sayang, bahwa kita masih harus melihat jalan-jalan manakah yang dapat kita lalui untuk sampai ke pesangrahan Macan Kepatihan itu.”

“Nah, bukankah orang yang dapat mengetahui bahwa mereka akan menyerang kita itu dapat menunjukkan di mana tempat tinggal mereka?”

Untara masih tersenyum. Jawabnya, “Mudah-mudahan. Tetapi orang-orang itu pasti hanya mengetahui letak dan sekedar keadaan mereka. Namun mereka tidak akan mengenal tempat itu sebaik Tohpati mengenal Sangkal Putung. Mereka tidak atau belum dapat mengenal bahaya dan rintangan yang mungkin dipasang oleh orang-orang Macan Kepatihan. Tempat-tempat yang berbahaya sebagai tempat yang sengaja dipersiapkan untuk menyergap dan menghancurkan kita. Sebab mereka tahu pasti, bahwa daerah mereka tidak akan dilewati orang lain selain orang-orang mereka. Dan suatu ketika orang-orang Pajang. Berbeda dengan Sangkal Putung. Bagaimanapun juga, Sangkal Putung adalah daerah terbuka.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia mengerti keterangan itu. Tetapi ia berkata didalam hatinya, “Kenapa kita tidak menyergapnya dari arah-arah yang berbeda? Kalau dari satu arah di pasang rintangan-rintangan maka dari arah yang lain kita akan dapat mencapainya”. Tetapi Swandaru tidak mengatakannya. Ia mengerti betul bahwa di dalam perbendaharaan pengalaman Untara, semuanya itu telah diperhitungkan dengan seksama.

Sepeninggal orang yang menyampaikan kabar kepada Untara tentang persiapan orang-orang Jipang itu, maka segera Untara mempersiapkan laskarnya. Kepada petugas sandi itu Untara berpesan, bahwa pada saatnya ia harus menerima berita kelanjutan dari berita itu. Sedangkan kepada Swandaru dan Agung Sedayu, Untara berpesan untuk sementara merahasiakan berita itu, supaya rakyat Sangkal Putung tidak menjadi gelisah dan supaya Tohpati tidak menyadari bahwa rencananya sudah diketahui.

Namun yang diketahui oleh rakyat Sangkal Putung dan bahkan laskar Pajang sendiri, mereka diwajibkan meningkatkan kewaspadaan dan latihan-latihan mereka, supaya mereka tidak menjadi lengah dan bahkan melupakan bahaya yang setiap saat dapat datang. Meskipun demikian, orang-orang yang telah penuh dengan pengalaman seperti Hudaya, Citra Gati, Sonya dan beberapa orang lain, segera dapat merasakan kesibukan para pemimpin mereka, dan dengan tersenyum Citra Gati pada suatu senja berbisik kepada Hudaya “Adi, apakah aku masih akan sempat mencukur rambut yang tumbuh di wajahku ini besok?”

“Kenapa?”

“Mudah-mudahan malam nanti aku belum mati.”

Hudaya tersenyum. Katanya, “Pasti belum malam nanti.”

Sonya yang ada di dekat mereka menyahut, “Aku sudah menyiapkan pisau itu sekarang Kakang Citra Gati, mumpung kau masih sempat.”

Citra Gati mengerutkan keningnya, kemudian tangannya meraba kumisnya yang jarang. “Hem” desahnya, “Jangan sekarang. Aku belum sempat.”

Sonyapun kemudian tersenyum. Katanya, “Aku sudah mengasah pedang. Kapan kira-kira kita bermain-main lagi?”

Citra Gati mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Pasti sudah mendesak. Dua tiga hari lagi.”

“Kenapa perintah itu tidak dijelaskan saja kepada kita? Supaya kita menjadi semakin gairah berlatih dan memersiapkan diri.”

Citra Gati menggeleng. “Entahlah. Pasti ada pertimbangan-pertimbangan lain. Mungkin untuk membuat kesan seolah-olah kita belum menyadari bahaya yang akan mengancam. Dengan demikian kewaspadaan orang-orang Jipang akan berkurang, seperti pada saat-saat yang lampau. Terutama pada saat serangannya yang pertama.”

Sonya mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi Hudaya tertawa pendek, “Sebenarnya kita sudah siap menerima mereka, atau datang ke tempat mereka.”

“Kemana?” bertanya Citra Gati.

“Ke sarang mereka” sahut Hudaya.

“Ya, dimana sarang itu?”

Hudaya menggeleng. “Kalau aku tahu, aku sudah pergi ke sana.”

“Uh, jangan membual. Belum sampai kau ke jarak seribu langkah, kepalamu telah retak oleh tongkat baja putih itu.”

Hudaya tersenyum. Dikenangnya pada saat ia harus membantu Sidanti bersama Citra Gati untuk melawan Tohpati. Senjata tongkat baja putih itu terasa seperti seekor nyamuk yang beterbangan di sekeliling telinganya. “Ngeri” gumamnya tiba-tiba.

“Apa yang ngeri?” bertanya Citra Gati dan Sonya hampir bersamaan.

“Tongkat baja putih itu. Ketika Tohpati datang untuk pertama kali, kepala tongkat itu hampir menyambar kepalaku.”

“Oh,” sahut Sonya, “aku tidak sempat ikut bertempur saat itu. Aku hanya boleh berlari. Tetapi lusa, kalau Macan Kepatihan itu datang kembali, akulah lawannya.”

Mereka bertiga tertawa, seakan-akan mereka mempercakapkan suatu peristiwa yang lucu. Namun percakapan itu adalah suatu pengakuan, betapa besarnya perbawa Macan Kepatihan pada lawan-lawannya.

Mereka berhenti tertawa ketika mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu berjalan melintasi pendapa turun ke halaman. Mereka kemudian berjalan berdua ke halaman belakang kademangan.

“Sudah mendesak” terdengar Agung Sedayu berbisik. Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya, “Aku tidak sabar. Apa kata orang itu tadi?”

“Laskar Tohpati kini telah siap seluruhnya.”

“Aku berani bertaruh, serangan itu pasti akan ditunda lagi.”

“Menurut persiapan yang diketahui oleh prajurit sandi itu, agaknya mereka benar-benar akan segera menyerang.”

Swandaru menggeleng lemah. “Seperti beberapa waktu yang lalu. Persiapan itu telah sempurna, namun mereka tidak datang. Kali inipun agaknya demikian.”

“Kita tunggu saja tengah malam nanti. Orang itu berjanji akan datang, atau orang lain yang ditugaskannya.”

“Aku tidak sabar. Sarang Macan Kepatihan itu pasti di sekitar tempat mereka bertempur melawan Sidanti itu. Kita aduk saja seluruh hutan itu, maka kita pasti akan menjumpai sarangnya” gerutu Swandaru.

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia tahu benar tabiat saudara seperguruannya. Meskipun demikian, terasa suasana yang berbeda pada kademangan itu. Firasatnya mengatakan bahwa Tohpati benar-benar akan datang.

Swandaru kemudian pergi berbelok memasuki dapur. Dilihatnya ibunya dan Sekar Mirah sedang menunggui beberapa orang yang sedang masak. Ketika Swandaru melihat gumpalan daging rebus, maka segera disambarnya sepotong.

“He, Swandaru. Daging itu baru direbus. Belum lagi dibumbui. Digaramipun belum.”

Swandaru tidak menjawab. Tangannya menyambar sejumput garam. Kemudian dilumurkannya garam itu pada gumpalan dagingnya.

“Huh” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. “Anak muda ketuk.”

Swandaru berhenti. Ia berpaling sambil bertanya, “Apa itu?”

“Anak muda yang suka masuk ke dapur, adalah anak muda yang ketuk.”

Swandaru tertawa terbahak-bahak. Sambil berteriak ia bertanya, “He, Kakang Agung Sedayu, kau mau daging?”

Agung Sedayu yang berjalan ke perigi mendengar pertanyaan itu. Tetapi ia tidak menjawab. Langsung diraihnya senggot timba, dan dengan tersenyum ia menarik senggot itu turun.

Sekar Mirah yang mendengar gerit timba segera mengetahui bahwa Agung Sedayu berada di perigi. Tetapi ketika ia beranjak, Swandaru membentaknya, “Mau apa kau?”

“Apa pedulimu?”

“Yang mengambil air itu bukan Sidanti.”

Tiba-tiba Sekar Mirah itu meloncat mengambil sepotong kayu dan dilemparkannya kepada kakaknya. Swandaru bergeser setapak sambil tertawa, “Jangan marah, aku berkata sebenarnya.”

Ketika lemparannya tidak mengenai sasarannya, Sekar Mirah langsung mengambil segayung air.

“Mirah” cegah ibunya. “Jangan membuat dapur menjadi becek.”

Sekar Mirah bersungut-sungut sambil berjalan keluar. Gerutunya, “Awas Kakang Swandaru.”

Tetapi bukan saja Swandaru yang bermain-main mengejek adiknya, namun sebenarnya ibunyapun kadang-kadang heran melihat sifat anak perempuannya itu. Ibunya itu tahu benar, hubungan yang tampaknya bersungguh-sungguh antara Sekar Mirah dan Sidanti beberapa waktu yang lampau.

Ibunya itupun mengetahui perubahan-perubahan yang terjadi kemudian. Sejak Agung Sedayu datang ke kademangan ini. Agaknya Sekar Mirah adalah seorang pengagum atas sifat-sifat kejantanan, kepahlawanan. Dan terpengaruh oleh kedudukan ayahnya, ia adalah seorang gadis yang selalu berangan-angan tentang kepemimpinan dan kedudukan. Ketika setiap orang di Sangkal Putung membicarakan keberanian anak muda yang bernama Sidanti di setiap medan pertempuran, maka Sekar Mirahpun mengaguminya berlebih-lebihan. Di matanya pada saat itu tak ada seorang laki-laki yang melampaui Sidanti di seluruh Sangkal Putung. Itulah sebabnya maka hubungannya dengan anak muda itu tampak bersungguh-sungguh.

Tetapi pada suatu ketika hadirlah Agung Sedayu di antara mereka. Setiap mulut menyebut namanya sebagai seorang anak muda yang telah membebaskan Sangkal Putung dari bencana. Seorang anak muda yang pemalu dan pendiam, tetapi menyimpan kesaktian yang tiada taranya. Namun Sekar Mirah kadang-kadang menjadi ragu-ragu menghadapi Agung Sedayu. Anak itu terlalu lembut. Bahkan anak itu selalu menghindarkan diri dari bentrokan yang akan terjadi atas dirinya dan Sidanti. Bahkan Agung Sedayu membiarkan dirinya dihinakan dan direndahkan di muka Sekar Mirah dan Pamannya Widura. Sekar Mirah hampir-hampir kehilangan kepercayaan tentang kesaktian Agung Sedayu, ketika anak muda itu tidak mau mengikuti sayembara memanah beberapa saat yang lalu.

Namun Sekar Mirah tidak dapat mengerti, kenapa Agung Sedayu ternyata benar-benar memiliki kelebihan dari orang lain. Kenapa Agung Sedayu menyembunyikan kelebihannya itu. Seandainya Swandaru tidak melihatnya, maka kemampuan Agung Sedayu tetap akan terpendam untuk seterusnya.

“Anak muda itu terlampau rendah hati” desisnya di dalam hati ketika ia melihat kemenangan Agung Sedayu atas Sidanti di lapangan pada saat-saat mereka sedang berlomba. Kemenangan-kemenangan yang dicapai oleh Agung Sedayu benar-benar membuat hati Sekar Mirah meledak-ledak.

Sepeninggal Sidanti, maka hubungannya dengan Agung Sedayu menjadi semakin dalam. Sekar Mirah semakin lama menjadi semakin mengagumi Agung Sedayu. Dari kakaknya ia mendengar bahwa Agung Sedayu mampu mengalahkan Alap-Alap Jalatunda di garis peperangan. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat mengerti kenapa Alap-Alap Jalatunda itu tidak dibinasakan seperti Sidanti membinasakan Plasa Ireng. Bukankah dengan demikian namanya akan menjadi semakin ditakuti oleh lawan dan disegani oleh kawan? Bukankah dengan demikian kejantanannya akan menjadi semakin mengagumkan setiap orang di Sangkal Putung seperti Sidanti di saat-saat yang lampau. Sidanti selalu membanggakan diri kepadanya bahwa ia telah lebih dari sepuluh kali membinasakan lawan-lawannya di peperangan. Kemudian angka itu dengan cepatnya naik. Duapuluh dan yang terakhir sebelum Tohpati sendiri datang ke Sangkal Putung, Sidanti berkata, “Nanggala ini telah menghisap darah lebih dari lima puluh orang.”

Tetapi Agung Sedayu tak pernah berkata tentang peperangan. Agung Sedayu tidak pernah bercerita, berapa orang telah pernah di penggal lehernya, atau berapa orang pernah di tumpahkan darahnya.

Namun di samping kekecewaan-kekecewaan itu, Agung Sedayu telah benar-benar memikat hati Sekar Mirah. Ada kekuatan-kekuatan lain yang telah menariknya. Bukan karena kekaguman-kekaguman yang berlebih-lebihan. Bukan karena Agung Sedayu banyak menceritakan kemenangan-kemenangannya seperti Sidanti. Bukan karena sifat-sifatnya yang keras dan tegas. Tetapi ujud wadag Agung Sedayulah yang telah mempesona Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah kadang-kadang kecewa atas sifat dan sikap Agung Sedayu yang menurut anggapannya telalu lemah dan menyia-nyiakan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhnya, namun wajah Agung Sedayu selalu membayang di rongga matanya.

Ketika Sekar Mirah melangkahi pintu dapur, ia masih mendengar suara tertawa Swandaru di dalam rumahnya. Tetapi Sekar Mirah tidak memperdulikannya. Bahkan kemudian gadis itu melangkahkan kakinya ke perigi, menghampiri Agung Sedayu yang sedang menimba air.

“Untuk apa Kakang menimba air?” bertanya Sekar Mirah.

“Mandi” jawab Agung Sedayu. Jawaban itu terlalu singkat bagi Sekar Mirah, sehingga karena itu maka sambil mencibirkan bibirnya Sekar Mirah menirukan jawaban itu, “Mandi.”

Agung Sedayu berpaling. Ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah yang memberengut, Agung Sedayu tersenyum, “Kenapa?”

“Kenapa?” kembali Sekar Mirah menirukan.

Agung Sedayu kini tertawa. Tangannya masih sibuk melayani senggot timba. Ketika air di dalam upih telah dituangkannya ke dalam jambangan, maka dilepaskannya senggot timba itu. Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Sekar Mirah sambil bertanya, “Apakah jawabanku salah?”

“Tidak” sahut Sekar Mirah pendek.

Kini suara tertawa Agung Sedayu menjadi semakin keras. Katanya, “Ah, agaknya aku telah berbuat suatu kesalahan di luar sadarku. Maafkan aku Mirah.”

“Tidak ada yang harus dimaafkan” sahut Sekar Mirah sambil berjalan menjauh.

Agung Sedayu mengikuti di belakangnya beberapa langkah. Kemudian diambilnya sebutir batu, dan dilemparkannya ke arah sarang lebah di sebuah cabang yang tinggi.

Begitu sarang lebah itu terkena lemparan Agung Sedayu, maka berbondong-bondong lebah-lebah itu beterbangan.

Sekar Mirah terkejut. Ketika dilihatnya segerombol lebah beterbangan di udara, maka ia menjadi ketakutan. Dengan serta-merta ia berlari dan bersembunyi di belakang Agung Sedayu sambil berkata cemas, “Kakang, lebah itu akan menyengat kit.a”

Agung Sedayu tertawa. Jawabnya, “Biarlah kita menjadi bengkak-bengkak karenanya.”

“Kakang, aku takut.”

Agung Sedayu masih tertawa. Dilihatnya lebah itu semakin banyak beterbangan mengitari sarangnya yang baru saja disentuh oleh batu Agung Sedayu. Tetapi lebah itu adalah lebah gula yang sama sekali tidak berbahaya dan tidak buas.

Tetapi Sekar Mirah menjadi semakin ketakutan melihat lebah beterbangan mengitari sarangnya. “Kakang,” katanya, “bagaimana kalau lebah-lebah itu menyerang kita?”

“Kulitku kebal” sahut Agung Sedayu. “Tak ada lebah yang dapat menyengat kulitku.”

“Tetapi aku tidak” berkata Sekar Mirah sambil mengguncang-guncang tubuh Agung Sedayu.

“Lihat” berkata Agung Sedayu. “Lebah itu akan menurut segala perintahku. Sebentar lagi mereka pasti akan kembali ke dalam sarang-sarang mereka setelah diketahuinya bahwa aku yang berdiri di sini.”

Sekar Mirah tidak menjawab, tetapi ia masih berpegangan pada lengan Agung Sedayu.

Dan sebenarnyalah lebah-lebah yang beterbangan itu satu demi satu hinggap kembali ke dalam sarangnya. Sehingga semakin lama gerombolan lebah yang mirip dengan gumpalan asap itu menjadi semakin tipis.

Sekar Mirah memandangi lebah-lebah itu dengan mulut ternganga. Namun ketika dilihatnya lebah itu menjadi semakin berkurang, hatinyapun menjadi semakin tenang.

“Apakah mereka tidak akan menyerang kita Kakang?” gumamnya.

“Kalau lebah-lebah itu akan menyerangmu, biarlah aku lawan mereka. Bukankah aku wajib melindungimu?”

“Kenapa? Siapa yang mewajibkan melindungi aku?”

“Oh, jadi bukan begitu?”

“Tidak ada kewajiban itu” jawab Sekar Mirah sambil bersungut.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kembali ia meraih sebutir batu.

“Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah terkejut.

“Sekehendakkulah” sahut Agung Sedayu sambil membidik sarang itu kembali. “Kali ini aku akan menjatuhkan sarangnya. Dengan demikian lebah itu akan menjadi liar. Aku tidak takut sebab kulitku kebal. Dan aku tidak perlu melindungi seseorang di sini.”

“Jangan. Jangan Kakang” minta Sekar Mirah

“Sekehendakku” jawab Agung Sedayu.

“Aku takut.”

“Sekehendakku.”

“Kakang, jangan.”

Agung Sedayu telah menarik tangannya siap mengayunkan lemparan batunya. Tetapi Sekar Mirah memegangi tangannya sambil meminta, “Jangan. Kalau Kakang melempar juga, aku akan berteriak-teriak.”

Agung Sedayu tertawa. Batu di tangannya dilemparkannya dan kemudian katanya, “Kanapa kau melarang?”

“Aku takut disengat lebah.”

“Lebah itu sama sekali tidak berbahaya. Lihatlah sarangnya yang melekat pada pohon itu. Bukankah itu sarang lebah gula? Bahkan sebaiknya besok aku bikin gelodok. Kalau lebah itu mau bersarang ke dalam gelodok, maka kita akan mendapatkan madu.”

Sekar Mirah menekan dadanya sambil bersungut-sungut. “Kakang menakut-nakuti aku.”

“Seharusnya kau tidak takut Mirah. Lebah itu sama sekali tidak berbahaya, seandainya lebah yang paling buas sekalipun. Lebih berbahaya daripada itu adalah laskar Jipang yang dipimpin Tohpati. Kalau Tohpati itu menyerang kita, dan berhasil memasuki kademangan ini, nah barulah kau boleh merasa takut atau barangkali kau akan berbangga atas kedatangannya.”

“Kenapa aku berbangga?”

“Tohpati berwajah tampan, bertubuh tegap kekar dan seorang yang sangat sakti.”

“Huh” Sekar Mirah mencibirkan bibirnya. Kemudian katanya, “Apakah peduliku?”

Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Tetapi apakah benar-benar Tohpati mungkin sampai ke rumah ini?”

Agung Sedayu memandangi wajah gadis itu dengan seksama. Kemudian jawabnya, “Bagaimana kalau hal itu terjadi?”

“Jangan, jangan biarkan hal itu terjadi Kakang” sahut Sekar Mirah.

Kali ini Agung Sedayu tidak mengganggunya lagi ketika dilihatnya wajah Sekar Mirah menjadi bersungguh-sungguh. Seakan-akan dari matanya memancar kecemasan yang sangat. Sekali lagi ia bertanya, “Apakah laskar Jipang itu masih cukup kuat untuk mematahkan pertahanan Sangkal Putung?”

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia takut kalau jawabannya akan menambah kegelisahan gadis itu. Dan karena Agung Sedayu tidak menjawab, Sekar Mirah mendesaknya lagi, “Kakang, apakah dengan kepergian Sidanti, kekuatan Sangkal Putung menjadi sangat jauh berkurang?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam Agung Sedayu bertanya, “Siapa yang mengatakannya Mirah?”

Sekar Mirah menggeleng. “Tidak ada. Tetapi aku menyangka demikian. Sebab Kakang Sidanti adalah seorang yang sangat sakti. Bukankah Kakang Sidanti telah berhasil membunuh orang yang bernama Plasa Ireng sebelum ia meninggalkan Sangkal Putung?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mungkin Sidanti sangat sakti. Tetapi apakah tidak ada orang lain yang menyamai kesaktiannya?”

“Ya, ya, ada” sahut Sekar Mirah cepat-cepat. “Kau, Kakang.”

Agung Sedayu menggeleng, “Bukan, bukan aku.”

“Ya, aku melihat sendiri kau memenangkan perlombaan memanah pada waktu itu.”

“Bukan ukuran dalam peperangan yang campuh” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi unsur perseorangan sangat berarti dalam peperangan yang betapapun juga.”

“Mungkin kau benar. Tetapi aku mengharap bahwa ada orang lain yang akan dapat mengganti kedudukannya. Bukankah di Sangkal Putung masih ada Kakang Untara dan Paman Widura?”

“Ya, dan kau Kakang?”

“Aku tidak terhitung dalam tingkatan itu. Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu dengan sudut matanya. Alangkah jauh berbeda. Kalau yang berdiri di hadapannya itu Sidanti maka jawabannya pasti akan bertentangan sama sekali. Sidanti pasti akan menjawab, “Tak ada orang lain di Sangkal Putung yang dapat menyamai aku.”

Tetapi Agung Sedayu berkata lain. “Aku hanya seorang untuk menambah hitungan saja.”

“Hem” Sekar Mirah menarik nafas.

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah menggeleng. “Tidak apa-apa.”

Kembali Agung Sedayu tersenyum. Ia menyangka bahwa Sekar Mirah masih jengkel kepadanya karena lebah gula itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang sebenarnya bergolak di dalam gadis itu. Diam-diam ia selalu membandingkan Agung Sedayu dengan Sidanti.

Sidanti baginya adalah seorang laki-laki yang dahsyat. Ia selalu berkata tentang dirinya, tentang kepercayaan pada diri sendiri, tentang kemampuan dan tentang cita-citanya yang melambung setinggi langit. Ia kagum kepada anak muda itu. Ia kagum akan kedahsyatannya, akan kepercayaan kepada diri sendiri, akan kemampuan dan cita-citanya.

Tetapi ia hanya mengaguminya. Lebih dari itu, ternyata tidak. Ia kecewa bahwa Sidanti pergi. Kecewa karena di Sangkal Putung tidak ada seorang yang dapat dibanggakan kesaktiannya. Tidak ada orang yang berkata kepadanya, bahwa dadanya adalah perisai dari kademangan ini. Tidak ada orang yang berkata kepadanya seperti Sidanti pernah berkata, “Mirah, berkatalah. Apakah aku harus membawa sepotong kepala untuk kakimu? Tunggulah, pada saatnya, aku akan membawa kepala Tohpati. Rambutnya dapat kau pakai untuk membersihkan alas kakimu.”

Meskipun Sekar Mirah tahu benar justru Untara ternyata melampaui kedahsyatan Sidanti menghadapi Tohpati, namun ia hampir tidak mengenal Untara. Orang itu terlalu angker baginya. Seakan-akan hampir-hampir belum pernah ia bercakap-cakap dengan orang itu. Karena itu maka tidak ada sentuhan apa-apa yang dapat memberinya kebanggaan.

Widura yang menurut pendengaran Sekar Mirah tidak kalah saktinya dari Sidanti, itupun bagi Sekar Mirah tidak berarti apa-apa. Dahulu ia pernah mengharap di dalam hatinya, semoga Sidanti dapat menunjukkan kelebihannya dari Widura, sehingga Sidanti mendapat tempat yang lebih baik daripadanya. Dengan demikian ia akan dapat turut merasakan kedudukan anak muda itu. Sebab Sekar Mirah lebih mengenal Sidanti dari Widura yang sama sekali hampir tidak pernah mempedulikannya.

Di antara mereka yang dapat dibanggakan di Sangkal Putung yang dikenalnya dengan baik adalah Agung Sedayu. Menurut penilaiannya Agung Sedayu ternyata melampaui Sidanti. Ia melihat sendiri Agung Sedayu memenangkan perlombaan memanah beberapa saat yang lalu. Bahkan ketika mereka berkelahi di samping kandang kuda itupun ternyata Sidanti terpaksa mengambil sepotong kayu sebagai senjatanya. Sedang Agung Sedayu sama sekali tidak mempergunakan senjata apapun. Tetapi kenapa Agung Sedayu tidak pernah berkata kepadanya, “Mirah, apakah aku harus membawa kepala Tohpati untuk alas kakimu?”

Tidak, Agung Sedayu tidak berkata demikian kepadanya. Anak muda itu hanya akan membuat gelodok lebah gula untuk mendapat madu.

Sebenarnya Sekar Mirah menjadi kecewa atas sikap Agung Sedayu itu. Sikap yang baginya kurang jantan. Kurang dahsyat dan kurang perkasa. Sangat berbeda dengan Sidanti. Tetapi meskipun Sekar Mirah mengagumi Sidanti, namun ia mempunyai perasaan yang aneh terhadap Agung Sedayu yang mengecewakannya itu. Perasaan yang tak dimilikinya terhadap Sidanti.

“Alangkah mengagumkan seorang anak muda, seandainya berwadag Agung Sedayu namun memiliki sifat-sifat kejantanan Sidanti” gumamnya didalam hati. “Sayang Sidanti tidak terlalu menarik, dan lebih-lebih sayang lagi, Sidanti telah mengkhianati kawan sendiri.”

Ketika Sekar Mirah masih saja termenung, maka berkatalah Agung Sedayu, “Kenapa kau termenung Mirah?”

“Oh” Sekar Mirah tergagap seperti baru terbangun dari tidurnya. “Tidak apa-apa.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ternyata Sekar Mirah tidak saja masih jengkel kepadanya hanya karena lebah itu. Maka itu ia bertanya, “Kenapa kau termenung? Apakah kau masih marah kepadaku tentang lebah itu, atau tentang hal yang lain?”

“Tidak Kakang” jawab Sekar Mirah sekenanya. Bahkan kemudian diteruskannya, “Aku masih cemas tentang laskar Tohpati itu”

Tiba-tiba Agung Sedayu tertawa. “Jangan cemas. Tohpati tidak berbahaya bagi Sangkal Putung. Laskarnya tidak melampaui laskar Pajang di Sangkal Putung, ditambah dengan anak-anak muda yang berani dan bertanggung jawab.”

“Tetapi Tohpati sendiri?” bertanya Sekar Mirah.

“Bukankah di sini ada Kakang Untara atau Paman Widura?”

Sekar Mirah menggigit bibirnya “Kalau Kakang Untara atau Paman Widura tidak ada?”

“Mereka akan tetap di sini Mirah.”

“Ya. Seandainya tidak ada. Atau ada halangan apapun?”

Agung Sedayu menarik nafas panjang, namun ia tersenyum. “Salah seorang dari mereka pasti berada di sini. Kalau ada keperluan yang sangat penting sekalipun, pasti mereka tidak akan pergi berdua.”

“Seandainya mereka berdua sakit? Sakit panas, sakit perut atau sakit apapun yang berat dan bersamaan?”

“Itu adalah suatu halangan di luar kemampuan manusia. Namun di sini ada seorang dukun yang pandai yang akan dapat mengobatinya.”

“Oh” Sekar Mirah menjadi tidak sabar. Katanya hampir berteriak, “Keduanya tidak dapat maju berperang. Apapun alasannya. Lalu bagaimana, apakah Sangkal Putung akan menyerah?”

Meskipun Agung Sedayu tidak tahu maksud Sekar Mirah namun ia menjawab, “Tentu tidak Mirah. Disini ada Paman Citra Gati dan Paman Hudaya. Ada juga Paman Sonya dan Kakang Sendawa. Mereka dapat menggabungkan kekuatan mereka dalam satu lingkaran untuk melawan Tohpati.”

Mendengar jawaban Agung Sedayu itu Sekar Mirah terhenyak duduk di atas setumpuk kayu bakar. Ditekankan tangannya pada dadanya yang seakan-akan menjadi sesak. Jawaban Agung Sedayu benar-benar tidak diharapkannya. Meskipun ia terduduk di atas seonggok kayu bakar namun hatinya berteriak, “Oh, Agung Sedayu yang bodoh, kenapa jawabanmu demikian mengecewakan aku? Kenapa kau tidak menjawab sambil mengangkat kepalamu, “Seandainya mereka sakit, atau berhalangan apapun Sekar Mirah, ak,u Agung Sedayulah yang akan melawan Tohpati. Aku akan bunuh orang itu, aku penggal kepalanya, dan aku berikan sebagai alas kakimu.”

“Oh” tiba-tiba Sekar Mirah mengeluh.

Agung Sedayu benar-benar tidak mengerti maksud Sekar Mirah. Ia melihat gadis itu menjadi kecewa. Tetapi ia tidak tahu kenapa ia menjadi kecewa.

Terdorong oleh kegelisahannya karena ia tidak tahu apa yang dikehendaki oleh Sekar Mirah, maka dengan jujur Agung Sedayu itu bertanya, “Mirah, apakah sebenarnya yang kau kehendaki dengan segala macam pertanyaanmu?”

“Kakang Agung Sedayu” berkata Sekar Mirah menahan jengkel. “Apakah kau tidak akan ikut bertempur?”

“Tentu Mirah.”

“Kenapa Kakang hanya menyebut nama-nama orang lain? Kakang tidak pernah menyebut nama Kakang sendiri. Apakah dengan demikian berarti bahwa Kakang tidak banyak mempunyai kepentingan dengan laskar Tohpati itu? Atau barangkali Kakang tidak mempedulikan mereka. Atau tidak memperdulikan Sangkal Putung?”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu semakin tidak mengerti.

“Baiklah aku bertanya terus Kakang, tetapi aku ingin segera mendengar jawabanmu yang terakhir. Aku ingin kau menyebut namamu sendiri. Kakang, bagaimanakah seandainya tidak ada orang lain yang dapat lagi maju melawan Tohpati? Apakah yang akan Kakang lakukan?”

Agung Sedayu tiba-tiba mengangguk-anggukkan kepalanya. Kini tahulah arah pertanyaan Sekar Mirah. Karena itu, tiba-tiba Agung Sedayu tersenyum sambil menjawab, “Oh, itukah yang ingin kau ketahui Mirah.”

“Ya, aku ingin mendengar jawabmu. Aku ingin mendengar apakah yang dapat kau berikan kepada Sangkal Putung. Apakah yang dapat kau sumbangkan kepada tanah kelahiranku ini? Bukan Kakang Untara, bukan Paman Widura, bukan Paman Hudaya, Paman Citra Gati, Paman Sonya. Bukan Kakang Swandaru, bukan Ayah, bukan orang lain. Tetapi Kakang Agung Sedayu”

“Hem” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Aku sendiri? Baiklah. Aku akan menjawab pertanyaanmu Sekar Mirah. Kalau tidak ada orang lain yang akan melawan Tohpati, maka sudah tentu aku akan melawannya.”

“Hanya itu?” Sekar Mirah masih kecewa.

“Lalu apa lagi?”

“Apakah kau biarkan Tohpati mengalahkanmu? Membunuhmu?”

“Kau aneh Mirah.”

“Apa yang aneh padaku? Kaulah yang aneh.”

“Kenapa kau bertanya demikian?”

“Habis. Kau tidak berkata, apa yang akan kau lakukan atas Tohpati itu.”

Perlahan-lahan Agung Sedayu kemudian dapat meraba pertanyaan-pertanyaan Sekar Mirah yang membanjiri dirinya itu. Sekar Mirah ingin mendengar jawaban yang dapat memberinya kepuasan. Yang dapat menentramkan dirinya dan mungkin dapat memberinya kebanggaan. Namun tidak terpikir oleh Agung Sedayu bahwa keinginan Sekar Mirah bukan saja jawaban-jawaban yang dapat menentramkan hatinya, dan memberinya kebanggaan, tetapi Sekar Mirah ingin mendapat seorang pahlawan yang dapat mengimbangi Sidanti.

Karena itu bagaimanapun juga Agung Sedayu masih juga tidak memberinya kepuasan seperti yang dikehendakinya, ketika ia mendengar Agung Sedayu itu menjawab, “Sekar Mirah, sudah tentu aku akan melawan Tohpati dengan segenap tenaga dan kemampuan yang ada padaku. Aku masih ingin hidup lebih lama lagi, Mirah. Karena itu maka aku tidak akan membiarkan Tohpati berbuat sekehendak hatinya. Aku akan melawannya. Tetapi takdir berada di tangan Tuhan. Itulah sebabnya maka aku tidak dapat berkata lebih jauh daripada itu tentang diriku. Aku berwenang berusaha, namun akhir daripada semua peristiwa berada di tanganNya.”

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Meskipun ia sama sekali tidak puas dengan sifat-sifat Agung Sedayu itu, namun ia tidak akan mendesaknya lagi.

Sekar Mirah semakin melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada Agung Sedayu dan Sidanti. Ia pernah juga dahulu mendengar Agung Sedayu itu berkata tentang dirinya. Bahkan dahulu Agung Sedayu lebih banyak menyebut-nyebut dirinya dan membanggakan tugas-tugas yang telah diselesaikannya. Tetapi sekarang, sungguh mengherankan, Agung Sedayu seakan-akan telah kehilangan gairah atas kemenangan-kemenangan yang pernah dicapainya.

Tetapi bagaimanapun juga, Agung Sedayu itu selalu membayanginya. Wajahnya hampir tidak pernah lenyap dari matanya. Bahkan di dalam tidur sekalipun. Namun justru karena itulah maka Sekar Mirah menjadi semakin kecewa. Ia ingin melibatkan dirinya dalam hubungan yang semakin dalam. Namun Agung Sedayu tidak bersikap seperti yang diinginkannya.

Sekar Mirah yang duduk di atas seonggok kayu bakar itu mengangkat wajahnya. Ia mendengar langkah orang di sudut rumahnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya seorang prajurit berjalan ke perigi. Di lambungnya tergantung pedang yang panjang.

“Kenapa senjata itu disandangnya?” tiba-tiba ia bertanya.

Agung Sedayu berpaling. Ia melihat prajurit itu. Karena itu ia menjawab, “Sangkal Putung berada dalam kesiap-siagaan penuh. Prajurit itu aku kira baru saja nganglang kademangan.”

“Apakah Tohpati akan segera menyerang?”

“Aku tidak tahu. Tetapi kemungkinan itu setiap saat memang dapat terjadi.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Ia memang melihat pada saat-saat terakhir kesibukan yang meningkat. Ia melihat ayahnya semakin jarang-jarang berada di rumah, dan kakaknya tidak pernah berpisah dengan pedangnya.

“Apakah sudah ada berita tentang penyerbuan yang bakal datang?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Ia tidak dapat berkata berterus terang. Agaknya Ki Demang dan Swandarupun belum berkata kepada gadis itu. Karena itu jawabnya, “Meskipun tidak ada berita apapun dan dari siapapun Mirah, memang kita wajib selalu berwaspada. Ketegangan memang meningkat akhir-akhir ini. Tohpati mempercepat gelombang kegiatannya pula.”

Sekar Mirah mengangguk-anggukkan kepalanya. Kadang-kadang ia menjadi cemas membayangkan apa yang bakal terjadi seandainya Macan Kepatihan itu benar-benar akan menggulung Sangkal Putung. Tetapi kadang-kadang ia mengharap serbuan itu datang. Ia mengharap kakaknya, Swandaru berhasil membunuh orang-orang penting dari laskar Tohpati itu. Dan ia mengharap Agung Sedayu berhasil lebih banyak lagi. Bahkan ia mengharap bahwa Agung Sedayulah yang akan membunuh Tohpati, bukan Untara dan bukan Widura.

Tetapi apabila ia melihat sikap Agung Sedayu, kembali ia menjadi kecewa. “Hem” desahnya didalam hati. “Orang ini lebih pantas menjadi seorang penulis kitab-kitab tembang daripada seorang prajurit. Seorang yang hampir setiap hari duduk di atas tikar pandan, menggurat-gurat rontal dengan pensilnya. Kemudian membaca kisah-kisah yang menawan hati. Kisah kasih antara Pandu dan Kirana, atau kisah petikan-petikan dari Mahabharata.”

Ketika Sekar Mirah sejenak berdiam diri sambil memandangi noktah-noktah di kejauhan, maka berkatalah Agung Sedayu, “Betapapun kuatnya laskar Macan Kepatihan, Mirah, tetapi kau jangan cemas. Sangkal Putungpun semakin lama menjadi semakin kuat. Anak-anak muda yang kini menjadi semakin kaya akan pengalaman dan semakin kaya akan tekad mempertahankan tanahnya, menjadi perlambang kemenangan-kemenangan yang akan dicapai oleh daerah ini.”

“Mudah-mudahan” gumam Sekar Mirah. “Mudah-mudahan kademangan ini dapat diselamatkan. Tohpati dapat terpenggal lehernya dan orang-orang Jipang itu dapat dimusnahkan.”

“Kemungkinan yang kita harapkan akan terjadi Mirah. Jangan takut.”

Sekar Mirah itu kemudian bangkit dan berjalan perlahan-lahan ke perigi. Katanya, “Mudah-mudahan itu akan segera terjadi dan Kakang akan datang kepadaku sambil bercerita, bahwa pedang kakang telah menghisap darah lebih dari seratus orang.”

Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab. Dipandanginya Sekar Mirah untuk beberapa saat, kemudian ia bertanya, “Apakah kau akan mengambil air?”

“Tidak.”

“Lalu mengapa?”

“Tidak apa-apa.”

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia melihat Sekar Mirah mengambil sebuah belanga dan menjinjingnya ke dapur.

Agung Sedayu tidak mengikutinya terus. Ia melihat Sekar Mirah berpaling dan tersenyum kepadanya. Senyum seorang gadis yang lincah dan manis. Namun bagaimanapun juga, Agung Sedayu melihat sesuatu di belakang senyum yang manis itu. Sekar Mirah adalah seorang gadis yang keras hati. Seperti kakaknya, gadis itupun ingin melihat dan mendengar peristiwa-peristiwa yang dahsyat. Seandainya sama sekali iapun seorang pemuda seperti Swandaru, maka keduanya akan menjadi pasangan kakak-beradik yang dahsyat pula.

Ketika Agung Sedayu kemudian kembali ke pringgitan, dilihatnya seseorang yang datang memasuki pringgitan itu pula besama-sama dengan kakaknya. Sesaat kemudian orang itu bersama dengan Untara telah duduk berhadapan sambil berbicara perlahan-lahan.

“Baiklah” berkata Untara kemudian. “Aku akan mempersilakan Paman Widura dan Bapak Demang kemari.”

Untara itupun kemudian menyuruh seseorang memanggil Widura dan Ki Demang Sangkal Putung. Agung Sedayupun diperkenankan pula ikut hadir did alam pertemuan kecil itu besama dengan Swandaru Geni.

Ketika orang-orang yang penting itu telah berkumpul, maka mulailah orang itu berkata, “Kakang Untara, hampir pasti bahwa Tohpati akan menyerbu besok pagi-pagi. Agaknya mereka tidak akan mengulangi serangan malamnya yang gagal. Mereka akan mencoba memecahkan pertahanan Sangkal Putung pada siang hari. Mereka akan menempuh arah yang lurus dari barat. Mereka kali ini akan datang dalam gelar perang yang sempurna.”

“Apakah laskar mereka bertambah kuat sehingga Tohpati mengambil keputusan datang dengan gelar perang?”

“Sanakeling berhasil menghimpun tenaga cukup banyak. Meskipun ia tidak berhasil menghubungi laskar yang tersebar di pantai utara, namun yang ada benar-benar telah cukup untuk mengimbangi kekuatan laskar Pajang di Sangkal Putung ini.”

Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Terbayang di pelupuk matanya sepasukan yang kuat datang dari arah barat di pagi-pagi buta dalam gelar yang sempurna. Sembil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Tohpati telah kehabisan kesabaran.”

“Ya” jawab orang itu. “Mereka menganggap bahwa serangan kali ini haruslah serangan yang terakhir. Mereka sudah jemu menunggu kesempatan untuk memasuki Sangkal Putung. Beberapa bagian laskar dari utara telah terlalu lama berada di daerah ini. Bahkan Tohpati sendiri, sudah ingin melepaskan beberapa kepentingan di selatan. Namun sesudah Sangkal Putung jatuh. Sesudah mereka mendapat bekal yang cukup untuk perjalanan mereka kembali ke daerah yang bertebaran.”

Yang mendengarkan keterangan orang itu mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari apa yang sedang mereka hadapi sekarang. Agaknya bahaya kali ini benar-benar telah menggoncangkan dada mereka.

“Keadaan ini benar-benar menegangkan “ desis Ki Demang Sangkal Putung.

Untara berpaling. Sambil tersenyum senapati yang masih muda itu berkata “Tidak banyak bedanya dengan serangan-serangannya yang lampau Ki Demang.”

Ki Demang mengerutkan keningnya. Sahutnya, “Ah, Angger hanya ingin membesarkan hatiku. Tetapi aku mempunyai gambaran yang lain. Macan Kepatihan benar-benar telah mengerahkan kekuatan yang luar biasa.”

“Tetapi kekuatannya sangat terbatas. Laskar Pajang di mana-mana telah berusaha memotong perhubungan mereka, sehingga yang dapat mereka kumpulkan itupun pasti belum merupakan bahaya yang sebenarnya bagi Sangkal Putung” jawab Untara.

Ki Demang tidak segera menjawab. Sekali disambarnya wajah Widura yang tegang. Kemudian wajah Agung Sedayu dan akhirnya wajah anaknya sendiri. Dilihatnya Swandaru Geni tersenyum. Wajahnya menjadi amat cerah, dan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Bagus, lebih besar kekuatan Tohpati, akan lebih baik bagi kita. Kita akan dapat menimbang, seberapa sebenarnya kekuatan kita di Sangkal Putung. Ayah sebenarnya tidak perlu cemas. Anak-anak Sangkal Putung semakin banyak yang bersedia ikut memegang senjata. Sedang merekapun menjadi semakin banyak memiliki pengalaman. Nah, aku mengharap Tohpati mengerahkan seluruh sisa laskar Jipang.”

”Huh” sahut Ki Demang Sangkal Putung. “Kau hanya pandai membual Swandaru. Kau tidak memperhitungkan kecakapan laskar Jipang dibandingkan dengan anak-anak muda Sangkal Putung.”

“Ayah memperkecil arti anak-anak kita sendiri” jawab Swandaru sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak senang mendengar keluhan itu, sebab ia sendirilah yang memimpin anak-anak muda Sangkal Putung.

“Swandaru benar Kakang Demang” potong Widura. “Kakang harus mencoba membuat hati mereka menjadi besar. Anak-anak Sangkal Putung hampir setingkat dengan laskar Pajang sendiri dan sudah tentu laskar Jipang pula. Beberapa orang bekas prajurit yang ada di Sangkal Putung telah menguntungkan keadaan meskipun pada umumnya usia mereka telah cukup tinggi. Namun pengalaman mereka menggerakkan senjata dan olah peperangan masih cukup baik.”

Ki Demang Sangkal Putung tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menenangkan hatinya. Tetapi sebagai seorang yang bertanggung-jawab atas Sangkal Putung, atas semua isi dan penghuninya, maka mau tidak mau Demang Sangkal Putung itu menjadi prihatin. Bagaimana nasib orang-orangnya apabila laskar Tohpati benar-benar dapat menembus pertahanan Untara. Bagaimana akan jadinya dengan kademangan ini?

Tetapi apabila dipandanginya wajah Widura, wajah Untara, Agung Sedayu dan apalagi anaknya sendiri, terasa ketenangan merayapi dadanya. Wajah-wajah itu tampak teguh dan meyakinkan bahwa mereka akan mencoba sekuat-kuat tenaga mereka melindungi kademangan yang subur dan kaya ini.

“Kakang Untara” terdengar prajurit sandi itu berkata. “Aku akan segera kembali ke tempat tugasku. Mudah-mudahan aku akan mendapat keterangan-keterangan yang lebih jelas. Malam ini kami akan mencoba untuk membuat hubungan terus-menerus dengan kakang di sini.”

Untara mengangguk. “Baik, lakukan pekerjaanmu sebaik-baiknya. Keadaan kami di sini sebagian tergantung kepada keterangan-keterangan yang akan kau berikan kemudian.”

“Baik kakang” sahut orang itu.

Dan sesaat kemudian orang itupun minta diri untuk kembali ke tempatnya.

Sepeninggal orang itu, maka Widura dan Untara segera menentukan keadaan. Apa yang harus mereka lakukan untuk melawan kedatangan laskar Macan Kepatihan itu.

“Jangan dilupakan, bahwa kita akan minta Kiai Gringsing untuk ikut serta” desis Widura.

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya “Baik Paman, aku akan minta kepadanya. Tetapi dimana Ki Tanu Metir itu sekarang?”

“Berjalan-jalan” sahut Agung Sedayu. “Namun aku sangka bahwa Guru tidak akan berkeberatan.”

Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Merekapun yakin akan kesediaan itu. “Nanti kalau Ki Tanu Metir kembali, sampaikan sekali lagi permohonan kami itu Sedayu” minta Untara kepada adiknya.

“Baik kakang” jawab Agung Sedayu.

Widurapun kemudian memanggil beberapa orang pemimpin kelompok untuk datang ke pringgitan. Kini mereka tidak lagi harus merahasiakan kedatangan Tohpati besok. Perlahan-lahan namun jelas, Widura menguraikan apa yang kira-kira akan mereka hadapi.

Hudaya yang duduk disamping Sonya tersenyum mendengar penjelasan itu. Ketika kemudian pandangan matanya bertemu dengan pandangan mata Citra Gati, yang duduk di belakang Untara, merekapun mengangguk-angguk sambil tersenyum pula.

“Kakang Hudaya” bisik Sonya. “Cepat-cepatlah mencukur janggut dan kumismu malam ini.”

“Sst” desis Hudaya. “Jangan ribut. Lihat kakang Citra Gati sedang menghitung, berapa sisa hutangnya yang tidak perlu dibayarnya.”

Sonya menutup mulutnya dengan kedua tangannya ketika ia hampir tidak dapat menahan tawanya. Namun ia tidak tertawa lagi ketika kemudian ia melihat beberapa orang kawan-kawannya menjadi tegang. Hanya Sendawa agaknya tidak banyak menaruh perhatian. Sekali-sekali ia memandang lampu yang menggapai-gapai tiang. Dan haripun segera memasuki ujung malam.

Malam yang pasti akan sangat menegangkan seluruh Sangkal Putung. Sebab besok pagi-pagi mereka akan dihadapkan pada suatu bahaya yang benar-benar tidak dapat diabaikan.

Dengan cermatnya Widura dan Untara mulai mengatur laskar mereka. Mereka mempertimbangkan setiap kemungkinan dan setiap keadaan dengan pemimpin-pemimpin kelompok di dalam laskar Pajang itu. Dengan penuh kesungguhan mereka mengurai kekuatan yang ada pada mereka dan kemungkinan-kemungkinan yang ada pada lawan mereka.

Setapak demi setapak malampun memasuki daerah kelamnya semakin dalam. Pembicaraan di antara para pemimpin Pajang itupun menjadi semakin meningkat. Gelar-gelar yang harus mereka persiapkan untuk menghadapi kemungkinan dari setiap gelar yang akan dipergunakan oleh Macan Kepatihan.

“Tohpati pasti akan berada di pusat pimpinan gelarnya” berkata Untara. “Ia adalah seorang senapati yang bertanggung-jawab atas tugas-tugasnya.”

“Ya” Widura menjawab. “Itu dapat kita pastikan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka Tohpati akan menjadi ujung belalainya.”

“Kemungkinan yang paling banyak terjadi. Gelar Dirada Meta pasti akan sesuai dengan sifat-sifat Macan Kepatihan itu.”

“Lalu bagaimanakah gelar kita, dan siapakah yang akan berada di pusat pimpinan?” bertanya Swandaru.

Semua orang berpaling kepadanya. Pertanyaan itu sebenarnya sudah mereka ketahui jawabnya. Pastilah Untara yang akan berada di pusat pimpinan. Seandainya mereka harus melawan dalam gelar yang lebih luas karena jumlah mereka lebih banyak, meskipun nilainya belum pasti melampaui laskar Jipang, karena diantara mereka terdapat anak-anak muda Sangkal Putung, misalnya gelar Garuda Nglayang, maka Untara pasti akan menjadi ujung paruhnya.

Untara sendiri tersenyum mendengar pertanyaan itu. Jawabnya “Siapakah menurut penilaianmu yang paling tepat untuk melawan Tohpati itu Swandaru?”

Swandaru kemudian tersenyum pula. Ia ingin berkata, “Swandarulah yang paling mungkin untuk melawan Macan Kepatihan yang garang itu, seandainya diberi kesempatan”. Tetapi Swandaru kemudian bahkan menundukkan wajahnya.

Yang terdengar kemudian adalah suara Untara. “Biarlah aku mencoba sekali lagi melawan Macan Kepatihan itu. Mudah-mudahan kali ini aku dapat pula mengimbanginya.”

“Siapakah senapati-senapati pengapitnya kakang?” bertanya Swandaru pula.

Untara mengerutkan keningnya. Ia melihat Swandaru mempunyai keinginan yang besar untuk mendapat tanggung-jawab yang cukup dalam pertempuran itu. Tetapi pertempuran kali ini bukanlah semacam sebuah permainan yang menggembirakan. Laskar Jipang pasti akan menempatkan orang-orangna yang paling terpilih di antara mereka. Sedang Swandaru masih terlalu muda dalam pengalaman dan dalam kematangan berpikir. Untara lebih condong untuk memilih Agung Sedayu meskipun anak itu ternyata dalam bertindak terlalu banyak pertimbangan-pertimbangan. Namun bekal yang dimiliki Agung Sedayu ternyata lebih banyak dari Swandaru.

Namun sudah tentu Untara tidak akan mengecewakan anak muda itu. Karena itu maka jawabnya, “Swandaru, kita harus memperhitungkan siapakah kira-kira yang akan menjadi senapati pengapit Macan Kepatihan. Seandainya mereka mempergunakan gelar Dirada Meta, maka sudah dapat dibayangkan, bahwa Sanakeling adalah salah seorang senapati pengapitnya. Salah seorang yang akan ditempatkan di ujung gading gajah raksasa yang akan mengamuk itu. Sedang di ujung yang lain, mungkin Macan Kepatihan akan menempatkan Alap-Alap Jalatunda atau orang lain yang lebih baik daripada orang itu.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditebarkannya pandangan matanya berkeliling pringgitan. Dilihatnya di antara mereka, Widura dan Agung Sedayu di samping dirinya sendiri. Karena itu maka katanya dalam hati, “Apakah kakang Untara tidak mau memberi aku kesempatan?”

Dan terdengarlah Untara berkata, “Swandaru, aku ingin menempatkan paman Widura untuk melawan Sanakeling. Tak ada orang lain yang mampu melakukannya. Aku mempunyai perhitungan, bahwa Sanakeling akan menjadi pengapit kanan Macan Kepatihan, sehingga aku akan minta paman Widura mempimpin sayap kiri pasukan Sangkal Putung.”

“Satu-satunya kemungkinan” desis Swandaru. “Lalu siapakah yang harus melawan Alap-Alap Jalatunda?”

Untara mengerutkan keningnya. Apalagi ketika ia melihat sekali dua kali Swandaru memandang ke arah Agung Sedayu, seolah-olah ia sedang membandingkan dirinya sendiri dengan Agung Sedayu itu. Karena itu maka kembali Untara berada dalam kesulitan. Apakah ia akan dapat memilih salah seorang dari mereka? Kalau ia menunjuk Swandaru, Agung Sedayu pasti tidak akan menjadi kecewa. Tetapi Swandaru sama sekali kurang pengalaman dalam perang yang memasang gelar-gelar sempurna.

Namun akhirnya, Untara menemukan jawabnya. Ditebarkannya pandangannya berkeliling dan akhirnya berhenti pada seseorang yang duduk agak di belakangnya. Katanya, “Di sayap yang lain aku pasang Citra Gati.”

Swandaru sekali lagi mengerutkan keningnya. Kini ia benar-benar salah tebak. Ia menyangka bahwa Untara akan memilih satu diantara mereka berdua, Agung Sedayu atau dirinya sendiri.

Namun sebelum ia menyatakan pendiriannya, terdengar Untara memberi penjelasan. “Aku harus menempatkan seorang prajurit Pajang dalam gelar yang sempurna ini, supaya garis perintahku dapat tersalur dengan baik. Sebenarnya aku ingin menempatkan Agung Sedayu atau kau Swandaru. Tetapi ada yang belum kalian ketahui, saluran-saluran perintah dalam gelar perang yang sempurna. Nah, karena itu aku tempatkan saja Citra Gati itu di sayap kanan. Meskipun demikian, Swandaru, kau dan Agung Sedayu akan merupakan ujung-ujung kuku dalam gelar Garuda Nglayang yang mungkin akan kita pergunakan.”

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Keputusan Untara adalah keputusan yang bijaksana. Bukan Agung Sedayu dan bukan Swandaru yang kedua-duanya bukan prajurit Pajang.

Tetapi kemudian Widura memotong pembicaraan itu. “Bagaimana dengan Sumangkar? Siapakah yang akan menghadapinya bila Sumangkar itu ikut turun pula dalam laskar Jipang yang akan segera menyerbu itu?”

Semua yang hadir dalam pertemuan itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sadar akan kemampuan Sumangkar yang terkenal dengan adik seperguruan Patih Mantahun, yang memiliki nyawa rangkap di dalam tubuhnya. Kesaktiannya sudah terbukti dapat mengimbangi Ki Tambak Wedi, hantu lereng gunung Merapi itu.

Tidak ada di antara mereka yang akan mampu mengimbangi Sumangkar itu, dan mereka semua menyadarinya. Tetapi harus ada orang yang terpilih di antara mereka. Padahal mereka masing-masing sudah terikat pada lawan-lawan yang tidak dapat mereka abaikan pula. Untara melawan Macan Kepatihan, Widura berhadapan dengan Sanakeling dan Citra Gati harus melawan Alap-Alap Jalatunda. Apakah Agung Sedayu dan Swandaru yang akan dipersiapkan melawan Sumangkar itu?

Ketika mereka baru berteka-teki, terdengarlah Untara menjelaskan perhitungannya. “Tak ada seorangpun di antara kita yang sanggup melawan Sumangkar. Namun meskipun demikian, kita akan mendapat seorang yang akan sanggup untuk mengimbanginya, Kiai Gringsing.”

Para pemimpin laskar Pajang itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar mereka bergumam di antara mereka. Berulang kali terdengar mereka menyebut nama Kiai Gringsing itu. Namun belum seorangpun dari mereka yang tahu pasti siapakah Kiai Gringsing itu. Karena itu terdengar Sendawa meyahinkan dirinya, “Siapakah Kiai Gringsing itu?”

Untara menarik alisnya. Agaknya orang-orangnya belum mengenal siapakah Kiai Gringsing itu. Beberapa orang sudah dapat meraba-raba, namun yang lain sama sekali belum mengenalnya.

Tetapi kini Untara tidak berahasia lagi. Untuk menentramkan orang-orangnya ia berkata, “Orang yang kalian kenal setiap hari sebagai dukun yang baik itulah orangnya. Yang hampir setiap malam pergi berjalan-jalan dengan Swandaru dan Agung Sedayu. Yang hampir setiap hari berada di antara orang-orang yang sakit. Namanya Ki Tanu Metir.”

Kembali terdengar mereka bergumam. Beberapa orang yang sudah menduganya tersenyum bangga atas ketepatan tebaknya. Tetapi kini mereka belum melihat, dimanakah orang itu. Karena itu maka Citra Gati berkata, “Dimanakah Ki Tanu Metir itu sekarang?”

Untara mengangkat wajahnya. kemudian kepada Agung Sedayu ia berkata, “Panggilah Kiai Gringsing.”

Agung Sedayu segera berdiri dan melangkah keluar pringgitan. Dicobanya untuk mencari Kiai Gringsing di pendapa, namun orang itu tidak kelihatan. Dengan segan Agung Sedayu turun ke halaman yang sudah menjadi semakin kelam. Dicarinya gurunya diantara para penjaga gerbang. Orang tua itu kadang-kadang berkelakar di gardu penjagaan bersama-sama mereka yang bertugas.

“Aku tidak melihat Ki Tanu Metir sepanjang sore ini” berkata salah seorang penjaga.

“Apakah Ki Tanu Metir pergi keluar?”

“Aku tidak melihatnya” sahut penjaga itu. “Entahlah sebelum aku bertugas di sini.”

“Siapakah yang bertugas sebelum kalian?”

“Di antaranya kakang Santa.”

Agung Sedayupun bergegas-gegas mencari Santa di pendapa. Namun ternyata orang itu juga tidak melihat Ki Tanu Metir. Katanya, “Aku tidak melihatnya.”

“Sore tadi aku duduk bersama-sama dengan Ki Tanu Metir” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi aku tidak melihatnya”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Apakah Ki Tanu Metir sedang berada di belakang? Agung Sedayupun kemudian mencoba mencarinya ke perigi. Tetapi di perigi itupun Ki Tanu Metir tidak ditemukannya.

Satu-satunya kemungkinan tinggallah di banjar desa. Masih ada satu dua orang yang dirawat di sana. Mungkin Ki Tanu Metir ada di antara mereka.

Karena itu maka Agung Sedayu segera pergi ke pringgitan, memberitahukan kepada kakaknya, bahwa ia akan mencoba mencari Ki Tanu Metir ke banjar desa.

“Aku pergi bersamamu” sela Swandaru sebelum Untara menjawab.

Agung Sedayu mengangguk. “Marilah” jawabnya.

Dan Untarapun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah mencari di seluruh halaman ini?”

“Sudah Kakang.”

“Tidak seorangpun yang melihatnya?”

“Tidak Kakang, para penjaga regolpun tidak melihat bahwa Ki Tanu Metir meninggalkan halaman.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Apabila dikehendakinya sudah tentu ia dapat pergi tanpa seorangpun yang mengetahuinya. Meloncat dinding halaman belakang atau lewat manapun. Tetapi mungkin juga, hanya karena para penjaga tidak begitu memperhatikannya.

“Sore tadi aku masih bercakap-cakap dengan Ki Tanu Metir” Agung Sedayu menjelaskan.

“Kalau demikian,” berkata Untara, “cobalah kau cari Ki Tanu Metir di banjar desa.”

Agung Sedayu dan Swandaru segera pergi meninggalkan kademangan. Malam sudah semakin kelam dan langitpun tampak gelap kelabu dilapis oleh mendung yang rata. Sekali-sekali menengadahkan wajahnya dan dilihatnya lidah api berloncatan. Bintang-bintang jauh bersembunyi di balik tabir yang hitam.

Agung Sedayu itupun segera terkenang pada waktu kakaknya Untara, membawanya pergi meninggalkan padukuhannya Jati Anom. Pada saat kakaknya itu mendapat berita bahwa Tohpati akan melanda Sangkal Putung untuk yang pertama kalinya. Alangkah jauh bedanya, perasaannya pada waktu itu dan perasaannya pada saat ini. Pada saat itu perasaannya diliputi oleh ketakutan dan kecemasan. Betapa ia menjadi gemetar. Namun ketika pundaknya telah terluka dan memancarkan darah, dan dirasakannya luka itu, serta desakan-desakan keadaan yang tidak dapat dihindarinya, maka pecahlah belenggu yang mengungkungnya selama ini. Ditemukannya nilai-nilai baru pada dirinya. Dan karena itulah maka kini Agung Sedayu sama sekali tidak lagi dicengkam oleh ketakutan, meskipun beberapa segi sifat-sifatnya masih juga melekat pada dirinya, sehingga Untara menganggapnya sebagai seorang anak yang terlalu banyak mempunyai pertimbangan. Akibatnya adalah, ragu-ragu, meskipun ragu-ragu ini bukanlah ungkapan dari bentuk ketakutan dan kecemasan.

Agung Sedayu dan Swandaru berjalan tergesa-gesa ke banjar desa. Mereka takut kalau hujan segera akan jatuh. Dengan demikian maka mereka akan menjadi basah kuyup.

“Alangkah sepi malam ini” desis Agung Sedayu.

“Mungkin beberapa orang mendapat firasat buruk. Mungkin beberapa orang telah menyangka bahwa bahaya besok pagi akan mengancam kademangan ini” sahut Swandaru. “Tetapi mungkin karena mendung yang tebal.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Besok pagi-pagi buta mereka pasti sudah mengungsi ke kademangan dan ke banjar desa. Hati Agung Sedayu berdesir ketika ia mendengar tangis bayi memecah kesepian malam. Tangis itu terdengar betapa rawannya di antara bunyi guruh yang menggelegar di langit.

“Kenapa anak itu menangis?” desisnya.

Swandaru heran mendengar desis itu. Ketika ia berpaling, dilihatnya Agung Sedayu masih memandangi rumah yang memancarkan tangis bayi itu.

“Bayi-bayi menangis di malam hari” sahut Swandaru. “Mungkin kakinya digigit nyamuk, mungkin terkejut mendengar tikus melonjak-lonjak di atap rumahnya.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi hatinya selalu tersentuh-sentuh oleh tangis itu. Besok pagi-pagi bayi-bayi di Sangkal Putung akan dibangunkan oleh ibu-ibunya. Digendongnya dan dibawanya berlari-lari ke kademangan sambil menggandeng anak-anaknya yang lebih besar. Anak-anak itu berlari-larian dengan hati yang cemas, secemas hatinya dahulu, pada saat ia harus pergi mengikuti kakaknya dari Jati Anom. Alangkah pahitnya perasaannya waktu itu. Ia pernah mengalaminya. Ketakutan. Dan besok perempuan dan anak-anak di Sangkal Putung akan mengalaminya pula, ketakutan.

Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika guruh meledak dengan kerasnya, seakan-akan menggetarkan seluruh bumi. Cahaya yang terang benderang menjilat langit. Hanya sesaat, kemudian gelap kembali.

Keduanya berjalan semakin cepat. Banjar desa tidak terlalu jauh. Sekali mereka melampaui gardu perondan. Beberapa orang duduk dengan malasnya di bawah cahaya pelita. Tetapi beberapa orang yang lain berdiri dan berjalan hilir mudik di muka gardu itu. Ketika mereka melihat dua sosok bayangan dalam gelapnya malam, segera mereka menundukkan tombak mereka sambil bertanya, “Siapa?”

“Aku” sahut Swandaru. “Swandaru Geni.”

“Oh” gumam penjaga itu, yang segera mengenal suara Swandaru. “Akan kemanakah adi berdua?” bertanya penjaga itu.

“Banjar desa” sahut Swandaru pendek.

Penjaga itu tidak bertanya lagi. Tetapi kemudian Agung Sedayulah yang bertanya, “Apakah kalian melihat Ki Tanu Metir lewat jalan ini menuju ke banjar desa?”

Penjaga itu mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya, “Tak seorangpun lewat sejak senja.”

“Sore tadi?” desak Sedayu.

“Agaknya juga tidak.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah aku melihatnya di banjar desa.”

“Silakan. Tetapi hati-hatilah. Jalan tampaknya terlalu sepi.”

“Kalian terpengaruh oleh suasana” sahut Swandaru. “Mendung yang tebal, guruh dan kilat yang memancar di langit menjadikan malam ini sangat sepi.”

Peronda itu mengangkat alisnya. Sekali ditatapnya langit yang gelap pekat. Kemudian gumamnya seolah-olah kepada diri sendiri, “Ya, mungkin Swandaru benar.”

Swandaru dan Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Dengan tergesa-gesa mereka meninggalkan gardu perondan itu langsung menuju banjar desa Sangkal Putung. Jarak mereka sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun karena angin yang basah dan kilat yang bersambung di langit maka Agung Sedayu dan Swandaru itu seakan-akan berlari supaya mereka tidak kehujanan.

“Perintah Paman Widura belum sampai kepada para peronda itu bukan?” bertanya Swandaru.

“Aku kira belum” sahut Agung Sedayu.

“Namun seakan-akan mereka sudah tahu bahwa mereka sudah dihadapkan pada bahaya.”

“Firasat seorang prajurit” jawab Agung Sedayu.

Mereka sama sekali tidak memerlukan waktu terlalu lama. Segera mereka sampai ke regol banjar desa di samping sebuah lapangan.

Ketika mereka dengan tergesa-gesa menyusup regol itu, maka sekali lagi mereka terhenti ketika dua ujung tombak menghalangi mereka, “Siapa?”

“Swandaru Geni” sahut Swandaru.

“Oh” desis penjaga itu. “Kalian mengejutkan kami. Tidak pernah kalian datang di malam hari begini.”

“Kau yang tidak pernah melihat kedatangan kami” sahut Agung Sedayu. “Hampir setiap malam kami datang kemari, meskipun hanya lewat di samping regol ini”

Penjaga itu mengerutkan keningnya, “Aku tidak pernah melihatnya.”

Agung Sedayu tersenyum. “Mungkin. Mungkin kau sedang tidur. Mungkin orang lain yang bertugas di sini, dan mungkin memang aku berjalan terlalu jauh sehingga kau tidak akan dapat melihatnya d imalam hari.”

“Oh” kembali penjaga itu berdesis. “Tetapi kau sekarang singgah di banjar ini. Adakah sesuatu yang penting?”

“Tidak” jawab Agung Sedayu. “Kami hanya ingin mencari Ki Tanu Metir.”

“Tidak ada disini” sahut penjaga itu.

“Jangan main-main” sela Swandaru Geni. “Ada yang penting bagi dukun tua itu.”

“Ya, bapak dukun itu tidak ada di sini.”

“Bukankah di sini masih ada orang yang perlu perawatannya?”

“Siang tadi ia datang, tetapi tidak terlalu lama. Sesudah itu ia pergi, dan ia tidak kembali lagi.”

“Tadi sore aku masih bercakap-cakap di kademangan” gumam Agung Sedayu.

Penjaga itu menggeleng. “Entahlah”

Meskipun demikian, namun agaknya Agung Sedayu dan Swandaru masih belum puas, sehingga hampir bersamaan keduanya berkata, “Kami akan mencoba melihatnya.”

Penjaga itu tersenyum. “Kami tidak akan menyembunyikan dukun tua itu. Apakah ada orang sakit di kademangan?”

“Seluruh Kademangan Sangkal Putung sedang sakit” sahut Swandaru.

Penjaga itu tidak tahu maksud Swandaru. Tetapi ia menjawab, “Kalau demikian silakan. Mungkin aku tidak melihatnya memasuki regol, apabila dukun tua itu mempunyai aji panglimunan sehingga dapat melenyapkan diri dari pandangan mata.”

Swandaru dan Agung Sedayu segera melangkah masuk. Di banjar desa mereka melihat beberapa orang prajurit yang bertempat tinggal di banjar desa itu, berbaring-baring dengan tenangnya. Bahkan ada pula di antara mereka yang duduk menghadapi pelita sambil bermain macanan.

Ketika mereka melihat Swandaru dan Agung Sedayu memasuki pendapa bajar desa itu, maka beberapa orang yang sedang berbaring segera bangun dan yang bermain macanan itupun berhenti.

“Siapa pemimpin kelompok disini?” bertanya Agung Sedayu.

Orang yang sedang menghadapi permainan macanan menjawab, “Kakang Sendawa. Kini sedang di panggil ke kademangan.”

“Oh” desis Swandaru. “Aku melihatnya tadi. Tetapi apakah Ki Tanu Metir tidak ada di sini sekarang?”

“Tidak” jawab mereka serempak.

Agung Sedayu menarik nafas. “Aneh” desahnya.

“Biasanya Guru selalu mengatakan, kemana ia pergi” bisik Swandaru.

Sesaat mereka berdiri saja seperti patung di pendapa banjar desa itu. Mereka mencoba mengingat-ingat kemanakah kira-kira Ki Tanu Metir itu pergi. Tetapi mereka sama sekali tidak dapat menemukan jawabnya.

“Justru pada saat yang penting” kembali Agung Sedayu berdesah.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya, “Marilah kita laporkan kepada Paman Widura dan Kakang Untara.”

Agung Sedayu mengangguk. Kepada orang yang duduk di samping pelita, Agung Sedayu berkata, “Baiklah aku kembali ke kademangan. Sebentar lagi Kakang Sendawa akan datang membawa berita penting untuk kalian. Sejak kini jangan lepaskan senjata kalian dari tangan.”

Yang mendengar kata-kata Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Namun mereka adalah prajurit-prajurit, sehingga isyarat itu sudah cukup bagi mereka sebagai isyarat bahwa keadaan menjadi semakin berbahaya.

Meskipun demikian ada yang bertanya, “Apakah yang kira-kira akan terjadi? Tohpati akan datang malam ini?”

“Tunggulah Kakang Sendawa” jawab Agung Sedayu. “Ia akan memberikan perintah kepada kalian. Segera ia akan kembali meskipun seandainya hujan segera tercurah dari langit. Karena itu bersiaplah menghadapi setiap kemungkinan.”

Sejenak para prajurit di banjar desa itu saling berpandangan. Namun apa yang dikatakan Agung Sedayu dan Swandaru telah cukup banyak bagi mereka sebagai suatu perintah untuk bersiap sepenuhnya. Karena itu maka selah seorang dari mereka berkata, “Jadi kami harus berada dalam kesiap-siagaan tertinggi?”

“Ya” sahut Agung Sedayu.

Mereka, laskar Pajang di banjar desa itupun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Kesiap-siagaan tertinggi adalah pertanda bahwa sebentar lagi mereka harus menghadapi peperangan. Atau tanda-tanda peperangan itu telah semakin dekat.

“Sudahlah” Agung Sedayu kemudian minta diri. “Kami akan mencari dukun tua itu.”

“Silakan” jawab beberapa orang serempak.

Sepeninggal Agung Sedayu dan Swandaru, di antara mereka terdengar salah seorang berkata, “Seperti hari-hari yang lalu, Tohpati mencoba membuat kita tidak bisa tidur, sedang mereka sendiri tidur mendengkur di kandangnya.”

“Jangan kehilangan kewaspadaan” sahut kawannya sambil berdiri. “Mungkin kali ini mereka benar-benar datang untuk memenggal lehermu. Karena itu lebih baik kau sediakan pedangmu. Apabila Tohpati itu tidak membawa senjata, maka pedangmu akan berguna bagimu. Ingat, senjata Tohpati hanyalah sepotong tongkat yang berkepala tengkorak. Bukan alat yang baik untuk memotong kepala. Ia akan berterima kasih kalau kau sediakan pedang untuknya.”

Orang yang pertama meraba lehernya yang pajang. Jawabnya, “Sayang sekali. Leher ini adalah leher yang jenjang. Dulu istriku jatuh cinta kepadaku karena leher ini. Sekarang, ketika anakku telah genap sepuluh, maka leher ini tidak pernah lagi dikagumi oleh istriku itu. Meskipun demikian, aku tidak akan menyerahkannya kepada siapapun.”

Kawannya tertawa. Tetapi ia tidak menjawab. Perlahan-lahan ia berjalan ke sudut pendapa banjar itu mengambil sebuah tombak pendek. Sambil bergumam kepada diri sendiri dibelainya senjatanya itu, “Malam sangat dingin. Marilah, tidur bersama ayah.”

Kawan-kawannya memandanginya sambil tertawa. Namun satu demi satu merekapun berdiri, berjalan ke tempat senjata masing-masing dan mengambilnya. Ketika mereka berbaring lagi, maka mereka telah memeluk setiap senjata mereka dengan eratnya.

“Tidur” berkata salah seorang dengan lantangnya. “Tidurlah sepuas-puasnya supaya besok menjelang fajar, kita telah segar kembali. Mungkin Sangkal Putung akan menerima tamu.”

“Atau bahkan sebelum kau sempat tidur kau harus sudah bangun lagi.”

Tak ada yang menyahut. Pendapa banjar desa itu tiba-tiba menjadi sangat sepi. Masing-masing kini telah terbaring diam. Tidak ada lagi yang bermain macanan. Angan-angan mereka dicengkam oleh gambaran yang beraneka. Masing-masing memandang persoalannya menurut kepentingan dan kegairahan masing-masing. Namun mereka semuanya menunggu seseorang, Sendawa.

Sementara itu Agung Sedayu dan Swandaru telah berdiri di jalan kembali ke kademangan. Sejenak mereka termangu-mangu. Apakah mereka cukup melaporkannya kepada Untara bahwa Ki Tanu Metir tidak mereka temukan, atau mereka masih akan mencari ketempat yang lain?

“Bagaimana?” bertanya Swandaru Geni.

Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia mengangkat wajahnya, maka dilihatnya mendung menjadi semakin tebal dan kilat semakin banyak berkeliaran dilangit. Angin yang lembab mengalir semakin kencang, menggoyang-goyangkan ujung-ujung pepohonan dengan suara yang riuh.

“Kakang Untara harus cepat mengambil kesimpulan. Kalau tidak, maka kita tidak cukup waktu untuk menyiapkan diri malam ini” berkata Agung Sedayu.

“Ya, aku juga masih harus menyiapkan anak-anak muda Sangkal Putung. Agaknya mereka malam ini betebaran di gardu-gardu. Di banjar ini aku tidak melihat mereka” sahut Swandaru Geni. Namun ia meneruskan, “Tetapi mungkin pula mereka berkumpul di rumah Tima yang sedang memperingati selapan kelahiran anaknya yang pertama.”

“Kalau mereka berkumpul di sana, maka tugasmu akan berkurang” berkata Agung Sedayu pula. “Kau akan menemukan mereka bersama-sama sekaligus.”

“Ya,” sahut Swandaru, “tetapi sekarang bagaimana?”

“Kita kembali” jawab Agung Sedayu. “Nanti kalau Kakang Untara telah menjatuhkan perintah terakhir, biarlah kita mencarinya lagi.”

Swandaru mengangguk-angguk. Desisnya, “Marilah.”

Keduanyapun kemudian berjalan tergesa-gesa kembali ke kademangan. Sekali-sekali mereka melihat lidah api memancar menyilaukan. Namun sekejap, mereka telah berada dalam kelam kembali.

Ketika mereka sampai di muka gardu perondan, maka berkata Agung Sedayu kepada mereka, “Tingkatkan kesiagaan.”

Para penjaga itu mengangkat wajah-wajah mereka. Terdengar salah seorang bertanya, “Apakah Kiai Dukun itu kalian ketemukan?”

“Tidak. Kami masih harus mencarinya. Tetapi tingkatkan kewaspadaan” sahut Agung Sedayu.

“Apakah ada bahaya disekitar Sangkal Putung?”

“Kalian akan segera mendapat perintah itu.”

“Terima kasih” sahut diantara mereka. Dan Agung Sedayupun kemudian melihat beberapa orang yang duduk terkantuk-kantuk di atas gardu berloncatan turun setelah meraih senjata masing-masing.

“Biarlah kita mengadakan ronda keliling di wilayah perondaan kami.”

“Silakan” sahut Agung Sedayu. “Kami akan segera kembali sebelum hujan.”

Agung Sedayu dan Swandaru kini berjalan semakin cepat. Bersamaan dengan guruh yang menggelegar di langit, mereka merasa beberapa tetes air menyentuh tubuh mereka.

Ketika Swandaru menengadahkan telapak tangannya terdengar di kejauhan suara gemerasak semakin lama menjadi semakin keras dan semakin dekat.

“Hujan yang lebat itu telah datang” desis Swandaru.

“Ya” sahut Agung Sedayu.

Langkah-langkah merekapun menjadi semakin cepat pula. Regol kademangan kini sudah berada beberapa puluh langkah saja daripada mereka.

Ketika bunyi hujan yang lebat itu seolah-olah jatuh menimpa mereka, maka mereka telah meloncat masuk ke dalam regol halaman kademangan. Di bawah atap regol itu Swandaru menarik nafas sambil berdesah, “Hem, tepat. Demikian hujan tercurah dari langit, kita telah sampai di sini.”

Agung Sedayupun mengibas-ngibaskan bajunya. Beberapa titik air telah membasahinya. Ketika ia memandang ke halaman, tampaklah halaman itu tersaput oleh air hujan yang benar-benar seperti tertumpah dari udara. Sinar pelita yang tergantung di tiang regol halaman memancarkan cahayanya yang redup kemerah-merahan menembus butir-butir air hujan yang pepat padat.

“Kita harus menyeberangi halaman itu” desis Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-anggukkan kepalanya. Sahutnya, “Hujan lebat bukan main. Kita akan basah kuyup meskipun jarak pendapa itu tidak lebih dari lima belas, dua puluh langkah.’

Swandaru memandang berkeliling. Kemudian gumamnya, “Adakah di sini payung belarak?”

Salah seorang penjaga di regol itu menggeleng. “Sayang tidak ada.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Para penjaga di regol, Agung Sedayu dan Swandaru terkejut ketika mereka mendengar petir meledak dekat sekali di atas regol halaman itu, bahkan seakan-akan meledak di dalam kepala mereka masing-masing.

“Gila” umpat Swandaru sambil menyumbat lubang kupingnya. Tetapi ledakan itu telah lewat. Dan suara ledakan itu telah terlanjur masuk ke dalam lubang kupingnya.

Hujan semakin lama menjadi semakin lebat. Butiran-butiran air yang berjatuhan menjadi semakin padat, sehingga bayangan yang keputih-putihan membusa di halaman kademangan iu. Sinar lampu yang menyala kemerah-merahan hanya mampu menerangi tetesan-tetesan air di teritisan regol halaman itu. Dan air yang tergenang di halaman semakin lama menjadi semakin banyak, sehingga kemudian air itupun merambat naik ke lantai regol dan dengan derasnya mengalir keluar di bawah kaki-kaki mereka yang berada di dalam regol halaman.

Beberapa orang penjaga meloncat naik ke amben yang tinggi. Namun dua orang lain terpaksa harus tetap berada di tempat mereka sambil memegangi tombak-tombak mereka. Mereka itulah yang sedang mendapat giliran berjaga-jaga. Mereka berdiri di tempatnya meskipun kaki-kaki mereka terbenam di dalam genangan air yang melimpah dari halaman mengalir ke jalanan.

Dalam hiruk pikuk air hujan yang jatuh dari langit itu, terdengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah kalian sudah melihat Ki Tanu Metir datang?”

Hampir serentak para penjaga di regol itu menjawab, “Belum.”

Agung Sedayu dan Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Hampir bersamaan mereka berdesah, “Aneh.”

“Kita harus segera memberitahukan kepada Kakang Untara” berkata Agung Sedayu.

Swandaru ragu-ragu sejenak. Ditatapnya air hujan yang lebat di antara suara angin yang kencang. Ketika kilat memancar sekali di langit, maka mereka melihat ujung-ujung pepohonan seperti menggeliat diputar angin.

“Hujan dan angin” desis salah seorang penjaga.

Agung Sedayu berpaling. Kemudian ia bergumam seperti kepada diri sendiri, “Tetapi besok pagi kita akan mengalami prahara yang lebih berbahaya.”

“He?” bertanya penjaga itu.

Agung Sedayu menggeleng. “Tunggulah perintah itu. Kau akan tahu, kenapa aku bingung mencari Ki Tanu Metir.”

Para penjaga itu mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya mereka bergumam, “Itukah sebabnya para pemimpin kelompok kami berkumpul di pringgitan?”

“Ya” sahut Agung Sedayu.

Mereka kemudian terdiam. Meskipun mereka tidak gentar menghadapi setiap kemungkinan yang bakal datang, namun terasa juga dada mereka berdebar-debar.

“Ah, biarlah kami berlari saja menyeberangi halaman itu.”

“Kalian akan basah kuyup.”

“Tidak apa-apa. Hanya basah karena air” sahut Agung Sedayu.

“Bukan basah karena darah” sambung Swandaru sambil tertawa. Para penjagapun tertawa.

Agung Sedayu dan Swandarupun kemudian melipat kain mereka dan membelitkannya pada bagian belakang ikat pinggang mereka. Sambil mengawasi air hujan yang pekat itu mereka berdiri di teritisan regol halaman. Pelita di pendapa yang menyala-nyala hampir-hampir tidak dapat mereka lihat, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.

“Ayolah, hujan ini selebat pada saat aku pergi dari Jati Anom bersama kakang Untara.”

“Mari” sahut Swandaru.

Dan keduanyapun kemudian terjun ke dalam air yang tergenang di halaman dan berlari menembus kepekatan air hujan yang seperti tertumpah dari langit yang retak.

Demikianlah mereka naik kependapa, maka pakaian mereka benar-benar telah basah kuyup. Tak setitik noda keringpun yang melekat pada pakaian mereka. Ikat kepala, baju, kain dan celana mereka.

Beberapa orang yang duduk-duduk di pendapa terperanjat melihat dua orang berlari-lari meloncat ke tangga pendapa.

“Siapa?” teriak salah seorang dari mereka.

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Namun terdengar Swandaru menyumpah, “Setan. Basah kuyup juga pakaianku meskipun jarak itu hanya sejangkau tangan kita.”

Karena Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab, maka beberapa orang segera mendekatinya. Namun kemudian terdengar mereka tertawa. Salah seorang dari mereka berkata, “He, seperti tikus terjerumus dalam parit.”

Swandaru bersungut-sungut. Segera ia berlari lewat pintu gandok masuk ke dalam rumah mencari ganti pakaian. Sedang Agung Sedayu masih berdiri termangu-mangu di pendapa. Pakaian yang diberikan kepadanya oleh pamannya, berada di pringgitan.

Tetapi terasa dingin air hujan itu sampai menggigit tulang. Sehingga karenanya maka Agung Sedayu tidak tahan lagi. Dengan pakaiannya yang basah kuyup ia masuk ke pringgitan. Beberapa orang yang duduk di pringgitan segera berpaling. Ketika Untara dan Widura melihatnya, maka merekapun tertawa pula.

“Gantilah Sedayu, lalu katakan apakah kau temukan orang yang kau cari itu.”

Agung Sedayu segera bersembunyi di belakang sehelai warana untuk mengganti pakaiannya yang basah kuyup itu.

Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah duduk kembali di dalam lingkaran para pemimpin kelompok laskar Pajang.

“Bagaimana dengan Kiai Dukun tua itu?” bertanya Untara.

Agung Sedayu menggeleng-gelengkan kepala. Jawabnya, “Tidak ketemu kakang. Aku telah mencarinya ke banjar desa.”

“Ya, aku melihat kalian basah kuyup.”

“Ketika hujan turun aku sudah sampai di regol halaman ini” sahut Swandaru. “Kami basah kuyup dalam jarak yang hanya beberapa langkah itu saja. Dari regol sampai ke pendapa.”

“Alangkah derasnya hujan” desis Widura.

“Dan orang tua itu tidak dapat kau ketemukan” Untara menyambung.

“Ya” jawab Agung Sedayu.

“Aneh” gumam Untara. “Dalam keadaan yang gawat ini, Ki Tanu Metir menghilang dari antara kami. Aku tidak tahu, apakah orang tua itu benar-benar tidak mengerti, bahwa hari ini adalah hari yang akan menentukan kedudukan Sangkal Putung, ataukah karena orang tua itu menghindarkan diri dari kemungkinan untuk turut bertempur?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku kira Ki Tanu Metir tidak akan menghindari tugas yang akan dibebankan kepadanya. Tugas dalam lingkaran kewajiban kita bersama. Bukankah dengan mempertahankan Sangkal Putung kita telah memberikan setitik perjuangan untuk menegakkan Pajang? Katakan seandainya Ki Tanu Metir berada di luar lingkaran pertentangan antara Jipang dan Pajang, mempertahankan Sangkal Putung adalah tugas kemanusiaan. Ki Tanu Metir pasti dapat membayangkan, apabila Sangkal Putung benar-benar hanyut dilanda arus kekuatan Macan Kepatihan, maka di sini akan terjadi perkosaan atas sendi-sendi kemanusiaan. Perampasan hak rakyat Sangkal Putung atas tanah dan kekayaan mereka.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sedayu pasti tidak akan membenarkan pendapat bahwa Ki Tanu Metir melarikan diri dari kemungkinan untuk bersama-sama laskar Pajang bertempur melawan laskar Jipang. Bukankah Ki Tanu Metir sendiri yang telah memberitahukan bahwa di dalam lingkungan laskar Jipang itu terdapat seorang yang bernama Sumangkar? Tetapi kenapa justru pada saat yang genting ini orang tua itu tidak menampakkan diri?

Untara menjadi cemas, apakah Ki Tanu Metir tidak tahu, bahwa besok pagi-pagi terang tanah, Sangkal Putung telah dilanda oleh arus laskar Jipang yang kuat, yang telah memutuskan bertempur dalam gelar yang sempurna?

Tetapi Untara tidak boleh tenggelam dalam teka-teki itu. Sebagai seorang senapati ia harus segera menentukan sikap melawan musuh dengan kekuatan yang ada. Ia tidak boleh mencari-cari sebab untuk membenarkan kelemahan-kelemahan yang ada pada laskarnya. Untuk mengurangi kesalahan sebagai seorang senapati, dengan menuduhkan sebab-sebab dari kelemahan itu kepada orang lain. Demikian juga agaknya dengan Widura. Wajahnya yang suram, tiba-tiba menjadi tegang. Dengan dahi yang berkerut, ia berkata, “Untara, kita harus segera menentukan sikap.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya Paman. Aku sedang berpikir, apakah sebaiknya yang harus kita lakukan.”

“Kita anggap bahwa Ki Tanu Metir tidak ada di antara kita.”

Sekali lagi Untara mengangguk. “Ya” jawabnya. “Kita perhitungkan kekuatan yang ada pada kita.”

Semua yang duduk di pringgitan itu tiba-tiba menjadi tegang. Pembicaraan itu telah menunjukkan kepada mereka, bahwa kekuatan lawan kali ini benar-benar telah mendebarkan dada para pemimpin laskar Pajang di Sangkal Putung.

“Kita tidak sempat untuk mengirim orang ke Pajang, mengundang salah seorang senapati tertinggi dari Wira Tamtama” desis Widura.

Untara menggeleng. Katanya, “Tidak paman. Mungkin Ki Gede Pemanahan atau Ki Penjawi dapat menempatkan diri langsung menghadapi orang-orang sekuat Sumangkar. Namun kesempatan tidak mengijinkan lagi. Nah, karena itu siapakah yang kita persiapkan untuk melawan hantu dari Kedung Jati itu? Hantu yang sering dikatakan orang dapat membawa nyawa rangkapan di dalam tubuhnya? Tetapi cerita itu ternyata sama sekali tidak benar. Patih Mantahun terbunuh mati. Dan ia tidak dapat hidup kembali.”

Sesaat pringgitan itu menjadi sepi. Pertanyaan Untara benar-benar memusingkan kepala mereka. Siapakah yang akan mampu menghadapi murid kedua dari Kedung Jati itu?

Yang terdengar kemudian adalah suara hujan yang gemerasak di atas atap rumah kademangan. Di sana-sini tetesan-tetasan air menembus atap yang tiris. Angin yang kencang, telah mengguncang-guncang daun pintu pringgitan, sehingga beberapa kali terdengar daun pintu terbanting.

Di pendapa nyala pelita terayun-ayun dibuai angin yang kencang, sehingga sekali-sekali nyalanya menjadi redup hampir padam. Seseorang kemudian telah menutupnya dengan sehelai daun, untuk melindungi api pelita itu supaya tidak terlanjur padam.

Tak seorangpun yang duduk di pringgitan segera dapat memecahkan teka teki itu. Sumangkar adalah seorang yang pilih tanding. Melampaui Macan Kepatihan sendiri yang selama ini menjadi hantu yang menegakkan bulu tengkuk.

“Kita harus segera mengambil keputusan“ terdengar Untara menggeram.

Hampir serentak semua orang di pringgitan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.

“Marilah aku mencoba menentukan orang itu” berkata Untara lebih lanjut. “Semua orang terpenting telah mendapat tugasnya masing-masing. Macan Kepatihan itupun tidak mungkin aku lepaskan. Sedang Paman Widura harus menghadapi Sanakeling. Di sayap yang lain Citra Gati harus dapat menahan Alap-alap Jalatunda. Dan kini kita mencari lawan untuk Sumangkar itu. Sudah tentu untuk melawan orang itu harus kita persiapkan beberapa orang dalam satu kelompok. Orang-orang itu antara lain adalah Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya serta orang-orang terpilih dari kelompoknya. Sisanya serahkan pimpinannya pada Sendawa. Kalian harus berada di ujung barisan, sebagai inti kekuatan yang akan menghadapi seorang yang luar biasa itu.”

Agung Sedayu dan Swandaru mengangkat wajahnya. Sesaat mereka saling memandang, kemudian dipandanginya wajah Hudaya dan Sonya. Mereka tidak segera dapat menjawab, namun di dalam dada mereka terasa sebuah gelombang yang menghempas dinding jantung. Sumangkar adalah seorang yang sakti. Sesakti guru mereka Kiai Gringsing.

Tetapi mereka tidak dapat menolak perintah itu. Dan bukankah mereka tidak harus menghadapinya sendiri? Karena itu betapa beratnya tugas itu, namun tugas itu harus mereka lakukan dengan sepenuh kemungkinan yang ada pada diri mereka.

Hudaya dan Sonya tidak begitu terpengaruh oleh perintah itu. Mereka belum dapat membayangkan, sampai di mana kesaktian orang yang bernama Sumangkar itu. Mungkin setingkat Macan Kepatihan atau melampauinya sedikit. Sehingga empat orang termasuk Agung Sedayu sebenarnya bagi Hudaya dan Sonya telah cukup menentramkan hatinya.

Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru pernah melihat orang yang bernama Sumangkar itu bertempur melawan Ki Tambak Wedi. Karena itu maka mau tidak mau, mereka harus mempertimbangkan setiap kemungkinan yang dapat terjadi.

Dalam pada itu terdengar Untara bertanya, “Bagaimana Sedayu dan Swandaru?”

Kembali Swandaru dan Agung Sedayu saling memandang. Namun kemudian serentak mereka menganggukan kepala sambil menjawab hampir bersamaan, “Kami junjung kewajiban itu.”

“Bagus” sahut Untara. “Di samping kalian berdua, Hudaya, Sonya dan beberapa orang terpilih harus bekerja mati-matian menahan orang tua itu.”

Hudaya dan Sonyapun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Tanpa disadarinya Hudaya meraba-raba janggutnya yang lebat. Wajahnya yang keras dan hampir tertutup oleh rambut itu tampak berkerut-kerut.

Sejenak kemudian pembicaraan mereka telah selesai. Perintah Untara dan Widura telah mereka dengar seluruhnya. Apa yang harus mereka lakukan untuk menghadapi sergapan laskar Jipang yang akan datang dalam gelar yang sempurna.

Karena itu maka segera Untara memutuskan apakah yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing segera. Barulah kemudian Untara berkata kepada Widura, “Nah, sekarang bagaimana dengan rakyat Sangkal Putung Paman?”

Widura mengerutkan keningnya. Sekali ia berpaling kepada Ki Demang Sangkal Putung, kemudian katanya, “Kakang Demang. Agaknya tekanan kali ini akan terasa cukup berat. Bagaimanakah sebaiknya dengan rakyat Sangkal Putung? Dengan perempuan dan anak-anak?”

Ki Demang termenung sesaat. Terbayang di wajahnya, perasaan cemas yang dalam. Sebagai seorang yang selama ini bekerja untuk kademangan dan rakyat di kademangan ini, maka semua bahaya itu benar-benar telah menegangkan urat syarafnya. Tetapi seperti juga Untara dan Widura, ia tidak boleh tenggelam dalam kecemasannya itu. Karena itu maka setelah berpikir sejenak, maka katanya, “Perempuan dan anak-anak harus kita singkirkan.”

Untara dan Widura mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi apakah dalam keadaan seperti sekarang ini mereka dapat meninggalkan rumah-rumah mereka dengan bayi-bayi mereka? Hujan yang lebat seperti tertumpah dari langit. Guntur meledak-ledak tak henti-hentinya mengguncang-guncang Sangkal Putung.

Tetapi bagaimanapun juga, mereka harus berkumpul dan mendapat pengawalan yang cukup. Setiap saat yang diperlukan mereka harus dapat diselamatkan dari keganasan laskar Jipang. Meskipun sama sekali tidak mereka kehendaki, tetapi seandainya laskar Jipang berhasil masuk ke daerah kademangan ini maka mereka harus dijauhkan dari orang-orang Jipang yang sedang haus itu. Haus kemenangan, haus akan benda-benda berharga dan apabila mereka melihat gadis-gadis Sangkal Putung.

Ki Demang itupun kemudian berkata pula, “Adalah menjadi kewajiban setiap laki-laki di Sangkal Putung untuk menyingkirkan keluarga mereka. Mula-mula mereka harus dibawa kemari, sedang dalam keadaan yang gawat, mereka akan kita selamatkan pula. Melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Tetapi sementara dapat di persiapkan desa di ujung timur kademangan ini.”

Untara dan Widura mengangguk-angguk. Dan terdengar Widura berkata, “Kalau demikian, maka pembicaraan kita sudah selesai. Segenap perintah dapat dilakukan segera. Sedang pengungsian perempuan dan anak-anak dapat dimulai lewat tengah malam. Biarlah mereka menikmati ketenangan di tengah malam pertama. Biarlah anak-anak tidur meskipun hanya sebentar, sehingga mereka tidak akan terjaga semalam penuh karena kegelisahan.”

Pertemuan itupun kemudian diakhiri. Para pemimpin kelompok segera kembali ke kelompok masing-masing. Menyampaikan berita terakhir yang telah mereka dengar. Setelah cukup lama mereka tidak maju ke garis perang, maka besok mereka akan berada di dalam gelar yang sempurna. Karena itu maka seakan-akan mereka kini merasakan kembali nafas keprajuritan mereka.

Selama ini mereka merasa tidak lebih dari sekelompok laskar yang dihadapkan pada gerombolan perampok dan penyamun. Tetapi besok kedua pasukan akan berhadapan, sebagai pasukan dari Jipang dan pasukan dari Pajang yang selama ini belum menemukan penyelesaian, meskipun Adipati Jipang telah terbunuh di medan peperangan.

Untunglah bahwa selama ini laskar Pajang di Sangkal Putung sempat memberikan bimbingan kepada anak-anak muda Sangkal Putung untuk mengenal cara-cara bertempur dalam gelar yang sempurna. Mereka telah berlatih dengan tekun untuk melakukan pertempuran dalam cara ini. Berbagai gelar telah mereka pelajari. Meskipun mereka belum setangkas prajurit yang sebenarnya, namun ketangkasan mereka telah cukup mereka pergunakan sebagai bekal untuk mempertahankan kampung halaman mereka besok.

Para prajurit yang memang belum lelap tertidur segera bangkit kembali dan berkerumun di sekeliling pemimpin-pemimpin kelompok mereka untuk mendapat petunjuk-petunjuk yang penting.

Beberapa orang mendapat tugas khusus untuk memimpin anak-anak muda Sangkal Putung bersama Swandaru Geni, Ki Demang sendiri, Jagabaya dan beberapa orang bekas prajurit Demak yang kemudian menetap di Sangkal Putung. Sedang beberapa orang di antara mereka adalah petugas-petugas yang harus siap di atas punggung kuda masing-masing, yang apabila setiap saat diperlukan, mereka harus segera mencapai tempat-tempat yang dikehendaki.

Sendawapun segera kembali ke banjar desa. Betapa hujan seperti tercurah dari langit, namun orang itu beserta seorang pembantunya berlari kencang-kencang menembus lebatnya titik-titik air yang berjatuhan dari langit,

“Alangkah lebatnya hujan ini” desis Sendawa sambil mengusap wajahnya dengan telapak tangannya.

“Ya” sahut kawannya. “Hampir aku tidak dapat bernafas.”

Dan keduanyapun berlari semakin kencang, agar mereka tidak membeku di bawah hukan yang seakan-akan menjadi semakin lebat.

Swandaru Geni dan Agung Sedayu sesaat kemudian berdiri termangu-mangu di pendapa kademangan. Mereka harus segera berbuat sesuatu atas anak-anak muda Sangkal Putung. Tidaklah sebaiknya Ki Demang yang tua itulah yang berjalan hilir mudik di dalam hujan yang lebat. Karena itu maka Swandaru kemudian berkata, “Aku akan ganti pakaian kembali”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku akan kenakan pakaianku yang basah. Bukankah aku harus menari-nari di dalam hujan itu kembali?”

Agung Sedayu termenung sejenak. Jawabnya, “Aku juga. Sayang pakaian kering ini. Kalau pakaian ini basah pula, aku tidak lagi punya ganti besok.”

“Apakah kita besok masih perlu berganti pakaian?”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

Swandaru tertawa lucu sekali. Katanya “Bagaimana kalau Sumangkar besok pagi-pagi memelukmu?”

Agung Sedayu tertawa. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu, bahkan ia berkata, “Cepat, gantilah. Aku juga mau berganti pakaian kembali. Waktu kita tidak terlalu panjang. Sebentar lagi kita akan sampai ke tengah malam. Pekerjaan kita akan bertambah banyak. Menyelenggarakan pengungsian orang-orang perempuan dan anak-anak.”

“Biarlah orang lain mengurusnya” sahut Swandaru. “Aku akan tidur. Besok menjelang fajar kita harus sudah berada dalam gelar perang. Jangan membuang tenaga terlalu banyak.”

Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan sesaat kemudian keduanyapun telah berganti pakaian dengan pakaian-pakaian mereka yang basah. Bahkan mereka berdua sama sekali tidak mengenakan baju dan ikat kepala. Dengan meloncat-loncat mereka menuruni halaman dan berlari ke regol halaman.

Suasana para penjaga di regol halaman telah berubah. Mereka telah mendengar perintah, apa yang harus mereka lakukan. Karena itu maka sebagian besar dari mereka harus mempergunakan waktu sebaik-baiknya untuk beristirahat, supaya tenaga mereka besok sepenuhnya dapat mereka manfaatkan.

Swandaru dan Agung Sedayu segera berlari meninggalkan regol halaman. Semakin lama menjadi semakin cepat untuk mengurangi perasaan dingin yang seperti menusuk-nusuk kulit. Yang pertama-tama mereka datangi adalah Jagabaya Sangkal Putung untuk memberitahukan kepadanya tugas yang harus dilakukannya sejak malam ini. Jagabaya itu harus menyelenggarakan pengungsian dan besok memimpin sebagian dari laki-laki Sangkal Putung yang masih mungkin menggenggam senjata, melakukan pengawalan di kademangan.

“Apakah perlu kita bunyikan tanda bahaya?” bertanya Jagabaya.

“Jangan” cegah Swandaru. “Tidak banyak manfaatnya. Hanya akan menimbulkan kecemasan dan kekacauan. Rakyat akan berbuat tanpa dapat dikendalikan.”

“Jadi apakah aku harus mendatangi setiap rumah diseluruh kademangan?”

“Apakah begitu juga yang pernah kau kerjakan?” bertanya Swandaru.

“Tidak” sahut Jagabaya itu. “Aku hanya membangunkan beberapa orang, dan berita itu telah menjalar sendiri.”

“Nah, lakukanlah. Tetapi beri mereka ketenangan, bahwa di kademangan akan ditempatkan pengawalan yang kuat. Para peronda di segenap mulut lorong telah mendapat perintah apabila ada di antara rakyat yang menjadi bingung dan ingin mengungsi keluar dari kademangan ini, mereka harus dicegah, dan membawa mereka ke kademangan supaya tidak timbul kekacauan yang merugikan. Aku akan mempergunakan tenaga-tenaga anak-anak muda untuk keperluan serupa, membantu pengungsian ini. Namun sebagian dari mereka harus beristirahat menjelang fajar besok.”

Jagabaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baik. Kewajiban itu akan aku lakukan sebaik-baiknya.”

Sesaat kemudian Agung Sedayu dan Swandaru telah berada kembali di bawah lebatnya hujan. Mereka meninggalkan rumah Ki Jagabaya yang akan memanggil beberapa orang pemuda untuk mengawani Ki Jagabaya itu. Sedang anak-anak muda yang lain supaya segera bersiap dalam susunan kelompok-kelompok yang telah ditentukan.

“Kemana kita pergi sekarang?” bertanya Agung Sedayu kepada Swandaru.

“Memanggil anak-anak” sahut Swandaru.

“Ya, tetapi kemana? Di rumahnya masing-masing atau ke gardu mana yang kita tuju pertama-tama?”

“Ke rumah Tima. Mungkin anak-anak berada disana.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Segera mereka berdua berlari ke rumah Tima yang sedang merayakan selapan bayinya.

Sampai di rumah Tima, Swandaru langsung meloncat menyusup regol masuk ke dalam halaman. Dengan tubuh dan pakaian yang basah kuyup mereka menaiki tangga pendapa yang terang benderang karena cahaya lampu-lampu minyak yang betebaran tergantung hampir di setiap tiang-tiangnya.

Beberapa orang terkejut melihat dua orang berlari-lari meloncat naik tangga pendapa rumah itu. Namun kemudian hampir serentak setiap mulut bergumam, “Swandaru dan Agung Sedayu.”

Tima yang melihat kehadiran mereka berdua segera menyongsongnya sambil bertanya dengan serta-merta, “Oh, marilah, marilah Tuan berdua. Ah, aku tidak sempat menyongsong ke rumah. Hujan lebatnya bukan main. Apakah kalian basah?”

“Tidak” sahut Swandaru. “Aku memiliki aji pengabaran. Tidak basah oleh hujan dan tidak panas terjilat api.” Namun suaranya terdengar gemetar karena giginya gemeretak kedinginan.

Yang mendengar jawaban Swandaru itu tertawa geli. Tetapi mereka menjadi iba melihat bibir Swandaru itu bergetaran.

“Mari, mari silakan naik” Tima mempersilakan.

“Sebenarnya sejak senja aku ingin datang kemari” berkata Swandaru kemudian. “Tetapi aku belum sempat. Hujan telah tercurah dari langit. Meskipun demikian, aku paksa juga untuk mengunjungi selapanan bayimu. Nasi megana, telur bulat, sambal goreng yang pedas. Hem, alangkah nikmatnya.”

“Karena itu marilah naik” sekali lagi Tima mempersilakan.

“Tetapi sayang, kami berdua basah kuyup.”

“Tidak apa, silakan.”

“Kami bisa membeku kedinginan.”

Tima menjadi bingung. Apakah maksud Swandaru itu sebetulnya. Dan tiba-tiba berkata, “Apakah kalian memerlukan pakaian kering supaya tidak kedinginan?”

“Terima kasih” sahut Swandaru. “Aku kira tidak perlu pakaian kering, bahkan pakaian kalianlah yang akan menjadi basah kuyup.”

Tima menjadi bingung. Namun kemudian terdengar Swandaru berkata, “Sebelum nasi meganamu siap Tima, aku lebih dahulu ingin bertemu dengan beberapa pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung yang kebetulan berada di rumah ini.”

Tima mengerutkan keningnya. Terasa dadanya berdebar-debar. Beberapa anak muda yang mendengarnya, dengan serta-merta bangkit dan berdiri mengelilingi Swandaru dan Agung Sedayu.

“Duduklah” minta Swandaru. “Aku tidak ingin mengganggu pertemuan ini. Nanti aku juga ingin turut menikmati suguhan-suguhan yang telah terlanjur siap.”

Tetapi anak-anak muda di pendapa itu justru semakin banyak yang berdiri melingkarinya, sehingga kemudian Swandaru terpaksa memperingatkan mereka sekali lagi. “Duduklah. Kalau kalian berebutan berdiri, nanti suguhan-suguhan itu akan terinjak-injak.”

Namun kali ini suara Swandaru itupun seakan-akan tidak mereka dengar. Berebutan mereka mendekati Swandaru dan Agung Sedayu.

Swandaru akhirnya menjadi jengkel. Tiba-tiba ia meloncat turun ke halaman, ke dalam hujan yang masih tercurah dari langit. Dalam keriuhan air hujan terdengar suara Swandaru di sela-sela derai tertawanya, “Nah, marilah, siapa yang akan mengerumuni aku lagi.”

Beberapa anak-anak muda mengumpat-umpat di dalam hatinya. Namun beberapa orang yang kebetulan pemimpin-pemimpin kelompok anak-anak muda Sangkal Putung melihat, bahwa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikan oleh Swandaru kepada mereka, sehingga karena itu, maka ada diantara mereka yang benar-benar meloncat pula ke halaman, dibawah curahan hujan yang lebat.

“He, kau gila” teriak Swandaru. “Tunggulah, aku akan naik lagi ke pendapa.”

Namun anak-anak muda itu tersenyum. Jawabnya, “Pasti ada yang penting terjadi. Kalau tidak, maka aku kira Kakang Swandaru tidak akan datang ke tempat ini dengan pakaian basah kuyup dan tanpa baju.”

“Anak setan kau” umpat Swandaru sambil tertawa. “Baiklah, marilah, ikuti aku ke teritis gandok.”

Kemudian Swandaru dan Agung Sedayu diikuti oleh lima orang anak muda berlari menuju ke teritis gandok.

Ketika mereka sudah berada di tempat yang teduh, maka segera Swandaru memberitahukan kepada mereka, apa yang harus mereka lakukan.

“Apakah hanya ada lima orang pemimpin kelompok yang berada di tempat ini?”

“Ya kakang. Pemimpin kelompok dari kelompok lima, tujuh dan sembilan tidak datang, sedang pemimpin kelompok delapan sedang bertugas di gardu selatan.”

“Besok kalian berada langsung di bawah pimpinan Ayah sendiri. Aku mempunyai tugas khusus bersama Kakang Agung Sedayu. Satu kelompok laskar Pajang ada di antara kalian. Ingat, bahwa satu kelompok laskar Pajang, meskipun jumlahnya hampir sama dengan kelompok-kelompokmu, namun mereka sudah terlatih baik dan penuh pengalaman. Kalian berada di bawah tuntunan mereka bersama beberapa orang Sangkal Putung sendiri bekas prajurit yang akan ikut serta dengan kalian dalam kelompok-kelompok yang telah ditentukan.”

“Baik kakang” jawab mereka hampir bersamaan.

Swandaru menjadi bangga akan kesediaan anak-anak Sangkal Putung menghadapi bahaya. Mereka benar-benar telah siap lahir batin untuk membela tanah yang digarapnya setiap hari, tanah sumber hidupnya, kampung halaman.

“Bagus” sahut Swandaru. “Kalau demikian, kalian harus segera berbuat sesuatu. Waktumu terbatas sekali. Siapkan beberapa anak muda untuk membantu Jagabaya. Serahkan beberapa orang dari kelompok tiga. Mereka harus membantu menyelenggarakan pengungsian dan kemudian mengadakan pengawalan atas kademangan. Hubungi pimpinan kelompok orang-orang yang sudah setengah umur. Merekapun harus membantu penyelenggaraan pengungsian dan pengawalan atas kademangan. Tetapi separo dari mereka yang masih sanggup ikut pula besok pagi-pagi menyongsong musuh, kalian harus bersiap di halaman banjar desa. Tidak akan ada tanda bahaya dibunyikan. Satu-satunya tanda justru kentong dara muluk menjelang terang tanah. Atau kalau perlu dipercepat. Ingat, dara muluk.”

Kelima anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka sudah dapat membayangkan apa yang harus mereka lakukan bersama ayah-ayah mereka, paman-paman mereka, dan bahkan kakek-kakek mereka. Setiap laki-laki di Sangkal Putung. Setiap kelompok mempunyai tugasnya masing-masing. Kelompok anak-anak muda, kelompok orang-orang yang lebih tua dan kelompok orang-orang setengah umur yang masih sanggup menggenggam senjata. Bahkan anak-anak tanggungpun akan diikut-sertakan dalam kesempatan yang sesuai dengan hasrat yang menyala di dalam dada mereka.

Ketika semuanya sudah menjadi jelas, maka berkata Agung Sedayu. “Jangan kecewakan Tima yang telah terlanjur menyediakan suguhan buat kalian. Tetapi usahakan dengan bijaksana supaya kerja besok tidak terbengkalai.”

“Baik Kakang” jawab salah seorang dari mereka. “Aku akan berusaha mempercepat hidangan itu. Sesudah itu, kami akan bekerja keras.”

“Bagus, cobalah untuk beristirahat. Jangan kau peras habis tenagamu malam ini” sambung Agung Sedayu.

“Baik.”

“Kalau demikian, kembalilah ke pendapa. Pakaian kalianpun telah basah pula.”

“Tidak apa. Kami hanya tinggal sebentar duduk di antara mereka.”

Setelah semuanya menjadi semakin jelas, maka Swandaru dan Agung Sedayupun segera berlari kembali ke pendapa bersama kelima anak-anak muda pemimpin kelompok itu.

Di tangga pendapa Agung Sedayu dan Swandaru segera minta diri kepada Tima yang berdiri dengan mulut ternganga. Ia sama sekali tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Agung Sedayu. Sehingga terloncat dari mulutnya, “Lalu apakah yang kalian kehendaki datang dalam pakaian yang basah kuyup tanpa baju, kemudian pergi sebelum aku memberikan apa-apa?”

Swandaru tertawa. “Nanti aku datang kembali.”

Tima tidak sempat berkata apapun lagi. Mereka yang di pendapa hanya sempat melihat Swandaru dan Agung Sedayu meloncat ke dalam hujan yang lebat dan hilang ditelan oleh kegelapan.

Tima masih berdiri di atas tangga pendapa rumahnya. Ia merasa aneh atas sikap Swandaru itu. Namun telah terasa pula didalam hatinya, bahkan setiap orang dan anak muda yang duduk di pendapa itu, bahwa sesuatu yang penting telah terjadi. Segera mereka menghubungkan perintah kesiapsiagaan yang meningkat akhir-akhir ini. Latihan-latihan yang lebih berat, dan kewaspadaan yang semakin tajam.

Kini yang menjadi pusat perhatian mereka adalah kelima anak-anak muda yang masih berdiri di tangga pendapa. Meskipun pakaian mereka basah juga, namun mereka masih sempat naik ke pendapa dan duduk kembali di tempat masing-masing.

Tima yang tidak sabar segera bertanya kepada salah seorang dari mereka, “Apakah yang penting?”

Yang ditanya menggeleng. “Tidak ada.”

“Kau menyimpan rahasia itu?” bertanya anak muda yang lain.

“Tidak. Swandaru hanya datang untuk mempercepat nasi megana yang telah dipersiapkan supaya tidak menjadi terlalu dingin.”

Tima segera mengerti. Kini ia yakin, bahwa pertemuan itu telah dikejar waktu. Ada sesuatu yang penting akan terjadi. Demikian juga orang-orang lain di pendapa itu. Sehingga karena itu maka Tima berkata, “Baik. Aku akan percepat gelombang hidangan yang telah kami siapkan. Bukankah kalian ditunggu oleh tugas-tugas yang penting ?”

Kelima orang anak muda itu tersenyum. Dan senyumnya itu telah membenarkan ucapan Tima yang segera bergegas ke belakang.

Pertemuan itu cepat selesai jauh sebelum waktu yang ditentukan. Kelima anak-anak muda pemimpin kelompok segera mengakhiri pertemuan itu. Sehingga sejenak kemudian, beberapa anak-anak muda segera berlari-larian berpencaran dari rumah Tima untuk melakukan pekerjaan masing-masing.

Sebenarnyalah Sangkal Putung di dalam malam yang kelam, di bawah cucuran hujan yang lebat itu, telah terbangun karena sebuah kejutan yang menegangkan. Hilir mudik anak-anak muda dan orang-orang yang bertugas menyelenggarakan penyingkiran perempuan dan anak-anak, masuk keluar pintu-pintu rumah, mengetuk pintu-pintu yang masih tertutup dan memberitahukan kepada mereka untuk mengamankan diri mereka bersama anak-anak mereka.

Rakyat Sangkal Putung benar-benar dicengkam oleh kecemasan. Cemas akan datangnya malapetaka besok, dan cemas akan hujan angin yang kencang. Namun mereka terpaksa meninggalkan rumah-rumah mereka, membawa barang-barang mereka yang paling berharga. Di bawah payung-payung belarak dan daun-daun pisang, mereka berbondong-bondong pergi ke kademangan mengamankan diri dan barang-barang mereka. Tangis anak-anak kecil telah memecahkan kesepian kademangan itu. Obor-obor blarak berlarian di dalam kelamnya malam. Namun sebagian dari obor-obor itu terbunuh oleh hujan yang masih saja tercurah dari langit. Tetapi pengungsian berjalan terus.

Laskar Pajang yang berada di kademangan telah menyingkirkan diri mereka sendiri dari pendapa. Mereka bertebaran di gandok dan di setiap sudut rumah itu untuk memberi tempat kepada para perempuan dan anak-anak yang segera akan memenuhi pendapa itu.

Pendapa kademangan Sangkal Putung itu segera menjadi hiruk pikuk. Rengek anak-anak di antara tangis bayi. Sedangkan beberapa orang perempuan menjadi gemetar ketakutan. Tetapi mereka menjadi agak tentram ketika mereka melihat beberapa orang laki-laki, suami-suami mereka, anak-anak mereka, dan saudara-saudara mereka telah siap dengan senjata di tangan mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang prajurit Pajang yang hilir mudik di antara mereka. Seolah-olah mereka berada di dalam pelukan tangan-tangan yang akan sanggup melindunginya.

Ternyata waktu merayap terlampau cepat. Prajurit-prajurit Pajang dan laki-laki Sangkal Putung yang besok harus maju berperang, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat. Karena itu maka Untara segera mengambil kebijaksanaan lain. Setiap orang yang besok akan ikut serta dalam perlawanan terhadap laskar Jipang langsung di garis peperangan harus meninggalkan kademangan dan pergi ke banjar desa.

Demikianlah maka sesaat kemudian seperti banjir yang mengalir mereka meninggalkan halaman kademangan. Dan sesaat kemudian laki-laki di halaman kademangan itu, menjadi semakin susut, tetapi sebaliknya perempuan dan anak-anak menjadi bertambah-tambah.

Yang tinggal di halaman itu, selain para pengungsi, tinggallah beberapa orang laki-laki dan para pemuda yang bertugas mengawal mereka. Tetapi di samping mereka, hampir setiap laki-laki yang seharusnya tidak turut dalam setiap persiapan karena umur-umur mereka yang telah lanjut, ternyata tidak mau ketinggalan pula. Meskipun mereka telah dibebaskan dari kewajiban itu, namun mereka tidak dapat tinggal diam.

Seorang yang berambut putih seperti kapas berkata kepada temannya yang berdiri di sampingnya, di teritisan kademangan itu, “Hem. Kenapa aku tidak diikutsertakan dalam barisan yang besok akan menyongsong lawan itu?”

Temannya yang sudah tidak bergigi satupun menjawab, “Aku juga menyesal. Kemarin aku sudah berkata apabila ada bahaya datang setiap saat, aku sanggup untuk maju ke garis perang terdepan. Tetapi Ki Jagabaya tertawa sambil menunjuk gigiku yang telah habis ini, ‘Gigimu telah habis Kek.’

Aku menjawab, ‘Bukankah aku tidak akan menggigit musuh-musuhku? Tetapi tanganku masih kuat mengayunkan pedang.’ Jagabaya itu tidak percaya. Aku telah memberinya bukti. Dengan sebuah kapak, aku membelah sepotong balok di halaman rumah Ki Jagabaya. Tetapi Ki Jagabaya masih juga tertawa sambil menjawab, ‘Balok itu tak dapat bergerak Kek. Kalau lawanmu itu mampu menghindar dan menjauh, kau akan kehabisan nafas untuk mengejarnya’. Terlalu, terlalu Ki Jagabaya itu. Meskipun demikian aku sekarang membawa kapakku itu. Aku akan membuktikan bahwa aku masih mampu membelah kepala musuh-musuhku.”

Temannya yang berambut putih kapas mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Akupun masih dapat memanjat pohon kelapa di halaman rumahku. Kau tahu, di rumahku ada dua puluh lima pohon kelapa. Aku memanjatnya berganti-ganti tanpa istirahat.”

Temannya yang tak bergigi mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Jawabnya, “Itulah. Mereka menyangka kita sudah pikun. Nanti, apabila orang-orang Jipang itu ada yang merembes sampai ke halaman ini, akan aku buktikan kemampuanku.”

Mereka kemudian berdiam diri. Dengan tajamnya mereka mengamati beberapa orang prajurit Pajang yang masih bertugas di regol halaman itu. Di teritisan yang lain mereka melihat anak-anak muda yang telah bersiaga penuh. Sebagian dari mereka menyeret pedang di lambung mereka, dan sebagian lagi memandi tombak di pundak mereka.

Kedua orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka berbangga di dalam hati mereka. Tetapi mereka lebih berbangga hati lagi, ketika mereka melihat orang-orang tua sebaya dengan mereka, membawa senjata-senjata pula di tangannya. Seorang yang duduk di tepi pendapa, meskipun hampir seluruh kulitnya telah berkeriput, namun tangannya masih juga menggenggam sebilah pedang karatan. Pedang yang agaknya tidak pernah disentuhnya selama ini. Namun justru pedang-pedang yang karatan itu merupakan senjata yang berbahaya. Luka yang ditimbulkannya dapat menjadikan penderitanya bengkak dan keracunan. Seorang yang lain sibuk membelai cucunya yang menangis. Ibu anak itu sedang menyusui bayinya yang menangis pula. Tetapi anak yang menangis di pangkuan kakeknya itu masih sempat mempermainkan hulu keris kakeknya.

“Jangan dicabut Ngger” desis kakeknya. Tetapi cucunya melengking-lengking ingin melihat benda itu.

“Hem” desis kakeknya. “Mintalah yang lain.”

Cucunya terdiam ketika seorang perempuan yang lain memberinya sepotong jenang alot kepadanya.

Pendapa, pringgitan, bahkan ruangan dalam dan gandok kademangan itu benar-benar telah penuh sesak. Tak ada setapak tempatpun yang masih kosong. Anak-anak yang malang mujur terbaring, dan ibu-ibu mereka yang duduk bersimpuh di antara mereka. Mereka sama sekali tidak memperhatikan lagi pakaian mereka yang basah kuyup.

Sedang di bawah pendapa itu, di teritisan gandok dan di belakang kademangan, sebagian anak-anak muda berdiri berjajar-jajar dengan sebagian laki-laki Sangkal Putung dalam kesiagaan. Hujan yang lebat terasa menjengkelkan sekali. Tetapi mereka sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan. Setiap saat tangan-tangan mereka siap mengangkat senjata mereka. Sedang di regol halaman beberapa prajurit Pajangpun selalu berada dalam kesiagaan penuh.

Prajurit-prajurit yang lain, laki-laki Sangkal Putung dan anak-anak muda mereka, yang besok mendapat tugas menyongsong musuh, berjalan dalam iring-iringan ke banjar desa. Beberapa orang di antara mereka terutama anak-anak mudanya, berjalan langsung menuju ke banjar itu dari rumah masing-masing. Sedangkan ayah-ayah mereka terpaksa mengantar istri-istri mereka, dan anak-anak mereka yang masih kecil lebih dahulu ke kademangan.

Demikianlah maka banjar desa dan lapangan di mukanya telah menjadi pusat persiapan untuk menghadapi lawan-lawan mereka besok.

Demikianlah maka semakin jauh malam memanjat ke puncaknya, maka Sangkal Putung menjadi semakin sibuk. Persiapan-persiapan menjadi semakin ketat, dan setiap dada menjadi semakin berdebar-debar. Bagi laskar Sangkal Putung, adalah untuk pertama kalinya mereka akan menghadapi lawan-lawan mereka dengan gelar yang sempurna. Namun Widura berkata kepada mereka, “Apa yang akan kalian alami tidak akan jauh berbeda dari setiap pertempuran yang pernah terjadi. Kalian hanya lebih terikat pada kerjasama dalam gelar yang telah ditentukan. Namun untuk selanjutnya apabila kalian selalu ingat kepada segala petunjuk yang pernah diberikan kepada kalian, maka kalian tidak akan menemui kesulitan apa-apa. Satu kelompok prajurit Pajang akan menuntun kalian, apa yang harus kalian lakukan.”

Laskar Sangkal Putung itu menjadi berbesar hati. Tetapi mereka tidak cukup terlatih seperti prajurit Pajang dan para prajurit Jipang yang mampu bertempur sehari penuh. Mulai pada saat matahari terbit, dan baru berhenti pada saat matahari terbenam. Mereka telah cukup dapat mengatur diri mereka untuk menyesuaikan dengan keadaan itu. Sedangkan laskar Sangkal Putung masih belum pernah melakukannya. Peperangan yang pernah terjadi tidak sampai melampaui tengah hari. Dan pertemuran malampun tidak sampai separo malam. Kini apabila kedua pihak telah bertekad untuk melakukan peperangan dalam tingkat terakhir maka mereka harus berani menghadapi kemungkinan itu.

Untuk menghadapi keadaan ini Untara dan Widura mempunyai cara mengatasinya.

“Kita harus menyediakan tenaga cadangan” berkata Untara.

“Ya” Widura membenarkan. “Sebagian dari mereka harus tetap segar. Kalau kawan-kawan mereka sesudah tengah hari akan mengalami kekendoran dan kelelahan, maka mereka harus turun ke garis perang. Bukankah begitu?”

“Ya Paman” jawab Untara. “Aku kira jumlah kita bersama dengan laskar Sangkal Putung melampaui jumlah prajurit Jipang. Karena itu maka kita akan dapat menyimpan tenaga cadangan di samping mereka yang bertugas di kademangan dan di gardu-gardu. Apabila kita ternyata terdesak oleh kekuatan mereka, maka sebagian laskar cadangan itu dapat kita turunkan ke medan, berangsur-angsur. Dan apabila perlu, maka sebagian peronda di gardu-gardu dapat ditarik seluruhnya. Di gardu-gardu itu kita tempatkan dua orang pengawas saja, yang apabila keadaan memaksa mereka hanya bertugas untuk melaporkan keadaan.”

“Ya, semua tenaga dapat penyaluran sewajarnya menurut keadaan dan kekuatan lawan. Pengawal di kademanganpun kalau perlu dapat dikurangi” sahut Widura.

Kesepakatan pendapat itulah yang kemudian mereka pergunakan untuk mengatur laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang. Sekali lagi segenap pemimpin kelompok bertemu. Dan sekali lagi Untara memberi penjelasan, apa yang harus dilakukan dan apa yang harus diperhatikan.

Setelah itu maka segala persiapan telah selesai. Saat yang pendek itu dapat mereka pergunakan untuk beristirahat. Beberapa orang di belakang merebus air sambil menghangatkan tubuhnya. Sedang beberapa orang yang masih sakit, yang ditempatkan di banjar desa itu menjadi kecewa, bahwa mereka tidak dapat ikut serta kali ini menyongsong pula kedatangan Macan Kepatihan.

Ketika malam telah melampaui pusatnya, maka Untara telah mengirim dua orang berkuda untuk menghubungi para pengawas di gardu terdepa. Namun mereka belum melihat sesuatu dan bahkan para pengawas yang langsung berada di lingkungan lawanpun belum memberikan laporan apa-apa.

Tetapi Untara dan Widura tidak melemahkan kesiagaan. Mereka tetap dalam kesiapan. Setiap saat laskar di banjar desa itu dapat digerakkan.

Namun demikian, masih ada yang selalu membayangi perasaan Untara, Widura dan bahkan beberapa orang Sangkal Putung yang lain. Ki Tanu Metir masih belum tampak diantara mereka. Sehingga semakin dekat fajar menyingsing, harapan mereka untuk mengikutsertakan Ki Tanu Metir menjadi semakin tipis.

Apalagi ketika kemudian telah datang beberapa orang dari kademangan membawa makan pagi bagi laskar Sangkal Putung dan prajurit Pajang di banjar desa itu. Maka mereka tidak akan memerhitungkan kekuatan Ki Tanu Metir lagi.

Kepada laskarnya Widura berkata, “Makanlah. Makanlah sekenyang-kenyangnya. Mungkin sehari nanti kalian tidak mendapat kesempatan untuk makan. Apalagi makan, minumpun belum tentu. Apabila kekuatan kita melampaui kekuatan lawan atau sebaliknya, maka pertempuran itu akan lekas selesai. Kalian akan menang atau akan kalah. Tetapi kalau kekuatan kita seimbang, maka sebelum mengalami kekalahan salah satu pihak harus berjuang dahulu sehari penuh. Nah, mudah-mudahan kekalahan itu tidak di pihak kita. Makanlah dan kemudian siapkan dirimu. Kalian besok harus berusaha sekuat-kuat tenagamu. Tetapi kalian tidak boleh melupakan, bahwa segala sesuatu tergantung kepada Yang Maha Pengasih. Karena itu berdoalah, semoga kalian dapat menyelesaikan tugas-tugas kalian.”

Sejenak kemudian mereka telah tenggelam dalam kesibukan menyuapi mulut-mulut mereka. Citra Gati yang duduk di dekat Sendawa bergumam, “Alangkah nikmatya makan pagi kali ini.”

“Hus” desis Sendawa. “Apakah makanan ini merupakan makanan terakhir yang dapat kau makan?”

“Jangan berkata begitu” sahut Citra Gati. “Tetapi masakan kali ini memang lain daripada yang lain. Mungkin juga nasi hangat dan sambal lombok goreng ini benar-benar sesuai dengan suasanan yang dingin beku ini.”

Keduanya tertawa. Dan keduanya menyuapi mulut-mulut mereka tanpa henti-hentinya.

Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung, di tengah-tengah hutan yang tidak terlalu lebat, Tohpati duduk termenung membelai tongkat baja putihnya. Ia masih mendengar hiruk pikuk prajuritnya yang sedang menyusun diri.

Berbagai perasaan berkecamuk di dalam kepala Macan yang garang itu. Baru saja ia menjatuhkan perintah terakhir. Siap untuk berangkat. Namun demikian, meskipun perintah itu diucapkannya dengan tegas, tetapi ia tidak dapat mengelabui dirinya sendiri. Hatinya selama ini selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Peristiwa-peristiwa yang susul-menyusul di saat-saat terakhir benar-benar sangat mempengaruhinya. Ia mendengar berbagai tanggapan atas peperangan yang masih saja dilanjutkannya. Mula-mula ia merasa bahwa ia harus berbangga, ia dapat bertahan sampai sekian lama sepeninggal Arya Penangsang. Bahkan laskar Jipang yang berserakan masih juga mengakuinya sebagai pimpinan mereka, sehingga kepadanyalah ketergantungan itu dipercayakan.

Tetapi Tohpati bukanlah seorang yang berhati batu berjantung kayu. Setiap kali ia melihat darah menggelimang di ujung tongkatnya, setiap kali ia melihat mayat terbujur lintang. Bukan saja mayat-mayat prajurit yang bertempur di medan-medan perang, tetapi ia pernah juga melihat mayat-mayat perempuan dan anak-anak yang terbunuh dalam kerusuhan-kerusuhan. Bahkan ia pernah melihat mayat seorang perempuan dan bayinya masih dalam pelukan. Tetapi mayat itu sudah menjadi arang.

Macan Kepatihan itu menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disadarinya diamatinya tangannya. Besar dan kasar. Bulu-bulunya tumbuh hampir sampai ke telapak tangannya.

“Hem” geram Macan yang garang itu. Bulu-bulunya serasa tegak berdiri ketika tiba-tiba dikenangnya bahwa tangan itu pernah menampar pipi seorang perempuan muda. Demikian kerasnya sehingga perempuan itu pingsan. Dan tiga hari kemudian didengarnya bahwa perempuan itu mati.

Perempuan itu datang kepadanya sambil mengumpat-umpatinya. Dituding-tudingnya wajahnya sambil mengucapkan sumpah serapah yang paling menyakitkan hati.

“Tohpati” berkata perempuan itu. “Kau bunuh suamiku itu.”

Tohpati menggeleng-gelengkan kepala. Seakan-akan perempuan itu berdiri di mukanya kini. Suaminya, yang baru saja mengawininya, terbunuh di medan perang. Dan perempuan itu menyalahkannya.

“Ketamakanmu atas kekuasaan telah membunuh suamiku” berkata perempuan itu. “Kaulah yang kelak akan menjadi Adipati menggantikan Adipati Jipang, tetapi suamiku yang kau korbankan.”

Pada saat itu Tohpati tidak mau mendengar perempuan itu berteriak-teriak sehingga tanpa disadarinya, terbakar oleh kemarahan yang memuncak, perempuan itu ditamparnya. Tetapi sama sekali ia tidak bermaksud membunuhnya.

“Perempuan itu bukan satu-satunya” desisnya. “Ada sepuluh, seratus bahkan ribuan perempuan yang menangisi kematian suaminya.” Tetapi perempuan-perempuan Pajang, perempuan-perempuan Sangkal Putung menangisi kematian suaminya dengan kebanggan di dalam hati. Meskipun mereka menangis, tetapi mereka dapat berkata, “Kematianmu adalah tawur bagi sawah ladang, kampung halaman. Kematianmu akan dikenang seumur negeri ini.”

Tohpati mengangkat wajahnya ketika ia mendengar Sanakeling berteriak memberikan aba-aba. Sesaat kemudian terdengar suara Alap-Alap Jalatunda menyahut, dan kemudian yang lain-lainpun terdengar meneruskan perintah Sanakeling itu.

Tohpati menarik nafas dalam-dalam. Perintah itu adalah perintah mempersiapkan diri untuk segera berangkat ke Sangkal Putung. Tetapi Tohpati seakan-akan masih saja terpaku di ambennya. Ia masih duduk termenung sambil membelai tongkat berkepala tengkorak kuningnya. Ia masih tenggelam dalam seribu macam kenangan. Bahkan sejak ia menjadi prajurit dalam Kadipaten Jipang. Pada masa Demak masih mengumandang namanya, kemudian datanglah bencana itu. Perang saudara antara Jipang dan Pajang ketika tahta Demak kosong sepeninggal Sultan Trenggana yang gugur. Dan kini ia tinggal di dalam barak ilalang dengan orang-orang sekasar Sanakeling, selicik Alap-Alap Jalatunda dan setamak dirinya sendiri.

Kembali Tohpati terkejut ketika ia mendengar seseorang memasuki gubug itu. Ketika ia berpaling dilihatnya Sanakeling berdiri di ambang pintu dengan wajah berseri-seri.

“Semuanya sudah siap kakang Tohpati. Kita menunggu perintah untuk berangkat.”

Tohpatipun kemudian tegak berdiri. Sekali ia menarik nafas pula sedalam-dalamnya. Kemudian terdengar ia menggertakkan giginya. Ia ingin menindas setiap perasaan yang dapat mengganggunya. Karena itu sebelum ia bertempur melawan orang-orang Pajang dan Sangkal Putung, ia harus memenangkan perasaannya lebih dahulu.

Tetapi alangkah sulitnya. Ia tidak dapat mempergunakan senjatanya yang mengerikan itu dalam pertempurannya melawan perasaanya sendiri.

Namun tiba-tiba Tohpati itu berteriak keras-keras sehingga Sanakeling terkejut, “Siapkan mereka! Aku segera akan datang!”

“Baik kakang!” sahut Sanakeling yang tiba-tiba berteriak pula tanpa disengajanya.

Ketika Sanakeling kemudian lenyap di dalam kelam di luar barak itu, maka Tohpatipun kemudian melangkah perlahan-lahan. Sampai di ambang pintu ia berhenti sesaat. Ia tidak tahu kenapa ia berpaling. Kenapa tiba-tiba ia ingin memandangi segenap isi ruangan itu. Lampu minyak. Tiang-tiang bambu. Sebuah gelodog bambu di sudut dan sebuah kendi di atasnya. Amben bambu tempatnya berbaring tidur. Itu saja.

Baru Tohpati itu melangkah keluar.

Hatinya berdesir ketika di dalam cahaya obor ia melihat berbagai macam umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul. Terasa sesuatu yang aneh merayap di dalam hatinya. Ia sama sekali tidak memerintahkan untuk membawa segala perlengkapan upacara perang itu. Tetapi agaknya perintahnya untuk membuat gelar yang sempurna telah menumbuhkan perintah pula untuk membawa segala macam tanda-tanda kebesaran Jipang, meskipun umbul-umbul dan rontek itu sudah menjadi kumal karena tidak terpelihara. Namun bahwa barang-barang itu dapat diselamatkan telah membesarkan hatinya pula.

“Itu adalah jasa Paman Sumangkar” gumamnya di dalam hati.

Sementara itu Tohpati diam mematung. Diamat-amatinya seluruh pasukannya yang telah siap menunggu perintahnya. Tiba-tiba hatinya merasa tersentuh oleh kesetiaan laskarnya itu. Meskipun keadaan mereka telah jauh terperosok dalam kesulitan yang sangat, namun di bawah panji-panji kebesaran Jipang, terasa seakan-akan ia benar masih seorang senapati perang yang berwibawa.

Sebenarnya bahwa Macan Kepatihan itu masih memiliki kewibawaan di antara anak buahnya, sehingga apapun yang diperintahkannya akan dilakukan. Dan kali ini pasukan itu menunggu untuk berangkat menggempur laskar Sangkal Putung yang dipimpin oleh seorang senapati muda bernama Untara.

Di muka pasukannya itu telah berdiri Sanakeling. Dil ambung kirinya tergantung sebilah pedang dalam wrangka putih mengkilat, dan di lambung kanannya, pada ikat pinggangnya tergantung sebuah bindi dari kayu berlian berlapis besi berjalur-jalur. Bindi itu di tangan kiri Sanakeling kadang-kadang dipakainya sebagai perisai untuk menangkis serangan lawan, namun apabila bindi itu menyentuh tubuh lawannya, maka akibatnya tidak kalah berbahaya dari pedang di tangan kanannya.

Agak jauh di belakang dilihatnya belahan pasukannya di bawah pimpinan seorang anak muda yang bermata tajam setajam mata burung alap-alap. Sebenarnya anak muda itu berbangga apabila orang menyebutnya Alap-Alap Jalatunda. Dengan penuh dendam ia mengharap dapat bertemu lagi dengan Agung Sedayu. Kali ini ia mengharap bahwa ia akan dapat menebus kekalahannya. Setelah dengan tekun ia melatih dirinya sendiri hampir siang dan malam, maka sudah tentu ia memiliki kemampuan yang bertambah-tambah.

Ketika Tohpati memandang wajah Sanakeling yang samar-samar diterangi oleh cahaya obor yang kemerah-merahan, dilihatnya wajah yang keras kasar itu hampir tidak sabar lagi menunggu perintahnya. Karena itu maka sambil menganggukkan kepalanya, Tohpati melambaikan tongkat baja putihnya yang mengerikan itu.

Sanakeling tersenyum melihat lambaian tongkat Macan Kepatihan. Dengan serta-merta ia menarik pedangnya. Diangkatnya pedangnya itu tinggi-tinggi seolah-olah hendak menusuk langit. Dan kemudian dari sela-sela bibirnya yang tebal, terdengarlah ia meneriakkan aba-aba.

Dalam waktu sekejap, hampir setiap pemimpin kelompok telah mengulangi aba-aba itu. Terdengarlah kemudian seseorang membunyikan sebuah bende. Suaranya menggema melingkar-lingkar di dalam hutan itu.

Ketika Sanakeling mengangkat tangannya untuk kedua kalinya, maka sekali lagi bende itu bergema, suaranya memukul-mukul batang-batang kayu dan dedaunan. Hampir setiap tubuh di dalam pasukan itu bergerak. Tangan-tangan mereka sekali lagi meraba-raba pakaian mereka, senjata mereka dan perlengkapan-perlengkapan mereka yang lain. Mereka tidak boleh menjadi korban karena kealpaan mereka atas persiapan mereka sendiri.

Sesaat kemudian Sanakeling mengangkat pedangnya untuk yang ketiga kalinya. Pedang itu melingkar satu kali, disambut oleh bunyi bende untuk yang ketiga kalinya. Bunyi itu terasa seakan-akan menyentuh sudut hati mereka yang berdiri di dalam barisan itu. Sudah lama mereka tidak mendengar bunyi aba-aba dengan cara yang demikian. Sudah lama mereka hanya mendengar aba-aba dari pemimpin-pemimpin mereka yang berteriak-teriak tidak menentu. Kadang-kadang bahkan bunyi aba-aba itu terasa sesuka hati yang mengucapkannya. Namun kali ini mereka mendengar aba-aba seperti yang selalu didengarnya pada saat Jipang masih tegak. Pada saat mereka masih bernama seorang prajurit Wira Tamtama Jipang, di bawah pimpinan Adipati yang mereka segani, Arya Penangsang. Seorang adipati muda yang perkasa, dengan seekor kuda bernama Gagak Rimang dan sebilah keris di tangannya. Keris yang sakti tiada taranya, yang dinamainya Setan Kober. Sedemikian saktinya keris itu, sehingga orang menganggapnya, bahwa karena sentuhan keris itu gunung akan runtuh dan lautan akan menjadi kering.

Meskipun kali ini mereka tidak bersama dengan adipati itu lagi, namun Macan Kepatihan masih tetap memberi mereka kebanggaan. Macan Kepatihan yang kali ini tidak berada di atas punggung kudanya, kuda segagah Gagak Rimang yang dinamainya Maruta. Kuda yang dapat berlari sekencang angin. Namun meskipun demikian, ketika setiap orang dalam pasukan itu melihat tongkat putihnya yang berkilat-kilat, maka hati mereka menjadi bangga. Seolah-olah merekalah yang menggenggam senjata yang mengerikan itu.

Beberapa orang dari mereka tidak dapat melupakan kenyataan, bahwa Tohpati itu beberapa waktu yang lampau dapat dilukai oleh senapati Pajang yang ditempatkan di Sangkal Putung, dan bernama Untara. Tetapi mereka menganggap peristiwa itu sebagai sebuah kecelakaan. Tohpati pasti tidak dapat dikalahkan oleh siapapun. Mungkin Ki Gede Pemanahan, Ki Penjawi, atau Ki Juru Mertani. Tetapi tidak oleh orang lain. Apalagi Untara. Tohpati pada waktu itu pasti baru melindungi seseorang atau lebih, sehingga dirinya sendiri dikorbankannya.

Apalagi kini, di bawah umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul kebesaran Jipang, di belakang senapati mereka, Macan Kepatihan, maka laskar Jipang itu merasa, bahwa mereka adalah pasukan yang paling kuat yang pernah terbentuk sejak Jipang runtuh.

Demikianlah, maka setelah bende yang ketiga kalinya itu, pasukan Jipang mulai bergerak dengan sigapnya. Setiap orang di dalam pasukan itu tampak berwajah cerah, seakan-akan mereka telah menggengam kemenangan ditangannya.

Di bawah cahaya obor-obor yang menyala hampir di setiap ujung dan pangkal kelompok, pasukan itu bergerak. Mereka tidak takut lagi apabila lawan-lawan mereka dapat melihat cahaya obor-obor itu dari kejauhan. Kini mereka datang dengan dada tengadah, tanpa berusaha mencari kelengahan lawan. Kini mereka datang beradu muka. Mereka datang dalam gelar yang sempurna. Dari Sanakeling mereka telah mendengar perintah, apabila mereka telah sampai di daerah yang luas, maka mereka segera akan membuat gelar yang cukup tanggon, Dirada Meta.

Laskar Jipang itu kemudian menjalar bagaikan seekor ular raksasa yang merayap diantara pohon-pohon liar. Seekor ular naga yang bersisik api. Obor-obor diantara mereka benar-benar seperti sisik yang gemerlapan.

Semua orang di dalam pasukan itu tiba-tiba menengadahkan wajahnya ketika mereka melihat kilat menyambar di udara. Sekali-sekali mereka mendengar guntur menggelegar di langit. Ketika mereka memandang ke arah timur, tampaklah langit gelap pekat.

Seorang di dalam barisan itu bergumam lirih, “Di arah timur aku kira hujan turun dengan lebatnya.”

Kawannya yang berjalan di sampingnya mengangguk. Sebelum ia menjawab, ditengadahkannya tangannya, katanya, “Di sinipun hujan sebentar lagi akan turun. Lihat, titik-titik air telah satu-satu berjatuhan.”

”Tetapi angin bertiup ke arah timur. Awan yang basah itu akan dihalau pergi.”

Kawannya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab.

Perlahan-lahan ular raksasa itu maju terus. Semakin lama menjadi semakin dekat dengan tepi hutan. Dan sesaat kemudian ujung dari barisan itu telah muncul dari sela-sela belukar dan batang-batang pohon liar. Kini mereka berjalan di atas padang perdu yang tidak terlalu luas, diselingi oleh gerumbul-gerumbul dan pepohonan yang semakin jarang.

Macan Kepatihan yang berjalan di ujung pasukan itu berdesir. Di dekat tempat inilah ia bersama Sumangkar bertemu dengan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Bahkan kemudian datang pula Kiai Gringsing dan kedua orang yang mungkin sekali adalah murid-muridnya.

Macan Kepatihan itu tiba-tiba menundukkan wajahnya. seolah-olah ia ingin melihat setiap langkah yang dilampaui oleh kaki-kakinya itu. Dijinjingnya tongkatnya dengan tangan kanannya, terbuai oleh ayunan lenggangnya. Sekali-sekali tongkat itu tampak gemerlapan karena cahaya obor yang dipantulkannya.

Agak jauh di hadapan mereka, dua orang bersembunyi dengan rapatnya di balik dedaunan. Ketika mereka melihat iring-iringan itu, hati mereka menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika mereka melihat umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul lengkap di bagian depan pasukan Jipang.

“Gila” desis salah seorang dari mereka. “Mereka benar-benar datang dalam kelengkapan yang sempurna.”

Yang lain tidak menjawab. Ketika mulutnya hampir terbuka, tiba-tiba didengarnya lamat-lamat suara aba-aba dari laskar Jipang itu. Dengan sigapnya setiap orang di dalam barisan itu bergerak. Dan terbentuklah gelar Dirada Meta yang sempurna. Macan Kepatihan, senapati yang disegani itu, berdiri di ujung gelar itu. Agak jauh di sisinya, kedua senapati pengapitnya, siap membayangi setiap perkembangan keadaan. Mereka adalah Sanakeling dan Alap-Alap Jalatunda. Tepatlah tebakan Untara atas gelar yang akan dilakukan oleh Macan Kepatihan itu.

Namun sebaliknya. Macan Kepatihanpun dapat memperhitungkan dengan tepat, bahwa Pajang akan mempergunakan gelar yang lebih luas. Sesuai dengan keadaan laskarnya yang bercampur baur dengan laskar Sangkal Putung, maka mereka memerlukan medan yang lebih lebar, supaya tidak terjadi desak-mendesak di antara mereka. Laskar Sangkal Putung itu pasti belum mampu untuk menghadapi keadaan yang serba tiba-tiba seperti lasakar Pajang sendiri.

Namun keberanian dan tekad dari orang-orang Sangkal Putung benar-benar memusingkan kepala Tohpati. Mereka mengamuk seperti orang mabuk, apalagi di sampingnya selalu dibayangi oleh kemahiran bertempur orang-orang Pajang, sehingga gabungan di antara mereka, keberanian, tekad yang meluap-luap dan pengalaman serta kemahiran merupakan kekuatan yang benar-benar ngedab-edabi.

Kedua orang yang bersembunyi itu adalah orang-orang Pajang yang dipasang oleh Untara. Karena itu maka segera mereka menyelinap dan berlari terbongkok-bongkok ke arah kuda-kuda mereka di dalam semak-semak. Sesaat kemudian mereka itupun telah meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan dengan hati-hati mereka berusaha untuk mencari tempat-tempat yang terlindung. Baru setelah agak jauh mereka memacu kuda-kuda mereka dengan cepatnya menuju ke Sangkal Putung.

Tohpati dan beberapa pemimpin pasukan Jipang melihat kedua orang berkuda itu. Namun mereka sama sekali tidak berkeberatan seandainya kedatangan mereka kali ini disongsong oleh laskar Sangkal Putung dan pasukan Pajang. Pasukan Jipang yang terhimpun dari orang-orang mereka yang betebaran itu merupakan kekuatan yang cukup besar untuk menggulung Kademangan Sangkal Putung.

Kedua pengawas dari Sangkal Putung itu memacu kudanya seperti angin. Mereka harus segera sampai Sangkal Putung dan melaporkan apa yang mereka lihat.

Ketika mereka menjadi semakin dekat dengan Sangkal Putung, terasa titik-titik hujan semakin deras berjatuhan di atas tubuh-tubuh mereka. Namun ketika kemudian mereka melihat air yang tergenang di sana-sini, maka gumam salah seorang dari mereka, “Agaknya hujan lebat di daerah ini.”

Yang lain menganggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, lebat sekali. Bahkan anginpun agaknya terlalu kencang.”

Keduanya tidak berbicara lagi. Kuda mereka berlari semakin kencang. Sekali-sekali menyeberangi genangan-genangan air di jalan yang mereka lalui. Dan ternyata hujanpun belum teduh sama sekali, sehingga sebelum mereka memasuki Sangkal Putung mereka telah menjadi basah kuyup pula. Tetapi hujan sudah jauh berkurang. Air tidak lagi seakan-akan tertumpah dari langit yang retak.

Kedua ekor kuda itu berpacu langsung ke kademangan. Tetapi mereka menjadi kecewa ketika para penjaga regol kademangan berkata bahwa Untara telah berangkat ke banjar desa.

“Hem” desah salah seorang dari mereka. “Marilah kita lekas ke banjar desa itu.”

Dan kembali keduanya berpacu. Derap langkah kuda-kuda mereka itu terdengar memecah kesepian jalan-jalan di Sangkal Putung. Sekali-sekali genangan air memercik membasahi kaki penunggang-penunggang kuda itu. Mereka harus segera menemui Untara atau Widura.

Di banjar desa derap kuda itu disambut dengan hati yang berdebar-debar. Kedua orang itu segera dibawa menghadap Untara dan Widura untuk menyampaikan laporannya tentang laskar Tohpati itu.

Dengan tergesa-gesa kedua orang itu menceritakan apa yang telah dilihatnya tentang laskar Jipang yang datang benar-benar dengan gelar dan kelengkapan gelar yang sempurna.

“Hem” Untara menarik nafas dalam-dalam. “Mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran Kadipaten Jipang?”

“Ya tuan” jawab kedua orang itu.

Untara terdiam sejenak. Meskipun yang dikatakan oleh kedua pengawasnya itu adalah barang-barang mati, umbul-umbul, rontek dan sebagainya, namun benda-benda itu langsung atau tidak langsung akan mempunyai pengaruh pada jiwa setiap orang di dalam pasukan itu. Tanda-tanda itu akan memberi semangat dan nafsu berjuang. Tanda-tanda itu dapat memperbesar hati setiap prajuritnya. Tanda-tanda itu dapat menjadi lambang tekad dari segenap prajurit di dalam barisan itu.

Widurapun agaknya mempunyai pendapat yang sama. Karena itu ketika ia melihat Untara termenung, maka gumamnya, “Apa kita juga memerlukannya, Untara?”

“Ya Paman. Alangkah baiknya kalau kita memiliki benda-benda semacam itu. Kalau tidak, maka sesaat pasukan kita bertemu dengan pasukan Jipang itu, maka akan terasa seolah-olah pasukan Jipang itu mempunyai kebesaran melampaui pasukan kita, sehingga mau tidak mau, perasaan yang demikian akan mempengaruhi setiap prajurit di dalam pasukan kita. Sedang sebaliknya, pasukan Jipang akan lebih berbesar hati dengan kebesarannya.”

“Lalu apakah kita akan memasang umbul-umbul?” bertanya Widura.

“Berapa banyak umbul-umbul yang ada disini?”

“Terlalu sedikit. Dan tidak lebih dari tanda-tanda pasukanku. Sama sekali bukan umbul-umbul kebesaran Pajang, apalagi Demak” sahut Widura. “Dan itupun terlalu kecil hampir tidak akan berarti.”

Untara kembali termenung. Dan tiba-tiba ia berkata, “Tidak apa-apa, yang kecil itu akan merupakan panji-panji kebanggaan pasukan paman Widura. Tetapi adakah Paman mempunyai panji-panji Gula Kelapa?”

“Gula Kelapa? Mengapa?”

“Panji-panji itu adalah lambang kebesaran Demak. Dan tentu akan merupakan lambang kebesaran Pajang pula.”

“Tentu. Di dalam pasukanku ada panji-panji itu.”

Untara mengangguk-angguk. Kepada Ki Demang Sangkal Putung iapun bertanya, “Ada berapa panji-panji Gula Kelapa di seluruh Kademangan Sangkal Putung?”

Ki Demang ragu-ragu sejenak. Dengan ragu-ragu pula ia menjawab, “Aku tidak tahu Ngger, apakah di Sangkal Putung ada panji-panji semacam itu.”

“Tentu Paman” jawab Untara. “Bukankah Sangkal Putung dahulu mengakui kebesaran Demak, kemudian mengakui Pajang dan bukan Jipang?”

Ki Demang itu kembali termangu-mangu. Tiba-tiba ia tersentak, seakan-akan sebuah ingatan telah menyentak kepalanya. Katanya, “Ya, ya. Aku ingat sekarang. Di kademangan ini ada sebuah pepunden. Panji-panji Gula Kelapa yang besar. Panji-panji yang kita namai Kiai Unggul. Tetapi panji-panji itu adalah pepunden kademangan ini, yang kami keluarkan dari penyimpanan setahun sekali, setiap bulan pertama untuk dibersihkan.”

Untara mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Itulah. Saat ini adalah waktunya untuk mengeluarkan Kiai Unggul dari simpanannya.”

“Ya, bahkan ada pula panji-panji yang lain. Milik seorang bekas prajurit Demak. Lengkap dengan tunggulnya. Panji-panji itu didapatnya pada saat ia ikut berperang melawan orang-orang Portugis di ujung Melayu bersama pangeran Sebrang Lor.”

“Orang itu sudah tua sekali?”

“Ya, panji-panji itu dinamainya Kiai Jetayu.”

“Nama seekor burung Garuda” desis Agung Sedayu.

“Ya, panji-panji itupun cukup besar. Hampir sebesar Kiai Unggul” berkata Ki Demang.

Wajah Untara menjadi cerah. Tiba-tiba ia berkata lantang, “Waktu sudah mendesak. Siapkan pasukan dan siapkan Kiai Tunggul dan Kiai Jetayu.”

Kemudian kepada Ki Demang ia berkata, “Suruhlah seseorang menjemput kedua panji-panji itu. Berkuda sekarang juga, dan bersama dengan itu ambillah semua tanda-tanda kebesaran pasukan Pajang di kademangan.”

Untara tidak perlu mengulangi perintahnya. Widura segera berdiri dan berjalan ke halaman. Kepada bawahannya segera ia memerintahkan untuk menyiapkan pasukan. Sedang kepada beberapa orang lain diperintahkannya mengambil beberapa tanda kebesaran di kademangan. Di dalam gelodog, di pringgitan. Sedang beberapa orang yang lain mendapat perintah dari Ki Demang untuk mengambil panji-panji Kiai Unggul dan Kiai Jetayu beserta tunggulnya masing-masing.

Sesaat kemudian di lapangan di muka banjar desa itu, pasukan Pajang dan laskar Sangkal Putung telah mempersiapkan dirinya. Mereka menunggu beberapa orang menyiapkan tanda-tanda kebesaran mereka. Beberapa buah tunggul dengan ujung berbentuk garuda dan bunga berdaun lima. Itu adalah tanda kebesaran dari pasukan Widura di Sangkal Putung. Panji-panji yang besar berwarna emas dengan gambar seekor Garuda yang sedang mengembangkan sayap-sayapnya. Kemudian beberapa umbul-umbul kecil dan rontek-rontek yang tidak semegah umbul-umbul pasukan Jipang. Namun ketika kemudian d ujung pasukan itu berkibar tiga buah panji-panji yang besar berwarna Gula Kelapa, maka kebesaran pasukan Pajang bersama dengan laskar Sangkal Putung itu menjadi bercahaya.

Ketiga panji-panji itu adalah Kiai Unggul, Kiai Jetayu dan panji-panji pasukan Widura sendiri. Panji-panji Gula Kelapa dari pasukan Wira Tamtama di bawah kekuasaan Pajang, di samping panji-panji pasukannya.

Ketika pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung itu melihat ketiga panji-panji Gula Kelapa di ujung pasukannya maka hati mereka serentak bersorak. Kiai Unggul bagi rakyat Sangkal Putung mempunyai arti tersendiri. Kiai Jetayu itupun telah mereka kenal pula sebagai selembar panji-panji pusaka yang bertuah.

Dari kedua orang pengawasnya, Untara mengetahui bahwa pasukan Jipang sudah berangkat menuju ke Sangkal Putung. Karena itu maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Dipersiapkannya seluruh pasukannya untuk segera berangkat menyongsong pasukan Jipang.

Sesaat kemudian terdengar di pendapa banjar desa itu, kentongan dalam nada Dara muluk. Nada yang tidak biasa diperdengarkan dalam keadaan bahaya seperti saat itu. Namun setiap orang di Sangkal Putung kali ini mengetahui, bahwa bunyi kentong itu adalah pertanda bahwa pasukan Pajang beserta laskar Sangkal Putung telah siap untuk berangkat.

Beberapa orang yang karena suatu sebab, belum berada di lapangan itu, segera berlari-lari sambil menjinjing senjatanya, menuju ke banjar desa. Ketika mereka melihat laskar Sangkal Putung telah bersiap segera mereka memasuki kelompok masing-masing.

Setelah para pemimpin kelompok menghitung anak buah masing-masing serta segala persiapan telah lengkap, maka terdengarlah suara Widura memecah gelap malam. Mengumandang memenuhi lapangan.

Aba-aba itu adalah aba-aba yang pertama. Aba-aba yang disambut dengan debar di setiap dada. Sehingga lapangan itu kemudian terhenyak ke dalam kesepian. Seakan-akan tak seorangpun yang berada di sana.

Aba-aba itu disambut sesaat kemudian, setelah Widura yakin bahwa segala sesuatunya telah siap, maka terdengarlah aba-abanya yang terakhir. Aba-aba itu disambut oleh pemimpin-pemimpin kelompok, yang mengulanginya dengan cepat seperti apa yang diucapkan oleh Widura.

Maka mulailah pasukan itu bergerak. Seperti pasukan Jipang, maka pasukan Widura inipun dilengkapi dengan obor-obor, sehingga lapangan di muka banjar desa itu menjadi terang benderang.

Hujan kini sudah tidak lebat lagi. Titik-titik air satu-satu masih berjatuhan. Namun sudah tidak mampu lagi memadamkan nyala-nyala obor yang seolah-olah melonjak-lonjak kegirangan.

Untara dan Widura berjalan di ujung pasukan itu. Kemudian Agung Sedayu, Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung. Hudaya dan Sonya masih berada di dalam kelompoknya masing-masing sebelum mereka kemudian harus mempersiapkan diri bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Swandaru menghadapi kemungkinan yang paling berat. Melawan seorang yang bernama Sumangkar.

Di belakang induk pasukan berjalanlah sebagian dari laskar Sangkal Putung. Mereka berjalan dengan penuh semangat. Mereka merasa bahwa di pundak mereka terletak tanggung-jawab atas Sangkal Putung. Pasukan Pajang yang berada di kademangan itu adalah sekedar tenaga yang memberi bantuan kepada mereka. Merekalah yang harus melindungi kademangan itu. Dan merekalah yang harus bertempur mati-matian melawan orang-orang Jipang.

Di belakang laskar Sangkal Putung itu Citra Gati berjalan sambil menundukkan wajahnya. Ia merasa badannya aneh kali ini. Kepada seseorang yang berjalan dibelakangnya, Citra Gati itu bertanya, “Kau lihat Hudaya?”

Orang yang mendapat pertanyaan itu menjawab, “Kakang Hudaya masih berada di dalam kelompoknya”

“Panggil ia sebentar kemari” katanya.

Orang itupun segera keluar dari barisannya. Sesaat ia berhenti menunggu Hudaya yang berada agak jauh di belakang mereka.

Hudaya heran mendengar bahwa Citra Gati memanggilnya. Karena itu dengan tergesa-gesa ia berjalan mendahului berisannya ke kelompok Citra Gati. Kelompok yang nanti akan memimpin pasukan Pajang di sayap kanan.

Ketika Hudaya telah berjalan didekat Citra Gati, maka dengan serta-merta ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting ?”

Citra Gati berpaling. Dilihatnya Hudaya memandanginya dengan tegang.

Citra Gati itu tersenyum. Ia hanya ingin melepaskan perasaannya yang aneh. Maka katanya, “Apakah kumis dan janggutmu sempat kau bersihkan?”

Hudaya mengerutkan keningnya. “Belum. Kau juga belum” jawabnya. “Biarkan saja kumis dan janggut itu. Tetapi apakah yang penting?”

Citra Gati menggeleng. “Tidak ada” jawabnya. “Aku hanya merasa sepi. Seakan-akan aku berjalan seorang diri di sayap ini.”

“Uh, bukan main” keluh Hudaya sambil mengerutkan keningnya. “Aku sangka ada hal-hal yang sangat penting.”

Citra Gati tersenyum. Tetapi senyumnya tampak hambar. Katanya, “Jangan marah. Rambut di wajahmu benar-benar menarik perhatianku. Aku cemas kalau kau tidak sempat membersihkannya lagi.”

Hudayalah yang kini tersenyum. Katanya, “Aku belum pernah melihat seseorang yang bernama Sumangkar. Mungkin ia ganas, seganas Macan Kepatihan. Tetapi mungkin ia lunak, selunak jenang alot.”

“Jangan mengigau” potong Citra Gati. “Sekarang kembalilah ke kelompokmu.”

Hudaya menarik nafas dalam-dalam. Gumamny,a “Aku sangka kau sempat membawa jenang alot itu Kakang. Dan kau ingin memberi aku sepotong. Kalau tahu demikian, aku tidak akan datang.”

Citra Gati tidak menjawab. Sekali lagi ia tersenyum, senyum yang hambar.

Hudaya kembali ke kelompoknya. Namun ia merasa aneh. Citra Gati tidak pernah merasakan hal-hal yang aneh di dalam setiap pertempuran. Ia tidak pernah merasa keganjilan dalam setiap tugas yang diserahkan kepadanya. Tetapi Hudaya tidak mau dipengaruhi oleh keadaan itu. Dipusatkannya perhatiannya kepada saat-saat yang akan datang.

Sesaat kemudian mereka telah meninggalkan induk padesan Sangkal Putung. Di hadapan mereka terbentang beberapa desa kecil. Lepas padesan itu nanti, segera mereka akan sampai ke tempat terbuka. Tanah persawahan yang menghadap langsung ke padang rumput dan perdu di pinggir hutan.

Untara segera memerintahkan untuk mempercepat perjalanan, supaya mereka tidak terlambat. Apabila laskar Tohpati sudah memasuki padesan Sangkal Putung, maka pertempuran akan menjadi bertambah sulit. Apabila mungkin maka mereka harus sudah melampaui tanah-tanah persawahan dan bertempur di padang rumput. Supaya tanaman mereka tidak terinjak-injak.

Di sepanjang perjalanan itu meskipun Untara, Widura, Agung Sedayu dan Swandaru seakan-akan telah membulatkan hatinya untuk bertempur tanpa Kiai Gringsing, namun di sudut hati mereka masih juga menyimpan harapan, mudah-mudahan Kiai Gringsing tiba-tiba saja muncul di antara mereka.

Tetapi semakin jauh mereka berjalan, harapan itu semakin tipis. Semula mereka masih juga mengharap, bahwa Kiai Gringsing hanya sedang berteduh karena hujan yang lebat. Namun setelah hujan menjadi jauh berkurang, dan Kiai Gringsing tidak juga muncul, maka harapan merekapun menjadi semakin tipis pula.

Dengan langkah yang tetap setiap orang di dalam pasukan itu berjalan menuju ke ujung kademangan. Satu dua desa kecil telah mereka lampaui. Dan akhirnya mereka menembus jalan di tengah-tengah desa terakhir. Semakin dekat mereka dengan ujung jalan itu, hati mereka menjadi semakin berdebar-debar.

Demikian mereka keluar dari mulut lorong itu, demikian dada mereka bergetar. Ternyata agak jauh di hadapan mereka, mereka melihat seuntaian obor-obor beriringan. Terdengarlah hampir setiap mulut bergumam, “Itulah mereka.“

Tanpa disengaja setiap tangan segera meraba senjata masing-masing. Beberapa bagian dari mereka, yang bersenjata pasangan pedang dan perisai, segera memasang perisai-perisai mereka di tangan kiri. Sedang mereka yang bersenjata tombak, maka tombak-tombak itu sudah tidak mereka panggul di atas pundak mereka. Namun tombak-tombak itu telah merunduk, seolah-olah mereka tidak sabar lagi untuk meloncat menerkam dada lawan-lawan mereka.

Untara semakin mempercepat perjalanan itu. Ternyata laskar Jipang telah lebih dahulu sampai di padang rumput. Namun apabila mereka berjalan cepat, maka mereka masih belum terlambat. Mereka masih akan mencapai sisi padang itu, sebelum laskar Jipang lepas meninggalkannya.

Kening Untara berkerut ketika ia melihat iring-iringan laskar Jipang itu. Meskipun Untara belum dapat melihat dengan jelas, namun sebagai seorang prajurit yang berpengalaman ia segera dapat menebak, bahwa laskar Jipang telah berjalan dalam gelar.

“Mereka telah bersiap Paman” bisiknya kepada Widura.

Widura mengangguk. “Ya” jawabnya. “Gelar yang tidak terlalu luas.”

“Mereka terlalu percaya kepada setiap Senapati dan setiap orang di dalam pasukan mereka.”

Widura mengangguk. Kemudian katanya, “Apakah kau tidak akan membuka gelar sekarang?”

“Gelar apakah yang harus kita hadapi itu? Cakra Byuha, Dirada Meta atau Gedong Minep?” gumam Untara,

“Yang ketiga tidak mungkin” sahut Widura.

Untara mengangguk. ”Ya. Tidak mungkin menilik sifat Macan Kepatihan. Yang paling mungkin adalah Dirada Meta.”

“Aku sependapat. Tetapi bagaimana dengan laskarmu ini?”

Untara berpikir sejenak, Kemudian katanya, “Kalau aku membuka gelar sekarang, maka pasukan ini akan meluas sampai ke tengah sawah. Bagaimana dengan tanaman-tanaman itu?”

Widura mengerutkan keningnya. Tetapi, bagaimana kalau Tohpati dengan tiba-tiba menerjang pasukannya? Karena itu maka katanya, “Kita tidak boleh terlambat. Setiap kejap akan sangat bermanfaat.”

Untara mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekali lagi ia menebarkan pandangan matanya ke sekelilingnya. Sawah yang diwarnai oleh hijau daun-daun padi yang sedang tumbuh. Tetapi ia juga tidak boleh terlambat. Kalau pasukannya terdesak karena kelambatannya, maka tanaman-tanaman itu pun akan hancur pula. Bahkan bukan sekedar tanaman-tanaman itu, tetapi seluruh Sangkal putung akan hancur.

Karena itu, maka Untara itu pun berkata kepada pamannya, “Baiklah Paman. Kita pasang gelar. Garuda Nglayang. Kita harus mencoba menghantam mereka dari depan dan dari sayap-sayap. Dengan gelar yang luas, maka kita akan mendapat keuntungan. Pengawasan akan menjadi lebih mudah sebab pasukan tidak akan terlalu berjejal-jejal. Anak-anak Sangkal Putung’ akan mendapat kesempatan yang cukup.”

Widura menanggguk. Kepada seorang pembawa obor yang berjalan didekatnya Widura berkata, “Berikan obormu.”

Dengan obor itu, kemudian Widura memberikan aba-aba. Diangkatnya obornya tinggi-tinggi. Kemudian digerakkannya obor itu. Sekali berputar kemudian menyilang.

Setiap orang di dalam pasukannya melihat obor itu. Segera mereka bersiap untuk membentuk gelar yang dikehendaki oleh pemimpinnya. Gelar yang memang telah disebut-sebut sebelumnya.

Ketika Widura mengangkat obornya kembali dan membuat gerakan yang sama, maka serentak pasukan itu menebar. Dengan tangkasnya prajurit-prajurit Pajang bergerak menurut garis yang telah ditentukan untuk membentuk gelar itu. Tetapi beberapa orang Sanqkal Putung menjadi ragu-ragu. Batang-batang padi itu adalah batang-batang padi yang mereka tanam, Batang-batang padi yang kini telah tumbuh subur. Kini mereka harus meloncat-loncat menginjak-injak batang-batang padi itu. Namun mereka terpaksa berbuat demikian. Sebab mereka pun menyadari bahwa agak jauh dihadapan mereka, pasukan Macan Kepatihan telah siap untuk menyergap mereka.

“Lihat” bisik Widura kemudian. “Tohpati mempercepat pasukannya.”

“Ya” sahut Untara. “Mereka berlari-lari. Untunglah Paman mempercepat gelar ini.”

”Aku akan bersiap di sayapku, Untara. Apakah Citra Gati telah bersiap pula?”

Keduanya berpaling. Hati mereka menjadi tenteram ketika mereka melihat Citra Gati berjalan menuju ke sayap yang harus dipimpinnya.

Ketika Untara menengadahkan wajahnya, dilihatnya semburat merah telah membayang di langit. Sebentar lagi fajar akan segera pecah di Timur.

“Tohpati mulai tepat pada waktunya Paman” desis Untara.

“Ya. Kita songsong mereka dengan penuh gairah” sahut Widura.

“Nah, silahkan Paman. Silahkan ke sayap sebelah kiri.”

Widura tidak menjawab. Segera ia melangkah cepat-cepat ke sayap kiri. Pedangnya yang besar tergantung di lambung kirinya, berjuntai hampir menyentuh tanah. Sekali ia memandang obor-obor yang meluncur cepat di hadapan mereka, semakin lama semakin dekat.

Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia mengharap dapat bertemu dengan Sanakeling yang bersenjata rangkap di sepasang tangannya. Pedang dan bindi di tangan kiri. Tetapi, meskipun Widura hanya bersenjata tunggal, namun kecepatan geraknya dapat menjadikan pedangnya yang hanya satu itu seakan-akan menjadi berpuluh-puluh.

Kini yang memegang seluruh pimpinan pasukan gabungan Pajang dan Sangkal Putung adalah Untara. Ketika ia melihat Widura dan Citra Gati telah berada di tempatnya, maka ia kini mencoba mencari Agung Sedayu, Swandaru, Hudaya dan Sonya. Ketika ia berpaling dilihatnya Agung Sedayu berjalan sambil menundukkan kepalanya, sedang Swandaru dengan wajah yang bercahaya memandangi obor di kejauhan.

“Dimanakah Hudaya dan Sonya” bertanya Untara.

Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama berpaling pula. Dilihatnya beberapa langkah di belakang mereka berjalan Sonya, dengan senjata berpasang, perisai dan sebuah pedang yang berkilat-kilat. Sedang Hudaya kali ini membawa pedangnya pula, pedang yang tidak terlalu panjang tetapi cukup besar dan tebal. Sedang di lambung kanannya terselip sebuah pisau belati yang panjang. Dalam keadaan yang gawat Hudaya biasa mempergunakan senjata itu berpasangan. Pedang di tangan kanan dan pisau belatinya di tangan kiri.

Disamping mereka berjalan seorang yang cukup tangguh pula. Yang apabila perlu dapat membantu mereka berempat melawan Sumangkar. Orang itu adalah Patra Cilik. Seorang kidal yang lincah dan berbahaya justru karena ia kidal. Senjatanya berada di tangan kirinya. Geraknya benar-benar sukar dimengerti oleh orang-orang yang tidak kidal. Senjatanya adalah sebuah kelewang yang besar dan berat. Sedang ia memasang perisainya justru di tangan kanannya.

Untara menarik keningnya. Mereka berlima akan mendapat pekerjaan yang cukup berat. Sumangkar bukanlah orang sejajar dengan mereka-mereka itu. Namun Untara tidak dapat berbuat lain. Ia sendiri harus memimpin seluruh pasukan dan melawan Macan Kepatihan. Karena itu, betapa ia ingin membebaskan mereka dari Sumangkar, namun tak ada orang lain yang akan dapat melakukannya.

Ketika semua sudah siap di tempat masing-masing, maka Untara memberikan aba untuk mempercepat langkah mereka. Sebuah gelar Garuda Nglayang yang baik, berjalan dalam tebaran yang lengkung.

Semakin dekat mereka dengan laskar Jipang, maka hati mereka menjadi semakin berdebar-debar. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa sebagian dari orang-orang Jipang itu adalah orang-orang yang sudah berputus asa sehingga di dalam pertempuran itu, mereka akan menjadi sangat berbahaya sekali. Mereka sudah tidak tahu lagi tujuan dari peperangan itu, selain menghindarkan diri dari penangkapan. Mereka hanya berperang untuk membunuh atau dibunuh. Tidak ada tujuan lain. Tetapi ada pula di antara mereka yang menyadari betapa kaya rayanya Kademangan Sangkal Putung. Orang-orang ini pun sangat berbahaya pula. Maka mereka seakan-akan telah kabur tertutup oleh kekayaan yang tersimpan di kademangan itu. Emas, permata, barang-barang berharga dan lumbung yang akan akan dapat menjamin hidup mereka untuk waktu yang agak lama.

Kini jarak kedua pasukan itu sudah semakin dekat. Mereka telah dapat .melihat lebih jelas lagi, gelar-gelar apakah yang dipergunakan oleh lawannya. Tetapi Untara sama sekadi sudah tidak terkejut ketika ia melihat Macan Kepatihan datang dengan Gelar Dirada Meta, seperti Macan Kepatihan yang sama sekali juga tidah terkejut melihat Untara memasang gelar Garuda Nglayang.

Langit diatas kepala mereka sudah menjadi semakin terang. Awan yang kelam telah lenyap dihanyutkan oleh angin pagi yang kencang. Satu-satu bintang bermunculan di langit, namun kemudian kembali lenyap. Di ujung timur cahaya pagi telah mulai menyaput langit. Remang-remang mereka telah dapat melihat tanah yang kehitam-hitaman dan bayangan biru kemerah-merahan di atas kepala mereka.

Kini pasukan Untara tidak lagi berjalan menginjak-injak tanaman. Setelah mereka menyeberangi sebuah parit kecil, maka sawah-sawah di seberang parit itu sama sekali sudah tidak terpelihara. Rumput-rumput liar tumbuh dengan suburnya di antara tanam-tanaman liar yang lain. Namun dengan demikian, maka orang-orang Sangkal Putung tidak lagi berjejak dengan ragu-ragu. Kaki-kaki mereka tidak lagi merasa menginjak-injak –tanaman-tanaman mereka yang sedang tumbuh dengan suburnya. Tanah-tanah itu sudah agak lama tidak ditanami, karena para petani takut mendapat gangguan dari orang-orang Jipang yang berkeliaran di sana-sini.

Ketika mereka telah melampaui parit itu, maka segera Untara memberikan perintah-perintah untuk bersiap siaga. Laskar Macan Kepatihan itu berjalan semakin cepat bahkan berlari-lari kecil. Mereka harus dapat memberikan tekanan pada benturan yang pertama.

Ketika udara menjadi semakin terang, maka jelaslah dapat mereka lihat umbul-umbul dan rontek-rontek di kedua belah pihak. Umbul-umbul Jipang tampak berkibar dengan megahnya di keremangan pagi. Rontek dan tunggul-tunggul yang beraneka bentuk. Pasukan itu benar-benar membayangkan kebesaran Jipang. Kebesaran Arya Penangsang yang sakti.

Dan setiap orang Jipang pun, melihat umbul-umbul kecil dan rontek yang hampir tidak berarti didalam pasukan Pajang. Mereka melihat panji-panji kebesaran pasukan Widura. Panji-panji kuning keemasan dengan gambar seekor Garuda yang mengembangkan sayap-sayapnya. Tetapi dada Tohpati berdesir dengan dahsyatnya ketika ia melihat warna2 dari panji-panji yang berkibar di dalam pasukan Widura itu.

Umbul-umbul, rontek dan tunggul-tunggul, bahkan panji-panji kebesaran pasukan Widura sama sekali tidak berarti bagi Tohpati. Bahkan seandainya mereka membawa umbul-umbul yang lebih megah sekalipun. Yang menggetarkan jantungnya adalah ketiga panji-panji yang berkibar ditiup angin pagi. Warna panji-panji itu adalah warna yang; dikenalnya baik-baik sejak masa kemegahan Demak. Gula Kelapa.

Tohpati menarik nafas panjang. Panji-panji itu benar-benar mempengaruhi hatinya. Sekali ia berpaling. Dilihatnya senapati-senapati pengapitnya seakan-akan sama sekali tidak terpengaruh oleh warna panji-panji itu. Mereka sama sekali tidak memperhatikan apakah panji-panji itu berwarna kuning keemasan, apakah panji-panji itu berwarna gula kelapa, apakah warna-warna yang lain. Yang mempengaruhi mereka adalah padesan-padesan Sangkal Putung yang semakin lama semakin jelas. Desa-desa kecil itu hampir tak berarti bagi mereka. Tetapi induk desa Sangkal Putung akan merupakan tempat yang menyenangkan. Harta, benda, dan bahan makanan, ternak serta hewan lainnya. Itu saja.

Tetapi bagi Tohpati sendiri warna itu adalah warna yang sangat berpengaruh. Seandainya ia berhasil merebut Sangkal Putung dan dapat menjadikan Sangkal Putung bukan saja tempat sumber bahan makanan, tetapi dapat menjadikan Sangkal Putung pancadan untuk bergerak seterusnya dan apabila ia dapat memenangkan peperangan melawan Pajang, bagaimanakah sikapnya terhadap warna itu. Apakah ia akan melepaskan warna Gula Kelapa?

“Hem” Tohpati menggeram. “Widura benar-benar gila. Kenapa dibawanya panji-panji itu?”

Nafas Tohpati semakin lama semakin cepat mengalir lewat lubang hidungnya.. Terasa seakan-akan sesuatu menghimpit dadanya. Kembali ia memandang berkeliling. Dilihatnya orang-orangnya berjalan dengan cepat.

Tetapi, tiba-tiba gigi Tohpati itu menggeretak. Diangkatnya tongkatnya tinggi-tingggi, dan tiba-tiba ia berteriak mengumandang di antara pasukannya, “He, apakah kalian melihat panji-panji itu?”

Semua orang berpaling kepadanya. Dan sebagian dari mereka menjawab, “Ya, kami lihat.”

“Kau lihat warnanya?”

”Ya kami lihat, kuning keemasan.”

“Gila,” teriak Tohpati, “bukan itu.”

Semua terdiam. Dan tiba-tiba terdengar Alap-Alap Jalatunda, memekik diantara mereka, “Gula kelapa.”

”Ya. Gula Kelapa. Panji-panji itu adalah panji-panji kebesaran Demak. Orang-orang Pajang tidak berhak mempergunakannya. Panji-panji itu bukan milik Adiwijaya. He, orang-orang Jipang.”

Semua terdiam. Tak seorangpun yang tahu maksud perkataan Macan Kepatihan. Tak seorang pun yang tahu, apakah yang bergolak di dalam hatinya. Tak seorang pun yang tahu, bahwa dada Macan Kepatihan hampir pecah karena warna itu. Warna yang dihormatinya.

Tetapi ia telah menemukan keputusan di dalam hatimya. Ia telah membawa keputusan sejak ia meninggalkan sarangnya. Kebulatan tekad yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Segala sesuatu yang: akan menentukan keadaan untuk seterusnya. Apakah peperangan itu masih akan berlarut-larut atau akan segera dapat diakhiri. Tohpati ternyata telah mendengarkan semua keluhan-keluhan tentang peperangan yang berlangsung tanpa ujung itu.

Karena itu, maka suaranya yang menggelegar terdengar pula, ”Panji-panji itu bukan milik Widura, bukan milik Untara, bukan milik laskar Sangkal Putung. Panji-panji itu adalah milik kalian. Maka, tempuhlah pasukan itu. Rebutlah panji-panjinya. Panji-panji itu akan menjadi panji-panji kebesaranmu.”

Mendengar perintah itu, terdengar laskar Jipang menyambut dengan suara gemuruh. Terdengar mereka bersorak dengan riuhnya dan bersamaan dengan itu, segera mereka berlari-lari semakin kencang menempuh barisan orang-orang Pajang yang sudah menjadi semakin dekat.

Untara mendengar suara gemuruh itu. Ia melihat orang-orang Jipang seakan-akan menyala seperti api yang tersiram minyak.

Sekali Untara itu berpaling. Dilihatnya beberapa orang di dalam pasukannya berkerut mendengar sorak yang riuh itu. Karena itu maka Untara merasa perlu menyentuh perasaan mereka supaya menjadi semakin besar. Katanya tidak kalah lantangnya, “Lihatlah, pasukan lawanmu telah datang. Jangan kau nilai mereka dengan umbul-umbul dan rontek-rontek itu. Betapa mereka sekedar mencari sandaran kekuatan kepada benda peninggalan Arya Penangsang yang telah mati. Nah, siapkan senjata, sambutlah orang Jipang yang sedang berputus asa itu. Antarkan -mereka menurut kehendaknya, sebab mereka sedang membunuh diri.”

Kini orang-orang Pajanglah yang bersorak gemuruh bersama-sama dengan anak-anak muda Sangkal Putung. Mereka tidak sekedar bersorak menyambut kata-kata Untara, tetapi seperti Swandaru mereka berteriak-teriak tak menentu. Mereka meneriakkan semboyan-semboyan2 yang dapat membakar kemarahan orang-orang Sangkal Putung.

Untara mengerutkan keningnya mendengar anak-anak itu berteriak-teriak tak henti-hentinya. Tetapi ia berbesar hati karenanya. Sorak sorak itu menggambarkan tekad mereka yang bulat untuk mempertahankan kampung halaman mereka.

Dalam keriuhan itu terdengar kembali suara Untara, “Pertahankan Sangkal Putung. Pertahankan hak milikmu dan yang terpenting pertahankan keluhuran panji-panji yang berkibar diatas kita. GuIa Kelapa.”

Kembali laskar Sangkal Putung berteriak-teriak. Tingkah laku mereka benar-benar telah dijalari tingkah laku Swandau yang aneh itu. Mereka segera mengacung-acungkan senjata mereka. Bahkan mereka seakan-akan ingin segera meloncat menikam setiap orang di dalam barisan lawan,.

Demikianlah, Untara kemudian menjatuhkan perintahnya terakhir, “Siapkan senjata. Sambut mereka. Perkuat induk pasukan untuk menahan arus Dirada Meta itu. Kemudian pengaruhi segera dengan tekanan pada sisi gelar itu, adalah kewajiban sayap-sayap pasukan ini. Sekarang, sudah sampai pada saatnya,. Apa yang dapat kalian sumbangkan bagi tanahmu itu?”

Sekali lagi terdengar pasukan Pajang bersorak, Suaranya menggelegar seperti gunung runtuh. Disusul suara anak-anak muda Sangkal Putung meneriakkan beberapa macam kalimat yang mereka pelajari dari Swandaru. Kalimat-kalimat yang membakar nyala tekad mereka.

Demikianlah maka kini kedua belah pihak, maju dengan cepatnya. Keduanya berlari-lari dengan luapan kemarahan di dalam setiap dada masing-masing. Seakan-akan mereka merasa bahwa pasukan itu merayap terlalu lambat.

Widura tahu benar apa yang harus dilakukan. Demikian pula Citra Gati,yang memimpin sayap kanan. Kedua sayap itu segera berjalan mendahului induk pasukan, untuk kemudian melingkar cepat-cepat. Ujung-ujung sayap-sayap itu seolah-olah merupakan pasukan-pasukan tersendiri yang siap menusuk lambung pasukan lawannya.

Tohpati menggeram melihat kesempurnaan gelar Garuda Nglayang itu. Karena itu maka sambil berlari maju ia berteriak,”Lihat kekuatan sayap itu. Sayap itu jangan diabaikan, Mereka adalah prajurit Pajang yang baik. Tetapi di antara mereka terdapat titik-titik kelemahan. Sebab di antara mereka ada anak-anak Sangkal Putung. Mereka adalah kelinci-kelinci yang bersembunyi di antara barisan serigala. Nah musnahkanlah kelinci-kelinci itu. Jumlah serigala dari Pajang tidak begitu banyak.”

Suara Tohpati menggema sedemikian kerasnya, bahkan sengaja diulang oleh beberapa pemimpin kelompok laskar Jipang, sehingga setiap anak-anak Sangkal Putung mendengarnya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dada mereka, seakan-akan Tohpati itu melihat, betapa lemahnya mereka di antara prajurit Pajang dan prajurit Jipang.

Tetapi Untara tidak membiarkan mereka berkecil hati. Dengan lantang ia berkata, “Tidak ada manusia yang kebal akan senjata. Hai anak-anak Sangkal Putung. Senjatamu tidak akan kalah tajamnya dari senjata-senjata prajurit Pajang dan Jipang. Kulit orang Jipang pun sama sekali tidak kebal. Karena itu, meskipun mereka prajurit namun leher mereka akan terputus pula oleh senjatamu.”

Tak ada kesempatan untuk bersorak-sorak lagi. Senjata-senjata mereka segera berputar. Kedua pasukan itu pun kini berbenturan. Tohpati dan Untara tidak perlu mencari-cari lawan. Mereka berdua berada di ujung pasukan masing-masing. Karena itu, segera mereka terlibat dalam pertempuran yang dahsyat. Keduanya kini telah memiliki ketangkasan, kemampuan dan kekuatan mereka sepenuhnya. Luka-luka mereka telah benar-benar tidak berbekas. Karena itu, maka perkelahian itu segera menjadi sedemikian sengiitnya.

Namun mereka adalah pemimpin-pemimpin dari seluruh pasukan. Betapa mereka sendiri tenggelam dalam pertempuran, namun mereka masih menyediakan kesempatan untuk mengawasi pasukan masing-masing. Untara masih sempat menyaksikan Widura dengan lincahnya membawa laskar di sayap kiri menusuk langsung ke lambung lawan.

Adalah merupakan kelebihan Widura, bahwa ia menyerang mendahului benturan yang terjadi antara kedua pasukan itu. Dengan demikian, maka Widura telah mengurangi laju pasukan Jipang dengan menarik sebagian dari perhatian mereka ke lambung. Pasukan Jipang dalam Gelar Dirada Meta, menekankan kekuatannya pada pusatnya untuk mematahkan pertahanan lawan, dengan mengurangi perhatian atas sayap-sayap gelar itu. Demikian pula gelar yang dibangun Tohpati itu. Mereka ingin mematahkan induk pasukan Untara. Kalau induk pasukan itu pecah, maka gelar Garuda Nglayang itu pun akan bercerai berai.

Apabila pasukannya berhasil memecah gelar itu, maka Tohpati akan memperluas gelarnya dengan mengembangkan pasukannya. Gading-gading dari Dirada Meta yang dipimpin oleh senapati-senapati pengapit akan dapat berkembang menghancurkan pecahan laskar lawan di sebelah-menyebelah. Tohpati mengharap medan menjadi sempit sesempit-sempitnya. Dalam medan yang sempit maka ketrampilan perseorangan sangat diperlukan, supaya ia tidak saling mendesak di antara kawan sendiri.

Tetapi orang-orang Pajang bukan orang-orang yang baru dalam bidang keprajuritan. Demikian melihat cara bergerak Dirada Meta yang berhahaya itu, Widura segera bertindak cepat. Dengan kekuatan pasukan sayapnya ia mendahului menyerang pada lambung pasukan Tohpati. Hal itu benar-benar di luar perhitungan Macan Kepatihan, sehingga ia terpaksa mengumpat-umpat di dalam hatinya. Mau tidak mau itu terpaksa melepaskan senapati pengapit kanannya untuk melawan sayap Garuda Nglayang yang ganas, yang dipimpin lansung oleh Widura sendiri.

Di sayap lain Untara melihat Citra Gati telah membawa pasukannya menyergap lambung kiri lawan. Tetapi Citra Gati ternyata tidak secepat Widura, Ia mulai mematuk lambung Dirada Meta itu tepat pada saat benturan kedua pasukan itu terjadi. Meskipun demikian ternyata bahwa Citra Gati itu pun tidak terlambat. Pasukan yang dipimpinnya pun kemudian berhasil mengurangi tekanan kekuatan lawan yang benar-benar dipusatkan pada induk pasukan. Mereka berusaha benar-benar untuk memecah tubuh Garuda Nglayang itu dengan membelah paruhnya.

Dalam sekejap maka gemerincing pedang beradu telah membelah kesenyapan pagi. Dalam belaian angin yang kencang, kedua belah pihak mengerahkan segenap kemampuan yang ada pada mereka Tekanan pada saat-saat pertama itu akan berpengaruh pada kebesaran hati masing-masing. Sehingga untuk seterusnya, maka keadaan itu akan berpengaruh pula.

Tetapi, beruntunglah, bahwa di dalam induk pasukan itu berkumpul Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya, Sonya dan Patra Cilik. Mereka adalah orang-orang yang dipersiapkan untuk melawan Sumangkar yang menurut perhitungan Untara dan Widura pasti berada di induk pasukan itu pula.

Namun meskipun kedua pasukan itu kemudian telah terlibat dalam pertempuran, namun Untara masih belum melihat orang yang menggentarkan itu. Karena itu, maka ia bahkan menjadi agak cemas. Jangan-jangan Sumangkar berada di dalam lambung pasukan lawannya atau dimana saja menurut kehendaknya. Pada saat yang demikian itulah maka Untara baru menyadari kesalahannya. Orang semacam Sumangkar agaknya tidak akan dapat diikat dalam gelar yang bagaimanapun baiknya.

Tetapi, ternyata bahwa :kesalahan itu memberi keuntungan pula kepada Untara, meskipun hanya sementara. Arus laskar Jipang dalam Gelar Dirada Meta itu benar-benar dahsyat. Seolah-olah arus air bah yang tanpa kendali melanda: tanggul. Meskipun Widura dengan lincahnya telah berhasil menahan arus itu serba sedikit, serta Citra Gati pun kemudian berusaha untuk menguranginya pula, tetapi benar-benar terasa kedahsyatan gelar Dirada Meta itu.

Agung Sedayu, Swandaru, Hudaya, Sonya dan Patra Cilik yang tidak segera dapat menemukan lawan mereka, tidak dapat membiarkan induk pasukan itu benar-banar terpecah. Dengan tangkasnya mereka segera melibatkan diri dalam peperangan itu. Agung Sedayu benar-benar seorang anak muda yang lincah. Pedangnya dapat berputar secepat baling-baling. Kaki-kakinya dengan sigapnya membawa tubuhnya meloncat-loncat seperti seekor burung sikatan menari di padang rumput yang hijau. Tercerminlah padanya ketangkasan ayahnya dan kelincahan Kiai Gringsing. Namun terbawa oleh sifatnya, hampir setiap kali Agung Sedayu menjadi ragu-ragu membenamkan pedangnya di tubuh lawannya. Setiap kali kepalanya selalu dipenuhi oleh berbagai pertimbangan. Kadang-kadang di saat-saat yang genting, terbayanglah wajah ibunya. Bagaimana tangis perempuan itu, seandainya ibunya itu masih hidup, apabila ia mendengar anaknya mati. Demikianlah kira-kira perempuan-perempuan lain yang kehilangan anak, suami dan ayah-ayah mereka. Itulah sebabnya maka setiap kali ia berhasil melibat lawann.ya, maka tiba-tiba lawannya berhasil melepaskan dirinya. Tetapi lawan-lawannya sama sekali tidak mengetahui, bahwa di dalam dada Agung Sedayu selalu tumbuh keragu-raguan dan kebimbangan. Mereka menyangka bahwa Agung Sedayu sebenarnya masih belum cukup kuat untuk mengalahkannya.

Hanya dalam keadaan yang sangat terpaksa Agung Sedayu dengan hati yang berat; melumpuhkan lawan-lawannya. Sekali-sekali ia terpaksa menyentuh tangan lawannya dengan senjatanya dan menggugurkan pedangnya.

Agung Sedayu pun segera meloncat mencari lawan yang lain Tetapi ia berada di tengah-tengah peperangan. Pengaruh suasana peperangan tak memberinya kesempatan untuk terus menerus dicengkam kebimbangan dan keragu-raguan. Bahkan karena itulah maka lehernya sendiri hampir sobek karena tombak lawannya. Untunglah bahwa ia masih sempat menarik kepalanya dan melindungi lehernya dengan pedangnya. Dengan demikian, maka bagaimanapun beratnya, akhirnya Sedayu mencoba untuk melepaskan seribu macam pertimbangan di kepalanya.

”Kalau terpaksa pedangku membunuh seseorang, maka imbanglah hendaknya korban itu dengan hak yang harus aku pertahankan,” desahnya di dalam hati, “aku sama sekali tidak mempunyai persoalan dengan seorang-orang di antara mereka. Tetapi, setiap pelanggaran atas sendi-sendi kehidupan manusia harus dicegah. Kalau dalam pencegahan itu terpaksa jatuh korban, semata-mata adalah karena kelaliman yang berselimutkan tubuh korban itu. Tubuh itu manusia itu bukanlah tujuanku.”

Pikiran itu telah menempatkan Agung Sedayu pada keadaan yang lebih wajar di tengah-tengah berkecamuknya pedang dan tombak. Ia telah berhasil mengurangi keragu-raguannya. Dengan demikian, maka tandangnya pun segera berubah. Pedangnya menjadi semakin garanq. Bahkan anak muda itu seakan-akan telah menggerakkan berpuluh-puluh pedang dengan berpuluh-puluh tangan. Namun, meskipun demikian, maka setiap luka bekas pedangnya hampir tidak pernah membahayakan nyawa musuh-musuhnya.

Jauh berbeda dengan saudara seperguruannya, Swandaru Geni. Sekali-sekali terdengar ia berteriak nyaring. Pedangnya yang besar, terayun-ayun dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan dengan senjatanya itu, terasa betapa dahsyat kekuatannya. Dengan tekad yang sebulat-bulatnya ia ingin memusnahkan setiap musuhnya. Ia menyadari sepenuhnya, bahwa ia adalah anak Demang Sangkal Putung. Karena itu, maka ia merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan kademangannya. Di peperangan ini ia mendapat kesempatan untuk menumpahkan kemarahan, kebencian dan kemuakannya kepada orang-orang yang ingin merebut kampung halamannya itu. Karena itu, maka tandangnya benar-benar mengerikan.

Di antara mereka, Hudaya yang telah menyediakan diri melawan Sumangkar, telah menggenggam kedua senjatanya. Meskipun kemudian ternyata ia tidak segera bertemu dengan orang yang baginya seperti tokoh dalam dongeng-dongeng itu, namun arus Dirada Meta yang melanda induk pasukan itu terasa benar-benar menggoncangkan paruh Garuda Nglayangnya. Karena itu, meskipun kini tidak dilawannya Sumangkar, namun kedua senjatanya itu merupakan sepasang senjata yang akan dapat membantu menyelamatkan gelarnya. Di sampingnya, Sonya yang bersenjata pedang dan perisai, mengamuk pula sejadi-jadinya, dan agak jauh di sisi yang lain Patra Cilik bertempur dengan gigih.

Di antara mereka, di dalam induk pasukan itu Tohpati dan Untara bertempur dengan dahsyatnya. Terasa benar usaha Tohpati untuk dapat memecah induk pasukan Untara. Pasukannya agaknya telah mendapat perintah yang cermat. Dengan sepenuh tenaga pasukan Jipang itu berdesakan, seolah-olah berkumpul di pusat gelarnya. Di ujung belalai gelar Dirada Meta itu. Bertubi-tubi pasukan itu menghantam tak henti-hentinya.

Untara merasakan tekanan itu. Namun ketika ia melihat Agung Sedayu, Swandaru dan orang-orang yang dipilihnya untuk melawan Sumangkar berada di sekitarnya ia menjadi sedikit tenang. Ia mengharap tenaga mereka benar-benar akan mempengraruhi pasukannya. Sehingga setiap orang yang melihat tandang kelima orang itu, menjadi, berbesar hati dan berjuang semakin berani.

Tetapi apa yang dicemaskan Untara dan juga telah diperhitungkan oleh Tohpati, benar-benar terjadi. Dalam pertempuran itu, tampak betapa anak-anak muda Sangkal Putung kurang dapat menyesuaikan diri mereka. Dalam garis perang yang sempit karena tekanan Dirada Meta yang berat, mereka berdesak-desakan dan bahkan hampir tak mampu menggerakkan senjata mereka, Dengan demikian, maka setiap prajurit Pajang, terpaksa bertempur sambil berusaha memberikan petunjuk-petunjuk kepada mereka. Namun usaha itu tidak banyak berhasil.

Di induk pasukan itu, tentara Jipang; benar-benar seperti banjir yang mengamuk melanda bendungan. Berangsur-angsur dan terus menerus. Mereka telah benar-benar terlatih dalam olah peperangan, di tambah lagi dengan beberapa keadaan yang menjadikan mereka bertambah garang.. Sebagian dari mereka bertempur dalam keputus-asaan tentang hari depan yang baik baginya, sedang sebagian lagi dengan penuh nafsu untuk merebut Sangkal Putung dengan segala isinya.

Untara sendiri tidak lepas dari kesibukan melawan Macan Kepatihan dan kesibukan memperhatikan induk gasukannya ini. Sekali-sekali terdengar ia menggeram marah. Namun ia harus mengakui bahwa kekuatan lawan benar-benar dipusatkan pada induk pasukan ini,. Mereka mempergunakan cara mengorbankan pasukan-pasukan sayap mereka atau gading-gading Dirada Meta itu. Tetapi mereka ingin secepat-cepatnya berhasil memecah paruh Garuda Nglayang. Pecahnya induk pasukan itu akan sangat berpengaruh atas kekuatan gelar Garuda Nglayang, dan terutama atas kebesaran hati prajurit Pajang dan laskar Sangkal Putung.

Keadaan Untara itu semakin lama menjadi semakin sulit. Betapa Agung Sedayu, Swandaru Geni, Hudaya. Sonya dan Patra Cilik membantunya, mengamuk sejadi-jadinya, namun kekuatan lawan itu benar-benar tidak dapat diabaikan. Bahkan terasa mereka benar-benar telah mendesak maju menyusup kedalam pasukan Untara.

”Bukan main” geram Untara. Ia harus cepat mengambil sikap sebelum pasukannya pecah. Ia tidak dapat berteriak untuk mendapatkan bantuan Widura dan Citra Gati. Sebab ia dapat melihat kesibukan mereka. Tetapi mereka tidak mengalami tekanan seperti di induk pasukan ini.. Bahkan dalam beberapa hal, Widura nampaknya masih agak tenang, dan bahkan berhasil menekan lawannya.

Ketika kedudukan induk pasukannya itu semakin sulit, maka Untara terpaksa berbuat sesuatu. Sambil bertempur melawan Macan Kepatihan ia membuat perhitungan-perhitungan, Ia tidak mau melihat paruh dan tubuh Garuda-nya terpecah. Ia harus berbuat. Tetapi apa yang akan dilakukan itu mengaindung segi-segi kemungkin yang lemah. Apabila pasukan-pasukan pengapit tidak tanggap pada sasmitanya, serta pasukan di induk pasukan itu sendiri kurang pandai melakukan gerakannya, maka laskarnya benar-benar akan terpecah. Tetapi, apabila ia tidak berbuat sesuatu, maka laskarnya pun pasti terpecah pula.

Karena itulah maka Untara berteriak sambil bertempur memanggil Hudaya. Orang ini, meskipun belum sekuat Agung Sedayu dan Swandaru, namun ia memiliki pengalaman yang lebih banyak. lebih matang dalam pertempuran-pertempuran gelar, dan ia adalah prajurit Pajang.

Mendengar namanya disebut, Hudaya berusaha untuk mendekati Untara yang bertempur mati-matian. Agung Sedayu dan Swandaru pun berusaha untuk melindunginya.

“Perluas medan” teriak Untara.

Yang terdengar adalah suara tertawa Tohpati, Sambil mengayunkan tongkatnya ia menjawab, “Jangan pancing kami dengan cara apapun. Kau tidak akan berhasil. Kami sudah memperhitungkan dengan cermat, apa yang akan terjadi. Lebih cermat dari Senapati Pajang yang dipercaya di daerah lereng Merapi, Untara.”

Dada Untara hampir meledak mendengar hinaan itu. Tetapi ia berusaha untuk tetap mempergunakan akalnya daripada perasaannya yang dibakar oleh kemarahan.

”Adalah kewajibanmu Hudaya, untuk berbuat sesuatu di induk pasukan ini” teriak Untara, “Perluas medan dan perhatikan sisi induk pasukan ini. Tarik beberapa langkah surut.”

“Gila” teriak Tohpati. Dan ia pun berteriak, “Pusatkan kekuatan pada paruh ini. Pecah dan hancurkan.”

Hudaya tidak menunggu perintah berikutnya. Ia tahu benar apa yang harus dilakukan, Tetapi dalam pada itu, pasukan Jipang pun memperketat tekanannya. Mereka menyadari, bahwa mereka tidak boleh merubah tata perang yang menguntungkan itu.

Namun, peperangan itu adalah perang terbuka dalam gelar yang terbuka. Betapapun mereka mengetahui siasat lawan, namun ternyata bahwa ada hal-hal yang memaksa mereka untuk tidak berbuat sekehendak sendiri,. Mereka harus menyesuaikan dengan cara lawan mereka menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi.

Hudaya yang kemudian mundur itu, langsung berteriak kepada setiap pimpinan kelompok, “Perluas medan. Lihat apa yang aku lakukan. Sonya, hancurkan sisi kanan induk pasukan ini, aku akan menempuh sisi kiri. Agung Sedayu bersama aku, dan bawalah Swandaru dan Patra Cilik. Kelompok pertama ada padaku, dan kelompok ketiga, keduanya dari laskar Sangkal Putung ada pada Sonya.”

Beberapa pemimpin kelompok mendengar teriakan itu. Mereka tidak segera dapat melakukan perintah Untara lewat Hudaya itu. Tetapi beberapa pemimpin segera dapat mengerti. Gerakan itu sangat sulit dilakukan. Namun mereka harus berusaha. Ketika kelompok-kelompok pertama dan ketiga dari laskar Sangkal Putung berusaha memisahkan diri menurut perintah itu, terasa tekanan laskar Jipang menjadi semakin berat.

Hudaya bersama Agung Sedayu dan Sonya bersama Swandaru dan Patra Cilik segera menembus pertempuran itu ke sisi induk pasukan. Beberapa orang Pajang yang berpengalaman mencoba menuntun kedua kelompok laskar Sangkal Putung itu. Mereka tidak dapat berbuat lain daripada mengundurkan diri lebih dahulu, kemudian dari belakang pertempuran mereka melingkar ke sisi sebelah menyebelah.

Dengan demikian maka induk pasukan itu untuk sesaat benar-benar terdesak mundur. Untara sendiri memang sudah memperhitungkan keadaan itu, sehingga ia pun ikut melangkah surut. Bahkan ia meluncur agak jauh ke belakang di antara anak buahnya yang masih belum menemukan bentuk yang serasi.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar