Buku 037
Pasukan kecil itupun segera
menghilang dari pengawasan Pasukan Sidanti. Mundur dengan tergesa-gesa,
merangkak di antara batang-batang jagung muda, supaya mereka dapat bergabung
dengan pasukan cadangan yang agak besar, yang menunggu di padukuhan kecil di
belakang mereka. Mereka mencoba menghilangkan segala macam jejak, agar Sidanti
tidak mengetahui dengan pasti, bahwa mereka telah ditunggu di padukuhan kecil
itu. Sedang para pengawal berkuda, menyingkir ke arah yang lain agak jauh.
Namun mereka telah mempersiapkan diri untuk dengan tiba-tiba terjun di
peperangan.
Ketika Sidanti menyadari,
bahwa lawannya yang kecil telah menghilang, maka segera ia bercuriga. Mereka
pasti akan menyerang lagi dengan tiba-tiba. Dan Sidanti telah mempersiapkan
dirinya. Beberapa orang berperisai berada di depan pasukannya, agar perisai itu
dapat melindungi mereka dari anak-anak panah yang dilontarkan oleh lawan-lawan
mereka
Tetapi naluri Sidanti sebagai
seorang prajurit, telah memperingatkannya, bahwa di depan pasukannya di dalam
padukuhan kecil itu, bahaya yang lebih besar sedang menunggunya. Dan Sidanti
agaknya mempercayai sentuhan nalurinya itu, sehingga dengan demikian, ia telah
mempersiapkan pasukannya sebaik-baiknya.
Karena itu, ketika Sidanti
memasuki padukuhan kecil itu, mereka sama sekali tidak terkejut ketika
tiba-tiba saja pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyergap mereka. Yang
sejenak kemudian disusul oleh pasukan berkuda yang tidak terlampau banyak
jumlahnya. Dengan menggeretakkan giginya, Sidanti dan Argajaya telah menyambut
lawan-lawannya dengan penuh nafsu. Senjata-senjata mereka segera berputaran
seperti angin ribut, menyerang setiap orang yang berada di sekitarnya.
Perang yang terjadi di medan
inipun adalah perang brubuh. Dengan kekuatan yang lebih kecil, pasukan pengawal
Menoreh mencoba bertahan dari arus yang melanda seperti banjir bandang. Apalagi
di antara mereka terdapat Sidanti dan Argajaya.
Pada saat benturan itu mulai,
sudah terasa oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, bahwa arus itu ternyata
terlampau kuat. Sehingga menurut perhitungan mereka, mereka pasti tidak akan
dapat menahannya dalam keadaan serupa itu. Karena itu, maka mereka harus
memanggil kawan-kawan sebanyak-banyaknya, untuk bertahan, agar Tanah Perdikan
Menoreh tidak digulung oleh Sidanti, Argajaya. dan orang-orang yang telah
berpihak kepadanya.
“Kita tidak punya kesempatan,”
geram pemimpin pasukan Menoreh, “para penghubung akan memerlukan waktu untuk
menghubungi orang-orang yang bersedia dengan suka rela bertempur saat ini.”
“Hampir semua laki-laki dan
anak-anak muda telah berada di barisan.”
“Siapa pun juga. Panggil
mereka dengan tanda.”
“Kentongan.”
“Ya, titir.”
“Apakah tidak akan menimbulkan
kecemasan dan kebingungan?”
“Terpaksa kita lakukan.
Keadaan sangat gawat di sini.”
Penghubung itu tidak
membantah. Ia mencari kesempatan untuk melepaskan diri dari perang brubuh.
Kemudian dengan berlari secepat-cepat mungkin dapat dilakukan, ia menuju ke
gardu terdekat. Dan sejenak kemudian, menggemalah suara kentongan dalam irama
titir yang panjang mengumandang membelah sepinya malam.
Ternyata suara itu telah
menggemparkan setiap gardu-gardu perondan. Gardu-gardu yang biasanya ditunggui
oleh lima atau enam orang, kini tinggal diisi oleh dua orang, karena yang lain
sudah ditarik di medan-medan peperangan. Dan suara titir itu telah memanggil
mereka pula untuk membantu langsung ke medan-medan. Tetapi sebelum mereka
meninggalkan gardu mereka, maka lebih dahulu mereka telah menyambung suara
titir itu merambat dari gardu ke gardu, sehingga akhirnya, seolah-olah seluruh
Tanah Perdikan Menoreh telah meneriakkan irama kecemasan oleh pertentangan di
antara mereka sendiri.
“Titir,” desis seseorang di
sebuah gardu, “iramanya rata diseling oleb pukulan dua dua.”
“Ya, pertanda bahwa bahaya
datang dari timur.”
Setetah menyambung suara titir
itu sejenak, maka kedua orang di gardu itupun segera berlari-lari menuju ke
padukuhan kecil di sebelah timur padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun meskipun pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang masih mungkin meninggalkan tugasnya mengalir satu-satu ke
medan di sebelah Timur, namun ternyata kekuatan Sidanti bagaikan badai yang
dahsyat melanda daun alang-alang yang ringkuh. Sehingga sejenak kemudian, maka
korban pun segera berjatuhan membujur lintang di atas tanah kelahiran yang
dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.
Sementara itu, di medan
sebelah barat, pasukan Samekta telah hampir berhasil menguasai lawannya,
meskipun pasukan sayap kirinya masih belum dipergunakannya. Namun akhirnya Samekta
tidak ingin berkelahi lebih lama lagi. Ia berhasrat untuk segera memanggil sisa
pasukannya, agar pertempuran itu semakin cepat berakhir, dan korban pun tidak
bertambah-tambah lagi.
Tetapi dalam pada itu hatinya
berguncang, ketika lamat-lamat ia mendengar suara kentongan, merayap semakin
lama semakin dekat. Kemudian suara itu seolah-olah telah melingkar bergema di
segenap sudut Tanah Perdikan Menoreh. Berkumandang memukul lereng pebukitan,
kemudian memantul kembali sahut menyahut.
Dada Samekta yang berguncang
itu terasa semakin menggelapar, ketika ia mendengar suara Peda Sura datar, ”Kau
dengar suara kentongan itu?”
Samekta menggeram.
“Pasukan Sidanti yang kuat
telah datang dari arah timur.”
Samekta tidak menjawab. Tetapi
terdengar giginya gemeretak. Suara titir itu telah langsung memberitahukan
kepadanya, bahwa pasukan cadangan tidak cukup kuat untuk menahan arus lawan
yang baru itu. Bahkan keadaan mereka pasti sangat berbahaya.
Tiba-tiba terbersit ingatan di
kepalanya, “Pasukan sayap kiri.”
Belum lagi Samekta berbuat
sesuatu, seorang penghububung dengan susah payah, setelah menerobos perang
brubuh itu berhasil mendekatinya. Dan sebelum orang itu mengucapkan sepatah
kata pun, Samekta mendahuluinya, “Kau memerlukan bantuan?”
Orang itu mengangguk, “Ya.”
“Di padukuhan sebelah, sayap
kiri dari pasukan ini masih belum melibatkan diri dalam peperangan.”
Orang itu menganggukkan
kepalanya. Tanpa menunggu perintah berikutnya, ia bergeser untuk dengan cepat
menghubungi pasukan yang masih belum melibatkan diri dalam peperangan itu.
Namun langkahnya terhenti ketika Samekta memanggilnya, “Tunggu!”
Pengawal itu tertegun sejenak.
Tetapi dilihatnya Samekta menjadi ragu-ragu. Sejenak Samekta telah melepaskan
diri dari perkelahian melawan Peda Sura, dan membiarkan Pandan Wangi dan
beberapa orang lain yang membantunya bertempur terus.
“Apakah keadaan sangat parah?”
Orang itu ragu-ragu sejenak,
namun kemudian ia menggangguk.
Sekali lagi Samekta
tertegun-tegun dalam keragu-raguan. Sejenak dipandanginya Pandan Wangi yang
sedang bertempur itu. Ternyata kemampuan gadis itu jauh berada di atas
kemampuannya sendiri, tetapi masih belum dapat mengimbangi kemampuan Peda Sura
yang ganas, garang, dan bahkan kadang-kadang di luar perhitungan.
Betapapun banyaknya bekal yang
dibawa Pandan Wangi dalam olah kanuragan dan keprigelan, tetapi di dalam
peperangan apalagi perang brubuh melawan orang-orang yang sama sekali tidak
mengenal unggah-ungguh, tanggung jawab terhadap keperwiraan dan kesatriaan dan
bahkan tata kesopanan olah peperangan, Pandan Wangi adalah orang baru sama
sekali. Ia harus mendapat banyak tuntunan dan petunjuk untuk menerapkan
bekalnya yang cukup banyak itu.
“Ia dapat tersesat,” berkata
Samekta di dalam hatinya, “ia dapat menjadi ngeri dan kehilangan kemampuan untuk
tetap bertahan setelah melihat darah dan kebiadaban ini berlangsung di depan
matanya. Tetapi apabila ia cukup tabah, maka ia dapat nenjadi salah mengerti.
Disangkanya, bahwa memang demikianlah isi dari peperangan. Orang dapat
melepaskan segala sifat-sifat kemanusiaan dan peradaban sehingga seseorang di
dalam peperangan dapat berbuat apa saja tanpa bertanggung jawab.”
Pandan Wangi, meskipun ia
orang baru di medan peperangan, ternyata tanggapan terhadap keadaan demikian
tajamnya, sehingga seolah-olah ia mengerti apa yang terpikir di dalam kepala
Samekta. Namun meskipun demikian, di dalam kepalanya sendiri terjadi juga
keragu-raguan dan kebimbangan. Ada hasratnya untuk meninggalkan medan ini dan
pergi ke medan yang sedang parah, itu terdorong oleh tanggung jawabnya sebagai
seorang puteri kepala tanah perdikan. Tetapi ia ragu-ragu, apakah ia dapat
menghadapi Sidanti, kakaknya sendiri, sebagai lawan di peperangan, meskipun ia
yakin, bahwa kini seorang lawan seorang, ia tidak berada di bawah kemampuan
kakaknya itu
Namun tiba-tiba ia berkata,
“Paman, tinggalkanlah aku di sini. Aku akan mencoba menyelesaikan tugas
pengawal-pengawal Menoreh di sini. Silahkanlah Paman pergi ke medan di sebelah
timur yang memerlukan bantuan itu, sambil membawa pasukan sayap kiri yang masih
utuh di padukuhan sebelah.”
Samekta mengatupkan bibirnya
rapat-rapat. Ia masih diombang-ambingkan oleh keragu-raguan. Terasa dadanya
berdesir ketika ia mendengar Pandan Wangi berkata seterusnya, sambil memutar
pedangnya, melawan serangan-serangan Peda Sura yang membadai, “Pergilah Paman.
Sekejap dalam keadaan ini akan sangat bermanfaat. Jangan buang-buang waktu
dengan terus menerus dicengkam kebimbangan.”
“Hem,” Samekta menggeram di
dalam hatinya, “justru Pandan Wangi yang memberi petunjuk kepadaku. Tetapi aku
kira memang tidak ada jalan lain untuk menyelamatkan tanah ini.”
Karena itu, maka Samekta
itupun menyahut, ”Ya Ngger. Aku akan pergi. Tinggallah di sini bersama pasukan
ini.” Lalu kepada orang tertua di dalam kelompok kecil yang sedang melawan Peda
Sura itu, ia berpesan, “Kau mempunyai pengalaman jauh lebih banyak dari Angger
Pandan Wangi. Kau dapat memberinya banyak petunjuk. Tetapi kekuasaan ada di
tangannya sepeninggalku.”
Orang itu mengangguk, “Ya, aku
akan mencoba.”
Samekta masih juga ragu-ragu.
Tetapi ia tidak banyak mempunyai waktu. Ia harus segera berbuat sesuatu. Dan ia
pun segera mengambil keputusan. Kepergiannya tidak akan banyak berpengaruh di
medan ini, tetapi mungkin akan berguna di medan yang lain.
Sejenak Samekta masih berdiri
di tempatnya. Agaknya ia masih mencoba meyakinkan dirinya, apakah Pandan Wangi
dapat ditinggalkannya. Dan sekali lagi ia melihat, betapa gadis itu dengan
lincahnya meloncat-loncat melayani lawannya, dibantu oleh beberapa orang
terpilih dari para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.
“Hati-hatilah Ngger,” desis
Samekta kemudian. Sejenak ia menunggu dan didengarnya Pandan Wangi menyahut di
sela-sela dentang senjatanya, “Baik Paman.”
Samekta segera meninggalkan
arena itu. Disumbatnya segenap keragu-raguan dengan menggeretakkan giginya. Ia
mencoba melepaskan segala macam kebimbangan, dan ia pun segera menerobos perang
brubuh yang kisruh, menuju ke padepokan di sebelah
Tanah Perdikan Menoreh memang
sedang memerlukan tenaganya. Ia harus memimpin pasukan yang tersisa itu. Namun
demikian, hatinya terasa terlampau gelisah. Ia telah salah memperhitungkan cara
yang akan ditempuh oleh Sidanti. Ternyata Sidanti benar-benar seorang prajurit
yang baik. Ia memancing para pengawal dengan pasukan yang tidak terlampau kuat.
Namun kemudian induk pasukannya justru menyerang dari arah lain.
“Kami telah kehilangan
kesempatan,” gumam Samekta di dalam hatinya, “kalau kami berhadapan
bersama-sama, maka kekuatan Menoreh pasti lebih besar dari kekuatan Sidanti.
Seandainya kami bertempur dalam gelar, maka dapat dipastikan bahwa pasukan
Sidanti akan pecah. Tetapi dengan cara ini, pasukan Menoreh banyak kehilangan.
Sidanti berhasil membinasakan pasukan Menoreh sedikit demi sedikit. Waktu yang
dipergunakan oleh Sidanti, untuk mengurangi sebanyak-banyaknya kemampuan
perlawanan pasukan Menoreh.”
Tiba-tiba Samekta menggeram.
Ia adalah orang yang telah cukup makan pahit asamnya peperangan. Namun kali ini
ia tidak berhasil menanggulangi siasat Sidanti.
“Mudah-mudahan aku tidak
terlambat sekali.”
Samekta kemudian dengan
tergesa-gesa masuk ke padukuhan sebelah, menemui pemimpin sayap kirinya. Dengan
singkat, pasukan itu mendapat penjelasan apa yang harus dilakukan.
Dengan tergesa-gesa Samekta
segera membawa pasukan kecil itu menuju ke medan di sebelah timur. Dengan
berlari-lari kecil ditelusurinya pematang, diloncatinya parit dan ladang-ladang
terpaksa di sasaknya tanaman-tanaman di pategalan-pategalan untuk menempuh
jalan yang memintas. Jalan yang paling pendek untuk mencapai medan sebelah timur,
hampir mencapai padukuhan induk.
Kedatangan pasukan Samekta,
beserta Samekta sendiri, memberikan gairah baru bagi pasukan Menoreh yang
sebenarnya telah terlampau parah. Korban telah banyak berjatuhan dan daya
perlawanan mereka pun telah hampir punah. Tetapi pasukan yang segar ini telah
membawa udara baru. Dengan cara seperti yang telah ditempuhnya membuat
kelompok-kelompok kecil, para pengawal menghadapi Sidanti dan Argajaya. Mereka
harus berusaha untuk mengurung kedua orang itu pada tempat tertentu, supaya
kedahsyatan ujung senjata mereka tidak menjalar di seluruh medan.
Sejenak desakan pasukan
Sidanti agak tertahan. Tetapi sejenak kemudian Samekta pun segera merasakan,
bahwa tekanan pasukan lawan itu benar-benar tidak dapat dibendung lagi. Pasukannya
datang ketika pasukan yang terdahulu sudah hampir tidak berdaya sama sekali,
sehingga seakan-akan pasukan yang baru itu sajalah yang kini harus bertempur
melawan seluruh kekuatan Sidanti.
Samekta itu menggeram, ketika
ia mendengar jerit seseorang di dekatnya. Sebatang tombak telah menembus
dadanya, menyusup di antara tulang-tulang rusuknya meraba jantung.
“Perlawanan ini tidak dapat
dipertahankan,” berkata Samekta di dalam hatinya, “kami akan ditumpasnya
seperti batang ilalang yang disapu angin pusaran yang dahsyat.”
Tiba-tiba Samekta mengambil
sesuatu keputusan yang berbahaya, tetapi yang paling mungkin dilakukan. Selagi
pasukannya masih cukup segar, maka diperintahkannya seseorang untuk segera
menghubungi Wrahasta, “Sampaikan kepadanya, pasukan akan mundur sampai ke induk
padukuhan Menoreh. Ungsikan sedapat mungkin semua penghuninya. Kami akan
bertahan bergabung dengan pasukan Wrahasta. Itu yang paling mungkin kami
lakukan, karena Wrahasta tidak akan dapat meninggalkan halaman menurut perintah
Ki Gede. Setidak-tidaknya, kami akan bertempur di padukuhan induk. Dengan
demikian kami akan mendapat banyak bantuan daripadanya.”
Penghubung itupun segera
meninggalkan medan, langsung menemui Wrahasta di halaman rumah Ki Argapati.
Wajah Wrahasta segera menjadi
tegang dan menyala. Katanya, ”Jadi pasukan Menoreh tidak mampu menahan arus
kekuatan Sidanti?”
Penghubung itu menggeleng.
Wrahasta berdiri tegang di
tempatnya. Ia dapat mengerti cara berpikir Samekta meskipun itu suatu permainan
yang sangat berbahaya. Namun seandainya tidak demikian, dan pasukan Samekta itu
tertumpas habis, maka Sidanti pun pasti akan berhasil merebut rumah Ki Argapati
ini. Karena itu, memang tidak ada jalan lain daripada menarik pasukan itu dan
bergabung dengan pengawal rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tidak
akan menunggu pasukan Sidanti memasuki halaman, tetapi mereka akan menyongsong
mereka di ujung pedukuhan.
Maka Wrahasta pun kemudian
menggeram, “Sampaikan kepada Paman Samekta, pasukanku akan menunggu di ujung
pedukuhan.”
Penghubung itu tidak menunggu
apapun lagi. Segera ia meloncat berlari kembali ke medan. sementara Wrahasta
berusaha untuk menyingkirkan perempuan dan anak-anak meninggalkan pedukuhan
induk, ke padukuhan yang dianggapnya aman. Dengan Samekta dan pasukan-pasukan
yang lain telah dibuat kesepakatan, bahwa apabila terpaksa, mereka memang harus
menempatkan keluarga mereka di padukuhan tersebut. Bahkan dalam keadaan serupa
itu, kemungkinan yang paling pahit pun harus dipikirkan. Apalagi pasukan mereka
terpaksa mundur, maka mereka akan menempatkan diri di padukuhan di hadapan
padukuhan pengungsian itu. Dan Wrahasta pun harus menyiapkan
penghubung-penghubung untuk keperluan tersebut. Sebab ia tidak akan dapat
menghindarkan diri dari kenyataan, sesuai dengan laporan penghubung yang datang
dari medan di sebelah timur.
Dengan susah payah penghubung
yang telah berhasil menemui Wrahasta itu dapat melaporkan hasilnya kepada
Samekta, meskipun ia harus menembus perang yang semakin sengit berkobar di
medan itu. Dan Samekta pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ia tidak dapat
membiarkan orang-orangnya menjadi semakin parah. Karena itulah, maka segera ia
memerintahkan penghubung-penghubungnya menyampaikan perintahnya ke segenap
kelompok dan bahkan ke segenap orang, supaya di antara mereka tidak ada yang
tertinggal, untuk menarik diri sampai ke ujung padukuhan induk.
Ternyata pasukannya yang telah
menjadi semakin parah itupun agaknya tidak dapat bertahan lebih lama lagi.
Disaat-saat terakhir mereka telah mencurahkan segenap sisa kemampuan mereka
untuk bertahan terus. Seandainya Samekta tidak mengeluarkan perintah itu, maka
pasukan Menoreh justru akan terpecah tanpa dapat dikendalikan lagi.
Kini sambil mempertahankan
hidup masing-masing, para pengawal itu menarik diri. Mereka belum tahu pasti
apakah yang akan terjadi setelah mereka sampai di padukuhan induk. Sudah tentu
Samekta tidak dapat meneriakkan rencananya itu di medan perang.
Namun meskipun demikian,
beberapa orang pemimpin kelompok dapat segera memahami maksud Samekta, karena
mereka tahu benar, bahwa di padukuhan induk masih tersisa beberapa bagian dari
kekuatan pasukan pengawal Menoreh.
Demikianlah, seperti didorong
oleh banjir bandang, maka dengan cepatnya peperangan itu bergeser. Menyeberangi
sebuah bulak kecil menuju ke padukuhan induk.
Sidanti dan Argajaya memang
memperhitungkan juga, bahwa di padukuhan induk itu pasti masih ada kekuatan
yang akan dapat membantu pasukan Menoreh. Tetapi mereka yakin, bahwa
kekuatannya sudah tidak akan dapat dibendung lagi. Kekuatan Menoreh yang telah
dihancurkannya sedikit demi sedikit, kerena siasatnya yang berhasil, tidak akan
mampu menghimpun diri dalam waktu yang terlampau pendek. Dengan demikian,
mereka sudah memastikan, bahwa malam ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh
akan jatuh ketangan mereka.
“Kita tinggal mengatur,
bagaimana kita harus mempertahankan padukuhan induk itu untuk seterusnya,”
berkata Sidanti di dalam hatinya.
Sementara itu, medan yang
bergeser itupun semakin lama menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Dentang
senjata, pekik sorak, dan keluhan yang tertahan, mewarnai malam yang semakin
dalam. Di kejauhan masih juga terdengar satu-satu suara kentongan. Namun telah
kehilangan gairah dan bahkan seakan-akan menjadi ngelangut, seperti nada-nada
tembang dalam keputus-asaan.
Dan ternyata bahwa suara titir
yang ngelangut itu telah mempengaruhi medan di sebelah barat. Sepeninggal
Samekta, pasukan Menoreh telah dilanda oleh kegelisahan yang dahsyat. Kalau
semula mereka hampir berhasil menguasai keadaan, maka semakin lama harapan
itupun menjadi semakin tipis. Pengaruh suara tetir yang seolah-olah meneriakkan
pedih yang menyengat jantung Tanah Perdikan Menoreh, agaknya membuat para
pengawal itu kini menjadi cemas. Mereka justru mencemaskan nasib kawan-kawan
mereka di medan sebelah timur daripada memikirkan nasib mereka sendiri.
Meskipun demikian, para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh masih tetap dalam keadaan yang cukup baik.
Orang-orang Peda Sura masih belum mampu untuk merubah keadaan terlampau banyak.
Meskipun kini mereka tidak terlampau tertekan, namun mereka masih juga belum
dapat bernafas leluasa.
Namun sementara itu, suara
titir yang bergema menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh itu, terdengar
pula dari Pucang Kembar. Ki Argapati yang sedang bertempur antara hidup dan
mati, melawan Ki Tambak Wedi, mendengar juga suara dan irama titir itu. Karena
itu, maka sejenak ia terpengaruh. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut.
“Ha,” berkata Ki Tambak Wedi
sambil menyerangnya, ”kau dengar suara titir yang memekik-mekik itu? Dengarlah.
Bukankah suaranya seperti tangis bayi yang memanggil-manggil ibunya, karena
ketakutan melihat seekor harimau yang mendekatinya sambil memperlihatkan
taringnya serta kuku-kukunya yang tajam?”
Argapati tidak menjawab.
Tetapi terdengar ia menggeram sambil memutar tombaknya.
“Jangan berpura pura Argapati.
Kau harus tahu, bahwa pasukan pengawalmu saat ini sedang dilanda oleh arus
pasukan Sidanti. Kalau kau masih selamat Argapati, kau akan melihat bangkai
bertimbun-timbun.”
Argapati masih tetap membisu.
Tetapi senjatanya masih tetap mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
“Huh,” Ki Tambak Wedi
melanjutkan, “agaknya kau terlampau mementingkan dirimu sendiri. Kau sama
sekali tidak berpikir tentang orang-orangmu yang sedang sekarat.” Ki Tambak Wedi
berhenti sejenak. Ia terpaksa menghindar jauh-jauh karena ujung tombak Argapati
menyambar lambungnya. Hampir saja lambungnya itu tersobek oleh senjata
lawannya.
“Alangkah garangnya kau,” ia
melanjutkan, “tetapi bayangkan, apakah kau yakin, bahwa Pandan Wangi mampu
menyelamatkan dirinya, meskipun ia seorang gadis yang garang? Kali ini jangan
diharapkan Sidanti akan menolongnya lagi seperti pada saat ia hampir dibantai
oleh orang-orang liar yang berdiri di pihak kami. Ha, kau harus tahu, bahwa
sudah ada kesepakatan, bahwa Sidanti tidak akan menghalang-halangi lagi siapa
pun yang dapat menangkap puterimu yang cantik itu untuk diperlakukan sekehendak
hati.”
Tiba-tiba Argapati menggeram
dahsyat sekali, seolah-olah udara malam tergetar karenanya. Kata-kata Ki Tambak
Wedi, yang sengaja dilontarkan untuk mempengaruhi perasaan Argapati,
benar-benar mencapai sasarannya. Tetapi akibatnya justru sebaliknya. Argapati
tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Namun tiba-tiba Kepala Tanah
Perdikan Menoreh itu seolah-olah berubah menjadi seperti banteng yang sedang
terluka. Dan luka itu justru menambahnya menjadi lebih berbahaya.
Ki Tambak Wedi terkejut
melihat perubahan itu. Ia mengharap Ki Argapati menjadi lengah dalam
kebingungannya. Namun agaknya Argapati adalah seorang yang benar-benar telah
matang. Meskipun ia marah bukan buatan, tetapi dalam kesadarannya ia tidak
menjadi mata gelap dan kehilangan pegangan. Dengan sepenuh kesadaran ia berkata
di dalam dirinya, “Aku harus berbuat sebaik-baiknya, supaya aku dapat keluar
dari perkelahian ini.”
Kemarahan yang didasari
sepenuh kesadaran, membuat Ki Argapati menjadi semakin garang. Tombaknya
menyambar-nyambar dari segenap arah dan mematuk dengan tiba-tiba, seperti
seekor ular yang bersayap.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi mengumpat
di dalam hatinya, “orang ini justru menjadi semakin gila. Apakah suara titir
itu tidak didengarnya?”
Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
dapat mengingkari kenyataan, bahwa tekanan Argapati justru semakin sengit.
Beberapa kali Ki Tambak Wedi harus menghindar sambil melangkah surut, sebelum
ia mapan untuk melawan. Agaknya senjata Ki Tambak Wedi yang sudah tidak genap
sepasang itu mempengaruhinya pula, karena senjata Ki Argapati agak lebih
panjang dari senjatanya, meskipun berujung rangkap.
“He, apakah kau tuli,
Argapati,” berteriak Tambak Wedi itu pula, “apa kau tidak mendengar suara titir
itu? Mungkin anakmu kini telah terbunuh. O, itu lebih baik baginya, tetapi
bagaimana kalau Pandan Wangi itu dapat ditangkap oleh orang-orang liar yang
kemarin mencegatnya?”
Argapati masih tetap berdiam
diri. Namun serangannya menjadi semakin dahsyat. Putaran tombaknya menimbulkan
goncangan pada pepohonan dan ranting-ranting disekitarnya, seolah-olah sedang
dilanda angin pusaran.
“Hem,” Tambak Wedi berdesah,
“tak ada pilihan lain. Semakin lama orang ini menjadi semakin gila. Aku harus
segera membinasakannya, supaya aku sempat melihat Sidanti memasuki rumah Kepala
Tanah Perdikan Menoreh.”
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi segera mempertimbangkan untuk memanggil orang-orangnya yang bersembunyi.
Ia kini ingin segera selesai. Ia sudah menjadi muak melihat tingkah laku
Argapati. Tidak, bukan karena muak. Sebenarnyalah bahwa ia justru mengaguminya.
Tetapi kegarangan Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu membuatnya terlampau marah
dan cemas. Sehingga orang itu memang segera harus dibinasakan.
Ki Tambak Wedi yang masih
selalu harus menghindari serangan-serangan Argapati yang membadai itu tiba-tiba
meloncat jauh-jauh. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar sebuah suitan nyaring.
Nyaring sekali membelah sepinya malam di bawah sepasang Pucang Kembar.
Argapati terkejut mendengar
suitan itu. Meskipun ia sudah meragukan kejantanan Ki Tambak Wedi kini, namun
tanda sandi itu telah menggetarkan jantungnya. Sehingga tiba-tiba ia pun
tertegun tegak di tempatnya seperti sebatang tonggak yang membeku.
Baru sejenak kemudian
terdengar ia menggeram, “Aku memang sudah menduga Tambak Wedi, bahwa akan
datang saatnya, kau kehilangan watakmu sebagai Paguhan yang perkasa.”
“Terserahlah penilaianmu,
Argapati. Sebentar lagi kau akan binasa. Tak ada jalan lagi bagimu untuk keluar
dari daerah ini.”
“Aku menyadarinya Tambak Wedi.
Setitik air akan dapat merubah keseimbangan yang mantap ini. Kau dan aku masih
juga dalam keadaan yang serupa dengan beberapa puluh tahun lampau. Apabila
sekarang kau memanggil seseorang yang paling lemah sekalipun, maka keseimbangan
yang mantap inipun akan segera menjadi goyah.”
“Hem,” Tambak Wedi berdesah,
lalu, “kalau begitu, kenapa kau tidak menyerah saja?”
“Ah, jangan begitu Tambak
Wedi. Meskipun aku tahu, bahwa aku akan binasa, tetapi lebih baik bagiku mati
sambil menggenggam tombak ini daripada mati di dalam bantaian.”
“Baiklah. Untuk kepuasanmu,
Argapati, aku akan memenuhinya.”
Argapati menggeram mendengar
kata-kata terakhir Tambak Wedi itu. Apalagi ketika ia melihat dua orang yang
segera berloncatan dari balik gerumbul. Keduanya kemudian berjalan berurutan
mendekati arena perkelahian.
“Itukah kawan-kawanmu, Tambak
Wedi?” bertanya Argapati.
Tambak Wedi mengangguk. Namun betapapun
juga terasa segores luka yang pedih di hatinya. Seorang yang bergelar Ki Tambak
Wedi telah melakukan kecurangan di dalam perang tanding. Bukan saja kecurangan
ini yang dilakukannya, tetapi kecurangan-kecurangan yang lain, dan bahkan
kecurangan yang paling memalukan. Kecuali dua orang itu, ia masih bersedia
sekelompok orang-orang yang telah menyiapkan dirinya pula untuk membinasakan
Argapati apabila ia berhasil lolos dari Ki Tambak Wedi dan kedua temannya.
Sepercik warna merah menjalar
di wajah Ki Tambak Wedi. Hampir saja ia berteriak mengusir kedua orang itu, dan
kembali berkelahi seorang lawan seorang. Namun kemudian ia menggeretakkan
giginya dan mengusir perasaan itu. Yang dipahatkan di hatinya adalah, “Orang
ini harus segera binasa bersama rahasia tentang dirinya dan Sidanti.”
Argapati masih berdiri tegak.
Tangannya menggenggam tombaknya erat-erat. Sedang kakinya yang renggang
seakan-akan menghunjam ke dalam bumi. Sejenak dipandanginya kedua orang yang
berjalan dengan langkah yang tetap mendekatinya, dan sejenak kemudian
dipandanginya Ki Tambak Wedi.
Terasa sesuatu bergetar di
dalam dadanya. Menurut pengamatannya kedua orang itupun bukan orang kebanyakan,
meskipun tidak terlampau berbahaya. Tetapi bertiga bersama Ki Tambak Wedi, maka
seolah-olah keputusan telah jatuh, bahwa Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu
harus binasa di bawah Pucang Kembar itu.
Tanpa disadarinya, Argapati
menengadahkan wajahnya. Dilihatnya bulan yang bulat seakan-akan tergantung di
langit, disaput oleh awan yang tipis, mengalir lambat dihembus angin dari
selatan.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Ditatapnya bulan yang bulat kekuning-kuningan itu tajam-tajam,
seolah-olah untuk yang terakhir kalinya.
Setelah puas Argapati
memandangi bulan yang bulat di langit maka sambil menggeram dipandanginya Ki
Tambak Wedi dengan tegangnya. Dalam keremangan cahaya bulan, dilihatnya wajah
orang tua itu seperti wajah burung pemakan daging yang paling buas dengan
paruhnya yang lengkung dan matanya yang tajam dan liar.
Dan sejenak kemudian Ki
Argapati itu berkata di dalam, hatinya, “Apapun yang terjadi, Argapati bukan
pengecut yang takut melihat beberapa ujung senjata bersama-sama mengarah ke
tubuhnya.”
Karena itu, maka Argapati pun
berdiri semakin mantap. Tombak di dalam genggamannya tampak bergetar, dan
ujungnya menunduk setinggi dada.
“Marilah Tambak Wedi,”
terdengar suaranya dalam nada yang datar, “kalau kau menganggap perlu membawa
orangmu itu bermain-main bersama. Aku berterima kasih atas kehormatan ini.
Bahwa seorang yang bernama Paguhan dan bergelar Tambak Wedi, memerlukan dua
orang kawan untuk melayani Argapati.”
Ki Tambak Wedi menggeram.
Kata-kata itu menggores jantungnya terlampau dalam. Betapa pedihnya. Namun ia
tidak mau melangkah surut. Ia mencoba untuk memaksa dirinya menjadi seorang
pengecut yang paling licik. Bahkan dengan menggeretakkan giginya, mengusir
segala macam perasaan malu dan segan ia berkata lantang, “Tidak hanya mereka
berdua Argapati. Kalau kami bertiga ini gagal, maka aku masih menyediakan
sebuah pasukan kecil untuk membinasakan kau. Maaf, bahwa aku berbuat curang dan
licik. Mungkin melampaui demit. Tetapi keputusan kami telah jatuh. Argapati
harus binasa.”
“Kenapa kau tunggu sekian
lama, baru sekarang orangmu ini kau panggil?”
“Biarlah aku berterus terang
kepada seseorang yang sudah akan dikubur. Aku memang mencoba untuk berkelahi
seorang lawan seorang. Mungkin perkembangan yang terjadi antara kau dan aku
agak berbeda, sehingga seorang diri aku dapat membinasakan kau. Dengan demkian,
aku masih dapat menepuk dada, dan bangga atas harga diriku sendiri. Tetapi
ternyata aku tidak berhasil. Karena aku sudah menyangka demikian sebelumnya,
maka biarlah aku kini berbuat curang. Tetapi kecurangan ini aku lakukan untuk
suatu tujuan yang penting. Penting sekali Argapati.”
“Penting bagi kau dan Sidanti.
Tetapi sama sekali tidak berarti bagi aku dan rakyat Menoreh.”
“Ha, kau membuat tafsiran
menurut kepentinganmu. Sudah tentu aku membuat tafsiran sesuai dengan
kepentinganku pula dan kepentingan anak itu. Kau mengerti?”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku mengerti Tambak Wedi. Memang apa yang baik untukmu
tidak terlalu baik bagi orang lain. Aku tahu pula, bahwa kau sekarang dapat
berpikir, bahwa apa yang baik buatmu dan anak itu, meskipun harus mengorbankan
orang lain, namun tetap kau lakukan juga. Kau ingin menempatkan anak itu pada
kedudukan yang baik, meskipun beralaskan bangkaiku. Sahabatmu dan orang yang
pernah dipanggil ayahnya.”
Tambak Wedi menggeretakkan
giginya. Ternyata dadanya bergetar dahsyat sekali mendengar kata-kata itu.
Sejenak ia berdiri tegak dengan wajah yang tegang, sedang kedua orang yaug di
panggilnya telah berdiri di sampingnya.
Tetapi Tambak Wedi masih tegak
seperti patung. Dan ia mendengar Argapati berkata pula, “Tetapi tidak mengapa
Tambak Wedi. Lakukanlah. Aku sudah sedia untuk bertempur melawan kalian
bertiga, apapun yang akan terjadi atas diriku.”
Tambak Wedi masih tegak di
tempatnya. Terjadilah pergolakan yang menggoncangkan perasaannya. Keragu-raguan
yang tajam telah mencengkam jantungnya.
Sementara itu, di balik
gerumbul yang rimbun, tidak terlampau jauh dari Pucang Kembar, tiga pasang mata
memandang apa yang terjadi itu dengan dada yang berdebar-debar. Sama sekali
tidak terlintas di hati mereka, bahwa orang yang bernama Ki Tambak Wedi itu
telah menyiapkan sebuah perangkap yang keji buat Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Karena itu, maka hati mereka pun serasa terbakar. Meskipun mawantu-wantu Ki
Gede Menoreh berpesan, tidak boleh ada seorang pun yang melihat perkelahian
itu, namun mereka sama sekai tidak akan membiarkan sesuatu terjadi atas kepala
tanah perdikannya.
Kerti, yang tertua dari ketiga
orang itu menggeram. Perlahan-lahan ia berdesis, “Apakah kita dapat melihat
kecurangan itu terjadi.”
“Tidak,” sahut kawannya yang
kecil. Ternyata tangannya telah meraba tangkai pisau-pisaunya, “Kita harus
berbuat sesuata. Aku dapat membunuh mereka dari jarak yang cukup.”
“Jangan berkesimpulan
demikian. Kau memang pandai membidik. Kau dapat mengenai seekor burung yang
terbang di langit. Tetapi belum tentu kau mampu mengenai salah seorang dari
mereka. Mereka memiliki kelebihan dari seekor burung di langit. Mereka
mempunyai ketrampilan yang luar biasa untuk mengelak.”
Kawannya yang kecil
mengangguk-anggukkan kepalanya, “Lalu apakah yang akan kita lakukan?”
“Kalau benar mereka berkelahi
bersama-sama, apa salahnya kita pun terjun di dalam arena itu,” sahut kawannya
yang lain.
Kerti menjadi ragu-ragu.
Apakah hal itu tidak akan membuat Ki Argapati menjadi marah.
Tetapi seandainya dengan demikian,
Argapati terselamatkan, maka ia akan bersedia menanggung segala macam
akibatnya. Ia akan bersedia menjalani hukuman apapun yang akan diberikan oleh
Argapati atasnya.
Kerti itu berpaling ketika
kawannya yang kecil menggamitnya. Dan ketika ia melihat telunjuk kawannya itu
mengarah kebawah Pucang Kembar, maka Kerti pun memandang ke sana pula.
Yang dilihatnya kedua orang
kawan Ki Tambak Wedi telah mempersiapkan senjatanya, dan mereka melihat ketiga
orang lawan Argapati itu telah mendekat. Tetapi mereka tidak mendengar apa yang
dikatakan oleh hantu dari lereng Gunung Merapi itu.
Ternyata Ki Tambak Wedi telah
berhasil menekan perasaannya. Menekan kejantanan yang menuntut di dalam
hatinya. Dan ia sudah berkeputusan untuk beramai-ramai membunuh Argapati beserta
kedua kawannya.
Karena itu, maka sesaat
kemudian ia menggeram dahsyat sekali untuk menekankan keputusan itu di dalam
hatinya. Untuk mengusir sama sekali sisa-sisa harga diri yang masih membayang
di dalam dadanya. Sejenak kemudian, dikerahkannya segenap tenaganya untuk
melontarkan perintah lewat mulutnya, “Jangan berdiri saja mematung. Kita sudah
sampai pada saat yang kita tunggu. Lenyapkan orang yang benama Argapati ini.”
Serentak kedua orang itu
berloncatan ke arah yang berbeda. Mereka akan menghadapi Argapati dari sisi
seberang menyeberang, sedangkan Ki Tambak Wedi akan melawannya dari depan,
berhadapan.
“Bagus,” desis Argapati, “kita
sudah siap. Marilah, kita tentukan akhir dari permainan ini dengan cara yang
kau pilih, Tambak Wedi.”
Ki Tembak Wedi tidak menjawab.
Dikatupkannya bibirnya rapat-rapat. Namun sejenak kemudian, selangkah ia maju.
Senjatanya telah bergetar di tangannya.
Sesaat ia memandangi wajah
kepala tanah perdikan itu. Wajah yang memancarkan kemarahan dan kebencian tiada
taranya. Wajah itu seakan-akan wajah Arya Teja beberapa puluh tahun yang lalu.
Dari sepasang matanya memancar perasaan sakit hati yang tidak terhingga.
Sesaat keempat orang itu
berdiri tegak seperti patung. Masing-masing telah mempersiapkan senjatanya.
Tidak seorang pun yang sempat berkedip, karena mereka yakin, bahwa setiap saat
waktu yang sekejap itu akan dapat menentukan hidup dan mati.
Bulan di langit masih
memancarkan cahayanya yang kuning keemasan. Sepotong awan yang putih telah
terhembus, menyingkir dari wajah bulan yang bulat, oleh sepercik angin yang
semilir.
Sejenak keempat orang itu
masih tetap berdiri diam di atas kedua kaki masing-masing yang merenggang.
Lutut mereka agak merendah dan tangan-tangan mereka telah bergetar.
Namun sekejap kemudian, terdengarlah
geram yang dahsyat, seperti dengus seekor banteng jantan. Hampir tidak dapat
dipercaya, bahwa seseorang mampu bergerak secepat itu. Ternyata Argapati yang
dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap telah mulai dengan serangannya. Kali
ini serangannya tidak tertuju kepada Ki Tambak Wedi, tetapi kepada kawannya
yang berdiri di sisinya sebelah kanan. Serangan ini benar-benar mengejutkan.
Orang yang berdiri di sebelah kanannya, meskipun sudah siap benar, namun tidak
menyangka sama sekali, bahwa serangan yang pertama itu datang sedemikian
cepatnya. Seperti tatit ia melihat tombak Argapati menyambar dadanya, sehingga
karena itu, ia sama sekali tidak sempat untuk dapat mengelakkan dirinya. Yang
dapat dilakukannya adalah berusaha menangkis serangan itu.
Terjadilah sebuah benturan
yang dahsyat. Serangan Argapati ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa.
Meskipun lawannya berhasil menangkis ujung tombaknya, namun kekuatan mereka
tidak seimbang, sehingga senjata orang itupun terlepas dan terlempar dari
tangannya yang seolah-olah tersayat. Bukan hanya itu. Tombak itu hampir tidak
terpengaruh, meskipun arahnya berubah sedikit. Namun agaknya yang sedikit itu
telah menyelamatkan nyawanya. Meskipun demikian, orang itu memekik pendek.
Sebuah luka segera menganga di pundaknya.
Demikian derasnya sentuhan
tombak Argapati itu, sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut, dan
bahkan terbanting jatuh di tanah.
Agaknya kesempatan itu tidak
diluangkan oleh Argapati. Ia sudah siap untuk menyelesaikan satu dari ketiga lawannya.
Karena itu, maka segera ia
mempersiapkan dirinya untuk segera menghujamkan tombaknya pada tubuh yang
sedang roboh itu.
Tetapi ternyata bahwa di
antara ketiga lawannya itu terdapat Ki Tambak Wedi yang mampu berbuat seperti
yang dilakukannya itu. Orang tua itu ternyata tidak membiarkan seorang kawannya
terbunuh pada serangan yang pertama. Dengan demikian, maka ia pun berteriak
nyaring sambil melontarkan sebuah serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Senjatanya yang mengerikan itu diputarnya seperti baling-baling, kemudian
meluncur dengan cepatnya, melanda Argapati yang sudah siap untuk membinasakan
lawannya.
Dengan demikian, maka serangan
Argapati itu menjadi urung. Ia terpaksa menyiapkan dirinya untuk menghadapi Ki
Tambak Wedi. Ia tahu benar, bahwa Ki Tambak Wedi adalah orang yang jauh lebih
berbahaya dari orang yang sudah terluka itu. Sehingga dengan demikian, maka ia
segera melontarkan dirinya, menyiapkan senjatanya untuk menyambut senjata
lawannya yang berbahaya itu.
Sekali lagi terjadi sebuah benturan
yang kali ini jauh lebih dahsyat lagi dari yang telah terjadi. Keduanya adalah
orang-orang yang mumpuni, yang memiliki kekuatan raksasa. Namun karena kekuatan
mereka seimbang, maka kedua senjata itu masih tetap di dalam genggaman
masing-masing. Namun sepercik bunga api telah meloncat di udara, seperti ribuan
kunang-kunang yang berloncatan berusaha menghindarkan diri dari pengaruh
benturan-benturan yang sedang terjadi itu.
Kedua orang yang sama-sama
memiliki kelebihan dari orang-orang kebanyakan itu, masing-masing terdorong
beberapa langkah surut. Keduanya sedang menahan nafas masing-masing, dan
mencoba menyalurkan segenap kemampuan dan ketahanan mereka, mengatasi getar
yang terjadi di dalam dirinya karena benturan yang terjadi itu. Namun, belum lagi
Argapati berhasil menguasai diri sepenuhnya, sebuah serangan yang lain telah
meluncur dari samping. Ternyata kawan Tambak Wedi yang lain tidak membiarkan
lawannya itu beristirahat dan memperbaiki keadaannya. Meskipun serangannya
tidak berbahaya seperti serangan Ki Tambak Wedi, namun Argapati sadar, bahwa
ujung senjata itu akan mampu merobek kulitnya apabila berhasil mengenainya.
Karena itu, maka sekali lagi ia harus menghindar. Dan sekaligus Argapati
berhasil memukul senjata lawannya itu dengan kerasnya, meskipun tidak sepenuh
tenaga.
Terasa tangan orang itu
seakan-akan menggenggam bara yang sedang menyala. Seperti kawannya yang
terluka, maka ia pun tidak mampu mempertahankan senjatanya di dalam genggaman,
sehingga senjata itupun meloncat beberapa langkah daripadanya.
Namun sementara itu, Ki Tambak
Wedi telah siap pula. Ia telah berhasil menguasai diri sepenuhnya dan bersiap
untuk segera meluncurkan serangan-serangan berikutnya. Ia harus berusaha
menarik segenap perhatian Argapati untuk memberi kesempatan kedua kawannya
menguasai senjatanya kembali.
Dan Argapati pun telah
menyadarinya. Sebelum mereka mulai bertempur bersama-sama, memang Argapati
telah memperhitungkannya. Kekuatan yang betapapun kecilnya, pasti akan segera
merubah keseimbangan di dalam pertempuran itu.
Namun Kepala Tanah Perdikan
Menoreh itu sama sekali tidak ngedap. Ia tidak segera berputus asa dan
membiarkan dirinya dirobek oleh ujung-ujung senjata lawan. Betapapun juga
kematangan sikapnya, telah membuatnya tetap tenang. Dalam keadaan yang
demikian, betapa dadanya dibakar oleh kemarahan yang menyala, namun ia tetap
sadar, bahwa ia harus tetap mempergunakan otaknya.
Sejenak kemudian, maka Ki
Tambak Wedi pun telah mulai menyerang dengan dahsyatnya. Senjatanya berputaran
seperti baling-baling. Mematuk dengan sebelah tajamnya, kemudian ditariknya
sambil menyambar dengan tajamnya yang lain, seperti tandang seekor ular
berkepala dua di ujung dan pangkalnya.
Sementara Ki Argapati melayani
serangan-serangan itu, maka usaha Ki Tambak Wedi untuk memberi kesempatan kedua
kawannya itupun berhasil, yang seorang dengan sigapnya meloncat memanggul
senjatanya, meskipun tangannya masih terasa pedih. Sedang yang lain dengan
nafas terengah-engah bangkit berdiri. Tetapi ia tidak segera memungut senjata
yang terlempar jatuh. Tetapi dirabanya lengannya yang luka. Darah yang mengalir
dari luka itu kini telah berubah menjadi kehitam-hitaman.
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam. Ia menyadari, betapa berbahayanya senjata Ki Argapati itu. Kalau
ia tidak segera berhasil menahan arus darahnya yang mengental, maka nyawanya
pasti tidak akan tertolong lagi.
Karena itu, maka segera
diambil sebungkus obat yang disimpannya di dalam bumbung kecil pada kantong
ikat pinggangnya. Diambilnya obat itu sebutir, kemudian diremasnya dan
ditaburkannya pada luka dan sekitarnya.
Terasa luka itu menjadi sangat
pedih, seperti ditusuk-tusuk dengan duri. Tetapi kemudian tampaklah sepercik
darah yang segar. Sejenak kemudian, maka arus darah itupun menjadi semakin
lambat dan akhirnya berhenti.
“Setan,” geramnya. Kini ia
berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Hampir saja ia berteriak sambil menepuk
dada. Namun tiba-tiba maksudnya itu diurungkannya, ketika ia melihat Ki
Argapati dan Ki Tambak Wedi yang sedang berkelahi. Ternyata keduanya adalah
orang-orang yang sukar dicari bandingannya. Dengan demikian, maka terdengar ia
berkata lirih kepada dirinya sendiri, “Lalu apakah gunanya aku hadir di sini.
Semula aku sudah ragu-ragu, apakah kehadiranku berdua akan berpengaruh.”
Namun kemudian sekali lagi ia
menggeretakkan giginya. Katanya, “Kalau aku berkelahi melawan Argapati, mungkin
aku tidak akan berani. Tetapi kali Argapati baru berkelahi melawan Ki Tambak
Wedi, yang mempunyai kemampuan seimbang. Maka tugasku adalah membantunya,
mengganggu dan menyerang dengan cara yang licik dan paling curang.”
Maka kemudian. diambilnya
senjatanya. Dilihatnya dalam cahaya bulan yang kuning, kawannya pun telah siap
benar, meskipun agaknya masih sedang menunggu kesempatan untuk menyerang dengan
cara yang telah dipilihnya, curang.
Namun, mereka berdua itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Ketika Ki Argapati sedang sibuk melayani Ki Tambak
Wedi, maka mulailah mereka melakukan perlawanan, langsung bersama-sama maju
dari arah yang berlawanan, langsung bersama-sama dengan Ki Tambak Wedi mereka
melibatkan diri dalam perkelahian. Tetapi mereka berdua tidak berkelahi beradu
dada. Mereka meloncat maju menyerang, namun kemudian menjauh beberapa langkah,
sementara kawannya yang lain menyerang dari arah yang lain, kecuali
serangan-serangan Ki Tambak Wedi sendiri.
Mengalami serangan-serangan
itu, Ki Argapati menggeram. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak sedang
melayani orang-orang yang lemah bersama-sama mengeroyoknya. Namun di antara
mereka ada Ki Tambak Wedi. Itulah kesulitan yang harus dihadapinya. Sedikit
saja perhatiannya tertarik oleh kedua lawannya itu, maka Ki Tambak Wedi pasti
akan dapat mempergunakan kesempatan itu untuk membinasakannya.
Karena itu, terasa oleh Ki
Argapati, bahwa ia mulai menemukan kesulitan dalam pertempuran itu. Meskipun
demikian, dengan mengerahkan tenaga yang ada padanya, ia masih mampu mencoba
menyelamatkan dirinya. Namun yang terjadi Ki Argapati hanya mampu menghidar,
dan menangkis serangan-serangan yang datang bertubi-tubi, tetapi kesempatannya
menyerang menjadi semakin tipis.
Dalam keadaan yang demikian,
Kerti menahan nafasnya yang terengah-engah. Terasa dadanya seolah-olah akan
meledak melihat sikap yang licik dan curang itu, sehingga sejenak kemudian ia
menggeram, “Ternyata aku pun tidak dapat berdiam diri saja di sini melihat
peristiwa itu. Aku harus berbuat sesuatu.”
“Ya, kita harus berbuat
sesuatu,” sahut kawannya.
“Apapun yang akan terjadi atas
kita, termasuk kemarahan Ki Argapati yang akan ditimpakan kepada kita,” sambung
yang lain.
Namun mereka masih tetap belum
beranjak dari tempat masing-masing. Mereka masih dicengkam keragu-raguan yang
belum dapat mereka ke sampingkan.
Kerti, yang tertua di antara
mereka pun masih tetap di tempatnya, tanpa berkedip mereka melihat betapa ketiga
orang lawan Argapati menyerangnya berganti-ganti dipimpin oleh Ki Tambak Wedi,
yang seolah-olah mengikat Argapati supaya ia tidak sempat menghindari
serangan-serangan dari kedua orang kawannya.
Darah Kerti serasa berhenti
mengalir, ketika ia melihat Ki Argapati terdorong beberapa langkah surut.
Hampir saja ia terjatuh ketika kakinya terantuk segumpal batu padas. Untunglah,
bahwa ia berhasil memperbaiki keseimbangannya dan tegak di atas kedua kakinya.
Namun sebelum ia mampu berbuat sesuatu, serangan Tambak Wedi telah melandanya,
sehingga sekali lagi ia terpaksa meloncat surut. Sedang kedua kawan Ki Tambak
Wedi pun memburunya sambil berteriak nyaring.
“Pengecut,” Kerti menggeram.
Ia sudah tidak mampu menahan diri lagi. Kini ia melihat, bahwa Argapati telah
benar-benar terdesak oleh ketiga lawannya yang licik dan curang, yang berkelahi
tanpa tata kesopanan dalam olah kanuragan.
Tetapi kawan Kerti yang kecil,
yang mempunyai beberapa bilah pisau pada ikat pinggangnya, agaknya lebih tidak
dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia telah meloncat berdiri dan
menarik pedangnya dengan tangan kanannya, sedang di tangan kirinya telah
tergenggam sebilah pisau yang siap untuk dilemparkannya.
“He,” Kerti menggamitnya,
“tunggu. Kita menanti kesempatan yang sebaik-baiknya.”
“Tidak ada waktu lagi. Apakah
kita harus menunggu Ki Gede Menoreh mendapat cidera. Mereka terlampau licik,”
jawab orang yang bertubuh kecil itu.
Ternyata pembicaraan itu telah
menggoncangkan dada Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi beserta kedua kawannya.
Meskipun tidak begitu jelas, namun telinga-telinga mereka yang tajam telah
mendengar pembicaraan seseorang. Sehingga tanpa mereka sengaja, maka mereka pun
mencari kesempatan untuk berpaling, dan melihat seseorang berdiri tegak
beberapa puluh langkah dari mereka. Kemudian disusul seorang lagi, dan seorang
lagi. Tiga orang.
Dada Argapati berguncang
ketika ia mengenal ketiga orang, yang melangkah perlahan-lahan mendekatinya.
Orang-orang itu adalah orang-orangnya. Sehingga dengan serta merta ia berteriak,
“He, siapakah yang menyuruh kalian datang kemari?”
Kerti tidak segera menjawab.
Tetapi ia sudah bertekad, apapun yang akan terjadi atasnya dan hukuman apa yang
akan diterimanya dari Ki Gede Menoreh, namun ia tidak membiarkan kepala tanah
perdikan itu mengalami nasib yang mengerikan, justru karena sikap yang curang
dan licik.
Perkelahian itupun tiba-tiba
terhenti untuk sejenak. Tampaklah dahi Ki Tambak Wedi berkerut-merut. Dan
tiba-tiba saja terloncat dari mulutnya, “Ha, ternyata bukan aku saja yang licik
seperti demit, Argapati. Agaknya kau pun telah berlaku curang. Kau telah
menyiapkan perangkap yang serupa dengan perangkapku. Nah, apa kataku sekarang
tentang diriku.”
Terasa seolah-olah darah telah
mendidih di dalam tubuh Ki Argapati. Ia sama sekali tidak menyangka, apalagi
mengharapkan orang-orangnya datang menolongnya. Karena itu, maka terdengar
giginya gemeretak sambil bertanya, “Siapa yang menyuruh kalian datang kemarin,
he! Kerti yang gila?”
Kerti menggelengkan kepalanya,
jawabnya, “Tidak ada, Ki Gede. Aku secara kebetulan saja datang ke tempat ini.”
Kata-kata itu terpotong oleh
meledaknya suara tertawa Ki Tambak Wedi. Di sela-sela suara tertawanya ia
berkata, “O, alangkah pandainya kau mengajari orang-orangmu untuk berbohong.”
Argapati menggeram. Dengan
suara bergetar ia mengulangi pertanyaannya, ”Siapa yang menyuruh kalian kemari?
Aku sudah berpesan kepada kalian, tidak seorang pun boleh melihat apa yang
terjadi di sini, apapun alasannya. Dan bukankah kau mendapat tugas khusus untuk
mengawasi Pandan Wangi?”
“Maaf, Ki Gede,” sahut Kerti,
“aku memang sudah melanggar pesan Ki Gede, untuk tidak mengganggu perang
tanding ini. Dan aku memang mendapat tugas untuk selalu mengawasi Pandan Wangi.
Nah, karena tugas itu pulalah, maka aku sampai ke tempat ini.”
Dada Argapati berdesir
mendengar jawaban itu. Dengan berdebar-debar ia bertanya, “Kenapa dengan Pandan
Wangi?”
“Aku akan berterus terang,
supaya Ki Gede mendapat gambaran yang sebenarnya, kenapa aku sampai ke tempat
ini.” Kerti berhenti sejenak, lalu, “Pandan Wangi telah hilang dari halaman
rumah. Aku menyangka bahwa ia akan datang kemari menyusul Ki Gede, karena
sebelumnya ia selalu memperkatakan peperangan di bawah Pucang Kembar. Tetapi
agaknya ia tidak datang kemari.”
Ki Gege mengerutkan keningnya.
Berita tentang puterinya membuatnya menjadi cemas. Tanpa dikehendakinya ia
bertanya, “Setelah kau tahu bahwa Pandan Wangi tidak ada di sini, ke mana
kira-kira ia pergi?”
Kerti menggeleng, “Aku tidak
tahu. Tetapi yang dipercakapkannya selain Pucang Kembar adalah Samekta. Mungkin
ia pergi kepada Samekta. Ada persoalan yang ingin dibicarakannya dengan
Samekta, tetapi ia tidak dapat meninggalkan halaman rumahnya.”
Ki Argapati termenung sejenak.
Kepergian Pandan Wangi menumbuhkan persoalan baru di dalam dirinya. Karena itu,
maka sejenak ia berdiri tegak dengan tegangnya.
Ternyata, bahwa saat-saat yang
demikian itu tidak luput dari pengamatan Ki Tambak Wedi. Kehadiran ketiga orang
Menoreh itu telah membuatnya gelisah. Dengan hadirnya ketiga orang itu, maka
usahanya untuk membinasakan Argapati menjadi terganggu. Ketiga orang ini akan
dapat menghadapi kedua orang kawannya, dan ia harus bertempur lagi seorang
lawan seorang dengan Ki Gede Menoreh, sehingga untuk waktu yang lama pasti
tidak akan mendapat penyelesaian. Apalagi apabila ketiga orang-orang Menoreh
itu mempunyai beberapa kelebihan dari kedua kawannya maka keadaan yang demikian
akan sangat mengganggunya.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi yang licik itu segera mencari akal. Apakah yang dapat dilakukannya untuk
membinasakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
“Kalau perlu aku akan segera
memanggil orang-orangku yang lain. Pasukan kecil yang telah aku persiapkan
itu,” katanya di dalam hati. Namun sementara itu, ia masih membiarkan Argapati
berbicara kepada Kerti, “Apakah tidak seorang pun yang tahu, kemanakah perginya
anak itu? Apakah Wrahasta dan orang-orangnya yang berjaga-jaga di halaman juga
tidak melihatnya?”
Kerti menggelengkan kepalanya,
“Tidak seorang pun yang melihatnya.”
Ki Argapati menggeram. Terloncat
dari mulutnya sebuah desis, “Anak itu memang keras kepala. Untuk kedua kalinya
ia lari. Hem.”
Kerti tidak menyahut. Namun ia
dapat mengerti, betapa dada Ki Argapati menjadi cemas karenanya. Tetapi ia
tidak dapat berbuat lain. Lebih baik ia berterus terang daripada mendengar
tuduhan Tambak Wedi, bahwa Argapati telah berbuat curang pula dengan menyiapkan
orang-orangnya.
Tiba-tiba saja, tanpa
disangka-sangka, Tambak Wedi merasa menemukan kesempatan sebelum ia memanggil
orang-orangnya. Pada saat Ki Argapati lengah, ia dapat berbuat sesuatu.
Meskipun dengan demikian, ia berbuat curang, namun apakah artinya kecurangan
itu di sela-sela seribu macam kecurangan-kecurangan yang lain, yang telah
dilakukannya.
Demikanlah, pada saat jatung
Ki Argapati dicengkam oleh kecemasan tentang puterinya, dan kegelisahan karena
kehadiran orang-orangnya yang tentu disangka oleh lawannya, bahwa ia pun
berbuat curang seperti Ki Tambak Wedi, maka saat yang demikian itulah yang akan
dimanfaatkan oleh lawannya.
Dengan serta merta, tanpa
tanda-tanda apapun juga. Tambak Wedi meloncat sambil berteriak nyaring,
langsung menyerang Ki Argapati yang sama sekali tidak menyangka, bahwa hal itu
akan terjadi.
Karena itu, betapa ia terkejut
mengalami serangan yang bergitu tiba-tiba. Serangan yang langsung mengarah ke
pusat-pusat tubuhnya.
Betapapun kemampuan yang
tersimpan di dalam dirinya, dan betapapun ketangkasan yang dimilikinya, namun
serangan yang demikian adalah di luar kemampuannya untuk menghindarinya.
Apalagi serangan itu dilancarkan oleh seseorang yang bernama Tambak Wedi.
Namun Argapati tidak
membiarkan ujung senjata lawannya itu menghunjam di dadanya dan memecahkan
jantungnya. Dalam keadaan yang betapapun sulitnya, Argapati masih berusaha
untuk menangkisnya.
Sambil menggeram ia bergeser
setapak, dan mencoba memukul senjata lawannya dengan tangkai tombaknya. Namun
ayunan serangan Ki Tambak Wedi ternyata terlampau kuat. Meskipun dalam keadaan
yang sama kekuatan mereka seimbang, tetapi dalam keadaan yang tidak terduga-duga
itu, Argapati masih belum sempat menghimpun segala kemampuan yang ada di dalam
dirinya.
Itulah sebabnya, maka Ki
Argapati kali ini tidak dapat melepaskan dirinya sama sekali dari senjata
lawannya. Meskipun ujung senjata Ki Tambak Wedi itu tidak mengenai langsung ke
sasarannya, tetapi sebuah goresan yang panjang telah membekas di dada Ki
Argapati. Sebuah goresan yang segera menjadi merah oleh darah.
Sejenak Kerti dan kedua
kawannya terpaku di tempatnya dengan mulut ternganga. Mereka sama sekali tidak
menyangka, bahwa seseorang yang bergelar Ki Tambak Wedi akan melakukan
kecurangan serupa itu. Puncak dari segala macam kecurangan.
Tetapi sejenak mereka
seolah-olah tersentak dari sebuah mimpi yang paling buruk. Mereka kini melihat
Ki Argapati terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Sedang Ki Tambak Wedi
telah bersiap melakukan serangan berikutnya. Serangan yang bernafas maut,
karena Ki Argapati masih belum sempat memperbaiki kedudukannya oleh serangan
yang tiba-tiba itu, tetapi yang terutama justru karena ia terkejut bukan
buatan.
Sesaat kemudian terdengar Ki
Tambak Wedi itu berteriak nyaring. Kakinya telah bergeser dan sekejap kemudian
serangannya yang mematikan pasti akan menghunjam di tubuh lawannya yang sedang
berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya.
Tetapi tanpa diduga-duga, Ki
Tambak Wedi itu meloncat surut. Terdengar mulutnya mengumpat keras-keras.
Matanya yang buas menjadi semakin liar. Ia dengan demikian telah kehilangan
kesempatan yang menentukan itu. Karena dalam sekejap itu, Argapati telah menemukan
keseimbangannya kembali. Tombaknya telah mantap di dalam gengamannya dan
kakinya telah tegak di atas tanah. Meskipun dadanya terluka, namun luka itu
belum mengganggunya. Ketahanan tubuhnya benar-benar sangat mengagumkannya.
“Setan alas,” Ki Tambak Wedi
mengumpat tidak habis-habisnya. Kemudian katanya kepada Argapati yang telah
siap menunggu serangannya, “Kau telah membawa setan kecil ini pula Argapati.
Bersujudlah kepadanya, karena ia telah menyelematkan nyawamu kali ini.”
Argapati menggeretakkan
giginya. Jawabnya, “Kehadirannya tidak aku kehendaki. Tetapi ia telah berbuat
tepat. Lemparan pisaunya hanya sekedar menghindarkan dirimu dari kecurangan
yang lebih jahat. Ia menempatkan keadaan seperti yang sebaiknya terjadi.”
“Bagus,” teriak Tambak Wedi,
”Sekarang baiklah, kita bertempur dalam lingkaran yang besar. Kita
masing-masing telah dihinggapi oleh rencana yang curang.”
“Tidak,” sahut Argapati, “aku
tetap dalam pendirianku. Aku akan bertempur seorang diri, apapun yang akan kau
lakukan.”
“Jangan,” tiba-tiba Kerti
menyahut, “itu tidak adil. Meskipun Ki Gede sama sekali tidak menghendaki kami
hadir di sini, namun yang terjadi adalah demikian. Karena itu, kami harus
meletakkan keadaan pada keharusan yang lajim. Perang tanding adalah perang
antara seorang dengan seorang. Kami tidak akan mengganggu perang tanding itu
yang akan kami lakukan adalah menahan orang-orang yang licik ini untuk ikut
campur di dalam perang tanding. Apapun yang akan terjadi atas Ki Gede dalam
perang tanding, kami tidak akan mencampuri, meskipun seandainya Ki Gede
terdesak dan bahkan terancam oleh maut.”
“Omong kosong,” teriak Ki
Tambak Wedi, “seorang kawanmu telah melontarkan pisaunya ketika aku siap untuk
membunuh Argapati.”
“Dengan caramu yang licik dan
curang,” jawab Kerti, lalu, “Sudah tentu maksud perang tanding bukanlah
demikian. Seseorang yang bergelar Tambak Wedi seharusnya jauh lebih mengerti
daripada aku.”
“Diam,” bentak Ki Tambak Wedi,
“ternyata kau pun harus dibunuh dengan cara apapun.”
“Aku sudah siap,” Kerti menjawab
dengan beraninya, “tetapi lakukanlah dahulu perang tanding itu.”
“Tidak Kerti,” Ki Argapati-lah
yang berbicara, “pergilah. Tinggalkan aku di sini dalam keputusanku.”
“Aku memang akan pergi Ki
Gede, tetapi kedua orang kawan Ki Tambak Wedi ini akan aku bawa serta.”
“Persetan,” geram salah
seorang dari kawan Ki Tambak Wedi, “jangan banyak berbicara saja. Ayo, Ki
Tambak Wedi. Sebaiknya mereka kita hancurkan segera. Aku sudah muak mendengar
perdebatan yang tidak berujung pangkal ini.”
Tambak Wedi memang tidak
melihat cara lain. Karena itu, maka dengan serta merta ia meloncat maju sambil
memutar senjatanya. Katanya, “Aku selesaikan Argapati yang telah terluka itu.
Adalah tugas kalian berdua untuk membinasakan kelinci-kelinci yang tidak tahu
diri itu.”
Kedua kawan Ki Tambak Wedi
tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang Kerti dan kedua
kawannya, sedang Ki Tambak Wedi pun telah menyerang Argapati pula.
Terulanglah perkelahian yang
sengit yang terjadi di bawah Pucang Kembar itu. Namun perkelahian yang demikian
akan segera berubah bentuknya, karena Ki Tambak Wedi telah memutuskan untuk
memanggil orang-orangnya yang lain, yang jumlahnya cukup banyak untuk
membinasakan lawan-lawan mereka.
Namun sementara itu, sementara
Ki Tambak Wedi masih belum memberikan tanda-tanda untuk memanggil
orang-orangnya, Kerti dan kedua kawannya masih mendapat kesempatan untuk
mendesak kedua lawannya. Meskipun mereka masing-masing memiliki kemampuan yang
lebih besar dari orang-orang Menoreh itu, tetapi yang seorang dari mereka telah
terluka. Ternyata luka itu sangat mengganggunya. Sebagian besar dari tenaganya
seolah-olah telah terhisap oleh ujung senjata lawan yang telah menggoreskan
luka di tubuhnya itu.
Ki Tambak Wedi melihat keadaan
kedua kawannya. Sedang Argapati yang sudah terluka itu justru menjadi semakin
garang, meskipun darahnya masih saja meleleh dari lukanya.
Ki Tambak Wedi mengerti dan
yakin, kalau ia bertahan saja untuk waktu yang cukup lama, maka Argapati pasti
akan kehabisan tenaga karena darah yang menitik dari lukanya itu. Tetapi ia
tidak dapat mengerti, kapan saat yang demikian itu akan datang. Ia tahu benar,
betapa besarnya daya tahan tubuh Argapati. Sehingga kemampuannya untuk
bertempur terus dalam keadaan serupa itupun, pasti masih panjang. Sedang kedua
kawannya yang harus berkelahi melayani Kerti dan kawan-kawannya, sudah selalu
terdesak terus, karena yang seorang dari mereka telah terluka. Sehingga
seolah-olah hanya seorang saja dari mereka yang bertempur melawan ketiga
pengawal-pengawal pilihan dari Menoreh itu.
Karena itu, maka Ki Tambak
Wedi tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian terdengar suitan Ki
Tambak Wedi itu sekali lagi. Kali ini panjang sekali.
Malam yang hening seakan-akan
telah bergetar karena suara suitan itu. Terlebih-lebih lagi dada Argapati yang
telah terluka itu dan ketiga pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Segera mereka
menangkap isyarat itu, bahwa Ki Tambak Wedi ternyata telah benar-benar
menyiapkan sebuah perangkap yang mengerikan.
Sikap hantu dari Tambak Wedi
itu benar-benar mengecewakan Argapati. Bukan karena ia menjadi ketakutan dan
kecemasan menghadapi bahaya apapun juga, tetapi ia menjadi kecewa, karena Ki
Tambak Wedi telah menodai janji mereka untuk mengadakan perang tanding sebagai
pelepasan persoalan yang telah bertahun-tahun mereka simpan di dalam dada
masing-masing.
Kini Argapati dipaksa untuk
menghadapi cara yang sama sekali tidak jujur. Cara yang licik dan curang.
Seandainya dalam keadaan serupa ini terjadi sesuatu atas dirinya, dan bahkan kemudian
atas ketiga orang-orangnya, maka itu akan berarti bahwa mereka telah terperosok
ke dalam suatu perangkap yang keji. Seolah-olah kematian yang demikian adalah
kematian yang terlampan bodoh.
“Tidak,” Argapati menggeram di
dalam dadanya, “aku akan mati sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun
aku datang ke bawah Pucang Kembar ini karena persoalan pribadi. Tetapi keadaan
yang berkembang adalah persoalan Menoreh. Persoalan antara aku dan Sidanti yang
telah berkembang tanpa terkendalikan lagi. Peperangan ini akan menjadi bagian
dari seluruh peperangan yang telah membakar tanah perdikan ini.”
Dengan demikian, maka Argapati
menjadi semakin mantap menggenggam senjatanya. Ia menggeram beberapa kali, dan
tandangnya pun menjadi semakin lama semakin garang.
Kepala Tanah Perdikan Menoreh
itu tidak dapat mengerti, apakah yang telah terjadi di padukuhan-padukuhan di
seluruh tanah perdikannya, terutama di padukuhan induk. Memang terbayang di
dalam kepalanya, bahwa pasukan Sidanti yang kuat merayap semakin lama semakin
dekat. Namun ia mengharap, bahwa Samekta akan dapat mengatasi kesulitan.
Tetapi bagaimanapun juga,
sepercik kecemasan mewarnai jantungnya. Ia sadar, bahwa pasukan yang telah
melawannya itu, dipimpin oleh seorang Sidanti dan seorang Argajaya. Sedang
pasukannya sekedar di bawah pimpinan Samekta, Wrahasta, dan mungkin Pandan
Wangi sendiri. Tetapi kenapa Kerti mencari Pandan Wangi sampai ke bawah Pucang
Kembar ini?
Sejenak kemudian, Argapati
menggeretakkan giginya. Ia tidak mau hanyut di dalam angan-angannya itu. Ia
harus menghadapi apa yang ada kini. Ki Tambak Wedi dan sebentar lagi sekelompok
kecil orang-orang yang telah dipersiapkan oleh Tambak Wedi untuk mengeroyok dan
kemudian membunuhnya. Mungkin ia akan dicincang atau dibunuh dengan cara yang
sudah dipersiapkan oleh Tambak Wedi. Tetapi dengan demikian, ia akan mati
dengan senjata di dalam genggaman. Mati sebagai seorang laki-laki, sebagai
Kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Namun sampai sejenak kemudian,
orang-orang yang dikatakan oleh Ki Tambak Wedi telah dipersiapkan untuk
membunuh Argapati itu masih juga belum tampak seorang pun juga. Perkelahian
yang terjadi semakin lama menjadi semakin tegang. Bukan saja karena ujung-ujung
senjata yang saling beradu, tetapi juga ditegangkan oleh kemungkinan yang
mendatang. Munculnya beberapa orang dari balik gerumbul-gerumbul liar disekitar
sepasang Pucang itu.
Ternyata Ki Tambak Wedi pun
menjadi gelisah pula. Sekali lagi ia bersuit panjang. Lebih keras. Namun ia
masih harus menunggu.
“Aku telah mendengar suara
burung kedasih itu di kejauhan,” berkata Tambak Wedi di dalam hatinya, “Tetapi
agaknya mereka menunggu terlampau jauh, sehingga mereka tidak segera mendengar
suara suitanku.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
bersuit. Panjang dan lebih keras. Suaranya menggelepar di dalam sepinya malam,
menelusuri dedaunan dan ranting-ranting pepohonan.
Namun suara suitan itupun
seolah-olah hilang lenyap tanpa bekas, seperti hilangnya gema yang terpantul
dari pegunungan. Tidak berbekas. Karena tidak seorang pun yang dengan tergesa-gesa
sambil menggenggam senjata muncul dari balik dedaunan.
“Di manakah setan-setan itu?”
Ki Tambak Wedi menggeram di dalam hatinya, “Apakah mereka sengaja berkhianat?
Tidak. Aku tidak mempergunakan orang-orang Menoreh, yang setiap saat dapat
berubah pendiriannya, apalagi setelah ia melihat Argapati. Orang-orang itu
adalah orang-orang yang tidak mengenal Argapati sama sekali, sehingga
kemungkinan untuk berkhianat itupun terlampau kecil. Tetapi kenapa mereka tidak
segera datang setelah aku memberikan tanda beberapa kali?”
Semakin lama kegelisahan Ki
Tambak Wedi pun menjadi semakin memuncak. Seharusnya sejak ia memberikan tanda
untuk yang pertama kali, orang-orangnya tidak menunggu tanda berikutnya. Mereka
harus segera datang dan melakukan tugasnya.
“Apakah mereka terasa
terlampau lama menunggu dan kemudian merasa tidak diperlukannya lagi? Tetapi
itu tidak mungkin. Aku sudah berpesan supaya mereka menunggu sampai selesai.
Diperlukan atau tidak diperlukan,” desah Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Dengan dada yang terguncang,
maka sekali lagi terdengar ia bersuit semakin keras dan semakin panjang.
“Ha,” berkata Argapati,
“bukankah suara suitanmu itulah yang terdengar seperti tangis bayi yang
ketakutan?”
“Persetan,” geram Ki Tambak
Wedi, “untuk memanggil mereka, aku harus bersuit tiga kali. Sebelum itu, mereka
baru sekedar mempersiapkan diri. Apabila kemudian ada perubahan sikapmu,
mungkin kau menyerah, atau kami sudah berhasil membunuhmu, maka aku tidak perlu
bersuit untuk yang ketiga kalinya.”
“Kau sudah terlampau pikun,”
desis Argapati, “kau sudah memekik lebih dari tiga kali.”
Dada Tambak Wedi berdesir.
Tetapi kemudian ia menggeram keras sekali sambil menyerang sejadi-jadinya.
Namun meskipun dada Argapati telah terluka, tetapi ia masih cukup segar untuk
melawannya.
Di lingkaran yang lain, kawan
Tambak Wedi semakin terdesak oleh ketiga pemimpin pengawal Menoreh yang
dipimpin oleh Kerti. Seorang yang telah terluka, menjadi semakin lama semakin
lemah. Ia tidak memiliki ketahanan tubuh seperti Ki Argapati, sehingga luka
ditubuhnya itu terasa sangat mengganggunya.
Dalam pada itu, Pandan Wangi
yang bertempur di medan sebelah Barat padukuhan induk, terpaksa bekerja
sekuat-kuat tenaganya. Ternyata lawannya adalah orang yang luar biasa. Ganas,
kasar dan garang. Dengan liarnya ia berkelahi, bahkan mirip dengan seekor
binatang yang paling buas. Sekali-sekali ia berhasil mengenai lawannya dengan
senjatanya. Kemudian dengan sengaja dipertunjukkannyalah kebuasannya di hadapan
Pandan Wangi.
Betapapun tabahnya hati Pandan
Wangi, namun melihat keganasan itu terasa juga hatinya menjadi ngeri. Terasa
kulitnya merinding seperti diraba hantu.
Tetapi ia tidak mau dadanya
sendiri yang terluka kemudian darahnya dihisap oleh hantu yang bernama Ki Peda
Sura itu. Dengan sepenuh kemampuannya, ia tetap bertempur bersama beberapa
orang di dalam sebuah kelompok kecil.
Ternyata yang berkelahi sebuas
dan seliar itu bukan hanya seorang yang bernama Ki Peda Sura itu. Sebagian
terbesar dari mereka, mempergunakan cara yang bersamaan. Dengan sengaja mereka
mempertunjukkan cara-cara yang paling mengerikan.
Cara itu ternyata benar-benar
dapat mempengaruhi daya perlawanan para pengawal Menoreh. Mereka menjadi ngeri
dan muak. Beberapa orang yang cukup dapat bertahan, segera bertempur dengan
garangnya. Bahkan beberapa orang yang memiliki tabiat yang pada dasarnya kasar,
segera dijalari oleh cara-cara lawannya. Mereka pun segera tanpa sesadarnya,
berbuat dengan kasar dan buas. Senjata mereka tidak tanggung-tanggung membelah
dada, kemudian menggores punggung silang-menyilang. Mereka berusaha untuk
melenyapkan kengerian di hati masing-masing dengan cara itu. Dengan berbuat
seperti lawan-lawan mereka.
Tetapi bukanlah kebiasaan
mereka berbuat seperti itu. Pergaulan mereka di dalam kehidupan yang beradab,
telah membentuk mereka menjadi manusia yang dipengaruhi oleh adat tata
kehidupan yang beradab pula. Mereka telah terbiasa menghargai manusia dan
perikemanusiaan. Karena itu, betapa mereka berusaha, tetapi mereka tidak cukup
kuat untuk berkelahi dalam keadaan yang liar dan buas serupa itu, sehingga daya
tahan mereka pun terpengaruh pula. Apalagi suara titir yang melengking-lengking
di kejauhan seperti jerit tangis kanak-kanak yang kehilangan ayah di medan
peperangan.
Hati para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh terpengaruh karenanya. Benar-benar terpengaruh. Dengan demikian, daya
perlawanan mereka pun menjadi semakin lama semakin susut.
Pandan Wangi yang ngeri
melihat darah dan mayat bergelimpangan, mencoba memaksa dirinya untuk tetap
dapat melawan. Kalau ia lengah, maka dirinya pasti akan menjadi korban. Kalau
senjata lawannya itu memecahkan dadanya, dan membunuhnya sekaligus, maka ia
tidak akan tahu apa yang terjadi seterusnya atas dirinya. Tetapi kalau
orang-orang yang buas dan liar itu berusaha untuk menangkapnya hidup-hidup,
atau melukainya sehingga ia tidak mampu lagi untuk melawan dan kehilangan
kesempatan untuk membunuh diri, maka ia pasti akan terjerumus ke dalam neraka
yang paling jahanam.
Karena itulah, maka betapapun
juga ia harus bertempur terus sebaik-baiknya. Ia harus memeras segenap
kemampuan yang ada padanya untuk tetap bertahan.
Namun tiba-tiba Pandan Wangi
dikejutkan oleh kehadiran seorang penghubung yang mendekatinya dengan nafas
terengah-engah. Pundaknya telah terluka, dan dari luka itu mengalir darah yang
merah segar.
“Pandan Wangi,” orang itu
berbisik sambil terengah-engah, “aku menyampaikan pesan kepadamu.”
“Dari?” bertanya Pandan Wangi
sambil bertempur.
“Lepaskan lawanmu sejenak.”
Pandan Wangi segera
memerintahkan orang-orangnya untuk bertempur. Ia memerlukan menemui penghubung
itu. ”Cepat katakan, sebelum orang-orang itu dihabiskan oleh Peda Sura.”
“Samekta dan Wrahasta
bersama-sama memberikan pesan. Pasukan ini sebaiknya ditarik ke padukuhan yang
telah ditentukan, apabila keadaan memaksa. Pasukan Samekta dan Wrahasta
bersama-sama telah terdesak mundur.”
Berita itu menyambar telinga
Pandan Wangi seperti petir yang meledak dilangit. Sejenak ia berdiri
termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya kepada telinganya. Namun pesan itu
telah mengiang dan melingkar di telinganya, “Pasukan ini supaya ditarik.
Pasukan ini supaya ditarik.”
Pertempuran yang terjadi di
sekitar Pandan Wangi itupun menjadi semakin hiruk pikuk. Teriakan yang
menghentak dan pekik kesakitan sahut menyahut dengan geram dan gemeretak gigi.
Semakin lama tandang mereka yang sedang bertempur itupun menjadi semakin kasar,
liar dan buas, seolah-olah mereka telah kehilangan diri mereka masing-masing.
Mereka seolah-olah telah melupakan pribadi masing-masing sebagai mahluk yang
berbudi. Di dalam perang brubuh yang demikian, sukarlah untuk dibedakan, antara
manusia yang biadab dan beradab. Karena untuk bertahan diri dari kebiadaban,
mereka telah melakukan hal-hal yang serupa pula.
Dalam kediamannya, Pandan Wangi
melihat penghubung yang datang kepadanya, dalam keremangan cahaya purnama di
langit, menyeringai menahan sakit lukanya
Dan orang itu berdesis
perlahan, “Apakah kau dapat menyetujuinya?”
Pandan Wangi menahan nafasnya.
Dengan dada yang berdebar-debar ia bertanya, “Apakah yang terjadi di padukuhan
induk?”
“Pasukan Sidanti dan Argajaya
telah masuk. Samekta yang mundur ke pasukan induk dan bergabung dengan
Wrahasta, masih juga tidak dapat menahan arus lawan yang kuat yang datang dari
arah timur.”
Pandan Wangi adalah seorang
gadis yang lembut. Seorang gadis yang kadang-kadang masih juga dapat
meruntuhkan air mata. Tetapi ketika ia mendengar berita tentang jatuhnya
padukuhan induk, wajahnya menjadi tegang dan merah padam. Yang terlukis di
wajahnya yang cantik itu, seakan-akan wajah seorang iblis betina yang sedang
marah. Terdengar giginya gemeretak dan nafasnya terengah-engah.
“Aku akan pergi ke padukuhan
induk,” ia menggeram.
“Aku mendapat pesan untukmu
mawanti-wanti,” potong penghubung yang sudah terluka itu, “Samekta dan Wrahasta
telah menduga, bahwa kau akan berpendirian demikian. Tetapi kau harus
menyesuaikan siasat peperangan ini dengan seluruh pasukan. Kau tidak dapat
berbuat demikian.”
“Kenapa tidak? Aku akan
membawa pasukan ini ke padukuhan induk. Aku akan mengusir mereka dari halaman
rumahku dan dari seluruh tanah ini.”
“Kau tidak dapat melakukannya
sendiri. Menurut perhitungan Samekta dan Wrahasta, Sidanti akan segera
mengirimkan orang-orangnya sebagian kemari. Kau akan segera mendapat kesulitan,
dan korban pun akan semakin banyak berjatuhan.”
“Tetapi aku tidak dapat
membiarkan mereka berada di halaman rumahku dan di atas tanah ini.”
“Aku pun telah mendapat pesan,
bahwa di dalam keadaan serupa ini, kita tidak dapat membiarkan perasaan kita
berbicara. Tetapi kita harus menemukan keseimbangan dan berbicara dengan nalar.
Kita masih mempunyai banyak sekali tugas dan kewajiban. Kita masih harus
merebut kembali tanah ini. Dengan demikian, kita tidak boleh kehilangan akal
yang akan menyebabkan kematian yang semakin parah. Kalau kemudian korban
berjatuhan lagi, itu berarti bahwa kitalah yang bersalah. Kitalah yang telah
membunuh mereka tanpa arti sama sekali, karena akhirnya kita akan terusir juga
dari medan yang sekarang. Tetapi perang ini tidak akan berakhir sehari atau
semalam ini. Kita masih akan menghadapi hari-hari yang semakin sulit dan berat.
Dan kita harus tidak kehilangan akal.”
“Pengecut,” tiba-tiba Pandan
Wangi menggeram, “kalian ingin memaksa aku lari dari peperangan ini? Tidak. Aku
harus mengusir mereka. Mereka harus pergi dari tanah ini.”
“Ya, mereka harus pergi.
Tetapi tidak dengan cara yang salah. Kita tidak akan berhasil mengusir mereka,
namun justru kitalah yang akan dibantai oleh mereka, Dan kita akan kehilangan
segala-galanya.”
“Pengecut.”
“Bukan, Pandan Wangi. Ini
adalah suatu siasat. Kita mundur untuk kemudian meloncat maju. Sekarang keadaan
kita terlampau sulit. Tetapi kalau kita berhimpun, dan kita mendapat kesempatan
menghimpun pula semua kekuatan yang tersebar, kita mungkin akan berhasil.”
“Itukah alasanmu? Setiap kali
kau berkata, bahwa itu sekedar siasat. Siasat. Kalau kau tidak berani berbuat
sesuatu, kau pakai alasan itu. Alasan seorang pengecut, Tidak. Aku tidak akan
mundur setapak pun, meskipun aku harus mati.”
“Ya,” jawab penghubung yang
mulai kebingungan itu. Namun dengan demikian ia tidak merasakan lagi luka yang
mengalirkan darah semakin deras di pundaknya. “Samekta dan Wrahasta menduga
kalau kau akan bersikap demikian. Tetapi peperangan ini di dalam keseluruhan
memerlukan cara. Cara untuk memenangkannya. Cara yang serasi dari para
pemimpin. Pandan Wangi, kalau kita membuat perhitungan, jangan dianggap bahwa
kita adalah pengecut-pengecut, tetapi kita harus menghadapi lawan dengan
sepenuh kesadaran dan perhitungan. Kau selama ini selalu dicengkam oleh
perasaanmu. Tetapi lihatlah. Sebentar lagi pasukan Sidanti akan datang,
meskipun hanya sebagian. Pasukanmu akan tergulung habis. Mati, meskipun
sebenarnya kau dapat menghindari. Mungkin kau bukan seorang pengecut dan seluruh
pengawal di dalam pasukan inipun bukan pengecut. Tetapi apa kata orang setelah
peperangan ini selesai dan kita ditumpas habis? Mereka akan menyalahkan para
pemimpinnya. Mereka menganggap, bahwa kita terlampau bodoh untuk membunuh diri
di medan peperangan. Kita mati dan tanah ini tidak akan dapat kita ambil
kembali. Kecuali apabila kita memang sudah tidak berpengharapan sama sekali
untuk dapat berbuat demikian, untuk merebutnya lagi. Maka aku pun sependapat,
bahwa kita akan bersama berkubur di atas tanah yang kita cintai ini.”
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Terasa sebuah sentuhan di hatinya. Sejenak ia mematung dan sejenak
kemudian dilihatnya penghubung itu menyeringai lagi. Agaknya terasa lukanya
menjadi terlampau sakit, sedang darah masih saja mengalir semakin banyak.
“Pandan Wangi,” tiba-tiba
suara penghubung itu merendah, “aku terluka ketika aku mencari hubungan dengan
kau di dalam perang brubuh yang buas ini. Aku tidak akan kembali atau berhenti
sebelum aku bertemu dengan kau, meskipun aku telah terluka, karena aku bukan
seorang pengecut. Luka itu agaknya kini menjadi semakin parah, karena darah
yang semakin banyak mengalir.” Ia berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin
terengah-engah.
“Aku minta kepadamu, Pandan
Wangi, jangan kau biarkan perasaanmu berkata. Hargailah nyawa orang-orangmu.
Mereka masih mempunyai tugas terlampau banyak. Mereka masih harus merebut tanah
ini kembali.”
Pandan Wangi masih berdiri
tegak seperti patung. Kedua tangannya menggenggam sepasang pedangnya erat-erat.
Sekali-sekali terdengar ia menggeram, namun kemudian sebuah tarikan nafas yang
panjang.
Ketika ia memandang penghubung
yang terluka itu dengan saksama, ia melihat orang itu menjadi semakin pucat dan
gemetar. Dan tiba-tiba saja orang itu terhuyung-huyung.
”Pandan Wangi,” katanya, “aku
sudah tidak mampu lagi untuk berdiri.”
Sebelum Pandan Wangi menjawab,
maka orang itupun telah terduduk di tanah. Sekali terdengar ia berdesah.
Kemudian lambat sekali ia berkata, ”Kau mau mendengar kata-kataku, Pandan
Wangi. Itu bukan nasehatku sendiri. Aku adalah seorang penghubung yang
menyampaikan pesan itu kepadamu.”
Tanpa sesadarnya Pandan Wangi
berjongkok di sampingnya. Dengan dada yang berdebaran ia berkata, “Kuatkan
hatimu. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk membawamu kepada Paman
Samekta, agar luka-lukamu itu terawat.”
Orang itu menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Bukan luka ini yang sebenarnya akan membunuh aku. Tetapi
aku telah kehabisan darah. Darah semakin banyak mengalir, dan aku menjadi
terlampau lemah karenanya.”
“Kita harus berusaha.”
“Usaha yang terpenting bagimu,
Pandan Wangi, usahakan agar orang-orangmu kali ini terselamatkan, untuk besok,
atau lusa melakukan tugasnya yang lebih penting lagi.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menggeretakkan giginya. Ia merasa betapa berat pesan itu. Ketika ia mengangkat
wajahnya, ia melihat pertempuran menjadi semakin buas. Beberapa orang berusaha
untuk melindunginya dari perang yang gila itu, sedang beberapa orang yang lain
sedang bertempur melawan Peda Sura. Sekali-sekali Pandan Wangi mendengar pekik
kesakitan dan teriakan kemenangan yang terlampau buas, seperti raung seekor
harimau yang berhasil menerkam dan membunuh lawannya.
“Dengarlah kata-kataku, Pandan
Wangi,” penghubung yang terluka itu berkata lirih, “dengan demikian, matiku
akan mempunyai arti. Jangan lagi menyebut aku sebagai pengecut yang hanya
mempergunakan siasat sebagai alasan. Tidak. Aku mati karena aku ingin
menyampaikan pesan itu kepadamu, pesan tentang siasat yang kau anggap hanya
sekedar sebagai alasan. Aku menjadi korban untuk mengurangi korban-korban yang
lain. Tetapi kalau kau tetap menganggap aku sebagai pengecut, Samekta dan
Wrahasta juga pengecut, maka sia-sialah kematianku.”
“Tidak. Tidak, kau tidak akan
mati.”
“Itupun terlampau sulit.
Perasaan kita jangan kita biarkan menguasai keadaan tanpa perhitungan yang
matang. Nah, berkatalah, bahwa kau bersedia menarik mundur pasukanmu. Kita
besok akan kembali dan merebut tanah ini.
Pandan Wangi menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kebenaran kata-kata penghubung itu, bahwa ia
sama sekali bukan seorang pengecut. Ia telah membelah perang brubuh ini untuk
mencari dan menghubunginya. Ia tidak lari, meskipun ia telah terluka. Ia
bersedia mati untuk hidup orang lain.
Terasa hentakan yang sangat di
dalam dada gadis itu. Penghubung yang terluka itu semakin lama menjadi semakin
lemah. Suaranya pun menjadi semakin lirih, “Pandan Wangi, aku ingin mendengar
keputusanmu.”
Pandan Wangi tidak dapat
berbuat lain. Di hadapan penghubung yang sudah terlampau letih, ia menganggukkan
kepalanya. Namun ia masih bertanya, “Kenapa Paman Samekta dan Wrahasta tidak
membawa pasukannya kemari, dan bersama-sama melawan, apabila pasukan Sidanti
itu datang kemari pula.”
“Ada banyak pertimbangan,
Pandan Wangi. Yang pertama-tama, keteguhan hati kita telah terpukul oleh
kekalahan-kekalahan yang berturut-turut. Mungkin hal itu tidak begitu terasa di
sini. Tetapi di medan yang lain, hati kita sudah menjadi sekecil menir. Kita
perlu menemukan keseimbangan baru untuk memulainya.” Penghubung yang menjadi
semakin lemah itu berhenti sejenak, lalu, “aku sudah tidak punya waktu.”
Pandan Wangi menjadi semakin
berdebar-debar. Dan tiba-tiba ia berdiri sambil berdesis, “Akan aku penuhi
permintaan Paman Samekta. Tetapi bukan karena kami di sini telah kehilangan
keberanian dan berkecil hati. Aku akan mencoba mempergunakan cara yang akan
ditempuh oleh Paman Samekta, untuk besok, atau lusa kembali merebut tanah ini
kembali.”
“Oh,” penghubung itu menarik
nafas panjang sekali. “Pandan Wangi,” katanya, “mengundurkan diri bukanlah
pekerjaan yang terlampau mudah. Kau harus bijaksana. Kau harus didampingi oleh
seorang yang telah berpengalaman menyampaikan perintah-perintah pengunduran
diri itu.”
Pandan Wangi mengangguk.
Tiba-tiba ia meloncat masuk ke dalam hiruk pikuk perang brubuh sambil
memberikan pesan kepada pengawal yang melindunginya, ”Lindungi orang yang
terluka itu. Bawa ia keluar dari perang yang gila ini. Kami akan menarik diri.”
Penghubung itu masih akan
berbicara, tetapi Pandan Wangi telah hilang di dalam hiruk pikuknya perang
brubuh yang buas itu. Yang datang kepadanya kemudian adalah beberapa orang
pengawal.
“Hampir tak ada gunanya kalian
menyelamatkan aku,” berkata pengawal itu, “darahku sudah terlampau banyak
mengalir. Lakukanlah tugasmu yang lain, yang barangkali lebih penting.”
Tetapi para pengawal itu tidak
menghiraukannya. Beberapa dari mereka telah mencoba melindunginya dan berusaha
menemukan jalan keluar dari peperangan.
Sementara itu, Pandan Wangi
telah berhasil menemui tetua kelompok kecilnya, yang oleh Samekta diperbantukan
kepadanya. Kepada orang itu Pandan Wangi menyerahkan pimpinan pengunduran diri.
“Marilah,” berkata orang tua
itu, “kau lebih dahulu, Pandan Wangi. Kami akan melindungimu.”
“Bodoh sekali. Tariklah
pasukan ini. Aku harus melindungi mereka. Terutama Peda Sura yang gila ini.”
Pengawal tua itu merasa aneh.
Tetapi Pandan Wangi mendesaknya, “Cepat, sebelum Sidanti datang membawa pasukan
yang lebih besar lagi. Kita harus pergi sekarang.”
Orang tua itu masih ragu-ragu.
Tetapi Pandan Wangi telah terlibat dalam pertempuran kembali. Langsung melawan
Peda Sura yang menjadi semakin gila.
Perkelahian pun semakin lama
menjadi semakin menggila pula. Masing-masing seolah-olah telah kehilangan diri
mereka sendiri. Yang ada di arena itu adalah sekumpulan binatang yang paling
buas dan paling berbahaya sedang berkelahi berebut mangsa.
Pandan Wangi pun tandangnya
menjadi semakin garang pula. Sepasang senjatanya berputaran dan
menyambar-nyambar, berkilat-kilat di bawah cahaya bulan bulat di langit.
Sementara itu, pengawal tua
yang mendapat perintah dari Pandan Wangi untuk menarik pasukannya, masih
berdiri termangu-mangu. Ia mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia mengerti ke
mana pasukan itu harus dibawa, karena ia telah mendengar semua rencana itu.
Tetapi ia tidak dapat membiarkan Pandan Wangi bertempur terus selama ia menarik
pasukan itu.
“He, kenapa kau diam membeku,”
teriak Pandan Wangi. Suaranya bergeletar di antara dentang senjata, sehingga
pengawal tua itu terkejut.
“He,” jawabnya, “lakukanlah
lebih dahulu.”
“Pergi, pergilah secepatnya.”
Orang tua itu menjadi semakin
bingung. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, meskipun ia mengerti
maksud Pandan Wangi. Gadis itu memerintahkan kepadanya untuk mengundurkan diri,
selama itu ia mencoba untuk melindungi pasukannya dari orang yang paling
berbahaya, Peda Sura. Tetapi apakah ia sampai hati untuk berbuat demikian.
Dalam keragu-raguan itu, ia
melihat Peda Sura berkelahi seperti seekor harimau lapar. Senjatanya menerkam
ke segenap arah dengan garangnya. Meskipun Pandan Wangi tidak bertempur
sendiri, tetapi lingkaran kecil di seputar Peda Sura itu tidak terlampau banyak
dapat menahannya. Setiap kali Peda Sura dapat melepaskan diri, dan menyerang
orang-orang di sekitarnya. Baru sejenak kemudian, ia menempatkan dirinya untuk
melawan serangan-serangan Pandan Wangi yang berbahaya.
“Apakah yang sebaiknya aku
lakukan?” pertanyaan itu selalu menghentak-hentak di dalam dada pengawal tua
itu. Dan sekali lagi ia mendengar Pandan Wangi berteriak, “Cepat, cepat. Jangan
berbuat terlampau bodoh.”
Tak ada yang dapat dilakukan,
selain memenuhi perintah itu. Tetapi sudah tentu ia sendiri tidak dapat
membiarkan Pandan Wangi dalam keadaannya. Karena itu, maka diperintahkannya
isyarat pengunduran diri itu kepada seorang penghubung. Maka sejenak kemudian,
isyarat itu telah sampai kepada hampir setiap telinga di dalam pertempuran itu.
Tetapi bukan saja telinga para pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun juga
telinga lawan-lawan mereka, sehingga sesaat kemudian terdengar mereka
berteriak-teriak, “Jangan lepaskan kelinci-kelinci itu untuk melarikan diri.”
Tetapi kekuatan mereka
sebenarnya tetap seimbang. Sebenarnya pasukan Menoreh tidak berada dalam
keadaan yang terlampau sulit. Namun apabila sebentar lagi pasukan Sidanti
datang, maka keadaan pasti akan segera berubah.
Karena itu, sesaat kemudian
medan pertempuran itupun segera bergeser. Orang-orang Menoreh mencoba menarik
diri mereka ke dalam kedudukan mereka yang baru. Setiap kali mereka mundur
beberapa langkah, mereka harus berhenti untuk meneruskan perang brubuh yang
dahsyat itu. Setiap kali mereka masih juga harus membalas setiap serangan yang
ganas dengan perlawanan dan serangan-serangan yang kasar pula.
Pandan Wangi sendiri mencoba
mengikat Peda Sura dalam perkelahian, supaya orang itu tidak berkeliaran.
Selama pasukannya mengundurkan diri, Peda Sura akan dapat menjadi seorang
pembantai yang mengerikan, apabila tidak seorang pun yang mengikatnya dalam
pertempuran yang tersendiri. Setiap kali ia memang berusaha untuk menahan arus
para pengawal Menoreh yang menempatkan diri mereka pada keadaan yang mapan.
Tetapi betapapun Pandan Wangi
berusaha, namun Peda Sura pada dasarnya memang mempunyai beberapa kelebihan
daripadanya, sehingga setiap kali Pandan Wangi selalu terdesak. Untunglah,
bahwa kelompok kecil yang dibuatnya masih tetap tidak terpecahkan, meskipun
beberapa orang daripadanya telah terluka dan bahkan menjadi korban. Namun
mereka masih tetap mampu untuk melawan Peda Sura bersama-sama.
Namun Peda Sura bukanlah
seorang yang begitu saja membiarkan dirinya berada dalam suatu keadaan yang
tidak diinginkannya sendiri. Ketika arena itu telah bergeser semakin jauh, maka
tiba-tiba ia meloncat sambil memekik, menyerang Pandan Wangi dengan kecepatan
yang tidak terduga-duga. Pandan Wangi yang terkejut mengalami serangan itu,
dengan serta merta meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan dirinya. Namun
kesempatan berikutnya telah dipergunakan oleh Peda Sura. Tiba-tiba ia meloncat
ke arah yang lain, memecah kepungan kecil yang memagarinya langsung masuk ke
dalam perang brubuh yang hiruk pikuk.
Pandan Wangi terkejut melihat
sikap itu. Sudah tentu ia tidak akan dapat membiarkannya. Orang itu terlampau
berbahaya. Dengan ilmunya, ia akan dapat membuat korban yang tidak terhitung di
antara orang-orang Menoreh, seolah-olah tidak seorang pun yang akan dapat
menahannya. Karena itu, maka Pandan Wangi pun segera mengejarnya, masuk ke
dalam peperangan yang semakin menggila itu. Tetapi dengan demikian, Pandan
Wangi telah meninggalkan kelompoknya. Ia seakan-akan telah menyerahkan dirinya
untuk bertempur seorang melawan seorang dengan Ki Peda Sura.
Dan itulah yang memang
diharapkan oleh pemimpin pasukan Sidanti yang buas itu. Dengan demikian, ia
akan mendapat kesempatan untuk menjatuhkan Pandan Wangi dan membinasakannya.
“Tidak,” berkata Peda Sura itu
di dalam hatinya, “sayang kalau anak manis itu terbunuh. Aku harus memancingnya
dan melumpuhkannya. Aku ingin menangkapnya hidup-hidup.”
Ternyata bahwa Pandan Wangi
telah benar-benar lupa diri. Ia ingin pasukannya segera terbebaskan dari perang
brubuh ini dan berhasil menghindarkan diri. Menurut pengamatannya, pasukan
lawan yang telah kelelahan inipun pasti tidak akan mengejarnya terus. Apalagi
kekuatan mereka masih tetap seimbang. Asal Ki Peda Sura dapat ditahan untuk
tidak mengacaukan penarikan pasukan Menoreh, maka kemungkinan untuk melepaskan
diri dari peperangan ini cukup besar.
Tetapi pada suatu saat, Pandan
Wangi itu harus menyadari, bahwa tiba-tiba saja ia telah berhadapan dengan Ki
Peda Sura seorang diri. Di sekitarnya orang-orang Menoreh sedang sibuk
menghadapi lawan masing-masing.
Ki Peda Sura yang telah
berhasil memisahkan Pandan Wangi dari kelompoknya itu, kini berdiri tegak
sambil tertawa. Suara tertawanya benar-benar sangat menyakitkan hati. Sepasang
matanya yang liar kemerah-merahan seakan-akan memancarkan api yang aneh dari
dalam hatinya.
“Nah, ternyata kau selalu
mencariku, ke mana aku pergi,” desis orang itu.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia harus mengatur dirinya, supaya ia tidak tenggelam dalam perasaan
ngeri menghadapi orang yang terlampau buas ini. Sedang kekasaran dan kekerasan
yang telah terjadi di sekitarnya, masih berlangsung terus.
“Menyerahlah anak manis,”
terdengar suara Peda Sura di antara suara tertawanya.
Terasa bulu-bulu di tengkuk
Pandan Wangi meremang. Ia sebenarnya tidak takut menghadapi senjata Peda Sura
yang mengerikan itu. Sampai mati pun ia tidak akan ingkar, karena ia memang
merasa bertanggung jawab. Sebagai seorang anak Kepala Tanah Perdikan, maka
adalah tugasnya untuk ikut serta mempertahankan tanah ini. Tetapi melihat sikap
Peda Sura itu, Pandan Wangi benar-benar dijalari oleh perasaan ngeri yang
dahsyat.
Karena itu, maka ketika suara
tertawa Peda Sura meninggi, tiba-tiba saja Pandan Wangi meloncat dan
menyerangnya, seperti angin prahara.
Peda Sura terkejut mengalami
serangan itu. Serangan Pandan Wangi benar-benar berbahaya. Jauh lebih berbahaya
dari tiga empat orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang lain. Sehingga
karena itu, maka suara tertawanya terputus dengan tiba-tiba. Dengan dada yang
berdebar-debar ia meloncat menghindarkan dirinya. Namun agaknya Pandan Wangi
tidak memberinya banyak kesempatan. Serangan berikutnya telah melandanya,
bertubi-tubi susul menyusul.
Tetapi Ki Peda Sura adalah
orang yang jauh lebih banyak menyimpan pengalaman di dalam dirinya. Itulah
sebabnya, akhirnya ia mampu pula untuk mengelakkan serangan-serangan Pandan
Wangi, dan menemukan kesempatan untuk menghadapinya. Sehingga sejenak kemudian,
mereka telah terlibat di dalam perang yang sengit, seakan-akan mereka tengah
berjanji untuk melakukan perang tanding di tengah-tengah hiruk pikuknya perang
brubuh itu.
Namun sekali lagi Pandan Wangi
harus mengakui, bahwa kemampuan Ki Peda Sura memang berada di atas
kemampuannya, meskipun tidak terlampau jauh. Dengan demikian, maka sejenak
kemudian Pandan Wangi sudah harus memeras segenap kemampuan yang ada padanya,
untuk bertahan dari serangan-serangan Peda Sura yang melandanya seperti banjir
bandang. Apalagi sikap Peda sura benar-benar memuakkannya, sehingga sebagai
seorang gadis, maka mau tidak mau perasaannya ikut serta menentukan akhir dari
perkelahian itu.
“Kau memang garang anak
manis,” suara Peda Sura terasa menggores hati setajam ujung tombak,
“menyerahlah. Aku tidak akan membunuhmu. Kau akan mendapat banyak kesempatan
untuk hidup dan menikmati kehidupan.”
Pandan Wangi menggeram. Ia
mencoba mengerahkan segenap kemampuannya. Ilmu yang telah diterimanya dari
ayahnya, telah dituangkannya dalam perkelahian itu, tetapi ternyata bahwa ia
masih terlampau hijau. Ia masih mempergunakan setiap unsur gerak dari perguruan
Menoreh dengan las-lasan. Ia masih belum menemukan kemantapan dalam hubungan
setiap unsur yang ada, sehingga orang-orang yang telah dipenuhi oleh berbagai
macam pengalaman di medan-medan perang, dalam benturan seorang melawan seorang,
seperti Ki Peda Sura itu, segera saja dapat menemukan segi-segi kelemahannya.
Dengan demikian, maka semakin
lama menjadi semakin jelas, bahwa Pandan Wangi tidak akan dapat lagi melepaskan
dirinya dari malapetaka. Ia tidak dapat mengharapkan bantuan dari siapa pun.
Orang-orang di dalam kelompok kecilnya, yang telah disusun untuk melawan Peda
Sura, tidak segera dapat menemukannya di dalam perang brubuh itu, karena setiap
saat mereka akan menemukan lawan-lawannya sendiri.
Namun dalam pada itu, rencana
pasukan Menoreh untuk mengundurkan diri itupun agaknya semakin lama menjadi
semakin lancar. Usaha-usaha mereka untuk melepaskan setiap hambatan agaknya
akan segera berhasil. Di saat-saat terakhir mereka harus menarik diri masuk ke
dalam padukuhan kecil yang semula mereka pergunakan untuk menunggu pasukan Peda
Sura. Mereka rnengharap, bahwa mereka akan segera mendapat kesempatan
berikutnya, meninggalkan padukuhan kecil itu, dan bergabung dengan pasukan yang
lain yang telah lebih dahulu mengundurkan diri.
Ki Peda Sura yang melihat
arena semakin bergeser menjauh, menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus mengejarnya
terus atau membiarkan mereka meninggalkan arena. Semula timbul niatnya untuk
mencari korban sebanyak-banyaknya di saat-saat orang-orang Menoreh menarik
dirinya. Tetapi dengan demikian, maka Pandan Wangi pun akan mampu berbuat
serupa di antara anak buahnya. Karena itu, maka akhirnya ia memutuskan untuk
membiarkan saja lawannya mengundurkan diri. Pasukannya sendiri sudah terlampau
lelah pula. Sehingga kemudian katanya di dalam hatinya, ”Aku hanya bertugas
menarik perhatian pasukan Menoreh. Kini agaknya Sidanti telah berhasil
menduduki padukuhan induk, meskipun ia tidak melakukan pengejaran. Karena itu,
maka tugasku kali ini sudah selesai, biar sajalah orang-orang itu melarikan
diri. Dengan mengejar mereka, maka korban pun akan menjadi semakin banyak jatuh
di pihakku, bagiku agaknya lebih baik menangkap anak rajawali ini saja untuk mainan.”
Dengan demikian, maka Peda
Sura itu sama sekali tidak peduli lagi kepada pasukan Menoreh yang semakin lama
semakin surut. Namun dengan demikian, maka Pandan Wangi itupun terpisah semakin
jauh dari orang-orangnya.
Beberapa orang yang merasa
ikut bertanggung jawab atas pasukan Menoreh telah bekerja mati-matian untuk
menyelamatkan pasukannya. Tetapi beberapa orang yang lain, dengan hati
berdebar-debar mencoba untuk menemukan Pandan Wangi yang sedang bertempur
melawan Ki Peda Sura. Tetapi usaha yang demikian bukanlah usaha yang mudah.
Sementara itu, Pandan Wangi
sendiri sudah terlampau sulit untuk mencoba melepaskan diri dan mundur
bersama-sama pasukannya. Peda Sura agaknya benar-benar berusaha untuk
menahannya, supaya ia terpisah dari seluruh anak buahnya. Dengan demikian, maka
Pandan Wangi itu akan segera dapat ditangkapnya. Karena itu, justru Peda Sura
mengharap agar orang-orang Menoreh yang masih ada di sekitarnya segera
meninggalkan arena.
Sebenarnyalah keadaan Pandan
Wangi semakin lama menjadi semakin sulit. Semakin lancar usaha pasukan Menoreh
mengundurkan diri, maka keadannya pun menjadi semakin berbahaya. Ia sadar
sepenuhnya, apa yang akan terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap
hidup-hidup. Ia sadar bahwa mati akan lebih baik baginya, daripada ia dapat
ditangkap oleh Ki Peda Sura.
Perang brubuh itupun semakin
lama semakin jauh bergeser. Tetapi Peda Sura tetap berusaha menahan Pandan
Wangi.
“Gadis ini akan kelelahan,”
desis Peda Sura di dalam hati.
Dan usaha itu agaknya tidak
sia-sia. Semakin lama tenaga Pandan Wangi yang belum menemukan saluran
sewajarnya itu menjadi kian surut. Perlawanannya pun menjadi semakin lemah.
Tetapi ia sudah bertekad untuk mengakhiri perkelahian itu dengan melepaskan
nyawanya.
Sejenak kemudian terdengar
Peda Sura tertawa. Suaranya meringkik seperti suara hantu di pekuburan.
Mengerikan sekali.
Namun tiba-tiba suara
tertawanya itu terputus. Sesaat udara malam digetarkan oleh suara seruling yang
melengking. Pendek. Namun pengaruhnya terlampau dalam menggores di dinding hati
Pandan Wangi. Ia tidak tahu, kenapa di luar sadarnya tumbuhlah suatu
pengharapan. Pengharapan yang tidak dapat dimengertinya. Sekilas angan-angannya
segera hinggap pada seorang gembala yang selalu bermain-main dengan
serulingnya.
Tetapi sesaat kemudian dadanya
yang berdebar-debar menjadi semakin berdebar-debar. Diingatnya kembali apa yang
baru saja di lakukan oleh gembala itu. Sebelum terjadi peperangan ini, maka
gembala itu telah berkeliaran di daerah-daerah terlarang. Sehingga tidak mustahil,
bahwa gembala itu adalah salah seorang petugas sandi dari orang-orang liar yang
tidak dikenal ini.
“Sikapnya sama sekali berbeda
dengan orang-orang ini,” ia mencoba membedakan sifat-sifat pada gembala itu.
Namun kemudian dijawabnya sendiri, “Seorang petugas sandi harus mampu berbuat
apa saja. Mencala putra, mencala putri.”
Dengan demikian, maka Pandan
Wangi yakin, bahwa gembala itu datang untuk membantu Peda Sura menangkapnya.
“Aku akan mati di peperangan
ini,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya, “itu akan jauh lebih baik daripada
tertangkap hidup-hidup.”
Tetapi ia heran melihat sikap
Peda Sura. Ternyata orang itupun menjadi heran mendengar suara seruling yang
melengking pendek, sehingga karena itu, maka pertempuran itupun terhenti
karenanya.
Sejenak kemudian, di bawah
cahaya bulan bulat di langit, seseorang meloncat dari balik pematang langsung
berlari-lari kecil menuju ke arena pertempuran antara Pandan Wangi dan Peda
Sura. Di tangan kirinya ia menjinjing sebatang seruling kecil, seruling yang hampir
tidak pernah terpisah daripadanya.
“Perkelahian yang dahsyat,”
desisnya ketika orang itu sudah berada beberapa langkah saja dari Peda Sura dan
Pandan Wangi. Kemudian ia pun berhenti dan berdiri tegak seperti patung.
“Siapakah kau?” terdengar Peda
Sura menggeram.
Pandan Wangi yang hampir saja
bertanya tentang gembala yang menggenggam seruling itu telah mengurungkan
niatnya. Semula ia ingin langsung menuduhnya, sebagai petugas sandi Sidanti.
Tetapi menilik pertanyaan Peda Sura, maka ada kemungkinan lain yang tidak
dimengertinya. Karena itu, maka ia pun berdiam diri sambil menunggu jawaban
orang berseruling itu.
Karena orang itu tidak segera
menjawab, maka Peda Sura mengulanginya, “Siapa kau he?”
“Gupita, seorang penggembala,”
jawab orang itu.
“Apa maksudmu datang kemari,
dan menghentikan perkelahian ini?”
“Aku ingin memberitahukan
kepada Pandan Wangi, agar ia segera meninggalkan arena ini. Lihat, sebentar
lagi pasukannya akan segera hilang di dalam padukuhan itu. Kalau ia masih saja
bertempur, maka sebentar lagi ia akan terjebak. Orang-orangmu pasti tidak akan
terus menerus mengejar orang-orang Menoreh. Pada suatu ketika mereka akan
kembali kemari dan bersamamu beramai-ramai menangkap Pandan Wangi. Bukankah
begitu?”
“Persetan,” Ki Peda Sura menggeram,
“apa pedulimu?”
“Tidak sepantasnya Pandan
Wangi jatuh ke tangan orang-orang gila semacam kau, Ki Peda Sura.”
“Lalu, apa maumu?”
“Aku ingin menasehatkan, agar
Pandan Wangi meninggalkan arena ini.”
Dada Ki Peda Sura bergetar
mendengar jawaban itu, sehingga dengan serta merta ia berkata, “Begitu
mudahnya?”
“Apakah kesulitannya? Pandan
Wangi dapat menelusur pematang ini, dan di ujung parit yang menyilang jalan, ia
berbelok lewat jalan sempit di pinggir parit di seberang jalan. Nah, bukankah
ia akan sampai di sisi padukuhan kecil itu dan dengan loncatan-loncatan kecil
ia dapat masuk ke dalam padukuhan, kemudian bergabung dengan pasukannya yang
sedang mundur?”
“Apa kau kira aku akan
tertidur di sini dan membiarkannya lari?”
Gupita tertawa. Jawabnya, “Kau
akan bermain-main dengan kami berdua. Kalau kami tidak dapat mengalahkanmu,
maka Pandan Wangi akan lari, sedang kau tinggal di sini bersamaku. Tetapi kalau
kami mampu, maka kau akan menyesal, bahwa kau telah terpisah dari anak buahmu.”
Jawaban itu benar-benar telah
membuat telinga Ki Peda Sura menjadi merah. Terdengar giginya gemeretak dan
senjatanya terayun-ayun di tangannya.
“He Gupita, apakah kau sudah
menjadi gila?” suaranya berat dalam nada yang datar, “Apakah kau belum pernah
mendengar nama Ki Peda Sura?”
“Sudah. Aku sudah pernah
mendengar. Tetapi ternyata namamu jauh lebih besar dari kemampuanmu. Aku memang
tidak akan dapat melawanmu. Tetapi selama aku melihat kau bertempur melawan
Pandan Wangi, maka kelebihan yang kau miliki ternyata tidak seberapa. Dengan
demikian, maka tenagaku yang lemah, akan segera merubah keseimbangan. Kau akan
mengalami kesulitan dan mungkin kau harus mengalami nasib yang menyedihkan.”
Sekali lagi Peda Sura
menggeram. Matanya yang buas menjadi semakin buas. Sementara itu Pandan Wangi
berdiri termangu-mangu. Kata-kata gembala yang menamakan dirinya Gupita itu,
seakan-akan meluncur begitu saja seperti air terjun. Seolah-olah ia menganggap
persoalan yang sedang di hadapi itu sebagai persoalan yang dapat diselesaikan sambil
tertawa dan bergurau saja. Sedang yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang
iblis yang bernama Ki Peda Sura.
Dalam kebimbangan itu, Pandan
Wangi mendengar Gupita berkata kepadanya, “Marilah, kita selesaikan saja
persoalan ini sampai di sini. Kami harus menyadari keadaanmu. Kau harus segera
meninggalkan tempat ini.”
Tiba-tiba terdengar jawaban
Pandan Wangi gemetar, “Aku bukan pengecut.”
“Memang bukan,” sahut Gupta,
“tetapi kau harus mempunyai penilaian yang tepat atas keadaan yang kau hadapi.
Kau tidak perlu mengorbankan dirimu. Pasukanmu sudah menemukan jalan yang
lapang untuk membebaskan dirinya kali ini. Itupun bukan suatu sifat pengecut.
Tetapi kau harus mempunyai perhitungan jangka jauh untuk memenangkan
pertempuran ini. Kalah atau menang dalam suatu peperangan tidak ditentukan oleh
medan-medan kecil serupa ini. Tetapi bagaimana akhir dari semuanya.”
Pandan Wangi menjadi
ragu-ragu. Ia tidak tahu, siapakah sebenarnya gembala yang menyebut dirinya
bernama Gupita itu. Tetapi tiba-tiba saja telah tumbuh kepercayaan kepada
gembala itu di dalam hatinya. Sehingga karena itu, maka semua kata-katanya itu
dipertimbangkannya.
Sementara itu, hati di dada Ki
Peda Sura rasa-rasanya telah terbakar. Ia sudah tidak mampu lagi untuk menahan
geram yang mencengkam jantungnya. Gembala itu terlampau meremehkannya. Karena
itu, maka ia tidak mau membiarkan keadaan menjadi berlarut-larut.
Sebelum Pandan Wangi sempat
menjawab, maka tiba-tiba Peda Sura sudah meloncat menyerang. Kali ini
sasarannya adalah gembala yang menyebut dirinya bernama Gupita itu.
Sebenarnya Gupita terkejut
juga melihat serangan yang tiba-tiba dan datang terlampau cepat. Untunglah
bahwa ia sudah mempersiapkan dirinya untuk menghadapi serangan yang demikian.
Karena itu, maka segera ia meloncat menghindar sambil berkata, “Pandan Wangi.
Permainan ini sudah dimulai. Cepat, hindarkan dirimu sebelum orang-orang yang
liar dan buas itu datang, setelah mereka berhasil mendesak pasukanmu. Kau harus
tetap selamat. Kau tahu, bahaya yang paling parah dapat kau alami apabila kau
tertangkap.”
Dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Di tangannya masih tergenggam sepasang senjatanya. Dengan penuh
kebimbangan, ia melihai pertempuran yang segera terjadi antara Ki Peda Sura
melawan Gupita.
Tiba-tiba tanpa sesadarnya,
Pandan Wangi bertanya, “Apakah kau tidak bersenjata? Marilah, pakailah satu
pedangku.”
“Terima kasih,” sahut Gupita,
“aku sudah membawa senjata. Aku baru saja menyimpan kambing-kambingku di
kandang. Cambukku masih aku bawa sampai saat ini. Kalau perlu aku dapat
mempergunakannya untuk melawan senjata Ki Peda Sura yang mengerikan ini.”
Telinga Peda Sura serasa
terbakar mendengar jawaban Gupita itu. Anak itu benar-benar menghinanya,
sehingga dengan demikian, maka serangannya menjadi semakin garang.
Namun Gupita memang mengharap
Ki Peda Sura menjadi marah kepadanya. Dengan demikian, maka perhatiannya
terhadap Pandan Wangi akan berkurang. Kecuali itu, kalau ia berhasil membakar
hatinya, maka Ki Peda Sura akan dikuasai oleh kemarahannya, sehingga akalnya menjadi
tersaput oleh perasaannya. Dengan demikian ia mengharap, bahwa di dalam olah
senjata pun Peda Sura akan menjadi terlampau terburu oleh nafsunya.
Tetapi ternyata Peda Sura
tidak berbuat demikian. Meskipun ia dibakar oleh kemarahan yang hampir tidak tertahankan,
namun ia tidak mau kehilangan akal. Ia masih tetap dalam keadaannya. Senjatanya
masih tetap berbahaya. Menyambar-nyambar seperti sepasang burung elang di
udara.
“Pergilah,” desis Gupita,
“cepat. Sebentar lagi pasukan Sidanti juga akan datang.”
Tetapi Pandan Wangi masih
berdiri di tempatnya. Ia tidak sampai hati untuk meninggalkan Gupita bertempur
seorang diri. Apalagi gembala itu masih belum mempergunakan senjata apapun. Ia
masih saja berloncat-loncatan menghindari serangan Peda Sura yang semakin lama
menjadi semakin dahsyat.
Akhirnya Gupita pun harus
mengakui, bahwa Ki Peda Sura adalah salah seorang yang tidak dapat diremehkan.
Ilmunya cukup tinggi, ditambah dengan pengalamannya yang cukup tersimpan di
perbendaharaan hatinya. Dengan tajamnya ia mengamati kelemahan-kelemahan Gupita
yang masih saja mencoba menghindari serangan-serangan yang semakin lama menjadi
sedahsyat badai mangsa kesanga.
Namun tiba-tiba Gupita
mengambil sesuatu dari bawah bajunya. Seolah-olah ia sedang mengurai ikat pinggangnya.
Tetapi kemudian ternyata bahwa ia sedang mengurai senjatanya. Sebuah cambuk
yang berjuntai panjang dan bertangkai pendek.
“Hem,” Peda Sura menggeram,
“itukah senjatamu?”
“Ya. Sudah aku katakan. Aku
baru saja menggembalakan kambingku.”
Serangan Peda Sura semakin
lama menjadi semakin dahsyat Namun kini di antara suara teriakannya yang
melengking-lengking, terdengar ledakan cambuk Gupita. Ternyata bahwa cambuk itu
mampu melawannya dengan dahsyatnya pula, sedahsyat senjatanya yang mengerikan.
“Setan,” Peda Sura mengumpat.
Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa di medan pertempuran ini akan muncul
seorang gembala yang memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Meskipun Peda
Sura masih mempercayai dirinya sendiri, bahwa Gupita tidak akan dapat mengalahkannya,
namun untuk memenangkannya pun bukan suatu pekerjaan yang dapat segera
diselesaikan. Bahkan dengan ragu-ragu ia bertanya kepada diri sendiri, “Setan
manakah yang dengan tiba-tiba saja mengganggu rencanaku ini? Dan apakah aku
akan dapat menguasainya dalam waktu yang singkat?”
Yang terjadi kemudian memang
membuat Ki Peda Sura semakin cemas. Ternyata bahwa gembala itu semakin lama
menjadi semakin tangkas. Cambuknya meledak-ledak memekakkan telinga, dan bahkan
ujungnya sekali-sekali telah menyentuh pakaiannya.
Tanpa disengaja, Peda Sura
mencoba memandangi orang-orang yang sedang bertempur di kejauhan. Semakin lama
semakin kabur. Bahkan sebagian dari mereka telah menghilang masuk ke dalam
padukuhan kecil yang kehitam-hitaman.
Serangan Gupita semakin lama
menjadi semakin sengit. Tenaganya yang masih segar telah membantunya. Ki Peda
Sura yang baru saja bertempur di dalam perang brubuh, kemudian berkelahi
seorang lawan seorang dengan Pandan Wangi, telah memeras sebagian dari
tenaganya. Ia merasa terlampau tegang, karena ia ingin mengalahkan Pandan Wangi
tanpa melukainya. Dan kini ketegangan itu memuncak, karena tiba-tiba ia telah
di hadapkan kepada seorang lawan yang tidak disangka-sangka.
Tetapi pengalamannya segera
menempatkannya ke dalam keadaan yang semakin baik. Lambat laun ia dapat melihat
cara lawannya bertempur. Lambat laun ia berhasil mengerti, di manakah
kelemahan-kelamahan Gupita yang garang itu, sehingga dengan demikian, maka ia
masih tetap mampu menguasai keseimbangan.
Gupitapun akhirnya menyadari,
bahwa ia tidak akan dapat menguasai lawannya betapapun ia berusaha. Yang dapat
dilakukan adalah mempergunakan kesegarannya untuk memeras tenaga orang tua itu.
Tetapi sementara itu, Pandan Wangi harus diselamatkan.
Maka sekali lagi berteriak,
“Pandan Wangi. Kenapa kau berdiri saja mematung. Kau harus segera meninggalkan
tempat ini. Lihat, kedua pasukan itu telah menghilang di balik dedaunan di
padesan sebelah. Sebentar lagi pasukan Menoreh akan lolos, dan orang-orang yang
liar itu akan kembali kemari. Kau akan kehilangan kesempatan lagi untuk kedua
kalinya.”
Pandan Wangi seolah-olah
tersadar dari sebuah mimpi yang buruk. Tanpa sengaja ia berpaling memandang ke
arah pasukan Menoreh yang menyelinap ke dalam padesan.
Dan sebenarnyalah, bahwa
mereka sudah tidak tampak lagi. Dalam keremangan cahaya bulan bulat di langit,
Pandan Wangi masih sempat melihat beberapa buah bayangan yang lamat-lamat
menghilang ke dalam hijaunya dedaunan padesan, yang di malam hari tampak
menjadi kehitam-hitaman.
“Nah, cepat. Lakukanlah,”
teriak Gupita.
Pandan Wangi masih tetap
ragu-ragu. Tetapi ia menyadari kini, betapa bahaya akan mengancamnya lagi,
apabila orang-orang itu nanti kembali. Namun apakah ia akan meninggalkan Gupita
itu bertempur seorang diri? Padahal Pandan Wangi yang sudah memiliki ketajaman
penglihatan untuk menilai perkelahian itu, menganggap bahwa Gupita tidak berada
di atas kemampuan Ki Peda Sura?
Dengan demikian Pandan Wangi
masih juga ragu-ragu. Dan ia mendengar suara Gupita, “Cepat Pandan Wangi. Cepatlah
sedikit.”
Yang terdengar adalah geram
dan gemeretak gigi Peda Sura, ia tidak dapat menganggap lawannya kali ini
sebagai kawan berkejar-kejaran. Serangan cambuk Gupita ternyata terlampau
berbahaya, meskipun tidak berhasil menguasainya.
Pandan Wangi masih juga
ragu-ragu. Ia sadar, bahwa ia harus pergi. Tetapi ia mengetahui, bahwa Gupita
tidak akan dapat memenangkan perkelahian itu. Karena itu, maka ia tidak segera
dapat mengambil keputusan.
Dalam pada itu Ki Peda Sura
yang sedang dibakar oleh kemarahan yang semakin memuncak, segera mengerahkan
segenap kemampuan yang ada padanya. Ia tidak ragu-ragu seperti pada saat ia
bertempur melawan Pandan Wangi. Kali ini ia tidak sayang sama sekali, apabila
kulit Gupita tersentuh senjata dan tulang-tulangnya dipecahkannya. Dengan
demikian maka serangan-serangannya pun semakin lama menjadi semakin garang.
Untunglah, bahwa Gupita masih cukup segar untuk melayaninya. Tenaganya masih
utuh, sehingga kelincahannya masih mampu mengimbangi serangan-serangan lawannya
yang dahsyat, sedahsyat banjir bandang.
Namun dalam pada itu, semakin
nyata bagi Pandan Wangi, bahwa Gupita pun tidak akan mampu mengalahkan orang
tua itu.
Dengan demikian tiba-tiba
Pandan Wangi mengambil suatu keputusan lain. Tiba-tiba ia melangkah kembali mendekati
lingkaran pertempuran. Pedangnya kemudian disilangkannya di dadanya. Sambil
melangkah semakin dekat ia berkata, “Aku berkelahi di pihakmu Gupita.”
“Jangan,” sahut Gupita,
“tinggalkan saja tempat ini.”
”Kau dalam kesulitan. Aku
tahu, dan kau jangan mengorbankan dirimu.”
“Persetan,” yang terdengai
adalah suara Ki Peda Sura, “kalian adalah anak-anak yang paling bodoh.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tiba-tiba pedangnya bergetar. Kedua ujungnya kini telah merunduk setinggi dada,
meskipun masih tetap bersilang.
Ki Peda Sura melihat sikap itu
dengan hati yang berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa seorang-seorang,
anak-anak itu tidak akan dapat mengalahkannya. Tetapi kalau mereka berkelahi
bersama-sama, maka akibatnya akan berbeda.
Gupita yang melihat sikap
itupun menjadi cemas. Terbata-bata ia bertanya, “Pandan Wangi, apa yang akan
kau kerjakan?”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Tetapi ia menarik sebelah kakinya sambil merendahkan lututnya. Kini satu
tangannya terentang dan yang lain bersilang di dadanya, menggenggam pedangnya
tegak lurus di muka wajahnya.
Dada Gupita menjadi
berdebar-debar. Sikap itu benar-benar meyakinkan, dan dengan demikian maka
Gupita pun menjadi semakin mengaguminya. Gadis ini memang luar biasa. Kalau
kelak ia menemukan kematangan bagi ilmunya itu, maka ia akan menjadi seorang
gadis yang pilih tanding. Seorang gadis yang tidak memerlukannya lagi untuk
membantu melawan Ki Peda Sura.
Peda Sura yang melihat sikap
itupun menjadi semakin berdebar-debar. Namun dengan demikian, kemarahannya menjadi
semakin mencengkam kepalanya. Serangan-serangannya menjadi semakin dahsyat dan
buas. Sebuas harimau kelaparan melihat mangsanya.
Sejenak kemudian terdengar
desis tajam. Bersamaan dengan itu, pedang Pandan Wangi pun bergetar. Dengan
lincahnya ia meloncat semakin dekat, dan langsung menyerang Ki Peda Sura dengan
sepasang pedangnya.
Segera Ki Peda Sura merasakan
kesulitan untuk melawan keduanya. Karena Pandan Wangi benar-benar tidak
bersedia meninggalkan perkelahian itu, dan bahkan sudah memulainya, maka Gupita
harus segera menyesuaikan diri. Perkelahian itu harus segera selesai, supaya
Pandan Wangi mendapat kesempatan untuk menyingkir.
Agaknya Pandan Wangi pun
mempunyai perhitungan yang serupa. Karena itulah, maka serangan kedua anak-anak
muda itu segera membadai. Sepasang pedang Pandan Wangi menari-nari mengitari
tubuh Ki Peda Sura dari segala arah, mematuk-matuk seperti sepasang paruh
garuda. Sedang cambuk Gupita menyambar-nyambar seperti petir dilangit.
Meledak-ledak memekakkan telinga.
Ki Peda Sura segera merasakan,
bahwa tenaganya yang telah mulai lelah itu tidak akan mampu melawan keduanya
dalam gabungan kekuatan. Gupita sendiri pun tidak segera dapat dikalahkan,
sedang Pandan Wangi seorang diri cukup berbahaya baginya. Apalagi kini mereka
bergabung menjadi suatu kekuatan yang melandanya seperti ombak di lautan
didorong badai yang dahsyat.
Segera Ki Peda Sura terdesak
mundur. Beberapa kali ia terpaksa meloncat menjauh. Namun setiap kali kedua
anak-anak muda itu memburunya tanpa memberinya kesempatan.
Dalam keadaan yang demikian,
maka Ki Peda Sura merasa perlu untuk membuat keseimbangan. Tidak terlampau jauh
dari arena itu, orang-orangnya sedang mengejar orang-orang Menoreh, sehingga
satu dua orang di antara mereka pasti akan segera dapat ditarik untuk
membantunya menghadapi kedua anak-anak muda yang mengagumkan ini.
Sejenak kemudian, maka Ki Peda
Sura tidak merasa segan lagi untuk berbuat demikian. Segera terdengarlah suitan
nyaring yang keras sekali memanjang membelah sepinya malam. Itu adalah pertanda,
bahwa Ki Peda Sura yang tua dan garang itu memerlukan bantuan untuk
keselamatannya.
Ternyata suitan itu telah
menggetarkan dada Gupita dan Pandan Wangi. Mereka segera menyadari arti dari
panggilan itu bagi diri mereka.
Tetapi mereka tidak lagi dapat
surut. Perkelahian itu sudah berlangsung dengan sengitnya. Baik Pandan Wangi
maupun Gupita telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Namun
bagaimanakah nasib mereka, apabila orang-orang Ki Peda Sura itu kemudian
berlari-larian datang membantunya?
Yang terpikir oleh Gupita
kemudian adalah menyelesaikan pertempuran itu secepat-cepatnya, lalu
secepat-cepatnya pula menyingkir.
Karena itu, maka begitu suitan
Peda Sura lenyap dari udara, serangannya pun kian menggila. Cambuknya meledak
tidak putus-putusnya. Diperasnya segenap kemampuan yang ada padanya.
Kelincahan, ketangkasan dan terutama kesegaran tenaganya. Ia ingin berkelahi
untuk waktu yang singkat sehingga ia tidak perlu lagi menghemat tenaganya.
Agaknya Pandan Wangi pun
memaklumi sikap itu. Maka dilimpahkannya semua sisa tenaganya dengan
mempercepat setiap gerakan. Kedua ujung pedangnya menjadi semakin cepat
meluncur mematuk dari segala arah.
Serangan-serangan yang
demikian agaknya kurang diperhitungkan oleh Ki Peda Sura. Ia tidak bersiap
untuk menerima pengerahan segenap kemampuan kedua anak-anak muda itu
bersama-sama. Ledakan-ledakan cambuk yang menjadi semakin dahsyat dan gerakan
kedua ujung pedang itu membuatnya agak gugup.
Kesempatan itulah yang
ditunggu-tunggu oleh Gupita. Sebelum Ki Peda Sura yang menyimpan berbagai
pengalaman di dalam dirinya itu menyadari keadaannya dan mencoba memperbaiki
kedudukannya, maka Gupita telah memperketat serangannya dengan memeras
kemungkinan yang ada padanya. Ujung cambuknya tiba-tiba berhasil menyambar
pundak orang tua itu, sehingga terdengar sebuah keluhan tertahan. Ternyata
ujung cambuk itu bukan sekedar ujung dari janget rangkap tiga berganda. Tetapi
ujung cambuk itu ternyata dilingkar oleh kepingan-kepingan baja yang tipis,
sehingga sentuhan itu benar-benar telah mengelupas kulit Ki Peda Sura.
“Anak setan,” ia mengumpat.
Kalau sentuhan-sentuhan yang terdahulu hanya menyentuh pakaiannya. dan tidak
menumbuhkan persoalan apapun, maka kini terasa pundaknya sangat pedih.
Dengan demikian, maka kemarahan
Ki Peda Sura menjadi semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi ternyata ia tidak
kehilangan akal. Ia masih tetap berkelahi dengan hati-hati. Dan ia masih tetap
sadar, bahwa ia berada dalam bahaya. Dengan demikian, maka sekali lagi
terdengar mulutnya bersuit keras sekali memanjang, menyelusur dinginnya malam
yang terasa bagi mereka terlampau panas.
Gupita menggeretakkan giginya.
Ia pun menyadari keadaannya dan keadaan Pandan Wangi. Arti suitan itu bagi
mereka, adalah serupa dengan tanda bahaya yang untuk kedua kalinya memberi
peringatan kepada mereka.
Dengan demikian, Gupita
menjadi semakin cepat bergerak. Ia mencoba mengisi kekosongan pada setiap
serangan Pandan Wangi. Ketika Peda Sura sedang menghindari ujung pedang yang
menyentuh lengannya, maka sekali lagi ia terpekik. Kali ini lebih keras.
Ternyata ujung cambuk Gupita sekali lagi mengenainya. Justru kali ini menyentuh
keningnya.
Sebuah goresan yang merah
telah menyobek kulit di kening orang itu. Darah yang merah segera meleleh di
pipinya, yang telah basah oleh keringat.
Sekali lagi orang itu
mengumpat lebih kasar lagi. Dengan tergesa-gesa ia meloncat jauh-jauh surut.
Dengan lengan bajunya ia mengusap darah yang menitik di wajahnya itu sambil
sekali lagi bersuit nyaring.
Namun kali ini kecepatan bergerak
Pandan Wangi tidak mampu lagi dihindarinya. Dalam keadaan yang sulit itu,
terasa sesuatu menyengat lengannya. Ketika sekali lagi ia meloncat jauh-jauh,
maka dari lengannya itupun mengalir darah. Agaknya Pandan Wangi telah berhasil
menyobek kulitnya dengan ujung pedangnya.
Ki Peda Sura menjadi kian
sulit karenanya. Gerakan kedua lawannya yang masih muda-muda itu ternyata
terlampau berat untuk diimbangi. Namun sampai begitu jauh, ia masih tidak
kehilangan akal. Ia masih dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mampu
menyelamatkannya.
Ternyata Ki Peda Sura kemudian
tidak berusaha untuk melawan kedua anak muda itu lagi. Tetapi segera ia
meloncat meninggalkan mereka dan berusaha bergeser ke arah orang-orangnya yang
sedang mengejar pasukan Menoreh.
Semula Pandan Wangi dan Gupita
masih ingin mengejarnya. Tetapi tiba-tiba mata Gupita yang tajam melihat di
dalam cerahnya cahaya bulan, beberapa buah bayangan bergerak-gerak dari padesan
di hadapan mereka. Segera ia menyadari keadaan yang menjadi semakin gawat. Yang
datang itu pastilah orang-orang Ki Peda Sura yang mendengar suitan sampai
merambah tiga kali.
“Berhentilah Pandan Wangi,”
desis Gupita kemudian, “lihat, beberapa orang mendatangi. Kita harus segera
pergi.”
Pandan Wangi pun akhirnya
melihat mereka pula. Karena itu, maka dadanya menjadi berdebar-debar. Tanpa
sesadarnya ia bertanya, “Lalu apakah yang harus kita kerjakan?”
“Lari,” jawab Gupita.
Jawaban itu terdengar aneh
ditelinga Pandan Wangi. Lalu apakah ia harus lari dari arena? Namun yang diucapkannya
adalah suatu pertanyaan, “Apakah kita biarkan Peda Sura menyelamatkan dirinya?”
“Kita tidak perlu membunuh.
Kalau kita dicengkam oleh nafsu membunuh, maka kita akan kehilangan
perhitungan. Kita sudah melumpuhkannya. Itulah yang penting. Bukan membunuh.
Sekarang kita harus lari, eh, kalau kau tidak mau mempergunakan istilah itu,
kita harus menyingkir. Cepat.”
Karena Pandan Wangi masih
ragu-ragu, tiba-tiba tangan Gupita menyambar pergelangan tangannya yang masih
menggenggam pedang dan menariknya berlari meninggalkan arena itu.
“Cepat, mereka telah melihat
kita.”
Pandan Wangi tidak dapat
berbuat lain. Ia pun kemudian berlari kencang-kencang sedapat dilakukan,
ditarik oleh Gupita sambil berkata, “Kita harus menghindar.”
“Ya,” jawab Pandan Wangi tanpa
sesadarnya. Tetapi ia masih berusaha berpaling melihat apa yang terjadi
kemudian dengan Ki Peda Sura.
Dan apa yang dilihatnya benar
telah mendebarkan jantungnya sehingga langkahnya pun menjadi agak tertahan.
Bahkan tanpa sesadarnya ia menarik tangannya sambil berkata, ”Lihat.”
Gupita kemudian berpaling.
Tetapi tangan Pandan Wangi tidak dilepaskannya.
Seperti Pandan Wangi,
jantungnya pun berdebar-debar pula ketika ia melihat Ki Peda Sura
terhuyung-huyung. Kemudian orang tua itu terjatuh di tanah. Orang-orang yang
berlari-larian dari padesan di sebelah, segera mengerumuninya. Beberapa orang
di antara mereka akan berusaha untuk berlari terus mengejar Gupita dan Pandan
Wangi. Namun dengan keheran-heranan Pandan Wangi dan Gupita melihat mereka
terhenti dan kembali mengitari Ki Peda Sura yang terbaring.
Pandan Wangi dan Gupita tidak
mendengar apa yang mereka percakapkan, sehingga karena itu, maka sejenak
kemudian mereka pun dengan tergesa-gesa meneruskan langkah mereka.
“Marilah, sebelum terlambat,”
ajak Gupita sambil menarik tangan Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak menolak.
Tertatih-tatih ia berlari di atas sawah yang becek. Berkali-kali mereka
meloncati pematang dan parit yang mengalirkan air yang jernih bening.
“Mereka tidak mengejar kita
lagi,” desis Pandan Wangi.
“Belum tentu. Mungkin mereka
sedang menerima pesan-pesan dari Ki Peda Sura. Kita harus menjauh
sejauh-jauhnya. Kau harus segera sampai kepada pasukanmu, supaya kau dapat
berlindung kepada mereka.”
“Akulah yang harus melindungi
mereka,” jawab Pandan Wangi sambil terengah-engah.
“Timbal balik. Jangan kau
ulangi sikapmu yang berbahaya. Kau tidak perlu berbuat demikian. Kau dapat
mundur bersama-sama dengan pasukanmu tanpa mengorbankan dirimu.”
“Tidak mungkin. Kau tidak
melihat medan waktu itu, sehingga kau dapat berkata begitu.”
Gupita tidak menjawab, tetapi
ia masih saja menarik tangan Pandan Wangi, “Cepatlah sedikit.”
Pandan Wangi berusaha untuk
mempercepat langkahnya. Ketika ia berpaling, maka bayangan orang-orang yang
mengerumuni Ki Peda Sura sudah tidak begitu jelas lagi.
“Kita sudah jauh,” berkata
Pandan Wangi.
“Kita masih berada di daerah
berbahaya. Kita harus menyelusur parit di depan kita, kemudian menyilang jalan.
Kita masih harus melintasi bulak kecil itu lagi untuk mencapai padesan.”
“Kita justru menjauhi padesan
itu,” sahut Pandan Wangi.
“Kita berjalan melingkar,
supaya arah kita tidak segera terpotong.”
“Orang-orang itu mungkin akan
memotong arah kita.”
“Karena itu kita harus cepat.”
Mereka mencoba mempercepat
langkah mereka. Tetapi Pandan Wangi agaknya sudah mulai lelah setelah ia
bertempur memeras tenaganya melawan Ki Peda Sura. Karena itu, maka langkahnya
pun menjadi semakin lambat, “Aku lelah sekali,” desisnya.
“Jangan,” sahut Gupita, “kau
bagi Tanah Perdikan Menoreh adalah seorang prajurit. Kini kau berada di medan
kewajibanmu. Atasilah perasaan lelahmu. Kau harus melatih mengatur pernafasan
dan melepaskan tenagamu sesuai dengas kebutuhan.”
“Aku tahu. Tetapi tenagaku
terbatas. Suatu saat kita akan sampai ke puncak kemampuan. Dan aku sudah
lelah.”
Gupita tidak dapat memaksa
Pandan Wangi berlari terus. Kini mereka memperlambat langkah mereka. Meskipun
demikian, mereka masih juga berloncat-loncatan di atas pematang.
Namun hati mereka menjadi agak
tenang, ketika sekali lagi mereka berpaling dan tidak seorang pun yang
mengejar.
Sebenarnya, bahwa orang-orang
yang akan mencoba mengejar kedua anak-anak muda itu telah ditahan oleh Ki Peda
Sura yang terbaring di tanah karena luka-lukanya yang ternyata cukup parah.
Perlawanan yang demikian sama sekali tidak disangka-sangkanya. Kedua anak-anak
muda itu ternyata memiliki kemampuan yang luar biasa.
“Kalau mereka kelak berhasil
menguasai ilmu mereka dengan baik, maka mereka akan menjadi orang-orang yang
luar biasa. Mereka akan mampu menyamai Ki Argapati dan Ki Tambak Wedi,” berkata
Ki Peda Sura kepada orang-orangnya, “karena itu, jangan kau kejar mereka, kalau
jumlah kalian tidak mencapai sepuluh orang.”
“Kami tidak tahu kalau kami
harus berhadapan dengan orang-orang semacam mereka. Sebaiknya kita panggil
beberapa kawan lagi. Pertempuran di padesan itu sudah hampir selesai.
Orang-orang Menoreh terus menerus menarik dirinya, dan mungkin mereka akan
melarikan diri keluar padesan itu bergabung dengan kawan-kawan mereka yang
lain.”
“Jangan dikejar juga mereka.
Kalian akan terjebak.”
“Ya. Kami sudah menyadari.
Kami tidak akan mengejar mereka keluar padukuhan kecil itu.”
“Kita selesai sampai di sini.”
“Lalu, bagaimana dengan Kiai?”
bertanya salah seorang anak buahnya.
“Anak-anak setan itu berhasil
melukaiku. Aku terlampau letih oleh darah yang keluar dari tubuhku. Bawalah aku
menyingkir. Di kantong ikat pinggangku ada semacam obat yang dapat menahan arus
darah. Taburkan itu di lukaku. Mudah-mudahan dapat mengurangi keparahan luka itu.”
Beberapa orang berusaha untuk
menolong Ki Peda Sura. Yang lain mengambil obat di kantong ikat pinggangnya dan
menaburkan di atas luka yang masih mengalirkan darah. Namun agaknya obat itupun
bermanfaat pula. Arus darah dari luka itupun berangsur berkurang.
“Kalau Sidanti sudah selesai,
ia pasti akan mengirimkan beberapa orang kemari. Tetapi di sini pun kita sudah
selesai,” gumam Peda Sura kemudian.
“Bagaimana dengan kedua orang
yang melarikan diri itu?”
“Mereka kita lepaskan kali
ini. Kini mereka pasti sudah terlampau jauh.”
Saat itu, Pandan Wangi dan
Gupita memang sudah agak jauh dari mereka. Tetapi keduanya masih belum
bergabung dengan pasukan Menoreh yang sedang menarik diri.
Pandan Wangi yang kelelahan,
agaknya benar-benar sudah segan untuk berlari. Satu-satu ia melangkah dengan
nafas terengah-engah. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa tidak seorang pun lagi
yang mengejarnya. Bahkan Ki Peda Sura agaknya sudah tidak berdaya lagi.
“Aku tidak dapat berlari
lagi,” desisnya.
“Tetapi kau belum berada di
tengah-tengah pasukanmu,” sahut Gupita.
“Bahaya sudah tidak terlampau
besar lagi kini.”
“Memang bagi kita. Tetapi
bagaimana dengan pasukanmu?”
Pertanyaan itu menyentuh dada
Pandan Wangi. Pasukan Menoreh itu berada di bawah tanggung jawabnya. Karena
itu, maka tiba-tiba ia menggeram, “Ya, aku harus segera berada di antara
mereka. Bukan untuk berlindung, tetapi aku harus bertanggung jawab atas semua
persoalan yang terjadi.”
Gupita tidak menjawab. Tetapi
ia melihat nafas Pandan Wangi seakan-akan hampir putus di kerongkongannya. Maka
tanpa sesadarnya ia berkata, “Tetapi kalau kau memang terlampau lelah,
beristirahatlah sejenak.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Pasukanmu pasti dapat
menyelamatkan diri. Orang-orang Peda Sura sudah tidak bernafsu lagi untuk mengejar,
sebab mereka pun pasti akan ragu-ragu, bahwa suatu ketika mereka akan terjebak
ke dalam perangkap yang dapat menghancurkan mereka.”
Pandan Wangi mengangguk.
”Nah, duduklah. Dan sarungkan
pedangmu.”
Seperti digerakkan oleh tenaga
yang ajaib, Pandan Wangi menyarungkan sepasang pedangnya. Kemudian duduk
beristirahat di atas pematang yang ditumbuhi rumput liar.
“Kau dapat sekedar melepaskan
lelahmu. Kita memang sudah terlepas dari bahaya yang mengerikan. Tetapi belum
berarti bahwa kita boleh berlengah-lengah di sini.”
“Aku menyadari,” jawab Pandan
Wangi, ”aku hanya akan sekedar menenangkan diri supaya nafasku tidak terputus
di tengah jalan.”
Gupita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tanpa dikehendakinya sendiri ia duduk di samping Pandan Wangi,
bersandar pada sepasang tangannya. Serulingnya terselip pada ikat pinggangnya
dan cambuknya melingkar di lehernya.
Angin malam yang segar telah
berhembus mengusap tubuh mereka. Terasa seolah-olah nafas mereka dijalari oleh
getaran-getaran yang sejuk. Perlahan-lahan dada mereka menjadi tenang, dan
nafas mereka tidak lagi berkejaran lewat lubang hidung mereka. Terutama Pandan
Wangi yang kelelahan itu.
Kedua anak muda itu sejenak
saling berdiam diri. Mereka masing-masing terbenam di dalam angan-angan sendiri.
Bayangan yang bermacam-macam bentuk dan corak telah hilir mudik di rongga mata
mereka. Pertempuran yang baru saja terjadi dan kemungkinan-kemungkinan yang
dapat menyeret mereka ke dalam keadaan yang tidak terduga-duga. Terasa
bulu-bulu tengkuk Pandan Wangi meremang, jika dibayangkannya apa yang dapat
terjadi atas dirinya, apabila ia tertangkap oleh Ki Peda Sura dan
orang-orangnya yang buas dan liar itu.
Ketika perasaan lelahnya sudah
berkurang, tiba-tiba Pandan Wangi menyadari, bahwa sebenarnya anak muda yang
duduk di sampingnya itu masih terlampau asing baginya, sehingga tiba-tiba saja
ia bertanya, ”Siapakah sebenarnya kau?”
Gupita terkejut mendengar
pertanyaan itu. Kini ia duduk tegak sambil memandangi Pandan Wangi dengan sorot
mata yang keheran-heranan, “Kenapa kau bertanya demikian? Bukankah kau sudah
mengenal aku, bahwa aku adalah seorang gembala yang bernama Gupita?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia menyahut, “Aku merasa aneh,
bahwa di Menoreh ada seorang gembala yang bernama Gupita, dan mampu mengimbangi
seorang yang bernama Ki Peda Sura.”
“Apa salahnya? Bukankah lebih
aneh lagi, bahwa ada seorang gadis yang membawa pedang rangkap di lambungnya?”
“Tetapi aku tidak
menyembunyikan diriku dengan segala macam rahasia dan teka-teki. Aku adalah
Pandan Wangi, putri Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Dalam keadaan apapun, aku
adalah Pandan Wangi.”
“Lalu apa sangkamu tentang
aku?” bertanya Gupita, ”aku adalah seorang gembala. Dalam segala keadaan.
Tetapi sudah tentu di dalam peperangan aku tidak menggembalakan
kambing-kambingku. Namaku Gupita, juga dalam segala keadaan. Kalau kau tidak
percaya, marilah datang ke rumahku. Kau akan berkenalan dengan ayah dan adikku.
Adikku juga seorang gembala. Kau akan tertawa melihatnya. Tubuhnya gemuk bulat.
Namun ia seorang periang yang paling banyak tertawa di dunia ini.”
Pandan Wangi ragu-ragu
mendengar pengakuan Gupita itu. Dengan penuh pertanyaan dipandanginya wajah
Gupita. Wajah yang memiliki daya yang aneh terpancar dari sepasang matanya.
Dalam keremangan cahaya bulan, Pandan Wangi melihat sesuatu yang lain di wajah
itu. Jauh berbeda dari wajah seorang gembala.
Tetapi tiba-tiba Pandan Wangi
menyadari dirinya, ia adalah seorang gadis. Meskipun kini ia membawa sepasang
pedang di lambungnya, tetapi ia tetap seorang gadis dan anak muda yang ada di
sampingnya itu adalah orang yang belum terlampau banyak diketahuinya. Karena
itu, maka ketika anak muda itupun memandanginya, dan pandangan mereka
berbenturan, terasa seolah-olah jantungnya terbanting di atas batu pualam.
Pecah berkeping-keping.
Pandan Wangi segera
menundukkan kepalanya. Keringat yang dingin mengalir memenuhi pakaiannya yang
memang sudah basah oleh keringat. Terasa tangannya menjadi dingin dan wajahnya
dirambati oleh arus darahnya yang hangat.
Untuk beberapa saat, Pandan
Wangi tertunduk diam. Dengan jari-jarinya yang lentik, ia bermain-main ujung
rerumputan yang telah basah oleh embun yang turun dari langit.
Gupita melihat perubahan sikap
Pandan Wangi. Justru karena itu, maka tumbuhlah sifat dan watak yang sudah
terpateri di dalam dirinya. Tiba-tiba saja iapun menjadi bingung dan tidak
mengerti apa yang harus dilakukannya. Seolah-olah ia terlempar ke dalam
dunianya sendiri. Bukan lagi seorang gembala yang bernama Gupita. Muncullah
watak dan kediriannya, seorang anak muda pemalu dan dibayangi oleh
keragu-raguan.
Beberapa saat sebelumnya ia
telah membuat dirinya menjadi seorang gembala periang, yang agak sombong.
Seorang yang menganggap setiap persoalan itu bukan masalah yang harus ditekuni.
Ia telah mencoba belajar dan melakukannya seperti yang dilihatnya pada adik
seperguruannya. Terhadap Ki Peda Sura, Pandan Wangi sebagai seorang anak Kepala
Tanah Perdikan, kepada Samekta dan orang-orang yang baru itu, agaknya ia
berhasil menirukan sikap dan tabiat adik seperguruannya, tetapi ketika
tiba-tiba ia di hadapkan pada Pandan Wangi sebagai seorang gadis, maka
tiba-tiba jantungnya serasa membeku.
Dengan demikian, maka sejenak
mereka saling berdiam diri. Desir angin malam seolah-olah berbisik di telinga
mereka. Tetapi gejolak di dalam diri mereka telah menenggelamkan segala
perhatian terhadap keadaan di sekeliling mereka.
Namun tiba-tiba, Gupita yang
ingin mengurangi ketegangan di dalam dadanya itu, mengangkat wajahnya. Serasa
darahnya berhenti mengalir, ketika ia melihat iring-iringan yang berjalan ke
arah mereka.
“Tidak ada kesempatan untuk
lari lagi,” desisnya.
Pandan Wangi yang mendengar
desis itupun segera mengangkat wajahnya meraba hutu pedangnya.
“Mereka pergi kemari.”
Tetapi Gupita menggeleng,
“Tidak. Mereka tidak menuju kemari. Mereka adalah pasukan Ki Peda Sura yang
ingin mengundurkan dirinya masuk kepadukuhan induk setelah mereka melepaskan
pasukanmu.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ia membenarkan kata-kata Gupita itu, karena beberapa puluh langkah di
samping iring-iringan itu, terdapat iring-iringan yang lain pula. Agaknya
mereka terbagi menjadi dua kelompok untuk menghindarkan diri dari
kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya bagi mereka.
Tetapi sekelempok di antara
mereka berjalan kearah kedua anak-anak muda yang sedang duduk di pematang itu.
Semakin lama semakin dekat, sehingga mereka tidak akan dapat tinggal diam duduk
di pematang itu.
“Apa yang harus kita lakukan?”
bertanya Pandan Wangi.
“Bersembunyi.”
“Kenapa bersembunyi?”
“Lalu, kau mau apa?”
“Kita melawan sambil
menghindar.”
Gupita tidak menjawab lagi.
Iring-iringan itu semakin dekat. Kalau mereka masih saja berbantah, maka salah
seorang dari mereka pasti akan segera melihat. Karena itu maka tiba-tiba saja
ia mendorong tubuh Pandan Wangi sehingga gadis itu terguling di atas tanah yang
becek.
“Jangan berbicara lagi,” bisik
Gupita, “kita bersembunyi di sela-sela tanaman di sawah ini. Kau harus diam dan
mencoba menguasai pernafasanmu.”
Pandan Wangi masih akan
menjawab, tetapi Gupita yang telah berguling di sampingnya segera mendorongnya,
“Masuk lebih dalam lagi.”
Pandan Wangi tidak membantah
lagi. Ia pun kemudian merangkak masuk ke dalam rimbunnya tanaman di sawah yang
becek. Di belakangnya Gupita pun merangkak dengan hati-hati sambil
sekali-sekali mengangkat kepalanya untuk melihat iring-iringan yang semakin
lama menjadi semakin dekat.
Tetapi ternyata mereka tidak
tepat mengambil arah tempat kedua anak-anak muda itu bersembunyi. Mereka akan
lewat beberapa langkah daripadanya. Dalam keremangan cahaya bulan, Gupita dapat
melihat, bahwa beberapa orang di antara mereka sedang mengangkat sesosok tubuh
di atas pundak mereka.
“Ki Peda Sura,” gumam Gupita
perlahan-lahan.
Pandan Wangi yang
mendengarnya, segera berusaha melihat dari sela-sela ujung daun-daun yang
rimbun. Ia pun melihat pula, bahwa agaknya Ki Peda Sura tidak mampu untuk
berjalan sendiri, sehingga harus diangkat oleh orang-orangnya.
Tetapi belum lagi debar di
dalam dada kedua anak-anak muda itu reda, mereka melihal iring-iringan dari
arah yang lain. Dengan dada yang berdebar-debar mereka melihat kedua
iring-iringan dari arah yang berlawanan itu semakin mendekat. Namun agaknya
mereka telah memiliki tanda-tanda yang khusus, sehingga mereka segera mengetahui,
bahwa yang mereka jumpai sama sekali bukan lawan mereka.
Gupita dan Pandan Wangi
terpaksa menahan nafas mereka, supaya desahnya tidak terdengar. Tidak terlampau
jauh dari kedua anak-anak muda itu, kedua pasukan yang datang dari arah yang
berlawanan itu bertemu.
“Kenapa kalian tidak menunggu
kami?” bertanya pemimpin pasukan yang baru datang.
“Pekerjaan kami telah
selesai,” jawab salah seorang dari pasukan Ki Peda Sura.
“Apakah kalian berhasil
membinasakan orang-orang Menoreh yang bodoh itu?”
“Sebagian, yang lain melarikan
diri.”
Pimpinan pasukan yang baru
datang itu berdiam diri sejenak. Namun dari antara mereka, seorang anak yang
masih terlampau muda, mendesak maju sambil bertanya, “Bagaimana dengan Kakak
Pandan Wangi?”
Sejenak tidak terdengar
jawaban. Namun kemudian terdengar desis yang lambat, “Pandan Wangi adalah
seorang gadis yang perkasa. Ia selamat.”
Semua orang berpaling ke arah
suara itu. Pemimpin pasukan yang baru datang itupun bertanya, “Siapa yang
terluka itu?”
“Ki Peda Sura.”
“He. Ki Peda Sura terluka?”
“Ya.”
“Siapa yang melukainya?”
Yang terdengar adalah suara Ki
Peda Sura lambat, hampir tidak terdengar, apalagi dari tempat Gupita dan Pandan
Wangi bersembunyi, “Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang telah melukai aku.”
“Terkutuklah anak itu,”
terdengar pemimpin pasukan yang baru datang itu menggeram. Tetapi tanpa
disangka-sangka, anak muda yang berada di antara mereka menyahut, “Adalah wajar
sekali, bahwa di dalam pertempuran seorang melukai orang yang lain, yang berada
di pihak yang berlawanan.”
“Persetan,” pemimpin pasukan
itu menggeram, ”tetapi Pandan Wangi telah berbuat kesalahan besar. Ia terlampau
menyombongkan dirinya, sehingga ia berani melukai Ki Peda Sura.”
Pandan Wangi dan Gupita
mendengarkan percakapan itu dengan hati yang berdebar-debar. Kalau pemimpin
pasukan yang baru itu tidak dapat mengendalikan dirinya, dan beberapa orang dan
pasukan Ki Peda Sura menunjukkan arah larinya, maka tidak mustahil mereka akan
mencoba mencarinya.
Tetapi tidak terduga-duga,
anak muda yang berada di dalam pasukan itu menyahut, “Itu bukan suatu
kesombongan, tetapi suatu kebanggaan. Apakah kau juga menyombongkan dirimu
setiap kali membunuh atau melukai lawan?”
“Tetapi tidak seorang yang
memiliki ilmu setinggi Ki Peda Sura.”
“Itu adalah salah Ki Peda
Sura, kenapa ia memberi kesempatan kepada lawannya sehingga melukainya. Kalau
ia memang berilmu tinggi, dan mempunyai kelebihan dari lawannya, namun ia dapat
juga dilukai oleh lawannya yang sekedar menyombongkan dirinya, itu adalah salahnya.”
Agaknya pemimpin pasukan itu
menjadi marah. Dengan garang ia berkata, “Aku akan mencari Pandan Wangi sampai
ketemu. Aku sendiri akan membunuhnya.”
“Huh,” anak yang masih
terlampau muda itu memotong, “kaulah yang terlampau sombong. Kakak Pandan Wangi
dapat melukai Ki Peda Sura. Apalagi kau. Kepalamulah yang lebih dahulu
dipenggalnya.”
“Persetan,” kemarahannya
tiba-tiba memuncak, “kau mencoba mencegah aku, he?”
“Aku tidak mencegahmu, tetapi
aku mengatakan kemungkinan yang paling dekat padamu.”
“Gila! Ternyata kau merupakan
duri di dalam pasukan ini. Apakah kau yang lebih dahulu harus dibungkam.”
“Apa kau bilang!” tiba-tiba
anak yang masih terlampau muda itu meloncat sambil menarik pedang dilambungnya,
“ayo, lakukanlah!”
Dalam ketegangan itu tiba-tiba
terdengar suara Ki Peda Sura, “Anak itu benar. Jangan mencoba mencari Pandan
Wangi. Ia terlampau perkasa. Biarlah ia pergi ke pasukannya. Mungkin akan
datang suatu kesempatan bagimu, lusa atau kapan saja untuk menemuinya dan
mencoba ketajaman sepasang pedangnya.”
Pemimpin pasukan itu menggeram
sekali lagi. Dihentakkannya kakinya ke tanah. Katanya, “Lalu, apa yang akan
kita lakukan?”
“Kembali ke induk pasukan,”
desis Ki Peda Sura. “Beberapa orang pengawas dapat kalian tinggalkan di sini.
Pengawas yang kuat dan cukup banyak. Seperti Argapati, kalian harus melengkapi
pengawas-pengawas itu dengan tanda-tanda sandi dan beberapa ekor kuda.”
“Aku kecewa, bahwa aku tidak
dapat bertemu dengan Pandan Wangi,” pemimpin pasukan yang baru itu masih saja
bergumam.
”Tidak perlu sekarang,” suara
Ki Peda Sura lambat, “sekarang kita kembali ke induk pasukan. Bukankah Sidanti
telah berhasil menduduki padukuhan induk?”
Pemimpin pasukan itu terdiam
sejenak. Dengan sudut matanya dipandanginya ujung pedang di tangan anak muda
yang berdiri beberapa langkah di hadapannya. Kemudian katanya, “Baik. Kita akan
kembali ke induk pasukan. Aku akan meninggalkan satu kelompok orang-orangku di
sini.”
“Bagus,” desis Ki Peda Sura,
“marilah, kita pergi.”
Pemimpin pasukan itu terdiam sejenak.
Namun kemudian sambil menunjuk pedang anak muda di hadapannya ia berkata, “Kau
jangan main-main dengan pedang anak manis. Kalau ayahmu mendengar perbuatanmu,
kau akan dijantur di atas pohon sawo di halaman rumahmu.”
“Ayah akan membenarkan sikapku.
Kalau kita tidak sependapat, maka pasti Ayah-lah yang bersalah dalam hal ini.”
Pemimpin pasukan itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian, “Ayo, kita kembali. Jangan hiraukan anak gila
itu.”
Pemimpin pasukan itu segera
memerintahkan orang-orangnya kembali. Namun di antara mereka, sekelompok besar
ditinggalkannya di padukuhan di hadapan mereka untuk mengawasi keadaan. Mereka
telah meyakini, bahwa pasukan Menoreh telah mundur jauh-jauh, sehingga untuk
waktu yang pendek tidak mungkin lagi akan kembali.
Sejenak kemudian
pasukan-pasukan itupun telah bergerak meninggalkan tempat itu kembali ke
padukuhan induk yang ternyata telah diduduki oleh Sidanti dan pasukannya.
Ketika mereka telah menjadi
semakin jauh, maka Gupita pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan mereka
berdiri sambil menggeliat.
“Hem, keadaan telah menjadi
semakin parah,” gumam Gupita, “tetapi siapakah anak muda itu. Anak muda yang
mencarimu, dan membelamu dihadapan pemimpinnya?”
“Namanya Prastawa,” jawab
Pandan Wangi, “ia adik sepupuku. Salah seorang putera Paman Argajaya.”
“Oh,” Gupita
mengangguk-angguk, “sifat ayahnya yang keras kepala tampak pula padanya.”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah kau sudah mengenal Paman Argajaya
secara pribadi?”
Pertanyaan itu telah membuat
dada Gupita berdesir. Tetapi segera ia menemukan jawabnya, ”Siapakah orang
Menoreh yang tidak mengenai Ki Argajaya, meskipun tidak secara pribadi.
Siapakah yang tidak mengenal tabiat, sifat, dan wataknya? Apalagi kini, setelah
dengan jelas ia berpihak kepada Sidanti.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di antara sadar dan tidak ia bergumam, “ia
berpihak kepada orang lain daripada saudara sendiri.”
Kini Gupita-lah yang bertanya
dengan serta merta, “Siapakah yang kau maksud dengan orang lain?”
“Oh,” Pandan Wangi tergagap,
“maksudku, maksudku, Paman telah berpihak kepada Ki Tambak Wedi. Bukankah Ki
Tambak Wedi itu orang lain bagi Paman.”
“Tetapi Sidanti adalah
kemenakannya.”
Dengan perasaan yang aneh
Pandan Wangi mengangguk, “ya, Kakang Sidanti adalah kemenakan Paman Argajaya.”
Namun dalam pada itu, sebuah
goresan yang tajam telah menggorek luka di hati gadis itu. Terasa betapa
pahitnya persoalan yang kini terjadi di Menoreh. Teringat olehnya ceritera
ayahnya, bahwa ibunya pada saat mengandung Sidanti, berkata kepada ayahnya,
”Kalau tidak kau bunuh kami, maka anak di dalam kandungan ini, akan membawa
persoalan sepanjang hidupnya.”
Tiba-tiba kepala Pandan Wangi
seolah-olah terkulai, menunduk dalam-dalam. Beberapa titik air matanya membasah
di pelupuknya. Peristiwa itu ternyata benar-benar tidak terhenti sejak perang
tanding antara Arya Teja dan Puguhan selesai. Tidak juga setelah ayahnya
mengambil perempuan yang telah mengandung itu menjadi istrinya untuk
seterusnya. Bahkan tidak juga selesai setelah ia lahir.
“Betapa anehnya, bahwa aku
sempat juga lahir,” katanya di dalam hati, “ayah dan ibu menyimpan persoalan
yang berakar di dalam hati mereka. Dengan demikian, maka kedamaian yang aku
dapati di rumah itu, adalah kedamaian yang lamis. Cinta ayah dan ibu kemudian
kelahiranku inipun, sebenarnya adalah akibat sikap berpura-pura dari mereka
berdua.”
Hampir saja Pandan Wangi
meledakkan tangisnya. Tetapi tanpa disengajanya, tangannya menyentuh hulu
pedangnya. Dengan demikian, maka segera ia teringat, bahwa ia kini sedang
berada di medan perang.
Apalagi ketika terdengar suara
Gupitia, “Pandan Wangi, apakah yang sedang kau renungkan? Kita harus segera
berbuat sesuatu, sebab masih banyak sekali kemungkinan yang akan terjadi.
Daerah ini masih akan mengalami seribu satu macam perubahan. Dan
perubahan-perubahan itu dapat terjadi dengan cepatnya.”
Pandan Wangi mengusap matanya
dengan ujung bajunya. Namun ia masih tertunduk, untuk menyembunyikan wajahnya
dari cahaya bulan yang kuning.
“Baiklah,” katanya kemudian
dalam nada yang datar, “apakah sebaiknya yang harus kita lakukan?”
“Kembalilah kepasukanmu.”
“Baiklah,” Pandan Wangi tidak
mempersoalkannya lagi. Tiba-tiba saja ia melangkahkan kakinya sambil menunduk.
“He, ke mana kau akan pergi?”
bertanya Gupita.
“Bukankah aku harus pergi
kepasukanku?”
Gupita merasakan sesuatu yang
aneh pada gadis itu. Pandan Wangi seakan-akan kehilangan gairah untuk
memikirkan peperangan ini. Bahkan sikapnya agaknya menjadi acuh tidak acuh
saja.
“Pandan Wangi,” berkata Gupita
kemudian, “di sekitar kita masih mungkin bersembunyi berbagai macam bahaya yang
tidak kita kenal. Itulah sebabnya kau harus berhati-hati. Jangan berjalan
begitu saja seperti kau pergi ke sendang. Kau tidak tahu, apakah yang
bersembunyi di balik sehelai ilalang di hadapanmu.”
Terasa dada gadis itu
berdesir. Seolah-olah ia kini baru tersadar dari tidurnya yang dicengkam oleh
mimpi yang mengerikan. Tanpa sesadarnya, maka kedua tangannya telah meraba hulu
sepasang pedangnya. Kemudian ditariknya nafas dalam-dalam. Diedarkannya
pandangan matanya ke sekelilingnya. Tanaman di sawah. Padesan dan pepohonan
pategalan di arah lain. Warna kuning yang terpencar dari bulan bulat di langit,
terpercik di setiap wajah dedaunan.
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ya, aku memang
harus berhati-hati.”
“Nah, jangan merenung. Kau
tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya di medan perang. Kalau kau
hati-hati dan berhasil mencapai pasukannya, maka kau akan mempunyai banyak kesempatan
untuk merenung.”
“Ah,” Pandan Wangi berdesah,
tetapi ia tidak menjawab.
“Kau harus menghindari padesan
itu agak jauh.”
Pandan Wangi mengangguk
kosong, :Baikah,” jawabnya, “aku akan berangkat sekarang.” Dan tanpa sesadarnya
ia bertanya, “Apakah kau akan pergi ke sana juga?”
Gupita menggelengkan
kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu untuk menjawab. Meskipun
demikian, ia berkata juga, “Tidak.”
Tampaklah di wajahnya gadis
itu menjadi kecewa. Sejenak in berdiri mematung. Namun kemudian terdengar
suaranya dalam, ”Kalau begitu, kita berpisah sampai di sini. Mudah-mudahan aku
selamat sampai ke pasukanku.”
Kini Gupita-lah yang menjadi
ragu-ragu. Dengan dada yang berdebar-debar ia melihat Pandan Wangi bergeser.
Kemudian memutar tubuhnya dan melangkah lambat meninggalkannya. Tetapi beberapa
langkah kemudian gadis itu berhenti sambil berpaling.
Gupita masih berdiri di
tempatnya. Ketika mata gadis itu membentur tatapan matanya yang tajam, maka
dengan tergesa-gesa Pandan Wangi melemparkan pandangannya jauh menembus
cerahnya sinar bulan purnama. Sedang debar jantung di dadanya terasa menjadi
semakin cepat menghentak-hentak. Sehingga untuk sesaat ia berdiri saja
kebingungan.
Baru kemudian ketika getar
diarus darahnya telah mereda, ia meneruskan langkahnya dengan kaki gemetar.
Tetapi langkahnya kemudian
tertegun. Ia mendengar suara lunak memanggilnya.
“Tunggu Pandan Wangi.”
Sekali lagi Pandan Wangi
berpaling. Dilihatnya Gupita melangkah mendekatinya sambil berkata, “Marilah,
aku antarkan kau sampai ke pasukanmu.”
Secercah kegembiraan meloncat
ke wajah Pandan. Wangi. Hampir saja ia berteriak kegirangan seperti anak-anak
mendapat mainan. Namun dengan sepenuh kesadarannya sebagai seorang gadis,
ditahankannya perasaannya. Bahkan kemudian tumbuhlah kesenangan di dalam
hatinya, bercampur baur dengan harga diri dan rasa malu. Dalam kebingungan,
maka meloncatlah hiruk pikuk di dalam hatinya itu. Lewat bibirnya, “Aku tidak
perlu pengantar. Aku cukup mengenal daerah ini, karena aku dilahirkan di tanah
ini.”
Gupita terkejut mendengar
jawaban yang tidak terduga-duga itu sehingga sejenak ia terbungkam. Sebagai
seorang anak muda yang selalu dibayangi oleh keragu-raguan dan kebimbangan,
betapapun ia berusaha memulas dirinya menjadi seorang gembala yang membiarkan
perasaannya meloncat-loncat, namun ia tidak dapat melepaskan diri dari
kediriannya. Karena itu, maka wajahnya menjadi semburat merah oleh hentakan
yang tiba-tiba itu. Untunglah bahwa bayangan wajahnya sendiri telah menyaput
perasaannya yang terpancar di wajah itu.
Dengan susah payah Gupita
mencoba menguasai dirinya dicobanya menempatkan dirinya pada keadaannya kini.
Seorang gembala yang seolah-olah hidup bebas tanpa kekangan apapun. Katanya,
“Ha, jangan dikuasai oleh peraaan saja. Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau
telah berada di medan perang. Karena itu, maka kau harus mempergunakan
perhitungan seorang prajurit, bukan perasaan seorang gadis.”
Kata-kata itu memang dapat
menyentuh perasaan Pandan Wangi. Tetapi ia tidak segera dapat melepaskan perasaannya.
Karena itu, maka dengan serta merta ia menjawab, “Itulah sebabnya. Karena aku
adalah seseorang yang telah menerjunkan diri di dalam peperangan, maka aku
tidak ingin diperlakukan sebagai seorang gadis cengeng, yang hanya berani
pulang apabila diantar oleh seseorang yang dianggapnya akan dapat
melindunginya. Tetapi sepasang pedangku ini adalah pelindungku yang
sebaik-baiknya.”
“Tetapi perhitungan itu tidak
tepat. Perhitungan itu bukan perhitungan seorang prajurit. Itu adalah
perhitungan seorang gadis yang mempunyai harga diri dan membawa sepasang pedang
di lambung. Tetapi perhitungan seorang prajurit adalah lain. Seandainya kau
bukan seorang gadis sekalipun, maka kau memerlukan kawan dalam keadaan yang
gawat serupa ini. Bukan karena takut, tetapi setiap kemungkinan dapat terjadi.
Mungkin kau akan bertemu dengan sekelompok peronda, atau bertemu dengan seorang
yang memiliki kemampuan yang melampaui kemampuanmu.”
Gupita melihat Pandan Wangi
akan memotongnya, tetap segera ia berkata, “Nanti dulu, jangan memotong
kata-kataku. Maksudku, bukan karena kau tidak berkemampuan untuk mempertahankan
diri. Tetapi kita tidak boleh terlepas dari kenyataan bahwa kita bukan seorang
yang paling mumpuni di atas bumi. Nah, dalam keadaan yang demikian itulah, kau
memerlukan seorang kawan. Mungkin untuk melawan bersama-sama, mungkin untuk
kepentingan yang lain. Untuk menjadi saksi pada setiap keadaan, sampai keadaan
yang paling parah sekalipun. Seorang kawan akan dapat memberitahukan kepada
orang lain, apakah yang sudah terjadi atas diri kita masing-masing.”
Pandan Wangi terdiam sejenak.
Ia dapat menangkap kebenaran kata-kata Gupita. Tetapi sulitlah baginya untuk
melepaskan diri dari perasaannya sebagai seorang gadis yang dengan sadar
berdiri di atas kegadisannya yang berhadapan dengan seorang anak muda yang
belum terlampau dikenalnya di tengah-tengah medan.
Tetapi tiba-tiba terloncatlah
perkataan dari mulutnya yang gemetar, “Gupita. Itu adalah tanggapan seorang
gembala yang panik. Tetapi tidak bagi seorang prajurit. Aku akan melangkahi
setiap jarak di atas tanah ini dengan dada tengadah. Ini adalah tanahku. Apapun
yang akan terjadi atasku.”
Dada Gupita berdesir mendengar
jawaban itu. Sekali lagi melonjaklah kediriannya. Tiba-tiba saja Gupita
dicengkam oleh kepribadiannya sendiri, tanpa dapat mengelakkannya. Dengan nada
rendah ia berkata, “Baiklah Pandan Wangi. Aku memang sekedar seorang gembala
yang kecil. Maafkan aku. Kau adalah seorang putri Kepala Tanah Perdikan yang
besar. Kau benar, bahwa tanggapanku adalah tanggapan seorang gembala. Bukan
tanggapan seorang prajurit. Karena itu, sekali lagi aku minta maaf kepadamu.”
Jawaban itu benar-benar tidak
diduga-duga oleh Pandan Wangi. Ia tidak menyangka, bahwa gembala yang lepas
bebas, yang setiap langkahnya diwarnai oleh kebebasan jiwanya, seperti suara
serulingnya yang lepas diudara yang jernih itu, tiba-tiba merajuk seperti
seorang gadis cengeng yang hatinya tersinggung oleh kata-kata kekasihnya.
Karena itu, justru sejenak Pandan Wangi berdiri tegak seperti patung yang membeku.
Namun sejenak kemudian
disadarinya, bahwa agaknya kata-katanya benar-benar telah menyinggung perasaan
gembala itu. Sehingga lambat sekali dipaksakannya mulutnya berkata, “Maafkan
aku Gupita. Aku tidak ingin menghinamu. Mungkin kata-kataku terdorong oleh
perasaanku yang melonjak-lonjak.”
Gupita ternyata terperanjat
mendengar permintaan maaf itu. Segera disadarinya, bahwa hampir-hampir saja ia
hanyut di dalam kediriannya. Hampir-hampir ia lupa akan peranannya dalam
permainan itu. Karena itu, tiba-tiba ia tertawa, meskipun betapa hambarnya,
“Tidak Pandan Wangi. Aku sama sekali tidak bermaksud demikian. Aku hanya
sekedar bergurau. Sekarang terserah kepadamu, apakah kau akan berkenan untuk
menerima aku sebagai kawan perjalananmu.”
Sekali lagi Pandan Wangi terperanjat
melihat perubahan sikap itu. Ia benar-benar tidak mengerti, dengan siapa
sebenarnya ia berhadapan. Dalam keadaan yang serba membingungkan itu, terdengar
ia berkata sambil menganggukkan kepalanya, “Baiklah. Marilah.”
“Nah,” berkata Gupita sambil
tertawa pendek. Tiba-tiba saja kakinya telah meloncat berlari sambil berkata,
“Marilah.”
Namun sebenarnya Gupita sedang
menghentakkan segenap kekuatannya untuk melawan perasaan sendiri. Hampir saja
ia mutung dan meninggalkan Pandan Wangi di tengah-tengah sawah itu. Untunglah,
bahwa segera ia menyadari dirinya, bahwa bukan demikianlah peran yang harus
dibawakannya.
Tetapi justru dalam keadaan
yang terlampau sulit itulah, maka sikapnya menjadi berlebih-lebihan. Usahanya
untuk mengatasi kekecilan hatinya, melonjak tanpa dapat dibatasinya.
Dengan lincahnya, Gupita
melangkahkan kakinya. Kemudian disambarnya tangan Pandan Wangi sambil berkata,
“Marilah kita berpacu.”
Pandan Wangi terkejut dalam
keadaan yang khusus, ia sama sekali tidak menyadari, bahwa Gupita telah
menuntunnya berlari-lari dan bahkan telah mendorongnya sehingga ia
terguling-guling di atas tanah yang becek di tengah-tengah sawah ini. Namun
kini tiba-tiba nak muda itu menyambar tangannya dan menariknya berlari. Hampir
saja Pandan Wangi menolaknya, tetapi ia mengurungkan niatnya. Teringatlah ia.
bahwa ia masih berada di tengah-tengah daerah berbahaya.
Maka sejenak kemudian, di
dalam bayangan cahaya bulan yang bulat, sepasang anak muda itu berlari-larian
meloncati pematang dan menyelusur parit seperti sepasang kijang yang sedang
berkejaran.
“Kita harus segera sampai ke
induk pasukanmu Pandan Wangi,” berkata Gupita, “mereka pasti sudah berkumpul di
tempat yang telah ditentukan. Pasukanmu pun pasti telah berada di sana pula.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi pegangan tangan gembala itu serasa mengalirkan getaran-getaran yang
tidak dikenalnya. Itulah sebabnya, maka ia tidak segera menjawab. Yang terasa
olehnya adalah debar jantungnya yang semakin cepat.
Sementara itu, ketika
perkembangan pertempuran pasukan Pandan Wangi menjadi semakin nyata, bahwa
mereka akan menarik diri dari peperangan, maka di bawah Pucang Kembar, Ki
Tambak Wedi telah dicengkam oleh kegelisahan yang semakin memuncak. Ternyata
orang-orang yang diharapkan untuk membantunya membunuh Argapati, masih juga
belum datang meskipun ia sudah memberikan tanda beberapa kali. Sedang Argapati
sendiri, meskipun dadanya telah terluka, namun tandangnya masih saja seperti
banteng ketaton.
“Apakah mereka mampus dicekik
hantu?” geram Ki Tambak Wedi di dalam hatinya.
Meskipun ia yakin, bahwa tanpa
bantuan seorang pun pada kedua belah pihak, ia pasti akan memenangkan
perkelahian itu, kerena Argapati telah terluka, namun ia tidak dapat menduga,
berapa lama ia memerlukan waktu. Sedang kawan-kawannya benar-benar telah
terdesak. Yang masih dapat melawan ketiga pengawal Menoreh sebaik-baiknya
adalah seorang saja dari antara keduanya, karena seorang yang terluka menjadi
semakin lama semakin bertambah lemah.
Dengan hati yang dipenuhi oleh
kecemasan dan teka-teki, sekali lagi dari mulut Ki Tambak Wedi terdengar suitan
nyaring. Namun suitan inipun menggeletar tanpa arti. Tidak sehelai daun pun
yang tergetar karenanya. Apalagi tubuh-tubuh yang berloncatan dengan pedang di
tangan.
“Suaramu benar-benar mirip tangis
seekor kelinci,” berkata Argapati dalam nada yang berat, “atau makian hantu
yang kehilangan kubur.”
“Persetan,” Ki Tambak Wedi
menggeram. Tandangnya menjadi semakin sengit. Senjata melingkar-lingkar di
seputar tubuh lawannya.
Namun disadarinya, bahwa
apabila keadaan berlangsung demikian, maka kedua kawannya akan segera binasa,
dan ketiga orang pengawal dari Menoreh itu akan bersama-sama dengan Argapati
menyerangnya. Lemparan pisau salah seorang daripadanya cukup berbahaya, sedang
kedua orang yang lain akan dapat mengganggunya, sementara Argapati
menghunjamkan tombaknya di dadanya.
“Setan alas,” ia mengumpat di
dalam hatinya. Namun orang-orangnya yang sudah dipersiapkan masih juga belum
datang.
Dalam kegelapan hati, maka Ki
Tambak Wedi pun semakin memeras tenaganya. Tetapi ia tidak kehilangan akal,
sehingga perlawanannya justru menjadi semakin seru dan berbahaya.
Dalam keadaan yang demikian
itulah, maka telah terjadi sesuatu yang menggetarkan dada setiap orang yang
berada di bawah Pucang Kembar. Tiba-tiba dari dalam kegelapan bayangan dedaunan
muncullah sesosok tubuh yang tertatih-tatih. Bukan sesosok tubuh yang tegap
meloncat dengan senjata di genggaman.
Yang paling terkejut di antara
mereka adalah Ki Tambak Wedi. Orang yang ternyata terluka itu berusaha untuk
mendekatinya. Perlahan-lahan dari mulutnya terdengar sebuah desis yang lambat.
Tetapi tidak seorang pun dapat mengerti apa yang dikatakan.
“He, kenapa kau?” teriak Ki
Tambak Wedi.
Orang itu memang ingin
menjawab. Namun sejenak kemudian jatuh tersungkur. Yang terdengar hanyalah
sebuah keluhan pendek. Seterusnya diam.
“Siapakah orang itu Paguhan?”
terdengar suara Argapati berat.
“Persetan dengan orang itu,”
jawabnya. Namun terasa nada kecemasan mewarnai kata-katanya.
Sebenarnyalah, bahwa Paguhan
yang bergelar Ki Tambak Wedi itu telah dicengkam oleh kecemasan yang sangat.
Orang itu adalah salah seorang dari pasukan kecilnya yang harus datang pada
saat ia bersuit memanggilnya. Orang-orang itulah yang harus membantunya,
membunuh Argapati. Tetapi ternyata yang datang di antara mereka hanya seorang.
Itupun hanya sekedar menyatakan dirinya, bahwa ia telah terluka parah.
Berbagai pertanyaan telah
menggelepar di dalam dada Ki Tambak Wedi. Yang terjadi itu benar-benar di luar
dugaannya. Pasukannya adalah sepasukan kecil yang cukup kuat untuk melawan
seorang yang mumpuni seperti Ki Argapati. Namun agaknya pasukan kecil itu telah
menjadi terpecah belah. Bahkan mungkin orang yang datang itu adalah
satu-satunya orang yang sempat keluar dari suatu keadaan yang tidak dapat
dibayangkannya.
“Apakah yang telah terjadi
dengan mereka?” pertanyaan itu telah mengejarnya di setiap langkahnya.
Sementara itu, kedua kawannya
menjadi semakin terdesak.
Mereka bergeser semakin jauh.
Meskipun kedua orang itu adalah orang-orang terpilih, namun menghadapi tiga
orang pengawal terpilih pula, mereka terdesak tanpa dapat dapat berbuat terlalu
banyak. Apalagi yang seorang daripadanya telah terluka.
“Apakah ada seseorang yang
dengan rahasia telah membantu Argapati?” pertanyaan itupun telah mengganggunya
pula.
Maka sejenak sambil bertempur,
Ki Tambak Wedi membuat pertimbangan-pertimbangan. Kalau ia terlampau lama
berkelahi melawan Argapati, maka kemungkinan yang paling buruk dapat terjadi
atasnya. Mungkin memang seseorang telah berusaha membantu Argapati dengan
rahasia. Apabila orang itu berhasil membinasakan pasukan kecilnya, kemudian
membantu Argapati pula dalam perang tanding ini, keadaannya akan sangat
berbahaya. Seandainya bukan seseorang, tetapi juga sepasukan pengawal Menoreh
yang kuat, itupun akan berakibat serupa baginya.
“Pekerjaanku belum selesai,”
ia bergumam di dalam dirinya, “aku masih harus berbuat terlampau banyak untuk
kepentingan Sidanti. Selagi Sidanti belum mapan benar, aku tidak akan dapat
melepaskannya seorang diri. Apalagi aku masih belum percaya sepenuhnya kepada
Argajaya. Mungkin ia akan mempergunakan setiap kesempatan untuk kepentingan
sendiri.”
Namun dalam pada itu, nafsunya
untuk membunuh Argapati semakin berkobar di dalam dadanya. Tetapi adalah suatu
kenyataan, bahwa ia telah kehilangan kesempatan yang sudah dipersiapkan.
“Satu-satunya cara adalah,
membuat Argapati semakin memeras tenaganya, supaya darahnya menjadi semakin
banyak mengalir. Ia tidak akan dapat bertahan sampai bulan bulat itu tenggelam
di balik bukit. Sebelum fajar, ia pasti sudah kehabisan tenaga, dan jatuh
tersungkur di bawah ujung kakiku.