Buku 091
Ketika malam menjadi semakin
dalam, maka nampaklah berapa tanda bahwa prajurit Pajang akan dapat menguasai
keadaan. Kiai Kalasa Sawit yang bertempur melawan Ki Sumangkar, ternyata sama
sekali tidak dapat berbuat lain, kecuali memusatkan perhatiannya kepada
lawannya itu.
Sementara itu, Kiai Jalawaja
dan seorang pengawalnya telah terkurung di dalam lingkaran gelar Cakra Byuha,
dan harus menghadapi lawan orang bercambuk yang tidak diduganya sama sekali.
Ketika ia memasuki lingkaran gelar itu bersama sekelompok anak buahnya, dan
yang kemudian dinding gelar itu terkatup kembali, ia sudah menduga bahwa dengan
sengaja prajurit Pajang telah menjebaknya. Tetapi, saat itu ia merasa bahwa ia
tidak akan dapat dihalang-halangi oleh siapa pun. Bahkan ia menyangka, bahwa ia
akan dapat memecahkan gelar itu dari dalam, sementara prajurit Pajang harus
bertempur melawan serangan dari luar gelar.
Tetapi ternyata ia salah
hitung. Di dalam gelar itu ia menemukan lawan yang tidak dapat dikalahkannya.
Dalam pada itu,
pengawal-pengawal Kiai Jalawaja yang berpencaran pun telah mendapat perlawanan
yang kuat dari pemimpin-pemimpin kelompok kecil di lereng Gunung Merapi yang
sudah bergabung itu. Dengan sekuat tenaga, mereka berusaha untuk mempertahankan
diri, selagi prajurit Pajang memberikan kelonggaran kepada mereka untuk
bernafas.
Dalam kekisruhan yang terjadi
di dalam peperangan, orang-orang lereng Gunung Merapi itu tidak dapat segera
menilai pertempuran antara orang-orang Tambak Wedi dengan prajurit-prajurit Pajang
yang bergerak dalam gelar. Bahkan kadang-kadang mereka menjadi cemas
menyaksikan serangan yang datang dari segala penjuru, di segala bagian dari
dinding gelar yang melingkar itu.
Kiai Kalasa Sawit, yang
memimpin pasukannya menjadi marah bukan kepalang. Ternyata bahwa prajurit
Pajang benar-benar kuat melawan pasukannya, yang sudah diperkuat oleh pasukan
Kiai Jalawaja. Mereka menduga, bahwa prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom yang
jumlahnya tidak begitu banyak, ditambah dengan kelompok-kelompok pencuri ayam
di lereng Gunung Merapi itu, akan dengan mudah dapat dihancurkan. Apalagi
dengan kehadiran Kiai Jalawaja.
Tetapi yang terjadi adalah
berbeda dengan dugaannya itu.
“Jika aku tidak bertemu dengan
iblis dari Jipang ini, aku tentu sudah berhasil membunuh Untara dan
mencerai-beraikan pasukannya,” berkata Kiai Kalasa Sawit kepada diri sendiri.
“Tetapi agaknya iblis ini muncul dengan tiba-tiba.”
Selain iblis yang harus
dihadapinya, agaknya Kiai Kalasa Sawit pun pernah mendengar sesuatu tentang
orang bercambuk yang pernah menjelajahi daerah selatan. Dan tiba-tiba saja
suara cambuk itu pun telah didengarnya di tengah-tengah gelar prajurit Pajang.
Dengan demikian ia sadar, bahwa Kiai Jalawaja pun harus berhadapan dengan orang
yang akan dapat menghambat gerakannya.
Beberapa bagian yang semula
mendapat tekanan yang kuat dari pasukan Tambak Wedi perlahan-lahan dapat
mengatasinya, sehingga kemudian gelar itu pun dapat mengembang merata. Pasukan
Tambak Wedi yang semula diperkuat dibeberapa bagian, harus menebar mengisi
beberapa kekosongan, karena jatuhnya korban di seluruh arena. Apalagi setelah
Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja terlibat melawan orang-orang terkuat yang
tidak dapat diatasinya.
Yang segera berhasil menguasai
lawannya adalah Ki Waskita. Pengawal Kiai Jalawaja yang melawannya, tidak
memiliki kemampuan yang cukup untuk melawan Ki Waskita, sehingga karena itu
maka ia pun segera terdesak surut. Semakin lama semakin terpisah dari Kiai
Jalawaja yang harus bertempur melawan Kiai Gringsing. Apalagi setelah
prajurit-prajurit Pajang yang ada di dalam gelar itu berhasil menguasai semua
orang Tambak Wedi yang menyusup bersama Kiai Jalawaja. Beberapa prajurit yang
memang menyusulnya di saat-saat mereka menerobos masuk, dibantu oleh beberapa
orang prajurit yang bertugas mengawasi keadaan di dalam medan, akhirnya dapat
memadamkan perlawanan orang-orang Tambak Wedi seluruhnya di dalam gelar itu.
Yang tinggal kemudian adalah
Kiai Jalawaja dan seorang pengawalnya, yang harus bertempur melawan Ki Waskita.
Dengan kemarahan yang melonjak-lonjak, mereka menyaksikan seorang demi seorang
pasukannya dilumpuhkan. Beberapa orang terbunuh dan terluka, sedang yang lain
menyerah kepada kenyataan yang dihadapinya.
Betapa kemarahan
menghentak-hentak dada Kiai Jalawaja. Dengan lantang ia berteriak, “He
orang-orang gila dan pengecut. Itukah yang dapat kalian lakukan? Aku
menghormati mereka yang mati dan tidak mampu lagi mengangkat senjatanya. Tetapi
adalah pengecut yang paling licik, jika ada di antara kalian yang meletakkan
senjata sebelum kulitmu menitikkan darah.”
Tetapi beberapa orang yang
sudah duduk di tanah, ditunggui oleh ujung tombak di punggungnya, sama sekali
tidak mampu berbuat apa pun juga. Mereka pun harus membiarkan tangan dan kaki
mereka kemudian diikat dengan janget, karena para prajurit Pajang harus
melanjutkan pertempuran.
Kemarahan yang memuncak, telah
membuat Kiai Jalawaja mengamuk seperti harimau kelaparan. Namun tidak banyak
yang dapat dilakukan, karena ia berhadapan dengan Kiai Gringsing, sedang
pengawalnya pun benar-benar telah dikuasai oleh Ki Waskita.
“Menyerahlah,” berkata Ki
Waskita.
“Persetan!” geram pengawal
itu, yang mencoba melawan sejauh dapat dilakukan. Tetapi kemampuan Ki Waskita
benar-benar tidak dapat dilawannya.
Namun demikian, sama sekali
tidak terbersit ingatan pada pengawal itu untuk menyerah. Apalagi menyerah dan
menjadi seorang tawanan prajurit Pajang.
Karena itulah, maka ia pun
masih saja melawan terus, betapapun ia terdesak.
Ki Waskita termangu-mangu
menghadapi pengawal itu. Ia sebenarnya dapat dengan segera membinasakannya.
Tetapi ada sesuatu yang menahannya. Sepercik keragu-raguan telah merayap di
hatinya.
Sekali-sekali timbul niatnya
untuk membuat lawannya menjadi bingung dan kehilangan akal dengan bentuk-bentuk
semu. Bahkan ia mulai mempertimbangkan, apakah dengan demikian ia akan dapat
mengurangi korban jiwa di kedua belah pihak.
Namun ia meragukan hasilnya,
karena prajurit-prajurit Pajang sendiri tentu akan menjadi bingung dan bahkan
mungkin mereka tidak dapat berbuat lebih banyak lagi daripada termangu-mangu
dan keheranan.
Karena itulah, maka niatnya
itu pun diurungkannya. Dibiarkannya pertempuran itu berlangsung dengan wajar.
Apalagi ketika ia mulai dapat melihat kemajuan prajurit-prajurit Pajang.
Sementara itu, pengawal Kiai
Jalawaja masih saja melawan dengan segenap tenaganya, meskipun ia harus
berloncatan surut. Bahkan kadang-kadang surut beberapa langkah dengan wajah
tegang dan kebingungan.
Tetapi adalah di luar dugaan
siapa pun juga, bahwa prajurit Pajang yang telah kehilangan lawan, dan yang
masih berada di dalam lingkungan gelar itu, tidak membiarkan seorang pun lawan
yang tetap memberikan perlawanan. Itulah sebabnya, maka karena pengawal itu
ternyata tidak mau menyerah, prajurit-prajurit Pajang tidak sabar lagi membiarkannya
berkeliaran di dalam gelar. Mereka tidak mempunyai pertimbangan yang pelik
seperti Ki Waskita, sehingga karena itu, ketika pengawal itu sedang bersusah
payah menghindari serangan Ki Waskita, tiba-tiba saja dua orang prajurit
Pajang, yang sudah kehilangan kesabaran, menyerang bersama-sama. Dua buah
tusukan pedang tidak dapat dielakkannya, sehingga sesaat terdengar keluhan yang
tertahan. Namun ketika dua buah pedang itu ditarik hampir bersamaan dari
hunjaman yang dalam di tubuh pengawal Kiai Jalawaja itu, maka orang itu pun
terhuyung-huyung sejenak, kemudian jatuh tertelungkup di tanah.
“Ki Sanak,” Ki Waskita mencoba
mencegah, ketika ia melihat dua serangan berbareng itu. Tetapi ia tidak
berhasil menghentikan serangan itu, sehingga ia pun kemudian hanya dapat
melihat mayat itu terbaring di tanah, di antara beberapa sosok mayat yang lain.
Kiai Jalawaja yang melihat
pengawalnya itu terbunuh, berteriak nyaring. Kemarahannya benar-benar serasa
meledakkan kepalanya, sehingga ia pun telah kehilangan segala pertimbangan.
Karena itu, maka tandangnya
pun menjadi semakin kasar dan bahkan seperti seekor binatang buas yang sedang
memburu mangsanya.
Kiai Gringsing menyadari,
bahwa ia tidak akan dapat berbicara dengan orang yang sedang kehilangan akal
itu. Dan ia pun menyadari, bahwa tidak mungkin untuk dapat menangkap Kiai
Jalawaja dalam keadaan hidup. Namun seperti Ki Waskita, maka membunuh lawannya
diperlukan pertimbangan yang semasak-masaknya.
Sementara itu, Kiai Jalawaja
telah benar-benar mengamuk. Senjatanya terayun-ayun mengerikan sekali. Dengan
sepenuh kemampuan yang ada, ia menyerang Kiai Gringsing seperti prahara.
Tetapi, setiap kali Kiai
Gringsing masih mampu melindungi dirinya dengan putaran cambuknya. Bahkan
sekali-sekali meledak menyerang lawannya.
Dalam keadaan yang paling
gawat, ternyata Kiai Jalawaja tidak lagi menghiraukan patukan ujung cambuk
lawannya. Kulitnya seolah-olah menjadi kebal dan tidak dapat disentuh oleh
perasaan sakit. Betapa Kiai Gringsing menyengat tubuhnya dengan ujung cambuknya
yang berkarah baja, namun Kiai Jalawaja menyerangnya bagaikan taufan.
Sekilas teringat oleh Kiai
Gringsing, lawannya di ujung Tanah Perdikan Menoreh, di antara bukit-bukit
kecil yang terpencil, seorang yang menyebut dirinya Panembahan Alit. Orang itu
pun rasa-rasanya menjadi kebal dan tidak dapat dilukainya dengan senjatanya.
“Apakah Kiai Jalawaja juga
seorang yang memiliki ilmu seperti Panembahan Alit, yang dapat membuat kulitnya
menjadi kebal?” pertanyaan itu memang membersit di hati orang tua itu.
Sementara itu, Ki Waskita
telah berdiri termangu-mangu memperhatikan pertempuran itu. Pertempuran yang
semakin lama menjadi semakin sengit, sehingga akhirnya sampailah mereka pada
puncak ilmu dan puncak kemungkinan.
Prajurit-prajurit Pajang yang
kurang dapat menilai keadaan, dan menganggap Kiai Jalawaja adalah orang yang
hanya sekedar keras kepala seperti pengawalnya, mencoba menyerangnya pada saat
orang itu meloncat selangkah surut.
Tetapi malang bagi prajurit
itu. Belum lagi senjatanya menyentuh orang yang bernama Jalawaja itu, mereka
telah terlempar dari tempatnya dengan luka yang membelah lambung.
Kiai Gringsing menggeram
melihat korban yang berjatuhan itu. Apakah ia masih akan tetap membiarkannya
mengambil korban-korban yang lain?
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam melihat pertempuran yang menjadi semakin sengit. Ledakan cambuk
Kiai Gringsing menjadi semakin sering terdengar, dan rasa-rasanya semakin lama
menjadi semakin keras.
Kiai Jalawaja yang agaknya
sudah menyadari, bahwa ia tinggal seorang diri di dalam lingkungan dinding
gelar, yang semakin lama menjadi semakin mengembang itu, justru membuatnya
seperti gila. Serangannya menjadi semakin dahsyat dan tingkah lakunya
seolah-olah sudah tidak lagi dikendalikan oleh kesadarannya, sebagai seorang
yang memiliki ilmu yang pilih tanding.
Yang nampak kemudian adalah
sifat-sifatnya yang sewajarnya. Kasar dan bahkan liar.
Kiai Gringsing memang tidak
mempunyai pilihan lain. Ia harus menghentikan perlawanan Kiai Jalawaja. Hidup
atau mati. Dan Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa orang itu tidak boleh lepas
dari tangannya, karena dengan demikian, ia akan menelan korban yang tidak
terhitung lagi jumlahnya. Mungkin di arena pertempuran ini, tetapi mungkin juga
di saat-saat yang lain, jika ia mendapat kesempatan melakukannya.
Karena itulah, maka Kiai
Gringsing pun telah melawannya dengan segenap kemampuannya pula. Seperti
saat-saat ia bertempur melawan Panembahan Alit, maka ia telah mengerahkan
segenap kemampuan dan kekuatan, sehingga ledakan cambuknya pun telah bernada
lain. Kekuatan cadangan yang tersimpan di dalam dirinya, telah tersalur pula
pada ujung cambuknya, sehingga karena itulah, maka ujung cambuk itu seolah-olah
menjadi semakin dahsyat. Karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuknya,
seolah-olah telah berubah menjadi ujung-ujung senjata yang paling tajam.
Dengan demikian, maka di dalam
dinding gelar itu telah bertempur dua orang yang memiliki kemampuan raksasa.
Masing-masing telah mengerahkan semua kekuatan yang ada pada mereka, sehingga
prajurit-prajurit Pajang yang menyaksikan pertempuran itu pun telah bergeser
menjauh. Mereka baru menyadari, bahwa arena yang khusus ini bukannya arena yang
dapat dicampurinya. Bahkan sentuhan angin yang semiyut oleh gerakan kedua orang
yang sedang bertempur itu, terasa betapa kerasnya menampar tubuh-tubuh prajurit
Pajang, yang seolah-olah telah membeku oleh pesona yang mencengkamnya.
Ki Waskita menyaksikan
pertempuran itu sambil termangu-mangu. Ia menjadi ragu-ragu, apakah ia akan
membiarkan Kiai Gringsing bertempur seorang diri. Meskipun menilik keadaannya,
maka nampaknya Kiai Gringsing akan dapat menguasai keadaan. Tetapi jika Kiai
Gringsing membuat sedikit kesalahan, maka ia akan terjerumus ke dalam
kesulitan. Padahal Kiai Gringsing adalah manusia biasa, yang lemah, lengah, dan
kadang-kadang dipengaruhi oleh keadaan di seputarnya. Karena itulah, maka
segala kemungkinan masih akan dapat terjadi pada kedua orang yang sedang
bertempur mati-matian itu.
Di tempat yang lain, di pusat
gelar prajurit Pajang, ternyata telah terjadi pertempuran yang sedahsyat itu
pula. Ki Sumangkar harus bertempur dengan sekuat tenaganya. Dengan puncak
ilmunya yang dikagumi oleh setiap orang Jipang dan Pajang, sehingga kakak
seperguruannya, Patih Mantahun pernah dianggap mempunyai nyawa rangkap. Tetapi
karena usianya, yang mempengaruhi kemampuan jasmaniahnya, maka akhirnya Ki
Patih Mantahun pun harus mengorbankan jiwanya. Dan ternyata, bahwa ia tidak
mempunyai rangkapan nyawa yang dapat menghidupkannya kembali.
Tetapi Ki Sumangkar cukup
menyadarinya, bahwa nyawa rangkap pada perguruannya adalah sekedar dongeng yang
tidak berlandaskan pada kenyataan. Karena itu, ia pun cukup berhati-hati,
karena jika nyawanya yang satu itu meninggalkan tubuhnya, maka ia tidak lebih
adalah sesosok mayat yang harus dikuburkan.
Sementara itu, Ki Sumangkar
pun mendengar bahwa nada cambuk Kiai Gringsing rasa-rasanya memekik semakin
tinggi. Dengan demikian ia pun mengerti, bahwa Kiai Gringsing harus mengerahkan
segenap ilmunya pula untuk melawan orang yang telah memasuki lingkungan dinding
gelar Cakra Byuha itu.
Sementara itu, Untara telah
berhasil menggerakkan pasukannya dalam gelar yang semakin berkembang, meskipun
perlahan-lahan. Tetapi ia menjadi semakin yakin, bahwa ia akan dapat menguasai
keadaan dan sekaligus menguasai arena. Sekali-sekali ia masih sempat melihat
gerigi-gerigi gelarnya, yang mulai menghunjam masuk, ke lingkungan ruang gerak
lawan yang mulai kehilangan pegangan, karena pemimpin-pemimpinnya terikat pada
pertempuran yang sengit.
Yang masih tetap berdiri
temangu-mangu adalah Ki Waskita. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus terjun ke
dalam arena pertempuran. Meskipun Kiai Gringsing tidak sedang melakukan perang
tanding, tetapi ia merasa segan pula untuk mengganggunya, jika ia tidak merasa
yakin bahwa Kiai Gringsing menyetujuinya.
Dalam keragu-raguan itu Ki
Waskita berdiri mematung di tempatnya. Tidak seperti prajurit-prajurit Pajang
yang menghindar menjauhi arena, yang menjadi semakin mengerikan itu, Ki Waskita
tetap mengikuti perkelahian itu pada jarak yang justru semakin dekat.
Meskipun demikian, Ki Waskita
tidak menjadi lengah. Untuk menyatakan maksudnya, bahwa ia akan mempercepat
penyelesaian pertempuran itu, sehingga perang keseluruhan pun akan semakin
cepat berakhir, dan korban pun dapat dibatasi, maka Ki Waskita telah melepas
ikat kepalanya dan membelitkannya di tangan kirinya.
Ternyata Kiai Gringsing pun
sempat melihat dan mengerti maksudnya. Tetapi Kiai Gringsing tidak segera
memberikan tanggapan apa pun juga.
Dalam pada itu, Kiai Jalawaja
benar-benar telah mengamuk. Tidak ada orang lain yang berani berdiri dekat
perkelahian itu selain Ki Waskita, yang ternyata telah menarik perhatiannya.
Menurut pertimbangan Kiai
Jalawaja, ia tentu tidak akan segera dapat mengalahkan Kiai Gringsing, atau
barangkali semalam penuh pertempuran itu tidak akan selesai. Karena itu, ia
harus mendapatkan koban-korban baru yang lain sebanyak-banyaknya. Karena tidak
ada prajurit Pajang yang mendekatinya, maka orang yang membelitkan ikat
kepalanya di tangan kirinya itu adalah korban yang paling mungkin diambilnya.
Demikianlah, selagi
perkelahian itu berlangsung dengan sengitnya. Kiai Jalawaja masih sempat
bergeser sedikit demi sedikit mendekati Ki Waskita yang berdiri termangu-mangu.
Agaknya Ki Waskita dan bahkan
Kiai Gringsing dapat menangkap maksud Kiai Jalawaja. Karena itulah, maka Ki
Waskita pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sedang Kiai
Gringsing agaknya sengaja tidak menghalang-halanginya.
Dengan demikian Ki Waskita
dapat menduga, bahwa Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan jika ia membantu
mempercepat penyelesaian.
Sejenak kemudian, yang
ditunggu itu pun terjadilah. Namun ternyata bahwa setiap prajurit Pajang telah
dicemaskan oleh sikap Ki Waskita yang seperti seseorang yang tidak mengetahui
bahaya yang mengancamnya, berdiri termangu-mangu di pinggir arena yang
mengerikan.
Bahkan seorang prajurit telah
mencoba berteriak memanggilnya, “He, Kiai. Jangan berdiri saja di situ.”
Tetapi kawannya berbisik, “Ia
telah memenangkan perkelahian melawan salah seorang dari orang-orang Tambak
Wedi.”
“Tetapi bukan yang seorang
ini. Agaknya ia adalah pemimpinnya. Sedangkan lawan yang mati itu pun bukan
karena orang tua itu. Tetapi dua orang prajurit telah membantunya dan menusuk
lawannya bersama-sama.”
Kawannya terdiam.
Namun mereka tidak sempat
memberikan peringatan lagi kepada Ki Waskita. Ternyata Kiai Jalawaja
benar-benar masih ingin membunuh lawan sebanyak-banyaknya sebelum pertempuran
itu berakhir, karena akhir dari pertempuran itu sama sekali tidak dapat
dibayangkannya.
Prajurit-prajurit Pajang yang
berdiri termangu-mangu mengawasi arena di dalam gelar itu berdesir, melihat
bayangan orang Tambak Wedi itu bagaikan angin meloncat menyerang Ki Waskita
dengan dahsyatnya. Senjatanya terayun deras sekali, didorong oleh kekuatan yang
dahsyat sekali.
Tetapi Ki Waskita sudah siap
menghadapinya. Ia sama sekali tidak berusaha menghindar. Tetapi dengan sepenuh
kekuatannya pula, ia mengangkat tangan kirinya, menangkis serangan itu.
Dua kekuatan telah
berbenturan. Prajurit-prajurit Pajang mengira bahwa Ki Waskita tidak sempat
menghindar, sehingga mereka menyangka bahwa Ki Waskita akan lumat menjadi debu.
Tetapi yang terjadi ternyata
tidak seperti yang mereka bayangkan. Senjata orang Tambak Wedi yang memiliki
kemampuan luar biasa itu telah membentur ikat kepala yang membelit di tangan
kiri Ki Waskita.
Akibatnya benar-benar tidak
terduga. Senjata Kiai Jalawaja justru terpental, sehingga Kiai Jalawaja sendiri
telah terdorong selangkah surut sementara Ki Waskita berdiri tegak di
tempatnya, seolah-olah sebuah patung baja yang tidak tergoyahkan.
Kiai Jalawaja yang tidak
menduga, bahwa orang yang berdiri termangu-mangu di pinggir arena itu pun orang
yang memiliki ilmu yang tinggi, benar-benar terkejut bukan buatan. Karena
itulah, maka sejenak ia kehilangan keseimbangan. Hampir saja ia jatuh
terlentang. Untunglah bahwa ia masih mampu bertahan.
Namun pada saat yang bersamaan
Kiai Gringsing telah berdiri di belakangnya. Dengan ujung cambuknya, ia sengaja
hanya menyentuh tubuh Kiai Jalawaja yang belum tegak benar, sekedar untuk
memperingatkannya bahwa ujung cambuk itu mampu berbuat lebih jauh dalam
keadaannya seperti itu.
“Kiai,” berkata Kiai
Gringsing, “aku tahu bahwa kau adalah seorang pemimpin. Karena itu, kau dapat
berbuat banyak. Kau dapat menghentikan pertumpahan darah yang berlarut-larut
ini, dan kemudian mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya.”
Kata-kata Kiai Gringsing itu
pun mengejutkan pula. Sentuhan yang justru perlahan-lahan mengenai tubuhnya,
adalah suatu penghinaan bagi Kiai Jalawaja. Apalagi pernyataan Kiai Gringsing
itu tidak ada arti lain daripada memerintahkan kepadanya untuk menyerah.
“Gila!” teriak Kiai Jalawaja.
Suaranya menggelegar di seluruh medan. “Aku akan membunuh semua orang.”
Kiai Gringsing berdiri tegak
dengan kaki renggang. Cambuknya dipeganginya dengan tangan kanan, sedang ujung
juntainya dipegangnya dengan tangan kiri. Katanya kemudian, “Jika kita yang
tua-tua tidak berbuat sesuatu, maka korban akan semakin banyak. Dan apakah arti
dari kematian-kematian itu, selain pemuasan nafsu saja? Akhir dari pertempuran
ini sudah membayang. Kau sebagai seorang senopati perang, di mana pun kau
berpihak, tentu sudah dapat memperhitungkan. Kau tidak dapat mencari kepuasanmu
sendiri, berdiri di tengah-tengah gelar musuh dan berusaha membinasakan lawan
sebanyak-banyaknya, sementara anak buahmu sendiri terbunuh seperti batang
ilalang.”
“Tutup mulutmu pengecut!”
teriak Kiai Jalawaja.
“Kita sama-sama pengecut,”
sahut Ki Waskita, “mungkin kami tidak berani melihat kenyataan yang kau
hadapi.”
“Persetan! Aku akan bertempur.
Di medan hanya ada dua pilihan bagiku. Membunuh atau dibunuh.”
“Tak ada pilihan lain?”
bertanya Kiai Gringsing. “Kita mempunyai bahasa yang dapat kita pergunakan
untuk menyatakan perasaan kita masing-masing.”
Kata-kata Kiai Gringsing itu
telah menyentuh dasar hati Kiai Jalawaja yang paling dalam. Tetapi ia telah
mengeraskan perasaannya, sehingga dengan nada kasar ia membentak, “Bahasa yang
paling baik di peperangan, adalah ujung senjata. Dan arti yang paling sempurna
dari setiap langkah seseorang yang bertempur di medan, adalah kematian.”
Ki Waskita menarik nafas.
Katanya, “Kiai. Kau adalah orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.
Tetapi ternyata hatimu keras, sekeras batu hitam. Kenapa kau tidak mau
mempergunakan sedikit kebijaksanaan?”
“Cukup, orang-orang dungu! Kau
tidak akan dapat mempengaruhi aku untuk menyerah dengan cara apa pun juga. Aku
bukan anak-anak yang dapat kau bujuk seperti itu.”
Kiai Gringsing masih sempat
menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja menyerangnya seperti prahara.
Kiai Gringsing masih sempat
menghindar. Tetapi Kiai Jalawaja tidak mau memberinya kesempatan. Dengan
kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti dengan mata wadag, maka tubuhnya
bagaikan terbang dengan senjata teracu menyerang Kiai Gringsing sekali lagi.
Kiai Gringsing tidak dapat
sekedar menghindar. Ketika ia merasa dirinya justru terdesak, maka kembali
cambuknya telah meledak dengan nada yang tinggi, pertanda bahwa ia telah
melepaskan semua kemampuan ilmu yang ada padanya.
Dalam kegelapan hati, Kiai
Jalawaja tidak menghiraukan lagi patukan senjata lawannya. Karena itu, segores
jalur merah telah membekas di punggungnya yang terbuka, karena bajunya yang
telah tersayat pula oleh ujung cambuk Kiai Gringsing. Bahkan nampak bekas-bekas
yang kehitam-hitaman, seolah-olah baju Kiai Jalawaja telah disobek oleh nyala
bara api.
Tetapi Kiai Jalawaja sama
sekali tidak berniat untuk mengakhiri pertempuran dengan cara yang paling hina.
Menyerah seperti beberapa orang yang tidak sempat berbuat apa pun juga lagi.
Dengan gigihnya Kiai Jalawaja
bertempur terus. Sekali-kali ia terdesak surut, dan dalam keadaan yang
tiba-tiba ia pun telah menyerang Ki Waskita pula.
“Orang yang keras hati,” desis
Ki Waskita kepada diri sendiri.
Dengan demikian, maka
prajurit-prajurit Pajang yang bertugas di dalam lingkaran dinding gelar yang
semakin terbuka itu pun sama sekali tidak berani mendekat lagi. Mereka sadar,
bahwa Kiai Jalawaja telah mengamuk. Ia berbuat apa pun juga untuk membunuh
lawan. Bahkan dengan perbuatan-perbuatan di luar perhitungan nalar.
Akhirnya Ki Waskita dan Kiai
Gringsing tidak dapat membuat pertimbangan lain. Cara yang paling singkat untuk
mengakhiri pertempuran adalah kematian.
Meskipun kematian bukan akhir
yang paling baik. Sebenarnya kedua orang itu bukan bermaksud membunuh Kiai
Jalawaja. Tetapi hasil perbuatannya. Tidak ada cara yang paling baik untuk
menghentikan berkembangnya perdu berduri yang merambat di pepohonan dan kebun
bunga, selain memotong pangkal batangnya.
Demikianlah, maka kedua orang
itu pun seolah-olah menemukan kesepakatan, meskipun mereka tidak sempat
berunding. Dengan hati-hati keduanya segera mempersiapkan diri untuk menentukan
akhir dari perkelahian itu.
“Marilah orang-orang licik,”
geram Kiai Jalawaja. “Aku kira orang yang selama ini ditakuti dan disegani
adalah seorang jantan. Orang bercambuk itu ternyata hanyalah seekor kelinci
betina yang ketakutan melihat serigala di medan perang.”
“Kiai,” berkata Kiai
Gringsing, “masih ada jalan lain untuk menyelesaikan pertikaian ini.”
“Aku adalah laki-laki.”
Semua persoalan terhenti
sampai batas harga diri dan ketamakan. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain
kecuali menghentikan semua perbuatan yang dapat dilakukan oleh orang yang sakti
itu. Sama sekali tidak ada tanda-tanda sepercik pun, bahwa pada suatu saat akan
tumbuh penyesalan di hatinya, bahwa ia telah memilih jalan yang salah.
Demikianlah, maka kemudian
Kiai Gringsing dan Ki Waskita pun maju bersama. Sambil mengayunkan cambuknya,
Kiai Gringsing berkata, “Maafkan aku, Ki Sanak. Aku terpaksa berbuat seperti
prajurit di perang brubuh, bukan perbuatan dalam perang tanding. Aku tidak
ingin gagal dan korban akan semakin banyak berjatuhan.”
“Persetan!” orang itu
menggeram.
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan Ki Waskita telah bertempur bersama-sama melawan Kiai Jalawaja.
Betapapun sakti dan mumpuninya orang itu, namun ia tidak mempunyai banyak
kesempatan. Setiap kali ujung cambuk Kiai Gringsing yang didasari atas segala
kekuatan yang ada padanya telah menyentuh tubuhnya. Sementara itu, Ki Waskita
selalu mendesaknya agar tidak sempat menghindar terlampau jauh.
Kiai Jalawaja pun telah
mengerahkan segenap kemampuannya. Ia sadar, bahwa yang sebenarnya mempergunakan
senjatanya hanyalah Kiai Gringsing. Sedang orang yang satu lagi, sekedar
menjaganya untuk tidak lepas dari sentuhan cambuk itu.
Namun ternyata bahwa kemampuan
ilmunya yang membuat kulitnya seolah-olah kebal, tidak mampu bertahan atas
puncak ilmu Kiai Gringsing yang tersalur lewat cambuknya. Meskipun tidak ada
segores luka pun dan setitik darah yang meleleh, namun tulang-tulang Kiai
Jalawaja rasa-rasanya telah menjadi remuk oleh pukulan kekuatan cambuk berkarah
besi baja itu. Dengan demikian, maka lambat laun tenaganya pun bagaikan
terhisap dari tubuhnya yang menjadi lemah dan tidak berdaya lagi.
Pada saat-saat terakhir itu,
ketika terasa maut tidak lagi dapat dihindari, Kiai Jalawaja pun segera
mengamuk dengan sisa tenaganya. Ia memang mengharap, senjata Kiai Gringsing itu
bukan sekedar melumpuhkannya, tetapi membunuhnya.
Tetapi, Kiai Gringsing dan Ki
Waskita berbuat lain. Ketika Kiai Jalawaja seolah-olah sudah kehilangan
kemampuannya, maka mereka berdua tidak berbuat apa-apa lagi selain memancing
kemarahan pimpinan kelompok yang tidak mereka kenal itu.
Ternyata sebagian usaha mereka
berhasil. Kiai Jalawaja benar-benar kehilangan akal. Dengan membabi buta ia
menyerang Kiai Gringsing, yang dengan cekatan menghindar. Kemudian Ki
Waskita-lah yang seakan-akan berada pada jarak jangkaunya. Dengan kemarahan
yang menghentak dadanya, ia menerkamnya. Tetapi Ki Waskita pun berhasil
menyingkir dari cengkeramannya.
Demikianlah, pada saat-saat
pertempuran itu mulai dibayangi oleh akhir yang suram bagi orang-orang Tambak
Wedi, Ki Jalawaja benar-benar telah kehilangan semua kekuatannya. Ia
benar-benar sudah tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Apalagi bertempur melawan
Kiai Gringsing atau Ki Waskita. Ketika kemudian cambuk Kiai Gringsing meledak
lagi dan mengenai tubuhnya, maka ia pun menggeliat dengan gigi yang gemeretak.
Tetapi kemudian terhuyung-huyung.
Kiai Jalawaja benar-benar
tidak mampu bertahan lagi. Dengan lemahnya ia pun jatuh terduduk.
Kiai Gringsing mendekatinya
dengan hati-hati. Ia masih mempertimbangkan bahwa hentakan yang terakhir masih
mungkin menerkamnya dan melukainya. Tetapi agaknya Kiai Jalawaja benar-benar
sudah tidak berdaya.
“Ki Sanak,” berkata Kiai
Gringsing, “memang tidak ada pilihan lain bagimu.”
Kiai Jalawaja tidak menjawab.
“Kau akan tetap dihormati
sebagai seorang yang memiliki kemampuan di luar kebanyakan orang.”
Kiai Jalawaja sama sekali
tidak menjawab. Nafasnya terengah-engah dan wajahnya menjadi semakin pucat.
Sejenak Kiai Gringsing dan Ki
Waskita termangu-mangu. Mereka mulai berpengharapan, bahwa mereka akan dapat
menangkap orang yang tidak mereka kenal, tetapi memiliki kelebihan itu. Di saat
orang yang tidak terluka oleh senjata itu kehabisan kekuatan dan tenaga, maka
beberapa serangan cambuk akan dapat membuatnya pingsan.
Tetapi wajah Kiai Gringsing
dan Ki Waskita menjadi tegang, ketika mereka melihat orang itu menggeliat.
Kemudian perlahan-lahan ia membaringkan dirinya sambil menyilangkan tangannya.
“Ki Sanak,” desis Kiai
Gringsing sambil mendekatinya, meskipun ia tetap berwaspada.
“Tidak seorang pun dapat
menjamah tubuhku selagi aku masih bernafas.”
“Apakah maksudmu?”
“Aku akan mati.”
“Tidak. Kau memiliki ketahanan
tubuh tidak terhingga. Kulitmu seolah-olah tidak terluka oleh cambukku.”
“Kau memang orang gila. Tidak
ada seorang pun yang dapat melukai kulitku. Kau pun tidak. Tetapi kau
meremukkan tulang-tulangku.”
“Tetapi kau tidak akan mati.”
“Memang tidak. Kau tidak akan
dapat membunuhku. Cambukmu juga tidak. Tetapi aku dapat membunuh diriku
sendiri.”
“Ki Sanak,” Kiai Gringsing
bergeser semakin dekat.
Tiba-tiba orang itu tertawa.
Suaranya terdengar dalam sekali, seolah-olah berpusar di dalam dadanya. Namun
suara itu semakin lama menjadi semakin lambat. Katanya, “Kalian memang bodoh.
Seharusnya kalian tahu, bahwa orang seperti Jalawaja tidak akan membiarkan
dirinya menjadi tawanan.”
“Jalawaja,” desis Kiai
Gringsing dan Ki Waskita hampir berbareng.
“Aku tidak menyangka bahwa aku
harus mati di sini. Aku kira, aku malam ini dapat menebas prajurit Pajang
seperti menebas batang ilalang. Tetapi aku sadar, bahwa akibat seperti ini
pasti akan terjadi pada suatu saat. Dan aku akan mati sekarang.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
saling berpandangan. Akhir yang demikian itulah yang memang sudah mereka
perhitungkan. Ketika timbul harapan bahwa mereka akan dapat menangkap Kiai
Jalawaja hidup-hidup, justru mereka menjadi ragu-ragu atas apa yang mereka
hadapi. Dan kini memang ternyata bahwa orang itu tidak akan dapat mereka
tangkap dalam keadaan hidup.
Sejenak mereka merenungi orang
yang sudah berbaring di tanah dengan tangan bersilang di dadanya itu. Namun
kemudian, sambil menarik nafas dalam-dalam Kiai Gringsing berkata, “Orang yang
keras hati.”
“Tetapi maut ini datangnya
terlampau cepat,” ternyata Kiai Jalawaja itu masih bedesis, “jauh lebih cepat
dari yang aku harapkan.”
“Apakah kau akan memberikan
pesan, Kiai?” bertanya Kiai Gringsing.
“Kau memancing jawaban di saat
aku mulai merasakan sentuhan maut. Jangan, Kiai. Itu tidak adil.”
Kiai Gringsing terkejut
mendengar jawaban itu. Sejenak ia berdiri termangu-mangu, sedang Ki Waskita-lah
yang kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
pun kemudian berdiri membeku, ia seolah-olah melihat sesuatu bergerak di dalam
tubuh Kiai Jalawaja. Perlahan-lahan menyelusuri tubuh itu dari ujung kaki
merambat naik, sehingga akhirnya sampai ke ubun-ubunnya.
Pada saat itulah, Kiai
Jalawaja menghembuskan nafasnya yang terakhir, setelah seakan-akan ia mengatur
dirinya menghadapi maut yang terlampau cepat datangnya itu.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka merenungi tubuh yang sudah membeku
itu.
Namun mereka pun kemudian
menyadari, bahwa pertempuran masih berlangsung terus. Tetapi ternyata bahwa
gelar Cakra Byuha itu, sudah menjadi semakin luas mendesak lawan.
“Kemanakah Ki Sumangkar?”
bertanya Kiai Gringsing tiba-tiba saja, kepada Ki Waskita.
Tetapi Ki Waskita
menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Aku tidak mengetahuinya. Tetapi ia
pergi ke pusat gelar.”
Sementara itu, seorang prajurit
mendekatinya sambil berkata, “Ki Sumangkar bertempur melawan pemimpin pasukan
dari Tambak Wedi.”
“Siapa?”
“Kiai Kalasa Sawit.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Ki Waskita, “Apakah kita akan
melihatnya?”
“Agaknya lebih baik, Kiai.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada seorang prajurit, “Jagalah tubuh Kiai
Jalawaja. Jika pertempuran ini sudah selesai, maka kalian pun berkewajiban
untuk menyelenggarakan sebaik-baiknya.”
Prajurit itu mengangguk. Namun
di dalam hati ia berdesis, “Mudah-mudahan aku dapat melihat akhir dari
pertempuran ini.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing dan Ki Waskita pun meninggalkan tubuh Kiai Jalawaja yang terbaring
itu. Dengan hati-hati mereka melintasi bagian dalam gelar pasukan Pajang, yang
hanya diawasi oleh beberapa orang prajurit. Namun ternyata bahwa tidak ada
sekelompok lawan yang lain, yang berhasil menerobos masuk ke dalam gelar.
Apalagi sepeninggal Kiai Jalawaja.
Meskipun Kiai Jalawaja mati di
dalam lingkungan gelar, tetapi ternyata berita tentang kematiannya itu segera
menjalar. Mula-mula pada prajurit-prajurit Pajang, namun kemudian terdengar
pula oleh orang-orang Tambak Wedi. Apalagi ketika beberapa orang dengan sengaja
meneriakkan kematiannya, “Kiai Jalawaja mati! Kiai Jalawaja mati!”
Berita kematian itu
benar-benpr mempengaruhi setiap jantung, terlebih-lebih mereka yang datang ke
Tambak Wedi bersama Kiai Jalawaja. Semula mereka menganggap bahwa pertempuran
itu hanyalah sekedar pelepasan dendam dan kebencian tanpa menjumpai perlawanan
yang berarti. Jumlah orang-orang yang berada di dalam lingkungan
gerombolan-gerombolan yang berada di lereng Gunung Merapi dan prajurit Pajang
yang berada di Jati Anom, bukan merupakan lawan yang dapat menahan kemampuan
dan kekuatan Tambak Wedi. Apalagi setelah kehadiran pasukan Kiai Jalawaja.
Tetapi ternyata prajurit
Pajang di Jati Anom cukup kuat untuk melawan mereka. Apalagi setelah pasukan
cadangan hadir di arena, sehingga dengan demikian seolah-olah mempercepat
penyelesaian yang sudah menjadi semakin jelas.
Kehadiran pasukan cadangan
benar-benar telah menggoncangkan ketabahan hati Kiai Kalasa Sawit. Belum lagi
goncangan perasaan itu reda, disusul oleh berita yang datang kepadanya, dari
seorang penghubung, bahwa Kiai Jalawaja telah benar-benar mati di peperangan
itu.
Kiai Kalasa Sawit menjadi
semakin gelisah. Apalagi ia sedang menghadapi lawan yang tidak dapat
dikalahkannya, sehingga seolah-olah telah mengikatnya pada titik pertampuran
yang sama sekali tidak dapat dilakukan sambil mengamati arena.
“Iblis dari Jipang ini
benar-benar gila,” ia menggeram di dalam hatinya.
Sementara Kiai Kalasa Sawit
bertempur mati-matian melawan Ki Sumangkar, maka ternyata bahwa
kelompok-kelompok gerombolan yang bertebaran di lereng Merapi dan telah bergabung
itu, memiliki perlawanan yang kuat pula. Beberapa orang di antara mereka
bertempur dengan gigihnya. Sementara pemimpin-pemimpin mereka, Ki Raga Tunggal,
Serat Wulung, Sampar Angin, dan beberapa orang lagi, dengan gigihnya menghadapi
para pengawal Kiai Jalawaja.
Namun kehadiran pasukan
cadangan dari Jati Anom yang telah dipanggil oleh Untara, untuk menjaga segala
kemungkinan itu pun dengan cepat dapat mengatasi keadaan di luar gelar.
Untara sendiri benar-benar
dapat menguasai seluruh prajurit di arena itu. Bahkan kemudian, ia berhasil
menyusun selapis pasukan cadangannya untuk menekan orang-orang Tambak Wedi dari
sisi yang lain.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
melihat pula kehadiran pasukan cadangan dari Jati Anom. Bahkan kemudian Kiai
Gringsing berdesis, “Ternyata bahwa Angger Untara mampu mengatasi keadaan,
dengan atau tanpa kita.”
“Ah,” desis Ki Waskita,
“bukankah kita tidak banyak berbuat apa-apa di sini?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Namun ia pun kemudian mengerutkan keningnya, ketika ia mendengar sebuah isyarat
yang diteriakkan oleh seseorang di pusat gelar.
“Apakah yang akan dilakukan
oleh Kiai Kalasa Sawit?” bertanya Ki Waskita.
“Marilah kita lihat. Mungkin
ada sesuatu yang dapat mengejutkan arena ini. Kita tidak tahu pasti, apakah
semua kekuatan di Tambak Wedi sudah dikerahkan.”
Keduanya pun kemudian dengan
tergesa-gesa meneruskan langkahnya, ke pusat gelar yang sudah menjadi semakin
luas itu.
Dalam riuhnya pertempuran yang
sengit, mereka melihat betapa Ki Sumangkar memutar senjatanya melawan Kiai
Kalasa Sawit yang mengerahkan segenap kemampuannya pula. Mereka masih belum
melihat perubahan apa pun yang terjadi di arena itu.
Masing-masing masih tetap
bertempur di tempatnya. Suara dentang senjata masih bersahut-sahutan, dan
sekali-kali terdengar teriakan yang menyayat. Teriakan kesakitan tetapi juga
teriakan kemenangan dan kebanggaan.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
segera melihat, bahwa sebenarnya Ki Sumangkar telah berhasil menguasai
lawannya. Kiai Kalasa Sawit yang memiliki kekuatan raksasa itu, kadang-kadang
menjadi bingung oleh kecepatan gerak Ki Sumangkar. Bahkan kadang-kadang Kiai
Kalasa Sawit memaki, apabila ujung trisula Ki Sumangkar berhasil mematuk
kulitnya dan menitikkan darahnya.
Tetapi sejenak kemudian,
terdengar sekali lagi isyarat yang ternyata terlontar dari mulut Kiai Kalasa
Sawit.
Dengan demikian maka setiap
orang di pusat gelar itu pun menjadi semakin berwaspada. Mungkin mereka harus
menghadapi sesuatu yang tidak terduga-duga.
Sebenarnyalah yang terjadi
telah mengejutkan prajurit-prajurit Pajang, meskipun mereka sudah bersiaga.
Tiba-tiba saja arena itu menjadi kisruh. Beberapa orang pengawal Kiai Kalasa
Sawit bersama-sama telah menyerang Ki Sumangkar. Namun yang lain telah membuat
gerakan-gerakan yang menurut ilmu peperangan justru tidak berarti apa-apa.
Beberapa orang telah berlari-larian kian kemari dengan senjata teracu-acu.
Untara yang berpengalaman
menghadapi gelar perang yang beraneka macam dan cara-cara yang paling aneh
sekalipun, mengerutkan keningnya melihat hal itu. Namun kemudian ia pun
berteriak, “Jangan lepaskan Kiai Kalasa Sawit.”
Beberapa orang yang mendengar
teriakan itu menjadi berdebar-debar. Ki Sumangkar pun menyadari, bahwa dengan
demikian lawannya berusaha memisahkan diri daripadanya. Selagi ia sibuk menangkis
serangan dari beberapa orang sekaligus dalam kekisruhan itu, ternyata ia
benar-benar telah kehilangan lawannya.
Untara sendiri berusaha
menusuk langsung ke dalam gerakan yang aneh itu, bersama beberapa orang perwira
dan pengawal mereka. Namun rasa-rasanya jalan yang harus ditempuh menjadi
buntu. Mereka harus bertempur untuk menyibakkan lawan, yang seakan-akan telah
menjadi pepat di pusat gelar.
“Suatu cara yang bagus dari
Kiai Kalasa Sawit untuk melarikan diri,” gumam Sumangkar yang menjadi marah.
Tetapi ia harus menghadapi beberapa orang sekaligus, yang menyerangnya dengan
tiba-tiba.
Baru sejenak kemudian,
prajurit-prajurit Pajang sempat menyesuaikan diri. Mereka pun kemudian
mengambil alih lawan yang berdesakan di sekitar Ki Sumangkar. Dengan demikian,
maka pertempuran telah berpusat di pusat gelar.
Tetapi saat yang pendek itu
telah berhasil dipergunakan oleh Kiai Kalasa Sawit. Ternyata ia telah hilang
dari arena. Seolah-olah terbenam di dalam arus pengawal-pengawalnya yang
bergolak seperti ombak lautan.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
pun melihat hal itu. Sejenak mereka termangu-mangu. Bahkan Kiai Gringsing
sempat bergumam, “Suatu cara yang licik dari Kiai Kalasa Sawit.”
“Agak berbeda dengan Kiai
Jalawaja,” sahut Ki Waskita
“Kiai Jalawaja ternyata
seorang yang bertumpu pada harga diri dan keyakinannya.”
Kiai Gringsing termenung
sejenak. Kemudian katanya, “Aku ingin ikut mencari Kiai Kalasa Sawit di dalam
arena itu.”
“Marilah,” desis Ki Waskita,
“kita berpisah.”
Kiai Gringsing mengangguk. Ia
pun kemudian meninggalkan tempatnya bersama Ki Waskita, dengan tujuan yang
berbeda.
Tetapi arena seolah-olah
menjadi pepat. Pertempuran berlangsung dengan sengitnya seperti dalam perang
brubuh yang kisruh. Lawan yang datang dari Tambak Wedi itu telah memusatkan
kekuatannya pada pusat gelar prajurit Pajang.
Dengan demikian, maka di
bagian lain dari arena itu, pertempuran menjadi semakin reda. Seolah-olah
mengalir dan bermuara pada sebuah pusaran yang kalut.
Tetapi prajurit Pajang di
dinding gelar yang lain menyadari keadaan itu, sehingga sebagian dari mereka
pun berusaha untuk mencegah tekanan yang terlampau berat di pusat gelar.
Tetapi orang-orang Tambak Wedi
itu agaknya tidak bermaksud memecahkan gelar Cakra Byuha itu. Yang mereka
lakukan adalah sekedar usaha untuk melindungi pimpinannya dan merupakan suatu
persiapan untuk meninggalkan arena pertempuran.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian, sekali lagi prajurit Pajang melihat suatu isyarat. Bukan tanda-tanda
bunyi, tetapi api yang terlontar di udara.
Demikian orang-orang Tambak
Wedi itu melihat isyarat yang terlempar ke udara, oleh orang-orang yang sudah
agak jauh dari pertempuran, maka seperti waduk yang terbuka dengan tiba-tiba,
maka pasukan Tambak Wedi itu pun segera susut dari arena.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan Ki Waskita masih tetap berusaha untuk menemukan Kiai Kalasa Sawit. Bahkan
Ki Sumangkar yang kehilangan lawannya itu pun tidak tinggal diam. Ia juga
berusaha untuk mencari jejaknya.
Berbeda dengan ketiga orang
itu, maka Untara tidak meneruskan usahanya mencari Kiai Kalasa Sawit. Ia harus
menguasai prajurit-prajuritnya, yang berusaha mendesak terus lawannya.
Namun ketika lawannya kemudian
berpencaran dan berlarian mencari hidup masing-masing. Untara telah mencegah
pasukannya untuk mengejar terus dalam keadaan seperti itu. Bahkan kemudian
jatuhlah perintahnya, “Kita akan mengatur diri menghadapi orang-orang Tambak
Wedi. Tetapi kalian harus menahan semua kelompok yang ada di medan ini,
termasuk pimpinan mereka, Ki Raga Tunggal, Serat Wulung, Sampar Angin, dan yang
lain-lain. Jangan biarkan mereka meninggalkan arena.”
Perintah itulah yang kemudian
dijalankan oleh prajurit-prajurit Pajang.
Dengan demikian, maka sejenak
kemudian gelar Cakra Byuha itu pun seakan-akan berkembang semakin luas dan
akhirnya mencakup seluruh arena, bersama pasukan cadangan yang berada di luar
gelar.
Gerombolan-gerombolan di
lereng Gunung Merapi, yang berhasil mendesak lawannya itu pun tidak berusaha
mengejar lawan-lawan mereka. Apalagi ketika mereka pun melihat bahwa pasukan
Pajang juga tidak langsung mengejarnya.
Namun, mereka kemudian
terkejut ketika mereka melihat gerakan prajurit-prajurit Pajang yang kemudian
justru telah mengepung mereka di arena.
“Apa yang akan dilakukan oleh
Senapati Untara?” desis Ki Raga Tunggal.
“Gila! Apakah ia akan
membinasakan kita sekarang juga, selagi arena ini sudah berbau mayat?” sahut
Serat Wulung.
“Itu adalah perbuatan gila,”
desis yang lain.
Tetapi yang lain lagi berkata,
“Ini adalah kesempatan yang paling baik buat Untara untuk membunuh kita
semuanya. Dengan demikian, ia akan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Seolah-olah kita semuanya telah ditumpas oleh orang-orang Tambak Wedi. Baru
kemudian ia datang mengusir orang-orang Tambak Wedi itu.”
Berbagai tanggapan telah
timbul di antara gerombolan-gerombolan itu. Namun pada dasarnya mereka merasa
diri mereka telah terjebak.
“Apakah kita akan melawan
Untara, seperti kita melawan orang-orang Tambak Wedi?” desis Sampar Angin.
Tetapi yang lain menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak ada gunanya. Kita akan menyerah, apa pun yang akan
dilakukannya atas kita.”
“Juga jika ia membunuh kita di
sini?”
“Menurut dugaanku, ia tidak
akan melakukannya. Tetapi aku tidak tahu jika ia benar-benar menjadi gila,
karena prajurit-prajuritnya jatuh menjadi korban peperangan ini.”
Beberapa orang di antara
mereka menarik nafas dalam-dalam. Namun sebagian dari mereka di luar sadarnya
telah memandang Ki Raga Tunggal yang gelisah, seolah-olah mereka menjatuhkan
tuduhan, bahwa ia-lah yang menyebabkan semuanya itu.
Ki Raga Tunggal pun agaknya
dapat merasakan sentuhan tatapan mata kawan-kawannya yang tajam menusuk ke
jantungnya. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata dengan nada datar,
“Biarlah aku yang menjadi banten. Akulah yang akan menyerahkan diriku kepada
Untara, untuk menerima hukuman apa saja yang akan dijatuhkan kepadaku. Karena
aku dan orang-orangkulah yang telah membakar lereng Merapi ini, sehingga api
pertempuran tidak dapat dihindarkan lagi.”
“Itu adalah maksudmu. Tetapi
mungkin Untara mempunyai pertimbangan lain. Kita semuanya harus dibersihkan
dari lereng Merapi, agar untuk selanjutnya kita tidak selalu mengganggu
tugasnya.”
“Apa pun yang akan terjadi,
baiklah kita akan menerimanya dengan senang hati,” desis yang lain lagi.
“Senang atau tidak senang,”
geram Serat Wulung.
Sejenak kemudian, mereka pun
berdiam diri. Mereka mendengar perintah Untara untuk mengumpulkan anak buah
masing-masing dan meletakkan senjata.
“Ini adalah permulaan dari
perjalanan kita, menuju ke tiang gantungan,” desis Sampar Angin.
Tidak ada yang menjawab.
Tetapi tidak seorang pun yang dapat mengingkari perintah itu. Mereka pada
umumnya sudah mengenal sifat Untara. Apalagi di peperangan, yang sudah dibasahi
oleh darah prajurit-prajurit Pajang. Untara akan segera berubah menjadi seekor
banteng yang terluka.
Semuanya berjalan dengan
cepat. Sementara itu, Untara agaknya sedang berbincang dengan beberapa orang
senapati yang lain di dalam pasukannya.
Sejenak kemudian, maka
terdengar aba-aba, dan para senapati pun menjadi sibuk mengatur kelompok
masing-masing.
Para pemimpin
gerombolan-gerombolan yang ada di lereng Merapi menjadi heran melihat kesibukan
yang sangat pada pasukan Pajang. Ternyata bahwa Pajang sudah membagi
prajuritnya. Beberapa orang tinggal mengawasi gerombolan lereng Merapi yang
sudah tidak bersenjata lagi. Namun yang lain telah sibuk menyusun barisan.
“Apakah yang akan mereka
lakukan?” desis seseorang.
Yang lain menggelengkan
kepalanya.
Tetapi akhirnya mereka pun
mengetahuinya, bahwa Untara tidak mau melakukan kerja setengah-setengah.
Ternyata ia sudah menyiapkan pasukan yang ada, dengan beberapa kelompoknya dari
pasukan cadangan, untuk menyusul pasukan lawan ke Tambak Wedi.
“Kami akan menghancurkan
pasukan Kalasa Sawit sampai orang yang terakhir. Menyerah atau mati,” desis
Untara. “Karena itu, kalian jangan mengganggu kami. Siapa yang tidak mentaati
perintah prajurit Pajang, akan kami binasakan, seperti Tambak Wedi.”
Tidak seorang pun yang
menyahut. Semua orang tahu, bahwa dalam keadaan seperti itu Untara tidak sempat
bergurau.
Demikianlah, maka Untara telah
membawa pasukannya menyusul pasukan Tambak Wedi yang tercerai-berai. Untara
yakin, bahwa mereka akan mundur dan memasuki padepokan Tambak Wedi yang
mempunyai dinding di sekelilingnya.
Tetapi Untara sudah bertekad,
Tambak Wedi harus dilumpuhkan sama sekali. Ia tahu benar, bahwa Kiai Kalasa
Sawit telah banyak kehilangan anak buahnya. Yang terbunuh maupun yang terluka.
Karena itu, maka menurut perhitungannya, prajurit Pajang yang masih ada dengan
tenaga cadangan yang segar, akan dapat menguasai Tambak Wedi sepenuhnya.
Sejenak kemudian, maka Untara
pun telah siap. Dengan kekuatan yang ada, maka Untara pun segera memberikan
perintah kepada pasukannya untuk berangkat.
Prajurit cadangan yang datang
kemudian, dan menemukan pertempuran itu sudah hampir berakhir, menjadi bagian
terdepan pasukan yang menuju ke Tambak Wedi. Prajurit-prajurit yang lelah dan
bahkan ada yang terluka, tetapi bertekad untuk tetap berada di dalam barisan,
rasa-rasanya justru menjadi bertambah segar disentuh angin malam yang dingin di
lereng Gunung Merapi.
Dalam beberapa saat, Untara
sibuk dengan pasukannya. Ia masih belum tergesa. Tambak Wedi adalah daerah yang
tidak terlampau mudah dijangkau. Mungkin pasukannya akan menghadapi lawan yang
bersembunyi di balik batu-batu besar, dan menyerang sambil bersembunyi.
Namun Untara telah memisahkan
sekelompok prajurit pilihan. Di dalam keadaan yang memaksa, mereka harus
memisahkan diri. Merekalah yang ditugaskan untuk mengatasi serangan-serangan
tersembunyi, dan dengan diam-diam mendekati lawan.
Tetapi ketika pasukan Untara
sudah berjalan dengan teratur, maka Untara mulai teringat kepada tiga orang tua
yang semula ada di dalam gelarnya.
“He,” ia pun kemudian bertanya
kepada salah seorang senapatinya, “di manakah Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan
Ki Waskita?”
Senapati itu mengerutkan
keningya. Namun ia pun kemudian menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak
melihatnya. Sejak pasukan Tambak Wedi mundur, aku tidak melihatnya lagi.”
Untara mengangguk-angguk.
Katanya, “Kita akan mencarinya nanti. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu atas
mereka.”
“Mereka berhasil mengalahkan
lawan masing-masing. Orang yang menyebut dirinya bernama Jalawaja dapat dibunuh
oleh Kiai Gringsing, meskipun di saat terakhir nampaknya ia seperti membunuh
diri, karena Kiai Gringsing ingin menangkapnya hidup-hidup, sementara ia sudah
tidak dapat berbuat apa-apa,” sahut salah seorang senapatinya.
Untara mengangguk-angguk pula.
Tetapi ia tidak menjawab.
Demikianlah, dengan cepat
pasukan Pajang itu bergerak mendaki lereng Gunung Merapi, yang disambut oleh
embun di gelapnya malam. Namun sejenak kemudian, nampak warna semburat merah
mulai membayang di Timur.
“Hampir fajar,” Untara
berdesis di dalam hatinya, “apa pun waktunya, orang-orang Tambak Wedi itu harus
ditangkap hidup atau mati. Mereka akan menjadi ulat yang selalu mengganggu
kesuburan dan ketenangan Pajang untuk selamanya.”
Karena itu, Untara mempercepat
gerak pasukannya. Sebelum fajar ia berniat sudah mengepung padepokan Tambak
Wedi, yang berdinding batu di seputarnya.
Dalam pada itu, selagi pasukan
Pajang bergerak semakin cepat memanjat lereng Merapi, maka Ki Sumangkar yang
kehilangan lawannya menggeram dengan marah. Ia sadar, bahwa dalam gerak yang
kacau, sesaat setelah terdengar isyarat dari Kiai Kalasa Sawit, maka pemimpin
pasukan Tambak Wedi itu berhasil melepaskan dirinya dan lari menjauhi arena.
Baru setelah agak jauh, ia melontarkan isyarat berikutnya, agar orang-orangnya
pun meninggalkan arena pula.
Sejenak Ki Sumangkar
termangu-mangu. Apakah ia akan menyusul lawannya sampai ke Tambak Wedi, atau ia
harus menunggu perintah Untara dan menyesuaikan dirinya dengan pasukan Pajang
itu.
Selagi ia termangu-mangu, maka
terdengarlah langkah dua orang yang mendekatinya. Dalam keremangan malam, ia
melihat dua bayangan yang berjalan tergesa-gesa. Namun, ia segera dapat
mengenalnya, bahwa keduanya adalah Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang sudah
menyatu kembali setelah terpisah beberapa lama.
“Apakah kau berusaha menyusul
lawanmu?” bertanya Kiai Gringsing kepada Ki Sumangkar.
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian gumamnya, “Aku kehilangan orang itu.”
“Aku dan Ki Waskita pun
berusaha mencarinya. Bahkan kami sudah membagi diri. Namun kami tidak
menemukannya. Agaknya ia hanyut dalam arus mundur orang-orangnya.”
“Tidak. Bahkan ia adalah orang
yang pertama-tama meninggalkan arena dalam kekisruhan yang terjadi beberapa
saat, yang dengan sengaja telah ditumbuhkannya, yang kemudian dari kejauhan
memberikan isyarat dengan lontaran panah api ke udara.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
“Apakah kira-kira yang akan
dilakukan oleh Angger Untara?” bertanya Ki Sumangkar kemudian.
“Aku tidak tahu,” Kiai
Gringsing menggelengkan kepalanya.
“Dan apa yang akan kita
lakukan?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing merenung
sejenak. Kemudian, “Tanda di dada Kiai Kalasa Sawit sangat menarik perhatian.
Apakah kita akan melihat, apa yang telah terjadi kemudian di padepokan Tambak
Wedi itu?”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
saling berpandangan. Meskipun agak ragu, Ki Sumangkar mengangguk sambil
berdesis, “Ya. Ada baiknya kita melihat, apa yang kini terjadi di padepokan tua
itu. Mungkin kita mendapat gambaran serba sedikit tentang gerombolan raksasa
yang masih diselimuti oleh kabut rahasia itu.”
Demikianlah, maka ketiganya
bersepakat untuk pergi ke padepokan tua di Tambak Wedi. Mereka ingin mengetahui
apa yang akan terjadi. Apakah orang-orang Tambak Wedi itu masih akan tetap
bertahan di padepokan itu, atau mereka berniat untuk menentukan sikap yang
lain.
Dengan hati-hati, mereka
bertiga berjalan tergesa-gesa menyusuri jalan-jalan di lereng pegunungan. Kiai
Gringsing masih tetap dapat mengenal jalan menuju ke padepokan itu dengan baik.
“Tidak banyak perubahan
terjadi di sekitar daerah ini,” gumam Kiai Gringsing.
Kedua kawannya tidak menyahut.
Tetapi kepala mereka terangguk-angguk kecil.
Semakin dekat mereka dengan
Tambak Wedi, mereka pun menjadi semakin berhati-hati. Mereka sadar, bahwa di
balik gerumbut-gerumbul liar di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lalui,
atau di balik batu-batu padas, dapat bersembunyi para pengawal padepokan tua
itu.
“Kita tidak tahu sikap Angger
Untara,” desis Kiai Gringsing, “tetapi menilik sifat dan wataknya, ia tidak
akan berhenti.”
“Apakah pasukan Pajang akan
menyusul ke Tambak Wedi?” bertanya Ki Sumangkar .
“Aku tidak tahu. Tetapi
agaknya Angger Untara akan berkeras hati untuk menyelesaikan tugasnya sama
sekali,” sahut Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Ia pun mengenal sifat Untara, sehingga menurut
perhitungannya, Untara tentu akan menyusul lawannya sampai ke Tambak Wedi.
Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Ki Sumangkar menjadi heran, bahwa mereka tidak menemukan seorang pengawas
pun di perjalanan menuju ke padepokan itu. Bahkan mereka menjadi curiga, bahwa
Kiai Kalasa Sawit telah mempersiapkan sebuah jebakan yang dapat mencelakakan
prajurit-prajurit Pajang, apabila Untara menyusul ke Tambak Wedi.
“Tetapi agaknya benar-benar
sepi,” berkata Ki Waskita.
“Ya. Aku pun tidak mendengar
sesuatu,” desis Kiai Gringsing.
Bahkan sejenak mereka mencoba
memperhatikan keadaan di sekitarnya. Namun agaknya benar-benar sepi. Langit
yang sudah mulai diwarnai oleh fajar, menjadi semakin merah. Bintang-bintang
nampaknya menjadi semakin pudar. Di kejauhan terdengar suara ayam hutan yang
berkokok bersahutan.
“Hampir fajar,” desis Kiai
Gringsing.
“Kita akan mendapat kesulitan
untuk mendekati padepokan tua itu,” sahut Sumangkar.
“Kita akan sampai sebelum
fajar,” berkata Kiai Gringsing pula.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
hanya mengangguk-angguk saja.
Dengan hati-hati, mereka pun
merayap terus mendekati padepokan Tambak Wedi. Setiap kali mereka harus
memperhatikan batu-batu besar yang berserakan. Namun ternyata bahwa tidak
seorang pun yang mereka jumpai di sepanjang jalan itu.
“Apakah kita akan masuk?”
bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing ragu-ragu.
Katanya, “Kita hanya bertiga. Bagaimanapun juga kita tidak akan dapat melawan
semua orang yang ada di Tambak Wedi. Betapapun juga ilmu yang dapat dikuasai
oleh seseorang, tetapi kemampuan kita tetap terbatas.”
“Jadi?”
“Kita hanya akan mengamati
keadaan.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Memang tidak ada yang dapat mereka lakukan selain mengamati
keadaan. Kecuali apabila prajurit Pajang datang menyusul mereka ke Tambak Wedi.
Tetapi tiba-tiba saja ketiga
orang itu terkejut, ketika mereka mendengar sebuah isyarat yang melengking dari
arah padepokan tua itu. Dan sejenak kemudian, suara itu telah disahut oleh
suara-suara lain, beberapa puluh langkah dari ketiga orang itu.
“Uh,” desis Ki Sumangkar,
“hampir saja kita sampai ke tempat yang mereka awasi.”
“Ya. Tetapi kita akan dapat
melihat mereka,” sahut Kiai Gringsing.
“Atau kitalah yang dapat
mereka lihat.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Tetapi ia pun kemudian berkata, “Isyarat apakah yang kita dengar itu?”
“Entahlah.”
“Marilah kita mendekati
padepokan itu. Tetapi kita memang tidak seharusnya melalui jalan ini. Tentu
pada suatu tempat kita akan dapat dilihat oleh para penjaga itu.”
“Kita akan menerobos belukar?”
bertanya Ki Waskita.
“Ya.”
Ketiganya pun kemudian
menyingsingkan kain panjang mereka. Dengan hati-hati mereka menyusup ke dalam
pohon-pohon perdu liar di sebelah jalan dan langsung memotong arah menuju ke
padepokan Tambak Wedi.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing
dapat mengetahui arah itu dengan tepat. Meskipun langkah mereka menjadi agak
lamban, namun akhirnya mereka menjadi semakin dekat dengan padepokan tua itu.
“He, apa yang mereka lakukan?”
desis Ki Sumangkar ketika pada suatu saat mereka tersembul dari sebuah belukar
di dekat padepokan itu.
Sejenak mereka bertiga
termangu-mangu menyaksikan orang-orang yang berada di padepokan itu sedang
dalam kesibukan.
Kiai Gringsing, Ki Waskita,
dan Ki Sumangkar memperhatikan kesibukan yang mereka lihat dalam keremangan
malam. Orang-orang Tambak Wedi seolah-olah sedang mempersiapkan sebuah pasukan
yang lengkap dan kuat.
“Apakah mereka akan kembali ke
medan?” desis Ki Waskita.
Tidak ada jawaban.
Rasa-rasanya ketiga orang itu telah di cengkam oleh suasana yang tidak mereka
mengerti.
Dengan tegang, ketiga orang
itu berusaha untuk bergeser semakin dekat untuk mengetahui apa yang dikerjakan
oleh orang-orang yang berada di padepokan tua itu.
Sejenak kemudian, maka semakin
banyaklah orang yang berada di muka regol padepokan. Bahkan kemudian ketiga
orang yang bersembunyi itu melihat, beberapa ekor kuda yang membawa beban di
punggungnya.
“Agaknya mereka akan
meninggalkan padepokan tua itu,” desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
“Mereka merasa bahwa kedudukan
mereka terancam.”
“Ya, dan agaknya mereka baru
menyadari sifat dan watak Untara. Menurut perhitungan Kiai Kalasa Sawit, Untara
tentu akan menyusul mereka ke Tambak Wedi.”
Sejenak ketiga orang itu pun
berdiam diri melihat suasana, yang semakin lama justru menjadi semakin jelas,
karena langit menjadi semakin merah.
Tetapi orang-orang di Tambak
Wedi itu tidak mau didahului oleh cahaya fajar yang terbit di Timur. Sejenak
kemudian mereka pun telah siap, dan terdengar lamat-lamat Kiai Kalasa Sawit
meneriakkan aba-aba, “Kita akan segera pergi meninggalkan padepokan yang sial
ini. Justru selagi kita singgah beberapa hari di sini, kita sudah kehilangan
seorang yang paling dipercaya. Kakang Jalawaja. Karena itu, kita harus segera
pergi. Kita tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Setan yang bersenjata
cambuk dan iblis tua dari Jipang itu ternyata berada di dalam barisan Pajang.
Tanpa mereka, Pajang sudah kita hancurkan.”
Tidak seorang pun terdengar
berbicara.
“Nah, marilah kita berangkat.
Mereka yang berkuda, akan berada di depan. Mereka harus memilih jalan yang
paling aman bagi pasukan kita. Sementara matahari berada di langit, kita akan
berada di dalam hutan belukar di lereng Merapi sampai menjelang senja. Barulah kita
akan menentukan arah yang sebenarnya, menuju ke lembah di antara Merapi dan
Merbabu.”
Demikianlah, pasukan berkuda
dari gerombolan yang dipimpin oleh Kiai Kalasa Sawit itu pun mulai bergerak.
Satu-satu, mereka melintas tidak terlampau jauh dari Kiai Gringsing dan kedua
kawannya, sehingga ketiga orang tua itu harus menahan nafas, agar desahnya
tidak terdengar oleh orang-orang yang sedang lewat itu. Apalagi jika di antara
mereka mempunyai ilmu yang dapat mempertajam pendengaran. Ilmu Sapta Pangrungu.
Tetapi tidak seorang pun yang
berpaling. Sampai saatnya pimpinan pasukan itu lewat di hadapan ketiga orang
itu.
Namun rasa-rasanya ketiga
orang itu justru telah dicengkam perasaan masing-masing, ketika mereka melihat
Kiai Kalasa Sawit berjalan dengan senjata telanjang di antara beberapa orang
pengawal pilihan. Di mukanya berjalan tiga orang yang bertubuh raksasa, yang
tidak dijumpai di medan perang yang baru saja terjadi. Agaknya ketiga orang itu
tidak ikut serta bersama pasukan Kiai Kalasa Sawit maupun Kiai Jalawaja.
Yang rasa-rasanya telah
membekukan darah ketiga orang-orang tua yang berada di balik gerumbul liar di
pinggir jalan itu, adalah seseorang yang berjalan di hadapan tiga orang raksasa
itu. Seorang yang berjalan sambil membawa sebuah senjata yang diselubungi oleh
sehelai kain putih. Senjata yang bertangkai panjang, yang agaknya adalah
sepucuk tombak.
Kiai Gringsing menggamit kedua
kawannya yang berpaling memandanginya dengan tatapan mata yang bagaikan
menyala.
Ketika Kiai Kalasa Sawit telah
lewat beberapa langkah, dan yang kemudian berjalan beriringan adalah
orang-orang Kiai Kalasa Sawit yang jumlahnya ternyata masih cukup banyak, maka
Kiai Gringsing baru sempat berbisik, “Kau lihat tombak itu?”
“Mencurigakan sekali,” desis
Ki Sumangkar.
“Apakah tombak itu yang hilang
dari Mataram?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sejenak ia menimbang-nimbang apakah yang dapat dilakukannya.
“Kita tidak akan dapat
merebutnya sekarang,” desis Kiai Gringsing. “Jika saja pasukan Pajang bergerak
ke Tambak Wedi sebelum mereka meninggalkan padepokan ini.”
“Kiai,” berkata Ki Waskita,
“apakah sebaiknya aku mencoba membuat permainan, agar mereka menjadi bingung
dan memberikan kesempatan kepada kita untuk mengambil tombak itu?”
“Apakah kau yakin, bahwa
beberapa orang di sekitar tombak itu dapat kita kelabui dengan bentuk semu?”
Ki Waskita termangu-mangu.
Kemudian ia berdesis, “Agaknya para pengawal khusus itu bukanlah orang
kebanyakan. Tentu mereka tidak akan dapat kita bingungkan dengan bentuk-bentuk
semu.”
“Dan kita tidak tahu pasti,
berapa jumlah orang yang memiliki kelebihan seperti Kiai Kalasa Sawit dan Kiai
Jalawaja. Orang-orang yang bertubuh raksasa itu pun harus diperhitungkan.
Demikian juga agaknya sekelompok orang yang bersenjata telanjang di belakang
Kiai Kalasa Sawit.”
Kiai Gringsing masih sempat
pula berdesis, “Agak berbeda dengan orang-orang yang membawa pusaka yang lain
menyeberang Kali Praga. Mereka berusaha dengan diam-diam tanpa diketahui oleh
siapa pun bergeser ke barat. Tetapi pusaka yang sebuah lagi agaknya telah
dikawal oleh kekuatan segelar sepapan.”
Kedua kawannya hanya
mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, iring-iringan
itu berjalan terus, semakin lama semakin cepat. Mereka ingin melenyapkan diri
ke dalam lebatnya hutan di lereng Gunung Merapi sebelum matahari terbit di
timur, agar tidak akan dapat disusul oleh prajurit Pajang yang ternyata cukup
kuat pula.
Dalam keragu-raguan itulah
Kiai Gringsing menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya ingin ia mengikuti iring-iringan
itu sampai ke tempat yang mungkin dapat dikenalnya. Memang bukan pekerjaan yang
dapat diselesaikan dalam satu dua hari. Tetapi mungkin sepekan dua pekan,
bahkan dengan menghadapi kemungkinan-kemungkinan pahit.
Tetapi jika kemudian sekilas
teringat olehnya, bahwa muridnya harus segera melakukan upacara perkawinan,
maka ia pun menjadi kecewa.
“Aku menjadi bingung,” desis
Kiai Gringsing, “kesempatan ini seharusnya dapat kita pergunakan untuk
mengetahui arah jengkarnya pusaka itu dari Mataram.”
“Kita akan mengikutinya,”
berkata Ki Sumangkar.
“Tetapi di dalam waktu dekat,
Swandaru akan melangsungkan perkawinannya. Dan aku adalah orang yang mungkin
diperlukan.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Dan meskipun dengan ragu-ragu, Ki Waskita bertanya, “Apakah
Kiai sependapat, jika aku pergi mengikuti iring-iringan itu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Katanya kemudian, “Itu adalah suatu pekerjaan yang sangat berbahaya.
Tentu Ki Waskita dapat memperhitungkan akibat apakah yang dapat terjadi jika
pada suatu saat, Ki Waskita diketahui oleh mereka.”
“Aku adalah seorang yang
memiliki kemampuan berlari cepat,” jawabnya sambil tersenyum.
Tetapi Kiai Gringsing
menggeleng, “Tidak, Ki Waskita. Kita masih mempunyai perhitungan yang wajar.
Bahwa jiwa seseorang tidak dapat dikorbankan begitu saja. Dan bukankah putramu
sedang menunggu pula di Sangkal Putung?”
“Bagaimana dengan aku?”
bertanya Ki Sumangkar.
“Aku kira, pekerjaan itu akan
sia-sia saja, Adi. Adalah sulit sekali untuk mengikuti sepasukan yang kuat
seperti pasukan Kiai Kalasa Sawit itu. Namun setidak-tidaknya kita sudah dapat
melihat, bahwa orang yang bernama Kiai Kalasa Sawit-lah yang mendapat tugas
untuk menyingkirkan Kanjeng Kiai Pleret. Itu pun jika dugaan kita benar, bahwa
tombak itu adalah Kanjeng Kiai Pleret.”
“Aku kira tidak salah lagi,
bahwa tombak itu adalah Kanjeng Kiai Pleret. Tetapi aku pun sependapat, bahwa
hampir tidak ada gunanya untuk mengikuti pasukan yang akan berjalan untuk waktu
yang tidak diketahui dan arah yang tidak diketahui pula. Namun mungkin ada cara
lain untuk mengetahui, kemanakah iring-iringan itu pergi.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dengan nada datar ia bertanya, “Cara apakah yang kau maksudkan?”
“Jika Kiai setuju, aku akan
mengikuti jejaknya. Tidak terlalu dekat dengan pasukannya. Mereka tentu akan
berhenti di suatu tempat.”
“Seperti Tambak Wedi,” jawab
Kiai Gringsing, “yang satu dua hari akan mereka tinggalkan lagi.”
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ya. Agaknya memang tidak banyak gunanya mengikuti
mereka.”
“Karena itu, biarlah mereka
pergi. Pada suatu saat kita akan menemui lagi Kiai Kalasa Sawit dengan pasukan
segelar sepapan. Tidak dengan pasukan Pajang, tetapi dengan pasukan Mataram,”
berkata Kiai Gringsing seolah-olah kepada dirinya sendiri.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian menyadari, bahwa yang kehilangan adalah
Mataram. Jika pusaka itu diketemukan oleh Pajang, dan kemudian disampaikan
kepada Sultan Hadiwijaya, maka Sultan Pajang itu tentu akan marah dan kecewa
terhadap putra angkatnya yang terkasih, Danang Sutawijaya yang bergelar Mas
Ngabehi Loring Pasar, namun yang kemudian telah diwisuda menjadi Senapati Ing
Ngalaga dan berkedudukan di Mataram.
“Nah, sebaiknya kita sekarang
menentukan sikap yang lain,” berkata Kiai Gringsing.
“Apa yang akan kita lakukan?
Padepokan itu tentu sudah kosong.”
“Marilah kita melihat, apa
yang tertinggal di dalamnya.”
Ketiga orang itu pun kemudian
muncul dari balik gerumbul. Orang terakhir dari pasukan Tambak Wedi sudah
lewat, dan hilang di tikungan. Sementara langit menjadi semakin terang oleh
cahaya fajar.
Ketiga orang tua itu pun
kemudian mendekati padepokan Tambak Wedi. Pintu itu nampak, bahwa Tambak Wedi
memang sudah sepi sekali. Tidak nampak lagi seorang pun yang tinggal di dalam
lingkungan dinding batu itu.
“Padepokan itu sudah kosong,”
desis Ki Waskita.
“Padepokan itu cukup luas,”
berkata Kiai Gringsing, “hampir seperti sebuah padukuhan kecil. Sebatang sungai
mengalir melalui terowongan di bawah dinding, membelah padepokan itu.”
“Kiai mengenal padepokan ini
dengan baik.”
“Aku pernah memasuki padepokan
ini lewat terowongan air itu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Sementara mereka pun kemudian memasuki regol yang terbuka itu.
Tambak Wedi memang sudah
kosong. Tidak ada lagi seorang pun yang nampak di dalamnya.
Tetapi bahwa orang-orang yang
untuk beberapa saat tinggal di padepokan itu telah pergi dengan tergesa-gesa,
nampak pada beberapa macam barang mereka yang tertinggal. Namun hanyalah
barang-barang yang tidak penting, yang akan dapat mereka cari di sepanjang
perjalanan mereka.
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya pun kemudian, memasuki padepokan itu lebih dalam lagi. Mereka
menemukan baberapa karung barang-barang yang agaknya tidak sempat dibawa. Tetapi
barang-barang itu pun bukan merupakan barang penting bagi Kiai Kalasa Sawit,
meskipun agaknya barang-barang itu mempunyai nilai yang cukup mahal. Namun
barang-barang semacam itu akan mudah didapat oleh Kiai Kalasa Sawit kemana pun
ia pergi. Karena barang-barang itu tentu hasil yang mereka peroleh dari
kekerasan. Merampok, menyamun, dan tindakan-tindakan lain serupa itu, dengan
dalih dana bagi perjuangan mereka, seperti yang dialami oleh ketiga orang tua
itu di jalan ke Sangkal Putung.
Namun Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar dan Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam, ketika mereka melihat
beberapa sosok mayat yang terbaring di lantai pendapa padepokan itu. Agaknya
mereka adalah orang-orang yang terluka yang sempat mereka bawa mundur, tetapi
ternyata nyawanya sudah tidak tertolong lagi.
Kiai Gringsing mendekati
mereka itu, meskipun masih harus dengan hati-hati.
“Kiai Kalasa Sawit tidak
sempat mengubur mereka,” desis Ki Waskita.
“Ya. Benar-benar tidak
sempat.”
Ki Sumangkar yang mendekat
pula, telah memungut sebuah bindi di dekat sesosok mayat yang agaknya balum
terlalu lama meninggal. Pada bindi itu ia melihat pahatan seekor kelelawar
dengan sayap yang mengembang.
“Tidak salah lagi,” desis Ki
Sumangkar, “sadar atau tidak sadar, maka pahatan kelelawar itu tentu ada
sangkut pautnya dengan gerombolan ini.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba mereka
terkejut, ketika mereka mendengar suara seseorang yang sedang merintih. Dengan
tergesa-gesa mereka menerobos pintu pringgitan, meskipun mereka sama sekali
tidak meninggalkan kewaspadaan.
Di ruang dalam, mereka bertiga
melihat beberapa orang lagi yang terbaring. Bahkan ada di antara mereka yang
agaknya masih hidup. Tetapi ada pula yang sudah tidak tertolong lagi.
Dengan naluri yang ada di
dalam dirinya sebagai seorang dukun, maka Kiai Gringsing pun segera menolong
mereka yang masih hidup. Bersama Ki Sumangkar dan Ki Waskita, maka mereka pun
telah menyisihkan tiga orang di antara mereka yang terbaring diam.
“Air,” desis salah seorang
dari ketiga orang itu.
Dengan cekatan Ki Waskita pun
telah mengambil air ke sumur di belakang rumah itu. Namun dengan berdebar-debar
ia melihat sesosok mayat lagi di dekat sumur itu.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Lebih dari sepuluh orang yang berhasil dibawa mundur oleh
orang-orang Kiai Kalasa Sawit. Bahkan mungkin masih ada di antara mereka yang
terluka ikut meninggalkan padepokan ini.
“Mungkin mereka adalah
orang-orang yang berkuda di dalam pasukan itu,” desis Ki Waskita di dalam
hatinya.
Ketika ia kemudian masuk
kembali ke dalam rumah itu dengan membawa air pada sebuah mangkuk tanah yang
diketemukannya di dalam rumah itu pula, ia melihat Kiai Gringsing sudah mulai
mencoba mengobati luka-luka orang itu.
Titik-titik air itu agaknya
membuat ketiga orang yang terluka itu menjadi segar.
“Biarlah mereka hidup,”
berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “selain tugas kemanusiaan, maka mereka
akan dapat memberikan sedikit cerita tentang gerombolannya.”
Namun dalam pada itu, selagi
Kiai Gringsing dan kedua kawannya berusaha menyelamatkan nyawa katiga orang
itu, terdengar derap kaki kuda di luar padepokan.
Karena itu, sejenak mereka
termangu-mangu. Namun sejenak kemudian mereka pun telah meloncat berdiri dan
bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
“Kita keluar lewat pintu
belakang. Mungkin sekelompok orang-orang Kiai Kalasa Sawit kembali untuk
mengambil sesuatu yang tertinggal, yang dianggapnya cukup berharga.”
Demikianlah, ketiganya dengan
hati-hati keluar lewat pintu belakang. Sejenak mereka mengawasi keadaan. Namun
ternyata beberapa ekor kuda itu masih berada di luar regol.
“Siapakah mereka?” bertanya Ki
Sumangkar ragu-ragu, “Tentu bukan orang-orang Kiai Kalasa Sawit.”
Ki Waskita termenung sejenak.
Ia melihat sekilas seekor kuda yang bergerak di depan pintu gerbang. Tetapi
sejenak kemudian, kuda itu telah hilang.
Perlahan-lahan Ki Waskita
berdesis, “Aku melihat seorang prajurit.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Jika demikian, maka dugaan kita benar. Ternyata Angger
Untara benar-benar Angger Untara seperti yang kita bayangkan.”
“Prajurit Pajang telah
menyusul ke padepokan ini,” sambung Ki Sumangkar. “Sayang, agak terlambat.”
“Marilah kita temui mereka,”
berkata Kiai Gringsing.
Ketiganya pun kemudian
berjalan ke regol. Pada saat yang bersamaan, ia melihat beberapa ekor kuda yang
berlari-larian di depan pintu gerbang. Dan sejenak kemudian, sebuah
iring-iringan pasukan segelar sepapan yang menebar. Tetapi pasukan itu tidak
segera mengepung padepokan Tambak Wedi.
“Agaknya Angger Untara sudah
mendapat laporan, bahwa padepokan ini telah kosong,” desis Kiai Gringsing.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk. Untara memang bukan baru sejak kemarin sore menjadi seorang
prajurit. Ia adalah seorang senapati yang mempunyai perhitungan yang masak,
selain seorang yang mampu bertindak tegas dan cepat.
Ketika ketiga orang-orang tua
itu berdiri di depan regol, maka Untara pun berjalan mendekatinya, bersama tiga
orang pengawalnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Aku sudah
menduga, bahwa Kiai bertiga ada di sini.”
“Dan Angger sudah tahu, bahwa
padepokan ini telah kosong?” bertanya Kiai Gringsing.
“Pasukan sandi yang mendahului
gerakan prajurit Pajang telah melihat keadaan ini. Kami berhenti sejenak di
bawah padepokan ini untuk meyakinkan gerakan kami. Tetapi ternyata bahwa
padepokan ini telah kosong.”
“Mereka meninggalkan padepokan
ini beberapa saat menjelang fajar,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “Aku masih
sempat melihatnya. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Ternyata pasukan
yang berada di Tambak Wadi ini memang benar-benar kuat.”
“Seorang pemimpin mereka telah
Kiai bunuh.”
“Ia membunuh diri. Tetapi
agaknya masih ada tiga empat orang lagi di padepokan ini. Mereka tidak
mengikuti gerakan pasukannya turun untuk menghancurkan kelompok-kelompok kecil
di lereng Merapi.”
Untara menggeram. “Mereka
tentu akan membuat onar di tempat lain. Aku harus segera membuat laporan ke
Pajang dan menghubungi senapati di daerah lain, di sekitar daerah ini.”
“Ada baiknya, Anakmas. Sekarang,
sebaiknya Anakmas melihat-lihat apa saja yang ditinggalkan oleh orang-orang
Tambak Wedi selain beberapa sosok mayat.”
“Mayat?”
“Ya. Agaknya mereka yang
terluka dan sempat dibawa mundur oleh kawan-kawannya. Tetapi nyawanya ternyata
sudah tidak tertolong lagi. Meskipun demikian, masih ada beberapa di antara
mereka yang hidup.”
“Tidak banyak artinya. Hanya
pemimpin-pemimpin mereka sajalah yang mengetahui serba sedikit tentang gerakan
mereka itu. Yang lain adalah orang-orang yang berada sepenuhnya di bawah
perintah.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi ia berkeinginan untuk mengajukan beberapa pertanyaan
kepada mereka tentang tombak pusaka itu, meskipun agaknya mereka juga tidak
banyak mengetahuinya.
Namun dalam pada itu, Untara
pun kemudian membawa beberapa orang pengawal memasuki padepokan Tambak Wedi
yang sudah tua itu. Dengan teliti, ia memeriksa semua yang tersisa.
Barang-barang yang tidak terbawa dan beberapa sosok mayat. Sedangkan yang masih
hidup, langsung berada di bawah pengawasannya dan menjadi tawanan perang.
“Mayat-mayat itu harus
dikuburkan,” berkata Untara kepada para pengawalnya, yang kemudian memanggil
beberapa orang prajurit untuk melakukannya.
Mereka tidak sempat membawa
mayat-mayat itu ke kuburan. Karena itu, maka mayat-mayat itu dikuburkan saja di
halaman belakang dari padepokan Tambak Wedi yang tua itu.
“Tidak ada yang perlu aku
kerjakan lagi di sini, Kiai,” berkata Untara. “Aku menyesal bahwa aku
terlambat. Dan aku tidak akan dapat mengikuti tujuan mereka yang tidak pasti.
Mereka tentu akan membelit Gunung Merapi dan menghilangkan jejak di dalam hutan
yang lebat. Karena itu, aku kira tidak akan banyak gunanya sekarang untuk
menyusul mereka. Tetapi aku akan membuat laporan terperinci.”
Ketiga orang tua itu pun
mengangguk-angguk.
“Aku akan segera kembali ke
Jati Anom,” berkata Untara selanjutnya. “Aku masih harus mengurus
gerombolan-gerombolan kecil yang sudah aku lucuti senjatanya.”
“He?” ketiga orang tua itu
hampir berbareng berdesis.
“Aku sudah memerintahkan agar mereka
meletakkan senjata. Mumpung waktunya tepat. Jika aku tidak bertindak sekarang,
maka aku tidak akan mendapat kesempatan lagi, secepatnya untuk melucuti mereka
dan menahan beberapa orang pemimpinnya.”
“Apakah yang akan Angger
lakukan?”
“Aku harus mendapatkan
keterangan yang lengkap dari setiap kelompok. Aku harus tahu betul setiap nama,
setiap tempat tinggal, dan ciri-ciri yang ada pada mereka, sehingga dengan
mudah aku dapat menguasainya, jika mereka melanggar perintah-perintahku.”
“Apakah para pemimpinnya akan
menjalani hukuman?”
“Aku akan memikirkannya.
Tetapi aku belum mengambil keputusan ke arah itu. Agaknya aku masih condong
pada memberikan peringatan keras dan yang terakhir.”
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Mereka kenal sikap Untara sebaik-baiknya.
Juga terhadap gerombolan itu, ketiga orang tua itu dapat mengerti, bahwa Untara
harus mempergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya.
Demikianlah, maka prajurit
Pajang itu pun segera mempersiapkan diri untuk meninggalkan padepokan itu.
Semua yang dapat mereka bawa sebagai bahan penyelidikan lebih lanjut, telah
mereka siapkan. Barang-barang yang tertinggal dan orang-orang yang masih hidup.
Beberapa jenis senjata dan barang-barang yang agaknya diperoleh dengan jalan kekerasan.
Sejenak kemudian, maka pasukan
Pajang itu pun telah meninggalkan Tambak Wedi. Matahari sudah bertengger di
langit dengan sinarnya yang cerah. Dedaunan yang basah oleh embun nampak
lembut, terasa betapa segarnya udara pagi di pegunungan.
Prajurit-prajurit yang lelah
itu berjalan menuruni tebing. Sekali-sekali nampak di antara mereka menutup
mulutnya yang sedang menguap. Namun nampaknya masih tetap dalam kesiagaan
sepenuhnya.
Dalam pada itu, bersama dengan
terbitnya matahari, kegemparan dan ketegangan telah mencengkam penduduk di
lereng sebelah timur Gunung Merapi. Penduduk yang bertanya-tanya dengan
ketakutan di malam hari, mendengar teriakan dan sorak yang menegangkan di
tengah bulak, dengan ngeri dapat menyaksikan apa yang telah terjadi, meskipun hanya
tinggal bekas-bekasnya saja.
Tatapi mereka tidak dapat
mendekati arena. Para prajurit Pajang berjaga-jaga dengan teliti, agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Apalagi ketika pasukan yang
turun dari Tambak Wedi itu mendekat. Maka mereka yang melihat bekas-bekas
pertempuran itu dari kejauhan segera menyibak. Bahkan ada di antara mereka yang
dengan ketakutan, lari pulang ke rumahnya.
Yang terjadi benar-benar telah
menggoncangkan lereng Gunung Merapi. Yang melihat pasukan Pajang lewat, tetapi
belum mendengar pertempuran yang telah terjadi, bertanya-tanya di dalam hati.
Tetapi berita tentang peperangan itu merambat demikian cepatnya.
“Untara telah menangkap semua
orang, yang termasuk dalam gerombolan-gerombolan penjahat di lereng Gunung Merapi,”
desis seseorang.
“Apakah artinya akan
sebaliknya dari harapan kita, karena sisanya menumpahkan kemarahan kepada
kita?” sahut yang lain.
“Pasukan Pajang telah membantu
mereka menghadapi orang-orang Tambak Wedi,” berkata seseorang yang mendengar cerita
dari prajurit Pajang yang sudah dikenalnya.
“Dari mana kau tahu?”
Orang itu pun segera bercerita
tentang pertempuran itu menurut pendengarannya.
Kawan-kawannya
mengangguk-angguk. Seorang yang bertubuh gemuk berdesis, “Kenapa Untara masih
melindungi mereka?”
“Masih ada harapan, bahwa
mereka akan dapat menjadi orang yang baik dan berguna.”
Yang lain masih saja
mengangguk-angguk. Seorang yang kurus berkata, “Senapati muda itu orang yang
keras, tetapi cukup bijaksana.”
Ketika orang yang bercerita tentang
pertempuran itu berpaling, dilihatnya orang yang kurus itu memandanginya. Namun
ia sama sekali tidak berkata apa pun lagi karena ia tahu, bahwa di antara
anggota gerombolan itu, terdapat saudara sepupu orang yang bertubuh kurus itu.
Sejenak kemudian, Untara telah
mengeluarkan beberapa perintah. Menyingkirkan mereka yang terbunuh dan
menguburkannya. Sedang prajurit-prajurit Pajang yang gugur, harus mereka bawa
kembali ke Jati Anom. Dengan upacara keprajuritan, mereka akan dilepaskan ke
makam yang khusus diperuntukkan bagi mereka.
Sedangkan mereka yang telah
dilucuti senjatanya itu pun harus ikut serta bersama Untara dan pasukannya ke
Jati Anom. Mereka akan mendapat penjelasan, apakah yang akan berlaku atas
mereka itu. Beberapa orang di antara mereka telah mendapat ijin untuk merawat
kawan-kawan mereka yang terbunuh dan yang terluka.
Dengan demikian, maka
iring-iringan yang panjang telah melalui jalan di sepanjang bulak dan padesan,
menuju ke Jati Anom.
Selagi Untara sibuk dengan
pasukannya dan para tawanannya, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita,
berjalan di paling belakang dari iring-iringan itu. Ada yang tidak mereka
katakan kepada Untara, bahwa ciri-ciri yang terdapat pada tubuh Kiai Kalasa
Sawit dan berbagai macam senjata anak buahnya itu mempunyai arti tersendiri
bagi mereka bertiga dan bagi Mataram.
“Tidak ada tanda-tanda serupa
itu pada Kiai Jalawaja,” berkata Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
“Aku pun telah memperhatikan
dengan saksama,” berkata Kiai Gringsing, “sebelum mayatnya disiapkan untuk
dikubur. Tetapi aku tidak menemukan apa pun, juga pada tubuh dan
perlengkapannya. Ikat pinggang, ikat kepala dan yang lain-lain.”
“Agaknya mereka terdiri dari
beberapa golongan yang bergabung menjadi satu. Tetapi inti dari kekuatan mereka
justru ada pada Kiai Kalasa Sawit,” sambung Ki Waskita.
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Mengagumkan sekali. Dari manakah mereka dapat
mengumpulkan orang-orang yang memiliki ilmu yang demikian mengagumkan. Tidak
banyak orang yang memiliki ilmu seperti Kiai Jalawaja, Panembahan Alit, dan
Panembahan Agung. Orang-orang yang pernah kita jumpai dalam berbagai keadaan,
yang melingkar pada persoalan yang sama.”
“Jika mereka bergerak pada
saat yang bersamaan, maka agaknya Pajang dan sekaligus Mataram akan mengalami
kesulitan. Kecuali jika Pajang sempat mengumpulkan pasukan dari pesisir di
bawah pimpinan para adipati, yang pada umumnya memiliki ilmu yang seimbang,”
sahut Ki Sumangkar.
“Tetapi, tentu sulit untuk
berbuat demikian. Mereka masing-masing mempunyai kepentingan yang sama,
sehingga sebenarnya di antara mereka pun telah tumbuh semacam persaingan yang
tajam. Menurut dugaanku, seperti yang pernah kita perbincangkan, bahwa satu
dari kedua pusaka yang hilang itu dibawa ke barat, dan yang lain lewat lereng
Gunung Merapi sebelah timur, adalah ujud dari sikap yang saling tidak percaya
di antara mereka itu,” desis Ki Waskita.
“Ya,” Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar hampir bersamaan menyahut, sambil mengangguk-angguk.
Demikianlah, maka perjalanan
itu pun menjadi semakin dekat dengan Jati Anom. Pasukan berkuda yang telah
mendahului, telah menyiapkan penampungan bagi para tawanan itu.
Ternyata prajurit Pajang telah
membawa tawanan dari berbagai tingkat. Tawanan yang mereka dapatkan dari antara
orang-orang Tambak Wedi, dan tawanan yang terdiri dari orang-orang lereng
Merapi sendiri. Mereka memerlukan tempat penampungan tersendiri, agar tidak
timbul persoalan di antara mereka.
Ketika iring-iringan itu
kemudian sampai di Jati Anom, maka Untara pun segera menjadi sibuk mengatur
segala sesuatunya. Para senapati hilir-mudik dengan tugas masing-masing.
Sementara para prajurit pun telah dibagi dalam kewajiban mereka
sendiri-sendiri.
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita sajalah yang nampaknya dibiarkan duduk di pendapa rumah Untara
tanpa kewajiban apa pun. Mereka bahkan dapat menikmati minuman panas dan
beberapa potong makanan.
“Maaf, Kiai,” berkata Untara
ketika ia kembali sejenak ke rumahnya itu, “aku tidak dapat menemui Kiai bertiga.
Masih ada beberapa tugas yang harus aku selesaikan.”
“Silahkan, Ngger,” jawab Kiai
Gringsing. “Kami akan beristirahat sambil menunggu di sini.”
“Jika Kiai bertiga memerlukan
apa pun juga, silahkan Kiai mengatakannya kepada para penjaga atau jika yang
dimaksud adalah makan atau minuman, Kiai dapat mengatakannya kepada istriku.”
“Terima kasih, Ngger, terima
kasih.”
Demikianlah, Untara sibuk
dengan tugas yang tidak dapat ditinggalkannya. Ia kemudian berada di banjar.
Setiap kali ia mengatur prajurit-prajuritnya dalam kewajibannya masing-masing.
Di pendapa rumahnya, Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita ternyata telah sibuk dengan pembicaraan
mereka tentang orang-orang Tambak Wedi. Terutama mengenai tombak yang telah
mereka lihat di antara orang-orang yang singgah di Tambak Wedi untuk beberapa
saat itu.
“Jika kita tidak segera
berbuat sesuatu, maka mereka tentu akan menjadi semakin jauh,” berkata Ki
Waskita, “sehingga pada suatu saat kita akan benar-benar kehilangan.”
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
Lalu katanya, “Tentu ada tempat tertentu yang telah mereka sepakati bersama,
untuk menyatukan kedua pusaka yang terpisah itu,” desis Kiai Gringsing.
“Mungkin, Kiai. Tetapi mungkin
tempat itu terlampau jauh dari Mataram,” sahut Ki Sumangkar.
“Ada firasat yang mengatakan
kepadaku, bahwa mereka tidak akan pergi terlampau jauh,” berkata Kiai Gringsing
kemudian, “Bahkan mereka akan berada di sekitar istana Pajang. Mereka tentu
masih akan melengkapi pusaka-pusaka yang mereka dapatkan dari Mataram itu,
dengan pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang. Pusaka-pusaka yang tidak kalah
nilainya, dan merupakan kelengkapan hadirnya wahyu kraton.”
“Kiai Sangkelat, Kiai
Nagasasra, dan Kiai Sabuk Inten?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing mengangguk kecil.
Katanya, “Mungkin masih ada yang lain. Tetapi ketiga pusaka itulah yang pernah
menjadi sumber persoalan pada masa akhir pemerintahan Demak, terutama Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten, sehingga melibatkan beberapa orang yang
memiliki ilmu yang pilih tanding dari beberapa daerah yang jauh.”
“Apakah persoalan itu agaknya
akan terulang kembali?” bertanya Ki Waskita.
“Ternyata yang telah lebih
dahulu dikuasai oleh orang-orang yang menginginkan wahyu kraton Majapahit
adalah Kiai Plered dan Kiai Mendung. Tetapi agaknya masih akan datang saatnya
pusaka-pusaka kraton yang lain menjadi sasaran mereka pula.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Desisnya, “Beberapa orang telah menyalahkan ananda Arya
Penangsang yang gagal dalam perjuangannya merebut tahta Demak, karena
orang-orang itu menganggap bahwa ia terlalu tergesa-gesa. Jika ia lebih dahulu
berbasil menguasai gedung perbendaharaan pusaka Demak, yang kemudian berhasil
diboyong ke Pajang, maka ia tidak akan mengalami kegagalan seperti yang
terjadi.” Ki Sumangkar berhenti sejenak, lalu, “Tetapi, agaknya Arya Penangsang
lebih senang mengambil jalan yang menurut pendiriannya adalah memintas. Namun
akhirnya ia gagal. Pusakanya Brongot Setan Kober dan kudanya Gagak Rintang
tidak dapat membantunya menerima kedudukan tertinggi di tanah ini.”
“Dan perang saudara itu
sungguh-sungguh mengerikan. Bukan saja perang antara sesama kita, tetapi
benar-benar antara saudara sepupu.”
Ki Sumangkar mengangguk.
Jawabnya, “Ya. Tidak ada keuntungan yang dapat dipetik dari pertumpahan darah
antara saudara sendiri. Antara sesama kita dan antara pendukung orang yang
berbeda, namun lingkungan yang sama pula.”
“Kesalahan itulah yang telah
melibatkan nenek dan kakek kita dalam perang yang berlarut-larut. Sejak jaman
dahulu kala. Bergesernya pusat pemerintahan dari pusar pulau ini ke timur.
Kemudian kembali bergeser ke tengah, merupakan pertanda yang pahit dari
perebutan kekuasaan itu. Dan agaknya sampai saat ini masih saja nampak
gajala-gejalanya. Hilangnya pusaka-pusaka itu membuat kita menjadi sangat
cemas, bahwa perang yang demikian akan terulang kembali,” gumam Ki Waskita.
“Usaha-usaha yang mencemaskan
telah nampak. Dan kita tidak dapat berbuat banyak,” berkata Kiai Gringsing.
Kemudian, “Kita tidak dapat mengatakan kepada pimpinan di Pajang, bahwa kedua
pusaka itu telah hilang. Dan dengan demikian Pajang harus memperketat
pengawasannya terhadap Gedung Perbendaharaan pusaka-pusaka itu.”
“Ya. Kita tidak dapat berbuat
demikian,” desis Ki Sumangkar pula.
Ketiga orang tua itu
mengangguk-angguk. Ada kecemasan di dalam hati mereka, justru karena mereka
mengetahui bahaya yang seolah-olah sedang merayap, menerkam kekuasaan yang ada.
Pajang agaknya telah benar-benar goncang. Jika pada suatu saat ketidak-puasan
terhadap Sultan itu merambat kepada para Adipati di pesisir, maka akan tumbuh
malapetaka yang besar. Sedangkan Mataram masih sedang tumbuh, dan masih belum
mendapat bentuk yang mantap. Apalagi dengan hilangnya kedua pusaka, yang oleh
Sultan Pajang diserahkan kepada putra angkatnya, Sutawijaya yang kemudian
bergelar Senapati Ing Ngalaga, yang berkedudukan di Mataram.
Demikianlah, maka ketiganya
pun kemudian berbicara tentang berbagai macam persoalan yang langsung atau
tidak langsung menyangkut perkembangan Mataram, setelah kedua pusaka itu hilang.
Mereka mencoba mencari-cari setiap hubungan atas hilangnya pusaka itu, dengan
setiap kemungkinan yang dapat mereka dengar tentang kesetiaan para pejabat di
Pajang sendiri.
“Suatu kerja yang panjang,”
berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak akan dapat kita lakukan dalam satu dua
bulan, bahkan mungkin satu dua tahun. Kita tidak tahu, di mana Ralen Sutawijaya
itu kini berada. Mungkin Radan Sutawijaya telah mendapatkan bahan-bahan yang
lain tentang hilangnya kedua pusakanya. Tetapi mungkin Raden Sutawijaya justru
sedang berada di lembah-lembah dan hutan-hutan lebat di lereng Pegunungan
Sewu.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Mungkin sekali. Agaknya Raden Sutawijaya
mempunyai kebiasaan antara ayahanda angkatnya, Sultan Hadiwijaya, dan ayahandanya,
Ki Gede Pemanahan. Seorang yang suka sekali menyepi, menempuh perjalanan untuk
mendapatkan pengalaman dan ilmu. Tetapi juga seperti Sultan Hadiwijaya, ia
adalah seorang anak muda yang mudah sekali tersentuh perasaannya melihat
kecantikan seorang gadis.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Suatu gabungan sifat yang agak bertentangan. Tetapi
agaknya memang dapat terwujud di dalam diri Raden Sutawijaya.”
“Dengan demikian, apakah yang
sebaiknya kita lakukan?” bertanya Ki Sumangkar.
“Sekali-sekali kita pergi ke
Mataram. Mungkin kita mendengar sesuatu tentang Raden Sutawijaya, sehingga kita
akan dapat sepera menghubunginya, dan memberitahukan penglihatan kita atas
kedua pusaka itu.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Sementara itu, kita
dapat ikut menyelenggarakan perkawinan Swandaru, yang sudah menjadi semakin
dekat.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
mengangguk-angguk.
“Ya,” desis Ki Sumangkar,
“hampir aku lupa. Dalam waktu dakat, Sangkal Putung akan menyelenggarakan
perelatan perkawinan Angger Swandaru.”
“Suatu selingan yang baik,”
berkata Ki Waskita sambil tersenyum, “namun kita tidak akan dapat melepaskan
sama sekali setiap hubungan persoalan yang sedang terjadi sekarang ini. Baik di
Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung, sama sekali tidak akan
tersentuh oleh arus yang menghanyutkan pusaka-pusaka itu. Tetapi mungkin
berbeda dengan tlatah Menoreh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Meskipun Menoreh mempunyai kekuatan yang cukup dengan
anak-anak muda yang telah terlatih sebagai pengawal Tanah Perdikan, yang tidak
jauh berbeda dengan suasana keprajuritan, namun jika di daerah itu hadir Kiai
Kalasa Sawit dengan kekuatan yang sama seperti pasukan Kiai Jalawaja, maka
Menoreh harus berjuang sekuat-kuatnya untuk mempertahankan diri. Meskipun
mungkin mereka berhasil mengusir kekuatan sebesar itu, tetapi korbannya tentu
tidak terbilang.
“Mudah-mudahan, hari-hari
perkawinan itu dapat berlangsung tanpa gangguan apa pun. Setelah hari itu
terlampaui, maka baiklah kita kembali turun ke gelanggang. Bahkan mungkin
dengan anak-anak kita, dan sepasang pengantin baru itu,” gumam Kiai Gringsing.
Namun dalam pada itu, setiap
kali mereka membicarakan perkawinan Swandaru, terasa sesuatu tergetar di hati
Ki Waskita. Seolah-olah Ki Waskita melihat kabut yang suram membayang di wajah
kedua pengantin itu. Namun rasa-rasanya Ki Waskita melihat bayangan itu jauh
sekali, di antara awan yang kehitam-hitaman.
“Ah,” Ki Waskita tiba-tiba
saja menundukkan kepalanya.
“Apakah Ki Waskita melihat
sesuatu?” tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya. Sebagai seorang yang memiliki
penglihatan yang tajam, meskipun berbeda ujudnya dengan penglihatan atas
isyarat seperti yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita, namun Kiai Gringsing
dapat menangkap sesuatu di wajah Ki Waskita itu.
Demikian juga agaknya Ki
Sumangkar, sehingga di luar sadarnya Ki Sumangkar pun bertanya, “Apakah yang
kau lihat, Ki Waskita?”
Ki Waskita menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Tidak. Aku terlalu dipengaruhi oleh pertempuran yang baru
saja berlangsung.”
Tetapi Kiai Gringsing
berdesis, “Ada sesuatu yang tergerak di hati Ki Waskita.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku menjadi cemas, bahwa perkawinan itu dapat terganggu
karenanya. Tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa aku adalah seseorang yang
terlampau banyak menghubung-hubungkan peristiwa dengan peristiwa yang
kadang-kadang, seolah-olah aku lihat sebagai isyarat. Tetapi aku dapat keliru.”
Kedua orangtua itu pun
mengangguk-angguk. Namun betapapun juga mereka menangkap kecemasan di hati Ki
Waskita, yang agaknya melihat sesuatu yang kurang cerah. Tetapi agaknya Ki
Waskita masih belum dapat mengatakan dengan terbuka.
Namun justru karena itu,
timbullah berbagai macam dugaan di hati Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar, yang telah cukup matang dalam sikap itu, tidak mendesak Ki
Waskita. Mereka mengangguk-angguk tanpa sesadarnya. Meskipun demikian, mereka
seakan-akan melihat pula kabut yang buram itu membayang.
Karena itu pulalah agaknya,
maka Kiai Gringsing justru menjadi semakin didesak oleh suatu keinginan untuk
segera kembali ke Sangkal Putung. Rasa-rasanya ia ingin berada di dekat
muridnya, khususnya Swandaru yang akan melangsungkan hari perkawinannya dalam
bayangan kecemasan.
“Ki Waskita,” berkata Kiai
Gringsing, “rasa-rasanya aku ingin terbang ke Sangkal Putung saat ini.”
“Mungkin sikapku telah
mempengaruhi perasaan Kiai. Maaf, aku sama sekali tidak bermaksud membuat kesan
apa pun atas Angger Swandaru.”
“Tidak, Kiai. Tetapi
seandainya memang demikian sehingga aku menjadi tergesa-gesa pergi ke Sangkal
Putung, sama sekali bukan salah Ki Waskita. Apa pun yang terjadi, akan terjadi.
Jika Ki Waskita melihat isyarat apa pun, itu adalah isyarat. Bukan isyarat
itulah yang menyebabkan yang terjadi itu kemudian terjadi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Nah, Ki Waskita,” berkata
Kiai Gringsing pula, “apakah kita pada hari ini dapat minta diri dan pergi ke
Sangkal Putung?”
“Aku kira tidak ada salahnya,”
sahut Ki Waskita, “persoalan kita sudah selesai di sini. Dan agaknya Angger
Untara tinggal menghadapi penyelesaian menurut ketentuan yang ada dalam
lingkungan keprajuritan Pajang, sehingga kita memang tidak dapat berbuat
apa-apa di sini.”
“Baiklah,” sahut Kiai
Gringsing, “kita akan minta diri.”
“Angger Untara tentu tidak
akan terlalu lama,” berkata Ki Sumangkar pula. “Rasa-rasanya memang sudah
terlalu lama kita berada di Jati Anom.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
pun mengerti pula, bahwa tentu Ki Sumangkar pun mencemaskan satu-satunya
muridnya, Sekar Mirah. Yang hubungannya dengan Agung Sedayu menjadi jelas dalam
kesamarannya.
“Angger Untara ingin adiknya
ada di Jati Anom,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Itu pun
menggelisahkan pula. Karena hubungan kakak beradik itu akan dapat menjadi
renggang, jika sikap mereka tidak seimbang.”
Namun ketiga orang tua itu pun
kemudian sepakat untuk minta diri kepada Untara. Selain kehadiran mereka di
Jati Anom memang tidak akan dapat memberikan bantuan bagi penyelesaian
persoalan para tawanan dan hubungan antara prajurit Pajang dengan mereka, yang
oleh Untara digolongkan pada orang-orang yang masih mungkin mendapat tempat di
dalam lingkungannya, mereka juga merasa mempunyai kewajiban yang harus mereka
lakukan di Sangkal Putung.
Seperti yang diduga oleh Ki
Sumangkar, maka Untara memang tidak terlalu lama kemudian telah datang kembali
ke rumahnya. Sambil mengusap keringat di keningnya dengan lengan bajunya, ia
pun kemudian duduk pula bersama ketiga orang tua itu di pendapa.
“Semuanya akan mendapat penyelesaian
sawajarnya,” berkata Untara.
“Bagaimana dengan orang-orang
lereng Merapi itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku masih mempunyai harapan,
bahwa mereka akan dapat hidup baik. Mereka yang bukan termasuk pimpinan pada
gerombolan-gerombolan itu, akan segera aku lepaskan hari ini, setelah aku
berikan nasehat-nasehat tetapi juga ancaman-ancaman. Sedang para pemimpinnya,
masih akan aku bawa berbicara langsung untuk mencari pemecahan. Tetapi mereka
pun akan segera aku perbolehkan kembali ke rumah masing-masing. Tetapi juga
dengan ancaman-ancaman yang benar-benar akan aku lakukan jika mereka
melanggarnya. Sedang orang-orang yang kami tangkap dari antara orang-orang yang
berada di Tambak Wedi, akan kami bawa ke Pajang dan kami serahkan kepada
kebijaksanaan para senapati di Pajang.”
“Apakah ada di antara mereka
yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk serba sedikit, untuk menyingkap rahasia
dari gerombolan yang berada di Tambak Wedi?” bertanya Ki Sumangkar.
Ki Untara menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Tidak ada apa-apa yang mereka ketahui. Mereka hanyalah
sekedar orang-orang yang terseret oleh arus yang tidak mereka mengerti, dengan
sedikit harapan oleh janji-janji yang diberikan para pemimpin garombolan itu.
Tetapi satu hal yang dapat kami tangkap dari keterangan mereka yang sedikit
itu, bahwa gerombolan itu bukannya gerombolan penjahat yang sewajarnya.”
“Lalu?”
“Mereka mempunyai tujuan yang
lebih berharga dari perampokan di sepanjang perjalanan mereka, karena mereka
menyebut-nyebut suatu keinginan untuk memperoleh kedudukan dalam pimpinan
pemerintahan dan keprajuritan.”
“Mereka akan melawan
pemerintahan Pajang?”
“Menurut nada keterangan yang
tidak jelas dari mereka yang tertangkap hidup, adalah demikian.”
Kiai Gringsing, Ki Sumangkar,
dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Bagi mereka menjadi semakin jelas, bahwa
tombak yang mereka lihat itu tentu Kanjeng Kiai Pleret, yang mereka ambil dari
perbendaharaan pusaka di Mataram.
Tetapi mereka bertiga tidak
dapat mengatakannya demikian.
Bahkan sejenak kemudian, setelah
mereka berbincang panjang lebar, dan setelah Untara mempersilahkan tamunya
makan bersamanya dan menyatakan untuk segera kembali kepada tugasnya di banjar,
ketiga orang-orang tua itu justru minta diri kepadanya.
“Begitu tergesa-gesa, Kiai?
Kiai tentu lelah. Sebaiknya Kiai bertiga beristirahat barang satu dua hari di
sini.”
“Terima kasih, Ngger. Sangkal
Putung tidak begitu jauh dari sini.”
Untara mengangguk-angguk.
Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh dari Jati Anom. Apalagi apabila mereka
pergi berkuda, maka mereka akan segera sampai di Kademangan Sangkal Putung dan
beristirahat sepuas-puasnya tanpa memikirkan tawanan-tawanan yang masih harus
diselesaikan.
“Baiklah, Kiai,” berkata
Untara kemudian, “jika Kiai bertiga ingin segera pergi ke Sangkal Putung, maka
sudah barang tentu aku tidak dapat menahannya.”
“Tetapi, Angger,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “sebelum aku pergi, apakah Angger mengijinkan kami bertiga
untuk bertemu dengan tiga orang yang kami ketemukan terluka parah di padepokan
Tambak Wedi?”
Untara mengerutkan keningnya.
Lalu, “Apakah kepentingan Kiai dengan mereka?”
“Aku telah mengobati mereka.
Apakah ada manfaatnya, aku ingin melihatnya.”
“O,” Untara mengangguk-angguk,
“silahkan, Kiai. Mereka berada di banjar. Nanti aku antarkan Kiai menemui
mereka.”
“O tidak, Ngger. Tidak perlu.
Biarlah kami pergi saja ke banjar. Aku harap jika Angger mengijinkan, para
penjaganya pun tidak akan berkeberatan,” sahut Kiai Gringsing. “Sementara ini
biarlah Angger Untara beristirahat. Kami hanya sebentar, karena kami akan
segera kembali ke Sangkal Putung.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing bertiga memerlukan pergi ke banjar meskipun hanya sebentar. Mereka
berusaha menjumpai tiga orang yang telah ditolongnya di padepokan Tambak Wedi.
Agaknya para petugas pun tidak
berkeberatan apa pun, karena mereka kenal siapakah Kiai Gringsing dan kedua
kawannya itu.
Ketiga orang itu pun kemudian
berjongkok di samping tubuh yang terbaring di atas tikar, di ruang belakang
banjar kademangan. Beberapa orang yang lain nampak terbaring pula
berjajar-jajar. Sementara para penjaga berdiri di pintu dengan senjata di
tangan.
“Ki Sanak,” bisik Kiai
Gringsing di telinga salah seorang dari ketiga orang yang terluka itu, “apakah
badanmu sudah merasa agak baik?”
“Ya, Kiai,” jawab orang itu.
“Obat Kiai memberikan banyak sekali pertolongan pada luka-lukaku. Bahkan
perasaan pedihnya pun menjadi jauh berkurang.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk.
“Ki Sanak, apakah kau sudah
lama berada di dalam lingkungan anak buah Kiai Kalasa Sawit?”
Orang itu menggeleng.
Jawabnya, “Belum terlalu lama. Aku terseret oleh beberapa anak muda di
padukuhanku.”
“Kau berasal dari mana?”
“Jipang.”
“Jipang?” desis Ki Sumangkar.
“Ya. Beberapa orang anak-anak
muda dari padukuhan kami telah menyatukan diri dengan perjuangan untuk
menegakkan kembali kejayaan Majapahit.”
“Siapakah yang mengatakan
kepada kalian?”
“Kiai Kalasa Sawit.”
“Apakah kau tahu arti dari
perjuangan itu?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia menggelengkan kepalanya. Jawabnya, “Yang aku ketahui
adalah, bahwa jika perjuangan itu berhasil, maka kami akan mendapatkan
kedudukan yang baik pada pemerintahan Majapahit kedua kelak.”
“Apakah kebanyakan
kawan-kawanmu datang dari Jipang?”
“Tidak. Ada yang berasal dari
Pajang, dari Demak, dan bahkan dari pesisir. Kebanyakan anak buah Kiai Jalawaja
berasal dari pesisir utara.”
“Ki Sanak,” desis Kiai
Gringsing kemudian, “apakah kau mengetahui, apakah yang telah diselongsongi
dengan kain putih, dikawal oleh tiga orang yang bertubuh raksasa, pada saat
Kiai Kalasa Sawit meninggalkan Tambak Wedi?”
“Tombak, maksud Kiai?”
“Ya, Tombak itu.”
Dengan penuh harap Kiai
Gringsing menunggu keterangan orang yang terluka itu. Namun ia menjadi kecewa
ketika ia melihat orang itu menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Yang aku
ketahui, tombak itu adalah tombak yang sangat berharga. Aku tidak tahu, milik
siapakah tombak itu. Tiba-tiba saja pusaka yang sangat dihormati itu telah
berada di antara kita. Pusaka yang selalu dikawal dengan kuat dan diawasi
langsung oleh Kiai Kalasa Sawit dan orang-orang yang sangat dipercayainya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Dari sorot matanya, Kiai Gringsing mengetahui bahwa orang itu
menjawab dengan jujur, sehingga dengan demikian Kiai Gringsing pun percaya,
bahwa tidak banyak orang yang mengetahui tentang pusaka itu. Selain mereka yang
sangat dipercaya oleh Kiai Kalasa Sawit, dan mungkin orang-orang yang justru
lebih berpengaruh daripadanya, karena Kiai Gringsing pun yakin, bahwa Kiai
Kalasa Sawit bukan orang pertama pada lingkungannya.
Kiai Gringsing dan kedua orang
kawannya pun kemudian meninggalkan orang itu, kembali ke rumah Untara.
Betapapun juga mereka tidak akan mendapatkan keterangan lebih banyak tentang
tombak itu. Apalagi suatu kepastian, bahwa tombak itu memang Kanjeng Kiai
Pleret yang telah hilang dari Mataram.
Demikianlah, seperti yang
sudah dikatakan kepada Untara, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun
segera minta diri dan meninggalkan Jati Anom. Seperti pada saat mereka pertama
kali pergi ke Jati Anom dari Sangkal Putung, maka mereka pun berjalan kaki,
karena mereka tidak mau membawa kuda dari Jati Anom.
“Di sini kuda itu sangat
diperlukan, meskipun banyak jumlahnya,” berkata Kiai Gringsing, “apalagi belum
pasti kapan aku dapat mengembalikannya.”
Ki Untara mengangguk-angguk.
Ia mengerti bahwa mungkin ketiga orang-orang tua itu baru akan kembali ke Jati
Anom untuk waktu yang lama. Karena itu maka jawabnya, “Baiklah, Kiai. Jika Kiai
memang ingin berjalan-jalan sambil menikmati segarnya udara pinggir hutan
rindang itu.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Mudah-mudahan tugas Angger cepat selesai. Para tawanan itu akan dapat
segera disalurkan sesuai dengan keadaan dan tingkat mereka masing-masing.”
“Ya, Kiai. Sebagian masih
dapat diharapkan kembali pada lingkungannya. Terutama mereka yang selama ini
menjadi benalu di lereng Merapi. Tetapi orang yang kami tangkap dari lingkungan
pasukan Kiai Kalasa Sawit, tetap akan kami serahkan kepada kebijaksanaan
pimpinan keprajuritan di Pajang.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera mohon diri, juga kepada para
senapati dan prajurit yang berada di rumah Untara. Mereka meninggalkan Jati
Anom untuk pergi ke Sangkal Putung, karena di Sangkal Putung tugas yang lain
agaknya telah menunggu.
“Orang-orang tua yang luar
biasa,” desis Untara sepeninggal ketiga orang tua itu.
Seorang senapati muda menarik
nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mengherankan sekali. Seolah-olah umur
mereka sama sekali tidak mempengaruhi jasmani mereka.”
“Tentu ada pengaruhnya,”
berkata Untara.
“Jika demikian, betapa
dahsyatnya mereka di masa muda.”
“Tentu tidak sedahsyat
sekarang.”
Senapati muda itu menjadi
bingung. Namun Untara pun menjelaskan, “Di saat mereka masih muda, tenaga
jasmaniah mereka memang lebih baik dari sekarang. Tetapi ilmu mereka tentu
belum sematang sekarang. Sedangkan sekarang, di saat tenaga jasmaniah mereka
mulai surut, mereka telah berhasil mematangkan ilmu mereka dan penguasaan
tenaga cadangan di dalam diri mereka. Itulah sebabnya, nampaknya mereka justru
menjadi semakin kuat dan tangkas. Apabila ada seseorang yang di masa mudanya
dapat menguasai kemampuan dan kematangan ilmu seperti mereka bertiga, maka ia
adalah orang yang tidak terkalahkan.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Tetapi,
di dunia ini tidak ada orang yang tidak terkalahkan, karena betapapun kuatnya
seseorang, namun ia tentu memiliki kelemahan-kelemahannya masing-masing.”
Senapati muda itu
mengangguk-angguk. Namun betapapun juga, ia tetap mengagumi ketiga orang-orang
tua yang seolah-olah sama sekali tidak merasa lelah dan letih, meskipun mereka
terlibat dalam pertempuran yang dahsyat di antara prajurit-prajurit Pajang.
Dalam pada itu, Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, telah menjadi semakin jauh dari Jati
Anom. Mereka merasa udara di bulak persawahan memang menjadi segar. Apalagi
jika mereka nanti memasuki bayangan rimbunnya dedaunan di pinggir hutan
rindang.
Memang kadang-kadang terasa
juga, bahwa segarnya udara justru membuat mereka merasa letih, seolah-olah
mereka justru ingin berhenti dan duduk saja di bawah sebatang pohon yang
rimbun, kemudian bersandar batangnya sambil terkantuk-kantuk. Namun mereka
sudah terlalu biasa menguasai diri sendiri dan mengesampingkan perasaan letih,
dan terlebih-lebih lagi adalah perasaan segan untuk berbuat sesuatu karena
keletihan itu.
Karena itu, maka mereka masih
tetap berjalan, bahkan semakin cepat agar mereka segera sampai ke Jati Anom.
Namun dalam pada itu terdengar
Kiai Gringsing berdesis, “Aku menjadi berdebar-debar, ketika aku minta diri
kepada Angger Untara.”
“Kenapa?” bertanya Ki
Sumangkar.
“Aku sudah terngiang
pertanyaannya mengenai Agung Sedayu.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
tersenyum.
“Aku menduga, bahwa Angger
Untara akan berpesan kepadaku, agar besok, selambat-lambatnya lusa, Agung
Sedayu harus sudah berada di Jati Anom.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin ia berniat untuk berpesan, begitu kepada
Kiai. Tetapi karena kesibukannya, badannya, dan juga pikirannya, maka ia telah
terlupa.”
“Tetapi itu bukan berarti
bahwa ia akan lupa untuk seterusnya,” sambung Ki Waskita.
“Itulah yang menggelisahkan.
Angger Untara menginginkan Agung Sedayu kembali ke Jati Anom dan magang menjadi
seorang prajurit. Apabila ia dapat menunjukkan kemampuannya, maka pada suatu
saat ia akan dapat menjadi seorang prajurit yang baik dalam susunan
keprajuritan Pajang, karena pada dasarnya Agung Sedayu telah memiliki kemampuan
olah kanuragan, betapapun kecilnya,” desis Kiai Gringsing. “Tetapi menurut
pengamatanku, Agung Sedayu tidak akan dapat menjadi seorang prajurit seperti
Angger Untara. Agung Sedayu yang dipengaruhi sifat-sifat masa kanak-kanaknya,
tidak dapat mengambil keputusan dengan cepat dan tegas seperti kakaknya. Ia
terlalu banyak menimbang-nimbang dan bahkan di dalam banyak hal, perasaannya
terlalu banyak berbicara.”
“Seharusnya Angger Untara
dapat mengerti,” desis Ki Waskita.
“Mungkin, Angger Untara
mengerti. Tetapi ia ingin membentuk adiknya. Mungkin ia berharap bahwa sifat
dan wataknya akan berubah, apabila ia sudah berada di dalam lingkungan
keprajuritan.”
Tetapi Kiai Gringsing
menggeleng. “Untuk mengambil keputusan, Agung Sedayu harus berpikir tiga-empat
kali. Ia mempertimbangkan pula pendapat orang lain atas tindakan yang akan diambilnya.
Bahkan kadang-kadang ia merasa telah menyinggung perasaan orang lain dalam
setiap langkahnya. Agaknya Swandaru-lah yang lebih tepat untuk menjadi seorang
prajurit. Ia mempunyai keberanian untuk menentukan sikap dan keputusan tanpa
menunggu sehingga terlambat.”
“Meskipun kadang-kadang kurang
tepat,” desis Ki Sumangkar.
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa. Katanya sambil mengangguk-angguk,
“Ya. Tetapi itu adalah akibat yang wajar dari sifat dan watak masing-masing.”
Ki Waskita yang mendengarkan
pembicaraan itu menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi, terasa sesuatu
menyentuh perasaannya, sehingga ia menjadi tertegun. Sambil menggigit bibirnya
ia menggelengkan kepalanya, seakan-akan ingin mengusir sesuatu yang nampak oleh
mata hatinya.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar menjadi heran melihat sikap Ki Waskita. Tetapi sebagai orang yang
memiliki banyak pengalaman untuk mendalami sikap dan tanggapan yang paling
dalam pada diri seseorang, maka keduanya sama sekali tidak bertanya.
Tetapi karena itu,
rasa-rasanya Ki Waskita tidak dapat menahan di dalam dadanya. Ketika ia
mengangkat wajahnya sambil menarik nafas dalam-dalam, ia pun berdesis, “Kiai
benar. Angger Agung Sedayu adalah seorang anak muda yang ragu-ragu dan penuh dengan
kebimbangan. Seperti yang pernah Kiai ceritakan, di masa kecilnya ia mempunyai
pengalaman batin yang hampir sama dengan Rudita, meskipun perkembangannya
menjadi agak berbeda, karena perbedaan dasar. Sedangkan Angger Swandaru yang
bebas dan selalu mendapatkan sesuai dengan keinginannya, justru karena ia
adalah putra seorang demang, telah mempengaruhi sifatnya pula. Dan agaknya
sifat yang demikian nampak pula pada adiknya, murid Ki Sumangkar.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Sahutnya, “Kau benar, Ki Waskita. Terasa kemanjaan semasa
kanak-kanak, bukan saja dari orang tuanya, tetapi oleh lingkungannya, membuat
mereka berdua memiliki sifat-sifat yang jauh berbeda dengan Agung Sedayu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Namun tatapan matanya kemudian seakan-akan, tersangkut di ujung awan yang
mengambang di langit yang biru. Katanya kemudian, “Karena Kiai berdua
membicarakan, sifat dan watak Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru, di luar
kemauanku, seolah-olah aku melihat, bahwa sifat dan kelakuan Angger Swandaru-lah
yang telah menumbuhkan bayangan yang suram pada masa depannya, justru setelah
hari-hari perkawinannya.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tidak menyahut. Mereka melihat Ki Waskita mengangkat wajahnya.
Kemudian menarik nafas dalam-dalam.
Namun dalam pada itu, mereka
bertiga masih tetap berjalan, meskipun menjadi agak lambat.
“Ki Waskita,” Kiai Gringsing
pun kemudian berbisik, “aku dapat menduga isyarat apakah yang Ki Waskita lihat
setelah saat perkawinan itu. Tetapi yang aku tidak dapat menduga, apakah masih
ada cara untuk mencari pemecahan. Jika yang Ki Waskita lihat, adalah apa yang
akan terjadi, maka agaknya memang sulit untuk menyusup di sela-sela keharusan
yang akan berlaku.”
Ki Waskita menarik nafas
semakin panjang, serasa ia ingin menghirup udara di seluruh bulak yang panjang.
“Kiai. Itulah kelemahanku, yang pada dasarnya adalah kelemahan manusia. Kita
memang harus menyadari, betapa dungunya kita, betapapun orang lain menganggap
kita memiliki ketajaman penglihatan dan kebijaksanaan.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar tidak menyahut.
“Kiai berdua,” berkata Ki
Waskita sambil melangkah terus perlahan-lahan. “Aku tidak mengetahui, apakah
yang aku lihat itu adalah isyarat tentang apa yang akan terjadi, atau
semata-mata karena pikiranku telah dipengaruhi oleh sentuhan pendengaranku
tentang Angger Swandaru, dan yang kemudian langsung mempengaruhi tanggapanku
atasnya dalam sentuhan isyarat.” Ki Waskita berhenti sejenak, lalu, “Tetapi
menurut pengalamanku, apa yang terasa di dalam hati ini adalah isyarat tentang
apa yang akan terjadi. Namun demikian, mudah-mudahan aku keliru, sehingga masih
ada jalan menyimpang, karena sebenarnyalah bahwa yang nampak bukanlah apa yang
akan terjadi, tetapi sekedar kegelisahan orang tua yang sudah mulai pikun.”
Terasa hati Kiai Gringsing dan
Ki Sumangkar menjadi berdebar-debar. Meskipun tidak berterus-terang, tetapi
jelas bagi keduanya, bahwa jalan hidup Swandaru agak mencemaskan hati orang
yang memiliki ketajaman penglihatan bagi masa depan itu. Dan kecemasannya itu
sejalan dengan nalar pada kedua orang yang dengan cemas mendengarkan uraiannya
yang samar-samar itu.
“Sifat-sifat Swandaru memang
kadang-kadang membuat hati ini berdebar-debar,” berkata Kiai Gringsing di dalam
hatinya.
Namun demikian, adalah
kewajiban manusia untuk berusaha. Apa yang dapat dilakukan, tentu akan
dilakukan oleh Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar atas murid-muridnya yang
memiliki sifat yang serupa.
Demikianlah, maka mereka pun
menjadi semakin dekat dengan hutan rindang yang terbentang di pinggir jalan
menuju ke Sangkal Putung. Jalan yang tidak terlalu banyak dilalui orang,
meskipun jalan itu adalah jalan memintas. Tetapi jalan itu juga tidak sepi sama
sekali. Beberapa orang nampak berkuda melalui jalan itu, berpapasan dengan Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita.
“Agaknya mereka belum
mendengar apa yang telah terjadi,” desis ketiga orang tua itu di dalam hatinya.
Karena jika demikian, mereka tentu akan menunda perjalanan mereka ke lereng
Gunung Merapi.
Tetapi, agaknya mereka telah
berjanji untuk pergi bersama-sama dalam jumlah yang cukup, untuk mengatasi
kesulitan yang dapat terjadi di sepanjang perjalanan mereka.
Ketiga orang tua itu pun
kemudian hampir tidak berbicara lagi, selain sepatah-sepatah saja. Kemudian
mereka lebih banyak merenungi hari depan murid-murid mereka, yang mempunyai
sifat yang berbeda itu. Bahkan bukan saja sifat dan wataknya, tetapi juga
lingkungan mereka, dan persoalan-persoalan yang dapat mempengaruhi jalan hidup
masing-masing.
Di perjalanan, mereka sama
sekali tidak menemui kesulitan apa pun juga. Meskipun perjalanan mereka tidak
dapat terlalu cepat, karena mereka hanya berjalan kaki saja.
Namun demikian, jarak antara
Jati Anom dan Sangkal Putung akhirnya telah mereka lintasi dengan selamat.
Dengan keringat yang membasahi pakaian, mereka memasuki halaman kademangan di
Sangkal Putung.
Kedatangan mereka segera
disambut oleh Ki Demang sekeluarga dan Agung Sedayu serta Rudita. Bahkan
beberapa orang bebahu Kademangan Sangkal Putung, yang melihat kehadiran ketiga
orang tua itu pun, ikut menyambut pula di pendapa.
Pembicaraan mereka segera
menjadi ramai. Berbagai pertanyaan telah dilontarkan mengenai perjalanan mereka
dan peristiwa yang terjadi di Jati Anom.
“Angger Untara adalah seorang
prajurit,” berkata Kiai Gringsing, “segala keputusan dan tindakannya adalah
pencerminan dari sikap dan wataknya itulah.”
Dengan singkat Kiai Gringsing
sempat menceriterakan apa yang telah terjadi di Jati Anom. Pertempuran yang
dahsyat antara prajurit Pajang di Jati Anom yang harus menghadapi kekuatan yang
tidak terduga di Tambak Wedi. Kemudian tindakan yang tepat, yang di lakukan
oleh Untara, untuk membersihkan lereng Merapi dari beberapa gerombolan
penjahat-penjahat kecil, yang selama ini dirasakannya mengganggu ketenangan.
Namun demikian, tidak semuanya
diceritakan oleh Kiai Gringsing. Ia tidak menyinggung sama sekali tentang
tombak yang dilihatnya meninggalkan padepokan itu dengan pengawalan yang sangat
kuat.
Ki Demang Sangkal Putung
mengangguk-angguk. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Syukurlah bahwa semuanya
telah selesai. Sangkal Putung memang tidak terlalu dekat dengan Jati Anom,
tetapi juga tidak terlalu jauh, sehingga setiap gejolak yang melimpah dari Jati
Anom, akan mungkin sekali menyentuh kademangan ini pula.”
“Tetapi kademangan ini
mempunyai pengalaman yang luas untuk mempertahankan dirinya dari
gerombolan-gerombolan semacam itu,” berkata Ki Waskita. “Bukankah Sangkal
Putung pernah berhadapan langsung dengan pasukan Macan Kepatihan dari Jipang?”
“Ah. Itu sudah lama lampau.
Dan pada saat itu, pasukan Pajang justru berada di kademangan ini.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Tetapi, Sangkal Putung dengan demikian telah menempa dirinya.
Pengawal-pengawal kademangan ini tentu mempunyai kelainan dengan
kademangan-kademangan lain, yang sama sekali tidak pernah mengalami goncangan
apa pun.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Jawabnya, “Agaknya memang demikian. Dan aku berbangga atas peristiwa yang
membuat Sangkal Putung justru menjadi kuat itu.”
Demikian, pembicaraan mereka
pun semakin lama menjadi semakin luas dari satu persoalan ke persoalan yang
lain, yang telah terjadi di Sangkal Putung.
Tetapi pembicaraan itu pun
kemudian terhenti, ketika Nyai Demang kemudian mempersilahkan tamu-tamunya itu
untuk makan.
Sekar Mirah yang semula ikut
mendengarkan pembicaraan gurunya di antara tamu-tamunya yang lain, kemudian
menjadi sibuk membantu ibunya menyediakan nasi dan lauk pauknya.
Baru setelah mereka selesai
makan, mereka mulai membicarakan masalah-masalah yang lain. Terutama mengenai
rencana hari perkawinan Swandaru yang menjadi semakin dekat.
“Agaknya persiapan perkawinan
itu sudah jauh,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tentu, Kiai. Bukankah
waktunya sudah menjadi semakin dekat? Kita sudah mempersiapkan segala
sesuatunya. Pada hari yang kelima, kita akan menerima sepasang penganten itu
dari Tanah Perdikan Menoreh. Kita sudah menyiapkan keramaian tiga hari tiga
malam. Semula kita ingin mengadakan keramaian lebih dari itu. Tetapi mengingat
keadaan yang terakhir di lereng Gunung Merapi, dan terutama di Mataram, maka
niat itu pun kami tarik surut. Kami hanya akan mengadakan keramaian tiga hari
tiga malam. Itu pun hanya sekedarnya. Kami ingin memberikan sedikit selingan
bagi Sangkal Putung yang selalu tegang. Tetapi kami tidak dapat melupakan
keadaan di sekitar kita.”
Ketiga orang-orang tua itu
mengangguk-angguk.
“Justru karena itulah, maka
Sangkal Putung telah mempersiapkan segala-galanya. Pasukan pengawal yang
lengkap telah kami susun seperti saat-saat yang paling gawat, yang pernah
mengancam kademangan ini. Siapa tahu bahwa dalam keadaan itu, tiba-tiba saja
muncul beberapa gerombolan-gerombolan perampok yang menduga, bahwa sekali tepuk
mereka akan mendapatkan beberapa ekor lalat di dalam perelatan itu.”
“Ternyata Ki Demang cukup berhati-hati,”
sahut Kiai Grinsing, “mudah-mudahan Ki Argapati di Menoreh pun bersikap serupa
pula.”
“Agaknya Ki Gede Menoreh pun
menyadari keadaan itu,” desis Ki Waskita.
“Ki Argapati mengetahui, bahwa
setiap saat kemungkinan yang tidak diharapkan itu dapat timbul seperti di
Sangkal Putung,” sambung Ki Sumangkar. “Tetapi justru karena itu, Ki Gede tentu
sudah mempersiapkan diri pula.”
“Tetapi ia hanya seorang diri.
Pandan Wangi tentu tidak akan dapat membantunya seperti pada saat lain,” desis
Kiai Gringsing.
Mereka yang mendengarkan
mengangguk-angguk. Mereka menyadari bahwa justru karena Pandan Wangi akan kawin
itulah, maka Menoreh menjadi sibuk. Karena itu, maka Pandan Wangi sendiri tidak
akan dapat banyak membantu ayahnya dalam hal itu.
Namun dalam pada itu, mereka
menyadari, bahwa Ki Gede Menoreh adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia
mengenal daerahnya seperti ia mengenal dirinya sendiri.
“Di Menoreh tidak ada
gerombolan-gerombolan yang mengganggu ketenangan, seperti di lereng Merapi.
Apalagi benturan seperti yang baru saja terjadi,” desis Ki Waskita, “sehingga
karena itu, maka Menoreh tentu terasa lebih tenang.”
Yang lain mengangguk-angguk.
Apalagi mereka pun mengerti, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun
agaknya dapat dipercaya, seperti anak-anak muda di Sangkal Putung.
Meskipun demikian, betapapun
mereka membicarakan keadaan lereng Merapi, namun tidak seorang pun dari mereka
yang mulai menyinggung tentang tombak yang hilang dari Mataram. Selain waktunya
memang tidak tepat, di pendapa itu juga hadir beberapa orang yang tidak
tahu-menahu tentang pusaka itu.
Baru kemudian, setelah Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita, dipersilahkan beristirahat di gandok,
mereka mulai membicarakannya dengan Agung Sedayu dan Swandaru.
Namun dalam pada itu, karena
Rudita hadir juga di antara mereka, ayahnya memerlukan memberikan pesan khusus
kepadanya, “Rudita. Mungkin jalan pikiranmu agak berbeda dengan jalan pikiran
kami. Tetapi sebaiknya kau menahan diri. Biarlah kami mencari jalan penyelesaian
sesuai dengan cara kami.”
Rudita mengerutkan keningnya.
“Kau boleh mendengarkan
pembicaraan kami, tetapi kau harus mencoba menghargai cara dan usaha kami,
khususnya mengenai pusaka-pusaka dari Mataram itu.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Ya, Ayah. Aku mengerti maksud Ayah, meskipun barangkali
aku tetap tidak dapat mengikuti jalan pikiran Ayah. Tetapi karena persoalannya
masih belum aku ketahui, dan sikap serta tanggapan Ayah dan Kiai bertiga juga
belum aku ketahui, maka aku tidak dapat mengatakan bahwa jalan pikiran kita
akan berbeda.”
Ayahnya mengangguk-angguk.
Katanya, “Baiklah, Rudita. Tetapi aku selalu mengharap kau mengikuti cara kami
berpikir.”
“Baiklah, Ayah,” jawab Rudita,
meskipun ia tidak mengerti apakah yang harus dilakukannya selain berdiam diri.
Dalam pada itu, Ki Waskita pun
kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Nah, mungkin Kiai ingin memberitahukan
sesuatu kepada kedua murid Kiai.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Lalu katanya kepada kedua muridnya, “Biarlah pada suatu saat Ki Sumangkar
memberitahukannya kepada Sekar Mirah. Mungkin ada baiknya pula ia mengetahui
tentang hal ini.”
Demikianlah, maka Kiai
Gringsing mulai mengatakan kepada kedua muridnya, bahwa bertiga dengan Ki
Sumangkar dan Ki Waskita, mereka telah melihat pusaka yang mungkin sekali
adalah pusaka yang telah hilang dari Mataram.
“Kanjeng Kiai Pleret?” desis
kedua muridnya hampir berbareng.
“Ya. Kanjeng Kiai Pleret.
Tetapi masih baru dugaan yang kuat, karena kami tidak sempat menemukan
tanda-tanda yang dapat meyakinkan kami, kecuali ciri-ciri yang pernah kami
lihat pada sekeping perak yang kehitam-hitaman itu.”
“Lukisan kelelawar?” bertanya
Agung Sedayu.
“Ya.”
“Di mana Guru telah
melihatnya?”
“Di padepokan Tambak Wedi.
Pimpinan gerombolan yang singgah di bekas Padepokan Tambak Wedi itu mempunyai
tanda seekor kelelawar di dadanya.”
“Orang yang bernama Kiai
Kalasa Sawit itu?”
“Ya.”
“Itu sudah meyakinkan,” geram
Swandaru, “pusaka yang berbentuk tombak, ciri-ciri yang pernah kita lihat pada
sekeping perak, yang dengan sengaja telah ditinggalkan di Mataram dan ternyata
terdapat pada salah seorang dari mereka, adalah kenyataan yang tidak dapat
dibantah lagi. Kedua ciri itu bukannya sekedar kebetulan yang cocok, tetapi itu
adalah suatu yang pasti.”
“Memang mendekati perhitungan
yang demikian.”
“Bukan sekedar mendekati.
Tidak ada kenyataan lain,” desis Swandaru.
“Baiklah. Katakanlah bahwa
tombak itu adalah tombak pusaka Kanjeng Kiai Pleret. Maka adalah kewajiban
Mataram untuk melacak dan menemukannya.”
“Sayang sekali,” desis
Swandaru, “pusaka itu sudah berada di depan hidung Guru. Dan Guru tidak
bertindak cepat.”
“Kami hanya bertiga. Sedang
mereka yang membawa pusaka itu adalah pasukan segelar sepapan. Apakah kami
bertiga mungkin dapat mengalahkan mereka?”
“Bukankah pasukan Pajang
kemudian menyusul Kiai bertiga?”
“Baru kemudian.”
“Dan pasukan itu tidak dengan
segera mengikuti jejak orang-orang Tambak Wedi?”
“Swandaru,” suara Kiai
Gringsing datar, “lereng Merapi ditumbuhi hutan yang lebat. Jika mereka masuk
ke dalam hutan itu, maka kemungkinan untuk menemukan jejaknya adalah sulit
sekali.”
“Tetapi bukankah kita harus
berusaha? Jika mereka terlepas pada saat yang paling baik, Guru, maka
kesempatan serupa itu tidak akan kembali lagi.”
“Ya, Ayah,” tiba-tiba saja
Rudita memotong, “kesempatan seperti itu tidak akan Ayah jumpai lagi. Kenapa
Ayah tidak berterus terang saja kepada Kiai Kalasa Sawit, bahwa pusaka itu
diperlukan oleh Mataram, seperti juga Kiai Kalasa Sawit memerlukannya?”
Ki Waskita mengerutkan dahinya.
Dipandanginya anaknya sejenak. Kemudian jawabnya, “Kau tentu tahu Rudita, bahwa
Kiai Kalasa Sawit tidak akan memberikannya. Bahkan ia telah mengambilnya dengan
kekerasan dari Mataram. Nah, meskipun barangkali tidak sejalan dengan
pikiranmu, namun kau dapat memperhitungkan. Jika ia sudah mengambil barang itu,
pusaka atau harta benda dengan kekerasan, apakah kira-kira ia akan
memberikannya dengan senang hati jika kami menemuinya, menundukkan kepala
dalam-dalam, kemudian mohon agar pusaka itu diberikan kepada kami?”
Rudita termenung sejenak.
Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Soalnya sudah jelas, Ayah. Aku
tahu jawabnya, Kiai Kalasa Sawit tidak akan memberikannya.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Jika Ayah pun mengetahui jawaban itu, maka setiap usaha untuk
mendapatkannya adalah berarti benturan kekuatan. Ayah, apakah aku dapat
bertanya, apakah pusaka itu demikian berharga, sehingga kita harus mengorbankan
jiwa untuk mendapatkannya? Ayah, apakah Ayah juga berpendapat, bahwa masih ada
benda yang jauh lebih berharga dari jiwa manusia, bahkan bukan hanya satu jiwa,
tetapi berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus. Katakanlah bahwa benda itu
memiliki nilai yang tiada taranya. Wahyu keraton sekalipun. Apakah kedudukan
tertinggi, katakanlah tahta kerajaan pantas dialasi dengan mayat dan darah
seperti itu? Ayah, agaknya demikianlah peradaban manusia pada jaman ini. Dengan
tidak ragu-ragu, kita mengorbankan jiwa sesama untuk mendapatkan kedudukan.
Sedangkan kita tahu dengan pasti dan yakin, bahwa jiwa sesama kita adalah
pancaran kasih Yang Maha Esa. Apakah kita telah lebih menghargai benda-benda
itu, sebutlah kedudukan itu, lebih tinggi dari pancaran kasih itu?”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi sebelum ia menjawab, Swandaru-lah yang mendahuluinya, “Rudita.
Di dalam hidup ini kita mengenal hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban itu
merupakan bagian dari hidup kita. Karena itulah, maka kita mempunyai kewajiban,
untuk berbuat sesuatu. Di antaranya justru mempertahankan hak itu sendiri.
Pusaka itu pun merupakan hak dari Mataram. Hak Raden Sutawijaya yang bergelar
Senapati Ing Ngalaga. Adalah kewajibannya untuk mempertahankan haknya, meskipun
dengan kekerasan sekalipun. “
“Dan mengorbankan jiwa orang
lain?”
“Ya,” jawab Swandaru. “Orang
lain yang berada di dalam sangkut paut antara hak dan kewajiban dengan Raden
Sutawijaya. Sudah tentu bukan orang lain sama sekali. Bukan orang Banten, dan
bukan orang Banyuwangi. Tetapi orang-orang Mataram dan yang mengakui hak Raden
Sutawijaya.”
“Hak adalah pengakuan manusia
atas sesuatu. Jika ia mempunyai jiwa besar, melepaskan pengakuannya, maka ia
tidak akan dibebani lagi oleh perasaan memiliki hak itu. Jika Raden Sutawijaya
dengan ikhlas melepaskan benda-benda yang telah diambil oleh Kiai Kalasa Sawit,
maka tidak akan ada persoalan lagi yang dapat merenggut beberapa orang korban.
Dengan demikian, Raden Sutawijaya telah menyelamatkan beberapa jiwa yang
seharusnya menjadi taruhan perebutan hak itu. Karena tidak ada hak yang mutlak
diakui oleh semua pihak di muka bumi ini. Agaknya justru karena kebanggaan
manusia atas haknya dan ketamakan manusia untuk memperluas haknya itulah telah
terjadi di mana-mana kericuhan, dan bahkan bunuh-membunuh.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ada sesuatu yang hampir terlontar dari mulutnya.
Tetapi Kiai Gringsing yang
mengetahui gejolak perasaan muridnya itu pun mendahuluinya, “Kami mengerti,
Ngger. Sebenarnyalah memang demikian.”
“Tetapi, Guru,” ternyata
Swandaru memotongnya pula, “kita tidak akan dapat dengan bertopang dagu melihat
hak kita dilanggar orang lain. Dengan demikian, maka sebenarnyalah kita tidak
lagi hidup dalam peradaban, Apalagi di masa kini. Tetapi kita telah melemparkan
diri kita sendiri ke dalam sudut dunia yang paling terasing. Karena dengan
demikian, maka hidup ini pun sudah bukan merupakan hak yang harus kita
pertahankan.”
“Apalagi hidup,” tiba-tiba
saja Rudita menyahut. “Adalah orang yang tidak mengerti akan dirinya sajalah
yang merasa berhak atas hidupnya.”
Kiai Gringsing-lah yang
kemudian tergesa-gesa menengahinya, “Kalian bertolak dengan landasan yang
berbeda. Tetapi aku dapat mengerti jalan pikiran kalian masing-masing. “
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi bingung, justru ia mencoba mengerti kedua-duanya
seperti yang dikatakan gurunya. Bahkan kadang-kadang pernah juga terbersit di
dalam pikirannya, pendapat seperti yang dikatakan oleh Rudita. Namun ia masih
juga dicengkam oleh nafsu memiliki yang kadang-kadang disebutnya dengan istilah
yang megah. Hak.
“Rudita,” berkata Ki Waskita
kemudian, “sejak semula aku sudah berpesan, agar kau mencoba mengerti jalan
pikiran kami. Meskipun mungkin kita berbeda pendapat, tetapi kita akan
mengikuti jalan pikiran kita pada umumnya. Kau harus menyadari, bahwa
pendirianmu itu masih sangat asing bagi kami pada masa kini, meskipun kami yang
tua-tua dapat membayangkan, alangkah manisnya dunia ini jika setiap orang dapat
mengetrapkan jalan pikiranmu itu. Tetapi Rudita, sayang sekali.”
“Angger, Rudita,” berkata Ki
Sumangkar kemudian, “cobalah mengerti, bahwa usaha kami mempertahankan hak
adalah jauh lebih baik dari perluasan hak yang telah dilakukan oleh Kiai Kalasa
Sawit. Jika akibatnya adalah pengurangan korban yang jatuh dari perebutan hak
itu, dan akibat penggunaannya, maka sebagian dari usaha pelepasan taruhan itu
sudah tercapai.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Desisnya, “Sungguh
membingungkan. Tetapi pertimbangan semacam itulah yang kini sedang nampak.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Swandaru, nampaklah wajah anak muda itu
gelisah. Tetapi Ki Sumangkar pun dapat menduga, bahwa Swandaru masih berusaha
untuk menahan perasaannya yang bergejolak.
“Rudita,” Ki Waskita-lah yang
kemudian berkata, “sebaiknya kau mencoba menahan hatimu. Kami sedang berbicara
dengan cara kami. Cobalah untuk mengerti, meskipun kau tidak sependapat. Aku
mengharap untuk kesekian kalinya.”
Rudita menarik nafas. Katanya,
“Adalah salah jika aku tidak berbuat sesuatu pada saat aku melihat jalan
pikiran yang buram. Tetapi jika Ayah dan semuanya menghendakinya, maka baiklah
aku berada di luar bilik ini saja.”
“Aku tidak berkeberatan,
Rudita. Tetapi satu permintaanku kepadamu. Jangan kau katakan hal ini kepada
siapa pun juga.”
“Kenapa, Ayah?”
“Akibatnya akan buruk sekali.
Jika kau sudah menganggap usaha Mataram untuk menemukan pusaka-pusaka itu
sebagai usaha yang kurang baik, maka jika ada orang lain yang mendengar hal
itu, maka pertentangan akan semakin meluas. Dan korban pun akan semakin
banyak.”
“Sebabnya?”
“Kau tidak boleh mengingkari
kenyataan, bahwa masih banyak orang yang menginginkan pusaka itu, jalan apa pun
yang harus ditempuhnya. Selain daripada itu, maka akan timbul kegoncangan pada
rakyat Mataram. Mereka akan menjadi cemas dan ketakutan jika mereka mengetahui,
bahwa pusaka-pusaka yang mereka anggap memiliki kekuatan untuk menggenggam
wahyu, meskipun masih harus dilengkapi itu, telah hilang dari perbendaharaan
pusaka di Mataram.”
Rudita tidak segera menyahut.
“Aku yakin bahwa kau tidak
ingin melihat kecemasan dan ketakutan itu menjalar dari setiap mulut ke telinga
orang lain, dan demikian selanjutnya. Dengan demikian, kau akan membantu
menumbuhkan ketidak-tenteraman di hati rakyat Mataram, yang sebenarnya memang
tidak perlu mengetahuinya.”
Rudita menarik nafas dalam-dalam.
Lalu katanya, “Aku mengerti, Ayah. Dan aku berjanji.”
“Terima kasih,” desis Ki
Waskita, “sekarang, jika kau tidak tertarik lagi untuk mendengarkan pembicaraan
ini, sebaiknya kau berada di luar.”
“Baiklah, Ayah.”
Rudita pun kemudian
meninggalkan ruangan itu dan berada di luar gandok. Dengan lesu ia duduk di
atas sebuah amben bambu, sambil memandangi beberapa orang yang nampak melintas
di halaman yang menjadi sepi.
Tetapi Rudita masih saja
dipengaruhi oleh persoalan yang baru saja didengarnya. Ia membayangkan
kengerian yang akan terjadi, jika Mataram yang merasa berhak atas pusaka itu
kemudian mengirimkan sepasukan prajurit. Pertempuran tentu tidak akan dapat
dihindarkan lagi. Kematian akan menerkam sebagian besar dari mereka yang
bertempur di kedua belah pihak.
“Aku tidak dapat mengerti,
karena mereka lebih menghargai benda-benda itu daripada jiwa manusia,”
desisnya.
Namun kemudian ia
menggelengkan kepalanya, sambil berkata di dalam hati, “Aku tidak ikut campur.
Aku sudah mencoba mencegahnya. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Maut adalah
permainan yang mengasikkan bagi sebagian besar manusia.”
Karena itulah, maka Rudita pun
kemudian mencoba mengalihkan perhatiannya kepada beberapa bangunan baru di
halaman samping Kademangan Sangkal Putung. Bangunan yang dibuat khusus
menjelang hari perkawinan Swandaru.
“Rumah di sebelah itu tentu
dibuat untuk menyediakan makanan dan nasi berancak-ancak, yang kemudian
dikirimkan kepada mereka yang memberikan sumbangan berupa apa pun kepada Ki
Demang,” gumam Rudita. “Tetapi karena Ki Demang-lah yang mengawinkan anaknya,
maka tentu semua orang di kademangan ini datang untuk memberikan sumbangan apa
pun juga. Dengan demikian, maka setelah perelatan ini berakhir. Ki Demang
justru akan mempunyai persediaan beras, kelapa, pisang, dan sayur-sayuran
selumbung penuh. Tetapi pada saat perelatan berlangsung, Ki Demang pun harus
membagi ancak berisi nasi bagi seluruh penghuni kademangan yang luas ini, dari
ujung sampai ke ujung.”
Demikianlah, Rudita berusaha
mengalihkan perhatiannya. Sementara di dalam gandok, Kiai Gringsing masih
berbicara dengan murid-muridnya tentang pusaka yang hilang itu.
“Mereka tentu menuju ke lembah
yang masih ditutup oleh hutan yang lebat di antara Gunung Merapi dan Merbabu,”
berkata Kiai Gringsing kemudian.
Agung Sedayu
mengangguk-angguk.
“Tetapi kami tidak akan dapat
pergi sebelum hari-hari perkawinan Swandaru berlangsung.”
“Apakah ada gunanya jika hal
ini diberitahukan kepada Raden Sutawijaya?” bertanya Swandaru.
“Raden Sutawijaya juga tidak ada
di Mataram. Mungkin Raden Sutawijaya kini sedang menjelajahi daerah pesisir
selatan dan mendaki Pegunungan Sewu. Jika seseorang menyusulnya, tentu
memerlukan waktu pula.”
“Jadi, kita biarkan pusaka itu
hilang untuk seterusnya?”
“Tentu tidak,” jawab Kiai
Gringsing, “pada suatu saat kita akan mengetahui, di manakah pusaka itu akan
timbul. Jika ada seseorang yang menamakan dirinya penguasa atas tanah ini,
berdasarkan atas kuasa keturunan Majapahit, maka kita akan segera mengetahui,
bahwa pusaka-pusaka itu ada pada mereka.”
“Tentu kita tidak dapat
menunggu sedemikian lama,” potong Swandaru, “dengan demikian kita memberi
kesempatan mereka menjadi kuat.”
Kiai Gringsing menarik nafas
panjang. Memang ada kemungkinan mereka menjadi kuat. Tetapi menghadapi mereka
itu, sudah tentu Mataram tidak akan dapat berbuat dengan tergesa-gesa.
“Swandaru,” berkata Kiai
Gringsing, “persoalan ini memang persoalan yang rumit. Masih banyak masalah
yang harus kita selidiki, sehingga kita tidak terjebak dalam suatu tindakan yang
salah dan merugikan. Angger Untara hampir saja terjerumus ke dalam kesulitan.
Karena perhitungannya yang kurang tepat atas kekuatan di Tambak Wedi, maka
hampir saja pasukannya mengalami bencana. Untunglah bahwa tidak semua kekuatan
Tambak Wedi dikerahkan. Kiai Kalasa Sawit masih menganggap perlu, sebagian dari
mereka tetap berada di padepokan untuk mengawal tombak pusaka yang kita duga
adalah Kanjeng Kiai Pleret itu. Seandainya para pengawal itu juga hadir di
peperangan, aku kira prajurit Pajang akan mengalami kerusakan yang berat,
meskipun seandainya Untara berhasil memenangkan perang itu.”
“Tetapi, bukankah Pajang juga
mempunyai pasukan cadangan yang hadir di peperangan?”
“Ya. Pasukan cadangan itu
memang datang ke medan. Tetapi kerusakan pasukan Pajang tentu tidak dapat
dihindari.”
Swandaru mengangguk-angguk. Ia
mengerti bahwa ketergesa-gesaan akan tidak menguntungkan. Tetapi kelambatan
yang berlarut-larut juga tidak menguntungkan pula.
Tiba-tiba saja Swandaru
merenungi dirinya sendiri. Ternyata bahwa hari-hari perkawinannya termasuk
salah satu sebab kelambatan Mataram dalam perebutan pusaka itu. Jika ia tidak
akan kawin dalam waktu yang dekat, maka mungkin sekali gurunya dan Ki
Sumangkar, bahkan mungkin juga Ki Waskita akan dapat ikut serta mencari jejak
pasukan yang singgah di Tambak Wedi itu.
Kiai Gringsing yang
seolah-olah dapat membaca kekecewaan itu kemudian berkata, “Sudahlah, Swandaru.
Jangan memikirkan pusaka itu lagi. Setidak-tidaknya untuk saat yang singkat
menjelang hari-nari perkawinanmu. Baru kemudian kita akan memikirkannya dengan
bersungguh-sungguh. Kini, jika aku memberitahukan hal ini kepada kalian berdua
adalah sekedar sebagai bahan yang perlu kalian ketahui. Mungkin ada gunanya.
Tetapi sudah barang tentu tidak dalam waktu-waktu dekat ini.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Kepalanya pun kemudian tergerak perlahan-lahan.Sambil mengangguk
ia berkata, “Aku akan mencoba, Guru. “
“Pusatkan semua perhatianmu
kepada hari-hari perkawinan yang menjadi semakin dekat. Bagi seseorang, hari-hari
perkawinan adalah hari-hari yang penting. Perkawinan adalah salah satu saat
yang akan menentukan perubahan, baik badani maupun jiwani, bagi seseorang yang
menyadari arti perkawinannya sebagai kuwajiban manusiawi. Berbeda dengan mereka
yang menganggap perkawinan sebagai sekedar pengakuan orang-orang di sekitarnya
atas suatu keinginan yang lebih bersifat badani. Perkawinan yang demikian tidak
akan ada artinya sama sekali bagi perkembangan kejiwaan seseorang.”
Swandaru mengangguk-angguk.
“Anggaplah yang aku katakan
hanyalah sekedar pemberitahuan yang tidak perlu mendapat tanggapan segera.
Kalian dapat merenungkan dalam waktu yang cukup.”
Sekali lagi Swandaru
mengangguk. Demikian pula Agung Sedayu.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun kemudian mencoba untuk mengalihkan pembicaraan mereka kepada saat
perkawinan Swandaru. Karena itu, maka katanya, “Kini kita akan segera
memusatkan semua kegiatan kita pada hari-hari perkawinan yang telah menjadi
semakin dekat. Tetapi menilik persiapan yang telah dilakukan Ki Demang, maka
nampaknya sudah tidak ada lagi yang akan dapat menimbulkan gangguan apa pun.”
“Apalagi perelatan di sini
berlangsung lima hari setelah perelatan di Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Ki
Waskita.
“Dengan demikian, agaknya
Menoreh pun kini telah siap pula. Bahkan mungkin setiap malam di rumah Ki
Argapati, orang-orang tua sudah mulai berjaga-jaga hampir semalam suntuk,”
sahut Ki Sumangkar.
“Dan di gardu-gardu anak-anak
muda bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan,” sambung Ki Waskita pula.
“Tetapi tidak mencemaskan,”
jawab Kiai Gringsing, “tidak ada persoalan yang terjadi seperti di lereng
Gunung Merapi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya kemudian, “Tetapi ada juga baiknya kita melihat, apakah semuanya sudah
tersedia.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu Kiai Gringsing pun kemudian
bertanya, “Apakah maksud Ki Waskita, kita akan pergi ke Menoreh?”
“Bukan kita semuanya, Kiai.
Sebenarnya aku ingin menawarkan diri untuk pergi ke Menoreh, membawa pesan apa
pun yang mungkin perlu disampaikan.”
“Ki Waskita sendiri?”
“Aku ingin menengok Ki
Argapati, selebihnya aku ingin segera membawa Rudita kembali kepada ibunya yang
tentu menjadi sangat cemas.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar menarik nafas dalam-dalam. Mereka mengerti, betapa cemasnya seorang
ibu yang ditinggalkan oleh anak satu-satunya dan tidak tahu kemana anak itu
pergi.
“Karena itu, Kiai,” berkata Ki
Waskita seterusnya, “jika Kiai tidak berkeberatan, sebenarnya dalam waktu yang
singkat aku ingin minta diri. Aku sudah menemukan Rudita. Dan aku akan
mengembalikannya kepada ibunya. Nah, dalam perjalanan itu aku tentu dapat
singgah di Menoreh untuk menyampaikan pesan apa pun juga.”
Sejenak Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar berpandangan. Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Tentu kami
tidak akan dapat menahan. Tetapi perjalanan yang jauh itu tentu memerlukan
pertimbangan-pertimbangan tersendiri.”
Ki Waskita termenung sejenak,
ia mencoba membayangkan perjalanan yang harus ditempuhnya, jika ia berniat
kembali ke rumahnya untuk menyerahkan Rudita kepada istrinya.
Namun kemudian Ki Waskita
berkata, “Jalan sekarang sudah menjadi semakin rata. Aku kira tidak akan ada
hambatan-hambatan lagi di sepanjang jalan. Jalan ke Mataram sekarang menjadi
semakin ramai. Kemudian jalan dari Mataram ke Menoreh pun telah menjadi semakin
sibuk pula.”
“Apakah, Ki Waskita bermaksud
singgah di Mataram?”
“Agar perjalananku aman, maka
aku akan berjalan di siang hari bersama-sama dengan para pedagang dan
orang-orang yang bepergian melalui jalan raya yang sudah ramai itu. Aku akan
bermalam di Mataram semalam. Kemudian di hari berikutnya, aku akan melanjutkan
perjalanan dan singgah di Menoreh semalam. Baru kemudian aku kembali pulang.”
“Dan, Ki Waskita tidak akan
pergi ke Sangkal Putung lagi?”
“Kiai,” berkata Ki Waskita
kemudian, “perkawinan ini akan dirayakan di sini dan di Tanah Perdikan Menoreh.
Bahkan di Tanah Perdikan Menoreh agaknya lebih awal lima hari daripada di
kademangan ini. Karena itu, aku kira tidak akan ada bedanya, jika aku mengikuti
perelatan itu di sini atau di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada bedanya jika
aku ikut membantu menurut kemampuanku di sini atau di Tanah Perdikan Menoreh.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk. Namun sebelum mereka menyahut, Swandaru telah
mendahului, “Tetapi aku akan lebih senang jika Ki Waskita berada di sini. Kita
bersama-sama pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kemudian di hari kelima, kita
bersama-sama pula kembali kemari.”