Buku 092
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
”Itu memang lebih baik. Tetapi aku kira, aku akan dapat mendahuluinya, karena
kebetulan aku mempunyai kepentingan yang lain.”
Swandaru memandang gurunya
sekilas. Namun ia pun menyadari bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya jika
memang itu dikehendaki oleh Ki Waskita.
Dalam pada itu, maka Ki
Waskita pun berkata, ”Karena itu, jika Kiai berdua dan murid-murid Kiai
sependapat, aku akan minta diri pula kepada Ki Demang.”
“Tentu kami tidak akan dapat
menahan Ki Waskita. Mudah-mudahan perjalanan Ki Waskita tidak menamui kesulitan
apapun kelak. Dan aku kira, memang ada baiknya Ki Waskita singgah di Mataram.
Jika Raden Sutayijaya masih belum kembali, Ki Lurah Branjangan dapat juga
agaknya diberitahu tentang kemungkinan yang kita lihat di Tambak Wedi,” berkata
Kiai Gringsing.
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Dan apakah Ki Waskita akan
segera berangkat besok, atau pada hari-hari yang masih akan dipilih?”
“Aku akan berangkat besok
pagi-pagi benar Kiai.”
“Untuk seterusnya kita akan
bertemu di Tanah Perdikan Menoreh. Begitu Ki Waskita?” bertanya Ki Sumangkar.
“Ya begitulah. Kita akan
berpisah untuk sementara. Mungkin tenagaku dapat dipergunakan di Tanah Perdikan
Menoreh. Aku adalah orang yang paling cakap menganyam tarub dipadukuhanku,”
jawab Ki Waskita.
“Ah, tentu tidak. Tidak ada
orang yang berani minta Ki Waskita untuk menganyam tarup,” desis Ki Sumangkar.
“Kenapa? Aku memang senang
menganyam tarub di tempat peralatan. Seandainya tidak ada orang yang minta
sekalipun, aku akan melakukannya.”
Ki Sumangkar tersenyum.
Katanya, ”Beruntunglah Pandan Wangi dan Swandaru. Yang menganyam tarub di
saat-saat perkawinannya adalah Ki Waskita.”
Ki Waskita pun tertawa.
Sementara Kiai Gringsing berkata, ”Mudah-mudahan merupakan pertanda baik bagi
kedua pengantin.”
Swandaru hanya menundukkan
kepalanya saja, sedang Agung Sedayu mulai dipengaruhi oleh bayangan tentang
dirinya sendiri.
“Apakah saat-saat perkawinanku
kelak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang memiliki kelebihan seperti
Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Guru? Apakah menjelang saat-saat perkawinan itu
kelak, Ki Demang Sangkal Putung juga mengadakan persiapan seperti sekarang ini,
dan kemudian di hari yang kelima, sepasang pengantin itu akan dirayakan pula di
Jati Anom?” pertanyaan-pertanyaan itu mulai bergejolak di dalam hatinya.
Tetapi Agung Sedayu berusaha
untuk melepaskan kesan itu dari wajahnya, sehingga tidak seorangpun yang sempat
memperhatikannya.
Dalam pada itu, Ki Waskita pun
kemudian berkata, ”Nanti malam aku akan minta diri kepada Ki Demang.”
“Baiklah Ki Waskita,” berkala
Kiai Gringsing kemudian, ”kita akan berpisah sampai hari-hari perkawinan
Swandaru. Tetapi mungkin setelah itu, meskipun sebenarnya kepentingan terbesar
adalah Raden Sutawijaya, namun sudah tentu, kita yang sudah terlanjur terpercik
dan menjadi basah pula karenanya, tidak akan dapat begitu saja melepaskan diri
dari persoalan ini.“
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Sudah tentu Kiai. Aku akan tetap menyediakan diri. Meskipun mungkin
aku masih akan memerlukan beberapa waktu untuk tinggal di rumah, bertemu dengan
sanak kadang. Tetapi jika sudah cukup aku lakukan sebelum hari-hari perkawinan,
maka aku pun akan segera dapat membantu Mataram, menurut kemampuanku.”
“Tentu. Mataram akan berterima
kasih. Mudah-mudahan selama saat-saat menjelang hari perkawinan Swandaru tidak
terjadi sesuatu yang dapat menunda apalagi membatalkan perkawinan itu,” desis
Kiai Gringsing.
“Tentu tidak,” sahut Ki
Waskita. Namun nampak sedikit perubahan di wajahnya.
Namun dalam pada itu, baik
Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar sama sekali tidak bertanya lebih lanjut,
justru karena mereka tidak ingin Swandaru mendengar kecemasan orang-orang tua
tentang dirinya seperti yang dilihat oleh Ki Waskita sebagai wajah-wajah yang
buram.
Demikianlah, di malam harinya
ketika mereka selesai makan bersama di pendapa dengan Ki Demang dan beberapa
orang bebahu Kademangan yang hadir pula, Ki Waskita menyatakan maksudnya kepada
Ki Demang Sangkal Putung, untuk pergi mendahului ke Menoreh.
“Sebenarnya, yang penting
adalah kepentingan diri sendiri saja,” berkata Ki Waskita, ”tetapi supaya
perjalananku ada juga gunanya, maka aku menawarkan diri untuk menjadi perintis
jalan bagi mempelai yang akan segera berangkat pula ke Menoreh karena waktunya
memang sudah menjadi semakin dekat.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Karena Ki Waskita mengemukakan alasannya dengan berterus terang, maka Ki Demang
pun tidak dapat mencegahnya.
“Ki Waskita,” berkata Ki
Demang, ”tentu aku tidak dapat berusaha untuk menunda perjalanan itu. Bahkan
aku mengucapkan banyak terima kasih karena Ki Waskita bersedia singgah di Tanah
Perdikan Menoreh, untuk membawa pesan yang barangkali perlu aku sampaikan
kepada Ki Argapati.”
“Ya. Demikianlah agaknya Ki
Demang.”
Ki Demang pun
mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berunding dengan beberapa orang tua di
Sangkal Putung. Namun mereka pun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa tidak ada
pesan-pesan, bahwa semuanya akan berlangsung sesuai dengan rencana.
“Baiklah Ki Demang,” berkata
Ki Waskita kemudian, ”aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede Menoreh, bahwa
semuanya di Sangkal Putung telah berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan
Anakmas Swandaru akan datang di Menoreh bersama pengiringnya dalam pakaiannya
sehari-hari, sehingga di sepanjang jalan yang panjang ini perjalanannya tidak
terganggu justru oleh pakaian pengantinnya. Demikian pula pada saat kedua
pengantin itu kelak diboyong ke Sangkal Putung.”
“Pengantin laki-laki akan
datang tiga hari sebelum hari perkawinan,” desis Ki Demang.
Tetapi seorang tua yang rambut
dan janggutnya sudah memutih bertanya, ”Tiga atau lima Ki Demang?”
“Bukankah kita bersepakat
untuk berangkat lima hari sebelumnya dan kita akan sampai ke Tanah Perdikan
Menoreh tiga hari sebelum hari perkawinan.“
“Tidak perlu disebut begitu,
sebab kita tidak akan bermalam dua malam di perjalanan. Kita hanya akan
bermalam satu malam saja di Mataram. Di hari berikutnya kita akan sampai di
Tanah Perdikan Menoreh meskipun setelah matahari melampaui pusatnya di tengah
hari.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, ”Baiklah. Kita hanya mengatakan kepada Ki Ageng Menoreh, bahwa kita
akan berangkat lima hari sebelumnya dan akan bermalam satu malam di
perjalanan.”
“Demikianlah,” berkata orang
tua itu, ”apakah itu akan disebut empat hari sebelumnya atau tiga hari
sebelumnya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Baiklah Ki Demang. Aku akan menyampaikan seperti apa yang Ki Demang pesankan.”
“Tetapi sudah tentu
sekaligus,” berkata Kiai Gringsing, ”Ki Waskita akan menjadi duta menghadap Ki
Lurah Branjangan di Mataram. Bukankah dengan demikian, akan mengurangi
kesibukan kami disini, karena pada suatu saat kami tentu akan mengirim orang ke
Mataram untuk mohon diperkenankan bermalam satu malam meskipun Raden Sutawijaya
tidak ada?”
Ki Demang tertawa. Katanya,
”Aku sebenarnya agak segan untuk berpesan terlalu banyak, karena dengan
demikian aku akan membebani penjalanan Ki Waskita dengan persoalan-persoalan
yang sebenarnya hanya akan mengganggu perjalanannya.”
“Ah, tentu tidak Ki Demang.
Aku akan singgah di Mataram. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah
Branjangan, keinginan Ki Demang untuk mendapat kesempatan bagi pengantin dan pengiringnya,
bermalam satu malam di Mataram.”
“Aku mengucapkan terima kasih
yang tidak terhingga Ki Waskita,” desis Ki Demang.
Ki Waskita pun kemudian mohon
diri pula kepada para bebahu dan keluarga Ki Demang di Sangkal Putung, bahwa
besok pada pagi-pagi benar ia akan meninggalkan Sangkal Putung bersama anaknya
kembali pulang dan singgah di Mataram dan Menoreh untuk menyampaikan pesan Ki
Demang Sangkal Putung.
Hampir semua orang telah
berpesan kepada Ki Waskita, agar mereka berdua dengan anaknya berhati-hati di
sepanjang perjalanan.
“Masa ini adalah masa yang
tidak dapat diperhitungkan sebaik-baiknya Ki Waskita,” berkata seorang yang
berkumis lebat, tetapi sudah mulai ditumbuhi warna keputih-putihan,
”kadang-kadang kita tidak mengerti apa yang akan terjadi sebentar nanti.
Apalagi setelah Tambak Wedi dihancurkan. Mungkin ada sekelompok orang Tambak
Wedi yang tercerai dari kawan-kawannya dan melakukan perbuatan yang dapat
menghambat setiap perjalanan. Termasuk perjalanan Ki Waskita.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Baik Kiai. Aku akan berhati-hati. Aku akan mencari kesempatan
melintasi daerah-daerah sepi, di Tambak Baya misalnya, bersama beberapa orang
yang sekarang telah mulai banyak melintas di daerah itu. Baik ia menuju ke
Mataram, Pliridan, Mangir, Menoreh, maupun sebaliknya menuju ke Pajang.”
“Dan jalan yang ramai itu akan
dapat menjadi daerah jelajah yang subur bagi mereka yang kehilangan pegangan.”
Ki Waskita termenung sejenak.
Kemudian sambil tersenyum ia berkata, ”Memang mungkin. Tetapi semakin banyak
orang yang lewat jalan itu, maka aku kira justru akan menjadi semakin aman,
karena orang-orang yang bermaksud jahat harus mempertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari antara mereka, yang berada di
jalan itu.”
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar mengangguk-angguk. Sementara Ki Demang berkata, ”Ki Waskita, mungkin
dapat juga disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa kami akan datang dalam
jumlah yang barangkali cukup banyak. Selain sanak kadang yang ingin melihat
tlatah Tanah Perdikan Menoleh, juga untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat
terjadi diperjalanan.”
“Baiklah Ki Demang. Apakah Ki
Demang dapat menyebut berapakah kira-kira jumlah sesepuh Sangkal Putung dan
pengiring yang lain itu?“
Di luar sadarnya Ki Demang memandang
kearah Kiai Gringsing seolah-olah ingin mendapatkan pertimbangan.
Kiai Gringsing yang
mengetahuinya, bahwa Ki Demang tidak dapat menjawab pertanyaan itu, mencoba
untuk membantunya, ”Ki Waskita, aku kira hanya pengiring laki-laki sajalah yang
akan ikut ke Tanah Perdikan Menoreh. Dua atau tiga orang sesepuh, dan yang lain
adalah anak-anak muda kawan-kawan Swandaru. Bukan sekedar kawan bermain, tetapi
juga kawan bertempur sejak daerah ini masih terancam berbagai macam bahaya.”
Ki Waskita mengerti maksud
Kiai Gringsing. Namun ia masih bertanya, ”Jumlahnya?”
“Kira-kira dua puluh atau dua
puluh lima. Bukankah begitu Ki Demang?”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, ”Ya Kiai. Kira-kira sebanyak itu.”
“Tidak terlalu banyak,”
berkata Ki Waskita, ”di padukuhanku pengantin laki-laki kadang-kadang diiringi
oleh empat puluh orang beramai-ramai menuju ke rumah pengantin perempuan.”
“Tetapi sudah dengan pakaian
pengantin, membawa sepasang jodang berisi makanan dan kelengkapan sarana yang
lain. Berbeda dengan perjalanan Swandaru. Semuanya masih dalam keadaan seperti
sehari-hari. Kelengkapan pengantin akan dicari di Tanah Perdikan Menoreh. Juga
jodang dan isinya.”
“Tidak apa-apa. Rumah Ki Gede
Menoreh cukup luas. Gandoknya di sebelah kanan dan kiri. Kemudian rumah samping
dan ruang-ruang di dalam rumahnya. Jika masih kurang, maka setiap rumah akan
dapat dipergunakan untuk menginap berapapun jumlahnya. Apalagi hanya dua puluh
lima orang,” desis Ki Waskita, ”juga perabotnya cukup, dan apalagi persediaan
jamuan. Sudahlah, tidak akan ada yang mengecewakan. Namun demikian, aku akan
mengatakannya juga. Bukan saja persediaan selengkapnya di padukuhan induk,
namun juga di jalan-jalan. Di hari-hari panjang. Dari ujung Tanah Perdikan
sampai ke padukuhan induk.”
Ki Demang tertawa. Katanya,
”Terima kasih. Jika Mataram juga berbuat demikian, maka aku akan berterima
kasih sekali.”
“Apakah aku juga harus
mengatakannya kepada Ki Lurah Branjangan?” bertanya Ki Waskita.
“Ah, tentu tidak. Apakah
artinya perjalanan Swandaru itu bagi Mataram. Tentu kami tidak akan dapat
berbuat deksura seperti itu.”
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Tentu bukan suatu sikap deksura. Jika Swandaru dan Agung Sedayu bersama
gurunya belum penuh berbuat sesuatu untuk Mataram, maka sudah barang tentu hal itu
dapat dianggap suatu sikap deksura. Apalagi setelah Raden Sutawijaya mendapat
gelar Senapati Ing Ngalaga.”
“Ah, sudahlah,” potong Kiai
Gringsing, ”aku kira di sepanjang jalan di wilayah Mataram, tidak akan terjadi
sesuatu. Meskipun Tambak Baya masih berupa hutan belukar. Atas keyakinan itu
pula maka aku berani melintasinya, meskipun harus menunggu iring-iringan yang
lewat.”
“Ah,” Ki Demang berdesah, ”Ki
Waskita terlampau merendahkan diri. Seisi hutan Tambak Baya akan merunduk jika
mereka tahu siapakah yang lewat, yang mampu berbuat sesuatu yang tidak dapat
dilakukan oleh orang lain.”
“Ah, Ki Demang memuji,” Ki
Waskita tertawa.
Demikianlah, maka mereka masih
sempat berbicara dan berkelakar. Baru kemudian setelah jauh malam, Ki Waskita
pun meninggalkan pendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Besok
pagi-pagi benar Ki Waskita dan Rudita akan meninggalkan Sangkal Putung menuju
ke Mataram, dan seterusnya ke Tanah Perdikan Menoreh.
Di gandok, Ki Waskita pun
segera merebahkan dirinya. Ia ingin beristirahat, setelah dalam beberapa hari
ia disibukkan oleh hilangnya Rudita, dan kemudian disusul dengan peperangan
yang menggetarkan lereng Gunung Merapi.
Tetapi ternyata Ki Waskita
tidak dapat segera tidur. Ia mulai membayangkan gerakan pasukan Kiai Kalasa
Sawit yang meninggalkan lereng sebelah timur Gunung Merapi. Jika pasukan itu
melingkar, kemudian menyusup hutan-hutan lebat di lembah antara Gunung Merapi
dan Gunung Merbabu, maka pasukan itu akan muncul disebelah barat Gunung Merapi.
Mereka dapat melanjutkan gerakan ke barat atau ke selatan.
Dada Ki Waskita berdesir. Ia
teringat kepada beberapa orang yang melintasi Kali Praga lewat tlatah Tanah
Perdikan Menoreh menuju ke Barat
“Apakah mereka akan menuju ke
utara, dan pada suatu saat bertemu dengan pasukan Kiai Kalasa Sawit?”
pertanyaan itu timbul di hati Ki Waskita. Lalu, ”Meskipun cara mereka berbeda,
namun ternyata bahwa kedua pusaka itu pada suatu saat akan dipertemukan oleh
orang-orang yang membawanya ke arah yang berlainan itu.”
Tiba-tiba dada Ki Waskita
menjadi semakin berdebar-debar. Terbayang olehnya, beberapa orang yang memiliki
kemampuan yang tinggi, setingkat dengan Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja,
bahkan Panembahan Agung dan Panembahan Alit, pada suatu saat berkumpul untuk
mempertemukan pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.
Dan tempat yang mereka pilih
justru adalah Tanah Perdikan Menoleh.
Ki Waskta menarik nafas
dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, ”Tentu bukan Tanah Perdikan
Menoreh. Daerah itu memiliki kemampuan yang akan dapat mengganggu pertemuan
itu, jika benar akan diadakan pertemuan serupa itu.”
Tetapi Ki Waskita pun tidak
dapat menjamin, bahwa mereka tidak akan memilih Tanah Perdikan Menoreh.
“Bagaimana di bekas Padepokan
Panembahan Agung? Kiai Kalasa Sawit memilih Padepokan Tambak Wedi untuk singgah
dan tinggal beberapa lamanya,” katanya di dalam hati, ”sehingga ada kemungkinan
mereka mempergunakan Padepokan Panembahan Agung sebagai tempat untuk
mempertemukan kedua pusaka itu dengan pembicaraan-pembicaraan tentang hari
depan mereka yang merasa dirinya keturunan Majapahit dan mempunyai wewenang
atas kerajaan yang untuk beberapa saat berada di tangan Sultan di Pajang.”
Tetapi Ki Waskita sama sekali
tidak menyatakan isi hatinya yang bergejolak itu. Ia masih saia tetap berbaring
diam di pembaringan, betapapun hatinya bagaikan menerawang seisi bumi.
Namun ternyata kegelisahan
serupa itu, ada juga di hati orang-orang lain yang mengetahuinya. Kiai
Gringsing, kedua murid-muridnya dan Ki Sumangkar. Hanya Rudita sajalah yang
sama sekali tidak mengacuhkannya, dan karena itu, ia pun tidur dengan
nyenyaknya.
Meskipun ada beberapa
perbedaan, namun ada juga persamaan dugaan antara orang-orang tua itu. Mereka
pun membayangkan lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dan mereka pun
membayangkan orang-orang yang menyeberangi Kali Praga telah bergeser ke utara.
Bahkan mereka pun seolah-olah telah menyentuh dengan angan-angan Padepokan
Panembahan Agung di ujung pegunungan.
Tetapi ketika malam menjadi
semakin dalam, justru setelah menjelang dini hari, orang-orang tua itu pun
sempat juga tidur barang sejenak. Namun ketika fajar mulai menyingsing, mereka
pun telah terbangun.
Ki Waskita segera
mempersiapkan diri. Demikian pula Rudita. Meskipun agaknya Rudita merasa segan
untuk pulang, karena keinginannya untuk merantau ke tempat yang belum pernah
dikunjungi masih saja menyala di dadanya, namun ayahnya telah memintanya dengan
sungguh-sungguh agar Rudita mengunjungi ibunya lebih dahulu.
Demikianlah, menjelang
matahari naik ke atas cakrawala, maka Ki Waskita dan Rudita pun minta diri
sekali lagi kepada Ki Demang dan keluarganya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya
serta Ki Sumangkar, juga para bebahu yang sengaja ingin mengantarkan
keberangkatan Ki Waskita.
Dengan berkendaraan masing-masing
seekor kuda yang tegar, mereka pun kemudian meninggalkan Kademangan Sangkal
Putung menuju ke barat.
Semula terbersit pula
keinginan Ki Waskita untuk melakukan petualangan dengan menempuh jalan yang
berbahaya di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Tetapi ketika ia teringat
bahwa ia membawa pesan untuk Mataram, maka maksudnya itu pun dibatalkannya.
Apalagi ketika disadarinya bahwa kawannya kali ini adalan seorang yang aneh.
Rudita tentu bersikap lain dengan sikap yang dikehendakinya apabila ia bertemu
dengan bahaya di perjalanan.
Karena itulah, maka Ki Waskita
memutuskan untuk menempuh jalan yang paling aman. Lewat jalan yang sudah
menjadi semakin ramai, meskipun harus melintasi Alas Tambak Baya.
Orang-orang Sangkal Putung
melepas Ki Waskita dan Rudita dengan hati yang berdebar-debar. Bukan saja
karena daerah di lereng Merapi yang baru saja dilanda kekisruhan, yang memang
mungkin sekali akan meluap ke selatan, tetapi juga karena Ki Waakita membawa
pesan-pesan bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan
hari perkawinan Swandaru.
“Tetapi ia orang linuwih,”
desis Ki Demang, ”ia tentu dapat mengatasi kesulitan apapun di perjalanan.”
Kiai Gringsing yang mendengar
desis itu pun mengangguk kecil. Katanya, ”Apalagi jalan memang sudah menjadi
bertambah ramai dan aman. Jika tidak ada sesuatu yang tiba-tiba saja meledak di
daerah Tambak Baya atau di ujung Tanah Mataram yang sudah menjadi tanah yang
ramai, maka perjalanan Ki Waskita tidak akan menjumpai kesulitan apapun juga.”
“Mudah-mudahan. Dan
mudah-mudahan hal itu berlaku pula bagi iring-iringan pengantin beberapa hari
lagi.”
“Beberapa hari lagi?” bertanya
Kiai Gringsing.
“Ya. Tidak ada sebulan lagi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Hari-hari berlalu dengan cepatnya. Saat perkawinan itu
memang sudah tidak ada sebulan lagi. Karena itu, maka segala persiapan memang
harus sudah selesai. Pada waktunya tidak akan ada persoalan-persoalan lain yang
akan dapat menghambat hari perkawinan itu. Apalagi jarak yang akan ditempuh
adalah jarak yang cukup jauh bagi iring-iringan pengantin.
“Iring-iringan pengantin yang
akan melalui daerah yang bergolak,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Dalam pada itu, Ki Waskita dan
Rudita pun berpacu semakin cepat. Ada kegembiraan di hati anak muda itu ketika
mereka melintasi bulak-bulak yang panjang, sawah yang subur dan hijau, dan
angin pagi yang mengelus wajahnya yang jernih.
Dengan gembira ia melihat
beberapa orang yang berada di tengah-tengah sawahnya. Laki-laki dan perempuan.
Bahkan anak-anak yang riang duduk di atas punggung kerbau.
“Itulah kehidupan yang wajar,”
tiba-tiba saja ia berdesis.
Ayahnya berpaling kepadanya.
Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, ”Apa yang kau katakan Rudita?”
“Kehidupan yang wajar Ayah.
Lihatlah, betapa damainya hati melihat anak-anak yang menggembalakan kerbaunya.
Mereka duduk di atas punggung kerbau sambil bermain seruling. Yang lain
menyabit rumput sambil berdendang. Sedangkan orang tua mereka mengerjakan
sawahnya dengan tenang. Mencangkul, menanam padi dan menyianginya. Jika padi
itu kelak berbuah, maka buahnya akan menjadi makanan bagi banyak orang.”
“Ya Rudita. Itulah kehidupan
yang wajar, yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya setiap petani.”
“Jika para petani dapat
mengerjakan sawahnya dan hidup tenang, maka para pedagangpun akan terpengaruh
pula Ayah. Mereka dapat menjual dagangannya dengan baik. Juga para prajurit
akan dapat menikmati hidup mereka dalam suasana yang damai. Para pemimpin
pemerintahan tidak menjadi pening oleh kesulitan hidup rakyatnya, lahir dan
batinnya.”
“Ya, kau benar Rudita.”
Rudita merenung scejenak.
Namun kemudian katanya dengan nada rendah, ”Tetapi Ayah, kenapa kadang-kadang
kehidupan yang tenang damai itu harus dirusakkan?”
Ki Waskita sudah menduga,
bahwa akhirnya pertanyaan yang demikian itu akan terlontar dari mulut anaknya.
Karena itu, ia telah menyusun jawabnya, ”Alangkah jahatnya orang yang merusak
kedamaian itu.”
“Dan Ayah pun kadang-kadang
terlibat pula di dalamnya?”
”Rudita,” berkata ayahnya yang
sudah menduga pula akan datangnya pertanyaan itu, ”apakah kau dapat membedakan,
orang yang merusak kedamaian itu dan orang yang ingin mempertahankan kedamaian
itu?”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Setiap kali aku selalu menjumpai sifat yang penuh curiga
seperti itu. Ayah, kapan Ayah tidak lagi mencurigai sesama?”
Pertanyaan itulah yang tidak
diduganya. Karena itu, untuk beberapa saat Ki Waskita tidak menjawabnya.
Dalam pada itu Rudita berkata
selanjutnya, ”Dalam waswas dan curiga, seseorang mempersiapkan dirinya untuk
melakukan kekerasan. Ia bersiaga untuk melindungi kedamaian yang menurut
dugaannya yang dibayangi oleh kecurigaan dan waswas itu selalu terancam. Tetapi
kesiagaannya itu telah mengundang kecurigaan orang lain pula terhadapnya.”
“Rudita,” berkata ayahnya
kemudian, ”aku ingin dapat berpikir, bertindak dan bertingkah laku seperti kau.
Tetapi aku tidak mampu. Aku masih dipengaruhi oleh ketakutan, kecemasan, dan
karena itu aku masih selalu dibayangi oleh kecurigaan, dan waswas. Namun
barangkali kau akan dapat mengembangkannya terus. Dan aku dapat mengerti. Jika
saatnya nanti datang, sikapmu itu telah menjadi sikap banyak orang, maka kita
akan sampai pada suatu masa yang di rindukan oleh setiap manusia.”
Rudita mengerutkan keningnya.
Namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi
batu-batu kerikil yang bertebaran disepanjang jalan di bawah kaki kudanya.
“Ayah,” ia berdesis, ”apakah
menurut perhitungan Ayah, atau katakanlah penglihatan isyarat Ayah, dunia ini
akan mengalami suatu masa dimana orang tidak saling bercuriga, saling
mengganggu, dan apalagi saling bermusuhan dengan bekal kekerasan dan dendam?”
Pertanyaan itu pun sama sekali
tidak diduga oleh Ki Waskita. Namun ia menjawab juga, ”Aku tidak dapat memperhitungkan
Rudita. Dan aku tidak dapat melihat dalam isyarat, apa yang akan terjadi di
masa mendatang. Peradaban manusia semakin lama menjadi semakin maju. Orang akan
menjadi semakin pandai dan menemukan berbagai macam alat yang belum pernah
dikenal sebelumnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah hati manusia juga menjadi
semakin lembut atau justru sebaliknya. Rudita, jika semula manusia tidak
mengenal bercocok tanam, dan kini kita sudah sampai pada suatu jaman di mana
kita dapat mempergunakan cangkul dan bajak untuk mengerjakan sawah dengan hasil
yang semakin berlipat, namun itu tidak berarti bahwa kita menjadi semakin
tenang dalam limpahan makan yang kecukupan.”
Rudita mengangguk-angguk.
“Perkembangan kemajuan
berpikir manusia, melahirkan alat-alat yang dapat mempermudah tata hidupnya.
Tetapi sejalan dengan itu, manusiapun melahirkan alat-alat untuk melakukan
tindak kekerasan. Kini jenis senjata menjadi semakin banyak. Jika semula kita
mempergunakan batu yang kita lontarkan dalam ujudnya sejenis dengan bandil, sekarang
kita mengenal busur dan anak panah. Mungkin dimasa mendatang manusia akan
mengenal jenis-jenis alat pembunuh yang lebih dahsyat lagi.”
“Jika demikian, menurut Ayah,
maka manusia tidak sedang berjalan menuju ke dalam kehidupan yang lebih tenang,
tetapi sebaliknya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Tidak seorangpun yang dapat mengatakannya Rudita. Tetapi
tetaplah pada keyakinanmu, karena dalam kecemasan, curiga dan waswas, setiap
manusia masih tetap merindukan perdamaian, ketenangan dan kehidupan wajar
seperti yang kita lihat secuil dari seluruh wajah kehidupan ini.”
Rudita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Ya, kita melihat satu sudut kehidupan. Tetapi jika kita melihat sudut
yang lain, kita akan menjadi ngeri karenanya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Rudita itu memang benar. Rudita adalah
anak muda yang pernah mengalami perasaan takut yang hampir setiap saat
mencengkamnya. Karena itulah maka ia dapat merasakan dengan sedalam-dalamnya
perasaan takut yang menghantui orang-orang lain. Dan perabaan, takut adalah
perasaan yang paling menyiksa dalam hidup seseorang.
Tetapi pada saat manusia
sedang bergulat mempertahankan dirinya dari sesamanya yang sedang dicengkam
oleh nafsu dan ketamakan, maka sikap Rudita rasa-rasanya adalah sikap yang
sulit untuk dimengerti. Dengan demikian maka Rudita rasa-rasanya menjadi orang
asing di antara sesama manusia.
Karena ayahnya tidak menjawab,
maka Rudita pun untuk beberapa lamanya berdiam diri pula. Kuda mereka masih berpacu
meyelusuri jalan-jalan di bulak panjang.
“Jika kita tidak melihat warna
kehidupan di sudut lain, rasa-rasanya hidup di daerah ini memang menyenangkan
sekali,” berkata Rudita di dalam hatinya. Tetapi jika ia mengenang pertempuran
yang diceriterakan ayahnya di lereng Merapi tidak jauh dari tempat itu, maka
bulu-bulunyapun meremang. Rudita tidak lagi menjadi ketakutan karena dirinya
sendiri. Tetapi ia ngeri membayangkan betapa perasaan takut itu mencengkam
anak-anak dan perempuan di lereng Merapi itu.
“Dan tentu akan menjalar
sampai ke tempat yang jauh. Bahkan akan bercampur-baur dengan
persoalan-persoalan lain yang dapat tumbuh di Mataram dan Pajang,” katanya
kepada diri sendiri.
Tetapi ia masih tetap berdiam
diri.
Sejenak kemudian, maka
perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat. Di hadapan mereka terbentang
hutan yang masih cukup lebat meskipun di tengah-tengah hutan itu telah berhasil
dibuat sebuah jalan yang cukup rata, menusuk langsung menembus hutan itu sampai
ke tlalah Alas Mentaok dan Mataram.
“Jalan ini nampaknya agak
sepi,“ berkata Ki Waskita, ”kita belum bertemu atau mendahului seseorang.“
Rudita menggeleng. Jawabnya,
”Tidak Ayah. Jalan ini tentu tidak sepi. Seandainya jalan ini memang tidak
sedang dilalui orang, namun jalan ini tidak akan menumbuhkan hambatan apapun
atas perjalanan kita.”
“Kau yakin?”
“Jika jalan ini tidak aman
Ayah, maka aku kira sawah-sawah di sebelah menyebelah jalan ini pun tidak akan
digarap oleh pemiliknya. Tetapi sawah di sebelah menyebelah jalan ini, bahkan
sampai ke hutan perdu di pinggir Alas Tambak Baya itu nampaknya digarap dengan
baik.”
Ayahnya mengangguk-angguk. Ia
sependapat dengan Rudita. Tetapi dalam keadaan yang lain, yang betapapun juga,
Rudita memang selalu berprasangka baik. Ia sama sekali tidak menyesal meskipun
dengan demikian akibatnya kadang-kadang tidak menguntungkan baginya. Namun ia
tetap pada sikapnya.
Demikianlah mereka berduapun
berpacu terus mendekati Alas Tambak Baya. Namun seperti yang dikatakan oleh
Rudita, jalan itu memang tidak terlalu sepi. Mereka melihat dua orang berkuda
dari arah yang berlawanan. Keduanya muncul dari mulut lorong di Alas Tambak
Baya yang masih nampak lebat dan besar
“Kita berhenti sejenak di
mulut jalan yang memasuki hutan itu,” berkata Ki Waskita.
Rudita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Aku sebenarnya juga haus.”
“Di pinggir jalan sebelum
hutan perdu itu terdapat sebuah warung. Jika tidak terjadi sesuatu, warung itu
tentu masih ada.”
Rudita masih
mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia bertanya, ”Apakah penjual di warung itu
tidak takut kepada binatang buas yang mungkin sekali-sekali keluar dari Alas
Tambak Baya?”
“Mereka tentu sudah bersedia
menghadapi kemungkinan itu. Apalagi jalan menjadi semakin ramai,” jawab
ayahnya.
“Binatang hutan tidak memiliki
perkembangan akal budi. Itulah sebabnya maka ada kemungkinan yang buruk dapat
terjadi karena tingkah lakunya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Hampir saja ia mengatakan bahwa yang berbahaya justru orang-orang
yang bermaksud buruk. Tetapi jika ia mengatakannya juga, maka Rudita tentu akan
tersinggung.
Karena itu, maka Ki Waskita
pun hanya mengangguk-angguk saja. la tidak mengucapkan kata-kata yang sudah
hampir terloncat dari bibirnya itu.
Ketika mereka menjadi semakin
dekat, maka ternyata mereka masih menemukan warung itu di tempatnya. Ki Waskita
pun kemudian mengajak Rudita untuk berhenti sejenak. Mereka masih sempat
meneguk beberapa mangkuk dawet dan beberapa potong makanan sambil menunggu
orang-orang lain yang akan lewat. Dengan demikian maka mereka mempunyai kawan
melintasi Alas Tambak Baya.
“Kenapa harus menunggu Ayah?”
bertanya Rudita, ”nanti kita kemalaman di jalan.”
“Tidak apa-apa. Tetapi
melintas Alas Tambak Baya lebih baik berkawan. Bukan karena takut. Tetapi
rasa-rasanya sepi sekali.”
Rudita mengangguk-angguk lagi.
Ki Waskita menggigit bibirnya.
Rasa-rasanya jawabannya sudah benar. Jika ia mempergunakan alasan-alasan lain,
maka akan segera timbul persoalan lagi pada diri anaknya.
Bahkan Rudita pun kemudian
berkata, ”Jalan ini memang seperti sebuah terowongan yang panjang. Menarik
sekali. Tetapi sebentar lagi akan menjadi sangat gelap. Lebih gelap dari
suasana di luar hutan.”
“Sudah tentu Rudita. Sinar
matahari seolah-olah dibatasi oleh rimbunnya dedaunan hutan. Tetapi tidak apa.
Kita masih mempunyai waktu yang cukup.”
Rudita mengangguk-angguk.
Sekali-sekali ia memandang jalan yang panjang di depan warung itu. Jalan yang
melintas d itengah-tengah sawah dan kemudian menyusup ke tengah-tengah hutan.
Ternyata kemudian beberapa
orangpun telah singgah pula di warung itu. Mereka juga menuju ke barat,
memasuki hutan Tambak Baya.
Namun nampak di wajah mereka,
bahwa Tambak Baya bukan lagi hantu yang menakutkan,
Ki Waskita dan Rudita pun
kemudian mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanannya bersama orang-orang
itu. Tetapi Ki Waskita kemudian mengambil keputusan untuk tidak saling menegur
dengan mereka. Setiap percakapan sesuai dengan pendapat dan sikap seseorang,
tentu akan terasa asing bagi Rudita dan sebaliknya.
“Apakah kita akan pergi
bersama mereka Ayah?” bertanya Rudita, ketika mereka sudah keluar dari warung
itu.
”Ya.”
“Tetapi Ayah tidak menegur
mereka dan bertanya, kemana mereka akan pergi.”
Ayahnya menarik nafas.
Jawabnya, ”Tidak Rudita. Kadang-kadang memang timbul keinginan untuk saling
menegur dengan orang lain. Tetapi kadang-kadang kita merasa bahwa kita tidak
ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang barangkali tidak kita mengerti
jawabnya.”
Rudita menarik nafas. Katanya,
”Jadi apakah untungnya kita menunggu kawan yang tidak kita kenal? Semula Ayah
ingin memecahkan kesepian di perjalanan.”
“Jika kita merasa bahwa
perjalanan kita tidak sendiri, rasa-rasanya kita sudah menjadi tidak terlampau
kesepian, meskipun kita tidak saling menegur.”
Ada sesuatu yang tersirat di
mata Rudita. Tetapi Rudita tidak mengatakannya. Namun yang tidak dikatakannya
itu seolah-olah dapat dibaca oleh Ki Waskita, ”Ayah telah dicengkam kecurigaan
itu lagi. Apakah terkejut kepada kemungkinan hadirnya beberapa orang penyamun,
atau kepada orang-orang yang bersama pergi ke Mataram atau ke arah lain yang
melintasi Alas Tambak Baya.”
Ki Waskita termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia tidak mengambil sikap apapun juga. Ia tetap pada
pendiriannya. Lebih baik Rudita menganggapnya bersalah daripada harus berbantah
dengan orang lain yang sama sekali tidak memahami sikap dan jalan pikiran
anaknya, seperti juga anaknya tidak dapat memahami sikap dan jalan pikiran
orang lain.
Dengan demikian, maka Ki
Waskita dan Rudita pun hanya sekedar berkuda di belakang iring-iringan yang
menuju ke arah yang sama. Mereka berpacu secepat orang-orang lain yang berada
di hadapan mereka.
Tetapi dengan demikian,
beberapa orang berkuda yang mendahului kedua ayah dan anaknya itulah yang
justru bertanya-tanya di dalam hati mereka. Dua orang berkuda di belakang
mereka, seakan-akan tidak mau bergabung dengan mereka, dan bahkan mengikuti
iring-iringan yang melintasi Alas Tambak Baya itu.
Tetapi orang-orang itu pun
kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dua orang itu tentu tidak akan dapat
berbuat apa-apa atas mereka yang beriringan dalam jumlah yang lebih banyak.
Dengan demikian maka mereka
pun kemudian melintasi Alas Tambak Baya tanpa mengalami gangguan apapun. Tambak
Baya telah benar-benar menjadi aman. Mereka memasuki daerah di seberang hutan
itu dengan hati yang lega. Tetapi, mereka masih tetap dalam iring-iringan
menuju ke Alas Tambak Baya yang lebih lebat, tetapi yang sebagian sudah dibuka
menjadi daerah tempat tinggal. Menjadi padukuhan dan padesan dengan tanah
persawahan yang sudah dapat menghasilkan. Parit-parit yang menelusuri pematang,
membuat tanah itu menjadi subur dan hijau di sepanjang tahun, meskipun musimnya
sedang kering.
“Kita sudah memasuki Tanah
Mataram yang mulai ramai dan besar,” berkata Ki Waskita.
Rudita mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak menjawab.
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Sekilas ia memandang wajah anaknya yang berkerut merut. Namun
kemudian ia pun kembali memandang ke depan. Ke jalan yang menjelujur di hadapan
kaki kudanya. Seakan-akan dilihatnya langit yang sudah menjadi semakin suram.
”Rudita tentu sedang
memikirkan perkembangan Mataram,” berkata Ki Waskita di dalam hati.
Belum lagi Ki Waskita sampai
pada suatu kesimpulan, ia sudah mendengar Rudita bertanya, ”Apakah usaha Raden
Sutawijaya membuka Alas Mentaok itu bijaksana Ayah?”
Ki Waskita termenung sejenak.
Namun ialah yang kemudian bertanya, ”Kenapa?”
“Apakah dengan demikian tidak
akan timbul persoalan dengan Pajang?”
“Kenapa? Kanjeng Sultan sudah
menyerahkan Alas Mentaok ini kepada Ki Gede Pemanahan, ayahanda Raden
Sutawijaya. Adalah hak Raden Sutawijaya untuk membuka hutan ini. Bahkan
kemudian ia menerima anugerah gelar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di
Mataram.”
Rudita memandang ayahnya
sekilas. Lalu, ”Mudah-mudahan memang tidak. Setiap pertentangan membuat hati
menjadi sedih. Cerita yang pernah aku dengar tentang Matarampun membuat aku
cemas.”
“Rudita,” berkata ayahnya,
”kau menganggap aku selalu mencurigai orang lain. Tetapi apakah sikapmu itu
justru bukan sikap mencurigai. Justru berlebih-lebihan? Kau selalu cemas dan
sedih jika kau menghadapi kemungkinan timbulnya pertentangan. Apakah dengan
demikian bukan justru di hatimu sendiri telah tumbuh pertentangan itu?”
Rudita termenung sejenak.
Namun kemudian ia pun tersenyum. Dipandanginya ayahnya sejenak, lalu jawabnya,
”Ayah. Aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang lemah dan jauh
daripada sempurna. Jika Ayah sependapat, maka yang ada di daiam hatiku bukanlah
kecurigaan. Tetapi ketakutan dan kecemasan. Masih seperti dahulu. Hatiku selalu
dibayangi oleh angan-angan yang menyeramkan. Mungkin yang dapat Ayah lihat
perbedaan yang ada pada diriku adalah semata-mata keadaan lahiriah. Aku kini
memang tidak menakutkan dan mencemaskan diriku sendiri dalam arti yang terbatas
sekali. Karena sebenarnyalah ketakutanku tentang diriku sendiri itu pun belum
berubah. Ternyata dengan usahaku mempelajari ilmu yang terdapat di dalam lontar
Ayah, agar aku dapat melindungi diriku sendiri, itu adalah kelemahanku yang
paling nampak seperti yang pernah aku katakan. Tetapi lebih daripada itu, aku
sekarang justru dibebani pula oleh ketakutan dan kecemasan, bahwa setiap saat
sifat manusia disekitarku selalu menumbuhkan persoalan persoalan di antara
mereka sendiri. Persoalan-persoalan yang sama sekali tidak menumbuhkan
perkembangan kepribadian, paradaban dan usaha-usaha yang dapat bermanfaat bagi
hidup dan kehidupan mereka. Tetapi justru sebaliknya. Persoalan-persoalan yang
dapat menumbuhkan keributan, pertentangan dan bahkan pembunuhan. Persoalan yang
akan dapat meruntuhkan pribadi mereka sebagai manusia dan juga peradaban yang
bermanfaat bagi hidup kehidupan.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia tidak menjawab lagi. Tetapi ia mencoba untuk mengerti dan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dengan demikian maka mereka
untuk seterusnya tidak lagi banyak berbicara. Ki Waskita yang mencoba mengerti
jalan pikiran anaknya, masih saja dibayangi oleh berbagai macam masalah yang
sulit dipecahkan. Namun dalam beberapa hal ia sudah dapat menangkapnya.
Demikianlah maka perjalanan
mereka pun semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan induk yang menjadi
pusat pemerintahan di Mataram. Padukuhan yang menjadi semakin ramai dan sudah
mekar menjadi sebuah kota yang diputari oleh dinding batu yang rapi, dengan
empat buah regol di empat penjuru, ditambah lagi beberapa regol butulan yang
lebih kecil.
Tetapi perkembangan kota itu
ternyata menjadi jauh lebih pesat dari yang diduga semula. Di luar dliding
batupun kemudian berkembang pula bagian-bagian kota yang cukup ramai pula,
sehingga Mataram harus merencanakan membuat batasan kota yang lebih luas lagi
dengan regol-regol baru pula. Namun agaknya Mataram masih harus menunggu.
Apalagi sejak Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan
berkedudukan di Mataram itu sedang melakukan sebuah pengembaraan untuk menempa
dirinya.
Sebelum matahari lenyap di
balik cakrawala, Ki Waskita dan Rudita telah berada di ujung jalan yang
memasuki bagian luar dari Mataram. Sejenak mereka termangu-mangu. Wajah senja
yang membayang di langit membuat Mataram nampak suram.
“Kita akan langsung masuk ke
dalam regol,” berkata Ki Waskita yang masih terhenti di tengah jalan.
Rudita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Kota ini akan semakin berkembang Ayah.”
“Ya. Mudah-mudahan tidak ada
persoalan yang akan menghambanya.”
Ki Waskita menjadi
berdebar-debar ketika ia melihat wajah anaknya yang berkerut. Tetapi ternyata
Rudita tidak mengatakan sesuatu.
“Marilah,” berkata Ki Waskita,
”kita memasuki kota.”
Keduanyapun kemudian
melanjutkan perjalanan mereka yang sudah menjadi semakin pendek. Ketika mereka
mendekati regol, maka beberapa orang sudah nampak menyalakan lampu minyak di
regol halaman masing-masing. Sedangkan dari celah-celah dinding rumah-rumah itu
pun cahaya lampu nampak berkeredipan disentuh angin senja.
Langitpun semakin lama menjadi
semakin suram. Sementara lampupun rasa-rasanya menjadi semakin banyak menyala
di sepanjang jalan.
Regol kota Mataram masih tetap
terbuka, dan bahkan selalu terbuka, sesuai dengan sifat kotanya yang memang
terbuka. Meskipun demikian, di regol itu nampak beberapa orang pengawal yang
berjaga-jaga. Di sebuah gardu di sebelah regol itu, beberapa orang pengawal
duduk dan bercakap-cakap di antara mereka. Sedang dua orang di antara para
pengawal itu siap berdiri di kedua sisi regol itu dengan tombak di tangan.
Tetapi para pengawal itu tidak
pernah menegur dan menyapa orang-orang yang lalu lalang masuk keluar regol
kecuali mereka yang memang dapat menumbuhkan kecurigaan.
Demikianlah Ki Waskita dan
Rudita pun langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya, yang ditunggui oleh
beberapa orang pengawal kepercayaan Senapati Ing Ngalaga, termasuk Ki Lurah
Branjangan.
Kedatangan Ki Waskita diterima
dengan senang hati oleh para pemimpin di Mataram. Kunjungan itu rasa-rasanya
merupakan kunjungan yang dapat sedikit memberikan suasana yang lain bagi para
pemimpin di Mataram.
Setelah saling menyapa tentang
keselamatan masing-masing maka Ki Waskita dan Rudita yang duduk di pendapa itu
pun kemudian dipersilakan meneguk minuman panas dan sekedar makanan yang telah
dihidangkan.
“Aku hanya sekedar singgah,”
berkata Ki Waskita, ”aku sedang dalam perjalanan pulang, mengantarkan anakku
yang selama ini membingungkan hati ibunya.”
“O,” para pemimpin itu
mengangguk-angguk. Namun kembali Ki Waskita menjadi berdebar-debar melihat
sikap Rudita.
Tetapi ternyata Rudita tidak
mengatakan sesuatu. Bahkan ia menundukkan wajahnya yang menjadi
kemerah-merahan, karena setiap orang telah memandanginya.
“Jika Ki Waskita telah
beristirahat sejenak, telah minum dan sekedar makanan, maka kami persilahkan Ki
Waskita pergi ke pakiwan bersama dengan putra Ki Waskita. Kami persilahkan
berdua mempergunakan gandok sebelah, apabila Ki Waskita akan berganti pakaian
dan untuk beristirahat malam nanti. Sementara kami menunggu Ki Waskita dan
Angger Rudita untuk makan malam bersama,” berkata Ki Lurah Branjangan.
Ki Waskita tertawa. Katanya,
”Aku selalu membuat repot saja disini.”
Ki Lurah tertawa pula.
Jawabnya, ”Kami biasa menyediakan makan dan minum untuk banyak orang. Jika Ki
Waskita berdua dengan Anakmas Rudita menambah jumlah itu dengan dua, maka aku
kira tidak akan banyak berpengaruh.”
Demikianlah Ki Waskita dan
Rudita segera diantar ke gandok. Mereka pun kemudian pergi ke pakiwan untuk
membersihkan diri. Baru kemudian mereka berdua naik lagi ke pendapa. Di pendapa
ternyata sudah disediakan sederet hidangan makan malam. Bukan hanya untuk Ki
Waskita dan Rudita, tetapi juga untuk para pemimpin Mataram yang lain yang
kebetulan ada di rumah itu bersama para pemimpin pengawal.
Sejenak kemudian, maka mereka
pun segera makan bersama. Sambil berbicara serba sedikit tentang kemajuan
Mataram sepeninggal Raden Sutawijaya.
Tetapi Ki Waskita sendiri
tidak banyak menanggapi pembicaraan mereka, seolah-olah ia sedang menikmati
hidangan yang ada di hadapannya itu sebaik-baiknya.
Bahkan kemudian setelah mereka
selesai makan malam, Ki Waskita pun berkata, ”Maaf Ki Lurah. Barangkali anakku
masih terlalu lelah. Biarlah ia minta diri untuk segera beristirahat.”
“O, silahkan. Silahkan Ngger,”
berkata Ki Lurah Branjangan.
Rudita, yang mendengar
kata-kata ayahnya itu justru menjadi heran. Ia sama sekali tidak merasa lelah.
Dan sebenarnya ia masih ingin duduk untuk mendengarkan pembicaraan tentang
Tanah Mataram yang sedang berkembang itu.
“Marilah Rudita,” berkata
ayahnya, lalu katanya kepada Ki Lurah Branjangan, ”aku masih akan berbicara
dengan Ki Lurah meskipun hanya sekedar bergurau.”
Rudita tidak menjawab. Ia pun
kemudian mengikuti ayahnya pergi ke gandok.
“Aku sama sekali tidak lelah,”
berkata Rudita ketika mereka sudah berada di gandok.
“Aku tahu Rudita. Kau sama
sekali tidak lelah dan tidak mengantuk. Apalagi ingin beristirahat. Tetapi
untuk sementara, sebaiknya kau beristirahat,” sahut ayahnya, ”aku minta maaf
bahwa pembicaraan untuk selanjutnya tentu tidak akan sesuai dengan jalan
pikiranmu. Karena itu, lebih baik kau tidak ikut mendengarnya seperti sikap
yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung,” ayahnya berhenti sejenak, lalu,
”itu agaknya memang lebih baik bagimu. Kau sama sekali tidak akah dibebani oleh
perasaan bersalah atau bahkan seperti yang kau sebut, ketakutan dan kecemasan.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk sambil bergumam, ”Baiklah Ayah.
Aku akan berbaring saja di pembaringan.”
Ayahnya menarik nafas. Tetapi
agaknya itulah yang paling baik bagi anaknya.
Sejenak kemudian maka
ditinggalkannya Rudita sendiri di dalam gandok. Meskipun ia agak ragu-ragu,
tetapi dipaksanya juga keputusannya untuk tidak membawa Rudita di dalam pembicaraan
tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.
Sementara Ki Waskita masuk
kedalam bilik, agaknya Ki Lurah Branjangan pun dapat menangkap pula maksud yang
lain, yang tersirat dari sikap itu. Agaknya Ki Waskita ingin berbicara tentang
sesuatu tanpa didengar oleh banyak orang.
Karena itu, maka Ki Lurah pun
mempersilahkan para pemimpin itu untuk kembali ke tugas masing masing, atau
pulang untuk beristirahat.
Karena itulah, ketika Ki
Waskita kembali ke pendapa, yang ada tinggallah beberapa orang yang memang
sudah mengetahui bahwa kedua pusaka yang menjadi pertanda jabatan dan kekuasaan
Mataram telah hilang.
Di pendapa, maka Ki Waskita
pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi di Jati Anom. Ia menceritakan
semua segi persoalan yang diketahuinya. Juga tentang sikap Untara, dan
kemungkinan bahwa Pajang memang belum mendengar bahwa kedua pusaka itu hilang
dari Mataram.
“Tetapi pada suatu saat,
orang-orang yang berhasil mengambil itu sendirilah yang akan membuka rahasia
hilangnya kedua pusaka itu,” berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.
“Jika kita berhasil segera
mendapatkannya kembali, maka mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Peristiwa di Jati Anom itu sangat menarik perhatiannya.
“Sayang, Raden Sutawijaya
masih belum kembali.”
“Dimanakah Raden Sutawijaya
sekarang? Barangkali telah ada kabar dari Raden Sutawijaya?”
“Raden Sutawijaya berada di
Pegunungan Sewu. Kami memang sudah membuat hubungan. Dan kami pun telah
memberitahukan, bahwa putranya ingin sekali bertemu untuk melihat wajahnya.”
“Putranya?”
“Ya. Masih terlalu kecil.
Putranya dengan gadis Kalinyamat itu.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
“Mereka ada di sini sekarang,
ibu dan putranya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut tentang putri dari
Kalinyamat dan putranya itu.
Ki Lurah Branjangan pun
agaknya tidak lagi ingin memperbincangkan putri Kalinyamat itu. Karena itulah
maka ia pun kemudian kembali pada pokok persoalannya. Katanya, ”jadi apakah menurut
Ki Waskita, pusaka itu sekarang masih ada di sekitar Gunung Merapi?”
“Ya Ki Lurah.”
“Apakah kita dapat mengirimkan
sepasukan pengawal Mataram untuk menemukan mereka? Jika akibatnya kita harus
bertempur seperti prajurit Pajang, maka kita tidak akan mundur. Pusaka itu
sudah sepantasnya direbut dengan pengorbanan.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Untunglah bahwa Rudita tidak ikut berbicara di antara mereka.
“Ki Lurah,” berkata Ki
Waskita, “kita sudah tertinggal beberapa hari. Dengan demikian, maka banyak
kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan bahwa Kiai Kalasa Sawit telah
meninggalkan daerah Gunung Merapi sejauh-jauhnya. Namun katakanlah bahwa
dugaanku benar, bahwa Kiai Kalasa Sawit masih berada di sekitar Gunung Merapi.
Maka usaha untuk menemukannyapun agaknya terlampau sulit.”
“Mungkin sangat sulit Ki
Waskita. Tetapi tanpa usaha apapun juga, kita juga tidak akan berhasil.”
“Untuk melakukannya, agaknya
kita harus memperhitungkan Pajang pula. Jika pasukan pengawal Mataram bertemu
dengan prajurit-prajurit Pajang, maka persoalannya akan berubah.”
“Kita melakukan tugas kita
masing-masing,” jawab Ki Lurah.
“Tetapi Pajang merasa
berkewajiban untuk menjaga dan melindungi seluruh wilayah Pajang. Panglima muda
dibagian selatan ini pun tentu berpendirian demikian pula.”
”Tetapi jangan lupa Ki
Waskita,” berkata Ki Lurah Branjangan, ”Raden Sutawijaya adalah putra Kanjeng
Sultan Pajang yang mendapat anugrah gelar dan jabatan Senapati Ing Ngalaga yang
berkedudukan di Mataram.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi ia pun kemudian bertanya, ”Tetapi Ki Lurah. Apakah anugrah yang diterima
oleh Raden Sutawijaya itu disertai dengan ketentuan lebih lanjut atas tugas dan
daerah wewenangnya? Jika Kiai Kalasa Sawit katakanlah masih berada di lereng
Gunung Merapi di sisi manapun juga, apakah kekuasaan Senapati Ing Ngalaga
mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan sesuatu atas mereka? Apa pula
hubungannya dengan kekuasaan prajurit Pajang di daerah itu yang masih belum
dicabut wewenangnya?”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Wajahnya perlahan-lahan tertunduk. Dengan nada yang datar ia
bergumam, ”Itulah yang masih kurang sekarang ini. Anugrah gelar dan jabatan
atas Raden Sutawijaya yang tidak disertai kepastian tugas dan wewenang.
Sedangkan yang disebut Mataram pun masih belum pasti. Yang dihadiahkan kepada
Ki Gede Pemanahan adalah Alas Mantaok. Tetapi ternyata negeri yang menjadi
ramai ini tidak hanya dibatasi oleh dinding hutan yang sekarang sudah hampir
seluruhnya ditebang.”
“Dengan demikian Ki Lurah,”
sahut Ki Waskita kemudian, “persoalan orang-orang yang berada di lereng Gunung
Merapi itu pun masih harus dipertimbangkan masak-masak, sehingga satu sama lain
tidak akan saling menyinggung.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Katanya, ”Ki Waskita benar. Kita memang tidak dapat
bertindak tergesa-gesa. Untara adalah seorang Panglima yang teguh pada sikap
dan pendirian seorang prajurit. Tetapi jika Untara mendesaknya dari timur
meskipun seandainya Kiai Kalasa Sawit berada dicelah-celah antara Gunung Merapi
dan Merbabu, kemudian mereka terdorong ke barat, maka atas persetujuan Untara,
kami dapat bertindak atas mereka.”
“Agaknya hal itu dapat
dilakukan. Sementara Untara tidak mengetahui bahwa Kiai Kalasa Sawit membawa
sebuah pusaka yang sangat berharga bagi Mataram.”
“Kami akan mencoba menghubungi
Untara. Mudah-mudahan Untara tidak salah paham.”
“Dalam hal ini agaknya peran
Kiai Gringsing akan dapat membantu,” desis Ki Waskita.
“O, tentu. Kiai Gringsing
masih mendapat kepercayaan dari semua pihak. Apalagi jika Untara mengenal
tanda-tanda yang terpahat pada tubuh Kiai Gringsing, khususnya di pergelangan
tangannya.”
“Tetapi,” berkata Ki Waskita
kemudian, ”saat ini Kiai Gringsing sedang disibukkan oleh rencana perkawinan
muridnya. Swandaru. Agaknya kini ia menyisihkan waktunya untuk keperluan
tersebut. Perkawinan itu hanya tinggal beberapa hari saja lagi. Tidak sampai
sebulan.”
“O,” Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya meskipun agak ragu-ragu, ”Kiai
Gringsing akan dapat memilih kesempatan. Persoalan yang dihadapi Mataram tentu
merupakan persoalan bagi suatu lingkungan dan anak keturunannya. Kelangsungan
hidup dan harga diri. Sedang perkawinan adalah masalah pribadi semata-mata.
Apalagi dalam keadaan suka.”
Ki Waskita mengerutkah
keningnya. Kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah benar. Tetapi jika kita
menghitung seluruh tahun pada umur-umur Kiai Gringsing, berapa lama dalam
perbandingan keseluruhan Kiai Gringsing mementingkan kepentingan pribadinya
termasuk murid-muridnya?”
Ki Lurah Branjangan
seolah-olah tersadar dari mimpinya. Dengan serta merta ia berkata, ”Maaf aku
keliru Ki Waskita. Jika Kiai Gringsing ada, aku wajib minta maaf kepadanya.”
Ki Waskita tersenyum Katanya,
”Ia tidak mendengar. Karena itu Ki Lurah tidak perlu minta maaf kepadanya.”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Namun nampak pada sorot matanya bahwa ia benar-benar telah menyesal.
“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita
kemudian, ”hendaknya yang kami beritahukan tentang pusaka itu dapat dijadikan
bahan yang barangkali akan membantu mengungkapkan usaha penemuannya.
Selebihnya, kami masih belum dapat mengatakan apa-apa. Setelah perkawinan
Angger Swandaru itu berlangsung, maka kami akan dapat menilai, apakah yang
sebaiknya kami lakukan.”
Ki Lurah mengangguk-angguk.
Katanya, ”Aku mengucapkan terima kasih Ki Waskita. Dan aku pun benar-benar
ingin minta maaf. Aku telah salah menilai bantuan dan jasa yang tidak ada
taranya dari Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Juga Ki Argapati di
Menoreh. Terutama pada saat kita bersama-sama menghancurkan Panembahan Agung
dan Panembahan Alit.”
“Kita saling membutuhkan
bantuan,” jawab Ki Waskita.
“Di saat-saat mendatang, kami
tentu masih banyak memerlukan bantuan.”
“Sudah tentu kami tidak akan
berkeberatan Ki Lurah. Tetapi dalam batas kemampuan kami.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berdiam. Seolah-olah mereka sedang
menilai semua peristiwa yang pernah terjadi.
Namun dalam pada itu, sejenak
kemudian Ki Waskita berkata, ”Ki Lurah. Selain semua pesan yang sudah aku
sampaikan tentang pusaka itu, aku masih membawa pesan yang lain dari Ki Demang
di Sangkal Putung.”
“O,” Ki Lurah mengerutkan
dahinya. ”Apakah pesan itu juga menyinggung pusaka-pusaka yang hilang itu atau
perkembangan Mataram selanjutnya?”
Ki Waskita menggelengkan
kepalanya. Lalu katanya, ”Sama sekali tidak ada hubungannya dengan
pusaka-pusaka itu Ki Lurah. Tetapi justru mengenai perkawinan Angger Swandaru.”
Ki Lurah memperhatikan
kata-kata Ki Waskita dengan saksama.
Ki Waskita pun kemudian
menyampaikan pesan Ki Demang, untuk mohon bermalam barang satu malam, pada saat
Swandaru bersama pengiringnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Lurah yang mendengarkan
pesan itu dengan tegang, akhirnya tertawa. Katanya, ”Aku sudah berdebar-debar.
Tetapi pesan ini ternyata menggembirakan sekali. Tempat yang dipilih untuk
singgah pengantin, apalagi untuk bermalam, tentu akan mendapatkan kurnia yang
sepadan,” ia berhenti sejenak, lalu, ”tentu kami sama sekali tidak
berkeberatan. Apa yang dapat kami sediakan akan kami siapkan disini.”
“Ki Demang tentu akan sangat
berterima kasih. Aku pun berterima kasih pula, bahwa tugas yang dipesankan
kepadaku ternyata berbasil dengan baik.”
“Bukankah Ki Waskita tidak
pernah gagal menjalankan tusas apapun juga?”
Ki Waskita tertawa. Tetapi ia
menyahut, ”Khususnya mengurus hari-hari perkawinan.”
Yang mendengarnya tertawa
pula, sehingga pembicaraan itu pun kemudian dilanjutkan dengan gurau yang
segar, meskipun kadang-kadang menyentuh juga tentang pusaka-pusaka yang hilang.
Rudita yang berada di dalam
biliknya mencoba untuk dapat benar-benar beristirahat. Dicobanya untuk
memejamkan matanya. Namun ternyata bahwa ia masih saja selalu gelisah. Dan
kegelisahannya itu adalah pertanda, bahwa belum ada kedamaian di dalam hatinya
sendiri.
“Alangkah lemahnya hati
manusia,” desisnya.
Sekali-sekali ia menarik nafas
dalam-dalam. Ketika terdengar suara tertawa di pendapa, Rudita mengerutkan
keningnya. Di luar sadarnya ia pun tersenyum. Agaknya orang-orang yang berada
di pendapa itu tidak sedang dicengkam oleh ketegangan dalam pembicaraan
mengenai pusaka-pusaka yang hilang itu.
“Syukurlah jika mereka tidak
sedang membicarakan sikap kekerasan,” katanya di dalam hati.
Namun demikian, terasa sebuah
desir yang tajam tergores di hatinya. Ia mulai merasa semakin terasing dari
pergaulan sesamanya karena agaknya sikap dan pendiriannya masih belum dapat
dimengerti oleh orang lain. Bahkan ayahnya sendiri telah membiarkannya
berbaring seorang diri di dalam bilik itu, sementara di pendapa beberapa orang
duduk dan saling mengutarakan pikiran dan pengalamannya yang agaknya langsung
atau tidak langsung menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu, sebelum mereka
menemukan suasana yang terang.
Tetapi Rudita tidak menyesali
sikapnya. Yang disesali adalah kekebalan hati sesama yang tidak dapat mengerti
sikap dan pendiriannya.
Meskipun demikian Rudita
berusaha untuk tetap mengerti bahwa ia tidak akan dapat merombak wajah lingkungannya
dengan cepat. Karena itu ia harus berbuat menurut keyakinannya tanpa mengenal
lelah dan jemu. Meskipun akibatnya akan dapat menjadi semakin parah. Mungkin ia
akan terasing sama sekali. Namun pada suatu saat, manusia akan mengakui, bahwa
kedamaian yang sejati, tidak terletak pada kekuatan yang berlimpah-limpah dan
tidak terkalahkan. Tetapi kedamaian yang sejati terletak di dalam hati. Sikap,
tingkah laku, kata-kata dan angan-angan yang memancarkan kedamaian di hati itu
akan memberikan ketenteraman yang sejuk dan langgeng, karena dengan demikian
tidak akan ada sikap, angan-angan dan kata-kata yang bersifat permusuhan,
curiga dan mementingkan diri sendiri.
”Aku masih harus menunggu lama
sekali,” berkata Rudita di dalam hati, ”bahkan mungkin sepanjang umurku, atau
bahkan sebaliknya, akan menjadi semakin jauh.“
Tetapi Rudita dengan sadar
akan tetap berjalan di atas jalan yang telah dirintisnya. Apapun akibatnya.
Keterasingan dan barangkali ia justru akan kehilangan arti sama sekali.
Ternyata Rudita masih tetap
belum tertidur ketika ayahnya memasuki bilik itu setelah menjadi lelah
berbicara dan berkelakar dengan para pemimpin Mataram, justru yang paling
penting. Namun agaknya ada beberapa hal yang dapat dianggap sebagai keterangan
yang penting bagi Mataram, yang pantas dilaporkan kepada Raden Sutawijaya
dengan segera.
“Agaknya Raden Sutawijaya
telah terlibat dalam persoalan yang sama seperti yang pernah terjadi atas gadis
Kalinyamat itu,” bekata Ki Lurah Branjangan didalam hatinya.
Beberapa hari yang lewat
seorang penghubung berhasil menemui Raden Sutawijaya di Pegunungan Sewu.
Penghubung itulah yang menceritakan, bahwa agaknya persoalan yang telah pernah
terjadi itu, terjadi sekali lagi.
Tetapi Ki Lurah yang masih
belum tahu dengan pasti, apakah cerita itu benar, masih belum berani
mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan ia berpesan kepada penghubung itu,
bahwa sebaiknya ia tidak mengatakannya kepada orang lain.
“Jika benar hal itu terjadi,
maka alangkah sedihnya Semangkin yang pernah dinamakan Rara Pamikatsih oleh Ki
Gede Pemanahan, karena gadis itu bersama adiknya Prihatin yang kemudian disebut
Rara Pamilutsih berhasil menarik perhatian, dan bahkan meruntuhkan hati Sultan
Pajang, sehingga dengan serta merta ia menyanggupkan diri untuk mengalahkan
Jipang.” Ki Lurah Branjangan selalu dikejar oleh angan-angannya tentang Raden
Sutawijaya dan tingkah lakunya menghadapi gadis-gadis.
Dalam pada itu, ternyata bahwa
Rudita dan ayahnya tidak lagi banyak berbicara. Agaknya Ki Waskita telah dengan
sengaja membatasi setiap pembicaraan yang kadang-kadang dapat menumbuhkan
persoalan dan justru salah paham.
Karena itulah, maka ia pun
kemudian membaringkan diri di pembaringan sambil bergumam, ”Aku lelah sekali
Rudita. Aku akan mencoba tidur senyenyaknya. Apakah kau tidak mengantuk?”
“Aku pun ingin tidur nyenyak
Ayah. Tetapi agaknya aku memang belum mengantuk. Tetapi jika Ayah ingin segera
tidur, silahkanlah. Aku pun tentu akan tertidur pula nanti.”
Ayahnya tidak menjawab.
Dipejamkannya matanya sambil menyilangkan tangan didadanya. Sejenak kemudian
maka nafasnyapun beredar dengan teratur.
Rudita memperhatikan tarikan
nafas ayahnya sejenak. Tetapi ia tersenyum sendiri. Ia tahu bahwa ayahnya tidak
tidur. Meskipun demikian ia sama sekali tidak mau mengusiknya lagi.
Namun lambat laun, keduanya
yang saling berdiam diri di pembaringan itu pun akhirnya tertidur juga.
Meskipun tidak terlalu lama, karena mereka segera terbangun ketika mereka
mendengar ayam berkokok dini hari.
Seperti yang direncanakan,
maka pada pagi itu juga, Ki Waskita dan Rudita mohon diri untuk meneruskan
perjalanan. Beberapa persoalan yang menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu
masih disinggung sedikit oleh Ki Lurah. Namun kemudian mereka lebih banyak
berbicara tentang rencana Ki Demang untuk singgah di Mataram pada saat mereka
membawa Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh.
Dengan diantar oleh Ki Lurah
Branjangan dan beberapa orang pemimpin Menoreh sampai ke regol, maka Ki Waskita
dan Rudita meninggalkan rumah Raden Sutawijaya yang menjadi pusat pemerintahan
di Mataram itu.
Ketika matahari kemudian naik
semakin tinggi, maka kuda Ki Waskita dan Rudita meninggalkan kota Mataram yang
berkembang dengan pesat. Mereka menempuh bulak yang panjang dan subur. Bulak
yang baru beberapa kali menghasilkan padi dan palawija, setelah hutan di atas
tanah itu ditebang.
“Mataram akan menjadi sangat
subur,” berkata Ki Waskita seolah-olah kepada diri sendiri.
Rudita berpaling kepadanya.
Kepalanya terangguk lemah. Katanya, ”Ya. Mataram akan menjadi sangat subur.”
Sambil menatap batang-batang
padi yang hijau maka kuda mereka itu pun berlari terus. Tidak terlampau
kencang, karena mereka rasa-rasanya memang sedang menikmati angin pagi di atas
Tanah Mataram.
Namun demikian perjalanan
mereka itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali Praga. Kali yang
cukup luas dengan airnya yang berwarna lumpur. Apalagi apabila hujan di lereng
gunung menghanyutkan guguran tanah masuk ke dalam arus air yang semakin deras.
Jalan yang menuju ke daerah
penyeberangan di Kali Praga sudah menjadi semakin ramai. Jalan menuju ke Tanah
Perdikan Menoreh, dan daerah yang lebih jauh lagi di sebelah Barat, menjadi
semakin ramai pula dilalui orang. Para pedagangpun hilir mudik dengan dagangan
masing-masing. Barang-barang yang dapat ditukarkan dengan hasil bumi maupun
alat-alat pertanian yang dibuat di daerah yang lain.
Ki Waskita dan Rudita berpacu
terus. Rasa-rasanya sinar matahari menjadi semakin panas dan menggigit kulit
seperti gigitan semut yang gatal.
Namun di perjalanan tidak
banyak persoalan yang mereka temui. Bersama-sama dengan beberapa orang lain
yang lewat mereka menyeberang Kali Praga dengan perahu. Agaknya para tukang
satang telah berani turun ke sungai, setelah beberapa lama tidak terjadi lagi
bencana yang menimpa mereka dan kawan-kawan mereka di sepanjang daerah
penyeberangan itu.
Demikianlah, maka setelah
beberapa kali beristirahat untuk memberi minum dan makan bagi kuda-kudanya,
keduanyapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk.
Ketika dua orang pengawal yang
sedang nganglang mengawasi keamanan daerah Tanah Perdikan Menoreh melihatnya,
dan yang kebetulan sudah mengenal Ki Waskita, maka mereka berduapun segera
membawanya langsung menuju ke rumah Ki Argapati. Bahkan salah seorang dari
keduanyapun mendahului untuk memberitahukan kehadiran Ki Waskita.
Ki Argapati menjadi
berdebar-debar. Ki Waskita, menurut pengertiannya, telah pergi ke Sangkal
Putung bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk mencari anaknya yang pergi
dari rumahnya, sekaligus membawa pesan-pesannya mengenai persoalan hari-hari
perkawinan Pandan Wangi.
“Ia hanya berdua dengan
putranya yang manja itu,” desis pengawal itu.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Jadi anak itu sudah dapat diketemukannya.”
Demikianlah, maka sejenak
kemudian Ki Waskita dan Rudita pun memasuki halaman rumah kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Ki Argapati yang telah diberitahu akan kedatangannya telah siap
menyambutnya di pendapa.
Dengan wajah yang terang Ki
Argapati menyongsong tamunya. Ketika nampak olehnya Rudita bersama ayahnya,
maka ia pun segera mendekatinya sambil memberikan salam.
“Akhirnya ayahmu berhasil
menemukan kau Rudita,” berkata Ki Argapati.
Rudita menundukkan kepalanya.
Perlahan-lahan ia menjawab, ”Sebenarnya aku tidak sengaja membuat Ayah menjadi
sibuk dan terpaksa menyusuri lereng-lereng Gunung Merapi mencari aku.”
Ki Argapati tertawa. Katanya,
”Itulah yang terbersit di hati anak-anak muda. Tetapi orang tua kadang-kadang
menjadi cemas dan tidak dapat berdiam diri. Apalagi seorang ibu.”
Rudita tidak menjawab.
“Marilah,” Ki Argapati pun
kemudian mempersilahkan Ki Waskita, ”aku ikut bergembira, bahwa Rudita telah
ditemukan.
Ki Waskita tertawa. Katanya,
”Setelah aku membuat orang-orang Sangkal Putung dan terutama prajurit-prajurit
Pajang di Jati Anom menjadi sibuk.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Dan Ki Waskita pun berkata selanjutnya, ”Nanti aku ceritakan,
bagaimana lereng Merapi itu terguncang.”
“Gempa Paman,” tiba-tiba saja
Rudita memotong, ”mungkin terasa juga di Tanah Perdikan Menoreh. Bukan saja
lereng Merapi yang terguncang.”
Ki Argapati termenung sejenak.
Namun ia pun kemudian tertawa, ”Ya. Memang pernah terjadi gempa. Meskipun tidak
begitu kuat disini.”
“Tetapi karena sumber gempa
itu adalah Gunung Merapi, maka yang paling terguncang adalah lereng Gunung
Merapi.”
Ki Argapati tertawa. Katanya,
”Ya. Kau benar Rudita. Tetapi, marilah. Silahkan naik ke pendapa.”
Setelah mengikat kudanya pada
batang perdu dihalaman, serta mencuci kaki di jambangan di bawah pohon soka,
maka mereka pun segera naik ke pendapa.
Mula-mula, seperti kebiasaan
yang lazim, maka mereka pun saling bertanya tentang keselamatan masing-masing.
Juga keselamatan orang-orang yang ditinggalkannya di Sangkal Putung dan bahkan
Jati Anom.
Ketika minuman dan makanan
telah dihidangkan, maka mulailah Ki Waskita bercerita tentang Rudita. Meskipun
ia harus berhati-hati dan menghindari persoalan-persoalan yang agaknya akan
dapat menumbuhkan persoalan pada anaknya itu.
Pembicaraan yang menjadi ramai
ketika Pandan Wangi ikut menemuinya pula. Bahkan kadang-kadang ia masih dapat
mengganggu Rudita yang beberapa saat yang lalu adalah seorang anak yang aneh.
Seorang anak muda yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat seorang anak muda
sewajarnya. Karena itulah maka ia tidak lebih dari seorang anak muda yang
penakut, bahkan pengecut dan agak licik.
Tetapi sifat-sifat itu sama
sekali telah berubah. Meskipun perubahan yang terjadipun membuat Rudita tetap
seorang anak muda yang aneh dalam bentuknya yang lain.
Namun, seperti yang diduga
oleh Rudita, bahwa ia harus diasingkan dari pembicaraan yang lebih
bersungguh-sungguh, ternyata pula di malam harinya. Ketika di pendapa sudah
diterangi oleh lampu minyak, dan setelah Rudita dan ayahnya mandi serta
membenahi pakaiannya, datanglah saatnya mereka dijamu makan malam. Namun
setelah itu, maka Ki Waskita berkata kepada anaknya, ”Rudita, jika kau lelah,
beristirahatlah. Aku masih akan menyampaikan pesan-pesan Ki Demang Sangkal
Putung tentang hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Namun ia memang merasa lebih baik tidak ikut dalam pembicaraan
yang tidak dapat diikutinya dengan perasaannya.
Setelah minta diri untuk
beristirahat kepada Ki Argapati dan bebahu Tanah Perdikan yang hadir menyambut
kedatangannya maka Rudita pun kemudian pergi ke gandok yang disediakan baginya
dan ayahnya.
Tetapi seperti di Mataram, ia
pun tidak segera dapat tidur. Meskipun kemudian ia berbaring juga
dipembaringan, namun rasa-rasanya ia masih mendengar pembicaraan yang riuh di
pendapa. Sekali-sekali ia mendengar suara tertawa yang meledak. Agak berbeda
dengan saat pembicaraan di Mataram yang agak tegang meskipun kadang-kadang juga
terdengar suara tertawa.
“Pembicaraan kali ini lebih
banyak berkisar pada hari-hari perkawinan itu,” desis Rudita di dalam hatinya,
”tetapi aku tetap tidak diperkenankan ikut serta.”
Sebenarnya yang sedang
dibicarakan di pendapa adalah hari-hari yang sedang ditunggu-tunggu oleh
segenap penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi,
bahkan rasa-rasanya hari tidak berjalan seperti biasanya.
Dalam pembicaraan itu, maka
semua pesan Ki Demang Sangkal Putung telah disampaikannya pula.
Persoalan-persoalan yang langsung dan tidak langsung menyangkut kedatangan
Swandaru pun telah dibicarakannya. Tempat penginapan dan segala keperluannya.
Kemudian menjelang sepasar dan akhirnya hari-hari keberangkatan kedua pengantin
ke Sangkal Putung.
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Meskipun belum terjadi, tetapi rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh
telah menjadi sangat sepi. Rasa-rasanya Ki Argapati harus hidup sendiri di
rumahnya yang besar itu.
Sudah agak lama Ki Argapati
ditinggal oleh istrinya yang telah mendahului menghadap Tuhannya kembali.
Kesepian yang mula-mula mencengkam, terasa mulai terisi sejak Pandan Wangi
meningkat dewasa. Rasa-rasanya Pandan Wangi dapat membuat rumahnya seakan-akan
terbangun setelah tidur untuk waktu yang lama.
Tetapi pada suatu saat, Pandan
Wangi itu harus meninggalkannya pergi bersama suaminya.
“Namun hai itu harus terjadi,”
berkata Ki Argapati di dalam hatinya, ”setiap gadis akan meninggalkan orang
tuanya dan ikut bersama suaminya. Demikian juga harus terjadi pada Pandan
Wangi. Aku tidak boleh mementingkan diriku sendiri dan membiarkan Pandan Wangi
tetap tinggal di rumah ini sampai hari matiku.”
Tetapi bagaimanapun juga, Ki
Argapati berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Ia masih tetap
tersenyum, tertawa dan bergurau dengan cerah betapapun kesepian yang akan
datang itu rasa-rasanya telah mulai membelit hatinya.
Dalam pada itu, Rudita masih
saja berada di dalam biliknya. Karena ia tidak dapat segera tertidur, maka ia
pun kemudian bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Namun kemudian ia keluar
dari bilik tidurnya dan duduk di serambi depan.
Angin yang silir terasa
mengusap tubuhnya. Ia melihat beberapa orang yang duduk di gandok sambil
berbicara dengan riuhnya. Namun seperti kehendak ayahnya, ia tidak sebaiknya
ikut serta dalam pembicaraan itu.
Di serambi, Rudita memandang
kegelapan yang rasa-rasanya menyelubungi seluruh permukaan bumi. Seperti
gelapnya hati manusia yang semakin lama menjadi semakin pekat.
“Pada suatu saat mereka akan
kehilangan kesadaran diri dan segenap kepribadiannya jika tidak ada perubahan
arah dari perkembangan budi manusia,” desis Rudita dengan cemasnya.
Rudita bergeser ketika terasa
seekor nyamuk menggigit tangannya yang menjadi gatal.
Dalam keadaan yang demikian
Rudita masih juga sempat merasa betapa perasaan yang lain masih sempat
menyentuh dirinya. Dalam keadaan tertentu ia mampu melepaskan diri dari
perasaan sakit, pedih, lelah dan semacamnya. Namun pada keadaan yang wajar itu,
perasaan gatal masih terasa olehnya.
Ketika nyamuk itu hinggap lagi
di sela-sela jari tangannya, maka perlahan-lahan ia mengangkat tangannya yang
lain. Di dalam cahahaya obor yang kemerah-merahan ia memandang nyamuk itu
dengan tatapan mata kejengkelan yang mendorongnya siap untuk melakukan
pembunuhan.
Tetapi tiba-tiba saja ia
menarik nafas. Ia tidak berusaha untuk menepuk nyamuk itu. Namun dengan
jari-jarinya, dikejutkannya nyamuk itu dan dibiarkannya terbang.
Rudita mengerutkan keningnya,
ketika kemudian didengarnya desir langkah halus mendekatinya. Hatinya menjadi
berdebar-debar. Rasa-rasanya ia dapat mengenal langkah yang mendekatinya itu,
meskipun ia belum melihat orangnya.
Rudita bangkit ketika
seseorang muncul di serambi itu. Seperti yang diduganya, orang itu adalah
Pandan Wangi.
“O,” suaranya agak gemetar.
Tetapi beberapa saat kemudian, ia sudah dapat menguasai dirinya. Ia bukan lagi
Rudita yang dahulu.
“Kau tidak tidur?” bertanya
Pandan Wangi.
“Udara terlalu panas,” jawab
Rudita. ”Disini aku merasa agak sejuk.”
“Kau tidak naik ke pendapa?
Mereka berbicara panjang lebar.”
“Mereka berbicara tentang
kau,” sahut Rudita.
Wajah Pandan Wangi menjadi
merah. Tetapi Rudita tidak memperhatikannya.
“Duduklah,” Pandan Wangi
mempersilahkan.
Tetapi Rudita menjadi bingung.
Di mana ia akan duduk dan di mana Pandan Wangi akan duduk, karena di serambi
itu hanya ada sebuah lincak meskipun agak panjang.
Tetapi ternyata Pandan Wangi
tidak ragu-ragu. Ia pun kemudian duduk di lincak itu dan menarik tangan Rudita
untuk duduk pula.
Rudita pun kemudian duduk
pula, meskipun rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar lagi.
Tetapi kemudian ia menyadari,
bahwa sikap Pandan Wangi tentu masih belum berubah. Gadis itu masih
menganggapnya sebagai kanak-kanak yang manja dan perlu dikasihani, seperti
saat-saat ia ketakutan di hutan-hutan perburuan.
“Kenapa kau tidak ikut
berbicara di pendapa?” bertanya Pandan Wangi sekali lagi, ”meskipun mereka
berbicara tentang aku, apa salahnya kau ikut mendengarkannya?”
“Agaknya aku masih belum
diperlukan untuk ikut dalam pembicaraan yang penting itu,” jawab Rudita.
Pandan Wangi menarik nafas.
Sejenak ia merenungi malam yang menjadi semakin gelap.
Namun tiba-tiba saja ia
bertanya, ”Kau baru datang dari Sangkal Putung?”
“Ya.” jawab Rudita.
Pandan Wangi memandang Rudita
sejenak. Tetapi wajahnya pun kemudian tertunduk. Ada sesuatu yang ingin
dikatakannya, tetapi tertahan dikerongkongannya.
Rasa rasanya Rudita dapat
mengetahui isi hati Pandan Wangi. Gadis itu ingin bertanya sesuatu tentang
Swandaru, bakal suaminya. Tetapi agaknya perasaannya telah menahannya. Sebagai
seorang gadis ia tidak dapat langsung bertanya tentang seorang anak muda yang
mempunyai ikatan yang khusus dengan dirinya.
Karena itu, maka Ruditalah
yang berkata, ”Di Sangkal Putung aku sempat bertemu dengan Swandaru dan Agung
Sedayu.”
Wajah Pandan Wangi menjadi
kemerah-merahan. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut.
Dan agaknya Rudita memang
bukan Rudita yang dahulu. Ia berkata seterusnya, ”Mereka dalam keadaan selamat
dan berpengharapan. Terutama Swandaru. Tetapi atas nasehat orang-orang tua di
Sangkal Puting, ia harus berusaha untuk mengurangi bobot badannya menjelang
hari perkawinannya.”
“Ah,” desis Pandan Wangi.
Rudita tertawa. Katanya lebih
lanjut, ”Tetapi pada dasarnya, mereka merasa berbahagia dengan harapan di dalam
hati mereka. Setelah Swandaru, tentu akan datang saatnya, Agung Sedayu. Agaknya
adik Swandaru yang bernama Sekar Mirah itu pun sudah cukup masak untuk mulai
dengan taraf kehidupan baru.”
Terasa sesuatu berdesir di
hati Pandan Wangi. Namun kemudian, semuanya telah ditekannya dalam-dalam di
dasar lubuk hati. Bahkan ia pun kemudian berkata kepada dirinya sendiri didalam
hatinya, ”Bukankah sudah seharusnya Agung Sedayu segera kawin dengan gadis
pilihannya? Seperti aku juga kawin dengan anak muda pilihanku dan yang telah
direstui oleh Ayah?”
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Sepintas seakan-akan kedua anak muda dari Sangkal Putung itu lewat
di depannya. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan.
Karena Pandan Wangi tidak
menjawab, maka Rudita pun berbicara lagi, ”Bukankah kau sudah berkemas memasuki
langkah baru dalam tata kehidupanmu?”
Pandan Wangi mengangguk.
“Tentu sudah. Dan sebentar
lagi, semua yang kau nantikan itu akan terjadi. Tanah Perdikan Menoreh akan
bergembira karenanya, seperti juga Sangkal Putung. Ikatan kekeluargaan ini
benar sangat menarik. Karena kedua daerah yang akan terikat menjadi satu ikatan
itu terletak di sebelah timur dan di sebelah barat Mataram.”
Pandan Wangi berpaling.
Dicobanya untuk memandang wajah Rudita dalam cahaya obor. Nampaknya Rudita
mengatakannya tanpa maksud sesuatu, sehingga Pandan Wangi pun hanya menarik
nafas tanpa memberikan jawaban.
Karena Rudita melanjutkannya,
”Tetapi lebih dari itu. perkawinan ini akan dapat mengikat dua daerah yang luas
dan subur.”
“Ya,” desis Pandan Wangi
kemudian, ”mudah-mudahan dapat memberikan kebahagiaan, bukan saja bagiku,
tetapi juga bagi Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung.”
“Kau dan Swandaru adalah
orang-orang yang memiliki pengaruh atas kedua daerah itu. Kebahagiaanmu adalah
kebahagiaan daerah itu. Mudah-mudahan kemudian kau berdua dapat memerintah
kedua daerah itu dengan hati yang damai dan menumbuhkan kedamaian dan
ketenteraman pula di hati rakyat kalian.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Tetapi kepalanyapun terangguk-angguk. Bahkan ia mulai menyadari bahwa
Rudita yang sekarang ini sudah jauh berbeda dengan Rudita yang dahulu. Rudita
yang manja dan penakut. Rudita yang dahulu tidak akan dapat mengatakan
perasaannya dengan cara itu. Bahkan ketika tiba-tiba ia mengenang sikap dan
tanggapan Rudita atas dirinya, ia menjadi segan untuk melanjutkan
angan-angannya.
“Sudahlah,” berkata Pandan
Wangi kemudian, ”sudah malam. Aku akan tidur.”
“Mudah-mudahan kau dapat tidur
nyenyak dan mimpi yang indah. Aku berdoa, agar kelak kalian dapat menciptakan
kedamaian yang sejati. Meskipun kau dan Swandaru memiliki kemampuan untuk
bermain dengan pedang, tetapi aku berharap bahwa hulu pedang itu tidak akan
kalian sentuh lagi dengan maksud apapun juga kelak.”
Padan Wangi tidak begitu
mengerti maksud Rudita. Tetapi ia mengangguk saja sambil menjawab, ”Baiklah
Rudita. Aku akan mengingatnya.”
Dengan tergesa-gesa, Pandan
Wangi pun meninggalkan anak muda yang ternyata sudah berubah itu. Bahkan Pandan
Wangi menjadi agak menyesal, bahwa ia sudah menjumpainya. Tetapi ia tidak dapat
menahan sifat ingin tahunya tentang Sangkal Putung agak lebih banyak, sehingga
sudah mendorongnya unluk menjumpai Ruaita yang diketahuinya baru datang dari
Sangkal Putung.
Namun yang kemudian terjadi
adalah di luar kehendak Pandan Wangi sendiri. Bayangan tentang kedua anak muda.
murid orang bercambuk itu selalu membayang di wajahnya. Keduanya. Bukan hanya
salah seorang saja di antara mereka.
Sekali-kali Pandan Wangi
memejamkan matanya. Tetapi bayangan itu tidak juga beranjak daripadanya.
“Apakah artinya ini?” desisnya
sambil menelungkupkan badannya di pembaringannya.
Namun demikian Pandan Wangi
tidak dapat memadamkan angan-angan di hatinya itu. Angan-angan tentang dua
orang anak muda yang pernah berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama gurunya.
Sekali nampak bayangan
Swandaru dalam pakaian pengantin. Meskipun ia masih juga gemuk, namun wajahnya
yang cerah, serta sifat-sifatnya yang terbuka, membuat anak muda itu mempunyai
ujudnya tersendiri. Kepribadiannya nampak bagaikan pintu yang terbuka lebar,
sehingga Pandan Wangi seolah-olah dapat menjengukkan kepalanya kedalamnya dan
melihat seluruh isinya. Baik atau buruk.
Dan itulah yang telah menarik
perhatiannya, selain sikapnya yang ramah, serta tertawanya yang lepas tidak
tertahan-tahan, dan guraunya yang jenaka.
Tetapi di samping Swandaru, kadang-kadang
muncul juga bayangan seorang anak muda yang meskipun tidak termasuk pendiam,
tetapi hatinya agak tertutup. Ragu-ragu dan kurang dapat menyesuaikan diri
dengan lingkungannya dalam waktu yang dekat.
Tiba-tiba saja, di luar
kehendaknya sendiri, terbayang pula ibunya yang sudah tidak ada lagi. Diikuti
oleh wajah-wajah yang membuatnya meremang. Wajah dua orang laki-laki yang
saling memancarkan dendam dari dasar hati.
“O,” Pandan Wangi mengeluh.
“Tidak, tidak,” Pandan Wangi
menggeram. Tetapi rasa-rasanya kesalahan yang pernah terjadi pada ibunya itu,
kini membayanginya pula. Dua orang laki-laki yang kemudian melahirkan Sidanti
dan dirinya dari ibu yang sama.
Pandan Wangi menggeliat.
Bahkan ia pun kemudian bangkit sambil menghentakkan kakinya.
“Kesalahan itu tidak boleh
terulang lagi dalam bentuk yang manapun juga. Aku bukan Ibu. Dan Ibu tidak
dapat melimpahkan dosa-dosanya kepadaku,” desisnya.
Namun yang terbayang kemudian
adalah perang tanding antara dua orang anak muda yang kemudian bernada Ki
Tambak Wedi dan Ki Gede Menoreh di bawah sepasang pohon pucang.
“Gila, gila,” Pandan Wangi
menggeram. ”Aku tidak boleh gila pula seperti itu, sehingga aku menyeret
orang-orang lain menjadi gila pula.”
Pandan Wangi tiba-tiba saja
terkejut ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk orang. Sejenak kemudian
terdengar suara seorang perempuan memanggilnya, ”Pandan Wangi, Wangi.”
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian dibenahinya pakaianya dan diusapnya wajahnya yang
menjadi basah. Selangkah demi selangkah ia mendekati pintu biliknya dengan
ragu-ragu.
“Wangi.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi
membuka pintu biliknya. Dilihatnya dua orang pembantunya berdiri
termangu-mangu.
“Apakah kau bermimpi buruk?”
bertanya salah seorang dari kedua pembantunya itu.
Pandan Wangi termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian jawabnya, ”Yu, aku memang bermimpi buruk. Apakah kau
mendengar sesuatu dari dalam bilik ini?”
“Aku mendengar kau mengeluh.
Bahkan seperti seorang yang sedang bertengkar.”
Pandan Wangi memaksa bibirnya
untuk tersenyum. Katanya, ”Terima kasih. Kau sudah membangunkan aku dari mimpi
yang buruk. Untunglah Ayah tidak mendengarnya.”
“Ki Gede masih berada di
pendapa bersama tamunya,” jawab salah seorang dari keduanya.
“Terima kasih. Baiklah aku
akan tidur lagi.”
“Tetapi agaknya memang
demikian. Seseorang yang mendekati hari-hari perkawinannya, kadang-kadang
justru diganggu oleh mimpi buruk, itu pertanda bahwa kau sudah tidak sabar lagi
menunggu hari-hari yang menjadi semakin pendek. Kurang dari sebulan.”
“Ah,” desis Pandan Wangi,
“selamat malam.”
Pandan Wangi pun menutup
pintunya kembali. Sementara dua orang itu masih termangu-mangu sejenak di muka
pintu bilik yang sudah tertutup itu. Namun sejenak kemudian merekapun segera
meninggalkan tempat itu.
Di dalam biliknya, Pandan
Wangi menjadi semakin gelisah. Bukan karena kedua pembantunya yang seolah-olah
melihat mendung dalam hatinya. Tetapi kegelisahannya justru karena kesadarannya
tentang dirinya dan perasaannya.
Dan dengan segenap kemampuan
yang ada pada dirinya, dilandasi oleh pertimbangan nalar yang seimbang, maka
akhirnya ia dapat menguasai dirinya. Pengalaman yang pernah terjadi atas ibunya
merupakan guru yang sangat berharga baginya dalam menghadapi gejolak
perasaannya.
Pandan Wangi tidak dapat
ingkar, bahwa yang pertama-tama menarik perhatiannya pada saat-saat ia bertemu
dengan kedua anak muda itu adalah Agung Sedayu. Namun kemudian ia mengetahui,
bahwa Agung Sedayu telah mempunyai pilihannya, justru adalah adik Swandaru.
Meskipun perlahan-lahan, namun
kemudian Pandan Wangi melihat sesuatu yang menarik pada anak muda yang gemuk
itu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.
Bukan saja kecakapannya bermain pedang dan cambuk. Tetapi juga
kelebihan-kelebihan yang lain.
“Apakah karena itu aku telah
tertarik kepadanya?” pertanyaan itu melonjak di dalam hatinya. Namun yang
kemudian dijawabnya sendiri, ”Bukan waktunya lagi untuk bertanya. Kurang dari
sebulan hari perkawinan itu sudah tiba. Yang harus aku lakukan adalah memupuk
cinta yang ada di dalam hati ini, agar dapat mekar dan bekembang. Aku harus
menjadi seorang yang lebih baik dari ibuku menghadapi perasaan yang menyangkut
tentang cinta dan mungkin nafsu tanpa meninggalkan pertimbangan nalar.”
Pandan Wangi kemudian berusaha
untuk tidak memikirkannya lagi. Ia mencoba lari dari perasaan yang serasa
selalu mengganggu hati.
Tetapi Pandan Wangi mempunyai
pengalaman yang lain dari kebanyakan gadis-gadis. Ia sudah terlatih untuk
mempergunakan pertimbangan nalarnya. Meskipun mula-mula di dalam keadaan yang
gawat menurut ujud benturan jasmaniah, namun di dalam benturan perasaan, ia
mampu pula mempergunakan keseimbangan nalarnya.
Pandan Wangi mencoba melupakan
persoalannya dengan memikirkan masalah-masalah yang lain yang menyangkut Tanah
Perdikan Menoreh. Hari depannya dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi
di atas Tanah ini.
Di pendapa, ayahnya masih saja
bercakap-cakap dengan Ki Waskita meskipun malam menjadi semakin larut. Bahkan
kemudian di kejauhan terdengar suara kentongan dalam nada dara muluk.
“Sudah tengah malam,”
desisnya. Tetapi Pandan Wangi masih belum dapat tidur.
Di pendapa beberapa orang
bebahu dan orang-orang tua tetangga-tetangga Ki Gede Menoreh pun kemudian minta
diri. Mereka sudah cukup lama duduk menanggapi segala macam pesan Ki Demang
Sangkal Putung mengenai hari-hari perkawinan Swandaru dengan segala macam
persoalannya. Bahkan rumah yang akan dipergunakan untuk menginap para pengiring
dari Sangkal Putung telah ditentukan pula.
Namun demikian, sepeninggal
para tetangga dan bebahu Tanah Perdikan, Ki Waskita masih tetap duduk di
pendapa dengan Ki Gede Menoreh sendiri.
“Masih ada yang akan aku
katakan Ki Gede,” berkata Ki Waskita.
Ki Gede mengerutkan keningnya,
lalu ia pun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang agak menghambat kelancaran
upacara perkawinan itu?“
“Bukan. Bukan masalah itu,”
sahut Ki Waskita untuk menenteramkan hati Ki Argapati, ”soalnya lain sekali.
Hampir tidak ada hubungannya.”
Ki Argapati termangu-mangu.
“Ki Argapati,” berkata Ki
Waskita, ”mungkin ada baiknya Ki Argapati mengetahui serba sediikit tentang
pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram.”
“O.”
“Yang sebuah sudah pernah kita
ceritakan di sini, bahwa songsong itu telah menyeberangi Kali Praga. Dan justru
melintasi Tanah Perdikan ini meskipun arahnya belum dapat kita ketahui dengan
pasti.”
“Ya.”
“Dan sekarang, aku akan
bercerita tentang pusaka yang satu lagi.”
“Kanjeng Kiai Pleret?”
”Ya. Kanjeng Kiai Pleret.”
Ki Gede Meoereh mengerutkan
keningnya. Di luar sadarnya ia bergeser mendekat Ki Waskita, sementara Ki
Waskita pun kemudian bercerita pula tentang pusaka yang diduga telah dibawa
oleh Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan Padepokan Tambak Wedi dengan
tergesa-gesa itu.
Ki Gede Menoreh mendengarkan
cerita itu dengan saksama. Sekaii-sekali ia mengangguk-angguk, namun kemudian
wajahnya menjadi tegang.
“Jadi di Tambak Wedi telah terjadi
pertempuran yang cukup keras bagi Pajang?” bertanya Ki Gede.
“Ya Ki Gede. Untunglah bahwa
Untara mempunyai cara yang tepat untuk menguasai keadaan. Bukan saja Tambak
Wedu tetapi sekaligus penjahat-penjahat kecil yang berkelompok di lereng
Merapipun agaknya berhasil ditertibkan.”
“Apakah Angger Untara
mengetahui tentang pusaka yang hilang itu pula?”
“Menurut dugaanku tidak.
Tetapi aku tidak tahu dengan pasti, karena Angger Untara mempunyai sejuta mata
dan sejuta telinga di daerah Selatan ini. Namun menilik sikap dan tanggapannya
terhadap Tambak Wedi, agaknya Senapati Untara belum mempersoalkan pusaka yang
hilang itu.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
“Tetapi baik Kiai Gringsing
maupun Ki Sumangkar bersepakat, bahwa di waktu yang singkat ini, mereka tidak
akan berbuat apa-apa lagi selain mempersiapkan hari-hari perkawinan Angger
Swandaru dan Pandan Wangi. Baru setelah hari perkawinan itu lampau, mungkin
mereka akan melakukan sesuatu untuk menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu.“
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, ”Ternyata hari perkawinan
anakku itu bersamaan waktunya dengan tugas yang sebenarnya sangat penting bagi
kedua orang tua itu. Tugas yang langsung menyangkut kelangsungan hidup Mataram
dan sudah barang tentu kekuasaan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar
Senopati Ing Ngalaga.”
“Tetapi bukan berarti bahwa
perkawinan itu merupakan hambatan bagi pecarian kedua pusaka itu Ki Gede,”
dengan serta merta Ki Waskita menyahut, ”tidak seorangpun yang mengetahui bahwa
akan terjadi hal seperti yang dialami oleh Mataram, hilangnya kedua pusaka itu.
Seandainya aku dengan sengaja memusatkan indra dalam pencarian isyarat tentang
Mataram sekalipun, aku kira aku tidak akan dapat menemukan kemungkinan seperti
itu.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Katanya, ”Jika diperlukan, setelah hari-hari perkawinan ini lewat, aku akan
membantu sesuai dengan kemampuan yang ada di atas Tanah Perdikan ini, karena
yang jelas, songsong itu telah menyentuh Tanah ini dengan langsung.”
Ki Waskita mengangguk-angguk
pula. Ia memang sudah menduga, bahwa Tanah Perdikan Menoreh tentu tidak akan
berkeberatan jika diperlukan bantuan. Apalagi sesudah hari-hari perkawinan.
Seandainya keadaan mendesak, dan saat itu pula Menoreh harus menyiapkan sepasukan
pengawal pilihan, maka Ki Gede Menoreh tentu tidak akan menolak.
Tetapi agaknya Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar baru akan bergerak setelah hari-hari perkawinan Swandaru
dengan Pandan Wangi, sehingga Ki Argapati pun harus menyesuaikan dirinya pula
dengan saat-saat yang sudah ditentukan itu.
“Kecuali jika Raden Sutawijaya
mengambil sikap lain setelah ia menerima laporan yang dengan tergesa-gesa
disampaikan oleh para pemimpin Mataram,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya
pula. Namun agaknya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu pun
tidak akan bertindak tergesa-gesa menghadapi kekuatan yang tidak dapat
diketahuinya dengan pasti itu.
Demikianlah ketika malam
menjadi semakin larut, maka pembicaraan mereka pun terputus. Ki Waskita minta
diri untuk beristirahat. Dan sekaligus ia minta diri pula, bahwa besok
pagi-pagi benar ia akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.
“Begitu tergesa-gesa?”
bertanya Ki Argapati.
“Aku akan menyerahkan Rudita
kepada ibunya yang tentu sudah menunggunya dengan gelisah.”
“Sesudah itu, apakah tidak ada
kemungkinan Rudita dengan diam-diam meninggalkan ibunya?”
“Memang mungkin Ki Gede.
Tetapi aku akan mencoba menasehatinya, agar ia menunggui ibunya untuk beberapa
lama. Kelak ia harus membawa ibunya kemari untuk ikut membantu mempersiapkan
hari perkawinan Pandan Wangi. Setelah itu aku masih mempunyai kepentingan
sedikit, mungkin aku diperlukan untuk membantu menemukan pusaka-pusaka yang
hilang itu. Baru kemudian, jika semuanya sudah tenang, aku akan kembali pulang.
Barulah Rudita mempunyai banyak kesempatan untuk mengembara meskipun ibunya
tentu tidak akan menyetujuinya pula.”
Ki Argapati mengangguk-angguk.
Katanya, ”Siapapun ia, tetapi anak-anak muda memang mempunyai darah yang
menggelegak. Pengembaraan akan merupakan suatu masa yang seolah-olah harus
dialami oleh anak-anak muda. Agaknya Angger Rudita yang telah berubah itu pun
telah dijalari pula oleh keinginan untuk mendapatkan pengalaman hidup bagi masa
tuanya.”
Ki Waskita menggelengkan
kepalanya. Katanya, ”Rudita mempunyai tanggapan yang lain atas hidup dan
kehidupan ini. Ia menganggap bahwa manusia di sekelilingnya telah diracuni oleh
kecurigaan, dendam dan kebencian, sehingga tidak ada lagi kedamaian di dalam
hati. Jika ia kemudian ingin mengembara maka ia akan meneriakkan kepada segenap
manusia yang dijumpainya, bahwa mereka harus menanggalkan semua tanggapan yang
salah atas sesamanya. Kedamaian yang sejati tidak akan dapat dibumbui dengan
kecurigaan, dendam dan kebencian dalam bentuk dan ujud apapun juga. Termasuk
olah kanuragan.”
“Olah kanuragan?” bertanya Ki
Gede.
“Ya. Hanya orang yang
mencurigai sesamanya sajalah yang merasa perlu untuk memiliki ilmu dalam bentuk
kekerasan.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Desisnya, ”Alangkah mulianya. Jika kita bersama-sama dapat
mengetrapkan dalam hidup kita sehari-hari, maka sebenarnyalah kita akan
mendapatkan kedamaian yang sejati. Tetapi alangkah menyedihkan jika keadaan
yang demikian itu dimanfaatkan oleh beberapa orang yang justru seolah-olah
menemukan penyerahan diri yang pasrah, sehingga akan dapat membangunkan
kekuasaan yang tidak tergoyahkan.”
Ki Waskita tidak menyahut.
Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.
“Ah, agaknya pembicaraan kita
akan berkepanjangan pula,” berkata Ki Argapati kemudian, ”silahkanlah, jika Ki
Waskita akan beristirahat, karena besok pagi-pagi benar Ki Waskita sudah akan
menempuh perjalanan meskipun tidak terlampau panjang seperti jarak ke Sangkal
Putung.”
Ki Waskita pun kemudian
bergeser dari pendapa dan kembali ke gandok. Ketika ia masuk ke dalam biliknya,
dilihatnya Rudita sudah berada di dalam bilik itu pula.
“Kau belum tidur?” bertanya
ayahnya.
“Baru saja aku masuk Ayah,”
jawabnya.
“Dari mana?”
“Udara sangat panas. Di luar
angin malam terasa sejuk sekali.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Udara memang terasa agak panas di dalam bilik ini Rudita. Tetapi kita
harus segera tidur. Malam sudah larut. Besok kita akan meninggalkan rumah ini
pagi-pagi benar.”
Rudita pun kemudian berbaring
di pembaringannya. Agaknya ia kemudian berhasil melepaskan semua
angan-angannya, sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak.
Ki Waskitalah yang masih untuk
beberapa lama duduk di bibir pembaringannya. Sekali-sekali angan-angannya masih
juga meloncat-loncat dari satu soal ke soal yang lain. Saat-saat perkawinan
Swandaru yang menjadi semakin dekat, namun masih saja nampak kabut hitam yang
seolah-olah menyelubunginya. Kemudian seakan-akan nampak olehnya sepasukan yang
merayap di lereng Gunung Merapi, membelit lambung, kemudian berhenti di lembah
antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.
Ki Waskita mengerutkan
keningnya. Dan tiba-tiba saja ia merasa bahwa ada isyarat padanya, bahwa di
lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu merupakan tempat yang perlu
mendapat perhatian khusus.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Menurut perhitungan nalarpun agaknya Kiai Kalasa Sawit akan
membawa pasukannya ke lembah itu. Namun masih harus dipertimbangkan
kemungkinan-kemungkinan lain antara pusaka yang dibawa oleh pasukan Kiai Kalasa
Sawit dan pusaka yang menyeberangi Kali Praga.
“Pertemuan di antara mereka
dapat terjadi dimana-mana,” desis Ki Waskita di dalam hatinya, ”Kiai Kalasa
Sawit dapat membawa pusaka beserta pasukannya melingkari Gunung Merapi lewat
lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian sesuai dengan pembicaraan
sebelumnya, bertemu dengan mereka yang membawa Songsong Kanjeng Kiai Mendung di
tempat yang agak jauh dari Mataram, atau sebaliknya, Songsong Kiai Mendunglah
yang kemudian di bawa ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”
Ki Waskita menjadi
termangu-mangu. Namun baginya lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu harus
mendapat perhatian khusus dari Mataram.
Namun demikian masih harus
dipertimbangkan hubungan antara Pajang dan Mataram, karena Pajang tentu akan
bertindak pula atas Kiai Kalasa Sawit meskipun lepas dari hubungan hilangnya
kedua pusaka dari Mataram.
“Memang masih banyak
kemungkinan yang dapat terjadi,” gumamnya kemudian sambil melipat tangannya dan
meletakkan kepalanya di atas kedua belah telapak tangannya itu. Dijelujurkannya
kakinya lurus-lurus di pembaringannya sambil menatap rusuk-rusuk atap yang di
pangkal dan ujungnya sempat diukir meskipun tidak terlalu halus.
Namun Ki Waskita pun kemudian
memejamkan matanya pula dan sejenak kemudian ia pun telah tertidur.
Dalam pada itu, ketika Ki Gede
Menoreh melangkah di depan pintu bilik anak gadisnya, ia tertegun. Ia mendengar
desah nafas yang asing.
Karena itu, maka
perlahan-lahan ia mendekati pintu bilik itu sambil memanggil, ”Wangi, apakah
kau belum tidur?”
Pandan Wangi terkejut.
Kegelisahan yang mendekapnya telah dibawanya ke ujung mimpi.
“Wangi,” ia mendengar suara
itu lagi.
Pandan Wangi menarik nafas
dalam-dalam. Suara itu adalah suara ayahnya yang berdiri di muka pintu.
Perlahan-Iahan ia bangkit dan
berjalan menuju ke pintu biliknya sambil membenahi pakaiannya.
“Kau gelisah sekali Wangi,”
desis ayahnya ketika Pandan Wangi membuka pintu biliknya, ”apakah kau belum
tidur?”
“Aku baru saja mulai tertidur
Ayah. Rasa-rasanya aku telah masuk ke dalam mimpi yang gelisah.”
Ayahnya tersenyum. Katanya,
”Kegelisahan yang wajar sekali Wangi. Tetapi kau tidak akan menunggu terlalu
lama. Akan segera datang saatnya, kau terlepas dari kegelisahan semacam itu.”
Pandan Wangi menarik nafas
panjang. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak
menjawab.
“Tidurlah. Mudah-mudahan kau
tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan yang dapat membuatmu resah terutama, di
malam hari. Percayalah kepada Yang Maha Kuasa bahwa semuanya akan dapat
berlangsung dengan baik dan selamat.”
“Ya Ayah,” jawab Pandan Wangi.
“Tidurlah.”
Ki Argapati pun kemudian
meninggalkan anaknya yang gelisah. Tetapi nampak sebuah senyum di bibirnya.
Seolah-olah Ki Argapati justru menganggap bahwa kegelisahan itu adalah gejala
yang wajar dari seorang gadis yang mendekati hari-hari perkawinannya.
Sepeninggal ayahnya. Pandan
Wangi kembali ke pembaringannya setelah ia menutup pintu biliknya.
Direbahkannya tubuhnya sambil berdesah.
Tetapi ia bertekad untuk
mengendapkan semua gejolak didalam hatinya dan seperti pesan ayahnya, ia tidak
ingin diresahkan oleh angan-angannya.
“Tetapi Ayah tidak mengetahui
perasaanku,” tiba-tiba ia berdesis di dalam hatinya.
Ki Argapati ternyata langsung
pergi ke biliknya pula. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ia masih juga
membayangkan bahwa pada suatu saat anaknya yang seorang itu akan bertambah
dengan seorang lagi. Tentu suami Pandan Wangi adalah sama dengan anaknya pula
yang akan dapat membantunya kelak membina Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kelak,
jika sampai saatnya ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Tanah Perdikan
ini, ada orang lain yang akan melanjutkannya di samping anak perempuannya.
Namun tiba-tiba Ki Argapati
mengerutkan keningnya. Swandaru adalah anak seorang Demang. Dan ia adalah anak
laki-laki satu-satunya.
“Apkah Swandaru dapat
diharapkan untuk melanjutkan pembinaannya atas Tanah Perdikan Menoreh? Apakah
Swandaru akan dapat melepaskan kewajibannya sebagai seorang anak laki-laki
seorang Demang di Sangkal Putung yang mempunyai kewajiban tertentu pula atas
daerah Kademangannya?” pertanyaan itu agaknya mulai merayapi hati Ki Gede
Menoreh.
Tetapi Ki Gede Menoreh
kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, ”Ki Demang Sangkal Putung
mempunyai anak yang lain, meskipun ia seorang perempuan. Tetapi apabila benar,
kelak adik perempuan Swandaru itu kawin dengan Agung Sedayu, maka dapat
diharapkan Agung Sedayu akan dapat membantu memimpin Kademangan Sangkal Putung,
yang menurut keterangan yang aku dengar betapa suburnya, namun tidak seluas
Tanah Perdikan Menoreh.”
Namun demikian terbersit juga
pengakuan di dalam hatinya, ”Mungkin aku adalah orang yang mementingkan diri
sendiri.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Dicobanya untuk melupakan masalah-masalah yang masih merupakan
kemungkinan-kemungkinan bagi masa mendatang itu.
“Aku tidak boleh dihantui oleh
persoalan-persoalan yang masih jauh berada di hari mendatang,” katanya di dalam
hati.
Demikianlah maka akhirnya
rumah Ki Gede Menoreh itu pun menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka jatuh
tertidur dengan kegelisahan yang berbeda-beda.
Menjelang fajar, maka halaman
rumah itu telah mulai ramai kembali. Beberapa orang telah terbangun untuk
membersihkan halaman, dan mengisi jambangan. Di dapurpun telah nampak api yang
menyala di perapian. Sedang gerit sapu lidi, rasa-rasanya telah membawakan
irama tersendiri.
Ki Waskita dan Rudita pun
telah terbangun pula. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban mereka
dalam persekutuan mereka dengan Tuhannya, maka mereka pun segera turun ke
halaman pula.
Betapa segarnya udara pagi
hari di Tanah Perdikan Menoreh. Langit yang kelabu kemerah-merahan oleh sorot
matahari yang masih belum naik ke cakrawala, semakin lama menjadi semakin
cerah.
“Kita akan segera meneruskan
perjalanan Rudita,” berkata ayahnya.
“Ya Ayah. Tetapi bukankah kita
akan minta diri lebih dahulu kepada Ki Gede?”
“Tentu Rudita. Kita akan
menunggu sampai Ki Gede bangun. Mungkin Ki Gede semalam tidak segera tidur,
sehingga agak terlambat bangun.”
Tetapi sebelum Rudita
menjawab, ternyata Ki Gede Menoreh pun telah muncul dari pintu pringgitan.
Sambil tersenyum ia berkata, ”Marilah Ki Waskita, silahkan naik ke pendapa
bersama Rudita.”
Keduanyapun kemudian naik ke
pendapa dan duduk diatas tikar pandan putih bergaris-garis biru, yang sejenak
kemudian mendapat hidangan minuman panas dan beberapa potong jadah yang telah
dipanggang di atas api.
Setelah makan dan minum
sekedarnya, maka Ki Waskita pun mengulanginya lagi, minta diri kepada Ki
Argapati dan Pandan Wangi yang kemudian ikut duduk pula bersama mereka.
“Tetapi Ki Waskita kami harap
segera kembali,” berkata Ki Argapati. Dan seperti yang diduganya, Ki Argapati
kemudian berkata, ”sebenarnya aku merasa tersendiri di sini. Memang ada
orang-orang tua dan para bebahu. Tetapi kadang-kadang mereka, lebih condong
kepada persoalan-persoalan yang terlampau rumit bagi saat-saat perkawinan itu
sendiri. Meskipun satu dua ada juga yang dapat aku percaya untuk
memperbincangkan masalah-masalah yang lebih luas dalam hubungannya dengan
keadaan di sekitar Tanah Perdikan ini, namun di dalam persoalan yang lebih
mendalam, aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama jika aku
berbicara tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram dan ketentraman Tanah
Perdikan ini. Pada saat-saat yang lain aku dapat berbincang dengan Pandan
Wangi. Tetapi saat ini Pandan Wangi sudah tidak dapat diajak berbicara tentang
apapun lagi kecuali tentang dirinya sendiri.”
“Ah,” wajah Pandan Wangi
menjadi kemeran-merahan.
Dan sambil tersenyum Ki Argapati
berkata, ”Tetapi bukankah itu wajar Ki Waskita?”
“Ya,” jawab Ki Waskita sambil
tersenyum pula, “itu memang wajar sekali.”
Wajah Pandan Wangi yang tunduk
menjadi semakin tunduk. Tetapi ia tidak menyahut.
“Ki Gede,” berkata Ki Waskita
kemudian, ”mudah-mudahan aku akan dapat datang mendahului istriku. Biarlah
Rudita mengawani ibunya di rumah dan kelak menyusul aku kemari atau aku akan
menjemputnya pada waktunya.”
“Terima kasih Ki Waskita.
Kehadiran Ki Waskita di sini akan dapat menambah hangatnya rumah ini. Karena
menjelang hari-hari perkawinan aku tidak hanya akan berbicara tentang pengantin
dan segala macam upacaranya, tetapi aku juga harus berbicara tentang keamanan
di seluruh Tanah Perdikan ini. Jika kami semuanya tenggelam dalam kesibukan hari-hari
perkawinan tanpa menghiraukan keadaan Tanah ini dalam keseluruhan, aku cemas,
bahwa ada segolongan orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk mendapatkan
keuntungan dengan cara yang tidak sewajarnya. Terlebih-lebih lagi seperti yang
dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kedua pusaka yang hilang dari Mataram itu
mungkin akan dipertemukan. Apakah itu di lembah antara Gunung Merapi dan
Merbabu atau di atas Tanah Perdikan ini, masih belum jelas. Namun untuk
menghadapi segala kemungkinan kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”
“Tetapi pusat perhatian Ki
Gede memang harus tertuju kepada hari-hari perkawinan Pandan Wangi,” berkata Ki
Waskita. Sekilas ia melihat Rudita sudah beringsut. Karena itu ia harus
mendahuluinya agar anak itu tidak terlanjur membuat persoalan dengan Ki
Argapati, ”mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan lancar. Aku
berjanji, jika tidak ada aral melintang, untuk segera kembali setelah
menyerahkan Rudita kepada ibunya.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Sedangkan Ki Argapati menjawab, ”Terima kasih Ki Waskita. Aku
sangat mengharap kehadiran Ki Waskita. Di Sangkal Putung agaknya sudah ada Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar yang mendampingi Ki Demang. Dan Ki Waskitalah yang
aku harapkan sekali membantu aku disini.”
“Aku akan berusaha Ki Gede,
meskipun agaknya aku hanya akan menambah jumlah penghuni saja di sini.”
Ki Argapati tertawa. Sekilas
ia berpaling kepada Pandan Wangi yang masih menundukkan kepalanya. Lalu
katanya, ”Terima kasih. Penghuni rumah ini agaknya memang harus bertambah.”
Demikianlah Ki Waskita pun
segera minta diri dan meninggalkan rumah itu bersama Rudita. Ki Argapati,
Pandan Wangi dan beberapa orang yang lain melepaskan mereka sampai ke regol
halaman.
Rudita yang sudah ada di
punggung kudanya masih juga dapat berkelakar, ”Pandan Wangi, aku sekarang tidak
akan dapat mengajakmu berburu lagi.”
Pandan Wangi tersenyum.
“Tetapi aku sekarang menjadi
semakin ketakutan melihat binatang-binatang buruan. Bukan saat-saat ia masih
berlari-larian di hutan. Tetapi justru pada saat-saat anak panah para pemburu
menusuk tubuhnya. Bukankah setelah hari perkawinanmu kau juga tidak akan
berburu lagi?”
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, ”Ya Rudita. Aku
tidak akan berburu lagi.”
“Di segala medan?”
Pandan Wangi kurang mengerti
maksudnya. Tetapi ia mengangguk, ”Ya, di segala medan.”
Rudita tertawa. Ditundukkannya
kepalanya dalam-dalam sambil minta diri kepada Ki Gede, ”Aku mohon diri Paman.”
Ki Argapati tertawa pula. Ia
melihat sesuatu yang jauh berbeda pada pancaran sinar mata Rudita. Ia bukan
lagi seorang penakut. Ia adalah seorang yang justru telah menemukan dasar
pandangan hidup yang kokoh dan telah diperjuangkannya dengan berani.
Kedua orang ayah beranak itu
pun kemudian meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka
menyelusuri bulak-bulak panjang di antara sawah yang hijau subur. Di kejauhan
nampak pegunungan yang kebiru-biruan dicerahnya sinar matahari pagi, bagaikan
dinding yang memanjang membujur ke utara.
“Ayah,” tiba-tiba saja Rudita
berkata, ”sebenarnya aku ingin menahan hati. Tetapi rasa-rasanya dadaku menjadi
semakin penuh. Aku tahu, bahwa jalan pikiranku tidak sesuai. Tetapi aku
berharap bahwa Ayah dapat mengerti dan menganggap yang aku katakan ini tidak
pernah terucapkan.”
“Ah,” Ki Waskita berdesah,
”aku tidak menganggap demikian Rudita. Yang aku katakan adalah pandangan tata
kehidupan yang paling baik.”
“Tetapi Ayah selalu memisahkan
aku dari orang-orang yang mungkin dapat aku ajak berbicara tentang hal itu.”
“Bukan maksudku demikian
Rudita. Aku hanya ingin kau dapat menyesuaikan dirimu. Kau harus dapat
memperhitungkan waktu dan tempat yang paling tepat untuk menyatakan sikapmu
terhadap tata kehidupan dan peradaban masa kini.”
“Waktu yang paling tepat
adalah saat-saat seseorang menyatakan sikapnya yang keliru itu Ayah.”
“Tetapi pada saat-saat
demikian, biasanya mereka tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Mereka
lebih banyak mendengar kata hati mereka sendiri.”
Rudita mangangguk-angguk. Namun
kemudian, ”Ayah, apakah sudah seharusnya Ki Argapati menjadi demikian ketakutan
menghadapi saat-saat perkawinan anaknya? Itulah gambaran seseorang yang
memiliki prasangka yang tidak terkendali. Dan dimana-mana aku menjumpai orang
semacam itu. Di Cangkring, di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan pada Ayah sendiri. Prasangka dan curiga itulah
sebenarnya pangkal dari kesulitan yang mereka alami. Perasaan mereka tidak
pernah menjadi sejuk dan tenang. Setiap saat mereka menganggap dirinya dimusuhi
oleh sesamanya.”
Ki Waskita tidak membantah,
itu adalah sikap dan pandangan hidup Rudita. Bahkan ia berkata, ”Agaknya kau
benar Rudita.”
“Sebenarnya orang-orang
seperti Ki Argapati, Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar, akan dapat menjadi lantaran yang baik sekali untuk melenyapkan
segala prasangka. Kata-kata mereka dipercaya dan hampir tidak pernah mendapat
pengamatan apapun juga dalam penerimaan di hati orang itu. Hampir setiap
kata-kata mereka dianggap benar dan harus diturut. Tetapi sayang, bahwa mereka
justru telah menyebarkan perasaan saling mencurigai dan prasangka,” ia berhenti
sejenak, lalu, ”dan bagaimana dengan Ayah sendiri.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam.
“Ayah mempunyai kelebihan dari
orang lain. Sejak aku masih kanak-kanak, aku selalu melihat beberapa orang
datang kepada Ayah untuk bertanya tentang masa depan mereka. Dapatkah Ayah
mengatakan kepada mereka, bahwa masa depan yang paling baik adalah ketenangan
dan kedamaian di hati?”
Ki Waskita mengangguk.
Katanya, ”Tentu saja aku dapat Rudita. Tetapi aku tidak dapat membohongi mereka
jika aku melihat isyarat tertentu. Aku tidak dapat melepaskan diri dari
kenyataan dari susunan peradaban manusia sekarang ini, dimana kekerasan masih
terjadi di segala sudut Tanah ini.”
“Kitalah yang membuat
kenyataan bagi kita sendiri,” jawab Rudita.
Ki Waskita memandang anaknya
sejenak, ia melihat sorot mata yang bagaikan menyala di wajah anaknya.
“Ia sudah meyakininya,”
berkata Ki Waskita didalam hatinya. ”Tetapi ia justru akan selalu kecewa dan
bahkan mungkin akan terasing dari pergaulan hidup sesama. Tetapi dunia di dalam
angan-angannya adalah dunia yang paling baik yang dapat digambarkan oleh
manusia.”
Dengan demikian Ki Waskita
justru menjadi diam. Bahkan seakan-akan ia melihat, betapa Rudita seolah-olah
berjalan sendiri ke arah yang berlawanan dengan arus manusia yang tidak
terbendung.
“Tetapi kebenaran yang sejati
dalam sikap hidup bukannya yang paling banyak dianut,” berkata Ki Waskita di dalam
hatinya. Sekilas teringat olehnya, kata-kata yang pernah didengarnya, bahwa
jalan kebaikan itu terlalu lengang karena rumpil dan sempit, sedangkan jalan
kemaksiatan itu menjadi ramai dan cerah karena nampak licin dan rata. Tetapi
ujung jalan itu akan menentukan apakah seseorang akan menyesal atau bersyukur
atas pilihannya. Sedangkan siapa yang telah sampai di ujung jalan, tidak akan
ada kesempatan untuk kembali dan berubah arah.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Yang melonjak di dalam hatinya itu bukannya pengertian yang baru
kemarin didengarnya. Tetapi sudah lama, dan bukan hanya satu dua orang sajalah
yang pernah mengatakan. Tetapi banyak orang. Namun meskipun seseorang mengerti
maksud dari cerita itu, jarang sekali orang yang dapat memaksa dirinya untuk
memilih jalan kebaikan yang sejati, karena justru kelemahan hati manusia yang
mendambakan sifat lahiriah semata-mata.
Ki Waskita terkejut ketika ia
mendengar seorang anak yang berteriak mengusir burung disawah. Ketika ia
berpaling dan memandang bulir-bulir padi yang menguning, nampak sekelompok
burung gelatik yang terbang berputaran. Namun kemudian tersentak oleh teriakan
anak itu, dan terbang berarak ke arah yang lain.
Tetapi di setiap pematang dan
di setiap gardu, anak-anak berlari-larian dengan goprak di tangannya dan
tali-tali penarik hantu-hantuan di sawah, sehingga burung-burung yang mengawan
diudara itu bagaikan hanyut dibawa oleh arus angin yang berputar
melingkar-lingkar dan kadang-kadang hilang ke arah yang jauh.
Demikianlah maka keduanyapun
kemudian melanjutkan perjalanan dengan lebih banyak berbicara dengan dirinya
sendiri dari pada yang satu dengan yang lain. Hanya kadang-kadang saja Rudita
menyebut sesuatu yang dilihatnya dan Ki Waskita menganggukkan kepala sambil
mengiakannya. Namun kemudian keduanyapun kembali berdiam diri.
Setiap saat Rudita merasa
bahwa seolah-olah jarak antara dirinya dengan ayahnya itu menjadi semakin jauh.
Banyak persoalan yang tidak sesuai dalam pembicaraan.
Namun sebenarnyalah Rudita pun
merasa, bahwa ia menjadi semakin jauh bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari
orang-orang yang pernah dikenalnya dengan akrab. Seolah-olah orang-orang itu
pun hanyut seorang demi seorang ke dalam arus air banjir dan tidak dapat
dicegahnya lagi.
Rudita menarik nafas dalam-dalam.
Tiba-tiba saja hatinya menjadi iba terhadap sesamanya. Ia menjadi semakin
kasihan melihat tingkah laku manusia yang cenderung untuk merusak lingkungan
diri sendiri dengan cara yang paling mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari
sikap dan perbuatan seekor binatang yang paling buas. Tidak seekor binatangpun
yang dengan sadar dan sengaja menyakiti dan menyiksa sesamanya. Tetapi manusia
telah melakukannya. Justru kadang-kadang diri mereka sendiri telah mereka siksa
dengan berbagai macam keinginan yang ketamakan.
Perjalanan keduanya tidak
mengalami gangguan apapun di perjalanan. Tidak ada penyamun dan perampok.
Mereka menempuh perjalanan di bulak-bulak panjang yang pernah menjadi daerah
jelajah perampok-perampok dan penyamun-penyamun kecil. Tetapi mereka juga
melalui hutan-hutan yang masih agak lebat, yang menjadi daerah perburuan dari
perampok-perampok yang menakutkan karena namanya yang telah dikenal oleh hampir
setiap orang.
Meskipun demikian, Ki Waskita
kadang-kadang menjadi berdebar-debar juga. Jika sekiranya mereka berdua bertemu
dengan orang-orang jahat yang manapun juga, maka Rudita tentu akan bersikap
lain dari kebiasaan orang lain. Bukan karena Ki Waskita tidak sanggup lagi
bertempur melawan mereka, tetapi tentu Rudita akan menghalanginya dan seperti
sikapnya pada saat-saat mereka bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bertemu
dengan orang-orang Kiai Kalasa Sawit di perjalanan dari Jati Anom ke Sangkal
Putung.
“Saat itu ada Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar. Tanpa mereka maka aku akan bertengkar sendiri dengan Rudita,”
berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Tetapi perjalanan mereka
ternyata selamat tanpa kesulitan apapun. Semakin lama mereka menjadi semakin
dekat dengan rumah mereka.
Terasa titik-titik kerinduan
mengembun di hati Rudita. Bagaimanapun juga ia merasa telah meninggalkan ibunya
untuk waktu yang lama dengan sikap dan perbuatan yang barangkali telah membuat
ibunya cemas selama ini.
Ketika mereka memasuki
padukuhannya, maka Rudita menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menghirup
udara padukuhannya sebanyak-banyaknya. Udara yang serasa lebih segar dari udara
di sepanjang perjalanannya, apalagi di lereng Gunung Merapi yang telah
memberikan pengalaman-pengalaman baru di dalam hidupnya.
Ketika kuda-kuda mereka telah
melintas di sepanjang jalan yang langsung menuju ke regol halamannya, maka
rasa-rasanya Rudita ingin berpacu lebih cepat lagi, agar ia segera dapat sampai
di rumahnya dan bertemu dengan ibunya yang telah menunggunya sedemikian lama.
Seperti yang diduga oleh Ki Waskita,
maka kegelisahan istrinya hampir tidak tertahankan lagi. Kepergian Ki Waskita
yang sudah cukup lama itu rasa-rasanya telah menghilangkan harapannya
Karena itu, ketika Ki Waskita
pulang membawa anaknya, jantung Nyi Waskita serasa akan pecah oleh kegembiraan
yang meledak. Anaknya yang sudah disangkanya hilang itu tiba-tiba kini kembali
kepadanya.
Ketika Nyi Waskita mendengar
derap kuda memasuki halaman rumahnya, dengan tergesa-gesa ia berlari-lari
keluar. Seolah-olah ada firasat padanya, bahwa yang datang itu adalah anaknya
yang hilang.
Ternyata firasat itu benar.
Yang datang adalah Ki Waskita yang membawa Rudita.
Dengan berlari-lari ia
menyongsong anaknya. Demikian Rudita meloncat turun dari kuda, maka anak
laki-laki yang sudah menjadi dewasa itu dipeluknya dengan air mata yang meleleh
dipipinya yang mulai dibayangi oleh garis-garis umur.
Rasa-rasanya mata Rudita pun
menjadi panas. Tetapi ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, ”Maaf Ibu.
Barangkali aku telah membuat Ibu gelisah.”
“Aku hampir mati karena hatiku
yang pedih Rudita,” berkata ibunya.
“Seharusnya Ibu tidak usah
terlalu memikirkan aku.”
“Itu adalah pikiran anak-anak.
Tetapi tidak dapat terjadi pada seorang ibu. Seorang yang telah melahirkanmu
dengan mempertaruhkan nyawanya. He, kau tahu bahwa seorang ibu melahirkan
dengan mempertaruhkan nyawanya? Seseorang yang,bertempur di medan perang
dianggap sebagai pejuang-pejuang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi
karena ia telah berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Nah, apa katamu
tentang seorang ibu?”
Rudita memandang ibunya
sejenak. Lalu sambil tersenyum ia berkata, ”Seorang ibu adalah seorang pahlawan
yang menjadi perantara hadirnya seseorang di muka bumi Ibu. Dan Ibu adalah
salah seorang dari pahlawan itu.”
“O,” Nyi Waskita memeluk
anaknya semakin erat.
“Tetapi seharusnya Ibu tidak
usah mencemaskan aku. Aku akan berusaha dangan sungguh-sungguh untuk pada suatu
saat kembali lagi kepada Ibu.”
“Tetapi jika kau gagal?” desis
ibunya.
Rudita tersenyum. Sambil
memandang ayahnya ia berkata, “Ada yang kurang Ibu pahami. Yang akan berlaku
tetap akan berlaku. Apapun yang kita usahakan, namun keputusan terakhir tidak
ada pada kekuasaan kita. Apalagi tentang nasib seseorang, Ibu. Keselamatan kita
masing-masing ada di tangan Yang Maha Kuasa. Kepadanya kita harus pasrah diri.”
“O,” perlahan-lahan anaknya
itu dilepaskan. Sambil menatap wajahnya yang di mata ibunya masih tetap
kekanak-kanakan ia berkala perlahan-lahan, ”Anakku. Aku tidak dapat melepaskan
diri dari perasaan cemas itu. Seandainya aku dapat memahami kata-katamu tentang
nasib yang tergores sepanjang keharusan akan terjadi dalam jalur hidupmu, namun
aku ingin kau tetap berada didekatku. Kau adalah milikku yang paling berharga.”
Rudita masih akan menjawab.
Tetapi ayahnya telah mendahuluinya, ”Nyai, biarlah kami membasuh kaki, naik ke
rumah dan minum minuman hangat.”
“O,” desis Nyi Waskita,
”silahkanlah Kakang.”
Ki Waskita pun kemudian pergi
ke jambangan di sudut rumahnya untuk membasuh kakinya. Kemudian Rudita pun
berbuat serupa sebelum ia mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumahnya.
Nyi Waskita nampak menjadi
lebih cerah, betapapun juga ia kurang memahami jalan pikiran anaknya. Ia memang
melihat kelainan pada anaknya itu, sejak ia belum meninggalkan rumahnya. Dan
agaknya ia masih belum dapat mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi di
dalam diri anaknya itu.
Tetapi menghadapi ibunya,
ternyata Rudita bersikap lain. Ia masih selalu menahan diri jika rasa-rasanya
ada sesuatu yang sudah tergerak di hatinya. Agaknya ia masih berusaha untuk
tidak memberikan kesan yang kurang baik pada pertemuannya dengan ibunya setelah
beberapa lama berpisah, dan bahkan seolah-olah ibunya telah merasa kehilangan.
“Aku sudah menyiapkan beberapa
orang untuk mencarimu,” berkata ibunya, ”aku menjadi semakin cemas karena
justru ayahmu tidak segera kembali bersamamu.”
“Beberapa orang?” bertanya
Rudita.
“Ya. Aku menyewa orang-orang
yang paling disegani di padukuhan ini. Aku menyanggupi untuk memberikan upah
yang sepadan jika mereka berhasil menemukan kau dalam keadaan apapun juga. Aku
menyuruh mereka bersiap-siap. Jika akhir bulan ini, mendekati saat pekawinan
Swandaru tiba kau masih belum diketemukan, maka mereka akan berangkat
mencarimu.”
Rudita menarik nafas panjang.
Tetapi sebelum ia menjawab ayahnyalah yang mendahuluinya, justru sambil
tersenyum, ”Siapa sajakah yang akan kau upah untuk mencari Rudita?”
“Jliteng dan empat orang yang
akan ditunjuknya.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak segera menjawab. Sejenak ia membayangkan seorang laki-laki yang
kulitnya kehitam-hitaman, berkumis tebal dan berdahi sempit. Di padukuhan itu,
ia memang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi Jika ada suatu saat
ia bertemu dengan orang-orang yang berada di Tambak Wedi, atau sebut saja Ki
Raga Tunggal, maka Jliteng akan menyesal bahwa ia telah menerima tawaran itu.
“Untunglah bahwa semuanya
belum terlanjur,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.
Sementara itu di dapur,
pembantu-pembantu Nyai Waskita sibuk menyiapkan minuman dan makan bagi Ki Waskita
dan Rudita.
Namun dalam pada itu, mereka
pun tidak habis-habisnya memperbincangkan kehadiran anak satu-satunya Ki dan
Nyai Waskita yang sudah sekian lama meninggalkan rumahnya.
Setelah minum seteguk minuman
panas, Ki Waskita pun segera pergi ke biliknya untuk melepaskan baju dan ikat
kepalanya. Rasanya badannya menjadi tebal oleh debu yang melekat. Karena itu
maka ia pun kemudian segera pergi ke pakiwan untuk mandi.
Demikianlah suasana rumah itu
pun rasa-rasanya telah menjadi hidup kembali. Nyai Waskita menjadi sibuk untuk
menyediakan apa saja yang dapat menyenangkan hati anaknya, sementara anaknyapun
kemudian mandi pula setelah Ki Waskita.
“Nyai,” berkata Ki Waskita
kemudian kepada istrinya, “sekarang kau harus bersikap lain terhadap Rudita. Ia
kini telah benar-benar menjadi dewasa. Ia tidak perlu kau layani seperti pada
masa kanak-kanaknya.”
Nyai Waskita termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, ”Apa maksudmu Kakang?”
“Berlakulah seperti kau
memperlakukan seorang anak muda yang sudah dewasa.”
“Aku tidak mengerti. Aku
bersikap seperti biasa terhadap anakku.”
”Nyai,” suara Ki Waskita
menjadi datar, ”aku tahu dan mengerti bahwa Rudita adalah satu-satunya anak
kita. Karena itu aku dan terlebih-lebih kau, ibunya, sering memanjakannya. Kita
seolah-olah masih saja melayani seorang anak yang baru tumbuh menjadi remaja.”
“Apa salahnya Kakang. Ia
adalah satu-satunya anak kita,” jawab Nyi Waskita, ”dan bukankah sudah
sewajarnya jika aku ibunya, sekali-sekali menunggui ia makan. Menyenduk nasi ke
dalam mangkuknya dan menyelimutinya jika ia tidur.”
“Memang Nyai. Itu adalah wajar
sekali. Tetapi Rudita sekarang tidak menghendakinya lagi. Kau harus mengerti,
bahwa ada perubahan di dalam dirinya. Jika dahulu ia merajuk jika kau tidak
menungguinya makan dan kadang-kadang kau masih harus menungguinya di
pembaringannya sambil memijit kakinya, maka sekarang ia minta diperlakukan
lain.”
“Aku sungguh-sungguh tidak
mengerti.”
“Sekarang kau harus
membiarkannya berbuat sesuatu dengan keinginannya. Kau memang seharusnya
menungguinya makan, tetapi biarkan ia menentukan sendiri, apakah yang akan
dimakannya di antara segala macam yang kau hidangkan. Biarlah ia di malam hari
masuk sendiri ke dalam biliknya dan menutup pintu dari dalam.”
”Aku tidak sampai hati
membiarkan ia berbuat semuanya untuk dirinya sendiri.”
“Bahkan biarlah ia menimba air
dan mengisi jambangan. Mencuci pakaiannya sendiri jika itu dikehendaki. Ia
benar-benar ingin menjadi dewasa, lahir dan batin.”
Nyai Waskita menjadi bingung.
Ia tidak mengerti maksud suaminya. Sejak dahulu ia sering menunjukkan
sifat-sifat yang aneh. Kadang-kadang Ki Waskita menghendaki Rudita berbuat jauh
lebih banyak dari yang dikehendakinya. Ki Waskita sering melarangnya berbuat
sesuatu untuk anaknya. Bahkan kadang-kadang menunjukkan sikap yang keras.
Dan kini, baru saja anak itu
kembali, Ki Waskita sudah bersikap asing atas anaknya.
“Kakang,” berkata Nyai Waskita
kemudian, ”agaknya kau masih marah kepada anakmu. Tetapi sebaiknya kau tidak
bersikap terlalu keras terhadapnya. Ia tentu akan lari lagi dari rumah ini jika
ia melihat wajahmu yang buram menghadapinya dan apalagi jika ia tahu, bahwa kau
melarang aku berbuat sesuatu untuknya, ia akan bertambah kecewa. Bukankah kita
masih harus membujuknya agar ia tidak lagi ingin pergi dari rumah ini?”
“Pendapatmu keliru Nyai. Ia
menjadi jemu dengan keadaannya sendiri. Di beberapa tempat yang lain, ketika ia
mulai bergaul dan melihat-lihat suasana yang lain dari rumah ini, ia mulai
mengerti bahwa cara hidupnya adalah aneh. Sampai ia menginjak usia remaja, ia
tidak pernah mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Baru
kemudian ia mengenal dirinya sendiri setelah ia melihat beberapa perbandingan.
Di rumah ini ia selalu dimanjakan. Semua keinginannya tidak pernah gagal. Semua
perintahnya dilakukan dengan tertib. Jika kau melarangnya berbuat sesuatu, ia
tinggal mempergunakan senjata pamungkasnya, merengek,” ia berhenti sejenak,
lalu, ”tetapi agaknya ia kini telah berubah. Ia adalah seorang laki-laki.
Bahkan seorang laki-laki yang memiliki kelebihan sifat rohaniah dari laki-laki
yang manapun juga yang pernah kita kenal.”
“Kau menghendaki terlampau
banyak dari anak kita,” berkata Nyai Waskita, ”biarlah ia berbuat sesuai dengan
kemampuan dan kemauannya.”
“Ia pergi karena ia tidak
menemukan yang dicarinya di rumah ini. Ia ingin orang lain menganggapnya sudah
dewasa dan memperlakukannya demikian. Jika kau masih tetap memperlakukannya
seperti kanak-kanak, maka ia akan mencari kesempatan di tempat lain untuk
mengalami masa menjelang usia dewasanya. Ia lebih senang mendapatkan tantangan
rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan perkembangan kedewasaannya. Jika kau dapat
berbuat demikian, maka ia akan kerasan tinggal di rumah.”
Nyai Waskita menjadi semakin
bingung. Namun ketika kemudian terdengar derit pintu dan Rudita melangkah masuk
dari pakiwan setelah mandi, maka Ki Waskita pun berkata, ”Berpakaianlah. Kita
akan makan lebih dahulu.”
“Baik Ayah,” jawab Rudita yang
kemudian masuk ke dalam biliknya.
Kedua orang tuanya menarik
nafas. Rasa-rasanya Nyai Waskita memang melihat hal yang lain pada anaknya.
Tetapi kelainan itu lebih banyak dicari artinya pada unsur jasmaniahnya.
Ibu Rudita menduga, bahwa
karena Rudita telah mengembara menyusuri daerah yang sulit bagi hidupnya, maka
ia telah menjadi bertambah kurus dan kehitam-hitaman. Karena kesan
perjalanannya yang sulit itu agaknya telah membuatnya agak pendiam.
“Nyai,” tetapi Ki Waskita
berkata kemudian, ”lihatlah. Tatapan matanya menunjukkan betapa jiwanya menjadi
semakin masak. Ciri kedewasaannya nampak pada sikapnya yang ingin berdiri
sendiri. Ingin menentukan baik dan buruk dan memilih dengan penuh tanggung jawab.
Dan agaknya dari segi rohaniah ia memang sudah menentukan pilihan sikap dan
batasan-batasan tentang hidup kejiwaan seseorang. Meskipun sukar dimengerti,
tetapi ia telah menemukan yang paling baik dengan penuh tanggung jawab.”
“Tetapi aku adalah seorang
ibu,” berkata Nyai Waskita, “aku memandikannya sejak ia masih merah. Menyusui
dan menyuapinya setiap saat. Apakah setelah ia disebut dewasa, aku telah
kehilangan segala hakku atasnya?”
“Bukan begitu Nyai. Kau masih
tetap ibunya. Tetapi cobalah menganggapnya sebagai suatu pribadi yang dewasa
dengan segala ciri-cirinya.”
Nyai Waskita menggelengkan
kepalanya, ”Aku tidak mengerti. Apakah ia lebih senang hidup dalam kesulitan,
memelihara diri sendiri, mengambil air, mencuci pakaian dan sebagainya daripada
hidup seperti yang pernah dialaminya dirumah ini.”
“Ternyata ia telah
meninggalkan rumah ini Nyai.”
“Aku mempunyai dugaan lain.
Meskipun aku yakin, tentu kau berbeda pendapat. Itulah sebabnya aku tidak
pernah mengatakannya.”
“Katakanlah. Mungkin kau benar.”
“Ia menjadi sangat kecewa
bahwa Pandan Wangi benar-benar akan segera kawin dengan orang lain. Dengan anak
Demang dari Sangkal Putung itu. Apalagi Kakang, ayahnya sendiri, agaknya justru
telah membantu pelaksanaan perkawinan itu sebaik-baiknya.”
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Ia menjadi sulit menanggapinya. Jika ia mengatakan sesuai dengan
pengertiannya tentang hal itu, maka istrinya akan berkata, ”Sejak semula aku
sudah tahu, bahwa kau akan menolak pikairanku itu. Tetapi agaknya seorang ayah
benar-benar tidak dapat menyelami perasaan anaknya sendiri.”
Karena itulah maka Ki Waskita
sejenak termangu-mangu. Baru kemudian ia berkata, ”Aku telah mencoba menyelami
tanggapan Rudita atas perkawinan itu. Bahkan ia sempat bertemu baik dengan
Swandaru maupun dengan Pandan Wangi. Sama sekali tidak terkesan kekecewaan itu
padanya menurut pengamatanku.”
Istrinya tidak menyahut.
Tetapi dengan wajah yang buram ia pun kemudian melangkah sambil berkata, ”Aku
memang terlampau bodoh untuk mengerti. Tetapi baiklah, jika aku memang harus
melepaskan segala ujud kecintaanku kepada anakku, dan bahkan telah dianggap
menyebabkan kepergiannya dari rumah ini.”
“Kau salah mengerti Nyai.”
“Aku tidak akan melarangnya
lagi. Juga apabila ia akan meninggalkan aku”
“Tidak, ia tidak akan pergi
lagi dari rumah ini.”
Nyai Waskita pun kemudian
meninggalkan ruang itu masuk ke dalam biliknya Setitik air mata telah meleleh
di pipinya. Dengan ujung kembennya ia mengusapnya saat ia duduk di bibir
pembaringannya.
Rasa-rasanya hatinya menjadi
pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hidup kekeluargaannya berkembang tanpa dapat
dimengertinya. Satu-satunya anaknya telah menumbuhkan persoalan yang paling
rumit di dalam hatinya. Malah nampaknya ia tidak akan mampu lagi
mengendalikannya.
Pada hari yang pertama, ibunya
memang telah melihat perbedaan sikap dan tingkah laku pada Rudita. Tetapi
pembicaraannya dengan suaminya telah mempersiapkan tanggapan hatinya tanpa
disadarinya.
Dengan heran ia melihat Rudita
mengatur ruang tidurnya menurut seleranya setelah sekian lamanya tidak pernah
dipergunakannya. Tanpa seorangpun yang menyuruhnya, ia ikut melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para pembantu rumahnya. Bahkan
sekali-sekali ia sudah bertanya tentang sawah dan tingkat pekerjaan yang sedang
dikerjakan di sawah saat itu.
“Besok aku akan melihat sawah
kita Ibu,” berkata Rudita, ”alangkah segarnya menghirup udara terbuka di antara
hijaunya dedaunan. Sudah lama aku terpisah dari sawah dan ladang kita itu.”
Ibunya mengangguk. Namun ia masih
mencoba berkata, ”Kenapa kau memerlukan pergi ke sawah? Jika kau sekedar akan
melihat-lihat saja, pergilah. Tetapi kau tidak perlu berbuat apapun juga,
karena sudah banyak orang yang akan mengerjakannya.”
Rudita tertawa. Katanya,
”Apakah bedanya aku dengan mereka Ibu?”
“Kau adalah anakku.”
“Jadi?”
Ibunya termangu-mangu. Tetapi
yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menarik nafas dalam-dalam.
“Biarlah aku mencoba berbuat
sesuatu Ibu, sehingga rumah ini dapat memberikan gairah hidup kapadaku meskipun
hanya sekedarnya.”
Ibunya tidak menyahut. Tetapi
agaknya ia mulai menilai keterangan Ki Waskita. Apa yang dikatakan oleh
suaminya sedikit demi sedikit mulai membayang.
“Agaknya memang ada sesuatu
yang ingin dilakukan oleh anak itu,” seolah-olah mulai terdengar bisikan di
dalam hati Nyai Waskita.
Karena itulah, maka Nyai
Waskita mencoba menahan hatinya. Dibiarkannya anaknya melakukan apa saja yang
dikehendakinya. Meskipun kadang-kadang perasaannya hampir tidak dapat
dikendalikannya lagi, namun kesadarannya yang timbul setelah ia mencoba
mengenal anaknya sekali lagi, telah melepaskan anaknya itu untuk berbuat lebih
banyak.
Di hari-hari berikutnya. Nyai
Waskita hanya dapat mengusap dadanya jika ia melihat Rudita pulang dari sawah
dengan cangkul di pundaknya dan tubuh yang kotor oleh lumpur. Tetapi pada tubuh
yang kotor itu ia melihat cahaya wajah Rudita yang bersih dan cerah,
seolah-olah ia telah menemukan tata kehidupan yang baru.
Pada saat ia belum
meninggalkan rumah itu, sebenarnya ia pun telah mulai dengan kerja seperti itu.
Tetapi ibunya selalu melarangnya. Menasehatinya sepanjang sore bahkan sampai
malam hari, agar ia menempuh tata kehidupan yang baik karena ia adalah anak
dari keluarga yang berada.
“Tetapi tata kehidupan yang
bagaimanakah yang dapat disebut baik?” pertanyaan itulah yang kadang-kadang
tidak dapat disingkirkan dari hatinya.
Namun agaknya kini ibunya
telah berubah sikap, seperti perubuhan yang tumbuh di dalam diri Rudita
sendiri. Sehingga karena itulah agaknya Rudita mulai tersentuh oleh perasaan
tenang di kampung halamannya sendiri.
Apalagi jika matahari telah
turun, dan para petani sudah mandi dan melepaskan lelah di ujung padukuhan,
duduk sambil berkelakar di temaramnya senja, rasa-rasanya damai yang sejati
mulai membayang dalam tata kehidupan yang justru terpisah dari peradaban yang
semakin maju di kota-kota.
“Mereka tidak banyak mempunyai
persoalan,” berkata Rudita di dalam hatinya, ”dan agaknya perasaan mereka pun
terbuka untuk mengerti, bahwa dengan saling mengasihi, maka hidup akan menjadi
tenteram dan damai.”
Namun kadang-kadang Rudita
masih harus bersedih hati jika pada suatu saat ia melihat dua orang tetangganya
bertengkar. Mereka kadang-kadang masih diusik oleh persoalan-persoalan kecil
tanpa dapat saling memaafkan. Soal ayam yang mengais-ngais tanaman tetangganya.
Soal kucing yang memecahkan genting ketika sedang mengejar tikus di rumah orang
lain.
Rudita kadang-kadang terpaksa
merenung di dalam biliknya. Jika persoalan-persoalan kecil itu dapat
menumbuhkan permusuhan dan tanpa dapat saling memaafkan, maka pantaslah bahwa
dunia ini selalu diganggu oleh pertengkaran dan usaha penyelesaian persoalan
dengan kekerasan.
Namun dengan demikian, maka
kerinduannya terhadap hidup yang tenang dan kedamaian yang sejati justru serasa
semakin membara di dadanya.
Setelah beberapa hari berada
di rumah, Ki Waskita agaknya dapat melihat kegelisahan yang mulai nampak lagi
pada anaknya. Karena itu, sebelum terlanjur, Ki Waskita mencoba untuk
memberikan arah kepadanya, agar ia tidak dicengkam lagi oleh suatu keinginan
untuk meninggalkan rumahnya.
“Dimanapun kau dapat
mengutarakan sikapmu Rudita, dan kepada siapapun. Tentu saja harus dengan
bijaksana, agar tidak timbul persoalan yang justru sebaliknya yang justru dapat
menimbulkan kebencian.”
“Maksud Ayah, di rumah inipun
aku dapat menyatakan sikap hidupku?”
“Ya. Dan kau mulailah dengan
menyusun tata kehidupan di kampung halaman ini seperti yang kau bayangkan. Tata
kehidupan yang tenang dan damai. Jika kau berhasil, maka dengan sendirinya,
tata kehidupan yang demikian tentu akan berkembang.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Aku mengerti Ayah, meskipun
tekanan dari sikap Ayah itu bukan semata-mata susunan tata kehidupanya di
kampung halaman ini. Tetapi semata-mata agar aku tidak meninggalkan Ibu apabila
pada suatu ketika Ayah ke Tanah Perdikan Menoreh menjelang perkawinan Pandan
Wangi.”
“Kau memang cerdas sekali
Rudita.”
“Tetapi aku bersedia Ayah. Aku
berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi dari rumah ini. Meskipun tekanan dari
maksud Ayah adalah agar aku tetap di rumah, namun aku akan mencobanya juga
untuk mulai dengan lingkungan kecil ini. Jika lingkungan kecil ini menolak,
maka aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Pajang, Mataram,
dan Pati.”
Ki Waskita terdiam sejenak.
Ternyata anaknya dapat melihat maksudnya yang sebenarnya. Meskipun demikian, ia
dapat berlega hati, bahwa Rudita sudah menyanggupkan diri, bahkan berjanji
untuk tidak meninggalkan rumahnya. Ia akan mencoba menyusun tata kehidupan di
dalam lingkungan kecil itu untuk mewujudkan ketenangan yang diidamkan. Meskipun
ia tahu, bahwa tidak ada lingkungan yang terpisah dari sekitarnya. Betapapun
juga, keadaan di sekitarnya akan langsung mempengaruhi tata kehidupan, di
lingkungan kecil itu.
Tetapi Rudita sudah bertekad.
Apalagi di lingkungan kecil, bahkan seandainya ia harus berdiri seorang
diripun, ia akan tetap berpegangan pada dasar sikapnya itu.
“Ayah,” berkata Rudita
kemudian, ”jika Ayah ingin segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka
sebaiknya Ayah tidak ragu-ragu meninggalkan Ibu di rumah.”
Ayahnya merenung sejenak.
Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, ”Kau benar-benar
sudah dewasa Rudita. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah berusaha
untuk mengerti persoalan yang sama-sama kita hadapi,” ia berhenti sejenak,
lalu, ”baiklah. Aku sekarang tidak ragu-ragu lagi meninggalkan rumah ini. Aku
memang ingin mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”
“Apakah kelak, aku dan Ibu
harus menyusul?”
“Jika aku sempat, aku akan
menjemput ibumu. Kira-kira lima atau enam hari sebelum hari-hari perkawinan
itu.”
Rudita mengangguk-angguk.
“Kita masih bersangkut paut
keluarga, sehingga kurang pantas rasanya jika kita hadir langsung pada saat perkawinan
itu.”
“Baiklah Ayah.”
“Biarlah aku sendiri akan
mengatakannya kepada ibumu.”
Rudita mengangguk. Katanya,
”Ibu tentu perlu mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan
Menoreh.”
“Ya. Tetapi agaknya ibumu
memang sudah mulai memikirkan.”
“Mudah-mudahan Ibu dapat
melupakan kekecewaannya,” desis Rudita kemudian.
“Kenapa ibumu kecewa?”
“Akulah yang menyebabkannya.
Di saat-saat hatiku masih diliputi oleh kegelapan, maka rasa-rasanya aku memang
ingin mendapatkan sesuatu dari Pandan Wangi. Ternyata Ibu menganggap bahwa hal
itu adalah wajar sekali, dan bahkan Ibu sependapat apabila hal itu terjadi.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita mengetahui pula akan hal
itu. Untunglah bahwa kemudian Rudita menemukan kepribadiannya yang masak,
sehingga ia akan dapat menguasai dirinya sendiri.
“Baiklah Rudita. Aku akan
mengatakannya kepada ibumu. Biarlah yang sudah berlalu itu kita lupakan.
Mudah-mudahan ibumu tidak keras hati seperti saat-saat lampau menghadapi
persoalanmu, karena kau adalah satu-satunya anak yang menurut pendapatnya perlu
dimanjakannya.”
Rudita menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas terbayang masa. lampaunya yang kini terasa aneh bagi
dirinya sendiri.
Dalam pada itu, maka Ki
Waskita pun kemudian menemui istrinya dan menyatakan maksudnya.
“Kau akan pergi mendahului
kami?” bertanya isterinya.
“Aku sudah berjanji untuk
membantunya. Mungkin Ki Gede memerlukan pertimbangan-pertimbangan bagi
hari-hari perkawinan anaknya itu.”
“Bukankah di Tanah Perdikan
Menoreh sudah banyak orang-orang tua yang akan dapat membantunya membuat
perhitungan saat dan waktu?”
”Ya. Tetapi mungkin. Ki Gede
memerlukan orang lain. Dan orang lain itu adalah aku.”
Isterinya mulai berpikir.
“Sementara itu, kau dapat menyiapkan
sumbangan apakah yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau harus dapat
memilih, karena aku kira Tanah Perdikan Menoreh telah penuh dengan berbagai
macam bahan yang diperlukan. Justru aku kira sudah berlebih-Iebihan.”
Nyai Waskita menarik nafas.
Memang masih membayang kekecewaan itu di sorot matanya. Ia masih juga
membayangkan, betapa senangnya mempunyai menantu seorang gadis seperti Pandan
Wangi. Seorang gadis yang mempunyai sifat dan kemampuan yang melampaui
gadis-gadis kebanyakan. Ia pandai berburu, tetapi ja juga seorang pengatur
rumah tangga yang baik. Sejak kecil ia sudah belajar mengatur isi rumahnya dan
melayani keluarganya. Apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga semua
tanggung jawab rumah tangganya seolah-olah dibebankan kepadanya seluruhnya.
Tetapi Pandan Wangi itu akan
menjadi menantu orang lain. Dan kini yang dapat dilakukannya hanyalah melihat
saat-saat perkawinan itu berlangsung dan membawa sumbangan bagi peralatan
perkawinan itu.
Meskipun demikian, ia pun
kemudian menjawab, ”Baiklah Kakang. Selama Kakang pergi menjelang hari
perkawinan Angger Pandan Wangi, aku akan mempersiapkan sumbangan yang
barangkali bermanfaat bagi pengantin itu.”
“Aku akan berusaha untuk
menjemputmu dan Rudita sepekan sebelum perkawinan itu berlangsung.”
“Baiklah. Kami akan menunggu,”
jawab Nyai Waskita, ”tetapi jika sepekan sebelum hari perkawinan itu kau tidak
datang, keesokan harinya aku akan berangkat bersama Rudita dan barangkali satu
dua orang pelayan.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, ”Tetapi aku akan berusaha. Justru mendekati hari-hari perkawinan
kesibukan akan berpindah ke dapur. Dan aku akan mempunyai waktu terluang,” ia
tertegun sejenak, lalu, ”ah, itu pun kalau aku memang diperlukan di Menoreh.”
Demikianlah Ki Waskita pun kemudian
mempersiapkan dirinya. Keesokan harinya, di dini hari ia akan berangkat seorang
diri ke Tanah Perdikan Menoreh.
Namun dalam pada itu, ia tidak
dapat melupakan kemungkinan yang dapat terjadi sementara Tanah Perdikan Menoreh
sibuk dengan persiapan perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Masih saja
terbayang sepasukan yang kuat melingkari Gunung Merapi seperti seekor ular naga
yang merayap di lambung bukit itu, sementara dari arah lain, sekelompok
orang-orang sakti dengan mengendap-endap dan bersembunyi membawa jenis pusaka
yang lain untuk dipersatukan di suatu tempat.
“Suatu tempat yang harus
ditemukan,” desis Ki Waskita.
Namun ia masih mencoba untuk
menggeser persoalan itu betapapun menggelisahkannya menghadapi hari perkawinan
Pandan Wangi.
Ketika matahari mulai
membayang di imur di keesokan harinya, Ki Waskita sudah mempersiapkan kudanya.
Ia masih sempat makan pagi sebelum ia memanggil Rudita dan istrinya.
”Hati-hatilah di rumah,”
berkata Ki Waskita kepada anak laki-lakinya, ”kau jangan menggelisahkan hati
orang tuamu lagi.”
“Baik Ayah. Bukankah aku sudah
berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi.”
“Dan selama ini Nyai dapat
mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa bersama ke Tanah. Perdikan Menoreh
seperti yang Nyai katakan,” berkata Ki Waskita kepada istrinya.
“Baiklah Kakang.”
“Sudah waktunya aku berangkat.
Hari perkawinan itu menjadi semakin sibuk.”
“Apakah Ki Gede masih juga
curiga terhadap adiknya, Ki Argajaya?” bertanya Nyai Waskita.
Ki Waskita menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak tahu. Tetapi agaknya Ki Gede Menoreh bukan
seorang pendendam. Meskipun demikian, agaknya retak yang pernah terjadi itu
tidak akan dapat pulih seperti sediakala.”
Isterinya mengangguk angguk.
Ia pun mengetahui bahwa pernah terjadi persoalan yang gawat antara kakak
beradik pewaris Tanah Perdikan Menoreh itu. Bahkan seakan-akan Tanah Perdikan
Menoreh seolah-olah terbakar oleh api benturan yang dahsyat antara kedua kakak
beradik. Kehadiran Sidanti di kampung halamannya bersama gurunya, Ki Tambak Wedi,
membuat api di atas Tanah Perdikan itu menjadi bagaikan neraka.
“Tetapi agaknya Ki Argajaya
telah benar-benar menyadari kekeliruannya,” berkata Ki Waskita kemudian, ”dan
agaknya Ki Gede pun telah memaafkannya. Di dalam saat perkawinan Pandan Wangi,
sudah tentu Ki Argajaya akan menjadi sibuk pula sebagaimana seorang Paman yang
ikut menyelenggarakan hari-hari perkawinan kemenakannya.”
Ketika matahari mulai
menjenguk di atas cakrawala maka Ki Waskita pun kemudian minta diri untuk
mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
Rudita dan Nyai Waskita
melepaskannya sampai ke regol halaman. Mereka masih saja berdiri mengawasi
keberangkatan Ki Waskita, sampai ia hilang di tikungan.
Dalam pada itu, kuda Ki
Waskita berderap semakin cepat. Ia sama sekali tidak mencemaskan lagi anak
laki-lakinya. Ia percaya bahwa Rudita akan memegang janjinya, tidak lagi
meninggalkan ibunya.
Sementara itu, jalan yang
menjelujur di hadapannya masih nampak basah oleh embun. Rerumputan yang hijau
nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang jatuh pada titik-titik
embun yang bertengger.
Ki Waskita menarik nafas.
Udara pagi rasa-rasanya membuat tubuhnya menjadi semakin segar. Angin yang
sejuk mengalir perlahan-lahan. Tetapi karena derap kudanya, maka rasa-rasanya
wajahnya menjadi semakin dingin di sapu oleh angin pagi itu.
Tidak ada yang dicemaskan di
perjalanan. Tanah Perdikan Menoreh rasa-rasanya tidak lagi pernah diganggu oleh
kerusuhan. Namun, jika teringat oleh Ki Waskita, orang-orang yang sedang
menyingkirkan pusaka-pusaka yang mereka curi dari Mataram itu, rasa-rasanya
dadanya berdesir juga.
“Tetapi sementara ini tentu
tidak akan timbul persoalan di atas Tanah Perdikan Menoreh,” katanya di dalam
hati. Tetapi kemudian, ”Mudah-mudahan.”
Kudanya masih berpacu di
bulak-bulak panjang. Ia justru merasa perjalanan itu menyenangkan, meskipun
hanya seorang diri. Udara yang segar, padi yang hijau dan cahaya matahari pagi
yang mulai terasa hangat di kulit.
Namun Ki Waskita itu pun
kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat di kejauhan debu yang
mengepul, ia melihat beberapa ekor kuda yang berlari berlawanan arah, sehingga
semakin lama justru menjadi semakin dekat.
“Siapakah mereka?” desis Ki
Waskita.
Tetapi Ki Waskita tidak
merubah kecepatan kudanya. Ia berpacu terus, seolah-olah tidak melihat sesuatu
di hadapannya.
Namun demikian, semakin dekat
kuda-kuda itu, rasa-rasanya menjadi semakin berdebar-debar juga.
“Tiga ekor kuda,” desisnya.
Mereka pun kemudian berpapasan
di tengah bulak. Seolah-olah masing-masing tidak saling menghiraukan. Ketiga
orang itu hanya berpaling sejenak, memandang wajah Ki Waskita yang kosong.
Sedang Ki Waskita berpalingpun tidak. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia sempat
menangkap kesan di wajah ketiga orang berkuda itu meskipun hanya sekedar dugaan,
bahwa ketiganya tergesa-gesa.
“Tidak ada yang menarik,”
desis Ki Waskita sambil memperlambat derap kudanya. Hampir di luar sadarnya ia
pun berpaling.
Namun terasa jantungnya
berdegup semakin cepat, ketika justru pada saat yang bersamaan ketiga orang itu
pun berpaling pula.
“Mereka berpaling seperti aku
juga berpaling,” desis Ki Waskita.
Ki Waskita mencoba
menghilangkan semua kesan yang timbul di hatinya. Kecemasan yang memang sudah
ada di dalam dadanya tentang orang-orang yang berada di Tambak Wedi, dan
orang-orang yang mengaku dirinya tukang satang yang dengan demikian mereka
harus mempertaruhkan nyawanya, membuatnya mulai mereka-reka hubungan antara
orang-orang itu dengan mereka yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram.
“Ah, aku terlampau cengeng,”
Ki Waskita kemudian.
Dengan demikian Ki Waskita pun
mencoba menghilangkan semua dugaan tentang orang-orang berkuda itu. Adalah
wajar sekali. Tidak ada yang aneh. Tiga orang yang sedang bepergian melalui
jalan ini.
Ki Waskita pun berpacu terus
menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.
Namun tiba-tiba saja Ki
Waskita menjadi berdebar-debar pula. Ia melihat lagi orang berkuda di
hadapannya. Semakin lama menjadi semakin dekat.
“Siapa lagi mereka
itu?”desisnya. Namun kemudian, ”Hanya seorang saja.”
Seperti yang baru saja
dilakukannya, ia mencoba mengusir segala macam kegelisahannya mengenai orang
berkuda itu. Seperti yang baru saja dilakukannya ia memaksa dirinya berkata di
dalam hati, ”Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh.”
Tetapi terasa debar jantungnya
menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda di hadapannya itu menjadi semakin
lambat dan kemudian berhenti.
“Ah, apalagi yang akan
terjadi?” desisnya.
Seperti yang telah diduga,
maka orang berkuda itu pun melambaikan tangannya, memberi isyarat kepadanya
untuk berhenti.