Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 092

Baca Cersil Indonesia Online: Api Di Bukit Menoreh Seri 1 Buku 092
Buku 092
Ki Waskita tersenyum. Katanya, ”Itu memang lebih baik. Tetapi aku kira, aku akan dapat mendahuluinya, karena kebetulan aku mempunyai kepentingan yang lain.”

Swandaru memandang gurunya sekilas. Namun ia pun menyadari bahwa ia tidak akan dapat mencegahnya jika memang itu dikehendaki oleh Ki Waskita.

Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun berkata, ”Karena itu, jika Kiai berdua dan murid-murid Kiai sependapat, aku akan minta diri pula kepada Ki Demang.”

“Tentu kami tidak akan dapat menahan Ki Waskita. Mudah-mudahan perjalanan Ki Waskita tidak menamui kesulitan apapun kelak. Dan aku kira, memang ada baiknya Ki Waskita singgah di Mataram. Jika Raden Sutayijaya masih belum kembali, Ki Lurah Branjangan dapat juga agaknya diberitahu tentang kemungkinan yang kita lihat di Tambak Wedi,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk.

“Dan apakah Ki Waskita akan segera berangkat besok, atau pada hari-hari yang masih akan dipilih?”

“Aku akan berangkat besok pagi-pagi benar Kiai.”

“Untuk seterusnya kita akan bertemu di Tanah Perdikan Menoreh. Begitu Ki Waskita?” bertanya Ki Sumangkar.

“Ya begitulah. Kita akan berpisah untuk sementara. Mungkin tenagaku dapat dipergunakan di Tanah Perdikan Menoreh. Aku adalah orang yang paling cakap menganyam tarub dipadukuhanku,” jawab Ki Waskita.


“Ah, tentu tidak. Tidak ada orang yang berani minta Ki Waskita untuk menganyam tarup,” desis Ki Sumangkar.

“Kenapa? Aku memang senang menganyam tarub di tempat peralatan. Seandainya tidak ada orang yang minta sekalipun, aku akan melakukannya.”

Ki Sumangkar tersenyum. Katanya, ”Beruntunglah Pandan Wangi dan Swandaru. Yang menganyam tarub di saat-saat perkawinannya adalah Ki Waskita.”

Ki Waskita pun tertawa. Sementara Kiai Gringsing berkata, ”Mudah-mudahan merupakan pertanda baik bagi kedua pengantin.”

Swandaru hanya menundukkan kepalanya saja, sedang Agung Sedayu mulai dipengaruhi oleh bayangan tentang dirinya sendiri.

“Apakah saat-saat perkawinanku kelak akan mendapat perhatian dari orang-orang yang memiliki kelebihan seperti Ki Waskita, Ki Sumangkar dan Guru? Apakah menjelang saat-saat perkawinan itu kelak, Ki Demang Sangkal Putung juga mengadakan persiapan seperti sekarang ini, dan kemudian di hari yang kelima, sepasang pengantin itu akan dirayakan pula di Jati Anom?” pertanyaan-pertanyaan itu mulai bergejolak di dalam hatinya.

Tetapi Agung Sedayu berusaha untuk melepaskan kesan itu dari wajahnya, sehingga tidak seorangpun yang sempat memperhatikannya.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun kemudian berkata, ”Nanti malam aku akan minta diri kepada Ki Demang.”

“Baiklah Ki Waskita,” berkala Kiai Gringsing kemudian, ”kita akan berpisah sampai hari-hari perkawinan Swandaru. Tetapi mungkin setelah itu, meskipun sebenarnya kepentingan terbesar adalah Raden Sutawijaya, namun sudah tentu, kita yang sudah terlanjur terpercik dan menjadi basah pula karenanya, tidak akan dapat begitu saja melepaskan diri dari persoalan ini.“

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Sudah tentu Kiai. Aku akan tetap menyediakan diri. Meskipun mungkin aku masih akan memerlukan beberapa waktu untuk tinggal di rumah, bertemu dengan sanak kadang. Tetapi jika sudah cukup aku lakukan sebelum hari-hari perkawinan, maka aku pun akan segera dapat membantu Mataram, menurut kemampuanku.”

“Tentu. Mataram akan berterima kasih. Mudah-mudahan selama saat-saat menjelang hari perkawinan Swandaru tidak terjadi sesuatu yang dapat menunda apalagi membatalkan perkawinan itu,” desis Kiai Gringsing.

“Tentu tidak,” sahut Ki Waskita. Namun nampak sedikit perubahan di wajahnya.

Namun dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar sama sekali tidak bertanya lebih lanjut, justru karena mereka tidak ingin Swandaru mendengar kecemasan orang-orang tua tentang dirinya seperti yang dilihat oleh Ki Waskita sebagai wajah-wajah yang buram.

Demikianlah, di malam harinya ketika mereka selesai makan bersama di pendapa dengan Ki Demang dan beberapa orang bebahu Kademangan yang hadir pula, Ki Waskita menyatakan maksudnya kepada Ki Demang Sangkal Putung, untuk pergi mendahului ke Menoreh.

“Sebenarnya, yang penting adalah kepentingan diri sendiri saja,” berkata Ki Waskita, ”tetapi supaya perjalananku ada juga gunanya, maka aku menawarkan diri untuk menjadi perintis jalan bagi mempelai yang akan segera berangkat pula ke Menoreh karena waktunya memang sudah menjadi semakin dekat.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Karena Ki Waskita mengemukakan alasannya dengan berterus terang, maka Ki Demang pun tidak dapat mencegahnya.

“Ki Waskita,” berkata Ki Demang, ”tentu aku tidak dapat berusaha untuk menunda perjalanan itu. Bahkan aku mengucapkan banyak terima kasih karena Ki Waskita bersedia singgah di Tanah Perdikan Menoreh, untuk membawa pesan yang barangkali perlu aku sampaikan kepada Ki Argapati.”

“Ya. Demikianlah agaknya Ki Demang.”

Ki Demang pun mengangguk-angguk. Ia pun kemudian berunding dengan beberapa orang tua di Sangkal Putung. Namun mereka pun kemudian mengambil kesimpulan, bahwa tidak ada pesan-pesan, bahwa semuanya akan berlangsung sesuai dengan rencana.

“Baiklah Ki Demang,” berkata Ki Waskita kemudian, ”aku akan menyampaikannya kepada Ki Gede Menoreh, bahwa semuanya di Sangkal Putung telah berjalan sesuai dengan rencana. Sedangkan Anakmas Swandaru akan datang di Menoreh bersama pengiringnya dalam pakaiannya sehari-hari, sehingga di sepanjang jalan yang panjang ini perjalanannya tidak terganggu justru oleh pakaian pengantinnya. Demikian pula pada saat kedua pengantin itu kelak diboyong ke Sangkal Putung.”

“Pengantin laki-laki akan datang tiga hari sebelum hari perkawinan,” desis Ki Demang.

Tetapi seorang tua yang rambut dan janggutnya sudah memutih bertanya, ”Tiga atau lima Ki Demang?”

“Bukankah kita bersepakat untuk berangkat lima hari sebelumnya dan kita akan sampai ke Tanah Perdikan Menoreh tiga hari sebelum hari perkawinan.“

“Tidak perlu disebut begitu, sebab kita tidak akan bermalam dua malam di perjalanan. Kita hanya akan bermalam satu malam saja di Mataram. Di hari berikutnya kita akan sampai di Tanah Perdikan Menoreh meskipun setelah matahari melampaui pusatnya di tengah hari.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah. Kita hanya mengatakan kepada Ki Ageng Menoreh, bahwa kita akan berangkat lima hari sebelumnya dan akan bermalam satu malam di perjalanan.”

“Demikianlah,” berkata orang tua itu, ”apakah itu akan disebut empat hari sebelumnya atau tiga hari sebelumnya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah Ki Demang. Aku akan menyampaikan seperti apa yang Ki Demang pesankan.”

“Tetapi sudah tentu sekaligus,” berkata Kiai Gringsing, ”Ki Waskita akan menjadi duta menghadap Ki Lurah Branjangan di Mataram. Bukankah dengan demikian, akan mengurangi kesibukan kami disini, karena pada suatu saat kami tentu akan mengirim orang ke Mataram untuk mohon diperkenankan bermalam satu malam meskipun Raden Sutawijaya tidak ada?”

Ki Demang tertawa. Katanya, ”Aku sebenarnya agak segan untuk berpesan terlalu banyak, karena dengan demikian aku akan membebani penjalanan Ki Waskita dengan persoalan-persoalan yang sebenarnya hanya akan mengganggu perjalanannya.”

“Ah, tentu tidak Ki Demang. Aku akan singgah di Mataram. Dan aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan, keinginan Ki Demang untuk mendapat kesempatan bagi pengantin dan pengiringnya, bermalam satu malam di Mataram.”

“Aku mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Ki Waskita,” desis Ki Demang.

Ki Waskita pun kemudian mohon diri pula kepada para bebahu dan keluarga Ki Demang di Sangkal Putung, bahwa besok pada pagi-pagi benar ia akan meninggalkan Sangkal Putung bersama anaknya kembali pulang dan singgah di Mataram dan Menoreh untuk menyampaikan pesan Ki Demang Sangkal Putung.

Hampir semua orang telah berpesan kepada Ki Waskita, agar mereka berdua dengan anaknya berhati-hati di sepanjang perjalanan.

“Masa ini adalah masa yang tidak dapat diperhitungkan sebaik-baiknya Ki Waskita,” berkata seorang yang berkumis lebat, tetapi sudah mulai ditumbuhi warna keputih-putihan, ”kadang-kadang kita tidak mengerti apa yang akan terjadi sebentar nanti. Apalagi setelah Tambak Wedi dihancurkan. Mungkin ada sekelompok orang Tambak Wedi yang tercerai dari kawan-kawannya dan melakukan perbuatan yang dapat menghambat setiap perjalanan. Termasuk perjalanan Ki Waskita.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Baik Kiai. Aku akan berhati-hati. Aku akan mencari kesempatan melintasi daerah-daerah sepi, di Tambak Baya misalnya, bersama beberapa orang yang sekarang telah mulai banyak melintas di daerah itu. Baik ia menuju ke Mataram, Pliridan, Mangir, Menoreh, maupun sebaliknya menuju ke Pajang.”

“Dan jalan yang ramai itu akan dapat menjadi daerah jelajah yang subur bagi mereka yang kehilangan pegangan.”

Ki Waskita termenung sejenak. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, ”Memang mungkin. Tetapi semakin banyak orang yang lewat jalan itu, maka aku kira justru akan menjadi semakin aman, karena orang-orang yang bermaksud jahat harus mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat timbul dari antara mereka, yang berada di jalan itu.”

Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar mengangguk-angguk. Sementara Ki Demang berkata, ”Ki Waskita, mungkin dapat juga disampaikan kepada Ki Gede Menoreh, bahwa kami akan datang dalam jumlah yang barangkali cukup banyak. Selain sanak kadang yang ingin melihat tlatah Tanah Perdikan Menoleh, juga untuk menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi diperjalanan.”

“Baiklah Ki Demang. Apakah Ki Demang dapat menyebut berapakah kira-kira jumlah sesepuh Sangkal Putung dan pengiring yang lain itu?“

Di luar sadarnya Ki Demang memandang kearah Kiai Gringsing seolah-olah ingin mendapatkan pertimbangan.

Kiai Gringsing yang mengetahuinya, bahwa Ki Demang tidak dapat menjawab pertanyaan itu, mencoba untuk membantunya, ”Ki Waskita, aku kira hanya pengiring laki-laki sajalah yang akan ikut ke Tanah Perdikan Menoreh. Dua atau tiga orang sesepuh, dan yang lain adalah anak-anak muda kawan-kawan Swandaru. Bukan sekedar kawan bermain, tetapi juga kawan bertempur sejak daerah ini masih terancam berbagai macam bahaya.”

Ki Waskita mengerti maksud Kiai Gringsing. Namun ia masih bertanya, ”Jumlahnya?”

“Kira-kira dua puluh atau dua puluh lima. Bukankah begitu Ki Demang?”

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya Kiai. Kira-kira sebanyak itu.”

“Tidak terlalu banyak,” berkata Ki Waskita, ”di padukuhanku pengantin laki-laki kadang-kadang diiringi oleh empat puluh orang beramai-ramai menuju ke rumah pengantin perempuan.”

“Tetapi sudah dengan pakaian pengantin, membawa sepasang jodang berisi makanan dan kelengkapan sarana yang lain. Berbeda dengan perjalanan Swandaru. Semuanya masih dalam keadaan seperti sehari-hari. Kelengkapan pengantin akan dicari di Tanah Perdikan Menoreh. Juga jodang dan isinya.”

“Tidak apa-apa. Rumah Ki Gede Menoreh cukup luas. Gandoknya di sebelah kanan dan kiri. Kemudian rumah samping dan ruang-ruang di dalam rumahnya. Jika masih kurang, maka setiap rumah akan dapat dipergunakan untuk menginap berapapun jumlahnya. Apalagi hanya dua puluh lima orang,” desis Ki Waskita, ”juga perabotnya cukup, dan apalagi persediaan jamuan. Sudahlah, tidak akan ada yang mengecewakan. Namun demikian, aku akan mengatakannya juga. Bukan saja persediaan selengkapnya di padukuhan induk, namun juga di jalan-jalan. Di hari-hari panjang. Dari ujung Tanah Perdikan sampai ke padukuhan induk.”

Ki Demang tertawa. Katanya, ”Terima kasih. Jika Mataram juga berbuat demikian, maka aku akan berterima kasih sekali.”

“Apakah aku juga harus mengatakannya kepada Ki Lurah Branjangan?” bertanya Ki Waskita.

“Ah, tentu tidak. Apakah artinya perjalanan Swandaru itu bagi Mataram. Tentu kami tidak akan dapat berbuat deksura seperti itu.”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Tentu bukan suatu sikap deksura. Jika Swandaru dan Agung Sedayu bersama gurunya belum penuh berbuat sesuatu untuk Mataram, maka sudah barang tentu hal itu dapat dianggap suatu sikap deksura. Apalagi setelah Raden Sutawijaya mendapat gelar Senapati Ing Ngalaga.”

“Ah, sudahlah,” potong Kiai Gringsing, ”aku kira di sepanjang jalan di wilayah Mataram, tidak akan terjadi sesuatu. Meskipun Tambak Baya masih berupa hutan belukar. Atas keyakinan itu pula maka aku berani melintasinya, meskipun harus menunggu iring-iringan yang lewat.”

“Ah,” Ki Demang berdesah, ”Ki Waskita terlampau merendahkan diri. Seisi hutan Tambak Baya akan merunduk jika mereka tahu siapakah yang lewat, yang mampu berbuat sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.”

“Ah, Ki Demang memuji,” Ki Waskita tertawa.

Demikianlah, maka mereka masih sempat berbicara dan berkelakar. Baru kemudian setelah jauh malam, Ki Waskita pun meninggalkan pendapa bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Besok pagi-pagi benar Ki Waskita dan Rudita akan meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Mataram, dan seterusnya ke Tanah Perdikan Menoreh.

Di gandok, Ki Waskita pun segera merebahkan dirinya. Ia ingin beristirahat, setelah dalam beberapa hari ia disibukkan oleh hilangnya Rudita, dan kemudian disusul dengan peperangan yang menggetarkan lereng Gunung Merapi.

Tetapi ternyata Ki Waskita tidak dapat segera tidur. Ia mulai membayangkan gerakan pasukan Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan lereng sebelah timur Gunung Merapi. Jika pasukan itu melingkar, kemudian menyusup hutan-hutan lebat di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu, maka pasukan itu akan muncul disebelah barat Gunung Merapi. Mereka dapat melanjutkan gerakan ke barat atau ke selatan.

Dada Ki Waskita berdesir. Ia teringat kepada beberapa orang yang melintasi Kali Praga lewat tlatah Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Barat

“Apakah mereka akan menuju ke utara, dan pada suatu saat bertemu dengan pasukan Kiai Kalasa Sawit?” pertanyaan itu timbul di hati Ki Waskita. Lalu, ”Meskipun cara mereka berbeda, namun ternyata bahwa kedua pusaka itu pada suatu saat akan dipertemukan oleh orang-orang yang membawanya ke arah yang berlainan itu.”

Tiba-tiba dada Ki Waskita menjadi semakin berdebar-debar. Terbayang olehnya, beberapa orang yang memiliki kemampuan yang tinggi, setingkat dengan Kiai Kalasa Sawit dan Kiai Jalawaja, bahkan Panembahan Agung dan Panembahan Alit, pada suatu saat berkumpul untuk mempertemukan pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.

Dan tempat yang mereka pilih justru adalah Tanah Perdikan Menoleh.

Ki Waskta menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, ”Tentu bukan Tanah Perdikan Menoreh. Daerah itu memiliki kemampuan yang akan dapat mengganggu pertemuan itu, jika benar akan diadakan pertemuan serupa itu.”

Tetapi Ki Waskita pun tidak dapat menjamin, bahwa mereka tidak akan memilih Tanah Perdikan Menoreh.

“Bagaimana di bekas Padepokan Panembahan Agung? Kiai Kalasa Sawit memilih Padepokan Tambak Wedi untuk singgah dan tinggal beberapa lamanya,” katanya di dalam hati, ”sehingga ada kemungkinan mereka mempergunakan Padepokan Panembahan Agung sebagai tempat untuk mempertemukan kedua pusaka itu dengan pembicaraan-pembicaraan tentang hari depan mereka yang merasa dirinya keturunan Majapahit dan mempunyai wewenang atas kerajaan yang untuk beberapa saat berada di tangan Sultan di Pajang.”

Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak menyatakan isi hatinya yang bergejolak itu. Ia masih saia tetap berbaring diam di pembaringan, betapapun hatinya bagaikan menerawang seisi bumi.

Namun ternyata kegelisahan serupa itu, ada juga di hati orang-orang lain yang mengetahuinya. Kiai Gringsing, kedua murid-muridnya dan Ki Sumangkar. Hanya Rudita sajalah yang sama sekali tidak mengacuhkannya, dan karena itu, ia pun tidur dengan nyenyaknya.

Meskipun ada beberapa perbedaan, namun ada juga persamaan dugaan antara orang-orang tua itu. Mereka pun membayangkan lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Dan mereka pun membayangkan orang-orang yang menyeberangi Kali Praga telah bergeser ke utara. Bahkan mereka pun seolah-olah telah menyentuh dengan angan-angan Padepokan Panembahan Agung di ujung pegunungan.

Tetapi ketika malam menjadi semakin dalam, justru setelah menjelang dini hari, orang-orang tua itu pun sempat juga tidur barang sejenak. Namun ketika fajar mulai menyingsing, mereka pun telah terbangun.

Ki Waskita segera mempersiapkan diri. Demikian pula Rudita. Meskipun agaknya Rudita merasa segan untuk pulang, karena keinginannya untuk merantau ke tempat yang belum pernah dikunjungi masih saja menyala di dadanya, namun ayahnya telah memintanya dengan sungguh-sungguh agar Rudita mengunjungi ibunya lebih dahulu.

Demikianlah, menjelang matahari naik ke atas cakrawala, maka Ki Waskita dan Rudita pun minta diri sekali lagi kepada Ki Demang dan keluarganya, Kiai Gringsing dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar, juga para bebahu yang sengaja ingin mengantarkan keberangkatan Ki Waskita.

Dengan berkendaraan masing-masing seekor kuda yang tegar, mereka pun kemudian meninggalkan Kademangan Sangkal Putung menuju ke barat.

Semula terbersit pula keinginan Ki Waskita untuk melakukan petualangan dengan menempuh jalan yang berbahaya di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu. Tetapi ketika ia teringat bahwa ia membawa pesan untuk Mataram, maka maksudnya itu pun dibatalkannya. Apalagi ketika disadarinya bahwa kawannya kali ini adalan seorang yang aneh. Rudita tentu bersikap lain dengan sikap yang dikehendakinya apabila ia bertemu dengan bahaya di perjalanan.

Karena itulah, maka Ki Waskita memutuskan untuk menempuh jalan yang paling aman. Lewat jalan yang sudah menjadi semakin ramai, meskipun harus melintasi Alas Tambak Baya.

Orang-orang Sangkal Putung melepas Ki Waskita dan Rudita dengan hati yang berdebar-debar. Bukan saja karena daerah di lereng Merapi yang baru saja dilanda kekisruhan, yang memang mungkin sekali akan meluap ke selatan, tetapi juga karena Ki Waakita membawa pesan-pesan bagi Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan hari perkawinan Swandaru.

“Tetapi ia orang linuwih,” desis Ki Demang, ”ia tentu dapat mengatasi kesulitan apapun di perjalanan.”

Kiai Gringsing yang mendengar desis itu pun mengangguk kecil. Katanya, ”Apalagi jalan memang sudah menjadi bertambah ramai dan aman. Jika tidak ada sesuatu yang tiba-tiba saja meledak di daerah Tambak Baya atau di ujung Tanah Mataram yang sudah menjadi tanah yang ramai, maka perjalanan Ki Waskita tidak akan menjumpai kesulitan apapun juga.”

“Mudah-mudahan. Dan mudah-mudahan hal itu berlaku pula bagi iring-iringan pengantin beberapa hari lagi.”

“Beberapa hari lagi?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya. Tidak ada sebulan lagi.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Hari-hari berlalu dengan cepatnya. Saat perkawinan itu memang sudah tidak ada sebulan lagi. Karena itu, maka segala persiapan memang harus sudah selesai. Pada waktunya tidak akan ada persoalan-persoalan lain yang akan dapat menghambat hari perkawinan itu. Apalagi jarak yang akan ditempuh adalah jarak yang cukup jauh bagi iring-iringan pengantin.

“Iring-iringan pengantin yang akan melalui daerah yang bergolak,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Ki Waskita dan Rudita pun berpacu semakin cepat. Ada kegembiraan di hati anak muda itu ketika mereka melintasi bulak-bulak yang panjang, sawah yang subur dan hijau, dan angin pagi yang mengelus wajahnya yang jernih.

Dengan gembira ia melihat beberapa orang yang berada di tengah-tengah sawahnya. Laki-laki dan perempuan. Bahkan anak-anak yang riang duduk di atas punggung kerbau.

“Itulah kehidupan yang wajar,” tiba-tiba saja ia berdesis.

Ayahnya berpaling kepadanya. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, ”Apa yang kau katakan Rudita?”

“Kehidupan yang wajar Ayah. Lihatlah, betapa damainya hati melihat anak-anak yang menggembalakan kerbaunya. Mereka duduk di atas punggung kerbau sambil bermain seruling. Yang lain menyabit rumput sambil berdendang. Sedangkan orang tua mereka mengerjakan sawahnya dengan tenang. Mencangkul, menanam padi dan menyianginya. Jika padi itu kelak berbuah, maka buahnya akan menjadi makanan bagi banyak orang.”

“Ya Rudita. Itulah kehidupan yang wajar, yang diinginkan oleh setiap orang, khususnya setiap petani.”

“Jika para petani dapat mengerjakan sawahnya dan hidup tenang, maka para pedagangpun akan terpengaruh pula Ayah. Mereka dapat menjual dagangannya dengan baik. Juga para prajurit akan dapat menikmati hidup mereka dalam suasana yang damai. Para pemimpin pemerintahan tidak menjadi pening oleh kesulitan hidup rakyatnya, lahir dan batinnya.”

“Ya, kau benar Rudita.”

Rudita merenung scejenak. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, ”Tetapi Ayah, kenapa kadang-kadang kehidupan yang tenang damai itu harus dirusakkan?”

Ki Waskita sudah menduga, bahwa akhirnya pertanyaan yang demikian itu akan terlontar dari mulut anaknya. Karena itu, ia telah menyusun jawabnya, ”Alangkah jahatnya orang yang merusak kedamaian itu.”

“Dan Ayah pun kadang-kadang terlibat pula di dalamnya?”

”Rudita,” berkata ayahnya yang sudah menduga pula akan datangnya pertanyaan itu, ”apakah kau dapat membedakan, orang yang merusak kedamaian itu dan orang yang ingin mempertahankan kedamaian itu?”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Setiap kali aku selalu menjumpai sifat yang penuh curiga seperti itu. Ayah, kapan Ayah tidak lagi mencurigai sesama?”

Pertanyaan itulah yang tidak diduganya. Karena itu, untuk beberapa saat Ki Waskita tidak menjawabnya.

Dalam pada itu Rudita berkata selanjutnya, ”Dalam waswas dan curiga, seseorang mempersiapkan dirinya untuk melakukan kekerasan. Ia bersiaga untuk melindungi kedamaian yang menurut dugaannya yang dibayangi oleh kecurigaan dan waswas itu selalu terancam. Tetapi kesiagaannya itu telah mengundang kecurigaan orang lain pula terhadapnya.”

“Rudita,” berkata ayahnya kemudian, ”aku ingin dapat berpikir, bertindak dan bertingkah laku seperti kau. Tetapi aku tidak mampu. Aku masih dipengaruhi oleh ketakutan, kecemasan, dan karena itu aku masih selalu dibayangi oleh kecurigaan, dan waswas. Namun barangkali kau akan dapat mengembangkannya terus. Dan aku dapat mengerti. Jika saatnya nanti datang, sikapmu itu telah menjadi sikap banyak orang, maka kita akan sampai pada suatu masa yang di rindukan oleh setiap manusia.”

Rudita mengerutkan keningnya. Namun kemudian kepalanya tertunduk dalam-dalam, seolah-olah ia sedang merenungi batu-batu kerikil yang bertebaran disepanjang jalan di bawah kaki kudanya.

“Ayah,” ia berdesis, ”apakah menurut perhitungan Ayah, atau katakanlah penglihatan isyarat Ayah, dunia ini akan mengalami suatu masa dimana orang tidak saling bercuriga, saling mengganggu, dan apalagi saling bermusuhan dengan bekal kekerasan dan dendam?”

Pertanyaan itu pun sama sekali tidak diduga oleh Ki Waskita. Namun ia menjawab juga, ”Aku tidak dapat memperhitungkan Rudita. Dan aku tidak dapat melihat dalam isyarat, apa yang akan terjadi di masa mendatang. Peradaban manusia semakin lama menjadi semakin maju. Orang akan menjadi semakin pandai dan menemukan berbagai macam alat yang belum pernah dikenal sebelumnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah hati manusia juga menjadi semakin lembut atau justru sebaliknya. Rudita, jika semula manusia tidak mengenal bercocok tanam, dan kini kita sudah sampai pada suatu jaman di mana kita dapat mempergunakan cangkul dan bajak untuk mengerjakan sawah dengan hasil yang semakin berlipat, namun itu tidak berarti bahwa kita menjadi semakin tenang dalam limpahan makan yang kecukupan.”

Rudita mengangguk-angguk.

“Perkembangan kemajuan berpikir manusia, melahirkan alat-alat yang dapat mempermudah tata hidupnya. Tetapi sejalan dengan itu, manusiapun melahirkan alat-alat untuk melakukan tindak kekerasan. Kini jenis senjata menjadi semakin banyak. Jika semula kita mempergunakan batu yang kita lontarkan dalam ujudnya sejenis dengan bandil, sekarang kita mengenal busur dan anak panah. Mungkin dimasa mendatang manusia akan mengenal jenis-jenis alat pembunuh yang lebih dahsyat lagi.”

“Jika demikian, menurut Ayah, maka manusia tidak sedang berjalan menuju ke dalam kehidupan yang lebih tenang, tetapi sebaliknya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Tidak seorangpun yang dapat mengatakannya Rudita. Tetapi tetaplah pada keyakinanmu, karena dalam kecemasan, curiga dan waswas, setiap manusia masih tetap merindukan perdamaian, ketenangan dan kehidupan wajar seperti yang kita lihat secuil dari seluruh wajah kehidupan ini.”

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya, kita melihat satu sudut kehidupan. Tetapi jika kita melihat sudut yang lain, kita akan menjadi ngeri karenanya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa yang dikatakan oleh Rudita itu memang benar. Rudita adalah anak muda yang pernah mengalami perasaan takut yang hampir setiap saat mencengkamnya. Karena itulah maka ia dapat merasakan dengan sedalam-dalamnya perasaan takut yang menghantui orang-orang lain. Dan perabaan, takut adalah perasaan yang paling menyiksa dalam hidup seseorang.

Tetapi pada saat manusia sedang bergulat mempertahankan dirinya dari sesamanya yang sedang dicengkam oleh nafsu dan ketamakan, maka sikap Rudita rasa-rasanya adalah sikap yang sulit untuk dimengerti. Dengan demikian maka Rudita rasa-rasanya menjadi orang asing di antara sesama manusia.

Karena ayahnya tidak menjawab, maka Rudita pun untuk beberapa lamanya berdiam diri pula. Kuda mereka masih berpacu meyelusuri jalan-jalan di bulak panjang.

“Jika kita tidak melihat warna kehidupan di sudut lain, rasa-rasanya hidup di daerah ini memang menyenangkan sekali,” berkata Rudita di dalam hatinya. Tetapi jika ia mengenang pertempuran yang diceriterakan ayahnya di lereng Merapi tidak jauh dari tempat itu, maka bulu-bulunyapun meremang. Rudita tidak lagi menjadi ketakutan karena dirinya sendiri. Tetapi ia ngeri membayangkan betapa perasaan takut itu mencengkam anak-anak dan perempuan di lereng Merapi itu.

“Dan tentu akan menjalar sampai ke tempat yang jauh. Bahkan akan bercampur-baur dengan persoalan-persoalan lain yang dapat tumbuh di Mataram dan Pajang,” katanya kepada diri sendiri.

Tetapi ia masih tetap berdiam diri.

Sejenak kemudian, maka perjalanan mereka pun menjadi semakin lambat. Di hadapan mereka terbentang hutan yang masih cukup lebat meskipun di tengah-tengah hutan itu telah berhasil dibuat sebuah jalan yang cukup rata, menusuk langsung menembus hutan itu sampai ke tlalah Alas Mentaok dan Mataram.

“Jalan ini nampaknya agak sepi,“ berkata Ki Waskita, ”kita belum bertemu atau mendahului seseorang.“

Rudita menggeleng. Jawabnya, ”Tidak Ayah. Jalan ini tentu tidak sepi. Seandainya jalan ini memang tidak sedang dilalui orang, namun jalan ini tidak akan menumbuhkan hambatan apapun atas perjalanan kita.”

“Kau yakin?”

“Jika jalan ini tidak aman Ayah, maka aku kira sawah-sawah di sebelah menyebelah jalan ini pun tidak akan digarap oleh pemiliknya. Tetapi sawah di sebelah menyebelah jalan ini, bahkan sampai ke hutan perdu di pinggir Alas Tambak Baya itu nampaknya digarap dengan baik.”

Ayahnya mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Rudita. Tetapi dalam keadaan yang lain, yang betapapun juga, Rudita memang selalu berprasangka baik. Ia sama sekali tidak menyesal meskipun dengan demikian akibatnya kadang-kadang tidak menguntungkan baginya. Namun ia tetap pada sikapnya.

Demikianlah mereka berduapun berpacu terus mendekati Alas Tambak Baya. Namun seperti yang dikatakan oleh Rudita, jalan itu memang tidak terlalu sepi. Mereka melihat dua orang berkuda dari arah yang berlawanan. Keduanya muncul dari mulut lorong di Alas Tambak Baya yang masih nampak lebat dan besar

“Kita berhenti sejenak di mulut jalan yang memasuki hutan itu,” berkata Ki Waskita.

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku sebenarnya juga haus.”

“Di pinggir jalan sebelum hutan perdu itu terdapat sebuah warung. Jika tidak terjadi sesuatu, warung itu tentu masih ada.”

Rudita masih mengangguk-angguk. Tetapi kemudian ia bertanya, ”Apakah penjual di warung itu tidak takut kepada binatang buas yang mungkin sekali-sekali keluar dari Alas Tambak Baya?”

“Mereka tentu sudah bersedia menghadapi kemungkinan itu. Apalagi jalan menjadi semakin ramai,” jawab ayahnya.

“Binatang hutan tidak memiliki perkembangan akal budi. Itulah sebabnya maka ada kemungkinan yang buruk dapat terjadi karena tingkah lakunya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja ia mengatakan bahwa yang berbahaya justru orang-orang yang bermaksud buruk. Tetapi jika ia mengatakannya juga, maka Rudita tentu akan tersinggung.

Karena itu, maka Ki Waskita pun hanya mengangguk-angguk saja. la tidak mengucapkan kata-kata yang sudah hampir terloncat dari bibirnya itu.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka ternyata mereka masih menemukan warung itu di tempatnya. Ki Waskita pun kemudian mengajak Rudita untuk berhenti sejenak. Mereka masih sempat meneguk beberapa mangkuk dawet dan beberapa potong makanan sambil menunggu orang-orang lain yang akan lewat. Dengan demikian maka mereka mempunyai kawan melintasi Alas Tambak Baya.

“Kenapa harus menunggu Ayah?” bertanya Rudita, ”nanti kita kemalaman di jalan.”

“Tidak apa-apa. Tetapi melintas Alas Tambak Baya lebih baik berkawan. Bukan karena takut. Tetapi rasa-rasanya sepi sekali.”

Rudita mengangguk-angguk lagi.

Ki Waskita menggigit bibirnya. Rasa-rasanya jawabannya sudah benar. Jika ia mempergunakan alasan-alasan lain, maka akan segera timbul persoalan lagi pada diri anaknya.

Bahkan Rudita pun kemudian berkata, ”Jalan ini memang seperti sebuah terowongan yang panjang. Menarik sekali. Tetapi sebentar lagi akan menjadi sangat gelap. Lebih gelap dari suasana di luar hutan.”

“Sudah tentu Rudita. Sinar matahari seolah-olah dibatasi oleh rimbunnya dedaunan hutan. Tetapi tidak apa. Kita masih mempunyai waktu yang cukup.”

Rudita mengangguk-angguk. Sekali-sekali ia memandang jalan yang panjang di depan warung itu. Jalan yang melintas d itengah-tengah sawah dan kemudian menyusup ke tengah-tengah hutan.

Ternyata kemudian beberapa orangpun telah singgah pula di warung itu. Mereka juga menuju ke barat, memasuki hutan Tambak Baya.

Namun nampak di wajah mereka, bahwa Tambak Baya bukan lagi hantu yang menakutkan,

Ki Waskita dan Rudita pun kemudian mempersiapkan diri untuk meneruskan perjalanannya bersama orang-orang itu. Tetapi Ki Waskita kemudian mengambil keputusan untuk tidak saling menegur dengan mereka. Setiap percakapan sesuai dengan pendapat dan sikap seseorang, tentu akan terasa asing bagi Rudita dan sebaliknya.

“Apakah kita akan pergi bersama mereka Ayah?” bertanya Rudita, ketika mereka sudah keluar dari warung itu.

”Ya.”

“Tetapi Ayah tidak menegur mereka dan bertanya, kemana mereka akan pergi.”

Ayahnya menarik nafas. Jawabnya, ”Tidak Rudita. Kadang-kadang memang timbul keinginan untuk saling menegur dengan orang lain. Tetapi kadang-kadang kita merasa bahwa kita tidak ingin diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang barangkali tidak kita mengerti jawabnya.”

Rudita menarik nafas. Katanya, ”Jadi apakah untungnya kita menunggu kawan yang tidak kita kenal? Semula Ayah ingin memecahkan kesepian di perjalanan.”

“Jika kita merasa bahwa perjalanan kita tidak sendiri, rasa-rasanya kita sudah menjadi tidak terlampau kesepian, meskipun kita tidak saling menegur.”

Ada sesuatu yang tersirat di mata Rudita. Tetapi Rudita tidak mengatakannya. Namun yang tidak dikatakannya itu seolah-olah dapat dibaca oleh Ki Waskita, ”Ayah telah dicengkam kecurigaan itu lagi. Apakah terkejut kepada kemungkinan hadirnya beberapa orang penyamun, atau kepada orang-orang yang bersama pergi ke Mataram atau ke arah lain yang melintasi Alas Tambak Baya.”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia tidak mengambil sikap apapun juga. Ia tetap pada pendiriannya. Lebih baik Rudita menganggapnya bersalah daripada harus berbantah dengan orang lain yang sama sekali tidak memahami sikap dan jalan pikiran anaknya, seperti juga anaknya tidak dapat memahami sikap dan jalan pikiran orang lain.

Dengan demikian, maka Ki Waskita dan Rudita pun hanya sekedar berkuda di belakang iring-iringan yang menuju ke arah yang sama. Mereka berpacu secepat orang-orang lain yang berada di hadapan mereka.

Tetapi dengan demikian, beberapa orang berkuda yang mendahului kedua ayah dan anaknya itulah yang justru bertanya-tanya di dalam hati mereka. Dua orang berkuda di belakang mereka, seakan-akan tidak mau bergabung dengan mereka, dan bahkan mengikuti iring-iringan yang melintasi Alas Tambak Baya itu.

Tetapi orang-orang itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Dua orang itu tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa atas mereka yang beriringan dalam jumlah yang lebih banyak.

Dengan demikian maka mereka pun kemudian melintasi Alas Tambak Baya tanpa mengalami gangguan apapun. Tambak Baya telah benar-benar menjadi aman. Mereka memasuki daerah di seberang hutan itu dengan hati yang lega. Tetapi, mereka masih tetap dalam iring-iringan menuju ke Alas Tambak Baya yang lebih lebat, tetapi yang sebagian sudah dibuka menjadi daerah tempat tinggal. Menjadi padukuhan dan padesan dengan tanah persawahan yang sudah dapat menghasilkan. Parit-parit yang menelusuri pematang, membuat tanah itu menjadi subur dan hijau di sepanjang tahun, meskipun musimnya sedang kering.

“Kita sudah memasuki Tanah Mataram yang mulai ramai dan besar,” berkata Ki Waskita.

Rudita mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Sekilas ia memandang wajah anaknya yang berkerut merut. Namun kemudian ia pun kembali memandang ke depan. Ke jalan yang menjelujur di hadapan kaki kudanya. Seakan-akan dilihatnya langit yang sudah menjadi semakin suram.

”Rudita tentu sedang memikirkan perkembangan Mataram,” berkata Ki Waskita di dalam hati.

Belum lagi Ki Waskita sampai pada suatu kesimpulan, ia sudah mendengar Rudita bertanya, ”Apakah usaha Raden Sutawijaya membuka Alas Mentaok itu bijaksana Ayah?”

Ki Waskita termenung sejenak. Namun ialah yang kemudian bertanya, ”Kenapa?”

“Apakah dengan demikian tidak akan timbul persoalan dengan Pajang?”

“Kenapa? Kanjeng Sultan sudah menyerahkan Alas Mentaok ini kepada Ki Gede Pemanahan, ayahanda Raden Sutawijaya. Adalah hak Raden Sutawijaya untuk membuka hutan ini. Bahkan kemudian ia menerima anugerah gelar Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”

Rudita memandang ayahnya sekilas. Lalu, ”Mudah-mudahan memang tidak. Setiap pertentangan membuat hati menjadi sedih. Cerita yang pernah aku dengar tentang Matarampun membuat aku cemas.”

“Rudita,” berkata ayahnya, ”kau menganggap aku selalu mencurigai orang lain. Tetapi apakah sikapmu itu justru bukan sikap mencurigai. Justru berlebih-lebihan? Kau selalu cemas dan sedih jika kau menghadapi kemungkinan timbulnya pertentangan. Apakah dengan demikian bukan justru di hatimu sendiri telah tumbuh pertentangan itu?”

Rudita termenung sejenak. Namun kemudian ia pun tersenyum. Dipandanginya ayahnya sejenak, lalu jawabnya, ”Ayah. Aku adalah salah satu dari sekian banyak manusia yang lemah dan jauh daripada sempurna. Jika Ayah sependapat, maka yang ada di daiam hatiku bukanlah kecurigaan. Tetapi ketakutan dan kecemasan. Masih seperti dahulu. Hatiku selalu dibayangi oleh angan-angan yang menyeramkan. Mungkin yang dapat Ayah lihat perbedaan yang ada pada diriku adalah semata-mata keadaan lahiriah. Aku kini memang tidak menakutkan dan mencemaskan diriku sendiri dalam arti yang terbatas sekali. Karena sebenarnyalah ketakutanku tentang diriku sendiri itu pun belum berubah. Ternyata dengan usahaku mempelajari ilmu yang terdapat di dalam lontar Ayah, agar aku dapat melindungi diriku sendiri, itu adalah kelemahanku yang paling nampak seperti yang pernah aku katakan. Tetapi lebih daripada itu, aku sekarang justru dibebani pula oleh ketakutan dan kecemasan, bahwa setiap saat sifat manusia disekitarku selalu menumbuhkan persoalan persoalan di antara mereka sendiri. Persoalan-persoalan yang sama sekali tidak menumbuhkan perkembangan kepribadian, paradaban dan usaha-usaha yang dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan mereka. Tetapi justru sebaliknya. Persoalan-persoalan yang dapat menumbuhkan keributan, pertentangan dan bahkan pembunuhan. Persoalan yang akan dapat meruntuhkan pribadi mereka sebagai manusia dan juga peradaban yang bermanfaat bagi hidup kehidupan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menjawab lagi. Tetapi ia mencoba untuk mengerti dan mengangguk-anggukkan kepalanya.

Dengan demikian maka mereka untuk seterusnya tidak lagi banyak berbicara. Ki Waskita yang mencoba mengerti jalan pikiran anaknya, masih saja dibayangi oleh berbagai macam masalah yang sulit dipecahkan. Namun dalam beberapa hal ia sudah dapat menangkapnya.

Demikianlah maka perjalanan mereka pun semakin lama menjadi semakin mendekati padukuhan induk yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram. Padukuhan yang menjadi semakin ramai dan sudah mekar menjadi sebuah kota yang diputari oleh dinding batu yang rapi, dengan empat buah regol di empat penjuru, ditambah lagi beberapa regol butulan yang lebih kecil.

Tetapi perkembangan kota itu ternyata menjadi jauh lebih pesat dari yang diduga semula. Di luar dliding batupun kemudian berkembang pula bagian-bagian kota yang cukup ramai pula, sehingga Mataram harus merencanakan membuat batasan kota yang lebih luas lagi dengan regol-regol baru pula. Namun agaknya Mataram masih harus menunggu. Apalagi sejak Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga dan berkedudukan di Mataram itu sedang melakukan sebuah pengembaraan untuk menempa dirinya.

Sebelum matahari lenyap di balik cakrawala, Ki Waskita dan Rudita telah berada di ujung jalan yang memasuki bagian luar dari Mataram. Sejenak mereka termangu-mangu. Wajah senja yang membayang di langit membuat Mataram nampak suram.

“Kita akan langsung masuk ke dalam regol,” berkata Ki Waskita yang masih terhenti di tengah jalan.

Rudita mengangguk-angguk. Katanya, ”Kota ini akan semakin berkembang Ayah.”

“Ya. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang akan menghambanya.”

Ki Waskita menjadi berdebar-debar ketika ia melihat wajah anaknya yang berkerut. Tetapi ternyata Rudita tidak mengatakan sesuatu.

“Marilah,” berkata Ki Waskita, ”kita memasuki kota.”

Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka yang sudah menjadi semakin pendek. Ketika mereka mendekati regol, maka beberapa orang sudah nampak menyalakan lampu minyak di regol halaman masing-masing. Sedangkan dari celah-celah dinding rumah-rumah itu pun cahaya lampu nampak berkeredipan disentuh angin senja.

Langitpun semakin lama menjadi semakin suram. Sementara lampupun rasa-rasanya menjadi semakin banyak menyala di sepanjang jalan.

Regol kota Mataram masih tetap terbuka, dan bahkan selalu terbuka, sesuai dengan sifat kotanya yang memang terbuka. Meskipun demikian, di regol itu nampak beberapa orang pengawal yang berjaga-jaga. Di sebuah gardu di sebelah regol itu, beberapa orang pengawal duduk dan bercakap-cakap di antara mereka. Sedang dua orang di antara para pengawal itu siap berdiri di kedua sisi regol itu dengan tombak di tangan.

Tetapi para pengawal itu tidak pernah menegur dan menyapa orang-orang yang lalu lalang masuk keluar regol kecuali mereka yang memang dapat menumbuhkan kecurigaan.

Demikianlah Ki Waskita dan Rudita pun langsung menuju ke rumah Raden Sutawijaya, yang ditunggui oleh beberapa orang pengawal kepercayaan Senapati Ing Ngalaga, termasuk Ki Lurah Branjangan.

Kedatangan Ki Waskita diterima dengan senang hati oleh para pemimpin di Mataram. Kunjungan itu rasa-rasanya merupakan kunjungan yang dapat sedikit memberikan suasana yang lain bagi para pemimpin di Mataram.

Setelah saling menyapa tentang keselamatan masing-masing maka Ki Waskita dan Rudita yang duduk di pendapa itu pun kemudian dipersilakan meneguk minuman panas dan sekedar makanan yang telah dihidangkan.

“Aku hanya sekedar singgah,” berkata Ki Waskita, ”aku sedang dalam perjalanan pulang, mengantarkan anakku yang selama ini membingungkan hati ibunya.”

“O,” para pemimpin itu mengangguk-angguk. Namun kembali Ki Waskita menjadi berdebar-debar melihat sikap Rudita.

Tetapi ternyata Rudita tidak mengatakan sesuatu. Bahkan ia menundukkan wajahnya yang menjadi kemerah-merahan, karena setiap orang telah memandanginya.

“Jika Ki Waskita telah beristirahat sejenak, telah minum dan sekedar makanan, maka kami persilahkan Ki Waskita pergi ke pakiwan bersama dengan putra Ki Waskita. Kami persilahkan berdua mempergunakan gandok sebelah, apabila Ki Waskita akan berganti pakaian dan untuk beristirahat malam nanti. Sementara kami menunggu Ki Waskita dan Angger Rudita untuk makan malam bersama,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Waskita tertawa. Katanya, ”Aku selalu membuat repot saja disini.”

Ki Lurah tertawa pula. Jawabnya, ”Kami biasa menyediakan makan dan minum untuk banyak orang. Jika Ki Waskita berdua dengan Anakmas Rudita menambah jumlah itu dengan dua, maka aku kira tidak akan banyak berpengaruh.”

Demikianlah Ki Waskita dan Rudita segera diantar ke gandok. Mereka pun kemudian pergi ke pakiwan untuk membersihkan diri. Baru kemudian mereka berdua naik lagi ke pendapa. Di pendapa ternyata sudah disediakan sederet hidangan makan malam. Bukan hanya untuk Ki Waskita dan Rudita, tetapi juga untuk para pemimpin Mataram yang lain yang kebetulan ada di rumah itu bersama para pemimpin pengawal.

Sejenak kemudian, maka mereka pun segera makan bersama. Sambil berbicara serba sedikit tentang kemajuan Mataram sepeninggal Raden Sutawijaya.

Tetapi Ki Waskita sendiri tidak banyak menanggapi pembicaraan mereka, seolah-olah ia sedang menikmati hidangan yang ada di hadapannya itu sebaik-baiknya.

Bahkan kemudian setelah mereka selesai makan malam, Ki Waskita pun berkata, ”Maaf Ki Lurah. Barangkali anakku masih terlalu lelah. Biarlah ia minta diri untuk segera beristirahat.”

“O, silahkan. Silahkan Ngger,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Rudita, yang mendengar kata-kata ayahnya itu justru menjadi heran. Ia sama sekali tidak merasa lelah. Dan sebenarnya ia masih ingin duduk untuk mendengarkan pembicaraan tentang Tanah Mataram yang sedang berkembang itu.

“Marilah Rudita,” berkata ayahnya, lalu katanya kepada Ki Lurah Branjangan, ”aku masih akan berbicara dengan Ki Lurah meskipun hanya sekedar bergurau.”

Rudita tidak menjawab. Ia pun kemudian mengikuti ayahnya pergi ke gandok.

“Aku sama sekali tidak lelah,” berkata Rudita ketika mereka sudah berada di gandok.

“Aku tahu Rudita. Kau sama sekali tidak lelah dan tidak mengantuk. Apalagi ingin beristirahat. Tetapi untuk sementara, sebaiknya kau beristirahat,” sahut ayahnya, ”aku minta maaf bahwa pembicaraan untuk selanjutnya tentu tidak akan sesuai dengan jalan pikiranmu. Karena itu, lebih baik kau tidak ikut mendengarnya seperti sikap yang pernah kau lakukan di Sangkal Putung,” ayahnya berhenti sejenak, lalu, ”itu agaknya memang lebih baik bagimu. Kau sama sekali tidak akah dibebani oleh perasaan bersalah atau bahkan seperti yang kau sebut, ketakutan dan kecemasan.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian mengangguk sambil bergumam, ”Baiklah Ayah. Aku akan berbaring saja di pembaringan.”

Ayahnya menarik nafas. Tetapi agaknya itulah yang paling baik bagi anaknya.

Sejenak kemudian maka ditinggalkannya Rudita sendiri di dalam gandok. Meskipun ia agak ragu-ragu, tetapi dipaksanya juga keputusannya untuk tidak membawa Rudita di dalam pembicaraan tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram itu.

Sementara Ki Waskita masuk kedalam bilik, agaknya Ki Lurah Branjangan pun dapat menangkap pula maksud yang lain, yang tersirat dari sikap itu. Agaknya Ki Waskita ingin berbicara tentang sesuatu tanpa didengar oleh banyak orang.

Karena itu, maka Ki Lurah pun mempersilahkan para pemimpin itu untuk kembali ke tugas masing masing, atau pulang untuk beristirahat.

Karena itulah, ketika Ki Waskita kembali ke pendapa, yang ada tinggallah beberapa orang yang memang sudah mengetahui bahwa kedua pusaka yang menjadi pertanda jabatan dan kekuasaan Mataram telah hilang.

Di pendapa, maka Ki Waskita pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi di Jati Anom. Ia menceritakan semua segi persoalan yang diketahuinya. Juga tentang sikap Untara, dan kemungkinan bahwa Pajang memang belum mendengar bahwa kedua pusaka itu hilang dari Mataram.

“Tetapi pada suatu saat, orang-orang yang berhasil mengambil itu sendirilah yang akan membuka rahasia hilangnya kedua pusaka itu,” berkata Ki Lurah Branjangan kemudian.

“Jika kita berhasil segera mendapatkannya kembali, maka mereka tidak akan dapat mengatakan apapun juga.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Peristiwa di Jati Anom itu sangat menarik perhatiannya.

“Sayang, Raden Sutawijaya masih belum kembali.”

“Dimanakah Raden Sutawijaya sekarang? Barangkali telah ada kabar dari Raden Sutawijaya?”

“Raden Sutawijaya berada di Pegunungan Sewu. Kami memang sudah membuat hubungan. Dan kami pun telah memberitahukan, bahwa putranya ingin sekali bertemu untuk melihat wajahnya.”

“Putranya?”

“Ya. Masih terlalu kecil. Putranya dengan gadis Kalinyamat itu.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

“Mereka ada di sini sekarang, ibu dan putranya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut tentang putri dari Kalinyamat dan putranya itu.

Ki Lurah Branjangan pun agaknya tidak lagi ingin memperbincangkan putri Kalinyamat itu. Karena itulah maka ia pun kemudian kembali pada pokok persoalannya. Katanya, ”jadi apakah menurut Ki Waskita, pusaka itu sekarang masih ada di sekitar Gunung Merapi?”

“Ya Ki Lurah.”

“Apakah kita dapat mengirimkan sepasukan pengawal Mataram untuk menemukan mereka? Jika akibatnya kita harus bertempur seperti prajurit Pajang, maka kita tidak akan mundur. Pusaka itu sudah sepantasnya direbut dengan pengorbanan.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa Rudita tidak ikut berbicara di antara mereka.

“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita, “kita sudah tertinggal beberapa hari. Dengan demikian, maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Juga kemungkinan bahwa Kiai Kalasa Sawit telah meninggalkan daerah Gunung Merapi sejauh-jauhnya. Namun katakanlah bahwa dugaanku benar, bahwa Kiai Kalasa Sawit masih berada di sekitar Gunung Merapi. Maka usaha untuk menemukannyapun agaknya terlampau sulit.”

“Mungkin sangat sulit Ki Waskita. Tetapi tanpa usaha apapun juga, kita juga tidak akan berhasil.”

“Untuk melakukannya, agaknya kita harus memperhitungkan Pajang pula. Jika pasukan pengawal Mataram bertemu dengan prajurit-prajurit Pajang, maka persoalannya akan berubah.”

“Kita melakukan tugas kita masing-masing,” jawab Ki Lurah.

“Tetapi Pajang merasa berkewajiban untuk menjaga dan melindungi seluruh wilayah Pajang. Panglima muda dibagian selatan ini pun tentu berpendirian demikian pula.”

”Tetapi jangan lupa Ki Waskita,” berkata Ki Lurah Branjangan, ”Raden Sutawijaya adalah putra Kanjeng Sultan Pajang yang mendapat anugrah gelar dan jabatan Senapati Ing Ngalaga yang berkedudukan di Mataram.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, ”Tetapi Ki Lurah. Apakah anugrah yang diterima oleh Raden Sutawijaya itu disertai dengan ketentuan lebih lanjut atas tugas dan daerah wewenangnya? Jika Kiai Kalasa Sawit katakanlah masih berada di lereng Gunung Merapi di sisi manapun juga, apakah kekuasaan Senapati Ing Ngalaga mempunyai wewenang untuk melakukan tindakan sesuatu atas mereka? Apa pula hubungannya dengan kekuasaan prajurit Pajang di daerah itu yang masih belum dicabut wewenangnya?”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya perlahan-lahan tertunduk. Dengan nada yang datar ia bergumam, ”Itulah yang masih kurang sekarang ini. Anugrah gelar dan jabatan atas Raden Sutawijaya yang tidak disertai kepastian tugas dan wewenang. Sedangkan yang disebut Mataram pun masih belum pasti. Yang dihadiahkan kepada Ki Gede Pemanahan adalah Alas Mantaok. Tetapi ternyata negeri yang menjadi ramai ini tidak hanya dibatasi oleh dinding hutan yang sekarang sudah hampir seluruhnya ditebang.”

“Dengan demikian Ki Lurah,” sahut Ki Waskita kemudian, “persoalan orang-orang yang berada di lereng Gunung Merapi itu pun masih harus dipertimbangkan masak-masak, sehingga satu sama lain tidak akan saling menyinggung.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, ”Ki Waskita benar. Kita memang tidak dapat bertindak tergesa-gesa. Untara adalah seorang Panglima yang teguh pada sikap dan pendirian seorang prajurit. Tetapi jika Untara mendesaknya dari timur meskipun seandainya Kiai Kalasa Sawit berada dicelah-celah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian mereka terdorong ke barat, maka atas persetujuan Untara, kami dapat bertindak atas mereka.”

“Agaknya hal itu dapat dilakukan. Sementara Untara tidak mengetahui bahwa Kiai Kalasa Sawit membawa sebuah pusaka yang sangat berharga bagi Mataram.”

“Kami akan mencoba menghubungi Untara. Mudah-mudahan Untara tidak salah paham.”

“Dalam hal ini agaknya peran Kiai Gringsing akan dapat membantu,” desis Ki Waskita.

“O, tentu. Kiai Gringsing masih mendapat kepercayaan dari semua pihak. Apalagi jika Untara mengenal tanda-tanda yang terpahat pada tubuh Kiai Gringsing, khususnya di pergelangan tangannya.”

“Tetapi,” berkata Ki Waskita kemudian, ”saat ini Kiai Gringsing sedang disibukkan oleh rencana perkawinan muridnya. Swandaru. Agaknya kini ia menyisihkan waktunya untuk keperluan tersebut. Perkawinan itu hanya tinggal beberapa hari saja lagi. Tidak sampai sebulan.”

“O,” Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya meskipun agak ragu-ragu, ”Kiai Gringsing akan dapat memilih kesempatan. Persoalan yang dihadapi Mataram tentu merupakan persoalan bagi suatu lingkungan dan anak keturunannya. Kelangsungan hidup dan harga diri. Sedang perkawinan adalah masalah pribadi semata-mata. Apalagi dalam keadaan suka.”

Ki Waskita mengerutkah keningnya. Kemudian ia pun berkata, “Ki Lurah benar. Tetapi jika kita menghitung seluruh tahun pada umur-umur Kiai Gringsing, berapa lama dalam perbandingan keseluruhan Kiai Gringsing mementingkan kepentingan pribadinya termasuk murid-muridnya?”

Ki Lurah Branjangan seolah-olah tersadar dari mimpinya. Dengan serta merta ia berkata, ”Maaf aku keliru Ki Waskita. Jika Kiai Gringsing ada, aku wajib minta maaf kepadanya.”

Ki Waskita tersenyum Katanya, ”Ia tidak mendengar. Karena itu Ki Lurah tidak perlu minta maaf kepadanya.”

Ki Lurah Branjangan tertawa. Namun nampak pada sorot matanya bahwa ia benar-benar telah menyesal.

“Ki Lurah,” berkata Ki Waskita kemudian, ”hendaknya yang kami beritahukan tentang pusaka itu dapat dijadikan bahan yang barangkali akan membantu mengungkapkan usaha penemuannya. Selebihnya, kami masih belum dapat mengatakan apa-apa. Setelah perkawinan Angger Swandaru itu berlangsung, maka kami akan dapat menilai, apakah yang sebaiknya kami lakukan.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, ”Aku mengucapkan terima kasih Ki Waskita. Dan aku pun benar-benar ingin minta maaf. Aku telah salah menilai bantuan dan jasa yang tidak ada taranya dari Ki Waskita, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Juga Ki Argapati di Menoreh. Terutama pada saat kita bersama-sama menghancurkan Panembahan Agung dan Panembahan Alit.”

“Kita saling membutuhkan bantuan,” jawab Ki Waskita.

“Di saat-saat mendatang, kami tentu masih banyak memerlukan bantuan.”

“Sudah tentu kami tidak akan berkeberatan Ki Lurah. Tetapi dalam batas kemampuan kami.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka saling berdiam. Seolah-olah mereka sedang menilai semua peristiwa yang pernah terjadi.

Namun dalam pada itu, sejenak kemudian Ki Waskita berkata, ”Ki Lurah. Selain semua pesan yang sudah aku sampaikan tentang pusaka itu, aku masih membawa pesan yang lain dari Ki Demang di Sangkal Putung.”

“O,” Ki Lurah mengerutkan dahinya. ”Apakah pesan itu juga menyinggung pusaka-pusaka yang hilang itu atau perkembangan Mataram selanjutnya?”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Lalu katanya, ”Sama sekali tidak ada hubungannya dengan pusaka-pusaka itu Ki Lurah. Tetapi justru mengenai perkawinan Angger Swandaru.”

Ki Lurah memperhatikan kata-kata Ki Waskita dengan saksama.

Ki Waskita pun kemudian menyampaikan pesan Ki Demang, untuk mohon bermalam barang satu malam, pada saat Swandaru bersama pengiringnya pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Lurah yang mendengarkan pesan itu dengan tegang, akhirnya tertawa. Katanya, ”Aku sudah berdebar-debar. Tetapi pesan ini ternyata menggembirakan sekali. Tempat yang dipilih untuk singgah pengantin, apalagi untuk bermalam, tentu akan mendapatkan kurnia yang sepadan,” ia berhenti sejenak, lalu, ”tentu kami sama sekali tidak berkeberatan. Apa yang dapat kami sediakan akan kami siapkan disini.”

“Ki Demang tentu akan sangat berterima kasih. Aku pun berterima kasih pula, bahwa tugas yang dipesankan kepadaku ternyata berbasil dengan baik.”

“Bukankah Ki Waskita tidak pernah gagal menjalankan tusas apapun juga?”

Ki Waskita tertawa. Tetapi ia menyahut, ”Khususnya mengurus hari-hari perkawinan.”

Yang mendengarnya tertawa pula, sehingga pembicaraan itu pun kemudian dilanjutkan dengan gurau yang segar, meskipun kadang-kadang menyentuh juga tentang pusaka-pusaka yang hilang.

Rudita yang berada di dalam biliknya mencoba untuk dapat benar-benar beristirahat. Dicobanya untuk memejamkan matanya. Namun ternyata bahwa ia masih saja selalu gelisah. Dan kegelisahannya itu adalah pertanda, bahwa belum ada kedamaian di dalam hatinya sendiri.

“Alangkah lemahnya hati manusia,” desisnya.

Sekali-sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Ketika terdengar suara tertawa di pendapa, Rudita mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia pun tersenyum. Agaknya orang-orang yang berada di pendapa itu tidak sedang dicengkam oleh ketegangan dalam pembicaraan mengenai pusaka-pusaka yang hilang itu.

“Syukurlah jika mereka tidak sedang membicarakan sikap kekerasan,” katanya di dalam hati.

Namun demikian, terasa sebuah desir yang tajam tergores di hatinya. Ia mulai merasa semakin terasing dari pergaulan sesamanya karena agaknya sikap dan pendiriannya masih belum dapat dimengerti oleh orang lain. Bahkan ayahnya sendiri telah membiarkannya berbaring seorang diri di dalam bilik itu, sementara di pendapa beberapa orang duduk dan saling mengutarakan pikiran dan pengalamannya yang agaknya langsung atau tidak langsung menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu, sebelum mereka menemukan suasana yang terang.

Tetapi Rudita tidak menyesali sikapnya. Yang disesali adalah kekebalan hati sesama yang tidak dapat mengerti sikap dan pendiriannya.

Meskipun demikian Rudita berusaha untuk tetap mengerti bahwa ia tidak akan dapat merombak wajah lingkungannya dengan cepat. Karena itu ia harus berbuat menurut keyakinannya tanpa mengenal lelah dan jemu. Meskipun akibatnya akan dapat menjadi semakin parah. Mungkin ia akan terasing sama sekali. Namun pada suatu saat, manusia akan mengakui, bahwa kedamaian yang sejati, tidak terletak pada kekuatan yang berlimpah-limpah dan tidak terkalahkan. Tetapi kedamaian yang sejati terletak di dalam hati. Sikap, tingkah laku, kata-kata dan angan-angan yang memancarkan kedamaian di hati itu akan memberikan ketenteraman yang sejuk dan langgeng, karena dengan demikian tidak akan ada sikap, angan-angan dan kata-kata yang bersifat permusuhan, curiga dan mementingkan diri sendiri.

”Aku masih harus menunggu lama sekali,” berkata Rudita di dalam hati, ”bahkan mungkin sepanjang umurku, atau bahkan sebaliknya, akan menjadi semakin jauh.“

Tetapi Rudita dengan sadar akan tetap berjalan di atas jalan yang telah dirintisnya. Apapun akibatnya. Keterasingan dan barangkali ia justru akan kehilangan arti sama sekali.

Ternyata Rudita masih tetap belum tertidur ketika ayahnya memasuki bilik itu setelah menjadi lelah berbicara dan berkelakar dengan para pemimpin Mataram, justru yang paling penting. Namun agaknya ada beberapa hal yang dapat dianggap sebagai keterangan yang penting bagi Mataram, yang pantas dilaporkan kepada Raden Sutawijaya dengan segera.

“Agaknya Raden Sutawijaya telah terlibat dalam persoalan yang sama seperti yang pernah terjadi atas gadis Kalinyamat itu,” bekata Ki Lurah Branjangan didalam hatinya.

Beberapa hari yang lewat seorang penghubung berhasil menemui Raden Sutawijaya di Pegunungan Sewu. Penghubung itulah yang menceritakan, bahwa agaknya persoalan yang telah pernah terjadi itu, terjadi sekali lagi.

Tetapi Ki Lurah yang masih belum tahu dengan pasti, apakah cerita itu benar, masih belum berani mengatakannya kepada siapapun juga. Bahkan ia berpesan kepada penghubung itu, bahwa sebaiknya ia tidak mengatakannya kepada orang lain.

“Jika benar hal itu terjadi, maka alangkah sedihnya Semangkin yang pernah dinamakan Rara Pamikatsih oleh Ki Gede Pemanahan, karena gadis itu bersama adiknya Prihatin yang kemudian disebut Rara Pamilutsih berhasil menarik perhatian, dan bahkan meruntuhkan hati Sultan Pajang, sehingga dengan serta merta ia menyanggupkan diri untuk mengalahkan Jipang.” Ki Lurah Branjangan selalu dikejar oleh angan-angannya tentang Raden Sutawijaya dan tingkah lakunya menghadapi gadis-gadis.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Rudita dan ayahnya tidak lagi banyak berbicara. Agaknya Ki Waskita telah dengan sengaja membatasi setiap pembicaraan yang kadang-kadang dapat menumbuhkan persoalan dan justru salah paham.

Karena itulah, maka ia pun kemudian membaringkan diri di pembaringan sambil bergumam, ”Aku lelah sekali Rudita. Aku akan mencoba tidur senyenyaknya. Apakah kau tidak mengantuk?”

“Aku pun ingin tidur nyenyak Ayah. Tetapi agaknya aku memang belum mengantuk. Tetapi jika Ayah ingin segera tidur, silahkanlah. Aku pun tentu akan tertidur pula nanti.”

Ayahnya tidak menjawab. Dipejamkannya matanya sambil menyilangkan tangan didadanya. Sejenak kemudian maka nafasnyapun beredar dengan teratur.

Rudita memperhatikan tarikan nafas ayahnya sejenak. Tetapi ia tersenyum sendiri. Ia tahu bahwa ayahnya tidak tidur. Meskipun demikian ia sama sekali tidak mau mengusiknya lagi.

Namun lambat laun, keduanya yang saling berdiam diri di pembaringan itu pun akhirnya tertidur juga. Meskipun tidak terlalu lama, karena mereka segera terbangun ketika mereka mendengar ayam berkokok dini hari.

Seperti yang direncanakan, maka pada pagi itu juga, Ki Waskita dan Rudita mohon diri untuk meneruskan perjalanan. Beberapa persoalan yang menyangkut pusaka-pusaka yang hilang itu masih disinggung sedikit oleh Ki Lurah. Namun kemudian mereka lebih banyak berbicara tentang rencana Ki Demang untuk singgah di Mataram pada saat mereka membawa Swandaru ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan diantar oleh Ki Lurah Branjangan dan beberapa orang pemimpin Menoreh sampai ke regol, maka Ki Waskita dan Rudita meninggalkan rumah Raden Sutawijaya yang menjadi pusat pemerintahan di Mataram itu.

Ketika matahari kemudian naik semakin tinggi, maka kuda Ki Waskita dan Rudita meninggalkan kota Mataram yang berkembang dengan pesat. Mereka menempuh bulak yang panjang dan subur. Bulak yang baru beberapa kali menghasilkan padi dan palawija, setelah hutan di atas tanah itu ditebang.

“Mataram akan menjadi sangat subur,” berkata Ki Waskita seolah-olah kepada diri sendiri.

Rudita berpaling kepadanya. Kepalanya terangguk lemah. Katanya, ”Ya. Mataram akan menjadi sangat subur.”

Sambil menatap batang-batang padi yang hijau maka kuda mereka itu pun berlari terus. Tidak terlampau kencang, karena mereka rasa-rasanya memang sedang menikmati angin pagi di atas Tanah Mataram.

Namun demikian perjalanan mereka itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali Praga. Kali yang cukup luas dengan airnya yang berwarna lumpur. Apalagi apabila hujan di lereng gunung menghanyutkan guguran tanah masuk ke dalam arus air yang semakin deras.

Jalan yang menuju ke daerah penyeberangan di Kali Praga sudah menjadi semakin ramai. Jalan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, dan daerah yang lebih jauh lagi di sebelah Barat, menjadi semakin ramai pula dilalui orang. Para pedagangpun hilir mudik dengan dagangan masing-masing. Barang-barang yang dapat ditukarkan dengan hasil bumi maupun alat-alat pertanian yang dibuat di daerah yang lain.

Ki Waskita dan Rudita berpacu terus. Rasa-rasanya sinar matahari menjadi semakin panas dan menggigit kulit seperti gigitan semut yang gatal.

Namun di perjalanan tidak banyak persoalan yang mereka temui. Bersama-sama dengan beberapa orang lain yang lewat mereka menyeberang Kali Praga dengan perahu. Agaknya para tukang satang telah berani turun ke sungai, setelah beberapa lama tidak terjadi lagi bencana yang menimpa mereka dan kawan-kawan mereka di sepanjang daerah penyeberangan itu.

Demikianlah, maka setelah beberapa kali beristirahat untuk memberi minum dan makan bagi kuda-kudanya, keduanyapun menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk.

Ketika dua orang pengawal yang sedang nganglang mengawasi keamanan daerah Tanah Perdikan Menoreh melihatnya, dan yang kebetulan sudah mengenal Ki Waskita, maka mereka berduapun segera membawanya langsung menuju ke rumah Ki Argapati. Bahkan salah seorang dari keduanyapun mendahului untuk memberitahukan kehadiran Ki Waskita.

Ki Argapati menjadi berdebar-debar. Ki Waskita, menurut pengertiannya, telah pergi ke Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar untuk mencari anaknya yang pergi dari rumahnya, sekaligus membawa pesan-pesannya mengenai persoalan hari-hari perkawinan Pandan Wangi.

“Ia hanya berdua dengan putranya yang manja itu,” desis pengawal itu.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Jadi anak itu sudah dapat diketemukannya.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Waskita dan Rudita pun memasuki halaman rumah kepala Tanah Perdikan Menoreh. Ki Argapati yang telah diberitahu akan kedatangannya telah siap menyambutnya di pendapa.

Dengan wajah yang terang Ki Argapati menyongsong tamunya. Ketika nampak olehnya Rudita bersama ayahnya, maka ia pun segera mendekatinya sambil memberikan salam.

“Akhirnya ayahmu berhasil menemukan kau Rudita,” berkata Ki Argapati.

Rudita menundukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia menjawab, ”Sebenarnya aku tidak sengaja membuat Ayah menjadi sibuk dan terpaksa menyusuri lereng-lereng Gunung Merapi mencari aku.”

Ki Argapati tertawa. Katanya, ”Itulah yang terbersit di hati anak-anak muda. Tetapi orang tua kadang-kadang menjadi cemas dan tidak dapat berdiam diri. Apalagi seorang ibu.”

Rudita tidak menjawab.

“Marilah,” Ki Argapati pun kemudian mempersilahkan Ki Waskita, ”aku ikut bergembira, bahwa Rudita telah ditemukan.

Ki Waskita tertawa. Katanya, ”Setelah aku membuat orang-orang Sangkal Putung dan terutama prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom menjadi sibuk.”

Ki Argapati mengerutkan keningnya. Dan Ki Waskita pun berkata selanjutnya, ”Nanti aku ceritakan, bagaimana lereng Merapi itu terguncang.”

“Gempa Paman,” tiba-tiba saja Rudita memotong, ”mungkin terasa juga di Tanah Perdikan Menoreh. Bukan saja lereng Merapi yang terguncang.”

Ki Argapati termenung sejenak. Namun ia pun kemudian tertawa, ”Ya. Memang pernah terjadi gempa. Meskipun tidak begitu kuat disini.”

“Tetapi karena sumber gempa itu adalah Gunung Merapi, maka yang paling terguncang adalah lereng Gunung Merapi.”

Ki Argapati tertawa. Katanya, ”Ya. Kau benar Rudita. Tetapi, marilah. Silahkan naik ke pendapa.”

Setelah mengikat kudanya pada batang perdu dihalaman, serta mencuci kaki di jambangan di bawah pohon soka, maka mereka pun segera naik ke pendapa.

Mula-mula, seperti kebiasaan yang lazim, maka mereka pun saling bertanya tentang keselamatan masing-masing. Juga keselamatan orang-orang yang ditinggalkannya di Sangkal Putung dan bahkan Jati Anom.

Ketika minuman dan makanan telah dihidangkan, maka mulailah Ki Waskita bercerita tentang Rudita. Meskipun ia harus berhati-hati dan menghindari persoalan-persoalan yang agaknya akan dapat menumbuhkan persoalan pada anaknya itu.

Pembicaraan yang menjadi ramai ketika Pandan Wangi ikut menemuinya pula. Bahkan kadang-kadang ia masih dapat mengganggu Rudita yang beberapa saat yang lalu adalah seorang anak yang aneh. Seorang anak muda yang sama sekali tidak memiliki sifat-sifat seorang anak muda sewajarnya. Karena itulah maka ia tidak lebih dari seorang anak muda yang penakut, bahkan pengecut dan agak licik.

Tetapi sifat-sifat itu sama sekali telah berubah. Meskipun perubahan yang terjadipun membuat Rudita tetap seorang anak muda yang aneh dalam bentuknya yang lain.

Namun, seperti yang diduga oleh Rudita, bahwa ia harus diasingkan dari pembicaraan yang lebih bersungguh-sungguh, ternyata pula di malam harinya. Ketika di pendapa sudah diterangi oleh lampu minyak, dan setelah Rudita dan ayahnya mandi serta membenahi pakaiannya, datanglah saatnya mereka dijamu makan malam. Namun setelah itu, maka Ki Waskita berkata kepada anaknya, ”Rudita, jika kau lelah, beristirahatlah. Aku masih akan menyampaikan pesan-pesan Ki Demang Sangkal Putung tentang hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Angger Pandan Wangi.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang merasa lebih baik tidak ikut dalam pembicaraan yang tidak dapat diikutinya dengan perasaannya.

Setelah minta diri untuk beristirahat kepada Ki Argapati dan bebahu Tanah Perdikan yang hadir menyambut kedatangannya maka Rudita pun kemudian pergi ke gandok yang disediakan baginya dan ayahnya.

Tetapi seperti di Mataram, ia pun tidak segera dapat tidur. Meskipun kemudian ia berbaring juga dipembaringan, namun rasa-rasanya ia masih mendengar pembicaraan yang riuh di pendapa. Sekali-sekali ia mendengar suara tertawa yang meledak. Agak berbeda dengan saat pembicaraan di Mataram yang agak tegang meskipun kadang-kadang juga terdengar suara tertawa.

“Pembicaraan kali ini lebih banyak berkisar pada hari-hari perkawinan itu,” desis Rudita di dalam hatinya, ”tetapi aku tetap tidak diperkenankan ikut serta.”

Sebenarnya yang sedang dibicarakan di pendapa adalah hari-hari yang sedang ditunggu-tunggu oleh segenap penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi, bahkan rasa-rasanya hari tidak berjalan seperti biasanya.

Dalam pembicaraan itu, maka semua pesan Ki Demang Sangkal Putung telah disampaikannya pula. Persoalan-persoalan yang langsung dan tidak langsung menyangkut kedatangan Swandaru pun telah dibicarakannya. Tempat penginapan dan segala keperluannya. Kemudian menjelang sepasar dan akhirnya hari-hari keberangkatan kedua pengantin ke Sangkal Putung.

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Meskipun belum terjadi, tetapi rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh telah menjadi sangat sepi. Rasa-rasanya Ki Argapati harus hidup sendiri di rumahnya yang besar itu.

Sudah agak lama Ki Argapati ditinggal oleh istrinya yang telah mendahului menghadap Tuhannya kembali. Kesepian yang mula-mula mencengkam, terasa mulai terisi sejak Pandan Wangi meningkat dewasa. Rasa-rasanya Pandan Wangi dapat membuat rumahnya seakan-akan terbangun setelah tidur untuk waktu yang lama.

Tetapi pada suatu saat, Pandan Wangi itu harus meninggalkannya pergi bersama suaminya.

“Namun hai itu harus terjadi,” berkata Ki Argapati di dalam hatinya, ”setiap gadis akan meninggalkan orang tuanya dan ikut bersama suaminya. Demikian juga harus terjadi pada Pandan Wangi. Aku tidak boleh mementingkan diriku sendiri dan membiarkan Pandan Wangi tetap tinggal di rumah ini sampai hari matiku.”

Tetapi bagaimanapun juga, Ki Argapati berusaha untuk menghilangkan kesan itu dari wajahnya. Ia masih tetap tersenyum, tertawa dan bergurau dengan cerah betapapun kesepian yang akan datang itu rasa-rasanya telah mulai membelit hatinya.

Dalam pada itu, Rudita masih saja berada di dalam biliknya. Karena ia tidak dapat segera tertidur, maka ia pun kemudian bangkit dan duduk di bibir pembaringan. Namun kemudian ia keluar dari bilik tidurnya dan duduk di serambi depan.

Angin yang silir terasa mengusap tubuhnya. Ia melihat beberapa orang yang duduk di gandok sambil berbicara dengan riuhnya. Namun seperti kehendak ayahnya, ia tidak sebaiknya ikut serta dalam pembicaraan itu.

Di serambi, Rudita memandang kegelapan yang rasa-rasanya menyelubungi seluruh permukaan bumi. Seperti gelapnya hati manusia yang semakin lama menjadi semakin pekat.

“Pada suatu saat mereka akan kehilangan kesadaran diri dan segenap kepribadiannya jika tidak ada perubahan arah dari perkembangan budi manusia,” desis Rudita dengan cemasnya.

Rudita bergeser ketika terasa seekor nyamuk menggigit tangannya yang menjadi gatal.

Dalam keadaan yang demikian Rudita masih juga sempat merasa betapa perasaan yang lain masih sempat menyentuh dirinya. Dalam keadaan tertentu ia mampu melepaskan diri dari perasaan sakit, pedih, lelah dan semacamnya. Namun pada keadaan yang wajar itu, perasaan gatal masih terasa olehnya.

Ketika nyamuk itu hinggap lagi di sela-sela jari tangannya, maka perlahan-lahan ia mengangkat tangannya yang lain. Di dalam cahahaya obor yang kemerah-merahan ia memandang nyamuk itu dengan tatapan mata kejengkelan yang mendorongnya siap untuk melakukan pembunuhan.

Tetapi tiba-tiba saja ia menarik nafas. Ia tidak berusaha untuk menepuk nyamuk itu. Namun dengan jari-jarinya, dikejutkannya nyamuk itu dan dibiarkannya terbang.

Rudita mengerutkan keningnya, ketika kemudian didengarnya desir langkah halus mendekatinya. Hatinya menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya ia dapat mengenal langkah yang mendekatinya itu, meskipun ia belum melihat orangnya.

Rudita bangkit ketika seseorang muncul di serambi itu. Seperti yang diduganya, orang itu adalah Pandan Wangi.

“O,” suaranya agak gemetar. Tetapi beberapa saat kemudian, ia sudah dapat menguasai dirinya. Ia bukan lagi Rudita yang dahulu.

“Kau tidak tidur?” bertanya Pandan Wangi.

“Udara terlalu panas,” jawab Rudita. ”Disini aku merasa agak sejuk.”

“Kau tidak naik ke pendapa? Mereka berbicara panjang lebar.”

“Mereka berbicara tentang kau,” sahut Rudita.

Wajah Pandan Wangi menjadi merah. Tetapi Rudita tidak memperhatikannya.

“Duduklah,” Pandan Wangi mempersilahkan.

Tetapi Rudita menjadi bingung. Di mana ia akan duduk dan di mana Pandan Wangi akan duduk, karena di serambi itu hanya ada sebuah lincak meskipun agak panjang.

Tetapi ternyata Pandan Wangi tidak ragu-ragu. Ia pun kemudian duduk di lincak itu dan menarik tangan Rudita untuk duduk pula.

Rudita pun kemudian duduk pula, meskipun rasa-rasanya hatinya menjadi berdebar-debar lagi.

Tetapi kemudian ia menyadari, bahwa sikap Pandan Wangi tentu masih belum berubah. Gadis itu masih menganggapnya sebagai kanak-kanak yang manja dan perlu dikasihani, seperti saat-saat ia ketakutan di hutan-hutan perburuan.

“Kenapa kau tidak ikut berbicara di pendapa?” bertanya Pandan Wangi sekali lagi, ”meskipun mereka berbicara tentang aku, apa salahnya kau ikut mendengarkannya?”

“Agaknya aku masih belum diperlukan untuk ikut dalam pembicaraan yang penting itu,” jawab Rudita.

Pandan Wangi menarik nafas. Sejenak ia merenungi malam yang menjadi semakin gelap.

Namun tiba-tiba saja ia bertanya, ”Kau baru datang dari Sangkal Putung?”

“Ya.” jawab Rudita.

Pandan Wangi memandang Rudita sejenak. Tetapi wajahnya pun kemudian tertunduk. Ada sesuatu yang ingin dikatakannya, tetapi tertahan dikerongkongannya.

Rasa rasanya Rudita dapat mengetahui isi hati Pandan Wangi. Gadis itu ingin bertanya sesuatu tentang Swandaru, bakal suaminya. Tetapi agaknya perasaannya telah menahannya. Sebagai seorang gadis ia tidak dapat langsung bertanya tentang seorang anak muda yang mempunyai ikatan yang khusus dengan dirinya.

Karena itu, maka Ruditalah yang berkata, ”Di Sangkal Putung aku sempat bertemu dengan Swandaru dan Agung Sedayu.”

Wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia sama sekali tidak menyahut.

Dan agaknya Rudita memang bukan Rudita yang dahulu. Ia berkata seterusnya, ”Mereka dalam keadaan selamat dan berpengharapan. Terutama Swandaru. Tetapi atas nasehat orang-orang tua di Sangkal Puting, ia harus berusaha untuk mengurangi bobot badannya menjelang hari perkawinannya.”

“Ah,” desis Pandan Wangi.

Rudita tertawa. Katanya lebih lanjut, ”Tetapi pada dasarnya, mereka merasa berbahagia dengan harapan di dalam hati mereka. Setelah Swandaru, tentu akan datang saatnya, Agung Sedayu. Agaknya adik Swandaru yang bernama Sekar Mirah itu pun sudah cukup masak untuk mulai dengan taraf kehidupan baru.”

Terasa sesuatu berdesir di hati Pandan Wangi. Namun kemudian, semuanya telah ditekannya dalam-dalam di dasar lubuk hati. Bahkan ia pun kemudian berkata kepada dirinya sendiri didalam hatinya, ”Bukankah sudah seharusnya Agung Sedayu segera kawin dengan gadis pilihannya? Seperti aku juga kawin dengan anak muda pilihanku dan yang telah direstui oleh Ayah?”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sepintas seakan-akan kedua anak muda dari Sangkal Putung itu lewat di depannya. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan.

Karena Pandan Wangi tidak menjawab, maka Rudita pun berbicara lagi, ”Bukankah kau sudah berkemas memasuki langkah baru dalam tata kehidupanmu?”

Pandan Wangi mengangguk.

“Tentu sudah. Dan sebentar lagi, semua yang kau nantikan itu akan terjadi. Tanah Perdikan Menoreh akan bergembira karenanya, seperti juga Sangkal Putung. Ikatan kekeluargaan ini benar sangat menarik. Karena kedua daerah yang akan terikat menjadi satu ikatan itu terletak di sebelah timur dan di sebelah barat Mataram.”

Pandan Wangi berpaling. Dicobanya untuk memandang wajah Rudita dalam cahaya obor. Nampaknya Rudita mengatakannya tanpa maksud sesuatu, sehingga Pandan Wangi pun hanya menarik nafas tanpa memberikan jawaban.

Karena Rudita melanjutkannya, ”Tetapi lebih dari itu. perkawinan ini akan dapat mengikat dua daerah yang luas dan subur.”

“Ya,” desis Pandan Wangi kemudian, ”mudah-mudahan dapat memberikan kebahagiaan, bukan saja bagiku, tetapi juga bagi Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung.”

“Kau dan Swandaru adalah orang-orang yang memiliki pengaruh atas kedua daerah itu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan daerah itu. Mudah-mudahan kemudian kau berdua dapat memerintah kedua daerah itu dengan hati yang damai dan menumbuhkan kedamaian dan ketenteraman pula di hati rakyat kalian.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Tetapi kepalanyapun terangguk-angguk. Bahkan ia mulai menyadari bahwa Rudita yang sekarang ini sudah jauh berbeda dengan Rudita yang dahulu. Rudita yang manja dan penakut. Rudita yang dahulu tidak akan dapat mengatakan perasaannya dengan cara itu. Bahkan ketika tiba-tiba ia mengenang sikap dan tanggapan Rudita atas dirinya, ia menjadi segan untuk melanjutkan angan-angannya.

“Sudahlah,” berkata Pandan Wangi kemudian, ”sudah malam. Aku akan tidur.”

“Mudah-mudahan kau dapat tidur nyenyak dan mimpi yang indah. Aku berdoa, agar kelak kalian dapat menciptakan kedamaian yang sejati. Meskipun kau dan Swandaru memiliki kemampuan untuk bermain dengan pedang, tetapi aku berharap bahwa hulu pedang itu tidak akan kalian sentuh lagi dengan maksud apapun juga kelak.”

Padan Wangi tidak begitu mengerti maksud Rudita. Tetapi ia mengangguk saja sambil menjawab, ”Baiklah Rudita. Aku akan mengingatnya.”

Dengan tergesa-gesa, Pandan Wangi pun meninggalkan anak muda yang ternyata sudah berubah itu. Bahkan Pandan Wangi menjadi agak menyesal, bahwa ia sudah menjumpainya. Tetapi ia tidak dapat menahan sifat ingin tahunya tentang Sangkal Putung agak lebih banyak, sehingga sudah mendorongnya unluk menjumpai Ruaita yang diketahuinya baru datang dari Sangkal Putung.

Namun yang kemudian terjadi adalah di luar kehendak Pandan Wangi sendiri. Bayangan tentang kedua anak muda. murid orang bercambuk itu selalu membayang di wajahnya. Keduanya. Bukan hanya salah seorang saja di antara mereka.

Sekali-kali Pandan Wangi memejamkan matanya. Tetapi bayangan itu tidak juga beranjak daripadanya.

“Apakah artinya ini?” desisnya sambil menelungkupkan badannya di pembaringannya.

Namun demikian Pandan Wangi tidak dapat memadamkan angan-angan di hatinya itu. Angan-angan tentang dua orang anak muda yang pernah berada di Tanah Perdikan Menoreh bersama gurunya.

Sekali nampak bayangan Swandaru dalam pakaian pengantin. Meskipun ia masih juga gemuk, namun wajahnya yang cerah, serta sifat-sifatnya yang terbuka, membuat anak muda itu mempunyai ujudnya tersendiri. Kepribadiannya nampak bagaikan pintu yang terbuka lebar, sehingga Pandan Wangi seolah-olah dapat menjengukkan kepalanya kedalamnya dan melihat seluruh isinya. Baik atau buruk.

Dan itulah yang telah menarik perhatiannya, selain sikapnya yang ramah, serta tertawanya yang lepas tidak tertahan-tahan, dan guraunya yang jenaka.

Tetapi di samping Swandaru, kadang-kadang muncul juga bayangan seorang anak muda yang meskipun tidak termasuk pendiam, tetapi hatinya agak tertutup. Ragu-ragu dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya dalam waktu yang dekat.

Tiba-tiba saja, di luar kehendaknya sendiri, terbayang pula ibunya yang sudah tidak ada lagi. Diikuti oleh wajah-wajah yang membuatnya meremang. Wajah dua orang laki-laki yang saling memancarkan dendam dari dasar hati.

“O,” Pandan Wangi mengeluh.

“Tidak, tidak,” Pandan Wangi menggeram. Tetapi rasa-rasanya kesalahan yang pernah terjadi pada ibunya itu, kini membayanginya pula. Dua orang laki-laki yang kemudian melahirkan Sidanti dan dirinya dari ibu yang sama.

Pandan Wangi menggeliat. Bahkan ia pun kemudian bangkit sambil menghentakkan kakinya.

“Kesalahan itu tidak boleh terulang lagi dalam bentuk yang manapun juga. Aku bukan Ibu. Dan Ibu tidak dapat melimpahkan dosa-dosanya kepadaku,” desisnya.

Namun yang terbayang kemudian adalah perang tanding antara dua orang anak muda yang kemudian bernada Ki Tambak Wedi dan Ki Gede Menoreh di bawah sepasang pohon pucang.

“Gila, gila,” Pandan Wangi menggeram. ”Aku tidak boleh gila pula seperti itu, sehingga aku menyeret orang-orang lain menjadi gila pula.”

Pandan Wangi tiba-tiba saja terkejut ketika ia mendengar pintu biliknya diketuk orang. Sejenak kemudian terdengar suara seorang perempuan memanggilnya, ”Pandan Wangi, Wangi.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dibenahinya pakaianya dan diusapnya wajahnya yang menjadi basah. Selangkah demi selangkah ia mendekati pintu biliknya dengan ragu-ragu.

“Wangi.”

Perlahan-lahan Pandan Wangi membuka pintu biliknya. Dilihatnya dua orang pembantunya berdiri termangu-mangu.

“Apakah kau bermimpi buruk?” bertanya salah seorang dari kedua pembantunya itu.

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, ”Yu, aku memang bermimpi buruk. Apakah kau mendengar sesuatu dari dalam bilik ini?”

“Aku mendengar kau mengeluh. Bahkan seperti seorang yang sedang bertengkar.”

Pandan Wangi memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, ”Terima kasih. Kau sudah membangunkan aku dari mimpi yang buruk. Untunglah Ayah tidak mendengarnya.”

“Ki Gede masih berada di pendapa bersama tamunya,” jawab salah seorang dari keduanya.

“Terima kasih. Baiklah aku akan tidur lagi.”

“Tetapi agaknya memang demikian. Seseorang yang mendekati hari-hari perkawinannya, kadang-kadang justru diganggu oleh mimpi buruk, itu pertanda bahwa kau sudah tidak sabar lagi menunggu hari-hari yang menjadi semakin pendek. Kurang dari sebulan.”

“Ah,” desis Pandan Wangi, “selamat malam.”

Pandan Wangi pun menutup pintunya kembali. Sementara dua orang itu masih termangu-mangu sejenak di muka pintu bilik yang sudah tertutup itu. Namun sejenak kemudian merekapun segera meninggalkan tempat itu.

Di dalam biliknya, Pandan Wangi menjadi semakin gelisah. Bukan karena kedua pembantunya yang seolah-olah melihat mendung dalam hatinya. Tetapi kegelisahannya justru karena kesadarannya tentang dirinya dan perasaannya.

Dan dengan segenap kemampuan yang ada pada dirinya, dilandasi oleh pertimbangan nalar yang seimbang, maka akhirnya ia dapat menguasai dirinya. Pengalaman yang pernah terjadi atas ibunya merupakan guru yang sangat berharga baginya dalam menghadapi gejolak perasaannya.

Pandan Wangi tidak dapat ingkar, bahwa yang pertama-tama menarik perhatiannya pada saat-saat ia bertemu dengan kedua anak muda itu adalah Agung Sedayu. Namun kemudian ia mengetahui, bahwa Agung Sedayu telah mempunyai pilihannya, justru adalah adik Swandaru.

Meskipun perlahan-lahan, namun kemudian Pandan Wangi melihat sesuatu yang menarik pada anak muda yang gemuk itu. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh. Bukan saja kecakapannya bermain pedang dan cambuk. Tetapi juga kelebihan-kelebihan yang lain.

“Apakah karena itu aku telah tertarik kepadanya?” pertanyaan itu melonjak di dalam hatinya. Namun yang kemudian dijawabnya sendiri, ”Bukan waktunya lagi untuk bertanya. Kurang dari sebulan hari perkawinan itu sudah tiba. Yang harus aku lakukan adalah memupuk cinta yang ada di dalam hati ini, agar dapat mekar dan bekembang. Aku harus menjadi seorang yang lebih baik dari ibuku menghadapi perasaan yang menyangkut tentang cinta dan mungkin nafsu tanpa meninggalkan pertimbangan nalar.”

Pandan Wangi kemudian berusaha untuk tidak memikirkannya lagi. Ia mencoba lari dari perasaan yang serasa selalu mengganggu hati.

Tetapi Pandan Wangi mempunyai pengalaman yang lain dari kebanyakan gadis-gadis. Ia sudah terlatih untuk mempergunakan pertimbangan nalarnya. Meskipun mula-mula di dalam keadaan yang gawat menurut ujud benturan jasmaniah, namun di dalam benturan perasaan, ia mampu pula mempergunakan keseimbangan nalarnya.

Pandan Wangi mencoba melupakan persoalannya dengan memikirkan masalah-masalah yang lain yang menyangkut Tanah Perdikan Menoreh. Hari depannya dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di atas Tanah ini.

Di pendapa, ayahnya masih saja bercakap-cakap dengan Ki Waskita meskipun malam menjadi semakin larut. Bahkan kemudian di kejauhan terdengar suara kentongan dalam nada dara muluk.

“Sudah tengah malam,” desisnya. Tetapi Pandan Wangi masih belum dapat tidur.

Di pendapa beberapa orang bebahu dan orang-orang tua tetangga-tetangga Ki Gede Menoreh pun kemudian minta diri. Mereka sudah cukup lama duduk menanggapi segala macam pesan Ki Demang Sangkal Putung mengenai hari-hari perkawinan Swandaru dengan segala macam persoalannya. Bahkan rumah yang akan dipergunakan untuk menginap para pengiring dari Sangkal Putung telah ditentukan pula.

Namun demikian, sepeninggal para tetangga dan bebahu Tanah Perdikan, Ki Waskita masih tetap duduk di pendapa dengan Ki Gede Menoreh sendiri.

“Masih ada yang akan aku katakan Ki Gede,” berkata Ki Waskita.

Ki Gede mengerutkan keningnya, lalu ia pun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang agak menghambat kelancaran upacara perkawinan itu?“

“Bukan. Bukan masalah itu,” sahut Ki Waskita untuk menenteramkan hati Ki Argapati, ”soalnya lain sekali. Hampir tidak ada hubungannya.”

Ki Argapati termangu-mangu.

“Ki Argapati,” berkata Ki Waskita, ”mungkin ada baiknya Ki Argapati mengetahui serba sediikit tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram.”

“O.”

“Yang sebuah sudah pernah kita ceritakan di sini, bahwa songsong itu telah menyeberangi Kali Praga. Dan justru melintasi Tanah Perdikan ini meskipun arahnya belum dapat kita ketahui dengan pasti.”

“Ya.”

“Dan sekarang, aku akan bercerita tentang pusaka yang satu lagi.”

“Kanjeng Kiai Pleret?”

”Ya. Kanjeng Kiai Pleret.”

Ki Gede Meoereh mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia bergeser mendekat Ki Waskita, sementara Ki Waskita pun kemudian bercerita pula tentang pusaka yang diduga telah dibawa oleh Kiai Kalasa Sawit yang meninggalkan Padepokan Tambak Wedi dengan tergesa-gesa itu.

Ki Gede Menoreh mendengarkan cerita itu dengan saksama. Sekaii-sekali ia mengangguk-angguk, namun kemudian wajahnya menjadi tegang.

“Jadi di Tambak Wedi telah terjadi pertempuran yang cukup keras bagi Pajang?” bertanya Ki Gede.

“Ya Ki Gede. Untunglah bahwa Untara mempunyai cara yang tepat untuk menguasai keadaan. Bukan saja Tambak Wedu tetapi sekaligus penjahat-penjahat kecil yang berkelompok di lereng Merapipun agaknya berhasil ditertibkan.”

“Apakah Angger Untara mengetahui tentang pusaka yang hilang itu pula?”

“Menurut dugaanku tidak. Tetapi aku tidak tahu dengan pasti, karena Angger Untara mempunyai sejuta mata dan sejuta telinga di daerah Selatan ini. Namun menilik sikap dan tanggapannya terhadap Tambak Wedi, agaknya Senapati Untara belum mempersoalkan pusaka yang hilang itu.”

Ki Argapati mengangguk-angguk.

“Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Ki Sumangkar bersepakat, bahwa di waktu yang singkat ini, mereka tidak akan berbuat apa-apa lagi selain mempersiapkan hari-hari perkawinan Angger Swandaru dan Pandan Wangi. Baru setelah hari perkawinan itu lampau, mungkin mereka akan melakukan sesuatu untuk menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu.“

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, ”Ternyata hari perkawinan anakku itu bersamaan waktunya dengan tugas yang sebenarnya sangat penting bagi kedua orang tua itu. Tugas yang langsung menyangkut kelangsungan hidup Mataram dan sudah barang tentu kekuasaan Raden Sutawijaya yang kemudian bergelar Senopati Ing Ngalaga.”

“Tetapi bukan berarti bahwa perkawinan itu merupakan hambatan bagi pecarian kedua pusaka itu Ki Gede,” dengan serta merta Ki Waskita menyahut, ”tidak seorangpun yang mengetahui bahwa akan terjadi hal seperti yang dialami oleh Mataram, hilangnya kedua pusaka itu. Seandainya aku dengan sengaja memusatkan indra dalam pencarian isyarat tentang Mataram sekalipun, aku kira aku tidak akan dapat menemukan kemungkinan seperti itu.”

Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, ”Jika diperlukan, setelah hari-hari perkawinan ini lewat, aku akan membantu sesuai dengan kemampuan yang ada di atas Tanah Perdikan ini, karena yang jelas, songsong itu telah menyentuh Tanah ini dengan langsung.”

Ki Waskita mengangguk-angguk pula. Ia memang sudah menduga, bahwa Tanah Perdikan Menoreh tentu tidak akan berkeberatan jika diperlukan bantuan. Apalagi sesudah hari-hari perkawinan. Seandainya keadaan mendesak, dan saat itu pula Menoreh harus menyiapkan sepasukan pengawal pilihan, maka Ki Gede Menoreh tentu tidak akan menolak.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar baru akan bergerak setelah hari-hari perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi, sehingga Ki Argapati pun harus menyesuaikan dirinya pula dengan saat-saat yang sudah ditentukan itu.

“Kecuali jika Raden Sutawijaya mengambil sikap lain setelah ia menerima laporan yang dengan tergesa-gesa disampaikan oleh para pemimpin Mataram,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya pula. Namun agaknya Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga itu pun tidak akan bertindak tergesa-gesa menghadapi kekuatan yang tidak dapat diketahuinya dengan pasti itu.

Demikianlah ketika malam menjadi semakin larut, maka pembicaraan mereka pun terputus. Ki Waskita minta diri untuk beristirahat. Dan sekaligus ia minta diri pula, bahwa besok pagi-pagi benar ia akan meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Argapati.

“Aku akan menyerahkan Rudita kepada ibunya yang tentu sudah menunggunya dengan gelisah.”

“Sesudah itu, apakah tidak ada kemungkinan Rudita dengan diam-diam meninggalkan ibunya?”

“Memang mungkin Ki Gede. Tetapi aku akan mencoba menasehatinya, agar ia menunggui ibunya untuk beberapa lama. Kelak ia harus membawa ibunya kemari untuk ikut membantu mempersiapkan hari perkawinan Pandan Wangi. Setelah itu aku masih mempunyai kepentingan sedikit, mungkin aku diperlukan untuk membantu menemukan pusaka-pusaka yang hilang itu. Baru kemudian, jika semuanya sudah tenang, aku akan kembali pulang. Barulah Rudita mempunyai banyak kesempatan untuk mengembara meskipun ibunya tentu tidak akan menyetujuinya pula.”

Ki Argapati mengangguk-angguk. Katanya, ”Siapapun ia, tetapi anak-anak muda memang mempunyai darah yang menggelegak. Pengembaraan akan merupakan suatu masa yang seolah-olah harus dialami oleh anak-anak muda. Agaknya Angger Rudita yang telah berubah itu pun telah dijalari pula oleh keinginan untuk mendapatkan pengalaman hidup bagi masa tuanya.”

Ki Waskita menggelengkan kepalanya. Katanya, ”Rudita mempunyai tanggapan yang lain atas hidup dan kehidupan ini. Ia menganggap bahwa manusia di sekelilingnya telah diracuni oleh kecurigaan, dendam dan kebencian, sehingga tidak ada lagi kedamaian di dalam hati. Jika ia kemudian ingin mengembara maka ia akan meneriakkan kepada segenap manusia yang dijumpainya, bahwa mereka harus menanggalkan semua tanggapan yang salah atas sesamanya. Kedamaian yang sejati tidak akan dapat dibumbui dengan kecurigaan, dendam dan kebencian dalam bentuk dan ujud apapun juga. Termasuk olah kanuragan.”

“Olah kanuragan?” bertanya Ki Gede.

“Ya. Hanya orang yang mencurigai sesamanya sajalah yang merasa perlu untuk memiliki ilmu dalam bentuk kekerasan.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Desisnya, ”Alangkah mulianya. Jika kita bersama-sama dapat mengetrapkan dalam hidup kita sehari-hari, maka sebenarnyalah kita akan mendapatkan kedamaian yang sejati. Tetapi alangkah menyedihkan jika keadaan yang demikian itu dimanfaatkan oleh beberapa orang yang justru seolah-olah menemukan penyerahan diri yang pasrah, sehingga akan dapat membangunkan kekuasaan yang tidak tergoyahkan.”

Ki Waskita tidak menyahut. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil.

“Ah, agaknya pembicaraan kita akan berkepanjangan pula,” berkata Ki Argapati kemudian, ”silahkanlah, jika Ki Waskita akan beristirahat, karena besok pagi-pagi benar Ki Waskita sudah akan menempuh perjalanan meskipun tidak terlampau panjang seperti jarak ke Sangkal Putung.”

Ki Waskita pun kemudian bergeser dari pendapa dan kembali ke gandok. Ketika ia masuk ke dalam biliknya, dilihatnya Rudita sudah berada di dalam bilik itu pula.

“Kau belum tidur?” bertanya ayahnya.

“Baru saja aku masuk Ayah,” jawabnya.

“Dari mana?”

“Udara sangat panas. Di luar angin malam terasa sejuk sekali.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Udara memang terasa agak panas di dalam bilik ini Rudita. Tetapi kita harus segera tidur. Malam sudah larut. Besok kita akan meninggalkan rumah ini pagi-pagi benar.”

Rudita pun kemudian berbaring di pembaringannya. Agaknya ia kemudian berhasil melepaskan semua angan-angannya, sehingga sejenak kemudian ia pun telah tertidur nyenyak.

Ki Waskitalah yang masih untuk beberapa lama duduk di bibir pembaringannya. Sekali-sekali angan-angannya masih juga meloncat-loncat dari satu soal ke soal yang lain. Saat-saat perkawinan Swandaru yang menjadi semakin dekat, namun masih saja nampak kabut hitam yang seolah-olah menyelubunginya. Kemudian seakan-akan nampak olehnya sepasukan yang merayap di lereng Gunung Merapi, membelit lambung, kemudian berhenti di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Ki Waskita mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba saja ia merasa bahwa ada isyarat padanya, bahwa di lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu merupakan tempat yang perlu mendapat perhatian khusus.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Menurut perhitungan nalarpun agaknya Kiai Kalasa Sawit akan membawa pasukannya ke lembah itu. Namun masih harus dipertimbangkan kemungkinan-kemungkinan lain antara pusaka yang dibawa oleh pasukan Kiai Kalasa Sawit dan pusaka yang menyeberangi Kali Praga.

“Pertemuan di antara mereka dapat terjadi dimana-mana,” desis Ki Waskita di dalam hatinya, ”Kiai Kalasa Sawit dapat membawa pusaka beserta pasukannya melingkari Gunung Merapi lewat lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu, kemudian sesuai dengan pembicaraan sebelumnya, bertemu dengan mereka yang membawa Songsong Kanjeng Kiai Mendung di tempat yang agak jauh dari Mataram, atau sebaliknya, Songsong Kiai Mendunglah yang kemudian di bawa ke lembah antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.”

Ki Waskita menjadi termangu-mangu. Namun baginya lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu itu harus mendapat perhatian khusus dari Mataram.

Namun demikian masih harus dipertimbangkan hubungan antara Pajang dan Mataram, karena Pajang tentu akan bertindak pula atas Kiai Kalasa Sawit meskipun lepas dari hubungan hilangnya kedua pusaka dari Mataram.

“Memang masih banyak kemungkinan yang dapat terjadi,” gumamnya kemudian sambil melipat tangannya dan meletakkan kepalanya di atas kedua belah telapak tangannya itu. Dijelujurkannya kakinya lurus-lurus di pembaringannya sambil menatap rusuk-rusuk atap yang di pangkal dan ujungnya sempat diukir meskipun tidak terlalu halus.

Namun Ki Waskita pun kemudian memejamkan matanya pula dan sejenak kemudian ia pun telah tertidur.

Dalam pada itu, ketika Ki Gede Menoreh melangkah di depan pintu bilik anak gadisnya, ia tertegun. Ia mendengar desah nafas yang asing.

Karena itu, maka perlahan-lahan ia mendekati pintu bilik itu sambil memanggil, ”Wangi, apakah kau belum tidur?”

Pandan Wangi terkejut. Kegelisahan yang mendekapnya telah dibawanya ke ujung mimpi.

“Wangi,” ia mendengar suara itu lagi.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Suara itu adalah suara ayahnya yang berdiri di muka pintu.

Perlahan-Iahan ia bangkit dan berjalan menuju ke pintu biliknya sambil membenahi pakaiannya.

“Kau gelisah sekali Wangi,” desis ayahnya ketika Pandan Wangi membuka pintu biliknya, ”apakah kau belum tidur?”

“Aku baru saja mulai tertidur Ayah. Rasa-rasanya aku telah masuk ke dalam mimpi yang gelisah.”

Ayahnya tersenyum. Katanya, ”Kegelisahan yang wajar sekali Wangi. Tetapi kau tidak akan menunggu terlalu lama. Akan segera datang saatnya, kau terlepas dari kegelisahan semacam itu.”

Pandan Wangi menarik nafas panjang. Kepalanya pun kemudian tertunduk dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

“Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak selalu dicengkam oleh kegelisahan yang dapat membuatmu resah terutama, di malam hari. Percayalah kepada Yang Maha Kuasa bahwa semuanya akan dapat berlangsung dengan baik dan selamat.”

“Ya Ayah,” jawab Pandan Wangi.

“Tidurlah.”

Ki Argapati pun kemudian meninggalkan anaknya yang gelisah. Tetapi nampak sebuah senyum di bibirnya. Seolah-olah Ki Argapati justru menganggap bahwa kegelisahan itu adalah gejala yang wajar dari seorang gadis yang mendekati hari-hari perkawinannya.

Sepeninggal ayahnya. Pandan Wangi kembali ke pembaringannya setelah ia menutup pintu biliknya. Direbahkannya tubuhnya sambil berdesah.

Tetapi ia bertekad untuk mengendapkan semua gejolak didalam hatinya dan seperti pesan ayahnya, ia tidak ingin diresahkan oleh angan-angannya.

“Tetapi Ayah tidak mengetahui perasaanku,” tiba-tiba ia berdesis di dalam hatinya.

Ki Argapati ternyata langsung pergi ke biliknya pula. Tetapi ia pun tidak segera dapat tidur. Ia masih juga membayangkan bahwa pada suatu saat anaknya yang seorang itu akan bertambah dengan seorang lagi. Tentu suami Pandan Wangi adalah sama dengan anaknya pula yang akan dapat membantunya kelak membina Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kelak, jika sampai saatnya ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi bagi Tanah Perdikan ini, ada orang lain yang akan melanjutkannya di samping anak perempuannya.

Namun tiba-tiba Ki Argapati mengerutkan keningnya. Swandaru adalah anak seorang Demang. Dan ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

“Apkah Swandaru dapat diharapkan untuk melanjutkan pembinaannya atas Tanah Perdikan Menoreh? Apakah Swandaru akan dapat melepaskan kewajibannya sebagai seorang anak laki-laki seorang Demang di Sangkal Putung yang mempunyai kewajiban tertentu pula atas daerah Kademangannya?” pertanyaan itu agaknya mulai merayapi hati Ki Gede Menoreh.

Tetapi Ki Gede Menoreh kemudian menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah, ”Ki Demang Sangkal Putung mempunyai anak yang lain, meskipun ia seorang perempuan. Tetapi apabila benar, kelak adik perempuan Swandaru itu kawin dengan Agung Sedayu, maka dapat diharapkan Agung Sedayu akan dapat membantu memimpin Kademangan Sangkal Putung, yang menurut keterangan yang aku dengar betapa suburnya, namun tidak seluas Tanah Perdikan Menoreh.”

Namun demikian terbersit juga pengakuan di dalam hatinya, ”Mungkin aku adalah orang yang mementingkan diri sendiri.”

Ki Argapati menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk melupakan masalah-masalah yang masih merupakan kemungkinan-kemungkinan bagi masa mendatang itu.

“Aku tidak boleh dihantui oleh persoalan-persoalan yang masih jauh berada di hari mendatang,” katanya di dalam hati.

Demikianlah maka akhirnya rumah Ki Gede Menoreh itu pun menjadi semakin sepi. Satu-satu mereka jatuh tertidur dengan kegelisahan yang berbeda-beda.

Menjelang fajar, maka halaman rumah itu telah mulai ramai kembali. Beberapa orang telah terbangun untuk membersihkan halaman, dan mengisi jambangan. Di dapurpun telah nampak api yang menyala di perapian. Sedang gerit sapu lidi, rasa-rasanya telah membawakan irama tersendiri.

Ki Waskita dan Rudita pun telah terbangun pula. Setelah membersihkan diri dan menunaikan kewajiban mereka dalam persekutuan mereka dengan Tuhannya, maka mereka pun segera turun ke halaman pula.

Betapa segarnya udara pagi hari di Tanah Perdikan Menoreh. Langit yang kelabu kemerah-merahan oleh sorot matahari yang masih belum naik ke cakrawala, semakin lama menjadi semakin cerah.

“Kita akan segera meneruskan perjalanan Rudita,” berkata ayahnya.

“Ya Ayah. Tetapi bukankah kita akan minta diri lebih dahulu kepada Ki Gede?”

“Tentu Rudita. Kita akan menunggu sampai Ki Gede bangun. Mungkin Ki Gede semalam tidak segera tidur, sehingga agak terlambat bangun.”

Tetapi sebelum Rudita menjawab, ternyata Ki Gede Menoreh pun telah muncul dari pintu pringgitan. Sambil tersenyum ia berkata, ”Marilah Ki Waskita, silahkan naik ke pendapa bersama Rudita.”

Keduanyapun kemudian naik ke pendapa dan duduk diatas tikar pandan putih bergaris-garis biru, yang sejenak kemudian mendapat hidangan minuman panas dan beberapa potong jadah yang telah dipanggang di atas api.

Setelah makan dan minum sekedarnya, maka Ki Waskita pun mengulanginya lagi, minta diri kepada Ki Argapati dan Pandan Wangi yang kemudian ikut duduk pula bersama mereka.

“Tetapi Ki Waskita kami harap segera kembali,” berkata Ki Argapati. Dan seperti yang diduganya, Ki Argapati kemudian berkata, ”sebenarnya aku merasa tersendiri di sini. Memang ada orang-orang tua dan para bebahu. Tetapi kadang-kadang mereka, lebih condong kepada persoalan-persoalan yang terlampau rumit bagi saat-saat perkawinan itu sendiri. Meskipun satu dua ada juga yang dapat aku percaya untuk memperbincangkan masalah-masalah yang lebih luas dalam hubungannya dengan keadaan di sekitar Tanah Perdikan ini, namun di dalam persoalan yang lebih mendalam, aku masih harus mempertimbangkan banyak hal. Terutama jika aku berbicara tentang pusaka-pusaka yang hilang dari Mataram dan ketentraman Tanah Perdikan ini. Pada saat-saat yang lain aku dapat berbincang dengan Pandan Wangi. Tetapi saat ini Pandan Wangi sudah tidak dapat diajak berbicara tentang apapun lagi kecuali tentang dirinya sendiri.”

“Ah,” wajah Pandan Wangi menjadi kemeran-merahan.

Dan sambil tersenyum Ki Argapati berkata, ”Tetapi bukankah itu wajar Ki Waskita?”

“Ya,” jawab Ki Waskita sambil tersenyum pula, “itu memang wajar sekali.”

Wajah Pandan Wangi yang tunduk menjadi semakin tunduk. Tetapi ia tidak menyahut.

“Ki Gede,” berkata Ki Waskita kemudian, ”mudah-mudahan aku akan dapat datang mendahului istriku. Biarlah Rudita mengawani ibunya di rumah dan kelak menyusul aku kemari atau aku akan menjemputnya pada waktunya.”

“Terima kasih Ki Waskita. Kehadiran Ki Waskita di sini akan dapat menambah hangatnya rumah ini. Karena menjelang hari-hari perkawinan aku tidak hanya akan berbicara tentang pengantin dan segala macam upacaranya, tetapi aku juga harus berbicara tentang keamanan di seluruh Tanah Perdikan ini. Jika kami semuanya tenggelam dalam kesibukan hari-hari perkawinan tanpa menghiraukan keadaan Tanah ini dalam keseluruhan, aku cemas, bahwa ada segolongan orang yang memanfaatkan keadaan ini untuk mendapatkan keuntungan dengan cara yang tidak sewajarnya. Terlebih-lebih lagi seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, bahwa kedua pusaka yang hilang dari Mataram itu mungkin akan dipertemukan. Apakah itu di lembah antara Gunung Merapi dan Merbabu atau di atas Tanah Perdikan ini, masih belum jelas. Namun untuk menghadapi segala kemungkinan kita akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Tetapi pusat perhatian Ki Gede memang harus tertuju kepada hari-hari perkawinan Pandan Wangi,” berkata Ki Waskita. Sekilas ia melihat Rudita sudah beringsut. Karena itu ia harus mendahuluinya agar anak itu tidak terlanjur membuat persoalan dengan Ki Argapati, ”mudah-mudahan semuanya dapat berlangsung dengan lancar. Aku berjanji, jika tidak ada aral melintang, untuk segera kembali setelah menyerahkan Rudita kepada ibunya.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sedangkan Ki Argapati menjawab, ”Terima kasih Ki Waskita. Aku sangat mengharap kehadiran Ki Waskita. Di Sangkal Putung agaknya sudah ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar yang mendampingi Ki Demang. Dan Ki Waskitalah yang aku harapkan sekali membantu aku disini.”

“Aku akan berusaha Ki Gede, meskipun agaknya aku hanya akan menambah jumlah penghuni saja di sini.”

Ki Argapati tertawa. Sekilas ia berpaling kepada Pandan Wangi yang masih menundukkan kepalanya. Lalu katanya, ”Terima kasih. Penghuni rumah ini agaknya memang harus bertambah.”

Demikianlah Ki Waskita pun segera minta diri dan meninggalkan rumah itu bersama Rudita. Ki Argapati, Pandan Wangi dan beberapa orang yang lain melepaskan mereka sampai ke regol halaman.

Rudita yang sudah ada di punggung kudanya masih juga dapat berkelakar, ”Pandan Wangi, aku sekarang tidak akan dapat mengajakmu berburu lagi.”

Pandan Wangi tersenyum.

“Tetapi aku sekarang menjadi semakin ketakutan melihat binatang-binatang buruan. Bukan saat-saat ia masih berlari-larian di hutan. Tetapi justru pada saat-saat anak panah para pemburu menusuk tubuhnya. Bukankah setelah hari perkawinanmu kau juga tidak akan berburu lagi?”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab sambil tersenyum pula, ”Ya Rudita. Aku tidak akan berburu lagi.”

“Di segala medan?”

Pandan Wangi kurang mengerti maksudnya. Tetapi ia mengangguk, ”Ya, di segala medan.”

Rudita tertawa. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam sambil minta diri kepada Ki Gede, ”Aku mohon diri Paman.”

Ki Argapati tertawa pula. Ia melihat sesuatu yang jauh berbeda pada pancaran sinar mata Rudita. Ia bukan lagi seorang penakut. Ia adalah seorang yang justru telah menemukan dasar pandangan hidup yang kokoh dan telah diperjuangkannya dengan berani.

Kedua orang ayah beranak itu pun kemudian meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Mereka menyelusuri bulak-bulak panjang di antara sawah yang hijau subur. Di kejauhan nampak pegunungan yang kebiru-biruan dicerahnya sinar matahari pagi, bagaikan dinding yang memanjang membujur ke utara.

“Ayah,” tiba-tiba saja Rudita berkata, ”sebenarnya aku ingin menahan hati. Tetapi rasa-rasanya dadaku menjadi semakin penuh. Aku tahu, bahwa jalan pikiranku tidak sesuai. Tetapi aku berharap bahwa Ayah dapat mengerti dan menganggap yang aku katakan ini tidak pernah terucapkan.”

“Ah,” Ki Waskita berdesah, ”aku tidak menganggap demikian Rudita. Yang aku katakan adalah pandangan tata kehidupan yang paling baik.”

“Tetapi Ayah selalu memisahkan aku dari orang-orang yang mungkin dapat aku ajak berbicara tentang hal itu.”

“Bukan maksudku demikian Rudita. Aku hanya ingin kau dapat menyesuaikan dirimu. Kau harus dapat memperhitungkan waktu dan tempat yang paling tepat untuk menyatakan sikapmu terhadap tata kehidupan dan peradaban masa kini.”

“Waktu yang paling tepat adalah saat-saat seseorang menyatakan sikapnya yang keliru itu Ayah.”

“Tetapi pada saat-saat demikian, biasanya mereka tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Mereka lebih banyak mendengar kata hati mereka sendiri.”

Rudita mangangguk-angguk. Namun kemudian, ”Ayah, apakah sudah seharusnya Ki Argapati menjadi demikian ketakutan menghadapi saat-saat perkawinan anaknya? Itulah gambaran seseorang yang memiliki prasangka yang tidak terkendali. Dan dimana-mana aku menjumpai orang semacam itu. Di Cangkring, di Jati Anom, di Sangkal Putung dan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan pada Ayah sendiri. Prasangka dan curiga itulah sebenarnya pangkal dari kesulitan yang mereka alami. Perasaan mereka tidak pernah menjadi sejuk dan tenang. Setiap saat mereka menganggap dirinya dimusuhi oleh sesamanya.”

Ki Waskita tidak membantah, itu adalah sikap dan pandangan hidup Rudita. Bahkan ia berkata, ”Agaknya kau benar Rudita.”

“Sebenarnya orang-orang seperti Ki Argapati, Ki Demang Sangkal Putung, apalagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar, akan dapat menjadi lantaran yang baik sekali untuk melenyapkan segala prasangka. Kata-kata mereka dipercaya dan hampir tidak pernah mendapat pengamatan apapun juga dalam penerimaan di hati orang itu. Hampir setiap kata-kata mereka dianggap benar dan harus diturut. Tetapi sayang, bahwa mereka justru telah menyebarkan perasaan saling mencurigai dan prasangka,” ia berhenti sejenak, lalu, ”dan bagaimana dengan Ayah sendiri.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

“Ayah mempunyai kelebihan dari orang lain. Sejak aku masih kanak-kanak, aku selalu melihat beberapa orang datang kepada Ayah untuk bertanya tentang masa depan mereka. Dapatkah Ayah mengatakan kepada mereka, bahwa masa depan yang paling baik adalah ketenangan dan kedamaian di hati?”

Ki Waskita mengangguk. Katanya, ”Tentu saja aku dapat Rudita. Tetapi aku tidak dapat membohongi mereka jika aku melihat isyarat tertentu. Aku tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan dari susunan peradaban manusia sekarang ini, dimana kekerasan masih terjadi di segala sudut Tanah ini.”

“Kitalah yang membuat kenyataan bagi kita sendiri,” jawab Rudita.

Ki Waskita memandang anaknya sejenak, ia melihat sorot mata yang bagaikan menyala di wajah anaknya.

“Ia sudah meyakininya,” berkata Ki Waskita didalam hatinya. ”Tetapi ia justru akan selalu kecewa dan bahkan mungkin akan terasing dari pergaulan hidup sesama. Tetapi dunia di dalam angan-angannya adalah dunia yang paling baik yang dapat digambarkan oleh manusia.”

Dengan demikian Ki Waskita justru menjadi diam. Bahkan seakan-akan ia melihat, betapa Rudita seolah-olah berjalan sendiri ke arah yang berlawanan dengan arus manusia yang tidak terbendung.

“Tetapi kebenaran yang sejati dalam sikap hidup bukannya yang paling banyak dianut,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Sekilas teringat olehnya, kata-kata yang pernah didengarnya, bahwa jalan kebaikan itu terlalu lengang karena rumpil dan sempit, sedangkan jalan kemaksiatan itu menjadi ramai dan cerah karena nampak licin dan rata. Tetapi ujung jalan itu akan menentukan apakah seseorang akan menyesal atau bersyukur atas pilihannya. Sedangkan siapa yang telah sampai di ujung jalan, tidak akan ada kesempatan untuk kembali dan berubah arah.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Yang melonjak di dalam hatinya itu bukannya pengertian yang baru kemarin didengarnya. Tetapi sudah lama, dan bukan hanya satu dua orang sajalah yang pernah mengatakan. Tetapi banyak orang. Namun meskipun seseorang mengerti maksud dari cerita itu, jarang sekali orang yang dapat memaksa dirinya untuk memilih jalan kebaikan yang sejati, karena justru kelemahan hati manusia yang mendambakan sifat lahiriah semata-mata.

Ki Waskita terkejut ketika ia mendengar seorang anak yang berteriak mengusir burung disawah. Ketika ia berpaling dan memandang bulir-bulir padi yang menguning, nampak sekelompok burung gelatik yang terbang berputaran. Namun kemudian tersentak oleh teriakan anak itu, dan terbang berarak ke arah yang lain.

Tetapi di setiap pematang dan di setiap gardu, anak-anak berlari-larian dengan goprak di tangannya dan tali-tali penarik hantu-hantuan di sawah, sehingga burung-burung yang mengawan diudara itu bagaikan hanyut dibawa oleh arus angin yang berputar melingkar-lingkar dan kadang-kadang hilang ke arah yang jauh.

Demikianlah maka keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan dengan lebih banyak berbicara dengan dirinya sendiri dari pada yang satu dengan yang lain. Hanya kadang-kadang saja Rudita menyebut sesuatu yang dilihatnya dan Ki Waskita menganggukkan kepala sambil mengiakannya. Namun kemudian keduanyapun kembali berdiam diri.

Setiap saat Rudita merasa bahwa seolah-olah jarak antara dirinya dengan ayahnya itu menjadi semakin jauh. Banyak persoalan yang tidak sesuai dalam pembicaraan.

Namun sebenarnyalah Rudita pun merasa, bahwa ia menjadi semakin jauh bukan saja dari ayahnya, tetapi juga dari orang-orang yang pernah dikenalnya dengan akrab. Seolah-olah orang-orang itu pun hanyut seorang demi seorang ke dalam arus air banjir dan tidak dapat dicegahnya lagi.

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja hatinya menjadi iba terhadap sesamanya. Ia menjadi semakin kasihan melihat tingkah laku manusia yang cenderung untuk merusak lingkungan diri sendiri dengan cara yang paling mengerikan. Jauh lebih mengerikan dari sikap dan perbuatan seekor binatang yang paling buas. Tidak seekor binatangpun yang dengan sadar dan sengaja menyakiti dan menyiksa sesamanya. Tetapi manusia telah melakukannya. Justru kadang-kadang diri mereka sendiri telah mereka siksa dengan berbagai macam keinginan yang ketamakan.

Perjalanan keduanya tidak mengalami gangguan apapun di perjalanan. Tidak ada penyamun dan perampok. Mereka menempuh perjalanan di bulak-bulak panjang yang pernah menjadi daerah jelajah perampok-perampok dan penyamun-penyamun kecil. Tetapi mereka juga melalui hutan-hutan yang masih agak lebat, yang menjadi daerah perburuan dari perampok-perampok yang menakutkan karena namanya yang telah dikenal oleh hampir setiap orang.

Meskipun demikian, Ki Waskita kadang-kadang menjadi berdebar-debar juga. Jika sekiranya mereka berdua bertemu dengan orang-orang jahat yang manapun juga, maka Rudita tentu akan bersikap lain dari kebiasaan orang lain. Bukan karena Ki Waskita tidak sanggup lagi bertempur melawan mereka, tetapi tentu Rudita akan menghalanginya dan seperti sikapnya pada saat-saat mereka bersama Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bertemu dengan orang-orang Kiai Kalasa Sawit di perjalanan dari Jati Anom ke Sangkal Putung.

“Saat itu ada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Tanpa mereka maka aku akan bertengkar sendiri dengan Rudita,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Tetapi perjalanan mereka ternyata selamat tanpa kesulitan apapun. Semakin lama mereka menjadi semakin dekat dengan rumah mereka.

Terasa titik-titik kerinduan mengembun di hati Rudita. Bagaimanapun juga ia merasa telah meninggalkan ibunya untuk waktu yang lama dengan sikap dan perbuatan yang barangkali telah membuat ibunya cemas selama ini.

Ketika mereka memasuki padukuhannya, maka Rudita menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin menghirup udara padukuhannya sebanyak-banyaknya. Udara yang serasa lebih segar dari udara di sepanjang perjalanannya, apalagi di lereng Gunung Merapi yang telah memberikan pengalaman-pengalaman baru di dalam hidupnya.

Ketika kuda-kuda mereka telah melintas di sepanjang jalan yang langsung menuju ke regol halamannya, maka rasa-rasanya Rudita ingin berpacu lebih cepat lagi, agar ia segera dapat sampai di rumahnya dan bertemu dengan ibunya yang telah menunggunya sedemikian lama.

Seperti yang diduga oleh Ki Waskita, maka kegelisahan istrinya hampir tidak tertahankan lagi. Kepergian Ki Waskita yang sudah cukup lama itu rasa-rasanya telah menghilangkan harapannya

Karena itu, ketika Ki Waskita pulang membawa anaknya, jantung Nyi Waskita serasa akan pecah oleh kegembiraan yang meledak. Anaknya yang sudah disangkanya hilang itu tiba-tiba kini kembali kepadanya.

Ketika Nyi Waskita mendengar derap kuda memasuki halaman rumahnya, dengan tergesa-gesa ia berlari-lari keluar. Seolah-olah ada firasat padanya, bahwa yang datang itu adalah anaknya yang hilang.

Ternyata firasat itu benar. Yang datang adalah Ki Waskita yang membawa Rudita.

Dengan berlari-lari ia menyongsong anaknya. Demikian Rudita meloncat turun dari kuda, maka anak laki-laki yang sudah menjadi dewasa itu dipeluknya dengan air mata yang meleleh dipipinya yang mulai dibayangi oleh garis-garis umur.

Rasa-rasanya mata Rudita pun menjadi panas. Tetapi ia justru mencoba tersenyum sambil berkata, ”Maaf Ibu. Barangkali aku telah membuat Ibu gelisah.”

“Aku hampir mati karena hatiku yang pedih Rudita,” berkata ibunya.

“Seharusnya Ibu tidak usah terlalu memikirkan aku.”

“Itu adalah pikiran anak-anak. Tetapi tidak dapat terjadi pada seorang ibu. Seorang yang telah melahirkanmu dengan mempertaruhkan nyawanya. He, kau tahu bahwa seorang ibu melahirkan dengan mempertaruhkan nyawanya? Seseorang yang,bertempur di medan perang dianggap sebagai pejuang-pejuang yang pantas mendapat kehormatan tertinggi karena ia telah berjuang dengan mempertaruhkan nyawanya. Nah, apa katamu tentang seorang ibu?”

Rudita memandang ibunya sejenak. Lalu sambil tersenyum ia berkata, ”Seorang ibu adalah seorang pahlawan yang menjadi perantara hadirnya seseorang di muka bumi Ibu. Dan Ibu adalah salah seorang dari pahlawan itu.”

“O,” Nyi Waskita memeluk anaknya semakin erat.

“Tetapi seharusnya Ibu tidak usah mencemaskan aku. Aku akan berusaha dangan sungguh-sungguh untuk pada suatu saat kembali lagi kepada Ibu.”

“Tetapi jika kau gagal?” desis ibunya.

Rudita tersenyum. Sambil memandang ayahnya ia berkata, “Ada yang kurang Ibu pahami. Yang akan berlaku tetap akan berlaku. Apapun yang kita usahakan, namun keputusan terakhir tidak ada pada kekuasaan kita. Apalagi tentang nasib seseorang, Ibu. Keselamatan kita masing-masing ada di tangan Yang Maha Kuasa. Kepadanya kita harus pasrah diri.”

“O,” perlahan-lahan anaknya itu dilepaskan. Sambil menatap wajahnya yang di mata ibunya masih tetap kekanak-kanakan ia berkala perlahan-lahan, ”Anakku. Aku tidak dapat melepaskan diri dari perasaan cemas itu. Seandainya aku dapat memahami kata-katamu tentang nasib yang tergores sepanjang keharusan akan terjadi dalam jalur hidupmu, namun aku ingin kau tetap berada didekatku. Kau adalah milikku yang paling berharga.”

Rudita masih akan menjawab. Tetapi ayahnya telah mendahuluinya, ”Nyai, biarlah kami membasuh kaki, naik ke rumah dan minum minuman hangat.”

“O,” desis Nyi Waskita, ”silahkanlah Kakang.”

Ki Waskita pun kemudian pergi ke jambangan di sudut rumahnya untuk membasuh kakinya. Kemudian Rudita pun berbuat serupa sebelum ia mengikuti ayahnya masuk ke dalam rumahnya.

Nyi Waskita nampak menjadi lebih cerah, betapapun juga ia kurang memahami jalan pikiran anaknya. Ia memang melihat kelainan pada anaknya itu, sejak ia belum meninggalkan rumahnya. Dan agaknya ia masih belum dapat mengerti, perubahan apakah yang telah terjadi di dalam diri anaknya itu.

Tetapi menghadapi ibunya, ternyata Rudita bersikap lain. Ia masih selalu menahan diri jika rasa-rasanya ada sesuatu yang sudah tergerak di hatinya. Agaknya ia masih berusaha untuk tidak memberikan kesan yang kurang baik pada pertemuannya dengan ibunya setelah beberapa lama berpisah, dan bahkan seolah-olah ibunya telah merasa kehilangan.

“Aku sudah menyiapkan beberapa orang untuk mencarimu,” berkata ibunya, ”aku menjadi semakin cemas karena justru ayahmu tidak segera kembali bersamamu.”

“Beberapa orang?” bertanya Rudita.

“Ya. Aku menyewa orang-orang yang paling disegani di padukuhan ini. Aku menyanggupi untuk memberikan upah yang sepadan jika mereka berhasil menemukan kau dalam keadaan apapun juga. Aku menyuruh mereka bersiap-siap. Jika akhir bulan ini, mendekati saat pekawinan Swandaru tiba kau masih belum diketemukan, maka mereka akan berangkat mencarimu.”

Rudita menarik nafas panjang. Tetapi sebelum ia menjawab ayahnyalah yang mendahuluinya, justru sambil tersenyum, ”Siapa sajakah yang akan kau upah untuk mencari Rudita?”

“Jliteng dan empat orang yang akan ditunjuknya.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Sejenak ia membayangkan seorang laki-laki yang kulitnya kehitam-hitaman, berkumis tebal dan berdahi sempit. Di padukuhan itu, ia memang mempunyai kelebihan dari kawan-kawannya. Tetapi Jika ada suatu saat ia bertemu dengan orang-orang yang berada di Tambak Wedi, atau sebut saja Ki Raga Tunggal, maka Jliteng akan menyesal bahwa ia telah menerima tawaran itu.

“Untunglah bahwa semuanya belum terlanjur,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya.

Sementara itu di dapur, pembantu-pembantu Nyai Waskita sibuk menyiapkan minuman dan makan bagi Ki Waskita dan Rudita.

Namun dalam pada itu, mereka pun tidak habis-habisnya memperbincangkan kehadiran anak satu-satunya Ki dan Nyai Waskita yang sudah sekian lama meninggalkan rumahnya.

Setelah minum seteguk minuman panas, Ki Waskita pun segera pergi ke biliknya untuk melepaskan baju dan ikat kepalanya. Rasanya badannya menjadi tebal oleh debu yang melekat. Karena itu maka ia pun kemudian segera pergi ke pakiwan untuk mandi.

Demikianlah suasana rumah itu pun rasa-rasanya telah menjadi hidup kembali. Nyai Waskita menjadi sibuk untuk menyediakan apa saja yang dapat menyenangkan hati anaknya, sementara anaknyapun kemudian mandi pula setelah Ki Waskita.

“Nyai,” berkata Ki Waskita kemudian kepada istrinya, “sekarang kau harus bersikap lain terhadap Rudita. Ia kini telah benar-benar menjadi dewasa. Ia tidak perlu kau layani seperti pada masa kanak-kanaknya.”

Nyai Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, ”Apa maksudmu Kakang?”

“Berlakulah seperti kau memperlakukan seorang anak muda yang sudah dewasa.”

“Aku tidak mengerti. Aku bersikap seperti biasa terhadap anakku.”

”Nyai,” suara Ki Waskita menjadi datar, ”aku tahu dan mengerti bahwa Rudita adalah satu-satunya anak kita. Karena itu aku dan terlebih-lebih kau, ibunya, sering memanjakannya. Kita seolah-olah masih saja melayani seorang anak yang baru tumbuh menjadi remaja.”

“Apa salahnya Kakang. Ia adalah satu-satunya anak kita,” jawab Nyi Waskita, ”dan bukankah sudah sewajarnya jika aku ibunya, sekali-sekali menunggui ia makan. Menyenduk nasi ke dalam mangkuknya dan menyelimutinya jika ia tidur.”

“Memang Nyai. Itu adalah wajar sekali. Tetapi Rudita sekarang tidak menghendakinya lagi. Kau harus mengerti, bahwa ada perubahan di dalam dirinya. Jika dahulu ia merajuk jika kau tidak menungguinya makan dan kadang-kadang kau masih harus menungguinya di pembaringannya sambil memijit kakinya, maka sekarang ia minta diperlakukan lain.”

“Aku sungguh-sungguh tidak mengerti.”

“Sekarang kau harus membiarkannya berbuat sesuatu dengan keinginannya. Kau memang seharusnya menungguinya makan, tetapi biarkan ia menentukan sendiri, apakah yang akan dimakannya di antara segala macam yang kau hidangkan. Biarlah ia di malam hari masuk sendiri ke dalam biliknya dan menutup pintu dari dalam.”

”Aku tidak sampai hati membiarkan ia berbuat semuanya untuk dirinya sendiri.”

“Bahkan biarlah ia menimba air dan mengisi jambangan. Mencuci pakaiannya sendiri jika itu dikehendaki. Ia benar-benar ingin menjadi dewasa, lahir dan batin.”

Nyai Waskita menjadi bingung. Ia tidak mengerti maksud suaminya. Sejak dahulu ia sering menunjukkan sifat-sifat yang aneh. Kadang-kadang Ki Waskita menghendaki Rudita berbuat jauh lebih banyak dari yang dikehendakinya. Ki Waskita sering melarangnya berbuat sesuatu untuk anaknya. Bahkan kadang-kadang menunjukkan sikap yang keras.

Dan kini, baru saja anak itu kembali, Ki Waskita sudah bersikap asing atas anaknya.

“Kakang,” berkata Nyai Waskita kemudian, ”agaknya kau masih marah kepada anakmu. Tetapi sebaiknya kau tidak bersikap terlalu keras terhadapnya. Ia tentu akan lari lagi dari rumah ini jika ia melihat wajahmu yang buram menghadapinya dan apalagi jika ia tahu, bahwa kau melarang aku berbuat sesuatu untuknya, ia akan bertambah kecewa. Bukankah kita masih harus membujuknya agar ia tidak lagi ingin pergi dari rumah ini?”

“Pendapatmu keliru Nyai. Ia menjadi jemu dengan keadaannya sendiri. Di beberapa tempat yang lain, ketika ia mulai bergaul dan melihat-lihat suasana yang lain dari rumah ini, ia mulai mengerti bahwa cara hidupnya adalah aneh. Sampai ia menginjak usia remaja, ia tidak pernah mengerti, apakah yang harus dilakukan oleh seorang laki-laki. Baru kemudian ia mengenal dirinya sendiri setelah ia melihat beberapa perbandingan. Di rumah ini ia selalu dimanjakan. Semua keinginannya tidak pernah gagal. Semua perintahnya dilakukan dengan tertib. Jika kau melarangnya berbuat sesuatu, ia tinggal mempergunakan senjata pamungkasnya, merengek,” ia berhenti sejenak, lalu, ”tetapi agaknya ia kini telah berubah. Ia adalah seorang laki-laki. Bahkan seorang laki-laki yang memiliki kelebihan sifat rohaniah dari laki-laki yang manapun juga yang pernah kita kenal.”

“Kau menghendaki terlampau banyak dari anak kita,” berkata Nyai Waskita, ”biarlah ia berbuat sesuai dengan kemampuan dan kemauannya.”

“Ia pergi karena ia tidak menemukan yang dicarinya di rumah ini. Ia ingin orang lain menganggapnya sudah dewasa dan memperlakukannya demikian. Jika kau masih tetap memperlakukannya seperti kanak-kanak, maka ia akan mencari kesempatan di tempat lain untuk mengalami masa menjelang usia dewasanya. Ia lebih senang mendapatkan tantangan rohaniah dan jasmaniah sesuai dengan perkembangan kedewasaannya. Jika kau dapat berbuat demikian, maka ia akan kerasan tinggal di rumah.”

Nyai Waskita menjadi semakin bingung. Namun ketika kemudian terdengar derit pintu dan Rudita melangkah masuk dari pakiwan setelah mandi, maka Ki Waskita pun berkata, ”Berpakaianlah. Kita akan makan lebih dahulu.”

“Baik Ayah,” jawab Rudita yang kemudian masuk ke dalam biliknya.

Kedua orang tuanya menarik nafas. Rasa-rasanya Nyai Waskita memang melihat hal yang lain pada anaknya. Tetapi kelainan itu lebih banyak dicari artinya pada unsur jasmaniahnya.

Ibu Rudita menduga, bahwa karena Rudita telah mengembara menyusuri daerah yang sulit bagi hidupnya, maka ia telah menjadi bertambah kurus dan kehitam-hitaman. Karena kesan perjalanannya yang sulit itu agaknya telah membuatnya agak pendiam.

“Nyai,” tetapi Ki Waskita berkata kemudian, ”lihatlah. Tatapan matanya menunjukkan betapa jiwanya menjadi semakin masak. Ciri kedewasaannya nampak pada sikapnya yang ingin berdiri sendiri. Ingin menentukan baik dan buruk dan memilih dengan penuh tanggung jawab. Dan agaknya dari segi rohaniah ia memang sudah menentukan pilihan sikap dan batasan-batasan tentang hidup kejiwaan seseorang. Meskipun sukar dimengerti, tetapi ia telah menemukan yang paling baik dengan penuh tanggung jawab.”

“Tetapi aku adalah seorang ibu,” berkata Nyai Waskita, “aku memandikannya sejak ia masih merah. Menyusui dan menyuapinya setiap saat. Apakah setelah ia disebut dewasa, aku telah kehilangan segala hakku atasnya?”

“Bukan begitu Nyai. Kau masih tetap ibunya. Tetapi cobalah menganggapnya sebagai suatu pribadi yang dewasa dengan segala ciri-cirinya.”

Nyai Waskita menggelengkan kepalanya, ”Aku tidak mengerti. Apakah ia lebih senang hidup dalam kesulitan, memelihara diri sendiri, mengambil air, mencuci pakaian dan sebagainya daripada hidup seperti yang pernah dialaminya dirumah ini.”

“Ternyata ia telah meninggalkan rumah ini Nyai.”

“Aku mempunyai dugaan lain. Meskipun aku yakin, tentu kau berbeda pendapat. Itulah sebabnya aku tidak pernah mengatakannya.”

“Katakanlah. Mungkin kau benar.”

“Ia menjadi sangat kecewa bahwa Pandan Wangi benar-benar akan segera kawin dengan orang lain. Dengan anak Demang dari Sangkal Putung itu. Apalagi Kakang, ayahnya sendiri, agaknya justru telah membantu pelaksanaan perkawinan itu sebaik-baiknya.”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi sulit menanggapinya. Jika ia mengatakan sesuai dengan pengertiannya tentang hal itu, maka istrinya akan berkata, ”Sejak semula aku sudah tahu, bahwa kau akan menolak pikairanku itu. Tetapi agaknya seorang ayah benar-benar tidak dapat menyelami perasaan anaknya sendiri.”

Karena itulah maka Ki Waskita sejenak termangu-mangu. Baru kemudian ia berkata, ”Aku telah mencoba menyelami tanggapan Rudita atas perkawinan itu. Bahkan ia sempat bertemu baik dengan Swandaru maupun dengan Pandan Wangi. Sama sekali tidak terkesan kekecewaan itu padanya menurut pengamatanku.”

Istrinya tidak menyahut. Tetapi dengan wajah yang buram ia pun kemudian melangkah sambil berkata, ”Aku memang terlampau bodoh untuk mengerti. Tetapi baiklah, jika aku memang harus melepaskan segala ujud kecintaanku kepada anakku, dan bahkan telah dianggap menyebabkan kepergiannya dari rumah ini.”

“Kau salah mengerti Nyai.”

“Aku tidak akan melarangnya lagi. Juga apabila ia akan meninggalkan aku”

“Tidak, ia tidak akan pergi lagi dari rumah ini.”

Nyai Waskita pun kemudian meninggalkan ruang itu masuk ke dalam biliknya Setitik air mata telah meleleh di pipinya. Dengan ujung kembennya ia mengusapnya saat ia duduk di bibir pembaringannya.

Rasa-rasanya hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti, kenapa hidup kekeluargaannya berkembang tanpa dapat dimengertinya. Satu-satunya anaknya telah menumbuhkan persoalan yang paling rumit di dalam hatinya. Malah nampaknya ia tidak akan mampu lagi mengendalikannya.

Pada hari yang pertama, ibunya memang telah melihat perbedaan sikap dan tingkah laku pada Rudita. Tetapi pembicaraannya dengan suaminya telah mempersiapkan tanggapan hatinya tanpa disadarinya.

Dengan heran ia melihat Rudita mengatur ruang tidurnya menurut seleranya setelah sekian lamanya tidak pernah dipergunakannya. Tanpa seorangpun yang menyuruhnya, ia ikut melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh para pembantu rumahnya. Bahkan sekali-sekali ia sudah bertanya tentang sawah dan tingkat pekerjaan yang sedang dikerjakan di sawah saat itu.

“Besok aku akan melihat sawah kita Ibu,” berkata Rudita, ”alangkah segarnya menghirup udara terbuka di antara hijaunya dedaunan. Sudah lama aku terpisah dari sawah dan ladang kita itu.”

Ibunya mengangguk. Namun ia masih mencoba berkata, ”Kenapa kau memerlukan pergi ke sawah? Jika kau sekedar akan melihat-lihat saja, pergilah. Tetapi kau tidak perlu berbuat apapun juga, karena sudah banyak orang yang akan mengerjakannya.”

Rudita tertawa. Katanya, ”Apakah bedanya aku dengan mereka Ibu?”

“Kau adalah anakku.”

“Jadi?”

Ibunya termangu-mangu. Tetapi yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar menarik nafas dalam-dalam.

“Biarlah aku mencoba berbuat sesuatu Ibu, sehingga rumah ini dapat memberikan gairah hidup kapadaku meskipun hanya sekedarnya.”

Ibunya tidak menyahut. Tetapi agaknya ia mulai menilai keterangan Ki Waskita. Apa yang dikatakan oleh suaminya sedikit demi sedikit mulai membayang.

“Agaknya memang ada sesuatu yang ingin dilakukan oleh anak itu,” seolah-olah mulai terdengar bisikan di dalam hati Nyai Waskita.

Karena itulah, maka Nyai Waskita mencoba menahan hatinya. Dibiarkannya anaknya melakukan apa saja yang dikehendakinya. Meskipun kadang-kadang perasaannya hampir tidak dapat dikendalikannya lagi, namun kesadarannya yang timbul setelah ia mencoba mengenal anaknya sekali lagi, telah melepaskan anaknya itu untuk berbuat lebih banyak.

Di hari-hari berikutnya. Nyai Waskita hanya dapat mengusap dadanya jika ia melihat Rudita pulang dari sawah dengan cangkul di pundaknya dan tubuh yang kotor oleh lumpur. Tetapi pada tubuh yang kotor itu ia melihat cahaya wajah Rudita yang bersih dan cerah, seolah-olah ia telah menemukan tata kehidupan yang baru.

Pada saat ia belum meninggalkan rumah itu, sebenarnya ia pun telah mulai dengan kerja seperti itu. Tetapi ibunya selalu melarangnya. Menasehatinya sepanjang sore bahkan sampai malam hari, agar ia menempuh tata kehidupan yang baik karena ia adalah anak dari keluarga yang berada.

“Tetapi tata kehidupan yang bagaimanakah yang dapat disebut baik?” pertanyaan itulah yang kadang-kadang tidak dapat disingkirkan dari hatinya.

Namun agaknya kini ibunya telah berubah sikap, seperti perubuhan yang tumbuh di dalam diri Rudita sendiri. Sehingga karena itulah agaknya Rudita mulai tersentuh oleh perasaan tenang di kampung halamannya sendiri.

Apalagi jika matahari telah turun, dan para petani sudah mandi dan melepaskan lelah di ujung padukuhan, duduk sambil berkelakar di temaramnya senja, rasa-rasanya damai yang sejati mulai membayang dalam tata kehidupan yang justru terpisah dari peradaban yang semakin maju di kota-kota.

“Mereka tidak banyak mempunyai persoalan,” berkata Rudita di dalam hatinya, ”dan agaknya perasaan mereka pun terbuka untuk mengerti, bahwa dengan saling mengasihi, maka hidup akan menjadi tenteram dan damai.”

Namun kadang-kadang Rudita masih harus bersedih hati jika pada suatu saat ia melihat dua orang tetangganya bertengkar. Mereka kadang-kadang masih diusik oleh persoalan-persoalan kecil tanpa dapat saling memaafkan. Soal ayam yang mengais-ngais tanaman tetangganya. Soal kucing yang memecahkan genting ketika sedang mengejar tikus di rumah orang lain.

Rudita kadang-kadang terpaksa merenung di dalam biliknya. Jika persoalan-persoalan kecil itu dapat menumbuhkan permusuhan dan tanpa dapat saling memaafkan, maka pantaslah bahwa dunia ini selalu diganggu oleh pertengkaran dan usaha penyelesaian persoalan dengan kekerasan.

Namun dengan demikian, maka kerinduannya terhadap hidup yang tenang dan kedamaian yang sejati justru serasa semakin membara di dadanya.

Setelah beberapa hari berada di rumah, Ki Waskita agaknya dapat melihat kegelisahan yang mulai nampak lagi pada anaknya. Karena itu, sebelum terlanjur, Ki Waskita mencoba untuk memberikan arah kepadanya, agar ia tidak dicengkam lagi oleh suatu keinginan untuk meninggalkan rumahnya.

“Dimanapun kau dapat mengutarakan sikapmu Rudita, dan kepada siapapun. Tentu saja harus dengan bijaksana, agar tidak timbul persoalan yang justru sebaliknya yang justru dapat menimbulkan kebencian.”

“Maksud Ayah, di rumah inipun aku dapat menyatakan sikap hidupku?”

“Ya. Dan kau mulailah dengan menyusun tata kehidupan di kampung halaman ini seperti yang kau bayangkan. Tata kehidupan yang tenang dan damai. Jika kau berhasil, maka dengan sendirinya, tata kehidupan yang demikian tentu akan berkembang.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, ”Aku mengerti Ayah, meskipun tekanan dari sikap Ayah itu bukan semata-mata susunan tata kehidupanya di kampung halaman ini. Tetapi semata-mata agar aku tidak meninggalkan Ibu apabila pada suatu ketika Ayah ke Tanah Perdikan Menoreh menjelang perkawinan Pandan Wangi.”

“Kau memang cerdas sekali Rudita.”

“Tetapi aku bersedia Ayah. Aku berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi dari rumah ini. Meskipun tekanan dari maksud Ayah adalah agar aku tetap di rumah, namun aku akan mencobanya juga untuk mulai dengan lingkungan kecil ini. Jika lingkungan kecil ini menolak, maka aku tidak dapat membayangkan, apa yang akan terjadi dengan Pajang, Mataram, dan Pati.”

Ki Waskita terdiam sejenak. Ternyata anaknya dapat melihat maksudnya yang sebenarnya. Meskipun demikian, ia dapat berlega hati, bahwa Rudita sudah menyanggupkan diri, bahkan berjanji untuk tidak meninggalkan rumahnya. Ia akan mencoba menyusun tata kehidupan di dalam lingkungan kecil itu untuk mewujudkan ketenangan yang diidamkan. Meskipun ia tahu, bahwa tidak ada lingkungan yang terpisah dari sekitarnya. Betapapun juga, keadaan di sekitarnya akan langsung mempengaruhi tata kehidupan, di lingkungan kecil itu.

Tetapi Rudita sudah bertekad. Apalagi di lingkungan kecil, bahkan seandainya ia harus berdiri seorang diripun, ia akan tetap berpegangan pada dasar sikapnya itu.

“Ayah,” berkata Rudita kemudian, ”jika Ayah ingin segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka sebaiknya Ayah tidak ragu-ragu meninggalkan Ibu di rumah.”

Ayahnya merenung sejenak. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, ”Kau benar-benar sudah dewasa Rudita. Aku berterima kasih kepadamu, bahwa kau telah berusaha untuk mengerti persoalan yang sama-sama kita hadapi,” ia berhenti sejenak, lalu, ”baiklah. Aku sekarang tidak ragu-ragu lagi meninggalkan rumah ini. Aku memang ingin mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah kelak, aku dan Ibu harus menyusul?”

“Jika aku sempat, aku akan menjemput ibumu. Kira-kira lima atau enam hari sebelum hari-hari perkawinan itu.”

Rudita mengangguk-angguk.

“Kita masih bersangkut paut keluarga, sehingga kurang pantas rasanya jika kita hadir langsung pada saat perkawinan itu.”

“Baiklah Ayah.”

“Biarlah aku sendiri akan mengatakannya kepada ibumu.”

Rudita mengangguk. Katanya, ”Ibu tentu perlu mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya. Tetapi agaknya ibumu memang sudah mulai memikirkan.”

“Mudah-mudahan Ibu dapat melupakan kekecewaannya,” desis Rudita kemudian.

“Kenapa ibumu kecewa?”

“Akulah yang menyebabkannya. Di saat-saat hatiku masih diliputi oleh kegelapan, maka rasa-rasanya aku memang ingin mendapatkan sesuatu dari Pandan Wangi. Ternyata Ibu menganggap bahwa hal itu adalah wajar sekali, dan bahkan Ibu sependapat apabila hal itu terjadi.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa Rudita mengetahui pula akan hal itu. Untunglah bahwa kemudian Rudita menemukan kepribadiannya yang masak, sehingga ia akan dapat menguasai dirinya sendiri.

“Baiklah Rudita. Aku akan mengatakannya kepada ibumu. Biarlah yang sudah berlalu itu kita lupakan. Mudah-mudahan ibumu tidak keras hati seperti saat-saat lampau menghadapi persoalanmu, karena kau adalah satu-satunya anak yang menurut pendapatnya perlu dimanjakannya.”

Rudita menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang masa. lampaunya yang kini terasa aneh bagi dirinya sendiri.

Dalam pada itu, maka Ki Waskita pun kemudian menemui istrinya dan menyatakan maksudnya.

“Kau akan pergi mendahului kami?” bertanya isterinya.

“Aku sudah berjanji untuk membantunya. Mungkin Ki Gede memerlukan pertimbangan-pertimbangan bagi hari-hari perkawinan anaknya itu.”

“Bukankah di Tanah Perdikan Menoreh sudah banyak orang-orang tua yang akan dapat membantunya membuat perhitungan saat dan waktu?”

”Ya. Tetapi mungkin. Ki Gede memerlukan orang lain. Dan orang lain itu adalah aku.”

Isterinya mulai berpikir.

“Sementara itu, kau dapat menyiapkan sumbangan apakah yang akan kita bawa ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau harus dapat memilih, karena aku kira Tanah Perdikan Menoreh telah penuh dengan berbagai macam bahan yang diperlukan. Justru aku kira sudah berlebih-Iebihan.”

Nyai Waskita menarik nafas. Memang masih membayang kekecewaan itu di sorot matanya. Ia masih juga membayangkan, betapa senangnya mempunyai menantu seorang gadis seperti Pandan Wangi. Seorang gadis yang mempunyai sifat dan kemampuan yang melampaui gadis-gadis kebanyakan. Ia pandai berburu, tetapi ja juga seorang pengatur rumah tangga yang baik. Sejak kecil ia sudah belajar mengatur isi rumahnya dan melayani keluarganya. Apalagi ia sudah tidak beribu lagi, sehingga semua tanggung jawab rumah tangganya seolah-olah dibebankan kepadanya seluruhnya.

Tetapi Pandan Wangi itu akan menjadi menantu orang lain. Dan kini yang dapat dilakukannya hanyalah melihat saat-saat perkawinan itu berlangsung dan membawa sumbangan bagi peralatan perkawinan itu.

Meskipun demikian, ia pun kemudian menjawab, ”Baiklah Kakang. Selama Kakang pergi menjelang hari perkawinan Angger Pandan Wangi, aku akan mempersiapkan sumbangan yang barangkali bermanfaat bagi pengantin itu.”

“Aku akan berusaha untuk menjemputmu dan Rudita sepekan sebelum perkawinan itu berlangsung.”

“Baiklah. Kami akan menunggu,” jawab Nyai Waskita, ”tetapi jika sepekan sebelum hari perkawinan itu kau tidak datang, keesokan harinya aku akan berangkat bersama Rudita dan barangkali satu dua orang pelayan.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, ”Tetapi aku akan berusaha. Justru mendekati hari-hari perkawinan kesibukan akan berpindah ke dapur. Dan aku akan mempunyai waktu terluang,” ia tertegun sejenak, lalu, ”ah, itu pun kalau aku memang diperlukan di Menoreh.”

Demikianlah Ki Waskita pun kemudian mempersiapkan dirinya. Keesokan harinya, di dini hari ia akan berangkat seorang diri ke Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, ia tidak dapat melupakan kemungkinan yang dapat terjadi sementara Tanah Perdikan Menoreh sibuk dengan persiapan perkawinan Swandaru dengan Pandan Wangi. Masih saja terbayang sepasukan yang kuat melingkari Gunung Merapi seperti seekor ular naga yang merayap di lambung bukit itu, sementara dari arah lain, sekelompok orang-orang sakti dengan mengendap-endap dan bersembunyi membawa jenis pusaka yang lain untuk dipersatukan di suatu tempat.

“Suatu tempat yang harus ditemukan,” desis Ki Waskita.

Namun ia masih mencoba untuk menggeser persoalan itu betapapun menggelisahkannya menghadapi hari perkawinan Pandan Wangi.

Ketika matahari mulai membayang di imur di keesokan harinya, Ki Waskita sudah mempersiapkan kudanya. Ia masih sempat makan pagi sebelum ia memanggil Rudita dan istrinya.

”Hati-hatilah di rumah,” berkata Ki Waskita kepada anak laki-lakinya, ”kau jangan menggelisahkan hati orang tuamu lagi.”

“Baik Ayah. Bukankah aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pergi lagi.”

“Dan selama ini Nyai dapat mempersiapkan sumbangan yang akan kita bawa bersama ke Tanah. Perdikan Menoreh seperti yang Nyai katakan,” berkata Ki Waskita kepada istrinya.

“Baiklah Kakang.”

“Sudah waktunya aku berangkat. Hari perkawinan itu menjadi semakin sibuk.”

“Apakah Ki Gede masih juga curiga terhadap adiknya, Ki Argajaya?” bertanya Nyai Waskita.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Aku tidak tahu. Tetapi agaknya Ki Gede Menoreh bukan seorang pendendam. Meskipun demikian, agaknya retak yang pernah terjadi itu tidak akan dapat pulih seperti sediakala.”

Isterinya mengangguk angguk. Ia pun mengetahui bahwa pernah terjadi persoalan yang gawat antara kakak beradik pewaris Tanah Perdikan Menoreh itu. Bahkan seakan-akan Tanah Perdikan Menoreh seolah-olah terbakar oleh api benturan yang dahsyat antara kedua kakak beradik. Kehadiran Sidanti di kampung halamannya bersama gurunya, Ki Tambak Wedi, membuat api di atas Tanah Perdikan itu menjadi bagaikan neraka.

“Tetapi agaknya Ki Argajaya telah benar-benar menyadari kekeliruannya,” berkata Ki Waskita kemudian, ”dan agaknya Ki Gede pun telah memaafkannya. Di dalam saat perkawinan Pandan Wangi, sudah tentu Ki Argajaya akan menjadi sibuk pula sebagaimana seorang Paman yang ikut menyelenggarakan hari-hari perkawinan kemenakannya.”

Ketika matahari mulai menjenguk di atas cakrawala maka Ki Waskita pun kemudian minta diri untuk mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Rudita dan Nyai Waskita melepaskannya sampai ke regol halaman. Mereka masih saja berdiri mengawasi keberangkatan Ki Waskita, sampai ia hilang di tikungan.

Dalam pada itu, kuda Ki Waskita berderap semakin cepat. Ia sama sekali tidak mencemaskan lagi anak laki-lakinya. Ia percaya bahwa Rudita akan memegang janjinya, tidak lagi meninggalkan ibunya.

Sementara itu, jalan yang menjelujur di hadapannya masih nampak basah oleh embun. Rerumputan yang hijau nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari yang jatuh pada titik-titik embun yang bertengger.

Ki Waskita menarik nafas. Udara pagi rasa-rasanya membuat tubuhnya menjadi semakin segar. Angin yang sejuk mengalir perlahan-lahan. Tetapi karena derap kudanya, maka rasa-rasanya wajahnya menjadi semakin dingin di sapu oleh angin pagi itu.

Tidak ada yang dicemaskan di perjalanan. Tanah Perdikan Menoreh rasa-rasanya tidak lagi pernah diganggu oleh kerusuhan. Namun, jika teringat oleh Ki Waskita, orang-orang yang sedang menyingkirkan pusaka-pusaka yang mereka curi dari Mataram itu, rasa-rasanya dadanya berdesir juga.

“Tetapi sementara ini tentu tidak akan timbul persoalan di atas Tanah Perdikan Menoreh,” katanya di dalam hati. Tetapi kemudian, ”Mudah-mudahan.”

Kudanya masih berpacu di bulak-bulak panjang. Ia justru merasa perjalanan itu menyenangkan, meskipun hanya seorang diri. Udara yang segar, padi yang hijau dan cahaya matahari pagi yang mulai terasa hangat di kulit.

Namun Ki Waskita itu pun kemudian mengerutkan keningnya ketika ia melihat di kejauhan debu yang mengepul, ia melihat beberapa ekor kuda yang berlari berlawanan arah, sehingga semakin lama justru menjadi semakin dekat.

“Siapakah mereka?” desis Ki Waskita.

Tetapi Ki Waskita tidak merubah kecepatan kudanya. Ia berpacu terus, seolah-olah tidak melihat sesuatu di hadapannya.

Namun demikian, semakin dekat kuda-kuda itu, rasa-rasanya menjadi semakin berdebar-debar juga.

“Tiga ekor kuda,” desisnya.

Mereka pun kemudian berpapasan di tengah bulak. Seolah-olah masing-masing tidak saling menghiraukan. Ketiga orang itu hanya berpaling sejenak, memandang wajah Ki Waskita yang kosong. Sedang Ki Waskita berpalingpun tidak. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia sempat menangkap kesan di wajah ketiga orang berkuda itu meskipun hanya sekedar dugaan, bahwa ketiganya tergesa-gesa.

“Tidak ada yang menarik,” desis Ki Waskita sambil memperlambat derap kudanya. Hampir di luar sadarnya ia pun berpaling.

Namun terasa jantungnya berdegup semakin cepat, ketika justru pada saat yang bersamaan ketiga orang itu pun berpaling pula.

“Mereka berpaling seperti aku juga berpaling,” desis Ki Waskita.

Ki Waskita mencoba menghilangkan semua kesan yang timbul di hatinya. Kecemasan yang memang sudah ada di dalam dadanya tentang orang-orang yang berada di Tambak Wedi, dan orang-orang yang mengaku dirinya tukang satang yang dengan demikian mereka harus mempertaruhkan nyawanya, membuatnya mulai mereka-reka hubungan antara orang-orang itu dengan mereka yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram.

“Ah, aku terlampau cengeng,” Ki Waskita kemudian.

Dengan demikian Ki Waskita pun mencoba menghilangkan semua dugaan tentang orang-orang berkuda itu. Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh. Tiga orang yang sedang bepergian melalui jalan ini.

Ki Waskita pun berpacu terus menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun tiba-tiba saja Ki Waskita menjadi berdebar-debar pula. Ia melihat lagi orang berkuda di hadapannya. Semakin lama menjadi semakin dekat.

“Siapa lagi mereka itu?”desisnya. Namun kemudian, ”Hanya seorang saja.”

Seperti yang baru saja dilakukannya, ia mencoba mengusir segala macam kegelisahannya mengenai orang berkuda itu. Seperti yang baru saja dilakukannya ia memaksa dirinya berkata di dalam hati, ”Adalah wajar sekali. Tidak ada yang aneh.”

Tetapi terasa debar jantungnya menjadi semakin cepat ketika ia melihat kuda di hadapannya itu menjadi semakin lambat dan kemudian berhenti.

“Ah, apalagi yang akan terjadi?” desisnya.

Seperti yang telah diduga, maka orang berkuda itu pun melambaikan tangannya, memberi isyarat kepadanya untuk berhenti.

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar