Prajurit yang agak kecil dan
bahkan semua orang terperanjat melihat orang itu. Orang itu pun ternyata
prajurit Pajang pula.
“Kenapa kau?” bertanya
prajurit yang bertubuh kecil.
“Kenapa kau berada di situ
pula” jawab prajurit yang ditanya.
Dan mereka pun terdiam. Namun
kembali mereka terkejut ketika mereka tiba-tiba mendengar suara tertawa dari
kegelapan.
Ternyata suara tertawa itu
telah memecahkan ketegangan yang semakin memuncak. Ketika anak-anak muda
Sembojan, Tlaga Kembar, dan anak-anak muda induk Kademangan Prambanan melihat,
bahwa di kedua belah pihak berdiri beberapa orang prajurit Pajang, maka mereka
pun menjadi berdebar-debar.
Dan kini seperti disentakkkan
oleh sebuah tenaga, maka semua kepala berpaling ke arah suara tertawa itu.
Namun suara tertawa itu sendiri segera terputus.
Yang terdengar kemudian adalah
suara gamelan di pendapa banjar desa. Suara gamelan dalam irama yang semakin
panas dan orang-orang tua pun menjadi semakin gila. Mereka telah melupakan
ketuaan mereka. Namun orang-orang di halaman itu, tidak saja laki-laki, tetapi
perempuan-perempuan, beranggapan bahwa orang-orang laki-laki yang jantan, harus
berani turun ke gelanggang tayub. Bahkan ada di antara istri-istri mereka
sendiri akan menjadi malu bahwa laki-lakinya, suaminya, tidak berani
menggandeng seorang ledek. Dan perempuan-perempuan yang demikian, telah ikut
membantu suaminya terjerumus ke dalam daerah yang semakin kelam. Tetapi dengan
demikian, semakin gila seorang suami, maka kesempatan bagi
perempuan-perempuanpun semakin menjadi semakin luas. Sebab suaminya semakin
sering berada di luar rumah, meskipun ada juga di antara mereka, di antara
istri-istri itu, yang hanya dapat menangis dan menekan dadanya apabila suaminya
menjadi kambuh. Tuak dan beraneka perbuatan terkutuk. Tetapi dalam keadaan yang
demikian, banyak pula perempuan yang tenggelam dalam daerah yang suram. Dan
celakalah anak-anak mereka. Sebab orang-orang tua yang demikian tidak akan
sempat memperdulikan anak-anaknya. Seperti anak-anak muda dari Sembojan dan
Tlaga Kembar saat itu. Tak seorang pun yang berada di pendapa itu menaruh
perhatian.
Suara tertawa di kegelapan itu
benar-benar telah membakar hati para prajurit yang sedang marah, dan terutama
kedua orang tamu dari Menoreh. Bahkan sejenak kemudian terdengar tamu yang
seorang lagi. Agaknya pimpinan rombongan itu berkata dalam nada yang marah,
“Mana orang itu, he?”
Anak-anak Sembojan mengerutkan
keningnya. Kini mereka tidak dapat tertawa-tawa lagi, sebab ada beberapa orang
prajurit pula yang berdiri di pihak Tlaga Kembar.
Tetapi kedua orang tamu dari
Menoreh yang lain tidak segera menjawab pertanyaan itu, bahkan mereka berkata,
“Aku mendengar seorang yang gila tertawa di kegelapan itu.”
“Ya” sahut prajurit yang
kecil.
Bahkan prajurit yang memihak
anak-anak muda Tlaga Kembar pun menyahut, “Anak setan. Siapa dia?”
Prajurit-prajurit itu, baik
yang berpihak kepada anak-anak muda Sembojan maupun Tlaga Kembar, tiba-tiba
bersama-sama melangkah mendekati arah suara tertawa itu. Di belakang mereka,
berjalan kedua tamu dari Menoreh, bahkan kawannya yang seorang lagi ikut pula
di belakangnya. Anak-anak muda Sembojan dan anak-anak muda Tlaga Kembar pun
beringsut dari tempat masing-masing. Kini anak-anak muda Tlaga Kembar tidak
perlu berusaha melarikan dirinya. Agaknya ada pula beberapa orang prajurit yang
memihak kepada mereka. Meskipun anak-anak muda Tlaga Kembar segera mengenal
prajurit itu, prajurit yang sering datang kepada mereka dan mendapat
bermacam-macam kesenangan dari anak-anak Tlaga Kembar itu. Namun selain
daripada itu, agaknya anak-anak induk kademangan pun akan menilai mereka lebih
baik dari anak-anak Sembojan. Dengan demikian setidak-tidaknya anak-anak muda
induk kademangan akan dapat membesarkan hati mereka.
Haspada dan Trapsila pun
melangkah pula ke arah suara tertawa di kegelapan. Terdengar kemudian Haspada
berdesis, “Apakah mereka anak-anak muda dari Sangkal Putung itu?”
“Mungkin” sahut salah seorang
dari keempat kawannya.
“Kasihan, anak itu tidak tahu,
apakah sebenarnya yang terjadi di halaman ini. Mereka melihat peristiwa yang
memalukan ini seolah-olah melihat lelucon yang pantas ditertawakan, meskipun
sebenarnya peristiwa ini memang mentertawakan.”
“Siapakah mereka?” bertanya
Trapsila.
“Anak-anak Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung?” ulang
Trapsila.
“Ya. Kademangan lain.” jawab
Haspada pendek.
Trapsila mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba ia menahan nafasnya ketika dilihatnya para prajurit
Pajang itu menarik tiga orang anak-anak muda dari kegelapan. Dua orang di
antaranya bertubuh sedang, sedang yang satunya bertubuh gemuk agak pendek.
“Merekalah itu” desis Haspada.
“Kasihan.” Namun Haspada tidak dapat berbuat apa-apa, seandainya ia tidak ingin
bertengkar dengan para prajurit itu.
Terdengar di antara pekik
gamelan yang menggila suara prajurit Pajang yang lantang, “Siapa kalian he?”
Prajurit itu menggenggam baju
Sutawijaya sambil mengguncang-guncangnya. Sutawijaya sama sekali tidak melawan.
Dijawabnya pertanyaan itu perlahan-lahan, “Namaku Sutajia, Tuan.”
Prajurit itu memandangi kedua
kawan Sutawijaya, yang keduanya pun berada di tangan prajurit-prajurit Pajang
yang lain.
“Siapakah kedua kawanmu itu,
dan dari manakah kalian?”
“Kami datang dari Sangkal
Putung, Tuan. Keduanya adalah adik-adik sepupu.”
Mendengar jawaban itu
prajurit-prajurit Pajang itu mengerutkan keningnya. Mereka telah mendengar apa
yang terjadi di Sangkal Putung. Dan mereka tahu siapakah yang berada di
kademangan itu, meskipun perkembangan yang terakhir belum didengarnya.
“Apakah kalian tidak
berbohong?” bertanya prajurit yang lain sambil mengguncang lengan Agung Sedayu.
“Tidak, Tuan” jawab Agung
Sedayu. “Sebenarnya kami datang dari Sangkal Putung.”
“Kalau benar kata
kawan-kawanmu,” berkata prajurit yang lain lagi, yang menangkap Swandaru,
“jawab pertanyaanku. Apakah di Sangkal Putung ada beberapa orang prajurit
Pajang?”
“Tidak hanya beberapa, Tuan,”
Sahut Swandaru, “tetapi segelar sepapan.”
Prajurit-prajurit itu
mengerutkan keningnya. Memang di Sangkal Putung terdapat tidak hanya beberapa
orang, tetapi lebih dari seperangkat prajurit, meskipun belum segelar sepapan
dalam bentuk yang besar.
“Kalau benar-benar kau dari
Sangkal Putung,” bertanya prajurit yang menangkap Sutawijaya sambil
mengguncangnya, “katakan, siapa pemimpinnya?”
“Banyak, Tuan” sahut
Sutawijaya. Namun ia menjadi berdebar-debar melihat sikap Swandaru. Anak gemuk
itu masih saja tersenyum-senyum.
“Sebutkan salah seorang
daripada mereka!” bentak prajurit itu.
Sutawijaya menahan nafas
sejenak. Namun kemudian terlontar dari bibirnya, “Sidanti. Salah seorang
daripadanya bernama Sidanti.”
Prajurit itu tanpa sesadarnya
berpaling kepada ketiga tamu dari Menoreh. Terdengar salah seorang dari para
tamu itu berkata, “Kau benar. Salah seorang dari pemimpin prajurit Pajang di Sangkal
Putung bernama Sidanti. Tetapi kenapa kalian sampai kemari, dan kenapa kalian
mentertawakan kami?”
“Yang pertama, Tuan,” jawab
Sutaijaya, “kami datang kemari hanya terdorong oleh keinginan saja. Kami ingin
melihat-lihat kademangan-kademangan lain, selain Sangkal Putung. Dan kini kami
telah melihat Kademangan Prambanan.”
“Ya. Tetapi kenapa kalian
tertawa, he?” bentak prajurit yang bertubuh raksasa. Agaknya pening kepalanya
telah berkurang.
“Kami melihat keanehan di
sini.”
“Apa yang aneh?”
Sutawijaya ragu-ragu sejenak,
tetapi kemudian ia menjawab
“Di Sangkal Putung, aku tidak
pernah melihat prajurit bertengkar sesamanya. Aku tidak pernah melihat
anak-anak muda saling berkelahi, dan beberapa orang prajurit berada di pihak
yang berlawanan.”
Jawaban itu sederhana sekali.
Tidak berbelit-belit dan tidak terlalu sukar dimengerti. Kesan yang tersirat
dari kata-kata itu adalah anak muda itu menjawab dengan jujur. Tetapi jawaban
itu seperti bara yang menyentuh hati prajurit-prajurit Pajang di Prambanan.
Karena itu, maka alangkah panasnya wajah dan telinga mereka.
Dengan serta-merta, prajurit
yang menggenggam baju Sutawijaya itu mengguncang-guncang lebih keras lagi, dan
tanpa disangka-sangka tangannya yang lain terayun ke wajah anak muda itu,
sehingga terdengar Sutawijaya mengaduh. Kemudian merengek-rengek. Katanya,
“Ampun, Tuan. Ampun. Aku berkata sebenarnya. Aku tidak berbohong, Tuan.”
Kembali Sutawijaya terdiam
ketika tangan itu sekali lagi menampar pipinya.
Agung Sedayu dan Swandaru
menjadi bingung. Apakah yang harus dilakukan. Tetapi tiba-tiba Swandaru
tersenyum di dalam hati melihat Sutawijaya itu beriba-iba sambil merintih.
Katanya “Ampun, Tuan. Ampun.”
Tetapi prajurit yang marah itu
menjadi semakin marah, geramnya, “Mulutmulah yang mentertawakan kami dan
mulutmu ini pulalah yang menghina kami.”
“Ampun, Tuan” rintih
Sutawijaya. “Aku berkata sebenarnya. Prajurit-prajurit di Sangkal Putung
bertempur melawan sisa-sisa laskar Arya Penangsang yang menjadi liar. Kalau
mereka satu sama lain berkelahi di pihak-pihak anak muda yang saling
bertentangan, maka sisa-sisa laskar Arya Penangsang itu pasti akan segera
menguasai Sangkal Putung. Di Sangkal putung, justeru para prajurit menjadi
pemisah seandainya sekali dua kali ada anak-anak muda yang berselisih. Mereka
tidak berpihak pada salah satu daripada mereka. Tetapi mereka bertindak adil.”
Kembali kata-kata Sutawijaya
terputus oleh sebuah tamparan di mulutnya. Kini prajurit itu tidak lagi
memegangi bajunya, bahkan tangannya yang lain pun menampar mulut itu pula.
Sutawijaya terhuyung-huyung beberapa langkah surut, kemudian terjatuh beberapa
langkah di muka Swandaru.
Prajurit agaknya tidak puas
melihat Sutawijaya terjatuh. Ia ingin melihat anak itu pingsan. Tetapi ketika
ia melangkah maju, ia tertegun ketika ia mendengar Haspada berkata, “Paman.
Anak itu terlampau jujur. Ia berkata seperti apa yang dipikirkannya. Ia melihat
keanehan menurut pikirannya dan hal itu dikatakannya. Ia pernah melihat sikap
prajurit Pajang di Sangkal Putung yang lain dari prajurit Pajang di sini, dan
itu dikatakannya pula tanpa maksud apa-apa.”
“Tutup mulutmu!” bentak
prajurit-prajurit itu.
“Paman harus bersikap adil”
kini Trapsila-lah yang menjawab. “Paman, jangan bertindak karena Paman mampu
berbuat demikian. Bukankah apa yang dikatakan itu sebenarnya telah terjadi?
Bentrokan di antara anak-anak muda muda di Prambanan semakin menjadi-jadi
karena Paman ini menyediakan diri untuk berpihak, sehingga anak-anak muda
semakin berani. Berani dalam arti yang sangat mengecewakan. Berani dalam
pengertian yang sangat memalukan.”
“Diam! Apakah aku juga harus
menampar mulutmu?”
“Jangan membentak-bentak”
sahut Trapsila. Anak muda itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkn tiba-tiba
dari antara anak-anak muda di halaman itu tampak beberapa orang bergerak maju.
Haspada dan keempat kawan-kawannya, kawan-kawan Trapsila yang lain dan beberapa
anak induk kademangan yang berpendirian lain dari kawan-kawa mereka yang
seakan-akan telah menjadi gila.
“Sikap itu harus diakhiri”
geram Haspada.
Keadaan menjadi tegang.
Semakin lama semakin tegang. Prajurit-prajurit itu menjadi marah bukan buatan
melihat sikap Haspada, Trapsila, dan beberapa anak-anak muda yang lain. Sedang
anak-anak Sembojan, anak-anak Tlaga Kembar berdiri ternganga-nganga. Mereka
bahkan menjadi sangat cemas melihat perkembangan keadaan. Tetapi sekali lagi
ketegangan itu dipecahkan oleh suara tertawa. Kali ini Swandarulah yang tidak
dapat menahan dirinya. Namun tiba-tiba ia terperanjat ketika terasa salah
seorang tamu dari Menoreh itu mencengkam tengkuknya.
Tamu dari Menoreh itu pun
tidak lagi dapat menahan kemarahannya. Demikian kuatnya ia menarik Swandaru,
sehingga anak yang gemuk itu hampir terpelanting jatuh. Kini tamu itulah yang
mengguncang-guncangnya sambil menggeram, “Kenapa kau tertawa, he? Kenapa?”
“Jangan terlampau keras” desis
Swandaru. “Kalau terlampau keras kau mengguncang-guncang tubuhku, maka aku akan
merasa sakit.”
Desis itu benar-benar
mengejutkan, seolah-olah menghentak dada tamu-tamu dari Menoreh itu, bahkan
semua orang yang mendengarnya. Sutawijaya dan Agung Sedayu pun menarik nafas
dalam-dalam. Swandaru ternyata tidak terlampau sabar untuk bermain-main.
Tetapi tangan tamu dari
Menoreh itu masih mencengkam tengkuk Swandaru. Bahkan semakin keras. Terdengar
ia berkata kasar, “Aku tidak hanya akan mngguncang-guncangmu. Tetapi aku mampu
mematahkan lehermu.”
“Jangan. Jangan” desis
Swandaru pula.
Kembali dada orang dari
Menoreh itu terhentak. Ternyata anak muda ini bersikap lain dari yang
terdahulu. Anak ini sama sekali tidak merintih dan tidak minta ampun. Namun
dengan demikian sikap Swandaru itu menyebabkan tamu-tamu dari Menoreh itu
menjadi semakin marah.
“He, anak Sangkal Putung”
orang itu menggeram pula. “Jangan kau sangka bahwa leluconmu itu baik bagimu
dan kawan-kawanmu.”
“Jangan terlampau kasar”
berkata Swandaru. “Sidanti tidak pernah berbuat sekasar kalian.”
Terasa dada orang-orang
Menoreh itu berdesir. Tetapi kemarahan mereka telah membakar dada sehingga
orang yang mencengkeram tengkuk Swandaru itu menjawab, “Aku akan dapat
menjelaskan kepadanya, kenapa aku mematahkan tengkukmu.”
Yang segera menyahut kata-kata
itu adalah Sutawijaya. “Ampun, Tuan. Ampunkan adik kami yang bodoh itu.”
“Tutup mulutmu!” bentak
prajurit yang berdiri di muka Sutawijaya. “Kaupun segera akan mengalami
perlakuan yang serupa.”
Tetapi sikap Swandaru ternyata
berbeda. Katanya, “Kalau kakak sepupuku minta ampun adalah sudah sepantasnya,
sebab ia berhadapan dengan prajurit Pajang. Tetapi apakah kau di sini mempunyai
wewenang sesuatu?”
Pertanyaan itu benar-benar
telah menghantam dada orang-orang Menoreh itu seperti runtuhnya gunung Merapi
yang menimpa jantungnya. Pertanyaan itu adalah penghinaan yang luar biasa bagi
mereka, sehingga tanpa sesadarnya, orang itu telah menampar pula pipi Swandaru
yang gembung sambil memekik, “Ulangi, coba ulangi lagi!”
Swandaru berdesis pendek.
Tamparan tangan itu terasa pedih menyengat pipinya. Tetapi ia tidak mengulangi
lagi kata-katanya. Orang Menoreh itu pun memekik-mekik pula. “Ayo, katakan
sekali lagi!”
Agung Sedayu pernah mengalami
perlakuan yang terlalu kasar dari Sidanti. Bahkan Sidanti itu pernah hampir
membinasakan kakaknya, sehingga kebenciannya kepada Sidanti seolah-olah
melimpah kepada orang-orang Menoreh yang belum dikenalnya itu. Demikian pula
agaknya Swandaru. Tetapi ternyata Agung Sedayu masih lebih mampu mengendalikan
perasaannya sehingga ia dapat bersikap lebih menyesuaikan dirinya dengan sikap
Sutawijaya daripada membiarkan perasaannya berbicara.
Karena Swandaru tidak mau
mengulangi kata-katanya, maka kemarahan orang dari Menoreh itu tidak meningkat
lagi. Namun demikian tangannya masih juga gemetar dan dadanya
berdentang-dentang tak menentu. Dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia
berkata, “Kata-katamu tidak akan dapat dibiarkan. Kau harus menyesal karena
mulutmu itu.”
Terdengar salah seorang
prajurit menyahut. “Ya. Anak yang gemuk itu ternyata harus mendapat peringatan
khusus.”
Hiruk-pikuk yang semakin
meningkat itu ternyata akhirnya mendapat perhatian pula dari beberapa orang
yang berada di pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi kurus datang mendekati
mereka sambil bertanya. “Apa yang kalian ributkan?”
“Ada tiga anak-anak gila di
sini” sahut tamu-tamu dari Menoreh itu.
“Hem” tiba-tiba saja salah
seorang pemimpin prajurit Pajang yang tadi duduk di pendapa telah berada di
halaman itu pula. Dengan suara yang berat ia bertanya, “Apakah yang telah
dilakukannya?”
“Anak-anak itu telah menghina
kami, menghina para prajurit dan menghina Kademangan Prambanan dalam
keseluruhan.”
“Tidak” yang terdengar adalah
suara Haspada. “Tidak, Paman. Aku ingin Paman mengadakan penelitian.”
Prajurit itu pun agaknya telah
dimabukkan oleh semangkuk tuak, sehingga otaknya sudah tidak terlampau baik.
Meskipun demikian jawaban Haspada telah memberinya pertimbangan pula. Karena
itu maka katanya, “Apakah kau melihat persoalan yang terjadi Haspada?”
“Ya, Paman, aku melihat.”
“Bawa mereka bertiga ke
pendapa.”
Para prajurit tidak menunggu
perintah itu diulangi. Ketiga anak-anak muda dari Sangkal Putung itu segera diseret
ke pendapa banjar desa, seperti tiga orang penjahat. Beberapa orang yang berada
di pendapa itu terkejut. Sejenak mereka terganggu dari kegembiraan mereka.
Tetapi mereka kemudian terpaksa membiarkan tayub itu berhenti sesaat.
Karena Sutawijaya dan kedua
kawan-kawannya kini telah dibawa ke pendapa maka hampir semua orang yang berada
di halaman itu dapat melihatnya. Ketiga anak-anak muda itu harus duduk bersila
di pendapa berhadapan dengan pemimpin prajurit yang memerintahkan membawa
mereka itu naik.
Yang wajahnya paling gelap di
antara mereka bertiga adalah Swandaru. Ia merasa malu juga didudukkan di
pendapa itu seperti seorang tertuduh yang telah berbuat kejahatan. Karena itu,
maka ia tidak ingin bermain-main lebih lama lagi. Ketika prajurit itu
memandangnya, maka Swandaru sama sekali tidak menunjukkan wajahnya. Bahkan kini
ia mengumpat-umpat di dalam hatinya. Permainan itu akhirnya sama sekali tidak
menarik baginya.
Apalagi ketika kemudian
Swandaru menyadari, bahwa mereka bertiga benar-benar seperti orang-orang yang
sedang diadili. Maka wajahnya pun menjadi merah padam. Sutawijaya yang melihat
wajah yang gembung itu menjadi merah padam, tersenyum di dalam hatinya. Wajah
Swandaru memang tampak menggelikan sekali.
Di sekeliling mereka bertiga
segera berkumpul Ki Demang Prambanan, Jagabaya yang tinggi kurus, dua orang
pimpinan prajurit Pajang di Prambanan, ketiga tamu-tamu dari Menoreh, beberapa
orang pemimpin Kademangan yang lain. Dan prajurit-prajurit Pajang tiba-tiba
melingkari mereka itu seolah-olah menjaga jangan sampai ketiga anak-anak itu
lari. Namun di dalam kerumunan orang-orang itu tampak pula Haspada dan
Trapsila.
Yang mula-mula bertanya adalah
pemimpin prajurit yang memerintahkan mereka dibawa naik ke pendapa itu. Katanya,
“Apakah benar kalian telah menghina Prambanan, para prajurit Pajang, dan
tamu-tamu dari Menoreh?”
Sebelum Sutawijaya menjawab,
maka Swandaru telah mendahuluinya. “Kami tidak sengaja berbuat demikian. Tetapi
orang-orang dari Menoreh dan para prajurit itulah yang merasa terhina.”
Prajurit itu terkejut
mendengar jawaban itu. Orang-orang yang berada di sekitar tempat itu pun
terkejut pula. Jawaban itu agaknya terlampau berani.
Tetapi Swandaru ternyata masih
belum selesai dengan jawabannya, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya
menjadi semakin terkejut pula. Beberapa orang justru terdiam ternganga-nganga
dan beberapa orang yang lain menjadi cemas. Haspada dan Trapsila pun menjadi
sangat cemas pula. Bagi mereka sebaiknya bukan anak muda yang gemuk itulah yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan prajurit itu.
Tetapi Sutawijaya pun kemudian
membiarkan Swandaru berbicara. Ia pun akhirnya menjadi jemu pula pada permainan
itu. Agung Sedayu ketika berpaling kepada Sutawijaya segera menyadari, bahwa
permainan mereka sebagian telah selesai, dan mereka membiarkan Swandaru itu
berbicara terus. Katanya, “Kami tadi hanya mengatakan bahwa kami melihat
keanehan di Prambanan. Apakah kalian tidak melihat apa yang terjadi? Tentu,
tentu kalian tidak melihat sebab kalian sedang menari tayub.”
Jawaban itu benar-benar tidak
terduga. Semua orang terpaku di tempatnya seperti patung. Dan suara Swandaru
masih terdengar terus, “Kalian memang tidak sempat melihat apa yang terjadi di
halaman, di luar pendapa ini. Kalian sudah tentu tidak melihat bahwa anak-anak
muda hampir saja berkelahi di antara mereka kalau saja tidak ada anak muda yang
bernama Haspada dan Trapsila itu. Tetapi aneh, bahwa beberapa orang prajurit
justru mendorong terjadinya perkelahian di antara mereka. Sebagian memihak
anak-anak Sembojan, yang lain memihak anak-anak Tlaga Kembar. Bukankah itu
aneh? Kami mengatakan, bahwa di Sangkal Putung para prajurit Pajang justru
menjadi penengah seandainya ada perselisihan. Tetapi di sini tidak, apalagi
perselisihan karena soal yang memalukan. Dan tamu-tamu dari Menoreh itu marah
karena kami membenarkan anggapan Kakang Haspada dan Kakang Trapsila, bahwa
persoalan yang dipertengkarkan adalah persoalan yang memalukan.”
Kata-kata Swandaru terputus.
Orang-orang yang berada di sekitarnya terkejut pula ketika mereka melihat
tangan prajurit itu terayun ke mulut Swandaru. Tetapi Swandaru yang melihat
tangan itu terayun menegangkan pipinya. Meskipun demikian ketika tangan
prajurit itu menyentuhnya, terasa juga pipinya disengat oleh rasa pedih. Tetapi
ketika salah seorang tamu dari Menoreh beringsut maju dan berkata, “Biarlah aku
yang meremas mulutnya,” maka Swandaru dengan beraninya menjawab, “Kau jangan
turut campur. Tangan prajurit itu sudah cukup sakit. Tetapi ia mempunyai
tanggung jawab di sini. Apakah tanggung jawabnya itu dipergunakan sewajarnya
atau tidak, itu merupakan persoalan tersendiri. Tetapi kau tidak mempunyai
wewenang apa-apa di sini.”
Kembali kemarahan orang
Menoreh itu memuncak. Dengan serta-merta tangannya pun terayun ke pipi
Swandaru. Tetapi Swandaru tidak membiarkan sekali lagi pipinya ditampar. Maka
dengan tangkasnya ia menarik kepalanya sedikit ke belakang, sehingga tangan
yang terayun itu meluncur di muka wajahnya.
Apa yang terjadi itu
benar-benar di luar dugaan. Para prajurit, para tamu dari Menoreh, para
pemimpin Kademangan Prambanan, Haspada, Trapsila, dan anak-anak muda yang
melihatnya, sejenak tertegun. Gerak Swandaru bukanlah gerak yang sulit. Gerakan
itu sangat sederhana. Menarik kepala ke belakang beberapa cengkang. Tetapi apa
yang dilakukan itu telah memberikan kesan yang lain daripada apa yang mereka
lihat sebelumnya. Apalagi ketika Swandaru kemudian berkata, “Jangan terlampau
kasar. Aku dapat mengatakannya kepada Sidanti. Sidanti pasti akan marah melihat
kau berbuat curang. Sidanti akan menghargai sikap jantan.”
Kemarahan tamu itu telah
memuncak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Karena itu maka terdengar ia berteriak,
“Apa maksudmu?”
Haspada dan Trapsila melihat
apa yang dilakukan oleh Swandaru. Mereka menjadi kagum akan keberaniannya.
Tetapi mereka menjadi cemas, apakah anak yang gemuk itu mampu berbuat sesuatu?
Menurut pandangan Haspada, Trapsila, dan bahkan hampir setiap anak-anak muda
Prambanan telah mendengarnya pula, bahwa tamu-tamu dari Menoreh itu adalah
orang-orang yang pilih tanding. Mereka adalah pengawal-pengawal tanah perdikan
yang tangguh. Menurut pendengaran mereka, tamu-tamu itu tidak ubahnya sebagai
seorang prajurit. Bahkan sebagai pengawal tanah perdikan, mereka mempunyai
kemampuan perseorangan yang dapat dibanggakan. Itulah sebabnya maka mereka
menjadi cemas. Tetapi mereka pun menyesal atas sikap Swandaru yang bagi mereka,
terlalu kurang berhati-hati. Apabila mereka terlibat dalam persoalan
perseorangan, maka tak akan ada pihak-pihak yang dapat mencampurinya.
Dan apa yang dicemaskannya itu
ternyata terjadi. Dengan lantang tamu dari Menoreh itu berkata, “Apakah yang
kau maksudkan dengan sikap jantan? Apakah kau menghendaki perang tanding?”
Tetapi kembali jawaban
Swandaru mengejutkan mereka, katanya. “Kalau itu yang paling baik bagimu, akan
baik juga bagiku.”
Darah tamu dari Menoreh itu
kini telah benar-benar mendidih. Karena itu dengan serta-merta ia meloncat
berdiri sambil berteriak, “Ayo, bersiaplah. Kita masing-masing berbuat secara
jantan seperti yang kau kehendaki.”
Sebelum Swandaru menjawab,
terdengar suara Haspada, “Tidak pada tempatnya. Anak muda dari Sangkal Putung
itu tidak tahu apa yang sedang dihadapinya.”
“Bohong!” teriak orang itu.
“Ia sadar akan kata-katanya. Tetapi seandainya tidak, siapakah yang akan
mewakili?” Rupa-rupanya tamu itu telah tidak lagi dapat mengendalikan
perasaannya.
Trapsila itu bergeser setapak.
Tetapi Swandaru telah lebih dahulu berdiri. Tidak meloncat dan bersikap garang.
Dengan tangannya ia bertelekan lutut, kemudian tubuhnya yang gemuk itupun
ditegakkannya.
“Jangan diteruskan” cegah
Trapsila. Apalagi ketika ia melihat Swandaru itu berdiri. Dan di sisinya
Haspada menyahut. “Apakah permainan yang demikian dapat dilakukan di hadapan
kita sekarang ini? Apakah tak ada seorang pun yang akan mencegahnya? Seandainya
terjadi sesuatu atas anak muda dari Sangkal Putung ini, maka Prambanan yang
sepanjang sejarahnya tidak pernah mempunyai persoalan apapun, apalagi yang
bersifat kurang baik dengan kademangan itu, kini telah membuka lembaran yang
hitam di antara kita.”
Tetapi kali ini yang menyahut
adalah Swandaru. “Terima kasih atas perhatian kalian. Namun biarlah aku mencoba
melayaninya. Seandainya aku terpaksa babak belur dan berwajah biru bengap,
biarlah menjadi pelajaran bagiku. Tetapi dengan demikian, apabila Sidanti
mendengarnya, ia tidak akan marah lagi. Sebab kami berhadapan dalam kesempatan
yang serupa.”
“Jangan banyak bicara!” bentak
tamu itu.
Perlahan-lahan Swandaru
melangkah ke tengah-tengah pendapa. “Di sini cukup luas” katanya. Sikapnya
benar-benar membakar hati tamu dari Menoreh itu. Tetapi mau tidak mau tamu itu
pun melangkah pula ke tengah-tengah pendapa.
Namun kepalanya hampir meledak
ketika ia mendengar Swandaru berpaling kepada para penabuh yang masih duduk di
belakang gamelannya. “Aku minta gending yang tidak kalah hangatnya dengan
gending tayub.”
“Gila” desis Sutawijaya. Agung
Sedayu pun menjadi sangat cemas. Mereka belum tahu, sampai di mana tingkat
kemampuan para tamu itu, sehingga apabila Swandaru terlalu banyak bergurau,
maka kemungkinan wajahnya biru bengap dan bengkak-bengkak akan menjadi lebih
besar.
Tetapi yang terdengar kemudian
sama sekali bukan gending yang hangat, sehangat gending tayub, namun lawannya
itulah yang berteriak lantang. “Kau benar-benar tidak tahu diri. Kau
benar-benar anak yang terlampau dungu. Coba perhatikan, dengan siapa kau
berhadapan. Aku adalah salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apakah
kau masih akan menghina lagi?”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Dipandanginya wajah pengawal itu dengan tajamnya. Namun kemudian ia
menjawab, “Aku adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Jawaban itu benar-benar
seperti api yang menyentuh minyak. Pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu kini
sudah tidak mampu lagi menahan kemarahannya, sehingga dengan serta-merta ia
meloncat maju sambil berteriak, “Mulutmulah yang harus disobek lebih dahulu.”
Swandaru melihat gerak itu.
Cukup cepat. Ia melihat tangan orang itu terjulur ke wajahnya. Karena itu, maka
secepatnya pula ia mencoba mengelak.
Serangan itu ternyata
menyentuh pun tidak. Tetapi Swandaru pun menyadari, bahwa serangan itu sama
sekali bukanlah serangan yang sebenarnya. Serangan itu datang dengan
serta-merta tanpa perhitungan karena kemarahan yang tak terkendali. Namun
kemenangan pertama yang telah dimiliki oleh Swandaru. Ia dapat membuat lawannya
menjadi sedemikian marahnya, sehingga hampir kehilangan ketenangannya. Dan ia
harus memanfaatkan kemenangan itu sebaik-baiknya. Ia harus memelihara kemarahan
lawannya, supaya ia mendapat kesempatan lebih baik daripadanya.
Ketika serangan itu gagal,
maka terdengar ia menggeram. Ia merasa aneh, bahwa anak yang gemuk itu mampu
menghindari serangannya, yang meskipun bukan serangan yang didasari dengan
segenap kemampuannya, namun serangan itu cukup cepat bagi seorang yang bertubuh
gemuk dan bertelekkan kedua lututnya apabila ia akan berdiri dari duduknya.
Bukan saja lawan Swandaru yang
terkejut melihat cara Swandaru menghindarkan diri. Ternyata beberapa orang yang
duduk di sekitar pendapa mulai tertarik melihat perkelahian yang telah dimulai
itu. Haspada dan Trapsila kini terpaksa menimbang-nimbang. Apakah benar-benar
anak yang gemuk itu adalah anak yang terlampau dungu?
Yang terjadi seterusnya
benar-benar telah mencengangkan, bukan saja anak-anak muda Sembojan, anak-anak
muda Tlaga Kembar, anak-anak induk kademangan dan anak-anak padukuhan yang
lain. Bukan saja Haspada, Trapsila dan para pemimpin Kademangan Prambanan,
tetapi para prajurit, para tamu dan setiap orang yang melihat menjadi heran.
Ternyata Swandaru sama sekali bukan anak yang terlampau dungu. Bahkan
sifat-sifat Swandaru segera tampak pula di dalam perkelahian itu. Sifat yang
aneh-aneh. Apalagi Swandaru sengaja membangkitkan kemarahan lawannya. Sehingga
tata geraknya pun menjadi sangat menjengkelkan bagi lawannya.
Lawannya yang menjadi semakin
marah dan marah, akhirnya tidak lagi mempunyai pertimbangan apa pun. Kini ia
telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya untuk menghajar lawannya
yang gemuk itu. Serangannya segera meningkat menjadi semakin garang, segarang
angin pusaran.
Swandaru melihat tata gerak
lawannya yang meningkat. Kini ia tidak lagi dapat berkelahi sambil
bermain-main. Ia pun harus segera bersiap menghadapi setiap kemungkinan yang
bakal ditemuinya dalam perkelahian itu.
Dan apa yang terjadi kemudian
seolah-olah telah membangunkan semua orang yang berada di pendapa dan halaman
banjar desa itu dari sebuah mimpi. Yang mereka lihat sama sekali bukanlah tamu
dari Bukit Menoreh itu menghajar Swandaru, tetapi ternyata perkelahian itu
adalah suatu perkelahian yang sengit. Betapa orang mengagumi pengawal Tanah
Perdikan Menoreh, namun lawannya kali ini adalah murid Ki Tanu Metir. Dengan
demikian, maka tidaklah banyak yang dapat dilakukan oleh pengawal itu. Bahkan
semakin lama, menjadi semakin jelas, bahwa Swandaru mampu berkelahi lebih baik
dari lawannya.
Haspada dan Trapsila sejenak
saling berpandangan. Mulut mereka bahkan seakan-akan terbungkam. Kini
disadarinya, bahwa anak-anak Sangkal Putung telah berusaha mengatakan apa yang
terjadi di Prambanan itu sebagai suatu kepincangan.
Kedua anak itu merasa, betapa
dadanya menjadi berdebar-debar. Dahulu, pada masa kakek-kakek mereka memegang
pimpinan di kademangan ini, maka Prambanan termasuk kademangan yang tangguh,
yang gigih melawan kejahatan. Tetapi tiba-tiba kini Prambanan hampir-hampir
ditelan oleh malapetaka karena tingkah laku anak-anak mudanya sendiri.
Di tengah-tengah pendapa itu
Swandaru masih bekelahi dengan serunya. Tetapi tubuhnya hampir tidak dilumasi
oleh keringat, karena ternyata ia tidak perlu bekerja terlampau keras. Meskipun
demikian, meskipun Swandaru itu termasuk anak yang lebih senang menurut
pertimbangan sendiri, namun kali ini ia tidak mau menyakiti hati para tamu itu.
Ia tidak berjuang sekuat-kuat tenaganya untuk segara menjatuhkan lawannya.
Tetapi ia membiarkan lawannya menjadi lelah sendiri.
Haspada dan Trapsila yang
tidak dapat lagi menahan perasaannya tiba-tiba beringsut mendekati Sutawijaya.
Orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak memperhatikannya. Perhatian mereka
terpaku pada perkelahian itu, apalagi para tamu dan para prajurit Pajang yang
tercengang-cengang.
“Ki Sanak” Haspada manggamit
Sutawijaya. “Ki Sanak sengaja mengelabui kami.”
Sutawijaya berpaling.
Pernyataan itu agak membingungkannya. Tetapi ia menjawab juga, “Bukan maksud
kami Ki Sanak. Kami sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa kami akan
menjumpai peristiwa serupa ini. Kami sudah menjaga agar kami tidak terlibat
dalam persoalan yang sama sekali tidak kami kehendaki.”
“Tetapi Ki Sanak sengaja
mentertawakan prajurit yang memihak anak-anak muda yang saling bertentangan
itu. Bukankah dengan demikian kalian telah sengaja ikut campur dalam persoalan
itu.”
“Ki Sanak benar” sahut
Sutawijaya. “Namun yang ingin kami campuri bukan persolan anak-anak muda
Prambanan, tetapi adalah persoalan para prajurit Pajang itu.”
“He?” Haspada dan Trapsila
mengerutkan kening mereka. Terdengar Trapsila bertanya, “Apakah kepentingan
kalian dengan para prajurit itu?”
Sutawijaya tergagap. Ia
ternyata agak terlampau jauh menjawab pertanyaan anak-anak muda Prambanan itu.
Karena itu maka dengan terbata-bata ia menjawab, “Maksud kami, kami sama sekali
tidak sependapat melihat sikap para prajurit itu.”
Kedua anak muda Prambanan itu
terdiam. Namun mereka terkejut ketika melihat Agung Sedayu beringsut maju.
Sutawijaya pun terkejut pula, tetapi ia menyadari keadaan sehingga dibiarkannya
Agung Sedayu bertindak apabila dainggapnya perlu.
Dalam pada itu tamu yang
seorang telah bergerak-gerak pula. Ternyata dadanya serasa menyimpan bara
ketika ia melihat kawannya tidak segera dapat memenangkan perkelahian itu.
Bahkan semakin lama agaknya menjadi semakin sulit. Karena itu, maka tanpa
disengajanya ia beringsut pula maju.
“Apakah adikmu yang seorang
itu juga mampu membela dirinya seperti adikmu yang gemuk itu?” bertanya
Trapsila.
“Mudah-mudahan” sahut
Sutawijaya. “Ia pun pernah berlatih sehari dua hari” jawab Sutawijaya.
“Siapakah sebenarnya kalian”
bertanya Haspada tiba-tiba.
Sutawijaya terdiam sesaat.
Dipandanginya wajah Haspada, namun kemudian ia menjawab, “Seperti yang
dikatakan adikku yang gemuk itu. Kami adalah pengawal-pengawal Kademangan
Sangkal Putung.”
“Kami bangga melihat
pengawal-pengawal kademangan seperti kalian” sahut Haspada. “Meskipun demikian
timbul pula kecurigaan kami. Ternyata kalian suka merendahkan diri, bahkan
terlampau berlebih-lebihan.”
“Sangkal Putung kini ada dalam
bahaya” sahut Sutawijaya. “Kami setiap kali harus bertempur melawan sisa-sisa
laskar Arya Penangsang bersama para prajurit Pajang di sana. Mereka pulalah
yang telah mendidik kami dan melatih kami dalam olah kanuragan.”
Haspada dan Trapsila terdiam.
Jawaban itu dapat diterima oleh akalnya. Kini perhatian mereka tertarik pada
tamu yang seorang lagi. Agaknya ia sudah tidak dapat menahan dirinya. Bahkan
kemudian dengan serta merta ia berdiri sambil berkata, “Serahkan kelinci gemuk
itu kepadaku.”
Tetapi ternyata kawannya pun
tidak mau melihat kenyataan. Harga dirinya pasti akan tersinggung seandainya ia
tidak dapat memenangkan perkelahian itu. Apalagi ia menyadari, bahwa anak-anak
muda Prambanan, terutama anak-anak Sembojan menganggap mereka itu orang-orang
yang luar biasa, melampaui ketangkasan dan ketangguhan prajurit-prajurit dari
Pajang. Namun ternyata setelah ia memeras tenaganya, ia masih belum mampu
mengalahkan lawannya yang gemuk hampir bulat itu.
Meskipun demikian kawannya
yang seorang itu benar-benar tidak dapat bersabar lagi. Sekali lagi ia
berteriak, “Tinggalkan lawanmu, biarlah aku patahkan lehernya itu.”
“Jangan ganggu aku” sahut
kawannya yang sedang berkelahi itu dengan nafas tersengal-sengal.
Kawannya itu pun terdiam
sejenak. Namun nafasnya tidak kalah derasnya dengan nafas kawannya yang sedang
berkelahi itu. Terengah-engah. Bahkan kadang-kadang terputus-putus.
Akhirnya, tamu yang satu itu
pun tidak dapat mengendalikan dirinya ketika ia melihat kawannya yang berkelahi
itu terdorong beberapa langkah surut, bahkan hampir terjatuh ke lantai.
Terhuyung-huyung kawannya itu mencoba menguasai keseimbangannya, yang dengan
susah payah berhasil. Tetapi hampir setiap orang, betapapun tipisnya ilmunya,
dapat melihat, bahwa anak Sangkal Putung yang gemuk itu sengaja membiarkan
lawannya berhasil menguasai diri. Ia tidak melakukan serangan selama kawannya
itu tertatih-tatih. Bahkan seperti seorang yang berdiri menonton
keheran-heranan.
“Minggir!” teriak tamu yang
seorang itu, “biarlah aku selesaikan urusan ini.”
“Aku masih sanggup” sahut
temannya.
Tiba-tiba Swandaru berkata,
“Jangan berebut. Silahkan keduanya bersama-sama.”
Darah tamu-tamu dari Menoreh
itu mendidih. Sorot matanya menjadi merah menyala.
“Apakah kau sudah gila?”
terdengar suaranya gemetar.
Tetapi Swandaru masih saja
tersenyum. “Aku hanya ingin kalian tidak berkelahi sendiri karena berebut
dahulu” jawab anak yang gemuk itu.
Dada lawannya serasa
hampir-hampir pecah. Sikap Swandaru telah membakar segenap perasaannya. Bahkan
keduanya hampir-hampir lupa diri dan bersama-sama menyerang Swandaru yang telah
menghina mereka.
Agung Sedayu menarik nafas.
Betapapun kuatnya Swandaru, tetapi untuk melawan mereka berdua, agaknya akan
terlampau berat. Seandainya terjadi demikian, maka Swandaru pasti akan
mengerahkan segenap tenaganya dan adalah mungkin bahwa ia akan lupa diri dan
melepaskan serangan-serangan yang langsung membahayakan jiwa lawannya. Karena
itu, maka tiba-tiba ia pun berdri. Perlahan-lahan ia melangkah maju sambil
berkata, “Aku akan mencoba membantu adikku membuat keseimbangan. Apakah kita
akan bermain-main berpasangan ataukah kita akan berhadapan seorang lawan
seorang?”
Kembali pendapa itu dicengkam
oleh ketegangan. Mereka melihat anak Sangkal Putung yang seorang itu pun
bersedia melayani tamu-tamu mereka dari Menoreh. Sikap dan kata-kata anak muda
ini agak berbeda dengan sikap dan kata-kata anak muda yang gemuk, yang agaknya
senang berkelakar. Anak muda yang kedua ini agaknya lebih pendiam dan banyak di
antara mereka segera menyadari, bahwa anak muda pendiam itu agaknya lebih
matang dari anak yang gemuk bulat itu.
Kedua tamu dari Menoreh itu
pun melihat pula sikap itu. Kini mereka tidak melihat seorang anak muda yang
dungu dan bodoh. Tetapi langkah dan kata-kata Agung Sedayu benar-benar telah
mempengaruhi hati mereka. Karena itu sejenak mereka saling berpandangan. Dan
tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Hem, apakah keinginanmu berdua?
Apakah kalian akan memperlihatkan kepandaian kalian seorang-seorang ataukah
kalian ingin menunjukan kerapihan kalian dalam pertempuran berpasangan?”
“Kamilah yang bertanya” sahut
Swandaru.
Kedua orang itu saling
berpandangan sejenak. Mereka tidak segera menjawab. Namun segera mereka
menyadari, bahwa setidak-tidaknya orang yang satu ini pun tidak akan kalah dari
anak muda yang gemuk itu.
Tiba-tiba mereka terkejut
ketika mereka mendengar seseorang berkata, “Aku ingin melihat kalian berkelahi
berpasangan.”
Semua orang berpaling ke arah
suara itu. Mereka mengerutkan kening mereka, ketika mereka melihat tamu yang
seorang lagi duduk bersila sambil membelai kumisnya yang tidak begitu lebat.
Dengan tersenyum ia mengulangi kata-katanya, “Berkelahilah berpasangan.”
Agaknya orang itu mempunyai
pengaruh yang kuat atas kedua kawannya. Ia adalah pemimpin rombongan kecil yang
datang dari seberang Hutan Mentaok itu.
Kembali kedua kawan-kawannya
saling berpandangan. Namun tiba-tiba salah seorang dari mereka berkata, “Baik.
Kita bertempur berpasangan.”
Agung Sedayu tidak menyukai
istilah yang dipakai oleh kedua tamu itu, tetapi ia tidak dapat menyahut.
Perlahan-lahan ia berjalan mendekati Swandaru. Kemudian katanya, “Kita bermain
berpasangan.”
Swandaru tersenyum.
Dipandanginya kedua lawannya yang kini telah berada di hadapan mereka. Bahkan
mereka telah bersiap pula untuk menghadapi kedua saudara seperguruan itu.
Agung Sedayu dan Swandaru sudah
tidak berminat lagi untuk menanyakan sesuatu. Karena itu, maka mereka pun
berdiam diri sambil menunggu.
“Apakah kalian tidak akan
menyesal,” bertanya salah seorang dari mereka, “mungkin wajah kalian akan tidak
dapat dikenal besok karena bengkak-bengkak dan babak belur. Beruntunglah kalian
seandainya tidak ada bagian dari tubuh kalian yang patah.”
Agung Sedayu menjawab dengan
segan, “Mudah-mudahan aku selamat.”
Kedua lawannya mengerutkan
keningnya. Jawaban itu terlampau pendek. Namun disadarinya, bahwa mereka akan
berkelahi, tidak harus berbicara berkepanjangan. Karena itu, maka berkata salah
seorang dari mereka, “Bersiaplah, kita akan mulai.”
“Marilah” sahut Swandaru
pendek.
Keduanya pun kini tidak lagi
berbicara. Segera mereka bersiap seperti dua pasang penari yang bersiap untuk
mulai dengan pertunjukannya.
Namun kini Agung Sedayu dan
Swandaru terkejut pula seperti orang-orang lain yang berada di pendapa dan di
halaman banjar desa itu. Bahkan Sutawijaya pun terkejut pula, sehingga
ditengadahkannya wajahnya memandangi tamu dari Menoreh yang seorang lagi, yang kini
masih duduk bersila sambil membelai kumisnya. Dengan tenangnya orang itu
berkata, “He, apakah para penabuh gamelan tidak dapat mengiringi pertunjukan
ini dengan gending yang serasi?”
Keempat orang yang telah
bersiap untuk berkelahi itu pun justeru tertegun, sementara Sutawijaya berbisik
di dalam hatinya, “Orang ini agak berbeda dari kedua teman-temannya.”
Sikap tamu yang seorang ini
memang jauh berbeda dengan dengan kedua kawan-kawannya. Sikapnya tenang dan
meyakinkan. Orang itu tidak mudah menjadi gelisah dan gugup. Bahkan sambil
tersenyum-senyum ia melihat keadaan seperti benar-benar sedang melihat tayub.
Ketika kedua kawannya masih
termangu-mangu di tengah-tengah pendapa itu, kembali ia berkata, “He, kenapa
kalian berdiri saja di situ seperti patung. Lekas, kalau kalian mau berkelahi,
berkelahilah, kalau kalian mau menari, menarilah. Lihatlah halaman di
sekeliling pendapa dan di pendapa ini. Para penonton telah menunggu-nunggu apa
yang akan terjadi. Biarlah mereka tidak terlalu lama kecewa. Kalau salah satu
pihak akan babak belur, biarlah itu segera terjadi. Wajah-wajah yang biru
bengap dan bengkak-bengkak pasti akan menarik sekali. Ayo, para penabuh, apakah
kalian tidak sanggup mengiringi tarian maut ini dengan gending-gending yang
gila. Ayo.”
Kedua orang tamu dari Menoreh
itu pun tergagap. Mereka menyadari keadaannya. Karena itu kembali mereka
bersiap menghadapi kedua anak-anak muda Sangkal Putung. Tetapi para penabuh
gamelan masih saja duduk membeku. mereka sama sekali tidak bergerak untuk mengikuti
perkelahian itu dengan iringan gending apapun.
Tetapi kedua pasang lawan itu
pun tidak menunggu. Para tamu dari Menoreh segera mulai dengan
serangan-serangannya. Dan kedua saudara seperguruan itu pun segera mulai
melayaninya.
Perkelahian itu kini meningkat
menjadi semakin seru. Kedua tamu dari Menoreh yang sedikit banyak telah melihat
ketangkasan Swandaru tidak mau bermain-main lagi. Mereka tidak dapat lagi
mempunyai anggapan yang lain daripada, bahwa kedua anak-anak muda itu
sebenarnya terlampau kuat bagi mereka.
Sejak perkelahian itu mulai,
maka mereka yang cukup mengerti akan segera dapat melihat bahwa kedua pasangan
itu sama sekali tidak berimbang. Agung Sedayu dan Swandaru memang terlampau
kuat untuk kedua lawannya. Meskipun demikian, mereka masih mencoba menyesuaikan
diri mereka. Kemenangan mereka tidak terlalu menonjol, meskipun bagi orang yang
dapat mengertinya cukup meyakinkan.
Tamu yang seorang, yang sampai
saat itu masih duduk di pinggir pendapa di antara para pemimpin Kademangan
Prambanan dan para prajurit, melihat perkelahian itu dengan wajah yang
kerut-merut. Betapa hatinya sebenarnya menjadi bergolak dan bergelora.
Sebenarnya hatinya sama sekali tidaklah setenang wajahnya. Ia yakin bahwa kedua
kawan-kawannya sama sekali tidak akan dapat mengimbangi kedua anak-anak muda
Sangkal Putung, tetapi disimpannya perasaan itu di dalam dadanya. Yang tampak
di wajahnya adalah sebuah senyuman dan bahkan kadang-kadang terdengar ia
tertawa kecil.
“Hem, alangkah tangkasnya
anak-anak muda Sangkal Putung itu” desisnya.
Para pemimpin Prambanan dan
para prajurit berpaling ke arahnya. Dan ia berkata terus, “Kawan-kawanku itu
sama sekali tidak akan mampu mengimbangi mereka. Kalau benar mereka pengawal
Sangkal Putung, alangkah kuatnya kademangan itu. Tetapi dengan demikian aku pun
menjadi ikut berbangga. Bukankah salah seorang prajurit Pajang di Sangkal
Putung itu kemanakanku, Sidanti. Pastilah anak itulah yang telah melatihnya
menjadi pengawal yang baik.”
Yang mendengarkan kata-katanya
itu pun mengangguk-anggukkan kepalanya tanpa mereka kehendaki. Sedang mata
mereka kini kembali melihat perkelahian itu. Semakin lama semakin seru. Kedua
orang dari Menoreh itu telah memeras segenap kemampuan yang ada pada mereka,
dan Agung Sedayu beserta Swandaru pun berusaha melayani sebaik-baiknya.
Tetapi di mata tamu yang
seorang itu, perkelahian itu sama sekali tidak menarik hatinya. Sebab ia tahu
kedua anak-anak muda dari Sangkal Putung itu pun tidak berkelahi sepenuh
kekuatannya. Para prajurit pun menyadari keadaan itu. Mereka pun mengerti apa
yang terjadi di pendapa, sehingga mereka pun menjadi terheran-heran. Anak-anak
muda Sangkal Putung ternyata adalah anak-anak muda yang tangguh melampaui
dugaan mereka.
Tiba-tiba tamu yang seorang
itu pun berteriak, “Menjemukan! Menjemukan! Permainan ini sama sekali tidak
menarik.”
Tetapi perkelahian itu masih
saja berlangsung. Mereka berempat seakan-akan tidak mendengar teriakan itu.
Sehingga orang itu mengulangi sekali lagi, “Berhenti! Berhenti! Perkelahian
kalian menjemukan.”
Tiba-tiba perkelahian itu pun
mengendor. Akhirnya mereka berloncatan mundur, sehingga perkelahian itu
berhenti.
“Kenapa?” Teriak salah seorang
tamu itu. “Kami belum menyelesaikan pekerjaan kami. Kami segera akan membuat
kedua anak-anak ini menjadi biru bengkak.”
Kawannya yang masih saja duduk
itu tertawa. Katanya, “Jangan membual. Apakah kau sangka bahwa kami tidak tahu
yang sebenarnya terjadi? Kalian berdua tidak akan dapat memenangkan itu. Kalau
ada di antara kalian yang biru bengap, maka yang biru bengap adalah kalian
berdua itu sendiri. Bukan anak-anak muda Sangkal Putung itu. Mereka masih belum
menggunakan segenap kekuatan mereka, sedang kalian telah hampir mati kelelahan.
Dengan demikian kami belum dapat menjajaki sampai di mana puncak kemampuan mereka.”
Kedua kawannya itu tidak
menjawab. Mereka tidak akan dapat mengingkari, bahwa sebenarnyalah demikian.
“Aku bangga melihat
keterampilan anak-anak Sangkal Putung itu” desis orang yang masih duduk itu.
Namun nadanya agak berbeda dengan nada kawannya yang terdahulu. Wajahnya pun
kini tidak lagi secerah semula. Bagaimanapun ia menyembunyikan perasaannya,
namun akhirnya tampak pula, betapa ia merendam kemarahan di dalam dadanya.
Orang itu pun tiba-tiba
berdiri. Sekali ia mengangguk kepada Ki Demang Prambanan, kemudian kepada kedua
pemimpin prajurit Pajang di Sangkal Putung.
Agung Sedayu dan Swandaru
masih berdiri di tengah-tengah pendapa itu. Tetapi kini dada mereka pun
berdebaran. Mereka melihat perbedaan yang seorang ini dengan kedua
kawan-kawannya yang lain.
Tamu yang seorang itu pun
segera melangkah mendekaiti Agung Sedayu dan Swandaru. Betapa hatinya
bergelora, dan betapa api menyala membakar jantungnya, namun wajahnya masih
juga tersenyum dan dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata, “Aku mengagumi
kalian. Bukankah kalian bukan saja pengawal Kademangan Sangkal Putung yang
mendapat tuntunan dari para prajurit Pajang, tetapi kalian ini juga saudara
seperguruan?”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengerutkan keningnya. Orang itu mampu menebak dengan tepat. Namun kedua
anak-anak muda itu pun tahu pula, bahwa orang itu pasti telah membaca
unsur-unsur gerak yang dipergunakan, meskipun Agung Sedayu memiliki unsur-unsur
gerak jauh lebih kaya dari Swandaru, namun dalam pokok-pokoknya keduanya pasti
mempunyai banyak persamaan.
“Apakah aku salah?” bertanya
tamu itu.
Agung Sedayu menggeleng sambil
menjawab, “Tidak. Tuan benar.”
Orang itu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya pula, “Kalian masih cukup muda. Sedang ilmu kalian telah
melampaui kedua kawan-kawanku itu. Bahkan aku tidak berhasil mengetahui betapa
tinggi puncak ilmu kalian dalam perkelahian kalian dengan kedua kawan-kawanku.
Kelak apabila kalian menjadi semakin sempurna dalam olah kanuragan jaya
kawijayan, maka kalian berdua akan menjadi seperti sepasang elang dari satu
sarang.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Namun debar jantung mereka tidak mereda. Orang ini pasti
menyimpan ilmu yang jauh berbeda dengan kedua kawan-kawannya itu.
“Nah,” katanya, “apakah
kakakmu yang seorang itu juga seperguruan pula?”
Agung Sedayu dan Swandaru
bersama-sama menggelengkan kepalanya. Tetapi hanya Agung Sedayulah yang
menjawab, “Tidak.”
Orang itu berpaling ke arah
Sutawijaya. Agung Sedayu dan Swandaru pun memandanginya. Namun Sutawijaya masih
saja duduk di tempatnya meskipun sekali-sekali tampak ia mengangkat kepalanya
dan mencoba memperhatikan setiap pembicaraan.
Ia tidak pula dapat berdiam
diri. Melihat sikap dan langkah orang itu Sutawijaya pun menjadi cemas.
Meskipun belum dapat dipastikan namun orang ini pasti menyimpan banyak
kelebihan dari kedua kawannya. Tetapi ia tidak segera berbuat sesuatu.
Ditunggunya perkembangan keadaan lebih lanjut.
Sejenak kemudian maka tamu
dari Menoreh itu pun bertanya lagi, “Apakah kalian berdua puas dengan
kemenangan kalian atas kedua kawan-kawanku?”
Yang menjawab adalah Agung
Sedayu, “Bukan suatu kemenangan.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia menjawab, “Aku menganggapnya sebagai suatu kemenangan.”
“Kami masih dalam permainan.
Belum ada kepastian siapakah di antara kami yang akan menang” sahut Swandaru.
Orang itu mengerutkan
keningnya kembali. Wajahnya kini tidak seterang semula. Senyumnya tidak lagi
menghiasi bibirnya. Dalam nada yang dalam ia berkata, “Jangan menghina. Kalian
sudah pasti bahwa kalian akan menang apabila perkelahian itu diteruskan. Tetapi
dengan kemenangan itu kalian jangan terlampau cepat berbangga.”
Agung Sedayu dan Swandaru
terkejut mendengar jawaban itu. Ternyata yang seorang ini mempunyai harga diri
yang terlampau tinggi. Meskipun demikian Agung Sedayu berkata, “Jangan
menyangka demikian. Tak ada maksud kami menyombongkan diri kami. Bahkan tak ada
maksud kami terlibat dalam perkelahian dengan dalih apapun. Tetapi kami malam
ini tersudut dalam kemungkinan ini. Kemungkinan yang tidak dapat kami hindari.”
“Omong kosong!” orang itu
hampir berteriak. “Kalian sengaja membuat keributan di halaman dengan menghina
para prajurit dan kedua kawan-kawanku.”
Agung Sedayu dan Swandaru
sejenak saling berpandangan. Kemudian mereka pun memandangi wajah Sutawijaya
pula, seakan-akan mereka ingin mendapat pertimbangan. Namun wajah Sutawijaya
itu tidak berbicara apapun bagi mereka berdua. Mereka hanya melihat wajah itu
berkerut-kerut.
Sejenak kemudian mereka
mendengar orang itu berbicara lagi, “Kalian datang dari Sangkal Putung dengan
sengaja ingin mempertunjukkan kelebihan-kelebihanmu di sini. Tetapi jangan kau
sangka bahwa Sidanti akan berbangga mendengar tingkah lakumu itu. Kalau ia
mendengar, maka kau pasti akan dicekiknya sampai mati. Sayang ia tidak melihat
kau berbuat seperti ini. Tetapi karena akulah yang melihat bahwa kau telah
menghina kedua kawan-kawanku, maka akulah yang akan mewakilinya. Ia pasti akan
berterima kasih kepadaku apabila kelak aku mengatakan kepadanya, bahwa tiga
orang-orangnya dari Sangkal Putung aku patahkan tangan-tangannya karena
kesalahan mereka sendiri.”
Dada kedua anak-anak muda dari
Sangkal Putung itu berdesir. Agung Sedayu menggigit bibirnya untuk menahan
gelora di dalam dadanya, ia masih mencoba untuk menguasai keseimbangan
perasaannya. Karena itu ia masih belum segera menjawab.
Tetapi telinga Swandaru
ternyata telah terlampau panas. Dengan serta-merta ia menjawab, “Kau sombong
seperti Sidanti.”
Jawaban yang pendek itu
benar-benar telah menggoncangkan segenap pertimbangan tamu itu. Wajah tamu dari
Menoreh itu segera menjadi gelap. Dan orang-orang yang melihatnya pun menjadi
semakin tegang. Yang mereka dengar kemudian adalah orang itu berkata, “Hem, aku
ingin kalian bertiga maju bersama-sama supaya perkelahian yang terjadi tidak
menjemukan seperti perkelahian yang baru saja berlangsung. Ternyata bukan saja
tanganmu yang akan aku patahkan, tetapi juga mulutmu. Ayo, bawa saudaramu yang
seorang itu ke arena kalau ia mampu.”
Tetapi Sutawijaya ternyata
tidak menunggu Agung Sedayu atau Swandaru memanggilnya. Ia kini telah berdiri.
Seperti tamu tadi ia mengangguk hormat kepada para tamu yang lain dan dengan
perlahan-lahan maju ke tengah-tengah pendapa. Ia tertegun ketika salah seorang
pemimpin prajurit berdesis. Tetapi prajurit itu tidak berkata sesuatu.
Prajurit itu adalah prajurit
yang seorang lagi, bukan pemimpin prajurit yang memberikan perintah untuk
menangkapnya. Karena prajurit itu kemudian sama sekali tidak mengucapkan
kata-kata, maka Sutawijaya pun meneruskan langkahnya ke tengah-tengah pendapa.
Tamu dari Menoreh yang
menantang mereka berkelahi bersama, memandanginya dengan mata yang menyala.
Meskipun demikian orang itu masih mencoba tersenyum sambil berkata, “Hei.
Kalian masih sangat muda.”
“Ya,” sahut Sutawijaya, “kami
masih cukup muda.”
“Bagus” desis orang itu.
“Tetapi kenapa kalian senang mencari persoalan dengan orang lain. Kenapa kalian
senang mencampuri urusan yang bukan urusanmu?”
“Kami tidak sengaja,” sahut
Sutawijaya, “kami tidak sengaja membuat persoalan dan mencampuri urusan orang
Iain. Tetapi kami juga tidak biasa melihat keanehan-keanehan terjadi?”
“Apa yang aneh menurut
pertimbanganmu?” bentak orang itu.
“Banyak sekali.”
“Sebut satu di antaranya.”
“Di antaranya adalah, bahwa
kau terlampau merasa dirimu penting dan merasa kau mempunyai wewenang yang
berlebih-lebihan. Itu pun akibat dari sesuatu keanehan. Ternyata kau adalah
tamu yang terlampau manja di sini.”
“Diam!” tamu itu pun berteriak
sehingga hampir setiap orang terkejut karenanya. Dengan luapan kemarahan ia
membentak-bentak. “Kau tidak berwenang apapun berbuat demikian. Itu adalah
perbuatan yang menyakitkan hati.”
“Aku tidak peduli” sahut
Sutawijaya dengan tatag. Kini ia tidak lagi berusaha menghindari apapun.
“Tetapi aku tidak senang melihat sikap dan perbuatan yang demikian.”
“Siapkan diri kalian” teriak
orang itu tiba-tiba. “Kita akan segera mulai. Majulah bertiga bersama-sama.”
“Tidak,” sahut Sutawijaya.
“Kami bukan pengecut yang hanya berani berkelahi bersama-sama. Kalau kau
berkelahi sendiri, akupun akan berkelahi sendiri.”
Darah orang itu telah
benar-benar mendidih sampai ke kepala. Sikap Sutawijaya yang tatag berani itu
benar-benar telah sangat mengganggunya. Anak yang masih terlampau muda itu
seakan-akan merasa dirinya sangat yakin sehingga orang itu berteriak, “Jangan berbangga
karena kawan-kawanmu dapat menang dari kedua kawan-kawanku. Tetapi jangan mimpi
bahwa kalian dapat mengalahkan aku. Aku adalah adik Kepala Daerah Perdikan
Menoreh. Aku adalah paman Sidanti itu.”
“Pantas” sahut Sutawijaya
tegas.
“Apa?” teriaknya pula.
“Pantas. Benar kata adikku,
kau sombong seperti Sidanti.”
Sekali lagi dada orang itu
serasa akan meledak. Sekali lagi ia berkata lantang, “Kita akan mulai. Kalau
kau akan berkelahi seorang diri, dan kau menjadi korban kesombonganmu adalah
bukan salahku. Semua orang akan menjadi saksi.”
“Baik” sahut Sutawijaya, yang
kemudian berkata kepada Agung Sedayu dan Swandaru, “Minggirlah. Biarlah orang
ini dapat menakar diri.”
Orang itu hampir tidak dapat
mengekang dirinya lagi. Hampir-hampir ia meloncat menerkam Sutawijaya. Tetapi
untunglah bahwa orang-orang yang duduk di tepi pendapa itu telah
mempengaruhinya pula.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
menjadi kecewa. Mereka masing-masing ingin pula mendapat kesempatan untuk
melawan orang itu, tetapi karena mereka mengetahui siapakah Sutawijaya itu,
maka mereka pun tidak membantahnya.
Tetapi di pinggir pendapa itu,
pemimpin prajurit yang seorang itu pun tampak menjadi sangat gelisah. Prajurit
itu seakan-akan ingin berbuat sesuatu, tetapi ia menjadi ragu-ragu. Kini ia
melihat kedua kawan masing-masing pihak telah melangkah menepi dan ia melihat
kemarahan telah membara pada wajah keduanya. Apalagi kemudian ia mendengar tamu
dari Menoreh itu berteriak, “Kita bukan anak-anak tanggung, yang hanya suka
berkelahi. Tetapi kita masing-masing menyadari akibat daripadanya.”
Sutawijaya menyadari kata-kata
itu. Para prajurit dan para pemimpin Kademangan Prambanan pun menyadarinya
pula. Mereka mendengar Sutawijaya menjawab, “Aku tidak takut menghadapi akibat
yang paling parah sekali pun.”
“Bagus” sahut orang itu. “Kau
akan dapat mati di arena ini.”
Perkataan itu telah
menegangkan setiap hati yang mendengarnya. Beberapa orang menjadi ngeri dan
perempuan-perempuan pun menjadi lebih baik menyingkir jauh-jauh.
Tetapi sebelum mereka mulai,
maka tiba-tiba pemimpin prajurit yang gelisah itu pun meloncat berdiri. Dengan
tegangnya ia berkata, “Aku tidak ingin melihat pertumpahan darah di kademangan
ini. Kau bukan orang Prambanan, kau pun bukan. Apakah sebabnya kalian akan
berkelahi di pendapa Banjar Desa Prambanan? Bahkan sampai mati? Tidak. Aku
adalah pamimpin Prajurit Pajang di Prambanan. Aku mengemban tugas di sini. Dan
aku melarang kalian berkelahi.”
Wajah tamu dari Menoreh itu
pun menjadi semakin menyala mendengarnya. Tiba-tiba ia memutar tubuhnya sambil
menjawab kasar, “Akulah yang akan berkelahi, bukan kau?”
“Aku mempunyai wewenang di
sini. Aku penguasa yang mendapat tugas langsung dari pimpinan prajurit Wira
Tamtama, dan bertanggung jawab kepada senapati di daerah lereng Merapi,
Untara.”
Orang itu terdiam. Tetapi dada
Agung Sedayu berdesir mendengar kata-kata itu. Ternyata daerah ini adalah masih
merupakan daerah yang menjadi tanggung jawab kakaknya, Untara. Tetapi prajurit
itu sama sekali belum mengenalnya, bahwa ia adalah adik Untara. Apalagi
dirinya, bahkan ternyata terhadap Sutawijaya pun orang itu belum mengenalnya.
Tetapi tamu itu berteriak,
“Apa peduliku. Bahkan seandainya Untara di sini, aku tidak akan takut. Aku akan
tetap dalam pendirianku. Berkelahi sampai mati di sini.”
“Aku tidak berkepentingan
apakah kau akan mati atau tidak. Tetapi tidak di sisni. Tidak di Prambanan.”
Terdengar gigi tamu itu
gemeretak. Demikian kemarahan menanjak sampai ke ubun-ubun sehingga sejenak
justru ia terdiam. Beberapa orang menjadi heran melihat sikap pemimpin prajurit
itu, bahkan kawannya, pemimpin prajurit yang lain pun menjadi heran melihat
sikam kawannya itu. Dengan tidak sesadarnya ia berteriak, “Biarkan Kakang.
Biarkan saja apa yang akan terjadi. Biarkan saja anak-anak Sangkal Putung itu
dicekik sampai mampus. Mereka telah menghina kami di sini, menghina tamu-tamu
itu dan menghina anak-anak muda Prambanan.”
“Aku tidak mau melihat daerah
ini menjadi ajang pertentangan dari orang-orang di luar kademangan. Seolah-olah
Prambanan adalah daerah yang paling jelek dari seluruh wilayah Pajang. Siapa
yang akan berkelahi bahkan sampai mati, pergi saja ke Prambanan. Di sana
perkelahian akan mendapat kehormatan dan dapat dilangsungkan di pendapa banjar
desa. Begitu?”
“Tetapi kita tidak bersalah.
Para tamu itu pun tidak.”
“Aku tidak tahu siapa yang
bersalah. Itu adalah urusan mereka pula. Kalau mereka ingin menyelesaikan
dengan pertumpahan darah, itu terserah. Mereka adalah laki-laki jantan. Tetapi
tidak di sisni. Tidak di pendapa banjar desa ini.”
“Aku tidak berkeberatan”
bantah pemimpin itu.
“Akulah yang memegang seluruh
pimpinan di sini” sahut yang lain. “Akulah yang mendapat tanggung jawab
tertinggi di sini. Kecuali kalau Bapak Demang berpendapat lain.”
Di antara para penonton di
pendapa itu kemudian berdiri seorang yang masih cukup muda. Ternyata ialah
Demang Prambanan. Demang yang menurut ukuran umurnya masih terlampau muda.
Dengan wajah yang tegang ia kemudian berkata dari tempatnya berdiri, “Aku
sependapat dengan kau, Kakang. Aku tidak ingin melihat pendapa ini menjadi
ajang perkelahian yang tidak aku mengerti ujung pangkalnya.”
“Nah, kalian dengar” sahut
prajurit itu, kemudian kepada tamu-tamunya dari Menoreh dan kepada Sutawijaya
ia berkata, “Hentikan perkelahian!”
“Tidak!” sahut tamu dari
Menoreh. “Tidak ada alasan untuk mengurungkan perkelahian. Perkelahian ini hanya
dianggap selesai setelah aku mematahkan lehernya.”
“Kau dengar perintahku!”
tiba-tiba prajurit itupun berteriak. “Aku mempunyai kekuasaaan di sini, dan aku
mempunyai alat-alat kekuasaan itu. Apakah kau akan melawan segenap prajurit
yang berada di wilayah ini?”
Wajah tamu itu pun kini
menjadi semakin membara. Tetapi ia terdiam sesaat. Agaknya pemimpin prajurit
itu benar-benar akan bertindak apabila ia membantah perintahnya. Namun sama
sekali ia tidak rela melepaskan lawannya. Karena itu maka ia pun menyahut tidak
kalah lantangnya. “Baik. Baik. Kalian merasa diri kalian orang-orang yang luar
biasa karena kalian menjadi prajurit Pajang pula, bahkan prajurit yang
mempunyai pengaruh yang cukup.”
Jawaban itu agaknya
berpengaruh juga di hati pemimpin prajurit itu. Tetapi ia telah terlanjur
mengucapkan larangannya, sehingga karena itu ia tidak akan mungkin mencabutnya
kembali. Bahkan sekali lagi ia menegaskan, “Di Prambanan akulah yang mendapat
kekuasaan. Bukan Sidanti.”
“Tetapi Sidanti kelak akan
dapat menggantungmu di alun-alun Pajang.”
“Ia bukan Panglima Wira
Tamtama, dan bukan pula senapati di daerah ini.”
“Persetan! Tetapi ia
berpengaruh.”
“Aku tidak peduli. Tetapi
kalian tidak boleh mengotori daerah ini dengan darah yang tidak ada gunanya
tertumpah.”
Terdengar gigi tamu itu
gemeretak. Tiba-tiba ia berpaling kepada Sutawijaya dan berkata, “Kita gagal
mempergunakan tempat ini. Tetapi kalau kau jantan, perkelahian ini tidak akan
urung. Kita akan bertemu besok pagi-pagi di tepi Kali Opak di ujung selatan
dari kademangan ini. Kademangan yang dikuasai oleh orang-orang cengeng macam
pemimpin prajurit Pajang dan Demang itu. Kau setuju?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tiba-tiba ia di hadapkan pada persoalan yang tidak dikehendakinya
sama sekali. Tetapi darah mudanya tidak dapat melawan perasaannya sehingga
dengan tegas ia menjawab, “Di manapun bukan soal bagiku.”
“Bagus!” teriak tamu itu.
“Besok pada saat matahari terbit, aku telah menunggumu di sebelah barat Perbukitan
Baka. Aku akan membawa senjataku, sebuah pusaka berbentuk tombak pendek. Kalau
kau mempunyai senjata bawalah. Kalau tidak carilah pinjaman kemana kau suka.
Aku telah bertekad, bahwa salah satu di antara dada kita harus berlubang oleh
senjata.”
Sekali lagi dada Sutawijaya
berdesir. Agaknya orang itu telah benar-benar kehilangan keseimbangan berpikir.
Kemarahannya telah mencapai puncak tertinggi, sehingga baginya tidak akan ada
pemecahan lain dari pada maut.
“Hem,” Sutawijaya menggeram.
Tetapi ia tidak sempat menjawab. Ia melihat tamu itu berputar dan berjalan
tergesa-gesa meninggalkannya. Kedua kawannya pun segera mengikutinya di
belakang.
Pemimpin prajurit itu berdiri
saja termangu-mangu. Ia mendengar tantangan itu, dan ia pun mendengar jawabannya
pula. Karena itu hatinya pun menjadi berdebar-debar. Tetapi ia kini tidak dapat
berbuat apa-apa lagi. Mereka akan berkelahi di luar daerah Kademangan
Prambanan. Meskipun demikian, ia akan mampu memberi mereka peringatan, apabila
mungkin mengurungkan perkelahian itu.
Tetapi prajurit-prajurit yang
lain, termasuk seorang pemimpinnya mempunyai tanggapan yang berbeda. Mereka
telah dikecewakan oleh sikap pemimpinnya itu. Mereka ingin melihat anak-anak
muda Sangkal Putung itu menjadi biru bengap. Bahkan mungkin tangannya atau
kakinya akan patah dan cacat untuk seterusnya. Tetapi peristiwa itu tidak
terjadi. Namun kemudian mereka mendengar persetujuan mereka, sehingga tanpa
sesadarnya beberapa orang dari mereka berkata, “Baik. Kita menunggu sampai
besok. Kita masih mendapat kesempatan untuk menonton perkelahian yang menarik
itu.”
Pemimpinnya yang seorang itu
berpaling ke arah kawan-kawannya. Tetapi kawan-kawannya itu pun tertawa dengan
nada yang aneh. Seakan-akan mereka sengaja mentertawakan sikapnya. Dengan demikian
dada pemimpin itu berdesir. Seandainya benar-benar tamu dari Menoreh itu tidak
menghormati sikapnya, apakah kawan-kawannya para prajurit itu akan bersedia
untuk melakukan perintahnya? Mengusir tamu-tamu dari Menoreh itu meninggalkan
Prambanan? Ia sendiri yakin, bahwa seorang diri ia tidak dapat mengalahkan tamu
yang seorang itu, adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Apalagi bertiga. Tetapi
ia mengharap beberapa anak-anak muda Prambanan yang masih menyadari
kedudukannya akan membantunya, meskipun lebih banyak dari mereka yang lebih
senang berbuat seperti orang-orang gila.
Peristiwa itu tiba-tiba telah
mendorong pemimpin prajurit Pajang itu menyadari kesalahannya selama ini.
Selama ini seolah-olah dibiarkannya Prambanan menjadi sebuah hutan belantara.
Tidak ada peraturan yang pasti dapat menjamin ketetapan adat dan tingkah laku
di kademangan ini, sehingga seolah-olah sama sekali tidak dirasakannya adanya
ketenangan. Terutama di kalangan anak-anak mudanya. Ki Demang Prambanan sendiri
seakan-akan sama sekali tidak mempunyai wibawa apapun. Ia hanya bertindak
sesuka hatinya sendiri. Bahkan kadang-kadang hanyut di dalam arus kegilaan
anak-anak muda. Demang Prambanan sendiri adalah demang yang masih cukup muda,
dan itulah sebabnya, maka kadang-kadang ia masih berpikiran kurang dewasa.
Beruntunglah kali ini Ki Demang Prambanan itu sependapat dengan pendirian
pemimpin prajurit itu, sehingga keputusannya untuk menentang perkelahian itu
menjadi lebih kuat.
Pemimping prajurit itu melihat
satu-satu para penonton di halaman sekeliling pendapa itu pergi meninggalkan
halaman banjar desa. Wajah-wajah mereka seakan-akan memancarkan kekecewaan hati
mereka, bahwa pemimpin prajurit itu telah mencegah suatu tontonan yang pasti
akan lebih mengasikkan daripada sabung ayam jantan. Yang akan bersabung di
pendapa itu bukan sekedar ayam jantan, tetapi adalah dua orang laki-laki
jantan. Satu dari Bukit Menoreh, yang lain dari Sangkal Putung. Tetapi tontonan
itu menjadi urung. Namun hati mereka terhibur pula, ketika mereka mengetahui tontonan
itu sebenarnya hanya tertunda sampai esok pagi di tepi Kali Opak di ujung
kademangan, sebelah barat Pegunungan Baka.
Tamu-tamu, para pemimpin
Kademangan Prambanan di pendapa, dan para prajurit meninggalkan pendapa itu
pula. Mereka sama sekali tidak menyapa pemimpin prajurit yang masih berdiri
tegak di tempatnya dan bahkan Demang Prambanan yang masih tegak pula. Mereka pergi
dengan langkah yang tersendat-sendat seakan-akan ada yang mereka tinggalkan di
pendapa itu. Sekali-kali mereka berpaling, dan mereka melihat wajah Sutawijaya
yang memancarkan ketetapan hatinya, tanpa perasaan was-was sama sekali meskipun
esok pagi ia harus berhadapan dengan tamu yang mereka segani.
“Wajah anak muda itu pun
seakan-akan mawa cahya” tiba-tiba salah seorang berdesis. Tetapi tak seorang
pun yang menyahut. Orang yang berbicara itu pun terdiam pula.
Sejenak kemudian maka pendapa
itu pun menjadi sepi. Bahkan halaman banjar desa itu pun telah menjadi senyap.
Satu dua orang masih tampak berjalan mondar-mandir. Tetapi mereka pun segera
pergi. Yang masih tinggal di halaman adalah dua orang perabot Kademangan
Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus tinggi beserta adiknya. Mereka menunggu
demangnya dan mereka nanti akan bersama-sama kembali ke rumah masing-masing
yang berdekatan.
Di pendapa itu kini berdiri
termangu-mangu pemimpin prajurit Pajang yang seorang, Ki Demang, Sutawijaya,
Agung Sedayu, dan Swandaru. Tetapi di sudut pendapa itu masih duduk beberapa
anak-anak muda, di antaranya adalah Haspada dan Trapsila.
Prajurit itu memandangi
anak-anak muda itu dengan sorot mata yang mengandung teka-teki. Seolah-olah
pemuda-pemuda itu ingin melihat apa saja yang akan dilakukannya. Tetapi
pemimpin prajurit itu telah mengenal dengan baik siapakah mereka itu. Haspada,
Trapsila, dan kawan-kawannya adalah anak-anak muda yang mempunyai tabiat yang
berbeda dengan anak-anak muda pada umumnya. Namun justru karena itu, maka
mereka hampir-hampir tak pernah mendapat perhatiannya. Tetapi kini anak-anak
muda itulah yang tinggal mengawaninya.
Tiba-tiba prajurit itu
seakan-akan bergumam kepada diri sendiri, “Apakah yang kau tunggu?”
Anak-anak muda itu pun
terkejut mendengar pernyataan itu. Sesaat mereka saling berpandangan
seakan-akan saling bertanya, “Ya, apakah yang kami tunggu?”
Karena anak-anak muda itu
tidak segera menjawab, maka prajurit itu pun menyambung kata-katanya, kali ini
agak mengejutkan Haspada dan kawan-kawannya, “Aku mengucapkan terimakasih atas
sikapmu. Kau sudah membantu membuat keseimbangan pada saat-saat yang tidak
menyenangkan. Mungkin selama ini kita tidak saling bertemu dalam perbuatan
karena kesalahanku. Tetapi dalam keadaan yang penting, kalian dapat membantu
aku.”
Haspada dan Trapsila
tersenyum. Hampir bersamaan keduanya menjawab, “Mudah-mudahan.”
“Terimakasih” sahut prajurit
itu yang kemudian berpaling kepada Sutawijaya dan kedua kawannya. “Bagaimana
dengan kalian?”
“Kami akan kembali ke pondokan
kami” sahut Sutawijaya. “Besok aku akan datang ke tempat yang telah kami
setujui.”
Prajurit itu mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya, “Kalau kau mau mendengar kata-kataku, jangan
datang. Lawanmu adalah orang yang luar biasa. Hanya dengan tombak pendeknya itu
ia seorang diri mampu berburu harimau. Bahkan banyak perbuatan-perbuatan aneh
yang telah dilakukannya di sini hanya dalam waktu yang sangat singkat. Mungkin
sengaja ia memperlihatkan kemampuannya untuk mendapat perlakuan yang baik di
sini.”
“Ya. Tamu itu terlampau manja.
Tetapi aku tidak dapat ingkar janji.”
“Aku mencoba memperingatkan
kalian. Ia adalah adik Kepala Daerah Perdikan Menoreh. Namanya Argajaya, sedang
kakaknya bernama Argapati.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Prajurit itu pasti tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Meskipun
mungkin apa yang dikatakan itu agak berlebih-lebihan, tetapi sebagian besar
daripadanya pasti sebenarnya terjadi.
Tetapi Sutawijaya adalah
seorang anak muda yang punjuling-apapak. Anak muda itu mempunyai banyak
kelebihan dari anak-anak muda sebayanya. Karena itu ia sama sekali tidak gentar
mendengar keterangan prajurit itu. Bahkan timbullah hasratnya untuk menilai
kekuatan orang kedua dari Bukit Menoreh. Darah muda yang mengalir di dalam
tubuhnya ternyata sangat mempengaruhi keputusannya.
Terdengar prajurit itu
kemudian berkata pula, “Apakah kalian dapat mengerti keteranganku? Aku
bermaksud baik. Meskipun Argajaya bukan Argapati, tetapi setidak-tidaknya ia memiliki
kekuatan yang dapat dibanggakan.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Terimakasih. Tetapi sayang, aku
sudah berjanji untuk menemuinya besok pagi.”
“Kau dapat membatalkannya.
Mungkin kau perlu minta maaf kepadanya, atau kau segera meninggalkan kademangan
ini kembali ke Sangkal Putung. Argajaya adalah seorang yang sakti. Mungkin ia
mampu menyamai Untara, Senapati Pajang di daerah di sekitar Gunung Merapi.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Untara adalah seorang yang tanggon. Untara pulalah yang telah mampu
membunuh Tohpati. Tetapi ia pun pernah maju berperang, bahkan langsung melawan
Arya Penangsang. Meskipun ia tidak pasti, bahwa ia akan dapat memenangkan
pertempuran besok, namun bukanlah wataknya untuk meminta maaf dan belas kasihan,
atau lari dengan diam-diam meninggalkan janji jantan.
“Aku adalah Sutawijaya”
katanya di dalam hati. “Alangkah aib namaku dan nama ayahku kalau aku tinggal
gelanggang colong playu. Aku harus memenuhi janji itu.”
Dan prajurit itu bertanya
lagi, “Bagaimana? Aku sayang melihat kemudaanmu. Menilik kedua adik-adikmu,
maka kalian masih akan jauh berkembang. Mungkin lima atau sepuluh tahun lagi
kau akan berjumpa kembali dengan Argajaya. Dan kau akan menebus malumu kali
ini.”
“Terimakasih” Sutawijaya mengulangi.
“Aku terpaksa menemuinya besok.”
Prajurit itu menarik nafas.
Ketika ia berpaling dilihatnya Haspada dan Trapsila pun menjadi tegang pula.
Tetapi mereka berdua tidak berkata sepatah kata pun.
Hanya demang yang masih muda
itulah yang kemudian mencoba menasehati pula. “Dengarkan nasehat itu. Tak
seorang pun yang mengenal kalian, sehingga nama kalian tidak akan tercemar
karenanya. Berbeda akibatnya jika nama kalian adalah nama yang telah
mengumandang setidak-tidaknya di sekitar daerah ini. Maka kalian pasti akan
mempertahankan harga diri kalian masing-masing. Tetapi kalian akan lebih sayang
pada nyawa kalian daripada nama kalian yang belum dikenal itu.”
Dada Sutawijaya berdesir.
Hampir ia lupa dan meneriakkan namanya, Sutawijaya putra Panglima Wira Tamtama
dan yang telah berhasil membenamkan tombaknya di perut Arya Penangsang.
Untunglah ia menyadari keadaannya, sehingga maksudnya itu pun diurungkannya.
Meskipun demikian ia menjawab
sekali lagi, “Terimakasih atas segala nasehat itu. Kami bertiga menyadari bahwa
nasehat-nasehat itu bermaksud baik untuk kepentingan keselamatan kami. Tetapi
biarlah kami mencoba mengadu untung. Kami sebenarnya memang memerlukan banyak
pengalaman untuk kepentingan kademangan kami.”
“Tetapi apabila terjadi
sesuatu dengan salah seorang dari kalian, jangan mendendam pada Kademangan
Prambanan. Kami sama sekali tidak tahu-menahu dan tidak campur tangan dengan
persoalan kalian besok. Prambanan dan Sangkal Putung adalah kademangan yang
selama ini belum pernah mempunyai persoalan apapun,” berkata demang itu pula.
“Baik Ki Demang” sahut
Sutawijaya. “Kami dapat mengerti sepenuhnya maksud Ki Demang. Dan kami pun
tidak akan menyangkutkan orang lain dalam persoalan ini.”
Prajurit itu dan Ki Demang
Prambanan pun mengangguk-anggukkan kepala. Sesaat mereka saling berpandangan,
kemudian berkatalah Ki Demang Prambanan, “Terserahlah kepada kalian. Tetapi
kemana malam ini kalian akan bermalam?”
“Kami akan kembali ke tempat
kami menumpang malam ini. Kami berada di rumah Paman Astra.”
Kedua orang itu pun
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian pemimpin prajurit itu pun berkata,
“Kembalilah ke rumah Kakang Astra. Pikirkanlah sekali lagi apa yang akan kalian
hadapi besok. Kalau kalian merubah pendirian kalian, kami akan ikut bersenang
hati. Kalian dapat meninggalkan kademangan ini tanpa gangguan. Aku kira
tamu-tamu itu tidak akan mengejarmu.”
“Baik, aku akan mencoba
berpikir sekali lagi” sahut Sutawijaya.
“Selamat malam” desis prajurit
itu.
“Terima kasih” sahut
Sutawijaya.
Prajurit itu, Ki Demang, dan
Ki Jagabaya beserta adiknya dan kedua perabot desa yang lain, yang sudah
menunggu di halaman itu pun kemudian pergi meninggalkan banjar desa pula.
Haspada, Trapsila, dan kawan-kawannya pun kemudian berdiri dan berkata, “Ki
Sanak. Kami sependapat dengan pemimpin prajurit dan Ki Demang. Meskipun kami
telah melihat betapa kalian telah mengejutkan kami, tetapi bermain-main dengan
tamu yang seorang itu adalah sangat berbahaya.”
“Terimakasih Ki Sanak. Aku
akan mencoba memikirkan sekali lagi” jawab Sutawijaya pula. Tetapi hatinya sama
sekali tidak bergerak untuk merubah keputusannya. Ia akan menemui orang itu
besok di sebelah Bukit Baka.
Banjar desa itu pun kini
menjadi semakin sepi. Para penabuh gamelan pun telah tidak ada yang tinggal
lagi. Karena itu maka Sutawijaya dan kawan-kawannya segera meninggalkan tempat
itu pula, kembali ke rumah Astra.
Di sepanjang jalan tidak
banyak kata-kata yang mereka ucapkan. Dengan langkah yang panjang mereka
menyuusuri jalan-jalan di Kademangan Prambanan. Sesudah mereka melintasi sebuah
bulak pendek, maka mereka melihat beberapa orang anak-anak muda berkumpul
bergerombol di pinggir jalan.
“Itulah mereka” gumam
Sutawijaya. “Apakah mereka masih akan membuat onar lagi? Kali ini kita harus
bersikap lain seandainya mereka berbuat sesuatu. Apalagi kalau di antara mereka
terdapat tamu-tamu dari Menoreh itu.”
Agung Sedayu dan Swandaru
menjawab hampir bersamaan, “Baik.” Dan Swandaru meneruskan, “Aku menjadi muak melihat
sikap mereka. Beruntunglah kademangan ini masih juga menyimpan anak-anak muda
seperti Haspada dan Trapsila.”
“Mudah-mudahan mereka akan
segera mendapatkan tempatnya kembali” gumam Agung Sedayu. “Aku menjadi heran,
kenapa anak-anak muda seperti mereka itu justru menjadi terasing di sini.”
Kini mereka terdiam. Jarak
mereka menjadi semakin dekat. Anak-anak muda yang berdiri di pinggir jalan itu
pun agaknya memperhatikan mereka pula.
Tetapi Sutawijaya, Agung
Sedayu, dan Swandaru menjadi heran ketika mereka kemudian melihat anak-anak
muda itu menundukkan kepala. Bahkan satu dua yang masih sempat, menghindar dan
berlindung di balik-balik pagar halaman. Agaknya mereka menjadi malu melihat
Sutawijaya dan kedua kawannya. Apalagi anak-anak muda yang pada sore harinya
telah mencoba menghinanya.
Sutawijaya, Agung Sedayu, dan
Swandaru berjalan terus. Berpaling pun tidak. Mereka tidak mau membuat
persoalan dengan mereka, atau sengaja membuat mereka malu.
Ketika kemudian mereka
menengadahkan wajah mereka, mereka melihat bintang Gubuk Penceng telah jauh
condong ke arah barat. Tanpa sesadarnya Agung Sedayu bekata, “Kita sudah hampir
sampai ke ujung fajar.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Waktuku tinggal sedikit. Pada saat
fajar menyingsing aku harus sudah berada di sebelah barat Pegunungan Baka. Aku
kira kita tidak akan pergi sendiri. Aku kira banyak anak-anak muda yang ingin
melihat perkelahian itu.”
“Ya” sahut Agung Sedayu
“Terpaksa,” desis Sutawijaya,
“aku tidak dapat menghindarinya.”
Kedua kawannya tidak menjawab,
dan Sutawijaya berkata terus, “Tetapi aku ingin singgah meskipun hanya sebentar
di rumah Paman Astra. Sukurlah kalau Paman Astra telah menyediakan minuman hangat.
Aku sangat haus.”
“Aku juga” sahut Swandaru
tiba-tiba. “Aku agaknya terlalu lama menari tayub di pendapa, meskipun tanpa
diiringi gamelan.”
Kedua kawannya tersenyum.
Tetapi kemudian terdiam. Hanya desir kaki-kaki mereka di atas tanah yang kering
terdengar mengusik sepi malam. Di kejauhan suara burung hantu terdengar seperti
sedang memanggil-manggil.
Ketika kemudian mereka
memasuki halaman rumah Astra maka mereka bertiga itu pun terkejut. Dengan
terbungkuk-bungkuk Astra menyambut mereka sambil berkata, “Mari, Ngger. Mari
silakan masuk kerumah paman yang jelek ini.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Sikap orang tua itu tiba-tiba berubah. Tetapi sebelum ia bertanya,
apakah sebabnya, Astra telah berkata, “Aku sudah mendengar apa yang telah
Angger lakukan di pendapa dari kedua anakku. Sungguh luar biasa. Angger telah
mengejutkan seluruh anak-anak muda Prambanan. Bahkan anak-anak yang paling
disegani pun tidak akan dapat menyamai Angger sekalian. Angger Haspada dari
Sembojan, Angger Trapsila dari Tlaga Kembar, menurut anak-anakku, mereka tidak
akan dapat menyamai Angger-angger ini. Apalagi aku mendengar bahwa Angger
Sutajia akan bertanding pagi nanti di sebelah Bukit Baka.”
Ketiga anak muda itu
tersenyum. Tanpa disengaja Sutawijaya bertanya, “Di manakah kedua putera Paman
itu?”
“Mereka bersembunyi, Ngger.
Mereka merasa malu.”
“Mudah-mudahan masih ada rasa
malu pada anak Paman. Dengan demikian Paman masih mempunyai harapan, bahwa
putera-putera Paman akan menjadi sadar, bahwa apa yang mereka lakukan bukanlah
sikap mereka yang sewajarnya. Mereka telah terbius oleh suatu keadaan yang
tidak dapat mereka mengerti sendiri.”
“Ya, ya, Ngger. Mudah-mudahan”
berkata orang tua itu. “Tetapi, marilah masuk. Marilah bibimu telah menyediakan
sekedar minuman hangat.”
“Terimakasih, Paman.”
Tergesa-gesa Astra masuk ke
dalam rumahnya diikuti oleh Sutawijaya, Agung Sedayu, dan Swandaru. Wajah
Swandaru yang bulat itu tampak tersenyum-senyum sambil berbisik lirih, “Hem.
Minuman hangat dan jadah panggang.”
“Sst” desis Agung Sedayu.
Namun mereka bertiga pun tersenyum.
Di sebuah amben besar mereka
duduk melingkari mangkuk-mangkuk berisi minuman hangat, dan tepat sekali
seperti tebakan Swandaru, jadah panggang dan potongan-potongan jenang dodol.
Dengan lahapnya mereka menikmati
suguhan itu. Sekali-kali di selingi oleh suara mereka sahut menyahut. Namun
Astra itu pun menjadi semakin heran, bahwa tak ada kesan apapun di wajah anak
muda yang menyebut dirinya bernama Sutajia itu. Dari anak-anaknya ia mendengar
bahwa anak muda itu besok akan berperang tanding melawan tamu yang memimpin
rombongan dari Bukit Menoreh, bahkan adik Kepala Tanah Perdikan Menoreh
sendiri. Tetapi orang tua itu tidak berani bertanya tentang pertempuran besok,
betapa pun inginnya untuk mengetahui.
Selagi mereka sibuk mengunyah
jadah dan jenang dodol serta menghirup hangatnya minuman, tiba-tiba pintu rumah
itu diketuk orang. Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat, mereka
dikejutkan oleh hadirnya pemimpin prajurit Pajang yang telah mencoba mencegah
Sutawijaya berkelahi besok.
“Marilah, Tuan, marilah” Astra
menjadi tergopoh-gopoh mempersilakan duduk di amben itu pula.
Sutawijaya dan kedua kawannya
segera berdiri pula sambil mengangguk hormat.
Prajurit itu pun kemudian
duduk di antara mereka. Astra segera menyuguhkan semangkuk air hangat dan
segumpal gula kelapa kepada tamunya yang tidak disangka-sangkanya. Sambil
terbungkuk-bungkuk ia bertanya, “Tuan, kedatangan Tuan benar-benar mengejutkan
hatiku. Apakah ada sesuatu yang Tuan anggap penting untuk datang berkunjung ke
rumah yang jelek ini?”
Pemimpin prajurit itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak segera menjawab, tetapi ditatapnya
wajah Sutawijaya dan kedua kawannya berganti-ganti.
Namun dalam sekejap itu
Sutawijaya dan kedua kawannya pun segera dapat melihat, betapa besar pengaruh
para prajurit Pajang di Prambanan. Mereka ditakuti oleh setiap orang dan dengan
demikian, maka mempunyai kekuasaan yang cukup bersar.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
melihat sikap Astra dan sikap prajurit itu. Hubungan mereka agak berbeda dengan
sikap setiap prajurit di Sangkal Putung. Hubungan antara para prajurit dan
penduduk Sangkal Putung tampak jauh lebih akrab. Kekuasaan Widura pun sama
sekali hanya terbatas pada segi-segi keprajuritan untuk menghadapi kekuatan Tohpati
pada waktu itu. Demang Sangkal Putung sama sekali tidak merasa terganggu oleh
kekuasaan yang diemban oleh pimpinan Wira Tamtama itu, bahkan keduanya saling
isi-mengisi dengan serasi. Agaknya berbeda dengan kedudukan Demang dan penduduk
Prambanan di mata para prajurit yang bertugas di tempat ini.
“Semuanya telah menyimpang
dari kewajaran” desis Sutawijaya di dalam hatinya. Ia tahu benar sikap ayahnya,
Panglima Wira Tamtama. Namun kandang-kadang tidak semua prajurit merupakan
cermin dari sikap Panglimanya.
“Astra” kemudian terdengar
pemimpin prajurit itu berkata. “Aku datang kemari untuk menemui ketiga
tamu-tamumu anak-anak muda dari Sangkal Putung ini.”
“O” sahut Astra sambil
membungkuk-bungkuk. “Silahkan, Tuan, silahkan.”
Pemimpin prajurit itu menarik
nafas. Kemudian kepada Sutawijaya ia berkata, “Aku tidak dapat melupakan
persetujuanmu dengan tamu-tamu dari Menoreh itu. Begitu aku mencoba berbaring
untuk beristirahat, segera aku menjadi cemas. Bahkan semakin lama menjadi semakin
cemas. Aku tidak tahu, kenapa aku berperasaan demikian. Aku sudah mencoba
berpikir, bahwa kau bukan sanak bukan kadangku. Seandainya kau mengalami
bencana pun, aku tidak akan kehilangan. Tetapi aku tidak dapat berbuat
demikian, sehingga aku terpaksa menemuimu.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Agung Sedayu dan Swandaru pun menjadi heran pula atas sikap prajurit
itu. Apakah yang telah mendorongnya berbuat demikian?
Tetapi prajurut itu kemudian
mengaku sendiri, alasan-alasan yang telah mempengaruhi perasaannya selama ini.
Katanya, “Mungkin aku terdorong oleh perasaan bersalah. Selama ini aku tidak
dapat melakukan tugasku sesuai dengan garis-garis yang telah diberikan oleh
senapati daerah lereng Merapi, Untara. Bukankah Untara sekarang berada di sekitar
Sangkal Putung? Mungkin aku cemas apabila terjadi sesuatu dengan kalian di
Prambanan, dan berita itu sampai ke telinga Ki Untara, seolah-olah aku tidak
berbuat apa-apa di sini.”
Kembali Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Tanpa dikehendakinya, ia berpaling ke arah Agung Sedayu dan
Swandaru. Namun kemudian ia menjawab, “Tuan, itu adalah tanggung jawabku
sendiri. Kedua kawan-kawanku dan paman Astra menjadi saksi, bahwa Tuan telah
berusaha sebaik-baiknya dan sejauh-jauhnya. Tetapi aku ternyata telah mengabaikannya.
Salahkulah apabila terjadi sesuatu esok pagi.”
Prajurit itu terdiam.
Direnunginya wajah Sutawijaya, seolah-olah ingin dilihatnya isi hatinya. Wajah
anak muda itu agaknya terlampau tenang menghadapi perkelahian yang berbahaya.
Sejenak mereka saling berdiam
diri. Lewat pintu yang separo terbuka, berhembus angin yang silir
menggerak-gerakan nyala pelita di atas bancik yang tersangkut pada tiang.
Tiba-tiba mereka tersadar,
bahwa mereka tidak usah menunggu terlalu lama. Di kejauhan mereka mendengar suara
ayam jantan berkokok. Kemudian disahut oleh yang lain, dan suara kokok ayam itu
seolah-olah menjalar dari satu kandang ke kandang yang lain. Bahkan ayam-ayam
jantan yang bertengger di pepohonan pun menyahut pula dengan suara nyaring.
“Hampir fajar” desis prajurit
itu. “Kesempatan terakhir bagi kalian.”
“Maaf, Tuan” desis Sutawijaya.
“Aku tidak dapat melepaskan janji itu. Betapa rendah martabatku, dan betapa
kecil namaku seperti disebut oleh Ki Demang Sangkal Putung, tetapi aku harus
menjunjung harga diriku dan harga diri keluargaku.”
Prajurit itu menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Terjadilah di luar lingkungan kekuasaanku.
Terjadilah di luar tanggung jawabku. Kalian yang mendengar ini menjadi saksi,
bahwa aku telah berusaha untuk membatalkan perkelahian ini.”
“Semuanya akan menjadi saksi”
sahut Sutawijaya. Tetapi darah mudanya telah mendorongnya berkata, “Tetapi Tuan
belum mencoba cara lain.”
Prajurit itu mengerutkan
dahinya. Katanya, “Cara apakah yang kau maksud?”
“Mungkin Tuan dapat menghubungi
Argajaya, dan minta kepadanya untuk membatalkan maksudnya. Minta kepadanya
untuk meninggalkan kademangan ini seperti yang Tuan kehendaki atas kami.”
Wajah prajurit itu menjadi
tegang. Dipandanginya wajah Sutawijaya dengan tajamnya. Bahkan Agung Sedayu pun
terkejut pula mendengar perkataan Sutawijaya. Hanya Swandarulah yang
tersenyum-senyum di dalam hati. Baginya perkataan Sutawijaya itu masih
terlampau berhati-hati. Namun bagi Agung Sedayu, apa yang diucapkannya itu
sebenarnya tidak perlu. Apalagi ketika Agung Sedayu melihat wajah prajurit yang
menjadi tegang itu.
Tetapi meskipun demikian,
meskipun Sutawijaya melihat juga kerut-merut di wajah prajurit itu, ia sama
sekali tidak menyesal. Disadarinya benar-benar apa yang diucapkannya, sehingga
karena itu ia sama sekali tidak terkejut ketika prajurit itu berkata, “Anak
muda, aku hanya mencoba menjaga keselamatanmu. Jangan menjadi sombong dan
jangan menyangka bahwa aku akan menjadi ketakutan seandainya kau mengancam akan
melaporkan setiap kesalahan yang pernah aku lakukan di sini, meskipun apabila
masih ada kesempatan aku akan mencoba untuk memperbaikinya. Mungkin kau
mempunyai perhitungan tersendiri, bahwa seandainya terjadi sesuatu atas dirimu,
maka kesalahanku bukan saja karena aku membiarkan itu terjadi, tetapi apa yang
pernah aku lakukan akan diusutnya pula. Namun itu bukan berarti bahwa aku akan
menundukkan kepalaku di bawah pengaruhmu. Aku bermaksud baik, tetapi jangan
mencoba memeras dan memperalat aku. Aku akan dapat bersikap sebaliknya.”
Swandaru mengerutkan keningnya
mendengar jawaban itu, sedang dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Apalagi
Astra yang tidak tahu ujung pangkal pembicaraan mereka menjadi sangat
ketakutan. Namun wajah Sutawijaya sendiri sama sekali tidak berubah. Dengan
tenang ia berkata, “Maafkan, Tuan. Maksudku hanya ingin mengatakan. Bahwa apabila
benar-benar Tuan ingin bersikap baik sebagai seorang prajurit, maka aku
mengharap Tuan bersikap adil. Kalau Tuan menawarkan kebaikan hati kepada kami,
maka apakah salahnya hal yang serupa Tuan berikan pula kepada tamu-tamu dari
Menoreh itu.”
“Apakah benar kata
kawan-kawanku bahwa kau telah menghina kami, para prajurit Pajang di
Prambanan?”
“Tidak, Tuan” sahut Sutawijaya
cepat-cepat. Tetapi ia masih tetap tenang. “Sekali lagi aku minta maaf. Aku
menyadari maksud Tuan. Tetapi aku menyadari juga bahwa sikap Tuan tidak adil
terhadap kami dan para tamu itu. Mungkin karena mereka datang dengan
tanda-tanda kebesaran mereka sebagai seorang adik dari kepala tanah perdikan
yang besar, sedang kami datang sebagai anak-anak gembala yang lusuh. Tetapi
jangan salah paham Tuan. Kami hanya ingin mengatakan, bahwa kami sudah
terlanjur menganggap bahwa kami tidak kurang selapis pun dari tamu-tamu dari
Bukit Menoreh itu. Itulah sebabnya kami berusaha untuk menjumpainya nanti di
sebelah Bukit Baka.”
“Terserahlah kepadamu. Kau
sudah mulai menyombongkan dirimu sebelum kau berbuat sesuatu.”
“Aku hanya mencoba membesarkan
hatiku sendiri Tuan. Aku menyadari, bahwa setiap orang menganggap bahwa lebih
baik bagiku untuk menghindari perkelahian besok selain mereka yang ingin melihat
dadaku berlubang oleh ujung tombak. Tuan memang bermaksud baik, dan karenanya
sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. Tetapi sikap Tuan itu telah
memperkecil hatiku. Maaf, Tuan. Aku harap Tuan mengerti supaya aku tidak
menggigil pada saat aku melihat ujung tombaknya. Namun tak ada niatku untuk
lari dari janji yang telah aku ucapkan.”
Wajah pemimpin prajurit Wira
Tamtama di Prambanan itu masih juga tegang. Tetapi ia merasa aneh mendengar
kata-kata anak muda dari Sangkal Putung itu. Ia merasa tersinggung karenanya,
tetapi ia merasakan kebenarannya pula. Bahkan ia merasa hormat kepada anak yang
melihat kenyataan yang telah berlaku di Prambanan ini. Sehingga dengan demikian
ia menjadi ragu-ragu apakah benar ia hanya berhadapan dengan seorang anak gembala
yang karena keadaan telah menjadi pengawal kademangannya?
Dalam pada itu maka prajurit
itu pun menjadi ragu-ragu. Dengan demikian, maka ruangan itu pun menjadi sunyi
kembali. Yang terdengar kemudian adalah kokok ayam jantan yang menjadi semakin
ramai di segenap sudut desa.
“Hampir fajar” tiba-tiba
Sutawijaya berdesis.
Dalam keragu-raguannya
tiba-tiba prajurit itu berkata, “Kau belum sempat beristirahat menghadapi saat
yang berbahaya bagimu.”
“Aku sudah cukup beristirahat
di sini. Aku sudah minum minuman hangat dan makan pagi, jadah panggang dan
jenang manis.”
Prajurit itu tidak menjawab.
Sejenak ia termenung. Kemudian terdengar ia berkata, “Aku akan melihat apa yang
terjadi. Aku kira di sebelah barat Bukit Baka pagi ini akan menjadi sangat
ramai dikunjungi orang. Mereka ingin melihat punggungmu dipatahkan, atau dadamu
menjadi berlubang. Tetapi aku tidak bertanggung jawab.”
“Mudah-mudahan terjadi
sebaliknya. Punggung tamu itulah yang akan aku patahkan dan dadanyalah yang
akan berlobang.”
“Kau terlalu sombong.”
“Tidak, Tuan” sahut
Sutawijaya. “Sudah aku katakan, aku hanya ingin membesarkan hatiku sendiri.”
Prajurit itu memandangi wajah
Sutawijaya dengan saksama. Tiba-tiba ia sadar, bahwa wajah itu sama sekali
bukan wajah seorang gembala atau anak padesan Sangkal Putung. Tetapi ia tidak
tahu, bagaimana ia harus mengatakannya.
Tiba-tiba ia berkata, “Apakah
kau memerlukan senjata? Lawanmu akan mempergunakan sebuah pusakanya yang
berbahaya. Sebatang tombak pendek. Kalau kau perlukan, kau dapat memakai
pedangku.”
“Terima kasih” sahut
Sutawijaya. “Aku mempunyai senjataku sendiri.”
Dada prajurit itu berdesir,
tetapi ia berdiam diri.
Ketika suara ayam jantan
menjadi semakin ramai, maka berkatalah Sutawijaya, “Aku tidak ingin terlambat.
Lebih baik aku datang lebih dahulu. Aku akan berangkat segera.”
“Angger,” Astra yang sejak
tadi berdiam diri tiba-tiba berkata, “apakah Angger tidak dapat mengurungkan
perkelahian itu? Aku telah mendengar pula dari anak-anakku bahwa Angger akan
melakukan perang tanding pagi ini.”
Sutawijaya tersenyum.
Jawabnya, “Sayang, Paman. Doakan saja aku selamat.”
Sutawijaya pun segera minta diri
untuk memenuhi janjinya pergi ke sebelah barat Bukit Baka di tepi Sungai Opak.
Wajah Astra yang tua itu pun
kemudian memancarkan perasaan cemasnya. Sorot matanya menjadi suram dan
gelisah. Bahkan pemimpin prajurit itu pun tertegun-tegun dicengkam oleh
perasaan tak menentu.
Namun terdengar Sutawijaya
berkata tegas, “Aku akan berangkat.” Kepada Agung Sedayu dan Swandaru ia
berkata, “Marilah. Aku tidak mempunyai waktu lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Segera mereka turun dari amben bambu yang besar itu dan
mengipas-ngipaskan kain mereka.
Prajurit itu pun tiba-tiba
berkata, “Aku akan pergi bersama kalian.”
“Terima kasih” sahut
Sutawijaya yang kemudian sekali lagi minta diri kepada Astra. “Kami akan
berangkat, Paman.”
Astra melepas mereka dengan
hati yang gelisah dan cemas. Ia sendiri tidak mengerti, kenapa ia mencemaskan
nasib anak-anak muda yang baik itu. Meskipun anak-anak muda itu baru saja
dikenalnya. Namun dalam tutur kata dan sikapnya, serta apa yang didengarnya
dari kedua anaknya, maka hatinya telah tertarik kepada mereka.
Tetapi Astra tidak dapat
berbuat apa-apa. Ia hanya dapat memandangi langkah-langkah yang tetap dari
ketiga anak-anak muda itu bersama pemimpin prajurit Pajang di Prambanan,
meninggalkan halaman rumahnya.
Ketika Sutawijaya berbelok
lewat sebuah pematang, maka prajurit itu pun berkata, “Kita menempuh jalan ini.
Jalan ini adalah jalan yang paling dekat.”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu
sejenak. Dipandanginya wajah kedua kawannya seolah-olah ingin mendapat pertimbangan
dari padanya. Tetapi kedua kawannya itu sama sekali tidak berbuat sesuatu
bahkan sorot mata mereka pun sama sekali tidak menunjukkan sesuatu sikap.
Karena itu, maka Sutawijaya-lah yang harus bersikap. Katanya, “Aku harus lewat
jalan ini, Tuan.”
“Kau harus memutari ladang.
Baru kau akan sampai ke jalan yang sempit. Di ujung lain dari pematang itu, kau
akan sampai ke jalan kecil, dan jalan kecil itu adalah simpangan dari jalan
yang besar ini.”
Kembali Sutawijaya menjadi
ragu-ragu. Tetapi ia harus melewati batang gayam tempat mereka menyangkutkan
senjata-senjata mereka. Karena itu maka jawabnya, “Jalan inilah yang aku kenal
pada saat aku datang, Tuan. Karena itu aku akan menempuh jalan ini pula.”
“Aku mengenal setiap sudut
Kademangan Prambanan seperti aku mengenal rumahku sendiri.”
Sutawijaya akhirnya tidak
mempunyai alasan lain dari pada alasan yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi
dapat menghindar. Maka katanya, “Aku harus lewat di bawah pohon gayam di
sebelah ladang ini, Tuan.”
Pemimpin prajurit itu menjadi
heran, sehingga dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa kau harus lewat di
bawah pohon gayam?”
Sutawijaya benar-benar sudah
tidak ada kesempatan untuk menyembunyikan keadaannya. Maka jawabnya, “Senjata
kami, kami simpan di pohon itu, Tuan.”
“Senjata?” kembali prajurit
itu terkejut. Ia telah mendengar Sutawijaya berkata bahwa ia akan mempergunakan
senjatanya sendiri, tetapi ketika ia mendengar bahwa senjata itu tersimpan di
pohon gayam, maka ia masih juga terperanjat.
“Ya, Tuan. Kami telah menyembunyikan
senjata-senjata kami di atas dahan yang rimbun.”
Prajurit itu tidak menyahut,
namun raut mukanya menjadi berkerut-kerut. Ditatapnya ketiga anak-anak muda itu
berganti-ganti. Sutawijaya dengan wajah yang pasti dan teguh, sedang anak yang
kedua berwajah tenang. Namun dalam ketenangan itulah tersembunyi relung yang
dalam. Seperti wajah air, semakin tenang semakin dalamlah dasarnya. Anak muda
yang ketiga, yang gemuk, adalah anak muda yang berwajah terang, tetapi
membayangkan kekerasan tekadnya.
“Hem” desah prajurit itu di
dalam hatinya. “Siapakah sebenarnya anak-anak ini. Kenapa baru sekarang aku
dapat mengenali wajah-wajah mereka dengan baik justru di dalam
keremang-remangan. Kenapa aku tidak melihatnya tadi di banjar desa yang terang
benderang?”
Prajurit itu kini tidak
membantah lagi. Diikutinya saja ketiga anak-anak muda itu di belakangnya.
Ketika mereka sampai di bawah pohon gayam, maka segera mereka pun berhenti.
Sejenak mereka tegak berdiri sambil berpandang-pandangan. Namun yang pertama-tama
berkata adalah Swandaru, “Hem, aku lagikah yang harus memanjat?”
Mau tidak mau Sutawijaya dan
Agung Sedayu tersenyum. Sebelum keduanya menjawab, maka Swandaru telah
menyingsingkan lengan bajunya dan menyangkutkan kain panjangnya. “Tak ada
pilihan lain,” gumamnya.
“Jangan menggerutu” sahut
Agung Sedayu. “Aku pun akan memanjat pula.”
“Kalau aku tahu di mana
senjata-senjata itu disangkutkan, maka aku pun bersedia untuk memanjat pula.
Tetapi aku tidak tahu, apalagi hari masih gelap” berkata Sutawijaya.
“Huh” desis Swandaru. “Alasan
yang sempurna.”
Sutawijaya tertawa. Dibiarkannya
kedua kawan-kawannya memanjat ke atas. Namun terdengar ia berpesan,
“Berhati-hatilah. Hari masih terlalu gelap.”
Tetapi Swandaru dan Agung
Sedayu kemudian berhasil mengambil seluruh senjata-senjata mereka. Sebatang
tombak, dua batang pedang, tiga buah busur beserta endong panahnya.
Pemimpin prajurit itu terkejut
melihat kelengkapan mereka. Sehingga dengan serta merta ia berkata, “Bukan
main. Kelengkapan kalian telah menambah teka-teki di dalam kepalaku. Siapakah
sebenarnya kalian?”
“Sudah aku katakan,” sahut
Sutawijaya, “kami adalah pengawal Kademangan Sangkal Putung.”
Prajurit itu pun terdiam.
Tetapi teka-teki di dadanya justru menjadi semakin membayang di wajahnya.
Sekali-kali nampak mulutnya berkumat-kumit. Tetapi tak sepatah kata pun keluar
dari mulutnya.
Ketika ketiga anak-anak muda
itu sudah siap dengan senjata masing-masing, maka berkatalah Sutawijaya,
“Marilah. Kami sudah siap.”
Prajurit itu menjadi semakin
bimbang akan penglihatan matanya. Sutawijaya kini tidak lagi kelihatan seperti seorang
gembala. Dibenahinya pakaiannya dan dibetulkannya lipatan ikat kepalanya.
Tampaklah betapa anak itu memiliki beberapa kelebihan di dalam dirinya. Sedang
kedua anak-anak muda yang lain pun berbuat pula serupa. Di lambung mereka kini
tergantung sehelai pedang, dan di punggung mereka tersangkut sebuah busur.
Sedang pada ikat pinggang mereka, tersangkut pula sebuah endong dengan
anak-anak panah di dalamnya.
Nafas prajurit itu tiba-tiba
menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu.
“Marilah” sekali lagi
Sutawijaya mengajak kedua kawan-kawannya dan prajurit itu. “Tetapi sebaiknya
kita tidak melewati jalan. Apakah ada jalan lain yang lebih sepi dari jalan
itu?”
Prajurit itu kini telah
benar-benar terpesona melihat ketiga anak-anak muda itu, sehingga kata-kata
Sutawijaya itu telah memukaunya pula. Tanpa sesadarnya prajurit itu menjawab,
“Ada, kita dapat memintas, lewat pematang di sepanjang parit kecil ini.”
“Bagus” sahut Sutawijaya.
“Hari telah menjadi semakin terang. Aku tidak mau lagi berpapasan terlalu
banyak orang. Mudah-mudahan aku tidak terlambat. Silahkan tuan berjalan di
depan.”
Sekali lagi prajurit itu
melakukan permintaan Sutawijaya tanpa disadarinya. Segera ia meloncat dan
berjalan di paling depan, memintas pematang di sepanjang parit, menyusur ke
sebelah Barat Bukit Baka.
Kini warna semburat merah di
langit sebelah timur sudah menjadi semakin nyata. Satu-satu bintang-bintang
yang bergayutan di udara seakan-akan lenyap ditelan cahaya fajar yang segera
pecah. Ujung-ujung pepohonan telah mulai nampak berkilat-kilat oleh cahaya pagi
yang terpantul dari butir-butir embun yang mengantung di ujung dedaunan.
Sutawijaya dan kawan-kawannya
pun segera mempercepat langkah mereka. Prajurit yang berjalan di depan itu pun
digamitnya sambil berkata, “Aku agaknya akan terlambat.”
“Tidak” sahut prajurit itu.
“Matahari sedang terbit.”
“Saat inilah yang dijanjikan.
Pada saat matahari terbit Argajaya menanti aku di sebelah barat Gunung Baka.”
“Seandainya kau terlambat,
maka saat kelambatanmu tidak ada sepemakan sirih.”
“Aku berharap dapat datang
lebih dahulu sebelum Argajaya. Apalagi apabila kemudian ada orang-orang lain
yang mencoba menonton sabungan ini.”
“Pasti. Aku dapat menduga
bahwa hampir setiap laki-laki di Prambanan akan hadir melihat perkelahianmu
nanti.”
Sutawijaya terdiam. Tetapi ia
melangkah lebih cepat lagi.
Akhirnya ujung Gunung Baka itu
pun menjadi semakin dekat. Di antara semak-semak ilalang tampaklah batu-batu
padas yang menjorok seolah-olah ingin menggapai langit. Tetapi Bukit Baka bukan
pegunungan yang cukup tinggi. Meskipun demikian, namun bukit itu tampak garang
dalam keremangan cahaya fajar.
“Kita harus meloncat ke jalan.
Parit ini akan menyilang jalan ke Gunung Baka.”
“Apakah ada jalan ke
pegunungan itu? Bukankah pegunungan itu seakan-akan pegunungan yang tidak
pernah disentuh kaki?”
“Tidak” sahut prajurit itu.
“Banyak orang yang mencoba mendaki ke puncak itu.”
“Apa yang dicarinya?”
“Bermacam-macam kepercayaan
telah dicengkam penduduk di sekitar tempat ini tentang gunung kecil itu.”
Sutawijaya mengerutkan
dahinya. Tiba-tiba ia berkata, “Kita turun ke Kali Opak. Adalah lebih baik
bagiku menyusur tepian sungai dari pada berjalan lewat jalan itu. Mudah-mudahan
tak banyak orang di sana.”
Prajurit itu tidak menyahut.
Tetapi ia pun segera membelok ke Barat. Meloncat-loncat di antara puntuk-puntuk
padas. Kini mereka sudah meninggalkan tanah persawahan. Mereka telah sampai di
padang ilalang yang jarang. Di sana-sini berserak-serakan batu-batu padas yang
kelabu.
Sesaat kemudian mereka telah sampai
di pinggir tebing Sungai Opak. Tebing yang tidak begitu tinggi, sehingga mereka
tidak mengalami kesukaran untuk meloncat turun.
Kini mereka berempat berjalan
di sepanjang pasir tepi Sungai Opak. Mereka berjalan dengan langkah yang
panjang ke selatan. Janji itu mengatakan, bahwa mereka akan bertemu di pinggir
Kali Opak di sebelah barat Pegunungan Baka.
Sutawijaya terkejut ketika ia
melihat beberapa orang berkerumun di kejauhan. Dengan serta merta ia berkata,
“Apakah kira-kira tempat itu yang disebut oleh Argajaya.”
“Tak ada seseorang yang tahu
pasti, manakah yang dikehendaki oleh Argajaya. Tetapi pasti di sepanjang tepian
ini. Tempat orang berkerumun itu adalah tepat di sebelah barat ujung Gunung
Baka.”
“Mungkin di sana Argajaya
menunggu. Ternyata aku datang terlambat.”
Prajurit itu tidak menyahut.
Mereka berjalan semakin cepat. Sebelum mereka mendekat, berkatalah Sutawijaya
kepada Swandaru, “Sekali lagi aku minta tolong. Bawalah busurku. Aku hanya akan
mempergunakan tombakku.”
Swandaru menarik nafas.
Katanya, “Baiklah. Apakah busurmu tidak sama sekali kau berikan aku Kakang
Agung Sedayu?”
Sutawijaya tersenyum. Tetapi
wajahnya kini menjadi bersungguh-sungguh. Ia tidak lagi dapat bergurau ketika
di hadapannya telah menunggu sekelompok orang yang ingin melihat dirinya
berkelahi antara hidup dan mati.
Swandaru melihat kesungguhan
wajah Sutawijaya itu meskipun sambil tersenyum. Karena itu, maka Swandaru tidak
mau bersenda lagi. Wajahnya pun menjadi bersungguh-sungguh pula ketika kemudian
ia menerima busur dan endong anak panah Sutawijaya.
Mereka berempat kini berjalan
semakin cepat. Namun tak sepatah kata pun yang terucap. Masing-masing terbenam
dalam angan-angannya sendiri.
Tiba-tiba orang-orang yang
berkelompok itu pun mulai bergerak-gerak seperti sarang semut yang tersentuh
tangan. Agaknya seseorang telah melihat kedatangan mereka, dan berita itu pun
telah menjalar ke segenap telingga, sehingga semua orang di dalam kelompok itu
pun berpaling dan memandangi Sutawijaya dan kawan-kawannya.
Sutawijaya menarik nafas.
Sekali ia menengadahkan wajahnya. Seleret sinar memancar di langit yang jernih.
Dari balik Gunung Baka sinar matahari seolah-olah meluncur menghujam ke segenap
penjuru.
“Hem,” guman Sutawijaya,
“matahari telah memanjat naik.”
“Belum secengkang” sahut
prajurit itu.
Sutawijaya terdiam. Dengan
wajah yang tegang ia berjalan selangkah mendekati kelompok yang tiba-tiba
menebar seakan-akan memberikan jalan.
Langkah Sutawijaya pun menjadi
tetap. Tanpa ragu-ragu ia berjalan masuk ke dalam kerumunan orang-orang
Prambanan. Dengan sorot mata yang tajam ia memandang berkeliling. Setiap pasang
mata yang terbentur dengan sorot mata anak muda itu, tiba-tiba terpaksa jatuh
menunduk memandangi pasir tepian. Sorot mata anak muda itu ternyata terlampau
tajam bagi mereka.
Tetapi Sutawijaya belum
melihat orang yang menantangnya. Meskipun hampir seluruh wajah di baris
terdepan telah dipandanginya, tetapi wajah Argajaya belum tampak berada di
tempat itu. Karena itu maka tanpa disadarinya ia bergumam, “Di manakah tamu
yang terhormat itu?”
Sutawijaya berpaling ketika ia
mendengar jawaban di belakangnya, “Belum datang, Ki Sanak.”
Sutawijaya melihat Haspada
telah berada di tempat itu pula. Di sampingnya berdiri Trapsila dan beberapa
orang kawan-kawannya. Di sisi yang lain dilihatnya anak-anak muda saling
bergerombol. Satu dua Sutawijaya masih dapat mengenal. Di sebelah selatan
adalah gerombolan anak-anak Sembojan, sedang di sisi utara adalah anak-anak
Tlaga Kembar. Anak-anak induk kademangan bertebaran hampir di segenap sudut,
sedang anak-anak dari padesan-padesan kecil pun berkumpul di antara mereka.
Orang-orang tua berdiri agak ke belakang. Tetapi agaknya mereka pun ingin
melihat apa yang akan terjadi.
“Apakah Argajaya memilih
tempat yang lain?” bertanya Sutawijaya tanpa ditujukan kepada seorang pun.
Tak ada jawaban. Tetapi
wajah-wajah orang yang mengitarinya seakan-akan membantah kata-katanya itu.
Seakan-akan mereka ingin berkata, “Ini adalah batas Kademangan Prambanan. Ini
adalah tepian Kali Opak di sebelah barat Gunung Baka.”
Tetapi tak seorang pun yang
mengatakannya. Mereka seakan-akan terbungkam dan bahkan terpesona melihat anak
muda yang berdiri di tengah-tengah mereka. Anak muda itu seakan-akan bukan anak
muda yang dilihatnya kemarin. Juga kedua kawan-kawannya itu seakan-akan sama
sekali bukan anak muda yang berkelahi di pendapa. Dengan pedang di lambung dan
busur menyilang di punggung tampaknya mereka menjadi gagah, segagah
prajurit-prajurit Pajang.
“Apakah pemimpin prajurit
Pajang yang datang bersama-sama dengan mereka itulah yang meminjami mereka
senjata?” Pertanyaan itu tumbuh di setiap dada mereka yang berdiri berkerumun
itu.
Namun yang terdengar adalah
suara Sutawijaya, “Aku akan menunggu Argajaya.”
Sutawijaya berkata tidak
terlampau keras. Namun terdengar menyusup dalam-dalam ke dalam telinga
orang-orang yang mengerumuninya. Suara yang terlontar dari bibir anak muda itu
terasa mengandung perbawa yang tajam.
Tetapi ternyata Sutawijaya
tidak perlu menunggu terlampau lama. Kembali orang-orang di dalam kelompok itu
bergerak-gerak. Semua kepala berpaling ke satu arah. Ketika Sutawijaya, Agung
Sedayu, dan Swandaru mengikuti pandangan mereka, terasa dada mereka berdesir.
Di sepanjang jalan kecil yang menembus padang ilalang, tampak beberapa orang
berjalan beriringan. Debu yang tipis tampak berhamburan terlontar dari tanah
yang kering oleh sentuhan kaki-kaki mereka.
Di paling depan berjalan
seorang yang bertubuh tegap kekar. Dengan kepala tengadah ia melangkah
menjinjing sebatang tombak pendek, sependek tombak Sutawijaya. Orang itu adalah
Argajaya. Di belakangnya berjalan kedua orang kawannya, kemudian pemimpin
prajurit yang satu lagi dan beberapa orang prajurit Pajang. Bahkan tampak di
antara mereka Ki Demang Prambanan, Ki Jagabaya yang kurus dan beberapa orang
perabot desa yang lain.
Tanpa disengajanya Sutawijaya
berpaling ke arah pemimpin prajurit yang seorang yang datang bersamanya.
Tampaklah wajahnya menjadi tegang, lebih tegang dari wajah Sutawijaya. Ia
melihat para prajurit bawahannya seakan-akan telah berpihak kepada tamu yang
sombong itu. Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah kehilangan kewibawaan
bagi para prajuritnya. Bahkan Ki Demang Prambanan yang semalam membenarkan
sikapnya, kini agaknya telah berganti pendirian. Seakan-akan apa yang dikatakan
semalam hanyalah suatu mimpi yang kecut. Sekarang ia ingin bersikap lain. Besok
adalah soal besok. Sikapnya baru akan dipikirkannya besok juga.
Tetapi pemimpin prajurit itu
menjadi agak tenang ketika ia melihat Haspada, Trapsila, dan beberapa
kawan-kawannya berada di tempat itu pula. Kalau ia harus memberikan keputusan,
sedang para prajuritnya tidak dapat dikendalikannya lagi, maka ia akan
memerlukan bantuan anak-anak muda Prambanan itu. Bahkan mungkin ia memerlukan
anak-anak Sangkal Putung ini. Ya, anak-anak Sangkal Putung ini mungkin akan
bersedia membantunya.
Kini iring-iringan itu sudah
semakin dekat. Ketika wajah mereka menjadi kian jelas, maka tampaklah bibir
Argajaya dihias oleh senyum yang cerah.
Sejenak orang-orang yang telah
menanti di pinggir Kali Opak itu terpesona melihat kehadiran Argajaya bersama
orang-orang yang mengiringinya, seakan-akan kehadiran seorang pemimpin bersama
dengan anak buahnya, sehingga mereka itu pun kemudian terdiam seperti
orong-orong tersentuh kaki.
Yang mula-mula terdengar
adalah suara Aryajaya menggelegar, “He, agaknya kau telah datang lebih dahulu
anak muda. Ternyata kau benar-benar anak jantan. Aku sangka kau semalam telah
melarikan diri meninggalkan Prambanan kembali ke rumahmu, bersembunyi di balik
selendang ibumu.”
Alangkah menyakitkan hati.
Tetapi Sutawijaya tidak menjawab. Ditungguinya sampai Argajaya semakin dekat.
Sejenak kemudian mereka telah
melintasi rumput-rumput kering di tebing, kemudian berloncatan turun ke tepian.
Para pengikutnya pun segera berloncatan pula. Dan tanpa mereka sadari, mereka
telah membuat suatu kelompok yang seakan-akan terpisah dari kelompok yang lebih
dahulu datang. Bahkan di antara mereka tampak satu dua anak-anak muda Sembojan
dan anak-anak muda Tlaga Kembar yang semalam saling mengejar dan berkelahi.
Ternyata pendapat mereka kini telah terbelah silang menyilang. Anak-anak
Sembojan dan anak-anak Tlaga Kembar sebagian telah datang lebih dahulu bersama
Haspada dan Trapsila.
Sejenak kemudian kembali
terdengar suara Argajaya, “Bagaimanapun juga aku merasa kagum akan
kejantananmu. Meskipun kalian menyadari apa yang kalian hadapi, tetapi kalian
tidak melarikan diri. Sidanti akan bergembira mendengar berita ini. Aku harap
ia akan mendengarnya kelak. Dari salah seorang di antara kalian atau dari aku
sendiri.”
Sutawijaya masih berdiam diri.
Ia tegak seperti tonggak. Sedang Agung Sedayu dan Swandaru berdiri beberapa
langkah di belakangnya.
Ketika Argajaya menjadi
semakin dekat, dilihatnya kini bahwa di tangan Sutawijaya tergenggam sebatang
tombak pendek pula. Ia telah melihat tombak itu sejak ia masih berada di atas
tebing. Tetapi baru kini ia melihat ujung dari tombak yang pendek itu. Tanpa
disadarinya dipandanginya ujung tombaknya sendiri. Tombaknya adalah tombak
pusaka. Tetapi dalam sekilas itu ia dapat melihat, bahwa tombak anak muda itu
pun bukan kebanyakan tombak.
Apalagi kemudian ia melihat
Agung Sedayu dan Swandaru yang berdiri tidak jauh dari Sutawijaya itu. Di
lambungnya tergantung pedang, dan di punggungnya menyilang busur.
Hati Argajaya menjadi
berdebar-debar. Busur itu semuanya berjumlah tiga buah. Pasti milik ketiga anak
itu.
Meskipun demikian ia bertanya,
“He, dari mana kau mendapat pinjaman senjata anak muda?”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Namun ia menjawab, “Senjataku sendiri. Apakah senjatamu itu senjata
pinjaman?”
Argajaya terkejut mendengar
pertanyaan itu. Tiba-tiba sorot matanya menjadi tajam dan dengan nada yang
berat ia menjawab, “Pertanyaanmu terlampau tajam anak muda. Semalam, ketika aku
meninggalkan pendapa banjar desa, hatiku telah sedikit mereda. Aku menganggap
bahwa kalian adalah anak-anak yang patut dikasihani. Meskipun kali ini aku
datang dengan senjata di tangan, tetapi aku telah menjadi lilih. Aku tidak
ingin membunuh seperti semalam. Aku hanya ingin memberimu sekedar peringatan,
bahwa kau telah berbuat kesalahan. Tetapi itu mungkin karena kau sama sekali
belum mengenal kami. Aku mengharap perkenalan pagi ini akan memberimu
kesadaran. Kalau kau dan kedua kawan-kawanmu bersedia minta maaf kepadaku, maka
kalian aku anggap tidak bersalah.”
“Terima kasih, Argajaya” sahut
Sutawijaya. Namun kata-kata selanjutnya sangat mengejutkan, “Aku sudah menduga
bahwa kau bukan seorang yang terlampau jahat. Kau hanya seorang pemarah yang
tidak dapat mengendalikan diri. Tetapi ingat, sikap yang demikian adalah
berbahaya. Berbahaya bagi orang-orang di sekitarmu dan berbahaya bagi dirimu
sendiri. Seperti kau, maka aku pun kini sebenarnya sudah kehilangan gairah
untuk berkelahi. Dan aku pun akan bersedia memberimu maaf seandainya kau
memerlukannya.”
Darah Argajaya yang cepat
mendidih itu pun tiba-tiba bergejolak sampai kepalanya. Tombaknya pun menjadi
gemetar dan wajahnya menjadi merah membara. Tiba-tiba ia berpaling kepada Ki
Demang sambil berkata, “Kau dengar Ki Demang, apa yang dikatakannya? Apakah
salahku apabila aku benar-benar membunuhnya?”
Ki Demang tidak segera
menyahut. Dilihatnya setiap wajah menjadi tegang. Wajah para prajurit pun
menjadi tegang pula. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya
pun tidak dapat mengerti, kenapa tiba-tiba sikap anak muda itu menjadi semakin
keras dan semakin tajam.
“Apa katamu, he Ki Demang?”
Demang Prambanan terkejut.
Tergagap ia menjawab, “Ya, ya, salahnya. Salahnya sendiri. Aku telah mendengar
kata-katanya yang tidak sopan itu.”
“Nah,” tiba-tiba pemimpin
prajurit yang lain, yang datang bersama Argajaya menyambung, “apa kataku. Ia
telah menghina Prambanan dalam keseluruhan.”
Argajaya itu pun kemudian
mengangkat wajahnya. Sambil memandang berkeliling ia berkata, “Lihatlah, betapa
anak muda dari Sangkal Putung itu telah mencoba membunuh dirinya sendiri.
Kalian menjadi saksi, bahwa aku bersedia memaafkannya, apabila ia dengan baik
dan penuh penyesalan minta kepadaku. Tetapi kalian telah mendengar jawabnya.”
Terdengar suara bergumam di
belakang mereka. Salah seorang yang telah setengah baya berkata lirih, “He,
anak yang keras kepala. Kenapa kesempatan itu dilewatkannya.”
Yang terdengar kemudian adalah
suara Argajaya pula, “Sekarang adalah terserah kepadaku. Bagaimanapun aku akan
menyelesaikan persoalan ini.”
Kembali setiap mulut menjadi
terbungkam. Namun setiap jantung berdetak semakin keras. Sebagian dari mereka
menyesali anak muda dari Sangkal Putung itu. Kesempatan yang diberikan oleh
Argajaya akan dapat menyelamatkan mereka. Tetapi kesempatan itu tidak
dipergunakannya.
Argajaya itu pun kemudian maju
beberapa langkah mendekati Sutawijaya yang berdiri tegak seperti patung.
Wajahnya yang merah membara itu pun kemudian tersenyum, meskipun terasa betapa
senyum itu hambar. Katanya, “Hem, kau memang anak muda yang keras hati. Kau
ingin tahu dari mana aku mendapat senjata? Senjata ini adalah pusaka dari
Menoreh. Kau ingin tahu namanya? Namanya Kiai Petit. Apalagi? Bertanyalah
sebelum kau kehilangan kesempatan.”
“Tidak,” jawab Sutawijaya
singkat.
“Nah, sekarang katakan
kepadaku, siapakah yang memberimu senjata?” bertanya Argajaya. Tetapi matanya
berkisar memandangi pemimpin prajurit yang datang bersama Sutawijaya. Dada
prajurit itu berdesir. Ia merasa, bahwa Argajaya berprasangka kepadanya, dengan
demikian, apabila pekerjaan Argajaya atas Sutawijaya selesai, maka hubungannya
dengan tamu itu pasti tidak akan baik. Bahkan mungkin anak buahnya sendiri pun
akan bersikap tidak baik pula kepadanya.
Tetapi ia menarik nafas
dalam-dalam ketika ia mendengar jawaban Sutawijaya, “Setiap laki-laki Sangkal
Putung pasti bersenjata. Sebab laki-laki Sangkal Putung adalah
pengawal-pengawal kademangannya menghadapi sisa-sisa laskar Arya Penangsang.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dan sekali lagi ia melihat ujung tombak Sutawijaya. Tombak itu bukan
tombak kebanyakan.
“Bagus” sahut Argajaya.
“Mungkin kau pernah mendapat ilmu dari Sidanti. Mungkin dari para prajurit yang
lain. Tetapi ternyata kau menjadi terlampau sombong. Sekarang tentukan sikapmu
yang terakhir.”
“Aku menunggu kau minta maaf
kepadaku dan berjanji untuk bertingkah laku baik dan sopan” jawab Sutawijaya.
Jawaban itu telah menutup
setiap kemungkinan untuk mengurungkan perkelahian. Argajaya benar-benar menjadi
gemetar. Matanya menyala seperti bara. Terdengar giginya gemeretak. Dan dengan
suara gemetar ia berkata, “Bersiaplah. Kau telah membakar kemarahanku kembali
setelah aku bersedia memaafkanmu.”
“Kau juga telah membuat aku
marah” sahut Sutawijaya lantang.
Argajaya sudah tidak dapat
mengendalikan dirinya lagi. Selangkah ia maju, dan tombaknya pun kini telah
terangkat setinggi dada.
Namun Sutawijaya telah bersiap
pula. Sekali ia berpaling kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Kedua kawannya itu
pun berdiri dengan tegangnya. Namun ketika Sutawijaya telah hampir mulai,
mereka melangkah menjauhi satu sama lain, sekan-akan mereka ingin melihat
perkelahian itu dari arah yang berbeda.
Argajaya dan Sutawijaya kini
telah berdiri berhadap-hadapan. Tombak-tombak mereka telah mulai bergetar
karena getar jantung mereka yang menjadi semakin cepat. Tetapi agaknya mereka
masih saling menanti agar lawan-lawannyalah yang mulai menggerakkan senjatanya.
Matahari kini telah merayap
naik semakin tinggi. Warna-warna merah di langit telah menjadi semakin bening.
Lamat-lamat terdengar burung-burung liar menyambut pagi. Sama sekali tidak
dihiraukannya ujung-ujung tombak yang telah siap berbicara di pinggir Sungai
Opak.
Sutawijayalah yang kemudian
sekali lagi memancing kemarahan lawannya supaya kehilangan pengekangan diri. Ia
mengharap bahwa lawannyalah yang akan menyerangnya lebih dahulu. Karena itu
maka katanya, “Argajaya. Ternyata kau tidak mendengarkan kata-kataku. Karena
itu, maka aku tidak akan dapat memberimu ampun lagi, meskipun kau paman
Sidanti. Aku ingin memberitahukan pula kepada Sidanti, bahwa sikap yang
demikian seperti yang kau lakukan, adalah sikap yang tercela. Apalagi kau ingin
membuat daerah ini menjadi semakin parah dengan segala macam kemaksiatan itu.”
Ternyata Sutawijaya berhasil.
Ia tidak sempat menyelesaikan kalimatnya. Dengan garangnya Argajaya meloncat
sambil menggerakkan tombaknya langsung mematuk dada Sutawijaya.
Semua orang yang melihat
gerakan itu terkejut. Mereka yang sedang berdebar-debar mendengar kata-kata
Sutawijaya yang tajam itu dengan serta-merta telah melihat Argajaya meloncat
secepat kilat. Namun Sutawijaya telah benar-benar siap menanggapi setiap
serangan. Juga serangan Argajaya ini pun telah diperhitungkannya. Dengan
demikian, maka dengan tangkasnya pula ia menarik tubuhnya selangkah ke samping.
Dengan merendahkan dirinya sedikit, Sutawijayalah yang kini mencoba menusuk
lambung lawannya.
Argajaya terkejut melihat
sambutan itu. Menilik tata geraknya, maka Argajaya menyadari, bahwa lawannya
bukanlah sekedar seorang anak muda yang pernah belajar bermain tombak pada
seorang prajurit saja, meskipun prajurit itu bernama Sidanti. Karena itu, maka
sikap Sutawijaya itu merupakan peringatan baginya, untuk bersikap lebih
hati-hati dan waspada.
Sambil menggeliat, Argajaya
menghindarkan dirinya. Dengan tombaknya ia menangkis serangan Sutawijaya.
Dengan demikian maka kedua tombak itupun bersentuhan. Namun dari sentuhan itu
terasa betapa kekuatan masing-masing seakan-akan telah menjalari tangan-tangan
lawannya.
Argajaya terkejut ketika
terasa tangannya tergetar. Sentuhan itu bukanlah suatu benturan yang keras.
Namun sentuhan itu telah cukup menggetarkan tangannya. Karena itu, maka
kemarahannya pun menjadi semakin memuncak. Agaknya di tempat ini ia akan
bertemu dengan seorang lawan yang tangguh di luar dugaannya.
Sutawijaya pun merasakan
sentuhan itu. Ia pun merasakan betapa kekuatan tangan Argajaya mengguncang
tangannya. Tetapi tiba-tiba Sutawijaya tersenyum di dalam hatinya. Ternyata
Argajaya bukanlah orang yang perlu ditakuti. Ia merasa bahwa setidak-tidaknya
ia mempunyai kesempatan yang sama dengan lawannya.
Demikianlah maka perkelahian
itu semakin lama menjadi semakin seru. Argajaya benar-benar tidak hanya
menakut-nakuti namanya saja. Tetapi tandangnya benar-benar ngedab-edabi.
Seperti rajawali di langit ia menyambar-nyambar lawannya, kemudian tombaknya
mematuk-matuk seperti anak panah yang meluncur dari segenap penjuru.
Orang-orang Prambanan yang telah mengaguminya menjadi semakin kagum. Mereka tidak
menyangka, bahwa sampai sedemikian dahsyatnya tata gerak tamunya yang perkasa
itu. Tetapi ketika mereka telah menyaksikannya sendiri, maka kekaguman mereka
menjadi kian bertambah-tambah. Para prajurit pun menjadi kagum pula. Mereka
telah sering melihat peperangan yang dahsyat. Bahkan merekapun pernah melihat
beberapa orang yang luar biasa berkelahi. Namun mereka masih juga menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka melihat betapa Argajaya menggerakkan tombaknya.
Tetapi lebih daripada itu, di
samping kekaguman mereka yang menggetarkan dada mereka, maka lebih-lebih lagi
anak muda dari Sangkal Putung itu. Para prajurit itu pun berdiri dengan dada
berdebar-debar melihat tandang Sutawijaya. Tanpa mereka sangka-sangka dengan
lincahnya anak muda itu dapat mengimbangi tata gerak Argajaya yang garang.
Sehingga semakin seru perkelahian itu, maka semakin keraslah degup jantung
mereka. Dan semakin keraslah dentang pertanyaan di dalam kepalanya, “Siapakah
sebenarnya anak-anak muda itu?”
Pemimpin prajurit yang seorang,
yang datang bersama-sama dengan Sutawijaya pun menjadi heran bukan buatan.
Tetapi tanpa disadarinya sendiri seolah-olah ia berdiri di pihak Sutawijaya.
Karena itu, tanpa disadarinya pula, merayaplah perasaan bangga membakar
hatinya. Tanpa disadarinya ia mengarap agar Sutawijaya mampu mempertahankan
dirinya, setidak-tidaknya menyelamatkan diri sendiri. Adalah di luar sadarnya,
bahwa ia pun kemudian tidak menyenangi sikap tamunya yang merasa dirinya
melampaui segala-galanya itu. Argajaya ternyata bukan orang yang luar biasa.
Kini ia dihadapkan pada seorang anak muda dan anak muda itu ternyata mampu
mengimbanginya.
Bukan saja prajurit yang
seorang itu yang menjadi tegang. Prajurit-prajurit yang lain pun menjadi tegang
pula. Ki Demang Prambanan dan anak-anak muda kademangan itu, Haspada dan
Trapsila melihat perkelahian itu dengan tanpa berkedip. Dadanya serasa
dihinggapi perasaan yang aneh. Sutawijaya telah benar-benar mempesona mereka.
Demikanlah setiap orang yang
melihat perkelahian itu telah dicengkam pula oleh suatu perasaan yang tidak
mereka mengerti sendiri. Wajah-wajah mereka semakin lama menjadi semakin
tegang, ketika tombak-tombak di arena perkelahian itu pun menjadi semakin cepat
berputar.
Adalah suatu kebetulan bahwa
Argajaya pun seorang yang menguasai senjatanya yang berbentuk tombak itu,
seperti yang dipergunakan oleh Sutawijaya pula. Kedua tombak itu seolah-olah
menari-nari berloncat-loncatan, bersentuhan dan bahkan berbenturan satu dengan
yang lain. Kedua pasang tangan yang menggerakkannya adalah pasangan-pasangan
tangan yang benar-benar cekatan dalam olah senjata.
Argajaya sama sekali tidak
menyangka, bahwa ia akan bertemu dengan anak muda seperti yang sedang
dilawannya itu. Hapir-hampir ia tidak dapat mempercayainya bahwa ujung
tombaknya sama-sekali tidak berdaya meyentuh tubuh lawannya. Bahkan
sekali-sekali tubuhnya sendiri hampir-hampir tersobek oleh senjata lawannya.
Dengan demikian, maka kemarahannya pun setiap saat menjadi kian berkobar di
dalam dadanya. Namun betapapun ia berusaha, tetapi kemungkinan dari akhir
perkelahian itu tidak ditentukannya sendiri. Akhir dari perkelahian itu adalah
tergantung pada kedua belah pihak. Adalah sudah sewajarnya apabila
masing-masing pihak ingin segera memenangkannya dalam keadaan serupa itu.
Apalagi Argajaya. Tetapi lawannya bukan sekedar menerima nasib yang ditentukan
olehnya. Bahkan lawannya pun mempunyai kemungkinan yang sama besarnya dari pada
dirinya sendiri.
Pasir tepian itu pun kemudian
menjadi seolah-olah diaduk dengan bajak. Bekas-bekas kaki mereka telah membuat
sebuah arena yang luas. Keduanya berloncatan menghindar dan menyerang. Berputar
dan berguling-guling di pasir. Dengan demikian, maka pakaian-pakaian mereka
menjadi kotornya. Pakaian yang basah karena keringat itu, kemudian dilekati
oleh pasir yang lembut.
Orang-orang Prambanan
benar-benar seperti dicengkam oleh suatu perasaan yang dahsyat. Perkelahian itu
adalah perkelahian yang belum pernah mereka saksikan. Perkelahian antara dua
orang yang perkasa. Jangankan orang-orang Prambanan bahkan para
prajurit-prajurit Pajang pun menjadi kagum melihat tata gerak mereka.
Argajaya yang marah itu pun
berjuang semakin dahsyat. Berbagai perasaan telah mendorongnya untuk
memenangkan perkelahian itu. Ia adalah seorang tamu yang dihormati, yang telah
menunjukkan beberapa kelebihan yang mengherankan orang-orang Prambanan dan prajurit-prajurit
Pajang di Prambanan. Dengan tombaknya itu ia mampu membunuh seekor harimau yang
besar dan garang. Sedang kini yang dihadapinya hanyalah seorang anak muda
Sangkal Putung. Perasaan malu telah menggelitik hatinya. Sudah sekian lama ia
berkelahi, tetapi belum tampak suatu tanda bahwa ia mampu menguasai keadaan.
Tetapi ia tidak menyadari
siapakah yang berdiri sebagai lawannya. Sutawijaya yang setelah berkelahi
beberapa lama, segera dapat mengerti sampai di mana kemampuan Argajaya.
Meskipun perkelahian itu masih berlangsung dengan serunya, seakan-akan dua
tenaga raksasa yang sedang beradu, namun kembali Sutawijaya tersenyum di dalam
hati. Ia kini tahu benar bagaimana ia harus menghadapi Argajaya. Di dalam
hatinya Sutawijaya itu bergumam, “Belum melampaui Sidanti.”
Meskipun demikan Sutawijaya
tidak berusaha secepatnya memenangkan perkelahian itu. Kekecewaannya atas
keadaan yang telah disaksikannya di kademangan ini telah memaksanya berbuat
sesuatu. Ia ingin menguasai perhatian orang-orang Prambanan atasnya, supaya
mempunyai wibawa yang cukup untuk dapat berbuat sesuatu.
Sebagai seorang putra dari
Panglima Wira Tamtama Pajang, maka keadaan di Prambanan telah benar-benar
menyinggung perasaan Sutawijaya. Sikap para prajurit dan sikap anak-anak
mudanya. Karena itu selagi ia berada di Prambanan maka apa yang dapat dilakukan
untuk membantu tugas ayahnya, akan dilakukan. Ia ingin mempergunakan caranya
sendiri untuk itu. Cara seorang anak muda pula.
Orang-orang yang berdiri di
seputar arena perkelahian itu masih melihat perkelahian itu berlangsung dengan
sengitnya. Mereka masih melihat keduanya meloncat-loncat dan berputar-putar.
Menyerang dan menghindar. Mereka masih melihat kedua batang tombak itu saling
berbenturan dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya.
Sekali-kali terdengar Argajaya
menggeram. Dengan garangnya ia menerkam dada Sutawijaya dengan ujung tombaknya.
Tetapi setiap kali tombaknya selalu berputar dari arahnya. Ternyata tombak
Sutawijaya sangat lincah. Lebih lincah dari tombak Argajaya.
Demikianlah ketika perkelahian
itu telah berlangsung beberapa lama, maka sampailah Sutawijaya pada rencananya
untuk mempengaruhi orang-orang Prambanan. Argajaya telah mendapat kehormatan
yang luar biasa karena orang-orang Prambanan telah melihat ketrampilannya bermain
dengan senjatanya. Menurut mereka, Argajaya dapat berburu harimau hanya dengan
tombak pendek itu. Tetapi kini Sutawijaya tidak ingin berburu harimau, tetapi
dengan tombak pendeknya itu ia ingin menjatuhkan Argajaya di hadapan
orang-orang Prambanan yang mengaguminya. Ia harus membuat para prajurit itu
menilai dirinya, supaya para prajurit itu kemudian mendengarkan kata-katanya
seperti mereka mendengarkan kata-kata Argajaya.
Matahari yang melambung di
langit kini sudah menjadi semakin tinggi. Sinarnya menjadi semakin cerah dan
panas. Angin yang bertiup dari Selatan menggerak-gerakkan daun ilalang dan
mengusap wajah-wajah yang tegang di pinggir Kali Opak.
Wajah-wajah yang tegang itu
menjadi semakin tegang. Tiba-tiba mereka melihat betapa tata gerak Sutawijaya
menjadi semakin lincah. Tombaknya menjadi semakin cepat bergetar, berputar dan
mematuk dari segenap arah. Sepasang tangan anak muda itu seakan-akan telah
berubah menjadi berpuluh-puluh pasang tangan dengan berpuluh-puluh tombak di
dalam genggaman.
Argajaya terkejut pula melihat
perubahan itu. Untuk meyakinkan dirinya, Argajaya terpaksa meloncat surut.
Tetapi ia tidak berhasil memisahkan dirinya dari lawannya yang masih muda itu.
Beberapa kali ia ingin melihat lawannya dan mencoba menilai keadaan. Tetapi beberapa
kali pula lawannya selalu membawanya dalam keadaan yang sulit.
Kemarahan Argajaya pun menjadi
semakin memuncak pula sejalan dengan meningkatnya tata gerak Sutawijaya. Bahkan
kemudian anak muda itu menjadi agak membingungkannya. Sekali-kalli ia terpaksa
meloncat jauh-jauh untuk menghindarkan diri dari kebingungan. Namun demikian ia
terlepas, demikian lawannya telah siap memaksanya menjadi sibuk dan bingung
kembali.
Sejenak Argajaya masih belum
berhasil mengerti, apakah yang sebenarnya dihadapi. Namun semakin lama, maka
orang itu pun menjadi semakin menyadari keadaannya. Tetapi dengan demikan ia
dihadapkan pada pertentangan di dalam dirinya sendiri. Ia tidak mau melihat
kenyataan itu. Ia tidak mau mengerti apa yang sudah mulai dilihatnya. Dengan penuh
kemarahan ia mendesak setiap perasaan di dalam dadanya yang mengatakan lawannya
adalah anak muda yang pilih tanding.
“Anak setan itu harus mampus”
geramnya di dalam hati. Ia mencoba membutakan dirinya dari kenyataan yang
dihadapinya. Meskipun setiap kali ia terdesak mundur dan bahkan beberapa kali
ia harus jatuh berguling-guling di atas pasir tepian untuk menghindari kejaran
ujung tombak lawannya, namun ia masih juga sesumbar di dalam hatinya, “Kubunuh
anak setan ini apabila ia tidak mau mohon maaf kepadaku.”
Sutawijaya kini benar-benar
sudah sampai pada puncak permainannya. Ia harus meyakinkan kemenangannya kepada
orang-orang Prambanan dan para prajurit Pajang yang melihat pertempuran itu. Ia
tidak sekedar mendapat kesempatan karena kelengahan Argajaya. Tetapi setiap
orang harus yakin bahwa memang anak muda yang menyebut dirinya pengawal Sangkal
Putung itu melampaui ketangkasan dan keperwiraan lawannya.
Meskipun demikian Sutawijaya
masih sadar, bahwa ia tidak sepatutnya menciderai lawannya. Ia ingin manunjukkan
sikap yang baik. Namun ia mempunyai pula maksud yang lain. Karena itu maka ia
harus menundukkan Argajaya dalam keadaan hidup.
Dalam kemarahannya Argajaya
menjadi semakin garang. Tandangnya menjadi semakin keras dan kasar. Tetapi
dengan demikian maka ketenangannya pun menjadi semakin kabur. Bahkan yang
tampak kemudian hanyalah nafsunya yang menggelepar di dalam dadanya. Tetapi kemampuannya
sama sekali tidak dapat mengimbanginya.
Sutawijaya yang menjadi
semakin yakin dalam menilai lawannya, menjadi semakin matap. Dengan suatu
gerakan yang tiba-tiba ia berhasil mengejutkan Argajaya, sehingga orang itu
meloncat surut. Tetapi dengan tangkasnya anak muda itu memburu, tombaknya
berputar membingungkan. Namun tiba-tiba tombak itu mematuk lambung.
Sekali lagi Argajaya terkejut.
Namun ia masih mempunyai kesempatan untuk menangkis serangan itu. Dengan
tombaknya ia berusaha memukul tombak Sutawijaya. Tetapi tombak Sutawijaya itu
tiba-tiba bergetar dan berputar menghindari tombak Argajaya sehingga kedua
tombak itu sama sekali tidak bersentuhan.
Dalam keadaan yang demikain,
Sutawijaya mempunyai kesempatan yang baik, selagi Argajaya sedang dalam batas
keseimbangan. Gerakannya yang tidak dapat diperhitungkan oleh Argajaya telah
mendorong orang itu sehingga ia tidak dapat menguasai keseimbangannya lagi.
Dengan susah payah, Argajaya meloncat supaya ia tidak jatuh. Tatapi dalam
keadaan itu, kembali serangan Sutawijaya melandanya.
Kali ini serangan itu
benar-benar telah membingungkan Argajaya. Ia tidak mampu lagi menghindar.
Dengan demikian maka kesempatan satu-satunya baginya adalah menangkis serangan
itu. Tetapi dalam pada itu keseimbangannya sudah hampir-hampir tidak lagi dapat
dikuasainya.
Demikianlah Argajaya yang
garang itu kini benar-benar dalam keadaan yang sulit. Tombak Sutawijaya yang
menyergapnya seakan-akan telah hampir menghunjam di dadanya.
Tetapi Argajaya tidak mau
dadanya dilubangi dengan ujung tombak anak yang menyebut dirinya pengawal
Sangkal Putung itu. Dengan kekuatannya yang disalurkannya pada tangannya ia
memukul tombak Sutawijaya. Namun dalam pada itu dibiarkannya dirinya terjatuh
untuk segera berguling-guling menjauhi lawannya. Tetapi Sutawijaya tidak
melepaskan kesempatan ini. Dengan sekuat tenaga pula ia membenturkan tombaknya
pada tombak lawannya. Ia tidak lagi berusaha menusuk dada, tetapi ia berusaha
melawan pukulan tombak Argajaya.
Maka terjadi benturan yang
keras di antara keduanya. Tetapi keadaan Sutawijaya jauh lebih baik dari
lawannya, sehingga karena itu, maka Sutawijaya mempunyai kesempatan lebih
banyak untuk mengerahkan kekuatannya.
Demikian, maka terjadilah hal
yang tidak tersangka-sangka bagi orang-orang yang mengerumuni perkelahian itu.
Apalagi bagi mereka yang membabi buta mengagumi Argajaya yang perkasa itu.
Dengan dada yang berdebar-debar dan darah yang seakan-akan membeku mereka
melihat tombak Argajaya terlontar dari tangannya dan terjatuh beberapa langkah daripadanya.
Argajaya sendiri terkejut
bukan buatan. Tetapi tangannya yang nyeri itu sama sekali sudah tidak mampu
untuk menahan senjatanya. Dengan kemarahan yang memuncak sampai ke ubun-ubun ia
menggeram keras. Beberapa kali ia berguling menjauhi lawannya, kemudian seperti
singgat ia melenting dengan lincahnya. Namun kembali ia terkejut bukan
kepalang. Kembali dadanya berguncang seperti tertimpa reruntuhan Candi
Jonggrang yang megah itu ketika tiba-tiba, tepat pada saat kakinya berjejak di
atas tanah, terasa ujung tombak Sutawijaya menyentuh bajunya, tepat
dilambungnya. Dengan suara perlahan-lahan namun penuh tekanan terdengar suara
anak muda itu, “Sayang. Tombakmu kau lempar Tuan.”
Argajaya berdiri tegak seperti
patung. Ujung tombak Sutawijaya kini tidak sekedar menyentuhnya, tetapi ujung
tombak itu kini tertekan pada lambungnya. Betapapun kemarahan membakar
jantungnya, namun Argajaya terpaksa tidak berbuat sesuatu. Ia berdiri saja
dengan mata yang menyala.
Bukan saya Argajaya yang
berdiri tegak seperti patung di tengah-tengah arena perkelahian itu.
Orang-orang yang menyaksikan perkelahian dengan jantung yang tegang itu pun
seakan-akan merasa ujung tombak itu melekat di lambung masing-masing, sehingga
tak seorang pun di antara mereka yang berani menggerakkan tubuhnya. Bahkan
nafas mereka pun menjadi tersendat-sendat dan dada mereka pun menjadi sesak.
Tombak itu masih melekat di
lambung Argajaya. Ujung tombak itu sama sekali tidak bergetar. Tangan yang
menggengamnya adalah tangan yang yakin akan kemampuannya.
Arena yang hiruk-pikuk oleh
perkelahian itu, kini menjadi sunyi tegang. Wajah-wajah yang membeku,
tubuh-tubuh yang kaku dan nafas yang tersengal-sengal tampak di seputar
Argajaya dan Sutawijaya yang masih belum berkisar dari tempatnya.
Yang terdengar memecah
kesepian itu adalah suara Sutawijaya, “Bagaimana, Tuan?”
“Bunuh aku” suara itu bergetar
di antara bibir Argajaya yang dibakar oleh kemarahannya. Wajahnya yang membara
kini bagaikan menyala.
“Hem” Sutawijaya menarik
nafas, “Kau benar-benar berhati jantan. Tetapi aku bukan pengecut yang membunuh
lawan tanpa senjata.”
“Bunuh, jangan menghina.”
“Tidak. Aku hanya akan
membunuhmu selagi senjatamu masih di tangan.”
Argajaya tidak menjawab.
Kemarahannya hampir meledakkan dadanya. Tetapi ujung tombak itu masih melekat
di lambungnya.
Tiba-tiba semua semua orang
yang berdiri di sekitar keduanya terkejut. Agung Sedayu dan Swandaru pun
terkejut ketika mereka mendengar Sutawijaya berkata, “Kalau kau masih berani,
ambil senjatamu. Aku akan membunuhmu apabila kau masih berani melawan aku.”
Bukan main panas hati
Argajaya, seakan-akan hati itu kini berpijar. Terdengar ia menggeram. Namun
sekali lagi telinganya mendengar Sutawijaya berkata, “Ambil tombakmu, supaya
aku dapat membunuhmu. Kalu kau tidak berani maka pergilah. Kembali ke ibumu dan
sembunyi di belakang selendangnya.”
Argajaya tidak dapat lagi
menahan hatinya. Tiba-tiba kakinya terayun memukul tombak Sutawijaya. Namun
Sutawijaya sudah bersiaga. Diangkatnya tombaknya, sehingga ujung kaki itu sama
sekali tidak menyentuh senjatanya. Sambil tersenyum ia meloncat mundur dan
berkata lantang, “Bagus. Kau ternyata bukan seorang pengecut. Aku beri
kesempatan kau memungut senjata itu. Kita berhadapan dengan senjata
masing-masing di tangan.”
“Kau akan menyesal anak
iblis!” geram Argajaya.
Sutawijaya masih tersenyum. Ia
berdiri tegak sambil menunjuk tombak Argajaya, “Ambil. Ambilah. Aku tidak akan
menusuk punggungmu selagi kau membungkuk memungut tombak itu.”
“Kau benar-benar akan
menyesal. Ingat, aku tidak akan memberi kau kesempatan. Aku benar-benar akan
membelah dadamu.”
Sutawijaya tertawa. Selangkah
ia mundur, sambil berkata, “Ambilah. Ambilah jangan ragu-ragu. Ada dua
kesempatan yang aku berikan kepadamu kini. Mengambil senjata itu untuk melawan
dan kemudian mati, atau berjongkok minta ampun kepadaku. Pengawal Kademangan Sangkal
Putung.”
Kata-kata itu serasa
merontokkan jantung Argajaya. Sekali ia meloncat dengan lincahnya dan tombaknya
kini telah digenggamnya kembali.
Tanpa menunggu lebih lama
lagi, Argajaya pun telah mulai perkelahian itu kembali. Tombaknya kembali berputar
dan mematuk-matuk lawannya. Tandangnya yang dilambari kemarahan yang memuncak
tanpa terkendali benar-benar mengerikan. Tetapi justru karena itu, maka
perhitungannya pun menjadi semakin kabur. Tanggapannya atas lawannya yang masih
muda menjadi kabur pula.
Sutawijaya melayaninya dengan
tenang. Semakin garang lawannya maka ia pun menjadi semakin tenang. Ia semakin
banyak melihat kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh Argajaya, justru karena
kemarahan itu.
Orang-orang yang menyaksikan
perkelahian itu benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang memuncak pula.
Beberapa orang menjadi kabur menilai perkelahian itu. Beberapa orang menjadi
bingung dan beberapa orang menjadi gelisah. Terutama para prajurit Pajang di
Sangkal Putung.
Kemenangan bagi Sutawijaya
berarti penghinaan pula bagi mereka itu. Apalagi kemudian Argajaya terbunuh,
maka mungkin sekali mereka pun akan mendapat bencana. Ketika terpandang olehnya
pemimpinnya yang datang bersama-sama dengan anak muda yang berkelahi itu, maka
dada mereka berdesir. Apakah kira-kira yang akan dilakukannya? Para prajurit
itu merasa, bahwa sedikit banyak mereka telah menentang atau mengabaikan
pemimpinnya itu.
Tetapi yang mereka cemaskan
itu pun mendekati kenyataan. Argajaya kembali terdesak. Orang yang garang itu
hampir-hampir tidak mendapat kesempatan untuk berbuat apapun.
Sekali lagi orang-orang yang
mengerumuni arena itu menahan nafas ketika mereka melihat Argajaya terdesak
jauh ke belakang. Orang itu terpaksa meloncat-loncat dan terus-menerus
menghindar mundur. Sedang Sutawijaya pun nampaknya menjadi garang dan
berbahaya.
Akhirnya sekali lagi mereka
melihat sebuah serangan Sutawijaya membadai. Argajaya yang menjadi semakin
lemah kehilangan setiap kesempatan untuk menghindar. Maka terulanglah apa yang
pernah terjadi. Tombak Sutawijaya memukul tangkai tombak Argajaya, sehingga
tombak pendek itu sekali lagi terlepas dari tangannya.
Dengan gerak naluriah Argajaya
meloncat mundur. Tetapi kali ini Sutawijaya tidak mengejarnya. Kali ini
Sutawijaya tidak menekankan ujung tombaknya ke dada lawannya. Dibiarkannya
lawannya berdiri tegak dengan nafas terengah-engah.
Sutawijaya memandanginya
dengah wajah terangkat. Dengan nada suara yang tinggi ia bertanya, “He, kenapa
tombakmu kau lepaskan lagi, Tuan?”
Argajaya tidak menjawab.
Sutawijaya yang telah menjadi
cukup hangat hatinya bertanya, “Apakah kau mencoba menyelamatkan dirimu dengan
cara pengecut itu?”
Terdengar gigi Argajaya
gemeretak.
“Kau tahu aku tidak akan
membunuh orang yang tidak bersenjata. Karena itu ketika aku hampir berhasil
membunuhmu kau lepaskan senjatamu” desis Sutawijaya
Argajaya menggeram karena
marah. Terasa seakan-akan di dalam dadanya berpijar segumpal bara. Tetapi ia
tidak dapat menumpahkan kemarahannya.
“Ambil senjatamu kalau kau
laki-laki” desis Sutawijaya.
Tetapi harga diri Argajaya
menyentak di dalam hatinya.
Katanya kasar, “Ternyata kau
pun pengecut. Kau tidak berani melihat darah. Kalau kau jantan, bunuh aku tanpa
memejamkan mata.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Darah mudanya tersentuh. Tetapi kemudian ia tertawa sambil berkata,
“Kau benar-benar berani. Kalau demikian, apakah kau tidak sengaja melepaskan
tombakmu?”
Pertanyaan itu tidak kalah
tajamnya menusuk jantungnya. Sekali lagi ia menggeram. Tetapi ia tidak dapat
berbuat sesuatu. Dengan demikian, maka alangkah sakit hatinya. Lebih baik
dadanya segera ditembus senjata dari pada menerima penghinaan itu.
Tetapi Sutawijaya sama sekali
tidak ingin membunuhnya. Sekali lagi ia akan meyakinkan sikap lawannya.
Katanya, “Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Ambil tombakmu.”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas.
“Aku akan mati bersama harga diriku” ambungnya.
“Apakah kau akan minta maaf?”
bertanya Sutawijaya.
“Tidak. Aku tidak akan minta
maaf. Aku masih menunggu kau minta maaf kepadaku. Dan aku akan memaafkanmu.
Kalau tidak maka sikapku tidak akan berubah. Matilah yang merubah pendirianku
itu.”
“Bagus. Kau adalah seorang
yang berani dan sombong” sahut Sutawijaya. “Tetapi sayang. Aku tidak akan
membunuhmu. Sudah aku katakan, aku tidak dapat membunuh orang yang tidak
bersenjata.”
“Pengecut. Kau tidak berani
melihat darah musuhmu. Apalagi darahmu sendiri. Setetes darah dari tubuhmu,
akan menjadikan kau mati ketakutan.”
“Untunglah, kau tidak berhasil
meneteskan darahku” sahut Sutawijaya pula.
Kembali Argajaya menggeram.
Darahnya serasa mendidih dan kepalanya seakan-akan menyala.
“Aku beri kesempatan kau untuk
lain kali. Kau dapat mengambil senjatamu dan pergi meninggalkan Prambanan.”
“Sekehendakku. Aku bukan
bawahanmu, bukan budakmu. Kalau kau tidak senang melihat aku di sini, bunuhlah
aku, aku tidak takut. Tetapi jangan mencoba memerintah.”
Sutawijaya mengerutkan
keningnya. Orang itu benar-benar keras kepala. Dengan wajah yang bersungguh-sungguh
Sutawijaya berkata, “Kau harus pergi meninggalkan Prambanan.”
“Jangan kau ulangi, anak
setan! Itu urusanku.”
“Baik. Apabila kau tidak akan
pergi terserah kepadamu. Ternyata kau tidak mempunyai rasa harga diri seperti
yang kau ucapkan. Kau sama sekali tidak malu melihat berpasang-pasang mata
menyaksikan kekalahanmu.”
Kata-kata Sutawijaya itu
terasa jauh lebih pedih menusuk jantungnya dari ujung tombak. Karena itu, maka
terdengar gemeretak gigi Argajaya mengeras. Namun ia masih juga berdiri tak
bergerak.
“Nah, apakah kau akan tetap
tinggal di sini?” bertanya Sutawijaya.
“Itu urusanku, tahu!” bentak
Argajaya. “Jangan kau tanyakan lagi. Aku akan tetap tinggal di sini atau aku
akan pergi adalah sepenuhnya tergantung padaku. Kalau kau tidak senang
melihatnya, kau dapat membunuh aku. Ancaman apapun yang kau ucapkan sama sekali
tidak bernilai bagiku.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Ia mencoba menguasai perasaannya yang mulai bergetar. Argajaya
memang seorang yang keras hati.
Ketegangan perasaan
orang-orang yang menyaksikan sikap keduanya pun menjadi bertambah-tambah.
Mereka menjadi heran melihat kenapa Sutawijaya masih tetap bersabar tidak
membunuh lawannya yang keras kepala itu, tetapi sebagian dari mereka menjadi
semakin kagum melihat keberanian Argajaya. Meskipun tangannya tidak lagi
menggenggam senjata tapi ia sama sekali tidak takut.
Para prajurit yang datang
bersama Argajaya kemudian dijalari pula oleh kekerasan hati seperti orang yang
dikaguminya itu. Mereka pun tiba-tiba menjadi semakin benci melihat Sutawijaya
yang masih menggenggam tombak. Bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang
tanpa sesadarnya bergeser beberapa langkah maju. Seperti juga kedua kawan
Argajaya yang tidak dapat membiarkan pimpinannya dalam keadaan yang sulit itu.
Namun Agung Sedayu dan
Swandaru pun melihat pula gelagat itu. Juga tanpa disadari mereka bergerak
selangkah maju. Bahkan kemudian mereka berdua kini berdiri di dalam lingkaran
orang-orang Prambanan di sekeliling arena.
Keduanya telah menumbuhkan
kebimbangan pula pada orang-orang Argajaya itu. Mereka merasa bahwa mereka
berdua tidak akan dapat mengalahkan kedua anak-anak Sangkal Putung itu. Tetapi
mereka melihat bahwa para prajurit agaknya ada di pihaknya. Namun pemimpin
prajurit yang datang bersama lawan Argajaya itu agaknya berpendirian lain.
Suasana di tepian Kali Opak
itu menjadi semakin sepi dan semakin tegang. Setiap dada bergolak karenanya.
Anak-anak muda yang melihat peristiwa itu pun mempunyai tanggapan yang berbeda.
Haspada dan Trapsila beserta beberapa orang kawan-kawannya melihat sikap
Sutawijaya dengan penuh kekaguman dan keheranan. Anak itu pasti bukan sekedar
seorang pengawal dari sebuah kademangan.
Tetapi para prajurit yang
semakin muak melihat sikap Sutawijaya pun menjadi semakin panas. Terdengar
beberapa orang berdesis menahan perasaan mereka. Satu dua di antaranya mereka,
tanpa dikehendaki sendiri, telah meraba hulu pedangnya. Tetapi ketika
terpandang oleh mereka itu busur-busur di tangan Agung Sedayu dan Swandaru,
maka mereka masih harus mencoba mengekang perasaan mereka.
Pemimpin prajurit yang datang
bersama Sutawijaya pun melihat keadaan itu. Ia melihat beberapa orang prajurit
menjadi marah atas kemenangan Sutawijaya, apalagi kedua kawan Argajaya. Mereka
akan dapat menemukan titik persamaan kepentingan untuk bersama-sama menentang
Sutawijaya dan kedua kawannya. Sepuluh orang prajurit dan tiga orang tamu itu
pasti akan mempu melawan Sutawijaya dan kedua kawannya. Lalu bagaimana dengan
dirinya? Tiba-tiba pemimpin prajurit itu melihat Haspada dan Trapsila dan
beberapa anak-anak muda pun melangkah maju. Mereka melihat wajah-wajah
anak-anak muda itu menjadi tegang pula setegang wajah-wajah prajurit Pajang
yang berdiri di sisi yang lain.
“Apakah perkelahian ini harus
diikuti oleh pertempuran yang akan berakibat terlampau parah?” desis prajurit
itu dalam hatinya. “Bagaimanakah aku nanti harus mempertanggung jawabkan
peristiwa ini seandainya Ki Untara kelak mendengarnya?”
Pemimpin prajurit itu menjadi
bimbang. Namun ia tidak segera menemukan cara untuk mengatasi kesulitan itu.
Dalam pada itu terdengar suara
Sutawijaya, “Jadi kau tidak mau memenuhi permintaanku?”
“Tidak!” sahut Argajaya tegas.
“Tetapi sebaiknya kau pergi
dari tempat ini dan menemui Sidanti. Aku ingin mengetahui, apakah kira-kira
yang akan dilakukan oleh kemenakanmu yang tidak kalah sombongnya daripadamu
itu. Mungkin ia akan malu mendengar kekalahan pamannya dari seorang pengawal
Sangkal Putung, meskipun kau sendiri tidak mengenal malu. Atau barangkali kau
akan dibunuhnya karena kau telah menyuramkan namanya. Tetapi mungkin pula
Sidanti akan, menjadi marah melihat kekalahanmu. Kalau demikian, maka ia akan
berhadapan dengan aku.”
“Tutup mulutmu!” potong
Argajaya. “Jangan menghina anak muda itu pula.”
“Tak ada kata-kata lain untuk
memberi gelar kepadamu dan kemanakanmu itu kecuali orang-orang yang sombong,
tetapi tidak bernilai.”
“Diam!” teriak Argajaya.
“Kalau kau marah, ambil
tombakmu. Mari kita bertempur. Kalau kau tidak berani mengambil tombakmu, diam
dan dengarkan kata-kataku. Itu adalah urusanku sendiri, apakah aku akan
berbicara terus, apakah aku akan berhenti. Itu adalah tergantung kepadaku.
Tetapi kelebihanku darimu adalah, aku masih mengenggam tobakku.”
Kepala Argajaya serasa akan
meledak karenanya. Hampir-hampir ia meloncat memungut tombaknya, tetapi harga
dirinya telah mencegahnya. Ia telah mendapat kesempatan satu kali untuk
memungut tombak itu. Karena itu ia tidak akan mengulanginya. Tetapi ia tidak
mau mengakui kemenangan lawannya meskipun akibatnya dadanya akan dibelah dengan
ujung tombak. Karena itu, maka yang dapat dilakukan hanyalah menggeram dan
menggeretakkan giginya. Sedang Sutawijaya dengan acuh tak acuh masih saja
membuatnya marah dan malu.
Sutawijaya mengharap bahwa
dengan demikian Argajaya akan pergi meninggalkan Prambanan. Ia tidak memikirkan
akibat apa yang dapat terjadi. Bahkan sengaja ia membuat Argajaya kelak
membakar kemarahan Sidanti pula.
Tetapi ia masih saja melihat
Argajaya berdiri tegak. Ia masih melihat Argajaya tidak bergeser dari
tempatnya.
“Kau tidak juga mau pergi?”
bertanya Sutawijaya.
“Semauku” jawab Argajaya
pendek.
“Baik. Kalau demikian
dengarkan terus kata-kataku. Mungkin kau memang senang mendengarkannya.”
“Cukup!” semua orang terkejut
mendengar kata-kata itu. Ketika mereka berpaling dilihatnya pemimpin prajurit yang
seorang, yang datang bersama-sama dengan Argajaya dan Ki Demang Prambanan.
Dengan garang ia kemudian berkata, “Kau membuat onar di Prambanan. Sepatutnya
kau kami tangkap. Kami prajurit Pajang mendapat tugas untuk menjaga keamanan
daerah ini, di samping pemuda-pemuda Prambanan sendiri. Meskipun kau menang
atas tamu kita, tetapi kau tidak akan dapat menghadapi kami semuanya.”
“Aku tidak kalah!” teriak
Argajaya.
“Benar” sahut pemimpin
prajurit itu. “Apalagi Ki Argajaya belum mengakui kemenanganmu. Karena itu
menyerahlah.”
Kening Sutawijaya berdesir.
Kemarahannya tiba-tiba melonjak membakar jantungnya. Tetapi yang terdengar
adalah suara pemimpin prajurit yang datang bersamanya. “Jangan berbuat sesuatu.
Kita telah berjanji untuk menjadi saksi dalam perkelahian ini. Biarlah yang
berkepentingan menentukan sendiri siapakah yang menang dan kalah secara
jantan.”
“Tetapi ia menghina seorang
prajurit Pajang dari Sangkal Puiung pula. Sidanti. Dengan demikian ia menghina
segenap prajurit Wira Tamtama.”
Prajurit yang datang bersama
dengan Sutawijaya terdiam sejenak. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ia tidak ingin
menghina Wira Tamtama. Itu hanyalah sekedar luapan kemarahannya karena Argajaya
berkeras kepala.”
“Bohong! Aku tetap akan
menangkapnya.”
“Akulah pemimpin prajurit di
sini” jawab pemimpin prajurit itu tegas-tegas. “Aku memerintahkan kalian
tinggal diam.”
“Pengecut!” bantah pemimpin
yang lain. “Lihat para prajurit telah bersiap. Kalau kau tak mau turut dengan
kami melakuan tugas ini, kami tidak bertanggung jawab. Aku juga dapat menyusun
laporan tentang dirimu. Bahwa kau telah mengingkari tugasmu karena kau
ketakutan melihat anak setan itu.”
Prajurit itu pun menjadi marah.
Tiba-tiba ia meloncat maju sambil berkata Iantang, “Dengar perintahku. Kalian
tetap di tempat kalian!”
“Tidak! Kami akan menangkap
anak muda itu.”
“Kalau kalian berkeras kepala,
aku berada di pihaknya. Aku berada di pihak anak muda itu. Kalian memang harus
dihukum karena kalian tidak patuh atas perintahku. Atas nama pimpinan Wira
Tamtama di Pajang, khususnya senapati untuk daerah ini, aku berkata, jangan
berpihak. Tetapi kalau kalian memaksa, maka aku akan bertindak demi kekuasaan
di tanganku dan tanggung jawabku.”
“Jangan mengigau tentang
kekuasaan” bantah pemimpin yang lain. “Kau ternyata menyalah-gunakan kekuasaan
itu. Kau tunduk kepada kehendak kami, atau minggir, supaya kau tidak tergilas
oleh sikap kami demi keamanan daerah ini.”
Sutawijaya yang mendengar
pertengkaran itu menjadi kecewa, marah, dan cemas. Ternyata para prajurit
Pajang di Prambanan telah benar-benar kehilangan kepatuhan dan ketaatannya
kepada pimpinannya karena keadaan yang selama ini seolah-olah tidak terkekang
sama sekali. Kini ia melihat pertentangan itu mencapai puncaknya. Bahkan
agaknya bukan saja para prajurit Pajang, namun anak-anak mudanya pun agaknya
telah berbeda pendirian dan sikap. Mereka yang selama ini ikut serta dalam
perbuatan-perbuatan yang aneh-aneh bersama para prajurit itu, pasti akan
berpihak kepada mereka. Tetapi anak-anak muda yang lain sudah barang tentu akan
berdiri berseberangan dengan mereka.
Kini Sutawijaya harus
berpikir. Kalau ia terseret oleh arus perasaannya, maka ia akan melihat dua
pihak bertempur di pinggir Kali Opak ini. Pasti bukan sekedar berkelahi sampai
banak belur, dengan wajah merah biru bengap. Tetapi dalam keadaan seperti kini,
maka kemungkinannya pasti akan lebih jauh. Bahkan mungkin akan jatuh korban
pula karenanya.
Ia terkejut ketika ia
mendengar sekali lagi pemimpin prajurit itu mengancamnya. “Menyerahlah. Aku
bersama Ki Demang Prambanan mengemban pimpinan di Kademangan ini.”
“Tidak!” prajurit yang satu
itulah yang membantah. “Kau telah memberontak atas pimpinanmu.”
Tetapi agaknya kata-kata itu
tidak dihiraukannya. Bahkan pemimpin prajurit yang datang bersama dengan
Argajaya dan Ki Demang Prambanan itu dengan serta-merta menarik pedangnya. Dada
Sutawijaya berdesir ketika ia melihat para prajurit pun menarik pedang masing-masing.
Hatinya menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba pemimpin prajurit yang datang
bersamanya pun menarik pedangnya pula. Apalagi kemudian Sutawijaya melihat
Haspada, Trapsila, dan beberapa yang lain berloncatan pula ke arena. Terdengar
Haspada menggeram, “Kami, anak-anak Prambanan yang setia pada pengabdian kami
telah menjadi muak melihat tingkah laku kalian di sini. Kini ada alasan bagi
kami untuk berbuat sesuatu. Kalian lelah menolak perintah pimpinan kalian,
sehingga dengan demikian kalian tidak ada bedanya dengan laskar Arya Penangsang
yang melawan perintah itu.”
Darah para prajurit itu pun
menjadi semakin panas karenanya. Mereka pun segera berloncatan maju dengan
senjata di tangan masing-masing. Tetapi mereka tertegun ketika tiba-tiba mereka
melihat ujung-ujung panah seakan-akan mengarah ke titik-titik mata mereka.
Terdengar Agung Sedayu menggeram, “Aku mampu melepaskan anak panah ini dalam
sekejap dan melepaskan anak panah yang kedua dalam sekejap berikutnya. Jumlah
anak panahku masih melampaui jumlah kalian. Apalagi bersama anak panah adikku
itu.”
Kata-kata Agung Sedayu itu
bergetar di dalam setiap dada para, prajurit Pajang yang sudah siap menerkam
Sutawijaya. Mereka semua kini berdiri tegak bagaikan patung. Tangan Agung
Sedayu yang menggenggam busur dan pangkal anak panah itu tampaknya benar-benar
meyakinkan.
Untuk menekankan kata-katanya
Agung Sedayu berkata, “Aku adalah seorang pemburu. Aku dapat memanah kijang
yang sedang berlari kencang. Apalagi kalian yang berdiri mematung.”
Setiap dada para prajurit itu
pun menjadi semakin bergelora. Kemarahan telah bergolak di dalam dada itu,
tetapi mereka masih juga harus berpikir akibatnya apabila anak panah itu
terlepas dari busurnya. Apalagi kemudian Swandaru pun telah memasang anak
panahnya pula pada busurnya, sedang busur yang lain bersilang di punggungnya.
Katanya, “Aku bukan pemanah sebaik kakakku itu. Tetapi sambil memejamkan mata
aku akan dapat mengenai salah seorang daripada kalian.”
Beberapa orang prajurit
menggeram. Namun mereka terdiam sambil mengerutkan leher mereka ketika
tiba-tiba Swandaru membentak sambil melangkah maju. “Apakah kalian tidak
percaya? Baiklah aku mencoba.”
Ketika Swandaru kemudian
menarik busurnya, maka para prajurit itu pun semakin berkerut. Adalah terlampau
dekat untuk mencoba menangkis anak panah yang sedang meluncur. Bahkan
Sutawijaya pun mengerutkan keningnya melihat sikap Swandaru. Tetapi tiba-tiba
Swandaru tertawa sambil berkata, “Tidak, aku tidak akan mendahului. Lebih baik
aku menunggu kalian bergerak. Dengan demikian maka bukan salah kami apabila
kalian semuanya akan terbunuh di dalam arena ini. Untara pun pasti tidak akan
menyalahkan kami, dan Sidanti pasti akan kehilangan kesombongannya apabila
pamannya pun terbunuh pula.”
Agung Sedayu menggigit
bibirnya. Adik seperguruannya itu masih juga bergurau dalam keadaan serupa itu.
Kini sejenak mereka saling
berdiam diri. Para prajurit, Argajaya dan kedua kawannya, Sutawijaya, Agung
Sedayu, Swandaru dan anak-anak muda Prambanan, serta Ki Demang, berdiri saja
seolah-olah membeku.
Yang kemudian memecah kesepian
adalah suara Sutawijaya. “Kami telah terdorong ke dalam suatu keadaan yang
tidak kami kehendaki. Tetapi kalianlah yang lelah menyeret kami. Karena itu
maka kami tidak bertanggung jawab, apapun yang akan terjadi. Juga apabila di
sini akan jatuh korban kemudian. Sekarang aku masih tetap ingin melihat
Argajaya pergi dari tempat ini. Aku tidak peduli apakah kemudian ia akan
kembali membawa anak muda yang bernama Sidanti.”
Mata Argajaya itu pun menjadi
semakin menyala. Sekali lagi ia menggeram, “Persetan!”
“Aku tidak akan membunuhmu
Argajaya” berkata Sutawijaya. “Kalau kau tidak mau pergi, baiklah. Kau dapat
berbuat sekehendakmu. Tetapi aku pun akan dapat berbuat sekehendakku. Aku dapat
membunuhmu, namun itu sama sekali tidak akan aku lakukan karena kau tidak
bersenjata. Tetapi aku mempunyai cara yang lain untuk menghukummu. Aku akan
melukaimu atau membuatmu cacat seumur hidupmu.”
Kini tubuh Argajaya itu pun
menggigil karena kemarahan yang tidak dapat disalurkannya. Terdengar gemeretak
giginya, dan matanya seakan-akan menyalakan api kemarahannya itu. Tetapi ia
tidak beranjak dari tempatnya.
Sutawijaya akhirnya kehilangan
kesabarannya. Tiba-tiba ia meloncat maju. Terdengar beberapa orang menahan
kejutan jantungnya. Argajaya tidak sempat menghindar ketika tangkai tombak
Sutawijaya terjulur ke arah pelipisnya. Gerak itu sama sekali tidak diduganya.