Dada kedua laki-laki itu
berdesis tajam. Sejenak mereka merasa terjebak dalam suatu keputusan yang tidak
mereka kehendaki sehingga hati mereka melonjak. Tetapi ketika terpandang oleh
mereka tubuh Rara Wulan yang terbujur di tanah itu, maka mereka, menjadi
ragu-ragu. Karena itu mereka masih berdiri saja tanpa bergeser setapak pun.
Perempuan tua itu terdiam
sejenak. Namun tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia
berkata, ”Terima kasih. Terima kasih, bahwa kalian berdua telah mengambil
keputusan yang bijaksana. Ternyata betapa kerasnya hati kalian, namun kalian
adalah manusia yang berperasaan. Kalian masih mempunyai kesadaran diri dalam
kemanusiaan kalian yang utuh. Ternyata kalian benar-benar telah mengambil
keputusan, bahwa persoalan kalian telah selesai sampai disini.”
Sesuatu menggelepar di dalam
dada kedua laki-laki itu. Tetapi tidak sesuatu yang mereka lakukan. Mereka
kemudian mendengar perempuan itu berkata, “Kalian adalah laki-laki jantan, yang
menghadapi maut dengan dada tengadah, apabila kalian telah mengucapkannya
dengan lidah kalian, bahwa kalian bertekad untuk saling membunuh. Tetapi keputusan
kalian kini adalah jauh lebih berharga. Kalian tidak mengucapkannya dengan
lidah kalian, tetapi kalian mengucapkannya di dalam hati. Janji di dalam diri
bagi laki-laki tidak akan berubah lagi, seperti janji di dalam hati kalian saat
ini. Menurut pendapatku kalian tidak perlu merasa tersinggung kejantanan
kalian, karena ternyata kalian telah berbuat kejantanan yang jauh lebih
berharga bagi kemanusiaan dari pada saling berbunuh-bunuhan tanpa arti.”
Kedua laki-laki itu
seolah-olah telah terikat oleh suatu pesona tanpa dapat mereka atasi. Mereka
seolah-olah tidak mampu melawan kata-kata perempuan tua yang berdiri di sisi
tubuh Rara Wulan yang terkapar di atas tanah.
“Baiklah. Aku menghargai
keputusan kalian. Semua persoalan telah selesai. Semua persoalan yang telah
terjadi harus dilupakan. Aku tahu, bahwa persoalan itu sendiri memang tidak
dapat berhenti, sebab anak di dalam kandungan itu akan menjadi besar dan akan
lahir. Kelahiran anak itu adalah kelanjutan dan persoalan yang telah terjadi.
Tetapi aku mengharap bahwa kalian terikat oleh putusan jantan kalian yang baru
saja kalian ucapkan di dalam hati, bahwa kalian menganggap semua persoalan
telah selesai. Kalian harus mempunyai jiwa besar menghadapi kenyataan ini.
Kenyataan yang tidak akan terhapus, meskipun disiram dengan darah dan
dipertaruhkan dengan tiga buah nyawa.”
Bibi Arya Teja berhenti
sejenak. Dipandanginya kedua laki-laki yang berdiri tegak itu berganti-ganti.
Dibiarkannya kedua laki-laki itu sejenak memandang ke dalam hati masing-masing.
Sekali lagi suasana di bawah
Pucang Kembar itu dicengkam oleh kesenyapan. Tetapi wajah-wajah yang tegang itu
masih juga tegang. Senjata-senjata di dalam genggaman itu masih juga tercengkam
kuat-kuat.
Namun hati mereka, kedua
laki-laki yang menggenggam senjata itu, ternyata sudah tidak sekeras batu akik.
Terasa sesuatu menjalari urat nadi mereka. Semakin lama semakin tebal tergores
di dinding hati.
Penyesalan.
Mereka tidak tahu benar,
apakah yang mereka sesalkan sebenarnya. Tetapi mereka kini melihat, bahwa
sebaiknya apa yang terjadi itu tidak pernah mereka lakukan. Paguhan yang keras
hati dan keras kepala, lambat-laun melihat, bahwa akibat dari perbuatannya sama
sekali tidak diduga-duganya. Apalagi apabila dilihatnya tubuh Rara Wulan
terbaring diam di atas rerumputan.
“Aku dapat tidak mempedulikan
apa yang terjadi atas diriku karena aku memang tidak pernah memperhitungkannya,
tetapi ternyata Rara Wulan mengalami goncangan perasaan terlampau berat,” desis
Paguhan di dalam hatinya.
Sedang Arya Teja pun menyesal
pula. Setelah ia mengikat gadis itu dalam pembicaraan, maka gadis itu
ditinggalkannya terlampau lama sehingga hal yang sama sekali tidak
diinginkannya itu terjadi. Seandainya ia tidak mengikat gadis itu dalam
pembicaraan seperti yang telah dibicarakan oleh orang-orang tua mereka, maka
tidak akan ada persoalan bagi Rara Wulan. Gadis itu dapat segera kawin dengan
Paguhan. Tetapi semua itu telah terlanjur. Setitik noda telah melekat di tubuh
Rara Wulan. Noda yang tidak akan terhapuskan sepanjang hidupnya.
“Apakah aku cukup kuat untuk
dapat melupakannya?” pertanyaan itu membersit di dalam dada Arya Teja.
Kedua laki-laki itu terkejut
ketika mereka mendengar perempuan tua yang berdiri disamping Rara Wulan itu
berkata, “Kenapa kalian diam saja seperti sedang kehilangan akal?”
Sesaat Paguhan dan Arya Teja
saling berpandangan. Tetapi sorot mata mereka sudah tidak lagi memancarkan api
yang menyala di dalam dada mereka. Namun mereka masih tetap terbungkam.
”Apakah kalian tidak dapat berbicara
sepatah kata pun?”
Masih tidak ada jawaban.
“Jika demikian, maka biarlah
aku yang berbicara. Kalau kalian menolak, maka kalian harus segera
menyatakannya.“ perempuan itu diam sebentar, lalu, “Persoalan kalian telah
selesai. Rara Wulan adalah istri Arya Teja. Anak di dalam kandungan ini anak
Arya Teja.”
Terasa dada kedua laki-laki
itu berguncang. Tetapi mereka tidak tahu apa yang sebaiknya mereka lakukan.
Mereka benar-benar seperti sedang dicengkam oleh sebuah pesona yang tidak dapat
mereka atasi. Mereka masih berdiri diam ternganga-nganga ketika mereka
mendengar perempuan tua itu berkata, “Semua persoalan yang pernah terjadi
dianggap tidak pernah ada. Tetapi persoalan yang akan datang pun tidak boleh
ada. Arya Teja harus menerima keputusan ini dengan jiwa besar, dan Angger
Paguhan harus melepaskan semua kepentingan dengan Rara Wulan dengan jiwa yang
besar pula.”
Kedua laki-laki itu berdiri
saja tegak di tempatnya bagaikan patung batu. Diam. Hanya senjata-senjata
mereka sajalah yang kemudian tertunduk lesu. Seperti hati-hati mereka yang
menjadi lesu pula. Mereka seakan-akan tidak lagi mempunyai gairah apa pun untuk
ikut serta menentukan hari depan mereka sendiri.
Dan kedua laki-laki itu
menggerakkan kepalanya ketika mereka mendengar bibi Arya Teja itu berkata,
”Nah, Arya Teja dan Angger Paguhan. Kalian tidak menyanggah sepatah kata pun.
Berarti kalian telah berjanji bahwa kata-kataku itu seakan-akan telah anger
ucapkan berdua sebagai janji di dalam hati. Janji jantan yang tidak akan dapat
diganggu gugat lagi.”
Kedua laki-laki itu masih
membatu.
“Nah, kalau demikian, maka
marilah kita kembali ke dalam persoalan yang wajar.” Perempuan tua itu berhenti
sebentar, lalu, “Arya Teja. Kini kau harus menyadari, bahwa istrimu sedang
pingsan di sini. Kau tidak boleh membiarkannya, supaya nyawanya dapat tertolong
bersama nyawa yang sedang dikandungnya.”
Terasa perasaan Arya Teja
tersentak. Sebersit penolakan menyentuh hatinya. Tetapi ia tidak pernah dapat
mengucapkan penolakan itu.
“Kenapa kau diam saja?” bertanya
bibinya. “Bawalah istrimu pulang. Tidak ada seorang pun yang tahu akan
persoalan kalian. Pelayan-pelayan dirumahmu pun tidak mengetahuinya. Kalian
berdua harus merahasiakan persoalan ini, untuk kepentingan anak yang masih
berada di dalam kandungan itu, sebagai pemenuhan janji kalian.”
Sesaat mereka tidak dapat
berbuat apa-apa. Kedua laki-laki itu seakan-akan membeku di tempatnya.
“He, kenapa kalian diam saja?
Arya Teja, berbuatlah sesuatu supaya istrimu selamat.”
Sebuah keragu-raguan yang
tajam telah menggores dinding hati Arya Teja. Ia tahu, bahwa keadaan Rara Wulan
dapat membahayakannya. Tetapi terasa kakinya menjadi seberat timah untuk
digerakkan.
“Arya Teja,” suara bibinya
menjadi semakin keras, “kemarilah. Berbuatlah sesuatu, jangan mimpi.”
Sebuah pergolakan terjadi di
dalam hati Arya Teja. Ia masih saja dicengkam oleh keraguan. Meskipun hatinya
sudah mulai cair, namun ia masih belum dapat melepaskan diri dari kungkungan
perasaannya. Ia tahu benar, bahwa perempuan itu telah bernoda. Ia tahu, dan ia
tidak dapat menghapus pengetahuannya tentang itu.
Tetapi tiba-tiba dadanya
tergetar ketika ia mendengar suara Paguhan lemah, tanpa diduga-duganya. “Arya
Teja, apakah aku kau ijinkan melakukannya untukmu. Aku tidak ingin melihat Rara
Wulan membeku di sini.”
Terasa sebuah singgungan yang
tajam menyentuh jantung Arya Teja. Tiba-tiba ia menggeram. “Aku dapat
melakukannya sendiri, Paguhan.”
“Maaf, bukan maksudku
menyinggung perasaanmu. Aku ingin berbuat sesuatu. Aku menyesal bahwa hal yang
serupa ini telah terjadi pada Rara Wulan.”
Sekali lagi dada Arya Teja
tergetar. Tetapi ia mendapat kesan yang lain dari kata-kata Paguhan itu. Ia
merasakan penyesalan yang jujur terpancar dari padanya. Sehingga justru karena
itu sejenak ia mematung tanpa dapat menjawab kata-kata itu.
Namun segera ia seakan-akan
terbangun dari mimpinya ketika ia mendengar kata-kata Paguhan, “Apakah kau
mengijinkan Arya Teja? Mudah-mudahan Rara Wulan dapat diselamatkan.”
Arya Teja menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia adalah orang yang paling kecewa atas persoalan itu. Kecewa bahwa ia
dihadapkan pada peristiwa yang tanpa pilihan. Maju takut, mundur hancur.
Tetapi ia harus berbuat
sesuatu. Ia harus menelan segala kepahitan yang dihadapinya. Kepahitan yang
tidak akan dapat dihapuskannya. Yang dapat dilakukan adalah melupakannya.
Melupakan sesuatu yang telah terjadi. Sebenarnya telah terjadi.
Perlahan-lahan Arya Teja
melangkahkan kakinya, betapa ia harus menekan perasaanya. Ia harus menyentuh
perempuan itu. Perempuan yang sudah bernoda.
Ketika ia berpaling,
dilihatnya Paguhan masih berdiri tegak di tempatnya. Sorot matanya benar-benar
membayangkan penyesalan. Tetapi Paguhan tidak mengalami akibat apa pun yang
langsung menyertai hidupnya kemudian. Tidak setiap hari ia dihadapkan pada
kekecewaan yang harus dilupakan. Ia cukup menyesali perbuatannya. Apabila
penyesalan itu jujur, ia tidak akan mengulanginya. Tetapi bagaimana dengan noda
yang telah melekat pada keluarganya? Pada istrinya yang setiap hari akan selalu
membayanginya?
Terdengar Arya Teja menarik
nafas. Dalam sekali, sedalam kepedihan yang menghunjam di hatinya.
Tetapi kali ini Arya Teja
tidak dapat berbuat lain. Rara Wulan tidak akan dapat dibiarkannya begitu saja.
Meskipun jauh di dasar hatinya kadang-kadang terbersit keinginan untuk
membiarkan saja Rara Wulan itu mati, namun kemanusiaan yang melapisi pandangan hidupnya
tidak membenarkannya. Karena itu betapa hatinya serasa seperti digores ujung
senjata yang paling tajam, diangkatnya juga Rara Wulan itu dan dipapahnya
pulang ke rumah. Meskipun demikian, di sepanjang jalan kadang-kadang timbul
juga pertanyaan di dalam hatinya, “Kenapa aku harus mengalami peristiwa ini?
Dosa apakah yang pernah aku lakukan atau dilakukan oleh keluargaku?”
Sebagai manusia maka peristiwa
itu benar-benar telah mengguncangkan keseimbangannya. Pada saat-saat permulaan
ia melangkahkan kakinya pada dunianya yang baru, setelah ditinggalkannya
dunianya yang lama, ia harus mewarnai dunia kekeluargaannya itu dengan noda
yang paling kotor. Dan ia tidak dapat melepaskannya.
Hari-hari berikutnya adalah
hari-hari yang penuh dengan penderitaan. Rara Wulan tidak dapat melepaskan
dirinya dari perasaan bersalah. Kadang-kadang masih meledak ungkapan-ungkapan
penyesalannya yang tidak terkendali, sehingga hampir-hampir ia berbasil
membunuh dirinya. Tetapi bibi Arya Teja dengan sabar selalu menasehatinya. Selalu
memberinya petunjuk-petunjuk.
“Tetapi aku tidak akan dapat
menahan penderitaan ini, Bibi,“ berkata Rara Wulan pada suatu saat.
“Kandunganku selalu memberikan bayangan yang mengerikan. Kandungan yang selalu
berada bersamaku ini, selalu mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah manusia yang
paling rendah di dunia. Aku mengharap, bahwa Kakang Arya Teja memberi aku
hukuman yang paling berat. Membunuh aku atau apa pun yang diinginkannya. Tetapi
dengan caranya, maka aku tidak akan dapat menanggungkannya. Hukuman ini jauh
lebih berat dari hukuman apa pun juga. Tidak sepatasnya aku dimaafkannya. Dan
maafnya adalah siksaan yang tidak tertanggungkan.”
Bibi Arya Teja
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya sareh, “Wulan, apakah kau
benar-benar merasa bersalah.”
“Ya, Bibi, dan aku bersedia
menerima hukumannya.”
“Kenapa kau masih juga merasa
berkeberatan, Wulan. Hukumanmu telah ditentukan. Kau dimaafkan. Memang hukuman
itu adalah hukuman yang paling berat bagimu. Tetapi kau rela menanggungkannya.
Tidak sepantasnya kau mencari jalan yang paling dekat untuk menghindarinya.
Mati. Tidak sepantasnya hukuman itu menyangkut bayi di dalam kandunganmu yang
tidak ikut bersalah.”
“Tetapi kelahirannya yang
tidak dikehendaki itu, buatnya tersiksa pula di sepanjang hidupnya kelak.”
Bibi Arya Teja menggelengkan
kepalanya. “Tidak Wulan. Kalau kau menerima semuanya ini dengan ikhlas, Arya
Teja pun melakukannya dengan ikhlas dan jujur, dan Paguhan menyesali
perbuatannya sepenuh hati, maka tidak akan ada persoalan lagi di antara kalian.
Kalian harus bersikap wajar, sehingga tidak menimbulkan pertanyaan pada
orang-orang lain yang tidak tahu persoalannya.”
Rara Wulan setiap kali hanya
dapat menganggukkan kepalanya sambil menangis. Tetapi ia selalu bertanya-tanya,
sampai di mana kesediaan Arya Teja untuk memaafkannya?
Hari-hari merayap melintasi
pekan dan bulan. Saat-saat yang mendebarkan menjadi semakan dekat. Kelahiran
bayi di dalam kandungan Rara Wulan.
Meskipun Arya Teja dan Rara
Wulan, atas nasehat dan petunjuk yang terus-menerus dengan kesabaran hampir
tanpa batas dari bibinya, berusaha berlaku dan berbuat wajar, namun mereka
masih belum dapat menghapuskan tirai yang seakan-akan masih terbentang di
antara mereka. Tirai yang harus mereka lupakan. Tetapi mereka menyadari, bahwa
tirai itu pernah terbentang di antara mereka.
Ketika saat itu tiba, maka
hampir-hampir perasaan Arya Teja meledak tanpa dapat dikendalikan. Tetapi
setiap kali bibinya selalu membujuknya, menekan dan mengendalikannya dengan
segala macam cara, agar Arya Teja dapat menerima kenyataan itu, meskipun
perempuan tua itu sadar, betapa pahit hati Arya Teja yang masih muda itu.
Sehingga akhirnya, Arya Teja tidak dapat menghindarkan diri. Menerima kelahiran
anak Rara Wulan itu sebagai anaknya sendiri. Seorang anak laki-laki, yang
diberinya nama Sidanti.
Kelahiran Sidanti mendapat
sambutan yang hangat dari setiap orang di Menoreh. Mereka merasa ikut
bergembira, bahwa Arya Teja telah mendapatkan, seorang putra. Mereka sama
sekali tidak tahu, apakah yang sebenarnya tersimpan di dalam hati Arya Teja dan
Rara Wulan. Hati yang sebenarnya telah retak dan sulit untuk dipertautkan
kembali.
Meskipun demikian, betapa
pahit perasaan mereka, mereka mencoba menerima segala cara tetangga-tetangga
memberi selamat kepada mereka. Setiap malam pendapa rumahnya selalu dipenuhi
oleh para tetangga yang baik, yang ingin ikut serta menyatakan kegembiraan
hati.
Perempuan-perempuan sibuk
membantu di dapur, menyelenggarakan jamuan untuk setiap malam. Sebagian yang
lain menunggu bayi laki-laki itu berganti-ganti. Di pendapa terdengar setiap
malam kidung kegembiraan dilagukan oleh setiap tamu berganti-ganti. Kidung kegembiraan
menyambut kedatangan anak laki-laki Arya Teja. Kidung yang berisi doa agar bayi
itu selamat untuk seterusnya, dijauhkan dari bahaya.
Namun ada juga tamu-tamu
perenpuan yang berbisik di antara mereka, “Bayi ini lahir sebelum waktunya.
Lihat tubuhnya tampak lemah sekali. Tetapi suara tangisnya terlampau kuat.”
Perempuan yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Ya, ibunya sakit-sakitan saja. Selama
mengandung anak ini, hampir tidak pernah ia sempat melihat sinar matahari di
luar bilik. Bahkan anak ini hampir-hampir membawa nyawa ibunya.”
“Ya,” desis yang lain. “Arya
Teja belum genap sepuluh bulan kawin.”
Dan perempuan-perempuan itu
bersepakat, bahwa kelahiran Sidanti agak terlampau cepat. Apalagi Sidanti
tampak terlampau lemah pada saat lahirnya, karena selama ia di dalam kandungan,
ibunya selalu dikejar oleh siksaan batin.
Namun di dalam pertumbuhannya,
Sidanti menjadi anak laki-laki yang cukup kuat dan tangkas. Nakalnya bukan
main. Kesehatannya berangsur menjadi baik. Bahkan anak itu seolah-olah tidak
pernah disinggahi penyakit.
Tetapi bagaimanapun juga,
bayangan wajah Paguhan tercetak juga di wajah anak laki-laki itu. Bagaimanapun
juga Arya Teja ingin melupakanya, tetapi setiap kali ia melihat Sidanti maka
setiap kali ia selalu teringat, bahwa anak laki-laki itu mencerminkan darah
yang menitik di dalam urat nadinya. Sehingga betapapun juga apa yang telah
terjadi itu selalu membayangi siang dan malam.
Bibi Arya Teja yang menjadi
semakin tua melihat kepedihan itu. Perempuan tua itu pun melihat, bahwa Sidanti
benar-benar telah dilahirkan dalam ujud yang hampir serupa dengan Paguhan. Dan
perempuan tua itu menyadari, betapa anak itu dapat menjadi pagar yang membatasi
Arya Teja dan Rara Wulan sebagai suami isteri.
Karena itu maka perempuan tua
itu mencoba untuk mencari jalan yang baik tanpa menimbulkan banyak persoalan.
Maka diambilnya anak itu, dan dibawanya ke rumahnya.
“Anak itu sepantasnya berada
di rumahku,“ berkata orang tua Arya Teja. “Biarlah kami setiap hari dapat
mendukung cucu kami.”
“Ah,“ jawab bibi Arya Teja,
“kalian tidak merasa kesepian di rumah. Kalian masih mempunyai kawan untuk
bercakap. Tetapi aku tinggal seorang diri. Biarlah Sidanti tinggal bersamaku
untuk beberapa tari.“
Tetapi yang dikatakan beberapa
hari itu ternyata terlampau panjang. Hanya kadang-kadang saja Sidanti tinggal
bersama ibunya, tetapi kemudian kembali kerumah neneknya ke rumah bibi Arya
Teja.
Namun ternyata dengan demikian
Sidanti menjadi manja. Bibi Arya Teja yang tahu benar tentang keadaan anak itu,
terlampau menaruh belas kasihan, sehingga anak itu hampir tidak pernah
dikecewakannya. Semua kehendaknya selalu diberinya, dan semua keinginannya
selalu dipenuhinya.
Pengangkatan Arya Teja menjadi
Kepala Perdikan Menoreh, seperti yang telah dijanjikan, setelah ayahnya merasa
terlampau lelah untuk memerintah, mempengaruhi kehidupan Sidanti pula. Ia
merasa, bahwa ia adalah putra Kepala Tanah Perdikan yang besar. Ayahnya
ternyata mempunyai kedudukan yang lebih besar dari kakek yang digantikannya.
Kakeknya bukan seorang Kepala Tanah Perdikan, tetapi ayahnya selain mendapat
wisuda menggantikan kakeknya, juga mendapat anugerah khusus.
Demikianlah anak laki-laki itu
tumbuh menjadi anak yang semakin besar. Padanya tampak semakin jelas,
kelebihan-kelebihannya dari anak anak sebayanya. Keberaniannya, kecerdasannya
dan kecepatannya untuk menerima petunjuk-petunjuk tentang berbagai macam hal.
Namun, kemanjaannya pun tumbuh sejalan dengan pertumbuhan badannya.
Anak itulah yang bernama
Sidanti. Sidanti anak Rara Wulan, dari keturunan seorang laki-laki yang bernama
Paguhan, yang kemudian bergelar Ki Tambak Wedi.
Malam yang gelap menjadi
semakin kelam. Angin yang silir bertiup menggoyangkan dedaunan. Lamat-lamat
terdengar burung kedasih seolah-olah meneriakkan kepedihan hati.
Seleret bulan muda bertengger
di langit yang hitam di antara bintang gemintang yang cerah. Desau angin malam
menyapu wajah Tanah Perdikan Menoreh yang lelap dalam tidurnya.
Tetapi bergolaklah sepasang
dada, yang telah mendengar cerita tentang Arya Teja dan Paguhan. Sepasang dada
anak muda yang merasa dirinya bersaudara seayah dan seibu. Namun ternyata hanya
seibu saja, tetapi tidak seayah.
Sidanti sendiri mendengarkan
cerita itu dengan hati yang tegang. Melampaui ketegangan hatinya pada saat-saat
ia menghadapi lawan di medan perang, atau menghadapi lawan bertanding di dalam
perang tanding seorang lawan seorang. Sejenak hatinya terasa gelap. Namun
kemudian terungkatlah perasaan yang meledak di dalam dadanya.
Tiba-tiba ia meloncat berdiri.
Dengan mata yang merah menyala ia menunjuk wajah gurunya dan sekaligus ayahnya.
Dengan suara lantang ia berkata terputus-putus oleh gelora di dalam dadanya,
“Kau, kau, kau menodai nama baik ibuku. Kau telah membuat aku menjadi orang
yang paling terkutuk.“ Bibir Sidanti masih bergetar, tetapi kerongkongannya
serasa telah tersumbat.
Selangkah daripadanya Argajaya
duduk mematung. Sejenak ta tidak dapat berbuat apa pun juga selain berdesah.
Dadanya terasa berdeburan seakan-akan ingin meledak, Arya Teja adalah kakaknya
yang kemudian bernama Argapati bergelar Ki Gede Menoreh. Ternyata laki-laki
yang bernama Paguhan dan kemudian bergelar Ki Tambak Wedi adalah seorang yang
telah merusak perasaan kakaknya dan iparnya. Ia telah menaburkan benih yang
akan tumbuh menjadi rerungkudan yang penuh dengan duri-duri yang tajam.
Tetapi Argajaya tidak dapat
segera berbuat sesuatu. Diawasinya saja Sidanti yang berdiri beberapa langkah
di hadapan gurunya dengan tubuh gemetar.
Ki Tambak Wedi masih duduk
dengan tenang di tempatunya. Namun wajahnya tampak menjadi suram, sesuram
hatinya. Dipandanginya wajah Sidanti yang menegang. Bibirnya yang bergerak,
tetapi tidak sepatah kata pun yang dapat dikatakannya lagi.
“Duduklah, Sidanti,“ berkata
Ki Tambak Wedi.
Sidanti masih berdiri. Matanya
masih menyala. Dan bahkan ia berkata terbata-bata, “Itu, itulah sebabnya.”
Tetapi kata-katanya terputus.
“Apakah yang disebabkan dan
apakah yang menyebabkan,“ bertanya gurunya.
“Sekar Mirah,“ terlompat dari
sela-sela bibir Sidanti.
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia masih saja duduk di tempatnya. Katanya, “Aku
mengerti maksudmu Sidanti. Kau ingin mengatakan, bahwa segala macam kegagalanmu
itu adalah akibat dari dosa-dosa yang pernah aku lakukan bersama ibumu.“ Ki
Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Mungkin kau benar. Tetapi itu tidak
mutlak. Sebenarnya aku menyesali apa yang telah terjadi. Penyesalan itu tidak
sekedar terucapkan di antara bibirku. Tetapi penyesalan itu langsung menghunjam
ke pusat jantung.”
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Lalu dilanjutkannya, “Kau
tahu Sidanti, bahwa untuk seterusnya aku tidak pernah dapat terpikat oleh
perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga. Setiap kali aku teringat akan dosa
dan noda yang pernah aku lekatkan di tubuh ibumu. Dan setiap kali aku dikejar
oleh penyesalan. Aku mencoba melupakannya dengan cara apa pun. Dengan cara yang
paling kotor sekalipun. Aku mencoba menganggap bahwa aku tidak pernah berdosa.
Aku datangi perempuan-perempuan yang dengan sukarela menyerahkan dirinya.
Tetapi setiap kali aku selalu melarikan diriku daripadanya karena perasaan bersalah
itu tidak pernah dapat aku lupakan. Dan akhimya aku terdampar di padepokan
Tambak Wedi. Aku mencoba menenteramkan diriku dengan cara yang lain. Aku
menyibukkan diri dengan ilmuku, dengan segala macam kerja yang semula tidak
berarti. Aku menjadi semakin gairah, ketika aku mendapat kesempatan menuntunmu
karena bibi Arya Teja yang kemudian bernama Argapati itu menjadi semakin tua
dan tidak lagi mampu berbuat apa-apa. Ia menyarankan agar anak itu, tidak
menimbulkan persoalan apa pun kelak. Tetapi agaknya keluarga Argapati tidak
dapat menerimamu. Aku tahu bahwa Argapati berusaha untuk dapat menjadi seorang
ayah yang baik. Tetapi perasaannya setiap kali terungkat. Akhirnya kami
bersama-sama menemukan suatu cara. Kau tetap dianggap sebagai anak Argapati yang
bergelar Ki Gede Menoreh dengan segala macam hak dan kewajiban. Tetapi kau
diserahkan kepadaku di padepokan Tambak Wedi sebagai seorang murid. Kami
masing-masing berjanji bahwa tidak ada orang lain yang tahu kecuali kami
berempat. Aku, ibumu, Argapati dan bibinya. Kini dua di antara mereka telah
meninggal. Bibi Argapati dan ibumu.“
Wajah Sidanti masih membara
semerah soga. Matanya memancarkan perasaan yang bergolak di dalam dirinya.
Tubuhnya yang gemetar masih belum beranjak dari tempatnya.
“Duduklah, Sidanti.“
Sidanti masih tetap berdiri.
“Duduklah.”
Wajah Sidanti masih membara.
“Kita sudah terlibat dalam
persoalan itu,“ berkata gurunya. “Argapati ingkar janji menurut penilaianku.
Bagaimana penilaianmu, Sidanti?”
Sidanti tidak menjawab. Tanpa
sesadarnya ia berpaling kepada pamannya yang masih duduk dengan tegangnya.
Sidanti merasakannya betapa
dadanya menjadi pepat dan pikirannya menjadi gelap.
“Jangan menyalahkan aku lagi,
Sidanti,“ berkata Ki Tambak Wedi masih dalam keadaannya. Tenang walaupun suram.
“Aku sudah cukup tersiksa oleh kesalahanku itu. Seandainya ibumu masih ada,
maka aku akan pasrah, apa pun yang akan kau lakukan seandainya kau merasa aku
menjadi sumber bencana yang menimpa dirimu. Tetapi kini keadaannya sudah lain.
Ibumu sudah tidak ada. Tidak ada lagi orang yang memberati perasaanku. Aku
menjadi seakan-akan terbebas dari sebuah belenggu yang selama ini mengikatnya.”
Sidanti masih membeku. Tetapi
wajah Argajaya menjadi semakin tegang. Ia kini tahu benar persoalannya.
Persoalan itu berpusar pada persoalan antara kakaknya Argapati dan Ki Tambak
Wedi. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya Argapati apabila tidak segera menerima
tawaran Ki Tambak Wedi untuk membantu Sidanti, madeg kraman melawan
pemerintahan Pajang. Sedang Sidanti itu sama sekali tidak ada sentuhan darah
dengan kakaknya itu.
Meskipun demikian Argapati
tidak segera berbuat sesuatu. Ia tahu benar, siapakah Ki Tambak Wedi itu. Dan
ia belum tahu, apakah yang akan terjadi dengan Sidanti.
Argajaya yang licik itu
sengaja tidak segera menyatakan sikapnya, meskipun sikap itu telah ada di dalam
dadanya. Ia menunggu apakah yang akan terjadi. Peristiwa apakah yang akan berkembang
kemudian. Dengan demikian maka Argajaya masih juga tetap diam di tempatnya.
Ditahankannya perasaannya, agar tidak meluap ke luar sehingga menimbulkan
akibat yang tidak dikehendakinya.
Sidanti sendiri masih saja
membeku di tempatnya. Seakan-akan anak muda itu telah kehilangan akalnya. Ia
tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Darahnya yang meluap-luap tiba-tiba
serasa berhenti mengalir. Yang berada di hadapannya itu adalah bukan sekedar
gurunya, tetapi ia adalah ayahnya, meskipun karena perbuatannya ibunya menjadi
tersiksa sepanjang hidupnya.
Dengan cerita itu, maka
barulah ia kini mengetahui sebabnya, kenapa kelakuan ibunya selama ini terasa
terlampau berlebih-lebihan. Kesetiaannya, kesediaannya untuk melakukan apa saja
sesuai dengan keinginan suaminya dan, betapa ia menghormati Argapati, meskipun
Argapati sendiri sama sekali tidak menunjukkan keinginannya untuk berbuat
sewenang-wenang. Ternyata kesediaan itu tidak tumbuh dari dasar hatinya, tetapi
semuanya itu terdorong oleh suatu keinginan untuk menebus dosa dan hutang budi
Sejenak Sidanti mencoba
membayangkan apa yang telah terjadi di dalam lingkungan keluarga Argapati.
Namun bayangan itu semakin lama menjadi semakin kabur.
Lamat-lamat ia mencoba
mengenali kembali Argapati, ibunya dan adiknya Pandan Wangi. Tetapi dalam
gejolak perasaannya, ia tidak berhasil untuk meneropong sebaik-baiknya keadaan
keluarga itu. Termasuk dirinya sendiri.
Sidanti terperanjat ketika ia
mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah, Sidanti.“
Sidanti masih mematung.
“Apakah kau masih tetap
berpendapat bahwa aku telah berkhianat terhadap ibumu?”
Tidak ada jawaban.
“Seandainya benar demikian,
apakah yang dapat kau lakukan sekarang? Argapati sudah menyatakan sikapnya. Ia
tidak dapat melindungimu dari telunjuk orang-orang Pajang. Dan itu adalah wajar
sekali, karena sejak semula Argapati tidak ikhlas menerima kau sebagai anaknya.
Ia hanya menginginkan ibumu. Bukan kau.“
Terasa sebuah desir yang tajam
tergores di dalam dadanya. Seandainya saat itu Argapati ada diruangan itu, maka
ia pasti akan menunjuk kedua-duanya, Argapati dan Ki Tambak Wedi, sambil
berteriak, “Kalian adalah pengkhianat-pengkhianat yang paling jahat.”
Tetapi yang didengarnya adalah
suara Ki Tambak Wedi, “Duduklah, Sidanti. Buatlah pertimbangan-pertimbangan
yang baik.”
Sidanti sama sekali tidak
beranjak dari tempatnya. Otaknya serasa menjadi pepat, dan ia tidak menyadari
apa yang sebenarnya sedang dilakukan dan apa yang sebaiknya harus dilakukan.
Ternyata Ki Tambak Wedi
membiarkannya saja dalam sikapnya itu. Perlahan-lahan ia berpaling kepada
Argajaya sambil berkata, “Itulah yang sebenarnya telah terjadi atas diriku dan
kakakmu Argapati. Sekarang terserah kepadamu, di mana kau akan berdiri. Tetapi kau
harus ingat, bahwa kau bersama-sama kami telah terlibat dalam persoalan yang
serupa. Melawan orang-orang Pajang. Sedang kakakmu Argapati sama sekali tidak
ingin berbuat apa-apa. Baginya kedudukan ternyata jauh lebih penting dari apa
pun juga. Dari adiknya sendiri dan dari seseorang yang telah diakuinya sebagai
anaknya.”
Argajaya pun tidak segera
menjawab. Ia masih berdiam diri sambil menunggu perkembangan dari keadaan
Sidanti.
“Bagaimanakah pendapatmu?”
bertanya Ki Tambak Wedi kemudian.
Argajaya masih juga berdiam
diri, meskipun hatinya bergelora. Bagaimanapun juga Argapati adalah kakaknya.
Meskipun dalam banyak persoalan ia tidak sependapat dengan kakaknnya, bahwa di
dalam saat yang paling genting sekalipun kakaknya tidak bersedia melindunginya,
tetapi Argapati adalah kakaknya.
Apabila di dalam persoalan ini
ia harus memilih, maka ia harus membuat pertimbangan semasak-masaknya. Ternyata
Sidanti sama sekali tidak ada persambungan darah dengan dirinya. Sidanti bukan
putera Argapati.
Karena Argajaya juga tidak
segera menjawab, maka Ki Tambak Wedi itu bergumam, “Memang keadaan, ini sama
sekali pasti tidak pernah kalian duga-duga sebelumnya. Tetapi bagi kalian,
terutama Sidanti, yang masih cukup muda, cobalah memandang ke hari depan.
Jangan terpukau kepada masa lampau, betapapun indahnya, atau betapapun
buruknya. Yang penting, bagaimanakah yang akan datang. Nah, apakah kau sudah
mulai membuat pertimbangan-pertimbangan bagi masa datang?”
Tak ada jawaban.
“Sidanti,” berkata Tambak Wedi
itu pula, “aku telah berbuat apa saja buat hari depan itu. Hari depanmu. Karena
aku akan merasa ikut menikmati, apa yang akan kau dapatkan. Justru karena kau
anakku. Aku mengharap bahwa Argapati pun akan berbuat demikian. Aku mengharap
ia jujur menerima kau sebagai anaknya. Tetapi ternyata aku keliru. Argapati
sama sekali tidak bersungguh-sungguh. Ia memberikan kau kepadaku bukan sekedar
pemecahan masalah tetapi benar-benar ingin menyingkirkan kau dari Menoreh. Nah,
apakah kau tidak merasakannya?” Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang, kau sudah cukup dewasa. Pertimbangkan olehmu, mana yang baik dan
mana yang tidak baik.”
Ketika Ki Tambak Wedi terdiam,
maka ruangan itu menjadi terlampau sepi. Kesepian yang mencengkam sampai ke
pusat jantung.
Namun di dalam dada Sidanti
terjadilah pergolakan yang terlampau dahsyat. Benturan-benturan perasaan yang
sangat membingungkannya. Keluarga yang memeluknya sejak kanak-kanak, tanpa
diduga-duganya kini pecah berserakan seperti belanga yang jatuh menghantam
batu. Sejak kecil ia merasakan bahwa ia berada di dalam satu lingkungan yang
baik, di dalam satu keluarga yang menyenangkan. Baginya Argapati adalah
ayahnya. Ia tidak pernah merasakan, bahkan segelugut kolang-kaling terbelah
tujuh ia tidak akan menyangka, bahwa Argapati itu bukan ayah kandungnya.
Tetapi tiba-tiba kini ia
dibenturkan pada suatu kenyataan. Meskipun kadang-kadang ia menjadi ragu-ragu.
Namun menurut pertimbangannya, hal yang demikian itu, sudah pasti bukan hanya
sekedar dongengan. Seandainya Ki Tambak Wedi berbohong, maka ia adalah
pembohong yang paling besar pada jamannya.
Dengan demikian maka Sidanti
tidak segera dapat menemukan sikap. Dalam keragu-raguan, dipandanginya pamannya
Argajaya yang masih juga berdiam diri.
Tetapi ketika terpandang
olehnya wajah Argajaya, sekali lagi dada Sidanti berdesir. Orang itu ternyata
sama sekali bukan pamannya. Bahkan bukan sanak bukan kadangnya. Argajaya adalah
adik Argapati yang telah dikecewakan oleh gurunya, oleh ayahnya. Apakah dengan
demikian ia dapat mengharapkan Argajaya itu berada di pihaknya, seandainya ia
memilih berdiri di sebelah Ki Tambak Wedi.
Gelora di dalam dada Sidanti
itu menjadi kian bergemuruh. Di dalam angan-angannya berloncatanlah berbagai
kenangan masa harapannya. Ia mencoba melihat kembali apakah yang pernah
dilakukan oleh Argapati untuknya dan apa yang telah dilakukan oleh Ki Tambak
Wedi. Dua wajah yang membayang di pelupuk matanya. Ia kini harus memilih satu
di antara dua. Dan kenyataan ini terasa benar-benar pahit.
Namun ia harus menentukan
sikap. Ia tidak dapat selalu bergantungan di dunia angan-angannya tanpa
berjejak di atas kenyataan. Dan ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu.
Betapa Argapati baginya adalah
seorang ayah yang baik, yang sabar dan ramah, tetapi kenyataan telah
memisahkannya. Argapati sama sekali bukan seorang yang sabar dan ramah. Justru
karena Argapati tidak dapat menghapus kenangannya atas peristiwa kelahiran
Sidanti, maka dipaksakannya dirinya berbuat sebaik-baiknya.
Sekali lagi Sidanti terperanjat
ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Duduklah. Pikirkanlah dengan baik.
Kau harus membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang.”
Kali ini Sidanti benar-benar
terhisap oleh pengaruh yang tidak dikenalnya. Perlahan-lahan ia meletakkan
dirinya, duduk di sebelah gurunya.
”Kau harus bersikap dewasa.
Jangan seperti kanak-kanak yang bingung karena kehilangan barang mainan,”
berkata gurunya.
Sidanti masih berdiam diri.
Dua wajah yang sama-sama dikenalnya dengan baik masih terbayang. Tetapi bagi mata
hati Sidanti, wajah Argapati semakin lama menjadi semakin kabur.
“Sikap Argapati selama ini
bukanlah sikap yang jujur,“ berkata Ki Tambak Wedi. “Ia ingin dianggap dirinya
seorang yang baik, yang berjiwa besar dan yang dengan lapang dada memaafkan orang
lain. Tetapi ia telah merendam dendam dan kebencian di dalam dadanya, yang
setiap saat akan meledak dengan dahsyatnya. Ia berbuat begitu baik kepadamu
sama sekali bukan untuk kepentinganmu, tetapi ia berbuat untuk kepentingannya
sendiri.“
Sidanti mengerutkan keningnya.
Bayangan wajah Argapati semakin lama menjadi semakin suram.
Seperti yang dialaminya selama
ia berada di Tambak Wedi, gurunya yang ternyata juga ayahnya itu telah berbuat
apa saja untuknya. Ia telah mendorongnya untuk berusaha naik ke tangga yang
lebih tinggi di dalam tata keprajuritan. Meskipun usaha itu tidak berhasil,
tetapi ia telah terlampau banyak berbuat untuknya. Apa saja. Sehingga yang
terakhir dikorbankannya padepokannya, Tambak Wedi.
Neraca di dalam hati Sidanti
semakin lama menjadi semakin miring. Apalagi yang kini berada di sisinya adalah
Ki Tambak Wedi itu sendiri sehingga dengan demikian, maka pengaruh
kehadirannya, ternyata ikut menentukan pilihan yang harus dijatuhkannya. Tetapi
tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan di dalam hatinya. Seandainya ia berpihak
kepada, Ki Tambak Wedi, apakah yang kemudian dapat dilakukan olehnya? Kepala
Tanah Perdikan Menoreh adalah Argapati. Argapati dapat memerintahkan apa saja
yang dikehendakinya atas orang-orang Menoreh. Argapati dapat memerintahkan
untuk menangkapnya bersama-sama Ki Tambak Wedi.
Namun pertanyaan itu tidak
diucapkannya. Ditempat itu hadir pula Argajaya, adik Argapati, sehingga
pembicaraan mengenai hal itu tidak akan dapat dilakukannya dengan baik.
Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi
dapat menduga-duga hatinya. Keragu-raguan yang membayang di wajahnya. Karena
itu maka Ki Tambak Wedi itu berkata berterus-terang, “Bagiku tidak ada pilihan
lain daripada memenuhi perjanjian itu di bawah Pucang Kembar, pada saat purnama
naik seperti yang pernah terjadi dahulu. Aku mengharap bahwa kali ini aku dapat
membunuhnya.” Ki Tambak Wedi berhenti sejenak, diperhatikannya wajah Argajaya
yang menjadi semakin tegang. Dan ia berkata seterusnya, “Seandainya tidak, maka
aku pun tidak akan bersedia mati tanpa arti. Kalau aku tidak dapat membuat
penyelesaian macam itu, maka aku harus berbuat banyak. Aku harus melakukan
perlawanan atas kekuasaan Argapati di bukit Menoreh ini, sebelum aku dapat
mempergunakan seluruh kekuatan yang ada di sini. Kau adalah pewaris yang syah
meskipun kau bukan anaknya. Setiap hidung tahu, bahwa kau kelak akan mewarisi
tanah ini. Itulah sebabnya agaknya Argapati menjerumuskan kau ke dalam
bencana.” Ki Tambak Wedi sekali lagi berhenti berbicara. Sekali lagi
diperhatikannya wajah Argajaya. Lalu, “Kau tidak usah mencemaskan apa yang
terjadi seandainya Argapati terbunuh olehku kelak. Tidak ada orang yang tahu,
persoalan apa yang terjadi. Apabila seseorang mendengar perjanjian ini di
halaman rumah Argapati, mereka pun tidak akan jelas menangkap maksudnya.
Sepeninggal Argapati, maka kaulah yang akan menjadi Kepala Tanah Perdikan
Menoreh.”
Wajah Argajaya tiba-tiba
menjadi merah menyala. Ia kini tidak dapat mengendalikan diri lagi, sehingga
meloncat kata-katanya, “Itu adalah cara yang licik. Kiai, aku adalah adik
Argapati. Setelah aku tahu, bahwa Argapati tidak berputerakan Sidanti, maka
akulah yang lebih berhak atas tanah ini seandainya Kakang Argapati tidak ada
lagi.”
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Tetapi kemudian ia menggelengkan lemah. “Tidak, Ngger. Kalau Sidanti
disisihkan dari urutan pewaris tanah ini, maka di dalam rumah Argapati masih
ada lagi seorang gadis yang cukup garang, Pandan Wangi. Apabila Sidanti
disingkirkan, maka Pandan Wangi adalah satu-satunya pewaris tanah ini. Suaminyalah
yang kelak akan dapat menyebut dirinya Ki Gede Menoreh.”
Sekali lagi warna merah
membersit diwajah Argajaya. Kata-kata Ki Tambak Wedi itu tepat mengenai
sasarannya. Demikianlah agaknya apabila Sidanti tidak lagi dapat menduduki
jabatan Argapati, maka Pandan Wangilah yang kelak akan berhak atas kedudukan
itu.
Dengan demikian, maka Argajaya
itu pun tidak segera dapat berkata sesuatu, meskipun terasa dadanya menjadi
terlampau pepat.
Ruangan itu sejenak menjadi
sunyi. Mereka mencoba untuk melihat dari seginya masing-masing, apakah yang
sebenarnya sedang mereka hadapi. Tetapi putaran dari segi pandangan mereka,
terutama adalah kepentingan mereka sendiri. Kepentingan diri pribadi. Sidanti
yang kecewa mendengar kenyataan tentang dirinya, mencoba untuk menemukan
imbangan dari kekecewaannya itu. Justru ia ingin menjadi seorang yang jauh
lebih besar dari kenyataan yang dihadapinya. Menurut Ki Tambak Wedi, Sidanti
ternyata bukan putra Argapati, Kepala Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hak atas
tanah ini kelak akan diwarisinya. Namun itu bukan karena ia sebenarnya berhak,
tetapi hal itu dapat terjadi sekedar karena belas kasihan Argapati kepadanya,
kepada ibunya.
“Tidak!“ tiba-tiba ia
menghentak di dalam hatinya. “Aku tidak mau sekedar menerima belas kasihan
orang. Aku harus dapat menentukan nasibku sendiri. Apa pun yang harus aku
tempuh.”
Sekilas dipandangnya Argajaya
yang masih terdiam merenungi persoalannya.
“Bagaimana, Sidanti?“ bertanya
gurunya. “Apakah kau sudah menemukan keputusan yang paling baik buat kau
lakukan? Aku tidak ingin memaksamu untuk segera mengambil sikap. Kau masih
mempunyai waktu, supaya keputusanmu tidak kau ambil dengan tergesa-gesa.”
Sidanti masih belum dapat
menjawab. Tetapi dari sorot matanya, Ki Tambak Wedi yang telah dipenuhi oleh
pengalaman hidup, oleh pahit manisnya kehidupan itu, dapat meraba, bahwa
Sidanti telah hampir dapat dikuasainya sepenuhnya. Sidanti, yang selama ini
digadangnya untuk menjadi seseorang yang berkedudukan baik. Jauh lebih baik
dari keadaannya sekarang. Namun justru karena itu, maka sikap Sidanti menjadi
sombong, tergesa-gesa, dan manja seperti kemanjaannya masa kanak-kanak.
“Sidanti,” berkata Ki Tambak
Wedi, “kita sudah tidak dapat mundur lagi. Kita sudah berdiri berhadapan dengan
kekuasaan Pajang. Sedang di sini, Argapati sama sekali tidak dapat kita
harapkan. Karena itu kita harus mendapatkan kekuatan iu sendiri tanpa bersandar
kepada Argapati.”
Sidanti mengerutkan keningnya,
sedang wajah Argajaya menjadi semakin menegang.
“Apa pun yang kita kemukakan
kepada orang-orang Pajang, pasti tidak akan didengar oleh mereka. Kita sudah
dianggap memberontak. Untuk itu maka kita memerlukan kekuatan.”
Sidanti masih diam. Sedang Ki
Tambak Wedi meneruskannya sambil melihat wajah Argajaya dengan sudut matanya.
”Tidak ada di antara kita yang dapat melepaskan diri. Besok atau lusa, atau
sebulan dua bulan lagi, kita akan selalu dikejar-kejar oleh petugas-petugas
sandi dari Pajang apabila kita tetap dalam keadaan itu. Tetapi keadaan akan
sangat berbeda apabila kita berdiri tegak bersama sepasukan prajurit dengan
panji-panji di atas kepala kita.
Tidak seorang pun yang
menyahnt, dan Ki Tambak Wedi berkata terus, “Kesimpulannya adalah, menyusun
kekuatan. Siapa yang menghalangi, harus dimusnahkan. Bukankah begitu, Sidanti?”
Sidanti tidak menyahut. Tetapi
Ki Tambak Wedi melihat bahwa kata-katanya telah menyusup ke pusat jantungnya.
Yang menjadi pusat perhatiannya kini adalah Argajaya. Ia mengharap orang itu
tidak melepaskan diri daripadanya. Argajaya sudah terlanjur terlibat dalam
perlawanan atas Pajang. Ia harus memberikan kesan, bahwa tidak ada jalan lain
baginya untuk bersama-sama melawan Pajang.
Tetapi Argajaya itu masih
tetap membeku. Meskipun demikian di dalam dadanya, bergelora
pertimbangan-pertimbangan yang saling berbenturan. Perasaannya sebagai seorang
adik, benar-benar tersinggung. Tetapi ia merasakan kebenaran kata-kata Ki
Tambak Wedi, bahwa orang-orang Pajang pasti menganggapnya sebagai seorang
buruan. Padahal, kakaknya, Argapati, tidak bersedia untuk berdiri melawan
Pajang. Dan bahkan benar juga agaknya kata-kata Ki Tambak Wedi bahwa kakaknya
pasti tidak akan melindunginya, untuk tidak diikut-sertakan dalam kesalahan
yang pernah dilakukan atas Pajang, sehingga dapat membahayakan kedudukannya
sebagai seorang Kepala Tanah Pedikan. Jabatan itu akan dapat dicabut dan
diserahkan kepada orang lain, atau kedudukan Tanah Menoreh sebagai Tanah
Perdikan dapat dibatalkan.
Baik Sidanti maupun Argajaya
sudah dapat membayangkan jalan apakah yang akan ditempuh oleh Ki Tambak Wedi.
Mereka sadar, bahwa Ki Tambak Wedi akan mengambil kesempatan untuk mengumpulkan
orang-orang Menoreh sendiri yang bersedia melawan Argapati. Mungkin Sidanti
sebagai seorang yang selama ini dikagumi oleh anak-anak muda Menoreh dapat
dimanfaatkan untuk menarik kekuatan anak-anak muda di pihaknya.
Gelora di dalam dada Argajaya
menjadi semakin bergemuruh. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit.
Dalam pada itu terdengar Ki
Tambak Wedi berkata, “Semuanya telah jelas bagi kita. Aku menunggu keputusanmu
Sidanti, meskipun aku sudah dapat menduga, apakah yang sebenarnya tersimpan di
dalam dadamu. Agaknya kau telah memilih jalan yang benar. Bagimu hanya ada satu
cara untuk melangkah maju. Melawan Pajang. Setiap tindakan yang kau lakukan
harus beralaskan pendirian itu. Sebab apabila tidak demikian, maka kau akan
dibinasakan oleh orang-orang Pajang tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan mungkin
Pajang tidak perlu mengirimkan pasukannya kemari, tetapi mereka dapat
mempergunakan tangan Argapati.“
Ki Tambak Wedi itu berhenti
sejenak perlahan-lahan ia berpaling kepada Argajaya. “Angger,“ katanya
kemudian, “aku tahu bahwa kau berada dalam kesulitan. Tetapi kau harus
bijaksana. Kau tidak dapat bergantung kepada kakakmu itu. Kita harus menentukan
sikap. Tetapi bagiku dan bagi Sidanti, agaknya jauh lebih mudah melakukannya
karena Argapati tidak bersangkut paut apa pun dengan aku dan Sidanti
sepeninggal Rara Wulan. Tetapi kau adalah adiknya.”
Argajaya tidak segera dapat
menjawab. Tetapi hatinya bertanya, “Apakah yang kelak akan terjadi atas aku dan
keluargaku seandainya Sidanti berhasil? Sidanti akan menjadi Kepala Tanah
Perdikan, berdasarkan atas kemenangannya dan berdasarkan atas hak yang diakui
oleh orang-orang Menoreh. Lalu, bagaimana dengan aku?” Kebimbangan dan
keragu-raguan telah melanda dinding jantung Argajaya sehingga terasa dadanya
menjadi berdentangan semakin keras.
Dengan demikian, maka justru
ia menjadi semakin diam. Dicobanya untuk memecahkan persoalan itu supaya ia
tidak terombang-ambing oleh keadaan yang tidak menentu.
Agaknya Ki Tambak Wedi sengaja
membiarkannya berpikir. Sejenak orang tua itu berdiam diri sambil memandangi
nyala lampu minyak di atas ajuk-ajuk.
Di dalam angan-angan, Argajaya
telah dapat melihat, bahwa Tembak Wedi akan menuntun Sidanti untuk melakukan
perebutan kekuasaan di Menoreh sebelum ia melangkah semakin jauh. Sidanti, akan
mempercepat mengambil hak yang sudah dijanjikan atasnya dengan kekerasan.
Argajaya mengerutkan
keningnya, ketika ia mendengar Tambak Wedi berkata, “Kau harus mempergunakan
nalar pikiranmu, Ngger, bukan perasaanmu. Dalam hubungan keluar kau adalah adik
Argapati. Tetapi di dalam persoalan ini, kau sama sekali tidak mendapat tempat
di dalam kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh ini.“ Ki Tambak
Wedi berhenti sejenak, kemudian, “Demikian juga seharusnya penilaian atas
Sidanti. Ternyata ia bukan kemanakanmu. Tetapi kau dapat bekerja bersamanya
untuk menegakkan kejantanan di atas tanah perdikan ini. Kau jangan menyangka,
bahwa Sidanti akan berhenti sampai kedudukan tertinggi di tanah ini. Tanah ini
hanya sekedar pancadan baginya. Sebab ia sudah terlanjur berdiri bertentangan
dengan Pajang. Sikap itu harus dilanjutkan. Pajang kini masih belum mantap
benar. Karena itu, kita bekerja lebih cepat. Kita masih mempunyai waktu
beberapa hari sampai saatnya purnama naik. Kita masih dapat menentukan sikap
yang harus kita lakukan. Kalau dalam saat yang pendek ini Sidanti dapat
berhubungan dengan anak-anak muda Sangkal Putung dan apabila Angger Argajaya
bersedia menghubungi pihak-pihak lain, maka aku benar-benar akan membunuh
Argapati. Dengan demikian maka Sidanti akan segera mendapat kesempatan itu.
Menjadi Kepala Tanah Perdikan ini. Tetapi itu hanya untuk sementara, Ngger.
Sebab, seterusnya Sidanti harus mendapat tempat yang baik. Dan kedudukan
tertinggi di daerah ini akan segera ditinggalkannya. Sudah tentu Sidanti tidak
akan menyerahkannya kepada orang lain. Kepada suami Pandan Wangipun tidak,
karena Angger Argajaya yang telah banyak membantunya.”
Dada Argajaya menjadi
berdebar-debar. Janji itu menyenangkan sekali. Tetapi Argajaya bukan anak-anak.
Ia masih dapat merasakan, berdasarkan atas pengalamannya, dan firasatnya, bahwa
Tambak Wedi tidak akan berbuat sebaik itu kepadanya.
Tetapi wajahnya menjadi merah
padam ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi berkata, “Tetapi kalau Angger Argajaya
tidak bersedia bekerja bersama dengan kami, maka akibat yang paling parah akan
terjadi padamu. Besok atau lusa, kau akan dihadapkan ke tiang gantungan di
alun-alun Pajang tanpa pembelaan. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Juga
seandainya besok atau lusa Argapati sendiri yang akan menangkapmu, atau
orang-orang lain yang kau kecewakan.“
Argajaya tahu benar ancaman
ini. Meskipun yang diucapkan oleh Ki Tambak Wedi adalah nama-nama Pajang dan
Argapati, tetapi Argajaya menyadari, bahwa apabila ia tidak bersedia ikut
serta, maka Ki Tambak Wedi pasti tidak akan segan-segan berbuat sesuatu
atasnya.
Tetapi Argajaya bukanlah
seorang yang bodoh, ia pun memiliki akal yang tidak kalah liciknya dari Ki
Tambak Wedi. Karena itu, maka setelah ia berpikir dengan memperhitungkan
segenap kemungkinan, ia mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya,
Kiai, aku dapat mengerti. Aku memang harus mengesampingkan hubungan keluarga
dan kepentingan-kepentingan pribadi dari kepentingan-kepentingan yang lebih
jauh.“
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia bergumam , “Terima kasih, Ngger. Agaknya kau tahu,
apakah yang sebaiknya kau lakukan.“ Ki Tambak Wedi itu berhenti sejenak, lalu,
“Nah, kita harus mempergunakan setiap kesempatan sebaik-baiknya. Kita harus
segera menyusun rencana. Kita manfaatkan ketidakpuasan yang ada di Tanah
Perdikan ini. Kita harus dapat meniupnya dan membakar Tanah ini dengan
ketidakpuasan itu, sehingga tanah ini akan menjadi karang abang. Di atas
reruntuhan itu kita akan membangunkan sesuatu kekuatan yang tidak dapat
terpatahkan. Kita akan madeg kraman, melawan kekuasaan Adiwijaya. Kita harus
dapat menguasai Alas Mentaok sebelum hutan itu dikuasai oleh Pemanahan.“
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
berhenti. Ditariknya nafas dalam-dalam seakan-akan ingin mengendapkan
perasaannya yang sedang meluap. Kemudian katanya, “Ah, aku sudah meloncat
terlampau jauh. Sekarang, apakah yang sebaiknya kita lakukan di atas Tanah ini
untuk melepaskan kekuasaan Argapati yang ternyata terlampau mementingkan dirinya
sendiri dari pada kejantanan, harga diri, dan cita-cita itu?”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya. Katanya, “Terserahlah
kepada Kiai. Aku sama sekali belum sempat memikirkannya. Persoalan ini baru
saja aku ketahui, dan keputusanku pun baru saja, aku ketemukan.”
Ki Tambak Wedi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi sama sekali tidak dilihatnya, bahwa Argajaya itu tersenyum di
dalam hati. Di dalam dasar hatinya, ia berkata, ”Biarlah Sidanti mengusir
Kakang Argapati. Tetapi pada saatnya, akulah yang akan duduk di atas tempat
tertinggi di Menoreh itu. Kakang Argapati memang sebaiknya disingkirkan. Selagi
ia masih ada, maka aku dan keturunanku tidak akan mendapat kesempatan itu.
Tetapi apabila Kakang Argapati sudah tidak ada, maka kemungkinan itu akan
datang. Sidanti sama sekali tidak berhak atas kedudukan itu. Sepatah kata yang
membukakaan rahasia itu, maka setiap orang di Menoreh akan berpihak kepadaku.
Darah trah kepemimpinan di Menoreh sepenuhnya mengalir di dalam tubuhku. Tetapi
jalan lain tidak aku lihat saat ini kecuali bergabung dengan Ki Tambak Wedi dan
Sidanti. Memperbanyak jumlah pengikutnya dan menyalakan api ketidak-puasan di
atas Bukit ini. Tetapi api itu kelak harus membakar hangus dua orang ayah
beranak yang telah menghancurkan segala sendi-sendi peradaban atas istri Kakang
Argapati, dan sekarang berkeinginan untuk membinasakan Kakang itu sendiri.”
Sekali lagi Argajaya tersenyum
di dalam hati. Ketika kemudian Ki Tambak Wedi sibuk berbicara tentang
rencananya, maka Argajaya pun sibuk membuat perhitungan-perhitungan di dalam
hatinya. Menangkap segala rencana Ki Tambak Wedi itu dan menyesuaikan dengan
rencana yang disusunnya sendiri.
Temyata rencana Argajaya tidak
kalah besar dan jauh dari rencana Tambak Wedi. Ia dapat memanfaatkan
usaha-usaha yang akan dapat memberinya keuntungan. Dan ia akan dapat meminjam
tangan Ki Tambak Wedi untuk kepentingannya, meskipun menilik tata lahir Ki
Tambak Wedilah yang akan memanfaatkanapa.
“Tetapi aku harus melihat
perkembangan dari setiap rencana mereka,“ kata Argajaya di dalam hatinya.
“Sehingga untuk itu aku harus mendapat kesempatan untuk selalu berada di antara
mereka.”
Sekali lagi Argajaya tersenyum
di dalam hatinya. Ia harus menjadi orang penting. Ia harus menunjukkan
kesetiaannya kepada Ki Tambak Wedi dan Sidanti supaya ia mendapat kepercayaan,
sehingga pada saatnya ia dapat bertindak sesuai dengan rencananya sendiri.
“Tetapi untuk menghadapi Ki
Tambak Wedi, aku tidak akan dapat berbuat sendiri,” berkata Argajaya di dalam
hatinya. “Aku harus menghubungi orang-orang yang pernah aku kenal dan aku
percaya.”
Terbayang di kepala Argajaya
seorang tua yang dikenalnya dengan baik. Meskipun ia belum yakin bahwa orang
tua itu bersedia membantunya, tetapi ia akan mencobanya.
“Hubungan orang tua itu dengan
Kakang Argapati agak kurang baik,“ desahnya di dalam dadanya. “Mudah-mudahan
aku berhasil membujuknya dan membawanya di dalam rencanaku. Kalau Kakang
Argapati telah tersisihkan, apalagi terbunuh, maka orang tua itu akan dapat
menyingkirkan Ki Tambak Wedi. Sidanti bukan soal yang sulit bagiku. Apalagi
rahasianya telah berada di tanganku.”
Argajaya itu mengangkat
kepalanya ketika ia mendengar Ki Tambak Wedi bertanya, “Apakah kau ragu-ragu,
Ngger?”
“Memang ada keragu-raguan itu,
Kiai. Aku adalah adik Kakang Argapati. Tetapi aku sedang mencoba mempergunakan
pikiranku. Bukan perasaanku.”
“Aku percaya bahwa Angger akan
dapat mengatasi perasaan itu. Dengan demikian, aku tidak akan terlampau banyak
bekerja menjelang pertemuan di bawah Pucang Kembar itu. Bukankah begitu? Aku
percaya bahwa pengaruhmu di sini cukup kuat, sehingga bersama-sama dengan
Sidanti, kalian segera akan berhasil membelah Menoreh menjadi dua kekuatan.
Sidanti dan Angger Argajaya di satu pihak dan Argapati di lain pihak.“ Ki
Tambak Wedi berhenti sejenak, lalu, “Dapatkah aku membuat perhitungan
demikian?”
Argajaya mengerutkan
keningnya. Tanpa dikehendakmya sendiri ia berpaling kepada Sidanti. Kemudian
katanya perlahan-lahan, “Bagaimana pendapatmu, Sidanti?”
Sejenak Sidanti berpikir. Ia
mencoba untuk menjajagi keadaan di Tanah Perdikan Menoreh. Namun ia berkata,
“Aku terlampau lama berada di luar Tanah Perdikan ini, sehingga aku tidak
segera dapat mengatakannya. Pamanlah yang setiap saat berada di Tanah ini.
Melihat watak dan sifat orang-orangnya. Mendengar dan mengerti kemauan dan
kesenangannya.”
Argajaya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Perlahan-lahan ia berdesis, “Ada pihak yang tidak senang kepada
Kakang Argapati, justru karena ia ingin menjadikan Tanah ini terlampau baik.
Kakang Argapati mencoba mencegah perjudian sabung ayam dan kesenangan lain yang
telah mendarah daging bagi orang-orang Menoreh. Sejak ia menjadi Kepala Tanah
Perdikan, ia sudah mulai mencoba. Tetapi setiap kali ia merasa gagal. Setiap
kali ia dihadapkan pada kenyataan, bahwa hal-hal yang tidak dikehendaki itu
ternyata masih tersebar luas di Tanah Perdikan ini. Seakan-akan semakin lama
bahkan menjadi semakin meluas. Tetapi Kakang Argapati pun agaknya tidak
jemu-jemu pula berusaha. Cara yang dianggapnya baik selalu dicobanya. Setiap
kali ia gagal, setiap kali pula ia menemukan cara yang lain. Terlebih-lebih
lagi pada saat paceklik yang jarang sekali menerkam Tanah Perdikan ini.
Beberapa tahun yang lampau Tanah ini mengalami paceklik panjang. Dalam saat
yang demikian itulah agaknya Kakang Argapati hampir kehabisan kesabaran,
sehingga cara yang ditempuhnya menjadi tampak terlampau keras dan kasar.
Beberapa pihak menjadi tidak senang atas sikap itu.“
Argajaya berhenti sejenak
untuk menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengingat apakah yang pernah
terjadi di Tanah Perdikan ini, dan apakah yang sebaiknya dikatakannya pada saat
itu. Sejenak kemudian disambungnya, “Bukan saja mereka yang telah dicengkam
oleh judi, sabung ayam, sabung gemak, dan bahkan jirak dan dakon dengan
taruhan, beradu kemiri dan yang lain-lain, tetapi juga orang-orang kaya menjadi
kecewa. Pada saat yang paling sulit, Kakang Argapati telah meminjam padi dan
beras dari orang-orang kaya untuk orang-orang miskin. Pada saat yang paling
sulit itu pun Kakang Argapati agaknya hampir kehilangan kesabaran karena
kecemasannya melihat rakyatnya diserang oleh kelaparan. Pada saat itulah Kakang
Argapati mengambil beras dan padi orang-orang kaya itu, meskipun menurut
perjanjian yang dibuat, Kakang Argapati akan mengembalikan. Tetapi orang-orang
kaya merasa haknya dirampas dengan paksa oleh Kakang Argapati. Mereka merasa
bahwa Kakang Argapati telah menyalahgunakan kekuasaannya sebagai Kepala Tanah
Perdikan, untuk memeras orang-orang kaya di Tanah ini.”
Ki Tambak Wedi memperhatikan
keterangan Argajaya itu dengan dahi yang berkerut-merut. Namun sejenak kemudian
ia tersenyum. Katanya, “Apakah Angger Argajaya mengenal orang-orang yang
menjadi sakit hati itu?”
“Aku mengenal sebagian
terbesar dari mereka.”
“Apakah mereka tidak terikat
oleh kesetiaan dan kebanggaan atas keturunan Argapati.”
“Ya. Itulah yang menahan
mereka untuk berbuat sesuatu. Mereka merasa bahwa trah Argapati tidak dapat
diganggu gugat memegang pimpinan di Tanah ini.”
Wajah Ki Tambak Wedi menjadi
suram. Ia menyadari, kesetiaan yang sudah tertanam sejak nenek moyang itu
memang sulit untuk diatasi. Tidak ada orang lain yang lebih baik daripada jalur
keturunan Argapati. Tidak ada orang lain yang pantas untuk menyebut drinya Ki
Gede Menoreh, selain Argapati turun-tumurun. Karena itu maka gumamnya, “Itu
merupakan penghalang yang besar. Kita tidak akan dapat memutuskan ikatan itu
dengan mudah.”
Tetapi segera Argajaya
menyahut, “Kita tidak usah mencemaskannya. Kita harus meyakinkan kepada mereka,
bahwa Sidanti adalah jalur yang sah. Kita hanya sekedar mempercepat persoalan,
karena menurut wawasan kita Kakang Argapati sudah tidak dapat memenuhi
kewajibannya.”
Ki Tambak Wedi
mengangguk-anggukkan kepalanya mendengar keterangan Argajaya itu. Bahkan
kemudian ia tersenyum. Memang masuk akal, bahwa dengan demikian, orang-orang
yang tidak puas dengan Argapati akan mendapat saluran untuk menentukan sikap,
mencari orang baru yang dapat diharapkan memenuhi keinginan mereka. Dan orang
baru itu adalah jalur yang tidak menyimpang dari lajer induk.
“Sidanti akan bernama Argapati
dan bergelar Ki Gede Menoreh,” desis Ki Tambak Wedi di dalam hati. “Apabila
demikian, maka Argajaya pada saatnya tidak akan berguna lagi. Ia adalah duri di
dalam daging yang setiap saat dapat menumbuhkan luka yang berbahaya. Ia akan
dapat berkhianat dan menyingkirkan Sidanti, apalagi setelah diketahuinya bahwa
Sidanti sama sekali bukan putera Argapati.” Ki Tambak Wedi itu tersenyum di
dalam hati.
“Tetapi aku memerlukannya
sekarang untuk memecah kekuatan Menoreh.”
Namun pada saat itu Argajaya
tersenyum juga di dalam hatinya. “Aku sudah memegang rahasia itu. Pada saatnya
kau akan tersingkirkan dari Menoreh, setelah orang-orang Menoreh mengetahui,
bahwa kau bukan trah Argapati, Sidanti.”
Pada saat yang bersamaan,
Argapati sendiri sedang sibuk dengan putrinya Pandan Wangi. Pada saat gadis itu
menyadari kenyataan yang dihadapinya, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Tidak
sepatah kata pun yang dapat diucapkannya. Tubuhnya menjadi gemetar, dan keringat
dingin mengalir dari segenap tubuhnya.
Argapati terkejut ketika ia
mendengar Pandan Wangi memekik kecil. Tetapi sejenak kemudian gadis itu jatuh
terkulai lemas. Pingsan.
Bukan saja Argapati yang
menjadi cemas, tetapi pelayan-pelayan yang dipanggilnya pun menjadi bingung
pula. Mereka kemudian menggelusut tubuh Pandan Wangi dengan brambang, jahe, dan
minyak kelapa. Beberapa orang menggosok keningnya dengan jeruk dan air hangat.
Sedang beberapa orang yang lain berkumat-kamit tanpa mengetahui apa yang sedang
diucapkannya sendiri.
“Kenapa Pandan Wangi menjadi
pingsan?” bertanya salah seorang sambil berbisik.
Kawannya menggelengkan
kepalanya. “Aku tidak tahu.”
Argapati sendiri kemudian
menekan dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Pandan Wangi
mengalami kejutan yang sangat, sehingga ia tidak dapat mempertahankan
kesadarannya. Karena itu setelah usaha yang wajar tidak dapat membangunkan
Pandan Wangi, maka berkatalah Argapati, “Bawalah Pandan Wangi ke dalam
biliknya. Hati-hati. Aku sendiri akan mencoba menyadarkannya.”
Perlahan-lahan tubuh Pandan
Wangi dipapah oleh beberapa orang, dibawa ke dalam biliknya. Setelah gadis itu
dibaringkan di pembaringannya, maka Argapati pun berkata, “Tinggalkan gadis ini
seorang diri.”
Para pelayan menjadi semakin
bingung. Mereka bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang akan dilakukan oleh
Ki Gede Menoreh?
Tetapi para pelayan itu dengan
penuh pertanyaan di dalam hati, satu-satu melangkah meninggalkan bilik itu.
Namun meskipun bilik itu kemudian ditutup oleh Argapati, mereka sama sekali
tidak beranjak dari samping pintu. Mereka ingin mengetahui, apakah yang akan
terjadi atas Pandan Wangi. Bagi para pelayan, Pandan Wangi adalah seorang gadis
kesayangan. Para pelayan tahu, bahwa gadis itu telah ditinggalkan oleh ibunya.
Apalagi Pandan Wangi adalah gadis yang ramah dan baik, sehingga para pelayan
senang kepadanya.
Di dalam bilik itu, Argapati
duduk di samping puterinya. Tubuh gadis itu telah dibasahi oleh minyak kelapa,
brambang, air jeruk dan bermacam-macam ramuan untuk mencoba menyadarkannya.
Tetapi Pandan Wangi masih tetap pingsan.
Argapati tidak dapat
membiarkannya dalam keadaan yang demikian. Maka dirabanya dahi anak itu.
Dipusatkannya segenap kekuatan batinnya, memanjat langsung kepada Tuhan Maha
Peeicipta.
Terasa tangan Argapati itu
menjadi gemetar. Kepalanya semakin lama menjadi semakin menunduk. Dengan dada
yang semakin lama menjadi semakin bergetar, Argapati berusaha sekuat-kuat
tenaga batinnya untuk memohon agar anaknya segera menjadi sadar.
Setitik air seakan-akan
menetes ke atas bara api di bawah kakinya ketika ia merasakan gerak yang lemah
sekali pada anaknya itu. Agaknya saluran kekuatan hati dan kemantapannya
memohon telah bergetar pula di dalam dada anak itu.
Argapati yang telah
mencurahkan segenap kemungkinan yang ada di dalam dirinya itu kemudian menarik
nafas dalam-dalam. Wajah putrinya menjadi berangsur merah. Meskipun Pandan
Wangi masih belum sadar, namun tampaklah bahwa gelombang dadanya menjadi
semakin keras.
Perlahan-lahan Argapati kemudian
bangkit. Diambilnya air dingin di dalam kendi yang terletak di geledeg di sudut
bilik itu. Dengan hati-hati dititikkan air dari dalamnya. Perlahan-lahan
sekali, dengan sangat hati-hati. Setitik demi setitik.
Argapati hampir berteriak
kegirangan ketika ia melihat putrinya itu membukakan matanya. Yang pertama-tama
dipandangnya adalah pelita yang terletak di atas ajuk-ajuk, yang melekat pada
tiang bilik itu. Kemudian perlahan-lahan kepalanya bergerak, beredar ke seluruh
ruangan. Ketika terpandang olehnya, Argapati, ayahnya, maka dengan serta-merta
Pandan Wangi itu berusaha bangkit. Tetapi tubuhnya menjadi terlampau lemah,
sehingga ia terjatuh lagi di pembaringannya.
“Jangan bergerak, Wangi,”
desis ayahnya perlahan-lahan.
Pandan Wangi tidak berusaha
bangkit lagi dari pembaringannya. Ditatapnya saja wajah ayahnya dengan mata
yang basah. Ketika kemudian Argapati itu duduk lagi di sampingnya setelah
meletakkan kendi di tempatnya, maka dengan serta-merta diraihnya tangan
ayahnya, diletakkannya di atas wajahnya.
Maka meledaklah tangis Pandan
Wangi, seperti bendungan yang pecah oleh banjir bandang.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Betapa hatinya serasa diiris dengan ujung senjata yang paling
tajam. Namun sedikit kelegaan menyusup di dalam relung hatinya. Pandan Wangi
telah dapat menangis. Telah dapat meluapkan perasaan yang tertahan. Semoga
dengan demikian dadanya menjadi agak lapang.
Sejenak Argapati duduk saja
berdiam diri di samping putrinya yang sedang menangis. Dibiarkannya saja Pandan
Wangi menumpahkan sesak di dadanya, meskipun dadanya sendiri serasa akan retak.
Setiap isak tangis putrinya seolah-olah seujung tombak yang menyentuh
jantungnya.
Baru ketika tangis Pandan
Wangi telah sedikit mereda, Argapati mencoba menghiburnya. Katanya, “Pandan
Wangi. Aku sudah menyangka bahwa kau akan terkejut mendengar ceritra itu.
Tetapi aku mengharap bahwa kau dapat menanggapinya secara dewasa. Jangan kau
tangkap ceritra itu dengan sikap kekanak-kanakan.”
Dada Pandan Wangi masih terasa
terlampau sesak. Meskipun demikian terlontar juga kata-katanya di sela-sela
isak tangisnya, “Àyah, kenapa aku dilahirkan?”
Argapati mengerutkan
keningnya. Pertanyaan itu tidak diduga-duganya. Pandan Wangi tidak bertanya
tentang Sidanti, tetapi ia bertanya tentang diri sendiri. Karena itu maka
Argapati pun bertanya pula, “Apakah yang kau maksudkan Sidanti?
Pandan Wangi menggeleng lemah.
Katanya, “Bukan, Ayah. Bukan Kakang Sidanti. Tetapi aku, ya kenapa aku
dilahirkan dalam keadaan ini.”
Argapati menjadi semakin tidak
mengerti. “Kenapa Wangi? Tidak ada persoalan apa-apa padamu. Persoalan kakakmu,
Sidanti, pun sebenarnya telah selesai. Aku tidak akan mengusiknya. Bagaimana
pahit perasaanku, tetapi aku sudah menerimanya sebagai anakku. Aku mengharap
bahwa Ki Tambak Wedi akan bersikap jujur. Ia mengangkat Sidanti sebagai
muridnya, tidak sebagai anaknya yang dimanjakannya dengan berlebih-lebihan.
Kini Sidanti terperosok ke dalam kesulitan, dan kesulitan itu akan dibebankan
kepadaku, kepada Tanah Perdikan Menoreh. Sebenarnya aku pun tidak akan ingkar.
Aku memang wajib menyelesaikann karena Sidanti adalah anakku. Tetapi tidak
dengan cara yang ditempuh oleh Ki Tambak Wedi. Aku memilih cara yang lain, ya
lebih sesuai dengan sikap dan kedudukanku. Tetapi Ki Tambak Wedi salah paham.
Dan ia menganggapku berkhianat.”
“Aku mengerti, Ayah,“ sahut
Pandan Wangi sambil terisak. “Aku mengerti. Tetapi justru Kakang Sidanti telah
mendapat tempat yang wajar seandainya kini ia tidak berbuat kesalahan,
seandainya ia kini menurut kehendak Ayah.”
“Ya, lalu kenapa dengan kau?”
“Bagaimanapun juga kelahiran
Kakang Sidanti didasari atas kehendak bersama dari ayahnya dan ibunya, meskipun
akhirnya disesali. Tetapi pada saat-saat itu, ada sentuhan kehendak bersama di
antara keduanya.”
“Tetapi itu tidak ada hubungan
apa-apa dengan kau, Wangi.”
“Tidak, Ayah,“ sahut Pandan
Wangi. “Aku dilahirkan tanpa kesediaan yang jujur dari ayah dan ibu. Ayah dan
ibu ternyata tidak saling mencintai lagi. Setelah peristiwa itu terjadi, maka
hubungan Ayah dan ibu hanyalah sekedar hubungan yang diikat ketentuan lahiriah.
Tetapi di antara Ayah dan ibu sama sekali sudah tidak ada ikatan batin, ikatan
jiwa secara murni. Dalam keadaan yang demikian itulah aku dilahirkan.”
“Wangi, apakah yang kau
katakan itu?”
“Hubungan antara Ayah dan ibu
adalah hubungan yang diatur oleh keharusan duniawi. Ayah dan ibu seolah-olah
hanya ingin memenuhi kewajiban masing-masing sebagai suami istri. Tetapi
kelahiran yang demikian adalah kelahiran tanpa arti. Kelahiran yang hanya
dipaksakan oleh ikatan duniawi semata-mata tanpa hakekat yang sebenarnya dari
hubungan antara suami dan istri.”
“Wangi, dari mana kau dapat
berkata begitu?”
“Bukankah aku sudah dewasa
ayah?”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Hatinya menjadi kian pedih ketika tangis Pandan Wangi menjadi
semakin meledak-ledak.
“Wangi,“ berkata Argapati,
“tanggapanmu atas Sidanti dan dirimu sendiri terlampau dipengaruhi oleh
kedirianmu. Kau terlampau kecewa melihat kenyataan itu. Tetapi sebenarnya tidak
tepat seperti apa yang kau katakan. Coba Wangi, apakah kau masih juga menganggap
bahwa kelahiran Sidanti diciptakan oleh hakekat hubungan antara seorang ayah
dan seorang ibu? Kau telah membuat pertentangan yang tajam dari
peristiwa-peristiwa itu. Kau memandang pada puncak-puncak peristiwa tanpa
memperhatikan perkembangan jiwa yang terjadi kemudian padaku dan pada ibumu.
Wangi, kau dapat membayangkan bahwa dapat terjadi kelahiran Sidanti, betapa
kemudian ibumu menyesalinya. Sedang kelahiranmu memberikan kebahagiaan
kepadanya dan kepadaku. Kami mengharapkan bahwa dengan kelahiranmu keretakan
yang pernah ada itu akan dapat terhapuskan, setidak-tidaknya dikurangi.
Bukankah dengan demikian kelahiranmu itu merupakan karunia atas kami berdua
tanpa menilik perasaan kami masing-masing pada saat-saat sebelumnya?”
“Tetapi perasaan bahagia itu adalah
sekedar pelarian dari kekecewaan yang pernah mencengkam hati Ayah dan ibu,“
tangis Pandan Wangi menjadi semakin mengeras.
“Wangi, jangan terlampau
dilanda oleh perasaan.”
“Ayah,” terdengar suara Pandan
Wangi di antara isaknya, “aku tidak menyalahkan Ayah apabila Ayah selalu
diliputi oleh kekecewaan di dalam lingkungan keluarga. Betapa ayah mengasihi
aku dan ibu dan bahkan Kakang Sidanti, tetapi sejak aku meningkat dewasa, aku
merasakan sesuatu yang aneh tersimpan di hati ayah. Ayah sering menyendiri.
Ayah sering melakukan pekerjaan Ayah jauh melampaui batas waktu yang
sewajarnya. Ayah sering pergi berburu dan bahkan Ayah mengajarku berburu pula.
Bukan sekedar berburu, tetapi Ayah mendidik aku seperti Ayah mendidik seorang
anak laki-laki dalam olah kanuragan.“
Pandan Wangi terhenti sejenak.
Isaknya serasa menyumbat kerongkongan. Sejenak kemudian terdengar ia berkata
sendat, “Apakah sebenarnya maksud Ayah mengajariku ilmu itu? Ilmu cabang
perguruan Menoreh menurut istilah Ayah? Kenapa tidak kepada Kakang Sidanti yang
justru dibawa oleh ayahnya yang sebenarnya ke Tambak Wedi?” Sekali lagi Pandan
Wangi berhenti, tetapi ketika ayahnya ingin menjawab, dipotongnya, “Aku kini
dapat meraba perasaan Ayah waktu itu. Waktu Ayah memutuskan untuk memberi aku
ilmu perguruan Menoreh meskipun aku tidak dapat memenuhi keinginan Ayah, maju
dengan cepat seperti seorang anak laki-laki.”
Argapati tidak segera
menjawab. Ia merasakan kehalusan perasaan Pandan Wangi. Perasaan seorang gadis
yang kecewa.
Rara Wulan bagi Pandan Wangi
adalah seorang perempuan yang putih bersih tanpa cacat. Ibu bagi seorang putri
adalah gambaran dari kesucian yang mulus. Namun tiba-tiba anggapan itu telah
berbenturan dengan kenyataan yang dihadapkan kepadanya.
Sebersit penyesalan mengorek
hati Argapati. Tetapi kemudian ia merasa bersukur, bahwa ia cukup mempunyai
kekuatan untuk mengatakan kenyataan itu. Pandan Wangi mendengar langsung dari
mulutnya sendiri, dari mulut ayahnya, bukan dari orang lain, meskipun kejutan
perasaan itu akan terlampau parah baginya.
“Ayah,” terdengar suara Pandan
Wangi lemah, “bukankah Ayah ingin mendapatkan imbangan dari kekecewaan Ayah
terhadap kelahiran Kakang Sidanti? Ayah ingin seorang anak laki-laki yang dapat
memberi kebanggaan bagi Ayah. Tetapi Kakang Sidanti tidak dapat Ayah terima
dengan sepenuh hati. Karena itulah maka Ayah mencoba membuat aku menjadi
seorang anak laki-laki meskipun dalam hidupku sehari-hari aku tetap seorang
gadis.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Betapa tajamnya perasaanmu, Wangi. Sebagian terbesar kau
telah benar menebak perasaanku. Tetapi kau kurang tepat menilai hakekat dari
persoalannya. Seperti bibi pernah menganggapku sebagai seorang pemimpi, maka
aku pun pernah mengutuk kenyataan itu. Tetapi itu sudah terjadi, Wangi. Dan aku
mencoba untuk pasrah diri pada keharusan itu. Jangan berpijak pada ledakan
kenyataan itu sendiri. Tetapi kau harus mencoba menyelusur perkembangan jiwaku
dan ibumu. Kau lahir dalam pengharapan.”
“Itulah yang Ayah lakukan.
Ayah terlampau sadar dalam keutuhan nalar, bahwa harus lahir seorang anak yang
akan menjadi adik Sidanti, karena Sidanti tidak sepenuhnya menjadi isi dari
keluarga ini. Bukan didorong oleh tambatan batin di antara Ayah dan Ibu.
Kesadaran atas suatu keharusan mendapatkan anak itulah yang telah mengurangi
nilai daripada kelahiran anak itu sendiri. Kesadaran itu telah mendorong Ayah
dan Ibu dalam suatu kewajiban yang harus dilakukan. Hanya sekedar kewajiban.”
“Kau membedakan antara
kewajiban dan harapan di dalam persoalan ini, Wangi. Di dalam persoalan
kelahiranmu, jangan terlampau tajam menarik garis antaranya. Cobalah kau
menenangkan hatimu, supaya kau dapat berpikir lebih bening. Bahwa aku melakukan
kewajiban memang selalu didasari oleh pengharapan. Jangan kau samakan antara
pengharapan atas sesuatu dengan pamrih untuk diri sendiri, meskipun keduanya
saling mengait.”
Isak Pandan Wangi masih
terdengar satu-satu. Kelembutan suara ayahnya mernberinya sedikit ketenteraman.
Tetapi setiap kali teringat olehnya, apa yang telah terjadi atas ibunya, maka
hatinya serasa ditusuk dengan sembilu.
“Kau harus menilai hal ini
sebagai suatu kenyataan yang sudah tidak dapat diingkari lagi, Wangi. Kau harus
menerimanya, meskipun aku tahu, betapa sakit luka yang tergores di hatimu. Aku
tahu, bagaimana hatimu hancur melihat kenyataan tentang ibumu. Tetapi seperti
aku pada saat itu, yang hampir-hampir kehilangan pegangan dan kehilangan akal,
sehingga aku hampir-hampir berbuat sesuatu di luar sadarku, maka kaupun
akhirnya harus menerimanya. Mau tidak mau. Kenyataan itu tidak akan terhapuskan
meskipun seandainya kau ingin menolaknya, sebab kenyataan itu telah terjadi.
Seperti aku pada saat itu mendengar kata-kata tentang keadaanku, Wangi, bahwa
sebaiknya aku tidak terpukau pada peristiwa yang sudah terjadi. Tetapi, bagaimana
dengan hari-hari mendatang. Demikian juga hendaknya kau. Jangan terpukau oleh
peristiwa yang sudah lama lalu. Tetapi apakah yang akan segera terjadi.”
“Apakah hal itu mungkin,
Ayah?”
“Dalam batas kemungkinan,
Wangi. Tetapi kita harus berusaha.”
“Aku tidak dapat melepaskan
diri dari hari kemarin, Ayah. Seperti Ayah katakan, bahwa yang terjadi kemarin
adalah kenyataan yang tidak dapat aku ingkari. Kenyataan tentang diriku,
tentang ibuku dan tentang Kakang Sidanti. Apakah sekarang aku dapat melepaskan
diri dari kenyataan itu, sehingga aku, Pandan Wangi yang sekarang bukan Pandan
Wangi yang lahir karena Ayah menjadi suami Ibu, dalam ikatan lahiriah? Apakah
Kakang Sidanti dapat melepaskan diri dari kenyataan bahwa ia adalah anak
Paguhan yang bergelar Ki Tambak Wedi? Apakah Ibu dapat menghapus noda yang
telah tercoreng di keningnya, sebagai seorang gadis yang menyerahkan
kehormatannya karena nafsu yang menyala di dalam dadanya? Apakah Ibu dapat
mencuci dirinya dan membersihkan namanya meskipun ia menjadi istri Kepala Tanah
Perdikau Menoreh? Tidak, Ayah. Tidak. Ibu telah berbuat sesuatu yang paling
keji, yang paling kotor. Dan aku, aku adalah anaknya.”
Tiba-tiba tangis Pandan Wangi
itu menjadi semakin keras kembali setelah agak mereda. Dihentak-hentakkannya
tangannya pada dadanya yang terasa terlampau sesak.
Pelayan-pelayannya yang
berdiri di luar pintu menjadi heran. Mereka mendengar Pandan Wangi menangis.
Mereka mendengar seakan-akan Pandan Wangi itu berbantah dengan ayahnya. Tetapi
mereka tidak mendengarnya dengan jelas. Mereka tidak mengerti apakah sebenarnya
yang dipersoalkan.
Karena itu, maka mereka
menjadi semakin lama semakin cemas. Namun mereka sama sekali tidak dapat
berbuat apa-apa. Mereka tidak berani mengetuk pintu dan bertanya, apakah
sebenarnya yang telah terjadi.
“Wangi,” Argapati kemudian
berbisik perlahan-lahan, “tenanglah. Jangan menyesali diri dan kehadiran
dirimu. Ingat, bahwa segala sesuatu tergantung sekali kepada kekuasaan Tuhan
Yang Maha Esa. Kelahiranmu adalah karena kuasanya. Jangan mempersoalkan
lantaran kelahiranmu. Tetapi kau adalah hamba-Nya, seperti orang-orang lain
adalah hamba-Nya terkasih pula. Terimalah segalanya dengan ikhlas. Kalau kau
ikhlas Wangi, tidak ada lagi persoalan bagimu. Persoalan masa lalu itu akan
selesai. Marilah kita mulai berbicara dengan masa depan. Masa depanmu dan masa
depanku, masa depan Tanah Perdikan Menoreh.” Argapati berhenti sejenak, lalu,
“Sekarang tidak ada lagi yang dapat aku bawa berbicara Wangi, kecuali kau,
meskipun kau seorang gadis.”
Pandan Wangi masih juga
menangis. Tetapi tangisnya kini telah mereda. Namun masih terasa luka di
hatinya terlampau pedih. Ternyata kebahagiaan keluarganya selama ini adalah
kebahagiaan yang semu. Kebahagiaan yang dibuat-buat bahkan dipaksakan oleh ayah
dan ibunya.
Meskipun demikian kata-kata
ayahnya berhasil juga sedikit memberinya harapan. Masa depan, dan menerima
semuanya dengan ikhlas. Masih terngiang suara ayahnya, “Kau adalah hamba-Nyi
terkasih, seperti orang-orang lain adalah hamba-Nya terkasih pula.”
Pandan Wangi mencoba menghibur
hatinya sendiri untuk mengurangi sesak nafasnya. Bahwa Tuhan adalah Maha Kasih.
Kepada-Nya-lah setiap orang harus menyandarkan dirinya.
Ketika tangis Pandan Wangi
kemudian mereda kembali, berkatalah Argapati, “Beristirahatlah, Wangi. Nanti
aku ingin berbicara denganmu. Mudah-mudahan kau mendapat ketenteraman hati.
Tetapi kita nanti akan berbicara dengan nalar. Sejauh dapat kita pergunakan dan
sejauh kita dapat menyeimbangkan perasaan.”
Pandan Wangi tidak menjawab,
tetapi ia mengangguk kecil.
“Kau menebak hampir tepat,
kenapa aku menyerahkan ilmu kepadamu dan mendidikmu seperti seorang anak
laki-laki dalam olah kanuragan. Kenapa tidak kepada Sidanti.” Argapati diam
sejenak, lalu, “Kini kau mendapat jawabnya. Perasaan itu seolah-olah menjadi
firasat bagiku, bahwa aku harus berbuat demikian.”
Sekali lagi Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya.
“Kalau kau dapat tidur,
tidurlah, Wangi. Kita besok melihat hari yang bakal datang dengan hati yang
dipenuhi oleh gairah akan masa mendatang. Kita berdiri di tempat yang berbeda
dengan hari-hari yang lampau. Yang kita hadapi kini jauh lebih berat daripada
mengatur Tanah Perdikan ini, daripada berusaha melenyapkan segala macam
kemaksiatan dari Tanah tercinta ini.”
Terdengar Pandan Wangi
berdesis meskipun tidak jelas. Tetapi Argapati dapat menangkap maksudnya, bahwa
Pandan Wangi akan mencoba melakukan pesannya. Beristirahat.
Argapati pun kemudian
meninggalkan Pandan Wangi seorang diri. Para pelayan yang masih ada di muka
pintu segera menyibak. Mereka, melihat betapa wajah Argapati diliputi oleh kecemasan
dan kemuraman. Tetapi tidak seorang pun yang berani bertanya. Mereka hanya
berani mengintip bilik Pandan Wangi yang luas itu dari sela-sela pintu yang
tidak tertutup rapat. Ketika mereka melihat Pandan Wangi masih berbaring diam,
maka mereka pun tidak berani masuk ke dalamnya.
“Biarlah ia tidur,” desis
salah seorang pelayan.
“Ya, biarlah ia tidur. Marilah
kita pergi ke belakang.”
“Bagaimanakah kalau ia
memerlukan sesuatu?”
“Salah seorang dari kita
bergantian menjaganya di sini. Di muka pintu, supaya tidak mengganggunya.”
Para pelayan itu pun kemudian
satu-satu pergi meninggalkan bilik itu. Salah seorang dari mereka menungguinya
sambil duduk bersandar uger-uger. Sekali-sekali diintipnya Pandan Wangi yang
masih saja berbaring. Tetapi pelayan itu tidak berani berbuat apa pun selain
duduk terkantuk-kantuk.
Namun dalam pada itu dada
Pandan Wangi masih bergolak dengan dahsyat. Betapa ia mencoba berdiri tegak,
melepaskan diri dari persoalan-persoalan itu, selalu saja ia terdampar kembali
ke dalamnya. Ia tidak dapat melepaskan diri dari kenyataan yang pahit itu.
Tetapi seperti kata ayahnya, ia tidak boleh terbenam pula di dalamnya dan tidak
mampu lagi untuk bangkit menghadapi masa depannya yang panjang.
Kini ia sadar, bahwa tanpa
dirinya, ayahnya akan benar-benar berdiri seorang diri. Sidanti dan bahkan
pamannya sendiri, adik ayahnya itu, Argajaya, telah meninggalkannya,
meninggalkan ayahnya.
Maka perlahan-lahan tumbuhlah
perasaan ibanya kepada ayahnya. Kepada ayah yang dikasihinya, seperti ia
mengasihi ibunya. Tetapi ternyata bahwa peristiwa yang baru saja didengarnya
itu telah menodai pula kasihnya kepada ibunya itu.
“Ayah seorang diri akan
berhadapan dengan Ki Tambak Wedi, Paman Argajaya, dan Kakang Sidanti,”
desisnya.
Namun sekali lagi ia
dilemparkan pada kesulitan perasaan. Sidanti adalah kakaknya. Sejak kecil ia
menganggap Sidanti itu kakaknya. Memang sebenarnyalah Sidanti itu kakaknya
seibu meskipun kemudian ternyata tidak seayah. Tetapi karena tidak ada orang
lain, maka hubungan mereka benar-benar diikat oleh kasih seorang kakak-beradik.
Apakah yang akan dilakukannya seandainya kakaknya Sidanti itu kini memusuhi
ayahnya.
“Ayah memerlukan seorang yang
berada di pihaknya. Ayah memerlukan kawan untuk berbincang. Dan tidak ada orang
lain, selain aku,” desis Pandan Wangi. “Tetapi apakah aku dapat berbuat sesuatu
atas Kakang Sidanti dan Paman Argajaya?”
Tiba-tiba sekilas teringatlah
ia apa yang baru terjadi kemarin, ketika ia harus berkelahi melawan Sidanti
yang menutup wajahnya dengan ikat kepalanya. Ternyata ia masih belum dapat
menyamai ilmu Sidanti, meskipun tidak terpaut terlampau banyak
“Apakah aku harus
berangan-angan bahwa suatu ketika aku akan berhadapan dengan Kakang Sidanti
sendiri?”
Terasa segores luka menyentuh
hati Pandan Wangi. Air matanya yang masih belum kering benar, meleleh semakin
deras di pipinya. Dibayangkannya apa yang mungkin dapat terjadi, dan
dibayangkannya masa kanak-kanaknya. Sidanti selalu mendukungnya apabila mereka
bermain-main bersama-sama. Kadang-kadang ia merengek untuk diantar ke neneknya,
ke bibi Arya Teja, di mana tinggal Sidanti. Atau Sidanti-lah yang pergi ke
rumahnya untuk sehari penuh. Mereka bermain berkejar-kejaran, menangkap
kupu-kupu dan bilalang. Memetik bunga dan bermain air di pinggir sumur.
“Ah,” Pandan Wangi berdesah.
Namun apabila kemudian terbayang wajah ibunya, wajah Ki Tambak Wedi yang memang
mempunyai beberapa persamaan dengan wajah Sidanti, tiba-tiba gadis itu
menggeretakkan giginya. Sekejap seolah-olah lenyaplah sifat kegadisannya. Namun
yang tidak dapat ditinggalkannya, adalah air mata yang meleleh di pipinya itu,
betapapun ia bersikap garang.
Pandan Wangi memiringkan
kepalanya ketika terdengar ayam jantan berkokok bersahutan. Ternyata sebentar
lagi fajar akan menyingsing sebelum ia sempat memejamkan matanya barang
sekejap.
Sementara itu Argapati duduk
di pringgitan seorang diri, merenungi mangkuk yang masih berisi air jahe yang
masih belum diminumnya. Tetapi air itu sudah menjadi dingin, sedingin sisa-sisa
malam yang sebentar lagi akan dihalaukan oleh sinar fajar.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri, dan pergi ke belakang untuk
membersihkan diri. Ketika ia membuka pintu pringgitan, maka dilihatnya pendapa
rumahnya yang remang-remang oleh cahaya pelita yang redup. Pendapa itu terasa
terlampau sepi baginya kini. Rumah itu seakan-akan menjadi hambar. Tidak ada
lagi yang memberinya isi. Tetapi ketika diingatnya Pandan Wangi di dalam
biliknya, maka Argapati itu berdesis, “Semuanya kini tinggal untuknya. Untuk
Pandan Wangi. Apabila Sidanti tidak mau kembali, dan Ki Tambak Wedi tetap pada
pendiriannya, maka Tanah ini akan menjadi milik Pandan Wangi, bukan Sidanti,
meskipun aku masih belum menutup pintu baginya. Tetapi untuk seterusnya,
Sidanti pasti hanya akan dibayangi oleh gurunya dan didorongnya untuk masuk ke
dalam jurang yang paling dalam seperti saat ini. Menentang Pajang bukanlah
mainan anak-anak.”
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Terasa kesegaran pagi menyusup kedalam lubang-lubang hidungnya.
Ketika ia kemudian melangkahkan kakinya menyentuh halaman, maka di langit telah
membayang warna-warna merah yang menjadi semakin rata.
Ketika matahari terbit di
ujung timur, dan ketika perempuan dan laki-laki berjalan berurutan di sepanjang
jalan pedukuhan dan di sepanjang pematang-pematang, menuju ke pasar,
terdengarlah percakapan yang meloncat dari mulut ke mulut tentang datangnya
kembali Sidanti, putra Kepala Tanah Perdikan mereka. Agaknya ada perselisihan
antara Sidanti dan gurunya dengan Argapati. Bahkan secepat sinar pagi menebar
di atas Tanah Perdikan Menoreh, secepat itu pula berita tentang Pandan Wangi
yang menangis semalam suntuk tersebar di seluruh sudut Tanah itu. Betapa
panjang jalan, masih juga lebih panjang tenggorokan, demikianlah cerita itu
mendapatkan tanggapan yang luar biasa. Setiap mulut yang menyampaikan ke mulut
yang lain, terdapat beberapa tambahan sesuai dengan selera masing-masing,
sehingga cerita itu pun menjadi bersimpang siur tanpa ujung dan pangkal.
“Argapati ingkar akan
kewajibannya,” desis seorang laki-laki bertubuh besar tinggi dan berkumis
jarang.
“He,” kawannya terperanjat,
“janji apakah yang diingkarinya?”
“Agaknya Argapati membedakan
kedua anaknya. Emban cinde, emban siladan.”
“Aku tidak mengerti.”
“Sidanti mutung. Ia tidak mau
tinggal bersama ayahnya yang menganggapnya tidak menurut kehendak orang tua
itu.”
“He, darimana kau tahu?”
“Tadi pagi aku mendengar
sendiri dari mulut adiknya.”
“Adik siapa?”
“Adik Ki Gede Menoreh yang
garang itu, Ki Argajaya. Ketika aku bertemu di dekat rumahnya.”
Kawannya berbicara itu
seolah-olah menjadi pening mendengar keterangan orang yang bertubuh besar tinggi
dan berkumis. Maka ia pun bertanya pula, “Kau mendengar dari Ki Argajaya?”
“Ya. Tadi pagi.”
“Tadi pagi, kapan?”
“Ya tadi pagi, ketika aku
berangkat ke pasar ini.”
“He,” sahut kawannya, “apakah
kau bermimpi? Kapan kau bertemu dengan. Ki Argajaya? Bukankah kita berangkat
bersama-sama dari rumahmu?”
Orang yang bertubuh tinggi
besar itu mengerutkan keningnya. “Oh ya, kita berangkat bersama-sama.”
“Jadi kapan kau bertemu dengan
Argajaya?”
“Bukan, bukan. Maksudku si
Patra yang bertemu dengan Ki Argajaya sendiri. Si Patra-lah yang berkata
kepadaku. Tetapi ia bertemu sendiri dengan Argajaya dan mendengar langsung dari
mulutnya.”
“Kapan kau bertemu dengan si
Patra?”
“Sebelum fajar. Bukankah ia
sering mengambil gula kelapa dari padaku? Pagi tadi ia mengambil setenggok gula
kelapa. Ia bertemu dengan Ki Argajaya langsung.”
“Bohong. Si Patra sebelum
fajar datang pula kerumahku mengambil gula kelapa pula. Ia tidak berkata-kata
apa-apa. Kalau ia telah bertemu dengan Argajaya, ia pasti akan berkata pula
kepadaku. Dari rumahku ia berkata, akan segera menemuimu, karena ia takut kalau
gulamu jatuh ke tangan orang lain.”
Orang yang tinggi besar itu
mengerutkan dahinya. Dan tiba-tiba ia berkata, “O, ya begitulah. Dari rumahmu
ia memang langsung pergi kerumahku. Di jalan itulah ia mendengarnya.”
“Tidak mungkin. Apakah kerja
Ki Argajaya di sepanjang jalan di antara rumahku dan rumahmu yang tidak lebih
dari limapuluh langkah itu.”
“Aku tidak tahu,” jawab orang
bertubuh tinggi, lalu, “tetapi aku kira ia berkata bahwa ia mendengar dari
Busik. Ya, aku lupa. Ia mendengar dari Busik, bahwa Sidanti menjadi mutung. Dan
Busik-lah yang langsung mendengarnya dari Ki Argajaya.”
“He, darimanakah sebenarnya
sumber kabar itu?”
“Aku mendengar, dari Patra,
tetapi pasti bahwa sumber kabar itu dari Argajaya.”
Kawannya mengerutkan
keningnya, lalu katanya, “Tetapi apa kepentingan kita atas hal itu?”
“Aku tidak tahu pasti. Tetapi
menurut pendengaranku, demikianlah yang terjadi.”
“Tetapi agaknya kau menyambut
kabar itu dengan penuh gairah.”
“Aku tidak mengharapkan yang
tidak baik dari persoalan ini. Tetapi aku berkepentingan untuk mendapatkan
kebebasan.”
“Kebebasan apakah yang kau
maksud?”
“Aku tidak ingin selalu
terganggu. Aku tidak mempunyai banyak kesenangan selain sedikit bersabung ayam.
Dan Ki Argapati setiap saat mencari jalan untuk mencegahnya. Apalagi jirak
kemiri dan beradu gemak. Tetapi, coba, apakah hal itu mereda? Bukankah semakin
hari semakin ngambra-ambra.”
Kawannya terdiam sejenak. Ia
tidak segera mengetahui maksudnya. Hubungan antara Sidanti dan bebotohan itu
tidak begitu jelas baginya.
Karena itu maka ia bertanya,
“Apakah yang akan dilakukan Argapati setelah Sidanti mutung? Apakah dengan
demikian ia akan membiarkan saja segala macam bentuk perjudian itu, atau
Sidanti mutung karena Sidanti sendiri menghendaki hal itu dibiarkan saja,
sedang ayahnya menghendaki lain.”
“Demikianlah di antaranya,”
jawab orang yang bertubuh besar tinggi dan berkumis jarang itu. “Sidanti memang
tidak sependapat dengan ayahnya dalam banyak hal. Sedang Argajaya menganggap
bahwa Sidanti berada di pihak yang benar. Demikianlah Sidanti meninggalkan
rumahnya bersama gurunya. Tetapi ia tidak kembali ke perguruannya karena ia
ingin mengabdikan diri kepada Tanah Perdikan ini.”
“Aku menjadi semakin tidak
mengerti.”
“O, kau memang terlampau
bodoh. Kau hanya dapat memanjat pohon kelapa dan nderes, kemudian membuatnya menjadi
gula kelapa. Selebihnya tidak.”
“Mungkin kan benar. Tetapi aku
ingin tahu, apakah yang sebenarnya akan terjadi di sini?”
“Sidanti adalah putera Ki Gede
Menoreh yang berhak atas Tanah ini. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Dan ia sudah tidak dapat
sesuai lagi dengan pendirian ayahnya.”
“Ya.”
“Tidak ada orang lain yang
berhak untuk memegang pimpinan di sini, di atas Tanah Menoreh selain trah
Argapati. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Nah, seharusnya kau sudah
tahu. Kita tidak senang dengan cara Argapati memerintah. Kini telah ada di
Tanah ini Sidanti, yang mempnnyai hak pula atas Tanah ini. Jelas.”
“O,” wajah orang itu menjadi
merah. Katanya dengan nada yang tinggi, “Jadi kau membayangkan bahwa akan
terjadi benturan antara ayah dan anak? Kau membayangkan bahwa Sidanti akan
nggege mangsa, mempercepat hak itu turun kepadanya, kalau perlu dengan
kekerasan?”
“Bukan begitu,” jawab
kawannya, “tetapi apabila terpaksa begitu, ya, apa boleh buat.”
“Tidak, tidak mungkin,”
tiba-tiba kawannya hampir berteriak sehingga keduanya terhenti, “itu tidak
mungkin. Argapati adalah lambang keteguhan Tanah Perdikan ini. Ia berdiri tegak
di dalam keyakinannya seperti bukit-bukit karang itu. Tidak akan goyah oleh apa
pun. Tidak seorang pun yang berhak mendorongnya ke samping. Putranya laki-laki
itu pun tidak.”
Orang yang bertubuh besar dan
tinggi itu terkejut. Kemudian katanya, “Kenapakah kau ini? Aku hanya sekedar
mengatakan bahwa aku mengharapkan pembaharuan di dalam pemerintahan di Tanah
Perdikan ini. Aku mengharap bahwa aku tidak merasa dikejar-kejar lagi apa pun
yang akan aku lakukan. Kau kira bahwa aku berpendirian demikian itu hanya
seorang diri?”
“Katakan, katakan, siapa yang
lain.”
“Patra, Busik, dan masih
banyak lagi.”
Kawannya berbicara itu
mengerutkan dahinya. Kabar ini adalah kabar yang aneh baginya. Dan kabar yang
demikian, itu pasti sudah tersebar di seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Tanah
yang selama ini hampir tidak pernah dilanda oleh persoalan-persoalan yang
mencemaskan selain kerja keras untuk kepentingan bersama. Hanya kadang-kadang
terjadi benturan-benturan perasaan, apabila Argapati terpaksa, sedikit berbuat
kekerasan untuk mencegah akibat buruk dari segala macam taruhan dan perjudian.
Sabung ayam, gemak, jirak kemiri dan sebangsanya, yang kadang-kadang dapat
menjerumuskan seseorang kedalam neraka yang paling dalam.
Tetapi tiba-tiba tanpa ada
mendung dan hujan, meledaklah petir di langit. Sekelompok orang-orang yang
kecewa menghendaki pembaharuan. Pembaharuan yang tidak dilandasi atas ketentuan
yang berlaku.
Orang itu bukanlah orang yang
mempunyai pengetahuan cukup untuk memikirkannya. Ia hanya dibayangi oleh
kecemasan bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia hanya tahu
bahwa Argapati adalah seorang yang baik, karena ia bukan seorang yang sering
mempertaruhkan nasibnya dengan segala macam cara. Yang ditempuhnya untuk
mendapatkan perbaikan adalah dengan kerja. Kerja.
Tetapi ia mendengar kawannya
yang bertubuh linggi besar itu berkata, “Marilah, kita masih belum sampai ke
pasar. Bukankah kita akan pergi ke pasar? Lupakan saja kabar itu. Kalau kau
sependapat, sambutlah, kalau tidak jangan risaukan lagi. Aku kira tidak akan
terjadi apa-apa.”
Kawannya tidak menyahut.
Mereka melangkahkan kaki mereka, meneruskan perjalanan. Tetapi mereka kemudian
saling berdiam diri di sepanjang jalan. Masing-masing dibayangi oleh
angan-angan sendiri.
Namun kabar yang demikian itu
sebenarnya memang terlampau cepat menjalar. Hampir setiap mulut segera
mengucapkannya. Sidanti mutung, meninggalkan ayahnya dan tinggal di rumah
pamannya bersama gurunya, karena tidak sependapat dengan cara ayahnya
memerintah Tanah Perdikan Menoreh.
Beberapa orang penting,
akhirnya, sebelum matahari terbenam di ujung Barat, pada hari itu juga,
mendengar pula kabar itu. Tetapi mereka menganggap bahwa kabar itu agaknya
terlampau dibesar-besarkan. Memang mungkin sekait terjadi perselisihan pendapat
antara ayah dan puteranya yang sudah dewasa. Tetapi perselisihan itu pasti
hanya akan berlangsung sementara.
“Aku mendengar, bahwa
pertentangan yang paling tajam justru terjadi antara Ki Argapati dan Ki Tambak
Wedi,” desis seseorang. “Bahkan mereka berjanji untuk menyelesaikannya di bawah
Pucang Kembar.”
“Ah, jangan mengigau,” sahut
yang lain,” itu hanya sekedar mimpi yang buruk.”
Yang mula-mula berbicara
mengangguk-anggukkan kepalanya. “Mudah-mudahan itu hanya sekedar mimpi yang
buruk, atau pendengaran orang yang membuat kabar ini salah dengar. Tetapi
keduanya menyebut-nyebut Pucang Kembar dan saat purnama naik.”
Ternyata kabar-kabar yang
bersimpang siur, telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan
seakan-akan Bukit Menoreh yang membujur membeku itu pun ikut bergetar pula.
Namun dalam pada itu, hati
Sidanti selalu dicemaskan oleh rahasia tentang dirinya. Bagaimanakah jadinya
seandainya Argapati sendiri yang menyebarluaskan rahasia itu?
“Itu tidak akan terjadi,”
berkata Ki Tambak Wedi. “Argapati tidak akan mencoreng arang di kening sendiri.
Ia tidak akan mau membukakan rahasia itu kepada siapa pun, sebab dengan
demikian hanya akan membuat dirinya sendiri terpercik noda dan malu.”
Sidanti mengangguk-anggukkan
kepalanya, meskipun dadanya masih diamuk oleh keragu-raguan.
Tetapi dugaan Ki Tambak Wedi
itu ternyata tidak salah. Argapati berusaha menutup rahasia itu
serapat-rapatnya. Dipesankannya kepada Pandan Wangi untuk menyimpan rahasia itu
di dalam hatinya. Rahasia keluarga mereka yang telah dipendamnya bertahun-tahun.
“Bagaimana kalau Ki Tambak
Wedi sendiri yang membuka rahasia ini?” bertanya Pandan Wangi.
“Aku kira tidak Wangi,
setidak-tidaknya untuk sementara ini. Aku mempunyai dugaan yang kuat, bahwa
Sidanti dan Ki Tambak Wedi masih tetap berkepentingan, apabila orang-orang
Menoreh menganggap ia sebagai anakku, yang akan berhak sepenuhnya atas Tanah
ini.”
“Tetapi bukankah semua orang
menganggap bahwa yang kelak akan mewarisi Tanah ini adalah Sidanti?”
“Ya, apabila ia menurut jalan
yang aku gariskan. Kalau ia menyimpang dari jalan itu, apalagi membenturkan
Tanah ini dengan kekuatan Pajang, aku tidak dapat menerimanya. Hak itu dapat
aku cabut dan aku serahkan kepada orang lain.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Ditundukkan kepalanya dalam-dalam. Ia sudah dapat menduga, bahwa dirinya pasti
akan tersangkut di dalamnya. Putra Argapati sebenarnya ternyata hanya satu.
Dirinya sendiri.
Dan sejenak kemudian ia
mendengar ayahnya berkata, “Wangi, apabila Sidanti hanya menurut kehendaknya
sendiri, atau menurut kehendak gurunya yang melonjak-lonjak itu, aku tidak akan
dapat mengikutinya. Terpaksa aku melepaskan mereka bertindak sendiri.”
Pandan Wangi masih belum
menjawab.
“Karena itu aku memerlukan
kau, Wangi. Aku mengharap supaya kau dapat melepaskan dirimu dari himpitan
perasaan. Aku mengharap kau dapat mempergunakan nalar sejauh-jauh mungkin,
meskipun kau seorang gadis. Tidak ada lain yang dapat membantu aku dalam setiap
keadaan kecuali kau.”
Pandan Wangi semakin menundukkan
kepalanya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Aku tahu, bahwa kau akan mendapat
beban yang terlampau berat bagi seorang gadis. Tetapi aku minta keikhlasanmu
untuk melakukannya. Karena aku tidak melihat orang lain.”
Terasa dada gadis itu
berdesir. Ia mencoba sekuat-kuat tenaganya untuk bertahan supaya perasaan
kegadisannya tidak mendorongnya untuk menitikkan air mata. Namun dengan
demikian, terasa tenggorokannya menjadi pepat, dan matanya menjadi pedih.
Dan ia mendengar ayahnya
berkata seterusnya, “Tidak ada jalan lain bagi kita Wangi. Demi keselamatan
Tanah ini, Tanah nenek moyang yang kemudian telah dikuatkan dengan kekancingan,
bahwa Tanah ini telah menjadi Tanah Perdikan.”
Pandan Wangi mengusap wajahnya
dengan tangannya. Keringat dingin terasa membasahi punggungnya.
“Kalau kau sudah bersuami,
Wangi, maka keadaannya akan berbeda. Tetapi hal itu belum terjadi, sehingga
semuanya masih tergantung kepadamu.”
Tanpa disengaja, Pandan Wangi
menganggukkan kepalanya. Tiba-tiba terasa hatinya dirayapi oleh getaran yang
semula tidak begitu dikenalnya. Tetapi lambat laun menjadi semakin jelas
baginya, bahwa getaran itu adalah getaran tekadnya untuk berbuat seperti yang
dikatakan oleh ayahnya. Tidak ada kesempatan lagi untuk merajuk dan
bermanja-manja. Dihadapannya terbentang tanah garapan yang hampir menjadi
kering.
Memang sekilas-sekilas
melintas wajah ibunya yang sejuk dan dalam. Sorot mata yang suram dan senyum
yang terlampau lembut. Tetapi kini diketahuinya, bahwa di balik sorot mata yang
suram dan senyum yang terlampau lembut itu tersembunyi penyesalan tiada
taranya. Penyesalan yang menjerat hidupnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
mengangkat wajahnya. Dan ayahnya berkata seterusnya, “Tetapi aku masih
mempunyai banyak harapan, Wangi, bahwa segalanya akan dapat diselesaikan dengan
baik.”
“Tetapi,” suara Pandan Wangi
terlampau dalam, “bagaimana dengan janji Ayah dan Ki Tambak Wedi bahwa pada
saat purnama naik akan bertemu di bawah Pucang Kembar itu lagi.”
“Hem,” ayahnya berdesah,
“kenangan yang paling pahit. Tetapi aku mengharap Tambak Wedi akan berbuat
jujur seperti pada masa mudanya. Kita menyelesaikan persoalan pribadi dengan
cara jantan.”
“Tetapi ….,” suara Pandan
Wangi terputus.
“Aku tahu, Wangi. Kau ingin
tahu apakah yang seharusnya kau lakukan dalam keadaan dan kemungkinan yang
paling parah.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
“Karena itu kau harus dapat
berdiri di atas kedua belah kakimu, meskipun kau seorang gadis. Kita masih
mempunyai waktu beberapa hari Wangi. Yang beberapa hari ini harus kau
pergunakan sebaik-baiknya, supaya kau memiliki bekal yang cukup untuk membentuk
diri kelak, meskipun tanpa tuntunan seorang guru pun.”
“Ayah,” Pandan Wangi memotong.
“Aku hanya mengatakan, apabila
kemungkinan itu harus terjadi. Sebab semuanya tergantung kepada Yang Maha
Kuasa. Kita wajib berusaha, namun ketentuan terakhir berada di tangan-Nya.”
Sekali lagi Pandan Wangi
terdiam.
“Kau sudah mempunyai
pengetahuan serba sedikit untuk itu. Karena itu, maka kita harus mempergunakan
waktu sebaik-baiknya.”
Pandan Wangi tidak menjawab.
Argapati pun kemudian sejenak
berdiam diri. Dicarinya kemungkinan yang paling baik yang dapat dilakukannya
bersama satu-satunya putrinya. Pandan Wangi.
Pandan Wangi tidak segera
menjawab. Ia masih belum dapat meredakan pergolakan yang bergulat di dalam
dadanya. Benturan-benturan perasaan dan nalar, benturan-benturan tanggapan dan
bayangan tentang masa-masa depan selalu mengganggunya, sehingga sulitlah
baginya untuk dapat mengerti, apakah sebenarnya yang dikehendakinya sendiri.
Kadang-kadang hatinya terbakar
oleh perasaan bencinya terhadap keadaan yang telah membuat keluarganya retak
sejak dibentuk oleh ayah dan ibunya. Kadang ia ingin melepaskan kebencian dan
kemarahannya. Tetapi kadang-kadang tumbuhlah sifat-sifat kegadisannya. Ia ingin
merajuk dan bahkan kemudian menjauhkan diri dari setiap persoalan. Ia ingin
lari. Lari saja entah ke mana.
Tetapi setiap kali
dipandanginya wajah ayahnya yang suram, maka tumbuhlah getaran yang panas di
dalam dirinya. Ayahnya kini tinggal berdiri sendiri. Apabila ia pergi pula
meninggalkannya, maka ayahnya, satu-satunya orang yang masih ada di dekatnya
itu, akan ditelan oleh Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak dapat
mengerti, dorongan apakah yang telah membawa pamannya ikut di dalamnya. Pandan
Wangi tidak dapat mengerti, kenapa adik ayahnya itu memusuhi ayahnya pula
Seharusnya Argajaya ikut pula mendendam, bahwa Ki Tambak Wedi telah menodai
kemulusan keluarga kakaknya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya.
Argapati telah mendengar pula
apa yang bergolak di dalam daerahnya dalam waktu yang terlampau singkat.
Argapati yang mempunyai tanggapan yang tajam itu segera dapat mengerti, bahwa
Ki Tambat Wedi telah mempergunakan Argajaya dan Sidanti untuk memecah Pajang,
dan dimulainya dari Tanah Perdikan Menoreh.
“Aku dapat menghubungi Adipati
Pajang,” berkata Argapati di dalam hatinya, “tetapi harga diriku akan
terkorbankan, seolah-olah aku tidak dapat mengatasi persoalan yang tumbuh di
dalam daerahku, daerah yang sudah diberi wewenang untuk menjadi Tanah Perdikan.
Aku sudah dibebaskan dari sebagian besar kewajiban-kewajiban yang mengikat,
sehingga seharusnya aku tidak membuat Pajang menjadi sulit dan terpaksa
menitikkan keringat dan apalagi darah prajurit-prajuritnya.”
Itulah sebabnya maka Argapati
berpendirian untuk menyelesaikan masalah Tanah Perdikannya tanpa campur tangan
orang luar.
Pandan Wangi mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar ayahnya kemudian berkata, “Bagaimana, Wangi,
apakah kau dapat mengerti maksudku?”
Sejenak Pandan Wangi
terbungkam. Namun kemudian kepalanya mengangguk kecil.
“Bagus, Wangi,” berkata
ayahnya, “Harapanku satu-satunya kini adalah kau. Tidak ada orang lain yang
dapat aku percaya sepenuhnya. Apalagi setelah Argajaya dan Sidanti menyebarkan
segala macam desas-desus yang telah merusak sendi kehidupan di Tanah Perdikan
ini, menumbuhkan kegelisahan dan kecurigaan di antara kita dan menyalakan api
ketidak-puasan yang sama sekali tidak beralasan. Tetapi aku tahu, Wangi, bahwa
di antara orang-orang yang tidak puas adalah orang-orang kaya. Dengan uangnya
mereka berusaha untuk menyebarkan pendiriannya. Dan kita ternyata masih belum
siap untuk melawannya,”
“Dan ayah masih belum
bertindak apa-apa?” bertanya Pandan Wangi.
Pertanyaan itu telah menyentuh
hati Argapati, sehingga wajahnya yang suram itu tiba-tiba seolah-olah menjadi
cerah. Dengan nada yang dalam ia berkata, “Pertanyaanmu telah menumbuhkan
gairah di dalam hatiku, Wangi. Aku memang belum berbuat apa-apa. Aku
menunggumu. Aku ingin mendengar ketetapan hatimu. Karena kau seorang gadis,
Wangi. Aku ingin tahu, di mana kau hendak berdiri. Apakah kau akan berdiri di
samping ayahmu sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan yang kini sedang
diguncang-guncang oleh orang lain, ataukah kau akan berdiri sebagai seorang
gadis yang sedang kecewa menghadapi masalah dirinya, dan masalah keluarganya.
Ketidakjujuran dan noda-noda yang kotor telah melekat di wajah kita, karena
persoalan yang mengejutkan hati itu.”
Getaran yang panas, yang
seolah-olah menyala di dalam dada Pandan Wangi menjadi semakin berkobar.
Tiba-tiba air matanya serasa kering. Jari-jarinya yang halus itu tergenggam
seperti sedang menggenggam hulu pedang. Katanya, “Ayah. Aku adalah satu-satunya
keturunan Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Apa pun yang telah terjadi atas
diriku, atas keluargaku, tetapi aku bertanggung jawab atas kelangsungan hidup
Tanah ini. Karena itu, aku akan berdiri di samping Ayah sebagai seorang putra
satu-satunya Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Akulah trah Argapati yang berhak
atas Tanah ini.”
Dada Argapati menjadi
berdebar-debar karenanya. Dan ia mendengar anak gadisnya itu berkata
seterusnya, “Aku sama sekali tidak diburu oleh nafsu untuk merampas hak atas
Tanah ini dari Kakang Sidanti. Tetapi aku dihadapkan pada keadaan yang meskipun
tidak aku kehendaki. Kakang Sidanti telah melawan Ayah sebagai Kepala Tanah
Perdikan Menoreh bersama Paman Argajaya dan Ki Tambak Wedi.”
Argapati mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya, “Terima kasih, Pandan Wangi. Memang tidak ada orang
lain yang dapat berbuat demikian selain kau. Aku sudah berkeputusan, apabila
kau berdiri tegak dengan dada tengadah, maka aku akan berbuat apa saja buatmu,
Wangi. Meskipun aku sudah lama meletakkan tombak pendekku, tetapi untuk
mempertahankan Tanah ini, untuk menempatkan kau di tempat yang seharusnya, aku
akan menariknya dari wrangka dan selongsongnya. Aku akan dapat mempergunakan
lagi seperti aku pernah mempergunakannya dahulu. Tetapi apabila kau berdiri di
atas kegadisanmu, merajuk dan berputus asa, maka kau hanya akan menemukan
mayatku besok sesudah purnama naik di bawah Pucang Kembar.”
“Ayah.”
“Tidak, Wangi,” potong
ayahnya, “Sekarang aku berpendirian lain, justru kau telah menyatakan tekadmu.
Aku masih ingin melihat betapa cerahnya matahari pagi sesudah purnama yang
cerah itu.” Ayahnya berhenti sejenak, lalu, “Karena itu pula aku harus cepat
bertindak. Hari ini aku akan mengumpulkan tetua Tanah Perdikan. Aku tidak dapat
memberi kesempatan terlalu lama kepada orang-orang yang sengaja membuat kegelisahan
itu. Aku harus memberi batasan waktu kepada mereka untuk menghentikan kegiatan
mereka. Kalau mereka tidak bersedia, apa boleh buat. Aku akan bertindak sesuai
dengan kewajibanku, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Dan Ki Argapati itu
benar-benar bertindak cepat. Saat itu juga ia memanggil beberapa orang tetua
Tanah Perdikannya. Tetapi, meskipun demikian Argapati tidak ingin membuat kesan
yang dapat menambah kegelisahan rakyatnya. Karena itu maka ia pun berbuat
dengan sangat berhati-hati.
Pembicaraan-pembicaraan di
antara mereka segera dilakukan. Argapati ingin mendapatkan laporan dan pendapat
beberapa orang tetua Tanah Perdikannya. Tetapi. Argapati sebagai seorang
laki-laki jantan, sama sekali tidak menyinggung-nyinggung janjinya dengan Ki
Tambak Wedi di bawah Pucang Kembar nanti pada saat purnama naik.
Yang dibicarakan di antara
mereka adalah desas-desus yang makin tersebar luas. Yang dapat menumbuhkan
tanggapan yang berbeda-beda di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Ada yang
dengan sepenuh hati menyambut Argajaya bersama Sidanti untuk menumbuhkan
suasana baru di Menoreh. Tetapi ada pula di antaranya yang berkata, “Kami tidak
ingin terjerumus ke dalam neraka yang paling jahanam. Seandainya benar kata
orang bahwa Sidanti telah kembali bersama gurunya, untuk memberikan nafas baru
di daerah ini, maka kami harus menentangnya. Argapati adalah seorang pemimpin
yang terbaik yang pernah kami kenal. Apabila Sidanti ingin menjadi seorang
pemimpin yang baik, ia harus belajar dari ayahnya Jangan sebaliknya justru
memusuhinya.”
Dan yang lain berkata, “Huh,
anak durhaka. Apakah ia tidak sabar menunggu sampai saatnya ia menerima waris
itu dengan sah menurut ketentuan yang seharusnya?”
Namun di antara sekian banyak
orang-orang yang menganggap bahwa Sidanti telah berbuat kesalahan, ada juga
yang dengan acuh tak acuh, menunggu apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan
Menoreh. Di antara mereka berkata, “Itu adalah urusan mereka. Bagiku lebih baik
menunggu saja apa yang akan terjadi, sambil melihat arah angin yang sedang
bertiup.”
Demikianlah, maka suasana
Tanah Perdikan itu benar-benar telah diguncangkan oleh kabar-kabar itu,
meskipun tampaknya di permukaan masih juga tenang dan seperti biasa. Tetapi di
antara orang-orang yang merasa tidak senang terhadap perlakuan Argapati, segera
mengadakan pertemuan-pertemuan rahasia. Berbicara berbisik-bisik.
“Mudah-mudahan trah Argapati
yang masih muda itu memenuhi harapan kita,” berkata salah seorang dari mereka.
“Apakah kita hanya cukup
berharap?”
“Tidak. Kita harus berbuat
sesuatu.”
“Banyak yang setia kepada
Argapati yang sekarang.”
Yang lain tertawa. Katanya,
“Biarlah Argapati membuat rumahnya berbenteng baja. Kita sebarkan emas di
halaman, maka benteng baja itu pasti akan pecah oleh rakyat yang justru
sebelumnya setia kepadanya.”
Beberapa orang yang lain
mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata salah seorang dari mereka, “Kalau
begitu kita temui Sidanti. Kita taruhkan harapan kita kepadanya, supaya kita
tidak selalu dihantui oleh sikap Argapati yang memuakkan itu.”
Tetapi ternyata semua
bisik-bisik itu sampai juga ke telinga Argapati. Dan bisik-bisik yang demikian
itulah yang dibicarakan oleh Argapati dengan beberapa orang tetua, pemimpin,
dan agul-agul di Tanah Perdikan Menoreh.
“Apa yang harus aku lakukan?”
bertanya salah seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu.
“Kita tidak boleh
tergesa-gesa. Kita harus melihat setiap perkembangan dengan saksama,” jawab
Argapati. Lalu, “Jangan membuat rakyat semakin gelisah. Semua gerakan harus
dibuat sandi.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Tetapi Ki Argajaya agaknya sudah jauh
bertindak. Bebera kelompok pengawal telah berada di pihaknya. Dan beberapa
kelompok anak-anak muda telah dipengaruhi pula oleh Sidanti.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Ia memang sudah menyangka bahwa akibatnya akan sampai sekian jauh.
Tetapi ia masih juga berkata, “Aku tahu, tetapi aku masih ingin mencoba untuk
menyelesaikan masalah ini dengan baik. Sekian lama kita bekerja keras untuk
membangun Tanah ini. Apakah sekarang kita akan membiarkan Tanah ini terbelah?
Apakah kita akan membiarkan rakyat kita hancur oleh kita sendiri?”
“Tidak,” sahut pemimpin
pengawal yang sudah setengah umur itu, yang selama ini, sebelum peristiwa ini
terjadi, selalu mendampingi Argajaya. “Kami tidak menghendaki. Tetapi kalau
kami tidak bertindak cepat, maka keadaan pasti akan menjadi semakin parah.
Kalau kita tidak memberi mereka kesempatan, maka kita pasti akan segera dapat
mengatasinya.”
“Tunggulah,” jawab Argapati,
“aku akan membuat perhitungan.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu
menggeram.
Namun dada Argapati pun
digetarkan pula oleh geram di dalam pusat jantungnya. Tetapi nalarnya masih
cukup kuat untuk membuat pertimbangan yang bagi pemimpin pengawal itu
dianggapnya terlampau lamban.
“Yang harus kau lakukan adalah
membuat perhitungan yang tepat,” berkata Argapati. “Apabila ada diantara kalian
yang menyeberang, maka kau harus mengetahui imbangan kekuatan itu. Tugasmu yang
lain adalah mempersiapkan diri. Setiap saat kalian harus dapat bergerak cepat.”
Pemimpin pengawal Tanah
Perdikan itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku akan segera memberikan
petunjuk-petunjuk baru. Tetapi kau harus menyampaikan laporan-laporan setiap
saat.”
Sekali lagi pemimpin pengawal
itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Selebihnya Argapati telah
memberikan petunjuk laporan bagi para pemimpin Tanah Perdikan itu, bagaimana
mereka harus menghadapi kabar yang semakin merata. Kabar yang sebenarnya telah
benar-benar menggelisahkan Argapati sendiri.
Tetapi Argapati itu terikat
oleh janjinya. Pada saat purnama naik, di bawah Pucang Kembar. Pada saat ia
mengucapkan janji itu, ia sama sekali tidak mempertimbangkan, bahwa ia sekarang
bukan lagi Arya Teja yang dahulu. Tetapi ia adalah Kepala Tanah Perdikan yang
mempunyai tanggung jawab yang besar atas kewajibannya.
Dengan demikian maka setiap
persoalan pribadinya, mau tidak mau pasti akan menyangkut persoalannya sebagai
seorang Kepala Tanah Perdikan. Persoalannya dengan Ki Tambak Wedi yang
tampaknya sebagai persoalan pribadi itu pun ternyata tidak dapat terlepas dari
kaitan persoalannya dengan Sidanti.
Argapati menyadari
persoalannya setelah ia terlibat dalam kesulitan. Ternyata perkembangan keadaan
tidak menjadi semakin baik. Kabar yang tersiar semakin lama menjadi semakin
menggelisahkan, sehingga Argapati terpaksa mengirimkan beberapa orang untuk
langsung menemui Ki Tambak Wedi membawa pesan pribadinya.
“Tidak, aku tidak akan
berbicara apa pun,” berkata Ki Tambak Wedi setelah ia mendengar pesan dari
utusan Argapati.
“Ki Argapati minta jawaban,”
jawab utusan itu.
“Tidak, kau dengar. Aku tidak
akan memberikan jawaban apa pun.”
“Baik. Kalau demikian, berarti
kedatanganku tidak berarti. Bagi Ki Argapati ini adalah keputusan yang akan
jatuh,” berkata utusan itu. “Aku hanya sekedar utusan. Tetapi keputusan yang
diberikan oleh Ki Argapati akan mengikat seluruh Tanah Perdikan Menoreh.”
Mendengar jawaban itu Ki
Tambak Wedi mengerutkan keningnya. Ia tahu benar, bahwa Argapati tidak ingin
melihat pertumpahan darah. Ia pasti, akan berusaha sekuat-kuat tenaganya untuk
menyelesaikannya dengan cara yang sebaik-baiknya. Maka berkata Ki Tambak Wedi
yang licik itu, “Baiklah. Aku akan mejawab. Katakan kepada Ki Argapati, bahwa
aku tetap pada pedirianku. Kalau Ki Argapati bersedia menempatkan dirinya
bersama aku dan putranya yang digadangnya untuk menduduki tempatnya kelak, maka
semuanya akan menjadi baik. Tidak ada pertentangan yang dalam. Kami hanya ingin
mendapat perlindungan dan pertanggungan jawab. Terutama putranya yang kini
terancam bahaya. Sebaiknya Argapati mempertimbangkan keputusannya.”
“Bukan itu yang
ditanyakannya,” jawab utusan itu, “tetapi Ki Argapati ingin tahu, apakah kalian
bersedia menghentikan segala macam kegiatan yang bertentangan dengan ketentuan
yang berlaku di Tanah Perdikan ini.”
“Diam!” bentak Ki Tambak Wedi
yang hampir kehilangan kesabaran, “Katakan saja kepada Ki Argapati. Aku tidak
mau berbicara dengan cecurut-cecurut macam kau.”
“Ki Tambak Wedi,” wajah orang
itu menjadi merah padam, “aku tahu bahwa sepuluh orang seperti aku, bahkan
seratus orang mungkin tidak dapat menyamaimu. Tetapi bahwa aku sekarang sedang
mengemban tugas dari Ki Gede Menoreh, kedudukanku adalah kedudukan seorang
utusan dari seorang yang paling berkuasa di sini. Karena itu jawablah
pertanyaan Ki Ge Menoreh. Apakah kau bersedia menghentikan segala kegiatan atau
tidak. Hanya itu, dan jawabnya pun hanya ada satu di antara dua, ‘ya’, atau
‘tidak’.”
“Gila!” yang berteriak
kemudian adalah Sidanti. Hampir saja ia meloncat menerkam utusan itu. Tetapi Ki
Tambak Wedi telah menahannya.
“Tunggu dulu Sidanti.”
“Apa lagi yang ditunggu? Orang
ini ternyata bermulut besar. Betapa ia menjadi sombong hanya karena ia menjadi
orang utusan. Sudah sepantasnya ia dicincang di halaman.”
“ Ia hanya sekedar seorang
utusan,” berkata Ki Tambak Wedi. “Tanganmu terlampau bernilai untuk
melakukannya. Orang ini tidak sepantasnya mendapat pelayanan dari kau apalagi
aku.”
“Lalu apakah yang akan Guru
lakukan atasnya?”
“Biarkan saja ia pergi dan
menghadap Argapati. Aku sudah memberi penjelasan.”
“Bukan itulah soalnya,” utusan
itu masih saja memotong.
Sidanti menggeram. Bahkan
darah Ki Tambak Wedi sendiri terasa telah mendidih. Tetapi ia adalah seorang
yang licik. Sehingga ia pun berkata, “Biarkan saja ia Sidanti. Meskipun bukan
itu yang ditanyakan, tetapi ia akan bercerita juga di hadapan Ki Argapati. Ia
akan bercerita tentang sikapku dan semua yang didengarnya.”
Kini utusan itulah yang
menggeram. Tetapi ia berkata, “Aku akan bercerita. Tetapi apakah kau yakin
bahwa ceritaku tidak akan membakar hati Ki Argapati dan memaksanya untuk
bertindak hari ini juga? Aku tahu benar, bahwa kalian masih belum siap
seandainya Argapati mengambil tindakan hari ini.”
“Bodoh sekali,” sahut Sidanti.
“Apakah kau tidak mempertimbangkan bahwa dengan demikian aku dapat membunuhmu.”
“Kematianku tidak akan berarti
apa-apa. Baik bagi Menoreh, maupun bagi Ki Argapati. Aku hanyalah seorang
pengawal Tanah Perdikan dari antara sekian banyak orang. Tetapi arti kematianku
akan sangat penting bagi kalian. Sebab kematianku adalah jawaban yang tegas
dari pertanyaan Ki Argapati. Ya atau tidak.”
“Setan!” sahut Ki Tambak Wedi.
“Pergi, cepat pergi! Terserahlah apa yang akan kau katakan kepada Ki Argapati.
Aku sudah mengemukakan pendirianku. Aku tahu bahwa Argapati masih berusaha
mencari jalan yang baik untuk menemukan penyelesaian. Aku pun berpendirian
demikian. Kalau kau sebagai seorang utusan telah memotong hasrat yang bersamaan
yang menyala d dalam dada Argapati dan putranya bersama-sama, maka kutuk yang
paling jahat akan jatuh kepadamu. Seandainya kelak berkobar persoalan yang
sama-sama tidak kita kehendaki,maka kaulah sumber dari segala macam sebab.
Karena seandainya kau tidak membakar hati Argapati, maka semuanya itu tidak
akan terjadi.”
Utusan itu mengerutkan
keningnya. Ia dapat mengerti kata-kata Ki Tambak Wedi. Tetapi ia pun curiga
pula atas segala macam kemauan baik yang diucapkannya. Karena itu maka akhirnya
ia berkata, “Aku hanya sekedar utusan. Aku akan menghadap Ki Argapati, apabila
aku tidak kau bunuh di sini. Sebab untuk membunuhku kalian tidak akan mengalami
kesulitan meskipun aku pasti akan melawan dengan segenap hati.”
“Pergi! Pergi!” teriak
Sidanti. “Kau terlampau memuakkan bagiku. Katakan kepada Ayah Argapati semuanya
yang pernah kau dengar di sini.”
Pengawal Tanah Perdikan
Menoreh yang menjadi utusan Ki Argapati untuk menemui Ki Tambak Wedi dan
Sidanti itu pun kemudian meninggalkan rumah Argajaya yang seolah-olah telah
menjadi pusat dari segala kegiatan dan gerakan yang dilakukan oleh ketiga orang
itu. Mereka telah membuat rumah itu sebagi pancadan untuk menggenggam seluruh
kekuasaan tidak saja di Menoreh, tetapi kekuasaan Pajang seluruhnya, apabila
saatnya telah datang.
Argapati mendengar keterangan
utusannya dengan hati yang pedih. Terbayang di dalam rongga matanya bahwa
sesuatu yang tidak diharapkan benar-benar akan terjadi. Sudah tentu ia tidak
akan dapat membiarkan hal itu. Tidak dapat membiarkan Sidanti merebut
kekuasaannya alas Tanah Perdikan ini, meskipun memang pernah dijanjikannya.
Tetapi cara yang ditempuh oleh Sidanti adalah cara yang sangat menyakitkan
hati.
“Soalnya bukan karena aku
tidak mau menyerahkan kekuasaan itu kepada anakku,” berkata Argapati kepada
pembantu-pembantunya, “tetapi yang lebih penting lagi bagiku, adalah cara yang
mereka pilih. Dan terlebih-lebih lagi, apakah yang akan terjadi sesudah itu.
Aku tidak berani membayangkan, apakah yang akan dilakukan oleh Sidanti dengan
orang-orang yang kini mendukungnya. Orang-orang yang kecewa, orang-orang yang
ingin berbuat sekehendak sendiri, tanpa dikendalikan lagi, orang-orang yang
kaya tanpa mempertimbangkan dari mana ia mendapat kekayaan itu, orang-orang
yang ingin berkuasa, dan orang-orang yang mendapat keuntungan dari segala macam
benturan-benturan yang terjadi. Bahkan orang-orang yang sekedar mendapat janji
untuk kepentingan pribadi. Orang-orang yang terlampau miskin dengan
harapan-harapan yang dibayangkan akan dapat berlaku kelak.
Kepentingan-kepentingan yang berbeda, tetapi mempunyai satu titik tumpuan,
yaitu perubahan atas pimpinan Tanah Perdikan ini akan sangat berbahaya bagi
kelangsungan hidup Menoreh. Berbahaya bagi keturunan kita kelak.”
Pembantu-pembantu dan
tetua-tetua Tanah Perdikan Menoreh menyadari, betapa keadaan telah meluncur
dengan cepatnya ke dalam suatu kesulitan yang hampir tidak dapat dicegah lagi.
Para pemimpin Pengawal Tanah
Perdikan itu hampir-hampir sudah tidak dapat bersabar lagi. Membiarkan hal itu
berlarut-larut berarti membiarkan drinya diintai oleh seekor harimau lapar.
Setiap saat dalam kelengahan yang sekejap saja, pasti segera akan menerkam
dengan garangnya.
Tetapi Ki Argapati selalu
mencoba menunggu sampai saat purnama naik. Ia ingin menyelesaikan janjinya.
Janji jantan yang tidak dapat diingkarinya.
Memang kadang-kadang tumbuh
pertentangan di dalam dirinya. Apakah ia akan membiarkan Menoreh ditelan oleh
kesulitan yang lebih parah, dengan taruhan yang lebih mahal sekedar memenuhi
harga diri pribadinya?
“Tidak. Saat purnama akan
segera datang. Hanya tinggal beberapa hari lagi. Selain itu, akupun akan sudah
siap untuk bertindak serentak. Sekali pukul, Ki Tambak Wedi harus hancur. Kalau
tidak, maka keadaan akan menjadi lebih parah lagi,” kata Argapati di dalam hati
Maka yang dilakukan oleh
Argapati kemudian adalah mempersiapkan pasukan pengawal sejauh-jauhnya. Kepada
para pemimpin Tanah Perdikan, Argapati memerintahkan untuk melakukan perlawanan
atas kabar yang tersiar. Mereka harus tegas-tegas mengatakan, bahwa pada
saatnya apabila orang-orang yang sesat itu tidak segera kembali ke jalan yang
lurus, Argapati akan melakukan tindakan yang keras kepada mereka.
Para pengawal Tanah Perdikan
Menoreh harus menarik garis yang jelas, di manakah orang-orang yang melakukan
perlawanan itu menempatkan dirinya. Sejak saat itu, peronda-peronda harus
ditempatkan di tempat-tempat tertentu. Para pengawal harus berada dalam
kesiap-siagaan penuh setiap saat. Gardu peronda harus segera dilengkapi dengan
alat-alat untuk tengara setiap gerakan yang mencurigakan.
“Kita tidak dapat melakukannya
dengan bersembunyi-sembunyi lagi,” berkata Argapati. “Kita terpaksa
melakukannya dengan terbuka justru untuk menenteramkan hati rakyat, bahwa kita
pun telah bersiap untuk menghadapi setiap kemungkinan yang tidak kita
kehendaki. Sementara itu setiap cara untuk menempuh jalan lain, masih harus
kita usahakan, agar Menoreh tidak terjerumus ke dalam api yang dapat membakar
seluruh bukit ini, menjadi karang abang tanpa arti.
Ternyata setiap pemimpin Tanah
Perdikan Menoreh dan setiap pengawal yang masih setia kepada Argapati telah
melakukan perintah itu dengan baik. Di tempat-tempat tertentu telah ditempatkan
satuan-satuan pengawal yang dapat bertindak setiap saat. Tetapi para pemimpin
itu pun tidak dapat menutup mata dari kenyataan bahwa sebagian dari mereka pun telah
terpengaruh oleh berbagai macam janji dan harapan yang diberikan oleh Ki Tambak
Wedi, Sidanti, dan Argajaya. Mereka tidak segan-segan untuk melontarkan segala
macam fitnah yang paling keji sekalipun, untuk membangkitkan kebencian rakyat
kepada Ki Gede Menoreh.
“Aku tidak menyangka, bahwa
hal ini dapat terjadi,” berkata Ki Argapati kepada Pandan Wangi ketika mereka
duduk berdua di pringgitan rumahnya. “Ternyata, benih yang ditaburkan, oleh Ki
Tambak Wedi itu telah tumbuh menjadi sebatang pohon berduri yang meracuni Tanah
ini.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi tekadnya telah bulat, untuk berbuat apa saja di samping ayahnya sebagai
Kepala Tanah Perdikan.
“Pandan Wangi,” berkata
ayahnya, “ilmumu ternyata telah menjadi jauh sekali maju. Kau tidak boleh
berhenti. Setiap malam kau masih harus melakukannya tanpa dilihat orang lain,
supaya tempat latihan kita itu tidak menjadi sasaran tindakan licik Ki Tambak
Wedi dan pengikut-pengikutnya.”
Pandan Wangi mengangguk.
“Malam nanti aku akan sampai
kepada puncak unsur-unsur gerak yang menjiwai seluruh perguruan Menoreh. Kau
sudah saatnya untuk menerimanya. Aku mempunyai perhitungan, dengan demikian,
kau akan berada lebih tinggi di dalam tataran ilmumu dari Sidanti yang saat ini
pasti tidak sempat melakukan latihan-latihan yang berarti. Tetapi aku telah
menyisihkan waktu untuk itu. Untuk kepentinganmu. Seandainya terpaksa terjadi
sesuatu atas Tanah Perdikan ini, maka kau akan mampu melindungi dirimu sendiri
dari bencana.”
Pandan Wangi tidak menyahut.
Tetapi ternyata bahwa ayahnya telah sampai pada suatu kemungkinan baginya untuk
melakukan perlawanan atas Sidanti, kakaknya. Meskipun Sidanti bukan putra Ki
Gede Menoreh, tetapi Sidanti itu telah dilahirkan pula oleh Rara Wulan, ibunya.
Terasa desir yang tajam
tergores di dinding hatinya. Tetapi Pandan. Wangi mencoba menggeretakkan
giginya untuk mengusir perasaan yang mengganggu dirinya itu. Ia ingin berdiri
di tempat yang telah dipilihnya menurut nalarnya. Ia tidak mau terombang-ambing
oleh perasaannya yang kadang-kadang kehilangan keseimbangan.
Tetapi betapapun juga ia
berusaha, namun setiap kali terngiang di telinganya, “Sidanti adalah kakakmu
seibu. Kakak yang dengan sayang membawamu bermain-main di masa kanak-kanak.”
“Kami bukan anak-anak lagi,”
Pandan Wangi mencoba menahan gelora perasaannya. Namun ia tidak dapat menahan
ketika setitik-setitik air membasahi pelupuk matanya.
Ayahnya menyadari betapa
beratnya bagi Pandan Wangi untuk memilih sikap. Tetapi adalah kewajibannya
untuk mencoba menunjukkan arah. Seperti seseorang yang berdiri di simpang
jalan, yang sama-sama menuju ke dalam kesulitan, maka Pandan Wangi harus
memilih salah satu di antaranya. Salah satu yang paling baik betapa, pun
sulitnya.
Ketika kemudian malam tiba,
yang semakin lama menjadi semakin dalam, maka Ki Argapati dan Pandan Wangi
telah berada di sebuah tanah lapang sempit yang sepi. Tempat yang mereka pilih
untuk menempa satu-satunya anak yang akan dapat meneruskan hadirnya Tanah
Perdikan Menoreh apabila Sidanti sama sekali sudah tidak menghiraukan lagi
peringatan-peringatan yang diberikan oleh Ki Argapati.
Angin yang silir telah
mengusap tubuh-tubuh yang basah oleh keringat. Pandan Wangi telah mencoba untuk
mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya supaya ia tidak mengecewakan
ayahnya yang sedang dikalutkan oleh kakak seibunya.
Ternyata harapan Ki Argapati
yang ditumpahkan kepada puterinya itu tidak sia-sia. Pandan Wangi kini sedang
berada di dalam latihan yang paling sulit. Keringatnya telah membasahi seluruh
wajah kulitnya, dari ujung kakinya sampai ke ujung rambutnya. Terasa
getaran-getaran yang semakin cepat mengalir di segenap otot bebayu, bahkan
terasa seolah-olah bergetar di seluruh bagian tubuhnya menyelusuri segenap
tulang sungsumnya.
Getaran-getaran itulah sumber
pancaran ilmu yang harus dipelajarinya, diluluhkan dengan getar di dalam
dirinya, dan kemudian akan terpancar dalam satu bentuk yang dahsyat. Dengan
getaran-getaran yang harus dikenali bentuk dan wataknya, Pandan Wangi akan
mampu membangunkan segenap tenaga cadangan di dalam dirinya seperti yang
dikehendakinya, yang kadang-kadang di dalam ujudnya, hampir-hampir tidak dapat
digapai oleh akal.
Tetapi sebenarnyalah bahwa
sumber kekuatan itu telah ada di dalam diri, lahir bersama-sama dengan
kelahiran dirinya dari Sumber Yang Esa. Kekuatan itu sama sekali bukanlah hasil
buatan manusia, bukan karena kepandaian dan kemampuan manusia menciptakan
kekuatan dan kelebihan di dalam dirinya dari orang-orang lain, tetapi manusia
hanya dapat mengenali dan mempergunakannya, yang sebelumnya memang telah ada di
dalam diri. Sesuai dengan sumbernya, maka tidak ada lain, bahwa tenaga cadangan
dan setiap pancaran kekuatan, hendaknya dipergunakan menurut arah yang telah
ditentukan. Untuk kepentingan kasih sesama, dan untuk kepentingan Sumber itu
sendiri, dalam segala macam tuntutannya.
Tetapi ternyata bahwa di dalam
diri manusia terdapat pengenalan yang kadang-kadang sesat dari arah pancaran
Sumbernya. Sesat dan tidak ingin menemukan jalan kembali. Dibangkitkannya
kekuatan di dalam diri manusia dengan landasan yang samar, dan bahkan dengan
landasan yang kelam dan hitam. Untuk tujuan yang kelam dan hitam pula, sehingga
manusia yang demikian semakin lama akan menjadi semakin jauh tersesat.
Ternyata Pandan Wangi
benar-benar tidak mengecewakan ayahnya. Ketika keringatnya seolah-olah telah terperas
habis dari dalam tubuhnya, maka sampailah ia pada puncak ilmu yang diturunkan
ayahnya kepadanya. Unsur gerak yang merampas segenap kekuatan lahir dari
batinnya. Memukaunya dalam pengaruh yang semula kurang dikenalnya. Tetapi
kemudian dimengertinya, bahwa yang kurang dikenalnya itu adalah dirinya sendiri
dalam bentuknya yang paling wajar. Tanpa pulasan lahiriah dan bahkan
seakan-akan tidak mengenal wadagnya sendiri. Hakekat dari kekuatan manusiawi
yang tersimpan di dalam diri, dalam pancaran pribadi yang lengkap.
Ketika getaran itu terasa
mencengkam seluruh tubuhnya, maka Pandan Wangi merasakan betapa sulitnya ia
melawan kehendak di dalam diri. Seolah-olah suatu kekuatan yang dahsyat telah
menyeretnya ke dalam suatu keadaan yang tidak dimengertinya. Tetapi Pandan
Wangi tetap bertahan, ia mencoba untuk tetap sadar dan mendengar kata-kata
petunjuk ayahnya. Ia mendengar kata demi kata meskipun seolah-olah semakin lama
menjadi semakin jauh. Dipusatkannya inderanya untuk tetap mendengar suara itu.
Kini Pandan Wangi justru tidak
bergerak sama sekali, ia berdiri tegak dengan kaki rapat. Tangannya
disilangkannya di dadanya, sedang senjatanya, sepasang pedang, mencuat di depan
pundaknya. Didengarnya petunjuk-petunjuk ayahnya, untuk melakukan unsur-unsur
gerak yang paling sulit dari ilmunya. Tetapi Pandan Wangi sudah tidak bergerak
dengan wadagnya. Dipusatkan inderanya, didengarkannya petunjuk-petunjuk ayahnya
meskipun ia sudah tidak dapat melihat lagi, di mana ayahnya berdiri karena
matanya sedang terpejam, dan ia tidak tahu lagi dari mana arah suara itu
menyentuh lubang telinganya.
Namun meskipun demikian,
Pandan Wangi merasakan, bahwa ia telah melakukan gerak itu. Gerak yang justru
paling sempurna. Gerak yang telah memeras segenap kemampuan batinnya.
Semakin lama suara ayahnya itu
pun menjadi semakan samar, Ia tinggal harus melakukan satu unsur gerak. Yang
terakhir. Terasa dadanya berguncang dahsyat sekali ketika ia merasa
membenturkan kekuatannya itu dengan kekuatan ayahnya. Dilontarkannya kekuatan
terakhirnya dalam unsur gerak terakhir.
Pandan Wangi hanya merasakan
dunia ini kemudian menjadi gelap. Terlampau gelap, sehingga kemudian ia tidak
melihat dan mendengar apa pun lagi. Pingsan.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Diusapnya keringat yang, mengalir di keningnya. Kemudian
didekatinya putrinya yang terbaring diam di atas rerumputan yang basah oleh
embun. Perlahan-lahan ia berjongkok di sampingnya. Dirabanya kening Pandan
Wangi, kemudian tangannya dan dadanya. Nafasnya dan darahnya terasa terlampau
cepat mengalir.
“Agak terlampau berat
baginya,” desis ayahnya,” tetapi ia mampu menyelesaikannya sampai unsur yang
terakhir dari ilmu perguruan Menoreh.”
Ketika angin silir mengusap
dahinya, Ki Gede Menoreh menengadahkan wajahnya. Di langit bintang gemintang
berkeredipan memenuhi layar yang biru kehitam-hitaman. Bulan yang belum bulat
telah bertengger di punggung bukit di sebelah Barat.
Sejenak dibiarkannya Pandan
Wangi terbaring. Argapati yakin bahwa puterinya itu tidak mengalami cidera apa
pun kecuali kelelahan dari pemusatan indera yang berlebih-lebihan. Sesudah itu
ia pasti akan menyadari dirinya sebagai seorang gadis yang telah memiliki bekal
yang cukup untuk menempuh kehidupan yang betapapun sulitnya.
Argapati mengerutkan keningnya
ketika ia melihat Pandan Wangi menarik nafas perlahan-lahan. Kemudian dibukanya
matanya perlahan-lahan pula. Yang pertama-tama diucapkannya adalah, “Ayah.”
“Bangunlah, Wangi. Kau telah
berhasil.”
Perlahan-lahan sekali Pandan
Wangi mencoba menggerakkan tangannya, kemudian kakinya. Berkali-kali ia menarik
nafas dalam-dalam. Terasa tubuhnya masih nyeri dan sendi-sendi tulangnya
terlampau lemah.
“Kekuatanmu akan segera pulih
kembali, bahkan dengan kemungkinan yang jauh lebih baik dari keadaanmu
sebelumnya.”
Perlahan-lahan Pandan Wangi
mengingat kembali apa yang telah terjadi padanya sebelum ia jatuh pingsan.
Latihan yang terlampau berat dan yang terakhir, pemusatan indera untuk
menangkap unsur gerak yang paling sulit dari ilmunya. Meskipun ia kemudian
pingsan, tetapi ia sudah menyelesaikan apa yang seharusnya dilakukannya. Ia
mendengar petunjuk-petunjuk ayahnya sampai kalimat yang terakhir.
Tetapi ia adalah seorang
gadis. Secara alami ia mempunyai perbedaan dengan seorang anak laki-laki muda.
Itulah sebabnya, maka baginya latihan itu menjadi terlampau berat, meskipun ia
kemudian berhasil menyelesaikannya.
Pandan Wangi itu pun kemudian
bangkit dan duduk di depan ayahnya. Nafasnya masih terasa berkejaran dan
darahnya masih terlampau cepat mengalir. Jantungnya seakan-akan berdetak lebih
cepat dari biasanya.
“Berdirilah, Wangi,” berkata
ayahnya.
Perlahan-lahan Pandan Wangi
mencoba berdiri, betapa lemahnya sendi tulangnya, namun ia kemudian tegak di
atas kedua kakinya.
“Ambillah pedangmu.”
Pandan Wangi menyadari bahwa
kedua senjatanya itu ternyata telah terlepas dari tangannya. Perlahan-lahan ia
membungkukkan badannya. Punggungnya masih terasa terlampau penat. Diraihnya
kedua pedangnya dan kemudian disarungkannya di lambungnya.
“Kau telah selesai, Wangi,”
berkata ayahnya yang kemudian berdiri di sampingnya. “Tetapi sama sekali bukan
berarti bahwa kau telah menjadi sempurna. Kau baru dapat menyelesaikan
latihan-latihan untuk menguasai unsur-unsur gerak itu sendiri. Tetapi kau masih
harus mengembangkannya dalam waktu-waktu yang akan datang. Kau harus dapat
mempergunakan, memilih dan menggabungkan unsur yang telah kau kuasai itu, untuk
menanggapi keadaan yang berbeda-beda. Nah, untuk itu kau memerlukan pengalaman.
Tetapi dasar pengetahuanmu kini sama sekali pasti tidak akan kalah lagi dari
Sidanti, meskipun kau sudah pasti kalah dalam pengalaman.”
Pandan Wangi masih berdiri
tegak sambil berdiam diri. Berbagai macam perasaan bergelut di dalam dirinya.
Sekali lagi ia merasakan desir yang tajam menggores hatinya. Sidanti itu adalah
kakaknya. Memang tidak ada pertalian apa pun antara ayahnya dan Sidanti
meskipun selama ini Sidanti benar-benar ditempatkan pada tempat yang baik di
dalam keluarganya. Tidak seorang pun yang merasakan sikap yang kurang baik dari
ayahnya terhadap anak muda itu. Namun ternyata ayahnya tidak dapat melupakannya
sama sekali apa yang telah terjadi itu. Ternyata, ketika ayahnya dihadapkan
pada suatu persoalan, maka perasan itu meledak tanpa dapat ditahan-tahankan
lagi. Bahkan dengan serta-merta ayahnya telah menempatkannya langsung
berhadapan dengan kakaknya.
Tetapi baginya, Sidanti adalah
saudara yang dilahirkan dari ibu yang sama. Dan betapapun juga, samar-samar
terbayang di wajah Sidanti garis-garis wajah ibunya, meskipun kakaknya itu jauh
lebih serupa dengan Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi itu mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Hari
telah terlampau jauh malam. Bahkan mungkin sebentar lagi fajar akan memancar di
Timur. Kau perlu beristirahat.”
Pandan Wangi
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan lemahnya. Ketika ia memandang ke barat,
maka bulan sudah tidak dilihatnya lagi. Bulan yang masih belum bulat.
Tetapi dada Pandan Wangi
berdesir karenanya. Sekilas teringat olehnya, janji ayahnya dengan Ki Tambak
Wedi. Pada saat purnama naik. Dan purnama itu semakin lama menjadi semakin
dekat. Beberapa hari lagi. Dan beberapa hari lagi itu adalah hari yang sangat menegangkan
baginya, bagi keluarga Tanah Perdikan Menoreh. Hari itu akan mempunyai banyak
sekali kemungkinan. Di antaranya adalah, perubahan yang mendadak di atas Tanah
Perdikan ini. Bahkan Tanah ini akan dapat dibakar, oleh api yang dahsyat, dan
memusnahkan segala macam bentuk dan peradaban. Dapat terjadi saling membunuh di
antara tetangga-tetangga dan di antara sanak-kadang. Dapat pula terjadi
pembantaian besar-besaran di antara mereka yang berbeda pendirian.
Bulu-bulu kuduk Pandan Wangi
terasa meremang. Mengerikan sekali. Ternyata kedatangan Sidanti dan Tambak Wedi
di atas Bukit Menoreh sama sekali tidak membawa kesentausaan. Tetapi yang
dibawanya adalah bencana. Apakah bencana itu harus terjadi?
Dan sekali lagi Pandan Wangi
mendengar ayahnya berkata, “Marilah kita pulang, Wangi. Kau perlu beristirahat.
Kemudian kita perlu segera mempertimbangkan perkembangan-perkembangan terakhir
yang terlampau cepat terjadi.”
Pandan Wangi, yang kelelahan
itu pun kemudian melangkah perlahan-lahan bersama ayahnya, meninggalkan
lapangan sempit itu, pulang ke rumahnya. Ketika mereka memasuki jalan padukuhan
induk dari Tanah Perdikan Menoreh, terdengar suara ayam jantan berkokok
bersahut-sahutan merambat dari kandang ke kandang, menyongsong cahaya yang
kemerah-merahan di langit sebelah Timur.
“Fajar,” desis Argapati.
Pandan Wangi mengangkat
wajahuya. Dipandanginya fajar yang mulai memancar. Sebentar lagi matahari akan
naik di hari yang baru.
“Kita masih sempat
beristirahat meskipun hanya sekejap,” berkata Argapati. “Aku akan pergi ke
belakang, membersihkan diri.”
Pandan Wangi mengangguk.
Tetapi ia berkata, “Aku akan kesiangan bangun apabila aku jatuh tertidur,
Ayah.”
“Meskipun kau tidak tidur,
tetapi beristirahatlah.”
“Baik, Ayah,” sahut Pandan
Wangi.
“Hari-hari mendatang,
pekerjaan kita akan bertambah banyak. Jauh lebih banyak dari yang kita duga
semula.”
Pandan Wangi tidak menjawab,
tetapi dianggukkannya kepalanya.
Ketika mereka memasuki regol
halaman rumahnya, para peronda memandangi mereka dengan penuh keheranan. Tetapi
tidak seorang pun yang bertanya, dari manakah ayah dan anak itu
semalam-malaman.
Argapati dan Pandan Wangi pun
sama sekali sudah tidak bernafsu lagi untuk terlampau banyak berbicara. Mereka
hanya menganggukkan kepala mereka kepada para peronda yang masih ada di dalam
gardunya sambil bergumam, “Apakah kalian baik-baik?”
“Ya, Ki Gede. Tidak ada
apa-apa semalaman di rumah ini.”
“Terima kasih.”
Ki Gede Menoreh itu pun sama
sekali tidak berhenti. Langkahnya yang lemah membawanya langsung ke belakang,
ke perigi. Sedang Pandan Wangi langsung masuk ke dalam biliknya, menyiapkan
pakaian-pakaian untuk mengganti pakaiannya yang kotor sesudah mandi.
Ketika fajar menyingsing, pada
saat sinarnya yang kekuning-kuningan menyentuh ujung pepohonan, seorang
pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu dengan tergesa-gesa datang menemui Ki
Argapati yang baru saja selesai, dan duduk-duduk di pringgitan seorang diri menghadapi
minuman hangat.
“Maaf, Ki Gede, aku datang
terlampau pagi.”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Terlintas di dalam hatinya, sesuatu yang kurang wajar pasti telah
terjadi, sehingga salah seorang pemimpin pengawal ini dengan tergesa-gesa
menemuinya.
“Duduklah,” Argapati
mempersilahkan.
Dengan nafas terengah-engah
pemimpin pengawal itu duduk di hadapan Ki Argapati. Belum lagi debar jantungnya
mereda, ia sudah mulai berbicara, “Ki Gede. Kita benar-benar berada di dalam
kesulitan.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Dengan sareh ia bertanya, “Apakah yang sudah terjadi?”
“Sidanti dan Ki Argajaya
benar-benar telah tersesat,” berkata orang itu pula. “Mereka telah kehilangan
sama sekali kecintaan mereka kepada Tanah Kelahiran ini.”
“Apakah yang telah mereka lakukan?”
bertanya Ki Gede Menoreh seterusnya.
Pemimpin pengawal itu
menggeser setapak maju. Katanya, “Beberapa orang pengawal dan bahkan beberapa
pemimpin pengawal melihat beberapa orang tidak dikenal di dalam lingkungan
Tanah Perdikan ini. Mereka telah membuat hubungan dengan Ki Argajaya dan
Sidanti.”
Sepercik warna merah menjalar
di wajah Argapati. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa tindakan adiknya dan
anak muda yang telah diakunya sebagai anaknya itu akan menjadi sedemikian jauh.
Namun kemudian Argapati itu teringat, bahwa di dalam lingkungan mereka terdapat
Ki Tambak Wedi. Meskipun Ki Tambak Wedi pernah tinggal di atas Tanah ini,
tetapi sudah terlampau lama ia meniaggalkannya, dan menjadikan dirinya seorang
yang paling berkuasa di padepokannya, padepokan Tambak Wedi. Dengan demikian,
maka kecintaannya kepada Tanah ini pun pasti tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Betapapun juga, Argajaya dan Sidanti pasti masih mempunyai kesadaran, bahwa di
sinilah mereka dilahirkan, dibesarkan dan di sini pulalah mereka telah meneguk
air di saat haus dan menelan makanan di saat lapar. Tanah inilah yang telah
memberikan segala-galanya kepada mereka. Apakah dengan demikian mereka akan
sampai hati menghubungi orang-orang yang tidak dikenal untuk ikut serta merusak
Tanah ini? Untuk ikut serta menitikkan darah orang-orang Menoreh yang kini
sedang diamuk oleh perpecahan yang semakin meruncing?
Sejenak Argapati terdiam. Ia
tidak segera dapat mengucapkan kata-kata. Pringgitan itu pun menjadi sunyi
untuk sesaat. Kemudian terdengar Argapati menarik nafas dalam-dalam sambil
berdesah, “Bencana benar-benar akan menimpa Tanah ini. Apakah orang-orang yang
tidak dikenal itu telah dapat dipastikan, akan ikut campur di dalam persoalan
antara aku dan Sidanti yang telah dinyalakan oleh Ki TambakWedi?”
“Kami mempunyai penilaian yang
demikian Ki Gede. Dua orang dari orang-orang itu telah berada di rumah Ki
Argajaya pula.”
“Apakah kau kenal mereka, atau
setidak-tidaknya dapat menduga dari manakah mereka datang atau dari lingkungan
apa?”
“Ki Gede, menurut
perhitunganku dan beberapa kawan, mereka ternyata dapat digolongkan orang-orang
yang kurang mendapat tempat di dalam lingkungan orang yang baik-baik. Mereka
datang di antar oleh Ki Prastawa.”
“Oh,” Ki Argapati tiba-tiba
menjadi tegang. “Orang itu telah melibatkan dirinya pula.”
“Bagaimanakah penilaian Ki
Gede tentang orang itu?”
“Ia adalah seorang yaiig
paling senang melihat benturan-benturan yang dapat terjadi di Tanah ini. Ia
adalah seorang penjudi yang tidak saja melakukan kegiatanya di Tanah ini,
tetapi ia telah mendatangi tempat-tempat judi, sabung ayam, dan tempat lain
semacamnya sampai ke tempat-tempat yang jauh. Orang-orang itu pasti dibawanya
dari lingkungannya. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang jahat untuk membuat
Tanah ini menjadi karang abang.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Penilaian itu tepat seperti penilaiannya. Orang
itu bukannya orang yang bermaksud baik, tetapi ia akan mempergunakan kesempatan
yang jelek ini untuk kepentingannya sendiri.
Karena itu maka ia bertanya,
“Ki Gede, sudah tentu Ki Prastawa akan memgambil keuntungan dari persoalan ini.
Tetapi keuntungan apakah yang diinginkannya? Apakah yang didapatnya dari
kekisruhan yang dapat timbul di Tanah Perdikan ini?”
Ki Gede Menoreh mengerutkan
dahinya. Tampaklah betapa ia menahan gelora hatinya. Jawabnya perlahan-lahan,
“Orang-orang semacam itu kadang-kadang tidak mempunyai landasan berpikir
tertentu. Ia hanya ingin terjadi sesuatu. Mungkin perubanan pimpinan atas Tanah
Perdikan ini yang diharapkannya dapat memberikan keleluasaan bergerak baginya
dan bagi lingkungannya. Tetapi seandainya yang dibawanya itu adalah orang-orang
yang diangkatmya dari dunia yang hitam, maka akibat daripadanya adalah parah
sekali. Setiap kesempatan dapat dipergunakan oleh mereka untuk menumbuhkan
malapetaka. Mungkin, perampokan, perampasan, dan sebagainya.”
“Hem,” pemimpin pengawal itu
menggeram. “Ki Gede, mumpung masih belum berlarut-larut, aku kira Ki Gede harus
berbuat sesuatu.”
Ki Gede Menoreh tidak segera menyahut.
Perhitungannya memang berkata demikian. Tetapi apakah ia akan dapat melihat
pertumpahan darah terjadi di atas Tanah Perdikan ini? Tanah yang dibinanya
sejak bertahun-tahun? Hampir sepanjang umurnya diberikannya untuk membuat Tanah
ini menjadi Tanah Perdikan yang baik.
Tetapi kini ia dihadapkan
kepada pilihan yang sulit. Bahkan, ia terdorong kepada suatu pikiran di
kepalanya, “Bagaimanakah apabila aku serahkan saja pimpinan atas Tanah ini
kepada Sidanti. Betapapun juga jeleknya, ia adalah orang yang dilahirkan di
Tanah ini. Ia adalah seorang yang merasa dirinya mampu dan berhak pula. Dengan
demikian akan terhindarlah segala macam pertumpahan darah dan keributan di atas
Tanah ini.”
Namun kemudian ia
menggeretakkan giginya. Desisnya di dalam hati, “Aku akan berkhianat atas Tanah
ini apabila aku biarkan Sidanti merebut pimpinan. Ia akan dikendalikan oleh
Tambak Wedi dan orang-orang yang kelak akan mempengaruhinya dengan kekuatan
masing-masing. Orang-orang yang memiliki kekuatan, karena kekayaannya, orang-orang
yang dapat memberinya kepuasan lahiriah, dan mungkin juga orang-orang yang
merasa hidupnya terlampau sulit dan mengharapkan perubahan keadaan, bagi Tanah
ini dan bagi diri mereka. Campur baur dari kepentingan yang berbeda-beda, namun
menempatkan harapan pada keadaan yang sama itulah yang akan membakar Tanah ini
menjadi abu.”
“Bagaimana, Ki Gede?” bertanya
pemimpin pengawal itu.
Wajah Ki Gede Menoreh tampak
ragu-ragu. Ia masih dikuasai oleh perasaannya yang kadang-kadang belum sejalan
dengan pikirannya. Kejantanan yang mengikatnya dalam janji dengan Ki Tambak
Wedi mempengaruhinya pula.
“Tunggullah,” desis Ki Gede
Menoreh.
Wajah orang itu menjadi
kecewa. Perlahan-lahan ia berkata, “Ki Gede, apakah kita menunggu banjir
bandang yang akan memecah Tanah Perdikan ini menjadi berkeping-keping?”
Ki Argapati terdiam sejenak.
Ia dapat memahami pendapat pengawal yang setia itu. Tetapi ia kemudian
menjawab, “Aku perhatikan pendapatmu. Tunggullah, hari ini aku akan mengambil
sikap. Aku akan memanggil kalian untuk menentukan setiap tindakan yang akan
kita ambil.”
Pemimpin pengawal itu
menundukkan kepalanya. Ki Argapati dikenalnya sebagai seorang yang keras hati.
Tetapi ketika ia di hadapkan pada kekisruhan yang terjadi di Tanah sendiri,
maka terasa ia selalu diselubungi oleh keragu-raguan.
“Lakukanlah tugasmu baik-baik.
Aku sendiri akan melihat keadaan dengan saksama.”
Pemimpin pengawal itu
mengangguk lemah. “Baiklah Ki Gede. Aku menunggu perintah.”
Sepeninggal orang itu Ki Gede
Menoreh menarik nafas dalam-dalam. Keningnya tampak berkerut-kerut. Di dalam
dadanya terjadi suatu pergolakan yang dahsyat, yang mendorongnya ke dalam suatu
keadaan yang tidak menentu.
Namun tiba-tiba Ki Argapati
itu teringat kepada putrinya, Pandan Wangi. Satu-satunya keluarga yang dapat
diajaknya berbincang. Pandan Wangilah yang kelak diharapkan akan dapat
menegakkan Tanah Perdikan ini menjadi Tanah Perdikan yang jauh lebih baik dari
keadaannya kini.
Karena itu, maka Ki Argapati
itu segera berdiri. Perlahan-lahan ia berjalan ke bilik Pandan Wangi.
Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintunya yang masih tertutup sambil memanggil
namanya, “Pandan Wangi.”
Tidak ada jawaban. Ki Argapati
menyangka bahwa Pandan Wangi masih terlampau lelah. Mungkin ia tertidur setelah
menyiapkan minuman paginya.
“Wangi,” ia mengulangi.
Masih belum ada jawaban.
Ki Gede Menoreh menarik nafas
dalam-dalam. “Ia terlampau lelah,” desisnya.
Kini Ki Gede Menoreh tidak
memanggilnya lagi. Perlahan-lahan didorongnya daun pintu leregan itu ke
samping. Perlahan-lahan sekali supaya putrinya tidak terkejut.
Tetapi Ki Gede-lah yang
kemudian terkejut. Ternyata bilik itu telah kosong.
“Kemanakah anak ini?”
desisnya.
Ki Argapati itu pun kemudian
pergi ke belakang. Ditanyakannya kepada pelayan-pelayannya, apakah mereka
melihat Pandan Wangi.
Tetapi pelayan-pelayan itu
menggeleng sambil menjawab, “Tidak Ki Gede, kami tidak melihatnya.”
Sepercik kecemasan merambat di
hati Argapati. Karena itu maka kemudian disusurinya halaman rumahnya.
Kalau-kalau Pandan Wangi sedang berada di halaman, atau sedang berada di kebun
belakang.
“Apakah Ki Gede sedang mencari
Pandan Wangi?” bertanya seorang pelayan tua.
“Ya,” sahut Ki Gede.
“Ia mengenakan pakaian
berburunya. Mungkin ia pergi.”
Jantung Ki Argapati berdesir
mendengarnya. Terkilas di dalam angan-angan Argapati, bahwa sudah pasti Pandan
Wangi tidak akan pergi berburu. Tetapi Ki Argapati tidak segera dapat
menentukan, kemanakah putrinya itu pergi. Karena itu maka sejenak kemudian ia
bertanya, “Apakah kau tahu kemana ia pergi?”
“Sudah tentu ia akan pergi
berburu,” jawab pelayan tua Itu.
“Apakah ia membawa busur dan
anak panah?”
Pelayan tua itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia menjawab agak ragu-ragu, “Tidak. Aku kira ia tidak
membawa busur dan anak panah.”
Ki Argapati menarik nafas
dalam-dalam. Lalu katanya, “Ia tidak akan pergi berburu.”
“Lalu kemanakah ia akan
pergi?”
Argapati tidak segera menjawab,
tetapi tampak keningnya menjadi berkerut-merut.
“Apakah Pandan Wangi pergi
berkuda?” ia bertanya.
“Ya, ia pergi berkuda.”
“Mungkin para penjaga di regol
depan mengetahuinya,” gumam Ki Argapati.
“Tidak Ki Gede, Pandan Wangi
tidak lewat regol depan tetapi ia membuka pintu butulan. Akulah yang disuruhnya
menutup.”
Argapati mengerutkan
keningnya. Meskipun, ia terkejut mendengar keterangan itu, tetapi ia mencoba
untuk tidak memberikan kesan apa pun. Perlahan-lahan ia mengangguk-angguk,
kemudian ia bertanya, “Kemanakah ia pergi. Ke utara atau ke selatan?”
Pelayan tua itu
mengingat-ingat sebentar. Kemudian katanya, “Mungkin ia pergi ke selatan. Aku
tidak begitu menaruh perhatian. Begitu ia keluar dari regol, aku segera
menutupnya.”
“Anak nakal,”desis Argapati.
“Apakah Pandan Wangi tidak
minta ijin lebih dahulu kepada Ki Gede?”
Ki Gede Menoreh itu tidak
menyahut.
“Bukankah biasanya Pandan
Wangi mendapat ijin dari Ki Gede untuk pergi berburu.”
Ki Gede hanya mengangguk saja.
Tetapi di dalam hati ia berkata, “Aku tidak pernah melepaskannya seorang diri
meskipun ia hanya pergi berburu. Apalagi dalam keadaan serupa ini.”
“Hem,” Ki Argapati itu
berdesah, sedang pelayan tua itu memandanginya dengan heran. Ia melihat
kegelisahan pada wajah Argapati betapapun ia mencoba menyembunyikannya. Tetapi
pelayan tua itu tidak tahu apakah yang sebenarnya digelisahkannya. Bukankah
Pandan Wangi itu pergi di siang hari? Pelayan tua itu sama sekali tidak tahu,
betapa ketegangan yang kemelut menyelubungi udara Tanah Perdikan Menoreh.
Apabila Argapati tidak berhasil mengatasinya dengan cara yang diiginkannya maka
api akan segera menyala.
Dalam keadaan demikian Pandan
Wangi pergi seorang diri. Berbagai macam persoalan telah menggelegak di dalam
dada Ki Argapati. Bahkan kemudian keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya
ketika terlintas di dalam hatinya, “Apakah Pandan Wangi memilih kakaknya
daripada ayahnya?”
“Tidak,” Argapati mencoba
membantahnya di dalam hati. “Mustahil hal itu dilakukannya.”
Tetapi Argapati tidak
mengucapkan sepatah kata pun. Dengan kepala tunduk ia melangkah masuk ke dalam
rumah. Sedang pelayan tua itu masih berdiri termangu-mangu di tempatnya. Sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya ia bergumam, “Hem, apakah Pandan Wangi pergi
tanpa pamit setelah ayahnya melarangnya?”
Dengan hati yang gelisah
Argapati duduk kembali di pringgitan. Dicobanya menenangkan hatinya dengan
meneguk minuman paginya yang telah menjadi dingin. Tetapi debar di jantungnya
justru menjadi semakin tajam.
“Anak itu pasti pergi ke rumah
pamannya,” desis Argapati seorang diri. Arah yang diambilnya adalah arah yang
menuju ke rumah Argajaya. “Aku tidak tahu, apakah maksudnya Dalam keadaan yang
panas ini, perjalanan yang pendek itu dapat berbahaya baginya.”
Tetapi Argapati tidak dapat
segera pergi menyusulnya. Ia merasa segan untuk datang ke rumah itu,
seolah-olah ia memerlukan menemui orang-orang yang selama ini telah membuat
kekisruhan di dalam wilayahnya. Dengan demikian, maka bagi mereka yang melihat
kehadirannya ke rumah itu akan dapat memberikan tanggapan yang bermacam-macam,
seolah-olah ia telah merendahkan dirinya, memohon kepada Sidanti untuk
melepaskan tuntutannya.
“Tetapi bagaimana dengan
Pandan Wangi?” desisnya. Tiba-tiba Argapati itu meloncat berdiri. Dengan
tergesa-gesa ia pergi ke pendapa dan memanggil seorang penjaga regol
halamannya.
“Panggil pemimpin pengawal,”
ia menggeram.
Perintah itu tidak perlu
diulanginya. Segera penjaga regol itu pergi memenuhinya, memanggil pemimpin
pengawal.
Kepadanya, Argapati
memberitahukan bahwa Pandan Wangi telah pergi. Menurut pertimbangannya ia pergi
ke rumah Argajaya.
“Apakah kepentingannya?”
bertanya pemimpin pengawal itu.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku
yakin bahwa Pandan Wangi ingin membantuku memecahkan kesulitan ini. Mungkin ia
ingin menemui kakaknya dan mencoba mempengaruhinya. Namun aku
mengkhawatirkannya. Aku tidak yakin bahwa ia berhasil, meskipun seandainya
demikian aku akan sangat berterima kasih kepadanya. Tetapi seandainya Sidanti
mengambil sikap-sikap yang tidak mencerminkan persaudaraannya, misalnya
menahannya dan tidak diberikan kesempatan kepadanya untuk kembali ke rumah ini
dengan kekerasan, maka kita harus bertindak. Aku menunggu sampai tengah hari.
Apabila tengah hari Pandan Wangi tidak kembali, kau harus menyusulnya. Kau
minta Pandan Wangi. Kalau tidak diberikannya, aku tidak tahu akibat apa yang
dapat terjadi. Pasukanmu harus bersiap menghadapi setiap kemungkinan.”
Wajah pemimpin pengawal itu
menjadi tegang. Tetapi kemudian matanya memancarkan api yang seolah-olah telah
membakar jantungnya. Dengan tegas ia berkata, “Aku akan melakukannya. Aku dan
pasukan pengawal Tanah Perdikan ini sudah siap melakukan apa saja. Aku kira
memang tidak ada jalan lain selain perang. Kalau Pandan Wangi mengusahakan
jalan lain, itu pasti hanya akan sia-sia saja, meskipun aku ikut mengharap,
mudah-mudahan ada juga pengaruhnya.”
Argapati melihat pancaran
perasaan pemimpin pengawal itu. Agaknya ia sudah menjadi jemu melihat
perkembangan keadaan yang seakan-akan tidak menentu. Tetapi kegelisahan dan
kecemasan telah merayapi hampir setiap hati di dalam dada orang-orang Menoreh.
Sehingga bentuk kehidupan sehari-hari telah berubah sama sekali. Pasar-pasar
menjadi semakin sepi, dan sawah-sawah tidak lagi terpelihara sewajarnya.
Sebagian dari setiap laki-laki di Menoreh telah mengelompokkan diri mereka
dengan orang-orang yang mempunyai persamaan sikap dan pandangan.
Menoreh telah terpecah dari
dalam.
Ketika pemimpin pengawal itu
kemudian meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh, maka Ki Gede itu berpesan,
“Datanglah sebelum tengah hari kemari, setelah kau selesai dengan segala bentuk
persiapanmu. Kau akan mendapat kepastian, apakah Pandan Wangi telah kembali
atau belum. Jangan kau bunyikan tengara untuk mempersiapkan pasukanmu, supaya
orang-orang yang tidak mengerti masalahnya tidak menjadi bingung dan
ketakutan.”
“Baik,” sahut pengawal itu
meskipun ia tidak sependapat sepenuhnya. Sebenarnya ia ingin langsung
membunyikan tengara, memanggil mereka yang masih cukup kuat untuk mengangkat
senjata, kemudian langsung menghancurkan Sidanti dan Argajaya.
Tetapi pengawal itu menyadari,
bahwa dengan demikian akan terjadi pergolakan yang dahsyat dan mengerikan.
Campur baur antara lawan dan kawan akan membuat Tanah Perdikan ini merah oleh
darah sesama.
Sepeninggal pengawal itu,
Argapati masih saja selalu diliputi oleh kegelisahan. Tanpa disengajanya ia
memasuki bilik Pandan Wangi. Hatinya berdesir ketika ia tidak melihat sepasang
pedang puterinya itu tergantung di tempatnya.
“Anak itu bersenjata,” desisnya.
Dan Argapati semakin yakin bahwa Pandan Wangi pergi ke rumah pamannya karena ia
masih melihat busur dan anak panahnya berada di atas pembaringannya, tergantung
di dinding.
Dalam kegelisahannya, Argapati
itu merasa bahwa hari merangkak terlampau lamban. Matahari seolah-olah
terpancang saja di tempatnya, tanpa bergerak sama sekali. Bayangan-bayangan
matahari yang lolos dari lubang-lubang dinding masih tampak terlampau condong.
“Hem,” Ki Gede Menoreh itu
berdesah. Dan sekali lagi tanpa disadarinya ia pergi ke biliknya sendiri.
Perlahan-lahan ia pergi ke geledeg di sudut biliknya. Beberapa saat ia berdiri
termangu-mangu. Namun kemudian tangannya itu bergerak meraih sebuah selongsong
kain putih.
Argapati menarik nafas
dalam-dalam.
Perlahan-lahan dengan tangan
gemetar dibukanya selongsong itu. Perlahan-lahan ditariknya sebatang tombak
pendek dari dalamnya. Tombak pendek yang disimpannya beberapa lama, namun
tiba-tiba kini begitu menarik perhatiannya, dan seolah-olah telah menghisapnya
untuk membukanya.
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Ia melihat sesuatu yang agak lain pada tombaknya. Maka dengan
serta-merta tangannya meraih wrangkanya. Dan ketika wrangkanya telah terbuka,
dadanya berdesir tajam sekali. Tombak itu bukan tombaknya sendiri.
Argapati menggeretakkan
giginya. Wrangka itu adalah wrangka tombaknya. Selongsong itu adalah selongsong
tombaknya. Tangkai itu pun memang tidak banyak berbeda dengan tangkai
tombaknya. Seandainya ia tidak merabanya, maka ia tidak akan segera dapat
melihat perbedaannya. Tetapi jelas tombak itu bukan miliknya. Tombak itu
agaknya adalah tombak Argajaya.
“Hem,” Ki Gede Menoreh
menggeram. Ternyata adiknya benar-benar tidak tahu diri. Tombak itu telah
dipertukarkannya. Tombaknya yang selama ini menjadi kawan di dalam segala keadaan,
sebagai seorang prajurit, kemudian sebagai seorang Kepala Tanah Perdikan.
Tiba-tiba tombak itu kini lenyap. Hilang.
Tetapi Argapati dapat menduga,
siapakah yang telah mengambilnya. Adiknya sendiri, Argajaya, dan menukarnya
dengan tombaknya sendiri.
“Kapankah ia masuk ke dalam
bilik ini?” Argapati menggeram. Tetapi hal itu mungkin sekali terjadi. Rumah
itu seolah-olah sudah menjadi rumah Argajaya sendiri. Ia berada di dalam rumah
itu seperti ia berada di dalam rumahnya. Argapati sama sekali tidak berprasangka
apa pun terhadap adiknya, sebelum peristiwa yang memilukan terjadi atas Tanah
Perdikan Menoreh. Bahkan seandainya benar Argajaya yang telah melakukannya,
tetapi tidak terjadi hal seperti ini, maka hatinya pun tidak akan menjadi
terlampau marah.
Tetapi ternyata tombaknya
telah ditukarnya.
Dengan kesal Argapati
menyarungkan tombak itu kembali. Dimasukkannya pula ke dalam selongsong dan
meletakkannya di atas geledegnya.
“Argajaya benar-benar telah
menempatkan dirinya di seberang,” desisnya. “Apakah aku masih harus merasa
terikat oleh kasih sayang seorang saudara tua di saat-saat begini? Aku sudah
tua, Argajaya pun telah menambat ke usia tuanya. Harapan di masa datang kini
tergantung kepada anakku. Kepada Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang harus diselamatkan
dari bencana. Bukan Argajaya, dan bahkan bukan diriku sendiri. Apalagi
Sidanti.”
Wajah Argapati tiba-tiba
menegang. Argajaya agaknya telah menukar tombak itu tidak baru kemarin. Tetapi
sudah agak lama terjadi. Sekilas teringat olehnya perjanjian yang dibuatnya
dengan Ki Tambak Wedi. Sepercik ingatan tentang peristiwa yang jarang terjadi
di bawah Pucang Kembar beberapa puluh tahun yang lalu telah menyala pula di
hatinya.
Tetapi tombak itu sudah tidak
ada lagi di tangannya. Tombak yang masih akan dipergunakan sekali lagi untuk
melawan senjata Tambak Wedi yang megerikan itu. Sepasang nenggala yang
masing-masing mempunyai mata tajam rangkap. Tetapi Argapati tidak mengerti,
bahwa sepasang nenggala itu pun sudah tidak utuh lagi. Satu dari padanya
ternyata telah tertinggal di Sangkal Putung.
Sementara itu, Pandan Wangi
sedang berpacu di atas kudanya menuju ke rumah pamannya seperti yang diduga
oleh ayahnya. Ia sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang memaksanya untuk
pergi menemui kakaknya. Ia menyadari, bahwa ayahnya pasti tidak akan
mengijinkannya. Karena itu, maka ia pergi tanpa minta ijin dahulu kepadanya.
Keinginannya untuk bertemu dan berbicara dengan Sidanti tidak dapat
ditahan-tahankannya lagi. Berbicara kepada seorang kakak, meskipun kini ia tahu
bahwa Sidanti bukanlah kakaknya seayah.
Tetapi bukan saja karena ia
ingin berbicara dengan kakaknya, bukan saja karena ada sesuatu yang telah
mengikatnya dengan Sidanti betapapun keadaan anak itu, karena mereka seibu,
namun lebih dari pada itu. Pandan Wangi telah dilanda oleh kecemasan melihat
nasib tanah kelahirannya. Tanah Perdikan Menoreh yang diancam oleh bahaya yang
justru meledak dari dalam.
“Aku harus menemui Kakang
Sidanti dan paman Argajaya,” katanya di dalam hati. “Aku harus berbicara dan
mencoba mengurungkan niat mereka. Seandainya Kakang Sidanti tahu, bahwa ayah
bukan ayahnya pula, namun seharusnya ia tidak mengorbankan tanah ini untuk
kepentingannya sendiri.”
Sekali-sekali Pandan Wangi
menggeretakkan giginya melihat keadaan yang menyedihkan. Jalan-jalan menjadi
sepi dan pintu-pintu rumah tertutup rapat-rapat. Tanah ini seolah-olah sedang
dilanda oleh bahaya yang akan menelan seluruh isinya menjadi abu.
Dengan demikian maka hasratnya
untuk berbicara dengan kakak dan pamannya menjadi semakin kuat di dalam
hatinya.
Di perjalanan kadang-kadang
Pandan Wangi bertemu juga orang berjalan dengan tergesa-gesa. Satu-satu membawa
beberapa macam barang yang akan dipertukarkan dengan kebutuhan-kebutuhan lain,
karena pasar menjadi sepi. Ketika orang-orang itu mendengar derap kudanya, maka
dengan tergesa-gesa mereka menyusup masuk ke regol halaman yang terdekat dan
bersembunyi di balik dinding halaman.
“Tanah ini menjadi sepi sesepi
pekuburan,” desis Pandan Wangi.
Tetapi derap kuda Pandan Wangi
seolah-olah telah menggetarkan seluruh Tanah Perdikan yang sedang dihantui oleh
perpecahan yang semakin lama semakin tajam.
Semakin dekat dengan rumah
pamannya, hati Pandan Wangi menjadi semakin berdebar-debar. Seolah-olah ia
tidak sabar lagi untuk segera meloncat dan menemui mereka. Bahkan sekali-kali
ia berpaling. Seandainya ayahnya atau orang-orang yang diperintahkan olehnya
menyusul perjalanannya dan membawanya kembali sebelum ia bertemu dengan Sidanti
dan pamannya Argajaya, maka ia akan berkeberatan.
Tetapi tiba-tiba dada Pandan
Wangi itu berdesir. Di tikungan di hadapannya, dilihatnya beberapa orang sedang
berdiri bertebaran. Mereka agaknya sedang asyik bercakap-cakap, berkelakar atau
apa saja.
“Siapakah mereka itu?”
pertanyaan itu tumbuh di dada Pandan Wangi.
Ternyata bahwa derap kaki-kaki
kudanya telah menarik perhatian orang-orang itu. Serentak mereka berloncatan
justru ke tengah jalan. Beberapa orang bertolak pinggang dan yang lain meraba
hulu pedangnya.
“Enam atau tujuh orang,” desis
Pandan Wangi, “Mungkin mereka para pengawal Tanah Perdikan yang sudah
dipengaruhi oleh kakang Sidanti.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
menghentikan langkah kudanya. Ia akan memberi penjelasan, bahwa ia hanya
sekedar ingin bertemu saja dengan Sidanti dan Ki Argajaya.
“Mudah-mudahan mereka dapat
mengerti,” gumamnya sambil memacu kudanya.
Tetapi dada Pandan Wangi itu
berdesir semakin tajam. Semakin dekat, maka semakin jelas baginya, bahwa
agaknya orang-orang itu bukan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.
“Siapakah mereka itu?”
pertanyaan itu sekali lagi menyentuh dadanya. “Apakah mereka orang-orang yang
tidak kami kenal yang berusaha ikut serta membuat keadaan semakin kisruh,
supaya mereka mendapat kesempatan untuk mengail di air keruh?”
Tanpa disengaja, Pandan Wangi
menarik kendali kudanya, sehingga derap larinya menjadi susut. Dengan hati-hati
Pandan Wangi mencoba untuk menilai keadaan. Tetapi bagaimanapun juga ia tidak
ingin kembali sebelum bertemu dengan kakaknya. Dengan demikian maka tekadnya
menjadi bulat, untuk meneruskan perjalanannya. Rumah pamannya sudah tidak
begitu jauh lagi dari tikungan itu. Meskipun demikian, Pandan Wangi harus
berwaspada. Segala macam peristiwa dapat saja terjadi dalam keadaan yang kisruh
ini.
Orang-orang yang berada di
tikungan masih berdiri di tengah jalan. Mereka sengaja menghadang kuda Pandan
Wangi. Dengan berbagai macam sikap yang mengancam, mereka kini melangkah
perlahan-lahan menyongsong kuda yang semakin dekat itu.
Tiba-tiba salah seorang dari
mereka melangkah ke paling depan. Sambil mengangkat tangannya ia berseru,
“Berhenti!”
Pandan Wangi terpaksa
menghentikan kudanya. Kini perlahan-lahan ia maju.
“Siapa kau?” bertanya orang
itu. Dan orang itu sama sekali belum pernah dilihatnya. Orang itu terasa asing
dan mendebarkan hati.
Tetapi supaya tidak terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, maka Pandan Wangi menjawab, “Aku, Pandan Wangi.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia berpaling memandangi kawan-kawannya yang berdiri di
belakangnya. Tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya orang itu tertawa
terbahak-bahak.
Pandan Wangi mengerutkan
keningnya. Sikap itu benar-benar sikap yang tidak menyenangkan. Meskipun
demikian ia masih mencoba menahan hati dan duduk diam di atas pungung kudanya.
“Aku sudah menduga,” berkata
orang itu, “bahwa kau adalah seorang perempuan sejak aku melihatmu dari
kejauhan. Tetapi aku tidak menduga bahwa kau sedemikian cantiknya.”
“Benar-benar memuakkan,” desis
Pandan Wangi di dalam hatinya. Tetapi ia masih berdiam diri.
“Kenapa kau pergi seorang diri
dalam keadaan begini? Apakah kau tidak pernah mendengar berita, bahwa di Tanah
Perdikan ini akan menyala api yang dapat membakar hangus seluruh isi dan
penghuninya?”