Buku 067
Ki Ranadana seakan-akan
tersadar dari mimpi buruknya. Tiba-tiba saja ia menengadahkan kepalanya. Ia
adalah perwira Pajang yang mengemban tugas langsung dari senapati di daerah
selatan ini. Karena itu, maka katanya, “Kalian harus tunduk pada perintah
kami.”
Orang-orang itu tidak
membantah lagi. Beriringan mereka digiring ke luar pintu butulan setelah mereka
meletakkan senjata mereka, sedang Swandaru dan Agung Sedayu telah mendahului
turun dan menunggu mereka di longkangan.
Sementara itu, mereka yang
bertempur di halaman pun telah dapat dikuasai sepenuhnya. Ada juga di antara
mereka yang terbunuh, namun ada juga yang tertawan hidup-hidup, meskipun ada
beberapa orang prajurit yang terluka yang kehilangan pengamatan diri dan akan
membunuh mereka semuanya.
“Kita memerlukan sebagian dari
mereka yang hidup,” berkata perwira yang bertugas di halaman. “Jika mereka
terbunuh semuanya, kita akan kehilangan jejak sama sekali.”
“Tetapi apa yang diketahui
oleh cucurut-cucurut semacam ini. Mungkin orang-orang yang ada di dalam rumah
itulah yang pantas dihidupi sekedar untuk mendapatkan keterangannya .Tetapi
orang-orang ini tidak pantas sama sekali.”
“Aku perintahkan, yang masih
hidup biarlah tetap hidup,” berkata perwira itu dengan tegas.
Tidak ada seorang pun yang
membantah lagi. Bersama-sama tawanan yang ada di dalam rumah, mereka
dikumpulkan di sudut halaman belakang di bawah penjagaan yang ketat.
Sejenak kemudian, Ki Ranadana
pun mulai memberikan perintah agar semuanya kembali ke tempatnya.
“Usahakan, selain yang
bertugas di sini, seolah-olah tidak terjadi sesuatu.”
“Ada beberapa orang peronda
telah melihat perkelahian di sini. Agaknya mereka memberikan laporan kepada
perwira yang ada di banjar.”
“Kau yakin?”
“Ya.”
“Susul mereka. Katakan bahwa
tidak terjadi sesuatu. Cegah agar mereka tidak sampai membunyikan isyarat apa
pun juga.”
Dua orang prajurit yang
bertugas di regol depan pun segera mengambil kudanya dan berpacu menyusul dua
orang peronda yang lewat jalan depan.
Untunglah bahwa belum ada tanda
apa pun yang dibunyikan. Kedua prajurit itu sempat memberikan penjelasan apa
yang telah terjadi.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian siap menjalankan tugas itu. Namun Sumangkar masih memperingatkan,
“Sebaiknya biarlah keduanya dikawani oleh satu atau dua orang prajurit Pajang
agar perjalanan yang meskipun hanya pendek ini tidak terganggu.”
“O,” Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Benar. Dalam keadaan yang serba
samar-samar memang mudah timbul salah paham. Biarlah dua orang prajurit
mengawaninya sampai ke Banyu Asri.”
Dengan demikian maka
perjalanan Agung Sedayu dan Swandaru pun disertai dua orang prajurit yang
mendapat pesan, agar keduanya tidak memberikan keterangan kepada siapa pun juga
supaya tidak terjadi salah paham.
“Katakan kepada siapa pun
juga, bahwa besok mereka akan mengetahui dengan pasti apa yang sudah terjadi di
sini,” berkata Ki Ranadana.
“Baiklah,” jawab
prajurit-prajurit itu. Dan mereka pun mengerti bahwa keterangan-keterangan yang
tidak lengkap, hanya akan menambah bahan pembicaraan yang kadang-kadang semakin
jauh dari kenyataan yang sebenarnya.
Sejenak kemudian maka keempat
orang itu pun segera pergi ke Banyu Asri. Meskipun jarak itu tidak dapat
disebut jauh, namun mereka telah mempergunakan kuda untuk mempercepat
perjalanan.
Untunglah bahwa di antara
mereka terdapat dua orang prajurit Pajang seperti yang diusulkan oleh Sumangkar
sehingga di setiap gardu, mereka dapat segera lolos tanpa banyak persoalan,
meskipun di setiap gardu mereka benar-benar telah dihentikan dan dicurigai.
Tanpa kedua prajurit itu,
Agung Sedayu dan Swandaru justru pasti sudah ditahan. Ada di antara para
prajurit yang masih saja mencurigai Agung Sedayu sejak Agung Sedayu datang dan
berkelahi dengan seorang perwira yang kebetulan kali ini dibawa serta oleh
Untara dengan sengaja, meskipun alasannya adalah alasan hari-hari
perkawinannya. Tetapi Untara memang berusaha memisahkan perwira muda itu dari
adiknya, tanpa hadirnya dirinya sendiri.
Ketika mereka memasuki rumah
Widura, ternyata rumah itu masih terang benderang dan semua pintu tampaknya
masih belum tertutup. Agaknya seperti yang direncanakan, Widura mengadakan
jamuan semalam suntuk untuk keselamatan kemanakannya Untara yang sedang
menjalani hari-hari perkawinannya
Kedatangan Agung Sedayu,
Swandaru, dan kedua prajurit itu telah menimbulkan persoalan-persoalan di
setiap hati. Ternyata bahwa desas-desus tentang sesuatu yang terjadi itu telah
sampai di telinga para petugas sandi di rumah Untara meskipun hal itu masih
belum begitu jelas bagi mereka. Namun sebagai seorang prajurit, maka setiap
keterangan tetap merupakan bahan yang harus dicernakkannya.
Itulah sebabnya maka ketika
mereka melihat Agung Sedayu dan Swandaru datang diiringi oleh dua orang
prajurit, maka mereka pun telah bersiap pula di dalam keadaan masing-masing.
Mereka yang berada di bagian belakang pun segera duduk di serambi sambil
berbicara yang seorang dengan yang lain. Sedang yang ada di bagian depan pun
segera naik pula ke pendapa dan duduk di atas tikar yang terbentang dalam
pakaian lengkap dengan sebilah keris di lambung.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
mengerti, bahwa di antara sekian orang yang duduk tirakatan itu terdapat
beberapa prajurit Pajang.
Meskipun demikian, maka
ternyata bahwa pamannya cukup mengerti akan keadaannya, sehingga ketika ia
melihat kemanakannya itu datang, langsung dibawanya masuk ke ruang dalam,
“Mari, marilah Agung Sedayu dan Angger Swandaru. Kalian tentu belum makan. Kami
mempersilahkan kalian langsung saja untuk mengambil makan kalian berdua.”
Sedang kepada kedua prajurit Pajang ia berkata, “Duduklah di pringgitan. Kalian
pun harus makan lebih dahulu. Yang lain agaknya baru saja mendahului karena
kami tidak tahu bahwa kalian akan datang.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak membantah. Kedua prajurit yang menyertainya pun tidak. Ternyata meskipun
Widura sudah bukan prajurit lagi, namun ia masih tetap bersikap seperti seorang
prajurit.
Kedua prajurit itu pun segera
duduk di pringgitan. Seseorang kemudian menghidangkan makan dan minuman hangat
kepada mereka.
“Silahkanlah,” berkata Widura
yang kemudian datang kepada kedua orang prajurit itu.
Keduanya ragu-ragu sejenak,
namun salah seorang kemudian berkata, “Apakah kami diperkenankan mencuci diri
sebentar.”
“O,” Widura tertawa. Ia tahu
bahwa keduanya pasti baru saja berkelahi. Bahkan salah seorang dari padanya
masih tampak sangat payah dan bahkan sepercik darah telah menodai bajunya.
Baru setelah keduanya duduk
kembali setelah membersihkan tangan dan kaki, mereka pun makan dengan lahapnya.
Memang terasa nyaman sekali makan dan minum setelah mereka memeras tenaga dalam
perkelahian yang cukup berat.
“Ada juga untungnya,” gumam
salah seorang dari keduanya. “Semula aku menggerutu ketika aku ditunjuk untuk
pergi. Rasa-rasanya terlalu malas berkuda di malam hari setelah berkelahi
mati-matian. Tetapi ternyata kitalah yang paling beruntung.”
Kawannya tersenyum. Katanya,
“Yang lain akan ganti meggerutu jika mereka tahu, di sini kita mendapat makan
yang lengkap dan yang tidak kita temui sehari-hari. Bagaimana pun juga kita
berada di tempat perhelatan.”
Keduanya pun
mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak lagi berbicara karena mulut mereka
sedang sibuk mengunyah.
Dalam pada itu di ruang dalam,
Agung Sedayu dan Swandaru pun sudah dipersilahkan makan oleh pamannya. Setelah
mereka membersihkan diri pula. Sedangkan Widura sendiri telah duduk pula di
hadapan mereka.
Ketika Agung Sedayu dan
Swandaru mulai menyuapi mulutnya, maka mulailah pamannya bertanya, “Apakah
mereka benar-benar datang ke rumah itu?”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk hampir bersamaan.
“Mereka telah datang,” sahut
Agung Sedayu. “Kami datang kepada Paman untuk menyampaikan pemberitahuan itu.”
Ki Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Dan kalian harus bertempur?”
ia bertanya pula.
“Ya, kami harus bertempur,”
jawab Agung Sedayu pula, “Guru terluka.”
“He,” Widura terkejut, “Kiai
Gringsing terluka? Siapakah lawannya?”
“Tetapi tidak apa-apa.
Maksudku, hanya luka ringan. Ia harus melawan beberapa orang pilihan. Salah
seorang dari mereka mempunyai kemampuan yang tinggi, tetapi sangat licik.
Ternyata orang itu adalah orang yang dikirim langsung oleh pimpinan mereka
untuk membinasakan para perwira. Tetapi ia langsung bertemu dengan guru.”
“Bagaimana Kiai Gringsing
dapat terluka?”
Agung Sedayu pun kemudian
menceriterakan serba sedikit apa yang telah terjadi atas gurunya. Hampir di
luar dugaan, bahwa orang itu masih mampu melemparkan sebilah pisau dengan cepat
sekali. Dan agaknya gurunya pun lengah waktu itu.
“Ia termasuk salah seorang
yang sedikit jumlahnya yang pernah berhasil melukai Kiai Gringsing,” berkata
Widura. “Aku hampir tidak pernah melihat ia terluka di dalam pertempuran yang
bagaimana pun juga, melawan orang-orang yang paling terpuji kemampuannya.”
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak menjawab. Dan Widura berkata seterusnya. “Namun bagaimana pun juga itu
merupakan suatu gambaran, bahwa yang datang ke rumah itu bukannya sekedar
orang-orang yang berani dan terpilih saja antara mereka, tetapi benar-benar
orang yang berkemampuan tinggi. Jika yang dihadapinya bukan Kiai Gringsing,
maka akan dapat digambarkan, apa akibatnya.”
Agung Sedayu pun
menceriterakan bahwa ada dua orang yang sebenarnya memiliki kemampuan yang
tinggi. Yang seorang hampir saja berhasil membinasakan Ki Ranadana. Untunglah,
bahwa masih ada kesempatan untuk menyelamatkannya.
Ki Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Benar-benar suatu rencana yang tersusun rapi. Jika tidak
diketahui sebelumnya oleh Kiai Gringsing, maka para perwira itu akan
benar-benar ditumpas oleh mereka, dengan kesan bahwa orang-orang Mataram-lah
yang melakukannya. Suatu usaha yang berani dan hampir saja berhasil
menghancurkan Pajang dan Mataram sekaligus.”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih saja mengangguk-angguk sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya. Mereka
pun menyadari betapa bahaya yang sebenarnya dapat mengancam keselamatan para
perwira Pajang, dan lebih dari itu, kelangsungan hidup Pajang dan Mataram
sendiri, karena jika usaha orang-orang itu berhasil, Pajang dan Mataram pasti
akan terlibat dalam suatu benturan yang dahsyat, sedang kedua-duanya masih
belum siap untuk melakukannya. Apalagi sebenarnya pada mereka tidak terkandung
maksud sama sekali untuk saling berbenturan meskipun agaknya hubungan antara
keduanya tidak begitu baik lagi.
“Kita akan berhubungan dengan
Ki Lurah Branjangan. Ialah yang akan memaksa orang-orang yang tertangkap itu
untuk tidak lagi menyebut dirinya orang-orang Mataram.”
“Sayang, Paman,” berkata Agung
Sedayu, “tidak ada orang-orang penting yang tersisa. Dua orang yang agaknya
dapat memberikan keterangan telah terbunuh, sedang yang lain adalah sekedar
pelaksana yang tidak banyak mengerti tentang tugas mereka sendiri.”
“Baiklah. Tetapi mereka tetap
merupakan tawanan yang penting bagi kita.”
“Mereka dijaga baik-baik,
Paman.”
“Besok kita akan melihat
mereka,” berkata Widura, “sekarang makanlah banyak-banyak, lalu kembalilah
kepada Ki Ranadana. Katakanlah bahwa besok kami akan datang pagi-pagi benar.”
“Baiklah, Paman,” jawab Agung
Sedayu.
“Teruskanlah. Aku akan pergi
menemui Ki Lurah Branjangan.”
Widura pun kemudian
meninggalkan kedua anak-anak muda itu pergi ke gandok menemui tamunya yang
datang dari Mataram.
Sepeninggal Ki Wudura.
Swandaru justru menyendok nasi lebih banyak lagi sambil bergumam, “Tidak ada
yang disegani lagi sekarang. Makanlah seperti biasa. Daging ayam lembaran,
bubuk dele, pecel lele. Sedap sekali.”
Agung Sedayu tidak menyahut,
tetapi ia hanya tersenyum saja melihat mangkuk nasi Swandaru justru menjadi
semakin penuh meskipun yang dikunyahnya sudah sebanyak yang tersisa itu pula.
Ketika Widura turun ke
longkangan di sebelah gandok, ternyata langit telah menjadi kemerah-merahan.
Fajar sudah mulai membayang. Karena itu, maka ia berkata kepada diri sendiri,
“Sebentar lagi kami harus sudah berangkat ke rumah Untara itu.”
Ternyata Ki Lurah Branjangan
yang berada di gandok masih tidur mendekur. Tetapi bagaimana pun juga mereka
serombongan adalah sepasukan prajurit Mataram meskipun belum menyebut dirinya
demikian, sehingga ada di antara mereka yang seolah-olah bertugas jaga di
antara mereka sendiri. Ketika Widura memasuki gandok dilihatnya dua orang di
antara mereka duduk bersila di belakang pintu bilik. Dua helai pedang tersandar
di dinding dekat di samping mereka, sedang keris mereka masing-masing tetap
berada di lambung.
Ketika mereka melihat Widura
memasuki ruangan itu, maka mereka pun segera bergeser dan mempersilahkan,
“Marilah Ki Widura.”
Widura tersenyum. Kemudian
sambil duduk di antara mereka ia berkata, “Ki Lurah masih tidur?”
“Ya. Ia tidur nyenyak sekali
tampaknya.”
“Aku memerlukannya.”
“O,” kedua orang itu
mengerutkan keningnya. Salah seorang di antara mereka pun kemudian berkata,
“Aku akan membangunkannya, Ki Widura.”
Sejenak kemudian sambil
mengusap matanya Ki Lurah Branjangan pun segera duduk menemui Widura. Tampak
dari wajahnya bahwa ia sudah mulai meraba-raba, apakah kiranya yang telah
terjadi.
“Ki Lurah,” berkata Widura,”
ada sekelompok orang-orang Mataram yang datang menyerang rumah para perwira
Pajang dengan diam-diam.”
“He? Orang Mataram?”
“Seperti yang kau cemaskan Ki
Lurah. Tetapi sebaiknya Ki Lurah melihatnya. Mungkin di antaranya benar-benar
ada orang Mataram. Maksudku, orang-orang yang dengan sengaja menyusup ke
Mataram untuk sekedar membuat hubungan yang keruh ini menjadi semakin keruh.
Aku yakin bahwa ada di antara mereka yang memasuki tubuh Mataram, dan ada yang
tinggal di Pajang.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku juga berpendapat demikian. Itulah
sebabnya aku berada di sini.”
“Silahkan berkemas Ki Lurah.
Kita akan pergi ke Jati Anom sejenak, untuk melihat orang-orang yang mengaku
dirinya orang-orang Mataram itu.”
“Baiklah. Aku akan mandi
sebentar.”
Ki Lurah Branjangan pun segera
mandi dan berpakaian rapi, seperti ketika ia datang menyampaikan sumbangan dari
Raden Sutawijaya untuk Untara.
“Aku ingin mempersilahkan
kalian makan lebih dahulu,” berkata Widura ketika Ki Lurah Branjangan telah
siap.
“Ah, sepagi ini?”
“Mungkin Ki Lurah akan sibuk
dan tidak sempat makan pagi nanti.”
“Aku makan kapan saja ada
kesempatan. Aku tidak mudah menjadi lapar meskipun sehari aku tidak makan.”
“Dan kesempatan itu ada
sekarang.”
Ki Lurah. Branjangan
mengerutkan keningnya, lalu sambil tertawa ia berkata, “Baiklah. Bukankah rumah
ini sedang mengadakan perhelatan? Tentu makan dan minuman panas tersedia setiap
saat. Siang dan malam. Juga di pagi-pagi buta ini.”
Demikianlah setelah Ki Lurah
Branjangan makan pagi, maka mereka pun segera pergi ke rumah Untara yang
dipergunakan oleh para perwira itu. Widura, Agung Sedayu, Swandaru, Ki Lurah
Branjangan bersama beberapa orang pengiringnya, dan kedua prajurit Pajang yang
datang bersama Agung Sedayu dan Swandaru. Sedang para perwira yang sedang
berada di rumah Widura justru dipersilahkan untuk tinggal sejenak.
Demikianlah beberapa saat
kemudian mereka pun telah sampai. Ki Ranadana segera menyambut kedatangan
mereka. Dipersilahkannya mereka duduk di pendapa, di sebelah beberapa sosok
mayat yang terbujur diam.
“Inilah sebagian dari mereka,”
berkata Ki Ranadana, “sayang bahwa orang-orang terpenting dari mereka telah
terbunuh.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya, sayang. Jika mereka tertangkap
hidup, maka mereka akan dapat diperas untuk mengatakan sesuatu tentang diri
mereka.”
“Aku tidak ingin membunuh,”
berkata Sumangkar kemudian, “tetapi sayang, begitu cepat dan tiba-tiba hal itu
terjadi.”
“Ya, Ki Sumangkar tidak dapat
berbuat lain daripada membunuhnya,” sahut Ki Ranadana. “Jika tidak, akulah yang
terbunuh saat itu.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu, “Di manakah di antara mereka yang masih
hidup?”
“Di belakang. Di kebun
belakang.”
“Apakah aku boleh menemui
mereka.”
“Marilah.”
Ki Lurah Branjangan bersama Ki
Ranadana, Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar pun segera pergi ke kebun belakang.
Agung Sedayu dan Swandaru pun mengikuti mereka pula.
Sejenak kemudian Ki Lurah
Branjangan telah berada di hadapan para tawanan itu. Sejenak ia mengamat-amati
mereka seorang demi seorang, selagi langit menjadi semakin cerah.
“Aku adalah seorang Lurah
prajurit dari Pajang,” berkata Ki Lurah Branjangan, “kalian harus menjawab
pertanyaanku sebaik-baiknya. Kau harus tahu, bahwa di hadapan seorang perwira,
seseorang tidak boleh berbohong.”
Para tawanan itu menjadi ragu-ragu
sejenak. Namun jantung mereka terasa berdebaran.
Sambil menunjuk seseorang yang
berkumis lebat, Ki Lurah Branjangan berkata, “Jawab pertanyaanku. Dari manakah
kalian datang dan untuk apa?”
Orang itu ragu-ragu sejenak.
Namun kemudian jawabnya, “Kami adalah prajurit-prajurit Mataram yang mendapat
tugas untuk membunuh para perwira Pajang di sini.”
“Kenapa?” bertanya Ki Lurah
Branjangan. “Kenapa perwira Pajang harus dibunuh? Jika berkesempatan kalian
tentu akan membunuh aku juga.”
“Pajang harus dimusnakan.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau prajurit Mataram?”
“Ya.”
“Siapakah pemimpinmu?
Pemimpinmu yang terbunuh itu?”
Orang berkumis itu ragu-ragu
sejenak. Dipandanginya beberapa orang kawannya sebelum ia menjawab. Namun sebuah
tarikan pada bajunya membuatnya tergagap, “Ya, ya. Ia pemimpin kami.”
“Siapa namanya?”
“Yang kami tahu, namanya Soma
Katik.”
“Kau dapat menyebut seribu
nama. Tetapi siapakah orang itu sebenarnya?”
“Soma Katik. Aku tidak tahu
lebih dari namanya.”
“Bohong!” Ki Lurah Branjangan
telah mengguncang baju orang itu sehingga ia turut terguncang pula.
“Ya, ya. Aku tidak tahu lebih
dari itu.”
“Bagaimana mungkin kau berada
di dalam pasukannya?”
“Kami memang orang-orang
Mataram.”
“Tutup mulutmu!” bentak Ki
Lurah Branjangan. “Jadi kau masih menyebut dirimu orang Mataram? Orang-orang
Mataram dapat mengenal pemimpinnya dengan baik. Seorang demi seorang, karena
jumlahnya memang belum banyak.”
Orang itu memandang Ki Lurah
Branjangan dengan ragu-ragu. Kemudian katanya, “Maksudku, kami adalah
orang-orang Mataram dari kerajaan yang kami susun sendiri.”
“Eh, jadi kau ikut juga
menyusun Kerajaan Mataram?”
“Maksudku, pemimpin-pemimpin
kami. Dan kami adalah prajurit-prajuritnya yang harus mengabdi sejauh-jauh
dapat kami lakukan, agar kelak kami dapat menjadi seorang yang berkedudukan
baik apabila kerajaan kami itu benar-benar sudah berdiri.”
“Jadi apa hubungannya dengan
Mataram yang ada sekarang, maksudku dengan Raden Sutawijaya.”
“Pemimpin kami adalah Raden
Sutawijaya.”
Ki Lurah Branjangan tidak
dapat menahan dirinya, sehingga tiba-tiba saja ia sudah menampar mulut orang
berkumis itu. “Gila kau!” teriaknya.
“Jangan, jangan,” orang
berkumis itu pun berteriak, sedang kawan-kawannya menjadi sangat berdebar-debar
pula.
Tetapi tiba-tiba Ki Lurah
Branjangan itu tersenyum, lalu, “Raden Sutawijaya. Ya, Raden Sutawijaya memang
pemimpin tertinggi Mataram. Jadi kau mengabdi kepada Raden Sutawijaya?”
Orang itu ragu-ragu sejenak,
lalu perlahan-lahan ia mengangguk.
“Sutawijaya pulalah yang
membuka hutan Mentaok itu. Jadi kau seorang di antara orang-orang yang menebas
hutan itu?”
Orang itu masih tampak
ragu-ragu. Tetapi sekali lagi ia mengangguk.
“Jadi bagaimana dengan
hantu-hantu? Aku dengar di Alas Mentaok banyak hantu-hantu?”
“O, ya. Di Alas Mentaok memang
banyak terdapat hantu-hantu.”
“Kau tidak takut hantu?”
“Kami bekerja bersama dengan
hantu-hantu.”
Ki Lurah Branjangan yang
tersenyum-senyum itu tiba-tiba menggeram. Dengan suara yang serak ia bertanya,
“Kalian pernah datang ke Mataram yang kau sebut-sebut itu?”
Pertanyaan itu membuat orang
berkumis itu menjadi pucat.
“Jawablah, apakah kau pernah
datang ke Mataram seperti yang kau sebutkan itu? Jika kau orang Mataram, kau
pasti dapat mengatakan sesuatu tentang Mataram itu”
Orang itu menjadi gemetar.
Dengan sekali dorong, orang
itu pun jatuh, terlentang di antara kawan-kawannya. Ki Lurah Branjangan yang
masih berwajah merah itu berkata, “Siapakah yang masih akan menjawab bahwa
kalian adalah orang-orang Mataram?”
Tidak seorang pun lagi yang
menyahut.
“Siapa?” ulang Ki Lurah
Branjangan.
“Tidak ada?” Ki Lurah
Branjangan memandang mereka seorang demi seorang dalam cahaya matahari pagi
yang sudah mulai naik di atas cakrawala.
“Kalian memang orang-orang
gila. Kalian mengatakan apa yang tidak kalian ketahui sama sekali. Hantu-hantu,
Kerajaan Mataram dan Sutawijaya.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Untunglah bahwa kalian segera mengaku, dan aku tahu bahwa kalian memang tidak
tahu apa-apa, karena kalian hanyalah orang-orang yang tidak punya nalar,
sekedar mendapat perintah dari orang yang tidak kau kenal pula. Apakah
keuntungan kalian berbuat demikian? Janji untuk menjadi tumenggung, atau bupati
atau mantri dan lurah?” Sekali lagi Ki Lurah Branjangan berhenti berbicara.
Wajahnya masih juga merah, seperti langit di ujung gunung Merapi. “Ketahuilah,
bahwa aku adalah Ki Lurah Branjangan dari Mataram.”
Pengakuan itu telah
mendebarkan jantung orang-orang yang tertawan itu. Sejenak mereka saling
berpandangan, lalu dengan mata yang seakan-akan tidak berkedip mereka memandang
Ki Lurah Branjangan yang berdiri tegak seperti patung.
“Pandanglah aku baik-baik. Aku
datang dari Mataram bersama beberapa orang pengiring. Dan kau harus yakin,
bahwa usahamu telah gagal sama sekali untuk membenturkan Pajang dan Mataram
dengan cara yang sangat licik ini,” suaranya menjadi semakin keras. “Sayang,
aku hanya berbicara dengan cucurut-cucurut kecil. Aku ingin suaraku didengar
oleh pemimpin-pemimpin tertinggimu. Mereka harus tahu, seperti Pajang, Mataram
juga sudah siap menghadapi orang-orang macam mereka itu. Macam kalian dan
hantu-hantu yang sudah dapat kami ketahui sarangnya, dan yang kini sudah
kamanungsan.”
Tidak seorang pun dari antara
mereka yang mengucapkan kata-kata, bahkan kepala mereka pun segera tertunduk
dalam-dalam.
“Aku akan membawa mereka ke
Mataram,” berkata Ki Lurah Branjangan kepada Ki Ranadana,
Tetapi Ki Ranadana
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Pajang masih memerlukan mereka.
Mudah-mudahan ada jalur yang dapat kami pergunakan untuk menemukan pemimpin
mereka.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak membantah. Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya sekali lagi ia memandang orang-orang itu satu demi satu.
“Sayang,” katanya,
“orang-orang penting di antara kalian telah meninggal.”
Tidak ada jawaban apa pun
juga.
“Aku sudah cukup Ki Ranadana,”
berkata Ki Lurah Branjangan. “Aku kira aku sudah dapat meyakinkan, bahwa
orang-orang ini memang benar-benar bukan orang Mataram. Meskipun aku kira di antara
mereka yang menjadi pimpinan dari kelompok ini ada yang berada di Mataram dan
ada yang berada di Pajang. Kita akan sama-sama dapat membuat laporan kepada
atasan kita, agar kita tidak terjerumus ke dalam keadaan yang sama-sama tidak
kita kehendaki.”
“Ya,” Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya, “kehadiran Ki Lurah Branjangan ternyata tidak
sia-sia. Apa yang kau cemaskan telah terjadi di sini. Dan kau dapat meyakinkan
kami bahwa mereka memang benar-benar bukan orang Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tidak
menjawab. Hanya kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.
“Baiklah,” berkata Ki
Ranadana, “biarlah mereka berada di situ. Marilah kita kembali ke pendapa.
Sebentar lagi kita harus menyelenggarakan penguburan mayat-mayat itu.”
Mereka pun kemudian duduk
kembali di pendapa. Tetapi rasa-rasanya mereka tidak tenang duduk di sebelah
mayat-mayat yang berjajar-jajar meskipun mereka adalah prajurit-prajurit yang
berpengalaman di medan perang.
“Ki Ranadana,” berkata Ki
Lurah Branjangan, “aku tidak mempersoalkannya di hadapan orang-orang yang
tertawan itu. Tetapi sebenarnya aku ingin membawa orang itu ke Mataram karena
mereka mengaku orang-orang Mataram. Aku ingin membuktikan kepada Raden
Sutawijaya bahwa kedudukannya benar-benar dalam keadaan yang goyah. Bukan
karena ayahanda Sultan Pajang sendiri, tetapi oleh orang-orang yang tidak
menyukainya. Yang mencoba mempergunakan hubungan yang memang agak kurang baik
pada permulaan kerja kami membuka hutan-hutan di Mentaok, tetapi yang tidak
berarti bahwa untuk selanjutnya hubungan itu akan bertambah keruh.”
“Maaf, Ki Lurah Branjangan,”
jawab Ki Ranadana, “yang terjadi ini adalah di daerah kami. Daerah yang
diserahkan kepada kami, dalam hal ini sebagai wakil Ki Untara. Aku harus
menyelesaikan semua persoalan. Aku harus melaporkan apa yang terjadi bersama
orang-orangnya sama sekali. Jika semuanya sudah diterima oleh atasanku, dan
mereka mengijinkan Ki Lurah Branjangan untuk membawanya, aku sama sekali tidak
berkeberatan. Jika tidak semua, mungkin dua tiga orang. Tetapi terserahlah
kepada para senapati tertinggi di Pajang yang akan mengambil keputusan
terakhir, termasuk Ki Untara sendiri.”
Ki Lurah Brajangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Ki Ranadana memang
tidak dapat melepaskan orang-orang itu. Karena itu, maka ia pun berniat untuk
menunggu sampai Untara datang.
Setelah berpikir sejenak, maka
ia pun kemudian berkata, “Jadi apakah menurut Ki Ranadana, aku sebaiknya
menunggu Ki Untara?”
“Jika Ki Lurah Branjangan
dapat menunggu, aku kira tidak ada jeleknya, meskipun sudah tentu Ki Lurah
tidak akan dapat mempersoalkannya setelah Ki Untara datang tanpa memberinya
kesempatan untuk beristirahat dan melepaskan diri dan kesibukan pekerjaannya.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Benar juga kata-kata Ki Ranadana. Ia tidak akan dapat
langsung membicarakannya begitu Untara datang, karena ia tidak datang seorang
diri. Ia akan datang bersama istrinya.
“Jadi, bagaimanakah sebaiknya,
Ki Ranadana?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Persoalannya sudah jelas. Ki
Lurah ingin membawa bukti kepada Raden Sutawijaya, bahwa sejenis bahaya yang
tidak dapat diabaikan sebenarnyalah memang ada, seperti hantu-hantu yang pernah
mengganggu pembukaan hutan Mataram, meskipun dalam ujud yang berbeda. Tetapi Ki
Lurah Branjangan tidak dapat tergesa-gesa. Dengan demikian, maka terserah
kepada Ki Lurah, apakah Ki Lurah Branjangan akan menunggu di sini atau akan
mengambil suatu tindakan lain.”
Ki Lurah menjadi ragu-ragu
sejenak. Dipandanginya wajah-wajah yang ada di sekitarnya. Wajah Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan para perwira yang lain.
“Aku akan memikirkannya.
Tetapi setidak-tidaknya Ki Ranadana sudah mengetahui persoalannya dan dapat
menyampaikannya kepada Ki Untara. Mungkin aku akan mengambil jalan lain. Aku
akan kembali ke Mataram, dan pada suatu saat aku akan datang lagi. Mungkin
orang-orang ini sudah tidak ada di sini dan aku harus mengambilnya di Pajang.”
Ki Ranadana menarik nafas
dalam-dalam. Jika Ki Lurah Branjangan benar-benar pergi ke Pajang, maka ia akan
mendapat kesan yang lain. Bahkan seandainya saat itu di Jati Anom ada Ki
Ranajaya seorang perwira muda yang mempunyai sikap yang keras terhadap Mataram,
dan sempat banyak bertemu dan berbicara, persoalannya pun akan berbeda.
Sedangkan di Pajang sikap yang berbeda-beda banyak ditemui di kalangan para
perwira, di antaranya adalah mertua Ki Untara.
“Tetapi Ki Lurah Branjangan
sendiri adalah bekas seorang perwira Pajang,” berkata Ki Ranadana di dalam
hatinya. Dan bagi Ki Ranadana, tidak perlu diingkari, bahwa memang banyak di
antara para perwira yang tidak puas melihat perkembangan Pajang di saat-saat
terakhir.
Tetapi Ki Ranadana tidak
mengatakannya. Ia akan menyerahkan hal itu sepenuhnya kepada Ki Untara, apakah
yang akan dilakukannya jika pada suatu saat Ki Lurah Branjangan kembali untuk
mendapatkan tawanan itu, meskipun hanya seorang.
Sejenak Ki Lurah Branjangan
berpikir. Akhirnya ia merubah keputusannya untuk menunggu Untara, karena
dirasakan akan memakan waktu terlalu lama. Karena itu, agaknya lebih baik baginya
kembali saja ke Mataram, dan di saat yang lain kembali ke Jati Anom.
“Aku akan meninggalkan pesan
saja,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Jika aku menunggu, maka Raden Sutawijaya
pasti akan menjadi gelisah. Disangkanya aku menjumpai halangan di sini. Karena
itu, aku akan memilih jalan yang kedua. Kembali ke Mataram dan beberapa waktu
kemudian datang lagi ke Jati Anom. Aku minta persoalannya telah diketahui oleh
Ki Untara, dan akan lebih baik jika beberapa orang yang dapat kami bawa ke
Mataram itu tetap tinggal di sini.”
“Tugas yang berat bagi kami,”
sahut Ki Ranadana, “bukankah selama itu kita harus menjaganya?”
Ki Lurah Branjangan tersenyum.
Jawabnya, “Hanya dua tiga orang saja. Aku kira bukan tugas yang sulit bagi
prajurit Pajang yang kuat yang berada di Jati Anom.”
Ki Ranadana pun tertawa.
Katanya, “Aku akan menyampaikannya. Keputusan terakhir tidak ada padaku, tetapi
ada pada Ki Untara.”
“Aku mengerti,” Ki Lurah
Branjangan pun menganggukkan kepalanya, lalu, “dengan demikian maka aku kira
persoalan ini menjadi jelas. Aku akan kembali ke rumah Ki Widura untuk
berkemas. Aku masih menunggu perkembangan keadaan sehari ini. Besok pagi-pagi
aku akan kembali ke Mataram.”
Ki Ranadana
mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya, “Silahkan. Tetapi setiap saat kami
akan minta Ki Lurah datang meskipun hanya hari ini, selama kami mengadakan
pemeriksaan pendahuluan atas para tawanan itu.”
“Aku bersedia sampai malam
nanti. Aku akan datang setiap saat aku dipanggil.”
Demikianlah Ki Lurah
Branjangan pun kembali bersama Ki Widura ke Banyu Asri. Ternyata Ki Widura
sudah tidak ingin mencampuri persoalan para prajurit itu terlampau banyak.
Hanya dalam keadaan yang penting sajalah ia bersedia untuk berbuat sesuatu yang
berada di dalam lingkungan keprajuritan.
Demikianlah mereka berdua
hampir tidak berbicara apa pun di sepanjang perjalanan. Ki Lurah Branjangan
sedang mereka-reka tindakan apakah yang sebaiknya dilakukan oleh Mataram
menghadapi kenyataan itu, sedang Widura dipengaruhi oleh gambaran-gambaran yang
buram yang dapat membatasi hubungan Pajang dan Mataram, sehingga jarak antara
kedua kekuasaan resmi atau tidak resmi itu, menjadi semakin jauh.
Meskipun demikian ternyata Ki
Lurah Branjangan masih mengharap kelak akan dapat membawa seorang atau dua
orang dari antara para tawanan itu sebagai bahan yang langsung dapat didengar
oleh pemimpin tertinggi di Mataram.
Sementara itu, sepeninggal Ki
Lurah Branjangan, Ki Ranadana pun segera memerintahkan anak buahnya untuk
berbuat sesuatu atas mayat-mayat yang masih terbaring di pendapa. Sedang yang
lain mendapat tugas untuk mengurus para tawanan dan menempatkan dalam ruang
yang dapat diawasi.
Selain tugas-tugas itu, maka
Ki Ranadana pun segera memberitahukan kepada semua perwira dan pemimpin pasukan
yang ada di Jati Anom tentang apa yang sebenarnya telah terjadi. Mereka tidak
boleh mengadakan tanggapan yang dapat mengeruhkan suasana damai di Jati Anom.
“Biarlah rakyat Jati Anom
menunggu pengantin mereka dengan tenang. Jika satu dua orang mengetahui apa
yang terjadi, mereka harus yakin, bahwa yang terjadi itu bukan suatu yang perlu
menggelisahkan hati. Yang terjadi hanyalah sekedar pengacauan saat-saat Ki
Untara melewati hari-hari pengantinnya. Pengacauan yang tidak berarti. Mereka
sengaja membuat hari-hari yang penting bagi Ki Untara ini menjadi keruh. Karena
itu, janganlah menambah dengan kekeruhan-kekeruhan baru. Prajurit-prajurit
Pajang telah siap menjaga segala kemungkinan yang dapat terjadi. Seandainya hal
seperti ini akan terulang, maka akibatnya pun sama sekali tidak akan menyentuh
rakyat Jati Anom. Dan jangan sekali-sekali menghubungkan kekacauan ini dengan
daerah mana pun juga di wilayah kekuasaan Pajang. Yang datang mengacau itu
adalah sekelompok orang yang datang dari banyak penjuru,” pesan Ki Ranadana
kepada setiap prajurit lewat pemimpin-pemimpin mereka.
Meskipun masih banyak
pertanyaan yang timbul di hati setiap prajurit dan rakyat di Jati Anom, namun
pesan Ki Ranadana itu telah sedikit memberikan ketenangan di hati mereka.
Mereka percaya bahwa Ki Ranadana berkata sebenarnya. Bukan sekedar untuk
menenangkan mereka saja. Apalagi mereka melihat kenyataan bahwa tidak ada
seorang perwira pun yang terbunuh, meskipun ada juga beberapa prajurit yang
terluka. Namun jelas, bahwa prajurit Pajang dalam waktu singkat berhasil
menguasai kekacauan yang terjadi itu.
Dengan demikian maka
kepercayaan rakyat Jati Anom kepada prajuritnya menjadi semakin kuat.
Dalam pada itu, ketika mayat
yang berjajar di pendapa itu sudah dikuburkan sebagaimana seharusnya, mulailah
Ki Ranadana bersama beberapa orang perwira memeriksa seorang demi seorang dari
para tawanannya. Namun sebagian terbesar dari jawaban mereka sama sekali tidak
dapat memberikan gambaran yang pasti tentang usaha mereka yang sebenarnya.
Tentang pemimpin mereka dan tentang kekuatan yang ada pada mereka. Satu dua di
antara mereka pernah mendengar nama Ki Damar dan Ki Telapak Jalak selagi
pemimpin mereka berbicara dengan orang-orang yang tidak dikenal. Tetapi mereka
seakan-akan sengaja dipisahkan dari jalur yang menghubungkan mereka dengan
pemimpin-pemimpin tertinggi mereka.
Karena itu, maka Ki Ranadana
tidak merasa perlu untuk menghubungi Ki Lurah Branjangan lagi. Biarlah ia
beristirahat dan menyiapkan perjalanannya kembali bersama pengiringnya ke
Mataram.
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan pun menyadari, agaknya ia memang tidak diperlukan lagi. Apa yang
dilakukannya sudah cukup meyakinkan, bahwa orang-orang itu benar-benar bukan
orang Mataram. Bahkan mungkin ada di antara mereka yang sudah mengaku, asal dan
daerah tempat tinggal masing-masing.
Malam berikutnya, adalah malam
yang terlampau sepi bagi Jati Anom. Bagaimana pun juga ada semacam perasaan
ngeri merayap setiap hati. Meskipun mereka percaya bahwa prajurit Pajang akan
melindungi mereka, tetapi bagi mereka, lebih baik berbaring di pembaringan dari
pada berada di jalan-jalan yang senyap. Bahkan ada juga satu dua orang yang
menyediakan senjata di bawah tikar, atau digantungkan pada dinding di samping
pembaringan. Seandainya ada juga bahaya yang datang, mereka harus berbuat
sesuatu untuk kampung halaman mereka.
Namun pada malam itu,
sebenarnya adalah malam yang paling aman bagi Jati Anom. Di setiap gardu jumlah
peronda ditambah menjadi dua kali lipat. Peronda-peronda yang berjalan
berkeliling padukuhan diperbanyak pula dan hubungan prajurit berkuda antara
padukuhan yang satu dan padukuhan yang lain menjadi semakin sering dilakukan.
Bahkan prajurit-prajurit yang biasanya tidur di banjar dan di kademangan, telah
berpencar di beberapa tempat untuk menjaga setiap kemungkinan yang dapat
terjadi.
Tetapi semua itu dilakukan
setelah senja turun, sehingga kesibukan para prajurit itu tidak justru
menimbulkan kegelisahan pada hati rakyat Jati Anom.
Namun agaknya malam itu
benar-benar malam yang sepi. Meskipun ada juga ketegangan di hati para prajurit
yang bertugas, namun ternyata bahwa tidak seorang pun yang lewat memasuki
Kademangan Jati Anom. Jalan-jalan menjadi lengang, dan lampu-lampu di setiap
rumah cahayanya seakan-akan menjadi redup. Bahkan tidak ada seorang pun yang
keluar dari rumahnya pergi ke sawah meskipun mendapat giliran menerima air di
malam itu. Hati mereka masih dibayangi oleh peristiwa semalam. Meskipun mereka
tidak melihat apa yang terjadi, namun mereka melihat iring-iringan mayat yang
dibawa ke kuburan, dan mereka juga melihat prajurit Pajang yang terluka, bahkan
ada yang cukup parah.
Prajurit Pajang sendiri
menyadari, seandainya mereka belum mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi,
mungkin serangan itu sebagian besar akan berhasil. Meskipun seandainya mereka
sempat memukul isyarat, namun pasti sudah jatuh korban di rumah kediaman Untara
yang dipergunakan oleh para perwira itu. Dan korban-korban itu akan menuntut
jatuhnya korban-korban berikutnya, karena tentu orang-orang Pajang akan marah
dan menganggap bahwa orang-orang Mataram-lah yang telah melakukannya.
Dan karena itulah maka Ki
Ranadana bersyukur di dalam hati. Ternyata orang tua bercambuk itu telah
berhasil mencegah suatu benturan yang dahsyat yang dapat terjadi akibat dari
peristiwa yang tidak terduga-duga itu seandainya benar-benar terjadi. Karena
itu, diucapkan atau tidak diucapkan, maka Ki Ranadana dan setiap prajurit
Pajang yang mengetahui persoalan itu selengkapnya akan mengucapkan terima kasih
kepada Kiai Gringsing, yang pada malam itu juga terluka meskipun tidak berarti,
karena luka itu pasti akan segera sembuh.
Demikianlah perlahan-lahan
malam itu pun akhirnya sampai juga pada ujungnya. Ketika langit menjadi merah,
maka setiap prajurit yang tegang sepanjang malam menjadi agak lapang. Malam itu
ternyata telah mereka lalui tanpa terjadi sesuatu peristiwa yang dapat
mengguncangkan ketenteraman Kademangan Jati Anom.
Namun para prajurit itu sadar,
bahwa bahaya itu dapat datang bukan saja malam yang lewat. Tetapi masih akan
datang lagi malam-malam berikutnya. Bahkan mungkin di siang hari, justru di
siang hari prajurit-prajurit Pajang tidak begitu bersiaga seperti di malam
hari.
Dalam pada itu, di rumah Ki
Widura, Ki Lurah Branjangan telah selesai berkemas. Mereka telah siap
meninggalkan rumah Ki Widura kembali ke Mataram.
“Aku mengucapkan terima kasih
bahwa Prajurit Pajang telah berhasil mencegah usaha yang keji itu,” berkata Ki
Lurah Branjangan kepada Ki Widura. “Jika tidak maka akibatnya akan sangat parah
bagi hubungan antara Pajang dan Mataram.”
“Ki Lurah telah melihat
sendiri apa yang terjadi di sini,” sahut Widura. “Mudah-mudahan hal ini akan
menjadi bahan pertimbangan bagi Raden Sutawijaya yang seakan-akan mengasingkan
dirinya dari keluarga istana Pajang.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia menganggukkan kepalanya, “Ki Widura
benar. Memang Raden Sutawijaya di tengah-tengah hutan belantara yang sedang
dibuka. Tetapi aku kira bukan itu soalnya. Raden Sutawijaya dan ayahnya, Ki
Gede Pemanahan, terlampau sibuk dengan kerja itu, sehingga masih belum sempat
datang menghadap Ayahanda Sultan Pajang. Tetapi tentu bukan maksudnya untuk
memisahkan dirinya dari keluarga Sultan Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah
putra angkatnya yang terkasih, hampir tidak ada bedanya dengan putra Sultan
sendiri. Pangeran Benawa.”
Ki Widura tidak menyahut,
meskipun kepalanya terangguk-angguk. Yang dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan
itu adalah sudut pandangan orang-orang Mataram. Namun adalah mustahil bahwa
Raden Sutawijaya benar-benar tidak mempunyai waktu sama sekali.
Tetapi Ki Widura tidak mau
berbantah dengan seorang perwira Mataram yang pernah menjadi kawannya di dalam
lingkungan keprajuritan Pajang. Apalagi kini ia adalah tamunya. Karena itu maka
ia pun tidak berusaha membantah meskipun apa yang dikatakan oleh Ki Lurah
Branjangan itu tidak sesuai di hatinya.
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian tidak lagi memperbincangkan Raden Sutawijaya. Sekali lagi ia minta
diri untuk segera kembali ke Mataram.
“Selamat jalan, Ki Lurah.
Mudah-mudahan tidak ada apa-apa di sepanjang jalan.”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Jawabnya, “Mudah-mudahan tidak ada orang Mataram yang menyamun aku di
perjalanan.”
Ki Widura pun tertawa pula.
“Aku akan singgah sejenak,
untuk minta diri kepada Ki Ranadana. Tetapi aku akan terus melakukan perjalanan
tanpa kembali lagi kemari.”
“Silahkan, Ki Lurah,” sahut
Widura. “Ki Ranadana akan senang sekali menerimamu. Marilah, aku akan
menyertaimu sampai ke rumah Untara itu.”
Demikianlah Ki Lurah
Branjangan itu pun singgah sejenak di rumah Untara untuk minta diri kepada
orang-orang yang ada di sana. Ki Ranadana, Kiai Gringsing dengan kedua
muridnya, Ki Sumangkar, dan perwira-perwira Pajang yang lain.
Demikianlah maka Ki Lurah
Branjangan segera mulai dengan perjalanannya menuju ke Mataram. Ke daerah yang
baru dibuka dan masih merupakan suatu kerja yang sangat berat, sebelum Mataram
menjadi kota yang cukup besar. Ternyata bahwa daerah yang sedang tumbuh itu
harus menghadapi tantangan-tantangan yang cukup berat, yang seakan-akan tersebar
di segala penjuru tanah Pajang. Hambatan-hambatan itu ada di Alas Mentaok yang
sedang dibuka itu, di daerah perbatasan yang tidak nyata antara Pajang dan
Mataram. Bahkan di Pajang dan di Mataram sendiri.
Sepeninggal Ki Lurah
Branjangan, maka Kiai Gringsing dan kedua muridnya bersama Ki Sumangkar pun
segera minta diri kepada Ki Ranadana. Mereka akan tinggal saja di rumah Widura.
Terasa di sana lebih nyaman dan tidak terikat oleh keseganan seperti tinggal
bersama para perwira itu.
“Kau juga Agung Sedayu?”
bertanya Ki Ranadana.
“Ya. Bukankah aku sedang
menyelenggarakan perhelatan perkawinan kakakku.”
Ki Ranadana tersenyum.
Katanya, “Tetapi rumah ini adalah rumahmu. Jika kau ingin tinggal di sini kau
berada di rumahmu sendiri.”
Agung Sedayu tertawa. Tetapi
sebelum ia menjawab, Swandaru sudah mendahuluinya, “Di sini tidak ada asap di
dapur seperti di rumah Paman Widura sekarang. Jika asap itu sudah lenyap, kami
pun akan segera berpindah tempat lagi.”
Semua yang mendengar kata-kata
Swandaru itu tertawa. Ki Ranadana tertawa pula. Ia senang melihat anak muda
yang gemuk itu. Selain berkelakar, ia pandai juga menggerakkan senjatanya yang
aneh itu seperti senjata gurunya. Bahkan ia kagum melihat hasil yang telah
dicapai oleh Kiai Gringsing. Ternyata ia telah membentuk kedua muridnya menjadi
anak-anak muda yang mengagumkan.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing beserta murid-muridnya dan Ki Sumangkar segera meninggalkan rumah
itu. Sebelum mereka melangkah ke luar regol, Ki Ranadana berkata, “Kami masih
selalu memerlukan bantuan Kiai berdua dan kedua anak-anak muda itu.”
Kiai Gringsing tersenyum,
“Tentu. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Kami tidak akan tinggal
jauh. Kami masih akan tinggal di rumah Ki Widura menunggu pengantin itu
datang.”
“Terima kasih,” sahut Ki
Ranadana, “mungkin untuk waktu yang lama sekali setelah Ki Untara hadir di
sini, kalian masih tetap kami minta tinggal di sini.”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Ia hanya tertawa saja sambil mengangguk-angguk kecil.
Sejenak kemudian, maka mereka
pun telah meninggalkan rumah itu. Di sepanjang jalan yang tidak begitu panjang,
mereka tidak terlalu banyak berbicara. Mereka melihat prajurit-prajurit Pajang
yang selalu siap menghadapi setiap kemungkinan. Siang dan malam. Namun mereka
tampaknya berhasil membuat penduduk Jati Anom tidak gelisah, justru merasa
tenang melihat kesiagaan para prajurit.
Ternyata bahwa setelah
peristiwa yang berhasil disederhanakan oleh para perwira dan prajurit Pajang
itu sehingga tidak menegangkan hati orang-orang Jati Anom, tidak ada lagi yang
terjadi. Kedua orang yang mencoba mencegah kawan-kawannya menyerang rumah itu
tetapi terlambat, masih sempat melaporkan kehancuran kawan-kawannya kepada
pemimpin-pemimpin mereka yang lebih tinggi di Pajang.
“Gila,” berkata salah seorang
dari pemimpin itu, “kita telah terjebak. Siapakah yang dapat ditangkap?”
“Tidak ada yang dapat lepas.
Sebagian terbunuh dan sebagian tertangkap hidup.”
Namun akhirnya mereka mendapat
keterangan juga, bahwa kedua orang yang justru paling terpercaya dari pasukan
itu telah terbunuh. Mereka pun mengetahui pula, bahwa di dalam pertempuran yang
terjadi itu terdengar bunyi cambuk yang meledak-ledak.
“Orang bercambuk itu
benar-benar berbahaya. Seakan-akan ia berada di segala tempat untuk merintangi
tugas-tugas kita. Tetapi kita tidak akan berhenti. Kita akan menyingkirkan
Sutawijaya dari Mataram, bagaimana pun juga caranya.”
Kawan-kawannya
mengangguk-anggukan kepalanya. Mereka tetap sependapat bahwa Mataram harus
dilebur. Barulah akan bangkit suatu kekuatan baru di Mataram, meskipun tidak
dengan tiba-tiba. Perlahan-lahan Mataram akan bangun dengan wajah yang baru
sama sekali.
Tetapi di antara mereka
ternyata menghendaki lebih daripada itu. Bukan saja Mataram, tetapi Pajang pun
harus hancur. Tanpa Pajang yang sekarang, tidak akan ada kekuatan yang dapat
mengikat kesatuan tanah ini. Kesempatan untuk bangkit bagi Mataram akan menjadi
semakin luas.
Tetapi satu hal yang masih
menjadi persoalan, bahwa di antara para pemimpin gerombolan itu, tidak ada
seorang yang bernama Raden Sutawijaya atau Ki Gede Pemanahan, atau Ki Penjawi
atau Ki Juru Martani, atau nama-nama lain yang mempunyai pengaruh yang cukup.
Yang ada hanyalah nama-nama yang tidak dikenal oleh rakyat Pajang pada umumnya,
meskipun ada di antara mereka yang memiliki kemampuan seperti Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak. Bahkan perwira Pajang yang terlibat dalam rencana ini pun
bukanlah perwira yang namanya lebih besar dari Untara yang muda itu.
Meskipun demikian mereka
berusaha terus. Namun mereka mulai curiga di antara mereka sendiri. Jika tidak
ada seorang pengkhianat, maka pasukan mereka yang menyerang rumah kediaman para
perwira di Jati Anom itu tidak akan terjebak.
Demikianlah, untuk beberapa
saat Jati Anom masih tetap tenang. Menjelang hari kelima dari hari perkawinan
Untara, maka Jati Anom telah menjadi pulih kembali. Peristiwa yang pernah
terjadi di kediaman para perwira itu sudah hampir dilupakan. Baik oleh rakyat
Jati Anom mau pun oleh para prajurit Pajang, meskipun mereka tetap berada di
dalam kesiap-siagaan.
Di hari yang sudah ditentukan,
genap sepasar hari perkawinan Untara, maka rumah Widura pun menjadi ramai.
Hari itu, kedua pengantin akan
datang ke Banyu Asri. Di malam harinya akan diadakan upacara sekali lagi
mempertemukan pengantin itu dalam upacara ngunduh pengantin. Di hari yang
penting itu, bertebaranlah prajurit Pajang memenuhi kademangan. Bahkan di
sawah-sawah pun bertebaran prajurit sandi yang ikut bekerja bersama para
petani. Mereka memakai pakaian petani dan membawa cangkul di pundak. Tetapi di
lambung mereka tergantung sebuah pedang pendek di bawah kain yang mereka
singsingkan.
Dengan demikian maka Jati Anom
pun menjadi sibuk. Di hari itu, tampaknya sawah yang menebar di seputar
padukuhan induk Jati Anom menjadi lebih ramai dari biasanya. Tampaknya petani
di Jati Anom menjadi bertambah banyak. Di gubug-gubug di tengah sawah. Di
pematang, di tanggul parit, dan di tengah-tengah tanaman jagung yang hampir
berbuah.
Namun tidak banyak orang yang
menghiraukannya, ada juga satu dua orang lewat yang merasa melihat sesuatu yang
agak lain di daerah persawahan itu. Begitu banyak orang yang turun ke sawah
pada hari itu. Tetapi mereka tidak menghiraukannya lagi. Sedang bagi orang Jati
Anom hal yang serupa itu sudah tidak mengejutkan lagi. Mereka sudah sering
melihat prajurit-prajurit sandi yang berkeliaran dalam pakaian seorang petani.
Namun agaknya memang tidak sebanyak menjelang datangnya Untara bersama
istrinya.
Kesiagaan di hari kelima itu
memang agak luar biasa. Mereka bukan semata-mata menjaga keselamatan Untara.
Tetapi lebih dari pada itu, mereka menjaga agar peristiwa yang mungkin terjadi
itu tidak membakar hati para perwira Pajang dan melemparkan kesalahan kepada
orang-orang Mataram.
Menurut utusan yang
mendahului, kedua pengantin itu akan datang menjelang sore hari. Mereka
beristirahat sejenak, kemudian di malam harinya mereka langsung akan
dipersandingkan. Untara sendiri berharap agar semuanya segera selesai, sehingga
ia segera dapat melangsungkan tugasnya lagi. Meskipun barangkali ia masih harus
beristirahat beberapa hari setelah upacara sepekan itu, namun apabila semuanya
sudah selesai, maka ia akan dapat melakukan sebagian tugasnya selagi ia masih
beristirahat.
“Pengantin itu berangkat di
pagi-pagi benar,” berkata utusan itu, “pengantin laki-laki naik kuda bersama
para pengiring, sedang pengantin perempuan naik tandu. Perjalanan mereka tidak
akan dapat terlalu cepat. Apalagi di sepanjang jalan, banyak orang yang melihat
dan tentu mengganggu perjalanan mereka pula.”
Widura pun segera
mempersiapkan penyambutan sebaik-baik dapat dilakukan. Beberapa orang tamu
sudah siap di pendapa sejak tengah hari. Bahkan Ki Demang Jati Anom pun telah
berada di rumah Widura sejak pagi.
Agung Sedayu dan Swandaru yang
menunggu kedatangan pengantin itu pun menjadi tegang pula. Masih terbayang
orang-orang yang dengan tiba-tiba saja menyerbu rumah kediaman para perwira.
Jika hal itu belum diketahui sebelumnya, maka akibatnya pasti akan mengerikan.
Barangkali, demikian Untara datang, maka ia akan segera memimpin pasukan ke
Mataram.
“Untunglah, hal itu tidak
terjadi,” desis Agung Sedayu.
“Apa?”
“Orang-orang yang malam itu
datang menyerbu.”
“O,” Swandaru pun mengerti apa
yang dipikirkan oleh Agung Sedayu, karena ia sendiri setiap kali juga
memikirkannya.
“Tetapi penjagaan kali ini
cukup, bahkan terlalu kuat. Kapan dan dari mana pun datangnya pengacauan, pasti
akan diketahui dan dapat dihentikan jauh dari Banyu Asri dan kademangan induk.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang Jati Anom saat itu sudah berpagar
prajurit. Dalam pakaian keprajuritan mau pun yang dalam pakaian sandi.
Namun bagi Agung Sedayu,
bahaya yang dapat timbul bukan sekedar di Jati Anom. Jalan yang ditempuh oleh
Untara cukup panjang sehingga banyak kemungkinan yang dapat terjadi di
sepanjang perjalanan itu.
“Apa yang kau pikirkan?”
bertanya Swandaru karena Agung Sedayu justru merenung.
“Perjalanan Kakang Untara.”
“Tetapi bagaimana pun juga,
tidak ada lagi orang yang dapat melemparkan kesalahan kepada Mataram. Kakang
Untara sendiri sudah mengetahuinya, bahwa yang datang mengacau itu sama sekali
bukan orang Mataram.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Memang bukan orang Mataram. Tetapi
persoalan Mataram sendiri akan semakin berkembang.”
“Ya,” sahut Swandaru, “Mataram
akan berkembang sejalan dengan persoalan-persoalannya.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya daerah yang sedang tumbuh itu akan banyak mengalami
tantangan yang harus dijawab. Tidak dengan ledakan perasaan, tetapi dengan hati
yang dingin dan sikap yang dewasa.
Namun dalam pada itu,
orang-orang Jati Anom sendiri hampir tidak menghiraukan lagi
persoalan-persoalan yang tumbuh di antara dua pusat kepemimpinan Pajang yang
seakan-akan terpecah. Jika yang terjadi itu seperti berkembangnya daerah Pati,
maka tidak akan banyak menimbulkan persoalan-persoalan yang rumit. Tetapi
Mataram lahir dalam suasana yang tegang.
Lewat tengah hari, telah
banyak anak-anak yang berkumpul di pinggir padukahan, di tepi-tepi jalan yang
akan dilewati oleh Untara. Bahkan beberapa orang anak-anak muda duduk-duduk di
gardu sambil bergurau dan menunggu kedatangan pengantin yang agak lain dari
pengantin yang sering mereda saksikan di Jati Anom. Pengantin yang akan datang
adalah seorang senapati yang memiliki pengaruh yang besar di dalam dan di luar
istana.
Tetapi seperti yang sudah
diperkirakan, Untara akan datang ke rumah pamannya menjelang sore hari. Ketika
matahari ada di puncak langit iring-iringan itu masih berada di perjalanan.
Seperti kesiagaan para prajurit
Pajang di Jati Anom, demikian pula kesiagaan iring-iringan itu. Apalagi Untara
yang sedang kawin itu mengerti, bahwa di Jati Anom telah terjadi kerusuhan,
meskipun ia belum mengetahui secara terperinci apakah yang sudah terjadi. Jika
orang-orang yang gagal itu kehilangan akal, dapat saja mereka mencegat
iring-iringan yang sedang berada di perjalanan.
Karena itulah, maka di antara
iring-iringan itu terdapat sepasukan kecil prajurit. Namun di antara para
pengiring yang memakai pakaian lengkap, untuk mengunjungi perhelatan itu pun
terdapat beberapa orang perwira kawan-kawan Untara. Sedang sebagian lagi adalah
juga prajurit-prajurit sandi yang bertugas mengawal pengantin.
Namun sebenarnya Untara
sendiri tidak mencemaskan perjalanan itu. Setiap orang, juga orang-orang yang
ingin mengacau, tentu sudah mempunyai perhitungan, bahwa iring-iringan ini
pasti merupakan iring-iringan bukan saja orang tua yang mengantar pengantin,
tetapi juga sepasukan prajurit yang siap untuk bertempur di setiap saat. Hanya
apabila mereka mempunyai kekuatan yang besar sekali, mereka akan berani
mengganggunya.
Demikianlah iring-iringan
pengantin itu berjalan lewat padukuhan-padukuhan yang penuh dengan orang-orang
yang ingin menyaksikannya di sebelah-menyebelah jalan. Bahkan anak-anak sudah
mulai bersorak-sorak sejak mereka melihat debu mengepul di kejauhan.
Di dalam terik sinar matahari,
tampaklah warna-warna yang cerah seakan-akan berkeredipan di antara debu yang
terlempar dari kaki-kaki kuda. Bagi mereka yang menunggu, rasa-rasanya
perjalanan itu terlampau lambat.
Namun bukan saja bagi yang
menunggu, baik di sepanjang jalan mau pun di Jati Anom, tetapi bagi Untara dan
istrinya yang duduk di dalam tandu itu pun terasa, perjalanan ini terlampau
lambat.
Meskipun demikian, mereka pun
menjadi semakin dekat pula dengan tujuan. Semakin lama semakin dekat, dan hati
Untara pun menjadi semakin berdebar-debar. Bukan hanya karena ia akan disambut
oleh orang-orang tua di Jati Anom sebagai mempelai yang dihormati, tetapi ia
ingin segera mendengar dengan pasti apa yang sudah terjadi sepeninggalnya.
Untara tersenyum di dalam
hati, ketika ia memasuki daerah Jati Anom. Di antara mereka yang menunggunya di
pinggir-pinggir jalan, dilihatnya beberapa orang prajuritnya. Bahkan ketika ia
menebarkan pandangan matanya ke tanah persawahan, dilihatnya beberapa orang
yang kotor oleh lumpur berdiri di pematang, Untara menarik nafas dalam-dalam.
“Tentu sesuatu telah
benar-benar terjadi di sini,” katanya di dalam hati. “Penjagaan tampaknya
diperkuat. Petugas-petugas sandi bertebaran di segala tempat, bahkan di
bulak-bulak yang masih agak jauh dari Jati Anom.”
Dengan demikian hati Untara
menjadi kian berdebar-debar. Perjalanan itu terasa seakan-akan menjadi semakin
lambat. Tetapi terhadap para pengiring, ia tidak dapat membentak seperti kepada
para prajurit, agar perjalanan ini dipercepat.
Ternyata meskipun Untara
sedang diiringi oleh orang-orang tua dalam pakaian pengantin, namun ia tidak
dapat melepaskan tanggung jawabnya. Justru yang paling menggelisahkan adalah
keadaan Jati Anom daripada tentang dirinya sendiri.
“Tetapi di sana ada Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar,” Untara mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Bagaimana pun lambatnya, namun
akhirnya iring-iringan pengantin itu pun memasuki dan berjalan menyelusur jalan
padukuhan menuju ke rumah Ki Widura. Seorang utusan dengan tergesa-gesa
mendahului dan mengabarkan kepada mereka yang sudah menunggu, bahwa rombongan
pengantin telah datang.
Maka anak-anak yang sudah
berkerumun di muka regol pun segera berteriak-teriak. Mereka berdesak-desakan
untuk melihat, alangkah gagahnya Untara yang mengendarai seekor kuda yang tegar
di samping sebuah tandu yang bertabir kain yang mengkilap.
Ketika iring-iringan itu
memasuki regol, maka mereka pun segera berhenti. Untara meloncat turun dari
kudanya, sementara tandunya pun diturunkan pula dari pundak para pengusungnya.
Demikianlah maka Widura segera
menerima sepasang mempelai itu, dan mengiringkannya masuk ke dalam.
Tetapi kedua pengantin itu
tidak naik lewat pendapa. Mereka berjalan di sisi pendapa, lewat longkangan
naik di pintu samping. Mereka masih belum memasuki pendapa, karena upacara itu
masih akan dilakukan malam nanti.
Dengan demikian maka kedua
mempelai itu langsung dibawa ke dalam bilik yang sudah disediakan untuk
beristirahat.
Namun demikian, setelah
berganti pakaian dan minum seteguk Untara pun segera keluar dari biliknya
menemui para tamu yang menunggunya di pendapa. Tetapi pertemuan itu masih belum
merupakan pertemuan yang resmi.
Ki Demang dan beberapa orang
tua pun kemudian menyapanya dan menanyakan keselamatannya. Kemudian mereka
menanyakan apakah selama ini keadaannya dan istrinya baik-baik saja.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Untara menjawab sambil tersenyum. Seperti kebiasaan pula, maka jawabnya,
“Baik. Keadaan kami selalu baik.”
Setelah mereka berbicara
sejenak, maka hati Untara rasa-rasanya sudah tidak sabar lagi. Setiap kali
dipandanginya Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, pamannya Widura, dan Ki Ranadana.
Seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu datangnya suatu saat untuk bertanya
kepada mereka, apakah yang sudah terjadi di Jati Anom.
Agaknya Kiai Gringsing dapat
menebak isi hati Untara, sehingga katanya, “Untuk berapa hari Anakmas Untara
akan beristirahat tanpa memikirkan tugas keprajuritan. Agaknya perlu juga bagi
Anakmas untuk melupakan semua persoalan yang setiap hari membebani badan dan
pikiran. Agaknya untuk beberapa lamanya, tidak akan terjadi apa-apa di Jati
Anom. Sampai saat ini Jati Anom aman dan tenteram.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia pun menarik nafas dalam-dalam. Meskipun demikian terloncat
juga pertanyaannya, “Apakah tidak terjadi sesuatu selama ini?”
“Ada peristiwa-peristiwa kecil
yang tidak berarti. Yang sama sekali tidak mengganggu sendi-sendi kehidupan di
Jati Anom,” jawab Kiai Gringsing.
“Bagaimana dengan para
perwira?”
Kiai Gringsing tidak menjawab.
Dipandanginya saja Ki Ranadana yang mengangguk-anggukkan kepalanya, dan katanya
kemudian, “Para perwira tetap menjalankan tugas mereka dengan baik. Tidak
terjadi sesuatu atas mereka. Dan mereka saat ini lengkap menyambut kedatangan
Ki Untara berdua, selain yang sedang bertugas.”
Sekali lagi Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mengerti, bahwa para perwira yang menjadi
sasaran para penyerang itu ternyata selamat. Agaknya Ki Ranadana bersama Kiai
Gringsing dan Ki Sumangkar berhasil menyergap mereka sebelum jatuh korban.
“Lalu bagaimana dengan para
prajurit?” ia bertanya pula.
“Tidak ada apa-apa dengan
mereka. Ki Untara memang dapat melupakan mereka sejenak di hari-hari perkawinan
itu. Mereka tetap dalam keadaan yang baik.”
Hati Untara menjadi agak lega.
Tidak langsung Ki Ranadana sudah memberikan laporan kepadanya. Meskipun belum
terperinci, tetapi pada pokoknya para perwira dan prajurit yang ada di Jati
Añom selamat semuanya.
Demikianlah maka Untara pun
dapat melepaskan ketegangan di hatinya. Ia pun kemudian dapat menanggapi
pembicaraan tamu-tamunya yang lain. Orang tua-tua dan sanak kadang.
Tetapi sebentar kemudian ia
pun sudah harus masuk lagi ke dalam biliknya, untuk segera ditempatkan di
gandok, karena dalam upacara nanti, ia akan datang ke pendapa dari gandok,
sedang isterinya akan menyongsongnya dari pringgitan.
Sementara itu, tamu-tamunya
masih saja berdatangan. Semakin lama semakin banyak sehingga pendapa rumah Ki
Widura itu hampir menjadi penuh karenanya. Juga tamu-tamu dari Sangkal Putung.
Selama itu Untara memang dapat
melupakan tugasnya sehari-hari. Apalagi ketika ia sedang sibuk mengenakan
pakaian kebesaran seorang pengantin. Bukan saja pengantin seorang anak muda
padukuhan. Tetapi pengantin seorang yang terpandang.
Namun dalam pada itu di antara
orang-orang yang berdesak-desakan di halaman, yang ingin melihat upacara yang
akan berlangsung di depan pendapa, terdapat orang-orang yang tidak dikenal di
Jati Anom. Orang-orang yang tidak hanya sekedar ingin menyaksikan pengantin
itu, tetapi juga ingin menyaksikan suasana yang meliputi padukuhan dan seluruh
Kademangan Jati Anom.
Tetapi di antara mereka yang
asing, maka ada pula anak-anak muda Jati Anom yang ikut berdesak-desakan di
antara para penonton. Meskipun sebenarnya mereka telah menjadi seorang
prajurit, tetapi kali ini ia sama sekali tidak dalam pakaian seorang praiurit.
Sebagai anak Jati Anom mereka dapat mengenal orang-orang Jati Anom sendiri.
Dengan demikian maka anak-anak
muda itu mengenal pula orang yang sama sekali asing baginya. Sedangkan
orang-orang dari padukuhan di sekitarnya pada umumnya pernah juga dilihatnya
selagi mereka pergi ke sawah, ke pasar dan kadang-kadang mereka saling
kunjung-mengunjungi. Karena itu wajah-wajah yang asing itu pun segera mendapat
perhatian. Mungkin mereka benar-benar datang dari tempat yang jauh sekedar
melihat pengantin yang agak lain dari pengantin yang biasa mereka saksikan.
Tetapi bagi petugas-petugas sandi dari Pajang itu, setiap yang asing harus
mendapat pengawasan. Apalagi setelah terjadi serangan atas rumah Untara yang
dihuni oleh para perwira.
Agaknya kedua belah pihak
sudah saling mengetahui bahwa mereka saling mengawasi. Tetapi selagi mereka
yang asing bagi anak-anak muda Jati Anom yang mendapat tugas sandi itu tidak
berbuat apa-apa, maka tidak akan ada alasan untuk bertindak atas mereka.
“Penjagaan benar-benar ketat
sekali,” desis seseorang di telinga kawannya yang berdiri di sisinya.
“Sst, aku curiga pada anak
muda di belakang kita. Meskipun ia berpakaian bukan seperti seorang prajurit
dan tampaknya ia memang anak Jati Anom karena ia mengenal hampir setiap orang,
namun agaknya ia mendapat tugas khusus untuk mengawasi orang-orang yang
bertebaran di halaman ini, termasuk kita.”
Kawannya tidak berpaling,
tetapi kepalanya terangguk kecil.
“Dimana Bubut dan Kandar?”
“Di ujung Barat. Tetapi tentu
ada pula yang mengawasi mereka.”
“Kita tidak peduli. Kita tidak
akan berbuat apa-apa di sini. Kita hanya sekedar nonton pengantin dan melihat
suasana.”
Kawannya mengangguk-anggukkan
kepalanya.
Sejenak kemudian, ketika di
depan gandok terjadi desak-mendesak, maka tahulah orang-orang di halaman bahwa
pengantin sudah siap untuk dipertemukan dalam upacara. Karena itu, maka
orang-orang yang lain pun mulai berdesak-desakan pula, terutama anak-anak.
Mereka berebut dahulu berdiri di depan. Apabila pengantin nanti telah lewat
setelah selesai dengan berbagai macam upacara di halaman, membasuh kaki, lempar-melempar
sadak, berdiri di atas pasangan dan kemudian bersama-sama memasuki pendapa,
maka semua kelengkapan di tiang depan dapat diperebutkan oleh anak-anak. Dua
tandan pisang raja, dua jenjang kelapa, padi, dan masih ada beberapa macam
buah-buahan yang lain.
Orang-orang yang berwajah
asing itu pun dengan sendirinya terdesak pula ke depan. Tetapi anak-anak muda
Jati Anom dalam tugas sandinya sebagai seorang prajurit, mendesak maju pula di
belakang mereka.
Demikianlah, maka upacara pun
segera berlangsung. Seperangkat gamelan mengiringi dengan gending-gending yang
agung. Beberapa orang-orang tua duduk di paling depan memberikan restunya
dengan nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk.
Karena Untara sudah tidak
mempunyai orang tua, maka upacara pangkon dilakukan oleh pamannya Widura, yang
duduk bersila di tengah-tengah ruang dalam, di muka sentong tengah. Pengantin
laki-laki duduk di ujung lutut kanannya dan pengantin perempuan duduk di ujung
lutut kirinya.
“Bagaimana?” seorang laki-laki
tua bertanya.
“Seimbang,” jawab Widura
sambil menyeringai. Lututnya terasa agak sakit juga menahan berat tubuh Untara
dan isterinya.
“Turunlah,” berkata laki-laki
tua itu.
Kedua pengantin itu pun
kemudian turun dari lutut Widura dan Widura pun menarik nafas.
Upacara itu pun kemudian
disusul dengan upacara-upacara lain, asok kaya, menyuapi isterinya dengan nasi
kepelan dan upacara-upacara yang lain sesuai dengan kedudukannya sebagai
seorang senapati yang besar.
Namun perhelatan itu sendiri
sama sekali bukan suatu perhelatan yang berlebih-lebihan. Bahkan terlalu
sederhana bagi seorang senapati yang namanya sudah dikenal oleh setiap prajurit
di belahan selatan Kerajaan Pajang.
Dalam pada itu, selagi di Jati
Anom berlangsung upacara ngunduh pengantin, maka di Mataram Raden Sutawijaya
duduk menghadap ayahandanya Ki Gede Pemanahan. Pada wajahnya nampak bahwa
keduanya sedang memperbincangkan suatu masalah dengan bersungguh-sungguh.
“Kali ini mereka gagal
mengumpankan nama Mataram, Ayah, tetapi lain kali?”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Kita harus memperhatikan masalah ini
dengan sungguh-sungguh. Aku puji kegigihan sekelompok orang yang berusaha
mengusir kita dari tanah yang sudah kita buka ini. Mereka gagal bermain
hantu-hantuan. Kini mereka mempergunakan cara lain yang tidak kalah
berbahayanya. Bahkan mungkin akan berakibat sangat jauh apabila orang-orang
Pajang tidak selalu berusaha mengendalikan diri. Aku tahu, beberapa orang yang
tidak dapat mengendalikan diri berusaha menggagalkan usaha kita. Tampaknya
usaha mereka berhasil sebagian, karena sampai saat ini, Sultan Pajang tidak
juga memberikan ketetapan yang tegas atas tanah yang sudah terbuka ini. Berbeda
dengan Pati, kita masih harus menunggu apakah daerah ini akan diakui sebagai
suatu daerah yang dapat berdiri sendiri dalam bentuk yang mana pun.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Ki Lurah
Branjangan menyarankan agar ada hubungan langsung antara kita dengan Ayahanda
Sultan di Pajang. Tetapi aku berkeberatan sebelum ada pengakuan yang tegas atas
tanah ini.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Meskipun tidak terlampau dalam, namun ada juga kecemasan
yang merayapi hatinya. Ternyata bahwa Raden Sutawijaya adalah seorang anak muda
yang keras hati. Ia sadar, bahwa ada ketimpangan pada sikap Sultan Pajang,
sehingga dengan demikian hubungan batin antara Sutawiiaya dan Sultan Paiahg itu
pun agaknya semakin lama menjadi semakin jauh dan bahkan seolah-olah tidak akan
dapat dipertautkan kembali.
Tetapi selain kecemasan, ada
juga sedikit penyesalan di hati Ki Gede Pemanahan. Ialah yang mula-mula
meninggalkan istana Pajang dan kembali ke Sela. Ia tidak mau menerima sikap
Sultan Pajang yang menunda-nunda hadiah yang sudah dijanjikan, sedang kawannya,
seorang senapati yang lain telah menerima bagiannya. Apalagi Ki Gede Pemanahan
merasa bahwa tanah yang diperuntukkan baginya adalah sebuah hutan belantara
yang masih memerlukan penggarapan yang lama dan tekun.
“Jika aku tidak bersikap
keras, maka daerah ini pasti masih belum diserahkan dengan resmi,” berkata
Pemanahan di dalam hati, namun, “tetapi sikap itu agaknya mempengaruhi
pendirian Sutawijaya yang tidak kalah kerasnya dari sikapku sendiri.”
Ki Gede Pemanahan mengangkat
wajahnya ketika ia mendengar anaknya berkata, “Ayah, kenapa Ayahanda Sultan
Pajang tidak segera mengakui kedudukan kita?”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Ia tidak mau membakar hati anaknya lagi. Bagaimana pun juga,
pertentangan yang berkepanjangan tidak akan menguntungkan bagi kedua belah
pihak. Tetapi ia pun tidak ingin menganjurkan agar anaknya merendahkan dirinya,
memohon dan memohon kemurahan hati Sultan Pajang atas kedudukannya di Mataram.
Kedudukan itu adalah haknya sebagaimana hak Ki Penjawi atas Pati, Dan sikapnya
itu sama sekali bukan meloncat dari perasaan iri dan dengki. Ki Gede Pemanahan
merasa senang bahwa sahabatnya telah berada dalam kedudukan yang wajar, sesuai
dengan pengabdiannya kepada Pajang. Namun ia mengharap bahwa haknya pun akan
segera diakui.
“Kenapa Ayah?” desak
Sutawijaya. “Apakah Ayah mengerti alasan yang sebenarnya? Jika keadaan kita
masih saja tetap seperti sekarang, maka kemungkinan-kemungkinan yang buruk itu
memang dapat terjadi. Usaha orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan
berusaha untuk mendapat keuntungan bagi dirinya sendiri akan menjadi semakin
berbahaya bagi kita dan bagi Pajang sendiri.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti, Sutawijaya. Aku
pun selalu menunggu, kapan kita mempunyai kedudukan yang pasti. Bahkan aku pun
menjadi hampir tidak sabar.” Ki Gede Pemanahan berhenti sejenak, “Tetapi jangan
terlampau banyak dipengaruhi oleh pengakuan dari Pajang. Kita bekerja terus
membuka daerah ini dan menjadikannya suatu daerah yang ramai. Jika kita sudah
membuktikan bahwa kita mampu berbuat banyak atas daerah ini, maka pengakuan itu
akan segera menyusul. Kita akan mendapat batasan yang tegas atas daerah ini.”
“Tetapi selama itu terjadi,
banyak sekali kemungkinan. Mungkin orang-orang yang dengki dan barangkali lebih
dari itu, karena mereka sendiri ingin memiliki tanah ini, atau barangkali
kecurigaan dan kecemasan orang-orang Pajang atau apa pun yang menyebabkannya
sehingga Ayahanda Sultan Pajang justru mengambil sikap lain.”
“Kita memang dapat berprasangka,
Sutawijaya. Tetapi kita jangan terlampau dihantui oleh prasangka itu. Sekarang
berbuatlah sesuatu. Jadikanlah tanah ini menjadi tanah yang ramai dan kuat.
Maka tidak akan ada kemungkinan lain daripada pengakuan, bahwa Mataram sebagai
suatu kenyataan telah ada dan mampu mengurus dirinya sendiri, meskipun kita
masih ada di dalam lingkungan kesatuan dengan Pajang dan daerah-daerah yang
lain.”
Sutawijaya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan ayahnya Tetapi yang
menjadi pusat perhatiannya adalah membuat Mataram suatu daerah yang kuat.
Dengan demikian maka tidak akan ada orang lain yang dapat memaksakan
kehendaknya atasnya dan atas Mataram, meskipun ia sadar akan bahayanya. Jika
Mataram merasa kuat, mungkin bukan Sultan Pajang-lah yang berubah pendirian dan
sikap, tetapi Mataram sendiri.
“Aku akan menjaga diriku
sendiri,” berkata Sutawijaya di dalam hatinya, “aku akan tetap menganggap bahwa
Mataram adalah bagian dari Pajang yang satu dan mudah-mudahan akan tumbuh
menjadi besar seperti kerajaan-kerajaan yang terdahulu.”
Ki Gede Pemanahan yang
seakan-akan dapat membaca kata-kata hati anaknya menarik nafas dalam-dalam. Ia
pun mengharap Pajang menjadi besar. Tetapi ia kadang-kadang tidak dapat lari
dari kenyataan bahwa Sultan Pajang yang bernama Mas Karebet dan bergelar Sultan
Adiwijaya itu ternyata telah banyak berubah. Dan Pajang yang baru tumbuh itu
seakan-akan justru menjadi pudar.
“Baiklah, Ayah,” berkata
Sutawijaya, “aku akan membuat Mataram mampu mengurus dirinya sendiri dalam
segala bidang. Mataram memang harus menjadi kuat. Bukan untuk menakut-nakuti
orang lain, tetapi Mataram harus dapat melindungi dirinya sendiri. Di Jati Anom
telah terjadi suatu usaha untuk mencemarkan nama Mataram. Untunglah orang tua
bercambuk itu ada di sana, sehingga tugas Ki Lurah Branjangan banyak
dipengaruhi justru oleh kerja Kiai Gringsing. Jika tidak, maka kita akan
menjadi lontaran caci-maki, dan barangkali Untara telah membawa pasukan segelar
sepapan memasuki daerah ini bersama mertuanya itu.”
Ki Gede Pemanahan hanya dapat
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat menyalahkan anaknya, karena agaknya
Mataram memang harus menyiapkan diri menghadapi setiap kemungkinan. Jika
terjadi fitnah seperti yang baru saja dilakukan di Jati Anom, dan fitnah itu
benar-benar berhasil, maka Mataram memang harus melindungi dirinya sendiri.
“Mudah-mudahan hal semacam itu
tidak terjadi,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya. “Ngabehi Loring
Pasar adalah seorang anak muda yang paling dikasihi oleh Sultan Pajang di
samping anak laki-lakinya sendiri, Pangeran Benawa. Segala sesuatu pasti akan
dipikirnya masak-masak sebelum bertindak.”
Tetapi selain
kemungkinan-kemungkinan yang pahit itu, Mataram pasti harus bersiap pula
menghadapi gerombolan-gerombolan itu sendiri. Dalam keadaan yang penuh
kebimbangan dan ketiadaan harapan, mereka mungkin akan berbuat di luar dugaan
karena di antara mereka pasti terdapat orang-orang kuat seperti Kiai Damar dan
Kiai Telapak Jalak. Bahkan mungkin di belakang kedua orang itu masih terdapat
seseorang yang melampaui kemampuan keduanya di dalam nalar dan olah kanuragan,
sehingga ia mampu mengendalikan kedua orang yang cukup mumpuni itu.
Karena itulah, maka Ki Gede
Pemanahan membiarkan putranya untuk melakukan rencananya. Bersiap-siap menghadapi
segala kemungkinan dengan membuat daerah yang sedang tumbuh ini menjadi daerah
yang kuat.
Dalam pada itu di Jati Anom,
Untara yang masih ada di dalam suasana yang lain dari hidupnya sehari-hari,
kadang-kadang masih juga malas untuk berbicara tentang tugas-tugasnya. Hanya
karena ia adalah seorang yang penuh dengan tanggung jawab sajalah, ia
memerlukan juga bertemu dengan Ki Ranadana dan perwira-perwira yang lain,
meskipun hanya sekali di dalam satu hari, sedang Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar masih tetap menjadi tamu Ki Widura bersama Agung Sedayu dan Swandaru.
Agaknya Ki Ranadana yang sudah
menginjak usia pertengahan, cukup mengerti tentang keadaan Untara, sehingga ia
pun selalu membatasi persoalan-persoalan yang dibicarakan. Bahkan ia masih
belum menyinggung-nyinggung tentang tawanan-tawanan yang ada di dalam
pengamatannya.
Tetapi Untara tidak memerlukan
banyak waktu untuk beristirahat. Ia pun segera mulai lagi dengan tugas-tugasnya
yang berat. Namun kemudian ia tidak lagi tinggal bersama para perwira di
rumahnya. Namun untuk sementara ia tinggal bersama pamannya.
Karena itulah, maka Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya dan Ki Sumangkar pun merasa bahwa kehadirannya
hanya akan mengganggu saja. Tetapi ketika mereka minta diri untuk pergi ke
Sangkal Putung, ternyata bahwa Untara dan Widura menahannya.
“Tinggallah di sini untuk
beberapa lama Kiai,” berkata Untara. “Di saat-saat ini aku masih terlampau
malas untuk berbuat sesuatu. Kehadiran Kiai berdua di sini rasa-rasanya membuat
aku tenteram.”
“Tetapi di sini ada sepasukan
prajurit yang kuat dengan beberapa orang perwira yang cakap,” sahut Kiai
Gringsing.
Untara tertawa. Jawabnya,
“Sepasukan prajurit yang kuat, beberapa orang perwira yang cakap akan lebih
meyakinkan lagi jika ditambah dengan dua orang tua yang pilih tanding bersama
dua orang muridnya. Ingat, bahwa Agung Sedayu itu nilainya tidak kalah dengan
seorang perwira muda prajurit Pajang. Ketika ia berkelahi di dalam lumpur,
ternyata bahwa aku menganggap, Agung Sedayu mempunyai banyak kelebihan. Bukan
karena ia adikku. Dan aku pun yakin bahwa Swandaru pun memiliki kemampuan
serupa.”
“Ah, Kakang Untara terlampau
memuji,” jawab Swandaru. “Tetapi jika aku dinilai dengan seorang perwira, pasti
aku akan melampauinya. Tetapi dalam bidang yang khusus.”
Untara tertawa semakin keras.
Swandaru memang pandai menanggapi gurau siapa pun juga.
“Terutama menanggapi isi
jodang,” Swandaru menyambung.
Widura pun tertawa pula.
Katanya, “Itulah agaknya yang membuat Angger Swandaru menjadi gemuk.”
“Ya, Paman. Aku tidak pernah
menolak rejeki.”
“Maksudku bukan itu,” berkata
Widura, “hatimu terbuka. Itulah soalnya. Bukan karena kau terlampau banyak
makan, meskipun agaknya hal itu benar.”
Suara tertawa Swandaru
meledak. Ternyata Widura pandai bergurau juga.
Namun dengan demikian Kiai
Gringsing, kedua muridnya dan Ki Sumangkar terpaksa tinggal untuk sementara di
rumah itu.
“Kakang Untara pandai juga
memanfaatkan kita di sini,” berkata Swandaru kepada Agung Sedayu ketika mereka
berada di gandok.
“Kenapa?”
“Penjagaan kita tentu akan
lebih rapat dari para prajurit yang hanya berada di regol dan halaman. Kita
berada di dalam rumah. Bersama Paman Widura kita merupakan pengawal yang baik
selama malam-malam yang suram bagi Kakang Untara.”
“Ah kau.”
“Besok, jika datang saatnya
aku kawin, aku akan menahan Kakang Untara barang tiga sampai lima hari untuk
mengawal aku.”
Agung Sedayu tidak
mendengarkannya lagi. Bahkan ia pun kemudian membaringkan dirinya di
pembaringan yang besar.
Swandaru tertawa sendiri.
Katanya, “Aku sudah rindukan Sangkal Putung. Dan sudah barang tentu ayah dan
ibu menunggu aku pula. Apalagi Sekar Mirah.”
Agung Sedayu berpaling menatap
wajah Swandaru sejenak. Namun kemudian ia kembali acuh tidak acuh. Bahkan ia
pun kemudian memejamkan matanya.
Swandaru pun tidak
menghiraukannya. Ia masih berbicara terus, “Sekar Mirah tentu hampir kehilangan
kesabaran. Ia mengira bahwa kami tidak akan berada di Jati Anom lebih dari
sepekan. Ternyata sudah hampir sepuluh hari kami berada di sini.”
“Kita berada di Menoreh
berbulan-bulan,” sahut Agung Sedayu tanpa berpaling.
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Ya. Kita berada di Menoreh berbulan-bulan. Dan dengan
demikian Sekar Mirah menyusul dan mencari kita.”
Agung Sedayu tidak menyahut
lagi. Matanya justru menjadi semakin rapat.
Namun tiba-tiba Swandaru
bertanya, “Kau sudah mendengar laporan prajurit sandi yang berada di halaman
rumah Paman Widura ini ketika upacara ngunduh pengantin berlangsung?”
Agung Sedayu menggeleng lemah.
“Ada beberapa orang yang tidak
dikenal menyaksikan upacara itu. Mereka adalah orang-orang yang mencurigakan.”
Kini Agung Sedayu membuka
matanya. Dengan kerut-merut di dahinya ia bertanya, “Dari siapa kau dengar hal
itu?”
“Dari prajurit Pajang.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Bukan, bukan dari prajurit itu, tetapi dari Paman
Widura.”
“Benar dari Paman Widura?”
“Juga bukan,” Swandaru
mengingat-ingat.
“Aku yang memberitahukan hal
itu kepadamu. Kakang Untara telah menerima laporan itu.”
“He,” Swandaru membelalakkan
matanya, lalu, “o, ya. Kaulah yang memberitahukan kepadaku. Kakang Untara
mengatakan hal itu kepadamu. Ya, aku ingat sekarang.”
Kembali Agung Sedayu
memejamkan matanya. Sedang Swandaru masih saja duduk di pembaringan yang besar
itu sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Sampai kapan kita akan tetap
di sini?” ia bertanya.
Tetapi Agung Sedayu sama
sekali tidak menjawab.
“Keluarga di Sangkal Putung
pasti sudah menunggu. Juga keluarga Ki Argapati di Menoreh. Kita di sini
merasakan bahwa waktu berjalan terlampau cepat. Tetapi bagi orang yang
menunggu, rasa-rasanya matahari tidak bergeser dari tempatnya.”
“Siapa yang menunggu?” desis
Agung Sedayu masih sambil memejamkan matanya.
“Paman Argapati.”
“Kenapa Paman Argapati
menunggu kita?”
Swandaru tidak menyahut. Ia
hanya menarik nafas saja dalam-dalam.
Keduanya pun kemudian terdiam
sejenak. Swandaru yang duduk di pembaringan itu pun kemudian menguap. Setelah
menarik nafas dalam-dalam ia pun segera merebahkan dirinya di sisi Agung
Sedayu. Namun ternyata yang mendekur lebih dahulu adalah Swandaru.
Agung Sedayu justru tidak
segera dapat tertidur. Kata-kata Swandaru ternyata telah menyentuh hatinya.
Orang-orang yang menunggu itu pasti jauh lebih gelisah dari yang ditunggunya.
Bagi orang yang sedang menunggu, waktu seakan-akan sama sekali tidak bergerak.
“Apakah setelah Kakang Untara
aku akan segera menyusul?” bertanya Agung Sedayu kepada diri sendiri.
Namun setiap kali pertanyaan
itu tumbuh, Agung Sedayu menjadi berkerut. Katanya di dalam hati, “Apakah
istriku kelak akan aku beri makan batu? Aku masih belum mempunyai pegangan apa
pun sekarang.”
Lalu terngiang kata-kata
kakaknya dan pamannya, “Kenapa kau tidak menjadi seorang prajurit? Kau
mempunyai beberapa kelebihan dari perwira-perwira yang masih muda.”
Tetapi untuk menjadi prajurit
Pajang Agung Sedayu sama sekali tidak menginginkannya.
Pendengarannya tentang Pajang
yang kurang lengkap itu sempat menimbulkan perasaan yang kurang mapan baginya
untuk bekerja bagi Pajang. Ia mendengar bahwa Sultan Pajang kini hampir tidak
sempat lagi menghiraukan daerah dan rakyatnya. Ia adalah seorang raja yang
mudah sekali dipengaruhi oleh kecantikan seorang perempuan, sehingga waktunya
benar-benar terampas habis oleh perempuan-perempuan itu. Semakin lama penghuni
keputrennya menjadi semakin banyak, sedang di daerah-daerah, kesulitan pun
menjadi semakin bertimbun pula. Sultan Pajang yang bernama Mas Karebet dan yang
disebut Jaka Tingkir itu sudah kehilangan gairah petualangannya untuk
menyaksikan Pajang seisinya dari dekat. Para Adipati di pesisir sudah hampir
kehilangan ikatan dan berbuat sendiri-sendiri sesuai dengan keinginan
masing-masing.
Sesudah Pajang berhasil
mengalahkan Jipang, maka seakan-akan Pajang sudah waktunya mengenyam hasil
jerih payahnya tanpa ada yang mengganggu gugat.
Meskipun demikian, Agung
Sedayu harus berhati-hati mengambil kesimpulan bahwa sebenarnyalah yang terjadi
demikian. Ia belum mengenal Sultan dari dekat. Namun jika hal itu benar
terjadi, maka seluruh rakyat Pajang seharusnya menjadi berprihatin.
“Apakah pantas jika seseorang
menaiki jenjang perkawinan tetapi masih belum mempunyai pegangan apa pun
seperti aku ini? Jika aku ingin menjadi petani, aku tidak tahu lagi, apakah
sawah dan ladang ayah masih ada. Apakah Kakang Untara pernah memikirkannya dan
menyatakan menjadi hak kami berdua.”
Tetapi Agung Serlayu
menggeleng. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesah, “Sekar Mirah tidak
akan bersedia menjadi isteri seorang petani biasa. Kini ia adalah putra seorang
Demang yang cukup kaya.”
Namun dengan demikian Agung
Sedayu menjadi semakin gelisah karenanya. Ia sadar, bahwa ia masih belum
memiliki masa depan yang mantap meskipun ia memiliki bekal yang cukup. Selama
ia berada di dalam asuhan Kiai Gringsing, ia tidak hanya sekedar belajar oleh
kanuragan, tetapi ia masih juga mempelajari beberapa macam ilmu yang lain. Dari
Kiai Gringsing Agung Sedayu mengenal ilmu kesusasteraan, ilmu bintang-bintang
dan sedikit tentang tata hubungan masyarakat. Bahkan Ki Sumangkar pun
memberinya beberapa macam ilmu pengetahuan tentang hubungan dan sangkut pautnya
pejabat-pejabat yang ada di dalam susunan pemerintahan dan ilmu tata
pemerintahan itu sendiri. Hukum-hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab yang
ada dan hukum-hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dan dipatuhi oleh segala
pihak di dalam masyarakat.
Tetapi sampai saat ia
menjelang hari-hari yang penting itu, ia masih belum menempatkan dirinya pada
suatu kedudukan yang dapat memberinya jaminan hidup di hari-hari mendatang.
“Selama ini aku hanyalah
seorang petualang. Guru agaknya seorang petualang juga yang tidak berpikir
tentang keluarga dan peri kehidupan ini sebagai manusia biasa. Justru karena
Guru sendiri tidak berkeluarga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Tetapi
meskipun bertualang bersama, namun Swandaru mempunyai kedudukan lain. Ia sudah
pasti akan memasuki hari depan yang jauh lebih baik dari hari depanku, karena
ia seorang yang akan menerima warisan kedudukan ayahnya. Seorang Demang di
daerah yang sesubur Sangkal Putung.”
Agung Sedayu yang gelisah itu
hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Dicobanya untuk mengusir kegelisahan itu
dengan mengenang peristiwa dan persoalan yang memberinya kegembiraan dan
kebanggaan. Tetapi setiap kali ia selalu gagal, sehingga karena itu, ia masih
saja tidak dapat tidur senyenyak Swandaru.
Demikianlah, maka setiap kali
keduanya berbincang tentang diri mereka sendiri dan tentang masa depan mereka,
Agung Sedayu selalu dipacu oleh kegelisahan yang mencengkam. Namun ia selalu
berusaha menyembunyikan perasaan itu, dan menanggapi persoalan-persoalan yang
dilontarkan oleh Swandaru.
Di hari-hari berikutnya, maka
Untara pun mulai menjalankan tugasnya seperti biasa. Tetapi ia tidak lagi
tinggal di rumahnya yang dihuni oleh para perwira. Meskipun setiap hari ia
datang juga ke rumah itu, tetapi di sore hari ia kembali ke rumah Widura yang
untuk sementara dipergunakannya sebagai tempat tinggal.
Dalam pada itu, selagi Untara
sudah mulai menjalankan tugasnya seperti biasa, maka Kiai Gringsing dan kedua
muridnya beserta Sumangkar merasa bahwa tidak ada lagi masalah yang harus
dihadapinya di Jati Anom, sehingga mereka pun minta diri kepada Untara dan
Widura untuk kembali ke Sangkal Putung.
“Kenapa di Sangkal Putung?”
Tetapi Untara masih saja bertanya, “Bukankah bagi Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar,
Sangkal Putung dan Jati Anom tidak ada bedanya, dan bahkan bagi Agung Sedayu,
Jati Anom adalah kampung kelahirannya sedang Swandaru pun tidak akan
berkeberatan untuk hilir-mudik karena gurunya berada di sini, dan jaraknya pun
tidak begitu jauh?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Sebenarnyalah bahwa bagiku tidak ada bedanya. Apakah aku berada di
Sangkal Putung, Jati Anom, atau kembali kepondokku yang barangkali sekarang
sudah hampir roboh di Dukuh Pakuwon. Tetapi sebaiknya aku pergi ke Sangkal Putung
lebih dahulu. Seterusnya, Dukuh Pakuwon adalah tempat yang paling baik bagiku.
Ada sebidang tanah, sebuah gubug kecil dan tetangga-tetangga yang baik. Mereka
mengenal aku sebagai seorang dukun bernama Tanu Metir.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Tetapi pada suatu saat, Agung
Sedayu tentu akan memerlukan Anakmas Untara dan Widura. Ia pun sudah menjadi
dewasa sekarang.”
“Tentu kami tidak akan
berkeberatan. Adalah kuwajibanku untuk melayani kepentingan Agung Sedayu,
apalagi setelah aku berpengalaman. Paman Widura pun pasti akan dengan senang
hati melakukannya, karena Agung Sedayu dan aku tidak ada bedanya bagi Paman
Widura dalam hubungan keluarga.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu, “Tetapi di samping Agung Sedayu, masih
ada lagi yang harus kami selesaikan dalam hal yang serupa.”
“Siapa?”
“Swandaru.”
“He, kau juga?”
“Kami harus pergi ke Menoreh.”
“Jauh sekali. Itulah sebabnya
kalian berada di sana dalam waktu yang lama. Aku memang pernah mendengar,
tetapi sekedar desas-desus. Kini Adi Swandaru tidak membantah.”
Swandaru hanya menarik nafas
dalam-dalam.
“Selain hal itu,” berkata Kiai
Gringsing, “jika aku pergi ke Menoreh, maka aku akan dapat singgah menemui Ki
Lurah Branjangan. Tetapi mungkin sebelum aku menemuinya ia sudah datang kembali
ke Jati Anom. Seperti yang dipesankannya, ia ingin membawa satu atau dua orang
tawanan itu. Ia harus meyakinkan kepada Raden Sutawijaya bahwa hal itu telah
benar-benar terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu ia pun bertanya, “Jadi menurut Kiai, ada gunanya jika satu dua
orang dari mereka dibawa ke Mataram?”
“Ada. Kedua belah pihak
menyadari bahwa ada pihak ketiga yang sengaja menjauhkan jarak antara Pajang
dan Mataram. Dan hal itu sangat berbahaya, baik bagi Mataram maupun bagi
Pajang.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia pun mengakui bahwa yang terjadi itu berbahaya sekali seandainya
tidak seorang pun yang dapat menjelaskan apa yang sebenarnya mereka hadapi.
Karena itu maka katanya, “Baiklah Kiai. Jika demikian, apabila Ki Lurah
Branjangan segera kembali, aku akan menyerahkan satu dua orang kepadanya, agar
ia dapat membawanya kepada Raden Sutawijaya.”
“Ya. Mudah-mudahan Sutawijaya
pun menyadari, sehingga ia ikut menjaga agar antara Pajang dan Mataram pada
suatu saat akan terjalin pengertian yang mendalam.”
“Ya,” sahut Untara.
“Dengan demikian maka Mataram
dan Pajang akan menghormati kedudukan mereka masing-masing.”
Untara mengerutkan keningnya.
Lalu katanya, “Ya. Mataram dan Pajang harus menghormati kedudukan mereka
masing-masing. Mataram harus merasa bahwa Mataram berada di bawah lingkungan
kesatuan Pajang yang besar, dan Pajang pun merasa wajib melindungi kesatuan
itu. Itulah yang disebut saling menghormati dalam kedudukan masing-masing.
Sikap yang lain daripada itu, tidak akan dapat diterima.”
Sesuatu berdesir di dada Kiai
Gringsing. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya
begitulah.”
“Tidak ada kemungkinan lain,
Kiai. Demikian juga jika orang-orang itu dibawa menghadap Raden Sutawijaya.
Orang-orang itu akan meyakinkan bahwa sebenarnya ada pihak yang ingin mendorong
Mataram untuk menjauh dari Pajang. Dengan tidak langsung mereka membuat kesan
bahwa Mataram sudah memberontak. Karena itu Mataram harus dapat menunjukkan
kesetiaannya kepada Pajang, agar usaha pihak ketiga untuk menumbuhkan kesan
pemberontakan itu dapat dilenyapkan.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk pula. Ia tidak dapat bersikap lain di hadapan Untara. Untara
adalah seorang Senapati yang berdiri di atas segala macam sikap. Ia adalah
seorang prajurit yang utuh. Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak akan dapat
berbicara dengan Untara selain mendengarkan pendapatnya sebagai seorang
senapati.
“Kiai,” berkata Untara
kemudian, “alangkah besar jasa Kiai Gringsing, jika Kiai dapat mempergunakan
pengaruh Kiai untuk memberikan kesadaran kepada Raden Sutawijaya bahwa sikapnya
selama ini memang dapat menimbulkan kesan yang kurang baik bagi Pajang. Menurut
keterangan yang aku dengar, karena ia terlampau sibuk maka Raden Sutawijaya itu
belum sempat menghadap Sultan di Pajang yang kebetulan adalah ayah angkatnya
sendiri. Ayah angkat yang sangat mengasihinya. Selain hal itu kurang baik bagi
seorang pejabat tinggi di Pajang yang mendapat wewenang atas Mataram, juga
kurang baik bagi seorang anak yang setia dan mengenal terima kasih kepada
ayahnya.”
Kiai Gringsing masih
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun terasa dadanya menjadi berdebar-debar.
Ketika ia memandang kedua muridnya dengan sudut matanya, maka dilihatnya wajah
Swandaru yang agak berkerut, sedang Agung Sedayu berusaha untuk tidak
memberikan kesan apa pun mendengar kata-kata Untara itu.
Kiai Gringsing tidak
mengetahui, perasaan apakah yang bergejolak di dada Sumangkar. Seorang tua yang
pernah berada di pihak Jipang ketika perang antara Jipang dan Pajang pecah.
Namun yang kemudian mendapat pengampunan dan bahkan seluruh kebebasannya
kembali, karena ternyata ia tidak begitu banyak terlibat dalam perlawanan atas
Pajang. Apalagi setelah pasukan Jipang tercerai berai.
“Baiklah, Anakmas Untara,”
berkata Kiai Gringsing, “aku akan menyampaikan semua pesan itu jika kelak aku
pergi ke Menoreh. Atau jika aku diminta ikut pergi ke Menoreh. Yang penting
harus pergi ke Menoreh adalah ayah Swandaru. Mungkin ia tidak dapat pergi
berdua dengan Nyai Demang karena perjalanan yang jauh dan sulit. Sehingga Ki
Demang agaknya akan mengajak kawan lain selama perjalanan.”
“Terima kasih, Kiai. Aku kira
Raden Sutawijaya adalah seorang yang berjiwa besar. Demikian juga Ki Gede
Pemanahan. Kelambatan saat menyerahkan Alas Mentaok yang dijanjikan tentu tidak
akan menimbulkan kegusaran di dalam hati. Sedang sebenarnya kelambatan itu pun
didasari pada perasaan kasih Sultan Pajang kepada putra angkatnya itu. Sultan
Pajang akan menyerahkan bumi Mentaok kepada Raden Sutawijaya setelah bumi
Mentaok menjadi ramai. Tetapi Ki Gede Pemanahan agaknya salah paham dan memaksa
Sultan untuk segera menyerahkannya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya Kiai Gringsing berkata, “Aku
akan berusaha mengatakan hal ini langsung kepada Raden Sutawijaya kelak.”
“Terima kasih, Kiai. Hormatku
kepada Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya disertai ucapan terima kasih yang
tidak terhingga atas pemberiannya. Mudah-mudahan Mataram tidak menyulitkan kedudukanku
sebagai seorang senapati yang langsung beradu hidung dengan daerah baru yang
dibuka itu. Pada saat yang tepat tentu kami akan datang ke Mataram memberikan
perlindungan jika Mataram benar-benar ada di dalam bahaya. Selama ini Mataram
masih mampu mengatasinya sendiri, dan membinasakan Kiai Damar dan Kiai Telapak
Jalak dengan bantuan Kiai. Jika perlu kami akan ikut menyingkirkan bahaya yang
lebih besar dan berada di luar kemampuan Mataram untuk mengatasinya.”
Kiai Gringsing masih juga
mengangguk, “Baiklah, Anakmas. Aku akan menyampaikan semua pesan itu. Dan aku
pun mengharap agar semua persoalan dapat teratasi dengan baik. Soal yang
menyangkut kepentingan bagi kedua belah pihak dalam kedudukannya
masing-masing.”
Demikianlah maka akhirnya Kiai
Gringsing dan kedua muridnya dan Sumangkar pun mohon diri. Mereka minta diri
pula untuk pergi ke Menoreh pada suatu saat yang baik. Jika mereka tidak ada
waktu, maka mereka tidak akan singgah dahulu ke Jati Anom.
“Kau harus segera kembali,
Agung Sedayu,” berkata Untara. “Jika kau memang akan segera kawin, kau jangan
terus-menerus bertualang. Istrimu tentu tidak akan cukup kau tinggal
menjelajahi tanah ini. Kau harus mapan dan mempunyai kedudukan yang baik. Bukan
berarti kau harus menjadi seorang perwira tinggi sekaligus, tetapi kedudukan
yang bagaimana pun rendahnya, asal kau mempunyai kemungkinan yang terang di
hari mendatang.”
“Baik, Kakang,” sahut Agung
Sedayu, setuju atau tidak setuju.
“Dan Adi Swandaru pun aku
harapkan agar segera berada di kademangannya kembali. Sangkal Putung akan tetap
merupakan daerah yang penting dipandang dari segala segi sesuai dengan letaknya
dan daerahnya yang subur.”
“Ya, ya,” sahut Swandaru pula,
“aku akan segera kembali.”
“Apakah Ki Sumangkar akan ikut
pergi Ke Menoreh?” bertanya Untara kemudian.
“Aku tidak tahu, Anakmas.
Tergantung Ki Demang di Sangkal Putung. Apakah aku akan dibawanya atau tidak.”
“Apakah Ki Sumangkar sudah
menjadi bebahu Kademangan Sangkal Putung?”
Ki Surnangkar mengerutkan
keningnya. Namun sambil mengangkat wajahnya ia berkata, “Bukan, Anakmas, tetapi
aku sekarang sudah dianggap keluarga sendiri oleh Ki Demang, apalagi aku memang
sudah lama berada di rumahnya.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Baiklah. Selamat jalan. Jangan lupa, apabila kalian singgah
di Mataram, hormatku bagi Ki Gede Pemanahan dan Raden Sutawijaya serta ucapan
terima kasih yang tidak terhingga. Dan sebagai seorang senapati aku akan selalu
bersedia melindungi daerah itu dari kesulitan apabila diperlukan.”
“Baiklah, Anakmas,” berkata
Kiai Gringsing, “mudah-mudahan Jati Anom pun selalu aman dan tenteram.
Mudah-mudahan peristiwa yang mengejutkan itu tidak terulang kembali.”
“Kami akan selalu bersiap
menghadapi segala kemungkinan. Tetapi kami mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan Kiai, dan terutama bahwa Kiai seolah-olah telah menyelamatkan Jati Anom
dalam suasana yang tetap tenang, karena di Jati Anom sedang berlangsung
perhelatan. Tanpa perhelatan itu, Jati Anom tidak akan gentar dilanda oleh
huru-hara yang bagaimana pun ricuh dan ributnya. Namun demikian, mudah-mudahan
tidak terjadi sesuatu apa pun lagi di daerah ini. Tidak terganggu oleh orang
yang mengaku berasal dari Mataram dan oleh orang-orang Mataram yang
sebenarnya.”
Orang-orang yang mendengarkan
kata-kata Untara itu hanya menarik nafas dalam-dalam. Mereka sadar bahwa mereka
berbicara dengan seorang prajurit. Setelah beberapa hari Untara melampaui
hari-hari perkawinannya, ia telah berdiri di atas landasannya semula. Seorang
senapati yang bertugas di daerah selatan dari Kerajaan Pajang.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing bersama kedua muridnya dan Ki Sumangkar pun meninggalkan Jati Anom.
Meskipun Untara sudah menjadi semakin banyak tertawa dan bergurau, tetapi ia
masih tetap seorang perwira.
Kedatangan Kiai Gringsing dan
rombongan kecilnya di Sangkal Putung telah disambut dengan gembira oleh Ki
Demang. Dengan serta-merta mereka pun segera dipersilahkan naik ke pendapa.
“Aku kira Kiai berdua serta
kedua anak-anak muda itu akan segera kembali,” berkata Ki Demang.
“Kami terpaksa memenuhi
permintaan Anakmas Untara untuk tinggal di Jati Anom beberapa hari Ki Demang.”
“Ketika aku pulang dari Jati
Anom, aku tidak segera pergi melakukan tugas hari itu, karena aku menyangka
bahwa kalian akan segera menyusul. Ternyata kalian kembali beberapa hari
kemudian.”
Kiai Gringsing hanya tersenyum
saja. Sedang Swandaru berkata, “Sebenarnya kami juga akan segera pulang, Ayah.
Tetapi ternyata dapur Paman Widura masih terus berasap.”
“Pantas,” desis seseorang dari
dalam pintu. Swandaru berpaling. Meskipun ia tidak melihat seseorang tetapi ia
tahu bahwa suara itu suara Sekar Mirah.
“He, kau iri ya?”
Sekar Mirah menjengukkan
kepalanya, katanya, “Kenapa aku iri? Apa yang aku irikan? Jika aku tidak
mengingat sopan santun aku pulang sebelum pengantin didudukkan di depan sentong
tengah.”
“Kenapa?”
“Tidak seorang pun
menghiraukan kedatangan kami seperti yang aku duga. Hanya istri-istri perwira
sajalah yang dipersilahkan duduk. Ayah pun tidak mendapat tempat yang baik
meskipun Ayah datang jauh sebelum pengantin siap.”
“Ah,” sahut ayahnya, “aku
duduk bersama Ki Demang di Jati Anom. Dalam perhelatan, semua orang sibuk dan
sudah barang tentu mereka tidak dapat menemui tamunya seorang demi seorang.”
“Ki Demang tidak jadi bermalam
di Jati Anom,” bertanya Agung Sedayu memotong.
“Aku sibuk sekali dengan
pekerjaan yang bertimbun-timbun. Bendungan yang belum selesai, perluasan tanah
pertanian mendesak hutan sebelah barat karena terasa daerah kami menjadi
semakin padat, dan gangguan-gangguan keamanan yang mulai terasa meskipun tidak
menggelisahkan.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Jawaban ayahnya terasa aneh di telinganya. Apakah hal yang dikatakan
oleh ayahnya itu tiba-tiba saja telah tumbuh menjadi sesuatu persoalan yang
gawat di Sangkal Putung. Semua yang dikatakan oleh ayahnya itu memang pernah
didengarnya. Tetapi kini ayahnya menyebut bahwa persoalan itu merupakan
persoalan yang membuatnya terlampau sibuk.
“Agaknya Sekar Mirah-lah yang
memaksa ayah tidak bermalam di Jati Anom. Mungkin Paman Widura tidak sempat
mempersilahkan mereka karena kesibukannya menerima tamu-tamu yang lain,”
berkata Swandaru di dalam hatinya. “Tetapi bukankah hal itu wajar di dalam
suatu perhelatan?”
Tetapi Swandaru tidak
mengatakannya. Bahkan kemudian ia berkata kepada diri sendiri, “Untunglah bahwa
ayah pun menyadari hal itu. Tetapi yang penting bagi Sekar Mirah, Kakang Agung
Sedayu yang sibuk pula mengatur jamuan di belakang, tidak sempat menemui Sekar
Mirah dan mempertemukannya dengan mempelai perempuan.”
Namun Swandaru itu pun
tersenyum di dalam hati. Ia sadar, bahwa dalam tingkat hubungan antara Agung
Sedayu dan Sekar Mirah dapat menimbulkan persoalan-persoalan yang aneh-aneh,
seperti cerita anak-anak muda yang kemudian sudah berkeluarga, di dalam
pertemuan-pertemuan dan di dalam pembicaraan sambil bergurau di gardu-gardu
perondan.
“Mungkin aku akan menghadapi
persoalan yang serupa. Jika Pandan Wangi merajuk karena aku terlampau lama
tidak datang ke Menoreh, aku akan menjadi pening,” gumam Swandaru di dalam hati.
Dan tiba-tiba saja ia menjadi
gelisah. Sudah terlampau lama tidak mendengar berita tentang Menoreh. Dan sudah
terlalu lama hubungannya dengan Menoreh seakan-akan terputus.
“Hantu-hantu di Mentaok itulah
yang gila, sehingga aku tertahan di sana untuk waktu yang cukup lama. Mungkin
Pandan Wangi menganggap aku tidak datang lagi kepadanya, atau ayahnya mengambil
keputusan lain. Mungkin ada anak muda Menoreh sendiri yang berhasil mengambil
alih persoalanku dengan Pandan Wangi,” Swandaru menjadi berdebar-debar
memikirkan masalahnya itu. Namun ia tidak segera dapat mengatakannya pada saat
itu.
“Tetapi semuanya sudah
selesai. Tidak ada lagi persoalan yang akan menghambat. Mudah-mudahan Ki Gede
Menoreh tidak menganggap bahwa aku sudah mati di perjalanan.”
Demikianlah, persoalan itu pun
merupakan persoalan yang selalu mendebarkan hati Swandaru. Seolah-olah ia tidak
sabar lagi menunggu hari-hari berikutnya untuk pergi ke Menoreh. Bahkan ia
berkata di dalam hatinya, “Jika ayah merasa terlampau sibuk dan tidak dapat
bermalam di Jati Anom untuk semalam saja, apakah ayah juga akan berkeberatan
untuk segera pergi ke Menoreh.”
Tetapi Swandaru tidak dapat
mengatakan hal itu langsung kepada ayahnya. Karena itu, ketika mereka kemudian
beristirahat di gandok, Swandaru mengatakan hal itu kepada gurunya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Baiklah, aku akan mengatakannya
kepada ayahmu. Mudah-mudahan ayahmu dapat meninggalkan kesibukannya barang dua
pekan untuk pergi ke Menoreh menghadap Ki Gede Menoreh itu. Kau benar, jika
hubungan ini terlalu lama terputus, mungkin Ki Argapati mengambil sikap lain.”
“Terima kasih, Guru. Aku segan
mengatakannya kepada ayah langsung. Lagipula, ayah tentu akan lebih
memperhatikan kata-kata Guru daripada permintaanku sendiri.”
Kiai Gringsing hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja. Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa hal
itu merupakan kewajibannya pula, karena muridnya bagi Kiai Gringsing tidak ada
bedanya dengan anaknya sendiri. Sedang kedua muridnya itu kini sedang menghadapi
masalah yang serupa.
“Tetapi persoalan Agung Sedayu
sudah lebih jelas dari persoalan Swandaru. Meskipun secara resmi Anakmas Untara
dan Widura belum datang menemui Ki Demang dan membicarakan masalah anaknya,
namun agaknya orang tua Sekar Mirah sudah menerima persoalan itu seluruhnya.
Persoalan yang menyusul adalah sekedar hubungan resmi,” berkata Kiai Gringsing
di dalam hatinya.
Karena itu, maka Kiai
Gringsing pun berusaha untuk mendapatkan waktu yang sebaik-baiknya. Di sore
hari, ketika mereka sudah menyelesaikan semua pekerjaan, dan sesudah
membersihkan diri, mereka pun duduk di pendapa bersama Ki Demang dan Ki
Sumangkar, di bawah nyala lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin.
Sejenak mereka berbicara
tentang Kademangan Sangkal Putung, tentang musim dan tentang tanaman yang subur
di sawah dan pategalan.
Barulah pembicaraan mereka
mulai merayap kepada anak-anak muda di Sangkal Putung, dan kemudian mereka pun
berbicara tentang Swandaru.
Kiai Gringsing tidak mau
kehilangan kesempatan itu. Karena itu, maka ia pun segera mengulangi
pembicaraan yang pernah disampaikan meskipun hanya sepintas, bahwa Swandaru
telah membuat hubungan dengan seorang gadis di Menoreh, putra Ki Argapati,
kepala Tanah Perdikan Menoreh.
Ki Demang pun mengangguk-anggukkan
kepalanya. Persoalan itu sedikit banyak sudah pernah didengarnya. Namun ia
masih memerlukan banyak sekali penjelasan.
“Apakah Ki Argapati
benar-benar tidak berkeberatan, Kiai?” bertanya Ki Demang. “Hal itu harus aku
yakini sebelum aku berangkat, agar aku tidak sia-sia pergi menempuh jarak yang
jauh, meninggalkan kademangan yang sedang berusaha mengembangkan diri di segala
bidang ini?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Alasan Ki Demang sebenarnya tentu bukan kesibukannya di segala
bidang karena perkembangan Sangkal Putung, tetapi jika Ki Argapati menolak
lamaran yang disampaikannya, maka hatinya pasti akan menjadi sangat sakit.
Apalagi ia datang dari jauh.
Kiai Gringsing itu pun
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Pertanyaan itu wajar
tumbuh pada Ki Demang. Apabila kedatangan kita tidak membawa hasil, maka
alangkah sakitnya hati ini. Namun jika kita tilik dari kewajaran hidup, kita
memang mempunyai dua kemungkinan untuk setiap permintaan. Diterima atau
ditolak. Sudah barang tentu Ki Demang baru dapat mengambil kepastian setelah
menyatakan permintaan itu dan mendapat jawaban. Bahkan kadang-kadang datang
lamaran bagi seorang gadis oleh dua tiga orang sekaligus. Dan sudah barang
tentu tidak semua akan dapat diterima.”
Ki Demang pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, “Ya, Kiai. Demikianlah memang
seharusnya. Maksudku, apakah sebelum aku datang melamar kepada Ki Gede Menoreh,
sudah ada tanda bahwa lamaranku akan diterima?”
“Pada saat itu Ki Demang,
ketika aku meninggalkan Menoreh, agaknya tanda-tanda itu memang sudah ada.
Sedang anak-anak yang bersangkutan pun tampaknya sudah sejalan. Tetapi aku
tidak tahu perkembangan yang terjadi kemudian. Namun menilik bahwa Ki Argapati
adalah orang yang cukup dewasa, aku kira ia tidak akan dengan mudah menarik
kembali sikapnya. Tentu juga mengenai putrinya itu. Kecuali jika ada keadaan
yang sangat memaksa. Pandan Wangi adalah seorang gadis yang memang sedang
mekar.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Karena itu, Ki Demang,
sebaiknya hal ini memang harus segera dilakukan. Apakah lamaran ini diterima
atau tidak, kita tidak mempersoalkannya sekarang. Kedua-duanya memang mungkin
dan kedua-duanya pun wajar. Meskipun demikian menurut penilaianku, lamaran Ki
Demang hampir dapat dipastikan akan diterima oleh Ki Argapati sesuai dengan
hubungan yang pernah ada, jika tidak ada persoalan yang mendesak seperti yang
aku katakan tadi.”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Memang hal itu adalah kuwajiban yang harus dilakukan. Karena itu,
maka ia pun menganggukkan kepalanya sambil menyahut, “Baiklah Kiai. Aku akan
segera pergi ke Menoreh. Tetapi karena Kiai-lah yang dahulu pernah datang
kepada Ki Argapati, maka sudah barang tentu aku minta Kiai ikut bersamaku.
Apalagi Kiai adalah guru Swandaru yang tentu juga sekaligus akan ikut
berkepentingan dengan persoalan anak itu.”
“Tentu aku tidak berkeberatan,
Ki Demang. Aku akan pergi ke Menoreh.”
“Bagaimana dengan Ki
Sumangkar?” bertanya Ki Demang.
Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian ia pun menyahut, “Terserahlah kepada Ki Demang. Apakah
aku perlu menyertainya atau tidak. Aku tidak mempunyai pilihan sendiri untuk
itu.”
Ki Demang merenung sejenak,
lalu, “Mengingat perjalanan yang jauh, alangkah baiknya jika Ki Sumangkar pergi
bersama kami. Banyak kemungkinan dapat terjadi di perjalanan. Apalagi suasana
yang kini hampir tidak menentu. Di perbatasan yang kabur antara Pajang dan
Mataram, akan dapat ditemui banyak persoalan-persoalan di luar dugaan. Seperti
yang aku dengar, hantu-hantu Alas Mentaok yang ternyata terjadi dari
orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu. Orang-orang yang menyerang
rumah Anakmas Untara yang dihuni oleh para perwira dan barangkali banyak lagi
hal yang serupa meskipun bentuknya berbeda.”
“Jika demikian kita akan
berjalan dalam sebuah rombongan kecil,” sahut Ki Sumangkar. “Sudah barang tentu
Anakmas Agung Sedayu akan ikut serta bersama kita. Dan bagaimana dengan Sekar
Mirah?”
Ki Demang menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Sebaiknya Sekar Mirah menunggu ibunya di rumah. Sudah
barang tentu bahwa ibunya tidak akan dapat ikut menempuh perjalanan begitu
panjang dan terbahaya.”
Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku sependapat dengan Ki Demang.
Tetapi menilik sifatnya, bagaimana jika ia memaksa juga.”
“Kita akan mencoba meyakinkan,
bahwa ibunya memerlukan seorang pelindung. Sudah tentu bukan orang lain yang
paling dapat dipercaya. Dan sudah barang tentu aku dan Swandaru kali ini harus
pergi meninggalkannya.”
Ki Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun demikian ia masih meragukan, apakah Sekar Miiah yang keras
hati itu dapat dibujuknya untuk tinggal.
“Kita besok akan
bersiap-siap,” berkata Ki Demang. “Aku menyadari bahwa hal ini harus segera
dilaksanakan agar persoalannya tidak berkembang ke arah yang tidak kita
kehendaki. Kita tidak tahu apakah yang sudah terjadi di Menoreh akhir-akhir ini
dan kita juga tidak tahu apa yang terjadi di daerah yang sedang tumbuh itu.
Mudah-mudahan kita masih dapat lewat tanpa dihalang-halangi oleh keadaan dan
suasana yang bagaimana pun juga.”
“Baiklah, Ki Demang,” berkata
Kiai Gringsing. “Kita pun akan segera mendapat penyelesaian. Jika pembicaraan
telah bulat, maka pelaksanaanya pun sebaiknya di lakukan dengan cepat.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya kemudian, “Aku akan berbicara dengan Nyai Demang dan Sekar
Mirah. Silahkan Kiai memberitahukan kedua anak-anak muda itu agar mereka pun
mempersiapkan diri menempuh perjalanan yang panjang ini, Kiai. Meskipun
keduanya pernah pergi ke Menoreh, namun mereka pun harus membuat ancang-ancang
untuk perjalanan ini.”
Demikianlah maka malam itu
juga Ki Demang di Sangkal Pulung telah berbicara dengan istrinya tentang
rencana kepergiannya ke Menoreh.
“Kapan Ki Demang akan pergi?”
bertanya istrinya.
“Besok aku akan menyerahkan
pengamatan dan pimpinan kademangan ini kepada bebahu Kademangan Sangkal Putung.
Mereka akan menjalankan tugasku sehari-hari, tetapi mereka tidak akan mengambil
tindakan yang sangat penting yang menyangkut perubahan apa pun di Sangkal
Putung. Besok lusa aku akan menyiapkan bekal dan minta diri kepada orang-orang
tua bersama Swandaru. Jadi hari berikutnyalah aku akan berangkat.”
“Begitu tergesa-gesa?”
istrinya menjadi heran. “Tentu tidak mungkin. Jika kau mengikat seorang gadis,
tentu harus membawa barang-barang yang umumnya dipergunakan sebagai pengikat.
Pakaian sepengadeg, dan beberapa jenis barang lainnya.”
“Aku belum akan membelikan
peningset. Bukankah kita belum pernah melamarnya dengan resmi? Jika semua
persoalan telah selesai, barulah aku akan pergi lagi membawa peningset itu.”
Nyai Demang
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu ia pun bertanya, “Siapa saja yang akan
pergi bersama Ki Demang?”
“Kiai Gringsing yang pernah
merintis pembicaraan dengan Ki Gede Menoreh, kemudian sudah tentu Swandaru
sendiri, Angger Agung Sedayu dan Ki Sumangkar.”
“Bagaimana dengan Sekar
Mirah?”
“Biarlah ia tinggal di rumah
mengawanimu. Ia bukan saja anak kita, tetapi ia adalah pelindung yang dapat
dipercaya. Sekar Mirah sekarang memiliki kemampuan yang jauh lebih besar dari
kemampuan Ki Jagabaya jika di rumah ini datang sesuatu yang membahayakan.”
“Bagaimana jika ia ingin ikut,
karena Ki Demang pergi bersama dengan Anakmas Agung Sedayu dan gurunya Ki
Sumangkar?”
“Aku akan berbicara. Panggillah
anak itu sebentar jika ia belum tidur.”
Sejenak kemudian maka Sekar
Mirah pun telah duduk bersama ayah dan ibunya. Tampaklah bahwa ia menjadi
gelisah. Bahkan Sekar Mirah menyangka bahwa ayahnya akan berbicara tentang
dirinya sendiri.
Tetapi ketika ayahnya sudah
mengatakan maksudnya, tiba-tiba saja ia tidak lagi menjadi gelisah, tetapi
sepercik kekecewaan telah melonjak di hatinya. Sebenarnya ada keinginan di
dalam hatinya, bahwa persoalannya pun sebaiknya segera diselesaikan. Tetapi
sudah barang tentu, sebagai seorang gadis ia tidak dapat mengatakannya.
“Kau tinggal di rumah Mirah,”
berkata ayahnya.
“Aku ikut,” Sekar Mirah
bersungut-sungut.
“Kau tinggal di rumah.”
“Semua orang pergi, dan aku
tinggal di rumah.”
“Justru karena semua orang pergi.
Kau mengawani ibumu. Jika kau juga pergi, maka ibumu akan tinggal di rumah
tanpa seorang kawan pun.”
“Kenapa Ibu tidak pergi sama
sekali? Bukankah akan lebih baik jika Ayah datang berdua bersama Ibu?”
“Tentu. Tetapi perjalanan ke
Menoreh bukan perjalanan yang pendek. Bukankah kau pernah pergi ke sana? Kau
dapat membayangkan, bagaimanakah sulitnya jika ibumu juga pergi bersama kami.”
Sekar Mirah merenung sejenak.
Tetapi tampak membayang kekecewaan di wajahnya.
“Aku tidak akan pergi terlalu
lama, Mirah. Kau tahu bahwa kini aku sedang sibuk dengan Sangkal Putung yang
sedang berkembang ini.”
“Kenapa aku tidak boleh ikut,
Ayah?”
“Sudah aku katakan. Ibumu
tidak ada pelindungnya. Kau adalah pelindung yang paling baik baginya.”
Sekar Mirah menarik nafas
dalam-dalam.
“Ya, Mirah,” berkata ibunya,
“tanpa kau aku menjadi sendiri. Bagaimana pun juga tenteramnya kademangan ini,
tetapi aku pasti masih juga selalu cemas jika aku sekedar menyandarkan
keselamatan isi rumah ini kepada peronda.”
Sekar Mirah tidak menyahut.
Kepalanya sajalah yang kadang-kadang menengadah, kadang-kadang tunduk.
Sebenarnya ia ingin sekali turut menempuh perjalanan. Selain ia dapat pergi
bersama gurunya dan Agung Sedayu, ia pun dapat melihat keadaan yang berbeda
dari yang dilihatnya sehari-hari.
Tetapi ketika terpandang wajah
ibunya yang suram, maka ia pun berkata, “Baiklah, Ayah. Aku akan mengawani Ibu
di rumah.”
“Terima kasih, Sekar Mirah.
Aku akan pergi dengan tenang jika kau bersedia menjaga ibumu.”
Demikianlah maka Ki Demang sudah
mendapat keputusan untuk berangkat besok tiga hari lagi. Ketika Sekar Mirah
bertemu dengan gurunya, maka gurunya pun memberinya nasehat seperti yang
dikatakan oleh ayahnya.
“Jagalah ibumu baik-baik.
Meskipun kau seorang gadis, tetapi kau adalah gadis yang lain dari gadis-gadis
kawanmu bermain. Kau tidak saja dapat bermain nini towong di terang bulan,
tetapi kau dapat melindungi ibumu dari bahaya yang sebenarnya.”
Kesempatan yang singkat
sebelum mereka berangkat, dipergunakan oleh Ki Demang untuk menyerahkan
pimpinan kademangan kepada para bebahunya, kemudian minta diri kepada
orang-orang tua agar lamarannya dapat diterima oleh Ki Gede Menoreh.
“Hati-hatilah,” pesan seorang
yang rambutnya telah menjadi putih seluruhnya, “perjalanan ini sangat jauh dan
berbahaya karena kalian harus melewati Alas Tambak Baya, Alas Mentaok,
menyeberang sungai yang besar dan deras, dan perjalanan di daerah yang asing
bagi kalian.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Meskipun ia pergi bersama beberapa orang yang dapat dipercaya, namun
setiap pesan diperhatikannya juga. Meskipun kadang-kadang orang-orang tua yang
memberinya pesan mawanti-wanti itu sama sekali belum pernah melihat Alas Tambak
Baya dan Alas Mentaok, namun tanggapan naluriah mereka kadang-kadang berguna baginya.
Dan atas pesan orang tua yang
rambutnya sudah memutih itu Ki Demang menyahut, “Terima kasih, Paman.
Perjalanan ini memang perjalanan yang jauh.”
“Dengan siapa kau akan pergi?”
“Dengan Swandaru dan beberapa
orang lagi.”
“Kau tidak membawa Ki Jagabaya?”
“Tidak, Paman.”
“O, bawalah dia. Orang itu
akan dapat memberikan perlindungan kepadamu dan kepada anakmu.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Tetapi orang itu memang tidak tahu bahwa Swandaru sendiri mempunyai
kemampuan melampaui Ki Jagabaya, karena orang tua itu sudah jarang-jarang
keluar rumahnya. Tetapi Ki Demang menjawab, “Tenaga Ki Jagabaya diperlukan di
kademangan ini, Paman. Ia harus melindungi tidak hanya satu dua orang, tetapi
beratus-ratus, bersama-sama anak-anak muda Sangkal Putung.”
“Tidak ada apa-apa di sini.
Kademangan ini cukup aman. Tetapi Alas Tambak Baya dan Alas Mentaok itu sangat
wingit. Bukan saja hantu-hantu penunggu pepohonan yang besar-besar dan
batu-batu yang angker, tetapi juga penyamun-penyamun dan perampok-perampok yang
masih banyak berkeliaran.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya pula. Jawabnya, “Aku akan sangat hati-hati. Meskipun aku tidak pergi
bersama Ki Jagabaya, namun aku pergi bersama beberapa orang kawan yang dapat
dipercaya.”
“Tetapi mereka tidak akan memberi
ketenangan seperti Ki Jagabaya.”
“Mudah-mudahan mereka dapat
melindungi aku seperti Ki Jagabaya.”
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Jika kau yakin mereka dapat melindungi
kau seperti Ki Jagabaya, terserahlah. Aku hanya dapat berdoa, mudah-mudahan kau
selamat, dan Cucu Swandaru dapat menemukan jodohnya.” Ia berhenti sejenak,
lalu, “Tetapi kenapa ia mengambil perempuan yang begitu jauh?”
“Hati mereka telah bertaut.”
“Di mana mereka bertemu?”
“Di Menoreh.”
“Apakah Swandaru pernah pergi
ke Menoreh?-”
“Pernah. Belum lama ia
kembali.”
“O,” orang tua itu
mengangguk-angguk. Lalu, “Anak-anak sekarang. Masih ingusan sudah sampai ke
ujung bumi. Syukurlah ia kembali dengan selamat. Dan mudah-mudahan perjalananmu
pun selamat pula.”
“Terima kasih, Paman. Kami
yang akan berangkat mohon pengestu.”
Demikianlah orang-orang tua
yang lain pun berpesan serupa. Bahkan para bebahu Kademangan Sangkal Putung
yang mengetahui siapa Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, Agung Sedayu, dan Swandaru
sendiri pun berpesan agar mereka berhati-hati.
“Menurut pendengaran kami,” Ki
Jagabaya berkata, “perampokan dan penyamun di sepanjang jalan menjadi semakin
meningkat. Mungkin hal ini disebabkan kegagalan mereka di Mataram dan juga di
Jati Anom serta di tempat-tempat lain, mendorong mereka untuk mengambil jalan
lain. Semua jalan yang menuju ke Mataram tidak tenteram sama sekali. Ada dugaan
bahwa orang-orang yang tidak senang melihat Mataram berdiri itu berusaha untuk
membendung arus manusia yang tidak henti-hentinya memasuki daerah baru itu.”
“Memang masuk akal,” berkata
Kiai Gringsing yang hadir juga di antara mereka, “orang-orang yang kecewa itu
dapat berbuat apa saja. Tetapi mungkin mereka tidak sekedar melepaskan
kekecewaannya. Tetapi semuanya itu dilakukan atas suatu dasar pertimbangan dan
perhitungan yang masak.”
Ki Demang mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun Kiai Gringsing melanjutkan, “Tetapi kita akan berhati-hati.
Kita akan mencari jalan yang paling aman, yang jauh dari kemungkinan perampokan
dan penyamun.”
Ki Demang masih
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dalam pada itu Ki Jagabaya
berkata, “Tetapi kita percaya kepada Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar. Apalagi
mereka sudah pernah pergi ke Menoreh. Bahkan Sekar Mirah pun pernah. Bedanya,
sekarang perampok-perampok itu bagaikan semut yang diusir dari sarangnya.
Bertebaran ke mana pun di seluruh hutan.”
“Pasti ada jalan yang tidak
mereka awasi. Justru jalan-jalan sempit dan yang jarang dilalui orang. Meskipun
kemungkinan untuk bertemu dengan mereka masih ada juga.”
Para bebahu Sangkal Putung itu
pun mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi mereka percaya bahwa Ki Demang akan
dapat sampai ke tempat tujuan dan kembali ke Sangkal Putung, meskipun ada juga
perasaan was-was di dalam hati. Jika terjadi sesuatu atasnya, maka orang yang
berhak mewarisi ikut serta bersamanya. Yang tinggal adalah Sekar Mirah. Sedang
anak muda yang agaknya dipilihnya menjadi sisihannya, pergi juga bersama Ki
Demang itu.
Namun demikian, rencana Ki
Demang tetap dilaksanakan. Setelah hari yang ditentukan tiba, maka semuanya pun
telah siap. Mereka kini tidak sekedar berjalan kaki, tetapi mereka akan pergi
berkuda, supaya perjalanan mereka tidak terlampau lama.
“Cepatlah pulang, Ayah,” pesan
Sekar Mirah dengan suara yang tersangkut di kerongkongan.
Ki Demang memandang wajah
Sekar Mirah yang muram. Seakan-akan ia melihat wajah gadis itu semasa
kanak-kanak apabila ia ingin ikut pergi bersamanya keliling kademangan.
“Kau tinggal bersama ibu.”
“Tidak, aku ikut Ayah.”
“Kau lelah.”
“Tidak.”
Dan jika ia tidak
mengijinkannya, maka gadis kecil itu akan menangis.
Tetapi sekarang Sekar Mirah
berusaha menahan air mata yang sebenarnya hampir pecah dari pelupuknya. Namun,
Sekar Mirah itu menyadari bahwa ia bukan anak-anak lagi, dan bahkan ia kini
adalah pelindung ibunya di dalam segala hal. Ia harus melayani ibunya sebagai
seorang gadis, tetapi jika perlu ia harus melindungi ibunya sebagai seorang
yang memiliki ilmu kanuragan.
Bukan saja Ki Demang yang
memandang Sekar Mirah dengan iba, tetapi juga Kiai Gringsing, Sumangkar,
Swandaru, dan Agung Sedayu. Mereka mengerti betapa perasaan gadis itu.
Sekaligus beberapa orang yang tersangkut di hatinya telah pergi. Ayahnya,
kakaknya, gurunya, dan seorang anak muda yang telah merampas hatinya.
Karena itu, maka wajah-wajah
itu pun menjadi muram dan berkesan dalam.
Namun akhirnya mereka pun
berangkat juga meninggalkan Kademangan Sangkal Putung. Di regol halaman berdiri
Nyai Demang bersama Sekar Mirah dan beberapa bebahu kademangan beserta beberapa
orang tua tetangga terdekat.
“Mudah-mudahan kalian selamat
di perjalanan,” seorang perempuan tua berdoa sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, “dan kalian akan pulang membawa seorang menantu yang cantik bagi
Nyai Demang.”
Demikianlah, mereka mulai
dengan sebuah perjalanan yang jauh. Perjalanan yang mereka sadari sebagai
perjalanan yang cukup berat.
Tetapi Ki Demang tidak merasa
cemas sama sekali, karena lima orang yang menempuh perjalanan itu, empat di
antaranya sudah pernah melakukannya.
Beberapa saat lamanya mereka
masih menyusuri jalan di Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang sudah
mendengar bahwa Ki Demang akan pergi ke Menoreh yang mereka jumpai, mengucapkan
juga beberapa ucapan selamat jalan, sedang satu dua orang yang masih belum
jelas bertanya, “Apakah Ki Demang akan menempuh perjalanan jauh?”
“Ya,” jawab Ki Demang.
“Jadi benar kata orang bahwa
Ki Demang akan pergi ke Menoreh?”
“Ya.”
“Sebuah perjalanan yang jauh
dan berbahaya. Ki Demang akan melintasi hutan yang penuh dengan binatang buas.”
Demang mengerutkan keningnya.
Yang dikatakan orang ini agak berbeda dengan yang pernah diucapkan oleh orang
lain. Yang terdahulu selalu memperingatkan, agar kelompok kecil yang bersamanya
pergi ke Menoreh itu berhati-hati menghadapi penyamun, perampok, atau
sekelompok orang-orang yang sekedar ingin mengacau dan membendung orang-orang
yang mengalir ke Mataram dan sebangsanya. Tetapi yang seorang ini
memperingatkan agar mereka berhati-hati terhadap binatang buas. Namun sambil
tersenyum Ki Demang berkata, “Tentu. Kami akan berhati-hati menghadapi apa dan
siapa pun.”
“Alas Mentaok adalah sarang
binatang buas,” katanya. “Ada lebih dari lima jenis harimau yang hidup di hutan
itu. Dan yang tidak kalah ganasnya adalah anjing hutan. Meskipun seekor demi
seekor anjing hutan itu tidak begitu berbahaya, tetapi jika mereka datang dalam
kelompok yang terdiri dari puluhan dan bahkan ratusan ekor, maka sebenarnyalah
kalian bertemu dengan bahaya maut.”
“Kami dapat memanjat,” jawab
Ki Demang.
“Kuda-kuda kalianlah yang akan
tinggal menjadi kerangka tidak lebih dari seratus hitungan.”
Ki Demang mengerutkan
keningnya. Namun Kiai Gringsing-lah yang menyahut, “Mudah-mudahan kami tidak
bertemu dengan segerombolan anjing hutan yang berbahaya itu.”
“Mudah-mudahan. Anjing hutan itu
sama sekali tidak dapat didekati. Sekelompok banteng pun akan menepi jika
mereka menyadari bahwa mereka berada di dalam lingkungan anjing-anjing hutan,
meskipun anjing-anjing hutan itu tidak menyerang mereka.”
“Terima kasih,” Ki
Sumangkar-lah yang kemudian menyahut.
Ketika mereka melanjutkan
perjalanan, maka tampak wajah Ki Demang agak berkerut, sehingga sambil
tersenyum Kiai Gringsing berkata, “Peringatan yang baik. Tetapi kita tidak
perlu cemas. Anjing-anjing hutan yang liar itu hidup beberapa tahun yang
lampau, sebelum Mentaok dihuni oleh hantu-hantu yang menakut-nakuti orang-orang
Mataram yang membuka hutan itu. Hantu-hantu itu agaknya mempunyai cara yang
baik untuk membunuh anjing-anjing liar itu, sehingga jumlahnya cepat sekali
susut.”
“Bagaimana cara mereka
membunuh anjing-anjing liar itu?” bertanya Ki Demang.
“Dengan racun. Mereka adalah
orang-orang yang ahli dalam hal bermain-main dengan racun. Seekor lembu
dilumuri racun hampir diseluruh tubuhnya. Kemudian lembu itu di lepaskan di
antara anjing-anjing liar. Nah, sekaligus mereka dapat membunuh berpuluh-puluh
anjing liar itu.”
Ki Demang Sangkal Putung itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan wajahnya yang mulai berkerut itu
pun menjadi cerah kembali.
Dalam pada itu kuda mereka
berjalan terus. Semakin lama semakin jauh meninggalkan Kademangan Sangkal
Putung.
Di perjalanan itu Ki Demang
justru merasa dirinya sebagai anak-anak yang berjalan di antara pemomongnya.
Meskipun di antara mereka terdapat anaknya yang masih muda dan Agung Sedayu,
namun ia merasa bahwa mereka itu adalah pelindung-pelindingnya yang baik. Ia
merasa bahwa ia adalah orang yang paling lemah di antara sekelompok kecil
orang-orang yang akan pergi ke Menoreh itu.
Demikianlah mereka berjalan
terus. Dengan mengendarai kuda, mereka maju lebih cepat daripada berjalan kaki.
Tetapi apabila mereka sampai ke daerah-daerah yang berhutan lebat, maka mereka
akan maju lebih lambat daripada jika mereka tidak membawa kuda. Di dalam hutan
yang lebat, kuda bukannya tunggangan. Bahkan kadang-kadang kuda merudang
menikmati bekal mereka.
Namun selagi mereka masih
berada di luar hutan, maka perjalanan mereka sama sekali tidak terhambat. Kuda
mereka berlari kencang, seakan-akan berpacu dengan matahari yang semakin lama
menjadi semakin tinggi.
Ketika matahari mencapai
nuncak langit, maka mereka pun beristirahat sejenak. Mereka memberi kesempatan
kepada kuda mereka untuk makan rumput yang hijau, sedang
penunggang-penunggangnya pun duduk di bawah pohon yang rindang menikmati bekal
mereka.
Selagi mereka duduk sambil
menyuapi mulut mereka, mereka melihat seseorang datang mendekat. Dengan
ragu-ragu orang itu bertanya, “Apakah Ki Sanak sedang dalam perjalanan?”
Ki Demang yang duduk di paling
tepi menjawab, “Ya, kami sedang dalam perjalanan.”
“Apakah Ki Sanak akan
menyeberang hutan Tambak Baya dan Mentaok?”
Ki Demang menjadi ragu-ragu
sejenak, lalu dipandanginya Kiai Gringsing yang duduk di sampingnya
“Kami akan pergi ke Menoreh Ki
Sanak,” jawab Kiai Gringsing.
“O, apakah kalian tidak akan pergi
ke Mataram yang sekarang sedang tumbuh?”
Kiai Gringsing menggeleng.
“Sayang,” desisnya.
“Kenapa?”
“Aku ingin pergi ke Mataram.”
“Kenapa kau tidak pergi?”
“Aku menunggu beberapa orang
yang akan bersama-sama menyeberangi Alas Tambak Baya ini.”
“Kenapa harus menunggu?”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Jalan terlampau berbahaya. Jika kita ingin menyeberangi
hutan, biasanya beberapa orang pergi bersama.”
“Siapakah yang mengatakan
kepada Ki Sanak?”
“Orang-orang yang tinggal di
sebelah hutan itu. Jika Ki Sanak singgah pada sebuah warung, maka orang-orang
itu akan memberitahukan kepada Ki Sanak.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Jika Ki Sanak ingin pergi
bersama dengan kami sampai ke seberang Alas Tambak Baya, kami tidak
berkeberatan sama sekali. Tetapi selanjutnya Ki Sanak pergi sendiri ke
Mataram.”
“Aku tidak berani.”
“Jika demikian, kami akan
mengantar Ki Sanak sampai ke Mataram. Kami akan singgah di Mataram sejenak.”
Tiba-tiba saja orang itu
menjadi ragu-ragu. Lalu katanya, “Apakah Ki Sanak siap menghadapi kemungkinan
yang dapat terjadi di perjalanan?”
“Apakah yang mungkin terjadi?”
“Perampokan.”
“Kami tidak membawa apa-apa.
Mungkin bekal makan kami inilah yang akan dirampoknya. Nasi jagung dan gembrot sembukan.
Selebihnya tidak ada.”
Orang itu mengerutkan
keningnya. Katanya, “Kuda kalian adalah kuda-kuda yang tegar.”
“Kuda padesan. Sekedar dapat
menyambung perjalanan.”
Orang itu masih ragu-ragu.
Namun kemudian ia menggeleng, “Tidak usah, Ki Sanak. Aku tidak akan mengganggu
Ki Sanak. Silahkan berjalan terus ke Menoreh.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Tetapi katanya kemudian, “Sebenarnya arah perjalanan kami
masih belum pasti. Kami mungkin akan langsung pergi ke Menoreh, tetapi ada juga
niat kami pergi ke Mataram.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Tetapi di mana bekal
dan barang-barang Ki Sanak disimpan?”
“Ada diwarung itu. Di pinggir
Alas Tambak Baya.”
“Kenapa Ki Sanak ada di sini?
Kenapa Ki Sanak tidak menunggu saja di pinggir hutan itu?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak, namun kemudian jawabnya, “Aku sedang berjalan-jalan di sini ketika aku
melihat kalian berhenti dan beristirahat di sini.”
“O,” Kiai Gringsing
mengangguk-angguk, “jika Ki Sanak berubah pendirian dan ingin pergi bersama
kami, beritahukan hal itu kepada kami.”
“Apakah kalian akan berjalan
terus?”
“Ya. Kami akan bermalam di
seberang Alas Tambak Baya jika kami dapat mencapainya.”
“Tetapi kemana sebenarnya
kalian akan pergi?”
“Kami belum tahu. Mungkin kami
dapat berganti haluan dengan tiba-tiba.”
“Tetapi kalian tentu mempunyai
rencana.”
“Rencana kami masih belum
pasti. Tetapi jika kau akan pergi bersamaku, kami akan memastikan rencana kami.
Kami pergi ke Mataram, karena kami mempunyai saudara yang tinggal di sana.”
Orang itu menjadi
termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Terima kasih. Pergilah ke Menoreh. Aku
akan menunggu orang lain.”
Kiai Gringsing tidak segera
menyahut. Dipandanginya orang itu tajam-tajam, sehingga ketika tatapan mata
mereka beradu, orang itu memalingkan wajahnya.
“Kenapa kau tiba-tiba
mengurungkan niatmu pergi bersama kami?” bertanya Kiai Gringsing.
“Aku tidak mau mengganggu
kalian, selamat jalan.”
Orang itu tidak menunggu Kiai
Gringsing menjawab. Tetapi ia pun segera meninggalkannya. Namun ia sama sekali
tidak pergi ke padesan di pinggir hutan Tambak Baya.
Sepeninggal orang itu Ki
Demang di Sangkal Putung berkata, “Aku menjadi bingung. Orang itu pun agaknya
menjadi bingung mendengar keterangan Kiai.”
Kiai Gringsing memandang orang
yang semakin lama menjadi semakin jauh itu. Gumamnya kemudian seakan-akan
kepada diri sendiri, “Aku menjadi curiga kepadanya.”
“Kenapa Kiai menjadi curiga?”
“Mula-mula hanya sekedar
firasat, tetapi semakin lama aku melihat tanda-tanda itu. Kenapa ia tidak mau
pergi bersama kami ke Mataram?”
“Mungkin ia menjadi curiga
juga kepada Kiai, karena tiba-tiba saja Kiai berputar haluan.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Mungkin aku terlampau berprasangka, Tetapi
mudah-mudahan orang itu sama sekali tidak berniat buruk.”
“Ia seorang diri.”
“Seharusnya ia tidak berada di
sini, tetapi di padesan itu. Tetapi mungkin juga ia mempunyai beberapa orang
kawan yang menunggui barang-barangnya.”
“Marilah kita pergi ke padesan
itu,” tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyela. “Di sana ada orang yang menjual
makanan, barangkali kita dapat membeli tambahan bekal di perjalanan.”
Kiai Gringsing merenung
sejenak, lalu, “Baiklah. Kita pergi ke padesan yang kecil itu.”
Demikianlah mereka pun segera
pergi kepadesan itu. Dilihatnya beberapa orang duduk di sebuah gardu. Tetapi
mereka adalah orang-orang yang beristirahat setelah bekerja di sawah, ternyata
dari alat-alat yang masih ada pada mereka.
“Hanya ada sebuah warung
kecil,” berkata Ki Sumangkar, “agaknya jalan ini memang sepi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Marilah kita membeli bekal.”
“Bekal kita sudah cukup,”
berkata Ki Demang.
“Sekedar berbicara dengan
penjual itu.”
“Baiklah. Aku menunggu di
sini.”
Kiai Gringsing dan
Sumangkar-lah yang kemudian mendekat. Sambil membeli beberapa macam makanan Ki
Gringsing berkata, “Apakah jalan ini menjadi sepi sekarang?”
“Ya, Ki Sanak,” jawab penjual
makanan yang sudah agak lanjut itu, “jalan sangat sepi.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
menurut pendengaranku jalan sekarang menjadi tidak aman. Banyak orang yang
terpaksa melepaskan barang-barangnya karena mereka tidak mau kehilangan
nyawanya.”
“Perampok?”
Orang itu menarik nafas
dalam-dalam.
Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar berpandangan sejenak. Ternyata apa yang mereka dengar selagi mereka
masih di Sangkal Putung itu tidak jauh dari keadaan yang sebenarnya. Bagi Kiai
Gringsing, perampokan yang terjadi itu bukan semata-mata untuk mendapatkan
barang-barang dan kekayaan, tetapi tentu suatu usaha untuk memisahkan Mataram
dari lingkungan disekitarnya.
“Tetapi apakah masih ada orang
yang kadang-kadang lewat?”
“Ya, kadang-kadang. Beberapa
orang kadang-kadang berkumpul di sini. Mereka membentuk semacam kelompok kecil
untuk menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian masuk ke Alas Mentaok yang
sedang dibuka itu.”
“Kau tahu segala-galanya,”
berkata Ki Sumangkar.
Orang itu mengerutkan
keningnya. Lalu suaranya menjadi terputus-putus, “Tidak. Aku tidak tahu
apa-apa.”
Tetapi Sumangkar tersenyum,
“Jangan takut. Aku bukan ingin menakut-nakutimu. Tetapi apakah di dalam
kelompok-kelompok kecil orang tidak takut dirampok? Bagaimana jika perampoknya
berjumlah besar?”
“Kadang-kadang ada prajurit
Mataram yang datang kemari. Hampir setiap tiga hari, sehingga orang-orang itu
sabar menunggu. Jika ada prajurit Mataram datang menyongsong mereka, maka
mereka pun pergi dengan aman ke Mataram. Tetapi akhir-akhir ini sering timbul
kerusuhan tidak di tengah-tengah hutan, tetapi di sekitar tempat ini.”
“Maksudmu perampok-perampok
itu datang kemari?”
Orang itu tidak segera
menjawab. Tetapi dipandanginya kedua orang yang berdiri di muka barang-barang
dagangannya itu. Sekali-sekali ia memandang Ki Demang, Agung Sedayu yang
berdiri beberapa langkah dari tempatnya sambil memegangi kuda.
“Tetapi siapakah kalian?”
bertanya penjual makanan itu.
“Yang berdiri itu adalah
Demang Sangkal Putung,” sahut Kiai Gringsing, “jangan takut. Kami hanyalah
sekedar lewat.”
“Ya. Aku dapat mengenal dari
wajah dan sikap kalian, bahwa kalian bukan dari golongan mereka. Tetapi ….”
orang itu tidak melanjutkan kata-katanya.
“Apakah kau melihat seseorang
yang kau curigai?”
Orang itu tidak menyahut.
Tetapi diedarkannya pandangan matanya berkeliling.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
mengikuti arah pandangan mata orang itu. Tetapi mereka tidak melihat seseorang
pun.
“Dinding-dinding sekarang
mempunyai telinga,” berkata orang itu, “aku tidak berani mengatakan apa pun.”
“Jangan takut. Tidak ada orang
lain yang mendengar.”
Orang itu masih ragu-ragu.
Lalu, “Apakah Ki Sanak yakin?”
“Ya. Aku yakin, tidak ada
orang lain yang mendengar.”
“Tetapi siapakah sebenarnya Ki
Sanak berdua?”
“Kami adalah saudara-saudara
Ki Demang. Kami adalah paman-pamannya.”
“Dan kedua anak-anak muda
itu?”
“Yang seorang anaknya, yang seorang
kemanakannya.”
“Kalian tinggal di Sangkal
Putung?”
“Ya.”
“Baiklah. Aku ingin mengiakan
pertanyaan Ki Sanak. Para perampok itu kadang-kadang datang kemari, karena
semakin sedikit orang yang lewat menyeberang hutan Tambak Baya dan hutan
Mentaok.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu bertanya, “Apakah hari ini tidak ada
seorang pun yang akan menyeberang hutan ini?”
“Ada seorang. Ia menunggu
kawan.”
“Di mana ia sekarang. “
“Berjalan-jalan. Ia sangat
gelisah karena belum ada kawan yang akan pergi bersamanya.”
“Bukankah sering ada
pengawal-pengawal Mataram yang kau sebut sebagai prajurit-prajurit itu?”
“Ia menjadi gelisah karena
perampok-perampok itu sekarang tidak sekedar menunggu, tetapi mereka
menyongsong korban-korban mereka kemari.”
Kiai Gringsing menjadi
gelisah. Dipandanginya Sumangkar dengan wajah yang tegang. Lalu, “Jadi, jadi
mereka akan datang kemari.”
“Ya.”
“Kalau begitu aku tidak akan
beristirahat di sini. Aku akan pergi seperti orang itu. Atau sebaiknya aku
kembali saja ke Sangkal Putung.”
“Kenapa kembali?”
“Aku tidak dapat menyediakan
diri untuk dibantai oleh para perampok.”
“Bukankah kalian akan pergi ke
Mataram?”
“Tidak, kami belum pasti pergi
ke Mataram. Mungkin ke Mataram, mungkin ke Menoreh.”
“Kenapa?”
Kiai Gringsing yang gelisah
menggeleng, “Tetapi aku kira kita tidak akan pergi ke mana-mana.”
Penjual makanan itu tiba-tiba
tersenyum, katanya, “Kenapa kalian menjadi ketakutan?”
Sumangkar yang gemetar
berkata, “Kita kembali saja.”
Tetapi orang setengah tua di
belakang barang-barang jualannya itu tertawa. Katanya, “Kalian tidak usah
takut.”
“Kenapa?”
“Aku tahu jalan yang paling
baik yang dapat kau lalui.”
“Maksudmu?”
“Jalan yang jarang-jarang
dilalui orang, tetapi justru karena itu kalian tidak akan menjumpai seorang
perampok pun. Mereka tidak akan telaten duduk berhari-hari tanpa mendapatkan
seorang korban pun.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi, ada jalan yang Ki Sanak
anggap tidak akan ada seorang perampok pun yang mengganggu perjalanan kami?”
“Ya.”
“Tetapi jalan itu menuju ke
Menoreh atau ke Mataram?”
“Kedua-duanya. Kau dapat
menempuh jalan itu, kemudian kau dapat memilih jika kalian sampai pada sebuah
jalan simpang setelah kalian melewati Alas Tambak Baya.
“Maksudmu jalan itu adalah
jalan lurus satu-satunya sehingga kami akan menjumpai jalan simpang?”
“Ya.”
“Terima kasih. Kami harus
segera pergi.”
“Ya. Kalian harus segera
berangkat sebelum perampok-perampok itu datang.”
“Kapankah kira-kira para
pengawal dari Mataram itu akan datang kemari?”
“Baru kemarin mereka datang,
tiga hari lagi paling cepat. Mungkin lebih lagi, karena jalan semakin sepi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sejenak ia memandang beberapa orang yang ada di
gardu. Seorang di antaranya ternyata memperhatikannya baik-baik. Tetapi Kiai
Gringsing tidak menghiraukannya.
“Jika demikian kami akan
segera pergi. Terima kasih atas petunjuk Ki Sanak. Tetapi jalan manakah yang
akan kami tempuh?”
“Melingkarlah. Lewat di
belakang padukuhan ini kalian akan sampai jalan sempit yang menjelujur masuk ke
dalam hutan. Jalan itulah yang akan kalian lalui.”
“Tetapi jalan itu justru
menjauhi arah yang kami tuju. Jalan itu menuju ke utara, baru ke barat.”
“Tetapi setelah masuk ke dalam
hutan, jalan itu akan melingkar ke selatan. Memang ada simpang empat pada
persilangan jalan itu dengan jalan yang biasa dilalui orang, tetapi kalian
dapat berhati-hati dan dengan menyusup gerumbul-gerumbul perdu, kalian dapat
menyilang jalan yang sering ditunggui para penyamun itu.”
“Baiklah. Terima kasih. Kami
akan segera pergi.”
“Tentu Ki Demang Sangkal
Putung membawa bekal banyak sekali.”