Buku 065
Kedua anak-anak muda itu sama
sekali tidak menyahut. Tetapi keduanya hanya menundukkan kepalanya saja,
meskipun keduanya dapat mengerti, bahwa yang dikatakan oleh gurunya itu memang
bukan sekedar persoalan yang tidak bersungguh-sungguh yang dapat sekedar
didengarkannya sambil berbaring. Namun demikian keduanya tidak dapat segera
menanggapinya.
Tetapi Kiai Gringsing pun
memang tidak memerlukan jawaban. Ia hanya sekedar memberi bahan pertimbangan
bagi anak-anak itu agar dikemukakannya kepada orang tuanya.
Tetapi Swandaru ternyata
bertanya, “Apakah Ayah dan Ibu harus pergi menempuh jarak sejauh itu, Guru?”
“Ya. Terutama ayahmu. Tetapi
karena perjalanan yang sulit, maka agaknya ibumu tidak usah ikut pun tidak akan
menimbulkan persoalan apa pun. Selain Nyai Gede Argapati juga sudah tidak ada
lagi, Ki Gede pun akan menyadari, betapa sulitnya perjalanan seorang perempuan
melintasi Alas Mentaok, yang meskipun sebagian sudah dibuka. Menyeberangi Kali
Opak dan menghadapi kerusuhan yang dapat timbul di sepanjang jalan. Karena
setiap saat dapat tumbuh kelompok-kelompok penyamun yang mengganggu jalan di
daerah yang berhutan-hutan. Apalagi daerah yang semakin ramai, tetapi belum
dilengkapi dengan jalur-jalur jalan yang memadai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia mengerti, bahwa hal itu memang harus dilakukan dan ayahnya pun
harus tidak berkeberatan. Tetapi yang menjadi persoalan kemudian adalah, apakah
dalam keadaan yang semakin gawat, ayahnya dapat meninggalkan Sangkal Putung.
“Tetapi Untara, seorang
senapati yang bertanggung jawab di daerah selatan ini sempat juga memikirkan
kebutuhan manusiawi. Sebagai seorang laki-laki, ia akan sampai juga pada suatu
saat, bahwa ia harus hidup bersama dengan seorang istri,” berkata Swandaru di
dalam hatinya. Namun kemudian, “Tetapi ia tidak perlu meninggalkan tugasnya.”
Tetapi Swandaru tidak
mengatakan persoalan itu. Waktunya masih cukup panjang. Setelah bulan depan.
Setelah Untara benar-benar kawin, sehingga ayahnya akan sempat menghadiri
perkawinan itu.
Demikianlah, ternyata bahwa
Untara tidak sekeras yang dibayangkan oleh Agung Sedayu sebelumnya. Ternyata ia
menerima adiknya dengan baik, setiap Agung Sedayu berkunjung kepadanya bahkan
sekali-sekali bersama-sama dengan Swandaru.
“He, kau masih saja bulat,”
berkata Untara ketika Swandaru datang untuk pertama kalinya ke Jati Anom.
Swandaru tertawa.
“Tetapi kau jadi bertambah
pendek,” Untara meneruskan.
“Mungkin,” jawab Swandaru,
“aku memang bertambah pendek. Tetapi Kakang Untara bertambah tampan. Aku belum
pernah melihat Kakang Untara berpakaian serasi sekarang.”
“Ah.”
“Semakin dekat dengan
hari-hari yang mendebarkan itu, Kakang Untara harus lebih banyak mesu diri.
Berpuasa dan banyak memberi kepada orang lain, agar kelak Kakang Untara
mendapat seorang anak yang seperti dicita-citakan.”
Untara tertawa. Selama di
Sangkal Putung ia mengenal Swandaru sebagai seorang anak muda yang terbuka
hatinya, suka bergurau, tetapi hatinya sekeras batu.
Namun ternyata, hubungan yang
akrab antara Untara dan adiknya, apalagi dengan Swandaru, menimbulkan
ketidak-puasan bagi sebagian perwiranya. Kebencian mereka kepada Agung Sedayu
masih saja melekat di hati mereka. Terutama perwira yang pernah dikalahkan di
dalam perkelahian di tengah sawah oleh Agung Sedayu.
Tetapi Untara adalah seorang
senapati yang sangat berpengaruh bagi mereka, sehingga tidak seorang pun yang
dengan terang-terangan berani menentangnya.
Saat perkawinan Untara itu pun
semakin lama menjadi semakin dekat. Sebagai seorang senapati, maka para perwira
tinggi di Pajang, mau tidak mau harus memperhatikan hari yang penting bagi
jalur kehidupan Untara itu. Karena itu, maka Jati Anom pun untuk beberapa saat
menjadi pusat perhatian bagi pemimpin pemerintahan di Pajang.
Yang akan dirayakan adalah
seorang senapati besar, sedang yang memangku perhelatan yang akan berlangsung
adalah Widura, pengganti ayah ibunya, juga seorang bekas prajurit Pajang yang
namanya dikenal sejak perlawanan yang sangat berat menghadapi tekanan Tohpati
di Sangkal Putung.
Namun dalam pada itu, selagi
orang-orang di Jati Anom sibuk menghadapi hari yang besar bagi Untara, yang
menjadi semakin dekat, Agung Sedayu dan Swandaru yang sedang berada di luar
padukuhannya terkejut, ketika dijumpainya seorang yang berdiri di tengah jalan
menghentikan langkahnya. Menilik pakaiannya, ia bukan orang Sangkal Putung,
bukan pula dari padukuhan di sekitamya. Pakaiannya yang kotor dan kumal
menunjukkan, bahwa ia telah menempuh suatu perjalanan yang jauh. Namun dua
pasang mata yang tajam itu, melihat di balik bajunya, sebilah keris yang
dianggar di lambungnya.
“Bukankah Ki Sanak yang
bernama Agung Sedayu dan Swandaru Geni,” bertanya orang itu.
Agung Sedayu dan Swandaru
tidak segera menyahut. Namun akhirnya hampir berbareng mereka berkata lantang,
“Wanakerti.”
Orang itu membuka tudung
kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Kalian masih mengenal aku.”
Sambil menepuk pundaknya Agung
Sedayu menyahut, “Wajahmu hampir tidak aku kenal karena debu yang melekat.
Tetapi aku tidak lupa warna suaramu.”
Wanakerti tertawa.
“Marilah, datanglah ke
rumahku. Bukankah kau memang mencari kami berdua?”
Wanakerti menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Aku memang mencari kalian berdua. Tetapi aku tidak akan
singgah ke Kademangan Sangkal Putung.”
“Kenapa?”
Wanakerti tidak segera menjawab.
Keragu-raguan membayang pada sorot matanya. Namun kemudian ia berkata, “Apakah
aku masih berhadapan dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang dahulu.”
Kedua anak muda itu
mengerutkan keningnya. Yang menyahut adalah Agung Sedayu, “Kaulah yang terasa asing
bagiku. Kenapa tiba-tiba saja kau bertanya demikian?”
Wanakerti tersenyum. Jawabnya
kemudian, “Jika demikian, kalian masih tetap Agung Sedayu dan Swandaru yang aku
kenal dan yang dikenal baik oleh Raden Sutawijaya.”
“Kau mengemban tugas dari
Raden Sutawijaya?” Agung Sedayu langsung menyentuh persoalan yang dibawa oleh
Wanakerti.
Wanakerti menganggukkan
kepalanya.
“Apakah kau akan mengatakan
kepadaku?”
“Ya. Hanya Agung Sedayu-lah
yang dapat menjawabnya dengan tepat jika dikehendakinya.”
“Kau aneh,” desis Agung
Sedayu.
“Maksudku, aku hanya ingin
berhati-hati.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia mencoba mengerti, kenapa Wanakerti menjadi sangat
berhati-hati terhadapnya setelah ia berada di Sangkal Putung.
“Baiklah,” berkata Agung Sedayu,
kemudian, “aku akan menjawab pertanyaan-pertanyaanmu kalau aku mengerti.”
“Kau tentu mengerti,”
Wanakerti tersenyum.
Agung Sedayu mencoba tersenyum
pula betapa pun hambarnya.
“Agung Sedayu,” berkata
Wanakerti, “aku hanya ingin mendapat kepastian, apakah Untara benar-benar akan
kawin?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Namun ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menjawab, “Kau
tentu sudah mendengarnya.”
“Ya. Aku memang mendengar
cerita, bahwa Untara akan segera kawin. Karena itu aku akan meyakinkannya.”
“Kau terlampau teliti.
Maksudku Raden Sutawijaya.” Agung Sedayu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya kemudian, “Kau tentu sudah mendapat bahan yang lengkap dari hari
perkawinan itu.”
“Aku memang harus mendapat
bahan yang lengkap. Jika aku kembali ke Mataram, aku harus memberikan perincian
yang sekecil-kecilnya dari perkawinan itu. Dan aku mengharapkan dapat memenuhi
tugas itu. Karena itu, aku menemuimu.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya.
“Bagiku kau adalah seorang
yang paling dekat dengan Untara, dan kau adalah orang yang sudah aku kenal dan
mengenal aku dan Raden Sutawijaya.”
“Apakah yang sebenarnya ingin
kau ketahui? Hari perkawinannya atau siapakah istrinya?”
“Kedua-duanya, dan kenapa
Untara kawin dengan putri Rangga Parasta?”
“O, jadi kau sudah tahu,
dengan siapa Kakang Untara akan kawin?” Aku juga sudah mendengar, bahwa istri
Kakang Untara bernama Tundunsari, putri Rangga Parasta. Tetapi aku tidak tahu
apakah sebabnya? Menurut paman Widura, istri Kakang Untara sebaiknya adalah
seorang gadis yang mengerti tentang Kakang Untara, sabar, dan luruh. Menurut
pendapatku, Tundunsari memenuhi syarat itu, sehingga agaknya Paman Widura-lah
yang telah menghubungkannya.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian ia bertanya, “Memang mungkin suatu kebetulan. Tetapi Rangga
Parasta adalah salah seorang yang tidak pernah sesuai jalan pikirannya dengan
Ki Gede Pemanahan, hampir di segala hal.”
“Ah,” desis Agung Sedayu dan
Swandaru hampir berbareng. “Tanggapan itu agaknya sudah terlampau jauh,” sahut
Agung Sedayu
“Barangkali Kakang Untara
tidak pernah memikirkannya,” sambung Swandaru.
“Memang mungkin sekali. Untara
mungkin tidak pernah memikirkan hal itu. Tetapi siapakah yang menempatkan
Untara pada tempat yang akan menjadi pusat persoalan itulah yang ingin aku
ketahui.”
Agung Sedayu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Itu pun tidak ada hubungannya
apa-apa. Tentu Paman Widura yang menjadi penghubung. Mungkin Paman Widura sama
sekali tidak menghiraukan persoalan-persoalan semacam itu.”
Wanakerti tersenyum. Katanya,
“Widura adalah bekas seorang pemimpin prajurit Pajang.”
“Jadi kau menyangka, bahwa
bukan saja kebetulan kalau Paman Widura memilih Tundunsari bagi istri Kakang
Untara?”
“Mungkin bukan Widura sendiri.
Aku sangka pasti ada perantara yang lain yang telah mempertemukan Widura dengan
Rangga Parasta.”
“Aku tahu. Paman Widura
mengenal Rangga Parasta dengan baik. Mungkin dalam suatu kunjungan atau dalam
suatu pembicaraan masalah itu tersentuh, sehingga terbukalah jalan bagi persoalan
itu untuk seterusnya.”
Wanakerti mengangguk-angguk.
Katanya, “Memang mungkin. Tetapi kemungkinan yang aku katakan, bukan mustahil.
Seseorang yang ingin menyeret langsung Untara ke dalam persoalan yang gawat ini
dengan mempergunakan hubungan yang paling erat di dalam hidup seseorang. Kau
tentu sudah tahu, bahwa banyak prajurit yang tidak senang melihat perkembangan
Mataram. Mereka merindukan Pajang yang besar. Tetapi mereka kehilangan harapan
karena sifat Sultan Pajang yang dengan perlahan-lahan telah berubah dari
perjuangan yang gigih untuk mencapai cita-citanya kepada kemukten yang
berlebih-lebihan sekarang ini. Namun mereka tidak ingin melihat orang lainlah
yang akan dapat meneruskan perjuangan Pajang untuk mencapai kebesarannya,
meskipun pusat pemerintahan itu kelak akan berganti nama.”
“Ki Wanakerti,” bertanya Agung
Sedayu, “apakah kira-kira demikian juga yang dikatakan oleh Raden Sutawijaya,
jika aku langsung menjumpainya?”
Tiba-tiba saja wajah Wanakerti
menegang. Namun sejenak kemudian ia tertawa, “Memang mungkin tidak tepat
seperti yang aku katakan. Agaknya kau memang seorang anak muda yang tangkas.
Kau agaknya menangkap sikapku sendiri terselip di antara kata-kataku. Namun
demikian, sikap Raden Sutawijaya tidak akan jauh berbeda.”
“Kau sudah mengambil
kesimpulan, Ki Wanakerti,” berkata Swandaru. “Agaknya Raden Sutawijaya belum
mengambil kesimpulan sejauh itu.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Aku keliru. Ternyata aku berbicara dengan murid-murid
Truna Podang. Tetapi pada dasarnya, tugas itu memang harus aku jalankan.”
“Aku percaya, bahwa Raden
Sutawijaya ingin mendapat bahan pertimbangan tentang perkawinan Kakang Untara
dengan Tundunsari. Tetapi belum mengambil sikap seperti yang kau katakan.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ia berhadapan dengan anak-anak muda yang
berpikir dengan tangkas, seperti ketangkasan mereka dalam olah kanuragan.
Karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan surut beberapa langkah.
Aku akan membatasi pertanyaanku dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama.
Apakah perkawinan Untara dengan putri Rangga Parasta itu hanya suatu kebetulan
atau ada seseorang yang sengaja menjerat Untara ke dalam suatu sikap yang keras
terhadap Mataram?”
“Ki Wanakerti,” berkata Agung
Sedayu, “aku yakin, bahwa Kakang Untara bukan anak-anak lagi. Ia adalah seorang
senapati yang sudah dewasa. Senapati yang mempunyai sikap yang masak. Jika ia
sudah menempatkan dirinya di bawah perintah Sultan Pajang, ia akan menjalankannya,
menjadi atau tidak menjadi menantu Rangga Parasta. Tetapi kalau Kakang Untara
bersikap lunak terhadap Mataram, ia akan tetap bersikap demikian. Jika kemudian
ada perkembangan sikapnya, itu sama sekali bukan karena ia memperistri putri
Rangga Parasta, tetapi itu adalah perkembangan nalarnya sendiri.”
Ki Wanakerti
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, “Ya, aku mengerti. Tetapi kalian
tidak boleh mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan
kita. Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian tidak menyadari betapa
pentingnya. Kau lihat, apa yang terjadi dengan Sultan Pajang sekarang ini?”
“Kau berkata lagi tentang
sikapmu sendiri.”
“O, maaf. Tetapi baiklah.
Mudah-mudahan tanggapanmu terhadap Untara tepat. Kau adalah adiknya dan kau
pasti mengenal sifat-sifatnya.”
“Aku yakin. Demikian juga
sikap Paman Widura.”
Wanakerti mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Jadi tepatnya kapan Untara akan kawin?”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak. Mereka tampak ragu-ragu untuk menjawab.
“Aku tidak akan berbuat
apa-apa,” berkata Wanakerti. “Juga Raden Sutawijaya tidak akan berbuat apa-apa.
Kami hanya ingin tahu. Maaf, apakah perkawinan inilah yang sebenarnya
meningkatkan kesibukan pasukan Pajang di Jati Anom?”
“O,” Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku mengerti. Baiklah. Perkawinan akan
berlangsung sepuluh hari lagi. Tentu kehadiran para prajurit di Jati Anom
adalah karena perkawinan Kakang Untara. Bukan karena perkawinan itu sekedar
sebagai alasan yang tersamar untuk meningkatkan kegiatan para prajurit Pajang
yang sedang menghadapi Mataram, atau katakanlah, bahwa selagi Untara kawin,
pasukan yang sudah dipersiapkan akan maju mendekat ke Mataram, bahkan lebih
jelek lagi dari itu, menyerang Mataram.”
Wajah Wanakerti menegang
sejenak. Namun sekali lagi ia tersenyum dan berkata, “Terima kasih.
Beruntunglah, bahwa aku berbicara dengan anak-anak muda yang dewasa. Aku kira
bahan-bahan yang harus aku kumpulkan untuk sementara sudah cukup.”
“Apakah Ki Wanakerti benar-benar
tidak akan singgah ke rumahku?” bertanya Swandaru.
“Terima kasih. Lain kali aku
akan singgah. Sekarang aku harus secepatnya kembali. Raden Sutawijaya menunggu
keteranganku.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun Swandaru masih juga berkata, “Ki
Wanakerti. Guru, eh maksudku Ki Truna Podang akan senang sekali menerimamu,
jika kau mau singgah.”
“Maaf, sampaikan kepada Kiai
Gringsing, bukankah gurumu bernama Kiai Gringsing?” sahut Wanakerti. “Bahkan
kali ini aku tidak akan dapat singgah.”
“Sayang sekali. Jika Ki
Wanakerti dapat bertemu, maka setidak-tidaknya Guru akan teringat kepada hutan
yang lebat itu dan mungkin kau akan mendengar pertanyaannya, bagaimana sikapmu
dan sikap Raden Sutawijaya terhadap Pangeran Benawa.”
“Ah,” sekali lagi wajah
Wanakerti menegang. Tetapi ia pun tersenyum pula sambil berkata, “Pangeran
Benawa adalah seorang yang baik menurut Raden Sutawijaya. Terlalu baik.” Namun
kemudian Wanakerti berkata, “Sudahlah. Lain kali kita berbicara banyak tentang
Pajang, tentang Sultan Adiwijaya, tentang Pangeran Benawa.”
“Dan tentang Raden Sutawijaya
sendiri,” potong Agung Sedayu.
“Ya, tentang Raden Sutawijaya
sendiri,” Wanakerti mengangguk-angguk. “Sekarang aku minta diri. Aku menunggu
kalian sejak pagi di bawah pohon randu itu. Aku yakin, bahwa suatu saat kalian
akan keluar dari padukuhan.”
“Kebetulan sekali. Bagaimana
kalau aku tidak keluar juga?”
“Terpaksa sekali aku berjalan
melalui regol kademangan. Tetapi aku memang tidak ingin singgah. Maaf. Sekarang
aku minta diri.”
“Apakah kau tidak membawa
tunggangan?”
Wanakerti tidak menjawab,
tetapi ia tersenyum.
Agung Sedayu dan Swandaru
tersenyum. Bahkan Swandaru berkata, “Aku tahu, kau sembunyikan kudamu, atau
seseorang menunggumu di tempat lain sambil menunggui kudamu. Apakah kau
sekarang menjadi petugas sandi dari Mataram?”
“Ah,” Wanakerti berdesis.
Tetapi ia tidak menjawab selain senyumnya yang masih saja tampak di bibir.
“Hati-hatilah. Jangan kau
sesorah di simpang empat, ‘inilah petugas sandi dari Mataram,’ supaya
orang-orang itu tahu bahwa kau seorang petugas sandi.”
“Ah,” Agung Sedayu-lah yang
kemudian menggamit Swandaru.
“Terima kasih,” berkata
Wanakerti sambil masih saja tersenyum. “Aku minta diri.”
Demikianlah, maka Wanakerti
pun segera meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru yang masih termangu-mangu
untuk sesaat. Namun ketika Wanakerti menjadi semakin jauh, maka Agung Sedayu
pun berkata, “Marilah kita kembali. Kita beritahukan kedatangannya kepada
guru.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia masih memandang Wanakerti yang berjalan semakin lama seakan-akan
menjadi semakin cepat. Desisnya, “Di mana kudanya ditinggalkan?”
“Tentu agak jauh. Tetapi
biarlah. Kita sekarang menemui guru.”
Keduanya pun kemudian segera
kembali ke Kademangan. Yang pertama-tama mereka beritahu tentang kehadiran
Wanakerti adalah Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya, Kiai Gringsing kemudian berkata, “Ternyata ketegangan yang ada
antara Mataram dan Pajang semakin lama semakin meningkat, meskipun masih belum
sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Tetapi agaknya Mataram pun selalu
bercuriga seperti juga para prajurit di Pajang.”
“Setiap orang membuat
terjemahan sendiri mengenai keadaan yang berkembang,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Sumangkar pun berkata, “Mungkin sekedar
suatu sikap berhati-hati.”
“Ya,” berkata Swandaru,
“tetapi agak berlebih-lebihan.”
Kedua orang tua itu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka memang membayangkan hubungan batin yang
semakin renggang telah terjadi antara Sultan Pajang dengan putra angkatnya,
Raden Sutawijaya. Keduanya tidak dapat menemukan jalan yang menghindarkan
mereka dari ketegangan itu.
“Tetapi Mataram tidak akan
berbuat sesuatu lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing. “Kecuali Mataram memang
belum siap, aku kira para pemimpin di Mataram masih menaruh hormat kepada
Sultan Pajang, meskipun ternyata mereka tidak lagi dapat bekerja bersama.”
Kedua muridnya
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka pun berpendapat, bahwa Sutawijaya tidak
akan mengambil sikap yang keras terhadap Pajang jika tidak terpaksa.
Namun mereka pun sadar, bahwa
yang menentukan bukan saja Sutawijaya. Orang-orang yang langsung berada di
lingkungan keprajuritan dapat memancing suasana, sehingga pada suatu saat,
tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh selain kekerasan.
Demikian juga agaknya para
prajurit Pajang. Mereka tidak ingin menunggu Mataram menjadi kuat. Bahkan
beberapa orang di antara mereka berpendapat, Mataram harus dihancurkan segera
sebelum berkembang.
Tetapi pemimpin tertinggi dari
kedua daerah yang semakin lama menjadi semakin jauh itu masih selalu mencoba
mengekang diri, agar mereka tidak terperosok ke dalam pertentangan yang semakin
dalam.
Meskipun demikian, Kiai Gringsing
dan murid-muridnya serta Ki Sumangkar tidak menganggap perlu menyampaikan hal
itu kepada Untara. Dengan demikian akan dapat menimbulkan ketegangan perasaan
justru menjelang hari perkawinannya. Karena mereka berpendapat, Mataram tidak
akan berbuat kasar.
Namun demikian, memang mungkin
sekali ada orang yang berusaha memancing di air keruh, atau sengaja menimbulkan
kesan tentang hubungan yang semakin jelek antara Pajang dan Mataram.
Orang-orang yang licik seperti Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak, dapat saja
berbuat sesuatu yang dapat menumbuhkan kesan seakan-akan pihak-pihak yang
sedang dibakar oleh ketegangan itulah yang telah berbuat. Bahkan mungkin
orang-orang Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak yang kecewa atas kegagalan
mereka, sengaja membuat keributan di sekitar Jati Anom dan menyebut dirinya
orang-orang dari Mataram, sehingga dengan demikian, mereka akan dapat mengambil
keuntungan dari pertentangan yang akan terjadi.
“Apakah kita dapat berbuat
sesuatu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Mungkin kita dapat berbuat
sesuatu,” jawab gurunya. “Dalam saat-saat perkawinan itu, kita pasti akan
hadir. Nah kita dapat berhati-hati menanggapi setiap persoalan. Di tempat itu
tentu akan penuh dengan perwira dari Pajang kawan-kawan Untara. Jika penjagaan
tidak cukup baik, memang mungkin sekali timbul persoalan yang tidak kita
kehendaki dari orang-orang yang sengaja akan mengambil keuntungan dari suasana
yang memburuk itu.”
“Bagaimanapun juga, kita harus
berhati-hati. Kita adalah orang-orang yang berdiri di luar pertentangan itu
sendiri,“ berkata Sumangkar, “sehingga kita dapat memandang persoalannya dari
jarak yang cukup.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang sebaiknya mereka lakukan, dan
mereka pun telah menyediakan diri mereka untuk melihat setiap kemungkinan yang
tidak diharapkan selama perkawinan Senapati Pajang yang berkuasa di daerah
selatan ini berlangsung, apalagi di datam kemelutnya ketegangan yang semakin
memuncak.
Demikianlah, semakin dekat
dengan hari-hari perkawinan, Widura yang akan menjadi orang tua Untara, menjadi
semakin sibuk. Rumahnya menjadi semakin ramai oleh orang-orang yang mulai
menyiapkan segala sesuatu. Dari rumah itulah, Untara akan berangkat ke rumah
mempelai perempuan beberapa hari sebelum hari perkawinan. Dan pada hari yang
kelima, di rumah Widura itulah akan diselenggarakan upacara menerima sepasang
pengantin itu oleh orang tua penganten laki-laki yang akan dilakukan oleh
Widura.
Hari-hari yang menegangkan
adalah justru pada hari kelima. Pada hari upacara sepasaran dan menjemput
pengantin itulah, kemungkinan-kemungkinan dapat terjadi, karena justru rumah
Untara di Jati Anom, sedang mempelai perempuan, putera Rangga Parasta, berada
jauh di belakang garis tegang antara Pajang dan Mataram, karena Rangga Parasta
tinggal di Pengging.
Tetapi Rangga Parasta sendiri
jarang sekali berada di rumahnya. Ia hampir selalu berada di Pajang karena
setiap saat ia diperlukan oleh pimpinan tertinggi pemerintahan di Pajang.
Demikianlah, maka menjelang
keberangkatan Untara ke Pengging beberapa hari menjelang hari perkawinan itu,
Agung Sedayu sudah berada di Jati Anom. Sebagai seorang saudara muda, ia ikut
sibuk menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan. Bahkan Swandaru pun ternyata
bersedia tinggal bersamanya di rumah Widura untuk mengawaninya.
“Kenapa kau tidak tinggal di
rumahmu sendiri?” bertanya Swandaru. “Bukankah rumahmu cukup besar. Bahkan
seandainya Untara merayakan perkawinannya di rumahnya itu pun agaknya pantas
juga, karena rumah itu cukup baik.”
“Ruman itu kini dipergunakan
untuk kepentingan prajurit Pajang. Apalagi Paman Widura yang mewakili ayah dan
ibu minta Untara tinggal di sini. Agaknya Paman Widura ingin sekali-sekali
menyelenggarakan perhelatan, karena anak-anaknya sendiri masih terlalu muda
untuk kawin.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat mengerti, bahwa Untara seorang senapati besar dari Pajang
itu, pasti akan merelakan rumahnya untuk kepentingan para prajurit, meskipun ia
sendiri membutuhkannya.
“Jadi, bagaimana dengan kau
kelak?” tibat-tiba saja Swandaru bertanya.
“Bagaimana dengan aku?”
“Ya, jika kau kawin kelak, dan
rumah itu masih saja ditempati para prajurit.”
“Mereka tidak akan tinggal di
rumah itu untuk selamannya. Aku juga tidak tahu, di mana Kakang Untara akan
tinggal setelah ia kawin. Apakah ia akan tinggal bersama-sama dengan para
perwira itu, atau ia akan tinggal bersama Paman Widura.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
Dalam pada itu, rumah Widura
menjadi semakin sibuk. Untara sudah meninggalkan rumahnya sendiri yang dihuni
oleh para perwira dan tinggal bersama Widura. Tugasnya sehari-hari telah
diserahkannya kepada perwira yang tertua kedudukan dan umurnya. Tetapi hal-hal
yang penting masih tetap ditanganinya sendiri.
“Kau sudah harus mulai
mengurangi makan dan minum,” gurau Swandaru yang juga tinggal bersama Agung
Sedayu di rumah Widura menjelang hari perkawinan itu.
Untara tertawa, jawabnya, “Aku
harus makan dan minum lebih banyak lagi, supaya aku kelihatan agak gemuk. Kalau
kau kelak kawin, maka setahun sebelumnya kau harus sudah mengurangi makan dan
minum supaya kau sedikit ramping karenanya.”
Keduanya tertawa. Agung Sedayu
yang ada di antara mereka pun tertawa pula. Namun di dalam hati Agung Sedayu
melihat perubahan, meskipun perlahan-lahan, pada diri kakaknya. Sebelum
kakaknya bebicara tentang kawin, wajahnya selalu bersungguh-sungguh dan hampir
tidak pernah tersenyum, apalagi tertawa. Tetapi kini ia sudah dapat bergurau.
Tiba-tiba terngiang kata-kata
Wanakerti di telinganya, “Mungkin karena kalian belum kawin sajalah kalian
tidak menyadari betapa pengaruhnya,” dan sebelumnya, “Tetapi kalian tidak boleh
mengabaikan pengaruh seorang perempuan di dalam jalan kehidupan kita.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Belum lagi Untara kawin, pengaruh itu sudah nampak padanya.
Apalagi kelak, jika setiap hari Untara akan bergaul dengan istrinya. Jika
istrinya mempunyai sikap tertentu, sikap itu pasti akan berpengaruh betapapun
kecilnya.
“Tergantung kepada sifat
seorang perempuan,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Ia dapat
berpengaruh baik dan dapat berpengaruh kurang baik, bahkan dapat menjadi
buruk.”
Dan tiba-tiba saja terbersit
suatu pertanyaan di dalam dirinya, “Bagaimana dengan Sekar Mirah?”
Agung Sedayu mencoba untuk
menilai gadis Sangkal Putung itu. Namun sebelum ia menemukan sesuatu padanya,
terdengar Untara berkata, “Aku berterima kasih jika kalian mau tinggal di sini
selama aku berada di Pengging. Menjelang hari kelima setelah hari perkawinan,
Paman Widura pasti sibuk sekali. Apakah kalian bersedia?”
“Tentu,” sahut Swandaru, “aku
senang tinggal di sini, asal dapur Paman Widura masih terus berasap. Tetapi
jika api sudah padam, aku akan segera kembali ke Sangkal Putung.”
Sekali lagi mereka tertawa.
Dan Swandaru pun kemudian berkata, “Guru akan datang juga bersama Ki Sumangkar
pada hari kelima itu. Mereka akan datang bersama ayah, ibu, dan Sekar Mirah.
Mereka akan ikut merayakan upacara ngunduh penganten pada hari kelima itu.”
“Tentu. Paman Widura dengan
resmi sudah mengundang mereka. Tetapi sudah tentu, bahwa mereka tidak akan
datang tepat pada hari sepasaran itu. Kami mengharap mereka datang sehari atau
dua hari sebelumnya.”
“Ayah terlampau sibuk. Tetapi
mungkin Guru dan Ki Sumangkar.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekilas tampak sesuatu membayang di wajahnya, namun ia pun kemudian
tersenyum, “Beberapa orang prajurit akan ikut membantu Paman Widura pula. Jika
tidak, Paman Widura pasti akan terlalu lelah.”
Agung Sedayu dan Swandaru
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka pun dapat menangkap ungkapan yang
terloncat dari keterangan itu. Bahkan rumah ini memang memerlukan pengamanan
yang sebaik-baiknya menjelang hari-hari yang akan menjadi sangat ramai itu.
Para prajurit yang akan berada di halaman rumah ini tentu bukan sekedar
membantu memasang tarub dan membuat pagar-pagar batas di halaman.
Agaknya Untara pun mengetahui,
bahwa Agung Sedayu dan Swandaru yang memiliki ketajaman daya tangkap itu dapat
mengerti maksud kata-katanya, sehingga karena itu, maka Untara pun tersenyum
sambil berkata, “Bukankah Paman Widura memang perlu dibantu?”
“Ya, ya,” sahut Agung Sedayu,
“Paman Widura memang perlu dibantu oleh para prajurit, meskipun anak-anak muda
Jati Anom cukup banyak yang pandai memasang tarub.”
Untara tertawa. Agung Sedayu
dan Swandaru pun tertawa pula.
“Itulah sulitnya,” berkata
Untara kemudian. “Sebenarnya aku lebih senang hidup dalam suasana yang wajar.
Jika kalian kawin, tidak banyak orang akan mempersoalkan. Dan sudah barang
tentu tidak banyak orang yang berniat untuk berbuat sesuatu. Tetapi itulah
kesulitanku. Aku harus memperhatikan banyak segi yang mungkin dapat terjadi.”
“Itu pun wajar,” sahut
Swandaru, “setiap persoalan mempunyai neracanya masing-masing. Ada yang baik,
ada yang buruk. Ada yang menguntungkan, ada yang justru merepotkan. Demikian
juga yang akan terjadi dengan Kakang Untara. Jika aku kawin, tidak akan ada
sekelompok perwira yang akan mengiringi aku, tidak ada sepasukan kehormatan
yang akan berjalan di depanku dan tidak akan ada salam selamat dari Sultan
Pajang. Tetapi aku juga tidak perlu mengawasi setiap sudut rumahku, karena
tidak akan ada kemungkinan gangguan apa pun juga, selain dari laki-laki yang
kebetulan jatuh cinta kepada bakal istriku.”
Untara tertawa semakin keras,
sehingga beberapa orang yang sedang sibuk di halaman berpaling kepadanya.
Untara nampaknya memang gembira sekali menjelang hari perkawinannya itu.
“Selama ini Kakang Untara
selalu bergulat dengan tugas-tugas keprajuritannya,“ berkata Agung Sedayu di
dalam hati. “Sekarang ia dapat melupakan tugas-tugas itu sejenak, sehingga ia
sempat bergurau dan tertawa dengan bebas tanpa diganggu oleh perkembangan
keamanan dan ketegangan yang semakin meningkat di perbatasan Alas Mentaok.”
Namun dalam pada itu, selagi
mereka bergurau dan tertawa berkepanjangan di pendapa, seseorang naik dengan
tergesa-gesa. Meskipun ia tidak berpakaian seorang prajurit, tetapi menilik
sikapnya, orang itu pasti seorang petugas sandi yang diperbantukan kepada
Widura di dalam perhelatan itu.
“Ki Untara,” ia berkata dengan
suara yang dalam, “ada sekelompok orang memasuki padukuhan Jati Anom.”
“Siapa menurut dugaanmu?”
“Kami belum mendapat
kepastian, tetapi kami kira mereka datang dari Mataram.”
“Mataram,” Untara mengerutkan
keningnya, sedang Agung Sedayu dan Swandaru pun terkejut pula karenanya.
“Apakah kau sudah melaporkan
kepada pimpinan yang aku serahi tugas pengamanan daerah ini?
“Tidak. Mereka bukan sepasukan
prajurit bersenjata.”
“Jadi?”
“Sepasukan prajurit sudah siap
di sekitar jalan masuk ke paduhan ini. Tetapi mereka tidak dapat berbuat
apa-apa.”
“Apa yang mereka lakukan?”
“Mereka adalah sekelompok
orang yang membawa lima atau enam buah jodang yang dihiasi dengan janur-janur
kuning. Mereka menuju ke rumah ini.”
“Jodang? Dari mana kau bilang?
Dari Mataram?” Untara menjadi tegang sejenak.
“Mungkin. Tetapi kami belum
mendapat kepastian.”
“Apakah para penjaga regol
tidak menghentikan mereka dan bertanya tentang mereka?”
“Ya, sedang dilakukan.”
Untara menjadi berdebar-debar.
Karena itu, maka ia pun segera berkata, “Kemasi pendapa ini. Bentangkan tikar
yang baik. Jika benar mereka datang dari Mataram, mereka adalah tamu-tamu
terhormat.” Untara berhenti sejenak, lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Aku
akan membenahi pakaian, dan panggillah Paman Widura.”
Agung Sedayu pun kemudian
bergeser. Ketika Swandaru akan ikut pula, Untara mencegahnya, “Kau di sini.
Sebelum Paman Widura datang, temuilah jika mereka naik ke pendapa. Kau mewakili
aku sampai aku selesai.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Karena itu, ketika Agung Sedayu pergi mencari Widura dan Untara
masuk ke ruang dalam, Swandaru masih tetap berada di pendapa. Bahkan ia turut
membantu membentangkan tikar yang lebih baik dari yang mereka pakai
sehari-hari.
Sejenak kemudian, orang-orang
yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan yang dilalui oleh iring-iringan itu
pun saling berdesakan di pinggir jalan yang menghubungkan jalan-jalan padukuhan
di Kademangan Jati Anom. Orang-orang dari Banyu Asri pun dengan terheran-heran
melihat sekelompok orang-orang dalam pakaian kebesaran dan kelengkapan yang
sangat baik membawa beberapa buah jodang yang dihias sebaik-baiknya pula dengan
janur kuning dan kain berwarna.
“Tentu hadiah dari Sultan
Pajang untuk Untara,” desis seseorang. “Anak Ki Sidewa itu ternyata bernasib
baik. Ia mempunyai kedudukan yang terpandang dan mendapat perhatian khusus dari
Sultan.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Tetapi pakaian kebesaran yang dipakai oleh orang-orang yang membawa
jodang itu sangat mempesona. Seakan-akan orang-orang itu sedang mengikuti
upacara terbesar di Istana Pajang.
Meskipun demikian, pakaian
kebesaran yang mengagumkan itu ternyata telah kotor oleh debu. Tampaknya mereka
sudah menempuh jalan yang panjang sebelum mereka memasuki Kademangan Jati Anom.
Ternyata pula, bahwa di antara iring-iringan itu terdapat beberapa pengawal
bersenjata, untuk menjaga agar barang-barang itu tidak dirampas oleh
orang-orang jahat di sepanjang jalan.
Dengan dikawal oleh para
prajurit Pajang yang bertugas di Kademangan Jati Anom, maka iring-iringan itu
pun menuju ke rumah Widura yang sedang sibuk.
Widura yang diberi tahu oleh
Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa membenahi pakaiannya. Tetapi justru karena
itu, ia tidak segera mengerti siapakah yang sebenarnya telah datang itu.
“Dari mana?” bertanya Widura
sekali lagi. “Apakah aku tidak salah dengar?”
“Dari Mataram, menurut
keterangan orang yang menyampaikan berita itu kepada Kakang Untara.”
“Mataram, maksudmu dari Raden
Sutawijaya?”
“Masih belum jelas, Paman.”
Widura mengerutkan keningnya.
Namun ia pun kemudian segera pergi ke pendapa.
Widura menjadi semakin
berdebar-debar, ketika dua orang prajurit datang menemuinya. Hampir berbisik
salah seorang berkata, “Mereka benar-benar datang dari Mataram.”
Widura menarik nafas
dalarn-dalam. Katanya, “Siapakah yang telah menyampaikan berita perkawinan
Untara kepada Raden Sutawijaya?”
Prajurit-prajurit itu
menggelengkan kepalanya.
“Di mana mereka sekarang?”
bertanya Widura pula.
“Sebentar lagi mereka akan memasuki
halaman ini. Kini mereka sudah menyelusuri jalan padukuhan ini. Agaknya mereka
sudah melampaui simpang empat dan gardu penjagaan itu.”
Widura mengerutkan keningnya.
Sejenak ia merenung. Apakah sebenarnya yang telah menggerakkan orang-orang
Mataram mengirimkan sekelompok orang-orangnya dengan membawa beberapa buah
jodang? Apakah di dalam jodang itu berisi barang-barang untuk kelengkapan
pengantin atau barang-barang lain?
Selagi Widura masih
termangu-mangu, maka tampaklah iring-iringan itu mendekati regol rumahnya,
sehingga karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia pun segera menyongsongnya
diikuti oleh Agung Sedayu dan Swandaru.
Widura terperanjat, ketika ia
memandang wajah orang yang berjalan di paling depan sambil tersenyum kepadanya.
Orang itu dikenalnya benar-benar. Ia adalah kawan di dalam perjuangan
menegakkan Pajang selagi Demak mulai runtuh.
“Ki Lurah Branjangan?” tanpa
sesadarnya ia berdesis.
Orang yang dipanggilnya Ki
Lurah Branjangan itu tertawa. Katanya, “Kau masih ingat kepadaku Kakang Widura.
Memang, para prajurit waktu itu memanggil aku Branjangan.”
“Tentu, aku tidak akan lupa
kepadamu.”
Orang itu masih tertawa.
Katanya, “Aku masih tetap tidak dapat berkembang. Pendek, kecil, dan seperti
ini.”
“Tetapi kau benar-benar seekor
burung branjangan. Lincah dan lebih dari itu tidak terkendali.”
Ki Lurah Branjangan dan mereka
yang mendengarnya tertawa. Agung Sedayu dan Swandaru pun tersenyum pula.
“Marilah, marilah,” baru
Widura sadar, bahwa ia harus mempersilahkan tamunya.
Tamunya tertawa pula. Katanya,
“Aku kira kau akan menerima aku di halaman.”
“Marilah, silahkan.” Lalu
dipersilahkannya pula para pengiringnya, “Marilah Ki Sanak, silahkanlah naik ke
pendapa.”
Ki Lurah Branjangan bersama
kawan-kawannya pun segera naik ke pendapa. Beberapa orang prajurit Pajang yang
mengawal mereka dari ujung kademangan segera memencar dan duduk di halaman, di
bawah rimbunnya pepohonan.
Mereka yang naik ke pendapa
itu pun segera dipersilahkan duduk setelah mereka meletakkan jodang-jodang yang
mereka bawa dihiasi dengan kain beraneka warna dan ditutup pula dengan kain
lurik berwarna cerah.
Setelah mereka duduk melingkar
di atas tikar yang putih, yang baru saja dibentangkan di pendapa itu, maka
Widura segera bertanya tentang keselamatan perjalanan mereka.
“Perjalanan yang melelahkan,”
jawab Ki Lurah Branjangan, “tetapi kami semuanya selamat.”
“Kedatangan kalian sangat
mengejutkan. Apalagi aku mendengar keterangan, bahwa kalian datang dari
Mataram, bukan dari Pajang.”
Ki Lurah Branjangan mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Ya, aku memang datang dari Mataram.”
“Aku menjadi lebih terkejut
lagi, bahwa yang memimpin iring-iringan dari Mataram itu adalah kau, Ki Lurah
Branjangan.”
“O, kenapa kau terkejut?”
Widura tidak segera menyahut. Sejenak
ia mencoba merenungi tamunya dan mengenang beberapa waktu yang lampau selagi
mereka bersama-sama berada dalam satu medan menghadapi keretakan yang terjadi
setelah Demak pecah.
Tetapi Widura tidak ingin
mempersoalkannya selagi tamunya baru saja duduk. Ia tidak ingin merusak seluruh
suasana dari pertemuan itu, meskipun ia termasuk salah seorang perwira Pajang
yang tidak mengambil sikap yang tajam terhadap persoalan Mataram.
Karena itu, maka Widura itu
pun berkata, “Ah, baiklah kita tidak berbicara tentang kau. Tetapi aku ingin
berbicara tentang jodang-jodang itu.”
Ki Lurah Branjangan tertawa,
seperti biasanya ia adalah seorang yang suka tertawa, “Aku mendapat perintah
dari Raden Sutawijaya untuk membawa jodang-jodang itu kemari. He, di mana Ki
Untara?”
Widura mengerutkan keningnya.
Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka kemanakannya itu berkata, “Kakang
Untara baru masuk ke dalam biliknya. Sebentar lagi ia akan datang.”
“Ke bilik pengantin?” Ki Lurah
Branjangan tertawa. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus, “Siapakah anak
muda ini?”
“Kemanakanku, adik Untara. Dan
yang seorang adalah sahabatnya, putra Ki Demang di Sangkal Putung.”
Ki Lurah Branjangan memandang
Agung Sedayu dan Swandaru berganti-ganti. Ada kesan yang khusus terbayang di wajahnya.
Sejenak kemudian sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata, “Baru
sekarang aku berkesempatan bertemu muka dengan anak muda yang bernama Agung
Sedayu dan Swandaru.”
Widura mengerutkan keningnya.
Tanpa sesadarnya ia Bertanya, “Apakah kau pernah mengenal namanya?”
“Hampir semua orang Mataram
mengenal namanya. Agung Sedayu, Swandaru, Kiai Gringsing, dan Ki Sumangkar.”
“Ah,” Agung Sedayu segera
menyahut, “adalah kebetulan kami lewat bagian hutan yang sedang dibuka itu. Dan
adalah kebetulan, bahwa Raden Sutawijaya hadir pada daerah penebangan yang
sulit. Sebelum itu, aku sudah mengenal Raden Sutawijaya justru di sini. Di
garis perang antara Sangkal Putung dan Jati Anom pada saat Tohpati masih berada
di sekitar daerah ini.”
Branjangan mengangguk-anggukkan
kepalanya, “Tetapi kita belum pernah bertemu. Ketika Ki Widura mendapat tugas
di daerah selatan, aku justru pergi ke timur. Tetapi daerah timur tidak seberat
yang dihadapi oleh pasukan di daerah selatan ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu Ki Lurah itu berkata pula, “Karena itu aku
baru mendengar namamu, ketika aku sudah berada di Mataram. Setiap mulut
menyebut namamu. Apalagi Wanakerti.”
“Terima kasih. Tetapi
barangkali pujian itu agak berlebih-lebihan. Aku tidak berbuat apa-apa di
Mataram.”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Lalu katanya, “Baiklah. Kau memang rendah hati. Kawanmu yang gemuk itu pun
menjadi buah bibir. Setiap orang menjadi heran, meskipun tubuhnya gemuk, namun
lincahnya melampaui kijang di medan pertempuran.”
“Kami tidak bertempur,” potong
Swandaru. “Memang kami pernah bermain hantu-hantuan. Tetapi itu bukan
pertempuran.”
Sekali lagi Ki Lurah
Branjangan tertawa. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku sempat memperkenalkan
diriku. Orang-orang menyebutku Branjangan. Tetapi namaku bukan itu. Salah
pamanmu Widura. Ialah yang pertama-tama menyebutku Branjangan. Kalau kau ingin
mengetahui, namaku yang sebenarnya adalah Mudal. Eh, nama yang sebenarnya lebih
jelek dari nama yang diberikan oleh pamanmu. Karena itu, aku lebih senang
dipanggil Ki Lurah Branjangan daripada Ki Lurah Mudal.”
Agung Sedayu dan Swanfaru
tertawa pula. Ternyata orang yang bertubuh pendek dan kecil ini senang juga
berkelakar.
Namun tiba-tiba Branjangan
bertanya, “He, di mana Ki Untara? Bukankah pengantin perempuannya belum ada di
sini.”
“Tentu belum. Perkawinan belum
berlangsung.”
“Syukurlah. Jadi aku masih
belum terlambat,” sahut Branjangan. “Tetapi, kenapa ia lama sekali belum juga
keluar dari biliknya?”
Dan tiba-tiba saja terdengar
suara Untara, “Selamat datang Ki Lurah Branjangan.”
Ki Lurah Branjangan berpaling.
Dilihatnya Untara sudah berdiri di muka pintu, “Ha, inilah pengantinnya.
Alangkah tampannya Ki Untara sekarang, menjelang hari perkawinannya.”
Untara tersenyum. Jawabnya,
“Aku berpakaian rapi bukan karena aku akan kawin lusa. Tetapi aku harus
menghormati tamu-tamuku dengan pakaian kebesaran yang mengagumkan.”
“Ah,” Ki Lurah Branjangan
tertawa pula. Sambil mengangguk dalam-dalam, ia kemudian berkata, “Aku sekedar
mengemban tugas dari Raden Sutawijaya di Mataram.”
Untara mengangguk-angguk.
Kemudian ia pun duduk di hadapan Ki Lurah Branjangan, di samping pamannya,
Widura.
“Aku tidak mengira, bahwa akan
ada utusan dari Mataram menjelang perkawinanku. Dan aku tidak mengira, bahwa Ki
Lurah Branjangan akan datang pula hari ini.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Ia sadar, bahwa baik Untara mau pun Widura menjadi
heran, bahwa tiba-tiba saja ia menjadi seorang utusan dari Mataram. Tetapi ia
tidak akan mempersoalkannya lebih dahulu seperti yang dikehendaki Widura. Lebih
baik mempersoalkan jodang-jodang itu dahulu daripada dirinya sendiri.
Karena itu, setelah mereka
berbicara sejenak, tentang perjalanan Ki Lurah Branjangan dari Mataram, maka ia
pun berkata, “Ki Untara. Kali ini aku adalah utusan Raden Sutawijaya yang
direstui oleh ayahandanya Ki Gede Pemanahan, untuk menyampaikan beberapa buah
kenang-kenangan, atau katakanlah sumbangan, bagi hari perkawinanmu. Raden
Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan minta maaf, bahwa keduanya tidak dapat hadir,
baik di hari perkawinanmu di Pengging beberapa hari mendatang, maupun dalam
upacara sepekan di rumah ini.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Jawabnya, “Aku menjadi sangat berbesar hati. Hampir di luar
kemungkinan yang aku perhitungkan, bahwa Raden Sutawijaya dan ayahandanya Ki
Gede Pemanahan masih juga ingat kepadaku. Apalagi aku sengaja tidak memohon
kehadiran mereka berdua, karena di dalam suasana prihatin ini, kami tidak akan
menyelenggarakan upacara selengkapnya. Semuanya asal dapat terlaksana dengan
syah sesuai dengan keharusan dan kepercayaan kita.”
“Ya,” Branjangan
mengangguk-angguk, “ternyata kau bijaksana.” Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Juga aku mendapat pesan dari Ki Gede Pemanahan, agar menyampaikan salam dan
ucapan selamat kepada bakal ayah mertuamu, Rangga Parasta. Juga kepadanya, Ki
Gede Pemanahan minta maaf, bahwa Ki Gede tidak dapat menghadiri perkawinan
putrinya.”
Dada Untara berdesir
mendengarnya. Ia tahu benar, kedua orang itu mempunyai sikap yang hampir
berlawanan. Apalagi ketika Ki Gede Pemanahan mengambil sikap yang tajam
terhadap Sultan Pajang dengan meninggalkan istana dan kembali ke Sela, bahkan
kemudian langsung membuka Alas Mentaok sebelum mendapat persetujuan resmi dari
Sultan Adiwijaya.
Tetapi Untara mencoba untuk menyembunyikan
perasaannya agar tidak menampakkan kesan di wajahnya. Bahkan kemudian ia
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, “Ya, ya. Aku akan
menyampaikannya. Rangga Parasta pasti akan senang sekali mendapat pesan dari Ki
Gede, meskipun Ki Gede Pemanahan tidak dapat hadir.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dicobanya untuk menangkap kesan di wajah
Untara, tetapi yang tampak kemudian adalah sebuah senyum yang cerah.
“Demikianlah,” berkata
Branjangan pula, “aku datang untuk menyerahkan isi dari jodang-jodang ini.
Barangkali dapat kau pergunakan pada hari perkawinanmu. Jangan dinilai ujud
barang-barangnya yang barangkali tidak berharga, tetapi keinginan Raden
Sutawijaya untuk memberikan tanda kekeluargaan bagimu.”
“Aku mengucapkan beribu-ribu
terima kasih. Harap kau sampaikan kepada Raden Sutawijaya, bahwa aku menerima
dengan sepenuh hati.” Lalu katanya kepada pamannya, “Paman, aku persilahkan
Paman menerimanya.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Baiklah, Ki Lurah Branjangan. Jodang-jodang ini akan aku
terima dan akan aku bawa masuk ke dalam. Apakah jodang-jodangnya nanti akan
kalian bawa kembali setelah isinya aku terima?”
Ki Lurah Branjangan tertawa
sambil menjawab, “Tidak. Tidak. Kami tidak akan membawa jodangnya kembali ke
Mataram. Kami menyerahkan semuanya beserta tempatnya.”
Widura pun tersenyum pula,
katanya, “Terima kasih. Terlebih-lebih lagi terima kasih.”
Kemudian bersama Agung Sedayu,
Swandaru, dan beberapa orang pembantu, yang sebenarnya adalah prajurit-prajurit
Pajang, jodang-jodang itu dibawa masuk ke dalam. Swandaru yang mengusung sebuah
jodang bersama Agung Sedayu, setelah meletakkannya di ruang dalam, menyingkap
tutup jodang itu sedikit. Katanya, “Bukan main, kau lihat setumpuk kain panjang
dalam satu jodang?”
“Sst,” Agung Sedayu berdesis,
“jangan.”
“Aku hanya ingin melihat.
Mungkin di jodang yang lain kau akan menemukan segulung kain sutera. Yang lain
lagi beberapa puluh lembar ikat kepala, sabuk, kamus, dan timang. Yang lain
lagi, yang lain lagi. Tentu bermacam-macam sekali.”
“Sudahlah. Tentu banyak
sekali. Yang memberikan sumbangan adalah Raden Sutawijaya. Sampai saat ini ia
masih Putra Sultan Pajang.”
“Anak angkat.”
“Ya, tetapi kedudukan itu
masih tetap.”
Keduanya pun kemudian kembali
ke pendapa dan duduk di antara tamu-tamunya. Beberapa orang pelayan telah
menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya. Minuman panas dan beberapa macam
makanan.
Sejenak mereka masih sempat
berbicara tentang hari-hari perkawinan. Tentang rencana yang akan dilaksanakan
dalam urut-urutan upacara sampai upacara terakhir di rumah Widura.
Namun kemudian, terasa bahwa
pembicaraan Ki Lurah Branjangan mulai tidak lancar lagi. Kadang-kadang ia
mendehem, dan kadang-kadang ia tampak gelisah. Sejenak dipandanginya Agung
Sedayu, kemudian Swandaru yang duduk di antara mereka.
Mereka yang menemui Ki Lurah
Branjangan melihat perubahan sikap itu. Untara, yang meskipun masih muda,
tetapi ia sudah cukup matang menanggapi berbagai macam persoalan segera
bertanya, “Apakah ada sesuatu yang ingin kau katakan? Aku kira selain isi
jodang yang telah kami terima dengan perasaan terima kasih yang tidak terhingga
itu, kau tentu menerima beberapa pesan pula untuk kami.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi sekali lagi ia memandang Agung Sedayu
dan Swandaru.
“Katakanlah. Mereka adalah
anak-anak baik. Mereka tidak akan mengganggu. Jika yang kau katakan itu suatu
rahasia yang besar, mereka tidak akan membocorkannya, kecuali kalau kau memang
minta agar mereka meninggalkan pertemuan ini.”
Ki Lurah Branjangan ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian, “Biarlah mereka di sini. Mereka sudah mengenal Raden
Sutawijaya, dan mereka agaknya belum lama meninggalkan Alas Mentaok yang sedang
dibuka itu.”
“Ya, mereka baru datang dari
Mentaok. Menurut keterangannya, ia ikut membuka hutan, meskipun hanya beberapa
lama.”
“Ya. Raden Sutawijaya juga
mengatakan demikian.”
“Kalau kau tidak berkeberatan,
aku tidak akan menyuruh mereka pergi.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Biar sajalah mereka mendengar. Aku
pun yakin, bahwa mereka bukan orang lain bagi kita.”
“Bagi kita?” bertanya Widura.
“Ya. Bagi orang-orang Pajang
dan orang-orang Mataram.”
Untara dan Widura saling
berpandangan sejenak. Namun mereka pun tidak berkata apa pun juga. Yang berkata
selanjutnya adalah Branjangan, “Baiklah aku sedikit berbicara tentang diriku
sendiri lebih dahulu.” Ia berhenti sejenak, lalu berpaling kepada
kawan-kawannya, “Mereka pun tidak perlu dicurigai. Aku percaya kepada kawan-kawanku.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Sekarang aku berada di
Mataram. Aku mengikuti Raden Sutawijaya sejak ia mulai menetap di daerah baru
itu.”
“Kenapa kau pergi ke Mataram?”
tiba-tiba Untara bertanya.
“Tidak apa-apa. Sama saja
bagiku. Mataram adalah kelanjutan dari Pajang, karena Raden Sutawijaya adalah
putra angkat Sultan Pajang.”
“Kalau sama saja, kenapa kau
tinggalkan Pajang dan pergi ke Mataram, suatu daerah baru? Kalau sama saja
kenapa kau menentukan suatu perubahan dan menjatuhkan pilihan?”
Ki Lurah Branjangan tertawa.
Jawabnya, “Bukan pilihan yang mutlak.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ketika ia memandang wajah Widura, maka dilihatnya, bahwa pada wajah itu pun
tersirat kesan yang aneh.
Dan sejenak kemudian, Untara
pun bertanya, “Apakah yang kau maksudkan, Ki Lurah Branjangan?”
“Maksudku, bahwa pilihanku
bukan karena sesuatu. Bukan karena yang baru lebih baik dari yang lama. Tetapi
aku hanya ingin suasana yang bergerak. Maju terus tidak berhenti, seperti yang
terjadi di Pajang sekarang.”
Untara memandang wajah Ki
Lurah Branjangan sejenak, lalu, “Apakah menurut penilaianmu, Pajang tidak akan
berkembang?”
“Aku tidak melihat sesuatu
yang bergerak di Pajang. Semuanya berjalan seperti yang telah berjalan.
Seakan-akan Pajang adalah sebuah sungai di satu musim. Airnya mengalir dengan
tenangnya. Pagi, siang, sore dan malam.” Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi Mataram yang baru adalah sebatang sungai di musim pancaroba.
Kadang-kadang airnya hampir kering, tetapi kadang-kadang banjir bandang. Gerak
yang demikianlah yang menarik hati. Kemungkinan masa depan dari Mataram bagiku
akan lebih baik dari Pajang. Mungkin hal ini disebabkan karena Raden Sutawijaya
adalah seorang anak muda. Sedang Sultan Pajang telah menjadi semakin tua dan semakin
jauh tenggelam ke dalam kamukten.”
“Mungkin kau benar. Tetapi kau
lupa, bahwa di Pajang ada juga seorang anak muda yang akan mampu menggerakkan
Pajang nanti pada saatnya.”
“Pangeran Benawa maksudmu?”
“Ya.”
Branjangan menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak dapat mengatakan sesuatu tentang Pangeran
Benawa yang baik hati. Seorang yang ramah dan tidak pernah mendendam seseorang,
betapa pun besar kesalahan orang itu atasnya. Yang tidak sampai hati
menjatuhkan hukuman kepada orang yang bersalah, dan yang tidak berani memandang
seekor kucing menerkam seekor tikus. Ia mengampuni semua orang yang mengaku
bersalah, dan yang tidak mengaku sekalipun. Bahkan ia tidak akan mempertahankan
miliknya, jika ia melihat seorang pencuri mengambilnya.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ia melihat kebenaran dari tanggapan Branjangan atas Pangeran
Benawa. Tetapi itu bukan berarti bahwa Pajang harus ditinggalkan. Sebagai
seorang perwira yang ikut berjuang membina Pajang sejak berdirinya, maka Untara
tidak akan dapat membiarkan Pajang jatuh ke dalam kelemahannya sendiri, justru
karena kebaikan hati yang melimpah ruah.
Tetapi sebelum Untara
menjawab, Ki Lurah Branjangan telah mendahuluinya, “Tetapi bukan maksudku untuk
mempersoalkan apakah kita harus memilih Pajang atau Mataram. Sudah aku katakan,
keduanya sama, karena arah perkembangannya seharusnya akan menemukan titik
sentuhan. Tetapi kini aku melihat Mataram bergolak lebih dahsyat. Hanya itu.
Dan memang bukan maksudku untuk mempersoalkan, kenapa aku berada di sana, dan
kalian di sini.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ada pesan yang
lebih penting dari itu, Ki Untara. Meskipun aku belum pernah, dan itu hanyalah
suatu kebetulan, berada di bawah pimpinanmu sebagai seorang senapati, tetapi
aku sudah mendengar, bahwa kau adalah seorang senapati yang mumpuni.”
Untara dan Widura tidak
menyahut. Tetapi mereka menjadi berdebar-debar.
“Jangan takut, bahwa aku akan
membujukmu setelah aku menyerahkan sumbangan itu,” Ki Lurah Branjangan masih
sempat tertawa
Dan Untara pun menjawab,
“Hanya anak-anak yang diam menangis jika diberi sebongkah gula.”
Branjangan mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia menarik nafas sambil berkata, “Hampir aku lupa,
bahwa aku berbicara dengan Ki Untara.”
“Katakan pesan yang penting itu,“
Untara menjadi tidak sabar.
“He, aku sekarang adalah
seorang tamu menjelang perhelatan perkawinanmu. Bukan seorang prajurit di
medan.”
Untara menggigit bibirnya.
Tetapi ia tidak menyahut.
“Baiklah,” berkata Ki Lurah
Brajangan, “bagaimanapun juga, aku memilih cara yang paling lunak untuk
berbicara. Aku tidak biasa mempersoalkan sesuatu yang bagaimanapun besarnya
dengan tegang.”
“Baik, baik. Katakanlah, ini
bukan perintah.”
Branjangan tertawa. Jawabnya,
“Baiklah,” ia berhenti pula sambil memandang Agung Sedayu dan Swandaru
berganti-ganti. Tetapi keduanya tidak berbuat apa pun juga.
“Ki Untara,” suara Ki Lurah
Branjangan merendah, “bagaimanapun juga, harus kita akui, bahwa ada ketegangan
antara Pajang dan Mataram.”
“Ya,” sahut Untara pendek.
“Dan kau adalah seorang
senapati tertinggi di daerah Selatan ini, daerah yang langsung berhadapan
dengan garis ketegangan itu.”
“Ya.”
“Itulah sebabnya, aku harus
menemuimu atas perintah Raden Sutawijaya, selain menyerahkan sumbangan. Kita
masing-masing harus menjaga, agar kesibukanmu mengurus hari perkawinanmu ini
tidak dimanfaatkan orang yang ingin mengail di air yang keruh. Bukankah di
hari-hari perkawinanmu itu nanti, Jati Anom dan Banyu Asri akan penuh dengan
prajurit, terutama perwira-perwira tinggi? Aku tahu, kau pasti sudah menyiapkan
penjagaan. Tetapi sekedar untuk melindungi keselamatan para perwira itu. Namun
di samping itu, kita harus berusaha untuk menghapus setiap kesan buruk yang
timbul selama kesibukanmu itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ia masih belum jelas atas maksud Ki Lurah Branjangan, meskipun ia mengerti arah
pembicaraannya itu.
Tetapi Untara tidak bertanya.
Ia menunggu saja Branjangan melanjutkan kata-katanya. Dan sejenak kemudian
Braniangan pun berkata, “Tugasku adalah menyampaikan permintaan kepadamu, agar
kami, dari Mataram diperkenakan ikut serta mengawasi keamanan selama
berlangsung perkawinanmu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Ia menjadi heran mendengar permintaan itu, sehingga ia bertanya, “Ki Lurah,
bagaimana mungkin Mataram akan ikut menjaga keamanan di daerah ini. Aku sudah
mempercayakan semuanya kepada anak buahku. Dan Pajang tidak kekurangan prajurit
untuk menjaga keamanan, jangankan Jati Anom dan Banyu Asri, bahkan prajurit
Pajang masih sanggup menjaga keamanan di seluruh Pajang.”
“Aku mengerti, aku mengerti.
Tetapi maksudku, bukannya karena kami menganggap Pajang tidak mempunyai
kekuatan. Tetapi sekedar menjaga agar tidak terjadi salah paham.” Ki Lurah
Branjangan berhenti sejenak, lalu, “Ki Untara. Di Mataram telah terjadi peristiwa
yang pahit. Beberapa orang telah membuat para pekerja menjadi ketakutan dengan
hantu-hantuannya. Kemudian tersebar desas-desus, bahwa hantu-hantu itu
sebenarnya adalah usaha dari orang-orang Pajang yang tidak ingin melihat
Mataram berkembang. Dan tentu saja kami tidak mempercayainya. Jika Pajang tidak
ingin melihat Mataram berkembang, maka para pemimpin di Pajang tidak perlu
membuat hantu-hantuan. Mereka dapat datang dengan pasukan segelar sepapan. Maka
Mataram akan hapus dalam waktu satu hari saja.”
Untara mengerutkan keningnya.
Tetapi ia masih tetap diam saja. Dan Ki Lurah Branjangan pun meneruskan, “Yang
kami cemaskan Ki Untara, jika ada orang-orang yang dengan sengaja membakar
ketegangan yang memang telah ada. Sekelompok orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, mengacaukan acara perkawinanmu, dan mengaku sebagai orang-orang
Mataram.”
“Kami tidak berkeberatan. Kami
akan menumpas mereka karena kami mempunyai pasukan yang cukup.”
“Kami percaya. Tetapi soalnya
bukan sekedar menumpas. Tetapi, bahwa Pajang harus yakin, bahwa Mataram tidak
akan berbuat demikian. Tugas yang dibebankan kepada kami, bukannya ikut
membantu menumpas kejahatan serupa itu. Tetapi untuk mengenal, apakah mereka
benar-benar orang Mataram. Jika benar, maka kami tidak akan segan-segan
mengambil tindakan. Tetapi jika tidak, maka kami akan dapat mengatakan kepada
mereka, bahwa Mataram tidak bertanggung jawab atas tindakan mereka, sehingga
dengan demikian, mereka akan tersudut pada sebuah pengakuan, siapakah
sebenarnya mereka, karena mereka tidak mengenal kami.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ditatapnya Widura sejenak. Ternyata, permintaan Ki Lurah
Branjangan itu memang masuk akal. Orang-orang Mataram sendiri mencemaskan jika
ada segolongan orang yang memancing kekeruhan. Jika mereka menamakan diri
orang-orang Mataram dan mengacaukan perhelatan yang dikunjungi oleh sejumlah
perwira, apalagi jika mereka berhasil menjatuhkan korban, maka pembalasan pasti
akan di tujukan kepada Mataram.
Sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya Untara berkata, “Apakah kau mencemaskan hal itu dapat terjadi?”
“Kita wajib berjaga-jaga. Ada
banyak pihak yang tidak senang melihat perkembangan Mataram. Antara lain
orang-orang yang ingin membuka hutan itu untuk kepentingan mereka sendiri.
Mereka tidak senang melihat Raden Sutawijaya berhasil membuat Alas Mentaok
menjadi suatu negeri yang ramai. Contoh yang jelas, yang diketahui pula oleh
Agung Sedayu dan Swandaru, usaha Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak. Tetapi kami
tidak yakin, bahwa Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak itu orang puncak yang
menggerakkan usaha untuk menggagalkan pembukaan Alas Mentaok. Kami
memperhitungkan, bahwa masih ada orang-orang lain di belakang mereka, sehingga
kemungkinan-kemungkinan yang tidak kita kehendaki itu tidak terjadi.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sekali lagi ia memandang Widura, seolah-olah minta pertimbangan
daripadanya. Tetapi Widura tidak memberikan kesan apa pun. Namun demikian,
agaknya Widura juga tidak menolak pesan dari Raden Sutawijaya itu.
“Kau dapat mempertimbangkan,
Ki Untara,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku tidak tergesa-gesa. Jika kau
setuju, maka akulah yang mendapat tugas untuk itu, beserta orang-orang yang
sekarang bersamaku membawa barang-barang dari Raden Sutawijaya. Selain kami,
menurut pesan Raden Sutawijaya, Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat membantu,
karena ia mengenal beberapa orang Mataram dan beberapa orang perwira Pajang.
Sementara penghubung antara kami di sini dan pimpinan kami di Mataram adalah
Wanakerti dan dua orang kawannya.”
Untara mengangguk-angguk.
Ketika ia memandang Agung Sedayu dan Swandaru, tampaklah kedua anak-anak muda
itu mengerutkan keningnya. Mereka belum mengenal Ki Lurah Branjangan. Apakah
pesan itu benar-benar datang dari Raden Sutawijaya, apakah sekedar atas kehendaknya
sendiri, karena Ki Lurah Branjangan itu pernah mendengar namanya dan tiba-tiba
saja ditemukannya mereka di sini.
“Baiklah Ki Lurah. Kami minta
kalian tinggal di sini. Kami akan mempertimbangkan. Karena aku tidak sendiri,
maka aku akan memanggil beberapa orang perwira untuk membicarakannya.”
“Silahkan. Kami akan menunggu
keputusan. Apa pun yang akan kalian putuskan, kami akan tunduk.”
“Ya, kamilah yang memegang
tanggung jawab keamanan, bukan saja di daerah Jati Anom dan Banyu Asri, tetapi
juga di daerah Mataram sendiri. Karena itu, keputusan kami memang mengikat bagi
kalian dan bagi Mataram yang sampai saat ini masih belum mendapat bentuk yang
pasti.”
Ki Lurah Branjangan mengangkat
wajahnya dan bergeser setapak. Tetapi kemudian menarik nafas sambil berkata,
“Ya. Demikianlah, Mataram memang belum mempunyai bentuk yang jelas.”
Widura hanya dapat menarik
nafas dalam-dalam. Di dalam keadaan yang demikian sifat-sifat keprajuritan
Untara-lah yang melonjak. Sebagai seorang senapati yang langsung berhadapan
dengan batas yang samar dari daerah baru, yang memang belum mempunyai bentuk,
Untara harus mempunyai sikap. Dan sikapnya ternyata jelas di dalam hubungan
yang resmi. “Mataram adalah daerah tanggung jawabnya, meskipun di Mataram ada
Raden Sutawijaya, putra angkat Sultan Pajang dan Ki Gede Pemanahan yang pernah
menjadi panglima pasukan Pajang. Tetapi di Mataram, mereka tidak lagi berada
pada kedudukannya itu.”
Ki Lurah Branjangan yang
mengenal Untara tidak juga mengingkarinya. Sebab dari segi tata pemerintahan,
Mataram memang berada di bawah Pajang, sehingga kekuasaan senapati di daerah
selatan ini pun masih juga mencakup daerah yang kemudian disebut Mataram, di
Alas Mentaok. Ki Lurah Branjangan pun sadar, bahwa setiap perdebatan mengenai
kekuasaan di Mataram, hanya akan mendorong Untara bersikap lebih keras. Menurut
pengamatan orang-orang Mataram, sebenarnya Untara bukannya orang yang dengan
kekuasaannya berusaha menindas perkembangan Mataram. Untara sendiri tidak
berkeberatan melihat Mataram berkembang, namun sudah pasti, bahwa Mataram yang
berkembang itu adalah bagian dari Pajang, kecuali Jika Sultan Pajang memberikan
bentuk yang lain kelak. Sehingga karena itu, maka ia pun hanya sekedar
mengangguk-angguk saja.
Dalam pada itu, maka Untara
pun sejenak kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat.
“Silahkan beristirahat di
gandok wetan,” berkata Widura pula kepada para tamunya. Lalu kepada Agung
Sedayu, “Antarkan Ki Lurah beserta kawan-kawannya ke gandok.”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya. Bersama Swandaru maka mereka pun mempersilahkan Ki Lurah Branjangan
bersama para pengiringnya pergi ke gandok wetan.
Namun ketika Agung Sedayu dan
Swandaru akan kembali lagi ke pendapa setelah Ki Lurah Branjangan duduk di
amben bambu yang besar di gandok itu, langkahnya tertegun. Ki Lurah itu
memanggilnya hampir berbisik, “Kemarilah. Duduklah di sini.”
Kedua anak-anak muda itu
menjadi heran. Tetapi ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan tertawa, mereka
pun segera duduk di sampingnya.
“Aku membawa pesan dari Raden
Sutawijaya bagi kalian,” berkata ki Lurah Branjangan. “Bukan apa-apa, sekedar
salam dan ucapan selamat atas perkawinan kakakmu.”
“O, terima kasih,” sahut Agung
Sedayu.
“Dan barangkali Raden
Sutawijaya tahu pasti, bahwa aku akan bertemu dengan kalian berdua di sini.
Maka Raden Sutawijaya menyampaikan harapannya, agar kalian suka membantu
tugasku di sini dan dalam waktu yang dekat berkunjung ke Mataram.”
Agung Sedayu dan Swandaru
saling berpandangan sejenak, lalu, “Kami tidak berkeberatan,” sahut Agung
Sedayu. “Kami mengerti, bahwa Mataram tidak ingin terjerumus ke dalam kesulitan
menghadapi Pajang. Jika ada orang yang memancing persoalan dan dengan sengaja
membenturkan Mataram atas Pajang, dalam keadaan seperti sekarang, Mataram
memang akan mengalami banyak kesulitan.”
Ki Lurah Branjangan
mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau terlampau banyak mengetahui tentang
Mataram. Siapakah yang mengatakan kepadamu?”
“Tidak ada. Dan aku hanya
menduga-duga.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Kini ia melihat sendiri, betapa tangkasnya anak muda itu
berpikir, sehingga karena itu ia tidak dapat bersikap sebagaimana ia menghadapi
anak-anak.
Sebelum Ki Lurah Branjangan
berkata lebih lanjut, Agung Sedayu sudah berdiri dan berkata, “Silahkan Ki
Lurah beristirahat. Ruang dan bilik gandok ini akan segera dibersihkan. Jika
Kakang Untara sependapat, maka Ki Lurah akan berada di sini secepat-cepatnya
sepuluh hari sampai Kakang Untara selesai dengan upacara ngunduh penganten.”
“Terima kasih,” sahut Ki Lurah
Branjangan.
Agung Sedayu dan Swandaru pun
kemudian meninggalkan Ki Lurah itu duduk termangu-mangu. Seorang pembantunya
yang terdekat segera duduk di sampingnya sambil berkata, “Anak ini ternyata
cukup matang untuk menanggapi setiap persoalan. Ki Lurah tidak dapat
menganggapnya sebagai anak-anak lagi. Sikap Ki Lurah kurang
bersungguh-sungguh.”
“Aku keliru. Ketika aku
memperkenalkan diri, aku menganggap keduanya masih terlalu muda, sehingga aku
bersikap sekenanya. Ternyata kedua anak-anak muda itu telah mentertawakan aku
di dalam hati. Mereka bersikap matang, meskipun agaknya dapat juga dibawa
bergurau.”
“Tentu mereka merasa geli
mendengar pujian-pujian bagi mereka, seperti anak-anak yang sedang belajar
berdiri.”
“Ya, aku kira mereka aka
senang dengan pujian-pujian itu seperti kebanyakan anak-anak muda di masa
pancaroba. Bukankah menilik umur mereka, mereka adalah anak-anak yang menginjak
masa gelisah dan mendambakan kebanggaan dan pujian? Tetapi tidak bagi mereka.
Hampir saja aku minta mereka menyingkir, ketika aku akan berbicara dengan
Untara setelah aku memujinya. Itulah sebabnya, maka Raden sutawijaya memanggil
mereka, atau setidak-tidaknya mengharap kedatangan mereka. Bukan sekedar
anak-anak muda yang kebetulan mampu berkelahi, tetapi mereka mampu juga berpikir,”
desis Ki Lurah Branjangan lebih lanjut. Lalu tiba-tiba suaranya merendah, “Lalu
betapa kemampuan yang dimiliki oleh Guru mereka. Kemampuan lahir dan kemampuan
berpikir.”
Pembantunya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gumamnya, “Agaknya memang ada tetesan darah
orang besar pada keduanya, Untara dan adiknya. Jika Agung Sedayu terjun ke
dalam lingkungan keprajuritan, maka ia akan memiliki kemampuan seperti Untara
di medan maupun menanggapi keseluruhan keadaan dan suasana.”
Dalam pada itu, sepeninggal Ki
Lurah Branjangan dan para pengiringnya, serta setelah Agung Sedayu dan Swandaru
kembali ke pendapa, maka Untara pun mulai minta pendapat mereka tentang pesan
Raden Sutawijaya.
“Aku dapat mengerti,” berkata
Widura, “agar tidak semua noda-noda hitam dilemparkan kepada orang-orang
Mataram.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Apakah itu bukan sekedar usaha untuk mencuci tangan?”
“Aku rasa bukan maksudnya,”
berkata Widura pula, “orang-orang Mataram pun menyadari ketegangan yang
seakan-akan semakin lama menjadi semakin runcing. Tetapi kita semuanya tidak
mengerti, apakah sebabnya. Sultan Adiwjaya sudah menyerahkan tanah Mentaok
kepada Pemanahan. Sebenarnya tidak ada persoalan lagi yang perlu menambah
ketegangan.”
“Tetapi tindakan Ki Gede Pemanahan
sudah menimbulkan kesan yang tegang.”
Widura mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Memang kebangkitan Mataram
dapat diurai dalam banyak arti. Terlebih-lebih lagi usaha-usaha yang sengaja
membenturkan daerah yang baru berkembang itu agar hancur sama sekali,” desis
Widura.
“Adalah wajar, bahwa
perkembangan Mataram yang dimulai dengan ketegangan itu akan selalu dibayangi
oleh ketegangan pula,” desis Untara.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
yang mendengarkan pembicaraan itu tergerak juga hatinya untuk ikut berbicara.
Betapapun ia ragu-ragu, namun akhirnya ia berkata pula, “Kakang Untara, menurut
penglihatanku, Mataram berkembang dengan wajar. Kenapa Pajang tidak pernah
mempersoalkan perkembangan daerah-daerah lain kecuali Mataram?”
Untara mengerutkan keningnya.
Sambil memandang wajah Agung Sedayu dengan kerut-merut di kening, Untara
bertanya, “Misalnya?”
Agung Sedayu menjadi semakin
ragu-ragu melihat tanggapan kakaknya. Tetapi karena ia sudah terlanjur
mengatakannya, maka ia pun harus manjawabnya, “Sependengaranku, Pati. Jika
tidak yang terlalu besar, daerah Mangir, dan daerah Tanah Perdikan Menoreh.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tidak ada persoalan yang mendahului perkembangan daerah
itu. Menoreh telah mendapatkan bentuknya. Karena Argapati pernah berjasa kepada
pimpinan pemerintahan pada waktu itu. Menoreh mendapatkan bentuk Tanah
Perdikan. Mangir adalah sebuah kademangan yang besar di daerah selatan. Tidak
pernah ada persoalan apa-apa dengan Mangir. Juga Pati diterima oleh Ki Penjawi
dengan wajar. Sedangkan daerah pesisir masih harus ditertibkan, karena ada
beberapa orang Adipati yang merasa tidak lagi berada di bawah kekuasaan Pajang
setelah Demak lenyap. Nah, bukankah tidak hanya Mataram saja yang menjadi
persoalan kini?”
Agung Sedayu mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia merasa, bahwa pengetahuannya tentang Pajang memang hanya
terlampau sedikit dibandingkan dengan kakaknya, Untara. Bahkan Swandaru pun
ikut mengangguk-anggukkan kepalanya pula. Perhatiannya terhadap pemerintahan
sebenarnya cukup besar. Tetapi ia tidak sempat mempersoalkannya dengan
orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang luas tentang hal itu.
“Mataram adalah salah satu
persoalan di antara banyak persoalan yang di hadapi oleh Pajang,” berkata
Untara selanjutnya, “Pajang masih harus meneruskan usaha Demak untuk
mempersatukan seluruh daerah yang pernah menjadi suatu ikatan negara yang
besar.”
Agung Sedayu dan Swandaru
masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Baiklah,” berkata Untara
kemudian, “kita kembali kepada persoalan semula. Kita sebaiknya memang menerima
tawaran itu tanpa prasangka. Jika ternyata mereka menyalah-gunakan kepercayaan
yang kita berikan, mereka pasti akan menyesal.” Lalu katanya kepada Agung
Sedayu, “Sedayu, agaknya Raden Sutawijaya masih teringat kepadamu. Kau dapat
membantu kami dan orang-orang Mataram. Kau dapat berdiri di tengah, agar kami
tidak saling menyalahi. Kau mengerti?”
Agung Sedayu menganggukkan
kepalanya sambil menjawab, “Baik Kakang. Aku bersedia.”
“Tetapi sebaiknya kau minta
gurumu datang bersama Ki Sumangkar. Orang-orang tua mempunyai pendapat yang
baik, yang kadang-kadang melampaui pendapat para pemimpin pemerintahan.
Katakanlah, bahwa aku mengundang mereka sebelum aku pergi ke Pengging. Aku
minta keduanya mengawani paman Widura di sini. Namun demikian, aku akan bertemu
dengan beberapa orang perwira untuk menyampaikan maksud Ki Lurah Branjangan.
Aku kira kebanyakan dari mereka tidak pula akan menolak. Mungkin ada satu dua
orang yang berpendirian terlampau tajam. Tetapi aku dapat memerintahkan kepada
mereka untuk melunakkan sikapnya, atau aku bawa saja mereka sebagai pengiringku
ke Pengging.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Bukankah begitu, Paman?”
“Aku sependapat Untara, dan
aku senang sekali mendapat kawan Ki Tanu Metir dan Ki Sumangkar.”
“Jika demikian, biarlah Agung
Sedayu menjemput mereka. Ia dapat segera pergi dan segera pula kembali. Sangkal
Putung tidak terlampau jauh. Tetapi aku tidak minta Ki Demang datang sekarang.
Aku tahu, bahwa ia tidak dapat meninggalkan kewajibannya begitu saja. Bukankah
begitu, Swandaru?”
Swandaru tersenyum sambil
mengangguk, “Ya, begitulah.”
“Tetapi tentu kau akan
memberitahukan kepada Demang di Jati Anom,” potong Widura.
“Ia akan datang malam nanti
untuk ikut tirakatan di sini,” sahut Untara.
Ternyata bahwa Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar tidak usah menunggu sampai menjelang hari sepasaran dan
ngunduh penganten. Sebenarnya kedua orang tua itu akan datang menjelang
hari-hari penjemputan sepasang penganten dan upacara di rumah Widura. Namun
agaknya karena persoalan yang tiba-tiba itu. Agung Sedayu dan Swandaru harus
mempercepat kehadiran mereka, sementara Untara akan berbicara dengan para
perwira.
Seperti yang diduga oleh
Untara, maka beberapa orang perwira sama sekali tidak berkeberatan, ketika
Untara menyampaikan permintaan Ki Lurah Branjangan atas pesan Raden Sutawijaya
di dalam pertemuan yang segera diadakan di rumah Untara. Tetapi juga seperti
yang diduga oleh Untara, ada juga beberapa orang di antara mereka yang sambil
mencibirkan bibirnya bergumam di antara mereka.
“Sebenarnya aku tidak
sependapat.”
Tetapi pengaruh Untara terlalu
besar atas mereka, sehingga tidak seorang pun yang langsung berani menolak.
Dalam pada itu, Agung Sedayu
dan Swandaru telah berpacu ke Sangkal Putung. Mereka harus menyampaikan
permintaan Untara agar Kiai Gringsing dan Ki Sumangkar bersedia untuk datang ke
Jati Anom menjelang keberangkatan Untara ke Pengging, bukan menjelang upacara
kedatangannya dari Pengging bersama isterinya kelak.
Kedatangannya di Sangkal
Putung memang agak menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hati. Baik pada
Kiai Gringsing dan Sumangkar, maupun pada Ki Demang Sangkal Putung. Mereka akan
berada di Jati Anom sampai upacara pengantin selesai seluruhnya. Namun
tiba-tiba mereka telah muncul, justru sebelum Untara berangkat ke Pengging.
Tetapi ketika Agung Sedayu dan
Swandaru melihat kesan di wajah-wajah itu, maka mereka pun segera menyampakan
kepentingan mereka kepada orang-orang tua itu. Agung Sedayu pun segera
berceritera kepada gurunya dan Ki Sumangkar, sedang Swandaru segera menemui
ayahnya.
“Jadi kami diminta segera
datang ke Jati Anom?” bertanya Kiai Gringsing.
“Ya,” jawab Agung Sedayu.
“Kapan kita akan berangkat?”
“Hari ini.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Tetapi jangan hari ini.
Besok pagi-pagi benar kita berangkat. Udaranya tentu segar dan perjalanan kita
akan menyenangkan.”
Agung Sedayu merenung sejenak.
Tetapi ia ragu-ragu untuk mengambil keputusan.
“Tentu Angger Untara akan
memakluminya.”
Agung Sedayu
mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Aku akan berbicara dengan Swandaru lebih
dahulu.”
Ternyata Swandaru yang berada
di dalam rumahnya bersama ayah dan ibunya pun menggeliat sambil berkata,
“Memang sebaiknya besok saja, Kakang. Aku malas untuk kembali sekarang.”
“Tetapi mereka menunggu kita,”
sahut Agung Sedayu.
Sebelum Swandaru menyahut,
terdengar dari balik pintu ruang dalam suara seorang perempuan, “Biar sajalah
kalau Kakang Sedayu akan kembali sendiri. Kau, Kiai Gringsing, dan Guru pasti
akan pergi paling cepat besok pagi.”
Agung Sedayu memandang ke arah
daun pintu yang separo terbuka, tetapi ia tidak melihat orang yang menyahut
kata-katanya meskipun ia tahu, bahwa suara itu adalah suara Sekar Mirah.
Karena itu, Agung Sedayu pun
menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat membantah lagi.
Swandaru yang sudah hampir
menjawab sebelum Sekar Mirah, tersenyum sambil mencibirkan bibirnya. Bahkan
kemudian ia berbisik, “Nah, apakah Kakang Agung Sedayu masih akan membantah
lagi.”
Agung Sedayu menundukkan
kepalanya. Sekilas ia melihat wajah Ki Demang dan Nyai Demang tersenyum pula.
“Baiklah,” Agung Sedayu pun
kemudian berdesis lambat, seolah-olah hanya ingin didengarnya sendiri, “kita
akan kembali besok saja ke Jati Anom.”
Demikianlah, di sore hari,
Agung Sedayu sempat juga bercakap-cakap dengan Sekar Mirah, meskipun Agung
Sedayu masih saja dibatasi oleh perasaannya yang kurang terbuka. Ragu-ragu dan
kebimbangan masih selalu membayanginya. Bukan tentang Sekar Mirah sendiri,
tetapi tentang sikap yang dianggapnya baik terhadap Sekar Mirah.
“Jadi, banyak sekali
perwira-perwira yang akan datang?” bertanya Sekar Mirah.
“Ya, beberapa orang perwira
tinggi kawan-kawan Kakang Untara akan datang.”
“Juga istri-istri mereka?”
“Tentu. Mereka yang sudah
beristri akan datang bersama istri-istri mereka.”
“Dan anak-anak gadis mereka?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnva. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Aku tidak tahu. Dan aku pun tidak
tahu apakah ada perwira kawan-kawan Kakang Untara yang sudah mempunyai anak
gadis.”
“Tentu ada. Dan jika demikian,
sebaiknya aku tidak usah datang.”
“Kenapa?”
“Ayah dan Ibu juga tidak usah
datang.”
“Kenapa? Kenapa, he?” Agung
Sedayu menjadi bingung.
“Aku tentu tidak akan mendapat
tempat. Ayah dan Ibu pun pasti hanya akan tersisih. Jika tamu-tamunya adalah
para perwira, maka Ayah, sekedar seorang Demang, pasti hanya akan mendapat
tempat di sudut yang paling gelap.”
“Ah, ada-ada saja kau, Mirah.”
Sekar Mirah tidak segera
menyahut. Tetapi sambil bersungut-sungut ia menatap ke kejauhan. Memang
terbayang di rongga matanya, ayah dan ibunya duduk di sudut yang tersendiri.
Ayahnya yang berada di pendapa sama sekali tidak dihiraukan oleh para perwira
yang hadir karena ayahnya hanyalah seorang Demang, sedang ibunya yang duduk di
pringgitan pun sama sekali tidak mendapat perhatian di antara istri-istri
perwira tinggi dari Pajang. Sedang dirinya sendiri pun sama sekali tidak
mendapat tempat, karena Agung Sedayu sibuk melayani para tamu dan persiapan
jamuan di belakang. Sedang gadis-gadis dari kota tidak akan menghiraukannya.
Agung Sedayu yang melihat
Sekar Mirah bersungut-sungut menarik nafas sambil berkata, “Kau jangan
membayangkan jamuan yang diselenggarakan kelak sebagai jamuan yang besar
sekali, dan yang akan dihadiri oleh para tamu tertinggi dari Pajang. Sama
sekali tidak, Sekar Mirah. Memang ada beberapa orang perwira tinggi yang akan
hadir. Tetapi sebagian besar tamu Kakang Untara adalah sanak kadang sendiri.
Tetangga-tetangga di Jati Anom dan para bebahu. Justru para perwira dan
istri-istrinyalah yang akan disediakan tempat tersendiri.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Lalu, “Benar?”
“Tentu.”
“Dan aku?”
“Ada saudara-saudaraku yang
akan mengawanimu. Sanak kadang yang masih dekat dalam hubungan keluarga. Mereka
akan senang sekali melihat kau, karena sebagian dari mereka telah mendengar
namamu.”
“Dari mana mereka mendengar
namaku?”
“Bukankah Paman Widura pernah
mengenalmu. Dan bukankah Kakang Untara juga pernah berada di Sangkal Putung?
Seperti Kakang Untara, maka Paman Widura-lah yang akan menjadi pengganti ibu
bapakku.”
“Bukan Kakang Untara?”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Lalu, “Ya, mungkin Kakang Untara dan Paman Widura sekaligus.”
“Kakang Untara sudah mempunyai
sisihan. Ia akan dapat bertindak sebagai ibu dan ayahmu. Dan itu adalah
kewajibannya. Kecuali jika Paman Widura menghendaki.”
“Kita serahkan saja kepada
keduanya.”
“Tetapi tentu kita akan lebih
berbangga, bahwa yang akan menerima kita di dalam lingkungan keluarga adalah
Kakang Untara.”
“Kenapa?”
“Bukankah Kakang Untara
seorang senapati besar, lebih besar dari Paman Widura? Bukankah dengan
demikian, akan memberikan kebanggaan yang lebih besar pula kepada kita?”
Terasa sesuatu berdesir di
dada Agung Sedayu. Pengenalannya tentang Sekar Mirah menjadi semakin bertambah.
Sekar Mirah bukan saja seorang gadis yang tinggi hati, tetapi di antara
orang-orang yang dianggapnya lebih besar, ia merasa rendah diri. Dan Agung
Sedayu tidak ingkar, bahwa sifat-sifat yang demikian memang ada juga padanya. Namun
dalam pada itu, tercetus juga suatu imbangan yang meledak di hatinya. Untuk
mengatasi rasa rendah diri itu, Sekar Mirah ingin tampak menjadi seorang yang
besar. Yang agung, di samping pada dasarnya ia seorang yang mempunyai keinginan
dan cita-cita yang melonjak-lonjak.
Tetapi Agung Sedayu tidak
mengatakannya. Bahkan ia berusaha menyembunyikan kesan itu jauh-jauh. Sambil
tersenyum ia berkata, “Aku akan minta kepada Kakang Untara, agar aku pun
mendapat kesempatan mencicipi kebesarannya.”
Ketika kemudian malam menjadi
gelap, maka Agung Sedayu dan Swandaru berada di gandok bersama gurunya dan Ki
Sumangkar. Ketika sekar Mirah datang pula ke gandok itu, Swandaru segera
mengusirnya, “He, masuk ke dalam. Jangan berada di sini.”
“Kenapa?” bertanya Sekar Mirah,
“aku akan bertemu dengan guruku.”
“Macammu. Kau pasti mencari
Kakang Agung Sedayu.”
Sekar Mirah menjadi merah
sejenak. Diambilnya ajuk-ajuk lampu di atas bancik dan dilemparkannya kepada
Swandaru. Tetapi Swandaru sempat menghindar. “Jangan, jangan Mirah. Kau merusak
barang-barang saja.”
Kini Sekar Mirah memegang
kendi berisi air. Katanya, “Ayo, sekali lagi kau ulangi.”
Swandaru kini berdiri di
belakang Agung Sedayu. Katanya, “Jawablah, Kakang. Ternyata Sekar Mirah tidak
mencari kau.”
Sekar Mirah meletakkan kendi
itu sambil bergeramang. Tetapi ia pun segera meninggalkan gandok dan masuk ke
dalam.
Sepeninggal Sekar Mirah,
Swandaru tidak dapat menahan tertawanya.
“Jangan kau ganggu Sekar Mirah
itu lagi,” berkata gurunya, “ia sedang dipengaruhi oleh angan-angannya.
Angan-angan tentang dirinya sendiri, justru karena Untara akan segera kawin.”
“Kenapa? Apa hubungannya
dengan perkawinan Kakang Untara.”
Ki Sumangkar tersenyum sambil
menjawab, “Gadis itu sudah berangan-angan tentang dirinya. Setelah Untara, maka
akan segera datang saatnya, Agung Sedayu kawin.”
“O,” Swandaru
mengangguk-angguk. Namun sebelum ia berkata lebih lanjut, Agung Sedayu
mendahului, “Tetapi apakah Sekar Mirah akan kawin mendahului kakaknya?”
“Apa salahnya,” Swandaru
mengerutkan keningnya.
“Tidak ada salahnya. Tetapi
alangkah baiknya, jika kakaknya akan kawin lebih dahulu. Dan itu berarti kita
akan segera pergi ke Menoreh. Kita akan menempuh perjalanan yang jauh dan
melintasi garis tegang antara Pajang dan Mataram, meskipun garis itu tidak
dapat ditentukan di mana.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Namun ia tidak menjawab lagi. Bahkan tangannya segera menutup
mulutnya yang sedang menguap.
“Aku akan tidur. Biarlah
semuanya itu terjadi di dalam mimpi. Agaknya menyenangkan juga.”
Agung Sedayu memandanginya
sejenak. Tetapi ia tidak berkata apa pun lagi.
Demikianlah, di pagi hari
berikutnya, Agung Sedayu dan Swandaru bersama gurunya dan Ki Sumangkar pun
segera bersiap memenuhi undangan Untara. Langsung atau tidak langsung, rasa-rasanya
ada juga kewajiban mereka untuk ikut berbicara tentang Pajang dan Mataram. Dan
Untara yang akan meninggalkan Jati Anom kini memerlukannya.
“Jika Kakang Agung Sedayu
tidak menjemputku, kelak menjelang upacara sepasaran di rumah Paman Widura, aku
segan untuk datang,” Sekar Mirah bersungut-sungut.
“Apabila mungkin, aku akan
menjemputmu dan menjemput Ki dan Nyi Demang di Sangkal Putung,” berkata Agung
Sedayu ketika ia sudah siap untuk berangkat.
Sejenak kemudian, maka mereka
pun telah melintasi bulak persawahan di luar padukuhan Sangkal Putung. Mereka
memilih jalan di sisi sebelah Timur, menyusuri hutan-hutan yang rindang di
ujung bulak. Semakin jauh hutan itu masih juga agak lebat dan kadang-kadang
seekor harimau yang lapar sampai juga di jalan di pinggir hutan itu.
Tetapi keempat orang itu sama
sekali tidak mencemaskan diri mereka, meskipun mereka bertemu empat ekor
harimau sekaligus.
Yang menarik perhatian ketika
mereka menyusuri pinggir hutan itu adalah suara burung-burung liar di saat-saat
matahari memanjat naik. Riang bersahut-sahutan, seakan-akan mereka benar-benar
telah menikmati kedamaian yang mantap.
Kiai Gringsing yang berkuda di
paling depan tiba-tiba saja terhenti, sehingga mereka yang berada di
belakangnya pun terhenti pula. Bahkan orang tua itu kemudian meloncat turun
sambil mengamat-amati keadaan di sekitarnya, dan menyusup masuk beberapa
langkah ke dalam hutan rindang itu.
Ki Sumangkar, Agung Sedayu,
dan Swandaru pun kemudian berloncatan turun pula. Hampir berbareng perhatian
mereka pun segera tertarik pula oleh seonggok abu yang di perhatikan oleh Kiai
Gringsing.
“Perapian,” desis Kiai
Gringsing.
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. “Ya,” ia menyahut, “agaknya ada beberapa orang yang membuat perapian
di sini.”
Kiai Gringsing mengangguk-anggukkan
kepalanya. Dilihatnya ranting-ranting perdu di sekitarnya berpatahan dan
rumput-rumput pun roboh terinjak kaki orang, dan bahkan agaknya ada di antara
mereka yang berbaring. Beberapa lembar daun pembungkus makanan bertebaran pula
di sekitar tempat itu.
“Ada beberapa orang yang
semalam bermalam di sini,” berkata Kiai Gringsing, “dan itu sangat menarik
perhatian.”
Sumangkar mengangguk-anggukkan
kepalanya. Sejenak kemudian ia bergumam, “Orang-orang asing bagi daerah ini.
Agaknya mereka membawa bekal makanan.”
Agung Sedayu dan Swandaru pun
mengangguk-angguk pula. Meskipun mereka tidak memberikan tanggapannya, namun
mereka mulai berpikir dan menghubungkan hal itu dengan kemungkinan yang
dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan.
“Memang ada sesuatu yang harus
kita perhatikan,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “baiklah hal ini dapat kita
jadikan bahan persoalan dengan Angger Untara dan Ki Lurah Branjangan itu.”
Agung Sedayu yang masih saja
mengangguk-angguk kemudian bertanya, “Jadi, di manakah kira-kira mereka
sekarang?”
Kiai Gringsing dan Sumangkar
berbareng menggeleng. Yang menjawab kemudian adalah Kiai Gringsing, “Kita tidak
tahu, ke mana mereka pergi. Mungkin mereka berkeliaran di sekitar Jati Anom
untuk mendapat bahan yang lebih lengkap tentang daerah itu, dan kemungkinan
yang akan dilakukan di dalam upacara penganten itu.”
“Dan di malam hari mereka akan
berkumpul lagi di sini,” sahut Agung Sedayu.
Kiai Gringsing tidak menyahut.
Tetapi seperti yang diduganya, Agung Sedayu kemudian berkata, “Kita dapat
mengintainya di sini, di malam hari.”
“Ya,” Swandaru menyambung,
“kita dapat mengetahui, siapakah mereka itu. Jika perlu, kita akan
menghancurkan mereka sebelum mereka berbuat apa-apa.”
“Kau selalu tergesa-gesa,”
potong Agung Sedayu, “kita harus yakin dahulu tentang mereka.”
“Tentu, kita harus yakin
dahulu. Karena itu, baiklah nanti malam kita lihat. Siapakah yang ada di
sekitar hutan ini?”
“Mungkin mereka tidak kembali
ke tempat ini, tetapi mereka akan berada di tempat lain,” berkata Kiai
Gringsing.
Dan Sumangkar menyahut,
“Tetapi tidak akan jauh dari tempat ini.”
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya, “Baiklah, marilah kita meneruskan
perjalanan yang pendek ini. Mungkin kita dapat menemukan jawab di Jati Anom.
Siapa tahu, mereka justru para prajurit yang sedang nganglang untuk mengawasi
keadaan.”
Setelah sekali lagi mereka
meneliti tempat itu, dan tidak menemukan tanda-tanda baru, mereka pun segera
meneruskan perjalanan mereka ke Jati Anom, dengan membawa sebuah laporan
tentang perapian di hutan kecil agak menjorok masuk dari jalan setapak di
pinggir hutan itu.
Demikianlah, maka perjalanan
ke Jati Anom itu tidak memakan waktu terlalu lama. Ketika Matahari naik di atas
ujung pepohonan, mereka pun telah sampai ke daerah kademangan itu.
Meskipun Jati Anom yang sudah
mulai miring karena letaknya di lereng Merapi itu tidak sesubur Sangkal Putung,
namun sawahnya pun tampak hijau sejauh mata memandang. Pematang-pematang yang
bagaikan tangga raksasa memanjat semakin lama menjadi semakin tinggi di lereng
Gunung Merapi. Namun demikian masih juga tampak dataran-dataran yang rata
seluas jangkauan mata.
Derap beberapa ekor kuda di
tengah-tengah bulak itu memang menarik perhatian para petani yang bekerja di
sawah. Namun mereka pun mengetahui bahwa seorang senapati dari Pajang yang
kebetulan berasal dan kini berada di Jati Anom akan melangsungkan
perkawinannya, sehingga dengan demikian Jati Anom telah menjadi semakin ramai.
Bukan saja orang-orang yang berkepentingan dengan hari perkawinan Untara,
tetapi juga prajurit-prajurit memperpendek gelombang pengamatan mereka. Setiap
kali dua orang prajurit berkuda melintasi bulak-bulak panjang yang memisahkan
padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain. Bahkan mereka mengawasi juga
pinggiran hutan di atas padukuhan Jati Anom dan di daerah sebelah timur.
Kedatangan Kiai Gringsing dan
Sumangkar di rumah Widura telah disambut dengan akrab. Sebagai orang yang
meskipun bukan berasal dan berada di dalam lingkungan pemerintahan dan pimpinan
keprajuritan, namun keduanya adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Bahkan
Untara tahu benar, bahwa sebenarnya Sumangkar bukan sekedar seorang yang tidak
berarti di Kepatihan Jipang pada masa pemerintahan Adipati Penangsang yang
diembani oleh Patih Mantahun.
Setelah duduk sejenak sambil
berbicara tentang keselamatan masing-masing serta meneguk air panas, barulah
Untara mengatakan maksudnya mempersilahkan keduanya hadir di Jati Anom lebih
cepat dari rencana mereka.
“Justru selagi aku tidak
berada di tempat, Paman Widura memerlukan kawan yang dapat dibawa berbincang,”
berkata Untara kemudian. “Bahkan aku mengharap Kiai berdua hadir kemarin di
Jati Anom. Aku sudah gelisah, apakah Kiai berdua agak berkeberatan meninggalkan
Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Bukan berkeberatan. Tetapi kami ingin
berkuda di pagi hari yang segar seperti ini”
Untara tersenyum. Sambi
mengangguk-angguk ia pun kemudian mulai mengatakan maksudnya.
“Di gandok itulah Ki Lurah
Branjangan beserta pengiringnya beristirahat.”
Kiai Gringsing pun
mengangguk-angguk pula, “Agung Sedayu sudah mengatakan serba sedikit. Dan
sekarang aku menjadi semakin jelas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu,
“Tetapi kita memang terus berhati-hati. Dan bukankah Anakmas Untara sudah
memperhitungkan semua kemungkinan dan mempersiapkan para prajurit?”
“Ya,” Untara mengangguk-angguk
pula, “tetapi prajurit Pajang telah bersikap. Bahkan sebagian dari mereka
terlampau keras menentang Mataram. Barangkali Agung Sedayu pernah berceritera
apa yang dialaminya karena kecurigaan prajurit Pajang yarg berlebih-lebihan.
Karena itu, di dalam persoalan yang terlalu lembut dan licin, mereka kurang
dapat menanggapinya. Juga Ki Lurah Branjangan yang datang dan Mataram itu sudah
bersikap, meskipun ia masih berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Karena itu,
aku memerlukan pihak yang dapat menguasai keadaan ini sebaik-baiknya di samping
kedua belah pihak akan berjalan sesuai dengan garis tugas masing-masing.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Agaknya Untara telah menemukan pengalaman baru di dalam sikapnya,
sehingga ia bukan lagi Untara yang terlampau tajam. Meskipun demikian, masih
tampak pada sikap dan kata-katanya, Untara adalah seorang senapati perang, yang
pada saat-saat tertentu pasti akan tampil dalam sikap dan tindakan-tindakan
seorang senapati.
“Apakah Kiai bersedia membantu
kami dan Paman Widura di dalam hal ini?” desak Untara.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Aku tidak berkeberatan. Aku akan membantu
Anakmas.” Kiai Gringsing berhenti sejenak. Ditatapnya wajah Sumangkar yang juga
sedang mengangguk-angguk, lalu katanya, “Dan kami sudah mulai melihat sesuatu,
yang barangkali penting Anakmas ketahui.”
Untara menjadi tegang sejenak,
lalu, “Maksud Kiai, sesuatu yang menyangkut persoalan yang kita bicarakan ini?”
Kiai Gringsing pun mengangguk.
Lalu dikatakannya apa yang dilihatnya di dalam perjalanannya ke Jati Anom.
“Apakah mungkin para prajurit
yang sedang nganglang berhenti dan membuat perapian?” Kiai Gringsing mencoba
bertanya.
“Tidak, tentu tidak mungkin,”
Untara merenung sejenak. “Itulah yang penting. Memang persoalan-persoalan yang
kadang-kadang tidak pernah kita duga sebelumnya. Aku akan memerintahkan para
prajurit untuk menelitinya.”
“Jangan tergesa-gesa, Anakmas.
Seperti yang kau katakan, bahwa prajurit-prajurit itu sebegian telah bersikap
keras menghadapi ketegangan antara Pajang dan Mataram. Ketegangan yang justru
tumbuhnya dari atas.”
“Jadi?”
“Biarlah kami melihatnya.
Nanti malam kami akan mencoba meyakinkan, apakah sebenarnya yang telah kami
lihat itu.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun ia pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Jika Kiai memerlukan,
kami dapat menyediakan beberapa orang prajurit.”
Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Jangan menimbulkan kesan yang tegang, agar upacara
perkawinan Anakmas dapat berjalan dengan tenang. Kami hanya memerlukan ijin
Anakmas. Dan kami akan mencoba berbuat dengan hati-hati, karena kami sadari, di
mana kami sedang berdiri.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Adalah di luar kebiasaannya untuk begitu saja mempercayakan tugas
yang berat kepada orang lain, bukan kepada lingkungannya. Ia mempunyai
sekelompok petugas sandi yang dapat melakukan tugas-tugas serupa itu. Namun
demikian, benar juga kata Kiai Gringsing. Jika ia memerintahkan pasukan
sandinya dan menemukan sesuatu yang dianggapnya penting, maka akan timbul
ketegangan dalam lingkungan prajurit Pajang. Ketegangan itu tentu akan
berpengaruh pada hari perkawinannya yang segera akan berlangsung.
Sejenak Untara merenungi
kata-kata Kiai Gringsing. Namung kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, “Aneh sekali. Tiba-tiba saja aku setuju dengan pendapat Kiai.
Namun hal itu justru karena aku sudah mengenal Kiai berdua bersama murid-murid
Kiai.”
“Terima kasih atas kepercayaan
ini. Nanti malam kami akan mencoba mengetahui apa yang sebenarnya telah
dilakukan oleh orang-orang yang membuat perapian di hutan itu.”
“Silahkan Kiai. Tetapi kami
berharap, bahwa tidak akan timbul salah paham dengan petugas-petugas sandi dari
Pajang. Jika kalian terpaksa berselisih pendapat, maka kalian harus berkata
berterus terang, bahwa kalian mendapat tugas khusus dari aku, dari senapati di
daerah selatan ini, supaya persoalan kalian dikembalikan kepadaku. Aku
berharap, agar kalian tidak bertindak langsung terhadap petugas sandi itu,
karena aku yakin bahwa tidak ada seorang pun dari petugas-petugas sandi Pajang
yang dapat berbuat seperti Kiai.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Memang tugas di medan yang sedang dibayangi oleh ketegangan
ini memerlukan kewaspadaan yang tinggi, karena kadang-kadang petugas-petugas
khusus semacam yang akan mereka jalani itu dapat mengakibatkan, justru mereka
harus berhadapan dengan berbagai pihak.
Namun Kiai Gringsing memahami
pesan itu, sehingga karena itu, maka ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya
sambil berkata, “Baiklah, Anakmas. Kami akan melakukan semua pesan Anakmas. Dan
karena itulah, maka sore nanti kami minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung,
agar kepergian kami tidak menimbulkan kecurigaan.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Katanya, “Silahkan. Kiai dapat menempuh jalan yang mana pun yang
baik bagi Kiai. Namun sebelumnya, Kiai dapat bertemu dengan Ki Lurah
Branjangan, sekedar memperkenalkan diri.”
Kiai Gringsing memandang
Sumangkar sejenak, namun kemudian ia mengangguk pula sambil berkata, “Baiklah.
Aku akan memperkenalkan diri dengan salah seorang petugas dari Mataram. Aku
kira Mataram memang perlu menyusun jaringan pengamanan bagi diri mereka
sendiri.”
“Ya, tetapi Mataram masih
berada di dalam lingkungan Pajang, sehingga tanggung jawab keamanannya
seluruhnya masih menjadi tanggung jawabku.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, namun kemudian ia pun menyahut, “Ya, ya. Memang segala sesuatunya,
Mataram harus mempertanggung-jawabkannya kepada Pajang, dalam hal ini kepada
senapati yang mendapat tanggung jawab di daerah selatan, yang langsung
berhadapan dengan Mataram.”
“Bukan yang berhadapan dengan
Mataram,” sahut Untara, “tetapi yang kekuasaannya meliputi Mataram.”
“O,” sekali lagi Kiai
Gringsing mengangguk-angguk, “ya, yang kekuasaannya meliputi daerah selatan
sampai ke Alas Mentaok.”
Tampak wajah Untara menegang
sedikit. Namun ia pun kemudian berusaha untuk menghilangkan segala kesan itu.
Sambil tersenyum Untara berkata, “Kiai benar. Kekuasaanku sampai ke Alas
Mentaok dengan segala isi dan perkembangan yang terjadi atasnya, karena bentuk
penyerahan Sultan Pajang kepada Ki Gede Pemanahan masih belum jelas.”
Kiai Gringsing tidak menyahut
lagi, selain mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas ia memandang Sumangkar,
dan Sumangkar pun ternyata baru mengangguk-angguk. Mereka tidak dapat berbuat
lain daripada menangkap siratan sikap Untara yang sebenarnya sebagai seorang
prajurit Pajang.
Demikianlah, maka sejenak
kemudian kedua orang tua itu pun diperkenalkan dengan Ki Lurah Branjangan.
Namun ternyata pertemuan Ki Lurah Branjangan dengan Ki Sumangkar telah
menumbuhkan keheranan sejenak. Tetapi sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan tersenyum
sambil tertawa, “Ki Sumangkar, aku sudah mendengar pengampunan khusus dari
Sultan Pajang atasmu.”
Sumangkar hanya tersenyum
saja, sementara Kiai Gringsing bertanya, “Jadi kalian sudah saling mengenal?”
Sumangkar mengangguk. Katanya,
“Aku mengenalnya sebagai Ki Lurah Mudal.”
“Nama itu terlalu jelek. Ki
Widura lebih senang menyebut aku Ki Lurah Branjangan.”
Demikianlah, mereka sempat
berbicara sejenak dengan akrabnya, seolah-olah mereka bertemu dengan kawan
sendiri dari lingkungan yang sama.
Ketika kemudian matahari
menjadi semakin rendah, maka Kiai Gringsing dan Sumangkar pun segera minta
diri. Mereka berpura-pura akan kmbali ke Sangkal Putung bersama Agung Sedayu
dan Swandaru. Hanya Untara dan Widura sajalah yang mengetahui, bahwa mereka berniat
untuk mengintai orang-orang yang tidak dikenal yang telah membuat perapian di
hutan yang terbentang di pinggir jalan, antara Sangkal Putung dan Jati Anom.
“Bagaimana dengan kuda-kuda
ini?” bertanya Swandaru ketika mereka mendekati hutan rindang itu. “Apakah
kuda-kuda ini tidak justru mengganggu?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya, lalu, “Kita ikat kuda-kuda itu agak jauh dari hutan.”
Mereka berempat pun kemudian
menuju ke sebuah pategalan di ujung hutan. Mereka mengikat kuda-kuda mereka di
tengah pategalan dan tersembunyi, sehingga tidak mudah diketahui oleh
orang-orang yang lewat di pinggir pategalan itu.
“Bagaimana kalau pemiliknya
menengok pategalan ini di malam nanti?” bertanya Swandaru.
“Jarang sekali seseorang pergi
ke pategalan yang kebetulan sedang mulai ditanami. Jika pohung ini menjelang
mengambil buahnya, barulah setiap kali mereka menengok di malam hari.”
“Kita menunggu gelap di sini?”
bertanya Agung Sedayu tiba-tiba.
“Ya, kita menunggu gelap di
sini. Tempat ini terlindung oleh pepohonan yang cukup rimbun,” sahut gurunya.
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan hilir-mudik, dicobanya untuk
membayangkan apa yang akan mereka lakukan, apabila hari menjadi gelap.
Tiba-tiba saja ia berhenti dan
bertanya kepada gurunya, “Apakah mungkin orang yang membuat perapian itu
orang-orang yang tidak dikenal di daerah ini, Guru?”
Gurunya menganggukkan
kepalanya. “Ya,” jawabnya, “agaknya mereka orang asing di sini.”
“Jika mereka orang asing,
apakah perapian itu tidak mengundang para peronda untuk mendekatinya?”
“Bukankah mereka berada di
tempat yang terlindung agak menjorok masuk. Dan menurut perhitungan mereka,
para peronda dari Jati Anom tidak akan sampai ke tempat mereka membuat perapian
itu.”
“Agaknya memang demikianlah,”
sambung Sumangkar. “Ternyata tidak seorang peronda pun yang pernah melaporkan
tentang perapian kepada Untara.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya pula.
“Dan sebentar lagi kita akan
melihat, siapakah sebenarnya mereka itu.”
Ketika matahari menjadi
semakin rendah dan hilang di balik cakrawala, maka mereka pun segera mulai
bersiap-siap. Mereka harus mendahului orang-orang yang ingin mereka ketahui
keadaannya itu.
Karena itu, ketika malam mulai
turun, mereka berempat pun segera meninggalkan kuda-kuda mereka. Dengan
hati-hati mereka berjalan menuju ke hutan yang tidak begitu lebat, yang
membentang di sebelah jalan ke Sangkal Putung.
“Bagaimana jika ada harimau
yang sampai ke pategalan itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Kemungkinan itu kecil sekali.
Terlalu jauh bagi seekor harimau. Kecuali apabila harimau itu benar-benar
kelaparan. Tetapi mudah-mudahan tidak ada seekor harimau yang pergi ke
pategalan, karena biasanya mereka tidak akan menjumpai apa pun di sana. Agaknya
harimau-harimau yang kelaparan lebih senang pergi ke padesan untuk mencuri
ternak.”
Demikianlah, maka mereka
berempat pun segera masuk ke dalam daerah hutan yang sudah menjadi gelap.
Mereka menempatkan diri mereka di tempat yang cukup terlindung, tetapi mereka
dapat melihat lapangan rumput yang diselingi oleh pohon-pohon perdu di luar
hutan sampai ke pinggir jalan. Dari kegelapan mereka akan dapat melihat
bayangan yang bergerak-gerak di tempat yang terbuka, apabila orang-orang itu
benar-benar datang lagi ke sekitar tempat itu.
Untuk memperluas jarak jangkau
pengamatan mereka, maka mereka berempat tidak berada di tempat yang sama. Kiai
Gringsing dan Swandaru memanjat sebatang pohon yang tidak jauh dari bekas
perapian yang mereka ketemukan agak menjorok ke dalam, sedang Ki Sumangkar dan
Agung Sedayu berada di dalam semak-semak, justru di bibir hutan itu.
“Apakah mereka akan kembali,
Guru?” bertanya Swandaru.
“Kita tidak tahu,” jawab
gurunya, “tetapi aku mengharap mereka akan kembali. Mereka akan membuat
perapian lagi, dan berbicara tentang tugas-tugas mereka.”
Swandaru menganggukkan
kepalanya.
“Tetapi memang mungkin pula
mereka menemukan tempat lain yang lebih baik. Dan apabila demikian, kita akan
sia-sia semalam suntuk di tempat ini,” sambung gurunya.
Swandaru mengerutkan keningnya
Tetapi ia hanya berdesah di dalam dirinya, “Jika demikian, kamilah yang lebih
bodoh dari orang-orang itu.”
Namun keduanya tidak terbicara
lagi. Swandaru duduk di atas dahan yang besar, bersandar batangnya yang
condong, sedang gurunya duduk sambil berjuntai, seperti sedang duduk di sebuah
ayunan yang tergantung tinggi-tinggi.
Agung Sedayu dan Sumangkar pun
tidak banyak berbicara. Mereka lebih memusatkan perhatian mereka kepada keadaan
di sekitarnya, sehingga mereka tidak ubahnya seperti patung-patung yang
membeku.
Mereka mulai menjadi geisah,
ketika malam menjadi semakin malam, namun tidak seorang pun yang tampak lewat
di dekat mereka, apalagi berhenti dan membuat perapian. Tetapi meskipun
demikian, mereka masih tetap menahan hati, karena mereka masih berpengharapan,
bahwa mereka tidak akan gagal.
Selagi mereka termangu-mangu
menunggu orang-orang yang belum mereka ketahui dengan pasti itu, tiba-tiba Kiai
Gringsing yang duduk berjuntai di atas sebatang dahan itu mengerutkan
keningnya. Kemudian digamitnya Swandaru yang duduk terkantuk-kantuk.
“Ssst, jangan tidur,”
desisnya.
Swandaru menggelengkan
kepalanya, “Tidak, aku tidak tidur.”
“Lihatlah,” bisik gurunya
kemudian.
Swandaru mengangkat wajahnya
mencari sesuatu di dalam rimbunnya dedaunan.
“Bukan di sana, tetapi lihat
itu.”
“Api,” desis Swandaru dengan
serta merta sambil membelalakkan matanya.
Kiai Gringsing
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di sela-sela batang pepohonan mereka melihat
samar-samar nyala api di dalam kegelapan. Meskipun tidak tepat di tempat yang
kemarin, tetapi perapian itu tidak berada terlalu jauh.
“Marilah kita melihat,” bisik
Swandaru.
“Jangan tergesa-gesa. Kita
belum tahu, siapakah mereka itu. Jika mereka memiliki kemampuan indra yang
melampaui manusia biasa, maka kita harus sangat berhati-hati. Tetapi
mudah-mudahan mereka orang-orang biasa seperti kita.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun di dalam hatinya ia berkata, “Guru juga orang yang melampaui
kewajaran manusia yang lain.”
Sejenak Kiai Gringsing masih
tetap berada di tempatnya. Perapian yang mereka lihat sedikit bertambah besar,
namun kemudian susut kembali. Agaknya orang-orang yang mengerumuninya berusaha
agar perapian itu tidak menjadi begitu besar.
“Apakah Kakang Agung Sedayu
juga melihatnya?” bertanya Swandaru.
Kiai Gringsing menggeleng.
Jawabnya, “Mungkin tidak. Tempatnya tidak memungkinkan.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Lalu, “Apakah kita akan memberitahukan kepadanya dan Paman
Sumangkar?”
“Ya. Aku akan memberitahukan.
Tunggulah kau di sini. Jika ada sesuatu yang penting, kau dapat memberitahukan
kepadaku dengan isyarat.”
“Apakah isyarat itu?”
“Kau dapat menirukan suara
burung kedasih seperti orang-orang di Alas Tambak Baya?”
“Ya.”
“Nah, itulah isyaratnya jika
perlu sekali. Tetapi aku tidak akan lama, karena mereka berada tidak jauh dari
tempat ini, asal saja mereka tidak berpindah tempat.”
Kiai Gringsing kemudian, turun
dengan hati-hati. Ketika ia sudah berdiri di tanah, ia tidak segera bergeser.
Dengan ketajaman panca indranya ia meyakinkan lebih dahulu, bahwa tidak ada
orang yang berada di sekitar tempat itu.
Baru setelah ia yakin
benar-benar bahwa tidak ada seorang pun yang melihatnya, maka Kiai Gringsing
itu mulai bergeser mendekati tempat Sumangkar dan Agung Sedayu bersembunyi.
Ternyata mereka berdua tidak
beranjak dari tempatnya. Namun karena Sumangkar tidak tahu, bahwa Kiai
Gringsing akan datang kepadanya, maka desir dedaunan yang tersentuh oleh tubuh
Kiai Gringsing membuatnya bersiap-siap. Bahkan digamitnya Agung Sedayu yang
duduk di sampingnya.
Agung Sedayu pun kemudian
mempersiapkan dirinya pula. Suara desir itu lambat laun didengarnya pula.
Namun mereka berdua itu
menarik nafas, ketika mereka mendengar suara Kiai Gringsing lirih, “Adi
Sumangkar?”
“Kiai Gringsing?” Sumangkar
menyahut.
“Ya. Aku.”
Sumangkar pun kemudian
bergeser ketika Kiai Gringsing menjadi semakin dekat di luar gerumbul tempatnya
bersembunyi. Sambil menjenguk keluar ia berkata, “Apakah Kiai melihat sesuatu?”
“Ya. Aku sudah melihat
sesuatu.”
“O, adakah mereka lewat di
dekat tempat Kiai bersembunyi di hutan itu?”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Tidak. Aku tidak melihat mereka lewat. Mungkin mereka mengambil jalan lain.
Tetapi aku sudah melihat perapian itu.”
“Jika demikian, mereka sudah
ada di tempatnya.”
“Perapian itu bergeser
sedikit.”
“Jadi, maksud Kiai?”
“Marilah, kita melihat apa
yang mereka lakukan.”
Sumangkar pun kemudian
menggamit Agung Sedayu dan memberinya isyarat untuk mengikutinya.
“Agung Sedayu,” berkata Kiai
Gringsing kemudian, “Kau mengawani Swandaru di atas dahan pohon itu. Aku dan
pamanmu Sumangkar akan melihat, siapakah yang telah membuat perapian itu?”
“Kenapa kami tidak ikut
melihatnya pula, Guru?” bertanya Agung Sedayu yang menjadi kecewa karenanya. Ia
sudah sampai ke tempat itu dan duduk di dalam semak-semak. Tetapi tiba-tiba ia
tidak diperbolehkan ikut mengetahui siapakah sebenarnya yang berada di sekitar
perapian itu.
Kiai Gringsing dapat membaca
perasaan kecewa itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau
dan Swandaru berada di belakang. Jangan mendekat sebelum aku memberikan
isyarat. Kita masih belum tahu ketajaman indra orang-orang di sekitar perapian
itu.”
Demikianlah, setelah mereka
singgah sejenak untuk memanggil Swandaru, mereka berempat pun segera pergi
mendekati perapian yang samar-samar. Tetapi Agung Sedayu dan Swandaru berada
beberapa langkah di belakang Kiai Gringsing dan Sumangkar.
Dengan hati-hati sekali, kedua
orang tua itu merayap semakin dekat. Setiap langkah, mereka perhitungkan
baik-baik, agar tidak menimbulkan suara yang dapat mengejutkan atau menunjukkan
kepada orang-orang di sekitar perapian itu, bahwa ada orang yang sedang
mengintai. Sementara Agung Sedayu dan Swandaru mengikuti saja dari jarak yang
agak jauh, namun tidak sampai kehilangan arah, karena malam yang serasa menjadi
semakin gelap di dalam rimbunnya hutan yang meskipun tidak begitu lebat.
Demikianlah, akhirnya kedua
orang tua-tua itu berhasil mendekati perapian itu. Mereka berdiri di balik
pepohonan sambil mengatur pernafasan, agar orang-orang di sekitar perapian itu
tidak mengetahui kehadiran mereka.
Beberapa saat Kiai Gringsing
dan Ki Sumangkar berada di tempatnya, mereka masih belum mendengar orang-orang
itu berbicara satu patah kata pun. Mereka duduk sambil menundukkan kepala di
sekeliling perapian sambil memanasi badannya.
“Tidak, bukan hanya badannya,”
berkata Kiai Gringsing dan Sumangkar di dalam hatinya ketika mereka melihat
semakin jelas, bahwa dua orang di antara mereka sedang memanggang beberapa
potong daging binatang.
“Apakah mereka beberapa orang
pemburu yang sedang berburu di hutan ini?” bertanya kedua orang tua-tua itu di
dalam hati pula.
Namun mereka mengerutkan
keningnya, ketika mereka melihat kulit domba teronggok di samping lingkaran
itu.
“Tentu bukan pemburu,”
keduanya mendapat kepastian. “Pemburu-pemburu tidak akan menyembelih kambing di
hutan perburuannya.”
Karena itu, maka keduanya
menjadi semakin bernafsu untuk mengetahui siapakah mereka itu.
Agung Sedayu dan Swandaru
duduk beberapa langkah dari gurunya. Mereka pun melihat merahnya api di
dedaunan dan pepohonan. Namun mereka tidak dapat melihat dengan jelas, siapa
saja yang berada di sekitar perapian itu dan apa saja yang sedang mereka
lakukan.
Ketika Swandaru akan berbisik
sesuatu, Agung Sedayu meletakkan jari telunjuknya di bibir anak muda yang gemuk
itu, sehingga Swandaru mengurungkan loncatan kata-katanya yang sudah ada di
tenggorokan.
Baru setelah daging yang
mereka panggang di perapian itu masak, terdengar salah seorang dari mereka
berbicara, “Kita makan sekarang.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Tetapi mereka pun kemudian bergeser sedikit. Salah seorang dari
orang-orang yang mengelilingi perapian itu pun berdiri dan melangkah beberapa
langkah untuk mengambil beberapa bungkus nasi.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
harus menahan hati mereka. Dengan demikian keduanya harus duduk menunggu sampai
orang-orang itu selesai makan dan berbicara sesuatu, sehingga keduanya
mendapatkan suatu kesimpulan tentang orang-orang itu. Sementara itu yang dapat dilakukan
adalah sekedar menghitung orang-orang itu. Meskipun agak sulit, namun akhirnya
Kiai Gringsing berdesis di dalam hati, “Tujuh orang.”
Sambil menunggu mereka makan,
maka Kiai Gringsing memberi isyarat kepada Sumangkar untuk mendapat
pertimbangan memanggil murid-muridnya. Menurut penilaiannya, orang-orang yang
berada di perapian itu bukanlah orang-orang yang memiliki kemampuan melampuii
orang kebanyakan.
Ki Sumangkar yang mengerti
isyarat itu pun mengangguk, karena ia pun sependapat dengan Kiai Gringsing.
Dengan demikian, maka Agung
Sedayu dan Swandaru yang sudah mulai menjadi jemu, kini dapat ikut serta
menunggui orang-orang yang sedang makan itu. Namun dengan demikian mereka pun
menemukan kejemuan baru. Orang-orang yang sedang makan itu membuat Agung Sedayu
dan Swandaru menjadi tidak sabar lagi menunggu.
Tetapi mereka harus memaksa
diri duduk saja merenung. Bahkan Swandaru sudah mulai terkantuk-kantuk,
bersandar sebatang pohon, justru membelakangi. orang-orang yang sedang makan
itu.
Namun tiba-tiba saja mereka
terkejut ketika terdengar, derap kaki kuda di kejauhan. Semakin lama menjadi
semakin dekat.
Dan ternyata, bahwa bukan saja
Kiai Gringsing dan muridnya serta Ki Sumangkar sajalah yang terkejut, tetapi
juga orang-orang yang sedang mengelilingi perapian itu. Tiba-tiba saja
terdengar perintah, “Padamkan api.”
Beberapa orang segera berdiri
dan mencakup tanah kering dan dihamburkannya di atas perapian, sehingga sejenak
kemudian api itu pun menjadi padam, meskipun masih juga tampak asap yang mengepul.
Namun ketika angin berhembus, asap itu pun segera pecah berserakan.
Derap kaki kuda itu pun
menjadi semakin dekat. Tetapi ternyata, bahwa kuda-kuda itu sama sekali tidak
berhenti. Agaknya beberapa orang peronda telah lewat di jalan yang membujur di
pinggir hutan itu.
“Anak setan,” terdengar salah
seorang dari orang-orang yang mengitari perapian yang telah padam itu
mengumpat. “Malam kemarin tidak ada seorang pun yang lewat. Sekarang
peronda-peronda itu berkeliling sampai ke tempat ini.”
“Apakah ada orang yang
berhasil mencium kehadiran kita di sini?” bertanya yang lain.
“Aku belum mendapatkan
tanda-tanda itu,” sahut yang mula-mula berbicara, yang agaknya adalah pemimpin
mereka.
“Makanlah,” desis suara yang
lain, “kita akan segera pergi.”
“Sudah habis,” terdengar
jawaban.
Namun tiba-tiba yang lain lagi
berkata, “Nasiku tumpah. Aku tergesa-gesa berdiri, ketika api perapian itu
harus dipadamkan.”
“Tinggal daunnya,” jawab yang
lain, “aku tahu, kau makan daging kambing, serta tulangnya sekali. Biasanya kau
makan nasi serta daunnya.”
“Sst,” desis pemimpin mereka,
“kita masih harus mengawasi kesiagaan Untara semalam ini. Besok kita dapat
memastikan, di mana kita akan mulai, karena besok lusa, Untara sudah harus
pergi ke Pengging. Sepeninggal Untara kita harus bertindak dengan cepat, supaya
kesan yang kita timbulkan tidak sempat mendapatkan penyelidikannya langsung.
Hanya Untara-lah yang masih dapat berpikir bening menghadapi Mataram. Pada
umumnya, para prajurit sudah diracuni oleh kecurigaan.”
“Bagaimana dengan Widura?”
“Widura sudah bukan prajurit
lagi. Ia sudah jemu, karena ketuaannya yang semakin mengganggu tugas-tugas
keprajuritannya.”
“Ia belum terlalu tua.”
Terdengar suara tertawa
pendek. Namun untuk beberapa lamanya tidak terdengar suara yang lain.
Maka sejenak kemudian, hutan
itu telah dicengkam oleh kesenyapan. Yang terdengar adalah suara binatang malam
di kejauhan. Suara burung hantu dan bilalang yang berdelik di rerumputan.
Yang mula-mula terdengar
adalah suara pemimpin dari orang-orang yang duduk di sekitar perapian yang
sudah padam itu, “Tidak seorang pun yang dapat membaca pikiran orang lain
dengan tepat. Tetapi agaknya Widura itu pun sudah jemu mengabdikan diri kepada
Sultan Adiwijaya. Tetapi karena ia tidak mau berkhianat, maka lebih baik
baginya untuk mengundurkan diri saja dari lingkungannya.”
“Apakah Ki Lurah yakin?”
tiba-tiba terdengar suara yang berat.
“Aku yakin. Banyak prajurit
yang lari ke Mataram. Lurah Branjangan lari pula di samping Ki Lurah Mahoni dan
Ki Lurah Sarimpat.”
“Tetapi hubungan Mataram
dengan Pajang masih belum dapat diambil kesimpulan apa pun juga,” suara yang
berat itu terdengar lagi. “Ternyata menurut beberapa orang petugas kami, Raden
Sutawijaya telah mengirimkan beberapa jodang sumbangan kepada Untara.”
“Kau bodoh sekali,” berkata
pemimpinnya, “itu sekedar suatu cara untuk menahan, agar Pajang jangan terlalu
cepat bertindak, sebelum Mataram siap.”
“Begitu?”
“Ya. Dan adalah tugas kita
untuk memancing tindakan Pajang terhadap Mataram. Tepat setelah Untara meninggalkan
Jati Anom.”
Sejenak kemudian tidak
terdengar jawaban sama sekali. Yang terdengar hanyalah nafas-nafas yang
berdesah.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
yang duduk berdekatan saling memandang sejenak. Tanpa disadarinya keduanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ternyata yang mereka duga telah benar-benar
terjadi. Orang-orang itu adalah orang-orang yang dengan sengaja ingin
menimbulkan benturan langsung antara Pajang dan Mataram secepatnya.
Namun keduanya masih belum
dapat menyatakan pendapatnya. Mereka masih harus menunggu sejenak, untuk
melihat perkembangan yang bakal terjadi.
“Marilah kita pergi,”
terdengar suara pemimpinnya, “kita melihat keadaan di Jati Anom. Kita masih
mempunyai waktu sampai malam besok. Di dalam waktu itu kita harus sudah dapat menentukan,
apakah yang akan kita lakukan dan di mana?”
“Sekarang kita sudah mendapat
gambaran itu,” sahut suara yang lain.
Kiai Gringsing dan Sumangkar
bersama kedua anak-anak muda yang mengikutinya itu menjadi berdebar-debar.
Namun mereka menjadi kecewa, karena ternyata orang-orang itu tidak mengatakan
apa pun tentang rencana itu. Bahkan salah seorang dari mereka berkata, “Marilah
kita pergi.”
“Kita memutari Jati Anom dari
sebelah timur. Kita akan mencari kemungkinan yang lebih baik dari yang telah
kita dapatkan apabila mungkin. Kita lewati Lemah Cengkar dan melihat hutan
kecil di sebelahnya.”
“Arah itu tidak
menguntungkan,” sahut yang lain.
“Marilah kita coba
melihatnya.”
Tidak seorang pun yang
menjawab. Di dalam kegelapan, Kiai Gringsing dan Sumangkar hampir tidak dapat
melihat orang-orang itu. Namun pandangan mata mereka yang tajam, masih juga
dapat menangkap bayangan-bayangan yang bergerak-gerak dan kemudian berjalan
meninggalkan tempat itu.
Sejenak kemudian, mereka telah
benar-benar hilang di dalam kegelapan terlindung oleh pepohonan. Bahkan langkah
kaki mereka serta desih dedaunan telah tidak terdengar lagi.
Sejenak kemudian, Kiai
Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih harus berbisik, “Mereka
pergi ke sebelah timur Jati Anom.”
“Ya. Orang-orang itulah yang
diperhitungkan oleh Ki Lurah Branjangan,” sahut Sumangkar.
“Tetapi mereka mengetahui,
bahwa Raden Sutawijaya mengirimkan orang ke Jati Anom.”
“Tetapi mereka tidak
memperhitungkan sejauh Ki Lurah Branjangan dan para pemimpin Mataram. Mereka
hanya sekedar menduga, bahwa Mataram yang agaknya tidak mereka ketahui siapa
orangnya itu telah menyerahkan sebuah bingkisan yang banyak kepada Untara.”
“Tetapi siapakah mereka
sebenarnya, Guru?” bertanya Agung Sedayu.
“Kami belum tahu pasti.”
“Apakah mereka bukan justru
orang-orang Pajang sendiri yang menghendaki agar segera mendapat perintah untuk
menghancurkan Mataram.”
Kiai Gringsing menggeleng,
“Nadanya bukan orang Pajang. Dan agaknya Untara telah berbicara dengan beberapa
orang senapati yang lain, sehingga para pemimpin prajurit di Pajang mengetahui
rencana Ki Lurah Brajangan. Dan mereka tidak akan dengan membabi buta
meneruskan rencananya untuk mengaku orang-orang Mataram, karena mereka akan
segera dikenal oleh Ki Lurah Branjangan itu.”
“Jadi kesimpulan Guru?” sahut
Swandaru.
“Bukan orang-orang Pajang,
tetapi pasti juga bukan orang Mataram.”
“Apakah mungkin mereka
pengikut-pengikut Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak?”
“Bahkan mungkin kedudukan
mereka lebih tinggi dari para hantu di Alas Mentaok itu,” sahut Kiai Gringsing.
“Mungkin di antara mereka terdapat orang yang sebenarnya berada di belakang
tabir dan menggerakkan kendali atas Kiai Damar dan Kiai Telapak Jalak serta
orang-orang yang lain lagi.”
Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Namun tiba-tiba saja Swandaru bertanya, “Tetapi, jika mereka adalah
orang-orang yang memiliki kelebihan dari Kiai Telapak Jalak, apakah mereka
tidak sangat berbahaya, Guru? Dan apakah kita akan dapat mengikutinya dan menyadap
pembicaraan mereka?”
“Tentu bukan orang-orang yang
duduk di perapian itu. Maksudku, yang akan memimpin mereka. Yang memimpin
keseluruhan gerak dari orang-orang yang tidak mau melihat Mataram menjadi
tempat yang ramai, seperti juga sebagian orang-orang Pajang yang tidak mau
melihat Mataram menjadi sebuah kota.”
Kedua murid Kiai Gringsing itu
mengangguk-angguk. Tetapi Agung Sedayu masih juga bertanya, “Guru, apakah
sebabnya Pajang berkeberatan? Bukankah Pati, dan kota-kota di pesisir
berkembang dengan pesat pula? Adipati-adipati di daerah timur juga menumbuhkan
persoalan-persoalan tersendiri. Tetapi mengapa perhatian Sultan Adiwijaya
justru ditujukan kepada daerah yang baru berkembang. Daerah yang masih terlalu
lemah, dibandingkan dengan daerah para adipati yang sudah tumbuh semakin kuat
itu? Atau barangkali akulah yang sama sekali tidak dapat membayangkan kesiagaan
prajurit Pajang di daerah-daerah lain yang dianggapnya juga bergolak?”
“Tidak, Agung Sedayu.
Perhatian Pajang kini terutama tertuju kepada Mataram.”
“Jika demikian, kenapa, Guru?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian, “Meskipun kadipaten yang lain lebih kuat dari
Mataram sekarang, Agung Sedayu, tetapi di daerah-daerah itu tidak ada sebuah
nama yang mempunyai pengaruh sebesar Raden Sutawijaya dan Ki Gede Pemanahan. Di
daerah pesisir tidak ada seorang pun yang sangat dihormati oleh Sultan
Adiwijaya seperti Ki Gede Pemanahan dan yang memiliki kemampuan mengemudikan
pemerintahan seperti orang tua itu. Itulah sebabnya, beberapa orang di Pajang
menjadi sangat cemas melihat perkembangan Mataram. Terutama para senapati yang
masih tetap menganggap, Pajang sebagai pusat dari perkembangan tanah ini.”
Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti keterangan gurunya itu.
Ternyata, bahwa seseorang memang dapat menjadi sangat berpengaruh atas suatu
persoalan yang sedang berkembang.
Namun sebelum Agung Sedayu
bertanya lebih lanjut, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Kita mengikutinya
sampai ke Lemah Cengkar.”
“Bagaimana dengan kuda-kuda
itu, Guru?” bertanya Swandaru.
“Biar saja ia berada di
pategalan itu. Tidak akan terjadi apa-apa atas mereka. Mungkin kuda-kuda itu
sekarang sedang tidur dengan nyenyak.”
Swandaru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.
“Kita akan memintas, sehingga
kita akan mendahului mereka sampai ke Lemah Cengkar,” berkata Kiai Gringsing
kemudian.
“Apakah mereka tidak juga
memilih jalan memintas?” bertanya Agung Sedayu.
“Agaknya mereka bukan orang
yang tinggal di sekitar daerah ini. Mereka tidak mengenal jalan-jalan sempit di
tengah hutan ini.”
“Apakah Guru mengenalnya?”
“He, bukankah aku orang Dukuh
Pakuwon.”
“O,” Agung Sedayu
mengangguk-anggukkan kepalanya.
Gurunya, yang juga bernama
Tanu Metir itu memang pernah tinggal di Pakuwon untuk waktu yang cukup lama,
sehingga tidak mustahil, jika dukun tua dari Dukuh Pakuwon itu mengenal
jalan-jalan setapak di daerah ini.
Demikianlah, maka mereka
berempat pun segera berangkat menyusuri pinggiran hutan. Namun kemudian mereka
pun segera memotong, setelah mereka menemukan sebuah jalan sempit yang
memintas. Mereka menyusup pepohonan dan pohon-pohon perdu. Tetapi hutan ini
tidak seganas Alas Tambak Baya, apalagi Alas Mentaok. Karena itu, bagi keempat
orang itu, perjalanan mereka bukannya perjalanan yang terlampau sulit.
Meskipun demikian, terbersit
juga sebuah kenangan di dalam hati Agung Sedayu. Sejak kecil ia mendengar
cerita tentang Lemah Cengkar yang angker. Menurut kata orang, di daerah Lemah
Cengkar terdapat seekor harimau putih yang jauh lebih besar dari harimau
kebanyakan. Bahkan lebih besar dari Macan Gembong sekalipun. Sudah tentu, bahwa
menurut cerita macan putih itu sama sekali bukan harimau sebenarnya, tetapi
harimau jadi-jadian.
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Terkenang pula ketika ia untuk pertama kali mengikuti kakaknya,
Untara. Betapa ia dibayangi oleh wajah-wajah hantu yang menakutkan. Untunglah,
ketika ia berada di Alas Mentaok, hatinya sudah tabah menghadapi wajah-wajah
hantu yang menakutkan itu. Jika sekiranya ia dilepaskan di daerah Alas Mentaok
selagi ia masih dibelenggu oleh perasaan takutnya, maka ia tidak akan lebih
baik dari orang-orang yang ketakutan di daerah yang sedang dibuka itu.
Tetapi kini, Agung Sedayu
tidak lagi dihantui oleh cerita tentang Macan Putih di Lemah Cengkar. Bahkan
sejenak kemudian, pikirannya sudah beralih kepada orang-orang yang sedang
diikutinya itu.
Setelah beberapa lama mereka
berjalan, maka mereka pun menjadi semakin dekat dengan daerah Lemah Cengkar.
Sebuah hutan kecil terbentang di sebelah utara daerah yang masih liar itu.
Beberapa batang pohon yang besar tumbuh di antara kekerdilan semak-semak. Dan
di atas sebuah puntuk kecil terdapat sebuah batu yang aneh. Seolah-olah batu
itu diatur oleh tangan manusia dan diletakkannya di atas gumuk kecil itu.
“Kita menunggu di sini. Mereka
pasti akan melintas jalan ini,” berkata Kiai Gringsing.
Kedua muridnya dan Ki
Sumangkar hanya menganggukkan kepalanya. Mereka percaya, bahwa Kiai Gringsing
seakan-akan memiliki firasat yang sangat tajam.
Demikianlah, mereka kemudian
bersembunyi di balik semak-semak untuk menunggu orang-orang yang semula
mengelilingi perapian dan yang kemudian berusaha untuk menemukan pangkal yang
baik bagi usaha mereka mengacaukan Jati Anom.
Ternyata bahwa perhitungan Kiai
Gringsing tidak salah. Sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara
ranting-ranting perdu yang berpatahan.
“Kalian di sini, Agung Sedayu
dan Swandaru. Kali ini kita tidak sekedar mengintai orang-orang yang duduk
mengelilingi perapian. Tetapi kita akan mengikuti mereka bergeser dari satu
tempat ke tempat yang lain. Jangan pergi ke mana pun. Aku berdua bersama Ki
Sumangkar akan mengikuti mereka dan akan mencari kalian ke tempat ini jika kami
sudah merasa cukup.”
Ia melihat kekecewaan
membayang di wajah kedua muridnya. Namun kali ini Kiai Gringsing tidak dapat
mempertimbangkan kemungkinan lain yang lebih baik.
Betapa pun kecewa bergejolak
di dalam hatinya, namun kedua murid Kiai Gringsing itu harus mematuhi kata-kata
gurunya, karena hal itu pasti sudah dipertimbangkannya baik-baik.
Sesaat kemudian, maka ketujuh
orang yang sedang mereka tunggu itu pun lewat beberapa langkah di hadapan Kiai
Gringsing menuju ke rumpun-rumpun perdu yang lebih lebat di pinggir hutan kecil
agak ke utara.
Dengan isyarat, Kiai Gringsing
mengajak Ki Sumangkar untuk segera mengikuti mereka Tetapi untuk sementara
keduanya tidak berani mendekat, karena mereka masih berada di tempat yang agak
terbuka.
Namun ketika kemudian mereka
memasuki hutan perdu yang liar, barulah keduanya berusaha untuk mengikutinya
dari jarak yang semakin dekat.
“Ternyata tempat ini cukup
baik,” desis salah seorang dari mereka.
Tidak ada yang segera
menanggapi. Tetapi mereka berjalan terus menelusuri rumpun-rumpun perdu yang
menjadi semakin lebat, dan kemudian sampai di daerah hutan kecil yang gelap.
Sesaat kemudian, pemimpin
mereka itu pun berkata, “Kita berhenti sebentar. Kita pertimbangkan tempat
ini.”
Orang-orang itu pun kemudian
berhenti. Mereka berdiri menghadap ke Jati Anom.
“Kita akan membuat
pertimbangan-pertimbangan,” berkata pemimpinnya, “apakah tempat ini lebih
menguntungkan atau tidak, dibandingkan dengan hutan mlandingan sebelah barat
Jati Anom?”
Kawan-kawannya tidak segera
menyahut.
“Kita akan menyerang Jati Anom
dan berusaha membuat kegaduhan sejauh-jauh mungkin. Kita mengharap betapapun
mereka bersiaga, namun mereka akan lengah juga sepeninggal Untara, karena
pengamanan mereka pasti sebagian terbesar mereka tujukan bagi Untara dan para
perwira yang hadir di Jati Anom dan akan membawa Untara ke Pengging. Kegaduhan
yang timbul pasti akan segera membuat Rangga Parasta marah dan mempengaruhi
Untara untuk segera bertindak setelah hari-hari pertamanya dilewatinya. Dari
tempat ini, kita dapat mencapai Sendang Gabus tanpa kesulitan. Kita akan
menghindari jalan langsung ke Banyu Asri. Yang harus kita lakukan adalah
memasuki rumah Untara. Bukan rumah Widura.”
“Tetapi prajurit Pajang
sebagian terbesar ada di banjar kademangan. Jika kita tidak segera mencapai
rumah Untara, maka para peronda akan sempat membangunkan para prajurit yang ada
di banjar dan juga yang berpencaran di sekitarnya,” sahut seseorang.
“Kita akan berputar lewat
sebelah selatan. Justru di sebelah timur Banyu Asri.”
“Jika demikian, apakah tidak
lebih baik kita berada di sebelah barat. Jika kita terpaksa harus secepatnya
menghilang, kita dapat naik ke lereng Merapi, dan bersembunyi di sekitar bekas
padepokan Tambak Wedi.”
“Tetapi untuk mencapai rumah
Untara yang dipergunakan sebagai tempat tinggal para perwira itu, kita lebih baik
datang dari arah ini. Kita akan membunuh beberapa orang perwira, kemudian kita
dapat menghilang ke barat, karena jika ada kesempatan membangunkan para
prajurit di banjar, mereka akan datang dari arah timur.
“Jadi kenapa kita harus datang
dari arah timur juga?”
“Supaya tidak menimbulkan
kemungkinan ada persiapan lebih dahulu di bagian barat, jika memang ada satu
dua orang peronda yang melihat salah seorang dari kita yang akan menyusup
masuk. Dan jarak untuk mencapai rumah Untara agaknya lebih aman, karena
pengamanan daerah ini pasti akan ditekankan di daerah barat, karena mereka
masih harus mengawasi rumah Widura.”
“Jadi kenapa kita tidak
menghindar ke timur juga?” bertanya yang lain.
“Sudah aku katakan, jika ada
satu dua orang yang sempat membunyikan tengara, prajurit-prajurit yang ada di
banjar akan bangun dan mereka akan datang dari arah timur. Namun kita berharap,
bahwa mereka masih tetap nyenyak ketika kita datang.”
Sejenak tidak ada seorang pun
yang segera menyahut. Agaknya mereka sedang merenungi rencana itu. Daerah ini
memang baik mereka jadikan daerah persiapan. Sedang daerah lereng Merapi adalah
daerah yang baik untuk mereka jadikan tempat menghindar. Batu-batu padas yang
besar dan liku-liku lereng yang berselimut batang-batang perdu memberikan
kemungkinan lolos yang sebesar-besarnya. Apalagi mereka sempat meninggalkan
Kademangan Jati Anom, kemudian memasuki alas mlandingan yang meskipun tidak
begitu luas, mereka akan dapat hampir memastikan untuk berhasil menyelamatkan
diri di lereng-lereng yang berbatu padas.
Untuk beberapa saat lamanya
orang-orang itu masih berdiam diri sambil mengawasi keadaan di sekitarnya.
Tetapi gelap malam rasa-rasanya menjadi semakin pepat, sehingga sejenak
kemudian, salah seorang dari mereka berkata, “Aku kira kita dapat mengajukan
rencana ini. Tetapi sebaiknya besok siang kita melihat keadaan ini untuk
mendapatkan kepastian.”
“Di siang hari?”
“Ya.”
“Berbahaya sekali.”
“Tentu tidak perlu kita semua
berbareng datang kemari. Aku akan datang dengan seorang dari kalian.”
“Hanya dua orang?”
“Ya, tentu tidak akan
menumbuhkan kecurigaan. Adalah merupakan hal yang biasa bila dua orang berjalan
bersama-sama. Apakah yang aneh? Jika kita datang bertujuh, memang hal itu akan
dapat menumbuhkan persoalan.”
Kawan-kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang mereka harus melihat keadaan ini di
siang hari supaya mereka dapat memastikan apa yang harus mereka lakukan.
“Marilah, kita sekarang
pergi.”
“Apakah kita tidak melihat
Jati Anom?”
“Tidak ada yang baru di Jati
Anom. Besok pun tidak ada. Tetapi besok kita dapat melihat Banyu Asri yang
sepi, setelah Untara pergi. Lusa kita akan melakukan rencana kita memasuki Jati
Anom itu.”
Tidak ada seorang pun yang
menyahut.
“Marilah,” gumam pemimpinnya
itu sambil melangkah.
Sejenak kemudian mereka pun
berjalan berurutan meninggalkan tempat itu.
Dalam pada itu, Sumangkar dan
Kiai Gringsing yang mengintip mereka, membiarkan mereka pergi. Mereka sama
sekali tidak berbuat sesuatu, selain memandang bayangan yang kehitam-hitaman
itu hilang di dalam kelam.
Sejenak kemudian, barulah
mereka berdiri sambil menggeliat. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, Kiai
Gringsing berdesis, “Rencana yang baik.”
Sumangkar pun
mengangguk-angguk pula, katanya, “Tentu rencana ini di susun oleh orang yang
cukup berpengalaman.”
“Ya,” sahut Kiai Gringsing,
“kita harus berhati-hati. Kita tidak dapat menghadapi mereka tanpa orang lain.”
“Prajurit-prajurit itu?”
“Kita harus berhati-hati.
Siapa tahu, bahwa ada orang-orang mereka yang menyusup di dalam lingkungan
keprajuritan.”
Sumangkar mengangguk-angguk
dan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menemukan sesuatu untuk mengatasi
persoalan itu.
“Marilah, kita kembali kepada
Agung Sedayu dan Swandaru. Barangkali kita akan menemukan sikap sambil berjalan.”
Keduanya pun segera kembali ke
tempat mereka meninggalkan Agung Sedayu dan Swandaru. Kiai Gringsing
menggeleng-gelengkan kepalanya, ketika dilihatnya Swandaru sedang tidur dengan
nyenyaknya.
“Dapat juga ia tidur nyenyak,”
desis Kiai Gringsing.
Agung Sedayu tersenyum sambil
menjawab, “Ia kecewa sekali karena kami tidak boleh ikut serta. Karena itu,
lebih baik baginya untuk tidur saja daripada menggerutu tidak habis-habisnya.”
Kedua orang tua-tua itu pun
tersenyum.
Ternyata percakapan itu telah
membangunkan Swandaru, sehingga sambil menggeliat ia berkata, “Apakah sekarang
sudah fajar pagi?”
“Sudah lewat,” jawab Agung
Sedayu.
Swandaru pun kemudian berdiri
sambil bertanya, “Di mana orang-orang iti, Guru?”
“Sudah pergi.”
“Pergi? Dan kita membiarkan
mereka pergi tanpa berbuat apa-apa?”
“Kita tidak berbuat apa-apa.”
“Kenapa guru?” Agung Sedayu
pun bertanya, “bukankah mereka orang-orang yang berbahaya?”
“Ya. Mereka memang orang-orang
yang berbahaya. Tetapi kita tidak dapat berbuat sesuatu atas mereka itu
sekarang. Dengan demikian, kita tidak akan dapat menemukan kepalanya, kecuali
ekornya saja, seperti seekor cicak, meskipun kita mematahkan ekornya, maka ekor
itu akan segera tumbuh kembali.”
Kedua murid-muridnya tidak
menjawab, meskipun mereka belum mengerti alasan gurunya itu yang sebenarnya.
“Mereka bukannya orang-orang
terpenting dari lingkungan mereka,” berkata Kiai Gringsing. “Mereka hanyalah
semacam penunjuk jalan, atau petugas-petugas sandi.”
“Tetapi jika kita menangkap
mereka, maka mereka tidak akan dapat memberikan keterangan lebih jauh kepada
atasan mereka.”
“Ya, karena mereka tidak
kembali kepadanya. Tetapi, bahwa mereka tidak kembali ke pangkalan itu pasti
menimbulkan persoalan bagi mereka. Jika mereka bukan orang-orang yang sangat
dungu, maka mereka pasti akan segera merubah rencana mereka. Perubahan rencana
itu sangat merugikan bagi kita. Sekarang kita sudah dapat mengetahui rencana
ini. Agaknya mereka mendapat kepercayaan penuh untuk menentukan dari mana
mereka datang dan kemana mereka akan pergi. Jika rencana itu berubah, kita
tidak akan dapat mengerti, apakah yang akan mereka lakukan kemudian.”
“Tetapi apakah kita dapat
memastikan, bahwa pendapat orang-orang itu akan diterima oleh atasannya?”
“Menilik pembicaraan mereka,
mereka adalah satu-satunya kelompok yang mendapat tugas untuk menentukan garis
serangan,” jawab gurunya, namun kemudian, “tetapi memang tidak mustahil, bahwa
mereka hanya dapat memberikan bahan dan pertimbangan. Meskipun demikian inti
dari rencana itu sudah kita ketahui, sehingga kita dapat menentukan sikap.”