Buku 043
Ki Argapati yang kemudian
berdiri di depan regol itu memandangi bayangan barisan lawan di dalam gelap
malam. Ia tidak dapat menduga, berapa besar pasukan lawan itu.
Tetapi agaknya pasukan Ki
Tambak Wedi itu pun berhenti beberapa puluh langkah di depan regol. Beberapa
lama mereka mengatur gelar yang akan dipergunakan dan menempatkan orang-orang
terpenting pada tempat yang telah ditentukan.
“Kita tidak akan dapat menahan
mereka di luar regol,” desis Ki Argapati kepada orang-orang yang ada di sekitarnya.
Samekta, Wrahasta, Kerti, Hanggapati, Dipasanga, Pandan Wangi, dan beberapa
pemimpin kelompok terdekat. “Mereka akan merupakan banjir bandang yang tidak
tertahankan. Karena itu jangan berbuat bodoh dengan usaha yang sia-sia itu.
Tetapi kalian harus berusaha, mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyak dapat
kalian lakukan pada saat mereka mendesak masuk. Kita akan bertempur di dalam
regol apabila mereka sudah memecahkan pertahanan kita. Karena itu, kita harus
mempersiapkan arena itu. Sehingga kita mendapat keuntungan karenanya. Dalam
perang campuh, kita harus masih mendapat kesempatan, mempergunakan
senjata-senjata lontar. Itulah sebabnya, maka kita harus memanfaatkan
pagar-pagar batu. Mereka tidak akan memperhitungkan sampai sejauh itu.”
Samekta dan para pemimpin yang
lain mengangguk-anggukkan kepala mereka. Persiapan itu memang telah
dilakukannya. Peringatan Ki Gede ini telah memantapkan cara itu untuk melawan
serangan yang kurang diketahui, betapa besarnya.
“Begitu mereka mulai
bergerak,” sambung Ki Argapati, “berikan tanda-tanda kepada pasukan yang berada
di luar regol. Mereka akan menyerang pasukan lawan dari belakang. Mudah-mudahan
pengaruhnya cukup baik bagi kita.” Ki Argapati berhenti sejenak, lalu, “Kalian
tidak boleh salah menempatkan diri. Kalian telah mempunyai lawan masing-masing,
sehingga kalian harus menemukannya. Kalau tidak rencana kita tidak akan
berjalan dengan baik. Orang-orang terpenting di pihak lawan akan menimbulkan
terlampau banyak korban.”
Para pemimpin pengawal itu
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Hanggapati dan Dipasanga sejenak saling
berpandangan. Mereka belum mengenal seorang demi seorang, apalagi lawan, sedang
kawan sendiri pun masih belum dikenalnya dengan baik.
“Beri kami petunjuk,” berkata
Hanggapati, “supaya kami tidak keliru memilih lawan.”
“Ya,” jawab Ki Argapati,
“Wrahasta akan bersama Ki Hanggpati dan Kerti akan berada bersama Ki Dipasanga.
Mereka akan membawa kalian berdua kepada lawan-lawan kalian untuk bertempur
bersama-sama. Ki Hanggapati dan Ki Dipasanga masih belum dapat menimbang betapa
jauh kemampuan lawan, karena sebelumnya belum pernah mengenalnya.”
Hanggapati dan Dipasanga
mengangguk-anggukkan kepalanya. Berkata Dipasanga, “Yang penting bagi kami
bukanlah untuk mengenal kemampuan. Hampir setiap prajurit di peperangan tidak
mengenal kemampuan lawan-lawannya sebelumnya. Yang penting bagi kami, karena
lawan-lawan kami telah ditentukan sebelumnya adalah orang-orangnya. Siapakah
dan yang manakah yang bernama Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, Peda Sura, dan
yang lain lagi.”
”Ya, ya,” Ki Argapati
mengangguk-anggukkan kepalanya, “aku dapat mengerti. Mudah-mudahan dalam
hiruk-pikuk pertempuran, rencana yang telah kita susun itu dapat kita lakukan
dengan baik.”
Hanggapati dan Dipasanga
mengangguk-anggukkan kepala mereka. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka
adalah orang-orang yang memiliki kemampuan tidak kalah dari para perwira
Pajang. Karena itu, maka pertempuran kali ini tidak akan dapat dianggapnya
sebuah perkelahian antara mereka yang sedang berebut air sawah, meskipun
hakekatnya tidak jauh berbeda.
Tetapi keduanya adalah
pengawal yang telah dipercaya oleh Ki Gede Pemanahan, untuk mengawani putra
satu-satunya, menyelami pedalaman Alas Mentaok. Keduanya adalah perwira-perwira
yang dapat dibanggakan. Keduanya tidak jauh berbeda kemampuan dari Sutawijaya
sendiri.
Dan kini mereka berdua
mendapat tugas untuk mendekatkan hubungan antara Mentaok, yang masih harus
membangun hari depannya dengan Menoreh, yang kini sedang dibakar oleh api
perpecahan.
“Aku harus dapat menunaikan
tugas ini dengan baik,” berkata Hanggapati di dalam hatinya. “Kalau aku gagal,
maka pendekatan hubungan antara Angger Sutawijaya dan Ki Argapati ini pun akan
gagal pula. Tetapi kalau aku berhasil bersama Ki Dipasanga, maka setidak-tidaknya,
Ki Argapati akan mengingat-ingatnya di dalam hatinya. Apabila Angger Sutawijaya
kelak berhasil membuka Mentaok, Menoreh pasti tidak akan mengganggunya.”
Sedang Dipasanga pun
berpendirian serupa itu pula, sehingga meskipun kini mereka sedang berada di antara
lingkungan yang baru saja dikenalnya, namun mereka merasa, bahwa tugas mereka
harus mereka lakukan sebaik-baiknya untuk kepentingan Sutawijaya.
Demikianlah, maka para
pemimpin Menoreh itu pun telah siap untuk menyambut lawan mereka. Wajah-wajah
mereka segera menjadi tegang, ketika bayangan di atas sawah yang kering di
hadapan regol itu mulai bergerak-gerak, seperti seleret pagar yang hitam yang
maju perlahan-lahan di antara batang-batang ilalang yang tumbuh liar.
“Mereka telah mulai bergerak,”
desis Samekta.
“Ya. Mereka telah mulai.”
Setiap orang mulai menahan
nafasnya, seperti Ki Tambak Wedi juga menahan nafas. Sidanti, Argajaya, Ki Peda
Sura, Ki Muni, Ki Wasi, dan pemimpin yang lain telah ditempatkan di tempat
masing-masing. Dan pasukannya kini telah mulai merayap mendekati regol
padukuhan di hadapan mereka. Ki Tambak Wedi menyadari, bahwa di sekitar regol
itu telah siap segala macam ujung senjata yang akan menyambutnya. Namun tidak
ada pilihan lain daripada bertempur. Tidak ada pilihan lain daripada menumpas
mereka, yang akan dapat menjadi benih persoalan di masa depan. Ki Tambak Wedi
sama sekali tidak menghiraukan lagi, apakah dengan demikian ia telah
menyisihkan rasa perikemanusiaan.
Sejenak kemudian, setiap
tangan telah menggenggam senjata yang telanjang. Beberapa orang di setiap
kelompok diperlengkapi dengan senjata-senjata jarak jauh. Panah, bandil dan
bahkan tulup-tulup berduri. Di samping mereka yang berperisai, pelontar
senjata-senjata jarak jauh itu harus berusaha mengurangi tekanan senjata-senjata
yang dilontarkan oleh lawan.
Maka setelah Ki Tambak Wedi
merasa saatnya telah tiba, pasukannya itu pun dibawanya maju semakin dekat.
Jarak yang semakin dekat itu telah membuat kedua belah pihak menjadi semakin
berdebar-debar. Setiap orang mulai menilai diri. Dan setiap orang mulai
bertanya-tanya, siapakah lawan yang akan dibinasakannya?
Jarak yang memisahkan kedua
pasukan itu menjadi semakin dekat. Sebentar lagi mereka pasti akan segera
berbenturan. Dalam benturan yang dahsyat itu, mereka sudah tidak akan ingat
lagi, bahwa mereka pernah hidup dalam satu lingkungan keluarga besar yang
bersama-sama membina tanah perdikan ini. Yang pernah bersama-sama membuat
sawah-sawah dan pategalan menjadi hijau. Menebas hutan untuk membuka
tanah-tanah baru. Menggali parit, dan membuat jalan-jalan.
Kini mereka telah terbelah
dengan senjata di tangan masing-masing. Sedang dada mereka telah terbakar oleh
kebencian dan nafsu-nafsu yang lain, yang tidak terkendali lagi.
Dan kini mereka telah siap
untuk saling membunuh. Ya, saling membunuh. Tanpa belas kasihan, tanpa
berperikemanusiaan. Apalagi perintah Ki Tambak Wedi. Semua harus dimusnahkan.
Mereka akan menjadi rabuk bagi kesuburan dan kemakmuran tanah ini di hari
kemudian.
Ki Argapati menunggu pasukan
lawan menjadi semakin dekat. Ia tidak akan menerima lawannya dekat di depan
regol. Tetapi ia akan mundur beberapa puluh langkah. Ia memerlukan suatu arena
yang luas untuk melawan pasukan Ki Tambak Wedi yang tidak akan dapat tertahan
di mulut regol, karena Ki Argapati telah dapat membayangkan, betapa dahsyatnya
banjir bandang yang akan melanda padukuhan dan pertahanannya kali ini. Namun
menurut perhitungannya, korban mereka pun tidak akan terhitung lagi.
Demikianlah, maka pasukan Ki
Tambak Wedi itu pun telah menjadi semakin dekat. Samekta yang telah berjanji
untuk memberitahukan kepada gembala tua dan sebagian pasukannya yang berada di
pategalan di sebelah padukuhan, itu pun segera memerintahkan untuk melepaskan
tiga buah anak panah api ke udara, seperti yang telah dijanjikan. Tetapi panah
api itu bukan sekedar pemberitahuan kepada pasukan Menoreh yang ada di luar
padukuhan, tetapi juga merupakan perintah bagi setiap orang dari pasukan
pengawal tanah perdikan ini untuk berada di tempatnya, dan bagi mereka yang
berkewajiban untuk menyerang pasukan Tambak Wedi dengan senjata-senjata
pelontar, untuk segera mulai memasang anak-anak panah, dan lembing-lembing yang
akan segera mereka lepaskan apabila perintah berikutnya telah diberikannya.
Sejenak kemudian, maka
meluncurlah tiga buah panah api berturut-turut ke udara.
Ki Tambak Wedi dan
orang-orangnya yang melihat panah api itu mengerutkan kening mereka. Mereka
sadar, bahwa tanda itu pasti merupakan suatu perintah. Tetapi mereka tidak
tahu, arti dari perintah itu.
Meskipun demikian, Ki Tambak
Wedi pun kemudian meneriakkan aba-aba yang segera disahut oleh para pemimpin
kelompok, untuk berwaspada.
“Panah berapi itu pasti
mengandung suatu maksud. Hati-hatilah. Kita sudah sampai ke hidung lawan.
Sebentar lagi senjata-senjata mereka akan menghujani kita. Berlindunglah pada
perisai-perisai kalian.”
Belum lagi gema perintah itu
hilang, maka ternyatalah, bahwa Samekta telah memberikan perintah berikutnya
atas persetujuan Ki Argapati.
Kali ini bukan panah api yang
naik ke udara, tetapi sebuah panah api yang langsung dilepaskan oleh Samekta
sendiri ke arah pasukan Ki Tambak Wedi.
Beberapa orang pengawal yang
melihat panah api itu pun segera menyadari, bahwa pertempuran sudah dimulai.
Sekejap kemudian, maka
beberapa panah api telah meluncur pula dari dalam lingkungan pring ori.
Beberapa obor terpaksa dinyalakan untuk membakar ujung panah berapi itu.
Ki Tambak Wedi pun kemudian
menggeram. Dengan suara bergetar ia segera meneriakkan perintah, “Balas setiap
panah dengan panah. Setiap nyawa dengan nyawa.”
Anak buahnya pun segera
menyiapkan perisai-perisai mereka dan di belakang orang-orang yang berperisai
itu, beberapa orang telah menyiapkan busur dan anak-anak panah pula.
Sejenak kemudian, maka udara
di antara kedua pasukan itu pun segera dipenuhi oleh anak-anak panah yang
hilir-mudik ke arah yang berlawanan. Anak-anak panah para pengawal yang
bersenjata di balik pring ori dan anak-anak panah orang-orang Ki Tambak Wedi
yang mencoba melindungi diri mereka dengan perisai-perisai.
Bukan saja anak-anak panah
bedor berujung runcing yang berterbangan kian kemari, tetapi juga panah-panah
api, seolah-olah menari-nari di udara.
Pasukan Ki Tambak Wedi yang
merayap maju itu sama sekali tidak menghiraukan bumbung-bumbung kecil di bawah
kaki-kaki mereka.
Dengan demikian, maka mereka
telah menggulingkan beberapa di antara bumbung-bumbung yang berisi minyak,
semakin lama semakin banyak. Dan minyak itu agaknya telah menangkap api yang
terlontar dari panah-panah api dari balik pring ori. Dengan demikian, maka api
pun segera berkobar pada jerami yang sengaja ditebarkan oleh para pengawal
Menoreh.
“Licik,” Ki Tambak Wedi
menggeram. Mau tidak mau, maka api itu pun telah mengganggu pasukannya. Bahkan
beberapa orang yang lengah telah terjilat api jerami di bawah kaki-kaki mereka.
Api itu pun sejenak kemudian
telah menjalar. Api yang terlontar pada ujung-ujung panah api telah membakar
jerami itu di beberapa tempat, sehingga jerami yang terbakar itu pun kemudian
seolah-olah merupakan pagar yang menjilat-jilat ke udara.
Api itu benar-benar telah
berhasil menahan arus pasukan Ki Tambak Wedi. Mereka harus berhati-hati, supaya
kaki mereka tidak terbakar karenanya.
Dalam kesempatan yang demikian
itulah, pasukan pelontar lembing dan busur-busur di dalam pagar pring ori itu
melepaskan lembing dan anak-anak panah. Seperti hujan senjata-senjata itu
menyambar pasukan Ki Tambak Wedi yang sedang terhambat maju.
Sekali lagi Ki Tambak Wedi
mengumpat. Sidanti yang menjadi kian marah berteriak nyaring, “Jangan takut. Mereka
menjadi licik karena mereka ketakutan melihat arus pasukan kita yang datang
seperti banjir bandang. Pecahlah regol itu, kita jadikan padukuhan itu menjadi
karang abang.”
Pasukan Ki Tambak Wedi pun
kemudian bersorak gemuruh. Tetapi mereka masih belum dapat maju, karena api
yang membakar jerami di depan regol itu masih menyala-nyala, sementara
anak-anak panah menyambar-nyambar di atas kepala mereka.
Satu dua dari mereka ternyata
menjadi lengah. Selagi mereka meloncat-loncat menghindari api di bawah kaki
mereka, maka sementara itu dada mereka telah disambar oleh sebuah anak panah.
Korban telah mulai berjatuhan.
Justru karena itulah, maka
kemarahan Ki Tambak Wedi, Sidanti, Argajaya, dan para pemimpin yang lain
menjadi semakin memuncak.
Namun api jerami itu pun tidak
dapat bertahan terlampau lama. Sejenak kemudian, api itu telah mulai surut.
Meskipun demikian, api itu telah berhasil menahan mereka dalam garis lontaran
anak-anak panah dan lembing, sehingga senjata-senjata itu telah berhasil
merenggut beberapa nyawa dari lawan mereka.
“Kita maju terus,” teriak Ki
Tambak Wedi.
Orang yang telah berada di
depan api jerami itu tidak segera maju. Mereka masih menunggu pasukan yang
lain, yang terpisah oleh api yang sudah hampir padam.
“Cepat, maju terus!” teriak Ki
Tambak Wedi pula.
Namun mereka masih belum dapat
maju. Sisa-sisa api dan abu jerami itu masih terlampau panas, sementara
anak-anak panah dan lembing masih terus menghujani mereka, sehingga satu demi
satu korban pun kian bertambah-tambah.
Baru sejenak kemudian, pasukan
itu dapat melampaui bekas api jerami yang di sana-sini masih menyimpan bara.
Dan ternyata kemudian, untuk
melampaui garis yang dibuat oleh para pengawal Menoreh dengan jerami dan minyak
itu, pasukan Ki Tambak Wedi sudah harus menyerahkan beberapa orang korban.
Namun korban-korban itu seperti api yang menyentuh minyak di dalam dada para
pemimpinnya. Dengan kemarahan yang menyala-nyala, mereka merayap semakin dekat.
Panah dan lembing berloncatan
di udara. Semakin lama semakin banyak. Bahkan ada di antara senjata-senjata itu
yang berbenturan di udara dan jatuh di tanah tanpa menyentuh korbannya sama
sekali.
Ki Gede melihat pasukan lawan
yang semakin maju itu dengan dada yang berdebar-debar. Ternyata pasukan itu
cukup kuat. Dan Ki Gede Menoreh itu tahu benar, bahwa sebagian dari mereka,
bukanlah orang-orang Menoreh. Orang yang datang untuk pamrih-pamrih pribadi,
itulah yang membuat Ki Gede terlampau prihatin. Orang-orang itu sama sekali
tidak memikirkan kepentingan apa pun, selain kepentingan diri mereka sendiri.
Sehingga dengan demikian, Menoreh sama sekali tidak akan berarti lagi bagi
mereka, apabila maksud mereka telah dapat tercapai. Namun ada juga di antara
mereka, di antaranya Ki Peda Sura, yang menginginkan Menoreh yang lain dari Menoreh
yang sekarang. Selain dapat memberikan keuntungan pribadi secara langsung, juga
di waktu-waktu mendatang. Menoreh akan tetap merupakan sumber yang tidak akan
kering-keringnya bagi dirinya dan orang-orangnya.
Tetapi Ki Gede juga berbangga,
melihat kebulatan tekad para pengawal tanah perdikannya. Wajah-wajah mereka
yang mantap dan sorot mata mereka yang membara, telah menyatakan, bahwa mereka
bersedia melakukan apa saja untuk kepentingan tanah ini. Apalagi setelah mereka
mendengar cerita tentang pasukan berkuda Menoreh, yang telah berhasil menerobos
masuk ke padukuhan induk. Ternyata, bahwa Ki Tambak Wedi bukan iblis yang
melihat segala keadaan dan segala peristiwa di atas tanah ini. Suatu ketika
orang yang mengerikan itu dapat juga lengah.
Semakin dekat pasukan Ki
Tambak Wedi, maka hujan senjata dari balik pring ori itu pun menjadi semakin
lebat. Meskipun orang-orang Ki Tambak Wedi membalas juga, namun kedudukan
orang-orang di balik pring ori itu ternyata jauh lebih baik dari mereka yang
berlindung di balik perisai, karena arah lontaran anak panah lawan tidak dapat
diperhitungkan.
Namun betapapun lambatnya,
pasukan lawan itu maju terus. Bahkan ketika regol padukuhan itu sudah menjadi
semakin dekat, tiba-tiba terdengar Ki Tambak Wedi yang memimpin langsung
serangan itu berteriak nyaring. Dan sejenak kemudian, seperti banjir bandang,
pasukan itu mengalir melanda regol.
Sesaat Samekta tertegun,
melihat arus manusia yang hampir-hampir seperti kehilangan perasaannya. Namun
sejenak kemudian ia menyadari keadaannya, sehingga segera turun pula
perintahnya agar pasukan pelontar yang menebar di belakang pring ori, segera
menarik diri menghadap regol padukuhan. Menempatkan dirinya di balik
pagar-pagar batu di sepanjang jalan. Mereka harus menyongsong pasukan Ki Tambak
Wedi, yang pasti akan memecahkan regol.
Hanya beberapa orang sajalah
yang tertinggal di belakang pring ori untuk mengawasi apabila ada usaha lain
yang dilakukan oleh pasukan lawan.
Demikianlah, maka sebagian
besar dari alat-alat pelontar yang dapat dipindah dari tempatnya segera dibawa
ke balik pagar-pagar batu menghadap ke regol, yang sebentar lagi akan
dipecahkan oleh pasukan Ki Tambak Wedi.
“Kurangi jumlah lawan
sebanyak-banyaknya dapat kalian lakukan,” perintah Samekta. “Sebagian langsung
menyerang pasukan yang baru masuk itu dari depan, sedang yang lain harus
memukulnya dari samping, apabila sebagian dari mereka justru telah masuk.”
Setiap pemimpin kelompok
pasukan pelontar senjata jarak jauh itu mengangguk-anggukkan kepala mereka.
Mereka tahu benar, apa yang harus mereka lakukan.
“Dalam keadaan yang tidak
teratasi, kalian harus mundur dan bergabung dengan pasukan yang lain.”
Sekali lagi mereka mengangguk.
Tanpa sadar, mereka telah meraba hulu pedang di lambung mereka.
“Nah, lakukanlah.”
Orang-orang itu pun kemudian
berlari-lari kembali ke kelompok masing-masing. Dengan dada berdebar-debar,
mereka menunggu orang-orang Ki Tambak Wedi yang sedang berusaha untuk membuka
pintu regol di dalam hujan anak-anak panah, yang dilontarkan oleh para pengawal
di sebelah-menyebelah regol.
“Pecahkan regol itu!” teriak
Ki Tambak Wedi.
Beberapa orang yang dipimpin
langsung oleh Sidanti, berusaha memecah regol itu dengan kekerasan. Karena
regol itu terlampau kuat dengan selarak kayu sebesar paha, maka Sidianti
berusaha mencari cara lain. Bukan pintunyalah yang akan dipecahkannya. Tetapi
dinding sebelah menyebelah pintu darurat itu.
Beberapa orang berusaha
memecah dinding itu dengan kapak dan berbagai macam senjata yang mereka bawa.
Agaknya usaha itu berhasil. Sedikit demi sedikit papan-papan kayu itu pecah dan
memberi kesempatan ujung senjata mengungkit sisa-sisanya.
Sejenak kemudian, Sidanti
telah berhasil memecahkan dinding itu. Dengan lantang ia berteriak, “Masuk,
buka selarak pintu.”
Seseorang dengan tergesa-gesa
menyusup masuk lubang yang telah berhasil mereka buat. Tetapi begitu ia masuk,
jatuhlah ia tertelungkup. Sebuah anak panah telah terhunjam di dadanya.
Sidanti menggeram. Ia sadar,
meskipun di depan regol itu tidak ada pasukan yang menghadang mereka, tetapi
begitu pintu itu pecah, maka ujung-ujung anak panah akan berterbangan
menyongsong mereka.
Dalam keragu-raguan itu,
terdengar Ki Tambak Wedi berteriak, “Pecahkan dinding itu lebih lebar lagi!”
Dan Sidanti pun melakukannya.
Dinding itu menjadi semakin menganga. Dan Sidanti pun semakin keras berteriak,
“Masuk dengan perlindungan perisai!”
Seseorang segera menyusup
masuk dengan sebuah perisai yang menutup dada dan kepalanya. Tetapi ketika
tangannya baru menyentuh selarak ia pun jatuh terguling. Mati oleh anak panah
dari lambung.
Kini Sidanti menjadi semakin
marah. Tetapi ia pun menjadi semakin banyak mengetahui, tentang kesiagaan
lawannya. Karena itu, ia harus mengambil cara yang lain. Dan sekali lagi ia
berteriak kepada orang-orangnya, “Jangan hanya satu orang. Masuklah beberapa
orang bersama-sama.”
Dinding yang pecah di sisi
pintu itu pun menjadi semakin lebar. Kini beberapa orang menyusup bersama-sama.
Tidak hanya dari satu sisi, tetapi dari kedua belah pihak.
Beberapa orang yang telah
berada di dalam pintu gerbang itu pun segera membuat lingkaran untuk melindungi
diri mereka dengan perisai yang satu dengan yang lain saling bersentuhan rapat,
seolah-olah mereka telah berada di dalam suatu lingkaran baja yang rapat, dan
tidak tembus oleh panah.
Tetapi orang-orang Menoreh
tidak kehabisan akal. Mereka tidak lagi memakai panah-panah berujung runcing.
Tetapi mereka kemudian melemparkan panah-panah api lewat di atas
perisai-perisai itu.
Orang-orang yang melidungi
dirinya dengan perisai itu mengumpat-umpat sambil meloncat-loncat karena api
yang menyentuh kaki-kaki mereka, meskipun mereka telah menutup diri dengan
perisai-perisai ganda. Seorang berjongkok yang lain berdiri, dalam satu
lingkaran di depan pintu regol itu.
Tetapi api yang dilontarkan
begitu saja telah jatuh bertaburan di sekitar mereka, bahkan ada yang jatuh
tepat di atas kepala.
Sesaat kemudian, lingkaran
perisai itu pun segera terurai. Tetapi pada saat yang bersamaan, seseorang
telah berhasil mengangkat selarak pintu regol yang besar itu pada satu sisinya.
“Setan,” geram Samekta yang
berdiri di atas dinding batu. Tangannya segera terentang. Dan sejenak kemudian
sebuah anak panah meluncur menyusup pagar perisai yang telah pecah, langsung
menghunjam ke punggung orang yang sedang berusaha mengangkat selarak pintu itu.
Terdengar ia terpekik.
Kemudian terhuyung-huyung jatuh terlentang. Sekali lagi ia mengeluh tertahan,
ketika palang pintu yang besar itu jatuh menimpa kepalanya. Kemudian untuk
seterusnya ia terdiam. Mati.
Namun dengan demikian pintu
regol itu sudah menganga. Seperti prahara yang tidak tertahankan lagi, dan
pintu itu bagaikan bendungan yang akan pecah. Perlahan-lahan kekuatan yang
tidak terkira di luar pintu itu mendesak terus, sehingga akhirnya pintu itu pun
terbuka.
Seperti banjir bandang,
orang-orang Ki Tambak Wedi kemudian berjejalan memasuki regol itu.
Kesempatan itu tidak
dilewatkan oleh para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sekejap kemudian, maka
muntahlah dari setiap busur, anak-anak panah menghujani regol. Sejenak kemudian
segera terdengar teriakan dan pekik tertahan. Beberapa orang segera jatuh
terbanting di tanah karena dada mereka ditembus oleh panah dan lembing.
“Pergunakan perisai kalian!”
teriak Sidanti.
Barulah orang-orang itu sadar.
Tetapi korban telah berjatuhan. Kini mereka dengan hati-hati maju sambil
melindungi diri masing-masing dengan perisai.
Tetapi demikian, mereka berada
di dalam regol, maka mereka pun segera berlari berpencaran di sepanjang jalan.
Bahkan mereka pun segera berusaha meloncat masuk ke dalam halaman
sebelah-menyebelah jalan.
Namun ternyata, para pengawal
tanah perdikan telah siap menyambut mereka. Sebelum mereka berhadapan dalam
arena perang, maka para pengawal tanah perdikan masih sempat menyerang mereka
dengan anak-anak panah dan lembing. Namun kesempatan untuk itu menjadi semakin
sempit, karena jumlah lawan yang menjadi semakin banyak dan dekat.
Ki Argapati melihat semuanya
itu dengan dada yang berdebaran. Kemudian ia pun memberikan isyarat kepada
orang-orangnya untuk menemukan lawan yang telah ditentukan. Ia sendiri masih
berdiri tegak di tempatnya, di antara pengawal-pengawalnya yang paling
terpercaya. Di sampingnya berdiri puteri satu-satunya, Pandan Wangi, yang telah
menggenggam sepasang pedangnya.
“Mereka akan segera datang
Wangi,” desis ayahnya.
Pandan Wangi menganggukkan
kepalanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya tombak pendek ayahnya telah
merunduk.
Pasukan lawan itu pun semakin
lama semakin maju perlahan-lahan. Mereka kini telah menebar, memencar ke segala
arah. Namun untuk sampai di garis itu, mereka sudah harus menyerahkan terlampau
banyak korban, seperti yang telah diduga oleh Ki Argapati.
Ternyata dalam keadaan yang
demikian, Ki Tambak Wedi masih tetap berhasil menguasai pasukannya. Masih
tampak jelas, bahkan pasukannya itu maju dalam gelar. Gelar Gajah Meta,
meskipun harus disesuaikan dengan keadaan. Arena agaknya terlampau sempit untuk
merubah gelar itu ke dalam bentuk yang lain.
Ki Argapati memang sudah
menduga. Satu-satunya gelar yang paling menguntungkan bagi Ki Tambak Wedi.
Mereka masih berada di dalam lingkungan yang sempit, karena mereka belum
berhasil menebarkan pasukan mereka. Apalagi karena mereka berhadapan dengan
gelar yang ternyata telah dipasang oleh Samekta, Sapit Urang.
Sementara itu, Wrahasta telah
berdiri di samping Hanggapati. Mereka berdua harus menemukan Sidanti di dalam
hiruk-pikuknya peperangan itu, sedang Kerti harus mengantar Dipasanga mencari
Argajaya, atau apabila keadaan memaksa, dapat terjadi sebaliknya. Yang penting,
bahwa Sidanti dan Argajaya dapat terikat dalam suatu perkelahian yang seimbang,
sehingga mereka tidak terlampau banyak menghisap korban.
Samekta yang mendapat
kepercayaan memimpin, perlawanan itu kini telah mendekatkan dirinya kepada Ki
Argapati. Keadaan menjadi terlampau sulit baginya. Karena itu, maka ia harus
selalu berada disamping Ki Gede, agar segala perintahnya tidak menyesatkan.
Ki Gede Menoreh tidak beranjak
dari tempatnya. Ia yakin, bahwa Ki Tambak Wedi akan berada di ujung pasukannya,
sehingga apabila ia tetap berada di tempat itu, maka mereka akan dapat segera
bertemu.
Demikianlah, maka pertempuran
itu pun segera menjalar semakin merata. Orang-orang Ki Tambak Wedi yang
mengembang semakin luas, segera harus berhadapan dengan para pengawal Tanah
Perdikan Menoreh yang semakin menyempit.
Sidanti dan Argajaya telah
menempatkan diri mereka masing-masing, di sebelah-menyebelah ujung belalai
gelar Gajah Meta, seakan-akan menjadi ujung taring yang maha runcing. Sedang
seperti telah diperhitungkan, Ki Tambak Wedi sendiri berada di tengah-tengah
ujung pasukannya.
Ki Argapati melihat gelar di
kedua belah pihak dengan dada yang berdentangan. Kedua pasukan itu telah
benar-benar bertempur, dan darah pun telah membasahi Tanah Perdikan Menoreh.
Darah putera-puteranya sendiri.
Namun dalam pada itu, selagi
pasukan Ki Tambak Wedi bergerak maju untuk mencapai seluruh arena pertempuran,
terdengarlah hiruk-pikuk di ekor pasukan itu. Sejenak Ki Tambak Wedi tertegun,
namun kemudian dibiarkannya orang-orang yang memang sudah ditempatkan di ekor
barisan untuk mengatasi persoalannya. Ki Tambak Wedi memang sudah menduga,
bahwa apabila pertempuran terjadi di dalam regol, maka kemungkinan yang
terberat, orang-orang Argapati akan menyerang dari segala arah. Karena itu,
maka Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi di tempatkannya di ekor barisannya.
Ternyata yang datang menyerang
ekor pasukan Ki Tambak Wedi itu adalah para pengawal yang berada di luar
padukuhan. Dengan tangkasnya mereka menyerang sisa-sisa pasukan lawan yang
masih belum sempat masuk ke dalam regol. Dengan demikian, maka pasukan itu pun
segera tertahan.
Namun Ki Peda Sura yang telah
sembuh dari lukanya, segera menempatkan diri di dalam pasukannya. Sejenak
kemudian, ia berhasil membawa seluruh pasukannya masuk ke dalam regol sambil
bertempur menghadap keluar. Ki Peda Sura, Ki Muni, dan Ki Wasi berusaha
menyumbat pintu regol dengan ujung senjata bersama pasukannya, untuk mencegah
para pengawal itu masuk.
Tetapi ternyata usaha Ki Peda
Sura itu tidak berhasil. Pasukan yang berada di luar padukuhan itu pun mendesak
terus, sehingga akhirnya, Ki Peda Sura harus menghadapinya di dalam padukuhan,
di jalan-jalan sempit dan di halaman. Sementara ujung pasukannya telah maju
lebih jauh lagi.
Ki Argapati pun kemudian
melihat pula, bahwa pasukannya yang berada di luar lingkungan pring ori ini
telah ikut serta pula bertempur. Ternyata cara yang dipergunakannya itu telah
berhasil menahun arus maju pasukan Ki Tambak Wedi, karena sebagian dari mereka
harus melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba dari arah belakang.
Meskipun hal serupa itu telah diperhitungkan oleh Ki Tambak Wedi, namun ia
tidak menyangka, bahwa kekuatan yang menyerang dari ekor gelar Gajah Metanya
itu adalah pasukan yang cukup kuat.
Tetapi Ki Tambak Wedi percaya sepenuhnya
kepada kemampuan Ki Peda Sura. Tidak ada orang Menoreh yang dapat
mengalahkannya selain Ki Argapati sendiri. Kemampuan Ki Peda Sura tidak terpaut
terlampau banyak daripadanya sendiri dan Ki Argapati. Karena itu, ia
bersama-sama Ki Muni dan Ki Wasi, orang-orang terkuat di atas tanah perdikan
ini, akan segera dapat menyapu lawan-lawannya, betapapun kuatnya.
Dalam hiruk-pikuk pertempuran
itu, sekali-sekali terdengar teriakan-teriakan nyaring, di sela-sela keluhan
kesakitan. Dentang senjata dan perisai, kadang-kadang melontarkan bunga-bunga
api di udara. Namun dalam pada itu, orang-orang yang sedang bertempur itu pun
telah dikejutkan oleh ledakan cambuk yang memekakkan telinga.
“Setan!” geram Sidanti.
“Apakah mereka berada di tempat ini juga?”
Namun sejenak kemudian, anak
muda yang perkasa itu mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Akhirnya ia melihat
seseorang yang bersenjatakan cambuk. Tetapi orang itu sama sekali belum
dikenalnya. Seorang dalam pakaian yang serupa dengan pakaian para pengawal dan orang-orang
Menoreh yang lain. Di sampingnya, seorang anak muda yang bertubuh raksasa,
bertempur bagaikan gajah yang sedang mengamuk.
“Wrahasta,” desis Sidanti,
“anak itu terlampau sombong. Tubuhnya yang besar itu, disangkanya mampu
membuatnya seorang yang tidak terkalahkan.”
Karena itu, maka Sidanti pun
segera meloncat, menyusup di antara peperangan itu, menyongsong Wrahasta yang
sedang mengayun-ayunkan pedangnya.
Sidanti sama sekali tidak
menghiraukan orang bercambuk itu. Ia tidak melihat Wrahasta berbisik kepada
orang yang memegang cambuk itu. Dan ia tidak melihat, bahwa orang yang memegang
cambuk itu mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berdesis, “Jadi anak muda
itulah yang bernama Sidanti. Pantas, ia tangkas seperti sikatan.”
“Akulah yang akan menyelesaikannya,”
desis Wrahasta.
“Aku mendapat tugas untuk
itu.”
“Aku adalah anak Menoreh. Aku
ingin mencobanya.”
Hanggapati sama sekali belum
dapat memperbandingkan kekuatan Wrahasta dengan kekuatan Sidanti, bahkan dengan
kemampuannya sendiri. Tetapi agaknya Wrahasta sudah tidak dapat dicegah lagi.
Ketika Sidanti datang semakin dekat, langsung ia menyongsongnya dengan sambaran
pedang. Dengan penuh kebanggaan, Wrahasta terlampau percaya kepada tenaga
raksasanya. Sidanti yang lebih kecil dan lebih pendek daripadanya, pasti tidak
akan memiliki kekuatan seperti kekuatannya.
Namun betapa terkejut
Wrahasta, pada saat senjatanya membentur pedang Sidanti. Terasa seolah-olah
tangannya menjadi retak. Perasaan sakit yang amat sangat telah menyengat
telapak tangannya, kemudian menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Wrahasta sama
sekali tidak berdaya untuk mempertahankan genggamannya, sehingga pedangnya itu
pun bergetar dan jatuh di tanah.
“Kau terlampau sombong,” geram
Sidanti. “Ternyata kau telah mengantarkan nyawamu, he raksasa yang bodoh.”
Sejenak Wrahasta seakan-akan
terpaku di tempatnya. Ia sama sekali tidak menyangka, bahwa Sidanti mempunyai
kekuatan yang tidak terkirakan. Tangannya yang jauh lebih besar dari tangan
Sidanti itu seolah-olah sama sekali tidak berdaya, dan pedangnya yang besar itu
seakan-akan telah membentur batu karang.
Tanpa dapat berbuat sesuatu,
ia melihat Sidanti justru melangkah surut. Kemudian menggeram, “Ternyata kaulah
pemimpin pengawal Menoreh yang pertama-tama mati oleh ujung pedangku.”
Namun sebelum Sidanti meloncat
maju sambil menghunjamkan ujung pedangnya, maka Hanggapati telah mendapat
kesempatan untuk berbuat sesuatu. Dengan sepenuh tenaganya ia meledakkan
cambuknya mengarah ke pergelangan tangan Sidanti.
Sidanti terkejut bukan buatan.
Disangkanya orang yang memegang cambuk itu adalah orang-orang Menoreh yang
mencoba-coba jenis senjata itu, atau salah seorang dari orang-orang berkuda
yang berusaha mengelabui orang-orangnya. Namun ternyata orang itu mampu
bergerak begitu tangkas dan kuat. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Sidanti
sekali lagi meloncat surut. Namun orang itu ternyata tidak melepaskannya.
Sekali lagi cambuk itu menggeletar di udara dan menyambar lehernya.
“Setan,” Sidanti mengumpat
sambil merunduk rendah-rendah. Ia tidak mau menjadi sasaran tanpa berbuat
sesuatu. Karena itu, maka tiba-tiba pedangnya terjulur lurus-lurus mengarah ke
lambung lawannya.
Hanggapati terpaksa bergeser
surut. Namun ia tidak lengah, dan cambuknya masih tetap berputar.
“He, menyenangkan juga jenis
senjata ini,” katanya di dalam hati. “Ternyata jenis senjata lentur dapat juga
digerakkan dengan cepat dan lincah seperti sulur pepohonan.”
Dada Sidanti serasa terbakar
menghadapi kenyataan itu. Karena itu, maka darahnya serasa mendidih sampai ke
ubun-ubunnya. Apalagi ketika ia melihat raksasa yang kehilangan pedang itu
telah berhasil memungut pedangnya kembali.
“Siapakah orang ini?”
pertanyaan itu selalu mengganggu jantung Sidanti. “Apakah di Menoreh ada orang
baru yang demikian tangkasnya bermain dengan cambuk, ataukah orang-orang ini
termasuk seperguruan atau termasuk dalam salah satu cabang perguruan Kiai
Gringsing?”
Namun justru karena itu, maka
Sidanti pun kemudian mendesak maju. Ia harus segera menyelesaikan lawannya, dan
kemudian membinasakan orang-orang Menoreh seperti menebas batang ilalang.
Tetapi ternyata orang ini
memang mempunyai kelebihan dari orang lain. Bahkan kemudian, ternyata bahwa
orang itu mampu melawannya dengan senjata cambuknya itu.
“He,” tiba-tiba Sidanti
menggeram, “siapa kau? Apakah kau orang baru di sini?”
Hanggapati tidak menjawab.
Tetapi cambuknya sajalah yang bergeletar menyambar-nyambar, sehingga setiap
kali Sidanti harus menghindarinya dan bahkan melangkah surut.
“Aku yakin, kau bukan orang
Menoreh,” geram Sidanti kemudian. “Sikapmu terlampau tenang dan pandangan
matamu lurus-lurus ke pusat mata lawanmu. Kau pasti bukan orang Menoreh atau
pengawal tanah perdikan ini. Coba katakan, siapakah kau?”
Hanggapati masih tetap berdiam
diri. Tetapi serangannya menjadi semakin deras melanda lawannya. Ujung
cambuknya berdesing-desing seperti lebah yang mengitari tubuh Sidanti. Bahkan
sentuhan yang sekali-sekali menyengat tubuhnya, serasa seperti tusukan
duri-duri yang paling tajam.
Sekali lagi Sidanti menggeram.
Tetapi ia pun terkejut, ketika di bagian lain dari pertempuran itu terdengar
sekali lagi ledakan cambuk. Bahkan kemudian berturut-turut.
“Siapakah yang telah siap
melawan Paman Argajaya itu?” Sidanti bertanya kepada diri sendiri. Dengan
demikian, maka kemarahannya pun menjadi semakin meluap-luap.
Sementara itu, Dipasanga pun
telah melecutkan cambuknya berulang kali. Meskipun belum terlampau biasa,
tetapi sebagai seorang prajurit ia segera dapat menyesuaikan diri dengan
senjata yang ada di tangannya. Dan kali ini senjata itu adalah sebuah cambuk.
Argajaya pun mengumpat tidak
habis-habisnya. Ia tidak menyangka, bahwa pada suatu ketika ia akan bertemu
dengan lawan yang demikian tangguhnya. Apalagi lawannya itu ternyata bersenjata
cambuk.
“Pantaslah, bahwa orang-orang
berkuda itu berani memasuki padukuhan induk. Di antaranya terdapat orang-orang
bercambuk seperti ini.”
Namun seperti Sidanti,
kemarahan Argajaya pun segera memuncak. Seperti Sidanti, ia pun bertanya dalam
nada yang datar, “Siapa kau, he?”
Namun berbeda dengan
Hanggapati, ternyata Dipasanga menjawab, “Namaku Dipa.”
“Darimana kau?”
“Aku orang Menoreh.”
“Bohong!” teriak Argajaya.
“Aku belum pernah melihat kau.”
“Apakah kau pernah datang ke
Menoreh sebelum ini?”
Betapa hiruk-pikuknya
peperangan, Kerti yang mendengar pertanyaan itu terpaksa tersenyum. Argajaya
adalah adik kepala tanah perdikan ini.
Dengan demikian, maka
pertanyaan Dipasanga itu telah membuktikan, bahwa justru Dipasanga-lah yang
belum mengenal Menoreh. Karena itu, terdengar Argajaya menggeram, “Kau
terlampau bodoh untuk berpura-pura. Kenapa kau bertanya begitu kepadaku?”
Dipasanga surut selangkah.
Namun kemudian, serangannya melibat lawannya seperti angin pusaran. “Siapa
kau?” ia ganti bertanya.
“Aku adalah Argajaya. Adik
kepala tanah perdikan ini.”
Dipasanga mengerutkan
keningnya. Ia mendapat tugas untuk menghadapi salah satu di antara dua,
Sidanti, atau Argajaya. Kini ia telah bertemu dengan Argajaya. Tetapi ia masih
belum yakin, karena tidak seorang pun yang memberitahukaunya dengan pasti,
bahwa Argajaya adalah adik Ki Argapati.
Meskipun demikian, seakan-akan
di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa kau melawan kakakmu sendiri?”
Pertanyaan itu telah menusuk
jantung Argajaya, seperti tajamnya ujung pedang. Sejenak ia terbungkam, meskipun
senjatanya tidak berhenti terayun-ayun.
”Kenapa?” desak Dipasanga.
“Persetan!” jawab Argajaya.
“Apakah artinya seorang Kakak yang hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa
mengerti persoalan orang lain, meskipun orang lain itu adalah anak dan adiknya sendiri?”
Dipasanga tersenyum. Katanya,
“Itulah yang tidak dapat diukur dengan ukuran-ukuran yang umum. Kepentingan
seseorang tergantung sekali dari sudut memandangnya. Karena itulah, maka kau
dapat mengatakan, bahwa Ki Argapati hanya sekedar mementingkan diri sendiri
tanpa mengingat kepentinganmu dan anak laki-lakinya. Tetapi apakah kau yakin,
setiap orang akan mengakui, bahwa kepentinganmu itu lebih bermanfaat bagi tanah
ini dari sikap yang kau anggap kepentingan pribadi pada Ki Argapati itu? Apakah
bukan karena kepentingan pribadimu yang tidak dipikirkannya justru untuk
kepentingan yang lebih besar, kau merasa, bahwa Ki Argapati telah mementingkan
dirinya sendiri.”
“Persetan, kau tahu apa? He,
siapakah kau sebenarnya? Berapa kau diupah oleh Kakang Argapati untuk ikut di
dalam pertempuran ini?”
“O,” jawab Dipasanga, “ada
beberapa perbedaan antara aku dan orang-orangmu, termasuk orang yang
disebut-sebut bernama Peda Sura. Aku mempunyai kepentingan yang khusus, kenapa
aku bersedia bertempur di pihak Ki Argapati. Mungkin dapat juga disebut
pamrih-pamrih pribadi, meskipun tidak sejelas Ki Peda Sura. Tetapi aku ternyata
telah melibatkan diri dalam pertempuran ini.”
Argajaya menggeram. Senjatanya
berputar semakin cepat. Dan dengan demikian, maka cambuk Dipasanga pun menjadi
semakin sering meledak-ledak.
Meskipun Dipasanga tidak biasa
bertempur dengan senjata semacam itu, namun ia mampu mempergunakannya dengan
baik. Sekali-sekali ujung cambuknya berhasil melontarkan beberapa orang yang
lengah di sekitar tempat perkelahiannya melawan Argajaya. Bahkan sekali-sekali
ujung cambuk itu dapat membuat Argajaya menjadi agak bingung.
Tetapi Argajaya pun bukan
orang Menoreh kebanyakan. Ia adalah adik Ki Argapati, Kepala Tanah Perdikan
Menoreh. Dengan demikian maka ia pun segera berhasil menempatkan dirinya
menghadapi orang bercambuk itu.
Dengan demikian, maka
perkelahian di antara mereka menjadi semakin seru. Masing-masing memiliki
kelebihannya, dan masing-masing adalah orang-orang yang sudah cukup banyak
menyimpan pengalaman di dalam dirinya.
Dalam pada itu, pasukan Ki
Tambak Wedi itu pun semakin lama menjadi semakin meluas, sedang pasukan Ki
Argapati menjadi semakin menyempit. Kini di semua pihak, kedua pasukan itu
telah bertemu dan bertempur mati-matian. Di jalan-jalan sempit, di halaman, dan
di kebun-kebun. Mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi di mana mereka
sedang berada, yang mereka perhatikan adalah garis lingkaran dari gelar mereka
masing-masing.
Dalam keadaan yang demikian
itulah, maka ujung gelar Gajah Meta itu pun kini telah sampai di muka puncak
pimpinan gelar lawan. Sehingga dengan demikian, maka kedua pimpinan tertinggi
itu pun akan segera saling berhadapan.
Mereka masing-masing sudah
menyangka, bahwa mereka akan bertemu lagi di dalam perang ini. Ki Argapati dan
Ki Tambak Wedi.
“He,” geram Ki Tambak Wedi,
“apakah kau sudah sembuh benar?”
Ki Argapati mengerutkan
keningnya. Tombaknya telah merunduk semakin rendah. Beberapa langkah ia
menyongsong maju dibarengi oleh Pandan Wangi dan Samekta. Sebelah menyebelahnya
adalah para pengawal yang paling terpercaya untuk melindunginya dari pasukan Ki
Tambak Wedi yang lain.
“Aku sudah lama menunggumu, Ki
Tambak Wedi,” sahut Argapati.
Ki Tambak Wedi mengerutkan
keningnya. Dilihatnya seorang gadis yang membawa sepasang pedang yang sudah
bersilang di muka dadanya.
“Kau bawa gadismu bertempur?”
bertanya Ki Tambak Wedi.
“Apa bedanya seorang gadis dan
seorang anak lelaki?”
“Kau memang luar biasa. Kau
dapat membuat gadismu melebihi setiap lelaki di atas Bukit Menoreh ini.”
Ki Argapati tidak menjawab.
Tetapi matanya tidak berkisar dari senjata Ki Tambak Wedi yang mengerikan.
Sebuah nenggala bermata rangkap.
“Tetapi, sayang Ki Argapati,”
berkata Ki Tambak Wedi selanjutnya, “usahamu selama ini akan sia-sia. Karena aku
sudah memutuskan, bahwa setiap orang di dalam padukuhan ini harus dimusnahkan.
Semua harus dibunuh. Meskipun ia seorang gadis.”
“Keputusanmu lain dengan
keputusanku, Ki Tambak Wedi. Dan aku mengharap, bahwa keputusankulah yang akan
berlaku di sini.”
Ki Tambak Wedi menggeretakkan
giginya. Segera ia meloncat menyerang sambil berteriak nyaring, “Mampuslah kau
ayah-beranak.”
Tetapi Ki Argapati telah siap
menerima serangan itu. Karena itu maka ia pun segera meloncat ke samping untuk
mengelakkan serangan itu. Berbareng dengan itu, tombaknya pun segera terjulur
lurus mematuk dada lawannya.
Ki Tambak Wedi berdesis. Ia
terpaksa mengeliat dan memutar tubuhnya. Dengan cepatnya ia merendah dan
menyusup di bawah senjata lawannya sambil menyerang lambung.
Ki Argapati tidak menjadi
bingung. Ia pun bergeser surut. Dengan cepatnya pula ia memutar tombaknya, dan
berusaha untuk mengetok pundak lawannya dengan pangkal landean tombak itu.
“Kau gila,” geram Ki Tambak
Wedi sambil meloncat surut. Namun sejenak kemudian serangannya telah membadai
pula.
Pada gerak yang pertama-tama,
telah terasa pada Ki Argapati, bahwa keluwesan geraknya memang agak terganggu
oleh luka dan pembalut di dadanya. Namun meskipun demikian, ia masih merasa
cukup mampu untuk menghadapi Ki Tambak Wedi dalam keadaan itu. Apalagi ia
mengharap Pandan Wangi dapat mengganggu keseimbangan pertempuran itu.
“Suruh anakmu ikut serta,”
tiba-tiba Ki Tambak Wedi berteriak. “Jangan hiraukan lagi sikap jantan di
peperangan.”
Seleret warna merah membayang
di wajah Ki Argapati yang tegang. Betapa tajamnya sindiran Ki Tambak Wedi itu
bagi seorang laki-laki seperti Ki Argapati. Namun sejenak kemudian, ia telah
berhasil menguasai perasaannya. Bahkan kemudian ia menjawab, “Kita tidak sedang
berada dalam arena perang tanding, Ki Tambak Wedi. Di dalam peperangan, yang
bertempur adalah pihak yang satu melawan pihak yang lain. Bukan Ki Tambak Wedi
melawan Ki Argapati.”
“Persetan!” Ki Tambak Wedi
menggeram, dan serangannya pun menjadi semakin cepat.
Dalam perkelahian yang semakin
seru, maka semakin terasa dada Ki Argapati terganggu sekali oleh pembalut dan
bahkan lukanya yang masih belum sembuh benar. Karena itu, maka perlawanan Ki
Argapati pun tidak pada puncak kemampuannya.
Untunglah, bahwa Pandan Wangi
yang memiliki ilmu dari ayahnya itu mampu mengisi kekurangan Ki Argapati.
Setiap kali Pandan Wangi dengan sepasang pedangnya dapat mengganggu perhatian
Ki Tambak Wedi, sehingga setiap kali usaha Ki Tambak Wedi untuk mendesak Ki
Argapati terpaksa diurungkannya, karena sambaran-sambaran pedang Pandan Wangi.
“Setan betina!” ia menggeram.
“Apakah kau dahulu yang harus mati, he?”
Pandan Wangi sama sekali tidak
menyahut. Tetapi pedangnya menjadi semakin lincah berputaran.
Ki Tambak Wedi semakin lama
menjadi semakin marah mengalami perlawanan kedua ayah-beranak itu. Karena itu,
maka dikerahkannya segenap kemampuannya untuk segera mendesak lawannya. Supaya
Pandan Wangi tidak selalu mengganggunya, maka akhirnya ia memutuskan untuk
membunuh saja anak itu lebih dahulu.
“Semua harus dibinasakan.
Semua. Juga Pandan Wangi,” ia menggeram di dalam hatinya untuk memantapkan
rencananya.
Maka sejenak kemudian, Ki
Tambak Wedi mencoba memusatkan perhatiannya kepada Pandan Wangi. Ia ingin
mengurangi gangguan-gangguan kecil pada saat ia akan memusnahkan Ki Argapati
kelak.
Tetapi kesempatannya pun
terlampau terbatas. Kalau ia berkelahi melawan lima Pandan Wangi, maka ia pasti
akan dapat menyelesaikan pekerjaannya satu demi satu. Tetapi kini ia berhadapan
pula dengan Argapati, sehingga setiap saat ia harus berwaspada. Ujung tombak
pendek itu setiap kali dengan tiba-tiba saja telah mengarah ke dadanya.
Namun Ki Tambak Wedi adalah
iblis yang paling mengerikan. Sehingga dengan segala macam cara ia telah
berhasil melibat Pandan Wangi yang agak terpisah dari ayahnya.
Namun, ketika ia siap
melontarkan gelang-gelang besinya untuk segera menyelesaikan Pandan Wangi yang
berdiri beberapa langkah daripadanya, tiba-tiba ia disambar oleh sebuah
kenangan tentang seorang perempuan yang pernah hinggap di dalam hatinya.
Ternyata wajah gadis yang bernama Pandan Wangi itu mirip benar dengan ibunya,
Rara Wulan, Wajah yang pernah membuatnya kehilangan keseimbangan, sehingga
lahirlah Sidanti. Dan apabila Rara Wulan itu kemudian bersuami, maka menjadi
jauhlah ia lari dari setiap perempuan, dan menyepi di lereng Gunung Merapi.
Sekejap Ki Tambak Wedi
dicengkam oleh keragu-raguan. Namun sekejap kemudian, ia menggeretakkan giginya
sambil menggeram, “Tidak seorang pun yang akan dapat lolos. Semua harus
dimusnakan, termasuk Pandan Wangi. Siapa pun Pandan Wangi itu.”
Dengan demikian, maka segera
digenggamnya selingkar gelang-gelang besinya. Dan dengan sekuat tenaganya,
gelang itu dilontarkannya ke arah Pandan Wangi.
Tetapi waktu yang sekejap itu
ternyata terlampau besar artinya bagi Pandan Wangi. Ki Argapati yang mempunyai
cukup pengalaman melihat sikap Ki Tambak Wedi di dalam pertempuran itu, segera
dapat menangkap maksud dari iblis lereng Gunung Merapi itu. Karena itu, maka
dengan segera ia meloncat mendekati Pandan Wangi tepat pada saatnya. Pada saat
gelang besi itu meluncur ke arah dada anak gadisnya.
Sambil menggeram Ki Argapati
masih sempat memukul gelang besi itu ke udara, sehingga sepercik bunga api
meloncat bersama gelang yang membubung itu.
“Gila,” Ki Tambak Wedi dan Ki
Argapati mengumpat hampir bersamaan. Jantung di dalam dada mereka pun
berdentang semakin cepat pula, sementara dada Pandan Wangi menjadi
berdebar-debar. Hampir saja ia disambar oleh senjata Ki Tambak Wedi yang pasti
tidak akan dapat dielakkannya.
Dengan demikian, maka Ki
Argapati menjadi lebih berhati-hati. Ia harus melupakan sakit di dadanya. Ia
harus berusaha sejauh-jauh dapat dilakukan untuk melawan iblis yang paling
ganas itu. Meskipun kadang-kadang Samekta dapat membantunya, tetapi tenaganya
tidak terlalu banyak berarti bagi pertempuran antara orang-orang yang berilmu
jauh di atas jangkauannya.
Maka, betapa lambatnya, namun
pasti, Ki Tambak Wedi akan dapat menguasai lawannya. Karena menurut
pertimbangan Ki Tambak Wedi sendiri, pada suatu saat Argapati yang masih
diganggu oleh lukanya itu, akan kehabisan tenaga sebelum waktu yang dapat
dicapai oleh ketahanan tubuhnya seperti biasanya dalam keadaan yang wajar.
Di sudut lain, Sidanti dan
Argajaya ternyata tidak kalah tangkas dari lawan-lawan mereka. Wrahasta dan
Kerti tidak terlampau banyak berarti lagi bagi keduanya, karena mereka harus
melawan orang-orang yang memang sudah dipersiapkan oleh Sidanti dan Argajaya
pula. Sehingga baik Argajaya maupun Sidanti, masih mempunyai keyakinan, bahwa mereka
akan dapat mengalahkan lawan-lawan mereka.
Tetapi saat itu, agaknya
Hanggapati dan Dipasanga masih dipengaruhi oleh jenis senjata yang tidak biasa
mereka pakai. Karena itu, mereka berdua pun tidak berkeras hati, meskipun
mereka merasa tidak dapat menguasai lawannya.
“Pada saatnya akan aku
letakkan senjata-senjata ini. Dan aku akan memakai pedangku,” keduanya
berpendirian serupa di dalam keadaan yang menjadi semakin gawat.
Namun, mau tidak mau,
ledakan-ledakan cambuk itu telah menumbuhkan persoalan pula di dalam hati Ki
Tambak Wedi, yang justru tidak melihat sendiri siapa yang mempergunakannya.
Demikian mendesaknya persoalan
suara-suara cambuk itu, sehingga akhirnya Ki Tambak Wedi tidak dapat menahan
hatinya lagi untuk mengetahuinya. Diperintahkannya seorang penghubungnya untuk
melihat, siapakah orang-orang yang telah mempergunakan cambuk di dalam
peperangan ini.
“Kenapa kau digelisahkan oleh
suara cambuk itu Ki Tambak Wedi? Apakah kau tidak senang mendengarnya?”
bertanya Argapati sambil menyerang terus.
Ki Tambak Wedi menggeram.
Tetapi ia tidak menjawab. Dengan sekuat-kuat tenaganya ia berusaha untuk segera
mengalahkan lawannya apabila mungkin. Dengan demikian, maka ia akan mendapat
kesempatan untuk menjelajahi peperangan ini. Tetapi apabila tidak, maka ia
harus menunggu Argapati kehabisan tenaga, dan sama sekali tidak berdaya lagi.
Sejenak kemudian,
penghubungnya telah kembali lagi kepadanya. Dengan cekatan ia meloncat surut,
menghindari serangan Ki Argapati dan Pandan Wangi sambil bertanya, “Siapa
mereka?”
”Orang-orang yang tidak kita
kenal,” jawab penghubung.
“Siapa nama mereka?”
Penghubung itu terpaksa
meloncat jauh-jauh ketika serangan Ki Argapati melanda Ki Tambak Wedi dengan
dahsyatnya. Tetapi Ki Tambak Wedi pun cukup lincah untuk menghindarinya, bahkan
dengan sigapnya ia meloncat menyerang Pandan Wangi.
Tetapi sekali lagi ia harus
membentur kekuatan Ki Argapati yang menghalanginya. Kemudian disusul oleh
serangan sepasang pedang dari arah lambung.
Ki Tambak Wedi terpaksa meloncat
surut. Tetapi justru ia mendapat kesempatan untuk mendengar, “Sidanti belum
mengenalnya.”
Ki Tambak Wedi menarik nafas
dalam-dalam. Kalau Sidanti belum mengenalnya, mereka atau salah seorang
daripadanya pasti bukan anak-anak dari seberang Mentaok yang menggelisahkan
itu.
Dengan demikian, maka Ki
Tambak Wedi bertempur semakin mantap. Ia percaya, bahwa kekuatan pasukannya
tidak terlampau jauh berada di bawah kekuatan lawannya, sebelah korban
berjatuhan pada saat mereka masuk. Bahkan mungkin masih dapat mengimbangi atau
bahkan melampauinya. Tetapi yang membuatnya yakin adalah kemampuan para
pemimpinnya. Tidak ada seorang pun yang dapat dipercaya di antara orang-orang
yang masih setia kepada Argapati. Tidak akan ada orang yang dapat berhadapan
langsung dengan Sidanti, Argajaya, dan apalagi Ki Peda Sura. Bahkan orang-orang
Menoreh sendiri, Ki Muni dan Ki Wasi. Meskipun keduanya tidak akan banyak
terpaut dari para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun dengan
demikian, maka kekuatan pasukannya telah meyakinkannya.
Karena itu, maka kini
tenaganya dipusatkannya untuk menghancurkan Ki Argapati dan dengan sepenuh
tenaga ia telah memaksa dirinya untuk memantapkan rencananya, membunuh Pandan
Wangi juga. Meskipun setiap kali di wajah gadis itu seolah-olah selalu
membayang wajah Rara Wulan yang kecemasan, yang seolah-olah memandangnya dengan
tajam dan dengan perasaan yang meluap-luap.
“Kau gila, he, Tambak Wedi,”
seolah-olah ia mendengar suara Rara Wulan. “Gadis itu adalah anakku, anakku.”
“Persetan!” ia menggeram.
“Biarlah ia anak iblis, gendruwo, tetekan, aku tidak peduli. Semua orang,
apalagi pemimpinnya, harus dibunuh. Pertahanan ini harus jadi neraka yang
paling jahanam bagi mereka.”
Dengan demikian, maka sambil
menggeretakkan giginya, Ki Tambak Wedi berkelahi terus, semakin lama semakin
garang.
Sementara itu, di bagian lain
dari peperangan itu pun menjadi semakin seru. Sekali-sekali terdengar mereka
berteriak di sela-sela dentang senjata. Teriakan mereka yang mencoba
menghentakkan kemampuannya, namun juga teriakan mereka yang tersentuh oleh
senjata.
Desak-mendesak telah terjadi
di setiap langkah di garis peperangan. Mereka adalah orang-orang yang berasal
dari satu wadah, sehingga kekuatan, kemampuan dan cara-cara mereka bertempur
hampir bersamaan. Hanya di beberapa bagian saja terjadi kegelisahan yang agak
mengganggu ketabahan hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang setia
kepada Ki Argapati. Orang-orang yang tidak dikenal bertempur dengan kasar dan
buasnya. Mereka sama sekali tidak menghiraukan perasaan apa pun. Apalagi mereka
telah mendapat perintah untuk membinasakan semua orang yang melawan. Dengan
demikian, maka mereka pun bertempur tanpa batas lagi. Apalagi dengan sengaja
mereka menunjukkan kekejaman-kekejaman yang tidak pernah terbayangkan
sebelumnya, untuk menurunkan keberanian dan tekad lawan-lawan mereka.
Tetapi ternyata semuanya itu
hanyalah mengungkat kemarahan para pengawal tanah perdikan, sehingga mereka
justru berkelahi semakin gigih untuk mempertahankan diri dan garis perlawanan
di dalam gelar yang telah mantap. Kalau salah satu garis pertahanan itu dapat
dipecahkan, maka gelar keseluruhan akan dapat terpengaruh karenanya. Dengan
demikian, maka apa pun yang terjadi, mereka bertahan sampai kemampuan mereka
yang terakhir.
Namun di sela-sela pertempuran
yang semakin seru itu, terdapat tiga orang yang masih sedang mencari-cari lawan
masing-masing. Mereka menyusup di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Di
tangan mereka tergenggam pedang. Mereka tertegun sejenak, ketika mereka melihat
kesulitan yang berbahaya pada garis pertempuran di bagian belakang gelar lawan.
Agaknya Ki Peda Sura sedang menari dengan sepasang senjatanya yang mengerikan.
Tanpa ampun, siapa yang mendekat, pasti akan terlempar jatuh. Sedang beberapa
langkah dari padanya, Ki Wasi sedang mengamuk sebagai harimau terluka, dan di
bagian lain lagi sambil berteriak-teriak Ki Muni mendesak lawannya tanpa dapat
ditahan lagi.
Betapa para pengawal berusaha,
namun kekuatan mereka memang jauh melampaui kemampuan setiap orang di antara
para pengawal.
Sejenak gembala tua dan kedua
anak-anaknya itu tertegun. Namun sejenak kemudian orang tua itu berkata,
“Hadapilah mereka berdua. Aku akan menyelesaikan Peda Sura. Hati-hatilah,
jangan merasa dirimu lebih baik dari lawanmu. Perasaan yang demikian adalah
ujung dari kekalahan, betapapun lemahnya lawan-lawanmu.”
Kedua muridnya mengangukkan
kepalanya. Sambil menghindarkan diri dari setiap serangan, akhirnya mereka pun
berpisah untuk menemui lawan-lawan yang telah ditentukan bagi mereka masing-masing.
Beberapa langkah setelah
meninggalkan gurunya, Gupala melonjak kegirangan, seperti anak kambing
dilepaskan di padang rumput yang hijau segar. Beberapa kali ia tertegun melihat
perang campuh yang seru. Ujung senjata berputaran dan terayun-ayun, kemudian
gemerincing benturan yang melontarkan bunga-bunga api.
Sejenak kemudian Gupala telah
berada di baris pertempuran yang terdepan. Kini ia harus mulai menyadari arti
dari ujung-ujung senjata lawan, yang setiap saat dapat menghunjam di dadanya.
Gupala mengerutkan keningnya.
Sejenak ia melihat seorang pengawal yang bertempur mati-matian melawan seorang
yang agak asing. Menurut dugaan Gupala orang itu pasti bukan orang Menoreh.
“Mungkin orang ini termasuk
salah seorang anak buah Ki Peda Sura,” katanya di dalam hati. Dan tiba-tiba
saja tangannya menjadi gatal. Apalagi ketika ia melihat orang itu tertawa
sambil berkata, “He, sebut ayah dan ibumu. Lalu tundukkan kepalamu. Aku akan
memenggalnya.”
Lawannya, seorang pengawal
tanah perdikan, menggeram. Tetapi ia memang sedang terdesak. Bahkan sejenak
kemudian senjatanya telah terlepas dari genggamannya.
Sekali lagi Gupala melihat
orang itu tertawa sambil berkata, “Ayo cepat, berlutut.”
Pengawal itu surut beberapa
langkah. Tetapi dalam perang yang hiruk-pikuk ia tidak banyak mendapat
kesempatan. Sekali ia justru terdorong oleh seseorang yang sedang menghindarkan
diri dari tusukan ujung tombak.
“Mau lari kemana kau anak yang
malang,” suara tertawa itu menjadi semakin keras.
Dan tiba-tiba saja Gupala
tidak dapat menahan tertawanya pula melihat orang yang sedang mabuk kemenangan
itu. Bahkan kemudian ia berkata, “He, kau cepat sekali mendapat kegembiraan.
Itulah agaknya yang membuat kumismu menjadi tebal.”
Orang itu terdiam.
Dipandanginya Gupala sejenak. Hanya sejenak. Hiruk-pikuk peperangan telah
mendorongnya untuk segera melakukan sesuatu. Dan tiba-tiba saja ia meloncat
menikam pengawal yang sudah tidak bersenjata itu, supaya ia segera dapat
menghadapi musuhnya yang lain.
Tetapi ujung senjata tidak pernah
dapat menyentuh korbannya. Tiba-tiba saja ia terpekik selagi ia masih
menjulurkan tangannya yang menggenggam senjata itu. Sejenak kemudian ia menjadi
terhuyung-huyung. Demikian Gupala menarik pedangnya yang terhunjam di lambung
orang itu, maka orang itu pun segera jatuh tertelungkup. Mati.
Pengawal yang terselamatkan
itu sejenak berdiri mematung. Ia mengenal anak yang gemuk itu sebagai seorang
gembala. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat melakukan hal itu. Begitu cepatnya,
sehingga matanya tidak dapat menangkap gerak itu.
Kini yang terdengar adalah
suara tertawa Gupala. Sambil meloncat meninggalkan pengawal itu ia berdesis,
“Ambil senjata itu. Kau tidak dapat tidur di dalam peperangan kalau kau tidak
mau benar-benar di bantai oleh lawan-lawanmu.”
Orang itu seperti tersadar
dari tidurnya. Segera ia memungut senjata lawannya yang terbunuh itu, karena
senjatanya sendiri telah tenggelam dalam hiruk-pikuknya peperangan.
Gupala pun kemudian menyusup
di antara kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Sekali tangannya yang gatal
tidak dapat ditahannya lagi.
“Bukankah aku berada di
peperangan?” ia bergumam di dalam hatinya. Dengan demikian, maka setiap kali ia
harus berhenti, seperti terhisap oleh suatu keinginan yang tidak tertahankan,
maka setiap kali senjata telah terhunjam di tubuh lawan-lawannya. Meskipun
demikian, Gupala masih mencoba membedakan, apakah lawannya itu orang-orang
Menoreh, ataukah orang-orang asing yang datang ke Menoreh dalam keadaan yang
kemelut itu.
Meskipun kadang-kadang Gupala
keliru, namun dari jenis pakaiannya, Gupala dapat mengira-irakan, siapakah yang
sedang dihadapinya.
Tiba-tiba Gupala itu tertegun.
Dilihatnya seseorang bertempur sambil berteriak-teriak. Kadang-kadang tertawa
dan kadang membentak-bentak. Sekilas Gupala dapat melihat, bahwa orang itu
mempunyai kelebihan dari para pengawal tanah perdikan.
“Oh, inilah orang yang bernama
Ki Muni itu agaknya,” berkata Gupala di dalam hatinya. Melihat ciri-ciri,
tingkah laku dan pakaiannya, kalung yang dibebani dengan berbagai macam benda,
maka Gupala pun dapat memastikan, bahwa orang yang dicarinya itu sudah
diketemukannya.
Perlahan-lahan Gupala yang
gemuk itu pun segera mendekatinya. Namun tiba-tiba ia mempunyai cara yang
menyenangkan baginya untuk menarik perhatian orang yang garang itu.
“Senjatanya sangat menarik,”
desis Gupala di dalam hatinya, “sebuah pedang yang lengkung.”
Gupala memang tidak segera
menyongsongnya. Dibiarkannya Ki Muni sesumbar dan bertempur seperti seekor
elang yang menyambar. Beberapa orang terpaksa bergabung untuk melawannya.
Gupala mengerutkan keningnya.
Bukan saja tangannya yang menjadi gatal, tetapi hatinya tergelitik melihat
sikap dan tandang Ki Muni, seolah-olah di seluruh jagad tidak ada orang
laki-laki selain dirinya.
Itulah sebabnya, maka Gupala
pun tiba-tiba telah berbuat serupa. Sambil tertawa berkepanjangan ia menyerang
beberapa orang sekaligus. Ia membuat lingkaran perkelahian sendiri di samping
arena yang berpusar pada Ki Muni.
Beberapa orang lawan-lawannya
terkejut melihat anak muda yang gemuk itu meloncat-loncat dengan lincahnya.
Pedangnya terayun-ayun menyambar-nyambar seperti burung sikatan. Setiap kali
ujung pedang itu menyentuh tubuh lawannya, dan setiap kali terdengar pekik
kesakitan.
Tetapi Gupala memang aneh. Ia
masih sempat bergurau di peperangan. Kalau beberapa saat lawan-lawannya tidak
ada yang terpekik kesakitan karena ujung pedangnya tidak berhasil melukai
lawannya, maka ia sendirilah yang berteriak. Namun kemudian suara tertawanya
menggema berkepanjangan.
Cara bertempur Gupala itu
benar-benar telah menarik perhatian. Baik lawan maupun kawan. Beberapa orang
pengawal terheran-heran melihat gembala itu mampu bertempur demikian
tangkasnya, apalagi seolah-olah ia hanya sedang bermain-main di saat terang
bulan.
Lawan-lawannya pun menjadi
cemas melihat tandangnya. Ujung pedangnya seolah-olah mempunyai mata yang dapat
melihat kemana lawannya menghindar. Seseorang yang sekali diburu oleh
pedangnya, betapapun juga ia berusaha, maka akhirnya ujung pedang itu pasti
akan bersarang di dadanya.
Demikianlah, maka Gupala telah
menimbulkan kegemparan di medan itu. Arena pertempuran di seputarnya menjadi
gelisah seperti di landa angin pusaran.
Ternyata cara itu berhasil
menarik perhatian Ki Muni. Orang yang merasa dirinya tidak terlawan itu
mengerutkan keningnya melinat arena yang kisruh beberapa langkah daripadanya.
“He, siapa yang berkelahi di
situ?” ia berteriak.
“He, akulah yang berkelahi di
sini,” terdengar jawaban dari tempat yang gelisah itu.
“Siapa kau?” teriak Ki Muni
pula.
“Aku, gegedug Tanah Perdikan
Menoreh. Seorang pengawal yang paling setia pada tugasku, karena cita-cita yang
menjiwai setiap perbuatanku.”
“Persetan, siapakah namamu?”
“Setiap orang mengenal aku.
Karena aku selalu berada di sisi Ki Gede Menoreh, membina tanah ini. Sekarang
selagi tanah ini menjadi semakin baik, kau datang untuk menghancurkannya.”
“Gila, gila kau,” Ki Muni
berteriak sambil mengamuk. Senjatanya yang lengkung menyambar-nyambar seperti
elang. Beberapa orang yang berada di sekitarnya segera terdesak menjauh, dan
beberapa orang yang bersama-sama melawannya pun meloncat surut.
Beberapa langkah Ki Muni maju
diikuti oleh pasukannya yang mendesak maju pula.
“Aku adalah seorang yang
hampir sepanjang umurku berada di tanah ini,” berkata Ki Muni dengan
lantangnya. “Aku belum pernah mengenal tampangmu.”
Gupala tidak segera menjawab.
Ia melihat Ki Muni menjadi semakin dekat ke lingkaran perkelahiannya.
“Ayo, sebut namamu.”
“Jawabanmu sungguh
mentertawakan,” berkata Gupala. “Kalau kau orang Menoreh, apalagi sejak
kanak-kanak, kenapa kau ikut bersama-sama cucurut-cucurut itu untuk justru
menghancurkan Menoreh?”
“Setan,” Ki Muni bergumam,
“siapa namamu?”
“Kalau kau benar orang
Menoreh, maka kau adalah seorang pengkhianat,” berkata Gupala selanjutnya tanpa
menjawab pertanyaan Ki Muni.
“Diam, diam!” Ki Muni
berteriak. “Aku sobek mulutmu dengan pedang yang aku dapat dari ujung bumi,
yang tajamnya tujuh kali tajam pedang yang lain.”
Gupala mengerutkan keningnya.
Kini Ki Muni telah berada hanya beberapa langkah saja daripadanya. Sekilas ia
melihat pedang yang lain dari pedang orang-orang Menoreh. Dalam redup sinar api
yang sudah hampir padam, pedang itu tampak berkilat-kilat.
“Pedang itu memang tajam,”
berkata Gupala di dalam hatinya. “Setiap sentuhan pada tubuh, akibatnya sangat
berbahaya. Tetapi agaknya pedang itu tidak sekukuh pedangku. Ternyata orang itu
selalu berusaha menghindari benturan yang langsung. Apalagi dengan kekuatan
yang besar.”
Gupala pun kemudian menggeram.
Dan tiba-tiba saja ia berteriak, “He. Kau ingin tahu namaku. Namaku adalah Ki
Muni, seorang dukun yang tidak ada duanya. Yang setia kepada tanah kelahiran.”
“Persetan,” Ki Muni menjadi
semakin marah. Terasa darahnya seakan-akan telah mendidih. Dengan serta-merta
ia meloncat menyerang Gupala sejadi-jadinya.
Gupala surut selangkah untuk
memantapkan diri. Namun kemudian ia pun melangkah maju kembali sambil memutar
pedangnya. Meskipun pedangnya tidak setajam pedang lawannya, namun pedang itu
memiliki kelebihan juga. Ki Muni tidak akan berani beradu tenaga lewat tajam
pedangnya.
Dada Gupala menjadi berdebar,
ketika ia melihat api yang tiba-tiba saja telah melonjak ke udara. Sekilas ia
berpaling. Dilihatnya sebuah rumah yang terletak beberapa langkah dari arena
perkelahian itu terbakar.
“Mereka menjadi liar,”
desisnya di dalam hati. “Api yang terhambur-hambur dari panah api,
jerami-jerami yang bertimbun-timbun di sisi ujung jalan dan bahkan yang sengaja
ditebarkan di luar regol, gardu darurat di regol yang telah terbakar pula,
telah hampir padam. Tetapi kini sebuah rumah telah menyala.”
Tetapi Gupala tidak sempat
untuk merenung dan mengumpat-umpat saja. Serangan Ki Muni segera melandanya
seperti banjir. Namun ia pun telah cukup siap untuk melawannya.
Perkelahian di antara keduanya
segera menjadi semakin seru. Baik para pengawal tanah perdikan, maupun
orang-orang Ki Tambak Wedi, lambat laun bergeser semakin jauh. Mereka
menganggap perkelahian itu adalah perkelahian yang tidak perlu dicampurinya.
Gupala tidak memerlukan waktu
terlampau lama untuk menjajagi kemampuan lawannya. Dan tiba-tiba saja ia
tersenyum. Ki Muni hanyalah seorang yang mampu berteriak-teriak saja. Meskipun
ia memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan, namun orang itu hampir tidak
banyak berarti bagi Gupala. Karena itu, mulailah Gupala dengan tabiatnya.
Selagi ia masih bertempur menghadapi Ki Muni, maka sekali-sekali ia berlari
berputar-putar. Namun setiap kali pedangnya menyambar korban-korban yang
berjatuhan di pihak lawan.
“He, apakah kau memang gila?”
teriak Ki Muni.
“Ki Muni,” berkata Gupala,
“ayahku berpesan kepadaku, agar aku selalu tidak menganggap lawanku terlampau
ringan. Aku pun tidak menganggap demikian terhadapmu. Tetapi, aku tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa sebenarnya Ki Muni itu tidak lebih dari namanya.
Hanya suaranya saja seakan-akan bunyi ledakan petir di langit. Tetapi kau tidak
memiliki kemampuan apa pun di peperangan.”
Betapa dada Ki Muni serasa
akan meledak mendengar ejekan Gupala itu. Apalagi lawannya itu tidak lebih dari
seorang anak muda gemuk yang tidak dikenal. Meskipun anak itu berjambang, namun
wajahnya sama sekali tidak meyakinkannya, bahwa ia mampu bertempur di
peperangan.
Karena itu, maka Ki Muni pun
segera mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Dibacanya segala macam
ilmu, doa dan jampi-jampi. Disebutnya segala macam nenek-moyang, bahureksa
segala macam sudut, kali, dan hutan-hutan. Bahu reksa jalan dan perapatan.
Kemudian sambil menghentakkan senjatanya ia berteriak nyaring.
Orang-orang yang telah
mengenal Ki Muni agak lama, mengetahuinya, bahwa Ki Mumi sudah sampai pada
puncak kemarahannya, dan dengan demikian orang-orang itu mengharap, bahwa
korban di pihak lawan akan semakin banyak berjatuhan.
Tetapi ternyata dugaan itu
sama sekali tidak benar. Betapapun Ki Muni mengerahkan segala macam kemampuan
yang tersimpan di dalam dirinya, beserta pedang pusakanya yang didapatkannya
dari ujung bumi, namun lawannya yang masih muda dan gemuk itu masih saja
tertawa berkepanjangan.
“Ayo, kerahkan segenap
kemampuanmu, Ki Muni,” berkata Gupala sambil tertawa. “Atau barangkali kau
memang sudah sampai pada puncak kemampuanmu?”
“Persetan!” sahut Ki Muni
sambil berteriak-teriak, maka serangannya pun menjadi semakin deras. Tetapi
lawannya masih saja tertawa dan kadang-kadang menari-nari berloncat-loncatan
dari seorang ke orang yang lain.
Di bagian lain dari
pertempuran itu, Gupita dengan tenangnya bertempur melawan dukun yang lain, Ki
Wasi. Namun ternyata Ki Wasi pun tidak seliar Ki Muni. Dengan sungguh-sungguh
Ki Wasi berusaha untuk mengatasi keadaan. Namun pada kemampuan tertentu, ia
terpaksa melihat kenyataan, bahwa lawannya meskipun masih cukup muda, namun
memiliki kemampuan yang tidak dapat diabaikannya. Bahkan semakin lama,
ternyata, bahwa lawannya adalah seorang yang luar biasa.
“Aku belum pernah melihat
wajahmu anak muda,” desis Ki Wasi.
Gupita mengerutkan keningnya.
Jawabnya, “Mungkin, Ki Wasi.”
”Siapa namamu?”
“Gupita. Seorang gembala.”
“Kau berbohong.”
“Tidak. Aku memang seorang
gembala.”
Ki Wasi terdiam. Senjatanya,
sepasang trisula bertangkai pendek hampir tidak berarti sama sekali bagi
lawannya. Namun ia berusaha sekuat-kuat tenaganya. Kalau semula ia berhasil
mendesak setiap orang yang melawannya dan membawa kelompoknya setapak demi
setapak maju, maka kini ia terbentur pada suatu perlawanan yang tidak mudah
ditembusnya.
Dan tanpa disangka-sangka, Ki
Wasi mendengar lawannya yang masih muda itu bertanya, “Ki Wasi, kenapa kau
melakukan perlawanan atas Ki Argapati?”
Sejenak Ki Wasi tidak dapat
menyahut. Pertanyaan itu benar-benar telah menyentuh perasaannya.
Gupita merasakan sentuhan itu
pula, karena perlawanan Ki Wasi yang seakan-akan tertegun. Bahkan kemudian
orang itu meloncat selangkah mundur. Meskipun Ki Wasi menyilangkan trisulanya
di muka dadanya, namun getaran di dalam dadanya telah mempengaruhinya.
Tetapi Gupita tidak
mempergunakan kesempatan itu. Bahkan membiarkan Ki Wasi menyadari keadaannya.
Meskipun pedangnya teracu ke depan dada lawannya, tetapi Gupita tidak meloncat
dan menembus dada itu dengan ujung pedangnya.
“Jangan kau tanyakan, mengapa
aku melawannya,” geram Ki Wasi.
“Itu hakku,” jawab Gupita.
“Hakmu adalah menjawab atau tidak. Kalau kau memang berkeberatan, kau tidak
perlu menjawabnya.”
“Aku tidak akan menjawab.”
“Terserahlah. Tetapi dengan demikian
aku dapat membuat jawaban sendiri. Dan aku menganggap perlawananmu itu sebagai
suatu pemberontakan dan ketidak-setiaan terhadap pimpinanmu.”
“Kau salah,” jawab Ki Wasi.
Namun agaknya ia telah mendapatkan kemantapannya kembali, sehingga justru ia-lah
yang menyerang Gupita dengan sekuat-kuat tenaganya.
Namun Gupita sebenarnya
bukanlah lawannya. Karena itu, Gupita dengan, mudahnya dapat menghindarkan diri
dari setiap serangannya.
“Aku mempunyai pertimbangan
sendiri,” desis Ki Wasi. “Aku melawan Ki Argapati, karena Ki Argapati ternyata
mengecewakan sekali. Berapa tahun aku bekerja dengan patuh. Namun agaknya Ki
Argapati bukan seorang yang dapat menjadi contoh bagi setiap orang di atas
tanah perdikan ini. Ia lebih mementingkan dirinya sendiri daripada membela anak
dan adiknya. Ia begitu taat bersujud kepada kekuasaan Pajang daripada
memberikan perlindungan kepada Angger Sidanti dan Argajaya. Apakah itu sikap
seorang ayah yang baik. Adalah menjadi tanggung jawab seorang ayah, apa pun
yang dilakukan oleh anaknya.”
“Juga apabila anak itu
melakukan kesalahan?”
“Tentu tidak. Tetapi Angger
Sidanti tidak bersalah. Ia didorong ke dalam suatu keadaan yang tidak dapat
dielakkannya lagi. Ia mempunyai harga diri sebagai seorang putra Kepala Tanah
Perdikan yang besar dan kuat. Tetapi Ki Gede telah melepaskan tangung jawab
itu.”
Gupita mengerutkan keningnya.
Api yang berkobar semakin besar menelan sebuah rumah. Cahayanya yang
kemerah-merahan telah membuat wajah-wajah semakin menjadi tegang dan
mengerikan. Keringat yang meleleh dari kening dan darah yang menitik dari luka,
membuat medan perang itu menjadi semakin panas.
Gupita masih bertempur melawan
Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita tidak memanfaatkan setiap keadaan yang
memberinya kesempatan untuk menyudahi perkelahian.
Ki Wasi pun ternyata merasakan
keganjilan yang terjadi dalam perkelahian itu. Ia merasa bahwa betapapun ia
berusaha, namun ia tidak akan dapat mengimbangi lawannya.
Tetapi meskipun demikian, ia
masih tetap dapat melakukan perlawanan, betapapun disadarinya, bahwa
perlawanannya itu hampir tidak ada artinya.
“Apakah maksud orang ini?”
pertanyaan itu tumbuh di dalam hatinya. “Kenapa ia tidak membunuh aku saja di
dalam peperangan ini, meskipun agaknya ia dapat melakukannya dengan mudah?”
Dan Gupita memang tidak ingin
membunuhnya. Agaknya Ki Wasi adalah salah seorang yang lemah hati, yang mudah
percaya kepada hasutan dan keterangan-keterangan palsu. Ki Wasi yang melihat
dan bahkan sering bermain-main dengan Sidanti ketika anak itu masih terlampau
muda, tidak sampai hati melihat ia tersudut dalam kesulitan yang pahit, yang
menurut pengertiannya, karena Argapati tidak mau melindunginya.
“Kalau Ki Wasi dapat mengerti
keadaan yang sebenarnya, apa saja yang pernah dilakukan Sidanti, maka ia akan
berpendirian lain. Ia baru mendengar keterangan dari sebelah sisi. Dan
keterangan itu langsung dipercayainya,” berkata Gupita di dalam batinya. Dan
karena itu pulalah ia ingin Ki Wasi tetap hidup, dan dapat mengerti apa yang
sebenarnya telah terjadi.
Karena itu, meskipun dengan
alasan yang berbeda-beda, namun kemudian Gupita pun telah bertempur tidak saja
melawan Ki Wasi. Beberapa orang yang melihat pemimpin kelompoknya terdesak,
segera berusaha membantunya. Tetapi Gupita sama sekali tidak mengalami
kesulitan. Ternyata pedangnya mampu melindungi dirinya, dan bahkan mampu
melukai beberapa orang lawan-lawannya. Seorang demi seorang, Gupita telah
kehilangan lawan. Para pengawal tanah perdikan yang bersamanya selalu
mempergunakan setiap kesempatan untuk mendesak terus, sehingga semakin lama
semakin ternyata, bahwa garis medan di tempat itu tidak lagi dapat
dipertahankan oleh orang-orang Ki Tambak Wedi yang dipimpin oleh Ki Wasi.
Di bagian tengah, Ki Peda Sura
pemimpin pasukan yang menghadapi para pengawal yang datang dari arah belakang,
sempat melihat pasukannya di kedua sisinya bergeser mundur, sehingga lingkaran
gelar Gajah Meta itu pun menjadi semakin sempit, karenanya. Sambil
menghentakkan senjatanya ia menggeram. Seharusnya kekuatan kedua sisi itu dapat
dipercaya, karena masing-masing dipimpin oleh dua orang kuat dari Tanah
Perdikan Menoreh ini sendiri. Tetapi ternyata, bahwa pertahanan itu semakin
lama semakin surut.
“Apakah keduanya telah
berkhianat dan justru membiarkan pasukannya mundur?” pertanyaan itu telah
mengganggunya.
Namun karena itulah, maka ia
pun segera mengamuk tanpa terkendalikan lagi. Setiap orang yang berusaha
mendekatinya, pasti akan terpelanting tersentuh senjatanya. Meskipun senjatanya
tidak mempunyai tajam seperti pedang, namun justru senjata itu mampu meremukkan
tulang. Sentuhan di kepala tidak akan perlu diulanginya lagi.
Namun agaknya kekalutan di
kedua sisi pasukannya sangat mengganggunya, sehingga ia bermaksud untuk melihat
sendiri, apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Karena itu, maka diserahkannya
pimpinan kepada salah seorang kepercayaannya, dan ia sendiri kemudian
meninggalkan tempatnya untuk melihat apa yang terjadi di kedua sisinya. Yang
mula-mula ingin dilihatnya adalah pasukan yang dipimpm oleh Ki Muni. Orang itu
adalah orang yang cukup kasar, sehingga seharusnya ia mampu melakukan apa saja
untuk menghancurkan lawannya. Apalagi di dalam pasukan Ki Muni itu, terdapat
banyak orang-orangnya sendiri, yang pasti akan mampu membuat lawan-lawan mereka
kehilangan keberanian. Orang-orangnya telah terlampau biasa melakukan
pembunuhan dengan berbagai macam cara. Bahkan cara-cara yang tidak dapat
dibayangkan sebelumnya.
Tetapi tiba-tiba Ki Peda Sura
tertegun, ketika ia melihat sesuatu yang aneh di peperangan itu. Ia melihat
seorang tua dengan kumis yang lebat sedang bertempur melawan beberapa orang
sekaligus.
“Bukan main,” geram Ki Peda
Sura, “ternyata orang ini perlu mendapat perhatian.”
Dengan demikian, maka Ki Peda
Sura mengurungkan niatnya. Dengan garangnya ia meloncat mendekati orang tua itu
sambil menggeram. “He, siapakah kau?”
Orang tua itu berpaling
sejenak. Ketika dilihatnya Ki Peda Sura maka katanya, “Kaukah yang bernama Ki
Peda Sura?”
“Ya. Akulah Ki Peda Sura. Nah,
dengan mengenali namaku, kau sudah dapat membayangkan, apa yang akan terjadi
atasmu. Sekarang sebut namamu.”
“Sudah lama aku mencarimu. Di
mana kau bertempur selama ini? Hampir-hampir aku menganggap, bahwa kau sudah
mati terbunuh di peperangan ini,” jawab orang itu.
“Persetan!” Ki Peda Sura
berteriak. Kemarahannya yang telah membakar dadanya, kini menjadi semakin
memuncak. “Sebut namamu!”
“Apakah arti nama seseorang?”
”Cepat, sebelum kau mati!”
“Aku dapat menyebut seribu
macam nama. Panji Jayengraga, Rangga Semantana, Raden Badersewu.”
“Cukup. Cukup. Sebut namamu
yang sebenarnya.”
“Pilihlah salah satu. Atau
kalau kau anggap kurang sesuai, nah siapa sebaiknya namaku?”
Kemarahan Ki Peda Sura sudah
tidak dapat ditahannya lagi. Karena itu, maka tanpa mengucapkan sepatah kata
pun lagi, ia menerkam orang tua berkumis itu dengan suatu serangan maut. Kedua
senjatanya bersama-sama terayun, menghantam lawannya dengan kecepatan yang
tidak tersangka-sangka.
Lawannya menahan nafas.
Ternyata Ki Peda Sura benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang cukup
tinggi. Namun, kali ini ia berhadapan dengan lawan yang tidak disangka-sangka
akan dijumpainya di medan peperangan ini. Menurut perhitungannya, selain Ki
Tambak Wedi dan Ki Argapati, tidak akan ada orang yang mampu menyamainya.
Tetapi ternyata kali ini, orang berkumis itu mampu menghindari serangannya.
Dengan loncatan yang melampaui kecepatannya, ia berhasil menghindar, sehingga
ayunan senjata Ki Peda Sura telah menyeret tubuhnya sendiri. Karena ia tidak
memperhitungkan sama sekali hal itu, maka tubuhnya terhuyung-huyung beberapa
langkah, sebelum ia berhasil menguasai keseimbangannya kembali.
Sambil mengumpat-umpat Ki Peda
Sura mempersiapkan dirinya untuk menghadapi lawannya yang mendebarkan
jantungnya. Orang tua berkumis itu ternyata memiliki bekal yang cukup untuk
menghadapinya.
Dengan demikian, maka Ki Peda
Sura harus berhati-hati. Kali ini ia harus bertempur bersungguh-sungguh, tidak
sekedar membunuh lawan hampir tanpa perlawanan.
“Ki Peda Sura,” terdengar
orang tua itu berbicara dengan suara yang agak sengau, “aku terpaksa melibatkan
diri dalam pertentangan ini, karena aku tidak ingin melihat tanah perdikan ini
runtuh. Dengan kehadiranmu dan orang-orangmu, maka kekacauan di atas tanah ini
akan semakin menjadi-jadi.”
“Kau juga orang asing di
sini.”
“Memang, memang aku bukan
orang Menoreh. Tetapi aku datang seorang diri. Katakanlah aku hanyalah datang
bersama dua orang anak-anakku. Dan aku tidak akan melibatkan diri, seandainya
tidak ada orang-orang seperti Ki Tambak Wedi, dan kau beserta anak buahmu.
Kalau aku biarkan persoalan ini berlarut-larut, maka tanah ini akan jatuh ke
tangan Ki Tambak Wedi dan Sidanti. Namun untuk seterusnya kau akan selalu
memerasnya. Bayangkan, apa yang akan terjadi atas tanah ini.”
“Persetan!” Ki Peda Sura
menghentakan giginya. Kemudian serangannya pun datang beruntun. Sepasang
senjatanya terayun-ayun mengerikan.
Orang tua berkumis itu telah
benar-benar bersedia untuk melawannya, sehingga karena itu, maka dengan
sigapnya ia menghindari setiap serangan dan bahkan kemudian menyerang kembali.
Sejenak orang tua itu menjadi
ragu-ragu. Ia bukan seorang pembunuh yang selalu haus darah. Bahkan setiap ia
melakukan pekerjaan yang menurut keyakinannya sudah pada tempatnya, ia masih
saja memperhitungkan segala macam kemungkinan.
Namun yang dihadapinya kini
adalah seseorang yang telah berbentuk. Seseorang yang tidak akan mungkin dapat
dirubahnya lagi. Ki Peda Sura adalah seseorang yang sangat berbahaya, bukan
saja bagi Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga bagi kemanusiaan pada umumnya.
Seandainya ia gagal memeras tanah perdikan ini, maka ia akan dapat melakukannya
di tempat yang lain.
Sambil bertempur orang tua itu
masih sempat membuat pertimbangan-pertimbangan. Bahkan ia masih sempat
bertanya, “Ki Peda Sura. Apakah pamrihmu, sehingga kau bersama anak buahmu
dengan bersusah payah ikut dalam pertentangan antara ayah dan anak ini?”
Ki Peda Sura tidak menyahut.
Namun serangannya menjadi semakin garang, seperti badai mangsa kesanga.
“Ada dua kemungkinan Peda
Sura,” berkata orang tua itu. “Setelah peperangan ini selesai, kaupun akan
diselesaikan pula oleh Ki Tambak Wedi, karena bagaimanapun juga, kau tidak akan
menang melawannya. Sedang kemungkinan yang lain. Tambak Wedi-lah yang akan kau
peras habis-habisan. Seandainya Tambak Wedi berkeberatan, maka Tanah Perdikan
inilah yang akan menjadi korban. Kau akan memasuki setiap pintu dan menghisap
segala macam isinya. Dan sudah tentu kau akan menghindari benturan-benturan
langsung dengan Tambak Wedi. Dan menurut perhitunganmu, Ki Tambak Wedi tidak
akan sekuat Argapati dalam mengendalikan pemerintahan di Menoreh.”
“Persetan,” Ki Peda Sura
menggeram. Dengan sekuat tenaga ia menyerang lawannya. Namun
serangan-serangannya itu sama sekali tidak pernah menegangkan urat orang tua
yang berkumis itu.
“Tetapi Ki Peda Sura,” orang
itu masih berbicara saja sambil memutar pedangnya, “yang paling jelek adalah
justru kemungkinan yang lain lagi. Kemungkinan ketiga. Yaitu apabila kau
bersama-sama Ki Tambak Wedi memeras tanah perdikan ini.”
“Diam, diam!” teriak Ki Peda
Sura. Sepasang senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Namun sepasang
senjata itu sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Bahkan setiap kali
senjatanya itu membentur pedang orang tua berkumis itu, terasa tangannya
seakan-akan bergetar.
“Setan manakah yang tiba-tiba
ada di dalam peperangan ini?” geram Ki Peda Sura.
“Nah Ki Peda Sura,” berkata
orang itu pula, “masih ada kesempatan sebelum orang-orangmu tumpas di
peperangan ini. Tinggalkan medan dan pergi ke asalmu. Kalau kau tidak
mengganggu tanah ini untuk seterusnya, kau pun tidak akan kami ganggu.”
“Tutup mulutmu!” terak Ki Peda
Sura.
“Maaf. Aku akan berbicara
terus. Kalau kau mau mendengarkan aku akan bergembira sekali. Sebab tidak akan
ada kemungkinan bagimu untuk menyelamatkan anak buahmu. Kedua anakku, adalah
gembala-gembala yang salah seorang daripadanya telah membantu Pandan Wangi
melukai kau beberapa saat yang lampau. Keduanya kini ada di medan ini, sekarang
dua orang lain yang akan dapat membinasakan Sidanti dan Argajaya. Nah, sekarang
kau tahu, bahwa Ki Tambak Wedi telah salah menilai kekuatan lawannya. Termasuk
kau yang terlampau tamak.”
“Bohong. Kau sangka aku
percaya?”
“Satu contoh adalah di
hadapanmu sekarang. Kalau kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, apa boleh
buat.”
Terasa dada Ki Peda Sura
berdesir. Ia sadar, bahwa lawannya kali ini bukan sekedar seorang yang
berbicara terlampau keras, tetapi ia adalah seorang yang tangguh tanggon.
Meskipun demikian, sama sekali
tidak terlintas di kepalanya untuk meninggalkan medan. Ia masih mempunyai cara
untuk mencoba mengalahkan orang ini.
Demikianlah mereka bertempur
semakin lama semakin seru. Beberapa kali Ki Peda Sura terdesak, dan setiap kali
ia telah bergeser surut. Beberapa orang yang bertempur di sekitar kedua orang
itu terpaksa berusaha menyingkir, karena mereka masih harus melayani lawan
masing-masing. Tetapi mereka lebih senang berada agak jauh dari keduanya,
daripada tanpa setahu mereka, kepala mereka pecah oleh sentuhan senjata kedua
orang yang luar biasa itu.
Namun semakin lama semakin
terasa, bahwa Ki Peda Sura tidak akan mampu lagi melakukan perlawanan lebih
lama lagi. Apalagi ketika orang tua yang berkumis itu mengambil suatu
keputusan, bahwa Ki Peda Sura memang harus dilenyapkan.
Ki Peda Sura pun menyadari
keadaaanya. Ia tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi melawan orang tua
berkumis itu. Karena itu ia harus segera berbuat sesuatu, agar ia tidak
terdesak terus, dan apalagi dibinasakan. Sejenak kemudian terdengar sebuah
tanda yang meluncur dari mulutnya. Sebuah suitan nyaring.
Orang tua berkumis itu menjadi
berdebar-debar. Ia tahu benar, bahwa yang diperdengarkan oleh Ki Peda Sura itu
pasti suatu pertanda, tetapi orang tua itu tidak tahu, apakah maksudnya.
“Aku harus segera
menyelesaikannya,” pikir orang tua itu. Tetapi ia terkejut ketika beberapa
orang berloncatan dari antara hiruk-pikuk peperangan, dan kemudian seolah-olah
mengepungnya. Tiga orang yang bertubuh kekar dengan wajah yang mengerikan.
“Nah, kau tidak akan dapat
lolos lagi,” desis Ki Peda Sura.
Orang tua itu mengerutkan
keningnya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis di dalam
hatinya, “Memang tidak ada pilihan lain. Melawan Peda Sura sama berbahayanya
dengan melawan iblis.”
“Menyerahlah, supaya kau dapat
mati dengan tenang,” geram Ki Peda Sura.
Tetapi orang berkumis itu
masih tetap tenang. Sekali ia bergeser untuk mempersiapkan dirinya.
Dipandanginya wajah-wajah itu satu demi satu.
“Sudah sekian lama aku tidak
pernah bertempur bersungguh-sungguh. Berkelahi antara hidup dan mati. Tetapi
berhadapan dengan empat orang ini agaknya memang tidak ada pilihan lain. Aku
tidak hanya sekedar bermain-main lagi, seperti beberapa kali aku lakukan
melawan Sumangkar dan Ki Tambak Wedi, karena saat itu aku belum berada di dalam
suatu keadaan seperti sekarang. Tetapi kini aku harus menentukan,” berkata
orang tua itu di dalam hatinya. “Juga apabila pada suatu saat aku berhadapan
dengan Tambak Wedi sendiri.”
“Kenapa kau membungkam?”
bentak Ki Peda Sura. “Jangan menyesal. Tidak ada pilihan lain bagimu.”
Orang berkumis itu menarik
nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Marilah Ki Peda Sura. Aku sudah siap.”
“Sebut namamu, supaya aku
dapat berceritera, bahwa seorang yang bernama dadap, atau waru, atau tikus,
atau kelinci, telah aku bunuh di peperangan,” desis Ki Peda Sura.
“Nama-nama itukah yang pantas
bagiku? Bukan Panji Jayengraga, atau Rangga Parang Jumena, atau Rangga
Surenggana.”
“Cukup, cukup!” bentak Ki Peda
Sura. “Baiklah kalau kau ingin mati tanpa nama.” Kemudian kepada kawan-kawannya
ia berkata, “Kita terpaksa membunuhnya tanpa ampun, terserahlah cara yang mana
yang akan kalian pilih.”
“Orang ini harus dicincang,”
geram salah seorang dari mereka, “tetapi ia harus mati perlahan-lahan.”
“Bagus, aku ingin menangkapnya
hidup-hidup.”
Terdengar salah seorang dari
mereka tertawa. Kemudian hampir bersamaan mereka maju mendekat.
Orang tua itu harus
benar-benar mempersiapkan dirinya. Orang-orang itu bukanlah orang kebanyakan
yang dapat diabaikan.
Sejenak kemudian, Ki Peda Sura
itu pun berkata, “Nah, selesaikan. Pekerjaan kita masih banyak.”
Serentak ketiga orang itu
menyerang dari tiga jurusan. Dengan senjata masing-masing yang berbeda-beda
mereka berusaha sekaligus menghancurkan lawannya. Salah seorang dari mereka
mempergunakan sebuah tombak pendek berduri pandan. Sentuhan senjata itu dapat
menyobek kulit dedel duwel. Seorang yang lain bersenjata sebuah golok yang
besar, sedang yang seorang lagi bersenjata pedang.
Tetapi orang tua berkumis itu
cukup sadar. Dengan sigapnya ia menghindari serangan-serangan itu, dan bahkan
salah seorang daripada mereka telah membenturkan dengan senjata orang tua itu.
Betapa ia terkejut merasakan tangannya seakan-akan disengat oleh bara api.
Hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya. Karena itu, maka terdengar ia
menggeram untuk melontarkan kemarahan yang menyesak dada.
Namun sebelum orang tua itu
berhasil berdiri tegak, serangan Ki Peda Sura sendiri datang membadai. Sepasang
senjatanya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Hampir saja kepala orang tua
itu tersentuh oleh senjata Peda Sura yang dahsyat itu. Hanya dengan kecepatan
yang tidak dapat diperhitungkan oleh lawannya, orang tua itu berhasil
menyelamatkan dirinya.
“Bukan main,” desisnya di
dalam hati, “mereka berempat merupakan lawan yang berat juga.”
Karena itu, maka orang tua itu
tidak lagi dapat berlengah-lengah barang sekejap pun. Menghadapi mereka
berempat, maka tugasnya agak lebih berat daripada berhadapan langsung dengan
seorang Tambak Wedi, karena ia harus memperhatikan beberapa arah sekaligus.
Untunglah, bahwa orang-orang Ki Tambak Wedi mempunyai kegemaran membakar rumah,
lumbung dan bahkan kandang-kandang kerbau, sehingga nyala api telah membantunya
untuk melihat lawan-lawannya yang datang dari berbagai arah.
Sementara itu, Gupala telah
menjadi jemu untuk bermain-main. Kini perhatiannya dipusatkannya kepada lawan
utamanya, Ki Muni. Dukun itu telah mengerahkan segenap kemampuannya. Segenap
mantra dan guna-guna telah dibacanya. Namun ternyata, bahwa ia menjadi cemas.
Ternyata kemampuannya bertempur di peperangan tidak seperti yang diduganya
sendiri. Ia mengharap lawannya menjadi gemetar dengan mantra dan guna-gunanya.
Bahkan kemudian bersujud sambil memeluk lututnya sementara ia dapat
menggoreskan pedang di leher lawan itu. Tetapi lawannya yang gemuk ini sama sekali
tidak terpengaruh oleh mantra-mantranya. Danyang prapatan, kedung-kedung, dan
pereng-pereng Bukit Menoreh, ternyata kali ini tidak merestuinya. Bahkan
jimat-jimat yang tergantung di lehernya, taring celeng jantan, keong buntet,
dan segala macam bebatuan dan kayu-kayuan, sama sekali tidak menolongnya.
Gupala pun agaknya adalah
seorang yang terlampau sulit untuk mengendalikan dirinya. Ketika ia melihat Ki
Muni mengamuk dalam keputus-asaannya, maka Gupala pun menjadi marah. Apalagi
ketika pedang lengkung Ki Muni berhasil menyentuh talinya yang berwarna kekuning-kuningan
sehingga terputus beberapa jari di ujungnya. Dan selagi ia sibuk dengan tali
itu, pedang lengkung yang tajam bukan kepalang itu, telah menyentuh tubuhnya
sehingga menitikkan darah.
Kemarahan Gupala meluap sampai
ke ujung rambutnya. Pedang yang tajam bukan buatan, itu benar-benar telah
melukainya. Sentuhan yang tidak disangka-sangka itu ternyata telah membakar
jantungnya. Untunglah, bahwa luka itu tidak berbahaya dan tidak terlampau
dalam.
Namun demikian, luka itu telah
cukup membuatnya kehilangan pertimbangan.
Sejenak kemudian, sambil
menggeram, Gupala meloncat maju. Kini serangannya membadai tanpa dapat ditahan
lagi oleh lawannya. Beberapa orang yang mencoba membantu Ki Muni, setelah
ternyata bahwa Ki Muni tidak dapat melawannya sendiri, telah terpelanting jatuh
dengan dada terbelah, atau kening yang berlumuran darah.
Ki Muni menjadi semakin
berdebar-debar melihat lawannya seolah-olah menjadi semakin garang. Dengan
demikian ia menjadi semakin berputus asa. Tidak ada seorang pun lagi yang akan
mampu menolongnya. Mantra-mantra dan jampi-jampinya pun tidak.
Tetapi Ki Muni masih juga
mencoba melawan. Pedangnya masih berputar, terayun-ayun dengan cepatnya. Namun
ia sendiri sudah tidak berhasil melakukan pengamatan atas gerak-geraknya
sendiri.
Gupala yang marah pun
menyerangnya semakin cepat. Sehingga akhirnya, Ki Muni tidak dapat menghindar
lagi. Ketika Gupala menjulurkan pedangnya, Ki Muni masih mencoba menghindarkan
diri sambil memukul pedang itu. Tetapi pedang itu sama sekali tidak berkisar,
bahkan kemudian terayun mengarah ke lambungnya. Dengan gugup Ki Muni masih
berusaha untuk menyilangkan pedangnya, namun ternyata kekuatan lawannya terlalu
besar, sehingga ia justru terdorong beberapa langkah surut. Belum lagi ia
sempat memperbaiki keseimbangannya, ternyata Gupala telah meloncat sambil
berteriak untuk mengakhiri perkelahian itu.
Dada Ki Muni berdesir. Tetapi
hanya sejenak. Kemudian serasa tubuhnya terdorong beberapa langkah, dan
selanjutnya ia tidak tahu apalagi yang terjadi atas dirinya.
Gupala menarik pedangnya.
Dilihatnya Ki Muni kemudian roboh dengan darah menyembur dari luka di dadanya.
Kematian Ki Muni benar-benar
telah berpengaruh pada anak buah yang dipimpinnya. Tiba-tiba mereka merasa
ngeri melihat anak muda yang gemuk berjambang lebat itu. Tanpa mereka
kehendaki, mereka pun berusaha bergeser menjauhinya. Namun mereka tidak dapat
menghindar dari pertempuran itu. Di mana-mana mereka bertemu dengan lawan,
karena para pengawal Tanah Perdikan Menoreh pun telah menyebar di segala medan.
Bukan saja para pengawal yang masih muda, tetapi hampir setiap laki-laki yang
setia kepada Ki Argapati mengangkat senjata. Mereka yang telah menyimpan
senjata-senjata mereka, karena umur mereka telah merambat semakin tua pun,
ternyata telah menarik senjata-senjata itu dari wrangkanya. Bahkan mereka yang
hampir tidak pernah memegang senjata pun telah bangkit dan ikut di dalam
peperangan yang hiruk-pikuk itu.
Di ujung lain dari peperangan
itu, Gupita masih bertempur melawan Ki Wasi. Tetapi ternyata Gupita lebih
banyak sesorah daripada mempergunakan ujung pedangnya. Sedang lawannya pun
semakin dipengaruhi oleh perasaan heran, kenapa anak muda itu masih belum
berusaha dengan sungguh-sungguh menyelesaikan pertempuran itu.
Apalagi ketika tiba-tiba saja
Gupita itu berkata, “Masih ada waktu, Ki Wasi. Apakah kau dapat mempergunakan?”
Ki Wasi tidak menjawab. Tetapi
sikap anak muda itu telah mengendorkan nafsu perlawanannya. Dan tiba-tiba ia
melihat, bahwa peperangan ini telah menjadi semakin buas. Setiap kali ia mendengar
teriakan kemarahan dan pekik kesakitan.
“Apakah memang hal serupa ini
yang aku kehendaki?” pertanyaan itu telah mengganggunya.
Sebagai seorang dukun yang
baik, Ki Wasi menjadi berdebat setiap ia melihat orang-orang yang terluka,
merintih dan mengaduh.
“Inilah permulaan dari tingkah
laku Sidanti,” terdengar Gupita berkata. “Lalu apa yang kira-kira akan
dilakukan apabila ia nanti berkuasa?”
Ki Wasi tidak menjawab.
Sepasang trisulanya masih berputaran, meskipun ia sadar, bahwa hal itu tidak
akan banyak gunanya.
“Ki Wasi,” desis Gupita,
“apakah kau tahu benar, kenapa Ki Argapati tidak mau melindungi anak
laki-lakinya?”
Ki Wasi tidak menjawab.
“Bukankah kau hanya mendengar
dari Ki Tambak Wedi atau Sidanti sendiri? Bukankah kau belum mendengarnya dari
Ki Argapati?”
Ki Wasi masih tetap berdiam
diri. Namun perlawanannya semakin lama menjadi semakin lemah. Apalagi karena ia
menyadari, bahwa lawannya sama sekali tidak ingin membunuhnya. Meskipun Gupita
melukai juga satu dua orang yang berusaha membantu Ki Wasi, tetapi ternyata Ki
Wasi sama sekali tidak disentuh oleh ujung senjatanya.
Meskipun demikian, tetapi
setiap kata Gupita serasa lebih tajam dari ujung senjata yang di genggamnya.
Kini ia melihat akibat dari pembangkangan Sidanti.
“Pasti ada suatu alasan,
kenapa Argapati tidak mau melindungi Sidanti saat itu,” pikiran itu seakan-akan
baru saja tumbuh di kepala Ki Wasi. “Atau mungkin Sidanti dan Ki Tambak Wedi
memang ingin mempercepat penyerahan kekuasaan tanah perdikan ini, supaya mereka
dapat berbuat sekehendak hati?”
Karena itu, maka Ki Wasi pun
menjadi ragu-ragu. Perlawanannya menjadi semakin tidak berarti, sehingga Gupita
ternyata lebih banyak melayani lawan-lawannya yang lain daripada Ki Wasi
sendiri.
Meskipun demikian, peperangan
di sekitar Gupita masih saja berlangsung dengan serunya. Di antara pasukan Ki
Tambak Wedi, maka orang-orang yang bukan berasal dari Menoreh sendiri,
mempunyai cara yang mengerikan untuk menekan keberanian lawan. Seperti di
sudut-sudut peperangan yang lain, mereka berbuat di luar batas. Dan merekalah
yang lebih menarik perhatian Gupita daripada Ki Wasi yang seakan-akan telah
kehilangan tenaganya sama sekali.
Namun adalah di luar dugaan
sama sekali, ketika tiba-tiba saja terdengar orang itu mengaduh. Gupita yang
sedang menyelesaikan seseorang yang berkelahi dengan ganasnya terkejut. Ketika
ia berpaling, dilihatnya Ki Wasi terhuyung-huyung.
Hampir di luar sadarnya ketika
tiba-tiba saja Gupita meloncat mendekati Ki Wasi. Dengan serta-merta tangannya
menyambar orang tua itu sehingga ia tidak jatuh terjerembab.
Namun tiba-tiba dadanya
berdesir. Tangannya itu merasakan sesuatu yang hangat meleleh dari punggung Ki
Wasi. Luka.
“Bunuh pengkhianat itu,”
terdengar seseorang berteriak.
Kini menjadi jelas bagi
Gupita, bahwa agaknya seseorang di antara anak buah Ki Wasi sendiri telah
berusaha membunuhnya, karena ia dianggap berkhianat.
Dan belum lagi Gupita
menyadari keadaan sepenuhnya, maka seseorang telah meloncat dan berusaha
menusuk punggung Ki Wasi sekali lagi. Tetapi usaha orang itu kini tidak
berhasil, karena pedangnya membentur pedang Gupita. Dan bahkan pedang orang
itulah yang terlempar jatuh dari genggamannya.
“Jangan hiraukan aku anak
muda,” desis Ki Wasi, “biarlah aku menerima hukuman apa saja. Aku ternyata
telah berkhianat dua kali lipat. Aku telah mengkhianati Ki Argapati dan kini
aku sedang berpikir untuk mengkhianati Sidanti karena sikapmu.”
“Masih ada kesempatan,” jawab
Gupita, “kali ini Ki Wasi tidak sedang berkhianat. Tetapi Ki Wasi sedang
berusaha memperbaiki kesalahan Ki Wasi itu.”
Ki Wasi menggeleng lemah,
“Tidak ada gunanya. Lukaku parah.”
“Bukankah Ki Wasi seorang
dukun? Apakah Ki Wasi tidak membawa obat apapun?”
Ki Wasi ragu-ragu sejenak,
kemudian katanya, “Aku memang membawa. Tetapi tidak untuk luka separah ini.”
Hiruk-pikuk peperangan menjadi
semakin seru. Sementara tubuh Ki Wasi pun menjadi semakin lemah. Gupita masih
mencoba menahan tubuh yang lemah itu. Tetapi seperti yang dikatakannya sendiri,
Ki Wasi sudah tidak mempunyai harapan.
Gupita menarik nafas dalam
sambil memegangi tubuh itu dengan tangan kirinya. Sedang tangan kanannya masih
menggenggam pedangnya erat-erat.
“Serahkan pengkhianat itu
kepada kami,” teriak salah seorang lawannya, “biarlah kami menyelesaikannya.”
“Kenapa kau anggap dia
berkhianat?”
“Ia tidak melawan kau dengan
sungguh-sungguh. Jangan kau sangka, bahwa tidak ada seorang pun di antara kami
yang mendengar percakapan kalian, meskipun sepotong-sepotong. Kau mencoba
mempengaruhinya, dan dukun gila itu agaknya sedang dirambati oleh racun
perkataan-perkataanmu itu. Nah, jangan kau kira, bahwa kau pun akan dapat
hidup. Justru setelah pengkhianat itu mati, kau pun akan segera diselesaikan.”
Betapa mengendapnya hati
Gupita, namun darah mudanya dapat juga menjadi panas. Tetapi ia masih belum
melepaskan Ki Wasi yang menjadi semakin lemah.
“Biarkan aku,” desis Ki Wasi,
“aku pasti akan mati. Tidak ada kesempatan untuk mengobati aku. Tetapi biarlah,
aku merasa bahwa di saat-saat terakhir aku sudah menyadari kesalahanku. Aku
masih sempat untuk berpesan kepadamu. Sampaikan permohonan maafku kepada Ki
Argapati.”
Gupita tidak segera dapat
menjawab. Ia melihat penyesalan yang dalam di mata Ki Wasi, sehingga ia menjadi
semakin iba karenanya. Tetapi agaknya Ki Wasi memang sudah tidak akan dapat
tertolong lagi. Sejenak kemudian orang tua itu menjadi semakin parah. Nafasnya
seakan-akan saling berkejaran, dan sejenak kemudian terdengar ia berdesis,
“Tinggalkan aku.”
Gupita tidak sempat menjawab
lagi. Orang itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Gupita pun menarik nafas.
Diletakkannya orang itu perlahan-lahan di atas tanah. Lidah api yang menjilat
ke langit, menerangi wajah yang menjadi seputih kapas itu dengan cahayanya yang
kemerah-merahan.
Pada saat Gupita sedang
merenungi Ki Wasi itu, hampir saja ia menjadi lengah, ketika salah seorang
lawannya berhasil melepaskan diri dari para pengawal tanah perdikan, sehingga
dengan sebuah loncatan yang panjang, ia berusaha menusuk lambung Gupita.
Untunglah, Gupita menyadari keadaannya, tepat pada saatnya, ketika ia mendengar
salah seorang pengawal berteriak, “He, Gupita. Awas orang itu.”
Gupita masih sempat berguling
sekali, kemudian melenting berdiri beberapa langkah dari lawannya.
Lawannya yang merasa
kehilangan sasaran menggeram. Sekali lagi ia meloncat menyerang Gupita dengan
garangnya. Namun kali ini Gupita telah siap menerimanya. Malang bagi orang itu.
Gupita yang pikirannya masih dipengaruhi kematian Ki Wasi di ujung jalannya
kembali itu, tidak dapat mengatur perasaannya. Ketika ujung senjata lawannya
terjulur ke dadanya, ia bergeser ke samping. Kemudian digerakkannya ujung
pedangnya, menyambar orang yang terseret oleh kekuatannya sendiri, meluncur di
hadapannya.
Terdengar keluh tertahan.
Kemudian orang itu terbanting jatuh di tanah. Sejenak ia menggeliat, namun
kemudian ia tidak akan bergerak-gerak lagi.
Gupita menarik nafas. Kini
tidak ada lagi orang yang disegani di daerah itu. Apalagi ketika ia melihat
pasukannya berhasil menguasai keadaan. Sepeninggal Ki Wasi, maka orang-orang Ki
Tambak Wedi itu seakan-akan telah kehilangan pimpinan. Seorang yang membunuh Ki
Wasi, mencoba untuk memegang pimpinan di kelompok itu. Namun agaknya orang itu
pun tidak berumur lebih panjang lagi, ketika pundaknya seakan-akan terbelah
oleh senjata seorang pengawal tanah perdikan.
Gupita yang melihat keadaan
orang-orangnya telah mantap, tiba-tiba saja ingin menemui gurunya. Ada sesuatu
yang mendesak. Kematian Ki Wasi yang tidak wajar itu serasa mengganggu
perasaannya saja. Ia ingin melepaskannya dengan menceriterakannya kepada
gurunya. Hanya sebentar, dan ia akan segera kembali ke tempatnya.
Karena itu, maka setelah
memberitahukan maksudnya kepada seorang pengawal, Gupita pun meninggalkan
tempat itu untuk menemui gurunya sebentar.
Sejenak Gupita berputar-putar.
Namun kemudian ia tertarik pada suatu lingkaran pertempuran yang seru. Dengan
hati yang berdebar-debar ia mendekatinya, mungkin gurunya sedang bertempur
melawan Ki Peda Sura.
Ternyata dugaannya tidak
salah. Ia melihat gurunya bertempur. Tetapi tidak hanya melawan Ki Peda Sura,
tetapi melawan empat orang yang tangguh dan beberapa orang lain. Ternyata Ki
Peda Sura tidak hanya memberi isyarat kepada tiga orang kawannya. Beberapa
orang yang lain pun datang susul-menyusul dari sela-sela peperangan.
“Hem,” Gupita menarik nafas
dalam-dalam, gurunya memang orang yang luar biasa. Meskipun ia harus melawan
sekian banyak orang, namun sama sekali tidak tampak gugup atau bingung. Dengan
mantap ia menggerakkan senjatanya, menyambar-nyambar.
Ki Peda Sura-lah yang justru
menjadi bingung. Sudah sekian lama ia bertempur bersama beberapa orang tetapi
mereka belum berhasil mengalahkan gembala tua itu. Bahkan satu demi satu
orang-orangnya terlempar dari arena.
“Ayo, cepat, kita selesaikan
saja kakek ini,” teriak Ki Peda Sura. “Jangan beri ia kesempatan!”
Kawan-kawannya menjadi semakin
bernafsu. Tetapi terlampau sulit bagi mereka untuk dapat menembus putaran
pedang kakek tua berkumis lebat itu.
Gupita yang melihat gurunya
bertempur melawan sekian banyak orang segera mendekatinya. Beberapa langkah
dari arena itu, ia berhenti sejenak. Sekali-sekali ia harus menghindar apabila
ujung-ujung senjata meluncur di seputarnya.
Agaknya gurunya melihat
kehadirannya. Karena itu maka terdengar orang tua itu bertanya, “He, Gupita.
Kenapa kau berada di situ?”
“Aku ingin menemui Guru
sebentar. Tetapi agaknya Guru baru sibuk.”
“Apakah ada kesulitan?”
“Tidak, Guru,” Gupita berhenti
sejenak. Namun tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mempengaruhi
lawan-lawannya dengan berita kematian Ki Wasi. Karena itu maka katanya, “Aku
hanya akan memberitahukan, bahwa Ki Wasi telah terbunuh.”
“He?”
“Ki Wasi telah terbunuh.”
Berita itu agaknya telah
mengejutkan Ki Peda Sura, sehingga dengan serta-merta ia berteriak, “Bohong!
Siapakah yang mampu membunuh Ki Wasi?”
“Aku,” jawab Gupita tanpa
disangka-sangka.
“Bohong! Bohong! Anak kelinci
macam kau.”
“Terserahlah kepadamu. Tetapi
aku memberitahukan kepada Guru, bahwa Ki Wasi telah mati.”
“Kau bunuh dia?” bertanya
gurunya sambil melayani lawan-lawannya. Sedang pertempuran pun masih
berlangsung dengan hiruk-pikuk. Beberapa orang pengawal mencoba untuk membantu
orang tua yang harus melawan sekian banyak orang. Tetapi orang-orang Ki Peda
Sura pun semakin banyak pula yang datang membantunya, sehingga seperti juga
orang-orang Menoreh mempersiapkan diri mereka melawan pemimpin-pemimpin pasukan
Ki Tambak Wedi, dengan sekelompok kecil, agaknya demikian pulalah yang
dilakukan oleh Ki Peda Sura.
Dalam pada itu terdengar
Gupita menjawab pertanyaan gurunya, “Tidak, Guru. Aku tidak membunuhnya.”
“Nah,” teriak Ki Peda Sura,
“bukankah kau sudah membual. Ki Wasi tidak mungkin mati.”
“Benarkah begitu?” bertanya
gurunya.
“Tidak. Ki Wasi memang sudah
mati. Tetapi memang bukan aku yang membunuhnya. Ia telah dibunuh oleh anak
buahnya sendiri.”
“Gila!” teriak Ki Peda Sura.
“Ya. Sebenarnyalah begitu.”
Ki Peda Sura terdiam sejenak.
Sepasang senjatanya dengan dahsyatnya berputaran melanda lawannya. Tetapi
lawannya benar-benar seorang yang tangguh. Meskipun demikian, betapa tangguhnya
seseorang, namun untuk melawan sejumlah orang yang berilmu pula, agaknya
memerlukan terlampau banyak tenaga dan pemusatan pikiran.
“Guru,” tiba-tiba Gupita
berkata, “apakah aku boleh ikut di dalam permanan ini?”
“Bagaimanakah dengan tugasmu?”
“Tidak ada hal yang menarik
sepeninggal Ki Wasi.”
“Bohong, bohong!” Ki Peda Sura
berteriak-teriak. Namun Gupita sama sekali tidak menghiraukannya.
“Baiklah,” jawab gurunya,
“tetapi berhati-hatilah. Lawan kita adalah orang-orang yang buas dan liar.”
“Persetan!” geram Ki Peda
Sura. “Kau berdua adalah orang-orang yang paling licik. Kalian mencoba
mempengaruhi perasaan kami dengan ceritera yang mentertawakan itu.”
Gupita masih belum
menanggapinya. Kini ia maju semakin dekat. Kemudian ia meloncat masuk ke dalam
arena. Yang mula-mula ditanganinya adalah mereka yang sedang bertempur melawan
para pengawal yang mencoba membantu orang tua yang berkumis itu. Namun
kemudian, ia merambat semakin dekat, sehingga akhirnya, ia sudah berada di
ujung lingkaran pertempuran yang seakan-akan terpisah ini.
“Setan alas, kau ingin mati
lebih dahulu,” geram salah seorang pembantu kepercayaan Ki Peda Sura.
Tetapi Gupita tidak
memperhatikannya sama sekali. Bahkan kemudian perhatiannya tertarik kepada dua
orang yang sekaligus terluka, ketika gurunya mengayunkan pedangnya.
“Guru memang bukan seorang
pembunuh,” desisnya. Dan ternyata meskipun tidak mati, namun kedua orang itu
sama sekali sudah tidak mampu lagi untuk melawan karena luka-lukanya.
Bersama Gupita, gurunya
bertempur melawan orang-orang Ki Peda Sura. Namun orang-orang itu sama sekali
tidak menarik perhatiannya, yang penting baginya, adalah memotong induknya, Ki
Peda Sura sendiri.
Dengan hadirnya Gupita di
dalam pertempuran itu, maka gurunya kini lebih banyak mendapat kesempatan untuk
memusatkan perhatiannya kepada Ki Peda Sura. Ia sudah tidak lagi terlalu banyak
diganggu oleh senjata-senjata yang berkeliaran di sekitarnya, karena sebagian
dari mereka harus melayani Gupita yang bertempur seperti burung sikatan.
Tekanan yang semakin lama
semakin berat, ternyata tidak dapat lagi dielakkan oleh Ki Peda Sura, sehingga
karena itu, maka ia harus lebih banyak mengerahkan segenap kemampuan yang ada
padanya. Diperasnya segenap tenaganya untuk dapat bertahan terus di antara
beberapa orang-orangnya yang terpenting.
Namun gembala tua itu dapat
bergerak secepat tatit. Kemana ia pergi, ujung senjatanya selalu saja
mengikutinya, seolah-olah ujung senjata itu mempunyai mata yang dapat
melihatnya.
“Persetan,” ia menggeram. Dan
tiba-tiba saja ia bersuit beberapa kali dalam nada yang khusus.
“Apa lagi yang akan dilakukan
iblis ini?” pikir gembala tua itu.
Dan ternyata ia tidak perlu
menunggu lebih lama. Tiba-tiba seperti laron mengerumuni nyala api, beberapa
orang anak buah Ki Peda Sura menyerang gembala tua itu sejadi-jadinya dari
segala pihak. Orang tua itu adalah orang yang cukup berpengalaman. Ia pernah
bertempur melawan berbagai macam kelompok dan gerombolan. Ia pernah bertempur
melawan laskar yang teratur, melawan prajurit, melawan penjahat dan melawan
gerombolan-gerombolan liar. Dan ia pun mengenal watak dari para pemimpin
gerombolan-gerombolan liar seperti Ki Peda Sura itu. Juga sikapnya kali ini.
Dengan demikian, maka gembala tua itu segera dapat mengambil kesimpulan, bahwa
Ki Peda Sura telah berusaha mempergunakan orang-orangnya menjadi perisai,
sementara ia akan melarikan dirinya.
Namun ternyata orang-orang Ki
Peda Sura berbuat terlalu cepat. Sebelum orang tua itu menyadari keadaannya, ia
sudah terkepung rapat sekali. Tidak hanya satu sap, tetapi dua sap.
“Bukan main,” ia bergumam,
“begitu taatnya mereka terhadap pemimpinnya.”
Namun dengan demikian, orang
tua itu menyadari, bahwa ia memerlukan waktu untuk memecah kepungan itu. Dan
waktu itu agaknya akan dipergunakan oleh Ki Peda Sura untuk melepaskan dirinya
dari tangannya. Orang itu sama sekali tidak akan merasa bertanggung jawab atas
akibat dari perbuatannya itu. Ia tidak akan mempedulikan lagi, apakah yang akan
terjadi dengan peperangan ini. Apabila Ki Peda Sura sendiri telah berhasil
melepaskan dirinya, maka orang-orangnya pun pasti akan segera berusaha lari
sejauh-jauh mungkin dapat mereka lakukan.
Karena itu, maka gembala tua
itu pun hanya dapat menggeram. Kini ia harus berusaha secepat-cepatnya memecahkan
kepungan itu. Namun harapan untuk tetap menguasai Ki Peda Sura menjadi semakin
kecil.
Yang didengarnya hanyalah
suara tertawa Ki Peda Sura. Berkepanjangan di antara dentang senjata beradu.
Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu terputus. Sambil meloncat menghindar Ki Peda
Sura mengumpat. Ketika diperhatikannya, maka seorang anak muda yang tiba-tiba
menyerangnya, adalah seorang anak muda yang gemuk.
“He, siapa kau? Apakah kau
sudah jemu hidup he?”
“Mau lari kemana kau, Kiai?”
bertanya anak yang gemuk itu.
Sebelum Ki Peda Sura menjawab,
terdengar gembala tua di tengah-tengah kepungan orang-orang Ki Peda Sura
bertanya, “He, kenapa kau berada di situ?”
Anak yang gemuk itu belum
sempat menjawab. Serangan Ki Peda Sura tiba-tiba datang membadai.
“Bukan main,” desahnya di
dalam hati. “Serangan ini berbau maut,” berkata anak yang gemuk itu di dalam
hatinya.
Namun ia segera menarik nafas
dalam-dalam, ketika seorang anak muda yang lain datang membantunya,
“Hati-hatilah menghadapi iblis berbindi rangkap ini.”
“Persetan iblis-iblis kecil,”
geram Ki Peda Sura.
Kini Ki Peda Sura harus
bertempur melawan Gupala dan Gupita sekaligus. Sementara itu guru mereka yang
masih sedang berusaha memecahkan kepungan yang rapat itu mengulangi
pertanyaannya, “Gupala, kenapa kau berada di situ?”
“Aku kehilangan lawanku,”
teriak Gupala.
“Kemana?”
“Ke neraka.”
“He,” orang tua itu
mengerutkan keningnya. Namun pedangnya masih saja berputar melindungi dirinya,
“apakah Ki Muni sudah terbunuh?”
“Ya.”
“Siapa yang membunuhnya?”
“Aku. Aku telah membunuhnya
dengan pedang ini setelah ia melukai aku.”
“He, kau terluka.”
“Ya, meskipun hanya sedikit.”
Dan tiba-tiba terdengar Ki
Peda Sura memotong, “Bohong! Kalian agaknya sedang berusaha mengecilkan hati
kami dengan ceritera-ceritera semacam itu.”
“Aku sudah menduga bahwa kau
tidak akan percaya,” jawab Gupala sambil bertempur. “Sebenarnya aku ingin
membawa kepalanya, agar kau dapat melihatnya sendiri. Tetapi niat itu aku
batalkan, karena aku masih berperikemanusiaan.”
“Persetan!” Ki Peda Sura
menjadi semakin garang, dan kedua anak-anak muda itu pun bertempur semakin
dahsyat pula.
“Kita bertukar lawan,” mereka
terperanjat, ketika mereka mendengar suara itu selangkah di belakangnya.
Ternyata gurunya telah berhasil memecah kepungan lawan-lawannya, dan kini telah
siap menghadapi Ki Peda Sura. Katanya kemudian, “Tahanlah orang-orang itu
supaya aku mendapat kesempatan melanjutkan permainanku dengan Ki Peda Sura.”
Lalu katanya kepada Ki Peda Sura, “Ayo, Kiai. Jangan bubar. Aku masih belum jemu
dengan permainan yang mengasyikkan ini.”
Wajah Ki Peda Sura menjadi
merah membara. Ia tahu arti dari kata-kata gembala tua itu. Agaknya orang itu
sama sekali tidak ingin melepaskannya, sehingga bagaimanapun juga, ia akan
selalu mengejarnya.
Kemarahan Ki Peda Sura sudah
sampai di puncak kepalanya. Tetapi ia bukannya orang yang tidak melihat
kenyataan, bahwa lawannya sama sekali tidak akan dapat dilawannya. Tetapi ia
belum menemukan jalan apa pun untuk menghindarinya.
Sejenak kemudian, maka Ki Peda
Sura harus bertempur lagi melawan gembala tua itu. Beberapa orang
kepercayaannya segera membantunya pula, sedang beberapa orang lagi di antara
mereka masih harus melawan Gupala dan Gupita, sementara para pengawal Menoreh
pun telah mencoba mengurangi jumlah lawan mereka.
Tetapi betapa liciknya Ki Peda
Sura. Dengan cara yang sama, mengorbankan orang-orangnya, ia masih berusaha
untuk melarikan dirinya. Beberapa orang kepercayaannya dengan membabi buta
telah menyerang gembala tua dan yang lain kedua murid-muridnya. Sementara itu
Ki Peda Sura mempergunakan kesempatan untuk melenyapkan dirinya di dalam
hiruk-pikuk peperangan. Namun kali ini ia tidak berani mengangkat dadanya
sambil melepaskan suara tertawanya.
“Licik,” geram gembala tua
itu. Ki Peda Sura adalah seorang yang memiliki ilmu cukup tinggi. Tidak jauh di
bawahi gembala tua itu. Tidak jauh pada dari Ki Tambak Wedi sendiri. Karena
itu, ketika ia berusaha melarikan diri, menyusup di dalam hiruk-pikuknya
peperangan, ia tidak terlampau banyak mengalami kesulitan.
Betapapun gembala tua itu
menahan hatinya, tetapi pada suatu saat kemarahannya pun terungkat pula. Ia
sudah berada di peperangan setelah terlalu lama ia tidak mengalaminya. Dan di
dalam peperangan yang bersungguh-sungguh ini, ia telah kehilangan lawannya.
Karena itu, maka dengan terpaksa sekali, ia berusaha menyingkirkan orang-orang
yang telah mengurung dengan rapatnya.
Ketika satu dua orang dari
mereka terlempar sambil mengaduh, bahkan ada yang tidak sempat mengeluh, karena
pedang orang tua itu langsung menembus jantung, terdengar orang tua itu
bergumam, “Bukan maksudku. Bukan maksudku membunuh orang-orang yang tidak ikut
menentukan sikap itu.”
Namun orang tua itu tidak
dapat menghindarinya, karena mereka berkelahi seperti orang kesurupan iblis.
Sedang di bagian yang lain, Gupita dan Gupala pun mengalami persoalan yang
serupa.
Ketika orang tua itu sudah
berada di luar kepungan, karena tidak ada seorang pun lagi yang dapat
melakukannya, maka Ki Peda Sura seakan-akan telah hilang ditelan oleh api pertempuran
yang semakin seru itu.
“Aku kehilangan lawan,” desis
orang tua itu. “Adalah terlampau sukar untuk mencari seseorang yang sengaja
bersembunyi di antara ributnya peperangan itu. Pada permulaan peperangan ini,
mencari Ki Peda Sura tidak akan terlalu sulit. Ia pasti berada di salah satu
ujung bagian dari seluruh gelar. Selain daripada itu, ia pasti menjadi pusat
dari sekelompok lawan, karena ia mempunyai banyak kelebihan. Tetapi untuk
mencari Ki Peda Sura yang berlindung pada sekian keributan memang tidak akan
mudah.”
Meskipun demikian, gembala tua
itu tidak berputus asa. Sekilas ia melihat dua orang muridnya bertempur. Tetapi
ia tidak mencemaskan nasib keduanya. Karena itu maka katanya, “Tinggallah di
sini, aku akan mencari iblis yang licik itu.”
“Tetapi aku berjanji untuk
kembali ke tempatku semula,” jawab Gupita.
“Kembalilah. Di sini dan di
tempatmu itu tidak akan banyak bedanya sekarang. Lawanmu telah menjadi patah
kemauan. Mereka tinggal mendorongnya pergi dari tempat ini.”
“Bohong!” teriak salah seorang
dari mereka. “Aku akan membunuh kalian.”
Tetapi kata-katanya terputus
ketika Gupala meloncat sambil berkata lantang, “Tutup mulutmu. Jangan membual.”
Orang itu terkejut bukan
buatan. Tetapi terlambat. Ia tidak mampu menghindari pedang Gupala yang
menjulur lurus ke dadanya. Sehingga yang terdengar kemudian adalah keluhan
tertahan. Namun orang yang hampir sampai di batas ajalnya itu tiba-tiba
berteriak, “Aku bunuh kalian. Aku bunuh kalian.”
Begitu suaranya hilang di
dalam hiruk-pikuknya dentang senjata, tubuhnya pun jatuh terbanting di tanah.
Gembala tua itu melihat sambil
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling ke arah Gupita, dilihatnya
muridnya yang tua itu menggigit bibirnya.
“Anak itu harus diajar untuk
sedikit menahan diri,” berkata gembala tua itu di dalam hatinya. “Adalah wajar
membunuh di peperangan. Tetapi nafsunyalah yang terlampau membakar dadanya.
Membunuh, meskipun di peperangan, bukanlah permainan yang dapat dilakukan
sekehendak hati.”
Namun ketika tiba-tiba
teringat olehnya Ki Peda Sura, maka gembala tua itu pun sekali lagi berkata,
“Berhati-hatilah. Aku akan pergi.”
“Silahkan, Guru,” jawab
Gupita. “Aku pun akan bergeser ke tempatku pula.”
Sejenak kemudian gembala tua
itu pun segera meloncat di antara hiruk-pikuknya ujung senjata. Sekali-sekali
langkahnya tertahan, namun kemudian dengan tergesa-gesa ia pun melanjutkannya.
Sementara itu, Gupita pun
sedang berusaha menghindarkan diri dari kekisruhan di tempatnya. Beberapa orang
pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah berada di sekitarnya pula. Betapa
kekaguman mereka melihat bagaimana gembala itu menyelesaikan lawan-lawannya.
Bagaimana ia menggerakkan pedangnya, dan bagaimana ia berloncatan seperti
burung sikatan. Bahkan gembala yang gemuk itu pun mampu bergerak dengan lincahnya
tanpa dibebani oleh dagingnya yang seolah-olah berlebihan.
“Gupala,” berkata Gupita, “aku
akan kembali ke tempatku. Apakah kau akan tinggal di sini?”
“Aku sudah tidak mempunyai
lawan.”
“Aku pun tidak. Tetapi aku
sudah berjanji.”
Gupala tidak segera menjawab.
Tetapi senjatanyalah yang sedang berbicara. Dan Gupita hanya dapat mengangkat
bahunya ketika ia melihat darah menyembur dari luka di lambung lawan Gupala
itu.
Sejenak ia masih melihat
Gupala bertempur. Kemudian ditinggalkannya anak muda yang gemuk itu, yang kini
berada di antara para Pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Bagi para pengawal,
Gupala terasa lebih menarik dan mengagumkan dari anak muda yang seorang lagi,
karena Gupala terasa lebih banyak berjasa di dalam peperangan ini.
Gupita pun kemudian kembali ke
tempatnya semula. Ke tempat Ki Wasi terbunuh oleh kawan-kawannya sendiri.
Ternyata, bahwa para pengawal
tanah perdikan masih belum dapat menguasai keadaan sepenuhnya. Meskipun Ki Wasi
sudah tidak ada lagi, namun mereka masih harus bekerja keras untuk menahan arus
lawan. Seorang yang berbadan pendek, berdada lebar, agaknya telah berusaha
memimpin kelompok itu. Orang itu agaknya memiliki kemampuan yang lebih baik
dari kawannya. Namun ia tidak terpaut terlampau banyak, sehingga orang yang pendek
itu pun tidak dapat banyak berbuat.
Kedatangan Gupita segera dapat
merubah keseimbangan. Meskipun ia tidak segarang Gupala, namun orang yang
pendek itu pun segera dapat dilumpuhkannya.
Dengan demikian, maka
orang-orang Ki Tambak Wedi itu pun kemudian berperang tanpa ikatan. Sebagian
mereka, yang justru terdiri dari orang-orang yang berasal dari luar Menoreh,
yang dibawa oleh Ki Peda Sura dan oleh beberapa orang yang sekedar ingin
mengail di air yang keruh, ternyata telah biasa bertempur tanpa pimpinan.
Mereka justru menjadi bertambah liar dan buas.
Di ujung peperangan, Ki Tambak
Wedi masih harus memeras tenaganya melawan Ki Argapati dan puterinya Pandan
Wangi. Ki Argapati yang masih belum sembuh benar itu, agaknya telah terpaksa
memeras tenaganya. Bahkan ia telah berbuat melampaui batas-batas yang dapat
mengganggu dadanya yang terluka.
Tetapi melawan Ki Tambak Wedi,
ia tidak dapat membatasi diri, kalau ia tidak ingin luka di dadanya itu
bertambah lagi dengan sebuah tusukan nenggala. Karena itu, maka ia telah
memeras segenap kemampuannya untuk melawan iblis yang mengerikan itu.
Namun betapapun juga luka di
dadanya itu telah membatasi kemampuannya. Ia tidak dapat sampai ke puncak
ilmunya. Untunglah, bahwa di sampingnya ada puterinya, Pandan Wangi, yang dapat
mengisi setiap kekurangan, sehingga Ki Tambak Wedi pun tidak segera berhasil
membinasakan lawannya.
Tetapi sebenarnya kehadiran
Pandan Wangi itu telah membuat Ki Argapati selalu berdebar-debar pula. Ia sama
sekali tidak mencemaskan nasibnya sendiri. Adalah wajar baginya sebagai seorang
kepala tanah perdikan, seandainya ia harus mengorbankan apa pun yang
dimilikinya. Bahkan nyawanya. Tetapi ia sama sekali tidak rela, apabila Pandan
Wangi pun akan mati terbunuh pula. Pandan Wangi adalah satu-satunya anaknya
yang akan dapat menyambung keturunan. Trah Argapati. Kalau Pandan Wangi
terbunuh pula, maka Sidanti-lah yang akan menyebut dirinya trah Argapati, dan
berhak mewarisi pimpinan tanah perdikan ini, tanpa ada orang yang mengganggu
gugat.
Karena itulah, maka betapa
lukanya menganggunya, tetapi Argapati telah memeras segenap tenaga dan
kemampuannya. Ia harus bertahan. Apa pun yang akan terjadi.
Meskipun demikian, namun
tenaganya memang menjadi terbatas. Apalagi ketika tangannya meraba pembalut
luka itu. Terasa sesuatu menghangati tangannya. Darah. Darah yang telah
merembes dari lukanya yang belum sembuh benar.
Dalam pemusatan tenaga,
agaknya luka itu telah menitikkan darah. Gerak yang terlampau banyak dan
geseran-geseran pembalutnya, telah memperderas tetesan darah itu.
Dengan demikian, maka Ki Gede
Menoreh itu pun menjadi semakin berdebar-debar. Telah berapa puluh kali ia
harus berhadapan dengan lawan. Seorang lawan seorang, atau di peperangan.
Tetapi ia belum pernah mengalami kegelisahan seperti kali ini. Kegelisahan yang
terbesar justru karena ia memikirkan nasib puterinya.
Namun karena itulah, maka
Argapati sama sekali tidak menghiraukan dirinya sendiri. Dengan kemampuan yang
ada padanya, ia bertempur mati-matian. Tombak pendeknya menyambar-nyambar
dengan dahsyatnya, seakan-akan ia tidak sedang diganggu oleh luka di dadanya.
Tetapi Ki Tambak Wedi yang
pernah bertempur melawan Ki Argapati merasakan, bahwa tenaga Ki Argapati tidak
sepenuh kemampuannya, apabila ia tidak diganggu oleh luka itu. Itulah sebabnya
maka ia berpengharapan, pada saatnya Ki Argapati akan kehabisan tenaga dan
dengan mudah menyelesaikanya. Tanpa Ki Argapati, Pandan Wangi sama sekali bukan
apa-apa lagi baginya.
Ki Tambak Wedi yang licik itu
tersenyum di dalam hati. Hampir pasti, bahwa kali ini Ki Argapati tidak akan
dapat menghindari ujung senjatanya. Dua kali ia berkelahi melawan Ki Argapati
dalam perang tanding. Seorang lawan seorang, ia telah gagal mengalahkanya.
Kemudian dengan akal yang licik dan curang pun ia tidak berhasil. Kini agaknya
kesempatan telah terbuka baginya.
“Tanpa Ki Argapati, pasukan
pengawal Menoreh ini akan segera dapat disapu seperti asap dihembus angin,”
katanya di dalam hati. “Apalagi tidak seorang pun yang akan mampu memimpin
pasukan pengawal ini. Yang paling bernilai dari setiap orang di tanah perdikan
ini adalah Pandan Wangi. Dan betapa mudahnya menyelesaikan anak ini. Kalau aku
tidak sampai hati untuk melakukannya, karena wajahnya yang mirip dengan wajah
ibunya itu, biarlah Peda Sura menangkapnya, hidup atau mati. Terserah, apakah
yang akan dilakukannya. Kalau Sidanti dan Argajaya berkeberatan, maka lebih
baik anak itu dibunuh saja, seperti yang sudah diputuskan.”
Dengan demikian, maka tandang
Ki Tambak Wedi pun menjadi semakin garang. Ia melihat setiap kali Argapati
terpaksa melontar surut, menahan dadanya dan barulah ia mengerahkan
kemampuannya untuk menyerang kembali.
Bahkan Ki Tambak Wedi itu
tidak dapat lagi menahan perasaannya, sehingga terdengar ia berdesis, “Apakah
lukamu kambuh lagi, Argapati?”
Dada Ki Argapati berdesir
mendengar pertanyaan itu. Agaknya Ki Tambak Wedi telah melihat kelemahannya,
sehingga dengan demikian, Ki Tambak Wedi akan dapat memperhitungkan dengan
tepat apa yang bakal terjadi dalam peperangan ini.
Namun meskipun demikian, Ki
Argapati masih juga tersenyum, “Nah, bukankah kau hanya sekedar menunggu? Kau
tidak dapat mengambil peranan apa-apa dalam perkelahian ini Ki Tambak Wedi,
sehingga dengan demikian, kau hanya dapat mengharap mudah-mudahan aku terganggu
oleh bekas lukaku.”
“Persetan,” Ki Tambak Wedi
menggeram. Kemarahannya telah benar-benar membakar seluruh isi dadanya. “Kau
harus segera selesai Argapati. Kemudian memusnahkan seluruh anak buahmu
termasuk anak gadismu itu.”
Ki Argapati tidak menjawab.
Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kekuatannya pasti terbatas.
Darah yang mengalir semakin deras itu, pasti akan segera mempengaruhi daya
tahannya.
Di bagian-bagian yang lain,
tidak ada kekhususan yang menarik dari peperangan itu. Ternyata Sidanti dan
Argajaya mendapat lawan yang tangguh. Mereka tidak menyangka, bahwa tiba-tiba
saja di atas Bukit Menoreh itu hadir orang-orang yang dapat mengimbangi
kemampuannya, meskipun masih harus mendapat bantuan dari orang-orang di
sekitarnya.
Tetapi akhirnya, kedua orang
pengawal Sutawijaya itu tidak dapat bertahan terlampau lama dengan senjata
cambuknya. Senjata yang tidak biasa dipergunakannya. Karena itu, maka akhirnya
mereka telah memindahkan cambuk-cambuk itu ke tangan kiri. Dan mereka pun
segera bertempur dengan pedangnya. Dengan demikian keadaan mereka menjadi
semakin mantap.
Yang paling mencemaskan di
seluruh medan adalah justru Ki Argapati sendiri. Tekanan Ki Tambak Wedi semakin
lama menjadi semakin berat, sehingga Ki Argapati telah mulai terdesak beberapa
kali. Sekali-sekali tangan kirinya ditelekankan ke dadanya yang terasa mulai
pedih.
“Ha,” Ki Tambak Wedi tertawa,
“nyawamu telah berada di mulut lukamu itu. Sebentar lagi kau akan menjadi
lemas, dan tanpa kau kehendaki kau akan terbaring di tanah. Betapa mudahnya
membunuhmu saat itu.”
“Tutup mulutmu,” Pandan Wangi
membentak sambil menyerang sejadi-jadi, sehingga terdengar ayahnya menahannya,
“Wangi.”
Tetapi Pandan Wangi tidak
menghiraukannya. Tiba-tiba gadis itu telah dibakar oleh kemarahan yang meluap-luap,
sehingga ia tidak lagi dapat mengendalikan dirinya. Ia tidak memperhitungkan
lagi, dengan siapa ia berhadapan.
“He, apakah kau gila anak
manis,” teriak Ki Tambak Wedi.
Pandan Wangi tidak menjawab.
Penglihatannya tentang keadaan ayahnya hampir membuatnya berputus asa. Karena
itu, sebelum ia melihat ayahnya dikalahkan oleh Ki Tambak Wedi, maka lebih baik
ia menentukan akhir dari perkelahiannya. Kalau ia berhasil bersama ayahnya
mengalahkan Ki Tambak Wedi, biarlah itu segera terjadi, sebelum ayahnya kehabisan
darah. Tetapi kalau ia harus mati, biarlah ia mendahului ayahnya.
“Pandan Wangi,” sekali lagi ia
mendengar suara ayahnya.
Tetapi Pandan Wangi tidak
menghiraukannya. Sepasang pedangnya berputaran seperti sepasang angin pusaran
yang libat-melibat. Namun demikian, untuk dapat mengalahkan Ki Tambak Wedi
dalam keadaan serupa itu, meskipun ia bersama ayahnya, adalah sama dengan
menunggu tumbuhnya jamur di musim kemarau. Ayahnya telah menjadi semakin lemah,
dan dirinya sendiri pasti tidak cukup kekuatan untuk melawan iblis yang telah
menodai nama ibunya.
“Pandan Wangi,” teriak Ki
Tambak Wedi, “jangan gila.”
Tetapi Pandan Wangi sudah
tidak menghiraukan lagi. Kelembutan di wajahnya telah lenyap disaput gelapnya
hati. Rambutnya tiba-tiba telah terurai dan matanya pun telah menyorotkan sinar
keputus asaan.
“Wangi, Wangi,” ayahnya masih
mencoba mencegahnya.
Tetapi ia seakan-akan sudah
tidak mendengar apa pun lagi.
Namun ternyata, betapa
hitamnya hati Ki Tambak Wedi, ia masih juga dapat dipengaruhi oleh perasaannya.
Pandan Wangi yang berurai rambut, sorot mata keputus-asaan, dan gemeretak gigi
itu, sekali lagi telah membayangkan kenangan yang ingin dilupakan oleh Ki
Tambak Wedi. Kini seolah-olah ia melihat Rara Wulan yang menyusulnya ke Pucang
Kembar pada saat ia sedang berkelahi dengan Arya Teja. Pandan Wangi yang putus
asa itu seolah-olah berteriak kepadanya, “Inilah dadaku. Di sinilah kau
menghunjamkan senjatamu itu.”
Ki Argapati menjadi heran
melihat Ki Tambak Wedi beberapa kali meloncat surut. Namun dengan tiba-tiba
telah menyerangnya dengan garangnya. Tetapi seolah-olah orang itu selalu
menghindari benturan dengan senjata Pandan Wangi.
Ki Argapati tidak mengerti apa
yang tersirat di dalam hati lawannya. Karena itu ia masih selalu dicemaskan
oleh sikap puterinya itu. Meskipun kadang-kadang ia masih mampu melindunginya,
namun gerak Pandan Wangi yang tidak terkendali itu kadang-kadang telah
menempatkannya pada jarak yang terlampau jauh dari padanya.
“Pandan Wangi,” desis Ki
Tambak Wedi, “kau jangan berbuat gila. Lebih baik kau pergi dari arena ini.”
“Itu akan lebih gila lagi,”
sahut Pandan Wangi. “Aku akan membunuhmu atau kau membunuhku.”
“Anak setan,” geram Ki Tambak
Wedi, “aku ingin membunuh ayahmu.”
“Dan setiap orang di sini,”
sambung Pandan Wangi. “Nah, kalau begitu bunuh aku lebih dahulu.”
“Wangi,” potong ayahnya,
“jangan kehilangan akal. Pakai otakmu di dalam setiap peperangan.”
Tetapi Pandan Wangi
seakan-akan tidak mendengar lagi kata-kata ayahnya. Dengan demikian, maka ia
masih saja berkelahi tanpa terkendali. Dengan sepasang pedang yang terayun-ayun
dengan cepatnya ia berloncatan menyerang Ki Tambak Wedi.
Ki Argapati yang merasa
semakin lemah, terpaksa menyesuaikan dirinya dengan tata gerak anaknya, supaya
Pandan Wangi tidak terlepas sama sekali dari perlindungannya apabila keadaan
sangat mendesak. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mendapat kesempatan
untuk menghemat tenaganya. Namun dengan demikian, Ki Tambak Wedi pun menjadi
sibuk untuk melayani ayah beranak itu.
“Anak setan,” ia menggeram di
dalam hatinya. Dicobanya untuk menemukan kekuatan, agar ia tidak selalu
dibayangi oleh perasaannya.
Dan ketika ia terdesak
beberapa langkah, maka ia menggeretakkan giginya sambil berkata, “Aku tidak
peduli. Aku tidak peduli siapa dia.”
Maka terdengar orang tua itu
menggeram. Dan tiba-tiba saja ia berteriak nyaring, “Persetan kalian berdua.
Kalian harus segera mati. Dan padukuhan ini harus menjadi abu sebelum fajar.”
Ketika Ki Tambak Wedi kemudian
melepaskan segala macam keragu-raguannya, maka tenaga Ki Argapati pun menjadi
semakin terperas karenanya. Dan ia sendiri menyadari, bahwa ia tidak akan dapat
bertahan sampai fajar.
Para pengawal yang mampu
melihat keseimbangan yang sedang condong dengan perlahan-lahan itu pun mencoba
untuk mendapatkan kesempatan membantu kepala tanah perdikannya, agar Ki
Argapati mendapat kesempatan untuk menahan diri. Samekta pun kemudian melihat
kelemahan kepala tanah perdikannya, sehingga hatinya menjadi berdebar-debar. Ia
tahu benar, bahwa luka di dada Ki Argapati pasti telah mengganggunya.
Tetapi apa yang dapat
dilakukan adalah tidak terlampau banyak berarti. Namun bersama dengan setiap
orang yang ada di sekitar pertarungan itu, Samekta berusaha untuk memperpanjang
daya perlawanan Ki Argapati dan Pandan Wangi.
Namun setiap kali Samekta
selalu digelisahkan oleh kemungkinan yang dapat terjadi di tempat-tempat lain.
Ia masih belum mendapat gambaran dari seluruh peperangan. Pada saat terakhir ia
memang sedang menunggu beberapa orang yang dikirimkannya ke beberapa bagian
dari gelarnya untuk melihat keadaan.
Dengan tergesa-gesa ia
berusaha menemui penghubungnya yang pertama-tama datang mendekatinya,
“Bagaimana?” ia bertanya.
“Ki Muni telah terbunuh,”
desis penghubung itu.
“He.”
“Ki Muni.”
“Benar begitu?”
“Ya.”
“Lalu bagaimana keadaan medan
di tempat itu.”
“Anak yang gemuk itu telah
meninggalkan arena, masuk ke daerah peperangan yang lebih dalam.”
“Apakah yang dilakukannya?”
“Aku mencoba mencari hubungan.
Ternyata Ki Peda Sura sudah melarikan diri. Tetapi gembala tua itu pun tidak
ada di tempatnya. Yang ada justru anak yang gemuk itu. Ketika aku berhasil
mendekatinya, ia mengatakan bahwa ayahnya sedang mencari Peda Sura.”
Samekta menarik nafas
dalam-dalam. Harapannya yang menjadi pudar ketika ia melihat Ki Argapati selalu
terdesak, kini menjadi cerah kembali. Dengan demikian, maka keadaan pasukan di
kedua belah pihak pun pasti akan terpengaruh oleh keadaan itu. Apalagi ketika
kemudian ia mendengar dari penghubungnya yang lain, bahwa Ki Wasi telah mati,
dibunuh oleh anak buahnya sendiri.
“Kenapa?” bertanya Samekta.
Penghubung itu menggelengkan
kepalanya, “Entahlah.”
Memang hal itu agak kurang
penting bagi keadaan seluruh peperangan ini.
“Dimana anak gembala yang
bernama Gupita itu?”
“Ia masih berada di tempatnya.
Kehadirannya di tempat itu ternyata mempunyai pengaruh yang sangat besar,
apalagi sepeninggal Ki Wasi.”
Samekta mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ia dapat membuat perhitungan dalam sekilas, bahwa pengaruh dari
keadaan itu, pasti akan terasa sampai ke induk pasukan ini. Beberapa orang
anggauta pasukan di induk ini pasti akan terpaksa mengalir, membantu ke
tempat-tempat yang akan menjadi semakin lemah.
“Beberapa orang akan mendapat
kesempatan membantu Ki Argapati,” desisnya, namun kemudian. “Tetapi untuk
melawan Ki Tambak Wedi, apakah akan banyak dapat membantu?”
Pertanyaan serupa itulah yang
selalu mengganggunya. Dan kini ia melihat Ki Argapati menjadi semakin lemah.
Bahkan Pandan Wangi pun menjadi semakin mencemaskannya. Kadang-kadang ujung
senjata Ki Tambak Wedi hampir saja berhasil menyentuh tubuhnya. Dalam keadaan
yang demikian, Ki Argapati telah memaksa dirinya untuk meloncat melindunginya,
betapa ia memeras tenaganya yang terasa menghentak-hentak lukanya.
Samekta memang tidak dapat
menunggu dan membiarkan terlampau lama. Kemudian beberapa orang yang
dianggapnya mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya, telah ditariknya
untuk mencoba mengganggu Ki Tambak Wedi.
Cara itu telah membuat darah
Ki Tambak Wedi semakin mendidih, sehingga ia sudah tidak menghiraukan apapun
lagi. Senjatanya segera berputaran, dan setiap kali ia melemparkan seorang
lawannya dari arena.
Iblis dari lereng Merapi itu
benar-benar telah bertempur dengan dahsyatnya. Senjatanya menjadi semakin
mengerikan, dan patrapnya pun telah membuat setiap tengkuk meremang.
Ki Argapati yang melihat
lawannya menjadi semakin buas menjadi gemetar menahan marahnya. Tetapi ia tidak
dapat ingkar dari kenyataan, bahwa lukanya sangat mengganggunya.
Namun Ki Argapati kini berdiri
di dalam keadaan tanpa pilihan. Satu-satunya yang harus dilakukan adalah
bertempur tanpa memikirkan bagaimana akhir dari pertempuran itu bagi diri
sendiri, meskipun hal itu telah dapat diperhitungkannya.
Tetapi usaha Samekta dengan
beberapa orang anggauta pengawal pilihan ternyata berpengaruh juga. Setiap kali
Ki Tambak Wedi harus mengumpat-umpat sambil menghindarkan diri dari patukan
senjata-senjata yang seolah-olah mengerumuninya.
Di bagian belakang dari gelar
Gajah Meta yang sudah menjadi semakin lebar itu, ternyata telah terjadi
perubahan keseimbangan. Tempat-tempat yang ditinggalkan oleh Ki Wasi dan Ki
Muni, telah berubah sama sekali. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah
hampir-hampir dapat menguasai seluruh keadaan. Apalagi setelah Ki Peda Sura
meninggalkan arena tanpa memberikan pesan dan petunjuk apa pun kepada anak
buahnya.
Kemunduran pasukan Ki Tambak
Wedi di tempat-tempat itu ternyata sangat mempengaruhi keadaan di sekitarnya.
Beberapa orang di dalam kelompok-kelompok yang lain, terpaksa harus bergeser
membantu tempat-tempat yang menjadi semakin lemah. Beberapa orang yang berada
di dalam pimpinan Sidanti dan di bagian lain dipimpin oleh Argapati, tidak
dapat membiarkan gelar yang bulat itu akan terpecah.
Sehingga sejenak kemudian, di
belahan belakang dari gelar Gajah Meta yang harus menghadapi kepungan para
pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang semakin mendesak itu, menjadi semakin
berbahaya. Apalagi karena Gupala hampir-hampir tidak mau mengekang dirinya,
sehingga lingkaran arena di seputarnya menjadi semakin ribut. Lawan-lawannya
harus menghadapi dalam kelompok-kelompok kecil, meskipun mereka tidak dapat
menahan putaran pedangnya yang seakan-akan melanda pasukan Ki Tambak Wedi yang
sudah menjadi semakin kisruh. Apalagi para pengawal yang ada di sekitarnnya,
memanfaatkan pula keadaan itu dan bertempur sejauh-jauh kemampuan mereka.
Sidanti dan Argajaya yang
kemudian mendengar dari seorang penghubung tentang keadaan itu menggeram
seperti seekor harimau lapar. Tetapi mereka tidak dapat berbuat terlampau
banyak, karena mereka ternyata menemukan lawan yang pilih tanding. Wrahasta dan
Kerti di tempat masing-masing cukup memberikan pengaruh pula pada pertempuran
di sekitar lingkaran perkelahian yang dahsyat antara Sidanti, Argajaya dan
lawan-lawannya.
Setelah lawan-lawan Sidanti
dan Argajaya bertempur dengan senjata mereka sendiri, maka segera tampak, bahwa
Dipasanga dan Hanggapati adalah seorang prajurit. Meskipun pada dasarnya mereka
memiliki ilmu masing-masing, namun pengaruh lingkungan keprajuritan segera
tampak. Apalagi prajurit-prajurit yang telah mengalami berbagai macam persoalan
seperti keduanya.
Karena itulah, maka Sidanti
dan Argajaya menjadi berdebar-debar. Apakah persoalan Tanah Perdikan Menoreh
telah menjadi persoalan di dalam istana, sekaligus untuk mencari jejaknya dan
gurunya.
Dengan demikian, maka Sidanti
dan Argajaya menjadi semakin lama semakin gelisah. Namun mereka tidak dapat
segera mengambil sikap. Mereka hanya dapat menunggu, apa yang akan
diperintahkan oleh Ki Tambak Wedi.
Di arena pertempuran yang
lain, Ki Tambak Wedi masih belum terlampau merasakan tekanan-tekanan di
bagian-bagian gelarnya. Ia masih memusatkan segenap perhatiannya untuk
menyelesaikan Argapati yang semakin lama menjadi semakin lemah. Pandan Wangi
yang berusaha bertempur sekuat tenaganya dan justru hampir-hampir menjadi putus
asa itu, menjadi semakin cemas melihat keadaan ayahnya.
Namun agaknya beberapa orang
yang berusaha membantu Ki Argapati dan Pandan Wangi, dapat memperingan
tekanan-tekanan yang diberikan oleh Ki Tambak Wedi.
Betapa Ki Tambak Wedi
mengumpat-umpat di dalam hati, setiap kali ia harus menghindari ujung tombak
yang dilontarkan ke arahnya, kemudian ayunan pedang yang menyambar dari
belakang. Sebuah pisau yang menyambar dari arah yang tidak terduga-duga dari
antara sekian banyak lawan-lawannya.
“Setan,” ia mengumpat, dan
iblis tua itu menjadi semakin marah. Bukan saja kepada lawan-lawannya, tetapi
juga kepada orang-orangnya sendiri. Mereka sama sekali tidak berhasil menghalau
para pengawal yang seakan-akan mengepungnya dalam suatu lingkaran yang terpisah
dari seluruh peperangan.
“Kemana orang-orang gila ini?”
ia menggeram. Setiap kali ia berusaha melihat pasukannya. Dan setiap kali ia
melihat kesibukan yang luar biasa. Agaknya pertempuran di sekitarnya pun
menjadi semakin dahsyat pula.
“Meskipun demikian,” ia
berkata di dalam hatinya, “adalah terlampau bodoh untuk membiarkan tikus-tikus
ini mengerumuni aku, sehingga usahaku menjadi selalu terganggu.”
Akhirnya Ki Tambak Wedi
menjadi tidak sabar lagi. Terdengar ia bersuit nyaring, dua kali ganda.
Setiap orang di dalam
pasukannya mengetahuinya, bahwa dengan demikian, Ki Tambak Wedi memerlukan
beberapa orang untuk membantunya. Melihat keadaan medan di sekitamya, maka Ki
Tambak Wedi pasti memerlukan orang-orang untuk menghalau para pengawal yang
mengitarinya.
Tetapi betapa sulitnya untuk
menghindarkan diri dari lawan masing-masing yang terasa semakin lama menjadi
semakin banyak. Bahkan seolah-olah setiap orang harus melawan bukan saja
seorang lawan saja, tetapi di dalam hiruk-pikuk peperangan, lawan-lawan mereka
serasa selalu bergeser, dari yang seorang ke orang yang lain. Mereka menjadi
terkejut, ketika tiba-tiba di hadapan mereka telah berdiri seorang tua yang
berkumis lebat, menyambar senjata mereka sehingga senjata itu terpelanting,
kemudian meloncat dan hilang di dalam peperangan itu, untuk muncul di tempat
lain, dan berbuat serupa pula. Dalam keadaan yang demikian, maka orang-orang di
dalam pasukan Ki Tambak Wedi menjadi bingung dan kadang-kadang ada di antara
mereka yang kehilangan akal, karena tiba-tiba senjatanya telah terlepas.
Tanpa senjata di peperangan
yang seru terasa benar-benar mengerikan.
Tetapi orang tua berkumis itu
sendiri seakan-akan tidak mempedulikan lagi lawan-lawannya yang telah kehilangan
senjata. Ia pergi tanpa berbuat sesuatu. Namun meskipun demikian, para pengawal
Tanah Perdikan Menoreh-lah yang selalu mempergunakan kesempatan, selagi
orang-orang yang kehilangan senjata itu masih belum berhasil memungut
senjatanya itu kembali.
Dengan demikian, maka keadaan
hampir di seluruh medan segera berubah. Meskipun tidak seganas Gupala, namun
Gupita telah mulai dijauhi pula oleh lawan-lawannya. Sidanti dan Argajaya
seakan-akan terikat oleh lawan masing-masing, meskipun lawan-lawan mereka tidak
lebih unggul dari mereka masing-masing. Namun kesempatan yang ada pada Wrahasta
dan Kerti telah dipergunakan sebaik-baiknya.
Ki Tambak Wedi pun kemudian
menyadari keganjilan yang ada di dalam pasukannya dan pasukan lawan. Ternyata
perhitungannya telah meleset dari kenyataan yang di hadapinya. Ia sama sekali
tidak menyangka, bahwa selain Argapati dan Pandan Wangi, di dalam lingkungan
dinding pring ori itu terdapat orang-orang yang dapat mengimbangi pemimpin di
dalam pasukannya, entah darimana mereka datang.
Betapa kemarahan telah
membakar dadanya, tetapi ia harus menghadapi kenyataan yang ada di medan yang
seru itu. Iblis itu pun menyadari, bahwa pasti ada suatu sebab, bahwa
orang-orangnya tidak dapat memenuhi panggilannya, atau hanya sebagian saja dari
mereka yang dapat mendekatinya dan membantunya mengusir para pengawal yang
mengerumuninya. Meskipun demikian, ia masih belum leluasa untuk melakukan
tekanan atas Argapati dan Pandan Wangi.
Betapa lemahnya Argapati,
namun ia masih jauh berada di atas kemampuan orang-orangnya dan bahkan masih
mampu membuatnya berdebar-debar dengan ujung tombak pendeknya.
Ki Tambak Wedi yang marah itu
menggeram. Terasa dadanya seakan-akan meledak. Harapannya untuk membuat
padukuhan ini menjadi karang abang sebelum fajar, agaknya sama sekali tidak
akan dapat dilakukan.
Dengan susah payah, seorang
penghubungnya telah berhasil mendekatinya, dan memberitahukan apa yang telah
terjadi di medan. Dengan demikian, maka serasa jantung Ki Tambak Wedi itu
terbakar di dalam dadanya.
Tetapi Ki Tambak Wedi masih
cukup sadar, bahwa ia tidak dapat membiarkan dirinya hanyut dalam arus
perasaannya. Ia harus mampu mencari kemungkinan yang paling baik di saat-saat
mendatang.
Dengan demikian, maka
tekanannya terhadap Ki Argapati yang semakin lemah dan atas Pandan Wangi pun
mengendor pula. Senjata-senjata yang berterbangan menyambarnya serasa semakin
banyak. Pisau-pisau belati dan bahkan tombak-tombak pendek. Ia sama sekali
tidak mendapat kesempatan untuk melihat, siapakah yang telah melontar-lontarkan
senjata-senjata itu, sehingga setiap kali ia harus berloncatan menghindarinya.
Yang dapat dilihatnya adalah
orang-orang Menoreh yang memandanginya dengan sorot mata yang menyala. Sekilas
dilihatnya seorang berkumis yang kemudian seakan-akan lenyap ditelan oleh para
pengawal yang lain. Tetapi orang-orang itu satu-persatu tidak menarik
perhatiannya sama sekali.
Yang menjadi pusat
perhatiannya adalah keadaan keseluruhan dari peperangan ini.
Sejenak kemudian, Ki Tambak
Wedi berada di dalam kebimbangan. Apakah ia dapat meneruskan pertempuran?
Ketika terkilas di matanya Argapati yang semakin lemah. Pandan Wangi yang kini
sudah hampir kehilangan akal, maka tumbuhlah keinginannya untuk menyelesaikan
saja sama sekali keduanya. Tetapi bagaimana dengan orang-orangnya yang lain?
Apakah mereka tidak menjadi semakin berkecil hati dan kehilangan keberanian
untuk bertindak di saat lain?
Apalagi apabila disadarinya,
bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang mengerumuninya menjadi semakin
lama semakin banyak. Agaknya mereka telah mendapat kesempatan untuk
meninggalkan medan mereka masing-masing untuk membantu Kepala Tanah
Perdikannya. Lemparan-lemparan senjata ke arahnya menjadi semakin deras, dan
bahkan kadang-kadang terasa berbahaya.
Karena itu, Ki Tambak Wedi
yang gelisah itu harus segera mengambil suatu keputusan. Melangkah maju untuk
membinasakan Argapati dan Pandan Wangi, tetapi membiarkan anak buahnya menjadi
semakin kalang kabut, atau menarik diri, dan mencoba menghimpun kekuatan untuk
melakukan serangan yang lebih baik di saat lain.
Tetapi agaknya Ki Tambak Wedi
tidak banyak mendapat kesempatan. Setiap kali ia mendengar sorak sorai yang
seakan-akan membelah langit yang justru telah menjadi semburat merah.
“Hem,” iblis itu menggeram,
“aku tidak dapat membiarkan keadaan ini sampai pagi. Kalau kemudian matahari
terbit dan medan ini menjadi terang, maka pasukanku pasti akan menjadi semakin
parah.”
Karena itu, betapapun
beratnya, akhirnya Ki Tambak Wedi mengambil keputusan, selagi kekuatannya masih
cukup besar, ia harus menarik diri. Betapa pahitnya. Tetapi tidak ada jalan
lain untuk menyelamatkan kekuatannya.
“Lain kali aku masih akan
dapat menghubungi orang-orang di luar tanah perdikan ini. Aku mengharap Ki Peda
Sura masih ada di dalam barisan, meskipun ia bersembunyi. Ia akan dapat menjadi
penghubung yang baik dengan kekuatan-kekuatan di luar tanah ini,” Ki Tambak
Wedi berkata di dalam hatinya, namun kemudian ia menggeram, “Setan Argapati itu
masih juga mampu bertahan sampai menjelang fajar. Meskipun tampaknya nafasnya
telah hampir putus, dan darahnya telah membasahi lagi di dadanya, ia masih juga
dapat menggerakkan tombaknya dengan sempurna.”
Akhirnya, memang tidak ada
jalan lain bagi Ki Tambak Wedi. Dengan hati yang tersayat, ia memberikan
isyarat, agar pasukannya mulai menyusun diri dalam garis surut.
Sidanti dan Argajaya terkejut
mendengar isyarat itu. Meskipun ia tidak dapat segera menguasai kedua lawannya,
namun mereka tidak berada di bawah kedua prajurit Pajang itu. Nafsu mereka yang
meluap-luap di dada mereka, telah membatasi pengamatan mereka atas seluruh
medan.
Karena itu, isyarat Ki Tambak
Wedi itu sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
Namun di bagian-bagian lain,
isyarat itu merupakan harapan bagi orang-orang Ki Tambak Wedi untuk tetap hidup.
Karena itu, ketika isyarat yang dibawa oleh arus angin dan kemudian mengalir
dari seorang pemimpin kelompok ke pemimpin kelompok yang lain, segera
menumbuhkan gejolak di setiap dada. Memang bagi mereka mundur saat itu adalah
satu-satunya cara untuk menyelamatkan sisa-sisa pasukan yang ada. Mereka yang
mengalami tekanan-tekanan yang luar biasa segera mengerti, bahwa Ki Tambak Wedi
ingin menyelamatkan sisa pasukan ini. Dan mereka pun mengerti, bahwa di
saat-saat mendatang, mereka masih harus menyusun diri lebih baik lagi untuk
merebut padukuhan ini dari tangan Argapati dan membinasakannya sama sekali.
Beberapa orang dari mereka pun
masih juga bertanya-tanya di dalam hati, bagaimana akhir dari peperangan antara
Ki Tambak Wedi dan Argapati yang sedang terluka itu.
“Tetapi di dalam pasukan
Argapati terdapat kekuatan-kekuatan yang sama sekali tidak terduga-duga,” desis
mereka.
Dengan demikian, maka para
pemimpin kelompok-kelompok kecil di dalam pasukan Tambak Wedi itu segera
menyusun diri untuk melakukan gerakan surut. Ternyata untuk menarik diri dari
peperangan yang seru ini pun sama sekali bukan pekerjaan yang mudah.
Selangkah demi selangkah Ki
Tambak Wedi membawa orang-orangnya mundur. Sambil bertempur ia memberikan
isyarat-isyarat terus-menerus kepada penghubung-penghubung yang harus
menyampaikan isyarat-isyarat ke seluruh pasukan dengan tanda-tanda bunyi, dan
gerak.
Ki Argapati yang sudah menjadi
semakin lemah, melihat gerakan yang dilakukan oleh Ki Tambak Wedi. Sejenak ia
merenungi keadaan itu, keadaannya sendiri, dan seluruh pasukannya.
Betapa besar nafsunya untuk
tetap mengejar Ki Tambak Wedi dan tidak membiarkannya terlepas dari tangannya.
Tetapi luka di dadanya terasa semakin lama menjadi semakin pedih. Ketika ia
memaksa diri, maju mengejar Ki Tambak Wedi yang mencoba melindungi
orang-orangnya, terasa dadanya seakan-akan menjadi pecah, sehingga langkahnya
pun tertegun karenanya.
Kini ia tidak dapat ingkar
lagi. Tenaganya benar-benar telah habis terperas. Dan ia mengucapkan syukur di
dalam hatinya kepada Tuhan, yang masih menyelamatkannya tepat pada saatnya.
Tepat pada saat ia kehilangan segala kemampuannya.
Tiba-tiba pertempuran itu
serasa berputar. Pandangan matanya semakin lama menjadi semakin gelap. Api yang
masih menyala di beberapa tempat pun tampaknya menjadi semakin suram.
Ki Argapati masih melihat Ki
Tambak Wedi yang menjadi semakin jauh. Ketika Pandan Wangi meloncat ingin
mengejarnya, terdengar Ki Argapati menghentakkan kekuatannya yang terakhir,
memanggil puterinya, “Pandan Wangi ………”
Pandan Wangi terkejut. Ketika
ia berpaling dilihatnya ayahnya terhuyung-huyung bertelekan pada landaian
tombaknya.
“Ayah,” dengan tangkasnya
Pandan Wangi meloncat mendekati ayahnya. Hampir saja ayahnya terjatuh kalau ia
tidak segera ditolong oleh Pandan Wangi. Demikian tergesa-gesa, sehingga ia
tidak sempat menyarungkan pedangnya dan begitu saja dilelakkannya di tanah.
Pedang yang seolah-olah tidak pernah terpisah dari dirinya itu, seakan-akan
dilupakannya ketika ia melihat keadaan ayahnya yang parah.
Sejenak kemudian, Samekta pun
telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan gemetar, ia pun mencoba menahan
tubuh Ki Argapati. Tetapi ternyata tubuh itu telah menjadi sedemikian lemahnya,
sehingga Samekta terpaksa membaringkannya di tanah.
“Ayah, Ayah,” pekik Pandan
Wangi. Meskipun ia mampu bertempur di peperangan, namun ketika ia melihat
keadaan ayahnya, maka sifat-sifat kegadisannya tidak lagi dapat disimpannya.
“Tenanglah, Pandan Wangi,”
desis Samekta. “Ki Argapati telah pingsan.”
“Ayah, Ayah,” Pandan Wangi
tidak dapat menahan titik-titik air matanya yang membasahi pipinya. Apalagi
ketika ia melihat darah yang memerahi pembalut luka Ki Argapati.
Ki Tambak Wedi yang menjadi
semakin jauh melihat bagaimana Argapati kehilangan kesadaran dirinya. Karena
itu ia mengumpat di dalam hatinya, “Kalau aku bertahan beberapa kejap lagi.”
Meskipun demikian, masih
tumbuhlah keragu-raguannya, apakah ia akan berlari beberapa langkah maju dan
membunuh Argapati itu sama sekali, atau ia harus tetap melindungi orang-orangnya
yang sedang bergerak mundur.
Sejenak Ki Tambak Wedi memeras
pikirannya. Tetapi pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyerang orang-orangnya
yang sedang mundur itu seperti air bah. Dengan demikian, maka Ki Tambak Wedi
tidak dapat membiarkan orang-orangnya itu binasa dan korban akan berjatuhan
terlampau banyak.
“Sayang,” desis Ki Tambak
Wedi, “aku kehilangan waktu yang sekejap ini. Tetapi biarlah. Besok atau lusa
apabila aku kembali, maka tidak seorang pun yang dapat memimpin pasukan
Argapati, karena Argapati sendiri pasti memerlukan waktu beberapa hari untuk
dapat sembuh, atau bahkan mungkin ia akan mati karena luka-luka itu. Seandainya
ia tidak mati, maka untuk maju ke medan perang, ia harus membuat banyak sekali
pertimbangan-pertimbangan.”
Dengan demikian, maka Ki
Tambak Wedi terus berusaha menarik diri dengan hati-hati. Para pemimpin
pengawal tanah perdikan, sebagian telah terpaku di samping Ki Argapati.
Demikian juga seorang gembala tua yang kemudian telah melepaskan kumisnya.
“Tolonglah Kiai, tolonglah,”
tangis Pandan Wangi.
Gembala tua itu mengerutkan
keningnya. Dirabanya pergelangan tangan Ki Argapati. Ternyata pemimpin
tertinggi Tanah Perdikan Menoreh itu telah terlampau banyak mengeluarkan tenaga
selagi lukanya masih sangat mengganggunya. Akhirnya ia benar-benar kehilangan
kekuatannya sama sekali.
“Untunglah ia mampu bertahan
tepat sampai Tambak Wedi menarik diri,” desis Samekta.
“Ia telah memeras segenap
kekuatan yang tersisa, agar ia tetap berdiri tegak, selagi Ki Tambak Wedi masih
berada di hadapannya,” jawab gembala tua itu.
Semua orang yang mengitarinya
menundukkan kepalanya. Samekta, Pandan Wangi, dan gembala itu kini berlutut di
sampingnya. Dengan cemas mereka melihat Ki Argapati yang pucat seperti kapas.
Ternyata keadaan itu telah
menarik banyak perhatian para pemimpin Menoreh yang lain. Mereka tidak dapat
melepaskan diri tanpa menghiraukan kepala tanah perdikan mereka, sehingga
keadaan itu telah sangat mempengaruhi seluruh medan.
Peluang itulah yang agaknya
memberi banyak kesempatan kepada Ki Tambak Wedi untuk menarik pasukannya.
“Ki Samekta,” desis gembala
itu, “awasilah pasukanmu. Serahkan Ki Argapati kepadaku. Mungkin di dalam
gerakan yang terakhir Ki Tambak Wedi membuat perangkap-perangkap yang
berbahaya.”
Samekta seperti terbangun dari
tidurnya yang diganggu oleh mimpi yang buruk. Tiba-tiba ia menyadari, bahwa
keadaan pasukannya masih belum terlepas sama sekali dari bahaya yang dapat
dengan mendadak menjeratnya. Karena itu, maka ia pun segera berdiri sambil
berkata, “Baiklah. Biarlah aku pergi ke pasukan yang sedang mencoba mendesak
pasukan lawan.”
“Tahanlah mereka, agar mereka
tidak dikendalikan oleh perasaan. Ki Tambak Wedi bukan sekedar seorang pemimpin
yang mumpuni. Tetapi ia dapat mempergunakan segala cara untuk melakukan rencananya.
Sebaiknya pasukanmu tidak keluar dari lingkungan ini. Kita masih belum tahu
tepat, apa yang berada di padang rerumputan di luar, meskipun kita mempunyai
kesempatan yang baik kali ini.”
“Aku sependapat Kiai.
Terserahlah, aku percayakan Ki Argapati kepadamu.”
Samekta pun kemudian
berlari-lari bersama dua orang pengawal yang lain mendekati garis surut pasukan
Ki Tambak Wedi. Setelah berhasil menghubungi beberapa orang penghubung, Samekta
segera memerintahkan, supaya pasukannya tidak mengejar lawan sampai ke luar
lingkungan pring ori.
“Kenapa?” bertanya penghubung
itu.
“Beberapa orang di antara kita
yang mampu mengendalikan orang-orang terpenting di pasukan lawan sedang sibuk
dengan Ki Argapati. Perhitungkan hal itu. Ki Tambak Wedi bukan sahabat yang dapat
diajak bergurau.”
Penghubung-penghubung itu pun
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian menghilang di dalam hiruk-pikuknya
kedua pasukan yang sedang bergeser itu.
Namun memang ternyata, betapa
Ki Tambak Wedi mencoba melindungi pasukannya. Ia benar-benar seperti iblis yang
menyebar maut di antara mereka yang berani mendekatinya. Dengan demikian, maka
usaha pasukannya menarik diri, semakin lama menjadi semakin lancar.
Gupala dan Gupita masih selalu
mengingat-ingat pesan gurunya, bahwa mereka masih belum saatnya memperlihatkan
diri kepada Sidanti, Argajaya, atau Ki Tambak Wedi sendiri. Sehingga dengan
demikian, maka gerak mereka pun menjadi sangat terbatas.
Ketika ia mendengar pesan
Samekta, bahwa mereka tidak sebaiknya mengejar sampai ke luar regol, mereka pun
segera dapat mengerti. Apalagi ketika penghubung itu mengatakan tentang keadaan
Ki Argapati.
“Guru pasti sedang menolong Ki
Argapati,” berkata mereka di dalam hati, “sehingga Ki tambak Wedi yang
kehilangan lawan itu akan menjadi burung elang di kandang ayam.”
Ternyata betapa gejolak
membakar dada setiap pengawal Tanah Petdikan Menoreh yang sedang mendapat
kesempatan baik itu, namun mereka dengan penuh pengertian, mematuhi perintah
pemimpin mereka. Karena sebenarnya mereka pun ngeri melihat tandang Ki Tambak
Wedi. Setiap sentuhan senjatanya akan berarti maut.
Demikianlah, maka ketika
orang-orang di dalam pasukan Ki Tambak Wedi itu telah berhasil keluar dari
regol padesan itu, maka dengan susah payah para pengawal telah menahan dirinya
untuk tidak terseret oleh arus perasaannya. Mereka memang tidak dapat melihat,
apa saja yang ada di balik setiap helai daun ilalang di dalam gelap. Meskipun
langit telah menjadi semburat merah, namun padang ilalang liar di hadapan
padesan itu masih tetap dibayangi oleh gelapnya malam.
Di luar regol, Ki Tambak Wedi
masih saja sibuk mengatur pasukannya. Namun ia melihat, bahwa orang-orang
Menoreh tidak mengejarnya terus. Karena itu, maka ia dapat menarik nafas
sejenak, melepaskan kepepatan di dalam dadanya.
Belum lagi Ki Tambak Wedi
mengusap keringatnya yang membasahi keningnya, dengan tergopoh-gopoh Sidanti
datang kepadanya sambil bergumam, “Kenapa kita harus menarik diri?”
Ki Tambak Wedi berpaling.
Dipandanginya Sidanti sejenak. Kemudian ditengadahkannya wajahnya, memandangi
langit yang sudah menjadi semakin merah.
“Sebentar lagi fajar akan
menyingsing.”
“Dan kita akan melihat
orang-orang itu binasa.”
“Kau salah hitung, Sidanti. Di
belakang pring ori itu ternyata terdapat banyak orang-orang yang tidak pernah kita
perhitungkan, entah mereka datang dari mana. Tetapi adalah suatu kenyataan,
bahwa kau dan Argajaya mendapat lawan-lawan yang tidak kau duga-duga
sebelumnya. Ki Muni dan Ki Wasi telah terbunuh, Ki Peda Sura terdesak dan
terpaksa menyembunyikan diri di dalam medan.”
“Dan Guru tidak berhasil
membunuh Argapati?”
Ki Tambak Wedi menggeleng,
“Kali ini tidak. Karena itu, kita harus menyusun diri. Lebih baik dari yang
sudah. Kita sudah tahu kekuatan yang sebenarnya ada di belakang pring ori itu.”
Sidanti menggeretakkan
giginya, sementara mereka menjadi semakin lama semakin jauh dari regol yang
mereka tinggalkan.
“Tetapi aku masih berhasil
melihat Argapati roboh,” berkata Ki Tambak Wedi seterusnya.
“Mati?”
“Aku tidak tahu. Tetapi
lukanya menjadi bertambah parah. Ia terpaksa memeras seluruh tenaganya dalam
peperangan ini. Argapati bertempur berpasangan dengan Pandan Wangi. Dan aku
masih saja dipengaruhi oleh perasaan itu.”
”Perasaan apa Guru?”
Ki Tambak Wedi tergagap
mendengar pertanyaan Sidanti. Sejenak ia terdiam, namun sejenak kemudian ia
menjawab, “Tidak. Tidak apa-apa. Tetapi aku tidak berhasil membunuhnya.
Beberapa orang pengawal kepercayaan Argapati selalu mengganggu aku. Sedang
orang-orangku sendiri tidak membantu aku, mengusir orang-orang itu.”
“Kenapa?”
“Aku tidak tahu, tetapi
agaknya tekanan pasukan pengawal Menoreh memang terlampau ketat, sehingga
mereka kehilangan waktu dan kesempatan. Hal inilah yang harus aku ketahui
nanti. Pengalaman ini harus diperhitungkan di saat-saat mendatang.” Ki Tambak
Wedi berhenti sejenak, lalu, “Lemparan-lemparan senjata para pengawal itu
benar-benar terasa mengganggu setiap usahaku untuk membunuh ayah beranak itu.
Setiap kali aku tertegun dan menghindar.” Tetapi Ki Tambak Wedi tidak tahu,
bahwa di antara para pengawal kepercayaan Argapati itu terdapat seorang tua
yang mengenakan kumis palsu. Meskipun sepintas Ki Tambak Wedi melihatnya juga,
tetapi ia sama sekali tidak sempat memperhatikannya, karena ia sama sekali
tidak menyangka, bahwa seseorang telah memasang kumis palsu itu orang yang ikut
menentukan jalannya peperangan.
Dalam pada itu, gembala tua
yang telah melepas kumisnya itu berjongkok di samping Ki Argapati, dengan wajah
yang tegang. Ia adalah seorang dukun yang berpengalaman, yang setiap saat
selalu bersedia mengobati siapa pun juga.
Namun kali ini dadanya
berdebar-debar melihat keadaan Ki Argapati. Agaknya luka yang dideritanya itu
benar-benar berbahaya bagi keselamatannya.
“Bagaimana Kiai? Bagaimana?”
bertanya Pandan Wangi dengan cemasnya.
“Aku akan berusaha, Ngger,”
jawab gembala tua itu. “Sebaiknya, biarlah Ki Argapati ini dibawa ke pondok
dahulu.”
“Tetapi kenapa Kiai belum
berbuat sesuatu? Jarak itu terlampau jauh, Kiai.”
“Aku telah memperhitungkan.
Kini aku akan menaburkan obat yang dapat mengurangi arus darahnya lebih
dahulu.”
Orang-orang di sekitar Ki
Argapati berbaring itu terdiam sambil menahan nafasnya, ketika mereka melihat
dukun tua itu melepas pembalut Ki Argapati. Jantung mereka serasa tergores
pula, ketika mereka melihat luka yang berdarah itu. Di peperangan mereka sudah
terlampau biasa melihat luka. Tetapi luka itu luka yang sudah agak lama dan
kambuh kembali, sehingga pengaruhnya pun agak berbeda.
Apalagi ketika mereka melihat
darah yang sudah menjadi kehitam-hitaman.
Perlahan-lahan gembala itu
menaburkan reramuan obat di atas luka itu. Kemudian sejenak ia menungguinya
sambil menghembus-hembusnya.