Buku 087
Namun dalam pada itu, Kiai
Gringsing pun sadar, bahwa ia dan kedua kawannya itu pun telah terlibat
terlampau jauh seperti saat ia terlibat dalam perang yang terjadi di Sangkal
Putung.
“Saat itu aku memang memilih
Pajang,” bertata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “tetapi Pajang tidak
memberikan harapan apa pun juga kepada bumi ini di kemudian hari.”
Demikianlah, ketiga orang itu
pun kemudian berpacu dengan angan-angan masing-masing. Di sepanjang jalan
menuju ke pusat pemerintahan di Tanah Mataram mereka hampir tidak pernah
berbicara selain sepatah-sepatah.
Namun ketika mereka mendekati
pintu gerbang kota. Kiai Gringsing berkata, “Kita akan singgah semalam. Besok
pagi-pagi kita akan melanjutkan perjalanan ke Sangkal Putung.”
Di luar sadar kedua kawannya
menengadahkan wajah ke langit. Matahari sudah hampir hilang di balik cakrawala.
“Kita memasuki regol halaman
rumah Raden Sutawijaya setelah malam hari,” sahut Ki Waskita.
“Belum terlampau malam,” desis
Ki Sumangkar.
Ketiganya pun terdiam pula. Mereka
berpacu semakin cepat. Jalan-jalan yang mereka lalui tidak lagi jalan-jalan
sepi seperti jalan kecil menuju ke tempat penyeberangan. Jika mereka kemudian
melalui celah-celah padukuhan, nampak bahwa padukahan-padukuhan itu mulai
berkembang semakin maju. Jalan-jalan menjadi semakin baik dan terawat.
Menjelang senja, nampak beberapa orang memasang obor di sudut jalan dan di
regol padukuhan.
“Padukuhan-padukuhan kecil
nampak semakin hidup,” berkata Kiai Gringsing.
“Mereka menyadari bahwa mereka
harus berbuat sesuatu buat masa depan. Buat anak cucu,” sahut Ki Sumangkar.
“Apalagi ternyata bahwa Raden
Sutawijaya adalah seorang anak muda yang lincah. Sejak daerah-daerah kecil
semacam ini masih menjadi hutan yang mulai digarap, anak muda itu tidak
henti-hentinya mendorong dengan segala cara. Kini pohon buah-buahan yang
sengaja di tanam, bukan pepohonan yang memang ditinggalkan saat menebang, sudah
nampak semakin subur. Jika pohon-pohon itu kelak menjadi besar dan berbuah,
maka pohon-pohon pelindung yang sengaja ditinggalkan saat membuka hutan, akan
segera ditebang pula.”
“Suatu perencanaan yang masak.
Ternyata Ki Gede Pamanahan tidak bekerja sekedar menuruti perasaan, seperti
saat ia dengan diam-diam meninggalkan Pajang. Tetapi benar-benar suatu kerja
yang besar seperti kebesaran Mataram yang mulai nampak sekarang ini,” berkata
Kiai Gringsing pula.
Kedua kawannya
mengangguk-angguk. Mereka dapat merasakan bekas tangan Ki Gede Pemanahan itu,
yang kemudian dilanjutkan dengan baik oleh putranya, Raden Sutawijaya.
Semakin dekat dengan pintu
kota, padukuhan-padukuhan semakin nampak ramai. Ketika gelap mulai turun, di
sana-sini nampak obor di sudut-sudut padukuhan dan di tikungan jalan.
Beberapa gardu pun sudah mulai
menjadi terang oleh lampu-lampu minyak. Anak-anak muda yang sudah selesai
dengan kerja mereka sehari dan mempunyai waktu, mulai berdatangan dan duduk
bersama di gardu-gardu sekedar berkelakar sebelum para peronda menempatinya.
Namun mereka yang berada di
gardu-gardu itu, meskipun mereka bukan orang-orang yang bertugas ronda, agaknya
mereka pun merasa bertanggung jawab atas keamanan padukuhan mereka. Ternyata
sekali-sekali Kiai Gringsing dan kedua kawannya pernah dihentikan pula oleh
sekelompok pemuda yang sedang berada di gardu meskipun mereka tidak sedang
meronda.
“Kami akan pergi ke Mataram,”
berkata Kiai Gringsing ketika anak-anak muda itu bertanya kepadanya.
“Ki Sanak datang dari mana?”
“Kami datang dari tlatah
Menoreh.”
“Apakah kepentingan Ki Sanak?”
“Kami dalam perjalanan kembali
ke Sangkal Putung. Kami akan singgah dan bermalam di Mataram karena agaknya
kami tidak dapat melanjutkan perjalanan. Hari sudah gelap dan perjalanan kami
masih agak jauh.”
Anak-anak muda itu memandang
ketiga orang-orang tua itu berganti-ganti. Salah seorang dari anak-anak muda
itu mendesak maju dan berkata, “Kami belum mengenal kalian. Apakah keperluan
kalian yang sebenarnya?”
“Keperluan pribadi anak muda.
Kami mengunjungi saudara kami di Menoreh. Kami orang-orang Sangkal Putung.”
“Apakah kalian mempunyai keluarga
atau sanak kadang di Mataram?”
“Bukan keluarga, tetapi orang
yang sangat baik terhadap kami.”
“Siapa?”
“Raden Sutawijaya.”
“He? Maksudmu putra Ki Gede
Pemanahan?”
“Ya. Kami akan bermalam di
rumahnya. Kami pun kemarin berangkat dari rumahnya setelah semalam kami
bermalam.”
“O,” anak muda itu mengerutkan
keningnya, “benar begitu?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Kenapa aku harus borbohong?”
“Jika demikian,” anak muda itu
tergagap, “silahkan. Silahkan Ki Sanak meneruskan perjalanan. Kami minta maaf
bahwa kami telah menghentikan perjalanan Ki Sanak.”
“Aku akan mengatakannya kepada
Raden Sutawijaya.”
“Jangan, jangan, Ki Sanak.
Kami tidak mengetahui.”
“Maksudku mengatakan bahwa
anak-anak muda di padukuhan-padukuhan cukup mempunyai tanggung jawab. Kami
berbangga dengan kalian.”
“Ah,” anak muda itu menarik
nafas. Yang lain pun tidak lagi dicengkam olah ketegangan.
Demikianlah maka ketiga orang
itu pun segera melanjutkan perjalanan mereka. Semakin kelam hitamnya malam,
mereka pun menjadi semakin dekat dengan rumah Raden Sutawijaya.
Namun dengan melihat sikap dan
kesiagaan anak-anak muda yang tidak berubah dari kebiasaan, maka Kiai Gringsing
dan kawan-kawannya menganggap bahwa rahasia hilangnya dua buah pusaka dari
rumah Raden Sutawijaya benar-benar masih merupakan sebuah rahasia yang
tertutup. Jika rahasia itu merembes ke luar lingkungan yang dapat dipercaya
untuk menyimpannya, maka kesiagaan tentu akan meningkat dan barangkali akan
nampak penjagaan yang berlebih-lebihan.
Namun itu bukan berarti bahwa
orang-orang Mataram yang terpercaya itu tidak berusaha mencari kedua pusaka
itu. Agaknya sudah ada beberapa orang petugas sandi yang mendapat tugas untuk
mencoba menelusuri jejak kedua pusaka itu.
“Tetapi amat sulit untuk
menemukannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.
Sejenak kemudian ketika malam
sudah menjadi semakin gelap, ketiga orang itu pun mendekati regol halaman rumah
Raden Sutawijaya. Mereka berhenti ketika mereka melihat dua orang penjaga di
ujung halaman menundukkan tombak mereka.
“Siapa?” bertanya kedua
penjaga itu.
“Kiai Gringsing,” jawab Kiai
Gringsing.
“O, silahkan, Kiai,” berkata
salah seorang dari kedua penjaga itu.
Penjaga yang bertugas di regol
pun tanpa banyak pertanyaan mempersilahkan mereka memasuki halaman. Berbeda
dengan di tempat-tempat lain, maka di halaman rumah ini nampak penjagaan yang
agak lebih kuat dari saat-saat yang lain, meskipun tidak begitu menarik
perhatian. Namun orang-orang yang sebenarnya sudah mengetahui bahwa kedua
pusaka di Mataram itu hilang, hampir setiap saat mengadakan hubungan dengan
Raden Sutawijaya atau Ki Juru Martani. Tetapi sampai begitu jauh, mereka sama
sekali belum mendapat gambaran apa pun juga.
Kedatangan Kiai Gringsing, Ki
Sumangkar, dan Ki Waskita disambut dengan gairah oleh Raden Sutawijaya dan Ki
Juru Martani.
Sejenak mereka saling bertanya
tentang keselamatan masing-masing, serta keselamatan Ki Argapati di Tanah
Perdikan Menoreh sambil sedikit menyinggung hasil perjalanan mereka untuk
menyampaikan pesan dari Ki Demang di Sangkal Putung.
“Semua berjalan dengan
lancar,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tidak ada kesulitan sama sekali.”
“Syukurlah. Dengan demikian
kita yang berada di Mataram hanya tinggal menunggu, kapan kita harus menghadiri
hari perkawinan itu,” desis Ki Juru Martani.
Percakapan mereka pun terhenti
ketika kemudian hidangan mulai disuguhkan. Minuman panas dan beberapa potong
makanan.
Meskipun sudah terlalu malam,
namun beberapa orang telah menyalakan api di dapur dan mulai menanak nasi,
sementara Kiai Gringsing dan kawan-kawannya pergi ke pakiwan.
Baru menjelang tengah malam,
Raden Sutawijaya mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan malam meskipun sudah
agak terlambat.
Dalam kesempatan itulah,
mereka mulai mengarahkan pembicaraan mereka tentang masalah-masalah yang sedang
dihadapi oleh Mataram.
“Aku sudah mendapatkan tiruan
dari benda yang ditinggalkan oleh orang-orang yang mengambil pusaka itu,”
berkata Ki Juru Martani, “hampir tidak dapat dibedakan. Dan aku percaya bahwa
pembuatnya tidak akan membuat lebih dari yang aku pesankan.”
“Kami akan membawa
masing-masing sebuah,” berkata Kiai Gringsing.
“Silahkan. Jika waktunya Kiai
kembali ke Sangkal Putung tiruan itu akan kami berikan,” jawab Ki Juru. Setelah
terdiam sejenak, lalu, “Selebihnya kami mendapat keterangan yang sangat
menarik.”
“Apa Ki Juru?” bertanya Kiai
Gringsing.
“Jalan menyeberang ke tlatah
Menoreh di bagian selatan menjadi sepi.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi berita itu sudah sampai di telinga Ki Juru
pula.”
“Petugas-petugas kami
mendengar beberapa macam keterangan yang belum dapat dipastikan, karena
kebanyakan orang-orang di sekitar sungai itu dicengkam oleh ketakutan, sehingga
tidak banyak yang berani memberikan keterangan.” Ki Juru berhenti sejenak,
lalu, “Beberapa orang tukang satang telah terbunuh oleh orang-orang yang tidak
di kenal. Mereka minta menumpang sebuah perahu. Namun, kemudian mereka membunuh
tukang-tukang satangnya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ketika ia memandang Ki Sumangkar dan Ki Waskita
berganti-ganti, mereka pun mengangguk pula.
“Petugas-petugas sandi dari
Mataram cukup cekatan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “tetapi
agaknya mereka tidak tahu bahwa orang-orang yang telah membunuh tukang-tukang
satang itu membawa salah sebuah pusaka yang hilang.”
“Apakah yang disampaikan
kepada Ki Juru selain pembunuhan itu?” bertanya Kiai Gringsing.
“Hanya itu. Tetapi pembunuhan
itu sangat menarik perhatian. Daerah penyeberangan itu menjadi sepi,” Ki Juru
berhenti sejenak, lalu, “Nah, apakah berita itu benar, Kiai. Bukankah Kiai
lewat daerah itu juga?”
Kiai Gringsig
mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya, Ki Juru. Memang demikianlah yang
sebenarnya. Kami telah melihat mendiri. Tidak ada seorang pun yang bersedia
turun ke sungai karena tukang-tukang satang itu menjadi ketakutan.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Agaknya keterangan yang ditangkap oleh petugas-petugas
sandinya tidak salah. Karena itu maka katanya, “Tentu hal itu sangat menarik
perhatian. Justru setelah Mataram kehilangan dua buah pusakanya.”
“Ya, Ki Juru,” sahut Kiai
Gringsing, “dan apakah ada keterangan lain yang Ki Juru dengar dari
petugas-petugas sandi?”
“Tidak, hanya itu. Dan sudah
barang tentu kami ingin bertanya pula kepada Kiai. Apakah Kiai mempunyai
keterangan lain tentang jalan yang sepi itu?”
Kiai Gringsing pun kemudian
menceritakan apa yang diketahuinya. Songsong yang dibawa menyeberang, dan
orang-orang yang berusaha melenyapkan jejak kepergian mereka. Tetapi dengan
terpaksa sekali maka ketiga orang itu sudah terbunuh.
Ki Juru menjadi tegang
sejenak. Katanya, “Kematian ketiga orang yang barangkali cukup penting itu
sangat menarik perhatian. Mereka tentu tidak akan tinggal diam. Pada suatu saat
mereka tentu akan tahu, bahwa ketiga kawannya yang bertugas di pinggir Kali
Praga itu hilang dan terbunuh.”
“Kami juga menyangka demikian.
Jika akhirnya mereka mengetahui bahwa salah seorang pembunuh dari ketiga
kawan-kawannya itu adalah seorang yang bersenjata cambuk, maka mereka akan
dengan mudah menemukan aku.”
Ki Juru mengangguk-angguk
pula. Katanya, “Agaknya Kiai memang harus terlibat secara langsung.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Ketika ia berpaling kepada Ki Sumangkar dan Ki Waskita, maka
keduanya pun mengangguk-angguk.
“Kita tidak akan dapat ingkar,”
berkata Ki Waskita, “namun agaknya Kiai Gringsing-lah yang mudah mereka kenal
karena di daerah ini orang yang bersenjata cambuk telah banyak dikenal orang.”
“Agaknya memang begitu,”
berkata Ki Juru. “Barangkali memang tidak ada pilihan lain.”
“Dalam keadaan seperti
sekarang,” berkata Ki Sumangkar, “sebaiknya Kiai Gringsing memang harus berada
di antara kekuatan Mataram. Jika tidak, maka Kiai Gringsing akan menjadi
sasaran tunggal sebelum mereka berbuat banyak terhadap orang-orang Mataram.”
“Tunggal?” bertanya Kiai
Gringsing. “Bagaimana dengan kalian berdua?”
“Maksudku, yang nampak jelas
adalah Kiai Gringsing. Mereka akan mudah melihat sasaran mereka. Apalagi jika
Kiai Gringsing terpisah dari kekuatan Mataram atau pihak-pihak yang berdiri di
pihak Mataram.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Aku mengerti. Aku harus berada di dalam kekuatan yang besar dari
seluruh Mataram dan tidak berdiri pada pihak yang terpisah. Agaknya di dalam
hal ini aku memang tidak mempunyai pilihan. Demikian pula agaknya dengan
murid-muridku. Tidak banyak orang yang sempat membedakan antara aku sendiri dan
murid-muridku di dalam mempergunakan senjata.”
Ki Juru mengangguk-angguk. Ia
pun menyadari, bahwa murid-murid Kiai Gringsing pun akan dapat menjadi sasaran
pembalasan. Apabila orang-orang yang telah mencuri pusaka-pusaka dari Mataram
itu sekedar mengenal bahwa yang telah membunuh ketiga kawannya yang bertugas di
pinggir Kali Praga adalah orang bercambuk itu.
Demikianlah maka pembicaraan
itu pun menjadi berkepanjangan. Mereka mulai menjajagi tanggapan masing-masing
atas persoalan yang sedang dihadapi oleh Mataram itu.
“Kiai,” berkata Ki Juru
kemudian, “kami sudah menyebarkan petugas-petugas sandi. Tetapi tidak seorang
pun yang mendapat keterangan tentang pusaka-pusaka yang hilang. Malahan kini
kami mendapat keterangan dari Kiai, bahwa salah satu dari kedua pusaka yang
hilang itu telah dibawa menyeberangi Kali Praga. Karena itu, maka sudah barang
tentu kita tidak akan dapat menunggu dan menunggu sampai pada suatu saat kita mendengar
berita, bahwa pusaka-pusaka itu berada di suatu tempat.”
“Dengan menyebarkan
petugas-petugas sandi, maka Mataram tidak berarti menunggu.”
“Tetapi kita tahu, bahwa
kekuatan yang kita hadapi adalah kekuatan yang tidak ada taranya, sehingga kita
tidak akan dapat menyerahkan hal itu semata-mata kepada petugas-petugas sandi.”
“Jadi maksud Ki Juru?”
“Aku dan Angger Sutawijaya
sudah berkeputusan, bahwa kami berdua akan mencari pusaka-pusaka itu.”
“Dan meninggalkan Mataram?”
“Ya. Kami akan meninggalkan
Mataram.”
“Ki Juru,” Ki Sumangkar
memotong, “dalam keadaan seperti sekarang, Mataram memerlukan pimpinan yang
teguh. Apalagi jika rahasia hilangnya pusaka-pusaka itu sampai bocor.”
“Angger Sutawijaya tidak akan
melepaskan kepemimpinannya atas Mataram. Justru karena tanggung jawabnya maka
ia harus menemukan pusaka-pusaka itu kembali,” Ki Juru menjawab, lalu, “Kiai.
Kedua pusaka itu sudah tidak ada di Mataram. Dengan demikian Mataram tidak akan
kehilangan lagi barang-barang yang berarti selama kami pergi. Ada pun
pemerintahan di Mataram, untuk sementara dapat kami serahkan kepada beberapa
orang yang akan melakukan tugas sehari-hari. Tidak ada hubungan keluar yang
penting dan segera harus dilakukan. Kita akan mempertahankan hubungan seperti
sekarang ini dengan Pajang, dengan Mangir, dengan Menoreh dan dengan
daerah-daerah lain.”
“Dan apakah alasan kepergian
Angger Sutawijaya selama ia meninggalkan Mataram?”
“Raden Sutawijaya akan mesu
sarira. Ia harus menambah ilmu dan olah kanuragan. Bertapa dan nenepi di
tempat-tempat yang dianggap mempunyai pengaruh atas pribadinya.”
Kiai Gringsing dan kedua
kawannya termenung sejenak. Mereka memandang Raden Sutawijaya yang menundukkan
kepalanya. Terkenang oleh orang-orang tua itu, betapa pada masa mudanya Sultan
Pajang yang juga disebut Jaka Tingkir itu bertualang dari satu tempat ke tempat
yang lain, dari satu padepokan ke padepokan yang lain.
“Kiai,” berkata Ki Juru
Martani kemudian karena Kiai Gringsing tidak menyahut, “sebenarnyalah bahwa
Raden Sutawijaya akan pergi ke tempat-tempat yang sepi dan terasing. Bukan saja
untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, tetapi benar-benar untuk mesu diri.”
Ia berhenti sejenak, lalu, “Di tempat-tempat yang sepi, jauh dari kesibukan
sehari-hari, maka Raden Sutawijaya akan dapat merapatkan diri dengan
Sesembahannya.”
“Maksud Ki Juru?”
“Raden Sutawijaya akan dapat
dengan tanpa memikirkan persoalan-persoalan yang lain, mendekatkan diri kepada
Yang Maha Agung. Kepada-Nya-lah Raden Sutawijaya akan memohon. Memohon bagi
Mataram dan memohon bagi dirinya sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Demikian juga kedua kawannya. Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Karena
mereka pun beranggapan bahwa semua permohonan, seharusnyalah ditujukan kepada
kekuasaan tertinggi, kepada Yang Maha Kuasa
“Apakah ada yang tidak sesuai
dengan pendapat Kiai,” bertanya Ki Juru.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Tidak. Tidak ada yang tidak sesuai. Mula-mula aku
bertanya-tanya untuk apakah sebenarnya Raden Sutawijaya pergi ke tempat-tempat
sepi.”
“Seperti yang dilakukan oleh
ayahanda angkatnya. Di sembarang tempat, yang kadang-kadang berbahaya bagi
dirinya. Tetapi di tempat-tempat semacam itu, Mas Karebet merasa dirinya dekat
dengan Yang Maha Kuasa. Dengan tuntunan-tuntunan para pertapa dan guru-gurunya,
ia memohon kepada Yang Maha Kasih, keterbukaan hati dan kemampuan yang
tersimpan di dalam dirinya. Dan Tuhan mengabulkan permohonannya. Hatinya yang
bersih pada saat ia memanjat ke tangga tahta Pajang karena sebelumnya ia sama sekali
tidak bermimpi untuk memegang kekuasaan itu. Bahkan kemudian ia pun mendapat
anugrah untuk dapat mempergunakan kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam
diri seseorang tetapi yang tidak banyak dikenal oleh orang itu sendiri. Namun
bahwa hati manusia adalah hati yang lemah dan dungu, sehingga kadang-kadang
kurnia yang paling berharga pun, tidak dapat kita junjung untuk
selama-lamanya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Waskita berkata, “Kadang-kadang kita memang
senang bermain-main dengan kekuatan asing yang sebenarnya tidak kita kenal.
Tetapi yang tidak akan keliru adalah apabila kita memohon kepada Yang Maha
Kuasa itu, sehingga kita akan terhindar dari sentuhan kekuatan hitam yang dapat
menjerumuskan kita ke tempat yang paling terkutuk.”
“Tetapi batas itu memang
kabur,” sahut Ki Sumangkar, “jika kita tenggelam kepada pemujaan kekuatan tanpa
menghiraukan sumbernya, kita memang akan mudah terjerumus, karena menurut
bentuk lahiriahnya, sangat sulit dibedakan. Kadang-kadang kita melihat
kekuasaan yang melampaui kekuasaan jasmaniah manusia kebanyakan yang tidak
diketahui asalnya. Apakah itu kurnia keterbukaan kemampuan yang memang sudah
ada pada diri kita, atau kita menyadapnya dari sumber yang hitam. Sebab dari
keduanya kita dapat melihat, bahwa telah terjadi sesuatu yang mencuat dari
permukaan, tanpa kita mengerti alasnya.”
Ki Juru mengangguk-angguk.
Katanya, “Mudah-mudahan Angger Sutawijaya tidak salah pilih. Jika ia ingin
memiliki sesuatu hendaknya ia memperhatikan sumbernya pula. Karena
sebenarnyalah sumber dari segalanya yang bening tidak akan teratasi oleh
kekuatan yang mana pun juga dari yang buram dan hitam.”
Tetapi tiba-tiba Kiai
Gringsing tersenyum. Katanya, “Kita telah terlibat dalam pembicaraan yang
khusus. Tetapi sebenarnya semuanya itu tidak perlu kita ucapkan, karena Raden
Sutawijaya akan pergi bersama Ki Juru Martani, yang tentu sudah dapat melihat
jauh lebih jernih dari penglihatan kita.”
“Ah,” Ki Juru pun tertawa,
“bukan begitu. Tetapi kami memperbincangkan perjalanan yang akan ditempuh oleh
Raden Sutiawijaya. Ia perlu banyak pengetahuan dan pengalaman sebelum ia akan
memegang kekuasaan yang lebih besar sejalan dengan perkembangan Tanah Mataram.”
“Baiklah, Ki Juru,” berkati
Kiai Gringsing, “kami mengharap besok akan mendapat tiruan dari tanda yang aneh
itu. Kami akan membawanya ke Sangkal Putung. Mungkin selama kami menunggu saat
perelatan perkawinan Swandaru, kita akan dapat menemukan sesuatu.”
“Mudah-mudahan, Kiai,” sahut
Ki Juru, “usaha menemukan pusaka-pusaka itu memang sulit. Tetapi adalah
kewajiban kita untuk berusaha. Dan sudah barang tentu, kami akan mengucapkan
beribu-ribu terima kasih bahwa Kiai sudah terlibat di dalam usaha pencaharian
itu. Bahkan keterlibatan yang sungguh-sungguh.”
“Itu sudah menjadi kewajibanku,
Ki Juru.”
“O,” Ki Juru
mengangguk-angguk, “hampir aku lupa bahwa sebenarnyalah Kiai Gringsing sangat
berkepentingan. Apa lagi bahwa orang yang mengambil pusaka itu menyebut dirinya
pewaris Kerajaan Majapahit.”
Kiai Gringsing tersenyum. Ia
masih sempat berkelakar, katanya, “Tetapi Ki Juru jangan sekali-kali menuduh
aku.”
Orang-orang yang mendengarnya
tertawa. Tetapi betapa pun juga masih tersirat kesan, betapa berat beban yang
harus mereka pikul di hari-hari mendatang.
Apalagi bagi Kiai Gringsing dan
kedua kawannya yang sudah bersedia membantunya. Mereka tidak dapat mengabaikan
hari-hari perkawinan Swandaru dan bagi Ki Waskita, hilangnya Rudita yang
kemudian menjadi bahan pembicaraan pula dengan Ki Juru Martani.
Hilangnya Rudita ternyata
merupakan peristiwa yang cukup menegangkan pula. Bagi Ki Waskita, Rudita tentu
memiliki arti yang tidak kalah pentingnya dengan pusaka-pusaka yang hilang itu
bagi Mataram.
“Kita memang sedang dihadapkan
pada ujian yang berat sekarang ini,” berkata Ki Juru Martani sambil menarik
nafas dalam-dalam, “dengan demikian, kita akan saling membantu. Kami
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan Ki Waskita
membantu kami. Tetapi di dalam perjalanan kami, kami tentu akan berusaha untuk
mendapatkan keterangan, apabila mungkin jejak kepergian Angger Rudita itu.”
“Terima kasih, Ki Juru,” sahut
Ki Waskita, “mudah-mudahan usaha kita bersama dapat berhasil. Mungkin sekaligus
semuanya, tetapi mungkin satu demi satu. Tetapi kita sudah berusaha
sejauh-jauhnya yang dapat dilakukan oleh manusia yang lemah.”
Ki Juru Martani
mengangguk-angguk. Sedang Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya oleh bayangan
yang beraneka warna tentang Rudita. Ia melihat Rudita dalam keadaan yang kurang
wajar bagi seorang laki-laki muda. Meskipun kemudian ia melihat sedikit
perubahan pada anak muda itu, tetapi apakah kepergiannya seorang diri itu
bukannya suatu tindakan yang sama sekali kurang bijaksana, dan dapat
membahayakan dirinya.
“Ki Waskita,” bertanya Raden
Sutawijaya kemudian, “apakah Rudita marah atau merajuk pada saat ia pergi?
Kemudian seolah-olah ia dengan sengaja membuang diri karena merasa dirinya
tidak berarti?”
Waskita menggelengkan
kepalanya. Jawabnya, “Ia pergi dengan penuh kesadaran. Perubahan yang terjadi
di dalam dirinya telah mendorongnya untuk mengenal dunia ini seluruhnya. Dunia
yang besar yang terbentang di sudut langit ini dan dunia kecil dari dirinya
sendiri. Ternyata menilik keterangan ibunya dan tanda-tanda yang aku dapatkan,
Rudita sedang berusaha menekuni dunia kecilnya jauh lebih banyak dari dunia
yang besar ini. Karena sebenarnyalah bahwa rahasia di dunia kecil itu baginya
jauh lebih rumit dari rahasia dunia besar yang kasat mata.”
Raden Sutawijaya
mengangguk-angguk. Namun kemudian, “Tetapi pakah perjalanan itu tidak
membahayakan dirinya?”
“Tentu, Raden. Itulah yang
mencemaskan. Tetapi aku mengharap bahwa Rudita akan dapat diselamatkan justru
oleh kelemahannya. Tidak banyak orang yang akan menghiraukannya dan apalagi
tertarik kepadanya dalam suatu sikap tertentu. Rudita tidak lebih seorang anak
muda yang berada di jalan tanpa arti sama sekali bagi orang-orang yang memiliki
ilmu dan kemampuan.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Keterangan Ki Waskita memang menarik sekali. Rudita
akan diselamatkan oleh kelemahannya sendiri.
“Mungkin sekali,” desis Raden
Sutawijaya di dalam hatinya. Yang terbayang adalah permainan yang sering di
lakukan di masa kanak-kanak. Mereka yang menjadi pupuk bawang justru tidak
pernah diperhatikan dan berada di luar hitungan meskipun ia boleh ikut
bermain-main. Di dalam permainan dunia besar yang kasar ini, Rudita adalah
pupuk bawang. Dan agaknya itu memang jauh lebih baik baginya.
Demikianlah malam menjadi
semakin larut. Mereka berbincang terus sehingga mereka baru sadar justru ketika
terdengar kentongan dara muluk menjelang dini hari.
“Kiai,” berkata Ki Juru
kemudian, “begitu asyik kita berbicara sehingga aku lupa mempersilahkan Kiai,
Ki Sumangkar, dan Ki Waskita untuk beristirahat. Silahkan. Besok kita akan
melanjutkan pembicaraan ini.”
“Ki Juru, besok kami akan
mohon diri,” berkata Kiai Gringsing, “kami ingin segera sampai ke Sangkal
Putung. Aku seolah-olah meninggalkan anak yang baru dapat merangkak di pinggir
sumur terbuka. Justru karena telah terjadi perkelahian di Kali Praga itu.
Apalagi menjelang saat-saat Swandaru akan menghadapi hari perkawinannya.” Ia
berhenti sejenak, lalu, “Juga Ki Waskita agaknya masih saja gelisah, karena
Rudita masih belum dapat diketahui dengan pasti.”
“Apakah Ki Waskita tidak dapat
mengetahui di mana anak itu sekarang?” bertanya Raden Sutawijaya.
“Ia selalu bergerak sekarang
ini,” jawab Ki Waskita, “tetapi menurut tangkapan isyarat yang samar-samar anak
itu sedang menuju ke Sangkal Putung meskipun ia belum pernah pergi ke tempat
itu.”
Raden Sutawijaya
mengagguk-angguk. Katanya, “Syukurlah jika ia benar-benar pergi ke Sangkal
Putung. Meskipun seandainya ia tersesat, tetapi ia dapat bertanya kepada
seseorang tentang arah yang pasti. Mungkin ia memerlukan waktu perjalanan dua
kali lipat dari yang sebenarnya diperlukan. Tetapi itu lebih baik daripada ia
pergi tanpa tujuan.”
“Tetapi itu pun belum pasti
Raden,” sahut Ki Waskita, “namun mudah-mudahan ia benar-benar pergi ke sana.
Jika apabila kami nanti sampai ke Sangkal Putung dan Rudita masih belum ada di
sana, maka kami terpaksa mencarinya.”
Ki Juru Martani pun menyadari
bahwa banyak yang masih harus mereka lakukan. Karena itu, maka ia pun berkata,
“Baiklah. Kita akan bersama-sama melaksanakan tugas kita masing-masing. Mungkin
kalian akan lebih banyak bergerak di sebelah utara. Sedang kami akan mencoba
menyelusuri daerah selatan. Dari barat menuju ke timur. Mungkin kami akan
sampai ke Pegunungan Sewu dan daerah di sekitarnya. Mudah-mudahan kita akan
berhasil.”
“Mudah-mudahan, Ki Juru,”
desis Kiai Gringsing.
“Nah, sekarang kami
persilahkan kalian beristirahat di gandok. Besok pagi-pagi sajalah aku
menyerahkan tanda tiruan itu. Tanda yang sampai sekarang tidak aku mengerti
artinya.”
Masih ada waktu beberapa
lamanya untuk beristirahat. Meskipun sebentar kemudian ayam jantan mulai
berkokok untuk yang terakhir kalinya di malam itu. Namun waktu yang pendek itu
sudah cukup bagi Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita untuk melepaskan
lelahnya.
Pagi-pagi benar, mereka sudah
mempersiapkan diri. Ketika matahari mulai memanjat langit, mereka telah selesai
berkemas dan siap untuk berangkat kembali ke Sangkal Putung.
“Kalian terlalu tergesa-gesa,”
berkata Ki Juru.
“Masih banyak yang harus kami
kerjakan Ki Juru,” sahut Kiai Gringsing.
Namun demikian Ki Juru masih
sempat mempersilahkan mereka untuk makan pagi sebelum berangkat, bersama dengan
Sutawijaya dan Ki Lurah Branjangan.
Baru setelah mereka selesai
makan pagi, maka Ki Juru Martani pun menyerahkan kepingan perak bakar yang
berwarna kehitam-hitaman dengan pahatan ciri sebuah kelompok yang masih belum
dikenal dengan pasti. Namun yang jelas telah menyebut dirinya sebagai pewaris
Kerajaan Majapahit.
“Terima kasih, Ki Juru,”
berkata Kiai Gringsing, “kami akan mencoba memecahkan rahasia yang terkandung
di dalam tanda ini. Mungkin kami tidak akan berhasil. Tetapi jika kemudian kami
menemukan tanda-tanda yang serupa, maka kami akan segera dapat mencari
hubungannya.”
“Baiklah, Kiai,” sahut Ki Juru
yang kemudian katanya, “kami pun tidak akan menunggu terlampau lama. Jika kami
kemudian menemukan jejak kedua pusaka itu, mungkin kami akan menelusurinya,
sehingga mungkin kami akan menjelajahi daerah yang luas.” Ia berhenti sejenak,
lalu, “Kiai. Selama aku dan Angger Sutawijaya pergi, aku mohon agar Kiai, Ki
Sumangkar, atau Ki Waskita sekali-sekali singgah di rumah ini. Ki Lurah
Branjangan dengan beberapa orang pilihan, akan mencoba menggantikan tugas-tugas
kami. Namun mereka akan sangat berterima kasih jika kalian sudi menengok barang
sehari dua hari. Aku kira bahwa kalian tidak akan meninggalkan Sangkal Putung
sebelum hari-hari perkawinan itu.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Jawabnya, “Ya, Ki Juru. Kami akan berada di Sangkal Putung sampai
secepat-cepatnya empat puluh hari lagi. Namun selama itu, kami sudah barang
tentu akan dapat sekali-sekali mengunjungi Mataram dan mencari Angger Rudita.
Tetapi kami tidak akan meninggalkan Sangkal Putung untuk sebuah pelualangan.
Baru setelah perkawinan itu selesai, mungkin kami akan meneruskan usaha kami
dengan sungguh-sungguh mencari pusaka-pusaka yang hilang itu apabila belum
dapat diketemukan.”
“Tetapi akan segera menyusul
saat perkawinan yang kemudian,” tiba-tiba saja Raden Sutawijaya menyela.
“Maksud Raden?”
“Bukankah Agung sedayu dan
Sekar Mirah juga sudah bersepakat untuk kawin?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Agaknya mereka memang mempunyai ikatan batin. Tetapi
agaknya saat-saat itu masih agak panjang.”
“Setidak-tidaknya setelah
berganti tahun. Bukankah menjadi pantangan untuk mengadakan perelatan dua kali
pada tahun yang sama?”
Kiai Grisngsing
mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Memang jarang sekali orang yang berani
mengadakan perelatan dua kali dalam tahun yang sama. Jika bukan karena
pantangan, mungkin karena mereka harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit
dua kali dalam setahun.”
Ki Juru tersenyum. Katanya,
“Atau karena kedua-duanya.”
“Tetapi,” berkata Kiai
Gringsing, “aku kira, setelah perkawinan Swandaru, aku, Ki Sumangkar, dan Ki
Waskita akan sempat menyisihkan waktu. Apalagi jika Angger Rudita benar-benar
sudah dapat kami ketemukan.”
“Terima kasih. Kami pun akan
mencoba mencari jejak Angger Rudita pula. Mudah-mudahan semuanya dapat kita
selesaikan dengan baik dan selamat. Mudah-mudahan tidak harus mempertaruhkan
korban yang terlalu banyask.” Ki Juru berhenti sejenak. Kemudian sambil
memandang Ki Lurah Branjangan ia berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa kau dapat
meninggalkan segala persiapan. Mungkin harus ditempuh jalan kekerasan seperti
saat Angger Sutawijaya memecahkan pertahanan Panembahan Agung. Tidak mustahil,
bahwa orang-orang yang menyebut dirinya pewaris Kerajaan Majapahit itu telah
menyusun kekuatan yang besar, atau bahkan mendapat dukungan dari satu dua
adipati.”
Ki Lurah Branjangan
mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mencoba menjalankan semua perintah dengan
baik. Kita semuanya menyadari, bahwa kekuatan yang kita hadapi bukannya
kekuatan yang kecil. Kita mengenal orang-orang sakti sejak Mataram baru mulai
dibuka. Pada masa daerah ini di bayangi oleh kekuatan hantu-hantuan. Ternyata
ada dua tiga orang sakti di antara mereka. Kemudian orang-orang yang mengganggu
jalan menuju ke daerah yang sudah mulai terbuka, dan orang-orang yang dengan
sengaja ingin membenturkan kekuatan Pajang dan Mataram saat perkawinan Untara.
Disusul oleh pameran kekuatan yang mencapai puncaknya dengan pecahnya padepokan
Panembahan Agung. Namun ternyata dugaan kita salah. Setelah Panembahan Agung
dapat disingkirkan, masih saja kita jumpai orang-orang yang memiliki kelebihan
seperti tiga orang yang mengaku tukang satang itu, yang justru mampu menerobos
bentuk semu Ki Waskita dengan penglihatan batinnya, setelah penglihatan
wadagnya terganggu.”
Ki Juru mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang berat sekali tugas yang dihadapinya. Adalah kebetulan sekali
orang-orang itu datang seorang demi seorang, jika mereka menghimpun kekuatan
dan bersama-sama menyerang Mataram, akibatnya akan berlainan.
Demikianlah sejenak kemudian
kuda-kuda yang dipergunakan oleh Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita
pun telah disiapkan. Sementara itu, Ki Juru berkata, “Kita akan menunaikan
tugas kita masing-masing. Tetapi sebenarnyalah bahwa pokok dari tugas itu
sebenarnya bersamaan.”
“Ya, Ki Juru,” sahut Kiai
Gringsing.
“Jika ternyata kemudian Kiai
memerlukan kekuatan pasukan dalam keadaan yang bagaimana pun juga, Kiai dapat
segera menghubungi Ki Lurah Branjangan.”
“Terima kasih. Kemungkinan itu
memang ada.”
“Dan yang tidak lupa pula
ingin kami pesankan, kami mohon maaf kepada Ki Demang di Sangkal Putung.
Mungkin saat-saat perkawinan Swandaru, kami masih dalam perjalanan. Jika kami
tidak dapat hadir, kami mohon maaf. Tetapi kami sudah menyiapkan beberapa orang
yang akan mewakili Mataram.”
“Ah. Perelatan itu hanyalah
perelatan kecil. Perelatan yang diselenggarakan oleh seorang padesan.”
Ki Juru tersenyum. Lalu,
“Tetapi jika kami dapat mengingat hari yang ditentukan dan kami mempunyai
kesempatan, kami akan memerlukan datang dari mana pun juga kami berada pada
saat itu.”
“Tidak perlu terlampau
menyusahkan.”
“Sebuah petualangan kadang-kadang
memerlukan saat-saat untuk mengurangi ketegangan. Di dalam perelatan yang
demikian itulah agaknya kami dapat melakukannya.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Mungkin. Tetapi mungkin justru akan mengganggu. Namun demikian,
terserahlah kepada Ki Juru dan Raden Sutawijaya. Jika kesempatan itu ada, maka
sudah barang tentu kedatangan Ki Juru dan Raden Sutawijaya akan sangat
membesarkan hati Ki Demang Sangkal Putung, ia akan dapat mengangkat dadanya
sambil berkata kepada sesama Demang yang hadir, “He, siapakah yang pernah
mengadakan perelatan dan dihadiri oleh Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya,
putra angkat Kanjeng Sultan di Pajang yang kini bergelar Senapati Ing Ngalaga
di Martaram.”
“Ah,” Sutawijaya menundukkan
wajahnya yang menjadi kemerah-merahan. Tetapi ia sudah mengenal sifat Kiai
Gringsing dengan baik, sehingga ia pun akhirnya tersenyum pula.
Demikianlah maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun segera melanjutkan perjalanan,
kembali ke Sangkal Putung. Masing-masing di antara mereka telah membawa tiruan
tanda-tanda yang masih belum dapat mereka pecahkan.
Sementara itu, mereka pun
telah mendengar rencana kepergian Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya dari
Mataram. Perjalanan yang berat bagi kedua orang pemimpin tertinggi itu, dengan
akibat-akibat dan kemungkinan-kemungkinan yang paling berbahaya. Tetapi sudah
menjadi ketetapan hati, bahwa keduanya harus menyelusuri hilangnya
pusaka-pusaka yang menjadi tanggung jawab mereka dengan mempertaruhkan apa saja
yang ada pada mereka.
Di perjalanan, kembali Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar dan Ki Waskita tidak habis-habisnya berbicara tentang
tanda-tanda yang aneh itu. Hilangnya kedua pusaka dari Mataram dan hilangnya
anak laki-laki Ki Waskita.
Tetapi dengan demikian
perjalanan mereka rasa-rasanya menjadi semakin cepat. Hampir di luar sadar,
mereka sudah berada di ujung Alas Mentaok. Jalan yang mereka lalui sudah
menjadi semakin rata dan ramai, dibandingkan dengan beberapa saat yang lampau.
“Jika persoalan-persoalan yang
menyangkut Mataram itu segera dapat diselesaikan, maka Mataram akan mendapat
kesempatan cukup untuk membangun diri. Kini Mataram harus membangun sambil
mempertahankan kehadirannya, sehingga tenaga yang ada di dalamnya dan terhitung
masih belum cukup banyak itu harus terbagi,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
“Tetapi mengherankan sekali,”
sahut Ki Sumangkar, “Mataram bagaikan mempunyai kekuatan gaib yang dapat
menghisap penghuni dari tempat-tempat lain untuk bekerja keras membangun
setelah menebas hutan yang lebat. Biasanya di antara kita terlampau malas untuk
meninggalkan tempat tinggal. Bahkan yang tinggal di lereng Gunung Merapi, yang
setiap kali harus bersentuhan dengan lelehan api dan batu-batu panas, tidak
juga mau meninggalkan kampung halamannya.”
“Dari satu segi kecintaan
terhadap kampung halaman memang dapat dibanggakan,” potong Ki Waskita, “tetapi
dari segi yang lain, mereka masih terkungkung oleh pandangan yang sempit. Jika
mereka meninggalkan kampung halamannya dan berpindah di tempat yang baru, yang
memberikan harapan, mereka merasa seolah-olah mereka sudah berpindah dari satu
daerah kesatuan ke tempat yang lain di luar lingkungannya.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Ia tiba-tiba saja mengenang jalan setapak yang pernah
dilaluinya. Bahkan pada saat Sutawijaya bertiga dengan Agung Sedayu dan
Swandaru pergi tanpa pamit dari Sangkal Putung menuju ke tlatah yang masih
diselubungi oleh padatnya hutan yang sangat lebat, Alas Mentaok. Pada masa
perampok dan penjahat-penjahat yang lain masih berkeliaran hampir di setiap sudut.
Tetapi kini daerah itu sudah
menjadi daerah padesan. Daerah yang sudah didiami oleh penghuni yang bersedia
bekerja keras bagi daerahnya untuk mempersiapkan hari-hari yang lebih baik bagi
masa mendatang.
Namun selagi mereka
melanjutkan pembicaraan mereka di sepanjang perjalanan, tiba-tiba saja mereka
tertarik kepada dua orang penunggang kuda yang memacu kudanya melampaui ketiga
orang itu. Meskipun orang-orang itu tidak berpaling, tetapi rasa-rasanya kedua
orang itu memperhatikannya.
Tetapi ternyata kedua orang
itu berpacu terus. Mereka semakin lama menjadi semakin kecil dan hilang ditelan
oleh padukuhan di hadapan mereka.
Demikian mereka hilang dari
tatapan mata, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Apakah kalian
memperhatikan kedua orang penunggang kuda itu?”
“Ya,” sahut kedua kawannya
hampir bersamaan. Dan Ki Sumangkar pun meneruskannya, “Agaknya memang ada yang
menarik perhatian pada keduanya.”
“Agaknya memang demikian.
Tetapi aku tidak tahu pasti, apanya yang telah menarik perhatian.”
“Barangkali karena mereka
agaknya tertarik juga kepada kita. Mereka nampaknya memperhatikan kita bertiga
meskipun mereka tidak ingin memberikan kesan yang demikian,” sahut Ki Waskita
“Atau barangkali kitalah yang
sudah terganggu syaraf kita. Banyak persoalan yang telah terjadi, sehingga
rasa-rasanya kita mencurigai setiap orang,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Kedua kawannya tertawa. Ki
Sumangkar pun menyahut, “Mungkin juga demikian. Kita tidak dapat berpikir wajar
lagi dalam keadaan serupa ini.”
“Bukan salah kita,” potong Ki
Waskita, “keadaanlah yang telah membuat kita menjadi demikian. Curiga, cemas,
ragu-ragu, dan kadang-kadang bahkan tidak percaya kepada diri sendiri.”
Sekali lagi mereka bertiga
tertawa.
Demikianlah kemudian tanpa
disadari sambil berbicara tentang bermacam-macam persoalan, langkah kuda-kuda
mereka pun menjadi semakin cepat, meskipun mereka tidak sengaja mengikuti kedua
orang yang telah melampaui mereka. Mereka mencoba untuk tidak terlampau
dikuasai oleh perasaan mereka yang memang sedang terombang-ambing oleh keadaan
yang tidak menentu. Perelatan, tetapi juga hilangnya kedua pusaka dari Mataram
dan hilangnya Rudita.
Namun, selagi mereka berpacu
di jalan lurus ke Sangkal Putung, tiba-tiba Ki Waskita berdesis, “Nanti dulu
Kiai. Ada sesuatu terasa di hati.”
Ketiganya memperlambat kuda
mereka. Bahkan kemudian mereka pun berhenti sejenak di bawah sebatang pohon
yang rindang.
Sebelum Kiai Gringsing dan Ki
Sumangkar bertanya sesuatu, mereka melihat Ki Waskita menundukkan kepalanya.
Agaknya ada sesuatu yang sedang direnunginya dengan mata batinnya.
Sejenak kemudian tiba-tiba
saja ia mengangkat wajahnya dan berkata, “Rudita agaknya memang mendekati
Sangkal Putung. Ia kini berada di perjalanan sepanjang lereng Merapi.”
“Maksud Ki Waskita, apakah
kita akan singgah sejenak?” bertanya Kiai Gringsing.
Ki Waskita menjadi
termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Kita teruskan perjalaran ini
sebentar, Kiai. Kita akan menyampaikan hasil tugas kita kepada Ki Demang
dahulu. Kemudian barulah aku akan mencari Rudita di sepanjang lereng Merapi.”
Tiba-tiba saja Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Ki Waskita. Apakah kita tidak lebih baik
mencari Rudita lebih dahulu. Jika benar ia menyelusup lereng Merapi maka ia
akan sampai ke tempat yang tidak diharapkan. Mungkin ia ingin melihat Kembang
Manca Warna yang menurut kata orang mempunyai tujuh macam bunga pada sebatang
pohon. Mungkin ia ingin menemukan bunga melati pada pohon itu, yang katanya
menjadi lambang keberuntungan, karena tidak banyak orang yang dapat melihat
bunga melati pada batang Kembang Manca Warna itu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
“Ji’ka ia berada di sekitar
daerah itu, maka ia akan dapat menjadi sasaran orang-orang jahat yang
kadang-kadang memang mencari mangsanya pada mereka yang berkunjung untuk
melihat Kembang Manca Warna itu. Apalagi apabila kemudian ia berjalan menyusuri
jalan setapak di lereng itu dan sampai ke Padukuhan Karang Watu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk.
Katanya, “Ya. Aku pernah mendengar bahwa Padukuhan Karang Watu dikuasai oleh
sekelompok penjahat.”
“Bukan dikuasai oleh
sekelompok penjahat. Padukuhan itu memang merupakan sarang dari
penjahat-penjahat dari yang kecil, yang senang menangkap ayam tetangga sendiri,
sampai ke penjahat besar yang berani membongkar rumah seorang Senapati di Demak
saat itu. Agaknya keturunannya pun tentu memiliki kelebihan seperti itu pula
dan menurut pendengaranku, penduduk padukuhan itu masih juga melakukan berbagai
macam kejahatan.”
Ki Waskita ragu-ragu sejenak.
Namun ia berkata, “Rudita tidak membawa bekal cukup banyak sehingga menarik
perhatian mereka. Apalagi aku tidak mau mengganggu ketenangan hati Ki Demang.
Baiklah kita sampaikan hasil perjalanan kita. Malam nanti kita mencoba mencari
Rudita.”
“Malam nanti?” bertanya Ki
Sumangkar.
“Ya. Maksudku, menjelang pagi
kita berangkat.”
Ki Sumangkar
mengangguk-angguk. Katanya, “Semakin cepat memang semakin baik. Daerah itu
memang merupakan daerah yang kadang-kadang dapat membahayakan. Apalagi bagi
Angger Rudita. Kita yang tua-tua pun harus cukup berhati-hati jika kita
berjalan melalui daerah itu, meskipun menurut pendengaranku, mereka tidak biasa
melakukan hal itu di halaman rumah sendiri.”
“Tetapi cukup mencemaskan,”
desis Kiai Gringsing.
Demikianlah, mereka pun
kemudian berpacu semakin cepat. Mereka ingin segera sampai ke Sangkal Putumg.
Beristirahat sejenak, kemudian menjelang pagi, mereka harus sudah meninggalkan
kademangan itu untuk mencari Rudita. Karena rasa-rasanya Ki Waskita sudah
menangkap isyarat yang agak jelas dari anaknya yang hilang itu.
Dengan demikian maka
perjalanan Kiai Gringsing dan kedua kawannya pun menjadi semakin cepat.
Rasa-rasanya mereka ingin segera sampai. Namun, sudah barang tentu mereka tidak
akan dapat begitu saja turun dari kudanya, makan, minum, dan pergi lagi. Mereka
harus menunggu kesempatan yang biasanya diakukan di malam hari, menyampaikan
hasil perjalanan mereka kepada Ki Demang dan para tetua di Sangkal Putung.
Setelah mereka memasuki daerah
Kademangan Sangkal Putung, rasa-rasanya kuda-kuda mereka justru menjadi semakin
malas sehingga mereka pun justru berpacu lebih cepat. Dada mereka menjadi
semakin mendesak untuk segera sampai.
“Apakah kita dapat segera
menyampaikan hasil perjalanan kita?” bertanya Ki Waskita.
Kiai Gringsing menggeleng.
Katanya, “Ki Demang masih harus mengundang orang-orang tua itu.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Memang secepatnya menjelang pagi kita baru dapat berangkat.”
Mereka tidak banyak berbicara
lagi. Apalagi karena mereka telah sampai ke padukuhan induk Kademangan Sangkal
Putung.
Kedatangan Kiai Gringsing
disongsong oleh Ki Demang dan keluarganya dengan wajah yang bertanya-tanya.
Namun mereka sebenarnya tidak lagi mencemaskan hasil perjalanan itu, karena
persoalannya sebagian terbesar hanyalah terletak pada waktu dan pelaksanaan
saja.
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam ketika mereka melihat Agung Sedayu, Swandaru, dan Sekar Mirah ikut
menyambut kedatangannya. Apalagi karena wajah-wajah mereka yang nampak bening.
Tentu tidak terjadi apa pun dengan mereka.
Ki Demang Sangkal Putung pun
kemudan mempersilahkan mereka naik ke pendapa, setelah mereka membersihkan kaki
di jambangan yang tersedia di sisi halaman.
Ki Waskita tanpa menanyakan
kepada siapa pun juga, menyadari bahwa Rudita memang belum ada di Sangkal Putung.
Dengan demikian, maka ia pun yakin, bahwa tangkapan isyarat yang memberikan
petunjuk tentang anaknya, agaknya dapat dipegangnya sebagai sasaran yang pasti.
Tetapi Ki Waskita dengan
sengaja telah menahan perasaannya tanpa mengatakan apa pun tentang Rudita, agar
ia tidak segera merusak suasana, karena Agung Sedayu dan Swandaru pasti akan
segera tertarik dan mempersoalkannya lebih banyak dari hasil perjalanan mereka
ke Tanah Perdikan Menoreh.
Setelah Ki Demang kemudian
menanyakan keselamatan ketiga orang utusannya di perjalanan, dan setelah mereka
dipersilahkan minum dan makan beberapa potong makanan, maka berkatalah Ki
Demang, “Aku akan mengumpulkan orang-orang tua di Sangkal Putung untuk
mendengar langsung hasil perjalanan Kiai bertiga. Aku kira besok atau lusa
sajalah kita berbincang. Malam nanti aku harap Kiai memberikan sedikit gambaran
tentang hasil perjalanan itu kepada kami, karena sekarang kalian tentu masih
lelah.”
Ketiga orang itu berpandangan
sejenak lalu Kiai Gringsing-lah yang berbicara, “Ki Demang. Sebaiknya nanti
malam sajalah kita bertemu dengan orang-orang tua di Sangkal Putung. Kita dapat
berbincang cukup panjang. Jika ditunda sampai besok atau lusa, barangkali
sebagian besar persoalannya, aku sudah menjadi lupa.”
“Ah,” Ki Demang tertawa. Namun
kemudian dengan bersungguh-sungguh ia bertanya, “apakah ada sesuatu yang
penting dengan Mataram?”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Namun kemudian katanya, “Ada persoalan kecil yang harus kami
lakukan.”
Agaknya Ki Demang pun dapat
mengerti tentang ketiga orang itu. Mereka bukan seorang Demang, bebahu sesuatu
daerah, atau Kepala Tanah Perdikan seperti Ki Argapati, sehingga mereka
rasa-rasanya dapat berbuat bebas seperti burung yang terbang di langit yang
jernih. Kapan mereka ingin hinggap, dan kapan mereka ingin terbang.
Ki Demang kemudian sambil
mengangguk-angguk berkata, “Baiklah. Aku akan mengundang malam nanti untuk
berbicara panjang lebar dengan Kiai bertiga.”
“Terima kasih, Ki Demang.”
“Tetapi, apakah Kiai ada
keperluan yang harus Kiai lakukan di luar kademangan ini?”
Kiai Gringsing tersenyum.
Ketika ia memandang Ki Waskita maka Ki Waskita pun menjawab, “Sebenarnya hanya
suatu keinginan untuk mengetahui sesuatu. Seperti umumnya orang-orang tua, kita
kadang-kadang sudah digoda oleh keinginan yang kurang masuk akal.”
“Apakah kami dapat
mengetahui?” bertanya Ki Demang.
Ki Waskita tersenyum. Katanya,
“Bukan apa-apa, Ki Demang. Ada sesuatu yang menarik perhatian. Tetapi sekaligus
kami ingin melihat pohon Kembang Manca Warna.”
“Ah,” Ki Demang tertawa, “Ki
Waskita tertarik juga kepada cerita tentang Kembang Melati yang akan dapat
mendatangkan keberuntungan itu?”
“Setidak-tidaknya aku dapat
bercerita, apakah pohon itu mempunyai tujuh macam daun serta tujuh macam
bunganya.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Ketika seseorang akan mengatakan tentang pohon Kembang Manca Warna itu, Ki
Demang memotongnya, “Jangan kau katakan sesuatu tentang pohon itu. Nanti Ki
Waskita menjadi kecewa karenanya.”
Ki Waskita tersenyum. Tetapi
matanya yang tajam menangkap pertanda bahwa sebenarnya Ki Demang pun sudah
menduga bahwa ada sesuatu yang penting bagi ketiga orang-orang tua itu. Bukan
sekedar diganggu oleh sifat ingin tahu. Tetapi tentu tidak bijaksana untuk
mengatakannya kepada setiap orang termasuk orang-orang yang tidak
berkepentingan, meskipun itu keluarganya sendiri.
Karena itulah, maka Ki Demang
pun memenuhi permintaan Kiai Gringsing untuk mengundang orang-orang tua pada
malam itu juga. Mereka diminta untuk mendengarkan keterangan Kiai Gringsing dan
kedua kawan-kawannya, apakah hasil dari pembicaraan-pembicaraan terakhir dengan
Ki Argapati.
Ketika kemudian malam turun
menyelubungi Kademangan Sangkal Putung, beberapa orang telah berkumpul di
pendapa kademangan, duduk dalam sebuah lingkaran kecil, mengelilingi lampu
minyak yang diletakkan di atas ajug-ajug di tengah-tengah.
Ketika mereka sudah minum
seteguk dan makan sepotong makanan yang dihidangkan, maka mulailah Kiai
Gringsing menyampaikan hasil kunjungannya di Tanah Perdikan Menoreh.
“Tidak ada yang harus dirubah.
Acara yang kita sampaikan kepada Ki Argapati dapat diterimanya. Semuanya akan
berjalan sebaik-baiknya seperti yang kita kehendaki.”
Orang-orang tua di Sangkal
Putung itu pun mengangguk-angguk. Mereka mendengarkan dengan saksama cerita yang
kemudian disampaikan oleh Kiai Gringsing tentang sikap Ki Argapati yang lapang
dan penuh pengertian.
“Syukurlah,” desis seorang
yang sudah berambut putih, “jika demikian kita tidak usah membuat perhitungan
baru. Semuanya sudah mapan dan pada saat-saat yang tepat. Jika Ki Argapati
minta perubahan-perubahan, meskipun hanya saat dipertemukannya pengantin, maka
kita harus memperhitungkan kembali semuanya. Jika saat itu merupakan saat
pantangan, kita harus mencari syarat untuk mengangkat pantangan itu.”
Tetapi tidak ada persoalan apa
pun. Sehingga dengan demikian maka pembicaraan itu pun segera selesai. Semuanya
menganggap bahwa segala-galanya memang akan berjalan lancar seperti
pembicaraan-pembicaraan yang mereka lakukan sebelum saat perkawanan itu tiba. Tidak
ada rintangan, tidak ada perbedaan pendapat dan tidak ada kesulitan apa pun
juga.
Hanya Ki Waskita-lah yang
setiap kali tersentuh oleh semacam isyarat yang buram tentang perkawinan
Swandaru, sehingga hatinya menjadi kuncup. Ia tidak tahu pasti, saat-saat yang
manakah yang akan diliputi oleh kabut yang gelap dari masa yang panjang,
setelah perkawinan itu berlangsung.
Namun adalah kelemahan hati
manusia, bahwa Ki Waskita itu setiap kali mencoba ingkar dari penglihatannya.
Bahkan di dalam hati ia berkata, “Tidak akan ada apa-apa yang terjadi.”
Demikianlah, ketika
pembicaraan itu sudah selesai, orang-orang tua itu pun masih juga berbicara
untuk beberapa saat lamanya. Seperti halnya orang-orang tua, mereka berbicara
tentang keharusan dan pantangan-pantangan yang wajib dilakukan oleh Swandaru.
“Sampai saat perkawinan ini
berlangsung, Swandaru tidak boleh pergi sama sekali. Swandaru tidak boleh
meninggalkan halaman rumahmu,” berkata seorang yang giginya tinggal dua buah di
bagian depan.
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi sekilas dipandanginya wajah gurunya, seolah-olah ia minta
pertimbangannya. Kemudian karena ia tidak mendapat kesan apapun, ia pun
kemudian memandang wajah Agung Sedayu yang ikut hadir pula di pendapa. Tetapi
kebetulan Agung Sedayu tidak sedang memandanginya.
Bagi Swandaru, untuk tetap
berada di halaman rumahnya selama kira-kira empat puluh hari, rasa-rasanya
seperti sedang menjalani hukuman. Tidak seperti ayahnya, Swandaru sudah mulai
dijalari kebiasaan bertualang. Karena itu, untuk tinggal di rumah selama waktu
yang panjang, alangkah menjemukan sekali.
Tetapi Swandaru hanya
menundukkan kepalanya. Ia sadar, bahwa tidak baik membantah pendapat orang tua
di dalam pertemuan serupa tu.
Setelah mereka berbincang
beberapa lama, dan setelah para tamu itu dipersilahkan makan malam, maka
pertemuan itu pun kemudian diakhiri. Orang-orang tua itu pun minta diri dengan
pesan, bahwa setiap saat diperlukan, mereka akan dengan senang hati melakukan
apa saja bagi Ki Demang.
Barulah sepeninggal
orang-orang tua itu, Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita yang masih
duduk di pendapa dengan Ki Demang dan anaknya serta Agung Sedayu, mencoba untuk
menjelaskan persoalan yang sedang dihadapi.
“Tetapi semuanya ini jangan
mempengaruhi rencana yang sudah disusun sebaik-baiknya bagi Swandaru,” berkata
Kiai Gringsing.
Ki Demang tidak menyahut.
“Biarlah Ki Waskita
menjelaskan persoalannya,” berkata Kiai Gringsing kemudian.
Ki Demang mengangguk-angguk.
Tetapi ia masih tetap diam. Ki Waskita-lah yang kemudian menceritakan serba
sedikit tentang anaknya yang pergi dari rumahnya dengan tujuan yang tidak
menentu.
Seperti yang diduga, Agung
Sedayu dan Swandaru-lah yang menanggapinya dengan serta-merta. Bahkan terloncat
dari bibir Agung Sedayu, “Kita harus mencarinya. Perjalanan yang demikian akan
berbahaya sekali bagi Rudita.”
Ki Waskita mencoba menenangkan
dirinya sendiri, sehingga katanya kemudian tidak menunjukkan kegelisahan sama
sekali, “Terima kasih, Agung Sedayu. Tetapi kau harus ingat bahwa Angger
Swandaru tidak boleh pergi ke mana pun. Ia tentu akan merasa sangat sepi dan
jemu jika ia tidak mempunyai kawan yang sesuai di rumah ini.”
“Jadi, aku pun tidak boleh
beranjak selama empat puluh hari?” bertanya Agung Sedayu.
“Tentu bukan begitu. Tetapi
sebaiknya kau tidak pergi terlampau jauh. Ke sawah, ke pategalan. Tetapi hanya
untuk sepanjang pagi atau sore. Kemudian kau dapat mengawani Swandaru di rumah.
Tetapi jika kau pergi mencari Rudita, kau akan pergi untuk dua atau tiga hari.
Bahkan lebih.”
Agung Sedayu menarik nafas
dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Swandaru yang menundukkan kepalanya.
Rasa-rasanya ada sesuatu yang memanggilnya dari saudara seperguruannya itu,
sehingga akhirnya Agung sedayu tidak dapat memaksakan diri untuk meninggalkan
halaman selama Swandaru berada dalam masa persiapan hari perkawinannya.
Apalagi ketika kemudian Ki
Demang berkata, “Angger Agung Sedayu. Aku minta dengan hormat, agar Angger
Agung Sedayu sudi mengawani Swandaru dalam masa-masa ia tidak dibenarkan untuk
meninggalkan halaman. Menurut pertimbangan orang tua-tua selama selapan hari,
Swandaru memang harus berada di dalam lingkungan pagar halaman. Dan selapan
hari itu akan mulai dua hari lagi.”
Tiba-tiba, di luar dugaan
Swandaru menyela, “Jadi selama dua hari ini aku masih dapat pergi ke mana pun?”
“Ah,” sahut ayahnya, “yang dua
hari ini pun sebaiknya tidak usah kau pergunakan untuk pekerjaan yang
berbahaya.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ia sadar, bahwa ayahnya tentu akan melarang jika ia ingin ikut
mencari Rudita meskipun hanya selama dua hari. Ketemu atau tidak ketemu.
Selebihnya ia akan mematuhi semua pantangan. Namun mencari Rudita bagi ayahnya
adalah pekerjaan yang sangat berbahaya karena terbayang saat-saat hilangnya
Rudita yang disimpan di sarang Panembahan Agung.
Tetapi Agung Sedayu dan
Swandaru tentu tidak akan dapat menjelaskan perbedaan keadaan antara Rudita
yang pergi atas kehendak sendiri dan Rudita yang hilang diambil oleh
orang-orang Panembahan Agung.
Dengan demikian, maka niat
Agung Sedayu dan Swandaru meskipun masih disimpannya di dalam hati untuk ikut
mencari Rudita di sekitar lereng Merapi tidak akan dapat dikemukakannya lagi.
Dalam pada itu, Kiai Gringsing
pun kemudian berkata, “Ki Demang, usaha kami untuk mencari Rudita menurut Ki
Waskita, akan kami sesuaikan dengan setiap rencana Ki Demang menyangkut
saat-saat perkawinan Swandaru. Kami akan pergi mencari anak itu, tetapi setiap
kali kami akan datang kembali dalam tiga atau empat hari seandainya anak itu
masih belum segera dapat diketemukan. Kecuali jika keadaan memaksa dan mendesak
untuk melindungi jiwanya, mungkin kami akan sedikt menyimpang dari rencana kami
itu.”
Ki Demang mengangguk-angguk.
Katanya, “Terima kasih, Kiai. Aku pun dapat mengerti, bahwa perjalanan Angger
Rudita adalah persoalan keselamatan jiwa seseorang. Karena itu, aku tidak akan
dapat mencegahnya. Bahkan apabila mungkin seharusnya kami ikut membantunya.”
“Ki Demang mempunyai tugas
pula di saat-saat terakhir ini.”
Ki Demang mengangguk-angguk
pula. Katanya, “Kiai. Meskipun aku tidak mempunyai pasukan sekuat pasukan Tanah
Pendikan Menoreh, tetapi jika di dalam usaha Kiai mencari Angger Rudita
diperlukan sepasukan pengawal, mungkin di daerah lereng Gunung Merapi terdapat
sarang penjahat yang kuat, kami akan memyediakannya. Anak-anak muda Sangkal
Putung akan dengan senang hati membantu menyelamatkan jiwa seseorang.”
“Terima kasih, Ki Demang,” Ki
Waskita-lah yang menyahut, “agaknya di mana-mana aku hanya akan membuat
kesulitan. Di Tanah Perdikan Menoreh dan kini di Kademangan Sangkal Putung.”
“Ah, tentu tidak,” berkata Ki
Demang, “sudah banyak yang Ki Waskita taburkan. Dan yang Ki Waskita taburkan
itu adalan benih-benih kebaikan. Sudah waktunya Ki Waskita memetik hasilnya
apabila diperlukan. Apalagi sampai kini pun Ki Waskita masih saja menaburkan
benih-benih kebaikan itu.”
Ki Waskita tersenyum.
Betapapun asamnya. Katanya, “Ki Demang selalu memuji. Tetapi memang mungkin
sekali kami memerlukan bantuan itu. Namun sejauh dapat kami lakukan, kami akan
membatasi persoalan ini sehingga suasana di Sangkal Putung tidak akan
terpengaruh oleh peristiwa ini. Juga Angger Swandaru. Sebaiknya Angger Swandaru
melupakan saja persoalan ini, setidak-tidaknya menjelang saat-saat perkawinan.”
“Aku mengharap bahwa Rudita
dapat hadir pada hari perkawinan itu,” sahut Swandaru. “Mudah-mudahan usaha
pencarian itu tidak banyak menemui kesulitan.”
“Mudah-mudahan,” desis Kiai
Gringsing, “kami masih percaya kepada tangkapan isyarat Ki Waskita.
Mudah-mudahan kami akan sampai pada sasarannya secepatnya.”
Demikianlah maka Kiai
Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun menyatakan rencananya pula untuk
meninggalkan Kademangan Sangkal Putung menjelang dini hari.
“Begitu tergesa-gesa?”
bertanya Ki Demang.
“Rudita adalah anak yang
kurang pengalaman,” sahut Ki Waskita, “….. tidak terlampau jauh dari lereng
Merapi, meskipun agaknya Rudita selalu bergerak. Namun justru karena ia selalu
bergerak itulah yang sedikit memberikan ketenangan di hatiku.”
“Kenapa?”
“Itu berarti bahwa ia bebas.
Ia berjalan ke mana saja yang disukainya, meskipun agaknya ia telah tersesat.”
Ki Demang tidak dapat menahan
Ki Waskita yang digelisahkan oleh kepergian anaknya yang hampir tidak mempunyai
pengalaman petualangan sama sekali. Namun yang tiba-tiba saja telah pergi
meninggalkan kampung halamannya oleh desakan perubahan yang bergejolak di dalam
jiwanya.
Karena itu, maka Ki Demang pun
segera mempersilahkan tamu-tamunya itu beristirahat, karena besok menjelang
pagi mereka sudah harus pergi meninggalkan Sangkal Putung.
Tetapi perjalanan yang akan
dilakukan bukan perjalanan yang panjang. Setiap kali Ki Demang akan dapat
berhubungan dengan mereka, karena setiap kali mereka akan selalu kembali ke
Sangkal Putung sebelum meneruskan usahanya apabila Rudita masih belum dapat
diketemukan. Sehingga dengan demikian Sangkal Putung akan tetap menjadi
pangkalan mereka selama mereka mencari Rudita yang menurut penilaian Ki Waskita
berdasarkan penglihatan batinnya berada di sekitar daerah lereng Merapi di
bagian selatan.
Demikianlah maka pagi-pagi
benar, sebelum matahari terbit, ketiga orang-orang tua itu pun telah siap untuk
berangkat. Mereka masih memerlukan memberikan berbagai macam pesan kepada Agung
Sedayu sehubungan dengan perstiwa yang dialami oleh ketiga orang-orang tua itu
di Kali Praga.
“Sebaiknya kau pun tidak
terlalu banyak berada di luar halaman rumah ini Agung Sedayu,” desis Kiai
Gringsing, “dan untuk sementara berhati-hatilah dengan cambukmu. Jika kau
mencurigai seseorang, jangan terlampau mudah menyebut dirimu orang bercambuk,
karena mungkin akan mempunyai akibat yang gawat, jika kau bertemu dengan
orang-orang yang mencari aku akibat kematian kawan-kawannya di penyeberangan
Kali Praga itu.”
Agung Sedayu mengerutkan
keningnya. Di dalam hati ia bertanya, “Sejak kapan Guru mengajarkan sifat yang
demikian kepadaku. Apakah sikap yang demikian itu hanya sekedar sikap
berhati-hati karena keadaannya memang gawat, atau dengan sengaja mengekang aku
agar aku tidak terlampau liar?”
Tetapi Agung Sedayu tidak
bertanya lagi. Ia menyadari saat yang penting sekali bagi Swandaru itu harus
banyak mendapat perhatian. Sesuatu yang terjadi atas Swandaru, sekaligus akan
menimpa pula bagi bakal istrinya yang menunggu di Tanah Perdikan Menoreh.
Menjelang matahari terbit,
maka Kiai Gringsing, Ki Sumangkar, dan Ki Waskita pun berangkat meninggalkan
Sangkal Putung tanpa menunggang kuda. Kepada muridnya satu-satunya Sumangkar
berpesan agar ia menjaga dirinya sebaik-baiknya. Mungkin keadaan akan memaksa
muridnya itu melakukan sesuatu untuk mempertahankan dirinya.
Tidak banyak orang Sangkal
Putung yang melihat kepergian Kiai Gringsing. Ketika di ujung lorong, para
peronda yang masih berada di gardu menyapanya, maka Kiai Gringsing pun
menjawab, “Kami akan sekedar berjalan-jalan. Bukankah kata orang, orang-orang
tua harus banyak berjalan-jalan? Terlebih-lebih lagi di waktu menjelang pagi.
Badannya akan menjadi sehat dan akan menghambat masa ketuaannya sehari setiap
tonggak.”
“Ah, jika demikian, apakah
jika Kiai berjalan-jalan lima tonggak pagi ini, berarti umur Kiai terhambat
lima hari.”
“Ya.”
“Jika hal itu Kiai lakukan
setiap pagi, maka Kiai justru akan menjadi bertambah muda lima hari. Pada suatu
saat Kiai akan sampai pada suatu masa seperti saat Kiai dilahirkan.”
Kiai Gringsing tertawa.
Katanya, “Memang mungkin sekali. Tetapi sudah barang tentu sesudah itu, aku
tidak akan dapat berjalan-jalan lagi.”
Para peronda itu tertawa.
Demikian pula Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
Sejenak kemudian mereka pun
meneruskan perjalanan mereka di dalam gelapnya ujung pagi yang sudah dibayangi
oleh warna-warna merah di langit.
Ketiga orang itu dengan
sengaja melanjutkan perjalanan hanya dengan berjalan kaki, karena dengan
demikian, maka mereka akan dapat melalui setiap lorong dan mungkin
tempat-tempat yang terpencil dan tersembunyi. Apalagi perjalanan mereka
bukannya perjalanan yang terlampau jauh dan panjang.
Dari Sangkal Putung mereka
berjalan menuju ke lereng Gunung Merapi. Menjelang pagi, nampak Gunung Merapi
bagaikan bayangan kerucut raksasa yang menyangga langit yang mulai cerah.
Semakin lama bayangan yang biru kehitam-hitaman itu menjadi semakin jelas.
Ujungnya menjadi kemerah-merahan seperti bara.
Ketiga orang itu berjalan
terus menyusuri bulak-bulak panjang. Perjalanan mereka memang tidak terlampau
cepat. Tetapi tanpa mereka sadari setelah mereka melalui jalan sempit di
pinggir hutan rindang, mereka telah menyelusuri jalan ke Macanan.
Tiba-tiba saja Ki Sumangkar
berkata, “Kita akan lewat sebuah padukuhan yang dikenal dengan baik oleh Kiai
Gringsing. Dukuh Pakuwon.”
Kiai Gringsing tersenyum. Katanya,
“Orang-orang Dukuh Pakuwon telah melupakan orang yang bernama Ki Tanu Metir
itu.”
“Tentu tidak, Kiai. Cobalah
bertanya, apakah mereka mengenal Ki Tanu Metir. Mereka tentu akan mengatakan,
mereka mengenal orang tua itu dengan baik. Sudah barang tentu mereka tidak akan
mengenal Kiai dalam sikap dan pakaian seperti sekarang ini. Coba Kiai
mengenakan pakaian, sikap, dan tata gerak seperti Ki Tanu Metir yang tua,
hampir pikun, dan gemetar kebongkok-bongkokan itu, maka mereka akan segera
berkata, “Ya, itulah Ki Tanu Metir.”
Ki Tanu Metir menarik nafas
dalam-dalam. Teringat saat-saat ia didera oleh orang-orang Jipang, karena ia
menyembunyikan Untara di rumahnya. Dan yang ternyata kemudian telah memaksanya
meninggalkan gubugnya seperti cengkerik disiram air pada lubang
persembunyiannya.
Tetapi Kiai Gringsing itu pun
kemudian tersenyum. Katanya, “Senang juga rasa-rasanya untuk singgah barang
satu dua hari di padukuhan kecil itu. Tetapi dengan demikian, maka akan dapat
menghambat usaha kita mencari Angger Rudita.”
“Tetapi jika Kiai ingin
singgah?” sahut Ki Waskita.
Kiai Gringsing menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Ah, tidak. Aku tidak akan singgah. Aku hanya ingin lewat
saja padukuhan itu, seperti orang yang tidak pernah mengenalnya dengan baik.”
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
hanya tersenyum saja. Mereka dapat mengerti, sepercik kerinduan telah menyentuh
hati Kiai Gringsing. Bagaimana pun juga, Kiai Gringsing pernah mengasingkan
dirinya di padukuhan itu untuk waktu yang lama. Hanya kadang-kadang saja ia
pergi untuk beberapa hari apabila darah petualangannya mulai mendidih di dalam
tubuhnya. Tetapi ia pun kemudian kembali menetap di padukuhan itu lagi.
Tetapi kepergiannya yang
terakhir, saat-saat Sangkal Putung dibakar oleh api pertentangan antara Jipang
dan Pajang, serta kehadiran Agung Sedayu dan Untara, dua orang anak sahabatnya
yang telah meninggal lebih dahulu daripadanya, telah memisahkan orang tua itu
dengan padukuhan kecilnya karena ia pun kemudian menetap di Sangkal Putung.
Namun yang setiap kali ditingggalkannya juga bertualang bersama dua orang
muridnya.
Kerinduan itu agaknya telah
membawa Kiai Gringsing berjalan menyusuri jalan kecil yang melintasi padukuhan
yang pernah ditinggalinya itu.
Ki Sumangkar dan Ki Waskita
hanya mengikutinya saja. Mereka pun merasakan, bahwa orang-orang tua
kadang-kadang mempunyai kerinduan akan masa-masa lampaunya.
Ketika mereka memasuki jalan
padukuhan, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Halaman dan rumah yang
pernah dihuninya terletak tidak jauh dari mulut jalan padukuhan.
“O,” desisnya, “padukuhan ini
masih seperti saat aku tinggalkan.”
“Belum ada perubahan, Kiai?”
bertanya Ki Waskita.
“Perubahan yang sangat kecil
terdapat di sana-sini. Tetapi agaknya gairah kerja di padukuhan ini sudah
meningkat. Meskipun perubahan-perubahan yang berarti belum nampak, namun
padukuhan ini nampaknya menjadi semakin bersih.”
Kedua kawannya hanya
mengangguk-angguk saja.
Ketika kemudian mereka melalui
sebuah halaman rumah yang tidak begitu luas dan gersang, terasa dada Kiai
Gringsing berdebaran. Halaman rumah yang kotor itu adalah halaman rumahnya yang
sudah lama sekali ditinggalkannya.
“Kasihan,” desisnya.
“Inikah halaman rumah Kiai,”
bertanya Ki Waskita.
“Ya. Inilah halaman rumah Ki
Tamu Metir itu.”
Ki Waskita mengangguk-anggukkan
kepalanya. Memang nampaknya seperti halaman rumah yang ditelantarkan begitu
saja.
Ketika seseorang berpapasan di
jalan sempit itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya, “Ki Sanak. Rumah
siapakah yang nampaknya kosong itu?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Kemudian jawabnya, “Rumah itu sudah tidak berpenghuni lagi.”
“Kemanakah penghuninya?”
bertanya Ki Sumangkar.
“Tidak seorang pun yang
mengetahui.”
“Namanya?” sambung Ki Waskita.
“Ki Tanu Metir. Seorang dukun
yang pandai dan baik.”
“Seorang dukun yang dapat
meramal nasib?” tiba-tiba saja Ki Sumangkar menyela.
“Ah,” Kiai Gringsing berdesah.
Tetapi orang yang ditanya itu menjawab, “Bukan, Ki Sanak. Bukan dukun yang
sering meramal nasib. Ia adalah seorang dukun yang hanya mengkhususkan diri
pada ilmu pengobatan. Ia adalah seorang yang pandai mengobati segala macam
penyakit.”
“O,” Ki Sumangkar
mengangguk-angguk, lalu, “apakah tidak seorang pun yang mengetahui kemana dukun
tua itu pergi?”
“Ia memang sudah tua. Apakah
Ki Sanak sudah mengenalnya?”
Ki Sumangkar terkejut
mendengar pertanyaan itu. Namun kemudian sambil tersenyum ia menjawab, “Aku
belum pernah mengenalnya. Tetapi biasanya dukun-dukun adalah orang tua, setua
kami.”
“Ya. Ia adalah orang tua yang
baik. Suka menolong dan tidak mempunyai pamrih.”
“Ah, tentu,” sahut Ki Waskita,
“biasanya dukun yang demikian adalah dukun yang baik. Yang tidak berpura-pura
dapat berbuat lebih banyak dari yang dapat dilakukan. Ki Tanu Metir tentu
seorang yang baik seperti yang kau katakan. Berjiwa besar, pemurah terhadap
sesama dan barangkali juga seorang yang kaya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Apalagi ketika ia melihat sebuah senyum kecil di bibir Ki Waskita
dan Ki Sumangkar.
“Ya,” jawab orang itu, “tetapi
ia bukan orang yang kaya. Satu-satunya miliknya adalah seekor kuda.”
“Dimanakah kuda itu?”
“Hilang seperti Ki Tanu Metir
sendiri. Ketika beberapa orang laskar Tohpati mencari dua orang buruan yang
bersembunyi di rumahnya, maka saat itu merupakan kiamat bagi dukun tua yang
baik itu. Ia hilang tanpa bekas. Demikian juga kudanya.”
“Apakah tidak seorang pun yang
pernah bertemu lagi dengan orang itu?” bertanya Kiai Gringsing.
Orang itu memandang Kiai
Gringsing dengan saksama, sehingga Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Tetapi
orang itu pun kemudian mengangkat bahunya sambil berkata, “Tidak seorang pun
yang mengetahuinya. Tetapi banyak cerita tentang orang tua itu yang kemudian
tersebar.”
“Apa ceritanya?” tiba-tiba Ki
Sumangkar memotong.
Sekali lagi Kiai Gringsing
menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih, Ki Sanak. Kami bertanya
karena kami melihat halaman rumah itu nampak gersang dan kotor.”
“Tetangga-tetanggalah yang
kadang-kadang membersihkannya.”
“Dan cerita itu,” desak Ki
Sumangkar.
Kiai Gringsing menggigit
bibirnya. Tetapi ia tidak dapat mencegah ketika Ki Waskita juga bertanya,
“Apakah cerita itu sangat menarik?”
Orang itu termangu-mangu
sejenak. Dipandanginya ketiga orang yang belum dikenalnya itu. Namun kemudian
ia pun berkata, “Cerita itu memang sangat menarik. Tetapi tidak seorang pun
dapat mengatakan, yang manakah yang sebenarnya terjadi.”
“Ada berapa macam cerita?”
bertanya Ki Sumangkar.
“Bermacam-macam.”
“Di antaranya?”
“Ada yang mengatakan bahwa
sebenarnya Ki Tanu Metir sudah meninggal. Tetapi karena ia seorang dukun yang
sakti, maka ia masih sering menampakkan dirinya di daerah bekas pertempuran
antara pasukan Pajang dan Jipang di daerah Sangkal Putung. Orang itu mendendam
prajurit-prajurit Jipang, karena prajurit-prajurit Jipang itulah yang membunuhnya
tanpa kesalahan apa pun.”
“O, mengerikan sekali,” desis
Ki Waskita sambil menahan tertawanya.
“Tetapi ada cerita lain lagi,”
berkata orang itu.
“Bagaimana dengan cerita itu?”
“Bahwa Ki Tanu Metir adalah
seorang dukun yang sakti. Yang ditangkap dan dibunuh oleh orang-orang Jipang
saat ia menyembunyikan Untara dan adiknya itu bukanlah wadagnya yang
sebenarnya. Seseorang yang dipaksa menunjukkan arah persembunyian Untara itu
tidak dapat melihat apa yang sebenarnya telah terjadi.”
“Jadi apa yang sudah dibunuh
oleh orang-orang Jipang itu?”
“Ternyata di simpang empat
bulak panjang sebelah selatan padukuhan ini, pada pagi harinya ditemukan
sebatang pohon pisang yang penuh dengan tusukan senjata tajam. Agaknya pohon
pisang itulah yang disangkanya dukun tua itu. Dan sebenarnya dukun tua itu
masih hidup.”
“Yang manakah yang mendekati
kebenarannya?” bertanya Ki Sumangkar.
“Aku tidak tahu. Tetapi ada
cerita yang lain lagi.”
“Cerita apa lagi,” Kiai
Gringsing berdesah.
“Sebenarnya Ki Tanu Metir
memang sudah terbunuh. Tetapi bukan karena kesaktian prajurit-prajurit Jipang.
Ki Tanu Metir memang mati atas kehendak sendiri pada saat orang Jipang marah
tetapi tidak mampu membunuhnya. Ia hilang dengan seluruh badan wadagnya.”
“Bukan main, ia mrayang
seperti Kiai Dandang Wesi.”
“Aku belum pernlah mendengar
cerita tentang Kiai Dandang Wesi,” desis orang itu.
“Cerita-cerita yang mengerikan
bulu roma,” desis Kiai Gringsing.
Tetapi Ki Waskita bertanya,
“Apakah Ki Tanu Metir memang sakti? Kenapa ia tidak bertempur saja melawan
orang-orang Jipang dan menghancurkannya sama sekali?”
“Tentu ia tidak mau. Selamanya
ia tidak pernah berkelahi, bertengkar, dan apalagi bertempur. Ia adalah seorang
dukun. Justru ia mengobati orang sakit. Bukan menyakiti orang sehat.”
Ki Waskita dan Ki Sumangkar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam sambil
berdesis, “Itu adalah seorang dukun yang sempurna. Ia tidak akan menyakiti
seseorang apa pun alasannya.”
“Ya. Itulah yang dilakukan
oleh Ki Tanu Metir,” desis orang itu.
“Baiklah, Ki Sanak,” Kiai
Gringsing menyahut sebelum orang itu bercerita lebih banyak lagi, “kami minta
diri. Kami hanya sekedar lewat daerah ini.”
“Tetapi siapakah Ki Sanak
bertiga?”
“Kami orang-orang Sangkal
Putung. Kami akan pergi ke Jati Anom,” sahut Kiai Gringsing.
“He, orang Sangkal Putung?
Banyak orang Sangkal Putung yang sudah aku kenal. Apakah mereka tidak pernah
berceritera tentang dukun tua yang bernama Ki Tanu Metir?”
“Tidak. Orang-orang Sangkal
Putung tidak bercerita tentang dukun tua itu.”
Tetapi orang itu menggeleng.
Katanya, “Ki Sanak. Cerita yang paling aku percaya adalah cerita yang lain
lagi.”
“Terima kasih. Ceritamu sudah
cukup panjang,” jawab Kiai Gringsing, “kami akan meneruskan perjalanan.”
“Cerita yang aku percaya
adalah cerita yang paling pendek.”
“Sebutkan dengan sebuah
kalimat,” berkata Ki Sumangkar.
“Ki Tanu Metir masih hidup, ia
berada di Sangkal Putung sekarang. Apakah kalian tidak percaya? Itulah cerita
yang menurut pendapatku paling masuk akal. Ia tidak dibunuh oleh pasukan Jipang
waktu itu. Ia dapat lolos bersama Senapati Untara yang ternyata juga tidak
mati.”
Ketiga orang itu menarik
nafas. Ki Sumangkar kemudian bertanya, “Jadi, apakah arti ceritamu yang
berkepanjangan itu?”
“Aku tidak mengerti. Tetapi
sebenarnyalah cerita itu hidup di antara kami di sini. Namun yang aku percaya,
ada orang lain yang sebenarnya adalah Ki Tanu Metir. Ada orang yang mengetahui
bahwa Ki Tanu Metir memang tidak mati meskipun hanya namanya saja yang disebut orang.”
“Apakah kau sendiri sudah
mengenal orang yang bernama Ki Tanu Metir?”
“Aku bukan berasal dari
padukuhan ini,” jawab orang itu, “tetapi aku sekarang sudah menetap di tempat
ini, mengikuti anak dan menantuku. Karena itu, aku tahu benar cerita tentang
dukun tua itu. Dan aku memang pernah melihatnya meskipun baru sekali dua.”
Kiai Gringsing tersenyum. Ia
memang belum mengenal orang itu dengan baik, meskipun rasa-rasanya ia memang
pernah melihat. Untunglah bahwa orang itu tidak dapat mengenalinya karena
perubahan sedikit pada wajah dan sikapnya.
Tetapi agaknya bukan orang itu
saja yang tidak dapat mengenalnya lagi, karena orang-orang yang lain pun sama
sekali tidak menghiraukannya.
Ternyata bahwa beberapa orang
yang kemudian lewat jalan itu pun hanya sekedar memalingkan wajahnya. Kemudian
mereka meneruskan langkah mereka tanpa memperhatikan ketiga orang itu lagi.
Sebenarnyalah orang-orang
Dukuh Pakuwon sudah terlalu lama tidak berbicara lagi tentang Ki Tanu Metir.
Bagi mereka Ki Tanu Metir telah tidak pernah lagi menarik perhatian. Jika
mereka lewat halaman kosong itu pun mereka merasa bahwa halaman itu memang
sudah lama kosong. Bukan lagi merupakan persoalan. Satu dua orang tetangga
memang kadang-kadang masih membersihkan halaman itu jika mereka mencari kayu
bakar di kebun belakang. Memungut batangan-batangan kayu kering yang
berserakan. Selebihnya tidak ada persoalan apa pun lagi.
Demikianlah Kiai Gringsing dan
kedua kawannya pun segera meninggalkan padukuhan itu. Mereka sama sekali tidak
menarik perhatian orang-orang yang berpapasan di sepanjang jalan. Seperti
orang-orang lain yang berjalan melalui jalan itu, maka ketiga orang itu pun
melangkahkan kakinya tanpa gangguan apa pun juga.
Namun percakapan kecil di
dekat halaman rumah Ki Tanu Metir yang kosong itu telah menumbuhkan bahan
pembicaraan yang panjang.
Cerita-cerita tentang Ki Tanu
Metir sempat menumbuhkan senyum di bibir Kiai Gringsing, Ki Waskita, dan Ki
Sumangkar.
“Jangan-jangan berita itu
benar,” berkata Ki Waskita, “yang berjalan bersama kita sekarang adalah arwah
Ki Tanu Metir yang sudah meninggal.”
Ki Sumangkar tertawa. Katanya,
“Bukan, tetapi hanya sebatang pohon pisang. Sedang orangnya yang sebenarnya
tidak berada di sini sehingga apabila terjadi sesuatu, maka yang mengalami itu
sama sekali bukan tubuh Ki Tanu Metir yang sebenarnya, tetapi batang pisang
itulah.”
“Tetapi ternyata yang
dipercaya oleh orang itu adalah cerita yang sebenarnya,” sahut Kiai Gringsing.
“Sebenarnyalah orang-orang sudah mengetahuinya, bahwa Ki Tanu Metir memang
berada di Sangkal Putung itu memang bukan rahasia. Agaknya secara kebetulan
orang itu bukan orang Dukuh Pakuwon sejak kanak-kanak, sehingga ia tidak dapat
bercerita tentang Ki Tanu Metir dengan tepat.”
“Tetapi ceritanya cukup
menarik. Itu pertanda bahwa Ki Tanu Metir memiliki akar yang kuat di hati
rakyat Dukuh Pakuwon.”
“Namun ternyata bahwa pendapat
mereka tentang Ki Tanu Metir adalah jauh lebih baik dari jalan hidup yang di
tempuh oleh orangnya. Mereka menganggap bahwa Ki Tanu Metir adalah seorang dukun
yang biasa mengobati orang sakit, bukan seorang yang menyakiti orang sehat
dengan alasan apa pun. Sedang yang dilakukan sebenarnya oleh orang yang bernama
Ki Tanu Metir itu adalah jauh lebih buruk daripada itu. Bukan saja menyakiti
tetapi Ki Tanu Metir adalah seorang pembunuh. Yang terakhir dibunuhnya adalah
orang-orang yang menyebut dirinya tukang satang di Kali Praga.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Bahkan mungkin masih ada lagi orang-orang yang akan dibunuhnya.
Jika orang-orang Dukuh Pakuwon mengetahui, maka nilai Ki Tanu Metir di mata
mereka akan merosot turun sejauh-jauhnya.”
“Tidak, Kiai,” sahut Ki
Waskita, “tentu tidak demikian. Seorang senapati di peperangan yang membunuh
berpuluh-puluh orang justru disebut seorang pahlawan, meskipun ia akan disebut
seorang pembunuh jika ia melakukannya di luar medan perang terhadap seseorang.
Dengan demikian maka ada penilaian tersendiri terhadap bermacam-macam cara,
keadaan, dan tempat pembunuhan itu terjadi. Terlebih-lebih adalah alasan
pembunuhan itu sendiri.”
Kiai Gringsing menarik nafas.
“Kiai tidak pernah melakukah
pembunuhan tanpa arti,” sahut Ki Sumangkar, “karena itu Kiai tidak perlu
menyesali. Yang terakhir misalnya, kematian orang-orang yang menyebut dirinya
tukang satang merupakan penyelamatan bagi jumlah orang yang lebih banyak. Jika
Kiai dan kita bersama tidak melakukan pembunuhan itu, maka jumlah kematian akan
berlipat. Bukankah dengan demikian berarti bahwa yang kita lakukan adalah
justru penyelamatan? Apalagi jika kita hanya sekedar menghitung jumlah jiwa?”
Kiai Gringsing tidak menyahut,
meskipun kepalanya terangguk-angguk.
Demikianlah mereka bertiga
berjalan terus. Mereka sepakat untuk singgah barang sejenak di Jati Anom. Kiai
Gringsing ingin bertemu dengan Untara beberapa saat. Ia ingin menanyakan apakah
satu dua orang anak buah Untara pernah melaporkan, melihat, menemukan, atau
berhubungan dengan seorang anak muda yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Jika
benar seseorang pernah melihat, berhubungan, atau mendengar adanya anak muda
itu, maka mereka akan segera dapat menemukan Rudita.
Dalam pada itu, perjalanan
mereka menyusur bulak persawahan sama sekali tidak menemui hambatan apa pun
juga. Demikian pula ketika mereka menyusuri jalan di sebelah hutan yang tidak
terlampau lebat. Bahkan terasa udara menjadi sejuk oleh angin yang mengguncang
dedaunan perlahan-lahan.
“Daerah ini pun termasuk
daerah yang subur,” berkata Kiai Gringsing, “meskipun tidak merupakan daerah
lumbung yang besar seperti Sangkal Putung. Karena itu, daerah ini pun pada saat
pasukan Jipang yang dipimpin oleh Tohpati masih cukup kuat, sebagian dari
mereka berada di sekitar daerah ini agar mereka tidak kekurangan makan,
sementara mereka berusaha merebut daerah Sangkal Putung.”
Ki Waskita
mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Ki Sumangkar menarik nafas
dalam-dalam. Baginya persoalan yang menyinggung nama Tohpati adalah kenangan
yang sangat pahit, yang sudah ingin dilupakannya. Namun setiap kali persoalan
itu masih saja disebut-sebut.
Dalam pada itu, terasa udara
menjadi semakin panas di siang yang terik. Selembar awan mengapung di langit,
hanyut perlahan-lahan dibawa angin ke utara.
Di Sangkal Putung, Swandaru
yang sudah mulai dengan masa yang khusus bagi mereka yang akan melangsungkan
perkawinannya, duduk termenung di tangga pendapa. Rasa-rasanya hari-hari yang
akan dialaminya selama kira-kira selapan, akan sangat menjemukan sekali. Yang
selapan itu tentu akan terasa lama sekali. Kecuali karena ia tidak boleh
meninggalkan halaman rumahnya jika tidak ada keperluan yang penting sekali,
maka saat-saat menunggu memang merupakan saat-saat yang paling menjemukan.
Rasa-rasanya waktu berjalan dengan lambannya.
Ketika ia menengadahkan
wajahnya, matahari masih belum sampai ke puncak langit.
“Rasa-rasanya sudah sehari
penuh aku duduk di sini,” gumamnya, “agaknya baru menjelang tengah hari.”
Swandaru berdiri dengan
malasnya dan berjalan ke regol. Tetapi gardu di regol halamannya itu nampak
kosong.
“Tidak ada seorang pun di
gardu itu,” ia berdesis sambil bersungut-sungut.
Dengan langkah yang berat ia
berjalan kembali ke pendapa. Sekali-sekali ia berhenti memandang langit yang
cerah.
Langkahnya tertegun ketika ia
melihat Sekar Mirah melintas di sisi pendapa. Dan tiba-tiba saja ia telah
memanggilnya.
Sekar Mirah berpaling.
Dilihatnya Swandaru berdiri di halaman seorang diri.
“Nah. Sekarang baru kau
merasakan,” berkata Sekar Mirah, “selama ini kau memang terlampau banyak pergi.
Besok akulah yang akan pergi untuk beberapa hari. Kau tinggal di rumah
menunggui ibu dan ayah. Kau harus membantu ibu di dapur.”
Swandaru tidak menyahut.
Tetapi perlahan-lahan ia mendekati adiknya.
“Kau mau apa sekarang?” ia
bertanya ketika ia sudah berdiri beberapa langkah dari adiknya.
“Tidak apa-apa. Tetapi aku
akan pergi ke sudut desa. Bermain-main dengan kawan-kawan, kemudian pergi ke
sawah membawa makanan bagi orang-orang yang bekerja di sawah.”
“Di mana Agung Sedayu?”
“Aku tidak tahu. Bukankah tadi
bersama kau di sini?”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Agung Sedayu tidak pernah berada di rumah. Ia selalu
saja pergi. Ke sawah, ke kali memandikan kuda, ke gardu, ke mana saja. He
apakah ia pergi ke sawah sekarang?”
“Aku tidak tahu.”
Tiba-tiba suara Swandaru
menjadi bersungguh-sungguh, “Sekar Mirah. Kau pun harus segera kawin.”
Sekar Mirah mengerutkan
keningnya. Tetapi ia pun kemudian mencibirkan bibirnya sambil berkata, “Kau
ingin agar aku juga mengalami seperti kau sekarang. Selapan hari tidak boleh
pergi ke mana-mana.”
“Bukan, bukan itu.” Swandaru
berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kau harus segera kawin sebelum keadaan menjadi
semakin kalut.”
“Keadaan yang manakah yang
menjadi semakin kalut itu?”
“Hubungan antara Mataram dan
Pajang.”
“Ah. Itu bukan urusanku.”
Sekar Mirah berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia tertawa, “Kau sangka aku tidak
mengerti.”
“Apa?”
“Kau membohongi aku lagi. He,
kau sangka aku akan merengek agar ayah mempercepat hari-hari perkawinanku?
Semuanya masih harus dipikirkan.”
“Jadi, kau masih ragu-ragu.
Kau masih akan memperbandingkan pilihanmu?”
“Bukan itu. Tetapi apakah aku
harus kawin dengan seorang petualang yang tidak mempunyai pegangan menentu? He,
ibu sudah pernah mengatakan meskipun tidak berterus terang bahwa sebaiknya
setiap anak muda yang akan kawin, mempunyai pegangan hidup yang mapan.”
“Aku juga belum mempunyai
pegangan hidup.”
“Tetapi kedudukanmu jelas.”
“Jadi kau kecewa terhadap
Agung Sedayu.”
“Tidak. Tidak,” Sekar Mirah
melangkah maju sambil mencubit lengan kakaknya. “Kau selalu mengganggu.”
“Mirah, Mirah,” Swandaru
melangkah mundur, “aku berkata sesungguhnya kali ini.” Sambil mengusap
lengannya yang menjadi merah ia berkata, “Maksudku, bukankah kau sudah
mengetahui keadaan Agung Sedayu sejak kau berkenalan?”
“Tetapi ia harus berusaha
menempatkan dirinya pada tempat yang mapan. Kakaknya dapat menjadi seorang
senapati. Kenapa Kakang Agung Sedayu tidak? Seharusnya ia memang menjadi
seorang senapati terkenal seperti kakaknya.”
“Jika ia tidak tertarik pada
lapangan keprajuritan seperti yang sering dikatakannya? Ia kadang-kadang
menjadi gemetar melihat darah meskipun ia memiliki ilmu yang cukup.”
“Jadi, apakah ia akan bekerja
di dapur? Jika demikian, biarlah aku yang menjadi senapati dan Kakang Agung
Sedayu tinggal di rumah, masak dan memelihara anak-anak kelak.”
“Ah, jangan begitu. Bukankah
ada lapangan kerja yang lain. Seorang petani misalnya.”
“Huh. Aku sudah jemu duduk di
pematang membawa kiriman nasi dan minuman.”
Swandaru mengerutkan
keningnya. Ditatapnya wajah adiknya beberapa lamanya. Lalu katanya, “Bukankah
kita dilahirkan dari lingkungan keluarga petani? Aku juga akan menjadi petani
meskipun kelak aku akan menggantikan kedudukan ayah. Bukankah seorang demang
juga seorang petani?”
“Petani besar. Tetapi seorang
demang tidak perlu pergi ke sawah, mencangkul atau menelusuri air.”
Swandaru tidak menjawab. Ia
dapat mengerti pikiran Sekar Mirah. Agung Sedayu tidak boleh sekedar menjadi
seorang petani yang mengerjakan sawahnya di Jati Anom. Secuil tanah yang masih
akan dibagi dengan Untara. Apalagi agaknya Untara sudah tidak menghiraukan lagi
persoalan sawah, rumah dan kekayaan yang masih harus dibagi itu karena baginya
yang penting adalah tugas-tugas keprajuritannya. Jika perlu, sawahnya,
rumahnya, halaman, dan pategalannya disediakannya untuk keperluan keprajuritan.
“Memang aneh sekali,” desis Swandaru
di dalam hati, “Ki Sumangkar kadang-kadang bercerita tentang beberapa orang
pimpinan prajurit yang justru memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri
sendiri. Untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dan bahkan kadang-kadang dengan
kekayaan itu beberapa orang telah mengumpulkan beberapa orang istri,” Swandaru
menarik nafas. Namun kemudian dilanjutkannya, “Tetapi itu adalah
prajurit-prajurit Jipang. Agaknya karena itulah Jipang tidak tumbuh menjadi
besar. Dan ternyata jauh berbeda dengan yang dilakukan oleh Untara. Ia tidak
lagi menghiraukan adiknya, bahkan dirinya sendiri.”
Karena untuk beberapa lamanya
Swandaru tidak menyahut oleh angan-angan yang sedang bergejolak, maka Sekar
Mirah pun kemudian berkata, “Aku akan pergi ke rumah sebelah.”
“Untuk apa?”
“Ibu menyuruhnya membuat
minyak kelapa. Di belakang ada setumpuk kelapa yang sudah kering.”
Swandaru tidak menahannya
lagi. Dibiarkannya Sekar Mirah melangkah meninggalkannya. Namun ketika Sekar
Mirah hampir hilang di sudut, anak yang gemuk itu berkata, “Jika nanti kalian
membuat minyak kelapa, jangan lupa, aku ingin belondonya.”
“Huh,” Sekar Mirah yang
berpaling mencibirkan bibirnya. Tetapi ia tidak menjawab.
Swandaru yang kemudian berdiri
seorang diri, melangkah perlahan-lahan kembali ke pendapa. Namun ia ternyata
dipengaruhi pula oleh cara berpikir adiknya, yang pada dasarnya keduanya
memiliki pola pemikiran yang serupa.
“Memang menjemukan tinggal di
padesan yang sepi. Agaknya memang lebih senang untuk menjadi seorang senapati,”
katanya kepada diri sendiri. Namun kemudian, “Tetapi Untara, senapati yang
terkenal itu, diletakkan juga di padesan kecil. Jati Anom.”
Namun terbayang saat-saat
Untara melangsungkan perkawinannya. Menurut keterangan orang-orang yang
menyelenggarakan perelatan itu, bahkan Widura sendiri, perkawinan itu dilakukan
dengan sederhana karena keadaan yang masih diliputi oleh suasana yang suram.
“Bagaimanakah kiranya
perelatan perkawinan seorang senapati dalam keadaan yang tenang dan damai?”
berkata Swandaru di dalam hatinya pula.
Agaknya Swandaru kemudaan
mulai diganggu oleh gambaran yang cerah bagi kehidupannya. Katanya kepada diri
sendiri, “Menurut Guru, seseorang harus mempunyai gegayuhan. Jika tidak maka ia
akan berhenti dan kehilangan kemungkinan bagi masa depannya, jika aku anak
seorang demang, apakah aku harus berhenti sampai di sini? Meskipun Kakang Agung
Sedayu sekarang masih belum mempunyai pegangan hidup tertentu, pada suatu saat
justru ia akan melonjak ke jenjang pangkat yang jauh lebih tinggi. Lebih tinggi
dari seorang demang. Sedang aku sama sekali tidak berusaha untuk menjangkau
tempat yang lebih baik dari tempat yang disediakan bagiku. Demang Sangkal
Putung.”
Swandaru menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun kemudian duduk lagi di tangga pendapa sambil memandang ke kejauhan.
Memandang dedaunan yang bergetar di sentuh angin. Seekor burung podang yang
berbulu kuning terbang hinggap di pelepah pisang.
Swandaru menggigit bibirnya.
Ia terkenang masa-masa kecilnya, jika ibunya mendendangkan kidung bagi adiknya,
Sekar Mirah yang masih di dalam dukungan, tentang burung kepodang yang hinggap
di pelepah pisang.
Sementara itu, Kiai Gringsing
dan kedua kawannya sudah menjadi semakin dekat dengan Kademangan Jati Anom.
Jalan yang dilaluinya terasa menjadi semakin naik. Sekali-sekali terasa bahwa
mereka telah mendaki kaki Gunung Merapi.
“Kita akan segera sampai ke
Jati Anom,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kita masih tetap dikenal
oleh prajurit-prajurit yang bertugas selain Untara sendiri.”
“Mungkin masih ada satu dua
orang yang mengenal kita,” sahut Ki Sumangkar, “tetapi ada di antara mereka
yang tentu sudah ditarik dari Jati Anom. Biasanya kelompok-kelompok prajurit
bertugas untuk waktu yang tertentu di suatu tempat.”
“Apakah jika kita tidak
dikenal oleh prajurit-prajurit itu, kita akan mengalami kesulitan?” bertanya Ki
Waskita.
“Aku kira tidak. Suasananya
kini adalah cukup tenang meskipun kadang-kadang ada juga persoalan-persoalan
kecil yang mengganggu. Apalagi jalan yang melintasi Kademangan Jati Anom adalah
jalan yang cukup ramai, sehingga banyak orang yang tidak dikenal lewat dari
satu tempat ke tempat yang lain. Namun sebagai pusat pengawasan daerah selatan,
sudah barang tentu ada beberapa kesiagaan khusus di daerah ini.”
Ketika mereka memasuki
padukuhan induk Jati Anom, maka hal itu memang ternyata. Di beberapa tempat
mereka melihat penjagaan. Prajurit-prajurit bersenjata berdiri di ujung
padukuhan mengawasi orang-orang yang lewat melalui gerbang.
Namun ketajaman mata ketiga
orang-orang tua itu dapat menangkap, bahwa sebenarnya di antara
prajurit-prajurit yang bersenjata lengkap itu masih terdapat beberapa orang
petugas sandi yang hilir-mudik di jalan-jalan yang melintasi padukuhan induk.
“Kesiagaan yang tinggi memang
terasa,” berkata Ki Waskita, “meskipun tidak nampak semata-mata.”
Kiai Gringsing mengangguk.
Kemudian katanya, “Kita hampir sampai ke rumah Untara. Rumah itu sebagian
memang dipergunakan bagi kepentingan para prajurit.”
“Angger Untara memang seorang
prajurit seutuhnya,” desis Sumangkar.
Demikianlah maka akhirnya
mereka pun sampai ke rumah Untara. Di muka regol halaman, nampak dua orang
prajurit yang berjaga-jaga. Namun nampaknya halaman rumah itu sepi dan tenang.
Ketiganya pun kemudian
berhenti di muka regol. Kiai Gringsing-lah yang kemudian berbicara dengan dua
orang prajurit yang ternyata belum dikenalnya.
“Kami akan menghadap Angger
Untara,” berkata Kiai Gringsing.
“Siapakah kalian?”
“Kami adalah orang-orang
Sangkal Putung.”
“Sangkal Putung? Apakah
keperluan kalian?”
“Keperluan pribadi. Kami masih
mempunyai gegayutan kadang dengan Angger Untara.”
Kedua prajurit itu saling
berpandangan sejenak. Kemudian yang seorang bekata, “Silahkan menunggu
sejenak.”
Prajurit itu pun segera masuk.
Tidak terlampau lama. Ia pun segera kembali ke regol halaman. Katanya kemudian,
“Marilah ke gardu penjagaan itu. Kalian dapat berbicara dengan pemimpin
penjagaan.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya. Dari celah-celah pintu gerbang mereka memang melihat sebuah gardu.
Beberapa orang prajurit duduk di dalam gardu itu.
Ketiga orang itu pun kemudian
mengikuti prajurit itu ke gardu penjagaan di dalam halaman. Mereka diterima
oleh pemimpin penjagaan itu dengan baik.
“Jadi kalian bertiga masih ada
hubungan keluarga?” bertanya prajurit itu.
“Ya.”
“Siapakah nama kalian. Aku
akan menyampaikannya kepada Senapati Untara.”
Kiai Gringsing ragu-ragu
sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah Kiai Gringsing.”
“Kiai Gringsing,” pimpinan
penjagaan itu mengerutkan keningnya, “aku pernah mendengar nama itu.”
“Mungkin Angger Untara pernah
menyebutnya.”
Pemimpin penjagaan itu
mengangguk-angguk. Katanya, “Silahkan duduk sebentar. Biarlah aku
menyampaikannya kepada Senapati.”
Pemimpin penjagaan itu pun
segera masuk ke dalam menyampaikan permintaan Kiai Gringsing untuk menghadap.
Selagi mereka menunggu di
gardu itu, Ki Sumangkar berbisik, “Apakah Angger Agung Sedayu dapat menjalani
tata cara hidup seperti itu? Maksudku, seperti Angger Untara yang sebenarnya
telah dikungkung oleh jabatannya yang tinggi.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Katanya, “Aku kira Agung Sedayu memang bukan seorang prajurit. Ia tidak akan
dapat hidup di dalam lingkungan seperti ini. Seakan-akan setiap gerak geriknya
diatur dalam ketentuan yang sangat mengikat. Rasa-rasanya Agung Sedayu akan
merasa sebagian dari kebebasannya telah dirampas.”
Sumangkar tersenyum. Ia pun
pernah tinggal di Kepatihan Jipang. Alangkah menjemukan. Semua persoalan harus
diakukan dengan ketentuan-ketentuan yang seakan-akan tidak dapat lagi
menyimpang meskipun banyak sekali hal-hal yang tidak ada gunanya dilaksanakan.
“Aku pun tidak akan dapat
hidup dalam suasana seperti ini,” berkata Ki Waskita.
“Angger Untara sudah termasuk
salah seorang senapati yang paling longgar,” berkata Ki Sumangkar. “Jika kita
memperhatikan beberapa orang senapati yang lain, maka mereka dengan sengaja
membuat tingkatan-tingkatan hubungannya dengan orang lain menjadi
berlapis-lapis. Mereka merasa, semakin sulit orang dapat menjumpainya, maka ia
adalah orang yang semakin penting kedudukannya.”
Kiai Gringsing dan Ki Waskita
tersenyum. Tetapi Kiai Gringsing menjawab, “Tentu bukan begitu. Memang ada
gunanya untuk mengatur hubungan dengan tertib. Jika tidak, maka setiap orang
akan mencarinya setiap saat. Bahkan mungkin dua tiga orang bersamaan waktunya
berdesak-desak berebut dahulu.”
Ki Waskita mengangguk-angguk,
kemudian katanya, “Memang ada juga baik dan buruknya. Tetapi tentu Angger
Untara sudah mempertimbangkannya masak-masak.”
Mereka tidak dapat meneruskan
pembicaraan itu, karena mereka kemudian melihat Untara sendiri turun dari
tangga pendapa menyongsong mereka bertiga.
“Marilah, Kiai. Marilah,”
dengan tergopoh-gopoh Untara mempersilahkan.
Ketiganya pun kemudian berdiri
dan berjalan bersama Untara naik ke pendapa.
Para prajurit yarg bertugas
pun menjadi termangu-mangu. Pemimpin penjagaan itu pun mengerutkan keningnya
melihat sikap Untara itu.
Para prajurit yang belum
mengenal Kiai Gringsing dan kawan-kawannya itu mulai mencari-cari jawab.
Mungkin mereka adalah keluarga Untara. Atau barangkali orang-orang yang memang
mempunyai kepentingan di dalam persoalan pribadi. Tetapi yang lain menyangka,
bahwa sebenarnya orang-orang tua itu pun prajurit-prajurit Pajang dalam tugas
sandi. Mereka adalah justru perwira-perwira yang lebih tua dari Untara sendiri.
Namun mereka pun kemudian
hanya dapat menunggu barangkali Untara akan memperkenalkan mereka kepada para
senapati bawahannya.
Tetapi lebih heran lagi ketika
para prajurit itu melihat satu dua orang senapati yang muncul dari gandok,
nampaknya mereka pun sudah kenal pula dengan orang-orang yang baru datang itu.
“Siapakah mereka itu?” yang
seorang berdesis.
“Bukankah yang seorang itu
menyebut dirinya Kiai Gringsing?”
Kawannya tidak menjawab lagi.
Agaknya mereka sama-sama tidak mengetahui, siapakah tamu Untara itu.
Dalam pada itu, Untara telah
mempersilahkan tamu-tamunya duduk di pendapa. Beberapa orang yang memang sudah
mengenal Kiai Gringsing pun segera ikut menemuinya.
“Ternyata rumah ini masih juga
dipergunakan oleh para prajurit,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya,
“meskipun Untara sudah berumah tangga.”
Namun, agaknya Untara dapat
membaca suara hati Kiai Gringsing itu, sehingga katanya menjelaskan, “Kiai,
rumah ini masih merupakan tempat tinggal untuk beberapa orang kawan-kawan
terdekat. Yang lain sudah kami tempatkan di rumah sebelah dan atas kesediaan Ki
Demang di Jati Anom, sebagian dari bagian belakang banjar desa pun telah kami
pergunakan pula.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya memang lebih baik. Bukankah Angger Untara
baru berdua saja? Rumah yang besar ini akan menjadi sangat sepi jika tidak ada
kawan lain yang tinggal di dalamnya.”
“Hampir bertambah, Kiai,”
sahut Untara.
“He?” Kiai Gringsing
mengerutkan keningnya. “Jadi, Angger Untara hampir mempunyai momongan?”
Untara tersenyum. Namun
kemudian ia pun mengalihkan pembicaraannya dan sebagai kelengkapan
penerimaannya, ia pun menanyakan keselamatan tamu-tamunya di perjalanan dan
keluarga yang ditinggalkan di Sangkal Putung.
Baru setelah di hadapan
tamu-tamunya dihidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, Untara
bertanya, “Sebenarnya aku agak terkejut melihat kehadiran Kiai bertiga dengan
Ki Sumangkar dan Ki Waskita. Syukurlah jika Kiai hanya sekedar singgah tanpa
ada keperluan yang penting.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Kemudian katanya, “Baiklah aku menceritakan berita gembira saja
lebih dahulu.”
Untara termangu-mangu sejenak.
Tersirat di dalam kata-kata itu, bahwa Kiai Gringsing datang dengan membawa
beberapa persoalan.
“Angger Untara,” berkata Kiai
Gringsing, “mungkin memang sudah sampai waktunya, Ki Demang Sangkal Putung akan
menyelenggarakan perelatan perkawinan anaknya.”
“He,” Untara terkejut. Tetap
sebelum ia melanjutkan, Kiai Gringsing segera memotongnya, “Angger Swandaru-lah
yang akan kawin dengan putri dari Menoreh. Anak Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Jadi Adi Swandaru yang akan kawin?”
“Ya.”
Sambil mengangguk-angguk ia
berkata, “Memang agaknya memang sudah saatnya.”
“Sudah barang tentu, pada saatnya
Angger Untara akan mendapat pemberitahuan dan undangan.”
“Kapankah kira-kira perkawinan
itu akan berlangsung?”
“Selapan hari lagi.”
“O. Begitu pendek. Selapan
hari lagi.” Untara mengangguk-angguk, “Itukah sebabnya Adi Swandaru tidak ikut
dengan Kiai sekarang ini?”
“Ya. Swandaru sudah tidak
dibenarkan untuk bertualang menjelang hari perkawinannya.”
“Sesudah itu?”
“Tentu ada perubahan dalam
tata hidupnya. Ia akan menjadi seorang suami. Ia tidak lagi bebas seperti
seekor burung di udara.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Kecuali jika
ia bertualang bersama istrinya.”
“He?”
“Bukankah bakal istri Swandaru
juga seorang yang memiliki ilmu yang seimbang dengan Swandaru sendiri?”
“Ya. Tetapi apakah ia juga
seorang petualang? Meskipun ia memiliki ilmu yang tangguh, tetapi agaknya ia
seorang gadis yang terikat kepada keluarganya, seperti kebanyakan gadis. Aku
kira keluarga mereka akan berusaha menyesuaikan diri. Ki Demang pada dasarnya
juga bukan seorang petualang. Ia tentu menghargai tata cara hidup sewajarnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia sadar bahwa bukan maksud Untara untuk menyindirnya,
karena Untara mengucapkannya tanpa sadar. Tetapi arah pembicaraannya memang
sudah diduga.
“Kiai,” Untara meneruskan
seperti yang diperkirakan oleh Kiai Gringsing, “Agung Sedayu pun pada suatu
saat harus merubah cara hidupnya. Ia harus menghadapi hari depannya dengan
perencanaan yang matang. Bukan sekedar seperti selembar daun ditiup angin.”
Kiai Gringsing
mengangguk-angguk. Meskipun ada segores sentuhan pada dinding batinnya, namun
ia mengakui bahwa seharusnya memang demikian.
Dalam pada itu, tiba-tiba saja
Untara bertanya, “He, di manakah Agung Sedayu? Kenapa ia tidak ikut bersama
Kiai?”
Kiai Gringsing menggeleng, “Ia
berada di Sangkal Putung, Anakmas.”
“Kenapa ia tidak ikut bersama
Kiai, dan sekaligus menengok kampung halamannya?”
“Ia mengawani Swandaru di
rumahnya.”
“Ah, kenapa Swandaru harus
memerlukan kawan? Bukankah ia berada di rumahnya sendiri. Besok aku akan
menyuruh seseorang memanggil Agung Sedayu. Aku memerlukannya untuk berbicara
serba sedikit.”
“Anakmas Untara, Swandaru yang
tidak biasa tinggal di rumah memerlukan seorang kawan yang sesuai. Karena
itulah maka kami tinggalkan Agung Sedayu di Sangkal Putung.”
“O, jadi Swandaru yang akan
kawin selapan hari lagi, Agung Sedayu pun harus dipingit pula seperti perempuan
di Sangkal Putung? Itu tidak perlu, Kiai. Biarlah Swandaru mengambil kawan
sepuluh orang atau lebih dari kademangannya sendiri. Tetapi Agung Sedayu tidak
perlu berbuat demikian.”
“Bukankah ia saudara
seperguruannya?” bertanya Kiai Gringsing.
“Tetapi sepengetahuanku, di
dalam perguruannya ia adalah saudara tua. Jadi ia tidak terikat pada keharusan
bagi saudara mudanya. Apalagi Agung Sedayu memerlukan sikap yang lain dari
sikapnya selama ini.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Cobalah Kiai
memikirkannya. Selama ini Agung Sedayu berada di Sangkal Putung. Apakah artinya
ini? Apakah ia ngenger kepada Ki Demang, atau nyantrik agar ia mendapat hadiah
anak gadisnya? Tidak, Kiai. Agung Sedayu memiliki tempat tinggal. Memiliki
rumah dan halaman. Meskipun tidak luas, juga memiliki sawah ladang. Apa lagi
aku ingin Agung Sedayu kelak menjadi seorang senapati yang dalam tingkat
martabat kepangkatannya lebih tinggi dari seorang demang.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Angger Untara. Wawasan Angger terhadap Agung Sedayu
benar. Tetapi tidak semuanya tepat seperti itu. Sebenarnya Agung Sedayu juga
jarang berada di Sangkal Putung. Apalagi Agung Sedayu, bahkan Swandaru sendiri
jarang-jarang berada di rumahnya. Adalah salahku jika kedua anak-anak itu
kemudian mempunyai kegemaran bertualang. Tetapi maksudku, aku hanya ingin
mengatakan, bahwa kami tidak terikat oleh Sangkal Putung. Kami bersama-sama
baru saja pulang dari Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.”
“Tetapi perjalanan itu pun
adalah perjalanan bagi kepentingan Ki Demang di Sangkal Putung.”
Kiai Gringsing termangu-mangu
sejenak. Ketika ia berpaling kepada Ki Waskita dan Ki Sumangkar, keduanya hanya
menundukkan kepalanya saja.
Dalam pada itu Kiai Gringsing
mulai menjadi ragu-ragu. Mungkin ia dapat membela sikapnya selagi menempuh
perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika ia mengatakan bahwa Mataram
kehilangan kedua pusakanya, dan perjalanannya itu dalam hubungannya dengan
kehilangan itu, maka kesan Untara akan menjadi lain.
Tetapi Kiai Gringsing
mengurungkan niatnya. Hilangnya kedua pusaka itu tidak akan dapat
dipergunakannya sebagai alasan karena ia berharap bahwa hilangnya kedua pusaka
dari Mataram itu akan merupakan beban yang tetap hanya boleh diketahui oleh
orang-orang yang terbatas.
Namun tiba-tiba saja ia
menemukan alasan yang lain. Karena itu maka katanya, “Angger Untara. Mungkin
kami memang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan perjalanan-perjalanan yang lain
karena Ki Demang minta pertolongan kepada kami. Tetapi yang juga tidak kalah
pentingnya bagi kami, adalah karena kami telah kehilangan. Itulah yang
mendorong kami untuk menempuh perjalanan yang barangkali akan menjadi sangat
panjang.”
“Apakah yang hilang?” bertanya
Untara. “Apakah Ki Demang kehilangan anaknya lagi?”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Bukan, Anakmas. Kali ini yang memerlukan bantuan kami
bukan Ki Demang Sangkal Putung.”
Untara mengerutkan keningnya.
“Tetapi Ki Waskita.”
Untara memandang Ki Waskita
sejenak. Kemudian ia pun bertanya, “Apakah yang hilang?”
“Kedatangan kami kemari,
sebenarnya juga ada hubungannya dengan kehilangan itu. Karena Angger Untara
memiliki wewenang di daerah ini, kami ingin bertanya, apakah selama ini ada
laporan tentang seorang anak muda yang bernama Rudita.”
“Rudita?”
“Ya. Anak laki-laki Ki Waskita
yang meninggalkan rumahnya tanpa diketahui tujuannya. Dan kini, Ki Waskita
minta bantuan kami untuk mencari anaknya, karena menurut dugaannya, anaknya itu
berada di sekitar lereng selatan Gunung Merapi dan bergeser ke timur.”
“O,” Untara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Jadi, Kiai bertiga sedang mencari
anak muda yang bernama Rudia?”
“Ya, Anakmas,” jawab Ki
Waskita, “ia adalah satu-satunya anakku. Anak yang dungu. Ia sama sekali tidak
memiliki bekal apa pun di perjalanannya. Bekal uang, pakaian dan juga tanpa
bekal perlindungan terhadap diri sendiri.”
Untara mengerutkan keningnya.
Sejenak ia termangu-mangu. Agaknya ada sesuatu yang ingin dikatakannya. Namun
rasa-rasanya masih saja tersangkut di kerongkongan.
“Aku menjadi sangat gelisah
karena anak itu, Anakmas,” berkata Ki Waskita kemudian.
Akhirnya Untara mengatakannya
juga apa yang terpercik di hatinya, “Ki Waskita. Memang menggelisahkan sekali.
Di daerah selatan ini nampaknya tidak ada lagi pergolakan yang dapat mengganggu
keseimbangam. Agaknya yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh, berpengaruh juga
sampai ke daerah ini. Menurut pendengaran kami, lenyapnya Panembahan Agung, mempunyai
akibat yang sangat luas.” Untara berhenti sejenak, lalu, “Tetapi masih ada
kejahatan-kejahatan yang memiliki latar belakang yang berbeda. Jika orang-orang
Panembahan Agung yang tersebar sampai ke Mataram dan Pajang mengganggu
ketertiban karena tujuan yang dalam, menyangkut pemerintahan, maka yang ada
sekarang sekedar berlandaskan pada kebutuhan hidup dan nafsu memiliki harta
benda yang berlebihan. Meskipun daerah petualangan penjahat itu sangat
terbatas, tetapi mereka merupakan kelompok yang harus diperhatikan. Justru
karena sasaran mereka tidak berdasar. Siapa saja yang mereka anggap memiliki
kekayaan yang dapat mereka rampas, mereka datangi. Dan penjahat-penjahat yang
demikian itulah yang kini merisaukan hati kami, para prajurit. Apalagi setelah kami
mendengar bahwa anak satu-satunya Ki Waskita berada di daerah itu.”
Ki Waskita menegang sejenak.
Namun kemudian ia berkata sareh, “Kami juga sudah mendengar berita tentang
kejahatan-kejahatan kecil yang justru sangat mengganggu.”
“Kami sudah mencoba untuk
mengambil jalan yang paling baik. Karena jumlah prajurit yang tidak mencukupi
untuk berada di segala tempat pada saat yang sama, maka kami telah membangunkan
anak-anak muda di setiap padukuhan. Kami harap bahwa mereka dapat membantu
menjaga keamanan di daerah mereka sendiri.”
Ki Waskita, Ki Sumangkar, dan
Kiai Gringsing mengangguk-angguk.
“Kiai,” berkata Untara
kemudian, “jika sekiranya diperlukan, kami akan menyiapkan sekelompok prajurit
untuk membantu mencari anak muda itu. Meskipun kami belum mengenalnya dengan
baik, tetapi ciri-cirinya dapat kita beritahukan kepada mereka yang akan segera
aku siapkan.”
“Terima kasih, Anakmas” jawab
Waskita, “sebenarnya kami tidak ingin mengganggu Anakmas.”
“Itu termasuk salah satu tugas
kami. Apalagi Kiai Grinigsing sudah terlampau banyak berbuat sesuatu yang
bahkan melampaui kemampuan kesatuan kami yang ada di daerah selatan ini.”
“Ah, Anakmas memuji. Apa yang
aku lakukan bukanlah hal yang pantas mendapat pujian,” sahut Kiai Gringsing,
kemudian, “yang penting Anakmas. Kami datang untuk menyatakan diri bahwa kami
akan berada di sekitar Jati Anom. Tetapi jika Anakmas akan memberikan bantuan,
kami mengucapkan diperbanyak terima kasih.”
“Baiklah, Kiai,” berkata
Untara, “kami akan segera menyiapkan sekelompok prajurit. Apakah sekelompok
prajurit itu akan pergi bersama-sama dengan Kiai bertiga, atau sebaiknya daerah
pencarian kami berbeda dengan tempat-tempat yang akan Kiai kunjungi?”
Kiai Gringsing memandang Ki
Waskita sejenak. Tetapi sebelum Kiai Gringsing berbicara, Untara-lah yang
mendahuluinya, “Sebaiknya Kiai memberikan ciri-ciri tentang anak muda itu. Kami
akan berusaha mencarinya di daerah yang luas. Kami akan berpencar.
Mudah-mudahan dengan demikian usaha kami akan cepat berhasil. Sedangkan Kiai
bertiga, agaknya tidak memerlukan seorang pengawal pun. Karena
pengawal-pengawal bagi Kiai bertiga justru akan menjadi tanggungan Kiai.”
Kiai Gringsing tersenyum.
Demikian juga Ki Sumangkar dan Ki Waskita.
“Jika demikian, kami
mengucapkan terima kasih sekali lagi,” berkata Ki Waskita yang kemudian
memberikan beberapa macam ciri-ciri yang dapat dipergunakan untuk mengenal anak
muda yang bernama Rudita.
“Rudita,” berkata Untara,
“jadi namanya Rudita. Tidak ada ciri-ciri khusus yang menonjol. Tetapi sikapnya
lamban dan apalagi?”
“Anak itu kurang yakin akan
dirinya sendiri,” berkata Ki Waskita.
“Baiklah. Aku akan segera
memerintahkan tiga atau empat kelompok kecil untuk menjelajahi lereng Gunung
Merapi bagian selatan. Kami sudah mempunyai sasaran tertentu. Beberapa tempat
yang paling berbahaya akan kami datangi untuk pertama kali.”
“Terima kasih, Ngger,” sahut
Kiai Gringsing.
“Tetapi,” berkata Untara
kemudian, “aku pun mempunyai suatu pengharapan Kiai.”
Kiai Gringsing mengerutkan
keningnya.
“Agung Sedayu.”
Kiai Gringsing
menganggguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku mengerti, Anakmas. Akan aku usahakan
setelah aku selesai dengan tugasku kali ini. Tetapi aku mohon, biarlah anak itu
untuk sementara berada di Sangkal Putung. Ada pertimbangan-pertimbangan khusus
yang kelak dapat aku sampaikan kepada Angger Untara.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Kiai memang aneh. Aku mengenal beberapa orang guru dalam
olah kanuragan, kajiwan, dan kesusastraan. Tetapi tidak seperti Kiai.”
Kiai Gringsing menjadi heran
mendengar kata-kata Untara itu. Untuk beberapa saat ia berdiam diri sambil
memandang kedua kawannya berganti-ganti. Tetapi kedua kawannya pun agaknya
tidak segera mengerti maksud Untara.
“Aku tidak mengerti, kenapa
Kiai terikat sekali dengan Sangkal Putung. Kenapa Kiai tidak kembali ke Dukuh
Pakuwon atau ke Jati Anom atau bahkan membuat suatu padepokan tersendiri. Aku
mengenal beberapa orang guru dengan padepokannya masing-masing. Bahkan
kadang-kadang seseorang dikenal justru karena nama padepokannya. Murid-muridnyalah
yang datang kepadanya dan tinggal bersamanya. Tetapi Kiai tidak. Justru
Kiai-lah yang tinggal bersama murid Kiai.”
“Sudahlah, Anakmas,” berkata
Kiai Gringsing, “terima kasih atas perhatian Anakmas. Aku tahu, Anakmas
bermaksud baik.”
“Aku memang bermaksud baik,
Kiai. Jika Kiai memerlukan, aku dapat menyediakan sebuah padukuhah kecil. Atau
barangkali sebuah pategalan yang sudah ditumbuhi oleh pohon buah-buahan tetapi
belum ada penghuninya. Kiai dapat membuat sebuah padepokan dan murid-murid Kiai
berada di padepokan itu. Padepokan yang asri dihiasi dengan pohon-pohon bunga,
kolam ikan yarg bening, sehingga nampak batu-batu kerikil di dasarnya,
dikelilingi oleh halaman yang luas, yang ditebari dengan ternak yang beraneka.
Ayam, itik, angsa, dan sebagainya. Di belakang, sebuah kandang yang besar
dihuni oleh beberapa ekor lembu, sedang di sebelah yang lain sebuah kandang
kuda dengan beberapa ekor kuda di dalamnya.”
Kiai Gringsing menarik nafas
dalam-dalam. Katanya, “Memang aku bermimpikan padepokan yang demikian, Angger.
Tetapi agaknya saatnya memang belum tiba.”
“Jika Kiai memang
menghendaki,” sahut Untara.
“Mungkin pada saat yang lain.”
“Tetapi akibat dari keadaan
Kiai sekarang ini, adikku ikut tersangkut di Sangkal Putung.”
“Mungkin keadaan akan segera
berubah, Anakmas.”
“Baiklah, Kiai,” berkata
Untara, “aku tidak akan mengganggu Kiai selama Kiai masih mencari anak muda
yang bernama Rudita itu. Seperti aku janjikan, aku akan segera mempersiapkan
orang-orangku.”
“Terima kasih, Anakmas,” jawab
Kiai Gringsing yang kemudian berkata, “Aku akan segera mohon diri. Selebihnya
bantuan Anakmas memang akan sangat bermanfaat bagi kami.”
“Apakah Kiai akan segera
meninggalkan Jati Anom?”
“Ya, Anakmas. Agaknya dalam
keadaan ini, waktu akan sangat berarti bagi kami.”
“Baiklah, Kiai. Namun jika
sekiranya Kiai memerlukan bantuan apa pun yang dapat aku berikan, aku harap
Kiai memberitahukan kepadaku. Aku akan segera mengusahakannya.”
“Terima kasih, Anakmas. Aku
tentu akan segera datang jika aku memang memerlukan. Tetapi bantuan yang akan
Angger berikan dengan mengirimkan beberapa kelompok prajurit adalah bantuan
yang besar sekali.”
Demikianlah maka Kiai
Gringsing, Ki Waskita, dan Ki Sumangkar pun segera meninggalkan Jati Anom.
Mereka menelusur jalan ke selatan. Menurut isyarat yang disentuh oleh getaran
yang telah dikenal oleh Ki Waskita, ia menduga bahwa anaknya masih berada di
lereng selatan Gunung Merapi. Justru di daerah yang dicemaskannya.
Dalam pada itu, Untara pun
telah menyiapkan tiga kelompok pasukan berkuda yang masing-masing terdiri dari
enam orang. Mereka bertugas untuk mencari Rudita di tempat-tempat yang
berbahaya bagi anak muda itu. Selebihnya mereka, harus mengamati setiap
anak-anak muda yang mereka jumpai di sepanjang jalan. Anak muda yang agaknya sudah
menempuh perjalanan yang panjang dan tidak menuju ke arah yang pasti.
Sejenak kemudian, maka ketiga
kelompok prajurit yang bersenjata lengkap itu pun segera berderap menanggalkan
Jati Anom dengan arah yang berbeda-beda. Mereka mendapat pesan untuk langsung
menyusup ke tempat yang sangat berbahaya bagi orang asing yang lewat di daerah
itu.
Yang sekelompok langsung
menuju ke barat. Yang sekelompok berbelok ke selatan setelah beberapa lama
menyusur jalan ke barat, sedang yang lain menuju ke selatan.
Di bulak panjang kelompok yang
menuju ke selatan itu mendahului Kiai Gringsing dan kawan-kawannya. Tetapi di
jalan yang sempit, Kiai Gringsing dan kedua kawannya segera berbelok ke barat.
Mereka dapat mengambil jalan-jalan sempit karena mereka hanya sekedar berjalan
kaki. Bahkan mereka sempat melalui tebing-tebing sungai yang terjal dan
melintasi daerah yang berawa-rawa.
Sekelompok yang menuju lurus
ke barat, mendapat perintah untuk langsung menuju ke sarang penjahat yang
dikenal dengan kelicikannya, dan dipimpin oleh Kiai Raga Tunggal. Seorang
penjahat yang disegani oleh kawan dan lawan.
Kedatangan keenam prajurit itu
mengejutkan Kiai Raga Tunggal. Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh ia
mempersilah kan prajurit-prajurit itu masuk ke pendapa.
“Terima kasih,” jawab pemimpin
prajurit itu yang sudah turun dari kudanya, “aku hanya sebentar.”
“Apakah maksud Ki Lurah datang
ke pondokku? Apakah ada sesuatu yang mengganggu tugas prajurit-prajurit Pajang
di Jati Anom dan sekitarnya? Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan
mengganggu Ki Untara dan anak buahnya. Dan aku serta anak buahku memang tidak
pernah mengganggu.”
“Kami tidak pernah percaya
akan janjimu. Tetapi kali ini kami memang mempunyai keperluan lain,” jawab
pimpinan prajurit itu.
Pemimpin sekelompok penjahat
yang licik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah
keperluanmu sekarang?”
Pemimpin prajurit itu
memandang berkeliling. Ia melihat keadaan yang tenang di sekitar rumah itu.
“Kau mencari seseorang?”
bertanya Kiai Raga Tunggal.
“Ya.”
“Apakah ada seorang prajurit
yang melarikan diri dan kau sangka bersembunyi di sini?”
“Tidak. Tidak ada seorang
prajurit pun yang pernah melarikan diri dari Jati Anom.”
“Jadi siapakah yang kau cari?”
“Aku mencari seorang anak muda
yang bernama Rudita. Ia berjalan dari seberang Kali Praga menuju ke Sangkal
Putung.”
Tiba-tiba saja Kiai Raga
Tunggal tertawa. Katanya, “Jika ia pergi ke Sangkal Putung, kenapa kau
mencarinya kemari?”
“Anak itu belum pernah melihat
arah yang ditujunya. Ia berjalan tanpa petunjuk apa pun juga. Mungkin ia
tersesat. Terakhir orang melihatnya di lereng sebelah selatan Gunung Merapi.
Mungkin ia berjalan melingkari lereng dan sampai ke tempatmu, atau
orang-orangmu yang berkeliaran menemukan seseorang yang telah kau jadikan
korbanmu.”
“Ah. Jangan menuduh begitu.
Jika kami menemukan seseorang yang pantas kami tolong, kami akan menolongnya.”
“Jangan mengigau. Aku tahu
bahwa kau sama sekali tidak mengenal perikemanusiaan. Tetapi jika kau atau anak
buahmu melihatnya, katakanlah. Hidup atau mati.”
Kiai Raga Tunggal
menggelengkan kepalanya. Katanya, “Aku belum pernah mendengar anak buahku
menyebut nama itu. Dan akhir-akhir ini anak buahku tidak banyak melakukan
kegiatan di lereng gunung ini. Rasa-rasanya sumber di daerah ini telah menjadi
kering. Karena seperti kau ketahui, bukan saja orang-orangku yang berkeliaran,
tetapi juga orang-orang Ki Serat Wulung, Ki Jambe Abang, dan belum terhitung
pencuri-pencuri ayam yang lain.”
Pemimpin prajurit itu
mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kalian harus membantu mencari dan
menemukannya. Jika dalam waktu sepuluh hari ini anak yang bernama Rudita itu
tidak dapat kami ketemukan, maka kami akan datang dengan pasukan untuk membakar
padukuhanmu ini.”
“Ah, jangan begitu. Kami sudah
membatasi sekali gerakan kami. Kami akan membantu mencarinya.” Kiai Raga
Tunggal berhenti sejenak, lalu, “Tetapi daerah kami rasa-rasanya memang menjadi
sempit. Setelah Senapati Untara mengirimkan beberapa orang prajurit untuk
melatih anak-anak muda di setiap padukuhan, kami seolah-olah telah kehilangan
sawah ladang kami, sehingga seperti semut disiram air, anak buahku harus
mencari makan ke tempat yang agak jauh atau di sepanjang jalan.”
“Nah, perintahkan mereka yang
ada di sepanjang jalan itu untuk mencari anak yang bernama Rudita. Seorang anak
muda yang sama sekali tidak memiliki kemampuan jasmaniah apa pun juga. Anak
yang seperti sebuah bumbung yang kosong itu sedang dalam perjalanan yang
diperkirakan menuju ke Sangkal Putung.”
Kiai Raga Tunggal mengangguk-angguk.
Katanya, “Tetapi jika anak buah kami tidak menemukannya, kalian jangan
menyalahkan kami.”
“Usahakanlah.”
Kiai Raga Tunggal memandang
pemimpin prajurit itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, “Kenapa
kalian tidak minta bantuan orang-orang lain?”
“Semua akan kami datangi.”
“Kau akan pergi ke Tambak Wedi
juga?”
“Siapa yang ada di sana
sekarang?”
“Huh. Kau tentu tidak tahu. Di
Tambak Wedi sekarang tinggal seorang yang pasti akan menjadi lawan yang tangguh
bagi prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom.”
“Sebut namanya.”
“Kiai Kelasa Sawit.”
“O. Jadi orang itu.”
“Apakah kau sudah
mengenalnya?”
“ Prajurit-prajurit Pajang di
Jati Anom sudah mengenalnya.”
“Ia sangat berbahaya.”
“Tidak. Tidak lebih dari kau.
Kau jangan mengharap kami bertindak atasnya justru karena kau sedang bersaing
saat ini untuk memperebutkan sawah dan ladangmu di sepanjang jalan.”
Kiai Raga Tunggal mengerutkan
keningnya. Namun kemudian ia tertawa, “Kalian memang cerdik. Tetapi jangan di
sangka bahwa kami menjadi ketakutan karena hadirnya Kiai Kelasa Sawit, yang
barangkali akan menggantikan kedudukan Ki Tambak Wedi yang sudah terbunuh itu.”
“Jauh dari kemungkinan itu.
Perbandingan antara Kelasa Sawit dan Ki Tambak Wedi adalah satu berbanding
sepuluh. Bahkan Kiai Kelasa Sawit belum dapat mengimbangi murid-murid Ki Tambak
Wedi.”
Kiai Raga Tunggal masih
tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha membantu kalian. Tetapi aku
hanya sekedar membantu sehingga usahaku bukanlah menentukan.”
“Tetapi ingat. Jika dalam
sepuluh hari anak muda itu belum kami ketemukan maka Senapati Untara akan
mengadakan gerakan seperti tiga bulan yang lalu. Kalian akan disapu sampai
habis dari daerah ini.”
“Ah, jangan begitu. Senopati
Untara pun tahu bahwa kami tidak akan dapat dibersihkan dengan cara itu.”
“Tetapi juga tidak dengan
sekedar perasaan iba dan sikap yang lunak serta kebaikan hati.”
Kiai Raga Tunggal
mengangguk-angguk. Meskipun wajahnya nampak tidak memberikan kesan apa pun
juga, tetapi ia mengumpat-umpat di dalam hati. Apalagi prajurit-prajurit itu
agaknya tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap orang yang menyebut
dirinya Kelasa Sawit itu.
“Persetan,” ia bergumam di
dalam hatinya. Dan yang terloncat dari bibirnya, “Aku sudah berjanji akan
bekerja keras membantu menemukan anak itu. Tetapi jangan bersikap begitu keras
terhadap kami. Kami merasa kedudukan kami yang lemah.”
“Omong kosong,” jawab prajurit
itu, “kau tentu merasa kuat dengan keadaanmu. Ternyata kau tidak mau
menghentikan kerjamu itu.”
“Kami sedang berusaha. Dengan
perlahan-lahan dan lambat laun kami telah mengarahkan jalan hidup kami ke jalan
yang wajar. Tetapi itu memerlukan waktu.” Ia berhenti sejenak, lalu, “Baiklah,
baiklah. Aku akan bekerja keras. Tetapi aku harap yang lain pun demikian pula.”
“Semuanya. Tidak hanya kau,
Serat Wulung, dan Jambe Abang saja yang akan dikerahkan. Tetapi juga para
prajurit dan anak-anak muda di sepanjamg lereng Gunung Merapi, terutama bagian
selatan dan timur.”
“Kami akan melakukannya.”
Namun kemudian, “tetapi prajurit-prajurit Pajang di Jati Anom, kami minta
memperhatikan kehadiran Kiai Kelasa Sawit.”
“Kami sudah memperhatikannya.”
“Belum seluruhnya. Ada sesuatu
yang kalian belum tahu tentang Kelasa Sawit.”
“Apa?”
“Kesibukan di padepokan itu
meningkat. Anak buahku melihat, ada orang-orang baru di tempat itu. Bahkan
melampaui kesiagan yang biasa dilakukan oleh kelompok yang mana pun juga.”
“Jangan, memperbodoh kami.”
“Cobalah melihat. Kalian tidak
usah berbuat apa-apa. Datangilah seperti kalian datang kemari.”
“Itu tidak perlu. Daerah
Tambak Wedi terlampau tinggi bagi perjalanan Rudita.”
“Bagaimana jika anak muda itu
diketemukan oleh anak buah Kelasa Sawit di perjalanan.”
Para prajurit itu
termangu-mangu. Namun pemimpinnya tersenyum sambil berkata, “Kau berhasil
meyakinkan aku untuk datang ke padepokan itu. Baiklah. Kami akan pergi kepada
Kiai Kelasa Sawit.”
Kiai Raga Tunggal
termangu-mangu. Namun kemudian ia pun tersenyum. “Bukan maksudku untuk
mengatasi persaingan ini dengan berlindung di belakang punggung prajurit-prajurit
Pajang. Tetapi sebenanyalah aku mengatakan bahwa ada sesuatu yang lain di
padepokan itu.”
“Sudah barang tentu kau
mempunyai pamrih dengan keteranganmu itu.”
Kiai Raga Tunggal tertawa.
Katanya, “Tentu. Aku tidak dapat ingkar, karena kau pun tentu mengetahui bahwa
aku ingin mendapat sedikit pujian. Jika kalian menemukan anak itu di sana, atau
persoalan-persoalan lain yang penting, maka kalian tidak akan melupakan kami.
Dengan demikian, maka sikap kalian terhadap kami akan menjadi sedikit lunak.”
“Jangan mengharap bahwa sikap
kami akan menjadi lunak. Tetapi kau memang sangat licik. Pada suatu saat yang
tepat, kalian tentu akan dimusnahkan dengan cara yang sesuai dengan cara yang
kalian tempuh selama ini. Kekerasan.”
“Dan selama itu, kami sudah
menjadi orang-orang baik.”
“Gila,” desis pemimpin
kelompok itu. Lalu katanya, “Kau berhasil membujuk kami kali ini. Kami akan
pergi kepada Kiai Kelasa Sawit di Padepokan Tambak Wedi.”
Prajurit-prajurit itu tidak
menunggu lebih lama lagi. Sejenak kemudian kuda-kuda mereka pun berderap,
mendaki lereng Gunung Merapi lebih tinggi lagi. Beberapa kali mereka melintasi
tikungan menuju ke Padepokan Tambak Wedi. Padepokan yang pernah menjadi pusat
perguruan yang menggetarkan Pajang. Tempat yang telah dipilih oleh Sidanti
untuk menempa diri.
Dan kini, padepokan itu sudah
dihuni lagi oleh beberapa orang yang belum dikenal dengan baik. Meskipun kepada
Kiai Raga Tunggal, pemimpin kelompok perajurit itu mengatakan bahwa mereka
sudah mengenal dengan baik, penghuni baru di padepokan yang menjadi kosong
untuk beberapa lama itu, namun sebenarnya Kiai Kelasa Sawit masih merupakan
sebuah teka-teki bagi prajurit Pajang di Jati Anom.
“Kita menempuh jalan yang
berbahaya,” berkata pemimpin kelompok itu, “tetapi kita datang dengan resmi
atas perintah Ki Untara meskipun tidak terperinci harus mendatangi padepokan
itu.”
Prajurit-prajurit di dalam
kelompok itu tidak menjawab. Mereka merasa berkewajiban untuk melakukannya.
Meskipun demikian, terasa dada mereka pun menjadi berdebar-debar.
Beberapa lamanya mereka
berkuda menempuh jalan yang semakin lama menjadi semakin buruk. Mereka sudah
mulai melintasi hutan-hutan rindang, yang semakin lama menjadi semakin padat.
Namun mereka masih tetap dapat menyelusuri jalan betapapun sempitnya.
Ketika mereka sampai di ujung
lorong yang menerobos hutan rindang, maka nampaklah daerah yang terbentang di
hadapan mereka. Daerah yang semula adalah tanah garapan orang-orang di
Padepokan Tambak Wedi yang telah lama mati. Daerah yang sudah agak lama menjadi
sepi. Namun di sebelah padepokan itu masih juga nampak beberapa padukuhan yang
masih tetap terpelihara. Seolah-olah padukuhan yang dengan sengaja mengasingkan
diri.
Dada para prajurit itu menjadi
berdebar-debar. Seolah-olah mereka sedang menuju ke tempat yang asing. Ke
tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya.
Kuda-kuda mereka masih berlari
terus. Jalan-jalan yang kotor nampaknya memang jarang sekali dilalui orang.
Sejenak kemudian, pemimpin
kelompok prajurit yang berkuda di paling depan itu pun memperlambat derap kaki
kudanya. Dengan tatapan mata yang tajam ia memandang lereng bukit yang semakin
lama menjadi semakin terjal, sehingga akhirnya di kejauhan menjadi miring
bagaikan dinding raksasa.
“Kau lihat batu-batu padas
itu?” bertanya pemimpin kelompok prajurit.
“Yang berserakan di
sebelah-menyebelah jalan?” salah seorang prajurit di belakang ganti bertanya.
“Ya. Di belakang batu-batu
padas itu terletak Padepokan Tambak Wedi.”
“Tidak ada tanda-tanda bahwa
padepokan itu sudah berpenghuni.
“Memang sudah berpenghuni. Ki
Untara sudah mendapat laporan tentang hal itu. Tetapi kita belum sempat
mengetahui lebih jauh tentang padepokan itu.”
“Sekarang kita akan melihat,
apa yang ada di balik batu-batu karang itu.”
Sekelompok prajurit itu pun
merayap terus, semakin lama semakin dekat dengan gundukan batu-batu karang yang
merupakan pintu gerbang memasuki Padepokan Tambak Wedi.
“Ada sesuatu yang sangat
menarik pada Padepokan Tambak Wedi,” berkata pemimpin kelompok itu.
“Apa?” bertanya salah seorang
prajuritnya.
“Pusat dari padepokan itu
dikelilingi oleh dinding batu yang tinggi, sehingga jika pintu gerbang ditutup,
maka orang tidak akan dapat memasukinya jika tidak meloncati dinding batu itu.”
Prajurit-prajuritnya
mengangguk-angguk.
“Di tengah-tengah daerah yang
dikelilingi dinding batu itu terdapat sebuah sungai yang arusnya menyusup lewat
di bawah dinding.”
Yang lain masih
mengangguk-angguk.
“Kita akan melihat,
bagaimanakah rupa dari padepokan itu sekarang.”
Demikianlah mereka pun
kemudian menjadi semakin dekat dengan batu-batu yang berserakan itu, sehingga
derap kuda mereka pun menjadi semakin diperlambat.
Dalam pada itu, tiba-tiba
pemimpin prajurit itu berdesis, “Kau lihat seseorang?”
“Tidak.”
“O, tidak hanya satu dua
orang. Di balik batu-batu padas itu ada beberapa orang yang berjaga-jaga dengan
senjata telanjang. Mereka bersembunyi dan menunggu kita semakin dekat.”
“Apakah kita berjalan terus?”
“Ya. Kita berjalan terus.
Tegakkan tombak itu dan pasanglah panji-panji kesatuan. Kita datang atas nama
Senopati Pajang di daerah selatan, Ki Untara.”
Prajurit yang berada tepat di
belakang pimpinan kelompok itu pun kemudian memasang sebuah panji-panji kecil
berwarna putih bergaris hitam di tepinya. Panji-panji kesatuan yang memberi
pertanda bahwa mereka datang dalam kedudukan mereka sebagai prajurit.
Meskipun demikian, mereka
masih juga menahan nafas ketika mereka mulai melintasi sela-sela batu-batu
karang. Ternyata seperti yang dikatakan oleh pemimpin kelompok, para prajurit
itu melihat beberapa orang berlari di atas batu-batu karang dengan anak panah
di tangan.
“Jangan diganggu,” berkata
pemimpin mereka, “prajurit-prajurit itu datang dengan panji-panji kesatuan
mereka. Kita masih belum merasa siap menghadapi Untara di daerah selatan ini.”
“Jadi?”
“Aku akan menemuinya.”
Pemimpin penjaga padepokan itu
pun kemudian meloncat turun beberapa langkah di hadapan kuda-kuda yang berlari
semakin lambat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Siapakah kalian?” bertanya
pemimpin penjaga itu
“Kami adalah prajurit-prajurit
Pajang yang bertugas di Jati Anom. Kami datang atas perintah senapati.”
“Ya, kami mengenal panji-panji
kecil itu. Tetapi apakah tugas yang harus kau lakukan?”
“Kami akan menemui pimpinan
padepokan ini. Kiai Kelasa Sawit.”
“Apakah keperluanmu?”
“Kami akan menemuinya. Itulah
keperluanku.”
“Kami dapat mencegah jika kau
tidak mengatakannya.”
“Jangan mencoba menghalangi
tugas seorang prajurit. Jika kau tidak mau membawa aku kepada Kiai Kelasa
Sawit, kalian di sini akan segera menemui kesulitan seperti Tambak Wedi pada
masa jaya-jayanya dahulu. Tetapi sebagaimana kau ketahui, Tambak Wedi hancur
menjadi debu.”
Pemimpin penjaga itu menjadi
tegang. Katanya, “Kalian jangan mencoba menakut-nakuti kami. Tambak Wedi pada
masa lalu dikuasai oleh tikus-tikus parit yang mencoba mengatur barisannya di
tempat yang tidak mereka ketahui keadaannya. Tetapi sekarang, Tambak Wedi
adalah kandang serigala. Jika kau memaksa masuk, kau tidak akan dapat keluar
lagi.”
“Aku tidak peduli. Aku tidak
akan berbicara tentang tikus dan serigala, karena kalian tahu serba sedikit
tentang Ki Untara. Aku pun tidak peduli apakah aku akan dapat keluar lagi atau
tidak. Jika padepokan ini disapu untuk kedua kalinya, maka kalian akan
kehilangan dada untuk menyebutnya sebagai sarang serigala.”
Pemimpin penjaga itu menjadi
ragu-ragu. Ia sudah berada di berbagai tempat dalam lapangan kehidupan yang
dipilihnya. Namun ternyata sikap prajurit Pajang yang berada di Jati Anom itu
menggetarkan dadanya.
“Ternyata ia benar-benar
seorang prajurit,” berkata pemimpin penjaga itu di dalam hatinya. “Jarang
sekali aku menjumpai orang-orang seperti ini.”
Dalam kebimbangan itu,
tiba-tiba saja terdengar dari atas sebuah batu padas yang lebih tinggi suara
seseorang berteriak, “Berilah jalan. Biarlah mereka masuk.”
Ketika orang-orang yang sedang
termangu-mangu itu berpaling, mereka melihat seorang yang bertubuh tinggi besar
dan kuat berdiri sambil bertolak pinggang.
“Kiai Kelasa Sawit,” desis
pemimpin prajurit itu.
“Kau sudah mengenalnya?”
bertanya pemimpin penjaga.
“Kami sudah pernah berhubungan
dengan Kiai Kelasa Sawit beberapa saat yang lalu.”
Pemimpin penjaga itu
mengerutkan keningnya. Agaknya ia kurang mempercayainya. Tetapi ia tidak
menjawab.
Pemimpin prajurit itu pun tidak
menghiraukannya lagi. Ia pun kemudian menyentuh kudanya dan perlahan-lahan
berjalan mendaki lereng Gunung Merapi itu semakin tinggi, melintasi penjagaan
orang-orang yang kemudian tinggal di Padepokan Tambak Wedi.
Ketika mereka sampai di depan
sebuah pintu gerbang yang sudah nampak agak rusak karena tidak terpelihara,
seorang prajurit bertanya kepada pemimpinnya, “Apakah orang itu benar-benar
Kiai Kelasa Sawit?”
“Ya.”
“Ki Lurah pernah mengenalnya?”
Pemimpinnya termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Mengenal secara pribadi belum. Tetapi
aku sudah mendengar namanya, ciri-cirinya dan sifat-sifatnya serba sedikit.”
“Apakah ciri-cirinya?”
“Kau lihat orang yang berdiri
di atas batu padas itu tadi?”
“Ya.”
“Bertubuh tinggi, besar,
kekar, dan kuat. Itu adalah Kiai Kelasa Sawit. Selebihnya, ia memakai pakaian
yang aneh pula. Kau lihat?”
“Ya. Selembar kulit harimau
yang disangkutkan di bahunya.”
“Ya. Itu adalah ciri-cirinya.
Dan Ki Untara pernah mengatakannya kepadaku.”
Prajurit itu mengangguk-angguk.
Tetapi ia tidak sempat bertanya lebih lanjut, karena mereka melihat gerbang
yang sudah agak rusak itu bergerak dan menganga semakin lebar dengan
melontarkan bunyi gerit ancer besi di sebelah-menyebelah.
“Masuklah,” berkata seorang
penjaga pintu gerbang itu, “gerbang ini terbuka siang dan malam. Tetapi karena
hari ini kami mendapat kehormatan dari prajurit-prajurit Pajang, maka gerbang
ini akan dibuka semakin lebar.”
Pemimpin prajurit itu sama
sekali tidak mengacuhkannya. Kelompok itu memasuki pintu gerbang Padepokan
Tambak Wedi dengan dada yang berdebar-debar.
Seorang anak buah Kiai Kelasa
Sawit pun kemudian menunjukkan arah, ke mana prajurit-prajurit Pajang itu harus
pergi.
Sejenak kemudian, sekelompok
prajurit itu memasuki sebuah halaman yang luas di muka sebuah rumah yang cukup
besar pula meskipun tidak terpelihara sama sekali. Di pendapa berdiri seseorang
yang sudah dikenal oleh pemimpin prajurit itu. Kiai Kelasa Sawit.
“Silahkan, Tuan,” berkata Kiai
Kelasa Sawit dengan suaranya yang berat mantap.
Tetapi pemimpin prajurit itu
menggeleng, “Aku tidak akan lama. Aku hanya ingin bertemu sejenak.”
“Meskipun demikian, silahkan
naik ke pendapa.”
“Terima kasih. Aku di sini
saja.”
“Kami tahu, prajurit-prajurit
dari Pajang telah dibekali dengan prasangka dan kecurigaan terhadapku.
Sebaiknya kita berbicara dengan tenang dan baik. Dengan demikian
kesalah-pahaman di antara kita akan hilang.”
“Waktuku hanya sedikit. Yang
dapat menghilangkan salah paham kemudian bukannya sebuah pembicaraan resmi. Tetapi
lebih dari itu adalah tingkah lakumu berserta anak buahmu. Jika selama kau
berada di sini, kau bersikap baik, maka tidak akan ada salah paham.”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
dahinya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Tuan benar. Baiklah. Jika Tuan
tidak mau naik ke pendapa.”
Orang bertubuh tinggi, tegap,
dan kuat itu pun kemudian turun ke halaman. Demikian ia melangkahkan kakinya di
tangga terakhir, pemimpin prajurit Pajang itu pun meloncat turun dari kudanya
pula.
Seperti yang dilihat oleh para
prajurit Pajang, sebenarnyalah orang yang bernama Kiai Kelasa Sawit itu
menyangkutkan selembar kulit harimau di bahunya.
“Apakah keperluan tuan-tuan
datang ke padepokan ini.”
“Aku mencari sesuatu.”
Wajah Kiai Kelasa Sawit
menjadi merah. Namun kemudian ia pun mencoba tersenyum sambil bertanya, “Apakah
yang Tuan cari di sini?”
Pemimpin prajurit itu
termenung sejenak, seolah-olah ingin melihat tanggapan yang membayang di wajah
Kiai Kelasa Sawit. Tetapi Kiai Kelasa Sawit sudah berhasil menguasai perasaannya.
“Apakah prajurit-prajurit
Pajang di Jati Anom kehilangan sesuatu?”
Pimpinan kelompok prajurit
Pajang di Jati Anom itu tidak segera menjawab. Namun sekali lagi ia memandang
berkeliling, mengamat-amati halaman yang kotor dan tidak terpelihara itu.
“Apa yang hendak kalian cari
di sini?” desak Kiai Kelasa Sawit.
Pemimpin prajurit itu
mengangguk-angguk sejenak, lalu, “Kami mencari seseorang.”
“Seseorang? Siapa? Seorang
senapati atau seorang buruan yang kalian sangka bersembunyi di sini?”
“Kami mencari seorang anak
muda yang hilang dari rumahnya.”
“O,” Kiai Kelasa Sawit menarik
nafas dalam-dalam, lalu, “jika itu yang kau cari, aku tidak menahan nafas
dengan tegang, siapakah anak muda itu? Kau tentu menyangka bahwa kami sudah
menculiknya.”
“Tidak. Kami tidak menyangka
demikian.”
“Jadi, kenapa kalian datang
kemari?”
“Kami ingin bertanya, apakah
kalian menemukan seorang anak muda yang bernama Rudita di dalam petualangan
kalian?”
“Rudita?” Kiai Kelasa Sawit
mengerutkan keningnya, lalu, “Kami belum pernah mendengar nama itu.”
“Anak itu pergi dari rumahnya.
Ia seorang anak muda yang dungu. Tetapi ia satu-satunya anak sahabat Ki Untara.
Karena itu, kami sedang membantu mencarinya. Apakah kau pernah melihat,
mendengar, atau berjumpa dengan anak muda yang demikian?”
Kiai Kelasa Sawit menggeleng,
“Tidak. Kami tidak pernah bertemu.”
“Jika demikian, maka aku akan
menyampaikan perintah Ki Untara kepada semua kelompok yang ada di daerah
kekuasaannya. Kalian harus membantu mencari anak itu.”
“Di mana kami akan mencari?”
“Aku tahu, bahwa anak buahmu
sering mengembara di daerah selatan ini. Karena itu, kau harus memerintahkan
anak buahmu untuk mencari Rudita. Dalam sepuluh hari anak itu harus
diketemukan.”
“Kau aneh sekali. Bagaimana
jika anak itu tidak berada di daerah ini. Mungkin ia pergi ke Pantai Selatan
atau justru ke kaki Gunung Merbabu.”
“Dalam sepuluh hari anak itu
harus ketemu. Itu adalah perintah Ki Untara.”
Kiai Kelasa Sawit tertawa.
Katanya, “Prajurit Pajang memang sering melakukan perbuatan yang aneh-aneh.
Dalam sepuluh hari anak yang tidak diketahui tempatnya itu harus ketemu.
Baiklah, kami akan mencoba membantu mencarinya.”
Jawaban itu agaknya tidak
menyenangkan bagi anak buah Kiai Kelasa Sawit. Tetapi mereka tidak berani
memotong kata-kata pimpinannya, sehingga karena itu, mereka hanya
menghentak-hentakkan tangannya pada hulu senjatanya.
Tetapi sikap itu dapat
ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang yang berada di halaman itu. Namun
demikian, mereka sama sekali tidak menghiraukannya.
“Kami akan menunggu,” berkata
pimpinan prajurit itu, “Bukan saja kelompok yang ada di padepokan ini yang
harus mencari anak muda itu, tetapi semua kelompok yang ada di lereng Gunung
Merapi. Besar dan kecil.”
“Sebenarnya kami termasuk
orang baru di sini,” berkata Kiai Kelasa Sawit, “tetapi kami tidak mau disebut
menolak kerja sama dengan prajurit-prajurit Pajang.”
“Tidak. Ini bukan kerja sama.
Kami menyampaikan perintah Senapati Untara.”
Kiai Kelasa Sawit mengerutkan
dahinya. Namun ia pun berkata, “Baiklah, apa pun istilahnya.” Ia berhenti
sejenak, lalu, “Tetapi dari manakah prajurit-prajurit Pajang mengetahui bahwa
aku sekarang berada di sini? Dan apakah prajurit-prajurit Pajang sudah mengenal
aku?”
“Prajurit-prajurit Pajang
mengenal semua orang yang pantas mendapat pengawasan. Jika tidak mengenal
secara pribadi maka kami sudah mengetahui ciri-ciri dari setiap orang.
Ciri-ciri yang nampak pada ujudnya dan ciri-ciri perbuatannya.”
Kiai Kelasa Sawit menarik
nafas dalam-dalam. Ia sebenarnya sedang berbicara dengan prajurit yang
sesungguhnya.
“Nah, kau harus menyampaikan
laporan dalam sepuluh hari ini. Jika anak muda itu belum dapat diketemukan,
maka Senapati Untara akan mengambil sikap.”
“Baiklah. Kami mengerti.”
“Lakukan tugas ini
sebaik-baiknya. Kami akan segera kembali ke Jati Anom.”
“Terima kasih atas kepercayaan
ini,” berkata Kiai Kelasa Sawit sambil tertawa.
Pemimpin prajurit itu tidak
menjawab lagi. Ia pun segera meloncat ke punggung kudanya.
Namun ia tertegun ketika ia
mendengar Kiai Kelasa Sawit berkata, “Sebenarnya kami ingin mempersilahkan Tuan
naik sejenak ke pendapa. Kami mempunyai hidangan yang barangkali pantas untuk
tuan-tuan.”
Prajurit-prajurit itu tidak
menghiraukannya. Mereka pun segera menarik kendali kudanya yang segera mulai
bergerak.
Tetapi dalam pada itu,
pimpinan prajurit itu sempat melihat lukisan di dada Kiai Kelasa Sawit yang
bidang itu. Lukisan seekor kelelawar yang dipahatkan dengan duri dan diwarnai
dengan lemak dan langes, sehingga lukisan yang berwarna hitam itu tidak hilang
ketika luka-lukanya sembuh.
Namun lukisan itu pun tidak
menarik perhatian. Banyak orang yang membuat gambar beraneka warna pada
tubuhnya.