Buku 079
Dada Ki Gede Pemanahan menjadi
semakin berdebar-debar. Kini ia mulai condong kepada pendapat bahwa agaknya
Sultan Hadiwijaya sudah mengetahui apa yang terjadi atas putra angkatnya Raden
Sutawijaya.
Jika demikian, maka selama ini
yang dihadapi adalah sikap yang pura-pura saja dari Sultan. Sebenarnya Sultan
Pajang itu telah menyimpan kemarahan yang membara di dadanya. Namun agaknya
dengan sengaja Sultan telah menyembunyikannya dan pada saatnya menumpahkannya
sampai tuntas.
“Apakah Sultan Hadiwijaya
sengaja menunggu Sutawijaya?” Ki Gede Pemanahan bertanya kepada diri sendiri
“Kakang,” berkata Sultan
Hadiwijaya kemudian, “jika Kakang Pemanahan datang ke Pajang tanpa
memberitahukan lebih dahulu, dan datang sendirian tanpa Danang Sutawijaya,
tentu Kakang membawa masalah yang cukup penting. Mungkin masalah Alas Mentaok
yang semakin lama menjadi semakin ramai. Mungkin hubungan antara Mentaok yang
sekarang disebut Mataram dengan daerah di sekitarnya. Mangir, Menoreh atau
barangkali dengan senapati di daerah selatan ini, Untara, atau
persoalan-persoalan yang lain. Tetapi mungkin persoalan yang lebih bersifat
pribadi seperti yang sudah aku katakan. Nah, Kakang Pemanahan, sebaiknya Kakang
segera mengatakannya. Kakang tidak usah segan. Anggaplah aku masih seperti
dahulu. Kakang bagiku adalah saudara tua yang banyak berjasa bukan saja
kepadaku, tetapi juga kepada Pajang. Tanpa Kakang Pemanahan, maka persoalan
yang terjadi di Kudus akan berakhir jauh lebih buruk dari yang telah terjadi.
Mungkin aku sudah tidak dapat melihat terbitnya matahari lagi.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Ia semakin tersiksa oleh sikap Sultan Hadiwijaya. Ia lebih
senang jika Sultan Hadwijaya itu bersikap garang. Marah dan membentak-bentak.
Atau bahkan dengan lantang menjatuhkan hukuman atasnya.
Tetapi kini Sultan Hadiwijaya
tetap tersenyum dan dengan ramah bertanya kepadanya, apakah yang akan
dikatakannya.
Sekilas teringat oleh Ki Gede
Pemanahan atas apa yang pernah dilakukan oleh Sultan Pajang pada saat Adipati
Jipang mulai menebarkan kekuasaannya yang ternyata kemudian gagal. Setelah
Sunan Prawata terbunuh, kemudian disusul oleh Sunan Hadiri, terjadilah
peristiwa itu. Dua orang utusan Adipati Jipang berhasil memasuki istana Pajang.
Namun atas kesigapan Panglima Wira Tamtama yang saat itu dipegang oleh Ki Gede
Pemanahan sendiri bersama Ki Penjawi, maka kedua orang itu tertangkap. Ternyata
keduanya mendapat perintah untuk membunuh Sultan Hadiwijaya.
Tetapi kemudian apa yang
terjadi? Sultan Hadiwijaya dengan sengaja memberi hadiah kepada kedua orang itu
dan disuruhnya kembali ke Jipang. Ternyata bahwa hukuman yang sebenarnya
diterima oleh orang-orang itu datang dari Arya Penangsang sendiri yang merasa
terhina karena keduanya telah menerima hadiah dari Sultan Hadiwijaya.
Karena itu, Ki Gede Pemanahan
menjadi semakin bimbang melihat sikap Sultan Hadiwijaya itu.
Namun akhirnya Ki Gede
Pemanahan pun kemudian memaksa dirinya untuk mengatakan keperluannya kepada
Sultan Hadiwijaya apa pun yang akan dihadapinya. Katanya, “Ampun Kanjeng
Sultan. Sebenarnyalah bahwa kedatangan hamba mempunyai suatu kepentingan yang
bersifat sangat pribadi. Jika Kanjeng Sultan berkenan, hamba ingin
menyebutkannya, apakah sebenarnya kepentingan hamba datang ke Pajang saat ini.”
“Tentu, Kakang, tentu. Bukankah
sejak tadi aku sudah mempersilahkan Kakang untuk mengatakan keperluan Kakang?”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas. Kemudian katanya, “Kanjeng Sultan, sebenarnyalah hamba membawa persoalan
yang sangat rumit bagi hamba. Sebelum hamba mengatakannya biarlah hamba
menyerahkan diri, pasrah hidup mati hamba ke hadapan Kanjeng Sultan.”
“Kakang Pemanahan, apakah
sebenarnya yang akan Kakang katakan? Kenapa Kakang pasrah hidup mati Kakang
kepadaku seakan-akan Kakang pernah melakukan kesalahan yang tidak dapat dimaafkan?”
“Ampun Kanjeng Sultan.
Sebenarnyalah demikian. Hamba memang sudah melakukan kesalahan yang tidak dapat
dimaafkan atas kekhilafan hamba mengawasi Danang Sutawijaya, sehingga
Sutawijaya telah melakukan perbuatan yang tercela.”
Sultan Hadiwijaya mengerutkan
keningnya. Ditatapnya Ki Gede Pemanahan sejenak. Lalu dengan nada datar ia
berkata, “Katakan.”
“Ampunkan hamba. Bahwa hal itu
telah terjadi.”
“Hal yang manakah yang kau
maksudkan?”
“Kanjeng Sultan. Adalah di
luar kemampuan hamba untuk mencegahnya bahwa Danang Sutawijaya, putra angkat
terkasih dari Kanjeng Sultan sendiri telah melanggar pagar ayu.”
“Katakan, katakan,” suara
Sultan Hadiwijaya mulai berubah.
“Danang Sutawijaya dengan
diam-diam telah melakukan hubungan dengan salah seorang gadis Kalinyamat, putri
dari Kanjeng Sunan Prawata yang sedianya diperuntukkan bagi Kanjeng Sultan.
Bukankah kedua putri itu hadiah Kanjeng Ratu Kalinyamat kepada siapa pun juga
yang berhasil membinasakan Arya Penangsang, dan bukankah Kanjeng Sultan-lah
yang saat itu menyanggupinya dan sebenarnyalah Arya Penangsang telah terbunuh.
Dengan demikian maka Kanjeng Ratu Kalinyamat tidak akan dapat ingkar dan
menyerahkan kedua gadis itu kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”
Sultan Hadiwijaya memejamkan
matanya. Sejenak ia diam mematung.
Terasa jantung Ki Gede
Pemanahan berdetak semakin keras. Dengan menahan nafas ia menunggu, apakah yang
akan dikatakan oleh Sultan Hadiwijaya tentang Sutawijaya. Menilik sikapnya maka
agaknya Sultan Hadiwijaya sedang menahan gejolak perasaan yang melanda dinding
jantungnya.
Namun demikian Ki Gede
Pemanahan sama sekali tidak dapat meraba, apakah yang akan dikatakan oleh
Sultan Hadiwijaya itu kepadanya, dan apakah yang sebenarnya sedang bergejolak
di dalam hatinya.
Sejenak Sultan Hadiwijaya
masih berdiam diri, sedangkan jantung Ki Gede Pemanahan seakan-akan semakin
berdentangan.
Ki Gede menahan nafasnya
ketika ia kemudian melihat Sultan Hadiwijaya membuka matanya. Tanpa berkedip Ki
Gede memandang wajah Sultan Hadiwijaya sambil menunggu setiap patah kata yang
akan diucapkan.
Namun terasa darah Ki Gede
Pemanahan itu berhenti mengalir ketika justru ia melihat Sultan Hadiwijaya itu
tersenyum. Senyum yang itu juga, seperti senyumnya sebelum Ki Gede meninggalkan
Pajang.
“Ki Gede Pemanahan,” berkata
Sultan Pajang, “aku kagum atas kejujuran dan kesetianmu. Kau datang sendiri
dengan tergesa-gesa, ternyata kau tidak sempat memberitahukan lebih dahulu,
untuk menyampaikan laporan tentang kesalahan yang dilakukan oleh anakmu yang
sudah aku angkat menjadi anakku. Jarang orang yang berbuat seperti itu, yang
dengan dada tengadah menyatakan kesalahan diri.” Kanjeng Sultan berhenti
sejenak, lalu, “Itu adalah ciri watakmu, Kakang. Sejak kita bersama-sama
menegakkan Pajang, kau memang seorang yang pantas dikagumi. Kau adalah seorang
panglima yang berani dan terlebih-lebih lagi adalah seorang panglima yang
jujur. Dan kini sifat itu masih ada padamu. Itulah yang sebenarnya telah
memukau hatiku. Bukan karena aku mendengar pengakuanmu bahwa gadis Kalinyamat
itu sudah berhubungan diam-diam dengan anak angkatku sendiri. Dan bahkan jika
kau belum tahu aku ingin memberitahukan bahwa gadis itu sekarang sudah
mengandung.”
Rasa-rasanya telinga Ki Gede
Pemanahan itu berdesing. Ternyata Sultan Hadiwijaya sudah mengetahui semuanya.
Bahkan mengetahui pula bahwa gadis itu sudah mengandung.
“Ampun Kanjeng Sultan,” Ki
Gede Pemanahan menyembah, “kini aku pasrah diri. Hukuman apakah yang akan
dilimpahkan kepada hamba dan anak hamba Sutawijaya. Yang terjadi adalah cela
yang tidak termaafkan. Apalagi Danang Sutawijaya telah banyak sekali menerima
sih dan kanugrahan dari Kanjeng Sultan sendiri.”
Tetapi Ki Gede Pemanahan
menjadi semakin bingung ketika ia mendengar Sultan Hadiwijaya itu tertawa
perlahan. Dengan sareh ia pun kemudian berkata, “Kakang Pemanahan. Apakah sudah
sepantasnya aku menjatuhkan hukuman atasmu dan Sutawijaya.”
“Tentu Kanjeng Sultan. Jika
anak hamba telah melakukan kesalahan yang demikian besarnya, maka sudah
sepantasnya bahwa hamba pun menerima hukumannya pula.”
Tetapi Sultan Hadiwijaya
tertawa pula, sehingga Ki Gede Pemanahan menjadi semakin bingung.
“Kakang,” berkata Sultan
Hadiwijaya, “Semangkin dan Prihatin, kedua gadis dari Kalinyamat itu memang
telah disediakan bagi orang yang berhasil membunuh Arya Penangsang. Bukankah
yang telah berhasil membunuh Arya Penangsang adalah Kakang Pemanahan dan Kakang
Penjawi seperti yang dikatakan oleh Kakang Juru Mertani? Tetapi sebenarnya aku
pun mengetahui bahwa yang telah membenamkan tombak Kiai Pleret ke lambung Arya Penangsang
adalah Danang Sutawijaya. Karena itu, bukankah sudah sewajarnya jika Sutawijaya
menerima hadiah yang dijanjikan oleh Kanjeng Ratu Kalinyamat itu?”
“O,” Ki Gede Pemanahan justru
menjadi bertambah bingung, sehingga ia hanya dapat menunggu Sultan Hadiwijaya
meneruskan, “Kakang Pemanahan. Karena itu, agaknya sudah tertulis di jalur
jalan kehidupan Semangkin bahwa ia memang akan menjadi sisihan orang yang
berhasil membalaskan dendam ayahandanya dan bibinya, kematian pamandanya Arya
Penangsang.”
“Jadi?” Ki Gede Pemanahan
tergagap.
“Jadi, tidak ada apa-apa,
Kakang Pemanahan. Sutawijaya memang sudah dewasa. Sudah sepantasnya ia
mencintai dan dicintai oleh seorang gadis. Dan gadis itu adalah Semangkin.”
“Ampun, Kanjeng Sultan
Hadiwijaya. Sebenarnyalah hamba menjadi bingung. Hamba sama sekali tidak
mengerti sikap Kanjeng Sultan. Seharusnya paduka menjatuhkan hukuman atas hamba
berdua. Tetapi paduka sama sekali tidak menyebut hukuman apakah yang harus
hamba jalani.”
Sultan Hadiwijaya
menggelengkan kepalanya, katanya, “Tidak sepantasnya aku menjatuhkan hukuman
kepada Sutawijaya. Ia sudah berjalan menurut kodrat manusiawi. Yang dapat aku
berikan hanyalah sekedar pesan, bahwa sebaiknya Sutawijaya tidak melakukannya
terhadap setiap gadis atau perempuan yang dikehendakinya.”
Terasa tubuh Ki Gede Pemanahan
menjadi gemetar. Dan ia mendengar Sultan Hadiwijaya berkata seterusnya, “Dan
permintaanku, hubungan yang sudah menumbuhkan buah di tubuh Semangkin itu
janganlan disia-siakan. Tentu aku akan menganggapnya sebagai menantuku juga.
Namun hendaknya Sutawijaya bertindak sebagai seorang laki-laki di dalam hal
ini. Anak yang bakal lahir adalah anaknya. Belahan jiwanya sendiri. Karena itu,
selanjutnya hubungan antara Sutawijaya dan Semangkin supaya dapat berlangsung
wajar. Aku restui hubungan itu, dan keduanya memang sudah cukup dewasa.”
“Kanjeng Sultan Hadiwijaya,”
sembah Ki Gede Pemanahan, “benarkah yang telah hamba dengar, bahwa paduka sama
sekali tidak menjatuhkan hukuman apa pun kepada hamba, bahkan justru sebaliknya.”
Sultan Hadiwijaya tertawa.
Dipandanginya Ki Gede Pemanahan yang membungkukkan kepalanya sehingga hampir
menyentuh lantai.
“Sudahlah, Kakang Pemanahan.
Jangan menanggapi keputusanku itu dengan berlebihan. Bukankah aku bersikap
wajar pula dan tidak berlebihan. Kau bagiku adalah seorang saudara tua yang
pantas aku hormati. Sutawijaya adalah anakku yang aku kasihi. Apalagi? Apakah
artinya seorang gadis bagiku? Maksudku bukan karena aku menyiapkannya, karena
ia adalah hadiah Kakanda Ratu Kalinyamat. Dan aku harus mengartikan lain dari
hadiah itu, karena keduanya adalah kemanakanku sendiri, meskipun hubungan darah
dari Adinda Permaisuri.”
Ki Gede Pemanahan untuk
beberapa saat justru tidak, dapat berbicara sepatah kata pun.
“Kakang, sebenarnya aku tidak dapat
berpura-pura bersih di dalam hal ini. Apalagi terhadap Kakang Pemanahan yang
mengetahui Karebet ini seutuhnya. Luar dan dalam. Karena itu, aku tidak
bermaksud mengatakan bahwa aku bersih dari nafsu. Bahkan mungkin Kakang
Pemanahan menganggap aku sebagai seorang tua yang tidak tahu diri. Dan aku pun
tidak ingkar, bahwa kelemahanku adalah pada seorang perempuan. Tetapi tentu
tidak untuk menjatuhkan hukuman kepada Sutawijaya karena ia mencintai seorang
gadis. Tentu tidak. Karena hal itu adalah wajar sekali. Dan betapa ganasnya
seekor harimau, tetapi ia tidak akan menelan anaknya sendiri.”
Ki Gede Pemanahan tiba-tiba
saja bergeser maju. Didekapnya kaki Sultan Hadiwijaya sambil berkata, “Kanjeng
Sultan adalah seorang yang berhati selapang lautan.”
Sambil menepuk bahu Ki Gede
Pemanahan, Sultan Hadiwijaya berkata, “Sekali lagi Kakang, jangan menanggapi
sikapku berlebihan.”
Ki Gede Pemanahan mundur
setapak. Sambil menyembah ia berkata, “Hamba mengucapkan terima kasih yang
sebesarnya. Hamba tidak tahu, bagaimana hamba akan membalas kebaikan budi
Kanjeng Sultan.”
“Tidak ada yang harus dibalas.
Jika kita berbicara tentang hutang budi, maka hutangku kepada Kakang Pemanahan
jauh lebih banyak dari yang pernah aku berikan. Karena itu, sudahlah. Kita
lupakan apa yang sudah terjadi. Tetapi jangan dilupakan pesanku kepada
Sutawijaya.”
“Semua pesan Paduka akan hamba
sampaikan.”
“Terima kasih, Kakang. Dan
pesanku yang lain, aku sudah rindu kepadanya. Aku mengharap ia datang ke
Pajang.”
Terasa sesuatu berdesir di
dada Ki Gede Pemanahan. Anaknya adalah anak muda yang keras hati. Dan ia telah
mengajarinya untuk berbuat seperti yang dilakukannya sekarang.
Kembali dada Ki Gede Pemanahan
telah ditusuk oleh penyesalan yang tajam. Namun semuanya itu telah terjadi, dan
ia tidak akan dapat menghapus ketergesa-gesaan yang pernah dilakukannya itu.
“Nah, Kakang,” berkata Sultan
Pajang kemudian, “apakah masih ada persoalan lain yang akan Kakang katakan?”
“Tidak, Kanjeng Sultan. Hamba
datang untuk menyampaikan penyesalan dan pasrah diri. Tetapi Paduka telah
melimpahkan keluhuran budi yang tiada taranya. Karena itu hamba hanya dapat
mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jika demikian, baiklah
Kakang. Aku kira aku sudah cukup lama menerima Kakang. Sekarang Kakang dapat
beristirahat. Pada saatnya, Kakang Pemanahan akan pulang ke Mataram, aku hanya
dapat mengucapkan selamat jalan.”
“Terima kasih,” sembah Ki Gede
Pemanahan, “hamba mohon diri, Paduka.”
Demikianlah maka Ki Gede
Pemanahan mengundurkan diri dengan hati yang bergejolak dengan dahsyat.
Gambaran yang pernah bermain di angan-angannya sama sekali tidak terjadi. Ia
menyangka bahwa ia akan digantung di alun-alun, atau dihukum picis di simpang
empat karena selain kesalahan Sutawijaya, tentu Sultan sebenarnya menjadi
sangat marah pada saat ia meninggalkan Pajang tanpa pamit dan dengan demikian
memaksa Sultan Pajang untuk menyerahkan Alas Mentaok yang sudah dijanjikannya.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Atas desakan beberapa orang
sahabatnya, maka Ki Gede Pemanahan masih diminta untuk tinggal semalam lagi di
Pajang. Beberapa orang di antara mereka masih ingin berbicara dan bercerita
tentang banyak hal yang menyangkut Alas Mentaok.
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede
Pemanahan kurang berhati-hati menghadapi para pemimpin dan Senapati Pajang yang
nampaknya sangat ramah dan baik hati. Berbeda dengan Sultan Hadiwijaya yang
dengan jujur menanggapi sikap Ki Gede Pemanahan yang jujur itu pula, maka
beberapa orang pemimpin dan senapati di Pajang ingin memancing keterangan dari
Ki Gede Pemanahan.
Bahkan ketika salah seorang
dari mereka dengan terus terang bertanya tentang hubungan antara Sutawijaya
dengan gadis Kalinyamat itu, maka Ki Gede Pemanahan pun mengatakan bahwa hal
itu sudah diserahkan kepada Sultan Pajang
“Apakah keputusan Sultan?”
bertanya seorang perwira yang sudah setengah umur.
Ki Gede Pemanahan ragu-ragu.
Namun akhirnya ia berkata, “Kami menunggu perintah Kanjeng Sultan kapan saja
perintah itu datang.”
“Apakah Kanjeng Sultan menjadi
marah?”
“Aku tidak dapat membedakan,
apakah Sultan sedang marah atau justru sedang berkenan di hati,” jawab Ki Gede
Pemanahan, “dan hal seperti itu selalu aku alami sejak aku masih menjadi
Panglima Tamtama di Pajang.”
Perwira itu menarik nafas
dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa Ki Gede Pemanahan pernah menjabat sebagai
panglima di Pajang.
Selain persoalan Sutawijaya,
masih banyak lagi yang mereka perbincangkan. Kadang-kadang Ki Gede Pemanahan
menganggap bahwa tidak sepantasnya ia berprasangka terhadap para perwira di
Pajang. Mereka adalah orang-orang yang baik dan ramah.
“Selama ini, kami terlampau
berprasangka,” berkata Ki Gede di dalam hatinya, “terhadap Sultan dan para
perwiranya. Ternyata mereka adalah orang yang baik dan bukan pendendam.
Untunglah setiap usaha untuk melibatkan Pajang di dalam pertentangan dengan
Mataram selalu gagal.”
Dan terbayang di angan-angan
Ki Gede wajah seorang senapati yang bernama Daksina. Lalu katanya di dalam
hati, “Tetapi terbukti ada juga senapati yang telah berusaha merusak sama
sekali rencana kami untuk membuka Tanah Mataram.”
Meskipun demikian Ki Gede
Pemanahan telah tenggelam ke dalam sikap yang baik dan ramah dari para perwira
sehingga ia menjadi agak lengah dan kadang-kadang memberikan keterangan tentang
Mataram agak terlampau banyak.
Memang ada di antara para
perwira yang benar-benar dengan jujur mengagumi perkembangan yang telah dicapai
oleh Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya. Namun ada pula di antara mereka yang
dengan saksama mencari kelemahan-kelemahan yang ada pada Ki Gede.
Namun kemudian ketika pembicaraan
telah hilir-mudik tidak menentu salah seorang senapati bertanya, “Kapan Ki Gede
akan kembali ke Mataram?”
“Sebenarnya segera. Tetapi
baiklah besok saja aku kembali ke Mataram. Besok pagi-pagi jika matahari terbit
di Timur.”
Senapati itu hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya saja tanpa menanggapinya.
Malam itu Ki Gede Pemanahan
tidur di tempat seseorang yang baik sekali kepadanya. Seorang sahabat sejak Ki
Gede masih berada di Pajang.
“Kau harus berhati-hati Ki
Gede,” berkata orang itu, “di Pajang banyak orang yang tidak senang melihat
perkembangan Mataram.”
“Kenapa?”
“Iri hati dan dengki.”
“Ah, ternyata mereka sangat
baik dan sama sekali tidak perlu berprasangka. Aku telah berbicara dengan
mereka sehari-harian.”
Tetapi orang itu menggeleng.
Katanya, “Kau hanya melihat kulit luarnya saja. Dalamilah apa yang mereka
katakan dan renungilah setiap pertanyaannya.”
Ki Gede tidak menyahut. Namun
baginya sama sekali tidak ada alasan untuk mencurigai siapa pun.
“Kau terlampau bersih,
sehingga kau pun menganggap orang lain tidak bercela.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba menilai kembali isi pembicaraannya
dan sikap para perwira Pajang kepadanya. Tetapi bagi Ki Gede Pemanahan tidak
ada persoalan yang dapat menumbuhkan kecurigaan apa pun.
Meskipun demikian Ki Gede
Pemanahan tidak dapat mengabaikan sama sekali pendapat sahabatnya itu, karena
Ki Gede Pemanahan pun menyadari bahwa sahabatnya itu tentu bermaksud baik dan
tidak sekedar mengada-ada.
Demikianlah ketika fajar di
pagi berikutnya mulai memerah di langit, Ki Gede Pemanahan dan kedua
pengawalnya pun mulai berkemas. Mereka ingin berangkat pagi-pagi benar selagi
matahari belum mulai membakar kulit.
“Berhati-hatilah, Ki Gede
Mataram,” pesan sahabatnya sambil menepuk bahu Ki Gede, “Mataram benar-benar
suatu Tanah Harapan bagi rakyat Pajang. Bukan saja karena di Mataram akan dapat
tumbuh persoalan-persoalan baru dan usaha-usaha baru, melainkan juga karena
Mataram menyebarkan cita-cita baru bagi hari depan kita semuanya.”
“Ah, kau terlampau memuji,”
sahut Ki Gede Pemanahan, “tetapi, yang tampak, Mataram adalah tanah garapan
baru bagi para petani. Itu saja. Di atas tanah yang baru dibuka itu para petani
akan dapat mengembangkan usahanya dan beberapa percobaan yang baru di bidangnya.”
Sahabat Ki Gede Pemanahan
tersenyum. Namun ketika ia melepas Ki Gede dan kedua orang pengawalnya, sekali
lagi ia berkata, “Hati-hatilah, Ki Gede. Kau adalah seorang panglima yang
berani di peperangan. Dan sekarang kau masih menunjukkan keberanian itu. Kau
bertiga akan menyeberangi jarak yang cukup panjang antara Pajang dan Mataram.
Namun selain panjang jarak, itu pun menyimpan berbagai bahaya bagimu.”
“Aku tidak akan berbuat buruk.
Tentu perjalananku pun akan lancar dan tidak ada gangguan apa pun di perjalanan.”
“Mudah-mudahan.”
Ki Gede Pemanahan tersenyum.
Ia pun kemudian minta diri dan dengan lajunya bersama kedua pengawalnya Ki Gede
meninggalkan gerbang kota Pajang.
Namun dalam pada itu, di luar
pengetahuan Ki Gede Pemanahan beberapa pasang mata mengawasinya dari kejauhan.
Demikian Ki Gede Pemanahan meninggalkan gerbang, maka mereka pun menarik nafas
dalam-dalam. Salah seorang dari mereka berkata, “Kita tentu akan berhasil.
Selama ini usaha kita bersama Panembahan Agung selalu gagal. Seakan-akan Mataram
benar-benar telah dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Sutawijaya selalu luput dari
maut. Tetapi kini kita justru mulai dari Ki Gede Pemanahan sendiri.”
“Ya. Ia pasti tidak akan
pernah sampai ke daerah yang dibukanya.”
Orang-orang itu saling
berpandangan sejenak. Di bibir mereka nampak membayang senyum yang penuh arti.
Seakan-akan mereka pasti, bahwa Ki Gede Pemanahan memang tidak akan dapat
sampai ke Mataram kembali.
“Orang-orang itu tentu akan
dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik. Meskipun Ki Gede Pemanahan dapat
menangkap angin sekalipun, ia tidak akan dapat melawan ke empat bersaudara
itu,” berkata yang lain lagi.
Orang yang tertua di antara
mereka berkata sambil melangkah, “Marilah kita kembali. Pemanahan bukan orang
yang bernyawa rangkap. Pada saatnya ia akan kehilangan nyawanya itu.”
Yang lain mengangguk-anggukkan
kepalanya.
“Mungkin saat itu sekarang
sudah datang,” orang itu melanjutkan, “dan aku yakin bahwa Pemanahan akan mati.
Keempat bersaudara itu memang memiliki kemampuan yang dapat dibanggakan. Aku
sudah mencoba kemampuan mereka. Dan aku tahu pasti, bahwa Pemanahan tidak dapat
melawan mereka karena aku sendiri pun agaknya tidak. Dan kemampuan Pemanahan
tidak akan lebih tinggi dari kemampuanku. Bagiku sebenarnya Pemanahan bukan orang
yang menakutkan. Tetapi kedudukankulah yang tidak memungkinkan aku bertindak
sendiri. Usahaku untuk bekerja bersama Panembahan Agung pun ternyata gagal
karena Panembahan Agung justru terbunuh. Dan bagiku Panembahan Agung pun bukan
orang yang ajaib. Ia hanya dapat membuat mainan kanak-kanak yang kebingungan.
Selebihnya, ia adalah seorang cengeng yang manja.”
Kawan-kawannya hanya
mengangguk-anggukkan kepalanya saja.
“Karena itu aku bersedia
bekerja bersamanya. Aku tahu bahwa kelak ia akan menyingkirkan kita jika kerja
ini sudah selesai. Tetapi kita pun akan berbuat serupa seandainya ia tidak mati
di peperangan. Aku tidak gentar menghadapinya meskipun aku tahu bahwa ia
memiliki aji Pangangen-angen yang kadang-kadang membingungkan bagi anak-anak.”
“Nah, kita akan kembali. Besok
kita akan mendengar kabar bahwa Ki Gede Pemanahan terbunuh oleh sekelompok
penyamun. Empat orang bersaudara dari lereng Gunung Lawu itu akan membawa
beberapa orang kawan karena mereka harus melakukan kerja ini sampai selesai.
Mungkin kedua orang pengawal Pemanahan itu memiliki kelebihan pula dari
kebanyakan orang.”
Yang lain masih saja
mengangguk-angguk. Tetapi dari wajah mereka memancar harapan, bahwa Ki Gede
Pemanahan akan terbunuh di perjalanan. Selanjutnya, mereka harus berhasil
menyingkirkan Sutawijaya. Mereka tidak mempunyai harapan lagi untuk dapat
memanfaatkan kedua orang itu. Seandainya Ki Gede Pemanahan dan Sutawijaya yang
keras hati itu dapat mereka tangkap hidup-hidup, maka dengan ancaman apa pun
juga mereka tidak akan bersedia bekerja bersama sehingga akhirnya keduanya
tidak lagi diperlukan.
Dalam pada itu, Ki Gede
Pemanahan sendiri, yang sedang berpacu kembali ke Mataram, hampir tidak pernah
berbicara sama sekali. Angan-angannya sedang dipenuhi oleh kegelisahan yang pepat.
Sikap Sultan Hadiwijaya benar-benar telah menyiksanya justru karena semua
kesalahan yang telah dilakukan oleh Sutawijaya itu sama sekali tidak mendapat
hukuman apa pun juga,
“Kebaikan hatinya benar-benar
membuat aku semakin merasa bersalah,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam
hatinya. “Dan sikap Sutawijaya yang keras membuat aku semakin menyesali
kesalahan yang pernah aku lakukan.”
Terasa sesuatu bergejolak di
dada Ki Gede Pemanahan. Ia menjadi sangat perihatin akan kekerasan hati
Sutawijaya yang benar-benar tidak mau datang menghadap ke Pajang.
“Aku adalah sumber kesalahan
ini. Aku tidak dapat mengajari anakku mengenal kebaikan budi Sultan Pajang. Dan
aku tidak dapat mengajari anakku berbuat sebagai seorang ksatria yang berwatak,
karena ia sudah melakukan perbuatan tercela. Siapa pun gadis itu, namun
perbuatan itu bukannya perbuatan yang terpuji,” keluh Ki Gede Pemanahan di
dalam hatinya. Lalu, “Apalagi ia adalah gadis yang sebenarnya akan
diperuntukkan bagi Sultan Hadiwijaya sendiri.”
Namun sebuah kejanggalan telah
melonjak pula di hatinya. Kedua gadis itu masih terlalu muda. Sedang Sultan
Hadiwijaya sudah melalui masa-masa pertengahan umur seseorang.
Sehingga karena itu, sepercik
kekecewaan telah membersit di hatinya. Tetapi Ki Gede Pemanahan cepat-cepat
menyingkirkannya. Katanya di dalam hatinya, “Ia adalah seorang raja. Apa pun
yang dikehendaki akan terjadi.”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Di hatinya telah bergejolak perasaan yang bercampur baur.
Namun bagaimana pun juga, sikap Sultan Hadiwijaya telah membuatnya merasa
terlalu kecil.
Ketiga ekor kuda yang
meninggalkan Pajang itu berderap semakin cepat. Penunggangnya sama sekali tidak
menghiraukan lagi keadaan di sekelilingnya. Apalagi Ki Gede Pemanahan. Meskipun
ia menatap lurus-lurus ke depan, namun agaknya tidak satu pun yang dilihatnya.
Ia sama sekali pasrah pada derap kaki kudanya. Hanya sekali-sekali ia terkejut
dan memberikan arah dengan menggerakkan kendali.
Dalam pada itu, sekelompok
orang-orang yang garang telah menunggu dengan tegang. Mereka adalah empat
bersaudara dari lereng Gunung Lawu. Mereka adalah orang-orang yang memiliki
kemampuan yang tinggi. Apalagi apabila mereka berempat berada di dalam satu
pasangan. Apalagi mereka telah membawa beberapa orang kawan yang terpilih.
Mereka menyadari bahwa orang yang kali ini harus diselesaikan adalah Ki Gede
Pemanahan. Seorang yang pilih tanding.
Keempat saudara dari lereng
Gunung Lawu itu tahu benar, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah bekas Panglima Wira
Tamtama di Pajang. Dan mereka pun tahu benar, bahwa Ki Gede Pemanahan adalah
seorang putra dari Sela, dari daerah yang terkenal keturunan seseorang yang
menurut berita mampu menangkap petir.
“Kali ini kita harus
benar-benar mempersiapkan diri,” berkata orang tertua dari keempat saudara dari
lereng Gunung Lawu.
“Ya, Kakang Dandun,” jawab
adiknya yang kedua, “kita semua sudah mengetahui siapakah yang kali ini kita
hadapi. Karena itu, kita tidak boleh lengah.”
“Ki Gede Pemanahan dengan dua
orang pengawal,” sahut yang lain, “betapa pun tinggi ilmu mereka, tetapi mereka
tidak akan dapat berbuat banyak. Mungkin aku seorang diri dapat dikalahkan oleh
Ki Gede Pemanahan. Tetapi ukurannya adalah paling banyak dua dari kita.
Selebihnya adalah tenaga cadangan yang meyakinkan.”
“Ditambah dengan orang-orang
kita,” berkata yang lain lagi sambil memandang beberapa orang yang bertebaran
duduk di atas rerumputan.
“Kita masih mempunyai waktu,”
berkata Dandun, “tetapi baiklah dua orang di antara orang-orang yang malas itu
mengamat-amati jalan. Jika Ki Gede Pemanahan sudah tampak, kita harus
benar-benar bersiap.”
Demikianlah dua orang di
antara mereka harus berada di ujung bulak untuk mengawasi jalan. Jika mereka
melihat tiga ekor kuda berpacu menuju ke arah merek, dari Pajang maka ketiganya
adalah Ki Gede Pemanahan dengan dua orang pengawalnya.
“Kita sudah memilih tempat
yang paling tepat. Jika kita berhasil, kita ceburkan saja mayat mereka ke Kali
Opak.”
“Ya. Dan kita akan menerima
upah kita dan kelak, jika orang-orang tamak itu berhasil, kita akan mendapat
kedudukan yang baik pula.”
Dandun menarik nafas
dalam-dalam. Ia pun kemudian berbaring di atas rerumputan di bawah sebatang
pohon yang rimbun.
“Jalan ini jarang dilalui
orang,” desisnya. Lalu, “Karena itu kita tidak usah takut diketahui orang.
Seandainya ada orang lewat pun, mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa. Jika
mereka mencoba mencampurinya, kita akan menyelesaikannya sama sekali.”
Adik-adiknya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Jalan itu nampaknya memang sepi. Meskipun
demikian ada juga beberapa orang yang lewat di dalam kelompok-kelompok kecil.
Sudah sejak beberapa lama jalan itu menjadi tenang dan tidak ada lagi
gangguan-gangguan yang berarti. Apalagi sejak jalan ke sebelah barat
seakan-akan terbuka sama sekali, maka jalan itu rasa-rasanya menjadi
benar-benar telah aman meskipun masih belum banyak orang yang melaluinya,
karena mereka masih dibayangi oleh kenangan masa yang mendebarkan karena
orang-orang yang menyamun di sepanjang jalan itu dan dengan sengaja
menakut-nakuti orang-orang yang lewat, terutama yang menuju ke barat.
Semakin tinggi matahari
merayap di langit, rasa-rasanya mereka menjadi semakin gelisah. Kadang-kadang
mereka tidak telaten lagi menunggu.
“Mungkin Ki Gede Pemanahan
belum akan lewat hari ini,” berkata salah seorang dari keempat orang dari
Lereng Gunung Lawu itu.
“Orang-orang Pajang sudah
memberi tanda. Mereka tahu pasti bahwa hari ini Ki Gede Pemanahan akan kembali
ke Mataram. Tetapi mungkin ia tidak berangkat pagi-pagi benar,” jawab Dandun.
Adiknya tidak menyahut lagi.
Seperti kakaknya, ia pun kemudian berbaring di bawah pohon yang rindang pula.
Dalam pada itu, beberapa
kelompok orang yang lewat menjadi heran melihat beberapa, orang duduk-duduk di
pinggir jalan menuju ke daerah Mataram. Tetapi mereka tidak bertanya sesuatu
karena orang-orang itu sama sekali tidak mengganggu mereka. Bahkan mereka
kemudian beranggapan bahwa mereka adalah sekelompok orang lewat yang sedang
beristirahat seperti mereka.
Sementara itu, Ki Gede
Pemanahan tidak lagi berpacu dengan tergesa-gesa. Semakin lama dibiarkannya
kudanya berlari semakin lambat, sementara itu angan-angannya masih saja
dibayangi oleh sikap Sultan Hadiwijaya. Betapa hatinya merasa terbanting di
atas batu pualam yang keras oleh sikap yang sangat baik dari Sultan Hadiwijaya
itu.
Namun dalam pada itu, Ki Gede
sama sekali tidak menyangka bahwa beberapa orang telah diupah untuk mencegatnya
di perjalanan. Ia tidak menyangka bahwa orang-orang Pajang benar-benar telah
menginginkan kematiannya. Apalagi mereka yang mendengar bahwa sikap Sultan
terlampau baik kepadanya.
Ternyata orang-orang Pajang
itu sudah mengambil sikap pasti, membunuh Ki Gede Pemanahan.
Karena ia tidak menyangka sama
sekali, maka ia tidak mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan itu. Ki Gede
Pemanahan tidak membawa senjata lain kecuali keris di punggungnya. Ki Gede
menganggap bahwa jalan dari Pajang ke Mataram kini seakan-akan sudah terbuka
luas dan tidak ada gangguan lagi. Jika ada penyamun-penyamun kecil, maka
penyamun-penyamun itu tentu tidak akan dapat berbuat apa-apa menghadapi Ki Gede
Pemanahan beserta kedua pengawalnya itu.
Dengan demikian maka
perjalanan Ki Gede Pemanahan itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan Kali
Opak di Prambanan. Dan dengan demikian perjalanannya menjadi semakin lama
semakin dekat dengan bahaya yang sebenarnya bagi keselamatannya.
Sekali-sekali Ki Gede
Pemanahan masih harus menyusup hutan yang meskipun tidak lebat, tetapi cukup
menghambat perjalanannya. Bahkan kadang-kadang kudanya sama sekali tidak dapat
berlari. Ki Gede Pemanahan harus menyusup di bawah sulur pohon kayu yang rimbun
atau meloncati batang pepohonan yang melintang di jalan. Namun pada dasarnya
kudanya dapat maju terus meskipun perlahan-lahan.
Ki Gede Pemanahan tertegun
sejenak ketika ia kemudian sampai ke tlatah Sangkal Putung. Masih juga
tersangkut sebuah kenangan pada saat ia masih menjadi seorang panglima. Ia
pernah datang ke Sangkal Putung khusus untuk menerima penyerahan sisa-sisa dari
laskar Jipang, namun yang karena kekhilafan senapati muda di daerah ini, hampir
saja ia terbunuh oleh Ki Tambak Wedi yang mencegatnya di perjalanan justru
setelah mendekati Sangkal Putung. Untunglah Untara cukup cekatan, sehingga
akhirnya ia selamat. Meskipun Ki Gede Pemanahan sendiri adalah lawan yang
seimbang dengan Ki Tambak Wedi, namun saat itu Ki Tambak Wedi berhasil
mengerahkan anak buahnya lebih banyak dari anak buahnya sendiri.
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Kini Sangkal Putung menjadi daerah yang semakin subur. Tidak
ada lagi gangguan yang berarti sepeninggal sisa-sisa pasukan Jipang. Dengan
demikian maka orang-orang Sangkal Putung dapat memusatkan kerjanya di sawah dan
ladang. Jika matahari memanjat ujung pepohonan, terdengar hampir di setiap
padesan suara pande besi menempa alat-alat pertanian. Lembu yang melenguh dan
perempuan-perempuan menumbuk padi. Kadang-kadang di seling oleh suara anak-anak
melengking minta air susu ibunya. Sedang di tepian, gembala meniup serulingnya
menyusup suara desau angin ladang yang lembut.
“Daerah yang semakin segar,”
desis Ki Gede Pemanahan.
“Apa, Ki Gede?” bertanya
seorang pengawalnya.
“Sangkal Putung ini,” jawab Ki
Gede, “sekarang menjadi daerah yang hijau segar. Nampaknya tidak ada lagi
kekacauan yang sering terjadi seperti pada saat pasukan Jipang yang sudah
terpecah belah berada di daerah ini. Pengaruh orang-orang yang dengan sengaja
menutup daerah Mataram pun agaknya tidak begitu terasa di daerah Sangkal Putung
ini.”
“Ya, Ki Gede,” sahut
pengawalnya, “daerah ini merupakan daerah yang sudah teratur. Tetapi agaknya
daerah ini tidak berkembang pesat di bidang pemerintahan.”
“Maksudmu?” bertanya Ki Gede
Pemanahan. “Daerah ini adalah daerah Kademangan yang luas. Dengan demikian
daerah ini sudah mempunyai bentuknya yang pasti, seperti Menoreh yang telah mendapat
pelimpahan kekuasaan sebagai sebuah Tanah Perdikan. Meskipun berbeda bentuk
wewenang dan kewajibannya, namun kedua-duanya sudah mempunyai bentuk yang
pasti. Jadi bagaimana maksudmu dengan perkembangan pemerintahan?”
“Maksudku, bahwa bentuk kademangan
itu tidak meningkat lagi menjadi bentuk yang lebih mantap.”
Ki Gede Pemanahan
menggelengkan kepalanya, “Tidak. Kademangan adalah bentuk yang sudah mantap.
Untuk menjadi Tanah Perdikan diperlukan syarat-syarat tertentu. Ki Argapati,
Kepala Tanah Perdikan di Menoreh mempunyai jasa yang besar sehingga daerahnya
pantas diangkat menjadi daerah Tanah Perdikan.”
“Bukankah Sangkal Putung
merupakan benteng yang kuat menghadapi Tohpati saat kekuatan Jipang masih
terkumpul di bawah pimpinan Macan Kepatihan itu?”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia berkata, “Memang dapat
dipertimbangkan. Tetapi daerah ini belum tentu mendapatkan kedudukan yang lebih
mantap sebagai Tanah Perdikan, karena Sangkal Putung tidak seluas Tanah
Perdikan Menoreh.”
Pengawal Ki Gede itu pun
kemudian terdiam. Namun ia mulai membayangkan, bentuk apakah kira-kira yang
akan didapat oleh Tanah Mataram nanti jika Tanah itu sudah menjadi ramai.
Apakah sekedar sebuah Kademangan atau Tanah Perdikan? Ki Gede Pemanahan pernah menjabat
sebagai seorang Panglima yang diakui memiliki kelebihan dari senapati yang
lain. Apakah pada saat ia berhasil membuka Alas Mentaok, ia hanya akan
mendapatkan kedudukan sebagai seorang Demang? Dan untuk waktu yang jauh sekali,
sejauh yang pernah dialami Sangkal Putung, Mataram hanya tetap sebuah
Kademangan?
Meskipun hal itu tidak
dikatakan, tetapi rasa-rasanya Ki Gede Pemanahan dapat mengerti. Maka katanya,
“Bagi Mataram, bentuk tidak penting. Wewenang dan kekuasaan pun akan menyusul
dengan sendirinya apabila Mataram berhasil menyusun dirinya. Sultan Hadiwijaya
adalah orang yang baik. Dan aku harus bersujud di hadapannya karena kebaikan
hatinya.”
Kedua pengwalnya tidak
menyahut. Mereka mengerti bahwa Ki Gede sedang dihimpit oleh perasaan yang
aneh. Sesudah ia merasa bersalah, khawatir, cemas, dan bayangan yang kelam
bahwa ia akan mendapatkan hukuman karena Sutawijaya telah melakukan pelanggaran
yang berat, namun tiba-tiba yang terjadi bukan apa-apa. Sultan Hadiwijaya tidak
menghukumnya, tidak marah dan bahkan merestui hubungan antara Raden Sutawijaya
dengan gadis Kalinyamat itu.
Ternyata Ki Gede Pemanahan
telah terlempar kembali ke dalam kediamannya. Matanya kembali menatap ke
kejauhan.
Sementara itu, orang-orang
Sangkal Putung yang sedang bekerja di sawah sama sekali tidak menghiraukannya.
Mereka memang sering melihat beberapa orang berkuda lewat. Tetapi kali ini yang
lewat adalah Ki Gede Pemanahan. Namun orang-orang Sangkal Putung tidak
menyangkanya, karena Ki Gede Pemanahan sama sekali tidak mengenakan tanda-tanda
kebesarannya. Ia mengenakan pakaian seorang petani. Dan sebagai orang
kebanyakan maka ia sama sekali tidak menimbulkan kesan apa pun bagi mereka yang
melihatnya, bahkan berpapasan sekalipun.
Demikianlah maka Ki Gede
Pemanahan menjadi semakin dekat dengan Kali Opak. Setelah Sangkal Putung
ditinggalkannya, maka untuk beberapa saat lamanya Ki Gede menyusuri hutan yang
tidak begitu lebat. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sudah terlampau sering
dilalui, sehingga seakan-akan hutan itu adalah hutan tamasya saja.
Binatang-binatang yang masih ada justru menjauhi jalan yang membelah
tengah-tengah hutan itu.
Tetapi hutan itu ternyata
tidak begitu luas, sehingga beberapa saat kemudian Ki Gede telah berada di
bulak persawahan lagi. Namun dengan demikian terasa panas matahari seakan-akan
menyengat kulit punggung meskipun dilambari oleh selembar baju yang tebal.
Matahari yang melayang di
langit yang biru bersih. Seperti Sangkal Putung, maka Prambanan pun memiliki
tanah yang subur. Bendungan yang menyekat kali, kemudian mengangkat air naik ke
tanah persawahan di sebelah timur Kali Opak.
Dari kejauhan Ki Gede
Pemanahan memandang ujung candi yang bagaikan bercahaya ditimpa teriknya
matahari.
“Candi yang manis,” berkata Ki
Gede di dalam hatinya, “candi yang bagi rakyat di sekitarnya merupakan lambang
keagungan cinta yang dapat melahirkan sebuah karya yang mengagumkan.”
Dengan tatapan mata yang
memancarkan kekaguman Ki Gede memandang candi yang semakin lama menjadi semakin
dekat. Candi yang terletak tidak terlampau jauh dari Kali Opak. Namun Ki Gede
Pemanahan tidak menyangka sama sekali, bahwa sebentar lagi, jika ia lewat di
depan candi itu dan menuruni tebing yang landai dari sebuah sungai yang lebar,
ia akan berhadapan dengan bahaya yang akan memungut nyawanya.
Namun tiba-tiba saja Ki Gede
terkejut ketika kudanya tiba-tiba saja menjadi sendat. Bahkan kemudian
seakan-akan tidak mau maju lagi. Beberapa kali kudanya melingkar-lingkar
bahkan, kemudian meringkik.
Kedua pengawalnya pun menjadi
heran. Kuda itu adalah kuda yang sangat baik. Kuda tunggangan Ki Gede Pemanahan
sejak ia berada di Pajang.
“Kenapa dengan kuda ini?”
bertanya Ki Gede Pemanahan sambil menepuk leher kudanya supaya kuda itu menjadi
tenang.
Kedua pengawalnya pun kemudian
berhenti beberapa langkah daripadanya sambil memperhatikan kuda yang menjadi
gelisah itu.
“Aneh,” desis yang seorang.
“Tentu firasatnya mengatakan
sesuatu,” sahut yang lain.
Ki Gede Pemanahan sendiri
masih menepuk beberapa kali leher kudanya sambil bedesis perlahan-lahan.
Kemudian diusapnya dahi kuda itu dengan lembut sehingga akhirnya kudanya
menjadi tenang. Tetapi rasa-rasanya kuda itu tidak mau lagi melangkah maju.
“Aku jadi heran,” berkata Ki
Gede Pemanahan, “sebentar lagi kita akan menyeberang sungai Opak. Kenapa kuda
ini tidak mau berjalan lagi? Apakah Kali Opak sedang banjir?”
“Aku kira tidak, Ki Gede.
Langit cerah. Demikian juga di sebelah utara. Agaknya di kaki Gunung Merapi itu
pun tidak turun hujan.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, “Ya. Tentu bukan karena telinganya
sudah mendengar deru air banjir. Tetapi kenapa?”
“Mungkin sekedar sentuhan
kecil. Karena itu biarlah kuda itu menjadi tenang sesaat.”
Ki Gede mengangguk. Ia pun
kemudian turun dari kudanya dan membiarkan kudanya merenungi jalan yang akan
dilaluinya. Sekali-sekali kuda itu menengadahkan kepalanya dan penciumannya
seakan-akan menyentuh sesuatu yang membuatnya gelisah.
“Jika ada binatang buas, tentu
kuda-kuda yang mana pun menjadi gelisah pula,” berkata seorang pengawalnya.
“Memang mungkin seekor
binatang buas yang sedang minum di Kali Opak,” jawab yang lain.
Ki Gede menganggukkan
kepalanya. Katanya, “Mungkin sekali. Sebentar lagi binatang buas itu akan
pergi.”
Kedua pengawal Ki Gede yang
sudah turun pula, mengikat kuda masing-masing pada sebarang pohon perdu.
Keduanya pun kemudian ikut mengusap kuda Ki Gede Pemanahan yang gelisah.
Seakan-akan keduanya ingin meyakinkan kepada kuda itu, bahwa tidak ada apa-apa
di perjalanan. Seandainya ada binatang buas pun kuda itu tidak perlu cemas.
Agaknya kuda itu pun mengerti.
Perlahan-lahan kuda itu menjadi tenang, sehingga dengan demikian maka Ki Gede
Pemanahan pun siap melanjutkan perjalanannya.
“Kau dapat minum sampai
kenyang nanti di Kali Opak,” berkata pengawal Ki Gede sambil mengusap leher
kuda yang gelisah itu.
Sejenak kemudian kuda itu
melanjutkan perjalanannya meskipun nampaknya masih ada keragu-raguan. Apalagi
ketika mereka muncul di sebuah bulak di sebelah Timur Kali Opak.
“Apakah kau takut melihat
candi yang menjulang sampai ke langit itu,” desis Ki Gede Pemanahan seolah-olah
berbisik di telinga kudanya.
Tetapi rasa-rasanya kuda itu
masih tetap gelisah meskipun perlahan-lahan ia maju terus. Sedang Ki Gede
Pemanahan pun tidak mau memaksa kudanya lari lebih cepat.
Dalam pada itu kedua pengawal
Ki Gede Pemanahan pun rasa-rasanya menjadi gelisah pula. Seekor kuda adalah
binatang yang memiliki firasat yang tajam. Karena itu, tanpa sesadarnya
keduanya telah menggeser keris di punggungnya, dan meraba hulu pedangnya.
Sekilas mereka memandang Ki Gede yang ada di depannya. Ternyata Ki Gede
Pemanahan tidak membawa senjata lain kecuali keris di punggungnya.
Namun demikian mereka berjalan
terus. Hanya kadang-kadang mereka harus berhenti sejenak, jika kuda Ki Gede
Mataram nampaknya menjadi semakin gelisah. Jika kuda itu menjadi agak tenang,
maka mereka pun melanjutkan perjalanannya pula.
Tetapi ternyata bahwa
kuda-kuda yang lain pun mulai menjadi gelisah pula, sehingga meskipun kedua
pengawal Ki Gede itu tidak mengatakan sesuatu, namun mereka hampir memastikan
di dalam hati, bahwa sesuatu akan terjadi.
Sebenarnyalah bahwa saat
ketiga orang itu mendekati Kali Opak, maka orang-orang yang harus mengawasinya
telah lebih dahulu melihat tiga orang berkuda mendekat. Karena itu maka mereka
pun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya yang menunggu di tepi sungai.
“Mereka sudah datang,” desis
Dandun.
Ketiga adiknya pun segera
bersiap. Mereka sadar sepenuhnya bahwa melawan Ki Gede Pemanahan, adalah suatu
perjuangan yang berat. Tetapi mereka berempat di dalam satu kelompok
perkelahian merupakan suatu kekuatan yang tidak ada taranya.
Dandun pun kemudian
memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap pula. Katanya, “Biarlah dua orang
kita berada di belakang ketiga orang itu. Mereka harus dibiarkan melintas,
tetapi kedua orang kita itu harus menutup jalan agar Ki Gede dan pengawalnya
tidak berbalik dan melarikan diri. Mereka harus masuk ke dalam jebakan dan kita
akan mencincang mereka sampai lumat. Mayat mereka kita lemparkan saja ke Kali
Opak. Tetapi ingat, keris Ki Gede harus diambil sebagai bukti bahwa kita sudah
berhasil.”
Pesan Dandun cukup gamblang.
Karena itu maka orang-orangnya pun segera menebar.
“Kita berempat harus
menyelesaikan Ki Gede Pemanahan lebih dahulu,” berkata Dandun, “biarlah
orang-orang kita yang berjumlah sepuluh orang itu mengurusi kedua pengawalnya.
Jika Ki Gede Pemanahan sudah terbunuh, maka ke dua orang itu bagaikan tikus
saja di sarang kucing-kucing liar.”
Adik-adiknya tertawa. Namun
wajah-wajah mereka pun kemudian menjadi tegang, ketika dari kejauhan mereka
melihat tiga orang berkuda datang mendekat.
“Itulah mereka,” desis Dandun.
Demikianlah mereka yang
mencegat perjalanan Ki Gede itu pun segera bersembunyi di balik batu-batu padas
dan gerumbul-gerumbul liar di tepi Kali Opak. Mereka telah menyiapkan senjata
mereka masing-masing. Setiap saat mereka dapat segera menyergap ketiga orang
yang sesaat kemudian akan melintasi Kali Opak.
Tetapi rasa-rasanya mereka
tidak sabar lagi melihat ketiga ekor kuda yang tidak berlari cukup cepat.
Bahkan kadang-kadang kuda Ki Gede justru berhenti dan meringkik. Baru kemudian
kuda itu perlahan-lahan maju lagi beberapa langkah.
“Kuda itu malas sekali,” desis
Dandun yang juga tidak sabar menunggu.
“Kita meloncat naik dan mengepungnya,”
sahut adiknya.
“Masih terlampau jauh. Jika
mereka terkejut, mereka dapat melarikan diri.”
“Kita harus bersabar sedikit,”
desis yang lain.
Tetapi ketiga orang itu tidak
segera maju mendekat. Bahkan seakan-akan mereka sengaja berhenti dan mengamati
keadaan dengan saksama,
“Bagaimana?” bertanya salah
seorang dari keempat bersaudara itu.
“Kita tunggu sebentar,” jawab
Dandun, “jika mereka masih saja menunggu, kitalah yang menyergap naik ke atas
tebing, kemudian kita dorong mereka turun, supaya tidak banyak orang yang dapat
menyaksikan perkelahian ini dari jauh.”
“Aku sependapat,” adiknya yang
bungsu bergumam. Dengan demikian, maka dengan gelisah dan menahan nafas
orang-orang itu menunggu Ki Gede Pemanahan menjadi semakin dekat. Namun agaknya
kesabaran mereka pun sudah sampai pada batasnya.
“Kuda-kuda itu agaknya menjadi
gila,” berkata Dandun.
Sebenarnyalah bahwa Ki Gede
Pemanahan sendiri tidak berusaha lagi untuk maju lagi. Firasatnya sebagai
seorang prajurit yang mumpuni seakan-akan memberinya peringatan, bahwa di
hadapannya sedang menunggu bahaya yang dapat merenggut nyawanya. Sehingga
karena itu, maka Ki Gede itu pun justru mengekang kudanya dan berhenti sejenak.
“Apakah Ki Gede melihat
sesuatu?” bertanya salah seorang pengawalnya.
“Jalan ini terlampau lengang,”
jawab Ki Gede.
“Jalan ini memang jarang
sekali dilalui orang,” sahut yang seorang.
“Ya. Tetapi rasa-rasanya ada
sesuatu.”
“Benar, Ki Gede. Hatiku
menjadi berdebar-debar.”
“Baiklah kita berhenti
sejenak,” berkata Ki Gede Pemanahan, “mungkin kita sudah dibebani prasangka
buruk. Mungkin kita dipengaruhi oleh sikap beberapa orang Pajang yang tidak
menyenangkan. Tetapi mungkin pula perasaanku sedang dikacaukan oleh sikap
Kanjeng Sultan yang sama sekali berbeda dengan gambaran-gambaran yang tersusun
di angan-angan sejak aku berangkat dari Mataram. Tetapi yang terjadi adalah
berbeda sekali, bahkan berlawanan. Kejutan itulah agaknya yang membuat aku
kadang-kadang menjadi bingung seperti sekarang ini.”
Kedua pengawalnya tidak
menyahut. Tetapi rasa-rasanya memang ada sesuatu. Bahkan salah seorang dari
keduanya tiba-tiba berdesis, “Ki Gede, agaknya aku memang melihat sesuatu
bergerak di kejauhan, di balik sebuah batu yang besar.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Sebenarnya ia pun telah melihat sesuatu bergerak seperti yang dilihat oleh
pengawalnya. Namun ia masih mencoba meyakinkan, apakah yang telah dilihatnya
itu.
Karena pengawalnya telah
menyebutnya lebih dahulu, maka Ki Gede pun kemudian berkata, “Memang ada
sesuatu yang bergerak di tepian. Tetapi banyak sekali kemungkinan yang dapat
kita sebut. Mungkin seorang petani yang membersihkan alat-alatnya atau mungkin
seorang yang lewat di jalan ini sedang beristirahat.”
“Memang, Ki Gede,” sahut
pengawal-pengawalnya, “ada bermacam-macam kemungkinan. Namun agaknya aku
mencurigainya.”
Ki Gede Pemanahan mengangguk.
Katanya, “Berhati-hatilah. Firasat seorang prajurit kadang-kadang tidak akan
terlampau jauh dari kebenaran jika akan menjumpai bahaya.”
Kedua pengawalnya menjadi
semakin berdebar-debar. Dengan demikian keduanya hampir tidak berkedip
memandang ke tepian di hadapan mereka.
Tetapi Ki Gede Pemanahan dan
kedua pengawalnya tidak segera maju lagi. Di dalam keadaan yang mendebarkan
itu, barulah Ki Gede menyadari ketergesa-gesaannya. Ia sama sekali tidak
mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan yang dapat membahayakan jiwanya.
Kini ia baru menyadari bahwa
di Pajang, terdapat banyak sekali orang yang tidak senang kepadanya. Yang iri,
yang dengki dan yang mempunyai kepentingan-kepentingan lain. Dan kini
firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa di hadapannya memang ada bahaya yang
sedang mengancam.
Sekilas Ki Gede terkenang akan
sikap Sultan Pajang. Sepercik kecurigaan melonjak di hatinya.
“Apakah Sultan Pajang hanya
berpura-pura, namun kemudian memerintahkan sekelompok Senapati terpilih untuk
mencegat aku di tepian Kali Opak?” ia bertanya kepada diri sendiri. Namun
kemudian dijawabnya, “Tentu tidak. Aku merasakan sikap Sultan yang ikhlas itu.”
Akhirnya Ki Gede Pemanahan pun
jemu menunggu. Ketika kecurigaannya justru semakin tajam, ia berkata kepada
kedua pengawalnya, “Kita tidak dapat berhenti di sini sampai sore. Apa pun yang
akan kita hadapi kita akan maju.”
“Ki Gede,” berkata seorang
pengawalnya, “mungkin aku memang sudah menjadi seorang pengecut. Tetapi
sebaiknya Ki Gede tetap berada di sini. Biarlah aku berdua melihat, apakah yang
ada di balik bebatuan dan gerumbul-gerumbul di tepian. Jika yang kami jumpai
ternyata berbahaya bagi Ki Gede, sebaiknya Ki Gede menghindar. Bukan maksudku
untuk memperkecil arti Ki Gede Pemanahan di dalam medan, justru kami tahu bahwa
Ki Gede adalah seorang panglima perang. Tetapi adalah tidak seimbang bahwa Ki
Gede harus melayani pengecut-pengecut itu.”
Ki Gedu mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia tersenyum pahit. Katanya, “Jika aku berhadapan dengan
pengecut, bukan berarti aku sendiri harus menjadi pengecut.”
Kedua pengawalnya tahu benar,
bahwa jawaban itu adalah sikap Ki Gede Pemanahan. Karena itu, maka keduanya
tidak akan berani mengusulkan apa pun lagi.
“Marilah kita maju,” desis Ki
Gede.
Namun sebelum mereka
menggerakkan kendali kudanya, mereka terkejut mendengar derap kaki kuda yang
semakin lama menjadi semakin dekat.
“Berhati-hatilah,” berkata Ki
Gede, “mungkin kita memang sudah terkepung.”
Kedua pengawalnya segera
bergeser. Karena Ki Gede Pemanahan kemudian memutar kudanya menghadap arah
suara derap kaki kuda yang seolah-olah menyusulnya, maka kedua pengawalnya
tetap memandang ke arah tepian. Karena di sana pun terdapat bahaya yang dapat
menyergap dengan tiba-tiba. Hanya sekali-sekali saja mereka berpaling. Sekilas
mereka melihat beberapa ekor kuda mendekatinya.
Ki Gede Pemanahan mengerutkan
keningnya melihat seorang anak muda yang berpacu di paling depan. Sekali-sekali
ia melihat anak muda itu melambaikan tangannya, memberikan isyarat. Tetapi Ki
Gede tidak tahu pasti, apakah arti isyarat itu.
“He,” tiba-tiba Ki Gede
berdesis, “kau kenal anak muda di paling depan itu?”
Kedua pengawalnya serentak
berpaling. Mereka melihat lima ekor kuda. Dan yang paling depan berpakaian
sebagai seorang Senapati Pajang.
“Untara,” desis Ki Gede
Pemanahan, “bukankah ia Untara?”
“Ya, Ki Gede,” sahut kedua
pengawalnya hampir berbareng.
Ki Gede yang sedang
termangu-mangu itu menjadi semakin termangu-mangu. Sebelum ia jelas siapakah
yang menunggunya di tepian Kali Opak, kini dilihatnya Untara berpacu
menyusulnya dikawal oleh empat orang prajuritnya.
“Berhentilah, Ki Gede,” Untara
itu berteriak di kejauhan.
Ki Gede tiba-tiba menjadi
curiga. Kenapa Untara berteriak menghentikannya. Apakah memang sudah diatur,
bahwa Untara akan menyergapnya, sedang di tepian beberapa orang lain sudah
menunggunya.
Tetapi Untara sama sekali
tidak menyentuh senjatanya. Bahkan ia masih saja mengangkat tangan kanannya,
sedang tangan kirinya memegang kendali kudanya.
Beberapa langkah daripadanya
Untara itu pun menarik kekang kudanya, sehingga kudanya itu pun menghentikan
derap kakinya. Segumpal debu meloncat ke udara dan hanyut didorong angin yang
lembut.
“Hampir saja aku terlambat,”
berkata Untara tiba-tiba.
Ki Gede mengerutkan keningnya,
dan sebelum ia berkata sesuatu Untara mendahuluinya, “Jangan meneruskan
perjalanan, Ki Gede.”
Ki Gede menjadi heran. Kenapa
Untara menghentikan perjalanannya.
Kedua pengawalnya pun menjadi
tegang. Kecurigaan mereka menjadi semakin tajam. Tetapi jika mereka menatap
wajah Untara, terasa ada kesan yang lain pada wajah itu.
“Ki Gede,” berkata Untara
kemudian, “aku akan mempersilahkan Ki Gede kembali. Maksudku, bukan kembali ke
Pajang, tetapi menunda perjalanan kembali ke Mataram barang sehari.”
“Apa maksudmu, Untara. Aku
sudah tidak mempunyai keperluan lagi. Aku tergesa-gesa kembali ke Mataram dan
menyampaikan hasil kepergianku ke Pajang kepada Sutawijaya.”
“Ki Gede. Kapan pun Ki Gede
akan kembali ke Mataram, aku tidak akan mencegahnya. Tetapi tidak sekarang. Dan
sekarang aku ingin mempersilahkan Ki Gede kembali sejenak. Sampai saatnya kami
dapat mengantarkan Ki Gede sampai ke batas Tanah Mataram.”
Ki Gede mengusap keningnya.
Katanya, “Aku menjadi bingung, Untara. Katakanlah, apakah maksudmu yang
sebenarnya.”
Untara mencoba menenangkan
pernafasannya. Tetapi sejenak kemudian ia berdesis, “Terlambat. Kita harus
terlibat dalam perkelahian.”
Ki Gede berpaling ke tepian.
Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian ia bertanya, “Apakah yang akan
terjadi, Untara?”
Untara memberi isyarat kepada
pengawal-pengawalnya. Mereka pun segera bergeser sebelah-menyebelah.
“Ki Gede,” desis Untara, “aku
mendapat perintah dari Kanjeng Sultan Pajang. Petugas sandi Pajang menangkap
keterangan bahwa beberapa orang telah menghadang perjalanan Ki Gede di sekitar
Kali Opak. Petugas sandi yang berhasil menyadap pembicaraan beberapa orang yang
memang dengan sengaja ingin menjebak Ki Gede mengatakan bahwa kekuatan mereka
yang disediakan untuk menyingkirkan Ki Gede adalah tidak tanggung-tanggung.
“Lalu apa maksudmu, Untara?”
“Aku mendapat perintah untuk
menyelamatkan Ki Gede,” jawab Untara. “Bukan maksudku mengatakan bahwa aku
memiliki kelebihan dari Ki Gede, tetapi aku adalah senapati yang bertanggung
jawab di daerah ini dan aku mempunyai pengawal yang cukup. Karena itu, untuk
menghindari kesan yang jelek terhadap Pajang, seakan-akan Pajang-lah yang telah
menjebak Ki Gede, maka aku harus mencegat perjalanan Ki Gede. Tetapi agaknya
aku terlambat. Aku mendapat keterangan dari beberapa orang yang bekerja di
sawah, bahwa tiga orang berkuda telah lewat. Karena itu aku segera menyusul
dengan pengawal yang ada. Aku memang memerintahkan seorang pengawalku untuk
menyiapkan prajurit yang berada di daerah Prambanan yang dapat dihimpun untuk
menyusul perjalananku sekarang ini, karena kita akan menghadapi kekuatan yang
cukup besar.”
Ki Gede mengerutkan keningnya.
Sekarang ia mengerti, siapakah yang bergerak-gerak di tepian. Di balik
batu-batu besar dan gerumbul-gerumbul liar.
“Kapan kau mendapat keterangan
itu, Untara?” bertanya Ki Gede.
“Baru pagi ini,” jawab Untara.
“Demikian aku menerima perintah itu aku pun segara berangkat dengan
tergesa-gesa. Tetapi aku terlambat. Dan aku berusaha menyusul Ki Gede. Agaknya
Ki Gede tidak berpacu terlampau cepat, sehingga aku dapat bertemu Ki Gede di
sini.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi siapakah yang telah
berusaha menjebak aku?”
“Kami tidak mendapat
keterangan itu. Tetapi petugas sandi berhasil mendengar atau mencuri keterangan
tentang hal itu. Siapa pun yang telah memerintahkan penyergapan itu, namun
Sultan menjadi sangat marah karenanya dan memerintahkan untuk mengambil
langkah-langkah untuk menyelamatkan Ki Gede.”
Ki Gede masih
mengangguk-angguk. Tetapi berbagai macam persoalan berdesakan di dalam dadanya.
Memang ada sepercik kecurigaan. Tetapi kemudian goresan-goresan yang dalam di
dinding jantungnya justru karena sikap Kanjeng Sultan yang sangat baik, dan
bahkan telah memerintahkan untuk menyelamatkan nyawanya.
Dalam pada itu, Dandun dan
adik-adiknya benar-benar sudah kehilangan kesabaran. Apalagi karena mereka
mendapat laporan bahwa lima orang prajurit telah datang untuk menahan Ki Gede
Pemanahan.
“Gila,” teriak Dandun,
“semakin lama prajurit-prajurit itu akan menjadi semakin banyak. Karena itu,
kita selesaikan saja mereka sekarang. Yang terpenting adalah membinasakan Ki
Gede Pemanahan itu dahulu.”
“Bagus,” desis adiknya, “kita
tidak dapat menunggu lagi.”
Dandun pun kemudian menarik
senjatanya sambil menggeram, “Kita bertiga menyelesaikan Ki Gede. Yang seorang,
dari kita membayangi pemimpin prajurit itu, sedang yang lain harus membinasakan
semua pengawal yang berjumlah enam orang itu.”
“Baik, Kakang”, jawab adiknya yang
tertua, “aku akan membinasakan senapati itu.”
Demikianlah, maka mereka tidak
menunggu lebih lama lagi. Mereka sadar bahwa prajurit-prajurit itu akan
bertambah-tambah. Karena itu tugas mereka harus segera selesai sebelum mereka
akan melarikan diri.
Karena itulah maka sejenak
kemudian terdengar Untara berdesis, “Ki Gede, agaknya mereka sudah akan mulai.”
Ki Gede tidak sempat menjawab.
Beberapa orang berloncatan dari balik gerumbul-gerumbul dan melingkari kelompok
kecil yang memang sudah menyiapkan diri untuk melawan itu.
Ki Gede menyadari, bahwa
orang-orang yang telah dikirim untuk mencegat perjalanannya itu tentu bukan
orang-orang kebanyakan. Karena itulah maka ia pun segera menyiapkan dirinya
sebaik-baiknya.
Sejenak Ki Gede memandang
orang-orang yang berlari-larian melingkarinya. Dan di antara mereka terdapat
empat orang yang meyakinkan. Dan mereka agaknya adalah pemimpin dari kelompok
yang kini telah mengepungnya.
Untara yang melihat kepungan
yang dalam waktu yang singkat telah menjadi rapat itu mendekati Ki Gede
Pemanahan sambil berkata, “Menurut keterangan yang aku terima, Ki Gede, keempat
orang itu datang dari kaki Gunung Lawu. Mereka khusus datang untuk menyambut Ki
Gede di Kali Opak ini.”
Ki Gede Pemanahan
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana
mungkin kau menerima keterangan yang lengkap sekali tentang orang-orang itu?”
“Aku belum sempat
menanyakannya kepada petugas sandi itu. Aku tergesa-gesa berangkat mencegat Ki
Gede. Tetapi Ki Gede sudah lampau. Itulah sebabnya aku hanya membawa lima orang
pengawal. Yang seorang dari mereka kini berhenti di Prambanan menghubungi
pimpinan kelompok prajurit yang aku tempatkan di sana.
“Kenapa utusan dari Pajang itu
tidak langsung menyusul aku? Jika ia harus pergi ke Jati Anom lebih dahulu,
maka kau tentu akan terlambat.”
“Aku memiliki pasukan di
daerah ini Ki Gede. Dan seperti yang aku katakan aku adalah senapati di daerah
ini.”
Ki Gede mengangguk-anggukkan
kepalanya. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja empat orang yang
berjalan selangkah demi selangkah mendekatinya.
Wajah Ki Gede Pemanahan
menjadi tegang. Demikian juga wajah Untara. Pengawalnya telah menebar menghadap
ke segenap arah. Sedang kedua pengawal Ki Gede Pemanahan pun telah merenggang.
“Kita harus melawan mereka
sejauh-jauh dapat kita lakukan Ki Gede. Sementara prajurit-prajurit dari
Prambanan akan segera datang.”
Ki Gede tidak menyahut.
Dalam pada itu, Dandun dan
ketiga adiknya sudah menjadi semakin dekat. Dengan kepala tengadah maka empat bersaudara
dari Gunung Lawu itu kemudian berhenti beberapa langkah di hadapan Ki Gede
Pemanahan dan Untara.
Sekilas Ki Gede teringat pada
saat ia dihentikan oleh sekelompok pasukan yang dipimpin oleh Ki Tambak Wedi.
Seorang yang memiliki kemampuan luar biasa. Tetapi Ki Tambak Wedi tidak
mempunyai pasangan seperti orang-orang ini. Bahkan sampai empat orang.
Sejenak Ki Gede memandang
wajah Dandun yang keras sekeras batu-batu padas di tepian Kali Opak. Kemudian
wajah ketiga adik-adiknya berganti-ganti. Wajah mereka memang mirip seperti
kebanyakan kakak beradik. Dan agaknya sifat-sifatnya pun tidak jauh berbeda
yang satu dengan yang lain.
Dandun, yang tertua di antara
mereka pun kemudian maju selangkah. Dipandanginya Ki Gede Pemanahan dan Untara
berganti-ganti. Lalu katanya, “Kenapa kalian tidak mau maju lagi sampai ke
tepian? Di tepian kita mempunyai tempat yang cukup luas untuk berkelahi. Siapa
yang terbunuh di dalam perkelahian itu, dengan mudahnya kita lemparkan saja ke
dalam air. Apakah kalian tidak sependapat, sebaiknya kita bertempur di pinggir
sungai saja?”
Ki Gede memandang Dandun
sejenak, lalu, “Siapakah kau sebenarnya, Ki Sanak. Dan apakah kepentinganmu
dengan aku?”
Dandun tertawa. Jawabnya,
“Apakah ada perlunya Ki Gede Pemanahan mengetahui? Eh, bukankah kau yang
bernama Ki Gede Pemanahan?”
“Benar, Ki Sanak. Akulah yang
bernama Pemanahan. Kau tentu sudah mendapat banyak keterangan tentang aku,
ujudku. Tubuhku dan tentu kau mendapat pesan bahwa aku menempuh perjalanan ini
bersama kedua orang sahabatku.”
“Ya,” sahut Dandun, “dan kau
pun tentu sudah dapat menduga apakah keperluanku. Karena itu, sebaiknya kau
turun saja dari kudamu dan menundukkan kepalamu dalam-dalam. Aku akan memenggal
kepalamu dengan penuh hormat.”
“Tutup mulutmu,” Untara-lah
yang membentak. Dengan mata yang merah menyala Untara berkata lantang, “Kau
jangan menghina. Kau harus sadar, dengan siapa kau berhadapan.”
Dandun mengerutkan keningnya,
lalu, “Sebenarnya kau siapa, Anak Muda. Kau agaknya seorang senapati. Apakah
kau akan melindungi Ki Gede Pemanahan atau sebaiknya akan membantu aku
mempercepat tugas ini.”
“Aku tahu bahwa kau mendapat
tugas dari seseorang yang kebetulan juga seorang prajurit, atau seorang
Senapati Pajang. Kau menjual tenagamu untuk melakukan perbuatan terkutuk ini.
Tetapi ketahuilah aku mengemban tugas dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya langsung
untuk melindungi Ki Gede Pemanahan dan mencari keterangan tentang orang-orang
yang telah mengupahmu.”
Dandun tertawa semakin keras.
Katanya, “Senapati Muda, kau memang berani. Tetapi jangan menyesal, bahwa
karena keterlibatanmu dalam persoalan ini, maka kau pun akan mati terbunuh di
tangan kami.”
“Baiklah,” berkata Untara,
“jika kau yakin akan dapat membunuh aku, lakukanlah. Tetapi aku pun yakin akan
dapat menangkap kalian. Aku ingin kalian tetap hidup, supaya kalian dapat
diperas untuk menitikkan keterangan, siapakah yang telah memberimu upah.”
Dandun tertawa terus. Namun
tiba-tiba suara tertawanya menurun, lalu, “O, hampir saja aku terpancing. Jika
kau sempat memperpanjang pembicaraan, maka mungkin sekali kau akan dapat
bantuan dari kawan-kawanmu yang barangkali akan menyusul,” Dandun berhenti,
lalu dilambaikannya tangannya sebagai isyarat bagi anak buahnya untuk segera
mulai.
Orang-orang yang telah
mengepung Ki Gede Pemanahan, Untara, dan para pengawalnya itu mulai bergerak.
Perlahan-lahan mereka maju selangkah demi selangkah dengan senjata telanjang di
tangan.
Melihat orang-orang yang
mengepungnya mulai bergerak, maka Ki Gede dan Untara pun bersiap. Demikian juga
para pengawalnya. Namun dalam pada itu, kadang-kadang jauh di dasar hatinya, Ki
Gede masih juga bertanya, “Apakah yang terjadi ini bukan sekedar sebuah
permainan? Dan Untara adalah salah seorang dari para pemain yang dapat
melakukan peranannya dengan baik sekali?”
Tetapi Ki Gede mencoba
mengusir, prasangka di hatinya itu. Ia mencoba mempercayai Untara dan dengan
demikian Ki Gede akan bekerja dengan senapati itu sepenuhnya.
Sementara itu, bukan saja
orang-orang yang mengepung itu telah bergerak maju. Tetapi Dandun dan
adik-adiknya pun telah mendekat pula, langsung menghadapi Ki Gede Pemanahan dan
Untara.
Ki Gede pun sadar, bahwa ia
adalah arah utama dari orang-orang yang telah menunggunya di tepian Kali Opak
itu. Karena itu, ia telah menyiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.
Sebagai seorang prajurit yang pernah memegang jabatan tertinggi di Pajang, maka
Ki Gede pun tidak merasa gentar sama sekali. Apa pun yang akan terjadi, akan
dihadapinya dengan tabah. Apalagi setelah ia tahu pasti, bahwa Sultan
Hadiwijaya tidak marah dan tidak mendendam kepada Sutawijaya. Maka rasa-rasanya
semua yang harus dihadapinya adalah tugas-tugas yang tidak seberat saat ia
berangkat pergi ke Pajang.
Demikian pula agaknya dangan
Untara. Meskipun ia sadar, bahwa jumlah orang-orangnya jauh lebih sedikit dari
lawan-lawannya, apalagi di antara mereka terdapat empat bersaudara dari kaki
Gunung Lawu, namun ia pun bertekad untuk menghadapi mereka dengan tatag.
Meskipun demikian ada juga sedikit penyesalan padanya, bahwa ia tidak membawa
pengawal yang cukup. Demikian tergesa-gesa dan bahwa ia tidak menyangka akan
berhadapan langsung dengan orang-orang yang mencegat Ki Gede karena ia hanya
sekedar akan menghentikan perjalanannya, maka ia tidak membawa pengawal lebih
dari lima orang.
Untara sama sekali tidak
menjadi gentar karena dirinya sendiri, tetapi ia lebih memikirkan nasib Ki Gede
Pemanahan. Pesan Sultan Hadiwijaya jelas baginya, bahwa Ki Gede harus
dihentikan sebelum sampai ke tepian Kali Opak, agar sikap Sultan Hadiwijaya tentang
hubungan antara Sutawijaya dan puteri dari Kalinyamat itu tidak dianggap
sekedar sebuah jebakan.
Tetapi kini ia sudah berada di
depan hidung empat bersaudara dari Gunung Lawu, sehingga ia tidak akan dapat
berbuat lain daripada bertempur, sambil menunggu kedatangan prajurit yang dapat
dihimpun di Prambanan.
Dengan tegang Untara menunggu.
Dandun dan adik-adiknya beserta orang-orangnya semakin lama menjadi semakin
dekat. Sebentar lagi ia harus mulai mengayunkan senjatanya dan bertempur sekuat
tenaganya.
Namun Untara itu terkejut.
Bahkan bukan saja Untara, tetapi setiap orang yang ada di tempat itu, termasuk
keempat orang bersaudara dari Gunung Lawu itu, ketika mereka melihat tiba-tiba
saja Ki Gede Pemanahan menghentakkan tali kekang kudanya sehingga kuda itu
bagaikan meloncat dengan garangnya ke depan.
Dan ternyata bahwa Ki Gede
Pemanahan-lah yang telah memulainya lebih dahulu. Dengan dahsyatnya kudanya
menerjang keempat orang bersaudara dari Gunung Lawu itu dengan keris yang
terhunus.
Serangan yang tidak terduga
itulah yang telah menggoncangkan setiap dada. Dandun dan adik-adiknya pun
bagaikan kehilangan pegangan, apakah yang akan dilakukan.
Ternyata perhitungan Ki Gede
Pemanahan itu dapat dilakukan dengan tepat meskipun tidak berhasil seperti yang
diharapkan. Ternyata keempat orang dari kaki Gunung Lawu itu benar-benar bukan
orang kebanyakan. Meskipun mereka terkejut bukan buatan, namun mereka masih
sempat berbuat sesuatu. Mereka sempat berloncatan menghindari senjata Ki Gede
Pemanahan.
Tetapi tidak semuanya dari
keempat orang itu dapat membebaskan, dirinya. Ternyata keris Ki Gede masih
berhasil menggores punggung salah seorang dari mereka. Adik Dandun yang paling
kecil.
Ketika keris itu menyentuh
kulitnya, terdengar ia mengaduh. Kemudian sebuah dorongan yang kuat telah
melemparkannya sehingga ia jatuh berguling di tanah.
Meskipun dalam waktu sekejap
ia berhasil meloncat berdiri namun kemudian, terasa punggungnya sangat pedih.
Kekuatannya semakin lama bagaikan dihisap oleh luka di punggungnya itu.
Tetapi ia tetap bertahan.
Dengan wajah yang tegang dan gigi gemeretak ia siap menghadapi kemungkinan
berikutnya.
Agaknya kedua pengawal Ki Gede
menyadari, bahwa pertempuran yang sebenarnya, sudah dimulai. Karena itu mereka
pun tidak menunggu lebih lama lagi. Kuda mereka pun segera berderap menyerang
orang-orang yang mengepungnya.
Dalam pada itu, selagi kuda Ki
Gede Pemanahan sedang melingkar, Untara tidak membiarkan keempat orang itu
berhasil mempersiapkan diri dan menyergap Ki Gede. Karena itu, maka ia pun
segera mendera kudanya dan menyerang dengan pedangnya sambil berkata, “Ki Gede,
sebaiknya Ki Gede meninggalkan pertempuran ini. Serahkan semuanya kepadaku,
mumpung Ki Gede kini berada di luar lingkaran.”
Sesaat Dandun dan anak buahnya
menjadi agak gugup. Mereka benar-benar tidak menyangka, bahwa justru Ki Gede
Pemanahan dan Untara-lah yang telah mulai dengan garangnya dalam waktu yang
sangat cepat.
Tetapi Dandun adalah orang
yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Itulah sebabnya, maka dalam waktu
dekat ia berhasil menguasai dirinya dan anak buahnya.
Namun dalam waktu yang dekat
itu, para pengawal Ki Gede Pemanahan dan Untara, telah berhasil mengurangi
jumlah lawan mereka meskipun hampir tidak berarti dalam pertempuran yang
kemudian berlangsung.
Dalam pada itu, Ki Gede yang
mendengar teriakan Untara mengerutkan dahinya. Ia adalah seorang prajurit,
bahkan seorang yang pernah menjadi panglima perang Pajang yang disegani.
Karena itulah, maka peringatan
Untara itu sama sekali tidak dihiraukannya. Ia tidak akan dapat begitu saja
menyelamatkan dirinya, sedang orang lain berada dalam kesulitan. Sehingga
dengan demikian Ki Gede Pemanahan sama sekali tidak menghindarkan diri.
Meskipun usianya menjadi semakin tua, namun ia masih tetap seorang yang pilih
tanding. Seorang yang tidak sekedar mementingkan dirinya sendiri. Apalagi dalam
kesulitan selagi mereka bercanda dengan maut.
Dengan demikian, maka Ki Gede
Pemanahan yang sudah berada di luar kepungan itu justru sudah siap menyerbu
lawannya. Sejenak Ki Gede mempersiapkan diri dan memperhitungkan keadaan.
Kemudian kudanya pun berderap dengan lajunya sementara beberapa orang lawannya
sedang mempersiapkan dirinya melawan Untara.
Ki Gede yang memiliki
pengalaman yang cukup, bahkan berlimpah itu melihat ujung-ujung senjata yang
sudah siap menyambut Untara. Sebuah desir yang tajam telah menyentuh
jantungnya. Meskipun Untara seorang senapati yang terpercaya, ternyata bahwa
umurnya yang masih muda sangat mempengaruhi sikapnya di peperangan. Serangannya
terhadap lawan-lawannya saat itu justru telah membahayakan dirinya. Namun Ki
Gede pun menyadari bahwa Untara sengaja memancing perhatian lawan-lawannya agar
mereka tidak terikat kepada Ki Gede Pemanahan saja.
“Tetapi perbuatan itu adalah
perbuatan yang bodoh,” sekilas melintas di pikiran Ki Gede Pemanahan. “Ternyata
Untara tidak menyadari, dengan siapa ia berhadapan.”
Itulah sebabnya Ki Gede tidak
melepaskan saat yang sekejap. Pada saat Untara terperosok ke dalam bahaya di
antara keempat bersaudara dari Kaki Gunung Lawu itu, Ki Pemanahan dengan
garangnya telah menyerang mereka dengan kerisnya, sehingga dengan demikian,
pemusatan serangan keempat orang itu menjadi pecah.
Namun keempat orang itu masih
berhasil menghindari serangan yang menyambar mereka. Mereka sempat meloncat ke
arah yang berlawanan sambil merendahkan diri.
Selagi kuda-kuda yang
menyambar itu lewat, Dandun yang memiliki pengalaman terbanyak dibanding dengan
adik-adiknya segera mengatur diri. Dengan lantang ia berkata kepada adiknya
yang kedua, “Hadapi senapati dari Pajang itu, yang lain akan membantu aku
membinasakan Ki Gede Pemanahan.”
Waktu yang singkat itu
ternyata cukup bagi mereka untuk mempersiapkan diri. Keempatnya kemudian
memisahkan diri sesuai dengan perintah yang telah diucapkan oleh Dandun.
Ki Gede Pemanahan yang
mendengar perintah itu menjadi berdebar-debar. Bukan karena Ki Gede Pemanahan
gentar menghadap tiga orang, sedang yang seorang sudah terluka, tetapi menilik
tata gerak yang dilihatnya pada permulaan dari pertempuran itu, ia menganggap
bahwa yang seorang itu pun akan menjadi sangat berbahaya bagi Untara. Apalagi
jumlah pengawalnya masih belum sebanyak jumlah orang-orang yang mengepungnya.
Meskipun demikian. Ki Gede
Pemanahan masih berpengharapan bahwa Untara akan dapat bertahan sampai
orang-orangnya yang berada di Prambanan datang.
Demikianlah kemudian terjadi
pertempuran yang sengit. Ki Gede Pemanahan yang masih berada di atas kudanya
harus melawan tiga orang lawan, sedang Untara seorang diri melawan salah
seorang dari keempat bersaudara dari Gunung Lawu itu.
Namun sejenak kemudian mulai
nampak, bahwa orang lereng Gunung Lawu itu benar-benar mampu mendesak Untara.
Sekali-sekali Untara harus menyingkirkan kudanya menjauhi lawannya yang dapat
bergerak dengan cepat sekali.
Sementara itu, Ki Gede
Pemanahan sendiri harus menghadapi tiga di antara mereka. Untunglah bahwa ia
berhasil melukai yang seorang dari ketiganya, yang ternyata semakin lama
menjadi semakin lemah, dan hampir tidak berdaya sama sekali.
Dengan lincahnya Ki Gede masih
selalu berhasil menghindarkan dirinya dari serangan kedua lawannya, meskipun
setiap kali ia harus selalu menjauhi mereka. Untunglah bahwa kuda Ki Gede
Pemanahan itu rasa-rasanya mengerti setiap isyarat yang diberikan oleh Ki Gede,
sehingga dalam pertempuran itu kudanya terasa sangat membantunya.
Tetapi dalam pada itu Ki Gede
menjadi berdebar-debar melihat Untara. Ternyata, seorang pengikut orang-orang
dari kaki Gunung Lawu itu telah mendekati lingkaran pertempuran dan langsung
membantu melawan Untara, sehingga dengan demikian Untara segera terlibat dalam
kesulitan.
Ki Gede Pemanahan adalah
seorang prajurit. Itulah sebabnya maka ia tidak dapat sekedar mementingkan
keselamatannya sendiri. Apalagi ia tahu bahwa kedatangan Untara ke tepi Kali
Opak ttu adalah sekedar menyelamatkan jiwanya seperti yang diperintahkan oleh
Sultan Hadiwijaya.
Dengan demikian, maka
perhatian Ki Gede Pemanahan pun mulai terbagi.
Sebenarnya kedua lawan Ki Gede
Pemanahan itu cukup berbahaya baginya. Sedang yang seorang dari mereka, yang
telah terluka, sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, selalu bertahan untuk
keselamatannya sendiri.
Demikianlah, pertempuran itu
pun semakin nampak, bahwa Ki Gede Pemanahan dan Untara beserta para pengawalnya
tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Apalagi Untara sendri semakin lama
semakin terdesak oleh lawannya.
Bahkan kemudian Untara
benar-benar berada dalam kesulitan ketika kedua lawannya sempat memisahkan diri
dan berada sebelah-menyebelah kuda Untara. Keduanya pun telah siap mengayunkan
senjatanya menyerang dari dua arah.
Untara masih akan dapat
menangkis serangan itu. Tetapi tidak kedua-duanya dalam saat yang bersamaan dan
dari arah yang berseberangan.
Meskipun kudanya berderap
terus, namun kedua ujung senjata yang teracu dalam waktu yang bersamaan itu
benar-benar sangat berbahaya baginya.
Tidak ada jalan lain bagi
Untara selain memanfaatkan kudanya. Karena itulah, maka ia menarik kendali
kudanya dan menderanya ke arah salah seorang dari kedua lawannya.
Ternyata Untara berhasil mengusir
salah seorang dari mereka. Tetapi orang itu hanya sekedar meloncat selangkah.
Ketika Untara sempat menangkis serangan yang seorang lagi, maka orang itu,
salah seorang dari keempat saudara dari kaki Gunung Lawu itu, dengan sigapnya
meloncat maju dan mengayunkan senjatanya mengarah ke lambung Untara.
Untara sama sekali tidak
mendapat kesempatan untuk mengelak atau menangkis serangan itu, selagi kudanya
sedang berderap. Seandainya ia memaksa menarik kekang kudanya ke samping, maka
kuda itu akan melonjak atau bahkan akan berguling jatuh.
Karena itu, tidak ada jalan
lain bagi Untara kecuali mencoba mengelakkan serangan itu dengan menjatuhkan
dirinya dari kudanya. Tepat ketika senjata itu mematuk lambungnya, Untara
terpaksa melepaskan kendali kudanya dan menjatuhkan diri ke sebelah lain dari
kuda itu.
Untara berhasil membebaskan
diri dari ujung senjata itu. Beberapa kali ia berguling, dan dengan lincahnya
ia meloncat berdiri. Tetapi pada saat itu, salah seorang dari empat bersaudara
itu telah siap menerkamnya sebelum ia sempat memperiapkan dirinya.
Ternyata lawan Untara itu
adalah orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Pada saat
terakhir agaknya Untara memang sudah tidak mempunyai kesempatan lagi. Ujung
senjata lawannya rasa-rasanya sudah siap menembus dadanya, sehingga Senapati
Pajang di bagian Selatan itu akan tidak lagi dapat melakukan tugasnya, bukan
karena sepasukan prajurit yang telah melawan Pajang, tetapi justru oleh
sekelompok penjahat dari kaki Gunung Lawu.
Ki Gede Pemanahan, yang sempat
melihat hal itu darahnya bagaikan berhenti mengalir. Tidak ada cara apa pun
yang akan dapat dilakukan oleh Untara untuk menyelamatkan dirinya. Untara hanya
dapat mencoba menangkis serangan itu. Tetapi itu hanya merupakan perpanjangan
sekejap bagi umurnya, karena pada serangan berikutnya Untara yang belum siap
sama sekali itu akan segera terdorong oleh sebuah tusukan di dadanya.
Pada saat yang mendebarkan
itulah, ternyata Ki Gede Pemanahan yang harus melawan dua dari keempat
bersaudara itu, tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Tetapi jarak Ki Gede
Pemanahan tidak terlampau dekat dari Untara. Jika ia mendera kudanya meloncat
maju, ia akan tertambat.
Karena itu, Ki Gede Pemanahan
tidak berpikir lebih panjang lagi. Ia hanya memikirkan kemungkinan untuk
menyelamatkan Untara. Karena itu, maka dengan serta-merta Ki Gede Pemanahan
telah melontarkan kerisnya ke arah orang yang sudah mulai bergerak menyerang
Untara itu.
Serentak terdengar teriakan
kedua bersaudara yang sedang menghadapi Ki Gede Pemanahan. Mereka mencoba
memperingatkan saudaranya dari sambaran keris Ki Gede Pemanahan. Namun ternyata
setiap usaha dari orang itu sudah terlambat. Dengan derasnya keris itu telah
menyambar punggung orang yang sudah siap menerkam Untara dengan senjatanya itu.
Terdengar sebuah keluhan
tertahan. Orang itu terhuyung-huyung sejenak. Kemudian ia pun jatuh terjerembab
di hadapan Untara.
Namun pada saat itu,
Untara-lah yang berteriak nyaring. Ia melihat sebuah serangan yang tiba-tiba
sekali dan hampir di luar kemampuan penglihatan mata wadag.
Tetapi ternyata Untara pun
terlambat. Ki Gede yang sedang memusatkan perhatiannya kepada keselamatan
Untara, tidak begitu memperhatikan serangan yang menyambarnya dari salah
seorang lawannya yang dibakar oleh dendam yang menyala di hatinya. Bukan saja
karena ia mendapat upah untuk membunuh Ki Gede Pemanahan, tetapi Ki Gede
ternyata telah membunuh seorang dari mereka dan melukai seorang yang lain.
Ki Gede Pemanahan menyadari
keadaannya ketika senjata lawannya sudah hampir menyentuh kulitnya. Dengan
sigapnya ia mencoba memiringkan tubuhnya. Tetapi senjata lawannya itu tetap
berhasil melukainya di pundak.
Ki Gede Pemanahan berdesis
menahan pedih yang menyengat. Ujung senjata orang-orang dari kaki Gunung Lawu
itu bukannya ujung senjata kebanyakan. Terasa betapa panas dan pedihnya.
Dalam pada itu, di luar
sadarnya oleh gerak naluriah Ki Gede menghentakkan kakinya di perut kudanya.
Dan kudanya yang tanggap atas isyarat itulah yang telah menolongnya kemudian,
karena pada saat itu yang seorang dari kedua bersaudara yang melawan Ki Gede
bersama-sama itu telah siap menyerangnya pula. Namun kuda Ki Gede masih sempat
meloncat dan dengan cepat meninggalkan arena.
Beberapa langkah kemudian
barulah Ki Gede menyadari keadaannya dan berusaha menghentikan kudanya. Ketika
ia berpaling dilihatnya ketegangan yang luar biasa. Yang ada di arena itu
adalah Untara dan para pengawal. Sedang di pihak lawan, masih ada dua orang
bersaudara dari Gunung Lawu yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi. Di dalam pertempuran
yang dilakukan berpasangan, mereka memiliki kemampuan yang saling mengisi
sehingga seakan-akan kekuatan mereka telah terjalin dan luluh menjadi suatu
kekuatan yang mengagumkan. Itulah sebabnya, salah seorang dari mereka berhasil
melukai Ki Gede Pemanahan di pundaknya.
Sejenak Ki Gede Pemanahan
termangu-mangu. Ia kini sudah tidak bersenjata lagi. Pusakanya sudah terlepas
dari tangannya.
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Adalah pantang melepaskan pusaka. Tetapi ia tidak dapat membiarkan
Untara mati di peperangan itu, justru pada saat senapati itu berusaha
menyelamatkan jiwanya.
Ternyata Ki Gede Pemanahan
masih tetap seorang prajurit. Meskipun darah sudah mengucur dari lukanya, namun
ia tidak akan beranjak pergi. Ia tidak dapat membiarkan Untara dan para
pengawalnya menjadi banten dan mati terkapar di tepi Kali Opak, karena Ki Gede
yakin bahwa mereka tidak akan mampu melawan orang-orang dari Gunung Lawu itu.
Jika mereka dibiarkan saja
bertempur, maka Untara dan para pengawal itu tentu akan tumpas.
Ki Gede Pemanahan merenung
sejenak. Lukanya telah membuatnya sangat marah meskipun sebagai seorang yang
sudah kenyang mengalami peristiwa yang dahsyat ia masih tetap dapat berpikir.
Tiba-tiba saja Ki Gede
Pemanahan itu meloncat turun dari kudanya. Sejenak ia diam sambil menundukkan
kepalanya. Kedua telapak tangannya digosok-gosokkannya yang satu dengan yang
lain.
Dan sesaat kemudian, maka Ki
Gede itu pun menengadahkan kepalanya. Sejenak ia berdiri mematung. Namun
kemudian ia pun meloncat menggapai sebuah ranting pohon cangkring yang tumbuh
di pinggir Kali Opak.
Ketika ranting yang besar itu
berderak, maka orang yang masih sedang bertempur itu terkejut. Mereka melihat
ranting itu patah.
Derak ranting yang patah itu
bagaikan derak di setiap jantung. Ternyata dalam kemarahan yang memuncak, Ki
Gede Pemanahan telah menunjukkan kekuatannya yang tersimpan di dalam dirinya.
Kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan sehingga ia mampu mematahkan
ranting pohon cangkring yang cukup besar.
Dengan keheran-heranan
orang-orang yang termangu-mangu itu melihat Ki Gede Pemanahan kemudian memotong
kayu itu dengan tangannya pula, melemparkan ranting-ramting yang lebih kecil
beserta daun-daunnya. Yang tinggal di tangannya kemudian adalah sepotong kayu
cangkring dengan duri-durinya yang tajam meskipun hanya jarang-jarang. Namun
tanpa duri-duri yang jarang itu pun kayu cangkring itu dapat memecahkan tulang
kepala jika Ki Gede Pemanahan mengayunkannya sekuat tenaga, bukan sekedar
tenaga jasmaniahnya sehari-hari.
Sejenak kemudian selangkah
demi selangkah Ki Gede yang sudah terluka itu maju mendekati arena pertempuran.
Dandun, seorang adiknya dan
seorang lagi yang telah terluka memandang Ki Gede dengan tanpa berkedip. Mereka
adalah orang-orang yang pilih tanding. Namun melihat sikap dan tatapan mata Ki
Gede Pemanahan, mereka menjadi berdebar-debar juga.
Namun demikian, Dandun dan
adiknya berhasil menguasai perasaannya. Pengalamannya dalam petualangan yang
bertahun-tahun membuat mereka berhasil mengendapkan keheranan mereka.
“Kita harus berhati-hati,”
berkata Dandun, “tetapi Ki Gede tidak akan dapat melawan kita berdua. Yakinlah”
“Ya. Aku sudah dapat menimbang
kemampuannya. Tidak terlampau jauh dari kau. Dengan demikian bersama aku, kita
tentu akan menang.”
“Kita biarkan saja senapati
itu untuk sementara. Biarlah orang-orang lain yang menyelesaikannya, atau
setidak-tidaknya menahannya.”
Sejenak kemudian kedua
bersaudara dari Gunung Lawu itu pun segera mempersiapkan diri. Seorang lagi
dari mereka yang telah terluka, sama sekali sudah tidak berani lagi mendekati
Ki Gede Pemanahan yang meskipun sudah terluka pula.
“Aku terpaksa melakukannya,”
geram Ki Gede Pemanahan, “kalian telah mendahului, menitikkan darah dari
tubuhku.”
Kata-kata itu tidak terlampau
keras. Tetapi rasa-rasanya bahwa ancaman itu benar-benar akan terjadi.
Sejenak kemudian kedua
bersaudara itu pun segera memencar. Keduanya ternyata telah matang pula dalam
ilmunya. Itulah sebabnya, maka Ki Gede Pemanahan masih harus tetap
berhati-hati. Dengan mempergunakan sebatang kayu cangkring yang besar Ki Gede
Pemanahan menghadapi lawan-lawannya.
Sementara itu Untara sudah
mulai sibuk lagi melawan orang-orang dari Gunung Lawu, sementara para
pengawalnya pun telah bertempur dengan gigihnya pula.
Namun dalam pada itu, luka di
pundak Ki Gede Pemanahan pun terasa pula pengaruhnya. Semakin banyak ia
mengerahkan tenaganya, maka rasa-rasanya darahnya menjadi semakin banyak
mengalir.
Tetapi Ki Gede sama sekali
tidak menghiraukannya. Meskipun ia menyadari bahwa kedua lawannya itu adalah
orang-orang yang memiliki kelebihan, namun ia harus melawannya.
Untara yang sudah kehilangan
lawan tangguhnya, kini menjadi agak bebas bergerak. Meskipun demikian
orang-orang dari Gunung Lawu yang lain telah melawannya dalam kelompok kecil
yang kadang-kadang sangat membingungkannya. Sedang pengawal Untara yang hanya
empat orang dan dua orang pengawal Ki Gede Pemanahan itu telah berkurang dengan
seorang yang mengalami luka parah dan seorang lagi luka meskipun ringan.
Untara terkejut ketika ia
mendengar sebuah jerit melengking. Agaknya Dandun telah mulai menyerang Ki Gede
untuk menghadapi kayu cangkring dan agaknya dilambari dengan segenap ilmu yang
ada pada Ki Gede Pemanahan, maka Dandun dan seorang adiknya itu pun sampai pada
puncak ilmunya pula.
Dengan demikian, maka
pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ki Gede yang terluka itu masih
mampu bertempur dengan garangnya. Bahkan rasa-rasanya Ki Gede telah berubah
sama sekali. Ia bukan lagi seorang laki-laki yang sareh, tenang dan sabar.
Tetapi ia adalah seekor banteng yang sudah terluka menghadapi lawan-lawannya
dengan ilmunya yang dahsyat yang dipelajarinya temurun dari perguruan Sela.
Tetapi sebenarnyalah cukup
berat bagi Ki Gede menghadapi kedua orang dari kaki Gunung Lawu itu. Keduanya
ternyata mampu bergerak dengan cepat dibarengi dengan teriakan-teriakan yang
melengking-lengking yang sengaja mereka lontarkan untuk membingungkan pemusatan
perlawanan Ki Gede Pemanahan.
Sebenarnyalah bahwa perlawanan
Ki Gede Pemanahan, Untara, dan anak buahnya masih terasa sangat berat meskipun
dua orang dari keempat bersaudara dari kaki Gunung Lawu sudah dapat
dilumpuhkan. Tetapi ternyata bahwa jumlah para pengawal Untara dan Ki Gede pun
telah berkurang pula. Apalagi Untara yang mengerahkan segenap kemampuannya,
seolah-olah telah melepaskan semua nafasnya sehingga nafasnya itu pun mulai
mengalir semakin cepat, sedang darah di pundak Ki Gede Pemanahan pun menitik
semakin deras pula.
Dalam puncak kesulitan itulah,
Ki Gede Pemanahan melihat tiga orang muncul dari arah Kali Opak. Dengan
ragu-ragu ketiga orang itu memperhatikan perkelahian itu dengan saksama.
Sejenak ketiganya
termangu-mangu. Mereka maju beberapa langkah lagi untuk meyakinkan penglihatan
mereka.
Ternyata bukan saja Ki Gede
Pemanahan yang telah melihat mereka. Tetapi Dandun, adiknya, dan Untara pun
telah melihat tiga orang dalam pakaian petani biasa sedang menonton perkelahian
yang semakin dahsyat itu.
Semula mereka sama sekali
tidak menghiraukannya. Tetapi lambat laun kehadiran mereka itu memang sangat
menarik perhatian.
Ketiga orang petani yang
melihat pertempuran itu sama sekali tidak menjadi ketakutan atau menghindar.
Mereka justru semakin lama merayap semakin dekat. Dan bahkan akhirnya agaknya
setelah mereka yakin akan penglihatannya, segera berlari-lari mendekat.
Dandun menjadi heran melihat
ketiganya. Seperti juga Ki Gede Pemanahan dan Untara berpendapat, bahwa mereka
tentu bukan petani dari Prambanan yang pulang dari sawah dan mencuci badan
mereka di Kali Opak.
Setelah ketiga orang itu
menjadi semakin dekat, maka Ki Gede menjadi berdebar-debar karenanya. Apalagi
ketika salah seorang dari mereka segera berteriak, “Ayahanda.”
Salah seorang dari mereka
adalah seorang anak muda yang meskipun memakai pakaian petani yang kumal, namun
segera dikenal sebagai pemimpin tertinggi di Mataram setelah Ki Gede Pemanahan.
Anak muda itu, Sutawijaya,
segera berlari-lari mendekati arena pertempuran. Dengan isyarat ia
memerintahkan seorang anak buahnya memanggil kawan-kawannya.
Terdengarlah sebuah suitan
nyaring. Suitan itu ternyata telah disahut oleh suara yang lain. Meskipun
lamat-lamat namun masih juga terdengar sambutan yang lain lagi.
Dandun menjadi tegang. Apalagi
ketika Sutawijaya itu pun, dengan segera menyingsingkan kain panjangnya dan lengan
bajunya. Kemudian ditariknya sebuah pedang pendek yang semula tersembunyi di
balik bajunya.
“Aku tidak dapat membawa
tombak pendekku dalam pakaian ini, Ayahanda. Tetapi dengan pedang aku akan
mampu membantu Ayahanda.”
Sutawijaya tidak menunggu
jawaban. Ia pun segera terjun ke arena pertempuran diikuti oleh pengawalnya.
Namun ternyata bahwa masih berdatangan beberapa orang yang lain berlari-lari
naik tebing Kali Opak yang landai.
Ketika Sutawljaya melihat
Untara bertempur mati-matian maka ia pun berkata, “Orang-orangku akan segera
datang membantumu, Untara.”
“Terima kasih, Raden. Aku juga
sedang memanggil orang-orangku dari Prambanan.”
Sejenak kemudian arena itu
menjadi semakin kisruh. Dan jumlah yang bertambah-tambah itu ternyata menjadi
perhatian Dandun dan adiknya, yang mengumpat-umpat tidak habis-habisnya di
dalam hati.
Sejenak pertempuran masih
berlangsung terus. Tetapi keadaannya sudah jauh berubah. Apalagi dari kejauhan
masih berdatangan satu dua orang pengawal Sutawijaya yang terpisah-pisah.
Tetapi ternyata Dandun cukup
cepat berpikir. Ia sadar bahwa sebentar lagi keadaan medan itu akan menjadi
berbeda sama sekali, bahkan akan berbalik pihaknyalah yang harus mengalami
tekanan-tekanan yang sangat berat.
Karena itu, selagi masih belum
terlampau banyak orang-orang yang datang, maka Dandun pun segera mengambil
keputusan. Keputusan yang betapa pun liciknya, tetapi menguntungkan baginya. Ia
tidak bertanggung jawab apa pun selain untuk mendapatkan upah. Karena itu, maka
ia pun tidak bertanggung jawab pula seandainya usahanya membunuh Ki Gede
Pemanahan itu gagal. Ia tidak bertanggung jawab seandainya Ki Gede mengusut
usaha pembunuhan itu dan menemukan orang-orang yang berjanji akan mengupahnya.
Ia tidak peduli, bahwa orang
itu kemudian akan dihukum atau akan mengalami apa pun juga. Ia sudah terlampau
banyak berkorban. Dua orang adiknya.
Sejenak ia memandang adiknya
yang terluka. Agaknya ia masih sempat berlari meninggalkan arena.
Karena itu, maka ia pun segera
memberi isyarat kepada kedua adiknya dengan isyarat sandi. Isyarat yang hanya
diketahui oleh mereka bertiga saja.
Sejenak kemudian adiknya yang
terluka itu pun telah bersiap-siap. Mereka sudah memperhitungkan sejak semula,
bahwa usaha melenyapkan diri yang paling baik adalah menyusup semak-semak yang
lebat di tepian Kali Opak arah selatan menyusur tebing. Meskipun tebing itu
tidak begitu curam, tetapi sulit bagi penunggang kuda untuk menembus
semak-semak di sela-sela batu karang pada tanah yang miring.
Dandun memang sudah
memperhitungkan. Jika ada orang yang melihat perkelahian sehingga orang itu
sempat memberitahukan kepada para pengawal yang mana pun juga, ia akan dapat
segera menghilang setelah usaha mereka berhasil. Tetapi ia sama sekali tidak
menyangka bahwa membunuh Ki Gede Pemanahan adalah pekerjaan yang jauh lebih
sulit dari yang mereka perhitungkan.
Demikianlah ketika Dandun
memberikan isyarat sekali lagi maka mulailah mereka bergeser mendekati
semak-semak. Mereka sama sekali tidak memperhitungkan orang-orangnya yang masih
harus bertempur melawan para pengawal. Agaknya orang-orangnya masih belum
mengalami banyak kesulitan karena mereka masih cukup. Tetapi satu dua orang
pengawal Sutawijaya yang berdatangan akhirnya telah mendesak mereka semakin
jauh.
Pada saat yang tepat, Dandun
pun segera meloncat masuk ke dalam semak-semak bersama kedua adiknya. Yang
seorang terpaksa harus dipapah oleh adiknya yang lain, sedang Dandun sendiri
berusaha menahan Sutawijaya yang mendesaknya terus.
Ketika kemudian Dandun lenyap
pula di dalam semak-semak, sedang Sutawijaya dengan beberapa pengiringnya akan
mengejarnya terus, dan bahkan kemudian Untara pun telah meloncat mendekat pula,
terdengar Ki Gede berteriak memanggil.
Sutawijaya tertegun sejenak.
Demikian juga Untara dan pengawalnya yang mengiringinya.
“Jangan kau kejar mereka,
Sutawijaya,” berkata Ki Gede dengan nada yang dalam.
Sutawijaya memandang ayahnya
sejenak. Namun kemudian ia berlari mendekatinya sambil bertanya, “Ayah,
bagaimana dengan luka Ayah?”
Untara pun terkejut melihat
keadaan Ki Gede Pemanahan. Agaknya darah telah terlampau banyak keluar dari
luka itu. Dengan demikian betapa pun tinggi ilmunya, namun kekuatan
jasmaniahnya memang terbatas. Dan itu adalah ciri kelemahan manusia. Betapa pun
ia memiliki bekal dan kekuatan diarena kekerasan jasmaniah, namun pada
batasnya, ia tidak akan mampu melampauinya. Dan ternyata bahwa ilmu yang betapa
pun juga tingginya, tidak akan mampu mengatasi kesulitan yang timbul akibat
terlampau banyaknya darah yang mengalir dari luka.
Dengan dada yang berdebar-debar,
Untara pun kemudian mendekatinya, sementara Ki Lurah Branjangan yang telah
hadir pula di tempat itu segera mengambil pimpinan melawan orang-orang dari
Gunung Lawu yang masih memberikan perlawanan.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan, “jangan kau kejar orang-orang itu,” suaranya terengah-engah.
“Ayahanda,” Sutawijaya menjadi
cemas.
“Untara,” berkata Ki Gede
pula, “mereka ternyata memiliki kemampuan yang jauh berada di atas kalian.
Kalian tidak dapat mengejar dan berusaha menangkap mereka. Yang akan terjadi
tentu akan sebaliknya. Sedang aku sendiri, dalam keadaan seperti ini, tentu
tidak akan mungkin pula mengejar mereka.”
Untara dan Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Kemudian mereka membantu Ki Gede yang dengan kaki
gemetar mencoba duduk di atas sebuah batu.
“Tubuhku menjadi lemah oleh
darah yang keluar.”
“Apakah Ayahanda tidak membawa
obat untuk memampatkan darah itu?”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya.
“O, aku membawa Ki Gede,”
tiba-tiba Untara berdesis.
Dari kantong ikat pinggang kulitnya,
Untara mengambil sekantung kecil serbuk yang berwarna kehitam-hitaman. Serbuk
yang dibuat dari sarang laba-laba hijau yang dikeringkan setelah dibasahi
dengan getah batang pisang kapok, dicampur dengan sarang tawon telutur bersabuk
putih.
Dengan tidak menghiraukan
hiruk-pikuk pertempuran, maka Untara pun mencoba membersihkan luka Ki Gede
Pemanahan dan mencoba mengobatinya.
Sementara itu, ternyata bahwa
kekuatan orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ki Gede Pemanahan itu, telah
hampir kehilangan kesempatan untuk mempertahankan diri. Apalagi ketika mereka
melihat bahwa pemimpin-pemimpin mereka yang masih hidup telah melarikan diri.
Dengan demikian, maka mereka
masing-masing tidak menganggap perlu lagi untuk mempertaruhkan nyawa. Jika
pemimpin-pemimpin mereka meninggalkan arena, maka mereka tidak lagi mempunyai
kewajiban untuk bertahan sampai mati.
Karena itulah, maka meskipun
tidak ada di antara mereka yang kemudian memegang pimpinan, namun perasaan yang
tumbuh itu rasa-rasanya tidak berbeda yang satu dengan yang lain.
Demikianlah ketika salah
seorang dari mereka tidak tahan lagi menghadapi tekanan para pengawal, baik
mereka yang datang dari Jati Anom, maupun dari Tanah Mataram, sehingga tanpa
menghiraukan apa pun lagi berusaha untuk melarikan diri, maka ternyata yang
lain pun tanpa mendapat perintah dari siapa pun juga, segera meloncat berlari
meninggalkan arena.
Beberapa orang di antara
mereka tidak sempat meloncat lebih dari sepuluh langkah, karena lawan yang
mengejarnya berhasil menghunjamkan senjatanya di punggung. Tetapi ada juga di
antara mereka yang berhasil melintasi gerumbul-gerumbul perdu dan mencoba
melepaskan diri dari kejaran lawannya.
Namun tiba-tiba saja mereka
terkejut ketika mereka melihat beberapa ekor kuda yang menghambur datang ke
arah mereka. Mereka yang berkuda itu adalah prajurit yang telah dihimpun dengan
tergesa-gesa di Prambanan. Karena prajurit yang ditempatkan di Prambanan memang
tidak begitu banyak, sehingga mereka memerlukan waktu untuk menghimpun diri.
Tujuh orang dari sepuluh
prajurit yang ditempatkan di Prambanan berhasil dikumpulkan dan dengan
tergesa-gesa menuju ke tepian Kali Opak. Tetapi agaknya mereka sedikit
terlambat. Mereka hanya menemukan lawan yang sedang melarikan diri.
Namun ternyata nasib
orang-orang yang melarikan diri itu memang terlampau jelek. Hampir tidak ada
kesempatan sama sekali untuk tetap hidup, kecuali satu dua orang yang berhasil
bersembunyi sebaik-baiknya di bawah semak-semak dan kemudian merayap semakin
menjauhi tepian Kali Opak, yang ternyata telah menjadi neraka bagi mereka itu.
Sejenak kemudian para prajurit
dan pengawal itu pun telah berkumpul mengerumuni Ki Gede Pemanahan yang
terluka. Dalam kesempatan itu Untara masih sempat mengumpati
prajurit-prajuritnya yang terlambat.
“Kalian tidak bersikap seperti
prajurit. Kalian bukan perempuan yang akan mengunjungi perhelatan perkawinan,
sehingga kalian harus berkemas dan menghias diri setengah hari penuh. Tetapi
kalian adalah prajurit. Sekarang kalian melihat akibat kelambatan kalian.”
Para prajurit itu menundukkan
kepalanya. Namun pengawal Untara yang berangkat dari Jati Anom dengan
tergesa-gesa untuk berusaha menghentikan perjalanan Ki Gede Pemanahan itu pun
mencoba menjelaskan, “Mereka bertebaran di beberapa tempat. Kami harus memanggil
mereka seorang demi seorang.”
“Kenapa mereka bertebaran?”
“Mereka pada umumnya membantu
para petani mengerjakan sawahnya, atau membantu kerja yang lain yang dapat
mereka lakukan, karena di dalam keadaan yang rasa-rasanya sudah tenang, mereka
tidak mempunyai tugas yang berat.”
“Kalian memang bodoh. Kenapa
kalian harus menunggu sampai kalian berkumpul sejumlah tujuh orang? Kenapa
kalian tidak pergi lebih dahulu meskipun hanya seorang atau dua orang. Demikian
berturut-turut sehingga dengan demikian keadaan akan menjadi semakin baik?”
Tidak seorang pun yang
menjawab.
“Jika kalian menghadapi
pasukan segelar sepapan dalam gelar perang yang mapan, memang kalian tidak akan
mungkin berangkat satu atau dua orang saling mendahului. Tetapi berhadapan
dengan perampok-perampok yang apalagi kalian tahu bahwa sudah ada prajurit
sebelum kalian yang mendahului, kalian harus cepat berpikir.”
Prajurit-prajurit itu hanya
menundukkan kepalanya saja.
“Kedatanganmu sudah terlambat.
Jauh terlambat,” geram Untara.
Sutawijaya yang berada di sisi
Untara hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia pun akan
membentak-bentak demikian jika ia menyaksikan kelambatan pengawal-pengawalnya.
Untara kemudian tidak
menghiraukan mereka lagi. Kini ia mendekati Ki Gede Pemanahan. Sambil
berjongkok di sebelahnya ia berkata, “Bagaimana dengan Ki Gede kemudian? Apakah
Ki Gede ingin beristirahat dahulu di Prambanan?”
Ki Gede yang masih duduk di
atas sebuah batu merenung sejenak, lalu sambil menggeleng ia menjawab, “Terima
kasih, Untara. Tetapi aku tidak akan berhenti di perjalanan. Aku akan
meneruskan perjalananku sampai ke Mataram. Bukankah Mataram sudah tidak jauh
lagi?”
“Jaraknya memang sudah tidak
begitu jauh Ki Gede. Tetapi Ki Gede masih harus melintasi hutan dan
menyeberangi sungai.”
Tetapi Ki Gede tertawa.
Katanya, “Aku tidak akan menyeberangi Kali Sore seperti Arya Penangsang.”
Untara menarik nafas
dalam-dalam. Ia sadar bahwa Ki Gede adalah prajurit yang keras hati. Karena
itu, maka ia pun tidak dapat memaksa lagi. Apalagi ketika Sutawijaya berkata,
“Jika sekiranya Ayahanda menghendaki, kami akan menjaga Ayahanda sebaik-baiknya
di perjalanan. Tetapi seandainya Ayahanda ingin beristirahat barang sejenak di
Prambanan, terserah kepada Ayahanda.”
Ki Gede Pemanahan memandang
Sutawijaya dan Untara berganti-ganti. Keduanya adalah anak muda. Keduanya
adalah prajurit-prajurit pilihan yang mempunyai harapan untuk menggantikan para
senapati yang telah menjadi semakin tua seperti Ki Gede Pemanahan sendiri.
Namun terasa hati Ki Gede Pemanahan
justru menjadi pedih seperti luka-lukanya yang menjadi agak pampat.
Kedua anak-anak muda itu
rasa-rasanya berdiri di atas ujung yang berseberangan.
“Akulah yang telah memisahkan
Mataram dari Pajang,” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya.
Dan baru sejenak kemudian Ki
Gede itu berkata, “Untara. Baiklah aku meneruskan perjalananku saja. Aku
berterima kasih kepadamu, karena langsung atau tidak langsung kau telah
menyelamatkan jiwaku. Alangkah sakitnya mati di antara para perampok yang ganas
dan liar itu.”
“Ki Gede,” berkata Untara,
“aku sekedar menjalankan tugasku. Tetapi Ki Gede Pemanahan pun telah
menyelamatkan aku, dan bahkan karena itu Ki Gede telah terluka.”
Ki Gede tersenyum. Katanya,
“Kita telah melakukan tugas kita masing-masing. Kemudian sampaikan ucapan
terima kasihku kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang telah dengan susah payah
mengirimkan utusan kepadamu dan memerintahkan kau dengan pengawal-pengawalmu
melindungi perjalananku.”
“Akan aku sampaikan, Ki Gede,”
jawab Untara.
“Nah, sekarang aku minta diri.
Sutawijaya telah datang bersama beberapa orang pengawal sehingga aku tidak
perlu cemas lagi di perjalanan seandainya orang-orang itu masih berusaha untuk
melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Karena agaknya mereka akan mendapat
upah yang cukup banyak dari orang-orang yang menugaskan itu.”
“Ya, Ki Gede, dan sudah barang
tentu aku tidak perlu mencemaskan perjalanan Ki Gede lagi. Namun apabila Ki
Gede perlu beristirahat itulah yang harus mendapat perhatian Ki Gede di
sepanjang perjalanan. Sebaiknya Ki Gede memperhatikan keadaan Ki Gede yang
rasa-rasanya menjadi kekurangan darah.”
“Ya, ya Untara. Aku akan
memperhatikan tubuhku yang agaknya tidak mengalami banyak gangguan karena
lukaku.”
Untara mengangguk-anggukkan
kepalanya. Kemudian katanya kepada Sutawijaya, “Raden, perjalanan masih jauh.
Tidak bagi para prajurit dan pengawal, tetapi bagi Ki Gede yang terluka,
keadaannya tentu berbeda.”
“Aku akan selalu mengingatnya,
Kakang Untara,” jawab Sutawijaya.
Demikianlah maka mereka pun segera
berpisah. Ki Gede Pemanahan yang terluka bersama Sutawijaya dan para
pengawalnya kembali ke Mataram. Sedang Untara masih harus mengurusi korban yang
jatuh di dalam pertempuran itu dan membawa orang-orangnya yang terluka ke
Prambanan.
Namun dalam pada itu Untara
yang teringat lagi akan kelambatan prajurit-prajuritnya, kembali
membentak-bentak dan mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Sedang para
prajuritnya hanya dapat mendengarkannya dengan kepala tunduk.
Baru setelah mereka selesai
dengan tugas mereka, para pengawal itu pun membawa kawan-kawannya yang menjadi
korban dan yang terluka ke Prambanan.
Dalam pada itu perjalanan Ki
Gede Pemanahan ke Mataram menjadi semakin lambat. Sutawijaya yang berangkat
pagi-pagi benar dari Mataram tanpa membawa kuda-kuda mereka, karena mereka
sudah memperhitungkan, bahwa apabila terjadi sesuatu atas Ki Gede, kemungkinan
hal itu akan dilakukan oleh orang-orang yang berusaha menyingkirkan Ki Gede di
sekitar Alas Tambak Baya atau bahkan di mulut Alas Mentaok. Tetapi mereka sudah
berjalan agak lebih jauh, karena mereka telah sampai di daerah Prambanan.
Namun Sutawijaya bertekad,
seandainya tidak dijumpainya Ki Gede di Prambanan, maka ia akan terus sampai ke
gerbang kota Pajang dengan penyamarannya itu.
Tetapi ternyata Sutawijaya
menjumpai ayahandanya di Tepi Kali Opak.
Di perjalanan kembali ke
Mataram, Ki Gede yang naik di atas punggung kudanya yang berjalan
perlahan-lahan, sempat menceriterakan bagaimana ia harus berhadapan dengan
orang-orang yang agaknya telah menunggunya di pinggir Kali Opak.
“Siapakah sebenarnya mereka
Ayahanda?” bertanya Sutawijaya.
“Mereka tidak penting bagi
kita. Tetapi siapakah yang ada di belakang mereka itulah yang harus mendapat
perhatian.”
“Satu dua orang dari mereka
yang tertangkap hidup itu akan dapat memberikan keterangan.”
Ki Gede menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Pengalaman kita sudah cukup meyakinkan, bahwa orang-orang
itu tidak tahu-menahu kecuali pemimpin-pemimpinnya.”
“Ayahanda melarang aku
mengejar orang yang aku anggap sebagai pemimpin mereka.”
“Sudah aku katakan, mereka
bukan lawanmu. Kaulah yang akan dijebaknya. Dan kau, meskipun bersama Untara
sekali pun tidak akan dapat melawan mereka.”
Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Jika ayahnya telah berkata demikian, maka ia tidak dapat membuat
penilaian lain karena ayahandanya adalah orang yang memiliki pengamatan yang
telah masak.
Namun dalam pada itu, perasaan
Sutawijaya mulai diganggu oleh angan-angannya tentang sikap Sultan Hadiwijaya.
Tetapi ia tidak berani bertanya kepada ayahnya yang sedang terluka itu,
bagaimanakah hasil pembicaraannya saat ia menghadap ayahanda angkatnya untuk
membicarakan gadis Kalinyamat itu.
Demikianlah, meskipun lambat,
namun iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin dekat dengan Tanah Mataram.
Mereka menyeberangi Alas Tambak Baya dan kemudian Alas Mentaok yang masih belum
dibuka.
Di sepanjang perjalanan,
iring-iringan itu sama sekali tidak menjumpai gangguan apa pun lagi. Dandun dan
anak buahnya sama sekali tidak bermaksud melanjutkan usaha mereka untuk
membunuh Ki Gede Pemanahan. Keadaan mereka sudah terlampau parah. Seorang dari
keempat saudara itu sudah terbunuh. Yang seorang terluka, sehingga hampir
kehabisan darah. Sedang orang-orang yang dibawanya sudah hampir habis musnah.
Satu dua orang yang berhasil melepaskan diri, berlari tanpa arah.
Karena itulah maka gangguan
satu-satunya di perjalanan adalah luka Ki Gede Pemanahan. Meskipun luka itu
sudah pampat, tetapi rasa-rasanya tubuh Ki Gede Pemanahan menjadi semakin
lemah.
Namun, akhirnya mereka pun
sampai juga dengan selamat. Ketika iring-iringan itu memasuki gerbang, maka
para pengawal tercenung sejenak, melihat bahwa Ki Gede Pemanahan terluka di
pundaknya.
“Siapakah yang berhasil
melukai Ki Gede Pemanahan?” bertanya salah seorang di antara para pengawal.
“Anak dungu,” desis kawannya
di sebelahnya.
“Siapa? Aku benar-benar tidak
mengerti.”
“Tidak seorang pun di antara
kita yang mengerti,” jawab kawannya itu.
Pengawal yang mula-mula
bertanya itu mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah-olah jawaban kawannya itu
telah memberikan kepuasan padanya.
Namun dalam pada itu, di
antara para pengawal yang tidak mengerti apakah yang sebenarnya sudah terjadi,
ternyata telah tumbuh berbagai tafsiran. Bahkan ada di antara mereka yang
saling berbisik, “Apakah kemurkaan Sultan di Pajang sampai pada puncaknya,
sehingga langsung dengan tangannya sendiri melukai Ki Gede Pemanahan?”
Kawannya mengerutkan,
keningnya. Namun ia pun menyahut, “Kemarahan yang tidak terkendali memang dapat
menumbuhkan sikap yang tidak seimbang. Mungkin sekali Kanjeng Sultan di Pajang
tidak dapat mengekang diri. Tetapi jika demikian Ki Gede Pemanahan tentu tidak
akan dibiarkan kembali ke Mataram”
“Dengan sengaja Ki Gede
dilemparkan kembali ke Mataram agar Raden Sutawijaya melihat kedaannya.”
“Apakah ini berarti suatu
permulaan dari pemisahan Mataram dari Pajang dan yang sudah barang tentu akan
diikuti oleh tindakan-tindakan Pajang lebih lanjut atas Mataram?”
Kawannya menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Kita tidak mengetahuinya. Banyak kemungkinan dapat
terjadi. Tetapi agaknya kita memang harus mempersiapkan diri. Ki Gede Pemanahan
telah menjadi korban, karena Raden Sutawijaya tidak dapat mengendalikan
dirinya.”
Namun segala kesimpang-siuran
itu pun segera berakhir. Para pengawal yang mengiringi Ki Gede, setelah Ki Gede
Pemanahan memasuki halaman rumahnya, maka sebagian dari mereka pun tinggal di
regol. Dari mulut merekalah kemudian tersebar cerita tentang Ki Gede Pemanahan
yang terluka itu.
“Jadi ada orang yang mampu
melukai Ki Gede Pemanahan?” bertanya seorang prajurit hampir tidak percaya.
“Tidak hanya satu orang.”
“Berapa orang?”
“Mula-mula empat orang yang
tiada tandingnya. Tetapi seorang dari mereka harus melawan Untara yang datang
membantu Ki Gede. Tiga orang itulah.”
“Siapakah mereka bertiga?
Tentu orang-orang sakti pula.”
“Ya. Ternyata mereka berhasil
melukai Ki Gede Pemanahan,” dan pengawal itu pun menceritakan apa yang
dilihatnya dan apa yang didengarnya dari kedua pengawal Ki Gede yang
mengikutinya sejak Ki Gede berangkat dari Mataram.
“Jadi luka itu bukan hukuman
yang diberikan oleh Kanjeng Sultan.”
“Sama sekali bukan.”
Para pengawal Mataram yang
mendengar ceritera itu pun menjadi heran. Menurut pengawal yang dua itu,
Kanjeng Sultan Pajang tidak berbuat apa-apa, meskipun mereka tidak tahu pasti
keseluruhan persoalan.
Namun mereka pun menjadi panas
mendengar bahwa ada orang yang telah mencegat Ki Gede dan melukainya. Ki Gede
bagi mereka adalah pemimpin, orang tua dan Panglima yang tiada bandingnya.
Tetapi mereka telah dihadapkan
pada suatu kenyataan. Dan mereka pun membayangkan bahwa orang-orang yang telah
melukai Ki Gede itu pun adalah orang-orang yang luar biasa pula.
“Raden Sutawijaya dan Untara
sama sekali tidak boleh mengejar mereka ketika mereka melarikan diri,” berkata
pengawal yang telah ikut bertempur.
“Kenapa?”
“Justru karena keduanya tidak
akan dapat mengimbangi kemampuan orang-orang itu.”
“Kenapa tidak seluruh
pasukan?”
“Yang lain masih harus
bertempur dengan pengawal-pengawal orang-orang yang telah melukai Ki Gede itu.”
Orang-orang yang mendengar
cerita itu pun mengangguk-anggukkan kepala mereka. Ternyata bahwa di luar
Mataram masih ada juga orang yang memiliki kemampuan yang tinggi. Namun hampir
di luar sadar mereka, mereka pun menilai para senapati yang masih ada di
Pajang. Di Pajang tentu tidak hanya satu dua orang saja yang memiliki kemampuan
seperti Ki Gede Pemanahan. Apalagi para bupati dan adipati yang masih tetap
setia kepada Pajang sampai saat itu.
Para pengawal Mataram itu
telah didorong untuk menilai keadaan mereka. Menilai kekuatan Mataram
dibandingkan dengan Pajang.
“Seperti sebuah mentimun
dibandingkan dengan sebuah durian,” berkata para pengawal itu di dalam hatinya
Tetapi adalah suatu kenyataan
bahwa Mataram memang sudah berdiri. Mataram semakin lama menjadi semakin ramai
dan semakin besar.
“Mataram harus membina dirinya
sendiri,” tekad itu agaknya telah bergetar di jantung para pengawal.
Dalam pada itu, Ki Gede
Pemanahan langsung memasuki bagian dalam rumahnya. Sutawijaya yang cemas
memapahnya dan membawanya ke dalam biliknya. Perlahan-lahan dilayaninya Ki Gede
duduk di pembaringannya.
Dengan nafas yang
terengah-engah Ki Gede berkata, “Ternyata aku masih sempat sampai ke bilik ini
lagi.”
Sutawijaya yang kemudian duduk
pula di sebuah dingklik kayu di sebelah Ki Lurah Branjangan pun bergeser
mendekat. Katanya, “Sebaiknya Ayah beristirahat sepenuhnya. Ayahanda tidak usah
memikirkan apa pun juga yang terjadi. Baik di Mataram maupun di Pajang.”
Ki Gede menganggukkan kepalanya.
Namun jawabnya, “Aku tidak apa-apa Sutawijaya. Lukaku tidak begitu parah.”
“Tetapi Ayahanda kelihatan
sangat letih.”
“Ya. Aku memang letih sekali.”
“Aku akan memanggil dukun yang
paling baik yang ada di Mataram untuk mengobati luka Ayahanda.”
Ki Gede merenung sejenak,
lalu, “Lukaku tidak apa-apa, Sutawijaya.”
“Meskipun demikian, tetapi
luka itu harus diobati.”
Ki Gede Pemanahan tidak
menyahut. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia kemudian berdesis, “Aku akan
berbaring.”
Sutawijaya kemudian membantu
Ki Gede yang berbaring sambil berdesis. Lukanya tidak begitu terasa sakit.
Tetapi karena darahnya yang terlampau banyak mengalir dari luka itu sebelum
dipampatkan, maka rasa-rasanya tubuh Ki Gede menjadi lemah sekali.
“Aku akan tidur,” berkata Ki
Gede.
“Para pelayan sedang
menyiapkan minuman panas dan makan bagi Ki Gede,” berkata Ki Lurah Branjangan.
“Terima kasih,” Ki Gede
berdesis, lalu, “aku memang haus sekali.”
Ki Lurah Branjangan pun segera
pergi ke luar untuk memanggil pelayan yang tengah menyiapkan makan dan minum Ki
Gede Pemanahan.
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian membawa semangkuk minuman hangat ke dalam bilik dan dengan hati-hati
membantu Ki Gede yang bangkit sejenak untuk menghirup minuman yang terasa
menyegarkan tubuhnya.
“Apakah Ki Gede juga akan
makan?” bertanya Ki Lurah Branjangan.
“Suruhlah menyediakan, Ki
Lurah,” sahut Ki Gede.
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian pergi ke luar bilik itu untuk menyediakan makan bagi Ki Gede
Pemanahan.
Sementara itu, tinggal
Sutawijaya-lah yang masih ada di dalam bilik ayahnya yang sedang berbaring diam
itu.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan itu perlahan-lahan, “apakah kau tidak ingin mendengar cerita
perjalananku pada saat aku menghadap Kanjeng Sultan Pajang?”
Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Ada keinginannya untuk mendengar sikap Sultan Pajang, tetapi ada
juga keragu-raguan di dalam hatinya.
Namun demikian ia kemudian
menjawab, “Tentu, Ayahanda.”
“Baiklah, Sutawijaya. Yang
penting, bahwa sikap dan keputusan yang diambil oleh Kanjeng Sultan di Pajang
itu jauh berbeda dengan angan-anganku pada saat aku berangkat. Namun justru
karena itu, aku telah mengalami kejutan yang tiada taranya.”
Sutawijaya masih tetap
menundukkan kepalanya. Ki Gede pun kemudian menceritakan perjalanannya
menghadap Sultan Pajang, dan sekaligus sikap dan keputusan yang diambil oleh
Sultan Pajang itu.
“Jika aku dihukum,
rasa-rasanya kesalahanku telah aku bayar lunas. Tetapi kini Sultan Pajang
seolah-olah membiarkan aku selalu dikejar oleh perasaan bersalah dan berhutang
budi,” berkata Ki Gede kemudian.
Sutawijaya masih tetap duduk
diam di tempatnya.
Ki Gede pun kemudian
mengisahkan perjalanannya kembali, dan diceritakannya pula pertempuran yang
terjadi di tepi Kali Opak itu sejak permulaan sampai Sutawijaya datang.
Dengan saksama Sutawijaya
mendengarkan cerita ayahandanya. Dicobanya untuk mengurai persoalan yang telah
terjadi itu.
“Itulah sebabnya aku merasa
bahwa hutangku kepada Sultan Pajang rasa-rasanya menjadi semakin bertimbun,”
desis Ki Gede kemudian.
Tetapi ternyata Sutawijaya
tidak menanggapinya. Bahkan keningnya nampak berkerut membayangkan ketegangan
di dalam dadanya.
Ki Gede Pemanahan dapat
menangkap sesuatu yang lain di dalam diri Sutawijaya sehingga ia pun kemudian
bertanya, “Apakah kau mempunyai penilaian yang lain Sutawijaya?”
Sutawijaya menjadi ragu-ragu.
Karena itu, ia tidak segera menyahut. Bahkan rasa-rasanya keringat dinginnya
mulai mengalir di tubuhnya. Dengan susah payah ia berusaha untuk mengarahkan
angan-angannya sendiri, sesuai dengan tanggapan Ki Gede Pemanahan. Namun setiap
kali telah memercik tanggapan yang jauh berbeda.
Ki Gede Pemanahan menunggu
sejenak. Namun terasa bahwa memang ada sesuatu yang lain pada anak laki-lakinya
itu.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
kemudian, “kenapa kau diam saja?”
“O,” Sutawijaya tergagap.
Dengan serta-merta ia berdesis, “begitulah, Ayahanda.”
“Kau tidak berkata
sebenarnya,” tiba-tiba saja Ki Gede bergumam seakan-akan kepada diri sendiri,
“ada sesuatu yang berbeda dengan penilaianmu.”
“Tidak. Tidak ada yang lain,
Ayahanda.”
“Sutawijaya,” suara Ki Gede
menjadi dalam, “aku orang tua, Sutawijaya. Aku dapat membedakan tanggapan
seseorang. Jika yang aku katakan sesuai dengan perasaanmu, maka tanggapanmu
tentu akan langsung terungkap di dalam kata-kata dan sikapmu. Tetapi agaknya
bukan begitu. Sikapmu, kata-katamu dan bayangan wajahmu menunjukkan yang lain
itu kepadaku.”
Sutawijaya tidak menjawab.
Tetapi kepalanya tertunduk semakin dalam.
“Katakanlah sutawijaya. Aku
tetap menganggapmu bahwa, kau sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap.
Mungkin sikap kita sekarang ada yang berbeda. Itu tentu wajar, karena aku dan
kau adalah dua pribadi yang terpisah. Jika sampai saat ini di antara kau dan
aku tidak ada perbedaan apa-apa, itu bukan karena setiap persoalan menimbulkan
tanggapan yang sama di dalam hati kita, tetapi justru karena kau adalah anakku,
yang di dalam beberapa hal tentu akan menurut saja pendapatku dan sikapku
daripada bersikap atas pribadimu sendiri.”
Sutawijaya tidak segera
menjawab.
“Sutawijaya,” Ki Gede
melanjutkan, “daripada sampai masa yang panjang hal ini akan tetap merupakan
teka-teki bagiku, maka sebaiknya, katakanlah. Bagaimanakah sikapmu atas
persoalan ini.”
Sutawijaya masih ragu-ragu.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
pula, “bukankah kau sudah berani menyatakan perbedaan sikapmu pada saat aku
pergi ke Pajang? Kau tetap pada pendirianmu, bahwa kau tidak akan bersedia
pergi, dan kau tetap pada sikap itu ketika aku pergi seorang diri dengan dua
orang pengawal. Meskipun ternyata kemudian firasatmu telah menuntun kau
menyongsong aku pulang, dan menemukan aku dalam bahaya. Tetapi betapa pun juga
kau tetap tidak mau menghadap ke Pajang.”
Sutawjaya mengangguk kecil.
“Nah, sekarang kau dapat
menyatakan pendapatmu pula”
“Ayahanda,” suara Sutawijaya
dalam, “aku mohon maaf, Ayahanda, bahwa aku memang mempunyai tanggapan lain
atas peristiwa yang baru saja terjadi.”
Ki Gede Pemanahan menarik
keningnya, lalu katanya, “Bukankah hal itu wajar? Nah, katakanlah.”
“Ayahanda, apakah Ayahanda
percaya bahwa Ayahanda Sultan di Pajang benar-benar tidak marah karena
peristiwa itu?”
Ki Gede Pemanahan berpikir
sejenak. Namun pengalamannya dan pengenalannya atas Sutawijaya segera
membimbingnya pada suatu kesimpulan tentang sikap Sutawijaya. Karena itulah
maka dadanya menjadi berdebar-debar.
“Apakah yang kau maksudkan
sebenarnya, Sutawijaya? Apakah kau menganggap bahwa Sultan Hadiwijaya hanya
sekedar berpura-pura saja?”
“Ayahanda. Jika Ayahanda
Sultan Hadiwijaya benar-benar tidak marah dan tidak mengambil tindakan apa pun terhadap
aku, itu pertanda bahwa Ayahanda Sultan Hadiwijaya tidak adil. Ia menandai
pemerintahannya dengan kepentingan diri sendiri.”
“Kenapa mementingkan diri
sendiri? Bukankah dengan demikian justru menunjukkan bahwa ia seorang Raja yang
berjiwa lapang?”
“Tidak, Ayah. Ia hanya
mementingkan diri sendiri. Mementingkan keluarganya sendiri, karena aku adalah
anaknya, meskipun sekedar anak pungut. Apakah Sultan Hadiwijaya akan berbuat
sama jika yang melakukan itu orang lain? Bukan keluarganya, bukan anak angkatnya?”
Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Lalu, “Kau tentu belum selesai, teruskan.”
Sutawijaya justru
termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ya, Ayah. Aku memang belum selisai.”
Sutawijaya menelan ludahnya, lalu, “Seharusnya seorang raja yang adil menghukum
siapa saja yang bersalah.”
“Kau juga minta dihukum?”
“Setidak-tidaknya ada
keputusan bahwa aku harus dihukum. Mungkin aku akan melarikan diri atau
mengambil sikap yang lain.”
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede,
“tentu kau masih ingat, apa yang dilakukan olea Sultan Hadiwijaya semasa ia
masih selalu dibayangi oleh perpecahan dan perang saudara. Arya Penangsang
telah mengirimkan beberapa orang, bahkan dengan pertanda kebesaran Jipang,
pusaka keris yang disebutnya Brongot Setan Kober. Orang-orang itu berhasil
memasuki bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Tetapi mereka gagal membunuh. Bahkan
kemudian mereka dapat ditangkap. Kau ingat?”
“Ayahanda-lah yang
menangkapnya.”
“Aku beserta beberapa orang
prajurit,” sahut Ki Gede. “Namun ternyata orang-orang itu juga tidak dihukum.
Orang-orang itu masing-masing menerima hadiah dari Kanjeng Sultan.”
“Tetapi nilai hadiah itu
sangat berbeda dari ujudnya. Hadiah itu justru suatu alat untuk merendahkan
Pamanda Arya Penangsang. Justru hadiah itu suatu hukuman yang paling berat bagi
Pamanda”
Ki Gede Pemanahan menarik
nafas dalam-dalam. Sutawijaya memang bukan anak-anak lagi. Ia memiliki
pengamatan yang tajam. Hadiah bagi orang-orang yang akan membunuh Sultan
Hadiwijaya itu memang salah satu cara yang dipergunakan oleh Sultan Hadiwijaya
untuk membakar hati Arya Penangsang, yang memang seorang yang mudah sekali
menjadi marah dan kehilangan pertimbangan yang bening.
“Karena itu, Ayahanda,”
berkata Sutawijaya, “apakah kita yang mengenal Ayahanda Sultan sejak lama dapat
menganggap bahwa sikapnya itu sebagai suatu sikap yang jujur?”
Ki Gede termenung sejenak.
Namun dengan hati yang suram ia berkata, “Kau benar, Sutawijaya. Memang saat
itu Sultan Hadiwijaya sengaja melemparkan tantangan bagi Arya Penangsang karena
kemarahannya, bahwa Arya Penangsang telah mencoba membunuhnya. Tetapi aku kira
kali ini ia berbuat lain. Aku melihat pengampunan yang tulus memancar dari
sorot matanya.”
“Adalah sangat sulit
membedakan, yang manakah yang dinyatakan dengan tulus dan jujur, dan yang
manakah yang sekedar untuk memancing pertengkaran seperti yang dilakukan
terhadap pesuruh Arya Penangsang. Sureng yang mendapat tugas untuk membunuhnya
itu memang tidak berharga sama sekali bagi Ayahanda Sultan sehingga mereka
tidak perlu dibunuhnya, dan justru dipergunakan sebagai alat untuk memancing
kemarahan Pamanda Arya Penangsang.”
“Sutawijaya,” suara Ki Gede
menurun, “kau terlampau berprasangka terhadap ayahandamu. Bagi kita Sutawijaya,
apakah keuntungan Sultan untuk berbuat dengan pura-pura. Pada masa pertentangan
antara Pajang dan Jipang, keadaan belum meyakinkan seperti sekarang ini. Pajang
belum terlampau kuat, dan Jipang masih nampak besar. Sikap para Adipati masih
belum pasti, sehingga Sultan Hadiwijaya harus sangat berhati-hati menghadapi
Jipang. Tetapi tidak dengan Mataram. Mataram tidak lebih dari sebuah ranti
masak yang berada di sisi sebuah durian. Jika durian itu berguling, maka akan
lumatlah buah ranti itu.”
“Tidak, Ayahanda. Di Mataram
ada Ayahanda. Dan Ayahanda adalah orang yang sangat disegani di Pajang. Para
Adipati mengakui kelebihan Ayahanda sebagai seorang panglima. Dan kini Ayahanda
masih tetap merupakan hantu bagi mereka dan akhirnya juga bagi Pajang. Itulah
sebabnya, maka Ayahanda-lah yang pertama-tama harus disingkirkan.”
“Maksudmu?”
“Ayahanda. Semua pihak
berusaha untuk menarik Ayahanda. Orang-orang Panembahan Agung pun berusaha
untuk memperalat Ayahanda. Mereka ingin menangkap aku hidup-hidup. Bukan karena
aku mereka anggap orang penting, tetapi mereka ingin memeras Ayahanda dengan
mempergunakan aku sebagai taruhan.”
Ki Gede Pemanahan tidak segera
menyahut. Karena itu Sutawijaya berkata selanjutnya, “Ayahanda, maafkan aku,
Ayahanda, bahwa aku mempunyai prasangka buruk terhadap sikap Ayahanda Sultan
Hadiwijaya terhadap Ayahanda Pemanahan.”
Ki Gede masih merenung
sejenak. Namun kemudian yang nampak pada sikap yang keras dari anak
laki-lakinya itu adalah kesalahannya sendiri. Kesalahan Ki Gede Pemanahan
sendiri. Pada saat perasaannya melonjak tidak terkendali, dan dengan diam-diam
ia meninggalkan Pajang kembali ke Sela, maka pada saat itulah ia mulai meracuni
hati Sutawijaya dengan ketidak-percayaan lagi kepada ayahanda angkatnya, Sultan
Hadiwijaya.
Dengan demikian maka
penyesalan itu terasa semakin pedih menusuk hatinya.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede
Pemanahan kemudian, “aku sudah dapat membaca sikap dan tanggapanmu. Seperti
yang dilakukan terhadap beberapa orang petugas yang dikirim oleh Arya
Penangsang untuk membunuh Sultan itulah maka ia bersikap sekarang. Namun
seandainya ia berhasil memancing kemarahanmu, apakah yang dimaksudkannya?
Apakah ia mengharap kau marah, lalu dengan serta-merta mengangkat senjata untuk
melawan Pajang, sehingga dengan demikian Sultan mempunyai alasan untuk
menggilas Mataram yang sedang tumbuh ini?”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Ada sesuatu yang masih tersangkut di dalam dadanya.
Tetapi ia ragu-ragu untuk mengucapkannya.
Ki Gede Pemanahan menangkap
keragu-raguan itu. Karena itu maka katanya, “Sutawijaya, jika masih ada
persoalan yang belum kau katakan, katakanlah sampai tuntas. Aku akan mencoba
mengerti.”
Sutawijaya tidak segera
menyahut. Namun nampak wajahnya menjadi tegang.
Untuk beberapa saat keduanya
saling berdiam diri. Sutawijaya menjadi sangat gelisah. Ia ragu-ragu untuk
menentukan sikap. Apakah ia akan mengatakan tanggapannya atas semua peristwa
yang telah terjadi atau tidak.
Dalam pada itu, sebelum
Sutawijaya mengatakan sesuatu. Ki Lurah Branjangan pun kemudian masuk ke dalam
bilik itu sambil berkata, “Ki Gede. Makan telah tersedia. Apakah para pelayan
harus membawarya masuk ke dalam bilik? Aku kira itu akan lebih baik bagi Ki
Gede. Ki Gede tidak usah pergi ke ruang dalam, karena agaknya Ki Gede masih
nampak terlampau letih.”
Ki Gede termenung sejenak.
Namun kemudian katanya, “Baiklah, Ki Lurah. Suruhlah para pelayan membawa
makanan itu masuk. Aku akan makan di dalam bilik ini.”
Ki Lurah Branjangan pun
kemudian keluar untuk memanggil para pelayan. Sementara itu, Sutawijaya diam
saja sambil menundukkan kepalanya. Ada sesuatu yang masih terasa menyangkut di
dalam dadanya
Sejenak Ki Gede Pemanahan
berdiam diri. Ia menunggu agar Sutawijaya mengatakan sesuatu yang masih tersisa
dihatinya. Tetapi Sutawijaya tidak mengatakan sesuatu.
“Sutawijaya,” berkata Ki Gede,
“masih ada waktu sebelum aku makan.”
Sutawijaya masih saja
ragu-ragu sehingga nampaklah pada sikap dan wajahnya bahwa sesuatu memang masih
tersangkut didadanya,
“Katakanlah, Sutawijaya,”
desak Ki Gede.
“Ayahanda,” berkata
Sutawijaya, “memang masih ada sesuatu di hatiku. Tetapi aku ragu-ragu
mengatakannya. Mungkin aku salah. Tetapi aku seakan-akan melihat, bagaimana hal
itu sudah terjadi.”
Ki Gede Pemanahan memandang
wajah anaknya sejenak, lalu, “Sebutlah.”
Sutawijaya memandang pintu
sejenak seakan-akan ia tidak ingin ada orang yang yang mendengarnya, meskipun
ia Ki Lurah Branjangan sekalipun.
Baru setelah ia yakin tidak
ada seorang pun diluar pintu, maka ia pun berkata, “Ayahanda, seakan-akan aku
melihat, bahwa yang terjadi di Prambanan itu adalah akibat dari sikap Ayahanda
Sultan Hadiwijaya.”
“Sutawijaya,” desis Ki Gede
Pemanahan dengan wajah yang tegang. Bahkan di luar sadarnya ia berusaha
bangkit. Namun kemudian ia terbaring lagi dengan lemahnya.
Sutawijaya bergeser maju.
Sambil menahan lengan Ki Gede ia berkata, “Ayahanda. Sebaiknya Ayahanda tetap
berbaring.”
“O,” Ki Gede menarik nafas
dalam-dalam. Katanya kemudian dengan nafas terengah-engah, seakan-akan ia baru
saja selesai bertempur melawan orang-orang dari kaki Gunung Lawu, “katakan
Sutawijaya.”
Sutawijaya menjadi semakin
ragu-ragu. Namun ayahandanya mendesak, “Katakanlah, supaya aku tidak keliru
menafsirkan dugaanmu itu.”
“Ayahanda,” berkata
Sutawijaya, “memang pada bentuk lahiriahnya Ayahanda Sultan Hadiwijaya
memaafkan segala kesalahanku. Tetapi mustahil bahwa Ayahanda demikian saja
melupakan gadis dari Kalinyamat itu.”
“Jadi?”
“Ayahanda sudah mengatur
semuanya. Juga orang yang berada di Kali Opak itu.”
Ki Gede Pemanahan diam
bagaikan membeku. Hatinya serasa dibebani oleh berbagai macam persoalan yang hampir
tidak dapat dipikulnya.
“Ayahanda, itulah sebabnya
maka Untara hanya datang dengan pengawalnya yang sangat terbatas. Sedang
pengawal-pengawalnya yang lain baru menyusul setelah terlambat.”
“O,” Ki Gede menekan dadanya.
“Maaf, Ayahanda. Aku tidak tahu,
apakah aku benar. Tetapi seolah-olah aku yakin, bahwa sebenarnya Ayahanda
Sultan sejak semula sudah tidak bersikap jujur terhadap kita.”
“Kenapa kau berpendirian
begitu?”
“Ayahanda. Kenapa Ayahanda
tidak segera memenuhi janjinya kepada kita. Hanya kepada kita, sedangkan
janjinya yang lain sudah dipenuhi? Kenapa kitalah yang harus menerima daerah
yang masih berupa hutan belukar dan apalagi Alas Mentaok. Kenapa bukan daerah
yang sudah terbuka seperti Pati. Dan kenapa justru Pamanda Penjawi-lah yang menerima
daerah itu lebih dahulu dari kita, itu pun jika Ayahanda Pemanahan tidak
memaksa, daerah ini tidak akan diserahkannya.”
“Sutawijaya.”
“Dan kini, semuanya sudah
sampai ke puncaknya. Memang aku merasa bersalah. Aku telah berhubungan dengan
gadis yang sebenarnya telah disengker oleh Ayahanda Sultan. Tetapi, apakah
seimbang, bahwa karena gadis itu Ayahanda Pemanahan harus dilenyapkan?”
“Kau salah Sutawijaya, kau
salah,” suara Ki Gede agak mengeras. Namun kemudian suara menurun lagi, “Kau
mempunyai tangkapan terlampau jauh atas sikap ayahandamu Sultan Pajang.
Barangkali sudah pernah aku katakan kepadamu, bahwa aku menyesali perbuatanku
yang tergesa-gesa pada waktu itu.”
“Maksud Ayahanda?”
“Sebenarnya buat apa Sultan
mengingkari janjinya? Apalagi atas Alas Mentaok, sedangkan Pati yang ramai itu
pun sudah diserahkannya kepada Adi Penjawi,” berkata Ki Gede. “Sutawijaya,
barangkali sudah pernah aku katakan pula, bahwa sikap Sultan itu justru karena
ia menganggap kau benar-benar sebagai anaknya. Bahwa bukan saja Alas Mentaok,
tetapi mungkin sudah ada tempat yang diperuntukkan bagimu, bagi putranya.”
“Tentu tidak, Ayahanda. Aku
hanya sekedar anak angkatnya.”
“Tetapi kenapa kau
berprasangka sampai sedemikian jauh, Sutawijaya.”
“Semuanya itu berdasarkan atas
pengenalanku terhadap sifat dan sikap Ayahanda Sultan Hadiwijaya selama ini.”
“Tetapi kau salah sama sekali.
Kali ini pun kau salah menilai keadaan seperti kesalahan yang pernah aku
lakukan, sehingga aku meninggalkan Pajang. Untara adalah seorang prajurit
jantan. Seandainya semuanya itu hanyalah permainan saja. Untara tidak akan
sampai pada ujung nyawanya karena hampir saja ia terbunuh. Sehingga karena
itulah maka pusakaku aku lepaskan dan mematuk salah seorang dari lawan Untara
yang garang itu.”
Sutawijaya menundukkan
kepalanya. Tetapi seakan-akan ia sama sekali tidak mempercayainya, ia tetap
menganggap semuanya itu sebagai suatu permainan yang sempurna.
Itulah yang membuat Ki Gede
Pemanahan sangat bersedih.
Ki Gede sudah dapat menangkap
seluruh tanggapan Sutawijaya atas peristiwa yang terjadi itu. Sutawijaya
menganggap bahwa sikap Sultan Hadiwijaya, yang seakan-akan memaafkan
kesalahannya itu, sebagai sifat berpura-pura. Sementara itu, ia menyiapkan
sekelompok orang yang harus membunuh Ki Gede Pemanahan. Untara harus
berpura-pura menolongnya, tetapi prajuritnya mengalami kelambatan sehingga Ki
Gede tidak dapat diselamatkan. Kemudian Sultan mengharap Sutawijaya menjadi
marah dan dengan serta-merta mengangkat senjata melawan Pajang.
Dengan demikian, seandainya
Sutawijaya dan Mataram yang baru berkembang itu hancur, maka persoalannya bukan
semata-mata karena persoalan gadis yang seakan-akan telah dicuri oleh
Sutawijaya itu.
Ki Gede Pemanahan berdesis
tertahan. Bukan karena pedih lukanya, tetapi pedih di hatinya.
Sementara itu, maka Ki Lurah
Branjangan pun memasuki ruangan itu bersama para pelayan yang telah menyediakan
makan bagi Ki Gede Pemanahan.
Tetapi ternyata Ki Gede sama
sekali tidak berminat untuk makan. Ketika dipaksanya dirinya bangkit perlahan-lahan
dilayani oleh Ki Lurah Branjangan, dan menyuapi mulutnya dengan sesuap nasi,
rasa-rasanya nasi itu tidak dapat lewat di kerongkongannya.
Sambil menggelengkan kepalanya
Ki Gede berkata, “Aku belum ingin makan.”
“Ki Gede,” berkata Ki Lurak
Branjangan, “sebaiknya Ki Gede makan meskipun hanya sedikit. Dengan demikian
kekuatan tubuh Ki Gede akan menjadi bertambah baik.”
“Aku sudah mengerti,
Branjangan. Aku juga sering menasehati demikian itu kepada orang lain yang
sedang sakit. Tetapi ternyata mereka pun tidak dapat memaksa diri menyuapi
mulut mereka.”
Ki Lurah Branjangan tidak
dapat memaksa lagi. Karena itu ia pun kemudian duduk saja sambil merenungi Ki
Gede yang sedang sakit.
Namun bagi Ki Lurah
Branjangan, terasa bahwa sebenarnya Ki Gede tidak sedang menahan sakit di
lukanya. Nampaknya Ki Gede justru tidak menghiraukan lukanya sama sekali.
“Tentu ada sesuatu yang
mengganggu perasaannya,” berkata Ki Lurah Branjangan di dalam hati. “Agaknya
perasaannya terasa lebih sakit dari lukanya itu sendiri.”
Tetapi Ki Lurah Branjangan
tidak berani menanyakannya kepada Ki Gede Pemanahan maupun kepada Raden
Sutawijaya, karena ia tahu, bahwa persoalannya tentu berkisar kepada gadis
Kalinyamat itu.
Setelah sejenak mereka saling
berdiam diri, maka Ki Gede Pemanahan pun kemudian berkata, “Ki Lurah, suruhlah
para pelayan menyingkirkan makanan itu. Tetapi biarlah mangkuk minuman itu
tetap di situ.”
Ki Lurah Branjangan menarik
nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain.
Setelah para pelayan
menyingkirkan makanan yang seakan-akan tidak disentuh oleh Ki Gede, maka Ki
Gede pun kemudian berkata, “Aku akan mencoba untuk beristirahat. Karena itu,
tinggalkan aku sendiri.”
Ki Lurah Branjangan dan Raden
Sutawijaya pun kemudian meninggalkan bilik itu. Dengan hati yang bimbang
Sutawijaya berdiri sejenak di muka pintu. Namun kemudian ia pun melangkah
pergi.
Sejenak anak muda itu
merenungi dirinya sendiri. Ia pun menjadi heran, kenapa kepercayaannya kepada
Ayahanda Sultan Hadiwijaya itu seolah-olah telah lenyap sama sekali. Sejak
ayahandanya, Ki Gede Pemanahan memutuskan untuk meninggalkan Pajang,
rasa-rasanya setiap tindakan, setiap keputusan dan kata-kata dari Sultan
Hadiwijaya tidak lagi dapat dipercayainya.
Raden Sutawijaya terkejut
ketika Ki Lurah Branjangan menggamitnya. Kemudian dengan ragu-ragu ia bertanya,
“Apakah yang telah membuat Ki Gede nampaknya menjadi semakin murung?”
Raden Sutawijaya tidak segera
menjawab.
“Apakah aku tidak boleh
mendengarnya?”
Sutawijaya masih ragu-ragu.
Namun kemudian ia bertanya, “Ki Lurah. Apakah masih ada sisa kepercayaan kita
kepada Ayahanda Sultan Hadiwijaya?”
Ki Lurah menggelengkan
kepalanya. Katanya, “Aku tidak mengerti maksud Raden.”
Raden Sutawijaya menarik
nafas. Katanya, “Aku kira kau menggelengkan kepalamu karena kau sependapat
dengan aku.”
“Aku masih belum mengerti.”
“Ki Lurah. Apakah kita masih
dapat menganggap Sultan Hadiwijaya itu mengambil keputusan dengan jujur sejak
kita meninggalkan Pajang dan membuka Alas Mentaok.”
“Kenapa tidak, Raden.”
“Jadi kenapa kau meninggalkan
Pajang?”
“Raden,” berkata Ki Lurah
Branjangan, “Sultan Hadiwijaya bukannya tidak lagi dapat dipercaya. Tetapi
menurut pendapatku. Sultan Hadiwijaya itu sudah berhenti. Batas kebesaran
Pajang sudah tidak akan lagi berkembang. Maksudku, bukannya luas daerahnya,
atau kekuasaannya atas rakyatnya. Tetapi Pajang tidak dapat membangun dirinya
sendiri. Karena Sultan telah berhenti, maka gairah rakyatnya pun berhenti.
Pajang tidak lagi berusaha membangun dirinya. Bendungan yang pecah tidak lagi
mendapat perbaikan. Jalan yang terputus dibiarkannya. Penduduk yang berkembang
tidak diimbangi dengan perkembangan tanah persawahan dan pategalan. Karena
itulah, maka aku mencari tempat yang lebih hidup. Lebih banyak bergerak dan
menggelegak. Dan aku menemukan tanah yang baru tumbuh ini. Tanah Mataram.”
Raden Sutawijaya
termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Ki Lurah Branjangan dengan wajah yang
tegang. Namun kemudian Raden Sutawijaya itu melontarkan tatapan matanya ke
kejauhan.
“Paman,” berkata Raden
Sutawijaya dengan nada datar, “ternyata aku mempunyai pendapat yang lain dengan
Paman dan ayahanda. Tetapi aku tidak akan berpendapat bahwa pendapatkulah yang
benar. Untuk sementara biarlah kita ada di dalam perbedaan itu. Mungkin di saat
lain pendapat kita akan bertemu.”
“Maksud Raden?” bertanya Ki
Lurah Branjangan.
“Aku meragukan kejujuran
Ayahanda Sultan Hadiwijaya.”
“Itu wajar sekali, Raden,”
berkata Ki Lurah Branjangan, “tetapi sebaiknya Raden memperhatikan
perkembangannya lebih lanjut.” Ki Lurah Branjangan berhenti sejenak, lalu,
“Maksud Raden tentang keputusan Ayahanda Sultan Hadiwijaya?”
Raden Sutawijaya tidak segera
menjawab.
“Mungkin memang belum saatnya
Raden mengatakannya kepadaku. Tetapi agaknya ada sesuatu yang kurang sesuai
antara Raden dan Ayahanda Ki Gede Pemanahan.”
Raden Sutawijaya masih tetap
berdiam diri.
“Baiklah, Raden menenangkan
hati. Aku juga akan menghadap ayahanda dan mohon agar Ki Gede mencoba
mengendapkan perasaannya. Ki Gede adalah seorang tua yang memiliki pengalaman
lahir dan batin yang cukup luas.”
Raden Sutawijaya masih saja
tidak menyahut.
“Sudahlah, Raden. Silahkan
beristirahat. Raden pun tentu juga letih.”
Sutawijaya kemudian
ditinggalkan oleh Ki Lurah Branjangan seorang diri. Hatinya yang memang sedang
risau itu rasa-rasanya menjadi semakin risau. Ia diombang-ambingkan oleh
gejolak perasaannya yang kadang-kadang tidak sejalan dengan nalarnya.
Tiba-tiba saja Raden
Sutawijaya teringat kata-kata Ki Lurah Branjangan. Betapa pun juga, kelemahan
ayahanda Sultan memang pada kelemahannya kini. Ia seakan-akan memang telah
berhenti. Ia telah dijerat oleh kamukten yang membuatnya kehilangan gelora di
masa mudanya.
Selagi masih muda, Sultan
Hadiwijaya yang juga disebut Mas Karebet, dan juga dinamai Jaka Tingkir itu
memiliki gelora yang bagaikan menyala-nyala di dalam dadanya. Seorang anak muda
yang meledak-ledak dalam pencaharian dan pencapaian. Dan itulah yang telah
menarik perhatian Sultan Trenggana dan mengangkatnya menjadi hamba yang sangat
dekat padanya.
Raden Sutawijaya menarik nafas
dalam-dalam. Seakan-akan ia telah mengulangi apa yang terjadi atas Sultan
Hadiwijaya semasa mudanya. Dengan diam-diam Jaka Tingkir telah berhubungan
dengan putri Sultan Trenggana di Demak.
“Tetapi Sultan Trenggana
mengusirnya dengan marah,” geram Raden Sutawijaya di dalam hatinya, “kenapa
Sultan Hadiwijaya tidak mengusirku? Apalagi gadis itu bukan sekedar anaknya,
tetapi justru akan diperistrikannya.”
Raden Sutawijaya menghentakkan
tangannya. Dan ia pun berkata di dalam hatinya. “Jaka Tingkir yang juga disebut
Mas Karebet itu dapat kembali ke istana karena ia berhasil menunjukkkan
kemampuannya. Bukan sekedar karena belas kasihan. Apalagi belas kasihan yang
tidak jujur dan sekedar merupakan perangkap.”
Tetapi Sutawijaya menjadi
berdebar-debar. Ia mulai ragu-ragu atas prasangkanya sendiri, bahwa yang
terjadi adalah perangkap semata-mata.
“Persetan,” Raden Sutawijaya
menggeram, “apa pun yang terjadi, tetapi Mataram harus menjadi lanjutan dari
gejolak dan gairah hidup yang pernah terpancar pada permulaan masa kekuasaan
Sultan Hadiwijaya. Mataram tidak akan membiarkan Pajang berhenti. Seandainya
Pajang akan berhenti, maka harus ada usaha agar perjuangannya dapat
dilanjutkan, Mataram harus membangun dirinya menjadi negara besar. Lebih besar
daripada Pajang tanpa menyerap kekuasaan yang ada di Pajang dengan paksa.”
Terasa jantung Raden
Sutawijaya bergetar. Ia tidak lagi ingin dikungkung oleh perasaan kecewa dan
gusar karena belas kasihan atau karena perangkap yang telah dipasang oleh
Sultan Pajang. Yang penting baginya, seperti yang dikatakan oleh Ki Lurah
Branjangan, adalah membangun Mataram di segala segi kehidupannya.
Tanpa sadar Raden Sutawijaya
berdiri. Dipandanginya dedaunan hijau di halaman. Bayangan batang pepohonan
yang bergerak-gerak disentuh angin.
“Di sinilah aku sudah mulai,”
berkata Sutawijaya di dalam hatinya, “dan kerena itu, aku tidak boleh berkisar.
Apa pun yang akan terjadi.”
Tekad itulah yang kemudian
seakan-akan selalu memanasi darahnya. Darah mudanya yang menggelegak bagaikan
mendidih.
“Darah ini tidak boleh membeku
seperti darah Ayahanda Sultan Hadiwijaya betapa pun besar usahaku yang akan
berhasil nanti. Mataram harus berkembang terus. Mataram harus membangun dirinya
tanpa mengenal batas waktu.”
Dalam pada itu, peristiwa yang
terjadi di tepi Kali Opak itu pun menjadi bahan pembicaraan di Jati Anom.
Setelah Untara kembali bersama prajurit-prajuritnya, dan bahkan dengan beberapa
orang korban, maka timbullah berbagai tanggapan atas kejadian itu.
Namun ada di antara mereka
yang memang sengaja ingin mengeruhkan keadaan. Orang-orang itulah yang
menyebarkan cerita ngayawara. Cerita yang sengaja untuk membakar hati
orang-orang Pajang dan terlebih-lebih mereka tidak senang melihat Mataram mulai
berkembang. Cerita yang dianyam dan diramu menjadi sebuah cerita yang menarik
dalam susunan yang sempurna.
Untara sendiri terkejut ketika
pada suatu saat seorang perwira bawahannya datang kepadanya dan bertanya,
“Bagaimanakah yang sebenarnya terjadi di Kali Opak itu?”
Untara tidak segera menjawab.
Tetapi karena wajah perwira itu nampak bersungguh-sungguh, maka ia pun kemudian
menjawab, “Seperti yang pernah aku ceritakan. Bukankah aku pernah mengatakan
kepadamu dan kepada kawan-kawan kita semua.”
Perwira itu mengangguk-angguk.
Namun ada sesuatu tersembunyi di balik tatapan matanya.
“Apakah ada sesuatu yang
kurang mapan?” bertanya Untara.
“Kakang Untara,” berkata
perwira itu, “di antara kita telah jatuh korban. Untunglah beberapa korban itu
bukan Kakang Untara sendiri, meskipun Kakang Untara hampir menjadi korban
pula.”
“Ya,” sahut Untara dengan
ragu-ragu.
“Kakang. Bukan maksudku untuk
mengaburkan cerita Kakang Untara. Tetapi sementara orang mempunyai cerita lain.
Apalagi di Pajang. Bukankah Kakang tahu, bahwa aku baru saja datang dari
Pajang.”
“Apa kata orang-orang yang ada
di Pajang?”
“Seakan-akan mereka tidak
percaya bahwa orang-orang yang berada di Kali Opak itu adalah penjahat yang
berusaha membinasakan Ki Gede Pemanahan. Mereka berpendapat, bahwa orang-orang
itu sebenarnyalah orang-orang Ki Gede Pemanahan sendiri.”
“Ah,” desis Untara, “tidak.
Aku tahu pasti. Mereka adalah orang-orang yang menghendaki kematian Ki Gede
Pemanahan.”
“Darimana kau tahu?”
“Aku mendapat perintah
langsung untuk menyelamatkan Ki Gede.”
“Apakah itu bukan sekedar pancingan
saja agar kau dengan tergesa-gesa datang ke Kali opak.”
“Maksudnya?”
“Kau adalah senapati yang
disegani di daerah ini. Kau adalah seorang prajurit yang kini bertanggung jawab
atas daerah selatan. Dan daerah selatan ini adalah jalur lurus antara Pajang
dan Mataram.”
Untara mengerutkan keningnya.
Namun kemudian ia menggeram, “Setan. Aku tahu maksudnya. Cerita itu tentu
mengatakan bahwa Ki Gede Pemanahan telah menyuruh seseorang memberitahukan
kepadaku, seolah-olah perintah langsung dari Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Hal itu
tidak sulit bagi Ki Gede, karena Ki Gede adalah bekas Panglima tertinggi di
Pajang. Kemudian Ki Gede menyiapkan sekelompok orang-orang yang siap menunggu
di pinggir Kali Opak. Dengan demikian, kematianku seakan-akan sama sekali tidak
ada hubungannya dengan Ki Gede. Bahkan justru pada saat aku berusaha
menyelamatkan Ki Gede.”
“Ya, begitulah kira-kira.”